Isi (1) (Autosaved)

download Isi (1) (Autosaved)

of 26

description

good

Transcript of Isi (1) (Autosaved)

BAB I

PENDAHULUANI.1 Latar belakang

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, Yogyakarta terletak antara 70 33' LS - 8 12' LS dan 110 00' BT - 110 50' BT dan kordinat X= 425639, Y = 9113500. Dalam mengenali pertambangan suatu daerah, penting untuk mengetahui kondisi geologi dan geomorfologi dari daerah tersebut. Kondisi Geomorfologi daerah telitian berupa perbukitan dengan adanya juga intrusi batuan beku intermediet vulkanik yang jika dideskripsikan adalah andesit, pada daerah telitian juga terdapat sesar yang membelah Yogyakarta yaitu sesar sungai opak jika ditinjau secara regional, secara topografi memiliki kontur yang agak rapat karena bentukan morfologinya yang berbukit-bukit. Geolistrik adalah metoda geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik dalam bumi dan bagaimana mendeteksinya dipermukaan bumi. Metode Geolistrik secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu : Geolistrik yang bersifat pasif, dan Geolistrik yang bersifat aktif. Dalam hal ini meliputi pengukuran potensial, arus dan medan elektromagnetik yang terjadi, baik secara alamiah maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi. Oleh karena itu metode geolistrik mempunyai banyak macam, termasuk di dalamnya potensial diri, arus telurik, magneto telurik, elektromagnetik, induksi polarisasi, dan resistivity.Hasil dari pengukuran metode geolistrik dapat berupa Sounding dan Mapping. Perbedaan antara Sounding dan Mapping terletak pada jangkauan yang akan didapat pada saat pengukuran. Sounding mempunyai jangkauan pada arah vertikal, sehingga lebih dalam. Sedangkan Mapping mempunyai jangkauan ke arah lateral, sehingga hasil yang didapat lebih luas namun tidak sedalam sounding.I.2 Maksud dan TujuanMaksud dari laporan ini sebagai penerapan metode geofisika, yaitu antara lain metode geolistrik konfigurasi Sclumberger dan konfigurasi dipole-dipole, dan metode geomagnetik. Penerapannya yaitu dapat melakukan pengambilan data dilapangan dan mengolah data tersebut sesuai dengan metodenya masing-masing baik metode geolistrik maupun metode geomagnetik.

Tujuan dari laporan ini adalah mendapatkan nilai resistivitas sehingga didapat litologi tiap lapisan, ketebalan lapisan sehingga bisa dibuat profil bawah permukaan dan dikorelasikan pada tiap wilayah, serta dikorelasikan terhadap penampang bawah permukaan yang didapat dari konfigurasi dipole-dipole dan dihubungkan dengan peta TMI maupun RTP yang didapat dari metode geomagnetik, sehingga kita bisa mengetahui persebaran intrusinya.

I.3 Batasan Masalah

Batasan permasalahan dari penelitian ini adalah supaya mendapatkan data kedalaman serta tebal dari masing-masing lapisan yang ada berdasarkan harga resistivitas yang dimiliki yang terekam oleh alat yang digunakan dalam metode geolistrik konfigurasi Schlumberger.

Konfigurasi schlumberger biasanya dilakukan untuk mengetahui kecenderungan harga resistivitas pada daerah tertentu, dimana konfigurasi ini merupakan pengukuran metode sounding. Data yang didapatkan dilapangan berupa data besarnya arus listrik ( mA ), beda potensial ( mV ), serta hambatan ( ohm ). Dari data lapangan tersebut kemudian diolah menggunakan software ip2win yang sebelumnya datanya dimasukkan ke excel agar lebih terorganisir.

I.4 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini :1. Apa manfaat yang didapatkan dalam pengukuran metode geolistrik konfigurasi shclumberger ?2. Mengapa menggunakan metode geoloistrik konfigurasi schlumberger ?3. Bagaimana cara melakukan pengukuran metode geolistrik konfigurasi schlumberger ?4. Kapan dilakukan observasi tersebut ?5. Dimana dilakukan penelitian metode geolistrik konfigurasi schlumberger tersebut ?

BAB II TINJAUAN PUSTAKAII.1. Geologi LokalGeologi lokal daerah telitian berasal dari subduksi pulau Jawa yang pertama kali yang menghasilkan intrusi berupa intrusi batuan beku yang tersingkap di daerah Wediombo dan Parangkusumo. Daerah telitian memiliki geologi lokal yang berkembang di daerah tersebut menjelaskan tentang tumbukan atau subduksi antara lempeng benua dan lempeng samudra dimana lempeng samudera yang lebih berat densitanya menumbuk lempeng benua yang memiliki densitas yang lebih rendah. Akibat dari proses tumbukan tersebut maka menghasilkan magmatisme yang kemudian menerobos rekahan yang ada dan menghasikan intrusi. Pada saat kejadian ini berlangsung intrusi tersebut menjadi basement dari Pulau Jawa itu sendiri yang kemudian sekarang tersingkap ke permukaan yang lebih dikenal dengan intrusi lava Parangkusumo.

Pada daerah Parangtritis juga terdapat morfologi gumuk pasir, gumuk ini dapat terbentuk karena tempat tersebut sesuai dengan syarat terbentuknya gumuk pasir yaitu adanya penghalang yang terdapat di parangtritis, pengahalang ini dapat berupa tebing ataupun vegetasi yang berkembang pada daerah tersebut dan juga material pasir yang didapat dari pantai, material ini terkena angin sehingga tertransport ke darat lagi tetapi karena adanya penghalang maka material tersebut terendapkan pada daerah tersebut dan terbentuklah gumuk pasir. Gumuk pasir umumnya berada pada daerah gurun yang mempunyai iklim kering, contohnya saja di gurun yang banyak terdapat di Uni Emirate Arab ataupun di China. Kesesuaian tempat parangtritis untuk terbentukya gumuk pasir salah satu hal yang menarik, karena di Jawa sendiri tidak banyak gumuk pasir terbentuk. Pada parangtritis juga terdapat muara sungai yang merupakan hasil dari aliran sungai opak, sungai opak sendiri terbentuk akibat dari hasil sesar yang terjadi pada daerah Jawa.

II.2. Geologi Regional1. Satuan Batuan Formasi Wungkal-Gamping

Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).

2. Satuan Batuan Formasi Kebo-Butak

Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuff asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.

3. Satuan Batuan Formasi Semilir

Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec.Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Brontodan Hartono, 2001).

4. Satuan Batuan Formasi Nglanggran

Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunung api, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunung api dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunung api, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir gunung api epiklastika dan tuf yang berlapis baik.5. Satuan Batuan Formasi Sambipitu

Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Batur agung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian keatas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari danselaras di atas Formasi Nglanggran.

6. Satuan Batuan Formasi Oyo

Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan keatas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi Oyo. Formasi Oyo umumnya berlapis baik.

7. Satuan Batuan Formasi Wonosari

Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.8. Satuan Batuan Formasi Kepek

Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter. Formasi Kepek umumnya berlapis baik.II.3. Penelitian TerdahuluBAB III

DASAR TEORI

III.1. Geolistrik

Geolistrik merupakan salah satu metoda geofisika untuk mengetahui perubahan tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Direct Current) yang mempunyai tegangan tinggi kedalam tanah. Injeksi arus listrik ini menggunakan 2 buah Elektroda Arus A dan B yang ditancapkan kedalam tanah dengan jarak tertentu.

Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan aliran arus listrik bisa menembus lapisan batuan lebih dalam.

Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah diukur dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui 2 buah Elektroda Tegangan M dan N yang jaraknya lebih pendek dari pada jarak elektroda AB.Dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan yang bias ditembus oleh arus listrik ini sama dengan separuh dari jarak AB yang biasa disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2.

III.2. Metode Resistivitas

Pada metode ini arus listrik diinjeksikan kedalam bumi melalui dua buah elektroda arus dan dilakukan pengukuran beda potensial melalui dua buah elektroda potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial listrik akan dapat dihitung variasi harga resistivitas pada lapisan permukaan bumi di bawah titik ukur (Sounding point) (Apparao, 1997).

Pada metode ini dikenal banyak konfigurasi elektroda, yaitu : konfigurasi Wenner, konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner-Schlumberger, konfigurasi Dipol-dipol, Rectangle Line Source dan system gradien 3 titik (Hendrajaya dan Idam, 1990).

III.3. Konfigurasi Slumberger

Konfigurasi elektoda yang sering digunakan dalam teknik sounding yaitu konfigurasi Schlumberger.

Gambar III.1.Rangkaian elektroda konfigurasi Schlumberger

Keterangan : R1 = R4

Adapun kelemahan dari konfigurasi schlumberger adalah pembacaan tegangan pada elektroda MN lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relative jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik High Impedance dengan mengatur tegangan minimal 4 digit atau 2 digit dibelakang koma, atau dengan cara peralatan arus yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi.

Keunggulan konfigurasi schlumberger adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya sifat tidak homogeny lapisan batuan pada permukaanya itu membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2 (Anonim, 2007a)

Parameter yang diukur yaitu : jarak antar stasiun dengan elektroda- elektroda (AB/2 dan MN/2), arus (I), dan beda potensial (V). Parameter yang dihitung yaitu : tahanan jenis (R) dan factor Geometri (k). (Asisten Geofisika, 2006). Factor geometri (k) dapat dicari dengan rumus :

(1.1)

(1.2)

Secara umum factor geometri untuk konfigurasi Schlumberger ada

lah sebagai berikut :

k =

Dimana :

: Resistivitas Semu

0: Titik yang diukur secara sounding

AB: Spasi Elektroda Arus (m)

MN: Spasi Elektroda Potensial (m), dengan syarat bahwa MN < 1/5 AB (menurut Schlumberger)

k: FaktorGeometri

Berdasarkan Sunaryo, dkk (2003) resistivitas semu (a) pada pengukuran resistivitas secara umum dengan cara menginjeksikan arus kedalam tanah melalui 2 elektroda arus (C1 dan C2). Dan mengukur hasil beda potensial yang ditimbulkannya pada 2 elektroda potensial (P1 dan P2). Dari data harga arus (I) dan beda potensial (V), dapat dihitung nilai resistivitas semu (a) sebagai berikut :

(1.3)

Resistivitas ditentukan dari suatu tahanan jenis semu yang dihitung dari pengukuran perbedaan potensi antar elektroda yang ditempatkan dibawah permukaan. Pengukuran suatu beda potensial antara dua elektroda seperti pada gambar dibawah ini sebagai hasil dua elektroda lain pada titik C yaitu tahanan jenis dibawah permukaan tanah dibawah elektroda (Todd.D.K.1959).

Gambar III.2.Siklus Elektrik Determinasi Resistivitas dan Lapangan Elektrik Untuk Stratum Homogeneus permukaan bawah tanah. (Todd, D.K, 1959).

III.4 Konfigurasi Dipole-dipole

Metode resistivitas Konfigurasi dipole-dipole biasa dilakukan untuk mengetahui kecenderungan harga resistivitas batuan di suatu areal tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui penyebaran batuan yang resistive di bawah permukaan secara lateral dari harga resistivitas yang dapat di asosiasikan dengan adanya zona mineralisasi, intrusi, dan struktur geologi.

Pengukuran fase dalam IP dinyatakan sebagai perbedaan sudut fase diantara sinyal tegangan yang diterima dan bentuk gelombang arus yang masuk, dengan asumsi keduanya berbentuk gelombang sinusoidal. Jika arus yang masuk merupakan gelombang persegi pengukuran fase dinyatakan sebagai sudut fase diantara gelombang harmonik fundamental dari sinyal yang dikirim dan yang diterima. Pengukuran fase memerlukan suatu sinyal referensi diantara pengirim dan penerima. Sudut-sudut fase dinyatakan dalam miliradian. Sehingga dapat dikatakan cara ini mengukur sudut fasa antara masukan arus ke dalam tanah dengan tegangan keluaran yang diamati.

Dari sifat bilangan kompleksnya, maka resistifitas dapat dituliskan dalam bentuk: Z = X + iY

= Re + iIm

Metode resistivitas menggunakan pengukuran konfigurasi dipole-dipole dilakukan dengan metode mapping yaitu pengukuran dengan spasi elektroda yang konstan dengan menggunakan konfigurasi dipole-dipole,dimana elektroda arus dan potensial bergerak bersama-sama sehingga diperoleh harga tahanan jenis secara lateral (horizontal) spasi elektroda yang digunakan akan menentukan kedalaman target yang akan dicapai. Konfigurasi elektoda dipole-dipole memiliki nilai faktor geometri:K = (1 + n)(2+n)n.rData-data resistensi yang terukur diplot pada titik-titik yang sesuai dengan harga n = 1,2,3,4n dengan kedalaman semu sehingga dapat dibuat kontur pseododepth section variasi resistivitas ke arah lateral dan vertikal.

Konfigurasi dipole-dipole telah banyak diterapkan dalam eksplorai mineral-mineral sulfida dan bahan tambang dengan kedalaman yang relatif dangkal. Dimana hasil akhir yang berupa profil secara vertical dan horizontal.

Gambar III. 3.Konfigurasi elektroda dipole-dipoleKeterangan:

r1 = C1 sampai P1

r2 = C2 sampai P1r3 = C1 sampai P2

r4 = C2 sampai P2I = Arus Listrik (mA) pada transmitter = Resistivitas semu

V = Beda potensial (mV) pada reciver

K = faktor geometri

R = jarak elektroda

N = bilangan pengali

Pada metode dipole-dipole konsep penjalaran arus berbeda dengan konfigurasi lainya.berikut adalah konsep penjalaran arus pada konfigurasi dipole-dipole.

Gambar III. 4. Konsep penjalaran arus konfigurasi dipole-dipoleIII.5 Intrusi

Intrusiadalah sebuahbatuan bekuyang telah menjadikristaldari sebuahmagmayang meleleh di bawah permukaanBumi. Magma yang membeku di bawah tanah sebelum mereka mencapai permukaan bumi dinamakanpluton, dari nama Pluto,Dewa Romawidunia bawah tanah. Batuan dari jenis ini juga disebut sebagaibatuan beku plutonikataubatuan beku intrusif.Batuan beku intrusia dalahbatuan hasil pembekuan magma didalam perut bumi. Ukuran mineralnya kasar,lebih dari1mmatau bahkanlebih dari5 mm. Ada beberapa bentuk batuan beku intrusi yaitu :Bentuk tidak teratur dengan dinding yang curam dan tidak diketahui batas bawahnya. Yang memiliki penyebaranlebih dari100 km2 disebutbatolith, yangkurang dari100 km2 dikenal denganstock, sedangkan yang lebih kecil dan membulat disebutboss.Intrusi membentuk tabular yang memotong struktur setempat (diskordan) disebut dykeataukorok, sedangkan konkordan disebutsillataulakolitkalau cembung ke atas.Intrusi berdimensi dan membulat sering dikenal dengan intrusi silinder atau pipa.Menurut jenisnya intrusi terbagi menjadi beberapa macam intrusi yang terjadi di bawah permukaan bumi. Macam-macam intrusi tampak seperti pada gambar, yang diantaranya :

BatolitBatolit adalah batuan beku yang terbentuk di dalam dapur magma, sebagai akibat penurunan suhu yang sangat lambat. Atau dengan kata lain, batolit adalah intrusi magma yang berada dekat dengan dapur magma. Pada gambar diatas tergambar pada angka 1 yang menunjukkan posisi terbentuknya batuan beku akibat dari intrusi yang disebut batolit.

LakolitLakolit adalah magma yang menyusup di antara lapisan batuan yang menyebabkan lapisan batuan di atasnya terangkat sehingga menyerupai lensa cembung, sementara permukaan atasnya tetap rata. Pada gambar diatas ditunjukkan dengan angka 2.

SillSill adalah lapisan magma yang tipis menyusup di antara lapisan batuan. Pada gambar diatas ditunjukkan dengan angka 3.

DiatermaDiatrema adalah batuan yang mengisi pipa letusan, berbentuk silinder, mulai dari dapur magma sampai kepermukaan bumi. Pada gambar diatas ditunjukkan dengan angka 4.

Intrusi korokIntrusi korok atau gang adalah batuan hasil intrusi magma memotong lapisan-lapisan litosfer dengan bentuk pipih atau lempeng. Dan perbedaan antara intrusi korok dengan sill adalah apabila sill batuan beku diantara 2 lapisan batuan. Sedangkan apa bila intrusi korok adalah batuan beku yang terbentuk dari intrusi magma yang berbentuk pipih yang posisinya memotong antar lapisan batuan.

ApolisaApolisa adalah semacam cabang dari intrusi gang namun lebih kecil atau percabangan magma yang ukurannya kecil atau sering disebut juga urat-urat magma.

Gambar III. 5. Intrusi MagmaBAB IV

METODOLOGI

IV.1. Tempat Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan di daerah intrusi magma yang terletak di daerah Pantai Parangkusumo, Daerah Istimewa Yogyakarta.Waktu penelitian ini dilakukan pada 14 Mei 2015 dan dimulai pukul 10.00 WIB.IV.2. Peralatan dan Perlengkapan

1. Aki2. Kabel yang dihubungkan pada P1

3. Kabel yang dihubungkan pada P2

4. Kabel yang dihubungkan pada C1

5. Kabel yang dihubungkan pada C2

6. 4 buah elektrode

7. Palu

8. HT

9. Payung

10. Alat pengukuran dalam metode Schlumberger

11. Meteran

12. Alat tulisIV.3. Diagram Alir Pengambilan Data

Gambar IV.1. Diagram Alir Pengolahan Data

Pada diagram alir pengambilan data di atas, pengambilan data dilakukan dengan merangkai semua alat yang digunakan dan dihubungkan pada alat pengukuran Schlumberger. Alat-alat yang dihubungkan yaitu kabel P1, kabel P2, kabel C1, kabel C2, dan aki. Setelah semua terhubungkan, mulai membentangkan meteran sejauh jarak maksimal yang akan diukur. Kemudian memasang elektrode dan menancapkannya ke tanah menggunakan bantuan palu setelah itu menyalakan alat dan mencatat hasil yang didapatkan yaitu mendapatkan data I dan V. Lalu, melakukan pencabutan dan pemasangan elektroda kembali sesuai dengan n yang telah ditetapkan pada masing-masing elektroda.IV.4 Diagram Alir Pengolahan Data

Gambar IV.2. Diagram Alir Pengolahan Data

Diagram alir di atas menunjukkan diagram alir pengolahan data yang didapatkan dari pengambilan data saat di lapangan dengan mencatat data yang didapatkan dari metode pengukuran Schlumberger. Kemudian saat di lapangan langsung menghitung nilai RHO. Lalu, mengolah data yang didapatkan tersebut pada Excel. Dari Excel tersebut lalu kita mengolah data pada software IP2Win dan mendapatkan tabel resistivitas batuannya yang kemudian dibuat profil kasar.

IV.5 Desain Survey

BAB VHASIL DAN PEMBAHASANV.1. Hasil Pengolahan Konfigurasi Schlumberger

Gambar V.1 Hasil Pengolahan Konfigurasi SchlumbergerGambar di atas menunjukkan data pengolahan pada Software IP2WIN yang menunjukkan kurva yang awalnya rendah lalu laik lalu mulai turun ke rendah kembali. Dari pengolahannya, warna merah dan biru grafiknya harus saling menyesuaikan satu sama lainnya, seperti gambar di atas. Didapatkan dalam gambar tersebut eror 19.7% masih dalam batas diperbolehkan. Lalu, dalam tabel tersebut juga didapatkan 5 lapisan dengan nilai resisitivitas yang berbeda-beda dan dengan rumus 1/5 x AB dengan data yang kami miliki 1/5 x 120 = 24.V.2. Profil Bawah Permukaan

Pada kelompok G4 dengan koordinat x : 425639 y : 9113500 didapatkan hasil intrepretasi seperti gambar diatas, total kedalaman yang didapat adalah 13 meter dengan 3 litologi berdasar pada tabel nilai p (rho) yang digunakan sebagai acuan. Litologi yang teratas adalah soil dengan ketebalan 0,36m, lapisan ke-2 dan ke-3 diinterpretasikan sebagai lava karena memilikinilai p (rho) yang berkisar antara 500-4000 dengan ketebalan 0,939m dan 2,74m sedangkan lapisan ke-4 dan ke-5 dapat diinterpretasikan sebagai batupasir karena memiliki nilai p (rho) berkisar antara 97-139 dengan tebal 10,08m dan 23,9m. Alasan kelompok G4 memilih litologi seperti yang dijelaskan diatas, karena pada daerah telitian memang ada sebuah intrusi jika dilihat dari geologi lokalnya dan menggunakan metode geolistrik konfigurasi schlumberger jadi kelompok G4 membuktikan bahwa memang terdapat intrusi dengan adanya data yang telah dimbil pada saat kegiatan lapangan. Berdasarkan data lapangan yang didapat dengan kondisi sebenernya berhubungan karena memang didapatkan intrusi, soil ataupun litologi batupasir.

V.3. Korelasi Profil Bawah Permukaan Metode Schlumberger

G5

G4

G3

Dapat dilihat oada korelasi di atas bahwa litologi nya terdiri dari tiga jenis, yaitu Batupasir, kemudian adanya intrusi dan terdapat soil. Sebagai kelompok G4 Schlumberger, kami hanya mendapat soil yang tipis dan 1lapsi dibandingkan kelompok G3 yang terdapat 3 lapis tipis soil dan G5 yang memiliki 3 lapis soil yang tebal. Untuk mendapatkan intrusi, kelompok G4 tidak begitu dalam, sama halnya dengan kelompok G3 namun untuk kelompok G5 mendapatkan intrusi cukup dalam. Intrusi kelompok G4 memiliki adanya nilai resistivitasnya masing-masing, di mana ada mineral-mineral dengan nilai resis tinggi pada intrusi lapisan pertama, karena menunjukkan nilai resis hingga 4 ribu. Selanjutnya lapisan paling bawah adanya batupasir yang kemungkinan masih menerus ke bawahV.4. Hasil Schlumberger dan Dipole-Dipole

Dari hasil pengolahan data Res2div didapatkan nilai resistivitas seperti di atas. Nilai terendah ang berwarna biru sampai biru muda (20,3-39,2nT) seangkan Yang menengah berwarna biru muda hingga coklat (39,2-105nT) dan tertinggi berwarna coklat hingga merah (105-203). Dapat dilihat dari dua data bawah permukaan bahwa nilai resistivitas didominasi oleh nilai rendah hingga menengah. Pada penampang di bawahnya kedalaman 1,71-5,13 m, memiliki nilai rendah, sedangkan kedalaman 8,72-12,7 m masuk kateori menengah, sedangkan pada bagian paling bawah/2,7-17 m bernilai tinggi. Kemungkinan adanya batuan dengan mineral-ineral yang resis atau kemungkinan adanya litologi-litologi yang bernilai tinggi

V.5. Hasil Metode Geolistrik dan Metode GeomagnetikPada Peta Total Magnetic Intencity, terdapat banyak nomali-anomali lokal yang ada pada daerah telitian. Peta Total Magnetic Intencity memasukkan semua data yang ada tanpa tahu mana yang positif dan negatif sesuai dengan pasangannya, karena terlalu banyak data yang dimasukkan jadi pada peta ini hanya membuat dan mengolah data-data yang sebelumnya telah dimasukkan tanpa menyortir mana pasangannya, dan peta total magnetic intencity terpengaruh oleh dua kutub jadi datanya masih beratakan. Jadi masih banyak anomali yang bersifat lokal terekam secara acak di dalam peta ini,bisa terlihat dari warnanya, semakin merah muda maka nilainya semakin besar, terletak di sebelah selatan peta dan semakin biru nilainya semakin kecil, yaitu utara peta

Pada Peta Reduksi Ke Kutub sudah mulai tertata dan terarah anomali-anomali lokal yang ada pada daerah telitian karena yang tadinya pada peta TMI masih terpengaruh oleh 2 kutub, sekarang seakan-akan hanya terpengaruh pada satu kutub saja yang dimana bisa ditentukan pasangan positif dan negatif dari data yang diolah/ditentukan mana yang lebih dominan sehingga dapat diplot dan ditentukan anomali-anomali yang ada pada daerah telitian. Sehingga didapatkan anomali-anomali yang sesuai pada daerah tersebut. Sama seperti peta TMI persebarannya, bisa terlihat dari warnanya, semakin merah muda maka nilainya semakin besar, terletak merata di sepanjang utara-selatan peta dan semakin biru nilainya semakin kecil

BAB VIIPENUTUPVII.1. KesimpulanVII.2. Saran EMBED Equation.3

MULAI

MERANGKAI ALAT

PEMBENTANGAN METERAN

PEMASANGAN ELEKTRODA

PERPINDAHAN ELEKTRODA

PENGUKURURAN

MENCATAT DATA

SELESAI

MULAI

MENCATAT DATA LAPANGAN

MENGOLAH DATA PADA EXCEL

MENGHITUNG NILAI RHO

MENGOLAH DATA PADA SOFTWARE IP2WIN

AB/2

AB

R

RHO

SELESAI

25

_1494237866.unknown