ISBN 978-602-52217-1-2 ieprints.uad.ac.id/20163/1/Model Lingkungan Pembelajaran.pdfdan tindakan...
Transcript of ISBN 978-602-52217-1-2 ieprints.uad.ac.id/20163/1/Model Lingkungan Pembelajaran.pdfdan tindakan...
ISBN 978-602-52217-1-2 i
Model lingkungan pembelajaran era
new normal
ISBN 978-02-52217-1-2 Penulis Dwi Sulisworo Winarti Amalia Yuli Astuti Siti Hajar Larekeng Ika Maryani Demitra
Desain Cover Tim Redaksi Layouter Tim Redaksi Penerbit Pascasarjana UAD Press Jl. Prof. Dr. Supomo, Janturan, Kota Yogyakarta
Cetakan I, Agustus 2020
©Hak Cipta dilindungi Undang-undang All Rights Reserved Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun meski tanpa izin tertulis dari penerbit.
Cara mensitasi
Sulisworo, D., Winarti, Astuti, A.Y., Hajar, S., Maryani, I., & Demitra. (2020). Model lingkungan pembelajaran era new normal. Yogyakarta: Pascasarjana UAD Press.
ISBN 978-602-52217-1-2 iii
Untuk era baru pendidikan berkeadilan
Kata Pengantar Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melembutkan hati hamba-hambanya untuk terus berjuang memberikan sumbang sih terbaik bagi lingkungan.
Perubahan yang demikian pesat dalam lingkungan baik karena alam maupun rekayasa manusia telah mengubah pola hubungan masyarakatnya termasuk dalam pendidikan. Pandemi Covid-19 yang masih berlum berakhir hingga saat ini menjadikan manusia terus melakukan penyesuaian diri dalam kehidupannya yang dikenal dengan era new normal. Digitalisasi yang semakin dalam memenuhi ruang-ruang perlu disikapi secara arif bijaksana sehingga nilai-nilai luhur yang diwariskan pada generasi berikutnya tetap dapat tertanam dan memberikan pengaruh positif bagi mereka.
Tulisan ringkas ini merupakan hasil kajian pemikiran bersama para penulis dalam melihat perubahan yang akan terjadi dalam proses pembelajaran. Perubahan lingkungan belajar perlu untuk diantisipasi secara baik dan tidak dapat dilakukan dengan cara-cara lama. Beberapa faktor yang mengalami perubahan dan perlu diperhatikan dalam interaksi pembelajaran saat ini adalah karakteristik peserta didik, kompetensi yang akan dicapai, dan juga teknologi pendukungnya. Interaksi faktor-faktor ini akan membetuk pola baru dalam lingkungan pembelajaran. Beberapa penjelasan terkait interaksi antar faktor tersebut yang dicoba dapat dijabarkan dalam buku ini.
Tentu ide dan pemikiran ini masih perlu untuk dikembangkan dan diterapkan untuk memperoleh pengalaman empiris. Dari hasil-hasil tersebut akan dapat diperbaharui model ini dengan lebih baik. Masukan dankesediaan pembaca untuk melakukan perbaikan adalah suatu hal yang sangat diharapkan.
Semoga buku kecil ini dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan yang baik dan adil bagi semua. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Para Penulis
ISBN 978-602-52217-1-2 v
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................................................ iii
Daftar Isi ......................................................................................................................................................... iv
Pengantar ....................................................................................................................................................... 1
Self-regulated learning ............................................................................................................................ 4
Technology Readiness and Acceptance ........................................................................................... 7
ICT Literacy ................................................................................................................................................... 9
Personalized Learning Network ......................................................................................................... 12
Personalized Learning Environment ................................................................................................ 16
Model lingkungan pembelajaran ........................................................................................................ 19
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................. 20
Indeks ............................................................................................................................................................... 25
Biografi Penulis ........................................................................................................................................... 27
MODEL LINGKUNGAN PEMBELAJARAN ERA NEW NORMAL
Pendahuluan
Belum lama rasanya isu tentang Revolusi Industri 4.0 (IR 4.0) dibicarakan
oleh berbagai kalangan termasuk pengaruhnya pada pendidikan. Beberapa
penciri IR 4.0 disebutkan adanya penguatan pada big data, internet of things,
physical cyber, cloud computing, artificial intelligent, dan cognitive computing.
Temuan-temuan ini tentu mengubah banyak hal dalam kehidupan yang
kadang tidak dirasakan. Sebagai contoh saat ini seseorang dapat melihat
kondisi keramaian jalan dengan mengakses CCTV online. Teknologi IOT
digunakan pada sistem ini. Ketika seseorang aktif menggunakan sosial media,
tiba-tiba muncul tawaran suatu produk atau layanan yang saat itu kita
perlukan. Sistem cerdas buatan atau artificial intelligent telah dipasang untuk
layanan seperti ini. Masih banyak lain lagi yang dipakai namun tidak disadari
sebagai dampak dari revolusi industri atau RI 4.0. Bagaimana dengan sektor
pendidikan?
Kompetensi yang sangat terasa perubahannya adalah pergeseran dari hard
skill ke soft skill. Big data atau sistem database global telah memungkinkan
seseorang mengakumulasi pengetahuan dan informasi dengan mudah. Mesin
mencari Google menjadi andalan banyak orang dalam menelusuri informasi
untuk keperluan masing-masing. Tidak terkecuali, para peserta didik dan
pendidik juga melakukan hal yang sama. Pendidik menelusuri untuk mencari
bahan ajar dan peningkatan pengetahuan. Peserta didik menelusuri untuk
dapat mengerjakan tugas dari guru selain untuk minat lain. Ini menjadi
fenomena baru yang tidak ditemukan pada era sebelumnya di tahun 90an.
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 2
Apa dampak fenomena ini? Terkadang guru tidak percaya pada tingkat
pemahaman peserta didik. Ketika diukur pada pemahaman konsep atau
ingatan pada konsep, banyak peserta didik yang gagal menampilkan hal ini.
Mengapa? Karena mereka mengambil informasi dari internet untuk
mengerjakan tugas. Apakah ada yang salah dalam kasus ini? Perlu dipahami
bahwa tuntutan kompetensi yang berbeda sebaiknya menjadi dasar baru
pada pembentukan lingkungan belajar, cara belajar mengajar dan
pengukuran hasil belajar. Di aspek ini yang kita perlu berfikir ulang apa yang
sudah kita lakukan dalam pendidikan saat ini.
Ketika ukuran keberhasilan atau ukuran kecerdasan adalah pada penguasaan
atau akumulasi pengetahuan, Google merupakan mesin yang paling layak
karena memiliki semua hal itu. Ketika pendidikan dan pembelajaran
mengukur keberhasilan belajar masih seperti itu, kompetensi yang
dihasilkan pada peserta didik menjadi tidak relevan pada saat ini. Lalu apa
yang penjadi relevan? Mengalahkan Google. Untuk dapat mengalahkan
Google adalah dengan cara menjadikan peserta didik bukan sebagai
penyimpan informasi dan pengetahuan, namun menjadikan mereka pelaku
yang memanfaatkan informasi menjadi kemanfaatan dalam kehidupan yaitu
inovasi. Bagaimana pengetahuan yang tersebut dapat digunakan untuk
memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan baru, menjadi
produk atau layanan yang bermanfaat bagi manusia. Ini maknanya adalah
perlu kompetensi baru bagi para peserta didik.
Bukan suatu hal mudah untuk dapat memindahkan pengetahuan yang ada di
internet menjadi inovasi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Beberapa
keterampilan yang diperlukan dalam penerapan ini adalah seperti berfikir
kritis, berfikir secara saintifik, berfikir kreatif, dapat bekerjasama, dapat
mengkomunikasikan hasil atau ide. Satu yang akan dibahas adalah
keterampilan berfikir kritis. Seseorang dapat berfikir kritis ketika dia
memiliki rasa percaya diri untuk melihat fenomena dari berbagai persepektif.
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 3
Berani mempertanyakan suatu hal dari berbagai sudut pandang dan tidak
disalahkan ketika mengungkapkan pendapatnya. Pendampingan guru dalam
melihat perspektif yang beragam dengan menelusuri informasi dari internet
akan mendorong peserta didik meningkat pada keterampilan ini.
Mendiskusikan fenomena itu dengan tidak harus ada satu kesimpulan yang
dipegang bersama akan memberi peluang untuk saling menghargai
perbedaan pendapat.
Dapat dikatakan bahwa keterampilan berfikir kritis sebagai keterampilan
berfikir tingkat tinggi adalah keterampilan yang terkait dengan berbagai
keterampilan penting lainnya. Fokus pada peningkatan keterampilan tingkat
tinggi tertentu bukan berarti dipisahkan dari peningkatan keterampilan lain.
Secara otomatis, dalam pembelajaran, berbagai keterampilan tersebut akan
muncul dan berinteraksi untuk mempengaruhi cara berfikir peserta didik.
Hanya saja terkadang pendidik menyatakan semua jenis keterampilan
tersebut namun dalam penerapan justru menghadapi kendalam untuk
mengukur semua aspek. Cukup pilih salah satu dan dikembangkan
lingkungan belajar yang optimum pada keterampilan tersebut. Yang lain akan
dapat berkembang secara bersama-sama.
Suasana saat ini perlu ditransformasikan dalam pembelajaran daring atau
online learning sebagai dampak dari Covid-19. Tagihan belajar pada hardskill
perlu disesuaikan dengan situasi saat ini dengan fokus pada soft skill. Ini yang
akan menjadi kunci bagi keberlanjutan proses pendidikan pada era sekarang
ini. Menterjemahkan tujuan pembelajaran yang berorientasi pada softskill
menjadi lingkungan belajar merupakan terobosan baru yang akan banyak
tantangan dalam pembelajaran dari cara-cara belajar yang selama ini
dilakukan. Tantangan terbesar adalah dari diri sendiri. Kelembaman. Rasa
nyaman dan enggan berubah pada hal-hal yang baru. Namun dengan
kesadaran bahwa kita sebagai pendidik perlu mendamping anak-anak agar
menjadi generasi yang lebih baik dari kita, tidak ada pilihan lain selain
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 4
sebagai pendidik adalah menyiapkan lingkungan belajar yang nyaman dan
menumbuhkan motivasi berkembang.
Perubahan dari pembelajaran kelas ke pembelajaran online, tentu bukan hal
mudah dalam membangun lingkungan belajar baru yang relevan dengan
kebutuhan peserta didik. Perubahan kompetensi juga terjadi seiring dengan
Revolusi Industri 4.0. Pandemi Covid-19 tentu memberi dampak signifikan
dalam penerapan berbagai teknologi pendukung IR 4.0. termasuk dalam
pendidikan. Bebagai perubahan ini tidak perlu dianggap sebagai ancaman,
namun sebagai hal yang biasa saja untuk dihadapi dengan melakukan
antisipasi dan penyesuaian cara-cara hidup. Dalam pembelajaran juga sama.
Bagaimana pendidik memanfaatkan teknologi yang ada untuk keadaan yang
lebih baik.
Lingkungan belajar saat ini yang berbeda dengan masa sebelum pandemi
Covid-19 ini perlu diantisipasi dengan model lingkungan pembelajaran yang
berbeda. Artikel ini menjelaskan dengan gamblang faktor-faktor apa yang
memberikan pengaruh pada lingkungan ini beserta penjelasan masing-
masing faktor tersebut.
Self-Regulated Learning
Self Regulated Learning (SRL) merupakan faktor penting dalam proses
pembelajaran dan hasil belajar. Beberapa literatur mengkaji tentang SRL,
konsep SRL mengacu pada adaptasi yang disengaja dan strategis dari proses
pembelajaran untuk mengubah hasil kognitif, motivasi, dan perilaku (Persico
& Steffens, 2017; Zimmerman & Schunk, 2011). Dalam konteks pendidikan
dan pembelajaran, self regulated atau regulasi diri mengacu pada penerapan
proses, perilaku kognitif, dan emosi secara proaktif pada diri pembelajar
untuk mencapai tujuan, mempelajari keterampilan, dan mengelola reaksi
emosional (Persico & Steffens, 2017; Inan et al., 2017). Pembelajaran saat ini
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 5
yang berbasis online tentunya menuntut peserta didik aktif dalam belajar.
Bekal yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas
belajar adalah memiliki kemampuan untuk mengatur kegiatan belajar,
mengontrol perilaku belajar, dan mengetahui tujuan, arah, serta sumber-
sumber yang mendukung untuk belajarnya. Mengapa SRL menjadi penting
saat ini? Dengan pembelajaran di masa pandemi dan online ini membuat
penting untuk mengetahui kesadaran belajar peserta didik agar guru dapat
memilih strategi terbaik. Tujuan pembelajaran hendaknya adalah untuk
membebaskan peserta didik dari kebutuhan mereka terhadap guru, tidak
menggantungkan proses belajar terhadap guru maupun orang tua, sehingga
peserta didik dapat terus belajar secara mandiri sepanjang hidupnya bukan
sekedar saat pandemi saja.
Self regulation merupakan bagian dari metakognisi yaitu pemantauan
terhadap kemampuan diri sendiri, pemantauan terhadap hasil belajar
sendiri, serta pemilihan strategi dan tindakan yang tepat. Pengembangan
kecakapan metakognitif pada para peserta didik adalah suatu tujuan
pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat membantu mereka
menjadi self-regulated learners. Self-regulated learners bertanggung jawab
terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya
mencapai tuntutan tugas. Konsep SRL dikemukakan pertama kali oleh
Bandura dalam latar teori belajar sosial, bahwa setiap individu memiliki
kemampuan mengontrol diri tentang cara belajarnya dengan
mengembangkan langkah-langkah mengobservasi diri, menilai diri, dan
memberikan respon bagi dirinya sendiri. Peserta didik yang memiliki
kemampuan SRL menunjukkan karakteristik mengatur tujuan belajar untuk
mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan motivasi, dapat
mengendalikan emosi sehingga tidak mengganggu kegiatan pembelajaran,
memantau secara periodik kemajuan target belajar, mengevaluasi, dan
membuat adaptasi yang diperlukan sehingga menunjang dalam prestasi.
Dalam pembelajaran online dimana fokus peserta didik menjadi penting, SRL
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 6
menjadi faktor yang perlu diberi perhatian khusus oleh para pendidik untuk
memastikan keberhasilan proses belajar mengajar (Pei-Ching et al., 2011;
Karlen, 2016).
Secara sederhana, proses pengaturan diri dapat didefinisikan sebagai
aktivitas individu dalam membuat rencana, memantau rencana itu, membuat
perubahan agar tetap pada jalurnya, dan merefleksikan apa yang berhasil
dan apa yang dapat ditingkatkan di waktu berikutnya (Jaleel, 2016; Ellis et al.,
2014; Rahimi & Katal, 2012). Salah satu instrumen yang dapat digunakan
dalam pengukuran SRL adalah dengan menggunakan Kuesioner Formatif
Peraturan Mandiri. Angket ini mengukur persepsi tingkat kemahiran peserta
didik dalam empat komponen penting pengaturan diri: Merencanakan dan
mengartikulasikan apa yang ingin dicapai peserta didik; Segera memantau
kemajuan dan gangguan terkait tujuan peserta didik; Kontrol perubahan
dengan menerapkan strategi spesifik ketika segala sesuatu tidak berjalan
sesuai rencana; dan Refleksikan apa yang berhasil dan apa yang peserta didik
dapat lakukan lebih baik di waktu berikutnya (Persico & Steffens, 2017).
Pengaturan diri dalam pembelajaran online adalah kemampuan untuk
memunculkan dan memantau pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang
untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan menggunakan aplikasi online
beserta fitur yang tersedia. Pengaturan diri belajar sangat penting, sehingga
peserta didik memiliki kemandirian dalam belajar menggunakan informasi
dari internet (Hee et al., 2019; Kuo et al., 2014; Aesaert et al., 2017).
Pengaturan diri adalah kemampuan seseorang untuk mempertahankan atau
mengubah kepribadiannya untuk mengikuti nilai-nilai moral dalam
masyarakat (de Fátima Goulão & Menedez, 2015) menggunakan kompetensi
mereka dalam dunia maya. Aspek-aspek SRL adalah metakognisi, motivasi,
dan tindakan afirmatif. Tahapan pengaturan diri yang baik dapat mendorong
pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan (Matzat & Vrieling, 2016;
Cho & Cho, 2017). SRL juga bisa dalam bentuk regulasi kognitif, regulasi
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 7
motivasi, regulasi perilaku, dan regulasi emosi (Persico & Steffens, 2017;
Tsai, 2013) ketika individu berinteraksi dengan peserta didik lain dan guru.
Itu tidak terlepas dari dukungan sosial yang diberikan kepada mereka.
Konsep ini dapat menjadi perhatian para pendidik dalam melakukan proses
pembelajaran, kemampuan guru untuk menyediakan lingkungan online yang
secara sosial mirip dengan kondisi nyata menjadi faktor kunci keberhasilan
pembelajaran online yang mendukung SRL peserta didik.
Technology Readiness and Acceptance
Pada konsep student-centered, teknologi merupakan salah satu fasilitas yang
digunakan untuk membantu proses pembelajaran peserta didik. Peserta
didik dapat mengeksplorasi dan mencari materi pembelajaran dengan
bantuan teknologi. Terdapat berbagai macam model teknologi yang dapat
dipakai dalam pengalaman pembelajaran peserta didik. Kombinasi model
pembelajaran dengan teknologi saat ini sudah cukup banyak. Akan tetapi,
model-model pembelajaran dengan teknologi belum diketahui bagaimana
kesiapannya, penerimaannya, dan penggunaannya baik di sisi peserta didik
maupun guru. Keberhasilan dari pendekatan student-centered bergantung
pada penerimaan dari peserta didik dan guru. Namun, sebelum masuk pada
penerimaan diperlukan evaluasi kesiapan dari peserta didik dan guru
terlebih dahulu.
Evaluasi pada kesiapan teknologi dapat menggunakan pendekatan
Technology Readiness Index (TRI). TRI adalah pendekatan yang digunakan
untuk mengukur kesiapan individu pada teknologi dengan memakai empat
dimensi yang dikembangkan oleh Parasuraman (2000). TRI menggunakan
kombinasi persepsi positif dan negatif untuk mengembangkan alat ukurnya.
Perasaan positif mendorong individu untuk memakai teknologi sedangkan
perasaan negatif menahan pemakaian teknologi. Keempat dimensi itu adalah
optimism, innovativeness, discomfort, dan insecurity (Parasuraman, 2000).
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 8
Nantinya pada TRI ini akan dipetakan tingkat kesiapan individu pada
teknologi. Pada TRI versi 1.0 terdapat total 36 item pertanyaan
(Parasuraman, 2000). Konsep teknologi yang dipakai untuk mengevaluasi
kesiapan individu pada TRI versi 1.0 lebih berfokus pada teknologi secara
umum. Pengembangan konsep tersebut dikarenakan pengembangan alat
ukurnya pada kondisi teknologi komunikasi dan informasi berada di akhir
abad ke-20. Kemudian Parasuraman dan Colby (2014) memperbarui model
TRI yang menyesuaikan kondisi teknologi di abad ke-21 dengan TRI versi 2.0.
TRI 2.0 dikembangkan dengan mengevaluasi bahwa perkembangan teknologi
saat ini sudah mencapai adanya media-media teknologi baru seperti
contohnya media sosial. Salah satu pendorong diperbaruinya TRI adalah
karena media sosial sudah ada dan mulai banyak digunakan. Adopsi media
sosial inilah memodifikasi TRI sehingga pada setiap dimensinya terdapat
item-item pertanyaan yang mengarah pada media sosial. TRI 2.0 dapat
digunakan untuk mengetahui kesiapan teknologi pada pembelajaran dengan
mengelompokkan peserta didik dan guru masuk pada jenis pengguna
teknologi yaitu explorers, skeptics, avoiders, pioneers, dan hesitators
(Parasuraman dan Colby, 2014). Pengguna yang positif masuk kategori
explorers dan pioneers, sedangkan pengguna negatif masuk kategori skeptics,
avoiders, dan hesitators. Berdasarkan pemetaan tersebut maka teknologi
pembelajaran yang dipakai peserta didik maupun guru dapat diarahkan
sesuai kebutuhan kategori kelompok pegguna tersebut.
Setelah teknologi diadopsi dan mulai digunakan oleh individu maka
diperlukan pendekatan untuk mengevaluasi penerimaannya. Pendekatan
untuk mengevaluasi penerimaan teknologi yang sering digunakan adalah
Technology Acceptance Model (TAM). TAM dikembangkan oleh Davis (1989)
untuk menjelaskan perilaku penggunaan teknologi. Model TAM
menggunakan lima variabel utama yaitu perceived usefulness, perceived ease
of use, attitude toward using, behavior intention to use, dan actual system use.
Pada pengembangan modelnya dapat ditambahkan variabel-variabel
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 9
eksternal untuk menjelaskan perilaku penggunaan secara lebih luas. Korelasi
pengaruh antara variabel dalam model TAM akan menjelaskan bagaimana
perilaku pengguna dalam memakai teknologi. Bila didapatkan korelasi positif
pada hubungan antar variabel-variabelnya maka perilaku penggunaan
teknologi dapat didorong oleh variabel-variabel dalam model TAM, di mana
actual system use adalah variabel perilaku penggunaan teknologi. TAM dapat
digunakan apabila teknologi yang digunakan untuk pendekatan student-
centered sudah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Hasil dari evaluasi
TAM ini akan menentukan apakah diperlukan perbaikan berkelanjutan pada
teknologi yang digunakan saat ini. Perbaikan tersebut dapat berupa
perbaikan kualitas dan teknis dari teknologi tersebut. Jika teknologi semakin
berkualitas maka dapat mendorong keberhasilan dari pendekatan student-
centered.
ICT Literacy
Eksistensi generasi internet telah dianggap sebagai tantangan baru bagi
dunia pendidikan saat ini. Generasi ini populer dengan sebutan Digital
Natives (Prensky, 2001), Generasi Y (McCrindle, 2003), Generasi Net
(Oblinger & Oblinger, 2005; Tapscott, 1999). Milenial memiliki karakteristik
yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka terlahir di era teknologi
yang semakin mutakhir, sehingga tidak diragukan lagi kecakapan mereka
dalam pemanfaatan perangkat ICT atau TIK. Prensky (2001) mengemukakan
bahwa dalam era teknologi digital, dengan mempertimbangkan keterampilan
yang dimiliki oleh digital natives, pendidik perlu mampu mengadopsi metode
baru untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Prensky (2001) pun
mengklaim bahwa milenial telah dibekali ICT literacy yakni keterampilan
penguasaan teknologi digital yang berkembang pesat dalam proses
pembelajaran.
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 10
Sebelum membahas tentang peran teknologi dalam perumusan konsep
pembelajaran era new normal, terlebih dahulu perlu diketahui karakteristik
milenial. Menurut Tapscott (1997), milenial senang berkolaborasi dan
menyukai pembelajaran interaktif. Keunikan pembelajar milenial ditandai
oleh ketertarikan pada perangkat elektronik. Mereka lebih memilih
mengkonstruksi pembelajaran mereka sendiri, mengumpulkan alat dan
kerangka informasi dari berbagai sumber digital daripada sekedar menerima
informasi dari guru (Oblinger dan Oblinger 2005). Pembelajar milenial
adalah generasi multitasking (Beard, Schwieger, and Surendran, 2007), yang
mampu melakukan banyak aktivitas dalam waktu yang bersamaan dan
terhubung dengan internet seperti mengakses sumber belajar, mengirim dan
menerima email, mengunduh aplikasi, bersosialisasi dan mengobrol melalui
media sosial, membaca blog/ vlog terkait materi belajar.
Pendidikan abad ke-21 saat ini menggaungkan learner-centered yang
bertujuan untuk mengembangkan kemandirian. Menurut Trilling dan Fadel
(2009), ada tiga keterampilan inti yang perlu dikembangkan terkait learner-
centered. Yang pertama, life and carrier skill, yakni kemampuan untuk lebih
fleksibel dalam bersosialisasi, mudah beradaptasi, dan mampu mengarahkan
diri sendiri. Keterampilan kedua adalah learning and innovation yang
meliputi kemampuan untuk menjadi kreatif dan inovatif, kritis, pemecahan
masalah, komunikatif dan kolaboratif. Terakhir, keterampilan ketiga adalah
ICT literacy yang meliputi kemampuan mengakses dan menggunakan
informasi, dan menerapkan teknologi secara efektif. Lihat Gambar 1.
Terkait ICT literacy skill, Lister, dkk (2009) mengemukakan enam aspek TIK
sebagai media dalam pembelajaran abad ke-21, yakni digital, interaktif,
hipertekstual, virtual, jejaring, dan simulasi. Namun demikian, ada dua aspek
yang secara nyata sangat menunjang sistem pembelajaran berpusat pada
peserta didik yakni aspek interaktif dan aspek jejaring. Pada aspek interaktif,
TIK memudahkan peserta didik berinteraksi dan berkomunikasi dengan
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 11
teman sebaya sehingga peserta didik tidak lagi berperan pasif. Dari aktivitas
interaktif tersebut, nampak bahwa TIK menyediakan kemudahan akses yang
lebih luas dan memberi kesempatan berkomunikasi dengan dunia luar.
Gambar 1. Pembelajaran Abad ke-21
Peserta didik menemukan lingkungan belajar yang lebih fleksibel karena TIK
dapat menyediakan fasilitas belajar kapan saja dan di mana saja. Mereka
menjadikan mesin pencari Google sebagai media untuk menemukan
informasi dibandingkan bertanya kepada guru atau teman. Milenial
merasakan kenyamanan beraktivitas dengan teknologi. Hal ini berpengaruh
pula pada pergeseran peran guru dari penyedia informasi menjadi mediator
dalam menyelaraskan informasi tersebut.
Aspek kedua dari TIK yang dapat mendukung student-centered adalah
learning network atau jejaring. TIK telah mengubah aliran informasi satu
arah menjadi informasi multi arah. Inilah peran jejaring yang membuka
peluang munculnya hal-hal positif. Peserta didik menemukan jejaring
komunitas belajar sesuai peminatan mereka sehingga pembelajaran dapat
berkesinambungan. Dalam aktivitas jejaring tersebut, peserta didik dapat
berkolaborasi dalam hal mengelola konten dan sumber belajar. TIK juga
memungkinkan mereka untuk menerima umpan balik tentang tugas dari
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 12
teman sekelas, membagikan referensi terkait dengan pelajaran, dan
memposting tugas. Selain itu, kecakapan lain pun terasah yakni mereka
saling membantu untuk mengoperasikan dan mengintegrasikan alat/ aplikasi
TIK.
Sejalan dengan pemikiran Trilling dan Fadel (2009), perlu pula
dipertimbangkan teory heutagogy yang dipopulerkan oleh Hase dan Kenyon
(2000) yang merupakan suatu bentuk pendekatan pembelajaran yang juga
berpusat pada peserta didik. Teori ini secara holistik berdasarkan pada
prinsip humanistik dan konstruktivis sehingga sangat dibutuhkan dalam
sistem pendidikan saat ini. Eksistensi TIK dalam heutagogy mengemukakan
tentang konsep self-determined bagi peserta didik bukan lagi hanya sebagai
alat bantu dalam proses belajar, namun peran TIK sebagai a loyal life-partner,
dimana mereka dapat memilih aplikasi TIK yang sesuai kebutuhan masing-
masing. Biasanya pemilihan aplikasi TIK ini berkaitan dengan tingkat
kemudahan pengoperasian, semakin sederhana , maka akan semakin disukai.
Secara alamiah situasi ini juga mengubah peran pendidik yang semula
dituntut merumuskan metode dan media pembelajaran. Namun dalam hal
ini, tugas pendidik dalam tataran menyajikan capaian pembelajaran yang
perlu dipenuhi atau dicapai oleh peserta didik untuk kemudian menentukan
sendiri aplikasi TIK yang akan mereka gunakan memperhatikan capaian
pembelajaran yang ditetapkan/ disepakati.
Personalized Learning Network
Self-Directed Learning (SDL) merupakan proses mental yang ditujukan secara
individu dan didukung oleh tindakan mengidentifikasi dan mencari. SDL
adalah proses individu dalam berinisiatif dengan atau tanpa bantuan orang
lain untuk mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar,
mengidentifikasi sumber daya manusia dan material untuk belajar, memilih
dan menerapkan strategi belajar yang tepat, dan mengevaluasi hasil belajar
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 13
(Mentz, Beer, & Bailey, 2019). Peserta didik bertanggung jawab untuk
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajar mereka sendiri dan
diharapkan untuk bekerja secara mandiri atau dengan orang lain dalam
rangka mencapai tujuan belajar (Beach, 2017; Nikitenko & Nikitenko, 2011).
SDL dapat terbentuk melalui empat tahap yang ditunjukkan pada Gambar 1
(Gibbons, 2002).
Gambar 2. Tahap Self-directed learning
SDL merupakan personal attributes peserta didik yang difokuskan dalam
penggunaan sumber daya, strategi belajar, dan memotivasi peserta didik di
dalam pembelajaran. Self-management merupakan konsep yang sangat
penting bagi keterlibatan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Peserta didik di dalam model SDL tidak hanya memegang kendali secara
penuh di dalam proses belajarnya, tetapi juga dapat membangun jejaring
dengan peserta didik lain. Model SDL menurut Garrison dalam (Abd-El-
Fattah, 2010) ditunjukkan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Self-Directed Learning Model
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 14
Tahap SDL dimulai dari kesadaran individu hingga proses kolaborasi dapat
dikaitkan dengan Personal Learning Network (PLN). PLN merupakan
jaringan pembelajaran informal yang terdiri dari orang-orang yang
berinteraksi dengan peserta didik dan mendapatkan pengetahuan dari dalam
lingkungan belajar tersebut. Dalam PLN, seseorang membuat koneksi dengan
orang lain dengan tujuan agar proses pembelajaran terjadi melalui koneksi
tersebut (Ossian Nilsson, Uhlin, & Creelman, 2014). Dalam PLN, peserta didik
mengembangkan pembelajaran kolaboratif sehingga pengetahuan tercipta
melalui interaksi antar individu. Kepribadian peserta didik memainkan peran
besar, selain itu terdapat pula faktor lain dari aspek kontekstual seperti
penampilan, keterampilan bahasa, perbedaan budaya, jenis kelamin, dan
aspek demografis maupun psikologis lain. Kondisi ini menjadi tantangan
pada proses interaksi antar peserta didik. Di sisi lain, keterampilan
networking atau membangun jaringan merupakan salah satu keterampilan
tingkat tinggi yang akan tampak sebagai masalah dalam proses problem
solving (Margaryan, Milligan, Littlejohn, Hendrix, & Graeb-Koenneker, 2009).
Bagi peserta didik, pengalaman dan keahlian individu yang dimiliki
sebelumnya memiliki peran penting dalam PLN sehingga masing-masing
dapat memperoleh nilai tambah dari peserta didik lain dalam jaringan
tersebut (Rajagopal, Verjans, Sloep, & Costa, 2012). PLN memiliki tiga
permasalahan utama yang digambarkan sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan karakteristik pribadi peserta didik (expertise,
values, presence, adaptability, influential, different perspectives,
their ability to make you change, do things differently, innovation,
change, inspiring, eccentric, role models, passion).
2. Berkaitan dengan hubungan antar peserta didik (mentoring,
friendship, trust, familiarity, comfort).
3. Berkaitan dengan alasan dan harapan peserta didik (validation,
reality check, disruption).
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 15
Aspek PLN pada butir pertama merupakan personal attributes yang melekat
pada peserta didik dan sekaligus sebagai bagian dari SDL. Karakteristik
pribadi peserta didik memberi kontribusi yang cukup besar pada
terbentuknya SDL. Individu yang memiliki SDL tinggi adalah individu yang
proaktif, memiliki inisiatif sendiri, banyak akal atau inovatif; serta menjadi
individu yang memiliki tanggung jawab untuk selalu belajar (Guglielmino &
Toffler, 2013). Individu dengan SDL yang tinggi memiliki kesadaran
menambah pengetahuan dan wawasannya, melengkapi pengetahuannya,
memperbaharui pengetahuannya, dan mengadaptasi pengetahuannya sesuai
dengan tuntutan kehidupan yang dilakukan baik secara individu maupun
berkolaborasi (Louws, Meirink, van Veen, & van Driel, 2017).
SDL dalam pemecahan masalah dapat ditingkatkan melalui proses
pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (active learning) (Kleden,
2015). PLN memberi kontribusi pada interaksi peserta didik dalam
pemecahan masalah tersebut. PLN menjadi dasar untuk mengembangkan
keterampilan berpikir, menyelesaikan masalah, keterampilan komunikasi,
serta keterampilan menjadi pelajar yang mandiri. PLN mampu menciptakan
situasi di mana peserta didik akan belajar untuk menyelesaikan tugasnya
secara kelompok namun tetap berkontribusi pada peningkatan tanggung
jawab pribadi peserta didik.
Personalized Learning Environment
Penciptaan lingkungan belajar atau personalized learning environment (PLE)
menjadi sangat strategis untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran
secara mandiri menjadi kunci keberhasilan dalam pembelajaran. Lingkungan
belajar yang memenuhi kebutuhan belajar secara bermakna bagi
pembelajaran, berupa sumber-sumber belajar yang dapat diakses secara
mandiri oleh pebelajar, model pembelajaran, perangkat pembelajaran
berbasis ICT, strategi dan pendekatan yang dapat dipergunakan untuk
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 16
mengoptimalkan terjadi proses SDL dalam rangka pencapaian tujuan belajar
mandiri. Sedemikian hingga proses belajar yang bersifat self-directed learning
(andragogy) bergerak dalam kontinum menuju self-determined learning
(heutagogy). Lebih jauh Blasche (2018) menyatakan belajar berpusat pada
pebelajar merupakan substansi dari self determined learning (SDL), dimana
pebelajar menentukan sendiri tahap-tahap alur belajar, menentukan tujuan
(objective) dan outcome belajar.
PLE diciptakan mengacu pada prinsip-prinsip SDL yang menurut Agonács
dan Matos (2019) dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, mengacu pada
prinsip pentingnya peran aktif agen pembelajaran. Pebelajar dianggap
sebagai pusat dari proses belajar, motivasi diri, otonom, dan bertanggung
jawab atas pembelajaran mereka sendiri agar tetap berjalan, untuk
memutuskan apa yang akan dipelajari, bagaimana belajar, dan bagaimana
menilai pembelajaran. Kedua, prinsip pengembangan kapasitas yang
mengacu pada kemampuan untuk dapat menggunakan kompetensi yang
diperoleh di dalam situasi yang dikenal baik. Karena itu pengembangan self-
efficacy, komunikasi, kolaborasi, dan nilai-nilai positif berperan penting.
Ketiga, prinsip refleksi-diri dan pengenalan, menjadi sangat penting untuk
melakukan SDL. Karena hanya dengan refleksi pada apa yang telah telah
dipelajari dan cara pembelajarannya, seseorang dapat memperoleh
pengetahuan yang cukup bagi dirinya sendiri agar dapat menentukan
pengalaman belajar yang dibutuhkan di masa depan. Keempat, prinsip inti
pembelajaran double-loop, dimana refleksi yang terjadi juga diupayakan pada
bagaimana pengetahuan baru dan jalur untuk belajar mempengaruhi nilai-
nilai dan sistem keyakinan pebelajar.
PLE tercermin dalam pelaksanaan SDL di K-12 (Andrews, 2014) dengan
menggunakan pendekatan flexible and negotiated curriculum assessment
(FACE) dengan meminta peserta didik membuat portofolio perjalanan belajar
mereka dan instruktur memberikan bimbingan dengan membimbing dan
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 17
melatih peserta didik di sepanjang jalur pembelajaran mereka (sesuai
dengan kontrak yang dinegosiasikan secara individual). Portofolio dan
bimbingan merupakan komponen PLE dalam pelaksanaan SDL tersebut.
Demikian pula di pendidikan tinggi yang dilakukan oleh Dick (2013),
pendekatannya dengan "menyusun konteks" pembelajaran, yaitu,
membangun dan memperluas komunitas, menekankan perencanaan karir
dan kontak dengan profesi, dan negosiasi kurikulum dengan pebelajar.
Selanjutnya, guru atau pendidik bekerja dengan pebelajar atau peserta didik
dalam menegosiasikan proses dan kriteria penilaian dan evaluasi. Kemudian
melibatkan tim agar peserta didik terlibat dalam tindakan pembelajaran, di
mana mereka memiliki otonomi penuh dalam mendefinisikan dan
melaksanakan proyek kelompok, dan melatih mereka di sepanjang
perjalanan pembelajaran. Konteks perkuliahan/ pembelajaran, kurikulum,
adanya kriteria penilaian dan evaluasi merupakan PLE yang diciptakan
dalam SDL di perguruan tinggi menurut Dick (2013).
Agar proses belajar secara individual dapat berjalan, tujuan dan hasil yang
diinginkan dapat diperoleh, perlu difasilitasi dengan menciptakan suatu
lingkungan belajar yang memenuhi kebutuhan belajar secara individual
pebelajar. Personalized Learning Environtment (PLE) dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. PLE merupakan tool dan komunitas layanan
yang merupakan platform pembelajaran individual yang digunakan pebelajar
untuk mengarahkan pembelajaran mereka sendiri dalam rangka mencapai
tujuannya (Halim, et al. 2015). The Rodel Teacher Council (RTC) dalam
Blueprint for Personalized Learning in Delaware menyatakan bahwa PLE
dilakukan dengan cara-cara, pertama, memberikan instruksi khusus yang
memadukan kebutuhan akademik spesifik, minat, gaya belajar,
pemberdayaan pebelajar selama mereka menyelesaikan tugas dan kemajuan
yang dicapai. Kedua, memungkinkan pebelajar menjalani proses belajarnya
sesuai dengan waktu, tahapan, tempat, dan pendekatan yang digunakan
pebelajar. Ketiga, memberikan akses kepada pebelajar dan guru melakukan
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 18
umpan balik terhadap kinerja belajar. Keempat, memberdayakan guru untuk
mencurahkan waktu dan tenaga mereka terhadap kebutuhan individual
pebelajar. Kelima, menggunakan teknologi yang beragam dan inovatif untuk
mendukung proses belajar yang memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam konteks belajar saat ini model-model pembelajaran yang
mencerminkan penggunaan PLE dalam pembelajaran SDL adalah hybrid
learning (Klimova dan Poulova, 2016) yang merupakan kombinasi dari
pembelajaran dengan interaksi face-to-face dan online learning, blended
learning (Hew & Cheung, 2014) dengan beragam model. Pada sekolah rendah
atau menengah yaitu face-to-face driver, rotation, flex, online lab, self-blend
dan online-driver. Pada pendidikan tinggi mencakup model-model
supplemental, replacement, emporium, fully online, dan buffet. Pada pelatihan
mencakup model anchor blend, bookend blend, dan field blend. Model-model
ini dapat menjadi kajian baru dalam pembelajaran dalam era New Normal.
Model lingkungan pembelajaran
Dengan perkembangan lingkungan baru dalam era New Normal ini, model
skematik yang menunjukkan keterkaitan antara pebelajar dan lingkungannya
adalah seperti pada Gambar 4 berikut.
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 19
Gambar 4. Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
Technology
Readiness &
Accpetance
Student
Centered
Self-directed
Learning
Compentencies
Self-regulated
Learning
Information &
Communication
Technology
Personalized
Learning
Environment
Personalized
Learning
Network
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 20
Daftar Pustaka
Abd-El-Fattah, S. M. (2010). Garrison’s Model of Self-directed Learning: Preliminary
Validation and Relationship to Academic Achievement. Spanish Journal of
Psychology, 13(2), 586–596. https://doi.org/10.1017/S1138741600002262
Aesaert, K., Voogt, J., Kuiper, E., & van Braak, J. (2017). Accuracy and Bias of ICT Self-
efficacy: An Empirical Study into Students' Over-and Underestimation of Their ICT
Competences. Computers in Human Behavior, 75: 92- 102.
Andrews, J. (2014). From Obstacle to Opportunity: Using Government-Mandated
Curriculum Change as A Springboard for Changes in Learning. In L.M. Blaschke, C.
Kenyon, & S. Hase (Eds.), Experiences in Self-determined Learning. USA:
Amazon.com.
Beach, P. (2017). Self-directed Online Learning: A Theoretical Model for
Understanding Elementary Teachers’ Online Learning Experiences. Teaching and
Teacher Education, 61, 60–72. https://doi.org/10.1016/j.tate.2016.10.007
Beard, D., Schwieger, D., & Surendran, K. (2007). Bridging the academic/industrial
chasm for the millennial generation. Information Systems Education Journal, 5(33),
3-16.
Blaschke L.M. (2018) Self-determined Learning (Heutagogy) and Digital Media
Creating integrated Educational Environments for Developing Lifelong Learning
Skills. In: Kergel D., Heidkamp B., Telléus P., Rachwal T., Nowakowski S. (eds) The
Digital Turn in Higher Education. Springer VS, Wiesbaden.Cho, M. H. & Cho, Y.
(2017). Self-regulation in Three Types of Online Interaction: A Scale Development.
Distance Education, 38(1): 70-83.
Davis, Fred D., Bagozzi, Richard P., & Warshaw, Paul R. (1989). User Acceptance of
Computer Technology: A Comparison of Two Theoretical Models. Management
Science, 35 (8), 982-1003.
de Fátima Goulão, M. & Menedez, R. C. (2015). Learner Autonomy and Self-
regulation in ELearning. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 174: 1900-1907.
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 21
Dick, B. (2013). Crafting Learner-centred Processes using Action Research and
Action Learning. In Hase, S., & Kenyon, C. (Eds.), Self-determined Learning:
Heutagogy in Action. London, United Kingdom: Bloomsbury Academic.
Ellis, A. K., Denton, D. W., & Bond, J. B. (2014). An Analysis of Research on
Metacognitive Teaching Strategies. Procedia-Social and Behavioral Sciences,
116(21): 4015-4024.
Gibbons, M. (2002). The Self-Directed Learning Handbook: Challenging Adolescent
Students to Excel. San Francisco, CA: Jossey-Bass Inc. Retrieved from
https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=7xrxPudNcGgC&pgis=1
Guglielmino, L. M., & Toffler, A. (2013). The Case for Promoting Self-Directed
Learning in Formal Educational Institutions. SA-EDUC JOURNAL, 10(2), 1–18.
Retrieved from https://www.nwu.ac.za/sites/www.nwu.ac.za/files/files/p-
saeduc/sdl issue/Guglielmino, L.M. The Case for Promoting Self-directed Lear.pdf
Hase, S., & Kenyon, C. (2007). Heutagogy: A child of complexity theory. Complicity:
An international journal of complexity and education, 4(1).
Hee, O. C., Ping, L. L., Rizal, A. M., Kowang, T. O., & Fei, G. C. (2019). Exploring Lifelong
Learning Outcomes Among Adult Learners Via Goal Orientation and Information
Literacy Self-efficacy. Int J Eval & Res Educ., 8(4): 616-623.
Hew, K.F. & Cheung, W.S. (2014). Using Blended-learning: Evidence-based Practices.
Singapore: Springer.
Inan, F., Yukselturk, E., Kurucay, M. & Flores, R. (2017). The Impact of Self-regulation
Strategies on Student Success and Satisfaction in An Online course. International
Journal on E-learning, 16(1): 23-32.
Jaleel, S. (2016). A Study on the Metacognitive Awareness of Secondary School
Students. Universal Journal of Educational Research, 4(1): 165-172.
Karlen, Y. (2016). Differences in Students' Metacognitive Strategy Knowledge,
Motivation, and Strategy Use: A Typology of Self-regulated Learners. The Journal of
Educational Research, 109(3): 253-265.
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 22
Kleden, M. A. (2015). Analysis Of Self-Directed Learning Upon Students of
Mathematics Education Study Program. Journal of Education and Practice, 6(20), 1–
7. Retrieved from https://eric.ed.gov/?id=EJ1079045
Klimova, B. & Poluova, P. (2016). Personalized Learning Environment-A Case Study,
Advanced Science Letters, 22(5), 1129-1132. doi: 10.1166/asl.2016.6678.
Kuo, Y. C., Walker, A. E., Schroder, K. E. & Belland, B. R. (2014). Interaction, Internet
Self-efficacy, and Self-regulated Learning as Predictors of Student Satisfaction in
Online Education Courses. The Internet and Higher Education, 20, 35-50.
Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., & Kelly, K. (2009). New media: A critical
introduction. Taylor & Francis.
Louws, M. L., Meirink, J. A., van Veen, K., & van Driel, J. H. (2017). Teachers’ Self-
directed Learning and Teaching Experience: What, How, and Why Teachers Want to
Learn. Teaching and Teacher Education, 66, 171–183.
https://doi.org/10.1016/j.tate.2017.04.004
Margaryan, A., Milligan, C., Littlejohn, A., Hendrix, D., & Graeb-Koenneker, S. (2009).
Self-regulated Learning and Knowledge Sharing in the Workplace. In Organizational
Learning, Knowledge and Capabilities Conference. Amsterdam: The Open University.
Retrieved from http://oro.open.ac.uk/42286/
Matzat, U & Vrieling, E. M. (2016). Self-regulated Learning and Social Media - A
'Natural Alliance'? Evidence on Students' Self-regulation of Learning, Social Media
Use, and Student-teacher Relationships. Learning. Media and Technology, 41(1): 73-
99.
McCrindle, M. (2003). Understanding generation Y. Principal Matters, (55), 28.
Mentz, E., Beer, J. de, & Bailey, R. (2019). Self-directed Learning for The 21st
Century: Implications for Higher Education (Vol. 3). OASIS (Pty).
https://doi.org/10.4102/aosis.2019.BK134
Nikitenko, G., & Nikitenko, G. (2011). Analysis of Adult Students’ Self-Directed
Learning Readiness, Affective... EdMedia + Innovate Learning, 2011(1), 2503–2513.
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 23
Nikoletta Agonács & João Filipe Matos (2019): Heutagogy and Self-determined
Learning: A Review of The Published Literature on The Application and
Implementation of The Theory, Open Learning: The Journal of Open, Distance and e-
Learning, DOI:10.1080/02680513.2018.1562329.
Oblinger, D., Oblinger, J. L., & Lippincott, J. K. (2005). Educating the net generation.
Boulder, Colo.: EDUCAUSE, c2005. 1 v. (various pagings): illustrations..
Ossiannilsson, E., Uhlin, L., & Creelman, A. (2014). Building Your Own Personal
Learning Network. In Next Generation Learning Conference (pp. 63–67). Hogskolan
Dalarna & Royal Institute of Technology. Retrieved from https://www.diva-
portal.org/smash/get/diva2:717391/FULLTEXT01.pdf#page=64
Parasuraman, A. & Colby, Charles L. (2014). An Updated and Streamlined
Technology Readiness Index: TRI 2.0. Journal of Service Research, 18 (1), 1-16.
Parasuraman, A. (2000). Technology Readiness Index (TRI): A Multiple-Item Scale to
Measure Readiness to Embrace New Technologies. Journal of Service Research, 2
(4), 307-320.
Pei-Ching, C., Min-Ning, Y., & Fang-Chung, C. (2011). Self-Regulation Learning among
Taiwanese Students: A Longitudinal Analysis of the TEPS Database. Jiaoyu Kexue
Yanjiu Qikan, 56(3), 151-179.
Persico, D. & Steffens, K. (2017). Self-regulated learning in technology enhanced
learning environments. In Technology Enhanced Learning (pp. 115-126). Springer,
Cham.
Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the horizon, 9(5).
Rahimi, M., & Katal, M. (2012). Metacognitive Strategies Awareness and Success in
Learning English as a Foreign Language: an Overview. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 31: 73-81.
Rajagopal, K., Verjans, S., Sloep, P. B., & Costa, C. (2012). People in Personal Learning
Networks: Analysing Their Characteristics and Identifying Suitable Tools. In
Proceedings of the 8th International Conference on Networked Learning (pp. 1–8).
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 24
Tapscott, D. (1999). Educating the net generation. Educational leadership, 56(5), 6-
11.
Tsai, C. W. (2013). How Much Can Computers and Internet Help? A Long-term Study
of Web-Mediated Problem-Based Learning and Self-Regulated Learning. In User
Perception and Influencing Factors of Technology in Everyday Life (pp. 248-264).
IGI Global.
Zimmerman, B. J. & Schunk, D. H. (2011). Self-regulated learning and performance:
An Introduction and An Overview. In Handbook of Self-regulation of Learning and
Performance (pp. 15-26). Routledge.
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 25
Indeks
actual system use, 8
adaptasi, 4, 5
andragogy, 16
artificial intelligent, 1
attitude toward using, 8
avoiders, 8
behavior intention to use, 8
berfikir kritis, 2, 3
berfikir tingkat tinggi, 3
big data, 1
Big data, 1
cloud computing, 1
cognitive computing, 1
Covid-19, iv, 3, 4
database global, 1
Digital Natives, 9
disruption, 15
evaluasi, 7, 9, 17, 28
explorers, 8
friendship, 15
Generasi Net, 9
Generasi Y, 9
hard skill, 1
hardskill, 3
hesitators, 8
heutagogy, 12, 16
holistik, 12
humanistik, 12
informasi multi arah, 11
inovasi, 2
internet of things, 1
kemudahan akses, 11
keterampilan berpikir, 15
kriteria penilaian, 17
media sosial, 8, 10
metakognisi, 5, 6, 27, 28
Milenial, 9, 11
motivasi, 4, 5, 6, 16
multitasking, 10
networking, 14
new normal, ii, iv, 10
New Normal, 18, 19
nilai-nilai moral, 6
online learning, 3, 18
outcome, 16
pembelajaran interaktif, 10
pendidik, 1
Pendidik, 1
perceived ease of use, 8
perceived usefulness, 8
perilaku belajar, 5
Personal Learning Network, 14, 23
personalized learning environment, 16
peserta didik, iv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11,
12, 13, 14, 15, 17
Peserta didik, 1, 5, 7, 11, 13
physical cyber, 1
pioneers, 8
PLE, 16, 17, 18
PLN, 14, 15
proaktif, 4, 15
problem solving, 14, 27
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 26
proses mental, 12
reaksi emosional, 4
SDL, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
Self Regulated Learning, 4
Self regulation, 5
self-determined learning, 16
self-directed learning, 16
Self-Directed Learning, 12, 14, 21, 22
self-efficacy, 16
self-regulated learners, 5
skeptics, 8
soft skill, 1, 3
SRL, 4, 5, 6
strategi belajar, 13
student-centered, 7, 9, 11
TAM, 8
Technology Acceptance Model, 8
Technology Readiness Index, 7, 23
tindakan afirmatif, 6
TRI, 7, 23
trust, 15
umpan balik, 12, 18
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 27
Biografi Penulis
Prof. Dr. Dwi Sulisworo memiliki penguasaan pada bidang
Teknologi Pembelajaran. Dwi merupakan peneliti pada bidang
pendidikan dari Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Penelitian dia saat ini berkaitan dengan OER (Open Educational
Resources), mobile technology, mobile learning, e-learning,
MOOCs, learning media development, dan learning strategy.
Pendidikan sarjananya dari Teknik Mesin, Institut Teknologi
Bandung. Sedangkan pendidikan master dari jurusan Teknik
dan Manajemen Industri di tempat yang sama. Pendidikan doktor diperoleh dari
Universitas Negeri Malang pada jurusan Teknologi Pembelajaran. Banyak karya Dwi
Sulisworo yang sudah terpublikasi baik dalam bentuk buku, artikel jurnal, maupun
prodising pada skala nasional dan internasional. Email: [email protected].
Dr. Winarti, M.Pd.Si. memiliki ketertarikan dalam bidang
penilaian pembelajaran fisika. Penelitian yang ditekuni saat ini
adalah berkaitan dengan penilaian pembelajaran khususnya
pada thinking skill pada pembelajaran fisika yang diantaranya
adalah higher order thinking skill, reasoning skill, problem solving
skill dan metakognisi. Saat ini Winarti aktif sebagai dosen di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Pendidikan sarjana dan magister ditempuh di Program studi
Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Pendidikan doktor
diperoleh dari Universitas Sebelas Maret Surakarta pada jurusan Pendidikan IPA.
Karya berupa buku, artikel jurnal maupun prosiding sudah terpublikasi baik itu
dalam skala nasional dan internasional. Adapun alamat responding adalah
Amalia Yuli Astuti, S.T., M.T memiliki penguasaan pada bidang
Teknik Industri sub-kompetensi Manajemen dan Sistem
Informasi. Saat ini Amalia merupakan dosen di program studi
Teknik Industri, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Penelitian dia saat ini berkaitan dengan data mining,
manajemen teknologi, manajemen pengetahuan, dan waste
management. Pendidikan sarjananya dari Teknik Industri,
Institut Teknologi Telkom. Sedangkan pendidikan master dari
jurusan Teknik dan Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung. Email:
Model Lingkungan Pembelajaran Era New Normal
ISBN 978-602-52217-1-2 28
Dr. Siti Hajar Larekeng, S.S., M.Hum adalah peneliti pada
bidang linguistik terapan dan teknologi pembelajaran dari
Universitas Muhammadiyah Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan.
Saat ini berfokus pada penelitian terkait artificial intelligence-
based teaching dan mobile learning strategy. Siti Hajar telah
menempuh pendidikan sarjana dari Sastra Inggris di Universitas
Hasanuddin, kemudian melanjutkan Program Magister pada
English Language Studies dan Pendidikan Doktor pada Program
Ilmu Linguistik di perguruan tinggi yang sama. Karya yang sudah terpublikasi
adalah jurnal artikel dan prosiding pada skala nasional dan internasional. Email:
Ika Maryani, M.Pd memiliki penguasaan pada bidang
Pembelajaran IPA. Saat ini Ika Maryani menjadi dosen di
program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas
Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan sebagian
besar tentang pembelajaran IPA di bidang pendidikan dasar
terutama terkait dengan pembelajaran berorientasi HOTS,
model pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Pendidikan
sarjananya diselesaikan di Pendidikan Kimia, Universitas
Sebelas Maret. Pendidikan magister dari peruguran tinggi yang sama. Saat ini
menempuh pendidikan doktor di Universitas Negeri Yogyakarta pada bidang Ilmu
Pendidikan dengan Konsentrasi Sains. Karya yang dihasilkan telah terpublikasi
dalam bentuk buku maupun artikel ilmiah dalam jurnal maupun prosiding nasional
dan internasional. Email: [email protected].
Dr. Demitra, M. Pd. adalah dosen senior di Universitas Palangka
Raya, Kalimantan Tengah. Demitra banyak menekuni penelitian
pendidikan matematika terutama di bidang pengembangan
model pembelajaran matematika, yang mengintegrasikan local
wisdom dengan teknik-teknik pembelajaran modern untuk
penalaran dan pemecahan masalah matematika; seperti budaya
kerjasama dan strategi metakognisi. Pendidikan sarjana
ditempuh pada bidang Pendidikan Matematika, Universitas
Palangka Raya. Pendidikan magister pada bidang Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta. Sedangkan pendidikan doktor di bidang
Teknologi Pembelajaran, Universitas Negeri Malang. Telah banyak karyanya yang
dipublikasi di jurnal nasional dan internasional. Email: [email protected].
Dwi Sulisworo, Winarti, Amalia Yuli Astuti, Siti Hajar Larekeng, Ika Maryani, Demitra
ISBN 978-602-52217-1-2 29