ISBN 978 - lppm.unram.ac.idlppm.unram.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/PROSIDING_CD_HHBK2014.pdf ·...

694

Transcript of ISBN 978 - lppm.unram.ac.idlppm.unram.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/PROSIDING_CD_HHBK2014.pdf ·...

ii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ISBN 978-602-71618-1-8

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

HASIL PENELITIAN HHBK

Tema :

“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk Mendukung Pengelolaan

Hutan Dan Lingkungan”

Mataram, 4 Desember 2014

BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN BUKAN KAYU

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

2014

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | iii

Prosiding Seminar Nasional

Hasil Penelitian HHBK

ISBN

978-602-71618-1-8

Penyunting

Dr. Kresno Agus Hendarto, S.Hut., MM

M. Husni Idris, SP, M.Sc., PhD

Ir. Kemas Usman, MS

Ir. Harry Budi Santoso, MP

Ir. I Komang Surata, M.Sc

Ir. I Wayan Widhiana S., MP

Penerbit

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu bekerjasama dengan

Universitas Nusa Tenggara Barat dan Program Studi Kehutanan

Universitas Mataram

Jl. Dharma Bhakti no. 7 Langko-Lingsar, Lombok Barat – NTB

Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841

Email : [email protected]

Website : bpthhbk.litbang.dephut.go.id

iv| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KATA PENGANTAR

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK),

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menyelenggarakan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK pada tanggal 4 Desember 2014

di Mataram dengan tema “Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk

Mendukung Pengelolaan Hutan dan Lingkungan”.

Seminar ini merupakan sarana penyampaian informasi hasil-hasil

penelitian yang telah dilaksanakan oleh berbagai institusi penelitian bidang

kehutanan yang terkait dengan HHBK. Sehingga diharapkan mampu

mengidentifikasi permasalahan HHBK secara umum dan merumuskan

upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatan kemanfaatan HHBK

dalam mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari. Prosiding ini memuat rumusan masalah, laporan panitia, memuat

39 makalah presentasi dan 11 makalah poster yang telah dipresentasikan

dan didiskusikan pada Seminar Nasional Hasil Penelitian Hasil Hutan

Bukan Kayu di Mataram tangal 4 Desember 2014. Presentasi makalah-

makalah tersebut dikelompokkan ke dalam 3 komisi sesuai aspek

makalahnya, yaitu: Komisi Budidaya (12 makalah), Komisi Pengolahan

(14 makalah) dan Komisi Sosial-ekonomi dan Lingkungan (13 makalah).

Makalah-makalah tersebut berasal dari para peneliti di lingkungan Puslit-

Puslit, Balai Besar, dan Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan,

dan akademisi dari beberapa Perguruan Tinggi Nasional seperti:

Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Universitas Hasanuddin

Makassar (UNHAS), Universitas Mataram (UNRAM), dan Universitas

Nusa Tenggara Barat, Mataram (UNTB).

Selain itu, prosiding ini juga menyajikan makalah kunci: Strategi

dan Kebijakan Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari Kepala

Pusat Penelitian dan Pengembangan, Keteknikan Kehutanan dan

Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) dan catatan diskusi atas penyajian

makalah-makalah tersebut pada masing-masing komisi. Sebagai penyarian

dari substansi dari semua cakupan materi yang dipresentasikan, hasil

diskusi serta masukan, saran, dan arahan Gubernur Nusa Tenggara Barat,

maka dalam prosiding ini disajikan pula 13 butir rumusan hasil seminar.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | v

Keberhasilan penyelenggaraan seminar hingga selesainya

prosiding ini tidak terlepas peran serta dan kerjasama semua pihak terkait.

Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya disertai harapan semoga prosiding ini dapat bermanfaat.

Mataram, 23 Desember 2014

Kepala BPTHHBK

Ir. Harry Budi Santoso, M.P

vi| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK dapat

diterbitkan. Seminar dengan tema “Meningkatkan Kemanfaatan HHBK

Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan” yang telah

dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2014 di Gedung Lembaga

Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Nusa Tengga Barat di Mataram,

dengan kolaborasi Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu,

Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan

Universitas Nusa Tenggara Barat.

Seminar ini diselenggarakan sebagai media sosialisasi IPTEK

Kehutanan dan hasil-hasil penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan

kayu. Seminar Nasional ini dijadikan sebagai media tukar menukar

informasi dan pengalaman, ajang diskusi ilmiah, peningkatan kemitraan di

antara peneliti dengan praktisi, mempertajam visi pembuat kebijakan dan

pengambil keputusan, serta peningkatan kesadaran kolektif terhadap

pentingnya penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan kayu secara

optimal.

Prosiding ini memuat karya tulis dari berbagai hasil penelitian

mengenai budidaya dan pengelolaan, teknologi dan pemanfaatan HHBK

serta aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pengembangan hasil

hutan bukan kayu. Makalah-makalah tersebut berasal dari para peneliti di

lingkungan Badan Litbang Kehutanan, akademisi, pengambil kebijakan dan

praktisi kehutanan.

Semoga penerbitan prosiding ini dapat digunakan sebagai data

sekunder dalam pengembangan penelitian di masa akan datang, serta

dijadikan bahan acuan dalam meningkatkan kemanfaatan HHBK untuk

mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan. Akhir kata kepada semua

pihak yang telah berpartisipasi, kami ucapkan terimakasih.

Mataram, 23 Desember 2014

Rektor Universitas Nusa

Tenggara Barat

Dr. Ir. Mashur, MS

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia-Nya

lah Prosiding Seminar Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu ini dapat

diterbitkan. Penerbitan Prosiding ini dan penyelenggaraan seminarnya

tanggal 4 Desember 2014, mempunyai makna khusus bagi kami jajaran

Universitas Mataram dan Program Studi Kehutanan khususnya, karena

merupakan tonggak dimulainya kerjasama dalam bidang penelitian dan

pengembangan kehutanan, termasuk hasil hutan bukan kayu dengan jajaran

Badan Litbang Kehutanan. Penandatanganan MoU kerjasama tersebut

dilaksanakan pada acara pembukaan Seminar Nasional ini. Untuk itu pada

kesempatan ini, mewakili jajaran UNRAM dan Prodi Kehutanan kami

ingin menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada Jajaran Badan

Litbang Kehutanan dan BPTHHBK atas kepercayaan dan kesempatan yang

diberikan.

Kami menyadari, bahwa dalam kolaborasi perdana melalui

penyelenggaraan kegiatan seminar dan penerbitan Prosiding ini, kami

belum dapat berperan secara maksimal khususnya dalam kontribusi

makalah yang dipresentasikan. Hal ini karena selain masih dalam proses

pemantapan status organisasi (menjadi Fakultas Kehutanan), secara umum

implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi kami memang masih tertuju

pada pemantapan kegiatan Pengajaran dan Pengabdian Kepada Masyarakat

dari pada Penelitian. Namun demikian, ke depan, kerjasama ini tentunya

akan kami manfaatkan dengan optimal untuk meningkatkan dan

mensinergikan program-program penelitian kami.

Melalui peran dalam review abstrak/makalah, pemanduan dan

moderasi selama persiapan, presentasi makalah, diskusi dan perumusan

hasil dalam seluruh rangkaian acara Seminar ini, kami memperoleh

wawasan bahwa kebutuhan penelitian dan pengembangan bagi pengelolaan

dan pemanfaatan HHBK secara optimal masih sangat luas dan sifat

keberagaman baik jenis penghasil maupun cara memanfaatkan yang

spesifik untuk masing produk-produk tertentu, menuntut dukungan

penelitian dasar dari berbagai disiplin ilmu dan kepakaran diluar bidang

kehutanan serta kreasi perakitan teknologi tepat guna. Belum lagi

viii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kebutuhan kajian aspek sosial budaya, yang merupakan prakondisi penting

bagi kebutuhan pemanfaatan maupun keberhasilan penerapan hasil

teknologi itu sendiri. Ringkasnya, sinergi antar lembaga penelitian dengan

perguruan tinggi, peneliti dengan akademisi mutlak dibutuhkan untuk

menghasilkan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi

yang lebih cepat dapat didayagunakan oleh masyarakat luas.

Hasil review terhadap 39 makalah yang dipresentasikan,

memeberikan indikasi tentang tingkat kesiapannya untuk mendukung

penyelesaian masalah praktis dilapangan. Dari 26 makalah teknis (aspek

budidaya dan pengolahan), sebagian besar masih berupa penelitian

introduksi, atau konfirmasi terhadap permasalahan praktis yang ada, belum

fokus kepada penemuan terhadap solusi masalahnya. Demikian juga dari

13 makalah aspek sosial-ekonomi dan lingkungan, lebih dari setengahnya

cenderung berupa hasil deskripsi dari permasalahan yang ada di lapangan,

atau pengungkapan kondisi dilematis pengelolaan dan pemanfaatan.

Sebagai rekaman dari substansi hasil pelaksanaan seminar,

prosiding ini diharapkan mampu menjadi media sosialisasi IPTEK

Kehutanan khususnya hasil-hasil penelitian dan pengembangan HHBK

kepada masyarakat luas khususnya praktisi dan pengambil keputusan pada

jajaran pengelola sektor kehutanan dalam rangka percepatan peningkatan

pembangunan kehutanan dan pensejahteraan masyarakat. Bagi para peneliti

dan akademisi, penerbitan prosiding ini diharapkan bermanfaat sebagai

sumber rujukan dan data sekunder dalam pengembangan penelitian

mendatang. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam

proses penyusunan dan penerbitan prosiding ini, kami ucapkan

terimakasih.

Mataram, 23 Desember 2014

Ketua Program Studi Kehutanan

Universitas Mataram

Dr. Sitti Latifah, M.Sc.F

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | ix

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii-vii

DAFTAR ISI ......................................................................................... viii-xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiv

RUMUSAN HASIL SEMINAR ............................................................ xv-xvii

LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ........................................ xviii-xx

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN ............. xxi-xxiv

SAMBUTAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT ................. xxv-xxviii

I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................ 2

II. MAKALAH DAN DISKUSI ........................................................... 3

A. Makalah Kunci : Strategi dan Kebijakan Penelitian Hasil

Hutan Bukan Kayu

(Dr. Ir. Rufi’i, M.Sc) .....................................................................

4-10

B. Budidaya Dan Pengelolaan HHBK 11

1. Teknik Budidaya Gulinggang (Senna alata Linn.) Di

Kalimantan Selatan

(Sudin Panjaitan, Ahmad Ali Musthofa Rusmana) ………

12-20

2. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula Terhadap

Pertumbuhan Tanaman Muda Aquilariacrassna Pierre ex

Lecomte Di Lapang

(Ragil SB Irianto) ……………….…………………………

21-26

3. Optimalisasi Hasil Panen Tanaman Rami Untuk

Mendukung Industri Tekstil Di Kabupaten Garut

(Tri S.W., Dian Diniyati, dan Harry Budi Santoso)……….

27-38

4. Ujicoba Rehabilitasi Dengan Tanaman Penghasil Bahan

Bakar Nabati Di KPHL Rinjani Barat Dan KPHL Bali

Timur

(Cecep Handoko) .................................................................

39-55

5. Adaptasi Dan Preferensi Pakan Rusa Sambar (Rusa

unicolor Brookei) Pada Tahap Awal Di Penangkaran

56-71

x| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KHDTK Samboja

(Tri Atmoko) ………………………………………………

6. Evaluasi Pohon Serbaguna Hasil Rehabilitasi Kawasan

Konservasi Taman Nasional Merubetiri, Jawa Timur

(Sumarhani dan Titiek Setyawati) .........................................................

72-82

7. Teknik Produksi Bibit Dan Penanaman Rotan (Calamus

sp.) Di Kalimantan Selatan

(Sudin Panjaitan) ................................................................

83-105

8. Demplot Tanaman Obat Dan Tanaman Anggrek: Media

Percontohan Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) Alternatif Di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS)

(Tri Sulistyati Widyaningsih, Aditya Hani,

Nova Indri

Hapsari,dan Ratna Uli Damayanti)………………………

106-118

9. Potensi Agroforest Medang Bambang Lanang (Michelia

champaca) Dalam Mendukung Kemanfaatan Hasil Hutan

Non Kayu Dikecamatan Muara Payang Kawasan

Lematang Ulu, Sumatera Selatan

(Endah Kusuma Wardhani dan Dona Octavia) ………….………

119-131

10. Potensi Sistem Perakaran Beberapa Jenis HHBK Dalam

Pengendalian Erosi Dan Longsor

(Ogi Setiawan, Krisnawati dan Budi Hadi Narendra) ..…

132-141

11. Inventarisasi Status Pohon Gaharu (Gryinops verstigii) Di

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru

Lombok Utara

(Sitti Latifah, Muhamad Husni Idris, Maiser Syahputra,

Rato Silamon Firdaus, Budhy Setiawan) …………………

142-151

12. Budidaya Dan Pemanfaatan Pandan Hutan Di Kabupaten

Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

(Sahwalita)............................................................................

152-162

13. Keanekaragaman Jenis Bakteri Penginduksi Pembentukan

Resin Gaharu Pada Pohon Gyrinops versteegii (Gilg.)

Domke) Di Kabupaten Lombok Barat

(Prilya D. Fitriasari, Endang S. Soetarto, I Komang

Surata) ....................................................................................................

163-173

174

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xi

C. Pemanfaatan Dan Pengolahan HHBK

14. Analisis Fitokimia Daun Beke (Pycnarrhena tumefacta

Miers) Dari Hutan Adat Tana Ulen, Kalimantan Timur

(Andrian Fernandes, Tati Rostiwati, dan Karmilasanti)…...

175-181

15. Ujicoba Lama Rendam Biji Mimba Terhadap Kematian

Ulat Heortia Vitessoides

(Ali Setyayudi dan Septiantina Dyah Riendrasari)………..

182-190

16. Inokulasi Sembilan Isolat Asal Nusa Tenggara Barat

Untuk Pembentukan Gaharu Pada Cabang Gyrinops

versteegii

(YMM. Anita Nugraheni dan Lutfi Anggadhania)………...

191-199

17. Induksi Pembentukan Gaharu Pada Gyrinops versteegii

(Gilgs.) Domke Dengan Teknik Inokulan Campur Di

Kabupaten Lombok Barat

(Asmiati, Endang S. Soetarto, dan I Komang Surata)……

200-215

18. Penggunaan Bentonite Pada Proses Pembuatan Biokerosin

Dari Biji Nyamplung

(Nurul Wahyuni, Saptadi Darmawan dan Djeni Hendra)…

216-231

19. Serbuk Kayu Sebagai Sumber Karbon Alternatif Dalam

Medium Pertumbuhan Fusarium

(Lutfi Anggadhania, YMM Anita Nugraheni) ……………

232-242

20. Produksi Propolis Lebah Madu Trigona spp Di Pulau

Lombok

(Krisnawati dan Septiantina Dyah Riendriasari) ....................................

243-254

21. Potensi Mimba Sebagai Bahan Baku Produk Kesehatan

Dan Pertanian Di Bali Dan Lombok

(Wayan Widhana Susila) …………………………………

255-267

22. Studi Jenis Dan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) Di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Senaru

(Irwan M. L. A., Indriyatno Dan Dwi Sukma Rini) ….…..

268-276

23. Signifikansi Studi Karakteristik Madu Bagi Kepentingan

Perlindungan Konsumen

(Kuntadi) ...............................................................................................

277-289

xii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

24. Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat Masyarakat

Sekitar Hutan Di Kabupaten Kotabaru Propinsi

Kalimantan Selatan

(Syaifuddin, Sudin Panjaitan, Edi Suryanto, Nur M. Azizi

Kurniawan, dan Siska Fitriyanti) ..........................................................

290-300

25. Daya Antimikroba Kantong Madu Trigona sp Terhadap

Bakteri Patogen

(Renita Yuliana dan Endang Sutariningsih)………………

301-314

26. Kualitas Mikrobiologi Dan Daya Antimikrobia Madu

Trigona sp

(Rikha Putri Devianti, Endang S. Soetarto) ..........................................

315-128

D. Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan HHBK 329

27. Profil Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Getah

Jernang Di Pantai Barat Aceh

(Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina) ...................................................

330-345

28. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Gulinggang (Cassia

Alata L.) Sebagai Tumbuhan Bawah Dalam Sistem

Agroforestri

(Adnan Ardhana Dan Wawan Halwany) ...............................................

346-354

29. Prospek Pengembangan Agroindustri Dodol Dan Manisan

Pala Di Kabupaten Lombok Tengah

(Yulia Ratnaningsih) ………………………………………

355-368

30. Distribusi Nilai Tambah Pada Rantai Nilai Madu Hutan

Sumbawa: Studi Kasus Di Desa Batudulang Dan

Semongkat, Kec. Batulanteh, Kabupaten Sumbawa

(Yumantoko dan Rubangi Al Hasan) ……………………

369-380

31. Identifikasi Modal Sosial Dalam Pemanfaatan Songga

(Strychnos lucida R.Br.) Sebagai Sumber Bahan Obat:

Studi Kasus di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Dompu-

NTB

(Ryke Nandini, Rubangi Al Hasan) .......................................................

381-391

32. Strategi Pengembangan Bambu Di Kawasan Hutan KPHL

Rinjani Barat

(Asmanah Widiarti )………………………………………

392-404

33. Peranan Agroforestri Terhadap Cadangan Karbon Di Hulu 405-414

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xiii

Das Renggung Kabupaten Lombok Tengah

(Budhy Setiawan, Ahmad, Ismail, dan Mahrin)…………

34. Potensi Biomassa, Cadangan Karbon Dan Serapan Karbon

Dioksida (CO2) Serta Persamaan Allometrik Penduga

Biomassa Pada Tegakan Bambu Betung (Dendrocalamus

Asper) Pada Hutan Bambu Rakyat Di Kabupaten Tana

Toraja

(Baharuddin, Djamal Sanusi, M. Daud, dan Ferial) ...............................

415-428

35. Resolusi Konflik Lahan Di KPHP Model Banjar

(Marinus K. H., S.Hut., M.Si, Rudy Supriyadi, S.P. dan

Adnan Ardana, S.Sos) ...…………………………………...

429-442

36. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Hutan Desa Dan

Kontribusinya Terhadap REDD+

(Bugi Sumirat dan Nurhaedah Muin) ….…………………

443-454

37. Penguatan Kelembagaan Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha

Industri Olahan Madu Di Nusa Tenggara Barat Dalam

Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015

(Mashur)…………………………………………………

455-465

38. Kajian Konflik Tenurial Di Kphl Rinjani Barat Studi

Kasus Desa Senaru, Santong Dan Rempek

(Cecep Handoko) …………………………………………

466-480

39. Pemilihan Jenis Dan Pembagian Peran Dalam Pengelolaan

Hutan Rakyat Berbasis HHBK

(Eva Fauziyah, Nugraha Firdaus, dan Sanudin)…………...

481-494

E. Makalah Poster 495

40. Peningkatan Produktifitas Budidaya Gaharu Melalui

Pembentukan Batang Ganda Dan Teknik Permudaan

(Agus Sofyan, Imam Muslimin) …………………………

496-509

41. Produksi Kemiri Di Desa Aikperapa-Kecamatan Aikmel

(Kabupaten Lombok Timur) Dan Desa Kalate-Kecamatan

Raimau (Kabupaten Bima)

(Dewi Maharani, Nurul Wahyuni, Saptadi Darmawan)…...

510-521

42. Aplikasi Fungisida Terhadap Keberhasilan Perkecambahan

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)

(Tri Maria Hasnah dan YMM Anita Nugraheni).…………

522-529

43. Awal Pertumbuhan Tanaman Jenis HHBK Penghasil Buah

(Studi Kasus : KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat)

530-540

xiv| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

(Krisnawati dan Ogi Setiawan)……………………………

44. Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Hasil Hutan

Bukan Kayu Dan Yang Diperlukan: Studi Kasus Di

KHDTK Rarung, Lombok, Nusa Tenggara Barat

(Tigor Butarbutar)…………………………………….........

541-557

45. Pengenalan HHBK Melalui Jalur Pendidikan – Pelajaran

Dari Smk Kehutanan Kadipaten

(MM. Budi Utomo, Ari D., Yumantoko & Levina AGP) ...

558-566

46. Produksi Seresah Tanaman Mimba Umur Tiga Tahun Di

Nusa Penida

(Ali Setyayudi, Ryke Nandini dan Budi Hadi Narendra) ......................

567-573

47. Perilaku Harian Rusa Timor (Cervus timorensis) Pada

Penangkaran Di Pulau Lombok

(Dewi Maharani, Resti Wahyuni dan Lalu Gde Wiryadi) ......................

574-585

48. HHBK Lak Dengan Teknologi Tepat Guna Di Desa

Sugian Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur

(Febriana Tri Wulandari & Sad Kurniati Wanitaningsih)…

586-594

49. Produksi Madu Jenis Lebah Apis Mellifera L. Dengan

Sumber Pakan Bunga Rambutan (Nephelium Lappoceum)

(Yelin Adalina) ……………………………………………

595-604

50. Rencana Strategis Pengelolaan Hhbk Kabupaten Lombok

Utara; Sebuah Produk Aksi Partisipatif

(Rato F. Silamon)…………………………………………

605-622

F. Diskusi 623-655

LAMPIRAN ......................................................................................... 656-666

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Jadwal Acara ......................................................... 656-658

Lampiran 2 : Susunan Panitia ..................................................... 659

Lampiran 3 : Daftar Peserta ........................................................ 660-666

xvi| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL

HASIL PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

TANGGAL 4 DESEMBER 2014

Memperhatikan sambutan Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Barat, arahan

Kepala Badan Litbang Kehutanan, presentasi 43 makalah utama, dan 14

poster, serta diskusi yang berkembang pada seminar HHBK dengan tema

Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan

dan Lingkungan yang diselenggarakan di Mataram pada tanggal 4

Desember 2014, dihasilkan rumusan Sebagai berikut:

1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sangat prospektif dikembangkan

dalam pembangunan kehutanan yang selama ini bertumpu pada kayu.

Komoditi ini berperanan sangat penting dalam multiplayer effect

untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjaga kelestarian

lingkungan serta secara tidak langsung dapat mendukung program

hijau dan pariwisata NTB. Oleh karena itu perlu sinergitas dalam

penyusunan grand design serta pelaksanaannya.

2. Komoditas HHBK merupakan hasil hutan ikutan yang belum

dimanfaatkan dan dikelola dengan baik sehingga hasilnya masih

rendah oleh karena itu peran litbang dalam menghasilkan IPTEK

terintegrasi dari hulu ke hilir baik potensi dan budidaya, kondisi sosial

masyarakat, kondidi pasar, adaptive desesion maker, sangat penting

sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan juga menghasilkan

nilai tambah dan daya saing.

3. Tantangan penelitian jenis HHBK cukup besar hampir 500 jenis,

bentuknya beragam baik daun, akar, kulit, buah. Namun hanya ada

beberapa komoditas HHBK yang dapat diketahui teknologinya yaitu:

energi, pangan, obat-obatan, dan lain lain dan pemanfaatannya masih

dalam bentuk bahan mentah.

4. Penelitian potensi, teknik budidaya dan pengolahan/pemanfaatan

HHBK sudah dilakukan seperti : penghasil energi sebagai bahan bakar

nabati (kemiri sunan, kepuh, keranji, bintaro, nyamplung), pangan

(madu, pala, rusa), obat-obatan dan pestisida nabati (eucalyptus,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xvii

gulinggang, mimba, beke, bambang lanang, jernang), penghasil serat

(rami, pandan), barang kerajinan (rotan, bambu), bahan parfum

(gaharu) namun efektivitas dan kelengkapan untuk penerapannya

masih perlu ditingkatkan.

5. Pengembangan HHBK untuk tujuan rehabilitasi lahan kritis perlu

masukan teknologi: perbaikan tapak (pemanfaatan bahan organik dan

mikoriza) pemilihan jenis, pola tanam/ teknik agoroforestri serta

memperhatikan ruang tumbuh perakaran untuk mencegah erosi dan

meminimalisir persaingan unsur hara.

6. Sumberdaya hutan HHBK memiliki keanekaragaman hayati sangat

tinggi yang merupakan sumber penghasil bahan kimia alam potensial.

Hal tersebut didukung dengan mulai beralihnya paradigma

penggunaan bahan kimia sintetis ke bahan kimia alami.

7. Kearifan masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya hutan

HHBK sebagai sumber obat, antimikroba, antiinsektisida dan lainnya

merupakan potensi yang perlu digali, dieksplorasi dan dikembangkan.

Secara ilmiah ekeftivitas tumbuhan tersebut perlu dibuktikan sehingga

pada saat akan dikembangkan secara komersial dapat

dipertanggungjawabkan. Kementerian kehutanan yang diberi mandat

mengelola hutan memiliki tanggungjawab besar terutama sebagai

penyedia lahan, penyedia potensi bahan baku dan teknik budidaya.

Data mengenai koleksi jenis-jenis tumbuhan penghasil bahan kimia

alam juga masih tersebar sehingga perlu dilakukan inventarisasi dan

koleksi data.

8. NTB khususnya Sumbawa telah dikenal sebagai penghasil madu hutan

alam sumbawa. Kekayaan alam NTB ternyata sangat besar, saat ini

mulai berkembang budidaya lebah dari jenis trigona yang

menghasilkan madu dan propolis. Teknik budidaya terus diperbaiki

untuk menghasilkan madu dan propolis yang optimal dengan kualitas

baik. Penelitian diversifikasi produk lebah trigona juga mulai

dikembangkan sebagai anti mikroba dan patogen lainnya.

Keberhasilan budidaya lebah trigona sangat tergantung dari

ketersediaan pakan (bunga). Peran sektor kehutanan sekali lagi

xviii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dipertaruhkan untuk mempertahankan dan mengembangkan sumber

pakan.

9. Pada produk gaharu, pembentukan gubal gaharu mulai diarahkan

dengan menggunakan isolat lokal. Eksplorasi, isolasi, teknik

penggunaan media pertumbuhan dan teknik inokulasi terus dilakukan

untuk mendapatkan isolat terbaik.

10. Pemanfaatan minyak lemak nabati sebagai biokerosin masih menemui

kendala saat diaplikasikan pada kompor bakar. Perbaikan teknik

pembuatan biokerosin terus dlakukan untuk menghasilkan biokerosin

yang siap pakai. Aplikasi penggunaan bentonit diharapkan dapat

mengantisipasi hal terebut.

11. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan HHBK diperlukan berbagai

disiplin ilmu dan institusi yang harus saling terintegrasi dari hulu

sampai hilir. Dengan demikian paket teknologi yang diperoleh siap

dikomersilkan.

12. Selain hal tersebut di atas, perlu juga untuk me-link-kan antara hulu

dan hilir sehingga industri tidak kekurangan bahan baku dan

masyarakat juga mendapat kesejahteraan.

13. Terakhir, perlunya aktualisasi jejaring peneliti HHBK, sehingga

penelitian dapat lebih terintegrasi dan tidak terjadi duplikasi.

Mataram, 4 Desember 2014

Tim Perumus:

Dr. Kresno Agus Hendarto, S.Hut., MM

Dr. Saptadi Darmawan, S.Hut., M.Si

Ir. I Komang Surata, M.Sc

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xix

LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA

SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Dengan Tema

“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK

Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan“

Mataram, 4 Desember 2014

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua

Yth.

1. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat/mewaki

2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat

3. Rektor Universitas Mataram

4. Rektor Universitas Nusa Tenggara Barat

5. Kepala UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Para stakeholders dari instansi terkait, perguruan tinggi, dunia usaha, nara

sumber serta peserta seminar HHBK yang berbahagia

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Selamat pagi dan salam sejahtera,

Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan

Yang Maha Esa, atas nikmat yang telah diberikan-Nya sehingga kita dapat

berkumpul bersama untuk melaksanakan “Seminar nasional Hasil

Penelitian HHBK” Kami atas nama panitia penyelenggara mengucapkan

selamat datang di Kota Mataram dan menyampaikan penghargaan serta

terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara

sekalian pada acara seminar ini.

Bapak Kepala Badan dan hadirin yang kami hormati,

Pada Kesempatan ini ijinkan kami menyampaikan laporan pelaksanaan

kegiatan ekspose sebagai berikut:

xx| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

1. Dasar Pelaksanaan

a. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2014 Balai

Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Nomor: SP DIPA-

029.07.2.440972/2013 tanggal 05 Desember 2013. (Revisi ke 2

tanggal 3 Juli 2014).

b. Keputusan Kepala Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan

Kayu Nomor: SK.45/VIII/BPTHHBK-3/2014 tanggal 12 November

2014 tentang Pembentukan panitia penyelenggara Ekspose Hasil

Penelian.

2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan seminar ini adalah:

a) Menyediakan sarana bagi para pihak untuk saling bertukar informasi

tentang hasil-hasil penelitian dan pengembangan HHBK

b) Menyusun strategi upaya peningkatan kemanfaatan HHBK untuk

mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari

c) Menjalin sinergi antar stakeholder yang berkepentingan dalam

pengelolaan hutan dan lingkungan, khususnya dalam peningkatan

kontribusi HHBK secara ekonomi dan ekologi

3. Waktu dan Tempat

Seminar dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 4 Desember 2014,

bertempat di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi

Nusa Tenggara Barat Jl. Panji Tilar Negara No 8, Mataram, NTB

4. Penyelenggara

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram

bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Kehutanan Universitas Nusa

Tenggara Barat dan Program Studi Kehutanan Universitas Mataram.

5. Peserta

Peserta yang diundang sebanyak 200 orang, terdiri dari berbagai

peneliti, akademisi, pengambil kebijakan, praktisi kehutanan, LSM dan

swasta yang peduli terhadap pengembangan HHBK.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxi

6. Tema dan Topik

Tema umum seminar nasional ini adalah:

“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk Mendukung

Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan”

Pada seminar ini akan disampaikan presentasi sebanyak 43 makalah

utama, dan 14 makalah poster. Seminar dibagi dalam beberapa acara dan

kegiatan yaitu: Presentasi Narasumber Kunci dalam Sidang Pleno,

Presentasi makalah secara oral hasil seleksi yang akan dipresentasikan

secara simultan dalam komisi dan Presentasi makalah dalam bentuk

pameran poster

Bapak Kepala Badan dan hadirin yang kami hormati,

Pada kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas

kehadiran Bapak Kepala Pusat Pemelitian dan Pengembangan Keteknikan

Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan yang telah berkenan hadiri

mewakili Kepala Badan, dan selanjutnya mohon perkenan Bapak untuk

menyampaikan sambutan dan arahan pada seminar ini.

Terakhir kami sampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan

peneliti penyaji makalah dan panitia yang telah bekerja sama

mempersiapkan semua acara ini dan semua pihak yang telah turut

membantu terselenggaranya seminar ini. Kemudian tidak lupa kami mohon

maaf apabila dala penyelenggaraan seminar ini terdapat kekurangan baik

materi maupun penyelenggaraannya.

Terima kasih

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Mataram, 4 Desember 2014

Kepala Balai,

Ir. Harry Budi Santoso, MP

xxii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

SAMBUTAN

KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN

PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Dengan Tema

“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK

Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan“

Mataram, 4 Desember 2014

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua

Yth.

1. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat/mewaki

2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat

3. Rektor Universitas Mataram

4. Rektor Universitas Nusa Tenggara Barat

5. Kepala UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

6. Para stakeholders dari instansi terkait, perguruan tinggi, dunia usaha,

nara sumber serta peserta seminar HHBK yang berbahagia

Pertama-tama, mari kitapanjatkanpuji dan syukur kehadapan Allah

SWT atas rahmat kesehatan dan kesempatan yang dikaruniakan kepada kita

semua, sehingga pagi ini kita dapat mengikuti acara Seminar Hasil

Penelitian tentang Hasil Hutan Bukan Kayu dengan tema “Meningkatkan

Kemanfaatan HHBKuntuk Mendukung Pengelolaan Hutan dan

Lingkungan” yang merupakan kerja sama antara Balai Penelitian

Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK), Universitas Mataram,

dan Universitas Nusa Tenggara Barat.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxiii

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Thema yang dipilih sangat tepat, karena HHBK bisa memberikan

manfaat langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu peningkatan

manfaat HHBK harus terus diupayakan, tidak hanya untuk perbaikan

pengelolaan hutan, tetpi yang lebih penting adalah memberikan manfaat

yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.

Dalam konteks pembangunan kehutanan, khususnya perubahan

paradigma pengelolaan hutan dari yang berbasis kayu ke orientasi

pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem, Pemerintah telah

memposisikan HHBK sebagai salah satu mainstream dalam pembangunan

kehutanan, dan menjadikan HHBK sebagai unggulan dalam industri

kehutanan di masa yang akan datang. Hal ini harus menjadi tantangan dan

peluang untuk lebih meningkatkan konribusi hasil riset kepada masyarakat

Untuk lebih memajukan HHBK, Kementerian Kehutanan pada

tahun 2010 yang lalu telah mengidentifikasi 565 jenis HHBK yang

digolongkan atas kelompok nabati (490 jenis) dan kelompok hewani (75

jenis). Selanjutnya, juga telah ditetapkan 6 jenis HHBK unggulan yang

mencakup rotan, bambu, gaharu, sutera alam, madu dan nyamplung.

Badan Litbang Kehutanan juga menempatkan HHBK menjadi salah satu

prioritas disamping ketahanan pangan, energi dan pengembangan KPH.

Berdasarkan hal tersebut saya minta Balai Penelitian Teknologi HHBK

Mataram untuk terus fokus pada komoditi HHBK lokal sesuai dengan

kesusuaian masing-masing daerahnya

Namun demikian, kita juga menyadari bahwa masih banyak hal

yang harus diselesaikan terkait dengan peningkatan kemanfaatan HHBK.

Mulai dari persoalan budidaya untuk kontinyuitas produksi, pengembangan

derivat produk HHBK untuk peningkatan nilai tambah, perbaikan kualitas

produk, sampai dengan pemasaran produk. Dengan demikian penelitian

HHBK harus dirancang tidak hanya berdasarkan komiditi lokalnya, tetapi

juga harus menjawab persoalan spesifik yang terjadi. Orientasi seluruh

kegiatan riset HHBK harus memberikan nilai tambah terhadap hasil

komoditas tersebut.

Untuk memberikan arah pengembangan HHBK ke depan

dibutuhkan pula suatu prakondisi (enabling condition), membangun best

xxiv| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

practices dan inovasi produk, serta mencari solusi atas permasalahan-

permasalahan yang terjadi dalam pengembangan HHBK di tingkat

lapangan. Oleh karena itu saya harapkan riset HHBK tidak hanya

menyangkut hal-hal teknis, tetapi juga harus menyeluruh, termasuk kajian

kebijakan yang dibutuhkan.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Dengan memperhatikan fakta dan tantangan tersebut, saya percaya

bahwa Litbang HHBK ke depan akan semakin berkembang. Berbagai

eksplorasi keilmuan baru harus terus dilakukan. Untuk itu saya

menyambut baik kerjasama dengan Universitas setempat, karena hal ini

tidak hanya untuk menyatukan wawasan ilmiah tentang HHBK, tetapi juga

dapat menyatukan kekuatan pengembangan HHBK yang berbasis pada

kondisi kebutuhan riset setempat.

Dibeberapa kesempatan saya selalu menyarankan agar orientasi

riset juga harus diarahkan untuk mendukung kebutuhan Pemerintah Daerah

dan masyarakat setempat, agar kontribusi litbang dapat dirasakan langsung

oleh masyarakat.

Seminar ini harus digunakan sebagai salah satu cara diseminasi

untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil-hasil Litbang yang

telah dihasilkan baik oleh Badan Litbang Kehutanan maupun lembaga

penelitian lainnya, agar dapat dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat

luas. Pada saat yang sama juga melakukan interaksi dengan pengguna agar

rancangan riset nantinya bisa didasarkan pada kebutuhan pengguna.

Akhirnya, dengan mengucap

Bismillahirahmannirrohim, acara:

SEMINAR HASIL LITBANG tentang HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Dengan tema:

MENINGKATKAN KEMANFAATAN HHBK UNTUK MENDUKUNG

PENGELOLAAN HUTAN DAN LINGKUNGAN

Saya nyatakan dibuka.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxv

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan perlindungan

dan petunjuk-Nya agar kita dapat berbuat yang terbaik bagi keberhasilan

pembangunan kehutanan di Indonesia dan khususnya di NTB.

Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan, terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc.

Kepala Badan Litbang Kehutanan

xxvi| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

SAMBUTAN

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

PADA ACARA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL HHBK

DENGAN TEMA

“ Meningkatkan Kemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (Hhbk) Untuk

Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan”

Mataram, 4 Desember 2014

Yang terhormat,

Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan, beserta jajarannya;

Rektor Universitas Mataram

Rektor Universitas UNTB

Dekan Fakultas Biologi UGM

Dekan Fakultas Ilmu Kehutanan UNTB

Ketua Prodi Kehutanan UNRAM

Saudara Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait Kehutanan

Provinsi NTB

Para Tamu Undangan dan Para Peserta Seminar

Serta Hadirin Sekalian yang Berbahagia.

Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera bagi kita semua,

Syukur Alhamdullilah, pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan

syukur kehadirat Allah SWT, yang karena berkat perkenan Nya kita semua

dapat berkumpul pada acara yang cukup strategis yaitu Seminar Nasional

HHBK yang bertema “Meningkatkan kemanfaatan HHBK untuk

mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxvii

Pembangunan kehutanan yang telah dimulai sejak lama sampai

dengan saat ini, pada berbagai era mulai pasca-kemerdekaan sampai

dengan era reformasi, tentunya mempunyai prioritas dan target yang

berbeda-beda. Namun demikian pembangunan yang dilakukan tersebut

mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan dengan amanat yang tertuang dalam

Undang Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan. Pertanyaannya apakah amanat itu sudah dapat

diwujudkan? Jawabannya tentu belum sepenuhnya dapat terwujud, dan kita

yakin masih dalam upaya ke arah tersebut. Oleh sebab itu adanaya

reorientasi hasil hutan yang dahulu masih bertumpu hanya pada hasil kayu

menjadi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) diharapkan mampu

meningkatkan nilai HHBK itu sendiri dan kawasan hutan secara

keseluruhan. Dan pada akhirnya hal ini mampu memberikan nlai tambah

secara ekonomi bagi masyarakat.

Hadirin yang saya hormati,

Provinsi NTB mempunyai program unggulan yaitu NTB hijau,

dimana pembangunan tidak hanya bertumpu pada kegiatan fisik namun

juga memperhatikan aspek lingkungan hidup dan kondisi wilayah Oleh

sebab itu pengembangan dan pengelolaan HHBK merupakan kegiatan yang

sejalan dengan program pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Upaya

optimalisasi potensi HHBK ini diharapkan dapat memberikan ruang bagi

masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari hutan dan hasil hutan

sehingga mampu meningkatkan kesejahteraannya. Optimalisasi ini juga

didukung oleh kebijakan pencadangan areal kawasan hutan untuk berbagai

kegiatan Perhutanan Sosial (Social forestry). Di NTB terdapat kurang lebih

111 jenis HHBK, namun yang menjadi andalan dan sudah banyak dikenal

diantaranya adalah madu hutan dan gaharu. Bahkan produk madu hutan di

Sumbawa telah ditunjuk sebagai kluster madu hutan di Indonesia.

Pengembangan HHBK di NTB juga tidak terlepas dari berbagai masalah,

mulai dari aspek hulu sampai dengan hilir. Sebagai contoh rumput ketak

yang banyak dimanfaatkan untuk kerajinan samapai saat ini teknologi

budidayanya belum banyak dikuasai. Contoh lainnya, tegakan gaharu

potensinya cukup besar di NTB, namun dukungan pengelolaan baik

xxviii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

teknologi budidaya dan teknik inokulasinya masih perlu ditingkatkan.

Budidaya lebah Trigona yang memproduksi banyak propois juga masih

memerlukan introduksi teknologi budidayanya. Di bagian hilir, informasi

pasar dan kelembagaan pendukung merupakan aspek yang tidak dapat

dikesampingkan.

Hadirin yang saya hormati,

Berkaitan dengan penyediaan lahan untuk pengembangan HHBK,

selain melalui pencadangan kawasan hutan, juga terdapat lahan potensial

lainnya. Sebagai contoh lahan kritis yang cukup luas merupakan salah satu

lahan potensial yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka rehabilitasi lahan.

Sehingga pengembangan HHBK diharapkan selain mampu mengembalikan

fungsi ekologisnya juga berpotensi secara ekonomi. Program perlindungan

mata air yang sudah digalakan sejak lama juga dapat menjadi pintu masuk

pengembangan HHBK di NTB.

Hadirin yang saya hormati,

Agar pengembangan HHBK di NTB khususnya mempu

memberikan kontribusi yang optimal, maka diperlukan beberapa strategi.

Adapun beberapa strategi tersebut yang menurut hemat saya cukup penting

diantaranya adalah :

1. NTB harus mempunyai grand design dan roadmap pengelolaan HHBK

potensial

2. Pengembangan berbagai skema insetif dalam rangka pengarusutamaan

HHBK dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan

3. Merumuskan mekanisme pengelolaan HHBK di tingkat tapak seperti di

KPH dan lain-lain

4. Peningkatan kapasitas masayarakat atau kelembagaan dalam

pengelolaan HHBK mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan,

pengolahan sampai pemasaran sehingga mampu menjamin

keberlanjutan produksi HHBK.

5. Mendorong kegiaatan pengelolaan HHBK untuk menghasilkan produk

industri secara optimal, sehingga nilai kemanfaatan HHBK akan

meningkat

6. Menggalang kemitraan baik pemerintah, dunia usaha, LSM dan

masyarakat baik skala nasional maupun internasional.

7. Menigkatkan koordinasi dan keterpaduan program pengelolaan HHBK

di internal sektor kehutanan dan juga lintas sektor.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxix

Berdasarkan strategi pengembangan HHBK tersebut maka secara

fungsional dukungan dari berbagai pihak yang hadir pada kesempatan ini

sangat diperlukan. Adapun dukungan tersebut diataranya adalah :

1. Membantu penyusunan cetak biru pengelolaan HHBK di NTB dengan

berbasis perhutanan sosial berdasarkan pendekatan pengelolaan

sumberdaya hutan dan pengelolaan akosistem hutan.

2. Merumuskan kluster diversivikasi porduk HHBK yang akan

dikembangkan

3. Memberikan dukungan iptek dan pendampingan melalui berbagai upaya

seperti pelatihan, alih teknologi dan lain sebagainya.

4. Membangun jejaring kerja dan komunikasi dalam berbagi informasi

tentang pengelolaan HHBK.

Hadirin yang saya hormati,

Kegiatan seminar yang akan kita laksanakan selama satu hari ini,

diharapkan mampu memberikan informasi tentang pengelolaan HHBK

sebagai salah satu bentuk dukungan fungsional untuk mensukseskan

strategi pengelolaan HHBK di NTB pada khususnya dan di Indonesia pada

umumnya. Selain itu, diharapkan juga akan muncul berbagai kisah sukses

pengelolaan dan iptek HHBK sehingga pengelolaan HHBK bisa menjadi

mainstream pengelolaan hutan dan lingkungan secara mandiri dan pada

akhirnya akan memberikan sumbangan dalam mencapai tujuan

pembangunan kehutanan untuk mewujudkan sebesar-besarnya

kesejahteraan rakyat.

Demikian, beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada acara

rangkaian seminar yang akan dimulai pada hari ini. Semoga upaya kita

dalam meningkatan kemanfaatan HHBK untuk mendukung pengelolaan

hutan dan lingkungan mendapat ridho Allah SWT. Amin ya robbal alamin.

Wassalamu'alaikum Wr Wb,

Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA

I. PENDAHULUAN

2| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

A. Latar Belakang

Sumber Daya Hutan (SDH) di Indonesia dapat menghasilkan

multiple product, artinya selain produk berupa kayu juga dapat berupa

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Beberapa jenis

produk HHBK di Indonesia telah lama diusahakan dan diambil hasilnya

oleh masyarakat sekitar hutan untuk bebagai keperluan baik yang bersifat

subsisten maupun komersil. Selain itu pada kegiatan pengelolaan hutan

khususnya, dan lingkungan pada umumnya dimana pemanfaatan hasil kayu

tidak diperkenankan, maka HHBK merupakan pilihan yang paling logis.

Dewasa ini, tantangan pengelolaan HHBK pada intinya adalah

bagaimana meningkatkan kemanfaatan HHBK untuk kepentingan ekologi

maupun ekonomi. Hal ini sesuai dengan paradigma baru dimana

pengelolaan HHBK diharapkan selaras dengan pembangunan berkelanjutan

dan berwawasan lingkungan yang progresif.

Sebagai centre of excellence IPTEK kehutanan, penelitian dan

pengembangan harus berkontribusi dalam upaya peningkatan kemanfaatan

HHBK menuju pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari. Oleh sebab

itu informasi hasil-hasil penelitian dan sinergi antar pihak yang berorientasi

pada upaya tersebut sangat diperlukan. Informasi ini diharapkan bersifat

konfrehensif yang mencakup berbagai aspek HHBK mulai dari budidaya,

pengelolaan dan teknologi sampai dengan sosial, ekonomi dan lingkungan

sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan dan

strategi peningkatan kemanfaatan HHBK.

Dalam rangka pengembangan pengetahuan, penelitian dan

implementasi pengelolaan HHBK dari hulu sampai ke hilir, Balai

Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) bekerjasama

dengan Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Tenggara Barat dan Program

Studi Kehutanan Universitas Mataram yang menaruh perhatian besar

terhadap pengembangan HHBK, menyelenggarakan Seminar Nasional

Hasil Penelitian HHBK. Seminar ini diharapkan mampu memberikan

masukan dan rekomendasi untuk memperbaiki kondisi saat ini dengan

pendekatan menyeluruh dari aspek budidaya, pengolahan, sosial ekonomi

dan kebijakan serta lingkungan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 3

II. MAKALAH DAN DISKUSI

4| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

A. Makalah Kunci

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 5

6| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 7

8| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 9

10| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 11

B. Budidaya Dan Pengelolaan HHBK

12| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

TEKNIK BUDIDAYA GULINGGANG (Senna alata Linn.)

DI KALIMANTAN SELATAN

Sudin Panjaitan1),

Ahmad Ali Musthofa2)

dan Rusmana 3)

1) Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan

2) Calon Teknisi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan

3) Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan

Email : [email protected], HP. 082155665656

ABSTRAK

Hutan alam Indonesia disamping penghasil kayu juga hasil hutan bukan kayu

(HHBK) yang memiliki nilai ekonomis. HHBK terdiri berbagai komoditi

diantaranya : jenis Gulinggang (Senna alata). Gulinggang sering disebut

ketepeng cina. Gulinggang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yaitu

daunnya untuk obat herbal,misalnya sakit infeksi kulit, panu, kadas, kudis,

kurap, borok, sariawan, sembelit dan dapat membasmi cacing kremi pada anak.

Dengan berbagai macam manfaat dan kegunaan dari gulinggang tersebut, maka

perlu segera dikuasai teknik budidayanya agar keberadaan jenis dan produksi

dapat dipertahankan. Metode dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara

langsung dengan masyarakat petani. Tulisan ini membahas teknik budidaya

gulinggang, sehingga kelestarian jenis dan produksi dapat dipertahankan mulai

dari teknik pengunduhan buah, teknik produksi bibit, persiapan lahan dan

teknik penanaman di lapangan. Media tabur yang baik adalah menggunakan

media pasir sungai dan media sapih menggunakan campuran gambut +

sekam padi (7 : 3) dan/atau media top soil + sekam padi (1 : 1). Media sapih

yang baik harus memenuhi syarat : 1) bobot ringan, 2) daya menyerap air

tinggi, 3) drainase dan aerasi baik, 4) kesuburan cukup, 5) mudah diperoleh

dalam jumlah banyak, 6) harga relatif murah, dan 7) tidak mengandung racun.

Kata kunci : Teknik, budidaya, gulinggang, Kalimantan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan alam tropis Indonesia menghasilkan kayu sebagai produk

utamanya dan disamping hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi dalam dunia perdagangan. Budiawan

(2008) mengatakan bahwa HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 13

maupun hewani serta turunannya dan budidaya kecuali kayu yang berasal

dari hutan alam.

Hasil hutan bukan kayu terdiri dari berbagai macam jenis

diantaranya : 1) Gaharu, 2) Rotan, 3) Bambu, 4) Madu, 5) Sarang burung

walet, 6) Kayu manis, 7) Gemor, 8) Nilam/Dilam, 9) Tumbuhan obat,

10) Purun, 11) Terentang, 12) Jelutung/pantung, dan tidak kalah penting

adalah jenis Gulinggang/Ketepeng cina (Senna alata Linn.) dimana jenis

ini termasuk famili Leguminosae. Gulinggang tumbuh tersebar di beberapa

Negara dan daerah di Indonesia. Gulinggang disebut seven golden

candlestick (Inggris), Ketepeng kebo (Jawa), Ketepeng cina (Indonesia),

Ketepeng badak (Sunda), Acon-aconan (Madura), Sajamera (Halmahera),

Kupang-kupang (Ternate), Tabankum (Tidore), dan Daun kupang, daun

kurap, gelenggang, uru’kap (Sumatera). Gulinggang dapat bermanfaat

untuk berbagai macam keperluan yaitu daunnya dimanfaatkan untuk obat

herbal misalnya sakit infeksi kulit, panu, kadas, kudis, kurap, borok,

sariawan, sembelit dan dapat membasmi cacing kremi pada anak (misalnya

di Kabupaten Sleman, tahun 1980an). Walaupun ketika itu para Mantri dari

Puskesmas masih giat berkeliling dari rumah ke rumah di seluruh pelosok

Kabupaten Sleman untuk mencatat kesehatan seluruh anggota masyarakat.

Dan bagi yang sakit diberikan obat atau dirujuk untuk ke Puskesmas

terdekat.

Dengan melihat manfaat dan kegunaan dari gulinggang tersebut,

maka perlu segera dikuasai teknik budidayanya agar keberadaan jenis

tersebut dapat dipertahankan yaitu mulai dari teknik pengunduhan buah,

teknik produksi bibit, teknik persiapan lahan, teknik penanaman dan

pemeliharaan tanaman.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada

masyarakat petani khususnya yang berada di sekitar hutan tentang teknik

budidaya jenis Gulinggang, sehingga silvikultur jenis tersebut dikuasai

dengan baik.

14| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

II. TEKNIK BUDIDAYA GULINGGANG (Senna alata Linn.)

Produksi bibit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) Produksi

bibit dengan cara generatif, dan 2) Produksi bibit dengan cara vegetatif

(stek).

Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan

wawancara langsung dengan masyarakat petani.

1. Produksi bibit dengan Generatif

Produksi bibit dengan cara generatif jenis gulinggang mudah dilakukan

yaitu dengan cara menggunakan benih. Kegiatan pertama ialah :

1) Ekstraksi biji/benih

Pemilihan biji yang baik dengan memisahkan dari biji lainnya. Hal ini

dilakukan dengan tujuan agar biji yang dikecambahkan memiliki

presentase hidup yang tinggi dan pertumbuhan normal.

2) Penaburan benih

Biji yang dipilih tadi segera ditabur/kecambahkan di bak tabur pada media

pasir murni selama 2 - 4 minggu dan kemudian ketika benih telah

berkecambah, kegiatan berikutnya adalah penyapihan semai.

Media tabur dikatakan baik dan memenuhi persyaratan adalah : 1) Mampu

mempertahankan kelembaban media tabur, aerasi baik dan juga drainase,

sehingga temperatur, kelembaban serta sirkulasi udara dikatagorikan baik,

2) Media tabur yang digunakan harus steril, sehingga kecambah gulinggang

tidak terserang hama penyakit, dan 3) Media tabur yang digunakan mudah

didapat (Rusmana, 2007).

3) Penyapihan semai

Setelah benih dinilai berkecambah normal. Kemudian kegiatan berikutnya

ialah penyapihan semai yang telah berkecambah ke dalam polybag yang

tersedia. Penyapihan semai yang telah berkecambah ke dalam polybag

yang telah dipersiapkan dengan menggunakan alat terbuat dari kayu

dengan media gambut + sekam padi (7 : 3) atau dapat pula menggunakan

media top soil + sekam padi (1 : 1) atau dapat pula digunakan bahan

lainnya seperti bahan kompos serbuk gergaji, bokashi gambut dan lain

sebagainya yang disusun rapi pada bedengan dibawah sungkup yang telah

dipersiapkan sebelumnya (Rusmana, 2005; Rusmana, 2007; Rusmana,

2009). Dalam upaya memperoleh benih berkecambah baik dengan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 15

presentasi tinggi, maka benih yang ditabur harus dilakukan pemeliharaan

secara intensif. Pemeliharaan benih yang telah ditabur, kegiatan yang harus

dilakukan ialah : 1) Penyiraman media tabur dilakukan sebanyak 3 kali/hari

dan hal ini tergantung dengan kondisi media tabur yang digunakan, 2)

Dilakukan penyemprotan dengan fungisida agar tidak terserang jamur.

Dilakukan 1 kali/minggu dengan konsentrasi 5 g/liter air, dan 3)

Penyemprotan dengan bahan insektisida dalam rangka pengendalian hama

serangga dan dilakukan 1 kali/minggu. Konsentrasi larutan yang digunakan

adalah 5 cc Basudin/liter air. Pengisian polybag. Media sapih yang

dikatakan baik ketika memenuhi beberapa persyaratan yakni : 1) Media

memiliki bobot ringan, 2) Drainase dan juga aerasinya baik, 3) Tingkat

kesuburan tergolong cukup, 4) Harga terjangkau, 5) Tidak mengandung

racun, 6) Mudah didapat dalam jumlah yang banyak, dan 7) Daya

menyerap air tinggi. Media yang telah dicampur harus sesuai komposisi

tersebut (Supriadi & Valli, 1988).

4) Pembuatan sungkup

Sungkup dapat dibuat menggunakan sungkup bahan dari plastik atau secara

konvensional menggunakagan bahan sungkup dari alang-alang. Sungkup

dibuat dibagian depan dengan tinggi 1 m dan dibagian belakang tinggi 75

cm. Hal ini dimaksudkan agar dimusim penghujan air dengan sendirinya

tidak tertahan di sungkup. Pada umumnya bedengan berukuran yang

digunakan adalah ukuran 4 x 1 m. Ukuran polybag yang digunakan

berukuran 12 x 15 cm tergantung dengan rencana yang telah direncanakan.

Setelah kecambah selesai dipindahkan ke dalam polybag yang tersusun rapi

dibawah sungkup, maka segera dilakukan penyiraman agar kelembahan

media tinggi, dan pertumbuhan semai normal.

5) Pemeliharaan bibit

Pemeliharaan bibit dimaksudkan disini adalah penyiraman bibit,

pemupukan, penyulaman, pemangkasan akar bila diperlukan, penyiangan

serta tindakan pengendalian hama dan penyakit bila ada serangan.

Kegiatan pemeliharaan bibit di persemaian melalui beberapa tahapan

yakni: 1) Penyiraman. Penyiraman dapat dilakukan sebanyak 2 kali/hari

yaitu pada pagi hari pada jam 08.00 dan di sore hari pada jam 16.00 wita.

Hal ini sangat tergantung pada kondisi cuaca, bila cuaca sangat panas tentu

16| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

penyiraman bibit dapat dilakukan 2 sampai 3 kali/hari, 2) Penyulaman

bibit. Penyulaman bibit dilakukan pada bibit yang mati setelah penyapihan.

Bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah yang sehat. Penyulaman

pada umumnya dilakukan setelah penyapihan berjalan 2 – 3 minggu,

sehingga bibit siap tanam pertumbuhannya tampak seragam, 3)

Pemupukan. Tindakan pemupukan bibit di persemaian harus segera

dilakukan, sehingga dapat memacu pertumbuhan bibit. Dosis dan saat

pemupukan bibit di persemaian sangat tergantung pada kondisi bibit serta

umurnya. Pemberian dosis pupuk pada bibit yang diusahakan, memiliki

beberapa tahapan pemberian, sehingga diharapkan pertumbuhan akan

meningkat (Rusmana, 2007). Tahapan tersebut disajikan pata Tabel 1

berikut.

Tabel 1. Pemberian pupuk NPK (15 : 15 : 15) sesuai umur bibit di

persemaian selama 3 – 5 bulan

No. Umur bibit (minggu) Dosis pupuk (gr/m2) Jumlah pupuk yang digunakan

1 1

2 2 5 5

5 10

3 3 5 15

10 25

4 4 10 35

10 45

5 5 10 55

10 65

6 6 15 80

15 95

7 7 15 110

15 125

8 8 15 140

15 155

9 9 15 170

15 185

10 10 15 200

15 215

11 11 10 225

10 235

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 17

No. Umur bibit (minggu) Dosis pupuk (gr/m2) Jumlah pupuk yang digunakan

12 12 10 245

10 255

- Pupuk diberikan dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 2 – 5 %

- Bila turun hujan setelah pemupukan selesai dilakukan, maka

sebaiknya hari berikutnya bibit harus dipupuk kembali

- Setelah bibit berumur 4 bulan, maka frekuensi pemupukan harus

dikurangi, sehingga diberikan 1 kali/ 2 minggu sampai tanaman

berumur 5 – 6 bulan, agar lignifikasi batang lebih cepat.

-Pupuk diberikan bentuk larutan dengan konsentrasi 2 – 5 %

-Jika terjadi hujan setelah dilakukan pemupukan, sebaiknya hari

besoknya, bibit harus dipupuk lagi.

Setelah bibit berada selama 2-3 bulan di bawah sungkup, kemudian

dipindah di tempat terbuka selama 2 bulan untuk aklimatisasi bibit,

sebelum diangkut ke tempat penanaman.

2. Produksi Bibit dengan vegetatif

Produksi bibit dapat pula dilakukan dengan stek batang. Ukuran stek

berkisar antara 15 – 20 cm. Setelah dilakukan pemotongan stek sesuai

ukuran yang diperlukan. Stek tersebut sebelum di sapih di polybag

dicelupkan terlebih dahulu pada zat atonik/zat hormon tumbuh yang dapat

mempercepat pertumbuhan tunas. Hal ini dimaksudkan agar daya hidup

stek tinggi, kemudian dimasukkan ke dalam polybag yang telah berisi

media gambut + sekam padi (7 : 3) atau media top soil + sekam padi (1 : 1)

dan disusun pada bedengan yang telah dipersiapkan dan telah berada di

bawah sungkup plastik, sehingga kelembaban dalam sungkup tinggi.

Kemudian kegiatan selanjutnya adalah penyiraman dan pemeliharaan,

sehingga stek tumbuh normal sesuai yang diharapkan. Setelah 2- 3 bulan di

bawah sungkup, kemudian bibit dapat dipindah ke tempat terbuka atau

dibawah net intensitas 50 % selama kurang lebih 2 - 4 bulan. Bibit sebelum

diangkup ke lapangan penanaman sebaiknya dilakukan aklimatisasi selama

1-2 bulan, dengan demikian ketika dilakukan penanaman bibit tidak

mengalami stress (Sakai, CH. & Subiakto, A., 2005).

6) Pemangkasan akar

18| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pemangkasan akar harus dilakukan 1 bulan 1 kali. Pemangkasam akar

terakhir dilakukan 2 minggu sebelum bibit diseleksi dan pengepakan bibit

untuk segera diangkut ke lokasi penanaman.

7) Seleksi dan pengepakan bibit siap tanam

Seleksi dan pengepakan bibit adalah kegiatan akhir dari kegiatan produksi

bibit di persemaian. Tujuan seleksi bibit siap tanam adalah untuk (Supriadi

& Valli, 1988; Sagala, 1988; Tampubolon & Rusmana, 1998; Santosa &

Yuwati, 2004) ;

1) Memilih bibit yang baik, berkualitas dan memenuhi syarat untuk

ditanam di lapangan, 2) Menjaga bibit yang akan dibawa keluar dari

persemaian tetap terjaga kualitasnya, 3) Meningkatkan ketahanan bibit

dalam saat pengangkutan berlangsung, sehingga bibit yang ditanam di

lokasi penanaman daya hidupnya (survival) tinggi (>90 %) dan bibit tidak

mengalami stess yang panjang.

Secara teknis produksi bibit di persemaian dapat dilakukan dengan

beberapa tahapan kegiatan, yakni : 1) Penaburan benih dan pemeliharaan

taburan, 2) Pemrosesan media dan pengisian polybag, 3) Penyapihan

semai, 4) Pemeliharaan semai, 5) Aklimatisasi bibit, 6) Seleksi dan

pengepakan bibit siap tanam, dan 7) Transportasi bibit ke lokasi

penanaman yang direncanakan (Rusmana, 2007; Rusmana, 2009).

8) Persiapan lahan

Setelah bibit dikatagorikan siap tanam, maka sebelumnya telah dilakukan

persiapan lahan dengan membuat jalur tanam dengan jarak 2 x 2 m atau 1,5

x 1,5 m (Personal.com, Matrozy, tanggal 6 Nopember 2014, seorang

masyarakat petani gulinggang). Hal ini sangat tergantung dengan rencana

pengelolaan. Lubang tanam dapat dibuat 25 x 25 cm. Setiap lubang tanam

dibuat ajir tanam, sehingga memudahkan dalam pengelolaan.

9) Penanaman dan pemeliharaan

Penanaman dilakukan pada lahan yang telah dipersiapkan dimana bibit

tanaman telah berada pada lokasi tersebut. Penanaman dilakukan pada

jarak yang ditentukan dan sebaiknya penanaman dilakukan diawal musim

hujan. Setelah penanaman berjalan 1 bulan segera dilakukan penyulaman,

apabila terdapat tanaman yang mati dan setiap 6 bulan 1 kali harus

dilakukan pemeliharaan, sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 19

III. KESIMPULAN

1. Tumbuhan gulinggang sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu, teknik

produksi bibit mudah dilakukan baik secara generatif dan vegetatif

(stek).

2. Media tabur yang baik menggunakan media pasir sungai dan

media sapih sebaiknya menggunakan media campuran gambut +

sekam padi (7 : 3) dan dapat pula media top soil + sekam padi (1 : 1).

3. Media sapih yang baik harus memenuhi syarat : 1) bobot ringan, 2) daya

menyerap air tinggi, 3) drainase dan aerasi baik, 4) kesuburan cukup, 5)

mudah diperoleh dalam jumlah banyak, 6) harga relatif murah, dan 7)

tidak mengandung racun.

DAFTAR PUSTAKA

Rusmana, 2005. Teknik Produksi Bibit Sistem KOFFCO. Alih Teknologi

Persemaian KOFFCO. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan

Tanaman Indonsesia Bagian Timur, Banjarbaru Kalimantan

Selatan.

Rusmana, 2007. Teknik Produksi Bibit Jenis-jenis Pohon Rawa Gambut

secara generatif dan vegetatif. Alih Teknologi Pembangunan

Hutan Rakyat Sistem Agroforestri. Balai Penelitian Kehutanan

Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Rusmana, 2009. Manajemen Persemaian. Pelatihan SILIN kerjasama Balai

Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda dengan Dinas

Kehutanaan dan Perkebunan Kabupaten Barito Utara.

Sagala, APS. 1988. Persemaian Permanen di Beberapa Tempat. Balai

Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Publikasi No. 28.

Sakai, CH. & Subiakto, A., 2005. Pembiakan vegetatif system KOFFCO.

Alih Teknologi Persemaian KOFFCO. Balai Penelitian dan

Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur,

Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Santosa, P.B. & Yuwati, T.W., 2004. Seleksi dan Pengepakan Bibit. Materi

Alih Teknologi Persemaian Sistem KOFFCO. Balai Penelitian dan

20| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pengembangan Hutan Tanamaan Indonesia Bagian Timur,

Banjarbaru (Tidak diterbitkan).

Supriadi G., & Valli, I., 1988. Manual Persemaian ATA-267. Balai

Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Penerbitan No. 52. Personal.com,

Matrozy, tanggal 6 Nopember 2014.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 21

EFEKTIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA TERHADAP

PERTUMBUHAN TANAMAN MUDA Aquilariacrassna Pierre ex

Lecomte DI LAPANG

Ragil SB Irianto

Peneliti Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan, Bogor

Email :[email protected]

ABSTRAK

Aquilariacrassna Pierre ex Lecomte merupakan tanaman eksotik yang cepat

tumbuh di Indonesia. Tanaman ini memiliki sebaran alaminya di Kamboja,

Laos, Thailand dan Vietnam. Kegunaan gaharu telah diketahui penggunaannya

dalam bidang kesehatan, parfum dan aromatik. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mendapatkan informasi tentang efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula

Glomus sp1. dan Glomus sp2. Terhadap pertumbuhan tanaman muda umur 15

bulan di lapang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak

kelompok dengan tiga perlakuan yaitu kontrol, Glomus sp1. dan Glomus sp2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Glomus sp1. dan Glomus sp2.

yang dilakukan pada saat penyapihan (overspin) di pesemaian masih

menunjukkan responnya dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi dan

diameter tanaman muda A. crassna umur 15 bulan secara signifikan di lapang

berturut-turut sebesar 60, 46 dan 30, 20% dibandingkan dengan kontrol.

Kata kunci :Aquilariacrassna, Glomus, pertumbuhan, lapang

I. PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Aquilariacrassna Pierre ex Lecomte termasuk dalam family

Thymelaeaceae, species cepattumbuh (fast growing species) dan

merupakan tanaman eksotik karena sebaran alaminya berada di Kamboja,

Laos, Thailand dan Vietnam (IUCN, 2014), sedangkan jenis endemic

Aquilaria di Indonesia ada enam jenis yaituA. beccariana, A. cumingiana,

A filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Soehartono, 1997).

Eksploitasi tanaman penghasil gaharu yang dilakukakan secara

besar-besaran pada beberapa dekade yang lalu telah mengakibatkan

22| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

populasi tanaman ini di alam sangat rendah. Penurunan populasi tanaman

penghasil gaharu yang sangat drastis ini mengakibatkan tanaman gaharu

Indonesia masuk dalam kategori terancam menurut IUCN Red List

category (Bardanet al., 2014). Populasi yang sangat rendah tersebut

mengakibatkan suplai dan deman yang tidak seimbang, hal ini

mengakibatkan harga produk gaharu semakin mahal.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas merangsang masyarakat

untuk menanam tanaman penghasil gaharu. Penanaman yang sangat massif

dapat dengan mudah ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa

Tenggara, Bali, dan Jawa.

Areal hutan dan lahan yang digunakan dalam penanaman gaharu

tersebut di atas pada umumnya adalah tanah marjinal yang dicirikan

dengan lapisan top soilnya tipis, kandungan bahan organik rendah, miskin

unsure hara dan masam. Pada tanah-tanah yang masam unsur P akan

menjadi kendala karena unsur ini akan terkhelat oleh Al dan Fe sehingga

tidak dapat diserap oleh akar tanaman tanpa bantuan mikrob tanah yang

menguntungkan seperti salah satunya yaitu FMA.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

FMA pada tanaman muda A. crassna di lapang, dimana bibit A. crassna

pada saat di pembibitan diinokulasi dengan FMA jenis Glomus sp1.

danGlomus sp2.

II. BAHAN DAN METODE

A. TempatdanWaktuPenelitian

Penelitian efektivitas FMA pada bibit tanaman A. crassna

dilaksanakan di nursery Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan, Puslitbang

Konservasi dan Rehabilitasi pada bulan Februari s/d Desember 2010.

Penanaman bibitA. crassna dilakukan pada awal bulan Januari 2011 di

KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Carita.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini

adalah: biji A. crassna dari pohon induk di Darmaga-Bogor, inokulan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 23

Glomus sp1. Dan Glomus sp2., kantong plastic hitam, bak plastic

perkecambahan, pestisida dazomet, tanah subsoil pada kedalaman 20-40

cm, dan paranet 60%.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kaliper, penggaris,

mikroskop, kamera, embrat, timbangan analitik.

C. Metode Penelitian

1. Pesemaian A. crassna

Biji A. crassna disemaikan pada media zeolite streril sampai biji

berkecambah (umur 14 hari), kemudian disapih ke polibag yang berisi

tanah steril. Perlakuan inokulasi FMA adalah sebagai berikut : a)

perlakuan inokulasi dengan inokulan Glomussp1., b) perlakuan iokulasi

dengan inokulan Glomus sp2., dan c) perlakuan pembanding (kontrol).

Jumlah inokulan per polybag adalah 5 (lima) gram.

2. Penanaman Bibit di Lapang

Pupuk kandang dari kotoran ayam seberat 2 kg dimasukkan ke dalam

lubang tanam (30 cm x 30 cm x 30 cm) empat minggu sebelum

pelaksanaan penanaman. Pada awal bulan Januari 2011 bibit tanaman A.

crassna ditanam.

3. Pengamatan Pertumbuhan

Parameter pertumbuhan tanaman muda umur 15 (lima belas) bulan

di lapang yang diamati adalah tinggi dan diameter.

4. Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Rancangan penelitian yang digunakan pada saat penanaman di

lapang adalah Rancangan Acak Kelompok (RCBD) dengan tiga perlakuan

jenis FMA (kontrol, Glomus sp1., danGlomus sp2.), jumlah ulangan

delapan dan masing-masing ulangan terdiri dari sembilan tanaman.

Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (anova) dengan bantuan

program statistika JMP Start Statistics version 10 , apabila analisis sidik

ragam menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan uji lanjut

dengan uji Tukey(Sallet al., 2005).

24| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Inokulasi FMA jenis Glomus sp1. dan Glomus sp2. dapat

meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan biomasa bibit tanaman

Aquilariacrassna umur 8 (delapan) bulan secara signifikan dibandingkan

dengan kontrol. Aplikasi FMA di pesemaian dapat mempersingkat umur

bibit siap tanam, dimana tanaman yang bermikoriza untuk mencapai

ketinggian bibit siap tanam (25 cm) hanya dapat dicapai dalam waktu 3

bulan, sedangkan tanaman tanpa pemberian FMA memerlukan waktu 8

bulan (Irianto, 2014).

Tabel 1. Pengaruh Inokulasi FMA terhadap Pertumbuhan Tinggi dan

Diameter Tanaman Muda Penghasil Gaharu A. crassnaUmur 15

Bulan di Lapang (The effect of Arbucular Mycorrhizal Fungi

Inoculation to Height and Diameter Plant Growth of sixteen-months-old young tree of A. Crassna in the field)

Keterangan (Notes) :

1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang

nyata pada taraf p = 0.05 berdasarkan uji Tukey (Numeric followed by the same

letters are not significantly different at p < 0.05 according to Tukey test)

2. Angka dalam tanda kurung adalah persentase peningkatan suatu variabel

pengamatan dibandingkan dengan kontrol (Numeric in the parenthesis is

percentage of variable increment compared to the control)

Aplikasi FMA jenis Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Pada bibit saat

penyapihan bibit (overspin) di pesemaian masih menunjukkan responnya

pada pertumbuhan tanaman muda A.crassna umur 15 bulan di lapang.

Persentase peningkatan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A.

crassna yang diinokulasi FMA jenis Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Masih

Jenis FMA

(AMF) Tinggi (Height)

(cm)

Diameter (Diameter)

(mm)

Glomus sp1. 88,95 a

(60)

8,99 a

(30)

Glomus sp2. 81,04 a

(46)

8,26 ab

(20)

Kontrol 55,59 b

(0)

6,89 b

(0)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 25

cukup tinggi yaitu berturut-turut sebesar 60, 46 dan 30, 20% dibandingkan

dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel1). Peningkatan pertumbuhan

tinggi dan diameter terjadi karena pada bibit yang diinokulasi dengan FMA

Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Mempunyai tingkat kolonisasi yang cukup

tinggi yaitu sebesar 75 dan 71 (Irianto, 2014). Persentase kolonisasi yang

cukup tinggi di pesemaian diduga kuat masih berkembang lebih lanjut pada

tanaman muda di lapang.

Irianto (2014) menyatakan bahwa tanaman A. crassna umur 6

(enam) bulan dilapang yang diinokulasi dengan FMA jenis Glomus sp1.

Dan Glomus sp2. Pada saat overspin di pesemaian masih memberikan

pengaruh peningkatan tinggi dan diameter bertiturut-turutsebesar 55, 43

dan 39, 33%.

Pemberian bahan organic dalam bentuk pupuk kandang ayam yang

diberikan sebagai perlakuan dasar pada semua perlakuan tidak memberikan

pengaruh negative pada perkembangan FMA di lapang. Hal tersebut

diindikasikan pertumbuhan tanaman muda pada perlakuan inokulasi

dengan Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Masih signifikan dibandingkan

dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel 1). Pemberian bahan organic

dapat meningkatkan pH dan mikroba tanah (Escobar dan Hue, 2008),

meningkatkan porositas dan kemantapan agrega ttanah (Mowidu, 2001),

serta meningkatkan ketersediaan nutrien (Chueet al., 2007; Escobar dan

Hue, 2008).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Aplikasi inokulasi FMA Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Pada bibit di

pesemaian masih dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan

diameter tanaman muda A. crassna umur 15(lima belas) bulan di

lapang sebesar 60, 46 dan 30,20%.

2. Pemberian bahan organic berupa pupuk kandang ayam seberat 2 kg

per lubang tanam tidak mengganggu perkembangan FMA.

B. Saran

26| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penanaman tanaman penghasil gaharu A. crassna di lapang

disarankan untuk menggunakan bibit yang telah terinokulasi dengan

FMA.

DAFTAR PUSTAKA

Bardan A., N. A. Awak, T. Mulliken and M. Song. 2014. Heart of the Matter

Agarwood Use and Trade and Cites Implementation for

Aquilariamalaccencis. 50 p

Chu, H., Lin, X., Fujii, T., Morimoto, S., Yagi, K., Hu, J., Zhang, J. 2007. Soil

microbial biomass, dehydrogenase activity, bacterial community

structure in response to long-term fertilizer management. Soil Biology

and Biochemistry. 39, 2971-2976.

Escobar, M.E.O. and Hue, N.V. (2008) Temporal Changes of Selected

Chemical Properties in Three Manure Amended Soils of Hawaii.

Bioresource Technology (99) : 8649-8654.

Irianto, R. S. B. 2014. Efektifitas Fungi Mikoriza Arbuskular terhadap

Pertumbuhan Aquillariamalacensisdi Pesemaian dan Lapang.

Submitted

Mabberley, D. J. (1997).The Plant Book.The Press Syndicate of the University

of Cambridge, UK.858p

Sall J., L Creighton, A. Lehman. 2005. JMP Start Statistic 2nd

. A Guide to

Statistics and Data Analysis Using JMP and JMP IN Software.

Setiadi, Y., 1999. Status Penelitiandan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza

Arbuskuladan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.

Seminar NasionalMikoriza I, 15-16 November 1999.

Soehartono, T. (1997).Overview of trade in gaharu in Indonesia. In: Report of

the Third Regional Workshop of the Conservation and Sustainable

Management of Trees, Hanoi, Vietnam. WCMC IUCN/SSC.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 27

OPTIMALISASI HASIL PANEN TANAMAN RAMI

UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI TEKSTIL

DI KABUPATEN GARUT

Tri Sulistyati Widyaningsih1, Dian Diniyati

1, dan Harry Budi Santoso

2

1) Balai Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4

Pamalayan, Ciamis 46201 2)

Balai Penelitian Teknologi HHBK, Jl. Dharma Bhakti No. 7 Lombok Barat

NTB

Email: [email protected];

[email protected]

ABSTRAK

Hutan lindung di Kabupaten Garut mengalami kerusakan yang cukup berat

karena digunakan oleh masyarakat untuk areal penanaman sayur padahal

kemiringan lahannya cukup curam. Salah satu upaya yang dilakukan

pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan lindung serta mengatasi

penggarapan lahan oleh masyarakat yang tergantung pada lahan hutan lindung

adalah program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui

penanaman tanaman rami. Tanaman rami adalah tanaman yang bisa ditanam di

lahan hutan, dikombinasikan dengan tanaman kayu, dan diambil batangnya

untuk dijadikan serat. Pelaksanaan kegiatan dirasa belum efektif karena belum

adanya sinkronisasi antara masa panen dengan kapasitas pabrik pengolah

batang rami. Kajian yang dilakukan di Kecamatan Pasirwangi, Cigedug,

Cikajang, dan Pangatikan ini bertujuan mengetahui optimalisasi hasil panen

tanaman rami untuk mendukung industri tekstil di Kabupaten Garut dengan

mempertimbangkan kendala yang ada. Pengolahan formulasi model dilakukan

dengan bantuan program komputer solver dalam Ms excel. Hasil kajian

menunjukkan bahwa hasil panen maksimal yang bisa diolah pabrik sebanyak

180 ton per dua bulan masa panen dengan areal yang dipanen seluas 57 ha

dengan waktu panen berbeda-beda antar wilayah dan pendapatan maksimal

54.000.000,00. Hasil tersebut mengalami peningkatan dibanding sebelum

perencanaan yaitu hasil panen sebanyak 148 ton, luas areal panen 60 ha dan

pendapatan Rp 44.000.000,00. Perencanaan panen dengan mengoptimalkan

produksi menyesuaikan kapasitas pabrik menunjukkan peningkatan pendapatan

petani sebesar 23%. Pola ini dapat direkomendasikan agar pengelolaan hutan

lindung berjalan efektif untuk menjaga kelestarian hutan lindung sekaligus

mendukung kebutuhan ekonomi masyarakat dan kebutuhan pasar.

Kata kunci: hutan lindung, optimasi, tanaman rami, tekstil, Garut

28| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

Hutan lindung menurut Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan pasal 1 yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi laut, dan

memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk

pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil

hutan bukan kayu, yang mana pemanfaatannya harus melalui pemberian

izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,

dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi kenyataannya

hutan lindung yang ada sekarang sudah dirambah sehingga menyebabkan

terjadinya kerusakan, dimana kerusakan di hutan lindung lebih tinggi

dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi. Laju kerusakan hutan

lindung dari tahun 1997 sampai 2002 sebesar 10 persen pertahun,

sedangkan hutan produksi sebesar 5 persen per tahun (Badan Planologi,

2002 dalam Ginoga et al., 2005) yang disebabkan oleh penebangan liar dan

konversi lahan. Kondisi tersebut juga terjadi pada hutan lindung di

Kabupaten Garut, dengan kondisi yang sudah sangat terbuka karena tidak

terdapat tanaman penguat, kalaupun ada tanaman kehutanan jumlahnya

sangat terbatas dan secara kasat mata jumlahnya dapat dihitung, hal ini

terjadi karena sudah banyaknya lahan hutan lindung yang dialihfungsikan

masyarakat untuk menanami sayuran. Jika kondisi tersebut dibiarkan, akan

menimbulkan rusaknya hutan lindung dari segi ekonomis, sosial, dan

ekologis.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi

kerusakan hutan lindung sekaligus menangani kasus sosial masyarakat

yang secara ekonomi tergantung pada lahan hutan lindung, adalah dengan

dilakukannya rehabilitasi hutan lindung melalui program Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui penanaman tanaman rami

pada awal tahun 2000 yang diperkirakan bisa menghasilkan keuntungan

secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekologi, tanaman rami diharapkan

dapat mengembalikan fungsi hutan lindung yang berada dalam kondisi

kritis dan secara ekonomi diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 29

bagi petani yang selama ini tergantung pada lahan hutan lindung dengan

menanami tanaman sayur yang rawan menyebabkan longsor.

Meskipun sudah melibatkan banyak pihak, tetapi pelaksanaan

PHBM melalui penanaman rami belum berjalan dengan baik dikarenakan

belum adanya sinkronisasi antara masa panen dengan kapasitas pabrik

pengolah hasil tanaman rami, sehingga diperlukan pengelolaan terpadu

yang mempertimbangkan aspek budidaya dan pasar. Kajian ini bertujuan

mengetahui optimalisasi hasil panen tanaman rami untuk mendukung

industri tekstil di Kabupaten Garut, dengan mempertimbangkan segala

sumber daya yang ada serta memperhatikan kendala yang dihadapi agar

pelaksanaannya dapat berjalan secara optimal. Dengan diperolehnya

informasi optimalisasi hasil panen tanaman rami di tingkat petani dikaitkan

dengan kapasitas industri tekstil, diharapkan dapat berdampak terhadap

kebijakan tentang pengelolaan hutan lindung berbasis PHBM tanaman rami

yang diterapkan akan lebih sesuai dengan aturan tetapi juga dapat

mengakomodir kepentingan banyak pihak.

II. METODE

A. Lokasi, Waktu, dan Sampel Penelitian

Petani yang mengusahakan tanaman rami diantaranya berlokasi di

Desa Barusari Kecamatan Pasirwangi, Desa Barusuda Kecamatan Cigedug,

Desa Margamulya Kecamatan Cikajang, dan Desa Sukahurip Kecamatan

Pangatikan yang memanfaatkan lahan hutan lindung untuk

pengusahaannya. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-

Juli 2006 dengan pembaruan data pada tahun 2009. Data dikumpulkan

melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sampel penelitian adalah

petani yang terlibat dalam penggarapan hutan lindung, pengusaha rami,

serta perwakilan instansi yang terkait rehabilitasi hutan lindung.

B. Pembuatan Model dan Pengolahan Data Model dikembangkan berdasarkan data yang diperoleh di

lapangan. Pembuatan model dilakukan berdasarkan tahapan penyusunan riset operasi yang meliputi penyusunan fungsi tujuan, variabel keputusan,

dan fungsi kendala. Pembuatan formulasi model menggunakan teori

program linier yang mengandung lima asumsi dasar yaitu linearitas (ada

hubungan linier antara variabel terikat, variabel bebas, fungsi tujuan, dan

30| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kendala), divisibilitas (nilai peubah pengambilan keputusan bisa berupa

bilangan bulat atau pecahan), proporsional (jika variabel pengambilan

keputusan berubah, maka dampak perubahannya akan menyebar dalam

proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan dan kendala), aditivitas (nilai

fungsi tujuan merupakan penjumlahan nilai masing-masing variabel

keputusan), dan deterministik (semua parameter dalam model memiliki

nilai tertentu yang terukur) (Andayani, 2007).

Beberapa variabel yang diperlukan dalam pengukuran optimasi

pengelolaan tanaman rami secara garis besar, yaitu:

- Luas pengusahaan tanaman rami adalah luas hutan lindung yang

digunakan untuk penanaman tanaman rami.

- Hasil produksi adalah keseluruhan hasil panen yang diperoleh petani

dalam jangka waktu tertentu berdasarkan areal yang diusahakan.

- Kapasitas mesin pengolah hasil tanaman rami.

- Periode waktu panen tanaman rami pada tiap lokasi.

- Harga hasil panen tanaman rami berupa batang di pabrik pengolahan.

Pengukuran variabel:

Variabel yang terdapat dalam kajian ini meliputi:

1. Variabel untuk menyusun fungsi tujuan

- Luas pengusahaan tanaman rami adalah luas hutan lindung yang

digunakan untuk penanaman tanaman rami setiap kecamatan.

- Hasil produksi adalah keseluruhan hasil panen yang diperoleh petani

dalam jangka waktu tertentu berdasarkan areal yang diusahakan.

- Harga hasil panen tanaman rami berupa batang di pabrik pengolahan.

2. Variabel keputusan yaitu luas lahan tanaman rami yang dipanen pada

waktu tertentu.

3. Variabel untuk menyusun kendala:

- Luas lahan yang disediakan untuk pengusahaan tanaman rami yang

dinyatakan dalam satuan luas yaitu hektar.

- Hasil produksi adalah keseluruhan hasil panen dalam jangka waktu

tertentu berdasarkan areal yang diusahakan.

- Kapasitas mesin pengolah hasil tanaman rami.

- Periode waktu panen tanaman rami pada setiap lokasi.

Beberapa variabel tersebut menghasilkan formulasi fungsi tujuan dan

variabel pengambilan keputusan sebagai berikut:

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 31

Tujuan:

Memaksimalkan Z = pendapatan per periode masa panen dengan produksi

hasil panen semaksimal mungkin sesuai kapasitas pabrik sebagai bahan

baku tekstil. Yang perlu diketahui adalah semua nilai Xi.j yang membuat Z

sebesar mungkin.

Variabel keputusan:

Xi.j : jumlah luasan pengusahaan tanaman rami yang memaksimalkan

produksi; i dan j adalah integer.

Fungsi tujuan:

Untuk memformulasikan fungsi tujuan, diperlukan estimasi hasil panen

selama masa panen (setiap 2 bulan) berdasarkan realisasi hasil panen dan

luas yang harus dipanen serta harga panen.

MaksZ=

4

1

30

1i j

Xijk

Dimana: i = luas lahan pengelolaan rami di tiap lokasi

J = hasil panen selama musim panen (dibuat dalam dua harian

selama sebulan atau setara dengan satu hari selama dua bulan)

k = harga hasil panen batang rami

Fungsi kendala:

o Kendala ketersediaan lahan

X1.1+X1.2+…+X1.30 25 ha (Pasirwangi)

X2.1+X2.2+... +X2.30 20 ha (Cigedug)

X3.1+X3.2+... +X3.30 10 ha (Cikajang)

X4.1+X4.2+... +X4.30 5 ha (Pangatikan)

o Kendala aliran suplai bahan baku konstan per periodik sesuai dengan

kapasitas mesin yaitu 6 ton per dua hari atau setara 3 ton per hari

Xj = 6 ton

o Kendala non negativitas

Xij 0

Setelah dilakukan pembuatan formulasi model, dilakukan pengolahan data

untuk mengetahui hasil optimasi menggunakan bantuan program komputer

berupa solver yang terdapat dalam program Ms Excel (Yulianto dan

Sutapa, 2005).

32| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengusahaan Tanaman Rami di Lokasi Penelitian

Bahan baku industri tekstil Indonesia saat ini 99%nya berupa serat

kapas yang masih tergantung impor. Rami (Boehmeria nivea) adalah

tanaman penghasil serat untuk bahan baku tekstil. Usaha pengembangan

rami sebagai salah satu tanaman penghasil serat memiliki prospek yang

luas sebagai alternatif solusi pengganti terhadap ketergantungan impor

bahan baku serat kapas karena tanaman rami memiliki karakteristik mirip

tanaman kapas dan lebih mudah dibudidayakan daripada tanaman kapas

(Musaddad, 2007). Tanaman rami mudah tumbuh pada berbagai kondisi

lahan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan serta relatif tahan

terhadap serangan hama. Tanaman rami dapat menghasilkan 0,95 ton serat/

hektar, sedangkan kapas hanya sepertiganya. Tanaman rami jika

dikembangkan dengan baik, bisa berdampak positif terhadap upaya

penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan petani, apalagi rami

dapat menghasilkan produk lain seperti pupuk, pakan ternak, dan minuman

kesehatan.

Tanaman rami juga dapat mendukung program rehabilitasi hutan dan

lahan karena sistem perakarannya dapat mencegah erosi sehingga cocok

ditanam pada kawasan hutan tanaman industri atau perkebunan yang

sedang diremajakan di kawasan berlereng. Fungsi secara ekologis tersebut

menyebabkan tanaman rami dipilih untuk merehabilitasi lahan kritis dan

mengembalikan fungsi lindung beberapa kawasan hutan produksi yang

dialihfungsikan menjadi hutan lindung di Kabupaten Garut. Tanaman rami

bisa menjadi solusi cepat dalam mengatasi kondisi lahan kritis karena

dalam waktu 5-6 bulan dapat tumbuh rimbun dan dapat ditanam bersama

tanaman pokok berupa pohon kayu (Gambar 1a). Pengelolaan tanaman

rami tidak memerlukan pengolahan lahan, sehingga sesuai dengan

persyaratan dalam penanganan hutan lindung. Selain itu dengan satu kali

tanam, pada umur 8 bulan pertama bisa dipanen, selanjutnya secara rutin 2

bulan sekali hingga berumur antara 5-10 tahun. Hasil panen tanaman rami

berupa batang yang telah dipisahkan dari daun-daun rami dapat diolah

menjadi serat melalui beberapa tahap. Proses awal berupa dekortikasi yaitu

pemisahan serat dari kulit batang untuk menghasilkan serat rami mentah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 33

(china grass) yang dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan

mesin (Gambar 1b dan 1c). Proses ini harus dilakukan secepat mungkin

yaitu paling lambat 2x24 jam dari waktu panen.

Gambar 1. Tanaman rami di lahan hutan lindung serta pengolahannya

menjadi serat

Desa Barusuda Kecamatan Cigedug, Desa Barusari Kecamatan

Pasirwangi, Desa Margamulya Kecamatan Cikajang, dan Desa Sukahurip

Kecamatan Pangatikan menjadi daerah pengembangan rami di Kabupaten

Garut karena wilayah ini memiliki kemiringan lahan yang cukup curam

sehingga sebagian besar wilayahnya harus difungsikan sebagai hutan.

Adanya kebutuhan ekonomi penduduk, banyak areal lahan hutan yang

sudah dialihfungsikan untuk pengusahaan tanaman sayur, sehingga untuk

mengembalikan fungsi lindung dilakukan penanaman rami yang

melibatkan petani di desa tersebut. Pembiayaan pengusahaan tanaman rami

dibantu oleh pemerintah propinsi melalui program Gerakan Nasional

Rehabilitasi Lahan Kritis (GNRLK). Masalah yang dihadapi selama ini

adalah tidak adanya perencanaan masa panen sehingga pada waktu tertentu

hasil panen melimpah melebihi kapasitas produksi pabrik pengolah hasil

tanaman rami, padahal hasil panen tanaman rami harus segera diolah

setelah panen agar menghasilkan serat yang dapat digunakan sebagai bahan

baku tekstil. Jika terjadi keterlambatan dalam pengolahan hasil panen,

maka batang rami tidak bisa diolah menjadi serat karena batang menjadi

kering dan sulit diambil seratnya, sehingga hasil panen seringkali terbuang

sia-sia. Di sisi lain karena tidak adanya kontinuitas bahan baku

menyebabkan pengolahan hasil panen tanaman rami tidak berjalan dengan

lancar sehingga biaya produksi untuk melakukan pengolahan tanaman rami

a b c

34| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

menjadi tidak efisien. Data hasil panen yang terdapat di lokasi penelitian

tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Hasil panen rami per hektar di lokasi penelitian

No. Kecamatan Luas Lahan Hasil panen per hektar

1. Pasirwangi 25 ha 3 ton

2. Cigedug 20 ha 2 ton

3. Cikajang 10 ha 5 ton

4. Pangatikan 5 ha 6 ton

Total 60 ha 16 ton

Tabel 2. Hasil panen rami per hari dalam satu bulan di lokasi penelitian

Tanggal Kecamatan

Total Pasirwangi Cigedug Cikajang Sukahurip

1 3 0 0 0 3

2 3 0 0 0 3

3 3 0 0 0 3

4 3 0 0 0 3

5 3 2 0 0 5

6 3 2 0 0 5

7 3 2 0 0 5

8 3 2 0 0 5

9 3 2 0 0 5

10 3 2 0 0 5

11 3 2 0 0 5

12 3 2 0 0 5

13 3 2 0 0 5

14 3 2 0 0 5

15 3 2 0 0 5

16 3 2 0 0 5

17 3 2 0 0 5

18 3 2 0 0 5

19 3 2 0 6 11

20 3 2 0 6 11

21 3 2 5 6 16

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 35

Tanggal Kecamatan

Total Pasirwangi Cigedug Cikajang Sukahurip

22 3 2 5 6 16

23 3 2 5 6 16

24 3 2 5 0 10

25 3 0 5 0 8

26 0 0 5 0 5

27 0 0 5 0 5

28 0 0 5 0 5

29 0 0 5 0 5

30 0 0 5 0 5

Jumlah 75 40 50 30 195

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada waktu tertentu hasil panen melebihi

kapasitas pengolahan batang rami yaitu 3 ton per hari atau 6 ton per dua

hari, padahal batang tanaman rami tidak bisa diolah melebihi 2 hari setelah

panen, karena batangnya yang kering tidak bisa diambil seratnya. Kondisi

ini menyebabkan banyak batang yang terbuang sehingga tidak

menghasilkan pendapatan yang maksimal bagi petani. Hasil panen tanaman

rami dijual petani dalam bentuk batang dengan harga Rp 300.000,00/ ton.

Realisasi hasil panen yang terserap oleh pabrik adalah 148 ton, padahal

hasil panen petani adalah 195 ton, sehingga terdapat 47 ton hasil panen

yang tidak bisa diolah. Pendapatan yang diterima oleh petani sebanyak Rp

44.000.000,00 dan kerugian yang ditanggung petani sebanyak Rp

14.100.000,00. Kerugian tersebut sangat berarti bagi petani karena petani

sudah mengeluarkan biaya panen, biaya babat, dan biaya angkut rata-rata

sebanyak Rp 225.000,00/ton. Kerugian ini harus diminimalisir dengan

melakukan perencanaan panen. Asumsi yang digunakan dalam kajian ini

tidak memperhitungkan biaya penanaman karena semua ditanggung oleh

pemerintah dalam rangka rehabilitasi lahan. Alokasi biaya penanaman

paling banyak digunakan untuk penanaman kayu sebagai tanaman pokok,

sedangkan tanaman rami dianggap sebagai tanaman tumpang sari. Tidak

terjadi kendala tenaga kerja, karena semua petani yang selama ini

36| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

mengelola hutan lindung dengan tanaman sayur bisa dilibatkan dalam

penanaman dan pemanenan tanaman rami.

B. Optimalisasi Hasil Panen Tanaman Rami

Hasil perhitungan menggunakan solver terhadap luas areal panen

yang optimal untuk menghasilkan hasil panen tanaman rami sesuai

kapasitas pengolah rami yaitu rata-rata luas panen per dua hari seluas 2 ha

atau 1 ha per hari. Supply hasil panen dilakukan secara konstan per hari

sebanyak 3 ton atau per dua hari sebanyak 6 ton.

Adanya pengaturan masa panen selama dua bulan, maka hasil

panen yang diperoleh akan sesuai dengan kapasitas mesin pengolah batang

rami. Dengan cara ini petani akan bekerja melakukan panen secara

kontinyu dan di sisi lain pabrik pengolah batang rami juga berjalan

kontinyu sehingga semua unsur pengolahan rami bisa berjalan efisien.

Hasil panen maksimum yang bisa diolah oleh pabrik sebanyak 180 ton per

dua bulan, sehingga petani bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp

54.000.000,00 dan kerugian Rp 0,00. Untuk melakukan panen yang

memaksimalkan kapasitas mesin pengolah, terdapat areal tanaman rami

yang tidak dipanen seluas 3 ha dengan perkiraan panen 15 ton. Jika hal ini

cukup signifikan untuk menambah pendapatan petani dan pengusaha, bisa

diambil solusi penambahan unit mesin pengolah batang rami serta

perluasan areal penanaman. Solusi tersebut untuk mengatasi kebutuhan

bahan baku tekstil yang sebenarnya di pasar dalam dan luar negeri lebih

dari 180 ton per dua bulan atau lebih dari 1080 ton setahun karena batang

rami tersebut jika diolah menjadi tekstil hanya menghasilkan sekitar 10%

batang saja.

C. Analisis Post Optimalitas Hasil Panen Tanaman Rami

Untuk melakukan analisis post optimalitas hasil panen tanaman

rami pada empat lokasi penelitian dengan menyesuaikan kapasitas

pengolah tanaman rami, dilakukan dengan cara merubah hasil panen setiap

lokasi yang diperkirakan sama yaitu sebanyak 5 ton per hektar dengan

kondisi panen ideal. Hasil pengolahan menggunakan program solver

diperoleh hasil bahwa produksi panen yang bisa diolah menyesuaikan

kapasitas mesin tetap sama sebanyak 180 ton dan pendapatan Rp

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 37

54.000.000,00. Perbedaan terdapat pada luas areal yang harus dipanen yaitu

seluas 52 ha per dua bulan atau rata-rata per hari 0,87 ha. Kondisi ini

menyebabkan adanya areal tanaman rami yang tidak dipanen. Dengan

kondisi ini pengelola bisa memilih tiga alternatif dengan memperhitungkan

kendala biaya dan tenaga kerja yaitu:

i. Luas areal 8 ha yang tidak dipanen bisa digunakan sebagai lokasi

sumber benih. Tanaman rami bisa menjadi sumber benih jika dibiarkan

tanpa pemangkasan selama 2 tahun.

ii. Luas areal 8 ha tetap dipanen tetapi harus ada tambahan mesin

pengolah di pabrik, karena jika masa panen mundur dari jadwal

seharusnya dan pengolahan batang pasca panen juga mundur, akan

berpengaruh pada kualitas serat yang dihasilkan.

iii. Luas areal 8 ha tetap dipanen dengan tambahan mesin dekortikator

(pengolah batang rami) di tingkat petani. Kondisi ini memudahkan

petani untuk mengirimkan hasil olahan ke pabrik, tidak lagi dalam

bentuk batang tetapi dalam bentuk serat, sehingga lebih ringan dan

menghemat biaya transportasi. Hal yang harus diperhitungkan adalah

biaya pengadaan mesin dan ketersediaan tenaga kerja yang bisa

mengoperasikan mesin dekortikator di tingkat petani.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Tanaman rami dikembangkan di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat

terutama Kecamatan Pasirwangi, Cigedug, Cikajang, dan Pangatikan

untuk merehabilitasi hutan lindung melalui program GNRLK dengan

pola PHBM.

2. Kapasitas pabrik pengolah tanaman rami maksimal sebanyak 180 ton

per dua bulan masa panen yang lebih tinggi daripada periode sebelum

perencanaan sebanyak 148 ton. Areal yang bisa dipanen seluas 57 ha,

dengan peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 10.000.000,00

(23%) atau sebesar Rp 54.000.000,00 dari Rp 44.000.000,00 sebelum

perencanaan. Jika realisasi hasil panen untuk empat kecamatan sama

sebanyak 5 ton per hektar, sementara kapasitas mesin makimal sama

sebanyak 180 ton, maka terdapat sisa areal tidak dipanen seluas 8 ha

dan kelebihan prediksi hasil panen sebanyak 120 ton.

38| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

3. Pola optimalisasi hasil panen ini dapat direkomendasikan agar terjadi

sinkronisasi jadwal pemanenan tanaman rami dengan kapasitas

pengolah tanaman rami, sehingga pendapatan yang diperoleh petani

dapat maksimal. Selain itu diperlukan kajian lebih lanjut untuk

memanfaatkan sisa hasil panen dan sisa areal yang tidak dipanen serta

pelatihan dan penyuluhan tentang upaya diversifikasi produk olahan

rami.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Wahyu. 2007. Program Linier. Diktat Mata Kuliah Program

Linier. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM.

Yogyakarta.

Ginoga K, Mega Lugina, Deden Djaenudin dan Y.C. Wulan. 2005.

Kontrovesi Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung (Controversial

Policy of Protection Forest Management). Prosiding Seminar

Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembanguanan

Kehutanan. Bogor 13 September 2005. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.

Musaddad, Mien Aminah. 2007. Agribisnis Tanaman Rami. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Yulianto, H. D. dan I. N. Sutapa. 2005. Riset Operasi dengan Excel. CV Andi

Offset. Yogyakarta.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 39

UJICOBA REHABILITASI DENGAN TANAMAN PENGHASIL

BAHAN BAKAR NABATI

DI KPHL RINJANI BARAT DAN KPHL BALI TIMUR

Cecep Handoko

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK)

Jln. Dharma Bhakti No. 7, Ds. Langko, Lingsar, Lombok Barat-NTB

ABSTRAK

Pada kondisi kering dan kritis, pemberian mikoriza dan pupuk kandang

berpotensi meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman, termasuk tanaman

penghasil bahan bakar nabati (BBN). Untuk itu mengetahui hal tersebut,

kegiatan ujicoba telah dilakukan di KPHL Rinjani Barat dan KPHL Bali Timur

selama dua tahun (2012-2013). Jenis penghasil BBN yang diujicobakan, yaitu:

kemiri sunan, kepuh, kranji dan bintaro. Perlakuan berupa pemberian pupuk

kandang, mikoriza, kombinasi pupuk kandang dengan mikoriza, serta kontrol.

Ujicoba menggunakan rancangan split plot, digunakan 3 ulangan untuk

masing-masing perlakuan per jenis, sehingga total dibangun 96 petak ujicoba.

Adapun total bibit yang digunakan sebanyak 5.664 bibit, sedangkan lahan

ujicoba yang digunakan seluas 7,5 ha di masing-masing lokasi, atau total seluas

15 ha. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan perlakuan

pupuk kandang yang dikombinasikan dengan mikoriza terhadap riap tinggi dan

diameter tanaman kepuh dan bintaro di lokasi Batulayar (KPHL Rinjani Barat).

Di lokasi Nusapenida (KPHL Bali Timur), pemberian mikoriza serta

kombinasi pupuk kandang dengan mikoriza hanya berpengaruh signifikan

terhadap riap tinggi tanaman kemiri sunan. Sementara itu, persen tumbuh

tanaman di Batulayar sebesar 69-79% diketahui lebih tinggi dibandingkan di

Nusapenida yang hanya sebesar 29-41%. Selain karena faktor lingkungan yang

ekstrim dan gangguan satwa liar, kerusakan tanaman juga terjadi karena faktor

gangguan manusia.

Kata kunci: bahan bakar nabati, hutan lindung, mikoriza, pupuk kandang

I. PENDAHULUAN

Rehabilitasi hutan sering membutuhkan biaya mahal, namun

keberhasilannya masih rendah. Terlihat pada periode tahun 1997-2006, laju

rehabilitasi hutan dan lahan sebesar 700.000 ha/tahun tidak mampu

mengimbangi laju kerusakan hutan nasional sebesar 1,08 juta ha/tahun

(Departemen Kehutanan, 2006). Banyak faktor menjadi penyebab

40| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kerusakan hutan. Rehabilitasi hutan yang berhasil memerlukan pengenalan

terhadap faktor penyebab, dilakukan berkelanjutan, efektif dalam

pembiayaan dan terintegrasi secara ekonomi, ekologi maupun sosial.

Pelibatan aktif masyarakat lokal merupakan kunci utama keberhasilan

mengatasi penyebab degradasi/kerusakan hutan (Nawir, Murniati dan

Rumboko, 2007).

Hutan lindung merupakan kawasan hutan untuk perlindungan

daerah bawahannya. Hutan lindung bukan hanya mempunyai fungsi

lingkungan tetapi juga mempunyai fungsi ekonomi dan sosial sehingga di

dalam hutan lindung dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan,

pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu

(Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007). Di lain pihak, kerusakan hutan

lindung tidak hanya berdampak buruk pada terganggunya kestabilan tata air

dan kesuburan tanah jangka panjang tetapi juga secara langsung akan

menimbulkan kerugian ekonomi dan terancamnya keselamatan masyarakat

di sekitarnya dengan adanya bencana banjir dan/atau longsor. Dalam kaitan

tersebut, upaya rehabilitasi hutan lindung diantaranya perlu dilakukan

bukan hanya mengedepankan aspek pelestarian tetapi perlu pula ditunjang

oleh pemilihan jenis yang bernilai ekonomi, sesuai dengan kondisi

lingkungan setempat dan menggunakan teknologi yang mudah untuk

diaplikasikan oleh masyarakat sekitar hutan.

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan produk hasil hutan

yang banyak diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan, mampu

meningkatkan pendapatannya dan memberikan tambahan devisa bagi

negara. HHBK juga merupakan produk hasil hutan dari hutan lindung yang

boleh dipungut oleh masyarakat melalui mekanisme perijinan tertentu.

Untuk tujuan rehabilitasi hutan khususnya di hutan lindung, penanaman

jenis-jenis penghasil HHBK diharapkan selain mampu meningkatkan

produktivitas lahan juga mampu meningkatkan pendapatan dan partisipasi

aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pada lahan-lahan hutan yang

kritis, upaya rehabilitasi menggunakan jenis HHBK perlu pula didukung

oleh upaya peningkatan kesuburan dan pertumbuhan tanaman,

diantaranhya melalui penggunaan pupuk kandang dan mikoriza.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 41

Pupuk kandang dapat berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman.

Selain itu, Pupuk kandang mampu berperan dalam pembentukan agregat

yang mantap yang berpengaruh terhadap porositas, penyimpanan dan

penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah (Hartatik dan Widowati,

2006). Sejalan dengan hal tersebut, Rasoulzadeh dan Yaghoubi (2011)

menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan

porositas, konduktifitas hidrolik jenuh dan air tersedia pada tanah.

Sementara itu, mikoriza berfungsi meningkatkan kemampuan tanaman

dalam penyerapan hara tanah, serta melindungi akar dari suhu dan

kekeringan (Santoso et al., 2006), sedangkan kombinasi pupuk kandang

dan mikoriza berfungsi meningkatkan produksi tanaman (Lana, 2009).

Upaya peningkatan pertumbuhan tanaman dengan pemberian tambahan

nutrisi ini sangat diperlukan ketika lahan hutan terdegradasi (Soekotjo,

2009).

KPHL Bali Timur dan KPHL Rinjani Barat mempunyai kelengan

lahan sangat curam (45-75o) dan rentan erosi. Wilayah KPHL Bali Timur

khususnya di hutan lindung Nusapenida memiliki penutupan vegetasi

dengan dominasi alang-alang (Imperata cylindrica) dan gamal (Gliricida

sepium), sedangkan dalam jarak tidak teratur tumbuh Jukut (Eugenia

polyantha). Solum tanah tipis dengan batuan kapur di lapisan bawah.

Sementara itu, air irigasi tidak tersedia. Ketersediaan air tergantung air

hujan. Adapun lokasi KPHL Rinjani Barat khususnya di hutan lindung

Batulayar mempunyai penutupan vegetasi yang didominasi Mente

(Anacardium occidentale) dan Mangga (Mangifera indica) dengan jarak

tanam lebar (> 8 m) dan tidak teratur. Sementara itu, rumpun bambu

terdapat pada beberapa bagian lahan terutama di lembah dan sepanjang

aliran sungai. Solum tanah di lokasi ini tebal, berupa tanah Regosol yang

poros, sedangkan batuan vulkanik tersebar di sebagian besar lahan.

Ketersediaan air irigasi di lokasi ini sangat terbatas, berasal dari sungai

dengan jumlah tergantung hujan. Dengan kondisi tersebut, peningkatan

fungsi hutan lindung baik bagi perlindungan tata air dan peningkatan hasil

lahan diperlukan di kedua lokasi tersebut.

Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan pupuk

kandan dan mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman dari jenis penghasil

42| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

HHBK khususnya dari jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati (BBN)

dalam kegiatan rehabilitasi hutan lindung lahan kering. Adapun sasaran

penelitian adalah diperolehnya jenis tanaman dan perlakuan yang sesuai

untuk diterapkan dalam kegiatan rehabilitasi hutan lindung lahan kering

khususnya di KPHL Bali Timur dan KPHL Rinjani Barat.

II. METODE PENELITIAN

1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di kawasan hutan lindung Suana, Kecamatan

Nusapenida, Kabupaten Klungkung yang termasuk ke dalam wilayah

KPHL Bali Timur (Gambar 1) dan di kawasan hutan lindung Batulayar,

Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat yang termasuk ke dalam

wilayah KPHL Rinjani Barat (Gambar 2). Penelitian dilakukan selama dua

tahun (2012-2013).

Sumber: http://www.kph.dephut.go.id

Gambar 1. Lokasi penelitian di KPHL Bali Timur

Lokasi

Penelitian

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 43

Sumber: http://www.kph.dephut.go.id

Gambar 2. Lokasi Penelitian di KPHL Rinjani Barat

2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu: alat gali, ukur, timbang dan penakar

hujan manual. Adapun bahan penelitian berupa bibit tanaman HHBK

penghasil bahan bakar nabati (BBN) kemiri sunan (Aleurites trisperma

Blanco) family Euphorbiaceae, kepuh (Sterculia foetida L.) Family

Malvaceae, malapari/kranji (Pongamia pinnata (L.) Pierre) Family

Fabaceae dan bintaro (Cerbera manghas L.) Family Apocynaceae. Bahan

penelitian lainnya berupa mikoriza dari jenis CMA (Cendawan

Mikoriza Arbuskular) dan pupuk kandang (kotoran sapi).

3. Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan rancangan split plot. Perlakuan yang

diberikan untuk setiap jenis tanaman penghasil BBN, berupa: pupuk

kandang (P1), mikoriza (P2), pupuk kandang+mikoriza (P3), dan tanpa

perlakuan (P0). Masing-masing perlakuan diberikan tiga ulangan petak.

Dosis pupuk kandang 6 kg per lubang tanam per tahun. Pada awal tanam,

pupuk kandang diberikan 2 minggu sebelum penanaman (Purnomosidhi et

Lokasi

Penelitian

44| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

al., 2002). Sementara itu, dosis mikoriza 5 gr per polybag (Santoso et al.,

2006) diberikan pada saat penyapihan bibit.

Dalam penelitian ini, petak-petak penelitian berukuran 42 x 30 m

dengan jarak antar petak selebar 3 m. Pada masing-masing petak ditanam

35 pohon penghasil bahan bakar nabati. Total jumlah petak sebanyak = 4

jenis per lokasi x 4 perlakuan per jenis x 3 petak per perlakuan x 2 lokasi =

96 petak. Adapun jumlah total bibit tanaman penghasil BBN yang

digunakan dalam penelitian sebanyak = 96 petak x 35 tananaman per petak

= 3.360 bibit. Sementara itu, lahan yang diperlukan seluas 7,5 ha per

lokasi, atau total 15 ha untuk kedua lokasi penelitian. Rancangan petak

penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rancangan petak penelitian

4. Analisa Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif dan melalui uji statistik.

Analisa data melalui uji statistik dilakuan melalui Uji Anova. Adapun uji

lanjutan dilakukan dengan Uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 45

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 menyajikan riap tinggi dan diameter tanaman di lokasi

penelitian Nusapenida. Tampak pada tabel tersebut bahwa data untuk jenis

kepuh tidak tersedia, hal tersebut terjadi karena jenis ini gagal tumbuh di

lokasi penelitian akibat gangguan satwaliar (kera). Hampir seluruh tanaman

di lokasi tersebut tercabut dengan beberapa diantaranya hilang. Informasi

ini diperoleh langsung dari pengamatan di lapangan. Berdasarkan Tabel 1

diketahui bahwa riap tinggi kranji mempunyai nilai tertinggi, sedangkan

untuk riap diameter nilai tertinggi dimiliki jenis kemiri sunan.

Tabel 1. Riap tinggi dan diameter tanaman per semester (cm/semester) di

lokasi Nusapenida

Jenis

Riap (cm/semester) menurut Perlakuan

Kontrol Pupuk Mikoriza

Pupuk-

Mikoriza

T D T D T D T D

Kepuh - - - - - - - -

Kemiri Sunan 0.29 0.04 0.69 0.03 2.50 0.07 1.31 0.11

0.83 0.09 0.00 0.12 1.10 0.13 0.00 0.04

0.00 0.03 0.07 0.01 5.38 0.13 9.88 0.12

0.37 0.06 0.25 0.05 2.99 0.11 3.73 0.09

Bintaro 2.13 0.08 2.38 0.07 2.00 0.04 2.72 0.04

4.35 0.08 3.35 0.04 3.06 0.07 2.25 0.09

2.29 0.06 1.64 0.04 2.64 0.04 2.50 0.07

2.92 0.07 2.46 0.05 2.57 0.05 2.49 0.07

Kranji 7.60 0.07 7.50 0.03 2.30 0.04 2.50 0.04

3.00 0.04 2.50 0.02 5.89 0.03 3.89 0.09

14.83 0.21 6.00 0.02 15.00 0.15 5.00 0.07

8.48 0.11 5.33 0.03 7.73 0.07 3.80 0.07

Keterangan: T= tiggi, D= Diameter

46| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tabel 2 menyajikan riap tinggi dan diameter tanaman per semester

di lokasi penelitian Batulayar. Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata riap

tertinggi untuk parameter tinggi dimiliki oleh kranji sedangkan untuk riap

diameter dimiliki kemiri sunan. Seperti halnya data riap di lokasi

Nusapenida (Tabel 1), riap tinggi dan diameter masing-masing jenis

tanaman menurut perlakuannya di lokasi Batulayar juga mempunyai

fluktuasi nilai yang tinggi. Hal tersebut menyulitkan untuk melihat

langsung tren data yang diperoleh.

Tabel 2. Riap tinggi dan diameter tanaman per semester (cm/semester)

lokasi Batulayar

Jenis

Riap (cm/semester) menurut Perlakuan

Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk-Mikoriza

T D T D T D T D

Kepuh 1.9 0.02 0.5 0.10 1.7 0.08 7.6 0.20

2.4 0.20 2.6 0.18 0.8 0.12 1.6 0.17

1.9 0.21 5.1 0.24 2.5 0.30 5.9 0.38

2.0 0.1 2.7 0.2 1.6 0.2 5.0 0.2

Kemiri Sunan 2.81 0.43 1.32 0.38 2.50 0.31 7.29 0.25

1.50 0.28 9.75 0.45 0.56 0.38 1.83 0.20

1.27 0.42 9.04 0.35 10.23 0.34 4.40 0.48

1.9 0.4 6.7 0.4 4.4 0.3 4.5 0.3

Bintaro 8.5 0.25 10.4 0.31 10.5 0.33 9.6 0.39

11.7 0.34 9.0 0.27 8.2 0.18 12.4 0.24

4.6 0.39 11.7 0.48 8.5 0.36 4.8 0.21

8.3 0.3 10.4 0.4 9.1 0.3 8.9 0.3

Kranji 15.9 0.25 5.2 0.13 13.6 0.22 16.8 0.24

5.0 0.27 12.2 0.33 19.9 0.33 4.6 0.30

10.5 0.18 4.5 0.38 8.6 0.33 4.9 0.34

10.4 0.2 7.3 0.3 14.0 0.3 8.8 0.3

Keterangan: T= tiggi, D= Diameter

Sementara itu, hasil analisa data menggunakan uji Anova dan uji

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 47

lanjutan Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

perlakuan mikoriza yang dikombinasikan dengan pupuk kandang

memberikan pengaruh signifikan terhadap riap tinggi jenis kepuh, kemiri

sunan dan bintaro di lokasi Batulayar (Tabel 4). Perlakuan tersebut

memberikan pengaruh positif pula terhadap riap tinggi kemiri sunan di

lokasi Nusapenida (Tabel 5). Adapun kondisi tanaman di lokasi penelitian

Batulayar dan Nusapenida disajikan masing-masing pada Gambar 4 dan 5.

Tabel 3. Hasil Uji Anova pengaruh perlakuan terhadap riap tinggi dan

diameter tanaman tahun pertama di lokasi penelitian Batulayar dan

Nusapenida

Jenis

Pengaruh perlakuan menurut lokasi dan parameter

pertumbuhan tanaman tahun pertama

Pengamatan di Batulayar Pengamatan di Nusapenida

Tinggi Diameter Tinggi Diameter

Kepuh ** ** - -

Kemiri Sunan ** NS * NS

Bintaro ** * NS NS

Kranji * NS NS NS

Tabel 4. Hasil lanjutan Duncan pengaruh perlakuan terhadap riap tinggi

dan diameter tanaman tahun pertama di lokasi penelitian

Batulayar

Jenis Parameter

Pengelompokkan perlakuan di lokasi Batulayar

berdasarkan hasil uji Duncan pada taraf

kepercayaan 95%1,2

Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza

Kepuh Tinggi B B B A

Diameter B B B A

Kemiri

Sunan

Tinggi C A B B

Diameter AB A AB B

Bintaro Tinggi B B B A

Diameter AB A B B

Kranji Tinggi AB B A B

48| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Diameter A A A A 1 kelompok dengan simbol sama menunjukkan hasil uji yang tidak berbeda nyata 2 urutan huruf menunjukkan urutan rata-rata nilai tengah

Tabel 5. Hasil lanjutan Duncan pengaruh perlakuan terhadap riap tinggi

dan diameter tanaman tahun pertama di lokasi penelitian

Nusapenida

Jenis Parameter

Pengelompokkan perlakuan di lokasi Nusapenida

berdasarkan hasil uji Duncan pada taraf

kepercayaan 95%1,2

Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza

Kemiri

Sunan

Tinggi B B A A

Diameter AB B A AB

Bintaro Tinggi A A A A

Diameter A A A A

Kranji Tinggi A AB AB B

Diameter A B AB AB 1 kelompok dengan simbol sama menunjukkan hasil uji yang tidak berbeda nyata 2 urutan huruf menunjukkan urutan rata-rata nilai tengah

(a) (b)

b.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 49

(C ) (d)

Gambar 4. Kondisi tanaman di Batulayar (a. Kranji; b. Kemiri Sunan;

c. Kepuh; dan d. Bintaro).

(a) (b)

50| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

(C ) (d)

Gambar 5. Kondisi tanaman di Nusapenida (a. Kemiri sunan;

b. Kepuh yang masih tersisa di lapangan; c. Bintaro; dan d. Kranji).

Di lain pihak, cekaman kekeringan yang tinggi diduga telah

menyebabkan 40-60% tanaman di Nusapenida mati mengering. Sementara

itu, secara khusus diketahui bahwa kegagalan tumbuh kepuh di lokasi ini

tealah disebabkan oleh gangguan satwaliar pada tahap awal pertumbuhan

tanaman. Di Batulayar, meskipun cekaman lingkungan lebih rendah

daripada di Nusapenida, gangguan berupa pemangkasan batang terjadi pada

hampir 30% tanaman. Di tengah cekaman lingkungan dan gangguan

tersebut, persen tumbuh tanaman di Batulayar cukup tinggi (69-76%).

Sebaliknya, persen tumbuh tanaman sangat rendah hanya 29-41% di

Nusapenida (Tabel 6). Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa tanaman

bintaro mempunyai persen tumbuh tertinggi baik di lokasi Batulayar

maupun Nusapenida. Jenis tanaman ini cukup potensial untuk dijadikan

tanaman rehabilitasi lahan-lahan hutan kritis di wilayah KPHL Rinjani

Barat dan KPHL Bali Timur. Jenis tanaman ini diketahui mempunyai

kemampuan regenerasi yang tinggi di tengah cekaman lingkungan yang

diterimanya.

b.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 51

Tabel 6. Persen tumbuh tanaman tahun pertama di lokasi Batulayar dan

Nusapenida

Jenis Persen tumbuh (%)

Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza Rata-rata

Batulayar

Kepuh 73 78 78 71 75

Kemiri

Sunan 64 68 69 77 69

Bintaro 75 80 76 74 76

Kranji 78 78 64 79 75

Rata-rata 73 76 72 75 74

Nusapenida

Kepuh 0 0 0 0 0

Kemiri

Sunan 31 35 30 19 29

Bintaro 48 41 39 35 41

Kranji 30 30 27 37 31

Rata-rata 27 26 24 23 25

Pada aspek kesuburan lahan, diketahui beberapa perbedaan di kedua

lokasi penelitian. Perbedaan tersebut diantaranya adalah pH, kandungan N,

C, C/N, KTK, Ca dan Mg. Hasil analisa menunjukkan pH yang agak asam

(6,04) di Batulayar dan agak alkalis (7,45) di Nusapenida. Sementara itu,

kandungan N, C, C/N, KTK, Ca dan Mg di Batulayar berturut-turut 0,1%,

0,5%, 5,44, 7,05 cmol(+)/kg, 0,09% dan 0,2%. Nilai-nilai tersebut untuk di

Nusapenida masing-masing sebesar: 0,3%, 2,73%, 9,38, 30,24 cmol(+)/kg,

0,19% dan 0,39%. Dari nilai-nilai tersebut, diketahui bahwa sifat kimia

tanah di lokasi Nusapenida lebih baik dibandingkan Batulayar. Namun,

secara umum nilai-nilai tersebut masih pada kategori rendah menurut

panduan analisa tanah dari Bolsa Analytical tahun 2007. Sementara itu,

pemberian pupuk kandang belum memberikan peningkatan kesuburan

tanah di kedua lokasi penelitian.

Sementara itu, secara umum diketahui bahwa tekstur tanah di kedua

lokasi penelitian sama, yaitu pasir berlempung. Sementara itu, ketebalan

52| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

tanah dan kondisi batuan di Nusapenida menunjukkan kondisi yang lebih

ekstrim, di lokasi ini solum tanah dangkal (< 20 cm), sedangkan

bongkahan-bongkahan batu kapur ditemukan tersebar secara merata di

seluruh bagian lahan. Hal tersebut menyebabkan sempitnya ketersediaan

ruang bagi perakaran tanaman. Di Batulayar, kondisi solum tanah tebal (>

1 m), sedangkan bongkahan batuan vulkanik terakumulasi secara sempit di

beberapa bagian lahan. Kondisi khas di daerah ini adalah jenis tanahnya

yang berporositas tinggi, yaitu jenis tanah Regosol. Jenis tanah ini

mempunyai kemampuan meluluskan air yang tinggi (Hardjowigeno, 2007)

yang sangat mungkin menyebabkan rendahnya ketersediaan hara dan air

bagi akar.

Sementara itu, ketersediaan air untuk budidaya yang rendah

merupakan kendala besar dalam mendukung rehabilitasi lahan di wilayah

Nusapenida. Pada kondisi solum tanah yang tipis dan berbatu, ketersediaan

air pada tanah yang rendah menekan kemampuan tumbuh tanaman di

lapangan. Curah hujan kumulatif di Nusapenida periode Desember 2012

hingga Desember 2013 sebesar 995 mm, sedangkan di Batulayar sebesar

1.495 mm. Hasil uji statistik pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan

intensitas hujan harian di kedua lokasi penelitian secara signifikan berbeda.

Intensitas hujan di Nusapenida sebesar 19 mm/hari sedangkan di Batulayar

38 mm/hari (Gambar 6). Perbedaan tersebut diduga memberikan perbedaan

ketersediaan air yang berarti bagi tanaman yang mempengaruhi kondisi

pertumbuhannya. Hal tersebut memerlukan penanganan yang khusus.

Sementara itu, penggunaan mikoriza yang diharapkan mampu

meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman belum mampu meningkatkan

persen tumbuh tanaman di atas 70%. Untuk tujuan penanaman yang lebih

berhasil di Nusapenida, penyiraman tanaman dan konservasi air,

diantaranya pengoptimalan air pada musim hujan (Suripin, 2002) sangat

diperlukan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 53

Gambar 6. Curah hujan di Batulayar dan Nusapenida

periode Desember 2012-Desember 2013

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang telah dicapai selama tahun kedua

penelitian, beberapa hal dapat rekomendasikan, sebagai berikut:

1. Jenis tanaman bintaro (Cerbera manghas L.) berpotensi digunakan

sebagai tanaman rehabilitasi di wilayah KPHL Bali Timur maupun di

KPHL Rinjani Barat. Sementara itu, untuk wilayah KPHL Rinjani Barat

seluruh jenis tanaman yang diujicobakan dapat digunakan sebagai

tanaman rehabilitasi, hal tersebut dengan melihat kematian tanaman

karena faktor fisik lingkungan di wilayah ini tidak terjadi.

2. Pupuk kandang dan mikoriza perlu diberikan untuk meningkatkan

pertumbuhan kemiri sunan dan kranji dalam rehabilitasi hutan lindung

di Batulayar dan Nusapenida

3. Untuk wilayah Nusapenida, pemberian pupuk kandang dan mikoriza

perlu ditambah pemberian air irigasi, tindakan konservasi air, dan

penanganan gangguan satwaliar. Untuk meningkatkan keberhasilan

rehabilitasi di wilayah ini, pemilihan jenis dengan daya tahan yang

tinggi terhadap cekaman suhu tinggi dan kekeringan sangat diperlukan.

4. Untuk wilayah Batulayar, keberhasilan rehabilitasi perlu

mempertimbangkan penggunaan jenis-jenis tanaman yang disukai dan

memberikan manfaat ekonomi yang tinggi bagi masyarakat penggarap

54| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

atau masyarakat sekitar, selain penekanan terhadap percepatan

penanganan hutan lindung terdegradasi melalui penggunaan teknologi

rehabilitasi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian

Integratif 2010-2014. Jakarta.

Bolsa Analytical. 2007. Guidelines for Interpretation of Soil Analyses.

Publikasi online pada: http://bolsalab.com/images/ Soil_Guide.pdf

Departemen Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan. Departemen kehutanan.

Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Cetakan Keenam. Akademika

Pressindo. Jakarta.

Hartatik, W. dan Widowati L.R. 2006. Pupuk Kandang. Balai Besar

Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Lana, W. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza

terhadap Pertumbuhan dan Hasilo Tanaman Kacang Tanah

(Arachis hypogaea L.) di Lahan Kering. Majalah Ilmiah Untab: 6

(1).

Nawir, A.A., Murniati dan Rumboko L. 2007. Reorientation of the

rehabilitation programme in Indonesia: where to after more than

three decades? Center for International Forestry Research

(CIFOR). Bogor.

Purnomosidhi, P., Suparman, Roshetko J.M dan Mulawarwan. 2002.

Perbanyakan dan Budidaya Tanaman Buah-buahan dengan

Penekanan pada Durian, Mangga, Jeruk, Melinjo dan Sawo.

ICRAF dan Winrock International. Bogor.

Rasoulzadeh, A. dan Yaghoubi A. 2011. Study of Cattle manure Effect on

Soil Hydraulic Properties using Inverse Method. 2nd International

Converence on Environmental Science and Technology. IPCBEE:

6 (2011).

Santoso, E., Turjaman M., dan Irianto, R.S.B. 2006. Aplikasi Mikoriza

untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 55

Terdegradasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian:

Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20

September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Bogor.

Soekojo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit ANDI.

Yogyakarta.

56| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ADAPTASI DAN PREFERENSI PAKAN RUSA SAMBAR (Rusa

unicolor Brookei) PADA TAHAP AWAL DI PENANGKARAN KHDTK

SAMBOJA

Tri Atmoko

Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam,

Jalan Soekarno-Hatta Km. 38 samboja, Po. Box.578 Balikpapan, Kaltim

Telepon: 0542 7217663; E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Rusa sambar (Rusa unicolor) termasuk satwa liar dilindungi, namun

mempunyai nilai ekonomi sebagai sumber protein hewani yang potensial.

Pemanfaatan rusa sambar dapat dilakukan melalui mekanisme penangkaran

yaitu keturunan F-2 dan selanjutnya. Rusa sambar memiliki postur besar dan

liar dibandingkan rusa lainnya, sehingga perlu penanganan khusus di

penangkaran, terutama pada tahap awal introduksinya. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui tingkat adapatasi dan preferensi pakan rusa sambar pada

tahap awal introduksi di penangkaran. Penelitian dilaksanakan di penangkaran

rusa sambar KHDTK Samboja pada bulan Oktober 2013 s/d Februari 2014.

Obyek pengamatan adalah sepasang rusa sambar yang sebelumnya dipelihara

oleh masyarakat. Pengamatan perilaku menggunakan metode Focal animal

sampling, sedangkan preferensi dari 12 jenis pakan menggunakan metode

Manly’s alfa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola aktifitas mulai

menunjukkan stabilitas pada bulan ke tiga setelah introduksi. Terdapat trend

perubahan proporsi aktivitas makan, foraging/berjalan, dan memamah biak

pada awal introduksi, namun berdasarkan perhitungan statistik perubahannya

tidak signifikan. Analisis preferensi pakan menunjukkan jenis paling disukai

adalah daun-daunan yaitu Mallotus sp. (=0.128),Gmelina arborea (=0.124),

Ficus sp. (=0.118), Vitex pinnata (=0.114), Ficus variegate (=0.096), dan

Leucaena leucocephala (=0.087). Empat jenis rumput yaitu Brachiaria

humidicola, Penisetum purpureum, Setaria sphacelata, dan Paspalum

dilatatum berada di posisi terbawah dan termasuk jenis yang tidak disukai.

Pengamatan fisiologis berdasarkan nadi dan nafas menunjukkan nilai yang

tinggi pada awal introduksi dan menurun menuju stabilitas seiring waktu

adaptasi. Perlu dilakukan penyesuaian selama beberapa bulan untuk

membiasakan pakan baru dari jenis rumput.

Kata kunci: Rusa sambar, Rusa unicolor, adaptasi, perilaku, preferensi pakan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 57

I. PENDAHULUAN

Rusa sambar (Rusa unicolor brokei) adalah satu dari tujuh sub jenis

rusa sambar di dunia yang penyebarannya di Kalimantan (Leslie, 2010).

Rusa sambar termasuk jenis satwa yang dilindungi karena populasinya

terancam (Pemerintah RI, 1999; Timmins, Steinmetz, Baral, Kumar,

Duckworth, Islam, Giman, Hedges, Lynam, Fellowes, Chan dan Evans,

2008). Menurut Timmins et al., (2008). Ancaman akan keberadaannya

akibat kerusakan habitat maupun perburuan liar (Suzanna & Masy'ud,

1991; Atmoko, 2007).

Rusa sambar diburu secara liar karena permintaan pasar khususnya

di Kalimantan Timur cukup tinggi. Menurut Semiadi, Widarteti, Jamal dan

Brahmantiyo (2008) berdasarkan pengiriman hasil buruan rusa ke pasar

tradisional, menunjukkan bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu

kabupaten diburu minimal 60-120 ekor. Alasan utama kenapa daging rusa

sangat diminati oleh masyarakat adalah karena harga di pasar tradisional

murah yaitu berkisar antara 40-60 ribu rupiah. Selain itu terdapat beberapa

keunggulan daging rusa dibanding daging lainnya, yaitu kandungan

kolesterolnya rendah (Lawrie & Ledward, 2006).

Rusa sambar dengan postur tubuh yang paling besar diantara jenis

rusa lainnya berpotensi sebagai sumber pangan nabati alternatif. Oleh

karena itu kegiatan penangkaran menjadi salah satu upaya untuk

memanfaatkannya secara lestari. Penangkaran adalah upaya

pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap menjaga kemurnian

jenisnya (Pemerintah RI, 1999). Pemanfaatan rusa hasil penangkaran

secara ekonomis dapat dilakukan pada generasi kedua (F2) dan

keturunannya (Pemerintah RI, 1999).

Pemahaman perilaku adalah kunci dari suksesnya usaha peternakan

rusa khususnya dalam sistem pedok (Semiadi et al., 2008). Pembangunan

penangkaran rusa sambar yang baru perlu dilakukan persiapan dengan baik.

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah dalam penanganan

stres pada rusa sambar. Kondisi stress pada rusa sambar sering terjadi pada

saat penangkapan, pemindahan ke lokasi yang baru. Menurut Takandjandji

(2007) stress adalah sesuatu yang alami yang diciptakan oleh kondisi

perasaan yang tertekan baik secara fisik maupun psikologis yang bersifat

58| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dinamis. Oleh karena itu pemantauan tingkat adaptasi, perilaku, dan

optimalisasi penggunaan pakan pada awal introduksi di penangkaran

penting untuk dilakukan dalam upaya keberhasilan pengembangan

penangkaran rusa sambar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adapatasi dan

preferensi pakan rusa sambar pada tahap awal introduksi di penangkaran.

II. METODE

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan

Februari 2014 di Penangkaran rusa KHDTK Samboja.

B. Alat dan Bahan

Bahan penelitian yang dipergunakan adalah sepasang rusa sambar,

pakan rusa jenis daun (Mallotus sp., Gmelina arborea, Ficus sp., Vitex

pinnata, Ficus variegate, Leucaena leucocephala, Trema tomentosa, Piper

aduncum) dan rumput (Brachiaria humidicola, Penisetum purpureum,

Setaria sphacelata, Paspalum dilatatum. Alat yang digunakan adalah

timbangan (5 kg), kotak angkut, kamera, kamera trap, meteran kain, dan

stopwatch.

C. Metode Kerja

Teknis pengangkutan

Pengangkutan menggunakan kotak angkut terbuat dari kayu berukuran

160cm x 80 cm x 150 cm (Setio, 2009). Kotak sebagian besar tertutup

sedangkan sebagian atasnya terbuka untuk menjaga sirkulasi udara.

Pengangkutan dilakukan pada sore hari menjelang malam hari untuk

mengurangi kondisi panas dan stress. Pengangkutan dilakukan secara

hati-hati dengan menggunakan kendaraan terbuka.

Pengamatan perilaku

Pengamatan awal dilakukan untuk proses habituasi dan mengamati pola

aktivitas rusa secara umum dengan menggunakan metodead-libitum.

Selanjutnya pengamatan perilaku dilakukan pada siang hari (06.00-

18.00) dan malam hari diamati menggunakan kamera otomatis.

Aktivitas yang dicatat adalah aktivitas harian meliputi makan,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 59

memamah biak, tidur/istirahat, berjalan/foraging dan kegiatan lain.

Pengamatan dilakukan menggunakan teknik direct counting (secara

visual). Pengamatan pada malam hari dilakukan menggunakan kamera

otomatis agar tidak ada gangguan dari luar terutama cahaya lampu

untuk pengamatan.

- Perilaku dan aktivitas rusa sertelah introduksi diamati secara langsung

selama12 jam siang hari dan 12 jam pada malam hari menggunakan

kamera otomatis. Pengamatan dilakukan tiga hari setiap bulan selama

tiga bulan pertama introduksi.

Penyediaan pakan

Pakan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan rusa (Setio, 2009).

Pemberian jenis pakan dilakukan secara bergiliran. Penempatan jenis

pakan dilakukan rolling setiap hari agar preferensi pakan tidak

berdasarkan tempat pakan. Pada setiap akhir pemberian pakan, sisa

pakan ditimbang untuk mengetahui bobot pakan yang dikonsumsi rusa.

Air minum disediakan secara tidak terbatas (ad-libitum).

Pengamatan fisiologis

Pengamatan fisiologis dilakukan dengan mengukur nafas dan nadi

setiap seminggu sekali.

D. Analisis Data

Preferensi waktu aktivitas rusa dianalisis menggunakan uji Chi-

square (χ2), dengan formula (Siegel, 1990):

dimana:

Oi = banyak kasus diamati dalam kategori ke-i Ei = banyak yang diharapkan dalam kategori ke-i di bawah Ho

= penjumlahan semua kategori (k)

Hipotesis null (Ho) yang akan diuji adalah tidak ada preferensi

aktivitas harian rusa pada jam-jam tertentu. Kaidah keputusannya adalah

menolak Ho jika nilai χ2 hitung lebih besar daripada χ

2 tabel pada p = 0.01.

60| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Preferensi pakan dianalisis menggunakan indek preferensi Manly’s

Alpha (Krebs, 1978) dengan formula:

Dimana:

Αi = Manly’s alpha jenis pakan i

ri, rj = Proporsi pakan i atau j yang dikonsumsi

ni, nj = Proporsi pakan i atau j yang disediakan

m = Jumlah tipe pakan

Keterangan:

αi >

, maka jenis pakan i disukai oleh rusa

αi <

, maka jenis pakan i tidak disukai rusa

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proporsi Aktivitas

Proporsi aktivitas rusa sambar selama tiga bulan pertama setelah

introduksi secara umum menunjukkan trend perubahan. Aktivitas makan

dan memamah biak meningkat selama tiga bulan pertama setelah

introduksi, sedangkan aktivitas foraging/berjalan dan istirahat cenderung

menurun (Gambar 1).

Gambar 1. Proporsi aktivitas rusa sambar pada tiga bulan pertama

introduksi

Meskipun menunjukkan trend perubahan proporsi aktivitas pada tiga

bulan pertaman, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan pada foraging dan berjalan (x2 =

3,92; p<0.01; db = 2; N = 795), makan (x2 = 0.19; p<0.01; db = 2; N =

0 10 20 30 40 50

Per

sen

tase

(%

)

Aktivitas

Bulan ke-1

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 61

2574), memamah biak (x2 = 0.92; p<0.01; db = 2; N = 291), istirahat (x

2 =

2.15; p<0.01; db = 2; N = 1428) dan aktivitas lainnya (x2 = 0.94; p<0.01;

db = 2; N = 930).

Aktivitas makan dan memamah biak yang meningkat menunjukkan

bahwa rusa sambar sudah mulai beradaptasi dengan baik sehingga

menggunakan pakan yang ada secara optimal. Aktivitas foraging/berjalan

yang menurun selama tiga bulan pertama menunjukkan dua kemungkinan.

Pertama karena pada bulan pertama rusa masih asing dengan lokasi yang

baru sehingga rusa melakukan orientasi di areal kandang. Kedua pada

bulan pertama kondisi kandang masih terdapat tumbuhan liar dan semak

sehingga rusa banyak melakukan foraging di dalam kandang. Bulan kedua

dan ketiga kondisi tumbuhan dan semak di dalam kandang semakin

berkurang sehingga rusa sedikit melakukan foraging dan mengoptimalkan

pakan yang diberikan dari luar.

B. Aktivitas Harian

Aktivitas harian istirahat rusa di penangkaran pada tiga bulan

pertama setelah introduksi menunjukan kecenderungan meningkat pada

siang hari sekitar pukul 9:00 sampai dengan jam 14:00 sedangkan

sebaliknya terjadi pada aktivitas foraging, dan aktivitas lainnya. Secara

umum aktivitas makan adalah paling tinggi dibandingkan dengan aktivitas

lainnya. Terjadi fluktuasi yang cukup tinggi pada aktivitas makan pada

bulan pertama, sedangkan pada bulan kedua fluktuasinya semakin

berkurang demikian juga pada bulan ketiga. Bahkan berdasarkan

perhitungan statistik pada bulan ketiga tidak menunjukkan adanya

preferensi waktu untuk aktivitas makan. Fluktuasi aktivitas rusa pada

waktu siang hari seperti pada Gambar 2, 3 dan 4.

62| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar

2. Pola aktivitas harian rusa sambar di penangkaran

pada bulan pertama

Bulan pertama terdapat preferensi waktu aktivitas foraging (x2 =

83.68; p<0.01; db = 11; N = 323), makan (x2 = 33.85; p<0.01; db = 11; N =

374), istirahat (x2 = 107.34; p<0.01; db = 11; N = 1091), dan aktivitas

lainnya (x2 = 34.22; p<0.01; db = 11; N = 56).

Gambar 3. Fluktuasi aktivitas harian rusa sambar di penangkaran

pada bulan Kedua

Bulan ke dua terdapat preferensi waktu aktivitas foraging (x2 =

139.53; p<0.01; db = 11; N = 314), makan (x2 = 33.91; p<0.01; db = 11; N

= 1420), istirahat (x2 = 170.14; p<0.01; db = 11; N = 263), dan aktivitas

lainnya (x2 = 79.08; p<0.01; db = 11; N = 119).

0

20

40

60

80

100

Pe

rse

nta

se (

%)

Waktu Aktivitas

Foranging

Makan

Istirahat

Lain-lain

0

20

40

60

80

100

Pe

rse

nta

se (

%)

Waktu Aktivitas

Foranging

Makan

Istirahat

Lain-lain

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 63

Bulan Ketiga terdapat preferensi waktu aktivitas foraging (x2 =

108.02; p<0.01; db = 11; N = 158), istirahat (x2 = 81.88; p<0.01; db = 11;

N = 293), dan aktivitas lainnya (x2 = 56.72; p<0.01; db = 11; N = 116).

Namun pada bulan ketiga tidak ada preferensi waktu untuk aktivitas

makannya (x2 = 10.78; p<0.01; db = 11; N = 1501).

Gambar 4. Fluktuasi aktivitas harian rusa sambar di penangkaran

pada bulan Ketiga

Berdasarkan pengamatan menggunakan kamera trap pada malam

hari, menunjukkan bahwa rusa sambar juga beraktivitas pada malam hari.

Hal tersebut menunjukkan bahwa satwa ini adalah satwa nokturnal.

Menjelang petang aktivitasnya mulai meningkat dan mencapai puncak pada

sekitar pukul 12:00 dan selanjutnya menurun sampai menjelang pagi hari.

Rekapitulasi hanya dilakukan pada saat rusa tertangkap kamera karena

pergerakannya, sedangkan pada saat tidak tertangkap kamera diasumsikan

rusa sedang diam atau istirahat. Tingkat keaktivan rusa pada malam hari

tersaji pada Gambar 5.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

Pe

rse

nta

se (

%)

Waktu Aktivitas

Foranging

Makan

Istirahat

Lain-lain

64| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 5. Tingkat keaktifan rusa sambar pada malam hari di penangkaran

Menurut Semiadi, Muir, Barry, Veltman, dan Hodgson (1993) rusa

sambar di penangkaran dengan sistem enggembalaan aktif makan pada

malam hari (pukul 01.00–05.00), sore dan senja hari (pukul 17.00–21.00).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa alasan rusa sambar banyak beraktivitas

makan pada malam hari diperkirakan karena telah berevolusi terkait

mengurangi stress karena suhu di lingkungan tropis dan strategi pertahanan

dari ancaman pemangsa.

C. Pakan

Jenis pakan yang diberikan pada saat rusa masih dipelihara oleh

masyarakat adalah jenis dedaunan seperti kangkung, daun nangka, daun

lamtoro, daun nyawai, Homalantus sp., dan daun ubi jalar. Berdasarkan

informasi pemilik dan pengamatan yang dilakukan terlihat pakan daun

kangkung sangat disukai oleh rusa. Seringkali rusa diberi pakan makanan

yang sering dimakan oleh pemiliknya seperti nasi, pisang atau roti.Setelah

dilakukan introduksi ke penangkaran jenis pakan yang diberikan adalah

jenis dedaunan dan rumput. Jenis dan preferensi pakan yang diberikan

seperti pada Tabel Tabel 1.

Tabel 1. Preferensi pakan rusa sambar di Penangkaran KHDTK Samboja

No Jenis Komulatif pakan (g) Propor

si (pi) Log e (pi)

Nilai

Alfa Ket.

Awal (ni) Akhir (ei)

1 Mallotus sp 63,459 9,045 0.143 -1.953 0.128 disukai

2 Gmelina

arborea

5,600 850 0.152 -1.890 0.124 disukai

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 65

No Jenis Komulatif pakan (g) Propor

si (pi) Log e (pi)

Nilai

Alfa Ket.

Awal (ni) Akhir (ei)

3 Ficus sp. 80,750 13,500 0.167 -1.793 0.118 disukai

4 Vitex pinnata 16,050 2,850 0.178 -1.733 0.114 disukai

5 Ficus

variegate

33,129 7,767 0.234 -1.454 0.096 disukai

6 Leucaena

leucocephala

80,286 21,316 0.266 -1.329 0.087 disukai

7 Trema

tomentosa

69,650 22,500 0.323 -1.133 0.074 tidak disukai

8 Piper

aduncum

92,571 33,226 0.359 -1.027 0.068 tidak disukai

9 Brachiaria

humidicola

62,350 23,450 0.376 -0.980 0.064 tidak disukai

10 Penisetum

purpureum

32,500 16,050 0.494 -0.707 0.046 tidak disukai

11 Setaria

sphacelata

28,150 14,450 0.513 -0.668 0.044 tidak disukai

12 Paspalum

dilatatum

20,200 8,450 0.582 -0.543 0.036 tidak disukai

Jumlah 584,695 173,454 -15.210

Keterangan : 1/m = 0.083

Berdasarkan perhitungan indek preferensi Manly’s Alpha

menunjukkan bahwa 6 jenis pakan yang disukai oleh rusa adalah Mallotus

sp., Gmelina arborea, Ficus sp., Vitex pinnata (laban), Ficus variegata

(nyawai), dan Leucaena leucocephala (lamtoro). Semua jenis tersebut

adalah jenis daun-daunan.Empat jenis rumput yang diberikan memiliki

nilai preferensi empat terendah. Rusa sambar dari sub spesies brookei yang

hidup di Kalimantan, habitatnya adalah di hutan yang tajuknya

tertutup.Kondisi tersebut menyebabkan pakan yang tersedia adalah

dedaunan pohon-pohon kecil dan semak belukar. Hal ini berbeda dengan

rusa timor yang hidup di Pulau Jawa seperti di TN. Baluran dan TN. Alas

Purwo yang secara ekologi adalah grazes. Data ini menunjukkan bahwa

rusa sambar sesuai dengan kondisi alaminya yang hidup di hutan tertutup di

Kalimantan pada dasarnya adalah satwa browses.

Hasil penelitian Afzalani, Muthalib dan Musnandar (2008) di

penangkaran rusa sambar Taman Wisata Angsana Pematang Gajah Jambi

66| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

menunjukkan bahwa rusa sambar lebih memilih pakan daun dari jenis

Asystasia spp, dan rumput Hymenachne amplexicaulis, Axonopus

compresus dan Cynodon dactylon.

Konsumsi delapan jenis pakan berupa dedaunan cenderung

mengalami penurunan. Di sisi lain, meskipun keempat jenis rumput yang

diberikan adalah jenis yang tidak disukai, namun konsumsi rumput jenis

Paspalum dilatatum dan Setaria sphacelata mengalami peningkatan secara

polynomial. Grafik perubahan porsi jenis pakan yang dikonsumsi oleh rusa

sambar setelah dilakukan introduksi seperti tersaji pada Gambar 6.

y = -0.2544x2 + 3.4794x + 75.973

R² = 0.725 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pa

kan

di k

on

sum

si (

%)

Waktu (minggu)

Mallotus sp

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pa

kan

di k

on

sum

si (

%)

Waktu (minggu)

Gmelina arborea

y = -0.2287x2 + 2.9426x + 75.179

R² = 0.1168 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pa

kan

di k

on

sum

si

(%)

Waktu (minggu)

Ficus sp.

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pa

kan

di k

on

sum

si

(%)

Waktu (minggu)

Vitex pinnata

y = -0.4321x2 + 3.4431x + 73.043

R² = 0.7671

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pa

kan

di k

on

sum

si (

%)

Waktu (minggu)

Ficus variegata

y = -0.1144x2 - 0.778x + 81.43

R² = 0.682 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pa

kan

di k

on

sum

si (

%)

Waktu (minggu)

Leucaena leucocephala

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 67

Gambar 6. Grafik perubahan porsi jenis pakan yang dikonsumsi oleh rusa

sambar setelah dilakukan introduksi

Pengelolaan penangkaran yang baik adalah menerapkan kondisi

satwa sesuai atau mendekati kondisi alaminya, demikian juga dalam hal

penyediaan pakan. Pakan adalah hal terpenting dan paling menentukan

dalam keberhasilan kegiatan penangkaran. Penangkaran dengan system

intensif dimana pakan sepenuhnya disediakan dari luar, maka ketersediaan

pakan sepanjang waktu harus diperhatikan. Sebagai satwa browses,

peyediaan pakan rusa sambar di penangkaran dalam bentuk dedaunan

menemui beberapa kendala. Beberapa kendalanya adalah ketersediaannya

terbatas, akses untuk mendapatkannya lebih sulit karena harus masuk

hutan, produktifitas daun umumnya rendah dan relative lama untuk

dibudidayakan.

y = -0.6985x2 + 7.1551x + 51.335

R² = 0.1644 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pak

an

di k

on

sum

si (%

)

Waktu (minggu)

Trema tomentosa

y = 1.3718x2 - 17.168x + 106.31

R² = 0.6135 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10

Pa

kan

di k

on

sum

si

(%)

Waktu (minggu)

Piper aduncum

y = 0.1181x2 - 1.8329x + 68.636

R² = 0.0159 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pak

an d

i ko

nsu

msi

(%

)

Waktu (minggu)

Brachiaria humidicola

y = 0.1114x2 + 0.9547x + 40.155

R² = 0.6161 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pak

an d

i ko

nsu

msi

(%

)

Waktu (minggu)

Paspalum dilatatum

y = 0.5225x2 - 2.3611x + 38.233

R² = 0.751

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pak

an d

i ko

nsu

msi

(%

)

Waktu (minggu)

Setaria sphacelata

y = -2.4544x2 + 30.578x - 26.879

R² = 0.5588 0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10 Pak

an d

i ko

nsu

msi

(%

)

Waktu (minggu)

Penisetum purpureum

68| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penggunaan pakan dari jenis rumput lebih mudah disediakan

sepanjang waktu daripada dedaunan, selain itu rumput dapat dikembangkan

dengan mudah, mudah ditanam dan produktivitasnya lebih tinggi.

Ketersediaan pakan secara terus menerus dan cukup perlu dilakukan

pembiasaan pada rusa sambar yang baru ditangkap dari alam atau

dipelihara masyarakat untuk mengkonsumsi baik jenis dedaunan maupun

rumput.

Penangkaran rusa umumnya menggunakan sumber pakan utama

jenis rumput sedangkan dedaunan digunakan sebagai pakan sisipan. Namun

kondisi inidisesuaikan dengan ketersediaannya di sekitar lokasi

penangkaran, jenis pakan apa yang mudah diperoleh dan tersedia sepanjang

waktu.

D. Kondisi Fisiologi

Pengamatan terhadap kondisi fisiologis rusa menunjukkan terdapat

perubahan perhitungan terhadap nafas dan nadinya seperti tersaji pada

Gambar 7.

Gambar 7. Pemantauan kondisi fisiologis rusa setelah introduksi

Perhitungan jumlah nafas cederung mengalami peningkatan secara

exponensial, sedangkan jumlah nadi/menit mengalami penurunan pada

beberapa minggu pertama dan mengalami peningkatan pada minggu

berikutnya. Hal ini dimungkinkan tingkat stress pada rusa setelah di

lakukan introduksi mulai menurun dan selanjutnya mulai naik kembali

untuk menuju stabil, namun demikian pemantauan lebih lanjut masih perlu

dilakukan.

y = 0.4656x2 - 7.1985x + 104.2 R² = 0.4055

y = 36.245e0.0234x R² = 0.2358

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII

Naf

as/N

adi (

kali/

me

nit

)

Pengamatan (Minggu ke-)

Series2

Series1

Nadi (Poly.)

Nafas (Expon.)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 69

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasildan pembahasan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Terdapat trend perubahan proporsi aktivitas rusa sambar pada tiga bulan

pertama setelah introduksi, namun secara statistik perubahannya tidak

signifikan.

2. Terdapat preferensi waktu terdapat aktivitas selama tiga bulan pertama

setelah introduksi, kecuali pada aktivitas makan pada bulan ketiga.

3. Rusa sambar lebih menyukai jenis pakan dari dedaunan dibanding jenis

rumput selama tiga bulan pertama setelah introduksi. Namun konsumsi

dedaunan cenderung menurun, sedangkan konsumsi dua jenis rumput

(Paspalum dilatatum dan Setaria sphacelata) mengalami peningkatan.

4. Kondisi fisiologis rusa sambar sejak dilakukan introduksi mengalami

perubahan, sebagai salah satu upaya untuk beradaptasi untuk

menurunkan tingkat stress.

5. Terdapat keterbatasan dalam pengamatan pada malam hari, sehingga

data aktivitas malam hari tidak diamati secara langsung dan hanya

berdasarkan hasil rekaman kamera trap.

B. Saran

Perlu terus dilakukan penyesuaian pakan jenis rumput dengan

menambah porsi pemberiannya dibandingkan jenis dedaunan, karena

ketersediaannya di sekitar penangkaran mudah diperoleh dan

dibudidayakan.

Ucapan terima kasih

Terima kasih kepada Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut., M.Si. selaku

kepala Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, kepada

Sugiyanto, Teguh, dan Iman Suharja teknisi yang telah membantu dalam

pengumpulan data penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

70| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Afzalani, R. A. Muthalib, dan E. Musnandar. 2008. Preferensi Pakan,

Tingkah Laku Makan dan Kebutuhan Nutrien Rusa Sambar

(Cervus unicolor) dalam Usaha Penangkarandi Provinsi Jambi.

Media Peternakan 13(2):114-121.

Atmoko, T. 2007.Prospek dan Kendala Pengembangan Penangkaran Rusa

Sambar (Cervus unicolor brookei). Prosiding Seminar

Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan

Lestari, Balikpapan 31 Januari 2007. (Eds) K. Sidiyasa, M. Omon,

D. Setiabudi. Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa Primata.

Krebs, C.J. 1978. Ecological Methodology. Harper & Row Publishers. New

York.

Lawrie, R.A. and D.A. Ledward. 2006. Lawrie’s meat science. Seventh

edition. Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.

Leslie, D. M. 2010. Rusa unicolor (Artiodactyla: Cervidae). Mammalian

Species 43(871):1–30

[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan

PemerintahRepublik Indonesia Nomor 7 tanggal 27 Januari 1999

tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Semiadi, G., Widarteti, Y. Jamal dan B. Brahmantiyo. 2008. Pemanfaatan

Rusa Sebagai Hewan Ternak. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner

Semiadi, G., P. D. Muir, T. N. Barry, C. J. Veltman, J. Hodgson.

1993.Grazing patterns of sambar deer (Cervus unicolor) and red

deer (Cervus elaphus) in captivity. New Zealand Journal of

Agricultural Research 36(2):253-260.

Setio, P. 2009. Teknik Penangkaran Rusa. Prosiding Gelar Teknologi

Hasil-Hasil Penelitian.IPTEK untuk Kesejahteraan Masyarakat

Belitung.Tanjung Pandan 11-12 Agustus 2009. (eds) S.A. Siran,

Kuntadi, Pratiwi, M. Turjaman.Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Pp. 113-142.

Siegel S. 1990.Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Suyuti Z,

Simatupang L, penerjemah. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Terjemahan dari: Nonparametric Statistics for The Behavioral

Sciences.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 71

Suzanna, E. & B. Masy'ud. 1991. Percobaan Pendahuluan Imobilisasi pada

Rusa Sambar (Cerus unicoior) dengan Menggunakan Ketalar

Kadaluwarsa di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Media

Konservasi 3 (2):72-76.

Takandjandji, M. 2007. Stres pada rusa timor (Cervus timorensis

timorensis Blainville) di penangkaran Oilsonbai, Nusa Tenggara

Timur. Info HutanIV(2): 123-129.

Timmins, R.J., R. Steinmetz, H. S. Baral, N.S. Kumar, J.W. Duckworth,

Md. A. Islam, B. Giman, S. Hedges, A.J. Lynam, J. Fellowes,

B.P.L. Chan & T. Evans. 2008. Rusa unicolor. In: IUCN 2012.

IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2.

<www.iucnredlist.org>. Downloaded on 25 January 2013.

72| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

EVALUASI POHON SERBAGUNA

HASIL REHABILITASI KAWASAN KONSERVASI

TAMAN NASIONAL MERUBETIRI, JAWA TIMUR

Sumarhani2)

dan Titiek Setyawati 2)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor.Telp. (0251) 8315222

Email: [email protected]

ABSTRAK

Masyarakat desa sekitar Taman Nasional Meru Betiri sejak lama

memanfaatkan kawasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi hutan

TNMB yang tak bervegetasi akhir-akhir ini, tidak lepas dari kondisi sosial

ekonomi dan budaya masyarakat yang berada isekitarnya. Rehabilitasi hutan

yang telah dilakukan oleh pemerintah di zona rehabilitasi dengan jenis pohon

penghasil bukan kayu masyarakat mempunyai harapan terhadap hasil panen

tanaman pokok bukan kayu berupa buah, bunga, daun dan lainnya tanpa harus

menebang pohon. Tujuan penelitian untuk mengetahui perkembangan berbagai

jenis pohon hasil rehabilitasi di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri.

Penelitian di lakukan di blok Desa Andongrejo dan Curahnongko, Seksi

Konservasi Wilayah II Ambulu, Kabupaten Jember. Pengamatan vegetasi

pohon sistem jalur dilakukan dengan membuat 10 petak contoh masing-

masing berukuran1 0 m x 10 m..Semua pohon berdiameter setinggi dada (≥ 10

cm) yang berada di dalam petak cuplikan di ukur, di catat dan diidentifikasi

terhadap tanaman yang belum mengenal jenisnya. Data sosial ekonomi

masyarakat di tentukan secara purposive terhadap masyarakat yang melakukan

rehabilitasi di zona rehabilitasi TNMB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

jenis pohon yang dikembangkan di zona rehabilitasi mempunyai rata-rata

kerapatan pohon 700 pohon/ha dengan diameter batang 27,78cm. Jenis-jenis

pohon tersebut adalah asam, durian, jambu biji, jengkol, kedawung, kemiri,

kepuh, pangi, mahoni, manga, nangka, nyamplung, petei, sriwikutil, putet.

Tanaman kedawung (Parkia roxburghii) memiliki indeksnilai penting yang

tertinggi (102,62 %), kemudian kepuh (Streculia foetida) INP = 40,57 % dan

nangka (Artocarpus heterophyllus) INP = 44,11%. Pendapatan masyarakat

dari zona rehabilitasi TNMB sebesar sebesar Rp 23.034.444.,-/th/haatau Rp

1.919.537,-/bl/ha.

Kata Kunci: Rehabilitasi, pohon serbaguna, pendapatan masyarakat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 73

I. PENDAHULUAN

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) adalah salah satu Taman

Nasional yang berada di wilayah ujung Jawa Timur bagian Selatan. Taman

Nasional ini memiliki berbagai fungsi strategis dalam melindungi sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya

hayati dan ekosistemnya. Keberadaan hutan di kawasan Taman Nasional

tersebut sangat besar sekali manfaatnya bagi masyarakat yang tinggal di

sekitarnya. Masyarakat sekitar TNMB telah sejak lama memanfaatkan

sumberdaya alam hayati dan kawasan/lahan untuk memenuhi kebutuhan

hidup.Bahkan pemanfaatan hasil hutan dan perambahan lahan terjadi secara

besar besaran hingga melebihi daya dukung kawasan.Sebagai akibatnya,

sebagian wilayah TNMB (ex hutan jati) rusak berat berubah fungsi menjadi

lahan pertanian.

Upaya rehabilitasi TNMB di zona rehabilitasi melalui kegiatan

penanaman, pengayaan dan pemeliharaan dengan spesies tumbuhan asli

setempat telah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dan

difasilitasi awalnya oleh Institut Pertanian Bogor, kemudian dilanjutkan

oleh LSM KAIL. Pola penanaman yang dilakukan menerapkan sistem

agroforestry yaitu kombinasi pohon hutan dengan pohon penghasil buah.

Raintree dalam Hairiah K., Sardjono M.A dan Sarnurdin S.,(2003),

menyebutkan terdapat dua keuntungan dalam sistem agroforestry yaitu

membantu pendapatan masyarakat dan menciptakan iklim mikro.

Tingkat keberhasilan rehabilitasi kawasan konservasi TNMB di

zona rehabilitasi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya kesejahteraan

masyarakat di sekitar kawasan dan pemahaman serta kesadaran masyarakat

terhadap kegiaa rehabilitasi (Purwaningsih, 2006). Hal ini dikarena jika

kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan membaikdan diikuti

pemahaman masyarakat akan pentingnya kawasan konservasi, maka

diharapkan tekanan masyarakat terhadap kawasan berkurang. Kegiatan

rehabilitasi TNMB sudah berjalan kurang lebih selama 13 tahun, namun

belum ada evaluasi hasil rehabilitasi dan peningkatan pendapatan

masyarakat

74| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tulisan ini bertujuan memberikan informasi hasil rehabiitasi

TNMB di zona rehabilitasiyang telah dilakukan sekitar 13 tahun lalu dan

pendapatan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi.

II. METODOLOGI

A. Waktu dan lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014, di kawasan

hutan Taman Nasional Meru Betiri yaitu pada zona rehabilitasi, Resort

Andongrejo, Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu, Jember. Selain di

kawasan hutan, penelitian juga dilakukan di desa yang berbatasan langsung

dengan TNMB yaitu Desa Curahnongko dan Andongrejo, Kecamatan

Tempungrejo, Kabupaten Jember.

B. Metode Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data pimer dan

sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dilapangan

(observasi) terhadap vegetasi hasil rehabilitasi. Di buat petak contoh 10 m

x 10 m sebanyak 10 ulangan mengikuti transek. Semua vegetasi tingkat

pohon yang berada dalam petak contoh dicacah dan diidentifikasi. Data

primer yang lain yaitu wawancara, dilakukan secara semi tersruktur dengan

menggunakan kuisioner. Penentuan responden secara purposive random

sampling yaitu secara acak terhadap masyarakat yang terlibat dalam

kegiatan rehabilitasi. Jumlah responden tiap desa sebanyak 15 responden,

sehingga keseluruhan terdapat 30 responden.

C. Analisis Data

Data vegetasi hasil rehabilitasi ditabulasi dan analisis.Untuk

menentukan spesies-spesies penting dalam komunitas dari seluruh tegakan

di petak cuplikan, maka digunakan indeks nilai penting (INP) (Mueller-

Dombois & Ellenberg, 1974). INP adalah jumlah antara kerapatan relatif

(KR), dominansi relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR); formulanya adalah

INP = KR+ DR + FR.Untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu

kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 75

ada gangguan terhadap komponen-komponennya, maka dihitung Indeks

keragaman (H’) menurut Shannon dengan rumus : (Misra, 1980).

H = - Ʃ {(n.i/N) log (n.i/N)}

Keterangan:

H = indeks Shannon = Indeks keanekaragaman Shannon; n.i = nilai

penting; N = total nilai penting

Data hasil wawancara ditabulasi dan dianalisis secara diskrptif kuanitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan TNMB secara administratif terletak di dua Kabupaten

yaitu Jember dan Banyuwangi. Kawasan hutan Meru Betiri mulanya

berstatus sebagai hutan lindung, kemudian berubah Suaka Margasatwa

karena untuk melindungi harimau jawa dan beberapa jenis penyu dan

burung. Perkembangan berikutnya Suaka Margasatwa yang luasnya 58.000

ha ditunjuk sebagai Taman Nasional Meru Betiri. Hal ini agar kawasan

menjadi terbuka bagi kegiatan penelitian, pendidikan, pelatihan, penunjang

budaya, wisata lingkungan dan rekreasi. Kini kawasan hutan Meru Betiri

tidak lagi hanya bermanfaat sebagai perlindungan dan pengawetan flora

dan fauna melainkan juga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan

masyarakat. TNMB dikenal sebagai hutan tropis dataran rendah, memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi, diantaranya berbagai jenis tumbuhan

yang bermanfaatsebagai obat. TNMB ini juga merupakan habitat tumbuhan

langkabunga rafles (Rafflesia zollingeriana), habitat terakhir jenis satwa

harimau jawa (Pantheratigris sondaica), serta beberapa jenis burung dan

penyu.Potensi TNMB lainnya yang tidak kalah penting dan menarik untuk

dikunjungi adalah obyek wisata alam.

Taman Nasional tidak dapat lepas dari keberadaan desa-desa di

sekitar kawasan termasuk masyarakatnya baik yang ada di dalam kawasan

maupun yang disekitar kawasan. Hubungan T.N Meru Betiri dengan

masyarakat sama halnya dengan kondisi TN lain yang ada di Indonesia,

76| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

memberikan kontribusi negatif terhadap keberadaan keanekaragaman

hayati di Taman Nasional. Kerusakan flora dan fauna yang melanda TN

Meru Betiri ini, tidak lepas dari kondisi daya dukung lingkungan, sosial

ekonomi dan budaya masyarakat yang berada disekitarnya telah mengalami

degradasi. Secara geografis terdapat 12 (dua belas) desa yang berada

disekitar TN Meru Betiri, yaitu : 8 (delapan) desa dari 2 (dua) kecamatan

terletak di Kabupaten Jember dan 4 (empat) desa dari 2 (dua) kecamatan

terletak di Kabupaten Banyuwangi

Masyarakat di desa-desa sekitar TNMB sebagian besar petani baik

sebagai pemilik lahan, penggarap maupun buruh tani. Hampir semua

masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan kawasan TNMB

terlibat dalam kegiatan rehabilitasi yaitu di zona pemanfaatan. Dengan

diperbolehkannya masyarakat mengelola lahan di zona pemanfaatan

melalui rehabilitasi dengan jenis pohon asli setempat penghasil buah

menciptakan masyarakat peduli akan keamanan kawasan. Mac. Kinon

(1990), mengemukakan bahwa keberhasilan pengelolaan kawasan

tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada

kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya.

B. Jenis Tanaman Hasil Rehabilitasi

Rehabilitasi kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri telah

dilakukan sejak tahun 2003 diawali dengan kegiatan identifikasi kawasan

yang rusak, identifikasi kondisi soial ekonomi masyarakat sekitar kawasan,

sosialisasi rehabilitasi, pembentukan kelompok tani dan penanaman

berbagai jenis pohon asli setempat. Sebagai kawasan konservasi,

pengelolaan Taman Nasional Maru Betiri tidak diperkenankan adanya

kegiatan yang dapat merubah bentang alam. Rehabilitasi kawasan TNMB

yang dilakukan petani mereka banyak pohon penghasil buah, sedangkan

pohon hutan kurang diminati petani. Hasil analisis vegetasi

memperlihatkan bahwa rata-rata kerapatan pohon di zona rehabilitasi

wilayah Desa Andongrejo sebesar 810 pohon/ha dengan diameter batang

25,88 cm. Kerapatan pohon hasil rehabilitasi di wilayah Desa Curahnongko

sebesar 700 pohon/ha dengan diameter batang 27,78 cm. Untuk mengetahui

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 77

secara rinci hasil analisis vegetasi di kedua blok rehabilitasi wilayah Desa

Andongrejo dan Curahnongko dapat di lihat pada Tabel 1.

Jenis pohon yang banyak di tanam di zona rehabilitasi TNMB oleh

masyarakat penggarap adalah pohon penghasil buah, sedangkan pohon

hutan tidak banyak ditemukan kecuali mahoni merupakan sisa-sisa hutan

produksi yang pernah dikelola oleh Perum Perhutani sebelum perluasan

kawasan konservasi TN Meru Betiri. Berbagai jenis pohon yang tumbuh di

zona rehabilitasi (Tabel 1), tanaman kedawung (Parkia roxburghii)

merupakan jenis yang paling dominan baik di wilayah Desa Andongsari

maupun Curahnongko dengan indeks nilai penting (INP) hampir sama yaitu

102 %, Vegetasi yang dominan setelah kedawung di desa Andongsari

adalah mahoni (Swietenia macrophylla) dengan INP 40,73 % dan kepuh

(Streculia foetida) dengan INP 40,57 %. Sedangkan vegetasi yang dominan

di wilayah Desa Curahnongko adalah mangga (Mangifera indica ) dengan

INP 35,68 % dan asam (Tamarindus indica) dengan INP 31,54 %. Pohon

kedawung merupakan jenis pohon serbaguna yang banyak manfaatnya dan

mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Tabel 1. Data vegetasi hasil rehabilitasi di wilayah desa Andongrejo dan

desa Curahnongko

Nama

lokal

Nama

ilmiah Famili

Desa Andongrejo Desa Curahnongko

DR

(%)

KR

(%)

FR

(%)

INP

(%)

DR

(%)

KR

(%)

FR

(%)

INP

(%)

Asam Tama

rindus

indica

Legu

minosae

4.25 6.59 7.89 18.74 9.15 9.23 13.16 31.54

Jabon Antho

cepha lus

cadamba

Rubia

ceae

2.63 1.10 2.63 6.36 - - - -

Jambu biji

Psidium guajava

Myrta ceae

- - - - 4.90 4.62 2.63 12.14

Keda

wung

Parkia

roxbur ghii

Faba

ceae

45.31 36.26 21.05 102.62 55.42 26.15 21.05 102.63

Kemiri Aleurites

moluc cana

Euphor

biaceae

3.85 3.30 7.89 15.04 5.09 3.08 5.26 13.43

Kepuh Streculia

foetida

Stercu

liaceae

6.33 13.19 21.05 40.57 2.87 9.23 10.53 22.63

Kluwek Pangium Stercu 1.69 1.10 2.63 5.42 - - - -

78| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Nama

lokal

Nama

ilmiah Famili

Desa Andongrejo Desa Curahnongko

DR

(%)

KR

(%)

FR

(%)

INP

(%)

DR

(%)

KR

(%)

FR

(%)

INP

(%)

edule liaceae

Mahoni Swiete nia macro

phylla

Melia ceae

18.55 14.29 7.89 40.73 - - - -

Mangga Mangifera indica

Anacar diaceae

0.29 1.10 2.63 4.02 6.05 13.85 15.79 35.68

Nangka Artocar

pus

integra

Mora

eae

1.07 3.30 5.26 9.63 11.39 16.92 15.79 44.11

Nyam

plung

Calop

hyllum

inophy llum

Clusia

ceae

8.07 12.09 10.53 30.68 - - - -

Pete Parkia

speciosa

Mimo

saceae

0.53 2.20 2.63 5.36 5.13 16.92 15.79 37.84

Putat Planc honia

vanida

Leciti daceae

6.86 4.40 5.26 16.52 - - - -

Sriwil

kutil

Ptero cym

sp

Stercu

liaceae

0.57 1.10 2.63 4.30 - - - -

Beberapa manfaat kedawung, buah muda untuk disayur, bijinya

untuk bahan ramuan obat sakit perut,jantung, diare, kolera radang usus dan

demam. Heriyanto, dkk. (2005), melaporkan penyebaran kedawung pada

berbagai ketinggian tempat hamper merata. Hasil persemaian biji

kedawung memberikan persen hidup yang cukup tinggi di atas 90 %.Dari

keterangan di atas memperlihatkan bahwa kedawung memang mempunyai

regenerasi yang cukup baik, maka wajar jika kedawung merupakan

vegetasi pohon yang dominan di lokasi penelitian.

C. Keanekaragamanjenis

Keanekaragaman merupakan kombinasi dari jumlah jenis

penyusun suatu komunitas atau kekayaan jenis (richness) dan jumlah

individu pada masing-masing jenis atau kemerataan (evenness).

Selanjutnya Suheriyanto (2008), memperkuat dengan menyatakan bahwa

indeks keanekaragaman jenis tergantung dari kekayaan jenis dan

kemerataan jenis. Hasil rehabilitasi di zona rehabilitasi TNMB wilayah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 79

Desa Andongrejo dan Curahnongko memiliki indeks keanekaragaman kecil

atau rendah yaitu kurang dari 1. Nilai keragaman memiliki batasan 1 ≤ H

≤ 3 yang menurut Fachrul (2007), keanekaragaman identik dengan

kestabilan suatu ekosistem, jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi,

maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Sebaliknya jika indeks

keanekaragaman rendah seperti di ke dua lokasi penelitian rendah yaitu < 1

maka kondisi ekosistem tidak stabil.

Hasil analisis keanekaragaman vegetasi wilayah Desa Andongrejo

dan Curahnongko dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel2. Keanekaragaman jenis hasil rehabilitasi di zona rehabilitasiTNMB

Blok Desa 1 2 3 4 6 7 8 9 10

Andongrejo 0.413 0.678 0.452 0.579 0.415 0.579 0.574 0.736 0.415

Curahnongko 0.164 0.688 0.423 0.649 0.206 0.507 0.673 0.553 0.649

Hasil analisis keragaman memperlihatkan bahwa angka keragaman di

kedua desa lokasi penelitian tersebut belum mencerminkan kestabilan

suatu ekosistem, karena masih di bawah angka 1.Keanekaragaman juga

dipergunakan untuk mengetahuipengaruh faktor lingkungan abiotik

terhadap komunitas. (Fachrul, 2007). Faktor iklim, seperti curah hujan

sangat merpengaruhi pertumbuhan tanaman. Iklim di TN MeruBetiri

tergolong kering (type iklim C) karena itu jika musim panas terlalu panjang

sehingga banyak tanaman yang mati karena kekeringan. Disamping itu

banyak masyarakat keluar masuk kawasan mencari kayu bakar, pakan

ternak dan buah hasil rehabilitasi dapat mengganggu tanaman yang sudah

jadi. Kestabilan ekosisem TNMB selain dipengaruhi oleh faktor abiotik

seperti tersebut di atas, faktor biotik juga tidak kalah penting untuk

menjaga kelestarian fungi kawasan konservasi TNMB.

Latar belakang pendidikan masyarakat sekitar kawasan yang masih

tergolong rendah, dan tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan juga

masih tinggi, maka hal ini untuk menjaga kestabilan ekosistem kawasan

diperlukan pembinaan dan sosialisasi kepada masyarakat akan arti penting

kawasan konservasi. Selain itu harus juga dilakukan kegiatan secara nyata

kepada masyarakat untul menciptakan lapangan kerja baru seperti

80| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pembuatan jamu tradisional, bertani, beternak di luar taman nasional,

sehingga sedikit demi sedikit ketergantungan terhadap kawasan berkurang.

D. Manfaat Hasil Rehabilitasi Bagi Masyarakat

Kegiatan rehabilitasi hutan diharapkan dapat memberikan

kotribusi bagi kesejahteraan masyarakat melalui pola tanaman campuran

pohon penghasil buah, bunga dengan jenis asli setempat. Petani menggarap

lahan di areal rehabilitasi dengan menanam dan memelihara tanaman

pokok dengan system tumpangsari. Selanjutnya hasil dari tanaman pokok

(buah) dan tanaman tumpangsari dimanfaatkan seluruhnya oleh petani.

Rata-rata pendapatan masyarakat peserta rehabilitasi dari hasil panen

tanaman dalam kawasan berupa petei, manga, durian, padi, jagung, kacang

tanah, kacang hijau dan pisang adalah sebesar Rp 23.034.444.,-/th/haatau

Rp 1.919.537,-/bl/ha. Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional

(UMR) untuk Kabupaten Jember sebesar Rp 1.270.000,-/ bulan. Rata-rata

pendapatan masyarakat dari hasil usahatani dalam kawasan cukup baik

yaitu di atas UMR Kabupaten Jember.

Hasil tumpangsari tanaman pangan dibawah tegakan pohon hutan

berupa padi dan sayuran umumnya dimanfaatkan sendiri untuk keperluan

rumah tangga petani. Tanaman sela yang mempunyai nilai ekonomi tinggi

dan banyak diusahakan petani adalah tanaman peje (Pueraria javanica),

selain bijinya yang mempunyai harga jual tinggi (Rp 50.000,-/kg), daun

dari tanaman peje baik sekali untuk pakan ternak. Pueraria javanica

merupakan tanaman leguminoceae yang mampu menghasilkan bahan

organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau (Gambar 1).

Gambar 1.Tanaman peje (Pueraria

javanica)

Gambar 2. Zona rehabilitasi TNMeru

Betiri

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 81

Penanaman peje di lahan-lahan yang terdegradasi sangat cocok

karena tanaman ini menghasilkan bintil akar yang dapat mengikat nitrogen

bebas, selanjutnya dapat menyuburkan tanah dan cocok untuk rehabilitasi

TNMB (Gambar 2).

Pendapatan petani selain dari usahatani dalam kawasan TNMB

juga di peroleh dari hasil ternak (sapi, kambing). Hampir seluruh

masyarakat yang tinggal disekitar kawasan memiliki ternak sapi 1 – 2

ekor/KK. Nilai jual sapi rata-rata umur 2 thn dapat mencapai Rp

15.000.000,-- Rp 17.500.000,- per ekor.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan dan Keterbatasan

Kondisi vegetasi hasil rehabilitasi di zona rehabilitasi Taman

Nasional Meru Betiri yaitu di wilayah Desa Andongrejo terdapat kerapatan

pohon sebesar 800 pohon/ha dan di Desa Curahnongko kerapatan pohon

700 pohon /ha. Keramagaman vegetasi di kedua wilayah desa tergolong

rendah (≤ 1) atau keragaman vegetasi di Desa Andongrejo 0.5187 dan

keragaman vegetasi di desa Curahnongko 0.4777. Rata-rata pendapatan

masyarakat dari dalam kawasan TNMB sebesar Rp 23,034,444.44/thn/ha.

Dapat disimpulkan bahwa kerapatan vegetasi hasil rehabilitasi di TNMB

pada Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko menunjukkan populasi yang

optimal, meskipun pada tingkat keanekaragaman masih relatif rendah.

B. Saran

Untuk meningkatkan kestabilan ekosistem kawasan TNMB upaya

rehabilitasi melalui pengayaan berbagai jenis pohon perlu ditingkatkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada GEF Melalui Proyek

Penelitian “Removing Barrier to Invasive Species Management in

Production and Protection Forest in South East Asia – Indonesia Program

(FORIS INDONESIA)” yang telah mendanai kegiatan penelitian ini

bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan

Rehabilitasi.

82| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

DAFTAR PUSTAKA

Fachrul, N.F. 2007.Metode Sampling Bioekogi. Bumi Aksara Jakarta

Hairiah K., Sardjono M.A, Sarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestry.

Bahan Ajar I. Bogor. World Agrforestry Centre (ICRAF)

Heriyanto, N.M. dan Zuraidah.2005. Kajian Beberapa Aspek Ekologi

Pohon Kedawung (Parkia roxburghii) Di Taman Nasional meru

Betiri, Jawa Timur.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi alam.

Vol II. No 2: 157-166

Mac Kinon, G. Child; dan Thorsell, J.1990. Pengelolaan Kawasan Yang

Dilindungi di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press.

Misra, K.C. 1980. Manual of Plant Ecology.Second Edition. Oxford & IBH

Publishing Co., New Delhi.

Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of

Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York, London.

Purwaningsih. 2006. Sudi Manfaat Kegiatan Rehailitasi Dalam

Peningkatan Pendapatan Masyarakat Dan Reduksi Gangguan

Terhadap Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (Skrpsi). Institut

Pertanian Bogor.

Sahri Maida sinaga. 2013. Manfaat Agroforestry Bagi Masyarakat di Zona

Rehabiliasi Taman Nasional Meru Betiri. (Skripsi). Instiut Pertanian Bogor.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 83

TEKNIK PRODUKSI BIBIT DAN PENANAMAN

ROTAN (Calamus sp.) DI KALIMANTAN SELATAN

Sudin Panjaitan

Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan

Email : [email protected], [email protected]

HP. 082155665656

ABSTRAK

Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia dimana sebesar 85 % rotan

ekspor dunia berasal dari Indonesia. Pengembangan industri rotan saat ini

cenderung menurun sebab sebesar 90 % bahan baku industri berasal dari rotan

alam. Dengan menurunnya produktifitas rotan alam tersebut, maka perlu

dikuasai teknik silvikultur rotan mulai dari seleksi biji/benih, produksi bibit,

teknik penanaman dan pemeliharaan. Tulisan ini membahas teknik produksi

bibit dan teknik penanaman dilapangan dan pemeliharaan, sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman rotan. Tujuannya adalah agar penanaman

dilakukan pada tapak yang tepat dengan menggunakan metode rumpang

(“gaps”).

Kata kunci : Teknik, produksi, penanaman, rotan, Kalimantan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rotan dalam dunia perdagangan umumnya disebut ”Rattan” yaitu

merupakan tumbuhan khas daerah tropika. Rotan merupakan salah satu

jenis komoditi hasil hutan non kayu terpenting yang memiliki potensi

cukup tinggi dan menduduki posisi strategis dalam dunia perdagangan di

Indonesia baik sebagai sumber devisa maupun maupun untuk kesejahteraan

masyarakat di sekitar hutan. Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen

rotan terutama di dunia (Manokaran, 1984) dimana diperkirakan sekitar 85

% kebutuhan rotan dunia berasal dari Indonesia. Produk rotan Indonesia di

pasaran Internasional sampai saat ini tidak memiliki pesaing yang sangat

berarti, dengan demikian permintaan rotan dunia terus meningkat setiap

tahunnya (Januminro, 2000).

Wirjodarmodjo, Mulyadi dan Butar-Butar (1986) dalam Hoyhtya,

Panjaitan dan Rusmana (1997) mengatakan bahwa luas rotan alam

84| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Indonesia kurang lebih 13.20 juta hektar yang tersebar di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan propinsi lainnya. Rotan yang dipungut sampai

saat ini kebanyakan berasal dari hutan alam dan hanya sebagian kecil yang

berasal dari rotan tanaman rakyat. Sudah tentu bila hal ini dibiarkan terus

menerus tanpa adanya usaha budidaya penanaman, maka dikhawatirkan

pasokan bahan baku industri di dalam negeri maupun ekspor akan

mengalami kendala. Data menunjukkan bahwa produksi rotan di Indonesia

mengalami penurunan yang cukup drastis dari tahun ke tahun. Misalnya

saja tahun 1986/1987 produksi rotan mencapai 90.000 ton dan tahun

1998/1999 produksi rotan hanya mencapai 17.000 ton (Kantor Wilayah

Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Di Kalimantan Selatan,

produksi rotan manau pada tahun 1998 mencapai 18.000 batang dan tahun

1999 turun menjadi 2.446 batang (Dinas Kehutanan Propinsi Dati I

Kalimantan Selatan, 1999).

Jenis-jenis rotan yang di panen pada umumnya terdiri dari dua

golongan (Alrasyid, 1980) yakni :

1. Rotan berdiameter besar (diameter > 2,5 cm) diantaranya jenis manau,

semambu, tohiti yang terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

2. Rotan berdiameter kecil (diameter < 2,5 cm antara lain rotan sega, irit

dan cacing yang terdapat diseluruh Indonesia.

Jenis rotan yang termasuk jenis niagawi relatif sedikit diantaranya :

rotan sega (Calamus caesius), rotan irit (Calamus trachycoleus), rotan

manau (Calamus manan), dan rotan semambu (Calamus scipionum). Jenis-

jenis tersebut direkomendasikan untuk ditanam dan dikembangkan

(Alrasyid, 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa jenis rotan yang tumbuh di

Kalimantan tidak kurang dari 22 jenis yaitu marga Calamus 13 jenis,

Daemonorops 3 jenis, Korthalsia 5 jenis dan Pletocomiopsis 1 jenis. Dari

jumlah tersebut yang banyak dibudidayakan adalah rotan sega/taman dan

rotan irit.

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah

mengembangkan budidaya rotan secara berkesinambungan/lestari dengan

bantuan dana dari ITTO, namun dengan semakin meningkatkan kebutuhan

akan rotan baik dalam negeri maupun ekspor, maka perlu segera dilakukan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 85

budidaya secara luas, sehingga kebutuhan bahan baku industri rotan dunia

dapat dipenuhi.

Pengembangan tanaman rotan jenis niagawi di Indonesia khususnya

di Kalimantan perlu didukung oleh pengetahuan dan penguasaan silvikultur

rotan yang dimulai dari teknik pengunduhan benih/buah, penyemaian,

teknik persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman hingga teknik

pemanenan/produksi. Status pengetahuan dan silvikultur rotan di

Kalimantan Selatan dibahas dalam tulisan ini dengan harapan dapat

diaplikasikan dalam peningkatan luas tanaman rotan khususnya yang

tergolong niagawi, sehingga produksi rotan meningkat.

B. Tujuan

Tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai bahan acuan dalam

rangka pengembangan budidaya rotan, sehingga lestari jenisnya dan lestari

produksinya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri

baik ekspor maupun dalam negeri serta meningkatkan kesejahteraan

masyarakat terutama masyarakat di sekitar hutan.

II. SIFAT BOTANIS DAN DAERAH PENYEBARAN ROTAN

Rotan yang terdapat di seluruh dunia terdiri dari 13 genera dengan

600 jenis. Sekitar 8 genera dan 350 jenis terdapat di Indonersia (Silitonga,

Prahasto, Priasukmana, 1993). Dari jumlah tersebut sekitar 150 jenis telah

diidentifikasi dengan baik (Dransfield dan Manokaran, 1993). Lebih jauh

lagi, Indonesia telah menguasai sekitar 80 % rotan asalan dan 90 % rotan

setengah jadi pasar internasional (Silitonga, 1986 ; Silitonga, et.al., 1993).

Rotan di dalam dunia perdagangan disebut ”rattan”, termasuk famili

Palmae dan sebagian lagi termasuk famili Thypaceae, yaitu jenis

Freycinetia javaneinsis Bl. Genera yang termasuk famili Palmae

diantaranya yaitu : Calamus, Daemonorops, Korthalsia, Ceratolobus,

Myrialepis, Plectocomia dan Plectocomiopsis.

Djajapertjunda dan Abidin (1973) mengatakan bahwa jenis-jenis

rotan yang terdapat di Indonesia diperkirakan sekitar 300 jenis, yang telah

teridentifikasi sebanyak 150 jenis dan diperdagangkan terdiri 50 jenis.

Jenis-jenis rotan yang diperdagangkan, disajikan pada Tabel 1 berikut.

86| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tabel 1. Nama-nama rotan yang diperdagangkan

No. Nama jenis Nama botanis

1. Rotan sega, sege, taman Calamus caesius Bl.

2. Rotan irit Calamus trachycoleus Becc.

3. Rotan manau Calamus manan Miq.

4. Rotan semambu Calamus scipionum Lour.

5. Rotan tohiti Calamus inop Becc.

6. Rotan koboo Frecinetia javanensia Bl.

Manokaran (1979) menyebutkan umumnya bentuk dan sifat rotan

dapat dibedakan berdasarkan jumlah batang per rumpun, sistem perakaran,

bentuk alat pemanjat, bentuk perkembangan daun, bunga dan buah. Jumlah

batang per rumpun bervariasi tergantung jenisnya ada yang berbatang

tunggal (”soliter”) dan ada yang berkelompok/berumpun (”cluster”). Jenis

rotan yang termasuk berbatang tunggal diantaranya : Calamus manan

(rotan manau), Calamus pallidulus dan Calamus tumindus, sedangkan jenis

yang termasuk berkelompok antara lain yaitu : Calamus caesius (rotan

taman/.sega), Calamus trachycoleus (rotan irit) dan hampir semua jenis

dari genus Ceratolobus dan Korthalsia.

Rotan tumbuh dan berkembang terutama pada daerah tropis,

berawa, tanah kering, dataran rendah dan pegunungan. Umumnya rotan

dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, terkecuali jenis rotan irit (C.

trachycoleus) yang menghendaki tanah alluvial agak lembab sampai basah

dan berair (Direktorat Rebioisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1983).

Dransfield (1974) mengemukakan bahwa daerah penyebaran rotan

meliputi Afrika Barat, Indocina, Thailand, India, Fiji, Malaysia, Filipina,

Indonesia dan Australia. Di Indonesia secara alami, rotan dapat tumbuh

hampir di semua pulau yang memiliki hutan alam dan sebagian lagi

ditanam di aeral perkebunan rakyat yang dimulai dari pulau Jawa,

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi sampai Irian Jaya. Di Sumatera terdapat

terutama di daerah Lampung, Jambi, Bangka, Belitung, Riau, Sumatera

Barat dan Tengah. Di Kalimantan hampir seluruh pulau Kalimantan. Di

Nusa Tenggara terutama di Pulau Sumbawa. Di Sulawesi terutama di

sekitar daerah Kendari, Kolaka, Towuti, Donggala, Gorontalo, Poso,

Palopo, Buton dan pegunungan Latimojong. Di Sumatera pada umumnya

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 87

ditemukan jenis rotan niagawi seperti rotan manau, rotan sega dan

semambu. Di Kalimantan ditemukan jenis rotan sega/taman, manau,

semambu, irit dan koboo, sedangkan di Sulawesi ditemukan jenis rotan

tohiti.

Anonim (1993); Mogea (1989); Alrasjid (1989); Dransfields dan

Manokaran (1996) mengatakan bahwa untuk mengetahui daerah

penyebaran dan jenis-jenis rotan yang tergolong komersial (niagawi) di

propinsi seluruh Indonesia, disajikan pada Lampiran 1. Penyebaran jenis

rotan yang tumbuh diberbagai wilayah di Indonesia, dapat dilihat pada

Lampiran 2. Sedangkan Data produksi tiap-tiap daerah penghasil rotan

tebang lestari di 20 wilayah potensial di Indonesia (Gunawan, 2002),

disajikan pada Lampiran 3.

III. HASIL PENELITIAN ROTAN

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan pengalaman

penulisdi lapangan tentang teknik budidaya rotan. Berdasarkan hasil

inventarisasi rotan yang dilakukan di Sumpol, Kalimantan Selatan pada

ketinggian 50 – 200 m di atas permukaan laut (dpl.). Dengan membuat plot

pengamatan lebar jalur 20 m dan panjang jalur 1000 m. Ditemukan 19

jenis rotan, di tampilkan pada Tabel 2 (Panjaitan, 1999) yaitu :

Tabel 2. Jenis, Kerapatan dan potensi rotan di Sumpol, Kalimantan Selatan

No. Nama lokal Nama botani Kerapatan (rumpun/hektar)

1. Manau xx

Calamus manan 9.1

2. Sega C. caesius 0.5

3. Gelang C. polytachys 25.3

4. Lilin gunung Daemonorops sp. 6.2

5. Lilin pantai Daemonorops sp. 0.7

6. Lilin Calamus sp. 1.2

7. Sapit udang Korthalsia sp. 0.1

8. Sempurut Calamus sp. 15.5

9. Tuhu xx

............... (?) 17.9

10. Ilatung Daemonorops sp. 1.4

11. Minung oo

Calamus sp. 0.8

12. Dahanan Korthalsia sp. 3.6

13. Tunggal C. mucronatus 4.5

88| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No. Nama lokal Nama botani Kerapatan (rumpun/hektar)

14. Raah ................(?) 0.5

15. Aas/Ahas Korthalsia sp. 0.4

16. Getah Daemonorops sp. 6.4

17. Jernang Daemonorops sp. 1.5

18. Biawanan .................(?) 2.4

19. Pilak Daemonorops sp. 15.4

Dari semua jenis tersebut di atas yang terkenal di pasaran adalah

nomor urut 1 sampai dengan nomor 8, sedangkan jenis lainnya belum

cukup dikenal. Rotan manau dan rotan tuhu termasuk rotan soliter

(berbatang tunggal). Jenis-jenis rotan yang tumbuh di Kalimantan Tengah

(Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah,1979) seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis-jenis rotan yang tumbuh di Kalimantan Tengah

No. Nama jenis Nama botanis

1. Rotan irit Calamus trachycoleus Becc.

2. Rotan sega/taman Calamus caesius

3. Rotan manau Calamus manan Miq.

4. Rotan semambu Calamus scipionum Lour.

5. Rotan getah Daemonorops crinatus Bl.

6. Rotan Ahas Korthalsia sp.

7. Rotan ilatung Daemonorops hallerieriana Becc.

8. Rotan bulu Daemonorops miccracartha Becc.

9. Rotan mambalan Daemonorops mirabilis Mart. Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah, 1979

Alrasjid (1980) mengemukakan bahwa penyebaran jenis rotan

tergantung pada keadaan tempat tumbuhnya. Di Kalimantan Selatan

penyebaran jenis rotan menurut keadaan tempat tumbuhnya yaitu :

1. Rotan ahas, terdapat pada tanah berawa dalam, selalu tergenang air dan

tanah berawa sedang yang kadang-kadang becek sesuai dengan keadaan

pasang surut.

2. Rotan taman dan irit terdapat pada tanah yang dipengaruhi pasang surut

akan tetapi dapat tumbuh pada lahan kering dan biasanya tanahnya

dapat digunakan untuk ladang.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 89

3. Rotan inum dan ilatung terdapat pada daerah yang tinggi yang tidak

dipengaruhi pasang surut.

4. Rotan manau terdapat pada daerah dataran tinggi, berbukit dan

pegunungan yang mempunyai kelerengan relatif curam.

Rotan sega menghendaki daerah yang bebas dari genangan air. Rotan

irit menghendaki tanah aluvial dan tumbuh di dataran rendah, di tempat

basah sampai tergenang air selama beberapa bulan, sebab jenis rotan ini

mempunyai akar rimpang atau sulur yang lebih panjang jika dibandingkan

dengan rotan sega. Jenis rotan irit tahan terhadap genangan air selama 3

bulan, asal saja tinggi air tidak melebihi panjang akar rimpangnya

(Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, 1983).

Pada umumnya rotan irit dapat tumbuh dengan baik di daerah basah

atau setengah basah dengan penutupan tajuk yang agak jarang. Di daerah

terbuka, anakan alam dapat tumbuh akan tetapi pertumbuhannya sangat

lambat dibandingkan dengan yang tumbuh di bawah naungan (Nainggolan,

1986). Berdasarkan ketinggian tempat, rotan sega/taman dan irit termasuk

jenis rotan yang tumbuh di bawah ketinggian tempat 300 m dpl. (Alrasjid,

1980).

Mikroklimat tiap-tiap jenis rotan, disajikan pada Tabel 4 (Panjaitan,

1991) yaitu :

Tabel 4. Kondisi mikroklimat jenis-jenis rotan Kondisi mikroklimat

No Nama lokal Rumpang

besar (%)

Rumpang

kecil (%)

Kanopi

terang

(%)

Kanopi

gelap

(%)

1. Rotan manau 18 22 40 20

2. R. sega/taman 14 58 14 14

3. R. gelang 21 17 39 23

4. R. lilin gunung 23 1 45 31

5. R. lilin pantai 25 1 62 12

6. R. lilin 5 49 41 5

7. R. sapit udang 3 0 31 66

8. R. sempurut 15 12 46 27

9. R. tuhu 14 30 31 25

10. R. ilatung 5 90 4 1

90| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama lokal Rumpang

besar (%)

Rumpang

kecil (%)

Kanopi

terang

(%)

Kanopi

gelap

(%)

11. R. minung 33 1 25 41

12. R. dahanan 31 2 34 33

13. R. tunggal 51 1 39 9

14. R. raah 4 90 6 0

15. R. ahas 5 90 5 0

16. R. getah 31 1 50 12

17. R. jernang 41 2 16 41

18. R. biawanan 24 0 44 32

19. R. pilak 17 24 40 19

Dari data tersebut tampak bahwa umumnya rotan menghendaki

mikroklimat rumpang (”gap”). Namun masih dapat tumbuh di bawah

kanopi tipis. Rotan yang tumbuh pada kanopi tipis, batangnya kecil dan

bila berada pada kanopi rumpang, batangnya menjadi besar.

Hasil penelitian Panjaitan dan Rusmana (1994) mengatakan bahwa

pertumbuhan rotan di lapangan sampai pada umur 6 bulan lebih baik pada

ukuran rumpang 5 x 5 m dimana rata-rata pertumbuhan mencapai 17,3 cm

per bulan, sedangkan pada ukuran rumpang 3 x 3 m dan ukuran rumpang 7

x 7 m masing-masing hanya mencapai 9,6 cm dan 12,7 cm.

IV. PEMILIHAN JENIS

Rotan diseluruh dunia terdapat 13 genera yang terdiri dari 600 jenis

(species) dan di Indonesia sendiri terdiri dari 350 jenis. Sekalipun rotan

mempunyai cukup banyak jenis, namun sangat penting dilakukan seleksi

dalam rangka pemilihan jenis rotan yang memiliki prospek di pasaran baik

dalam negeri maupun ekspor untuk dikembangkan budidayanya dalam

bentuk hutan tanaman. Upaya ini penting dilakukan sekaligus dalam rangka

pengawetan sumberdaya genetika rotan yang mempunyai nilai ekonomis

tinggi. Hal ini tidak berarti bahwa jenis rotan yang tidak komersial saat ini

dihilangkan begitu saja. Penelitian ”species trial” dan ”provenance trial”

dalam menentukan jenis yang akan dikembangkan perlu terus dilakukan,

sehingga diketahui dengan pasti sejauh mana kemungkinan pemanfaatan

rotan dimaksud. Didalam pemelihan jenis andalan, ditentukan oleh banyak

faktor penentu yang menjadi bahan pertimbangan diantaranya yaitu : hasil

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 91

produksi perhektar, kecepatan tumbuh, ketahanan terhadap hama dan

penyakit, pertimbangan dari segi ekonominya, ekologi dan status

pengetahuan budidayanya serta kesesuaian terhadap tempat tumbuhnya

”site species matching”).

Data dan informasi untuk hal tersebut di atas, masih sangat sedikit.

Namun demikian, pemilihan jenis rotan yang akan dikembangkan

budidayanya, perlu segera dilakukan terutama untuk jenis

perdagangan/industri ataupun keperluan penduduk setempat. Berdasarkan

hal tersebut, perlu mendapat prioritas pertama untuk direkomendasikan,

sehingga dapat dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman yakni :

1) Rotan manau (Calamus manan Miq.), 2) Rotan sega/taman (Calamus

caesius), 3) Rotan irit (Calamus trachycoleus), 4) Rotan semambu

(Calamus scipionum), dan 5) Rotan tohiti (Calamus inop).

V. PENGADAAN BUAH

A. Pengumpulan Buah

Musim berbunga dan berbuah masing-masing jenis rotan disetiap

tempat berbeda dimana pada umumnya saat musim kemarau. Di

Kalimantan rotan irit berbuah siap panen pada bulan Oktober-Desember.

Rotan sega pada bulan Agustus - Oktober. Rotan manau dan rotan

semambu pada bulan Juni-Oktober (Sumatera dan Kalimantan). Oleh sebab

itu pengumpulan/pengunduhan buah hendaknya dilakukan pada bulan-

bulan tersebut. Ciri-ciri buah rotan masak umumnya ditandai dengan

warna buah hijau kekuning-kuningan, atau ditandai apabila di bawah

rumpun rotan banyak dijumpai sisa kulit buah becas dimakan burung,

musang, beruk atau tupai. Di camping itu pada jenis rotan irit, buah disebut

masak ditandai dengan warna kemerah-merahan dan rotan manau berwarna

coklat kehitaman, sedangkan bici tua memiliki warna gelap dan keras.

Rotan yang tergolong berbatang tunggal pada umumnya berpotensi buah

lebih rendah daripada rotan yang berumpun. Produksi buah per batang

permusim khususnya rotan manau dan rotan semambu berkisar 2.000-3.000

buah. Rotan sega antara 2.000-2.500 per batang, rotan irit sekitar 3.000-

5.000 buah per batang, rotan Calamus tumidis (Malaysia) berkisar 3.000-

4.000 buah, rotan Calamus laevigatus antara 400-500 buah, rotan Calamus

ganospermus sebanyak 5 buah.

92| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Batas umur minimum pengunduhan buah rotan bervariasi antara

satu jenis dengan jenis lainnya. Untuk jenis rotan manau, umur 10-12

tahun, rotan sega 10 tahun, rotan irit 8 - 9 tahun. Banyaknya biji

perkilogram untuk setiap jenis rotan berbeda dimana misalnya untuk rotan

manau (Calamus manan) berkisar antara 700-790 biji/kg, rotan seuti

(Calamus ornatus) terdiri 1.000 biji/kg dan rotan leluo (Calamus sp.)

antara 1.730-3.950 biji/kg, rotan sega/taman (Calamus caesius) sebanyak

5.000-6.000 biji/kg.

B. Cara Penyimpanan Biji

Biji rotan yang sudah masak panen, segera dilakukan pengunduhan

buah/biji kemudian disimpang di tempat yang lembab. Biji rotan manau

khususnya, daya kecambahnya drastis menurun apabila disimpan pada

tempat yang terbuka pada temperatur kamar dan dalam waktu 15 hari, daya

kecambahnya menjadi di bawah 5 %. Penyimpanan biji rotan diusahakan

pada temperatur 10 -14 0C dan kelembaban udara 45 - 55 %. Biji dalam

kantong plastik tertutup yang disimpan pada kisaran temperatur dan

kelembaban tersebut dapat dipertahankan daya kecambahnya hingga 95 %

selama waktu 3 bulan. Apabila disimpan pada temperatur kamar, maka

buah dalam kantong plastik tertutup dapat dipertahankan daya

kecambahnya sebesar 81 % dalam jangka waktu 1 bulan, setelah itu daya

kecambahnya drastis turun.

VI. PRODUKSI BIBIT

A. Pemilihan Tempat

Tempat persemaian harus memenuhi syarat teknis yaitu :

a. Lapangan sebaiknya datar, bila tempat miring, dipilih derajat

kemiringannya tidak melebihi 5 %

b. Air cukup tersedia sepanjang tahun

c. Iklim dan ketinggian tempat dari permukaan laut harus sesuai dengan

persyaratan jenis yang akan disemaiakan

d. Tempat persemaian bebas dari genangan air dan hama penyakit

e. Letak persemaian sebaiknya berada ditengah-tengah atau dekat dengan

lapangan penanaman, di pinggir jalan angkutan dan tenaga kerja

tersedia.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 93

B. Pembuatan Bedengan

Beberapa ketentuan perlu diperhatikan dalam pembuatan bedengan

yaitu :

a. Ukuran bedengan penaburan dan penyapihan 5 x 1 m

b. Lapangan untuk keperluan bedengan khusus penaburan benih dicangkul

dan semua akar-akar atau batu dibuang, kecuali untuk bedeng sapih

cukup diratakan

c. Bentuk bedengan persegí panjang dan dibagian pinggir diperkuat

dengan kayu agar tanah tidak turun.

d. Permukaan bedengan ditinggikan 10-15 cm di atas permukaan tanah

e. Antara petak/bedengan diberi jarak selebar 50 cm dan setiap 5- 10

bedeng dibuat jalan inspeksi

f. Saluran air dibuat sepanjang kanan-kiri jalan inspeksi

g. Media bedengan di persemaian (penaburan, penyapihan) terdiri dari top

soil dan serbuk gergaji serta pasir halus, dapat pula menggunakan

gambut + sekam padi (70 : 30 %)

h. Bedengan pembibitan diberi naungan yaitu menggunakan atap dari

alang-alang dan bisa diganakan sarlon net dengan intensitas 50 %.

C. Produksi Bibit

Setelah biji rotan diunduh dari lapangan, kemudian dibawa ke

tempat persemaian dan diletakan di tempat lembab dan disiram

secukupnya. Kegiatan berikutnya ialah daging buah dan pericarpnya

dibuang dengan menginjak-injak atau dipukul dengan kayu dengan tujuan

untuk mempercepat perkecambahan dan meningkatkan daya kecambah.

Pada dasarnya cara pengadaan bibit rotan sama halnya dengan jenis kayu.

Ada dua cara yang dapat dilakukan yakni : 1) Menggunakan bahan dari

biji/buah, dan 2) Menggunakan anakan alam dengan sistem cabutan. Kedua

cara ini tergantung kepada kondisi setempat.

Salah satu cara mengecambahkan biji rotan adalah :

1) Biji rotan irit dan taman dimaksukkan dalam keranjang/bakul dan

diletakan pada tempat yang lembab dan setiap hari disiram secukupnya.

Setelah berkecambah pada umur 3-4 minggu kemudian ditanam di

bedengan pembibitan dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Setelah bibit

memiliki daun 7-8 helai (umur 8-12 bulan) diambil dengan cara putaran

dan lansung ditanam di lapangan.

94| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

2) Mengecambahkan biji di bedeng penaburan. Untuk biji yang besar

seperti biji rotan manau dapat ditanam pada larikan dengan jarak 2 x 4

cm. Biji ditanam dengan katup lembaga ke atas. Setelah kecambah

mencapai tinggi 2-3 cm, sebelum daun bertama berkembang, kemudian

langsung dipindah ke dalam polybag yang sudah tersusun rapi dengan

ukuran polybag 15 x 20 cm atau bisa juga ukuran 8 x 16 cm yang telah

terisi media dan diberi lobang sebelumnya. Sebaiknya media sapih

disiram agar tetap lembab. Kebutuhan cahaya untuk pertumbuhan

sebesar 50 %. Bibit rotan dipelihara di persemaian sampai berumur 8-12

bulan dan setelah itu diangkut ke lokasi penanaman yang telah

dipersiapkan sebelumnya.

3) Biji langsung disemai kedalam polybag yang telah berisi media

misalnya gambut + sekam padi (70 : 30 %) ataupun media campuran

lainnya, misalnya menggunakan media top soil dan lain-lain, tergantung

kondisi setempat. Polybag telah diberi lobang pada bagian pinggir

bawah, polybag yang berisi media disiram air secukupnya agar tetap

lembab. Selama bibit di persemaian berumur 10-14 hari dilakukan

pemupukan dengan dosis 5 g/batang, selanjutnya setelah berumur 1-2

bulan, diberikan pupuk 10-15 g/batang. Namun hal ini sangat

tergantung keadaan bibit yang disemaikan. Bibit siap tanam setelah

mencapai umur 8-12 bulan.

4) Pengadaan bibit yang berasal dari permudaan alam (anakan) telah

dilakukan diberbagai tempat pada berbagai jenis yakni rotan

sega/taman, rotan irit, rotan tohiti, rotan manau, rotan korod dan rotan

seel. Anakan rotan alam yang diprioritaskan yang memiliki tinggi 15-20

cm atau yang berdaun 2-5 helai, diambil dengan cara putaran kemudian

dipelihara di persemaian antara 2-3 bulan dan kemudian di tanam di

lapangan.

Media sapih yang baik harus memenuhi syarat (Supriadi & Valli,

1988) yaitu : 1) Bobotnya ringan, 2) Daya menyerap air tinggi, 3) Drainase

dan areasinya baik, 4) Keseburan cukup, 5) Mudah diperoleh dalam jumlah

banyak, 6) Harga relatif murah, dan 7) Tidak mengandung racun.

VII. BUDIDAYA ROTAN BERDASARKAN PENGALAMAN

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 95

Di Indonesia rotan telah dibudidayakan sejak 100 tahun yang lalu.

Hingga saat ini telah mendapat manfaat baik dibidang ekonomi maupun

sosial. Dengan melihat data yang tersedia, maka rotan di Indonesia

mempunyai prospek cukup strategis untuk dikembangkan

pembudidayaannya terutama jenis-jenis niagawi yang mempunyai nilai

komersial tinggi.

Pada proyek pengembangan rotan ASEAN (Asean Rattan

Regeneration Centre) tahun 1991 yang berlokasi di Sumpol, Kalimantan

Selatan dimana unit perlakuan dalam budidaya yang digunakan adalah

”Jenis” atau ”Tempat asal” (”Provenance”). Artinya, perhatian diberikan

per jenis (Panjaitan dan Rusmana, 1994). Dikemudian hari, tampak ada dua

prospek pola pengembangan rotan. Pertama yaitu rotan diselipkan di dalam

hutan. Artinya penanaman dilakukan dengan metode rumpang. Kedua

adalah kebun rotan. Artinya penanaman jalur terbuka dibelukar mahang

bekas ladang. Penanaman metode rumpang, rotan ditanam di dalam hutan

alam pada rumpang yang terjadi pada saat pembalakan. Artinya terjadi

rumpang buatan. Pada penanaman rotan, umumnya lapangan yang akan

ditanami rotan dapat dibagi atas dua bagian yaitu : 1) Hutan primer dan

bekas pembalakan, dan 2) Lahan terbuka.

Permasalahan dalam pengembangan budidaya rotan adalah pohon

penopang (”supporting trees”) dimana tanpa pohon penopang, maka

kualitas rotan jelek. Pada lahan terbuka diperlukan penanaman pohon

penopang dengan jenis yang menggugurkan daun pada musim kemarau

antara lain :

1. Karet (Hevea braziliensis), dan 2. Bungur (Lagerstroemia speciosa).

Pada saat membudidayakan rotan di lahan terbuka, maka sebaiknya

tanaman pohon penopang ditanam terlebih dahulu antara 5 – 7 tahun dalam

larikan. Sedangkan pada hutan primer dan bekas pembalakan, pohon yang

tertinggal dan trubusan dapat dijadikan pohon penopang (Direktorat

Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1983).

Tahapan kegiatan penanaman rotan (Alrasjid, 1980) yaitu : a)

Pengadaan biji/buah, b) Pengadaan bibit meliputi pembersihan tempat

persemaian, perencanaan lapangan persemaian, penaburan biji, penyemaian

kecambah dan penyapihan bibit, c) Persiapan lapangan persemaian,

96| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

meliputi penataan lapangan, pembersihan lapangan, pengolahan tanah,

pembuatan gubuk kerja dan jalan pemeriksaan, d) Penanaman, dan e)

Pemeliharaan meliputi penyiangan/pendangiran dan penyulaman.

Dalam rangka mengembangkan tanaman rotan agar

produktifitasnya meningkat harus disesuaikan dengan tapak dan

mikroklimat dari masing-masing jenis. Lain jenis lain pula tapak yang

dinginkan. Dalam hal ini harus mengikuti langkah-langkah yaitu :

1) Mendeliniasi kondisi silvikultural, 2) Mengamati rotan pada

masing-masing kondisi silvikultural, 3). Mengamati mikroklimat yang

dikehendaki masing-masing jenis dan tingkat pertumbuhan (tunas, remaja

dan dewasa), 4). Meletakkan rotan pada tapak mikroklimat yang

dikehendaki masing-masing jenis, dan 5). Dibuat jelas di lapangan agar

dapat dikelola dan mudah ditemukan di kemudian hari.

Metode penanaman dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1. Penanaman rumpang

Desain penanaman adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Desain Penanaman rumpang

®

®

® ®

® ®

®

®

®

®

®

® ®

®

III 7 m – 15

m

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 97

Keterangan :

: Jalan logging

: Bekas pengumpulan kayu di tepi jalan logging

: Unit jalan sarad masuk kedalam hutan sejauh 100–500 m

dari jalan logging digunakan sebagai jalan (akses) dan

digunakan sebagai sumbu rumpang.

: Rumpang operasi pembalakan atau rumpang buatan dengan

menebang 2 – 3 pohon (luas rumpang adalah 25 – 50 m2).

Rotan ditanam pada setiap rumpang buatan.

7 m – 15 m : Jarak antar rumpang tanaman

Pada setiap rumpang ditanam 2 – 5 batang bibit rotan untuk jenis

yang berumpun. Jarak antara rumpang 7 m – 15 m. Tiap rumpang didalam

satu unit jalan sarad diberi nomor urut. Profil rumpang adalah sebagai

berikut :

Gambar 2. Profil rumpang

Keterangan : A = Tanaman rotan dalam rumpang

B = Tegakan tinggal tempat panjatan pohon

4 = Nomor rumpang

2. Penanaman jalur terbuka

Di belukar mahang bekas perladangan penduduk, rotan ditanam

seperti pola berikut :

Gambar 3. Desain penanaman rotan di belukar mahang bekas perladangan

4 B B

A

III

®

98| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Keterangan :

= Jalan masuk

= Jalan bersih (lebar 5 m)

= Tanaman rotan (jarak 7-10 m)

= Tanaman bungur, laban (Vitex sp.) dan lain-lain

(pengganti vegetasi mahang sebagai pohon penopang rotan).

Dari samping penampang jalur nampak sebagai berikut :

Gambar 4. Penampang jalur pandangan dari samping

Keterangan :

A = Belukar mahang sebagai pohon penopang sementara, karena mahang dinilai

tidak kokoh sebagai pohon penopang

B = Tanaman rotan pada jalur terbuka

C = Calon pohon penopang yang ditanam untuk kelak menggantikan jenis

mahang dari jenis bungur (Lagerstroemia sp.), laban (Vitex sp.) dan jenis

lain yang berdahan tebal dan kuat.

VIII. KESIMPULAN

1. Rotan merupakan salah satu jenis komoditi hasil hutan bukan kayu yang

memiliki potensi dan penting serta menduduki posisi cukup strategis

dalam dunia perdagangan. Oleh sebab itu perlu dijaga dan

dipertahankan keberadaannya agar tetap sebagai sumber hayati dan

sumber devisa negara serta kesejahteraan masyarakat.

2. Dalam meningkatkan produktivitas rotan diperlukan pengetahuan

tentang sifat botanis dan penguasaan

A B C

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 99

silvikultur masing-masing jenis yang dimulai dari pengunduhan

buah/biji, pengadaan bibit di persemaian, teknik persiapan lahan dan

teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman.

3. Dalam upaya pengembangan rotan di lapangan penanaman hendaknya

disesuaikan dengan tapak dan mikroklimat dari masing-masing jenis

yang akan dibudidayakan.

4. Pemilihan jenis rotan yang akan dikembangkan perlu dilakukan.

5. Produksi bibit berkualitas sangat diperlukan untuk menunjang

pengembangan tanaman rotan, sehingga pertumbuhan optimal dan

produktivitas lahan meningkat.

6. Disarankan agar penanaman rotan sebaiknya dilakukan dengan metode

rumpang sebab teknik pemeliharaan mudah dilakukan dibanding sistem

jalur.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasjid, H., 1980. Pedoman Penanaman Rotan. Lembaga Penelitian Hutan

Bogor, Bogor.

Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, 1979. Penanaman Rotan di

daerah Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Selatan, 1999. Laporan

Tahunan Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Selatan,

Banjarbaru.

Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1983. Laporan Studi

Kelayakan Rotan di Propinsi Dati I Kalimantan Tengah, Jakarta.

Djajapertjunda, S., dan Abidin, Z.E., 1973. Beberapa Catatan Tentang

Rotan Indonesia. Direktorat Pemasaran Direktorat Jenderal

Kehutanan, Jakarta.

Dransfield, J., 1974. A Short Guide to Rattan. Biotrop TF/74/128.

BIOTROP SEAMEO Regional Centre For Tropical Biology,

Bogor.

Dransfield, J. dan Manokaran, 1993. Rotan. Sumberdaya Nabati Asia

Tenggara 6. Gadjah Mada University Press (Yogyakarta)

bekerjasama dengan Prosea Indonesia (Bogor). P. 29-42 dan P. 54-

57.

Januminro, 2000. Rotan Indonesia. Potensi, Budidaya, Pemungutan,

Pengolahan Standar Mutu dan Prospek Pengusahaan. Penerbit

Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta.

100| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999. Statistik

Kehutanan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi

Kalimantan Selatan, Banjarbaru.

Manokaran, N., 1979. A Note on The Number of Fruit Product by Four

Species of Ratta. Malaysia Forester. Vol. 42 : P. 46

Manokaran, N.,1984. Indonesia Rattan Cultivation.Production and Trade

Forest Research Institute Malaysia, Kepong.

Nainggolan,P.H.J., 1980. Sumber dan Penanaman Benih Rotan. Prosiding

Lokakarya Nasional Rotan.Manggala Wanabakti, Jakarta.

Nasendi, B.D., 1996. From Rattan Production-To-Consumption in

Indonesia : Policy Issues and Options For Reform. Forest Products

and Forestry Socio-Economics Research and Development Centre,

Forestry Research and Development Agency Bogor, Indonesia.

Proceedings of the Expose/Workshop for Socio-Economics

Research on Rattan in Indonesia, 4-5 November 1996, Bogor,

Indonesia. 97 p.

Panjaitan, S., 1991. Rencana Pengembangan Rotan ASEAN di

Sumpol.Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Banjarbaru. (Tidak

diterbitkan).

Panjaitan, S. dan Rusmana, 1994. Penanaman Beberapa jenis Rotan

Dengan Metode Rumpang dan Jalur di Dataran Rendah, Sumpol, 5

Ha. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Banjarbaru. (Tidak

diterbitkan).

Panjaitan, S., 1997. Penggunaan Beberapa Macam Media Pertumbuhan

Bibit Rotan Manau (Calamus manan Miq.) di Persemaian,

Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Balai Teknologi Reboisasi

Banjarbaru. Buletin Teknologi Reboisasi, Banjarbaru. 13 halaman.

Panjaitan, S., 2002. Pengaruh Pemberian Asam Sulfat dan Gibberelin

Terhadap Daya Berkecambah Benih Rotan Manau (Calamus

manan Miq.). (The effect of Sulphuric and Gibberellic Acid on

Germination Rate of Manau (Calamus manan Miq.). Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,

Yogyakarta, Indonesia.Buletin Teknologi Reboisasi No. 9/2002.

14 Halaman (P.17-30).

Silitonga, T., 1986. Proceedings Lokakarya Nasional Rotan 15-16

Desember 1986. Badan Litbang Kehutanan-Departemen

Kehutanan kerjasama Dengan IDRC, Jakarta.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 101

Silitonga, T.; Prahasto, H. and Priasukma, S., 1993. Recent Progress in

Rattan Trades Industry and Resource Development in Indonesia.

Rattan Indonesian Project Phase II. Agency For Forestry Research

and Development, Republic of Indonesia. IDRC-Canada.

Supriadi G., & Valli, I., 1988. Manual Persemaian ATA-267. Balai

Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Penerbitan No. 52.

Tani Hoyhtya, Panjaitan, S. and Rusmana, 1997. Early Performance and

Cultivation Possibilities of Four Indonesian Rattans Under

Logged-over Tropical Rainforest in South Kalimantan, Indonesia.

The Ministry of Forestry of Indonesia and Forestry Research

Development Agency (FORDA). Reforestation and Tropical

Forest Management Project. ATA-267. Technical Report No.

66 Banjarbaru. P. 1-3

102| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Lampiran 1. Daftar Jenis Rotan Komersial dan Sebaran di Indonesia

No Nama lokal Nama botanis Daerah sebaran produksi

1 Manau Calamus manan

Miq.

Aceh, Sumut, Jambi, Bengkulu,

Lampung, Kalsel, ,Kalteng, Kaltim,

Kalbar

2 Semambu Calamus

scipionum Loure. Sumbar, Bengkulu, Lampung

3 Sega/taman Calamus caesus

Bl.

Aceh, Sumut, Sumbar, Riau,

Bengkulu

4 Irit Calamus

trachycoleus

Becc.

Kalteng, Kalsel, Kaltim, Kalbar

5 Tohiti Calamus inops

Becc. Sulut, Sulteng, Sultra, Sulsel, Maluku

6 Batang/air Calamus

zolingerii Becc. Sulawesi, Maluku

7 Pulut/bolet Calamus ipar Bl. Kaltim, Kalsel

8 Pulut putih Calamus sp. Kaltim, Kalsel

9 Seuti Calamus ornatus

Becc. Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa

10 Taman, sego Calamus

optimusBecc. Kalteng, Kalsel, Kaltim

11 Sega air Calamus excidis

Griff. Jambi, Sumsel, Lampung

12 Sega batu Calamus

heteroideus Bl.

Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu,

Kalsel, Kalteng

13 Jermasin Calamus

leijocanius Becc. Sulsel, Sulut, Sultra, Sulteng, Maluku

14 Tabu-tabu Daimonorops

sabut Becc. Sumbar, Bengkulu, Kalimantan

15 Jernang Daimonorops

draco Bl. Jambi, Sumbar, Riau

16 Getah Khorthalsia

angustifolia Bl.

NTB, Aceh, Sumbar, Jambi,

Lampung

17 Datu Calamus

minahasa Wrab. Maluku, Irian Jaya

18 Lilin Calamus

javanensis Becc. Sumatra, Jawa, Kalimantan

19 Batu Calamus

filiformis Becc. Bengkulu, Lampun g, Kalteng

20 Lita Daemonorops

lamprolepis

Becc.

Kalteng, Kalbar, Sulawesi

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 103

No Nama lokal Nama botanis Daerah sebaran produksi

21 Dandan Calamus

schistacanthus Bl. Sumsel, Jambi, Lampung

22 Umbul Calamus

symhysipus Mart. NTB, Sulawesi

23 Duduk Daemonorops

longopes Mart.

Bengkulu, Sumbar, Sumsel,

Lampung, Aceh

24 Suwai Calamus

warburgii K.

Schum

Maluku, Irian Jaya

25 Seel Daemonorops

melanochaetes

Becc.

Sumatra, Jawa, Kalimantan

26 Wilatung Daemonorops

fissus Kalimantan

27 Balubuk Calamus

burchianus Becc. Sumatra, Jawa

28 Telang Daemonorops

polystachys Becc.

Sumut, Aceh, Jambi, Riau,

Kalimantan

29 Dahan Khorthalsia

flagellaris Miq

Jambi, Riau, Bengkulu, Jawa,

Kalimantan

30 Inun Calamus

schabiudius Lampung, Jawa

31 Bulu Khorthalsia

celebica Bl. Sulawesi, Maluku, Irian Jaya

32 Semut Khorthalsia

scaphigera Mart. Lampung, Jawa

33 Cacing Calamus ciliaris

Bl. Sumatra, Jawa, Kalimantan

34 Udang Khorthalsia

echinomerta

Becc.

Sumbar, Bengkulu

35 Manau tikus Calamus

oleyanus Becc. Jambi, Sumbar, Bengkulu

36 Manau

gajah

Calamus

marginatus Mart. Sumbar, Bengkulu, Kalimantan

37 Pelah/pilah Daemonorops

rubra Bl. Sumatra, Jawa, Kalimantan

38 Lacak Calamus crinitus

Bl. Riau, Jawa, Kalimantan

39 Tunggal Calamus

mucronatus Becc. Sumatra, Kalimantan

40 Leuleus Calamus

melanoloma

Mart.

Lampung, Jabar

104| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama lokal Nama botanis Daerah sebaran produksi

41 Epek Calamus

tolitoliensis Becc. NTB, Maluku, Sulawesi

42 Rawa Calamus lennis Jambi, Sumsel, Lampung

43 Samuli Calamus

picicapus Bl. Sulawesi, Maluku

44 Arasula Calamus rumpii

Bl. Maluku, Irian Jaya

45 Buluk Calamus

hispidulus Becc. Maluku, Irian Jaya

46 Terumpu Calamus

muricatus Sulawesi

47 Hoa Calamus

didymocarpus

Warb.

Sulawesi, Maluku, Irian Jaya

48 Lambang Calamus sp. Sulawesi, Maluku

49 Selutup Calamus optimus

Becc. Sumatra, Jawa, Kalimantan

50 Kidang Calamus sp. Lampung, Jabar

51 Leluo Calamus

maximus Sulawesi

Sumber : Anonim (1993), Mogea (1989), Alrasjid (1989), Dransfields dan

Manokaran (1996)

Lampiran 2. Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia

Wilayah Jum

lah

Cala

mus

Cera

talo

bus

Cor

nera

Dae

mono

rops

Kor

thalsia

Myri

liepsis

Plecto

comia

P.

miop

sis

Kalimantan 123 75 4 1 37 15 1 - -

Sumatera 82 33 3 1 28 10 1 4 2

Irian Jaya 47 45 - - - 2 - - -

Sulawesi 35 27 - - 7 1 - - -

Jawa 30 18 2 - 6 2 - 2 -

Maluku 11 7 - - 4 - - - -

NTB+NTT 2 2 - - - - - - -

Jumlah 1) 340 207 9 2 82 30 2 6 2

Jumlah 2) 312 192 7 1 78 25 2 5 2

Jumlah 3) 28 15 2 1 4 5 0 1 0

Sumber : Data diolah dari Dransfield (1974) dan Dali & Sumarna (1986).

Keterangan :

1) Terdapat lebih dari satu species yang sama dalam wilayah yang berbeda

2) Jumlah spsies yang ada secara nasional

3) Banyaknya species yang sama menyebar pada beberapa wilayah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 105

Lampiran 3. Potensi produksi rotan tebang lestari pada 20 daerah di

Indonesia

No. Daerah Volume (ton/tahun) Persen (%)

1. Aceh 28.000 4,5

2. Sumut 12.000 1,9

3. Sumbar 38.000 6,1

4. Riau 5.000 0,8

5. Jambi 13.000 2,0

6. Bengkulu 25.000 4,0

7. Sumsel 22.000 3,5

8. Lampung 5.000 0,8

9. Kalbar 50.000 8,0

10. Kalteng 70.000 11,3

11. Kalsel 15.000 2,4

12. Kaltim 65.000 10,5

13. Sulut 20.000 3,2

14. Sultengah 75.000 12,1

15. Sulsel 37.000 5,9

16. Sultengara 31.000 5,0

17. NTB 13.000 2,1

18. NTT 5.000 0,8

19. Maluku 25.000 4,0

20. Irian Jaya 68.000 10,9

Jumlah 622.000 100 Sumber : Departemen Kehutanan dalam Pusat Data dan Informasi Depperindag

(1999) dan Gunawan (2002)

106| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

DEMPLOT TANAMAN OBAT DAN TANAMAN ANGGREK:

MEDIA PERCONTOHAN PENGEMBANGAN USAHA HASIL HUTAN

BUKAN KAYU (HHBK) ALTERNATIF DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

Tri Sulistyati Widyaningsih1, Aditya Hani

1, Nova Indri Hapsari

2,

dan Ratna Uli Damayanti 3

1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry,

2 Balai Taman Nasional Gunung

Ciremai, 3 Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Pamalayan, Ciamis 46201

Email: [email protected];

[email protected]

ABSTRAK

Tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias berupa anggrek merupakan Hasil

Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati yang berpotensi untuk dikembangkan

secara ekonomi. Kedua jenis HHBK tersebut terdapat di Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang merupakan kawasan hutan hujan tropis

terluas di Jawa Barat. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan

pembangunan demplot tanaman obat dan tanaman anggrek di kawasan

TNGHS. Demplot dibangun pada bulan Januari-Februari 2006 di Seksi

Konservasi Wilayah (SKW) III Sukabumi Balai TNGHS. Rangkaian kegiatan

pembangunan demplot yaitu perencanaan, persiapan lahan, pengukuran,

penyediaan bahan bangunan, penyediaan bahan media tanam, pembuatan

rangka, pondasi, kerangka, atap, dinding, lantai, seedingnet, pintu, dan

penataan ruang. Demplot diisi dengan 68 jenis anggrek dan 14 jenis tanaman

obat hasil eksplorasi yang dilakukan di jalur loop trail Cikaniki-Citalahab

TNGHS sepanjang 3,8 km. Manfaat dari pembangunan demplot tanaman obat

dan anggrek di TNGHS yaitu: 1) Adanya koleksi dan terkonservasinya

tanaman obat dan anggrek di TNGHS, 2) Tersedianya informasi mengenai

jenis-jenis tanaman obat dan anggrek yang terdapat di TNGHS, 3)

Bertambahnya keterampilan budidaya tanaman obat dan anggrek, 4)

Terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman obat dan

anggrek dari petugas TNGHS ke masyarakat, 5) Menjadi media percontohan

bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha HHBK alternatif di daerah

penyangga TN, serta 6) Adanya alternatif kegiatan pemberdayaan masyarakat

di SKW III Sukabumi.

Kata kunci: HHBK nabati, tanaman obat, tanaman anggrek, Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak, demplot

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 107

I. PENDAHULUAN

Obat tradisional kembali populer dipilih sebagai obat untuk

menyembuhkan berbagai penyakit karena disamping harganya terjangkau,

tanpa efek samping juga khasiatnya cukup menjanjikan (Setiani, Sari, dan

Usri, 2007). Hal tersebut diyakini pula oleh para herbalis bahwa

pemanfaatan bahan-bahan yang bersifat alamiah lebih diterima oleh tubuh

manusia dibandingkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bersifat

sintetik, walaupun mereka tahu betul bahwa khasiat pemanfaatan bahan-

bahan yang alami cenderung relatif lambat. Kecenderungan masyarakat

untuk kembali ke alam semakin meningkat seiring dengan maraknya

produk bahan alam baik dari dalam maupun luar negeri dengan berbagai

macam label dan merek (Duaja, Kartika, dan Mukhlis, 2011).

Obat tradisional dapat dipenuhi dari tanaman obat yaitu tanaman yang

mengandung bahan yang dapat digunakan sebagai pengobatan dan bahan

aktifnya dapat digunakan sebagai bahan obat sintetik (WHO dalam

Sofowora, 1982). Sekitar 31 jenis tanaman obat digunakan sebagai bahan

baku industri obat tradisional (jamu), industri non jamu, dan bumbu, serta

untuk kebutuhan ekspor, dengan volume permintaan lebih dari 1.000

ton/tahun dan 13 jenis di antaranya berasal dari hasil penambangan di hutan

(Pribadi, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa hutan berperan penting

dalam penyediaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa tanaman obat.

Kondisi tersebut diperkuat dengan data dari Badan POM (2006) dalam

Pribadi 2009 yang menyatakan bahwa 180 jenis di antara 283 tanaman

yang telah diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu, merupakan

tanaman obat yang masih ditambang dari hutan.

HHBK lain selain tanaman obat menurut Permenhut 35 tahun 2007

adalah tanaman hias berupa anggrek. Anggrek banyak ditemukan di hutan-

hutan yang dikenal sebagai anggrek spesies, termasuk di Indonesia.

Sebanyak 6.000 di antara 20.000 spesies anggrek yang tersebar di seluruh

dunia terdapat di Indonesia (Redaksi AgroMedia, 2002). Tanaman Anggrek

dalam penggolongan taksonomi, termasuk ke dalam family Orchidaceae,

suatu family yang sangat besar dan sangat bervariasi yang terdiri dari 800

genus (Murgiyanti, Suminar, dan Sobardini, 2007).

108| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kedua jenis HHBK tersebut terdapat di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Jawa Barat dan memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi (Wikipedia, 2014). Koleksi anggrek di

TNGHS yang sudah diinventarisasi sebanyak 258 spesies yang termasuk

dalam 74 marga. Jumlah tersebut merupakan satu per tiga bagian dari

anggrek di Pulau Jawa yang tercatat sebanyak 731 spesies (Mahyar dan

Sadili, 2003 dalam BTNGHS, 2014). Adanya potensi HHBK di TNGHS

perlu dikembangkan dengan tetap berprinsip pada pemanfaatan yang lestari

di antaranya melalui konservasi eksitu dengan cara koleksi dan budidaya.

Salah satu cara koleksi dan budidaya tanaman obat dan anggrek yaitu

dengan membangun demonstrasi plot (demplot) sebagaimana yang telah

dilakukan kelompok PKK Dusun Sukarejo dan Karangharjo Desa Rantau

Karya, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, masyarakat

di Kelurahan Talang Babat Kecamatan Muara Sabak Barat Kabupaten

Tanjung Jabung Timur, serta masyarakat Desa Cinunuk, Kecamatan

Cileunyi, Kabupaten Bandung. Pembuatan demplot di Desa Rantau Raya

bertujuan untuk memperkenalkan tanaman obat dan memanfaatkan

pekarangan (Duaja et al., 2011) seperti halnya di Kelurahan Talang Babat

yang bertujuan untuk memanfaatkan pekarangan dengan tanaman bernilai

komersil tinggi yaitu jahe merah yang diharapkan dapat meningkatkan

pendapatan keluarga petani (Latief, Tafzi, dan Aryunis, 2013), sedangkan

pembuatan demplot di Desa Cinunuk bertujuan untuk menerapkan

teknologi budidaya tanaman anggrek di lahan sempit agar masyarakat dapat

melakukannya sendiri setelah diberi contoh (Murgiyanti et al., 2007).

Manfaat pembangunan demplot tanaman bagi masyarakat sudah dijelaskan

melalui beberapa tulisan, tetapi masih jarang tulisan yang mendeskripsikan

secara rinci tentang pembangunan demplot tanaman sejak proses eksplorasi

hingga pengembangan kapasitas sumber daya manusia pengelola kawasan

konservasi. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan

pembangunan demplot tanaman obat dan tanaman anggrek di kawasan

TNGHS yang dapat dijadikan contoh bagi pengelola kawasan konservasi

dalam melaksanakan teknik konservasi eksitu berdasarkan potensi

kawasan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 109

II. METODE

A. Waktu, Lokasi Kajian, dan Metode Pengumpulan Data

Kajian ini dilakukan di TNGHS Seksi Konservasi Wilayah (SKW)

III Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui

pengalaman langsung melakukan eksplorasi serta membangun demplot

tanaman obat dan tanaman anggrek di TNGHS pada bulan Januari-Februari

2006. Eksplorasi dilakukan dengan mengumpulkan spesimen di sepanjang

jalur eksplorasi yaitu jalur wisata di kawasan hutan antara Cikaniki dan

Citalahab sepanjang 3,8 km, yang kemudian diidentifikasi dan dikemas

untuk dibawa ke lokasi demplot sebagai koleksi (Damayanti, Hani, dan

Widyaningsih, 2014). Pendokumentasian dilakukan menggunakan kamera

dengan cara pemotretan terhadap jenis tanaman obat dan tanaman anggrek

yang berhasil dieksplorasi serta seluruh tahapan pembangunan demplot.

Hasil pengalaman langsung serta pendokumentasian selanjutnya dianalisis

dan disajikan secara deskriptif.

B. Gambaran Umum Lokasi

Kawasan TNGHS terletak di dalam 3 (tiga) kabupaten yaitu Bogor

dan Sukabumi, Jawa Barat serta Lebak, Banten (Harada, Widada, Arief,

Kobayashi, Okayama, Sakaguchi, dan Ozawa, 2003; TNGHS, 2011;

Wikipedia, 2014) dengan luas setelah perluasan berdasarkan Keputusan

Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 adalah 113.357 ha.

Pengelolaan kawasan TNGHS dilakukan oleh Balai TNGHS yang terbagi

menjadi 3 (tiga) SKW, salah satunya SKW III di Pelabuhan Ratu Sukabumi

yang terdiri dari 3 kecamatan dan 19 desa.

Kawasan TNGHS memiliki bentang alam dari dataran ke

pegunungan, yang sebagian besar berbukit dan bergunung dengan

ketinggian 500 meter dari permukaan laut (m dpl) sampai dengan 2.211 m

dpl yang berperan terhadap keanekaragaman flora, fauna, fungi, dan jasad

renik (mikro organisme) yang secara keseluruhan membentuk komponen

keanekaragaman hayati (Wikipedia, 2014). Sebagian besar lereng memiliki

kemiringan di atas 45% dengan luasan 75,7 % dari seluruh kawasan. Jenis

tanah di kawasan TNGHS yaitu andosol dan latosol. Gunung Halimun-

Salak merupakan kawasan hutan hujan pegunungan yang terluas di Jawa

110| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Barat yang masih tersisa dan merupakan salah satu daerah paling basah di

Jawa.

Penduduk di sekitar TNGHS yang masuk ke dalam wilayah

Kabupaten Sukabumi adalah 66.132 orang dengan kepadatan penduduk

171 orang per kilometer. Tingkat pendidikan penduduk meliputi belum

sekolah dan tidak tamat SD (25,16 %), SD (58,80 %), SLTP (1,86%),

SLTA (1,14%), Akademi (0,02%), Universitas (0,01%), dan lain-lain

(12,55%). Lahan di SKW III Sukabumi didominasi dengan

penggembalaan dan hutan negara 15.260 ha, disusul perkebunan/perikanan

8.609,5 ha, pertanian/ladang 5.873,5 ha, sawah 2.823 ha, lain-lain 770,5 ha,

serta pemukiman dan pekarangan 395,5 ha. Mata pencaharian mayoritas

penduduk adalah sebagai buruh 47,22% (8.527 orang), disusul

perikanan/peternakan/ perkebunan 20,78% (3.752 orang), petani 16,67%

(3.010 orang), pedagang 6,57 % (1.187 orang), jasa 5,68% (1.026 orang),

wiraswasta 1,99 % (359 orang), PNS 1,05% (190 orang) serta ABRI 0,04

% (7 orang).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Eksplorasi Tanaman Obat dan Tanaman Anggrek di TNGHS

Eksplorasi adalah kegiatan pelacakan atau penjelajahan guna

mencari, mengumpulkan, dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk

mengamankan dari kepunahan (Kusumo et al., 2002 dalam Krismawati dan

Sabran, 2004). Eksplorasi merupakan langkah awal dari konservasi

tanaman yang semakin langka. Eksplorasi tanaman obat dan anggrek di

TNGHS dilakukan selama 3 (tiga) hari. Kegiatan dimulai dengan persiapan

kegiatan diantaranya adalah pembentukan tim eksplorasi dan penentuan

lokasi yang akan dipilih untuk kegiatan eksplorasi. Tempat untuk kegiatan

eksplorasi dipilih melalui studi literatur yaitu jalur Loop Trail Cikaniki-

Citalahab dengan kisaran ketinggian 1000-1900 m dpl. Peralatan yang

digunakan untuk melakukan eksplorasi yaitu gunting stek, golok, kantung

plastik, karung, dus karton, lakban, karet gelang, tali rafia, kertas label, dan

pelepah pisang (debog) (Damayanti et al., 2014). Kegiatan eksplorasi

meliputi pengambilan spesimen di jalur eksplorasi, pengangkutan spesimen

di lapangan, pemisahan spesimen, identifikasi spesimen, pengemasan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 111

spesimen, pelabelan, pengangkutan spesimen ke lokasi demplot,

penanaman, dan penyimpanan sementara yang tertera pada Gambar 1.

Eksplorasi pada jalur Cikaniki-Citalahab menemukan 14 (empat belas)

jenis tanaman obat dan 68 (enam puluh delapan) jenis anggrek yang

tergolong pada 29 (dua puluh sembilan) marga (Damayanti et al., 2014).

Gambar 1. Tahapan kegiatan eksplorasi tanaman obat dan

anggrek di TNGHS

B. Pembangunan Demplot Tanaman Obat dan Anggrek di TNGHS

Upaya untuk mempertahankan sumber daya genetik baik berupa

tanaman obat maupun tanaman anggrek perlu dilakukan. Hal ini

disebabkan karena kemungkinan adanya gangguan dan perubahan yang

terjadi secara alami di dalam hutan, sehingga keberadaan tanaman dapat

berubah. Krismawati dan Sabran (2004) menyatakan bahwa upaya

1. Pengambilan spesimen

3. Pemisahan spesimen

2. Pengangkutan specimen

6. Pelabelan spesimen

4. Identifikasi spesimen

5. Pengemasan spesimen

7. Pengangku tan spesimen

9. Penyimpa nan sementara

8. Penanaman

112| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

konservasi dapat dilakukan secara eksitu dalam bentuk kebun koleksi,

visitor plot dan pot-pot pemeliharaan. Upaya konservasi eksitu tanaman

obat dan tanaman anggrek di TNGHS yaitu melalui pembangunan demplot

yang bertujuan untuk:

1. Mengkoleksi berbagai jenis tanaman obat dan anggrek yang terdapat di

dalam kawasan TNGHS.

2. Langkah awal kegiatan konservasi eksitu jenis-jenis tanaman obat dan

anggrek yang terdapat di dalam kawasan TNGHS.

3. Menambah ketrampilan petugas taman nasional mengenai budidaya

tanaman obat dan anggrek serta memberi peluang usaha secara

komersil.

4. Pembuatan contoh budidaya tanaman obat dan anggrek bagi masyarakat

sekitar taman nasional.

5. Membuat media pembelajaran untuk transfer ilmu pengetahuan

masyarakat sekitar kawasan mengenai budidaya tanaman obat dan

anggrek.

Demplot berukuran 3mx12m yang dibangun di sebelah kiri kantor

SKW III Sukabumi dengan pertimbangan: 1) Demplot akan menjadi media

pembelajaran dan percontohan bagi masyarakat sekitar kawasan TN serta

menjadi bagian program Model Kampung Konservasi (MKK) yang masuk

di SKW III Sukabumi, 2) Terdapat lahan kosong di sebelah kantor SKW III

Sukabumi yang berpotensi untuk pembuatan demplot, sehingga menghemat

anggaran penyediaan lahan, 3) Lokasi demplot tepat di dekat kantor SKW

III Sukabumi memudahkan akses petugas TN untuk melakukan

pemeliharaan, pengawasan dan pengembangan. Adapun lay out demplot

tertera pada Gambar 2. Pembangunan demplot meliputi beberapa tahapan

yang tertera pada Tabel 1 dan Gambar 3.

Tabel 1. Tahapan pembangunan demplot tanaman anggrek dan obat di

TNGHS No. Tahapan kegiatan Deskripsi

1. Perencanaan Perencanaan dilakukan selama 2 (dua) hari meliputi

diskusi tim kerja untuk menentukan lokasi demplot,

menggambar lay out demplot, menentukan tata

waktu, rencana biaya, serta pembagian tugas di antara

anggota tim.

2. Persiapan lahan Kegiatan persiapan dilakukan selama 2 (dua) hari

meliputi pembersihan rumput dan alang-alang,

perataan, serta pengukuran lahan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 113

No. Tahapan kegiatan Deskripsi

3. Penyediaan bahan

baku pembangunan

demplot

Bahan baku yang dipersiapkan meliputi bahan

bangunan berupa balok kayu, besi, semen, asbes, ram

kawat.

4. Penyediaan media

tanam dan

pemeliharaan

tanaman

Bahan baku yang disediakan yaitu pot dari tanah liat,

arang, pakis, tanah, pupuk, buku petunjuk budidaya

dan perawatan tanaman, sprayer.

5. Pembangunan

demplot

Pembangunan demplot selama 16 (enam belas) hari,

meliputi pembuatan rangka, pondasi, kerangka,

pemasangan atap, pemasangan dinding, penataan

lantai, pemasangan seeding net, pemasangan pintu,

pembuatan pagar, dan penataan ruang.

Gambar 2. Lay out demplot tanaman obat dan anggrek di SKW III Sukabumi,

TNGHS

Keterangan : 1. Rak Susun

2. Tak Tangga 3. Bedengan

Anggrek

Tanah

4. Bedengan

Tanaman

Obat 5. Pintu

6. Pagar 4

12 m

3m

U

U

6

2

1

2

2

5

3

4

3

KANTOR SKW III

SUKABUMI

114| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Tahapan kegiatan pembangunan demplot tanaman obat dan

anggrek di TNGHS

Kegiatan pengelolaan demplot melibatkan seluruh staf yang ada di

kantor SKW III Sukabumi dengan tahapan kegiatan tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan kegiatan pengelolaan demplot tanaman anggrek dan obat

No Kegiatan Deskripsi

1. Tahap I

a. Pemeliharaan Penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,

memastikan nama-nama jenis berdasarkan buku

identitas hasil.

b. Kelembagaan Pembagian tugas/ peran dalam seksi.

c. SDM 1) Studi lapangan ke Taman Anggrek Kebun Raya

Bogor 2) pelatihan mengenai budidaya tanaman

obat dan anggrek bagi PEH dan masyarakat sekitar

kawasan (MKK dan non MKK) dengan

mendatangkan tentor ahli budidaya tanaman obat

dan anggrek.

d. Penelitian Uji spesies tanaman obat dan anggrek.

2. Tahap II

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 115

No Kegiatan Deskripsi

a. Pemeliharaan Penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,

pemisahan makan.

b. Kelembagaan Penguatan organisasi dalam seksi yang mengarah

pada pembangunan unit usaha, analisa pasar.

c. SDM Pelatihan bagi PEH dan masyarakat sekitar kawasan

(MKK dan non MKK) mengenai pembiakan

vegetatif dan pelatihan mengenai usaha anggrek

secara komersiil.

d. Penelitian Pengamatan pembungaan anggrek, perolehan F1.

3. Tahap III

a. Pemeliharaan Penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,

penggantian media, pemisahan makan.

b. Kelembagaan Pemantapan kelembagaan dibentuk unit ekonomi,

penguatan jaringan keluar/ pasar.

c. SDM Pelatihan teknik penyilangan dan pelatihan usaha

anggrek.

d. Penelitian Pengamatan pembungaan anggrek, perolehan F2,

penyilangan, pendokumentasian hasil-hasil riset

dalam bentuk buku.

4. Perluasan dampak Pelatihan kepada kelompok masyarakat binaan dan

pembuatan persemaian anggrek di masyarakat.

Manfaat dari pembangunan demplot tanaman obat dan anggrek di

TNGHS yaitu:

a. Adanya alternatif kegiatan pemberdayaan masyarakat di SKW III

Sukabumi, TNGHS (Widyaningsih, 2013).

b. Tersedianya informasi mengenai jenis-jenis tanaman obat dan anggrek

yang terdapat di TNGHS.

c. Terjadinya transfer pengetahuan dan ketrampilan mengenai budidaya

tanaman obat dan anggrek dari petugas TNGHS ke masyarakat.

Pembangunan demplot tanaman obat dan anggrek di TNGHS

memiliki dampak positif seperti halnya pembangunan demplot-demplot

tanaman di daerah lain. Keberadaan demplot tanaman obat pada kelompok

PKK Dusun Sukarejo dan Karangharjo Desa Rantau Karya, Kecamatan

Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi memberi

dampak pada peningkatan pengetahuan ibu-ibu PKK tentang tanaman obat

sekaligus memanfaatkan dan meningkatkan fungsi pekarangan sebagai

penyedia tanaman obat (Duaja et al., 2011). Dampak positif juga dirasakan

petani anggota Kelompok Tani Majujaya Kelurahan Talang Babat

116| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kecamatan Muara Sabak Barat Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang

dengan pembuatan demplot jahe merah unggul disertai dengan sosialisasi,

penyuluhan, dan pendampingan, terjadi peningkatan jumlah petani yang

menanam jahe di pekarangan rumah serta peningkatan pengetahuan dan

keterampilan petani dalam budidaya jahe merah (Latief et al., 2013).

Praktek percontohan budidaya tanaman anggrek melalui demplot juga

meningkatkan keterampilan dan minat masyarakat Desa Cinunuk,

Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung dalam membudidayakan

tanaman anggrek (Murgiyanti et al., 2007).

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

Pembangunan demplot tanaman obat dan anggrek di TNGHS selain

bermanfaat sebagai sarana koleksi dan konservasi eksitu tanaman obat dan

anggrek yang ada di TNGHS juga dapat menjadi media percontohan bagi

masyarakat dalam mengembangkan usaha HHBK alternatif. Keberadaan

demplot juga dapat menjadi media belajar petugas TN yang dapat

ditransfer ke masyarakat serta menjadi alternatif kegiatan pemberdayaan

masyarakat di daerah penyangga TN.

Kajian ini memiliki keterbatasan karena belum dapat mengevaluasi

tingkat keberhasilan demplot tanaman obat dan anggrek terhadap

peningkatan kapasitas masyarakat dan petugas TNGHS serta peningkatan

ekonomi masyarakat yang mengembangkan tanaman obat dan anggrek

dalam jangka panjang, sehingga ke depan diperlukan kegiatan evaluasi

pengaruh keberadaan demplot tanaman obat dan anggrek terhadap

peningkatan kapasitas dan ekonomi masyarakat serta pengelola kawasan

konservasi. Keberadaan demplot harus dipelihara dengan merawat koleksi

yang ada, menambah koleksi yang dapat diperoleh melalui eksplorasi di

jalur lainnya dengan tetap berpegang pada prinsip konservasi, serta

melakukan kegiatan evaluasi terhadap keberhasilan tumbuh tanaman di

dalam demplot dan di masyarakat.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 117

DAFTAR PUSTAKA

BTNGHS. 2011. Overview Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

http://www.tnhalimun.go.id/static/overview.html. Diakses 4

November 2014.

BTNGHS. 2014. Keanekaragaman Hayati Flora. halimunsalak.org/

tentang-kami/keanekaragaman-hayati/. Diakses 30 November

2014.

Damayanti, R.U., A. Hani, dan T.S. Widyaningsih. 2014. Potensi Tanaman

Anggrek dan Tanaman Obat di Taman Nasional Gunung Halimun

Salak. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Hutan

Bukan Kayu di Yogyakarta tanggal 6 November 2014.

Duaja, M.D., E. Kartika dan F. Mukhlis. 2011. Peningkatan Kesehatan

Masyarakat melalui Pemberdayaan Wanita dalam Pemanfaatan

Pekarangan dengan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di

Kecamatan Geragai. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat No. 52

Tahun 2011. ISSN: 1410-0770. Hal 74-79.

Harada, K., Widada, A.J. Arief, H. Kobayashi, T. Okayama, N. Sakaguchi,

dan S. Ozawa. 2003. Taman Nasional Gunung Halimun

“Menyingkap Kabut Gunung Halimun”. JICA-P2B LIPI-TNGH

Dirjen PHKA. Sukabumi.

Krismawati, A. dan M. Sabran. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Genetik

Tanaman Obat Spesifik Kalimantan Tengah. Buletin Plasma

Nutfah Vol.12 No.1 Th.2004. Hal 16-23.

Latief, M., F. Tafzi dan Aryunis. 2013. Pemanfaatan Pekarangan untuk

Budidaya Tanaman Jahe Merah untuk Meningkatkan Pendapatan

Keluarga Petani di Kelurahan Talang Babat Kecamatan Muara

Sabak Barat Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jurnal Pengabdian

pada Masyarakat No. 55 Tahun 2013. ISSN: 1410-0770.

Murgiyanti, E. Suminar, dan D. Sobardini S. 2007. Pemanfaatan

Pekarangan di Kompleks Perumahan untuk Budidaya Tanaman

Anggrek. Dharmakarya. Jurnal Aplikasi Iptek untuk Masyarakat,

Desember 2007.

118| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil

Hutan Bukan Kayu.

Pribadi, E.R. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia Serta

Arah Penelitian dan Pengembangannya. Perspektif Vol. 8 No. 1 /

Juni 2009. Hlm 52-64. ISSN: 1412-8004.

Redaksi AgroMedia. 2002. Anggrek: bunga dengan aneka pesona bentuk

dan warna. Cetakan 1. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Setiani, T., E.F. Sari, K. Usri. 2007. Penerapan Penggunaan Daun Lidah

Buaya(Aloe vera) untuk Pengobatan Stomatitis Aftosa (Sariawan)

di Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.

Dharmakarya. Jurnal Aplikasi Iptek untuk Masyarakat, Desember

2007.

Sofowora. 1982. Medicinal Plant and Traditional Medicine in Africa.

http:// www.mapbd.com/wmp.htm

Widyaningsih, T.S., 2013. Kajian Alternatif Model Pemberdayaan

Masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Al-Basia

vol. 9 No. 2, Desember 2013. Hal. 14-25.

Wikipedia. 2014. Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Id.m.wikipedia.org/wiki/Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Diakses 28 November 2014.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 119

POTENSI AGROFOREST MEDANG BAMBANG LANANG (Michelia

champaca) DALAM MENDUKUNG KEMANFAATAN

HASIL HUTAN NON KAYU DIKECAMATAN MUARA PAYANG

KAWASAN LEMATANG ULU, SUMATERA SELATAN

EndahKusuma Wardhani1)

and Dona Octavia2)

1)DinasKehutanandan Perkebunan Kab. Kebumen-Jawa Tengah

2)PuslitbangKonservasidanRehabilitasi-Bogor

Email: [email protected]

ABSTRAK

Kawasan Lematang Ulu Sumatera Selatan memiliki peranan penting sebagai

daerah penyangga ekosistem di bawahnya. Adanya penutupan vegetasi berupa

agroforest juga berfungsi sebagai pemasok kebutuhan kayu untuk Kabupaten

Lahat dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi agroforest

medang bambanglanang (Michelia champaca) dalam mendukung kemanfaatan

hasil hutan non kayu dengan mengkaji struktur dan komposisi tegakan dalam

pengelolaan agroforest berbasismedang bambang lanang MBL (Michelia

champaca). Penelitian dilakukan di Kecamatan Muara Payang (Kabupaten

Lahat) di agroforest Kawasan Lematang Ulu. Tiga lokasi dipilih berdasarkan

purposive sampling method untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi vegetasi di wilayah kajian

terdiri atas7 jenis vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis herba.

Jenis dominan tingkat pohon adalah MBL, gamal (Gliricida sepium (Jacq.)

Kunth ex Walp), durian (Durio zibethinus Murr)danlamtoro (Leucaena

leucocephala) sedangkan pada tingkat pancang dijumpai Kopi (Coffea sp.) dan

kakao (Theobroma cacao).

Kata kunci: Michelia champaca, struktur dan komposisi tegakan, praktek

agroforestry, Indeks Nilai Penting, hasil hutan non kayu

I. PENDAHULUAN

Penggunaan lahan pada daerah hulu secara rasional membutuhkan

sistempenggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi,

produktifitas danpemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan. Hal ini

dapat terwujud salah satunya melalui sistem penggunaanlahan berupa hutan

rakyat (agroforest). Agroforest merupakan salah satu sistem pengelolaan

lahan yang bisa ditawarkan guna mengatasi permasalahan yang timbul

120| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

akibat alih guna lahan dan sekaligus mengatasi masalah pangan (Hairiah,

Sardjono, dan Sabarnurdin, 2003).

Hutan rakyat berperan penting dalam kehidupan sosial dan

ekonomi masyarakat. Penutupan vegetasi hutan rakyat di Lematang Ulu

memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem secara keseluruhan.

Namun keberadaan hutan rakyat di wilayah tersebut belum ditopang

dengan informasi yang cukup seperti struktur dan komposisi jenis.

Demikian juga potensi kayu maupun non kayu hutan rakyat belum dikaji.

Michelia champaca, sebagai salah satu jenis pohon penghasil kayu

pertukangan komersil, di beberapa daerah, populasinya sudah jarang

dijumpai. Namun di Sumatera Selatan, M. champaca yang dikenal dengan

nama pohon Medang bambang lanang, telah dibudidayakan secara swadaya

oleh masyarakat. Cempaka (Michelia champaca Linn.) yang termasuk

famili Magnoliaceae dengan serat kayu yang halus, selain memilki hasil

kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri, konstruksi,

furniture, vinir, plywood, particle board, ukiran dan barang-barang

dekorasi, juga memiliki hasil non kayu menghasilkan bunga untuk wangi-

wangian dan untuk bahan baku minyak atsiri yang mempunyai nilai jual

tinggi dan berpotensi sebagai tanaman obat.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka kajian akan dilakukan pada

struktur dan komposisi tegakan dalam pengelolaan agroforest berbasis

Medang Bambang Lanang di kawasan Lematang Ulu, khususnya di

Kecamatan Muara Payang. Pemilihan lokasi di kawasan Lematang Ulu ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah ini merupakan daerah

penyangga ekosistem untuk wilayah dibawahnya. Penelitian ini bertujuan

mengetahui potensi agroforest medang bambanglanang (Michelia

champaca) dalam mendukung kemanfaatan hasil hutan non kayu dengan

mengkaji struktur dan komposisi tegakan dalam pengelolaan agroforest

berbasis medang bambang lanang MBL (Michelia champaca. Penelitian ini

berbeda dibandingkan penelitian agroforest sebelumnya karena jenis yang

dominan dalam agroforest ini adalah medang bambang lanang (Michelia

champaca) yang memiliki potensi multiguna tinggi namun belum banyak

diketahui. Demikian juga komponen agroforest yang terdapat didalamnya

ternyata menghasilkan produk hasil hutan non kayu yang cukup beragam.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 121

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah hutan rakyat di Kecamatan Muara

Payang, Kabupaten Lahat, yang termasuk kawasan Lematang Ulu, Propinsi

Sumatera Selatan. Pertimbangan pemilihan lokasi ini karena Lematang

Ulu merupakan daerah hulu yang merupakan daerah tangkapan air

termasuk ke dalam wilayah kerja BPDAS Musi bagian sub DAS Lematang

dengan memiliki luas 190.350,47 ha sehingga mempunyai fungsi strategis

sebagai daerah penyangga ekosistem untuk wilayah di bawahnya.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010.

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian yaitu tanaman yang ada di lahan hutan rakyat

yang dikelola melalui sistem hutan rakyat dengan tanaman pokok medang

bambang lanang (MBL).

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Seperangkat alat pembuatan petak ukur (PU) yaitu tali tambang,

kompas, pita meter.

2. Blangko pengamatan (tally sheet) dan alat tulis menulis

3. Kamera digital

C. Metode Pengumpulan Data

C.1. Penentuan Lokasi Penelitian dan Sampel

Lokasi penelitian dipilih secara purposiveberdasar kriteria ada dan

tidaknya tanaman medang bambang lanang yang diusahakan oleh petani,

yaitu di Kecamatan Muara Payang yang termasuk kawasan Lematang

Ulu.Pengambilan sampel hutan rakyat dilakukan secara acak (random

sampling) sebanyak tiga sampel hutan rakyat. Pada masing-masing sampel

hutan rakyat tersebut dilakukan pengambilan data vegetasi menggunakan

metode Garis Berpetak (Nested Sampling) dengan ulangan sebanyak empat

kali (Wezelet.al, 2005), sehingga diperoleh dua belas plot berukuran

masing-masing 0,04 ha. Total luasan yang diamati untuk keseluruhan

lokasi adalah 0,48 ha.

122| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

C.2. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data vegetasi

(jenis, jumlah, tinggi tanaman, keliling/diameter, tinggi bebas cabang,

tingkat pertumbuhan tanaman) untuk keperluan analisis vegetasi sehingga

dapat dibedakan vegetasinya antar satu lokasi dengan yang lain.

C.3. Prosedur Pengambilan Data

Pengukuran vegetasi dilakukan pada lahan hutan rakyat berbasis

medang bambang lanang. Mengacu pada Indriyanto (2006), untuk

mendapatkan data vegetasi digunakan Metode Garis Berpetak (Nested

Sampling) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran luas petak 2x2 m²

(untuk tingkat semai), 5x5 m² (untuk tingkat pancang), 10x10 m² (untuk

tingkat tiang) dan 20x20 m² (untuk tingkat pohon). Jarak antar petak ukur

dibuat 20 m. Bentuk dan gambar ukuran lokasi pengamatan serta

peletakannya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.

.

Gambar 1. Desain Jalur Pengamatan vegetasi

Keterangan :

T : pengamatan tingkat pohon (tree) 20 m x 20 m

P : pengamatan tingkat tiang (pole)10 m x 10 m

Sp : pengamatan tingkat pancang (sapling) 5 m x 5 m

Sd : pengamatan tingkat semai (seedling) 2 m x 2 m

Klasifikasi tingkat pertumbuhan vegetasiadalah sebagai berikut:

(a) Pohon (trees), yaitu tumbuhan yang memiliki diameter 20 cm keatas;(b)

Tiang (poles), yaitu pohon muda yang memiliki diameter 10 – 20 cm;

Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m atau lebih

sampai pohon muda yang memiliki diameter 10 cm;dan Semai (seedling),

Arah rintis

Jarak antar jalur 20 m

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 123

yaitu anakan pohon sampai mencapai tinggi hingga 1,5 m(Soerinegara dan

Indrawan, 2005).

D. Analisis Data

D.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi

Parameter vegetasi yang dianalisis meliputi jenis tanaman, tinggi

dan diameter tanaman. Parameter tersebut dianalisis untuk mengetahui

komposisi vegetasi hutan rakyat dengan menggunakan Indeks Nilai Penting

(Important Value Index) yang dapat menggambarkan kerapatan,

penyebaran jenis (frekuensi), penguasaan jenis (dominansi) dan peran jenis

(INP). Perhitungan dilakukan dengan mengacu pada rumus yang

dikemukakan oleh Kusmana (1997) sebagai berikut:

Kerapatan jenis = jumlah individu / luas petak

Kerapatan Relatif (KR) (%) = kerapatan suatu jenis x100%

kerapatan seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah Plot ditemukan suatu jenis/Jumlah total plot

Frekuensi Relatif (FR) (%) = Frekuensi Suatu Jenis x 100 %

Frekuensi total Jenis

Dominansi = Luas bidang dasar dalam petak/luas petak

Dominansi Relatif (DR) (%) = Dominansi Suatu Jenis x 100 %

Dominansi Seluruh Jenis

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur dan komposisi vegetasi pada lokasi kajian Kec. Muara

Payang Kab. Lahat

Struktur dan komposisi jenis penyusun vegetasi agroforest di

Lokasi Lematang Ulu diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut:

Tabel 1. Rekapitulasi jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi agroforest MBL di Kecamatan Muara Payang, Lematang Ulu.

Plot Lokasi Tingkat Pertumbuhan Jumlah

individu

Jumlah

jenis Pohon Tiang Pancang Semai

A1 Muara Payang 1 100 83 533 1,375 2,092 6

A2 Muara Payang 2 88 117 533 770 1,508 6

A3 Muara Payang 3 94 108 533 1,687 2,423 7

124| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Berdasarkan hasil pengamatan komposisi vegetasi, di Kec. Muara

Payang hanya ditemukan 7 jenis vegetasi yang terdiri atas : tingkat pohon

(3 jenis), tingkat tiang (3 jenis), tingkat pancang (3 jenis) dan tingkat semai

(4 jenis). Jumlah jenis di lokasi ini tergolong sedikit dibandingkan dengan

jumlah jenis agroforestry di Kec. Cangkringan pada zona bawah sebanyak

47 jenis (Irfa’I, 2009). Hal ini dikarenakan jenis yang ditanam sesuai yang

diinginkan dan diusahakan oleh petani, seperti jenis MBL, gamal, durian,

lamtoro, kopi, kakao dan cabe. Untuk jenis utama yang diusahakan secara

turun temurun adalah jenis MBL dan kopi, akan tetapi jika dilihat dari

jumlah individu seperti ditunjukkan dalam tabel 4 memiliki jumlah

individu yang cukup banyak rata-rata 1.939 batang/per ha. Dalam setiap

tingkat pertumbuhan tidak selalu terdapat jenis yang sama. Jenis MBL dan

durian hanya bisa ditemukan pada tingkat pohon, tiang dan pancang, dan

jenis MBL mendominasi Muara Payang pada tingkat pertumbuhan pohon

dengan nilai INP sebesar 206,2. Sedangkan durian sebagai usaha

sampingan berupa buah durian.Jenis-jenis penyusun utama dengan INP

tertinggi disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi INP (%) vegetasi penyusun agroforest MBL per

tingkat pertumbuhan di Kec. Muara Payang

No jenis Nama Ilmiah INP Tingkat Pertumbuhan

Pohon Tiang Pancang Semai

1 MBL M. champaca 206,2 84,2 0 0

2 Gamal G. sepium 39,99 167,03 0 0

3 Durian D. zibethinus 38,71 0 16,40 61,67

4 Lamtoro L. leucocephala 15,12 48,7 0 29,54

5 Kopi Coffea sp 0 0 246,82 80,49

6 Kakao T. cacao 0 0 36,78 11,78

7 Nangka A. heterophyllus 0 0 0 16,50

Jumlah 300 300 300 200

(Sumber : Hasil olah data primer 2010)

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa tidak dijumpai individu pada

tingkat pertumbuhan semai dan pancang untuk jenis MBL (Michelia

champaca) dan gamal (Gliricidia sepium).Untuk mengatasi gap fase

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 125

pertumbuhan ini, maka budidaya MBL maupun gamal adalah hal yang

penting dilakukan untuk menjaga kelestarian dan kontinuitas jenis tersebut.

Pada tingkat pohon didominasi oleh jenis MBL dengan INP

sebesar 206,2. Struktur dan komposisi yang ada sudah hampir menyerupai

hutan alam dengan memiliki multistrata, yang memungkinkan untuk

pembagian cahaya matahari secara merata sehingga proses metabolisme

pertumbuhan tanaman lebih optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat

Michon dan de Foresta (2003) yang menyatakan bahwa agroforest yang

memiliki kemiripan struktur dan fungsinya dengan ekosistem hutan alam

memunculkan sistem produksi yang mampu secara berkelanjutan

melestarikan kesuburan tanah, dan sekaligus melestarikan sebagian besar

keanekaragaman hayati hutan alam, baik hewan maupun tumbuhan.

Pada tingkat tiang didominasi oleh gamal dengan INP sebesar

167,03, hal ini dikarenakan gamal merupakan tanaman penaung bagi MBL

dan kopi pada saat awal penanaman. Pada tingkat pancang didominasi oleh

kopi dengan INP sebesar 246,82. Demikian juga pada tingkat semai,

didominasi oleh kopi dengan INP sebesar 80,49. Hal ini membuktikan

bahwa tanaman kopi yang merupakan produk sampingan dari pola

agroforestri di Kec. Muara Payang berpotensi untuk dapat dipanen secara

berkala atau tahunan selain kayu MBL yang merupakan tanaman utama

yang diusahakan guna investasi di masa mendatang. Indikasi ini juga

menunjukkan bahwa semai kopi yang ada merupakan sisa-sisa biji kopi

yang berserakan di tempat sehabis masa panen dan dibiarkan begitu saja

sampai tumbuh menjadi semai. Terlihat bahwa pada tingkat semai jenis

MBL hampir tidak ada sama sekali, bertolak belakang dengan kopi dan

durian yang masih banyak memiliki permudaan. Hal tersebut bisa

dijelaskan bahwa semai kopi dan durian yang ada merupakan permudaan

alami yang secara tidak sengaja dilakukan oleh petani ketika memanen

buah kopi dan durian pada saat musim kopi dan durian petani

meninggalkan buah kopi yang berceceran sambil memakan durian dan

meninggalkan biji-biji durian di lantai kebun, sehingga ketika pada kondisi

optimal tumbuh menjadi semai. Kondisi kebun yang sudah hampir

menyerupai hutan alam, mampu memberikan kondisi yang ideal bagi biji

kopi dan durian untuk bisa melakukan proses pertumbuhan menjadi semai.

126| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sedangkan jenis MBL secara berkala dipanen buahnya oleh petani guna

dijadikan benih dan bibit yang diusahakan sendiri, atau dengan kata lain

petani melakukan pembenihan dan pembibitan sendiri secara generatif,

sehingga semai yang tumbuh secara alami tidak ditemui di lokasi kajian ini

pada saat pengambilan data. Akan tetapi jika pengambilan buah terlambat

waktunya maka akan banyak ditemukan anakan atau semai di bawah

tegakan MBL.

Seperti yang terjadi pada beberapa lokasi yang mengalami

keterlambatan pemanenan buah pada awal tahun 2010, tepatnya bulan

April - Mei pada saat setelah penelitian ini berlangsung. Hasil permudaan

MBL ditemukan 100 – 700/m² semai di bawah sengkuap tajuk (Lukman,

2010). Hal ini menunjukkan bahwa permudaan dari jenis ini sebenarnya

melimpah akan tetapi karena jenis MBL termasuk intoleran maka tidak

semua semai mampu bertahan sampai pada tingkat pohon akibat persaingan

cahaya. Berdasarkan informasi terbaru (Lukman,2010), pada tahun 2010

MBL mengalami masa pembungaan dan pembuahan yang berbeda dari

tahun-tahun sebelumnya yaitu 1 tahun 2 kali pada bulan November –

Januari dan Juli–September sehingga mengakibatkan kesulitan dalam

memprediksi waktu masa panen raya dan panen sela. Secara kebetulan saja

pada waktu pengambilan data di lokasi Muara Payang buah MBL sudah

diunduh, dan pemeliharaan pada lahan teramati cukup bagus dengan

adanya penyiangan termasuk semai MBL ikut dibersihkan karena prioritas

tanaman kopi yang diusahakan sehingga tidak dijumpai anakan MBL

tersebut. Menurut Arlanda (2008) benih MBL memerlukan waktu yang

lama untuk berkecambah sehingga mengakibatkan penyediaan bibit secara

masal untuk penanaman terganggu. Menurut Arlanda (2008) lebih lanjut

menyatakan bahwa perkecambahan benih yang lambat dan tidak serentak

merupakan salah satu permasalahan serius dari pembibitan tanaman hutan.

Benih tanaman MBL apabila disimpan dalam jangka waktu yang

lama di dalam lemari pendingin masih mampu tumbuh dan meskipun kadar

airnya diturunkan hingga batas tertentu diatas kadar air biji ortodoks juga

masih bisa tumbuh, dan pada kondisi masih segar baru diunduh langsung

dikecambahkan tanpa perlakuan pendahuluan juga masih bisa tumbuh. Hal

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 127

ini menunjukkan bahwa benih MBL memiliki sifat “semi-rekalsitran”

(Hasanah, 2002).

Perlu perlakuan pendahuluan untuk memudahkan benih

berkecambah, dan perkecambahan berlangsung cepat dan seragam. Salah

satunya yang dilakukan oleh Arlanda (2008) memberikan hasil bahwa sifat

fisik benih MBL memiliki kulit keras dengan tipe perkecambahan epygeal

dengan perlakuan alkohol 80 % memberikan hasil yang tertinggi pada

parameter kecepatan tumbuh (25 hari). Hasil tersebut lebih lambat

dibandingkan dengan hasil wawancara dengan salah satu kelompok petani

yang mengusahakan pembibitan di Kec. Muara Payang dengan hanya

melakukan perlakuan pendahuluan secara tradisional (perlakuan

pembakaran selintas di bedeng tabur yang tertutup oleh mulsa) memerlukan

waktu rata-rata 21 hari berkecambah. Dengan demikian para petani di Kec.

Muara Payang sudah mampu melakukan pembibitan mandiri guna

memenuhi kebutuhan akan bibit di lokasi Kabupaten Lahat dan sekitarnya

dengan harga jual per batang Rp.1000,00.

B. Potensi agroforest medang bambang lanang (Michelia champaca)

dalam mendukung kemanfaatan hasil hutan non kayu

Hasil hutan non-kayumenurut Badan Pangan Dunia (FAO) adalah

hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh dari hutan tanpa harus

menebang pohon. Beberapa contoh hasil hutan bukan kayu adalah hasil-

hasil yang dapat dimakan (seperti kacang-kacangan, jamur, buah, herba,

bumbu dan rempah-rempah, tanaman beraroma) dan satwa/hewan buruan,

serat (yang digunakan untuk konstruksi, mebel, pakaian dan perkakas),

damar, resin, karet, madu serta hasil tanaman dan binatang yang digunakan

untuk obat, kosmetik dan kepentingan budaya. FAO menaksir 80%

penduduk di negara berkembang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu

untuk kesehatan dan sumber nutrisi dan satu-satunya sumber bagi ibu

rumah tangga miskin untuk dijadikan uang dan manfaat langsung dari hasil

hutan bukan kayu. Jutaan rumahtangga didunia ini, menggantungkan

hidupnya terutama pada hasil hutan bukan kayu sebagai kebutuhan

sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri (subsisten).

Di Kecamatan Muara Payang, selain ketujuh tumbuhan berkayu

(Tabel 2), dijumpai pula tanaman semusim diantaranya padi, kedelai,

128| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kacang tanah, singkong, jagung, terong, cabe dan tanaman herba

diantaranya kirinyuh, cemplukan, putri malu, bluntas, rumput teki.

Masyarakat beralasan bahwa kayu MBL memiliki prospek yang cukup

bagus baik dari segi kualitas batangnya dan harga jual kayu tersebut.

Heyne (1987) mengemukakan bahwa kualitas batang kayu MBL, kayunya

agak keras dan penggunaannya terdapat pada bangunan rumah. Jenis ini

dipergunakan untuk tiang dan papan dan dapat digolongkan dalam kelas

ketahanlamaan IV dan III. Harga jual pada tahun 2005 menurut

Ulya.Waluyo dan Martin (2006) diketahui bahwa pada umur 10 tahun

pohon MBL sudah dapat dipanen dengan volume 0,5 m3/pohon tetapi

harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15 tahun yaitu dengan

harga Rp 900.000,-/m3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya rata-

rata 1 m3/pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp 1.000.000,-/m3.

Lebih lanjut menurut Ulya et al., (2006) secara umum analisis finansial

budidaya pohon MBL secara murni maupun campuran layak diusahakan

karena nilai BCR>1 dengan tingkat suku bunga yang digunakan adalah

12%. Permintaan kayu MBL sampai saat ini masih cukup tinggi, akan

tetapi persediaan kayu MBL hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal

masyarakat di sekitar kabupaten Lahat guna membuat rumah dan furnitur

(Martin dan Galle, 2009). Tingginya permintaan kayu MBL sehingga

peluang untuk budidaya masih cukup tinggi.

Beberapa hasil hutan non kayu yang dijumpai dalam pola

agroforest di Kecamatan Muara Payang antara lain:

1. Hasil-hasil yang dapat dimakan, antara lain kacang-kacangan (kacang

tanah dan kedelai), singkong, jagung, terong, cabe, buah-buahan

(durian, nangka, lamtoro, kopi, kakao)

2. Hasil tanaman untuk obat-obatan, antara lainbunga cempaka

kuning/MBL (Michelia champaca) untuk bahan baku minyak atsiri

yang mempunyai nilai jual tinggi dan berpotensi sebagai tanaman obat.

Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat adalah bunga, daun, buah,

akar, kulit batang dan getah. Bagian tumbuhan yang paling banyak

digunakan adalah bunga. Bunga MBL mengandung senyawa metabolit

sekunder terpenoid. Daun MBL mengandung saponin yang dapat

menghambat pertumbuhan jamur. Terdapat 21 macam penyakit yang

dapat diobati menggunakan bagian tumbuhan ini yaitu diantaranya

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 129

rematik, masuk angin, asam urat, malaria, penambah stamina,

melangsingkan perut, lulur, cacar, sakit kepala, demam,lepra, gatal-gatal

dan bisul(Zumaidar, 2009). Demikian juga tanaman semusim kirinyuh

(Chromolaena odorata) adalah sebagai obat kanker.

Tanaman semusim Ciplukan/cemplukan (Physalis angula) untuk

mengobati diabetes mellitus. Daunnya bermanfaat sebagai obat

penyembuhan patah tulang, busung air, bisul, borok, penguat jantung,

keseleo, nyeri perut, dan kencing nanah.Sedangkan buah ciplukan

sendiri sering dimakan langsung untuk mengobati epilepsi, sulit buang

air kecil, dan penyakit kuning. Pohon cemplukan mengandung senyawa-

senyawa aktif yang antara lain saponin (pada tunas), flavonoid (daun

dan tunas), polifenol, dan fisalin (buah), Withangulatin A (buah), asam

palmitat dan stearat (biji), alkaloid (akar), Chlorogenik acid (batang dan

daun), tannin (buah), kriptoxantin (buah), vitamin C dan gula (buah).

3. Wangi-wangian, antara lain bunga cempaka. Minyak atsiri yang

terdapat dalam bunga MBL mengandung senyawa terpenoid dan fenol

yang menghasilkan bau harum yang khas (Harbone, 1987 dalam

Zumaidar, 2009).

Dengan semakin tingginya diversitas komponen dalam suatu

agroforest maka akan meningkatkan peluang semakin banyaknya potensi

hasil hutan non kayu yang diperoleh.

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Komposisi jenis vegetasi di Kecamatan Muara Payang adalah 7 jenis

vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis herba liar. Jenis

yang dominan pada tingkat pohon adalah MBL dengan INP sebesar

206,2%; tingkat tiang didominasi oleh gamal dengan INP

sebesar167,03%; tingkat pancang/sapihan didominasi oleh kopi dengan

INP sebesar 246,82% dan tingkat semai didominasi oleh tanaman kopi

dengan INP sebesar 80,49%.

2. Potensi agroforest Medang Bambang Lanang (M.champaca) di

Kecamatan Muara Payang untuk mendukung kemanfaatan hasil hutan

130| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

non kayu diantaranya berupa hasil-hasil yang dapat dimakan (buah dan

sayur), untuk obat-obatan dan wangi-wangian.

B. Keterbatasan

Salah satu kendala dalam pengembangan agroforest MBL ini

adalah terbatasnya kajian silvikultur dan deposit biji MBL serta

kemanfaatan hasil hutan non kayu yang dimiliki oleh komponen

agroforestri di dalamnya.

C. Saran

Dari hasil temuan di lapangan, dapat dilakukan pengembangan

penelitian diantaranya perlunya kajian silvikultur MBL dan deposit

biji di bawah agroforest MBL serta evaluasi pertumbuhan MBL umur

pertanaman10 tahun.

Perlu dicantumkan di sini saran dari ahli agroforestri Clarke tahun

1980 (Michon dan de Foresta, 1993) bahwa alangkah baiknya

membangun pedesaan dengan membangun kembali secara sistematis

tanpa harus merusak sumber daya berharga, tidak hanya kepada spesies

agroforestri pada umumnya yang diakui cepat tumbuh dan serbaguna,

akan tetapi diutamakan kepada spesies setempat atau lokal yang secara

tradisional dikenal, dipakai dan dikelola petani secara turun-temurun.

DAFTAR PUSTAKA

Arlanda, R. 2008. Karakteristik Benih dan Perkecambahan Medang

Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J. Lam). Tesis Pascasarjana

Universitas Sriwijaya. Palembang. Tidak dipublikasikan

Hairiah, K,M.A. Sardjono, dan Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar

Agroforestri Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF),

Southeast Asia Regional Office. PO BOX 161 Bogor. Indonesia.

Hasanah, M. 2002. Peran Mutu Fisiologik Benih dan Pengembangan

Industri Benih Tanaman Industri. Balai Tanaman Rempah dan

Obat. Jurnal Litbang Pertanian 21(3) p:84-90, Bogor.

Heyne, K. 1978. Tumbuhan Tanaman Berguna Indonesia Volume I – IV.

Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 131

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan.Bumi Aksara Jakarta.Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta.

Irfa’I. 2009. Kajian Karakteristik Sistem Agroforestri di Kawasan Hulu

Sub DAS Opak. Tesis Pascasarjana Univiversitas Gadjah Mada.

Yogyakarta.(Tidak dipublikasikan)

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut

Pertanian. Bogor

Lukman. 2010. Peneliti BaLitbang Sumatera. (081367667xxx). Informasi

via telepon pada tanggal 15 Desember 2010, jam 12.09 WIB.

Martin,E dan F.B. Galle.2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi

Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil kayu Pertukangan :

Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum

BL) Oleh Masyarakat Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi

Kehutanan Vol.6 No.2 Juni, Hal; 117– 134. Balitbang. Palembang.

Michon, G dan de Foresta, H. 1993. Agroforest in Indonesia: Complex

Agroforestry Systems For Future Development. Makalah

disampaikan pada Internasional Training Course on Sustainable.

Land Use Systems and Agroforestry Reacearch for Humid Tropic

Agroforestry System of Asia. 26. ICRAF & BIOTROP. Bogor.

Soerianegara, Idan A., Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia.

Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor.

Ulya, N.A, Waluyo, AE, Martin, E. 2006. Mengubah Desa Rawan

Bencana Alam Menjadi Desa Hutan Rakyat: Sebuah Revitalisasi

Industri Perkayuan Sumatera Selatan Melalui Rekayasa Sosial,

Balitbang Palembang.

Wezel,AandOhl,J.2005. Does Remoteness from urban centre sinfluence

plant diversity inhome garden sand swiddenfiekds?:acasestudy

fromthe Matsiguenka in the Amazonian rain forest of Peru.

Agroforestry System65:241-251.

Zumaidar. 2009. Kajian Cempaka Kuning (Michelia champaca L.) Sebagai

Tumbuhan Obat. Jurnal Floratek 4: 81-85

132| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

POTENSI SISTEM PERAKARAN BEBERAPA JENIS HHBK

DALAM PENGENDALIAN EROSI DAN LONGSOR

Ogi Setiawan1, Krisnawati

1 dan Budi Hadi Narendra

2

1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, Nusa

Tenggara Barat

Telp. (0370) 6175552; Fax. (0370) 6175482; 2Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No.5, Bogor

email : [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan jenis potensial yang dapat

digunakan untuk rehabilitasi kawasan hutan dimana pemanfaatan kayu tidak

diperkenankan, seperti hutan lindung. Namun demikian, selain mempunyai potensi

ekonomi dan sesuai dengan karakteristik lahan, jenis HHBK tersebut harus

mempunyai potensi ekologi diantaranya untuk pengendalian erosi dan longsor.

Bagian tanaman yang mempunyai peranan dalam pengendalian erosi dan longsor

salah satunya adalah sistem perakaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

karakteristik perakaran beberapa jenis HHBK dalam hubungannya dengan

pengendalian erosi dan longsor. Variabel sistem perakaran yang diamati adalah

tipe arsitektur perakaran serta Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkram

Akar (ICA). Jenis HHBK yang diamati adalah penghasil buah (kemiri, durian,

alpukat, nangka, rambutan, melinjo, sukun, manggis, ceruring, sawo dan mangga),

sumber BBN (nyamplung), sumber obat (bidara laut dan malaka) dan penghasil

minyak atsiri (gaharu). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis HHBK yang

diamati mempunyai arsitektur sistem perakaran tipe-R dan tipe-VH yang mampu

meningkatkan kuat geser tanah. Nilai IJA dan ICA pada umumnya termasuk

kategori sedang dan tinggi, hal ini menunjukan bahwa jenis HHBK yang diamati

mempunyai akar vertikal yang relatif besar dan akar horizontal yang cukup.

Berdasarkan karakteristik perakarannya, maka jenis HHBK yang diamati

mempunyai potensi dalam pengendalian erosi dan longsor, khususnya longsor

dangkal.

Kata kunci : HHBK, sistem perakaran, erosi, longsor

I. PENDAHULUAN

Lahan kritis merupakan permasalahan yang sampai dengan saat ini

belum tertangani secara optimal. Kementerian Kehutanan (2014) mencatat

bahwa sampai dengan tahun 2013 lahan kritis dengan kategori kritis dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 133

sangat kritis mencapai lebih dari 27 juta ha, namun di sisi lain keberhasilan

upaya rehabilitasi pada tahun yang sama hanya mencapai 2,5%. Salah satu

penyebab timbulnya lahan kritis adalah deforestasi yang pada tahun-tahun

terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan

data Forest Watch Indonesia (2011), pada kurun waktu 2000 sampai

dengan 2009 laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,51 juta ha/tahun.

Kondisi ini tentunya akan memberikan dampak terhadap kualitas

lingkungan seperti terjadinya erosi, kerusakan tanah, peningkatan limpasan

permukaan, sedimentasi, kapasitas tampung sungai atau waduk yang

berkurang, banjir dan bahkan akan mempengaruhi biodiversitas suatu

kawasan (Yan, Fang, Zhang, dan Shi, 2013; Li, Bennet, dan Wang, 2013;

Nunes, de Almeida, dan Coelho, 2011; Zokaib dan Naser, 2011). Oleh

sebab itu upaya rehabilitasi masih tetap perlu ditingkatkan sehingga mampu

mengurangi dampak yang timbul dan mengembalikan fungsi kawasan

sesuai peruntukannya.

Upaya rehabilitasi yang dilakukan setidaknya harus memberikan

manfaat secara ekonomi dan yang tidak kalah pentingnya adalah manfaat

ekologi. Khusus untuk kawasan dimana pemanfaatan kayu tidak

diperkenankan, seperti di hutan lindung atau kawasan lindung, maka

pilihan yang sangat mungkin adalah jenis-jenis penghasil Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK). Pemilihan jenis HHBK menjadi penting, sebagai

salah satu strategi upaya rehabilitasi yang akan di lakukan (Setiawan dan

Krisnawati, 2012). Banyak jenis HHBK yang dapat dikembangkan dalam

rangka rehabilitasi hutan lindung atau kawasan lindung diantaranya adalah

penghasil buah, sumber Bahan Bakar Nabati (BBN), sumber bahan obat,

dan minyak atsiri (Setiawan dan Krisnawati, 2012; Handoko, 2012;

Setiawan dan Hadi Narendra, 2012). Selain sesuai dengan karakteristik

lahan, fungsi ekologis yang diharapkan dari jenis HHBK yang dipilih

diantaranya adalah berpotensi memberikan peranan dalam mengendalikan

erosi dan longsor sehingga fungsi hutan lindung dan kawasan lindung akan

tetap terjaga.

Bagian tanaman, khususnya jenis HHBK, yang memberikan

peran ekologi untuk pengendalian erosi dan longsor salah satunya adalah

sistem perakaran. Secara mekanis, sistem perakaran dapat mengikat

134| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

partikel tanah dan menambah tingkat kekasaran bagian permukaan

sehingga dapat mengurangi potensi proses perpindahan tanah atau erosi.

Sistem perakaran juga mampu memperkuat tanah melalui transfer tegangan

geser tanah menjadi tahanan tarik dalam akar. Tentunnya hal ini

bermanfaat untuk mengurangi potensi pergerakan tanah ke bawah atau

longsor (Hardiyatmo, 2006). Dalam rangka pemilihan jenis HHBK yang

berpotensi mengendalikan erosi dan longsor dari aspek sistem perakaran,

maka diperlukan deskripsi baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini

sangat berguna sebagai salah satu perangkat sidik cepat potensi perakaran.

Reubens, Poesen, Danjon, Guedens, dan Muys, (2007) menyatakan bahwa

karakteristik sistem perakaran yang berperan dalam proses erosi dan

longsor adalah kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola

percabangan akar, sudut kemiringan akar dan diameter akar. Beberapa

penelitian telah dilakukan untuk mendeskripsikan sistem perakaran

diataranya adalah posisi penetrasi akar pada lapisan tanah (Sotir dan Gray,

1996), tipe arsitektur perakaran (Yen, 1987) serta Indeks Jangkar Akar

(IJA) dan Indeks Cengkram Akar (ICA) (Hairiah, Widianto dan Suprayogo,

2008). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk

menentukan karakteristik sistem perakaran beberapa jenis HHBK dalam

hubungannya dengan potensi mengendalikan erosi dan longsor.

II. METODE PENELITIAN

Jenis penghasil HHBK yang diamati adalah jenis penghasil buah

yaitu kemiri (Aleuritas moluccana), durian (Durio zibethinus), alpukat

(Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), rambutan

(Nephelium lapaceum), melinjo (Gnetum gnemon), sukun (Arthocarpus

altilis), manggis (Garcinia mangostana), ceruring (Lansium sp), sawo

(Achraszapota sp) dan mangga (Mangifera indica); sumber BBN yakni

nyamplung (Callophylum inophylum); sumber bahan obat yaitu bidara laut

(Strychnos lucida R.Br.) dan malaka (Phyllanthus emblica)); dan penghasil

minyak atsiri yaitu gaharu (Gyrinops verstigii). Jenis-jenis tersebut

merupakan jenis penghasil HHBK yang potensial untuk dikembangkan di

KPHL Rinjani Barat dalam kerangka rehabilitasi hutan lindung (Setiawan

dan Krisnawati, 2012), dan jenis tanaman penghasil obat yang potensial

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 135

untuk dikembangkan di Kabupaten Bima dan Dompu, Nusa Tenggara

Barat dan daerah Bali Barat, Provinsi Bali. Pengamatan dan pengukuran

dilakukan di beberapa tempat yang berbeda yaitu di sekitar hutan lindung

KPHL Rinjani Barat dan KHDTK Rarung, Lombok tengah untuk jenis

penghasil buah, sumber BBN dan penghasil minyak atsiri pada tahun 2012;

sedangkan untuk jenis sumber bahan obat dilaksanakan pada tahun 2011 di

kawasan Taman Nasional Bali Barat, Bali. Masing-masing jenis HHBK

yang diamati digali dan diekspose sistem perakarannya untuk diamati

secara visual dan diukur dimensinya sesuai dengan variabel sistem

perakaran yang digunakan. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada

tiga contoh tanaman untuk masing-masing jenis HHBK.

Variabel sistem perakaran yang digunakan dan diamati

dilapangan adalah tipe arsitektur perakaran serta nilai IJA dan ICA. Pada

penelitian ini tipe arsitektur perakaran diamati secara visual sesuai dengan

pengelompokan arsitektur perakaran yang dikemukakan oleh (Yen, 1987).

Terdapat lima tipe arsitektur perakaran, yaitu tipe-VH, tipe-H, tipe-V, tipe-

R dan tipe-M (Gambar 1.).

Gambar 1. Tipe arsitektur perakaran (Yen, 1987)

Untuk menentukan nilai IJA dan ICA, maka dilakukan

pengukuran diameter akar dan batang jenis-jenis HHBK yang diamati. IJA

adalah perbandingan antara diameter akar-akar vertikal dan diameter

batang, dan ICA merupakan perbandingan antara diameter akar-akar

horizontal dan diameter batang (Hairiah et.al.,2008). Suatu akar jenis

136| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

HHBK diklasifikasikan sebagai akar horizontal apabila sudut antara akar

dan bidang vertikal lebih dari atau sama dengan 450, sedangakan apabila

kurang dari 450 diklasifikasikan sebagai akar vertikal. Pengukuran

diameter akar dilakukan pada posisi 2 cm dari pangkal akar dan diameter

batang pada ketinggian 130 cm dari pangkal akar. Pengukuran dilakukan

dengan menggunakan kaliper. Persamaan yang digunakan untuk

menentukan IJA dan ICA (Hairiah et.al.,2008) adalah :

IJA= dv

2

db2

dan ICA= dh

2

db2

Dimana : IJA : Indeks Jangkar Akar

ICA : Indeks Cengkeram Akar

dv : diameter akar vertikal

dh : diameter akar horizontal

db : diameter batang

Nilai IJA dan ICA yang telah diperoleh untuk masing-masing jenis

HHBK diklasifikasikan menjadi tiga kelas (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi Nilai Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks

Cengkeram Akar (ICA) (Hairiah, et.al., 2008)

Klasifikasi Indeks Jangkar Akar (IJA) Indeks Cengkeram Akar

(ICA)

Rendah < 0,1 < 1,5

Sedang 0.1 – 1,0 1.5 – 3,5

Tinggi > 1,0 > 3,5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan dan analisis data karakteristik perakaran yang

dinyatakan dalam tipe arsitektur akar serta nilai IJA dan ICA dari jenis

HHBK yang diamati disajikan pada Tabel 2.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 137

Tabel 2. Tipe arsitektur perakaran, IJA dan ICA beberapa jenis HHBK

No Jenis

Tipe

Arsitektur

akar**

IJA ICA

Rata-Rata SD Kelas* Rata-Rata SD Kelas*

1. HHBK penghasil buah

- Kemiri (Aleuritas moluccana) Tipe-R 0.70 0.26 Sedang 1.59 0.96 Sedang

- Durian (Durio zibethinus) Tipe-R 1.12 0.43 Tinggi 0.89 0.10 Rendah

- Alpukat (Persea americana) Tipe-VH 1.38 0.77 Tinggi 2.15 0.78 Sedang

- Nangka (Artocarpus

heterophyllus)

Tipe-VH

1.42 0.51 Tinggi 3.54 0.39 Tinggi

- Rambutan (Nephelium

lapaceum)

Tipe-R

1.14 1.03 Tinggi 3.78 1.22 Tinggi

- Melinjo (Gnetum gnemon) Tipe-VH 2.18 0.92 Tinggi 1.49 0.24 Rendah

- Sukun (Arthocarpus altilis) Tipe-R 0.76 0.30 Sedang 1.86 0.80 Sedang

- Manggis (Garcinia

mangostana)

Tipe-VH

0.86 0.40 Sedang 1.96 0.90 Sedang

- Ceruring (Lansium sp) Tipe-R 1.34 0.72 Tinggi 3.98 1.42 Tinggi

- Sawo (Achraszapota sp) Tipe-VH 0.96 0.50 Sedang 2.06 1.00 Sedang

- Mangga (Mangifera indica) Tipe-R 1.44 0.83 Tinggi 4.08 1.52 Tinggi

2. HHBK Sumber BBN

- Nyamplung (Callophylum

inophylum)

Tipe-VH

2.21 0.81 Tinggi 1.00 0.12 Rendah

3. HHBK Sumber bahan obat

- Bidara laut (Strychnos lucida

R.Br.)

Tipe-R

1.81 0.27 Tinggi 1.58 0.46 Sedang

- Malaka (Phyllanthus emblica) Tipe-R 0.50 0.12 Sedang 2.10 0.98 Sedang

4. HHBK pengsil minyak atsiri

-Gaharu (Gyrinops verstigii) Tipe-VH 0.89 0.12 Sedang 1.01 0.44 Rendah

Keterangan : IJA = Indeks Jangkar Akar; ICA = Indeks Cengkeram Akar; SD =

Standar Deviasi; * Hairiah, et.al., 2008; ** Yen, 1987

Pola percabangan merupakan salah satu karakteristik perakaran

yang dapat digunakan untuk menggambarkan arsitektur perakaran. Oleh

sebab itu arsitektur perakaran pada intinya merupakan bentuk keseluruhan

atau morfologi akar. Adapun faktor yang mempengaruhi arsitektur

perakaran suatu jenis tanaman adalah faktor genetik dan lingkungan

(Reubens, et.al., 2007). Arsitektur perakaran berkontribusi dalam proses

pergeseran tanah, sehingga hal ini akan mempengaruhi kekuatan geser

yang diberikan oleh akar.

Hasil pengamatan pada beberapa jenis HHBK (Tabel 2)

menunjukkan bahwa pada umumnya jenis HHBK yang diamati mempunyai

138| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

arsitektur perakaran dengan tipe-R dan tipe-VH. Pada jenis HHBK dengan

arsitektur akar tipe-R, akar-akar yang terpusat pada akar sentral dengan

orientasi horizontal pada umumnya tumbuh melebar dan akar utama

tumbuh secara diagonal atau vertikal. Di sisi lain, jenis HHBK dengan tipe-

VH pada umumnya mempunyai akar utama yang kokoh dan akar

horizontal menyebar dengan orientasi sudut yang kecil terhadap bidang

datar. Berdasarkan penelitian Fan and Yu-wen (2010) terhadap lima jenis

tanaman dengan arsitektur perakaran yang berbeda menunjukkan bahwa

arsitektur perakaran tipe-R mampu meningkatkan kuat geser lebih besar

bila dibandingkan dengan tipe lainnya. Nilai efisiensi tipe-R dalam

meningkatkan kuat geser mencapai 56% dari tipe lainnya. Hal ini

disebabkan pada umumnya akar horizontal dan vertikal pada tipe-R tumbuh

dengan baik, dimana akar vertikal merupakan orientasi akar yang paling

efisien dalam peningkatan kuat geser tanah. Untuk arsitektur perakaran

tipe-VH, Yen (1987) merekomendasikan sangat sesuai digunakan untuk

tujuan stabilisasi lereng dan tahan terhadap hembusan angin. Dengan

demikian, kedua tipe arsitektur perakaran dari jenis HHBK yang diamati

menunjukkan bahwa keduanya mempunyai potensi dalam pengendalian

erosi dan longsor. Klasifikasi arsitektur perakaran yang dikemukakan Yen

(1987) termasuk sangat sederhana, namun hal ini dinilai cukup untuk dapat

digunakan sebagai dasar identifikasi perakaran berbagai jenis terutama

pada proses pemilihan tanaman untuk rehabilitasi.

Distribusi perakaran baik horizontal maupun vertikal suatu jenis

tanaman dapat digunakan sebagai parameter potensi tanaman tersebut

dalam proses terjadinya erosi dan longsor. Salah satu bentuk kuantufikasi

distribusi perakaran tersebut adalah dengan nilai IJA dan ICA.

Berdasarkan hasil analisis nilai IJA dan ICA pada beberapa jenis HHBK

(Tabel 2), menunjukan bahwa pada umumnya jenis HHBK yang diamati

mempunyai nilai IJA berkisar antara sedang sampai tinggi dan nilai ICA

antara rendah sampai tinggi. Secara umum hal ini menunjukkan bahwa

jenis-jenis penghasil HHBK yang diamati mempunyai akar vertikal yang

relatif besar dan akar horizontal yang relatif cukup. Kondisi ini

mengindikasikan bahwa tanaman ini mempunyai peran yang potensial

dalam stabilisasi lereng sehingga akan mengurangi resiko terjadinya tanah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 139

longsor. Semakin tinggi nilai IJA dan ICA menunjukkan bahwa potensi

peran tanaman tersebut untuk pengendalian erosi dan longsor semakin

tinggi.

Berdasarkan nilai IJA dan ICA yang tinggi beberapa jenis HHBK

yang diamati dan paling potensial diantaranya adalah Nangka (Artocarpus

heterophyllus), Rambutan (Nephelium lapaceum), Ceruring (Lansium sp)

dan Mangga (Mangifera indica). Walaupun beberapa jenis HHBK

mempunyai nilai ICA rendah, namun nilai IJA sedang/tinggi, sehingga

potensinya dalam pengendalian erosi dan longsor masih relatif besar. Abe

dan Ziemer (1991) menjelaskan bahwa akar-akar horizontal yang menyebar

di lapisan permukaan tanah akan mencengkram tanah dan akar-akar

vertikal sebagai jangkar akan menopang tegaknya pohon sehingga tidak

mudah tumbang oleh adanya pergerakan massa tanah. Lereng juga pada

umumnya akan lebih stabil apabila ditutupi oleh vegetasi dengan akar yang

mampu menembus lapisan tanah dalam. Besarnya kerapatan akar pada

lapisan permukaan juga penting untuk menurunkan kandungan air tanah

dan meningkatkan ketahanan geser tanah yang pada akhirnya dapat

mengurangi resiko terjadinya longsor (Hairiah et. al., 2008; Ali, 2010).

Jenis HHBK yang diamati serta tanaman anaman kayu-kayuan pada

umumnya, mempunyai akar yang kuat dan dalam sehingga berpengaruh

besar dalam meningkatkan kekuatan tanah untuk menahan gerakan.

Namun demikian, peran akar dalam pengendalian tanah longsor hanya

efektif untuk kejadian tanah longsor dangkal (<3m) atau permukaan

(Hairiah et.al., 2008; Bruijnzeel, 2004). Kejadian tanah longsor dalam lebih

dipengaruhi oleh kondisi geologi dan iklim.

IV. KESIMPULAN

Karaketeristik perakaran beruapa tipe arsitektur perakaran serta

nilai IJA dan ICA dapat digunakan sebagai parameter pendukung

pemilihan jenis HHBK yang ditujukan untuk rehabilitasi hutan lindung dan

kawasan lindung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis HHBK

yang diamati mempunyai arsitektur sistem perakaran tipe-R dan tipe-VH

yang mampu meningkatkan kuat geser tanah. Nilai IJA dan ICA pada

umumnya termasuk kategori sedang dan tinggi, hal ini menunjukan bahwa

jenis HHBK yang diamati mempunyai akar vertikal yang relatif besar dan

140| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

akar horizontal yang cukup. Berdasarkan karakteristik perakarannya, maka

jenis HHBK yang diamati mempunyai potensi dalam pengendalian erosi

dan longsor, khususnya longsor dangkal.

DAFTAR PUSTAKA

Abe, K., & Ziemer, R. (1991). Effect of tree roots on shallow-sited land

slides. USDA forest service Gen. Tech. Rep. PSW-GT. 130. , 11-

20.

Ali, F. (2010). Use of vegetation for slope protection : Root mechanical

properties of some tropical plants. International Journal of Phisical Science. Vol 5(5) , 496-506.

Bruijnzeel, L. (2004). Hydrological functions of tropical forest : Not seeing

the soil for the trees? Agriculture, Ecosystem and Environment 104 , 185-228.

Fan, C., & Yu-wen, C. (2010). The effect of root architecture on the

shearing resistance of root permeated soil. Ecological

Engineering. Vol. 36, issue 6. , 813-826.

Forest Watch Indonesia. (2011). Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode

Tahun 2000-2009. Jakarta: Forest Watch Indonesia. ISBN : 978-

979-96730-1-5.

Hairiah, K., Widianto, & D, Suprayogo. (2008). Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan Global : Bisakah agroforestri mengurangi resiko

longsor dan emisi gas rumah kaca. Kumpulan makalah INAFE. . Surakarta: UNS.

Handoko, C. (2012). Ujicoba Rehabilitasi Hutan Lahan Kering Berbasis

Tanaman HHBK di KPH Rinjani Barat dan KPH Bali Timur. Laporan Hasil Penelitian. Mataram: Balai Penelitian Teknologi

Hasil Hutan. Tidak dipublikasikan.

Hardiyatmo, H. (2006). Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kementerian Kehutanan. (2014). Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Li, R., Bennet, J., & Wang, X. (2013). Predicting Environmental Impacts

for Assessing Land Use Change Options in Sichuan Province,

China. Land Use Policy 30 , 784-790.

Nunes, A., de Almeida, A., & Coelho, C. (2011). Impacts of Land Use and

Cover Type on Runoff and Soil Erosion in a Marginal Area of

Portugal. Applied Geography Vol.31 , 687-699.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 141

Reubens, B., Poesen, J., Danjon, F., Guedens, G., & Muys, B. (2007). The

role of pine and ciarse roots in shallow slope stability and soil

erosion control with a focus on root system architecture : a

review. Trees. 21. , 385-402.

Setiawan, O., & Hadi Narendra, B. (2012). Kajian Sebaran Jenis dan

Potensi Songga. Laporan Hasil Penelitian. Mataram. Tidak

dipublikasikan.: Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan

Kayu.

Setiawan, O., & Krisnawati. (2012). Model Rehabilitasi Hutan Lindung

Berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu. Laporan Hasil Penelitian.

Mataram: Tidak dipublikasikan. Balai Penelitian Teknologi Hasil

Hutan Bukan Kayu.

Sotir, R., & Gray, D. (1996). Biotechnical and soil bioengineering slope

stabilization. New York: John Wiley & Son Inc.

Yan, B., Fang, N., Zhang, P., & Shi, Z. (2013). Impacts of Land Use

Change on Watershed Streamflow and Sediment Yield: An

Assessment Using Hydrologic Modelling and Partial Least

Squares Regression. Journal of Hydrology 484 , 26-37.

Yen, C. (1987). Tree root patterns and erosion control. Proceedings of The international workshop on soil erosion and its countermeasures.

Bangkok: Soil and water conservation society of Thailand.

Zokaib, S., & Naser, G. (2011). Impacts of Land Uses on Runoff and Soil

Erosion A Case Study in Hilkot Watershed Pakistan.

International Journal of Sediment Research 26 , 343-352.

142| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

INVENTARISASI STATUS POHON GAHARU (Gryinops verstigii)

DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KKHDTK)

SENARU LOMBOK UTARA

Sitti Latifah, Muhamad Husni Idris, Maiser Syahputra, Rato Silamon Firdaus,

Budhy Setiawan

Program Studi Kehutanan Universitas Mataram

Jl. Airlangga No 8 Mataram

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru seluas 225 ha di

Desa Senaru, Kabupaten Lombok Utara sebagai Hutan Pendidikan Universitas

Mataram telah dikembangkan menjadi pusat Gaharu (Gyrinops verstegii) sejak

tahun 2001. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini gaharu di

KHDTK Senaru dalam hal pertumbuhan, kesehatan dan produksi gubal.

Penelitian dilakukan melalui sensus terhadap seluruh pohon gaharu pada

tingkat tiang dan pohon pada bulan Mei Sampai Oktober 2014. Hasil Penelitian

menununjukkan bahwa (a) jumlah pohon gaharu pada tingkat tiang dan pohon

(diameter >10 cm) adalah sebanyak 262 pohon, lebih sedikit dibandingkan

jumlah total individu gaharu yang terdata tahun 2007 yang mencapai 30.000 an

pohon, (b) diameter rata-rata gaharu tingkat tiang dan pohon adalah 12 cm dan

tinggi rata-rata adalah 5,8 m, yang secara umum juga lebih kecil dari diameter

dan tinggi gaharu yang ditanam di halaman penduduk sekitar, (c) keadaan 262

pohon gaharu terbagi dalam 49,6% masuk kelompok pohon sehat, 43,1% sakit

dan 7,3% mati, (d) dan dari 262 pohon gaharu terdapat 202 pohon yang sudah

disuntik, namun hasilnya masih belum optimal. Perbedaan data dan fakta

dengan harapan serta faktor penyebabnya dalam pengembangan gaharu ini

dapat menjadi pembelajaran bagi pengembangan gaharu baik di KHDTK

Senaru sendiri maupun di tempat lain.

Kata kunci : KHDTK Senaru, gaharu, Lombok

I. PENDAHULUAN

Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu

(HHBK) yang mengandung resin atau damar wangi yang mengeluarkan

aroma dengan keharuman yang khas. Gaharu mempunyai nama

perdagangan agarwood, eaglewood atau aloewood adalah salah satu jenis

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 143

hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi karena adanya bau

wangi resin akibat dari pendamaran pada bagian tertentu dari kayu pohon

penghasil gaharu akibat infeksi oleh jamur (FAO, 2002 dalam Surata dan

Soenarno, 2011). Kandungan resin atau damar wangi yang dimiliki gaharu

umumnya dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan,

kosmetik, dupa, pengawet serta untuk keperluan kegiatan agama

(Gusmailina,2010). Gaharu di alam dihasilkan dari jenis pohon tertentu

yang terinfeksi oleh suatu jenis fungi atau cendawan dan hasil infeksi

tersebut menghasilkan gubal yang berwarna kehitaman dan berbau wangi

dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pada kelas gubal yang berwarna

kehitaman tanpa ada campuran serat kayu, saat ini harganya berkisar

Rp 35.000.000 – 40.000.000 per kilogram (Soeharto, 2010). Tanaman

gaharu juga mengandung senyawa antioksidan yang berguna untuk tubuh

manusia, diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, β-karoten, vitamin E,

vitamin C, asam urat, bilirubin, dan selenium (Se), selain itu diduga juga

terdapat zat lain seperti fenol dan flavonoi di dalam ekstrak daun gaharu

(Mega dan Swastini, 2010).

Salah satu kawasan budidaya gaharu yang berada di Pulau

Lombok adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru.

Berdasarkan sejarahnya, kawasan Hutan di KHDTK Senaru merupakan

bagian hutan yang mengalami kerusakan bersamaan dengan rusaknya

sebagian besar hutan di wilayah utara Pulau Lombok pada awal tahun

1990-an. Antara tahun 1997 sampai 2001 dan dilanjutkan sampai dengan

tahun 2009 antara BP DAS Dodokan Moyosari dengan UNRAM

menanami areal tersebut dengan jenis Gaharu (Gryinops verstigii) dan

menjadikan areal tersebut sebagai pusat pengembangan Gaharu berbasiskan

pengelolaan bersama masyarakat.

Data terakhir kondisi tanaman gaharu di KHDTK Senaru

berdasarkan rencana pengembangan tanaman Gaharu (2008), diketahui

bahwa Gaharu ditanam secara menyebar di dalam KHDTK seluas 132 Ha

atau sebanyak 32.238 pohon (Idris, Latifa, Aji, Wahyuningsih, dan

Indriyatno, 2012). Akan tetapi, berdasarkan survei awal ke lokasi

menunjukkan sulitnya diketemukan pohon Gaharu yang telah ditanam dan

sebagian telah berada dalam kondisi kesehatan yang buruk bahkan mati.

144| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Hasil penelitian Idris et al (2012) menunjukkan pula bahwa tidak ada satu

plot contoh pun, dengan dominasi Pohon Gaharu.

Sebagian tanaman gaharu yang berada di KHDTK Senaru sudah

menjalani proses penyuntikan untuk menghasilkan gubal, rata-rata kegiatan

penyuntikan dilakukan pada gaharu kelas tiang dan pohon (diameter > 10

cm). Untuk itu kegiatan inventarisasi ini menitikberatkan pada individu

gaharu dengan diameter diatas 10 cm dengan tujuan melihat kondisi gaharu

hasil suntikan. Disisi lain kegiatan ini juga berguna untuk mengetahui

sesungguhnya data mengenai penyebaran dan parameter pertumbuhan

Gaharu yang tersisa. Data dan informasi awal mengenai keadaan tanaman

Gaharu yang berada di KHDTK Senaru ini memiliki arti penting sebagai

dasar dalam mengembangkan alternatif-alternatif model pengelolaan

KHDTK.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian adalah:

(1) Mengetahui jumlah, posisi geografis dan parameter pertumbuhan

(diameter, tinggi dan tajuk) Pohon Gaharu (Gryinops verstigii).

(2) Mengetahui kondisi kondisi kualitas kesehatan Pohon Gaharu

(Gryinops verstigii) saat ini.

(3) Mengetahui jenis pohon yang tumbuh dan berada di sekitar Pohon

Gaharu (Gryinops verstigii).

(4) Mengetahui kondisi terkini (kuantitas dan kualitas) pohon Gaharu yang

telah melalui proses penyuntikan.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian berlokasi di kawasan hutan dengan tujuan khusus

(KHDTK) Senaru Desa Senaru Kecamatan Bayan Lombok Utara,

dilaksanakan pada bulan Mei-September 2014.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Pohon Gaharu

(Gryinops versteegii (Gilg.) pada kelas tiang dan pohon di hutan KHDTK

Senaru. Sedangkan alat yang dipergunakan adalah Global Positioning

System, hagameter, phi-band, meteran, tali rapia, kompas, clinometer, lux

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 145

meter, pH meter, tally sheet, alat tulis menulis, kamera, handcounter dan

handycamp.

C. Jenis dan Metode Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer

dan sekunder. Data primer yang akan dikumpulkan antaralain: data

Biofisik yang terdiri dari : (1) vegetasi : letak dan posisi (titik koordinat

dan tinggi dari permukaan tanah) pohon Jenis Gaharu (Gryinops versteegii

(Gilg.)) pada kelas tiang dan pohon serta jenis yang berada disekitarnya

dengan radius 5 m di sekelilingnya, (2) Parameter pertumbuhan : diameter,

tinggi, umur dan tajuk, (3) kondisi biofisik tempat tumbuh termasuk

intensitas cahaya, pH-tanah serta (4). Kualitas tumbuh (kesehatan) dari

Pohon Gaharu tersebut. Sedangkan data sekunder berupa data hasil studi

gaharu sebelumnya, data dari tim peneliti dan pengembang Gaharu

UNRAM dan dinas instansi terkait pengelolaan hutan lokasi penelitian.

Data primer diperoleh melalui kegiatan pengamatan secara

langsung yang dilakukan di lokasi penelitian. Pengamatan dilakukan untuk

mengetahui kondisi aktual dari setiap aspek pengamatan. Data primer

diperoleh melalui metode sensus yang mengacu pada petak tanam yang

sudah ada. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber pustaka.

D. Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis baik

secara kualitatif maupun kuantitatif. Tahapan analisis data adalah sebagai

berikut:

1. Analisis Kuantitatif: Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan

kondisi terkini pertumbuhan Gaharu di lokasi penelitian, yang meliputi

parameter diameter, tinggi, umur dan hubungannya dengan kondisi

biofisik seperti cahaya dan pH tanah serta sosial ekonomi.

2. Analisis Kualitatif : Analisis ini dilakukan untuk memberikan penilaian

terhadap status Pohon Gaharu.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Pohon Gaharu

Keberadaan tanaman Gaharu di KHDTK tersebar di beberapa

petak tanam (Gambar 1), dari sebelas petak tanam yang ada di KHDTK

146| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

tidak semua petak ditemukan adanya keberadaan tanaman gaharu. Hal ini

dikarenakan terdapat petak tanam yang terserang penyakit, hama, dan

beberapa petak kondisinya tidak terawat. Tanaman gaharu hanya dapat

ditemukan pada petak 1, petak 2, petak 3, petak 4 dan petak 11, sementara

petak 5, petak 6, petak 7, petak 8, petak 9 dan petak 10 tidak ditemukan

pohon gaharu. Hasil inventarisasi menunjukkan jumlah individu gaharu

pada kelas tiang dan pohon yang ditemukan di wilayah KHDTK berjumlah

262 individu. Individu terbanyak ditemukan pada petak 2 yaitu 145

individu, sedang jumlah terendah berada pada petak 1 yaitu 12 individu.

Gambaran lebih lanjut mengenai hasil inventarisasi gaharu dapat dilihat

pada Tabel 1.

Gambar 1. Petak tanam gaharu di KHDTK Senaru

Dari aspek kesehatan diketahui bahwa kondisi 262 gaharu hasil

sensus yang masuk dalam kelompok pohon yang sehat adalah sebanyak

130 pohon (49,6%), sakit sebanyak 113 pohon (43,1%) dan yang mati

sebanyak 19 pohon (7,3%). Berdasarkan pengamatan langsung, timbulnya

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 147

hama dan penyakit ini diduga berkaitan dengan iklim (suhu dan

kelembaban) KHDTK yang sesuai untuk perkembangan hama dan penyakit

gaharu tersebut. Namun demikian penelitian yang lebih detail belum

dilaksanakan.

Tabel 1. Data hasil inventarisasi Gaharu

No.

Petak

Koordinat

Petak

Ketinggian

(mdpl)

Jumlah

(D>10cm)

Diameter

Rata-

rata (cm)

Tinggi

rata-

rata

(m)

Lebar

tajuk

rata-

rata

(m)

1 X: 433637,

Y: 9081613

624 12 12.66 4.09 1.88

2 X: 433947,

Y: 9081189

670 145 11.85 6.40 1.42

3 X: 433979,

Y: 9081043

653 48 13.12 5.23 1.07

4 X: 434044,

Y: 9080934

635 14 13.5 6.47 1.07

11 X: 433721,

Y: 9081801

640 43 11.6 4.56 1.29

Bila dilihat dari parameter pertumbuhan gaharu (Tabel 1),

meskipun ditanam pada waktu yang relatif sama terlihat beberapa

perbedaan, terdapat petak yang pertumbuhannya lebih cepat dari petak

lainnya, petak 4 merupakan petak dengan ukuran rata-rata diameter

tertinggi, sedangkan terendah adalah petak 11, petak 4 juga merupakan

petak dengan ukuran rata-rata tinggi pohon tertinggi, sedang terendah

adalah petak 1. Namun demikian jumlah individu yang berhasil dutemukan

di petak 4 hanya berjumlah 14 individu, berbeda halnya dengan petak 2

diameter rata-rata gaharu dilokasi ini adalah 11.85 cm dan tinggi rata-rata

6.4 m namun jumlah individu pada lokasi ini menempati urutan pertama

yakni 145 individu, perbedaan jumlah individu pada setiap petak tanam

berbeda diperkirakan akibat adanya faktor kesesuain habitat. Hasil

pengamatan terhadap tutupan tajuk pohon gaharu di KHDTK menunjukkan

rata-rata tajuk terlebar berada pada petak 1 yaitu 1.88 m, sedangkan

terendah berada pada petak 3 dan 4 yaitu 1.07. Hasil ini mengindikasikan

bahwa petak 1 berisikan pohon-pohon gaharu yang berdaun lebat.

148| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gaharu di KHDTK tumbuh pada ketinggian yang berbeda-beda

menurut petak tanamnya, petak tanam tertinggi berada pada ketinggian 670

mdpl sedangkan petak tanam terendah berada pada ketinggian 615 mdpl.

Bila dilihat dari jumlah gaharu terhadap ketinggian tempat tumbuh maka

dapat diketahui bahwa jumlah gaharu terbanyak berada pada petak 2

dengan ketinggian 670 mdpl yakni berjumlah 145 individu, jumlah gaharu

yang ditemukan cenderung menurun ketika ketinggian tempat berubah, bila

turun ke ketinggian 653 pohon gaharu yang ditemukan berjumlah 48

individu dan ketinggian 640 hanya 43 individu. Begitu pula seterusnya.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa ada pengaruh faktor ketinggian

tempat terhadap keberhasilan budidaya gaharu di KHDTK.

B. Kondisi Biofisik Tempat Tumbuh Pohon Gaharu

Hasil pengamatan terhadap tingkat keasaman tanah tempat tumbuh

gaharu di KHDT per petak tanam menunjukkan nilai yang hampir sama

pada setiap petaknya. Nilai pH ini berkisar antara 6.77 hingga 6.79. Nilai

terendah berada pada petak 4 dan 11, sedangkan tertinggi berada pada

petak 2. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa petak 2 dengan nilai pH

6.79 memiliki jumlah tegakan terbanyak dibanding petak lainnya, hal ini

mengindikasikan bahwa tanaman gaharu tumbuh lebih baik pada tingkat

keasaman tanah seperi ini. Nilai pH 6.79 merupakan nilai yang paling

medekati netral dibanding pH petak lainnya, pada tanah yang cenderung

netral akar tanaman akan mudah menyerap unsur hara sehingga

pertumbuhan tanaman dapat lebih baik.

Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter mendapati

hasil rata-rata intensitas cahaya berkisar dari 2.01 hingga 19.21. Rata-rata

tertinggi berada pada petak 4 dan terendah pada petak 1, sedangkan petak

dengan jumlah tanaman terbanyak memiliki intensitas penyinaran rata-rata

pada angka 12.72. Hasil pengamatan terhadap suhu rata-rata dibawah

tegakan menunjukkan rata-rata suhu tertinggi tercatat pada petak 2 yakni

sebesar 28.48 dan terendah pada petak 4 yakni 26.83. Petak 2 diketahui

sebagai petak dengan jumlah temuan tanaman gaharu terbanyak, hal ini

mengindikasikan adanya pengaruh faktor suhu terhadap tingkat

keberhasilan pertumbuhan gaharu, dibanding suhu petak lainnya. Data

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 149

lebih lengkap mengenai kondisi biofisik lokasi tumbuh gaharu dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Biofisik tempat tumbuh Gaharu

No.

Petak

Jumlah

(D>10cm)

Ph tanah

rata-rata

Intensitas

cahaya

Temperatur

(C)

1 12 6.78 2.01 27.58

2 145 6.79 12.72 28.48

3 48 6.78 16.62 27.62

4 14 6.77 19.21 26.83

11 43 6.77 15.23 26.69

C. Jenis-jenis Pohon disekitar Gaharu (Radius 5 m)

Terdapat 12 jenis pohon yang tumbuh berdampingan dengan

tanaman gaharu di KHDTK, antara lain sengon, dadap, alpukat, arak,

kelenjuh, nangka, bajur, kayu putih, mahoni, kemiri, suren, dan mangga.

Dari 12 pohon tersebut, sengon dan dadap merupakan jenis yang paling

banyak ditemukan di lokasi penelitian, sedangkan jenis yang jarang

ditemukan adalah arak, bajur, suren, dan mangga. Dilihat dari

penyebarannya sengon dan dadap merupakan pohon yang dominan, karena

kedua pohon ini hampir ditemukan pada setiap petak. Tabel sebaran pohon

yang berada disekitar gaharu dapat dilahat pada Tabel 3.

Petak dua merupakan petak dengan jumlah gaharu terbanyak,

asosiasi pohon terbanyak juga ditemukan pada petak ini, yakni terdapat 57

pohon dengan dominasi sengon dan dadap, keberadaan pohon asosiasi ini

diperkirakan berpengaruh baik terhadap perkembangan gaharu. Sebaliknya

pada petak satu dengan temuan jumlah gaharu terendah yakni sebanyak 12

individu, pohon asosiasi yang ada pada petak ini hanya berjumlah 3

individu. Keberadaan pohon disekitar gaharu diperkirakan berpengaruh

terhadap tingkat keberhasilan tumbuh tanaman ini, Naungan dari tanaman

yang lebih tinggi dapat mengurangi intersepsi dari sinar matahari yang

berlebihan.

D. Kondisi Gaharu Hasil Suntikan

150| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penanaman gaharu di KHDTK Senaru diharapkan menjadi salah

satu sumber pendapatan utama baik bagi masyarakat sekitar dan

Universitas Mataram. Untuk itu uji coba penyuntikan untuk menghasilkan

gubal gaharu yang dilanjutkan dengan proses penyuntikan gaharu telah

dilaksanakan. Apakah proses ini telah berhasil ?. Dari 262 pohon gaharu

terdapat 202 pohon gaharu yang sudah disuntik. Namun demikian dari 202

pohon yang disuntik tersebut belum ada satu pohon pun yang dapat

dikategorikan berhasil. Cara-cara tradisional yang dilakukan oleh

masyarakat juga belum menunjukkan hasil. Keadaan ini memberikan

isyarat pentingnya penelitian yang lebih dalam tentang penyuntikan gaharu.

Kegagalan pada tahap ini menjadikan keberhasilan dalam budidaya

gaharau (silvikutur) menjadi kurang bermakna.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Jumlah pohon gaharu pada tingkat tiang dan pohon (diameter >10 cm)

dalam wialayah KHDTK Senaru adalah sebanyak 262 pohon, jauh

lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pohon gaharu yang terdata

tahun 2007 sebanyak 32.238 pohon. Diameter rata-rata pohon gaharu

tingkat tiang dan pohon adalah 12 cm dan tinggi pohon rata-rata

adalah 5,8 m.

2. Kondisi 262 pohon gaharu terbagi dalam kelompok pohon yang sehat

sebanyak 130 pohon (49,6%), sakit sebanyak 113 pohon (43,1%) dan

yang mati sebanyak 19 pohon (7,3%).

3. Disekitar 262 pohon gaharu dengan radius 5 m terdapat 113 pohon

dengan 12 jenis pohon yaitu Alpukat, Arak, Bajur, Dadap, Kayu putih,

Kelenjuh, Kemiri, Mahoni, Mangga, Nangka, Sengon, dan Suren.

4. Dari total 262 pohon gaharu terdapat 202 pohon gaharu yang sudah

disuntik, namun demikian belum ada pohon yang menghasilkan gubal.

B. Keterbatasan

1. Kegiatan inventarisasi ini dilakukan hanya pada individu gaharu

dengan diameter diatas 10 cm dengan tujuan untuk melihat kondisi

gaharu hasil penyuntikan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 151

2. Kegiatan inventarisasi ini sebatas untuk mengetahui kondisi aktual dan

jumlah pohon gaharu saat ini, untuk menjawab penyebab penurunan

jumlah gaharu yang terjadi saat ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

C. Saran

1. Evaluasi terhadap tanaman gaharu melalui sensus pada semua tingkat

termasuk tingkat semai dan pancang perlu dilakukan sehingga

gambaran tentang keberhasilan maupun hambatan dalam

pengembangan KHDTK Senaru sebagai pusat gaharu dapat diketahui

dengan lebih jelas

2. Penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi penurunan

jumlah dan perbedaan pertumbuhan gaharu dalam KHDTK diperlukan

untuk meingkatkan keberhasilan budidaya gaharu

3. Penelitian terkait dengan proses penyuntikan gaharu untuk

menghasilkan gubal dari berbagai aspek perlu dtingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Gusmailina. 2010. Peningkatan Mutu pada Gaharu Kualitas Rendah. Jurnal

Penelitian Hasil Hutan Volume 28 No. 3 – September 2010 : 291-

303. Bogor.

Idris, M.H., S. Latifah, I.M.L. Aji, E. Wahyuningsih dan Indriyatno. 2012.

Studi Potensi Vegetasi Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Senaru untuk Pengembangan Model Hutan Pendidikan

Universitas Mataram. Universitas Mataram. Laporan Penelitian

(tidak dipublikasikan)

Mega, I.M dan A.A. Swastini. Screening Fitokimia dan Aktivitas

Antiradikal Bebas Ekstrak Metanol Daun Gaharu (Gyrinops

versteegii). Junal Kimia, Volume 4 No. 2 – Juli 2010 : 187-192.

Soeharto, B. 2010. Gaharu : Pohon Emas yang Misterius. Kiprah

Agroforestri, Volume 3 No. 2 – Agustus 2010. World Agroforestry

Centre – ICRAF Indonesia. Bogor.

Surata, I.K. dan Soenarno. 2011. Penanaman Gaharu (Gyrinops versteegii

(Gilg.) Domke ) dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi

Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi

Alam Volume 8 No. 4 : 349-361. Bogor.

152| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

BUDIDAYA DAN PEMANFAATAN PANDAN HUTAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA

Sahwalita

Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Jl. Kol. H. Burlian KM. 6,5 Punti Kayu Palembang

Email : [email protected]

ABSTRAK

Keberadaan pandan hutan di alam sulit dijumpai, sehingga kerajinan anyaman

mengalami kekurangan bahan baku. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku

petani/ pengrajin melakukan budidaya. Penelitian dilakukan di Kecamatan

Padang Sidempuan Timur, Padang Bolak dan Padang Bolak Julu Kabupaten

Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja

(purpose sampling), dengan mempertimbangkan banyaknya lokasi budidaya

dan sentra kerajinan. Kemudian dilakukan observasi langsung di lapangan dan

wawancara dengan petani/pengrajin. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui cara budidaya dan pemanfaatan daun pandan di Kabupaten

Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

budidaya pandan dilakukan secara terbatas di pinggir jalan, pinggir sungai dan

pekarangan rumah, sedangkan produk kerajinan berupa tikar, sumpit (kantong

beras yang digunakan pada acara adat) dan kantong buah.

Kata kunci : budidaya, kerajinan, pandan.

I. PENDAHULUAN

Beranekaragamnya jenis pandan hutan merupakan kekayaan hasil

hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial untuk dikembangkan. Menurut

Heyne (1987), pandan hutan di Indonesia terdiri dari 23 jenis yang tumbuh

menyebar dari tepi pantai sampai ke pegunungan. Pandan hutan merupakan

tumbuhan yang multiguna karena setiap bagian dapat dimanfaatkan,

seperti: akar untuk tali; batang sebagai bahan pembuatan kapak kecil/nani;

tongkol bunga sebagai obat, makanan dan pengharum; tongkol buah

sebagai obat, sumber minyak, penyedap nasi; tunas muda sebagai lalap dan

obat dan daun sebagai bahan anyaman, bahan pulp, obat dan bahan minyak

wangi. Tetapi saat ini, pemanfaatannya masih terbatas pada daunnya yang

digunakan sebagai bahan baku anyaman, kecuali jenis yang menghasilkan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 153

“buah merah” (Pandanus conoideus Lam.) terdapat di daerah Papua yang

digunakan sebagai obat berbagai penyakit (Trubus, 2005).

Di Kabupaten Tapanuli Selatan, pandan hutan di alam sulit

ditemukan karena terdesak oleh berbagai kepentingan terhadap habitatnya.

Sementara itu industri kerajinan anyaman terus mengalami kekurangan

bahan baku. Keberadaan industri kerajinan yang tidak didukung oleh bahan

baku akan menghadapi masalah. Sebagai solusinya masyarakat melakukan

budidaya terhadap tumbuhan tersebut, jenis yang dibudidayakan adalah

Pandan Duri (Pandanus tectorius). Pemanfaataan daunnya digunakan

sebagai bahan baku kerajinan anyaman, yang dilakukan masyarakat

sekitarnya sebagai pekerjaan sampingan.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan

pemanfaatan daun pandan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera

Utara. Dengan mengetahui cara budidaya dan pemanfaatan pandan hutan

diharapkan dapat memberikan masukan untuk kelestarian pandan hutan dan

industri kerajinan anyaman di daerah tersebut. Tulisan ini dapat digunakan

sebagai langka-langkah yang perlu dilaksanakan semua pihak yang terlibat

dalam pengembangan usaha kerajinan pandan di daerah tersebut.

II. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera

Utara. Pengamatan areal budidaya dilakukan di Kecamatan Padang

Sidempuan Timur, Padang Bolak dan Padang Bolak Julu, sedangkan

pengamatan sentra kerajinan anyaman dilakukan di Kecamatan Padang

Bolak Julu. Data sekunder mengenai budidaya dan pemanfaatan daunnya

sebagai bahan baku kerajinan diperoleh dari instansi terkait, pengrajin dan

masyarakat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2005 - November

2007.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah tanaman pandan, daun pandan,

produk kerajinan, cat warna merah dan alkohol. Peralatan yang digunakan

berupa parang, tali, kompas, buku data, meteran, kuisioner, kamera,

perlengkapan herbarium dan alat tulis.

154| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

C. Prosedur Kerja

1. Survei ke instansi terkait

Survei ke Dinas Kehutanan dilakukan untuk mencari informasi tentang

keberadaan pandan hutan dan ke Dinas Industri dan Perdagangan untuk

mengetahui sentra kerajinan anyaman daun pandan.

2. Survei lapangan

Survei lapangan dilakukan dengan mendatangi lokasi-lokasi yang

diinformasikan oleh instansi terkait terdapat tumbuhan pandan hutan dan

kerajinan anyaman pandan.

3. Pengambilan data

Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purpose sampling), dengan

mempertimbangkan banyaknya lokasi budidya dan sentra kerajinan.

Kemudian dilakukan observasi langsung di lapangan dan wawancara

dengan petani/pengrajin. Data pendukung dikumpulkan dari instansi

terkait dan studi pustaka.

a. Pengumpulan data mengenai budidaya pandan hutan

Pengumpulan data dilakukan di areal budidaya milik masyarakat dan

wawancara dengan pemiliknya. Data yang diambil adalah cara

budidaya, jumlah tanaman (induk dan anak), pengamatan karakteristik

morfologi pandan dan jenis vegetasi lain.

Penghitungan terhadap pandan dilakukan secara keseluruhan karena

jumlah tanaman dan luasnya yang terbatas. Semua tanaman yang ada

dalam satu lokasi dihitung baik berupa induk maupun anaknya.

b. Pengambilan data kerajinan anyaman

Pengumpulan dilakukan di sentra-sentra kerajinan meliputi bahan

baku dan teknologi pengolahannya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Tapanuli Selatan secara geografis terletak di antara 98

0 50’-100 10’ Bujur Timur dan 0 0 10’-10 50’ Lintang Utara. Ibu kota

Kabupaten Tapanuli Selatan adalah Padang Sidempuan dengan jarak dari

Medan, ibu kota Sumatera Utara adalah 380 km. Luas wilayahnya 18.897

km2 dan terdiri dari 28 kecamatan dengan jumlah penduduk 1 juta jiwa.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 155

Sejak tanggal 10 Agustus 2007, Kabupaten Tapanuli Selatan mengalami

pemekaran menjadi 3 kabupaten yaitu: Tapanuli Selatan, Padang Lawas

dan Padang Lawas Utara (Anonim, 2008).

Di Kabupaten Tapanuli Selatan terdapat beberapa daerah budidaya

dan sentra kerajinan anyaman daun pandan. Luas areal budidaya beragam

sesuai dengan kepemilikan lahan, dan lokasinya terletak di pinggir jalan, di

pinggir sungai dan di pekarangan rumah. Sedangkan pengrajin daun

pandan pada beberapa sentra memproduksi produk kerajinan dalam jumlah

yang cukup besar, ada yang sedikit bahkan ada yang sudah tidak

berproduksi. Proses produksi dilakukan di rumah-rumah, ada yang hanya

memproduksi daun pandan kering untuk langsung dijual dan ada yang

memproduksi daun pandan kering untuk dianyam.

Kecamatan Padang Bolak Julu dipilih sebagai lokasi penelitian

kerajinan anyaman karena kecamatan ini paling banyak memproduksi

anyaman daun pandan dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Jumlah

pengrajin mencapai 70 orang, memerlukan daun pandan kering dalam

jumlah banyak dan untuk menutupi kekurangannya bahan baku daun

pandan didatangkan dari kecamatan lain. Daun pandan kering terutama

didatangkan dari Kecamatan Padang Sidempuan Timur dan Kecamatan

Padang Bolak.

Penduduk setempat mempunyai mata pencaharian pokok bertani

dengan tanaman pertanian terutama salak, pisang, jagung dan sayur-

sayuran serta tanaman perkebunan berupa karet dan kelapa sawit. Sebagian

masyarakat merupakan buruh tani yang bekerja pada saat musim

tanam/musim panen dan membersihkan lahan. Sedangkan waktu luang dari

kegiatan pertanian dimanfaatkan oleh para perempuan untuk membuat

anyaman.

B. Budidaya Pandan

Berkurangnya populasi pandan di alam disebabkan oleh beberapa

faktor. Pertama, kondisi hutan alam yang sudah banyak terdegradasi

sehingga tidak sesuai untuk tempat tumbuh pandan. Kedua, perubahan

fungsi hutan menjadi perkebunan seperti karet atau kelapa sawit. Ketiga,

terkait dengan alasan ekonomi, yaitu harga daun pandan rendah, sehingga

keberadaannya di hutan menjadi tidak lagi dipentingkan.

156| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Untuk mendapatkan daun pandan yang berkualitas, masyarakat

melakukan budidaya. Di Tapanuli Selatan jenis pandan hutan yang

dibudidayakan adalah pandan duri (Pandanus tectorius). Budidaya pandan

dilakukan di Kecamatan Padang Bolak Julu, Padang Bolak dan Padang

Sidempuan Timur. Umumnya areal budidaya pandan berada di pinggir

jalan yang menghubungkan Kota Padang Sidempuan dengan Kota Gunung

Tua, sedangkan di Kecamatan Padang Bolak Julu areal budidaya sangat

sedikit.

Pandan hutan yang terdapat di dalam lahan merupakan campuran

induk dan anakan. Jumlah induk dan anakan yang terdapat pada suatu

lokasi beragam, sesuai dengan pemeliharaan yang dilakukan oleh

pemiliknya. Pengukuran dilakukan pada lahan yang telah dipanen dan yang

belum dipanen. Keadaan ini terlihat dari kondisi daun pandan pada batang,

ada yang masih lengkap dan ada yang tinggal bagian ujung batang saja.

Daun pandan yang tinggal bagian ujung batang menandakan daun pandan

telah dipanen.

Vegetasi yang ada di areal budidaya beragam sesuai dengan

keinginan pemilik lahan, karena lahan budidaya jarang yang dikhususkan

untuk pandan. Vegetasi yang ada dapat berupa tumbuhan berkayu atau

semak. Selain itu di sekitar tanaman pandan masih terdapat rumput akibat

kurangnya pemeliharaan. Kebersihan lahan sangat mempengaruhi kualitas

daun yang dihasilkan sebagai bahan baku anyaman. Gambar 1 menunjukan

budidaya pandan di lahan masyarakat.

Gambar 1. Budidaya pandan

Morfologi pandan: daun tua berwarna hijau dan daun muda putih

kehijauan, pinggir daun dan tulang daun berduri tajam. Panjang daun

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 157

berkisar 1,1-3,5 m dan lebar 2,5-6 cm. Daunnya dimanfaatkan sebagai

bahan baku kerajinan berupa tikar, tas, keranjang buah dan sumpit. Batang

berwarna coklat, dengan permukaan kasar dan pada bagian ujung batang

berwarna hijau.

Areal budidaya pandan oleh masyarakat dilakukan dipinggir jalan,

pinggir sungai dan halaman rumah. Penanaman dilakukan tanpa ada

ketentuan jarak tanam, tetapi dilihat di lapangan umumnya masyarakat

menanam dengan jarak sekitar 1 x 1,5 m. Jadi, dalam 1 (satu) hektar dapat

ditanaman 6.666 batang pandan hutan. Pada perkembangannya setiap induk

memiliki anakan antara 2–27 yang membentuk rumpun. Untuk

memperoleh hasil yang baik masyarakat hanya memelihara 5–10

tunas/anakan saja. Selanjutnya anakan yang lain dijadikan bibit jika

tersedia lahan untuk budidaya atau dibuang, hal tersebut dilakukan untuk

menjaga kualitas daun. Dari beberapa lokasi budidaya diperoleh data

seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Data tanaman pandan pada lokasi penelitian

No. Plot Jumlah No. Plot Jumlah

1 Induk : 49

Anakan : 22

7 Induk : 58

Anakan : 47

2 Induk : 3

Anakan : --

8 Induk : 11

Anakan : 15

3 Induk : 9

Anakan : 11

9 Induk : 11

Anakan : 12

4 Induk : 6

Anakan : 1

10 Induk : 17

Anakan : 29

5 Induk : 14

Anakan : 8

11 Induk : 46

Anakan : 43

6 Induk : 47

Anakan : 11

12 Induk : 36

Anakan : 18

Jumlah tumbuhan pandan yang ada pada setiap lokasi berbeda,

baik dari kerapatan maupun dari jumlah induk dan anakan. Keberadaan

tumbuhan pandan sangat dipengaruhi oleh pemeliharan yang dilakukan

oleh pemiliknya. Untuk menjaga kualitas daun maka biasanya jumlah

158| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

anakan yang dipelihara terbatas. Begitu juga dengan jumlah induk, untuk

induk yang sudah cukup tua biasanya ditebang karena daun yang dihasilkan

kualitasnya menurun.

Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas daun pandan, perlu

dilakukan usaha budidaya yang lebih terarah baik luas areal maupun teknik

silvikultur dan pemeliharaannya. Areal budidaya sebaiknya ditambah,

misalnya pagar kebun dan pematang sawah atau memanfaatkan lahan

kosong sehingga menambah luas areal budidaya. Pada areal khusus

budidaya dapat dilakukan penanaman pandan yang lebih banyak dengan

penanaman sistem jalur 4x2 m sehingga terdapat jalan untuk pemeliharaan

dan pemanenan. Selain itu pemeliharaan dilakukan secara rutin setiap 3

bulan, baik terhadap tumbuhan penganggu maupun pembersihan daun yang

tua serta pembuangan anakan. Dengan demikian diharapkan ada jaminan

ketersediaan bahan baku berkualitas bagi para pengrajin anyaman daun

pandan.

B. Pemanfaatan Daun Pandan

Di Kabupaten Tapanuli Selatan pusat kerajinan pandan adalah di

Kecamatan Padang Bolak Julu. Di Kecamatan ini daun pandan diolah

masyarakat menjadi berbagai produk kerajinan yang pemasarannya sampai

pada kabupaten-kabupaten sekitarnya. Produk kerajinan dari Tapanuli

Selatan lebih bervariasai jika dibandingkan dengan di Tapanuli Tengah.

Produk kerajinan anyaman dari Tapanuli Selatan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh produk kerajinan masyarakat

Pengolahan daun pandan untuk kerajinan yang dilakukan di

Kabupaten Tapanuli Selatan hampir sama dengan kabupaten-kabupaten

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 159

lain di Sumatera Utara, seperti di Kabupaten Tanah Karo. Pengolahan

biasanya dilakukan oleh kaum perempuan dengan teknik yang mereka

gunakan secara turun-temurun sebagai berikut :

1. Pemanenan daun pandan langsung dipisahkan sesuai ukuran

2. Pembuangan duri dan pembelahan daun pandan

3. Pememaran daun dilakukan dengan cara menumbuk

4. Perebusan dilakukan sekitar 30 menit atau sampai daun berubah

menjadi kuning kecokelatan

5. Perendaman di dalam bak/drum selama 3-4 hari

6. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran sampai kering

7. Daun kering dijual atau langsung dianyam untuk tikar dan sumpit

(kantong beras untuk acara adat).

Gambar 3. Diagram proses pengolahan daun pandan

Pemisahan dilakukan saat pemanenan dipisahkan menurut ukuran

panjangnya, hal ini untuk mengurangi pengerjaan penyortiran karena

produk anyaman ditentukan juga oleh panjang daun. Pembelahan daun

pandan dilakukan saat daun masih segar untuk memudahkan proses dan

menjaga kualitas daun, ukuran lebarnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Selanjutnya pememaran daun untuk memipihkan daun dan memberikan

elastisitas pada saat dianyam. Perebusan bertujuan untuk menjaga kondisi

Pemanenan daun dan

Pemisahan sesuai

ukuran panjang

Pembuangan duri

dan pembelahan daun

(0,5-0,7) cm

Pememaran daun

dengan cara

ditumbuk

Perebusan

(± 30 menit)

Perendaman

(± 3-4 hari)

Penjemuran

(5-7 hari)

Dijual

(Per ikat)

Dianyam

(Tikar/Sumpi

t)

160| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

daun dan mengurangi kekakuan, secara kimia hal ini diduga

menghancurkan lignin. Sedangkan perendaman dilakukan untuk menambah

keawetan daun atau menghilangkan kandungan karbohidrat. Sebelum

dianyam daun pandan dijemur untuk memudahkan pengayaman

mempertahankan ukuran selama pemakaian.

Dilihat dari produk yang dihasilkan, masih banyak teknologi yang

dapat diterapkan mulai dari pemberian warna sehingga lebih menarik. Juga

diversifikasi produk perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan

konsumen yang beragam. Selain itu, mutu produk juga perlu ditingkatkan

dengan menyesuaikan terhadap permintaan pasar. Hal tersebut dapat

terwujud tidak hanya tergantung dari tingginya produktifitas dan rendahnya

harga maupun jasa, tetapi juga kualitas, kenyamanan, kemudahan dan

ketepatan serta kecepatan waktu untuk mencapainya (Ibrahim, 1997).

Untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi terhadap daun

pandan, dilakukan peningkatan pengolahan daun pandan. Pengolahan ini

dapat dilakukan dengan mengadopsi teknologi dari luar seperti Jawa Barat,

dimana pengolahan daun pandan sudah lebih dulu maju. Di daerah ini

pengolahan telah dilakukan secara intensif dengan memperhatikan

ketahanan penggunaan dan nilai estetika. Pada produk-produknya telah

diberikan bahan tambahan seperti pemakaian kayu, kertas dan kain serta

pemberian warna yang sesuai untuk menambah keindahannya. Teknologi

yang digunakan sangat sederhana dan bahan tambahan berupa kayu-kayu

kecil dan kain perca merupakan limbah dari industri kayu maupun

konveksi, sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Di Jawa sentra

kerajinan terpusat di dua tempat yaitu Tasikmalaya (Jawa Barat) dan

Yogyakarta. Sedangkan bahan baku anyaman pandan berasal dari daerah

Gombong, Serang dan Lamongan (Wongso, 2007). Peningkatan mutu

merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan nilai jual, karena

diharapkan akan meningkatkan pemintaan terhadap kerajinan anyaman

berbahan baku pandan. Keunggulan para pengrajin di Kabupaten Tapanuli

Selatan, Sumatera Utara dibandingkan pengrajin dari Jawa adalah dekat

dengan bahan baku.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 161

A. Kesimpulan

1. Keberadaan pandan hutan di alam sangat terbatas yang disebabkan a)

kondisi hutan alam yang sudah banyak terdegradasi, b) perubahan

fungsi hutan, c) terkait dengan alasan ekonomi (harga daun pandan

murah), sebagai solusinya dilakukan budidaya terhadap pandan untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku anyaman.

2. Berdasarkan hasil analisis herbarium jenis pandan yang dibudidayakan

masyarakat adalah pandan duri (Pandanus tectorius).

3. Budidaya pandan di Tapanuli Selatan dilakukan secara sederhana pada

lahan-lahan sempit di pinggir jalan, pinggir sungai atau halaman

rumah.

4. Pemanfaatan daun pandan oleh masyarakat di Kabupaten Tapanuli

Selatan dilakukan dengan teknologi yang sederhana dan belum

memanfaatkan bahan tambahan untuk menambah kekuatan dan nilai

estetika produk kerajinan anyaman.

B. Saran

Perlu dilakukan pengenalan teknologi sederhana atau teknologi

tepat guna (TTG) melalui pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan

variasi produk serta adanya jaminan pemasaran oleh pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kabupaten Tapanuli Selatan. Diakses melalui Situs web

resmi :http://www.tapselkab.go.id. pada 27 Juni 2008.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.

Ibrahim, B. 1997. TQM (Total Quality Management). Panduan untuk

Menghadapi Persaingan Global. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Trubus. 2005. Pro dan Kontra Buah Merah. Trubus Volume XXXVI Maret

2005. Jakarta.

Wongso F. 2007. Peluang Export Kerajinan Pandan dan Abaca. Makalah

pada Kegiatan Ceramah di MMA – IPB. Diakses melalui

http//www.mma.ipb.ac.id Tanggal 12 Pebruari 2007.

162| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KEANEKARAGAMAN JENIS BAKTERI PENGINDUKSI

PEMBENTUKAN RESIN GAHARU PADA POHON Gyrinops

versteegii ((Gilg.) Domke) DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

Prilya D. Fitriasari1, Endang S. Soetarto

1, I Komang Surata

2

1Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

2Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Lombok Barat

Email : [email protected]

ABSTRAK

Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke adalah salah satu pohon penghasil gaharu

yang tumbuh endemik di hutan tropis Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Gaharu sebagai salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) bernilai

ekonomi tinggi, merupakan hasil aktivitas mikrobia patogen yang menginfeksi

jaringan korteks pada pohon penghasil gaharu. Jenis mikrobia yang berasosiasi

dengan pohon penghasil gaharu adalah bakteri dan kapang. Efektivitas kapang

untuk membentuk gaharu telah banyak diteliti, contohnya Fusarium sp., namun

kelompok bakteri sebagai agensia penginduksi resin gaharu belum banyak

diteliti secara intensif. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan strain

bakteri yang berasosiasi pada batang pohon Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

serta menganalisis sifat dan peran bakteri dalam induksi pembentukan resin

gaharu. Cara kerja meliputi tahap eksplorasi, isolasi bakteri dari pohon

penghasil gaharu, subkultur dan pemurnian bakteri pada medium NA,

perbanyakan isolat bakteri terpilih dan karakterisasi dengan cat Gram. Data

yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini adalah terdapat

jenis bakteri spesifik yang berasosiasi dengan pohon penghasil gaharu

Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke. Bakteri tersebut mayoritas bakteri Gram

negatif berbentuk batang yang diduga memiliki peran pada pembentukan resin

gaharu.

Kata kunci: bakteri, gaharu, Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke

I. PENDAHULUAN

Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke adalah salah satu pohon

penghasil gaharu yang tumbuh endemik di hutan tropis Pulau Lombok,

Nusa Tenggara Barat. Gaharu sebagai salah satu komoditi hasil hutan

bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi diekspor ke berbagai

negara sejak tahun 2000 mencapai 15 ton/tahun dengan nominal sebesar

300.000 US Dollar. Gaharu tersebut mempunyai nilai multiguna yaitu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 163

sebagai bahan dasar dalam berbagai industri parfum dan kosmetik, bahan

baku obat-obatan (anti asma, obat diare, obat malaria dan obat kanker) dan

sebagai bahan dasar dupa (Sumarna, 2002).

Gaharu merupakan hasil aktivitas mikrobia yang bersifat patogen

dan menginfeksi jaringan korteks pada pohon penghasil gaharu (Barden,

Awang, Muliken, Song, 2000). Infeksi yang terjadi pada permukaan

tumbuhan Gyrinops diawali karena adanya pelukaan baik secara alami atau

disengaja di bagian jaringan tumbuhan terutama di batang. Infeksi tersebut

akan direspon oleh tumbuhan dengan melepaskan resin untuk pertahanan

diri. Resin yang terbentuk kemudian terakumulasi di dalam jaringan kayu,

mengeras, berwarna kehitaman dan mengeluarkan aroma. Gaharu

dihasilkan oleh jenis pohon tertentu akibat infeksi beberapa patogen baik

dari kelompok jamur, bakteri dan jenis insekta ke jaringan korteks

tumbuhan (Barden et al., 2000).

Gaharu yang dihasilkan secara alami memerlukan waktu yang lama

dan jenis mikrobia penginduksi pembentuk gaharu yang sangat spesifik.

Jenis mikrobia yang berasosiasi dengan pohon penghasil gaharu adalah

bakteri dan kapang. Efektivitas kapang untuk membentuk gaharu telah

banyak diteliti, contohnya Fusarium sp. (Budi, Santoso, Wahyudi, 2010),

namun kelompok bakteri sebagai agensia penginduksi resin gaharu belum

banyak diteliti dengan intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari

bakteri yang kemungkinan berperan dalam pembentukan resin gaharu.

Berdasarkan hal tersebut, tahapan penting dalam penelitian ini adalah tahap

eksplorasi dan isolasi bakteri penginduksi resin gaharu yang dipaparkan

dalam makalah ini.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan pada awal bulan November 2014. Penelitian

yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental yang terdiri atas dua

skala yaitu skala laboratorium dan skala lapang. Skala laboratorium

meliputi isolasi bakteri, perbanyakan bakteri, seleksi dan karakterisasi

bakteri terpilih dan eksperimen pembentukan gaharu dilakukan di

Laboratorium Mikrobiologi dan lahan pembibitan BPTHHBK. Skala

164| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

lapang meliputi pengambilan sampel kulit batang pohon Gyrinops

versteegii (Gilg.) Domke yang terindikasi mengandung gaharu yang

terbentuk secara alami.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri hasil

isolasi dari sampel kulit kayu dari pohon Gyrinops versteegii (Gilg.)

Domke yang secara alami mengandung gaharu yang tumbuh di hutan

Kabupaten Lombok Barat, bibit pohon Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke,

medium NA (Nutrient Agar), akuades, antifungi ketoconazol, larutan

garam fisiologis (garfis) 0,85% NaCl, Pewarna Gram, terdiri atas: i) Cat

Gram A (kristal violet; etil alkohol 95%; ammonium oksalat dan akuades),

ii) Cat Gram B (iodine, kalium iodida dan akuades), iii) Cat Gram C

(aseton, etil alkohol 95%), iv) Cat Gram D (safranin, etil alkohol 95% dan

akuades), spiritus, alcohol 70%, kertas tissue.

Alat yang digunakan dalam penelitian diantaranya Laminar Air Flow

(LAF) (Airtech), neraca analitik (AND), autoklaf, mikroskop (Nikon)

beserta kamera optilab, shaker (Heidolph), alumunium foil, seperangkat

alat kultur (glassware) yaitu cawan petri (Pyrex), tabung reaksi (Pyrex),

erlenmeyer 250 mL dan 500 mL (Pyrex), jarum oose, beaker glass 250 mL

(Pyrex), pisau steril/scalpel, syringe, plastik, pH meter, GPS dan

thermohygrometer.

C. Metode Kegiatan

1. Eksplorasi

Pengambilan sampel kulit batang pohon penghasil gaharu dilakukan

di dua lokasi yaitu di Desa Pusuk dan Desa Lembah Sari. Pohon penghasil

gaharu yang digunakan untuk pengambilan sampel dipilih secara acak

dengan memilih pohon yang telah diperlakukan dengan inokulasi mikrobia

maupun yang secara alami diduga mengandung gaharu (belum pernah

diinokulasi mikrobia secara sengaja). Sampel berupa kulit pohon Gyrinops

versteegii (Gilg.) Domke yang menunjukkan luka dan berwarna kecoklatan

disayat menggunakan parang. Kondisi lingkungan dicatat sebagai data

penunjang meliputi temperatur, persentase kelembaban serta ketinggian

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 165

lokasi. Sampel selanjutnya disimpan dalam plastik dan dibawa ke

laboratorium.

2. Isolasi bakteri dari pohon penghasil gaharu

Sampel berupa bagian kayu dipotong sebesar 1x1 cm2, sampel

dibedakan menjadi sampel kayu yang berwarna kehitaman dan kayu yang

berwarna coklat terang. Sampel disterilisasi permukaan dengan direndam

dalam larutan akuades:ethanol:akuades masing-masing secara berurutan

selama 30 detik:60 detik:30 detik. Potongan-potongan kayu tersebut

ditanam dalam cawan petri berisi medium Nutrient Agar yang telah

ditambah dengan antifungi ketoconazole selanjutnya diinkubasi dalam suhu

ruang selama 48 jam.

3. Subkultur dan pemurnian bakteri

Koloni bakteri yang tumbuh sebagai hasil isolasi, diamati secara

morfologis bentuk koloni yang berbeda, selanjutnya dimurnikan dengan

cara diambil satu koloni dengan jarum ose secara aseptis, dipindahkan pada

medium NA dalam cawan petri dengan metode streak plate empat kuadran

selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30 oC. Koloni tunggal

yang muncul dari hasil streak plate disubkultur pada medium NA lainnya.

4. Karakterisasi bakteri terpilih

Karakterisasi dilakukan pada isolat bakteri terpilih yang mampu

tumbuh pada media seleksi. Pengamatan morfologi bakteri dilakukan

dengan mengamati bentuk koloni, konfigurasi, ciri optik, tekstur, dan

pigmentasi koloni. Tipe Gram dan bentuk sel dilakukan dengan pewarnaan

Gram menggunakan cat Gram A, B, C dan D.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa sayatan kayu

(Gambar 1) yang diambil dari pohon penghasil gaharu Gyrinops versteegii

(Gilg.) Domke. Pohon yang digunakan untuk penelitian yaitu pohon yang

telah diperlakukan dengan diinokulasi kapang (pohon penelitian

BPTHHBK) dan pohon yang mengalami pelukaan secara alami yang

mengandung gaharu, dicirikan dengan adanya perubahan warna kecoklatan

pada kayunya.

166| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kayu pada pohon gaharu berwarna putih, namun dapat berubah

warna menjadi kecoklatan sebagai salah satu indikator terbentuk gaharu.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rahayu (2010) dalam Siran dan

Turjaman (2010), perubahan warna kayu pada gaharu mungkin dapat

mengindikasikan adanya resin atau senyawa gaharu. Perubahan warna kayu

dari putih menjadi kecoklatan (browning) dapat disebabkan oleh serangan

patogen dan kerusakan fisik.

Gambar 1. Sampel kayu gaharu dari beberapa lokasi

untuk isolasi bakteri penginduksi resin gaharu

Sampel kayu yang diambil untuk penelitian berasal dari pohon

penghasil gaharu yang kondisinya berbeda. Kondisi pohon dan lingkungan

pengambilan sampel disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Asal sampel dan kondisi lingkungan pohon penghasil gaharu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 167

No Kode

sampel Lokasi

Kondisi Lingkungan

Kondisi pohon Suhu

(oC)

Kelembaban

(%)

1. P1 Pusuk,

Lombok

Barat

33,5 50 Pohon tanpa

perlakuan

2. P2 Pusuk,

Lombok

Barat

35,5 44 Pohon tanpa

perlakuan

3. P3 Pusuk,

Lombok

Barat

34,2 48 Pohon dengan

perlakuan

inokulum LB

metode implant*)

4. K1 Kekait,

Lombok

Barat

32,7 51 Pohon dengan

perlakuan

inokulum LT

metode bor*)

Keterangan *)

: Pohon penelitian BPTHHBK Lombok

Pohon penghasil gaharu jenis Gyrinops banyak ditemukan di

Indonesia bagian timur, salah satunya di Pulau Lombok. Pohon penghasil

gaharu dapat tumbuh pada dataran rendah hingga ketinggian 800 m/dpl

(Sitepu, Santoso, Siran, Turjaman, 2011). Pohon yang digunakan sebagai

sampel berada pada ketinggian 102-136 m/dpl. Kondisi pohon yang dipilih

yaitu tanpa perlakuan dan dengan perlakuan diharapkan memberikan hasil

isolasi bakteri yang beragam.

A. Isolasi bakteri dari pohon penghasil gaharu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat jenis bakteri spesifik

yang berasosiasi dengan pohon penghasil gaharu Gyrinops versteegii

(Gilg.) Domke serta bakteri tersebut diduga memiliki peran pada

pembentukan resin gaharu. Isolat bakteri yang diisolasi langsung dari kayu

pohon penghasil gaharu tampak membentuk koloni disekitar sampel kayu

tersebut setelah diinkubasi 48-72 jam (Gambar 2). Koloni bakteri yang

tumbuh disekitar sampel kayu pada medium NA memiliki bentuk dan

warna koloni yang berbeda. Isolat bakteri yang berasal dari sampel irisan

kayu berwarna lebih gelap (coklat), diberi kode A, menunjukkan rata-rata

168| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pertumbuhan koloni bakteri yang lebih cepat dibandingkan isolate bakteri

yang berasal dari sampel irisan kayu berwarna terang. Berdasarkan hasil

isolasi bakteri dari sampel kayu pohon penghasil gaharu diperoleh delapan

isolat yaitu isolat bakteri P1A, P2A, P2B1, P2B2, P3A, P3B, K1A dan

K1B.

Koloni bakteri dengan kode strain P1A, P1B, P2B1, P3B, K1A dan

K1B menunjukkan jumlah koloni yang cukup banyak tumbuh disekitar

sampel dan berwarna putih susu, sedangkan pada isolat bakteri kode P2B2

dan P3A menunjukkan koloni yang berwarna kekuningan dan bentuk

koloni yang bulat berantai.

Gambar 2. Koloni bakteri pada sampel kayu dalam medium NA,

inkubasi 72 jam, 30 oC. Kode gambar (A) isolat P1A, (B) isolat P2A,

(C1) isolat P2B2, (C2) isolat P2B1, (D) isolat P3A, (E) isolat P3B,

(F) isolat K1A, (G) isolat K1B. Tanda panah menunjukkan

koloni bakteri yang muncul disekitar sampel.

Isolat tunggal dari koloni bakteri diperoleh dengan purifikasi

menggunakan streak kuadran pada medium NA dan dilakukan inkubasi

selama 24-48 jam. Karakterisasi isolat bakteri dilakukan secara sederhana

dengan pengamatan morfologi secara visual dan pengamatan bentuk sel

bakteri dengan pengecatan Gram. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

semua isolat memiliki permukaan koloni yang licin dan jika diamati pada

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 169

cahaya akan menunjukkan pendar atau kromogenesis fluorescents. Hasil

pengamatan morfologi koloni tiap isolat disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Karakter morfologis bakteri hasil isolasi dari pohon penghasil

gaharu

Isolat

Karakter morfologis

Bentuk

koloni

Elevasi Tepi Perubahan

medium

Bentuk

sel

Gram

P1A Circular Low

convex

Undulate Ya Batang -

P2A Irregulair Low

convex

Undulate Ya Kokus +

P2B1 Irregulair Low

convex

Undulate Ya Batang -

P2B2 Circular Convex Entire Tidak Batang -

P3A Circular Convex Entire Tidak Batang -

P3B Irregulair Low

convex

Undulate Ya Batang -

K1A Irregulair Low

convex

Undulate Tidak Batang -

K1B Irregulair Low

convex

Undulate Tidak Batang -

Berdasarkan hasil pengecatan Gram (Gambar 3) diketahui bahwa

hampir semua isolat adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang. Bakteri

yang diisolasi diduga adalah bakteri spesifik yang berasosiasi dengan

pohon penghasil gaharu dan mungkin mampu membentuk resin gaharu.

170| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Hasil pengecatan Gram. Gambar (A) isolat P1A p=40x,

(B) isolat P2A p=40x, (C) isolat P2B1, (D) isolat P2B2, (E) isolat P3A,

(F) isolat P3B, (G) isolat K1A dan (H) isolat K1B.

gambar D-H perbesaran 100x.

Terbentuknya gaharu pada pohon penghasil gaharu dipicu oleh

faktor abiotik maupun faktor biotik. Faktor biotik seperti mikrobia patogen

dari kelompok kapang dan bakteri. Beberapa kapang penginduksi resin

yang telah banyak diteliti yaitu Aspergillus sp., Diplodia sp., Pythium sp.,

dan Fusarium sp. sedangkan untuk bakteri belum banyak diteliti. Salah satu

penelitian mengenai bakteri endofit yang berasosiasi dengan pohon

penghasil gaharu dari spesies Aquilaria telah dilakukan di Malaysia.

Berdasarkan penelitian tersebut, bakteri endofit yang berhasil diisolasi dari

bagian pohon Aquilaria mayoritas adalah bakteri Bacillus pumilus,

identifikasi bakteri endofit tersebut didasarkan pada sekuen gen 16S rRNA

(Bhore, Preveena, Kandasamy, 2013). Terdapat bakteri yang bersifat

patogen terhadap tumbuhan hutan, misalnya pada pohon jati (Tectona

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 171

grandis), disebabkan oleh bakteri genus Pseudomonas sp. (Ismail dan

Anggraeni, 2008).

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Terdapat jenis bakteri spesifik yang berasosiasi dengan pohon penghasil

gaharu Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke serta bakteri tersebut diduga

memiliki peran pada pembentukan resin gaharu.

2. Bakteri yang berhasil diisolasi dari pohon penghasil gaharu mayoritas

merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang.

B. Keterbatasan

Belum banyak referensi dari penelitian sebelumnya yang meneliti

tentang jenis bakteri penginduksi resin gaharu.

C. Saran

Perlu dilakukan uji lapang tentang efektifitas bakteri Gram negatif ini

dalam pembentukan gaharu.

DAFTAR PUSTAKA

Barden, A., N. Awang Anak, T. Muliken, and M. Song. 2000. Heart of the

Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for

Aquilaria malaccensis. TRAFFIC Network.

Bhore, S.J., J. Preveena and K.I. Kandasamy. 2013. Isolation and

Identification of Bacterial Endophytes from Pharmaceutical

Agarwood-producing Aquilaria Species. www.ncbi.nlm.nih.gov.

Akses tanggal 23 Oktober 2014.

Budi, S. W., Santoso, E., Wahyudi, A. 2010. Identifikasi Jenis-Jenis Fungi

yang Potensial Terhadap Pembentukan Gaharu dari Batang

Aquilaria spp. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 1, No.1. pp 1-5

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro

(penerjemah). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Terjemahan

dari: Phytochem Methods.

Ismail, Burhan dan I. Anggraeni. 2008. Identifikasi Penyakit Jati (Tectona

grandis) dan Akasia (Acacia auriculiformis) di Hutan Rakyat

172| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Pemuliaan Tanaman

Hutan. (2)1.ppp 7-9.

Santoso, E. 1996. Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Makalah

diskusi hasil penelitian dalam menunjang pemanfaatan hutan yang

lestari. Bogor. 11-12 Maret 1996. Badan Litbang Kehutanan Pusat

Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor

Siran, S.A. dan M. Turjaman. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi

gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Sitepu, I.R., E. Santoso, S.A. Siran, M. Turjaman. 2011. Fragrant wood

gaharu: When The Wild Can No Longer Provide. ITTO PD425/06

Rev.1 (I).

Sumarna, Y. dan E. Santoso. 2002. Budidaya dan Pengembangan Rekayasa

Produksi Gaharu. Makalah Semiloka Gaharu, Mikoriza, Arang,

Cuka Kayu, Biro KLN dan Investasi, Setjen Departeman Kehutanan.

Jakarta.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 173

C. Pemanfaatan Dan Pengolahan HHBK

174| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ANALISIS FITOKIMIA DAUN BEKE (Pycnarrhena tumefacta

MIERS) DARI HUTAN ADAT TANA ULEN, KALIMANTAN

TIMUR

Andrian Fernandes1*

, Tati Rostiwati2, dan Karmilasanti

1

1Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda, Kaltim

2Pusat Penelitian Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor

Email: [email protected]

ABSTRAK

Secara turun menurun masyarakat dayak di desa Setulang telah mengenal daun

Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers.) sebagai pelancar air seni. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui komponen fitokimia daun Beke yang tumbuh di

kawasan hutan adat Tana Ulen, desa Setulang, kabupaten Malinau, Propinsi

Kalimantan Timur dalam rangka pemanfaatannya yang lebih luas. Contoh uji

tumbuhan obat untuk proses pengujian fitokimia yang dilakukan mengacu pada

metode yang dikemukakan oleh Harborne (1998) dan Kokate (2001). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa daun Beke mengandung flavonoid, tanin,

alkaloid, steroid dan glikosida

Kata kunci : daun Beke diuretik, fitokimia, hipertensi, hutan adat

I. PENDAHULUAN

Departemen Kesehatan (2006) menyebutkan bahwa hipertensi

merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara luas dikenal

sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Banyak faktor yang

mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam

terbentuknya hipertensi, diantaranya adalah asupan natrium (garam)

berlebihan. Pengobatan hipertensi bisa dilakukan dengan mengubah pola

hidup dan menggunakan obat. Kombinasi beberapa obat yang efektif untuk

mengobati hipertensi adalah dengan menggunakan salah satu unsur diuretik

(Houston, 2009).

Banyak tumbuhan obat yang telah dikenal masyarakat luas yang

bersifat diuretik. Masyarakat awam menyebut bahan yang bersifat diuretik

sebagai bahan pelancar air seni, bahan tersebut dapat diperoleh misalnya

dari daun keji beling, daun kumis kucing, dan lain sebagainya. Salah satu

jenis tumbuhan obat diuretik yang dikenal secara turun menurun oleh

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 175

masyarakat dayak di desa Setulang adalah daun Beke (Pycnarrhena

tumefacta Miers) yang tergolong dalam famili Menispermaceae.

Masyarakat adat Dayak merebus daun Beke dan dan meminumnya dengan

tujuan melancarkan air seni.

Famili Menispermaceae dibagi menjadi 56 genus dan 94 spesies dan

P. tumefacta Miers., merupakan salah satu jenis dari yang berkhasiat obat

dan sampai saat ini belum ada penelitian ke arah kandungan fitokimianya

(Jacques dkk., 2011), sehingga untuk pemanfaatan daun Beke dalam

jumlah yang lebih besar dan luas diperlukan analisis fitokimianya. Siwon,

et al. (1981) menjelaskan bahwa jenis lain dari Pycnarrhena yang telah

diteliti adalah P. longifolia dan P. novoguineensis yang mengandung

alkaloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen fitokimia

daun Beke yang tumbuh di kawasan hutan adat Tana Ulen, desa Setulang,

kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan adat Tana Ulen, desa

Setulang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Contoh uji tumbuhan

obat yang diambil dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama digunakan

sebagai herbarium dan bagian kedua untuk proses pengujian fitokimia.

Herbarium diidentifikasikan di laboratorium herbarium Balai Penelitian

Kehutanan Samboja, Kalimantan Timur, sementara pengujian fitokimia

dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fakultas Kehutanan Universitas

Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.

Bahan daun Beke dikeringkan pada suhu kamar dan dibuat menjadi

serbuk kasar. Serbuk diekstraksi dengan heksana untuk menghilangkan

lemak. Kemudian disaring dan filtrat dibuang. Residu ini berturut-turut

diekstraksi dengan etil asetat dan metanol menggunakan metode perkolasi

dingin (Evans, 2002).

Satu gram ekstrak etil asetat dan metanol dilarutkan dalam 100

ml pelarut etil asetat dan metanol untuk memperoleh suatu persediaan

konsentrasi 1% (v/v). Ekstrak yang diperoleh digunakan sebagai bahan

untuk pengujian fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan mengacu pada

metode yang dikemukakan oleh Harborne (1998) dan Kokate (2001).

176| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Analisis dilakukan terhadap komponen kimia daun beke yaitu:

1. Uji flavonoid: kedalam satu (1) ml ekstrak ditambahkan beberapa tetes

larutan sodium hidroksida, adanya perubahan warna menjadi warna

kuning menunjukkan adanya flavonoid.

2. Uji saponin: Adanya senyawa saponin ditunjukkan dengan adanya

pembentukkan busa dari pengocokan ekstrak (yang telah diencerkan

dengan 20 ml air suling) selama 15 menit.

3. Uji steroid: satu (1) ml ekstrak yang dilarutkan dalam 10 ml volume

kloroform dan kemudian ditambahkan asam sulfat pekat melalui sisi

tabung reaksi pada volume yang sama akan membentuk lapisan yang

berubah merah dan lapisan asam sulfatnya menunjukkan warna kuning

dengan flourescense hijau. Perubahan tersebut menunjukkan adanya

steroid.

4. Uji tanin: Endapan kuning yang terbentuk dari penambahan beberapa

tetes timbal asetat 1% pada lima (5) ml ekstrak menunjukkan adanya

senyawa tanin.

5. Uji triterpenoid: sepuluh (10) mg ekstrak dilarutkan dalam 1 ml

kloroform, setelah penambahan 2 ml larutan H2SO4 kedalam 1 ml asetat

anhidrida membentuk warna ungu kemerahan yang menunjukkan

adanya triterpenoid.

6. Uji alkaloid: lima (5) ml dari ekstrak ditambahkan 2 ml HCl. Satu ml

pereaksi Dragendroff ditambahkan ke dalam larutan asam tersebut dan

terbentuknya endapan oranye atau merah menunjukkan adanya alkaloid.

7. Uji glikosida : ekstrak dihidrolisis dengan HCl pada pemanas

air. Setelah itu ditambahkan 1 ml piridin dan beberapa tetes larutan

natrium nitroprusside ke dalam hidrolisat tersebut, setelah itu ditetesi

larutan alkali sodium hidroksida. Terbentuknya warna pink hingga

warna merah menunjukkan adanya glikosida.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

P. tumefacta Miers. memiliki habitus berupa liana atau tumbuhan

yang merambat pada pohon. Daunnya berukuran panjang sampai 20 cm

dan lebar sampai 10 cm, daun permukaan atas berwarna hijau tua dan

permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda (Effendi,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 177

2006)(Gambar 1). Beke banyak ditemui di daerah tepi Sei (sungai)

Setulang, dengan koordinat GPS N 3,42887° ; E 116,47537°.

Effendi (2006) menyebutkan bahwa P. tumefacta Miers. digunakan

sebagai daun penyedap masakan yang ditemui di desa Sesua dan Tanjung

Lapang, kecamatan Malinau Barat, kabupaten Malinau dikenal dalam

bahasa daerah dengan nama daun Pak (bahasa Dayak Lundayeh, Malinau,

Kalimantan Timur). Walaupun P. tumefacta Miers. sama-sama telah

dikenal sejak turun-menurun, namun nama dan penggunaannya berbeda

sesuai dengan masyarakat adat setempat. Di desa Setulang P. tumefacta

Miers. dikenal dengan nama daun Beke dan digunakan sebagai obat

pelancar kencing.

Hasil ekstraksi daun Beke adalah 1,81% pada etil asetat dan

10,36% dalam methanol. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk uji

fitokimia. Hasil analisis fitokimia daun Beke dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Penampilan daun Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers.)

permukaan daun atas (kiri); permukaan daun bawah (kanan)(dok.

Andrian, 2010)

178| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tabel 1. Hasil analisis fitokimia daun beke

Komponen fitokimia Hasil pengujian

Flavonoid +

Saponin -

Steroid +

Tanin +

Triterpenoid -

Alkaloid +

Glikosida +

Keterangan : + mengandung senyawa yang diujikan

- tidak mengandung senyawa yang diujikan

Dari hasil pengujian fitokimia, daun Beke mengandung flavonoid,

tanin, alkaloid, steroid dan glikosida. Daun Beke tidak mengandung

saponin dan triterpenoid. Karena belum ada penelitian tentang fitokimia

daun Beke maka sebagai pembanding diambil dari jenis tumbuhan lain

yaitu daun kumis kucing dan akar alang-alang. Daun kumis kucing

mengandung orthosiphonin glikosida, zat samak, minyak atsiri, minyak

lemak, saponin, sapofonin, garam kalium, mioinositol dan sinensetin,

sedangkan akar dan batang alang-alang mengandung manitol, glukosa,

sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin, fernenol,

simiarenol dan anemonin (Dalimarta, 2000 dan Wijayakusuma dkk., 1994).

Secara bersama-sama, beberapa komponen fitokimia dapat berfungsi

sebagai bahan diuretik.

Thornber (1970) menjelaskan bahwa jenis Pycnarrhena

mengandung alkaloid, misalnya P. manillensis dan secara tradisional telah

digunakan sebagai tumbuhan obat. Komponen fitokimia secara tunggal

juga dapat bersifat diuretik. Lednicer (2011) menjelaskan bahwa turunan

dari steroid yang memiliki ikatan oksigen tinggi mengontrol jumlah cairan

dan volume darah. Steroid jenis ini memberikan efek diuretik dan

antihipertensi. Selain itu, adanya flavonoid juga bersifat diuretik. Efek

diuretik juga dimiliki oleh ekstrak Pavetta indica Linn. yang mengandung

flavonoid (Ramamoorthy, 2010).

Sifat diuretik daun Beke didukung oleh komponen fitokimianya,

yang terdiri dari flavonoid, tanin, alkaloid, steroid dan glikosida. Oleh

karena pengujian fitokimia daun Beke belum pernah dilakukan, maka

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 179

penelitian ini merupakan penelitian dasar yang dapat dikembangkan untuk

penelitian lanjutan dengan analisis senyawa aktif utama daun beke tersebut.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Daun Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers) yang dikenal dan selalu

dimanfaatkan oleh masyarakat adat dayak di desa Setulang untuk

pelancar air seni

2. Daun Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers) mengandung flavonoid,

tanin, alkaloid, steroid dan glikosida.

B. Saran

Perlu dilakukan upaya budidaya jenis ini untuk menghindari

kepunahan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pak Kole, pak Mudi, Pak Markus

dan mas Fuat yang telah mendampingi tim peneliti selama di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimarta, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta : Trubus

Agriwidya.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit

Hipertensi. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

Departemen Kesehatan.

Effendi, R. 2006. Daun Penyedap Masakan dari Malinau, Kalimantan

Timur. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi III.

Evans, W. C. 2002. Pharmacognosy 15th

Ed. Saunders Elsevier.

Gupta, V. K. dan V. Arya. 2003. A Review on Potential Diuretics of Indian

Medicinal Plants. Journal of Chemical and Pharmaceutical

Research. 3(1):613-620.

180| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Harbone, J. B. 1998. Phytochemical Methods. Aguide to Modern

Techniques of Plant Analysis. 3rd

Ed. New York : Chapman and

Hall Int. Ed.

Houston, M. C. 2009. Handbook of Hypertension. Singapura : John Wiley

& Sons, Ltd.

Jacques, F. M. B., W. Wang., R. D. C. Ortiz., H. L. Li., Z. K. Zhou. dan Z.

D. Chen. 2011. Integrating Fossils in A Molecular-Based

Phylogeny and Testing them as Calibration Points for

Divergence Time Estimates in Menispermaceae. Journal of

Systematics and Evolotion. 49(1):25-49

Kokate, C. K. 2001. Pharmacohnosy. 16th Ed. India : Nirali Prakasham.

Lednicer, D. 2011. Steroid Chemistry at a Glance. John Wiley and Sons

Ltd, Inggris.

Meera R. P., P. Muthumani., B. Kameswari. dan B. Eswarapriya. 2009.

Evaluation of Diuretic Activity from Tylophora indica Leaves

Extracts. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research.

1(3): 112-116.

Ramamoorthy, J. 2010. Physio-phytochemical Screening and Diuretic

Activity of Leaves of Pavetta indica Linn. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 2(8):506-512.

Shukla, S., R. Patel and R. Kukkar. 2009. Study of Phytochemical and

Diuretic Potential of Methanol and Aqueous Extracts of Aerial

Parts of Phyla nodiflora Linn. International journal of pharmacy

and pharmaceutical sciences. 1(1) : 85-91.

Siwon, J., R. Verpoorte, T. V. Beek, H. Meerburg dan A. B. Svendsen.

1981. Alkaloids from Pycnarrhena longifolia. Journal of

Phytochemistry. 20 : 323-325.

Thornber, C. W. 1970. Alkaloids of Menispermaceae. Journal of

Phytochemistry. 9 : 157-187.

Wijayakusuma., H. S. Dalimarta., A. S. Wirian., T. Yaputra. dan B.

Wibowo. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat Jilid ke-2. Pustaka

Kartini.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 181

UJICOBA LAMA RENDAM BIJI MIMBA

TERHADAP KEMATIAN ULAT Heortia vitessoides

Ali Setyayudi dan Septiantina Dyah Riendrasari

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl Dharma Bhakti no. 7 Langko Lingsar Lombok Barat, NTB

Email:[email protected]

ABSTRAK

Biji mimba telah dikenal mempunyai kemampuan mempengaruhi kematian

serangga atau berfungsi sebagai insektisida nabati. Berbagai teknik ekstraksi

telah banyak diujicoba dan salah satu yang paling sederhana adalah dengan

perendaman air. Lama waktu ekstraksi atau perendaman merupakan salah satu

faktor penting terhadap kematian serangga, oleh karena itu penelitian ini

ditujukan guna mengetahui pengaruh lama perendaman biji mimba terhadap

kematian ulat Heortia vitessoides. Penelitian dilaksanakan secara acak lengkap

dengan menguji lima perlakuan lama rendam yaitu selama 1, 2, 3, 4, dan 5 hari,

serta kontrol. Pengamatan dilakukan dengan menghitung ulat yang mati pada

satu hingga tujuh hari setelah semprot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

lama perendaman serbuk biji mimba tidak cukup signifikan mempengaruhi

perbedaan persentase kematian ulat H. vitessoides. Prosentase kematian ulat

tertinggi terjadi pada perlakuan lama rendam dua hari yaitu sebesar 77%.

Kata kunci : Mimba, rendam, Heortia vitessoides, insektisida nabati

I. PENDAHULUAN

Hingga saat ini ulat daun Heortia vitessoides masih merupakan

hama utama tanaman penghasil gaharu seperti jenis Gyrinops verstegii.

Ulat Heortia vitessoides biasanya menyerang daun dan bersifat defoliator,

sehingga pada tingkat serangan yang tinggi tentu cukup merugikan bagi

pertumbuhan tanaman. Salah satu teknik pengendalian jangka pendek yang

dapat diaplikasikan adalah penggunaan insektisida. Produk insektisida yang

banyak dikenal dan beredar dipasaran sebagian besar merupakan

insektisida yang terbuat dari bahan kimia. Selain mudah didapatnya,

insektisida ini juga dikenal mempunyai kemampuan membunuh serangga

hama secara cepat. Namun demikian beberapa efek buruk dari penggunaan

insektisida kimia juga sudah banyak diidentifikasi, salah satu diantaranya

182| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

adalah sebagai sumber pencemaran lingkungan. Sifat bahan kimia yang

sukar terurai dapat menyebabkan masalah lebih lanjut yaitu tertinggalnya

residu dan tersebar sehingga membahayakan terhadap keseimbangan

ekosistem dialam serta kehidupan manusia (Untung, 2006).

Sebagai alternatif lain terhadap penggunaan insektisida kimia, saat

ini telah banyak dilakukan ujicoba penggunaan insektisida berbahan nabati

yang dirasa lebih ramah lingkungan. Salah satu tanaman yang sudah

banyak dikenal dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah tanaman

mimba. Bagian tanaman mimba yang sering digunakan sebagai bahan baku

insektisida adalah daun dan biji. Zat azadirachtin yang terkandung didalam

kedua bagian tanaman tersebut dianggap sebagai bahan yang berperan

dalam mempengaruhi kematian serangga. Menurut Kardinan (2006) biji

mimba memiliki kandungan zat azadirachtin yang paling tinggi diantara

bagian tanaman mimba yang lainnya, oleh kerana itu biji mimba paling

sering digunakan atau dikenal sebagai bahan pembuatan insektisida nabati.

Untuk dapat merubah bahan nabati atau bagian tanaman menjadi

suatu bahan yang dapat berperan sebagai insektisida diperlukan teknik

pembuatan yang tepat. Menurut Asmaliyah et al. (2010) teknik pembuatan

insektisida nabati dapat dilakukan secara sederhana dan laboratorium. Cara

sederhana dapat dilakukan dengan perendaman dalam air sedangkan secara

laboratorium, ekstraksi dilakukan dengan bahan kimia tertentu dan

biasanya ditujukan untuk industri. Teknik pembuatan dengan perendaman

dalam air dapat dilakukan selama 1-3 hari dengan bahan segar maupun

kering (Setiawati et al, 2008). Lama waktu perendaman menjadi cukup

penting guna meningkatkan kemampuan insektisida dalam membunuh

serangga. Penelitian Dewati et al. (2009) dengan teknik ekstraksi pelarut

metanol menunjukkan lama waktu ekstraksi menjadi lebih penting terhadap

kematian ulat daripada prosentase kandungan zat azadirachtin. Berdasarkan

hal tersebut penelitian ini ditujukan untuk mengetahui apakah lama waktu

ekstraksi dengan metode perendaman air cukup berpengaruh juga terhadap

kematian ulat Heortia vitessoides. Penelitian Lestari et al (2013)

menyatakan kematian ulat Heortia vitessoides dapat terjadi sebesar 100%

hingga tujuh hari setelah semprot akibat perlakuan konsentrasi 4% biji

mimba dan dilakukan dengan perendaman selama dua hari. Oleh karena itu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 183

dalam penelitian ini dilakukan peningkatan perlakuan lama perendaman

biji mimba hingga lima hari untuk meningkatkan kemampuan biji mimba

mempengaruhi kematian ulat Heortia vitessoides.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada tahun 2013 di laboratorium

perlindungan hutan Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.

Bahan yang digunakan adalah biji mimba, semai Gyrinops versteegii, ulat

Heortia vitessoides instar ke tiga hingga empat, air, alkohol, dan deterjen,

sedangkan alat yang dipakai berupa blender, erlemeyer, gelas ukur,

timbangan, panci, sprayer, kotak kasa, dan pipet.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak

lengkap dengan lima perlakuan lama rendam yaitu satu, dua, tiga, empat,

dan lima hari serta kontrol. Ulangan yang digunakan sebanyak 3 ulangan

dengan setiap unit percobaan dipaparkan ulat Heortia vitessoides sebanyak

10 ekor. Teknik pembuatan insektisida nabati yang digunakan adalah

dengan teknik sederhana perendaman dalam air (Asmaliyah et al, 2010).

Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan selama percobaan adalah

sebagai berikut:

- Biji mimba dihancurkan dengan cara diblender hingga halus

- Biji mimba yang sudah menjadi serbuk kemudian dikeringkan

- Serbuk biji mimba (SBM) ditimbang sebanyak 50g, 100g, dan 150g

- Serbuk biji mimba dicampurkan kedalam air sebanyak 1000ml

- Tambahkan 1 ml alkohol 95% ke dalam campuran SBM dan air

- campuran diaduk dan didiamkan selama 1, 2, 3, 4, dan 5 hari

- Setelah direndam campuran disaring

- Ditambahkan detergen sebanyak 1g kedalam campuran dan diaduk

- Campuran dimasukkan kedalam sprayer dan disemprotkan pada semai

Gyrinops versteegii yang sudah dipaparkan ulat Heortia vitessoides

sebanyak 10 ekor

- dilakukan pengamatan sesaat yaitu hingga satu jam setelah penyemprotan

- pengamatan dilakukan satu hingga tujuh hari setelah penyemprotan

- dihitung jumlah ulat yang mati disetiap pengamatannya

184| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Data hasil pengamatan berupa jumlah ulat yang mati dianalisis

secara deskriptif, sedangkan data prosentase kematian diakhir pengamatan

dianalisa sidik ragamnya guna mengetahui pengaruh lama rendam terhadap

kematian ulat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis varian (Tabel 1) menunjukkan persen kematian ulat

Heortia vitessoides hingga hari terakhir pengamatan tidak berbeda secara

signifikan. Hal ini menggambarkan perlakuan lama perendaman tidak

cukup signifikan mempengaruhi prosentase kematian ulat Heortia

vitessoides. Berbeda dengan hasil penelitian Dewati et al. (2009) yang

menggunakan pelarut etanol 70% pada suhu 30oC menunjukkan bahwa

lama ekstraksi sangat berpengaruh terhadap kemampuan membunuh biji

mimba terhadap hama. Masih menurut Dewati, selain azadirachtin lama

waktu ekstraksi akan mengakibatkan zat-zat lain ikut terekstrak seperti

meliantriol, salanin, nimbin, nimbolin, salanol, dan nimbandiol. Zat-zat ini

juga dikenal mempunyai kemampuan mempengaruhi serangga.

Tabel 1. Hasil analisis anova persentase kematian ulat H. vitessoides di

hari ketujuh pengamatan

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

lama 4724.444 4 1181.111 2.039329 0.112349

kons 1391.111 2 695.5556 1.200959 0.314107

lama * kons 4675.556 8 584.4444 1.009113 0.448755

Error 18533.33 32 579.1667

Total 212900 48

Corrected Total 36481.25 47

Gambar 1. Grafik persentase kematian ulat H. vitessoides

hingga hari ketujuh pengamatan

50.00

77.78 55.56

72.22 63.33

0

50

100

1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari

pe

rse

nta

se

kem

atia

n (

%)

Lama perendaman

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 185

Rata-rata persentase kematian ulat Heortia vitessoides hingga hari

terakhir pengamatan adalah sebesar 60,63%. Persentase terbesar terjadi

pada perlakuan lama rendam dua hari sebesar 77,78%, sedangkan yang

terkecil terjadi pada perlakuan lama rendam satu hari yaitu sebesar 50%.

Nilai prosentase kematian tersebut (gambar 1) dengan asumsi terdapat

kematian ulat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 13%. Hasil ini masih

lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Lestari et al (2013) yang

menunjukkan kematian 100% ulat gaharu pada hari ketujuh pengamatan

dengan konsentrasi biji mimba 3-4%. Dengan merendam selama satu hari

persentase kematian ulat sebesar 50%, dengan menambah satu hari lagi

dalam merendam meningkatkan kematian ulat sebesar 27,78%. Namun

demikian dengan menambah lagi waktu perendaman hingga lima hari,

persentase kematian ulat menjadi menurun hingga menjadi sebesar 63,33%.

Berdasarkan data tersebut maka perlakuan lama rendam dua hari menjadi

perlakuan paling efektif, dikarenakan mampu mengakibatkan kematian ulat

Heortia vitessoides dengan persentase yang paling besar. Data ini sesuai

dengan petunjuk pembuatan insektisida nabati yang diberikan Setiawati et

al. (2008) bahwa pembuatan insektisida nabati biji mimba secara sederhana

dapat dilakukan dengan merendam selama 1-3 hari.

Hasil pengamatan sesaat setelah penyemprotan menunjukkan tidak

terjadi kematian ulat di semua perlakuan yang diujikan. Kematian ulat H.

vitessoides pertama kali ditemukan pada hari pertama pengamatan, namun

jumlahnya masih cukup kecil yaitu rata-rata hanya sebesar 5%. Kematian

ulat diatas 50% dicapai pada hari ketiga pengamatan dalam perlakuan lama

rendam 2, 4, dan 5 hari, sedangkan perlakuan lama rendam 3 hari terjadi di

hari kelima, dan perlakuan rendam 1 hari pada hari kutujuh. Dari gambar 1

terlihat juga bahwa hingga hari ketiga pengamatan, kematian ulat di

perlakuan lama rendam 5 hari paling tinggi diantara yang lain dan setelah

hari keempat kematian ulat di perlakuan lama rendam 2 hari menjadi yang

tertinggi hingga akhir pengamatan. Berdasarkan data-data tersebut maka

didapatkan beberapa informasi yaitu kematian ulat akibat insektisida biji

mimba tidak langsung terjadi setelah proses penyemprotan, perlakuan

perendaman lima hari mengakibatkan kematian ulat lebih besar daripada

perlakuan lain hingga tiga hari setelah semprot dan kemudian bertambah

186| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

secara lambat dengan kematian maksimal di akhir pengamatan sebesar

63,33%. Kematian ulat Heortia vitessoides secara signifikan akan mulai

terlihat pada pengamatan tiga hari setelah semprot. Hal ini sebagaimana

dilaporkan Indiati (2009), bahwa cara kerja dari biji mimba adalah

berdasarkan kandungan bahan aktif hasil metabolit sekunder berupa

azadirachtin meliantriol, salanin, dan nimbin. Senyawa aktif tersebut tidak

membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan,

pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan

dan komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan menghambat

pembentukan kitin.

Gambar 2. Persentase kematian ulat Heortia vitessoides

secara akumulatif selama pengamatan

Trend kematian ulat dalam gambar 2 dapat dikelompokkan menjadi

dua model yang berbeda yaitu yang pertama adalah laju kematian ulat

terjadi cukup cepat di tiga atau empat hari pertama kemudian penambahan

ulat yang mati menjadi lambat di empat hari berikutnya. Trend yang

pertama ini terjadi pada perlakuan lama rendam 2, 4, dan 5 hari. Trend

kematian ulat yang kedua terjadi pada perlakuan lama rendam 1 dan 3 hari

yaitu laju peningkatan kematian ulat berjalan secara konstan per satu atau

dua hari. Meskipun secara statistik perbedaan kematian ulat diantara

perlakuan tidak cukup signifikan, namun data ini memberikan gambaran

bahwa dengan perendaman yang lebih lama memberikan pengaruh

kematian ulat yang lebih cepat.

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7

Pe

rse

nta

se k

em

atia

n

(%)

waktu pengamatan (hari setelah semprot)

1 hari 2 hari 3 hari

4 hari 5 hari

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 187

Secara keseluruhan bila dibandingkan beberapa penelitian yang ada,

hasil dari penelitian ini masih sedikit dibawah dari beberapa hasil

penelitian tentang penggunaan insektisida biji mimba terhadap beberapa

hama dari famili lepidoptera. Penelitian Rumpumbo (2010) menyebutkan

bahwa kematian ulat Plutella xylostella akibat aplikasi biji mimba

konsentrasi 30g/l dengan perendaman satu hari adalah sebesar 73,33% pada

pengamatan satu hari setelah semprot. Aplikasi biji mimba dengan

perendaman satu hari terhadap ulat Spodoptera litura mengakibatkan

kematian ulat sebesar 81,68% pada konsentrasi 75g/l (Inayati dan

Marwoto, 2011), sedangkan penelitian Mardiningsih et al. (2011)

menyatakan kematian sebesar 98% pada konsentrasi 5% pada pengamatan

tujuh hari setelah semprot. Selain itu prosentase kematian ulat pada

penelitian ini juga masih lebih kecil dibandingkan penelitian Hariri (2012)

yang menggunakan ekstrak buah Brucea javanica konsentrasi 50 g/l

terhadap ulat Heortia vitessoides yaitu sebesar 73,3–95,5% sejak dua hari

setelah diaplikasikan. Namun demikian salah satu informasi berguna yang

didapat dari penelitian ini adalah aplikasi biji mimba terhadap ulat daun

gaharu Heortia vitessoides dapat dilakukan dengan metode perendaman

selama 48 jam saja dan mampu memberikan pengaruh terhadap kematian

ulat secara signifikan tiga hari setelah penyemprotan.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Perlakuan Lama rendam biji mimba yang diujikan tidak signifikan

mempengaruhi persentase kematian ulat heortia vitessoides. Persentase

kematian tertinggi hingga tujuh hari setelah penyemprotan adalah sebesar

77% pada perlakuan lama rendam dua hari.

B. Saran

Mimba mempunyai musim buah yang pendek sehingga perlu

dilakukan pengumpulan dan penyimpanan stok biji mimba apabila akan

digunakan dalam jangka waktu yang lama, namun demikian perlu

dilakukan penelitian guna mengetahui kemampuan biji mimba terhadap

kematian ulat Heortia vitessoides dengan berbagai jangka waktu

penyimpanan biji. Penelitian dilakukan dalam kondisi ruang terkontrol

188| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

laboratorium sehingga perlu dilakukan penelitian ujicoba dilapangan guna

melengkapi data dan informasi kemampuan biji mimba di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmaliyah, E. E. W. H., S. Utami, K. Mulyadi, Yudhistira, F. W. Sari.

2010. Pengenalan tumbuhan penghasil pestisida nabati dan

Pemanfaatannya secara tradisional. Pusat Penelitian Dan

Pengembangan Produktivitas Hutan. Badan Penelitian Dan

Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan

Dewati, R. I., Amiriyah dan N. Machillah. 2009. Pengaruh volume pelarut,

waktu dan suhu ekstraksi terhadap penentuan kadar

azadirachtin pada biji mimba. Seminar Chemical Engineering

Soebardjo Brotohardjono VI. Universitas Pembangunan

Nasional Veteran. Surabaya.

Hariri, A.M. 2012. Mortalitas, Penghambatan Makan Dan Pertumbuhan

Hama Daun Gaharu Heortia vitessoides Moore Oleh Ekstrak

Buah Brucea javanica (L.) Merr. HPT Tropika. 12: 119 – 128.

Inayati, A. dan Marwoto, 2011. Efikasi Kombinasi Pestisida Nabati Serbuk

Biji Mimba Dan Agens Hayati Slnpv Terhadap Hama Ulat

Grayak Spodoptera Litura Pada Tanaman Kedelai. Seminar

Nasional Pesnab IV. Jakarta

Indiati, S.W. 2012. Pengaruh Insektisida Nabati dan Kimia terhadap Hama

Thrips dan Hasil Kacang Hijau. Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan 31 (3) : 152-157.

Kardinan, A. 2006. Mimba bisa merubah perilaku hama. Sinar Tani Edisi

29 Maret-24 April 2006. http://pustaka.litbang.d

eptan.go.id/.Diakses 26 Desember 2012

Lestari, F., B. Rahmanto, dan E. Suryanto. 2013. Karakteristik dan cara

pengendalian hama ulat pada tanaman penghasil gaharu. Balai

Penelitian Kehutanan. Badan Penelitian Dan Pengembangan

Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Banjarbaru.

Mardiningsih, T.L., N.C. Salam, dan C. Sukmana. 2011. Pengaruh

Beberapa Jenis Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 189

Spodoptera Litura (Lepidoptera: Noctuidae). Seminar Nasional

Pesnab IV. Jakarta

Rumpumbo, M. 2010. Pengujian Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica

A. Juss) Terhadap Hama Ulat Daun (Plutella xylostella) Pada

Tanaman Kubis. Skripsi Fakultas Pertanian Dan Teknologi

Pertanian Universitas Negeri Papua. Manokwari.

Setiawati, W., R.i Murtiningsih, N. Gunaeni, dan T Rubiati. 2008.

Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya

Untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan. Balai

Penelitian Tanaman Sayuran. Badan Penelitian Dan

Pengembangan Pertanian

Untung, K. 2006. Pengantar pengelolaan hama terpadu (edisi kedua).

Gadjah Mada university Press. Yogyakarta

190| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

INOKULASI SEMBILAN ISOLAT ASAL NUSA TENGGARA

BARAT UNTUK PEMBENTUKAN GAHARU PADA CABANG

Gyrinops versteegii

YMM. Anita Nugraheni1)

dan Lutfi Anggadhania1)

1)Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Inokulasi isolat pembentuk gaharu umumnya dilakukan di bagian batang

tanaman Gyrinops versteegii. Teknik inokulasi pada bagian cabang tanaman

diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan produktivitas gaharu

dan kelestarian tanaman Gyrinops. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kemampuan sembilan isolat asal Nusa Tenggara Barat untuk membentuk

gaharu di bagian cabang tanaman G. versteegii. Sembilan isolat pembentuk

gaharu asal Nusa Tenggara Barat diinokulasikan pada cabang pohon G.

versteegii, dengan teknik pengeboran. Setiap isolat diinfeksikan ke tiga pohon

yang berbeda sebagai ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap luas area

gaharu yang terbentuk pada enam bulan setelah inokulasi. Berdasarkan berat

area pembentukan gaharu, 9 isolat yaitu K15, K21, Saneo2, Bima, Saneo3,

K12, Saneo1, Lb1, Lb2 memiliki kemampuan membentuk gaharu. Isolat K15

dan K21 memiliki berat area ukur tertinggi masing-masing 0.017 dan 0.014

gram. Pohon G. versteegii yang telah diinokulasi tetap sehat dan tidak

menunjukkan tanda-tanda kematian setelah 1.5 tahun terinfeksi.

Kata Kunci : gaharu, G. versteegii, inokulasi, isolat, inokulan.

I. PENDAHULUAN

Gaharu merupakan salah satu komoditas perdagangan penting

untuk industri parfum, kosmetika, hio, dan obat-obatan tradisional. Gaharu

memiliki ciri-ciri berbentuk padat, berwarna coklat sampai hitam dan

berbau harum. Akibat infeksi mikroorganisme tertentu pada jenis tumbuhan

penghasil gaharu akan menimbulkan respons tanaman di daerah infeksi

yaitu proses perubahan kimia dan fisika (Siran, 2011).

Berbagai manfaat dan kegunaan dapat diperoleh dari gaharu

sehingga permintaan pasar akan gaharu semakin tinggi. Akan tetapi

ketersediaan gaharu secara alami di hutan sudah menipis seiring dengan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 191

peningkatan perburuan liar. Konservasi, budidaya serta rekayasa produksi

dapat dilakukan untuk mempercepat produksi gaharu berserta paket

teknologi induksi. Inokulasi buatan pada tanaman budidaya penghasil

gaharu diperlukan untuk pemanfaatan secara lestari (Sumarna, 2007).

Pembentukan gaharu secara alami terjadi di batang, cabang dan

akar pohon yang telah terinfeksi oleh mikroorganisme patogen tertentu.

Proses pembentukan gaharu relatif lebih cepat dibandingkan pertumbuhan

pohon penghasil gaharu sampai siap untuk diinokulasi. Panen gaharu dapat

dilakukan pada tahun ke-3 setelah inokulasi, akan tetapi pertumbuhan

pohon penghasil gaharu dari benih sampai siap untuk diinokulasi

membutuhkan waktu setidaknya 7 tahun.

Metode inokulasi pada batang saat ini telah banyak dilakukan oleh

petani. Hal ini mendorong petani menebang pohon saat panen gaharu.

Proses produksi gaharu sering kali diperoleh apabila terjadi interaksi inang-

patogen. Keadaan ini akan mendorong respons inang yang maksimal untuk

menghasilkan resin. Hal ini sangat disayangkan jika genetik pohon dengan

model interaksi inang-patogen yang tergolong unggul tersebut hilang oleh

karena teknik inokulasi yang tidak lestari. Untuk itu perlu dilakukan

pemilihan jenis isolat yang mempunya karakter pembentuk gaharu terbaik

pada bagian cabang tanaman penghasil gaharu. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kemampuan sembilan isolat asal Nusa Tenggaha Barat

untuk membentuk gaharu di bagian cabang tanaman G. versteegii.

Penelitian ini dilakukan dengan metode inokulasi pada cabang-cabang

pohon penghasil gaharu. Panen dilakukan hanya dengan cara memotong

cabang-cabang yang telah diinokulasi, tanpa merusak/menebang batang

utama. Dengan metode inokulasi ini, diharapkan meskipun cabang yang

diinokulasi nantinya dipanen secara terus-menerus, batang utama dan

akarnya tetap sehat. Meskipun hasil panen yang diperoleh nantinya relatif

sedikit dibanding metode inokulasi pada batang utama yang biasa

dilakukan, ketersediaan inang penghasil gaharu tetap terjaga sehingga

kelestarian pohon penghasil gaharu tetap terpelihara.

II. BAHAN DAN METODE

Isolat pembentuk gaharu yang digunakan merupakan sembilan

isolat koleksi Balai Penelitian Tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu

192| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

(BPTHHBK) yaitu: Saneo1, Saneo2, Saneo3, Lb1, Lb2, Bima, K21, K12

dan K15. Media pemeliharaan isolat penghasil gaharu adalah Potato

Dextrose Agar (PDA). Media Potato Dextrose Broth (PDB) digunakan

sebagai media perbanyakan isolat.

Persiapan inokulum dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi

BPTHHBK, meliputi kegiatan pemeliharaan dan perbanyakan isolat

patogen. Inokulasi dilakukan pada tanaman G. versteegii di perkebunan

penduduk dalam satu kawasan di Kabupaten Lombok Timur. Metode

inokulasi dilakukan dengan pengeboran pada bagian cabang tanaman

menggunakan bor berdiameter 3 mm. Takaran stater inokulum yang

digunakan sebanyak 1 ml per titik infeksi. Setiap isolat diinfeksikan pada

cabang sebanyak tiga titik amatan serta diulang pada tiga pohon yang

berbeda.

Pembentukan gaharu masing-masing isolat dilakukan pada bulan

ke-6 setelah inokulasi. Kemampuan pembentukan gaharu masing-masing

isolat diukur dengan indikator berat area ukur gaharu. Pengukuran berat

area ukur gaharu diperoleh melalui penimbangan plastik menggunakan

timbangan analitik, setelah dilakukan penjiplakan luas area pembentukan

gaharu masing-masing isolat pada plastik. Data berat area ukur gaharu

dianalisis menggunakan uji sidik ragam (SAS ver. 9.0.). Apabila hasil

analisis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilajutkan dengan uji

Duncan dengan taraf signifikan 95 %.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai metode inokulasi telah banyak berkembang dikalangan

petani, peneliti maupun pengusaha gaharu di dalam dan luar negeri. Akan

tetapi metode inokulasi tersebut akan efektif jika dilakukan pemilihan jenis

isolat pembentuk gaharu yang terbaik. Upaya yang dilakukan untuk

mengetahui kemampuan isolat-isolat mikroorganisme koleksi BPTHHBK

dalam membentuk gaharu adalah dengan menginokulasikan isolat tersebut

pada batang/cabang/akar pohon G. versteegii.

Keterbatasan jumlah pohon inang penghasil gaharu dan sedikit

informasi respon inang terhadap infeksi yang belum diketahui, kondisi

yang paling merugikan jika terjadi kematian pohon terinfeksi. Teknik

inokulasi pada cabang pohon dapat mengurangi kemungkinan kematian

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 193

tanaman secara total daripada inokulasi pada batang utama. Hal tersebut

juga didasari oleh pertimbangan bahwa infeksi pada cabang pohon dapat

melokalisasi zona infeksi jika isolat yang diuji ternyata lebih ganas

daripada yang diharapkan. Umumnya cabang pohon tersedia lebih banyak

dan tersedia secara lestari.

Pada uji inokulasi isolat di cabang pohon G. versteegii di

Kabupaten Lombok Timur, masing-masing pohon diinokulasi

menggunakan 9 isolat dan 1 kontrol. Sembilan isolat yang digunakan yaitu

isolat Saneo1, Saneo2, Saneo3, Lb1, Lb2, Bima, K21, K12, K15. Isolat

K21, K12, K15 dan Bima telah diidentifikasi secara morfologis, dan diduga

termasuk genus Fusarium, sedangkan isolat Lb1 dan Saneo3 belum dapat

diidentifikasi. Isolat Saneo1 dan Saneo2 memiliki kemiripan satu sama

lain, yaitu ketika dibiakkan pada media PDA dan Sabouraud Agar

memiliki warna hijau, dengan tepian putih, berdasarkan pengamatan secara

morfologis, isolat Saneo1 dan Saneo2 memiliki kemiripan dengan genus

Penicillium, sedangkan isolat Lb2 memiliki kemiripan dengan genus

Aspergillus, akan tetapi masih diperlukan identifikasi yang lebih mendalam

untuk menguatkan dugaan tersebut, terutama dengan identifikasi secara

molekuler.

Inokulasi menggunakan genus Penicillium dan Aspergillus pernah

pula dilakukan, seperti yang disampaikan oleh Santoso, Purwito, Pratiwi,

Pari, Turjaman, Leksono, Widyatmoko, Irianto, Subiakto, Waluyo,

Rahman, Tampubolon, Siran. (2012), beberapa mikroba yang telah

diaplikasikan untuk pembentukan gaharu antara lain adalah jenis Torula sp.

oleh Bose pada tahun 1934, Epicoccum sp. oleh Battchaarrya tahun 1952,

Aspergillus spp. oleh Gibson tahun 1977, Fusarium solani oleh Santoso

tahun 1994, Botrydiplodia sp. oleh Subansenee tahun 1985, Penicillium sp.

oleh Tamuli tahun 2000, Acremonium sp. oleh Rahayu tahun 2003,

Cladosporium sp. oleh Burfield tahun 2005, dan F. xylaroides oleh

Agustini tahun 2006.

Terbentuknya warna kecoklatan yang terjadi pada area pembentukan

gaharu diduga disebabkan oleh adanya akumulasi resin sebagai bentuk

perlawanan inang terhadap radikal bebas yang dilepaskan oleh

mikroorganisme yang diinokulasikan. Radikal bebas tersebut dilepaskan

oleh mikroorganisme dalam bentuk enzim yang berguna untuk merusak

194| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pertahanan tanaman yang berupa lignin, selulosa, hemiselulosa. Enzim

pengoksidasi ini akan mengakibatkan struktur molekul tanaman inang

menjadi berubah bentuk. Genus Fusarium diduga juga mengeluarkan

radikal bebas lainnya yang berupa toksin yang memiliki kemampuan

merusak secara metabolisme, salah satunya asam fusarat. Terlihat pada

peubah area 6 bulan hasil paling tinggi dicapai oleh isolat K15 (Tabel 1).

Berdasarkan pengamatan terhadap area infeksi dapat diketahui

bahwa gejala pembentukan gaharu yang muncul berbeda-beda pada

masing-masing isolat. Pembentukan warna kecoklatan tersebut secara

vertikal lebih besar dari pada horisontal (Gambar 2) karena arah jaringan

pembuluh batang tanaman yang berfungsi sebagai jalur transportasi air dan

cairan nutrisi tersusun atas sel-sel vessel secara vertikal, hifa fungi yang

diinokulasikan dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas

invasi (Novriayanti, 2008).

Tabel 1. Berat area ukur pembentukan gaharu berdasarkan jenis isolat

No Kode isolat Berat area ukur

gram1

1 K15 0.017a

2 K21 0.014ab

3 Saneo2 0.010b

4 Bima 0.010b

5 Saneo3 0.010b

6 K12 0.009bc

7 Saneo1 0.009bc

8 Lb1 0.009bc

9 Lb2 0.009bc

10 Kontrol 0.003c

Hasil pengamatan inokulasi yang dilakukan di lapangan dapat dilihat

pada Gambar 2. Terlihat pembentukan area kecoklatan yang lebih

menuju arah vertikal dibanding horizontal.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 195

Gambar 2. Hasil inokulasi 6 bulan pada cabang G. versteegii.

isolat Saneo (S1, S2, S3), Lombok Barat (LB1, LB2, K12,

K21, K15), Bima dan Kontrol

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) terhadap sampel hasil irisan kayu

9 isolat dan 1 Kontrol dilakukan untuk mengetahui apakah 9 isolat dan 1

kontrol yang dianalisis memiliki kesamaan senyawa. Hasil pengamatan di

bawah sinar UV menunjukkan isolat yang memiliki konsentrasi paling

tinggi adalah isolat K15, Lb1, dan Bima, sedangkan pada Kontrol dan

Saneo3 tidak terlihat bercak/spot. Hal ini menandakan bahwa Kontrol dan

Saneo3 tidak memiliki senyawa yang sama dengan 8 isolat yang lain.

Deteksi senyawa dilakukan dengan menggunakan detektor UV di bawah

sinar UV 254 nm, indikator pada plat KLT memancarkan warna hijau

(Gambar 3).

Gambar 3. Hasil KLT dengan urutan kiri ke kanan : kontrol, K15, LB1, Bima,

K21, Lb1, K12, Saneo1, Saneo2, Saneo3, Standar

196| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Hasil inokulasi selanjutnya diamati kembali pada umur 1,5 tahun,

dengan cara menyayat permukaan kulit cabang lubang bekas inokulasi,

kemudian cabang yang diinokulasi dipotong dan dicarving. Hasil tersebut

dapat dilihat pada Gambar 4, terlihat bahwa setelah dilakukan carving,

gaharu yang terbentuk dapat terlihat dengan lebih jelas.

Gambar 4. Hasil inokulasi setelah 1,5 tahun pada cabang G. versteegii,

isolat Saneo (S1)

Pada Gambar 4 terlihat bahwa setelah dicarving, pembentukan

gaharu pada bagian jari-jari kayu (arah radial) terlihat berwarna lebih gelap

daripada warna pembentukan gaharu pada hasil sayatan di permukaan kulit

kayu (arah tangensial). Hal ini dimungkinkan karena bagian jari-jari kayu

(ray) memiliki fungsi sebagai jalur zat makanan yang hendak disalurkan ke

seluruh bagian pohon, sehingga akumulasi resin yang banyak menimbulkan

warna yang lebih gelap pada bagian tersebut. Sel-sel parenkim jari-jari

kayu berfungsi dalam penyimpanan bahan bakar (cadangan energi) seperti

pati atau lemak dan juga bahan transportasi. Secara khusus, jari-jari kayu

memiliki fungsi sebagai pengangkut bahan antimikroba dan limbah

beracun. Adanya resin yang diproduksi dan terakumulasi pada jari-jari

kayu menunjukkan upaya dari inang untuk menghambat serangan

mikroorganisme supaya tidak menjalar ke seluruh bagian tubuh inang.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah 1,5 tahun diinokulasi

cabang-cabangnya, pohon G. versteegii terlihat masih sehat, bertajuk hijau,

masih menghasilkan buah, dan samasekali tidak menunjukkan gejala

kematian. Hasil carving menunjukkan bahwa gaharu yang terbentuk juga

tidak menjalar sampai ke batang, hanya berada di sekitar lubang bekas

inokulasi. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh inokulasi yang hanya

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 197

dilakukan pada cabang. Faktor yang berpengaruh lainnya adalah jumlah

dosis yang digunakan untuk inokulasi ini, yaitu sebesar 1 ml. Masih

sehatnya pohon yang diinokulasi dan pembentukan gaharu yang hanya

terjadi pada cabang memungkinkan teknik inokulasi pada cabang sebagai

teknik inokulasi alternatif berkelanjutan yang mendukung upaya pelestarian

tanaman penghasil gaharu.

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hasil inokulasi 9 isolat mikroorganisme asal NTB koleksi BPTHHBK

yang diujikan di Lombok Timur memperlihatkan bahwa 9 isolat asal

NTB tersebut memiliki kemampuan membentuk gaharu.

2. Hasil pengamatan setelah 1,5 tahun inokulasi menunjukkan bahwa

pohon yang diinokulasi cabangnya terlihat tetap sehat dan tidak

menunjukkan gejala kematian, sehingga teknik inokulasi pada cabang

dimungkinkan sebagai salah satu teknik inokulasi alternatif yang

mendukung upaya pelestarian tanaman penghasil gaharu.

B. Keterbatasan

Penelitian ini masih dalam tahap berkesinambungan, sehingga belum

dapat diperoleh hasil panen gaharu secara keseluruhan.

C. Saran

Perlu diamati lebih lanjut kondisi pohon setelah diinokulasi cabangnya

pada tahun-tahun berikutnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada koordinator dan seluruh anggota

tim penelitian eksplorasi dan isolasi jamur pembentuk gaharu atas

dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama dilakukannya penelitian

ini. Terima kasih juga kepada tim review dan mitra bestari sehingga tulisan

ini dapat tersusun dengan baik.

198| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

DAFTAR PUSTAKA

Akter, S., Islam, M.T., Zulkefeli, M., Khan, S.I. 2013. Agarwood

Production- A Multidisciplinary Field to be Explored in

Bangladesh. International Journal of Pharmaceutical and Life

Sciences. 2(1):22-32.

Novriayanti, E. 2008. Peranan Zat Ekstraktif dalam Pembentukan Gaharu

Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa

Baill. Institut Pertanian Bogor, pp 44-50.

Santoso, E., Agustini, L., Sitepu, I., Turjaman, M. 2007. Efektivitas

Pembentukan Gaharu dan Komposisi Senyawa Resin Gaharu pada

Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.

4(6):543-551.

_________, Purwito, D., Pratiwi, Pari, G., Turjaman, M., Leksono, B.,

Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Irianto, R.S.B., Subiakto, A., Waluyo,

T.K., Rahman, Tampubolon, A., Siran, S.A. 2012. Master Plan

Penelitian Dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013 – 2023. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Siran, S.A. 2011. Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Puslitbang

Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Prosiding

Gelar Teknologi Pemanfaatan IPTEK: Untuk Kesejahteraan

Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

Konservasi Alam. Bogor.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 199

INDUKSI PEMBENTUKAN GAHARU PADA Gyrinops versteegii

(Gilgs.) Domke DENGAN TEKNIK INOKULAN CAMPUR

DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

Asmiati1, Endang S. Soetarto

1, I Komang Surata

2

1Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

2Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

ABSTRAK

Gyrinops versteegii merupakan salah satu pohon penghasil gaharu yang

tersebar di wilayah Nusa Tenggara dan sebagian wilayah Papua. Secara alami

gaharu dihasilkan oleh tumbuhan tertentu sebagai respon terhadap infeksi

jamur patogen. Terdapat 6 genus jamur yang dilaporkan mampu menginduksi

pembentukan gaharu. Hingga saat ini induksi pembentukan gaharu difokuskan

pada satu isolat jamur sebagai inokulan tunggal. Pada penelitian ini digunakan

isolat LT, GTO, ALS dan Saneo, yang dikombinasikan menjadi inokulan

campur untuk dipelajari kemampuannya menginduksi pembentukan gaharu

pada tanaman Gyrinops verteegii. Uji antagonis menunjukan bahwa kombinasi

isolat yang berpotensi dijadikan inokulan campur adalah GTO+LT,

GTO+ALS, LT+ALS dan ALS+Saneo. Laju pertumbuhan maksimal masing-

masing isolat dimulai pada hari ke-2 hingga hari ke-7, sehingga inkubasi

inokulan dilakukan selama 7 hari, dengan konsentrasi 2,5 ml dan 5 ml. Sebagai

pembanding digunakan inokulan tunggal dan kontrol positif serta negatif.

Batang Gyrinops verteegii yang telah berumur 3 tahun dilukai 5 cm dengan

membuang kulit dan kambium batang, lalu diberi inokulan menggunakan

cotton swab dan dilapisi dengan kapas basah, selanjutnya dibalut dengan

selotip. Pengamatan dilakukan pada hari ke-30 setelah diberi inokulan.

Indikator pembentukan gaharu diamati melalui terjadinya klorosis daun,

perubahan warna batang, aroma wangi yang terbentuk saat dilakukan

pembakaran, serta berat abu hasil pembakaran. Analisis data menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial, uji F pada α = 5%, dan uji lanjut

Duncan pada taraf 5%. Diduga, kemampuan inokulan campur menginduksi

pembentukan gaharu pada Gyrinops versteegii relatif lebih baik dibandingkan

inokulan tunggal, karena daya patogenitas inokulan campur pada tanaman

relatif lebih tinggi.

Kata kunci: Gaharu, Gyrinops versteegii, inokulan campur

200| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

Gaharu merupakan aromatic resin yang dihasilkan oleh tanaman

dari Famili Thymelaeaceae melalui infeksi patogen oleh jamur tertentu.

Senyawa fitoaleksin yang didominasi oleh senyawa seskuiterpen dan penil

etil kromon pada resin gaharu memiliki aroma wangi yang khas

(Novriyanti, Santoso, Wiyono, dan Turjaman, 2011), sehingga gaharu

dijadikan sebagai bahan dasar industri parfum, kosmetik, pengharum

ruangan dan dupa (Persoon and van Beek, 2008). Beberapa tanaman yang

dilaporkan mampu menghasilkan gaharu berasal dari genus Gyrinops,

Aquilaria, Einkleia, Aetoxylon, Wikstroemia dan Gonystilus (Siburian,

2009). Gyrinops versteegii merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu

yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara dan sebagian wilayah Papua pada

ketinggian 400-800 mdpl (Mulyaningsih dan Yamada, 2007).

Induksi pembentukan resin aromatik pada gaharu budidaya dapat

dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya: secara

mekanik dengan melakukan perlukaan pada batang gaharu, secara kimiawi

dengan menambahkan senyawa-senyawa kimia tertentu yang dapat memicu

pembentukan resin pada gaharu, maupun secara biologis dengan

menginokulasikan agensia berupa jamur untuk menginduksi pembentukan

resin (Akter, Islam, Zulkefeli, Khan 2013). Induksi produksi resin gaharu

menggunakan jamur sebagai inokulan terus dikembangkan. Hingga saat ini

induksi pembentukan gaharu lebih banyak menggunakan satu isolat jamur

sebagai inokulan tunggal. Beberapa penelitian menggunakan inokulan

ganda, satu pohon diinokulasi dengan dua atau lebih jenis jamur.

Dilaporkan terdapat tujuh genus jamur yang berasosiasi dengan

Aquilaria dan Gyrinops yang berasal dari Riau (Rahayu, 1998). Sementara

dari Gyrinops yang berasal dari NTB berhasil diisolasi 2 genera jamur yaitu

Fusarium dan Acremonium. Keberagaman jenis jamur yang mampu

menginduksi pembentukan gaharu dipandang sebagai suatu potensi yang

dapat dikembangkan menjadi inokulan campur dalam upaya meningkatkan

produktivitas gaharu secara kuantitatif maupun kualitatif dengan asumsi

kombinasi antara isolat jamur mampu meningkatkan faktor patogenitas

pada tanaman sehingga produksi resin aromatik juga meningkat. Umboh

(2000), melaporkan bahwa penggunaan kultur campur berupa isolat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 201

ACEFI kombinasi dari Acremonium, Fusarium, Scytallidium, Thielaviopsis

dan Trichoderma, mampu menginduksi pembentukan gaharu pada tanaman

Aquilaria malaccensis dan Aquilaria microcarpa yang berumur 18 bulan.

Pada tahun 2012, Nugraheni, Adi Sasmuko, dan Utomo, telah

berhasil mengisolasi fungi pembentuk gaharu dari empat lokasi di Nusa

Tenggara Barat. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kombinasi isolat

jamur yang berpotensi sebagai inokulan campur dan mempelajari

kemampuan inokulan campur menginduksi pembentukan resin gaharu pada

Gyrinops versteegii.

II. METODE PENELITIAN

a. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2014 hingga Februari 2015,

di laboratorium Mikrobiologi Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan

Bukan Kayu (BPTHHBK).

b. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 isolat jamur

pembentuk gaharu asal Lombok Tengah (LT), Alas (ALS), dan Saneo,

serta 1 isolat asal Gorontalo (GTO). Tanaman Gyrinops versteegii yang

berumur 3 tahun diperoleh dari UD. Aneka Flora Lestari, Lombok

Tengah. Media Pertumbuhan jamur (Potato Dextrose Agar (PDA),

Water Agar (2% agar), Banana Leaf agar (BLA), Potato Dextrose

Broth (PDB), Basic Mineral Medium (BMM)), untuk pengamatan

morfologi jamur digunakan pewarna Lactogliserol Tripam Blue,

Alkohol 70%, dan semisolid agar. Bahan Kimia untuk preparasi

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan metanol, kertas saring

advantec qualitative grade No. 2, Silika gel GF254 (Merck), eluen

Kloroform : dietil eter (10 : 1). Alat yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Neraca Analitik (Libror), laminar air flow (Esco), autoklaf

(Harvard/lte expres), mikroskop (Nikon) + optilab, seperangkat

haemositometer, inkubator (Sanyo), shaker (New brubswick), oven

(Mermert), microwave (Sanyo) seperangkat alat kultur (Pyrex glass).

c. Metode Penelitian

202| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

1. Persiapan dan seleksi isolat jamur yang berasal dari BPTHHBK.

Persiapan yang dilakukan meliputi pembuatan medium Potato

Dextrose Agar (PDA), sterilisasi medium dan alat serta peremajaan

isolat. Isolat jamur diseleksi berdasarkan perbedaan morfologi

koloni dan pigmentasi pada medium PDA.

2. Uji antagonis antar isolat jamur pada medium PDA

Diambil sebesar 0,5cm2 isolat jamur bersama dengan mediumnya

menggunakan pisau bedah (surgerical blade) steril ukuran 11, secara

aseptis, lalu dikultur pada medium PDA steril dalam petri dish

berdiameter 9 cm. Jarak antar isolat 1 dan 2 adalah 3 cm.

Diinkubasi pada suhu ruang dan diukur diameter koloni yang

tumbuh setiap 24 jam selama 7 hari untuk mengetahui daya hambat

pertumbuhan antar isolat. Pengukuran diameter koloni dilakukan

pada empat bagian, yaitu diameter vertikal, diameter horizontal,

diagonal kanan, dan diagonal kiri (gambar 2) lalu di hitung nilai

diameter rata-rata. Persentase penghambatan dihitung menggunakan

persamaan berikut (Fitriasari, 2012):

Keterangan:

PA = Persentase penghambatan isolat A terhadap isolat B

R1 = Diameter pertumbuhan isolat A pada kontrol

R2 = Diameter pertumbuhan isolat A, dikultur dengan isolat B

Selain diukur persentase penghambatan, juga dilakukan pengamatan

mikroskopik pada zona pertemuan dua koloni jamur untuk dilihat

pola interaksi miselium antar kedua isolat. Diambil bagian

pertemuan dua isolat menggunakan pisau bedah (surgerical blade)

steril ukuran 11, lalu dipindahkan ke objec glass untuk diamati di

bawah mikroskop. Sebelum diamati, sampel di tetesi akuades steril

dan ditutup cover glass.

3. Pembuatan kurva tumbuh isolat jamur.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 203

Dituang 15 ml NaCl steril ke dalam petri dish berisi isolat jamur

yang telah dikultur pada PDA selama 7 hari. Kemudian NaCl yang

telah mengandung spora jamur dituang kembali ke dalam tabung.

Sebanyak 1 ml suspensi spora jamur dikultur pada 9 ml medium

PDB (Potato Dextrose Broth) steril dalam tabung reaksi. Setiap

isolat dikultur pada 15 tabung untuk diamati peningkatan biomassa

sel jamur setiap 24 jam. Kultur di inkubasi pada suhu ruang sambil

di shaking pada shaker incubator. Pengukuran biomassa sel jamur

dilakukan dengan cara menyaring kultur isolat jamur menggunakan

kertas saring yang telah ditimbang. Selanjutnya kertas saring

dikeringkan di dalam oven pada suhu 65oC selama 20 menit. Setelah

kering, kertas saring yang berisi massa sel jamur ditimbang.

4. Eksperimen pembentukan resin gaharu pada Gyrinops versteegii

menggunakan inokulan campur dan inokulan tunggal.

a. Rancangan Perlakuan

Inokulan Campur (LT+GTO, LT+ ALS, GTO+ALS, dan

ALS+Saneo). Inokulan campur merupakan kombinasi dari suspensi

spora antara isolat yang tidak memiliki sifat antagonis. Suspensi

spora yang dikombinasikan berasal dari faktor pengenceran yang

sama dengan perbandingan 1:1 lalu dihomogenkan dan dikultur

selama 7 hari. Inokulan tunggal sebagai pembanding (LT, ALS,

GTO dan Saneo) berisis 100% suspensi spora satu isolat. Kontrol

positif (pohon dilukai tanpa diberi inokulan). Kontrol negatif (pohon

tidak dilukai dan tidak diberi inokulan). Konsentrasi setiap inokulan

terdiri dari 2,5 ml dan 5 ml suspensi spora jamur. Masing-masing

perlakuan dilakukan ulangan minimal sebanyak tiga kali.

b. Teknik inokulasi

Bagian batang yang akan diinokulasi berjarak 10 cm dari akar.

Batang dilukai sepanjang 5 cm dengan membuang setengah dari

kulit dan kambium batang. Seluruh permukaan batang yang telah

dilukai selanjutnya disterilkan menggunakan alkohol 70% dan

akuades steril. Selanjutnya, setiap suspensi inokulan diolesi pada

bagian kayu yang telah dilukai tersebut menggunakan cotton swab,

lalu dilapisi dengan kapas basah, dan terakhir dibalut dengan selotip.

204| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sebagai pembanding digunakan batang tanaman yang hanya dilukai

tanpa diberi perlakuan inokulan sebagai kontrol positif, dan tanaman

yang sehat tanpa dilukai sebagai kontrol negatif.

5. Analisis produk gaharu melalui uji organoleptik dan Kromatografi

Lapis Tipis (KLT)

a. Uji organoleptik meliputi perubahan warna batang dari putih

menjadi cokelat kehitaman pada batang G. versteegii yang

diinokulasikan isolat jamur serta gejala klorosis pada daun (Putri

2011). Selain itu dilakukan pula deteksi aroma wangi yang

tercium dari hasil pembakaran kayu. Tingkat wangi diberi skor 0

(tidak wangi), 1 (agak wangi), 2 (wangi), 3 (sangat wangi), dan

digunakan gaharu skor 3 (dari BPTHHBK) sebagai pembanding.

Berat abu hasil pembakaran ditimbang untuk mengetahui kadar

gaharu yang terbentuk.

b. Kromatografi Lapis Tipis. Preparasi dilakukan sesuai dengan

metode Yang, Chen, Zhang, Wei, Meng, Feng, Gan, Gao, Huang

(2013) dengan beberapa modifikasi. Sampel hasil ekstraksi serta

minyak gaharu sebagai kontrol diteteskan pada plat silika gel GF

254 kemudian dimasukkan dalam bejana pengembang yang

berisi eluen kloroform : dietil eter (10 : 1) dengan jarak eluen

diatur sebesar 10 cm. Plat silika gel juga diamati dibawah sinar

UV pada panjang gelombang 254 nm. Selanjutnya dilakukan

perhitungan nilai Rf dengan menggunakan rumus:

pelarutuh jarak temp

diselidiki yangzat uh jarak temp Rf

Nilai Rf tiap spot yang terbentuk pada sampel dibandingkan

dengan nilai Rf standar (minyak gaharu).

6. Karakterisasi isolat jamur penginduksi produksi resin gaharu.

Pengamatan morfologi jamur meliputi morfologi koloni dan

morfologi sel, dilakukan dengan menggunakan metode fungal

slide culture (Harris, 1986) berdasarkan kriteria sesuai dengan

penelitian Budi dkk. (2010). Selain itu, dilakukan juga

pengamatan terhadap bentuk dan ukuran makrokonidia dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 205

mikrokonidia dari isolat yang dikultur pada medium Banana Leaf

Agar.

d. Analisis Data

Data hasil pengamatan berupa tingkat perubahan warna, tingkat

aroma wangi dianalisis dengan SAS versi 9.1 menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan uji F pada

α = 5%. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati

maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan

uji lanjut Duncan pada taraf 5%.

II. HIPOTESA DAN HASIL SEMENTARA

1. Morfologi Isolat Jamur

a. Morfologi Koloni

Berdasarkan hasl pengamatan morfologi isolat jamur, isolat saeo

merupakan isolat yang memiliki perbedaan yang signifikan dengan

isolat lainnya. Selain berwarna hijau, koloni Saneo menyebar rata

dan tidak membentuk pola tertentu. Sedangkan isolat GTO

memiliki tepian koloni yang cenderung membulat dengan

miselium berwarna putih bersih. LT dan ALS hanya dibedakan

berdasarkan terbentuknya garis radial. Pada ALS terbentuk garis

radial yang terlihat jelas dan berwarna putih. Sedangkan pada LT,

garis radial yang terbentuk berwarna kuning (gambar 1).

(a) (b) (c)

Gambar 1. Morfologi Koloni Isolat Jamur: (a) GTO, (b) ALS,

(c) Saneo, (d) LT

b. Morfologi Sel

206| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Berdasarkan pengamatan morfologi, Isolat GTO, ALS dan LT diduga

merupakan anggota dari genus Fusarium. Sedangkan isolat Saneo

diduga merupakan anggota dari genus Aspergillus. Akan dilakukan

identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui identitas dari masing-masing

isolat.

1. Isolat GTO

(a) (b) (c)

Gambar 2. Morfologi GTO: makrokonidia (a), hifa bersepta (b),

konidiofor (c panah kuning), mikrokonidoa (c panah biru)

2. Isolat ALS

(a) (b)

Gambar 3. Morfologi isolat ALS: (a) konidiofor, (b) makrokonidia

3. Isolat LT

(a) (b) (c)

Gambar 4. Morfologi isolat LT: (a) konidiofor, (b) hifa bersepta, (c)

makrokonidia

4. Isolat Saneo

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 207

(a) (b) (c)

Gambar 4. Morfologi sel Isolat Saneo: (a) hifa bersepta, (b)

makrokonidia, (c) spora

2. Kurva Tumbuh

Berdasarkan hasil pengukuran biomassa atau berat kering sel jamur,

diperoleh data pertumbuhan yang disajikan dalam bentuk kurva sebagai

berikut.

Kurva pertumbuhan diperlukan untuk mengetahui waktu inkubasi

inokulum disesuaikan dengan fase pertumbuhan maksimal dari isolat.

Kurva pertumbuhan jamur tersebut menunjukan pola pertumbuhan yang

relatif sama antar 4 isolat. Peningkatan biomassa sel dimulai pada hari ke 2

hingga hari ke 7, sehingga inkubasi inokulum dilakukan selama tujuh hari.

3. Hasil Uji Antagonis

Hasil uji antagonis meliputi data persentase penghambatan dan

dokumentasi hasil pengamatan mikroskopis. Persentase penghambatan

mengalami kendala pengukuran disebabkan pola pertumbuhan isolat Saneo

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Mas

sa s

el (

gram

)

Hari ke-

Kurva Tumbuh Isolat Jamur LT

GTO

ALS

Saneo

Gambar 5. Kurva Tumbuh Isolat Jamur

208| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

yang menyebar ke seluruh permukaan medium. Sedangkan hasil

pengamatan mikroskopis dapat dilihat pada gambar 6-11.

Jamur antagonis merupakan jamur yang mempunyai pengaruh yang

merugikan terhadap mikroba lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya.

Antagonisme yang dilakukan meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu

yang lain dalam jumlah terbatas yang diperlukan oleh jamur, (b) antibiosis

sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh

jamur dan berbahaya bagi jamur lain dan (c) predasi, hiperparasitisme

maupun mikoparasitisme (Istikorini, 2002).

Gambar 6. menunjukan adanya sifat antagonis dari isolat Saneo terhadap

GTO, yang menyebabkan hifa GTO rusak atau lisis. Diduga hifa Saneo

mensintesis enzim hidrolitik yang bersifat toksik serta membunuh sel GTO

(Benitez, Benítez, Rincon, Limon dan Codon 2004). Mekanisme antagonis

juga dapat dilakukan dengan mikoparasitisme. Saneo berinteraksi dengan

LT dan menyebabkan hifa LT mengalami distorsi serta rusak. Mekanisme

mikoparasitisme yang dilakukan oleh Saneo yaitu dengan cara

melingkarkan atau membelitkan hifa pada hifa LT (gambar 7). Hal ini

menyebabkan kombinasi isolat Saneo dan LT serta Saneo dengan GTO

tidak dapat dijadikan sebagai inokulan campur. Berbeda halnya dengan

kombinasi Saneo dengan ALS (gambar 8), tidak ditemukan adanya sifat

antagonis dari salah satu isolat terhadap isolat lainnya. Demikian halnya

dengan kombinasi GTO dan ALS, GTO dan LT, serta ALS dan LT.

a. Interaksi Isolat Saneo dan GTO

(a) (b)

Gambar 6. Interaksi miselium Saneo dan GTO

(a) Saneo+GTO, Perbesaran 10x4 (b) hifa isolat Saneo (panah

kuning), hifa isolat GTO (panah hijau)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 209

b. Interaksi Isolat LT dan Saneo

(a) (b)

Gambar 7. Interaksi miselium LT dan Saneo LT+Saneo, perbesaran

10x10 (A), LT+Saeo, perbesaran 10x40 (B), hifa LT (panah kuning),

hifa Saneo (panah hijau)

c. Interkasi Isolat Saneo dan ALS

(a) (b)

Gambar 8. Iteraksi miselium Saneo dan ALS

(a) Saneo+ALS, perbesaran 10x4 hifa Saneo (panah kuning), (b)

Saneo+ALS, perbesaran 10x10, hifa ALS (panah hijau)

d. Interaksi Isolat LT dan ALS

(a) (b)

Gambar 9. Interaksi miselium LT dan ALS

(a) LT+ALS, perbesaran 10x10, LT+ALS hifa LT (panah kuning),

(b) perbesaran 10x40 (B), hifa ALS (panah hijau)

210| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

e. Interaksi Isolat LT dan GTO

(a) (b)

Gambar 10. Interaksi miselium LT dan GTO

(a) LT+GTO, perbesaran 10x4, hifa LT (panah kuning), (b)

LT+GTO, perbesaran 10x10, hifa GTO (panah hijau)

f. Interaksi Isolat GTO dan ALS

(a) (b)

Gambar 11. Interaksi miselium GTO dan ALS (a) GTO+ALS, perbesaran

10x4, hifa GTO (panah kuning), (b) GTO+ALS, perbesaran 10x10, hifa

ALS (panah hijau)

4. Analisis produk gaharu melalui uji organoleptik dan

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pembentukan gaharu ditandai dengan terjadinya klorosis daun serta

perubahan warna kayu disekitar daerah yang luka, dari putih menjadi

coklat (Rahayu, 2011). Pada penelitian pendahuluan diamati terjadinya

klorosis daun dimulai pada hari ke dua setelah diberi inokulan GTO 5ml

dan Saneo+ALS 5ml (gambar 12).

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 211

(a) (b)

Gambar 12. Klorosis daun yang terjadi pada hari ke-2 setelah di

inokulasi (a) GTO 5ml, (b) Saneo+ALS 5 ml

Secara umum terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan

inokulasi, yaitu kondisi iklim setempat, kondisi pohon, metode inokulasi,

dan jenis inokulannya (Sasmuko, 2011). Keunggulan inokulan dalam

menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis dan kecocokan

inokulan yang digunakan (Mucharromah dan Marantika, 2009).

Berdasarkan hal tersebut diduga kombinasi isolat Saneo+ALS merupakan

inokulan yang dapat menginduksi pembentukan gaharu dengan aroma

wangi yang relatif lebih wangi dibandingkan dengan inokulan lainnya,

karena daya atagonis yang dimiliki oleh Saneo serta laju pertumbuhan

Saneo yang relatif lebih cepat memungkinkan terjadinya penetrasi hifa

jamur ke dalam sel dan jaringan tanaman lebih cepat.

III. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa kombinasi

isolat yang berpotensi dijadikan inokulan campur adalah ALS+GTO,

ALS+LT, GTO+LT dan ALS+Saneo. Diduga kemampuan inokulan

campur dalam menginduksi pembentukan gaharu pada tanaman

Gyrinops versteegii yang berumur 3 tahun relatif lebih baik

dibandingkan dengan inokulan tunggal.

212| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

B. Keterbatasan

Penelitian ini hanya menggunakan 4 isolat jamur dari 12 isolat yang

ada, dan hanya menggunakan kombinasi dari 2 isolat saja. Selain itu,

aplikasi inokulan hanya di berikan pada tanaman yang berumur 3

tahun, dan tidak dilakukan analisis kandungan atau konsentrasi

senyawa terpenoid menggunakan Gas Chromatography Mass

Spectrometry (GCMS) karena jumlah sampel yang tidak mencukupi.

C. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian menggunakan kombinasi kombinasi lebih

dari 2 isolat dari 12 isolat yang ada.

2. Perlu dilakukan uji inokulan campur pada tanaman yang telah

berumur lebih dari 3 tahun dengan kombinasi metode yang berbeda.

3. Perlu dilakukan analisis kandungan senyawa terpenoid di dalam

gaharu menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry

(GCMS) untuk mengetahui kuantitas maupun kualitas gaharu yang

terbentuk.

DAFTAR PUSTAKA

Akter, S., T. Islam, M. Zulkefeli, S.I. Khan. 2013. Agarwood Production A

Multidisciplinary Field to be Explored in Bangladesh.

International Journal of Pharmaceutical and Life Sciences.

Volume 1, Issue 4, Serial 3: January 2013.

Benítez, T., A. N. Rincon, M. C. Limon & A. C. Codon. 2004. Biocontrol

mechanisms of Trichoderma strains. Internat. Microbiol. 7: 249-

260.

Budi, S.R., B. R., E. Santoso dan A. Wahyudi. 2010. Identifikasi Jenis-

jenis Jamur yang Potensial terhadap Pembentukan Gaharu dari

Batang Aquilaria spp. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 01 No. 01

Desember 2010, Hal. 1 – 5. ISSN: 2086-8227.

Fitriasari, P. D. Isolasi dan Uji Antagonis Trichoderma Spp. terhadap

Jamur Penyebab Antraknosa pada Tanaman Stroberi (Fragaria

Vesca L.). 2012. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 213

Harris, J. L. 1986. Modified Method for Fungal Slide Culture. Journal of

Clinical Microbiology, Sept. 1986, p. 460-461. Vol. 24, No. 3.

Istikorini, Y. 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan secara hayati yang

Ekologis dan Berkelanjutan. http://tumoutou.net. Diakses tanggal 2

Mei 2011.

Mulyaningsih T, Isamu Y. 2007. Notes on Some Species of Agarwood in

Nusa Tenggara, Celebes and West Papua.

http://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/ final_reports2007/article/43-

tri.pdf. Diakses: 31 Mei 2014.

Novriyanti, E. E. Santoso, B. Wiyono, and M. Turjaman. 2011. Chemical

study of Eaglewood (gaharu) Resulting from Inoculation of

Fusarium sp. on Aquilaria microcarpa. In: Proceeding of Gaharu

Workshop Development of Gaharu Production Technology. Ed:

M. Turjaman.

Nugraheni, Y. M. M. A., Adi Sasmuko, S., dan Utomo, M. M. B. 2012.

Isolasi dan Karakterisasi Fungi Pembentuk Gaharu Hasil

Eksplorasi yang Berasal dari Empat Lokasi di NTB. Balai

Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Lombok Barat.

Persoon, G.A. and H.H. van Beek. 2008. Growing The Wood of The Gods:

Agarwood Production in Southeast Asia. Advances in

Agroforestry. Volume 5, 2008, pp 245-262.

Putri, A.L. 2011. Studi Interaksi Fusarium Sp. dengan Pohon Gaharu

(Aquilaria Sp.) Menggunakan Pendekatan Sitologi. Tesis. Sekolah

Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2011

Rahayu, L. O. 2009. Isolasi, Identifikasi Filogenetik Dan Uji Patogenisitas

Konidia Jamur Entomopatogen Terhadap Kutu Sisik Coklat

(Lepidoshapes beckii Newman) Hama Tanaman Jeruk. Thesis,

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya.

Malang.

Rahayu,G., Isnaini, Y., Situmorang, J., Umboh, M.I.J. 1998. Cendawan

yang berasosiasi dengan gaharu (Aquilaria spp) dari Indonesia. Di

dalam: Hardoyo, Sutikno, Utomo SD, Ginting C, Gafur A, editor.

Prosiding Seminar Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan

214| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Mikrobiologi Indonesia; niversitas Lampung, 14-15 Desember

1998. Bandar Lampung: PERMI cabang Lampung. Hlm 358-393.

Siburian, R.H.S., 2009, Keragaman Genetik Gyrinops Verstegii asal Papua

Berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit, Sekolah Pascasarjana IPB,

Bogor.

Umboh, M.I.J., Rahayu, G., Affandi, H., 2000, Upaya Peningkatan

Produksi Gubal Gaharu: mikropropagasi Aquilaria spesies dan

upaya peningkatan bioproses gubal gaharunya (Laporan Akhir

Penelitian RUT V), Jakarta, Menristek DRN.

Yang, Y., H. Chen, Y. Yang, Z. Zhang, J. Wei, H. Meng, W. Chen, J. Feng,

B. Gan, X. Chen, Z. Gao, J. Huang, B. Chen and H. Chen. 2013.

Whole-Tree Agarwood-Inducing Technique: An Efficient Novel

Technique for Producing High-Quality Agarwood in Cultivated

Aquilaria sinensis Trees. Molecules 2013, 18, 3086-3106.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 215

PENGGUNAAN BENTONITE PADA PROSES PEMBUATAN

BIOKEROSIN DARI BIJI NYAMPLUNG

Nurul Wahyuni1)

, Saptadi Darmawan1)

dan Djeni Hendra2)

1)Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl. Dharma Bhakti No 7 Ds Langko, Kec.Lingsar, Lombok Barat-NTB.

Telp. (0370)6175552 Fax.(0370)6175482 2)

Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Ketersedian bahan bakar yang berasal dari fosil makin menurun seiring dengan

makin meningkatnya kebutuhan akan energi. Banyak alternative energi

terbarukan yang bisa menjadi pengganti. Indonesia yang kaya akan sumber

daya alam juga memiliki banyak energi alternatif seperti energi surya,

mikrohidro, panas bumi, angin dan juga bahan-bahan nabati. Kehutanan

sebagai salah satu sector pemerintah berupaya menjaga ketersediaan energi

dalam negeri. Nyamplung merupakan salah satu bahan baku nabati penghasil

biofuel yang telah dikembangkan sejak tahun 2009. Biokerosin sebagai salah

satu produk alternative yang dapat diproduksi dari biji nyamplung menjadi

salah satu target capaian pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh penambahan bentonite pada proses pengolahan nyamplung menjadi

biokerosin. Metode yang digunakan terdiri dari tahapan degumming dengan

asam pospat dan netralisasi dengan menggunakan bentonite. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa nyamplung dapat

dibuat menjadi biokerosin melalui tahapan degumming dengan mengguna

asam phospat 1% yang ditambahkan dengan bentonit yang dilanjutkan dengan

pencucian dan pengeringan. Rendemen rata-rata untuk biokerosin nyamplung

asal Lombok dengan penambahan bentonit 7% mencapai nilai tertinggi

sedangkan untuk nyamplung asal Sumbawa mencapai nilai tertinggi pada

penambahan bentonit 6%. Sifat fisik berupa viskositas mencapai nilai terendah

pada penambahan bentonite 6% untuk nyamplung yang berasal dari Lombok

dan 9% nyamplung asal Sumbawa.

Kata kunci : nyamplung, bentonite, sifat fisiko kimia, biokerosin

216| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketersedian bahan bakar yang berasal dari fosil makin menurun

seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan akan energi. Banyak

alternative energi terbarukan yang bisa menjadi pengganti. Indonesia yang

kaya akan sumber daya alam juga memiliki banyak energi alternatif seperti

energi surya, mikrohidro, panas bumi, angin dan juga bahan-bahan nabati.

Sementara itu terdapat target komposisi energy MIX tahun 2025 yang telah

direncanakan.

Energy MIX saat ini Energi MIX tahun 2025

Gambar 1. Target Komposisi Energi MIX tahun 2025

Kehutanan sebagai salah satu sector pemerintah berupaya menjaga

ketersediaan energi dalam negeri. Biokerosin sebagai salah satu produk

alternative yang dapat diproduksi dari biji nyamplung menjadi salah satu

target capaian pemerintah sebagaimana roadmap pengembangan biofuel

yang telah dicanangkan oleh kementerian ESDM, terlihat tahapan-tahapan

pengembangan dari bebeberapa jenis bahan bakar yang akan

dikembangkan.

Tabel 1. Roadmap Pengembangan Biofuel

Tahun 2011-2015 2016-2025

Biodiesel Pemanfaatan biodiesel sebesar

15% konsumsi solar 4,52 juta kilo

liter

Pemanfaatan biodiesel

sebesar 20% konsumsi solar

10,22 juta kilo liter

Bioethanol Pemanfaatan bioethanol sebesar

10% konsumsi premium 2,78 juta

kilo liter

Pemanfaatan bioethanol

sebesar 15% konsumsi

premium 6,28 juta kilo liter

Biooil Pemanfaatan biokerosin 1,8 juta Pemanfaatan biokerosin 4,07

minyak bumi 52% panas

bumi 1%

gas 29%

batu bara 15%

air 3% minya

k bum…

gas 30%

batu bara 33%

panas bumi 5%

BBN 5%

lain-lain 7%

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 217

kilo liter juta kilo liter

PPO untuk

pembangkit

listrik

Pemanfaatan PPO 0,74 juta kilo

liter

Pemanfaatan PPO 1,69 juta

kilo liter

Sumber: ESDM, 2005

Biokerosin sebagai salah satu target capaian pemanfaatan yang

cukup besar hingga tahun 2025 mendorong munculnya berbagai upaya

dalam produksinya. Beberapa potensi sumber bahan baku untuk biokerosin

yang berasal dari hutan diantaranya nyamplung, malapari, kepuh, kemiri

sunan dan lain-lain.

Produk biokerosin memiliki potensi yang besar untuk di

kembangkan di NTB mengingat NTB memiliki kebutuhan akan bahan

bakar untuk oven tembakau yang cukup besar. Biokerosin adalah salah satu

alternative yang diharapkan mampu mengganti ketergantungan terhadap

minyak tanah maupun bahan bakar fosil lainnya

Biokerosin dalam pemanfaatannya telah dapat digunakan sebagai

substitusi bagi minyak tanah. Namun banyak hal yang menjadi

kelemahannya seperti titik bakar yang rendah, jelaga yang banyak, endapan

lilin pada sumbu serta perlu peralatan khusus dalam pengaplikasiannya.

Hal ini mendorong penelitian – penelitian lebih lanjut terkait dengan proses

hulu pembuatan biokerosin hingga pada bagian hilirnya yaitu aplikasi

biokerosin yang dihasilkan.

Biokerosin dapat diproduksi dari biji-bijian. Dengan

memanfaatkan biji, maka kelestarian hutan dapat terjaga dan dampak

negatif bagi lingkungan dan kesehatan dapat dikurangi karena berasal dari

bahan nabati yang tidak menimbulkan dampak seperti pada batu bara.

Selain itu, keberlangsungan produksi biokerosin dapat terjaga karena

berasal dari bahan baku yang terbarukan.

Beberapa alternatif biji-bijian yang berpotensi di NTB dan dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku biokerosin antara lain adalah biji

nyamplung, kepuh dan malapari. Komoditi tersebut tersebar di beberapa

wilayah NTB baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa (BPK

Mataram, 2010). Nyamplung tersebar merata hampir di tiap kabupaten di

Pulau Lombok dan Sumbawa.

218| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Dengan adanya potensi komoditi tersebut sebagai bahan baku

biokerosin serta adanya kebutuhan bahan bakar yang tinggi, maka pada

tahun 2012 penelitian ini akan mengujicobakan pemanfaatan biji

nyamplung dan kemiri sunan sebagai biokerosin.

B. Tujuan dan Sasaran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknologi pembuatan

biokerosin dari biji nyamplung dan kemiri sunan. Sasaran penelitian adalah

diketahuinya teknologi pembuatan biokerosin dari biji nyamplung dan

kemiri sunan

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Bahan penelitian berupa biji nyamplung diperoleh dari Pulau

Sumbawa tepatnya di desa Ai Kangkung Kecamatan Sekongkang

Kabupaten Sumbawa Barat dan Pulau Lombok tepatnya di desa Mumbul

Sari, kecamatan Gunung Sari kabupaten Lombok Barat dan desa Sintung

Timur kecamatan Pringgarata kabupaten Lombok Tengah. Hal ini

didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya. Sementara itu bahan baku

berupa biji kemiri sunan diperoleh dengan mengumpulkan dari lokasi-

lokasi tempat tumbuhnya jenis-jenis tersebut yaitu di Jawa Barat tepatnya

di desa Padahanten kecamatan Sukahaji kabupaten Majalengka.

Proses produksi biokerosin dilakukan di Laboratorium pengolahan

hasil hutan bukan kayu, BPTHHBK termasuk analisa sifat fisik dari

biokerosin. Proses analisa kimia sebagian dilakukan di Laboratorium

pengujian HHBK, BPTHHBK dan sebagian lainnya dilakukan di

Laboratorium terpadu Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan

Hasil Hutan.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan baku yang digunakan adalah biji nyamplung (Callophyllum

inophyllum) dan kemiri sunan (Reutealis trisperma). Bahan kimia yang

digunakan untuk proses degumming dan netralisasi adalah asam phospat

(H3PO4) dan NaOH. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisa

diantaranya indicator pp, NaOH, HCl, CCL4, Larutan Wijs, Larutan KI,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 219

Na2S2O3, asam asetat pa, etanol pa, CHCl3 pa dan KI Kristal. Bahan

penunjang lainnya antara lain jerigen besar, corong minyak, kawat, karung

plastik sampel, karung, pH paper, botol kaca, pipet tetes, kertas saring,

korek api, label, dan alat tulis.

Peralatan yang digunakan dalam proses produksi crude oil antara lain

mesin kempa, timbangan, wadah, labu ukur, jerigen dan saringan. Pada

proses degumming, netralisasi dan pencucian alat-alat yang digunakan

diantaranya timbangan, labu ukur, gelas piala, hot plate stirrer, magnetic

stirrer, labu pemisah, pemanas air, thermometer, pengaduk kaca. Alat-alat

yang digunakan dalam analisa diantaranya timbangan digital, pipet

volumetric, erlenmeyer, gelas piala, cawan gooch, piknometer, viscometer,

oven, dan buret.

C. Prosedur Kerja

1) Proses produksi biokerosin

Tahapan pra produksi biokerosin berbahan baku nyamplung adalah

penyiapan bahan baku sebelum diproses menjadi minyak. Biji nyamplung

dikupas dari cangkang buahnya (karnel). Selanjutnya karnel dikukus (Anif

MU, 2011). Pengukusan dimaksudkan untuk mengurangi getah yang

terkandung pada biji. Kernel yang telah dikukus selanjutnya dikeringkan.

Pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air sehingga

mempermudah proses pengempaan. Hal ini dilakukan dengan menjemur

biji di bawah sinar matahari.

Biji yang telah dikeringkan kemudian digiling lalu dikempa dengan

menggunakan kempa hidrolik manual. Minyak kasar (crude oil) yang

dihasilkan dikarakterisasi untuk mengetahui sifat fisiko-kimia minyak,

sehingga dapat diketahui potensinya sebagai bahan bakar nabati khususnya

biokerosin.

Tahapan pra produksi biokerosin berbahan baku kemiri sunan berbeda

dengan nyamplung. Biji kemiri sunan yang telah dikupas tidak mengalami

proses pengukusan. Biji yang telah dikupas selanjutnya dikeringkan dengan

dijemur. Biji yang telah kering selanjutnya digiling dan langsung menuju

tahap produksi biokerosin.

Proses produksi biokerosin sendiri akan dilakukan melalui beberapa

tahap, yaitu, pengepresan (pengempaan), penyaringan, degumming dengan

220| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

penambahan zat additif, pencucian dan pengeringan. Pengepresan

dilakukan dengan kempa hidrolik dengan penambahan panas. Serbuk biji

dipres hingga minyaknya keluar semua.

Proses pembuatan biokerosin selanjutnya adalah dengan memurnikan

minyak melalui proses penyaringan. Minyak hasil pres disaring dengan

menggunakan kain untuk memisahkan minyak dari kotoran-kotoran pada

saat pengepresan. Selanjutnya proses degumming dengan asam fosfat dan

penambahan zat additive untuk menurunkan kekentalan.

Degumming dilakukan dengan cara memanaskan 500 ml CO hingga

mencapai suhu 80oC sambil terus diaduk. Tambahkan H3PO4 sebanyak 1%

v/v (Anif MU, 2011) dan bentonit 5%-10% sebagai aditif. Suhu pemanasan

diupayakan stabil pada suhu 60-70oC selama 1 jam. Selanjutnya minyak

yang telah mengalami degumming dimasukkan ke corong pisah. Diamkan

selama 12 jam agar minyak dan gum terpisah.

Endapan yang terjadi dipisahkan kemudian dicuci dengan air hangat

60oC hingga jernih. Selanjutnya, air diuapkan dari minyak dengan

pengering pada suhu 100oC agar tidak terjadi reaksi oksidasi yang bisa

mengubah warna minyak tersebut menjadi gelap kembali. Hasil dari

degumming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak

asalnya (Bustomi dkk., 2008).

2) Pengujian sifat fisiko-kimia

Sifat fisiko-kimia yang diamati antara lain densitas, kadar air, viskositas,

bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, penampakan (warna),

dan rendemen. Pengujian sifat fisiko-kimia dilaksanakan pada biokerosin

biji nyamplung dan kemiri sunan. Untuk nilai rendemen biokerosin

diperoleh dengan membandingkan biokerosin yang dihasilkan dengan

crude oil yang diolah. Berikut ini rumus yang digunakan.

Rendemen biokerosin = Volume biokerosin

X 100% Volume crude oil (CO)

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisa dengaan menggunakan analisis ragam

dan apabila terdapat beda nyata antar perlakuan, dilakukan uji lanjut

Duncan. Hasil-hasil analisa tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel,

grafik, dan gambar.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 221

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Biokerosin Berbahan Baku Nyamplung

Bahan baku nyamplung yang digunakan dalam proses produksi

biokerosin berasal dari dua lokasi yaitu Lombok dan Sumbawa Barat. Hal

ini dilakukan karena berdasarkan penelitian pada tahun 2012 diketahui

bahwa kedua lokasi tersebut menghasilkan biokerosin dengan karakteristik

yang lebih baik dibandingkan dengan biokerosin yang berasal dari Dompu.

Berikut ini rendemen crude oil nyamplung yang diperoleh dari kedua

lokasi tersebut.

Grafik 1. Rendemen crude oil nyamplung asal Lombok dan Sumbawa

Crude oil (CO) nyamplung asal Lombok yang diperoleh menunjukkan

hasil yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan CO asal Sumbawa yang

mampu mencapai rendemen sebesar 43,33%. Perbedaan kandungan minyak

tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk

berkembang dengan baik, tanaman membutuhkan keadaan lingkungan

yang optimum untuk mengekspresikan program genetiknya secara penuh

(Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil penelitian Budi Leksono dkk (2010)

juga menunjukkan hal serupa yang menyimpulkan bahwa terdapat

keragaman antar provenan/ras lahan nyamplung terhadap rendemen minyak

nyamplung. Nilai rendemen CO nyamplung asal Sumbawa memiliki

kemiripan dengan CO biji karet yang berasal dari Kab. Sintang,

Kalimantan Barat. Penelitian Siahaan, S., dkk (2010) menunjukkan

kandungan minyak biji karet mencapai 41,00 - 44,50%. Proses ekstraksi

yang dilakukan dengan pengepresan menggunakan pres hidrolik manual.

36.87

43.33

30

40

50

Lombok Sumbawa nila

i re

nd

em

en

(%

)

asal biji nyamplung

Rendemen Crude Oil Nyamplung

222| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Menurut Putra FSK. dkk (2012), ekstraksi nyamplung dengan

menggunakan solvent n-hexane teknis menghasilkan kandungan crude

lipid mencapai 62,96-63,10%. Namun tentunya hal tersebut tidak dapat

diterapkan dalan kehidupan sehari-hari terlebih lagi pada skala rumah

tangga.

Beberapa sifat fisik crude oil nyamplung yang berasal dari kedua

lokasi relatif sama seperti warna, densitas, dan viskositas. Crude oil

nyamplung berwarna hijau kehitaman. Hasil yang sama terkait dengan

warna tersebut juga telah disampaikan dalam BPTHHBK (2012) bahwa

warna CO nyamplung adalah hijau kehitaman. Menurut Ketaren (1986) zat

warna dalam minyak terdiri dari dua golongan yaitu zat warna alamiah dan

hasil degradasi warna tersebut. Pada kasus crude oil nyamplung yang

berwarna hijau kehitaman dapat disimpulkan bahwa warna tersebut

merupakan pengaruh dari zat warna alamiah yang dimiliki oleh biji

nyamplung tersebut karena tidak ada perlakuan penyimpanan ataupun

pemanasan berlebih yang mampu merubah warna dari minyak yang

dihasilkan.

Densitas CO nyamplung berada pada selang 0,93-0,95. Hal ini serupa

dengan yang disampaikan R. Sudrajat (2007) bahwa densitas CO

nyamplung pada suhu 20oC mencapai 0,944 g/ml. Penetapan densitas

dimaksudkan untuk menginformasikan berat suatu bahan untuk

menghitung rendemen.

Sifat fisik lainnya adalah viskositas atau kekentalan. Rata-rata

viskositas untuk kedua asal bernilai sama yaitu 1,03 dPa’s. nilai viskositas

CO nyamplung menurut R. Sudrajat (2007) adalah 56,70 cP. Bila nilai

tersebut dikonversi ke satuan dPa’s maka akan menjadi 0,567 dPa’s. Nilai

tersebut termasuk dalam kategori kental sehingga nyamplung asal Lombok

dan Sumbawa juga masuk dalam katagori kental.

Setelah diperoleh crude oil, langkah selanjutnya adalah degumming

dengan penambahan bentonit sebagai aditif. Pada proses ini bentonit

digunakan dengan tujuan menurunkan viskositas dan mencerahkan warna

minyak yang dihasilkan tanpa melalui proses netralisasi. Bentonit adalah

salah satu bleaching earth yang memiliki kemampuan untuk mengadsorb

zat warna dan zat-zat yang tidak diinginkan dalam minyak pada proses

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 223

pengolahan edibel oil (Ailen T. dkk, 2006). Persen penambahan bentonit

pada proses degumming bervariasi yaitu 5%, 6%, 7%, 8%, 9% dan 10%

b/v. Gambar berikut ini menunjukkan rendemen biokerosin nyamplung

yang diperoleh berdasarkan asal bahan baku serta perlakuan penambahan

aditif berupa bentonit.

Grafik 2. Rendemen biokerosin berbahan baku nyamplung asal

Lombok dan Sumbawa

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa rendemen biokerosin

nyamplung yang berasal dari Lombok mencapai nilai tertinggi pada

penambahan bentonit sebanyak 7% dengan nilai 81,56 %. Nilai ini masih

berada di bawah kontrol dengan selisih 3,55%. Pada proses degumming

beberapa bagian dari minyak mentah (CO) terikat oleh asam dan juga oleh

bentonit terutama gum dan pengotor lainnya. Bagian–bagian yang terikat

tersebut selanjutnya mengalami pemisahan. Hal ini mengakibatkan

penurunan jumlah biokerosin yang diperoleh. Banyaknya bagian minyak

yang terikat oleh asam dan bentonit tentunya dipengaruhi oleh kandungan

asam lemak bebas dari minyak awalnya. Pada biodisel nyamplung, kadar

asam lemak bebas mempenangaruhi rendemen dihasilkan (Anif MU,

2011).

Hal yang berbeda terjadi pada minyak kontrol yang tidak

ditambahkan bentonit. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya penyerapan

pengotor yang pada perlakuan lainnya dilakukan oleh bentonite. Akibatnya

minyak yang dihasilkan tidak berkurang.

0

50

100 85.11 81.56 76.78 80.44

nila

i re

nd

em

en

(%

)

penambahan bentonit

Rendemen Biokerosin Nyamplung

Nyamplung Lombok Nyamplung Sumbawa

224| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Nilai rendemen nyamplung asal Sumbawa berbeda dengan

rendemen yang diperoleh dari nyamplung asal Lombok dimana nilai

kontrol lebih kecil dari biokerosin yang telah ditambahkan bentonit pada

semua perlakuan yaitu 76,78%. Sedangkan nilai rendemen tertinggi

diperoleh melalui perlakuan penambahan bentonit 6% dengan nilai

80,44%. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kandungan asam

lemak bebas mempengaruhi rendemen yang dihasilkan dari proses

degumming dengan penambahan adsorben. Hal ini pula yang menjadikan

biokerosin asal Sumbawa dihasilkan dengan jumlah yang lebih tinggi

dibandingkan dengan berasal dari Lombok.

Karakteristik biokerosin nyamplung kedua asal biji pada masing-

masing perlakuan juga menunjukkan beberapa perbedaan. Berikut ini sifat

fisiko kimia biokerosin nyamplung pada masing-masing perlakuan.

Tabel 2. Sifat fisiko kimia biokerosin nyamplung asal Lombok

No

Perlakuan

Bentonit

(%)

Densit

as

Visko-

sitas

(dPa’s)

Bil.

Perok

sida

Bil.

Yod

Bil.

Asam

Bil.

Ester

Bil.

Penyabu

nan

0 0

(Kontrol) 0,93 1,20 7,70 18,41 43,63 132,59 195,16

1 5 0,93 1,17 2,79 5,45 9,66 183,72 252,39

2 6 0,92 1,00 2,89 4,95 9,79 173,64 253,76

3 7 0,94 1,03 3,07 5,66 9,39 171,09 253,91

4 8 0,93 1,10 2,54 5,22 9,48 162,02 253,44

5 9 0,94 1,13 3,27 4,89 10,28 182,22 252,55

6 10 0,94 1,16 2,61 5,50 9,53 172,14 252,45

Bila melihat Tabel 2 dapat diketahui bahwa biokerosin yang diperoleh

dengan penambahan aditif menghasilkan minyak yang memiliki

karakteristik fisiko kimia yang lebih baik. Nilai densitas berada pada selang

0,92-0,94. Nilai tersebut mengalami penurunan dari nilai densitas CO

meskipun sangat kecil. Nilai tersebut serupa dengan densitas biokerosin biji

karet yang diperoleh oleh Siahaan dkk, (2010) yaitu berkisar pada 0,91-

0,94.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan

bentonit pada minyak nyamplung asal Lombok tidak berpengaruh nyata

pada densitas biokerosin yang dihasilkan (Lampiran 1). Demikian pula

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 225

halnya dengan hasil analisis ragam terhadap viskositasnya (Lampiran 2).

Viskositas biokerosin yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan

cukup beragam dimana pada perlakuan penambahan bentonit 6%

menghasilkan minyak yang paling encer.

Nilai bilangan asam, bilangan peroksida dan bilangan iod

menunjukkan angka yang lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai

tersebut pada sampel kontrol. Angka asam yang tinggi dapat menyebabkan

endapan dalam sistem bahan bakar (Weiksner dalam Arjulis H dan Rina R.,

2007). Pada biokerosin bilangan asam lebih difungsikan sebagai indikator

kualitas ketahanan minyak dalam menjaga kualitas minyak itu sendiri.

Berbeda dengan biodesel yang dimanfaatkan pada mesin, biokerosin

nantinya akan dimanfaatkan pada kompor.

Bilangan iod biokerosin asal Lombok terbilang kecil yaitu berada

pada rentang 4,89-5,66 g I2/100 g minyak. Sementara itu nilai bilangan iod

pada biokerosin kontrol mencapai 18,41 g I2/ 100 g minyak. Pada biodiesel

yang merupakan salah satu jenis biofuel, terdapat standar nilai dari

bilangan tersebut. Batas maksimum nilai-nilai tersebut dalam SNI

diantaranya: bilangan iod 115 g I2/100 g minyak; bilangan asam 0,8 mg

KOH/g. Untuk nilai bilangan iod seluruh sampel memenuhi standar

tersebut namun tidak untuk bilangan asam.

Bilangan peroksida biasanya dijadikan sebagai indikator pada

minyak pangan karena peroksida akan memberikan kesan atau aroma

tengik pada minyak. Angka ini juga menjadi indikator kerusakan minyak

akibat terjadinya kontak langsung minyak dengan udara. Nilai bilangan

peroksida dari biokerosin nyamplung rendah yaitu berkisaran pada 2,54-

3,27 ppm. Nilai tersebut masih melebihi batas standar industri Indonesia

(SII) yaitu 1 mg O/ g minyak. Namun demikian peruntukan sebagai bahan

bakar masih mentolerir nilai tersebut.

Nilai bilangan ester dan bilangan penyabunan biokerosin kontrol

sedikit lebih tinggi dari biokerosin dengan perlakuan penambahan bentonit.

Pada biodiesel batas maksimum bilangan ester adalah 96,5% massa.

Pada biokerosin yang berbahan baku nyamplung asal Sumbawa

Barat diperoleh hasil analisis sifat fisiko kimia sebagai berikut.

Tabel 3. Sifat fisiko kimia biokerosin nyamplung asal Sumbawa

226| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa densitas biokerosin nyamplung

asal Sumbawa berada pada kisaran 0,93-0,94. Nilai tersebut sama dengan

densitas nyamplung asal Lombok. Hasil analisis ragam terhadap densitas

nyamplung asal Sumbawa pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan

tidak adanya perbedaan yang nyata sebagaimana ditampilkan pada

Lampiran 3.

Viskositas minyak yang dihasilkan cukup seragam yaitu antara 0,84-

0,88 dPa’s kecuali biokerosin dengan perlakuan bentonit 9 % yang

memiliki viskositas terendah yaitu 0,73 dPa’s. Sifat kimia dari biokerosin

ini agak berbeda dengan yang dimiliki oleh minyak yang berasal dari

Lombok terutama pada nilai bilangan asamnya. Pada biokerosin yang

mengalami perlakuan bentonit asal Sumbawa nilai bilangan asamnya cukup

tinggi yaitu berada pada selang 37,10 - 39,09 mg KOH/g. Namun nilai ini

masih berada di bawah nilai minyak kontrol yaitu 48,69 mg KOH/g.

Pada gambar berikut dapat pula dilihat perbedaan viskositas antara

biokerosin asal Lombok dan Sumbawa.

No

Perlakuan

bentonit

(%)

Densitas

Visko

sitas

(dPa’s)

Bil.

Perok

sida

Bil.

Yod

Bil.

Asam

Bil.

Ester

Bil.

Penyabu

nan

0 0 (Kontrol) 0,93 0,85 7,50 25,38 48,69 115,86 184,48

1 5 0,93 0,85 2,07 17,96 37,36 127,04 192,91

2 6 0,93 0,84 0,16 25,75 37,69 148,57 186,56

3 7 0,94 0,88 7,51 22,61 37,10 146,90 192,08

4 8 0,94 0,85 5,20 24,79 38,32 144,31 193,99

5 9 0,94 0,73 5,72 21,69 39,09 128,67 184,50

6 10 0,93 0,84 7,50 24,19 38,72 135,15 181,28

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 227

Grafik 3. Nilai viskositas biokerosin asal Lombok dan Sumbawa

Pada gambar tersebut tampak bahwa kekentalan biokerosin asal Lombok

lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari Sumbawa. Hal ini

didukung pula oleh hasil analisis ragam yang menunjukkan adanya

perbedaan yang nyata antara biokerosin yang berasal dari Sumbawa dan

Lombok pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 4).

Hasil penelitian sebelumnya juga senada dengan hasil penelitian ini

dimana asal biji mempengaruhi viskositas dari biokerosin yang dihasilkan.

Pada penelitian sebelumnya juga diperoleh data bahwa viskositas

biokerosin asal Sumbawa lebih rendah dibandingkan yang berasal dari

Lombok. Sementara itu berdasarkan analisis ragam untuk nilai viskositas

biokerosin asal Sumbawa maupun Lombok, perlakuan penambahan

bentonit tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 5 dan

Lampiran 6).

Sifat fisik lainnya yang sama diantara kedua asal biokerosin adalah

warna yaitu kuning. Gambar berikut ini menunjukkan warna dari

biokerosin nyamplung yang dihasilkan. Biokerosin kontrol dan perlakuan

5% menunjukkan warna yang sedikit lebih gelap. Hal ini terjadi karena

penambahan bentonit yang merupakan komponen bleaching earth mengikat

warna minyak sehingga minyak berwarna makin pucat.

0.73

1.00

0.00

0.50

1.00

1.50

kontrol 5% 6% 7% 8% 9% 10%

visk

osi

tas

(dP

a's)

perlakuan penambahan bentonit

Viskositas Biokerosin Nyamplung

Sumbawa Lombok

228| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Sampel biokerosin Nyamplung

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

sebagai berikut.

1. Nyamplung dan kemiri sunan dapat dibuat menjadi biokerosin melalui

tahapan degumming dengan mengguna asam phospat 1% yang

ditambahkan dengan bentonit yang dilanjutkan dengan pencucian dan

pengeringan

2. Rendemen rata-rata untuk biokerosin nyamplung asal Lombok dengan

penambahan bentonit 7% mencapai nilai tertinggi yaitu 81% sedangkan

untuk nyamplung asal Sumbawa mencapai nilai tertinggi pada

penambahan bentonit 6%.

3. Sifat fisik biokerosin nyamplung asal Sumbawa relatif lebih baik

dibanding dengan biokerosin nyamplung asal Lombok namun

sebaliknya dengan sifat kimianya.

DAFTAR PUSTAKA

Anif, MU. 2011. Kajian Kualitas dan Hasil Pengolahan Biodiesel

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) pada Variasi Metode

Ekstraksi, Metode Degumming dan Konsentrasi Metanol (Tesis).

Purwokerto: Program Pasca Sarjana, Universitas Jendral

Soedirman.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 229

Anonim. 2010. Produktivitas Biodiesel Kemiri Reutealis Trisperma.

http//www.bahterahijaulestari.com/news-article/news/

produktivitas-biodiesel--kemiri-reutealis-trisperma.html. 22

Februari 2012

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Mengenal Ki

Pahang (Pongamia pinnata) Sebagai Bahan Bakar Alternatif

Harapan Masa Depan. Warta Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Industri. Vol.14 No.1, April 2008. Balitbang Pertanian.

Deptan.

Badan Standardisasi Nasional. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Badan

Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.

Balai Penelitian Kehutanan Mataram. 2010a. Uji Coba Model Wanatani

Kayu Bakar di Lombok Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai

Penelitian Kehutanan Mataram. Tidak dipublikasikan.

---------- 2010b. Kajian Kesesuaian Jenis-jenis HHBK Penghasil Energi

Nabati untuk Rehabilitasi Lahan Kritis di Bali dan NTB. Laporan

Hasil Penelitian Insentif KNRT . Balai Penelitian Kehutanan.

Tidak dipublikasikan.

Bustomi, S. dkk. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber

energy biofuel yang potensial. Balitbang Kehutanan. Dephut.

Jakarta.

Putra, FSK., Findra AF. & Setiyo G. 2012. Karakterisasi dan Potensi

Minyak Nyamplung (Caloghyllum inophyllum) sebagai Bahan

Baku Pembuatan Biodiesel. Jurnal Teknik Pomits Vol. 1 No. 1,

(2012). Institut Sepuluh November. Surabaya

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Leksono, B. dkk. 2010. Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum inophyllum

L.) untuk Bahan Baku Biofuel. Laporan Penelitian Program

Insentif Ristek. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan

Siahaan, et al. ----. Potensi Pemanfaatan Biji Karet (Hevea brasiliensis

MuelLArg) Sebagai Sumber Energi Alternatif Biokerosin. Jurnal

Teknologi Industri Pertanian Vol 19(3) (2010). IPB Press. Bogor.

230| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sitompul, S.M. dan Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.

Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Sudrajat R., Yogie, S., D. Hendra & D. Setiawan. 2010. Pembuatan

Biodiesel Biji Kepuh dengan Proses Transesterifikasi. Jurnal

Penelitian Hasil Hutan Vol. 28 No. 2 Juni 2010. Balitbang

Kehutanan. Dephut

Tanjaya, A., Sudono, Nani I., Suryadi I. 2006. Aktivasi Bentonit Alam

Pacitan sebagai Bahan Penjerap pada Proses Pemurnian Minyak

Sawit. Jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol. 5 no.2 Agustus 2006:

429-434

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 231

SERBUK KAYU SEBAGAI SUMBER KARBON ALTERNATIF

DALAM MEDIUM PERTUMBUHAN Fusarium

Lutfi Anggadhania1, YMM Anita Nugraheni

2

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl. Dharma Bhakti No.7, Langko, Lingsar, NTB

Email : [email protected], [email protected]

2

ABSTRAK

Serbuk kayu yang berasal dari sisa penggergajian kayu tidak memiliki nilai

ekonomi dan cenderung menjadi limbah yang mengganggu lingkungan telah

dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan Fusarium. Fusarium merupakan

fungi filamen yang mampu mendegradasi bahan selulosik yang terkandung

dalam kayu sebagai sumber karbon. Fusarium sebagai penginduksi

terbentuknya gaharu dan telah diaplikasikan secara luas, terutama di Propinsi

Nusa Tenggara Barat. Dalam produksinya sebagai inokulan penginduksi

gaharu, medium pertumbuhan Fusarium memerlukan biaya yang relatif tinggi,

maka residu serbuk kayu merupakan substrat alternatif untuk pertumbuhannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari sumber karbon alternatif yang

relatif murah dan untuk mendapatkan medium yang dapat mempertahankan

karakter induksi cendawan. Penelitian dilakukan dengan menumbuhkan

Fusarium dari pohon penghasil gaharu pada medium serbuk kayu sebagai

sumber karbon. Seleksi isolat dilakukan dengan memilih tiga isolat yang paling

cepat tumbuh dengan melepaskan aroma spesifik dari serbuk kayu. Isolat

terpilih diharapkan menginduksi gaharu berkualitas. Media PDA (Potato

Dextrose Agar) digunakan sebagai kontrol atau pembanding. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 5 isolat Fusarium (Lombok Barat, Lombok Tengah,

Lombok Utara, Alas dan Bima) mampu tumbuh pada medium serbuk kayu dan

hanya tiga isolat yang menunjukkan kecepatan tumbuh tinggi dengan

melepaskan aroma spesifik (bau senyawa terpenoid). Tiga isolat terpilih

berhasil menginduksi pembentukan gaharu yang diawali dengan pembusukan

dan warna coklat kehitaman yang spesifik. Warna dan aroma yang timbul

diduga merupakan awal pembentukan gaharu.

Kata kunci : Fusarium, medium pertumbuhan, serbuk kayu, warna, aroma

I. PENDAHULUAN

Permintaan pasar akan gaharu yang semakin meningkat dan

ketersediaannya di alam yang semakin menipis mendorong berbagai upaya

232| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

untuk melakukan budidaya gaharu, baik dari segi budidaya tanaman,

maupun proses percepatan pembentukan gaharunya secara buatan.

Fusarium merupakan salah satu cendawan yang memiliki kemampuan

sebagai pembentuk gaharu (Santoso, E., Purwito, D., Pratiwi, Pari, G.,

Turjaman, M., Leksono, B., Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Irianto, R.S.B.,

Subiakto, A., Waluyo, T.K., Rahman, Tampubolon, A., Siran, S.A.., 2012).

Berdasarkan kemampuannya dalam membentuk gaharu tersebut,

penggunaan Fusarium sebagai isolat pembentuk gaharu telah diterapkan

secara luas.

Beberapa pihak swasta telah melakukan upaya produksi inokulan

Fusarium secara massal (Anonim, 2014). Isolat Fusarium biasanya

ditumbuhkan pada medium Potato Dextrose Broth yang dalam

produksinya, medium pertumbuhan Fusarium memerlukan biaya yang

relatif tinggi. Biaya yang tinggi ini akan dapat ditekan apabila diperoleh

alternatif medium yang lebih ekonomis, sekaligus tetap mampu memenuhi

kebutuhan nutrisi cendawan Fusarium dalam proses pertumbuhannya.

Fusarium merupakan fungi filmen yang mampu mendegradasi

bahan selulotik yang terkandung dalam kayu sebagai sumber karbon

(Amore and Faraco, 2012). Serbuk kayu yang berasal dari sisa

penggergajian kayu selama ini diketahui tidak memiliki nilai ekonomi dan

cenderung menjadi limbah yang mengganggu lingkungan. Kemampuan

Fusarium hidup dan berkembang di dalam jaringan kayu gaharu, dan

selanjutnya mampu menginduksi inang untuk mengeluarkan resin

mendasari dipilihnya serbuk kayu sebagai sumber karbon alternatif dalam

penelitian ini.

Berdasarkan catatan diatas penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan sumber karbon alternatif yang relatif murah dengan bahan

yang melimpah dan kurang memiliki manfaat seperti serbuk kayu. Serta

untuk mendapatkan medium pertumbuhan yang mampu mempertahankan

karakter induksi dari Fusarium. Sehingga daya guna serbuk kayu dapat

ditingkatkan dan biaya produksi Fusarium sebagai inokulan dapat ditekan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 233

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai

Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, Mataram. Serbuk kayu

diperoleh dari limbah pengerjajian kayu dalam industry pembuatan berugaq

di Gunung Sari, Mataram. Serbuk kayu dijemur dan disaring dengan

saringan berukuran 0.5 mm.

Penelitian dimulai dengan menghitung karbon total pada serbuk

kayu yang dilakukan dengan menimbang serbuk kayu sebanyak 1 gram dan

ditempatkan pada Erlenmeyer 250 ml. Serbuk kayu direndam dalam 50 ml

H2O2 30 % selama 24 jam. Suspensi serbuk kayu kemudian disaring

dengan kertas saring. Residu serbuk kayu dikeringkan didalam inkubator

temperatur 50°C dan ditimbang setiap hari hingga diperoleh berat konstan.

Perhitungan total karbon dilakukan dengan menggunakan rumus :

(Schumacher, 2002).

Untuk pembuatan medium serbuk kayu terlebih dahulu dilakukan

pretreatment dengan pelarut NaOH dan akuades. Metode pertama,

sebanyak 66,67 gr serbuk kayu yang telah dikeringkan direndam dalam 1 L

larutan NaOH 1% (perbandingan serbuk kayu : NaOH adalah 1 : 15).

Larutan dipanaskan dalam stirrer hot plate ± 60 – 90 menit dan kemudian

di autoklaf dalam tekanan 1 atm, temperatur 121°C selama 15 menit.

Setelah autoklaf campuran tersebut dipisahkan dengan kertas saring.

Residu hasil saringan dinetralkan dengan merendamnya dalam 1 L H2SO4

1% selama 10 – 15 menit. Kemudian dibilas dengan akuades 3 kali untuk

selanjutnya dikeringkan dalam oven.

Metode kedua dengan pelarut akuades. Serbuk kayu ditimbang

sebanyak 66,67gr yang kemudian direndam dalam 1 L akuades

(perbandingan serbuk kayu : akuades adalah 1 : 15) dan dididihkan selama

30 menit. Campuran tersebut kemudian dipisahkan dengan penyaringan.

Residu yang dihasilkan dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali dan

dikeringkan dalam oven.

234| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pembuatan larutan basic mineral. Larutan ini digunakan sebagai

nutrient tambahan dalam medium serbuk kayu dan kayu gaharu. Komposisi

larutan ini berupa garam-garaman : NH4NO3 25 gr, Na2HPO4.2H2O 10 gr,

MgSO4.7H2O 5 gr, Fe(SO4)3.5H2O 0,1gr, CO(NO3)2.6H2O 0,05gr,

CaCl2.2H2O 10 mg, KH2PO4 5 mg, MnSO4.2H2O 1mg,

(NH4)6Mo7O24.4H2O, 0,1 mg. Garam-garaman tersebut kemudian

dilarutkan dalam 10 L akuades.

Pembuatan medium serbuk kayu. Sebanyak 8 gram serbuk kayu

dengan pretreatment NaOH dan akuades ditempatkan dalam Erlenmeyer

500 ml. Masing-masing ditambahkan dengan 4,5 gr dextrose dan 6 gr agar

teknis serta 300 ml larutan basic mineral. Kemudian tiap medium

dipanaskan di atas stirrer hot plate hingga dextrose dan agar larut. Medium

tersebut kemudian disterilisasi pada tekanan 1 atm suhu 121°C selama 15

menit. Medium yang telah disterilkan dituang dalam petridish dan

didiamkan hingga memadat, selanjutnya medium siap digunakan. Kelima

strain Fusarium asal Nusa Tenggara Barat yang telah diremajakan dan

diinkubasi selama 7 hari diinokulasikan kedalam medium PDA dan

medium serbuk kayu yang telah disiapkan. Inkubasi dilakukan pada suhu

kamar selama 7 hari dan diamati pertumbuhannya setiap hari.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Modifikasi medium dilakukan dengan menggunakan sumber

karbon yang berasal dari serbuk kayu dan ekstrak kentang (PDA) sebagai

kontrolnya. Penelitian Ali, N., Eliyas, M., Radwan, S.S., 2011

menunjukkan bahwa serbuk kayu secara natural mengandung koloni

mikroflora yang sangat banyak, termasuk koloni cendawan dan bakteri

yang mampu memanfaatkan hidrokarbon. Adanya berbagai macam koloni

mikroflora dalam serbuk kayu menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang

terdapat di dalam serbuk kayu dapat digunakan sebagai sumber karbon

untuk pertumbuhan mikroflora. Hal ini mendasari dipilihnya serbuk kayu

sebagai medium alternatif yang digunakan dalam penelitian ini. Pada

medium dengan serbuk kayu dilakukan pretreatment terlebih dahulu yaitu

menggunakan basa NaOH dan akuades, serta dilakukan perhitungan total

karbon pada serbuk kayu. Perhitungan total karbon ini bertujuan untuk

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 235

menentukan banyaknya (gram) serbuk kayu yang dibutuhkan dalam

pembuatan medium selektif. Hasil perhitungan karbon total pada serbuk

kayu diperoleh nilai 75%. Berdasarkan penelitian Nwodo-Chinedu,S.,

Okochi, V.I., Omidiji, O., Omowaye, O.O., Adeniji, B.R., Olukoju, D. and

Chidozie, F., (2007) pada nilai karbon total tersebut serbuk kayu yang

ditambahkan dalam medium serbuk kayu sebesar 15 gram/L dengan asumsi

karbon total dalam medium sebesar 100%.

Kenampakan pertumbuhan Fusarium pada medium dengan

sumber karbon yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Pertumbuhan

koloni kelima strain Fusarium memperlihatkan perbedaan. Pertumbuhan

Fusarium pada kontrol (PDA) relatif lebih baik, dimana luas pertumbuhan

koloninya terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan

dalam medium serbuk kayu. Hasil yang ditunjukkan tersebut sejalan

dengan hasil penelitian Nwodo-Chinedu,S., Okochi, V.I., Omidiji, O.,

Omowaye, O.O., Adeniji, B.R., Olukoju, D. and Chidozie, F (2007),

dimana pertumbuhan relatif Aspergilus niger dan Penicillium chrysogenum

pada medium modifikasi dengan serbuk kayu sebagai sumber carbonnya

mencapai 88,9% dan 87,8% berturut-turut dibandingkan dengan

Sabouraud’s Agar (SA) yang mencapai 100% pada keduanya. Perbedaan

tersebut terjadi sebagai proses adaptasi organisme terhadap serbuk kayu

sebagai bahan selulosik (Nwodo-Chinedu, S., Okochi, V.I., Omidiji, O.,

2006). Menurut Nwodo-Chinedu, S., Okochi, V.I., Smith, H.A., Omidiji,

O., (2005) Serbuk kayu merupakan sumber karbon yang paling komplek

dan susah untuk didegradasi. Oleh karenanya pertumbuhan Fusarium dalam

medium serbuk kayu relatif lambat.

Serbuk Kayu

(NaOH)

Serbuk Kayu

(Aquades) PDA

Ala

s

236| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Bim

a

Lo

mb

ok

Bar

at

Lo

mb

ok

Ten

gah

Lo

mb

ok

Uta

ra

Gambar 1. Kenampakan morfologi Fusarium pada medium serbuk kayu dan

medium PDA pada hari ke-6.

Walaupun demikian pertumbuhan Fusarium dalam medium

serbuk kayu yang relatif rendah tersebut menunjukkan suatu ciri

spesifik, dimana pertumbuhan Fusarium pada medium serbuk kayu

menghasilkan aroma spesifik yang diduga merupakan senyawa

aromatic (perlu dilakukan analisa GC-MS untuk memastikan jenis

senyawa yang dihasilkan). Hal ini mengimplikasikan bahwa medium

serbuk kayu akan mampu mempertahankan karakter Fusarium dalam

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 237

menginduksi gaharu ketika diproduksi sebagai inokulan, yang

dibuktikan dengan munculnya aroma spesifik.

Jika dibandingkan lebih lanjut pada dua medium serbuk

kayu dengan pretreatment alkali dan aquades juga menunjukkan

perbedaan. Pertumbuhan Fusarium pada medium serbuk kayu

pretreatment aquades cenderung lebih baik dibandingkan dengan

pretreatment NaOH, yang ditunjukkan dengan luas koloni yang lebih

besar. Menurut Rokhman, (2011) Pretreatment yang dilakukan

dengan menggunakan NaOH bertujuan untuk membuka struktur

lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim

yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Selain

lignin, senyawa-senyawa penting lain yang diperlukan sebagai

nutrisi pertumbuhan Fusarium juga dimungkinkan ikut terlarut/rusak

dengan adanya pretreatment ini. Terlihat pada hasil pengamatan

bahwa isolat Fusarium yang ditumbuhkan pada serbuk kayu dengan

pretreatment NaOH memiliki pertumbuhan yang kurang optimal

dibanding dengan pertumbuhan Fusarium pada medium serbuk kayu

dengan pretreatment akuades.

Terlihat pada Gambar 2. Grafik hasil pengamatan Fusarium

pada medium serbuk kayu maupun pada medium PDA, isolat Bima

memiliki kemampuan pertumbuhan tertinggi, disusul oleh isolat LB,

dan isolat LT. Berdasarkan perkembangan luas aerial hifa yang

terbentuk, terlihat bahwa semua isolat yang ditumbuhkan pada

medium serbuk kayu maupun pada medium PDA mampu tumbuh

dan berkembang dengan cukup baik, diperlihatkan kecenderungan

grafik yang semakin naik dari hari pertama pengamatan sampai pada

hari terakhir pengamatan, yaitu hari ke-7 (Gambar 2). Hal ini

menunjukkan bahwa medium serbuk kayu dapat digunakan sebagai

medium alternatif pertumbuhan Fusarium.

238| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 2. Grafik pertumbuhan kelima strain Fusarium pada medium

serbuk kayu dan medium PDA

Aplikasi Fusarium ini dalam induksi gaharu diperlihatkan

pada gambar 3. Tiga isolat terpilih berhasil menginduksi

pembentukan gaharu yang diawali dengan pembusukan dan

timbulnya warna coklat kehitaman yang spesifik. Warna dan aroma

yang timbul diduga merupakan awal pembentukan gaharu.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 239

Gambar 3. Pembentukan gaharu pada pohon Gyrinops

versteegii di Nusa Tenggara Barat, induksi dengan Fusarium

asal Bima, Lombok Barat dan Lombok Tengah (dari atas ke

bawah kanan)

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Lima isolat Fusarium (Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok

Utara, Alas dan Bima) mampu tumbuh pada medium serbuk kayu, hal

ini menunjukkan bahwa medium serbuk kayu dapat digunakan sebagai

sumber karbon alternatif untuk pemeliharaan Fusarium di

laboratorium.

2. Tiga isolat (Bima, Lombok Barat, dan Lombok Tengah) yang diamati

pada medium serbuk kayu menunjukkan kecepatan tumbuh tinggi

dengan melepaskan aroma spesifik. Tiga isolat terpilih berhasil

menginduksi pembentukan gaharu yang diawali dengan warna coklat

kehitaman yang diduga merupakan awal pembentukan gaharu.

B. Keterbatasan

Penelitian ini masih merupakan pengujian kemampuan tumbuh kelima

strain Fusarium asal Nusa Tenggara Barat dalam medium serbuk

kayu. Penelitian ini belum sampai pada tahap optimasi medium

pertumbuhan Fusarium sehingga belum didapat formula medium yang

sesuai untuk pertumbuhannya.

240| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

C. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai optimasi medium

dengan menggunakan serbuk kayu sebagai sumber karbon sehingga

diperoleh komposisi optimum medium serbuk kayu untuk

]pertumbuhan Fusarium.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan, Prof.

Dra. Annisah Endang S.S, M.Sc., I Gde Adi Suryawan W., dan seluruh

anggota tim penelitian atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan

selama dilakukannya penelitian ini. Terima kasih juga kepada tim review

dan mitra bestari sehingga tulisan ini dapat tersusun dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 2014. Produksi Gaharu Dengan Inokulasi Fusarium.

http://www.agrotekno.net/2014/12/produksi-gaharu-dengan-

inokulasi.html. diakses 19 Desembe 2014.

Ali, N., Eliyas, M., Radwan, S.S. 2011. Hidrocarbon-Utilizing

Microorganism Naturally Associated with Sawdust. Journal Chemosphere. 83:1268-1272.

Amore, A. and Faraco, F. 2012. Potential of Fungi as Category I

Consolidated BioProcessing Organism for Cellulosic Ethanol

Production. Journal Renewable and Sustainable Energy Reviews.

16 : 3291-3294.

Nwodo-Chinedu, S., Okochi, V.I., Smith, H.A, and Omidiji, O., 2005.

Isolation of Cellulolytic Microfungi Involved in Wood-Waste

Decomposition: Prospect for Enzymatic Hydrolysis of Cellulosic

Wastes. International Journal of Biomedical and Health Sciences.

Vol. 1 No. 2.

_____________, S., Okochi, V.I., Omidiji, O., 2006. Enzymatic Hydrolysis

of Cellulosic Materials by Extracellular Enzymes of Aspergillus

niger ANL301 and Penicillium chrysogenum PCL501

(Unpublished) dalam Nwodo-Chinedu,S., Okochi, V.I., Omidiji,

O., Omowaye, O.O., Adeniji, B.R., Olukoju, D. and Chidozie, F.,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 241

2007. Potentials of Cellulosic Waste in Media Formulation.

African Journal of Biotechnology Vol. 6 (3), pp. 243-246.

_____________., Okochi, V.I., Omidiji, O., Omowaye, O.O., Adeniji,

B.R., Olukoju, D. and Chidozie, F., 2007. Potentials of Cellulosic

Waste in Media Formulation. African Journal of Biotechnology

Vol. 6 (3), pp. 243-246.

Rohman, I. 2011. Pengaruh Pretreatment (Delignifikasi) Bertekanan

terhadap Kandungan Bubuk Jerami Padi Giling pada Produksi

Bioetanol. Skripsi. Jurusan Keteknikan Pertanian. Universitas

Brawijaya Malang. Dalam Argo, B.D. dan Yulianingsih, R. 2013.

Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma reseei dan

Aspergilus niger sebagai Katalisator Hidrolisis Enzimatik Jerami

Padi dengan Pretreatment Microvawe. Jurnal Bioproses

Komoditas Tropis. 1(1):36-43.

Santoso, E., Purwito, D., Pratiwi, Pari, G., Turjaman, M., Leksono, B.,

Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Irianto, R.S.B., Subiakto, A., Waluyo,

T.K., Rahman, Tampubolon, A., Siran, S.A. 2012. Master Plan

Penelitian Dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013 – 2023. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Schumacher, B.A. 2002. Methods For The Determination of Total Organic

Carbon (TOC) in Soil and Sediment. Ecological Risk Assesment

Support Center. US.

242| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PRODUKSI PROPOLIS LEBAH MADU Trigona spp

DI PULAU LOMBOK

Krisnawati1,

dan Septiantina Dyah Riendriasari1

1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPT HHBK)

Jl. Dharma Bhakti No. 7, Desa. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat NTB

Email : [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK

Di Pulau Lombok, budidaya lebah madu trigona telah dilakukan khususnya di

Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat dan Lombok Timur. Keuntungan

yang diperoleh dari usaha budidaya lebah madu trigona selain madu yaitu

propolis. Hasil propolis yang dipanen pada masing – masing bagian sarang

atau stup dapat dijadikan informasi awal produksi propolis dari usaha budidaya

trigona. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi

produksi propolis pada masing – masing lokasi dan masing – masing bagian

stup per sekali panen per tahun per 6 bulan. Penelitian dilaksanakan pada bulan

Maret sampai dengan Oktober 2013 dengan lokasi di Desa Lendang Nangka

Kabupaten Lombok Timur, Desa Genggelang dan Desa Sigar Penjalin

Kabupaten Lombok Utara dan yang terakhir di Desa Karangbayan Kabupaten

Lombok Barat. Data hasil penimbangan propolis pada masing – masing bagian

stup perlokasi penelitian ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil

penelitian menunjukkan jumlah nilai produksi propolis di masing – masing

lokasi penelitian yaitu terbesar di Desa Genggelang dengan berat 603,06gram,

Desa Sigar Penjalin 426,53gram, Desa Lendang Nangka 331,91gram dan

terakhir dari Desa Karang Bayan sebanyak 289,21gr per sekali panen per tahun

per 6 bulan. Produksi propolis dapat digunakan sebagai informasi yang penting

bagi pembudidaya trigona. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan budidaya

trigona dengan harapan mendapatkan produk madu dan propolis yang

maksimal guna meningkatkan pendapatan dari usaha budidaya trigona.

Kata kunci : budidaya trigona, panen propolis, produksi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki

kekayaan alam yang berlimpah berupa flora dan fauna. Dari sekian

banyaknya flora dan fauna, salah satu fauna yang bermanfaat bagi manusia

adalah lebah madu trigona. Di Pulau Lombok, budidaya lebah madu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 243

trigona telah dilakukan khususnya di Kabupaten Lombok Utara, Lombok

Barat dan Lombok Timur. Budidaya lebah madu trigona saat ini cukup

populer, terlebih setelah masyarakat mengetahui keuntungan dari

membudidayakan lebah madu secara ekonomi. Sehingga budidaya lebah

madu trigona merupakan usaha yang dapat menjanjikan keuntungan.

(Riendriasari & Krisnawati, 2013).

Keuntungan yang akan dijanjikan dalam budidaya trigona adalah

menghasilkan produk berupa madu, propolis dan bee bread. Produk

perlebahan yang dihasilkan trigona yang pertama adalah madu. Madu

adalah cairan kental seperti sirup yang berwarna kuning muda sampai

kuning kemerahan yang dikumpulkan di dalam indung madu oleh lebah

madu (Adriani, 2011). Produk kedua yaitu propolis. Propolis merupakan

suatu substansi yang berbentuk getah dan diproduksi oleh lebah madu

untuk melawan penyusup yang akan masuk ke dalam sarangnya (Miguel &

Antunes, 2011). Produk trigona yang terakhir adalah bee bread yaitu

kumpulan polen yang dibungkus oleh kantung dan terdapat di dalam sarang

(Sila, 2014). Dari ketiga produk ini, hanya propolis yang akan dibahas

lebih lanjut. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa propolis

merupakan substansi yang berbentuk getah, sehingga bersifat lengket.

Definisi lain dari Bankova, De Castro & Marcucci,1999 menyebutkan

bahwa propolis atau lem lebah merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh

lebah madu, dikumpulkan oleh lebah dari pucuk daun-daun yang muda

untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, digunakan untuk menambal

dan mensterilkan sarang. Bagi lebah, propolis berfungsi untuk pertahanan

terhadap penyusup, dan digunakan untuk menutup lubang atau

memperbaiki kerusakan pada sarang.

Pada penelitian ini, bagian propolis dalam stup yang diambil

meliputi 3 bagian yaitu propolis di penutup sarang, pintu sarang dan

penutup madu, seperti yang terlihat pada Gambar.1

244| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar.1. Propolis pada masing – masing bagian stup

Hasil propolis yang dipanen pada masing – masing bagian stup

dapat dijadikan informasi sebagai produksi dari usaha budidaya trigona.

Informasi produksi propolis pada masing-masing stup menjadi penting bagi

pembudidaya trigona, yaitu sebagai dasar pengelolaan budidaya trigona

yang baik. Selain itu juga bisa sebagai dasar penentuan perlu atau tidaknya

penambahan jenis pakan yang dibutuhkan trigona sehingga dapat

meningkatkan pendapatan pembudidaya trigona.

Di NTB untuk lebah trigona masih belum banyak yang meneliti

sehingga ketersediaan data dan informasi sangat penting. Selain itu,

propolis mentah yang dipanen di Pulau Lombok masih belum banyak

dipakai oleh perusahaaan besar sebagai bahan utama pembuatan propolis

sebagai produk. Trigona di NTB masih perlu banyak diteliti, sehingga

penelitian mengenai produksi propolis ini dilakukan dan merupakan

informasi awal yang dasar untuk penelitian – penelitian lainnya.

Penutup madu

Penutup sarang

Pintu sarang

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 245

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi

produksi propolis pada masing – masing lokasi dan masing – masing

bagian stup.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan

Oktober tahun 2013, di Desa Lendang Nangka Kabupaten Lombok

Timur, Desa Genggelang dan Sigar Penjalin Kabupaten Lombok

Utara dan yang terakhir di Desa Karangbayan Kabupaten Lombok

Barat.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan penelitian yang digunakan adalah stup dan koloni lebah

madu Trigona spp 6 stup per lokasi, sehingga jumlah sampel

sebanyak 24 stup.

2. Alat

Alat yang digunakan adalah alat tulis, pisau kikis, toples sampel,

timbangan, dan kamera.

C. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Stup yang sudah diisi dengan koloni dibiarkan selama 6 bulan

tanpa dibuka dan perlakuan tertentu. Setelah 6 bulan, maka dilakukan

pemanenan propolis yang terbentuk pada masing – masing stup.

Pemanenan propolis yang dilakukan pada 3 bagian stup yaitu bagian

penutup sarang, pintu sarang dan penutup madu. Propolis di bagian pintu

sarang dan penutup sarang dipanen dengan cara dikerok dengan pisau

kikis, hasil kerokan diletakkan di dalam toples yang kemudian diberi

label sebagai penanda. Khusus untuk penutup madu, setelah madu

dipanen dan dibersihkan dari stup, madu diletakkan di toples tanpa proses

pemisahan madu dengan penutup madunya, hal ini dilakukan untuk

mencegah terjadinya penyerapan air oleh madu. Setelah di laboratorium

dilakukan pemisahan madu dan penutupnya agar kondisinya tetap steril.

Setelah semua bagian propolis di sarang sudah dipanen dan dipisahkan,

246| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kemudian menimbang berat masing – masing propolis tersebut. Hasil

penimbangan tersebut dicatat dalam alat tulis.

D. Analisis Data

Data hasil penimbangan masing – masing bagian stup perlokasi

penelitian ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Propolis merupakan hasil utama dari budidaya lebah madu jenis

trigona. Hal ini didukung oleh (Anonim, 2012) yang mengungkapkan

bahwa 80% dari hasil produksi lebah trigona adalah propolisnya, dan

jumlah propolis yang dihasilkan oleh lebah trigona 5 kali lebih banyak dari

yang dihasilkan lebah Apis cerana dan Apis mellifera. Hal ini disebabkan

karena propolis digunakan trigona untuk pertahanan diri dan sarang,

sehingga lebah ini akan fokus membuat propolis agar sarang dan koloninya

tetap aman.

Pada tabel 1 dapat dilihat jumlah propolis yang dipanen pada

masing-masing bagian stup pada 24 stup penelitian dalam waktu 6 bulan.

Tabel 1. Data Produksi Propolis Per Stup Per 6 Bulan Di Lokasi Penelitian

Lokasi Kode

Sarang

Penutup

Sarang (Gr)

Pintu Sarang

(Gr)

Penutup

Madu (Gr)

LENDANG

NANGKA

A 0 0 0

B 31,32 25,2 34,04

C 23,35 23,64 21,05

D 31,05 23,37 6,91

E 28,35 26,24 25,38

F 24,23 0 7,78

SIGAR

PENJALIN

A 51,04 32,89 12,14

B 23,83 31,4 53,43

C 20,47 22,89 1,21

D 39,59 24,21 8,44

E 21,54 24,38 6,27

F 21,73 24,02 7,05

GENG

GELANG

A 31,49 24,92 38,75

B 28,52 25,85 85,93

C 33 24,45 42,92

D 89,97 31,57 41,34

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 247

Lokasi Kode

Sarang

Penutup

Sarang (Gr)

Pintu Sarang

(Gr)

Penutup

Madu (Gr)

E 31,28 24,39 48,68

F 0 0 0

KARANG

BAYAN

A 27,72 23,03 91,16

B 0 0 0

C 22,99 27,54 29,2

D 23,73 25,6 18,24

E 0 0 0

F 0 0 0

Tabel 1 merupakan produksi propolis dari berbagai lokasi penelitian

yang bervariasi. Diduga, besar kemungkinan hasil tersebut dipengaruhi

oleh faktor kehidupan lebah. Sulthoni (1986) mengatakan bahwa kehidupan

lebah sangat bergantung pada temperatur dan curah hujan, ketersediaan

pakan serta pengelolaan koloni lebah. Data temperatur dan curah hujan

pada masing – masing lokasi kegiatan penelitian masih masuk dalam

rentang normal kelembaban yang disukai trigona yaitu untuk suhu berkisar

27oC – 29

oC dan kelembaban 60,5% - 71% (Wahyuni & Riendriasari,

2012). Sehingga suhu dan kelembaban di areal lokasi penelitian

mendukung aktivitas lebah trigona dalam mencari pakan dan menjaga

sarangnya. Ketersediaan pakan di lokasi penelitian melimpah walaupun

dengan kondisi biofisik yang berbeda.

Gambar 2. Grafik rata – rata produksi propolis

di setiap lokasi penelitian

0 20 40 60 80

100 120

23.05 29.70 35.71 12.41

16.41 26.63 21.86

12.7

15.86 14.76

42.94

23.10 PENUTUP MADU

PINTU SARANG

PENUTUP SARANG

Gra

m

Rata – rata Produksi Propolis di Lokasi Penelitian

248| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 2. memperlihatkan bahwa rata – rata produksi propolis

yang dihasilkan di keempat lokasi penelitian relatif beragam. Pada lokasi

Karangbayan, propolis yang dihasilkan menunjukkan hasil terendah

daripada lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan ada 3 stup penelitian

dengan kode BPTHHBK KB B, D, dan F koloninya kabur. Sehingga

propolis yang dipanen tidak sebanyak lokasi lainnya. Stup yang kabur

koloninya pada 3 lokasi penelitian yaitu di Lendang Nangka dengan kode

BPTHHBK A, Sigar Penjalin kode BPTHHBK Sira E dan di Genggelang

kode BPTHHBK GG F.

Propolis pada bagian penutup sarang dari keempat lokasi

menunjukkan hasil terendah pada lokasi Karangbayan sebesar 12,41 gram.

Dan hasil tertinggi pada lokasi Genggelang sebesar 35,71 gram. Untuk

lokasi Sigar Penjalin dan Lendang Nangka relatif sama. Hasil propolis

tertinggi ditemukan di lokasi Desa Genggelang karena banyaknya stup

yang sudah lama dipakai sehingga terlihat lapuk dan berongga pada bagian

penutup sarang dan pintu sarang. Dari kondisi tersebut, trigona banyak

menghasilkan propolis pada bagian tersebut untuk menutupi sarang yang

rusak dari serangan predator dan mempertahankan suhu dalam sarang

(Jongjitvimol & Wattanachaiyingcharoen, 2007). Seperti yang

dikemukakan oleh Yaouchun dalam Budiaman & Rahman, 2006 bahwa

propolis yang dikumpulkan oleh lebah pekerja lapangan digunakan sebagai

penutup celah sarang atau sisiran, menempel lubang-lubang kecil untuk

perlindungan diri dari musuh alami terutama bakteri dan virus.

Untuk propolis pada bagian penutup madu, dari keempat lokasi

penelitian di Genggelang hasilnya lebih tinggi daripada lokasi lainnya,

yaitu sebesar 42,94 gram. Diduga hal ini berkaitan dengan ketersediaan

pakan di lingkungan lokasi penelitian. Genggelang yang sekitarnya hutan

kemasyarakatan lebih banyak sumber nektar dan polen. Hal ini juga sama

dengan kondisi lokasi Karangbayan sehingga hasil propolis pada bagian

madu lebih tinggi daripada lokasi Sigar Penjalin dan Lendang Nangka.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 249

Gambar 3. Grafik produksi propolis di Lendang Nangka

Di Lendang Nangka, lokasi penelitian dekat dengan kebun campur

dan pemukiman penduduk yang lumayan padat. Stup kode BPTHHBK LN

A koloninya kabur, sehingga stup penelitian ada 5 stup. Produksi propolis

pada masing – masing bagian penutup sarang dan pintu sarang hasilnya

relatif sama. Sarang dengan dengan kode BPTHHBK LN F tidak

ditemukan propolis. Propolis pada bagian penutup madu hasilnya bervariasi

antara 6,91 gram hingga 34,04 gram. Hasil tersebut relatif jauh. Kondisi

tersebut diduga karena perbedaan kondisi koloni masing – masing sarang

dalam hal penyimpanan madu oleh trigona. (Perusahaan Umum Perusahaan

Kehutanan Negara, 1993) menyatakan ketersediaan simpanan nektar

berupa madu di dalam sarang dalam jumlah banyak akan merangsang

pertumbuhan koloni yang lebih baik, baik dalam membuat sarang

penyimpanan madu maupun untuk menempatkan telur dan perkembangan

larva menjadi pupa.

Gambar 4. Grafik produksi propolis di Sigar Penjalin

0

50

100

A B C D E F

0

31.32 23.35 31.05 28.35 24.23 0

25.2 23.64

23.37 26.24

0

0

34.04

21.05 6.91 25.38

7.78

PENUTUP MADU

PINTU SARANG

PENUTUP SARANG

Produksi Propolis di Lendang Nangka

Stup

Gra

m

0

20

40

60

80

100

120

A B C D E F

51.04

23.83 20.47 39.59

21.54 21.73

32.89

31.4 22.89

24.21

24.38 24.02

12.14 53.43

1.21

8.44

6.27 7.05

PENUTUP MADU

PINTU SARANG

PENUTUP SARANG

Produksi Propolis di Sigar Penjalin

Stup

Gra

m

250| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sira merupakan lokasi penelitian yang dekat dengan pantai Sira

dengan ketinggian tempat mencapai 200 mdpl (Wahyuni et al, 2012).

Seperti terlihat pada Gambar 4, produksi propolis pada bagian penutup

sarang dan penutup pintu lebih besar daripada bagian penutup madu. Hal

ini dikarenakan kesalahpahaman petani yang mengakibatkan madu telah

dipanen beberapa kali. Sehingga untuk hasil propolis pada bagian madu

tidak banyak. Propolis pada bagian penutup sarang dan penutup pintu

hasilnya relatif sama.

Gambar 5. Grafik produksi propolis di Genggelang

Dapat dilihat pada Gambar 5 produksi propolis pada penutup

sarang dan pintu sarang hasilnya relatif sama, kecuali produksi propolis

pada stup kode BPTHHBK GG D. Stup dengan kode tersebut diketahui

rusak, sehingga propolis banyak berada pada bagian tersebut. Hal ini

membuktikan bahwa trigona memproduksi propolis pada bagian penutup

sarang dahulu kemudian baru di pintu sarang dan penutup madu. Seperti

yang dikemukakan Suranto 2007, bahwa resin digunakan untuk melapisi

sarang bagian dalam, memperbaiki sisiran yang rusak, menambal lubang

– lubang dan memperkecil jalan masuk sel untuk menghindari dingin.

Untuk produksi propolis bagian penutup madu hasilnya hampir

relatif sama kecuali pada stup kode BPTHHBK GG B. Kondisi stup

tersebut untuk jumlah koloninya terlihat sehat dibanding sarang lainnya.

Sehingga trigona memproduksi propolis lebih banyak pada bagian

penutup madu. Selain faktor luar seperti suhu, kelembaban, dan

0

50

100

150

200

A B C D E F

31.49 28.52 33

89.97

31.28 0

24.92 25.85 24.45

31.57

24.39

0

38.75

85.93 42.92

41.34

48.68

0

PENUTUP MADU

PINTU SARANG

PENUTUP SARANG

Produksi Propolis di Genggelang

Stup

Gra

m

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 251

ketersediaan pakan ada juga faktor dalam sarang yaitu koloni yang

berpengaruh terhadap produksi propolis. Seperti yang dikemukakan Wati,

2013 bahwa faktor dalam yang mempengaruhi koloni yaitu ukuran tubuh,

jumlah individu dalam satu koloni, perbedaan masa pertumbuhan pada

masing-masing koloni dan kebutuhan pakan untuk anggota koloni

termasuk larva.

Gambar 6. Grafik produksi propolis di Karangbayan

Hasil produksi propolis di Karang Bayan dapat dilihat pada

Gambar 6. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dari keenam

stup penelitian, ada 3 stup yang koloninya kabur yaitu stup dengan kode

BPTHHBK KB B, E dan F. Produksi propolis pada bagian penutup sarang

dan pintu sarang relatif sama. Sedangkan pada bagian penutup madu untuk

stup dengan kode BPTHHBK KB A hasilnya jauh lebih banyak daripada

stup dengan kode BPTHHBK KB C dan D. Seperti pada lokasi

Genggelang, bagian penutup madu hasil rendemen propolisnya lebih

banyak daripada bagian sarang lainnya. Lokasi Karang Bayan yang kondisi

biofisiknya hampir sama dengan lokasi Genggelang yaitu hutan

kemasyarakatan. Lokasi Genggelang untuk hutan kemasyarakatannya lebih

banyak tanaman perkebunan seperti coklat (kakao), kopi kelapa dll,

sedangkan di lokasi Karangbayan didominasi oleh tanaman buah seperti

rambutan, manggis, pepaya, durian dll. Melimpahnya ketersediaan sumber

pakan di Karang Bayan dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung

melimpahnya produksi madu dan berpengaruh terhadap tingginya propolis

yang dihasilkan.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

A B C D E F

27.72 0

22.99 23.73 0 0

23.03

0

27.54 25.6

0 0

91.16

0

29.2 18.24

0 0

PENUTUP MADU

PINTU SARANG

PENUTUP SARANG

Produksi Propolis di Karang Bayan

Stup

Gra

m

252| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Budidaya Trigona di Pulau Lombok merupakan usaha budidaya

dalam perlebahan yang saat ini semakin berkembang. Produk – produk

hasil budidaya trigona dapat diperoleh jika dalam budidaya trigona baik

dan benar dan didukung oleh ketersediaan pakan. Trigona dengan sarang

yang sehat dan baik diharapkan dapat membuat koloni yang kuat sehingga

trigona dapat aktif dalam mencari pakan. Stup menjadi catatan penting bagi

pembudidaya trigona untuk lebih diperhatikan, agar trigona dapat

menghasilkan madu dan propolis yang banyak dan menjadikan trigona agar

tidak kabur. Harapannya dengan stup dan kondisi koloni yang sehat dan

baik maka trigona akan memproduksi madu dan propolis yang maksimal

sehingga didapatkan produksi yang tinggi.

IV. KESIMPULAN

1. Produksi propolis pada masing – masing lokasi penelitian didapatkan

jumlah yang berbeda. Jumlah produksi propolis terbesar di Desa

Genggelang dengan berat 603,06 gram, Desa Sigar Penjalin 426,53

gram, Desa Lendang Nangka 331,91 gram dan Desa Karang Bayan

sebanyak 289,21gram per sekali panen dengan waktu 6 bulan.

2. Informasi produksi propolis penting bagi pembudidaya trigona. Hal ini

berkaitan dengan pengelolaan budidaya, harapannya adalah

mendapatkan produk madu dan propolis yang maksimal. Produk madu

dan propolis yang maksimal dapat diperoleh dari kesediaan pakan yang

melimpah disekitar lokasi budidaya trigona, sehingga pendapatan

pembudidaya trigona akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, R. (2011). Identifikasi dan Karakterisasi Sifat Kimia Dan Sifat Fisika Dari Madu Asli Dengan Madu Yang Sijual Di Pasaran

Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Anonim. (2012). Propolis Trigona. Retrieved Oktober 2014, 2014, from

wordpress: http://www.kicauan.files.wordpress.com

Bankova, V. S., De Castro, S. L., & Marcucci, M. C. (2000). Propolis :

Recent Advances In Chemistry And PlantOrigin. Apidologie,3-15.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 253

Budiaman, & Rahman, A. (2006). Uji Efektifitas Empat Variasi Propolis

Trap Terhadap Produksi Propolis Lebah Madu Apis mellifera L.

Jurnal Perennial , 1-4.

Jongjitvimol, T., & Wattanachaiyingcharoen, W. (2007). Distribution

Nesting Sites And Nest Structure of The Stingless Bee Species. The

Natural History Journal of Chulalongkorn University, 25-34.

Miguel, M. G., & Antunes, M. D. (2011). Is Propolis Safe As An

Alternative Medicine? Journal of Pharmacy And Bioallied Sciences ,

479-495.

Negara, P. U. (1993). Jenis Tumbuhan-Tumbuhan Yang Tergolong

Tanaman Pakan Lebah Madu. Jakarta: Perusahaan Umum

Perusahaan Kehutanan Negara.

Riendriasari, S. D., & Krisnawati. (2013). Teknik Produksi Propolis Lebah

Madu Trigona spp di Pulau Lombok. Mataram: Balai Penelitian

Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.

Sila, M. (2014, September 16). Teknik Produksi Propolis Lebah Madu

Trigona spp. (S. D. Riendriasari, Interviewer).

Wahyuni, N., & Riendriasari, S. D. (2012). Teknik Produksi Propolis

Lebah Madu Trigona spp di NTB. Mataram: Balai Penelitian

Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.

254| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

POTENSI MIMBA SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK

KESEHATAN DAN PERTANIAN DI BALI DAN LOMBOK

I Wayan Widhana Susila

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl. Dharma Bhakti No. 7-Po Box 1054, Ds. Langko, Kec. Lingsar Lombok

Barat – NTB 83371,

Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841, E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan salah satu hasil hutan bukan

kayu (HHBK) sebagai penghasil bahan pestisida nabati dan antiseptik.

Populasi mimba di Bali dan Lombok cukup potensial, namun diduga

potensinya menurun. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi potensi

tegakan dan produk mimba. Lokasi survey ditentukan secara purposive dengan

meletakkan secara acak petak ukur lingkaran seluas 0,1 ha pada setiap lokasi

mimba di Bali, sedangkan di Lombok dilakukan metode survey secara sensus.

Kerapatan dan volume mimba di Kecamatan Seririt dan Gerokgak Kabupaten

Buleleng adalah 313 pohon/ha dan 70,7 m3/ha, Kecamatan Kubu Kabupaten

Karangasem adalah 123 pohon/ha dan 24,57 m3/ha. Jumlah dan volume

pohon mimba yang ditemukan di Lombok adalah di Kecamatan Jerowaru 34

pohon dan volume 14,89 m3, Keruak 51 pohon dan 22,04 m

3, Sakra 73 pohon

dan 24,14 m3, Pringgabaya 34 pohon dan 11,13 m

3, Sambelia 35 pohon dan

15,77 m3; dan Kecamatan Bayan 164 pohon dan volume 35,65 m

3. Produksi

biji mimba adalah 5 – 15 kg/pohon/tahun. Tahun 2009, produksi biji untuk

bahan baku PT Intaran adalah 10 ton dari Kabupaten Karangsem, 5 ton dari

Buleleng, 36 ton dari Lombok Timur dan 2 ton dari Kabupaten Lombok Utara.

Potensi biomassa daun mimba di Kecamatan Kubu Karangasem adalah 15,38

kg/pohon, di Lombok Timur 5,44 kg/pohon dan di Lombok Utara 6,51

kg/pohon. Produksi dan rendemen minyak dari daun mimba di Kecamatan

Kubu adalah 0,23 kg dan 1,82 %, Kabupaten Lombok Timur 0,13 kg dan 2,07

%, dan di Lombok Utara 0,16 kg dan 3,57 %.

Kata kunci : Potensi tegakan mimba, biomassa daun, Bali dan Lombok, PT

Intaran

I. PENDAHULUAN

Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan tumbuhan hutan

yang bernilai ekonomis sebagai penghasil produk Hasil Hutan Bukan Kayu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 255

(HHBK). Biji dan daun mimba mempunyai kandungan azadirachtin

digunakan sebagai bahan baku produk pertanian seperti pestisida nabati

dan pupuk, dan bahan baku produk kesehatan, yaitu zat antiseptic.

Beberapa produk mimba telah beredar di pasaran, berupa neem leaves

powder (tepung dari daun mimba) sebagai bahan obat dan insektisida, neem

oil (minyak mimba) dipergunakan sebagai produk kesehatan, pertanian,

kosmetik sampai produk sabun dan neem cake (bungkil mimba) sebagai

bahan pupuk organik (Ade, 2006).

Keberadaan mimba cukup potensial di Bali dan Lombok, sehingga

dipergunakan sebagai salah satu sumber bahan baku produk mimba untuk

pabrik PT Intaran Indonesia, yang berkedudukan di Denpasar. Tanaman

mimba di Bali banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng (Kecamatan Seririt

dan Gerokgak) dan Kabupaten Karangsem di Kecamatan Kubu. Sementara

di Lombok, banyak ditemukan mimba di Kabupaten Lombok Timur bagian

selatan dan Kabupaten Lombok Utara di Kecamatan Bayan. Akan tetapi,

potensi mimba pada wilayah tersebut belum diketahui (belum terdata pada

instansi terkait di pemda setempat). Di Provinsi NTB, hanya delapan

komoditas HHBK seperti madu, gaharu, kemiri, bambu, aren, arang, asam,

dan rotan yang tercatat volume produksinya selama 6 tahun (2000-2005)

(Bappenas, 2006).

Akhir-akhir ini, potensi mimba di wilayah Bali dan Lombok

diduga mengalami penurunan karena aktivitas penebangan. Di Bali

terutama di Kubu Karangasem, penebangan pohon mimba terjadi secara

intensif sejak tahun 2002. Harga jual dan pasar kayu mimba sebagai kayu

pertukangan yang tinggi menjadi penyebab terus menurunnya potensi

tegakan mimba. Di daerah tersebut, kayunya disamping digunakan sebagai

bahan baku bangunan rumah, juga untuk pembuatan bangunan suci (pura

keluarga). Sedangkan di Lombok terutama di Lombok Timur, penebangan

pohon mimba dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar

omprongan tembakau. Menurut Zaenal (2007), Lombok Timur sebagai

salah satu daerah utama penyerap kayu bakar di NTB, dibutuhkan

sedikitnya 370.045 m3

kayu bakar per tahun untuk memenuhi lebih dari

10.520 oven tembakau. Kondisi ini kemungkinan menjadi sebab

256| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

berkurangnya pasokan bahan baku akhir-akhir ini untuk PT Intaran

Indonesia di Denpasar.

Keberlanjutan usaha produk mimba di Bali dan Nusa Tenggara

dihadapkan pada permasalahan penurunan dan ketidakpastian suplai bahan

baku. Di samping itu, data dan informasi potensi tanaman mimba belum

tersedia. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan produk mimba sebagai

suplai bahan baku obat-obatan (kesehatan) dan pupuk organik (pertanian)

belum bisa diprediksi sehingga usaha industri berbasis mimba akan

menjadi kendala. Informasi ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku

merupakan kunci penting bagi keberhasilan pengusahaan mimba. Oleh

karena itu, pada makalah ini menampilkan potensi dan sebaran tegakan

mimba dan kuatifikasi produk mimba di Bali dan Lombok.

II. METODE PENELITIAN

1. Waktu dan Lokasi

Kegiatan penelitian di Bali dilakukan di Kecamatan Seririt dan

Gerokgak Kabupaten Buleleng, dan Kecamatan Kubu Kabupaten

karangasem pada tahun 2010 dan 2013. Sementara di Lombok dilakukan

pada lokasi sebaran mimba di seluruh Kabupaten pada tahun 2012. Lokasi

kegiatan di Lombok Timur adalah Kecamatan Jerowaru, Keruak, Sakra,

Labuhan Haji, Pringgabaya, dan Kecamatan Sambelia. Di Lombok Utara

di Kecamatan Bayan, Pemenang dan Kecamatan Gangga, Lombok Barat di

Kecamatan Kediri dan Sekotong, dan Lombok Tengah di Kecamatan Praya

Timur.

2. Survey Potensi dan Sebaran Mimba

Penentuan lokasi survey berdasarkan potensi sebaran mimba

ditentukan secara purposive. Untuk di Bali, petak ukur berbentuk lingkaran

seluas 0,1 ha diletakkan secara acak pada setiap lokasi dengan 2 – 3

ulangan. Sementara untuk lokasi di Lombok dilakukan pengamatan secara

sensus pada setiap lokasi sebaran mimba. Parameter yang diamati adalah

diameter batang setinggi dada (dbh), tinggi pohon, jumlah pohon, dan

jumlah anakan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 257

3. Potensi Daun dan Minyak dari Daun Mimba

Pengamatan potensi daun tidak melakukan penimbangan seluruh

daun pada tajuk pohon, namun diwakili oleh kurang lebih 10 – 25 % dari

total daun, seperti cara penghitungan buah yang dinyatakan Bonner

(Bonner, et al., 1994 dalam Nurhasybi dan Sudradjat, 2009). Penandaan

tajuk untuk pengambilan daun dilakukan pada 2 cabang atau 3 – 4 ranting.

Semua daun pada masing-masing cabang/ranting dipisahkan, kemudian

ditimbang berat basahnya. Sampel daun disimpan dan di angin-anginkan

beberapa hari (5 – 7 hari) untuk memperoleh berat kering udara

(penampilan daun tetap hijau), kemudian dilakukan penimbangan berat

kering udara.

Kegiatan penyulingan minyak mimba dilakukan kerjasama dengan

Fak Teknologi Pertanian Universitas Udayana, untuk mengetahui

kandungan dan rendemen minyak dari daun mimba.

4. Analisis Data

Berdasarkan data yang diperoleh dari pengukuran lapangan dihitung

potensi tanaman mimba pada tiap lokasi. Potensi yang dihitung adalah

jumlah individu dan volume per satuan luas (ha).

Potensi daun dan kandungan minyaknya pada setiap pohon mimba,

dapat didekati melalui notasi sebagai berikut :

Potensi daun (berat basah) adalah jumlah ranting total dibagi jumlah

ranting sampel (yang dipangkas) dikalikan dengan berat daun sampel.

Biomassa daun (berat kering daun) adalah berat kering sampel dibagi

dengan berat basah sampel dikalikan berat basah daun total.

Produksi minyak dari daun mimba per pohon dapat diprediksi melalui

perkalian biomassa daun per pohon dengan berat minyak hasil sulingan

dibagi dengan berat ekstrak sampel.

Rendemen minyak adalah berat minyak yang diperoleh dibagi berat

daun yang diekstrak.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Potensi Mimba di Bali

1.1. Potensi dan sebaran tegakan mimba

258| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Hasil survey pada tahun 2010, potensi mimba di Kabupaten Buleleng

menyebar di Kecamatan Seririt dan Gerokgak. Potensi tegakannya

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi mimba di Desa Pengulon, Banyu Poh dan Lokapaksa,

Kabupaten Buleleng

No.

Desa

Dbh

(cm)

Tinggi

(m)

Kerapatan

(pohon/ha)

Volume

(m3/ha)

1. Pengulon 18,2 10,4 640 131,7

2. Banyu Poh 23,0 11,5 190 65,8

3. Lokapaksa 17,1 7,6 110 14,7

Rata-rata 19,4 ± 3,1 9,8 ± 2,0 313 ± 286 70,7 ± 58,7 Sumber : Susila, et al., 2011

Di Desa Pengulon, survey mimba dilakukan pada kawasan hutan

produksi terbatas (RTK 19) seluas 50 ha dengan tahun tanam 1989,

sedangkan di Desa Banyu Poh dan Lokapaksa dilakukan pada lahan milik

rakyat. Menurut PT Intaran dan pengepul biji-daun mimba di Desa

Pengulon, potensi biji mimba relatif besar berasal dari desa-desa tersebut.

Adanya pemangkasan cabang dan ranting di Desa Pengulon dan Banyupoh

untuk aktifitas budidaya tanaman pertanian, telah menyebabkan potensi biji

tersebut mengalami penurunan. Di Desa Lokapaksa, banyak ditemukan

trubusan pada lahan bekas tebangan mimba.

Hasil survey mimba pada tahun 2013 di Kecamatan Kubu

Karangasem (Tabel 2) dapat dilihat bahwa berdasarkan volume pohon,

tingkat potensi mimba pada setiap desa secara berurutan adalah Desa

Sukadana, Kubu, Tianyar Tengah, Baturinggit, Tianyar Barat, Tulamben

dan Desa Tianyar. Banyak tanaman mimba dijumpai di lahan-lahan milik

sebagai pembatas kebun, yang bercampur dengan tanaman penghasil kayu

(jati dan gmelina) dan tanaman serbaguna (mangga, jambu mente, kelapa

dll).

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 259

Tabel 2. Ukuran dimensi dan potensi mimba pada setiap lokasi di

Kecamatan Kabupaten Karangasem

No Lokasi/Desa

Diameter/

dbh

(cm)

Tinggi

pohon (m)

Jumlah

pohon /

ha

Volume

per ha

(m3)

Jumlah

anakan /

pohon

1 Tianyar Barat 23,4±8,4 11,1±1,3 77 18,064 33

2 Tianyar Tengah 18,9±4,2 13,2±2,6 87 25,690 6

3 Tianyar 21,9±6,7 10,9±2,7 67 12,775 5

4 Sukadana 21,2±8,8 9,6±2,5 293 47,396 15

5 Baturinggit 20,1±8,3 10,4±1,7 105 18,211 9

6 Kubu 19,6±5,6 10,5±2,6 150 34,491 2

7 Tulamben 29,4±14,0 10,5±1,9 80 15,337 33

Rata-rata 22,1±3,6 10,8±2,3 123±80 24,57±

12,44 15±13

Sudah relatif langka menemukan pohon mimba berdiameter di atas 30

cm. Menurut informasi dari beberapa staf kecamatan dan tokoh

masyarakat Kubu, penebangan pohon mimba secara intensif mulai

dilakukan sejak tahun 2002. Di Kubu, kayu mimba digunakan untuk

pembangunan rumah (kusen, tiang, jendela, dll) dan bangunan suci (pura

keluarga) sebagai pengganti kayu cempaka (Michelia campaka L). Hal ini

sesuai dengan pernyataan Orwa et al. (2009) bahwa kayu mimba potensial

digunakan sebagai kayu pertukangan dan kayu bakar dengan daya tahan

yang tinggi terhadap serangan hama.

Terjadi kompetisi dalam pemanfaatan produk mimba, yaitu sebagai

bahan baku kayu pertukangan dan sebagai bahan baku obat-obatan (biji dan

daun). Untuk saat ini, nilai produk kayu mimba mungkin jauh lebih

menguntungkan dari pada produk bijinya, sehingga banyak terdapat area

bekas tebangan mimba pada lahan-lahan petani. Tahun 2010 di Kubu,

harga pasaran satu pohon berdiameter 35 – 40 cm dengan tinggi bebas

cabang 2,5 – 3,5 m adalah Rp 3 juta s/d Rp 4 juta, sedangkan harga biji dan

daun mimba di petani adalah rata-rata Rp 2.700,- per kg dan Rp 1.000,- per

kg daun basah. Hilangnya tegakan mimba dapat menyebabkan

berkurangnya pasokan bahan baku biji dan daun mimba untuk keperluan

industri PT Intaran di Denpasar Bali.

Tingkat anakan mimba cukup merata dan terdapat dalam jumlah yang

cukup besar pada hampir semua lokasi yang disurvey (Tabel 2), dan

260| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

sebagian tumbuh dalam bentuk trubusan dari tunggak kayu mimba. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Judd (2004) bahwa trubusan adalah merupakan

salah satu teknik silvikultur mimba disamping generatif melalui biji.

Dengan kondisi demikian, meskipun saat ini diameter pohon mimba

umumnya relatif kecil (rata-rata 22 cm) dengan kerapatan mimba yang

cukup jarang (< 300 individu per ha) dan tidak seragam, namun dalam

jangka panjang permudaan alami mimba akan cenderung tetap dapat

dipertahankan.

1.2. Potensi produk mimba

Sampai saat ini, produk mimba yang dimanfaatkan untuk bahan baku

produk kesehatan dan pertanian pada umumnya berasal dari biji dan

daunnya. Menurut perhitungan PT Intaran, produksi biji mimba adalah 5-

15 kg/pohon/per musim. Produksi biji ini relatif lebih rendah jika

dibandingkan dengan beberapa lokasi di negara lain, yaitu 11–50

kg/pohon/tahun di Queensland Utara, Australia (Csurhes, 2008), 20–50

kg/pohon/tahun di Burkina Faso, Afrika (Mineard, 2010), 37–50 kg/pohon/

tahun di India (Lokanadhan, et al., 2012), dan 50 – 100 kg/pohon/tahun di

Sinegal (International Resources Groap, 2007). Pohon mimba biasanya

mulai berbunga dan menghasilkan buah setelah berumur 3–5 tahun dan

akan aktif berproduksi sampai umur 10 tahun. Musim panen biji umumnya

terjadi selama tiga bulan setiap tahunnya, yaitu bulan Desember – Februari

tahun berikutnya.

Pada Tahun 2009, produksi biji mimba yang terkumpul dari

Kabupaten Karangasem dan Buleleng adalah 10 ton dan 5 ton. Menurut PT

Intaran, terjadi penurunan produksi biji mimba dalam tiga tahun terakhir

yaitu tahun 2007-2009. Selain karena kemampuan produksi alami tegakan

mimba, produksi biji mimba sangat dipengaruhi oleh jumlah nilai tambah

yang diperoleh masyarakat sebagai pengumpul dari mata pencaharian yang

lainnya, seperti menjadi buruh tani, jasa memanen hasil kebun, buruh

bangunan dan yang lainnya. Menurunnya produksi biji mimba karena

pekerjaan mengumpulkan biji mimba adalah pekerjaan sambilan. Menurut

pengepul produk mimba di Buleleng, kemampuan rata-rata petani

mengumpulkan biji mimba pada musim panen adalah sekitar 15 kg/hari

dengan harga kotor Rp 2.700,- per kg.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 261

Hasil pengamatan produksi daun di Kubu menunjukkan bahwa

tanaman-tanaman mimba yang tumbuh di lokasi Desa Kubu dan Desa

Sukadana merupakan penghasil daun yang relatif lebih besar dari pada

lokasi-lokasi desa yang lain (Tabel 3). Urutan tingkat produksi biomassa

daunnya adalah Desa Kubu, Sukadana, Tianyar Barat, Baturinggit, Tianyar

Tengah dan Desa Tulamben. Disamping ukuran tajuk, tempat tumbuh

mungkin berpengaruh atas perbedaan ini, karena rata-rata sebaran diameter

dan rata-rata ukuran pertajukannya relatif tidak jauh berbeda. Tekstur tanah

di lima lokasi rata-rata cenderung pasir, kandungan C-organik rata-rata

rendah, kandungan unsur makro relatif seragam, namun pH tanah untuk

lokasi Sukadana dan Kubu adalah mendekati netral (pH 6,6), sedangkan

lokasi yang lainnya agak masam (pH 6,3 – 6,5) (Lab Tanah Faperta Unud,

2013).

Tabel 3. Produksi daun dan minyak serta rendemen minyak dari daun

mimba per pohon pada setiap lokasi di Kec Kubu

Lokasi Dbh

(cm)

Dt

(m)

BB

daun

(kg)

BK daun

(kg)

Produk

minyak

(kg)

Rendemen

(%)

Tianyar Barat 19,3 4,84 16,59 15,67 0,35 2,10

Tianyar Tengah 18,6 4,07 13,68 13,02 0,18 2,23

Sukadana 17,6 4,63 19,55 18,69 0,16 1,10

Baturinggit 16,9 4,70 16,38 15,55 0,20 1,72

Kubu 19,1 5,56 20,10 19,15 0,33 2,09

Tulamben 17,8 5,95 10,76 10,21 0,17 1,87

Jumlah/rerata 18,2 4,96 16,18 15,38 0,23 1,82

Keterangan : Dbh = Diameter setinggi dada , Dt = Diameter tajuk, BB = berat basah

daun dan BK = berat kering udara daun (biomassa)

Kisaran rendemen minyak mimba pada setiap pohon di lokasi-lokasi

tempat tumbuh seperti tabel 3 adalah 0,40 – 3,80 %, dengan rata-rata 1,82

%. Disamping karena ukuran dimensi pohon dan tempat tumbuh,

perbedaan produksi daun dan minyak mimba, kemungkinan juga

dipengaruhi oleh warna daun mimba. Warna daun yang banyak dijumpai

di lapangan pada saat sedang berbunga dan menjelang berbuah adalah

warna hijau/hijau tua dan hijau muda. Daun warna hijau muda biasanya

262| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

berada pada area mendekati pucuk ranting, namun banyak juga terdapat

pada posisi daun berwarna hijau tua, bahkan terkadang lebih dominan.

Helai warna daun berhubungan dengan berat basah daun, yaitu daun hijau

muda relatif lebih tipis dari pada daun hijau tua sehingga beratnya lebih

rendah. Disamping warna daun, konsistensi jumlah daun yang terdapat

pada tajuk pohon juga berpengaruh. Hal ini disebabkan pada saat

pengamatan banyak dijumpai daun yang gugur. Terkadang pohon

(pertajukan) yang besar dijumpai jumlah daun yang relatif sedikit dan

sebaliknya.

2. Potensi Mimba di Lombok

2.1. Potensi dan sebaran tegakan mimba

Survey mimba di Lombok dilakukan pada tahun 2012, yang hasilnya

di sajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa tanaman

mimba di Kecamatan Bayan Kabupaten lombok Utara sebanyak 164

pohon, terkonsentrasi di tiga desa yaitu Desa Anyar, Sukadana dan Desa

Akar-Akar. Tingkat anakan mimba cukup merata di Lombok dan terdapat

dalam jumlah yang cukup besar pada hampir semua lokasi yang disurvei.

Tabel 4. Ukuran dimensi dan potensi mimba pada setiap lokasi di Lombok

No Lokasi / Kecamatan

Diameter/

dbh (cm)

Tinggi

pohon

(m)

Jumlah

pohon

Volume

pohon

(m3)

Rerata

anakan/

pohon

1 Jerowaru, Lotim 29,5±11,5 11,7±3,1 34 14,887 4

2 Keruak, Lotim 35,6±21,4 10,3±1,8 51 22,042 15

3 Sakra, Lotim 34,0±10,0 10,0±1,6 73 24,137 50

4 Lb.Haji, Lotim 25,5±13,3 10,3±1,1 13 8,486 16

5 Pringgabaya, Lotim 27,1±17,6 11,2±1,4 34 11,132 56

6 Sambelia, Lotim 28,6±11,6 11,5±1,7 35 15,765 6

7 Bayan, KLU 18,8±8,5 10,9±2,4 164 35,645 23

8 Pemenang, KLU 20,6±3,9 8,3±2,0 9 1,996 20

9 Gangga, KLU 31,9±9,6 13,8±3,0 17 13,469 7

10 Praya Timur, Loteng 15,3±4,1 8,1±1,0 18 1,212 1

11 Kediri, Lobar 12,9±1,6 7,6±0,8 25 1,785 -

Jumlah 480

Permasalahan muncul ketika masyarakat mulai melakukan

penebangan mimba untuk tujuan kayu bakar dan kayu pertukangan. Untuk

wilayah NTB terjadi defisit kebutuhan kayu bangunan yang cukup tinggi,

yakni 80.000 meter kubik per tahun sementara kebutuhan kayu bakar

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 263

sekitar 480.000 m3/tahun (Dinas Kehutanan NTB, 2007). Kabupaten

Lombok Timur sebagai salah satu daerah utama penyerap kayu bakar

terbesar di NTB untuk memenuhi sedikitnya 10.520 oven tembakau,

dibutuhkan minimal 370.045 m3 kayu bakar per tahun (Zaenal, 2007).

Seiring dengan perbaikan pasar produk HHBK yang semakin membaik

maka potensi mimba harus terus dipertahankan dan berpeluang

meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, wilayah Lombok

merupakan wilayah yang cukup potensial untuk pengembangan mimba.

Disamping reboisasi dan rehabilitasi dengan jenis mimba, juga diharapkan

tidak meninggalkan tegakan bekas tebangan mimba karena regenerasi

alami mimba melalui trubusan tunggak batang sangat kuat.

2.1. Potensi produk mimba

Menurut PT Intaran, produksi biji mimba selama tiga tahun di

Lombok adalah 30 ton pada tahun 2007, 18 ton tahun 2008, dan 38 ton

pada tahun 2009. Pada tahun 2009, produksi biji mimba dari Kabupaten

Lombok Timur adalah 36 ton dan 2 ton dari Kabupaten Lombok Utara.

Sama seperti kasus di Bali, pekerjaan mengumpulkan biji mimba oleh

masyarakat adalah pekerjaan sambilan, artinya adanya kegiatan ini karena

pekerjaan lain tidak ada. Oleh karena itu, produksi biji mimba setiap tahun

di Lombok belum mencerminkan kemampuan alami tegakan mimba.

Kemungkinan produksi biji dari tegakan mimba bisa lebih tinggi dengan

asumsi tidak ada kegiatan penebangan setiap tahun.

Hasil pengamatan potensi daun mimba di Lombok menunjukkan

bahwa mimba yang tumbuh di lokasi Kecamatan Jerowaru (Lombok

Timur) dan Pemenang (Lombok Utara) merupakan penghasil biomassa

daun yang relatif lebih besar dari pada lokasi-lokasi kecamatan lain (Tabel

5). Urutan tingkat produksi biomassa daunnya adalah Kecamatan

Jerowaru, Pemenang, Keruak, Sakra, Bayan, Sambelia, Pringgabaya,

Kediri dan Kecamatan Praya Timur. Khusus di Lombok Timur, tempat

tumbuh mungkin juga berpengaruh atas perbedaan ini, karena rata-rata

sebaran diameter di lima lokasi mimba relatif hampir sama. Tekstur tanah

lokasi Jerowaru dan Keruak adalah liat lempung berpasir, dan lokasi

lainnya berstektur pasir (Lab Tanah BPTP NTB, 2012). Tanah liat lempung

berpasir relatif lebih baik dari pada tanah yang dominan pasir. Di Lombok

264| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

utara, mimba yang tumbuh di Pemenang mempunyai ukuran dimensi

pohon yang besar dan tapak yang lebih baik dari pada mimba yang di

Kecamatan Bayan, yaitu tekstur tanah di Pemenang lempung berpasir, dan

tekstur pasir di Bayan.

Kisaran rendemen dan rata-rata produksi minyak mimba pada

setiap pohon di Lombok Timur adalah 1,14 – 4,03 % dan 0,13 kg,

sedangkan dari Lombok Utara adalah 0,88 – 9,53 % dan 0,16 kg.

Tabel 5. Produksi daun dan minyak serta rendemen minyak dari daun

mimba per pohon pada setiap lokasi di Lombok

Lokasi Dbh

(cm)

Dt

(m)

BB

daun

(kg)

BK

daun

(kg)

Produksi

Minyak

(kg)

Rendemen

(%)

Jerowaru, Lotim 24,6 7,5 21,57 9,18 0,20 2,30

Keruak, Lotim 27,0 7,0 17,04 6,15 0,13 2,16

Sakra, Lotim 23,0 10,4 9,06 4,39 0,11 1,94

Pringgabaya, Lotim 21,5 5,4 8,39 3,70 - -

Sambelia, Lotim 24,9 6,1 7,41 3,80 0,07 1,88

Praya Timur,

Loteng 12,1 2,9 1,55 1,02 - -

Kediri, Lobar 12,9 3,3 3,63 2,01 - -

Bayan, KLU 18,3 4,5 10,45 4,19 0,16 3,57

Pemenang, KLU 20,9 6,5 21,18 8,83 - -

Jumlah/rerata 20,6 6,0 11,14 4,81 0,13 2,37

Keterangan : N = Jumlah pohon , Dbh = Diameter setinggi dada , Dt = Diameter tajuk,

BB = Produk berat basah daun, dan BK = produk berat kering udara

daun (biomassa)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kerapatan dan volume pohon mimba di Kecamatan Seririt dan

Gerokgak, Buleleng adalah 313 pohon/ha dan 70,7 m3/ha, dan

Kecamatan Kubu, Karangasem adalah 123 pohon/ha dan 24,57 m3/ha.

Di Lombok, jumlah dan volume pohon mimba di setiap kecamatan

adalah Jerowaru 34 pohon dan 14,89 m3; Keruak 51 pohon dan 22,04

m3; Sakra 73 pohon dan 24,14 m

3; Pringgabaya 34 pohon dan 11,13 m

3;

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 265

Sambelia 35 pohon dan 15,77 m3; dan Bayan 164 pohon dan volume

35,65 m3.

2. Produksi biji mimba adalah 5 – 15 kg/pohon/per musim, musim

berbuah Bulan Desember s/d Februari tahun berikutnya. Produksi biji

mimba untuk bahan baku PT Intaran tahun 2009 adalah 10 ton dari

Kabupaten Karangsem, 5 ton dari Buleleng, 36 ton dari Lombok Timur

dan 2 ton dari Kabupaten Lombok Utara.

3. Potensi biomassa daun mimba di Kecamatan Kubu Karangasem adalah

15,38 kg/pohon, di Lombok Timur 5,44 kg/pohon dan di Lombok Utara

6,51 kg/pohon.

4. Produksi dan rendemen minyak dari daun mimba di Kecamatan Kubu

adalah 0,23 kg dan 1,82 %, Kabupaten Lombok Timur 0,13 kg dan 2,07

%, dan di Lombok Utara 0,16 kg dan 3,57 %.

5. Untuk mempertahankan kelestarian tanaman mimba dan menjaga

pasokan produk mimba untuk PT Intaran serta kuatnya regenerasi alami

mimba maka perlu menggunakan jenis tanaman mimba untuk

rehabilitasi lahan-lahan kritis di Bali dan Lombok, namun tidak

melupakan pengelolaan trubusan bekas-bekas tebangan tegakan mimba.

DAFTAR PUSTAKA

Ade. 2006. Pemanfaatan Tanaman Mimba untuk Rehabilitasi Lahan Kering

sekaligus Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Prosiding

Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan

Konservasi Alam. Bogor

Bappenas. 2006. Ringkasan: Kajian Strategi Pengembangan Potensi Hasil

Hutan Non Kayu dan Jasa Lingkungan. Direktorat Kehutanan dan

Konservasi Sumber Daya Air, Bappenas

Csurhes, S. 2008. Pest plant risk assessment Neem tree Azadirachta indica.

Biosecurity Queensland Department of Primary Industries and

Fisheries, Queensland GPO Box 46, Brisbane Qld 4001 August 2008.

Dinas Kehutanan NTB, 2007. Statistik Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara

Barat Tahun 2006. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Mataram.

International Resources Group, 2007. Neem Value Chain Senegal. Analysis

And Strategic Framework For Sub-Sector Growth Iniatiatives. The

United States Agency for International Development.www.irgltd.com

266| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Judd. M.P. 2004. Introduction and Management of Neem (Azadirachta

indica) in Small Holdersfarm Fields in The Baddibu Districts of The

Gambia, West Gambia. Master of Science in Forestry Michigan

Technological University.

Lab. Tanah BPTP NTB. 2012. Laporan Hasil Uji 5 contoh tanah dari Kab

Lombok Timur dan Lombok Utara. Laboratorium Pengujian BPTP

NTB. Mataram

Lab. Tanah Faperta UNUD. 2013. Laporan Hasil Uji 5 contoh tanah dari Kec

Kubu Kab Karangasem. Laboratorium Pengujian Tanah Fak

Pertanian UNUD. Denpasar.

Lokanadhan, S., P. Muthukrishnan, and S. Jeyaraman. 2012. Neem products

and their agricultural applications. JBiopest, 5 (Supplementary):72-76.

Mineard, K. 2010. Neem Tree Assessment For Socioeconomic Empowerment

in Rural Burkina Faso. Master Project Submitted in Partial

Fulfillment of the Requirement for the Master of Enviromental

Management degree in the Nicholas School of the Environment of

Duke University.

Nurhasybi dan D.J. Sudradjat. 2009. Teknik Pendugaan Potensi Produksi

Benih Tanaman Hutan. Info Benih Volume II, No. 1. Puslitbang

Hutan Tanaman. Bogor.

Orwa, C, A. Mutua, R. Kindt , R. Jamnadass dan A. Simons. 2009.

Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version

4.0 (http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/).

Susila, IWW., Tjakrawarsa, G., Handoko, C., Sukito, A., dan Prihartini, AI.

2011. Eksplorasi Potensi dan Tataniaga HHBK Unggulan NTB dan

Bali : Mimba (Azadirachta indica A. Juss). Laporan Hasil Penelitian

Tahun 2010. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.

Mataram.

Zaenal, B. 2007. Pengalaman Menyelenggarakan Hutan Kemasyarakatan

(HKm) di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahan Masukan

dalam Kegiatan Konsultasi Publik Draft Permenhut tentang HKM dan

Hutan Desa, 20 Juni 2007. Dinas Kehutanan Propinsi NTB. Mataram.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 267

STUDI JENIS DAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN

KAYU (HHBK) DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN

KHUSUS (KHDTK) SENARU

Irwan Mahakam Lesmono Aji, Indriyatno Dan Dwi Sukma Rini

Laboratorium Silvikultur dan Teknologi Hasil Hutan – Prodi Kehutanan

Universitas Mataram - Mataram

ABSTRAK

Usaha pengembangan KHDTK Senaru telah dilakukan oleh Prodi Kehutanan

Universitas Mataram dengan cara mulai mengelola kembali hasil hutan yang

ada di KHDTK Senaru, tidak hanya pada tanaman gaharu, tetapi juga mencoba

untuk menemukan jenis hasil hutan lainnya untuk dikembangkan, terutama

yang berasal dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi jenis-jenis HHBK yang terdapat di kawasan ini, baik

yang masih ada dan yang dahulunya pernah ada tetapi saat ini mulai sulit

ditemukan. Hasil penelitian akan dijadikan panduan untuk menentukan produk

apa yang akan dikembangkan sebagai hasil unggulan dari KHDTK Senaru.

Metode eksplorasi purposif digunakan untuk identifikasi jenis Hasil Hutan

Bukan Kayu, dengan cara wawancara masyarakat dan survei langsung di

lapangan. Hasil wawancara dengan masyarakat akan digunakan sebagai dasar

untuk melakukan survei jenis-jenis yang masih ada di lapangan dan

pertimbangan untuk penentuan jenis produk yang akan dikembangkan

selanjutnya. Berdasarkan hasil wawancara dan survey pada lima petak di hutan

pendidikan senaru ditemukan 36 jenis hasil hutan bukan kayu yang yang

berasal dari 14 famili tumbuhan. HHBK ini dapat dikelompokkan ke dalam

kelompok resin, minyak atsiri, minyak lemak, pati/karbohidrat, buah dan

tumbuhan obat. Hasil hutan bukan kayu yang potensial tetapi belum memiliki

nilai ekonomi adalah tumbuhan obat yang berada di bawah tegakan. Jenis

tumbuhan obat yang diketahui dan biasa digunakan masyarakat lokal sekitar 13

jenis, diantaranya untuk obat sakit pinggang, digigit serangga, demam, dan

lain-lain.

Kata kunci: KHDTK Senaru, Hutan Senaru, jenis HHBK, tanaman obat.

I. PENDAHULUAN

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru

merupakan kawasan hutan yang terletak di desa Senaru Kecamatan Bayan

Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas

268| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

225,7ha. Daerah ini telah diserahkan pengelolaannya kepada Universitas

Mataram sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 392/Menhut-

II/2004 sebagai hutan pendidikan. Sebelum diserahkan sebagai hutan

pendidikan KHDTK Senaru terkenal sebagai pusat penelitian tanaman

Gaharu dan daerah penghasil kopi dan kakao yang ditanam oleh

masyarakat dalam bentuk agroforestri.

Setelah resmi menjadi hutan pendidikan, mulai banyak dilakukan

penelitian di kawasan ini, tidak hanya mengenai gaharu tetapi juga terkait

bidang sejarah, biofisik (analisis vegetasi dan cadangan karbon), dan sosial

masyarakat baik dilakukan oleh mahasiswa, serta peneliti dari dalam

maupun luar negeri. Hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan

berguna untuk menententukan bentuk pengelolaan KHDTK Senaru dimasa

akan datang. Selain sebagai kampus lapangan dan lokasi penelitian,

KHDTK Senaru juga menjadi salah satu tujuan wisata karena memiliki

bentang alam yang indah dan merupakan salah satu jalan menuju Taman

Nasional Gunung Rinjani. Oleh sebab itu dalam pengembangan KHDTK

Senaru juga harus memperhatikan aspek pariwisata terutama yang

berhubungan dengan pengelolaan lingkungan dan hasil hutan yang

terdapat di KHDTK Senaru untuk menambah minat para wisatawan

mengunjungi daerah ini. Selama ini pengelolaan hasil hutan di KHDTK

Senaru dirasa belum optimal. Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas

potensi hutan Senaru baik dari hasil hutan kayu maupun bukan kayu.

Salah satu usaha untuk mengetahui potensi hasil hutan di KHDTK

Senaru yaitu telah dilakukan penelitian mengenai jenis-jenis vegetasi

penyusun KHDTK Senaru. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

di KHDTK Senaru terdapat total 32 jenis vegetasi yang tersusun dalam

tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Beberapa vegetasi penyusun

merupakan penghasil produk hasil hutan bukan kayu, yaitu Gaharu

(Aquilaria mollucensis), Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio

zibenthinus), dan Nangka (Artocarpus heterophyllus) (Idris, M.H, S.

Latifah, I.M.L. Aji, E. Wahyuningsih dan Indriyatno. 2012).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, HHBK yang

terdapat di KHDTK Senaru hanya berasal dari tanaman berkayu, belum ada

data mengenai jenis-jenis HHBK yang berasal dari sumber-sumber

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 269

lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-

II/2007 HHBK di Indonesia sangat beragam meliputi kelompok resin;

kelompok minyak atsiri; kelompok minyak lemak, pati, dan buah-buahan;

kelompok tannin, bahan pewarna, dan getah; kelompok obat dan tanaman

hias; kelompok palma dan bambu; dan kelompok hasil hewan. Dalam

penelitian ini, sebagai langkah awal akan dilakukan kegiatan identifikasi

jenis HHBK di KHDTK Senaru, sehingga dari hasil tersebut dapat

diketahui jenis apa saja yang masih ada di dalam kawasan dan jenis apa

yang pernah tumbuh namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di KHDTK Senaru di Desa Senaru

Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa tenggara Barat.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis-jenis hasil

hutan bukan kayu di KHDTK Senaru. Alat yang digunakan adalah panduan

jenis HHBK berdasarkan Permenhut No.P.35/Menhut-II/2007, alat tulis

menulis, recorder, tallysheet, kamera, dan GPS.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi purposif untuk

identifikasi jenis Hasil Hutan Bukan Kayu, dengan cara wawancara

masyarakat dan survei langsung di lapangan. Hasil wawancara dengan

masyarakat akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan surveI jenis-

jenis yang masih ada di lapangan dan pertimbangan untuk penentuan jenis

produk yang akan dikembangkan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di

KHDTK Senaru

Pengembangan KHDTK Senaru pada awalnya dibangun untuk

menjaga kerusakan akibat adanya illegal loging. Pada awal

pengembangannnya jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis

tanaman gaharu (Gyrinops vertegii) dan kopi (Coffe robusta).

270| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pengembangan tanaman ini pada awalnya dimaksudkan kecuali sebagai

fungsi ekologi juga sebagai fungsi ekonomi, dimana jenis tersebut memiliki

nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hasil wawancara dengan masyarakat

menyatakan bahwa dalam perkembangannya tanaman gaharu belum

memberikan hasil yang optimal, sementara yang telah berkembang dengan

baik adalah tanaman agroforestri seperti kopi (Coffe robusta) dan kakao

(Teobroma cacao).

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan

tanaman gaharu banyak yang terganggu akibat serangan hama ulat pada

daun yang akhirnya menyebabkan kematian. Selain itu kondisi tegakan

juga tidak terawat. Disisi lain dari survey yang dilakukan bersama

masyarakat banyak ditemukan tanaman bawah yang selama ini telah

dimanfaatkan oleh masyarakat lokal berupa sumber pangan dan obat-

obatan. Hasil hutan bukan kayu menurut Departemen Kehutanan adalah

hasil hutan hayati baik hayati maupun nabati beserta produk turunan dan

budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan (Anonim, 2007). Pada saat

ini telah berkembang cukup banyak, pemanfaatannya dari hasil hutan

bukan kayu di senaru diantaranya kelompok resin, minyak atsiri, minyak

lemak, pati/karbohidrat, buah dan tumbuhan obat.

Pola tanam yang dikembangkan pada hasil hutan bukan kayu

dalah pola agroforestry, sehingga dari sisi ekologi memberikan nilai

konservasi yang menyerupai hutan alam di Taman Nasional Gunung

Rinjani diantaranya stratifikasi tajuk terdapat 3 strata. Secara ekonomi

tanaman agoforestry dengan hasil hutan bukan kayu memberikan peluang

nilai ekonomi kepada masyarakat berupa pendapatan harian, mingguan,

bulanan dan tahunan. Pendapatan harian berupa air nira yang disadap untuk

mendapatkan gula. Pendapatan mingguan didapatkan dari tanaman kakao

(Teobroma cacao), untuk pedapatan tahunan seperti tanaman kopi.

Hasil hutan bukan kayu yang potensial tetapi belum memiliki nilai

ekonomi adalah tumbuhan obat yang berada di bawah tegakaan. Jenis

tumbuhan obat yang diketahui masyarakat sekitar 13 jenis, diantaranya

untuk obat sakit pinggang, digigigt serangga, dan lain-lain. Potensi lain

yang belum dikembangkan adalah minyak atsiri di mana produk ini ke

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 271

depan memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan baku obat, kosmetik

dan lain-lain. Jenis tersebut diantaranya kayu putih dan cengkeh.

B. Pengelompokan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di

KHDTK Senaru

1. Pengelompokan jenis HHBK berdasarkan Famili

Eksplorasi HHBK yang telah dilakukan di KHDTK Senaru

meliputi 5 petak, yaitu petak 2, petak 3, petak 11, dan petak bangunan.

Dari hasil eksplorasi banyak dijumpai tanaman-tanaman bukan kayu,

meliputi tanaman bawah, tanaman merambat, serta talas-talasan yang biasa

dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai sumber pangan dan obat-obatan

namun belum banyak digunakan secara luas. Jumlah jenis HHBK yang

ditemukan pada kelima petak tersebut sekitar 36 jenis. Beberapa tumbuhan

hanya diketahui nama lokalnya saja. Beberapa tumbuhan yang dapat

diketahui nama ilmiahnya secara umum dapat dikelompokkan menjadi 14

famili, diantaranya: famili Apocynaceae, Arecaceae, Clusiaciae,

compositae, ebenaceae, euphorbiaceae, fabaceae, meliaceae, moraceae,

myrtaceae, orchidaceae, piperaceae, rosaceae, dan rubiaceae

2. Pengelompokan jenis HHBK berdasarkan kegunaan

HHBK yang ditemui di Senaru dapat dikelompokkan berdasarkan

Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-II/2007, yang disajikan

dalam tabel.1

Tabel.1.Pengelompokan jenis HHBK berdasarkan kegunaan

No Jenis

Produk Nama Indonesia Nama Ilmiah

A Kelompok Resin

1 Gaharu Gyrinops vertegii Resin gaharu

B Kelompok Minyak Atsiri

1 Kayu putih Melaleuca

cajuputi

Minyak Kayu Putih

2 Gaharu Gyrinops vertegii Minyak Gaharu

3 Cengkeh Eugenia

aromaticum

Minyak Cengkeh

C Kelompok Minyak Lemak, pati dan buah-buahan

C.1 Kelompok Minyak Lemak

1 Kemiri Aleurites Minyak kemiri

272| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Jenis

Produk Nama Indonesia Nama Ilmiah

mullucana

C.2 Pati (Karbohidrat)

1 Bambu Dendrocalamus

asper

Rebung

2 Gadung Dioscorea

hispida

Tepung gadung

3 Iles-iles Amhorphopalus

conjac

Tepung iles-iles

4 Aren Arenga pinata Tepung aren, gula aren

C.3 Buah-buahan

1 Aren Arenga pinata Kolang-kaling

2 Kluwih Arthocarpus sp Buah kluwih

3 Nangka Artocarpus

heteropyllus

Buah nangka

4 Alpukat Persia gratisima Buah alpukat

5 Duwet Syzyigium cumini Buah duwet

6 Durian Durio

zibenthinus

Buah durian

7 Mangga Hutan Mangifera

longifetiolatum

Buah mangga

8 Rambutan Nephelium

lapaceum

Buah rambutan

9 Brune Diospyros

pilosanthera

Buah brune

10 Kalimutung Rubus

moluccanus

Buah kalimutung

D Tannin, Bahan pewarna, dan Getah

D1 Tannin

1 Pinang Arenga catechu Tannin pinang

2. Akasia Acacia mangium Tannin akasia

D2 Bahan Pewarna

1 Alpukat Persia gratisima Pewarna hijau coklat

2 Jati Tectona grandis Pewarna merah

3 Mahoni Swietenia

mahagoni

Pewarna coklat

4 Pinang Arenga catechu Pewarna kuning emas

5 Suren Toona sinensis Pewarna coklat

D3 Getah

1 Pulai Alstonia

scholaris

Getah pulai

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 273

No Jenis

Produk Nama Indonesia Nama Ilmiah

E Tumbuhan Obat

1 Pulai Alstonia

scholaris

Ekstrak pepagan batang,

akar, daun, getah

2 Kayu putih Melaleuca

cajuputi

Ekstrak daun

3 Vanili Vanilla

planifolia

Obat gigitan

kalajengking

4 Kemalindingan Leucaena

leuchepala

Obat cacing

5 Laos Alpinia galangal Obat panu

6 Lemboke Ficus septic Digigit kalajengkin

7 Lemboke bulu Ficus hispida Obat sesak napas

8 Andong Penyakit kuning

9 Bebile/kaki kuda Garcinia rigida Ambeien

10 Gemboya Obat sakit panas dalam

11 Barat daye/Kerinyu Eupatorium

odoratunt

Obat luka

12 Sirih Piper betle Ekstrak daun

13 Ate-ate Morinda

citrifolia

F Palma dan Bambu

Bambu

1 Bambu santong

2 Bambu tali

Dari Tabel.1 dapat dilihat bahwa hasil hutan bukan kayu di

KHDTK Senaru dapat dikelompokkan menjadi resin, minyak atsiri, minyak

lemak, pati, buah-buahan, tannin, bahan pewarna, getah, tumbuhan obat,

dan bambu. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-

II/2007 keseluruhan hasil hutan bukan kayu ini dikelompok menjadi 6

kelompok besar. Dari keenam kelompok ini, kelompok tumbuhan obat

memiliki jenis yang paling banyak, dan sebagian besar dari jenis tersebut

belum banyak diketahui dan dimanfaatkan secara luas. Disisi lain

masyarakat lokal sudah lama memanfaatkannya sebagai sumber obat

tradisional. Selain kelompok tumbuhan obat, di KHDTK Senaru juga

banyak terdapat jenis tumbuhan penghasil buah-buahan, namun belum

dikelola dengan baik, sehingga hasilnya belum begitu komersil.

274| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pemanfaatan hasil hutan Bukan Kayu di KHDTK Senaru saat ini

masih terbatas, tanaman yang banyak dikembangkan masyarakat

adalah tanaman kopi, kakao, dan aren yang ditanam dengan pola

agroforestri

2. HHBK yang ditemukan di KHDTK Senaru sekitar 36 jenis yang

berasal dari 13 famili, diantaranya: famili Apocynaceae,

Arecaceae, Clusiaciae, compositae, ebenaceae, euphorbiaceae,

fabaceae, meliaceae, moraceae, myrtaceae, orchidaceae,

piperaceae, rosaceae, dan rubiaceae

3. Pengelompokan HHBK di KHDTK Senaru berdasarkan

kegunaannya meliputi kelompok resin (1 jenis), minyak atsiri (3

jenis), minyak lemak (1 jenis), karbohidrat (4 jenis), buah-buahan

(10 jenis), tannin (2 jenis), bahan pewarna (5 jenis), getah (1 jenis),

tumbuhan obat (13 jenis), dan bamboo (2 jenis)

B. Keterbatasan

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian ini baru dilakukan pada sebagian petak di KHDTK

Senaru, sehingga masih dimungkinkan akan ditemui jenis tanaman

lainnya.

2. Beberapa jenis tanaman lokal ada yang masih belum diketahui

nama ilmiahnya, karena keterbatasan waktu penelitian, dan masih

akan terus berlanjut.

C. Saran

Saran yang diberikan dari penelitian ini adalah agar segera

dilakukan penelitian lanjut untuk mengidentifikasi jenis HHBK apa

saja yang ada di seluruh kawasan KHDTK Senaru dan untuk

pengelolaan selanjutnya sebaiknya difokuskkan dalam pengembangan

tanaman obat karena memiliki potensi yang cukup besar.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 275

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Penetapan

Jenis-jenis HHBK. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Anonim, 2009. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi

Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Departemen

Kehutanan RI. Jakarta.

Ichsan, A.C., R.F.Silamon, H. Anwar, B. Setiawan. 2013. Analisis

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru dengan Menggunakan

Pendekatan Partisipatif. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan).

Idris, M.H, S. Latifah, I.M.L. Aji, E. Wahyuningsih dan Indriyatno. 2012.

Studi Potensi Vegetasi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Senaru untuk Pengembangan Model Hutan Pendidikan

di Universitas Mataram. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)

276| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

SIGNIFIKANSI STUDI KARAKTERISTIK MADU BAGI

KEPENTINGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Kuntadi

Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan

Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610; E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Indonesia termasuk negara penghasil madu dengan produksi sekitar 4000-8000

ton per tahun. Bentang alam yang bervariasi dari Sumatra hingga Papua

menjadikan setiap bioregion menghasilkan madu yang khas sesuai

karakteristik tumbuhannya. Dalam strategi pemasaran, kekhasan asalusul

maupun jenis madu tidak jarang dimanfaatkan produsen untuk meningkatkan

nilai jual dengan mencantumkannya pada label kemasan. Belum adanya

perangkat yang dapat menditeksi asalusul/jenis madu menyebabkan pilihan

konsumen sepenuhnya bergantung kepada kejujuran produsen. Standar

Nasional Indonesia tentang Madu (SNI No. 3545: 2013) belum dapat

menjamin hak konsumen mendapatkan jenis madu sesuai keinginan karena

ketentuan yang digunakan tidak dapat menditeksi asalusul dan jenis madu.

Oleh sebab itu dibutuhkan adanya data dasar karakteristik madu Indonesia

sebagai bahan rujukan dalam diteksi kebenaran asalusul dan jenis madu. Data

dasar tersebut akan melengkapi upaya yang sudah ada dalam fasilitasi

perlindungan kosumen, baik hak mendapatkan madu dengan kualitas baik

maupun hak mendapatkan madu sesuai jenis yang dikehendaki. Beberapa

komponen di dalam madu, seperti serbuk sari dan mineral, serta sifat

fisikokimia madu dalam banyak studi terbukti dapat menjadi ‘sidik jari’ untuk

menelusuri asalusul madu. Makalah ini membahas hal tersebut, di samping hal-

hal lain yang berkaitan dengan diversitas tumbuhan dan produk madu di

Indonesia, perangkat penentuan karakteristik madu, dan kepentingan data dasar

karakteristik madu Indonesia bagi kebutuhan konsumen.

Kata kunci : Madu Indonesia, data dasar, karakteristik madu.

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini, kejelasan asalusul suatu produk pangan adalah salah

satu isu paling penting di bidang pengendalian mutu dan kimia pangan.

Belum lama Komisi Eropa memutuskan untuk mulai mengeluarkan

regulasi yang mengatur labelisasi produk makanan. Mereka berpandangan

bahwa asalusul berikut kandungan utama suatu produk harus dapat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 277

diketahui konsumen. Regulasi dibuat dengan tujuan untuk menjamin

kualitas, keamanan, dan keaslian produk serta untuk menjaga hak-hak

konsumen (Stanimirova, Üstün, Cajka, Riddelova, Hajslova, Buydens &

Walczak 2010). Seiring dengan itu mulai dikembangkan prosedur

pengujian yang dapat secara efektif mendeteksi kemungkinan adanya

kecurangan dan kesesuaiannya dengan spesifikasi mutu suatu produk.

Keterangan asalusul merupakan hal yang saat ini dipandang penting

dalam kaitannya dengan produk madu, terutama setelah adanya larangan

masuk madu asal China ke Eropa pada tahun 2002-2004 menyusul

ditemukannya kandungan antibiotik di dalam madu (CIAFS 2012).

Meskipun larangan tersebut telah dicabut pada tahun 2004, namun

kecurigaan adanya perdagangan ilegal produk madu asal China tetap

mengemuka seiring masih diberlakukannya kebijakan anti-dumping oleh

pemerintah AS terhadap madu China. Diduga madu China banyak masuk

ke pasar Amerika setelah melalui proses ‘pencucian’ (honey laundering) di

negara ke tiga (Lallanilla 2013). Pada bulan Juni 2010, Eropa melarang

masuk madu berlabel India karena tidak adanya keterangan yang dapat

dirunut ke asalusul, keaslian, dan potensi cemaran madu (CIAFS 2012).

Kuat dugaan bahwa sebagian madu India berasal dari China. Indonesia

termasuk salah satu dari beberapa negara Asia yang dicurigai sebagai

tempat ‘pencucian’ madu (Schneider 2011; CIAFS 2012).

Isu ‘honey laundering’ semakin memperkuat kebutuhan akan

kejelasan asalusul produk madu. Kejelasan asalusul dan spesifikasi madu

sangat dibutuhkan mengingat semakin berkembangnya permintaan dan

preferensi konsumen atas produk madu tertentu, misalnya madu pelawan,

madu randu, madu klengkeng, madu putih, dsb. Informasi yang jelas

tentang asalusul dan spesifikasi madu akan memberikan keyakinan bagi

konsumen untuk mendapat madu sesuai yang diinginkan.

Preferensi konsumen terhadap produk madu tertentu, di satu sisi,

dapat mengangkat nilai jual di pasaran. Contoh paling nyata yaitu madu

pelawan dari Bangka-Belitung yang harga jualnya saat ini jauh di atas rata-

rata harga madu pada umumnya. Namun, di sisi lain, meningkatnya harga

jual juga berisiko adanya pemalsuan dan penipuan, terutama apabila jumlah

produksinya terbatas, seperti yang disinyalir terjadi pada madu manuka

278| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

yang berasal dari Selandia Baru (Leake 2013). Untuk itu diperlukan

prosedur dan atau perangkat pengujian yang dapat secara efektif menditeksi

potensi kecurangan dan penipuan atas produk madu tertentu.

II. DIVERSITAS TUMBUHAN DAN PRODUK MADU

Madu adalah produk alami yang dihasilkan oleh lebah madu (Apis

spp.) dari bahan baku nektar yang disekresikan oleh bunga atau bagian lain

tanaman setelah melalui proses fisikokimia. Madu telah digunakan sebagai

bahan pangan dan obat sejak ribuan tahun lalu. Saat ini madu menjadi salah

satu komoditas internasional yang tingkat konsumsinya terus meningkat.

Madu dilaporkan mengandung tidak kurang dari 200 zat

(Escuredo, Silva, Valentão, Seijo & Andrade 2012) dengan komponen

utamanya terdiri dari campuran beberapa jenis karbohidrat, khususnya gula

sederhana, dan zat-zat lain dalam jumlah yang kecil seperti fenol, asam

organik, asam amino, protein, vitamin, mineral, dan lemak (White 1975).

Madu telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional. Madu

dilaporkan berperan dalam mengatasi penyakit pencernaan dengan

memberikan perlindungan terhadap radang usus akut (Ali 1995). Madu

juga telah lama diketahui memiliki efek anti mikroba yang diperoleh dari

senyawa fenol yang berasal dari tumbuhan yang menjadi sumber pakan

lebah madu (Gil, Ferreres, Ortiz, Subra & Tomãs-Barberãn 1995; Lee,

Churey & Worobo 2008).

Lebah madu memerlukan nektar dan serbuksari, masing-masing

untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein. Nektar dan serbuk sari

sebagian besar diperoleh dari bunga. Ketergantungan lebah madu kepada

nektar dan serbuk sari bunga menyebakan setiap madu yang dihasilkan

selalu mengandung butiran serbuk sari dan senyawa fitokimia sesuai asal

tumbuhan dari mana lebah madu mengumpulkan makanannya. Adanyanya

karakteristik tumbuhan di setiap bioregion menyebabkan polen dan

kandungan fitokimia di dalam madu memilik karakteristik sesuai jenis

tumbuhan yang ada di setiap bioregionnya.

Indonesia adalah satu di antara 17 negara megabiodiversity dengan

sekitar 30.000 species tumbuhan atau sekitar 10% dari keseluruhan

tumbuhan di dunia (Margono, Potapov, Turubanova, Stolle & Hansen

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 279

2014). Menurut Dunggio dan Gunawan (2009), sedikitnya terdapat 47 tipe

ekosistem di Indonesia. Indonesia termasuk negara penghasil madu dengan

rata-rata produksi sekitar 4000-8000 ton per tahun. Sebagian besar

merupakan hasil dari lebah hutan (Apis dorsata) yang penyebarannya

meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Bentang alam yang sangat

bervariasi dari Sumatra hingga Papua menjadikan setiap bioregion dan

ekosistem hutan menghasilkan madu yang khas sesuai dengan karakteristik

tumbuhan yang mendominasi wilayah tertentu.

Dalam beberapa kasus, kekhasan madu asal suatu daerah

memberikan keuntungan dan nilai tambah yang tidak sedikit, khususnya

untuk madu yang dinilai konsumen memiliki kelebihan tertentu. Contohnya

madu pelawan dari Bangka-Belitung dan madu putih dari Sumbawa. Kedua

jenis madu ini tidak saja dikenal dan diminati masyarakat di wilayahnya,

tetapi juga masyarakat dari daerah lain. Harga jualnya pun di atas rata-rata

harga madu pada umumnya. Bahkan, harga madu pelawan berkali lipat

dibanding madu yang lain, meskipun madu ini berasa pahit. Dari luar

negeri, produk madu yang terkenal dan memiliki nilai jual tinggi di

antaranya adalah madu manuka dari Selandia Baru (Atrott & Henle 2009)

dan madu sidir dari Yaman dan Saudi Arabia (Alqurashi, Masoud &

Alamin 2013). Selain itu, masih banyak lagi jenis madu yang beredar di

Indonesia yang dikenali masyarakat dari asal daerah atau pun jenis

tanamannya, seperti madu riau, madu lampung, madu kalimantan, madu

amfoang, madu arab, madu australia, madu rambutan, madu klengkeng,

madu randu, madu pulas, dan lain-lain (Suranto 2004, 2007). Minat dan

preferensi konsumen terhadap madu tertentu seperti di atas mendorong

produsen mencantumkan nama jenis madu dalam strategi pemasarannya

untuk tujuan menarik pembeli dan meningkatkan nilai jual. Namun, di sisi

lain, preferensi konsumen dan nilai jual tinggi pada produk madu tertentu

membawa konsekuensi pada potensi pemalsuan. Hal ini pula yang

disinyalir terjadi pada madu pelawan (Radar Bangka Online 2012). Peluang

terjadinya pemalsuan cukup besar mengingat harga jual madu pelawan

sangat tinggi dan permintaan pasar cukup besar, namun produksinya

terbatas.

280| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

III. KARAKTERISTIK MADU DAN PERANGKAT ANALISISNYA

Sifat khas madu dicirikan oleh kandungan serbuk sari dan sifat

fisikokimia madu, antara lain warna, kejernihan, viskositas, kandungan

fenol, dll. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh jenis tumbuhan yang menjadi

sumber pakan lebah. Mengingat setiap bioregion secara ekologis memiliki

kekhasan pada jenis tumbuhan penyusunnya, maka madu yang berasal dari

bioregion tertentu akan memiliki karakteristik spesifik sesuai dengan

sumber pakan yang ada di bioregion tersebut.

Lebah madu mengumpulkan nektar dan serbuk sari di sekitar sarang

sampai dengan jarak tertentu sesuai kemampuan terbangnya. Proporsi

nektar pembentuk madu menjadi sangat bervariasi tergantung kepada tipe

vegetasi dan musim pembungaan. Komposisi utama madu tergantung

kepada jenis tumbuhan yang dominan menjadi sumber pakan lebah madu

(Moussa, Noureddine, Saad, Abdelmalek & Salima 2012). Oleh sebab itu

komposisi kimia dan sifat madu bervariasi antar jenis madu yang berbeda

(Ruoff 2006).

Perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik madu pada setiap jenis

madu yang berbeda asal tumbuhannya memungkinkan dikembangkannya

tata cara pengenalan asalusul madu berdasarkan karateristiknya masing-

masing. Secara tradisional, pengenalan asalusul madu telah dilakukan

melalui uji jenis serbuk sari di dalam madu (melissopalynology) (Anklam

1998). Metode ini didasarkan pada adanya perbedaan bentuk, ukuran dan

ornamen lainnya pada serbuk sari masing-masing jenis tumbuhan berbunga

(Shubharani, Roopa & Sivaram 2013). Metode lainnya yaitu menggunakan

pendekatan analisis fisikokimia.

A. Melissopalynology

Mellisopalynology adalah cabang dari ilmu palynology yang khusus

mempelajari serbuk sari di dalam madu atau serbuk sari yang menjadi

sumber pakan lebah madu. Adapun palynology adalah cabang ilmu yang

berhubungan dan digunakan untuk mempelajari serbuk sari, spora, dan

bahan mikroskopis lainnya, baik yang masih hidup maupun memfosil.

Serbuk sari hampir selalu ada di dalam madu, baik madu yang berasal

dari nektar bunga maupun yang berasal dari nektar ekstra flora dan madu

embun (honey dew). Karena itu analisis serbuk sari menjadi sangat penting

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 281

di dalam kegiatan pengendalian mutu madu karena butiran serbuk sari di

dalam madu dapat menjadi petunjuk dari mana dan lingkungan seperti apa

madu tersebut berasal. Analisis serbuk sari juga dapat digunakan untuk

menentukan jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan lebah madu dan

dari mana asalusul madu. Selain itu, analisis serbuk sari dapat memberikan

informasi lain seperti, kemungkinan adanya pencampuran, adanya filtrasi

atau penyaringan serbuk sari, adanya fermentasi, dan adanya cemaran oleh

benda-benda mikroskopis (Von Der Ohe, Persano Oddo, Piana, Morlot &

Martin 2004).

Melissopalynology diusulkan sebagai pendekatan ilmiah untuk

analisis madu oleh International Commission for Bee Botany (ICBB) dan

dipublikasikan pada tahun 1978. Metode ini secara rinci dielaborasi oleh

Louveaux, Maurizio & Vorwohl (1978), mencakup hal-hal yang berkaitan

dengan (1) lingkup analisis mikroskopis madu, (2) aplikasi di lapangan, (3)

analisis mikroskopis secara kualitatif, (4) analisis mikroskopis secara

kuantitatif, dan (5) pembuatan preparat rujukan. Prinsip kerja metode ini

adalah analisis mikroskopis untuk mengidentifikasi jenis-jenis serbuk sari

di dalam madu berdasarkan karakteristiknya serta untuk menentukan

kuantitas masing-masing jenis serbuk sari. Serbuk sari bunga memiliki

bentuk dan ukuran tertentu sehingga memungkinkan untuk membedakan

antar famili, genus, atau bahkan antar jenis tumbuhan berdasarkan

pengamatan mikroskopis (Nolan 1998).

Informasi yang diperoleh dari pengamatan mikroskopis akan

diinterpretasikan dan digunakan untuk menentukan asalusul madu, baik

dalam konteks geografis (daerah asal madu) maupun jenis tumbuhan

(species tumbuhan yang menjadi sumber nektar). Secara geografis, asal

madu dapat diketahui dari adanya serbuk sari dengan karakteristik tertentu

yang khas dari suatu wilayah. Kehadiran jenis atau kombinasi jenis serbuk

sari di dalam madu seringkali spesifik untuk wilayah dan kondisi ekosistem

tertentu. Hal ini karena ragam jenis serbuk sari di dalam madu bergantung

kepada kondisi lingkungan dan pembungaan tumbuhan yang menjadi

sumber pakan lebah. Sedangkan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang

menjadi sumber utama dari mana madu berasal yaitu berdasarkan frekuensi

serbuk sari jenis tertentu di dalam madu. Misalnya, madu dikategorikan

282| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

sebagai unifloral (berasal dari satu jenis tumbuhan) yaitu apabila memiliki

kandungan serbuk sari dari jenis tertentu sebanyak lebih dari 45%

(Maurizio 1975; Von Der Ohe et al. 2004).

Penggunaan metode mellissopalynology untuk analisis asalusul dan

jenis madu memiliki beberapa keterbatasan. Tidak semua jenis madu

tergolong unifloral sehingga pada kondisi di mana serbuk sari tertentu

persentasenya di dalam madu sangat tinggi atau (sebaliknya) sangat rendah

dari rata-rata pada umumnya maka diterminasi asalusul madu menjadi

berkurang validitasnya (Molan 1998). Peringatan akan adanya potensi

kesalahan dalam penarikan kesimpulan sudah dikemukakan oleh Louveaux

et al. (1978), baik pada kasus yang kehadiran serbuk sarinya berlebihan

(over-represented pollens) maupun yang justru sangat kurang (under-

represented pollens), terutama untuk jenis madu yang berasal dari nektar

ekstra flora pada jenis tumbuhan tertentu yang tidak menghasilkan serbuk

sari. Dalam kondisi di mana terdapat anomali pada representasi serbuk sari

di dalam madu seperti di atas maka diperlukan pengujian karakteristik

lainnya untuk dapat meningkatkan akurasi dalam pengambilan kesimpulan

mengenai asalusual suatu produk madu. Sifat fisikokimia adalah

karakteristik lain dari madu yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

asalusul suatu produk madu (Louveaux et al. 1978; Molan 1998; Von Der

Ohe et al. 2004).

B. Fisikokimia Madu

Madu sangat beragam dari sisi aroma, rasa, dan warna. Fitur-fitur

tersebut seringkali berhubungan dengan karakteristik madu dari bunga

tertentu. Madu yang berasal dari bunga yang sama biasanya memiliki

kesamaan fitur, baik aroma, rasa, maupun warna. Keunikan komponen

kimia dari masing-masing jenis madu menyebabkan adanya kekhasan pada

aroma, rasa dan warna setiap jenis madu. Beberapa komponen kimia telah

dibuktikan sebagai zat yang bertanggung jawab kepada kekhasan aroma

pada jenis madu tertentu (Molan 1998). Tidak jarang juga terdapat zat

kimia yang hanya ada pada madu tertentu dan tidak terdapat pada jenis

madu yang lainnya.

Penggunaan komponen kimia madu sebagai penanda asal bunga,

menurut Molan (1998), memiliki dua kelemahan, terutama apabila hanya

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 283

menggunakan satu senyawa sebagai alat analisisnya. Kelemahan pertama

yaitu masih banyaknya jenis madu yang belum dianalisis sehingga masih

ada kemungkinan adanya kesamaan dengan senyawa yang akan digunakan

sebagai penanda untuk jenis madu tertentu. Kelemahan ke dua yaitu

terdapat variasi yang cukup lebar pada senyawa kimia penanda tertentu

pada setiap jenis madu. Karena itu, menurut Molan (1998), penggunaan

sebanyak mungkin komponen kimia penanda akan lebih potensial dari pada

hanya menggunakan komponen tunggal.

Berbagai komponen kimia yang potensial sebagai penanda untuk

penentuan karakteristik dan asalusul madu di antaranya adalah jenis

mineral (Fernández-Torres, Pérez-Bernal, Bello-López, Callejón-Mchón,

Jiménez-Sánchez & Guiraúm-Pérez 2005), senyawa volatil (Radovic,

Careri, Mangia, Musci, Gerboles & Anklam 2001; Stanimirova et al.

2010), phenol (Escuredo, Silva, Valentão, Seijo & Andrade 2012),

flavonoid (Tomás-Barberáns, Martos, Ferreres, Radovic & Anklam 1993),

keasaman, electrical conductivity, dll.

IV. PERAN INFORMASI KARAKTERISTIK MADU BAGI

KONSUMEN

Kejelasan asalusul suatu produk sudah menjadi isu penting di

dalam perdagangan produk pangan di negara-negara maju. Di Eropa, isu ini

telah berbuah regulasi yang mengharusnya pencantuman asalusul dan

kandungan utama suatu produk makanan dengan tujuan untuk menjamin

kualitas, keamanan, dan keasliannya (Stanimirova et al. 2010). Di

Indonesia, kewajiban mencantumkan asalusul produk pangan belum diatur

secara tegas, baik di dalam UU no. 7 tahun 1996 tentang Pangan maupun

aturan turunannya yaitu PP nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan. Meskipun demikian, UU nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen wewajibkan kepada setiap pelaku usaha untuk

memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

Walaupun UU 7/1996 telah mengatur agar proses produksi dan

perdagangan produk pangan harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu,

dan gizi bagi kepentingan kesehatan dan perdagangan pangan harus

284| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dilakukan dengan jujur dan bertanggung jawab, dan UU 8/1999

mewajibkan adanya kebenaran, kejelasan, dan kejujuran mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa, namun masih adanya sinyalemen

beredarnya madu palsu di Indonesia menandakan bahwa masih ada

produsen yang abai dan tidak taat aturan. Oleh karenanya diperlukan

pengawasan yang saksama terhadap produk madu agar konsumen tidak

dirugikan dari segi ekonomi maupun kesehatan. Untuk itu dibutuhkan

adanya standar dan prosedur pengujian yang dapat secara efektif

mendeteksi kemungkinan adanya kecurangan dan ketidaksesuaian dengan

asalusul, spesifikasi, dan mutu suatu produk madu.

Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia untuk produk

madu. Standar yang berlaku saat ini yaitu SNI No. 01 3545-2013. Standar

ini menetapkan persyaratan mutu, pengambilan contoh, cara uji higiene,

penandaan dan pengemasan untuk madu. Dengan demikian standar dan

cara uji pada SNI hanya memungkinkan untuk mengetahui keaslian dan

mutu madu, namun tidak dapat digunakan untuk mengetahui jenis dan

asalusul madu. Karena itu potensi adanya penipuan masih sangat mungkin

terjadi, misalnya pencatuman nama jenis/asalusul madu yang tidak sesuai

jenis/asalusul madu yang sesungguhnya.

Sampai saat ini belum tersedia pedoman dan atau perangkat yang

dapat menditeksi jenis madu, sehingga pilihan konsumen sepenuhnya

bergantung kepada kejujuran produsen. Oleh sebab itu penyusunan data

dasar karakteristik madu Indonesia sangat penting dilakukan untuk

melengkapi upaya perlindungan konsumen dalam mendapatkan haknya,

yaitu barang yang asli, bermutu baik, dan sesuai dengan pilihannya.

Adanya informasi karakteristik madu dari berbagai bioregion di Indonesia

akan dapat menjadi bahan rujukan dalam pengujian dan penentuan asalusul

dan jenis madu.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 285

V. PENUTUP

Madu adalah produk pangan alami yang diperdagangkan secara

luas di dalam dan luar negeri. Variasi jenis madu yang beragam dari segi

rasa, warna, dan aroma telah membentuk preferensi konsumen pada jenis

madu tertentu. Tidak jarang, preferensi konsumen juga dibangun oleh

adanya sugesti dan keyakinan akan khasiat dari madu tertentu.

Preferensi konsumen pada suatu produk, dalam banyak contoh,

mampu memperbesar volume perdagangan dan menaikan harga jual

produk tersebut. Namun, adanya pengaruh positif tidak jarang diikuti oleh

dampak negatif berupa pemalsuan dan penipuan. Apabila terjadi pada

produk madu, maka konsumen tidak hanya akan dirugikan oleh karena

tidak mendapatkan jenis produk sesuai pilihan yang diinginkan, tetapi juga

beresiko mengalami gangguan kesehatan apabila upaya

penipuan/pemalsuannya menggunakan bahan-bahan yang tidak dibenarkan.

Uraian di atas mempertegas pentingnya perlindungan konsumen

untuk memastikan madu yang beredar dan dikonsumsi masyarakat bermutu

baik dan tidak ada unsur pemalsuan/penipuan di dalamnya. Untuk itu

dibutuhkan perangkat yang memungkinkan untuk menguji kebenaran

asalusul, keaslian produk dan kualitas madu sehingga konsumen terjamin

hak-haknya. Dalam konteks inilah data dasar karakteristik madu Indonesia

ditemukan signifikansinya sebagai bahan rujukan untuk pengujian asalusul

dan jenis madu untuk mendampingi SNI Madu No. 3545: 2013 yang hanya

mengatur standar mutu dan keaslian madu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali ATMM. 1995. Natural honey exerts its protective effects against

ethanol-induced gastric lesions in rats by preventing depletion of

glandular nonprotein sulfhydryls. Tropical Gastroenterology 16:18-

26.

Alqurashi AM, Masoud EA & Alamin MA. 2013. Antibacterial activity of

Saudi honey against Gram negatif bacteria. Journal of Microbiology

and Antimicrobial 5(1): 1-5. DOI: 10.5897/JMA2012.0235.

286| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Anklam E. 1998. A review of the analytical methods to determine the

geographical and botanical origin of honey. Food Chemistry 63(4):

549-562.

Atrott J & Henle T. 2009. Methylglyoxal in manuka honey – correlation

with antibacterial properties. Czech J. Food Sc. 27 (special issue):

S163-165.

Dunggio I & Gunawan H. 2009. Telaah sejarah kebijakan pengelolaan

taman nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan

6(1): 43-56.

Escuredo O, Silva LR, Valentão P, Seijo MC & Andrade PB. 2012.

Assessing Rubus honey value: Pollen and phenolic compounds

content and antibacterial capacity. Food Chamistry 130: 671-678.

Fernández-Torres R., Pérez-Bernal J., Bello-López M., Callejón-Mchón

M., Jiménez-Sánchez J. & Guiraúm-Pérez A. 2005. Mineral content

and botanical origin of Spanish honeys. Talanta 65: 686-691.

Gil M.I., Ferreres F., Ortiz A., Subra E., & Tomãs-Barberãn FA. 1995.

Plant phenolic metabolites and floral origin of rosemary honey. J.

Agric. and Food Chemis. 43: 2833-2838.

Lallanilla M. 2013. ‘honey laundering’ an international scandal, experts

say. LiveScience, March 19, 2013. Website:

http://www.livescience.com/28039-honey-laundering.html. Diakses

tanggal 20 Desember 2013.

Leake J. 2013. Food fraud buzz over fake manuka honey. The Times, edisi

online 26 Agustus 2013. Website:

http://www.theaustralian.com.au/news/world/food-fraud-buzz-over-

fake-manuka-honey/story-fnb64oi6-1226704038619. Diakses

tanggal 2 Januari 2014.

Lee H., Churey JJ., & Worobo RW. 2008. Antimicrobial activity of

bacterial isolates from different floral sources of honey. International

J. Food Microbiol. 126: 240-244.

Louveaux J, Maurizio A & Vorwohl G. 1978. Methods of

mellissopalynology. Bee World 59: 139-157.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 287

Margono BA, Potapov PV, Turubanova S, Stolle F & Hansen MC. 2014.

Primary forest cover loss in Indonesia over 2000-2012. Nature

Climate Change. DOI 10.1038/NCLIMATE2277.

Maurizio A. 1975. Microscopy of honey. Dalam Crena E (ed.): Honey, a

comprehensive survey. Heinemann; London, UK.

Moussa A., Noureddine D., Saad A., Abdelmalek M. & Salima B. 2012.

The influence of botanical origin and physico-chemical parameters

on antifungal activity of Algerian honey. J Plant Phatol Microb 3:

132. Doi: 10.4172/2157-7471.1000132.

Molan P. 1998. The limitation of the metods of identifying the floral source

of honeys. Bee World 79(2): 59-68.

Radar Bangka Online. 2012. Jangan Palsukan Madu Pelawan. Kamis 01

November 2012. Website: https://id.berita. yahoo.com/madu-

pelawan-kian-sulit-dicari-073412620.html. Diakses tanggal 15

September 2014.

Radovic BS., Careri M., Mangia A., Musci M., Gerboles M. & Anklam E.

2001. Contribution of dynamic headspace GC-MS analysis of aroma

compounds to authenticity testing of honey. Food Chemistry 72:

511-520.

Ruoff, K. 2006. Authentication of the Botanical Origin of Honey. Ph D

Desertation, ETH Zurich.

Schneider A. 2011. Asian honey, banned in Europe, is flooding US grocery

shelves. FDA has the laws needed to keep adulterated honey off

store shelves but does little, honey industry says. Food Safety News,

Aug 15, 2011. http://www.foodsafetynews.com /2011/08/honey-

laundering/ Diakses tanggal 16 Juli 2012.

Shubharani R, Roopa P & Sivaram V. 2013. Pollen morphology of selected

bee forage plants. Global Journal of Bio-science and Biotechnology

2(1): 82-90.

Stanimirova I, Üstün B, Cajka T, Riddelova K, Hajslova J, Buydens LMC

& Walczak B. 2010. Tracing the geographical origin of honeys

based on volatile compounds profiles asessment using pattern

recognition techniques. Food Chemistry 118: 171-176.

288| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Suranto A. 2004. Khasiat dan manfaat madu herbal. Agro Media Pustaka,

Jakarta.

Suranto, A. 2007. Terapi madu. Penerbit Penebar Plus, Jakarta.

Tomás-Barberáns FA., Martos I., Ferreres F., Radovic BS. &Anklam E.

1993. HPLC flavonoid profiles as markers for the botanical origin of

European unifloral honeys. Journal of the Science of Food and

Agriculture 81: 485-496.

Von Der Ohe W, Persano Oddo L, Piana ML, Morlot M & Martin P. 2004.

Harmonized methods of mellissopalynology. Apidologie 35(S): 18-

25.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 289

ETNOBOTANI TUMBUHAN HUTAN BERKHASIAT OBAT

MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI KABUPATEN KOTABARU

PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Syaifuddin1, Sudin Panjaitan

2, Edi Suryanto

3, Nur Muchammad Azizi

Kurniawan4, Siska Fitriyanti

5

1,2,3Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Jl. A. Yani Km.28,7 Gn. Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru 4,5

Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Banjarmasin

Email:[email protected]

ABSTRAK

Tumbuhan hutan berkhasiat obat termasuk dalam salah satu Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK). Tumbuhan hutan berkhasiat obat sudah digunakan masyarakat

sekitar hutan sejak jaman dulu dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke

generasi secara lisan. Salah satunya masyarakat di Kabupaten Kotabaru

Propinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena itu perlu adanya kajian etnobotani

tumbuhan berkhasiat obat, agar ilmu pengobatan tradisional yang dimiliki

masyarakat setempat tetap lestari. Penelitian ini dilakukan di 3 Desa, yaitu

Desa Sebelimbingan, Gunung Sari, dan Megasari. Metode yang digunakan

adalah survey eksploratif dan metode Participatory Rural Appraisal.

Penentuan sampel menggunakan metode Pusposive Sampling. Data dianalisis

secara deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa di

Kabupaten Kotabaru terdapat tumbuhan berkhasiat obat sebanyak 24 spesies

dan 20 famili. Dari 24 spesies, penggunaan dengan cara ditelan sebesar 75%,

penggunaan luar sebesar 17%, penggunaan luar dan ditelan sebesar 2%. Bagian

tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah akar sebesar 29%, buah

sebesar 21%, batang sebesar 17%, kulit batang sebesar 13%, daun sebesar 8%,

batang sebesar 8%, akar dan batang 4%.

Kata Kunci: Etnobotani, Tumbuhan hutan berkhasiat obat, Masyarakat sekitar

hutan

I. PENDAHULUAN

Tumbuhan hutan berkhasiat obat termasuk dalam salah satu Hasil

Hutan Bukan Kayu (HHBK) (Profound’s, 2014). Masyarakat sekitar hutan

memanfaatkan tumbuhan hutan berkhasiat untuk pengobatan. Salah

satunya adalah masyarakat di Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan

290| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Selatan. Tumbuhan hutan berkhasiat obat dimanfaatkan masyarakat sekitar

hutan sudah sejak jaman dulu untuk mengobati berbagai penyakit dengan

cara yang masih tradisional. Ilmu pengobatan tradisional biasanya dimiliki

oleh tabib atau tokoh masyarakat. Proses pewarisan ilmu pengobatan

tradisional dari generasi ke generasi diwariskan secara lisan (CIFOR, 2007)

dan (Noorcahyati, 2011). Namun demikian, pengetahuan tentang

pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat semakin berkurang. Sehingga

pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat oleh masyarakat saat ini juga

semakin berkurang (Noorcahyati, 2011). Selama ini belum pernah

dilakukan kajian etnobotani tumbuhan hutan berkhasiat obat di Kabupaten

Kotabaru. Oleh karena itu perlu adanya kajian etnobotani tumbuhan hutan

berkhasiat obat, agar ilmu pengobatan tradisional di Indonesia khususnya

yang dimiliki masyarakat Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan

Selatan terhindar dari kepunahan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan April

2014 di tiga desa yaitu Desa Sebelimbingan, Desa Gunung Sari, dan Desa

Megasari Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, Propinsi

Kalimantan Selatan. Desa-desa tersebut dipilih karena berada disekitar

hutan. Metode yang digunakan adalah survey eksploratif dan metode

Participatory Rural Appraisal, yaitu orientasi proses pengkajian pada

keterlibatan masyarakat dan berperan aktif dalam penelitian

(Kandowangko, 2011). Penentuan sampel (informan) menggunakan

metode Purposive Sampling. Informan merupakan masyarakat yang berada

di sekitar kawasan hutan yang dianggap mengetahui tumbuhan hutan

berkhasiat obat atau yang mempunyai ilmu pengobatan tradisional

(Setiawan, 2005). Pengumpulan data dengan menggunakan teknik

wawancara. Data yang dikumpulkan yaitu jenis-jenis tumbuhan hutan apa

saja yang berkhasiat obat, bagian yang digunakan, jenis penyakit yang

diobati, dan bagaimana cara penggunaannya oleh masyarakat setempat.

Setelah pengumpulan data, dilakukan pengkoleksian herbarium tumbuhan

hutan berkhasiat obat yang diambil dari lokasi tumbuh alaminya dengan

didampingi oleh informan. Kemudian dilakukan identifikasi berdasarkan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 291

morfologi dan fisiologinya dengan menggunakan buku kunci determinasi

dan studi literatur untuk mengetahui nama latinnya. Data dianalisis secara

deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa

Sebelimbingan, Desa Gunung Sari, dan Desa Megasari Kecamatan Pulau

Laut Utara Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan, diperoleh 24

spesies dan 20 famili tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh

masyarakat. Hasil bisa dilihat pada Tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 1. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat

Desa Sebelimbingan

No Nama Lokal Famili Kegunaan

Bagian

yang

digunakan

Cara

penggunaan

1 Bayur (Pterosper

mum sp.)

Ster. Anti Nyamuk Getah

batang

Dioleskan ke

badan

2 Jengkol bajing

(Archiden

dron sp.)

Mimo. Melancar kan

BAB

Buah Dimasak,

dimakan

3 Kalangkala

(Litsea gra

ciae)

Anac.

Melancar kan

persalinan

Akar Akar direbus

dengan air,

diminum

penawar bisa

ular

Kulit akar Kulit akar

diserut,

tempelkan di

bagian yang

digigit ular

4 Kujajing (Ficus

sp.)

Mora. obat panas

dalam

Batang Batang

dipotong,

ditiriskan, air

tirisannya

diminum

5 Lupun (Poikilos

permum sp)

Secrop. Kanker Akar Direbus

bersama jeruk

nipis, air

rebusan

diminum

6 Nanasian

(Saurauria sp.)

Acti. Sakit Ginjal Daun Direbus, air

rebusan

diminum

292| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama Lokal Famili Kegunaan

Bagian

yang

digunakan

Cara

penggunaan

7 Sumbabi

(Saurauria sp.)

Acti. Anti bisa Kulit

batang

Diusapkan ke

bagian yang

terkena bisa

8 Tawar-tawar

(Costus

spiralis)

Cost. Panas dalam Air batang Potong bagian

batang 10 cm

dari pucuk,

tampung air

yang keluar

kemudian

diminum

9 Ulur-ulur

(Tetrastigma

sp.)

Vita. Luka Getah

akar

Kulit akar

dikelupas,

getahnya

dioleskan ke

bagian yang

luka

Sumber: Data Primer, diolah 2014

Tabel 2. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat

Desa Gunung Sari

No Nama Lokal Famili Kegunaan

Bagian

yang

digunakan

Cara

penggunaan

1 Akar kuning

(Arcangelisia

flava)

Menis. Obat sakit

kuning

Akar Akar direbus

dengan air,

diminum airnya

2 Ampelas

kijang

(Tetracera

fagifolia)

Dill. Obat batuk Batang Batang

dipotong, air

batang

ditiriskan,

kemudian

diminum

3 Baywan

(Saraca

indica)

Caes. Obat sakit

perut

Kulit

batang

Kulit batang

direbus dalam

buluh bambu,

airnya diminum

4 Bangkal

(Neolitsea

sp.)

Laur. Campuran

bedak dingin

untuk mengha

luskan kulit

Kulit

batang

Kulit batang

dihaluskan,

dicampur

dengan bedak

dingin

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 293

No Nama Lokal Famili Kegunaan

Bagian

yang

digunakan

Cara

penggunaan

5 Paririk

(Calathea sp)

Marant. Pencegah bisul Buah Langsung

ditelan

6 Limpasu

walang

(Baccaurea

javanica)

Euph. Penawar racun Akar Akar dikunyah,

dihisap sarinya

Sumber: Data Primer, diolah 2014

Tabel 3. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat

Desa MegaSari

No Nama Lokal Famili Kegunaan

Bagian

yang

digunakan

Cara penggunaan

1 Carikan darah

(Agelaea

macrop hylla)

Faba. Diare Air batang Batang dilukai/

dipotong, air

yang keluar dari

batang kemudian

diminum

Luka Getah

batang

Getah dioleskan

ke bagian yang

luka

2 Jawaling (Clau

sena sp.)

Ruta. Maag Daun Haluskan,

dimakan

3 Kantut-kantut

(Lasianthus

sp.)

Rubi. Obat flu,

dan sakit

kepala

Akar Akar dipotong,

air akar

ditiriskan,

kemudian

diminum

4 Kem bang

kuluman

Aster Sakit perut

& Masuk

angin

Akar Direndam, air

rendaman

diminum

5 Marawali

(Litsea sp)

Laur. Obat bau

badan

Akar Akar direbus

dengan air,

diminum airnya

6 Patiti pitukun

(Amomum sp.)

Zing. Diare Buah Dimakan (tanpa

diolah)

7 Patiti jarum

(Amomum sp.)

Zing. Diare Buah Dimakan (tanpa

diolah)

294| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama Lokal Famili Kegunaan

Bagian

yang

digunakan

Cara penggunaan

8 Patiti buah

ujung

(Amomum

sp.).

Zing. Diare Buah Dimakan (tanpa

diolah)

9 Sabui Flac. Menghindari

keracunan

pada ibu

pasca

melahirkan

Akar &

Batang

Direndam, air

rendaman

diminum

Sumber: Data Primer, diolah 2014

Berdasarkan hasil di atas, ada dua tumbuhan hutan berkhasiat obat

yang dikenal masyarakat dengan nama kembang kuluman dan sabui, hanya

diketahui familinya namun tidak diketahui nama latinnya.

Gambar 1. Habitus tumbuhan hutan berkhasiat obat

Dari 24 spesies tumbuhan hutan berkhasiat obat, sebanyak 10 spesies

habitusnya pohon, 8 spesies semak belukar, 5 spesies merambat berkayu,

dan 1 spesies merambat.

0

2

4

6

8

10

12

Pohon Semak Belukar

Merambat berkayu

Merambat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 295

Gambar 2. Penggunaan tumbuhan berkhasiat obat

Dari cara penggunaan, penggunaan dengan cara oral sebesar 75%,

penggunaan untuk obat luar sebesar 17%, dan penggunaan oral dan obat

luar sebesar 2%.

Gambar 3. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat

Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah pada bagian akar

yaitu sebesar 29%, selanjutnya pada bagian buah sebesar 21%, batang

sebesar 17%, kulit batang sebesar 13%, daun sebesar 8%, batang sebesar

8%, dan yang terakhir pada bagian akar dan batang sebesar 4%.

Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang sering digunakan

masyarakat untuk pengobatan tradisional, mereka tanam di pekarangan

rumah. Contohnya seperti kembang kuluman. Masyarakat sering terkena

sakit perut dan masuk angin, untuk mengobatinya dengan meminum air

rendaman akar tumbuhan kembang kuluman. Agar tidak sulit mencari

tumbuhan kembang kuluman ke hutan, maka masyarakat menanamnya di

0%

20%

40%

60%

80%

Oral Obat luar Oral dan obat luar

0%

10%

20%

30%

40%

296| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pekarangan rumah. Tumbuhan hutan berkhasiat obat lainnya seperti

jengkol bajing, bayur, ulur-ulur, patiti pitukun, patiti jarum, patiti buah

ujung, marawali, dan kantut-kantut juga ditanam masyarakat di pekarangan

rumah.

Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang ditemukan di Kabupaten

Kotabaru, beberapa jenis ditemukan dan dimanfaatkan juga oleh

masyarakat sekitar hutan di daerah lain di Propinsi Kalimantan Selatan.

Seperti yang ada pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang ditemukan di Kabupaten

Kotabaru, ditemukan juga di daerah lain di Propinsi Kalimantan

Selatan

No Nama Lokal Nama Latin Lokasi ditemukan

1 Akar

kuning/Arau

Arcangelisia

flava

- Desa Kiyu, dan Desa Hinas

Kiri Kab. Hulu Sungai Tengah

- Desa Misim, Kab. Tabalong

2 Ampelas kijang Tetracera

fagifolia

Desa Riam Adungan, Kab.

Tanah Laut

3 Baywan Saraca indica Desa Kiyu, dan Desa Hinas Kiri

Kab. Hulu Sungai Tengah

4 Carikan darah Agelaea

macrophylla

Desa Kiyu, dan Desa Hinas Kiri

Kab. Hulu Sungai Tengah

5 Jawaling/Jualing/

Kayu tuyung

Clausena

excavata

- Desa Belangaian, Kab.

Banjar

- Desa Malinau, Kab. Hulu

Sungai Selatan

- Desa Kiyu, dan Desa Hinas

Kiri Kab. Hulu Sungai

Tengah

6 Kalangkala Litsea graciae Desa Riam Adungan, Kab.

Tanah Laut

7 Kantut-kantut Lasianthus sp. - Desa Riam Adungan, Kab.

Tanah Laut

- Desa Kiyu, Kab. Hulu Sungai

Tengah

8 Kujajing Ficus sp. Desa Kiyu, dan Desa Hinas Kiri

Kab. Hulu Sungai Tengah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 297

No Nama Lokal Nama Latin Lokasi ditemukan

9 Limpasu walang Baccaurea

javanica

- Desa Mayanau, Kab.

Balangan

- Desa Riam Adungan, Kab.

Tanah Laut

10 Marawali Litsea sp. - Desa Bitahan Baru, Kab.

Tapin

11 Tawar-tawar Costus spiralis - Desa Harakit, Kab. Hulu

Sungai Selatan

- Desa Hinas Kiri Kab. Hulu

Sungai Tengah

12 Ulur-ulur Tetrastigma

sp.

- Desa Kiyu, dan Desa Hinas

Kiri Kab. Hulu Sungai

Tengah

- Desa Ju’uh, Kab. Balangan

Sumber: Data Sekunder, (Karyono, 2012) dan (Nisa, 2013)

Berdasarkan dari data sekunder, ada kegunaan lain dari jawaling,

limpasu walang, tawar-tawar, dan ulur-ulur selain di Kabupaten Kotabaru.

Kegunaan lain dari jenis-jenis tersebut yaitu: tumbuhan jawaling (Clausena

excavata) di Desa Belangaian dimanfaatkan untuk obat sakit gigi, akarnya

dipotong kecil-kecil, kemudian dimasukkan ke gigi yang berlubang atau

ditempelkan ke gigi yang sakit. Sedangkan di Desa Kiyu, jawaling/kayu

tuyung digunakan untuk obat sakit kepala, caranya 7 lembar pucuk daun

diremas-remas, setelah itu ditempelkan di kepala. Jawaling bisa juga untuk

obat sakit pinggang, caranya akar jawaling direndam air putih dalam

wadah, kemudian diminum air rendamannya. Tumbuhan tawar-tawar

(Costus spiralis) dimanfaatkan masyarakat Desa Harakit untuk obat sakit

panas, caranya dengan meminum air rendaman akarnya. Tumbuhan ulur-

ulur (Tetrastigma sp.) di Desa Kiyu dimanfaatkan untuk mengobati sakit

ambeien, caranya buah ulur-ulur direbus dengan air sampai masak, setelah

itu buahnya dimakan dan airnya diminum. Yang terakhir, tumbuhan

limpasu walang (Baccaurea javanica) yang dimanfaatkan oleh masyarakat

Desa Mayanau dan Desa riam adungan untuk melancarkan proses

melahirkan. Caranya, pada saat sebelum melahirkan meminum air

rendaman akar limpasu walang (Karyono, 2012) dan (Nisa, 2013).

298| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah didapatkan 24 spesies dan 20

famili tumbuhan hutan berkhasiat obat untuk pengobatan tradisional yang

digunakan oleh masyarakat sekitar hutan di Desa Sebelimbingan, Desa

Gunung Sari, dan Desa Megasari Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten

Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan. Selanjutnya perlu dilakukan

pengembangan dan studi lebih lanjut terhadap tumbuhan hutan berkhasiat

obat mengenai uji fitokimia, cara penggunaannya, dosis yang tepat, serta

keamanannya untuk dikonsumsi masyarakat umum.

DAFTAR PUSTAKA

CIFOR. (2007). Center of International Forestry Research. Infobrief. Mei

2007, No.11.

Kandowangko, N. Y., Solang, M., dan Ahmad, J. (2011). Kajian

Etnobotani Tanaman Obat Oleh Masyarakat Kabupaten

Bonebolango Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian. Jurusan

Biologi Universitas Negeri Gorontalo.

Karyono, A., Nisa, L. S., Lestari, F., dan Syaifuddin. (2012). Kajian

Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Kalimantan

Selatan. Laporan Akhir Penelitian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Karyono, A., Nisa, L. S., Lestari, F., dan Syaifuddin. (2012). Kajian

Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Kalimantan

Selatan (Lanjutan). Laporan Akhir Penelitian. Badan Penelitian

dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Nisa, L. S., Kurniawan, N. M. A., Putryanda, Y., Syaifuddin, Suryanto, E.

(2013). Eksplorasi Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat. Laporan

Akhir Penelitian. Pembangunan Kebun Raya Daerah Kalimantan

Selatan. Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi

Kalimantan Selatan.

Noorcahyati, Arifin, Z., dan Ningsih, M. K., (2011). Potensi Etnobotani

Kalimantan Sebagai Sumber Penghasil Tumbuhan Berkhasiat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 299

Obat. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.

Balikpapan.

Profound’s, www.ntfp.org. Diakses tanggal 28 Juni 2014.

Setiawan, N. (2005). Diklat Metodologi Penelitian Sosial: Teknik

Sampling. Parung Bogor, 25-28 Mei 2005. Universitas

Padjadjaran.

300| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

DAYA ANTIMIKROBA KANTONG MADU Trigona sp

TERHADAP BAKTERI PATOGEN

Renita Yuliana dan Endang Sutariningsih

Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Penelitian produk Trigona sp difokuskan pada propolis sebagai antimikroba,

karena jumlah yang dihasilkan relatif lebih banyak daripada produk lain seperti

kantong madu. Kantong madu Trigona sp memiliki potensi sebagai bahan

antibiotik. Hal tersebut didukung dari penelitian sebelumnya yang

menunjukkan bahwa dalam kantong madu terdapat adanya senyawa flavonoid.

Potensi kantong madu untuk menghasilkan antimikroba sangat tinggi, sehingga

diperlukan penelitian untuk mendeteksi adanya antimikroba beserta

pengaruhnya terhadap bakteri patogen. Tujuan dari penelitian ini untuk

menganalisis aktivitas daya antimikroba kantong madu Trigona sp terhadap

mikroba patogen. Prosedur kerja dari penelitian ini adalah, ekstraksi kantong

madu, analisis populasi, deteksi daya antimikroba dan analisis senyawa

antimikroba kantong madu. Rancangan yang akan digunakan adalah rancangan

acak lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis

dengan menggunakan statistik parametrik One way ANOVA, dilanjutkan

dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hipotesis dari penelitian ini

adalah kantong madu Trigona sp mempunyai daya antimikroba yang bersifat

menghambat dan membunuh pertumbuhan mikroba patogen.

Kata kunci: antimikroba, kantong madu, Trigona sp, bakteri patogen

I. PENDAHULUAN

Lebah madu merupakan serangga dari ordo Hymenoptera yang

hidup berkoloni. Jenis lebah madu sangat beragam, salah satunya adalah

lebah madu Trigona sp (klanceng). Trigona sp dapat hidup di lingkungan

tropis dan sub tropis seperti Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Trigona

sp merupakan lebah madu yang tidak memiliki sengat (Stingless bee) untuk

mepertahankan diri seperti Apis sp. Produk komersial yang dihasilkan oleh

Trigona sp dengan jumlah terbanyak adalah propolis. Selain propolis,

Trigona sp menghasilkan produk lain seperti madu, royal jelly, polen,

beeswax dan venom.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 301

Propolis (bee glue) merupakan zat yang dihasilkan lebah madu

berasal dari getah tumbuhan sehingga menyebabkan propolis menjadi

lengket seperti lem. Propolis digunakan untuk mempertahankan sarangnya

dari predator maupun mikroba patogen. Propolis disebut sebagai antibiotik

alami karena memiliki kemampuan sebagai antimikroba dengan adanya

senyawa aktif sebagai antibakteri seperti asam ferulat dan senyawa aktif

sebagai antifungi yaitu pinocembrin.

Penelitian tentang propolis telah banyak dilakukan seperti penelitian

yang dilakukan oleh Sabir (2005) tentang aktivitas antibakteri flavonoid

propolis Trigona sp terhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro)

terbukti dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans. Penelitian

tentang aktivitas antibakteri propolis yang diproduksi Trigona spp melawan

Cammpylobacter spp telah berhasil menghambat pertumbuhan bakteri pada

konsentrasi rata-rata 1,73% (w/w) (Fatoni, Artika, Hasan, Kuswandi.,

2008). Penelitian tentang efek sinergistik antimikroba dari Trigona

iridipennis dan bawang putih melawan isolat bakteri patogen klinis

menunjukkan ada pengaruh dalam menghambat pertumbuhan bakteri klinis

seperti Escherichia coli dan Salmonella sp (Andualem, 2013).

Penelitian pencarian antimikroba terhadap hasil peternakan Trigona

sp selain propolis terus dilakukan, salah satunya adalah pada produk

kantong madu. Kantong madu Trigona sp berbentuk bulat yang digunakan

sebagai tempat produksi madu. Kantong madu dapat mempengaruhi

kualitas madu yang dihasilkan jika terkontaminasi mikroba patogen.

Kondisi sarang lebah sangat mempengaruhi kualitas madu yang dihasilkan

oleh lebah madu. Madu dapat mengalami penurunan kualitas dan tidak

layak untuk dikonsumsi disebabkan karena keberadaan bakteri tertentu

seperti Bacillus sp yang mendominasi pada sarang lebah madu (Perez,

Suarez E, Pena-Vera, Gonzalez, Vit P., 2013).

Kandungan senyawa yang menentukan kualitas madu seperti

flavonoid yang merupakan senyawa fenol alami terdapat pula pada kantong

madu (Wahyuni, Septiantina, Kurniawan., 2013). Kandungan senyawa

pada sarang lebah madu Trigona sp telah diteliti dan digunakan sebagai

antibakteri Streptococcus mutans (Sabir, 2005). Kelompok antibiotik

tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid, tylosin, erytromisin, lincomisin, dan

302| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kloramfenikol terdapat pada kantong madu (Reybroeck et al., 2012). Hal

tersebut menunjukkan bahwa kantong madu berpotensi digunakan sebagai

antibiotik untuk menekan sampai membunuh berbagai macam bakteri

patogen sehingga kualitas madu terjaga.

Potensi kantong madu sebagai sumber antimikroba menarik untuk

diteliti, sehingga dengan keberadaan antimikroba tersebut mempengaruhi

kualitas madu. Pengaruh yang diberikan antimikroba pada bakteri patogen

dapat diketahui dari aktivitas daya hambat dan daya bunuh senyawa

antimikroba yang terkandung didalam kantong madu. Selain adanya

antimikroba dalam kantong madu, keanekaragaman mikroba dalam

kantong madu perlu diteliti, sehingga penanganan dapat dilakukan untuk

menjaga kantong madu tetap dalam kondisi yang steril.

II. METODE PENELITIAN

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 100 gram

kantong madu Trigona sp yang berasal dari Pulau Lombok hasil panen

tahun2013 dan akuades steril 100 ml. Mikroba uji terdiri dari kultur murni

Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans.

Media pertumbuhan mikroba terdiri dari NA (Natrium Agar) dan media

Potato Dextrose Agar (PDA). Media penentuan populasi mikroba terdiri

dari Plate Count Agar (PCA) dan PDA. Media uji antimikroba terdiri dari

Mueller Hinton Agar (MHA) dan PDA. Antimikroba pembanding yang

digunakan terdiri dari tetrasiklin 1% dan ketoconazole 1%. Pewarnaan

mikroba menggunakan satu set perangkat pengecatan gram. Senyawa yang

digunakan untuk uji fitokimia meliputi: methanol, NaOH, H2SO4 (pekat),

FeCl3 10%, ethanol, eter, pereaksi Lieberman buchard, kloroform, pereaksi

dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner, pereaksi Molisch dan

pereaksi benedict.

2. Alat

Alat yang digunakan berupa seperangkat alat gelas (glassware),

mikroskop (Nikon Eclipse E100), inkubator (Memmert type INB 500),

vortex mixer (Health),mikro pipet (Vitlab), neraca analitik (AND GF-

G100), pH meter (Merck), termohygrometer (extech), shaker (Heidolph

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 303

type unimax 2010), colony counter (Funke Gerber), blender (Miyako), dan

jarum ose.

3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja dalam penelitian meliputi:

1. Pembuatan Ekstrak Kantong madu Madu Trigona sp

Kantong madu ditimbang 100 gram, dipotong-potong, kemudian

diblender dengan akuades steril sebanyak 100 ml. Kantong madu

disimpan selama 7 hari dengan diletakkan diatas shaker, kemudian

disaring dengan kertas saring dan corong steril untuk memisahkan filtrat

dari endapan/ ampas.

2. Analisis populasi mikroba

Analisis populasi mikroba dilakukan secara tidak langsung /indirect).

Sampel yang digunakan sebanyak 1 ml untuk pengenceran mulai dari

10-1

sampai dengan 10-5

. Sampel pada masing-masing pengenceran

diambil sebanyak 0,1 ml (100 µl) dikultur media PCA dan PDA secara

spead plate, diinkubasi pada suhu ±30oC selama 24 jam, kemudian

dilakukan pengamatan populasi mikroba. Pengamatan yang dilakukan

meliputi jumlah koloni mikroba dan pengamatan morfologi koloni yang

terdiri dari bentuk, warna, ukuran, tepian dan elevasi. Mikroba yang

tumbuh diwarnai menggunakan pengecatan Gram untuk bakteri.

Pengamatan secara mikroskopis meliputi: bentuk, warna, susunan, dan

sifat (gram + atau gram).

3. Deteksi daya antimikroba kantong madu

a. Pemurniakan Biakan Bakteri

Biakan murni Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa

ditumbuhkan pada NA, sedangkan Candida albicans ditumbuhkan

pada media PDA, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.

b. Uji Konsentrasi Hambat Minimum dan Uji Konsentrasi Bunuh

Minimum

Uji antimikroba menggunakan metode difusi dengan pembuatan

sumuran pada media uji. Uji KHM dan KBM dilakukan

menggunakan ekstrak kantong madu yang telah diperoleh pada

konsentrasi 1%, 10%, 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% (v/v).

Antimikroba pembanding yang digunakan adalah tetrasiklin 1% dan

304| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ketoconazole 1%. Isolat mikroba diinokulasikan dalam NaCl 0,9%

steril, kemudian suspensi diambil sebanyak 100 µl. Suspensi

diinokulasikan kedalam media MHA dan PDA yang memiliki

ketebalan 0,5 cm (20 ml) dengan cara spread plate. Media yang telah

diinokulasikan suspensi mikroba dilubangi dengan diameter 0,9 cm

untuk membuat sumuran tempat memasukkan sampel kantong madu

dengan konsentrasi yang berbeda sebanyak 50 µl. Inkubasi pada suhu

37oC selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk merupakan hasil

positif adanya aktivitas antimikroba kemudian diukur diameternya.

4. Analisis Fitokimia Kantong Madu

a. Uji Senyawa Fenolik dan Flavonoid

1 ml sampel dilarutkan dengan metanol, kemudian dipanaskan sampai

dengan suhu 50oC. Filtrat ditambahkan dengan NaOH, hasil positif

ditunjukkan dengan warna merah jingga menunjukkan adanya fenolik

hidroquinon. Jika filtrat ditambahkan H2SO4 terbentuk warna merah,

menunjukkan adanya senyawa fenolik.

b. Uji Tanin

Uji tanin dilakukan dengan menambahkan 1 ml sampel dengan FeCl3

10%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru hijau

kehitaman.

c. Uji Minyak Atsiri

Uji minyak atsiri dilakukan dengan melarutkan sampel dengan alkohol,

kemudian diuapkan sampai kering. Hasil postif ditunjukkan dengan

adanya bau aromatis yang spesifik.

d. Uji Triterpenoid dan Steroid

Uji triterpenoid dilakukan dengan cara memanaskan 1 ml sampel

dengan etanol, filtrat yang terbentuk diuapkan, kemudian ditambahkan

dengan eter. Lapisan eter ditambahkan dengan pereaksi Lieberman

Burchard (3 tetes asam asetat anhidrat ditambah dengan 1 tetes

H2SO4(p)). Hasil positif ditunjukkan dengan warna hijau kebiruan jika

mengandung steroid dan warna merah ungu jika mengandung

triterpenoid.

e. Uji Saponin

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 305

Uji saponin dilakukan dengan cara menggojog 1 ml sampel selama 5

menit. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang tidak

hilang selama ±15 menit.

f. Uji Alkaloid

Uji adanya senyawa alkaloid dengan cara melarutkan 1 ml sampel

dengan 2 ml kloroform, kemudian diasamkan dengan H2SO4 (p). Bagian

asam diambil kemudian ditambahkan dengan pereaksi Dragendorf, hasil

positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan, merah. Jika ditambah

pereaksi Mayer, hasil positif ditunjukkan dengan adanya endapan putih.

Jika ditambah pereaksi Wagner, hasil positif ditunjukkan dengan

terbentuknya endapan cokelat.

g. Uji Glikosida

Uji glikosida menggunakan pereaksi Molisch. Prosedur kerja uji ini

adalah: 2 ml sampel ditambah 3 tetes H2SO4 (p), biarkan selama 3

menit. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya cincin ungu

kemerahan.

h. Uji Gula Pereduksi

Uji adanya gula pereduksi menggunakan pereaksi benedict. Prosedur

kerja yang dilakukan adalah: 1 ml sampel ditambah dengan 2 ml reagen

benedict kemudian dipanaskan diatas bunsen hingga mendidih. Hasil

positif ditunjukkan dengan warna merah bata.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di laboratorium

dianalisis dengan menggunakan statistik parametrik yaitu One way

ANOVA. Jika hasil ANOVA menunjukkan hasil yang signifikan,

dilanjutkan dengan uji least Significant Difference (LSD).

III. HIPOTESIS DAN HASIL SEMENTARA

1. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah kantong madu Trigona sp

mempunyai daya antimikroba yang bersifat menghambat dan membunuh

pertumbuhan mikroba patogen. Analisis populasi yang diharapkan tidak

terdapat mikroba patogen, jumlah mikroba yang hadir kurang dari 30

CFU/ml. Analisis senyawa antimikroba yang diharapkan adalah golongan

306| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

senyawa fenolik, senyawa flavonoid, senyawa tanin, triterpenoid dan

steroid, saponin, dan alkaloid.

2. Hasil Sementara

1. Aktivitas Antimikroba

Hasil penelitian sementara dengan sampel kantong madu yang

dipanen pada tahun 2013 menunjukkan bahwa kantong madu memiliki

aktivitas antimikroba, hal tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya zona

bening disekitar sampel kantong madu. Konsentrasi hambat minimum

(KHM) untuk mengetahui konsentrasi minimum dari antimikroba kantong

madu untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan konsentrasi bunuh

minimum (KBM) untuk membunuh mikroba. Konsentrasi hambat dan

konsentrasi bunuh minimum masing-masing isolat berbeda. Konsentrasi

hambat minimum Staphyllococcus aureus pada konsentrasi 1% dengan

diameter zona bening 9,5 mm, Pseudomonas aeruginosa pada konsentrasi

60% dengan diameter zona bening 11 mm dan Candida albicans pada

konsentrasi 80% dengan diameter zona bening 11,2 mm. Konsentrasi

bunuh minimum isolat pada konsentrasi 40% dengan diameter zona bening

pada isolat Staphyllococcus aureus sebesar 12 mm; Pseudomonas

aeruginosa pada konsentrasi 80% dengan diameter zona bening 17 mm dan

Candida albicans pada konsentrasi 80% 11,2 mm. Adanya perbedaan

aktivitas antimikroba dapat disebabkan oleh sifat isolat uji dan senyawa

aktif pada antibakteri. Diameter zona hambat pada masing-masing isolat

ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Diameter zona hambat isolat pada konsentrasi berbeda

Konsentrasi Staphyllococcus

aureus

Pseudomonas

aeruginosa

Candida

albicans

100% 1,6 1,75 1,23

80% 1,3 1,7 1,12

60% 1,25 1,1 0

40% 1,2 0 0

20% 1 0 0

10% 1 0 0

1% 0,95 0 0

Kontrol

positif 4 2,1 3,2

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 307

Secara umum, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan perbedaan

variasi aktivitas antimikroba. Semakin besar konsentrasi semakin besar

pula zona bening atau aktivitas antimikroba yang terbentuk. Jika

dibandingkan dengan antibiotik kontrol yaitu tetrasiklin dan ketoconazole,

ekstrak kantong madu memiliki aktivitas daya antimikroba yang lebih

rendah, yaitu lebih dari 20 mm. Aktivitas antimikroba kantong madu

terhadap Staphyllococcus aureus ditunjukkan pada gambar 1. Gambar 2

menunjukkan aktivitas antimikroba kantong madu terhadap Pseudomonas

aeruginosa, dan gambar 3 menunjukkan aktivitas antimikroba kantong

madu terhadap Candida albicans.

Gambar 1. Aktivitas antimikroba kantong Madu Terhadap

Staphyllococcus aureus

Gambar 2. Aktivitas antimikroba kantong Madu

Terhadap Pseudomonas aeruginosa

308| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Aktivitas antimikroba kantong Madu

Terhadap Candida albicans

Aktivitas daya antimikroba kantong madu Trigona sp diuji dengan

metode difusi sumur supaya sampel yang digunakan lebih banyak

dibanding dengan paper disk, metode ini juga lebih mudah digunakan.

Hasil positif adanya aktivitas antimikroba ditunjukkan dengan adanya zona

bening disekitar sumuran. Berdasarkan hasil pengamatan uji pendahuluan,

kantong madu memiliki potensi sebagai antimikroba. Kemampuan suatu

senyawa sebagai bahan antimikroba tergantung dari beberapa faktor

seperti konsentrasi yang digunakan, spesies bakteri, dan fase

perkembangan bakteri (Utami, E. 2012). Antibiotik yang digunakan

sebagai pembanding adlah tetrasiklin karera dalam spektrum luas bekerja

terhadap berbagai jenis bakteri, seperti bakteri gram positif dan gram

negatif, serta fungi (Rostinawati, 2009). Tetrasiklin yang digunakan dengan

konsentrasi 1 %. Antifungi yang digunakan sebagai pembanding adalah

ketoconazole 1% yang merupakan antifungi dalam pengobatan kandidiasis

yang disebabkan oleh Candida albicans (Susilo et al., 2011).

2. Analisis Populasi

Analisis populasi dilakukan menggunakan pengenceran dari 10-1

sampai dengan 10-5

, dikulturkan di media PCA dan PDA dengan metode

spread plate. Berdasarkan hasil sementara didapatkan jumlah populasi

mikroba yang berbeda pada masing masing pengenceran. Hasil jumlah

populasi mikroba ditunjukkan pada pengenceran 10-1

dan 10-2

. Mikroba

yang tumbuh dengan pengenceran 10-1

pada media PCA adalah 97x10-1

CFU/ml sedangkan pada media PDA 63x10-1

CFU/ml, sedangkan pada

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 309

pengenceran 10-2

pada media PCA 9x10-2

CFU/ml dan pada PDA 6x10-2

CFU/ml. Karakteristik morfologi koloni berdasarkan bentuk, warna,

ukuran, tepian, dan elevasi. Bakteri yang tumbuh pada media PCA terdapat

9 jenis koloni media berbeda berdasarkan karakter morfologi koloni. Yeast

yang tumbuh pada media PDA terdapat satu jenis koloni. Koloni mikroba

yang tumbuh pada media PCA ditunjukkan pada gambar 4, sedangkan

koloni yang tumbuh pada media PDA ditunjukkan pada gambar 5. Mikroba

yang tumbuh pada media diwarnai menggunakan pengecatan gram.

Karakteristik secara mikroskopis berdasarkan pada bentuk, warna, susunan,

dan sifat (gram+atau gram -). Gambar mikroskopis mikroba yang tumbuh

ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 4. Koloni Mikroba pada Media PCA

Gambar 5. Koloni Mikroba pada Media PDA

Karakteristik koloni yang tumbuh pada media PDA berbentuk bulat,

warna putih, ukuran besar dengan tepian rata dan elevasi datar.

310| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Karakteristik koloni yang tumbuh pada media PCA yaitu; 1) bentuk bulat,

warna putih, ukuran besar, tepian bergerigi, dan elevasi datar; 2) bentuk

bulat, warna putih, ukuran besar, tepian rata dengan elevasi cembung; 3)

bentuk bulat, warna putih,mukuran besar, tepian bergerigi, dan elevasi

datar; 4) bentuk bulat, warna putih kekuningan, ukuran sedang, tepian rata

dengan elevasi cembung; 5) bentuk bulat, warna putih mengkilat, ukuran

kecil, tepian rata, dan elevasi cembung; 6) bentuk bulat, warna putih,

ukuran sedang, tepian rata, dan elevasi cembung; 7) bentuk bulat, warna

putih, ukuran besar, tepian rata dan elevasi cembung; 8) bentuk bulat,

warna putih, ukuran besar,tepian rata, dan elevasi datar; 9) bentuk bulat,

warna putih, ukuran besar, tepian rata, dan elevasi datar.

Karakteristik mikroba yang tumbuh pada PDA secara mikroskopis

berbentuk batang, berwarna ungu dengan susunan tersebar. Karakteristik

mikroba yang tumbuh pada media PCA yaitu; 1) bentuk batang, warna

merah muda, susunan bergerombol, dan sifat gram negatif; 2) bentuk

batang, warna merah muda, susunan tersebar, dan sifat gram negatif; 3)

bentuk batang pendek, warna merah muda, susunan tersebar, dan sifat gram

negatif; 4) bentuk batang, warna merah muda, susunan berderet, dan sifat

gram negatif; 5) bentuk batang, warna ungu, susunan tersebar, sifat gram

positif; 6) bentuk batang pendek, warna merah muda, susunan tersebar, dan

sifat gram negatif; 7) bentuk bulat oval, warna merah muda, susunan

tersebar; 8) bentuk batang, warna merah muda, susunan tersebar, dan sifat

gram negatif; 9) bentuk batang, warna merah muda, susunan berderet, dan

sifat gram negatif.

PCAL 1 PCAL 2

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 311

PCAL 3 PCAL 4

PCAL 5 PCAL 6

PCAL 7 PCAL 8

PCAL 9 PCAL 10

Gambar 6. Gambar mikroskopis mikroba

312| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

A. Kesimpulan

Senyawa yang terkandung dalam kantung madu yang telah

disimpan selama satu tahun memiliki pengaruh dalam menghambat

dan membunuh isolat uji. Konsentrasi hambat minimum

Staphyllococcus aureus pada konsentrasi 1%, Pseudomonas

aeruginosa pada konsentrasi 60%, dan Candida albicans pada

konsentrasi 80%. Konsentrasi bunuh minimum sampel terhadap

Staphyllococcus aureus pada konsentrasi 40%, Pseudomonas

aeruginosa pada konsentrasi 80%, dan Candida albicans pada

konsentrasi 80%. Analisis populasi didapatkan hasil mikroba 97x10-1

pada media PCA dan 63x10-1

pada media PDA.

B. Keterbatasan

Penelitian ini terbatas pada penggunaan pelarut air untuk ekstraksi

kantong madu yang menyebabkan kandungan senyawa dalam kantong

madu tidak larut sempurna dalam air.

C. Saran

Penelitian lanjutan tentang aktivitas antimikroba pada kantong madu

perlu dilakukan. Pengujian kandungan senyawa dalam kantong madu

beserta kelarutannya terhadap pelarut dapat lebih dikembangan

menggunakan pelarut ethanol dengan konsentrasi bertingkat untuk

mengekstrak senyawa antimikrobanya.

DAFTAR PUSTAKA

Andualem, B. (2013). Synergistic Antimicrobial Effect of Tenegn Honey

(Trigona iridipennis) and Garlic Against Standard and Clinical

Pathogenic Bacterial Isolates. International Journal of

Microbiological Research 4 (1): 16-22

Fatoni, A., Artika, I., Hasan, A., Kuswandi. (2008). Activity of Propolis

Produced by Trigona spp. Against Campylobacter spp. Journal

of Biosciences ISSN: 1978-3019.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 313

Pérez-Pérez EM, Suárez E, Peña-Vera MJ, González AC, Vit P. (2013).

Antioxidant activity and microorganisms in nest products of

Tetragonisca angustula Latreille, 1811 from Mérida,

Venezuela. pp. 1-8. In Vit P & Roubik DW, eds. Stingless bees

process honey and pollen in cerumen pots. Facultad de

Farmacia y Bioanálisis, Universidad de Los Andes;

Mérida, Venezuela. http://www.saber.ula.ve/handle/

123456789/35292

Reybroeck, Wim., Daeseleire, Els., Barabander, H & Herman, L. (2012).

Antimicrobials in Beekeeping. Veterinary Microbiology 158 1-11

Rostinawati, T. (2009). Aktivitas Antibakteri Ekstrak EtanolBunga Rosella

(Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Escherichia coli, Salmonella

typhi, dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar.

Bandung: Universitas Padjajaran

Sabir, A. (2005). Aktivitas antibakteri flavonoid propolis Trigona sp

terhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro). Makasar:

Universitas Hasanudin. Majalah Kedokteran Gigi. (Dent. J.), Vol.

38. No. 3: 135–141

Susilo, J., Setiawati, A., Darmansjah, I., Indarti, J., Kusuma, F. (2011).

Low Dose Ketoconazole fluconazole Combination Versus

Fluconazole in Single Doses for The Treatment of Vaginal

Candidiasis. Medicinie Journal Indonesia Vol. 20, No. 3

Utami, E. (2012). Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis

Vol.1 No.1 ISSN: 2089-0699

Wahyuni, N., Septiantina, Kurniawan, E. (2013). Teknik Produksi Propolis

Lebah Madu Trigona sp di Nusa Tenggara Barat. Mataram:

Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan

Bukan Kayu

314| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KUALITAS MIKROBIOLOGI DAN DAYA ANTIMIKROBIA

MADU Trigona sp

Rikha Putri Devianti1, Endang S. Soetarto

2

Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada1,2

[email protected] dan [email protected]

2

ABSTRAK

Madu merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh lebah madu dari

nektar berbagai macam tanaman. Salah satu lebah penghasil madu adalah

Trigona sp yang terkenal sebagai lebah tanpa sengat. Madu dari Trigona sp

belum banyak diteliti, terlebih mengenai kualitas mikrobiologi dan daya

antimikrobianya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas

mikrobiologi madu Trigona sp dan mengukur daya antimikrobia madu Trigona

sp terhadap mikrobia. Penelitian ini dibatasi hanya pada populasi mikrobia

yang hidup pada madu dan daya antimikrobia yang meliputi antibakteri dan

antifungi. Dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis varians

(ANOVA), penelitian ini menganalisis populasi mikrobia pada madu dengan

melakukan pengamatan terhadap jenis mikrobia yang tumbuh pada media,

deteksi daya antimikrobia madu yang meliputi nilai penetapan konsentrasi

hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum madu Trigona sp terhadap

mikrobia uji dan analisis kandungan senyawa antimikrobia pada madu dengan

uji fitokimia yang meliputi uji flavonoid dan senyawa fenolik,uji tannin,uji

alkaloid,uji glikosida dan uji gula pereduksi. Aktivitas antimikrobia dapat

terlihat dari zona bening yang terbentuk di sekeliling sumuran pada media.

Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Rancangan Acak lengkap

dengan tiga kali ulangan. Hipotesis penelitian ini adalah madu Trigona sp

berkualitas baik dengan tidak ditemukannya mikrobia pathogen yang tumbuh

serta memiliki daya antimikrobia yang tinggi dengan ditunjukannya diameter

zona hambat yang besar pada konsentrasi bahan uji terkecil. Hasil sementara

menunjukkan bahwa terdapat mikrobia pada madu serta nilai KHM

Pseudomonas aeruginosa adalah 20%, sedangkan Staphylococcus aureus dan

Candida albicans adalah 10%.

Kata kunci : antimikroba, kualitas, madu, mikrobiologi,Trigona sp

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 315

I. PENDAHULUAN

Madu merupakan salah satu hasil alam yang memiliki potensi

besar. Madu dihasilkan oleh lebah madu dari nektar-nektar bunga. Salah

satu jenis lebah yang mampu menghasilkan madu adalah lebah Trigona sp.

Lebah Trigona sp merupakan salah satu jenis lebah madu yang tidak

memiliki sengat (stingless bee). Trigona sp menghasilkan madu dengan

jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah propolis

dikarenakan Trigona sp lebih banyak mengambil resin-resin tanaman

dibandingkan dengan nektar bunga. Madu akan dihasilkan setelah Trigona

sp menghasilkan propolis sebagai salah satu bentuk pertahanan sarang dari

gangguan predator ataupun lingkungan yang tidak mendukung.

Lebah Trigona sp. sebenarnya sudah cukup lama dikenal

masyarakat di Pulau Lombok. Sebagian masyarakat sudah

membudidayakannya meskipun pengelolaan dan pengembangannya tidak

sebanyak lebah Apis cerana. Hal ini karena keunggulan budidaya lebah

Trigona sp. dan produk yang dihasilkannya belum dikenal luas di

masyarakat. Teknik budidaya yang tepat juga belum banyak diketahui

masyarakat, sehingga daya tarik masyarakat untuk membudidayakan

menjadi rendah. Penelitian terdahulu terhadap jenis madu dari Apis sp

menunjukkan bahwa di dalam madu tersebut terdapat zat antimikrobia yang

dapat digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit Penelitian

mengenai antimikrobia pada madu yang dihasilkan lebah bersengat seperti

Apis sp sudah banyak dilakukan, diantaranya penelitian Mundo, Olga

,Zakour dan Worobo (2004), Suganda (2005), Rio, Djamal dan Asterina

(2012), Sholihah (2013) yang menunjukkan bahwa madu dapat

menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli,

Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus., Salmonella typhii, dan

Pseudomonas aeruginosa Penelitian Rintiswati, Winarsih dan Malueka

(2004) juga menunjukkan bahwa ekstrak madu mampu menghambat

pertumbuhan jamur Candida albicans. Sayangnya, dari banyak penelitian

yang dilakukan, permasalahan tentang bagaimana antimikrobia pada madu

yang dihasilkan oleh lebah tidak bersengat terutama Trigona sp. belum

dianalisis.

316| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penelitian ini berusaha menutup kekurangan tersebut dengan

melakukan penelitian antimikroba pada madu yang dihasilkan oleh lebah

tidak bersengat Trigona sp untuk mengetahui bagaimana daya antimikrobia

terhadap pertumbuhan mikrobia yang untuk kemudian dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat sebagai obat tradisional yang efektif untuk melawan

pertumbuhan mikrobia, baik bakteri maupun jamur. Oleh sebab itu, perlu

dilakukan pengujian terhadap jenis madu yang dihasilkan oleh lebah

Trigona sp untuk mengetahui bagaimana daya antimikrobia terhadap

pertumbuhan mikrobia yang untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai obat yang efektif untuk melawan pertumbuhan

mikrobia, baik bakteri maupun jamur. Selain itu, populasi mikrobia yang

dapat tumbuh pada madu perlu diketahui pula untuk mengetahui kualitas

mikrobiologi, sehingga penanganan yang baik dapat dilakukan untuk

menjaga kualitas madu.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan

Bukan Kayu, Desa langko, Kecamatan Lingsar, kabupaten Lombok Barat,

Nusa Tenggara Barat Lombok mulai bulan November 2014-Februari 2015.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu Trigona

sp dari pulau Lombok,Nusa Tenggara Barat, media NA (Nutrient

Broth),media PDA (Potato Dextrose Agar) , media MHA (Muller Hinton

Agar), mikrobia uji Staphyolococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,

Candida albicans, kit cat gram, methylen blue, NaOH, FeCl, kloroform,

amoniak, asam sulfat, pereaksi Dragendrof, Meyer, Wagner, Molish,

FehlingA, FehlingB.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah glassware (alat

gelas), pHmeter, termohigrometer, neraca analitik, magnetic stirrer,

autoclave, vortex, mikropipet, mikroskop,refractometer dan incubator.

C. Metode Penelitian

1. Analisis populasi mikrobia

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 317

Analisis populasi mikrobia dilakukan dengan cara

mengkulturkan sampel madu pada media pertumbuhan PDA dan

PCA. Langkah yang dilakukan adalah dengan menuang media PDA

dan PCA pada cawan petri, kemudian didiamkan hingga memadat.

Sampel madu yang akan di kulturkan dilakukan pengenceran terlebih

dahulu dengan cara memasukkan 1ml madu ke dalam tabung reaksi

yang berisi akuades steril sebanyak 9ml. reaksi berisi akuades steril 9

ml (pengenceran 10-1

), lalu divortex. Larutan sampel sebanyak 1 ml

diambil dengan mikropipet dari pengenceran 10-1

ke tabung

berikutnya untuk mendapatkan pengenceran 10-2

. Larutan sampel

sebanyak 1 ml diambil dari pengenceran 10-2

ke tabung berikutnya

untuk mendapatkan pengenceran 10-3

dan seterusnya hingga

pengenceran 10-5.0,1 ml dari tabung reaksi pada pengenceran 10

-1, 10

-

3 dan 10

-5 diambil dan dipindahkan masing-masing ke cawan petri

(spread plate).

Larutan sampel yang disebar pada media PCA didiamkan

pada suhu ruang selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah koloni,

dicatat morfologi, disubkultur pada media NA untuk dicuplik dan

dilakukan dicat gram untuk menentukan jenis gram bakteri. Larutan

sampel yang disebar pada media PDA didiamkan pada suhu ruang

selama 1-3 hari,kemudian dihitung jumlah koloni, dicatat morfologi,

disubkultur pada media PDA untuk dicuplik dan dilakukan pewarnaan

dengan metilen blue agar terlihat morfologi jamur.

2. Deteksi daya antimikrobia pada madu

Tahap deteksi daya antimikrobia diawali dengan melakukan

pemurnian biakan mikrobia. Mikrobia yang digunakan adalah

Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida

albicans. Biakan Stapylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa

yang telah ditumbuhkan pada media NA diambil 1 ose dan diinokulasi

pada NaCl 0,9% . Biakan murni Candida albicans ditumbuhkan pada

media PDA, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.

Masing-masing jamur yang tumbuh diambil 1 ose dan diinokulasi

pada NaCl 0,9%. .

318| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Uji antimikrobia dilakukan dengan cara menanam bakteri

pada media Mueller-Hinton agar (untuk bakteri) dan media PDA

(untuk jamur). Pengujian aktivitas antibakteri madu menggunakan

larutan sampel madu dengan konsentrasi 10%,20%, 30%, 40%, 50%,

60%, 70%, 80%, 90% dan 100% serta kontrol positif dengan

menggunakan larutan baku tetrasiklin 5% untuk bakteri dan

ketoconazole 3% untuk jamur. Uji antimikrobia menggunakan metode

difusi agar. Suspensi mikrobia uji sebanyak 1 ml diambil secara swab

menggunakan kapas lidi steril, kemudian inokulasikan ke media MHA

(untuk bakteri) dan media PDA (untuk jamur) secara merata. Media

dibuat sumuran dengan memasukkan 4 sedotan pada cawan petri.

Madu dengan berbagai konsentrasi dimasukkan ke dalam masing-

masing sumuran, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 24

jam untuk bakteri dan selama 3-7 hari untuk jamur. Pengamatan dan

pengukuran diameter zona hambat dan zona bunuh menggunakan

mistar. Diamter zona hambat dapat digunakan untuk menentukan

nilai KHM dan KBM serta sifat antimikrobia Nilai KHM merupakan

konsentrasi bahan uji terkecil dengan pertumbuhan koloni paling

sedikit, sedangkan nilai KBM merupakan konsentrasi bahan uji

terkecil tanpa pertumbuhan koloni.

3. Deteksi kandungan senyawa pada madu

a. Uji Flavonoid dan senyawa fenolik

Uji dilakukan dengan menggunakan NaOH dan asam sulfat.

Perubahan warna menjadi merah atau jingga setelah penambahan

NaOH menunjukkan adanya kandungan senyawa fenolik dan

hidrokuinon. Perubahan warna menjadi merah setelah penambahan

asam sulfat pekat menunjukkan adanya kandungan senyawa

flavonoid.

b. Uji Tanin

Uji dilakukan dengan menggunakan FeCl3 10%. Keberadaan senyawa

tannin ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru atau hijau

kehitaman.

c. Uji triterpenoid dan steroid

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 319

Uji dilakukan menggunakan pereaksi Leibermenn Burchard.

Keberadaan senyawa ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau

atau biru.

d. Uji alkaloid

Uji dilakukan dengan pereaksi Dragendrof, Mayer dan Wagner.

Keberadaan alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan merah

jika direaksikan dengan pereaksi Dragendrof, terbentuk endapan putih

jika direaksikan dengan pereaksi Mayer dan endapan coklat dengan

pereaksi Wagner.

e. Uji glikosida

Uji dilakukan denganlarutan asam sulfat pekat dan pereaksi Molish.

Keberadaan glikosida ditandai dengan terbentuknya warna ungu

f. Uji gula pereduksi

Uji dilakukan dengan Fehling A dan B. Keberadaan gula pereduksi

ditunjukkan dengan adanya endapan merah bata.

III. HIPOTESIS DAN HASIL SEMENTARA

Hipotesis dari penelitian ini adalah madu Trigona sp tidak

mengandung sejumlah mikrobia pathogen, hanya beberapa jenis mikrobia

tertentu yang non pathogen, mempunyai daya antimikrobia tinggi yang

ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang besar pada konsentrasi

bahan uji terkecil. Daya antimikrobia madu (Trigona sp) bersifat

mematikan (mikrobiacidal) dan menghambat (mikrobiastatis) pada

pertumbuhan mikrobia.

A. Analisis Populasi Mikrobia

Penelitian ini menggunakan dua jenis sampel, yaitu sampel segar

dan sampel lama yang telah mengalami masa penyimpanan selama satu

tahun, namun sampai saat ini baru dilakukan pengujian pada sampel lama.

Data sementara yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa

pada sampel madu yang lama terdapat mikrobia baik bakteri maupun

jamur. Hal ini ditunjukkan dengan tumbuhnya beberapa koloni bakteri

pada media PCA sebagai media pertumbuhan dan perhitungan untuk

bakteri dan juga adanya koloni jamur pada media PDA yang merupakan

media pertumbuhan untuk jamur. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh

320| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

masih memenuhi batas ambang minimal untuk kelayakan konsumsi.

Perhitungan jumlah koloni bakteri berdasarkan CFU (Colony Form Unit).

Hasil Perhitungan koloni di setiap pengenceran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Koloni Bakteri

Pengen ceran Ulangan ke- Jumlah koloni Rata-rata

10-1

1 55 49

2 54

3 39

10-3

1 0 0

2 0

3 0

10-5

1 0 0

2 0

3 0

Perhitungan CFU :

CFU = 49 x 1/0,1x1/10-1

= 4900

= 49 x 102 cfu/ml

Tabel 2. Karakteristik Koloni dan Sel

Nama

strain

Karakteristik

Morfologi Pigmentasi Gram Bentuk sel

PB

KK

Circular, entire

Circular, undulate

Putih susu

Putih

kekuningan

+

+

Batang

bengkok

Batang

Gambar 1. Isolat PB perbesaran 40x Gambar 2.Isolat KK perbesaran 40x

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 321

Berdasarkan pengamatan dan perhitungan jumlah bakteri

tersebut di atas dapat dilihat bahwa di dalam madu terdapat beberapa

jenis mikrobia. Ditemukan 2 isolat bakteri pada sampel madu. Jenis

isolat tersebut belum diidentifikasi apakah termasuk ke dalam bakteri

pathogen atau tidak, namun diharapkan jenis bakteri tersebut adalah

bakteri yang bermanfaat dan bukan merupakan bakteri pathogen.

Bakteri yang mampu hidup pada madu diduga termasuk dalam

golongan bakteri pengguna gula dan suka suasana asam. Penelitian

terdahulu menemukan bahwa bakteri golongan Bacillus pada madu

dan merupakan isolat bakteri yang mampu digunakan sebagai

antimikrobia (Hamouda & Abouwarda, 2011; Hafez, Kabei, & Masry,

2014). Penelitian dari Loncaric, I., Ruppitsch, W., Licek, E.,

Rosengarten, R., Moosbeckhofer, R., & Busse, H. J. (2011)

menunjukkan bahwa terdapat bakteri dari genus Pseudomonas yang

berasosiasi dengan lebah madu, sehingga dimungkinkan madu juga

mengandung mikrobia tersebut. Hasil untuk perhitungan jumlah

kapang pada media PDA adalah seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Jumlah Koloni Jamur

Peng-

enceran

Ulangan ke- Jumlah

koloni

Rata-rata Kerapatan sel

(CFU/ml)

10-1 1 19 6 60

2 0

3 0

10-3 1 3 3 300

2 1

3 4

10-5 1 0 0 0

2 0

3 0

Karakteristik koloni jamur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Koloni

Nama strain Karakteristik

K1

Koloni berwarna hijau di tengah dan putih di

tepi,dasar membentuk motif bintang laut

322| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

K2

K3

K4

K5

Koloni berwarna hijau kehitaman dengan dasar

berwarna gelap tanpa motif, permukaan agak

mencembung

Koloni berwarna hijau kehitaman dengan dasar

Warna gelap tanpa motif, permukaan relatif datar

Koloni berwarna hijau kekuningan dengan tepi

berwarna putih, dasar berwarna oranye

Koloni berwarna putih kecoklatan dengan dasar

berwarna coklat dan kehitaman di tengah

Gambar 3. Hifa K2 perbesaran 10x Gambar 4. Badan Buah K2

perbesran 40x

Gambar 5. Badan Buah K3

perbesaran 10x

Gambar 6. Miselium K3

perbesaran 10x

Gambar 7. K5 perbesaran 10x Gambar 8. Miselium K5

perbesaran 10x

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 323

Ditemukan adanya beberapa jenis jamur yang tumbuh pada

media PDA. Diduga jenis jamur ini berasal dari lebah madu itu

sendiri,nectar dan pollen yang dibawa lebah dan juga dapat

disebabkan adanya kontaminasi dari manusia dan alat-alat yang

digunakan untuk panen (Olaitan, Adeleke, & Ola, 2007). Beberapa

jenis jamur yang dimungkinkan dapat hidup pada madu antara lain

Saccaromyces spp, Penicillium spp, Aspergillus spp,Torulopsis spp

(Olaitan, Adeleke, & Ola, 2007; Popa, Vica, Axinte, Glevitzky, &

Varvara, 2009 ; Munitis, Cabrera, & Navarro, 1976).

Hasil penelitian Carvalho, Meirinho, Estevinho, & Choupina

(2010) menemukan 24 strain isolat pada madu yang sembilan

diantaranya telah diidentifikasi dan masuk ke dalam genus Candida,

Rhodotorula dan Zygosaccharomyces. Jenis-jenis mikrobia ini

merupakan jenis yang bersifat osmofilik. Mikrobia yang ditemukan

pada madu pada umumnya dalam keadaan tidak aktif dan kebanyakan

membentuk spora. Mikrobia tersebut tidak membahayakan kesehatan

manusia (Popa, Vica, Axinte, Glevitzky, & Varvara, 2009).

B. Deteksi Daya Antimikrobia pada Madu

Deteksi daya antimikrobia dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya kemampuan antimikrobia yang terdapat pada madu.

Kemampuan antimikrobia terbagi menjadi dua,yaitu kemampuan untuk

menghambat pertumbuhan mikrobia yang biasa disebut dengan sifat

microbiostatis dan kemampuan untuk mampu membunuh mikrobia yang

disebut dengan sifat microbiocidal (Madigan, et.al., 2003). Hasil dari uji

antimikrobia pada ketiga mikrobia uji dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Diameter zona hambat (cm)

Konsentrasi

Madu (%)

Staphylococcus

aureus

Pseudomonas

Aeruginosa

Candida

Albicans

10 0,22 0 0,17

20 0,23 0,2 0,25

30 0,73 0,89 0,37

40 0,88 1,45 0,69

50 1,23 1,4 0,66

60 0,87 1,54 0,76

70 0,32 1,65 0,72

324| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Konsentrasi

Madu (%)

Staphylococcus

aureus

Pseudomonas

Aeruginosa

Candida

Albicans

80 1,03 1,70 0,79

90 0,78 1,43 0,66

100 0,97 1,23 1,02

Kontrol 4,57 4,08 4,4

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa dapat dilihat

rata-rata diameter zona hambat untuk berbagai konsentrasi madu

menunjukkan perbedaan. Konsentrasi Hambat Minimum untuk bakteri

uji Pseudomonas aeruginosa adalah 20%, sedangkan untuk

Staphylococcus aureus dan Candida albicans adalah 10%.

Berdasarkan hasil pengamatan selama satu minggu terlihat bahwa

zona bening pada masing-masing konsentrasi di setiap mikrobia uji

mengalami perbedaan.

Data didapatkan dari dua pengulangan dan direncanakan akan

kembali dilakukan pengulangan agar data yang dihasilkan lebih valid.

Berdasarkan penelitian sebelumnya disebutkan bahwa madu memiliki

daya antimikrobia yang baik. Penelitian terhadap bakteri E.coli

didapatkan hasil bahwa dengan madu berkonsentrasi 50 %, bakteri

akan mengalami kematian setelah 2 jam (Molan, 1992). Penelitian lain

yang dilakukan oleh Ilmiana (2005) terhadap bakteri Streptococcus

viridans dari inokulat pasien abses dengan menggunakan madu

berkonsentrasi beranekaragam menunjukkan hasil bahwa pemberian

madu dengan konsentrasi yang semakin besar akan menyebabkan

jumlah rata-rata koloni semakin kecil dikarenakan daya antibakterinya

juga semakin besar.

Aktivitas antifungi ditemukan pada madu. Madu dapat

digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans.

(Rintiswati et.al ,2004). Madu yang dihasilkan oleh lebah madu yang

tidak bersengat memiliki spectrum aktivitas antibakteri yang luas,

meskipun terbatas untuk melawan Candida (Boorn, Khor, Sweetman,

Tan, Heard, & Hammer, 2009).

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 325

C. Deteksi Kandungan senyawa pada Madu

Tahap ini belum dilakukan dikarenakan penelitian masih

berjalan pada deteksi antimikrobia. Deteksi kandungan senyawa

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya kandungan

senyawa apa saja yang terdapat pada madu. Komposisi senyawa

dipengaruhi oleh lingkungan tempat madu dikumpulkan, diantaranya

adalah keragaman ketersediaan jenis pakan lebah. Hasil dari penelitian

ini nantinya diharapkan akan terdeteksi adanya senyawa flavonoid dan

fenolik serta tannin yang berperan sebagai antimikrobia (V azquez,

Glory, Baas, Guevara, & Sierra, 2013; Ratnayani, Laksmiwati, &

Septian, 2012). Selain kedua senyawa tersebut, glikosida juga salah

satu senyawa yang berperan sebagai antimikrobia pada madu

(Rostinawati, 2009).

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

1. Madu Trigona sp mengandung sejumlah mikrobia yang diduga berasal

dari lingkungan luar.

2. Mikrobia pada madu diduga bukan merupakan mikrobia pathogen .

3. Madu Trigona sp memiliki daya antimikrobia yang mampu

menghambat pertumbuhan mikrobia pathogen, baik bakteri maupun

jamur.

4. Terdapat kandungan senyawa yang berperan sebagai antimikrobia

diantaranya flavonoid, steroid, glikosida dan tannin

5. Penelitian masih terdapat keterbatasan karena penelitian sedang dalam

proses dan masih berlanjut

6. Penelitian mengenai jenis senyawa antimikrobia yang terdapat pada

madu Trigona sp perlu dilakukan .

7. Perlu dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut mengenai jenis

pakan lebah Trigona sp pada musim yang berbeda, sehingga dapat

diketahui pengaruhnya pada kandungan senyawa antimikrobia.

DAFTAR PUSTAKA

Boorn, K. L., Khor, Y. Y., Sweetman, E., Tan, F., Heard, T. A., &

Hammer, K. A. (2009). Antimicrobial activity of honey from the

326| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

stingless bee Trigona carbonaria determined by agar diffusion,

agar dilution, broth microdilution and time-kill methodology.

Journal of Applied Microbiology ISSN 1364-5072 , 1534-1543.

Carvalho, C. M., Meirinho, S., Estevinho, M. L., & Choupina, A. (2010).

Yeast Species Associated With Honey: Different Identification

Methods. Arch. Zootec , 59 (225), 103-113.

Hafez, E. E., Kabei, S. S., & Masry, S. H. (2014). New Paenibacillus larvae

bacterial isolates from honey bee colonies colonies infekted with

American. Biotechnology & Biohnological Ed , 271-276.

Hamouda, H. M., & Abouwarda, A. (2011). Antimicrobial Activity of

Bacterial Isolates from Homey. International Journal of

Microbiological Research , 2 (1), 82-85.

Loncaric, I., Ruppitsch, W., Licek, E., Rosengarten, R., Moosbeckhofer,

R., & Busse, H. J. (2011). Characterization of Selected Gram-

Negative Non-Fermenting Bacteria Isolated From Honey Bees

(Apis mellifera carnica). Apidologie, Sringer Verlag , 42 (3), 312-

325.

Molan, P. C. (1992). The Antibacterial Activity oF Honey: Variation in the

potency of the antibacterial activity. Bee World .

Munitis, M. T., Cabrera, E., & Navarro, A. R. (1976). An Obligate

Osmophilic Yeast from Honey. Applied and Environmental

Microbiology , 32 (3), 320-323.

Olaitan, P. B., Adeleke, O. E., & Ola, I. O. (2007). Honey:a Reservoirfor

Microorganisms and an Inhibitory Ant for Microbesg. African

Health Sciences , 7 (3), 159-165.

Popa, M., Vica, M., Axinte, R., Glevitzky, M., & Varvara, S. (2009). Study

Concerning The honey Qualities in Transylvania Region. Annales

Universitatis Apulensis Series Oeconomica, 11 (2), 1034-1040.

Ratnayani, K., Laksmiwati, M., & Septian, I. (2012). Kadar Total Senyawa

Fenolat Pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng Serta Uji

Aktivitas Antiradikal Bebas Dengan Metode DPPH (Difenilpikril

Hidrazil). Jurnal Kimia , 6 (2), 163-168.

Rostinawati, T. (2009). Aktivitas Antibakteri Madu Amber dan Madu Putih

Terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa multiresisten dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 327

Staphylococcus aureus resisten metisilin. Jatinangor: Universitas

Padjajaran, fakultas Farmasi.

Vazquez, E. O., Glory, L. C., Baas, G. Z., Guevara, J. M., & Sierra, J. R.

(2013). Which bee honey components contribute to its

antimicrobial activity?A review. Academi Journals , 7 (51), 5758-

5765.

328| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

D. Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan HHBK

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 329

PROFIL PENGELOLAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU GETAH

JERNANG DI PANTAI BARAT ACEH

Aswandi1)

dan Cut Rizlani Kholibrina2)

1) 2)Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Parapat Km 10,5

Sibaganding Parapat Simalungun Provinsi Sumatera Utara

Email : [email protected]

ABSTRAK

Berbagai studi menunjukkan pengelolaan hasil hutan bukan kayu menyediakan

alternatif mata pencaharian masyarakat, pengatasan kemiskinan dan

mendukung kelestarian hutan. Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan potensi

pemanfaatan getah jernang sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu unggulan

di pantai barat Aceh. Sejarah pengelolaan dan kontribusi yang cukup besar bagi

pendapatan masyarakat mendorong komoditas jernang sebagai HHBK

unggulan di wilayah ini. Namun, pemanenan yang tidak lestari, rendahnya

upaya budidaya, dan tata niaga yang tidak menguntungkan petani akibat

produk getah yang tidak terstandarisasi dan fluktuasi harga mengakibatkan

kelestarian jangka panjang komoditas HHBK ini terganggu. Strategi yang

diusulkan merupakan pemecahan akar permasalahan yang dihadapi. Upaya

peningkatan populasi dilakukan melalui penanaman intensif dan praktek

pemanenan yang tidak melebihi pertumbuhan. Standarisasi kualitas dan

dukungan kebijakan pemerintah akan mendukung tata niaga yang adil.

Kata Kunci : Getah jernang, rotan, potensi, hasil hutan bukan kayu, strategi,

pemanenan lestari

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ekosistem

hutan tropika terluas di dunia. Dengan penutupan 86-93 juta ha atau hampir

setengah wilayah daratannya, hutan Indonesia merupakan tempat hidup

bagi 17% spesies burung, 16% spesies reptilia dan amfibia, 12% spesies

mamalia dan 10% spesies tumbuhan di dunia (Forest Watch Indonesia dan

Global Forest Watch, 2001). Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi,

sejarah pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan

sumberdaya alam tersebut.

Sejak awal pembangunan nasional, pengelolaan hutan melalui

eksploitasi kayu menjadi sektor penting peraih devisa. Namun, manfaat

330| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ekonomi yang diperoleh juga mengorbankan kelestariannya. Seluas 59,62

juta ha hutan telah rusak dengan laju deforestasi yang signifikan (Badan

Planologi Kehutanan, 2010). Kerusakan hutan telah mengakibatnya

terganggunya fungsi ekosistem dalam menyediakan hasil hutan kayu dan

bukan kayu, jasa lingkungan, serta secara langsung maupun tidak langsung

memiskinkan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Salah satu upaya yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi

tingginya laju kerusakan hutan adalah dengan mengembangkan skema

pengelolaan hutan yang mengoptimalkan pelibatan masyarakat dengan

hasil hutan bukan kayu sebagai komoditas utamanya (Permenhut No. 35

Tahun 2007). Berbagai studi menunjukkan bahwa skema ini menjanjikan

bagi penyediaan alternatif mata pencaharian dan pengatasan kemiskinan.

Salah satu pengelolaan hasil hutan bukan kayu yang memiliki sejarah yang

panjang serta telah menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian

masyarakat di pantai barat Aceh adalah pemungutan getah jernang.

Masyarakat memungut buah rotan jernang alam yang tumbuh pada hutan-

hutan di sekitar tempat tinggalnya serta mengekstraksinya menjadi serbuk

atau bongkahan resin jernang yang bernilai ekonomi tinggi.

Walaupun memiliki kontribusi terhadap perekonomian masyarakat,

masih terbatas informasi yang telah digali terkait permasalahan yang

dihadapi dalam pengelolaan getah jernang di pantai barat Aceh. Tulisan ini

bertujuan untuk menyajikan gambaran pemanfaatan getah jernang sebagai

salah satu hasil hutan bukan kayu unggulan. Strategi yang diusulkan

diharapkan dapat mengatasi persoalan yang dihadapi dalam upaya

pengembangannya.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada beberapa daerah pengumpul getah

jernang di pantai barat Aceh yakni Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat,

Blangpidie dan Babah Rot di Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kota Fajar

dan Labuhanhaji di Kabupaten Aceh Selatan. Pengumpulan data

dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2013.

B. Bahan dan Alat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 331

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dengan

responden masyarakat pengumpul buah dan getah jernang, pedagang

pengumpul dan industri pengolahan getah jernang. Peralatan yang

digunakan adalah kamera, alat tulis, perangkat komputer dengan program

pengolah data Microsoft Office Excel 2007.

C. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah informasi sumber bahan baku dan

pola pemanenan, proses pengolahan dan kualitas, alur pemasaran, harga

jual, dan permasalahan pengelolaan yang dihadapi. Data dikumpulkan

melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Responden dipilih

secara purposive terhadap petani pengumpul buah rotan jernang, pedagang

pengumpul dan industri pengolah getah jernang. Total 14 orang responden

diwawancarai dengan rincian seorang responden pelaku usaha pengolah

getah yang juga bertindak sebagai pedagang pengumpul di Meulaboh,

seorang pedagang dan 3 orang petani pengumpulan buah dan getah di Aceh

Selatan, seorang pedagang dan 4 orang petani pengumpul di Aceh Barat

Daya, dan 4 orang petani di Aceh Barat.

D. Analisis Data

Proses pemanenan dan pengolahan getah jernang dianalisis secara

dekstriptif berdasarkan rangkaian tahapan mulai dari pemanenan buah,

penyiapan bahan baku hingga pengolahannya. Kualitas getah jernang

dianalisa menggunakan standar kualitas nasional (SNI). Alur pemasaran

dianalisis secara deskriptif dengan mencatat rangkaian penjualan hasil buah

dan getah mulai dari petani - pedagang pengumpul – industri pengolahan –

pedagang besar serta harga jual pada setiap tingkatan penjualan.

Informasi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan pengelolaan

jernang yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis SWOT.

Hasil analisis kemudian ditabulasikan sebagai berikut :

332| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tabel 1. Teknik analisis SWOT

INTERNAL STRENGHTS (S) WEAKNESSES (W)

EKSTERNAL Faktor-faktor kekuatan

Internal

Faktor-faktor kelemahan

Internal

OPPORTUNITIES STRATEGI SO STRATEGI WO

Tentukan faktor

peluang eksternal

Ciptakan strategi

menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang.

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan peluang

TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT

Tentukan faktor

ancaman eksternal

Ciptakan strategi

menggunakan kekuatan untuk

mengatasi ancaman.

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan

dan menghindari ancaman.

Sumber : Rangkuty (2006)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran Ekologi

Getah jernang merupakan resin berwarna merah tua terang yang

dihasilkan dari bagian kulit buah rotan terutama dari genus Daemonorops

(Sumarna, 2004). Diantara anggota genus ini, terdapat tiga jenis rotan

jernang yang sering dipanen di pantai barat Aceh, yakni Daemonorops

draco (rotan jernang), D. crinitus (rotan jernang padi), dan D. angustifolia

(rotan jernang getah). Ketiga jenis rotan jernang ini disukai pengumpul

karena menghasilkan resin yang lebih banyak. Diantara ketiganya, rotan

jernang getah lebih disukai karena memiliki rendemen getah yang lebih

tinggi (±5% mutu super).

Rotan jernang tumbuh berumpun dengan 5-10 batang yang menjalar

atau memanjat pohon di sekitarnya hingga ketinggian 10-15 m. Jika

tumbuh lebih panjang, bagian tengah batang turun hingga mencapai tanah

dengan bagian pucuk tetap berada di atas. Dengan posisinya yang terlihat

merunduk dan terduduk di permukaan tanah, masyarakat Aceh juga

menamai rotan jernang dengan nama awe duk (rotan duduk). Daun rotan

jernang berpelepah, menyirip seperti palem, dengan anak daun berbentuk

lanset dan memita, pada permukaan anak daun terdapat duri-duri halus,

dengan duduk anak daun yang berhadap-hadapan. Masing-masing daun

berduri, berwarna coklat-kekuningan. Perbungaannya membentuk malai,

dan tersusun dalam tandan. Tandan tersebut terselubung oleh

seludang/pembungkus berbentuk perahu. Selain tandan bunga, kondisi

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 333

kekakuan duri-duri halus pada daun dapat dijadikan penciri rotan jantan

dan rotan betina. Pada rotan jantan, tandan bunga lebih kecil dan duri-duri

halus pada daun relatif lebih kasar.

Secara morfologi, bentuk buah jernang secara umum hampir sama

dengan jenis rotan lainnya namun dengan ukuran yang relatif lebih kecil.

Ciri khas dari buah rotan jernang adalah pada bagian kulit buah yang

bersisik dijumpai adanya lapisan (selaput) berupa butiran halus getah

berwarna kemerahan. Pada buah rotan jernang getah muda, selaput butiran

halus menutupi hampir seluruh permukaan buah dan apabila digosok

dengan jari akan memerahkan permukaan jari tangan.

B. Pemanenan dan Pengolahan Pasca Panen

Pemanenan dilakukan ketika buah masih muda. Pada saat itu butiran

halus getah yang berwarna kemerahan masih banyak menempel pada kulit

buah. Ketika buah menjelang matang, butiran tersebut akan gugur dan

hilang saat buah telah tua. Buah yang masak ditandai perubahan warna

kulit buah menjadi cokelat kekuningan mengkilat. Jarak waktu antara buah

muda hingga menjelang matang adalah 1-2 minggu dan periode ini

merupakan waktu terbaik memanen buah. Curah hujan yang tinggi dapat

mengakibatkan banyaknya butiran getah yang gugur.

Pada dasarnya rotan jernang berbuah sepanjang tahun. Dalam setiap

batang, bisa terdapat 2 – 3 tandan buah dengan tingkat kematangan yang

berbeda. Di pantai barat Aceh panen besar umumnya terjadi dua kali dalam

setahun yakni pada bulan Agustus dan Januari. Pada bulan-bulan ini panen

buah dapat dilakukan setiap 2 (dua) minggu. Pemanenan dilakukan dengan

memotong tandan buah dari batang. Posisi tandan yang tinggi

mengharuskan petani menggunakan alat panjat. Berat buah muda segar

dalam satu tandan mencapai 300 – 500 g. Setiap batangnya, rotan jernang

dewasa dapat menghasilkan 10-15 kg buah selama setahun.

Buah yang telah dikumpulkan biasanya dimasukkan ke dalam

kantong/goni plastik dan setelah terkumpul 5-10 kg buah segar segera

dijual petani ke pedangang penampung/ pengepul atau industri pengolahan.

Pada lokasi-lokasi yang jauh dan buah melimpah, petani terlebih dahulu

memisahkan getah dari kulit buah dengan cara menggosok dan memipilnya

dalam wadah air. Cara ini menghemat tenaga dan mengatasi kehilangan

butiran getah dari buah selama pengangkutan.

334| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pada industri pengolahan, setelah diseleksi/sortir sesuai ukuran buah

dan membuang kotoran-kotoran, buah diekstraksi dengan menggunakan

ekstraktor mekanis atau secara tradisional dengan menggunakan alat

tumbuk. Ekstraksi dapat juga dilakukan dengan cara merebus buah dan

mengumpulkan getah yang telah menggumpal. Aliran pengolahan getah

jernang secara garis besar mengikuti tahapan seperti pada Gambar 1.

Salah satu industri pengolahan getah jernang yang menampung buah

rotan dari petani pengumpul di pantai barat Aceh adalah CV. Darah Naga

di Meulaboh, Aceh Barat. Industri skala kecil ini telah menggunakan alat

ekstraktor yang mendapatkan paten dari Kementerian Hukum dan HAM RI

atas inovasi alat pengolah getah jernangnya. Berdasarkan hasil pengujian

Baristan Indag Banda Aceh tahun 2006, penggunaan alat ekstraktor milik

perusahaan tersebut menghasilkan 3 (tiga) tingkatan kualitas yakni getah

jernang mutu super, mutu tipe A dan mutu tipe B (Tabel 1).

Dengan rendemen 5%, untuk mendapatkan 1 kg resin jernang

kualitas Super, diperlukan 20 kg buah segar. Buah jernang yang telah

dikeluarkan dari ekstraktor pada tahap pertama untuk menghasilkan mutu

Super, dapat diekstraksi kembali untuk menghasilkan getah jernang mutu A

(kadar resin 60%) dengan rendemen 20% dan mutu B.(25%) dengan

rendemen 20-25%. Sisa pengolahan mutu B kemudian dihancurkan untuk

mendapatkan kelas mutu Abu (<5%). Dengan demikian tidak ada sisa

pengolahan yang terbuang.

Secara rinci hasil pengujian serta pemenuhannya terhadap

standarisasi nasional (SNI) getah jernang terdapat pada Tabel 1.

Tabel 2. Hasil pengujian kualitas dan Standarisasi Nasional Indonesia

terhadap getah jernang di pantai barat Aceh

No Jenis Uji Satuan Hasil Uji

Mutu Super Mutu A Mutu B

1. Kadar Resin

(b/b)

% 82,27 (SNI

min 80)

63,71 (SNI

min 60)

25,54 (SNI

min 25)

2. Kadar air(b/b) % 2,99 (SNI

max 6)

6,80 (SNI

max 8)

13,90 (SNI

max 10)

3. Kadar Kotoran

(b/b)

% 12,34 (SNI

max 14)

29,49 (SNI

max 39)

60,56 (SNI

max 50)

4. Kadar Abu (b/b) % 2,4(SNImax4) 3,89(SNImax 8) 3,89(SNImax20)

5. Titik Leleh oC 90(SNI min80) - -

6. Warna Merah tua Merah muda Merah pudar

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 335

Sumber : CV. Darah Naga dan Baristan Indag Banda Aceh (2006)

(Sumber : CV Darah Naga, 2007)

Gambar 2. Bagan alur pengolahan getah jernang

C. Rantai Pemasaran

Para pihak yang terlihat dalam tata niaga getah jernang di pantai

barat Aceh adalah petani, pedagang pengumpul, industri pengolahan getah,

dan pedagang besar. Petani menjual buah jernang yang dikumpulkan dari

Buah Rotan

Seleksi/Sortir

Ekstraksi

Pemisahan

Penyaringan Pelumatan

Pengendapan Penyaringan

ResiduFiltrat

Pengendapan

Pencampuran

& Pengeringan

Pencetakan/

Press

Angin-anginkan

Mutu Tipe A

> 60%

Mutu Tipe B

>25%

Penjemuran

Penyaringan &

Pengendapan

Pengeringan

& Pencetakan

Angin-anginkan

Getah Kental

Pengeringan

Pencetakan/

Press

Angin-anginkan

Mutu Super

> 80%

Air

Aditif

336| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

hutan kepada pedagang pengumpul yang biasanya berdomisili di ibukota

kecamatan. Selain menerima buah pedagang pengumpul juga menerima

getah jernang setengah jadi yang masih memiliki kadar air tinggi. Buah

atau getah jernang yang telah terkumpul kemudian dijual pedagang

pengumpul kepada industri pengolahan di Meulaboh. Selain memperoleh

bahan baku dari pedagang pengumpul, industri juga mendapatkan dari

petani-petani binaan di sekitar lokasinya. Untuk mengikat petani, industri

pengolahan memberikan modal awal (talangan) untuk membiayai kegiatan

pencarian buah rotan jernang di hutan.

Gambar 3. Rantai pemasanan getah jernang hasil produksi petani dan

industry pengolahan di pantai barat Aceh

Sebagian besar getah jernang yang dihasilkan industri pengolahan di

pantai barat Aceh dipasarkan ke luar daerah terutama ke Medan, Sumatera

Utara. Dari Medan, getah jernang dijual ke Jakarta, Jambi, Surabaya, atau

diekspor langsung ke Singapura, Malaysia dan Tiongkok. Pada saat-saat

tertentu pembeli dari Singapura dan Tiongkok datang langsung ke Medan

untuk melakukan transaksi. Sebagian hasil jernang juga dikirim ke Jambi

SINGAPURA

MEDAN

MEULABOH

JAMBI

JAKARTA

KUALA LUMPUR

TIONGKOK

SURABAYA

Aceh Barat

Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 337

dikarenakan daerah ini lebih dahulu terkenal sebagai produsen getah

jernang.

D. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Getah Jernang

Harga jual getah jernang didasarkan pada kelas kualitas dan

dipengaruhi musim panen buah jernang. Pada saat panen raya, rata-rata

harga jual getah kepada pedagang besar di Medan mencapai Rp

3.750.000/kg untuk mutu Super, Rp 3.000.000/kg untuk mutu A dan Rp

2.500.000/kg untuk mutu B. Harga ini akan melonjak pada musim paceklik

buah hingga mencapai Rp 4.500.000-6.000.000/gg untuk kualitas Super,

Rp 3.750.000-5.000.000/Kg untuk kualitas A dan Rp 3.000.000-

4.000.000/gg untuk kualitas B. Kurangnya ketersediaan buah di hutan

mengakibatkan harga buah segar bisa mencapai Rp 250.000 – 500.000/kg

dari harga normal Rp 75.000 – 150.000/kg. Harga-harga ini relatif lebih

murah dibandingkan harga getah jernang untuk kualitas yang sama di kota

Jambi. Pada pedagang besar, getah jernang dengan kadar resin 80%

dihargai Rp5.000.000/kg, kadar resin 60% diharga Rp 4.000.000/kg, dan

kadar resin 40% dihargai Rp 3.000.000/kg.

E. Permasalahan dan Strategi Pengelolaan

Beberapa hal yang menjadi kekuatan dalam pengembangan HHBK

ini diantaranya adalah getah jernang mengandung kandungan fitokimia

yang penting sebagai bahan baku farmasi, kosmetika, pengawet dan

pewarna organik. Hasil uji fitokimia menunjukkan getah jernang sebagian

besar mengandung senyawa semi-polar yang terdeteksi positif sebagai

obat-obatan antara lain senyawa flavonoid, triterpenoid dan tanin. Uji

penapisan fitokimia juga menunjukkan bahwa resin jernang berpotensi

sebagai antioksidan dan prokoagulasi darah (mempersingkat proses

pembekuan darah) (Waluyo dan Pasaribu, 2013).

Di pantai barat Aceh, tanaman rotan jernang tumbuh pada kawasan

hutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Leuser, hutan alam

tersisa yang terdapat di Kluet Aceh Selatan, Manggeng dan Babah Rot di

Aceh Barat Daya, dan pegunungan Woyla di Aceh Barat dengan ketinggian

tempat 500 hingga 2000 mdpl. Tanaman rotan jernang banyak dijumpai

pada tanah yang subur dan mengandung air seperti di sekitar mata air dan

338| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

aliran sungai. Di alam rotan jernang tumbuh berasosiasi dengan rotan

manau (Calamus sp.).

Waktu pemanenan buah relatif cepat dan usia produktif yang lama.

Pohon rotan jernang mulai berbuah pada umur 5 tahun dan terus berbuah

hingga berumur lebih dari 20 tahun. Secara tradisional, masyarakat Aceh

telah lama pemanen buah getah jernang untuk pengobatan diare,

pendarahan, luka dalam dan luka-luka luar akibat senjata tajam berkhasiat

afrodisiak (meningkatkan libido).

Namun, tingginya permintaan terhadap komoditas ini tidak

diimbangi suplai tersedia. Permintaan dunia mencapai 400 ton/ tahun

(Harian Merdeka online, 2007), sedangkan sentra penghasil jernang di

Sumatera dan Kalimantan, baru dapat memasok 27 ton/ tahun. Saat ini,

rotan jernang semakin sulit diperoleh karena habitatnya banyak yang telah

rusak atau dikonversi menjadi perkebunan. Semakin jauhnya tempat

tumbuh rotan jernang yang tersisa mengakibatkan petani semakin jauh

memasuki hutan. Selama satu minggu, petani hanya dapat mendapatkan 10-

20 kg buah segar atau setara dengan 0,5-1 kg getah jernang. Rendahnya

kemampuan regenerasi mengakibatkan populasi alaminya semakin

menurun.

Beberapa upaya penanaman rotan jernang di Babahrot di Aceh Barat

Daya menunjukkan bahwa sebetulnya budidaya komoditas ini tidak

memerlukan teknik yang rumit. Namun sulitnya memperoleh buah tua dan

masak akibat panen buah dilakukan ketika buah muda mengakibatkan

penyiapan bibit tanaman hanya dapat dilakukan dalam kuantitas yang

rendah. Waktu pembibitan yang lama mengakibatkan harga jual bibit

cukup tinggi (mencapai Rp 15.000-25.000/batang) serta waktu panen buah

baru dapat dilakukan pada umur 4-5 tahun mengakibatkan petani belum

terdorong untuk membudidayakannya.

Kurangnya informasi pasar yang diterima petani mengakibatkan

pemasaran buah rotan jernang dari pedagang pengumpul kepada industri

bersifat semi tertutup karena monopsoni industri, sehingga merugikan para

petani. Penguasaan teknologi pengolahan getah jernang yang dimiliki

petani masih rendah sehingga hasilnya belum sesuai standar. Keterbatasan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 339

modal dalam pengembangan industri pengolahan juga merupakan beberapa

aspek lainnya yang membatasi usaha pengembangannya.

Beberapa aspek eksternal yang dapat menjadi peluang diantaranya

getah jernang merupakan komoditas ekspor dengan permintaan dunia yang

tinggi serta perkembangan IPTEK pengobatan herbal selama dekade

terakhir. Tercatat permintaan getah jernang hingga 400 ton/tahun untuk

kebutuhan pengobatan herbal dan lainnya. Permintaan ini belum termasuk

dari Singapura dan Amerika Serikat (Harian Merdeka online, 2007).

Sedangkan beberapa hal dapat mengancam pengembangannya

diantaranya praktek pemanenan tidak lestari dengan menebang batangnya.

Pemanenan buah rotan jernang dengan cara menebang batangnya juga

merupakan salah satu penyebab semakin rendahnya kerapatan populasi

alaminya. Modus ini umum dilakukan oknum petani ketika memanen buah-

buah yang tinggi dan sulit dicapai. Perilaku berburu buah rotan muda juga

mendorong petani saling berlomba cepat memanen sehingga panen buah

cenderung dilakukan lebih dini.

Harga buah dan getah berfluktuasi di tingkat petani. Fluktuasi harga

yang tinggi pada musim-musim buah susah diperoleh juga mengakibatkan

industri pengolahan getah jernang banyak yang tidak beroperasi karena

ketiadaan modal untuk membeli buah dari petani dengan harga tinggi.

Harga jual masih dipengaruhi oleh pembeli yang merupakan pedagang

besar sehingga tidak menguntungkan petani yang menghabiskan waktu

yang lama.

Banyaknya beredar getah jernang oplosan dengan harga lebih murah

merupakan ancaman laten dalam pengusahaan komoditas ini. Belum

terstandarisasinya kualitas getah jernang yang dihasilkan dan masih adanya

petani dan industri pengolahan getah yang mencampur resin getah dengan

berbagai kotoran untuk meningkatkan berat jual mengakibatkan harga jual

tidak menguntungkan petani dan industri yang jujur karena secara umum

pedagang besar menekan harga untuk mengurangi potensi kerugiannya.

Terhadap berbagai aspek diatas, dilakukan analisis SWOT dalam

menentukan strategi pengelolan getah jernang disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan unsur kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta

memadukannya dengan unsur peluang dan ancaman, maka terdapat

340| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan HHBK ini.

Strategi ini tentunya berupaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan

untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan peluang yang ada.

Strategi-strategi pengembangan prioritas (WO) yang dapat dilakukan,

antara lain:

a. Budidaya rotan jernang secara intensif pada hutan dan milik dan

peningkatan populasi pada kawasan hutan sebagai bagian upaya

rehabilitasi hutan dan lahan. Budidaya jernang dengan pola wanatani

dan penanaman pengkayaan dalam kawasan hutan dapat dilakukan.

b. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari

instansi terkait. Untuk menggalakankan budidaya rotan jernang perlu

dilakukan upaya-upaya sosialisasi dan pembanguan plot contoh

budidaya.

c. Penggunaan bibit rotan jernang unggul untuk meningkatkan

produktivitas getah dan juga mempercepat usia panen;

d. Membentuk kelompok tani dan koperasi untuk menghindari spekulasi

harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul;

e. Standarisasi kualitas getah jernang. Untuk standarisasi kualitas, perlu

standarisasi pengelolahan. Dukungan pemerintah Pemerintah yang

menyatakan bahwa jernang berasal dari indigeneous people kemudian

di berikan sertifikat dari instansi terkait dan mengolahnya secara

tradisional.

f. Dukungan kebijakan dalam pengembangan komoditas jernang sebagai

andalan daerah. Dasar hukum bagi pengembangan budidaya rotan

jernang sebagai HHBK Unggulan telah ada yakni Permenhut No. 35

Tahun 2007.

g. Dukungan permodalan dari perbankan (kredit lunak).

Tabel 3. Analisis SWOT pengelolaan HHBK rotan jernang di pantai barat

Aceh

INTERNAL

STRENGHTS (S)/

Kekuatan

WEAKNESSES (W)/

Kelemahan

1. Kandungan fitokimia

yang penting untuk

bahan baku farmasi,

1. Populasi semakin

menurun akibat

kemampuan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 341

EKSTERNAL

pengawet dan pewarna

organik

2. Sejarah pemanenan

telah lama;

3. Tenaga kerja tersedia;

4. Rotan jernang memiliki

sebaran tempat tumbuh

yang lebar;

5. Waktu panen yang

relatif cepat dan usia

produktif yang lama;

6. Kawasan hutan dan

luar kawasn yang

didapat ditanami cukup

luas.

regenerasi rendah

2. Budidaya di kebun

masyarakat belum

banyak dimulai

3. Kurangnya informasi

pasar yang diterima

petani

4. Harga berfluktuasi di

tingkat petani

5. Penguasaan teknologi

pengolahan yang

dimiliki petani masih

rendah, belum

terstandarisasi

6. Keterbatasan modal

dalam pengembangan

industry pengolahan

OPPORTUNITIES

(O)/ Peluang STRATEGI SO STRATEGI WO

1. Getah jernang

merupakan

komoditas ekspor

dengan permintaan

dunia yang tinggi;

2. Perkembangan

IPTEK bidang

pengobatan herbal;

3. Berkembang

peralatan

pengolahan getah

yang meningkatkan

kualitas hasil;

4. Dukungan

kebijakan pemda

untuk

pengembangan

hasil hutan bukan

kayu dalam rangka

pengurangan

ketergantungan

a. Melakukan kajian/

penelitian aspek sosek,

pengolahan, dll.

b. Pengembangan

pengobatan herbal getah

jernang sebagai

antioksidan dan

proagulasi.

c. Meningkatkan nilai jual

sebagai bahan setengah

jadi ataupun bahan jadi

dengan kerja sama

dengan industry farmasi,

industri pewarna dan

pengawet organik.

d. Sosialisasi penggunaan

peralatan pengolah

sederhana yang dapat

kualitas dan memenuhi

standar kualitas nasional

(SNI)

a. Budidaya intensif dan

peningkatan

populasinya.

b. Mengintensifkan

penyuluhan dan

bimbingan teknis.

c. Penggunaan bibit

rotan jernang unggul

untuk meningkatkan

produktivitas getah.

d. Membentuk kelompok

tani dan koperasi

hindari spekulasi

harga .Standarisasi

kualitas getah jernang

e. Dukungan kebijakan

dalam pengembangan

komoditas jernang

sebagai andalan daerah.

f. Dukungan permodalan

dari perbankan (kredit

342| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

terhadap hasil kayu

dan peningkatan

kesejahteraan

masyarakat.

lunak)

TREATHS (T)/

Ancaman STRATEGI ST STRATEGI WT

1. Praktek pemanenan

tidak lestari dengan

menebang batang

rotan jernang.

2. Kebutuhan lahan

untuk peruntukan

lain (perkebunan

sawit) meningkat

3. Batas dan status

lahan tidak jelas;

4. Beredar getah

jernang oplosan

dengan harga lebih

murah.

a. Penerapan teknik

pemanenan lestari

(pemanenan tidak

melebihi pertumbuhan)

b. Pengembangan

hutan/kebun rotan

jernang dengan sistem

wana tani

c. Penetapan batas kawasan

d. Penyusunan rencana aksi

pemantauan pemanenan

dan pemasaran getah

jernang

a. Monitoring populasi

tanaman rotan jernang

dan pengawasan

peredaran getah

jernang oplosan

b. Penetapan aturan

larangan pemanenan

dengan menebang

batang rotan jernang

Strategi-strategi pengembangan prioritas (SO) yang dapat

dilakukan, antara lain:

a. Melakukan kajian/penelitian terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi,

pengolahan produk, dan lainnya yang bermanfaat dalam

pengembangan budidaya rotan jernang;

b. Dukungan pengembangan pengobatan herbal memanfaatkan getah

jernang sebagai antioksidan dan proagulasi;

c. Meningkatkan nilai jual getah jernang sebagai bahan setengah jadi

ataupun bahan jadi dengan melakukan kerja sama dengan industri

farmasi, pewarna dan pengawet organik;

d. Sosialisasi penggunaan peralatan pengolah sederhana yang dapat

kualitas dan memenuhi standar kualitas nasional (SNI).

Strategi-strategi pengembangan prioritas (ST) yang dapat

dilakukan, antara lain:

a. Penerapan teknik pemanenan lestari; pemanenan dilakukan tidak

melebihi kemampuan pertumbuhan dan regenerasinya.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 343

b. Pengembangan hutan/ kebun rotan jernang dengan sistem wana tani;

c. Penetapan batas kawasan hutan yang jelas;

d. Penyusunan rencana aksi pemantauan pemanenan dan pemasaran getah

jernang.

Strategi-strategi pengembangan prioritas (WT) yang dapat

dilakukan, antara lain:

a. Monitoring populasi tanaman rotan jernang dan pengawasan peredaran

getah oplosan;

b. Penetapan aturan larangan pemanenan dengan menebang batang rotan

jernang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengelolaan hasil hutan bukan kayu rotan jernang merupakan

langkah yang strategis untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di

sekitar hutan sekaligus mendukung upaya pelestarian hutan. Apabila

HHBK ini dikelola dengan baik, rangkaian tata usaha ini akan membuka

mata pencaharian dan peningkatan pendapatan dalam rangka pengentaskan

kemiskinan. Upaya peningkatan populasi rotan jernang dapat dilakukan

melalui kegiatan penanaman intensif dengan pola wanatani serta praktek

pemanenan yang tidak melebihi pertumbuhannya. Standarisasi kualitas dan

dukungan kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga akan

mendukung tata niaga yang adil.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Planologi Kehutanan, 2010. Penentuan Tingkat Referensi Emisi.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan,

Jakarta. http://www.dnpi.go.id/mrv2/Sesi%20I/ Penentuan%20

Tingkat%20Referensi%20Emisi%20(Defining%20Reference%20

Emission%20Level)Ruandha%20A%2 Sugardiman.pdf. Diakses

20 November 2013.

Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001. Keadaan Hutan

Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan

Washington D.C.: Global Forest Watch.

344| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Harian Merdeka online, 2007. Permintaan 400 ton ke china per tahun

kemampuan hanya 27 ton/tahun (http://www.merdeka.com/

ekonomi/internasional/china-butuh-400-ton-jernang-rotan-dari-

indonesia-bz6qu2l.html). diakses 20 Maret 2014.

Rangkuty, F. 2006. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 18 – 35 p.

Sumarna, Y. 2004. Budidaya rotan penghasil getah jernang. Badan

Puslitbang Bogor.

Waluyo, T.K. dan Pasaribu, G. 2013. Aktivitas Aktioksidan dan

Antikoagulasi Resin Jernang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4):

306-315

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 345

ANALISIS KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA GULINGGANG

(Cassia alata L ) SEBAGAI TUMBUHAN BAWAH DALAM SISTEM

AGROFORESTRI

Adnan Ardhana1)

Dan Wawan Halwany1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Jl. A Yani Km 28.7 Landasan Ulin Banjarbaru Kalimantan Selatan

Phone/fax: +62-511-4707872; Email: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu potensi hasil hutan kayu dan mempunyai manfaat sebagai tumbuhan

obat yang tersebar di Kalimantan Selatan adalah Gulinggang (Cassia alata

L).Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan dan kelayakan

budidaya Gulinggang. Penelitian dilakukan di desa Mangkaok, Kecamatan

Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Data yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil wawancara dengan petani

dan data sekunder yang berasal dari pustaka yang berhubungan dengan tujuan

penelitian. Analisis yang digunakan dengan analisis pendapatan dan Revenue

Cost Ratio (R/C). Hasil peneliitian Total Pendapatan selama satu tahun sebesar

Rp. 25.327.500,-.dan Revenue Cost Ratio sebesar 2,47 atau R/C > 1. Dengan

demikian, usaha budidaya Gulinggang layak untuk dilaksanakan.

Kata Kunci: Pendapatan, Analisis Kelayakan, Gulinggang (Cassia alata L)

I. PENDAHULUAN

Hutan tropis Indonesia yang sangat luas beserta keanekaragaman

hayati yang ada didalamnya merupakan sumber daya alam yang tak ternilai

harganya. Saat ini sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, namun

baru sekitar 200 spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pada

industri obat tradisional dan dari jumlah tersebut baru sekitar 4% yang

dibudidayakan. Penggunaan bahan alam sebagai obat (biofarmaka)

cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan

krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat

terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat dari

bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang

membahayakan. (http://www.bbpp-lembang.info.)

346| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Salah satunya adalah Gulinggang (Cassia alata L.). Tumbuhan ini

merupakan perdu yang tumbuh tegak, tinggi sampai 3 m, tumbuh di

tempat-tempat yang lembab mulai dari dataran rendah sampai + 1.400 m di

atas permukaan laut, kadang-kadang juga ditanam sebagai tanaman hias.

Dibeberapa tempat jenis ini dikenal dengan nama Ketepeng Cina, Kupang-

kupang (Manado), atau Ki Manila (Jawa) (Heyne , 1987). Cassia alata L

termasuk ke dalam Famili Fabaceae. Tumbuhan ini merupakan jenis asli

dari Amerika Tengah terutama di daerah Caribia namun jenis ini juga

dikenal atau ditemukan di daerah-daerah tropis dan kepulauan

(Hennebelle, Hennebelle, T., B. Weniger, H. Joseph, S. Sahpaz., F.

Bailleul, 2009). Di Kalimantan Selatan, Gulinggang ditemukan di hampir

semua wilayah diantaranya Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai

Utara, Tabalong, Tanah Bumbu, Kotabaru, dan Banjar. Tumbuhan ini

biasanya ditemukan dalam kondisi mengelompok di daerah lembah, pinggir

sungai di lereng gunung atau ditemukan di daerah lembab.

Adapun bagian tumbuhan gulinggang yang dimanfaatkan adalah

pada bagian daun dengan manfaat dari daun gulinggang sebagai obat

diantaranya adalah sebagai obat sembelit, sakit perut, liver, penyakit kulit

pada umumnya seperti panu dan kurap, malaria, dan flu (Hennebelle, et al.,

2009, Naemah, 2012).

Beberapa penelitian, khususnya mengenai komoditas tumbuhan

obat di Kalimantan sudah pernah dilakukan. Naemah (2012) melakukan

Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Bagi Masyarakat Dayak di

Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Suyanto dan

Hafizianor (2006) melakukan Inventarisasi Komposisi Jenis Dan Potensi

Tumbuhan Berkhasiat Obat Dari Hutan Rawa Di Propinsi Kalimantan

Selatan,Andriani (2010) melakukan Eksplorasi Tumbuhan Hutan

Berkhasiat Obat Di Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah masih

bersifat identifikasi dan eksplorasi belum sampai tahap budidaya sampai

kelayakan pengusahaanya.

Saat ini, kebutuhan daun Gulinggang khususnya di Kalimantan

Selatan masih mengandalkan dari tumbuhan alam. Mengingat potensi

manfaat dan ekonominya perlu dilakukan kajian analisis kelayakan usaha

budidaya gulinggang sebagai salah satu komoditas tumbuhan bawah dalam

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 347

sistem agroforestri yang saat ini sedang banyak di kembangkan sebagai

tambahan penghasilan masyarakat sekitar hutan.

II. METODE PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penentuan lokasi dan teknik pengambilan responden dilakukan

secara purposive dengan criteria telah melakukan kegiatan budidaya

Gulinggang. Berdasarkan hal tersebut maka kegiatan penelitian ini

dilakukan di desa Mangkaok, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar,

Kalimantan Selatan. Desa ini dipilih karena kegiatan budidaya tanaman

gulinggang telah dilakukan dan masih berlangsung sampai saat ini.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014. Metode

pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan petani pelaku

budidaya gulinggang dan pengumpulan data sekunder yang berasal dari

pustaka yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data primer yang

dikumpulkan adalah data-data yang berhubungan dengan biaya yang

dikeluarkan dalam budidaya gulinggang.

B. Analisis data

Penelitian ini menggunakan dua jenis analisis yaitu :

1. Analisis Pendapatan

Soekartawi (1995) menyatakan pendapatan usahatani adalah

selisih antara penerimaan (TR) dan semua biaya (TC), dimana penerimaan

usahatani adalah perkalian antara produksi dan harga jual, sedangkan biaya

adalah semua pengeluaran yang digunakan dalam suatu usahatani. Jadi

rumus pendapatan dapat dituliskan sebagai berikut:

Keterangan:

π = Pendapatan

TR = Total Revenue (Total Penerimaan)

TC = Total Cost (Total Biaya)

Dimana:

TR = P.Q

TC = FC+VC

348| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

2. Analisis Kelayakan

Kelayakan usahatani adalah suatu ukuran untuk mengetahui usaha

ini layak untuk diusahakan atau tidak layak. Disini dalam artian apakah

dapat menghasilkan suatu manfaat atau tidak. Suatu usahatani yang akan

dilaksanakan dinilai dapat memberikan keuntungan atau layak diterima jika

dilakukan analisis kelayakan usaha, kelayakan usaha dapat diketahui

dengan pendekatan R/C. R/C adalah singkatan dari Revenue Cost Ratio

atau dikenal dengan perbandingan antara total penerimaan (R) dan total

biaya (C).

Soekartawi (1995) lebih lanjut mengemukakan bahwa analisis

Revenue Cost Ratio merupakan analisis yang melihat perbandingan antara

penerimaan dan pengeluaran. Tujuannya adalah untuk mengetahui layak

atau tidak usahatani itu dilaksanakan, dengan rumus:

Keterangan:

a = Perbandingan antara Total Revenue dengan Total Cost

R = Total Revenue (total penerimaan)

C = Total Cost (total biaya)

Apabila R/C = 1, berarti usaha tani tidak untung tidak pula rugi

atau impas, selanjutnya bila R/C < 1, menunjukkan bahwa usaha tersebut

tidak layak diusahakan dan jika R/C > 1, maka usahatani tesebut layak

untuk diusahakan (Soekartawi, 2002).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Biaya Usaha Budidaya

Budidaya mempunyai tujuan utama yaitu untuk mendapatkan hasil

yang maksimal dengan menggunakan faktor produksi seoptimal mungkin.

Didalam usaha budidaya Gulinggang ini rekapitulasi biaya yang

dikeluarkan harus diperhitungkan sebagai biaya oleh pengelola usaha tani,

karena dengan diketahui biaya dan penerimaan seorang petani dapat

memperkirakan apakah usahatani yang dilakukan untung atau rugi. Biaya

usahatani menurut Kaslan (1982) dalam Husni, et.al, (2014) dapat

digolongkan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 349

A.1. Biaya Tetap

Biaya tetap (Fixed Cost) adalah jenis biaya yang selama kisaran

waktu operasi tertentu atau tingkat kapasitas produksi tertentu selalu tetap

jumlahnya atau tidak berubah walaupun volume produksi berubah. Biaya

tetap usaha budidaya Gulinggang ini dapat dilihat dalam tabel 1. berikut :

Tabel 1. Biaya Tetap Budidaya Gulinggang

No Uraian Biaya

1 Sewa lahan Rp. 3,750,000,-

2 Gunting stek Rp. 110,000,-

Total Rp. 3.850.000,-

Sumber : Data Primer, diolah (2014)

A.2. Biaya Tidak Tetap (variabel)

Biaya variabel (Variable Cost) adalah jenis-jenis biaya yang besar

kecilnya tergantung pada banyak sedikitnya volume produksi. Apabila

volume produksi bertambah maka biaya variabel akan meningkat,

sebaliknya apabila volume produksi berkurang maka biaya variabel akan

menurun. Dalam analisis titik impas disyaratkan bahwa perubahan biaya

variabel ini sebanding dengan perubahan volume produksi, sehingga biaya

variabel per-unit barang yang diproduksi bersifat tidak tetap.

Biaya tidak tetap (variabel) terdiri dari : biaya sarana produksi dan

biaya tenaga kerja, jadi biaya keseluruhan yang dikeluarkan oleh petani

dapat dilihat dalam tabel 2. Berikut :

Tabel 2. Biaya Tidak Tetap Budidaya Gulinggang

No Uraian Biaya (Rp)

1 Pupuk 1,237,500

2 Bibit 6,750,000

3 Pemeliharaan 1,100,000

4 Persiapan lahan 2,000,000

5 Upah Penanaman 2,250,000

Total Biaya 13.337.500

Sumber : Data Primer, diolah (2014)

350| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

A.3 Biaya Total

Biaya total adalah penjumlahan dari Biaya Tetap dan Biaya

Variabel. Jadi Biaya Total yang dikeluarkan oleh petani pada usaha

budidaya Gulinggang adalah sebesar Rp 17.197.500/ Ha.

B. Pendapatan Usahatani.

Analisis pendapatan dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh petani dengan cara

menghitung selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang

dikeluarkan selama satu tahun. Sehingga perlu diketahui terlebih dahulu

besarnya tingkat penerimaan yang diperoleh serta biaya-biaya yang

dikeluarkan dalam melakukan suatu usaha budidaya tersebut. Adapun

asumsi yang digunakan dalam analisis usaha budidaya Gulinggang adalah

sebagai berikut :

a) Waktu penghitungan adalah 1 tahun

b) Jarak tanam menggunakan 1,5 m x 1,5 m

c) Pemanenan dilakukan mulai bulan ke 4

d) Frekuensi pemanenan adalah satu kali per bulan

e) Rata-rata volume produksi per pohon adalah 0,7 kg

f) Harga jual di tingkat petani adalah Rp. 1500,-/kg

Tingkat penerimaan petani dalam usaha budidaya Gulinggang

dapat dilihat dalam tabel 3 berikut :

Tabel 3. Pendapatan Usaha Budidaya Gulinggang

No Uraian Nilai Konversi

(Rp/Ha)

1. Penerimaan Usaha Tani

- Rata-Rata Produksi/bulan Rp.3.150 kg

- Rata-rata produksi/tahun Rp.28.350 kg

- Harga jual Rp.1.500,-

Rata-Rata Penerimaan 42.525.000

2. Biaya Produksi

Biaya Tetap

- Sewa lahan 3.750.000

- Gunting Stek 110.000

Biaya Tidak Tetap

- Pupuk 1,237,500

- Bibit 6,750,000

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 351

- Pemeliharaan 1,100,000

- Persiapan lahan 2,000,000

- Upah Penanaman 2,250,000

Biaya Total 17.197.500

Pendapatan (2-1) 25.327.500

Sumber : Data Primer, diolah (2014)

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa total

penerimaan dari usaha budidya Gulinggang adalah Rp. 42.525.000,- dan

total pendapatan dari usaha budidaya Gulinggang sebesar Rp. 25.327.500,-

dalam periode 1 tahun.

C. Analisis Kelayakan Budidaya Gulinggang

Untuk mengetahui kelayakan pengembangan budidaya Gulinggang

dalam penelitian ini digunakan analisis Revenue of Cost Ratio (R/C) yakni

besarnya perbandingan penerimaan dan biaya total dengan menggunakan

rumus Revenue of Cost Ratio (R/C), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

a = Perbandingan antara Total Revenue dengan Total Cost

R = (Total Revenue) penerimaan total, dinyatakan dalam satuan (Rp)

C = (Total Cost) Biaya total, dinyatakan dalam satuan (Rp)

Dengan Kriteria apabila:

R/C > = Usaha pengembangan Gulinggang menguntungkan atau layak

diusahakan

R/C =1 = Usaha pengembangan Gulinggang berada pada titik impas

R/C < 1 = Usaha pengembangan Gulinggang dalam keadaan rugi atau tidak

layak diusahakan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh tingkat kelayakan usahatani

Gulinggang sebagai berikut:

= 2.47

352| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penerimaan yang diterima oleh petani adalah Rp 42.525.000,- dengan rata-

rata biaya total sebesar Rp 27.327.500,- sehingga diperoleh Revenue of

Cost Ratio sebesar 2,84. Dengan demikian, usaha budidaya Gulinggang

layak untuk diusahakan, sebab nilai rasio R/C > 1.

IV. KESIMPULAN , KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tingkat penerimaan petani

dalam usaha budidaya Gulinggang adalah sebesar Rp. 42.525.000,- dengan

total pendapatan sebesar Rp. 25.327.500. R/C rasio dari usaha budidaya

Gulinggan adalah sebesar 2,47 atau R/C >1 sehingga usaha budidaya

Gulinggang ini layak dilaksanakan.

B. Keterbatasan

Penelitian ini hanya terbatas pada kelayakan pengusahaan secara

spesifik lokasi dan jangka pengusahaan selama 1 tahun produksi mengingat

daya produksi/daur hidup tanaman Gulinggang belum diketahui.

C. Saran

Dalam rangka pengembangan sistem agroforestri, perlu dilakukan

kajian lebih lanjut mengenai jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan

bersama dengan Gulinggang mengingat sifat tumbuhan ini yang perlu

intensitas cahaya cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Hennebelle, T., B. Weniger, H. Joseph, S. Sahpaz., F. Bailleul. 2009.

Senna alata. Fitoterapia 80 (2009) 385-393.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang

Kehutanan. Jakarta.

Husni, Abdul Kholik Hidayah, dan Maskan AF. 2014. Analisis Finansial

Usahatani Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L) Di Desa

Purwajaya Kecamatan Loa Janan. Jurnal AGRIFOR Volume XIII

Nomor 1, Maret 2014. Universitas 17 Agustus. Samarinda

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 353

Herdina, Elvina. Potensi Tanaman Obat Indonesia. http://www.bbpp-

lembang.info. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2014

Naemah, Dina.2012. Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Bagi

Masyarakat Dayak di Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu

Sungai Tengah. Laporan Penelitian (Mandiri). Fakultas Kehutanan

Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

_________, 2002. Ilmu Usahatani, Jakarta.

354| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PROSPEK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI DODOL DAN

MANISAN PALA DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Yulia Ratnaningsih

Fakultas Ilmu Kehutanan UNTB

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untukmengetahui faktor yang mempengaruhi produksi

dodol dan manisan pala, mengetahui hambatan yang mempengaruhi dalam

pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala, dan mengetahui prospek

pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala. Penelitian ini dilakukan

di Desa Mantang Kecamatan Batu Kliang. Metode penelitian yang digunakan

adalah metode deskriptif. Teknik pemilihan lokasi dilakukan secara purposive

sampling. Penentuan jumlah responden pengrajin dilakukan secara sensus

dengan 15 unit usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang

mempengaruhi pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala adalah

bahan baku dan tenaga kerja, hambatan yang dialami pengrajin dalam pe

ngembangan agroindustri dodol dan manisan pala adalah pemasaran terbatas,

modal kurang dan alat produksi masih sederhana; Pengembangan agroindustri

dodol dan manisanpala secara ekonomi berprospek baik yang ditunjukkan oleh

nilai rentabilitas yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku saat ini

yaitu 1,25 % per tahun dan nilai (R/C >1), menguntungkan secara sosial dapat

diterima oleh masyarakat, dan tidak merusak lingkungan.

Kata kunci : Prospek, agroindustri, dodol pala, manisan pala.

I. PENDAHULUAN

Tanaman pala (Myristica fragrans houtt)merupakan salah satu

tanaman asli Indonesia sangat potensial sebagai komoditas perdagangan di

dalam dan di luar negeri (ekspor) berasal dari pulau banda, yang dapat

diolah menjadi bahan makanan, obat-obatan, parfum, kosmetik, dan lain-

lain.Tanaman ini merupakan tanaman keras dapat berumur panjang hingga

lebih dari 100 tahun. Indonesia telah menduduki posisi pertama penghasil

pala dunia, karena sebagian besar kebutuhan pala dunia berasal dari negara

kita. Lebih dari 60 % kebutuhan pala dunia didatangkan dari Indonesia

selebihnya didatangkan dari negara Grenada, India, dan Madagaskar.

Adapun negara pengimpor pala adalah negara-negara Eropa dan negara di

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 355

AmerikaSudah sejak lama tanaman pala dikenal sebagai bahan rempah-

rempah. Hasil pala Indonesia lebih disukai oleh pasaran luar negeri

(ekspor) karena memberikan aroma khas dan memiliki rendemen minyak

atsiri yang tinggi(Rahmat, 2004).

Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten

Lombok Tengah Tahun 2010, Kecamatan Batukliang, Kabupaten Lombok

Tengah merupakan salah satu sentra agroindustri dodol pala dan manisan

pala dengan 15 unit usaha yang mampu memproduksi 8.125 kg/tahun.

Luas panen maupun jumlah produksi pala di Kabupaten Lombok

Tengah selama lima tahun terakhir berfluktuasi, meskipundemikian tetapi

secara kuantitas produksi pala relatip cukup banyak seperti halnya

komoditas-komoditas yang lain. Produksi pala ini selain produksinya

kontinyu juga persediaannya cukup banyak, hal inilah yang merupakan

faktor pendorong berkembangnya usaha pengolahan pala diKabupaten

Lombok Tengah. Tujuan Penelitian, untuk mengetahui prospek

pengembangan,faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, dan hambatan

yang mempengaruhi produksi pada agroindustri dodol dan manisan pala di

Kabupaten Lombok Tengah.

II. METODE PENELITIAN

A. Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode yang

mengumpulkan, menyusun dan menganalisa serta menginterpretasikan data

kemudian menarik kesimpulan. Sedangkan teknik pengumpulan data

mengunakan teknik survey, yaitu pengumpulan data dari sejumlah individu

(unit sampling) dalam waktu bersamaan dengan menggunakan daftar

pertanyaan yang telah disusun sebelumnya (Arikunto, 2000). Penelitian ini

dilaksanakan Kabupaten Lombok Tengah, yang ditentukan secara

“purposive sampling“ atas dasar pertimbangan bahwa industri pengrajin

pala hanya ada di kecamatan Batukliang yaitu sebanyak 15 unit usaha, hal

ini berdasarkan data skunder yang diperoleh dari Departemen Perindustrian

dan Perdagangan Kabupaten Lombok Tengah. Atas dasar pertimbangan

yang sama ditentukan Desa Mantang sebagai desa tempat penelitian.

356| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penentuan jumlah Responden dilakukan dengan cara “sensus” yaitu

sebanyak 15 pengusaha pala.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Agroindustri Dodol dan Manisan Pala

Agroindustri dodol dan manisan pala di Kabupaten Lombok Tengah

terdapat diDesa Mantang Kecamatan Batukliang merupakan satu-satunya

sentra produksi yang tercatat di Departemen Perindustrian dan

Perdagangan. Agroindustri dodol dan manisan pala ini umumnya dilakukan

pada skala industri kecil (Industri rumah tangga) yang dilakukan oleh ibu-

ibu rumah tangga, dengan modal yang terbatas dan bertujuan untuk

meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu juga untuk mengisi kios/

toko yang dimiliki, perluasan lapangan kerja, menyerap tenaga kerja dan

mengurangi limbah buah pala yang hanya dimanfaatkan bijinya saja.

Sehingga keberadaannya mampu mengoptimalkan produktivitas tenaga

kerja dalam keluarga petani pala dan dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat pedesaan dari penggunaan daging buah pala yang sebelumnya

tidak bernilai ekonomi.

Tenaga kerja yang digunakan pada agroindustri dodol dan manisan

pala adalah tenaga kerja dalam keluarga dan luat keluarga. Adapun cara

yang digunakan dalam pengolahan dodol dan manisan pala ini masih

sederhana yang dibuktikan dengan pengunaan alat-alat yang masih

sederhana serta belum menggunakan alat-alat yang modern. Demikian pula

dengan penjemurannya masih bergantung dengan sinar matahari, belum

menggunakan oven.

Pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala di Desa

Mantanng sangat ditunjang dengan ketersediaan bahan baku yang cukup

tersedia secara kontinyu. Hal ini merupakan hasil binaan Departemen

Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 1999 yang memberi bimbingan

keterampilan manajemen dan teknologi pembuatan dodol dan manisan

buah pala. Pemerintah juga memberikan bantuan berupa pinjaman modal

usaha, peralatan produksi berupa baskom, pisau, pengaduk, wajan, kompor

dan dandang. Hal ini dilakukan untuk memberikan motivasi agar

pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala dapat berjalan lancar.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 357

B. Biaya Produksi

Biaya produksi yang dikeluarkan pengrajin untuk pengolahan

dan pengembangan agroindustri pala meliputi biaya variabel dan biaya

tetap. Dari hasil analisa diketahui total biaya produksi untuk manisan pala

dalam satu bulan sebesar Rp 192.697,- dan untuk dodol pala sebesar

Rp147.842,- yang meliputi biaya bahan baku, biaya depresiasi alat tahan

lama dan biaya tenaga kerja dari luar keluarga. Rata-rata biaya tenaga

kerja untuk pembuatan manisan pala dalam satu bulan yaitu Rp 75.510,-

sedangkan pada pembuatan dodol pala biaya tenaga kerjanya sebesar Rp

59.443,-.Para pengrajin palamengalami peningkatan setiap menjelang

perayaan hari raya Idul Fitri dimana peningkatannya mencapai dua kali

lipat dari jumlah permintaan normal setiap bulannya.Adapun besaran

biaya untuk produksi dodol dan manisan pala dapat dilihat pada tabel 1:

Tabel 1 Biaya Produksi Dodol dan Manisan Pala

No Jenis Biaya Besar Biaya Persentase

Manisan Dodol Manisan Dodol

1

2

3

Biaya Variabel

* Biaya Bahan Baku

* Biaya Tenaga Kerja

Biaya Tetap

Biaya Depresiasi

Biaya Pemasaran

90.832

75.510

5.467

20.888

66.832

59,443

5.467

16.100

47,14

39,18

2,83

10,83

45,20

40,20

3,69

10,89

Jumlah 192.697 147.842 100 100

Dari tabel1terlihat bahwa biaya produksi terbesar yang dikeluarkan

pengusaha adalah biaya bahan baku,untuk dodol sebesar Rp 66.832,- atau

sebesar 45,20 % dan manisan pala sebesar Rp 90.832,-atau sebesar 47.14

% dari seluruh biaya yang dikeluarkan.

Penjelasan dari masing-masing biaya produksi pada tabel 1 adalah

sebagai berikut:

1. Biaya Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan dodol dan manisan pala

adalah buah pala. Rata-rata biaya bahan baku buah pala dan bahan

penolong yang digunakan dalam pembuatan manisan dan dodol pala oleh

358| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

responden dalam satu bulan adalah sebesar Rp 90.832,- untuk manisan

pala dan Rp 66.832,- untuk dodol pala.

2. Biaya Tenaga Kerja

Biaya tenaga kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

biaya tenaga kerja luar keluarga dan dalam keluarga pada semua

kegiatan, yang terdiri dari kegiatan pengupasan,

penumbukan/penghalusan. Kegiatan pengupasan dan penumbukan

sampai penghalusan hasil analisis menunjukan bahwa (100%) responden

menggunakan tenaga kerja dalam keluarga sedangkan proses pemasakan

menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Adapun yang dihitung dalam

penelitian ini adalah tenaga kerja luar keluarga. Pada penelitian ini tenaga

kerja dalam keluarga tidak dihitung karena usaha agroindustri ini sifatnya

masih skala rumah tangga sehingga mereka tidak pernah

memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam keluarga. Lebih jelas biaya

tenaga kerja yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2 Rata-rata Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga dan Tenaga Kerja

Luar Keluarga

No Jenis kegiatan

Dalam

keluarga

(Rp)

Luar

keluarga

(Rp)

Total (Rp)

1.

2.

Pengupasan dan pemotongan

(Pembuatan manisan )

Pengupasan penghalusan

(pembuatan dodol )

-

-

75.510

59.443

75.510

59.443

Jumlah - 134.953 134.953

Sumber : Data primer diolah

Dari tabel terlihat bahwa biaya tenaga kerja terbesar dikeluarkan

pengrajin responden adalah jenis kegiatan pengupasan dan pemotongan

buah pala sebagai bahan pembuatan manisan pala yaitu sebesar Rp.

75.510.

3. Biaya Depresiasi

Alat-alat yang digunakan oleh responden pengrajin untuk

memproduksi makanan dengan bahan baku pala yaitu mulai dari

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 359

pengupasan. Penumbukan sampai penghalusan buah pala yaitu alat

penumbuk,kelabang,pisau,baki,bak peredam,parut, dandang, kompor dan

sendokpengaduk. Biaya depresiasi alat-alat tahan lama dalam satu bulan

adalah Rp.10.934 dengan alat yang nilai depresiasi yang terbesar adalah

kompor yaitu Rp Rp 2.250,-. Karena penggunaan alat-alat yang sama dan

bergantian pada agroindustri dodol dan manisan pala ini maka dalam

perhitungannya nilaibiaya depresiasi ini dibagi dua.

Tabel 3 Rata-rata Biaya Depresiasi Alat-alat Tahan Tama

No Jenis Alat Biaya Depresiasi (RP)

1. Alat penumbuk 1.800

2. Kelabang 750

3. Pisau 350

4. Baki 1000

5. Bak perendam 1100

6. Parut 984

7. Dandang 2.100

8. Sendok pengaduk 200

9

.

Kompor 2.250

10.934.

Jumlah

Sumber : Data primer diolah

4. Nilai produksi

Nilai produksi yaitu hasil kali antara jumlah produksi dodol dan

manisan pala (kilogram) dengan harga produksi per unit (Rp/kg). Secara

rinci rata-rata produksi, harga per unit dan nilai produksi dodol dan

manisan pala dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

Tabel 4 Rata-rata Produksi, Harga Per Unit, dan Nilai Produksi

No Uraian Nilai ( Rp/Kg)

Dodol Manisan

1. 2.

3.

Produksi Harga per Unit

Nilai Produksi

12.93 18.833

244.866

24.67 14.700

359.066

Sumber : Data primer diolah

360| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Dari tabel 4 diatas dapat dijelaskan bahwa rata-rata jumlah

produksi agroindustri pala yaitu sebanyak 37.6 kg dimana produksi

manisan pala sebesar 24.67 Kg dan dodol pala sebesar 12.93 Kg. Rata-rata

harga per unit untuk manisan adalah Rp.14.700,-dan untuk dodol sebesar

Rp. 18.833,-. Sedangkan rata-rata nilaiproduksi untuk manisan pala yaitu

mencapai Rp.359.066,- dan untuk dodol pala sebesar Rp 244.866,-.

Sehingga dicapai total nilai produksi untuk kedua komoditi adalah sebesar

Rp 603.932,-

5. Pendapatan Pengrajin

Besarnya pendapatan yang diterima pengrajin sangat tergantung

pada besarnya biaya produksi,jumlah produksi,dan nilai produksi.

Pendapatan yang diperoleh pengusaha responden dihituhg dengan cara

mengurangi nilai produksi dengan biaya produksi.Besarnya pendapatan

bersih responden pengrajin dodol dan manisan pala dalam satu bulan dapat

dilihat pada tabel 5 berikut

Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Bersih Responden

No Uraian Nilai

1. Nilai produksi

Manisan

Dodol

359.066

244.866

2. Total biaya produksi

Manisan

Dodol

166.775

131.742

3. Pendapatan Bersih

Manisan

Dodol

179.757

102.390

Sumber : Data primer diolah

Dari hasil analisis maka dapat dikatakan bahwa usaha agroindustri

manisan palalah yang lebih menguntungkan hal ini dapat dilihat dari nilai

pendapatan bersih didapat dari pembuatan manisan pala yang lebiih tinggi

yaitu sebesar Rp 179.757,-

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 361

C. Prospek Pengembangan Agroindustri Pala

Untuk mengetahui prospek pengembangan usaha pengolahan buah

pala di Desa Mantang digunakan analisis rentabilitas . Analisis rentabilitas

yang dimaksud yaitu menunjukkan perbandingan antara laba atau

pendapatan bersih dengan modal atau total biaya yang menghasilkan laba

(pendapatan) tersebut

Tabel 6 Nilai Rentabilitas dan R/C Ratio dalan Satu Bulan

No Uraian Nilai (Rp)

1. Pendapatan Kotor (Rp)

* Manisan

* Dodol

192.290

113.124

2. Total Biaya(Rp)

* Manisan

* Dodol

166.775

131.742

3. Pendapatan Bersih (Rp)

* Manisan

* Dodol

179.757

102.390

4. Nilai Rentabilitas (%)

Manisan

Dodol

166

121

5. Nilai R/C Ratio

Manisan

Dodol

2.77

2.39

Sumber : Data primer diolah

Agar dapat menentukan layak atau tidaknya agroindustri dodol

dan manisan pala ini untuk dikembangkan dapat diketahui dengan

membandingkan rentabilitas dengan tingkat suku bunga bank yang sama

dengan periode atau lama produksi dodol dan manisan pala.

Tingkat suku bunga tersebut diketahui sebesar 1 % perbulan.sedangkan

besarnya rentabilitas yang diperoleh untuk manisan pala adalah 1.66 %

dan untuk dodol pala adalah sebesar 1.21%. Melihat besarnya nilai

rentabilitas pada usaha pengolahan buah pala yang menunjukkan angka

yang lebih besar dari suku bunga deposito bank artinya bahwa usaha

pengolahan buah pala di Desa Mantang secara ekonomi layak untuk

dikembangkan karena lebih menguntungkan untuk menanam modal pada

362| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

agroindustri dodol dan manisan pala daripada mendepositonya di

Bank.Analisis kelayakan dengan menggunakan rentabilitas ini diperkuat

oleh analisis R/C rasio dimana nilai yang dihasilkan pada usaha pengolahan

buah pala ini yaitu lebih dari 1 (satu) yaitu 2.77 untuk manisan pala dan

2.39 untuk dodol pala berarti besarnya manfaat atau pendapatan yang

diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk agroindustri

tersebut.Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri dodol dan manisan pala

di Desa Mantang dilihat dari aspek ekonomi sangat layak untuk

dikembangkan.Sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat umumnya dan untuk kesejahteraan masyarakat Desa Mantang

khususnya.

Dilihat dari aspek lingkungan, agroindustri dodol dan manisan pala

sangat ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah buah pala segar

yang tadinya terbuang percuma menjadi sampah, Pada awalnya karena

tidak mengeti buah pala hanya di ambil biji dan fulinya saja, tetapi

sekarang telah di adopsi bahwa pemanfaatan daging buah pala dapat dibuat

dodol dan manisan pala sehingga memiliki nilai ekonomis. Limbah rumah

tangga petani buah pala dapat diserap dan dimanfaatkan sehingga tidak

merusak lingkungan.

Dilihat dari aspek sosial, agroindustri dodol dan manisan pala

diterima oleh masyarakat hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar akan

produk dodol dan manisan pala yang semakin diminati masyarakat dan

pengalaman usaha para pengrajin dodol dan manisan pala yang berkisar

antara 3-12 tahun.

D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Dodol dan Manisan

pala

Faktor – faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi dodol

dan manisan pala diidentifikasi berdasarkan teori dan disesuaikan dengan

spesifikasi masalah yaitu biaya bahan (X1) dan tenaga kerja (X2), Faktor-

faktor tersebut merupakan variabel bebas dalam penelitian ini sedangkan

yang menjadi variabel terikat adalah produksi dodol dan manisan pala di

Desa Mantang. Pengujian secara serentak tentang pengaruh variabel bebas

(x1 dan x2) terhadap produksi dodol pala menunjukkan nilai koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,5469. Artinya, 54,69 %keragaan dalam

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 363

produksi dodol pala dapat diterangkan oleh keragaan variabel bebas dan

hanya 45.31% dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel bebas yang

diteliti. Selanjutnya hasil analisis serentak menunjukkan bahwa variabel

bebas berpengaruh nyata terhadap produksi dodol pala pada taraf

kepercayaan 95 % karena nilai F hitung sebesar 7.2358933 lebih besar dari

F tabel = 3,89. Artinya secara serentak semua variabel bebas berpengaruh

nyata terhadap produksi dodol pala.

E. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Produksi Dodol Pala Ditampilkan Pada Tabel :

Variabel Koef regresi T Hitung T-tabel Ket

Bahan

Tenaga Kerja

0,178013908

0,051026845

1.85214619

0,10376478

2,179

2,179

NS

NS

Intercept

Koef Deterninan (R2)

F-Hitung

F- Tabel 5 %

11,0448083

0,546687187

7,2358933

3,89

Pada manisan pala koefisien determinasi (R2) sebesar 0.6938.

Artinya 69,39 % keragaan dalam produksi manisan pala dipengaruhi

variabel bebas sedangkan sisanya sebesar 30,61 % dipengaruhi oleh faktor

lain diluar model. Selanjutnya hasil analisis serentak menunjukkan bahwa

variabel bebas berpengaruh nyata terhadap produksi Manisan pala pada

taraf kepercayaan 95 % karena nilai F hitung sebesar 13,594785 lebih besar

dari F tabel ( 4,15). Artinya serentak semua variabel bebas berpengaruh

nyata terhadap produksi manisan pala artinya secara bersama-sama semua

variabel x yang dimasukkan dalam model berpengaruh nyata terhadap Y

(produksi). Pengujian secara parsial pada tingkat kepercayaan 95 %

diketahui bahwa biaya bahan manisan pala (x1) dan biaya tenaga kerja (x2)

secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap produksi manisan pala

yanng dinyatakan dengan nilai P value sebesar 0,08875. Lebih besar dari

nilai α = 0,05.

Hasil analisis regresi faktor yang mempengaruhi produksi dodol pala

ditampilkan pada table.

F. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Produksi Manisan Pala Ditampilkan Pada Tabel :

364| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Variabel Koef regresi T Hitung T-tabel Ket

Bahan

Tenaga Kerja

0,524495189

0,486516231

1,20016989

0,16808876

5 %

5 %

Intercept

Koef Deterninan (R2)

F-Hitung

F- Tabel 5 %

12,76699384

0,693796081

13,594785

4,15

G. HambatanYang diHadapiPengrajin DalamPengembangan

AgroindustriDodol dan Manisan Pala di Desa Mantang

Dalam upaya pengembangan agroindustridodol dan manisan pala

menjadi bahan makanan banyak hambatan yang dirasakan oleh

pengusaha.Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para

pengrajin buah pala tersebut dilakukan dengan cara secara deskriptif data

yang diperoleh wawancara langsung dengan pengrajin, sebagai berikut:

1) Modal Kurang

Modal merupakan salah satu diantara empat faktor produksi yang

dalam ilmu ekonomi dianggap perlu bagi sebuah kesatuan produksi atau

usaha.Modal usaha yang di miliki digunakan untuk pembelian bahan-bahan

baku produksi seperti buah pala dan untuk membayar upah tenaga

kerja.Selain itu juga digunakan untuk pengadan peralatan yang digunakan

memproduksi yaitu alat penggoreng,sudu pengaduk,kelabang,parut,bak

perendam,baki dan alat pengaduk.Dalam perkembangan usaha pengolahan

buah pala di Desa Mantang dari 15 responden ada4 orang dari responden

yang merasakan adanya kendala dalam pemodalannya yaitu kurangnya

modal usaha,sehingga upaya untuk mengembangkan usaha ke skala yang

lebih besar menjadi terhambat.Untuk mengatasi kendala ke 4 responden

tersebut pernah mengambil pinjaman dari koperasi simpan pinjam tetapi

hal ini dirasakan tidak cukup membantu karena bunga pinjaman yang

ditanggung cukup memberatkan sehingga mereka berhenti menjadi nasabah

pada koperasi tersebut.

2) Alat Produksi Sederhana

Alat-alat produksi yang digunakan masih sederhana hal ini merupakan

penghambat dalam proses produksi, seperti halnya pada alat penumbuk dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 365

penghalus untuk pembuatan dodol dan manisan pala yang sangat

mempengaruhi waktu produksi karna dengan menggunakan alat penumbuk

yang manual ini waktu dn tenaga yang dibutuhkan untuk memproduksi

manisan pala menjadi bertambah

3) Pemasaran Terbatas

Dalam agroindustri dodol dan manisan pala di Desa Mantang masih

mengalami hambatan dalam hal pemasaran. Hal ini dapat kita lihat dari

belum adanya pangsa pasar yang baik sehingga ada sebagian pengrajin

yang mengeluh tentang ketidakteraturan pemasaran. Selama ini para

pengrajin hanya memasarkan hasil olahan mereka disekitar lokasi

penelitian.

IV. KESIMPULAN

Tebatas padahasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Secara ekonomi agroindustri dodol dan manisan pala layak untuk

dikembangkan yang ditunjukkan oleh nilai rentabilitas yang lebih besar

dari tingkat suku bunga yang berlaku saat ini yaitu 1,25 % per bulan dan

nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1 (satu).

2. Secara serentak faktor biaya bahan dan biaya tenaga kerja berpengaruh

nyata terhadap produksi dodol dan manisan pala. Sedangkan secara

parsial biaya bahan dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap

produksi.

3. Hambatan yang dialami pengrajin dalam pengembangan agroindustri

dodol dan manisan pala adalah pemasaran terbatas, modal kurangdan

alat produksi masih sederhana

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999. Prospek Pengembangan Buah Pala, Majalah Penyuluh

kehutanan. Jakarta

Assauri sopyan, 1989.Manajemen Produksi. Penerbit FE UI. Jakarta.

Downey dan Ericson, 1992. Manajemen Agribisnis, Erlangga.Jakarta.516 h

Kadariah, Lien Karlina, Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek.

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Press. Jakarta. 104 h.

366| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kartasapoetra, A.G., 1988. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Bina

Aksara. Jakarta. 430 h.

Kotler, P, 1987. Manajemen Pemasaran. Analisa Perencanaan dan

Pengendalian Jilid II. Erlangga. Jakarta.

Mosher. 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi. Ghalia. Jakarta

Mosher, 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. LPFE UI.

Jakarta.

Mubyarto, 1999. Pambangunan Ekonomi di Dunia Ke Tiga, Airlangga.

Surabaya.

Nitisemito, 1991. Perkembangan Industri di Indonesia, Gramedia. Jakarta.

Rosmilawati, 1988. Pengantar Ilmu Ekonomi, Ghalia. Jakarta.

Riyanto, 2002. Prospek Pengembangan Usaha, Gramedia. Jakarta.

Rifianto. 1999. Pengantar Ilmu Pertanian. Ghalia. Jakarta.

Rifianto, 2003. Ekonomi Makro Indonesia. BPFE. Yogyakarta

Rismunandar, 1990.. Budidaya dan Tataniaga Pala. PT Penebar Swadaya.

Jakarta. Cetakan kedua.

Rusdan, 1988. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro, LPFE UGM. Yogyakarta

Sanyoto, 1993. Prioritas Penanaman Modal Agroindustri. Makalah pada

seminar Permodalan Agroindustri Prospek Pengembangan pada

PJPT II PPA, CIDES dan UQ. Jakarta.

Sutrisno, 1999, Pengolahan Sumber Daya Alam, Bagian Satu IPB.

Bandung.

Sukartawi, A. Soeharto, John L. Dillon, Brion J. Hardaker,1986. Ilmu

Usaha Tani dan penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.

Universitas Indonesia Press. Jakarta. 253 h.

Sukartawi, 1999. Dunia Investasi Indonesia. Ghalia. Jakarta.

Sukartawi.2001.ekonomipembangunan &perencanaan. Aditya Media

yogyakarta.237 h.

Supartiningsih, S., Hidayati, A., Nufus, N., 1997. Kajian Sistem Pemasaran

pada Agribisnis Ubi Kayu Di Kabupaten Lombok Barat. Laporan

Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram, 93 h.

Sutalaksana, 1993. Sistem Permodalan Pengembangan Agroindustri

Besar,Menengah, Kecil. Makalah pada seminar Permodalan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 367

Agroindustri Prospek Pengembangan pada PJPT II PPA, CIDES

dan UQ. Jakarta.

Simatupang, 1999. Pendidikan Ekoonomi Dasar. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta

Tohir, 1997. Strategi Pembangunan dan Rencana Kesempatan, Gramedia.

Jakarta.

Winardi, 2000. Strategi Pembangunan dan Rencana Kesempatan kerja,

Aditya Utama Jakarta.

.

368| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

DISTRIBUSI NILAI TAMBAH PADA RANTAI NILAI MADU

HUTAN SUMBAWA

Studi Kasus di Desa Batudulang dan Semongkat, Kec. Batulanteh,

Kabupaten Sumbawa

Yumantoko*, Rubangi Al Hasan

*

* Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl. Darma Bakti No 7 Ds.Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB

Email: [email protected]

ABSTRAK

Lebah hutan (Apis dorsata) banyak terdapat di kawasan hutan di Kabupaten

Sumbawa. Lebah hutan tersebut banyak diburu masyarakat desa sekitar hutan

untuk mendapatkan madunya sebagai tambahan penghasilan. Penelitian ini

bertujuan mengetahui distribusi margin tataniaga madu hutan pada setiap rantai

pemasaran. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumbawa pada tahun 2013

dengan mengaambil lokasi di dua tempat yakni di Desa Batudulang, dan

Semongkat. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan

sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara menggunakan

kuisioner. Data sekunder didapatkan dari BPS dan instansi terkait. Analisis

data dilakukan secara deskriptif dengan melakukan kalkulasi atas margin pada

setiap rantai tataniaga. Hasil yang didapatkan menunjukan di Batudulang untuk

pasar lokal margin harga terbesar dinikmati petani (74,29%) dan untuk pasar

luar provinsi margin terbesar dinikmati oleh perusahaan dagang tingkat

nasional (71%), di Semongkat margin harga terbesar juga dinikmati oleh petani

(93,10%). Margin harga yang diperoleh petani di Semongkat lebih tinggi

daripada di Batudulang karena rantai tataniaganya lebih pendek. Rantai

tataniaga madu di Batudulang relatif lebih panjang dan beragam. Penelitian ini

merekomendasikan dilakukannya pemberdayaan petani untuk meningkatkan

kapasitas secara personal dan kelembagaan. Di samping itu perlu juga

dilakukan kemitraan yang saling menguntungkan antara pengusaha dengan

petani.

Kata kunci: madu hutan, Sumbawa, margin tataniaga

I. PENDAHULUAN

Sumbawa memiliki potensi HHBK salah satunya berupa madu hutan

yang dihasilkan dari lebah jenis Apis Dorsata yang tersebar merata di

daerah yang masih memiliki hutan dengan kondisi yang masih baik. Madu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 369

hutan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang penting

karena memberi pendapatan kepada masyarakat sekitar hutan. masyarakat

sudah sejak lama mencari madu hutan yang didapat dari warisan nenek

moyang. Hasil dari berburu madu dapat untuk membantu memenuhi

kebutuhan rumah tangga (Yumantoko, 2013).

Akses informasi pasar yang masih lemah menjadikan petani madu

lebih banyak menjual madu kepada pengepul. Harga yang ditetapkan

pengepul merupakan kesepakan yang umum. Walaupun begitu, pengepul

mendapatkan keuntungan yang besar dari menjual madu yang telah dibeli

dari petani. Hal ini dikarenakan harga beli madu nilainya lebih rendah dari

harga jual yang dilakukan oleh pengepul, sedangkan pengepul membeli

madu dalam skala yang besar. Petani madu merupakan mata pencaharian

yang menjanjikan bagi hampir sebagian besar masyarakat di Batudulang

dan Semongkat. Keberlangsungan pendapatan petani disana salah satunya

ditentukan oleh seberapa besar jumlah pasokan madu yang dapat diperoleh

petani.

Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi nilai tambah

pengusahaan madu, serta interaksi dan kolaborasi mengenai kelembagaan

madu sehingga semua pihak mampu berperan aktif, sehingga didapat

kelembagaan pemasaran yang dapat mendorong kelangsungan

pengusahaan madu.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 di Desa Baudulang dan

Desa Semongkat Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Provinsi

Nusa Tenggara Barat. Lokasi ini dipilih karena di Daerah tersebut

merupakan daerah penghasil madu hutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan pendekatan

kualitatif. Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data

primer didapatkan menggunakan teknik wawancara dengan panduan

kuesioner. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive

sampling, dimana kriteria yang dijadikan responden adalah pelaku yang

terlibat dengan pengusahaan madu, seperti dari Dinas Kehutanan,

perangkat desa, pengusaha madu, petani madu, maupun masyarakat umum.

370| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber seperti

monografi desa, internet, data BPS, buku, hasil penelitian, dan sumber-

sumber lainnya.

Setelah melakukan pengumpulan data, kemudian dilakukan

pengolahan dan analisis data. Dalam tahap awal dilakukan pengumpulan

data yang diperoleh dari berbagai sumber. Pemilihan data dilakukan secara

hati-hati dengan melakukan cek silang dari berbagai sumber yang ada. Data

yang sudah dikumpulkan kemudian dihitung distribusi nilai tambahnya

menggunakan analisis profit margin (margin keuntungan), efisiensi

pemasaran, dan persentase harga yang diterima produsen (petani). Profit

margin diperoleh dari persentase keuntungan di tiap pelaku terhadap total

keuntungan pada semua level. Profit margin setiap aktor yang terlibat

dalam pemasaran dapat diformulasikan sebagai berikut (Sudiyono 2001).

Formulasi Analisa Data:

1. Margin harga: πi = Psi – Pbi – C

Dimana:

πi = profit yang diperoleh aktor ke-i (lembaga pemasaran ke-i)

Psi = harga penjualan pada aktor ke-i

Pbi = harga pembelian produk pada aktor ke-i

C = biaya transaksi pada setiap aktor

2. Sedangkan efisiensi pemasaran dihitung menggunakan rumus

(Shapred (1962), Soekarwati (2002) dalam Hasan, 2012):

Ep = (TNB/TNP)X100%

Harga yang diterima petani yaitu:

FSi = (Pƒi / Pri) X 100%

Dimana :

Ep = efisiensi pemasaran

TNB = total biaya pemasaran

TNP = total nilai produk

FSi = persentase harga yang diterima produsen

Pƒi = harga ditingkat petani

Pri = harga di tingkat industri

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 371

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi

Kabupaten Sumbawa berada di Pulau Sumbawa, pulau terbesar di

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kabupaten Sumbawa terletak pada

1160 42

0 BT dan 118

022

0 BT serta 8

0 8

0 Ls dan 9

0 7

0. Batas wilayah

Kabupaten Sumbawa sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di

sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu, sebelah selatan

berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Sumbawa Barat (BPS, 2012).

Kabupaten Sumbawa terbagi kedalam 24 kecamatan dan terbagi

lagi kedalam 158 desa dan 8 kelurahan. Jumlah penduduk pada tahun 2009

sebanyak 420.750 jiwa, yang terdiri dari 214.699 laki-laki dan 206.051

perempuan. Dan rata-rata kepadatan penduduk mencapai 63 jiwa/km2.

Kecamatan terpadat yaitu Kecamatan Sumbawa dengan kepadatan

mencapai 1.204 jiwa/km2. Sebagian besar masyarakat Sumbawa berprofesi

sebagai petani denganhasil utamanya padi dan jagung. Penelitian ini

mengambil sampel di Desa Batudulang dan Semongkat, Kecamatan

Batulanteh. Kedua desa tersebut adalah salah satu daerah yang

menghasilkan banyak madu. Kecamatan Batulanteh sebagian besar

lahannya berupa hutan (BPS, 2012).

B. Jejaring Pengusahaan Madu

Terbukanya perdagangan madu menjadikan persaingan antar

pelaku semakin terbuka, akan tetapi, pola interaksi cenderung merugikan

petani kecil. Pedagang besar merugikan petani dengan membeli hasil panen

dengan harga yang terlalu rendah. Uang yang diterima oleh petani hanya

cukup memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu pedagang besar mampu

mendapat keuntungan yang besar dan mampu melakukan kapitalisasi aset.

Pedagang mendapatkan keuntungan yang besar karena mereka mampu

memberikan nilai tambah madu hutan yang dibeli dari petani. Upaya itu

misalnya dilakukan dengan jalan mengemas madu dalam kemasan yang

lebih cantik dengan label yang menarik. Upaya yang lain misalnya dengan

melakukan penyaringan kembali madu dari petani agar terlihat lebih bersih.

Dalam sistem klaster (Diagram 1) jaringan yang terbangun dalam

pengusahaan madu merupakan usaha untuk mengangkat madu di tingkat

372| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

lokal ke dalam lingkup nasional dan bahkan internasional. Sehingga nilai

tambah dalam pengusahaan madu dapat memberi kontribusi terhadap

kesejahteraan petani.

Sumber: Permenhut No. 19 Tahun 2009

Diagram 1. Skema pemasaran dalam klaster madu

Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan

madu antara lain: Kurangnya wawasan dan pengetahuan dalam

pengusahaan madu. Petani masih menggunakan teknik tradisional dalam

berburu madu, misalnya dengan cara membakar ranting. Di sisi lain dalam

memeras madu petani tidak menggunakan sarung tangan sehingga tidak

higienis.Ini bisa dilihat hampir pada semua tempat penghasil madu di

Kabupaten Sumbawa. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut telah

dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Dengan begitu diharapkan

pengusahaan madu mampu memberdayakan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Jejaring kolaborasi yang dilakukan baik di

Semongkat maupun di Batudulang adalah sebagai berikut:

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 373

Diagram 2: Jejaring Kelembagaan di Semongkat

Diagram 2 menunjukan jejaring aktor pengusahaan madu di

Semongkat yang utama adalah pengumpul, petani, PLN, dan perusahaan

farmasi. PLN Sumbawa memberi pinjaman tanpa bunga kepada UD Madu

Lestari sebagai modal untuk pengusahaan madu. Pinjaman tersebut antara

lain dialokasikan untuk melakukan pembelian madu dari petani, dan

sebagai modal untuk meningkatkan pemasaran. Petani yang menjadi binaan

dari UD Madu Lestari menjual madu hasil buruannya masih dalam

kemasan jerigen untuk diolah dan dikemas kembali dengan kemasan yang

lebih baik.

Pengumpul di Semongkat melakukan pengolahan kembali madu

hasil buruan dari petani sehingga memiliki nilai tambah atas madu.

Tekniknya dengan melakukan penyaringan. Dengan penyaringan ini

diharapkan akan mengurangi proses fermentasi karena banyaknya kotoran

yang bercampur dengan madu. Selanjutnya madu dikemas dalam berbagai

ukuran untuk kemudian diberikan label sehingga layak jual. Madu

kemudian dipasarkan baik secara eceran di galeri-galeri/outlet yang ada di

Kabupaten Sumbawa, maupun Lombok. Namun sebagian besar lebih

banyak dipasarkan ke perusahaan farmasi di Pulau Jawa.

PLN

Petani

Pengumpul

Perusahaan farmasi di Jakarta

dan Surabaya

374| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Diagram 3. Jejaring Kelembagaan di Batudulang

Diagram 3 menunjukan aktor dalam jejaring kelembagaan

pengusahaan madu di Batudulang. Dibandingkan dengan Semongkat,

pengusahaan madu di Batudulang lebih melibatkan banyak aktor. Aktor-

aktor dalam pengusahaan madu di Batudulang antara lain petani, koperasi,

dinas kabupaten/provinsi, JMHS, BNI, Dian Niaga, dan UPT Kementerian

Kehutanan. Kolaborasi di tingkat desa dapat dilihat antara koperasi dan

petani madu. Petani memiliki peran untuk menjual madu kepada koperasi

dengan kriteria kualitas yang sudah ditentukan. Koperasi menetapkan harga

yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan anggota. Koperasi

melakukan pengolahan untuk memberi nilai tambah madu. Prosesnya

memiliki kesamaan dengan daerah lain misalnya di Semongkat. Madu

dibersihkan dengan cara disaring beberapa kali agar mendapat madu yang

sesuai dengan standar asosiasi.Petani di Batudulang telah membentuk

koperasi di mana koperasi ini menjadi anggota asosiasi yang tergabung

dalam Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI). JMHI ini memiliki standar

tertentu untuk menentukan kualitas madu yang diperdagangkan. Inilah

yang standar yang dipakai oleh koperasi petani di Batudulang. Madu

kemudian dipasarkan lewat kerjasama dengan PT. Dian Niaga, yang

dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan.

Dukungan dalam pengusahaan madu diberikan oleh beberapa

lembaga baik dari pemerintah, swasta, maupun LSM. Lembaga tersebut

antara lain Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi,

BNI Petani

Koperasi

Dinas

UPT

Kemenhut

Dian Niaga

JMHS/ JMHI

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 375

BNI, JMHI/JMHS. Kegiatan yang rutin dilakukan antara lain bantuan

modal/peralatan, bantuan pelatihan, bantuan pemasaran, dan bantuan dalam

bentuk asistensi teknis untuk pengembangan kelembagaan koperasi dan

petani.

C. Distribusi Nilai Tambah

Petani menjual madu kepada pengepul dengan harga Rp.55.000

sampai dengan Rp. 75.000. Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa

hal. Pertama ketersediaan madu di alam, semakin banyak madu yang bisa

didapatkan maka harga akan semakin murah. Tetapi apabila madu di alam

sulit didapat maka harga akan cenderung naik. Kedua ikatan perjanjian jual

beli antara petani dengan pengepul. Sebelum berangkat mencari madu ke

hutan, petani yang tidak punya modal umumnya memilih untuk meminjam

kepada pengepul. Perjanjian petani dengan pengepul antara lain yaitu

mengenai kesepakatan harga yang akan dikenakan kepada petani. Harga

madu di tingkat pengepul di tingkat desa rata-rata Rp 80.000,- sampai

dengan Rp 120.000,-. hal tersebut dipengaruhi oleh harga dari petani.

Untuk memahami aliran perdagangan madu dari hulu sampai

hilir di Sumbawa dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, petani

mendapat madu dari hutan. Rata-rata biaya yang dikeluarkan petani untuk

pergi kehutan dalam satu hari sekitar Rp 50.000,-. Berdasarkan wawancara,

responden mengatakan bahwa jika dirata-rata petani kehutan tiga hari

mendapatkan madu sebanyak 12,5 botol. Dengan demikian kalkulasinya,

biaya selama tiga hari yaitu Rp.150.000 dan keuntungan bersih jika madu

Diagram 4: Skema pemasaran madu di

Semongkat

Diagram 5: Skema pemasaran madu di

Batudulang

Petani

Pengumpul/Koperasi

Dian

Niaga

Pengecer/Retail

Pengumpul/Usaha

Dagang/Retailer

Perusahaan farmasi

di Surabaya/Jakarta

Petani

376| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dijual dengan harga Rp.60.000, maka untuk biaya satu botol sebesar Rp

7.500,-.

Kedua, petani kemudian membawa madu ke pengepul yang

berada di desa. Pengepul melakukan proses penyaringan untuk membuat

madu lebih bersih, namun ada juga pengumpul yang tidak melakukan

proses ini. Kemudian, madu dikemas kedalam botol kaca bekas sirup atau

botol plastik bekas air mineral. Ada pula pengepul yang menjual madu

dalam jerigen isi 30 liter dan jika di masukan kedalam botol sama dengan

50 botol. Pengepul yang menjual dengan jerigen untuk memenuhi

permintaan luar daerah seperti ke Bima, Sumbawa, Mataram atau bahkan

sampai ke Jawa.

Ketiga, setelah madu sampai di kota tujuan, kemudian madu di

jual di tingkat retail baik milik pribadi pengumpul mapun retail milik orang

lain. Di Sumbawa madu yang telah ditampung khususnya di Semongkat

dan Batudulang ada yang dikirim keluar provinsi. Di Batudulang madu

yang telah terkumpul di Koperasi Hutan Lestari dikirim ke Dian Niaga di

Jakarta. Harga madu yang dipatok oleh Dian Niaga sebesar Rp 90.000

untuk satu kilogram. Sedangkan madu dari Semongkat yang dikumpulkan

oleh UD Madu Lestari di kirim ke perusahaan farmasi seperti Kimia Farma

dengan harga Rp 200.000,- untuk satu kilo untuk diolah menjadi berbagai

produk kesehatan.

Tabel 1: Profit margin tiap aktor pengusahaan madu

No Aktor

Pendapatan

(Rp/1 botol/

620 ml)

Pengeluaran

(Rp/1 botol

620 ml)

Nilai

Tambah

(Rp/)

Persen

tase

(%)

Ep

(%)

Fsi

(%)

Profit margin tiap aktor pengusahaan madu di Batudulang pada pasar lokal

1 Petani /

Pemungut

65.000 7.500 57.500 74,29 70 65

2 Pedagang

Pengumpul/

Perantara

95.000 78.100 16.900 21,83

3 Ritel/Galeri 100.000 97.000 3.000 3,88

Total 260.000 182.000 77.400 100

Profit margin tiap aktor pengusahaan madu di Batudulang pada pasar luar provinsi

1 Petani / 65.000 7.500 57.500 23 42 23

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 377

No Aktor

Pendapatan

(Rp/1 botol/

620 ml)

Pengeluaran

(Rp/1 botol

620 ml)

Nilai

Tambah

(Rp/)

Persen

tase

(%)

Ep

(%)

Fsi

(%)

Pemungut

2 Pedagang

Pengumpul/

Perantara

95.000 78.100 16.900 6

3 Perusahaan

Dagang

Nasional

281.000 100.000 181.000 71

Total 441.000 185.600 255.400 100

Profit margin tiap aktor pengusahaan madu di Semongkat untuk pasar lokal

1 Petani /

Pemungut

75.000 7.500 67.500 93,10 54,7 88

2 Pedagang /

Pengumpul /

ritel/ aleri

85.000 80.000 5.000 6,90

Total 160.000 87.500 72.500 100

Data primer, 2013

Pada tabel 1 menunjukan perhitungan margin harga, efisiensi

pemasaran, dan nilai share bagi petani. Untuk daerah Batudulang dengan

pemasaran untuk tingkat lokal, margin harga terbesar diraih oleh petani

dengan persentase sebesar 74,29% sedangkan yang terendah berada di

galeri/ritel dengan nilai persentase sebesar 3,88. Margin harga untuk petani

diatas berbanding terbalik dengan profit margin tiap aktor pengusahaan

madu di Batudulang pada pasar luar provinsi dimana sebagian besar profit

margin dinikmati oleh perusahaan dagang nasional dengan presentase

sebesar 71% dan bandingkan dengan nilai presentase profit margin yang

diterima petani sebesar 23%. Sedangkan profit margin yang diterima petani

di Semongkat terbesar dinikmati oleh petani dengan persentase sebesar

93,10% dan terendah dinikmati oleh pedagang pengumpul atau galeri

sebesar 6,90%.

Dari kedua tempat baik di Batudulang maupun Semongkat,

persentase efisiensi pemasaran terbesar terdapat di Batu dulang untuk

kategori pasar local yaitu sebesar 70%, sedangkan persentase efisiensi

terkecil berada di Batu dulang dengan nilai persentase efisiensi sebesar

378| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

42% untuk pasar luar provinsi dan terakhir, persentase efisiensi pemasaran

di Semongkat sebesar 54,7%. Semkin tinggi nilai efisiensi maka

pengusahaan madu tersebut semakin tidak efisien (Hasan R.A, 2012). Dari

sini terlihat jelas bahwa pengusahaan madu di Batudulang dengan system

pemasaran luar pulau kurang efisien, sebaliknya pemasaran yang dilakukan

untuk pasar lokal lebih efisien.

Nilai harga yang diterima oleh petani dari kedua tempat terlihat

bahwa, rasio keuntungan tertinggi yang dinikmati petani berasal dari

Semongkat dengan nilai 88%dan yang terendah berasal dari Batu dulang

dengan pasar luar pulau yakni sebesar 23%. Besarnya persentase nilai yang

diterima petani di Semongkat dikarenakan rantai pemasarannya pendek,

sedangkanrantaipemasaran di Batu dualang untuk pasar luar provinsi lebih

panjang.

IV. KESIMPULAN

1. Pengusahaan madu di sebagian besar di wilayah Sumbawa terutama di

wilayah Batulanteh antara lain: Kurangnya wawasan dan pengetahuan

dalam pengusahaan madu. Untuk mengatasi kendala tersebut telah

dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak seeperti dari pihak LSM,

Swasta, Pemerintah, dan petani itu sendiri. Dengan begitu diharapkan

pengusahaan madu mampu memberdayakan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Dengan membentuk jejaring kerja dapat

mempermudah dalam menentukan permasalahan dan kemudian

dilakukan cara-cara untuk mengatasinya dengan berbagai tindakan

seperti pembinaan, bantuan modal, bantuan pemasaran dan asistensi

teknis terhadap kelompok masyarakat petani madu. Untuk saat ini telah

banyak kegiatan yang dilakukan oleh instansi terutama pengusaha yang

bermitra dengan pengumpul di Semongkat dan Batudulang. Diharapkan

kemitraan dapat membawa keuntungan bagi masing-masing pihak.

2. Di Batudulang margin harga terbesar oleh petani sebesar 74,29% dalam

skala pasar lokal, namun berbanding terbalik dengan profit margin di

Batudulang pada pasar luar provinsi dimana sebagian besar profit

margin dinikmati oleh perusahaan dagang nasional dengan presentase

sebesar 71% dan bandingkan dengan nilai presentase profit margin yang

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 379

diterima petani sebesar 23%. Sedangkan profit margin di Semongkat

terbesar dinikmati oleh petani dengan persentase sebesar 93,10% dan

terendah dinikmati oleh pedagang pengumpul atau galeri sebesar

6,90%. Persentase efisiensi pemasaran terbesar terdapat di Batudulang

untuk kategori pasar lokal yaitu sebesar 70%, sedangkan persentase

efisiensi terkecil berada di Batudulang dengan nilai persentase efisiensi

sebesar 42% untuk pasar luar provinsi. Nilai presentase harga yang

diterima oleh petani dari kedua tempat terlihat bahwa,

rasiokeuntungantertinggi yang dinikmati petani berasal dari Semongkat

dengan nilai 88% dan yang terendahberasal dari Batudulang dengan

pasar luar pulau yakni sebesar 23%.

DAFTARPUSTAKA

BPS Sumbawa. 2012. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. BPS.

Hasan R.A, Yumantoko. Setyayudi A, Sukito, A. (2012). Kelembagaan dan

Tata Niaga Madu Hutan Studi Kasus Kabupaten Dompu. Prosiding

Seminar Nasional HHBK (hal 431-438). BPTHHBK.

Permenhut. No. 19 Tahun 2009. Strategi Pengembangan Hasil Hutan

Bukan Kayu Nasional.

Sudiyono A. 2001. Pemasaran Pertanian. Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang Press.

Yumantoko. 2013. Kajian Kelembagaan Pemasaran Madu Hutan di

Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi

Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram.

380| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMANFAATAN SONGGA

(Strychnos lucida R.Br.) SEBAGAI SUMBER BAHAN OBAT

Studi Kasus di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Dompu- NTB

Ryke Nandini1)

, Rubangi Al Hasan2)

1)Program Doktor Ilmu Kehutanan

Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2)

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Di Desa Hu’u banyak terdapat tanaman songga (Strychnos lucida R.Br.) yang

dimanfaatkan sebagai bahan obat. Banyaknya perburuan tanaman songga

dikhawatirkan akan mengganggu kelestariannya di alam sementara teknik budidaya

yang tepat belum ditemukan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menjaga

kelestariannya. Salah satu upaya yang penting adalah dengan membangun modal

sosial. Tulisan ini bertujuan mengangkat bagaimana pemanfaatan tanaman songga

oleh masyarakat, dan bagaimana kontekstualisasi modal sosial dalam rangka

menjaga kelestarian songga. Hasil kajian menunjukkan bahwa saat ini perburuan

songga yang begitu gencar di Hu’u telah menjadikan tanaman songga di alam

mengalami penurunan. Jika pada tahun 1990-an mudah ditemukan tanaman songga

dengan diameter 15-20 cm, maka saat ini sudah sangat sulit dijumpai.

Permasalahan utamanya antara lain kurangnya keterlibatan masyarakat dalam

upaya pelestarian songga. Masyarakat Hu’u memiliki modal sosial dalam konteks

pelestarian sumber daya hutan (SDH). Modal sosial itu misalnya dalam

pemanfaatan hutan (wuba) ada aturan “dei haju” yakni pemanfaatan harus

memerhatikan kelestarian lingkungan dengan tidak menebang sembarangan. Jika

ini dilanggar maka dikenakan sanksi denda sekaru fareatau sekarung padi. Pada

saat ini modal sosial tersebut tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu tulisan ini

merekomendasikan untuk melakukan identifikasi modal sosial lebih jauh untuk

kemudian dilakukan revitalisasi dengan jalan membangun pemahaman terhadap

tata nilai yang telah ada, penegakan aturan atau sanksi sosial terhadap pelanggar

norma, penguatan kelembagaan dan jaringan sosial dalam masyarakat, serta

pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas. Upaya tersebut

hendaknya dilakukan secara simultan dan berkelanjutan sehingga terlihat adanya

indikator penguatan modal sosial berupa terbentuknya kerjasama dan solidaritas

(kohesivitas), perluasan jaringan kerja dan peningkatan daya saing kolektif secara

berkelanjutan.

Kata kunci: modal sosial, kelestarian, songga, revitalisasi

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 381

I. PENDAHULUAN

Dalam pembangunan, manusia selalu menjadi bagian yang tidak

dapat dipisahkan. Menurut Todaro (1977, dalam Bryant & White, 1982),

pembangunan merupakan sebuah proses multidimensi yang mencakup

perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap masyarakat

dan lembaga-lembaga nasional, dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi,

pengurangan kesenjangan, dan pemberantasan kemiskinan. Arief Budiman

(1995), menyebutkan bahwa pembangunan memiliki dua unsur pokok yaitu

materi yang akan dihasilkan dan dibagi, serta manusia yang menjadi

pengambil inisiatif. Kondisi lingkungan merupakan hal paling berperan

dalam membentuk manusia kreatif yang pada akhirnya menciptakan

manusia pembangunan yang mempunyai inisiatif untuk memecahkan

berbagai permasalahan. Sejarah pembangunan di Indonesia menunjukkan

adanya pergeseran paradigma pembangunan. Semula negara sebagai pelaku

tunggal, kemudian bergeser pada paradigma negara sebagai pelaku dan

masyarakat sebagai partisipan, dan pada akhirnya negara dan masyarakat

sama-sama partisipan (Salman, 2005). Kondisi tersebut menunjukkan

kecenderungan urgensi pendekatan partisipatoris dalam pembangunan.

Davis dan Newstorm (1988, dalam Salman, 2005) memaknai partisipasi

sebagai keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi

kelompok yangmendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada

tujuan kelompok dan berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan itu.

Definisi yang dikemukakan Davis dan Newstorm tersebut mengandung

pengertian bahwa partisipasi bersifat suka rela (Salman, 2005) sehingga

partisipasi masyarakat khususnya dalam pembangunan itu sangat

bergantung pada kondisi dan dinamika sosial masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan termasuk dalam

pembangunan kehutanan bergantung pada sifat masing-masing individu

yang kemudian secara kolektif terbentuk sebagai modal sosial dalam

masyarakat. Berbagai definisi tentang modal sosial telah dikemukakan oleh

para ahli, diantaranya Fukuyama (1997, dalam Ancok, 2003) yang

mengemukakan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau

norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota

kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara

382| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

mereka. Narayan (1997, dalam Adjargo, 2012) mendefinisikan modal

sosial sebagai aturan, norma, kewajiban, hubungan timbal balik dan

kepercayaan yang tertanam dalam hubungan sosial, struktur sosial dan

pembentukan kelembagaan sosial di mana anggotanya mampu mencapai

tujuan baik secara individu maupun berkelompok. Adapun Cohen dan

Prusak (2001, dalam Ancok, 2003) memberikan definisi bahwa modal

sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia yang

meliputi rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku

yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang

memungkinkan adanya kerjasama. Dari ketiga definisi tersebut dapat

disimpulkan bahwa inti dari modal sosial adalah adanya norma yang

mengikat, kepercayaan, serta jaringan atau kerjasama pada anggota

kelompok atau komunitas.

Modal sosial sangat berperan dalam pembangunan kehutanan,

salah satunya misalnya pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat

adat. Penelitian Nandini, Hasan, dan Riendrasari (2011) di Pulau Lombok

menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat kondisinya

lebih baik dibandingkan dengan kawasan hutan negara, salah satunya

terlihat pada kondisi tutupan hutan yang lebih rapat.Kondisi tersebut antara

lain disebabkan oleh adanya kearifan lokal masyarakat dalam mengelola

hutan. Kearifan lokal tersebut mengatur baik dari aspek pengelolaan

maupun pemanfaatan. Terdapat aturan yang tegas terkait dengan sanksi

bagi masyarakat yang melanggar aturan adat sehingga masyarakat begitu

patuh dan sukarela untuk menjalankan kearifan lokal tersebut. Contoh lain

dari kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dapat dilihat pada komunitas

masyarakat di Bali. Kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas adat di

Bali selalu dikaitkan dengan agama atau kepercayaannya sehingga

masyarakat tidak berani untuk melanggar. Misalnya, hutan digambarkan

sebagai tempat yang angker dan merupakan tempat bersemayam para dewa

yang tidak boleh diganggu. Kondisi tersebut memberi dampak positif pada

kelestarian hutan. Selain itu di dalam kitab sucinya juga disebutkan

beberapa jenis pohon yang tidak boleh diusik seperti kemiri, kemuning,

mundeh dan bodi yang secara ilmiah ternyata mempunyai manfaat ekologi

dan ekonomi (Wardi, 2007). Sebagai pengontrolnya, masyarakat Bali

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 383

mempunyai hukum adat yang sering disebut sebagai awig-awig, di mana

tujuan dari pembentukan awig-awig ini adalah untuk mengatur hubungan

antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan sesamanya serta

manusia dengan alam. Konsep ini sering disebut dengan istilah Tri Hita

Karana (UNESCO, 2012). Pelanggaran terhadap hukum adat akan dikenai

sangsi adat mulai dari yang ringan yang berupa pemberian nasehat hingga

sangsi yang berat berupa dikeluarkan dari komunitas masyarakat.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sirtha (2007), sampai saat ini

hukum adat masih berlaku di Bali dan masih berperan efektif dalam

pelestarian lingkungan hidup di daerah.

Keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan

merupakan hal yang telah banyak dikaji oleh beberapa peneliti. Diaz (1982)

mengemukakan tentang pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan

hutan yang terintegrasi melalui pengembangan socio-economic trust yang

ada di masyarakat. Webb (1982) menguraikan tentang beberapa kearifan

lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga pada berbagai program

yang akan dikembangkan untuk pengelolaan hutan hendaknya selalu

melibatkan masyarakat. Adapun Smith, Siderelis, Moore, dan

Anderson(2012) mengemukakan bahwa modal sosial mempengaruhi proses

pengambilan keputusan dalam penentuan outcome pengelolaan hutan. Pada

tataran lokal, Saputro (2006) telah meneliti tentang modal sosial dalam

pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Kasepuhan Banten

Kidul, di mana hasil penelitian diketahui bahwa adanya saling kepercayaan

yang didukung oleh norma sosial dan jaringan masyarakat yang tinggi

dalam pengelolaan hutan telah menciptakan kondisi hutan yang relatif

lestari. Muspida (2008) telah meneliti tentang keterkaitan modal sosial

dalam pengelolaan hutan kemiri masyarakat di Kabupaten Maros. Hasil

penelitiannya diperoleh bahwa keberhasilan pengelolaan hutan kemiri di

Maros selama berabad-abad adalah karena adanya kekuatan modal sosial

baik secara makro maupun mikro yang membentuk saling kepercayaan dan

jaringan dalam masyarakat. Adapun Hartoyo, dkk (2012) meneliti tentang

perlunya penguatan modal sosial dalam pelestarian hutan mangrove di

Pulau Pahawang yang dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan

masyarakat, pemerintah dan swasta.

384| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Berdasarkan beberapa penelitian di atas, tidak dipungkiri bahwa

modal sosial mempunyai peran dalam pelestarian sumberdaya hutan.

Analisis terhadap modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan

merupakan hal yang menarik. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang

seringkali disebut sebagai saudara muda Bali, berbagai kearifan lokal yang

merupakan modal sosial masyarakat juga masih banyak berkembang dalam

masyarakat. Salah satunya adalah kearifan lokal masyarakat dalam

memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai bahan obat. Tulisan ini bertujuan

mengangkat bagaimana pemanfaatan tanaman songga oleh masyarakat, dan

bagaimana kontekstualisasi modal sosial dalam rangka menjaga kelestarian

songgayang ada di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, NTB.

II. Pemanfaatan Songga Sebagai Bahan Obat

Desa Hu’u terletak di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, NTB.

Mayoritas penduduknya adalah nelayan. Selain itu masyarakat Hu’u masih

mengandalkan hutan sebagai sumber kehidupan. Salah satunya adalah

dengan memanfaatkan berbagai macam sumberdaya hutan sebagai bahan

obat tradisional. Songga (Strychnos lucida R.Br.) atau lebih dikenal dengan

bidara laut merupakan salah satu bahan obat yang berasal dari hutan yang

telah dimanfaatkan berabad-abad lamanya. Hasil penelitian BPK Mataram

(2010) menyebutkan bahwa pengetahuan tentang pemanfaatan songga telah

turun temurun dari nenek moyang yang diperoleh dari proses kreatif selama

berinteraksi dengan alam. Masyarakat Hu’u memanfaatkan songga untuk

mengobati berbagai penyakit. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa

penyakit yang dapat diobati dengan songga antara lain malaria, sakit perut,

mual, sakit gigi, darah tinggi, demam, luka luar, serta mampu mengobati

usus buntu tanpa perlu dilakukan operasi. Pemanfaatan songga sebagai

bahan obat berasal dari seluruh bagian tumbuhan, mulai dari akar, batang,

daun serta buahnya. Cara pemanfaatannya pun masih tradisional, yaitu

dengan meminum air rebusan bagian songga, menelan buahnya, atau

mengoleskan tumbukan bagian songga kepada luka. Meskipun semua

bagian tanaman songga dapat dimanfaatakan, namun sebagian masyarakat

Hu’u lebih percaya bahwa buah songga lebih berkhasiat. Dengan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 385

mengkonsumsi 2-3 butir buah songga akan terhindar dari malaria sehingga

bebas beraktivitas di hutan.

Pada saat ini pemanfaatan songga sebagai bahan obat telah

diketahui secara luas bahkan telah memasuki proses industri yaitu dengan

memanfaatkan kayunya untuk dibuat cangkir sehingga pemanfaatan songga

lebih praktis yaitu hanya dengan menyeduhnya menggunakan air panas.

Akibatnya kebutuhan bahan baku sebagai bahan pembuat cangkir songga

semakin meningkat. Menurut data Dinas Kehutanan Propinsi NTB (2007),

kebutuhan bahan baku kayu songga pada tahun 2006 mencapai 6000 ton

dan apabila terus meningkat maka akan berpotensi untuk mengancam

kelestariannya di alam. Berdasarkan hasil kajian BPK Mataram (2010),

pada saat ini belum terdapat budidaya songga di Kabupaten Dompu.

Tanaman songga mempunyai kemampuan adaptasi yang relatif rendah bila

dikembangkan di luar habitat aslinya serta belum ditemukan teknologi

budidaya yang sesuai sehingga kebutuhan songga masih bergantung pada

alam. Kondisi ini perlu untuk diperhatikan agar kelestarian songga di alam

dapat terjaga, terlebih karena masyarakat masih memanfaatkannya sebagai

bahan obat tradisional.

III. Revitalisasi Modal Sosial dalam Pelestarian Songga

Kerajinan kayu songga dalam bentuk cangkir merupakan ikon

baru bagi masyarakat Hu’u. Dalam setiap perburuan kayu songga,

masyarakat memperoleh pendapatan sekitar Rp.10.000,-/batang songga

berukuran diameter 10-15 cm dengan panjang 1 meter. Adapun harga gelas

berukuran 10 cm dihargai Rp.5.000,- sehingga hal ini cukup membantu

perekonomian masyarakat. Nilai jual kayu songga yang cukup tinggi

menyebabkan banyak masyarakat yang awalnya bekerja sebagai nelayan

beralih menjadi pemburu songga terutama pada saat musim angin barat.

Masyarakat Hu’u belum memikirkan kelestarian songga karena

ketersediaan di alam masih cukup banyak, meskipun sebagian masyarakat

mengemukakan saat ini mulai sulit untuk menemukan kayu songga

berukuran diameter lebih dari 10 cm. Songga adalah jenis tanaman yang

masuk dalam golongan perdu.Kemampuan regenerasinya cepat melalui

anakan atau trubusan dari akar, namun memiliki kecepatan pertumbuhan

386| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

yang lambat. Nandini dan Agustarini (2010) menemukan bahwa rata-rata

diameter tanaman songga berumur 7 bulan hanyalah 1,7 – 2,2 mm.

Keterbatasan kayu songga di alam cepat atau lambat akan semakin

berkurang karena tidak diimbangi dengan upaya pembatasan dalam

pengambilannya terutama untuk industri. Apabila hal ini terjadi, maka

kearifan lokal masyarakat Hu’u dalam memanfaatkan bahan obat dari hutan

akan hilang, bahkan peluang masyarakat untuk mendapatkan pemasukan

dari berburu songga juga akan hilang. Untuk itu diperlukan upaya-upaya

pelestarian songga dengan melibatkan masyarakat Hu’u. Pelestarian songga

dapat dilakukan karena masyarakat Hu’u memiliki modal sosial yang

cukup kuat. Dalam sebuah upaya untuk membangun kegiatan yang berbasis

pada partisipasi masyarakat, Salman (2005) menyebutkan bahwa ada tiga

hal yang harus dilihat sebagai bagian dari pembangunan yaitu sumberdaya,

organisasi dan norma-norma yang terdapat pada masyarakat. Adapun

Parker dan Burch, Jr (1992) mengungkapkan bahwa agar pengelolaan

hutan dapat berhasil maka perlu memperhatikan konsep sosial ekologi yang

menekankan pada hubungan masyarakat dalam sebuah ekosistem, orientasi

nilai, struktur sosial serta mekanisme alokasi yang terjadi di dalamnya.

Berdasarkan hal tersebut maka sebagai upaya untuk membangun partisipasi

masyarakat Hu’u dalam pelestarian songga perlu dicermati beberapa hal

yang sebagai berikut:

Pertama, Desa Hu’u merupakan daerah yang mempunyai potensi

tanaman songga cukup besar sebagai sumber bahan obat, dan merupakan

pusat perburuan kayu songga untuk keperluan industri.

Kedua, dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (wuba), masyarakat

di Hu’u mempunyai aturan yang disebut dei haju yaitu pemanfaatan hutan

harus memperhatikan kelestarian dengan tidak menebang secara

serampangan (Syafrudin, 2009). Bagi pelanggar akan dikenai sanksi berupa

denda sekaru fare (sekarung padi). Ini merupakan suatu norma penting

yang berguna untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Jika ini

diberlakukan pada jenis tanaman songga maka kelestarian songga dapat

terjaga.

Ketiga, adanya tradisi yang berkembang dalam masyarakat Hu’u

bahwa songga mempunyai khasiat sebagai bahan obat yang mampu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 387

menyembuhkan berbagai macam penyakit merupakan suatu modal yang

dapat digunakan untuk penyadaran pada masyarakat terutama pemburu

songga untuk lebih arif dalam pengambilan songga. Tradisi masyarakat

untuk mengkonsumi buah songga sebelum beraktifitas di hutan merupakan

suatu norma yang berkembang di dalam masyarakat. Selama berabad-abad,

masyarakat Hu’u telah menggunakan songga sebagai pertolongan pertama

dalam mengobati berbagai penyakit merupakan wujud kepatuhan terhadap

norma yang berlaku dalam masyarakat.

Keempat, sebagai masyarakat tradisional, masyarakat Hu’u masih

patuh pada tokoh adat dou mbojo yang disebut Ncuhi. Biasanya tokoh adat

ini selain sebagai panutan juga mampu melakukan pengobatan secara

tradisional yang disebut sebagai sando. Tokoh adat inilah yang sering

mengingatkan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam termasuk

melakukan pengobatan dengan menggunakan songga. Melalui tokoh adat,

kegiatan penyadaran terhadap masyarakat untuk mengambil songga secara

arif dapat dilakukan karena secara sosiologis masyarakat mempunyai trust

kepada tokoh adat, apa yang dikatakan oleh tokoh adat biasanya akan

dipatuhi.

Kelima, masyarakat Hu’u memiliki berbagai macam aksi kolektif

atau organisasi sosial dalam pemanfaatan songga, diantaranya adalah saling

bantu, pengumpulan sumberdaya, serta penciptaan aset. Saling bantu pada

masyarakat Hu’u atau sering disebut sebagai kasama weki antara lain

dilakukan pada saat ada seseorang yang membutuhkan songga untuk

pengobatan maka yang lain akan berusaha mencarikan ke hutan.

Bentuk pengumpulan sumberdaya yang dilakukan oleh masyarakat

Hu’u dalam pemanfaatan songga adalah adanya kelompok-kelompok

masyarakat yang bertugas sebagai pemburu dan pengumpul songga.

Pemburu songga adalah kelompok masyarakat yang mencari songga

kehutan sedangkan pengumpul adalah kelompok masyarakat yang bertugas

mengumpulkan hasil perburuan kemudian menyetorkannya kepada industri

songga. Adapun penciptaan aset yang terdapat pada masyarakat Hu’u

adalah pada kalangan industri skala rumah tangga yang mengubah kayu

songga menjadi bentuk cangkir.

388| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Permasalahan yang ada, para pemburu cenderung tidak

mengindahkan kelestarian. Perburuan lebih didasarkan pada pertimbangan

permintaan pasar. Di sisi lain para pengrajin juga melakukan usaha cangkir

songga karena lebih didasari motif mencari keuntungan, tanpa

mengindahkan kelestarian lingkungan. Dari sini terlihat bahwa perburuan

songga dan tumbuhnya industri songga lebih dilandasi oleh keinginan

mendapatkan keuntungan diri sendiri (rent seeking). Oleh karena itu modal

sosial ini harus direvitalisasi untuk menjaga keseimbangan antara motif

menjaga kelestarian lingkungan pada satu sisi, dan untuk melakukan

kontrol atas aksi rent seekingsebagai akibat dari komersialisasi songga, di

sisi yang lain.Dengan demikian pengusahaan songga yang bermanfaat bagi

peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat seiring dengan

upaya pelestarian songga sebagai kearifan lokal dalam bentuk pengobatan

tradisional.

IV. KESIMPULAN

Masyarakat di Hu’u mempunyai modal sosial untuk dikembangkan

dalam pengelolaan songga sebagai sumber bahan obat. Modal sosial yang

dimiliki mencakup norma, kepercayaan serta jejaring sosial. Namun saat ini

modal sosial yang ada belum berjalan optimal sehingga upaya pelestarian

tanaman songga belum dapat berjalan dengan baik. Untuk mendorong agar

masyarakat Hu’u dapat memanfaatkan modal sosialnya dalam pelestarian

tanaman songga perlu dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat,

pemerintah, serta stakeholder terkait. Upaya yang dapat dilakukan antara

lain dengan peningkatan pemahaman terhadap tata nilai atau norma yang

telah ada, penegakan aturan atau sanksi sosial terhadap pelanggar norma,

penguatan kelembagaan dan jaringan sosial dalam masyarakat, serta

pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas, dalam hal ini

adalah budidaya tanaman songga. Upaya tersebut hendaknya dilakukan

secara simultan dan berkelanjutan sehingga terlihat adanya indikator

penguatan modal sosial yang berupa terbentuknya kerjasama dan

solidaritas (kohesivitas), perluasan jaringan kerja dan peningkatan daya

saing kolektif secara berkelanjutan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 389

DAFTAR PUSTAKA

Adjargo, G. 2012. Social Capital: An Indispensable Resource In Ghana.

Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 14 No. 3.

ISSN: 1520-5509. Clarion University of Pensilvania.

Ancok, D. 2003. Modal Sosial dan Kualitas Manusia. Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

www.lib.ugm.ac.id. Diakses 12 Mei 2014.

BPK Mataram. 2010. Eksplorasi, Pemanfaatan dan Budidaya Kayu Songga

Sebagai Bahan Obat Alternatif di Provinsi NTB dan Bali. Laporan

Program Intensif RisetDasar. Tidak dipublikasikan.

Budiman, A. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Bryant, C., L.G. White. 1982. Manajemen Pembangunan Untuk Negara

Berkembang. LP3ES. Jakarta.

Diaz, C.P. 1982. Sosio-economic Thrust In An Integrated Forest Management

System: Philippine Case. In Socio-economic Effect and Constraints

in Tropical Forest Management (ed. E.G. Hallsworth). John Wiley

& Sons Ltd.

Dinas Kehutanan Prov. NTB. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB

Tahun 2006. Mataram. NTB.

Hartoyo, E. Rochana, B. Wirawan. 2012. Penguatan Modal Sosial Dalam

Pelestarian Hutan Mangrove Di Pulau Pahawang, Kecamatan

Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran. Makalah Seminar Hasil-

Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat dalam rangka

Dies Natalis FISIP UNILA. Lampung.

Muspida. 2008. Keterkaitan Modal Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri

Masyarakat di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Hutan

dan Masyarakat Vol. 2 No. 3. P.290-302.

Nandini, R., R. Agustarini. 2010. Teknik BudidayaTanamanBidara Laut

(Strychnoslucida R.Br) secaraGeneratifProsiding Workshop

SintesaHasilPenelitianHutanTanaman 2010. Puslitbang Peningkatan

Produktivitas Hutan. Bogor.

Nandini, R., R.A. Hasan., S.D. Riendriasari. 2011. Analisis Kebijakan REDD

dan REDD+ di Pulau Lombok. Laporan Penelitian. Balai Penelitian

Kehutanan Mataram.Tidak Dipublikasikan.

Parker, J.K., W.R. Burch, JR. 1992. Toward Social Ecology for Agaroforestry

in Asia. In Social Science Applications in Asian Agroforestry (Eds.

William R. Burch, JR. And J. Kathy Parker). Winrock International.

USA.

390| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Salman, D. 2005. Pembangunan Partisipatoris. Modul Konsentrasi

Manajemen Perencanaan. Program Studi Manajemen Pembangunan.

Universitas Hasanuddin. Makassar.

Saputro, G.E. 2006. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pada Adat Kasepuhan Banten Kidul. Skripsi. Institut Pertanian

Bogor. www.repository.ipb.ac.id. Diakses 12 Mei 2014.

Sirtha, I.N. 2007. Peran Hukum Adat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

Daerah. Dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup. (Editor A.A.G. Raka Dalem, I.N. Wardi, I.W. Suarna, dan

I.W. Sandi Adnyana). UPT Penerbit Universitas Udayana dan PPLH

UNUD. Denpasar.

Smith, J.W., C. Siderelis, R.L. Moore, D.H. Anderson. 2012. The Effects Of

Place Meanings And Social Capital On Desired Forest Management

Outcomes: A Stated Preference Experiment. Journal of Landscape

and Urban PlanningVol. 106. p 207– 218

Syafrudin. 2009. Pergeseran Pola Ruang Pemukiman Berbasis Budaya Lokal

di Hu’u, Kabupaten Dompu, NTB. Tesis. Magister Teknik

Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro.

Semarang.

UNSECO. 2012. Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a

Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy. Website:

http://whc.unesco.org/en/list/1194. Diakses 21 November 2014.

Wardi, I.N. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan, Tanah dan Air:

Refleksi Kearifan Ekologi dari Budaya Bali. Dalam Kearifan Lokal

dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Editor A.A.G. Raka Dalem,

I.N. Wardi, I.W. Suarna, dan I.W. Sandi Adnyana). UPT Penerbit

Universitas Udayana dan PPLH UNUD. Denpasar.

Webb, L.J. 1982. The Human Face in Forest Management. In Socio-economic

Effect and Constraints in Tropical Forest Management (ed. E.G.

Hallsworth). John Wiley & Sons Ltd.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 391

STRATEGI PENGEMBANGAN BAMBU

DI KAWASAN HUTAN KPHL RINJANI BARAT

Asmanah Widiarti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rahabilitasi

Jln. Gunung Batu No 5 PO BOX 165; 0251-8633234,7520067; Fax 0251-

8638111 Bogor, E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Bambu menjadi salah satu jenis hasil hutan bukan kayu unggulan di Nusa

Tenggra Barat dan merupakan jenis tanaman yang direkomendasikan untuk

reboisasi dan pengayaan di kawasan hutan KPHL Rinjani Barat sesuai usulan

masyarakat. Pilihan tersebut dinilai sangat tepat, mengingat bambu banyak

kegunaannya untuk kehidupan sehari – hari. Tanaman bambu lebih dari

sekedar pengganti kayu karena rumpunnya tumbuh sepanjang tahun maka bisa

dipanen setiap saat dan bambu muda (rebung) biasa dikonsumsi masyarakat

dan kini menjadi komoditas eksport. Selain itu manfaat yang penting lainnya

dari bambu adalah kemampuannya dalam memelihara tata air. Mengingat

kondisi masyarakat di lingkar kawasan hutan yang masih miskin dan tingginya

tingkat kekritisan lahan di kawasan KPHL Rinjani Barat yang mencapai 17.640

Ha atau hampir mencapai 50% sementara jasa air begitu penting maka untuk

itu diperlukan strategi pengembangan bambu secara terpadu mulai dari hulu

peningkatan produktivitas bambu dan capacity building petani maupun di hilir

berkaitan dengan teknik pengolahan dan pemanfaatan bambu serta

pemasarannya agar bambu menjadi komoditas unggulan yang mampu

meningkatkan kesejateraan petani dan patut diperhitungkan sebagai core

bisnisnya KPHL Rinjani Barat . Dengan strategi pengembangan bambu yang

ditempuh KPHL Rinjani Barat diharapkan dapat mewujudkan keberlanjutan

dari fungsi dan peranan hutan melalui penerapan teknik dan pola usaha bambu.

Kebijakan pengelolaan secara tapak relatif cukup efektif dalam satu kesatuan

wilayah kelola akan lebih mengedepankan keterpaduaan dan keseimbangan

sektor hulu dan hilir komoditas bambu sehingga dapat memberi dampak

terhadap pengelolaan hutan yang lebih optimal.

Kata kunci : Komoditi unggul, manfaat, kawasan hutan, masyarakat

sejahtera,lahan kritis

392| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang banyak

ditemukan di Nusa Tenggara Barat, baik di dalam maupun di luar kawasan

hutan. Bambu tumbuh dengan sendirinya atau sengaja ditanam karena

banyaknya kegunaan bambu dalam kehidupan masyarakat pedesaan.

Tidak ada satu jenis tanamanpun yang mempunyai fungsi serba guna

sebagaimana halnya bambu (LIPI, 1980). Begitu dekatnya dengan

kehidupan masyarakat, bambu menjadi salah satu tanaman pilihan

masyarakat untuk reboisasi dan pengayaan di kawasan hutan KPHL Rinjani

barat (RPH JP KPHL Rinjani Barat, 2014).

Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk turut

berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan

sekaligus mendukung upaya pelestarian alam. Bambu merupakan tanaman

yang environmentally friendly dan alleviate poverty. Selain itu berpotensi

menumbuhkan usaha baik skala kecil, menengah dan besar. Bambu bila

dikelola dengan baik maka rangkaian keterkaitan usaha ini akan

menyumbang adanya multifliyer effek bagi pendapatan baru. Dengan

karakateristik lengkap ini, bambu akan dapat menjadi komoditas bernilai

ekonomi tinggi yang sangat dibutuhkan dalam berbagai kehidupan

masyarakat dan meningkatkan daya saing Indonesia. (Alisjahbana, 2012).

Mengingat kawasan hutan yang dikelola KPHL (hutan produksi

dan hutan lindung) cukup luas dan kondisinya cukup kritis dengan

kecintaan masyarakat sekitar hutan terhadap bambu merupakan potensi

yang cukup besar dalam pengembangan bambu dan akan menjadi peluang

usaha bagi KPHL dalam upaya tercapainya KPH Mandiri. Namun

pengembangan bambu sebagaimaan hasil hutan bukan kayu lainnya

umumnya masih perlu mendapatkan perhatian khusus agar benar-benar

berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan

menjadi komoditi perdagangan yang dapat meningkatkan devisa negara.

Terkait dengan hal di atas, pengembangan potensi bambu sudah

saatnya mendapat perhatian yang serius baik dari pemerintah, perguruan

tinggi, lembaga penelitian maupun masyarakat luas. Dengan keberadaan

KPHL diharapkan pengembangan bambu secara terpadu mulai hulu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 393

hingga hilir akan mampu mengangkat bambu menjadi komoditas unggul

yang patut diperhitungkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran potensi

tanaman bambu dan keadaan usaha bambu, keunggulan dan kelemahan

yang terdapat pada usaha bambu dan strategi yang dapat

diimplementasikan dalam mengembangkan bambu.

II. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif

analisis, yang merupakan suatu metode penelitian untuk memperoleh

gambaran mengenai situasi dan keadaan dengan cara memaparkan data

yang diperoleh sebagaimana adanya yang kemudian melalui berbagai

analisis dibuat beberapa perumusan.

III. Hasil Penelitian

A. Kunggulan Tanaman Bambu

Bambu tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia, dari sekitar

1.250 jenis bambu di dunia, 142 jenis atau 11% nya adalah spesies asli

Indonesia dan ada 30 jenis bambu introduksi dari luar negeri (Widjaja,

2001). Bambu dikatagorikan sebagai zero waste species karena hampir

seluruh bagian tanaman bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga

ke ujung daun dan memenuhi banyak sekali hajat hidup manusia dan sejak

September 2011 di Rusia bambu telah disepakati sebagai salah satu

komoditi yang masuk dalam daftar produk ramah lingkungan karena

bambu mempunyai manfaat yang sangat banyak baik dari segi ekonomi,

segi ekologi maupun sosial budaya:

Dari segi ekonomi, bambu digunakan untuk berbagai keperluan

seperti bahan bangunan rumah, peralatan rumah tangga, kesenian, saluran

air, jembatan ringan, kayu energi, bahan kerajinan tangan, tanaman hias,

bahan kertas, lantai, papan laminating, papan partikel, tulang beton dan

sebagainya. Demikian juga bagian tunas bambu merupakan sumber

pangan dan bahan obat-obatan. Oleh karena itu sebagai tanaman multi

394| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

manfaat maka bambu berpotensi menumbuhkan usaha baik skala kecil,

menengah, dan besar.

Dari segi ekologi, tanaman bambu berpotensi menjadi solusi

alternatif bagi sejumlah permasalahan lingkungan terutama dalam

mengatasi pemanasan global. Menurut Widjaja (2004), cepatnya

pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon kayu, membuat bambu dapat

diunggulkan untuk deforestasi. Bambu tumbuh dalam waktu yang lebih

singkat dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu

dapat bertambah panjang 30-90 cm, untuk mencapai usia dewasa hanya

dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan

kekuatan yang paling tinggi, sementara tanaman kayu-kayuan butuh waktu

sampai puluhan tahun. Budidaya bambu juga tergolong lebih mudah

dibanding pohon kayu-kayuan, setelah tanaman bambu tumbuh selanjutnya

dipanen terus tanpa melakukan penanaman lagi sedangkan pohon

membutuhkan penanaman kembali.

Bambu adalah penghasil oksigen paling besar dibanding pohon,

kemampuan fotosintesisnya 35% lebih cepat sehingga daya serap

karbonnya cukup tinggi. Kaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim,

pengembangan tanaman bambu mendukung meningkatkan penyerapan

karbon. Dari suatu penelitian, tanaman bambu dapat menyerap lebih dari

62 ton/Ha/tahun karbon dioksida (Anonim, 2012).

Bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat air dan

tanah karena bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat, struktur akar

ini menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik untuk

mencegah erosi, sedimentasi dan longsor. Dibandingkan dengan pepohonan

yang hanya menyerap air hujan 35-40 %, bambu dapat menyerap air hujan

hingga 90 % (Rahardi,2009). Semua ciri dari bambu ini memenuhi sebagai

syarat sebuah hutan yang baik. Bahkan syarat yang ada di bambu melebihi

kualitas hutan dari kayu, sehingga untuk memulihkan kondisi hutan dan

lahan yang kritis, kita tidak perlu waktu yang lama (Widjaja, 2004). Dari

segi sosial budaya, bambu menciptakan mata pencaharian/lapangan

pekerjaan dan mendorong pariwisata.

China dan beberapa negara Asia telah menggunakannya bambu

sebagai tanaman utama untuk konservasi alam selain untuk memperbaiki

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 395

dan meningkat sumber tangkapan air, karena memiliki kemampuan

mempengaruhi retensi air dalam lapisan topsoil yang mampu meningkatkan

aliran air bawah tanah sangat nyata. Disamping pertimbangan budaya

karena meningkatkan ekonomi masyarakat melalui aneka produk bambu,

kebutuhan konstruksi dan kerajinan (Tan, 2012).

Dengan beberapa kelebihan tanaman bambu seperti diuraikan di

atas, bambu merupakan salah satu solusi untuk menggantikan hutan kayu

dan oleh karenanya bambu ini menjadi sangat potensial untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan bambu ini dapat

selaras dengan strategi pembangunan nasional yang menganut 4-pro’s,

yaitu, pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment.(Alisyahbana,

2012).

B. Gambaran potensi tanaman bambu dan keadaan usaha kerajinan

bambu Tanaman bambu telah banyak dikembangkan baik oleh

pemerintah, swasta maupun masyarakat baik di dalam kawasan hutan dan

lahan masyarakat. Hal ini karena tanaman bambu banyak dimanfaatkan

oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat, yaitu tercatat diusahakan sebanyak

371.371 tanaman. Kabupaten Lombok Barat merupakan kabupaten yang

paling banyak mengusahakan tanaman bambu, yaitu sebanyak 92.553

tanaman bambu (24,92 persen) dan Kota Mataram memiliki jumlah

tanaman bambu paling sedikit, yaitu hanya sebanyak 383 tanaman (0,103

persen) (BPS, 2012)

Saat ini pemanfaatan bambu oleh masyarakat di Nusa Tenggara

Barat belum banyak berubah. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan

teknologi yang dimiliki oleh masyarakat yang masih sangat minim.

Masyarakat pada umumnya mengambil bambu hanya untuk memenuhi

kebutuhan sendiri dan belum merupakan sumber pendapatan bagi

masyarakat setempat. Meskipun aktivitas pemanfaatan bambu masih

tergolong rendah, namun keberlangsungan fungsi tanaman bambu

mengalami degradasi yang cukup memprihatinkan karena selain

dimanfaatkan sebagai bahan baku alat-alat rumah tangga, masyarakat juga

menebang bambu untuk memperluas tanaman pangan.

396| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sebetulnya produk yang dihasilkan kerajinan anyaman (bambu,

rotan dan ketak) di daerah Nusa Tenggara Barat, memiliki ciri khas serta

memiliki keunggulan yang cukup kompetitif. Hal ini dapat dilihat dari

karakteristik produk yang dihasilkan di beberapa kabupaten di Nusa

Tenggara Barat. Beberapa jenis kerajinan anyaman telah menjadi andalan

ekspor Nusa Tenggara Barat antara lain berupa mebel, handicraft seperti

tas anyaman, candek, oval, baki, nampan, kap lampu, vas bunga, dll. Para

pengrajin di daerah ini pun tidak hanya melayani permintaan pasar

domestic, tetapi juga permintaan untuk ekspor ke negara-negara Asia,

Eropa dan Amerika.

Namun selama tiga tahun terakhir nilai ekspor kerajinan Nusa

Tenggara Barat merosot. penyebabnya, selain kelesuan pasar akibat krisis

ekonomi, juga keterbatasan bahan baku dan ketertinggalan keterampilan

perajin. Jika pada tahun 2005 nilai ekspornya US$ 1,991 juta, terus

menurun pada tahun 2006 menjadi US$ 1,003 juta, tahun 2007 sebesar US$

679.042 lalu tahun 2008 US$ 425.397 dan tahun 2011 anjlok hanya senilai

US $ 14.320,20. Sementara dari Provinsi Bali perolehan devisa dari

kerajinan bamboo Bali mengalami naik turun pada tahun 2006 senilai US$

12,87 juta, tahun 2007 menurun senilai US$ 8,75 juta pada 2008

meningkat US$ 16,29 juta dan turun lagi menjadi US$ 11,34 juta pada

2009, tahun 2010 US$ 9,51 juta dan meningkat lagi di tahun 2011 sebesar

US$ 14,12 juta (http://antarantb.com).

Selain pasokan bahan baku bambu yang semakin kurang, untuk

memenuhi permintaan pasar luar negeri, para produsen kerajinan bambu

harus memperhatikan syarat-syarat kualitas barang baik dari segi

kandungan kadar air, konsistensi dan keawetan produk, serta ketepatan

jadwal pengiriman menjadi hal yang tidak boleh diabakaian oleh para

pengrajin.

Festival Bambu Internasional telah sering diselenggarakan di Nusa

Tenggara Barat, hal ini menunjukkan NTB memiliki keinginan yang

cukup tinggi untuk mengembangkan bamboo. Namun demikian tanaman

bambu belum banyak berubah masih dikelola secara subsisten/tradisional

karena pengembangannya mengalami berbagai hambatan. Hal ini dapat

dilihat dari masih banyaknnya jumlah penduduk miskin di wilayah sekitar

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 397

hutan dan kecilnya kontribusi bamboo terhadap pendapatan petani

demikian juga terhadap perolehan devisa Negara.

C. Peluang Usaha Komoditi Bambu

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 tahun 2009 menyebutkan

bahwa sumberdaya hutan mempunyai potensi multi fungsi yang dapat

memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan

umat manusia. Pengembangan tanaman bambu akan mendukung

pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar KPHL Rinjani Barat karena

akan menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi atau memberikan

stimulus agar terjadi perkembangan ekonomi yang yang akan

melipatgandakan (multiplier effect) dampak berupa nilai tambah bagi

masyarakat dan pada akhirnya mampu mewujudkan pencapaian tujuan

ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Mengingat luasnya lahan kritis baik di dalam maupun di luar

kawasan yaitu tercatat masing-masing seluas 17.640 Ha .dan 9.948 Ha, di

sisi lain meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman

bambu maka hal ini sebaiknya menjadi alasan yang kuat bagi KPHL

memilih bamboo sebagai tanaman reboisasi dan pengayaan. Pohon

membutuhkan waktu tumbuh yang lama sementara kerusakan kondisi

lingkungan berjalan cepat, suhu semakin panas, iklim terus menerus

berubah. Dengan keunggulan yang dimiliki tanaman bambu dapat menjadi

alternatif menggantikan pohon yang lebih ramah lingkungan.

Saat ini jenis bambu yang mendominasi di wilayah KPHL Rinjani

Barat antara lain: bambu ori, bambu gesing, bambu ampel, bambu cendani,

petung, bambu buluh kecil, bambu buluh besar, bambu lampar, gombong,

bambu apus, bambu bubat, bambu legi, dan bambu cina. Jenis bambu

tersebut termasuk jenis bamboo untuk produksi rebung, bahan kerajinan,

pulp, kertas, lamina dan bahan baku lainnya. Oleh karena itu diperlukan

segmentasi produk yang akan dihasilkan dan sejak awal masyarakat perlu

dilibatkan dalam perecanaan penanaman dan pemanfaatannya, yakni

produksi batangnya untuk bahan baku atau produksi tunas bambu/rebung

untuk sumber pangan dan menjadi komoditi eksport. Dengan penerapan

teknologi tepat guna berbagai produk dari tanaman bambu akan membuat

nilai komoditas bambu dapat dikembangkan.

398| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Saat ini penggunaan bambu laminasi dalam berbagai kebutuhan

seperti industri mebel menjadi salah satu solusi atas permasalahan semakin

langkanya pasokan kayu bagi perajin mebel di tanah air yang

permintaannya senantiasa meningkat. Mebel berbahan baku bambu

laminasi memiliki keunikan tersendiri yang terekspos dari serat dan

ruasnya. Alur serat yang simetris menciptakan nuansa seni yang unik pada

interior rumah.

Serat bambubahkan akhir-akhir ini bisa dibuat menjadi bahan baku

produk fesyen, dengan kualitas dan keunggulannya dapat menjadi produk

kaus kaki, sepatu, dan kaus yang tidak hanya unik dari segi tampilan,

namun memiliki keunggulan tersendiri bagi si pemakai. Kualitas produk-

produk berbahan serat bambu ini pun tak hanya dilirik pasar dalam negeri,

tetapi sudah merambah ke pasar luar negeri.

Sebagai daerah wisata Nusa Tenggara Barat, mestinya juga

mampu menawarkan berbagai paket kunjungan wisata dengan fasilitas

home stay, paket atraksi seni budaya dan tak ketinggalan paket belajar

kerajinan bambu. Masyarakat manca negara umumnya meminatinya

karena kenaturalan dan keantikannya. (Duryatmo, 2000). Pemerintah dalam

hal ini dapat menjadi contoh menggunakan bambu dalam berbagai

kesempatan seperti: bangunan pemerintah, dokumen pemerintah yang

menggunakan kertas dari bambu, serta memulai hutan bambu.

Bambu sangat potensial sebagai bahan substitusi kayu, karena

rumpun bambu dapat terus berproduksi selama pemanenannya terkendali

dan terencana. Potensi produktifitas tanaman bambu dapat digambarkan,

sebagai berikut : Bambu petung menghasilkan batang 43,4 ton/ha dengan

rotasi 2 tahun (Sutarno dkk., 1996) dan bambu apus produktivitasnya 682-

6.053 batang/ha/tahun (Wijaya dkk., 2005). Sedangkan untuk produksi

rebung di Thailand, bambu petung produksinya sebesar 38.000 ton/ha,

rebung bambu taiwan di Boyolali menghasilkan 2-6 kuintal/ha/panen (dlm

1 minggu 2 kali panen) setelah tanaman berumur >2 th. Produksi rebung

ampel gading yang dikembangkan pada lahan milik dengan pola kebun

campuran di Desa Banyumeneng - Demak sebesar 4994,53 kg/ha/tahun,

sedangkan rebung ampel ijo di Desa Timbang Kecamatan Leksono-

Wonosobo sebesar 3128,85 kg/ha/tahun (Widiarti, 2013).

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 399

Upaya pengembangan bambu sebaiknya tidak berhenti pada peran

pemerintah dan peran serta masyarakat semata. Program corporate social

responsibility (CSR dapat diarahkan untuk medukung upaya pengembangan

bambu dan kegiatan kampanye cinta bambu cinta lingkungan. Kerjasama

antar daerah dalam pengembangan bambu perlu digagas oleh KPHL

Rinjani Barat, demikian juga dengan perguruan tinggi dan lembaga

penelitian untuk peningkatan potensi produksi di hulu dan industri di hilir

dengan ketersediaan teknologi pemrosesan. Dan yang terpenting perlunya

konsistensi kebijakan pemerintah pusat dan daerah terhadap pemanfaatan

bambu untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu menyelenggarakan

forum bambu, dalam forum ini, seluruh ide, gagasan dan aspirasi

masyarakat dalam pengelolaan bambu dan lingkungan dapat tersalurkan.

Saatnya masyarakat ikut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi pengelolaan sumber daya hutan.

D. Strategi pengembangan bambu

Pengembangan kawasan dengan suatu komoditi tertentu haruslah

diarahkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki oleh

komoditas tersebut dan tetap berorientasi pada kepentingan daerah

(Daryanto, 2004). Pengembangan bambu akan memberikan nilai tambah

dan memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi daerah

bila diversifikasi produksi bambu berkembang dan hasil ikutannya

dimanfaatkan, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani ditingkatkan

demikian juga sarana dan prasarana pengolahan dan modal usaha tersedia.

Paradigma pembangunan wilayah saat ini juga tidak bisa bersifat

sektoral tapi perlu memperhatikan potensi wilayah tersebut, yaitu dengan

memanfaatkan sumberdaya yang ada dan mengacu pendekatan komoditas

unggulan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan jenis peluang kerja dari

komoditi tersebut. Pengembangan industri pengolahan bambu merupakan

sarana meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, memperluas

pasar bagi produk bambu dan menunjang usaha peningkatan pendapatan

serta kesejahteraan petani (Harini dkk, 2005; Daryanto, 2004; Astana,

2001).

Bambu sebagai komoditi unggulan telah diusahakan oleh

masyarakat sekitar KPHL secara turun-temurun jauh sebelum pembentukan

400| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KPHL dan sudah menjadi bagian dari budaya sebagian besar masyarakat.

Saatnya KPHL memfasilitasi pembentukan klaster, agar kelompok petani

bamboo dapat menjual langsung kepada pengrajin atau industry

/perusahaan pengolah hasil bamboo. Upaya ini dimaksudkan agar dapat

memutus mata rantai penjualan bamboo dari petani yang selama ini

cenderung merugikan petani karena pihak petani berada pada posisi lemah

di hadapan para tengkulak. Dengan mengurangi mata rantai penjualan

tersebut berarti meningkatkan pendapatan dan pada akhirnya akan

meningkatkan kesejahteraan petani.

Klaster didefinisikan sebagai kelompok yang terdiri atas jejaring

pengusaha yang secara bersama-sama memajukan kesejahteraan di tingkat

wilayah melalui penguasaan dan pengendalian rantai suplai dan rantai nilai.

Pembentukan klaster dipilih dalam pengembangan komoditas bamboo agar

dapat meningkatkan efisiensi biaya, daya tawar, bersifat terpadu, dan

berdampak bagi pengembangan ekonomi daerah. Pendekatan ini juga

diharapkan mampu meningkatkan pertukaran pengalaman dan pengetahuan

antar pelaku usaha dalam hubungan hulu-hilir serta mendorong keterkaitan

sosial dan keahlian masing-masing anggota klaster.

Pada tingkat hulu, pengembangan bambu diarahkan pada

pemanfaatan lahan kritis, pemanfaatan lahan tidurdan lahan yang belum

dimanfaatkan secara komersial, bail milik masyarakat maupun kawasan

hutan negara. Dalam budidaya bambu diperlukan dukungan sarana

produksi dengan teknologi budidaya yang tepat guna menghasilkan tunas

bambu dan batang bambu dari segi kuntitas dan kualitas tinggi. Pada

tingkat hilir pengembangan industri berbasis bahan baku bambu dan barang

jadi lainnya dengan teknologi tepat guna dan efisien sehingga produk yang

dihasilkan berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Pengembangan citra produk bambu yang dipasarkan di dalam dan

luar sangat penting untuk mengangkat nilai penjualan dan keuntungan,

karena itu promosi produk kerajinan NTB perlu digalakan baik desain,

kualitas produk maupun harga yang bersaing. Informasi perkembangan

pasar dan harga tidak hanya di pasar dalam negeri tetapi juga pasar luar

negeri. Hal ini akan mendorong peningkatan pemasaran dan pangsa pasar

produk bambu.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 401

Pengembangan bambu harus dilakukan secara terintegrasi oleh

para pihak sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat untuk

meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan, pengrajin, meningkatkan

kesempatan berusaha, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan

pendapatan daerah dan devisa. Kebijakan pembangunan kehutanan tahun

2015, diarahkan pada : Peningkatan hasil hutan dan bioprospecting melalui

pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan hutan (public private

patnership) dan perkuatan integrasi industri hulu-hilir dalam bentuk

pengembangan integrated forest based cluster industry.

Pemerintah dan para pihak secara bersama-sama menetukan

tingkat teknologi, produktivitas dan skala industri yang dikembangkan

mengikuti perkembangan teknologi industri pengolahan bambu yang

terbaru. Pemerintah perlu memfasilitasi kemitraan serta menciptakan iklim

usaha yang kondusif. Dengan demikian pengembangan bambu di NTB

mempunyai pilihan model pembangunan industri skala kecil, dan

menengah yang dirancang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah

setempat yang ingin dicapai.

Program klaster ini dilaksanakan melalui kerjasama dan koordinasi

dengan berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,

dinas terkait, dan perbankan setempat. Serta pelibatan perguruan tinggi dan

lembaga penelitian Selain itu juga, dalam rangka peningkatan keterampilan

para pengusaha/pengrajin perlu dilakukan pelatihan teknis oleh dinas

perindustrian dan perdagangan kabupaten dan studi banding ke Bali atau

lokasi lain yg merupakan sentra kerajinan atau industry berbahan baku

bamboo untuk meningkatkan mutu kerajinan dan pemasarannya

Upaya yang dibutuhkan dalam mendukung pengembangan bambu

khususnya di KPHL Rinjani Barat adalah data dan informasi

pembangunan potensi dan produksi di hulu dan industri di hilir dengan

ketersediaan teknologi pemrosesan dan perlunya konsistensi kebijakan

pemerintah pusat dan daerah terhadap pemanfaatan bambu untuk

kesejahteraan rakyat.

402| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

V. KESIMPULAN

Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan KPHL Rinjani Barat,

sekaligus mendukung upaya pelestarian alam karena bamboo memiliki

keunggulan dibanding pohon.

Pengembangan bamboo sebagai komoditi unggulan daerah agar

mampu berkesinambungan dan memberikan dampak pengganda yang besar

perlu diversivikasi produk-produk lainnya dan seyogianya didesain

melalui basis klaster.

Dengan berbasis klaster, maka pengembangan bamboo tidak hanya

di bagian hulu tetapi akan memperhatikan keterkaitan (linkages) dengan

unsur-unsur pendukungnya (industri), perguruan tinggi dan litbang, pasar

dan sebaginya, sehingga tercipta keterkaitan yang kuat untuk mendukung

pengembangan pemanfaatan bamboo menjadi berbagai produk untuk

meningkatkan nilai tambah dari bamboo.

KPHL sebagai pemangku di tingkat tapak sebaiknya memfasilitasi

pembentukan kluster, membangun keterkaitan antar unsur-unsur

pendukungnya yang diintegrasikan dalam kesatuan manajemen serta

menjadi penghubung antara pemerintah daerah dengan pihak swasta dan

masyarakat untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Armida S. 2012. Pidato Arahan Menteri PPN/Kepala

Bappenas pada Forum Pengembangan Bambu Nasional

Kementerian Perindustrian tahun 2012 di Bandung.

Astana Satria, 2001. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Bambu. Info

Sosial Ekonomi Vol. 2 No.1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Berlian V. A. N. dan E. Rahayu 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu.

Penerbar Swadaya. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012. Nusa Tenggara

Barat Dalam Angka 2012. Mataram.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 403

Daryanto, A, 2004. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Identifikasi

Komoditas Unggulan dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi

Regional. Jurnal Agrimedia, 9 (2), 51–62.

http://www.tempo.co. 2009. Nilai Ekspor Kerajinan NTB Merosot, Jetro

Bantu Perajin. Rabu, 24 Juni 2009. Mataram.

Kementerian Perdagangan, 2011. Warta Ekspor Edisi Desember : Menggali

Peluang Ekspor Untuk Produk Dari Bambu. Jakarta .

Kementerian Perindustrian, 2012.Pidato Pembukaan Forum Pengembangan

Bambu Nasional dengan tema acara "Bambu Sebagai Produk

Ramah Lingkungan Guna Meningkatkan Ekonomi Kerakyatan

yang Berkelanjutan" di Jakarta, 23 Oktober 2012. Jakarta.

Lembaga Biologi Nasional – LIPI. 1980. Beberapa Jenis Bambu. PT

Sumber Bahagia : PN Balai Pustaka. Jakarta.

Rahardi, F, 2009. Memperbaiki Tata Air dengan Bambu.

http://www.kompas.co.id. 10/5/2009. Diakses 20 Agustus 2010.

Senior, 2007. Rebung Kaya Serat, Penangkal Stroke.

http://cybermed.cbn.net.id Kamis, 26 April 2007. Diakses 16

Oktober 2009.

Sutiyono, Hendromono, M. Wardani, dan I. Sukardi. 1992. Teknik

Budidaya Tanaman Bambu. Informasi Teknis No. 35. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.

Tan, Lieke. 2012. mengenal bambu dan manfaatnya terhadap konservasi

alam, konstruksi dan kerajinan [Serial Online]. http://www.

indonesiaforest.net/bambu.html. Diunduh pada 21 Juni 2012.

Widiarti, A, 2013. Pengusahaan Rebung Bamboo Oleh Masyarakat : Studi

kasus di Kabupaten Demak dan Wonosobo. Jurnal Penelitian

Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 10 No. 1. Bogor.

Widjaja, Elizabeth A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. LIPI- Seri

Panduan Lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi –

LIPI. Balai Penelitian dan Pengembangan Botani, Herbarium

Bogoriense. Bogor.

Widjaja, E. A., N. W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan

Membudidayakan Bambu . Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.

Widnyana. K. 2012. Bambu dengan berbagai manfaatnya. Fakultas

Pertanian Universitas Mahasaraswati. Denpasar-Bali

404| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PERANAN AGROFORESTRI TERHADAP CADANGAN KARBON DI

HULU DAS RENGGUNG KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Budhy Setiawan1)*

, Ahmad, Ismail, Mahrin2)

1) Program Studi Kehutanan Universitas Mataram 2) Fauna & Flora International-Indonesia Programme

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kerapatan tutupan pohon, cadangan

karbon, jenis tanaman yang ingin ditanam oleh masyarakat pengelola kawasan

hutan, dan potensi penambahan cadangan karbon dari penanaman yang akan

dilaksanakan oleh masyarakat pada kawasan hulu DAS Renggung. Penelitian

dilakukan pada bulan Januari s/d Maret 2013 yang berlokasi di kawasan hutan

di wilayah hulu DAS Renggung Kabupaten Lombok Tengah seluas 100 ha

dengan pembuatan 7 plot pengamatan. Perhitungan estimasi cadangan karbon

dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik yang yang telah

dikembangkan. Hasil analisis kerapatan tutupan pohon, terdapat 110 pohon/ha

dengan cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha. Jenis tanaman yang

diinginkan oleh masyarakat untuk ditanam dengan pola agroforestri sehingga

menghasilkan kerapatan tutupan sebanyak 400 pohon/ha untuk memenuhi

persyaratan proyek REDD+ dengan skema Plan Vivo, terdiri dari 1 (satu) jenis

tanaman kayu yaitu rajumas dan 6 (enam) jenis HHBK, yaitu; manggis, durian,

alpukat, sirsak, sawo nila, dan duku. Hasil analisis potensi penambahan

cadangan karbon melalui penanaman 7 (tujuh) jenis tanaman tersebut

diperkirakan akan terjadi penambahan cadangan karbon setelah lima belas

tahun sebesar 205,18 ton C/ha atau rata-rata per tahun sebesar 13,68 ton C/ha.

Kata Kunci: DAS Renggung, agroforestri, HHBK, cadangan karbon.

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) melalui skema

hutan kemasyarakatan (HKm) di Pulau Lombok telah berlangsung sejak

pertengahan tahun 1990-an. Skema HKm telah memberikan akses yang

cukup luas kepada masyarakat pinggiran hutan di Pulau Lombok untuk

terlibat langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan. Secara umum, pola

pengelolaan lahan hutan yang dikembangkan oleh petani HKm di Pulau

Lombok menerapkan sistem tanaman campuran atau yang dikenal dengan

istilah agroforestri yaitu mengkombinasikan tanaman kayu, buah-buahan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 405

dan tanaman semusim (Setiawan, 2005). Kombinasi tanaman yang

dikembangkan oleh petani HKm di Pulau Lombok menganut sistem

agroforestri komplek. Hal ini sejalan dengan definisi yang dipublikasi oleh

ICRAF (2000), sistem agroforestri komplek adalah sistem-sistem yang

terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan

atau rumput. Praktek penerapan sistem agrofrestri di lahan HKm di Pulau

Lombok telah berkontribusi secara signifikan baik dalam peningkatan

ekonomi masyarakat maupun pemulihan kondisi biofisik kawasan hutan

(Samad, 2012).

Penerapan sistem agroforestri juga memiliki kontribusi terhadap

perbaikan kualitas ekologis di daerah sekitarnya. Dari sisi ekologis,

keberadaan vegetasi yang ada dapat berfungsi sebagai pengendali iklim

mikro. Sebagai gambaran, tanaman seluas 1 ha dapat memproduksi

oksigen sebesar 600kg/hari, menyerap karbodioksida sebesar 900 kg/hari,

menyaring debu sampai 85% serta dapat menurunkan suhu sampai 4°C

(Jochim et al. yang diacu oleh Frick dan Suskiyanto dalam Adinugroho et

al, 2013). Peran vegetasi sebagai penyerap karbondioksida menjadi bagian

penting saat ini dalam rangka mengatasi pemanasan global yang

disebabkan meningkatnya kadar gas rumah kaca terutama karbondioksida

di atmosfer. Oleh karenanya, praktek agroforestri yang dikembangkan oleh

petani HKm di Pulau Lombok tentunya patut diperhitungkan untuk

mendapatkan imbal jasa lingkungan berupa kredit karbon di masa

mendatang.

Praktek agroforestri yang dikembangkan petani HKm di Pulau

Lombok tersebut telah menarik perhatian lembaga Fauna & Flora

International (FFI) untuk mengintegrasikan skema HKm dengan

implementasi proyek REDD+ melalui skema Plan Vivo dengan mengambil

lokasi di Kawasan Hutan Aik Bul Kabupaten Lombok Tengah yang

terletak di Hulu DAS Renggung. Adapun penelitian yang dilakukan ini

bertujuan untuk; 1) menganalisis kerapatan tutupan pohon, 2) menganalisis

cadangan karbon pada sistem agroforestri di Hulu DAS Renggung, 3)

mengetahui jenis tanaman yang ingin ditanam oleh petani HKm, dan 4)

menganalisis potensi penambahan cadangan karbon dari penanaman yang

akan dilaksanakan oleh petani HKm pada kawasan Hulu DAS Renggung.

406| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2013 dengan

mengambil lokasi di wilayah Hulu DAS Renggung yang secara

adiministratif pemerintahan hampir keseluruhannya (96%) termasuk

kedalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan secara geografis terletak

pada posisi 8°30’0’’ - 8°53’30’’ LS dan 8°30’0’’dan 116°16’0’’ -

116°25’0’’ BT.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Hulu DAS Renggung

2.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain; Peta Rupa

Bumi, Peta Kawasan Hutan NTB, Kertas Plano, Tallysheet, GPS, Kompas,

Phiband, Meteran (DBH meter), Lasser Meter, Kamera, dan Spidol.

2.3 Metode

Sampling dilakukan secara random, total ada 7 (tujuh) plot yang tersebar

pada lokasi penelitian, terdiri dari 5 (lima) plot yang secara umum

menunjukkan keterwakilan penutupan lahan oleh vegetasi pohon pada

setiap sistem agroforestri di Hulu DAS Renggung dan 2 (dua) plot

purposive yang dijadikan sebagai plot pembanding. Perhitungan estimasi

cadangan karbon dilakukan dengan menggunakan metode non-destruktif,

yaitu menggunakan persamaan alometrik yang telah dikembangkan atau

tersedia saat ini.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 407

Gambar 2. Sebaran Plot Sampling

Keterangan Ukuran Plot:

125 m x 20 m = Area Pengukuran Pohon DBH ≥ 30 cm (A)

20 m x 20 m = Area Pengukuran Pohon DBH 15 - 29,9 cm (B)

10 m x 10 m = Area Pengukuran Pohon DBH 5 - 14,9 cm (C )

60 m x 60 m (plot purposive) = Area Pengukuran Pohon DBH ≥ 5 cm

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kerapatan Tutupan Pohon

Kerapatan tutupan pohon di Hulu DAS Renggung dilakukan

melalui kegiatan identifikasi dan inventarisasi jenis pohon pada 7 (tujuh)

plot pengamatan. Hasil identifikasi dan inventarisasi dijumpai ada

sebanyak 9 jenis pohon di 7 (tujuh) plot pengamatan, yakni; cokelat

(Theobroma cacao), kopi (Coffea robusta), nangka (Artocarpus

heterophyllus), durian (Durio zibethinus), jambu batu (Psidium guajava),

dadap (Erythrina sp), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni

(Swietenia mahagoni), randu (Ceiba petandra). Adapun jenis dan jumlah

408| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pohon yang teridentifikasi di masing-masing plot pengamatan adalah

sebagai berikut: 1) Plot AB. I.I (Agroforestri Tegakan Dominasi Dadap)

teridentifikasi 4 (empat) jenis dengan tingkat kerapatan tutupan mencapai

30 pohon), 2) Plot AB.I.II (Agroforestri Tegakan Dominasi Mahoni)

teridentifikasi 3 (tiga) jenis dengan tingkat kerapatan mencapai 33 pohon,

3) Plot AB.I.III (Agroforestri Kopi Tegakan Dominasi Dadap, Sengon dan

Nangka) teridentifikasi 5 (lima) jenis dengan tingkat kerapatan tutupan

mencapai 30 pohon, 4) Plot AB. I.IV (Agroforestri Kopi Tegakan

Dominasi Mahoni) teridentifikasi 5 (lima) jenis dengan tingkat kerapatan

tutupan mencapai 21 pohon, 5) Plot AB.I.V (Agroforestri Kopi-Cokelat

Tegakan Dominasi Dadap) teridentifikasi 5 (lima) jenis dengan tingkat

kerapatan tutupan mencapai 23 pohon, 6) Plot Purposive Mahoni

teridentifikasi 3 (tiga) jenis dengan tingkat kerapatan tutupan mencapai 65

pohon, dan 7) Plot Purvosive Lahan Terbuka teridentifikasi 3 (tiga) jenis

dengan tingkat kerapatan tutupan mencapai 14 pohon. Berdasarkan hasil

analisis data dan perhitungan maka rata-rata tingkat kerapatan pohon

setelah dilakukan konversi ke dalam satuan hektar (ha) pada Kawasan

hutan Aik Bual maka diperoleh tingkat kerapatan tutupan pohon mencapai

110 pohon/ha.

B. Cadangan Karbon Pohon

Perhitungan biomassa pohon pada masing-masing plot

pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode non-destructive

sampling atau tanpa menyebabkan kerusakan pohon, yaitu menggunakan

beberapa persamaan alometrik yang telah tersedia dalam Hairiah et al.

(2001), Brown (1997) dan Chave et al. (2005). Cadangan karbon dihitung

dengan menggunakan pendekatan biomassa, cadangan karbon yang

tersimpan dalam bentuk biomassa dapat diketahui dengan mengalikan

biomassa dengan konstanta fraksi karbon dari biomassa tersebut, yaitu

sebesar 0,50 (0,44-0,55) (IPCC, 2006 dalam Adinugroho et al. 2013).

Serapan CO2 dihitung dengan menggunakan perbandingan massa molekul

relative CO2 (44) dan massa atom relatif C(12) yaitu serapan CO2 = 3,67 x

cadangan karbon. Berdasarkan hasil tabulasi dan perhitungan cadangan

karbon seperti diuraikan diatas diperoleh potensi cadangan karbon pada

plot pengamatan adalah sebesar 77,63 ton C/ha yang dirincikan pada

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 409

masing-masing plot adalah sebagai berikut: 1) Plot AB. I.I sebesar 89,46

ton C/ha, 2) Plot AB. I.II sebesar 214 ton C/ha, 3) Plot AB. I.III sebesar

84,71 ton C/ha, 4) Plot AB. I.IV sebesar 97,17 ton C/ha, 5) Plot AB. I.V

sebesar 45,94 ton C/ha, 6) Plot Purposive Mahoni sebesar 253,26 ton C/ha,

dan 7) Plot Purposive Lahan Terbuka sebesar 79,73 ton C/ha.

Gambar 3. Potensi Cadangan Karbon di Tiap Plot Pengamatan

C. Jenis Tanaman yang diinginkan Masyarakat

Salah satu persyaratan dari implementasi REDD+ dengan skema

Plan Vivo adalah jumlah pohon per ha minimal sebanyak 400 pohon. Hasil

inventarisasi yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pohon

per ha di 7 (tujuh) plot pengamatan adalah sebanyak 110 pohon/ha. Oleh

karena itu, kegiatan FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan

bersama masyarakat pengelola hutan di Desa Aik Bual adalah untuk

memperoleh informasi terkait jenis tanaman apa yang ingin ditanam

sebanyak 290 pohon per ha untuk mencapai kerapatan tutupan pohon

sebanyak 400 pohon/ha. Hasil kesepakatan melalui kegiatan FGD

mengenai jenis pohon dan jumlah penambahan masing-masing jenis pohon

per ha adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Jenis dan Jumlah Penambahan Tanaman per Ha yang diinginkan

Petani HKm Aik Bual

No. Nama

Perdagangan Nama Ilmiah Jenis

Prosentase

Penambahan

Jenis

Jumlah

Penambahan

Pohon/Ha

1. Srikaya Annona Buah 10% 29

0 100 200 300

Plot Purposive Mahoni

Plot Purposive Lahan Terbuka

Plot AB. I.V

Plot AB. I.IV

Plot AB. I.III

Plot AB. I.II

Plot AB. I.I

410| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No. Nama

Perdagangan Nama Ilmiah Jenis

Prosentase

Penambahan

Jenis

Jumlah

Penambahan

Pohon/Ha

muricata

2. Rajumas Duabanga

moluccana

Kayu 30% 87

3. Durian Durio

zibethinus

Buah 10% 29

4. Manggis Garcinia

mangostana

Buah 20% 58

5. Duku Lansium

domesticum

Buah 10% 29

6. Sawo Nila Manilkara

zapota

Buah 10% 29

7. Alpokat Persea

Americana

Buah 10% 29

Total 100% 290

D. Potensi Penambahan Cadangan Karbon

Kondisi tutupan hutan saat ini tanpa aktivitas penambahan jenis

tanaman dengan cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha akan terjadi

peningkatan cadangan karbon di kawasan Hulu DAS Renggung sampai

pada tahun ke-15 mencapai 152,92 ton C/ha. Potensi peningkatan

cadangan karbon akibat dari aktivitas penambahan 7 jenis pohon dengan

jumlah penambahan mencapai 290 pohon/ha akan terjadi rata-rata

peningkatan sebesar 0,14 ton C/ha/tahun sehingga pada tahun ke-15

cadangan karbon menjadi 358,10 ton C/ha.

Tabel 2. Baseline Data Cadangan Karbon

Tahun Baseline

(Ton C/ha) Tahun

Baseline

(Ton C/ha)

1 77,63 9 120,65

2 83,00 10 126,03

3 88,38 11 131,41

4 93,76 12 136,79

5 99,14 13 142,17

6 104,52 14 147,55

7 109,90 15 152,92

8 115,28

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 411

Tabel 3. Potensi Peningkatan Cadangan Karbon melalui

Penambahan Jenis dan Jumlah Tanaman

Tahun Peningkatan Cadangan

Karbon (Ton C/ha) Project Scenario

1 0,00 77,63

2 0,00 83,00

3 0,00 88,38

4 9,72 103,48

5 14,97 114,11

6 22,37 126,89

7 31,87 141,76

8 43,65 158,93

9 57,91 178,57

10 74,83 200,86

11 94,58 225,99

12 117,34 254,12

13 143,25 285,42

14 172,48 320,02

15 205,18 358,10

Gambar 4. Potensi Peningkatan Cadangan Karbon

412| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

IV. KESIMPULAN

1. Hasil analisis kerapatan tutupan pohon, terdapat 110 pohon/ha dengan

cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha.

2. Jenis tanaman yang diinginkan oleh masyarakat untuk ditanam dengan

sistem agroforestri sehingga menghasilkan kerapatan tutupan sebanyak

400 pohon/ha terdiri dari 1 (satu) jenis tanaman kayu yaitu rajumas

(Duabanga moluccana) dan 6 (enam) jenis HHBK, yaitu; manggis

(Garcinia mangostana), durian (Durio zibethinus), alpokat (Persea

americana), sirsak (Annona muricata), sawo nila (Manilkara zapota),

dan duku (Lansium domesticum).

3. Hasil analisis potensi penambahan cadangan karbon melalui

penanaman 7 (tujuh) jenis tersebut diperkirakan akan terjadi

penambahan cadangan karbon setelah lima belas tahun sebesar 205,18

ton C/ha atau rata-rata per tahun sebesar 13,68 ton C/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC, Indrawan A, Supriyanto, Arifin HS. 2013. Kontribusi

Sistem Agroforestri terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Kali

Bekasi. Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 3. Banjarbaru.

Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical

Forests: a Primer. Rome, Italy: FAO Forestry Paper 134.

Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Folster

H, Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure JP, Puig H, Riera B,

Yamakura T. 2005. Treeallometry and improved estimation of

carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145:87-

99.

Hairiah K, Sitompul SM, van Noordwijk M. 2001. Methods for sampling

carbon stocks above and below ground. ASB Lecture Note 4B.

Bogor: International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).

International Centre for Research in Agroforestry. 2000. Ketika kebun

berupa hutan : Agroforest Khas Indonesia Sebuah sumbangan

masyarakat. Bogor.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 413

Samad, S. 2012. (Tesis). Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan di

Pulau Lombok. Mataram.

Setiawan, B. 2006. Pengembangan Model Diversifikasi Tanaman dalam

Sistem Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok. Prosiding

Seminar Hasil Penelitian “IPTEK Pengelolaan DAS untuk

Mendukung Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat di

Wilayah Zona Ekologi Nusa Tenggara”. Mataram.

414| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

POTENSI BIOMASSA, CADANGAN KARBON DAN SERAPAN

KARBON DIOKSIDA (CO2) SERTA PERSAMAAN ALLOMETRIK

PENDUGA BIOMASSA PADA TEGAKAN BAMBU BETUNG

(Dendrocalamus asper) PADA HUTAN BAMBU RAKYAT

DI KABUPATEN TANA TORAJA

Baharuddin1, Djamal Sanusi

2 Muhammad Daud

3, dan Ferial

4

1,2) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

3) Program Studi Kehutanan, Universitas Muhammaddiyah Makassar 4)

Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Email:[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi biomassa, cadangan karbon

dan penyerapan Karbon Dioksida (CO2) serta membuat model alometrik

penduga biomassa bambu betung (Dendrocalamus asper) di hutan rakyat

bambu Kabupaten Tana Toraja. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode

purpossive sampling untuk menentukan potensi tegakan bambu dan untuk

menduga potensi biomassa, cadangan karbon dan penyerapan CO2 dengan

menggunakan model alometrik. Sebanyak 60 batang bambu untuk membuat

model alometrik penduga biomassa, 30 sampel yang digunakan untuk

membuat model alometrik dan 30 sampel untuk validasi model. Sampel

destruktif digunakan untuk mengumpulkan data dari sampel di mana diameter

(D) dari bambu betung digunakan sebagai prediktor untuk berat kering total

biomassa (W). Bambu betung tua ditebang kemudian dipisahkan bertdasarkan

bagian bambu (batang, akar, ranting, dan daun). Semua bagian bambu

ditimbang sebagai berat basah. Selanjutnya penentuan kadar air masing-masing

bagian. Biomassa bambu ditentukan berdasarkan berat kering masing-masing

bagian. Karbon terikat bambu betung ditentukan berdasarkan ASTM D-3175.

Model alometrik dibuat berdasarkan rumus regresi alometrik, dan uji t-test dan

koefisien determinasi (R2). Validasi model digunakan untuk menguji keandalan

model persamaan alometrik untuk prediksi jumlah biomassa bambu betung.

Uji keandalan model dilakukan dengan menggunakan kriteria validasi model

dari 30 sampel seperti koefisien determinasi, bias, Square Error Prediction

(MSEP), dan (EI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi bambu betung

berdiri di hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja adalah 21 batang per rumpun,

4134 batang per hektar dan 194 rumpun per hektar. Berdasarkan indikator

statistik, model persamaan alometrik untuk menduga biomassa bamboo betung

dengan persamaan W = 25,840D0,295

dengan nilai R2 0,780 dengan bias,

(MSEP), dan (EI) adalah -1,03; 3,11; 44,68. Potensi biomassa, cadangan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 415

karbon dan penyerapan CO2 bambu betung berdiri di hutan rakyat bambu di

Kabupaten Tana Toraja adalah 225,241 ton / ha; 111,224 ton / ha; 110,143 ton

/ ha per tahun.

Kata Kunci: Biomassa, cadangan karbon, Betung Bambu, Hutan

Rakyat Bambu, Model alometrik.

I. PENDAHULUAN

Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat

Indonesia dan sudah menyebar di kawasan nusantara, tanaman ini dapat

tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering. Bambu termasuk

keluarga rerumputan dan merupakan tumbuhan paling besar di dunia dalam

keluarga ini. Menurut Berlian (1995) ada lebih dari 1200 spesies bambu

dan kebanyakan terdapat di Asia. Tumbuhan yang indah ini, dengan

kekuatan dan kelenturannya, memiliki manfaat yang tidak terbatas.

Tanaman bambu berpotensi menjadi solusi alternatif bagi sejumlah

permasalahan lingkungan terutama dalam mengatasi pemanasan global

(Widjaja, 2004). Cepatnya pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon,

membuat bambu dapat diunggulkan untuk perbaikan lahan. Bambu juga

merupakan penghasil oksigen paling besar dibanding pohon lainnya dan

memiliki daya serap karbon yang cukup tinggi untuk mengatasi persoalan

emisi karbon dioksida (CO2) di udara. Selain itu bambu juga merupakan

tanaman yang cukup baik untuk memperbaiki lahan kritis karena

kemampuannya tumbuh di berbagai kondisi tanah bahkan yang ekstrim

sekalipun.

Banyaknya kandungan CO2 di udara yang sebagian besar

dihasilkan oleh industri menyebabkan kadar CO2 di udara telah melewati

ambang batas. Hal ini menyebabkan sinar ultraviolet terjebak di atmosfer

yang sering dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan

terjadinya pemanasan global dan kenaikan suhu serta perubahan iklim.

Salah satu cara untuk menyerap CO2 di udara adalah melalui proses

fotosintesis. Karbon di udara banyak di serap oleh tumbuhan yang

berfotosintesis. Salah satu tanaman kehutanan yang berpotensi untuk

dikembangkan guna mengurangi emisi CO2 di atmosfer adalah bambu.

Bambu saat ini banyak dikembangkan pada hutan rakyat, meskipun

416| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

demikian kajian tentang pemanfaatan jasa lingkungan dari bambu terutama

pada hutan bambu rakyat untuk menyerap karbon masih sangat kurang.

Selama ini, kajian tentang pendugaan biomassa untuk penentuan

serapan karbon pada bambu masih manggunakan model penduga

allometrik yang masih umum padahal bambu memiliki variasi jenis dan

karakteristik yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu adanya kajian

tentang pendugaan biomassa untuk penentuan serapan karbon yang lebih

spesifik pada satu jenis bambu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan

potensi biomassa, cadangan karbon dan serapan karbon dioksida (CO2)

serta persamaan allometrik penduga biomassa pada tegakan bambu betung

(Dendrocalamus asper) pada hutan bambu rakyat di Kabupaten Tana

Toraja.

II. BAHAN DAN METODE

A. Alat dan bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS (Global

Positioning System), parang, gergaji, timbangan gantung, kaliper, pita

meter, roll meter, linggis, gunting, tali rafiah, karung, timbangan analitik,

desikator, ayakan (mesh), oven, drum, furnace, cawan petri, crucible

porselin, pinggan porselin, lumpang dan alu, gegep besi, alat tulis menulis

sedangkan bahan yang digunakan adalah plastik sampel, kertas/koran

bekas, kertas label, dan bambu betung (Dendrocalamus asper).

B. Metode Penelitian

1. Inventarisasi Tegakan Bambu Betung

Variabel yang diukur dalam inventarisasi bambu di lapangan

meliputi jumlah rumpun, jumlah batang dalam rumpun dan permudaan.

Plot yang dibuat berbentuk persegi panjang dengan ukuran 20 x 50 m yang

dilakukan dengan teknik sampling secara purposive (purvossive with

random start).

2. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel bambu dilakukan secara destruktif

(destructive sampling). Bambu yang dipillih ialah bambu dewasa, bambu

yang terpilih kemudian ditebang, selanjutnya diukur diameternya kemudian

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 417

dipisahkan berdasarkan bagian-bagian bambu (batang, akar, ranting, dan

daun). Sampel bambu yang diambil adalah sebanyak 60 batang, 30 batang

digunakan untuk membangun model persamaan hubungan diameter dengan

biomassa dan sebanyak 30 batang untuk pengujian validasi model. Semua

bagian bambu tersebut ditimbang sehingga diketahui berat basahnya. Berat

basah bambu adalah total berat basah dari semua bagian bambu. Pada

masing-masing bagian bambu diambil beberapa sampel untuk menghitung

kadar air bambu basah dan kadar karbon terikat bambu untuk mengetahui

biomassa dan cadangan karbon masing-masing batang bambu yang

selanjutnya digunakan untuk membangun model hubungan antara diameter

dengan biomassa bambu melalui persamaan allometrik.

3. Pengukuran Kadar Air

Biomassa bambu ditentukan dari konversi biomassa basahnya ke

berat basahnya dengan menggunakan data kadar air. Karena kondisi lokasi

dan karakteristik bambu yang relatif seragam dan pertimbangan efisiensi

penelitian maka penentuan kadar air sampel tidak dilakukan per sampel

bambu tetapi kadar air ini diduga per bagian bambu. Oleh karena itu, kadar

air sampel ditentukan dari kadar air per bagian populasi. Pendugaan kadar

air populasi ini dilakukan dengan teknik sampling. Tiga batang bambu

yang dipilih secara acak dari sampel bambu penduga biomassa dipotong

per bagian kemudian ditentukan kadar airnya di laboratorium. Kadar air per

bagian bambu adalah merupakan data kadar air rata-rata per bagian sampel

yang digunakan untuk menduga biomassa.

4. Pengukuran Biomassa

Besarnya biomassa dapat diketahui dengan menggunakan

perhitungan berat kering. Setiap batang bambu akan diketahui berat

keringnya setelah dilakukan pengukuran kadar air sampel. Berat kering

(biomassa) batang, akar, ranting, dan daun dihitung dengan menggunakan

rumus:

Keterangan :

BK = Berat kering (kg); BB = Berat basah (kg); Ka = Persen kadar air (%)

418| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

5. Pengukuran Kadar Karbon Terikat

Kadar karbon terikat bambu dilakukan dengan menggunakan

metode karbonisasi. Kadar karbon terikat bambu diduga melalui penentuan

kadar karbon hasil karbonisasi jika penentuan karbonnya dilakukan

terhadap arang yang terbentuk sesaat setelah terjadinya karbonisasi

terhadap sampel. Nilai karbon yang diperoleh akan mendekati nilai kadar

karbon terikat biomassa bambu betung hidup.

a. Penentuan Kadar Air Arang (SNI 06-3730-1995)

Sebanyak 2 gram serbuk arang yang lolos saringan ukuran 100

mesh dimasukkan ke dalam crucible porselin yang telah diketahui

beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 103±2oC sampai

beratnya konstan. Setelah itu crucible porselin dikeluarkan dan didinginkan

dalam desikator selama 1 jam lalu ditimbang. Pada akhir pengujian diukur

kadar air arang dengan rumus :

Keterangan:

Ka = Persen Kadar air arang

Ba = Berat awal

Bkt = Berat kering tanur

b. Penentuan zat terbang arang (SNI 06-3730-1995)

Crucible porselin yang berisi serbuk arang bambu yang telah

diketahui kadar airnya, kemudian dimasukkan ke dalam furnace pada suhu

950°C selama 7 menit. Selanjutnya didinginkan selama 1 jam dan

ditimbang. Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat

dengan rumus:

Kadar zat terbang =

Keterangan:

A = berat sampel semula (g)

B = berat sampel setelah pemanasan (g)

c. Penentuan kandungan abu (SNI 06-3730-1995)

Serbuk arang yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke

dalam furnace pada suhu 750°C selama 6 jam. Selanjutnya cawan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 419

dikeluarkan dari furnace, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai

beratnya tetap. Untuk mengetahui kadar abu dihitung dengan rumus:

Kadar abu =

d. Penentuan kadar karbon terikat

Penentuan kadar karbon terikat pada arang bambu ditentukan

dengan menggunakan rumus:

Kadar karbon terikat arang = 100% - kadar zat terbang arang – kadar abu.

6. Penentuan Cadangan Karbon

Cadangan karbon dapat dihitung dengan rumus:

Cadangan Karbon = Biomassa x Kadar Karbon Terikat

7. Penentuan Serapan Karbon Dioksida

Serapan Karbon dioksida dihitung berdasarkan perbandingan

massa dari persamaan reaksi fotosintesis:

6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6 O2

(264) (108) (180) (192)

Berdasarkan persamaan reaksi fotosintesis di atas, maka untuk

menghasilkan 180 gram biomassa (C6H12O6), maka diperlukan sekitar 264

gram CO2, oleh karena itu serapan CO2 dapat ditentukan dengan rumus:

Serapan CO2 = (264/180) x Biomassa = 1,4667 x Biomassa

C. Analisis Data

1. Potensi Tegakan

Data yang meliputi jumlah batang/rumpun, jumlah rumpun/ha dan

jumlah batang/ha dan biomassa bambu dianalisis dengan cara sebagai

berikut:

a) Menghitung jumlah rata-rata batang per rumpun

b) Menghitung jumlah rata-rata batang per plot

c) Menghitung jumlah rata-rata rumpun per plot

420| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

d) Menghitung jumlah rumpun per hektar

=

e) Menghitung jumlah batang per hektar

=

Keterangan: Y = Jumlah batang

Y’ = Jumlah rata-rata batang per rumpun

Y’’ = Jumlah rata-rata batang per plot

Y’’’ = Jumlah rata-rata batang per hektar

X = Jumlah rumpun

X’ = Jumlah rumpun per plot

X’’ = Jumlah rata-rata rumpun per hektar

CP = Jumlah contoh plot

LCP = Luas contoh plot

2. Model Allometrik Pendugaan Biomassa Bambu

Model hubungan antara biomassa bambu dan diameter bambu

dibuat dengan menggunakan persamaan regresi allometrik yang

menggambarkan biomassa sebagai fungsi dari diameter. Penyusunan dan

analisa persamaan allometrik ini dibuat dengan menggunakan bantuan

software statistik. Adapun bentuk analisis regresi allometrik dan persamaan

polynomial adalah sebagai berikut :

W = aDb

Dimana :

W = biomassa kering bambu (kg)

D = diameter bambu (cm)

a, b = koefisien penduga

3. Uji Validasi Model

Selain kriteria nilai statistik, dilakukan uji validasi model untuk

menentukan persamaan allometrik terbaik. Kriteria yang dipertimbangkan

adalah ketepatan dari suatu penduga dalam menduga nilai yang sebenarnya

secara berturut-turut dinyatakan oleh sistematika, besar dan penyebab dari

simpangan tersebut. Semakin kecil simpangan maka penduga tersebut akan

semakin tinggi ketepatannya. Semakin sempit sebaran simpangan maka

akan semakin tinggi ketelitiannya dan semakin kecil kesalahan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 421

sistematiknya, maka penduga tersebut semakin tidak bias. Kriteria uji yang

digunakan adalah sebagai berikut:

Model akan semakin baik apabila memiliki nilai bias, MSEP dan

EI yang semakin kecil. Atas dasar ini maka nilai bias dan MSPE serta EI

ini selanjutnya dipakai sebagai kriteria dalam menentukan tingkat

keabsahan dari model-model yang dicobakan. Uji keabsahan model

merupakan uji terakhir dilakukan dalam pemilihan model yang terbaik

sekaligus juga untuk menentukan cara pendekatan terbaik dalam

pemecahan masalah dalam penelitian. Selain faktor-faktor dalam

kekonsistenan dalam penerimaan model tertentu pada setiap kali

membangun model, kepraktisan pemakaian model dan kemudahan

mendapatkan modelnya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Tegakan Bambu

Dalam rangka pengelolaan hutan bambu rakyat secara lestari, perlu

diketahui jumlah potensi tegakan bambu pada daerah tersebut agar

pemanfaatanya dapat dilakukan secara optimal, tanpa harus mengurangi

kelestarian hutan tersebut. Pada tabel 1 dapat dilihat potensi tegakan bambu

berdasarkan jumlah batang, jumlah rumpun dan umur bambu.

Tabel 1. Potensi tegakan bambu betung

No Plot Jumlah

Rumpun

Jumlah Batang

<1 (tahun) 1-3 (tahun) >3 (tahun) Total

1 19 177 145 115 437

2 17 103 90 108 301

3 20 91 98 105 294

4 21 154 144 179 477

422| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

5 20 179 191 188 558

Total 97 704 668 695 2067

Rata-Rata

per Plot 19.4 140.8 133.6 139.0 413.4

Total per

ha 194 1.408 1.336 1.390 4.134

Berdasarkan data di atas potensi tegakan bambu mencapai 4.134

batang per ha dengan jumlah rumpun sebanyak 194 rumpun per ha.

Sehingga jumlah batang per rumpun sebanyak 21 batang dengan 3

klasifikasi umur yang berbeda yaitu umur di bawah satu tahun, antara satu

sampai tiga tahun dan di atas tiga tahun. Data di atas dapat menjadi acuan

pemanfaatan potensi tegakan bambu secara optimal. Jumlah batang yang

harus ditebang sebanyak jumlah bambu pada umur di bawah satu tahun

yaitu 1.408 batang, karena bambu muda ini merupakan permudaan yang

akan tumbuh menggantikan bambu dewasa yang akan di tebang. Oleh

karena itu jumlahnya harus sesuai agar pemanfaatannya optimal dan

potensi tegakan bambu pada daerah tersebut tetap lestari.

B. Model Penduga Biomassa

Berdasarkan pengukuran biomassa bambu di lapangan, nilai

koefisien penduga yang diperoleh berbeda-beda berdasarkan hubungan

diameter dengan bagian bambu lainnya seperti akar, batang, ranting dan

daun serta total biomassa bambu.

Tabel 2. Model allometrik penduga biomassa bambu betung

Bagian

Bambu

Penduga

parameter Model

Allometrik

Uji F

(sig) R

2

a B

Akar 0,599 0,335 W = 0,599 D0,335

0,127tn 0,881

Batang 19,400 0,278 W = 19,400 D0,278

0,000* 0,830

Ranting 4,308 0,383 W = 4,308 D0,383

0,010* 0,326

Daun 1,370 0,227 W = 1,370 D0,227

0,007* 0,183

Biomassa

Total

25,840 0,295 W = 25,840D0,295

0,001* 0,780

Ket: tn) Tidak nyata pada taraf nyata 5% *) Nyata pada taraf nyata 5%

Berdasarkan table diatas menunjukkan bahwa diameter memiliki

hubungan persamaan kuadratik dengan biomassa total dan bagian bambu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 423

lainnya kecuali akar. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ada

hubungan yang nyata antara diameter biomassa total dan bagian bambu

lainnya kecuali akar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Husch,

Miller, and Beers (1972) bahwa jika ada dua variabel mempunyai korelasi

dengan variabel lain maka kedua variabel tersebut akan berkorelasi satu

dengan lainnya. Persamaan allometrik pada akar tidak baik untuk

digunakan karena hunbungannya dengan diameter tidak berpengaruh nyata

meskipun nilai R2 cukup besar dan mendekati satu. Besarnya nilai R

2 pada

model penduga biomassa bagian batang bambu menunjukkan nilai sebesar

0,830. Hal ini menunjukkan bahwa nilai dari koefisien determinasi

memiliki hubungan persamaan kuadratik yang baik antara biomassa batang

dengan diameter bambu. Oleh karena itu, model persamaan tersebut baik

untuk diterapkan dalam menentukan nilai penduga biomassa bagian batang

bambu. Model persamaan penduga biomassa untuk tanaman bambu

memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 0,780. Hal ini berarti 78 %

peubah tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel diameter bambu.

1. Validasi Model Penduga Biomassa

Berikut adalah hasil uji validasi model penduga biomassa bambu

betung dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Validasi Model allometrik penduga biomassa bambu betung

Bagian Bambu

Kriteria Uji

Bias MSEP EI

Akar -0,15 0,03 4,38

Batang 0,04 2,01 29,26

Ranting -0,94 1,28 30,22

Daun 0,10 0,19 10,23

Total -1,03 3,11 44,68

Nilai Bias, MSEP dan EI terkecil menunjukkan bahwa semakin

baik penduga model yang digunakan. Hal ini didapatkan pada nilai validasi

total biomassa bambu dengan nilai bias sebesar -1,03. Angka ini

menunjukkan bias bambu kecil dengan MSEP sebesar 3,11 dan EI sebesar

44,68. Semakin rendah nilai ketiganya semakin baik penduga model yang

424| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

digunakan (Putranto, 2011). Untuk validasi model penduga biomassa dari

masing-masing bagian bambu, model penduga bagian bambu akar memliki

nilai terkecil diantara model penduga bagian bambu lainnya.

Gambar 1. Diagram pencar hubungan diameter bambu dengan biomassa

Gambar 1 menunjukkan hubungan antara diameter bambu dengan

biomassa bambu dari hasil pengukuran langsung dan yang menggunakan

model allometrik pada tabel 2. Nilai dari hasil pengukuran langsung dan

nilai dari yang menggunakan model allometrik sama-sama mendekati garis

fungsi model allometrik. Hal ini menunjukkan bahwa nilai dari pengukuran

langsung dan nilai yang menggunakan model allometrik hampir sama atau

memiliki selisih yang sangat kecil. Fakta ini menunjukkan bahwa rumus

model allometrik W = 25,840D0,295

memiliki bias yang sangat kecil, artinya

tingkat kesalahan pendugaan sangat kecil. Oleh karena itu rumus model

allmetrik W = 25,840D0,295

dapat digunakan untuk menduga besarnya

biomassa bambu betung. Pendugaan biomassaa bambu dari hutan rakyat ini

sangat diperlukan karena berpengaruh pada siklus karbon (Morikawa,

2002). Data biomassa suatu ekosistem sangat berguna untuk mengevaluasi

pola produktivitas berbagai macam ekosistem yang ada

2. Potensi Biomassa dan Cadangan Karbon

Berikut data hasil penaksiran potensi biomassa dan cadangan

karbon bambu betung pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Potensi biomassa dan cadangan karbon bambu betung

W = 25.84D0.295 R² = 0.780

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

0 5 10 15 20 25

Bio

mas

sa (

kg)

Diameter (cm)

Total

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 425

No Plot Jumlah

Batang

Diameter

Rata-rata

Biomassa Per

Batang (kg)

Biomassa per

plot (ton)

Cadangan

Karbon

(ton)

1 437 15,82 54,49 23,809 11,757

2 301 15,82 54,49 16,400 8,098

3 294 15,82 54,49 16,018 7,910

4 477 15,82 54,49 25,989 12,833

5 558 15,82 54,49 30,402 15,012

Total 2067 79,12 272,43 112,620 55,612 Rata-Rata

per Plot 413,4 15,82 54,49 22,524 11,122

Total per

ha 4.134 158,23 544,85 225,241 111,224

Berdasarkan hasil inventarisasi didapatkan total jumlah batang

bambu sebesar 4.134 batang per ha dengan total biomassa 225, 241 ton per

ha. Hal ini berarti rata-rata satu batang bambu memiliki biomassa sebesar

0,05 ton per batang. Total cadangan karbon sebesar 111, 224 ton C per ha

dengan rata-rata satu batang bambu menyimpan karbon sebesar 0,026 ton C

per batang.

3. Potensi Serapan Karbon Dioksida (CO2)

Berikut data hasil penaksiran potensi serapan karbon dioksida

bambu betung pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Potensi Serapan Karbon Dioksida Bambu Betung

No Plot Biomassa per

plot (ton)

Serapan CO2

(ton CO2)

Serapan CO2 per

tahun (ton

CO2/tahun)

1 23,809 34,929 11,643

2 16,400 24,058 8,019

3 16,018 23,499 7,833

4 25,989 38,126 12,708

5 30,402 44,600 14,866

Total 112,620 165,214 55,071

Rata-Rata per

Plot 22,524 33,042 11,014

Total per ha 225,241 330,429 110,143

Berdasarkan hasil pendugaan potensi serapan karbon dioksida

bambu betung diperoleh total serapan CO2 sebesar 110,143 ton CO2 per ha

426| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

per tahun dengan total biomassa tanaman bambu sebesar 225,241 ton per

ha. Rata-rata umur tanaman bambu betung berumur tiga tahun. Hal ini pula

menunjukkan bahwa nilai serapan CO2 sebesar 50 % dari total biomassa,

dengan kata lain semakin besar biomassa maka akan semakin besar pula

potensi serapan CO2 oleh tanaman bambu betung.

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Potensi tagakan bambu betung pada hutan rakyat di Kecamatan Makale

Utara Kabupaten Tana Toraja cukup besar dengan jumlah rata-rata

batang per rumpun sebesar 21 batang per rumpun, 4.134 batang per ha

dengan jumlah rumpun sebesar 194 rumpun per ha.

2. Model persamaan allometrik untuk menduga potensi biomassa tegakan

bambu betung adalah W = 25,840D0,295

3. Jumlah potensi biomassa, cadangan karbon dan serapan CO2 tegakan

bambu betung pada hutan rakyat di Kecamatan Makale Utara

Kabupaten Tana Toraja berturut-turut sebesar 225,241; 111,224;

110,143 ton per ha.

B. Keterbatasan

Dalam penelitian ini, kendala yang dialami adalah peralatan

laboratorium dan metode yang digunakan untuk menentukan kadar karbon

bambu. Selain itu, kendala dana penelitian menyebabkan pengambilan data

kadar air hanya dilakukan terhadap beberapa sampel bambu untuk mencari

kadar air rata-rata setiap bagian bambu sebagai pewakil kadar air setiap

bagian sampel bambu yang dipilih sebagai pembuat model dan validasi

model untuk mengkonversi biomassa basah bambu ke dalam biomassa

keringnya.

C. Saran

Perlu adanya pengelolaan tegakan bambu betung pada hutan

rakyat secara lestari oleh masyarakat di Kecamatan Makale Utara

Kabupaten Tana Toraja sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan dengan

optimal, tanpa mengurangi aspek kelestarian tegakan bambu.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 427

DAFTAR PUSTAKA

Berlian, N. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penerbit Swadaya, Jakarta.

Husch, B., Miller, C.I. and Beers, T.W. 1972. Forest Mensuration. Second

Edition. The Ronald Press Company, New York.

Morikawa, Y. 2002. Biomass Measurement in Planted Forest in and Around

Benakat. Fiscal Report of Assessment on the Potentiality of

Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate

Change 2001, 58-63. JIFPRO, Tokyo, Japan.

Putranto, B. 2011. Penduga Model Hubungan Tinggi dan Diameter Pohon

Jenis Jambu-Jambu (Kjellbergiodendron sp.) pada Hutan Alam di Kab

Mamuju Sulawesi Barat. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat

Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV. Masyarakat Peneliti Kayu

Indonesia, Yogyakarta. Hal. 676-684.

Widjaja, E. A. 2004. Jenis-Jenis Bambu Endemik dan Konservasinya di

Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV.

428| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

RESOLUSI KONFLIK LAHAN DI KPHP MODEL BANJAR

Marinus Kristiadi Harun, S.Hut., M.Si, Rudy Supriyadi, S.P.

dan Adnan Ardana, S.Sos

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Jl. A. Yani Km. 28,7, Landasan Ulin,

Kota Banjarbaru-Kalsel

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan solusi bagi

pembenahan kelembagaan kehutanan supaya prinsip-prinsip teknis pengelolaan

hutan dapat dijalankan. Pembangunan KPH telah menjadi komitmen

pemerintah dan para pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien

dan lestari. Pembangunan KPH dalam implementasinya masih menghadapi

permasalahan dan kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah adanya

konflik hak atas lahan (land tenure). Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis konflik lahan dan model pengembangan institusi untuk

penyelesaian (resolusi) konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi

Kalimantan Selatan. Menemukenali akar permasalahan timbulnya konflik

sangat diperlukan agar dapat dilakukan manajemen konflik. Lingkup penelitian

mencakup: (a) faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya konflik lahan di

KPHP Model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, (b) bagaimana peran para

stakeholders dalam manajemen konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi

Kalimantan Selatan, (c) bagaimana implementasi dan implikasi kebijakan

KPHP di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan dan (d) model

pengembangan institusi seperti apa yang dapat untuk penyelesaian (resolusi)

konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa lahan pada kawasan KPHP Model Banjar

secara de jure merupakan kawasan milik negara (state property), namun

adanya pemukiman warga yang berupa desa di dalam kawasan yang belum

dilakukan enclave, menyebabkan status state property yang close access secara

de jure berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan

opportunity sets ikut mengambil sumberdaya lahan tersebut. Isu Pokok dalam

konflik lahan di KPHP Model Banjar ada 5, yakni: (a) dualisme administrasi

(satu tapak dua kewenangan), (b) IUPHHK tidak aktif, (c) pemberdayaan

ekonomi masyarakat terabaikan, (d) potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

dan (e) penegakan hukum masih lemah. Masalah yang timbul dalam konflik

lahan di KPHP Model Banjar merupakan masalah atau konflik struktural, yakni

aktor yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konflik struktural

(structural conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau keadaan di

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 429

luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai

perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak

berimbang. Resolusi konflik yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah

upaya “mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar”, hal ini dilakukan

dengan langkah-langkah berikut: (1) membangun kepercayaan (trust building).

(2) menumbuh kembangkan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD), (3)

menyiapkan tim ahli yang independen, (4) komunikasi yang efektif dan (5)

regulasi yang disepakati bersama.

Kata kunci: KPH, KPHP Model Banjar, konflik lahan, resolusi konflik.

I. PENDAHULUAN

Kawasan Hutan di Indonesia sekitar 63% dari luasnya sangat

rawan sengketa pertanahan. Permasalahan sengketa ini mengemuka dengan

kenyataan bahwa hanya sekitar 10% dari seluruh kawasan hutan telah

memiliki tata batas kawasan (Media Indonesia, 2003). Makin maraknya

sengketa pertanahan juga dipicu oleh realitas kebutuhan tanah oleh rakyat

dan pihak-pihak lainnya yang semakin meningkat. Masalah tenurial (klaim

atas hak) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik

pengelolaan hutan di Indonesia. Konflik tenurial dapat muncul ke

permukaan berupa ketidakpastian status hak masyarakat di kawasan hutan

dan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan. Sebagian besar kasus konflik

tenurial di kawasan hutan hingga saat ini belum berhasil diselesaikan

dengan baik. Belum ada mekanisme penyelesaian konflik yang dapat

menjadi pegangan seluruh pihak untuk menyelesaikan konflik ini.

Pendalaman terhadap berbagai permasalahan tenurial dan inisiatif

penyelesaian konflik sangat diperlukan untuk mendapatkan pemahaman

yang komprehensif atas konflik yang terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk

menganalisis konflik lahan, model resolusi dan pengembangan institusi

untuk penyelesaian konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi

Kalimantan Selatan. Keunikan penelitian ini dibandingkan dengan

penelitian sejenis adalah model resolusi yang diusulkan berupaya untuk

mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar dan berkeadilan dengan

mengembangkan model kelembagaan Forum Kehutanan Antar Desa

(FKAD).

430| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2012 di lima desa

yang merupakan desa di sekitar hutan kawasan KPHP Model Banjar, yakni:

Desa Angkipih, Desa Paramasan Bawah, Desa Lubang Baru, Desa Lok

Tunggul dan Desa Sungai Jati). Kelima desa tersebut termasuk wilayah

administrasi Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, Studi Pustaka, yaitu pengumpulan data-data sekunder

berupa dokumen dari berbagai sumber yang berkaitan dengan

penelitian ini dan sumber-sumber lain yang terkait dan relevan.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan

dokumen-dokumen hasil studi/penelitian terdahulu (jika ada), peraturan

perundang-undangan dan data pendukung lainnya sebagai kompilasi

kebijakan dari berbagai sektor baik nasional maupun lokal yang

dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dari

Dinas/Instansi yang terkait. Kedua, Survey/observasi lapangan, yaitu

melakukan observasi langsung di lokasi penelitian untuk

mendapatkan situasi kondisi fisik/gambaran umum lokasi

penelitian. Ketiga, wawancara mendalam untuk memperoleh data

primer, yaitu dengan melakukan pengkajian bersama dengan para

stakeholders yang terkait untuk mendapatkan data-data dan

informasi yang mendukung dalam penelitian ini. Tabel 1

menyajikan jenis dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam

penelitian ini.

Tabel 1. Jenis dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian

No Jenis Data Sumber Data

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Peraturan terkait dengan KPHP Model

Banjar

Sejarah Kawasan Hutan

Peta Administrasi

Data Kebijakan terkait KPHP Model

Banjar yang telah diimplementasikan

Monografi Kecamatan/Desa

Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat

Kasus-kasus konflik lahan yang pernah

terjadi terkait dengan pembentukan

Dishut Banjar

Dinas Kehutanan

Dinas Kehutanan

Dinas Kehutanan

Kantor Camat/Desa

Kantor Camat/Desa

Dishut Banjar, UPTD,

Kantor Desa

Instansi yang

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 431

KPHP Model Banjar

Data Penunjang Lainnya

terkait/LSM

Teknik pengambilan contoh untuk data primer dilakukan secara

sengaja (purpossive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden

adalah masyarakat yang berada di sekitar kawasan, pelaku (individu atau

lembaga) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung

maupun tidak langsung dalam pengelolaan KPHP Model Banjar di Provinsi

Kalimantan Selatan. Jumlah informan (responden) dalam penelitian ini

sebanyak 150 orang. Pengamatan/observasi langsung terhadap objek

penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi secara riil.

Teknik pengambilan contoh yang digunakan untuk menganalisis

kepentingan dan pengaruh stakeholder, dilakukan dengan teknik snowball

sampling. Prosedur penelitian seperti pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Skema prosedur penelitian

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Konflik Lahan di KPHP Model Banjar

Pembentukan KPHP Model Banjar adalah sebuah perencanaan

skala besar dan menyangkut berbagai macam aspek, seperti aspek

pemanfaatan kawasan, aspek sosial dan aspek ekologi. Pemetaan

permasalahan dalam implementasi pembangunan KPHP Model Banjar

secara rinci seperti pada Tabel 2.

Model Resolusi Konflik lahan

A Existing policy

D PENYEBAB GAP : A

Vs B

B PROBLEM (P1, P2,

P3, P4) C HUBUNGAN : A Vs

B (GAP)

E PEMECAHAN

MASALAH

Studi Literatur

Wawancara, FGD

Metode III Mengelola Konflik

Metode II

alat bantu analisis: konflik, triangulasi,

Stakeholder

Metode I

Analisis Kebijakan

DATA

432| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tabel 2. Isu dan Permasalahan KPHP Model Banjar

Isu Permasalahan Kendala

Kawa

san Unit managemen HTI dalam

kawasan tidak aktif.

Sasaran program rehabilitasi

lahan ditujukan hanya pada

areal yang tidak dibebani hak

pengelolaan.

Tumpang tindih hak antar unit

managemen IUPHHTI

Tumpang tindih hak

pengelolaan akan menghambat

target pelaksanan pekerjaan

masing-masing pemegang hak,

serta areal yang disengketakan

menjadi tidak terurus.

Sosial Klaim masyarakat atas lahan

pengelolaan

Masyarakat dalam kawasan

belum sepenuhnya memahami

posisi keruangan tempat

tinggalnya

Belum ada mekanisme

penyelesaian win win solution

atas klaim lahan oleh

masyarakat.

Ekolo

gi Rehabilitasi lahan eks tambang

ilegal

Rehabilitasi lahan

Areal dengan tutupan lahan

bervegetasi relatif kecil

Alokasi anggaran untuk

rehabilitasi lahan masih bersifat

proyek pemerintah yang tidak

sebanding dengan luas lahan

yang akan direhabilitasi.

Ekono

mi Belum maksimalnya

pendapatan daerah dari sektor

kehutanan yang dihasilkan dari

kawasan KPHP.

Besarnya potensi mineral

tambang di areal kawasan

KPHP

Sebagian besar kawasan

dengan status HP dan HPT

hanya berupa alang-alang dan

semak belukar.

Sangat menarik investasi di

bidang pertambangan,

mekanisme pinjam pakai lahan

hutan.

Kebija

kan Pembentukan unit KPHP

memberikan resiko beban

anggaran bagi pemda

Operasional management unit

KPHP menjadi kurang

progresif.

Penetapan masalah pada konflik lahan di KPHP Model Banjar

ditujukan untuk lebih memudahkan dalam mencari solusi dan strategi yang

tepat dalam resolusi konfliknya. Penetapan ini diperlukan agar masalah

yang terjadi terkait konflik lahan di KPHP Model Banjar dapat

diidentifikasi dan dipahami secara lebih komprehensif. Untuk lebih

jelasnya bisa kita lihat pada Gambar 2 berikut. Konflik lahan di KPHP

Model Banjar merupakan masalah atau konflik struktural, yakni aktor yang

terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konflik struktural (structural

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 433

conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau keadaan di luar

kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan

status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak berimbang

(Moore, 1986). Pada sisi masyarakat, mereka memperjuangkan haknya atas

sumberdaya lahan yang berada di daerahnya sementara dari sisi Pemerintah

(Dinas Kehutanan) menganggap bahwa sumberdaya lahan tersebut

merupakan kawasan hutan yang secara de jure merupakan state property

yang close acces.

Gambar 2. Penetapan Masalah Konflik Lahan di KPHP Model Banjar

Pihak-pihak yang berkaitan dan berkepentingan dalam konflik

lahan ini meliputi: UPT KPHP Model Banjar, BPKH Wilayah IX (UPT

kemenhut), IUPHHK, peladang, Kades/Pambakal Desa di dalam kawasan

hutan (34 desa), Camat (Peramasan, Sambung Makmur, Pengaron, Sungai

Pinang, dan Telaga Bauntung), Dinas Pertambangan, LSM, BAPPEDA,

Kementrans, Perguruan Tinggi, Polisi Kehutanan, Polsek, Penyuluh dan

FKAD. Keterkaitan ini didasarkan pada tupoksi, motif ekonomi dan unsur

politik. Pada kegiatan perladangan dan perkebunan terdapat kelompok

peladang yang bekerja melakukan pengarapan lahan dengan tanaman

budidaya. Motivasi dari stakeholders ini berupa aspek ekonomi dan

kesempatan bekerja dan berusaha. Kegiatan pengkavlingan lahan untuk

KEBIJAKAN

Legalitas kegiatan,

penegakan hukum

Konflik Lahan

KPHP Model Banjar

STAKE-

HOLDERS

EKOLOGI

Terjadi degradasi

hutan dan lahan

kritis

SOSIAL

Membuka

kesempatan kerja dan

berusaha masyarakat

EKONOMI

Nilai ekonomi tinggi

bagi masyarakat dan

potensial PAD

DRIVER POWER

Nilai strategis

lahan

KELEMBAGAAN

PEMBERDAYAAN

434| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pemukiman baru melibatkan oknum warga desa, Pambakal dan warga

pendatang dari luar desa. Motivasi dari stakeholders ini berupa aspek

ekonomi dan kesempatan memperoleh lahan untuk tempat tinggal dan

kebun (berusaha). Ada beberapa stakeholders yang mempunyai kaitan dan

kepentingan lebih dari satu kegiatan yakni: (a) Polsek mempunyai

kepentingan karena tupoksinya untuk menjaga keamanan dan ketertiban

pada semua kegiatan, (b) penyuluh kehutanan, (c) POLHUT, (d) dan

FKAD. Sementara itu, IUPHHK mempunyai kepentingan karena faktor

ekonomi dan kebijakan. Perusahaan pemegang IUPHHK merupakan

Badan Usaha yang ditunjuk oleh negara sebagai pelaksana usaha dari

kegiatan pengelolaan lahan konsesi. Keberadaan peladang yang merambah

lahan konsesi akan merugikan perusahaan IUPHHK secara ekonomi

maupun kredibilitas perusahaan menyangkut kelestarian hasil hutan dan

ekosistem hutan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan berkaitan dan

berkepentingan pada tata batas kawasan hutan dengan non kawasan hutan.

Isu yang dipersoalkan dalam permasalahan konflik lahan dalam

KPHP Model Banjar mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik

kepada stakeholders yang berperan dalam kasus ini. Ketekaitan

stakeholders dengan isu pokok perlu di analisis agar penyelesaian

persoalan lebih terarah dan jelas sehingga isu yang satu tidak memicu isu

yang lain dan memperparah persoalan yang ada di kawasan tersebut.

Gambar 3 menjelaskan keterkaitan dan pengaruh stakeholders terhadap isu

pokok dan pengaruh antar isu. Menurut Bryson (2004) setiap stakeholders

memiliki kepentingan dalam isu-isu yang berbeda dan ada kemungkinan

stakeholders berhubungan dengan stakeholders lain melalui isu-isu

tersebut, selanjutnya Bryson (2004) menjelaskan diagram keterkaitan

stakeholders dengan isu pokok membantu memilah dan menata daerah

masalah (arena aksi), sehingga dapat mengidentifikasi masalah aktual yang

berpotensi bisa bekerjasama atau justru menjadi konflik.

Isu dualisme administrasi dan penegakan hukum yang masih

lemah serta IUPHHK yang tidak aktif merupakan isu yang di pengaruhi

kinerja Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar dan BPKH Wilayah IX (UPT

Kemenhut). Isu pemberdayaan masyarakat yang terbaikan oleh pemerintah

dipengaruhi oleh lemahnya kinerja aparat pemerintah yakni:

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 435

Kades/Pambakal, Camat dan Bappeda. Akibat isu 2 ini peladang menjadi

pihak yang paling dipengaruhi karena kondisi ekonomi dan tingkat

pendidikan mereka yang rendah menyebabkan tidak ada alternatip lain

selain bekerja disektor pertanian subsisten (perladangan dan perkebunan

tradisional). LSM berkepentingan dengan isu 2 ini berkaitan dengan visi

dan misi mereka untuk mendorong pemberdayaan masyarakat.

Isu Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak bisa

dipungut akan sangat mempengaruhi kinerja Dinas Kehutanan dan

BAPPEDA Kabupaten Banjar, karena salah satu sumber APBD adalah

PAD, hal ini akan berkaitan juga dengan penyusunan program

pembangunan mengingat potensi yang besar dari pengelolaan KPHP Model

Banjar.

Isu penegakan hukum yang masih lemah merupakan akibat dari

kinerja aparat keamanan (POLHUT) yang buruk yang berakibat pada

perambahan lahan hutan dan kegiatan ilegal lainnya.

LSM & PT

Dinas Kehuta

nan

Perusahaan

IUPHHK BAPPEDA

KPHP Model Banjar

Kemen trans &

FKAD

Kemen trans

Distamben

Camat, Pambakal

POLHUT & Polsek

Dinas Kehuta

nan Banjar

Dishut Banjar

Isu 5

Isu 4

Isu 3

Isu 2 Isu 1

Pelada

Pambakal & FKAD

BPKH (UPT

Kemenhut)

Penyuluh Dishut Banjar

436| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Hubungan Stakeholders dengan Isu Pokok dan

hubungan Antar Isu

Gambar 3 tersebut juga dapat mengidentifikasi hubungan antar isu pokok

sehingga dapat diketahui bagaimana isu tersebut mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh isu yang lain. Cara ini akan memudahkan untuk memilah

dan menata bagaimana memprioritaskan isu tersebut untuk dapat di atasi

dan diselesaikan melalui program atau kebijakan pemerintah.

Isu penegakan hukum yang lemah menyebabkan perambahan

lahan hutan untuk kegiatan ilegal (ladang, kebun, pertambangan emas, dll).

Penegakan hukum yang lemah juga menyebabkan IUPHHK tidak aktif,

dikarenakan aspek sosial yang belum dapat diselesaikan dengan baik.

Faktor inilah yang menyebabkan maraknya kegiatan perambahan kawasan

KPHP Model Banjar menjadi tak terkendali dan tanpa aturan yang jelas.

B. Konsep Strategi Resolusi Konflik Lahan di KPHP Model Banjar

Strategi utama yang diusulkan dalam penelitian ini untuk resolusi

konflik lahan di HP Riam Kiwa mencakup dua (2) kegiatan berikut.

Pertama, merubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar. Hal ini

dilakukan dengan langkah-langkah berikut.

1) Menciptakan saling percaya antar keduabelah pihak yang berkonflik

(trust building). Ini merupakan kegiatan pra kondisi menuju negosiasi

yang sangat menentukan proses selanjutnya, karena konflik yang sudah

berlangsung (apalagi sudah lama) akan membuat keduabelah pihak

untuk saling mencurigai satu sama lain, atau bahkan tidak jarang sudah

saling membenci dan menyerang. Kelemahan mediasi yang seringkali

Keterangan:

- Isu 1 : IUPHHK tidak aktif

- Isu 2 : Pemberdayaan masyarakat yang terabaikan

- Isu 3 : Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

- Isu 4 : Penegakan hukum masih lemah

- Isu 5 : Dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan)

: Hubungan antara stakeholders dengan isu

: Hubungan antar isu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 437

dilakukan adalah terletak pada tidak adanya kondisi yang kondusif

untuk keduabelah pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi, sehingga

emosi dan ego sepihak sering kali terjadi yang mengakibatkan gagal

menghasilkan kesepakatan. Kuncinya, ini bisa dilakukan setelah

memahami secara utuh peta konflik di lapangan, jadi asesmen awal

harus sudah dilakukan sebelum masuk tahapan ini. Pengelola HP Riam

Kiwa ada baiknya memulai dengan melakukan proyek-proyek kecil

yang menyentuh kepentingan masyarakat seperti bantuan benih kencur,

bantuan bibit karet unggul, bantuan benih ikan, dll. Hal ini diharapkan

membatu mengembalikan keperecayaan masyarakat ke HP Riam Kiwa.

2) Menumbuh kembangkan kelembagaan komunitas/desa. Ini perlu

sebagai wadah untuk membicarakan segala tuntutan dan mengevaluasi

capaian serta sebagai refresentatif/ perwakilan dalam forum negosiasi.

Pengalaman di lapangan juga menunjukkan pentingya transformasi

pengetahuan teoritis dan teknis tentang proses dan capaian negosiasi

kepada masyarakat sebelum masuk tahap negosiasi. Hal ini penting

untuk memastikan agar delegasi masyarakat tidak mudah putus asa

terhadap capaian dan proses negosiasi yang membosankan dan berliku-

liku.

3) Menyiapkan Tim Ahli yang Independen. Tim Ahli bekeja untuk

membuat analisis sosial, ekonomi untuk melihat dampak jangka

panjang konflik bagi masyarakat maupun HP Riam Kiwa.

4) Pertemuan silang (awal) menjajaki kebutuhan. memulai pertemuan

dengan keduabelah yang berkonflik secara silang dilakukan untuk

mendapatkan gambaran sejauhmana perbedaan kepentingan pihak-

pihak yang berkonflik dan unsur-unsur yang menjadi dasar bertahan

masing-masing pihak. Melalui tahapan ini kebutuhan-kebutuhan dan

gambaran proses berikutnya dapat dirumuskan sehingga mediator sudah

memiliki rancangan untuk di tawarkan. Pertemuan silang bisa dilakukan

berulang-ulang jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih sempurna.

5) Menyepakati tahapan penting secara bersama. Hal ini bisa menjadi

bagian dari capaian pertemuan silang atau dicapai melalui pertemuan

perdana keduabelah pihak. Mediator sebaiknya menawarkan tahapan-

tahapan kepada keduabelah pihak berdasarkan hasil penjajakan

kebutuhan awal yang sudah dilakukan, jangan membuatnya menjadi

438| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

bola liar. Jika konfliknya menyangkut tumpang tindih pengeloalaan

(pemanfaatan dan penguasaan), maka langkah awal yang selalu penting

untuk dilakukan adalah: (a) memperjelas batas klaim masing-masing

pihak melalui pemetaan partisipatif yang dilakukan tim gabungan

masyarakat, perusahaan, dan mediator serta pihak pemerintah (sebagai

saksi) yang segera diselesaikan melalui kegiatan eenclave. Pengambilan

titik koordinat harus dilakukan bersama dengan satu alat (GPS/Global

Position system) atau masing-masing pihak memegang GPS sebagai

pembanding. Sebelum survey kedua belah pihak harus mendapat

pengetahuan standar pemetaan melalui pelatihan kecil yang dilakukan

oleh mediator dengan mengundang tenaga terampil. Penggambaran

harus dilakukan bersama dengan menunjuk perwakilan, lalu kemudian

disahkan secara bersama-sama pula dengan disaksikan/diketahui oleh

mediator dan pengelola HP Riam Kiwa, (b) Pemetaan sosial ekonomi

untuk menemukan peluang kerjasama/kemitraan antara keduabelah

pihak sebagai gambaran penyelesaian atas konflik lahan. Pemetaan ini

harus dibuat keterkaitan langsung dengan areal konflik yang sudah

dipetakan. Karena itu keberadaan tim ahli yang sudah disepakati

bersama sebelumnya sangat penting dalam pekerjaan ini.

6) Negosiasi mencari titik temu (kesepakatan). Untuk memasuki proses ini

hubungan keduabelah pihak sudah harus kondusif, sudah memiliki

pemahaman yang baik tentang proses negosiasi, sudah mengenali

persoalan dan tuntutan masing-masing dengan baik, dan sudah memiliki

data tentang objek konflik serta gambaran tentang peluang-peluang

kerjasama yang bisa dibangun sesuai potensi yang dimiliki masing-

masing pihak. Artinya disini keduabelah pihak telah siap berperang tapi

tidak dengan senjata (emosi dan egoisme). Pada proses ini peran

mediator dalam negosiasi sangat penting untuk menghindari situasi

kritis yang tidak bisa dipecahkan. Mediator harus selalu menyiapkan

tawaran jalan tengah yang tetap membuat keduabelah pihak nyaman

dalam forum negosiasi. Capain sekecil apapun harus selalu ditegaskan

sebagai kemajuan-kemajuan yang harus dihargai sebagai kemajuan

untuk mencapai kesepakatan final. Karena itu hasil apapun yang didapat

dalam setiap pertemuan negosiasi harus didokumentasikan dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 439

ditandatangani kedua belah pihak dan mediator serta para saksi yang

hadir dari pemerintah.

Kedua, melakukan pemberdayaan FKAD. Hal ini dilakukan

dengan langkah-langkah berikut. Selain berfungsi sebagai lembaga yang

menjembatani komunikasi antara peladang di HP Riam Kiwa dengan BPK

Banjarbaru, lembaga FKAD juga merupakan tempat pelayanan kepada

masyarakat di dalam kegiatan Penyuluhan Kehutanan dan juga merupakan

tempat untuk berkonsultasi bagi masyarakat bila ada permasalahan yang

dihadapi terkait kegiatan pertanian dalam arti luas. Lembaga FKAD

diharapkan berperan dalam kegiatan penyebaran informasi kegiatan

kehutanan sehingga diharapkan dapat membantu penyebaran informasi

kehutanan kepada peladang di KPHP Model Banjar. Model resolusi konflik

di KPHP Model Banjar seperti tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Model resolusi konflik lahan di KPHP Model Banjar

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Karakteristik konflik lahan pada kawasan KPHP Model Banjar dapat

dijelaskan sebagai berikut. Pertama, secara de jure merupakan kawasan

milik negara (state property), namun adanya pemukiman warga yang

berupa desa di dalam kawasan yang belum dilakukan enclave,

440| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

menyebabkan status state property yang close access secara de jure

berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan

opportunity sets ikut mengambil sumberdaya lahan tersebut. Kedua, isu

pokok dalam konflik lahan di KPHP Model Banjar ada 5, yakni: (a)

dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan), (b) IUPHHK tidak

aktif, (c) pemberdayaan ekonomi masyarakat terabaikan, (d) potensi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan (e) penegakan hukum masih

lemah. Ketiga, masalah yang timbul dalam konflik lahan di KPHP

Model Banjar merupakan masalah atau konflik struktural, yakni aktor

yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konflik struktural

(structural conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau

keadaan di luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan

mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik

yang tidak berimbang.

2. Resolusi konflik yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah upaya

“mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar”, hal ini dilakukan

dengan langkah-langkah berikut: (a) membangun kepercayaan (trust

building), (b) menumbuh kembangkan Forum Kehutanan Antar Desa

(FKAD), (c) menyiapkan tim ahli yang independen, (d) komunikasi

yang efektif dan (e) regulasi yang disepakati bersama. Pembelajaran

berharga dari konflik lahan di KPHP Model Banjar adalah pentingnya

untuk melakukan hal-hal berikut: kepastian hukum (formal/informal),

kenyamanan berusaha dan keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut

berlaku tidak saja untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonflik,

tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk

masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan,

serta peningkatan PAD.

B. Keterbatasan

Penelitian ini dilakukan dengan kasus di KPHP Model Banjar,

sehingga generalisasi untuk kasus di daerah lain perlu modifikasi dan

penyesuaian dengan kondisi setempat.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 441

C. Saran

Keberadaan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD) di wilayah

KPHP Model Banjar perlu terus diberdayakan agar dapat semakin berperan

dalam penyelesaian konflik lahan pada khususnya dan konflik kehutanan

pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bryson JM. 2004. What to Do when Stakeholders Matter: Stakeholder

Identification and Analysis Techniques. Public Management

Review Vol 6 issue 1 2004: 21-53.

Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2010. Rancang Bangun KPHP

Kabupaten Banjar.

Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2011. Laporan Valuasi Ekonomi

KPHP Kabupaten Banjar.

Sahwan. 2002. Analisis kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Studi

Kasus Tahura Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Tesis].

Program Pascasarjana IPB. Bogor.

442| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK), HUTAN DESA DAN

KONTRIBUSINYA TERHADAP REDD+

Bugi Sumirat dan Nurhaedah Muin

Balai Penelitian Kehutanan Makassar

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar, Sulawesi Selatan (90243)

Telp. (0411) 554049, Fax. (0411) 554058

Email: [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK

Implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and

Degradation Plus) memerlukan tata kelola hutan yang baik. Pengelolaan hutan

yang baik ini juga diperlukan untuk mengelola hutan secara lestari. Hutan

Desa, seperti yang terdapat di Kabupaten Bantaeng, merupakan alternatif

untuk memenuhi tujuan tersebut. Beberapa analisis dilakukan di lokasi Hutan

Desa di Kabupaten Bantaeng, seperti analisis stakeholder dan analisis sosial

ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab

deforestasi dan degradasi hutan di Kabupaten Bantaeng adalah alih fungsi

lahan, perambahan hutan dan penebangan hutan. Pengelolaan Hutan Desa

Bantaeng memiliki enabling condition dalam mendukung implementasi

REDD+. Hal tersebut terkait dengan kepastian tenurial, sistem pengelolaan

hasil dan distribusi manfaat. Model kelembagaan, dukungan stakeholder

terkait, dan dukungan Bupati Bantaeng memperkuat kondisi tersebut. HHBK

dan pemanfaatannya termasuk didalamnya. Hal ini menjadi perekat pelibatan

masyarakat dalam pengelolaan Hutan Desa.

Kata Kunci: HHBK, hutan desa, REDD plus, pelibatan masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Hutan tropis menutupi sekitar 15% permukaan darat bumi, dan

mengandung sekitar 25% carbon dalam biosfir daratan. Saat ini hutan-

hutan tersebut semakin berkurang luasannya dimana sekitar 13 juta

hektar/tahun dialihfungsikan menjadi peruntukan lain (Pusat madia, 2009).

Akibatnya dapat meningkatkan emisi gas-gas penyebab efek rumah kaca di

atmosfir terutama karbon yang turut memicu terjadinya pemanasan global

dan perubahan iklim.

Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing

Emission from Deforestation and Degradation, REDD) merupakan suatu

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 443

upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim dimaksud. Hal ini karena

semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, mempunyai

kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip

permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but

differentiated responsibilities). REDD ini merupakan mekanisme

internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi

negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan

degradasi hutan (Ginoga, 2009).

Istilah REDD (Reducing Emission from Deforestation and

Degradation) Plus itu sendiri adalah istilah yang mengacu pada Bali Action

Plan paragraf 1 b (iii), yaitu 'pendekatan kebijakan dan insentif positif

pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan

kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran

konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan

di negara berkembang’.

Gelombang isu perubahan iklim saat ini semakin gencar

disosialisasikan dalam semua bidang kehidupan, termasuk kehutanan.

Konsep REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest

Degradation) dan REDD+ kemudian muncul sebagai respon terhadap

upaya pengurangan emisi karbon dalam menyikapi terjadinya perubahan

iklim. Pada awalnya, konsep REDD dijelaskan sebagai mekanisme

internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat

positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan (Nurmasripatin, 2007). Setelah COP ke 15

di Copenhagen Denmark, cakupan upaya pengurangan emisi karbon

diperluas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi hutan, akan tetapi

juga memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari dan

pengayaan cadangan karbon (Kementrian Kehutanan, 2010).

Tata kelola hutan yang baik penting untuk REDD+ dalam rangka

membangun dan mempertahankan kepercayaan antara stakeholder dan

investor, juga untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan melalui

strategi yang efektif dan untuk memastikan keadilan dan transparansi

444| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

distribusi manfaat dari REDD+. Tata kelola yang baik akan mendukung

REDD+ dalam tiga hal :

1. Mengurangi deforestasi dengan meningkatkan efektifitas kebijakan

pemerintah dan institusi, termasuk lembaga pengelolaan hutan dan

penegakan hukum;

2. Menciptakan insentif bagi pengelolaan hutan yang lebih baik dan

menghapus insentif bahwa deforestasi drive untuk keuntungan pribadi

dengan mengorbankan kepentingan umum;

3. Pengaman REDD+ pembayaran melawan korupsi dan menangkap elit

dengan memastikan bahwa pembayaran mekanisme dan lembaga-

lembaga keuangan yang mengatur mereka mampu, akuntabel, dan bebas

dari pengaruh politik yang tidak semestinya.

Kecepatan pertumbuhan penduduk dapat meningkatkan kebutuhan

hidup terhadap ruang dan areal aktivitas serta produk sumberdaya alam

yang dapat mengakibatkan tekanan terhadap hutan terutama oleh

masyarakat sekitar hutan berkaitan dengan perladangan berpindah,

perambahan hutan, penebangan liar, pembakaran hutan, pemukiman,

perburuhan. Upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi

dari deforestasi dan degradasi (REDD) seringkali berbenturan dengan

kondisi tersebut di atas.

II. HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI HUTAN DESA

Karakteristik pengelolaan hutan daerah sangat beragam, dengan

dinamika permasalahan masing-masing. Demikian pula dengan data dan

informasi potensi kawasan hutan yang dimiliki. Dari aspek tata kelola,

masing-masing daerah menghadapi permasalahan berbeda terkait dengan

pengelolaan hutan, deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya untuk

mengatasi persoalan tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah: (a) faktor-

faktor tata kelola apa yang menyebabkan penggunaan sumber daya hutan

tidak efisien (deforestasi dan degradasi hutan); (b) apa yang menjadi

kebijakan pokok pemerintah pada level kabupaten dalam pengurangan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan saat ini.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam mengelola sumberdaya

hutan salah satunya adalah permasalahan sosial ekonomi, budaya

masyarakat desa di dalam/sekitar hutan seperti perambahan kawasan,

perladangan berpindah, klaim sebagai lahan adat dsb. Untuk mengelola

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 445

hutan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat di sekitarnya, maka

pengelolaan sumberdaya hutan sebaiknya dilakukan secara partisipatif aktif

masyarakat di dalam/sekitar kawasan hutan. Keberhasilan dalam mengatasi

permasalahan sosial ekonomi, dan budaya masyarakat merupakan salah

satu indikasi keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan lestari (Dirjen

Planologi Kehutanan, 2011).

Kabupaten Bantaeng memiliki keunikan tersendiri dalam

pengelolan sumberdaya hutan. Upaya perlindungan hutan terhadap

deforestasi dan degradasi hutan dikelola dengan pelibatan masyarakat

melalui model Hutan Desa. Penelitian ini berusaha mengkaji tata kelola

hutan di Kabupaten Bantaeng secara umum dan khususnya pengelolaan

Hutan Desa dikaitkan dengan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan

melalui implementasi REDD+. Disamping itu, pembentukan Hutan Desa

juga berperan dalam mengatasi konflik lahan seperti perambahan hutan

oleh masyarakat (aspek legalitas). Sebagaimana tujuan dari pembangunan

Hutan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49/2008,

yaitu untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui

lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari serta

bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara

berkelanjutan.

Bagi pemerintah, program Hutan Desa selain memberikan

kesempatan bagi masyarakat untuk memungut hasil sesuai aturan yang

telah ditetapkan, juga potensi hasil hutan yang ada dapat lebih terkelola

mulai dari tahap perencanaan sampai pemasaran serta terkoordinasi dengan

baik. Pemberian akses kepada masyarakat untuk pengelolaan HHBK

menjadi salah satu alasan dibentuknya Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng.

Seperti diketahui bahwa sesuai dengan permenhut no. P.35/Menhut-

II/2007, HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati

maupun hewani beserta produk turunan kecuali kayu yang berasal dari

hutan. Permenhut tersebut juga menggolongkan HHBK, yang

diklasifikasikan kedalam sekitar 565 jenis komoditas, kedalam dua

golongan, yaitu: Kelompok hasil tumbuhan dan tanaman serta kelompok

hasil hewan.

Sementara tujuan dari pemanfaatan HHBK secara umum oleh

masyarakat antara lain adalah mengurangi ketergantungan masyarakat pada

446| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari

HHBK serta sekaligus menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan

hutan, terciptanya lapangan kerja di sektor kehutanan yang berasal dari

HHBK dan optimalisasi potensi daerah dalam pengembangan HHBK.

Tulisan ini sendiri didasarkan pada dua buah kegiatan penelitian

yang berjudul Kajian Tata Kelola REDD dan REDD+ serta Kajian Sosial

Budaya REDD. Kedua penelitian tersebut dilaksanakan oleh Balai

Penelitian Kehutanan Makassar dengan mengambil lokasi penelitian di

Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian

ini merupakan penelitian yang baru pertama kali dilakukan di Sulawesi

Selatan.

Kedua penelitian itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan informasi

dan pengetahun tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat

yang dapat mempengaruhi implementasi REDD serta melakukan kajian

terhadap tata kelola REDD dan REDD+ pada tingkat kabupaten. Tulisan ini

menggambarkan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, dengan

pemanfaatan HHBK potensial setempat yang lebih terarah, terencana dan

legal, sehingga diharapkan manfaat ekonomi dan ekologi hutan tetap

terjaga.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada pada tahun 2012 di Kabupaten

Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilih dengan

pertimbangan adanya program pemerintah daerah yaitu Hutan Desa yang

ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No

55/Menhut-II/2010 Tanggal 21 Januari 2010. Disamping itu, Hutan Desa di

Kabupaten Bantaeng memiliki karakteristik pengelolaan hutan yang

menjadi unggulan, yaitu dengan ditetapkannya 3 hutan desa sejak 2009.

Hal menarik lainnya adalah Kabupaten Bantaeng dipimpin oleh seorang

Bupati yang memiliki latar belakang pendidikan kehutanan yang menaruh

perhatian tinggi terhadap kelestarian hutan dan lingkungan.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

Panduan wawancara (kuisioner), alat perekam, kamera dan alat tulis

menulis. Sementara pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan

data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan wawancara

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 447

menggunakan kuesioner terstruktur dan diskusi kelompok terarah (FGD).

Data sekunder diperoleh dengan mengumpullkan informasi tentang

(laporan-laporan kegiatan/ program,rencana kerja instansi, data spasial

(Peta tutupan lahan, status kawasan hutan, program kehutanan dll), data

demografi, data stastistik kehutanan dsb).

Data hasil penelitian yang diperoleh diolah dengan melihat peran

dari parapihak (stakeholder) melalui analisis stakeholder. Dari peran-peran

parapihak tersebut akan terlihat peran masing-masing pihak atau institusi

yang terlibat dalam kegiatan Hutan Desa yang menunjang REDD+

termasuk tata kelolanya serta dimana masih terdapat celah atau gap

didalamnya. Disamping itu dilakukan pula kajian tentang sosial budaya dan

ekonomi terhadap para pihak terutama masyarakat sekitar hutan. Terutama

untuk melihat bagaimana HHBK dapat memberikan peran secara khusus

terhadap pendapatan masyarakat. Secara deskriptif dilakukan pula analisis

terkait kondisi aktual pengelolaan hutan di Kabupaten Bantaeng,

pengelolaan Hutan Desa serta kaitannya dengan isu REDD+.

Gambar 1. Peta Kabupaten Bantaeng (Widianto et al., 2012)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi penggunaan lahan di Kabupaten Bantaeng adalah sebagai

berikut: Penggunaan lahan terbesar adalah pertanian lahan kering (33,55%)

dan kebun campuran(27,71%), sementara penggunaan lahan hutan sebesar

Kab. Bantaeng

448| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kurang lebih 24% yang terdiri dari kategori hutan alam, hutan tanaman dan

hutan lahan kering(BPDAS JenWal, 2010).

Kabupaten Bantaeng memiliki kawasan hutan yang relatif kecil di

banding kabupaten lain di Sulawesi Selatan yakni 0,2% dari luas total

kawasan hutan Sulawesi Selatan. Luas kawasan hutan Kabupaten Bantaeng

seluas 6.222 ha, dengan fungsi peruntukan sebagai hutan lindung (HL)

seluas 2.773 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.262 ha dan hutan

produksi biasa seluas (HPB) 2.187 ha.

Dari sudut pengelolaan hutan Kabupaten Bantaeng, tabel di bawah

ini memberikan gambaran singkat mengenai pengelolaan hutan di

Kabupaten Bantaeng yang selama ini telah berjalan. Beberapa instansi

terkait terlibat langsung dalam pelaksanaan program seperti Dinas

Kehutanan dan Perkebunan, BPMD, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai) Jeneberang Walanae, BUMDES (Badan Usaha Milik Desa)

dan LSM.

Tabel 1. Gambaran Umum Pembangunan Kehutanan Kabupaten Bantaeng

Potensi

Hutan

Luas kawasan hutan 6.222 ha (15,7% luas wilayah

kabupaten)

Didominasi (44,6%) hutan lindung

Sebesar 54,4% kawasan hutan dalam kondisi kritis

Catchment area DAS lintas Kabupaten

Unit Usaha

Kehutanan

Hutan rakyat melalui perijinan IPKTM

Usaha tani tanaman semusim di dalam kawasan hutan

Agroforestry

Budidaya lebah madu

Sosial

Ekonomi

Masyarakat

Ketergantungan masyarakat terhadap hutan tinggi

Konflik air dengan Kabupaten Bulukumba

Lapangan kerja kurang

Tenaga kerja terdidik kurang

Migrasi keluar penduduk tinggi

Terdapat jaringan LSM

Rawan illegal logging

Program

Kehutanan

GNRHL

Hutan Rakyat

HKm

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 449

Reboisasi dan penghijauan

Kebijakan

Pemda

Sudah ada KPH

PNPM

Perda pengaturan pungutan hasil hutan rakyat

Dukungan pemerintah terhadap pengelolaan hutan dan

lingkungan cukup kuat

Program

Potensial Pembangunan KPH lindung

Pembangunan Hutan Desa

Pengembangan unit usaha desa berbasis kehutanan

Pengembangan hutan rakyat

Pengembangan usaha jasa lingkungan

Sumber : Buku Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng (Supratman

dan Alif, 2010)

Lahan kritis dan deforestasi masih menjadi permasalahan dalam

pengelolan hutan di Kabupaten Bantaeng, Dalam kawasan hutan terdapat

lahan kritis seluas 3,327 ha, sementara di luar kawasan hutan seluas 5.423

ha. Laju deforestrasi di dalam kawasan hutan seluas -0,84%/thn dan di luar

kawasan hutan seluas 12,2%/thn (Supratman dan Alif, 2010).

Hingga saat ini, terdapat 3 hutan desa telah disahkan pada tahun

2010 yaitu HD Campaga, HD Labbo dan HD Patteneteang. Hutan Desa

Labbo, Pattaneteang dan Campaga telah mendapatkan SK penetapan Areal

Kerja HD (dari Kemenhut) : No. 55/Menhut-II/2009, SK HPHD (dari

Gubernur SULSEL): No. 3804/XI/2010, SK pengesahan RKHD dari

Gubernur dengan No. 1465/V/2012.

Rencana Kelola Usaha Hutan Desa (BPDAS JENWAL, 2010) yang

teridentifikasi dari hasil penelitian ini yang terkait dengan HHBK adalah

pengembangan usaha dalam hal:

Merencanakan penanaman jenis hasil hutan bukan kayu yang meliputi

jenis, jumlah dan pola tanam.

Merencanakan cara pemeliharaan dan perlindungan tanaman sesuai

dengan kemampuan dan kebutuhan kelompok.

Merencanakan pemanenan dan pemungutan dengan memperhitungkan

kelestarian hasil.

Rencana Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan Kayu

450| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sedangkan dari hasil interview yang dilakukan, beberapa manfaat hutan

desa yang dirasakan oleh masyarakat, antara lain :

Masyarakat menjadi lebih aman beraktivitas dalam kawasan hutan,

karena telah memiliki hak kelola lahan.

Potensi hasil hutan bukan kayu terkelola, termasuk berkembangnya

usaha peternakan lebah, buah-buahan dan hasil tanaman semusim

seperti kopi,coklat dsb.

Terbentuk kelompok pengelola lebah madu

Pengelolaan jasa lingkungan air minim perpipaan yang bersumber dari

hutan desa

Terbentuk kelompok pengelola hutan desa dalam tubuh BUMDES.

Pengelolaan potensi kawasan hutan menjadi terencana dan

terkoordinasi, salah satunya melalui RKHD

Penebangan pohon di hutan semakin menurun

Kebakaran hutan semakin menurun.

Terkait dengan HHBK, hasil penelitian mencoba menghubungkan antara

HHBK dengan sistem pengelolaan hasil dan distribusi manfaat, yaitu:

a. Hak kelola Hutan Desa diutamakan diberikan terlebih dahulu kepada

masyarakat yang telah terlanjur menggarap lahan di dalam kawasan

hutan, sedangkan sisanya baru diserahkan untuk dikelola oleh

masyarakat dengan urutan pertama yang tidak memiliki lahan milik,

lahan milik sempit dan seterusnya sesuai dengan peraturan yang telah

ditetapkan oleh BUMDES. Jatah kelola untuk tiap petani adalah 50 are,

dengan jangka waktu 30 tahun dievaluasi tiap 5 tahun.

b. Pemanfaatan kawasan Hutan Desa difokuskan hanya untuk budidaya,

jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Kegiatan

budidaya hanya dilakukan melalu pemanfaatan ruang tumbuh antar

pohon dan blok yang telah diatur peruntukannya. Terdapat larangan

untuk mengubah fungsi dan status kawasan hutan desa, menebang

pohon dan mengambil pohon tumbang. Hasil manfaat yang diterima

oleh masyarakat dikelola dengan sistem bagi hasil, dengan proporsi

80% untuk petani dan 20% disetor kepada BUMDES. Sistem

pengaturan ini dapat mendukung implementasi REDD+ karena

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 451

mendasarkan pada prinsip pengelolaan hutan lestari dan memberikan

kontribusi pendapatan masyarakat.

Sementara dari hasil pegamatan (Nurhaedah dan Hapsari, 2014)

bahwa beberapa jenis Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa Labbo dan Desa

Pattaneteang yang saat ini sudah dikelola oleh masyarakat secara komersil

dan memiliki prospek pasar adalah madu, markisa dan kopi. Tanaman kopi

dan markisa diusahakan masyarakat dibawah tegakan pinus. Jenis kopi

yang diusahakan dibawah tegakan adalah kopi Arabica. Kopi Arabica dapat

menghasilkan 3 ton kopi/ha/tahun. Namun jumlah produksi juga sangat

tergantung pada berbagai faktor diantaranya iklim, hama penyakit dll

sehingga produksinya juga sangat bervariasi dari waktu ke waktu.

Pemasaran produk HHBK dari hutan desa saat penelitian berlangsung

masih dilakukan oleh masyarakat secara individu, namun dengan fasilitasi

Bumdes pemasaran akan diarahkan melalui kelompok sehingga bisa lebih

terorganisir. Buah markisa yang sudah dipanen sementara dijual ke pasar

bersamaan dengan saat belanja untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.

Harga markisa saat penelitian berlangsung berkisar antara Rp.3000-

4000/10 biji.

Sementara untuk komoditas lain seperti lebah madu, saat ini sudah

terbentuk lima kelompok peternak madu di Desa Labbo. Setiap kelompok

beranggotakan antara 20–30 orang. Dalam setahun biasanya dilakukan

panen sebanyak dua kali, dengan jumlah kotak 10-20 per peternak, atau

sekitar 40-80 botol madu. Selanjutnya madu dijual dengan harga berkisar

Rp 75.000 - Rp100.000/botol (Chandra, 2013) dan saat ini sedang

diupayakan perolehan ijin produksi dari Dinas Kesehatan melalui fasilitasi

BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).

Sedangkan di Hutan Desa lain yaitu di Hutan Desa Campaga,

potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (air), telah lama digunakan oleh

masyarakat untuk pengairan sawah irigasi dan sumber air PDAM.

Meskipun di lokasi ini terdapat berbagai jenis HHBK potensil seperti

pandan yang daunnya dapat diolah menjadi tikar serta buah pangi yang

dapat diolah menjadi bahan pangan, namun pengelolaan Hutan Desa ini

dikonsentrasikan pada kelestarian jasa lingkungan air. Kondisi ini sangat

mendukung pengelolaan lingkungan terutama dikaitkan dengan REDD

452| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

karena dengan menjaga keberlangsungan air, otomatis menjaga tegakan

hutan dan mempertahankan stok karbon di wilayah tersebut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Keberadaan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng yang melibatkan

masyarakat desa untuk mengelola sumberdaya hutan dan mengambil

manfaat dari hutan melalui pola agroforestri yang memanfaatkan HHBK,

misalnya tanaman pinus dengan kopi, markisa serta lebah madu dapat

dipandang memberi dampak positif pada kelestarian hutan dan lingkungan.

Hal ini disebabkan oleh pengusahaan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan

dalam konsep pengelolaan hutan desa dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat.

Keterlibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan Hutan Desa

secara legal dapat mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan yang secara

tidak langsung menjaga kelestarian hutan yang berkelanjutan dan

mengurangi efek dari perubahan iklim. Hal ini mendukung konsep REDD+

yang sedang digalakkan oleh pemerintah.

Beberapa faktor dari pengelolaan Hutan Desa yang dapat menjadi

enabling condition bagi implementasi REDD+ adalah kepastian tenurial,

konsep pengaturan peran dan manfaat, model kelembagaan, dukungan

stakeholder terkait dan dukungan Bupati Bantaeng.

Beberapa saran yang muncul berdasarkan kegiatan penelitian

dimaksud, antara lain: Pertama, dalam pengelolaan Hutan Desa di

Kabupaten Bantaeng, perlu dilakukan kegiatan evaluasi yang terus-

menerus terhadap terhadap kegiatan pengelolaan tersebut. Hal ini

diperlukan guna memantau pelaksanaan program, distribusi manfaat serta

kelestarian ekologis dari Hutan Desa tersebut.

Kedua, pengelolaan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng dapat

diusulkan sebagai demonstration plot/activities skema REDD+ di tingkat

lokal yang memperlihatkan bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan

HHBK dalam kawasan hutan Negara.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 453

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang Walanae (BPDAS

JenWal). 2010. Laporan hasil kegiatan fasliitasi penyusunan

rencana kerja Hutan Desa. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan

dan Perhutanan Sosial.

Chandra, W. 2013. Madu alam dari Hutan Desa di Bantaeng.

www.mongabay co.id. Diakses tanggal 15 Januari 2014.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 2011. Petunjuk Teknis

Inventarisasi Sosial Budaya Masyarakat Di Dalam/Sekitar

Kawasan Hutan/Kesatuan Pengelolaan Hutan. Kementerian

Kehutanan.

Ginoga, K.L. 2009. Rencana Penelitian Integratif 2010-2014 Ekonomi dan

Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi.

Naskah tidak diterbitkan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Kementerian Kehutanan. 2010. Strategi REDD-Indonesia (Fase Readiness

2009-2012 dan progress implementasinya). Kementerian

Kehutanan. Jakarta.

Pusat madia, 2009. REDD. redd-Indonesia.org. Di akses 2 Nopember

2010.

Nurhaedah dan E. Hapsari, 2014. Hutan Desa Kabupaten Bantaeng dan

manfaatnya bagi masyarakat. Info Teknis Ebony 11(1): 27-36.

Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Nurmasripatin, 2007. Apa itu REDD. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Jakarta.

Supratman dan Alif. 2010. Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten

Bantaeng. Konsep, Proses dan Refleksi. Regional Community

Forestry Training Center for Asia and The Pacifik. CV. Bumi Bulat

Bundar.

Widianto, T., Hasnawir, B.K. Sumirat, A. K. Wakka, A. Hermawan,

Hamdan, Supardi. 2012. Kajian Tata Kelola REDD dan REDD Plus.

Laporan Hasil Penelitian. Makassar. Tidak dipublikasikan.

454| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PENGUATAN KELEMBAGAAN PELAKU UTAMA DAN PELAKU

USAHA INDUSTRI OLAHAN MADU

DI NUSA TENGGARA BARAT DALAM MENGHADAPI

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

Mashur

Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Nusa Tenggara Barat; E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Keberhasilan program pengembangan industri olahan madu sangat bergantung

pada dua hal, yaitu: (1) penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha

melalui penguatan wadah kelompok mulai dari hulu hingga hilir bagi

kelompok pembudidaya, pencari atau pemanen madu hutan, pengolah, industri

kemasan dan pemasaran); (2) fasilitasi pembinaan yang terus menerus secara

berkesinambungan kepada pelaku utama dan pelaku usaha oleh berbagai

stakeholder terutama pemerintah sesuai dengan kebutuhan dunia usaha yang

berorientasi pada agribisnis hulu hilir. Penguatan kelembagaan pelaku utama

dan pelaku usaha dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar pelaku utama

dan pelaku usaha dalam pengembangan usaha agribisnis madu, sehingga dapat

meningkatkan pendapatan dan kesejahteran masyarakat. Sedangkan tujuan

penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha adalah meningkatkan

kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha dalam menyediakan bahan baku

yang dibutuhkan dalam pengembangan industri olahan baik dari segi jumlah,

kualitas dan kontinuitas melalui pembinaan kelompok dan meningkatkan

kerjasama antar pelaku utama dan pelaku usaha melalui fasilitasi pertemuan

kelompok sehingga diharapkan dapat meningkatan pengetahuan, keterampilan

dan perubahan sikap pelaku utama dan pelaku usaha dalam menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Kata kunci: Penguatan kelembagaan, Pelaku utama dan usaha, Olahan madu

MEA,2015.

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Madu merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) yang sangat potensial di Nusa Tenggara Barat, karena madu dari

Nusa Tenggara Barat dengan nama “Madu Sumbawa” sangat terkenal tidak

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 455

hanya di wilayah Nusa Tenggara Barat tetapi juga di seluruh nusantara.

Prospek pengembangan agribisnis madu sangat menjanjikan karena

peluang pasar dan potensi pengembangan madu hutan dan madu hasil

budidaya sangat besar. Namun disayangkan, nama besar Madu Sumbawa

yang sudah terkenal itu, kini hampir kurang mendapat kepercayaan dan

keyakinan bagi para konsumen, karena sebagian konsumen merasa kecewa

dan tertipu oleh ulah pedagang atau penjual madu yang kurang

bertanggung jawab yang dengan sengaja menggunakan label madu asli

tetapi kenyataannya madu telah dicampur dengan gula, air tebu atau bahan-

bahan lainnya. Ada juga modus yang dengan sengaja menaruh bekas sarang

madu di botol atau cerigen kemasan agar terkesan asli. Modus pecampuran

madu seperti ini tidak hanya dilakukan oleh pedagang atau penjual madu

tetapi juga dilakukan oleh pengolah madu atau pemanen madu dari

sumbernya. Hal ini sangat merugikan konsumen dan pada gilirannya nanti

juga merugikan para pedagang atau penjual madu. Akibatnya, konsumen

madu kesulitan mendapatkan madu asli. Pada dasarnya konsumen tidak

mempermasalahkan harga madu yang relatif mahal asalkan madu asli,

tetapi sungguh sangat mengecewakan bila pembeli madu yang bermerek

madu asli dengan harga mahal tetapi sebetulnya bukan madu asli.

Kondisi seperti ini tentu tidak dapat dipertahankan lagi terutama

dalam rangka mengahadapi perdagangan bebas tahun 2015 melalui

Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana arus barang dan jasa dari negara-

negara ASEAN tidak dapat lagi dibendung memasuki pasaran di Indonesia,

termasuk persaingan agribisnis madu. Keunggulan suatu produk akan

menentukan daya saingnya. Produk-produk yang mampu bersaing dan

memberikan nilai tambahlah yang mampu bertahan dan bersaing dengan

produk dari luar. Untuk itu, keberadaaan madu asli dari Nusa Tenggara

Barat yang telah mendapat nama di tengah masyarakat dapat dipertahankan

bahkan ditingkatkan agar mampu bersaing dengan produk olahan madu

dari luar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menjamin

keaslian madu dari Nusa Tenggara Barat yang sangat terkenal itu adalah

melalui penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha industri

olahan madu di NTB mulai dari hulu hingga hilir baik untuk madu hutan

maupun madu yang dihasilkan dari budidaya.

456| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

B. Pengertian Kelembagaan Pelaku Utama dan Pelaku Usaha

Dalam Undang-undang No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) yang dimaksud dengan pelaku

utama kegiatan kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah

masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan beserta keluarga intinya.

Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah penduduk yang

bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki kesatuan

komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung

pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Sedangkan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau

korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha

kehutanan. Kelembagaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan

hutan adalah lembaga yang ditumbuh kembangkan dari, oleh, dan untuk

pelaku utama.

Kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu

merupakan wadah organisasi bagi kelompok pembudidaya madu dan

pemanen madu hutan untuk melakukan aktivitas usaha agribisnis madu,

mulai dari hulu sampai hilir, membangun koordinasi dengan stakeholder

terkait. Peranan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan

madu sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan hubungan

antara pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu dalam jaringan

kerja sama dengan para stakeholder untuk membangun dan memperkuat

kelembagaannya, guna mendorong tumbuhnya usaha agribisnis madu yang

lebih efisien, efektif dan berkelanjutan.

Penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan

madu merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaku

utama dan pelaku usaha pengolahan madu melalui perbaikan manajerial

usaha, pengembangan dan diversifikasi usaha yang dibangun dalam satu

kelembagaan usaha. Penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku

usaha pengolahan madu diharapkan dapat memperkuat kemandirian pelaku

utama dan pelaku usaha pengolahan madu dalam pembangunan kehutanan

yang berkelanjutan. Upaya pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha

pengolahan madu dan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 457

pengolahan madu yang berdaya saing tinggi, dilakukan melalui kebijakan

penguatan kapasitas kelembagaan menjadi penguatan kelembagaan

ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu yang diarahkan

menjadi badan usaha milik pembudidaya madu dan pemanen madu dalam

bentuk koperasi dan atau pembentukan perseroan terbatas dan lain-lain

yang dapat meningkatkan posisi daya tawarnya dengan berbagai pihak.

Setiap kelembagaan memiliki peluang untuk membentuk dan

mengembangkan lembaga, namun demikian kelembagaan pelaku utama

dan pelaku usaha pengolahan madu harus terbentuk berdasarkan kebutuhan

untuk mengembangkan kegiatan usaha. Setelah kelembagaan pelaku utama

dan pelaku usaha pengolahan madu terbentuk, maka diperlukan adanya

fasilitasi berupa pendampingan oleh dinas yang membidangi fungsi

pelayanan, fasilitasi, penelitian dan penyuluhan yang berkaitan dengan

hasil hutan bukan kayu baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat agar

kelembagaan tersebut dapat berjalan secara profesional dan mampu

mengembangkan diri menjadi lembaga pelaku utama dan pelaku usaha

pengolahan madu yang mandiri, serta meningkatkan usahanya sebagai

lembaga usaha yang komersial. Untuk itu diperlukan fasilitas bagi

kelembagaan ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu,

di antaranya: (1) penguatan kapasitas manajerial usaha kelembagaan

ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu, (2)

pengembangan jejaring dan kemitraan dan (3) pengembangan pelayanan

informasi, pemagangan dan pelatihan bagi calon kelembagaan ekonomi

pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu (Mashur, 2014).

C. Maksud dan Tujuan Penguatan Kelembagaan Pelaku Utama dan

Pelaku Usaha

Menurut Mashur (2014) penguatan kelembagaan pelaku utama dan

pelaku usaha dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar pelaku utama

dan pelaku usaha dalam pengembangan usaha agribisnis, sehingga dapat

meningkatkan pendapatan dan kesejahteran masyarakat. Sedangkan tujuan

penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha adalah:

1. Meningkatkan kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha dalam

menyediakan bahan baku yang dibutuhkan dalam pengembangan

458| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

industri olahan madu baik dari segi jumlah, kualitas dan kontinuitas

melalui pembinaan kelompok.

2. Meningkatkan kerjasama antar pelaku utama dan pelaku usaha melalui

fasilitasi pertemuan kelompok sesuai dengan komoditas yang

dikembangkan dalam mendukung keberadaan unit kelembagaan

pemasaran produk olahan.

3. Meningkatkan kerjasama antara pelaku utama dan pelaku usaha dengan

unit penyangga pemasaran (UPP) dalam pemasaran dan fasilitasi

kemasan produk.

4. Memperkuat keberadaan unit penyangga pemasaran (UPP) sebagai

mitra dari retil modern dalam pemasaran produk dari pelaku utama dan

pelaku usaha.

5. Memfasilitasi pelaku utama, pelaku usaha, UPP dan retil modern

dengan berbagai dinas/instansi terkait dalam pengembangan industri

olahan komoditas unggulan daerah di NTB.

II. MASALAH YANG DIHADAPI PELAKU UTAMA DAN

PELAKU USAHA INDUSTRI OLAHAN MADU DI NUSA

TENGARA BARAT

Masalah-masalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha

baik penghasil madu hutan dan pembudidaya dalam pengembangan

industri olahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Untuk madu hutan di Pulau Sumbawa, sebagai besar kelompok atau

regu pencari (pemanen) madu hutan pada beberapa sentra penghasil

madu bekerja berdasarkan pesanan para pedagang atau pengepul madu.

Sebagian lainnya dengan beregu (dalam kelompok kecil) mencari madu

di suatu kawasan hutan dengan mendapat izin dari desa setempat

dengan membayar sejumlah uang tertentu. Kelompok ini belum

membentuk kelembagaan yang sesuai dengan ketentuan, yaitu dibentuk

oleh, dari dan untuk pelaku utama. Kelompok ini lebih berorientasi pada

pesanan dari pedagang atau pengepul, sehingga posisi tawarnya lemah.

Akibatnya tingkat pendapatannya bergantung pada pada pemesan atau

pedagang. Meskipun demikian, pada kelompok ini yang telah

diorganisir dengan baik, misalnya melalui Jaringan Madu Hutan

Sumbawa (JMHS).

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 459

2. Untuk pembudidaya madu di Pulau Lombok, sebagian besar telah

membentuk wadah kelompok, tetapi pengorganisasiannya yang perlu

ditingkatkan baik administrasi kelompok maupun pengelolaan

kelompok.

3. Keterampilan dan pengetahuan serta sikap pelaku utama masih perlu

ditingkatkan dalam manajemen panen yang berkelanjutan, penanganan

panen dan pasca panen terutama yang berkaitan dengan higeinitas dan

peningkatan mutu hasil terutama kadar air yang memenuhi standar.

4. Keterbatasan sarana dan prasarana baik peralatan panen dan penangan

pasca panen untuk menghasilkan madu yang berkualitas dan memenuhi

persyaratan pasar modern.

5. Kemasan produk madu yang dihasilkan selama ini sebagian besar

belum memenuhi standar pasar modern, sehingga jaringan pasarnya

masih terbatas, akibatnya daya saingnya rendah.

6. Adanya sikap pelaku utama dan pelaku usaha yang sudah puas dengan

permintaan pasar yang relatif tinggi selama ini, menyebabkan

kurangnya inovasi dan motivasi untuk melakukan diversifikasi produk

baik ukuran kemasan, bentuk kemasan dan persyaratan sebuah produk

yang terstandar untuk memenuhi permintaan pasar modern (seperti

PIRT, barcode, sertifikat halal dari MUI, masa kedaluarsa, kandungan

nutrisinya, dll)

7. Dengan akan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015

maka diperlukan kesiapan produk industri olahan madu yang

memberikan nilai tambah dan daya saing tinggi, yang tidak hanya

berorientasi pada segmen pasar yang selama ini, tetapi harus siap

menghadapi persaingan global arus barang dan jasa tidak hanya lokal,

nasional bahkan global (internasional) yang dengan bebas masuk ke

Indonesia termasuk ke NTB.

8. Baik pelaku utama maupun pelaku usaha belum siap menghadapi

permintaan konsumen madu baik dari segi kualitas (adanya madu yang

tidak asli), kuantitas (belum sanggup memenuhi jumlah kebutuhan

konsumen), maupun kontinuitas (pada waktu tertentu produksi madu

terbatas, karena pengaruh musim).

460| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

9. Keterbatasan modal dan informasi pasar serta kurangnya kemampuan

pelaku utama dan pelaku usaha dalam membangun jejaring usaha juga

turut berpengaruh terhadap pengembangan industri olahan madu.

10. Kurangnya fasilitasi pembinaan oleh stakeholder terutama dalam aspek

kemasan dan pasar menyebabkan perkembangan industri pengolahan

madu belum berjalan secara akseleratif dalam meningkatkan daya saing.

III. UPAYA-UPAYA PENGUATAN KELEMBAGAN PELAKU

UTAMA DAN PELAKU USAHA INDUSTRI OLAHAN MADU

DALAM MENGHADAPI MEA 2015

Tahun 2015 Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi

ASEAN (MEA), mau tidak mau harus mau, suka tidak suka harus suka dan

siap tidak siap harus siap untuk menghadapinya. Dengan adanya MEA

maka arus barang dan jasa yang masuk ke Indonesia (termasuk produk

madu) tidak dapat dibendung lagi, tidak mustahil madu dari Arab,

Australia, Cina bahkan dari negara lain, yang kualitasnya lebih baik dan

lebih murah akan membanjiri pasaran madu di Indonesia. Akibatnya,

apabila kita tidak mempersiapkan diri dengan baik maka tidak mustahil

merek dagang Madu Sumbawa yang kita banggakan selama ini akan kalah

bersaing dengan madu dari luar daerah NTB bahkan dengan madu dari luar

negeri, akhirnya kebanggaan tinggal kebanggaan bahkan kita hanya

menjadi penonton di negeri kita sendiri. Untuk itu, mari kita jadikan

kehadiran MEA menjadi sebuah peluang bukan tantangan dalam

mengembangkan usaha agribisnis madu yang berdaya saing dan

memberikan nilai tambah bagi pelaku utama dan pelaku usaha dalam

rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahterannya.

Untuk itu, beberapa pemikiran yang dapat disampaikan baik bagi

pemerintah selaku pengambil kebijakan, fasilitator maupun bagi pelaku

utama dan pelaku usaha dalam memperkuat kelembagaan pelaku utama dan

pelaku usaha industri olahan madu dalam menghadapi MEA tahun 2015,

antara lain:

1. Keberhasilan program atau kegiatan pembangunan termasuk

pengembangan industri olahan madu sangat bergantung pada dua hal,

yaitu: (a) penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 461

melaui penguatan wadah kelompok mulai dari hulu hingga hilir

(kelompok pembudidaya madu, pencari atau pemanen madu hutan,

pengolah, industri kemasan dan pemasaran). Fungsi kelompok sebagai

harus mencakup sebagai kelas belajar, unit produksi dan wadah

membangun kerja sama baik internak maupun eksternal kelompok; (2)

fasilitasi pembinaan yang terus menerus secara berkesinambungan

dilakukan kepada pelaku utama dan pelaku usaha dari berbagai

stakeholder terutama pemerintah sesuai dengan kebutuhan dunia usaha

yang berorientasi agribisnis hulu hilir (Mashur, 2014).

2. Peningkatan pengetahun, keterampilan dan perubahan sikap pelaku

utama dan pelaku usaha mulai dari kegiatan di hulu (budidaya, panen,

pasca panen, pengemasan dan pemasaran) dalam menghadapi MEA

2015.

3. Adanya reorientasi kebijakan dari penguatan kelembagaan pelaku

utama dan pelaku usaha menjadi kelembagaan ekonomi, sehingga

mampu meningkatkan daya saing dan nilai tambah yang berazaskan

pada “market oriented” dengan prinsip “start from the end”. (Mashur,

2013)

4. Pembinaan pelaku utama dan pelaku usaha industri pengolahan madu

harus berorientasi pada produk berstandar nasional atau internasional

(ekspor) dengan memperhatikan aspek kemasan dan pasar, setidaknya

sama seperti standar retil modern.

5. Untuk mengembangkan usaha bagi pelaku utama dan pelaku usaha

diperlukan fasilitasi sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai triger

usaha terutama yang tidak terjangkau oleh kemampuan pelaku utama

dan pelaku usaha. Selanjutnya diperlukan dukungan modal untuk

mengembangkan usaha dari perbankan dengan prosedur dan

persyaratan yang mudah dan dengan bunga yang rendah dan jangka

waktu yang sesuai dengan siklus usaha.

6. Perlu dibentuk Unit Penyangga Pemasaran (UPP) produk industri

olahan madu sebagai mitra untuk meningkatkan kerjasama antara

pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemasaran produk dan fasilitasi

kemasan.

462| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

7. Memperkuat keberadaan UPP sebagai mitra dari retil modern dalam

pemasaran produk dari pelaku utama dan pelaku usaha.

8. Memfasilitasi pelaku utama, pelaku usaha, UPP dan retil modern

dengan berbagai dinas/instansi terkait dalam pengembangan industri

olahan komoditas unggulan daerah termasuk madu di NTB.

9. Terbentuknya kelompok pelaku utama yang dapat menyediakan bahan

baku untuk industri olahan madu yang sesuai dengan jumlah, kualitas

dan kontinuitas di NTB.

10. Terjalinnya kemitraan usaha antara pelaku utama dan pelaku usaha

dalam penyediaan bahan baku produk olahan madu di NTB.

11. Inisiasi terbentuknya kelembagaan yang berfungsi tidak hanya sebagai

pengepul (puller) juga sebagai sorter dan grader agar ketersediaan

bahan baku dengan spesifikasi tertentu dapat dijamin dari segi kualitas,

kuantitas dan kontinuitas, sehingga produk akhir yang diterima

konsumen akan tetap terjaga dengan baik.

12. Inisiasi terbentuknya Supply Chain Management (rantai pasok) produk

olahan bagi pengusaha kecil sesuai dengan proses dan prinsip bisnis

mulai dari penyedia bahan baku, sorter/grader, prosesing bahan baku ½

jadi atau bahan jadi, branding dan commersial, trading dan

distributorship.

13. Pembinaan terhadap penetapan harga standar berdasarkan harga eceran

terendah (HET) yang menguntungkan pelaku utama, pelaku usaha,

UPP, retil modern dan konsumen.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Melalui fasilitasi pendampingan penguatan kelembagaan akan

diperoleh informasi tentang berbagai masalah dan alternatif pemecahan

masalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha sebagai

kelembagaan yang terkait langsung dalam pengembangan industri olahan

produk madu sebagai komoditas unggulan daerah di NTB. Informasi ini

selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan kebijakan bagi

pemerintah dalam pengembangan industri olahan madu di NTB. Untuk itu

dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 463

diperlukan fasilitasi bagi kelembagaan ekonomi pelaku utama dan pelaku

usaha pengolahan madu, melalui: (1) penguatan kapasitas manajerial usaha

kelembagaan ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu;

(2) pengembangan jejaring dan kemitraan dan (3) pengembangan

pelayanan informasi, pemagangan dan pelatihan bagi calon kelembagaan

ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu.

B. Saran

Dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun

2015 kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha industri olahan madu

membutuhkan fasilitasi berupa pendampingan oleh dinas/instansi/

lembaga yang membidangi fungsi pelayanan, fasilitasi, penelitian dan

penyuluhan yang berkaitan dengan pengembangan industri olahan madu

mulai dari hulu hingga hilir baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat

agar kelembagaan tersebut dapat berjalan secara profesional dan mampu

mengembangkan diri menjadi lembaga pelaku utama dan pelaku usaha

pengolahan madu yang mandiri, serta meningkatkan usahanya sebagai

lembaga usaha yang komersial.

DAFTAR PUSTAKA

Mashur, dkk., 2013. Media Penyuluhan Produk HHBK Kabupaten

Lombok Tengah. Kerjasama WWF Indonesia Program Nusa

Tenggara, Bakorluh Provinsi NTB dan BPDAS Dodokan

Moyosari NTB.

Mashur, dkk., 2013. Media Penyuluhan Produk HHBK Kabupaten

Lombok Utara. Kerjasama WWF Indonesia Program Nusa

Tenggara, Bakorluh Provinsi NTB dan BPDAS Dodokan

Moyosari NTB.

Mashur, dkk., 2013. Katalog Branding Produk Olahan Pijar NTB. Profil

Pelaku Usaha Pengolah Produk Pijar Menuju Retil Modern (dari

katanya menjadi nyatanya, dream come true). Sekretariat

Bakorluh Pemerintah Daerah Provinsi NTB.

Mashur, 2014. Penguatan Kelembagaan Pelaku Utama dan Pelaku Usaha

Melalui Fasilitasi Pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif

464| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Menuju Retil Modern Di Nusa Tenggara Barat. Proposal

Konsultan Ahli Kelembagaan.

Kementerian Pertanian RI, 2006. Undang-undang Nomor.16 Tahun 2006

tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

(SP3K). Badan Penyuluhan dan SDM Kementerian Pertanian RI.

Jakarta

Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) Kementerian

Pertanian RI, 2013. Pedoman Pembinaan Kelompoktani. Jakarta

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 465

KAJIAN KONFLIK TENURIAL DI KPHL RINJANI BARAT

STUDI KASUS DESA SENARU, SANTONG DAN REMPEK

Cecep Handoko

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jln. Dharma Bhakti No. 7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat

ABSTRAK

Penyelesaian konflik tenurial merupakan syarat penting bagi terwujudnya tata

kelola hutan yang baik. Konflik terkait hutan dan sumberdayanya tersebut

dapat terjadi secara spesifik di suatu wilayah baik dari segi penyebab, pihak-

pihak yang terkait, kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, begitu pula

dampak yang ditimbulkannya. Untuk mendukung penyelesaian konflik

tenurial, informasi penting terkait konflik tersebut diperlukan. Hal tersebut

menjadi tujuan penelitian. Penelitian dilakukan pada tahun 2013 dan 2014,

dengan mengambil lokasi di Desa Senaru, Santong dan Rempek di wilayah

KPHL Rinjani Barat. Penelitian dilakukan melalui studi literatur, wawancara

mendalam dan FGD di tingkat desa. Data dianalisa secara deskriptif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa buruknya kondisi pengelolaan hutan yang telah

menghasilkan hutan-hutan terdegradasi, bencana alam dan tingginya

penebangan liar telah memicu tuntutan masyarakat untuk secara mandiri

melakukan pengelolaan hutan. Sementara itu, tumpang tindih kepentingan

pembangunan antara sektor kehutanan dan non-kehutanan telah memunculkan

tuntutan perlunya pembenahan/penataan ruang wilayah bagi peruntukan hutan

dan non-hutan. Di lain pihak, komunikasi antar para pihak perlu dilakukan

untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan selama implementasi

program pembangunan kehutanan di tingkat lapangan. Sejalan dengan hal

tersebut, diperlukan pula kolaborasi antar para pihak untuk meningkatkan nilai

ekonomi dan keberlanjutan pengelolaan hutan khususnya di KPHL Rinjani

Barat.

Kata kunci: konflik tenurial, KPHL Rinjani Barat, komunikasi dan kolaborasi

pengelolaan hutan

I. PENDAHULUAN

Sebagai sumberdaya publik, hak tenurial terhadap hutan mencakup

hak akses, pakai, eksklusi dan pengalihan (Larson, 2013). Rendahnya

akomodasi dan kepastian hak merupakan penyebab umum timbulnya

konflik tenurial (Mayers et al., 2013). Hal tersebut dapat diperburuk oleh

466| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

perbedaan pandangan para pihak terkait penggunaan hutan dan

sumberdayanya (Kusumanto et al., 2006). Selain perlu mempertimbangkan

berbagai sudut pandang, penyelesaian konflik tenurial perlu pula

disesuaikan dengan kondisi spesifik di mana konflik terjadi (Herrera dan

Passano, 2006). Di samping itu, penggalian perspektif lokal diperlukan

dalam penyelesaian konflik tenurial. Hal tersebut untuk memberikan

pemahaman yang holistik terhadap berbagai penggerak konflik di tiap

tingkatnya (Midgley dan Garred, 2013).

Terkait hak dan konflik tenurial khususnya yang terdapat di

wilayah KPHL Rinjani Barat, informasi yang lengkap untuk menilai,

mengakomodasikan dan meningkatkan kepastian tenurial dalam

implementasi pengelolaan hutan sangat diperlukan. Informasi tersebut,

antara lain mencakup: diskriminasi kebijakan dan aturan, kelemahan

kebijakan dan sistem pengelolaan hutan, kepentingan para pihak terhadap

hutan dan sumberdayanya, serta perubahan sosial yang terjadi (Herrera dan

da Passano, 2006). Selain untuk menghindari benturan kepentingan antar

para pihak di tingkat tapak, informasi tersebut dapat pula menjadi acuan

bersama dalam mengatasi konflik yang ada, serta menjadi landasan bagi

terselenggaranya pengelolaan hutan yang dapat diterima dan didukung oleh

para pihak terkait, efektif, serta secara konsisten dapat dilaksanakan.

Adapun penyediaan informasi penting terkait hak dan konflik tenurial

tersebut merupakan tujuan penelitian.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan pada tahun 2013 dan 2014. Penelitian

dilakukan di desa-desa sekitar kawasan hutan produksi KPHL Rinjani

Barat di wilayah administrasi Kabupaten Lombok Utara. Wilayah ini

termasuk dalam Register Tanah Kehutanan I (RTK I) Gunung Rinjani.

Adapun desa-desa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu: Desa Senaru di

Kecamatan Bayan, Desa Santong di Kecamatan Kayangan dan Desa

Rempek di Kecamatan Gangga. Lokasi penelitian dan wilayah KPHL

Rinjani Barat seperti disajikan pada Gambar 1.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 467

Sumber peta: http://www.kph.dephut.go.id

Gambar 1. Lokasi penelitian dan wilayah KPHL Rinjani Barat. (a) Desa

Rempek; (b) Desa Santong; dan (c) Desa Senaru.

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian berupa laporan/publikasi terkait batas-batas

kawasan, penggunaan lahan dan konflik di KPHL Rinjani Barat, serta

laporan/publikasi terkait pembentukan, organisasi pengelola dan kegiatan

pengelolaan oleh KPHL Rinjani Barat. Adapun peralatan yang digunakan

dalam penelitian yaitu kuisioner.

C. Metode Kegiatan

Kegiatan dalam penelitian meliputi studi pustaka, wawancara

mendalam dan focus group discussion (FGD). Studi pustaka dilakukan

terhadap laporan-laporan dan publikasi terkait kawasan hutan dan konflik

tenurial di KPHL Rinjani Barat. Wawancara mendalam ditujukan untuk

mengetahui sejarah terjadinya konflik tenurial di kawasan hutan di masing-

masing desa, termasuk pihak-pihak yang terkait dalam sejarah konflik

tersebut. Wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang mengetahui

dan/atau terkait dengan terjadinya konflik tenurial di masing-masing desa

kajian. Sementara itu, FGD dilakukan di masing-masing desa dengan

468| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

melibatkan wakil-wakil masyarakat, meliputi: Kepala Desa, ketua

kelompok masyarakat, kepala Dusun, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat.

The Puget Sound Consorstium for Manufacturing Excellece (2005)

menyatakan bahwa FGD merupakan wawancara terfokus terhadap

kelompok peserta tertentu dengan topik tertentu. Empat alasan

dilakukannya FGD, yaitu: (1). untuk mengidentifikasi masalah; (2). untuk

perencanaan pencapaian tujuan; (3). untuk menyempurnakan implementasi

rencana; dan (4). untuk memperkirakan dan memahami apa yang sedang

terjadi selama kegiatan berlangsung sebagai panduan bagi pelaksanaan

kegiatan di masa datang.

Sesuai dengan kebutuhan penggalian informasi penting terkait

konflik tenurial di masing-masing desa, FGD yang dilakukan diarahkan

untuk:

1) Memperoleh gambaran kondisi hutan saat ini, termasuk manfaat yang

diperoleh, kondisi penutupan lahan, daerah rawan yang menyebabkan

banjir/longsor, dan daerah sumber permasalahan di dalam hutan.

2) Memperoleh prediksi kondisi hutan dan manfaat hutan sepuluh tahun

ke depan dari kondisi hutan yang ada tersebut.

3) Memperoleh gambaran kondisi hutan ideal dan manfaat yang bisa

dihasilkannya hutan sepuluh tahun ke depan.

4) Merumuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai

kondisi hutan ideal.

5) Merumuskan permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan

tersebut dan menemukan langkah-langkah mengatasinya.

D. Analisa Data

Data yang dikumpulkan bersifat kualitatif. Data yang terkumpul

tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya dianalisis secara

deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Konflik Tenurial dan Tingkatannya

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat

terletak di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara, ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Kehutanan No: 651/Menhut-II/2010 tanggal 22

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 469

Desember 2010. Konflik tenurial di KPHL Rinjani Barat terbagi dalam

kategori tinggi, sedang dan rendah (Gambar 2). Konflik tenurial

berkategori tinggi dan sedang terjadi di kawasan hutan produksi, sedangkan

konflik berkategori rendah terjadi di kawasan hutan lindung. Konflik

berkategori tinggi ditandai adanya pemukiman/rumah, hotel dan sertifikat

tanah di areal seluas 912,56 hektar. Konflik sedang ditandai oleh penolakan

masyarakat terhadap implementasi program kehutanan di areal seluas

3.210,06 hektar, dan konflik rendah ditandai oleh penggarapan lahan tanpa

ijin untuk budidaya non kehutanan di areal seluas 14.627,37 hektar

(Mukarom, 2013). Penyebaran konflik tenurial menurut resort di KPHL

Rinjani Barat disajikan pada Tabel 1.

Sumber : Mukarom, 2013

Gambar 2. Peta ekskalasi konflik tenurial di KPHL Rinjani Barat

470| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Tabel 1. Penyebaran konflik tenurial menurut resort di KPHL Rinjani Barat

No Resort Luas Eskalasi Konflik (Ha)

Keterangan Rendah Sedang Tinggi

1. Sesaot 2.137,26 - - Menggarap non-program

2. Jangkok 2.327,44 - - Menggarap non-program

3. Meninting 1.891,53 - - Menggarap non-program

4. Malimbu 2.095,64 - - Menggarap non-program

5. Tanjung 564,82 - - Menggarap non-program

6. Monggal 3.805,30 - - Menggarap non-program

7. Santong

Santong 1.399,12 - - Menggarap non-program

Rempek - - 86.00 Sertifikat Prona 1984

Pondok Ijong

dsk. - - 665,46 Pemukiman ± 108 KK

Senjajak -

379,35 - Menolak Program 45 %

8. Senaru

Senaru - - 8,50 Rumah/hotel ± 18 Rumah

Akar Akar - - 238,60 Rumah ± 298 KK

Sambi Elen,

Sukadana dsk. 406,26 2.830,71 - Menolak Program HTI

JUMLAH 14.627,37 3.210,06 912,56

Sumber : Mukarom, 2013

Berdasarkan kondisi konflik yang ada tersebut, keberadaan konflik

tenurial di KPHL Rinjani Barat yang dikaji dalam penelitian ini

diindikasikan oleh adanya pemukiman, hotel, konflik batas kawasan hutan

dan penggarapan lahan non-program di dalam kawasan hutan. Tingkat

konflik tenurial tinggi diindikasikan oleh adanya aksi sertifikasi tanah

hutan dan benturan fisik terkait upaya tersebut. Konflik ini terjadi di lokasi

kajian Desa Rempek. Tingkat konflik sedang ditandai adanya penolakan

implementasi program kehutanan secara terstruktur melibatkan pihak desa,

namun benturan fisik dalam kaitannya dengan konflik yang ada tidak

terjadi. Konflik ini terjadi di Desa Senaru. Sementara itu, tingkat konflik

rendah ditandai adanya solusi sementara atas permasalahan pemanfaatan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 471

lahan hutan antara masyarakat dengan instansi kehutanan. Tingkat konflik

rendah tersebut terjadi di lokasi kajian Desa Santong.

2. Risalah Konflik Tenurial di Desa Rempek, Senaru dan Santong

Sengketa tanah hutan merupakan indikasi utama adanya konflik

tenurial yang tinggi di wilayah Rempek. Sengketa ini telah teridentifikasi

sejak tahun 1989 (Buckles, 1999) di mana terjadi penolakan dari para

petani pelaksana program kopi penyangga untuk meninggalkan lahan

garapannya yang kemudian dinyatakan sebagai kawasan hutan pada tahun

tersebut. Perubahan luas kawasan hutan melewati batas kawasan hutan

zaman pemerintahan Belanda melalui tata guna hutan kesepakatan (TGHK)

tahun 1982 menjadi dasar dari dimasukkannya areal kopi penyangga

menjadi kawasan hutan.

Hingga saat ini, warga di wilayah Rempek menolak batas hutan

“resmi” dan mengklaim batas kawasan hutan adalah “gegumuk” yaitu batas

hutan zaman Belanda. Dipicu terbitnya 84 sertifikat di kawasan hutan tahun

1984, tuntutan sertifikat baru diajukan oleh sebanyak 509 penggarap sejak

tahun 1985. Klaim “sepihak” dari Kantor Pertanahan setempat bahwa areal

sertifikasi tersebut bukan kawasan hutan, serta dukungan dari institusi-

institusi pemerintahan setempat saat itu terhadap sertifikasi kawasan hutan

telah menjadi dasar legalisasi munculnya tuntutan sertifikasi baru dari

warga tersebut. Konflik tersebut terus berkembang terutama didorong oleh

kebutuhan pengembangan desa yang meliputi seluruh areal yang

disengketakan.

Sementara itu, terlepas dari tingginya konflik dan adanya tuntutan

serfikasi atas lahan hutan yang terjadi hingga sekarang, sejarah penataan

batas kawasan hutan telah dimulai pada tahun 1957 dengan mengakomodir

kawasan hutan zaman pemerintahan Belanda. Selanjutnya, dengan dasar

tata guna hutan kesepakatan (TGHK) tahun 1982, telah pula dilakukan tata

batas fungsi tahun 1995, dan rekonstruksi batas tahun 2012. Berpegang

pada bukti serah terima kawasan hutan dari pemerintah daerah Lombok

pada tahun 1954 dan tata batas kawasan hutan yang telah dilakukan, pihak

kehutanan kemudian mengklaim bahwa wilayah sengketa (diantaranya

termasuk areal kopi penyangga) adalah sah kawasan hutan. Terkait klaim

tersebut, sinkronisasi peta antara pihak kehutanan dan pertanahan pun telah

472| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dilakukan pada tahun 2012 yang menghasilkan kesepakatan dua pihak

(kehutanan dan pertanahan) bahwa wilayah sengketa adalah kawasan

hutan. Namun demikian, kesepakatan tersebut masih belum memenuhi

tuntutan pengembangan desa yang sudah mulai dicanangkan sejak tahun

2014.

Sengketa batas terjadi pula di Desa Senaru. Sengketa batas ini

terjadi karena klaim terhadap kawasan hutan telah memasukan wilayah

pemukiman penduduk, yang di dalamnya terdapat 18 rumah dan satu buah

hotel pada areal seluas 8,5 ha. Dukungan kuat dari pemerintah desa

terhadap keberadaan permukiman serta klaim batas kawasan hutan adalah

“gegumuk” menyebabkan konflik di wilayah ini belum bisa diatasi. Di luar

kondisi yang ada, meskipun konflik di wilayah ini mulai meluas, namun

belum memunculkan tuntutan resmi sertifikasi lahan hutan dan belum

menghasilkan benturan fisik antara masyarakat dengan pihak KPHL

Rinjani Barat. Adapun aksi penolakan terhadap implementasi kegiatan

pengelolaan hutan, diantaranya penolakan kegiatan rekonstruksi batas

tahun 2012 telah terjadi. Namun upaya penyelesaian permasalahan tersebut

belum dilakukan hingga saat ini.

Sementara itu, sengketa batas tidak terjadi di wilayah Santong. Di

wilayah ini tuntutan kemudahan perijinan penggunaan kawasan hutan

untuk kepentingan penduduk mendapat perhatian penting dari masyarakat

setempat. Sementara itu, mengatasi adanya penggarapan lahan hutan oleh

masyarakat telah dihasilkan solusi bersama berupa penetapan lokasi

garapan tersebut sebagai areal Hutan kemasyarakatan (HKm). Hal tersebut

tidak terlepas dari peran para pihak yang telah berupaya mewujudkan

terbangunnya areal HKm di wilayah ini. Di luar solusi bersama tersebut,

penyelesaian penggarapan lahan tanpa ijin yang terus meluas dan kondisi

hutan yang terus mengalami kerusakan belum mendapat perhatian dari

pemerintah. Sementara itu, tuntutan peningkatan pendapatan masyarakat

dari kawasan hutan belum pula mendapatkan perhatian yang memadai.

3. Opsi-opsi Penyelesaian Konflik Tenurial di Desa Rempek, Senaru

dan Santong

Berdasarkan hasil wawancara, secara umum dapat diketahui bahwa

penyelesaian konflik tenurial di wilayah KPHL Rinjani Barat, khususnya di

wilayah Rempek dapat dicapai melalui peningkatan komunikasi,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 473

kerjasama, keberpihakan, dan pendampingan kepada masyarakat. Terkait

hasil tersebut, upaya-upaya tersebut perlu dilakukan dalam kerangka

peningkatan pendapatan masyarakat, kecukupan pendapatannya dan

peningkatan pemahaman bersama terhadap peraturan-peraturan terkait

hutan dan sumberdayanya.

Sementara itu, secara khusus melalui FGD yang dilakukan di

tingkat desa di Senaru, Santong dan Rempek, beberapa opsi penyelesaian

konflik tenurial di masing-masing desa, sebagai berikut:

a. Hasil FGD di Desa Santong, Kecamatan Kayangan.

Konflik tenurial di wilayah Santong pada dasarnya terbagi menjadi

konflik lahan dan akses terhadap sumberdaya hutan. Hal tersebut

diindikasikan oleh adanya pemanfaatan lahan dan sumberdaya tanpa ijin di

dalam kwasan hutan. Konflik tersebut terjadi karena adanya proses

pembiaran terhadap penggarapan lahan hutan tanpa ijin dan penanaman

jenis-jenis tanaman non-kehutanan terutama cengkeh di dalam kawasan

hutan. Hal tersebut berdampak pada rusaknya penutupan pohon dan

meningkatnya ancaman hilangnya sumber-sumber air akibat penutupan

tumbuhan bawah pada lahan-lahan yang berpotensi sebagai tangkapan air.

Diketahui melalui diskusi bahwa upaya penanganan penggarapan dan

aktivitas budidaya tanpa ijin tersebut telah dilakukan, namun

pelaksanaannya tidak dilakukan secara konsisten.

Sementara itu,akomodasi terhadap perkembangan sosial yang

menuntut tingginya pendapatan masyarakat dari hutan mendapatkan

kendala dari proses perijinan terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dari

kawasan hutan lama dan rumit, hal tersebut sangat dirasakan oleh para

pengelola HKm di wilayah Santong. Di lain pihak, peningkatan kebutuhan

masyarakat akan lahan budidaya dan penggunaan lahan hutan untuk usaha

non-kehutanan untuk tujuan ekonomis telah berdampak semakin

meningkatnya kerusakan hutan dan resiko hilangnya sumber-sumber air.

Kegiatan FGD di Desa Santong disajikan pada Gambar 3.

474| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Kegiatan FGD di Desa Santong

Berdasarkan kondisi tersebut, hasil FGD menghasilkan beberapa

opsi bagi penyelesaian konflik yang ada dan mungkin terjadi ke depan,

yaitu:

- Penyerahan hak kelola hutan adat Semboyan kepada masyarakat

Santong. Hutan tersebut dapat digunakan untuk mengakomodir

kebutuhan masyarakat akan lahan yang terus meningkat dan

memberikan peluang budidaya tanaman di lahan hutan secara

ekonomis.

- Percepatan proses penerbitan ijin pemanfaatan HHK di kawasan HKm.

- Dibangunnya jejaring kerjasama antar pihak-pihak terkait dalam

pengelolaan hutan agar pengelolaan hutan dapat dilakukan secara

konsisten.

- Dukungan teknologi budidaya di dalam kawasan hutan untuk

pengembangan jenis-jenis tanaman yang bernilai ekonomi dan

mempertahankan kelestarian hutan.

- Pengoptimalan jasa lingkungan kawasan hutan khususnya air agar dapat

memberikan kontribusi pendapatan ke desa.

- Pembinaan terhadap masyarakat penggarap di luar HKm yang

melakukan aktivitas yang mengganggu fungsi hidrologi kawasan hutan.

- Perlu dilakukannya pendampingan yang terus menerus terhadap petani

baik dari sisi teknologi maupun kebijakan/peraturan terkait pengelolaan

HKm.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 475

b. Hasil FGD di Desa Senaru, Kecamatan Bayan.

Konflik lahan yang ditandai terjadinya sengketa batas kawasan

hutan merupakan indikasi terjadinya konflik tenurial di wilayah Senaru.

Konflik tersebut belum teratasi dengan sangat kurangnya komunikasi

antara pihak pengelola KPHL Rinjani Barat dengan masyarakat secara luas,

maupun khususnya dengan tokoh-tokoh dan aparat desa setempat. Di lain

pihak, pengelolaan hutan oleh pihak kehutanan di wilayah ini belum

dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi yang ada,

beberapa hasil FGD di desa ini (Gambar 4) yang utama yang berhasil

dirumuskan, sebagai berikut:

- Perlunya kejelasan status lahan bersertifikat apakah berada di dalam

enclave atau tidak. Jika sertifikat tersebut/begitu pula dengan pipil di

dalamnya tidak diakui oleh pihak kehutanan, maka masyarakat dalam

hal ini dipimpin oleh kepala desa tidak akan menerima pengelolaan

hutan yang dilakukan hingga sertifikat tersebut diakui.

- Kawasan hutan di sekitar senaru harus dijadikan hutan desa. Hal

tersebut ditujukan agar pengelolaan hutan dapat dilakukan oleh lembaga

desa dan pemerintah desa sehingga manfaat hutan dapat berdampak dan

dirasakan langsung oleh masyarakat desa Senaru.

- Awig-awig adat secara nyata harus diakomodir di dalam kebijakan

pengelolaan hutan. Hal ini didasarkan pendapat bersama bahwa

kerusakan hutan diawali dari tidak dipatuhinya norma-norma adat

dalam pengelolaan hutan.

Gambar 4. Kegiatan FGD di Desa Senaru

476| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

c. Hasil FGD di Desa Rempek, Kecamatan Gangga

Konflik lahan merupakan indikasi adanya konflik tenurial di

wilayah Rempek. Konflik ini ditandai oleh tuntutan sertifikasi di dalam

kawasan yang masih diklaim oleh masyarakat bukan sebagai kawasan

hutan. Sementara itu, kerusakan hutan yang tinggi, pembiaran illegal

logging dan kecurigaan warga Rempek akan terjadinya pengusiran warga

dari tempat tinggalnya melalui ”dalih” pelaksanaan program kehutanan di

kawasan hutan telah menyebabkan komunikasi dan implementasi program

pembangunan kehutanan terhenti. Seiring dengan diimplementasikannya

program Kemitraan Kehutanan di wilayah ini, kurangnya komunikasi

dalam implementasi program tersebut telah pula menyebabkan terjadinya

perpecahan di tengah masyarakat antara masyarakat yang mendukung dan

masyarakat yang tidak. Kegiatan FGD di Desa Rempek disajikan pada

Gambar 5.

Gambar 5. Kegiatan FGD di Desa Rempek

Di lain pihak, klaim sebagai kawasan hutan terhadap areal yang

telah dinyatakan sebagai wilayah desa telah menyebabkan terjadinya

benturan kepentingan pembangunan antara desa dan pihak kehutanan di

wilayah ini. Tuntutan pengembangan desa ini terus mengemuka dan

merupakan issu yang tidak dapat dielakkan seiring dengan perkembangan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 477

sosial masyarakat desa yang ada. Dengan kondisi yang ada tersebut, hasil

FGD di Desa Rempek menghasilkan beberapa opsi penanganan konflik

yang ada, sebagai berikut:

- Penataan ulang batas kawasan hutan. Batas kawasan hutan perlu

ditetapkan di luar wilayah desa, termasuk di wilayah pengembangan

desa yang meliputi empat dusun, yaitu Dusun Jelutung, Kuripan, Busur,

dan Dusun Busur Barat. Jika tuntutan tersebut terpenuhi, tokoh-tokoh

masyarakat menjamin tidak akan terjadi perluasan penggunaan hutan

tanpa ijin di luar wilayah tersebut. Lebih jauh, tokoh-tokoh tersebut juga

menjamin kelestarian dan terlaksananya program pembangunan

kehutanan di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang terletak di

kawasan hutan di atas wilayah sengketa.

- Selama kegiatan penaatan batas ulang tersebut belum dilakukan,

penanganan kasus illegal logging khususnya yang dilakukan oleh

masyarakat secara tradisional (untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari)

di kawasan hutan berkonflik cukup dilakukan di tingkat desa dan tidak

perlu ditempuh melalui jalur hukum.

- Pelaksanaan program kemitraan kehutanan ke depan cukup difokuskan

di kawasan hutan yang terletak di atas batas gegumuk. Adapun program

yang telah terlanjur dilaksanakan di bawah batas gegumuk tetap

diperbolehkan untuk dilanjutkan. Selain itu, program-program

pembangunan kehutanan perlu difokuskan terhadap penanganan

sumber-sumber air yang kondisinya semakin mengkhawatirkan baik

dari kualitas maupun debitnya. Terkait dengan tuntutan tersebut, akan

dibentuk peraturan desa yang mengatur mengenai perlindungan mata air

dan sumber-sumber air lainnya.

IV. KESIMPULAN

1. Tuntutan lokal akan manfaat hutan tidak terlepas dari kenyataan

buruknya kondisi hutan dan pengelolaannya, kebutuhan hidup yang

semakin meningkat, serta meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

lahan budidaya seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan

penduduk. Untuk mengakomodasikan tuntutan tersebut, diperlukan

peningkatan komunikasi, kerjasama, keberpihakan dan pembinaan

478| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

masyarakat. Seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat

terhadap nilai manfaat hutan, tanggung jawab bersama terhadap

kelestarian dan peningkatan manfaat hutan perlu dikembangkan.

2. Untuk mengatasi tingginya tuntutan sertifikasi atas lahan hutan,

diperlukan pembenahan terhadap penguasaan dan kepatutan penguasaan

hutan, dan perbaikan pengelolaan hutan serta akomodasi kepentingan

para pihak terkait lahan hutan dan sumberdayanya. Sementara itu,

penegakan hukum diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan

pengelolaan serta menangani penyimpangan dalam implementasi

pengelolaan hutan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buckles, D. (ed.). 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in

Natural Resource Management. International Development

Research Centre-World Bank Institute. International Development

Research Centre. Canada.

Herrera, A., dan M.G. da Passano. 2006. Land Tenure Alternative Conflict

Management. Food and Agriculture Organization of The United

Nations (FAO). Rome.

Kusumanto, T., E. L. Yuliani, P. Macoun, Y. Indriatmoko dan H. Adnan.

Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia.

Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Larson, A. M. 2013. Hak tenurial dan akses ke hutan: Manual pelatihan

untuk penelitian. Center for International Forestry Research

(CIFOR). Bogor.

Mayers, J., E. Morrison, L. Rolington, K. Studd dan S. Turrall. 2013.

Improving governance of forest tenure: a practical guide.

Governance of Tenure Technical Guide No.2, International

Institute for Environment and Development, and Food and

Agriculture Organization of the United Nations. London dan

Roma.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 479

Midgley, T. dan M. Garred. 2013. Bridging the Participation Gap:

Developing Macro Level Conflict Analysis through Local

Perspective. Policy and Practice Paper. World Vision. UK.

Mukarom, M. 2013. Progres Masalah Tenurial dan Upaya Penanganannya

pada KPH Rinjani Barat. Bahan presentasi pada Rapat Koordinasi

Fasilitasi dan Mediasi Permasalahan Tenurial Di KPHL Rinjani

Barat. Mataram, 4-5 Juli 2013.

The Puget Sound Consortium for Manufacturing Excellence. 2005. A

Guide For Planning, Organizing, and Managing Focus Groups.

Publikasi online pada: http://www.shoreline.edu/pscme/reports/

Y4/FocusGroupGuide.pdf. diakses 24/1/2014.

480| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PEMILIHAN JENIS DAN PEMBAGIAN PERAN DALAM

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERBASIS HHBK

Eva Fauziyah1, Nugraha Firdaus

2, dan Sanudin

1

1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Jl Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis

Jawa Barat, 46201 2 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, Jl. Dharma Bhakti No.

7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat NTB

E-mail: [email protected], [email protected]

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Saat ini hutan rakyat lebih banyak dikelola dengan sistem agroforestri, karena

umumnya kepemilikan lahan terbatas dan adanya keinginan pemilik untuk

mengoptimalkan hasil dari hutan rakyat. Oleh karena itu seringkali ditemui

lahan hutan rakyat tidak didominasi oleh tanaman kayu melainkan juga

tanaman non kayu. Kondisi ini juga berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat

yang tidak hanya dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala keluarga tetapi juga

melibatkan anggota keluarga lain terutama perempuan. Penelitian ini bertujuan

untuk memperoleh informasi mengenai jenis tanaman penyusun hutan rakyat

dan pembagian peran dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian dilakukan di

Desa Kemawi Kecamatan Somagede dan di Desa Baseh Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Banyumas pada bulan April-Mei 2013. Metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah FGD (Focus

Group Discussion), wawancara, dan observasi lapang. Data yang diperoleh

dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis

tanaman kayu yang dominan dipilih untuk ditanam di Desa Kemawi adalah

pinus dan akasia, sedangkan di Desa Baseh adalah waru, ganitri dan sengon.

Tanaman non kayu yang banyak ditanam di lahan hutan rakyat di Desa

Kemawi adalah kelapa, pala, kopi, sereh, laos, dan kunyit, sedangkan di Desa

Baseh adalah kelapa dan singkong. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara

bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Namun peran perempuan pada

pengelolaan tanaman non kayu terlihat lebih besar dibandingkan pada

pengelolaan tanaman kayu. Peran laki-laki lebih banyak pada kegiatan yang

membutuhkan tenaga, sedangkan perempuan pada kegiatan-kegiatan yang

membutuhkan kesabaran dan ketelatenan seperti kegiatan pemeliharaan, panen,

dan pasca panen.

Kata kunci: hutan rakyat, jenis tanaman, pembagian peran, laki-laki,

perempuan

I. PENDAHULUAN

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 481

Kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan petani khususnya di

Jawa lebih banyak mengelola hutan rakyat dengan sistem agroforestri.

Petani berupaya mengoptimalkan hasil dari hutan rakyat agar dapat

memenuhi kebutuhan keluarga baik jangka pendek, menengah maupun

jangka panjang. Oleh karena petani tidak hanya menanami lahannya

dengan tanaman kayu melainkan juga berbagai jenis tanaman non kayu.

Pemilihan jenis tanaman merupakan aspek yang sangat penting

diperhatikan, agar hutan rakyat dapat memberikan hasil yang tinggi secara

ekonomi. Jenis tanaman non kayu kadangkala mendominasi hutan rakyat

karena dinilai lebih menguntungkan dibandingkan jika lebih banyak

menanam tanaman kayu.

Pemilihan jenis tanaman dan pengelolaan hutan rakyat tidak hanya

dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala keluarga tetapi juga melibatkan

anggota keluarga lain terutama istri/perempuan. Keterlibatan laki-laki dan

perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat tentu berbeda sesuai dengan

porsinya. Artinya ada peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat. Peran

gender menurut Meliala (2006) adalah perilaku yang diajarkan pada setiap

masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan

aktivitas, tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan

perempuan dan laki-laki. Terdapat tiga peran dalam rumahtangga yaitu

reproduktif, produktif, serta pengelolaan masyarakat yang oleh Sajogyo

(1993) dikategorikan sebagai peran yang terkait dengan kedudukan

perempuan: yaitu berturut-turut sebagai isteri atau ibu rumahtangga,

sebagai pencari nafkah dan sebagai anggota masyarakat.

Gender adalah perbedaan peran, fungsi, persifatan, kedudukan,

tanggungjawab dan hak perilaku baik perempuan maupun laki-laki yang

dibentuk, dibuat, dan disosialisasikan oleh norma, adat, kebiasaan, dan

kepercayaan masyarakat setempat (Puspitawati, 2012). Menurut Hartomo

(2007), gender pada dasarnya membahas permasalahan perempuan dan

laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat agar terjadi keadilan dan

kesetaraan. Sedangkan menurut Handayani dan Sugiarti (2002), gender

terkait dengan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang

dibentuk oleh faktor sosial maupun budaya sehingga timbul beberapa

anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan.

482| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Bentukan tersebut misalnya laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan

perkasa, sedangkan perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah

lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara relasi gender adalah

hubungan laki-laki dan perempuan berkaitan dengan pembagian peran yang

dijalankan masing-masing pada berbagai tipe dan struktur keluarga

(Puspitawati, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi

mengenai jenis tanaman penyusun hutan rakyat dan pembagian peran

dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini menarik dilakukan karena

didalamnya memperhatikan faktor gender baik dalam pemilihan jenis

tanaman maupun pengelolaan hutan rakyat, sementara penelitian

sebelumnya lebih banyak melihat dari sisi kepentingan ekonomi, ekologi

dan sosial.

II. METODE

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Kemawi Kecamatan Somagede dan

Desa Baseh Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Waktu

penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Mei 2015.

B. Metode Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data

primer dikumpulkan melalui wawancara, Focus Group Discussion (FGD),

dan observasi lapang. Wawancara dilakukan terhadap petani yang

mengelola hutan rakyat dengan jumlah 20 orang di Desa Kemawi dan 20

orang di Desa Baseh. FGD dilakukan terhadap petani di masing-masing

desa, dengan membagi menjadi dua kelompok diskusi yaitu kelompok laki-

laki dengan jumlah 7 orang dan kelompok perempuan dengan jumlah 7

orang. Pembagian kelompok ini untuk mempermudah melihat peran laki-

laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Adapun diskusi pada

FGD meliputi kondisi umum hutan rakyat di lokasi penelitian dan

pemilihan jenis tanaman sesuai dengan kriteria yang disepakati bersama

dengan memberikan skoring 1-5 untuk setiap kriteria. Observasi lapang

dilakukan untuk melihat kondisi hutan rakyat yang dikelola oleh petani.

Data sekunder diperoleh dari perguruan tinggi, kantor pemerintah desa dan

instansi terkait lainnya.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 483

C. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan tabulasi dan dianalisis secara

deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Kemawi dan Desa Baseh

Pola tanam hutan rakyat yang ditemui dilokasi penelitian meliputi

pola monokultur, polikultur dan campuran (agroforestri). Pada umumnya

petani di lokasi penelitian mengelola hutan rakyat dengan sistem

agroforestri. Hutan rakyat agroforestri yang ditemui ada dua macam yakni

yang didominasi oleh tanaman berkayu dan ada yang didominasi oleh

tanaman non kayu baik berupa tanaman buah atau lainnya.

Pola tanam agroforestri lebih banyak dipilih oleh petani sebagian

besar karena alasan ekonomi dan keberlanjutan pendapatan. Petani menilai

dengan menanan tanaman non kayu yang dapat diambil buah atau hasil lain

bukan kayu lebih menguntungkan karena biaya tanam hanya sekali saja

tetapi hasilnya bisa dinikmati dalam jangka yang panjang. Widyaningsih,

Diniyati, dan Fauziyah (2012) menyebutkan beberapa alasan petani

mengelola kebunnya dengan sistem agroforestri yaitu dengan pola

agroforestri terdapat pola keberlanjutan dan keberagaman penghasilan serta

menghasilkan tanaman jangka pendek, menengah, dan panjang. Kusumedi

et al. (2010) juga mneyebutkan faktor ekonomi merupakan prioritas petani

dalam pemilihan jenis tanaman di hutan rakyat, dimana yang menjadi

pertimbangan diantaranya adalah mudah dipasarkan, mempunyai harga jual

tinggi, memenuhi standar bahan baku industri sawmill (untuk kayu), dan

dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Menurut Simon (1995) dalam Kusumedi et al. (2010) aspek penting

yang perlu diperhatikan terkait dengan pemilihan jenis tanaman di hutan

rakyat yaitu : sesuai dengan keadaan iklim, jenis tanah dan kesuburan tanah

serta sifat fisik wilayah (aspek lingkungan); cepat menghasilkan dan mudah

dibudidayakan oleh masyarakat (aspek sosial); dan menghasilkan

komoditas yang mudah dipasarkan dan memenuhi bahan baku industri

(aspek ekonomi).

484| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Jenis tanaman yang banyak dikembangkan di lahan petani di kedua

lokasi sangat beragam. Dengan memperhatikan lima kriteria yaitu

kecocokan dengan tanah, umur tanaman ekonomis, kemudahan

pengelolaan, kemudahan pemasaran, dan serangan hama penyakit, jenis

tanaman yang dipilih dan banyak dikembangkan di lokasi penelitian seperti

terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pemilihan jenis tanaman kayu di lokasi penelitian

Rangking Desa Kemawi Desa Baseh

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1 Pinus Akasia Waru, Ganitri Sengon

2 Mahoni.

Akasia, Jati

Mahoni,

pinus

Mahoni,

Sengon merah

Mahoni

3 Alba, jabon Alba Suren Akasia

4 Jabon Sengon putih Jabon

5 Jati

Sumber : Data primer, 2013

Tabel 2. Pemilihan jenis tanaman non kayu di lokasi penelitian

Rang

king

Desa Kemawi Desa Baseh

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1 Kelapa,

pala

Pala,

melinjo,

kopi, sereh,

laos, kunyit

Kelapa Kelapa, singkong

2 Kapulaga Kapulaga Cengkeh,

salak

Melinjo, pisang

3 Cengkeh Kelapa, jahe Jengkol Kapulaga, alpukat,

talas

4 Lada, pete Durian Salak, rambutan

5 Jengkol Kopi, coklat Jengkol

6 Melinjo Pete Cengkeh, durian

7 Pete Sumber: Data primer, 2013

Dari tabel 1 dan 2 terlihat tanaman kayu yang dominan di Desa

kemawi adalah pinus dan akasia, sedangkan di Desa Baseh adalah waru,

ganitri dan sengon. Tanaman non kayu yang banyak ditanam oleh petani di

Desa Kemawi adalah kelapa, pala, melinjo, kopi, sereh, laos dan kunyit,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 485

sedangkan di Desa Baseh adalah kelapa dan singkong. Terdapat beberapa

perbedaan dalam prioritas pemilihan jenis tanaman antara laki-laki dan

perempuan. Hal ini berkaitan dengan pandangan dan keterlibatan laki-laki

dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Secara umum petani

menganggap tanaman non kayu (HHBK) merupakan komponen penting

yang harus ada di hutan rakyat. Di Desa Kemawi pala dan kelapa

merupakan hasil hutan rakyat yang bernilai ekonomi tinggi karena tanaman

tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang rutin dan dapat tumbuh

dalam jangka waktu yang panjang. Kopi juga menjadi pilihan petani

karena memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan stabil meskipun hanya

dapat dipanen sekali dalam setahun.

Di Desa Baseh kelapa dan singkong banyak ditanam karena bisa

memberikan pendapatan yang rutin, sedangkan singkong banyak ditanam

karena kemudahan membudidayakannya. Salak sebetulnya banyak ditanam

oleh petani di Desa Baseh, namun harga salak yang tidak stabil dan

budidaya yang harus intensif, menjadikan petani mulai beralih menanam

tanaman lain yang juga dapat dikembangkan di hutan rakyat seperti

kapulaga.

Pengelolaan hutan rakyat di kedua lokasi memiliki banyak kesamaan

dalam setiap tahapannya. Penyediaan bibit sebagian besar dilakukan

dengan cara membeli bibit dari pasar atau pedagang keliling, hanya

sebagian kecil yang membibitkan sendiri. Persiapan lahan diawal-awal

penamanan sebagian besar dilakukan oleh petani, namun setelah hutan

rakyat terbentuk sistem cemplongan lebih sering diterapkan oleh petani,

yaitu dengan langsung membuat lubang tanam dan hanya membersihkan

rumput di sekitar lubang tanam.

Pemeliharaan terhadap hutan rakyat cenderung tidak intensif, tetapi

sebagian besar petani melakukan pemeliharaan meskipun hanya

seperlunya. Kegiatan yang hampir tidak dilakukan oleh sebagian besar

petani adalah penyemprotan hama penyakit tanaman (HPT) karena

keterbatasan biaya. Hal ini pula yang menyebabkan petani lebih banyak

melakukan pemupukan tanaman hanya di awal tanam dengan pupuk

kandang. Tanaman yang masih sering dipupuk di hutan rakyat saat ini

adalah kelapa dan cengkeh terutama jika setelah buahnya di panen.

486| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kegiatan pemanenan tanaman kayu hampir 100% diborongkan

dengan sistem tebang pilih karena dianggap lebih praktis dan mudah.

Berbeda dengan tanaman non kayu yang berupa pohon seperti kelapa, pala

atau cengkeh, selain diborongkan beberapa petani juga melakukan

pemanenan sendiri. Setelah dipanen buah yang dihasilkan juga biasanya

diberi perlakuan terlebih dahulu sebelum dijual seperti dikeringkan melalui

penjemuran. Baik di Desa Kemawi maupun di Desa Baseh masih jarang

petani yang mengolah hasil non kayu dari hutan rakyat karena masih

terbatasnya pengetahuan dan modal. Bahkan tidak jarang petani menjual

buah seperti cengkeh, pala atau kapulaga dalam bentuk basah agar hasil

berupa uang segera diterima.

Pemasaran kayu maupun non kayu sebagian besar dilakukan secara

individu tanpa ada peran serta kelompok tani. Kelompok tani berperan

sebagai wadah berbagi informasi dan pengetahuan serta tempat

pembelajaran petani pada aspek budidaya terutama pembibitan. Pemasaran

kayu maupun non kayu di lokasi penelitian tidak mengalami kendala.

Petani biasanya menjual ke bandar/tengkulak yang ada di desa atau dari

luar desa yang datang ke rumah/kebun petani.

Tabel 3. Pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian

No Uraian Desa Kemawi Desa Baseh

1 Pemilihan

dan

penyediaan

bibit

- Berdasarkan keinginan

- Bibit dibeli dari pasar,

pedagang keliling, bantuan

pemerintah, dengan tinggi

50-100 cm

- Berdasarkan keinginan

sendiri

- Bibit dibeli dari pasar

(80%), anakan (10%),

membibitkan sendiri (10%),

tinggi bibit 40-60 cm

2 Persiapan

lahan dan

Penanaman

Sebanyak 35% petani

menerapkan sistem

cemplongan

65% melakukan

pembersihan lahan,

pembuatan lubang tanam,

pemberian pupuk dasar

Sebanyak 24% petani

menerapkan sistem

cemplongan

76 % melakukan

pembersihan lahan,

pembuatan lubang tanam,

pemberian pupuk dasar

3 Pemelihara

an

- Semua petani melakukan

pembersihan

gulma/rumput secara

manual, hanya 5% yang

kadangkala menggunakan

- Sebagian besar petani

(100%) melakukan

pembersihan gulma

dilakukan manual

- Pemupukan menggunakan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 487

No Uraian Desa Kemawi Desa Baseh

obat kimia

- Pemupukan menggunakan

pupuk kandang saja,

adapula yang

menggunakan pupuk

kandang dan kimia (18%)

- Pemupukan dilakukan

diawal tanam, selanjutnya

sesuai dengan kebutuhan

- Hanya ada 5% petani yang

melakukan penyemprotan

HPT

- 100 % petani melakukan

penyulaman jenis tanaman

yang sama atau berbeda

- 76 % melakukan

penjarangan untuk

tanaman yang jelek/besar

- 42% melakukan

pemangkasan

pupuk kandang

- Pemupukan dilakukan

diawal tanam

- Tidak ada petani yang

melakukan penyemprotan

HPT

- Sebanyak 95% petani

melakukan penyulaman

- 77% petani melakukan

penjarangan untuk tanaman

yang jelek (terkena

penyakit)

- 33% melakukan

pemangkasan

4 Pemanenan - Untuk tanaman kayu

pemanenan dilakukan

secara tebang pilih sistem

diborongkan ke pembeli

- Untuk tanaman non kayu

dilakukan sendiri atau

mengupahkan

- Untuk tanaman kayu

pemanenan dilakukan

secara tebang pilih, sistem

diborongkan ke pembeli

- Untuk tanaman non kayu

pemanenan dilakukan

sendiri dan atau

mengupahkan

5 Pasca

panen

- Tidak ada pengolahan

pasca panen untuk

tanaman kayu

- Pengolahan pasca panen

dilakukan terhadap

beberapa jenis tanaman

non kayu

- Tidak ada pengolahan pasca

panen untuk tanaman kayu

- Pengolahan pasca panen

dilakukan terhadap

beberapa jenis tanaman non

kayu

6 Pemasaran Pemasaran dilakukan secara

individu melalui bandar di

dalam desa, luar desa atau

ke pasar (tanaman nonkayu)

Pemasaran dilakukan secara

individu melalui bandar di

dalam desa, luar desa atau ke

pasar (tanaman non kayu)

Sumber : Data primer, 2013

B. Pembagian peran dalam pengelolaan hutan rakyat

Pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu kegiatan produktif

petani di kedua lokasi penelitian. Terlebih kedua desa sebagian besar

488| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

berupa lahan kering, sehingga usaha hutan rakyat menjadi sumber mata

pencaharian utama. Dalam keluarga pada umumnya laki-laki atau suami

bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga kegiatan usahatani

menjadi tanggung jawab laki-laki. Sementara perempuan lebih banyak

berperan dalam kegiatan domestik. Puspitawati dan Fahmi (2008)

menyebutkan pembagian peran dalam tugas keluarga memperlihatkan

untuk kegiatan yang berhubungan dengan pengaturan keuangan dan rumah

tangga, mengurus anak dan rumahtangga, dan aktivitas sosial lebih banyak

dilakukan oleh perempuan, sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan

pekerjaan publik (mencari nafkah) lebih banyak dilakukan oleh laki-laki

(suami). Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha tani

dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan.

Bernard et al. (1998) mengemukakan bahwa terjadi disparitas

pembagian kerja pada usahatani ladang antara laki-laki dan perempuan.

Laki-laki menyumbang sebesar 458 jam (47,32%) sedangkan perempuan

sebesar 510 jam (52,68%). Proses pengambilan keputusan umumnya

dipengaruhi oleh dominasi keterlibatan pada setiap tahap sistem usahatani

yang dilakukan.

Pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan

rakyat terlihat dalam setiap tahapan pengelolaan hutan rakyat seperti

terlihat pada Tabel 4 dan 5. Baik di Desa Kemawi maupun Desa Baseh

laki-laki sangat terlihat perannya pada kegiatan-kegiatan yang

membutuhkan tenaga besar dan kegiatan yang memerlukan pengambilan

keputusan strategis seperti persiapan lahan (pembersihan lahan,

penggemburan lahan, pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar,

penyulaman, penyemprotan HPT), pemanenan dan pemasaran. Perempuan

juga banyak terlibat pada kegiatan pemupukan setelah tanam dan

pembersihan rumputk karena kegiatan ini tidak begitu berat namun

membutuhkan ketelatenan.

Secara keseluruhan pada Tabel 4 dan 5 terlihat peran perempuan

terlihat lebih banyak dalam pengelolaan tanaman non kayu daripada

tanaman kayu. Perempuan terlibat banyak sejak persiapan tanam sampai

dengan pemasaran, bahkan untuk kegiatan pasca panen tanaman non

perempuan dinilai lebih banyak terlibat dibanding laki-laki. Pemanenan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 489

tanaman non kayu yang berupa buah, getah, biji atau umbi-umbian lebih

mudah dan ringan sehingga tidak sulit bagi perempuan untuk

melakukannya. Selain itu pemanenan beberapa jenis tanaman non kayu

yang sulitpun biasanya dilakukan oleh pembeli misalnya kelapa, sehingga

petani hanya perlu menunjukkan pohon mana saja yang akan dijual.

Penjualan tanaman non kayu juga biasanya dilakukan di rumah atau

di warung terdekat sehingga sangat memungkinkan perempuan yang

melakukan penjualan karena tidak harus mengangkut hasil panen. Namun

demikian secara umum pengambilan keputusan untuk menjual hasil panen

baik kayu maupun non kayu dan pelaksanaannya dilakukan secara

bersama-sama dengan prosentase yang berbeda.

Tabel 4. Penilaian peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan

rakyat di Desa Kemawi

No Kegiatan

Prosentase peran

Penilaian kelompok laki-

laki

Prosentase Peran

Penilaian kelompok

perempuan

Tanaman

Kayu

Tanaman

Non Kayu

Tanaman

Kayu

Tanaman

Non Kayu

L P L P L P L P

1. Penentuan jenis

tanaman 80 20 50 50 60 40 30 70

2. Persiapan lahan

a. Pembersihan

lahan (babad) 70 30 60 40 50 50 50 50

b. Penggemburan

lahan

(cangkul)

90 10 90 10 90 10 90 10

c. Pembuatan

lubang tanam 100 0 100 0 100 0 70 30

d. Pemupukan

(pupuk dasar) 80 20 80 20 70 30 50 50

e. Pembuatan ajir 100 0 - - 100 0 - -

3. Penanaman 90 10 90 10 90 10 50 50

4. Pemeliharaan

a. Penyulaman 100 0

10

0 0 90 10 50 50

b. Pemupukan 90 10 90 10 50 50 50 50

490| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

c. Pembersihan

rumput 70 30 70 30 50 50 50 50

d. Penyemprotan

HPT 100 0 100 0 100 0

10

0 0

e. Pemangkasan 100 0 - - 100 0 70 30

f. Penjarangan 100 0 - - 100 0 50 50

5. Pemanenan 100 0 - - 80 20 50 50

6. Pasca panen - - 0 100 - - 40 60

7. Pemasaran 100 0 50 50 70 30 30 70

Sumber : Data primer, 2013

Tabel 5. Penilaian peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan

rakyat di Desa Baseh

No Kegiatan

Prosentase peran

Penilaian kelompok

laki-laki

Prosentase Peran

Penilaian kelompok

perempuan

Tanaman

Kayu

Tanaman

Non Kayu

Tanaman

Kayu

Tanaman

Non Kayu

L P L P L P L P

1. Penentuan

jenis tanaman 80 20 100 0 90 10 30 70

2. Persiapan lahan

a. Pembersiha

n lahan

(babad)

100 0 100 0 100 0 50 50

b. Penggembu

ran lahan

(cangkul)

100 0 100 0 90 10 90 10

c. Pembuatan

lubang

tanam

100 0 100 0 80 20 80 20

d. Pemupukan

(pupuk

dasar)

100 0 100 0 80 20 80 20

e. Pembuatan

ajir 100 0 100 0 100 0 - -

3. Penanaman 100 0 0 100 70 30 30 70

4. Pemeliharaan

a. Penyulama

n 100 0 0 100 100 0 0 100

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 491

b. Pemupukan 100 0 0 100 100 0 0 100

c.

Pembersihan

rumput

80 20 25 75 50 50 50 50

d. Penyempro

tan HPT 100 0 100 0 - - 100 0

e.

Pemangkasan 100 0 - - 100 0 - -

f. Penjarangan 100 0 - - 100 0 - -

5. Pemanenan 100 0 80 20 100 0 0 100

6. Pasca panen - - 50 50 - - 0 100

7. Pemasaran 100 0 50 30 100 0 50 50

Sumber : Data primer, 2013

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Jenis tanaman kayu yang banyak dipilih untuk ditanam petani di Desa

Kemawi adalah pinus dan akasia, sedangkan di Desa Baseh adalah

waru, ganitri dan sengon. Tanaman non kayu yang banyak ditanam di

lahan hutan rakyat di Desa Kemawi adalah kelapa, pala, kopi, sereh,

laos, dan kunyit, sedangkan di Desa Baseh adalah kelapa dan singkong.

2. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara bersama-sama oleh laki-laki

dan perempuan. Pengelolaan tanaman kayu lebih banyak dilakukan

oleh laki-laki, sementara untuk pengelolaan tanaman non kayu lebih

banyak dilakukan oleh perempuan. Peran laki-laki lebih banyak pada

kegiatan yang membutuhkan tenaga, sedangkan perempuan pada

kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan seperti

pada kegiatan pemeliharaan, panen, dan pasca panen.

492| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

B. Keterbatasan

Penilaian pembagian peran dalam pengelolaan hutan rakyat dalam

penelitian ini diperoleh dari hasil diskusi kelompok dalam bentuk

prosentase. Penilaian tersebut akan lebih jelas apabila disertai dengan

penghitungan alokasi tenaga kerja laki-laki dan perempuan di hutan rakyat

dan membandingkannya dengan alokasi tenaga kerja petani di sektor yang

lain (di luar hutan rakyat).

C. Saran

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara bersama-sama antara

laki-laki dan perempuan sesuai dengan porsinya masing-masing dapat

menjadi pertimbangan bagi praktisi maupun pengambil kebijakan untuk

melibatkan keduanya secara proporsional dalam program atau kegiatan

yang berkaitan dengan hutan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Bernard B. D., Chasana E. dan Bachmid S. 1998. Perspektif Gender pada

Sistem Usahatani Ladang Suatu Studi di Desa Kabiarat Tanibar

Selatan, Maluku Tenggara. JPPTP 1(1) : 69 -79.

Handayani dan Sugiarti. 2002. Teknik Penelitian Berorientasi Gender.

UMM Press. Malang.

Hartomo, W. 2007. Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif

Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Disertasi.

Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak

diterbitkan.

Kusumedi, P., E. Irawan, N. Haryanti, dan PB. Putra. 2010. Sistim

Agroforestri Hutan Rakyat dalam Mendukung Pengelolaan DAS

Berkelanjutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan

Solo. Tidak diterbitkan.

Meliala, A.D.S. 2006. Pembagian Kerja Gender dalam Rumah Tangga

Petani Pedagang tanaman Hias (Kasus Sentra Bunga Dukuh

Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kelurahan Tawangmangu,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 493

Kabupaten Karanganyar, Solo, Jawa Tengah). Skripsi. Institut

Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan.

Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di

Indonesia. PT IPB Press. Bogor.

Puspitawati, H. dan SA. Fahmi. 2008. Analisis Pembagian Peran dalam

Keluarga Petani. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol. 1 No.2

Tahun 2008 :1-10.

Sajogyo, P, 1993. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa.

Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta.

Widyaningsih, T. S., D. Diniyati, dan E. Fauziyah. 2012. Manajemen

Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.

Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Hutan dan

Kesehatan Pengusahaan Hutan untuk Produktivitas Hutan tanggal 14

Juni 2012 di Bogor, hal 381-392. Pusat Litbang Peningkatan

Produktivitas Hutan. Bogor.

494| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

E. Makalah Poster

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 495

PENINGKATAN PRODUKTIFITAS BUDIDAYA GAHARU

MELALUI PEMBENTUKAN BATANG GANDA DAN

TEKNIK PERMUDAAN

Agus Sofyan, Imam Muslimin

Peneliti Pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu Palembang

Tlp. 0711-414864, E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang saat ini mulai banyak

dikembangkan. Perkembangan teknologi melalui inokulasi buatan bisa

menghasilkan gaharu dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Hal ini

mendorong semakin berkembangnya pembangunan pohon gaharu dalam

bentuk budidaya tanaman, sehingga tidak lagi tergantung pada alam. Tanaman

gaharu mempunyai sifat toleran (membutuhkan naungan), maka budidayanya

dapat dilakukan dengan pola tanam campur. Pemanenan gaharu dapat

dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan system batang ganda yang

bisa dibentuk sejak awal budidaya. Permudaan pohon gaharu dapat dilakukan

dengan tebang habis dan pemeliharaan terubusan yang dinilai lebih efektif dan

efisien dalam membangun tanaman gaharu baru.

Kata kunci: Gaharu, budidaya, polatanam, batangganda, pemanenan,

permudaan

I. PENDAHULUAN

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang

bernilai ekonomi sangat tinggi. Selain dapat meningkatkan devisa negara,

gaharu juga berperan sebagai sumber penghasilan masyarakat yang tinggal

di sekitar hutan. Menurut Suharti (2010), Indonesia merupakan produsen

gaharu terbesar di dunia dan mempunyai beberapa jenis pohon penghasil

gaharu yang tumbuh endemik. Saat ini, eksploitasi gaharu banyak

dilakukan di hutan alam dan menjadi semakin tidak terkendali. Hal ini

mengakibatkan jenis-jenis tanaman penghasil gaharu menjadi semakin

langka dan produksi gaharu menjadi sangat menurun.Untuk melindungi

jenis-jenis tanaman penghasil gaharu, CITES sejak tahun 2004 telah

menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam

496| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dengan memasukkan Aquilaria spp dan Gyrinops sp dalam daftar

tumbuhan Appendix II CITES.

Tingginya permintaan dan harga gaharu di pasar internasional serta

semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di hutan alam, telah

mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan budidaya

tanaman pengahasil gaharuseperti di Jambi, Riau, Sumatera Utara,

Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan (Squidoo, 2008 dalam Suharti,

2010). Melalui pembudidayaan tanaman penghasil gaharu, diharapkan

produksi gaharu sebagai komoditas eksport dapat terus berkelanjutan.

Selain itu, secara langsung ataupun tidak langsung merupakan langkah

nyata dalam usaha untuk mengkonservasi jenis-jenis tanaman penghasil

gaharu yang sudah mulai langka.

Pengembangan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk kebun atau

hutan tanaman mempunyai prospek yang sangat potensial untuk

diwujudkan, baik ditinjau dari sumber daya lahan, ketersediaan materi atau

bahan bibit serta keragaman jenis yang kita miliki. Hal ini juga ditunjang

oleh teknik budidaya tanaman gaharu yang dapat dikatakan relatif mudah.

Namun demikian, untuk memperoleh produktivitas gaharu yang maksimal

(kuantitas maupun kualitas), dukungan dari berbagai aspek khususnya

teknik budidaya sertateknik produksi (inokulasi) dalam pembentukan

gaharu harus terus dilakukan.

Makalah ini menyajikan informasi tentang tanaman penghasil dan

produk gaharu, budidaya serta teknik pembentukan batang ganda dalam

budidaya tanaman penghasil gaharu, mulai pada tingkat bibit maupun

tingkat lapang saat penanaman. Informasi ini sangat bermanfaat bagi

pengelola tanaman penghasil gaharu khususnya masyarakat petani gaharu

untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi gaharu.

II. Mengenal Tanaman Penghasil Gaharu dan Gaharu

Gaharu merupakan produk hasil hutan bukan kayu berupa hasil

endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi tanaman

terhadap pelukaan atau infeksi penyakit yang disebabkan oleh jamur atau

jasad renik lainnya (Santoso dkk., 2010). Sementara itu, Siran (2010)

mengemukakan bahwa gaharu jika dilihat dari bentuk atau

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 497

wujudnyamerupakan produk berbentuk gumpalan padat berwarna coklat

sampai hitam, beraroma harum, terdapat pada bagian kayu atau akar

tanaman inangnya (tanaman yang dapat menghasilkan gaharu), yang telah

mengalami proses perubahan fisik dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis

jamur.

Indonesia memiliki lebih dari 27 jenis tanaman penghasil gaharu

yang tersebar di beberapa pulau diantaranya Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.Beberapa tanaman penghasil

gaharu yang populer diusahakan di Indonesia yaitu Aquilaria malaccensis,

A. microcarpa, A. filaria, A. cumingiana dan Gyrinops (Santoso dkk.,

2012).Tanaman penghasil gaharu tidak selalu mengandung atau

menghasilkan gaharu, karena jika tanaman tidak terinfeksi oleh cendawan

atau mikroorganisme lain yang dapat membentuk gaharu maka tanaman

tersebut tidak mengandung gaharu.

Gaharu mempunyai beberapa nama penting dalam perdagangan

internasional seperti karas, jinkoh, kresna, agarwood, eaglewood, aleowood

dan oudh. Komoditas gaharu yang diperdagangkan bentuknya cukup

beragam, antara lain berbentuk bongkahan, dekorasi dalam bentuk patung

atau ukiran, tasbih, hio, chip, serbuk serta minyak gaharu. Berbagai produk

gaharu atau berbahan baku gaharu yang selama ini diperdagangkan

umumnya berasal dari hasil produksi yang berasal darigaharu alam.

Produksi gaharu alam mempunyai kuantitas dan kualitas hasil yang

tidak bisa diperkirakan, karena memang pembentukan gaharu secara

alamiah diserahkan oleh faktor-faktor pembentuk alami. Melalui

perkembangan teknologi, saat ini proses pembentukan gubal gaharu melalui

mekanisme induksi atau inokulasi jamur secara artifisial telah banyak

dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sofyan dkk., (2010)

melakukan pengujian beberapa inokulan (isolat) jamur dari berbagai

provinsi di Indonesia pada berbagai kondisi lahan dan pola tanam di

wilayah Sumatera Bagian Selatan. Hasil kegiatan tersebut menunjukkan

bahwa inokulan yang digunakan (isolat dari Jambi, Gorontalo, Papua, Babel

dan Kaltim) menunjukkan terbentuknya gaharu pada semua lokasi uji dan

telah menimbulkan bau harum sebagai indikator utama terbentuknya

gaharu.

498| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

III. Pola Tanam Dalam Budidaya Gaharu

Produksi gaharu Indonesia mengalami perkembangan yang

signifikan dan diimbangi dengan peningkatan kuota produksi di

perdagangan Internasional. Siran (2010) mengemukakan bahwa untuk jenis

A. malaccensis, pada tahun 2007 Indonesia bisa merealisasikan produksi

sebesar 79% dari kuota sebesar 30.000 ton dan realisasinya meningkat

menjadi 100% dengan kuota yang sama pada tahun 2008. Sedangkan pada

tahun 2009 terjadi peningkatan kuota sebesar 173.250 ton dan terealisasi

sebesar 43% (Siran, 2010). Data dan informasi ini merupakan peluang dan

sekaligus tantangan bagi pengusahaan gaharu untuk dapat memenuhi kuota

produksi yang ada.

Tanaman gaharu mempunyai potensi dan prospek yang sangat baik

bila dikembangkan sebagai komoditas yang dibudidayakan. Beberapa nilai

penting dari pengembangan budidaya gaharu adalah: a. budidaya

merupakan wujud dari pelestarian jenis tanaman penghasil gaharu,

mengingat beberapa jenis sudah termasuk dalam kategori langka, b.

permintaan pasar dan harga yang masih tinggi, sementara pasokan gaharu

terbatas, c. berbuah sepanjang tahun, pembiakan generatif relatif mudah dan

regenerasi alami masih tinggi, d. sudah dikuasainya teknologi rekayasa

produksi gaharu yang menjamin kuantitas dan kualitas produksi.

Budidaya gaharu melalui pembangunan tanaman rakyat sudah mulai

banyak dikembangkan di beberapa daerah. Salah satu poin penting dalam

budidaya gaharu adalah pemanfaatan sifat pertumbuhan gaharu yang

“toleran” atau butuh naungan. Sumarna (2008) dalam Santoso dkk., (2012)

mengemukakan bahwa tanaman penghasil gaharu (A. malaccensis dan A.

microcarpa) tumbuh baik pada suhu 20-27oC, kelembaban nisbi 78-85%

dan intensitas cahaya 56-75%.

Sifat “toleran” dari tanaman gaharu bukan berarti bahwa tanaman

gaharu membutuhkan naungan secara mutlak dan tanaman gaharu yang di

tanam pada tempat terbuka tidak bisa tumbuh. Hasil pengamatan yang

dilakukan oleh Muslimin (2010), pertumbuhan tanaman gaharu yang di

tumpangsarikan dengan tanaman cabe, pada tahap awal pertumbuhannya,

tanaman gaharu menerima cahaya matahari dengan intensitas yang rendah

(ternaungi cabe), setelah tinggi tanaman gaharu melebihi tinggi tanaman

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 499

cabe, maka tanaman gaharu menerima cahaya matahari penuh. Dalam

sistem tanam gaharu seperti ini, tanaman gaharu secara tidak langsung

memperoleh suplai nutrisi yang banyak pada saat pemupukan tanaman cabe

dilakukan. Pertumbuhan tanaman gaharu pada umur 1 tahun mempunyai

tinggi sebesar 111,91cm dan diameter sebesar 21,35mm. Hal ini

mengindikasikan bahwa sifat toleransi pada tanaman gaharu bukanlah

merupakan faktor yang utama dalam pertumbuhan tanaman gaharu. Pada

periode-periode tertentu (awal penanaman) tanaman gaharu membutuhkan

naungan dan dengan aplikasi teknik pemupukan yang tepat ternyata juga

mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan normal.

Pola tanam gaharu sistem monokultur dengan “keharusan”

pemberian naungan pada tahap awal pertumbuhannya juga bisa dilakukan

secara langsung di lapangan dengan “memodifikasi’ sistem penyiapan

lahannya, khususnya pada lahan yang bervegetasi semak dan perdu

(misalnya alang-alang). Sistem penyiapan lahan tidak perlu dilakukan

secara total, tetapi cukup dengan sistem pembukaan jalur pada arah utara-

selatan, sehingga tanaman gaharu tidak terkena cahaya matahari secara

langsung dan masih ternaungi oleh tanaman yang ada di sepanjang jalur

yang tidak dibersihkan. Sistem lain adalah dengan menggunakan

cemplongan/piringan, dimana lahan yang dibersihkan hanya pada bagian

yang tertanami gaharu saja. Tanaman yang berada di luar piringan dibiarkan

yang sekaligus berfungsi sebagai naungan pada tanaman gaharu. Konsep

modifikasi sistem tanam ini memerlukan persyaratanyaitu ukuran bibit

gaharu yang digunakan harus sudah cukup besar dari standar bibit yang

digunakan pada penanaman sebagai tanaman campuran. Penggunaan bibit

yang besar diharapkan mempunyai daya adaptabilitas yang tinggi pada

lokasi penanaman dan mempunyai ketahanan dan daya saing tinggi dengan

tanaman lain dalam hal persaingan unsur hara dan tempat tumbuh.

Konsep budidaya tanaman gaharu dalam pola tanam yang lebih

sederhana dan menguntungkan adalah pola tanam campur dengan

memanfaatkan sifat “toleran” (butuh naungan) dari tanaman gaharu.

Beberapa keuntungan dari budidaya tanaman gaharu dengan pola tanam

campur adalah:

500| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

1. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal sebagaimana tanaman gaharu

yang tumbuh pada kondisi alaminya. Tanaman gaharu yang di tanam

secara terbuka membutuhkan “perlakuan khusus” untuk memperoleh

pertumbuhan yang normal seperti: pemupukan yang tepat ataupun

sistem penyiapan lahan yang khusus (jalur dan cemplongan).

2. Meningkatkan produktifitas lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh

(spasial).

3. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan

tanaman utama karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun

mempunyai kontribusi nilai ekonomi yang bisa jadi lebih tinggi dari

nilai tanaman utamanya.

4. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur, maka elemen biaya

pembuatan tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan

dalam budidaya tanaman gaharu hanya sebatas biaya pengadaan bibit,

penanaman dan pemanenan. Sedangkan biaya untuk penyiapan lahan

dan pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman utama.

5. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola

tanam campur (lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas

ekosistem serta mempunyai variasi produksi dalam suatu lahan

pengelolaan, sebagai salah satu strategi antisipasi dampak buruk

perubahan pasar.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1. Tanaman gaharu yang ditanam dengan cabe (a), ditanam di

semak belukar (b) dan tanaman campur dengan karet (c)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 501

Pola tanam gaharu dengan sistem campur sudah banyak dilakukan

pada beberapa daerah dan jenis yang berbeda. Pola tanam campur antara

tanaman karet dengan A. malaccensis terdapat di Kabupaten Banyuasin,

Musi Rawas-Sumatera Selatan dan Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan

dkk., 2010), campuran Aquilaria spp dengan tanaman karet atau kakao

terdapat di Propinsi Bengkulu (Wiriadinata dkk., 2010), sedangkan

campuran antara tanaman karet dengan A. microcarpa terdapat di

Sarolangun-Jambi (Wiriadinata, 2004 dalam Wiriadinata dkk., 2010).

Tumpangsari antara Gyrinops versteegii dengan coklat, jagung dan

singkong terdapat di Rarung-Nusa Tenggara Barat (Surata dan Soenarno,

2011). Campuran antara tanaman sungkai dengan gaharu di Kabupaten

Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010). Penanaman A. malaccensis dengan

kelapa sawit terdapat di Kabupaten Rokan Hulu-Riau (Suhartati dan

Wahyudi, 2011).Campuran antara gaharu dengan vanili terdapat di Luwu

Utara-Sulawesi Selatan (Subehan dkk., 2005). Pengelolaan tanaman gaharu

pada lahan hutan yang didominasi oleh tanaman pohon (meranti, mahoni,

pulai, khaya) dan tanaman buah (melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai,

dan nangka)terdapat di KHDTK Carita Banten, Jawa Barat (Suharti, 2010).

IV. Pembentukan Batang Ganda Tanaman Penghasil Gaharu

Produksi gaharu merupakan kuantitas dari batang tanaman gaharu

yang mengandung endapan resin dan beraroma harum. Dalam produksi

gaharu baik dari hasil hutan alam dan inokulasi buatan, tidak seluruh

bagian batang kayu mengandung endapan resin dan beraroma harum.

Indikator utama dari keberhasilan pembentukan gaharu yang bisa

ditengarai secara visual adalah adanya perubahan dari warna batang

tanaman gaharu yang sebelumnya berwarna putih menjadi berwarna coklat

dan kehitaman. Sehingga dimungkinkan terdapat bagian-bagian batang

tertentu yang tidak berubah warna dan bagian-bagian ini harus dihilangkan

melalui kegiatan “ekstraksi” atau “pengerokan”. Sehingga hasil yang

didapatkan adalah murni bagian batang tanaman gaharu yang mengandung

endapan resin saja dan beraroma harum. Dengan demikian batang pokok

tanaman gaharu merupakan modal dasar dalam budidaya tanaman gaharu,

502| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dimana asumsinya semakin besar batang pokok gaharu maka juga semakin

besar pula hasil yang akan di dapatkan.

Dalam hubungannnya dengan batang pokok, tidak semua

pertumbuhan tanaman gaharu mempunyai batang tunggal yang lurus dan

dengan batang bebas cabang yang tinggi. Kondisi pertumbuhan tanaman

gaharu dengan batang ganda (lebih dari 2 batang pokok) ditemukan di

daerah Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan (Sofyan dkk., 2010).

Munculnya batang ganda pada tanaman gaharu ini salah satunya

dimungkinkan disebabkan oleh penanaman gaharu pada tempat yang

terbuka, sedangkan tanaman gaharu yang ditanam di bawah naungan

cenderung membentuk batang tunggal dengan batang bebas cabang yang

tinggi (Muslimin, 2010).

Pertumbuhan tanaman gaharu dengan jumlah batang pokok yang

lebih dari satu sebenarnya mempunyai beberapa keuntungan bila

dibandingkan dengan tanaman gaharu yang hanya mempunyai satu batang

pokok. Tanaman gaharu batang ganda umumnya mempunyai jumlah

batang 2-5 batang dengan rerata pertumbuhan diameter pohon yang lebih

besar bila dibandingkan dengan diameter pohon yang mempunyai batang

pokok tunggal/ individual. Penampilan batang ganda dengan jumlah 3

batang mempunyai ukuran diameter yang relatif sama, namun bilamana

jumlah batang lebih dari 3 umumnya batang ke 4 dan 5 mempunyai ukuran

diameter yang lebih kecil (Sofyan dkk., 2010).Semakin besar diameter

batang pokok, maka luas bidang dasar batang yang bisa di inokulasi juga

semakin besar, sehingga nantinya hasil yang di dapatkan juga semakin

besar.

Keuntungan lain dari adanya batang ganda ini adalah berhubungan

dengan pengaturan proses produksi dan memperkecil tingkat resiko

kegagalan inokulasi. Proses inokulasi dapat dilakukan secara bertahap,

misalnya bilamana terdapat batang pokok berjumlah 3 maka inokulasi

dapat dilakukan dengan 3 tahapan waktu yang berbeda. Karena waktu

inokulasi yang berbeda, maka proses pemanenan juga dapat dilakukan pada

waktu yang berbeda-beda. Pemanenan pada waktu yang berbeda-beda

menjamin kontinuitas produksi tanaman gaharu yang di dapatkan dan

berdampak pada pendapatan yang berkelanjutan. Adanya waktu inokulasi

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 503

dan kegiatan pemanenan yang berbeda-beda ini secara tidak langsung akan

memperkecil resiko tingkat kegagalan. Bilamana proses inokulasi

mengalami kegagalan pada suatu batang, maka masih terdapat batang lain

dalam pohon yang sama yang bisa diinokulasi sebagai pengganti inokulasi

pada batang yang gagal tersebut.

Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan tanaman gaharu dengan batang

pokok ganda yaitu:

1. Secara alamiah melalui penanaman pada tempat terbuka (Muslimin,

2010). Tanaman gaharu yang ditanam pada tempat terbuka menerima

cahaya matahari yang berlebihan, sehingga umumnya pertumbuhan

apikal (pucuk) tanaman muda terhambat dan kadangkala mati. Matinya

bagian pucuk tanaman ini secara langsung akan memacu pertumbuhan

tunas samping menjadi batang pokok baru yang biasanya lebih dari dua

batang pokok (Gambar 2a.)

2. Batang pokok ganda juga dapat dibentuk pada saat tanaman gaharu

berada di persemaian. Saat bibit dipelihara di persemaian, dilakukan

pemotongan batang dengan menggunakan gunting stek ataupun pisau,

diharapkan dari perlakuan ini muncul tunas baru dengan jumlah yang

banyak. Tunas baru ini akan tumbuh menjadi batang pokok ganda.

Keuntungan dari perlakuan pembentukan batang ganda yang dilakukan

saat di persemaian adalah bibit dengan batang ganda mempunyai cukup

waktu untuk beradaptasi, dengan jumlah batang yang lebih banyak dan

pada saat nantinya di tanam di lapangan, masing-masing batang ganda

dapat tumbuh dengan normal dan mempunyai ukuran yang lebih

seragam (Gambar 2b.)

3. Pembentukan batang ganda juga dapat dilakukan secara langsung pada

saat tanaman di lapangan. Prinsip kerjanya sama dengan pembentukan

batang ganda saat di persemaian. Tanaman gaharu di lapangan yang

sudah mapan, kemudian dilakukan pemotongan batang untuk

memperoleh terubusan baru sebagai bakal batang pokok baru dengan

jumlah yang lebih banyak. Pemotongan batang pokok harus dilakukan

pada saat musim penghujan dan pada ketinggian beberapa cm dari

permukaan tanah (50-60cm) agar terubusan cepat tumbuh dan tidak

504| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

mengalami evapotranspirasi yang berlebihan. Dalam ilmu kehutanan

kegiatan semacam ini disebut sebagai pollarding (Gambar 2c.)

4. Tanaman gaharu tua yang telah dipanen dan meninggalkan bekas

potongan (tunggul), maka biasanya pada batang bekas pemotongan

tersebut muncul terubusan dengan jumlah yang banyak. Pengelola

tanaman gaharu dapat memilih beberapa terubusan saja yang dipelihara

dan dijadikan sebagai tanaman baru. Dalam ilmu kehutanan kegiatan

semacam ini disebut sebagai coppicing.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 2. Pembentukan batang ganda gaharu dengan penanaman di laha

terbuka (a), perlakuan saat di persemaian (b), perlakuan saat tanaman di

lapangan (c) dan penampilan tanaman gaharu dewasa dengan batang ganda (d).

V. Teknik Permudaan Melalui Terubusan

Permudaan tanaman gaharu dimaksudkan untuk membentuk

tanaman gaharu yang baru setelah kegiatan pemanenan dilakukan.

Permudaan tanaman gaharu dapat dilakukan secara alami dan buatan.

Permudaan secara alami tanaman gaharu dapat dilakukan dengan

melakukan perawatan terhadap anakan gaharu yang potensinya sangat

banyak di sekitar pohon gaharu tua. Permudaan secara alami ini

mempunyai kelemahan yaitu penyebaran tanaman gaharu tidak bisa kita

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 505

atur secara sistematis, sehingga terkadang akan menyulitkan dalam

pengelolaan tahap berikutnya.

Permudaan secara buatan dapat dilakukan dengan melakukan

penanaman bibit gaharu yang sebelumnya telah mengalami pembesaran

dan adaptasi di persemaian. Permudaan buatan dengan cara ini tentu saja

membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, namun memberikan

keleluasaan pada pengelola tanaman untuk dapat mengatur tanaman baru

yang akan ditanam sesuai dengan tujuan pengelolaan.

Teknik permudaan lain yang banyak diaplikasikan di negara-

negara maju dan merupakan teknik permudaan buatan yang sudah sejak

lama diterapkanadalah permudaan dengan pemeliharaan terubusan (coppice

system). Teknik coppice system banyak diterapkan di beberapa negara

maju, seperti Prancis, Italy, Inggris, Turkey, Spanyol dan Bulgaria, dimana

hampir 16% dari seluruh area hutan menggunakan coppice system untuk

suplai kayu (UN/ECE-FAO, 2000dalam Bottalicodkk., 2014). Dari luas

lahan hutan sebesar 10,5 juta ha di Italy, 58% diantaranya menggunakan

coppice system (INFC, 2005dalam Bottalicodkk., 2014). Menurut Ciancio

dan Nocentini (2004), jenis-jenis yang umumnya menggunakan permudaan

dengan coppice systemantara lain adalah Oaks (Quercus cerrisL., Quercus

pubescensWilld, Quercus ilexL.), sweet chestnut (Castanea sativaMiller)

dan beech (Fagus sylvaticaL.).

Di Indonesia, aplikasi permudaan tanaman dengan teknik

pemeliharaan terubusan juga telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman,

khususnya tanaman yang dikelola oleh rakyat yaitu pada tanaman jati

(Pramono dkk., 2010) dansengon (Sandra, 2011). Mansur (2012)

mengemukakan bahwa beberapa daerah di Indonesia juga telah melakukan

teknik terubusan yaitu di Jawa Barat pada jenis sengon, suren hutan dan

kayu afrika; di Kabupaten Konawe-Sulawesi Tenggara pada tanaman jati

rakyat dan di Kebumen-Jawa Tengah pada tanaman sono keling yang

tumbuh di kebun rakyat.

Beberapa rangkaian kegiatan dalam teknik coppice system ini

adalah sebagai berikut: a). pemanenan kayu di lakukan sampai menyisakan

tunggak yang hampir rata dengan tanah, b).terubusan akan muncul pada

tunggak bekas tebangan dengan jumlah yang relatif banyak, c). diperlukan

506| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

kegiatan penjarangan untuk mengurangi trubusan yang ada dan

meninggalkan beberapa terubusan saja yang mempunyai penampilan

terbaik, d). untuk memperoleh trubusan dengan pertumbuhan yang kokoh

maka trubusan yang muncul dekat dengan permukaan tanah sebaiknya

dilakukan penimbunan dengan tujuan agar pada bagian pangkal trubusan

yang tertimbun tersebut tumbuh akar baru yang nantinya dapat mendukung

pertumbuhan dan perkembangan trubusan.

Teknik permudaan dengan coppice system ini sangat

memungkinkan untuk diaplikasikan pada tanaman gaharu dengan berbagai

pertimbangan yaitu:

1. Tahap awal pertumbuhan trubusan biasanya relatif lebih cepatkarena

adanya dukungan ketersediaan cadangan makanan di dalam akar,

konsentrasi sitokinin yang tinggi dan tidak adanya penghambatan

auksin (Sandra, 2011).

2. Permudaan tanaman dengan pemeliharaan terubusan akan menghemat

biaya pembuatan tanaman karena secara otomatis anggaran yang

dibutuhkan hanya sebatas pada pemeliharaan terubusan saja.

3. Trubusan yang muncul pada coppice system biasanya lebih dari satu,

sehingga pengelola dapat mengaplikasikan penggunaan sistem batang

ganda yang sengaja dibentuk sejak awal pembuatan tanaman.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan

permudaan tanaman gaharu dengan pemeliharaan trubusan adalah berkaitan

dengan teknik inokulasi batang pohon induk yang telah dilakukan.

Inokulasi merupakan upaya untuk meng-infeksi batang pokok tanaman

gaharu dengan memasukkan mikroorganisme (jamur, bakteri) agar tanaman

menjadi “sakit” dan bereaksi terhadap “sakit” tersebut dengan membentuk

endapan resin. Sehingga bilamana kita menginginkan “tunggul” bekas

pemanenan tersebut bisa menghasilkan trubusan, maka tunggul tersebut

harus dalam kondisi hidup dan tidak terinfeksi oleh mikroorganisme yang

di inokulasikan. Salah satu cara yang mungkin untuk dilakukan adalah

melakukan kegiatan inokulasi batang pokok bagian bawah harus relatif

lebih jauh dari permukaan tanah, sehingga perkembangan infeksi

mikroorganisme tidak sampai mematikan akar dan batang bagian bawah

tanaman.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 507

VI. PENUTUP

Teknologi inokulasi buatan pada tanaman penghasil gaharu

terbukti mampu untuk meningkatkan produksi gaharu baik kuantitas

maupun kualitas. Pengembangan budidaya gaharu dapat dilakukan dengan

pola tanam campur yang memanfaatkan sifat toleran tanaman. Modal dasar

utama produksi gaharu adalah batang pokok gaharu yang akan diinokulasi.

Batang pokok gaharu dapat digandakan melalui perlakuan mulai dari

persemaian atau saat di tanam di lapangan (pollarding). Permudaan buatan

dengan pemeliharaan terubusan (coppice system) merupakan salah satu

teknik permudaan yang bisa di aplikasikan pada gaharu untuk menekan

biaya pembuatan tanaman dan membentuk batang ganda.

DAFTAR PUSTAKA

Bottalico, F., D. Travaglini, G. Chirici, M. Marchetti, E. Marchi, S. Nocentini

dan P. Corona. 2014. Classifying Silvicultural System (coppices vs. High

forests) in Mediterranean oak forests by Airborne Laser Scanning Data.

European Journal of Remote Sensing-2014, 47:437-460.

Doi:10.5721/EuJRS20144725.

Ciancio O., S. Nocentini. 2004. The coppice forest. Silviculture, regulation,

management. In: Ciancio O., Nocentini S., Il bosco ceduo. Selvicoltura,

assestamento, gestione. Accademia Italiana di Scienze Forestali, Firenze,

Italy, pp. 679-701.

Mansur, I. 2012. 5 Prospek Pengembangan Jabon Untuk Mendukung

Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-

Hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat),

Konservasi dan Rehabilitasi Hutan”. Balai Penelitian Kehutanan Manado.

IPB Press.

Muslimin, I. 2010. Pertumbuhan Tanaman Karas (Aquilaria malaccensis Lamk)

di KHDTK Kemampo: Tinjauan Aspek Naungan. Prosiding Workshop

Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Kementerian Kehutanan.

Puslitbang Peningkatan Produktifitas Tanaman Hutan. Bogor.

Pramono, A. A., M. A. Fauzi, N. Widyani, I. Heriansyah, J. M. Roshetko. 2010.

Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan Untuk Petani. CIFOR.

Bogor. Indonesia.

S andra, E. 2011. Sumbang Pemikiran Teknologi Tunggul Pada Pohon Sengon.

http://eshaflora.blogspot.com/2011/09/sumbang-pemikiran-teknologi-

tunggul.html. Diakses tanggal 12 September 2014.

508| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono,

A.Y.P.B.C. Widyatmoko, R.S.B. Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo,

Rahman, A. Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master Plan Penelitian dan

Pengembangan Gaharu Tahun 2013-2023. Kementerian Kehutanan.

Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmullah.,

A. Yani, Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu

(Induction Technology of Eaglewood). Info Hutan. Volume VII. Nomor 2,

Tahun 2010.ISSN 1410-0657. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

dan Konservasi Alam. Bogor.

Siran, S. A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis

Pemberdayaan Masyarakat “Perkembangan Pemanfaatan Gaharu”. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan

Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai bahan Obat di

Sumatera. Laporan Hasil Penelitian Program insentif Peningkatan

Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kementerian Kehutanan. Balai

Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.

Subehan, J.U., F. Hiroharu, A. Faisal, and K. Shigetoshi. 2005. A Field Survey

of Agarwood in Indonesia. Journal of Traditional Medicine 22: 244-251.

Suhartati, A. Wahyudi. 2011. Pola Agroforestry Tanaman Penghasil Gaharu

dan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8

No. 4:363-371, 2011.

Suharti, S. 2010. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan

Berbasis Masyarakat . Info Hutan Vol. VII No. 2:141-154,2000.

Surata, I. K., Soenarno. 2011. Penanaman gaharu (Gyrinops verstegii (Gilg.)

Domke) Dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi Nusa Tenggara

Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:349-

361, 2011.

Wiriadinata, H., G. Semiadi, D. Darnaedi, E. B. Waluyo. 2010. Konsep

Budidaya gaharu (Aquilaria spp.) di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian

Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII No. 4:371-380, 2010.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 509

PRODUKSI KEMIRI DI DESA AIKPERAPA-KECAMATAN AIKMEL

(KABUPATEN LOMBOK TIMUR) DAN DESA KALATE-

KECAMATAN RAIMAU (KABUPATEN BIMA)

Dewi Maharani1, Nurul Wahyuni

2, Saptadi Darmawan

2

1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Jln. Raya Ciamis – Banjar Km. 4 PO.BOX 5 Ciamis 46201 2 Balai Penelitian Teknologi HHBK,

Jl. Karya Bhakti No.7 Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat

Telp. (0370) 6573874, Fax (0370) 6573841

E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Kemiri (Aleurites mollucana Wild) merupakan komoditas Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) yang termasuk dalam kelompok pohon penghasil minyak lemak

terutama dari bijinya. Manfaat kemiri cukup beragam, selain biji dan kayunya,

tempurung biji kemiri pun dapat dimanfaatkan misalnya untuk arang dan bahan

campuran pembuatan papan serat. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan

pengamatan dan pengukuran produksi kemiri. Metode penelitian dilakukan

dengan survey dan pengukuran langsung di lapangan. Hasil penelitian

menjelaskan bahwa produksi kemiri di 2 lokasi menunujukkan rata-rata

produksi tertinggi dihasilkan oleh pohon dengan kelas diameter lebih dari 50

cm dan umur lebih dari 20 tahun yaitu mencapai lebih dari 9 kg/minggu/pohon

(di Lombok Timur) 4.01 kg/minggu/pohon (di Bima), sedangkan produksi

tempurung kemiri pada bulan Nopember di kedua lokasi tersebut rata-rata

mencapai 2 kg dari 3 kg biji kemiri utuh. Pemanfaatan kemiri di Kab. Lotim

cukup beragam diantaranya kayunya dimanfaatkan untuk papan digesting,

bijinya untuk dijual dan/atau dimanfaatkan untuk bumbu serta tempurungnya

untuk bahan bakar omprengan tembakau, sedangkan di Kab. Bima tempurung

kemiri belum dimanfaatkan.

Kata Kunci: produksi, kemiri, tempurung, arang.

I. PENDAHULUAN

Kemiri (Aleurites mollucana Wild) merupakan komoditas Hasil

Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang termasuk dalam kelompok pohon

penghasil minyak lemak (Permenhut, 2007). Minyak kemiri dapat

digunakan sebagai bahan dasar misalnya untuk minyak cat, pembuatan

sabun, kertas tahan air, pernis, dan minyak rambut (Heyne, 1987; Duke,

510| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

1983). Menurut Hendra dan Darmawan (2007) pohon kemiri merupakan

jenis pohon serbaguna, hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan

dengan produk utama kemiri isi. Biji kemiri selain menghasilkan minyak

juga biasa digunakan sebagai bumbu, pada pola agroforestry kemiri sering

digunakan sebagai pohon penahan angin dan untuk stabilisasi kondisi tanah

(Elevitch and Manner, 2006). Berat jenis kayu kering udara 0,31 dengan

kelas awet V dan kelas kuat IV, dapat dibuat kayu lapis,peti, korek api, dan

peralatan rumah tangga karena mempunyai sifat pengerjaan yang mudah

(Anonim (1981) dalam Wibowo, 2007). Lebih lanjut dijelaskan kulit biji

(cangkang) dapat dimanfaatkan untuk bahan obat nyamuk bakar dan arang.

Ampas dari pengolahan minyak dapat digunakan untuk pakan ternak dan

pupuk tanaman karena mengandung unsur NPK yang cukup tinggi. Pada

proses pemecahan kemiri dihasilkan limbah berupa tempurung kemiri yang

belum dimanfaatkan secara optimal, dimana berat tempurung kemiri

mencapai 2/3 dari berat biji kemiri utuh sedangkan 1/3 berupa inti biji

(karnel). Limbah berupa tempurung kemiri tersebut dapat dimanfaatkan

optimal salah satunya sebagai bahan produk arang aktif (Hendra dan

Darmawan, 2007). Begitupun yang dijelaskan oleh Darmawan, et. al.

(2010) arang tempurung kemiri dapat dimanfaatkan sebagai campuran

bahan papan partikel dan papan serat kerapatan sedang (medium density

fiberboard/MDF).

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah

penyebaran alami dan daerah penghasil kemiri sejak tahun 1920-an

(Heyne, 1987). Menurut Data Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB

Tahun 2006 daerah produsen kemiri terdapat di Kabupaten Bima dengan

produksi puncak terjadi pada tahun 2004 mencapai 216,68 ton sedangkan

produksi di NTB pada tahun tersebut mencapai 2.150 ton (Rosman dan

Djauhariya, 2009). Belum terdatanya produksi kemiri di NTB secara baik

maka akan sulit memprediksi potensi yang ada. Berdasarkan hal tersebut,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan produktivitas kemiri.

II. METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Mei hingga Desember 2009,

berlokasi di Dusun Aikperapa, Desa Aikmel Utara, Kecamatan Aikmel,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 511

Kabupaten Lombok Timur serta di Dusun Kalate, Desa Riamau,

Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima. Pengukuran produksi dilakukan

dengan cara mengambil sampel pohon kemiri berdasarkan kelompok kelas

diameter. Dari pohon terpilih tersebut kemudian diamati berapa banyak

kemiri yang dihasilkan. Selanjutnya untuk mengetahui jumlah dan sebaran

pohon kemiri akan dilakukan dengan cara mengambil data sekunder dari

beberapa instansi. Pengamatan dilakukan dengan cara menimbang berat

buah dan berat tempurung dari setiap sampel pohon dalam setiap jangka

waktu satu bulan sehingga akan diketahui produksi dan produktivitas

kemiri untuk setiap pohonnya.

Data dan informasi lain yang dikumpulkan pada penelitian ini

diantaranya umur pohon, diameter batang dan tajuk, tinggi pohon, status

kepemilikan lahan dan pohon kemiri, pemanfaatan dan pemasarannya,

harga jual kemiri, analisa usaha tani serta pemanfaatan tempurung kemiri

oleh masyarakat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produksi Kemiri

Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Propinsi NTB dan

Dishutbun Kab. Lombok Timur, bahwa pohon kemiri di P. Lombok pada

saat ini banyak terdapat menyebar di lahan masyarakat dan tidak

mengelompok sehingga data produksi tidak tercatat dan potensinya mulai

berkurang. Di Kab. Lombok Timur daerah yang terkenal sebagai penghasil

kemiri adalah sekitar Kecamatan Aikmel, akan tetapi setelah survey

lapangan dan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa

potensi kemiri di daerah tersebut mengalami penurunan akibat banyaknya

pohon kemiri yang ditebang untuk dimanfaatkan kayunya. Kayu kemiri

disamping digunakan sebagai papan digesting (untuk pengecoran

bangunan) juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan omprongan

tembakau yaitu sebagai kayu bakar. Hal ini didukung dengan harga kayu

yang lebih mahal dibandingkan dengan harga buahnya. Pohon yang

berdiameter ± 85 cm harganya mencapai 3 juta rupiah, sedangkan buahnya

hanya dihargai Rp 15.000,-/sekali panen atau Rp 100,-/5 biji kemiri

bertempurung. Sedangkan produksinya dari setiap pohon tidak dapat

512| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

diketahui karena sistem penjualan diborongkan di pohon pada waktu

musim panen atau dipungut secara perorangan. Berdasarkan hal tersebut

untuk mengetahui produksi biji kemiri dari setiap pohon maka diambil

beberapa sampel pohon dengan dikelompokkan pada 3 kelas diameter

berbeda seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Sampel pohon kemiri untuk pengukuran produksinya

No.

No. Pohon

& Kelas

Diameter

Keliling

batang

(cm)

Diameter

batang

(Ø=cm)

Diameter

Tajuk (m)

T.tot

(m)

T.bc

(m) Keterangan

Aikperapa, Aikmel Utara, Lombok Timur

I Ø ≥ 60 cm

1 1 270 85.99 18.25 24 12 umur ± > 20 tahun

2 2 344 109.55 23.75 28 umur ± > 20 tahun

3 7 200 63.69 13.35 16 umur ± > 20 tahun

II 50 cm ≤ Ø ≤ 60 cm

4 3 168 53.50 12.35 23 10 umur ± 8 tahun

5 4 173 55.10 12.6 20.5 6.5 umur ± > 10 tahun

6 8 180 57.32 13.8 20 umur ± > 10 tahun

III Ø ≤ 50 cm

7 5 130 41.40 13.65 26.5 13 umur ± 7 tahun

8 6 154 49.04 12.85 24 9 umur ± 7 tahun

9 9 115 36.62 13 15 11 umur ± 7 tahun

Kalate, Riamau, Bima

I Ø > 50 cm umur > 20 tahun

10 1 176 56.05 15.85 14 5

11 2 171 54.46 15.1 20 5.8

12 9 105+110

33.44+

35.03 11.7 13.75 4.2 2 pohon

II 30 cm < Ø ≤ 50 cm

10 tahun < umur <

20 tahun

13 3 125 39.81 10.15 12 6

14 4 140 44.59 11.23 12.25 1.25

15 5 136 43.31 11.94 14.5 1

III Ø ≤ 30 cm umur 5 tahun

16 6 88 28.03 8.58 9.5 1

17 7 81 25.80 7.55 11 1.5

18 8 86 27.39 9.5 12 2.5

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 513

Berdasarkan Tabel 1. di atas diketahui bahwa pohon sampel

berumur lebih tua mempunyai diameter batang lebih besar dibanding pohon

kemiri berumur lebih muda. Lokasi sampel pohon kemiri di Kabupten

Lombok Timur (Lotim) berada di Dusun Aikperapa, Desa Aikmel Utara,

Kecamatan Aikmel (Gambar 1.). Pohon kemiri di P. Lombok selain

dimanfaatkan kayu dan inti bijinya, tempurung bijinya pun dimanfaatkan

sebagai bahan bakar untuk oven tembakau. Pasokan tempurung kemiri

selain dari P. Lombok sendiri juga didatangkan dari Kab. Sumbawa.

Berbeda dengan Kab. Lotim, produksi kemiri di Kab. Bima cukup

tercatat dengan baik seperti yang tertera di Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Data Produksi Kemiri di Kabupaten Bima

No. Tahun Jenis HHBK

Kemiri (Ton)

1. 2004 216.683

2. 2005 62.000

3. 2006 3.800

4. 2007 3.050

5. 2008 127.000

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Bima, 2009.

Berdasarkan Tabel 2., Kabupaten Bima merupakan salah satu

daerah penghasil biji kemiri yang potensial. Hal ini terlihat dari

produksinya pernah melimpah (tahun 2004), walaupun tahun berikutnya

mengalami fluktuasi. Lokasi penyebaran pohon kemiri di Kab. Bima selain

di Kec. Riamau terdapat di 3 kecamatan lainnya yaitu Parado, Wawo, dan

Donggo seperti dijelaskan pada Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3. Data lokasi Penyebaran dan Prakiraan Kemiri di Kabupaten Bima

Lokasi Penyebaran Prakiraan Potensi Keterangan

Desa Kec. Potensi Luas (Ha)

Parado Parado 3.000 Kg/Ha 1.850 Htn produksi

Kanca Parado 2.400 Kg/Ha 250 Htn produksi

Riamau Wawo 2.700 Kg/Ha 100 Htn Lindung

Bumi Bajo Donggo 2.560 Kg/Ha 100 Lahan milik

Palama Donggo 2.000 Kg/Ha 50 Lahan milik

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Bima, 2009. Catatan : Perkiraan produksi kemiri

40 – 60 Kg/pohon. Pohon produktif diperkirakan sebanyak 50 – 60/Ha

514| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pohon kemiri di yang berada di Kecamatan Parado berada dalam

kawasan hutan produksi (Kelompok Hutan Tofo Rompu). Kemiri yang

berlokasi di Desa Kanca merupakan hasil dari kegiatan penanaman yang

dilakukan HTI pada tahun 1993, selain kemiri jenis lain yang ditanam yaitu

jati, mahoni, dan sonokeling dengan jarak tanam 10 x 10 m, sedangkan

untuk tegakan kemiri yang berlokasi di Desa Parado merupakan kegiatan

reboisasi dari Dishut Kab. Bima sejak tahun 1968. Bibit kemiri yang

digunakan merupakan bibit lokal dengan jarak tanam 2 x 3 m, sehingga

setelah tinggi pohon banyak yang rubuh dan produksi biji berkurang. Dari

tegakan kemiri tersebut, masyarakat di beri ijin untuk memungut buah

kemiri dan menanam tanaman obat-obatan di bawah tegakan tersebut.

Sistem pemungutan di Desa Parado dilakukan per blok untuk tiap desa.

Dari luasan 1.850 Ha, ijin pemungutan diberikan pada 4 desa yaitu desa

Paradowane dan Rato (Kec. Parado), Kuta dan Lolotangga (Kec. Monta).

Sedangkan tegakan kemiri yang berada di Desa Kanca, ijin pemungutan

hanya untuk penduduk Desa Kanca. Pada lokasi yang berbeda yaitu di Kec.

Donggo tepatnya di Desa Bumi Pajo pohon kemiri yang ada di lokasi ini

merupakan kemiri yang ditanam pada lahan milik sejak tahun 1990. Hal ini

mengakibatkan lebih terukurnya hasil produksi kemiri pada suatu luasan

kawasan milik masing-masing petani. Lokasi pengamatan produksi kemiri

di Kabupaten Bima dilaksanakan di Dusun Kalate, Desa Riamau, Kec.

Wawo. Lokasi ini dipilih karena memiliki keberagaman umur dan diameter

pohon dibandingkan lokasi lainnya (Gambar 1.). Keamanan juga menjadi

faktor yang mendukung dipilihnya lokasi tersebut. Tegakan kemiri di

lokasi ini termasuk dalam kawasan hutan lindung kelompok hutan Gunung

Maria dan merupakan hasil kegiatan reboisasi pada tahun 1994.

Harga buah kemiri yang masih bertempurung di Kab. Bima rata-

rata antara Rp 1.600,- sampai Rp 2000,-/Kg, dengan musim panen raya dari

bulan Oktober – Desember. Sedangkan harga di pasar induk yang berada di

kota Bima buah kemiri yang telah dikupas mencapai Rp 12.500,- sampai

Rp 20.000,-/Kg dan harga buah kemiri belum dikupas/masih ada

tempurung Rp 15.000,-/Kg. Buah kemiri yang dijual di pasar tersebut

dipasok dari Donggo dan P. Sumba (NTT), hal ini diduga disebabkan oleh

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 515

produksi dan kualitas minyak berkurang atau lebih banyak dikirim ke P.

Lombok.

Gambar 1. Kiri: Kemiri di Dsn. Aikperapa (Kab. Lotim); Kanan: Kemiri di

Dsn. Kalate (Kab. Bima)

Data produksi kemiri yang berlokasi di Lombok Timur dimulai

pada bulan September sedangkan untuk di Bima dimulai bulan Oktober.

Berikut hasil pengukuran produksi kemiri dari sampel pohon yang dipilih.

Gambar 2. Grafik produksi kemiri pada 2 lokasi

Berdasarkan Tabel 1. dan Gambar 2. di atas, terlihat adanya

perbedaan pertumbuhan pohon kemiri yang juga berpengaruh pada

produksi buahnya, yaitu di Dusun Kalate (Bima) pertumbuhan pohon

0

2

4

6

8

10

12

I II III

Pro

du

ksi K

em

iri

(Kg/

Min

ggu

)

Kelompok Kelas Diameter Pohon

Aikperapa

Kalate

516| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dengan umur lebih dari 20 tahun baru mencapai diameter > 50 cm,

sedangkan di Dusun Aikperapa dengan umur lebih dari 20 tahun diameter

pohon telah mencapai lebih dari 60 cm. Hal ini diduga karena adanya

perbedaan lokasi serta kondisi lingkungan lokasi tersebut misalnya

perbedaan kondisi curah hujan, jenis tanah dan sebagainya.

Menurut informasi dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan

Informatika Kab. Bima (2008) Dusun Kalate termasuk dalam wilayah Kec.

Wawo dan Kab. Bima yang mempunyai curah hujan tahunan 58.75 mm,

curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari

hujan selama 15 hari dan musim kering terutama pada bulan Juli, Agustus

dan September dimana tidak terjadi hujan sehingga dapat disimpulkan

bahwa Kab. Bima termasuk dalam daerah kering sepanjang tahun. Jenis

tanah di Kab. Bima terdiri dari alluvial, komplit regosol, komplit litosol

dan komplit mediteran dimana semuanya menyebar rata di seluruh wilayah.

Kemiringan lahan di Kab. Bima sebagian besar berada pada kemiringan >

40% termasuk Kec. Wawo. Adapun Kab. Lotim memiliki curah hujan rata-

rata sebesar 1882 mm/tahun dengan jumlah hari hujan perbulan 15 hari.

Daerah yang basah pada musim penghujan adalah Kec. Aikmel, Suela,

Sembalun, Masbagik Pringgasela, Montong Gading sedangkan daerah

kering adalah Kec. Keruak dan Jerowaru dengan curah hujan rata-rata

1.080 mm/tahun. Jenis tanah terutama di Kec. Aikmel adalah grumosol dan

berada pada kelerengan lahan 2 – 15 % (BIKD, 2007).

Produktivitas kemiri di Aikperapa (Lotim) pada kelas diameter

kelompok I rata-rata menghasilkan sekitar 9.68 kg/minggu (38.7 kg/bulan),

kelompok II menghasilkan 5.64 kg/minggu (22.54 kg/bulan dengan bulan

Desember tidak terukur); dan kel. III menghasilkan 4.76 kg/minggu (19.05

kg dengan bulan Desember tidak terukur). Sehingga dalam 1 tahun

diperkirakan produksi buah kemiri di dusun Aikperapa dapat mencapai

sekitar 228.48 - 464.64 kg/pohon/tahun, sedangkan dalam 1 ha dari jumlah

pohon yang diukur dan dengan kondisi diameter seperti pada Tabel 1.

produksi buah kemiri dapat diprediksi mencapai 2408.8 kg/ha/bulan atau

28.91 ton/ha/tahun. Perhitungan tersebut menggunakan rumus (Rostiwati,

2008) di bawah ini (dengan syarat pohon berada dalam satu lokasi):

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 517

n

PB = [ ∑ Pbi (i = 1, 2, …. n)]/0.1

i=1

dimana : PB = Produksi buah/biji per Ha

Pbi = Produksi buah/biji pohon ke-i

Produksi kemiri di Bima diukur dari 2 minggu akhir Oktober –

Desember dengan hasil yaitu dari kelas diameter kelompok I rata-rata

sebanyak 4.01 kg/minggu dan bulan Desember tidak berbuah, kelompok II

= 2.89 kg/minggu dengan bulan Desember tidak berbuah; serta kelompok

III menghasilkan rata-rata 3.90 kg/minggu dengan bulan Oktober belum

berproduksi. Sehingga dalam 1 tahun diperkirakan produksi buah kemiri di

dusun Kalate dapat mencapai sekitar 138.72 – 192.48 kg/pohon/tahun,

sedangkan dalam 1 ha dari jumlah pohon yang diukur dan dengan kondisi

diameter seperti pada tabel 1. produksi buah kemiri dapat diprediksi dengan

menggunakan rumus yang sama seperti di atas bisa mencapai 323.2

kg/ha/bulan atau 3.88 ton/ha/tahun. Produktivitas buah kemiri di dusun

Kalate menurut informasi dari Bapak Syamsudin (ketua kelompok tani Toti

Mori) pada tahun 2009 ini relatif lebih rendah dari tahun sebelumnya, hal

ini karena kebiasaan pohon kemiri di lokasi tersebut yang berbuah relatif

naik turun misalnya pada tahun sebelumnya produksi melimpah maka pada

tahun selanjutnya lebih rendah. Sedangkan dilihat dari produksi tempurung

kemiri, di Lotim maupun di Bima pada bulan Nopember menghasilkan

tempurung rata-rata 2 kg dari berat 3 kg biji kemiri bertempurung (1 kg =

rata-rata 80 – 100 biji bertempurung).

Buah kemiri yang dihasilkan dari 200 pohon/ha dilaporkan

mencapai 16 ton/ha/tahun dengan 80 kg/pohon dan sekitar 20% dari hasil

tersebut dapat diekstrak menjadi minyak atau setara dengan 3.2 ton/ha

(Duke, 1983).

B. Analisa Usaha Kemiri

Manfaat kemiri antara lain buah/bijinya selain untuk bumbu dapur

juga minyaknya untuk bahan campuran pembuatan minyak rambut, sabun,

dan sebagainya. Kayunya untuk bahan kerajinan dan bahan bangunan, serta

518| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

tempurung kemirinya untuk arang dan pengganti kayu bakar. Berikut Tabel

4. merupakan hasil analisa usaha kemiri dan bambu yang masih relatif,

artinya di lokasi/tempat lain akan berbeda. Hasil analisa ini juga belum

termasuk analisa usaha minyak kemiri.

Tabel 4. Analisa Usaha Tempurung Kemiri

Uraian Kemiri Satuan Vol Harga

Satuan Jumlah

Asumsi

Lahan milik sendiri luas

minimal 1 Ha dan Lahan

relatif datar

Jarak tanam 8 x 8 m, sehingga

pohon

yang ditanam sebanyak 155

pohon dan untuk kebutuhan

sulaman sebanyak 25%, total

194 pohon

Waktu tanam bulan

Nopember (Lombok)

bulan Desember (Bima)

Mulai berbuah pada umur 4 -

5 tahun

Produksi buah mencapai 20

tahun

Biaya

Produksi Menggunakan biji

3,309,000

Menggunakan bibit jadi

3,988,000

perkiraan biaya produksi/hari

110,300

perkiraan biaya produksi/hari

tanpa

biaya pengupasan

97,383

1. a. Pembibitan dari biji

120,000

Biji (1 kg = 80 butir/biji) =

Rp 2.000,-/kg kg 3 2,000 6,000

Polybag ukuran 20 x 10 cm lembar 300 100 30,000

Paranet meter 2 7,000 14,000

Bambu batang 2 7,000 14,000

Gembor buah 1 35,000 35,000

Pupuk Kandang kg 30 700 21,000

1.b. Pembibitan dari bibit jadi

799,000

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 519

Uraian Kemiri Satuan Vol Harga

Satuan Jumlah

Bibit Kemiri tinggi 30 cm bibit 250 3,000 750,000

Bambu batang 2 7,000 14,000

Gembor buah 1 35,000 35,000

2. Penanaman

1,461,500

3. Pemeliharaan

240,000

4. Pemanenan

1,100,000

5. Pengupasan kg 775 500 387,500

Pendapat

an

Pohon umur 5 tahun

(5 kg/pohon/minggu x 155

pohon)

kg 775 2,000 1,550,000

Harga hasil produksi biji

kemiri/bulan 6,200,000

Pendapatan/hari

206,667

Harga tempurung

kemiri/minggu kg 516 1,000 516,000

Harga tempurung

kemiri/bulan 2,064,000

Pendapatan/hari

68,800

Harga biji kemiri

kupas/minggu kg 258 8,000 2,064,000

Harga biji kemiri kupas/bulan

8,256,000

Pendapatan/hari

275,200

Keuntun

gan

per hari

Dari biji kemiri bertempurung

206,667 - 97,383 109,283

Dari tempurung

kemiri+kemiri kupas

(68,800+275,200)-73,633

233,700

IV. KESIMPULAN

Potensi dan produktivitas kemiri di 2 lokasi menunujukkan rata-

rata produksi tertinggi dihasilkan oleh pohon dengan kelas diameter lebih

dari 50 cm dan umur lebih dari 20 tahun yaitu mencapai lebih dari 9

kg/minggu/pohon (di Lombok Timur) 4.01 kg/minggu/pohon (di Bima),

sedangkan produksi tempurung kemiri pada bulan Nopember di kedua

lokasi tersebut rata-rata mencapai 2 kg dari 3 kg biji kemiri utuh.

520| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

DAFTAR PUSTAKA

BIKD. 2007. Keadaan Geografis Kab. Lombok Timur.

http://www.lomboktimur.go.id/?pilih=hal&id=4

Darmawan, S., D. Maharani, dan N. Wahyuni. 2010. Papan Serat Arang

Tempurung Kemiri Beremisi Formaldehida Rendah. Laporan Hasil

Penelitian Program Insetif DIKTI Tahun 2009. Balai Penelitian

Kehutanan Mataram. Mataram.

Dinas Kehutanan Prov. NTB. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi

NTB Tahun 2006: 45-47. Mataram-NTB.

Dinas Kehutanan Kabupaten Bima. 2009. Data Produksi dan Perkiraan

Penyebaran Hasil Hutan Bukan Kayu di Kabupaten Bima. Bima-

NTB.

Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kab. Bima. 2008.

Karakteristik Wilayah Kab. Bima. http://www.bimakab.go.id/

index.php?pilih=hal&id=7. Diakses tanggal 21 Januari 2010.

Duke, J.A. 1983. Handbook of Energy Crops: Aleurites moluccana (L.)

Willd.unpublished.http://www.hort.purdue.edu/newcrop/

dukeenergy/ Aleurites_moluccana.html#References. Diakses

tanggal 11 Agustus 2009.

Elevitch, C.R., and H.I. Manner. 2006. Aleurites moluccana (kukui), ver.

2.1. In: Elevitch, C.R. (ed.). Species. Profiles for Pacific Island

Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Hōlualoa,

Hawai‘i. http://www.traditionaltree.org. Diakses tanggal 11

Agustus 2009.

Hendra, D., dan Saptadi Darmawan. 2007. Sifat Arang Aktif dari

Tempurung Kemiri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.25 No.4.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Hyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang

Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Rostiwati, T. 2009. Materi Pengajaran Pelatihan Metodologi Penelitian:

Manajemen Hasil Hutan Bukan Kayu. Tidak Dipublikasikan.

Wibowo. S. 2007. Pengusahaan Kemiri (Aleurites mollucana Wild.) di

Desa Kuala, Tiga Binangana, Tanah Karo. Info Sosio-Ekonomi

Vol. 2 Juni Tahun 2007. 71-77.

Rosman, R. dan E. Djauhariya. 2006. Status Teknologi Budidaya Kemiri.

http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/file/Perkembanga

n%20TRO/edsusvol18no2/1KEMIRI.pdf. Diakses tanggal 12

November 2014.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 521

APLIKASI FUNGISIDA TERHADAP KEBERHASILAN

PERKECAMBAHAN NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)

Tri Maria Hasnah1)

dan YMM Anita Nugraheni2)

1) Peneliti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

2) Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Email : triemaria@ yahoo.com; [email protected]

ABSTRAK

Keberhasilan dalam pembuatan bibit di persemaian salah satunya ditentukan

oleh keberhasilan dalam mengecambahkan benih. Permasalahan yang sering

dijumpai dalam mengecambahkan benih nyamplung adalah serangan jamur

pada satu atau dua minggu setelah benih ditabur atau sebelum biji

berkecambah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aplikasi fungisida

yang paling efektif digunakan selama proses perkecambahan benih nyamplung

guna meningkatkan daya kecambahnya. Rancangan yang digunakan adalah

Rancangan Acak Lengkap. Aplikasi fungisida yang dilakukan adalah: 1)

mencelupkan benih ke dalam larutan fungisida; 2) merendam benih dalam

larutan fungisida selama 1 jam; 3) merendam benih dalam larutan fungisida

selama 2 jam; 4) merendam benih dalam larutan fungisida selama 24 jam; 5)

menyiram larutan fungisida pada media sebelum benih ditabur,6) menyiram

larutan fungisida dan mencelupkan benih sebelum ditabur; 7) menyiram larutan

fungisida setiap 3 hari sekali setelah benih ditabur; dan 8) kontrol. Pengamatan

daya kecambah dilakukan setiap minggu (4 minggu) atau setelah 80% benih

yang berkecambah tercapai. Hasil penelitian menunjukan bahwa aplikasi

fungisida mempunyai pengaruh yang nyata terhadap daya kecambah benih

nyamplung di persemaian. Aplikasi fungisida yang paling efektif digunakan

adalah dengan merendam biji nyamplung dalam larutan fungisida selama 1

sampai dengan 24 jam dengan daya kecambah 97% dibandingkan dengan

kontrol, mencelupkan benih dalam larutan fungisida sebelum penaburan, dan

menyiram larutan fungisida pada media sebelum penaburan dengan daya

kecambah antara 77%-83%.

Kata Kunci: Calophyllum inophyllum L., aplikasi fungisida, daya kecambah

I. PENDAHULUAN

Nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai

potensi sebagai penghasil bahan bakar nabati. Tanaman ini dipilih sebagai

sumber energi biofuel karena bijinya mengandung rendemen minyak

522| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

tinggi, tidak berkompetisi dengan pangan dan memiliki multiguna

(Bustomi, 2008). Berdasarkan potensi yang dimilikinya, nyamplung

mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam pembangunan

hutan tanaman. Terlebih lagi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan

energi nasional yang diantaranya dengan menetapkan target produksi

biofuel pada tahun 2025 sebesar 5% dari total kebutuhan energi minyak

nasional (PP Nomor 5 Tahun 2006). Kebutuhan biodisel sebagai campuran

BBM terus ditingkatkan, pada Juli 2014 minimal 10% hingga pada Januari

2020 minimal 30% biodisel digunakan sebagai campuran BBM (Permen

ESDM Nomor 20 Tahun 2014 Jo Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Jo

Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013).

Dalam rangka kegiatan penanaman jenis tersebut diperlukan benih

yang bermutu tinggi dan memiliki daya kecambah dan vigor yang tinggi.

Benih merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang

terlaksananya program penanaman. Benih nyamplung termasuk jenis

rekalsitran. Menurut Desai (2004), biji rekalsitran memiliki kandungan air

yang lebih tinggi (50%-70%) dibandingkan benih orthodox (30%-50%).

Menurut Tao (2001) kandungan air pada biji yang melebihi 12-14% akan

mengundang jamur untuk menginfeksi, biji rekalsitrant biasanya disimpan

pada kandungan air lebih dari 14% untuk menjaga viabilitasnya. Oleh

karena itu bernih rekalsitran sangat rentan dengan serangan jamur (Berjak

et al., 2004 dalam Baskin & Baskin, 2014). Penaburan benih nyamplung

biasanya dilakukan setelah benih diektraksi dari buahnya. Menurut Baskin

& Baskin (2014) kondisi tersebut juga rentan terhadap serangan jamur

sehingga diperlukan aplikasi fungisida.

Kendala yang dihadapi dalam proses mengecambahkan benih

nyamplung diantaranya adalah adanya serangan hama dan penyakit pada

benih yang ditabur, terutama jamur. Jamur memerlukan kelembaban yang

tiggi untuk dapat berkembang biak. Biji dapat terserang jamur pada saat di

lapangan dan selama penyimpanan (Bawley et al., 2013). Jamur dapat

menginfeksi biji melalui hila, hidatoda, lentisel, mikrofil, stomata, dan luka

karena hujan, pasir, binatang, serangga, manusia dan mikroorganisme

lainnya dengan tekanan mekanis, aktivitas enzim atau dengan keduanya

secara langsung (Agarwal & Sinclair, 1997). Kondisi yang lembab akan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 523

mendukung pertumbuhan jamur (Desai, 2004). Jamur dapat menyebabkan

penurunan viabilitas benih perkecambahan pada biji menurun (Watanabe,

2010).

Untuk mengatasi kendala tersebut, dilakukan beberapa percobaan

mengenai aplikasi fungisida yang paling efektif diterapkan untuk benih

nyamplung. Penggunaan fungisida dianggap paling efektif dan efisisen

untuk menangani penyakit pada benih, fungisida dapat membentuk zona

proteksi disekitar benih, menghilangkan jamur patogen pada benih, dan

melindungi kecambah dari infeksi patogen pada tanah (Narayanasamy,

2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi fungisida yang

paling tepat digunakan untuk biji nyamplung di persemaianng dalam

rangka mendapatkan bibit yang berkualitas, ekonomis dan efisien.

II. METODE PENELITIAN

A. Bahan

Benih nyamplung yang digunakan berasal dari buah nyamplung

yang dipungut di bawah tegakan nyamplung di KHDTK Watusipat,

Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 2 Ha. Tegakan tersebut

ditanam pada tahun 1958 atau sudah berumur 56 tahun saat dilakukan

pengambilan buah.

B. Metode

Sampel benih diambil secara acak dan dipilih yang masih segar dan

berwarna cerah putih kekuningan sebagai indikator biji masih baik secara

fisik. Masing-masing kelas perlakuan sebanyak 30 butir. Aplikasi fungisida

(2 gr/liter air) yang dilakukan dalam penelitian yaitu:

a. Kontrol

b. Benih direndam dalam larutan fungisida selama 2 jam sebelum ditabur

c. Benih disiram dengan larutan fungisida 3 hari sekali setelah ditabur

d. Benih dicelup dalam larutan fungisida sebelum ditabur

e. Benih direndam selama 1 jam sebelum penaburan

f. Media disiram dengan larutan fungisida dan benih dicelup dalam

larutan fungisida sebelum ditabur

g. Media disiram dengan larutan fungisida sebelum benih ditabur

h. Biji direndam dalam larutan fungisida selama 24 jam sebelum ditabur

524| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Benih ditabur secara langsung (direct seeding) pada media top soil dan

kompos dengan perbandingan 1 :1 kemudian diberi sungkup dan diberi

naungan dengan intensitas cahaya 50%. Penyiraman dilakukan setiap 2 hari

sekali sebelum benih berkecambah dan dilakukan setiap hari setelah 80%

benih berkecambah.

Pengamatan perkecambahan benih dan bibit di persemaian

Pengamatan perkecambahan benih dilakukan setiap minggu (4 minggu),

kecambah dihitung setelah munculnya plumulae (calon batang).

Pengamatan perkecambahan benih dilakukan dengan mencatat jumlah

kecambah normal yang tumbuh setiap minggunya.Nilai daya kecambah

merupakan nilai rata-rata dari persen kecambah normal yang terdapat pada

setiap ulangan. Daya kecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rancangan percobaan

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap (CRD) dengan 8 perlakuan aplikasi fungisida dan 30 ulangan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa

benih nyamplung yang digunakan masih dalam kondisi baik, daya

kecambah rata-rata di atas 75%. Benih nyamplung mulai berkecambah

pada minggu kedua setelah penaburan dan 80% perkecambahan rata-rata

telah tercapai pada minggu ketiga setelah benih ditabur (Tabel 1), sama

dengan penelitian Hasnah (2013).

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 diketahui bahwa

penggunaan fungisida berpengaruh nyata terhadap perkecambahan benih

nyamplung di persemaian. Benih tanpa perlakuan fungisida memiliki daya

kecambah paling rendah diantara perlakuan dengan fungisida. Penggunaan

fungisida dengan diaplikasikan melalui penyiraman setiap 3 hari sekali

menghasilkan persen kecambah tertinggi dari minggu kedua hingga

minggu keempat setelah penaburan. Perendaman benih nyamplung selama

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 525

2 jam dan 24 jam juga masih menghasilkan persen perkecambahan yang

tinggi (97%), namun demikian benih nyamplung yang direndam pada

larutan fungisida selama 24 jam berkecambah lebih lambat (minggu ke-3).

Fungisida merupakan satu-satunya metode yang paling efektif untuk

mengatasi serangan jamur pada tanaman (Agarwal, 2009). Konsentrasi

fungisida dapat mempengaruhi perkecambahan, pada konsentrasi rendah

fungisida tidak mempengaruhi perkecambahan namun pada konsentrasi

tinggi fungisida dapat menghambat perkecambahan (Agarwal, 2009). Oleh

karena perkecambahan benih nyamplung pada aplikasi perendaman

fungisida selama 24 jam menjadi terhambat karena benih mengabsorbsi

fungisida lebih lama.

Berdasarkan data pada Tabel 1 benih nyamplung yang terserang

jamur (Gambar 1) paling banyak dijumpai pada minggu pertama setelah

penaburan sehingga penggunaan fungisida akan efektif bila diaplikasikan

lebih intensif pada minggu pertama setelah penaburan. Jamur paling

banyak menyerang pada benih yang hanya dicelup pada larutan fungisida

sebelum ditabur. Hal ini menandakan bahwa jamur yang dapat menginfeksi

benih setelah ditabur dapat berasal dari tanah dan juga dari bawaan benih

tersebut. Oleh karena itu sebaiknya fungisida juga diaplikasikan pada

media sebelum dilakukan penaburan benih. Menurut Fraedrich & Cram

(2012) beberapa jamur patogen yang terdapat pada biji dapat menyebabkan

penyakit pada biji tetapi sedikit dan bahkan tidak berpengaruh pada tahap

perkembangan tanaman selanjutnya, patogen ini menginfeksi jaringan di

dalam biji merusak embryo dan endosperm. Selanjutnya diterangkan bahwa

ada juga beberapa jamur patogen pada biji yang masih sedikit berpengaruh

sampai setelah benih berkecambah yaitu yang menyebabkan damping-off,

root-rot, dan seedling blight pada semai.

Pada Tabel 1 diketahui bahwa pada minggu ke-4 beberapa benih

belum berkecambah. Biji yang belum berkecambah tidak hanya disebabkan

oleh jamur. Biji yang tidak berkecambah pada akhir pengamatan dapat

disebabkan karena berbagai hal. Menurut Bedell (1998) daya kecambah

ditentukan oleh tingkat kemasakan buah dan benih serta penanganan benih

pasca panen. Benih pada Hardwickia bianata yang diperoleh pada peak

season menghasilkan perkecambahan 99% sedangkan biji yang diperoleh

526| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

di awal dan akhir periode pembuahan menghasilkan daya kecambah 50%

dan 60%, fenomena yang sama juga terjadi pada Albizzia lebbeck. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa biji masak pohon pada Azadirachta indica

menghasilkan daya kecambah 83% sedangkan biji semi masak di pohon

kemudian di peram di laboratorium hanya menghasilkan daya kecambah

47%. Penangan benih pasca panen jika tidak dilakukan dengan baik akan

menurunkan kualitas benih. Benih nyamplung yang tidak berkecambah

dalam penelitian ini dapat disebabkan karena benih tidak masak secara

fisiologis. Hal ini karena benih-benih yang ditabur hanya dilihat secara

fisik yang mutunya masih baik.

Gambar 1. Biji nyamplung yang terserang jamur

Tabel 1. Daya kecambah, persentase biji terserang jamur, dan persentase

biji yang tidak berkecambah pada benih nyamplung umur 1

sampai dengan 4 minggu

A B C D E F G H

Daya kecambah

Minggu ke-1

Minggu ke-2 7 3 23 7 10 20 17 0

Minggu ke-3 63 83 97 60 90 93 80 87

Minggu ke-4 80 97 100 77 93 93 83 97

Persentase biji terserang jamur

Minggu ke-1 3 10 3

Mnggu ke-2 7 3 7

Persentase biji tidak berkecambah

Minggu ke-4 10 3 7 3 7 3

Keterangan:A: kontrol; B: benih direndam dalam larutan fungisida selama 2

jam sebelum ditabur; C: benih disiram dengan larutan fungisida 3

hari sekali setelah ditabur; D: benih dicelup dalam larutan fungisida

sebelum ditabur; E: benih direndam selama 1 jam sebelum

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 527

penaburan; F: media disiram dengan larutan fungisida dan benih

dicelup dalam larutan fungisida sebelum ditabur; G: media disiram

dengan larutan fungisida sebelum benih ditabur; H: biji direndam

dalam larutan fungisida selama 24 jam sebelum ditabur

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

1. Penggunaan fungisida berpengaruh terhadap daya kecambah biji

nyamplung di persemaian.

2. Aplikasi fungisisda dapat meningkatkan daya kecambah benih

nyamplung di persemaian.

3. Aplikasi fungisida yang paling efektif dan efisien untuk diaplikasikan

pada benih nyamplung adalah dengan merendam benih dalam larutan

fungisida selama 1- 2 jam sebelum benih ditabur.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal. S. K. 2009.Pesticide Pollution. Balaji Offset. New Delhi.

Agarwal, V. K., & Sincalir, J.B. 1997. Principles of Seed Pathology 2nd

Edition.CRC Press Inc. Florida.

Bawley, J.D., Bradford, K.J., Hilhorst, H.W.M., Nonogaki, H. Seeds

Physiology of Development, germination, and Dormancy 3rd

Edition. Springer. London.

Baskin, C.C.& Baskin, J.M. 2014. Seeds Ecology Biogeography and

Evolution of Dormancy and Germination 2nd

Edition. Academic

Press. USA.

Bedell. P. E. 1998. Seeds Science and Technology Indian Forestry Species.

Allied Publishers Ltd. New Delhi

Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I.

Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin,

Mahfudz, E. Rahman. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum

L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Jakarta: Pusat

Informasi Kehutanan.

528| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Desai, B.B. 2004. Seeds Handbook Biology Production Processing and

Storage 2nd

Edition Revised and Expanded. Marcell Dekker Inc.

USA

Fraedrich S.W., Cram M.M. 2012. Seed fungi. In Cram M.M., Frank M.S.,

Mallams K.M., tech.coords. Forest Nursery Pests. Washington

(DC): USDA Forest Service.

Faloon, R.E. 1980. Seedling emergence responses in ryegrasses (Lolium

spp.) to fungicide seed treatment. In Baker (Ed.). New Zealand

Journal of Agricultural Reasearch 23: 385-91

Agriculture Handbook 680: 132-134.Hasnah, T.M. 2013. Pengaruh Ukuran

Benih terhadap Pertumbuhan Bibit Nyamplung (Calophyllum

inophyllum L. ). Wana Benih Vol.14 No.2, September 2013.

BBPBPTH. Yogyakarta.

Narayanasamy, P. 2006. Postharvest Pathogens and Disease

Management.John Wiley & Sons Inc. USA.

PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas

Permen ESDm Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan,

Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel)

Sebagai Bahan Bakar Lain.

Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan,

dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan

Bakar Lain.

Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Permen

ESDm Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan,

dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan

Bakar Lain.

Tao, K.L. 2001. Seed conservation. In Saad & Rao (Eds). Establishment

and Management of Field Genebank: A Training Manual IPGRI-

APO, Serdang. IPGRI. Malaysia.

Watanabe,T. 2010. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi : Morphologies

of Cultured Fungi and Key to Species 3rd

Edition. CRC Press

Taylor and Francis Group. USA.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 529

AWAL PERTUMBUHAN TANAMAN JENIS HHBK

PENGHASIL BUAH

(Studi Kasus : KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat)

Krisnawati1,*

,Ogi Setiawan1*

1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPT HHBK)

Jl. Dharma Bhakti No. 7, Desa. Langko, Lingsar-Lombok Barat -NTB *Email : [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) jenis penghasil buah merupakan jenis

potensial yang dapat dikembangkan di hutan lindung Kesatuan Pengelolaan

Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat. Berdasarkan hal tersebut telah

dilakukan ujicoba penanaman beberapa jenis HHBK penghasil buah di hutan

lindung KPHL Rinjani Barat. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat

kesesuaian jenis tanaman dengan lahan, maka dimensi pertumbuhan tanaman

dapat dijadikan sebagai salah satu indikator. Tujuan penelitian ini adalah untuk

memperoleh informasi awal pertumbuhan tanaman jenis penghasil buah yang

meliputi tinggi dan diamenter tanaman dalam setahun. Penanaman dilakukan

pada bulan Desember 2012, dan pengamatan pertumbuhan sampai dengan Juni

2014. Data hasil pengamatan pertumbuhan yang diperoleh ditabulasi dan

dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan rata

– rata tinggi pertumbuhan tanaman selama satu tahun untuk alpukat 67.86 cm,

ceruring 32.52 cm, mangga 67.56 cm, sawo 30.76 cm, durian 40.96 cm, kemiri

88.17 cm, kluih 56.70 cm dan manggis 42.65 cm . Sedangkan untuk rata – rata

diameter pertumbuhan tanaman selama satu tahun untuk alpukat 8.20 mm,

ceruring 3.63 mm, mangga 7.40 mm, sawo 3.12 mm, durian 15.45 mm, kemiri

16.81 mm, kluih 14.34 mm dan manggis 8.01 mm. Tanaman yang potensial

untuk dapat lebih dikembangkan berdasarkan rata – rata pertumbuhan tinggi

dan diameter adalah kemiri, alpukat, mangga dan kluih. Sedangkan untuk

tanaman ceruring, sawo, durian dan manggis belum cukup bagus

pertumbuhannya sehingga diperlukan upaya pemeliharaan yang lebih intensif

dan pemupukan. Informasi awal pertumbuhan tanaman dapat sebagai acuan

untuk pengelolaan dan strategi KPHL ke depan khususnya tanaman HHBK

jenis penghasil buah dalam kerangka rehabilitasi.

Kata kunci : HHBK, jenis penghasil buah, dimensi pertumbuhan, kesesuaian

lahan, rehabilitasi

530| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

Hutan lindung merupakan salah satu kawasan yang mempunyai

nilai strategis untuk kelestarian ekosistem. Hal ini diperkuat secara hukum

yang tercantum pada Undang Undang No.41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, yang menyatakan bahwa hutan lindung merupakan sistem

penyangga kehidupan yang berfungsi mencegah erosi, banjir, intrusi air

laun dan memelihara kesuburan tanah. Namun demikian pada saat ini

kondisi hutan lindung pada umumnya sudah terdegradasi dan perlu upaya

rehabilitasi.

Fenomena ini juga terjadi di kawasan hutan lindung Kesatuan

Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat. (Setiawan dan

Krisnawati 2012). KPHL Rinjani Barat ditetapkan berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor : SK. 337/Menhut-VII/2009 dan Nomor : SK.

785/Menhut-II/2009 dengan wilayah kerja seluas 40.963 ha, yang terdiri

dari Hutan Lindung 28.911 ha, Hutan Produksi Terbatas 6.997 ha dan

Hutan Produksi Tetap 5.075 ha (Kementerian Kehutanan, 2012). Menurut

hasil inventarisasi hutan, kualitas kondisi penutupan lahan di KPH Rinjani

Barat sebagian besar (± 60%) berupa kawasan hutan kurang produktif

meliputi; lahan kosong ± 6.147 Ha (15%), alang-alang dan semak belukar ±

8.197 Ha (20%), serta hutan rawang ± 10.246 Ha (25%). Sedangkan

kawasan hutan yang cukup produktif dengan kerapatan sedang-rapat ±

16.393 Ha (40%).(KPH Rinjani Barat, 2011).

Upaya rehabilitasi hutan lindung dengan berbasis Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK) merupakan pilihan yang logis karena pemanfaatan

hasil hutan berupa kayu tidak diperkenankan di kawasan ini. Di hutan

beriklim tropis, secara umum HHBK dapat dikelompokkan menjadi : buah-

buahan dan biji-bijian, bagian vegetatif seperti daun, batang atau akar, dan

penghasil resin atau minyak atsiri (Peters, 1990: Grundy dan Cambell,

1993; Cunningham, 1996; Ayuk, et.al., 1999; Dovie, et.al., 2002). HHBK

jenis penghasil buah-buahan merupakan jenis yang direkomendasikan

untuk dikembangkan dalam kerangka rehabilitasi hutan lindung di KPHL

Rinjani Barat. Selain itu, sebagai alternatif dapat juga dikembangkan jenis

penghasil HHBK lainnya, seperti penghasil minyak atsiri seperti kayu

putih, penghasil getah seperti karet, dan sumber BBN seperti kemiri sunan,

nyamplung dan kepuh. (Setiawan dan Krisnawati, 2012).

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 531

Sebagai bentuk eksperimentasi dari rekomendasi penelitian

sebelumnya, di KPHL Rinjani Barat telah dilakukan ujicoba penanaman

beberapa jenis HHBK penghasil buah. Untuk mengetahui sejauhmana

tingkat kesesuaian dari jenis yang dicobakan, makan diperlukan informasi

pertumbuhan. Indikator pertumbuhan yang dapat dijadikan dasar adalah

pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman (Putri, Widyani & Bramastyo,

2011). Informasi ini juga dapat dijadikan acuan bahwa jenis HHBK

penghasil buah cocok untuk dikembangkan di KPHL Rinjani Barat. Oleh

sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui awal pertumbuhan

jenis tanaman HHBK penghasil buah yang dicobakan di KPHL Rinjani

Barat.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai

dengan Juni 2014. Desember 2012 adalah tahun tanam tanaman sedangkan

mulai tahun 2013 sampai dengan 2014 adalah tahun pengamatan

pertumbuhan tanaman. Lokasi terpilih yaitu di Lombok Barat yang berada

di Dusun Longserang Barat Utara (Desa Langko) sedangkan untuk wilayah

Kabupaten Lombok Utara, lokasi yang terpilih adalah Dusun Lendang luar

(Desa Malaka). Pada Gambar 1, disajikan peta administrasi hutan lindung

di KPHL Rinjani Barat.

Gambar 1. Peta administrasi batas kabupaten di hutan lindung

KPH Rinjani Barat

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

# #

#

##

#

#

#

#

#

# #

##

#

#

#

#

##

##

#

#

#

#

#

##

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

##

##

#

#

#

#

##

#

#

#

#

# #

#

##

##

#

#

#

##

#

##

#

##

#

# #

#

#

##

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

##

## #

##

#

#

##

#

##

#

#

#

#

#

##

##

#

#

#

##

#

##

#

#

##

##

#

##

#

#

#

#

#

##

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

# ###

#

##

#

#

#

#

##

#

# ##

#

#

#

#

#

#

##

#

#

##

#

# #

#

##

##

#

#

# #

#

# #

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

##

##

#

#

#

#

#

#

#

## #

#

##

##

#

#

#

##

#

#

##

# #

#

#

#

##

#

# #

#

# # #

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

372 6

Tato

Po po

Lia s

Ka pu

Se la t

Ku mb i

Gibih

Birak

An ca k

Cam ek

Dud uk

Ke lu i

Nip ah

Leo ng

More s

Se sia

So lo h

Kipu t

Len ek

Cup ek

Pe se ng

Ke ro ak

Pe diti

Ke ke ri

Sa ndik

Se ma ya

Loloa n

Ba ngle

Ka ko ng

Pe njor

Ga ng ga

Se nara

Am pe nan

Go nd ang

MATAR AM

Be nte ng

Lin gsar

Rem biga

Sintu ng

Mon tan g

Ba tukoq

Taera er

Pe sisok

Ka pitan

Go njon g

Ke ke ran

Man gsit

Se tan gi

Malimb u

Men tigi

Teba ngo

Ran gsot

Ren dan g

Mon gga s

Ja ngka r

Se le los

Mon gga l

Ke ru kak

Ba ngke t

Praw ira

Ke ncon g

Ka ya nga n

Tete batu

Aiqb ukaq

Ren gga lo

Go nto ran

Go nto ran

Ba tua sa k

Dasan pa l

Melau tan

Se rijata

Pa le mp at

Se ngg ig i

Se ngg ig i

Pa nda nan

Se ru ng ga

Po re mp ek

Se le bun g

Murkom ah

Muh ajirin

Dum an desa

Men in ting

Ba tulayar

Ea tpu ntik

Ke don don g

Ba tup enyu

Gu bu gba ru

Dasan ba ru

Lelon gker

Gu bu gba ruDasan erot

Melaksrea

Po le ndo ng

Ge ge klico

Broklelet

Dasan ba ro

Ba tulil irBa turakit

Dasan tiko

Be limb in gKa lipuca k

Ja mb ia nom

Ge takg aliBa tua mp ar

G. PUNIKAN

G. RINJAN I

SELAPAR AN G

Dasan ag ung

Sige ro ng an

Po ndo kbua kDayen peken

Tre ng galuh

Lan gkoe ma s

Sa mb ikba ru

Lokokku ang

Dasan tap en

Ba tusan tekLokoklitak

Teresge nit

Pe nyang ka r

Oro ngd uren

Ba tub olong

Telo kboro k

Oro ngg rom o

Ka yu sa ngka

Se se la De sa

Mon ton gda ye

Sa ja ng Lau q

Om an seng oa r

Ke ra nd ang an

Len dan gluar

Ka ra ng paso r

Ba ngsa lba ro

Pa ncorge tar

Ka ra ng bed il

Len dan gba ju r

Side me n Da ye

Ju rang ma la ng

Leb ahse mb aga

Tela ga waren g

Po ndo kinjun g

So ro ng ju ku ng

Ba wakna o L auq

Ba wakna o D aya

Pa nda nan Da ya

Lekon gting ga ng

Dasan kebo nda ye

Dasan lian g D aya

Gu bu kjero Timu k

Pe nimb ung Barat

Ba tulayar U tara

Ba tulayar Selatan

KABUPATEN LOMBOK UTARA

KABUPATEN LOMBOK BARAT

PETA BATAS ADMINISTRASIDI KAWASAN HUTAN LINDUNG

KPHL RINJANI BARATU

Skala : 1 : 200.000

Batas W ilayah KPHL Rinjani Barat

KETERANGAN :

Jalan

- Peta W ilayah K PHL Rinjani Barat

- Peta Adm iniatrasi NTB

- Peta Rupa Bum i Indonesia

SUMBER PETA :

PETA S ITUASI

Batas Kabupaten

8°30' 8°30'

8°20' 8°20'

116°10'

116°10'

116°20'

116°20'

532| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Penelitian dimulai dengan penanaman HHBK jenis penghasil

buah di kedua lokasi penelitian. Untuk di Desa Lendang Luar jenis

penghasil buah yang ditanam yaitu alpukat (Persea americana), ceruring

(Lansium sp), mangga (Mangifera indica) dan sawo (Achraszapota sp).

Sedangkan di Desa Longserang Barat Utara jenis penghasil buah yang

ditanam yaitu durian (Durio zibethinus), kemiri (Aleuritas moluccana),

kluih (Artocarpus altilis) dan manggis (Garcinia mangostana). Setiap 4

bulan sekali dilakukan evaluasi pertumbuhan tanaman. Variabel yang

diukur pada evaluasi pertumbuhan adalah tinggi dan diameter batang.

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan meteran dari

mulai permukaan tanah sampai pucuk tanaman. Sedangkan diameter

tanaman diukur menggunakan jangka sorong pada batang tanaman yang

berada kurang lebih 2 cm di atas permukaan tanah. Hasil pengukuran

dicatat pada blanko pengukuran. Data yang diperoleh selanjutnya

dianalisis. Tahap analisis yaitu tabulasi data, klasifikasi, perhitungan

variable penelitian dan deskripsi secara kualitatif dan kuantitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman menurut Vanclay (1994) adalah

pertambahan dimensi pohon atau tegakan hutan selama periode waktu

tertentu. Sehingga dapat dikatakan lebih lanjut bahwa besaran pertumbuhan

tanaman dapat diketahui dari parameter - parameter tinggi, diameter atau

volume. Tabel 1. merupakan hasil pengukuran dimensi pertumbuhan

tanaman berupa rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter HHBK jenis

penghasil buah yang diujicoba di Lendang luar Kabupaten Lombok Utara.

Tabel 1. Rata – rata tinggi dan diameter pertumbuhan tanaman di Lendang

luar

No Jenis

Tanaman

Umur

Tinggi (cm) Diameter (mm)

0-4 bulan 4-8 bulan 8-12 bulan 0-4 bulan 4-8 bulan 8-12 bulan

1 Alpukat 29.63 18.44 19.79 2.68 3.06 2.45

2 Ceruring 7.9 9.73 14.89 1.20 0.32 2.11

3 Mangga 16.98 21.79 28.79 2.05 1.69 3.65

4 Sawo 14.81 9.19 6.76 1.55 1.03 0.54

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 533

Dapat diketahui dari tabel 1 bahwa dari keempat jenis HHBK

penghasil buah yang diujicobakan di Lendang luar untuk jenis alpukat dan

mangga mempunyai pertumbuhan baik diameter maupun tinggi yang lebih

besar dari jenis ceruring dan sawo. Hal ini diduga ceruring dan sawo yang

ditanam di lokasi penelitian lebih memerlukan penyesuaian diri

(aklimatisasi) untuk kemudian tumbuh pesat dibandingkan jenis tanaman

alpukat dan mangga. Secara umum pertumbuhan semua jenis yang

dicobakan mempunyai nilai yang tinggi pada periode 0-4 bulan. Hal

tersebut diduga disebabkan pada periode tersebut bibit yang ditanam pada

waktu masih awal masih memanfaatkan nutrisi yang ada di media lamanya

(Rusdiana, Fakuara, Kusmana & Hidayat, 2000) serta pada periode

tersebut merupakan musim hujan dimana air yang diperlukan untuk

pertumbuhan dan melarutkan unsur hara cukup tersedia. Jadi dalam satu

tahun untuk rata – rata pertumbuhan tinggi keempat jenis tanaman HHBK

penghasil buah alpukat 67.86 cm, ceruring 32.52 cm, mangga 67.56 cm,

sawo 30.76 cm. Sedangkan untuk rata – rata pertumbuhan diameternya

adalah alpukat 8.20 mm, ceruring 3.63 mm, mangga 7.40 mm, sawo 3.12

mm. Gambar mengenai rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter

tanaman dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Grafik rata – rata pertumbuhan tanaman di Lendang luar

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

0-4

bu

lan

4-8

bu

lan

8-1

2b

ula

n

Umur

Nila

i

Rata - rata tinggi pertumbuhan tanaman di Lendang Luar (cm)

Alpukat

Ceruring

Mangga

Sawo

534| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 2. Rata – rata pertumbuhan diameter tanaman

di Lendang luar

Lokasi penelitian yang kedua berada di Longserang Barat Utara

Kabupaten Lombok Barat. Tabel 2 merupakan hasil pengukuran dimensi

pertumbuhan tanaman berupa rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter

HHBK jenis penghasil buah yang di ujicoba di Longserang Barat Utara

Kabupaten Lombok Barat.

Tabel. 2. Rata – rata tinggi dan diameter pertumbuhan tanaman di

Longserang Barat Utara

No Jenis

Tanaman

Umur

tinggi (cm) diameter (mm)

0-4

bulan

4-8

bulan

8-12

bulan

0-4

bulan

4-8

bulan

8-12

bulan

1 Durian 13.67 12.25 15.04 12.11 1.76 1.57

2 Kemiri 23.00 23.05 42.12 8.32 4.46 4.03

3 Kluih 20.63 16.49 19.59 7.59 3.52 3.23

4 Manggis 21.22 10.08 11.35 5.78 1.15 1.09

Tabel 2 memperlihatkan dari keempat jenis HHBK penghasil

buah yang diujicoba di Longserang Barat Utara dari umur 0 - 4 bulan

sampai dengan 1 tahun jenis kemiri mempunyai pertumbuhan tertinggi dari

jenis lainnya yaitu mencapai 88.17 cm untuk tinggi dan 16.81 mm untuk

diameter sampai dengan umur satu tahun. Menurut Elevitch dan Manner

(2006), kemiri dapat tumbuh dengan cepat dan mudah pada tempat terbuka

yang sudah terganggu atau di tepi-tepi hutan. Pohon kemiri cukup toleran

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

0-4 bulan 4-8bulan 8-12bulan

Umur

Nila

i

Rata - rata diameter pertumbuhan tanaman di Lendang luar (cm)

Alpukat

Ceruring

Mangga

Sawo

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 535

terhadap kekeringan dan bahkan dapat tumbuh baik pada tanah yang

kurang subur jika ditanam dengan baik pada kelembapan tanah yang cukup.

Kemiri mampu berkembang di lingkungan yang lembab, menyukai cahaya

dan tumbuh sebagai pohon pionir di tempat terbuka apabila curah hujannya

sesuai. Jenis ini juga dapat tumbuh di bawah naungan sampai dengan

tingkat penutupan 25% sama seperti kondisi di Longserang Barat Utara.

Sehingga kemiri lebih pesat pertumbuhan rata – rata tinggi dan

diameternya dibandingkan ketiga jenis lainnya. Penelitian Krisnawati,

Kallio & Kanninen, 2008 mengenai kemiri yang dilaksanakan di

Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) yang berumur sampai dengan

5 tahun mempunyai diameter berkisar antara 3,2 cm dan 21,9 cm dan tinggi

pohon total berkisar antara 2,9 dan 12,5 m. Hal tersebut dapat menjadi

indikasi bahwa kemiri yang berada di Longserang Barat Utara masih dalam

pertumbuhan yang bagus.

Jenis lainnya yang mempunyai pertumbuhan cukup bagus adalah

jenis kluih. Jeinis ini mempunyai pertumbuhan tinggi terbaik kedua setelah

kemiri. Di sisi lain, hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa pada

periode pertumbuhan 0 – 4 bulan merupakan periode dengan tingkat

pertumbuhan yang lebih tinggi dari periode lainnya. Peranan musim hujan

dan ketersediaan unsur hara yang diberikan pada saat penanaman masih

memberikan pengaruh yang positif. Jadi dalam satu tahun untuk rata – rata

pertumbuhan tinggi keempat jenis tanaman HHBK penghasil buah adalah

durian 40.96 cm, kemiri 88.17 cm, kluih 56.70 cm dan manggis 42.65 cm.

Sedangkan untuk rata – rata pertumbuhan diameternya adalah durian 15.45

mm, kemiri 16.81 mm, kluih 14.34 mm dan manggis 8.01 mm.

Gambar mengenai rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter

tanaman dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

536| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Grafik rata – rata tinggi pertumbuhan

tanaman di Longserang Barat Utara

Gambar 4. Grafik rata – rata diameter pertumbuhan

tanaman di Longserang Barat Utara

Kondisi lingkungan penanaman serta perlakuan pemeliharaan yang

diberikan untuk semua jenis tanaman HHBK penghasil buah yang diujikan

adalah sama atau seragam, namun respon yang ditunjukkan dari setiap jenis

tanaman tersebut cukup berbeda, yang dapat dilihat dari bervariasinya

pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan kemampuan adaptasi pada suatu

lingkungan untuk setiap jenis tanaman tidak sama. Pertumbuhan setiap

jenis tanaman banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor

lingkungan dan faktor genetik individu tersebut. Faktor lingkungan yang

termasuk adalah intensitas cahaya. Kondisi di Lendang luar lebih terbuka

daripada di Longserang Barat Utara sehingga intensitas cahaya yang penuh

menyebabkan penyerapan cahaya bagi tanaman cukup efektif untuk

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

0-4 bulan 4-8bulan 8-12bulan

Umur

Durian

Kemiri

Kluih

Manggis

Rata - rata pertumbuhan tinggi

tanaman di Longserang

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00

10.00 12.00 14.00 16.00

0-4 bulan 4-8bulan 8-12bulan

Umur

Durian

Kemiri

Kluih

Manggis

Dia

mat

er

Rata - rata diameter pertumbuhan

tanaman di Longserang

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 537

memacu pertumbuhan tinggi. Namun demikian, tiap-tiap jenis tanaman

HHBK penghasil buah yang di ujicoba mempunyai variasi pertumbuhan

yang berbeda, karena masing-masing jenis mempunyai persyaratan tumbuh

tertentu.

Marjenah (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan diameter batang

lebih cepat pada tempat terbuka dari pada tempat ternaung sehingga

tanaman yang ditanam pada tempat terbuka cenderung pendek dan kekar.

Millang, Budirman & Anita, 2011 menyatakan bahwa terhambatnya

petumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta

spektrum matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses

pembentukan sel meristem ke arah diameter batang, terutama pada

intensitas cahaya yang rendah. Tinggi pohon merupakan salah satu faktor

penting sebagai indikator keberhasilan penanaman khususnya tanaman

hutan. Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik, menurut Effendi (2012)

dalam Sukotjo dan Naiem (2006) mengemukakan tiga pilar utama yaitu

pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu

untuk dirterapkan pada kegiatan penanaman dalam rangka silvikultur

intensif.

Manipulasi lingkungan berupa pemanfaatan pupuk organik yang

diterpkan pada penelitian ini belum optimal dalam mendukung

pertumbuhan tanaman. Kondisi lahan di kedua lokasi tersebut mempunyai

kandungan unsur hara yang relatif kecil. Oleh sebab itu diperlukan upaya

penambahan unsur hara setelah penanaman melalui pemupukan, khususnya

penambahan unsur hara makro N, P dan K. Menurut Hardjowigeno (1987)

unsur hara N, P, K sangat dibutuhkan oleh tanaman karena unsur hara

tersebut berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman, dan

mempermudah proses fisiologi tanaman. Selain itu upaya pemeliharaan

khususnya pada musim hujan perlu ditingkatkan, karena pada musim ini

gulma dan tanaman pengganggu lainnya.

IV. KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan rata – rata tinggi pertumbuhan tanaman

selama setahun untuk alpukat 67.86 cm, ceruring 32.52 cm, mangga

67.56 cm, sawo 30.76 cm, durian 40.96 cm, kemiri 88.17 cm, kluih

538| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

56.70 cm dan manggis 42.65 cm . Sedangkan untuk rata – rata diameter

pertumbuhan tanaman selama setahun untuk alpukat 8.20 mm, ceruring

3.63 mm, mangga 7.40 mm, sawo 3.12 mm, durian 15.45 mm, kemiri

16.81 mm, kluih 14.34 mm dan manggis 8.01 mm.

2. Tanaman yang potensial untuk dapat lebih dikembangkan berdasarkan

rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter adalah kemiri, alpukat,

mangga dan kluih. Sedangkan untuk tanaman ceruring, sawo, durian

dan manggis belum cukup bagus pertumbuhannya sehingga diperlukan

upaya pemeliharaan yang lebih intensif serta pemberian pupuk NPK.

3. Informasi awal pertumbuhan tanaman dapat sebagai acuan untuk

pengelolaan dan strategi KPHL ke depan khususnya tanaman HHBK

jenis penghasil buah dalam kerangka rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, R. (2012). Kajian Keberhasilan Pertumbuhan Tanaman Nyawai

(Ficus variegate Blume) Di KHDTK Cikampek, Jawa Barat.

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Volume 9 No 2. 95 – 104.

Pusat Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Hardjowigeno, S. (1987). Ilmu Tanah. Medyatma Sarana Prakarsa. Jakarta.

Kementerian Kehutanan. (2012). Data dan Informasi Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH).Direktorat Wilayah Pengelolaan dan

Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Ditjen Planologi

Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Krisnawati, H, Kallio, M dan Kanninen,M. (2011). Aleurites moluccana

(L.) Willd.: ekologi, silvikultur dan produktivitas. CIFOR, Bogor,

Indonesia.

KPH Rinjani Barat. (2011). Kondisi umum KPH Rinjani Barat. KPH

Rinjani Barat.

Marjenah. (2001). Penyebaran Pohon Manglid (Manglietia glauca B1.) di

Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Laporan Ekspedisi

Manglid. www.rimpala.com . Akses 18 Nopember 2014.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 539

Millang, S, Budirman, B dan M , Anita. (2011). Awal Pertumbuhan Pohon

Gaharu (Gyrinops sp.) Asal Nusa Tenggara Barat Di Hutan

Pendidikan Universitas Hasanuddin. Jurnal Hutan dan

Masyarakat., Volume. 6, No.2. Fakultas Kehutanan. Universitas

Hasanuddin. Makasar.

Setiawan, O, dan Krisnawati. (2012). Model Rehabilitasi Hutan Lindung

Berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu. Laporan Penelitian. Balai

Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. Tidak

dipublikasikan.

Peters, C.M. (1990). Plenty of Fruit but No free Lunch. Garden 14: 813.

Putri, KP, Nurin Widyani dan Yulianti Bramasto. (2011). Pertumbuhan

Sembilan Jenis Tanaman Endemik Indonesia Di Hutan

Penelitian Rumpin. Prosiding Hasil – Hasil Penelitian Balai

Perbenihan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan.

Rusdiana, O, Fakuara, Y, Kusmana, C dan Hidayat, Y. (2000). Respon

Pertumbuhan Akar Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria)

Terhadap Kepadatan Dan Kandungan Air Tanah Podsolik

Merah Kuning. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Volume. 6 No.

2 : 43-53. Departemen Kehutanan. IPB. Bogor.

Vanclay, J.K. (1994). Effects of Inter-rotation Management on Site

Productivity of in Riau Province, Sumatera, Indonesia Site

Management and Productivity in Tropical Plantation Forests

Modelling Forest Growth and Yield. Application to Mixed

Tropical Forest Acacia mangium In CAB International.

Guildfort.

540| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN HASIL

HUTAN BUKAN KAYU DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN

Studi Kasus Di KHDTK Rarung, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Tigor Butarbutar

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Jalan Gunung Batu No.5 .P.O.Box.272,Bogor 16118; Telp (0251) 863394, Fax

(0251) 8634924, E-mail;[email protected]

ABSTRAK

Budidaya hasil hutan bukan kayu (HHBK) baik dalam kawasan hutan maupun

di luar kawasan hutan di Nusa Tenggara Barat umumnya adalah dalam

bentuk tanaman campuran pohon dengan jenis HHBK seperti, kemiri, aren,

lontar, melinjo, gaharu dan lebah madu. Budidaya HHBK tersebut umumnya

secara tradisionil, tanpa mempertimbangkan kesuburan tanah atau kesesuaian

lahan. Pengembangan HHBK dapat direvitalisasi supaya berproduksi maksimal

dan ramah lingkungan melalui 2 (dua) cara, yaitu : (1) melalui manajemen

sifat-sifat tanah dan (2) penentuan jenis kombinasi yang paling tepat sesuai

dengan kelas kesesuain lahan. Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisa

karakteristik tanah dan analisa kesesuaian lahan untuk beberapa jenis tanaman

pohon, buah, pangan dan pakan ternak; penentuan berbagai kombinasi jenis

kayu dan bukan kayu dan kebijakan yang diperlukan. Studi ini dilakukan di

kebun percobaan KHDTK Rarung, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa

Tenggara Barat. Hasil penelitian menunjukkan perlunya pembuatan teras

untuk konservasi tanah dan air, rekayasa tekstur tanah berpasir dengan

menambah bahan organik. Kesesuaian untuk jenis jati, nangka, rambutan ,

pinang, jagung, cabe dan rumput gajah termasuk S3, sedangkan untuk mahoni

termasuk S2. Kombinasi yang paling tepat adalah pencampuran mahoni dengan

salah satu jenis pohon buah dan satu jenis pangan dan rumput gajah. Kebijakan

yang diperlukan antara lain memberikan pendampingan khususnya yang terkait

dengan informasi kesesuaian lahan dan kombinasi jenis yang optimal di lahan-

lahan yang diperuntukkan bagi pegembangan HHBK.

Kata kunci : budidaya, HHBK , kesesuaian lahan, dan sifat tanah

I. PENDAHULUAN

Budidaya HHBK yang banyak dikembangkan di Nusa Tenggara

Barat umumnya dengan tanaman campuran pada suatu bidang lahan,

seperti jenis tanaman pakan ternak antara lain; turi (Sesbania grandifolia)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 541

dan rumput gajah ; dengan tanaman pohonnya adalah jati (Tectona

grandis), mahoni (Swietenia sp) dan jabon (Anthocephalus cadamba);

jenis tanaman buahnya adalah nangka (Artocarpus integra), rambutan

(Nephelium lappaceum) dan pinang (Areca catechu); jenis tanaman

pangannya adalah pisang (Musa spp ), jagung (Zea mays) dan jenis

rempahnya seperti cabe merah (Capsicum sp). Pola pencampuran tersebut

biasa disebut agroforestri tetapi masih bersifat tradisional. Sistem tanaman

campuran ini terdapat baik di luar kawasan hutan maupun di luar kawasan

hutan (seperti ladang dan sawah yang bera/istrahat). Pola pencampuran

yang masih tradisional tersebut belum mempertimbangkan sifat-sifat tanah,

kondisi iklim, topografi dan persyaratan tumbuh masing-masing jenis

tanaman yang akan dicampur. Penelitian ini bertujuan: (1) analisa

karakteristik tanah dan perlakuan yang diperlukan; (2) analisa kesesuaian

lahan dan penentuan berbagai alternatif kombinasi campuran yang

optimum dan (3) kajian kebijakan yang diperlukan.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus Penelitian (KHDTK) di Rarung, Lombok, Nusa

Tenggara Barat. Lokasi penelitian termasuk Desa Pemempek Kecamatan

Pringgarata dan Desa Karang Sidemen Kecamatan Batukliang Utara,

Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Wilayah

KHDTK ini berada pada kelompok hutan lindung Gunung Rinjani RTK 1.

Secara geografis terletak antara 116015’-116

016’ BT dan antara 08

030’00’’-

08030’36’’ LS dengan ketinggian dari permukaan laut 300-450 m dan luas

areal 306,60 ha. Jenis tanah termasuk entisol dengan batuan induk volkan.

Jumlah hari hujan rata-rata 125 hari dengan curah hujan diatas 2000

mm/tahun (Sk.Menhut: No.Sk 390/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober

2004).

B. Metode

Penelitian ini dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:

542| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

1. Analisa Tanah

Penentuan petak pengamatan analisa tanah dipilih disekitar petak

tanaman campuran mahoni (Swietenia macrophylla) , duabanga

(Duabanga moluccana), kemiri (Aleuritas moluccana), sengon

(Paraserianthes falcataria), mimba (Azadirachta indica), tanaman

pakan lebah seperti Calliandra callothyrsus dan lain-lain.

Pengamatan profil tanah dengan menggunakan petunjuk deskripsi profil

tanah (FAO, 1976), sedangkan untuk analisa sifat fisik dan kimia

diambil contoh tanah terganggu dari setiap lapisan profil dan dianalisa

di laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah Bogor.

2. Analisa kesesuaian lahan berdasarkan kriteria kelas kesesuaian lahan

berdasarkan Djaenuddin, Marwan, Subagyo dan Hidayat (2003)

3. Analisa kombinasi jenis hutan tanaman campuran dengan metode

matching antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan

persyaratan tumbuh berapa jenis tanaman (Ritung, Wahyuanto, Agus

dan Hidayat, 2007)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisa Tanah

Hasil deskripsi profil tanah dan analisa tekstur tanah dapat dilihat

pada Tabel 1 berikut di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Penelitian

(KHDTK) Rarung di Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada Tabel 1

berikut.

Tabel 1. Deskripsi profil tanah dan tekstur tanah di Kebun Percobaan

KHDTK Rarung, NTB

Lapisan

Kedala

man

(cm)

Uraian

Fraksi (%)

Kelas

Tekstur

Pa

sir

Deb

u

Lia

t

O

(serasah)

3-0/ (3) daun, ranting kering: pakis

pakisan,empat jenis rumput;

kerapatan akar: 5,6/100 cm2

A1

(lapisan

atas tanah)

0-10 (10) Coklat terang; granular,

agakkeras, tidak lengket ,

lepas,tidak plastis, lempung

72 24 4 Lempung

Berpasir

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 543

Lapisan

Kedala

man

(cm)

Uraian

Fraksi (%)

Kelas

Tekstur

Pa

sir

Deb

u

Lia

t

berliat; batu apung, merata-

batu padas (diameter 0,5-1

cm) kerapatan akar:0,8/100

cm2; batas berangsur-

bergelombang

A2

(lapisan

bawah

atas)

10-43/62

(33/52)

Butiran lepas, tidak lengket,

tidak elastis; debu berpasir,

batuan padas-apung yang

merata; akar;0,25/100 cm2;

batas jelas berombak-

bergelombang;

67 27 6 Lempung

Berpasir

B 43/62-

63/94

(20/30)

Berblok, padas, agak lengket,

tidak elastis, lempung-liat –

berpasir, batuan apung-padas

(diameter 0,5-1 cm);

kerapatan akar;0,57/100 cm2;

batas jelas rata

64 32 4 Lempung

Berpasir

C1

(endapan/

lapisan

khusus)

63/94-

100/137

(37/43)

Batuan padas, batupasir ,

berpasir (batu apung padas)

diameter 0,5-3,5 cm;

akar halus :0,57/100 cm2;

batas jelas kontras

73 21 6 Lempung

Berpasir

C2 100/137-

150/176

(50/39)

Padas, agak lengket, tidak

elastis, batuan padu ,struktur

padas; kerapatan akar halus -

kasar: 0,29/100 cm2

65 31 4 Lempung

Berpasir

Berdasarkan Tabel 1 tersebut perkembangan profil tanah termasuk

normal, dimana terjadi proses pembentukan lapisan pelapukan

(pedogenesis tanah yang normal). Hal ini ditujunkkan oleh deskripsi

lapisan tanah yang dimulai dari lapisan O (organik), lapisan A1 (lapisan

yang paling tinggi tingkat pelapukannya) kemudian diikuti oleh A2 (lapisan

peralihan dari A ke B, tetapi masih dominan memiliki ciri-ciri A1);

kemudian lapisan B (lapisan dimana tingkat pelapukannya lebih rendah

544| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dari A dan lebih tinggi dari lapian C1) selanjutnya diikuti oleh C1 dan C2

(lapisan bahan induk yang baru mulai melapuk). Mulai dari lapisan A

sampai C1 terdapat batuan kecil sejenis batu apung yang merata diseluruh

profil. Batu apung ini berdiameter 0,5 cm -3,5 cm dan semakin kelapisan

bawah ukurannya semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa bahan induk

merupakan bahan volkan dari Gunung Rinjani. Tekstur tanah mulai dari

lapisan atas termasuk lempung berpasir. Perakaran tanaman masih terdapat

sampai lapisan bawah (150 cm) . Hal menunjukkan bahwa pertumbuhan

akar tanaman bukan merupakan penghambat, tetapi ada kecenderungan

tanah tidak dapat menyimpan air karena tekstur didominasi oleh fraksi

pasir (64-72 %). Selanjutnya hasil analisa sifat-sifat kimia dapat dilihat

pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Sifat-sifat kimia di kebun percobaan KHDTK Rarung, NTB

La

pi

san

pH Bahan organik Kation Tukar KTK KB

(%)

H2O KCl C N C/N Ca Mg K Na

A1 6,1

(agak asam)

5,6

(agak asam)

3,41 (tinggi) 0,33

(sedang)

10

(rendah)

12,98

(tinggi)

2,2

(tinggi)

0,64

(tinggi)

0,13

(rendah)

15,35

rendah

78

A2 6,0

(agak asam)

5,4 (asam)

2,18

sedang

0,23

(sedang)

9 (rendah)

9,95

sedang

1,70 (sedang)

0,31 (rendah)

0,13

(rendah)

12,09

rendah

72

B1

C

6,0

(agak

asam)

4,6

(asam)

0,12

(sangat

rendah)

0,01

(sangat

rendah)

12

(sedang)

5,23

rendah

1,62

(sedang)

0,79

(tinggi)

0,31

(rendah)

7,94 rendah

9

C1 5,8

(agak

asam)

4,4

(asam)

0,06

(sangat

rendah)

0,01

(sangat

rendah)

12

(sedang)

2,06

rendah

1,17

(sedang)

0,26

(rendah

)

0,10

(rendah)

3,69 sangat

rendah

>100

C2 6,4 (agak

asam)

5,3 (asam)

0,07 (sangat

rendah)

0,01 (sangat

rendah)

7 (rendah)

4,67 rendah

2,08 (sedang)

0,53 (sedang)

0,13 (rendah)

7,41 rendah

>100

Tabel 2 menunjukkan kemasaman tanah termasuk agak masam,

tidak perlu pengapuran. Kandungan bahan organik dan kualitasnya

termasuk baik mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah (karena nilai

C/N <=12 (Van Ranst, 1994). Kation tukar Ca, Mg dan K termasuk tinggi

sampai lapisan A1. Perlakuan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan

meningkatkan ketebalan lapisan A1 supaya tidak tererosi adalah dengan

menerapkan teknik konservasi tanah dan air, seperti terasering, dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 545

penambahan bahan organik tanah sehingga air limpasan tidak langsung

terinfiltrasi ke bawah. Nilai kation tukar Ca, K,Mg dan Na termasuk tinggi

di lapisan atas (A1) dan rendah dilapisan bawah berikutnya (A2,B, C1 dan

C2), dengan kejenuhan basa (KB) sebesar 78 %. Nilai kation tukar yang

lebih rendah di lapisan bawah perlu ditingkatkan dengan menambah bahan

organik tanah sampai lapisan bawah, sehingga meningkatkan daya

menyimpan air yang berguna untuk proses pelapukan fisik dan kimia dan

meningkatkan nilai KTK.

B. Analisa kesesuaian lahan

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sistem tanaman

campuran tradisionil yang ada menunjukkan bahwa jenis-jenis kayu

seperti mahoni, duabanga dan sengon tumbuh baik di tajuk lapisan atas,

sedangkan pada lapisan bawah tajuk dapat tumbuh pisang, tanaman rumput

pakan ternak, tanaman buah-buahan dan gaharu. Hasil pengamatan di

daerah pantai Batulayar dan Senggigi terdapat model tanaman campuran

pada unit lahan yang datar, berlereng dan berbukit didominasi oleh

kelapa, kedondong hutan, kacang-kacangan pada strata terbawah, pisang

dan aren di beberapa tempat. Sistem pengolahan lahan masih bersifat

tradisionil (tidak ada pola kombinasi yang baku dan tanpa teras) sehingga

produksi tidak optimum. Untuk mencapai produksi yang optimum sistem

tanaman campuran harus mempertimbangkan kesesuaian lahan, prinsip-

prinsip ekologis tanaman campuran dan persyaratan tumbuh masing-

masing jenis tanaman yang akan dicampur. Untuk menentukan kombinasi

jenis yang akan dicampur perlu diketahui kriteria kesesuaian lahan untuk

untuk beberapa jenis tanaman yang akan dicampur. Sesuai dengan hasil

pengamatan dilapangan jenis-jenis tanaman yang dikombinasikan/

dicampur adalah jenis tanaman pohon seperti mahoni; jenis tanaman

buah-buahan seperti nangka (Artocarpus integra) dan rambutan

(Nephelium lappaceum); jenis tanaman industri seperti pinang (Arecha

catechu); jenis tanaman pertanian/perkebunan seperti pisang (Musa sp),

jagung (Zea mays), cabe (Capsicum sp) dan tanaman pakan ternak seperti

rumput gajah (Pennisetum purpureum). Adapun kriteria kesesuaian lahan

untuk beberapa jenis tanaman tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

546| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Selanjutnya hasil analisa kesesuaian lahan untuk masing-masing

jenis tersebut di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Penilaian kesesuaian lahan untuk masing-masing jenis di lokasi

penelitian berdasarkan Djaenuddin, et al. (2003).

Kualitas

lahan

Karakteristi

k lahan

Nilai / hasil

analisa

Kelas

Kesesu

aian

Untuk jenis

(kode jenis)

Tempera

tur

Temperatur

rata-rata

24,05oC* S1 4,8,9,10

S2 2,3,5,6,7

S3 -

Ketersedi

aan air

Curah hujan >2000

mm/tahun

S1 3,6,5,7,10

kelembaban

udara

Lamanya

bulan kering

5 S3 3,7

Ketersedi

aan O2

Drainase Cepat-agak

cepat

S1 2,3,4,5,6,7,8,9,10

Keadaaan

media

perakaran

Tekstur Ak disemua

lapisan

S3 2,4,5,6,7,8,9

Bahan kasar 15-35% S2 4,5,7,8,9

Kedalaman

tanah

150 cm S1 2,3,4,5,6,7,8,9

Retensi

hara

KTK liat 17,2 S1 4,5,7,8,9

KB 73,17 S1 6,7

pH 6,1-6,0 S1 2,3,4,5,6,7,8,9

C-organik 3,713 S1 4,5,6,7,8,9

Toksidi

tas

Salinitas

(ds/m)

Sodisitas Alkalinitas/E

SP (%)

1,02

Bahaya

sulfidik

Bahaya

erosi (eh)

Lereng (%) 15-40 % S2

2,3,4,5,6,7,8,9

S3 10

Bahaya erosi Sangat ringan

: <0,15

cm/tahun

S1 2,3,4,5,6,7,8,9,10

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 547

Bahaya

banjir (fh)

Genangan F0= dapat

diabaikan

S1 2,4,5,7,8,9

Penyiapan

lahan (lp)

Batuan diper

mukaan (%)

10% S2 2,4,5,7,8,9

Singkapan

batuan (%)

4% S1 4,5,7,8,9

S2 2, Keterangan :

* = berdasarkan Brack (1928) : 26,3oC - (0,01 x elevasi x 0,6oC);

2 = jati;3=mahoni; 4= nangka; 5= rambutan; 6= pinang;7=pisang;

8= jagung;9 = cabe dan 10 = rumput gajah.

Selanjutnya kesesuaian lahan aktual, potensial lahan dan

kombinasi untuk masing-masing jenis dapat dilihat pada Table 4 berikut.

Tabel 4. Kesesuain aktual dan potensial untuk masing-masing jenis dan

kombinasi campuran paling ideal

Jenis

Kesesuaian lahan Keterangan Kombinasi

Aktual Potensial

Tidak bisa naik

kelas kesesuaian

lahan potensial,

karena tekstur

sulit dirobah

Jati S3 S3 Sda

Mahoni S2 S2 Sda Mahoni, nangka,pinang,

jagung

Nangka S3 S3 Sda Mahoni, nangka,

rambutan dan cabe

Rambu tan S3 S3 Sda Mahoni rambutan

Pinang S3 S3 Sda Mahoni pinang

Pisang S3 S3 Sda Pisang, cabe, mahoni

Jagung S3 S3 sda Jagung, cabe , pinang

dan mahoni

Cabe

merah

S3 S3 Sda Cabe merah, jagung,

mahoni

R. gajah Sda Mahoni, pinang, r. gajah

Keterangan : penentuan kesesuaian potensial berdasarkan kemungkinan merobah faktor

pembatas minimum (Djaenuddin, et al., 2003)

Berdasarkan Tabel 4 tersebut, kelas kesesuaian lahan untuk jenis

jati, mahoni, nangka, rambutan, pinang, pisang, jagung, cabe dan rumput

548| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

gajah termasuk S3 (sesuai marginal) sedangkan untuk mahoni termasuk S2

(cukup sesuai).

Penilaian kombinasi campuran dapat juga dilakukan dengan

menerapkan prinsip-prinsip ekologis tanaman campuran yaitu : (1) prinsip

interaksi komplementer, terdiri dari interaksi interspesifik (interkasi 2 jenis

tanaman yang mempunyai persyaratan tumbuh yang berbeda dan interaksi

intra spesifik adalah interaksi persaingan yang terjadi pada jenis yang

sama) dan (2) prinsip fasilitasi. Prinsip interaksi komplementer adalah

persaingan yang terkait dengan sifat-sifat toleransi jenis terhadap naungan,

perbedaan kecepatan pertumbuhan tinggi, perbedaan leaf area indeks,

perbedaan fenologi daun (gugur daun dan evergreen) perbedaan kedalaman

sistim perakaran. Prinsip fasilitasi adalah interaksi antar jenis dimana suatu

jenis tertentu membantu pertumbuhan jenis lainnya secara langsung, seperti

kelompok jenis penambat nitrogen melalui perakaran dan menambah

nitrogen melalui pengguguran daunnya (Valdermeer, 1989) Kombinasi

campuran atas dasar kesesuaian lahan aktual yang termasuk S3 (sesuai

marginal ) untuk semua jenis, kecuai untuk mahoni (S2) dan prinsip-prinsip

pencampuran dapat dilihat pada Table 5 berikut.

Tabel 5. Kombinasi tanaman campuran berdasarkan pertimbangan prinsip-

prinsip pencampuran fasilitasi, kompetisi dan kesesuaian lahan

untuk masing-masing jenis

Jenis/

prinsip

campu

ran

2 3 4 5 6 7 8 9 10

K F K F K F K F K F K F K F K F K F

2

K

F

3

K X X

F

4

K X X

F

5

K X X

F

6

K X x

F

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 549

Keterangan : K = prinsip komplementer dan F = prinsip fasilitasi

Berdasarkan Tabel 5 tersebut kombinasi jenis sebaiknya dilakukan

maksimal 2-3 jenis dengan pertimbangan kesesuain untuk semua jenis

termasuk marginal (S3) sehingga produksinya dapat optimal.

C. Kebijakan yang diperlukan

Pengembangan HHBK dikabupaten Lombok tengah dapat

dilakukan pada berbagai peruntukan lahan yang ada tetapi perlu didukung

oleh kebijakan yang memberikan akses lahan lebih baik dan pendampingan

budidaya HHBK campuran kepada masyarakat sekitar. Kabupaten

Lombok Tengah memiliki luas 1.208,39 km² dengan peruntukan tanah

sebagaimana terlihat dalam Tabel 6 dibawah ini :

Tabel 6. Uraian Peruntukan Lahan di Kabupaten Lombok Tengah

No. Jenis Peruntukan Luas (Ha) %

1. Pekarangan/

bangunan

6.993 5,79

2. Sawah 52.556 43,49

3. Tegalan / Kebun 12.420 10,28

4. Ladang / Huma 12 0,01

5. Tanah

Penggembalaan

85 0,07

6. Tambak 281 0,23

7. Kolam / Empang 1.773 1,47

8. Hutan Rakyat 2.583 2,14

7

K X X X

F

8

K

F X

9

K X

F

10

K X X X X

F

550| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No. Jenis Peruntukan Luas (Ha) %

9. Hutan Negara 21.158 17,50

10. Perkebunan 5.461 4,51

11. Lain-lain 17.517 14,49

Jumlah luas seluruhnya 120.839 100,00

Sumber : Lombok Tengah dalam angka tahun 2013.

Berdasarkan jenis peruntukan lahan pada Tabel 6 tersebut, lahan

yang dapat dikembangkan untuk tanaman campuran HHBK terdapat pada

jenis peruntukan tegalan/kebun seluas 12.420 hektar dan hutan rakyat 2583

hektar. Selanjutnya Hidayat dan Supriharjo (2014) menyebutkan bahwa

sub sektor unggulan kecamatan di Lombok Tengah adalah tanaman

pangan, peternakan dan kehutanan. Pengembangan HHBK dalam model

tanaman campuran sub sektor unggulan tersebut perlu didukung oleh

kebijakan-kebijakan terkait. Sebagai contoh di Propinsi Jawa Timur

berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor:188/798/Kpts/

013/2011 telah ditetapkan komoditi unggulan HHBK yang perlu dilindungi

dan dikembangkan adalah bambu, lebah madu, porang, empon-empon dan

getah pinus. Penetapan seperti ini belum terdapat di Propinsi ntB maupun

di Kabupaten Lombok Tengah. Kebijakan yang sudah ada antara lain

adalah: (1) Permenhut Nomor 19 Tahun 2009 tentang Strategi

Pengembangan HHBK (maksud dan tujuannnya: Menggali potensi daerah

dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber

bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya

yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) Perdirjen Bina

pengelolaan daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : P.1/V-

SET/2014 tentang Pedoman Teknis pembentukan sentra hasil hutan bukan

kayu unggulan; (3) Perda HKm Nomor 6 tahun 2004 tentang pedoman

penyelenggaraan HKM di Propinsi NTB pasal 2 ayat 2b menjelasakan

pemanfafatan HHBK dalam kawasan dan izin selama 10 tahun (pasal 7

ayat 2b) dan (4) Perda Kabupaten Lombok Tengah Nopmor 4 Tahun 2009

tentang penyelenggaraan HKm dimana disebutkan hhbk diizinkan untuk

dimanfaatkan sesuai perizinan untuk HKm .

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 551

Keempat kebijakan di atas perlu segera disosialisaikan dan

diimplementasikan sesuai dengan perda-perda terkait yang mendukung.

Kebijakan lain yang diperlukan adalah pemberian akses pinjam

pakai kawasan hutan dan pendampingan kombinasi pemilihan jenis

kepada masyarakat sekitar hutan. Pendampingan pemilihan kombinasi

pemilihan jenis campuran kayu, HHBK dan tanaman pangan perlu

dikoordinasikan dengan semua stakeholder terkait.

IV. KESIMPULAN , KETERBATASAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian ini, kesesuaian lahan dilokasi penelitian

termasuk S3 (sesuai marginal untuk jenis-jenis Jati, mahoni, nangka,

rambutan, pinang, pisang, jagung, cabe dan rumput gajah), sedangkan

untuk mahoni termasuk S2 (cukup sesuai ). Kombinasi jenis sebaiknya

dilakukan secara terbatas (2-3jenis) dengan mempertimbangkan prinsip

komplementer dan prinsip fasilitasi. Tindakan perlakuan yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan produksi hasil hhbk pertanian/pangan di

lokasi penelitian harus dengan merobah tekstur tanah dengan menambah

bahan organik sampai lapisan perakaran dan dengan membuat teras.

B. Keterbatasan

Keterbatasan dalam penerapan kombinasi jenis berdasarkan analisa

kesesuaian lahan di atas antara lain; ketidakmampuan petani untuk

membayar biaya analisa tanah, ketidakmampuan untuk memilih atau

menentukan kombinasi yang tepat dan masih rendahnya tingkat

kepercayaan mereka terhadap inovasi-inovasi baru.

D. Saran

Perlu dilakukan ujicoba untuk jenis-jenis kombinasi di atas

terhadap kondisi tekstur tanah yang berpasir. Pendampingan yang lebih

intensif khususnya untuk menyediakan infomasi analisa kesesuaian lahan

dan kombinasi jenis yang paling optimal di lahan-lahan yang

diperuntukkan untuk pengembangan HHBK.

DAFTAR PUSTAKA

552| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Brack, C. 1928. The Climate of The Netherlands Indies. Proc. Royal Mogn.

Meteor. Observ. Batavia, nr. 14. pp. 192.

Badan Pusat Statistik Lombok Tengah.2012. Lombok Tengah dalam

Angka tahun 2012.

Djaenudin, D., Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk

Teknis untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama tahun 2003, ISBN

979-9474-25-6. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia

FAO. 1976. A Frame Work for Land Evaluation [Soil Buletin]. Food and

Agriculture Organization of the United Nations. Rome.Italia

Hidayatullah, M., Butarbutar,T. 2006. Status Kesuburan Tanah Pada

beberapa Kawasan Di Nusa Tenggara. Prosiding Ekspose/Diskusi

Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan bali dan

Nusatenggara. Kupang, 12 Desember 2006. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.Bogor;215-224.

Hidayat, M.E dan R. Supriharjo.2014. Identifikasi sub sektor unggulan

kecamatan di kabupaten Lombok tengah. Program Studi

Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan

perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Dinduyh di

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-32140-3609100062-

paper.pdf pada tanggal 26 Nopember 2014

Ritung,S., Wahyuanto., Agus F dan Hidayat, H. 2007. Panduan Evaluasi

Kesesuain lahan dengan Contoh Peta Arahan penggunaan lahan

kabupaten Aceh barat. Balai Penelitian tanah dan Agroforestry

Centre (ICRAF), Bogor. Indonesia.

Vandelmeer, J. 1989. The ecology of intercropping. Cambridge University

Press, New York.

Van Ranst, E. 1993. Regional Pedology. International Training Centre for

Soil Scientist. Universiteit of Ghent. Belgium

Lampiran 1. Kriteria kesuaian lahan untuk berbagai jenis tanaman pohon

penghasil kayu, penghasil buah dan tanaman pertanian lainnya

Karak

teristik

Lahan

Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe

merah

Rumput

gajah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 553

Karak

teristik

Lahan

Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe

merah

Rumput

gajah

Temperatur rata-rata (0C)

S1 25-30 25-30 22-28 25-28 25-28 25-27 20-26 21-27 20-27

S2 <30-35 <30-35 28-34 28-32 28-32 27-30 - 27-28 18-20

21-<25 21-25 18-22 22-25 22-25 22-25 26-30 16-21 28-30

S3 - - 34-40 32-35 32-35 30-35 16-20 28-30 16-18

N Td td >40 >35 >35 >35 <16 >30 <16

>38

1. Ketersediaan air (wa)

S1 1500-

2000

2000-

3000

1500-

2000

2000-

3000

2000-

3000

1500-

2500

500-

1200

600-

1200

1700-

2000

S2 >2000-

2250

>3000-

3500

2000-

3000

1750-

2000

1300-

2000

1250-

1500

1200-

1600

500-600 1400-

1700

1250-

1500

1750-

<2000

1000-

1500

3000-

3500

3000-

4000

2500-

3000

400-

500

1200-

1400

2000-

3000

S3 >2250-

2500

>3500-

4000

3000-

4000

1250-

1750

1000-

3000

1000-

1250

>1600 400-500 1100-

1400

1250-

<1000

1500-

>1750

750-

1000

3500-

4000

4000-

5000

3000-

4000

300-

400

>1400 3000-

5000

N - - >4000 <1250 <1000 <1000 - <400 <1100

<750 >4000 >5000 >4000 <3000 - >5000

2. Kelembaban udara (%)

S1 - >60 >60 <42 <65

S2 - 50-60 50-60 36-42 65-75

S3 <50 30-50 30-36

N <30 <30

3. Lama masa kering (bulan)

S1

S2 Td <3 3-4

S3 Td <3-4 4-6

N Td Td >6

4. Ketersediaan oksigen (oa)

S1 Baik baik baik,

sedang

baik,

sedang

baik,

sedang

baik,

agak

terham

bat

baik,

agak

terha

m bat

baik,

agak

terham

bat

S2 agak

cepat,

sedang

agak

cepat,

sedang

agak

terhamb

at

agak

terhamb

at

agak

terhambat

agak

cepar,

sedang

agak

cepat,

sedan

g

agak

cepat,

sedang

S3 cepat,

agak

terhamb

cepat,

agak

terham

Terham bat, agak

cepat

Terham

bat,

agak

Terham

bat,agak

cepat

terhamba

t

Terha

mbat

Terham

bat

554| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Karak

teristik

Lahan

Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe

merah

Rumput

gajah

at bat cepat

Ns Terham

bat

Terham

bat

sangat

terham

bat

sangat

terham

bat

sangat

terhambat

Terhamb

at

sangat

terha

mbat

sangat

terham

bat

Media perakaran (rc)

1. tekstur tanah

S1 h,ah,s h,ah,s h,ah,s h,ah,s h, ah,s h,ah,s h,ah,s

S2 h,ah,s - - h,ah,s - - -

S3 Ak Ak ak,sh ak ak,sh Ak ak

N K K k k K K K

2. Bahan kasar (%)

S1 <15 <15 <15 <15 <15

S2 15-35 15-35 15-35 15-35 15-35

S3 35-55 35-55 35-55 35-55 35-55

N >55 >55 >55 >55 >55

3. Kedalaman efektif

S1 >100 <150 >100 >100 >100 >75 >60 >75

S2 75-100 100-

<150

75-100 75-100 75-100 >75 40-60 50-75

S3 50-75 75-

<100

50-75 50-75 50-75 50-75 25-40 30-50

N <50 50-<75 <50 <50 <50 <50 <25 <30

Retensi hara (nr)

1. KTK liat (cmol)

S1 >16 >16 >16 >16 >16

S2 <=16 <=16 <=16 <=16 <=16

S3

N

2.Kejenuhan basa (%)

S1 >35 >35 >50 >50 >50

S2 20-35 20-35 35-50 35-50 35-50

S3 <20 <20 <=35 <=35 <=35

N

3.pH2O

S1 5,5-7,0 5,5-7,0 5,0-6,0 5,0-6,0 5,2-7,5 5,6-7,5 5,8-

7,8

6,0-7,6

S2 >7,0-

7,5

>7,0-

7,5

4,5-5,0 4,5-5,0 4,8-5,2 5,2-5,6 5,5-

5,8

5,5-6,0

5,0-

<5,5

5,0-

<5,5

6,0-7,5 6,0-7,5 7,5-8,0 7,8-

8,2

7,6-8,0

S3 >7,0- >7,0- <4,5 <4,5 <4,8 <5,2 <5,5 <5,5

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 555

Karak

teristik

Lahan

Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe

merah

Rumput

gajah

8,0 8,0

4,5-

<5,0

4,5-

<4,5

>8,0 >7,5 >8,0 >8,2 >8,0

N Td Td

4. C-organik (%)

S1 >1,2 >1,2 >0,8 >1,5 >0,4 >0,8

S2 0,8-1,2 0,8-1,2 <=0,8 0,8-1,5 <=0,4 <=0,4

S3 <0,8 <0,8 <0,8

N

Toksititas (xc)

Salinitas (ds/m)

S1 <4 <4 <4 <4 <12 <2 <4 <3

S2 4-6 4-6 4-6 4-6 12-6 2-4 4-6 3-5

S3 5-8 >6-8 6-8 6-8 16-20 4-6 6-8 5-7

N >8 - >8 >8 >20 >6 >8 >7

Bahaya erosi (eh)

1. Lereng (%)

S1 <8 <8 <8 <8 <8 <8 <8 <8

S2 8-16 8-15 8-16 8-16 8-16 8-16 8-16 8-16

S3 16-30 >15-30 16-30 16-30 16-30 16-40 16-40 16-30

N >30 >30-50 >30 >30 >30 >40 >40 >30

2.Bahaya erosi

S1 Sr sr Sr sr sr Sr Sr sr

S2 r-sd r r-sd r-sd r-sd r-sd r-sd r-sd

S3 B sr B b b B B B

N Sb b Sb sb sb Sb Sb sb

Bahaya banjir (fh)

1.Genangan

S1 Fo fo Fo fo Fo Fo fo

S2 f1 f1 f1 f1 f1 - -

S3 f2 f2 f2 f2 f2 f1 f1

N f3 f3 >f2 >f2 >f2 >f2 .f1

Penutupan lahan

1.Batuan dipermukaan (%)

S1 <3 <5 <5 <5 <5 <5

S2 3-15 5-15 5-15 5-15 5-15 5-15

S3 15-40 15-25 15-25 15-25 15-25 15-25

N >40 >25 >25 >25 >25 >25

2.Singka pan batuan (%)

S1 <2 <5 <5 <5 <5 <5

S2 2-10 5-15 5-15 5-15 5-15 5-15

556| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Karak

teristik

Lahan

Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe

merah

Rumput

gajah

S3 >10-25 15-25 15-25 15-25 15-25 15-25

N >25-40 >25 >25 15-25 15-25 15-25

Keterangan : S1 = sangat sesuai; S2 = cukup sesuai;S3 = sesuai marginal dan N = tidak

sesuai

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 557

PENGENALAN HHBK MELALUI JALUR PENDIDIKAN –

PELAJARAN DARI SMK KEHUTANAN KADIPATEN

MM. Budi Utomo1, Ari Darmawan

2, Yumantoko

3 & Levina AGP

1

1) BPT- Agroforestry

Jalan Raya Ciamis-Banjar km.4, Pamalayan, Ciamis 2)

SMK Kehutanan Kadipaten

Jalan Raya Timur Sawala, Kotak Pos 20, Kadipaten, Majalengka 3)

BPT- HHBK

Jalan Dharma Bhakti No.7, Langko, Lingsar, Lombok Barat, NTB

Email: [email protected]

ABSTRAK

Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Indonesia sangatlah besar dan

nilai yang dihasilkan jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil hutan kayu.

Sejauh ini, kondisi ideal yang diharapkan terhadap pemanfaatan HHBK

domain kementerian kehutanan yang berjumlah 565 belum tercapai, termasuk

pada lima jenis HHBK yang dijadikan unggulan; rotan, gaharu, sutera, lebah

madu, dan bambu. Kriteria unggulan yang salah satunya berdasarkan kekhasan

daerah ini selaras dengan alur pikir sistem pembelajaran di sekolah yang

terwujud dalam mata pelajaran muatan lokal. Alur pikir dalam tulisan ini

adalah adanya kemungkinan sinergi dalam hal pengenalan HHBK yang

menjadi kekhasan lingkungan suatu daerah dengan institusi pendidikan melalui

sistem pembelajaran. Maksud dari pengenalan ini adalah agar kekhasan HHBK

suatu daerah dapat diketahui oleh para peserta didik yang akan menjadi

tumpuan masa depan daerah itu sendiri. Pengenalan ini juga bertujuan untuk

memberikan keterampilan, pendidikan lingkungan, sekaligus investasi

pengembangan HHBK jangka panjang. Salah satu institusi yang telah

mengenalkan HHBK, khususnya madu dan diintegrasikan dalam kurikulum

adalah SMK Kehutanan Kadipaten. Meskipun hanya berfokus pada HHBK

madu, namun sistem ini dapat diadaptasi oleh institusi pendidikan yang lain

dan disesuaikan dengan potensi lingkungan sekitar. Diharapkan melalui

integrasi HHBK dalam kurikulum mampu meningkatkan pengetahuan

masyarakat yang pada akhirnya mampu mengembangkan HHBK dengan lebih

luas.

Kata kunci: HHBK, pengenalan, integrasi, sekolah

558| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

Potensi hasil hutan bukan kayu sudah seharusnya dikembangkan

dan diperhatikan secara serius mengingat potensinya jauh lebih besar

dibandingkan hasil hutan kayu. Menurut Permenhut RI no. 21/Menhut-II/

2009, hasil dari HHBK adalah 90% dari sebuah ekosistem hutan, sembilan

kali lipat dibandingkan hasil kayu. Di beberapa daerah seperti di China,

HHBK jenis bambu merupakan salah satu penyumbang devisa utama

negara. Banyaknya contoh yang nyata terlihat, sudah seharusnyalah

pengembangan HHBK dilakukan sekarang dan dalam cakupan yang jauh

lebih luas.

Saat ini di Indonesia telah memiliki lima jenis HHBK unggulan;

gaharu, sutera, rotan, bambu, dan lebah madu. Namun sayangnya dari

semua pengusahaan HHBK ini masih banyak masalah yang dihadapi. Dari

kelima jenis HHBK unggulan ini, madu merupakan salah satu komoditas

dimana dari sisi keilmuan (apidologi) telah sangat maju. Khusus untuk

lebah madu, salah satu masalah utama adalah masih kurang maksimalnya

produksi. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan produksi adalah dengan menciptakan sentra-sentra budidaya

lebah yang baru.

Meskipun Indonesia adalah Negara agraris, namun pengetahuan

tentang beternak lebah bukanlah hal yang umum. Hal ini berakibat pula

pada kurangnya pengetahuan masyarakat tentang jenis dan peran lebah,

produk-produk perlebahan, maupun cara beternak. Kekurangan informasi

dan atau pengetahuan tentang perlebahan dapat memicu tingkat konsumsi

madu yang rendah dimana salah satu pemacunya diakibatkan oleh

kekhawatiran akan madu palsu disaat belum ada lembaga yang

bertanggung jawab penuh tentang asli tidaknya produk perlebahan di

Indonesia. Situasi ini yang saat ini dimanfaatkan produsen-produsen asing

lewat kran impor sehingga produk perlebahan lokal tergerus dan

menyebabkan kondisi pemasaran dan perkembangan madu secara umum di

Indonesia bergerak sangat lamban bahkan cenderung stagnan.

Membahas tentang produk perlebahan khususnya madu, banyak

sekali daerah yang telah dikenal baik pada tataran lokal, regional, maupun

nasional sebagai daerah penghasil madu, baik budidaya maupun liar.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 559

Disinilah seharusnya masyarakat mampu menjadi mitra pemerintah dalam

menyebarkan ilmu tentang perlebahan. Sehingga akan semakin banyak

penduduk diluar daerah tersebut mengenal dan mengerti tentang ilmu

perlebahan.

Pendidikan merupakan hal mendasar yang diperlukan setiap

manusia. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan terbagi atas tiga jalur yaitu pendidikan formal, pendidikan non

formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan

yang terstruktur dan berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan

menengah dan pendidikan tinggi (UU no.20 tahun 2003). Dalam

pendidikan dasar dan menengah kurikulumnya wajib memuat muatan lokal.

Dalam UU no.20 tahun 2003, bab X pasal 36, kurikulum pada semua jenis

dan jenjang pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai

dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Kurikulum

disusun dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan.

Salah satu terobosan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah

mengintegrasikan HHBK madu dalam kurikulum sekolah dan ternyata

SMK Kehutanan Kadipaten telah melakukannya. Sebenarnya nilai lokal

yang masuk dalam pembelajaran bukan hanya jenis madu namun dapat

disesuaikan dengan nilai keunggulan lingkungan daerah sekolah yang

bersangkutan. Apa yang telah dilakukan di SMK kehutanan inilah yang

ingin ditularkan ke institusi pendidikan lain agar kejayaan HHBK benar-

benar terwujud di Indonesia.

II. Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan desk study dengan menggunakan literatur-

literatur yang berhubungan dengan HHBK dan sistem pendidikan di

Indonesia. Sehingga alur pikir penulisan dapat dilihat pada gambar berikut.

560| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 1. Alur Pikir Penulisan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum

Secara umum tantangan pengembangan komoditas HHBK di

Indonesia sangatlah kompleks. Wiratno (2014) menyatakan bahwa

penyebab HHBK belum berkembang dengan baik adalah karena belum

adanya penanganan yang fokus dan terarah mengingat komoditas HHBK

yang sangat bervariasi, perhatian pemerintah baik pusat dan daerah yang

masih rendah, dan kebijakan pengembangan HHBK yang tidak terpadu dan

cenderung parsial.

Menilik pada kondisi industri agraris di beberapa Negara maju,

pemerintah banyak berperan dalam hal pengembangan teknologi melalui

1. Kerjasama dengan Kemendikbud lewat

Mapel Muatan lokal

2. Penguatan kapasitas SDM yang terukur 3. Rekonstruksi mekanisme program ke

masyarakat

Tujuan akhir :

1. HHBK semakin memasyarakat

2. Sarana pendidikan lingkukngan

3. memperbaiki kondisi pasar komoditas HHBK

4. Terciptanya lapangan kerja di bidang HHBK

Perlu strategi

Pengenalan budidaya

HHBK lewat pendidikan

Telah dilakukan oleh SMK

Kehutanan Kadipaten; madu

Dapat diadopsi oleh

institusi pendidikan lain

disesuaikan dengan

potensi/ keunggulan daerah

Pengembangan HHBK belum

berjalan baik

Perlu terobosan, salah satunya:

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 561

divisi penelitian dan pengembangan, regulator lewat mekanisme kebijakan,

dan pengolah-penampung komoditas. Kondisi ini sangat berbeda dengan

yang ada di Indonesia, dimana pemerintah kurang maksimal dalam

menjalankan ketiga hal tersebut dan masih berkutat pada urusan yang

sangat mendasar, semisal pembuatan sentra-sentra bagi komoditas tersebut.

Pada akhirnya kemajuan pengembangan komoditas tersebut jalan ditempat.

Mengingat terbatasnya sumberdaya manusia, pendanaan, waktu/intesnsitas,

dan areal yang dimiliki pemerintah, maka yang paling tepat untuk

melaksanakan kegiatan mendasar ini adalah masyarakat/rakyat. Sehingga

selain merubah dan memperbaiki peran pemerintah, kesadaran dan

kemampuan masyarakat untuk mengusahakan komoditas HHBK harus

ditingkatkan. Posisi pemerintah tidak lagi “menyuapi” namun

“memberdayakan”. Apabila kondisi ini dapat dicapai maka permasaB lahan

klasik tidak terserapnya hasil panen masyarakat dapat dihindari. Jaminan

akan terserapnya hasil panen akan menghindarkan dari peralihan profesi,

hal yang masih sering terjadi.

B. Hubungan Pendidikan dan HHBK

Berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat untuk secara

mandiri mengusahakan komoditas HHBK dalam hal ini, peran pemerintah

sangat besar. Salah satu terobosan yang patut dipertimbangkan adalah

melalui pendidikan. Pendidikan yang merupakan investasi, kelak dapat

menjadi modal anak didik dalam dunia kerja dan mampu menanamkan

mindset akan terbukanya peluang kerja dengan modal keterampilan/ ilmu

pengetahuan yang didapat di bangku sekolah. Hal ini sesuai dengan salah

satu tujuan atau kondisi yang diharapkan dalam pengembangan HHBK,

yaitu terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari

komoditas HHBK (Permenhut RI no. P.19/Menhut-II/2009).

Dalam peraturan-peraturan mengenai HHBK, sangat terlihat

bahwa kementerian kehutanan sangat mendominasi. Namun terdapat celah

bagi institusi, lembaga, maupun perorangan untuk ikut berperan didalam

pengusahaannya dan di titik inilah institusi pendidikan dapat berperan

serta. Salah satu institusi yang telah mengembangkan kurikulum yang

memasukkan salah satu komoditas HHBK (madu) adalah SMK Kehutanan

562| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Kadipaten. Model pembelajaran dititikberatkan pada praktek lapangan dan

dikategorikan dalam pelajaran muatan lokal. Pelajaran muatan lokal

merupakan mata pelajaran yang disesuaikan dengan cirri khas dan potensi

daerah, termasuk keunggulan daerah dan dalam pengembangannya dapat

bekerjasama dengan departemen terkait (Anonim). Salah satu keunggulan

daerah ini adalah keunggulan dalam bentuk keunggulan HHBK. Mengingat

bahwa hampir setiap daerah memiliki potensi lingkungan dalam bentuk

HHBK, baik itu unggulan yang bersifat nasional, provinsi, maupun lokal

(kabupaten/kota) (Permenhut RI no. P.21/Menhut-II/2009), maka

sepertinya pintu masuk HHBK kedalam sistem pendidikan di seluruh

Indonesia terbuka. Peluang tersebut ada dalam kerangka pelajaran muatan

lokal (mulok).

Anonim menyebutkan bahwa tujuan pelajaran mulok adalah untuk

mengenal dan lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya.

Sehingga apabila mulok berbasis HHBK ini dijalankan maka akan banyak

manfaat yang diperoleh, yaitu HHBK semakin dikenal oleh masyarakat,

menjadi sarana pendidikan lingkungan, dalam jangka panjang mampu

memperbaiki kondisi pasar komoditas HHBK, dan memberi bekal

keterampilan yang dapat menjadi bekal dalam dunia kerja. Termasuk apa

yang telah dilakukan oleh SMK Kehutanan Kadipaten. Melalui pelajaran

mulok ini, siswa diajari untuk berbudidaya lebah madu, dari pengenalan

lebah, pakan, hingga produk yang dihasilkan (Novitasari et al, 2013).

Meskipun nantinya dengan bekal budidaya lebah ini belum tentu

dipraktekkan saat memasuki dunia kerja ataupun ditekuni sebagai profesi,

namun banyak intangible value yang bermanfaat bagi pengembangan

HHBK di Indonesia. Sebagai contoh, secara universal produk makanan

yang banyak dipalsukan adalah susu dan madu (Safira, 2014). Di Indonesia

sendiri hampir 80% madu di pasaran adalah madu palsu (Bina Apiari, 2009

dalam Suseno, 2011) dan saat ini sebagian besar produksi madu Indonesia

adalah madu budidaya. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang

mengerti tentang budidaya madu, maka pasar madu palsu sedikit demi

sedikit dapat digerus. Jangan sampai kondisi seperti saat ini dimana

masyarakat cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi

(trustworthy) terhadap madu impor. Hal ini terjadi karena lembaga

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 563

penjamin keaslian produk belum berjalan dengan baik dan minimnya

pengetahuan masyarakat dalam menentukan keaslian madu.

Analogi yang sama dapat diaplikasikan pada komoditas HHBK

yang lain. Semakin banyak masyarakat yang mengerti bagaimana

mengusahakan komoditas HHBK dengan baik, maka kontribusi HHBK

dalam meningkatan kesejahteraan penggiat usaha semakin mendekati

kenyataan. Jalur pendidikan merupakan jalan yang efektif, mengingat

karakter anak didik yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, idealisme

yang kuat, dan efek yang lebih membekas dalam diri siswa yang akan

dibawa hingga dewasa.

C. Perencanaan Kedepan

Pemikiran diatas merupakan proyeksi apabila HHBK benar-benar

digulirkan dalam bentuk mata pelajaran mulok dan dilaksanakan bukan

hanya di sekolah-sekolah yang langsung bergelut dalam dunia kehutanan.

Sehingga upaya pengenalan HHBK dilakukan secara lebih massif.

Kementerian terkait HHBK, yaitu kementerian lingkungan hidup dan

kehutanan, akan sangat baik apabila memanfaatkan momentum pergantian

kepemimpinan dan pemecahan kementerian pendidikan dan kebudayaan

untuk menawarkan kerjasama dalam pengenalan HHBK di sekolah (tujuan

jangka pendek) dan pengembangan HHBK secara luas (tujuan jangka

panjang). Pengembangan HHBK saat ini yang masih jauh dari kondisi yang

diharapakan menyiratkan arti bahwa strategi yang telah dijalankan saat ini

butuh banyak perbaikan, baik itu perubahan/ modifikasi maupun percobaan

metode yang lain. Mengenalkan HHBK dalam kurikulum merupakan

bentuk percobaan metode yang lain yang sebenarnya tidak terlalu sulit

untuk dimulai. Ketersediaan atau pengalihan dana sangat mungkin untuk

dilakukan, ketersediaan SDM; peneliti, widyaiswara, guru, dan penyuluh

dapat dimaksimalkan dalam program tersebut.

Langkah konkret yang dapat ditempuh adalah; Pertama, menjalin

kerjasama pada kementerian pendidikan dan kebudayaan agar HHBK dapat

dimasukkan dalam mulok yang disesuaikan dengan potensi/keunggulan

daerah. Kedua, penguatan SDM melalui mekanisme pendidikan dan

pelatihan yang terukur. Ketiga, rekonstruksi program yang menyentuh ke

564| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

masyarakat, masyarakat yang benar-benar ingin bergelut dalam bidang

HHBK difasilitasi agar dapat berkembang. Skema bantuan harus dievaluasi

agar bantuan tersebut tepat sasaran, paradigma yang ada harus diarahkan

kearah pemberdayaan.

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

1. Pelajaran yang dapat dipetik dari SMK Kehutanan Kadipaten adalah

peluang pengenalan dan pengembangan HHBK lewat institusi

pendidikan terbuka.

2. Semakin banyak masyarakat yang mengenal HHBK akan

mempermudah dalam mengembangkannya dan lewat pendidikan hal

itu akan lebih mudah tercapai.

3. Banyak program pemerintah yang harus dievaluasi dan dibenahi

apabila ingin komoditas HHBK berperan nyata dalam perekonomian

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Tanpa tahun. Pengembangan Model Mata Pelajaran Muatan

Lokal. http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/KTSP-SMK/12.ppt, diakses

tanggal 20 November 2014.

Novitasari, D., Kurniawati, M. & Dimyati. 2013. Budidaya Lebah Madu.

SMK Kehutanan Kadipaten. Kadipaten.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.19/Menhut-

II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu

Nasional.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.21/Menhut-

II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan

Bukan Kayu Unggulan.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.35/Menhut-

II/2009 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

Safira, M. 2014. Madu dan Susu Paling Sering Dipalsukan di Dunia.

http://food.detik.com/read/2014/11/05/133823/2739623/297/madu

-dan-susu-paling-sering-dipalsukan-di-dunia--1-, diakses tanggal

27 November 2014.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 565

Suseno. 2011. Uji Mutu Madu yang Dipasarkan di Pasar Gede Surakarta

Ditinjau dari Kandungan Enzim Diastase, Aktivitas Enzim

Diastase dan Kadar Sukrosa. Jurnal Kimia dan Teknologi, 5(2): 51

– 58.

Wiratno. 2014. Strategi dan Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan

Kayu Dalam Rangka Kelola Kawasan untuk Kesejahteraan

Masyarakat. Makalah Utama Seminar Nasional HHBK. Fakultas

Kehutanan UGM.

566| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PRODUKSI SERESAH TANAMAN MIMBA UMUR TIGA TAHUN

DI NUSA PENIDA

Ali Setyayudi, Ryke Nandini dan Budi Hadi Narendra

Balai Peneelitian Teknologi HHBK

Jl dharma bhakti no.7 langko lingsar lobar, NTB

E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Salah satu kontribusi tanaman bagi perbaikan kondisi lahan kritis adalah

adanya sumbangan biomassa tanah melalui seresah yang dihasilkan. Seresah

terdekomposisi akan menghasilkan unsur hara yang penting bagi pertumbuhan

tanaman dan perbaikan kesuburan tanah. Tanaman mimba merupakan salah

satu tanaman yang dipilih sebagai jenis rehabilitasi lahan di Nusa penida. Guna

mengetahui kontribusi tanaman mimba terhadap perbaikan kondisi lahan di

Nusa Penida maka dilaksanakan pengukuran besarnya produksi seresah yang

dihasilkan. Penelitian dilaksanakan dengan membuat jaring penangkap seresah

berukuran 1 x 1 m dan diletakkan dibawah tanaman mimba. Hasil penelitian

menunjukkan besarnya produksi seresah tanaman mimba hingga umur tiga

tahun di Nusa penida adalah sebesar 2,511g/th/m2.

Kata kunci : Mimba, Seresah, Nusa Penida

I. PENDAHULUAN

Nusa Penida merupakan salah satu pulau terluar yang berada

disebelah selatan pulau Bali. Secara administrasi Nusa Penida adalah

sebuah kecamatan dibawah pemerintahan Kabupaten Klungkung, Propinsi

Bali. Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida cenderung landai

hingga berbukit, dimana daerah datar merupakan daerah pesisir di

sepanjang pantai bagian utara dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian

lahan 0 - 268 m dpl. Sedangkan semakin ke selatan daerahnya memiliki

kemiringan lereng yang semakin bergelombang (Pemerintah Kabupaten

Klungkung, 2013). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Bali (2010)

hampir 45% wilayah Kabupaten Klungkung termasuk dalam kondisi kritis

dan sebagian besar berada di Nusa Penida (Pemerintah Propinsi Bali,

2010). Selain kemiringan lahan yang curam, kedalaman tanah yang dangkal

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 567

dan minimnya jumlah air tanah mejadi penyebab lahan di Nusa Penida

tergolong kritis.

Upaya perbaikan kondisi lahan di Nusa Penida terus dilakukan dan

salah satunya melalui program penanaman tanaman. Salah satu jenis

tanaman yang dapat disarankan adalah jenis mimba yang dikenal

mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungan

kritis. Struktur akar yang sering menyamai tinggi pohonnya menjadikan

tanaman ini sebagai penahan air dan tanah sehingga dapat mengantisipasi

kekeringan dan erosi (Putri dan Widyani, 2007). Peran tanaman dalam

rehabilitasi lahan kritis selain melalui kemampuan menahan air hujan

sehingga mengurangi potensi erosi adalah melalui seresah yang dihasilkan

dan terakumulasi dalam tanah. Seresah terdekomposisi akan menghasilkan

unsur hara yang penting bagi pertumbuhan tanaman dan perbaikan

kesuburan tanah. Oleh karena itu guna mengetahui peran tanaman mimba

bagi tanah di Nusa Penida dilakukan penelitian untuk mengukur besarnya

produksi seresah yang dihasilkannya.

II. METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan penelitian

Nusa penida yang secara administrasi termasuk dalam kawasan hutan

suana, Nusa penida. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2012 hingga tahun

2013, dengan pengambilan sampel sebanyak empat kali yaitu pada bulan

juli dan oktober 2012 serta bulan juli dan desember 2013. Pengambilan

data dilakukan dalam plot penanaman mimba yang ditanam dengan empat

perlakuan manipulasi lingkungan yaitu P1 (pupuk kandang), P2 (pupuk

kandang + gulud), P3 (pupuk kandang + hydrogel), P4 (gulud + hydrogel)

dan P0 (plot kontrol).

Rancangan penelitian yang digunakan dalam pembuatan plot

penanaman mimba adalah rancangan bujur sangkar latin 5 x 5, dimana lima

baris searah dengan kemiringan lahan dan lima kolomnya tegak lurus

kemiringan atau sejajar kontur lahan. Berdasarkan hal tersebut

pengambilan sampel seresah dilakukan secara purposive pada baris

pertama, ketiga, dan kelima. Pembuatan plot pebgambulan seresah

dilakukan dengan jaring penangkap seresah seluas 1m dan diletakkan

568| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dibawah tanaman mimba yang terpilih sebagai sampel. Pemilihan sampel

tanaman dalam setiap plot tanaman dilakukan secara random.

Pengukuran dilakukan dengan mengmbil seresah mimba baik daun

maupun dahan yang tertangkap dalam jaring. Seresah yang diperoleh

kemudian ditimbang dan di oven selama 24 jam dengan suhu 105oC

sehingga diperoleh berat kering oven atau biomassa seresah. Data berat

seresah dianalisa secara diskriptif dan dihitung berat estimasi produksi

seresah mimba per bulan per meter persegi atau per tahun per meter

persegi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil pengukuran produksi seresah tanaman mimba ditampilkan

dalam gambar 1. Data tersebut merupakan data berat seresah yang diukur

selama dua tahun (20 bulan) dengan intensitas empat kali pengukuran.

Berat kering oven seresah adalah berat seresah setelah dioven pada suhu

105oC selama 24jam. Bagian tanaman mimba yang jatuh dan ditangkap

jaring penangkap sebagian besar berupa daun dan ranting. Pada saat

dilakukan pengamatan, bagian tanaman mimba yang terdapat pada jaring

penangkap biasanya masih berupa jaringan utuh berwarna kuning hingga

kecoklatan.

Gambar 1. Berat seresah tanaman mimba umur tiga tahun

di Nusa penida

1.090

0.305 0.406

1.477

0.111

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

P0 P1 P2 P3 P4

ber

at

seres

ah

(g

)

Plot penanaman mimba

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 569

Berat seresah rata-rata yang diperoleh selama pengamatan dua puluh

bulan adalah sebesar 0,678g. Berat tertinggi diperoleh dari tanaman dalam

plot P3 dan terendah dalam plot P4. Dalam plot P3 penanaman mimba

dilakukan dengan penambahan pupuk kandang dan hydrogel, berdasarkan

analisa pertumbuhannya tanaman mimba dalam plot P3 memiliki

pertumbuhan yang paling baik diantara yang lain baik itu tinggi, diameter

maupun lebar tajuknya. Sedangkan pertumbuhan tanaman mimba yang

paling rendah ada pada plot P0, namun ini tidak berbanding lurus dengan

jumlah seresah yang dihasilkan dikarenakan berdasar gambar 1 terlihat

bahwa jumlah seresah terendah ada pada plot P4. Hasil analisa korelasi

antara berat seresah dengan parameter pertumbuhan tanaman mimba

menunjukkan berat serresah yang dihasilkan lebih berkorelasi dengan lebar

tajuk tanaman daripada tinggi dan diameter batang tanamannya (Tabel 1).

Hal ini menggambarkan bahwa semakin besar tajuk yang dimiliki tanaman

mimba akan semakin besar pula kemungkinan seresah yang jatuh ketanah.

Hal ini sebagimana yang dikatakan Cragg (1964) dalam Soeroyo (1986)

bahwa selain faktor lingkungan seperti kesuburan tanah, kelembaban,

kerapatan, bidang dasar, musim dan tegakan, tajuk juga cukup berpengaruh

terhadap produksi seresah dimana semakin tipis tajuk akan semakin

berkuarng produksi seresahnya.

Tabel 1. Data pertumbuhan tanaman mimba dan korelasi pearson antara

berat seresah terhadap pertumbuhan tanaman mimba

Plot penanaman

mimba

Seresah

(g)

Tinggi

(cm)

Diameter

(mm)

lebar

tajuk (cm)

P0 1.089567 46.97328 6.206193 24.36325

P1 0.305417 70.57758 8.722325 36.43845

P2 0.40635 79.09019 9.82872 40.77586

P3 1.47695 96.12388 11.80801 51.27407

P4 0.1109 53.38944 6.252543 24.79496

korelasi pearson berat

seresah dengan pertumbuhan

tanaman mimba

0.395149 0.454846 0.467632

570| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 2. Berat seresah rata-rata dalam setiap pengambilan sampel

Berdasarkan gambar 1 terlihat besarnya berat rata-rata seresah

selama dua puluh bulan adalah 0,678g, sedangkan dalam gambar 2

ditampilkan besarnya berat seresah rata-rata setiap pengamatan selama dua

puluh bulan. Pengambilan sampel pada bulan oktober 2012 diperoleh

jumlah seresah terbesar diantara yang lain, sedangkan yang terendah pada

bulan juli 2013. Data dalam gambar 2 bila dikonversi menjadi data berat

seresah per bulan dalam setiap pengambilan sampelnya adalah bulan juli

2012 sebesar 0,127g, oktober 2012 sebsar 0,662g, juli 2013 sebesar 0,014g,

dan desember 2013 sebesar 0,035g. Oleh karena itu secara rata-rata

menjadi 0,209g/m2/bulan, sehingga bila dikonversi menjadi per tahun

adalah sebesar 2,511g/th/m2. Produksi seresah yang dihasilkan tersebut

masih cukup kecil atau hampir hanya 0,109% dari produksi seresah pada

hutan hujan tropis (Wiharto,2004 dalam Raharjo, 2006). Hasil ini juga

masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi seresah beberapa

jenis tanaman lain seperti Acacia crassicarpa umur 3 tahun di Riau yaitu

sebesar 44,3g/m2/bulan (Aprianis, 2011), Acacia mangium dan Pinus

merkusii di Gunung Walat yaitu sebesar 16,9g/m2/minggu dan 11,2

g/m2/minggu (Hilman, 1992 dalam Raharjo, 2006). Hasil ini juga masih

jauh lebih kecil daripada produksi seresah mimba di sumbawa pada tahun

2013 yaitu sebesar 30,1-45,4g/pohon/tahun (Setiawan dkk, 2013).

0

0.381

1.985

0.122 0.175

0

0.5

1

1.5

2

2.5

be

rat

sere

sah

(g)

waktu pengambilan sampel

Berat seresah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 571

Salah satu potensi penting dari keberadaan seresah dalam tanah

adalah adanya potensi menyumbang bahan organik dan unsur hara N bagi

tanah. hasil penelitian Setiawan dkk (2013) menunjukkan bahwa seresah

mimba di sumbawa berpotensi menyumbang bahan organik sebesar 52,73-

53,92% dan unsur hara N sebesar 1,03-1,95%. Berdasarkan informasi

tersebut maka seresah mimba di nusa penida berpotensi menyumbangkan

bahan organik sebesar 1,32-1,35g/m2/th dan unsur hara N sebesar 0,026-

0,049g/m2/th. Data pengukuran tahun 2013 bahwa besarnya unsur hara N

dan bahan organik di Nusa Penida adalah sebesar 0,26% dan 1,88%,

sedangkan berat jenis tanahnya adalah sebesar 2,21g/cm3 dan kedalaman

rata-rata tanahnya adalah 50cm. Maka dari itu besarnya potensi sumbangan

unsur hara N dan bahan organik seresah tanaman mimba bagi tanah di

Nusa Penida masih cukup kecil yaitu hanya sebesar 0,001-0,002% dan

0,006-0,007% saja. Namun demikian meskipun produksi seresah yang

dihasilkan masih cukup kecil namun peran seresah tersebut masih cukup

penting khususnya bagi tanah di Nusa Penida yang cenderung memiliki

solum tipis dan bertopografi miring. Seresah yang sudah terdekomposisi

menjadi bahan organik atau humus mempunyai beberapa peran yaitu

sebagai granulator untuk memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara

seperti N,P,S dan unsur lainnya, menambah kemampuan tanah menahan

air, menambah kemampuan tanah menahan unsur hara, dan sebagai sumber

energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno, 1987).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Besarnya produksi seresah tanaman mimba hingga umur tiga tahun

di Nusa Penida adalah sebesar 2,511g/m2/th.

B. Saran

Dalam penelitian ini masih hanya sebatas melihat seberapa besar

produksi seresah yang dihasilkan tanaman mimba umur tiga tahun sehingga

kedepan perlu juga dilakukan penelitian mengukur besarnya produksi

seresah hingga umur yang lebih tua serta dilakukan pengamatan laju

572| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dekomposisi seresahnya dalam kondisi lahan seperti yang ada di Nusa

penida.

DAFTAR PUSTAKA

Aprianis, Y. 2011. Produksi Dan Laju Dekomposisi Serasah Acacia

crassicarpa A. Cunn. di PT. Arara Abadi. Tekno Hutan Tanaman

4: 41 – 47.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa.

Jakarta

Pemerintah kabuoaten klungkung. 2013. Kondisi geografis Kabuoaten

Klungkung.

http://www.klungkungkab.go.id/index.php/profil/14/Kondisi-

Geografis diakses tanggal 06 Juni 2014.

Pemerintah Propinsi Bali. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah

Provinsi Bali. Pemerintah Propinsi Bali.

Putri, K.P. dan N. Widyani. 2007. Potensi Tanaman Mimba Sebagai Bahan

Pestisida Nabati untuk Hutan Tanaman Rakyat di Sumatra Barat.

Prosiding Seminar Teknologi Perbenihan untuk Peningkatan

Produktifitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatra Barat. Solok, 7

November 2007

Raharjo, R. 2006. Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi

Serasah, Air Tembus Tajuk Dan Aliran Batang Serta Leaching

Pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus Merkusii), Di

Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.

Skripsi Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor

Soeroyo. 1986. Struktur dan gugur seresah hutan mangrove di Kembang

Kuning, Cilacap. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove.

Denpasar tanggal 5-8 aguatus 1986. Denpasar.

Setiawan, O., G. Samawandana, dan D.S.P. Sari. 2013. Ujicoba penyiapan

lahan dalam mendukung keberhasilan penanaman mimba di

Sumbawa. Laporan hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi

Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 573

PERILAKU HARIAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis)

PADA PENANGKARAN DI PULAU LOMBOK

Dewi Maharani1)

, Resti Wahyuni2)

dan Lalu Gde Wiryadi2)

1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry,

Jln. Raya Ciamis – Banjar Km. 4 PO.BOX 5 Ciamis 46201

Telp. 0265 - 771352, Fax 0265 – 775866 2 Balai Penelitian Teknologi HHBK,

Jl. Karya Bhakti No.7 Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Perilaku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang ditimbulkan oleh

semua faktor yang mempengaruhinya baik faktor dari dalam tubuh satwa itu

sendiri maupun faktor dari luar, sedangkan perilaku harian rusa merupakan

pola aktivitas yang dilakukan rusa sehari-hari dalam memanfaatkan habitatnya.

Pengetahuan tentang tingkah laku satwa diperlukan sebagai pengetahuan dasar

untuk menunjang penelitian-penelitian selanjutnya yaitu tentang pakan,

reproduksi, ekologi habitat dan sebagainya. Tujuan penelitian ini adalah

mengetahui perilaku harian rusa timor pada penangkaran di Pulau Lombok.

Pengamatan menggunakan metoda Time Sampling yang terdiri dari 3 (tiga)

periode waktu yaitu pagi hari (pukul 06.00 – 09.00); siang hari (pukul 11.00 -

14.00) dan sore hari (pukul 16.00 – 19.00) selama 3 (tiga) hari berturut-turut

setiap bulannya. Pengamatan perilaku harian rusa dilakukan selama 8 bulan

yaitu mulai dari bulan April – November tahun 2009, sedangkan perilaku yang

diamati merupakan aktivitas yang dilakukan rusa antara lain aktivitas makan,

istirahat dan aktivitas lain. Aktivitas lainnya adalah aktivitas selain istirahat

dan makan, misalnya bermain, berdiri, dan sebagainya. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan waktu oleh rusa timor pada penangkaran

masyarakat di Desa Puyung dan Suranadi dalam satu periode waktu

pengamatan sebagian besar adalah untuk makan (43% dan 46%),

duduk/istirahat 41% serta aktivitas lain 13% dan 16%. Rusa timor di

penangkaran KHDTK Rarung beraktivitas makan 34% dan 51%,

duduk/istirahat 33% dan 25% serta aktivitas lain 33% dan 24%.

Kata kunci: Perilaku harian, rusa, penangkaran.

574| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

I. PENDAHULUAN

Populasi rusa timor (Cervus timorensis) di alam semakin menurun

akibat perburuan liar dan perdagangan ilegal serta kerusakan habitat yang

cenderung meningkat, sehingga perlindungan dan pemanfaatannya telah

diatur oleh perangkat hukum yang ada di Indonesia salah satunya melalui

penangkaran. Penangkaran menurut PP no. 8 Tahun 1999 tentang

pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar adalah upaya perbanyakan

melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan atau satwa liar

dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Menurut Semiadi dan

Nugraha (2004) bentuk pemeliharaan rusa dapat dilakukan dengan cara

diikat, dikandangkan dan pedok. Kemudian menurut Takandjandji dan

Sutrisno (2006) teknik pemeliharaan meliputi pemeliharaan rusa itu sendiri

antara lain: pengelompokan rusa, penyapihan anak, kesehatan, dan

penandaan/tagging; pemeliharaan pagar dan kandang; pemeliharaan pakan

dan teknik pemberian pakan. Salah satu upaya dalam peningkatan jumlah

individu rusa adalah mengetahui tentang perilakunya disertai pengamanan

dan perburuan (Suratmo (1979) dalam Wirdateti, et. al., 1997). Menurut

Wirdateti, et. al. (2005) pengetahuan tentang tingkah laku satwa diperlukan

sebagai pengetahuan dasar untuk menunjang penelitian-penelitian

selanjutnya yaitu tentang pakan, reproduksi, ekologi habitat dan

sebagainya. McFarland (1994) dalam Fajri (2000) menjelaskan perilaku

satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang ditimbulkan oleh semua

faktor yang mempengaruhinya baik faktor dari dalam tubuh satwa itu

sendiri.

Berdasarkan hasil pengamatan pola aktivitas rusa antara lain

aktivitas makan, istirahat dan aktivitas lainnya. Lelono (2003) lebih lanjut

menjelaskan aktivitas makan merupakan aktivitas merenggut rumput yang

dilakukan sambil berdiri atau berjalan dimana pengamatan hanya terbatas

dari lamanya waktu memasukkan makanan ke mulut. Begitupula menurut

Garsetiasih dan Sutrisno (1997) dalam Fajri (2000), bahwa perilaku/

aktivitas makan dapat dilakukan bersama-sama dengan perilaku lokomosi

atau bergerak pindah. Pergerakan berpindah tersebut merupakan

perpindahan untuk suatu penjelajahan daerah lingkungan maupun memilih

dan mencari makanan. Aktivitas istirahat yaitu aktivitas merebahkan diri

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 575

tanpa melakukan apapun atau tidak sambil makan (Lelono, 2003).

Kemudian aktivitas lainnya adalah aktivitas selain makan dan istirahat

antara lain berjalan, memelihara diri, merawat anak, bercumbu, bertarung

dan lain-lain. Berdasarkan hal tersebut sehingga penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui perilaku harian rusa timor pada penangkaran di Pulau

Lombok.

II. METODOLOGI

Pengamatan perilaku harian dilakukan pada penangkaran rusa

yang berada dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)

Rarung serta pada 2 (dua) penangkaran masyarakat dengan jenis rusa yaitu

rusa timor (Cervus timorensis). KHDTK Rarung terletak dalam Kelompok

Hutan Gunung Rinjani RTK 1 dengan peruntukan kawasan sebagai hutan

lindung (Dishut NTB, 2007). Secara administrasi pemerintahan, KHDTK

Rarung berada di Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah,

Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah rusa pada penangkaran KHDTK

Rarung berjumlah 4 (empat) ekor rusa timor dengan 2 betina dan 2 jantan

(Gambar 1.). Umur keempat rusa tersebut diperkirakan berbeda dilihat dari

ukuran tubuh rusa timor saat baru datang/dipindahkan dari tempat lain.

Penangkaran masyarakat yang dipilih yaitu penangkaran milik bapak I

Nyoman Radmawan (Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten

Lombok Tengah) dengan jumlah rusa timor 1 jantan : 3 betina dan bapak

Benny (Desa Suranadi, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat)

mempunyai rusa timor 1 jantan : 5 betina (Gambar 1.). Pengamatan

perilaku harian di KHDTK Rarung dilakukan pada tahun 2008 (Juli –

Agustus) dan 2009 (April – Mei), sedangkan di Penangkaran masyarakat

tahun 2009 selama 8 bulan yaitu mulai dari bulan April – November.

Gambar 1. Dari kiri ke kanan: Penangkaran KHDTK Rarung-Puyung-

Suranadi

576| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pengamatan menggunakan metoda Time Sampling (Martin dan

Bateson (1986) dalam Wirdateti, dkk. (2005) yang terdiri dari 3 (tiga)

periode waktu yaitu pagi hari (pukul 06.00 – 09.00); siang hari (pukul

11.00 - 14.00) dan sore hari (pukul 16.00 – 19.00) selama 3 (tiga) hari

berturut-turut setiap bulannya. Parameter perilaku harian rusa yang diamati

antara lain aktivitas makan, istirahat dan aktivitas lain. Aktivitas lainnya

adalah aktivitas selain istirahat dan makan, misalnya bermain, berdiri, dan

sebagainya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perilaku Harian Rusa Timor di Penangkaran Masyarakat

Pengamatan perilaku harian pada penelitian ini merupakan

pengamatan perilaku rusa yang dilakukan bersamaan, karena

kecenderungan perilaku rusa yang mengikuti kelompoknya. Menurut

Hoogerwerf (1970) dalam Masy’ud, et. al. (2007) studi-studi terkait

perilaku harian rusa timor di berbagai lokasi dan tipe habitat antara lain

menunjukkan bahwa rusa timor senang hidup berkelompok, satu kelompok

dapat terdiri dari 2 bahkan kadang-kadang mencapai 75 ekor, banyak aktif

pada siang hari (diurnal) tetapi apabila ada gangguan atau perubahan

kondisi lingkungan maka dapat aktif pada malam hari (nocturnal). Lelono

(2003) menjelaskan kondisi habitat alami berbeda dengan habitat di

penangkaran, perbedaan ini dapat membentuk pola perilaku yang berbeda

pula, salah satunya dalam memanfaatkan pakan tambahan. Perilaku makan

yaitu perilaku memasukkan makanan ke dalam mulutnya karena rata-rata

pemberian pakan pada ketiga penangkaran tersebut dilaksanakan dengan

pengaritan (cut and carry), perilaku istirahat yaitu perilaku duduk tanpa

makan dan perilaku lainnya yaitu misalnya perilaku minum, jalan dan

berlari, berkubang dan sebagainya selain perilaku makan dan duduk.

Berikut Tabel 1. merupakan hasil pengamatan perilaku harian rusa timor di

2 penangkaran.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 577

Tabel 1. Perilaku harian rusa timor di penangkaran Desa Puyung dan

Suranadi.

Bulan Periode

waktu

Lokasi penangkaran dan Jenis perilaku

Makan (menit) Duduk/Istirahat

(menit)

Perilaku lain

(menit)

P S P S P S

April Pagi 33 67.67 37.55 33.33 18.55 19

Siang 62.5 63.33 41.5 45.67 16 9.33

Sore 51.67 75 41.67 48.33 22.33 13.33

Mei Pagi 63 74.67 44.33 35.33 8.67 6

Siang 60.67 61.33 53.33 46.67 6 8.33

Sore 58 57.67 49.67 46 - 14.67

Juni Pagi 59.33 54.33 43 45.67 15.67 16.67

Siang 59.33 47.67 43.33 63.33 17.33 9

Sore 43.67 49 45.67 47.67 14.33 21

Juli Pagi 56 50 49.33 44 12.67 34.33

Siang 54.33 44.67 59 56 6.67 16.33

Sore 51.33 37.33 39 51.67 24.67 23.67

Agustus Pagi 54.67 44.67 48.67 54.33 16.67 21

Siang 53.33 44 60 59 6.67 13.67

Sore 50.33 49.67 45.67 42.67 22.33 28.67

September Pagi 52 48 48 49 16.67 22.67

Siang 55 45.33 48.67 62.67 15.67 11.33

Sore 49.67 50.67 49 47 20 22.33

Oktober Pagi 57.67 50 49.67 51.33 12.33 18.67

Siang 55.33 54.67 53.67 53.67 11 10.67

Sore 44.67 50.33 52 46 20.33 23.67

Nopember Pagi 45 46.67 40 46.67 12.5 26.67

Siang 51.67 41.67 55 53.33 - 25

Sore 43.33 36.67 45 51.67 - 31.67

Rata-rata

Total 53.18 51.39 47.61 49.21 15.10 18.65

Pagi 52.58 54.50 45.07 45.96 14.22 20.63

Siang 56.52 50.33 51.81 55.04 11.33 12.96

Sore 49.08 50.79 45.96 47.63 20.67 22.38

Ket: P = Puyung, S = Suranadi

Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa lamanya waktu yang

digunakan rusa timor untuk beraktivitas pada penelitian ini hanya dalam

kurun waktu pengamatan yang telah ditentukan. Pada umumnya rusa timor

578| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

makan pada semua periode waktu yaitu untuk penangkaran di Desa Puyung

mulai dari 33 – 63 menit pada pagi hari (pukul 06.00 – 09.00) dan 51,67 –

62,5 menit pada siang hari (pukul 11.00 - 14.00), serta 43,33 – 58 menit

pada sore hari (pukul 16.00 – 19.00). Perilaku makan rusa timor pada

penangkaran di Desa Suranadi yaitu 46,67 – 67,67 menit pada pagi hari,

41,67 – 63.33 pada siang hari serta 36 – 75 menit pada sore hari. Perilaku

duduk/istirahat yaitu untuk rusa timor pada penangkaran di Desa Puyung

dilakukan mulai dari 37,55 – 49,67 menit pada pagi hari, siang hari mulai

dari 41,50 – 67 menit, dan sore hari mulai dari 39 – 49,67 menit. Rusa

timor di Penangkaran Desa Suranadi melakukan duduk/istirahat mulai dari

33,33 – 51,33 menit pada pagi hari, sedangkan siang dan sore hari mulai

dari 45,67 – 62,67 menit dan 42,67 – 51,67 menit. Perilaku lainnya mulai

dari 8,67 – 18,55 menit; 6 – 17,33 menit dan 14,33 – 22,33 masing-masing

pada pagi, siang dan sore hari di Penangkaran Desa Puyung. Adapun di

Desa Suranadi mulai dari 6 – 3,33 menit; 8,33 - 25 menit dan 14,67 – 31,67

menit masing-masing pada pagi, siang dan sore hari.

Rata-rata waktu yang digunakan rusa timor di beraktivitas setiap

periode waktunya yaitu untuk makan selama 53,18 menit, duduk/istirahat

47,61 menit dan aktivitas lain 15,10 menit/periode waktu (di Penangkaran

Desa Puyung), sedangkan rusa timor di Penangkaran Desa Suranadi untuk

makan menggunakan waktu rata-rata selama 51,39 menit, duduk/istirahat

selama 49,21 menit dan aktivitas lain selama 18,65 menit/periode waktu.

Lamanya waktu yang digunakan oleh rusa timor untuk beraktivitas di

kedua penangkaran tersebut pada umumnya hampir sama.

Adapun periode waktu yang paling banyak digunakan untuk

makan adalah siang hari (pukul 11.00 - 14.00) selama 56,52 menit di

penangkaran Desa Puyung, berbeda dengan di Desa Suranadi pada pagi

hari (pukul 06.00 – 09.00) selama 54,50 menit. Perbedaan ini diduga

karena perbedaan waktu pemberian pakan di kedua penangkaran tersebut,

dimana pemberian pakan dilakukan secara cut and carry serta tanpa pakan

tambahan sehingga aktivitas makan rusa sangat tergantung ketersediaan

pakan. Menurut Lelono (2003) pola aktif makan rusa mempunyai 3 puncak

waktu yaitu pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00, siang antara pukul 11.00

– 14.00 dan sore mulai pukul 17.00 – 18.00. Berbeda dengan hasil

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 579

pengamatan Dradjat (2000), aktifitas makan tertinggi rusa timor terjadi

pada pukul 06.00 dan 18.00, terjadi penurunan pada saat siang hari dan

malam hari yaitu sejak pukul 21.00 (waktu istirahat). Perbedaan ini diduga

karena adanya perbedaan waktu dan cara pemberian pakan serta waktu

pengamatan itu sendiri. Berdasarkan beberapa pengamatan tersebut,

diketahui bahwa rusa pada dasarnya melakukan aktivitas makan hampir

sepanjang waktu bahkan sampai malam hari (hewan nokturnal). Lebih

lanjut Lelono (2003) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan penggunaan

waktu pada beberapa rusa timor dengan berbeda fisiologi dalam melakukan

aktivitas makan. Perilaku makan yang paling banyak dilakukan adalah oleh

rusa betina yang merawat anak yaitu selama 7,15 jam, hal ini dikarenakan

selain untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya juga karena harus

menyediakan susu sebagai makanan pokok anaknya. Kemudian diikuti oleh

jantan dengan ranggah lunak yaitu selama 7 jam, tingginya kebutuhan

makan kemungkinan disebabkan untuk membantu dalam pertumbuhan

ranggah dan menyimpan cadangan lemak yang dapat dijadikan sumber

energi pada saat kawin yaitu ketika ranggah mengeras, karena pada masa

itu nafsu makan rusa menurun.

Periode waktu yang paling banyak digunakan untuk aktivitas

duduk/istirahat dan aktivitas lain pada kedua penangkaran adalah sama

yaitu pada siang hari dan sore hari masing-masing selama 51,81 menit dan

20,67 menit (Puyung) serta 55,04 menit dan 22,38 menit (Suranadi).

Perilaku lain yang teramati yaitu perilaku minum, jalan, berdiri diam,

berlari, urinasi (buang air kecil), defikasi (buang air besar), saling

mendekati, saling menjilati, berkubang dan meraung. Aktivitas

duduk/istirahat banyak dilakukan siang hari, hal ini diduga dikarenakan

pada siang hari umumnya berhawa panas sedangkan rusa termasuk

mamalia yang memiliki sistem fisiologi tubuh berdarah panas yaitu

cenderung mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil tidak terpengaruh

dengan suhu lingkungannya, oleh karena itu rusa lebih banyak istirahat

agar kalor tidak banyak keluar dari tubuh serta agar cairan tubuh tetap

stabil karena cairan tubuh berguna untuk mengontrol suhu tubuh rusa agar

tetap stabil. Berikut Gambar 2 adalah prosentase perbedaan penggunaan

waktu oleh rusa timor di penangkaran masyarakat.

580| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 2. Prosentase Perilaku Harian Rusa Timor pada Penangkaran di

Desa Puyung dan Suranadi

Berdasarkan Gambar 2., penggunaan waktu dalam satu periode

waktu oleh rusa timor pada penangkaran masyarakat di Desa Puyung dan

Suranadi sebagian besar adalah untuk makan (43% dan 46%),

duduk/istirahat 41% serta aktivitas lain 13% dan 16%. Begitupun dari hasil

penelitian Masy’ud, et. al. (2007) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

alokasi waktu untuk setiap aktivitas harian dari rusa timor di kawasan

padang perumput Tanjung Sari Taman Nasional Bali Barat pada setiap

periode aktivitas yakni pagi, siang dan sore hari. Sebagian besar alokasi

waktu digunakan untuk aktivitas ingesti atau makan-minum (52,05 %)

sebagai aktivitas utama untuk memenuhi kebutuhn hidup (energi), diikuti

istirahat (30,61%), bergerak (6,12%), investigative (6,12%) dan grooming/

membersihkan diri (5,10%).

2. Perilaku harian rusa timor di Penangkaran KHDTK Rarung

Pengamatan perilaku harian rusa timor di Penangkaran KHDTK

Rarung dilakukan pada 2 tahun yaitu tahun 2008 dan 2009 masing-masing

selama 2 bulan. Hal ini dikarenakan rusa menunjukkan perilaku tidak

alamiah dan cenderung menunjukkan kewaspadaan atau ketegangan

sehingga dikhawatirkan menimbulkan stress. Perilaku tidak alamiah diduga

karena pengaruh kandang dengan dinding permanen dan relatif tertutup

sehingga rusa belum terbiasa dengan kehadiran manusia, berbeda dengan

kondisi kandang di penangkaran masyarakat (Puyung dan Suranadi) yang

memiliki kandang dengan dinding terbuka sehingga rusa terbiasa dengan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 581

keberadaan manusia. Berikut Tabel 2. lama dan jenis perilaku yang

dilakukan rusa timor di Penangkaran KHDTK Rarung.

Tabel 2. Perilaku haraian rusa timor di Penangkaran KHDTK Rarung

Bulan/Tahun Periode

waktu

Jenis perilaku

Makan

(menit)

Duduk/Istirahat

(menit)

Perilaku lain

(menit)

Juli (2008) Pagi 70.5 37.75 64.25

Siang 57 78.25 71

Sore 60.5 62.5 57

Agustus

(2008) Pagi

65.75 36 84.5

Siang 53.25 77.5 48

Sore 74 70.5 35.75

Rata-rata

Total 63.50 60.42 60.08

Pagi 68.13 36.88 74.38

Siang 55.13 77.88 59.50

Sore 67.25 66.50 46.38

April (2009) Pagi 60 32.5 27.5

Siang 71.33 20.66 25.66

Sore 69.33 31.66 21.66

Mei (2009) Pagi 53.67 28 31.67

Siang 51.6 33.33 31.6

Sore 50 30 25

Rata-rata

Total 59.32 29.36 27.18

Pagi 56.84 30.25 29.59

Siang 61.47 27.00 28.63

Sore 59.67 30.83 23.33

Tabel 2. di atas menjelaskan aktivitas rusa timor di Penangkaran

KHDTK Rarung untuk makan mulai dari 53,25 – 74 menit; duduk/istirahat

36 – 78,25 menit serta aktivitas lain 35,75 – 84,5 menit pada tahun 2008,

sedangkan tahun 2009 perilaku harian untuk makan, duduk/istirahat dan

aktivitas lain mulai dari 50 – 71,33 menit; 28 – 33,33 menit dan 25 – 31,67

menit. Perilaku harian rusa timor untuk makan, duduk/istirahat dan perilaku

lain masing-masing rata-rata selama 63,50; 60,42 dan 60,08 menit/periode

waktu pengamatan (tahun 2008); serta 59,32; 29,36 dan 27,18

menit/periode waktu pengamatan (tahun 2009). Berikut Gambar 3. adalah

prosentase perbedaan penggunaan waktu oleh rusa timor di Penangkaran

KHDTK Rarung.

582| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Gambar 3. Prosentase Perilaku Harian Rusa Timor di Penangkaran

KHDTK Rarung.

Berdasarkan Gambar 3. di atas terlihat bahwa pada tahun 2008

waktu yang digunakan rusa timor untuk berbagai aktivitas hampir sama, hal

ini diduga karena rusa belum terbiasa akan seringnya kehadiran manusia

dibanding sebelumnya, serta diduga karena kandang rusa sudah ditanami

rumput sehingga selain makan juga beraktivitas lainnya seperti jalan sambil

merumput. Berbeda dengan tahun 2009, penggunaan waktu cukup berbeda

jauh, hal ini diduga rusa sudah terbiasa dengan seringnya kehadiran

manusia serta karena variasi pakan lebih beragam (Maharani dan Wiryadi,

2009) yaitu selain hijauan yang ditanam seperti turi (Sesbania grandiflora),

gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), rumput gajah

(Pennisetum purpureum), rumput raja (Pennisetum purpuphoides) dan

rumput mulato (Brachiaria mulato) yang diberikan sesuai dengan

waktu/daur pemanenan juga hijauan lainnya yaitu daun nangka

hijau+kering, daun mahoni dan daun pisang serta pakan tambahan (dedak

padi dan jagung giling). Dibandingkan sebelumnya (Maharani, et. al.,

2010) hanya hijauan (daun turi, daun lamtoro, daun kacang gude, rumput

raja, rumput gajah dan daun gamal) serta pakan tambahan (dedak padi, ubi

jalar dan jagung giling). Akan tetapi dari hasil pengamatan tersebut,

aktivitas makan masih merupakan aktivitas yang banyak dilakukan

dibanding aktivitas lainnya yaitu 34% (tahun 2008) dan 51 % (tahun 2009),

seperti halnya rusa di tempat lain. Hasil pengamatan yang dilakukan

Wirdateti, et. al. (1997) mulai dari Agustus sampai dengan Oktober 1993,

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 583

rataan aktivitas rusa jawa (Cervus timorensis) di penangkaran Taman Safari

adalah 44% makan (merumput), 27% memamah biak, 18% istirahat/tidur,

6% berdiri diam, dan 5% berjalan-jalan di sekitar penangkaran. Begitu juga

hasil penelitian Wirdateti, et. al. (2005), aktivitas rusa timor di wilayah PT.

Kuala Tembaga Desa Aertembaga-Bitung-Sulawesi Utara yang dilakukan

mulai bulan Oktober – November 1994 yaitu merumput (31,17%),

memamah (14,63%) dan berbaring/istirahat (13,54%) dengan waktu

merumput terbanyak pada pagi dan menjelang malam hari, sedangkan

memamah dan istirahat pada siang hari.

IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini terbatas waktu pengamatan sehingga dapat

diambil kesimpulan yaitu:

1. Penggunaan waktu oleh rusa timor pada penangkaran masyarakat di

Desa Puyung dan Suranadi dalam satu periode waktu pengamatan

sebagian besar adalah untuk makan (43% dan 46%), duduk/istirahat

41% serta aktivitas lain 13% dan 16%.

2. Rusa timor di penangkaran KHDTK Rarung beraktivitas makan 34%

dan 51%, duduk/istirahat 33% dan 25% serta aktivitas lain 33% dan

24%.

Dari kesimpulan diatas dapat direkomendasikan terutama kepada

para pengelola penangkaran rusa agar lebih banyak mengamati aktivitas

rusa sehingga diketahui jadwal pemberian pakan serta terutama diketahui

musimnya rusa reproduksi atau musim kawin sehingga upaya perbanyakan

dapat tercapai sesuai target yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dradjat, A. S. 2000. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan, Embrio

Transfer dan In Vitro Fertilisasi pada Rusa di Indonesia: Suatu

Cara Untuk Mencegah Hewan Langka dari Kepunahan. Laporan

Riset Unggulan Terpadu V Bidang Teknologi Perlindungan

Lingkungan. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dewan

Riset Nasional. Jakarta.

Dinas Kehutanan Prov. NTB. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi

NTB Tahun 2006: 45-47. Mataram-NTB.

584| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Fajri, S. 2000. Perilaku Harian Rusa Totol (Axis axis) yang

Dikembangbiakkan di Padang Rumput Halaman Istana Negara

Bogor. Skripsi Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Lelono, A., 2003. Pola Aktivitas Harian Individual Rusa (Cervus

timorensis) dalam Penangkaran. Jurnal Ilmu Dasar Vol. 4 no.1: 48-

53.

Maharani, D. dan L.G. Wiryadi. 2009. Uji Coba Teknik Pemeliharaan

Rusa Timor dalam Kandang Permanen untuk Mendukung

Ekowisata di KHDTK Rarung. Laporan Hasil Penelitian BPK

Mataram. Tidak diterbitkan.

Maharani, D., R. Wahyuni dan L.G. Wiryadi. 2010. Uji Coba Teknik

Pemeliharaan Rusa Timor dalam Kandang Permanen untuk

Mendukung Ekowisata di KHDTK Rarung. Laporan Hasil

Penelitian BPK Mataram. Tidak diterbitkan.

Masy’ud, B., R. Wijaya dan I.B. Santoso. 2007. Pola Distribusi, Populasi

dan Aktivitas Harian Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville

1822) di Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi Vol.12

No.3 ISSN: 0215-1677. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/

handle/123456789/43594/Burhanuddin%20Masy%27ud.pdf?seque

nce=1. Diakses tanggal 20 Juni 2011.

Semiadi, G. dan R. Taufiq Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa

Tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia. Bogor.

Takandjandji, M. dan Edy Sutrisno. 2006. Teknik Penangkaran Rusa Timor

(Cervus timorensis timorensis). Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang.

Wirdateti, M. Mansur dan A. Kundarmasno. 2005. Pengamatan Tingkah

Laku Rusa Timor (Cervus timorensis) di PT Kuala Tembaga, Desa

Aertembaga, Bitung-Sulawesi Utara. Animal Production, Vo. 7

No.2, Mei 2005: 121-126.

Wirdateti, W.R. Farida dan M.S.A Zein. 1997. Perilaku Harian Rusa Jawa

(Cervus timorensis) di Penangkaran Taman Safari Indonesia. Biota

Vol. II (2): 78 – 81. ISSN 0853-8670.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 585

HHBK LAK DENGAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DI DESA SUGIAN

KECAMATAN SAMBELIA KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Febriana Tri Wulandari & Sad Kurniati Wanitaningsih

Fakultas Ilmu Kehutanan Universitas Nusa Tenggara Barat

Email : [email protected]

ABSTRAK

Desa Sugian merupakan salah satu daerah yang telah melaksanakan budidaya

lak. Tetapi perkembangannya kurang menunjukan hasil yang maksimal.

Berdasarkan survey di lapangan kami menemukan beberapa permasalahan

sebagai berikut: a. Belum adanya teknologi pasca panen lak yang baik dari

petani sehingga mutu lak sangat rendah.b. Kurangnya bibit kutu lak yang baik.

c. Belum adanya pemeliharaan kutu lak yang baik sehingga sangat mudah

terserang parasit dan predator. d. Kurang pembinaan secara berkesinambungan

oleh dinas kehutanan. e. Harga jual yang rendah ditingkat petani. f. Lokasi

pemasaran yang belum jelas (pembeli mengambil langsung ke petani). g.

Ketersediaan kutu lak tidak berkesinambungan (setahun hanya 2 kali panen).

Tujuan dari penelitian ini memberikan gambaran pemecahan masalah dalam

budidaya dan pengolahan hasil lak sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi

masyarakat setempat khususnya di desa Sugian kecamatan Sambelia

Kabupaten Lombok Timur. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah

ini dengan menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu menyajikan suatu

gambaran terperinci atas suatu situasi khusus (Silalahi, 2009).

Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal

sesuai prinsip hutan untuk rakyat (forest for people). Pemberdayaan yang

dilakukan harus memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar

pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai.Posisi masyarakat dalam

pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana utama, sedangkan

pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program

pengembangan HHBK. HHBK kutu lak merupakan salah satu HHBK yang

dapat menjadi alternative untuk daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang

rendah (lahan kering) terutama untuk daerah Kabupaten Lombok Timur yang

sebagian wilayah memiliki curah hujan yang rendah.Dalam pengembangan

HHBK kutu lak perlu penanganan budidaya dan pasca panen kutu lak yang

baik untuk menghasilkan mutu lak yang baik sehingga dapat meningkatkan

nilai jual lak yang awalnya hanya Rp 7000 – 8000 per kilogram menjadi

Rp 90.000 – 125.000 per kilogram. Selain budidaya dan penanganan pasca

panen yang baik, pembinaan dari pihak terkait terutama pemerintah daerah

sangat diperlukan untuk kesinambungan pengembangan HHBK kutu lak

586| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

terutama dalam hal pemasaran.Pembentukan Forum pemerhati kutu lak perlu

dibentuk untuk pengembangan penelitian terutama untuk menghasilkan bibit

kutu lak yang baik.

Kata kunci : HHBK, kutu lak dan lak

I. PENDAHULUAN

Lak merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Lak

atau biasa disebut sherlak merupakan hasil dari sekresi kutu lak. Kutu lak

biasanya hidup di pohon kesambi. Kutu lak tidak akan merusak pohon

kesambi karena kutu lak hanya memakan gubal kayu pada cabang muda

pohon kesambi dan juga pohon kesambi yang ditulari kutu lak harus

berumur diatas 10 tahun sehingga tidak akan mengganngu pertumbuhan

pohon kesambi. Lak biasanya digunakan untuk kosmetik, vernis, obat sakit

perut dan lain-lain.

Desa Sugian merupakan salah satu daerah yang telah melaksanakan

budidaya lak. Tetapi perkembangannya kurang menunjukan hasil yang

maksimal. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan analisis

permasalahan di lapangan untuk memecahkan masalah tersebut.

Berdasarkan survey di lapangan kami menemukan beberapa permasalahan

sebagai berikut :

a. Belum adanya teknologi pasca panen lak yang baik dari petani sehingga

mutu lak sangat rendah.

b. Kurangnya bibit kutu lak yang baik

c. Belum adanya pemeliharaan kutu lak yang baik sehingga sangat mudah

terserang parasit dan predator.

c. Kurang pembinaan secara berkesinambungan oleh dinas kehutanan.

d. Harga jual yang rendah ditingkat petani

e. Lokasi pemasaran yang belum jelas (pembeli mengambil langsung ke

petani).

f. Ketersediaan kutu lak tidak berkesinambungan (setahun hanya 2 kali

panen)

Salah satu pemecahan masalahnya dengan membuat teknologi

tepat guna yaitu teknologi yang dirancang bagi masyarakat setempat agar

memudahkan masyarakat untuk menggunakannya. Dengan teknologi tepat

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 587

guna ini diharapkan dapat meningkatkan pengembangan budidaya lak

didaerah tersebut karena teknologi yang digunakan sederhana sehingga

tidak memerlukan keahlian yang khusus.

Tujuan dari penelitian ini memberikan gambaran pemecahan

masalah dalam budidaya dan pengolahan hasil lak sehingga dapat

meningkatkan nilai ekonomi masyarakat setempat khususnya di desa

Sugian kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur.

Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan

informasi pada masyarakat tentang teknik budidaya dan pengolahan hasil

lak dengan teknologi tepat guna sehingga masyarakat mudah untuk

menerapkan dan mengembangkannya serta membantu pemerintah dalam

program pengembangan HHBK lak.

II. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini dengan

menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu menyajikan suatu

gambaran terperinci atas suatu situasi khusus (Silalahi, 2009). Data

diperoleh dari data primer dan data sekunder hasil penelitian dari peneliti

yang bersangkutan serta literature beberapa pustaka.

III. PEMBAHASAN

Permasalahan secara umum pengembangan HHBK adalah

kurangnya perhatian terhadap komoditi HHBK, mengingat HHBK ini

umumnya bersifat sementara ketersediaannya di pasaran. Sehingga

masyarakat tidak terlalu tertarik untuk mengembangkan beberapa komoditi

HHBK.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan HHBK kutu

lak adalah sebagai berikut :

a. Membuat blok-blok tularan

Untuk ketersediaan HHBK kutu lak secara berkesinambungan maka

pembentukan blok-blok tularan ini sangat ideal sehingga sepanjang

tahun kutu lak akan dapat dipanen sehingga ketersediaannya di pasaran

selalu ada

b. Menerapkan teknik budidaya kutu lak yang baik

588| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pemanfaatan teknik budidaya yang baik akan menghasilkan mutu lak

yang cukup tinggi dan produktivitas per pohonnya yang tinggi.

Budidaya kutu lak yang baik adalah dengan pemilihan bibit kutu lak

yang bermutu, teknik penularan kutu lak yang benar, pemeliharaan

secara berkesinambungan dan teknik pemanenan yang benar.

Bibit yang kami gunakan adalah bibit lak cabang (stok lak).stok

lak yang baik bila tularannya penuh dan berwarna kuning bening dan

permukaannya terdapat benang putih melapisi permukaannya.

Gambar 1. Contoh bibit lak cabang yang baik

Teknik penularan yang baik dengan menggunakan kantung strimin

untuk menghindari serangan parasit dan predator.Berdasarkan pemantauan

kami dilapangan masyarakat lebih menyukai tidak menggunakan kantung

strimin karena menurut mereka kutu lak lebih cepat penularan dengan

tanpa kantung strimin, tetapi dampaknya tularan kutu lak hasilnya tidak

baik (tularan tidak penuh/terputus-putus dan berwarna kehitaman).Hal ini

disebabkan serangan parasit dan predator (biasanya semut merah besar).

Gambar 2. Contoh tularan kutu lak yang tidak baik

Selain teknik penularan yang baik, pemeliharaan juga diperlukan

dalam budidaya kutu lak.pemeliharaan dilakukan setelah 3 bulan penularan

dengan melakukan proses pengasapan disekitar pohon inang, pembersihan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 589

tanaman disekitar pohon inang yang mengganggu pertumbuhan pohon

inang dan pemangkasan tanaman yang menghalangi sinar matahari

mengenai pohon inang (tebang matahari). Cara ini sangat efektif untuk

menghasilkan mutu lak yang baik karena tularan menjadi penuh karena

kutu lak sangat menyukai sinar matahari langsung untuk memudahkan dia

menempel pada pohon inang bila musim hujan biasanya mutu lak menjadi

rendah (tularan tidak penuh dan berwarna hitam bahkan bisa tidak tertular

sama sekali).

Teknik pemanenan yang baik akan melindungi pohon inang.

Petani kutu lak berdasarkan pemantauan kami dilapangan biasanya

menggunakan parang untuk memangkas lak cabang, hal ini akan

menyebabkan kerusakan pada pohon inang, yang akibatnya akan membuat

pohon inang mengalami gangguan dalam pertumbuhannya. Untuk

mengatasi hal tersebut dengan memangkas dengan menggunakan gunting

pangkas, sehingga tidak akan merusak cabang pohon inang.

Gambar 3. Bagan budidya kutu lak (Wulandari,F.T,2011)

c. Menerapkan teknologi pasca panen.

Permasalahan utama ketika kami ke lapangan adalah rendahnya harga lak

karena mutu yang rendah (berwarna hitam dan di kemas seadanya dengan

menggunkan karung).Harga lak di tingkat di desa Sugian hanya Rp 7000 –

Rp 8000.Harga ini sangat jauh dengan harga lak di pasaran yaitu sekitar Rp

90.000 sampai Rp 125.000. Berdasarkan hal tersebut kami melakukan

beberapa uji coba untuk menghasilkan mutu lak yang baik yaitu dengan

menerapkan teknologi pasca panen. Teknologi pasca panen yang kami

terapkan dengan menggunakan beberapa bantuan alat untuk memudahkan

PRODUK LAK BATANG

SELEKSI LAK

BIBIT

PENULARAN KUTU

LAK

DITUNGGU 156 HR ATAU 5 BLN

PEMANENAN

LAK

PEMILAHAN LAK BATANG UTK

BIBIT

590| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

dalam pengolahannya dan untuk menghasilkan mutu lak yang baik yaitu

berwarna kuning bening.Tahapan-tahapan pengolahan pasca panen lak

dapat dilihat pada bagan dibawah ini.

Gambar 4. Bagan alur teknologi pasca panen lak (Wulandari.F.T, 2011).

d. Penetapan standar mutu lak

Penetapan standar mutu diperlukan untuk mendukung peningkatan harga

lak di pasaran.Standar mutu yang kami buat nantinya dapat menjadi acuan

bagi para petani untuk menetapkan mutu lak yang dihasilkannya.

Standar mutu lak dibagi dua bagian yaitu standar mutu lak cabang dan

standar mutu lak butiran.

Standar mutu lak cabang mengkatagorikan berdasarkan kerataan

tularan (%) pada lak cabang dengan melihat panjang dan sisi lak cabang

tularan.Lak cabang yang tertular diamati seberapa panjang yang tertular

dan semua sisinya diamati apakah terisi penuh atau tidak. Lak cabang

yang terbaik akan menjadi bibit pada penularan lak pada periode

berikutnya. Bibit lak yang baik akan menghasilkan kualitas lak yang baik

dan produksinya yang dihasilkan juga akan tinggi.

MENGUPAS LAK

CABANG

MENGOLAH DALAM

BENTUK BUTIRAN

PENGERINGAN

LAK BUTIRAN

PEMBILASAN LAK

BUTIRAN

PACKING/

PENGEMASAN

PELABELAN

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 591

Tabel 1. Standar mutu lak cabang

No Standar

Mutu

Kerataan (% dari panjang lak)

Panjang (%) Sisi (%)

1 tinggi 100 100

2 sedang 50 50

3 rendah 25 25

(Wulandari,F.T, 2012).

Standar mutu lak butiran dikatagorikan berdasarkan warna lak

yang dihasilkan dari proses pasca panen lak. Pada proses pasca panen, lak

cabang diolah melalui teknologi pasca panen menjadi lak butiran. Setelah

proses pengolahan tersebut kemudian dilakukan penentuan standar mutu

pada lak butiran yang dihasilkan.

Tabel 2. Standar mutu lak butiran

No. Standar Mutu Warna lak

1 Tinggi Kuning bening

2 Sedang Kuning kehitaman

3 Rendah Hitam

(Wulandari,F.T, 2012)

Standar mutu ini dapat menjadikan acuan petani kutu lak untuk

menentukan mutu lak sehingga dapat menentukan harga lak di

pasaran.Standar mutu lak ini sangat subyektif karena pengamatan setiap

orang berbeda, sehingga membutuhkan pengalaman yang tinggi dalam

penentuan mutu.

IV. PENUTUP

Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan

masyarakat lokal sesuai prinsip hutan untuk rakyat (forest for people).

Pemberdayaan yang dilakukan harus memperhatikan dimensi sosial,

ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai.Posisi

masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai

592| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pelaksana utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau

pendukung dari setiap program pengembangan HHBK.

HHBK kutu lak merupakan salah satu HHBk yang dapat menjadi

alternative untuk daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang rendah

(lahan kering) terutama untuk daerah Kabupaten Lombok Timur yang

sebagian wilayah memiliki curah hujan yang rendah.Dalam pengembangan

HHBK kutu lak perlu penanganan budidaya dan pasca panen kutu lak yang

baik untuk menghasilkan mutu lak yang baik sehingga dapat meningkatkan

nilai jual lak yang awalnya hanya Rp 7000 – 8000 per kilogram menjadi Rp

90.000 – 125.000 per kilogram.Selain budidaya dan penanganan pasca

panen yang baik, pembinaan dari pihak terkait terutama pemerintah daerah

sangat diperlukan untuk kesinambungan pengembangan HHBK kutu lak

terutama dalam hal pemasaran.Pembentukan Forum pemerhati kutu lak

perlu dibentuk untuk pengembangan penelitian terutama untuk

menghasilkan bibit kutu lak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Kasmudjo, 2007.Karateristik Hasil Hutan Non Kayu. Diktat Fakultas

Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Radijanto, S.S.,1999. Model untuk Penaksiran Lak pada tanaman Inang

Schleichera eleosa

Merr. Majalah Duta Rimba, V (31). Perum perhutani. Jakarta.

Setyodarmodjo, S., 2005.Perusahaan Lak dan Pengembangannya.

Majalah Duta Rimba, IX (67-68). Perum

Silalahi Ulber, 2009. Metode Penelitian Sosial. PT.Refika Aditama

Bandung

Wulandari,F.T, 2010. Budidaya Dan Teknologi Pasca Panen Lak Di Desa

Sugian, KecamatanSambelia, Kabupaten Lombok Timur. Makalah

seminar INAFE, Yogyakarta.

Wulandari,F.T, 2011. Strategi peningkatan pasca panen lak didesa sugian

Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur.Makalah Poster

Litbang Bogor.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 593

Wulandari, F.T dan Ernawati 2011. Deskripsi nilai ekonomi kutu lak

dengan teknologi pasca panen di desa Sugian Kecamatan sambelia

kabupaten lombok timur. Makalah seminar ASEAN Fakultas

Pertanian Universitas Mataram.

Wulandari, F.T, 2012. Gambaran Sistem Kultur Stok Lak Dan Tekonologi

Pasca Panen Lak Serta Manfaatnya Bagi Industri. Jurnal Media

Bina Ilmiah Mataram,NTB.

Wulandari,F.T, 2010. Budidaya Dan Teknologi Pasca Panen LakDi Desa

Sugian, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.

Makalah seminar INAFE, Yogyakarta.

594| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

PRODUKSI MADU JENIS LEBAH Apis mellifera L. DENGAN

SUMBER PAKAN BUNGA RAMBUTAN (Nephelium lappoceum)

Yelin Adalina

Peneliti pada Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi

Jl.Gunung Batu No.5, Bogor

Telp. (0251) 863324; 7520067; Fax (0251) 8638111

Email:[email protected]

ABSTRAK

Sampai saat ini madu merupakan produk utama perlebahan. Ketersediaan

nektar dan tepungsari yang melimpah merupakan faktor yang menentukan

dalam keberhasilan budidaya lebah madu. Bunga rambutan (Nephelium

lappoceum) merupakan salah satu jenis tanaman yang menghasilkan nektar.

Penelitian ini dilakukan di Desa Pangadungan Kaligambir, Kecamatan

Cikaum, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui tingkat produksi madu dalam pengelolaan budidaya lebah

madu Apis mellifera. Pengukuran dilakukan terhadap berat lebah, dan jumlah

madu yang dihasilkan pada penggunaan sistem kotak tunggal di lokasi

pemanenan madu dengan sumber pakan bunga rambutan (Nephelium

lappoceum). Dilakukan pengukuran terhadap 15 koloni lebah A. mellifera yang

memiliki jumlah sisiran/sarang madu sebanyak delapan sisiran per koloni. Data

dianalisis dengan analisis regresi sederhana. Hasil analisis regresi adalah

Y = 220,33 + 3,51 X. Hasil Analisis menunjukkan bahwa berat lebah

berpengaruh nyata secara positif terhadap produksi madu dengan nilai

koefisien korelasi (r) sebesar 0,5895, dan nilai koefisien determinasi (r2)

sebesar 0,3475. Hal ini berarti produksi madu sebesar 34,75% ditentukan oleh

berat lebah, sedangkan 65,25% ditentukan oleh faktor lain. Faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi madu antara lain adalah ketersediaan pakan lebah

penghasil nektar dan tepungsari, cuaca, kelembaban dan temperatur udara serta

proporsi koloni lebah yang tertinggi pada saat produksi nektar paling banyak.

Produksi madu tertinggi sebesar 7.366 gram/koloni/satu kali panen, dan

produksi madu terendah sebesar 1.674 gram/koloni/satu kali panen. Berat lebah

tertinggi dalam satu koloni sebesar 1.842 gram/koloni dan berat lebah terendah

sebesar 748 gram/koloni.

Kata kunci: Produksi madu, lebah Apis mellifera, bunga rambutan (Nephelium

lappoceum)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 595

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara tropis mempunyai pontensi dalam usaha

lebah madu, selain iklim yang mendukung juga ketersediaan berbagai

tanaman perkebunan maupun pertanian yang cukup melimpah sebagai

sumber pakan lebah madu. Usaha perlebahan merupakan kegiatan

agribisnis akrab lingkungan yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Manfaat yang dapat diperoleh dari

pengembangan perlebahan antara lain adalah meningkatnya pendapatan

dan mutu gizi masyarakat dari hasil-hasil perlebahan yang berupa madu,

tepungsari, royal jelly, lilin lebah, dan propolis (Departemen Kehutanan,

2003).

Jenis lebah Apis mellifera merupakan lebah impor yang

didatangkan pertama kali ke Indonesia pada tahun 1972 oleh Pramuka

(Praja Muda Karana) dari Australia (Hadisoesilo, 2001). Lebah A. mellifera

mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia dan

mempunyai produksi madu yang tinggi, bahkan populasinya sudah semakin

meningkat (Hadisoesilo, 1991).

Saat ini usaha ternak lebah madu A. mellifera sudah dilakukan oleh

peternak-peternak di berbagai daerah. Budidaya lebah A. mellifera

menduduki posisi penting dalam kegiatan perlebahan dan produksi madu di

Indonesia, yaitu menyumbang sekitar 25% dari total produksi madu

Indonesia dengan rata-rata produksi sebesar 4.000 ton per tahun (Asmanah

& Kuntadi, 2012). Produksi madu yang dihasilkan para peternak sangat

bervariasi. Koloni yang baik pengaturannya dan sumber pakan yang cukup

akan menghasilkan produksi madu yang optimal (Moeller, 1967).

Ketersediaan nektar dan tepungsari/polen yang melimpah merupakan faktor

yang menentukan dalam keberhasilan budidaya lebah madu. Nektar dan

tepungsari dari tanaman dibutuhkan oleh lebah sebagai sumber karbohidrat

dan protein bagi kelangsungan hidupnya (Herbert, 1992).

Salah satu wilayah yang berpotensi untuk pengembangan usaha

lebah madu adalah Kabupaten Subang. Potensi pakan lebah madu di daerah

ini adalah bunga rambutan sebagai sumber nektar. Pada umumnya peternak

lebah madu di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun dari Jawa Timur

menggembalakan lebahnya di Kabupaten Subang saat musim bunga

596| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

rambutan tiba. Namun produksi madu yang dihasilkan setiap peternak

bervariasi, tergantung dari manajemen koloninya. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian tentang produksi madu dalam pengelolaan budidaya

lebah madu A. mellifera. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat

produksi madu dalam pengelolaan budidaya A. mellifera dengan sumber

pakan tanaman rambutan (Nephelium lappoceum).

II. METODE PENELITIAN

2.1. Deskripsi Objek Penelitian

Untuk mengetahui tingkat produksi madu dengan cara melakukan

pengukuran pada lokasi pemanenan madu dengan sumber pakan bunga

rambutan (Nephelium lappoceum). Lokasi pemanenan merupakan daerah

sumber pakan lebah madu, tempat berkumpulnya peternak lebah madu dari

berbagai daerah dalam menghasilkan madu.

Salah satu daerah sebagai sumber pakan lebah madu dari jenis

tanaman rambutan adalah di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tanaman

rambutan merupakan sumber nektar bagi lebah madu. Pengukuran

dilakukan terhadap berat lebah dan jumlah madu yang dihasilkan pada

masing-masing kotak tunggal. Dilakukan juga pengamatan suhu dan

kelembaban/relative humidity di lokasi pemanenan.

2.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011, di lokasi

pemanenan madu dengan sumber pakan bunga rambutan, yaitu di Desa

Pangadungan Kaligambir, Kecamatan Cikaum, Kabupaten Subang,

Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Subang sebagai salah satu kabupaten di

kawasan Utara Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 205.176,95 hektar

atau 6,34% dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di

antara 107º 31' – 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' – 6º 49' Lintang Selatan.

Temperatur rata-rata 29°C; kelembaban 58%. Ketinggian tempat 500 meter

di atas permukaan laut (dpl). Curah hujan rata-rata per tahun 2.352 mm

dengan jumlah hari hujan 100 hari. Potensi rambutan di Kabupaten Subang

sebanyak 36.017 ton dari 487.489 pohon.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 597

2.3. Bahan dan Alat

Bahan : 15 koloni kotak tunggal dari jenis lebah madu A. mellifera.

Setiap koloni terdiri dari 8 sisiran/sarang madu. Peralatan yang diperlukan

dalam penelitian ini antara lain terdiri dari: Timbangan digital kapasitas

150 kg, timbangan digital kapasitas 20 kg, termometer, hidrometer,

refraktometer, ekstraktor, dan bahan penunjang penelitian lainnya.

2.4. Cara kerja

Dipilih masing-masing jenis kotak tunggal yang mempunyai

jumlah sisiran yang sama, yaitu sebanyak 8 sisiran dalam setiap kotak.

a. Ditimbang setiap jenis kotak tunggal yang berisi koloni lebah berikut

sarangnya/sisiran.

b. Ditimbang semua sisiran tanpa lebah yang ditempatkan pada kotak

stereoform.

c. Ditimbang masing-masing sisiran madu.

d. Setiap sisiran/sarang diekstrak dengan alat ekstraktor untuk diambil

madunya.

e. Setiap sisiran yang sudah diekstrak ditimbang kembali.

Jumlah madu

yang

dihasilkan

=

(jumlah berat

semua sisiran

sebelum

diekstrak/dipanen)

-

(jumlah berat

semua sisiran

setelah diekstrak)

Berat lebah =

(berat kotak +

lebah + semua

sisiran)

- (berat kotak +

semua sisiran)

Alat timbangan yang digunakan adalah timbangan digital dengan

kemampuan maksimum 150 kg dengan ketelitian hingga 10 gram, yaitu

untuk menimbang kotak yang berisi koloni lebah berikut sarangnya,

sedangkan untuk menimbang sisiran/sarang digunakan alat timbangan

digital dengan kemampuan maksimum 20 kg dan ketelitian hingga 2 gram.

598| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

2.5. Analisis Data

Penelitian dilakukan melalui pengukuran jumlah produksi madu

yang dihasilkan pada penggunaan sistem kotak tunggal dengan sumber

pakan bunga rambutan (Nephelium lappoceum) yang mewakili populasi

kotak tunggal. Untuk mengetahui pengaruh berat lebah terhadap produksi

madu maka digunakan model analisis regresi sederhana, yaitu dengan

rumus:

Y= a + b X

Keterangan: Y= Produksi madu

a = Konstanta

b = Koefisien regresi

X = Berat lebah

III. HASIL dan PEMBAHASAN

Lebah madu seperti organisme lain sangat dipengaruhi oleh

lingkungan faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor lingkungan ini baik

secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas hidup,

keadaan makanan di alam dan perkembangan populasinya. Faktor biotik

terdiri dari keanekaragaman tanaman penghasil nektar dan tepung sari,

sedangkan faktor abiotik yang mempengaruhinya terdiri dari temperatur,

tinggi tempat, kelembaban udara, curah hujan dan lama penyinaran

(Wihdiono, 1986).

Pemeliharaan lebah A. mellifera dilaksanakan secara berpindah-

pindah mengikuti musim pembungaan tanaman pakan lebah dan memiliki

pilihan jenis tanaman pakan yang terbatas (Departemen Kehutanan, 2000).

Proses produksi ternak lebah madu A. mellifera tergantung pada musim

bunga dari jenis pakan lebah. Peternak lebah madu harus mengetahui jenis-

jenis tanaman yang dapat menjadi sumber pakan lebah madu yang berupa

nektar dan tepungsari (polen), kondisi pakan lebah sebagai lahan

penggembalaan dan musim pembungaan. Nektar merupakan sumber

karbohidrat bagi lebah madu sedangkan tepungsari merupakan sumber

protein. Kedua jenis pakan tersebut harus tersedia dalam jumlah yang

cukup dan sebaiknya tersedia sepanjang tahun. Tanpa sumber pakan yang

cukup, lebah tidak dapat bertahan lama di suatu lokasi dan lebah akhirnya

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 599

hijrah (minggat) mencari tempat lain yang cukup sumber pakannya

(Hadisoesilo, 2003).

Salah satu sumber pakan lebah madu yang menghasilkan nektar

adalah bunga rambutan (Nephellium lappoceum). Bunga rambutan akan

muncul sekitar bulan Oktober sampai Nopember dengan rata-rata masa

berbunga sekitar satu bulan. Peternak lebah madu yang berada di wilayah

Jawa Barat, Jawa Tengah maupun yang berasal dari Jawa Timur

menggembalakan lebahnya di Kabupaten Subang pada saat musim bunga

rambutan tiba. Pada umumnya peternak lebah madu A. mellifera

menempatkan koloni di wilayah ini selama satu bulan dan selama

penempatan koloni di lokasi ini dapat mencapai 2 sampai 3 kali panen.

Namun produksi madu yang dihasilkan setiap peternak bervariasi. Hal ini

tergantung dari mananjemen koloninya/pengelolalaannya. Penguasaan

pengelolaan yang baik akan menjamin seorang peternak mendapatkan

madu sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dengan mengkondisikan koloni

lebah pekerja yang dipelihara berjumlah maksimal dan sehat bersamaan

dengan musim berbunganya tanaman pakan lebah madu. Dengan demikian

pada saat menjelang musim pembungaan yang diharapkan telah tiba, koloni

lebah madu telah siap dipergunakan untuk memanen madu (Departemen

Kehutanan, 2000).

Hasil pengukuran produksi madu di Desa Pangadungan

Kaligambir dapat di lihat pada Tabel 1. Suhu rata-rata di lokasi penelitian

sebesar 30,5°C dengan suhu terendah sebesar 29°C dan suhu tertinggi

sebesar 32°C. Rata-rata kelembaban udara sebesar 58%, dengan

kelembaban terendah sebesar 56% dan kelembaban tertinggi sebesar 64%.

Tabel 1. Berat madu dan berat lebah Apis mellifera dengan sumber pakan

bunga rambutan di Desa Pangadungan Kaligambir, Kecamatan

Cikaum, Kabupaten Subang

No koloni

Berat sisiran

+ lebah

(gram/koloni)

Berat sisiran

sebelum diekstrak

(gram/koloni)

Berat sisiran

setelah diekstrak

(gram/koloni)

Berat madu (gram/koloni)

Berat lebah (gram/koloni)

A 11.210 9.902 6.488 3.414 1.308

B 10.970 9.912 6.648 3.264 1.058

C 12.678 11.668 7.628 4.040 1.010

600| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

1 2 3

4 5 6

Gambar: 1. Lokasi penempatan koloni lebah A. mellifera; 2. Bunga rambutan; 3.

Penimbangan sisiran/sarang madu dan koloni lebah; 4. Penimbangan seluruh sisiran

madu dalam satu koloni; 5. Penimbangan sisiran madu;

6. Pemanenan madu dengan alat ekstraktor

3.1. Produksi Madu

Pada Tabel 1 dapat di lihat bahwa produksi/berat madu yang

dihasilkan pada masing-masing koloni sangat bervariasi. Produksi madu

tertinggi, yaitu sebesar 7.366 gram/koloni/satu kali panen dengan rata-rata

berat madu per sisiran sebesar 920,75 gram/sisiran. Produksi madu

D 13.120 11.278 6.302 4.976 1.842

E 14.864 13.420 6.570 6.850 1.444

F 11.646 10.676 6.482 4.194 970

G 15.850 14.392 7.026 7.366 1.458

H 8.826 7.704 6.030 1.674 1.122

I 15.752 14.412 7.194 7.218 1.340

J 10.132 9.034 5.990 3.044 1.098

K 9.206 8.294 5.350 2.944 912

L 11.976 10.766 6.316 4.450 1.210

M 12.228 11.382 6.860 4.522 846

N 10.882 9.986 6.732 3.254 896

O 9.182 8.434 5.834 2.600 748

Jumlah 178.552 161.260 97.450 63.810 17.262

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 601

terendah, yaitu sebesar 1.674 gram/koloni/satu kali panen, dengan rata-rata

berat madu per sisiran sebesar 209,25 gram/sisiran. Rata-rata berat madu

per koloni, yaitu sebesar 4.254 gram/koloni/satu kali panen, dengan rata-

rata berat madu per sisiran sebesar 531,75 gram/sisiran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi bervariasinya produksi madu

pada setiap koloni antara lain adalah ketersediaan pakan lebah penghasil

nektar dan tepungsari, cuaca, kelembaban dan temperatur udara serta

proporsi koloni lebah yang tertinggi pada saat produksi nektar paling

banyak (Anonim, 2002). Pola perilaku lebah dalam mencari makan

termasuk dalam hal pengumpulan nektar dan polen dipengaruhi oleh faktor

genetik (lebah) maupun faktor lingkungan (Eckert,1942, Hirchfelder 1951;

lauveaux 1958; Seeley 1952a dalam Mark L.Winston, 1991). Jumlah dan

kualitas nektar atau polen yang dihasilkan oleh bunga dapat beragam

sekali, baik antara spesies tanaman (pohon) maupun di dalam tiap-tiap

tapak dalam bunga jenis tanaman yang sama (Shuel, 1975 dalam Mark

L.Winston, 1991).

Dalam budidaya lebah A. mellifera dapat mencapai 8 sampai 10

kali panen per tahun. Produksi madu yang dihasilkan para peternak sangat

bervariasi. Hal ini tergantung dari manajemen koloninya dan ketersediaan

sumber pakan lebah madu. Produktivitas madu tertinggi dari jenis lebah

A.mellifera pernah dicapai oleh peternak di Jawa Timur, yaitu sebesar 86

kg/koloni pada satu musim bunga randu (Ceiba petandra) atau 14,3kg/satu

kali panen. Pada umumnya rata-rata madu yang diperoleh peternak lebah

A.mellifera sebesar 25–30 kg/koloni/tahun, dengan rata-rata produksi

sebesar 2,5 – 3,0 kg/koloni/satu kali panen (Departemen Kehutanan, 1999).

Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata produksi madu

adalah sebesar 4,254 kg/koloni/satu kali panen. Hal ini menunjukkan

bahwa produksi madu yang dihasilkan cukup tinggi, sedangkan rata-rata

produksi madu yang dihasilkan para peternak sebesar 2,5–3,0

kg/koloni/satu kali panen. Hal ini disebabkan karena kondisi lebah pekerja

tertinggi pada saat produksi nektar paling banyak. Selain itu daya dukung

ketersediaan sumber pakan lebah sebagai sumber nektar, yaitu bunga

rambutan cukup melimpah. Penempatan koloni di lokasi penelitian

menunjukkan bahwa ketersediaan pakan lebah madu sangat mendukung

dalam pengelolaan budidaya lebah madu A. mellifera.

602| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

3.2. Pengaruh Berat Lebah Terhadap Produksi Madu

Persamaan regresi untuk menunjukan bagaimana suatu variabel

bebas (X) yaitu berat lebah berpengaruh terhadap variabel terikat (Y) yaitu

produksi madu dalam pengelolaan budidaya lebah madu A.mellifera.

Berdasarkan hasil analisis regresi adalah Y = 220,33 + 3,51 X. Hal ini

menunjukan bahwa setiap kenaikan berat lebah sebesar 1%, maka produksi

madu akan meningkat sebesar 3,51 gram.

Hasil Analisis menunjukkan bahwa berat lebah berpengaruh nyata

secara positif terhadap produksi madu pada taraf nyata 5% dengan nilai

koefisien korelasi (r) sebesar 0,5895, sedangkan nilai koefisien determinasi

(r2) yang tidak nyata yaitu sebesar 0,3481. Hal ini berarti produksi madu

sebesar 34,81% ditentukan oleh berat lebah dan sebesar 65,19% ditentukan

oleh faktor lain seperti: ketersediaan pakan lebah penghasil nektar dan

tepungsari, cuaca, kelembaban dan temperatur udara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata berat lebah kotak

engkel jenis lebah A. mellifera sebesar 1.150 gram/koloni. Berat lebah

tertinggi adalah sebesar 1.842 gram per koloni, dan madu yang dihasilkan

sebesar 4.976 gram. Berat lebah terendah, yaitu sebesar 746 gram dengan

produksi madu 2.600 gram.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berat lebah berpengaruh nyata secara positif terhadap produksi madu.

2. Ketersediaan bunga rambutan sebagai sumber nektar sangat mendukung

dalam budidaya lebah madu A. mellifera.

3. Rata-rata berat lebah A. mellifera jenis kotak engkel sebesar 1.150 gram

per koloni.

4. Rata-rata produksi madu sebesar 4.254 gram per koloni dalam satu kali

panen.

B. Saran

Untuk mendapatkan produksi madu yang optimum, peternak lebah

madu harus memperhatikan kondisi lebah pekerja dan kondisi lingkungan

dalam penempatan koloni pada saat musim bunga rambutan tiba.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 603

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002. Buku Petunjuk Beternak Lebah. Pusat Perlebahan Pramuka

(Apiari Pramuka), Jakarta. hal 17

Asmanah W dan Kuntadi. 2012. Budidaya Lebah Madu Apis mellifera L

Oleh Masyarakat Pedesaan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (4): 351 – 361.

Departemen Kehutanan. 1999. Petunjuk Praktis Budidaya Lebah Madu

Unggul (Apis mellifera). Proyek Pengembangan Pesuteraan Alam

dan Lebah Madu Pusat. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan & Perkebunan. 2000. Petunjuk Teknis Pengelolaan

Usaha Perlebahan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial, Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2003. Pengembangan Usaha Perlebahan.

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,

Jakarta.

Eckert,1942; Hirchfelder,1951; lauveaux 1958; Seeley 1952a dalam Mark

L.Winston. The Biology of the Honey Bee. 1991. Harvard

University Press. Cambridge Massachusetts and London, England.

hal 309

Hadisoesilo, S. 1991. Jenis-jenis lebah madu (Species of honey bees).

Komunikasi 5 (4): 5 – 6. In Indonesian.

Hadisoesilo S.2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.

Biodiversitas 2 : 123–125

Hadisoesilo, S. 2003. Teknik Budidaya Apis cerana. Gelar dan Dialog

Teknologi. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Herbert, E.W. Jr. 1992. Honeybee nutrion. In: The hive and the honeybee

(Graham, ed). Dadant & Sons, Hamilton, Illinois. hal 1324.

Moeller, F. E. 1967. Managing Colonies for High Honey Yields. In:

Beekeeping in The United States. United States Departement of

Agriculture. Washington. D. C. hal 23

Shuel, R.W. 1975. dalam Mark L.Winston 1991). The Biology of the

Honey Bee. 1991. Harvard University Press. Cambridge

Massachusetts and London,England. hal 265

Wihdiono, I. 1986. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

penambahan sel dalam sisiran lebah madu. Prosiding Lokakarya

Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat 20–22 Mei 1986 di Sukabumi. Perum Perhutani

Jakarta : 39 – 41.

604| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

RENCANA STRATEGIS PENGELOLAAN HHBK KABUPATEN

LOMBOK UTARA; SEBUAH PRODUK AKSI PARTISIPATIF

Rato F. Silamon

PS. Kehutanan, Universitas Mataram. Jl. Pendidikan No. 36 Mataram

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Dalam paradigma baru pembangunan kehutanan, komoditi Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) menempati posisi yang sangat strategis.Kkomoditi HHBK

merupakan salah satu sumberdaya yang memiliki keunggulan komparatif dan

paling menyentuh kehidupan masyarakat sekitar hutan.Kabupaten Lombok

Utara sebagai kabupaten termuda di Propinsi NTB menempatkan pengelolaan

sumberdaya alam dan hutan termasuk HHBK sebagai salah satu isu strategis

dan prioritas utama dalam pembangunan daerah ini seperti yang tercantum

dalam RPJMD KLU Tahun 2011-2015.Walaupun demikian, status dan tingkat

pengelolaan HHBK di wilayah ini dirasakan masih belum optimal, baik

ditinjau dari aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan, maupun kelola usaha.

Penelitian menggunakan pendekatan partisipatif dengan tujuan menghasilkan

rencana strategis sebagai arahan dan pedoman untuk mencapai sinergitas

program dan kegiatan antar stakeholders dalam pengelolaan HHBK di

Kabupaten Lombok Utara.Penelitian berhasil membangun visi pengelolaan

HHBK berupa “Pengelolaan HHBK Terpadu untuk Kesejahteraan

Masyarakat”, yang akan dicapai melalui pengejawantahan 4 misi pengelolaan

yaitu: (1) meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan; (2)

mengembangkan kerjasama multi pihak antar wilayah; (3) mengembangkan

HHBK unggulan; dan (4) mengupayakan fasilitasi proses IUPHHBK dan/atau

IUPHKm. Lebih lanjut, terbangun 4 arahan dalam aspek kelola kawasan

meliputi: (i) pengembangan budidaya HHBK unggulan kabupaten; (ii)

pemberdayaan masyarakat; (iii) pengembangan data dan informasi; (iv)

pengembangan IPTEK., 3 arahan dalam aspek kelola usaha meliputi: (i)

pengembangan industri pengolahan HHBK; (ii) pengembangan permodalan;

(iii) pengembangan pemasaran dan promosi HHBK., dan 4 arahan dalam kelola

kelembagaan meliputi: (i) pengembangan kelembagaan; (ii) pengembangan

networking (iii) pengembangan kebijakan pendukung; dan (iv) pengembangan

nilai-nilai budaya lokal.

Kata kunci: HHBK, pengelolaan, rencana strategis.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 605

I. PENDAHULUAN

Salah satu tujuan pembangunan kehutanan dalam Undang-Undang

Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, adalah untuk mendorong peran

serta masyarakat dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan

berkelanjutan. Oleh sebab itu, maka pembangunan kehutanan seharusnya

diselenggarakan berdasarkan asas manfaat dan lestari, kerakyatan,

keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan dengan tujuan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan

berkelanjutan.Isu pokok yang berkembang sebagai implikasi dari

pembangunan kehutanan tersebut adalah adanya kebijakan memposisikan

masyarakat sebagai pelaku utama dan penerima manfaat utama dalam

pengelolaan hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini ditandai

dengan lahirnya model pembangunan kehutanan yang dikenal dengan

program Hutan Kemasyarakatan (Community forest) disingkat HKm.

Sebagai salah satu tipologi pengelolaan hutan, HKm mampu memberikan

pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan

masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan hutan terutama

melalui pengembangan usaha dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK).

HHBK dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibandingkan

dengan hasil hutan kayu, sehingga memiliki prospek dan peluang yang

besar dalam pengembangannya.Walaupun demikian, untuk kasus

Kabupaten Lombok Utara (KLU), tingkat pengembangan usaha,

pengelolaan, dan pemanfaatannya masih belum optimal, akibat dari tidak

adanya sinergitas program maupun kegiatan dari para pihak yang

berkepentingan, baik ditinjau dari aspek kelola kawasan, kelola

kelembagaan, maupun kelola usaha. Sebagai contoh pada aspek kelola

kawasan, kombinasi jenis komoditi HHBK dalam konfigurasi usahatani

belum didasarkan pada keunggulan komoditi.Pada aspek kelola

kelembagaan, kapasitas di tingkat kelompok masyarakat pengelola maupun

pada tataran pemerintah daerah masih lemah. Pada aspek kelola usaha,

pengembangan komoditi HHBK masih terkendala oleh belum

terbangunnya jiwa kewirausahaan dari masyarakat pengelola, terbatasnya

pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan HHBK, hingga lemahnya

606| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

jaringan kerjasama (kemitraan) yang menyebabkan terbatasnya akses

informasi, pasar dan modal untuk pengembangan usaha.

Penelitian eksploratif dengan pendekatan partisipatif ini bertujuan

untuk menghasilkan rencana strategis sebagai arahan dan pedoman untuk

mencapai sinergitas program dan kegiatan antar pemangku kepentingan

dalam pengelolaan HHBK di Kabupaten Lombok Utara.

II. BAHAN DAN METODE

Seperti diungkapkan sebelumnya, penelitian ini merupakan

penelitian eksploratif dengan pendekatan partisipatif, yang diinisiasi dan

difasilitasi oleh World Wildlife Foundation (WWF) Program Nusa

Tenggara atas pembiayaan dari International Tropical Timber Organitation

(ITTO).Lokus penelitian adalah Kabupaten Lombok Utara dengan jangka

waktu penelitian selama 3 bulan terhitung dari bulan Maret sampai dengan

April 2012. Data yang digunakan adalah data primer memuat informasi-

informasi terkini terkait pengelolaan HHBK dalam 3 konteks kelola (kelola

kawasan, kelola lembaga, dan kelola usaha) yang diperoleh melalui

serangkaian seri Workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan Rapat

Pleno dengan informan-informan kunci seperti kelompok masyarakat

sekitar hutan, pelaku usaha pertanian, Pemerintah Daerah, UPT

Kementerian Kehutanan di daerah, Akademisi, LSM, dan Perbankan. Data-

data primer tersebut akan ditunjang dengan data-data sekunder berupa

dokumen-dokumen perencanaan baik pusat maupun daerah, dokumen

rencana umum dan rencana operasional kelompok masyarakat pemegang

IUPHKm di Kabupaten Lombok Utara, dokumen daerah dalam angka

(DDA), serta dokumen-dokumen penelitian terkait. Data-data yang

terkumpul selanjutnya akan dianalisis menggunakan teknik Analisis Gap

untuk mendapatkan isu-isu strategis dan merumuskan visi, misi, tujuan,

arahan, sasaran, serta strategi pengelolaan HHBK di Kabupaten Lombok

Tengah pada rentang tahun 2013 sampai dengan tahun 2017.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Profil Pengelolaan HHBK Lombok Tengah

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 607

Pola pengusahaan HHBK di KLU secara umum dikelompokkan

menjadi dua, yaitu kegiatan budidaya dan pemungutan hasil dari

alam.Kegiatan budidaya banyak dilakukan oleh masyarakat, baik pada

tanah-tanah milik maupun dalam kawasan hutan yang dikelola (areal kerja

HKm).Sedangkan pemungutan hasil dari alam dilakukan pada kawasan

hutan negara.Pola pengusahaan HHBK pada areal HKm sebagian besar

merupakan hasil budidaya melalui sistem agroforestry dan hanya beberapa

jenis HHBK saja yang sebagian besarnya masih merupakan produk alam,

seperti; bamboo dan kemiri. Beberapa jenis produk HHBK yang lain

seperti gaharu/ketimunan dan ketak, pembudidayaannya masih dalam taraf

uji coba, baik yang dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi

(Unram) maupun secara swadaya oleh masyarakat. Bila mengacu pada

Permenhut P.35/Menhut-II/2007, pada tahun 2010-2011 teridentifikasi 30

jenis komoditi HHBK di KLU dengan produksi, luasan, dan sebaran yang

bervariasi. Kelompok minyak lemak, pati, dan buah-buahan merupakan

kelompok dengan jenis terbanyak yang teridentifikasi diusahakan dan/atau

dibudidayakan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan meliputi:

Kemiri, Aren, Nangka, Durian, Melinjo, Rambutan, Talas, Kluwih, dan

Sukun.

Komoditi HHBK di KLU memilki peran penting, baik ditinjau dari

segi ekologis, ekonomi maupun sosial budaya. Dari segi ekologis, tanaman

HHBK merupakan vegetasi dominan dalam kawasan hutan. Dalam areal

kerja HKm misalnya, tanaman HHBK yang berkembang dalam pola

tajukmulti strata dan menempati sekitar 70% ruang yang ada dimana

sisanya sebesar 30% adalah tanaman hutan berkayu. Pada lahan-lahan

tegalan/kebun milik masyarakat, tanaman HHBK bahkan menempati ruang

90% hingga 100%.Ini berarti bahwa tanaman HHBK tidak saja berperan

dalam meningkatkan produktivitas dan menjaga kesestarian sumberdaya

lahan, tetapi juga berperan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon

(carbon pool).Dari segi ekonomi, komoditi HHBK memberi kontribusi

signifikan terhadap pendapatan rumahtangga masyarakat. Menurut Zaini

(2009), di kawasan HKm Santong, panen HHBK memberikan keuntungan

ekonomis dengan penerimaan sebesar Rp 13.250.000, per tahun. Hasil

FGD pada tingkat kawasanmenunjukkan bahwa HHBK pada areal HKm

608| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

memberi kontribusi sekitar 30 – 60 % dari total pendapatan rumah tangga

petani HKm (aguman) di Desa Mumbulsari dan di Desa Salut.Selain itu,

komoditi HHBK juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja, terutama

pada kegiatan pemanenan, pengangkutan, pemasaran dan distribusi

hasil/produksi.Sedangkan dari segi sosial budaya, komoditi HHBK menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dengan upacara-upacara adat dan ritual

keagamaan yang digelar oleh masyarakat di KLU.

Tabel 1. Jenis dan Sebaran HHBK di Kabupaten Lombok Utara Tahun

2010-2011

No

Jenis/Spesies

HHBK

Lokasi penyebaran

Kalender Panen

(Bulan)

Dalam Kawasan

Hutan Luar

Kawasan

Hutan Dalam

HKm

Luar

HKm

A Kelompok Minyak

Atsiri

1 Gaharu √ √ √

B Kelompok Minyak

Lemak, Pati, dan

Buah-buahan

2 Kemiri √ √ √ Agustus-Oktober

3 Durian √ √ Mei-Juni

4 Nangka √ √ √ Sepanjang tahun

5 Rambutan √ √ Oktober-

November

6 Talas/Keladi √ √

8 Aren √ √

9 Melinjo √ √ Juli-Agustus

10 Kluwih √ √

11 Sukun √ √

C Kelompok Tannin,

Bahan Pewarna dan

Getah

12 Pinang √ √ √

13 Alpukat √ √ Juni-Juli

D Kelompok

Tumbuhan Obat

dan Tanaman Hias

14 Jahe √ √

15 Kunyit √ √

16 Lengkuas √ √

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 609

No

Jenis/Spesies

HHBK

Lokasi penyebaran

Kalender Panen

(Bulan)

Dalam Kawasan

Hutan Luar

Kawasan

Hutan Dalam

HKm

Luar

HKm

17 Rengga

18 Pakis √ √ √

E Kelompok Palma &

Bambu

19 Bambu √ √ √ Sepanjang tahun

20 Kelapa √ √

F Kelompok Lainnya

21 Mete √ √ Juli-Oktober

22 Pisang √ √ Sepanjang tahun

23 Kopi √ √ √

24 Kakao √ √

25 Kapuk √ √

26 Vanili √

27 Sirih √ √ Sepanjang tahun

28 Ketak √ √

29 Asam √ √ Juni

G Kelompok Hasil

Hewan

30 Lebah Madu √ √ √ Oktober

2. Isu Strategis Pengelolaan HHBK Lombok Utara

Tingkat teknologi yang diterapkan dalam pengembangan HHBK di

KLU masih sangat minim, baik dalam sistem budidaya maupun pengolahan

hasil (pasca panen).Sistem silvikultur tanaman HHBK hanya dilakukan

secara konvensional, tanpa sentuhan teknologi.Akibatnya produktivitas dan

mutu prodak HHBK yang dihasilkan juga relatif rendah.Sementara itu,

kondisi teknologi pengolahan hasil (pasca panen) yang sederhana telah

memperkecil peluang produk olahan HHBK berkiprah secara luas, pasar

cenderung bersifat lokal. Ditinjau dari aspek kelembagaan, sebagian besar

pola pengelolaan masih bersifat individualistik atau perorangan, sehingga

tidak tercipta pola kemitraan yang nyata baik ke dalam (antar pelaku usaha

sejenis) maupun keluar (dengan pemerintah dan pihak lain). Akibatnya

adalah produsen hanya menunggu konsumen dan sangat jarang

memperoleh order. Oleh karena itu, upaya ke arah peningkatan kinerja

sangat perlu dilakukan terutama melalui pengembangan teknologi

610| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

pengolahan dengan difersivikasi produk. Penataan kelembagaan dengan

membangun kemitraan akan sangat menentukan luasnya jaringan pasar

komoditi HHBK, dengan demikian maksimasi pemanfatan dan keuntungan

dapat diperoleh.

Pola kegiatan pemungutan hasil HHBK relatif masih belum

berkembang, yaitu masih dilakukan secara perorangan/individu oleh

anggota masyarakat. Para anggota masyarakat ini belum didukung oleh

wadah organisasi yang mampu mengangkat posisi rebut tawar (bargaining

position) mereka dalam menghadapi pedagang pengumpul/tengkulak.

Akibatnya adalah harga yang diterima oleh mereka relatif lebih

rendah.Selain itu, pola pengusahaan seperti ini juga sangat menyulitkan

bagi dinas/instansi pemerintah yang terkait, baik dalam hal pendataan

jumlah produksi maupun dalam hal penentuan dan perolehan retribusi

untuk daerah. Berikut secara rigid disajikan hasil identifikasi isu strategis

pengelolaan HHBK di KLU dirinci berdasarkan aspek kelola kawasan,

kelola usaha, dan kelola kelembagaan:

Tabel 2. Matriks Isu Strategis Pengelolaan HHBK Kabupaten Lombok

Utara.

Kelola Kawasan Kelola Usaha Kelola Kelembagaan

1. Belum seluruhnya

terinvetarisasi/

teridentifikasi dan

terpetanya jenis, luas

dan sebaran tanaman

HHBK, baik yang

berada di dalam

kawasan hutan (dalam

dan luar areal kerja

HKm) maupun yang

berada di luar kawasan

hutan;

2. Penataan tanaman

HHBK secara

horisontal dan vertikal

belum diatur dengan

baik, sehingga

pemanfaatan

sumberdaya lahan dan

ruang tidak optimal;

1. Unit kelola usaha/bisnis

HHBK masih bersifat

usaha skala kecil pada

tingkat rumahtangga,

tetapi corak usahanya

sudah bersifat semi

komersial sampai

komersial;

2. Produk HHBK yang

dijual seluruhnya masih

dalam bentuk bahan

mentah (raw material),

belum dilakukan

pengolahan, sehingga

tidak tercipta nilai

tambah produk;

3. Pemasaran produk-

produk HHBK (kecuali

madu), masih dilakukan

1. Belum tersusun

rencana kerja, baik

rencana umum maupun

rencana operasional

oleh pemegang

IUPHKm;

2. Rendah kapasitas

kelompok masyarakat

dalam pengelolaan

HHBK, baik di tingkat

kelompok, blok,

maupun kawasan;

3. Peran Koperasi Maju

Bersama Santong

sebagai pemegang ijin

IUPHKm dalam

koordinasi dan

pelayanan kepada

kelompok, belum

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 611

3. Masih rendahnya

pengetahuan dan

keterampilan

masyarakat dalam

penerapan tekonologi

silvikultur HHBK,

sehingga produktivitas

HHBK juga rendah;

4. Pilihan jenis komoditi

HHBK dalam

konfigurasi

usahatani/agroforestry

belum didasarkan pada

keunggulan komparatif

dan kompetitif

komoditi;

5. Belum akurat/belum

lengkapnya data

produksi riil dan

potensi produksi

HHBK, baik dalam

kawasan hutan maupun

luar kawasan hutan;

dan

6. Pemungutan HHBK

oleh masyarakat belum

berijin.

secara sendiri-sendiri

oleh setiap petani di Desa

Salut dan Mumbulsari

kepada tengkulak dengan

harga yang relatif rendah,

namun di Desa Santong

pemasaran produk

dilakukan melalui

Koperasi Maju Bersama

Santong;

4. Pangsa pasar sebagian

besar komoditi HHBK

(kecuali beberapa jenis

komoditi seperti; madu,

bambu dan kemiri),

masih terbatas pada

konsumen domestik,

yaitu melalui jasa

pedagang pengumpul

desa (“penendak”) yang

membawanya ke pasar-

pasar tradisional terdekat

yang ada di tingkat desa

dan kecamatan;

5. Keterbatasan modal

usaha dan desakan

kebutuhan sehari-hari,

menyebabkan sebagian

besar petani terjerat

dalam sistem ijon

(terutama untuk jenis

komoditi HHBK; kemiri,

mete, kopi, pisang,

kakao), hal ini

menyebabkan lemahnya

posisi tawar petani dalam

menentukan harga jual

produk; dan

6. Belum ada kemitraan

antar pelaku bisnis dalam

pengembangan komoditi

HHBK, baik dalam hal

produksi, pengolahan

hasil (pasca panen),

maupun dalam hal

pemasaran.

optimal dan masih

terbatas di Desa

Santong saja;

4. Belum ada lembaga

intermediasi (forum

perantara) yang dapat

menjembatani

hubungan kerjasama

antara kelompok

masyarakat pengelola

HKm/HHBK antar

kawasan, baik dalam

hal sharing informasi,

teknologi, maupun

dalam hal pemasaran

hasil;

5. Peran LSM

pendamping masih

terbatas pada upaya-

upaya penguatan

kapasitas kelompok

dan kurang mampu

memfasilitasi

kepentingan kelompok

masyarakat dengan

pihak-pihak lain

(pengusaha dan

pemerintah/perbankan)

;

6. Penyuluh

pertanian/kehutanan

belum berperan dalam

membantu masyarakat,

baik dalam hal

budidaya, pengolahan

maupun pemasaran

produk-produk HHBK;

7. Program-program

pemerintah dalam

pengembangan HHBK

di KLU masih bersifat

sporadis dan tidak

berlangsung secara

berkelanjutan (kecuali

untuk komoditi

madu); dan

612| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

8. Belum ada kebijakan

atau regulasi yang

dapat memberikan

insentif bagi

pengembangan HHBK,

yang telah dikeluarkan

oleh pemerintah daerah

di tingkat kabupaten

maupun provinsi

3. VIsi dan Misi Pengelolaan HHBK Lombok Utara

Determinasi Visi pengelolaan HHBK merupakan sebuah mimpi dan

cita-cita besar yang ingin dicapai dalam mengelola HHBK di KLU. Visi

pengelolaan hasil hutan bukan kayu yang berhasil terbangun adalah:

“Pengelolaan HHBK Terpadu untuk Kesejahteraan Masyarakat”

Kata “Terpadu” dalam rumusan visi di atas mengandung makna: (1)

Keterpaduan komoditi dalam pemanfaatan lahan, hal ini dapat dicapai

dengan cara menerapkan teknologi agroforestry; (2) Keterpaduan

pengelolaan komoditi dari hulu sampai ke hilir, hal ini dapat dicapai

dengan menerapkan sistem agribisnis; dan (3) Keterpaduan multi pihak

dalam pengelolaan HHBK, hal ini dapat dicapai melalui pengelolaan

HHBK secara terintegrasi dan sinergisme program para pemangku

kepentingan.Kata “Kesejahteraan” dalam rumusan visi di atas mengandung

makna peningkatan pendapatan dan ekonomi masyarakat di sekitar hutan

yang dibarengi dengan perbaikan mutu lingkungan hidup secara

berkelanjutan.

Berdasarkan visi di atas, maka dirumuskan Misi pengelolaan sebagai

berikut: (1) Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan

kelembagaan; (2) Mengembangkan kerjasama multi pihak antar wilayah;

(3) Mengembangkan hasil hutan bukan kayu unggulan; dan (4)

Mengupayakan fasilitasi proses IUPHHBK dan/atau IUPHKm.

4. Arah, Sasaran, dan Strategi Pengelolaan HHBK Lombok Tengah

Arah dan strategi pengembangan HHBK merupakan rumusan

perencanaan komperhensif tentang bagaimana mencapai dan mewujudkan

visi, misi, dan tujuan pengelolaan HHBK dengan efektif dan efisien.Arahan

pengembangan dimaksudkan untuk memberikan arah strategi, program dan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 613

kegiatan dalam pengembangan usaha tani budidaya dan pemanfaatan

komoditas HHBK.Sedangkan tujuannya adalah meningkatnya kualitas dan

kuantitas produksi HHBK, berkembangnya usaha dan pemanfaatan HHBK

sehingga memiliki nilai ekonomi dan daya saing, serta terciptanya

kelestarian lingkungan sesuai dengan kondisi fisik, sosial-ekonomi dan

budaya masyarakat setempat.

Kelola Kawasan

Arah, sasaran dan strategi pengembangan HHBK pada aspek kelola

kawasan, seperti yang disajikan pada Tabel 3, dimaksudkan untuk

menjawab 4 tujuan pada lini kelola kawasan, yaitu: (1) Kelestarian

sumberdaya hutan, terutama untuk menopang ketersediaan air secara

berkelanjutan; (2) Optimalisasi pemanfaatan lahan; (3) Terlaksananya tata

kelola kawasan dengan pendekatan multi strata untuk menjamin potensi

sumberdaya hutan dan lingkungan hidup; dan (4) Menjamin kepastian

wilayah kelola kelompok masyarakat.

Tabel 3. Matriks Arah, Sasaran dan Strategi Pengembangan HHBK pada

Aspek Kelola Kawasan.

No Arah Sasaran Strategi

1 Pengembangan

Budidaya

Tanaman HHBK

Unggulan

Kabupaten.

Meningkatnya persentase

jumlah dan kualitas

tanaman HHBK unggulan

dalam konfigurasi usahatani

pada areal kerja HKm

Optimalisasi pemanfaatan

ruang

Mengganti secara bertahap

tanaman non HHBK dan

HHBK non unggulan

dengan tanaman HHBK

unggulan

Pemanfaatan bibit unggul

2 Pengembangan

SDM dan

Pemberdayaan

Masyarakat.

Meningkatnya ketersediaan

jumlah dan mutu sumberda-

ya manusia yang menguasai

teknik budidaya HHBK

unggulan

Peningkatan kapasitas

kelompok petani dalam

teknik budidaya HHBK

unggulan

Peningkatan jumlah dan

kapasitas aparat (pegawai,

penyuluh, dan pendamping)

dalam teknik budidaya

HHBK

Meningkatnya ketersediaan

jumlah dan mutu sumberda-

Peningkatan kapasitas

kelompok petani, tenaga

614| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ya manusia yang menguasai

teknik perlindungan dan

pengamanan kawasan

penyuluh dan pendamping

dalam perlindungan dan

pengamanan kawasan

Meningkatnya mutu

sumberdaya manusia terkait

manajemen usahatani

HHBK

Peningkatan kapasitas

kelompok dalam

manajemen usahatani

HHBK

3 Pengembangan

Data dan

Informasi.

Terbangunnya sistem data

dan informasi yang dapat

di-akses secara terbuka

untuk mendukung

pengembangan usaha

budidaya dan pemanfaat

komoditas HHBK.

Meningkatkan ketersediaan

dan

aksesibilitas data dan

informasi

HHBK

4 Pengembangan

Pe-nelitian dan

Tekno-logi

Dihasilkannya paket-paket

teknologi produksi dan

paket-paket tekonologi

budidaya, terutama HHBK

unggulan, yang dapat

diadopsi oleh petani dalam

pengembngan HHBK.

Mengembangkan penelitian

HHBK

unggulan

Mengoptimalkan

pemanfaatan

hasil riset.

Kelola Usaha

Arah, sasaran dan strategi pengembangan HHBK pada aspek kelola

usaha, seperti yang disajikan pada Tabel 4, dimaksudkan untuk menjawab

3 tujuan pada lini kelola usaha, yaitu: (1) Menjamin kuantitas, kualitas dan

kontinuitas HHBK; (2) Kemudahan dalam akses permodalan untuk

mendukung usaha-usaha kelompok masyarakat dan Koptan; dan (3)

Memperluas pangsa pasar HHBK (promosi, informasi, dll.).

Tabel 4. Matriks Arah, Sasaran dan Strategi Pengembangan HHBK pada

Aspek Kelola Usaha.

No Arah Sasaran Strategi

1 Pengembangan

industri pengolahan

HHBK

Meningkatnya nilai

tambah komoditi

HHBK

Mendorong

pengembangan sentra-

sentra agroindustri

HHBK berskala

menengah

Fasilitasi bantuan dan

pembinaan

Meningkatnya Pengembangan usaha

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 615

penyerapan tenaga

kerja

agroindustri HHBK

berbasis industri rumah

tangga (homeindustry)

2 Pengembangan

permodalan bagi

usaha HHBK

Meningkatnya sumber

permodalan bagi

petani, pengusaha dan

koperasi

Pengembangan skema-

skema bantuan

permodalan

Pengembangan sistem

pemupukan modal

secara swadaya

3 Pengembangan

pemasaran dan

promosi HHBK

Terwujudnya sistem

pemasaran yang

mampu menciptakan

harmonisasi harga

antara petani di hulu

dan industri di hilir

Membangun tata niaga

HHBK yang dapat

mendorong peningkatan

pendapatan petani dan

swasta secara seimbang

Meningkatnya jumlah

dan harga jual produk

HHBK

Meningkatkan daya

saing produk HHBK

Kelola Kelembagaan

Arah, sasaran dan strategi pengembangan HHBK pada aspek kelola

kelembagaan, seperti yang disajikan pada Tabel 5, dimaksudkan untuk

menjawab 4 tujuan pada lini kelola kelembagaan, yaitu: (1) Meningkatnya

kapasitas kelompok masyarakat dalam pengolahan pasca panen dan

budidaya HHBK; (2) Mewujudkan Koperasi dan Lembaga Ekonomi Mikro

pada tingkat kawasan sebagai lembaga bisnis yang mandiri; (3)

Tersedianya produk hukum yang mengatur tata niaga HHBK; dan (4)

Terbentuknya asosiasi HKm Lombok Utara.

Tabel 5. Arah, Sasaran dan Strategi Pengembangan HHBK pada Aspek

Kelola Kelembagaan

No Arah Sasaran Strategi

1 Pengembangan

kelembagaan/organisasi

kelompok masyarakat

dan pemerintah

Meningkatnya kapasitas

organisasi dan peran

kelompok masyarakat

dan pemerintah dalam

pengelolaan HHBK

Penguatan dan

pengembangan

organisasi kelompok

masyarakat pengelolaa

HHBK

Pembenahan sistem

kelembagaan dan dan

peran pemerintah dalam

616| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

penanganan HHBK

2 Pengembangan jejaring

kerja (net working)

stake holders HHBK

Terjalinnya hubungan

jejaring kerja (net

working) semua stake

holders, mulai dari

pemerintah, pengusaha,

petani, lembaga

litbang/PT, dan LSM di

tingkat daerah

(kabupaten)

Pembentukan forum

kerjasama multi pihak

pengelolaan HHBK di

tingkat kabupaten

Tercapainya penguatan

dan terbangunnya

jejaring kerjasama antar

institusi di tingakt daerah

(kabupaten & provinsi)

dengan institusi di

tingkat pusat dalam

memfasilitasi

pengembangan HHBK

Peningkatan koordinasi

dan pengembangan

jejaring kerja (net

working)

3 Pengembangan

regulasi/kebijakan yang

mendukung pengelolaan

HHBK

Tersedianya perangkat

regulasi/kebijakan yang

mendukung dan

memberikan insentif

bagi pengembangan

komoditi HHBK

Pengembangan peraturan

dan perijinan HHBK

4 Pengembangan

kelembagaan/nilai-nilai

budaya lokal

Meningkatnya peran

kelembagaan/nilai-nilai

budaya lokal dalam

mendukung pengelolaan

HHBK

Penguatan dan

pengembangan

kelembagaan/nilai-nilai

budaya lokal

5. Program dan Kegiatan Pengembangan HHBK Lombok Utara

Dalam upaya mengimplementasikan arah, sasaran dan strategi

pengembangan HHBK diperlukan program dan kegiatan pokok. Program

merupakan rangkaian/kumpulan kegiatan yang menggambarkan langkah-

langkah yang akan diambil untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah

ditetapkan. Terdapat 5 rumusan program yang terelaborasi kedalam 16

jenis kegiatan pengembangan HHBK pada aspek kelola kawasan, yaitu:

1. Program inventarisasi dan identifikasi potensi tanaman HHBK, meliputi

kegiatan-kegiatan: (i) Inventarisasi, dan identifikasi tanaman HHBK

dalam kawasan hutan alam; (ii) Inventarisasi, dan identifikasi tanaman

HHBK dalam kawasan hutan alam; (iii) Inventarisasi, dan identifikasi

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 617

tanaman HHBK di luar kawasan hutan; (iv) Inventarisasi, dan

identifikasi tanamannon-HHBK dan HHBK non-unggulan yang tidak

produktif.

2. Program penetapan HHBK unggulan daerah, melalui kegiatan kajian

penetapan HHBK unggulan KLU.

3. Program rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan-kegiatan: (i)

pemetaan lokasi untuk pengayaan HHBK unggulan; dan (ii) pengayaan

tanaman HHBK unggulan;

4. Program pengadaan bibit unggul HHBK unggulan melalui kegiatan-

kegiatan: (i) identifikasi, eksplorasi, dan penetapan sumber benih

tanaman penghasil HHBK unggulan; (ii) pembangunan kebut bibit

rakyat (KBR) berbasis komoditi HHBK unggulan; dan (iii) subsidi bibit

komoditi HHBK unggulan.

5. Program peningkatan kapasitas dan keterampilan kelompok masyarakat

dalam aspek budidaya HHBK dan pengelolaan kawasan meliputi

kegiatan-kegiatan: (i) penyelenggaraan bimbingan, penyuluhan,

pendampingan, dan pelatihan teknik budidaya HHBK, konservasi tanah

dan air, perlindungan dan pengamanan hutan, serta manajemen usaha

tani; (ii) pengembangan demplot HHBK unggulan berbasis hasil riset

dan pellibatan kelompok masyarakat; (iii) pengembangan project

pengelolaan HHBK unggulan secara terpadu hulu hilir; (iv) fasilitasi

studi banding dan magang pengelolaan HHBK bagi kelompok

masyarakat; (v) fasilitasi kegiatan inter dan intra learning kelompok

masyarakat pengelola HHBK; dan (vi) ToT petani sebagai penyuluh

mandiri.

Terdapat 8 rumusan program yang terelaborasi kedalam 16 jenis

kegiatan pengembangan HHBK pada aspek kelola usaha, yaitu sebagai

berikut:

1. Program peningkatan kemampuan teknologi industry, melalui kegiatan-

kegiatan: (i) pelatihan, kursus, magang, dan studi banding; (ii) subsidi

saprodi pengolahan HHBK; dan (iii) pembinaan teknologi industri.

2. Pengembangan sentra usaha pengolahan HHBK, melalui kegiatan-

kegiatan: (i) identifikasi potensi pengembangan agroindustri

618| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

rumahtangga di masing-masing wilayah; dan (ii) pembentukan pilot

project sentra usaha agroindustri HHBK unggulan.

3. Program fasilitasi modal usaha, meliputi kegiatan: (i) studi skema

insentif permodalan sebagai solusi berkembangnya sistem ijon; (ii)

fasilitasi dan penerapan hasil kajian skema insentif permodalan.

4. Program peningkatan peran koperasi dan pengembangan skema

pemupukan modal melaui kegiatan pendampingan masyarakat dalam

upaya pemupukan modal secara swadaya.

5. Program peningkatan efisiensi tata niaga local dan regional komoditas

HHBK melalui kegiatan peningkatan system dan jaringan informasi

perdagangan HHBK.

6. Program pengembangan sistem “pemasaran-bersama” HHBK, melalui

kegiatan-kegiatan: (i) pembentukan asosiasi pelaku usaha HHBK; (ii)

peningkatan peran kelompok tani dan lembaga koperasi dalam

pemasaran produk HHBK; dan (iii) pengembangan kemitraan usaha

dalam pemasaran hasil HHBK.

7. Program peningkatan promosi HHBK Unggulan KLU pada tingkat

propinsi dan nasional, melalui kegiatan-kegiatan: (i) pembangunan

pusat pemasaran produk HHBK; dan (ii) fasilitasi keikutsertaan dalam

pameran dan perlombaan dalam tingkat propinsi dan nasional sebagai

ajang promosi.

8. Program peningkatan mutu produk HHBK melaui kegiatan-kegiatan: (i)

penerapan teknologi tepat guna pengolahan HHBK; dan (ii) penyusunan

dan penetapan standar kualitas hasil HHBK.

Terdapat 9rumusan program yang terelaborasi kedalam 26 jenis

kegiatan pengembangan HHBK pada aspek kelola kelembagaan, yaitu

sebagai berikut:

1. Program pembentukan dan penguatan organisasi kelompok masyarakat

pengelola HHBK melalui kegiatan-kegiatan: (i) fasilitasi pembentukan

dan penguatan lembaga pengelola HHBK; (ii) peningkatan kapasitas

manajerial pengelola; dan (iii) fasilitasi pembentukan lembaga ekonomi

mikro.

2. Program peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah

terkait pengembangan HHBK, melalui kegiatan-kegiatan: (i)

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 619

pembentukan gugus tugas penanganan HHBK; (ii) rekritment aparat

penyuluh kehutanan; (iii) peningkatan kapasitas penyuluh; (iv) fasilitasi

studi banding dan pelatihan bagi kelompok pengelola HHBK; dan (v)

peningkatan frekwensi kunjungan penyuluh kehutanan ke kelompok

pengelola HHBK.

3. Program pengembangan basis data dan system informasi HHBK,

melalui kegiatan-kegiatan: (i) penyusunan pedoman penyediaan data

dan informasi HHBK; (ii) pengembangan web portal informasi HHBK;

dan (iii) pembangunan pusat informasi HHBK di tingkat kabupaten.

4. Program pengembangan riset dan teknologi HHBK, melalui kegiatan:

(i) pengembangan riset dan teknologi budidaya dan pengolahan HHBK

ungulan; dan (ii) fasilitasi pelaksanaan penelitian oleh petani (PoP).

5. Program pemanfaatan hasil-hasil riset HHBK melalui kegiatan

diseminasi hasil riset, dan pembangunan demo plot hasil riset bersama

kelompok masyarakat.

6. Program penguatan jejaring kerjasama stakeholders HHBK di tingkat

kabupaten, melalui kegiatan: (i) lokakarya inisiasi pembentukan forum

kerjasama multipihak pengelolaan HHBK; dan (ii) temu usaha multi

pihak pengelola HHBK.

7. Program peningkatan koordinasi jejaring kerjasama stakeholders

HHBK melalui kegiatan: (i) pembentukan arahan tata kerja sama

stakeholders HHBK di tingkat pusat dan daerah; dan (ii) internalisasi

pengembangan dan pengelolaan HHBK dalam program kerja SKPD di

KLU.

8. Program kebijakan dan regulasi pengembangan HHBK unggulan,

melalui kegiatan-kegiatan: (i) penetapan daftar komoditi HHBK

unggulan daerah dan sentra wilayah pengembangan HHBK ungulan

daerah; (ii) penyusunan peraturan daerah tentang pedoman

pengembangan HHBK unggulan di KLU; (iii) pengembangan kebijakan

dan regulasi insentif dalam merangsang usaha HHBK unggulan; (iv)

pengembangan kebijakan dan regulasi insentif yang mampu

merangsang iklim investasi dalam pengolahan dan pemasaran produk

HHBK; dan (iv) pengembangan kebijakan sebagai payung hukum dan

landasan kerja SKPD dalam pengelolaan HHBK terpadu.

620| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

9. Program pengembangan ijin usaha HHBK, melalui kegiatan-kegiatan:

(i) penerbitan izin usaha pemungutan dan pemanfaatan HHBK; (ii)

penyederhanaan prosedur perizinan pemanfaatan HHBK; dan (iii)

penghapusan biaya “transaksional” dalam pengurusan perizinan.

IV. PENUTUP

Rencana Strategis Pengelolaan HHBK Kabupaten Lombok Utara ini

disusun secara bersama (partisipatif) oleh para pihak pemangku

kepentingan, melalui tahapan dan proses yang cukup panjang. Keluaran

yang diharapkan adalah agar dokumen perencanaan ini menjadi acuan

bersama bagi pemangku kepentingan dalam mengelola dan

mengembangkan HHBK di Kabupaten Lombok Utara. Tantangan

selanjutnya adalah menetapkan langkah-langkah apa yang harus ditempuh

agar dokumen rencana pengelolaan ini dapat dinternalisasikan dan

diimplementasikan ke dalam prograrm dan kegiatan masing-masing

pemangku kepentingan. Tantangan tersebut menjadi penting untuk

dikedepankan mengingat setiap pemangku kepentingan memiliki program

dan rencana kerja sendiri yang berorientasi pada kepentingan masing-

masing. Bahkan acapkali kepentingan berbagai pihak tersebut saling

berbenturan, yang menyebabkan pengelolaan HHBK selama ini belum

berjalan secara sinergis. Oleh karenanya, tugas pemangku kepentingan

selanjutnya adalah mendorong dan mendukung agar rencana pengelolaan

ini menjadi dokumen yang secara legal formal memiliki payung hukum

yang jelas, semisal Perda (Peraturan Daerah) atau Perbup (Peraturan

Bupati). Pentingnya payung hukum adalah agar dapat mengikat komitmen

bersama untuk secara sungguh-sungguh mengadopsi dan

mengimplementasikan perencanaan ini.

BAHAN BACAAN

Bappeda KLU, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2015. Bappeda KLU.

Tanjung.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 621

BPS. 2011. Lombok Utara dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik

Kabupaten Lombok Utara.Tanjung.

Dinas Kehutanan Provinsi NTB. 2011. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi

Nusa Tenggara Barat 2010. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Mataram

DPPKKP, 2012.Rencana Kerja Dinas Pertanian, Perebunan, Kehutanan,

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Utara Tahun 2012.

DPPKKP KLU.Tanjung.[tidak dipublikasikan]

Kementrian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis Kementrian Kehutanan

2010-2014. Kementrian Kehutanan. Jakarta.

________ . 2010. Grand Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu

Nasional 2010-2014. Kementrian Kehutanan. Jakarta.

622| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

F. Diskusi

a) Notulensi Sesi Utama

1) Sambutan : Paparan Kebijakan Pengelolaan HHBK di NTB

Oleh : Asisten III Bidang Ekonomi Pembangunan Pemda

Provinsi NTB

Penandatanganan MoU antara Balai Penelitian Teknologi HHBK

dengan Lembaga Pendidikan yang ada di NTB semoga bisa

dilaksanakan dengan optimal untuk meningkatkan kemanfaatan

HHBK dan kesejahteraan masyarakat.

Peraturan Presiden No 32 tahun 2011 tentang Master Plan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

menjadikan Lombok sebagai gerbang pariwisata nasional.

Instruksi Gubernur NTB yang berisi tentang penyelenggaraan

rapat-rapat baik lingkup nasional maupun internasional untuk

memanfaatkan produk-produk lokal, mengunjungi sentra-sentra

industri dan mengunjungi destinasi-destinasi wisata.

Kantong-kantong kemiskinan justru ada di sentra-sentra industri,

sentra-sentra kerajinan, atau masyarakat sekitar hutan.

Pengentasan kemiskinan salah satunya dengan jalan bagaimana

meningkatkan manfaat HHBK.

Kearifan lokal dihadapkan dengan kebutuhan masyarakat terhadap

kayu di hutan.

Program-program untuk memanfaatkan HHBK harus

dikedepankan untuk mendukung program-program yang lain.

Keterpaduan dari dinas-dinas misal dinas kehutanan, dinas

pertanian dan dinas perdagangan.

Sesuai dengan program NTB Hijau, pada Green Asia Forum

berikutnya NTB akan menjadi tuan rumah.

Dinas kehutanan : pemanfaatan kawasan hutan lindung jadi

kawasan pariwisata.

2) Sambutan dan Arahan : Strategi dan Kebijakan Penelitian HHBK

Oleh : Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan

Pengolahan Hasil Hutan (Dr. Ir. Rufi’ie, M.Sc.)

Permenhut No 35 tahun 2007 tentang HHBK. HHBK masih

dianggap sebagai hasil hutan ikutan. Padahal hasil hutan berupa

kayu hanya 10% dari total hasil hutan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 623

Konsekuensinya nilai ekonomi dan nilai tambah HHBK sangat

rendah. Contoh rotan, pengusaha untung besar, sedangkan

petaninya tidak.

Jenis-jenis produk HHBK yaitu energi, pangan, obat-obatan dan

lainnya.

Di Papua terdapat 5 juta ha tumbuhan sagu yang belum diusahakan

dengan baik dan tidak dibudidayakan. Jika diusahakan untuk

pangan, dapat untuk mensuplai 10 milyar orang.

Tanaman porang diusahakan oleh Perhutani. Porang diproses

untuk bahan pangan yang sehat. Tepung porang sangat mahal

hingga Rp 500.000,- per kg.

Tantangan : lebih dari 500 jenis HHBK yang berupa akar, daun,

buah, biji, dan lain-lain. Sementara ini pemanfaatannya masih

terbatas, hanya dalam bentuk raw material. Contoh biji

tengkawang, oleh masyarakat hanya disangrai kemudian dikirim

ke Malaysia.

Strategi pengelolaan HHBK ke depan perlu dilakukan seperti

menentukan komoditas apa yang akan dikembangkan.

HHBK sebenarnya bukan sumber alamnya saja. Kondisi sosial,

kondisi pasar dan kondisi hutanya akan menentukan aktor-aktor

penting yang bergerak di dalamnya. Oleh karena itu penelitian

integratif sangat diperlukan.

Peran Litbang adalah menghasilkan IPTEK yang terintegrasi,

pemetaan potensi dan budidaya HHBK serta pemanfaatan

komersialnya. Kerjasama akan melengkapi penelitian yang

terintegrasi. Penelitian yang diperlukan adalah penelitian

kolaborasi atau partisipatori dan penelitian dari hulu sampai hilir.

Fokus penelitian Litbang : energi (biomassa, bioetano, biodiesel

dll), pangan (madu dan porang), obat-obatan (pemanfaatan

senyawa aktif tumbuhan obat hutan, getah dan pengolahan turunan

produk), serta lainnya (rotan dan bambu).

624| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

b) Komisi Budidaya dan Pengelolaan HHBK

Sesi I

Moderator: Sad Kurniati W. S.Hut.MP

Makalah:

No. Judul Makalah Nama Pemakalah

1. Komposisi Kimia dan Sifat Insektisida

Minyak Atsiri Eucalyptus urophylla

Terhadap nyamuk Culex

quinguefasciatus

Rini Pujiarti

2. Teknik Budidaya Gulinggang (Senna

alata Linn.) Di Kalimantan Selatan

Sudin Panjaitan,

Ahmad Ali

Musthofa Rusmana

3. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula

Terhadap Pertumbuhan Tanaman Muda

Aquilariacrassna Pierre ex Lecomte Di

Lapang

Ragil SB Irianto

4. Optimalisasi Hasil Panen Tanaman Rami

Untuk Mendukung Industri Tekstil Di

Kabupaten Garut

Tri S.W., Dian

Diniyati, dan Harry

Budi Santoso

5. Ujicoba Rehabilitasi Dengan Tanaman

Penghasil Bahan Bakar Nabati Di KPHL

Rinjani Barat Dan KPHL Bali Timur

Cecep Handoko

6. Adaptasi Dan Preferensi Pakan Rusa

Sambar (Rusa unicolor Brookei) Pada

Tahap Awal Di Penangkaran KHDTK

Samboja

Tri Atmoko

7. Evaluasi Pohon Serbaguna Hasil

Rehabilitasi Kawasan Konservasi Taman

Nasional Merubetiri, Jawa Timur

Sumarhani dan

Titiek Setyawati

Pertanyaan/Masukan/Saran

1. Wahyu Yuniati (Fahutan UNTB, Mataram)

Apa perbedaan Glomus sp 1 dan Glomus sp 2

Jawaban:

Ragil SB Irianto (Puskonser Bogor): Glomus sp 1 diambil dari spesies

mahoni di PT. Musi Hutan Persada sedangkan Glomus sp 2 diambil dari

lahan tambang batu bara.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 625

2. Sahwalita (BPK Palembang)

a. Bagaimana efektivitas mikoriza terkait pengaruh pemupukan, dan

waktu penanaman dilapangan, kondisi naungan di lapangan, dan pola

tanam monokultur atau polikutur ?

Jawaban:

Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor): Efektivitas tertinggi/terbaik

yaitu saat semai dipindah dari persemaian ke lapangan. Pemberian di

persemaian selalu menguntungkan. Kalau media subur, kurang. Jenis

tanah di lapangan subur, efektivitas juga kurang. Kalau menggunakan

lahan bekas tambang, efektivitas tinggi. Pada awalnya tanaman

dibawah naungan, dan yang tingginya di bawah 1 m pertumbuhannya

lebih cepat. Pola tanam adalah monokultur dan tidak ada penambhan

pupuk selain pupuk kandang sebanyak 2 kg/lubang tanam.

b. Pengaruh pupuk bagaimana? dosis pupuk sama atau tidak? Kondisi di

lapangan ada naungan atau tidak? Pola tanam monokultur atau

campuran?

Jawaban :

Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor): Tanaman awal di bawah

naungan. Tanaman dengan tinggi kurang dari 1 meter tumbuhnya

lebih cepat. Pola tanam monokultur, tidak ada penambahan pupuk lain

selain perlakuan yaitu pupuk kandang sebanyak 2 kg per lubang

tanam.

3. Dona Octavia (Puskonser Badan Litbang, Bogor).

Pupuk kandang dan mikoriza diberikan hanya kepada Kranji dan

Kemiri Sunan. Bagaimana dengan jenis lainnya. Kondisi unsure hara

pada lokasi penelitian bagaimana ?

Jawaban:

Cecep Handoko, (BPTHHBK Mataram): Keputusan berdasarkan hasil

analisis data pengamatan respon pemupukan tahun 2013, dimana hanya

Kranji dan Kemiri Sunan yang berbeda nyata. Data kondisi unsur hara

sudah disajikan pada halaman 4. Banyak unsur hara yang rendah

626| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

ketersediannya dan ada unsur hara yang menjadi kendala selain kendala

ketebalan solum dan curah hujan.

4. Dona Octavia, (Puskonser Bogor)

Nilai R2 pada hubungan variable bebas kondisi lingkungan

(penangkaran awal) dan variable tetap/terikat kondisi psikologis rusa

nilainya ternyata kecil. Minta penjelasan

Jawaban:

Triatmoko, (BPTKSDA, Samarinda): Nilai R2 = 0,235 pada kondisi

fisiologis rusa sambar pada tahap awal penangkaran menunjukkan

adanya tren adaptasi yaitu dampak lingkungan trerhadap psikologis rusa

pada awalnya saja besar, lalu menurun sejalan waktu adaptasi, sehingga

nilai R 2 secara kumulatif pada akhirnya kecil. ada nilai standar untuk

Rusa Timor, sedangkan untuk Rusa Sambar Belum

5. Sudin (Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru)

a. Pada makalah Ujicoba rehabilitasi dengan jenis penghasil BBN (Cecep

Handoko), pada kesimpulan disebutkan kematian tidak terjadi. Minta

dijelaskan persentase hidup. Jenis BBN belum disebutkan, dan

munculkan pada kesimpulan.

Jawaban:

Cecep Handoko, (BPTHHBK Mataram): Saran diterima, perbaikan

untuk kesimpulan. Kematian tidak terjadi maksudnya hanya untuk

persyaratan tidak adanya gangguan fisik.

b. Penelitian Rusa Sambar dilakukan hanya terhadap sepasang rusa,

umurnya berapa ?

Jawaban:

Triatmoko, (BPTKSDA Samarinda): Memang jumlah sample

penelitian terlalu sedikit karena kesulitan memperoleh rusanya. Umur

rusa saat awal ditangkarkan adalah 1-2 tahun dan 8 bulan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 627

Sesi II

Moderator: Dr. Liliana Baskorowati, S. Hut, M.P

Makalah:

No. Judul Makalah Nama Pemakalah

8. Teknik Produksi Bibit Dan Penanaman

Rotan (Calamus sp.) Di Kalimantan

Selatan

Sudin Panjaitan

9. Demplot Tanaman Obat Dan Tanaman

Anggrek: Media Percontohan

Pengembangan Usaha Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK) Alternatif Di

Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS)

Tri Sulistyati

Widyaningsih, Aditya

Hani, Nova Indri

Hapsari,dan Ratna Uli

Damayanti

10. Potensi Agroforest Medang Bambang

Lanang (Michelia champaca) Dalam

Mendukung Kemanfaatan Hasil Hutan

Non Kayu Dikecamatan Muara Payang

Kawasan Lematang Ulu, Sumatera

Selatan.

Endah Kusuma

Wardhani dan Dona

Octavia

11. Potensi Sistem Perakaran Beberapa Jenis

HHBK Dalam Pengendalian Erosi Dan

Longsor

Ogi Setiawan,

Krisnawati dan Budi

Hadi Narendra

12. Inventarisasi Status Pohon Gaharu

(Gryinops verstigii) Di Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)

Senaru Lombok Utara

Sitti Latifah, Muhamad

Husni Idris, Maiser

Syahputra, Rato

Silamon Firdaus,

Budhy Setiawan

13. Budidaya Dan Pemanfaatan Pandan

Hutan Di Kabupaten Tapanuli Selatan,

Sumatera Utara

Sahwalita

14. Keanekaragaman Jenis Bakteri

Penginduksi Pembentukan Resin Gaharu

Pada Pohon Gyrinops versteegii

((Gilg.)Domke) Di Kabupaten Lombok

Bara

Prilya D. Fitriasari,

Endang S. Soetarto, I

Komang Surata

628| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pertanyaan/Masukan/Saran

1. Dr. Liliana Baskorowati, (B2PBPTH Yogyakarta)

a. Komentar dan saran: rancangan dan pelaksanaan penelitian teknik

produksi dan penanaman rotan belum didukung uji statistik, hanya

deskripsi tentang praktek teknik pembibitan dan produksi yang ada di

masyarakat. Penelitian yang baik ada komparasinya, ada pembuktian

secara statistic.

Jawaban:

Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru): Saran diterima. Pada penelitian ini

memang dimaksudkan untuk menginventarisasi praktek-praktek yang

dilakukan masyarakat.

b. Saran: Powerpoin dalam mpenyajian makalah Potensi Agroforest

Bambang Lanang, menggunakan tampilan yang bergerak-gerak.

Tampilan ini malah dapat menyebabkan audiens lebih memperhatikan

gambarnya, bukan materinya. Saran: perlu format standar penyajian

powerpoin

Jawaban:

Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru): Sebenarnya gambar yang bergerak

ada maksudnya terkait materi. Terimakasih atas masukannya.

2. Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor)

Bila dibandingkan antara rotan Manau dan Jernang, mana yang lebih

bagus kualitasnya dan juga nilai ekonominya. Bagaimana kemungkinan

pengembangannya di hutan tanaman?

Jawaban:

Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru): Rotan manau, berkembang lewat

batangnya, lama berkembang sekitar 10 tahun, sedangkan rotan jernang

berkembang lewat biji, cepat berkembang. Rotan manau di Kalimantan

paling bagus kualitasnya, dan juga nilai ekonominya. Pengembangan

rotan manau idealnya di hutan alam daripada hutan tanaman karena

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 629

rotan akan mengalahkan pertumbuhan tanaman lain. Rotan lebih baik

ditanam dengan sistem rumpang daripada sistem jalur

3. Sad Kurniati (UNTB Mataram)

a. Tanaman anggrek ternyata sudah menjadi atau termasuk HHBK.

Apakah ada teknik khusus untuk mengembangkan tanaman anggrek? Di

Mataram tanamana anggrek yang dibudidayakan dapat tumbuh tetapi

tidak berbunga

Jawaban:

Tri Sulistyati Widyaningsih, (BPTA Ciamis): Iklim sangat berpengaruh

pada tanaman anggrek, selain ketelatenan dalam perawatan individu

tanamannnya. Jenis anggrek juga berpengaruh: ada jenis anggrek tanah

ada jenis efipit. Perawatannya harus rajin seperti pemotongan secara

berkala dan penyiraman.

b. Saran untuk makalah: Potensi Agroforest Bambang Lanang,

Penelitiannya akan lebih bagus dilanjutkan untuk mengetahui potensi

dari masing-masing hasil hutan non kayunya

Jawaban:

Dona Octavia, (Puskonser Bogor): saran untuk melanjutkan penelitian

diterima, terimakasih.

c. Apakah ada gambaran umum tentang budidaya untuk jenis –jenis

pandan ?

Jawaban:

Sahwalita, (BPK Palembang): Jarak tanam 2,5 x 4 meter. Panen: dalam

1 rumpun biasanya berisi 2 – 27 anakan. Sisakan 5 – 10 anakan saja

untuk dikembangkan sebagai bahan baku anyaman. Penyiangan seperti

pemotongan daun yang sudah tua perlu dilakukan. Kualitas daun yang

bagus akan memenuhi kebutuhan pengrajin. Budidaya masih terbatas.

Yang perlu diperhatikan untuk budidaya pandan yaitu jarak tanam dan

pemeliharaannya.

630| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

4. Meitry Daningwuri, (BPDAS DMS NTB)

Saran: Kedepan, terkait teknik rehabilitasi hutan, diperlukan penelitian

untuk mengetahui jenis tanaman apa yang cocok untuk jenis tanah

tertentu

Jawaban:

Krisnawati, (BPTHHBK Mataram): Untuk program penelitian ini, jenis

tanaman yang cocok sudah diteliti/pilih tahun kegiatan 2011 dan 2012.

Untuk berbagai jenis-jenis potensial lainnya memang masih perlu

dilakukan penelitian pemilihan dan kesesuaian jenis untuk mendukung

program rehabilitasi hutan

5. Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor)

Untuk bahasan system perakaran, apakah system perakaran

dikelompokkan lagi berdasarkan sumber bibitnya? Saran untuk

pembuatan slide: ukuran font perlu diperhatikan, jangan terlalu kecil,

background dan huruf warnanya harus kontras. Untuk Panitia, kedepan

mungkin perlu dibuat standar persyaratan penyajian powerpoin

Jawaban:

Krisnawati, (BPTHHBK Mataram ): Bibit yang diteliti berasal dari

cabutan yang diambil langsung dari lapangan. Aspek tanah

(jenis/tipe/struktur fisik) memang belum dibahas, karena penelitian

tahun berjalan (2013) masih difokuskan pada aspek perakaran saja.

Saran pengelompokan atas dasar sumber bibit akan dikaji lebih lanjut.

6. Subhan, (BAPPELUH NTB)

Terkait sistem perakaran, sumber bibit akan menentukan sistem

perakaran, selain juga kemungkinan ada pengaruh jenis tanah tempat

tumbuhnya. Contoh: sumber bibit dari anakan alam dan dari hasil

cangkok pasti berbeda sistem perakarannya. Saran: sistem perakaran

mesti dikelompokkan/dibedakan antar sumber bibit dan jenis/tipe

struktur tanah

Jawaban:

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 631

Krisnawati, (BPTHHBK Mataram ): Tahun 2011 dan 2012 jenis

tanaman sudah dipilih. Bibit yang diteliti berasal dari cabutan. Cabutan

diambil langsung di lapangan.

7. Sahwalita, (BPK Palembang )

a. Fisik tanah sangat mempengaruhi perakaran tanaman. perakaran dalam

hasil penelitian ini merupakan pola umum atau karena pengaruh fisik

tanah?

Jawaban:

Krisnawati, (BPTHHBK Mataram): Dalam penelitian tahun ini korelasi

antara sistem/pola perakaran dan aspek tanah memang belum dibahas.

b. Pada makalah Inventarisasi Status Gaharu di KHDTK Senaru,

ditampilkan data-data seperti data cahaya dan pertumbuhan tanaman.

Apa hubungannya antara data yang ditampilkan tersebut? Dan pohon

gaharu yang diteliti apakah hasil penanaman atau tumbuh secara alami?

Jawaban:

Maiser Syahputera, (Prodi Kehutanan UNRAM): Data-data yang

diambil/disajikan ada hubungannya dengan keberhasilan pertumbuhan

pohon gaharu. Tanamaan gaharu yang diamati adalah tanaman alami,

bukan hasil penanaman.

8. Dr. Liliana Baskorowati, (B2PBPTH Yogyakarta)

Saran : untuk makalah Inventarisasi Status Gaharu di KHDTK Senaru:

hubungan anta data harus dijelaskan secara statistik. Misal

menggunakan regresi atau korelasi sehingga tidak hanya ditampilkan

data-datanya saja.

Jawaban:

Maiser Syahputera, (Prodi Kehutanan UNRAM) : Sebenarnya korelasi

secara statistik sudah dibuat/ada di makalah, hanya saja di slide power

point tidak ditampilkan. Saran diterima, terimakasih.

c) Komisi Pemanfaatan Dan Pengolahan HHBK

632| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Sesi I

Moderator : Dr. Gustan Pari, MS

Makalah:

No. Judul Makalah Nama Pemakalah

1. Analisis Fitokimia Daun Beke

(Pycnarrhena tumefacta Miers) Dari Hutan

Adat Tana Ulen, Kalimantan Timur

Andrian Fernandes,

Tati Rostiwati, dan

Karmilasanti

2. Ujicoba Lama Rendam Biji Mimba

Terhadap Kematian Ulat Heortia

Vitessoides

Ali Setyayudi dan

Septiantina Dyah

Riendrasari

3. Inokulasi Sembilan Isolat Asal Nusa

Tenggara Barat Untuk Pembentukan

Gaharu Pada Cabang Gyrinops versteegii

YMM. Anita Nugraheni

dan Lutfi Anggadhania

4. Induksi Pembentukan Gaharu Pada

Gyrinops versteegii (Gilgs.) Domke

Dengan Teknik Inokulan Campur Di

Kabupaten Lombok Barat

Asmiati, Endang S.

Soetarto, dan I Komang

Surata

5. Penggunaan Bentonite Pada Proses

Pembuatan Biokerosin Dari Biji

Nyamplung

Nurul Wahyuni,

Saptadi Darmawan dan

Djeni Hendra

6. Serbuk Kayu Sebagai Sumber Karbon

Alternatif Dalam Medium Pertumbuhan

Fusarium

Lutfi Anggadhania,

YMM Anita Nugraheni

Pertanyaan/Masukan/Saran

1. Adang Sopandi, (Balai Besar Litbang Dipterocarpa Samarinda)

Senyawa utama apakah yang dihasilkan oleh minyak atsiri Eucalyptus

Urophylla yang berfungsi sebagai larvasida.

Jawaban :

Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta): Kandungan senyawa aktif

seperti 1,8-Cineole dan α-Terpineol yang terkandung pada minyak E.

urophylla merupakan senyawa yang diduga efektif untuk mematikan

larva dari nyamuk Culex Quinquefasciatus karena bersifat toksik bagi

nyamuk dan juga dapat berfungsi sebagai racun perut dan pernafasan

pada larva nyamuk sehingga mengakibatkan kematian larva.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 633

2. Cut Rizlani, (Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli)

a. Bagaimana dampak Kesehatan manusia apabila terpapar oleh senyawa

kimia dalam minyak E. urophylla dalam konsentarsi yang besar?

Jawaban:

Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta): Senyawa aktif yang

berfungsi sebagai repelant maupun larvasida adalah senyawa

eucalyptol (1,8-cineole) yang mana apabila konsentrasi dari senyawa

tersebut berlebih maka dapat menyebabkan iritasi kulit dan panas

terutama bagi kulit yang sensitive.

b. Apa penyebab perbedaan komposisi dan kandungan senyawa kimia

Eucalyptus Urophylla dengan beberapa spesies ekaliptus lainnya?

Faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan komposisi kimia

tersebut?

Jawaban :

Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta) : Perbedaan kandungan

senyawa utama dan persen komponen Eucalyptus Urophylla dengan

beberapa spesies ekaliptus lainnya karena faktor tempat tumbuh,

iklim, suhu. Tempat tumbuh dapat mempengaruhi komposisi kimia

dari suatu tanaman karena adanya perbedaan kandungan unsur hara

ataupun mineral dalam tanah. Iklim dan suhu juga mempengaruhi

persen komponen dari kandungan senyawa kimia ekaliptus dan

menentukan laju pertumbuhan dari tanaman ekaliptus.

3. I Wayan Widhiana S, (BPTHHBK Mataram)

Apakah telah diuji semua jenis-jenis Eucalyptus untuk diketahui

kandungan senyawa kimianya dan dapat dimanfaatkan sebagai

insektisida?

Jawaban :

Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta):Tidak, Tim kami hanya

menguji minyak atsiri dari Eucalyptus Urophylla saja. Namun, untuk

beberapa jenis Eucalyptus telah diuji oleh peneliti-peneliti lain yang

mana ekaliptus tersebut berasal dari Congo, India dan Brazil.

4. Rini Pujiarti, (Fahutan-UGM Yogyakarta)

634| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

a. Apakah telah tersedia data kuantitatif kandungan senyawa daun Beke?

Karena akan lebih jelas pemanfaatan dari daun beke jika diketahui

secara jelas komposisi senyawa kimia secara kuantitatif.

b. Pengujian seperti apa yang dilakukan untuk mengetahui komposisi

kimia daun Beke seperti flavonoid, tannin dan lain-lain.

Jawaban:

Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda) : Belum ada data kuantitatif

mengenai komposisi senyawa kimia dari daun Beke. Hal ini

dikarenakan keterbatasan dari sampel daun beke sendiri. Di hutan adat

Tanah Ulen, Kalimantan Timur, tanaman beke masih sangat sedikit

sehingga dalam hal ini perlu dilakukan budidaya.

Jawaban :

Andrean Fernandez, (B2PD Samarinda): Uji fitokimia yang dilakukan

mengacu pada metode yang dikemukakan oleh Harborne (1998) dan

Kokate (2001).

5. Nurul Wahyuni, (BPTHHBK Mataram)

Daun beke yang bagaimana yang baik untuk diambil ekstraknya?

Jawaban :

Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda): Daun Beke yang sudah tua

6. Rini Pujiarti, (Fahutan-UGM)

a. Komponen senyawa kimia apakah yang ada dalam biji mimba yang

berfungsi mematikan ulat Heortia vitessoide?

Saran : Sebaiknya dilampirkan detail komposisi senyawa kimia dari biji

mimba sehingga diketahui komponen senyawa kimia manakah yang

berperan penting dalam mematikan ulat Heortia vitessoide.

Jawaban :

Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Senyawa kimia yang berperan

penting dalam mempengaruhi kematian Heortia vitessoide adalah zat

azadirachtin yang terkandung didalam biji dan daun tanaman mimba

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 635

b. Apakah daun dari tanaman mimba pernah diuji coba untuk dijadikan

insektisida alami? Bagian tanaman mimba yang manakah yang paling

efektif menghasilkan insektisida alami?

Jawaban :

Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Pernah dicoba, namun yang

paling efektif sebagai insektisida alami adalah biji mimba karena

memiliki kandungan zat azadirachtin yang paling tinggi diantara bagian

tanaman mimba yang lainnya

c. Bagaimana pengaruh penggunaan alkohol sebagai pelarut dalam proses

perendaman biji mimba terhadap kematian ulat?

Jawaban :

Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Penggunaan alkohol yang cukup

besar akan mengakibatkan kematian ulat Heortia vitessoide secara

cepat. Sehingga penggunaan alkohol yang besar dihindari karena yang

diujicoba adalah efektifitas insektisida alami dari biji mimba bukan

pengaruh dari senyawa kimia sintetis seperti alcohol. Dalam penelitian

ini pelarut alkohol digunakan dalam konsentrasi yang kecil yaitu 1:

1000, 1 ml alkohol dalam 1000 ml air sehingga tidak berpengaruh

dalam kematian ulat

d) Bagaimana cara mengatasi kelemahan insektisida alami bila

diaplikasikan di lapangan, salah satunya karena kendala hujan? Saran:

Gunakan minyak atsiri sebagai pengikat senyawa insektisida agar tahan

lama menempel di bagian tanaman sehingga pada saat musim hujan,

insektisida alami yang telah disemprotkan ke tanaman tidak mudah

tercuci.

Jawaban:

Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Sampai saat ini penelitian masih

dilakukan dalam skala laboratorium, belum diuji di lapangan.

7. (I Wayan Widhiana S., BPTHHBK Mataram)

Biji mimba yang seperti apa yang diekstrak?

636| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Jawaban:

Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Biji mimba yang sudah masak

baik yang sudah jatuh di tanah maupun masih di pohon

8. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta)

Pada saat Fase ulat yang bagaimana dilakukan penyemprotan

insektisida?

Jawaban :

Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Pada tahapan pertumbuhan ulat

Heortia vitessoides fase ke tiga hingga ke empat.

9. Prilya D.,F (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta)

Mengapa menggunakan PDB sebagai control?

Jawaban:

YMM. Anita Nugraheni (BPTHHBK, Mataram): Karena ingin

mengetahui sejauh mana peran cendawan yang diinokulasikan dalam

membentuk gaharu. PDB hanya sebagai media pertumbuhan cendawan

yang diinokulasikan.

10. I Wayan Widhiana S. (BPTHHBK, Mataram)

Apa ada tanda/penciri lain pembentukan gaharu selain perubahan warna

kecoklatan pada area, kalau ada sebaiknya diamati juga

Jawaban:

YMM. Anita Nugraheni (BPTHHBK, Mataram): Ada, yaitu dari tingkat

warna yang terbentuk (dari putih, cokelat muda, sampai cokelat tua);

dan dari bau yang dapat diketahui dari aroma yang tercium setelah

irisan sample dibakar.

11. Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta)

a. Bagaimana cara menghitung kurva pertumbuhan isolat jamur?

Saran Menghitung dengan berat kering biomassa jamur

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 637

Jawaban:

Asmiati (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):

Pegukuran pertumbuhan isolat jamur memang sudah dilakukan

berdasarkan pengukuran biomassa atau berat kering sel jamur.

b. Jelaskan korelasi antara kurva pertumbuhan dengan induksi

pertumbuhan gaharu?

Jawaban :

Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Kurva

tumbuh menunjukkan fase pertumbuhan dari isolat jamur. Jika

menggunakan isolate jamur pada saat pertumbuhan jamur maksimal

maka induksi pertumbuhan gaharu pun akan maksimal karena jumlah

jamur (spora) yang banyak untuk melakukan induksi gaharu.

12. Andrean Fernandez, B2PD Samarinda)

Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):

Bagaimana cara mengetahui kadar wangi gaharu hasil inokulasi

dengan teknik Inokulan Campur?

Jawaban :

Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Dengan

membandingkan wangi standar yang telah ada dan tersedia di

BPTHHBK dan dianalisa oleh 5 orang yang berkompeten dalam

wangi gaharu

13. Cut Rizlani, (BPK Aek Nauli)

Mengapa menggunakan tanaman Gaharu yang berumur 3 tahun

(kayunya belum cukup dewasa/matang)? Mengapa tidak

menggunakan Gaharu umur 5-7 tahun?

Jawaban :

Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Karena

saat ini tanaman Gaharu umur 3 tahun yang banyak tersedia di

lapangan, sedangkan gaharu yang berumur 5-7 tahun masih sedikit,

638| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

tentunya belum cukup untuk mendukung penelitian ini. Meskipun

ada, kebanyakan pohon gaharu tersebut telah diinjeksikan inokulan

pada saat umur 3 tahun, jadi hanya sedikit sekali jumlah pohon gaharu

yang masih belum diinjeksikan inokulan.

14. Tri Krisnawati, (BP2HP Denpasar)

Kapan waktu yang tepat dilakukan inokulasi pada pohon Gaharu?

Jawaban :

Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Belum

mendapatkan referensi yang tepat dan jelas kapan pohon gaharu

idealnya untuk dilakukan inokulasi.

15. Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda)

Apakah biokerosin dari minyak nyamplung telah dicoba secara

aplikatif dan diuji secara kuantitatif? Misalnya : perbandingan bahan

bakar dan lama waktu yang dihabiskan dalam memasak air 1 liter

dengan menggunakan biokerosin dan kerosin.

Jawaban :

Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Biokerosin nyamplung sudah

pernah diaplikasikan pada kompor bertekanan dengan percobaan

memasak 500 ml air hingga mendidih. Dengan komposisi campuran

50 % biokerosin dan 50 % minyak tanah waktu yang dibutuhkan

adalah 2 menit lebih lama dari yang dibutuhkan minyak tanah saja.

Biokerosin saja (100%) pun masih bisa digunakan untuk memasak air

namun membutuhkan waktu yang lebih lama.

16. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Biologi UGM Yogyakarta)

Manakah yang lebih baik nilai kalori yang dihasilkan dari biokerosin

yang berasal dari minyak nyamplung Sumbawa atau Lombok?

Jawaban:

Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Untuk masalah ini belum

dilakukan ujicoba dan akan dilakukan ujicoba dalam waktu dekat ini.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 639

17. Ali Setyayudi, (BPTHHBK, Mataram)

Apakah fungsi bentonit dalam penelitian ini?

Jawaban :

Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Fungsi bentonit dalam hal ini

adalah sebagai adsorben yang dapat menyerap asam lemak dalam

minyak maupun senyawa-senyawa yang tidak diinginkan (kotoran)

lain yang terdapat dalam minyak serta dapat mencerahkan warna dari

minyak.

18. Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru)

Berapakah nilai fisikokimia yang diharapkan dari biokerosin

nyamplung?

Jawaban:

Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Nilai fisikokimia yang

diharapkan tentunya tidak berbeda nyata secara aplikatif dengan

kerosin. Karena biokerosin sendiri belum memiliki standar

sebagaimana jenis biofuel lainnya seperti biodiesel, maka yang

dipakai acuan sementara ini adalah secara aplikatif dengan uji bakar.

19. Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram)

Jenis serbuk kayu apa saja yang digunakan dan mana yang paling

efektif?

Jawaban:

Lutfi Anggadhania, (BPTHHBK, Mataram): Jenis serbuk kayu yang

digunakan berasal dari beberapa jenis kayu namun yang paling banyak

adalah serbuk kayu dari pohon nangka. Untuk yang menghasilkan

karbon yang paling efektif sejauh ini belum diteliti.

20. Wayan WS, (BPTHHBK Mataram)

640| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Mengapa tidak dimaanfaatkan limbah kayu Gaharu sebagai sumber

karbon?

Jawaban :

Lutfi Anggadhania (BPTHHBK, Mataram): Karena kayu gaharu

harganya relatif mahal maka petani gaharu akan rugi jika

menggunakan serbuk kayu gaharu sebagai sumber karbon alternative,

dimana limbahnya pun masih dapat dimanfaatkan kembali (misalnya :

diekstrak minyaknya).

21. Tri Krisnawati, (BP2HP Denpasar)

Mengapa digunakan serbuk kayu. Hasil kerajinan kayu atau

pengolahan kayu?

Jawaban:

Lutfi Anggadhania (BPTHHBK, Mataram): Tujuannya untuk mencari

sumber karbon alternative yang relatif murah dan membantu

mengurangi dan memanfaatkan limbah hasil pemotongan/pengolahan

kayu. Serbuk limbah kerajinan kayu juga bisa dipakai.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 641

Sesi 2

Moderator : Ir. Adang Sopandi, M. Sc

Makalah:

No. Judul Makalah Nama Pemakalah

7. Produksi Propolis Lebah Madu Trigona

spp Di Pulau Lombok

Krisnawati dan

Septiantina Dyah

Riendriasari

8. Potensi Mimba Sebagai Bahan Baku

Produk Kesehatan Dan Pertanian Di Bali

Dan Lombok

Wayan Widhiana

Susila

9. Studi Jenis Dan Pemanfaatan Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru

Irwan M. L. A.,

Indriyatno Dan Dwi

Sukma Rini

10. Signifikansi Studi Karakteristik Madu

Bagi Kepentingan Perlindungan

Konsumen

Kuntadi

11. Daya Antimikroba Kantong Madu Trigona

sp Terhadap Bakteri Patogen Renita Yuliana dan Endang

Sutariningsih

12. Kualitas Mikrobiologi Dan Daya

Antimikrobia Madu Trigona Rikha Putri Devianti, Endang S.

Pertanyaan/Masukan/Saran

1. I Wayan Widhiana S., (BPTHHBK, Mataram)

Apakah terdapat perbedaan perlakuan dalam satu lokasi hingga timbul

perbedaan produksi madu dan/atau propolis

Jawaban:

Septiantina Dyah Riendriasari, (BPTHHBK, Mataram): Perlakuan

terhadap stup di semua lokasi sama. Ketersediaan pakan di semua lokasi

berlimpah dan juga kisaran kelembaban dan temperatur pada rentang

normal (60,5 – 71 %; 27 – 29 º C), sehingga kemungkinan perbedaan

produksi baik madu maupun propolis adalah karena kondisi internal biologi

lebah sendiri, seperti umur dan respon terhadap depresi dari

gangguan/ancaman dari luar (serangga atau predator misalnya).

2. Andrean Fernandez, (B2PD Samarinda)

642| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Produk manakah yang lebih menguntungkan untuk diproduksi, apakah

madu dalam bentuk madu asli atau telah diolah menjadi propolis?

Jawaban:

Septiantina Dyah Riendriasari, (BPTHHBK, Mataram): Tergantung tujuan

produksi. Untuk memproduksi madu, stup dirapatkan (tidak ada cahaya

masuk). Untuk memproduksi propolis, stup diberi celah atau lobang

sehingga banyak cahaya masuk dan lebah akan menutupi celah dahulu

dengan propolis sebelum memproduksi madu.

3. Asmiati, (Mahasiswa S-2 Fak Biologi UGM, Yogyakarta)

Apakah dilakukan analisis ekologis?

Jawaban :

I Wayan W.S., (BPTHHBK, Mataram): Tidak dilakukan pengamatan dan

analisis, hanya potensi produksi daun saja.

4. Andrean Fernandez (B2PD Samarinda)

Apakah tanaman mimba ditanam atau tumbuh liar? Saran : penelitian

diarahkan ke mikro

Jawaban :

I Wayan W.S., (BPTHHBK, Mataram): Semuanya tegakan alami kecuali

di Desa Gruga kurang lebih 50 ha. Kalo penelitiannya kayu maka yang

diambil secara makro, kalo penelitiannya bukan kayu maka pendekatan

mikro.

5. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Biologi UGM Yogyakarta)

Apa yang menjadi dasar penentuan petak dan dari 36 jenis tersebut, apakah

karena tanaman memang hasil budidaya, atau karena tidak hasil budidaya/

liar? Saran : jangan hanya disebutkan jenisnya saja tetapi disebutkan juga

jumlahnya

Jawaban :

Dwi Sukma Rini, (Prodi Kehutanan UNRAM): Dasar penentuannya petak

dan aksesabilitas yaitu masyarakat sering beraktivitas di 5 petak ini.

Tanaman ada yang tumbuh liar dan ada juga yang budidaya tetapi tidak

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 643

terurus. Awalnya ingin dicatat semua tetapi karena waktu hanya 3 hari jadi

tidak tercatat semua.

6. Sudin Panjaitan (Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru)

Pada pohon/tanaman yang sudah diberi inokulan Fusarium sp ada yang

tidak menjadi harum. Fusarium apa yang membuat kayu/tanaman menjadi

harum? Jenis pohon inang gaharu apakah yang sudah masuk Appendix II

Cites?

Jawaban :

Prilya D. Fitriasari, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):

Hampir semua jenis/spesies Fusarium berpotensi menstimulir pembentukan

gaharu tetapi yang potensial adalah Fusarium oxysporum dan Fusarium

solani . Untuk bahan inokulan belum diidentifikasi sampai spesies hanya

sampe genus saja. Jenis Aquilaria malacensis sudah termasuk Appendix II

Cites. Jenis- jenis Gyrinops sp sebagian sudah masuk Appendix II Cites.

Jenis Aquilaria malacensis sudah termasuk Appendix II Cites. Jenis- jenis

Gyrinops sp sebagian sudah masuk Appendix II Cites.

7. Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda)

Untuk studi ini sebaiknya mencakup seluruh daerah penghasil madu di

Indonesia. Kenapa madu yang diambil tidak dari seluruh Indonesia?

Jawaban :

Kuntadi, (Puskonser, Bogor): Memang sudah direncanakan mengambil

madu dari daerah-daerah seluruh Indonesia, dengan minta bantuan setiap

UPT Litbang di daerah untuk mengumpulkannya.

8. Atmoko, (B2PD,Samarinda)

Darimana sumber anti mirobanya, dari Trigona atau dari pakannya?

Jawaban:

Renita Yuliana, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):

Antimikrobanya bersumber dari pakan yang berupa resin tanaman yang

diolah oleh Trigona dalam pencernaannya.

9. Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda)

Kenapa memilih ketiga mikroba tersebut? Apa dasarnya?

Jawaban:

644| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Renita Yuliana, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):

Memilih S.aureus untuk mewakili bakteri gram positif, P. aerugmosa untuk

mewakili gram negative sedangkan c. albicans mewakili yeast

10. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Biologi UGM Yogyakarta)

Kenapa memilih metode ekstraksi dengan air?

Jawaban:

Renita Yuliana, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):

Metode ekstraksi dengan air cukup aman, dan direkomendasikan karena

untuk menghindari hasil yang bias, jika efek yang diberikan dari kantong

madunya bukan efek pelarut. Selain itu agar aman dikonsumsi.

e) Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan HHBK

Sesi I

Moderator : Dr. Mashur, MS

Makalah:

No. Judul Makalah Nama Pemakalah

1. Profil Pengelolaan Hasil Hutan Bukan

Kayu Getah Jernang Di Pantai Barat Aceh

Aswandi dan Cut

Rizlani Kholibrina

2. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya

Gulinggang (Cassia Alata L.) Sebagai

Tumbuhan Bawah Dalam Sistem

Agroforestri

Adnan Ardhana

Dan Wawan

Halwany

3. Prospek Pengembangan Agroindustri

Dodol Dan Manisan Pala Di Kabupaten

Lombok Tengah

Yulia

Ratnaningsih

4. Distribusi Nilai Tambah Pada Rantai

Nilai Madu Hutan Sumbawa: Studi

Kasus Di Desa Batudulang Dan

Semongkat, Kec. Batulanteh, Kabupaten

Sumbawa

Yumantoko dan

Rubangi Al Hasan

5. Identifikasi Modal Sosial Dalam

Pemanfaatan Songga (Strychnos lucida

R.Br.) Sebagai Sumber Bahan Obat : Studi

Kasus di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u,

Dompu- NTB

Ryke Nandini,

Rubangi Al Hasan

6. Strategi Pengembangan Bambu Di

Kawasan Hutan KPHL Rinjani Barat

Asmanah Widiarti

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 645

7. Peranan Agroforestri Terhadap Cadangan

Karbon Di Hulu Das Renggung

Kabupaten Lombok Tengah

Budhy Setiawan,

Ahmad, Ismail,

dan Mahrin

8. Resolusi Konflik Lahan Di KPHP Model

Banjar

Marinus Kristiadi

Harun, Rudy S.,

dan Adnan Ardana

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Hutan

Desa Dan Kontribusinya Terhadap

REDD+

Bugi Sumirat dan

Nurhaedah Muin

9. Pemilihan Jenis Dan Pembagian Peran

Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Berbasis HHBK

Eva Fauziyah,

Nugraha Firdaus,

dan Sanudin

10. Potensi Biomassa, Cadangan Karbon Dan

Serapan Karbon Dioksida (CO2) Serta

Persamaan Allometrik Penduga Biomassa

Pada Tegakan Bambu Betung

(Dendrocalamus Asper) Pada Hutan

Bambu Rakyat Di Kabupaten Tana Toraja

Baharuddin,

Djamal Sanusi,

Muhammad Daud,

dan Ferial

Pertanyaan/Masukan/Saran

1. Afifah Kurniasih (BKSDA NTB Mataram)

a. Pala sangat menarik untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

kawasan BKSDA. Minta masukan bagaimana upaya yang mesti

dilakukan untuk pemberdayaan ini, untuk budidayanya.

Jawaban:

Yulia Ratnaningsih (Fahutan, UNTB Mataram ): Salah satu kendala

dalam budidaya di Lombok adalah kesulitan mendapatkan benih untuk

benih.Selain sebaran populasi pohon pala tidak luas, juga bijinya

sebagai komoditi yang laku dijual sebagai rempah. Buah pala yang

bagus adalah yang jatuh dari pohon, jarak waktunya satu minggu harus

lekas ditanam. Cara pembibitan/penyemaian dan pemeliharan tanaman

di lapangan tidak terlalu sulit. Juga pemberdayaan teknik pengurangan

kadar air/pengeringan madu.

b. Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Pemberdayaan mesti dilakuakn

kepada keduanyan: petani/pemburu dan pengumpul madu dan

kelembagaannya. Petani diberikan ketrampilan dan kesadaran cara

646| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

memanen sarang lebah yang berkelanjutan/panen lestari cara sunat, dan

cara mengekstrak madu dari sarang dengan cara tiris (bukan peras).

Juga pemberdayaan teknik pengurangan kadar air/pengeringan

maduTentang madu di Semongkat dan Batudulang. Bagaimana

pemberdayaannya? Lebih baik bagi petani atau lembaga? Keuntungan

yang lebih besar dinikmati oleh pedagang di luar daerah produksi

(perantara) Bagaimana itu terjadi, bagaimana memberdayakan

petani/pengumpul madu hutan untuk meningkatkan keuntungannya ?

Jawaban:

Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Dari aspek kelembagaan, yang

paling penting adalah menjamin tidak terjadi konflik (persaingan tidak

sehat dalam berburu sarang lebah diantara para pemburu madu di

lapangan/hutan), dengan misalnya membentuk kelompok-kelompok

pemburu, menguatkan solidaritas dan kerjasama intra dan antar

kelompok, membuat/menggali dan mmberdayakan aturan local.

(tradisional/kearifan lokal) diantara mereka

2. Asmanah Widiarti (Puskonser, Bogor)

a. Saran/masukan: Masyarakat kita sudah sangat care dengan herbal,

namun dukungan litbang kehutanan sendiri masih belum optimal dalam

aspek kandungan bahan kimia/aktif dan kaitannya dengan khasiat dan

potensi pemanfaatannya untuk obat teretentu. Diperlukan kerjasama

dengan instansi lain yang kompeten, misal Balitro, Litbang Kemeterian

Kesehatan, atau perusahaan swasta dalam menggali dan pemanfaatkan

potensi tanaman obat sektor kehutanan secara tuntas.

b. Saran/masukan : Pada umumnya konsumen lebih menyukai madu yang

asli/alami, pengolahan seminimal mungkin. Namun pola produksinya

oleh petani dalam skala kecil dan tersebar sehingga menjadi kendala

dalam memasarkan (posisi tawar rendah). Pembeli biasanya menuju

ke sentra-sentra produksi dan dalam volume yang banyak dan telah

mengalami pengolahan. Perlu pembentukan koperasi untuk madu alami.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 647

c. Masalah madu ada di masalah pakan. Di Pati, Jateng banyak sumber

pakan seperti randu yang ditebang, padahal itu merupakan sumber

pakan lebah.

Jawaban:

Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Memang kajian mendetail khasiat

madu perlu dilakukan untuk diversifikasi produk madu sebagai pangan

berkhasiat, suplemen atau bahan obat, yang dapat, peningkatan nilai

tambah, dan harga jual madu. Penelitian yang dibutuhkan untuk itu

(misal aspek biokimia dan aspek klinis, dll) bisa dilakukan dengan

kerjasama dengan Balitro, BPOM, Perusahaan Farmasi, dll. Untuk

menjaga keberlanjutan keberadaan populasi lebah, dan

mempertahankan volume produksi madu hutan Sumbawa, penyediaan

dan pelestarian pohon sarang dan vegetasi pakan, mutlak mesti

dilakukan. Dalam Program Pengembangan KPH setempat, sangat

memungkinkan untuk mengembangkan penanaman.

3. Mashur (UNTB, Mataram)

Saran/tangggapan: Dari keempat pemakalah tadi, komoditas yang ada

sagat prospektif. Dari aceh, baru bagi kami, namun mungkin juga ada di

sini (daerah Provinsi NTB) cuma belum diketahui. Saran: hasil-hasil

penelitian HHBK khas di suatu daerah (seperti Jernang dan

Gulinggang) didiseminasikan ke daerah lain, termasuk Nusa Tenggara

Barat.

Jawaban:

Aswandi (BPK Aek Nauli):Tidak ada pertanyaan untuk saya namun ada

saran dari Pak Mashur. Ada tamu dari Singapura, mereka mewakaili

rumah sakit tertentu mencari bahan obat-obatan herbal dari hutan.

Mereka menghubungi saya dan menawarkan untuk menanam jernang di

Singapura 10 Ha. saya tidak mau. Tentang Saran diseminasi informasi

HHBK unggulan setempat ke daerah-daerah lain, kami setuju.

4. Safruddin (WWFI-NT, Mataram)

a. Market Share terbesar dinikmati oleh pedagang tingkat nasional,

sementara yang diperoleh petani/pemburu/pemanen madu dan pedagang

648| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

di tingkat lokal kecil. Apa yang menyebabkan share terbesar berada di

tingkat pedagang nasional.

Jawaban:

Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Kesenjangan harga terjadi karena

lemahnya posisi tawar petani/pemburu terlebih kalau menjual secara

individu kepada pedagang pengumpul. Hal ini dapat dikurangi dengan

menjual melalui kelompok/koperasi. Kalau koperasi berkembang, bisa

langsung berhubungan dengan pembeli besar tingkat nasional (industry

farmasi, eksportir), namun dengan endorsement, kalau sudah terbentuk,

Klaster Madu Hutan Sumbawa; sehingga harga jual lebih tinggi, dan

margin tataniaga pada setiap rantai/pelaku proporsional, sesuai dengan

kontribusi terhadap kualitas dan kelancaran pengaliran/transaksi

produk/madu dan risiko akan kerugian yang ditanggung. Tinggal

membina manajemen koperasinya supaya solid dan fair. Penjualan ke

Jawa (industri farmasi, dll) umumnya berdasarkan kontrak (ada

denda/sanksi bila tidak terpenuhi) dalam volume besar, sehingga

membutuhkan waktu cukup untuk pengmpulan dan penaganannya.

Kemungkinan karena biaya transportasi/pengiriman yang ditanggung

pedagang lokal/kontraktor, Selain itu, kesenjangan harga juga terjadi

karena kurangnya informasi harga di tingkat nasional bagi petani local

dan pedagang pengumpul lokal. Kesenjangan harga jual dapat diatasi

apabila koperasi petani/pemburu bisa memeiliki akses langsung dengan

pembeli/industri di Jawa. Hal ini perlu difasilitasi oleh pemerintah.

Pembinaan dapat dilakukan baik oleh koperasi, Perindag, LSM, maupun

lembaga pemerintah terkait. Margin tataaniaga pedagang pengumpul

dari pemburu sekitar Rp 10.000 an per botol, termasuk biaya

pembotolan. Margin dari pengumpul besar local ke pembeli di Jawa

(industri) dapat mencapai Rp 150.000 – 175.000/botol. Ada biaya

modal yang tertanam untuk mengumpulkan madu dari pedagang

pengumpul local atau pemburu langsung dalam jumlah besar sebelum

pengiriman dilakukan dan biaya resiko kerusakan/penurunan mutu dan

harga selama transportasi serta pengkemasan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 649

b. Prosepek agroindustri pala memang bagus, namun kalau pada skala

rumah tangga seperti ini kira-kira tindaklanjutnya apa untuk

mengembangkan usaha ini?

Jawaban:

Yulia Ratnaningsih (Fahutan, UNTB Mataram ): Pada prinsipnya,

sementara kami akan kembangkan sebagai industri rumah tangga untuk

meningkatkan nilai tambahnya dengan aneka produk olahan diantaranya

sirup, yang juga ada yang dicoba untuk diolah lebih lanjut menjadi

sejenis wine untuk dipasarkan di daerah-daerah tujuan wisata.

Rencananya 3 tahun ke depan kami buat jalur pemasaran, dibuat outlet

dan menjadikan pala sebagai branda NTB. Terkait dengan pengolahan

kami sudah berupaya untuk meberikan pendidikan keterampilan kepada

beberapa anggota dan kelompok masyarakat. Untuk pengembangan

sumber bahan baku, kami mengharapkan bantuan kegiatan-kegiatan

jajaran kehutanan daerah dan pusat terus membantu perluasan

penanaman tanaman pala pada kawasan dan tapak dan lahan milik

masyarakat yang sesuai.

5. Adnan Ardana (BPK Banjarbaru)

Biasanya Gulinggang tumbuh di pinggir sungai. Gulinggang memiliki

kandungan kimia yang memilki khasiat obat herbal. Ini di Eropa jadi

teh, namun di sini justru jadi pencahar. Mungkin di Eropa sudah

dihilangkan dulu kandungan senyawa kimia berkhasiat obat

pencaharnya. Untuk ekspor, daun gulinggang dikeringkan, lalu daun

kering tersebut diekspor ke Jepang. Aslinya Gulinggang dari Amerika

Tengah. Saran untuk diseminasi HHBK unggulan daerah setempat ke

daerah lain sangat baik. Mungkin peran BPTHHBK Mataram lebih

diharapkan.

Jawaban:

Mashur, (Fahutan UNTB): Penelitian HHBK mungkin sudah cukup

banyak dilakukan, tetapi belum terpadu (bersifat parsial) untuk dapat

memecahkan masalah pemanfaatan dan pengelolaan HHBK secara

cepat dan dirasakan oleh masyarakat. Penelitian terpadu melalui

kerjasama berbagai pihak, minimal pada tingkat mengkomunikasikan

650| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

penelitian yang sudah dilakukan, sangat diperlukan. Untuk itu perlu

dibentuk jejaring penelitian dan dan pengembangan HHBK yang

anggotanya meliputi antara lain peneliti dari berbagai lembaga

penelitian terkait HHBK, pengajar perguruan tinggi, praktisi kehutanan

dan perkebunan, pertanian, farmasi dari berbagai instansi pemerintah

dan badan usaha swasta, serta pemerhati HHBK lainnya. Sasaran hasil-

hasil litbang HHBK yang diharapkan antara lain adalah: teknologi

aplikatif, materi kebijakan dan materi aturan kelembagaan yang

mendukung pengelolaan dan pemanfaatan HHBK, dan pedoman teknis

dan/atau petujuk teknis.

6. Baharudin (Fahutan UNHAS Makassar)

Tanggapan/masukan: HHBK banyak jenisnya, beragam tingkat

pemanfaatan dan pengembangannya, memerlukan penelitian terpadu.

Belum ada keterpaduan antara lembaga litbang dan perguruan tinggi.

Masalah HKm yaitu luasnya lebih dari yang diusulkan. Negara susah

mengatur hutan apalagi hutan desa.

Jawaban:

Asmanah Widiarti (Puskonser Bogor): HHBK begitu luas tapi

prioritasnya kurang terasa manfaatnya. Sudah banyak penelitian seperti

pengelolaan bambu dan rotan tapi belum ada jejaring antara hulu dan

hilir sehingga terjadi kekurangan bahan baku. Untuk mengkaitkannya

diperlukan peran serta stakeholder.

7. Bugi Sumirat (BPK Makassar)

Agar diperbaiki peralatan untuk presentasi karena kurang representatif.

Terlalu dini jika harus revitaslisai nilai modal sosial. Harus ada

pengukuran modal sosial sebelum menyimpulkan.

Jawaban:

Rubangi Al Hasan (BPTHHBK Mataram): Tanggapan dan saran

menjadi koreksi buat kami. Kami hanya sebatas mengidentifikasi modal

sosial disana. Ini menjadi untuk merevisi tulisan kami. Di Hu’u

konsumsi songga merupakan kearifan lokal dalam konteks pengobatan

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 651

lokal disana. Dan di sana terdapat norma yang sifatnya kelembagaan

dan belum terinternalisasi dalam pengelolaan songga. kita sudah tahu

masalahnya apa akan tetapi tidak pernah terjun kelapangan.

Sesi 2

Moderator : Dr. Mashur

Notulis : Isnanto, Meity EI

Makalah :

No. Judul Makalah Nama Pemakalah

1 Potensi Biomassa, Cadangan Karbon

Dan Serapan Karbon Dioksida (Co2)

Serta Persamaan Allometrik Penduga

Biomassa Pada Tegakan Bambu

Betung (Denrocalamus Asper) Pada

Hutan Bambu Rakyat di Kabupaten

Tana Toraja

Baharuddin, Djamal

Sanusi, Muhammad

Daud, Ferial

2 Resolusi Konflik Lahan di KPH Model

Banjar

Marinus K.H, S.Hut.,

M.Si, Rudy S., S.P.

dan Adnan Ardhana,

S.Sos

3 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK),

Hutan Desa dan Kontribusinya

Terhadap REDD+.

Bugi Sumirat dan

Nurhaedah Muin

4 Peranan Agroforestri Terhadap

Cadangan Karbon di Hulu DAS

Renggung Kabupaten Lombok Tengah

Budhy Setiawan,

Ismail

5 Kajian Konflik Tenurial di KPHL

Rinjani Barat Studi Kasus Desa

Senaru, Santong dan Rempek

Cecep Handoko

6 Pemilihan Jenis dan Pembagian Peran

Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Berbasis HHBK

Eva Fauziyah,

Nugraha Firdaus, dan Sanudin

652| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Pertanyaan/Masukan/Saran

1. Kemas Usman (Fahutan UNTB):

a. Apakah pemanenan tegakan bambu tidak akan mengganggu atau

kontradiktif terhadap tujuan sebagai cadangan carbon ?

Jawaban:

Baharuddin (Fahutan, UNHAS): Pemanenan justru diperlukan dan

menjadi salah satu bagian penting dalam pengelolaan keberlanjutan

produksi tegakan bambu. Memang intensitas (jumlah dan pola

pemanenan) harus optimal, sehingga selalu menyisakan cadangan

karbon positif (jumlah biomasa yang dipanen selalu atau bahkan jauh

lebih rendah dari biomasa riap). Tegakan bambu bisa sebagai cadangan

karbon, terlebih dalam skema REDD++, bilamana keberadaan bambu

dapat sebagai insentif terhadap upaya-upaya konservasi yang dilakukan

untuk pelestarian hutan secara keseluruhan

b. Peningkatan cadangan karbon akibat penambahan pohon kurang

signifikan (13,68 %), apakah sistem (pola ?) agroforestry ini akan

cukup efektif sebagai tegakan cadangan karbon. Saran: pada

kesimpulan cukup disajikan dalam pointer/ringkas saja. saran: pada Bab

Kesimpulan dan Saran dari makalah, hendaknya disajikan secara

ringkas dan jelas, berupa poin-poin, tidak menguraikan lagi argumentasi

lagi.

Jawaban:

Budhy Setiawan, (Program Studi Kehutanan UNRAM): Saran diterima.

Perhitungan peningkatan cadangan karbon akibat pengkayaan ini

memang akan sangat tergantung dari perkembangan pertumbuhan/riap

tanaman terutama tanaman pengkayaannya. Peningkatan nilai cadangan

karbon akan sejalan dengan pertumbuhan total vegetasi dalam tegakan

(atau total pertambahan biomassa) tegakan). Menurut estimasi

peningkatan yang cukup signifikan dapat dicapai minimal setelah tahun

ke tiga.

2. Safrudin (WWF-NT NTB, Mataram)

Salah satu solusi yang diajukan adalah untuk menjadikan bagian

kawasan hutan yang menjadi sumber konflik menjadi Hutan Desa (HD),

apakah kompatibel dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah

lainnya dalam bidang kehutanan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 653

Jawaban:

Cecep Handoko (BPTHHBK, Mataram): Pada dasarnya pembentukan

hutan desa tidak mengganggu pelaksanaan program-program kehutanan

pemerintah lainnya (HKM, Kemitraan, dll). Kekuatan hutan desa

adalah pada solidnya kelembagaan dan modal social dari kesatuan desa.

Pemberdayaan tentu masih perlu dilakukanpada aspek-aspek lainnya.

Hutan desa lebih sebagai simbul pengakuan terhadap eksistensi dan

originalitas desa dan masyarakatnya serta kearifan lokalnya terhadap

lingkungan hidup. Skema program kehutanana pemerintah lainnya

(HKM, Kemitraan, dll) bisa diorientasikan lebih kepada pemberdayaan/

peningkatan kemampuan ekonomi dari petani anggotanya dan juga

fasilitasi untuk mempertahankan terjaganya nilai-nilai kearifan lokal

masyarakat khususnya dalam melestarikan lingkungan/hutan.

3. Rato F. Silamon (Prodi Fahutan, UNRAM)

a. Aktivitas dan capaian masyarakat dalam mengembangkan agroforestry

pada hutan desanya apakah telah terjadi sebelumnya (sebelum

penetapan Hutan Desa) atau setelah ditetapkan ? dan bagaimana respon

masyarakat dalam pengelolaan hutan setelah ditetapkan sebagai Hutan

Desa apakah lebih baik atau bahkan menurun

Jawaban:

Bugi Sumirat Sumirat (BPK, Makasar) : Memang sebelum penetapan

hutan desa masyarakat sudah menerapkan agroforestry secara terbatas

dan tradisional. Setelah penetapan sebagai hutan desa, aktivitas dan

semangat masyarakat mengelola hutan secara lebih intensif meningkat

terutama karena tidak ada keraguan untuk melakukan aktivitas karena

pemanfaatan dan pengelolaan sudah mendapatkan penguatran legal

formal. Memang pemberdayaan SDM masyarakat masih perlu terus

dilakukan khususnya dalam membuat perencanaan pengelolaan yang

lebih intensif. yang dapat diajukan kepada instansi terkait untuk

mendapat bantuan/proyek pemberdayaan.

b. Apakah plot-plot agroforestry yang diamati dibuat/by design atau di

kelompokkan dari kondisi yang ada. Bagaimana dasar perhitungannya

untuk mencapai target cadangan karbon 400 ton /ha dengan penanaman

jenis-jenis dan jumlah seperti yang tetapkan tersebut.

Jawaban:

654| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Budhy Setiawan, (Program Studi Kehutanan UNRAM): Plot memang

dirancang (by design) dari kondisi tegakan yang ada, dengan

pengakayaan jenis-jenis tertentu yang disepakati masyarakat, sehingga

dapat secara optimal memenuhi target cadangan karbon dan

memberikan insentif ekonomi berupa hasil hutan bukan kayu kepada

petaninya secara progresif. Dasar perhitungannya adalah dengan

mengestimasi pertumbuhan riap total vegetasi atau peningkatan total

biomassa sebagai input ke dalam persamaan allometrik untuk

mendapatkan nilai cadangan karbonnya.

c. Apa dasarmya dan bagaimana melakukan rekonstruksi batas (penentuan

batas-batas) desa pengembangan sebagaimana yang dituntut oleh

masyarakat. Semestinya perlu dilakukan penerapan aturan yang cukup

tegas untuk mengendalikan tuntutan masyarakat sehingga tidak semua

tuntutan mesti diakomodir.

Jawaban:

Cecep Handoko (BPTHHBK, Mataram: Memang melaksanakan

rekonstruksi batas hutan dalam pengertian secara legal, tidak ada dasar

hukumnya dalam kasus ini. Yang dimaksudkan rekonstruksi fisik saja,

yaitu memetakan luasan areal kawasan yang sudah menjadi desa dan

areal pengembangan desa (4 Dusun) dan areal hutan produksi yang

sudah digarap untuk hutan adat. Hal ini diberikan sementara menunggu

penyelesaian yang lebih permanen (legal) belum bisa dilakukan.

Tuntutan masyarakat untuk diberikan areal yang dirambah untuk

pengembangan Desa dan hutan adat sudah tidak bisa ditawar lagi.

d. Sebenarnya apa dasar dan tujuan pengelompokan masyarakat ke dalam

jenis kelamin dan korelasinya dengan jenis tanaman; apakah hanya

ingin mengetahui/ mendiskripsikan atau mencari korelasi tertentu.

Jawaban:

Nugraha Firdaus (BPTHHBK, Mataram): Sebagai kajian, penelitian ini

ingin mendeskripsikan peran yang bisa dilakukan wanita dalam

kegiatan agroforestri, dalam rangka meningkatkan efesiensi tanaga

kerja, sesuai perspektif gender. Saraannya adalah preferenssi pekerjaan dan jenis tanaman, yang diingikan tenaga kerja wanita. Analisis korelasi

memang belum diperlukan.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 655

LAMPIRAN

656| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Lampiran 1.

JAWDAL ACARA

WAKTU MATERI PEMBICARA

07.00-08.00 Registrasi Panitia

08.00-08.10 Pembukaan dan Doa 1. Septiantina DR

2. Ahmad Nur

08.10-08.20 Menyanyikan Lagu Indonesia Raya Nurul Wahyuni

08.20-08.35 Laporan Ketua Panitia

Penyelenggara

Kepala BPTHHBK

08.35-08.45 Penandatanganan MoU dan

perjanjian kerjasama :

1. Univ. Mataram (UNRAM)

dengan Badan Litbang

Kehutanan

2. Univ. Nusa Tenggara Barat

dengan Badan Litbang

Kehutanan

3. Fak. Biologi UGM dengan

BPTHHBK

4. Fak. Kehutanan UNTB dengan

BPTHHBK

5. Prodi Kehutanan Univ. Mataram

dengan BPTHHBK

1. Rektor UNRAM

dengan Kabadan

2. Rektor UNTB

dengan Kabadan

3. Dekan Fak. Biologi

dengan Kabalai

4. Dekan Kehutanan

UNTB dengan

Kabalai

5. Ketua Prodi

Kehutanan Unram

dengan Kabalai

SESI UTAMA

08.45-09.15 Sambutan (paparan kebijakan

pengelolaan HHBK di NTB) dan

membuka acara seminar

Gubernur NTB

09.15-09.45 Sambutan dan Arahan (Strategi Dan

Kebijakan Penelitian HHBK)

Kepala Badan Litbang

Kehutanan

09.45-10.00 COFFEE BREAK/SESI POSTER

SESI PARAREL I

10.00-12.00 1. Komisi Budidaya Moderator : Sad

Kurniati

Wanitaningsih, SP. MP

2. Komisi Pemanfaatan dan

Pengolahan

Moderator : Dr. Gustan

Pari, MS

3. Komisi Sosek dan Lingkungan Moderator : DR. Ir.

Markum, MSi

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 657

12.00-13.00 ISHOMA/SESI POSTER

SESI PARAREL II

13.00-15.00 1. Komisi Budidaya Moderator : Dr. Liliana

Baskorowati, S.Hut,

M.P

2. Komisi Pemanfaatan dan

Pengolahan

Moderator : Ir. Adang

Sopandi, M. Sc

3. Komisi Sosek dan Lingkungan Moderator : Dr.

Mashur, MS

15.00-15.15 COFFEE BREAK/SESI POSTER

15.15-15.45 Perumusan

15.45-16.00 Pembacaan dan Penyerahan

Rumusan

Tim Perumus

16.00-16.15 Pembacaan dan Penyerahan Hadiah

Pemenang Makalah Terbaik,

Presenter Terbaik dan Poster

Terbaik

Panitia

16.15-16.30 Penutupan dan Foto bersama Kepala BPTHHBK

658| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

Lampiran 2.

SUSUNAN PANITIA

No Nama Jabatan Pada Kepanitiaan

A. Panitia

1. Ir. Harry Budi Santoso, M.P Penanggung Jawab

2. Ir. I Made Widnyana Ketua Panitia

3. Wawan Darmawan Sekretaris Panitia

4. Dr. Kresno A.H, S.Hut., MM Koordinator seksi Materi

5. Ir. Kemas Usman, MS Anggota Seksi Materi

6. Dr. Husni Idris, SP, M.Sc Anggota Seksi Materi

7. Budi Setiawan, S.Hut. M.Si Anggota Seksi Materi

8. Nugraha Firdaus, S.Hut., M.Ev Koordinator Seksi Acara

9. Septiantina D. R., S.Hut Anggota Seksi Acara/MC

10. Isnanto, S.Hut Anggota Seksi Acara

11. Rubangi Al Hasan, S.Sos. MSi Koordinator Seksi

persidangan dan Notulis

12. Anita Apriliani D. R, S.Hut Anggota Seksi Persidangan

dan Notulis

13. Qurotun Ayyuni, S.Si Anggota Seksi persidangan

dan Notulis

14. Meity Ellysta I., S.Kom Koordinator Seksi Konsumsi

15. Ratnawati Anggota seksi Konsumsi

16. Drs. Dede Suryana Koordinator Seksi

Transportasi

17. Abdul Jafar Maring Anggota Seksi Transportasi

18. Ahmad Nur, S.Hum., M.E Seksi Akomodasi

19. Alpian Adi Herawan Seksi Dokumentasi

20. Dudi Komarudin, S.Hut Seksi Perlengkapan

B. Moderator

21. Dr. Gustan Pari Moderator

22. Dr. Ir. Mashur. MS Moderator

23. Sad Kurniati W., SP., MP Moderator

24. Dr.Ir. Markum, M.Sc Moderator

25. Dr.Liliana B.,S.Hut.MP Moderator

26. Ir. Adang Sopandi, M.Sc Moderator

Lampiran 3.

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 659

DAFTAR PESERTA

No Nama Instansi

1 Ir. Harry Budi Santoso, M.P BPTHHBK

2 Ir. I Made Widnyana BPTHHBK

3 Ir. I Komang Surata, M.Sc BPTHHBK

4 Dr. Kresno A.H, S.Hut., MM BPTHHBK

5 Dr. Saptadi Darmawan, S.Hut., M.Si BPTHHBK

6 Lutfi Anggadhania, S.Si BPTHHBK

7 Yumantoko, S.Sos BPTHHBK

8 Ir. I Wayan Widhiana S., MP BPTHHBK

9 Nugraha Firdaus, S.Hut., M.Ev BPTHHBK

10 Septiantina D. R., S.Hut BPTHHBK

11 Yosephin M AN, S.Hut BPTHHBK

12 Wawan Darmawan, S.Hut BPTHHBK

13 Anita Apriliani D. R, S.Hut BPTHHBK

14 Ali Setyayudi, S.Hut BPTHHBK

15 Meity Ellysta I., S.Kom BPTHHBK

16 Nurul Wahyuni, S.Hut BPTHHBK

17 Drs. Dede Suryana BPTHHBK

18 Abdul Jafar Maring BPTHHBK

19 Ahmad Nur, S.Hum. BPTHHBK

20 Alpian Adi Herawan BPTHHBK

21 Dudi Komarudin, S.Hut BPTHHBK

22 Isnanto, S.Hut BPTHHBK

23 Ahmad Syakur BPTHHBK

24 Aslah BPTHHBK

25 Ramdiawan BPTHHBK

26 Dewi sahmin PS BPTHHBK

27 Amrillah BPTHHBK

28 Mardoni BPTHHBK

29 Jumadil BPTHHBK

30 Supandi BPTHHBK

31 Edi Kurniawan BPTHHBK

660| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama Instansi

32 Junaidi BPTHHBK

33 Krisnawati, S.Hut BPTHHBK

34 Gipi Samawandana BPTHHBK

35 Masyur BPTHHBK

36 Yeyen Utari, SP BPTHHBK

37 Nuriman BPTHHBK

38 Asmat BPTHHBK

39 Zulfirman S BPTHHBK

40 L. Gde Wiryadi BPTHHBK

41 Alfu Mahar Syarofi BPTHHBK

42 Sahar BPTHHBK

43 Saat BPTHHBK

44 Cecep Handoko, S.Hut., M.Sc BPTHHBK

45 Heri Setiawan BPTHHBK

46 Anah BPTHHBK

47 Tahir BPTHHBK

48 Alvin J. BPTHHBK

49 Qurotun Ayyuni BPTHHBK

50 Ratnawati BPTHHBK

51 Rubangi Al Hasan, S.Sos BPTHHBK

52 Asmiati, S.Si FAK. BIOLOGI UGM

53 Renita Yuliana, S.Pd FAK. BIOLOGI UGM

54 Prilya D Fitriasari, S.Si FAK. BIOLOGI UGM

55 Rikha Putri Devianti, S.Pd FAK. BIOLOGI UGM

56 Rini Pujiarti FKT UGM

57 Febriana T. W. UNIV. MATARAM

58 Kemas Usman UNIV. NTB

59 Subhan BAPELUH LOBAR

60 Andrian F B2PD SAMARINDA

61 Sad Kurniati W. UNIV. NTB

62 Adang Supandi PUSPROHUT

63 Tri Atmoko BALITEK KSDA

64 Baharuddin UNHAS

65 Adnan A. BPK BANJARBARU

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 661

No Nama Instansi

66 Asmanah W. PUSKONSER

67 Yelin Adalina PUSKONSER

68 Evi Kusmiati PUSTEKOLAH

69 Iwan Setiawan BPTPTH BOGOR

70 Wahyu yuniati N FIK UNIV NTB

71 Ragil SB Irianto PUSKONSER

72 Dona Octavia PUSKONSER

73 Liliana B B2PBPTH

74 Kurniasih N. Afifah BKSDA NTB

75 Silva Suraqqan UNIV. MATARAM

76 Kadek Dewi K BPPHP IX DENPASAR

77 Tri Kuncorowati BPPHP IX DENPASAR

78 Dewi Maharani BPTA CIAMIS

79 Tri Sulistiawati W BPTA CIAMIS

80 Ida Bagus Arnaya BTN BB

81 Alam Bakhtiar DISHUTBUN

82 Budhy setiawan UNIV. MATARAM

83 Firmansyah K BTN GN RINJANI

84 Sahwalita BPK PALEMBANG

85 Sudin Panjaitan BPK BANJARBARU

86 Sumarhani PUSKONSER

87 Sukaesih P PUSKONSER

88 Meitri D BPDAS DMS

89 Yulia Ratnaningsih UNIV. NTB

90 Armilanopi UNIV. NTB

91 Kuntadi PUSKONSER

92 Diyah P BPTH BNT

93 Muh Satriadi BPTH BNT

94 Joko Purnomo PETANI

95 Dewi Rina BP4K LOTIM

96 Irwan ML Aji UNIV. MATARAM

97 I Nengah Pasek Sudjana UNIV. NTB

98 Dwi Sukma Rini UNIV. MATARAM

99 Lalu Ari Hadi UNIV. MATARAM

662| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama Instansi

100 Malser Syaputra UNIV. MATARAM

101 Adhi Saputrayadi UNIV. MUH. MATARAM

102 Lalu Saladin Jufri DISHUT LOBAR

103 Markum UNIV. MATARAM

104 Syafuddin S WWF MATARAM

105 Aswandi BPK AEK NAULI

106 Cut Rizlani K BPK AEK NAULI

107 Mareta Karin Bonita FIK UNIV NTB

108 Siti Maryam FIK UNIV NTB

109 Akhmad Junaidi BPKP3 LOTENG

110 Zainuddin Irawan KPH TASTURA

111 Nilwan Subulhadi DISHUTBUN LOTIM

112 Rato F. Silaman UNIV. MATARAM

113 Muh Irwan FIK UNIV NTB

114 Wahyu Nurwahid UNIV. NTB

115 Slamet Santoso DPPKKP KLU

116 Idha Jatiningsih KPHL RINJANI BARAT

117 Rufi'ie PUSTEKOLAH

118 L. Gita Ariadi PEMPROP. NTB

119 Intannia Ekanasti IPB

120 Bugi K Sumirai BPK MAKASSAR

121 Maulidya AF UNIV. MATARAM

122 Zulkarnaen BPDAS DMS

123 Baharuddin UNHAS

124 Muhammad Husni Idris UNIV. MATARAM

125 Titiek Setyawati PUSKONSER

126 Diana Prameswari PUSKONSER

127 Esa Pangersa PUSTEKOLAH

128 Mega Setiawan UNIV. MATARAM

129 Eka Purnomo UNIV. MATARAM

130 Andi M UNIV. MATARAM

131 Iwan Kusuma UNIV. MATARAM

132 Bayu Arto UNIV. MATARAM

133 Maria Ulfa BKSDA NTB

Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 663

No Nama Instansi

134 Nur Fitri BKSDA NTB

135 Dewi Putri Lestari UNIV. NTB

136 Lalu Akhmad Tantilar UNIV. MATARAM

137 Alex novandra BPTHHBK

138 Muhasim BPTHHBK

139 Sang Made P.A BPTHHBK

140 Julian Hadi UBIV. MATARAM

141 Khaerani UNIV. MATARAM

142 Zohriya wardani UNIV. MATARAM

143 Nurul Hidayah UNIV. MATARAM

144 Khoiratul Fitriah R UNIV. MATARAM

145 Khaerul Kharis UNIV. MATARAM

146 Imraatin UNIV. MATARAM

147 Yanis Malatry B UNIV. MATARAM

148 Adelia Dwi P.S UNIV. MATARAM

149 Irwan UNIV. MATARAM

150 Khaerul Fadli UNIV. MATARAM

151 Pujiarti UNIV. MATARAM

152 Gustan PUSTEKOLAH

153 Juliadi Gandi P UNIV. MATARAM

154 Muhammad Amin UNIV. MATARAM

155 Ali sjukri UNIV. MATARAM

156 Hendri Gunawan UNIV. MATARAM

157 Heri Kurniawan UNIV. MATARAM

158 Hilyan K UNIV. MATARAM

159 M Agus Kariawan UNIV. MATARAM

160 Lukman Hakim DISHUT LOBAR

161 Julian Hadi UNIV. MATARAM

162 Wawan Ruliandi KPHL RINJANI BARAT

163 I Nyoman Yudiarta DISHUT PROV. NTB

164 Siswanto BPTH

165 Irmawati FAK. KEHUT. UNRAM

166 Rizkya UNIV. MATARAM

167 Tigor Butarbutar Puspijak

664| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK

No Nama Instansi

168 Erlis Septiana UNIV. MATARAM

169 Anshari Firmansyah UNIV. MATARAM

170 Iswatun arfiana UNIV. MATARAM

171 Maman S KPH PLAMPANG

172 Deni Rahadi BKSDA NTB

173 Sigit Hadi P BPDAS DMS

174 Fikri BTNGR

175 Kardjono BKP3 LOTENG

176 I Nyoman Zirna BAPPELUH LOBAR

177 Marslahatul Umami KPH RINJANI TIMUR

178 H. Pahruddin BP4K LOTIM

179 Makrip DISHUTBUN

180 Ahmad Sofyan KPH RINJANI TIMUR

181 Mulawarman KPH RINJANI TIMUR

182 Nurmiati Sulatin KPH RINJANI TIMUR

183 Dindin Saefuddin KPH BATU LANTEH

184 Alwan UNIV. MATARAM

185 Heny Wulandari UNIV. MATARAM

186 Nadia Monika UNIV. MATARAM

187 Siloa Sirrayan UNIV. MATARAM

188 Fera Fardila UNIV. MATARAM

189 Rara Taranita UNIV. MATARAM

190 Sultan Habibi UNIV. MATARAM

191 Hardianti Ela W UNIV. MATARAM

192 Erwin Kurniadi UNIV. MATARAM

193 Dinta Roihani UNIV. MATARAM

194 Nurul BPDAS DMS

195 Evi DISHUT LOBAR

196 Sukrisman Ahmadi UNIV. MATARAM

197 M. Ihsan UNIV. MATARAM

198 Lalu Ahmad Tantilar UNIV. MATARAM

199 Sabtiya Khaerani UNIV. MATARAM

200 Silta Hajar UNIV. MATARAM