Isi Kep. Jiwa
-
Upload
dzikhin8694 -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of Isi Kep. Jiwa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk
meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkonstribusi pada fungsi
yang terintegrasi. Pasien atau sistem klien dapat berupa individu, keluarga,
kelompok, organisasi atau komunitas. ANA (American Nurses Association)
mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi
praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya
dan menggunakan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya (Stuart, 2002 ).
Faktor psikososial merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam
kehidupan seseorang (anak, remaja, dan dewasa). Yang mana akan menyebabkan
perubahan dalam kehidupan sehingga memaksakan untuk mengikuti dan
mengadakan adaptasi untuk menanggulangi stressor yang timbul.
Ketidakmampuan menanggulangi stressor itulah yang akan memunculkan
gangguan kejiwaan. Kemiskinan dan impitan ekonomi juga menjadi penyebab
banyaknya masyarakat menderita sakit jiwa. Banyak orang rentan terhadap stres
dan kecemasan yang mengakibatkan gangguan jiwa. Meskipun sekarang ini
belum menjadi perhatian banyak orang, masalah gangguan kejiwaan tak bisa
dipandang sebelah mata. Kondisi ini berpengaruh pada kualitas sumber daya
manusia (SDM).
Berdasarkan Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun
1995 menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah
tangga dewasa di Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT
juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun keatas
mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan pada rentang usia 5 - 14
tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk. Hasil studi Badan Kesehatan
Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan dalam kurun waktu
hanya tiga tahun, sejak 2005 hingga 2007, diketahui sedikitnya ada 50.000 orang
Indonesia bunuh diri. Studi tersebut menyebutkan, kemiskinan dan impitan
ekonomi merupakan penyebab tingginya jumlah orang yang mengakhiri hidupnya
sendiri. Sedangkan data yang diperoleh dari RSJ di seluruh Indonesia
menyebutkan hingga saat ini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5
juta jiwa (Syafii, 2009).
Salah satu dari masalah kesehatan mental tersebut diatas yaitu terjadinya
perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah kondisi maladaptif seseorang
dalam merespon terhadap marah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat
menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon maladaptive
yaitu agresif kekerasan.
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan
dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan
mobilitas tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan
menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku
kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang
tidak lebih dari satu persen (Purba dkk, 2008).
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai suatu respon terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman individu. Pengungkapan kemarahan
dengan langsung dan konstruksif pada saat terjadi dapat melegakan individu dan
membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya sehingga individu
tidak mengalami kecemasan, stress, dan merasa bersalah dan bahkan merusak diri
sendiri, orang lain dan lingkungan. Dalam hal ini, peran serta keluarga sangat
penting, namun perawatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan
jiwa.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah membahas kasus ini diharapkan mahasiswa mampu memahami dan
mengaplikasikan secara langsung pemberian terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi perilaku kekerasan.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan pemberian terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi perilaku kekerasan.
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan perilaku
kekerasan.
3. Mahasiwa mampu membuat perencanaan untuk terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi perilaku kekerasan.
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi untuk terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan.
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada klien dengan perilaku
kekerasan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Marah
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Kemarahan yang
ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit sendiri dan mengganggu
hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan
konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain
untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu perawat harus pula
mengetahui tentang respons kemarahan sesorang dan fungsi positif marah.
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak
enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri,
kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
1. Frustasi: sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia
merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu
dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya
misalnya dengan kekerasan.
2. Hilangnya harga diri: pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang
sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu
tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas
tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
3. Kebutuhan akan status dan prestise: Manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui
statusnya.
Tanda dan Gejala:
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya. (Budiana Keliat, 1999)
2.2 Pengertian Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993).
Berdasarkan defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi
perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995). Sedangkan marah
tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu
perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan
marah (Berkowitz, 1993).
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai
2.3 Rentang Respons Marah
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3. Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
5. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.
2.4 Faktor Predisposisi
1. Faktor psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotifasi PK.
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan
c. Frustasi.
d. Kekerasan dalam rumah atau keluarga.
2.5 Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
1) Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam, baik internal dari perusahaan diri klien sendiri maupun
eksternal dari lingkungan.
3) Lingkungan : panas, padat, dan bising.
1. Tanda dan gejala
1) Fisik
2) Mata melotot
3) Pandangan tajam
4) Tangan mengepal
5) Rahang mengatup
6) Wajah memerah
7) Postur tubuh kaku
2. Verbal
1) Mengancam
2) Mengumpat dengan kata-kata kotor
3) Suara keras
4) Bicara kasar, ketus
3. Perilaku
1) Menyerang orang
2) Melukai diri sendiri/orang lain
3) Merusak lingkungan
4) Amuk/agresif
2.6 Proses Marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan.
2.7 Gejala Marah
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan
pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau
perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya
adalah:
1. Perubahan fisiologik : Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan
pernapasan meningkat, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang
air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.
2. Perubahan emosional : Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi,
ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol
diri.
3. Perubahan perilaku : Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis,
curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
2.8 Perilaku Kekerasan
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:
1. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang
cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif
adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk
pengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out”
untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.
2.9 Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya
pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan
sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa
marah.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh
bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya
sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan
dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia
dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja
mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya.
Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
2.10 Terapi Aktivitas Kelompok
2.10.1 Pengertian
Kelompok adalah kumpulan individu yang memilik hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang
sama(struart & Laraia , 2001). Anggota kelompok mungkin datang
dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan
keadaanya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan,
ketidaksamaan, kesukaan dan menarik (Yalom, 1995 dalam Struart &
Laraia). Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok ,
ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang
berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
2.10.2 Jenis Terapi Kelompok
Beberapa ahli membedakan kegiatan kelompok sebagai tindakan
keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok. Stuart dan Laraia
(2001) menguraikan beberapa kelompok yang dapat dipimpin dan
digunakan perawat sebagai tindakan keperawatan bagi klien,
misalnya task group, supportive group, brief therapy groups, intensive
problem-solving groups, medication groups, activity therapy, dan peer
support groups. Wilson dan Kneisl (1992) menyampaikan beberapa
terapi kelompok seperti, analytic group psycho therapi, psychodrama,
self-help groups, remotivation, reedukasi dan client government
groups. Terapi aktivitas kelompok Rawlins, Williams, dan Beck
(1993) membagi kelompok menjadi tiga, yaitu terapi kelompok,
kelompok terapeutik, dan terapi aktivitas kelompok.
1. Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui
dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi
persyaratan tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar
diri (self-awereness), peningkatan hubungan interpersonal,
membuat perubahan atau ketiganya.
2. Kelompok Terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stres emosi, penyakit
fisik krisis, tumbuh-kembang, atau penyesuaian sosial, misalnya,
kelompok wanita hamil yang akan menjadi ibu, individu yang
kehilangan, dan penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik
yang dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari
kelompok ini adalah sebagai berikut :
a. Mencegah masalah kesehatan
b. Mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok
c. Meningkatkan kualitas kelompok. Antara anggota kelompok
saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
3. Terapi Aktivitas Kelompok
Kelompok dibagi sesuai kebutuhan yaitu, stimulasi persepsi,
stimulasi sensoris, orientasi realita, dan sosialisasi.
Tabel 1-2 Tujuan, tipe, dan aktivitas dari terapi aktivitas
kelompok (Sumber : Rawlins, Williams, dan Beck, 1993)
Tujuan Tipe Aktivitas
1.Mengembangkan
stimulasi persepsi
Bibliotherapy Menggunakan artikel,
buku, sajak, puisi, surat
kabar untuk merangsang
atau menstimulasi berpikir
dan mengembangkan
hubungan dengan orang
lain.
Stimulus dapat berbagai
hal yang tujuannya melatih
persepsi.
2.Mengembangkan
stimulasi sensoris
Musik, seni, menari Menyediakan kegiatan
mengekspresikan perasaan
Relaksasi Belajar teknik relaksasi
dengan cara nafas dalam,
relaksasi otot, imajinasi
3.Mengembangkan
orientasi realitas
Kelompok orientasi
realitas, kelompok validasi
Fokus pada orientasi
waktu, tempat dan orang;
benar dan salah; bantu
memenuhi kebutuhan
4.Mengembangkan
sosialisasi
Kelompok remotivasi
Kelompok mengingatkan
Mengorientasikan diri dan
regresi pada klien menarik
realitas dalam berinteraksi
atau sosialisasi
Fokus pada mengingat
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka Lancester mengemukakan
beberapa aktivitas yang digunakan pada TAK, yaitu menggambar,
membaca puisi, mendengarkan musik, mempersiapkan meja
makan, dan kegiatan sehari-hari yang lain. Wilson dan Kneisl
(1992) menyatakan bahwa TAK adalah manual, rekreasi dan
teknik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang serta
meninkatkan respon sosial dan harga diri. Aktivitas yang
digunakan sebagai terapi di dalam kelompok, yaitu membaca puisi,
seni, musik, menari dan literatur.
Dari uraian tentang terapi aktivitas kelompok yang dikemukakan
oleh Wilson, Kneisl, dan Lancester ditemukan kesamaan dengan
terapi kelompok tambahan yang disampaikan oleh Rawlins,
Williams, dan Beck. Oleh karena itu, akan diuraikan kombinasi
keduanya menjadi terapi aktivitas kelompok.
2.10.3 Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok bibagi empat, yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif / persepsi, terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensori, terapi aktivitas stimulasi realita, dan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi.
1. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif / Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau
stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien
dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini,
diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adaptif.
Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan:
baca artikel / majalah / buku / puisi, menonton acara TV (ini
merupakan stimulus yang disediakan); stimulus dari pengalaman
masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang
maladaptif atau distruktif, misalnya kemarahan, kebencian, putus
hubungan, pandangan negatif pada orang lain, dan halusinasi.
Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus.
2. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensoris
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensoris klien.
Kemudian diobservasi reaksi sensoris klien terhadap stimulus yang
disediakan, berupa ekspresi perasaan ssecara nonverbal (ekspresi
wajah, gerakan tubuh). Biasanya klien yang tidak mau
mengungkapkan komunikasi verbal akan terstimulasi emosi dan
perasaannya, serta menampilkan respons. Aktivitas yang
digunakan sebagai stimulus adalah: musik, seni, menyanyi,
menari. Jika hobi klien diketahui sebelumnya, dapat dipakai
sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan klien, dapat digunakan
sebagai stimulus.
3. Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realitas
Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien, yaitu
diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang
dekat dengan klien dan lingkungan yang pernah mempunyai
hubungan dengan klien. Demikian pula dengan orientasi waktu
saat ini, waktu yang lalu, dan rencana kedepan. Aktivitas dapat
berupa: orientasi orang, waktu, tempat, benda yang ada disekitar,
dan semua kondisi nyata.
2.11 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar
klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal (satu
dan satu), kelompok, dan massa. Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi
dalam kelompok.
2.12 Kualifikasi Terapis
Rawlins, Williams, dan Beck (1993) mengidentifikasi tiga area yang perlu
dipersiapkan untuk menjadi terapis atau pemimpin terapi kelompok, yaitu
persiapan teoritis melalui pendidikan formal, literatur, bacaan, dan lokakarya;
praktik yang disupervisi pada saat berperan sebagai pemimpin kelompok;
pengalaman mengikuti terapi kelompok.
Perawat diperkenankan memimpin terapi kelompok jira telah dipersiapkan
secara profesional. American Nurses ‘ Association (ANA) menetapkan pada
praktik keperawatan psikiatri dan klinikal spesialis dapat berfungsi sebagai
terapis kelompok. Sertifikat dari ANA sebagai spesialis klinik dalam
keperawatan psikiatri-kesehatan jira menjamin perawat mahir dan competen
sebagai terapis kelompok.The American Group Pshycotherapy Association
(AGPA) sebagai badan akreditasi terapis kelompok menetapkan anggotanya
minimal berpendidikan master.
Perawat yang memimpin kelompok terapeutik dan kelompok tambahan (TAK),
persyaratannya harus mempunyai pengetahuan tentang masalah klien dan
mengetahui metode yang dipakai untuk kelompok khusus serta terampil
berperan sebagai pemimpin.
2.13 Metode TAK
1. TAK Stimulasi Kognitif / Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus, yang disediakan atau yang pernah
dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap
sesi. Dengan proses ini diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus
dalam kehidupan menjadi adaptif.
2. Stimulasi Sensoris
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien, kemudian
diobservasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan berupa
ekspresi perasaan secar non-verbal.
3. TAK Orientasi Realitas
Klien diorientasikan kepada kenyataan yang ada disekitarnya (diri sendiri,
orang lain disekelilingnya, orang yang dekat dengan klien, dan lingkunan
yang mempunyai hubungan dengan klien).
Demikian pula dengan orientasi waktu saat ini, waktu yang lalu dan rencana
kedepan, aktivitas dapat berupa orientasi orang, waktu, tempat, benda yang
ada disekitar dan semua kondisi nyata.
4. TAK Sosialisasi
Merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi kemampuan sosialisasi
sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Tujuan umum dari terapi
ini ialah klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara
bertahap. Sosialisasi dapat juga dilakukan secara bertahap dari interpersonal,
kelompok dan massa. Aktifitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam
kelompok.
2.14 Tindakan keperawatan pada klien perilaku kekerasan
Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan keluarga
dalam mengatasi marah klien yaitu :
1. Tindakan Keperawatan
a. Berteriak, menjerit, dan memukul.
Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul
barang yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
b. Cari gara-gara.
Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga,
Latihan pernafasan 2X/ hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan
nafas.
c. Bantu melalui humor.
Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang
yangmenjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
2. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan
untukmengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
BAB III
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
Stimulasi Sesi 1: Risiko Perilaku Kekerasan
3.1 Klien
3.1.1 Karakteristik/Kriteria Pasien
1. Klien yang tidak terlalu gelisah.
2. Klien yang bisa kooperatif dan tidak mengganggu berlangsungnya
Terapi Aktifitas Kelompok
3. Klien tindak kekerasan yang sudah sampai tahap mampu berinteraksi
dalam kelompok kecil
4. Klien tenang dan kooperatif
5. Kondisi fisik dalam keadaan baik
6. Mau mengikuti kegiatan terapi aktivitas
7. Klien yang dapat memegang alat tulis
8. Klien yang panca inderanya masih memungkinkan
3.1.2 Proses Seleksi
Uraian Seleksi Kelompok :
1. Hari/Tanggal :
2. Tempat pertemuan :
3. Waktu : 09.00 s/d selesai
4. Lamanya : 45 menit
5. Kegiatan :Terapi Aktivitas Kelompok Perilaku kekerasan
6. Jumlah Anggota : 7-10 Orang
7. Jenis TAK : Perilaku kekerasan
3.2 Pengorganisasian
1. Leader
Bertugas :
a. Katalisator, yaitu mempermudah komunikasi dan interaksi dengan
jalanmenciptakan situasi dan suasana yang memungkinkan klien
termotivasi untuk mengekspresikan perasaannya
b. Auxilery Ego, sebagai penopang bagi anggota yang terlalu lemah atau
mendominasi
c. Koordinator, Mengarahkan proses kegiatan kearah pencapaian tujuan
dengan cara memberi motivasi kepada anggota untuk terlibat dalam
kegiatan
2. Co Leader
Bertugas :
a. Mendampingi leader jika terjadi blocking
b. Mengkoreksi dan mengingatkan leader jika terjadi kesalahan
c. Bersama leader memecahkan penyelesaian masalah
3. Fasilitator
Bertugas :
a. Menfasilitasi anggota / peserta TAK untuk berperan
b. Ikut serta menjadi anggota dalam pelaksanaan TAK
c. Mengikuti arahan dari leader dalam mengikuto TAK
d. Memberikan motivasi pada peserta untuk berpartisipasi aktif dalam TAK
4. Observer
Bertugas :
a. Mengobservasi setiap respon klien.
b. Mencatat semua proses yg terjadi dan semua perubahan perilaku klien.
c. Memberikan umpan balik pd kelompok
5. Anggota/Klien
Bertugas :
a. Menjalankan dan mengikuti kegiatan terapi
3.3 Proses Pelaksanaan
Sesi 1 : Mengenal Perilaku Kekerasan yang Biasa Dilakukan
1. Tujuan
a. Klien dapat menyebutkan stimulus penyebab kemarahan.
b. Klien dapat menyebutkan respon yang dirasakan saat marah (tanda dan
gejala marah).
c. Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah (perilaku
kekerasan).
d. Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan
cara fisik(dengan latihan nafas dalam).
2. Setting
a. Terapis dan klien duduk bersama
b. Ruangan nyaman dan tenang
3. Alat
a. Kertas
b. Spidol
c. Buku catatan dan pulpen
d. Jadwal kegiatan klien
e. Bola
4. Metode
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi dan tanya jawab
c. Permainan
5. Langkah Kegiatan
a. Pre-Orientasi
1) Memilih klien perilaku kekerasan yang sudah kooperatif
2) Membuat kontrak dengan klien
3) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b. Orientasi
1) Salam terapeutik
a) Salam dari terapis kepada klien.
b) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama )
c) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama)
2) Evaluasi validasi
a) Menanyakan perasaan klien saat ini
b) Menanyakan masalah yang dirasakan.
3) Kontrak
a) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenalkan kelompok, harus
minta izin pada terapis.
b) Menjelaskan aturan main berikut :
1. Jika klien ada yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta
izin pada terapis.
2. Lama kegiatan 45 menit.
3. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir.
c. Tahap kerja
1) Leader membacakan aturan permainan :
a. Salah satu peserta TAK memegang bola, sambil operator
memainkan musik.
b. Bila musik berhenti, dan ada salah satu peserta TAK yang
memegang bola berarti, ia harus menyebutkan penyebab perilaku
kekerasan, tanda gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
pernah dilakukan, akibat, serta mempraktekkan cara mengontrol
PK dengan latihan fisik (cara nafas dalam).
2) Permainan dimulai. Sampai ditemukan peserta yang tetap berjoget saat
musik berhenti.
3) Klien dan terapis mendiskusikan penyebab masalah perilaku kekerasan
a. Tanyakan pengalaman tiap klien
b. Tulis di kertas
4) Mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar
oleh penyebab marah sebelum perilaku kekerasan terjadi.
a. Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab (tanda
dan gejala)
b. Tulis di kertas
5) Mendiskusikan perilaku kekerasan yang pernah dilakukan klien
(verbal, merusak lingkungan, mencederai, memukul, orang lain, dan
memukul diri sendiri)
a. Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah
b. Tulis di kertas
6) Mendiskusiksan dampak/akibat perilaku kekerasan.
a. Tanyakan akibat perilaku kekerasan.
b. Tulis di papan tulis di kertas
7) Meminta pasien mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara fisik (latihan nafas dalam)
8) Menanyakan perasaan klien setelah selesai bermain paran/stimulasi.
9) Memberikan reinforcement pada peran serta klien.
10) Dalam menjalankan kegiatan TAK upayakan semua klien terlibat.
11) Observer memberi kesimpulan/evaluasi tentang jalannya TAK,
mengenai jawaban klien tentang penyebab, tanda dan gejala, perilaku
kekerasan, dan akibat perilaku kekerasan. Selanjutnya observer
memberikan pujian atas peran serta klien dalam pelaksanaan TAK
serta memberi motivasi pada klien untuk meningkatkan
kemampuannya dalam berlatih cara mengontrol perilaku kemarahan.
12) Menanyakan kesediaan klien untuk mempelajari cara baru yang sehat
menghadapi kemarahan.
d. Tahap Terminasi
1) Evaluasi
a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
b) Memberikan reinformennt positif terhadap perilaku klien positif.
2) Tindak Lanjut
a) Menganjurkan klien menilai dan mengevaluasi jika terjadi
penyebab marah, yaitu tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang
terjadi, serta akibat perilaku kekerasan.
b) Menganjurkan klien mengingat penyebab, tanda dan gejala,
perilaku kekerasan dan akibat yang belum diceritakan.
3) Kontrak yang akan datang
a) Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah
perilaku kekerasan.
b) Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.
e. Evaluasi dan Dokumentasi
1) Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung khususnya pada
tahap kerja.Aspek yang dievaluasi adalah kemempuan klien dengan
tujuan TAK.Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 1,
kemampuan yang diharapkan adalah mengetahui perilaku, mengenal
tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang dilakukan dan akibat
perilaku kekerasan. Formulir evaluasi sebagai berikut :
Sesi 1 TAK
Stimulasi Perilaku Kekerasan
Kemampuan Psikologi
No.Nama
klien
Penyebab
PK
Memberi Tanggapan Tentang
Tanda &
gejala PK
Perilaku
kekerasan
Akibat
PK
Mempraktekkan cara
mengontrol PK
dengan nafas dalam
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Petunjuk :
a. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama
klien.
b. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan mengetahui
penyebab perilaku kekerasan, tanda dan gejala yang dirasakan,
perilaku kekerasan yang dilakukan dan akibat perilaku kekerasan,
serta mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan
nafas dalam. Beri tanda + jika mampu dan beri tanda - jika tidak
mampu.
2) Dokumentasi
Dokumentasikan kemempuyan yang dimiliki klien saat TAK pada
catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: Klien mengikuti Sesi 1,
TAK stimulus persepsi perilaku kekerasan. Klien mampu
menyebutkan penyebab perilaku kekerasannya( disalahkan dan tidak
diberi uang), mengenal tanda dan gejala yang dirasakan (”gregeten”
dan ”deg-degan”), perilaku kekerasan yang dilakukan (memukul
meja), akibat yang dirasakan (tangan sakit dan dibawa ke rumah sakit
jiwa), dan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan latihan tarik
nafas dalam. Anjurkan klien mengingat dan menyampaikan jika semua
dirasakan selama di rumah sakit.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
PK (perilaku kekerasan) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat memebahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol.
Perilaku kekerasan juga bisa dicegah dengan berbagai cara, seperti adanya
simulasi persepsi.
3.2 Saran
Dari pemaparan diatas, penulis memberikan saran agar dalam ilmu kesehatan jiwa
penting sekali memahami beberapa tanda dan gejala mengenai perilaku
kekerasaan, agar kedepannya perilaku kekerasaan dapat dikurangi dengan
diadakannya cara-cara untuk meredam perilaku kekerasaan.