ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) yang dapat mempengaruhi outcome terapi pasien. Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan. Interaksi obat dianggap penting secara klinik jika berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, jadi terutama jika menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah atau slope log DEC yang suram), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat- obat yang biasa digunakan atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang dipakai. Dalam makalah ini, kami telah mendapatkan beberapa kasus, diantaranya adalah mengenai diabetes, hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit dengan kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini penggunaan obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan memudahkan

Transcript of ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

Page 1: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) yang dapat

mempengaruhi outcome terapi pasien. Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat

yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka

kemungkinan terjadinya interaksi obat makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan

karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan.

Interaksi obat dianggap penting secara klinik jika berakibat meningkatkan

toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, jadi terutama jika

menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah atau

slope log DEC yang suram), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat

sitostatik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan

atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang

dipakai.

Dalam makalah ini, kami telah mendapatkan beberapa kasus, diantaranya adalah

mengenai diabetes, hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu

penyakit dengan kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini

penggunaan obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan

memudahkan terjadinya Interaksi Obat. Penyakit tersebut juga membutuhkan terapi

famakologi dalam jangka panjang, sehingga selama memungkinkan terjadinya

interaksi, baik obat dengan obat maupun obat dengan yang lainnya misalnya makanan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud Interaksi Obat?

2. Bagaimana kasus-kasus yang terjadi pada Interaksi Obat?

3. Apa saja efek yang bisa terjadi akibat adanya Interaksi Obat?

4. Bagaimana mencegah dan menangani kasus Interaksi Obat tersebut?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Mahasiswa memahami secara mendalam tentang Interaksi Obat dengan adanya

kasus-kasus yang terjadi.

Page 2: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

2

2. Salah satu tujuan tugas Interaksi Obat ini adalah untuk nilai tambahan.

3. Mahasiswa dapat menangani Interaksi seperti pada kasus-kasus dalam makalah ini.

1.4 MANFAAT PENULISAN

1. Mahasiswa dapat memahami ilmu tentang Interaksi Obat khususnya pada Studi

Kasus.

2. Mahasiswa dapat memecahkan masalah apabila dihadapi kejadian Interaksi Obat

yang dicontohkan pada beberapa kasus.

3. Mahasiswa dapat memenuhi tugas dalam mata kuliah Interaksi Obat (2 sks).

Page 3: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INTERAKSI OBAT

Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan

interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat

dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan efek

buruk, sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab terbanyak terjadinya kesalahan

pengobatan. Secara umum, kesalahan pengobatan akibat interaksi obat ini jarang

terungkap akibat kurangnya pengetahuan, baik dokter, apoteker, apalagi pasien tentang

hal itu.

Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain

yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga keefektifan atau

toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003).

Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product

(CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat

lain dan menimbulkan pengaruh klinis.

Interaksi obat juga dapat diartikan sebagai fenomena yang terjadi apabila

pengaruh suatu obat diubah oleh pemberian obat sebelumnya atau untuk pemberian

obat yang bersamaan.

Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang

dipengaruhi disebut sebagai object drug. Pada beberapa kasus, interaksi ini terkadang

dapat menimbulkan perubahan efek pada kedua obat, sehingga obat mana yang

mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi, menjadi tidak jelas.

Interaksi obat terdiri dari 3 jenis, yaitu interaksi farmasetik (interaksi antar-obat

karena obat yang tidak dapat bercampur/inkompatibel); interaksi farmakokinetik

(interaksi antarobat yang menyebabkan peningkatan atau penurunan absorpsi,

metabolisme, distribusi, dan ekskresi obat lain); serta interaksi farmakodinamik

(interaksi obat yang berkompetisi pada tempat yang sama untuk bereaksi dalam tubuh).

Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau minuman

yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari,

tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari satu macam obat,

menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang diresepkan oleh dokter

Page 4: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

4

maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu seperti alkohol, kafein.

Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat membahayakan dengan

meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat obat. Namun, interaksi dari

beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila

dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).

Jankel & Speedie (1990) mengemukakan kejadian interaksi obat pada pasien

rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan berkisar 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat.

Diantaranya terdapat 11 % pasien yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi

obat. Penelitian lain pada 691 pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit

karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton et

al., 1994).

Suatu survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima

0–5 macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 16–20 macam obat 54 %.

Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat

diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).

2.2 MEKANISME INTERAKSI OBAT

Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu

dari dua mekanisme berikut :

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan

jaringan (interaksi farmakodinamik).

2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi

farmakokinetik).

a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit

(misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan

efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).

b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam

(sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan

perubahan efek secara substansial).

c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit

besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin

hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas

keamanannya lebar.

Page 5: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

5

d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi

yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai

contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah

antineoplastik dan obat-obat imunosupresan (Hashem, 2005).

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :

1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,

distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya

(BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

a. Interaksi Pada Absorbsi Obat

a) Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada

apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan.

Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi

usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai

contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada

pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

b) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus

untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun

lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam

dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan.

Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan

sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut

aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan

mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

c) Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus

kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat

mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan

Page 6: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

6

lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen),

sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).

d) Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter

obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-

glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang

menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan

hayati digoksin (Stockley, 2008).

e) Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu

penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat

(Stockley, 2008).

b. Interaksi Pada Distribusi Obat

a) Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh

sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak

yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan

sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat

dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara

molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat

yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

b) Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi

oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara

aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif.

Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan

substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS

(Stockley, 2008).

Page 7: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

7

c. Interaksi Pada Metabolisme Obat

a) Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak

berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi

senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.

Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus

memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut

metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang

detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal,

kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang

ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis

reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan

oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih

polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain

(misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk

membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I

dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

b) Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus

dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik

yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim

mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya

(Stockley, 2008).

c) Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga

obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang

mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk

berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2

sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur

metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh

isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi

enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika

Page 8: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

8

serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara

klinis (Stockley, 2008).

d) Faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa

isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti

bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda

aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil

populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme

lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme

ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan

tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang

mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari

gejala (Stockley, 2008).

e) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi

isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak

mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara

ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

d. Interaksi Pada Ekskresi Obat

a) Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)

sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak

dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin

dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5

sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah

obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley,

2008).

b) Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus

ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,

Page 9: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

9

probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan

meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal,

sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak

obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley,

2008).

c) Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator

prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi

beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang

memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.

Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-

obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat

diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF

58, 2009).

a. Interaksi Aditif Atau Sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan

bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP,

jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat

(misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk

berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif

ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval

QT) (Stockley, 2008).

b. Interaksi Antagonis Atau Berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan

kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat

memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat

efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral

dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga

menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

Page 10: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

10

2.3 TINGKAT KEPARAHAN INTERAKSI OBAT

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga

level : minor, moderate, atau major.

1. Keparahan Minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin

terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika

terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida

ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).

2. Keparahan Moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya

potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering

diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis

pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau

perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi

vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie,

2004).

3. Keparahan Major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas

yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang

menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004).

Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian

eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).

Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara

teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya

terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang farmasis perlu

selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat

ini untuk mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam

pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).

2.4 FAKTOR PENYEBAB INTERAKSI OBAT

Faktor yang mempengaruhi interaksi obat adalah:

a. Faktor Penderita

o Umur (yang paling peka adalah bayi, balita dan orang lanjut usia)

Page 11: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

11

o Sifat keturunan

o Penyakit yang sedang diderita

o Fungsi hati dan ginjal

b. Faktor Obat

o Jumlah obat yang digunakan

o Jangka waktu pengobatan

o Jarak waktu penggunaan dua obat

o Urutan pemberian ohat

o Bentuk sediaan obat

Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat

yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada

orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-

obatan lebih banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen

pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat

menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003).

Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan

banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan

peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis

kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).

2.5 PRECIPITANT DRUG DAN OBJECT DRUG

Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug mempunyai

sifat sebagai berikut:

a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma, akan menggeser obat lain (object

drug) dari ikatan proteinnya. Contoh: Aspirin, Fenilbutazon dan golongan Sulfa.

b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. Contohnya:

Perangsang metabolisme: Fenitoin, Karbamazepam, Rifampisin, Antipirin dan

Griseofulvin.

Penghambat metabolisme: Allopurinol, Simetidin, Siklosporin, Luminal,

Ketokonazol, Eritromisin, Klaritromisin dan Siprofloksasin.

Page 12: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

12

c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug. Contohnya: Furosemid

(diuretik-peluruh kencing), dapat menghambat ekskresi gentamisin, sehingga

menimbulkan toksik.

Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose

respone yang curam. Obat-obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang

besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa mmperbesar efek

terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka

mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal,

yaitu pengurangan efek terapinya dan terjadinya efek samping. Contoh obat dengan

profil demikian seperti antibiotika golongan aminoglikosida, antikoagulan, antikonvulsi

dan obat-obat sitotoksik dan imunosupresan, kontasepsi oral serta obat-obat susunan

syaraf pusat.

2.6 CONTOH INTERAKSI OBAT yang MENGUNTUNGKAN

Interaksi yang menguntungkan:

1. Penisilin dengan Probenesid ; Probenesid akan menghambat sekresi Penisilin

ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam plasma sehingga

meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.

2. Kombinasi obat antihipertensi ; meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek

samping.

3. Kombinasi obat anti tuberculosis ; memperlambat timbulnya resistensi kuman

terhadap obat.

2.7 KASUS – KASUS INTERAKSI OBAT

2.7.1 Kasus 1

Tn. Andi masuk Rumah Sakit dengan keluhan lemah dan muntah beberapa

kali. Kulitnya nampak kuning dan ada bekas-bakas garukan pada tangan dan kaki.

Dia ternyata memiliki riwayat diabetes mellitus dan sudah rutin menggunakan

glibenklamid 3dd 1 tab untuk mengontrol kadar gula darahnya. Karena stres

dengan pekerjaannya, maag sering kambuh dan mendapatkan pengobatan

simetidin prn. Diketahui juga ternyata dia setiap pusing selalu minum

parasetamol dan kadang-kadang minum alkohol.

Page 13: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

13

Data laboratorium yang ada :

SGPT : 60 unit/liter

SGOT : 45 unit/liter

Icterus Indeks : 8 satuan

Albumin : jumlah normal

GGT : 90 IU/L

2.7.2 Kasus 2

Tn X seorang veteran berumur 68 tahun dirawat di RS dengan keluhan

tekanan darah tinggi pengobatan yang diterimanya adalah Propanolol 80 mg, 2x

sehari. Tn X tidak pernah merokok dan mempunyai riwayat penyakit maag.

Untuk mengobati maag tuan doni diberi simetidin prn. Tuan X sering mengalamai

lesu lemah dan napas berbunyi seperti penderita asma atau sulit bernapas.

2.7.3 Kasus 3

Nyonya Santi umur 59 tahun dirawat di rumah sakit karena merasa lemas,

diare lebih dari 5 kali. Mempunyai riwayat imsommia yang sulit diobati dan

hipertensi. Nyonya Santi masih mendapat pengobatan fenobarbital prn dan

atenolol 50 mg 1dd. Nyonya Santi sedang mengalami batuk pilek dan diberi obat

obat flu dan batuk yang mengandung pelega hidung yaitu pseudoefedrin.

2.7.4 Kasus 4

Tn. Kogoro Mori 40 tahun mendapat pengobatan karena menjalani

perawatan TBC pada fase lanjutan (INH, rifampisin, dan vitamin B6) yaitu bulan

keempat. Tanda pemberian obat TBC sebelum makan (ante coenam).

2.7.5 Kasus 5

Ny. Hikaru Utada (29 th) datang ke apotik bersama suami dan bayinya untuk

membeli obat pusing dan obat anti alergi karena tadi tiba-tiba saja muncul ruam-

ruam di kulit. Sering maag sehingga mendapatkan juga simetidin dengan aturan

pakai prn 1 tab. Dia mempunyai riwayat epilepsi sejak kecil dan terkontrol baik

dengan menggunakan resep fenitoin dari dokter 2 dd 1 caps. Dia juga rutin

memakai nifedipin 10 mg 2 dd 1 tab untuk mengontrol tekanan darahnya tetapi

kadang lupa minum.

Page 14: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

14

BAB III

PEMBAHASAN

No. Obat Objek

(A)

Obat

Presipitan (B)

Mekanisme Interaksi Efek Pemecahan

Masalah

1. Glibenklamid Simetidin Simetidin merintangi

enzim-enzim oksidatif

hati sehingga

perombakan obat-obat

lain dapat diperlambat,

mengakibatkan kerja

hati semakin berat.

Efek glibenklamid

ditingkatkan oleh

simetidin karena

eliminasi

diperlambat.

Menghentikan

pemakaian simetidin

dan menggunakan

terapi non

farmakologi untuk

mencegah maag nya

kambuh kembali.

2. Glibenklamid Alkohol Alkohol dapat

memperkuat efek atau

mengubah metabolisme

bermacam-macam obat.

Meningkatkan efek

glibenklamid dan

meningkatkan efek

hipoglikemia.

Menghentikan

pemakaian alkohol.

3. Parasetamol Alkohol Alkohol dapat

memperkuat efek atau

mengubah metabolisme

bermacam-macam obat.

Efek parasetamol

meningkat dan bisa

menyebabkan

perlukaan sel-sel hati

pada over dosis yang

disengaja atau tidak

disengaja.

Jangan

mengkonsumsi

parasetamol pada

pasien gangguan hati.

4. Propanolol Simetidin Meningkatkan efek

propanolol dengan

adanya simetidin, karena

eliminasi diperlambat.

Efek propanolol

ditingkatkan dan

adanya efek samping

brakardia, aritmia,

napas berbunyi

seperti penderita

asma atau sulit

bernapas.

Menghentikan

pemakaian simetidin

dan mengganti

simetidin dengan

antasida lainnya.

5. Atenolol Fenobarbital Fenobarbital dapat Tekanan darah yang Tidak mengkonsumsi

Page 15: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

15

menurunkan efek dari

beta bloker.

diobati dengan

golongan beta bloker

tidak terkendali

dengan baik.

atenolol dan

fenobarbital secara

bersamaan. Diberi

jarak paling sedikit

satu jam.

6. Atenolol Pseudoefedrin Pesudoefedrin dapat

menurunkan efek dari

beta bloker.

Tekanan darah yang

diobati dengan

golongan beta bloker

mungkin tidak

terkendali dengan

baik.

Menghentikan

pemberian obat

pseudoefedrin dan

menggantikan

dengan terapi non

farmakologi.

7. Vitamin B6 Isoniazida Kombinasi vitamin B6

dan isoniazida dapat

menghilangkan vitamin

B6 dari tubuh.

Hilangnya vitamin

B6 dalam tubuh.

Harus diberikan

Vitamin B6

tambahan.

8. INH,

rifampisin,

dan vitamin

B6

Makanan Makanan dapat

mengurangi absorbsi

obat.

Efek terapi tidak

dapat dicapai.

Pemberian obat

sebelum makan pada

saat lambung dalam

keadaan kosong.

9 . Nifedipin Fenitoin Fenitoin menurunkan

efek nifedipin karena

eliminasi obat

dipercepat.

Menurunkan

konsentrasi

nifedipine dalam

plasma.

Mengganti nifedipin

dengan obat

antihipertensi lain.

10. Fenetoin dan

Nifedipin

Simetidin Efek fenetoin dan

nifedipin ditingkatkan

oleh simetidin karena

eliminasi diperlambat.

Meningkatnya

konsentrasi kedua

obat ini dalam

plasma.

Pemakaian simetidin

diganti dengan

antasida.

Page 16: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

16

KASUS 1 (Tabel No. 1, 2 dan 3)

Analisa Kasus

1. Tn. Andi mengalami hepatitis atau gangguan hati dikarenakan adanya interaksi antara

alkohol dan parasetamol. Parasetamol bisa menyebabkan perlukaan sel-sel hati pada over

dosis yang disengaja atau karena tidak disengaja. Alkohol dapat memperkuat efek atau

mengubah metabolisme bermacam-macam obat. Potensi interaksi antara alcohol dengan

paracetamol adalah sangat berbahaya dan dapat terjadi dalam praktek sehari-hari di

klinik.

2. Efek glibenklamid ditingkatkan oleh simetidin karena eliminasi diperlambat. Efek

glibenklamid ditingkatkan juga oleh alcohol karena interaksi dengan metabolisme

karbohidrat, sehingga dapat menyebabkan hipoglikemi. Penggunaan glibenclamid 3dd 1

tab tidak sesuai aturan pakai yang seharusnya 1dd 1 tab. Hal ini semakin memperbesar

tejadinya hipoglikemi dan memberatkan kerja hati.

3. Simetidin merintangi enzim-enzim oksidatif hati sehingga perombakan obat-obat lain

dapat diperlambat, sehingga kerja hati semakin berat.

4. Pusing dan maag yang disebabkan stress dan pola makan yang tidak teratur.

5. Warna kuning pada kulit disebabkan karena Alkalin fosfate (ALP). Enzim ALP

ditemukan pada sel-sel hati (liver) yang berada di dekat saluran empedu. Peningkatan

kadar ALP menunjukkan adanya penyumbatan atau pada saluran empedu. Peningkatan

kadar ALP biasanya disertai dengan gejala fisik yaitu warna kuning pada kulit, kuku

ataupun bagian putih bola mata.

6. Adanya gangguan fungsi sintesis hati (liver) salah satunya ditunjukkan dengan

menurunnya kadar SGPT dan SGOT pasien seperti pada data hasil laboratorium.

7. Kadar SGOT dan SGPT yang normalnya 41 dan 56 unit/ liter. Pada data lab. pasien

kenaikan kadar SGPT dan SGOT tidak sampai 3 kali lipat dari kadar normal, sehingga

pasien tersebut digolongkan dalam hepatitis akut.

Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi

Menghentikan pengkonsumsian paracetamol, cimetidin, dan glibenklamid secara

oral. Untuk mengatasi hepatitis akutnya dengan pemberian injeksi asetil sistein untuk

mencegah hepatitis akut menjadi kronis, karena sel-sel hati dapat meregenerasi sel-

selnya sendiri.

Page 17: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

17

Untuk mengatasi diabetes melitusnya di gunakan obat-obat yang ekskresinya

melalui ginjal dan injeksi.

Terapi Non Farmakologi

Perbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung antioksidan,

vitamin C, E dan betakaroten seperti apel, jeruk, wortel, tomat, bayam, dan mangga dan

menghentikan minum alkohol.

KASUS 2 (Tabel No. 4)

Analisa Kasus

Tuan X diberi propanol yang merupakan obat golongan beta blocker yang mempunyai

interaksi obat dengan simetidin. Efek propanolol ditingkatkan oleh simetidin karena eliminasi

diperlambat yang mengakibatkan adanya efek samping brakardia, aritmia, napas berbunyi

seperti penderita asma atau sulit bernapas.

Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi

Menghentikan penggunaan simetidin dan mengganti simetidin dengan pemberian

antasida lainnya agar tidak terjadi interaksi obat.

Terapi Non Farmakologi

Tuan X dapat mengontrol tekanan darah tinggi dengan mengontrol makanan dengan

mengurangi asupan garam. Untuk pencegahan penyakit maag dapat dengan mengatur

pola makan yang teratur.

KASUS 3 (Tabel No. 5 dan 6)

Analisa Kasus

Nyonya Santi mengalami diare lebih dari 5 kali. Pertolongan pertama adalah pemberian

oralit untuk pengganti cairan tubuh. Nyonya santi juga mengalami hipertensi dan imsommia

yang yg sulit diobati. Diberi obat atenolol dan fenobarbital. Pemberian fenobarbital secara

bersamaan dengan atenolol dapat menyebabkan interaksi obat. Fenobarbital dapat

menurunkan efek dari beta bloker yang mengakibatkan tekanan darah yang diobati dengan

golongan beta bloker mungkin tidak terkendali dengan baik. Obat batuk yang mengandung

pelega hidung pesudoefedrin juga dapat menghambat efek dari beta bloker.

Pemecahan Masalah

Page 18: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

18

Terapi Farmakologi

Pemberian obat atenolol dengan febobarbital jangan bersamaan. Pemberian obat

diberi jarak paling sedikit satu jam.

Terapi Non Farmakologi

Penghentian obat pseudoefedrin. Pengobatan batuk dapat dengan terapi non

farmakologi dengan istirahat yang cukup, banyak minum air putih hangat dan

mengurangi makanan yang berminyak.

KASUS 4 (Tabel No. 7 dan 8)

Analisa Kasus

Pemberian obat TBC diharuskan dalam keadaan lambung kosong karena pada saat

lambung kosong absorpsi obat dapat berjalan dengan baik. Penggunaan isoniazid dengan

vitamin B6 dapat mengurangi vitamin B6 dari tubuh. Jadi perlu adanya pemberian tambahan

vitamin B6.

Efek samping dari INH adalah neuritis perifer, paling banyak terjadi dengan dosis INH 5

mg/kgBB.hari. Profilaksis dengan pemberian piridoksin mencegah terjadinya neuritis perifer

dan juga berbagai gangguan sistem saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat pengobatan

berjangka sampai 2 tahun.

Pemecahan Masalah

o Pemberian obat harus sebelum makan agar absorpsi tidak terganggu dan tidak ada

interaksi antara obat dengan makanan.

o Pemberian Vitamin B6 dengan dosis 10 mg/hari.

KASUS 5 (Tabel No. 9 dan 10)

Analisis Kasus

Ruam kulit dan pusing yang terjadi pada Ny.Hikaru Utada ada kemungkinan akibat efek

samping dari pemakaian fenitoin dalam jangka panjang. Ruam kulit yang dialami perlu

pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab ruam kulit ini sehingga dapat dipilih

pengobatan yang tepat untuk ruam kulitnya. Nifedipin sebagai antihipertensi golongan

antagonis kalsium penggunaannya bersama fenitoin dapat menurunkan konsentrasi nifedipine

dalam plasma. Penggunaan simetidin yang bersamaan dengan fenitoin atau nifedipin dapat

meningkatkan konsentrasi kedua obat ini dalam plasma.

Page 19: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

19

Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi

Penggantian obat dilakukan pada nifedipin sebagai antihipertensi. Selain nifedipin,

penggunaan simetidin juga diganti dengan antasida yang memberi efek lokal seperti

kombinasi Alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida.

Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan mengontrol asupan dan pola makan,

diet sehat, mengurangi konsumsi garam, olahraga, menghindari merokok dan minum

alkohol serta konsumsi sayuran dan buah segar. Selain itu pengontrolan tekanan darah

harus dilakukan berkala untuk tetap menjaga tekanan darah dalam keadaan normal.

Fenitoin diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan untuk mencegah penurunan

bioavailibilitasnya.

BAB IV

PENUTUP

Page 20: ISI INTERAKSI OBAT (STUDY KASUS INTERAKSI OBAT).docx

20

4.1 KESIMPULAN

1. Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan

interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat

dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan

efek buruk.

2. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang

dipengaruhi disebut sebagai object drug.

3. Dalam makalah ini ada beberapa kasus, diantaranya adalah mengenai diabetes,

hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit

dengan kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini

penggunaan obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan

memudahkan terjadinya Interaksi Obat.

4.2 SARAN

1. Dengan adanya kasus interaksi obat yang sering terjadi, diharapkan tenaga

kesehatan khusnya dokter dan apoteker, lebih hati-hati dalam terapi dan pemberian

obat lebih dari satu secara bersamaaan.

2. Diharapkan adanya penanganan yang paling optimal atas kasus-kasus yang sering

terjadi.

3. Dokter dan apoteker diharapkan juga bisa mencegah agar kasus-kasus interaksi

obat dapat diminimalisir dan tidak semakin parah.

.