Isi Lapkas

28
BAB I STATUS PASIEN 1.1 PENILAIAN PREOPERATIF IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. B.I Usia : 69 tahun Alamat : Perum Gunung Jaya RT. 33/05, Sukabumi Status : Sudah menikah Suku Bangsa : Sunda Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta Tanggal masuk : 29 Desember 2013 Tanggal pemeriksaan : 29 Desember pukul 18.00 Nomor rekam medis : A122683 Diagnosis : Benign Prostate Hyperplasia Rencana operasi : Cytoscopy TURP ANAMNESIS (Autoanamnesis, 29/12/2013, Pukul: 18.45 wib) Keluhan Utama : Tidak bisa buang air kecil Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD dengan keluhan Buang air kecil tidak lancar sejak kemarin, bila saat BAK terasa masih ingin mengeluarkan kencing namun sudah tidak bisa Anestesi Spinal Pasien BPH dan Hipertensi | Stase Anestesi RSUD Sukabumi FK Universitas Muhammadiyah Jakarta- Januari 2014

description

anestesi

Transcript of Isi Lapkas

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 PENILAIAN PREOPERATIF

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B.I

Usia : 69 tahun

Alamat : Perum Gunung Jaya RT. 33/05, Sukabumi

Status : Sudah menikah

Suku Bangsa : Sunda

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal masuk : 29 Desember 2013

Tanggal pemeriksaan : 29 Desember pukul 18.00

Nomor rekam medis : A122683

Diagnosis : Benign Prostate Hyperplasia

Rencana operasi : Cytoscopy TURP

ANAMNESIS (Autoanamnesis, 29/12/2013, Pukul: 18.45 wib)

Keluhan Utama :

Tidak bisa buang air kecil

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD dengan keluhan Buang air kecil tidak lancar

sejak kemarin, bila saat BAK terasa masih ingin mengeluarkan kencing namun

sudah tidak bisa keluar. Terkadang pada saat kencing, pasien harus berhenti dulu

baru kemudian memulai lagi kencing yang disertai usaha mengejan untuk

mengeluarkan air kencingnya, nyeri abdomen bagian tengah bawah, kandung kemih

terasa penuh, keluhan mulai dirasakan sejak 10 tahun yang lalu dan terasa berat 1

hari yang lalu.

Saat ini pasien tidak mengeluh batuk, pilek dan demam.

|

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Pasien tidak menderita sakit ini sebelumnya

- Pasien menderita penyakit Hipertensi sejak 1 tahun yang lalu dan terkontrol

- Untuk riwayat alergi, operasi, TBC, stroke, diabetes melitus, gigi

goyang, dan pemakaian gigi palsu disangkal oleh pasien.

Riwayat Kebiasaan :

Pasien sudah berhenti merokok sejak 14 tahun yang lalu dan tidak

mengkonsumsi alkohol.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

GCS : 15

Berat badan : 69 kg Tinggi badan

: 170 cm

Tanda-tanda vital :

TD : 140/80 mmHg

Nadi : 68x/menit

RR : 20x/menit

Suhu: 36,7OC

STATUS GENERALIS

Kepala : normocephali, tidak ada deformitas

Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokhor

3mm/3mm, reflek cahaya +/+

Telinga : tidak terdapat gangguan pendengaran

Hidung : septum nasi terletak di tengah, sekret -/-

Mulut : malampati 2, mukosa bibir basah, tidak dijumpai

sianosis

Leher : TMD 8 cm, ROM bebas, KGB tidak teraba,

Thorax :

Paru : |

Inspeksi : bentuk dada normal, simetris kanan dan kiri,

dalam keadaan statis dan dinamis, tidak

terdapat retraksi

Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : bunyi nafas vesicular +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V linea

midclavicularis sinistra

Perkusi : Batas atas: ICS II

Batas kiri : linea axilaris anterior sinistra

Batas kanan : linea sternalis dextra

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur -, gallop –

Punggung :

Inspeksi : bentuk punggung normal, simetris kanan dan kiri

dalam keadaan statis dan dinamis, tidak

terdapat kifosis mau skoliosis.

Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : bunyi nafas bronchoveskular, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen :

Inspeksi : datar

Palpasi : supel, nyeri tekan negatif

Perkusi : timpani

Auskultasi : BU positif, 5x per menit.

Ekstremitas: CRT < 2 detik, akral hangat, tidak terdapat oedema.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium (29 Desember 2013):

Jenis pemeriksaan HasilHematologi

|

Hb Ht Jumlah

Leukosit Jumlah

Trombosit

14,2 g/dL43,0 %5.500/μL343.000/ μL

Kimia Darah SGOT/AST SGPT/ALT Elektrolit:

− Na− K− Ca− Cl

Fungsi ginjal− Ureum − Kreatinin

Karbohidrat− GDS

28,1 U/L26,3 U/L

148,1 mmol/L4,14 Meq8,4 mmol/L114,9 mmol/L

24,6 mg/dL1,39 mg/dL

102 mg/dl

Bleeding timeClotting time

1’30”9’

b. Radiologi

Rontgen Thorax:

Tidak tampak kardiomegali

Tidak tampak KP aktif

c. EKG

Sinus rythm

PENGOBATAN YANG TELAH DIBERIKAN

Saat pemeriksaan, pasien sudah minum Amlodipin 5 mg 1x1,

terakhir minum sore hari pukul 16.00 wib, pasien juga sudah

terpasang Infus RL.

DIAGNOSA KLINIS

Benign Prostate Hyperplasia dan Hipertensi

KESIMPULAN

Status fisik ASA II

INSTRUKSI PREOPERATIVE |

- Puasa sejak pukul 02.00 wib

- IVFD RL 30 tpm

- Acc operasi

1.2 LAPORAN INTRAOPERATIF

Penatalaksanaan anestesi (tanggal 30 Desember 2013)

Keadaan umum : Compos mentis

Tanda-tanda vital

- Tekanan Darah : 180/100 mmHg

- Nadi : 91 kali per menit

- Pernapasan : 24 x/menit

- Suhu : 36,7o C

- Saturasi O2 : 98%

- Diagnosa pra bedah : BPH

1. Diagnosa pasca bedah : BPH

2. Jenis pembedahan : Cystoscopy TURP

3. Mulai anestesi : 10.30 WIB

4. Mulai operasi : 10.40 WIB

5. Jenis anesthesi : Spinal Anestesi

6. Premedikasi dengan : Ondansetron 4 mg, Ranitidine 50 mg

1. Medikasi :

1. Bupivacain Spinal 15 mg

2.Ephedrine 5 mg + 5 mg

3. Sulfas Atropin 0,25 mg + 0,25mg

4. Ketorolac 30 mg (pkl. 12.30)

2. Maintenance : O2 3,0 L/mnt

- Teknik anestesi : - Spinal ; L3 / L4, jarum spinal G-26

- LCS ( + ) jernih

- darah ( - )

- Respirasi : Spontan

|

- Posisi : Supine

- Infus durante operasi : 1. RL 100 cc

2. RL ( Velchrome 50 mg + Asam Traneksamat

500 mg ) 500 cc

3. RL 300 cc

7. Selesai operasi : 11.30 WIB

8. Perdarahan : 200 cc

9. Urin tampung : 300 ml

10. Kebutuhan cairan

maintenance:

BB = 69 kg

10 kg I : 10 x 4 cc/kgBB/jam :

40cc/jam

10 kg II : 10 x 2 cc/kgBB/jam : 20

cc/jam

Sisanya: 49 x 1 cc/kgBB/jam : 49

cc/jam

Total : 109

cc/jam

|

Durante operasi

Puasa : 8 jam x maintenance

: 8 jam x 109 cc/jam

: 872 cc

Stress operasi : Operasi sedang

: 6 cc/kg BB/jam

: 6 cc x 69/jam

: 414 cc/jam

Pemberian cairan

Jam I : ½ puasa + maintenance + stress operasi

: (½.872) + 109 cc/jam + 414 cc/jam

: 436 cc + 109 cc/jam + 414 cc/jam

: 959 cc

Perdarahan : 200 cc

Urin output : 300 cc

Jadi total kebutuhan cairan : Jam I + perdarahan + urin output

: 959 cc + 200 cc + 300 cc

: 1459 cc

Jumlah cairan yang diberikan : RL I = 100 ml

RL 2 = 500 ml

RL 3 = 300 ml

Total 900 ml

Jadi sisa kebutuhan : 1459 ml – 900 ml

: 559 ml

EBV = 70 ml/kgBB x 69 kg = 4830 ml

ABL = 20% dari EBV

=

20100 x 4830 ml= 966 ml

1.3 LAPORAN POSTOPERATIF

Keadaan umum : Compos mentis

|

Tekanan darah : 161/84 mmHg Nadi : 85x/menit Respirasi :

20x/menit

Suhu : Afebris

SpO2 : 98%

Kesan : Baik

Instruksi Pasca Bedah :

1. Kontrol TNR tiap 15 menit selama 4 jam

2. O2 3 liter per menit , via nasal kanul

3. Imobilisasi 10 jam post op

4. Tidak puasa

5. Analgetik ketorolac 30 mg/iv/8 jam post op , diberikan dikamar

operasi pkl.11.30 WIB

6. Analgetik drip 20 tpm (RL 500 cc + Ketorolac 60 mg )

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarachboid) ialah

pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.

Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang

minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari

analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta

membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.

Indikasi

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum-perineum

|

4. Bedah obstetri-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi

dengan anestesi umum ringan

Kontra indikasi absolut

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan

5. Tekanan intrakranial meninggi

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif

1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan psikis

4. Bedah lama

5. Kelainan neurologis

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronis

2.2 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

I. DEFINISI

Kelenjar prostate adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di

sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami

pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan

terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli, sehingga dapat disimpulkan

bahwa BPH (Benign Prostate Hypertrophy) adalah hyperplasia kelenjar

periuretra yang mendesak jaringan prostate yang asli ke perifer dan menjadi

simpai bedah. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang

dewasa 20 gram.

II. PENYEBAB

|

Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, kemungkinan karena faktor

umur dan hormone androgen. Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang

BPH, diantaranya :

Teori Dehidrotestosteron

Teori Hormon, ketidakseimbangan antara estrogen -tetosteron

Faktor interaksi stroma dan epitel

Berkurangnya kematian sel prostat

III. PATOFISIOLOGI

Pembesaran prostate menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikan. Untuk dapat mengluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih

kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini

menyebabkan perubahan anatomic buli-buli berupa hipertropi otot detrusor,

trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli. Perubahan

struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada

saluran kencing sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang

dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi keseluruh bagian buli-buli tidak

terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat

menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks

vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan

hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

IV.GAMBARAN KLINIK

Obstruksi prostate dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

maupun di luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah.

Biasanya gejala-gejala dari pembesaran prostate jinak dikenal sebagai

Lower Urinary Tract Symptomps (LUTS) dibedakan menjadi gejala

obstruktif.

Gejala iritatif : Sering miksie (frekuensi), nokturia, urgensi, disuria.

Gejala obstruktif : Pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksie,

hesisteny, straining, intermittency, waktu miksi memanjang akhirnya retensi

urine dan inkontinen karena overflow.

Tabel I.1. Skor Madsen – Inversen dalam Bahasa Indonesia

Pertanyaan 0 1 2 3 4

|

Pancaran Normal Berubah-ubah

Lemah Menetes

Mengedan saat berkemih

Tidak Ya

Harus menunggu saat akan kencing

Tidak Ya

BAK terputus-putus Tidak Ya BAK tidak lampias Tidak tahu Berubah-

ubah Ya 1x > 1x

Inkontensia Ya Kencing sulit untuk ditunda

Tidak ada Ringan Sedang Berat

Kencing malam hari 0-1 2 3-4 >4 Kencing siang hari > 3 jam

sekali Tiap 2-3 jam sekali

Setiap 1-2 jam sekali

< 1 jam sekali

Dikutip dari Raharjo, D. Prostat, Kelainan-kelainan Jinak, Diagnosa & Penanganannya.

Jakarta : Bag. Urologi FKUI, 1999.

Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya

gagal ginjal dapat ditemukan uremia, kenaikan TF, RR, nadi, foetor uremik,

ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neurografi perifer.

Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan

menyingkirkan diagnosis banding seperti strikur, karsinoma, stenosis meatus

atau fimosis. Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah colok dubur.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit prostat pada saluran kemih bagian atas berupa

gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,, benjolan di pinggang (yang

merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda darti

infeksi atau urosepsis.

Gejala di luar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia

inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering

mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan

intrabdominal.

V.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Analisa urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk

melihat adanya sel leukosit, bakteri, infeksi. Pemeriksaan laboratorium seperti

|

elektrolit, ureum, creatinin, merupakan informasi dasar untuk mengetahui fungsi

ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesifik Antigen)

sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau deteksi dini keganasan. Nilai PSA

< 4 ng/ml berarti tidak perlu biopsi, nilai PSA 4-10 ng/ml perlu dihitung PSAD

(Prostate Spesific Antigen Density). Bila PSAD > 0.15 atau nilai PSA > 10

ng/ml biopsi prostat.

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang biasa dilakukan yaitu polos abdomen, pielografi

intravena, USG, sistoskopi.

VI.PENATALAKSANAAN

Observasi

Observasi biasa dilakukan pada pasien dengan kelihan ringan (skor

Madsen Iversen 9). Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan (sistem skor),

sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

Terapi Medikamentosa

a. Penghambat adregenik

Obat-obatan yang sering dipakai diantaranya prazosin, duxazosin,

terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif tamsulosin. ( 1a).

Penggunaan -1-adrenergik secara selektif mengurangi obstruksi pada

buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Efek samping yang timbul

adalah pusing-pusing, capek, sumbatan hidung, rasa lemah.

b. Penghambat enzim 5- reduktase

Yang dipakai adalah finasteride (proscar), obat ini menghambat

pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

c. Fitoterafi

Terapi Bedah

Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang

paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau

terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk

melihat hasil terapi.

Obstruksi kelenjar prostat akan menyebabkan gejala obstruksi dan miksi

yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka,

reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau

|

BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang: (1) tidak

menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi

urine, (3) infeksi saluran kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan (6)

timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih

bagian bawah.

1. Pembedahan terbuka

Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode

dari Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan

retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika,

atau transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang

masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai

terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan

suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin).

Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100

gram).

Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah:

inkontinensia urine (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograd (60-80%),

dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP dan BNI,

penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi retrograd lebih

banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak

85-100%, dan angka mortalitas sebanyak 2%.

2. Pembedahan Endourologi |

Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan

di seluruh dunia. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi

pada kulit perut, masa perawatan lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak

banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pembedahan endourologi

transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik TURP

(Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai energi Laser.

Operasi terhadap prosat berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi.

a. TURP (Reseksi Prostat Trasuretra)

Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan

cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan

tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan

non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat

operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O

steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik

sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh

darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat

menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air

atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien

yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan

terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami

edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka

mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99 %.

Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus

membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping

itu beberapa operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu

sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi

sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat

mengurangi resiko hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya

cukup mahal beberapa klinik urologi di Indonesia lebih memilih

pemakaian aquades sebagai cairan irigasi. Selain sindroma TURP

beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini, maupun

|

pasca bedah lanjut seperti tampak pada tabel dibawah. Pada hiperplasia

prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan

pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar

prostat atau TUIP (transurethral incision of the prostate) atau insisi leher

buli-buli atau BNI (bladder neck incision). Sebelum melakukan tindakan

ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan

melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi

transrektal, dan pengukuran kadar PSA.

BAB III

ANALISIS MASALAH

A. Pre-Operatif

Pasien datang dengan keluhan miksi tidak lancar sejak kemarin.

Pasien diputuskan dirawat di bangsal aster. Setelah keadaan umum pasien

membaik, pasien dipersiapkan untuk operasi tanggal 30 Desember 2013.

Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang

meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk

menentukan status fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien

termasuk ASA II (pasien geriatri dan penderita hipertensi), serta ditentukan

rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik

SubArachoid Block.

Pasien yang akan menjalani operasi prostattectomy umumnya

adalah pasien geriatri, untuk itu penting dilakukan evaluasi ketat terhadap

|

fungsi kardiovaskuler, respirasi dan ginjal. Pasien-pasien ini dilaporkan

mempunyai prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami gangguan

kardiovaskular dan respirasi, hal lain yang perlu diperhatikan pada

pembedahan ini adalah darah harus selalu tersedia karena perdarahan prostat

dapat sangat sulit dikontrol, terutama pada pasien yang kelenjar prostatnya >

40 gram.

Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal.

Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi

T10 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang

optimal bagi prostattectomy. Dibanding dengan general anastesi, regional

anastesi dapat menurunkan insidens terjadinya post-operative venous

trombosis.

Pre-medikal yang diberikan adalah Ondancentron 4 mg dan

Ranitidin 50 mg. Diketahui bahwa Ondancentron adalah suatu antagonis

reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang dapat mengantagonis efek emetik,

sehingga dapat mencegah dan mengobati mual muntah pasca bedah,

sedangkan Ranitidin adalah reseptor H2 histamin, sehingga dapat memblokir

sekresi hidrogen yang timbulkan histamin-pentagastrin-asetilkolin oleh sel

parietal, sehingga dapat menekan vasodilatasi perifer dan efek inotropik

akibat histamin.

B. Durante operatif

Prosedur pembedahan ini adalah membuka perlekatan prostat

dengan vesika urinaria kemudiam mereseksi kelenjar prostat yang membesar.

Prosedur ini selalu memerlukan cairan irigasi kontinyu dalam jumlah besar.

Penggunaan sejumlah besar cairan irigasi membawa beberapa komplikasi

antaralain TURP syndrom, hipotermi, dan koagulopati.

Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan

alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup

memblok bagian tubuh inferior saja.

Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bucain spinal 20

mg/ 4 ml ( dosis bupivakain Hcl yang diberikan 15 mg), bucain spinal dipilih

karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal

golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan

|

menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elektron,

memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan

potensial aksi. Dosis pemberian Bupivacain IV regional 125-150 mg. Durasi

analgetik pada T 10- T 12 selama 2-3 jam, dan bupivakain spinal

menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama

2- 2,5 jam. Selain itu bucain juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua

jaringan yang terkena.

Pada saat operasi berlangsung, tekanan darah dan nadi pasien mulai

mengalami penurunan. Karena pasien merupakan penderita hipertensi, maka

selama anestesi harus dijaga tekanan darah target sesuai aturan JNC7 yaitu

140/90 mmHg, sehingga diberikan Ephedrine 10 mg untuk meningkatkan

curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui stimulasi adrenergik alfa dan

beta. Ephedrine dapat diberikan dengan dosis IV, 5-20 mg.

Tak lama dari pemberian Ephedrine, pasien juga diberikan Atropin

Sulfat sebanyak 0,5 mg IV. Karena atropin secara berkopentesi

mengantagonis aksi asetil kolin pada reseptor muskarinik, dapat memblokade

vagus perifer dari sinus dan nodus AV, sehingga dapat meningkatkan nadi,

dan dapat berinteraksi dengan mempotensi kerja ephedrine sebagai obat

simpatomimetik nonkatekolamin. Atropin sulfat dapat diberikan dengan

dosis 0,5-1,0 mg iv.

Sebagai analgetik digunakan ketorolac (berisi 30 mg/ml) sebanyak 1

ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi

(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat

menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek

analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi

memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik

opioid karena tidak ada evidence depresi nafas pada clinicaal trial.

Pemberian dosis ketorolac untuk pasien giatri (> 65 tahun) adalah tidak lebih

dari 60 mg/hari. Dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30 mg merupakan

dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik.

Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara

ketat 4 aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi,

monitoring lapangan operasi, dan monitoring lingkungan operasi.

C. Post Operatif

|

Perawatan pasien post operasi dilakukan di PACU ( Post Anestetic

Care Unit). Setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi, keadaan umum,

kesadaran, serta vital sign stabil, maka pasien dipindahkan ke bangsal,

dengan anjuran untuk bed rest 10 jam post Operasi, tidur terlentang dengan 1

bantal, tidak perlu puasa post operasi, minum banyak air putih serta tetap

diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.

BAB IV

PENUTUP

1. Pada pasien ini dipilih regional anestesi dengan teknik spinal karena memberikan

efek anestesi yang lebih baik dan memberikan kondisi yaang lebih optimal bagi

prostattektomy.

2. Obat-obatan yang digunakan dalam operasi ini merupakan obat-obat yang

dianggap rasional dengan efek yang paling optimal yang bisa diberikan pada

pasien geriatri mengingat penurunan fungsi organ yang terjadi kelompok pasien

ini dan penyakit hipertensi yang diderita pasien. Premedikasi ondansentron 4 mg

untuk menimbulkan kenyamanan pasien. Medikasi : Bupivakain spinal 15 mg

(sebagai obat anestesi spinal), ephedrine dan atropin sulfat untuk menjaga

tekanan darah, dan nadi pasien agar tetap stabil, karena pasien merupakan

|

penderita hipertensi, maka sesuai anjuran JNC7, tekanan darah harus

dipertahankan 140/90mmHg, dan diberikan ketorolac 30 mg sebagai analgetik.

3. Penurunan fungsi organ yang terjadi pada pasien-pasien geriatri antara lain :

a. Kardiovaskular : Penurunan elastisitas pembuluh darah arteri

penurunan cardiac reserve.

b. Sistem pernafasan : Penurunan elastisitas jaringan baru.

c. Ginjal : Penurunan renal blood flow dan massa ginjal

penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresi

obat-obatan

d. Sistem pencernaan : Penurunan hepatic blood flow

Penurunan kecepatan produksi albumin & plasma

kolinesterase.

e. System syaraf : Penurunan sintesis neurotransmitter

f. Muskuloskeletal : Atrofi kulit

Gangguan sendi lebih mudah terjadi akibat

positioning pada operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Latief, A, Said, dkk. 2009. PETUNJUK PRAKTIS Anestesiologi, edisi

kedua (Anestesi Spinal). Jakarta : Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif FKUI

Morgan, G, Edward, et al. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th edition

(Anesthesia for Patients with Endocrine Disease) by the

McGraw-Hill Companies, Inc.

Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi. Sagung seto, Jakarta. 2007

|

Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI, Jakarta. 1989.

Wim de jong. Buku ajar Ilmu Bedah / Editor, R Sjamsuhidajat,. Edisi 2, Jakarta : EGC. 2004.

|