Isi Makalah

download Isi Makalah

of 31

Transcript of Isi Makalah

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangMasalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkiran jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam system imun. Pada mulanya system imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunyahomeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam system imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala penyakit tersebut terutamamerupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluler, disamping imunitas humoral karenagangguan sel T helper (TH) untuk mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan patologi penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik,terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.Oleh karena melihat betapa seriusnya dampak yang diakibatkan infeksi HIV, maka penulis menulis makalah ini agar penulis dan pembaca bisa lebih memahami mengenai penyakit ini hingga cara penanganannya.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana respon imun yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV?2. Bagaimana perkembangan HIV di Indonesia?3. Bagaimana gejala klinis yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV?4. Bagaimana cara penanganan bagi pasien yang terinfeksi HIV?

1.3 Tujuan1. Dapat mengetahui dan memahami respon imun yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV2. Dapat mengetahui perkembangan HIV di Indonesia.3. Dapat mengetahui gejala klinis yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV hingga cara penanganannya.

BAB IIPEMBAHASAN1.1 Reaksi Autoimun Pasien HIV1.1.1Struktur HIVHIV merupakan suatu virus RNA bentuk spheris dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp 41. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17.Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24.Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase (gambar 1).Gambar 1. Struktur HIVDikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983dan HIV-2 yangditemukan pada tahun 1986 pada penderita AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidakmempunyai vpu.Perbedaan struktur genome ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1.

Gambar 2. Perbedaan struktur gen HIV-1 dan HIV-21.1.2Sel TargetSel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) dan monosit/makrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, microglia, astrosit, sel trofoblast, limfosit, CD8, sel retina dan epitel ginjal. Beberapa sel yang pada mulanya dianggap CD4 negatif, ternyata juga dapat terinfeksi HIV namun kemudian diketahui bahwa sel-sel tersebut mempunyai CD4 kadar rendah. Sel tersebut antara lain adalah sel myeloid progenitor CD34+ dan sel timosit tripel negatifDisamping itu memang ada sel yang benar-benar CD4 negatif tetapi dapat terinfeksi HIV. Untuk hal ini diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, atau galaktosil seramide. Terakhir ditemukan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virion setelah terjadibinding.1.1.3Mekanisme Imunitas pada Keadaan NormalAktivasi sel Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respons imunitas. Th dapat teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag -TCR (T Cell Receptor) dengan kompleks Antigen- molekul MHC Clas II yang dipresentasikan oleh makrofag sebagaiantigen presenting cells(APCs) yang teraktivasi oleh antigen. Sinyal kedua berasal dari Sitokin IL-1 yang dihasilkan oleh APC yang teraktivasi tadi. Kedua sinyal tadi akan merangsang Th mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain yang dapat mengaktivasi makrofag, CTLs (cytotoxic T Lymphocyteatau TC) dan sel limfosit B. IL-2 juga akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th lainnya yang belum memproduksi IL-2 untuk berproliferasi. Jadi dengan demikian akan terjadi amplifikasi respon yang diawali oleh kontak APCs dengan sel Th semula.Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonself-antigen, dan Tc dapat dibedakan dengan Th karena Tc mempunyai molekul CD8 dan akan mengenal antigen asing melalui molekul MHC class I. Seperti sel Th, sel Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitop benda asing dan molekul MHC Class I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th tersebut.Tangan ke tiga dari imunitas seluler di lakukan oleh sel NK (natural killer), yaitu sel limfosit dengan granula kasar dengan petanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung sel-sel asing, sel tumor atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang di lapisi olehantibody dependent cell mediated cytotoxicity(ADCC)Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF (B cell differentiaton factor) dan BCGF (B cell growth factor) yang di produksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit B, maka akan terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibodi.1.1.4Pengaruh HIV Terhadap Sistem ImunHIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal.1. Abnormalitas pada Imunitas selulerUntuk mengatasi organisme intraseluler seperti parasit, jamur dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebutCell Mediated Immunity(CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui mekanismeantibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).ela Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV.Sel Th : Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL.Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans dan toksoplasma gondii.Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi differensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi.Sel NK : Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV.2. Abnormalitas pada imunitas humoralImunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdifferensiasi menjadi sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi.HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG. Disamping memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat.Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan immunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi dengan antigen protein atau polisaccharide sangat lemah, misalnya vaksinasi Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dll. Fungsi neutrofil juga terganggu, karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti zidovudine atau anti virus sitomegalo yaitu ganciclovir dapat menimbulkan terjadinya neutropenia.Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV didalam tubuh, atau paling tidak berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutamaneutralizing antibodikasus AIDS stadium lanjut (dimana limfosit CD4 10%10%>30%

30%>10%10%I

IIII

IIIIIII

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I, hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagnesia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil yang reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama memberikan hasil yang non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagnesia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagnesia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.Bila hasil dari pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non- reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.Strategi II menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif, dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau intermediate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi terinfeksi HIV. Sedangkan bila hasil pemeriksaan seperti yang sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil laporan pemeriksaan sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga reagnesia yang berbeda asal antigen dan tekniknya sama, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi.Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB).Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan kenseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehinghga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya.Untuk memberitahu hasil juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif atau negatif. Jika hasil positif akan diberi informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.1.2.6Kriteria DiagnosisSeseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakan apabila terdapat infeksi oportunistik (Tabel 2) atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mmTabel 2. Infeksi Oportunistik yang sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS (1997) 2, 3

InfeksiFrekuensi (%)

Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening7

CMV Mata (dengan penurunan fungsi penglihatan)

Ensefalopati HIV-

Herpes Simpleks, ulkus kronik (>1 bulan), bronkitis, pneumonitis atau esofagitis5

Histoplasmosis, diseminata atu ekstraparu0,9

Isosporiasis, dengan diare kronik (>1 bulan)0,1

Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru16

Kandidiasis esophagus

Kanker serviks invasive0,6

Koksidiodomikosis, diseminata atu ekstraparu0,3

Kriptokokosis, ekstraparu5

Kriptosporidosis, dengan diare kronik (>1 bulan)1,3

Leukoensefalopati multifokal progresif1

Limfoma, Burkitt0,7

Limfoma, imunoblastik-

Limfoma, primer pada otak-

Mikobakterium avium kompleks atau M. Kansasii, diseminata atau ekstraparu5

Mikobakterium tuberkulosis, paru atau ekstraparu2

Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat diidentifikasi, diseminata atau ekstraparu-

Pneumonia Pneumoncystis carinii38

Pneumonia rekuren5

Sarkoma Kaposi7

Septikemia Salmonella rekuren0,3

Toksoplasmosis otak4

Wasting Syndrome18

Kriteria klasifikasi HIV menurut sistem WHO seperti tertera pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Infeksi Oportunistik HIV berdasarkan WHO

STAGEGejala Utama

1Sakit yang tidak khasLimfadenopaty yang asimptomatik(tidak dapat dikategorikan sebagai AIDS)

2Penurunan Berat Badan < 10%Manifestasi MukokutaneusInfeksi Saluran Pernafasan Atas (berulang)

3Penurunan Berat Badan > 10%Diare Kronik tanpa sebab yang jelas > 1 bulanDemam > 1 bulanKandidiasis OralTB Paru

4TB EkstrapulmonalToksoplasmosisEnsefalopatiKandidiasis bronkus, trakhea, paruSarkoma Karposi

1.2.7PenatalaksanaanHIV/AIDS sampai saat ini memang belum bisa disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat obat ARV)bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya system kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi opportunistic.Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu : a). Pengobtan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV), b). Pengobatan untuk mengatasi berbabagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks, c). Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososisal dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan perlunya menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tesebut, angka kematian dapat ditekat, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. 1.2.8Terapi AntiretroviralPemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati menjadi lebih mudah ditangani.infeksi penyakit oprortunistik lain yang berat seperti infeksi virus sitomegalodan infeksi mikobakteriumatipikal dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocytis carinii pada ODHA yang hilang timbulbiasanya mengharuskan ODHA minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum obat ARV teratur banyak ODHA yang tidak memerlukan obat profilaksis terhadap pneumonia.Terdapat penurunan kasus kankeryang terkait dengan HIV seperti sarkoma kaposi dan limfoma karena pemberian obat-obatan ARV tersebut. Sarkoma kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunanproduksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan sarkoma kaposi. Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat membentuk respon imun yang efektif terhadap human herpesvirus (HHV-8) yang dihubungkan dengan kejadian sarkoma kaposi.Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor nucleotide reverse transcriptase inhibitor, nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor , dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia.

Waktu memulai pengobatan ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang, Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS. Atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumalah limfosit CD4+ obat ini juga direkeomendasika pada pasien dengan limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai namun dapat juga ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.00 kopi/ml. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan keunggulan dan kerugian masing-masing . kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan diindonesia adalah Zidovudin / Lamivudin, dengan Navirapin.

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.Program pencegahan penularan dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektifitas penularan HIV dari ibu kebayai adalah 10-30%. Artinya dari 100 ibu hamil akan ada 10-30 bayi yang akan tertular HIV dari ibunya. Sebagian besar proses itu terjadi saat proses melahirkan dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu.Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV. Obat ARV yang dianjurkan adalah Zidovudin, atau neferapin. Pemberian neferapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai lebih mudah dan ekonomis. Sebetulnya akan lebih baik jika pemberian ARV dikombinasikan denganoperasi caesar karena dapat menekankan penularan sampai 1%. Namun sayangnya dinegara berkembang seperti indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi caesar yang murah dan aman.1.2.9Interaksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)Masalah koinfeksi tuberculosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberiannya OAT pada odha tidak berbeda dengan pasien HIV negative. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya.

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddI yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan pada odha dengan TB pada kolom adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Ma,im, jika evafirenz tidak memungkinkan diberikan, pada pemberian bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikkan.1.2.10Evaluasi PengobatanPemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indikator yang dapat dipercaya untuk memantau berat nya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memudahkan kita untuk mengabil keputusan memberikan pengobatan ARV. Jika tidak terdapt sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dadri jumlah limfosit total yang sudah dapat dikerjakan dibanyak laboratorium pada umumnya.Sebelum tahun 1996, para klinisi mengpbati, menentukan prognosis dan menduga staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih tetap.Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemerikasaan viral load, kita dapat memperkirakan resiko kecepatan perjalanan penyakit dan kemtian akibat HIV. Pemeriksaan viral load, memudahkan untuk memantau efektivitas obat ARV. Sejak pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi ARV lini pertama menjadi hal yang banyak diteliti

Obat obat golongan protease inhibitor (PIs) seperti lopinavir/ritonavir, atazanavir, saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memeliki barier genetuk yang tinggi terhadap resistensi. Obat golongan lain memiliki barier yang rendah. Walaupun demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan PIs- terkait HAART (highly active anti-retroviral therapy) yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang masih sensitive, kecuali bila digunakan jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis.Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit secara klinnis dimulai setelah >6 bulan memakai ARV. Pada WHO stadium 3 : penurunan BB > 10 %, diam atau demam > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bacterial yang berat atau bedridden lebih dari 50 % dari satu bulan terakhir.

Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau demam 4 minggu penghentan regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan hal yang kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.

1.2.11Upaya Pencegahan dan PenanggulanganAda beberapa jenis program yang terbukti sukses diterpkan di beberapa negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara sekaligus, yaitu a). Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda; b). Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran; c). Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik; d). Paket pencegahan komprehensif untuk penggunaan narkotika, termasuk program pengadaan jarum suntik steril; e). program pendidikan agama; f). Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); g). Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat; h). Pelatihan keterampilan hidup; i). Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling; j). Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak; k). Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan untuk odha; dan l). Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat HIV.Sebagian besar program tersebut sudah dijalankan di Indonesia. Dengan kata lain, kita sebenarnya sudah mampu melakukannya. Hanya sayangnya program-program tersebut belum dilakasanakan secara berkesinambungan dan belum merata si seluruh Indonesia.Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda, perlu dipikirkan strategi penerapannyadi sekolah, akademi dan universitas dan untuk remaja yang ada di luar sekolah. Walaupun sudah ada SK Mendiknas mengenai masalah ini, namun secara nasional belum diterapkan.Selain itu, sampai saat ini kurikulum nasional pendidikan HIV/AIDS untuk mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan tenaga keperawatan masih dalam proses awal penyusunan. Penyelesaian kurikulum ini penting untuk disegerakan mengingat kebutuhan akan tenaga kesehatan yang mengerti seluk-beluk HIV/AIDS sudah amat mendesak.Untuk program penyuluhan sebaya, cukup banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai pengalaman dengan sasaran yang berbeda-beda. Program magang, akan berguna untuk daerah-daerah yang belum mengerjakan atau ingin memperluas cakupan kelompok sasarannya. Sitem magang antar LSM yang sekarang ini sudah berjalan terasa sekali manfaatnya dan perlu ditingkatkan.Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik sudah terbina dengan baik, sehingga tinggal melanjutkan agar ada kesinambungan. Setiap momentum yang terkait dengan HIV/AIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.Kehidupan beragama yang berjalan baik selama ini tentu tidak lepas dari pendidikan agama di sekolah dan di rumah. Namun demikian ada beberapa hal yang mungkin dapat diperbaiki. Di antarnya, diperlukan strategi belajar-mengajar yang berpijak pada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penggunaan bahasa dan idiom-idiom yang menyesuaikan dengan peserta didik. Sebagai misal, istilah khamr atau alkohol tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari remaja. Demikian pula istilah heroin, metiletilendioksi metamfetamin, kokain, dan LSD tidak begitu dikenal oleh remaja kita. Mereka lebih mengenalnya dengan nama putauw, ekstasi, dan cimeng.Pelatihan keterampilan hidup amat diperlukan oleh remaja agara mengenal potensi diri, tahu memanfaatkan sistem informasi, serta mengenal kesempatan dan cara-cara mengembangkan diri. Bila kehidupan ekonomidan pendidikan membaik, niscaya penuluran HIV/AIDS dapat ditekan.Pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan klien akan menyebabkan orang-orang yang merasa mempunyai resiko tinggi beringan kaki mendatangi tempat-tempat tes dan konseling HIV tersebut. Dengan konseling, diharapkan orang yang terinfeksi HIV akan menerapkan seks aman dan tidak menularkan HIV ke orang lain. Sayangnya tempat-tempat tersebut masih langka sekali. Di Jakarta hanya ada beberapa buah, sementara di luar Jakarta sukar ditemukan.Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak memang bukan merupakan kegiatan yang mudah dikerjakan. Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan kepedulian dan partisipasi aktif berbagai lapisan masyarakat seperti LSM, ahli hukum, ahli ilmu sosial, media massa, kepolisian, Departemen Sosial, Deartemen Kesehatan, dan lain-lain.Mengintegrasikan program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan dukungan untuk odha merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan program penanggulangan HIV/AIDS. Bila kita melaksanakan program pencegahan saja, hasilnya tidak akan sebaik bila dilakukan bersama program pengobatan, layanan dan dukungan untuk odha. Masyarakat yang mendapat penyuluhan saja, kemudian merasa mempunyai perilaku resiko tinggi tidak akan mau melakukan tes HIV bila ia melihat tidak ada yang mau merawat odha, atau bila ia mengetahui ada odha yang dipecat dari pekerjaannya, dan dikucilkan dari keluarga dan masyarakat.Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang terbukti efektif dan mampu laksana, yang sudah kita terapkan untuk menekan kecepatan peningkatan prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Namun demikian perbaikan masih harus dilakukan disana-sini. Bukan hanya yang menyangkut kualitas program, namun juga perluasan cakupan penerima program.

1