snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT),...

383

Transcript of snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT),...

Page 1: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 2: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 3: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 4: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 5: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 6: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 7: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 8: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 9: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 10: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 11: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing
Page 12: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

1

Pendidikan Fisika Pada Era Revolusi Industri 4.0 di Indonesia

Ketang Wiyono*, Sri Zakiyah

Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan, Indonesia

* [email protected]

Abstrak

Revolusi industri 4.0 menjadi tantangan berat tersendiri bagi bidang-bidang ilmu pendidikan untuk dapat menciptakan lulusan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan saat di dunia kerja. Istilah revolusi industri 4.0 mendorong adanya sebutan revolusi pendidikan 4.0 yang mengaplikasikan kemajuan teknologi pada kegiatan pembelajaran. Sebagai hasil dari perkembangan yang terjadi secara simultan dan merupakan hasil kolaborasi berbagai cabang ilmu pengetahuan, tentunya sistem pembelajaran fisika ditingkat pendidikan perlu diintegrasikan dengan bidang ilmu lain. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan lulusan yang memiliki kemampuan pengetahuan bersifat transdiscipliner yang mampu menggunakan pengetahuannya serta menerapkannya pada kehidupan nyata. Kata Kunci: pendidikan fisika, revolusi industri 4.0

PENDAHULUAN

Revolusi industri merupakan sejarah perkembangan terpenting dalam kehidupan manusia selama tiga abad terakhir yang bersifat berkelanjutan dalam membangun kehidupan dunia modern (Stearns, 2013). Istilah revolusi industri telah lama digunakan untuk menjelaskan perubahan aspek general di bidang industri yang saling berkaitan seperti teknologi dasar yang digunakan di pabrik, mesin-mesin yang dibangun dari teknologi tersebut, serta rutinitas buruh yang bekerja (Cowan, 2012; Frader, 2006). Revolusi industri dibagi ke dalam beberapa generasi yaitu; industri 1.0 pertama kali dimulai sekitar abad ke-18 dengan adanya penemuan mesin uap dan turbin air; generasi kedua dikembangkan setelah ditemukannya energi listrik yang menyebabkan mesin pabrik berbasis mesin bertenaga listrik; revolusi industri ketiga mengintegrasi teknologi informasi pada manajemen sistem; dan revolusi industri generasi ke empat yang sedang berlangsung saat ini (Agrawal, Schaefer, & Funke, 2018). Era industri ke-4 atau yang lebih dikenal sebagai industri 4.0 merupakan hasil kombinasi yang telah

ada dan penemuan terbarukan. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan yang sangat signifikan seperti; perubahan sosial, tata laksana organisasi industri, ekonomi makro, dan teknologi yang digunakan (JONES, 1984; Deane, 2003; Halili, 2019).

Laju perkembangan teknologi yang terjadi pada era revolusi industri mempengaruhi pola gaya hidup masyarakat global. Perbedaan kondisi sosial ekonomi di masing-masing era mendesak adanya ketersediaan sumber daya manusia yang spesifik dan terampil (Puncreobutr, 2016). Adapun tugas untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan bergantung pada individu itu sendiri; kemampuan manajemen pembelajaran untuk menggabungkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Puncreobutr, 2016).

Pendidikan 4.0 merupakan cara untuk melengkapi fenomena integrasi digital dalam kehidupan sehari-hari di mana manusia dan mesin berinteraksi untuk memecahkan masalah dan menemukan teori inovasi baru. Dalam pendidikan 4.0, akses informasi tidak

Page 13: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

2

terbatas ruang dan waktu serta proses belajar mengajar telah menjadi dinamis. Masa depan pendidikan 4.0 dapat mengubah pemanfaatan informasi dengan cara yang praktis dan berbasis digital. Untuk mengatasi kebutuhan revolusi industri 4.0 dalam pendidikan, lembaga pendidikan harus terus mengintegrasikan metode inovatif untuk meningkatkan proses belajar mengajar (Halili, 2019).

SEJARAH REVOLUSI INDUSTRI

(1.0, 2.0, 3.0)

Industri revolusi generasi pertama kali terjadi di Britania Raya pada akhir abad ke-17 yang terjadi secara spontan tanpa adanya dorongan dari pemerintah dan merupakan generasi yang paling signifikan perubahannya dalam rangkaian generasi revolusi industri; dari konvensional menjadi berbasis teknologi (Deane, 2003; Savić, 2018). Sebelumnya di tahun 1760 sistem industri masih

berbentuk industri rumah tangga dengan ciri khusus yaitu menggabungkan pertanian dan kegiatan industri dengan memperkerjakan dan melatih satu atau beberapa orang pekerja. Lahirnya penemuan mesin uap dan alat tenun listrik menjadi titik awal industri 1.0 yang merupakan zaman mesin industri pertama (Hartwell, 2017; Peters, 2017).

Industri 2.0 merupakan hasil upgrade dari industri 1.0 dimana sistem produksi pabrik telah menerapkan elektromagnetik dan memproduksi secara massal menggunakan sistem assembly lines (Zhou, Zhou, & Liu, 2015). Revolusi industri kedua ini distimulasi oleh teori Faraday dan Maxwell yang mengkombinasikan gaya magnet dan gaya listrik. Kedua teori tersebut kemudian melahirkan pembangkit listrik dan motor listrik yang berperan penting dalam lini perakitan (assembly line) untuk produksi massal (Xing & Marwala, 2006; Ravasoo, 2014).

Gambar 1 Sejarah Perkembangan Revolusi Industri

Sumber: (Wahlster, 2016; Zhou et al., 2015)

Tingkat kompleksitas

Perkembangan dari industri 1.0 ke industri 4.0

Revolusi industri pertama: berbasis energi

tenaga uap

Mesin tenun bertenaga uap pertama (1784)

Revolusi industri kedua: berbasis energi

tenaga listrik

Sistem lini produksi pertama di rumah pemotongan hewan di Cincinnati, Ohio

(1870)

Revolusi industri ketiga: berbasis sistem

informasi

Kontrol logika terprogram pertama (programmable logic controller/

PLC) pada tahun 1969

Revolusi industri keempat: berbasis

Cyber Physical

Systems (CPS)

Pada tahun 2013, konsep industri 4.0 secara resmi

diperkenalkan

Periode 1800 1900 2000 2013

Page 14: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

3

Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik industri 1.0 dan industri 2.0, terdapat kesamaan antara kedua era revolusi industri ini yaitu penemuan teknologi baru yang mengubah tata cara sistem produksi di banyak pabrik. Demikian di era industri 3.0 dimana internet merupakan inovasi yang dikembangkan dengan kemajuan teknologi yang memudahkan perusahaan untuk saling berkomunikasi melalui perangkat keras, jaringan perangkat lunak komputer, dan sistem telekomunikasi (Smith, 2000).

Industri 4.0, yang sedang berlangsung saat ini, mengacu pada kemajuan teknologi modern di mana internet dan teknologi pendukung (seperti embbeded system/ sistem tertanam) berperan sebagai pusat pengoperasian integrasi sistem produksi. Konsep-konsep seperti Internet of Things

(IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring), dan Smart

Manufacturing merupakan aspek penting dari konsep visioner revolusi industri keempat (Schumacher, Erol, & Sihn, 2016). Gambar 1 mengilustrasikan perkembangan keempat generasi revolusi industri. ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DAN

5.0

Industri 4.0 dan IoT (Internet of Things)

Istilah industri 4.0 pertama kali dikenalkan pada tahun 2011 pada acara Hannover Fair di Jerman (Chung & Kim, 2016). Bahkan gagasan industri 5.0 sudah mulai muncul di beberapa publikasi yang menekankan pada implikasi material-material biologis sebagai sumber daya berkelanjutan (Sachsenmeier, 2016). Konsep industri 4.0 didasarkan pada teknologi kompleks yang meliputi cyber-physical systems, Internet of Things (IoT), komputasi awan

(cloud computing), big data dan kemajuan teknik analisis (Zhou dkk., 2015).

Aspek CPS (cyber-physical

systems) merupakan dasar dari adanya Internet of Things (IoT). Sistem ini yang membangun teknologi-teknologi inovasi yang terdiri dari banyak fungsi kerja dan memudarkan batas antara definisi maya dan nyata (Ungurean, Gaitan, & Gaitan, 2014). Internet of Things (IoT) sendiri merupakan inovasi yang menggabungkan komponen fisik dan digital untuk menciptakan produk-produk baru (Wortmann & Flüchter, 2015). Istilah things pada Internet of

Things merujuk pada berbagai elemen fisik seperti perangkat portabel (seperti: smartphone, tablet, dan kamera digital) dan elemen lingkungan (seperti: rumah, mobil, dan kantor) yang setiap perangkat (things) dilengkapi dengan alat identifikasi frekuensi radio sehingga saling terhubung (Ungurean dkk., 2014; Zhou dkk., 2015).

Kemajuan di era industri 4.0 memberikan banyak manfaat dan kemudahan terutama di sektor produksi dan bisnis (Berawi, 2018) melalui peningkatkan fleksibilitas dan kecepatan produksi (Pai Zheng dkk., 2017), bersifat otomatisasi (Lasi, Peter, Hans-Georg, Thomas, & Michael, 2014), virtualiasi (menghasilkan salinan virtual melalui data sensor) (Stock, Obenaus, Kunz, & Kohl, 2018), pemrosesan data dan komunikasi secara real time (Wan, 2015). Kemajuan teknologi ini tidak hanya mengubah sistem produksi pabrik namun juga kebutuhan dan gaya hidup masyarakat global. Seperti penggunaan media sosial telah digunakan oleh hampir 30% dari populasi dunia untuk saling terhubung, belajar, dan mencari sumber informasi (Prisecar, 2016).

Page 15: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

4

Gambar 2 Jumlah device yang terhubung IoT dalam skala global

Gambar 3 Persentase populasi dunia yang mengakses internet

Page 16: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

5

Gambar 4 Perbandingan jumlah pengguna internet di Indonesia dan negara lain

Berdasarkan data survei IHS (IHS,

2016), jumlah perangkat elektronik yang terhubung dengan internet selalu meningkat setiap tahunnya (Gambar 2). Pada tahun 2018, sebanyak 23,14 milyar orang yang menggunakan alat elektronik berbasis internet dan diperkirakan akan selalu meningkat hingga berkisar sekitar 75 milyar orang (kenaikan sebesar 200%) pada tahun 2025. Sejalan dengan data hasil survey menurut World Bank (Group, 2017a), pada tahun 1993 dimana telah memasuki era industri 3.0 yang telah menggunakan sistem informasi berbasis internet, jumlah pengguna terus meningkat secara bertahap dari persentase terkecil sebesar 0,252% hingga 45,794% pada tahun 2017 yang hampir mencapai setengah dari keseluruhan persentase populasi dunia (Gambar 3). Negara Indonesia sendiri juga mengalami peningkatan untuk jumlah pengguna internet hingga sebesar 32,3% pada tahun 2017 dari persentase dibawah 1% di tahun 1995 (Group, 2017a). Menariknya, beberapa negara

berkembang lainnya seperti Filipina dan Vietnam, memiliki persentase lebih rendah dibandingkan Indonesia pada tahun 1995, akan tetapi jumlah pengguna mengalami kenaikan yang lebih signifikan dengan jumlah persentase pengguna di tahun 2000 sebesar 55,5% dan 46,5% masing-masing untuk negara Filipina dan Vietnam, sedangkan Indonesia hanya sebesar 25,5% pada periode tahun yang sama (Group, 2017b). Sedangkan pada negara maju seperi Amerika Serikat dan Jerman, persentase pengguna internet terus bertambah secara signifikan, sejalan dengan jumlah kepemilikan smartphone di negara maju

yang terus meningkat di setiap tahunnya; sejumlah 68% pada tahun 2015 (Poushter, 2016). Secara umum berdasarkan data pada Gambar 2, 3, dan 4 menunjukkan bahwa adanya mobile

device yang terintegrasi dengan internet, mengubah gaya hidup masyarakat global; revolusi industri juga menyebabkan revolusi kehidupan sosial dengan adanya keberadaan IoT yang menyediakan

Page 17: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

6

kemudahan layanan bersifat instan dan smart-based (Guo, Daqing, & Zhu, 2011).

Adanya kemajuan teknologi di era revolusi industri saat ini tidak dipungkiri juga membawa tantangan sebagai konsekuensi dari industri 4.0 terutama untuk para tenaga kerja diantaranya: kompleksitas sistem pada perangkat yang digunakan; sistem berperan sebagai

intelligent assistance; peningkatan kebutuhan tenaga kerja terampil; dampak pada organisasi kerja dan keseimbangan kehidupan kerja; dan cybersecurity (Ras, Wild, Stahl, & Baudet, 2017; Arnold, 2016).

Berikut ini kompetensi inti yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dari industri 4.0 (Hecklau, Galeitzke, Flachs, & Kohl, 2016).

Tabel 1 Kategori kompetensi era industri 4.0

Kategori Kompetensi yang dibutuhkan

Kompetensi teknikal

Pengetahuan terbarukan Kemampuan teknikal Kemampuan pemahaman yang cepat Kemampuan menggunakan media Kemampuan coding dan pemrograman Memahami sistem keamanan IT

Kompetensi metodologis

Kreativitas Berjiwa entrepreneur

Problem solving

Conflict solving

Kemampuan memilih keputusan Kemampuan analitis Research skills

Berorientasi efisien Kompetensi sosial Kemampuan adaptasi antar budaya

Kemampuan berbahasa Kemampuan berkomunikasi Kemampuan membangun jaringan Kemampuan bekerja sama dalam tim Kemampuan mentransfer pengetahuan Kemampuan memimpin

Kompetensi personal Fleksibilitas Kemampuan bertoleransi/adaptasi Motivasi untuk belajar Mampu bekerja di bawah tekanan Memiliki inisiatif Mudah menyesuaikan dengan kemajuan teknologi

PENDIDIKAN FISIKA PADA ERA

REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Adanya revolusi industri 4.0 mempengaruhi landasan terciptanya inovasi-inovasi di bidang pendidikan. Cepatnya laju revolusi pada era ini yang berfokus pada kecerdasan artifisial, perlahan menyebabkan adanya model-

model pembelajaran baru yang sesuai di masa depan—istilah untuk education 4.0

(pendidikan 4.0) (D’Souza & Kamaruddin, 2016). Banyak pendidikan tinggi yang tidak hanya mengajarkan sebatas teori terkait bidang kajian ilmu tertentu, namun juga melatih kemampuan peserta didik untuk dapat beradaptasi dan

Page 18: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

7

bersaing secara global dalam menghadapi industri 4.0 (Singh, Al-Mutawaly, & Wanyama, 2017). Salah satunya adalah melalui pendekatan pembelajaran aktif berbasis industrial

project sesuai dengan kurikulum pada program studi (Baena, Guarin, Mora, Sauza, & Retat, 2017).

Pendidikan fisika di era pembelajaran konvensial masih bersifat teacher-oriented learning; sesi tanya jawab singkat di akhir pembelajaran dengan pemberian pekerjaan rumah; serta menghadapi ujian akhir dengan pola masalah yang sama di setiap semesternya (Wieman & Perkins, 2005). Sistem pembelajaran seperti ini yang kemudian menyebabkan hampir seluruh peserta didik di bidang fisika memiliki pola pikir dan karakteristik yang sama (Wieman & Perkins, 2005; McDermott & C., 1990). Sehingga para pendidik di bidang sains diharapkan untuk dapat megembangkan pendidikan fisika menjadi lebih efektif dan relevan sesuai dengan tuntutan kebutuhan global (Wieman & Perkins, 2005). Dengan adanya kemajuan di bidang teknologi, media-media pembelajaran dan sumber belajar terus mengalami inovasi, sehingga mendorong siswa untuk dapat belajar secara mandiri dan mampu menyelesaikan masalah yang bersifat abstrak dengan pendekatan ilmiah (Neeman, 1988; Eijkelhof & Kortland, 1988).

Peserta didik diharapkan berhasil dalam menghadapi lingkungan kerja yang semakin mengglobal, terotomatisasi, tervirtualisasi, berjejaring dan fleksibel menyebabkan keterampilan yang dibutuhkan bukan hanya sekedar pengetahuan kognitif belaka, melainkan kemampuan berpikir secara non-linear, keterampilan sosial dan antar budaya, manajemen diri, dan kompetensi diri (Wallner & Wagner, 2016). Beberapa fakta nyata yang muncul di lingkungan akademik dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan adanya kompleksitas yang mempengaruhi kegiatan pembelajaran

seperti: tingkat keberagaman siswa semakin meningkat, kehadiran perangkat seluler dan sosial media yang mudah ditemui, perkembangan program-program pembelajaran; beragam pengaturan, format, dan teknologi yang tersedia (seperti e-learning, blended

learning, kelas yang di rolling, peer

teaching, dan sebagainya), tuntutan kemampuan belajar siswa yang terus meningkat, kemajuan pesat di beragam bidang disiplin ilmu yang terus menerus menghasilkan pengetahuan baru, dan mudahnya akses setiap informasi secara real time (Wallner & Wagner, 2016).

Beragamnya tantangan global yang diakibatkan oleh arus industri 4.0 menyebabkan peningkatan kebutuhan sumber daya manusia yang mampu mengintegrasi pengetahuan saintifik beserta aplikasinya (Kelley & Knowles, 2016). Hal ini yang kemudian menggarisbawahi pentingnya kemampuan di bidang sains dan terapannya bagi masyarakat global di abad ke-21 untuk meningkatkan kompetensi di bidang STEM (Science,

Technology, Engineering, and

Mathematics) (English, 2016; Marginson, Simon; Tyler, Russell; Freeman, Brigid; Roberts, 2013; Zakiyah, Akhsan, & Wiyono, 2019).

Konsep pendidikan STEM di dunia modern merupakan integrasi bermakna dari beragam cabang ilmu yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di dunia nyata (Labov, Singer, George, Schweingruber, & Hilton, 2009; Sanders, 2009). Beberapa aspek yang dapat dikembangkan melalui integrasi pembelajaran sains dan terapannya merupakan kapabilitas lulusan pendidikan STEM yang meliputi: skills (riset, belajar dan menyelidiki; problem solving, technical skills dan observasi, melakukan eksperimen, dan menyajikan presentasi); ways of thinking

(analitis, logis, berfikir kritis, sistematis, terstruktur; kemampuan bertanya, mengevaluasi, mandiri; memberikan

Page 19: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

8

alasan, objectif, berbasis fakta, rasional; open-minded; inovatif, kreatif, dan berfikir lateral/berbagai sudut pandang); dan knowledge (metode saintifik, sains sebagai proses; pembelajaran terintegrasi STEM; pengetahuan dan kosakata berbasis pengetahuan STEM) (West, 2012). Aspek kemampuan tersebut linear terhadap kualifikasi kebutuhan tenaga kerja di era industri 4.0 sesuai dengan Tabel 1. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan pembelajaran tidak hanya terorientasi hanya untuk satu cabang ilmu tertentu (disciplinary), melainkan bersifat transdisiplin sehingga pengetahuan dan keahlian yang diperoleh dari berbagai sumber ilmu mampu diaplikasikan pada real-world problems

dan meningkatkan pengalaman belajar peserta didik (English, 2016).

PERAN PENDIDIKAN FISIKA

UNTUK MENGHADAPI ERA

REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Semakin berkembangnya generasi, sumber daya manusia harus mampu beradaptasi, berkolaborasi, dan berinovasi menggunakan teknologi-teknologi terbarukan, mengidentifikasi dan mengaktualisasikan beberapa cabang disiplin ilmu (Atlass, Patricia; Wiebe, 2017). Seiring waktu, trend penelitian kolaborasi riset interdisiplineritas dengan sub-bidang fisika semakin meningkat yang terus menghasilkan teknologi-teknologi terbarukan (Pan, Sinha, Kaski, & Saramäki, 2012). Hal ini mengakibatkan meningkatnya permintaan sumber daya manusia yang terkualifikasi untuk mampu bersaing di dunia global. Sehingga untuk menciptakan lulusan yang terampil terutama di era industri 4.0 saat ini perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut (Wallner & Wagner, 2016): Memberikan gambaran struktural

ilmu fisika kepada peserta didik

Tantangan yang ada di masa depan menitikberatkan pada kemampuan

interdisipliner dan transdisipliner. Seperti mesin-mesin robotik yang digunakan di bidang kedokteran, perangkat radio dan smart assistance yang terdapat pada mobil dan perangkat seluler. Sehingga pembelajaran yang hanya berfokus pada satu bidang ilmu tanpa ada relasi dengan cabang ilmu yang lain menjadi semakin kuno. Apa yang dibutuhkan oleh siswa untuk kehidupan di masa depan adalah gambaran struktural pada tiap-tiap bidang ilmu pengetahuannya untuk dapat diintegrasikan dengan pengetahuan lain yang telah diperoleh. Memberikan kesempatan siswa

menggali ilmu dari beragam sumber

Informasi-informasi yang dibutuhkan oleh siswa berjumlah tak terbatas dan tersedia di berbagai sumber (buku, artikel, search engine, blog, dan lain sebagainya). Guru bukanlah sebagai ahli di bidang ilmu yang diampu, saat pembelajaran berlangsung setiap siswa memiliki pendapat ilmiahnya masing-masing. Pembelajaran STEM terintegrasi

Banyak penelitian yang menunjukkan dengan mengaplikasikan kurikulum berbasis interdisipliner (kurikulum terintegrasi) menciptakan kesempatan bagi siswa untuk pengalaman yang lebih relevan, pembelajaran yang minim terfragmentasi (setiap materi saling terhubung), dan memberikan stimulus bagi peserta didik (Furner & Kumar, 2007). Adapun manfaat lain yang secara spesifik ditemukan melalui pendidikan STEM terintegrasi adalah mengembangkan peserta didik menjadi pemecah masalah yang lebih baik, inovator, penemu, mandiri, logis, serta melek teknologi (Morrison, 2006). Tabel 2 meringkas beberapa fokus yang perlu diperhatikan dalam mengintegrasi pembelajaran fisika melalui pembelajaran STEM terintegrasi (Stohlmann, Moore, & Roehrig, 2012).

Page 20: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

9

Tabel 2 Model S.T.E.M. dalam pembelajaran STEM terintegrasi Support (Pendukung)

• Adanya kerjasama dengan universitas atau sekolah lain • Menghadirkan profesional bidang pengembangan • Adanya kolaborasi guru bidang studi • Pelatihan dan pengembangan kurikulum Teaching (Sistem pembelajaran)

Lesson Planning (rencana pembelajaran) Classroom practices (kegiatan kelas) • Berfokus pada keterkaitan antar bidang

ilmu • Terjemahan dari representasi • Memahami miskonsepsi siswa • Memahami kapabilitas siswa • Berbasis problem solving • Student centered • Membangun pengetahuan sebelumnya • Berfokus pada ide dan konsep • Mengintegrasi teknologi • Relevansi pada dunia nyata dan budaya

• Mengajukan pertanyaan dan membuat hipotesis

• Pemikiran berbasis ilmiah • Kemampuan menulis ilmiah • Fokus pada pola pemahaman • Menggunakan penilaian (assessment)

sebagai bagian dari instruksi pembelajaran

• Pembelajaran cooperative • Media pembelajaran yang efektiv • Inkuiri

Efficacy (Tingkat keberhasilan)

• Content knowledge dan pedagogical knowledge berkontribusi untuk membangun self-efficacy yang positif

• Komitmen yang tinggi • Perencanaan dan pengorganisasian sangat penting Materials (Fasilitas pendukung)

• Sumber-sumber teknologi • Wawasan teknologi • Materials kits untuk aktivitas belajar (contoh pada kegiatan laboratorium) • Ruang penyimpanan kit pembelajaran • Meja-meja untuk kegiatan belajar berkelompok

E-learning to we-learning

e-learning saat ini dianggap sebagai model pembelajaran yang kurang mendukung. Pembelajaran fisika juga perlu diarahkan untuk mengembangkan kemampuan sosial peserta didik. Contoh umum yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengundang siswa luar atau kunjungan ilmiah untuk melakukan diskusi maupun observasi ilmiah. Hal ini diperlukan berkaitan dengan kemampuan individu saat bekerja di dunia nyata dan melihat secara langsung fenomena real. Selain itu, pengembangan pengalaman belajar siswa juga dapat dilakukan

dengan melalui implikasi teknologi seperti pengembangan multimedia interaktif. Media pembelajaran ini sangat baik dalam mengembangkan kemampuan skills, identifikasi masalah, organisasi, analisis, evaluasi, dan kemampuan penyampaian informasi (Wiyono, Setiawan, Paulus, & Liliasari, 2012). Multimedia interaktif dalam pembelajaran fisika juga dapat memudahkan pendidik dalam menyampaikan materi dengan konsep-konsep abstrak yang sukar dipahami siswa—seperti teori relativitas (Wiyono et al., 2019); dan menyediakan kegiatan

Page 21: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

10

praktikum melalui laboratorium virtual bagi peserta didik sehingga efektivitas pembelajaran dapat ditingkatkan dan memberikan siswa pengalaman belajar yang bermakna (Wiyono, Setiawan, & Suhadi, 2009). SIMPULAN

Industri 4.0 membawa tantangan yang nyata terutama bagi para pendidik untuk menciptakan generasi yang mampu berdaya saing pada tingkat global. Dengan adanya kemajuan teknologi yang muncul akibat dampak dari industri 4.0, dapat dimanfaatkan oleh para pendidik dan pemerhati pendidikan untuk mengembangkan dan mengintegrasi ilmu dalam suatu pembelajaran sehingga tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A., Schaefer, S., & Funke, T. (2018). Incorporating industry 4.0 in corporate strategy, (October), 161–176. https://doi.org/10.4018/978-1-5225-3468-6.ch009

Arnold, G. (2016). Viewpoint: intelligent systems: A New industrial revolution. IEEE Electrification

Magazine, 4(1), 63–64. https://doi.org/10.1109/MELE.2015.2509904

Atlass, Patricia; Wiebe, S. (2017). Re-imagining education policy and practice in the digital era. Journal

of the Canadian Association for

Curriculum Studies (JCACS), 15(2), 48–63.

Baena, F., Guarin, A., Mora, J., Sauza, J., & Retat, S. (2017). Learning factory: The path to industry 4.0. Procedia Manufacturing, 9, 73–80. https://doi.org/10.1016/j.promfg.2017.04.022

Berawi, M. A. (2018). Utilizing big data in industry 4.0: Managing competitive advantages and

business ethics. International

Journal of Technology, 9(3), 430. https://doi.org/10.14716/ijtech.v9i3.1948

Chung, M., & Kim, J. (2016). The internet information and technology research directions based on the fourth industrial revolution. KSII Transactions on

Internet and Information Systems, 10(3), 1311–1320. https://doi.org/10.3837/tiis.2016.03.020

Cowan, R. S. (2012). The “Industrial Revolution” in the home: household technology and social change in the 20th century. Domestic Ideology and Domestic

Work, 17(1), 375–397. https://doi.org/10.1515/9783110968842.375

D’Souza, U., & Kamaruddin, M. (2016). Industrial revolution 4 . 0 : Role of universities, 8(9), 2–3. https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v8-i9/4593

Deane, P. (2003). The first industrial

revolution (2nd ed.). United Kingdom: Cambridge University Press.

Eijkelhof, H. M. C., & Kortland, K. (1988). Broadening the aims of physics education. Development

and Dilemmas in Science

Education, (December 1970), 282–305.

English, L. D. (2016). STEM education K-12: perspectives on integration. International Journal of STEM

Education, 3(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s40594-016-0036-1

Frader, L. L. (2006). The industrial

revolution. New York: Oxford Unive.

Furner, J., & Kumar, D. (2007). The mathematics and science integration argument: a stand for teacher educatio. Eurasia Journal

of Mathematics, Science and

Page 22: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

11

Technology, 3(3), 185–189. Group, W. B. (2017a). Individuals using

the Internet (% of population). Retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/IT.NET.USER.ZS?end=2017&start=1960&view=chart

Group, W. B. (2017b). Indonesia compared to other developed countries and developing countris. Retrieved from https://databank.worldbank.org/data/Indonesia-compared-to-other-developed-countries-and-developing-countries-in-term-of-internet-users/id/6aec1e80

Guo, B., Daqing, Z., & Zhu, W. (2011). Living with internet of things: The emergence of embedded intelligence. Proceedings - 2011

IEEE International Conferences

on Internet of Things and Cyber,

Physical and Social Computing,

IThings/CPSCom 2011, 297–304. https://doi.org/10.1109/iThings/CPSCom.2011.11

Halili, S. H. (2019). Technological Advancements In Education 4 . 0, 7(1), 63–69.

Hartwell, R. M. (2017). The causes of the

industrial revolution in england. Routledge.

Hecklau, F., Galeitzke, M., Flachs, S., & Kohl, H. (2016). Holistic approach for human resource management in industry 4.0. Procedia CIRP, 54, 1–6. https://doi.org/10.1016/j.procir.2016.05.102

IHS. (2016). IHS: IoT platforms - enabling the internet of things. Retrieved March 3, 2019, from https://www.ihs.com/Info/0416/internet-of-things.html

JONES, F. S. (1984). The new economic history and the industrial revolution. South African Journal

of Economics, 52(2), 77–88. https://doi.org/10.1111/j.1813-6982.1984.tb00825.x

Kelley, T. R., & Knowles, J. G. (2016). A conceptual framework for integrated STEM education. International Journal of STEM

Education, 3(1). https://doi.org/10.1186/s40594-016-0046-z

Labov, J., Singer, S., George, M., Schweingruber, H., & Hilton, M. (2009). Effective practices in undergraduate stem education part 1: Examining the evidence. CBE

Life Sciences Education, 8, 157–161. https://doi.org/10.1187/cbe.09

Lasi, H., Peter, F., Hans-Georg, K., Thomas, F., & Michael, H. (2014). Industry 4.0. Business &

Information Systems Engineering, 6(4), 239–242.

Marginson, Simon; Tyler, Russell; Freeman, Brigid; Roberts, K. (2013). STEM : country comparisons. australian council of

learned academies (ACOLA). https://doi.org/ISBN 978 0 9875798 0 5

McDermott, & C., L. (1990). A perspective on teacher preparation in physics and other sciences: The need for special science courses for teachers. American Journal of

Physics, 58(8), 734--742. Morrison, J. (2006). TIES STEM

education monograph series,

Attributes of STEM education. Baltimore: MD: TIES.

Neeman, Y. (1988). Computers in physics. Physics Today, 41(3), 130–132. https://doi.org/10.1063/1.2811370

Pai Zheng, Honghui Wang, Zhiqian Sang, Ray Y. Zhong, Yongkui Liu, Chao Liu, … Xun Xu. (2017). Smart manufacturing systems for Industry 4.0: a conceptual framework, scenarios and future perspectives. Frontiers of

Mechanical Engineering, 1–16. https://doi.org/10.1007/s11465-

Page 23: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

12

000-0000-0 Pan, R. K., Sinha, S., Kaski, K., &

Saramäki, J. (2012). The evolution of interdisciplinarity in physics research. Scientific Reports, 2, 1–8. https://doi.org/10.1038/srep00551

Peters, M. A. (2017). Technological unemployment: Educating for the fourth industrial revolution. Educational Philosophy and

Theory, 49(1), 1–6. https://doi.org/10.1080/00131857.2016.1177412

Poushter, J. (2016). smartphone ownership and internet usage continues to climb in emerging economies: but advanced economies still have higher rates of technology use. Pew Research

Center, 1–5. Retrieved from http://www.pewglobal.org/2016/02/22/smartphone-ownership-and-internet-usage-continues-to-climb-in-emerging-economies/

Prisecar, P. (2016). Challenges of the fourth industrial revolution. Knowledge Horizons - Economics, 8(1), 57–62. https://doi.org/10.1016/B978-0-7506-7247-4.50007-0

Puncreobutr, V. (2016). Education 4.0: New challenge of learning. Humanitarian and Socio-

Economic Sciences, 2(2), 92–97. Retrieved from http://scopuseu.com/scopus/index.php/hum-se-sc/article/view/188

Ras, E., Wild, F., Stahl, C., & Baudet, A. (2017). Bridging the skills gap of workers in industry 4.0 by human performance augmentation tools, 428–432. https://doi.org/10.1145/3056540.3076192

Ravasoo, A. (2014). Interaction of bursts in exponentially graded materials characterized by parametric plots. Wave Motion, 51(5), 758–767. https://doi.org/10.1016/j.wavemot

i.2014.01.006 Sachsenmeier, P. (2016). Industry 5.0—

The relevance and implications of bionics and synthetic biology. Engineering. https://doi.org/10.1016/J.ENG.2016.02.015

Sanders, M. (2009). STEM, STEM education, STEMmania. The

Technology Teacher, 68(4), 20–26.

Savić, D. (2018). Rethinking the role of grey literature in the fourth industrial revolution. Grey

Journal, 14(Special Winter Issue), 7–14. https://doi.org/10.1111/ijmr.12102/full

Schumacher, A., Erol, S., & Sihn, W. (2016). A Maturity Model for Assessing Industry 4.0 Readiness and Maturity of Manufacturing Enterprises. Procedia CIRP, 52, 161–166. https://doi.org/10.1016/j.procir.2016.07.040

Singh, I., Al-Mutawaly, N., & Wanyama, T. (2017). Teaching network technologies that support industry 4.0. Proceedings of the Canadian

Engineering Education

Association, 1–5. https://doi.org/10.24908/pceea.v0i0.5712

Smith, B. R. L. S. (2000). The third industrial revolution: Policymaking for the internet bradford, 229(1985).

Stearns, P. N. (2013). The industrial

revolution in world history (4th ed.). USA: Westview Press.

Stock, T., Obenaus, M., Kunz, S., & Kohl, H. (2018). Industry 4.0 as enabler for a sustainable development: A qualitative assessment of its ecological and social potential. Process Safety

and Environmental Protection, 118, 254–267.

Stohlmann, M., Moore, T., & Roehrig, G.

Page 24: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

13

(2012). Considerations for teaching integrated STEM education. Journal of Pre-College

Engineering Education Research, 2(1), 28–34. https://doi.org/10.5703/1288284314653

Ungurean, I., Gaitan, N. C., & Gaitan, V. G. (2014). An IoT architecture for things from industrial environment. IEEE International

Conference on Communications, (May). https://doi.org/10.1109/ICComm.2014.6866713

Wahlster, W. (2016). Industrie 4.0: Cyber-physical production systems for mass customization. The Internet of Things to Smart

Factories,P6, 49(681). Retrieved from http://www.dfki.de/~wahlster

Wallner, T., & Wagner, G. (2016). Academic Education 4.0. In International Conference on

Education and New Development. Wan, J. (2015). Industrie 4 . 0 : Enabling

Technologies. West, M. (2012). Chief scientist stem

education and the workplace, (4), 1–4.

Wieman, C., & Perkins, K. (2005). Transforming physics education by using the tools of physics in their teaching , instructors can move students from mindless memorization to understanding and appreciation . Physics Today, (November 2005), 36–41.

Wiyono, K., Ismet, I., Noprianti, N., Permawati, H., Saparini, S., & Zakiyah, S. (2019). Interactive multimedia using multiple-intelligences-based in the lesson of thermodynamics for high school. Journal of Physics: Conference

Series, 1166, 012014. https://doi.org/10.1088/1742-

6596/1166/1/012014 Wiyono, K., Setiawan, A., Paulus, C., &

Liliasari, L. (2012). Model multimedia interaktif berbasis gaya belajar untuk meningkatkan penguasaan konsep pendahuluan fisika zat padat. Jurnal Pendidikan

Fisika Indonesia, 8, 74–82. Wiyono, K., Setiawan, A., & Suhadi, A.

(2009). Model pembelajaran multimedia interaktif relativitas khusus untuk meningkatkan Keterampilan generik sains siswa SMA. Jurnal Penelitian

Pendidikan IPA, 3(1), 21–30. Wortmann, F., & Flüchter, K. (2015).

Internet of things: Technology and value added. Business and

Information Systems Engineering, 57(3), 221–224. https://doi.org/10.1007/s12599-015-0383-3

Xing, B., & Marwala, T. (2006). Implications of the Fourth Industrial Age on Higher Education Bo Xing and Tshilidzi Marwala. ArXiv Preprint ArXiv.

Zakiyah, S., Akhsan, H., & Wiyono, K. (2019). Developing introduction to quantum physics textbook in the syllabus of spin particles based on science, technology, engineering, and mathematics (STEM). Journal

of Physics: Conference Series, 1166, 012015. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1166/1/012015

Zhou, keliang, Zhou, L., & Liu, T. (2015). Industry 4.0: Towards future industrial opportunities and challenges: FSKD 2015 : 15-17 August, Zhangjiajie, China. 12th

International Conference on Fuzzy

Systems and Knowledge

Discovery, 0–5. https://doi.org/10.1109/FSKD.2015.7382284

Page 25: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

14

Potensi Kearifan Lokal Pada Pembelajaran Fisika

Mustika Wati

Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat [email protected]

KONDISI PENDIDIKAN FISIKA DI

INDONESIA Pemerintah Indonesia merintis

sebuah perubahan kurikulum yang berlaku secara nasional pada Tahun 2013. Kurikulum ini disebut sebagai Kurikulum 2013 (K-13) dengan branding 5M (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/ mencoba, mengasosiasi dan mengkomunikasikan). Berdasarkan hasil evaluasi Kurikulum 2013 diketahui; sebagian guru menganggap metode pembelajaran dengan proses berpikir 5M bersifat prosedural dan mekanistik, sehingga membelenggu ruang kreatif dengan menganggap bahwa metode tersebut satu-satunya pendekatan dalam pembelajaran (Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat, 2016). Kepala Balitbang Kemendikbud, Totok Suprayitno (Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat, 2016) mengatakan; perbaikan kurikulum akan dilakukan secara terus-menerus, salah satunya adalah pemberian ruang kreatif kepada guru untuk mengembangkan cara mencapai kompetensi dasar (KD) yang telah ditetapkan pada kurikulum.

Penelitian yang dilakukan Organisation for Economic Cooperation

and Development (OECD) dengan menggunakan Programme

Internationale for Student Assesment

(PISA) tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 76 negara yang mengikuti tes PISA. Tes PISA yang dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik, yaitu meliputi kemampuan berkomunikasi, kreatif dan berpikir kritis. Peringkat 69 yang di raih oleh Indonesia masih sangat jauh dari yang diharapkan. Peringkat ini

juga menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik di Indoinesia masih sangat rendah. Maka dari itu, diperlukan pembelajaran yang sesuai agar mampu melatihkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik yang erat kaitannya dengan keterampilan pemecahan masalah peserta didik.

Mata pelajaran fisika merupakan salah satu subjek yang terdampak penerapan K-13. Perubahan utamanya terjadi pada tata urutan (sequence) serta kompetensi yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik (Kemendikbud, 2018). Kurikulum 2013 menghendaki peserta didik memiliki keterampilan abad 21, yang meliputi: 1) keterampilan belajar dan berinovasi yang meliputi berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah, kreatif dan inovatif, serta mampu berkomunikasi dan berkolaborasi; 2) terampil untuk menggunakan media, teknologi, informasi dan komunikasi (TIK); 3) kemampuan untuk menjalani kehidupan dan karir, meliputi kemampuan beradaptasi, luwes, berinisiatif, mampu mengembangkan diri, memiliki kemampuan sosial dan budaya, produktif, dapat dipercaya, memiliki jiwa kepemimpinan, dan tanggung jawab (Kemendikbud, 2018). Menyikapi hal tersebut seorang guru fisika hendaknya mampu secara kreatif memilih cara-cara pembelajaran yang tepat sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Apa saja cara-cara yang dimaksud? Antara lain: 1) pemilihan pendekatan/ strategi/ model/ metode pembelajaran yang mampu melatihkan Higher Order Thinking Skills (HOTS), 2) pemilihan media pembelajaran

Page 26: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

15

mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0, serta 3) penanaman nilai-nilai karakter sesuai dengan kepribadian bangsa yang unggul dan berdaya saing. Oleh karena itu, saat ini Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP ULM cenderung mengorientasikan skripsi mahasiswa sebagai calon guru pada penelitian dan pengembangan (Research

and development/ R&D). Sehingga pada saatnya nanti, guru-guru alumni pendidikan fisika FKIP ULM menjadi pendidik yang unggul, berdaya saing dan berkarakter, khususnya di lingkungan lahan basah. Hal ini sejalan dengan visi misi Program Studi Pendidikan Fisika FKIP ULM Tahun 2014-2023.

KETERKAITAN PEMBELAJARAN

FISIKA DENGAN KEARIFAN

LOKAL

Fisika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan (science), oleh karena itu metode ilmiah (scientific

method) merupakan salah satu cara untuk memperoleh prinsip-prinsip dasar yang mengatur tentang cahaya dan materi serta menemukan implikasi hukum-hukum yang berkaitan dengan hal tersebut (Wati, 2016). Fisika merupakan salah satu ranah etnosains yang mentransformasikan antara sains asli masyarakat (kearifan lokal) dengan sains ilmiah (Novitasari, Agustina, Sukesti, Nazri, & Handhika, 2017). Lahirnya etnosains tidak terlepas dari pengetahuan yang ditemukan secara coba-coba dan belum adanya kemampuan untuk menerjemahkan hasil temuannya ke dalam pengetahuan ilmiah. Dari pemaparan ini terlihat keterkaitan antara kearifan lokal, kemampuan pemecahan masalah, dan pembelajaran fisika. Permasalahan dalam Fisika tidak sekedar perhitungan matematis seperti yang selama ini banyak dilatihkan oleh guru. Namun lebih jauh, aplikasi Fisika dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu bagian yang penting dalam berfikir kritis, kreatif serta menemukan pemecahan masalah otentik (Wati, 2016).

Istilah local wisdom, local genius, kearifan lokal, yang kemudian kemendikbud menyebutnya keunggulan lokal sering kali tumpang tindih pengertiannya. Pengertian local wisdom, dalam pengertian kamus, terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan bentuk kekayaan setempat berupa lingkungan, kepercayaan, pengetahuan, norma, kebudayaan, adat istiadat, dan wawasan yang diwariskan serta dipertahankan sehingga menjadi sebuah identitas dan pandangan hidup (Kun, 2013). Kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari (Suastra, 2013). Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang panjang dan berlangsung turun-temurun sebagai akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Hal ini diwujudkan dalam aktivitas masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah pemenuhan kebutuhan secara tepat (Fajarini, 2014, Utari, dkk, 2016 dalam Wati, Hartini, Misbah & Resy, 2017).

Seiring kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, pengetahuan pun harus berkembang. Upaya pengembangan pengetahuan bukan saja dilakukan para ilmuwan dan pakar-pakar yang ahli di bidangnya. Lebih dari itu, hal terpenting yang perlu diterapkan adalah penggalian potensi pengetahuan sains pada budaya yang berkembang di masyarakat. Pembelajaran fisika yang berintegrasi dengan kearifan lokal

Page 27: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

16

menjadi penting dalam upaya menjaga kekayaan warisan budaya serta mengimplementasikan pembelajaran berwawasan lingkungan (kontekstual). Keberadaan kearifan lokal dapat memicu siswa untuk mengkaji dan menelaah berbagai fenomena yang terjadi dalam kearifan lokal secara ilmiah, sehingga kesadaran untuk melestarikan budaya tumbuh dalam diri siswa. Penerapan pembelajaran sains dengan pendekatan etnosains memerlukan kemampuan guru dalam menggabungkan antara pengetahuan asli dengan pengetahuan ilmiah.

PENGEMBANGAN

PEMBELAJARAN FISIKA

BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal merupakan usaha sadar yang terencana melalui penggalian dan pemanfaatan potensi daerah setempat secara arif dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keahlian, pengetahuan dan sikap dalam upaya ikut serta membangun bangsa dan Negara. Langkah-langkah untuk mengembangkan pembelajaran fisika berbasis kearifan lokal, yaitu: inventarisasi aspek potensi kearifan lokal, analisis kondisi internal sekolah, analisis lingkungan eksternal sekolah, dan strategi penyelenggaraan pembelajaran. Inventarisasi aspek potensi kearifan lokal, dilakukan dengan: • Mengidentifikasi semua potensi

keunggulan daerah pada setiap aspek potensi (SDA, SDM, Geografi, Sejarah, Budaya)

• Memperhatikan potensi kearifan lokal di kabupaten/kota yang merupakan keunggulan kompetitif dan komparatif.

• Mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi melalui dokumentasi, observasi, wawancara, atau literatur.

• Mengelompokkan hasil identifikasi setiap aspek kearifan lokal yang saling terkait.

Setelah melakukan inventarisasi aspek potensi keunggulan lokal dilakukan langkah kedua, yaitu menganalisis kondisi internal sekolah, yaitu: • Mengidentifikasi data riil internal

sekolah meliputi peserta didik, karakteristik materi ajar, sarana prasarana, pembiayaan dan program sekolah.

• Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sekolah yang dapat mendukung pengembangan potensi kearifan lokal yang telah diidentifikasi.

Langkah ketiga dalam penentuan klokal adalah dengan melakukan analisis lingkungan eksternal sekolah, yaitu: • Mengidentifikasi peluang dan

tantangan yang ada dalam pengembangan potensi pembelajaran berbasis kearifan lokal yang telah diidentifikasi.

Langkah keempat dalam penentuan jenis keunggulan lokal adalah dengan melakukan strategi penyelenggaraan pembelajaran, yaitu bahwa yang menjadi acuan dalam menentukan strategi penyelenggaraan pembelajaran adalah: • Untuk kompetensi pada ranah sikap

dapat dilakukan dengan cara pengembangan diri

• Untuk kompetensi pada ranah pengetahuan maka strateginya adalah dengan cara mengintegrasikan pada materi ajar yang relevan.

• Untuk kompetensi pada ranah keterampilan maka strateginya adalah dengan mengintegrasikan saat proses pembelajaran

Mengacu pada 3 (tiga) keterampilan abad 21 sebagaimana yang diinginkan kurikulum 2013 pada pemaparan sebelumnya, pengembangan pembelajaran fisika berbasis kearifan lokal dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Pengembangan pendekatan/ strategi/

Page 28: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

17

model/ metode pembelajaran fisika, 2) Pengembangan media pembelajaran fisika, 3) Pengembangan pembelajaran fisika untuk melatihkan karakter lokal masyarakat. Pengembangan pendekatan/ strategi/ model/ metode pembelajaran, salah satunya dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Misalnya, peserta didik diajak untuk mencermati proses pembuatan dodol (kearifan lokal Kota Kandangan, Kalimantan Selatan) dan mengaitkannya dengan pokok bahasan suhu dan kalor (Wati, dkk, 2017). Pengembangan modul, pengembangan alat peraga dan pengembangan media lain berbasis kearifan lokal, misalnya, pengembangan alat peraga berbahan dasar kayu yang banyak terdapat di daerah Banjarmasin, pada materi usaha dan energi (Maharani, dkk, 2017).

CONTOH KEARIFAN LOKAL

YANG DAPAT DIKAITKAN

DENGAN PEMBELAJARAN

FISIKA

Indonesia sebagai negara kesatuan dengan ragam budaya yang tersebar di berbagai penjuru wilayah tidak akan kekurangan referensi pembelajaran berbasis budaya. Sebagai contoh budaya masyarakat pesisir yang identik dengan ritual mappanretasi seperti halnya tradisi sedekah laut di Tanag Bumbu. Kemudian budaya yang dikemas dalam bentuk kesenian seperti Reog Ponorogo, serta perpaduan antara unsur seni dan olahraga seperti semi bela diri pencak silat di Madiun. Permainan tradisional seperti balogo dan bagasing yang mengaplikasikan konsep impuls dan momentum. Tradisi Baayun Maulid yang mengaplikasikan konsep gaya dan getaran. Sebagai cara melestarikan kearifan lokal suatu daerah maka perlu diskenariokan dalam proses pembelajaran. Berikut beberapa hasil penelitian yang mengaitkan kearifan lokal dengan pembelajaran fisika:

• Pengembangan modul fisika berintegrasi kearifan lokal hulu sungai selatan (Wati dkk., 2017)

• The effectiveness of physics learning material based on South Kalimantan local wisdom (Hartini, Misbah, Helda & Dewantara, 2017)

• Developing a physics module based on the local wisdom of hulu sungai tengah regency to train the murakata character (Hartini, Isnanda, Wati, Misbah, An’nur & Mahtari, 2018)

• Pengembangan modul fisika berintegrasi kearifan lokal membuat minyak lala untuk melatih karakter sanggam (Oktaviana,Hartini & Misbah, 2017)

• The development of physics teaching materials based on local wisdom to train saraba kawa character (Hartini, Firdausi, Misbah, & Sulaeman, 2018)

• Model pembelajaran fisika untuk mengembangkan kreativitas berpikir dan karakter bangsa berbasis kearifan lokal Bali (Suastra, 2013)

• Developing the physics module containing quranic verses to train the local wisdom character (Mastuang, Misbah, Yahya & Mahtari, 2019)

DAFTAR PUSTAKA

Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat. (2016). Jendela

pendidikan dan kebudayaan, edisi

iii. Kemendikbud: Jakarta. Hartini, S., Misbah, Helda, & Dewantara,

D. (2017, August). The effectiveness of physics learning material based on South Kalimantan local wisdom. In AIP

Conference Proceedings (Vol. 1868, No. 1, p. 070006). AIP Publishing.

Hartini, S., Isnanda, M. F., Wati, M., Misbah, M., An’nur, S., & Mahtari, S. (2018, September). Developing a physics module based on the local wisdom of Hulu

Page 29: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

18

Sungai Tengah regency to train the murakata character. In Journal of

Physics: Conference Series (Vol. 1088, No. 1, p. 012045). IOP Publishing.

Hartini, S., Firdausi, S., Misbah, M., & Sulaeman, N. F. (2018). The development of physics teaching materials based on local wisdom to train saraba kawa character. Jurnal

Pendidikan IPA Indonesia, 7(2), 130-137.

Kemendikbud RI. (2018). Silabus mata

pelajaran fisika sekolah menengah

atas/ madrasah aliyah (SMA/ MA). http://www.arsipguru.web.id/2018/01/silabus-fisika-smama-k13-revisi-terbaru.html. Diakses Tanggal 18 Maret 2019.

Kun, P. Z. (2013, September). Pembelajaran sains berbasis kearifan lokal. In Prosiding:

Seminar Nasional Fisika dan

Pendidikan Fisika (Vol. 4, No. 1). Mastuang, M., Misbah, M., Yahya, A., &

Mahtari, S. (2019, February). Developing the physics module containing quranic verses to train the local wisdom character. In Journal of Physics: Conference

Series (Vol. 1171, No. 1, p. 012018). IOP Publishing.

Novitasari, L., Agustina, P. A., Sukesti, R., Nazri, M. F., & Handhika, J.

(2017, August). Fisika, etnosains, dan kearifan lokal dalam pembelajaran sains. In Prosiding

SNPF (Seminar Nasional

Pendidikan Fisika) (pp. 81-88). Oktaviana, D., Hartini, S., & Misbah, M.

(2017). Pengembangan modul fisika berintegrasi kearifan lokal membuat minyak lala untuk melatih karakter sanggam. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 5(3), 272-285.

Suastra, W. (2013). Model pembelajaran fisika untuk mengembangkan kreativitas berpikir dan karakter bangsa berbasis kearifan lokal Bali. JPI (Jurnal Pendidikan

Indonesia), 2(2). Wati, M. (2016). Pengaruh model

pembelajaran dan jenis asesmen terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika setelah mengontrol pengetahuan awal siswa (eksperimen di SMAN 7 Banjarmasin). Disertasi tidak

dipublikasikan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Wati, M., Hartini, S., Misbah, M., & Resy, R. (2017). Pengembangan modul fisika berintegrasi kearifan lokal hulu sungai selatan. Jurnal

Inovasi Dan Pembelajaran Fisika, 4(2).

Page 30: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

19

Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam Rangka

Menyiapkan Sumber Daya Manusia Berkarakter Kuat Menyongsong

Era Revolusi Industri 4.0

I Wayan Suastra

Universitas Pendidikan Ganesha [email protected]

Act Locally Thinks Globally

PENDAHULUAN

Era revolusi industri 4.0 merupakan abad yang sering disebut era disruption (kekacauan/disrupsi), penuh dengan kompleksitas dan ketidakpastian serta menghasilkan generasi milenia yang antara lain memiliki ciri-ciri: kecanduan internet (sebagian besar waktunya untuk internet/sosial media), suka bekerja, suka bermain, bersenang-senang, hidupnya konsumtif, dan kurang perhatian.

Gardner (2007) menyatakan bahwa untuk menghadapi tantangan masa depan yang begitu kompleks dan cepat ini adalah dengan menguasai lima pikiran untuk masa depan (five minds for

the future) yang meliputi: pikiran terdisiplin, pikiran menyintesis, pikiran mencipta, pikiran merespek, dan pikiran etis. Artinya, selain sumber daya manusia itu cerdas (smart), juga diperlukan pikiran dan perilaku etis (karakter baik/good character).

Saat ini berbagai persoalan dialami bangsa Indonesia, seperti maraknya intoleransi, radikalisme, terorisme, fitnah di media sosial (Hoak), korupsi, pemerasan/kekerasan (bullying), penggunaan narkoba (Badan Narkotika Nasional menyatakan ada lebih dari 3,6 juta penduduk pecandu narkoba di Indonesia tahun 2010), rapuhnya rasa kebangsaan baik dari kalangan masyarakat biasa sampai yang berpendidikan tinggi, serta adanya sekelompok masyarakat yang ingin

mengganti dasar negara kita Pancasila yang berlandaskan ke-bhineka-an dengan ideologi lain. Persoalan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan berakibat pada runtuhnya tatanan kebangsaan kita. Salah satu yang diduga sebagai penyebab persoalan ini adalah kurang ditanamkannya secara baik karakter kebangsaan dalam proses pendidikan di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Zamroni (2000:1) yang mengatakan bahwa dewasa ini, pendidikan cenderung menjadi sarana "stratifikasi sosial" dan sistem persekolahan yang hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu bersifat hafalan (textbookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar budayanya. Lebih lanjut, Suastra (2017) menyatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat kurang mendapat perhatian dalam proses pembelajaran di sekolah, padahal nilai-nilai tersebut masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan bermasyarat dan dapat menjaga keutuhan banga Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan kegagalan dalam bidang dalam mengembangkan pendidikan nilai. Lebih lanjut, Widja (2016) mengatakan bahwa carut-marutnya bangsa ini disebabkan karena adanya disfungsi sekolah dalam pendidikan budi pekerti (moral). Kurang baiknya moral siswa berakibat pada rendahnya karakter siswa adalah

Page 31: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

20

indikator kegagalan guru dalam mengintegrasikan pengetahuan tentang nilai menjadi tindakan yang positif (Lickona, 1999; Lopes, Oliveira, Reed, & Gable, 2013; Abu, Mockhtar, Hassan, & Suhan, 2015; Aisah, 2014). Sudah saatnya segera dibangun kembali kesadaran akan pentingnya pembinaan karakter bagi insan Indonesia melalui pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan pendapatnya Elmubarok (2008) yaitu, mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, dan menyatukan yang tercerai.

Berkenaan dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja di masa depan, National Association College Employers (NACE) tahun 2015 menguraikan bahwa 5 teratas keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dunia usaha adalah 1) kemampuan bekerja dalam tim (4,55), 2) kemampuan mengambil keputusan yang tepat dan pemecahan masalah (4,50), 3) merencanakan, mengorganisasi, dan memprioritaskan pekerjaan (4,48), 4) kemampuan memperoleh informasi dan memproses informasi (4,48), serta 5) kemampuan menganalisis data kuantitatif (4,37) dengan skor maksimal. Artinya, untuk mengantisipasi perkembangan dunia yang begitu cepat dan kompleks ini diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi dengan menekankan pada karakter (kecerdasan sosial, kecerdasan emosiaonal, dan kecerdasan spiritual).

Rendahnya kualitas pendidikan tidak bisa lepas dari peran guru dalam proses pendidikan. Perhatian utama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan adalah meningkatkan kualitas guru. Jadi, gurulah yang memegang peranan sentral dalam proses pendidikan, di samping faktor-faktor lainnya seperti: kurikulum, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya. Guru merupakan unsur penentu terciptanya mutu pelayanan dan hasil pendidikan (Zamroni, 2001). Oleh karena itu, bangsa

Indonesia memerlukan guru yang cerdas, arif, dan berkarakter Indonesia agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten, cerdas, dan berkarakter bangsa Indonesia yang kuat.

ASPEK BUDAYA PADA

PEMBELAJARAN FISIKA

Untuk mempelajari proses pembelajaran fisika di sekolah, selain memakai teori psikologi yang berakar pada konstruktivisme individu (personal

constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada konstruktivisme sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan sains saat ini mencoba untuk menggunakan kajian teori anthropologi (anthropological

perspective). Yang terakhir ini mencoba melihat proses pembelajaran fisika di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar (Suastra, 2015; Cobern dan Aikenhead, 1996). Menurut perspektif antropologi, pembelajaran fisika dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran fisika sebagai "penguasaan" budaya (cultural acquisition). Dengan demikian, proses belajar mengajar fisika di kelas dapat diibaratkan sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh murid. Untuk pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat (Geertz, 1992). Berdasarkan batasan ini, fisika dapat dianggap sebagai subbudaya kebudayaan Barat (Euro-Amerika). Oleh karena itu, sains asli (budaya lokal) dari suatu komunitas di Indonesia (non-Barat) adalah subbudaya dari kebudayaan komunitas tersebut.

Pengaruh sains barat sangat kuat pada pembelajaran fisika (sains) di sekolah yang tujuan utamanya adalah transmisi budaya dari budaya negara yang dominan (Stanley dan Brickhouse, 2001). Pentransmisian subkultur sains dapat mendorong dan dapat

Page 32: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

21

menghancurkan atau memisahkan. Jika subkultur sains pada umumnya harmonis dengan budaya sehari-hari siswa, pembelajaran sains akan memiliki kecenderungan untuk memperkuat pandangan siswa terhadap alam semesta, dan hasilnya adalah inkulturasi (Hawkins & Pea, 1987). Jika inkulturasi terjadi, maka berpikir ilmiah siswa tentang kehidupan sehari-hari akan meningkat. Tetapi jika subkultur sains berbeda dengan budaya sehari-hari siswa tentang alam semesta, seperti yang terjadi pada kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa, 2002), maka pembelajaran sains akan memiliki kecenderungan untuk menghancurkan atau memisahkan pandangan siswa terhadap alam sehingga siswa akan meninggalkan atau meminggirkan cara asli mereka. Hasilnya adalah asimilasi (Jegede & Aikenhead, 2000) yang konotasinya sangat negatif sebagai bukti adanya “hegemoni pendidikan” atau “imperialisme budaya” (Battiste dalam Cobern & Aikenhead, 1996:5). Siswa akan berjuang menegosiasi untuk menembus batas antara subkultur yang asli dan subkultur sains. Tetapi, dalam kenyataannya, siswa sering menolak aspek-aspek penting budayanya sendiri. Sebagai contoh, dalam penelitian yang berseri dari tahun 1972 sampai tahun 1980 di Papua New Guenia telah ditemukan pengaruh tersembunyi yang signifikan terhadap terjadi pemisahan siswa dari budaya tradisionalnya. Pada sekolah-sekolah yang lebih formal, siswanya lebih menerima alienisasi. Untuk kasus di Bali, hal itu dapat dilihat dari makin banyaknya kerusakan

lingkungan alam seperti rusaknya hutan lindung, terleklamasinya pantai untuk kepentingan hotel, rusaknya terumbu karang di berbagai tempat, makin sedikitnya hutan, serta makin berkurangnya binatang langka yang ada di Bali (burung jalak Bali, Penyu hijau, burung kokokan), serta makin berkurangnya bangunan-bangunan tradisional Bali yang penuh dengan nilai-nilai kearifan tradisional.

KESULITAN SISWA

(MASYARAKAT TIMUR) DALAM

BELAJAR SAINS (FISIKA)

Para ahli yang berkecimpung dalam penelitian tentang keterlibatan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran sains menggunakan sebuah metafora atau pengkiasan yang diberi nama "metafora sang pelintas batas” (border crossing

methaphor) untuk menjelaskan proses pembelajaran sains dari perspektif antropologi (Jegede & Aikenhead, 2000; Wahyudi, 2003:7). Menurut metafora ini, siswa dianggap sebagai sang pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai budaya keseharian mereka dengan nilai-nilai budaya sains di sekolah yang pada dasarnya didominasi oleh budaya sains Barat. Kata "batas" di sini adalah "batas imajiner" yaitu batas yang ada dalam pikiran, bukan batasan secara material. Menggunakan metafora ini, Costa (1995) mengelompokkan siswa ke dalam lima kategori berdasarkan cara mereka masuk ke dalam budaya sains di kelas dari budaya keseharian mereka, seperti digambarkan dalam Gambar 1 berikut.

Page 33: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

22

Gambar 1 Proses Usaha Kelima Kelompok Siswa dalam Melintasi "Batas" Budaya

Keterangan :

CB = cultural border (batas budaya) IDKS = I don’t know students

PS = potential scientist student

OS = outsider students

OSK = other smart kids

Kelompok pertama disebut dengan “Potential Scientist ” (PS). Siswa dalam kelompok ini dapat dengan mudah melintasi batas kedua budaya (CB) yaitu budaya sekolah sains dan budaya keseharian mereka secara alami, seolah-olah batas tersebut tidak ada bagi mereka. Kelompok kedua disebut dengan “Other Smart Kids” (OSK), yaitu kelompok siswa yang dapat melewati batas dengan baik, namun mereka masih menganggap dan mengakui sains sebagai sebuah budaya asing. Siswa dalam kelompok ini kebanyakan suka menggunakan cara “cerdas" untuk berhasil dalam pembelajaran sains. Mereka dapat membangun konstruks pengetahuan sains di dalam skemata mental mereka dan menyimpannya dalam memori jangka panjang yang hanya dapat diakses lagi ketika diperlukan pada saat ujian. Kelompok

ketiga adalah “I Don’t Know Students”(IDKS), yaitu suatu kelompok yang menghadapi masalah serius dalam melintasi batas kedua budaya tersebut, tetapi mau belajar untuk mengatasinya, dan berhasil menggunakan cara Fatima’s Rule secara terus menerus. Kelompok ini mungkin berhasil di dalam ujian pelajaran sains, namun mereka tidak memahami konsep sains secara komprehensif. Mereka cenderung menghafal konsep, bukan memahaminya. Kelompok keempat adalah “Outsider” (OS), yaitu kelompok siswa yang cenderung terasing selama proses pembelajaran sains berlangsung. Kelompok ini menghadapi masalah besar dalam usaha melintasi batas budaya. Kelompok siswa ini hampir tidak mungkin dapat melintasi batas tersebut. Hal ini disebabkan oleh begitu kuatnya pengaruh nilai kebudayaan keseharian mereka, dibandingkan dengan konsep-konsep sains yang mereka pelajari di kelas. Kelompok terakhir adalah “Inside

Outsider” yaitu suatu kelompok yang merasakan diskrimasi budaya oleh sains modern sehingga mereka merasakan tidak mungkin dapat menembus batas kedua budaya tersebut. Kelompok ini

School’s Culture

PS

CB

OS

OSK & IDKS

IOS

Page 34: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

23

sebenarnya memiliki keinginan yang besar, namun menjadi asing di kelas/sekolah karena kelas/sekolah tidak menyediakan tempat untuk nilai-nilai budaya siswa (student’s prior belief). Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan (teralienisasi) sehingga tidak mendapatkan pengetahuan sains yang bermakna bagi hidup mereka.

Ogunniyi (dalam Aikenhead, 2000:8) menjelaskan bahwa pandangan asli yang bertentangan dengan pemikiran sains Barat tidak menghalangi pemahaman sains siswa dan bahkan pandangan asli dan pandangan ilmiah tentang dunia dimungkinkan untuk diajarkan secara silmultan. George (2001:3) menyatakan dua hal (1) Pada belajar kolateral paralel (parallel

collateral learning), siswa dapat memiliki kedua skemata yang hanya sedikit persamaannya (sains aslinya belum dapat dijelaskan sains Barat), dan akan menerima skemata yang terbaik dan cocok dengan situasi yang dimilikinya. (2) Melalui belajar kolateral yang menguatkan (secured collateral

learning), siswa dapat dengan mudah menyelesaikan konflik skematanya karena hanya sedikit perbedaan. Siswa mungkin akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kedua skemata karena sedikit perbedaan (sains aslinya dapat dijelaskan dengan sains Barat).

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa siswa dalam konteks masyarakat tradisional (Timur termasuk Indonesia) akan mengalami kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan siswa dari negara Barat dalam mengkonstruksi sains dan sikap-sikap ilmiah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsep, pemaknaan (epistemologi), dan cara memperoleh pengetahuan mereka. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sains di sekolah, perlu adanya bridging gap agar terjadi keharmonisan budaya yang datang dari Barat dengan budaya yang mereka miliki sebagai warisan leluhur mereka dan

bagian dari kehidupan keseharian mereka. Dengan demikian, budaya yang dimiliki siswa dalam masyarakat tradisional tidak begitu saja hilang dengan datangnya budaya sains Barat, tetapi dapat berjalan secara paralel dan bahkan dapat menguatkan budaya yang telah ada sebelumnya (inkulturasi).

PENTINGNYA PENDIDIKAN

KARAKTER BERBASIS

KEARIFAN LOKAL DI DALAM

PEMBELAJARAN

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian, karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Lebih lanjut diuraikan dalam Disain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2015 dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik. Jadi, karakter dalam tulisan ini adalah seperti yang dinyatakan terakhir. Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antara manusia. Secara universal karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity) (Samani & Hariyanto, 2011).

Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Winston, 2010). Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan

Page 35: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

24

pengembangan etik para siswanya. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah merupakan upaya sadar dan sistematis baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai pokok (core

vaule) nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan, dan ketabahan (fortitude). Lebih lanjut Burke (2001) mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian fundamental dari pendidikan yang baik atau dapat juga dikatakan sebagai pengembangan karakter yang mulia (good character).

Karakter adalah sesuatu yang sangat penting dan vital bagi tercapainya tujuan hidup. Karakter merupakan dorongan pilihan untuk menentukan yang terbaik dalam hidup. Sebagai bangsa Indonesia setiap dorongan pilihan itu harus dilandasi oleh Pancasila. Sementara itu sudah menjadi fitrah bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang multi suku, multi ras, multi bahasa, multi adat, dan tradisi. Untuk tetap menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kesadaran untuk menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika merupakan siatu condisio sine quanon, syarat mutlak yang tidak dapat ditawar-

tawar lagi, karena pilihan lainnya adalah runtuhnya negara ini. Karakter yang berlandaskan Pancasila adalah karakter yang dijiwai oleh kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yaitu: bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, dan bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak hasasi manusia, serta bangsa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan. Begitu pentingnya karakter dalam konteks universal sehingga Wiliam Franklin Graham,Jr mengatakan sebagai berikut.

When wealth is lost, nothing is lost

When health is lost, something is lost

When character is lost, everything is lost

(Bila harta benda yang hilang, tidak ada sesuatu berarti yang hilang Bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang Bila karakter yang hilang, segala sesuatunya hilang)

Berkenaan karakter berbasis nilai kearifan lokal Bali yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran fisika telah ditemukan Suastra (2017b), yaitu seperti yang tertuang pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakter berbasis nilai kearifan lokal BaliNo Aspek Karakter Indikator

1 Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya

Mengagumi kebesaran Tuhan atas fenomena-fenomena fisika (gejala alam) yang menakjubkan dan tersembunyi Merasakan kebesaran Tuhan dengan keberagaman yang ada di dunia

2 Berkata Benar Dan Berbuat

Jujur

Perilaku yang menyatukan pikiran, perkataan, dan tindakan yang benar (Tri Kaya Parisudha)

Mau mengemukakan sesuatu yang diyakinininya benar Jujur dalam mengerjakan tugas atau tes fisika Terbuka dalam mengungkapkan kesulitan belajarnya baik kepada teman maupun guru

Page 36: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

25

3 Toleransi (Tattwamasi, Menyama

Braya)

Sikap persaudaraan tanpa membedakan agama, suku, etnis, sosial ekonomi, dan jenis kelamin

Tidak membedakan suku, ras, agama dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah Mau menerima pendapat yang berbeda dari teman lainnya bila diyakininya benar

4 Tanggung Jawab (Sesana Atau

Swadharma)

Rasa dan sikap tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya

Menggunakan waktu secara efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas di kelas dan di luar kelas Mengerjakan tugas fisika dengan teliti dan rapi serta mengumpulkannya tepat waktu Selalu berusaha untuk mencari informasi tentang materi pelajaran fisika dari berbagai sumber

5. Rasa Ingin Tahu (Sekadi Nyampat

(Menyapu), Hilang Luhu Buke

Katah)

Bertanya,mendiskusikan, dan ingin menyelidiki/mengetahui berbagai peristiwa yang ada di alam

Selalu membaca buku keilmuan,sains, teknologi, dan budaya Selalu ingin mencoba melakukan penyelidikan terkait fenomena alam yang berhubungan dengan fisika Selalu ingin mencari tahu jawaban lain dari permasalahan fisika yang dipecahkannya

6 Jengah

Sikap dan perilaku malu jika gagal atau tidak bisa menyelesaikan tugas maupun kewajibannya

Malu bila tidak bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru Malu ketahuan menyontek dalam ulangan/ujian fisika Malu jika tidak bisa berkontribusi dalam setiap kegiatan pembelajaran

7 Suka Bekerja Keras Dan

Dermawan

Melakukan pekerjaan sampai memperoleh hasil yang memuaskan dan bermanfaat bagi diri dan orang lain Atharwaveda XX.18.3

Atharwaveda III.24.5

Tekun mengikuti pembelajaran untuk memperoleh hasil yang memuaskan Suka menolong atau membantu teman yang memerlukan bantuan

8 Peduli Dan Bersahabat Dengan

Alam(Sekadi Manik Ring Cacupu)

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan alam di sekitarnya Atharwaveda IX.10.12

Merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan Mampu mengambil keputusan yang tepat dalam mencegah maupun mengatasi kerusakan lingkungan

9 Merefleksi Diri (Mulat Sarira)

Sikap dan tindakan yang selalu melakukan perenungan terhadap pikiran, perkataan, dan tindakan yang telah dilakukan untuk perbaikan di masa depan

Selalu merenungkan perbuatan yang telah dilakukannya dan memperbaiki yang salah Tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain bila mengalami permasalahan atau kegagalan atas dirinya

Lanjutan Tabel 1

Page 37: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

26

Tabel 1 menunjukkan bahwa ada 9 aspek karakter baik/positif dari budaya lokal/kearifan lokal Bali yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran fisika di sekolah, yaitu: religius, berkata benar dan berbuat jujur, toleransi, bertanggung jawab, rasa ingin tahu, jengah, dan merefleksi diri (mulat

sarira). Aspek-aspek karakter berbasis kearifan lokal Bali ini digali dari sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang dijiwai dari kitab suci Hindu seperti Begawad gita, Regveda, Atharwa veda, Silakramaning

Aguron-guron, dan Tri Kaya Parisudha. Sumber lainnya juga diperoleh dari filosofi yang berkembang dalam masyarakat Bali yaitu Tri Hita Karana, yang berarti keharmonisan antara manusia dengan Tuhan (religius), manusia dengan sesama manusia lainnya, dan manusia dengan butha/alam semesta. Suja (2000:56-57) mengatakan bahwa hubungan manusia (Prajah) dengan Tuhan (Prajapati) didasarkan atas konsep Kawula Gusti, dalam artian Tuhan adalah Gusti (penguasa), sedangkan manusia adalah pelayan-pelayan Tuhan dengan bhaktinya yang tulus. Hubungan manusia dengan sesama manusia didasarkan pada konsep Tat

Twam Asi, yang mengajarkan bahwa sesama manusia adalah sama. Kita semua (tanpa dibatasi oleh label apapun) adalah bersaudara, va suduiva kutum bhakam. Sebagai sesama manusia kita harus saling menyayangi, saling menghormati, dan saling melayani. “Perlakukan orang lain, sebagaimana engkau inginkan diperlakukan orang lain kepada dirimu”. Keserasian hubungan manusia dengan alam mengambil perumpamaan “kadi

manik ring cecupu”. Manusia diumpamakan sebagai manik (janin), sedangkan alam sebagai cecupu (rahim). Konsep ini mengandung makna bahwa manusia harus hidup dilingkupi oleh alam, dan dari alamlah manusia memperoleh makanan atau sarana untuk hidup. Dalam posisi ini jelas tampak

bahwa manusia hidup bebas dalam keterikatan dengan alam. Manusia bebas mengambil apa saja dari alam, tetapi dia wajib menjaga kelestariannya. Jika alam rusak, maka manusia pasti akan hancur. Atas dasar itu, manusia sudah selayaknya harus hormat terhadap alam. Pustaka suci Weda menyatakan, “Bumi ini adalah ibu kita, kita adalah putra-putranya (Atharwaveda, XII:1.12), serta “Bumi adalah ibu, dan langit adalah ayah kita (Yayurveda XXV:17). Semua karakter berbasis nilai kearifan lokal tersebut pada dasarnya diilhami dari pandangan alam semesta masyarakat Bali seperti yang diungkapkan Suastra (2017) yang menyatakan bahwa spiritualitas terdapat di dalam unsur-unsur kosmos (bhuwana

agung/makrokosmos) dan manusia sebagai unsur mikrokosmos (buana alit) serta manusia bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam di mana mereka berada. Temuan lainnya, seperti rasa jengah (perasaan malu kalau tidak berhasil) merupakan kata sehari-hari yang dipesankan orang tua jika mengerjakan sesuatu pekerjaan. Hendaknya dikerjakan secara bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab sehingga tidak menimbulkan rasa malu bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (desa). Rasa ingin tahu, diambil dari konsep nyanyian sebagai pesan dari para tetua (ayah, ibu, nenek, kakek) kepada anak-cucunya, de ngaden

awak bisa depang anake ngadanin,

geginane buka nyampat, ilang luhu buke

katah, wiadin ririh enu liu pelajahan. Artinya, jangan sombong kalau bisa, seperti halnya menyapu, hilang sampah maka debu akan datang lagi. Biarpun pintar masih banyak yang harus dipelajari karena ilmu itu tidak ada habis-habisnya. Jangan cepat puas terhadap ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, pesan utamanya sebenarnya adalah belajarlah sepanjang hayat.

Page 38: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

27

MENERAPKAN MODEL

PEMBELAJARAN FISIKA

BERBASIS BUDAYA LOKAL DI

SEKOLAH

Suastra (2017) menelaskan langkah-langkah pembelajaran fisika berbasis budaya untuk mengembangkan

kompetensi dasar fisika dan karakter berbasis budaya lokal seperti Gambar 1 berikut. Ada 5 tahapan pokok dalam pembelajaran meliputi 1) kegiatan awal , 2) fase penyelidikan dari berbagai perspektif, 3) fase aplikasi konsep, dan 4) kegiatan akhir.

Gambar 2. Langkah pembelajaran fisika berbasis budaya (Suastra, 2010)

Page 39: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

28

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran sains berbasis budaya lokal sebagai berikut.

(1) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa yang berakar pada budaya lokal. Misalnya: mengangkat topik bangunan rumah tradisional Bali (angkul-angkul, rumah bertiang, bale kulkul, meru bertumpang), kegiatan pengabenan dengan bade yang tinggi, instrumen gamelan, pembuatan gamelan, dan sebagainya.

(2) Menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan (discrepant

events) yang sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep sains Barat.

(3) Berperan untuk mengidentifikasi batas budaya yang akan dilewatkan serta menuntun siswa melintasi batas budaya sehingga membuat masuk akal bila terjadi konflik budaya yang muncul. Guru dapat menggunakan teori belajar kolateral dalam mengatasi persolan perbedaan pandangan asli siswa dengan teori sains (Barat).

(4) Mendorong siswa untuk aktif bertanya, berdiskusi, dan melakukan pengujian dari berbagai perspektif: sejarah, budaya lokal, maupun secara ilmiah (metode ilmiah).

(5) Memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif dan negatif sains Barat dan teknologi bagi kehidupan dalam dunianya (bukan pada kontribusi sains Barat dan teknologi untuk menjadikan mono-kultural dari elit yang memiliki hak istimewa).

(6) Pada saat tertentu lakukan persentasi dengan penjelasan lebih dari satu teori tentang fenomena melalui diskusi kelas.

PENUTUP

Integrasi nilai kearifan lokal dalam pembelajaran fisika akan mampu menumbuhkembangkan tidak hanya pemahaman dan aplikasi konsepnya meningkat, tetapi karakter kebangsaan siswa juga akan tumbuh baik. Yang terpenting adalah bagaimana guru fisika mampu mengelola kearifan lokalnya sebagai sumber belajar yang efektif dan mampu memfasilitasi belajar siswa secara arif menjembatani budaya lokal siswa menuju budaya ilmiah (cultural

border). Dengan demikian, pembelajaran fisika di sekolah tidak lagi menjadi pelajaran eksklusif yang hanya dipahami sekelompok orang, melainkan akan benar-benar menjadi science for daily

living, science for the future, dan science

for all.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, L., Mockhtar, M., Hassan, Z., & Suhan, S.Z.D. (2015). How to Develop Character Education of Madrassa Students in Indonesia. Journal of Education and

Learning, 9(1), 79-86. Aikenhead. G. (2000). Renegotiating the

culture of school science. in

improving science education : The

contribution of research. Robin Miller, et al (eds). http://www.usask.ca/education/ people/aikenhead/renegotiation.htm.

Aisah, A.R. (2014). The implementation of character education through contextual teaching and learning at personality development unit in the Sriwijaya University Plembang. International Journal

of Education and Reserach, 2 (10), 203-214.

Cobern,W.W & Aikenhead,G.S. (1996). Cultural aspects of learning science. SLCSP Working

Paper#121.http:www.wmich.edu/slcsp/121.htm/Des 2017.

Page 40: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

29

Costa,V.B. (1995). When science is “Another World”: Relationship between Worlds of Family, Friend, School, and Science. Science

Education, 79(3), 313-333. Elmubarok, Z. (2008). Membumikan

pendidikan nilai. Jakarta: Penerbit Alpabeta.

Gardner,H. (2007) Five minds for the

future (alih bahasa tome beka). Jakarta: Gramedia Pustaka

George.J. (2001). Culture and science

education: Developing world http://www.id21.org/education/e3jg1g2.html.

Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan

agama. Yogyakarta: Kanisius Press.

Jegede,O.J & Aikenhead,G.S. (2000). Trancending cultural border: implications for science teaching. http:[email protected]. June 2005.

Lickona,T. (1999). Character education: Seven crusial issue. Action in

Teacher Education. 20(4):77-84. Lopes, J. Oliveira, C. Reed, L & Gable,

R.A. (2013). Character education in Portugal. Chilhood Education, 89(5):286-289.

Ogawa, M. (2002). Sceinec as the culture

of scientist: how to cope with

scientism? http://sce6938-01.fsu.edu/ogawa.html.

Samani, M & Hariyanto. (2012). Konsep

dan model pendidikan karakter. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Suastra, I. W. (2012). Model pembelajaran fisika untuk pengembangan kreativitas berpikir dan karakter bangsa berbasis kearifan lokal Bali. Makalah. Disajikan pada Konvensi Nasional Pendidikan (Konaspi) ke-8 pada tanggal 30 Oktober s.d 4 Nopember 2012 di Yogyakarta.

Suastra, I. W. (2015). Guru sains profesional dan berkarakter

Indonesia. Makalah. Disajikan pada Konvensi Nasional Pendidikan (Konaspi) ke-9 pada tanggal 12 – 15 Oktober 2016 di Jakarta.

Suastra, I. W. (2017). Balinese local wisdom and their implications in science education at school. International Research Journal of

Management, IT & Social Sciences

(IRJMIS), 4(2), 42-50. Suastra, I. W., et al. (2017b). Developing

balinese local wisdom – based

characters in physics instruction

at senior high school. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia (JPII) terindeks Scopus. Volume 6 (2), 16-22.

Stanley, W. B., & Brickhouse, N. W. (2001). The multicultural question revisited. Science Education, 85 (1), 35-48.

Suja, I. W. (2000). Titik temu IPTEK dan

agama hindu. Surabaya: Pustaka Manik Geni.

Widja. I.G. (2016). Pendidikan nasional

antara harapan dan realitas. Jakarta: Krishna Anadi Printing.

Winston, S. (2010). Character education: Implication for critical democracy. International Critical Chilhood

Policy Studies, 1 (I). Zamroni. (2001) Peran kolaborasi

sekolah-universitas dalam meningkatkan mutu pendidikan matematika dan ilmu pengetahuan alam di Indonesia. Makalah. Disampaikan pada National

Seminar on Science Education

Faculty of Science and

Mathematic Education on

Collaboration with Japan

International Cooperation Agency

and Directorate General of Higher

Education. Bandung August 21, 2001

Page 41: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

30

Deeper Learning in Energy: Relating Concepts and Practices Though STEM

Nurul Fitriyah Sulaeman1,2* dan Yoshisuke Kumano1 1Dept. of Science Education, Graduate School of Science Informatics and Technology,

Shizuoka University, Japan 2Dept. Physics Education, Faculty of Teacher Training and Education,

Mulawarman University, Indonesia *[email protected]

Abstract

Nowadays, the complexity of energy education proceeds various changing aspects such

as resources, environmental, social and technology. This situation makes deeper

learning in energy is needed. This article will discuss deeper learning specifically in

energy topic and how this idea strongly related to bridging energy concepts and

practices through STEM. This research was conducted with integrative and systematic

literature review. From the analysis, the 21stcentury skills and deeper learning support

important influence on energy education. From the understanding of cognitive

architecture, energy learning should facilitate memorization system and problem-

solving to prepare students for their future needs that relate to energy. The match

between this theoretical framework with STEM education is strongly visible during this

research. Therefore, STEM is one of a promising alternative approach to deepen and

relate concepts and practices in energy.

Keywords: deeper learning; STEM; energy

INTRODUCTION

Discussions about how to manage education sector have been increased during the decades. The central issue in the discussion is how to prepare young generation to be ready for their future challenges. The future of young generation of a country will define the future of the country its self. Initiated by U.S researchers, various discussions about what kind of skills that needed by the children in the future were running. From those discussions, the terminology of 21st century skills and deeper learning was defined.

The changing in education in general also occurred in each subject such as science. Recently, science education attempt to revise its purpose to adapt with the changing of human needs. From the impression of a static presentation of a world unknown in real life, science education is moving forward to something huge (Mutvei & Mattsson, 2015). In USA,

science education aims to prepare high school graduates to engage in public

discussions on science-related issues and to be critical consumers of scientific information (NRC, 2012). In Sweden (Skolverket 2010), new curricula on all levels focus on training students to use achieved knowledge. This shifting of purpose gives an impact to transform the learning processes that could achieved it.

More specific in energy learning, the learning process become more and more dynamic as form of adaptation from energy sectors. It is influenced by many factors that changed by time. Since energy always has vital role to human life, energy education will continue to play a significant role in advancing the frontiers of development efforts through strengthen the connection between science, technology, engineering and mathematics (Taber & Akpan, 2017). The concept of energy become one of fundamental crosscutting concept in science. This notion increasingly strengthening the needs to improve energy learning.

The drive from 21st century skill and deeper learning encourages energy

Page 42: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

31

learning to be more critical. The complexity of energy issues is growing due to various aspects such as resources, environmental, social and technology. This situation make deeper learning in energy is needed. Moreover, learning processes that can facilitate the changing is also needed to be discussed. This article will discuss about deeper learning in energy and how this concepts strongly related with scientific concepts and practices through STEM.

METHOD

This research was conducted with integrative and systematic literature review that focused on 21st century skills, deeper learning, cognitive architecture, energy learning and energy STEM. Literatures are grouped and analyzed to facilitate the purpose of this research. The chronological framework could be observed in Figure 1.

Figure 1 Research Framework

RESULT AND DISSCUSSIONS

The Importance and Relation of

Deeper Learning and 21st century

Skills

The discussion about 21st century skills started with the board on Science Education (University of Massachusetts, Boston), to design and conduct the workshop. As a first step to meet its charge to build on the May 2007 workshop, the planning committee and

staff developed preliminary definitions of five 21st century skills that emerged as important at the earlier workshop (Pellegrino & Hilton, 2012): a) adaptability, b) complex communication/social

skills, c) nonroutine problem-solving skills, d) self-management/self-development, e) systems thinking.

Page 43: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

32

After framing 21st century skills, definition about learning need to be adjusted. Therefore, the terminology of deeper learning is introduced. According to Pellegrino & Hilton (2012) define as the process through which an individual becomes capable of taking what was learned in one situation and applying it to new situations (i.e., transfer). The product of deeper learning is transferable knowledge, including content knowledge in a domain and knowledge of how, why, and when to apply this knowledge to answer questions and solve problems.

Due to the result of many researches in adult life, the importance of deeper learning and 21st century skills tend to be one of important factor to be successful in future life. According to Pellegrino, J. W. & Hilton, M. L. (2012), statistically there is a significant, positive relationships between years of educational attainment and labor market success, not only in research using correlational methods, but also in studies using stronger research methods.

As part of discussion about the relation of “deeper learning” and 21st century competencies in the cognitive domain, two important strands of

research and theory on the nature of human thinking and learning, the cognitive perspective and the sociocultural perspective, also referred to as the “situated” perspective (Greeno, Pearson, and Schoenfeld, 1996). In contrast to the differential perspective, which focuses on differences among individuals in knowledge or skill, the cognitive perspective focuses on types of knowledge and how they are structured in an individual’s mind, including the processes that govern perception, learning, memory, and human performance. Understanding Cognitive Architecture

Science learning process basically part of learning and of course part of cognitive process. Therefore, it is essentials to understand how the process of information during the learning process happened. One of the fundamental concepts is cognitive

architecture—the information processing system that determines the flow of information and how it is acquired, represented, revised, and accessed in the mind. Figure 2 shows the main components of this architecture.

Figure 2 An Information Processing Model Memory

(Mayer, Heiser, & Lonn, 2001)

Page 44: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

33

Working memory is what people use to process and act on information immediately before them (Baddeley, 1986). Working memory depend on our conscious sensory system. The working memory system receives input with the various can receive input from the long-term memory system.

Moreover, the concept of capacity become the key factor. Capacity is defined as how much information it can hold at any given time. Controlled (also defined as conscious) human thought involves ordering and rearranging ideas in working memory and is consequently restricted (Pellegrino & Hilton, 2012). In other words, working memory refers to the currently active part of long-term memory. But this activity is limited and depend on how information is organized. For example, remember this numbers 1945-08-17. If a student familiar with Indonesia history, it will be easy.

In addition, long-term memory has two types of information—semantic information about “the way the world is” and procedural information about “how things are done.” Long-term memory is, for all practical purposes, an effectively limitless store of information (Pellegrino & Hilton, 2012). It makes possible to move the problem solving from working memory to long-term memory.

The general problem-solving procedures tend to be slow and inefficient. In addition, Newell and Simon (1972) developed a computer program to test such general procedures, known as “weak methods,” identifying their limitations as follows: • Hill climbing: One solves a problem

by taking one step at a time • Means-ends analysis: One solves a

problem by considering the obstacles that stand between the initial problem state and the goal state.

• Analogy: One solves a problem by using the solution of a similar problem.

• Trial and error: One solve a problem by randomly trying out solutions until one has reached the goal.

In 21st century skills, problem solving has change into non-routine problem solving. In most situations, however, students are expected to use methods that will make it possible to solve problems efficiently. For example, a student who know physics can find energy consumption by an air conditioner that is used for 5 minutes. This physics problem could become interesting non-routine problem for some novice students but for the students that many times calculate amount of energy, it is not interesting anymore. Component of Deeper Learning

The importance of deeper learning makes many researchers try to define more detail. Anderson, Krathwohl, Airasian, Cruikshank, Mayer, Pintrich, Raths, & Wittrock, 2001 updated Bloom’s 1956 learning objectives taxonomy, they included three types of knowledge and skills: (1) knowledge; (2) skills; and (3) attitudes. Moreover, Mayer (2011a) suggested that deeper learning involves in developing an interconnected network of five types of knowledge: • Facts, statements about the

characteristics or relationships of elements in the universe;

• Concepts, which are categories, schemas, models, or principals;

• Procedures, or step-by-step processes; • Strategies, general methods; and • Beliefs about one’s own learning.

The idea of mentally organizing knowledge helps a student to identify and call the relevant knowledge when trying to solve a new problem. Mayer (2010) proposed that the way in which a student organizes these five types of knowledge influences whether the knowledge leads to deeper learning and transfer. Some procedures have been practiced until they become automatic and stay within long-term memory are more readily

Page 45: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

34

transferred to new problems than others. Table 1 outlines the cognitive processing of the five types of integrated knowledge that support deeper learning and transfer.

Table 1 What Is Transferable

Knowledge? Type of

Knowledge

Format of Cognitive

Processing

Factual Integrated, rather than separate facts

Conceptual Schemas, models, principles

Procedures Automated, rather than effortful

Strategies Specific cognitive and metacognitive strategies

Beliefs Productive beliefs about learning

(Pellegrino & Hilton, 2012)

In deeper learning, the five types of knowledge are coordinating each other. The student will understand an interconnected among facts, procedures, schemas and mental models, and cognitive and metacognitive strategies, while at the same time developing productive beliefs about learning. Through this process, the student develops transferable knowledge, and the concepts, strategies, and beliefs needed for success in problem solving.

This proposed model of transferable knowledge reflects the research on development of expertise or how the experts and novices do in domains (Table 3). Novices tend to use general problem-solving strategies such as means-ends analysis whereas experts use specific problem-solving strategies which involve strategy improvement from what is given. Finally, novices may still hold unproductive beliefs, but experts may hold productive beliefs. In short, analysis of learning outcomes in terms of five types of knowledge has proven helpful in addressing the question of what expert problem solvers know that novice problem solvers do not know.

Table 2 Expert-Novice Differences on Five Kinds of Knowledge

Knowledge Novices Experts Facts fragmented integrated Concepts surface structural Procedures effortful automated Strategies general specific Beliefs unproductive productive

(Pellegrino & Hilton, 2012)

Collaborative Work in Energy

Learning

The discussion of deeper learning does not stop in theoretical phase. Furthermore, how to develop some teaching practices that could create a positive community become important issue. The community could help to develop intrapersonal and interpersonal competencies. This phase emphasize that collaborative work become important during the learning process.

While working collaboratively, students can solve problems that related to energy such as energy conservation or energy consumption. This learning is facilitated by instruction that helps learners develop deep understanding of the structure of a problem domain and applicable solution methods but is not supported by rote learning of solutions to specific problems or problem-solving procedures. This kind of deep, well- integrated learning develops gradually and takes time, but it can be started early (preschool and early elementary students). In addition, energy learning that emphasizes the conditions for applying a body of factual or procedural knowledge will be suggested.

Learning Progression in Energy

Concept

Since students learn about science from elementary until senior high school, a systematic curriculum for science learning is critically important. Recently, educators and researchers introduced a terminology that called learning progression. This is descriptions of the

Page 46: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

35

order in which ideas that comprise a content domain are most likely to be effectively learned (Herrmann-Abell&DeBoer, 2017). Basically, it is a description that represent a continuum and integrative ways of thinking about a concept that develops over time (American Association for the Advancement of Science, 2001, 2007; Corcoran, Mosher, & Rogat, 2009; NRC, 2007). The upper level, or “upper anchor,” of a learning progression specifies the knowledge that instruction is ultimately building toward and that students are expected to have in order for them to be considered proficient in that area. The lower levels represent some productive steps that students should follow to be proficient in some concepts.

Energy is one of central topic in the K-12 science curriculum. It is a core concept and cross-cutting concept in the same time. With many applications in the earth, physical, life sciences, and in engineering and technology, the importance of this topic become more important. Due to the importance of energy topic, students need to have sufficient understanding from early age.

Therefore, it is significant to know how students’ thinking about energy develops so that they can be appropriately supported in their understanding of energy. Energy concepts (Duit, 2014), are divided into four part which are: (i) Energy Forms and Transformations; (ii) Energy Transfer; (iii) Energy Dissipation and Degradation; and (iv) Energy Conservation.

Through NGSS, US government provide essential steps in energy learning. This framework also well-known as learning progression in energy (Table 1). Deeper Learning in Energy

In the science framework (NGSS, 2012), it is including a “practices” dimension, calling for students to actively use and apply knowledge. Moreover, the NRC science framework aims to prepare high school graduates to engage in public discussions on science-related issues and to be critical consumers of scientific information. In the other word, those science frameworks are coherent with definition of deeper learning.

Table 3 Energy’s Learning Progression

Purpose Level of Students

K-2 K 3-5 K 6-8 K 9-12 Definition of

energy

N/A Moving objects contain energy. The faster the object moves, the more energy it has. Energy can be moved from place to place by moving objects, or through sound, light, or electrical currents. Energy can be converted from one form to another form.

Kinetic energy can be distinguished from the various forms of potential energy. Energy changes to and from each type can be tracked through physical or chemical interactions. The relationship between the temperature and the total energy of a system depends on the types, states, and amounts of matter.

The total energy within a system is conserved. Energy transfer within and between systems can be described and predicted in terms of energy associated with the motion or configuration of particles (objects). Systems move toward stable states.

Conservation

of energy and

energy

transfer

Sunlight warms Earth’s surface.

Page 47: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

36

Relationship

between

energy and

forces

Bigger pushes and pulls cause bigger changes in an object’s motion or shape.

When objects collide, contact forces transfer energy so as to change the objects’ motions.

When two objects interact, each one exerts a force on the other, and these forces can transfer energy between them.

Fields contain energy that depends on the arrangement of the objects in the field.

Energy in

chemical

processes and

everyday life

Sunlight warms Earth’s surface.

Energy can be “produced,” “used,” or “released” by converting stored energy. Plants capture energy from sunlight, which can later be used as fuel or food.

Sunlight is captured by plants and used in a reaction to produce sugar molecules, which can be reversed by burning those molecules to release energy.

Photosynthesis is the primary biological means of capturing radiation from the sun; energy cannot be destroyed, it can be converted to less useful forms.

(Summarized from NGSS, 2013)

The terminology of practices describes behaviors that scientists when they investigate and build models and theories about the natural world and the key set of engineering practices that engineers use as they design and build models and systems. The NRC uses the term practices instead of a term like “skills” to emphasize that engaging in scientific investigation requires not only skill but also knowledge that is specific to each practice. Part of the NRC’s intent is to better explain and extend what is meant by “inquiry” in science and the range of cognitive, social, and physical practices that it requires. Although engineering design is similar to scientific inquiry, there are significant differences. For example, scientific inquiry involves the formulation of a question that can be answered through investigation, while engineering design involves the formulation of a problem that can be solved through design.

The science engineering practice (NGSS, 2012) suggest that an effective learning process have several steps that the order of them can be adjusted which are • Asking questions and defining

problems

• Developing and using models • Analyzing and interpreting data • Using mathematics and

computational thinking • Constructing explanations and

designing solutions • Engaging in argument from evidence • Obtaining, evaluating, and

communicating information Those steps help students to learn the concept and application through practices. Energy STEM as One of Deeper

Learning Implementation

STEM is an acronym that stands for Science, Technology, Engineering and Mathematics. STEM education attempt to be an interdisciplinary, educational approach that relates to real-world applications. This approach is not totally new in science education. But the background of STEM education seems to be relevant until today situation. It was started by an era that well-known as sputnik era in USA. The launch of the Russian satellite, Sputnik, into space become a huge trigger for this. In 1957, while Americans put their competitive spirit into motion under the leadership of Presidents Eisenhower and Kennedy

Continued Table 3

Page 48: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

37

(Bee, 2013). Americans were challenged to step up and become leaders in science, technology, engineering and math. This initial start opens many discussions until now.

Several published reports in the early 2000s brought attention to the need for U.S. students to increase their proficiency in STEM disciplines. If we want to be succeeded as a global leader, our future workforce would need to be better prepared in STEM disciplines. In 2009, President Obama announced the Educate to Innovate initiative. The goal of the initiative is to move U.S. students to the top of the pack in science and math achievement.

Strengthening the engineering aspects of the Next Generation Science

Standards will clarify for students the relevance of science, technology, engineering and mathematics (the four STEM fields) to everyday life. In energy concepts, STEM has been started to implement. Various Energy STEM activities are initiate by researchers and teachers. Moreover, the changing trend in energy source management also give big impact to energy learning. Energy STEM should be focus in strengthen renewable energy part. According to Walz, Slowinski, Alfano (2016), some educational finding that important for energy STEM are: a) Establishment of a national vision for

energy policy is a key ingredient to establishing a consistent approach to renewable energy education.

b) Educational institutions should focus on the incorporation of renewable energy in core programs of study rather than the creation of new “specialty” degrees.

c) Collaboration between education, industry and trade unions helps to shape renewable energy education.

From this discussion, the connection between STEM and deeper learning already obvious. STEM facilitate students to learn in real situation and

apply their knowledge into practices. Therefore, Energy STEM is promising to be one of deeper learning application to relate energy concepts and practices. CONCLUSION

The 21st century skills and deeper learning support important influence to energy education. From the understanding of cognitive architecture, the energy learning should facilitate memorization system and problem solving to prepare students for their future needs that relate to energy. The match between this theoretical framework with STEM education is strongly visible during this research. Therefore, Energy STEM is one of promising alternative approach for making energy learning improved through practices.

REFERENCE

American Association for the Advancement of Science. (2001). Atlas of science literacy,1.

American Association for the Advancement of Science. (2007). Atlas of science literacy, 2.

Anderson, L.W., Krathwohl, D.R., Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.A., Pintrich, P.R., Raths, J., and Wittrock, M.C. (2001). A

taxonomy for learning, teaching,

and as- sessing: A revision of

Bloom’s taxonomy of educational objectives. Boston, MA: Allyn & Bacon.

Baddeley, A. D. (1986). Working

memory. Oxford: Oxford University Press.

Bee, R. W. (2013). The case for STEM

education challenges and

opportunities. Colorado: National Science Teacher Association Press.

Corcoran, T., Mosher, F. A., & Rogat, A. (2009). Learning progressions in

science: An evidence-based

approach to reform. New York:

Page 49: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

38

Columbia University, Teachers College, Center on Continuous Instructional Improvement.

Duit, R. (2014). Teaching and learning

the physics energy concept. In R. F. Chen, A. Eisenkraft, D. Fortus, J. Krajcik, K. Neumann, J. Nordine, & A. Scheff (Eds.), Teaching and learning of energy in K-12 education (pp. 67–85). New York: Springer.

Greeno, J.G., Pearson, P.D., and Schoenfeld, A.H. (1996). Implications for NAEP of research

on learning and cognition. Report

of a study commissioned by the

National Academy of Education.

Panel on the NAEP Trial State Assessment, Conducted by the Institute for Research on Learning. Stanford, CA: National Academy of Education.

Herrmann-Abell&DeBoer. (2017). Investigating a learning progression for energy ideas from upper elementary through high school. Journal of Research in

Science Teaching. DOI 10.1002/tea.21411

Mayer, R.E., Heiser, J., and Lonn, S. (2001). Cognitive constraints on multimedia learning: When presenting more material results in less understanding. Journal of

Educational Psychology, 93, 187-198.

Mayer, R.E. (2011a). Instruction based on visualizations. In R.E. Mayer and P.A. Alexander (Eds.), Handbook of research on learning

and instruction (pp. 427-445). New York: Routledge.

Mayer, R.E. (2011b). Intelligence and achievement. In R.J. Sternberg and S.B. Kaufman (Eds.), The

Cambridge handbook of

intelligence (pp. 738-747). New York: Cambridge University Press.

Mutvei A & Mattsson J. (2015). Big ideas in science education. Procedia –

Social Behavioural Sciences 167, 190 – 197.

NGSS Lead States. (2013). Next

Generation Science Standards:

For States, By States. Washington DC: The National Academies Press.

National Research Council. (2007). Taking science to school:

Learning and teaching science in

grades K-8. Washington, D.C.: The National Academies Press.

National Research Council. (2012). A

framework for K-12 science

education: Practices, crosscutting

concepts, and core ideas.

Committee on a Conceptual

Framework for New K-12 Science

Education Standards. Board on Science Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: The National Academies Press.

Pellegrino, J. W. & Hilton, M. L. (2012). Education for Life and Work:

Developing Transferable

Knowledge and Skills in the 21st

Century. Washington DC: The National Academy in Sciences.

Skolverket (Swedish National Agency for Education). (2011). Curriculum for the compulsory

school, preschool class and the

recreation Centre 2011. Stockholm: Skolverket.

Taber, K. S. & Akpan, B. (2017). Science

Education: An International

Course Companion. Netherlands: Sense Publishers.

Walz, Slowinski, Alfano. (2016). International Approaches to Renewable Energy Education – A Faculty Professional Development Case Study with Recommended Practices for STEM Educators. American Journal of Engineering

Education, 7(2)

Page 50: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

39

Penerapan Model Discovery Learning dalam Meningkatkan Keterampilan

Proses Sains dan Prestasi Siswa

Anita Irmayani Suryati*, Nurul Ain, dan Chandra Sundaygara

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Indonesia

*[email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran, meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan untuk meningkatkan prestasi siswa dengan menggunakan model discovery learning. Subyek penelitian adalah Siswa kelas XI MIPA 2 SMA Negeri 6 Malang. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart yang terdiri dari 2 siklus. Instrumen yang digunakan adalah lembar keterlaksanaan model pembelajaran, keterampilan proses sains dan tes prestasi siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) penerapan model discovery learning

dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran, 2) penerapan model discovery learning dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa, dan 3) penerapan model discovery learning dapat meningkatkan prestasi siswa. Kata Kunci: Discovery learning, keterampilan proses sains, prestasi

PENDAHULUAN

IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan gelaja-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan dedukasi (Fowler, dalam Trianto (2010). Selain itu IPA adalah suatu kumpulan pengetahuaan yang tersusun secara sistematis dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam (Wahana, dalam Trianto (2010). Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang terstruktur atau secara berurutan dan penerapannya dalam pembelajaran secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, teliti dan sebagainya (Trianto, 2010). Oleh karena itu, belajar IPA (fisika) bagi siswa pada hakikatnya bukan saja sekedar untuk mengingat dan memahami temuan saintis, tetapi juga diharapkan untuk memperoleh konsep-konsep fisika dan untuk menumbuhkan sikap ilmiah.

Berdasarkan hasil observasi di Kelas XI IPA 2 SMAN 6 Malang, didapatkan hasil bahwa keterampilan proses sains siswa masih kurang yaitu, 1) siswa kurang terampil dalam hal bertanya tentang materi terkait dalam proses pembelajaran, 2) siswa kurang terampil dalam melaksanakan kegiatan praktikum yang berkaitan dengan materi Fisika di luar ruangan, 3) siswa kurang mampu memecahkan permasalahan yang diberikan guru, 4) masih ada beberapa siswa yang bercerita sendiri dengan temannya selama pelajaran berlangsung dan masih ada pula yang ribut saat pembelajaran berlangsung, dan 5) siswa yang aktif saat diskusi hanya beberapa orang saja, masalah ini berdampak pada prestasi siswa. Berdasarkan hasil observasi dengan guru fisika di SMA Negeri 6 Malang, rata-rata hasil belajar kognitifnya adalah 69,33% dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan lembaga atau sekolah untuk mata pelajaran IPA adalah 70. Dilihat dari hasil ulangan bab sebelumnya hanya (56,66%) siswa yang tuntas. Dengan demikian ketuntasan hasil belajar siswa masih belum tercapai. Fakta

Page 51: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

40

tersebut muncul disebabkan oleh kurangnya keterampilan proses sains siswa akan mata pelajaran fisika, serta model pembelajaran yang digunakan oleh guru fisika kurang bervariatif. Salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan proses sains siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran fisika seharusnya menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung kepada siswa agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang dimiliki siswa (Astuti dkk., 2016).

Berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa, diperlukan penerapan suatu model pembelajaran yang dapat menyelesaikan masalah yang ada. Ternyata keterampilan proses sains siswa lebih khusus siswa kelas XI MIPA 2 SMA Negeri 6 Malang secara umum masih rendah. Hal ini terlihat dari aktivitas ilmiah yang rendah seperti dalam proses pembelajaran berlangsung siswa diberikan masalah atau persoalan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan tetapi mereka kurang mampu memecahkan permasalahan yang diberikan guru. Salah satu model yang dapat digunakan dalam pembelajaran fisika yang dapat membantu siswa meningkatatkan keterampilan proses sains dan prestasi siwa adalah model discovery learning .

Model discovery learning adalah model pembelajaran yang menekankan pada pengalaman belajar yang aktif yang berpusat pada anak-anaknya menemukan ide sendiri dan mengambil maknanya sendiri (Arends, 2012). Discovery

learning juga menekankan pada pola dasar melakukan pengamatan, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan. Penerapan model discovery learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan yaitu; a) meningkatkan proses kognitif/proses

berpikir siswa, b) menumbuhkan motivasi belajar siswa c) mengajak siswa mengarah ke proses belajarnya, d) membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan lainnya (Muhibbin, 2004).

Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa model discovery

learning dapat meningkatkan keterampilan proses (Foruidah, 2016, Susanti dkk., 2016, Abrari, Meti, & Riezky, 2012) Selain meningkatkan keterampilan proses sains, penerapan model discovery learning juga mampu meningkatkan prestasi belajar siswa (Dewi, 2016; Galuh, dkk., 2014; Ria, 2017). Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui kualitas proses pembelajaran discovery learning dalam meningkatkan keterampilan proses sains dan prestasi siswa, 2) untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan model discovery learning, dan 3) untuk meningkatkan prestasi siswa dengan menggunakan model discovery learning.

METODE

Jenis penelitian yang dialksanakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Langkah-langkah menurut Kemmis dan Taggart yaitu: (1) perencanaan (planing); tindakan (acting); (3) observasi (observing); dan (4) refleksi (reflecting). Subyek penelitian di kelas XI MIPA 2 SMAN 6 Malang Tahun Ajaran 2018/2019. Letak sekolah berada Di Kota Malang Jl. Mayjen Sungkono No.58, Buring. Kedung kandang, Kota Malang, Jawa Timur 65136. Sumber data diperoleh dari kelas XI MIPA 2 SMAN 6 Malang untuk mengetahui seberapa besar peningkatan keterampilan proses sains terhadap prestasi siswa setelah menggunakan model discovery learning.

Instrumen yang digunakan adalah lembar keterlaksanaan model discovery

learning, keterampilan proses sains dan

Page 52: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

41

tes prestasi siswa. Data keterlaksanaan model discovery learning diperoleh dari lembar observasi. Data keterampilan proses sains diidentifikasi pada saat berlangsungnya pembelajaran yang ditunjukkan oleh keterampilan bertanya dan keterampilan dalam mengerjakan percobaan dan keterampilan menyimpulkan hasil percobaan. Skor keterampilan proses sains dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui keterampilan proses sains siswa di kelas, dimana terlebih dahulu dilakukan perhitungan selisih skor keterampilan proses sains dari siklus I dan siklus II. Setelah diperoleh skor penilaian keterlaksanaan pembelajaran dan keterampilan proses sains maka dihitung persentase pelaksanaan pembelajaran keterampilan proses sains. Prestasi siswa dianalisis berdasarkan tes yang dilakukan. Untuk perhitungan keseluruhannya dianalisis dengan perhitungan rata-rata nilai tes.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterlaksanaan Pembelajaran Data yang diperoleh pada saat pembelajaran siklus I dan siklus II berlangsung, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase Keterlaksanaan

Pembelajaran

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh keterlaksanaan pembelajaran siklus I adalah 73,96% menjadi 86,1% pada siklus II. Peningkatan data tersebut dari kategori cukup baik menjadi kategori baik. Keterlaksanaan

pembelajaran siklus I masih dalam kategori cukup baik karena pada tahap awal apersepsi, serta langkah-langkah pembelajaran kurang dilaksanakan dengan baik, guru kurang menguasai kelas sehingga masih banyak siswa yang sibuk dengan pekerjaan sendiri, sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan karena pada tahap awal, apersepsi, serta langkah-langkah pembelajaran sudah berjalan dengan baik dan penyampaian materi secara perinci.

Rata-rata persentase keterlaksanaan pembelajaran pada siklus II sebesar 86,1%. Persentase ini masuk dalam kriteria baik. Meningkatnya kualitas persentase keterlaksanaan pembelajaran dari siklus I dan siklus II karena semua aspek yang diamati mulai dari tahap pendahuluan rata-rata keseluruhannya mencapai 87,48%, tahap inti rata-rata keseluruhannya mencapai 87,49% dan tahap penutup rata-rata keseluruhannya mencapai 83,3%.

Peningkatan ini terjadi karena upaya guru dalam melaksanakan pembelajaran sesuai tahapan-tahapannya berjalan dengan baik, guru berusaha semaksimal mungkin menguasai kelas, menjelaskan materi secara rinci sehingga siswa terlihat antusias dan turut berpartisipasi aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung dan menggunakan waktu secara tepat sehingga proses pembelajaran berjalan dengan baik.

Menurut Kurniasih & Sani (2014:64) discovery learning didefenisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila materi pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan kepada siswa mengorganisasi sendiri. Selanjutnya, Sani (2014:97) mengemukakan bahwa discovery adalah menemukan konsep sendiri melalui serangkaian data atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan atau percobaan.

73,96%

86,10%

65,00%

70,00%

75,00%

80,00%

85,00%

90,00%

SIKLUS I SIKLUS II

Page 53: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

42

Pernyataan ini setara dengan pendapat Hosnan (2014:282) bahwa discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki maka hasil yang diperoleh akan tetap setia dan tahan lama dalam ingatan. Melalui belajar penemuan, siswa juga bisa belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan masalah sendiri yang dihadapi. Pernyataan Wilcox (Hosnan, 2014:281) juga menyatakan bahwa dalam pelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan disini guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dengan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk mereka sendiri.

Keterampilan Proses Sains

Hasil analisis data keterampilan proses sains (KPS) pada siklus I dan Siklus II, dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Rata-rata KPS Siklus I dan

Siklus II

Persentase keterampilan proses sains (KPS) pada siklus II berada pada kualifikasi baik. Berdasarkan data yang ada ternyata terjadi peningkatan keterampilan proses sains siswa pada siklus II bila dibandingkan dengan siklus I hal ini terlihat pada rata-rata keterampilan proses sains siswa pada siklus II yaitu 87,5% dengan kenaikan ini dapat dikatakan bahwa keterampilan proses sains siswa ada kemajuan dari

siklus I, berarti keterampilan proses sains siswa sangat baik.

Peningkatan pada siklus II terjadi mulai dari tahap mengolah data, mengkomunikasikan hasil percobaan dan menyimpulkan hasil percobaan. Rata-rata mengolah data yaitu pada pertemuan 1 sebesar 90% dan pertemuan 2 sebesar 90%. Rata-rata mengolah data siswa pada siklus II adalah 90% dan berada pada kualifikasi sangat baik. Rata-rata mengkomunikasikan hasil percobaan pertemuan 1 sebesar 85,00% pertemuan 2 sebesar 90,00%. Rata-rata siswa menyimpulkan hasil percobaan pada pertemuan 1 sebesar 80,00% dan pertemuan 2 sebesar 85,00%.

Peningkatan dari siklus I ke siklus II karena upaya guru dalam membimbing siswa mengidentifikasi masalah dengan melakukan percobaan berjalan dengan baik serta menerangkan prosedur percobaan secara detail sehingga siswa tidak bingung pada saat mengumpulkan data, menganalisis dan menyimpulkan hasil percobaan. Keterampilan proses sains dapat meningkat dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning karena dalam pembelajaran discovery learning siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan penelitian Ilmi,dkk (2012) Menurut Ilmi, dkk (2012) model discovery adalah model pemebalajaran yang dapat mengembangkan keterampilan proses sains siswa, dimana siswa dibimbing untuk menyelidiki dan menemukan sendiri fakta atu konsep fisika, sehingga keterampilan dan penegetahuan yang mereka peroleh merupakan temuan sendiri. Selain itu penelitian yang dialkukan oleh Susanti, dkk (2016) menyimpulkan keterampilan proses sains siswa dapat meningkat dengan model discovery learning. Menurut penelitian (Annisa, Zainuddin, dan Salam, 2017) model discovery learning dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

63%

87,50%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

SIKLUS I SIKLUS II

Page 54: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

43

Prestasi Siswa

Pengukuran prestasi siswa dilakukan pada saat tes di akhir pembelajaran dan nilai tes dengan menggunakan instrumen prestasi siswa, terdiri dari kelima indikator prestasi yaitu: mengingat (C1), memahami (C2), mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), setiap indikator prestasi tersebut memiliki aspek yang berbeda disertai dengan deskriptifnya masing-masing sebagaimana yang ada dalam lampiran. Berdasarkan perolehan data pada prestasi pada siklus I dan siklus II, maka dapat di gambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Rata-rata Prestasi Siswa

Siklus I dan Siklus II Berdasarkan hasil tes prestasi

siswa terlihat bahwa rata-rata prestasi siswa pada siklus I sebesar 73% termasuk pada kategori cukup baik sedangkan rata-rata prestasi siswa pada siklus II sebesar 80,33% pada kualifikasi baik. Dari data di atas ada peningkatan dari siklus I ke siklus II. Aspek yang tertinggi pada siklus II yaitu (C1) mengingat sebesar 19,67%, rata-rata prestasi siswa sebesar 80,33% hal ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa pada ranah kognitif sudah mencapai kategori baik.

Peningkatan dari siklus I ke siklus II karena upaya guru dalam menjelaskan materi mulai dari tahap pendahuluan, tahap inti, dan tahap penutup berjalan sesuai dengan langkah-langkah yang sudah ditetapkan sehingga siswa benar-benar mengerti dengan materi yang sudah dijelaskan, sehingga pada saat disuruh untuk mengerjakan soal terlihat

semangat dan hasil nilai tes prestasi siswa meningkat pada siklus II.

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa discovery learning merupakan model pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan minat dan prestasi belajar siswa. Mahmoud & Kamel (2014) menjelaskan bahwa discovery learning membantu memperoleh kegiatan dimana siswa belajar untuk diri merak sendiri dan menerapkan apa yang mereka ketahui dalam situasi atau suasana yang baru yang akan menyebabkan pencapaian pembelajaran yang efektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Istiana, dkk (2016) meyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran yang menggunkan model discovery learning dapat meningkatkan aktivitas dan prsetasi belajar siswa terhadap materi yang diajarkan. Aktivitas belajar siswa dan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan. Selain itu Wahjudi (2015) menyatakan bahwa pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan aktivitas siswa baik secara individu maupun secara berkelompok yang ditandai dengan semakin bersemangatnya siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatnya hasil belajar siswa. Suardin (2016) juga menyatakan bahwa model discovery

learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang signifikan, hal ini ditandai dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan menemukan jawaban sendiri dari masalah tersebut. Menurut Mubarok (2014) hasil belajar siswa yang menggunakan model discovery learning lebih tinggi dar pada menggunakan model pemebalajran langsung. Sehingga model pembelajaran ini dapat digunakan sebagai inovasi baru dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya Widiadnyana, dkk. (2014) juga menyimpulkan bahwa model discovery learning juga dapa mempengaruhi pemahaman konsep dan sikap ilmiah siswa.

73%

80,33%

68%70%72%74%76%78%80%82%

SIKLUS I SIKLUS II

Page 55: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

44

SIMPULAN

Disimpulkan bahwa: 1) Model discovery learning dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dari siklus I kualifikasi kategori cukup baik menjadi kategori baik pada Siklus II, 2) Model discovery learning dapat meningkatkan keterampilan proses sains pada siswa dari kategori cukup baik pada Siklus I menjadi kategori baik pada Siklus II, 3) Model discovery learning dapat meningkatkan prestasi siswa dari kategori cukup baik pada Siklus I menjadi kategori baik pada Siklus II.

DAFTAR PUSTAKA

Abrari, N.A.I, Meti I, &Riezky M. P. (2012). The influence of guided discovery learning methods toward science skill process in class x of SMA Negeri 1 Teras Boyolali in academic year 2011/2012. Jurnal Pendidikan

Biologi, 4(2). Annisa, Y. N., Zainuddin, Z., & Salam,

A. (2017). Pengembangan perangkat pembelajaran berorientasi keterampilan berpikir kreatif siswa SMP pada pokok bahasan cahaya dengan model penemuan terbimbing. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 5(1), 75-87.

Astuti,dkk. (2016). Pembelajaran fisika terhadap keterampilan proses sains. Journal of Scientific

Research.

Dewi, R. P. (2016). Pengaruh model

pembelajaran discovery learning

terhadap prestasi belajar siswa. Skripsi sarjana pendidikan fisika.Universitas Jember.

Galuh, Arika., dkk. (2014). Penerapan model pembelajaran discovery

learning untuk meningkatkan prestasi siswa pada matapelajaran biologi kelas XI MIA SMA Pekan Baru tahun pelajaran 2014/2015., Jurnal penelitian Pendidikan,

6(2), 54-65. Mahmoud, A., & Kamel, A. (2014). The

effect of using discovery learning strategy in teaching grammatical rules to first year general secondary student on developing their achievement and metacognitive skills. International

Journal of Innovation and

Scientific Research, 5(2), 146-153. Muhibbin. (2004). Penerapan Model

Dicovery Learning Terhadap

Keterampilan Proses Sains. Yogyakarta: Pustaka belajar.

Ria, Yusfita. (2017). Pengaruh model pembelajaran discovery learning

untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Jurnal penelitian

Pendidikan,1-18 Suardin. (2016). Penerapan metode

discovery learning pada materi system pencernaan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Labuan. Jurnal Kreatif Tadulako Online,

4(3): 254-261. Susanti,dkk. (2016). Pengaruh model

discovery terhadap keterampilan sains dan hasil belajar siswa kelas VII tentang IPA SMP Advend Palu. Jurnal Sains dan Teknologi, 5(3).

Wahjudi, E. (2015). Penerapan discovery

learning dalam pembelajaran IPA sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX-1 di SMP Discovery

Learning Negeri 1 Kalianget. Jurnal Lensa, 5(1), 1-1

Page 56: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

45

Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Pemahaman

Konsep Fisika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa

Dedi Setiawan, Sholikhan, dan Akhmad Jufriadi

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Kanjuruhan Malang

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep fisika siswa. Jenis penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah posttets only control group design. Penelitian dilaksanakan di salah satu SMA di Kabupaten Malang. Populasi penelitian adalah siswa kelas X MIPA, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Teknik pengambilan data menggunakan tes pemahaman konsep dan angket motivasi belajar. Analisis data menggunakan analisis varian anova dua jalur. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: 1) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan model pembelajaran konvensional. Dengan taraf signifikan 0,019 < 0,05, 2) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan rendah. Dengan taraf signifikan 0,000 < 0,05, dan 3) tidak ada pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan motivasi terhadap pemahaman konsep fisika, dengan taraf signifikan 0,126 > 0,05. Kata Kunci: Inkuiri terbimbing, motivasi belajar, pemahaman konsep

PENDAHULUAN

Fisika merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari perilaku alam dalam berbagai bentuk gejala, sehingga untuk belajar fisika diperlukan suatu pemahaman melalui pemahaman konsep-konsep. Pembelajaran fisika tidak hanya menyajikan fakta-fakta dan informasi (Supriyono, 2003) yang hanya sekedar menghafal konsep, prinsip serta hukum tanpa memahaminya (Trianto, 2007: 32), namun didalamnya siswa diajarkan memahami konsep-konsep serta memecahkan dan mencari solusi dari suatu masalah dalam kehidupan sehari-hari (Masril, 2008).

Pemahaman konsep merupakan hal yang sangat penting dan harus diutamakan dalam proses pembelajaran dibandingkan dengan menghafal (Cakir, 2008). Melalui pemahaman konsep memungkinkan siswa untuk dapat menyelesaikan permasalahan fisika yang

berbeda bahkan berpengaruh terhadap keterampilan siswa yang lain termasuk ranah kognitif yang lebih tinggi. Tetapi, permasalahan yang sering terjadi dalam belajar fisika adalah kurangnya pemahaman konsep fisika, sehingga minat belajar siswa rendah dalam pelajaran fisika (Linuwih dan Sukwati, 2014).

Kondisi ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Maloney & Hieggelke (2001) yang menyebutkan bahwa pemahaman konseptual fisika lebih dari 5000 siswa di 30 lembaga tidak memuaskan. Lemahnya pemahaman konsep fisika umumnya disebabkan para pengajar dalam menggunakan metode atau pendekatan pembelajaran kurang relevan, guru sebagai satu-satunya sumber belajar (teacher center) yang cenderung bersifat memompakan informasi kepada siswa dan belum bisa meningkatkan pemahaman konsep secara optimal (Arief, 2012).

Page 57: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

46

Beberapa permasalahan lemahnya pemahaman konsep (Humairoh, 2015) antara lain, siswa hafal dengan materi tetapi tidak paham, tidak mampu menghubungkan konsep dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta merasa kesulitan memahami konsep abstrak melalui metode ceramah. Sebab, metode ceramah yang sering diterapkan, menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya proses pembelajaran (Selamet, Sadia, & Suma, 2013). Siswa hanya memperoleh pengetahuan secara teoritis dan pasif, sementara hanya guru yang bertindak aktif untuk memberikan informasi.

Berdasarkan pemaparan masalah tersebut, maka perlu adanya suatu pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa (Marheni & Muderawan, Tika, & Si, 2014). Karena belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan (Shint, dkk., 2014). Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami, sehingga siswa dapat mengembangkan pemahaman konsep.

Model pembelajaran Inkuiri terbimbing merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2009: 196). Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam pembelajaran akan membuat pembelajaran lebih aktif, menyenangkan, dan inovatif. Pembelajaran inkuiri terbimbing ini akan mengarahkan siswa untuk menjadi lebih aktif dan kreatif. Kegiatan yang demikian membuat siswa aktif membangun pengetahuan sendiri, sehingga pemahaman konsep mereka menjadi optimal (Triani 2014).

Model pembelajaran tidak akan berjalan efektif bila tidak memperhatikan karateristik siswa, salah satunya adalah motivasi belajar siswa. Hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal maupun

eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku. Menurut Iskandar dengan beberapa indikator sebagai berikut: 1) adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil, 2) adanya dorongan dalam belajar, 3) adanya harapan dan cita-cita masa depan, 4) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, serta 5) adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan siswa dapat belajar dengan baik (Sanjaya, 2009: 194).

Sudjana (2008: 61) menyatakan bahwa “Keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dalam motivasi belajar yang ditunjukkan oleh para siswa saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan”. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa adalah motivasi itu sendiri untuk belajar Syah (2006: 132). Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran fisika khususnya pemahaman konsep, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak mungkin dapat melakukan aktivitas belajar secara optimal.

Berdasarkan pemaparan uraian tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional, 2) untuk mengetahui perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, dan 3) untuk mengetahui pengaruh interaksi penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep fisika.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti merupakan penelitian quasi

experiment (eksperimen semu). Desain

Page 58: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

47

yang digunakan dalam penelitian ini adalah posttest only control group

design. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X MIPA disalah satu SMA di Kabupaten Malang. Sampel pada penelitian ini adalah kelas X MIPA 1 dan X MIPA 3. Sampel pada penelitian ini dipilih berdasarkan teknik purposive

sampling. Kelas eksperimen yaitu kelas X MIPA 1 dengan jumlah 28 siswa dan kelas kontrol adalah kelas X MIPA 1 dengan jumlah 28 siswa.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes pemahaman konsep dan angket motivasi belajar. Tes pemahaman konsep berbentuk soal pilihan ganda yang berjumlah 25 butir soal yang disesuaikan dengan indikator pemahaman konsep yang dikembangkan oleh Anderson & Krathwohl (2015) yaitu: menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, menjelaskan. Sedangkan angket motivasi belajar dengan jumlah 25 butir item pernyataan dengan 13 butir item pernyataan positif dan 12 butir item pernyataan negatif yang disesuaikan dengan indikator motivasi belajar Sardiman (2009) & Wahyuningtyas (2005) meliputi: memiliki semangat dan dorongan yang kuat untuk memulai aktivitas dan mengahadapi tugas, tekun dalam mengahadapi tugas atau kesulitan, gigih dan ulet dalam menemui kesulitan, menyelesaikan tugas tepat waktu, dan banyak waktu yang disediakan untuk belajar. Sedangkan untuk perangkat pembelajaran yaitu silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Lembar Kerja Siswa (LKS).

Data utama yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah motivasi belajar dan pemahaman konsep siswa terhadap model pembelajaran inkuiri terbimbing dan konvensional yang berupa nilai posttest pemahaman konsep dan angket motivasi untuk menentukan tingkat motivasi belajar siswa. Teknik analisis data yang digunakan untuk

menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah analisis Uji ANOVA (analysis of

variance) dua jalur dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Hasil Analisis Uji Anova Dua Jalur

Perbedaan Pemahaman Konsep Siswa

antara Model Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing dengan Konvensional

Berdasarkan hasil analisis data pada source model pembelajaran pada Tabel 1, diperoleh nilai taraf signifikansi adalah 0,019. Karena (0,019 < 0,05), maka H01 = ditolak. Artinya ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Marsudiatmi (2013) penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing menghasilkan pemahaman konsep siswa yang lebih baik dari pada model pembelajaran Langsung. Hal serupa juga didukung oleh hasil penelitian (Tariani, Syahruddin, & P, 2014 & Ngertini, Sadia, & Yudana, 2013) yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.

Ada beberapa argumen yang menjadi dasar perbedaan pemahaman konsep antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dan konvensional,

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Pemahaman_Konsep

Source F Sig.

Model_Pembelajaran 5.911 .019

Motivasi 16.158 .000

Model_Pembelajaran * Motivasi 2.423 .126

a. R Squared = ,336 (Adjusted R Squared = ,298)

Page 59: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

48

antara lain: model pembelajaran inkuiri terbimbing merupakan pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual, pembelajaran kolaboratif, dan pembelajaran konstruktivisme.

Pembelajaran aktif merupakan proses belajar yang menuntut siswa aktif dan mendapat kesempatan lebih banyak untuk melakukan aktivitas belajar interaktif dengan materi pelajaran, lingkungan belajar, dan melibatkan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka (Kumara, 2004), sehingga terdorong untuk menyimpulkan pemahaman pada materi yang dipelajari dari pada sekedar menerima pelajaran yang diberikan (Francis dan Gould 2012).

Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang memposisikan siswa sebagai subjek, bukan sebagai objek pembelajaran dengan menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan lebih bermakna karena siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya (Nurhadi, 2004: 9).

Pembelajaran kolaboratif merupakan salah satu pembelajaran yang memandang belajar sebagai suatu proses interaksi sosial (Nurhadi, 2004: 5) dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna (Aunurrahman, 2009: 35) yang menuntut siswa mendapat pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim, sehingga dapat menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan

berinteraksi dengan sesama individu (Esema, 2012).

Pembelajaran konstuktivisme merupakan suatu pembelajaran yang menghubungkan antara lingkungan dan pengetahuan (Wonorahardjo, 2006) yang didalamnya menerangkan bagaimana siswa secara aktif mengembangkan dan menyusun pemikirannya untuk membentuk pengetahuannya sendiri (Kukla, 2003: 39).

Berkaitan dengan hasil penelitian, penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan konvensional memberikan efek yang berbeda terhadap pemahaman konsep fisika pada materi GLB dan GLBB. Pengaruh model pembelajaran tersebut dapat dilihat pada rata-rata nilai pemahaman konsep siswa. Hasil pengukuran pemahaman konsep dengan menggunakan instrumen tes pemahaman konsep menunjukkan rata-rata nilai yang diperoleh siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing sebesar 81,29 dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional dengan rata-rata sebesar 77,29. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata–rata pemahaman konsep fisika siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing lebih tinggi dari pada siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

Selain memperlihatkan hasil rata-rata nilai pemahaman konsep, ketujuh indikator pemahaman konsep menunjukkan skor tiap indikator pemahaman konsep pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran dengan model konvensional. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar 1. .

Page 60: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

49

Gambar 1 Persentase Indikator-indikator Pemahamaan Konsep Fisika berdasarkan Model

Pembelajaran Pada model pembelajaran inkuiri

(Sund & Trowbridge,1973), terdapat enam fase yang harus dilakukan secara bertahap dalam proses pembelajaran (Sadia, 2014) dan keenam fase tersebut sesuai dengan prinsip berorientasi pada pengembangan intelektual dalam kegiatan inkuiri (Sanjaya, 2006). Fase pertama pada inkuiri yaitu merumuskan masalah yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas dan dilanjutkan dengan fase menyusun hipotesis. Siswa dituntut untuk memberikan penafsiran dan memberikan contoh-contoh yang terkait dengan materi (Dewi, Margunayasa, & Sudana, 2016). Fase merumuskan masalah dan menyusun hipotesis sesuai dengan prinsip interaksi, bertanya, belajar untuk berfikir dan prinsip keterbukaan dalam inkuiri (Sanjaya, 2006). Pada inkuiri terbimbing guru membimbing siswa untuk mendidentifikasi masalah dan memberikan kesempatan siswa untuk berpendapat membentuk hipotesis.

Fase selanjutnya yaitu merangcang percobaan dan melakukan percobaan. Dalam fase ini siswa mengklasifikasikan

materi-materi yang berhubungan dengan kegiatan yang terdapat pada LKS, kemudian siswa membuat rangkuman dan simpulan sementara dari hasil diskusi bersama kelompoknya (Dewi, dkk., 2016). Fase merancang percobaan dan melakukan percobaan sesuai dengan prinsip interaksi dan prinsip keterbukaan dalam inkuiri (Sanjaya, 2006). Pada inkuiri terbimbing guru ikut serta membimbing dan mengarahkan siswa secara penuh.

Pada fase kelima yaitu mengumpulkan dan menganalisis data, siswa dalam fase ini diajak untuk dapat menyampaikan hasil dari diskusi kelompoknya, dan siswa membandingkan hasil pekerjaannya sehingga nantinya mereka memperoleh suatu pengetahuan baru (Dewi, dkk., 2016). Fase mengumpulkan dan menganalisis data sesuai dengan prinsip belajar untuk berpikir, interaksi dan prinsip keterbukaan dalam inkuiri (Sanjaya, 2006).

Fase terakhir dalam inkuiri yaitu kesimpulan, pada fase ini siswa dituntut untuk menjelaskan kesimpulan dari

Page 61: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

50

materi pelajaran yang telah didapatkan dari kegiatan yang telah dilakukan (Dewi, dkk., 2016). Fase kesimpulan sesuai dengan prinsip belajar untuk berfikir dan prinsip keterbukaan dalam inkuiri (Sanjaya, 2006). Pada inkuiri terbimbing guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan. Dengan demikian, dari fase pertama hingga terakhir pada model pembelajaran inkuiti baik untuk meningkatkan pemahaman konsep (Dewi, dkk., 2016).

Perbedaan Pemahaman Konsep Siswa

antara Siswa yang memiliki Motivasi

Belajar Tinggi dengan Rendah

Berdasarkan hasil analisis data pada source motivasi pada Tabel 1, diperoleh nilai taraf signifikansi adalah 0,000. Karena (0,000< 0,05), maka H02 = ditolak. Artinya ada perbedaan pemahaman konsep, antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah.

Berkaitan dengan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah memberikan efek berbeda terhadap pemahaman konsep fisika aspek kognitif pemahaman pada materi GLB dan GLBB. Perbedaan motivasi tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2 Perbandingan nilai rata-rata

Pemahaman Konsep berdasarkan Motivasi Belajar Tinggi dan Rendah

Dari hasil analisis Gambar 2 pengukuran pemahaman konsep menggunakan instrumen tes menunjukan rata-rata nilai pemahaman konsep yang diperoleh siswa yang memiliki motivasi tinggi adalah 82,45. Sedangkan rata-rata nilai yang diperoleh siswa yang memiliki motivasi rendah adalah 75,84.

Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian Febrianti (2013), bahwa motivasi belajar berpengaruh pada pemahaman konsep fisika siswa. Artinya Siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi memiliki perbedaan pemahaman konsep yang signifikan apabila dibandingkan dengan siswa yang mempunyai motivasi rendah (Setya, 2016).

Menurut Savira dan Suharsono (2013), bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi, artinya individu memiliki perencanaan untuk mencapai tujuannya dan mengelola waktu belajar dengan baik, mengorganisasi dan mengode informasi secara strategis, mempertahankan motivasi, serta mengelola lingkungan guna mendukung aktivitas belajarnya. Sedangkan siswa yang memiliki motivasi rendah, menggambarkan bahwa siswa tidak memiliki perencanaan dan pengaturan waktu dalam pembelajaran, tidak memiliki strategi pembelajaran, rendahnya motivasi, dan kurang memanfaatkan sumber-sumber yang ada.

Motivasi belajar yang tinggi memberikan dampak positif dan berarti terhadap prestasi belajar siswa Miru (2009). Palupi (2014) motivasi belajar siswa memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Hasil belajar IPA siswa. Sehingga semakin baik motivasi belajar siswa maka semakin tinggi pula Hasil belajar IPA siswa yang dicapai, sebaliknya semakin rendah penggunaan motivasi belajar siswa, maka semakin rendah pula hasil belajar IPA siswa yang dicapai. Lestari (2012) prestasi belajar fisika siswa dipengaruhi tinggi rendahnya motivasi belajar yang dimiliki

Page 62: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

51

siswa baik dengan menggunakan model pembelajaran yang berbeda.

Interaksi antara Model Pembelajaran

Inkuiri Terbimbing dan Motivasi

Belajar terhadap Pemahaman Konsep

Fisika Siswa

Berdasarkan hasil analisis data pada source model pembelajaran*motivasi pada Tabel 1, diperoleh nilai taraf signifikansi adalah 0,126. Karena (0,126> 0,05), maka H03 = diterima. Artinya tidak ada pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan motivasi terhadap pemahaman konsep.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan konvensional sama–sama tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap pemahaman konsep ditinjau dari motivasi belajar fisika siswa. Artinya siswa dengan motivasi belajar yang tinggi tidak selalu memiliki pemahaman konsep yang tinggi atau lebih baik apabila dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah dan sebaliknya. Meskipun pada analisis sebelumnya menunjukkan bahwa ada perbedaan pemahaman konsep fisika siswa dengan motivasi belajar tinggi, namun masih ada siswa yang memiliki pemahaman konsep fisika yang baik walaupun memiliki motivasi belajar yang rendah.

Hal ini disebabkan karena pemahaman konsep fisika siswa dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari dalam maupun luar diri siswa selain oleh faktor model pembelajaran dan motivasi belajar siswa serta banyaknya keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan sehingga kurang dapat mengontrol faktor-faktor yang ada di luar kegiatan pembelajaran.

Menurut Syah (2006: 132) menyatakan bahwa keberhasilan proses belajar mengajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

yang ada di dalam individu antara lain perhatian, minat, bakat, motivasi, kesiapan, serta kelelahan. Sedangkan faktor eksternal antara lain faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat. Kesemua faktor internal dan eksternal dalam belajar saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Artinya dalam proses pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh model pembelajaran dan motivasi belajar saja tetapi banyak faktor yang mempengaruhi. Sehingga pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar menjadi lemah atau tidak signifikan, dengan kata lain tidak ada pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan motivasi terhadap pemahaman konsep. Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian Marsudiatmi (2013) tidak terdapat interaksi model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep IPA.

SIMPULAN

Berdasarkan perolehan data dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional, 2) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah pada kelas eksperimen dan kelas control, dan 3) tidak ada pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan motivasi terhadap pemahaman konsep.

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, L. W. & Krathwohl, K. (2015). Kerangka landasan untuk

pembelajaran pengajaran dan

assesmen. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Page 63: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

52

Arief, M. F. B. (2012). Pembelajaran berbasis inkuiri untuk optimalisasi pemahaman konsep fisika pada siswa di SMA Negeri 4 Magelang Jawa Tengah. Berkala Fisika

Indonesia, 4, 11–21. Aunurrahman. (2009). Belajar dan

pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Cakir, M. (2008). Constructivist

approaches to learning in science their implication for science pedagogy: A literature review. International Journal of

Environmental & Science

Education, 3(4), 193–206. Esema D., Susari E., & K. D. (2012).

Problem-based learning, ((Online), (http://www.researchgate.net/publication/3153447337_Problem-Based-Learning).).

Febrianti. (2013). Pengaruh motivasi belajar dan keterampilan proses sains terhadap pemahaman konsep fisika siswa, ((Online), (https://media.neliti.com/media/publications/116268-ID-pengaruh-motivasi-belajar-dan-keterampilan.pdf&sa)).

Francis M., & Gould, J. (2012). Achieving your award in education and training: Practical guide to success ful teaching in the further education and skills sector.

Humairoh, F. (2015). Pengembangan e-book interaktif berbasis salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat) pada materi fluida dinamis untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dan penerapannya. Inovasi

Pendidikan Fisika, 4(2). Kukla, A. (2003). Konsrtruktivisme

sosial dan filsafat ilmu (social

construcyivism and the philosophy

of science, penerjemah: Hari

Kusharyanto). Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Kumara, A. (2004). Model pembelajaran “Active Learning” mata pelajaran

sains tingkat sd kota yogyakarta sebagai upaya peningkatan "Life Skills". Jurnal Psikologi

Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada, 2, 63–91. Dewi, N. L. G. K. K., Margunayasa, I. G.,

& Sudana, D. N. (2016). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan minat belajar terhadap pemahaman konsep ipa pada siswa kelas v sd. MIMBAR

PGSD Undiksha, 4(1). Lestari, N. N. S. (2012). Pengaruh model

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar fisika bagi siswa kelas vii smp, ((Online), (https://media.neliti.com/media/publications/207075-pengaruh-model-pembelajaran-berbasis-mas.pdf)).

Linuwih, S., & Sukwati, N. O. E. (2014). Efektivitas model pembelajaran auditory intellectually repetition (air) terhadap pemahaman siswa pada konsep energi dalam. Jurnal

Pendidikan Fisika

Indonesia, 10(2), 158-162. Maloney, D. P., & Hieggelke, C. J.

(2001). Surveying students ’ conceptual knowledge of electricity and magnetism, 12–23. https://doi.org/10.1119/1.1371296

Marheni, N. P., Muderawan, I. W., Tika, I. N., & Si, M. (2014). Studi komparasi model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran inkuiri bebas terhadap hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa pada pembelajaran sains smp. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran IPA

Indonesia, 4(1). Marsudiatmi, L. (2013). Pengaruh model

pembelajaran inkuiri terbimbing(guided inquiry)terhadap pemahaman konsep ipa materi cahaya ditinjau

Page 64: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

53

dari motivasi belajar, ((Oline),(https://eprints.uns.ac.id/14061/1/ 2036-4702-1-PB.pdf)).

Masril, M. (2008). Penerapan model pembelajaran vee map melalui belajar kooperatif di sma negeri 2 padang. Artikel. Padang: Jurusan

Fisika FMIPA UNP. Miru, A. S. (2009). Hubungan antara

motivasi belajar terhadap prestasi belajar mata diklat instalasi listrik siswa smk negeri 3 makassar, ((Online), (https://anzdoc.com/alimuddin-s-miru-hubungan-antara- motovasi-belajar-terhadap-p.html)).

Ngertini, N. N., Sadia, I. W., & Yudana, I. M. (2013). Pengaruh implementasi model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap kemampuan pemahaman konsep dan literasi sains siswa kelas x sma pgri 1 amlapura. Jurnal

Administrasi Pendidikan

Indonesia, 4(1). Nurhadi, N. (2004). Pendekatan

kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Palupi, R. (2014). Hubungan antara motivasi belajar dan persepsi siswa terhadap kinerja guru dalam mengelola kegiatan belajar dengan hasil belajar ipa siswa kelas viii di smpn n 1 pacitan. Jurnal

Teknologi Pendidikan dan

Pembelajaran, 2(2). Sadia, S. (2014). Model-model

pembelajaran sains

konstruktivitik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sanjaya, W. (2006). Strategi

pembelajaran berorientasi

standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sanjaya, W. (2009). Strategi

pembelajaran berorientasi

standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sardiman, A. M. (2009). Interaksi dan

motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Selamet, K., Sadia, I. W., & Suma, K. (2013). Pengaruh model pembelajaran kontekstual REACT terhadap pemahaman konsep Fisika dan keterampilan Proses Sains siswa kelas VIII SMP. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran IPA

Indonesia, 3(1). Sudjana, N. (2008). Penilaian hasil

proses belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sund, R. B., & Trowbridge, L. W. (1973). Teaching science by

inquiry in the secondary school. Merrill Publishing Company.

Supriyono, K. H. (2003). Strategi

pembelajaran fisika. Malang: Penerbit UM.

Syah, M. (2006). Psikologi pendidikan

suatu pendekatan baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tariani, K., Syahruddin, S., & P, P. (2014). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap pemahaman konsep ipa siswa kelas V. eJournal MIMBAR

PGSD Universitas Pendidikan

Ganesha Jurusan PGSD, 2(1). Trianto, T. (2007). Model-model

pembelajaran inovatif

berorientasi kontruktivistis. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Wahyuningtyas, D. (2005). Motivasi

belajar mengajar. Jakarta: Alfabeta.

Wonoraharjo, S. (2006). Filosofi

konstruktivisme dalam

pembelajaran kimia. Malang: Universitas Negeri Malang FMIPA Jurusan Kimia.

Page 65: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

54

Pengembangan Video Pembelajaran Berbasis Permainan Tradisional pada

Materi Gerak Melingkar

Zulherman, Abidin Pasaribu, Ketang Wiyono, Saparini, dan Winda Oktori

Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Sriwijaya [email protected]

Abstrak Telah berhasil dikembangkan video pembelajaran pada materi gerak melingkar berbasis permainan tradisional untuk siswa SMA yang valid dan praktis. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan dengan menggunakan model pengembangan Rowntree yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pengembangan dan tahap evaluasi. Tahap evaluasi menggunakan teknik evaluasi Tessmer yang terdiri dari self-evaluation, expert review, one-to-one evaluation, dan small group evaluation. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar validasi ahli dan angket. Berdasarkan hasil expert review dari dua aspek penilaian diperoleh rata-rata penilaian para ahli sebesar 88,92% dengan kriteria sangat valid. Berdasarkan hasil one-to-one evaluation diperoleh rata-rata tanggapan siswa terhadap penggunaan video pembelajaran sebesar 83,75% dengan kriteria praktis dan mengalami peningkatan pada tahap small group evaluation dengan diperoleh rata-rata tanggapan siswa terhadap penggunaan video pembelajaran sebesar 85% dengan kriteria praktis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa video pembelajaran yang dikembangkan valid dan praktis sehingga diperoleh kesimpulan bahwa video pembelajaran fisika pada gerak melingkar berbasis permainan tradisional yang dikembangkan peneliti layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran fisika di tingkat SMA.

Kata Kunci: video pembelajaran, gerak melingkar, permainan tradisional

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa berbagai pengaruh pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah bidang pendidikan. Sejalan dengan kemajuan teknologi tersebut terjadi pembaharuan-pembaharuan dalam bidang pendidikan seperti kurikulum, model pembelajaran, serta alat atau media dalam kegiatan pembelajaran. Kehadiran TIK dalam dunia pendidikan telah menyatu dalam semua mata pelajaran yaitu dengan memanfaatkan TIK dalam kegiatan proses belajar mengajar (Siahaan, 2012). Pemanfaatan TIK dalam kegiatan proses belajar mengajar merupakan salah satu wujud penerapan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 65 Tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah pada butir 13 yaitu prinsip

pembelajaran dimana pemanfaatan TIK untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran.

Fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada pada jenjang pendidikan menengah dimana mempelajari tentang gejala-gejala alam dan interaksi dalam ruang dan waktu. Fisika ada karena adanya perngamatan terhadap gejala-gejala alam yang selanjutnya disajikan dalam bentuk konsep, teori, prinsip dan hukum (Zaman, dkk., 2012). Sujanem (2012) menyatakan bahwa sampai saat ini masalah yang melanda dunia pendidikan fisika sebagian besar berkutat disekitar upaya meningkatkan pemahaman konsep fisika. Dalam pembelajaran fisika biasanya sebagian besar fenomena sering kali disajikan sebagai kumpulan persamaan yang membentuk model yang disederhanakan sehingga siswa yang

Page 66: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

55

memiliki latar belakang matematika yang lemah dapat mengalami kesulitan dalam pembelajaran seperti ini. Realita, Sukarmin, & Sarwanto (2016), menyatakan bahwa banyak siswa tidak mengetahui hubungan antara konsep fisika yang dipelajari dengan fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari.

Materi fisika yang diajarkan guru kepada siswa dapat dikaitkan dengan fenomena atau kejadian yang terdapat di kehidupan sehari-hari, misalnya dalam permainan. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak permainan yang berhubungan dengan konsep fisika yang biasa dimainkan oleh siswa. Permainan-permainan tersebut diantaranya permainan kelereng, gasing, gelinding ban, lenggang rotan dan lainnya. Permainan-permainan tersebut merupakan jenis permainan tradisional yang banyak menggunakan prinsip fisika. Fisika dan permainan adalah suatu hal yang apabila kita hubungkan maka akan sangat menarik jika diterapkan kepada siswa saat proses pembelajaran berlangsung.

Materi gerak melingkar bersifat matematis dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, namun masih banyak siswa yang memiliki miskonsepsi terhadap materi gerak melingkar (Pertiwi & Setyarsih, 2015). Untuk menurunkan atau menghilangkan tingkat miskonsepsi siswa terhadap materi tersebut maka diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat membantu yaitu berupa video pembelajaran yang merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pembelajaran fisika.

Salah satu alternatif untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap fisika adalah menghasilkan bahan ajar berkualitas yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran bagi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan fisika (Septiani, Syakbaniyah, & Mufit, 2013). Sanjaya (2012: 204) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu

seperti alat, lingkungan dan segala bentuk kegiatan yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menanamkan keterampilan pada setiap orang yang memanfaatkannya. Menurut Wiyono (2015) dengan keterlibatan komputer, banyak inovasi yang muncul dalam media pembelajaran contohnya adalah animasi, multimedia interaktif, instructional game, laboratorium virtual dan video pembelajaran. Video pembelajaran sebagai sistem pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja (Krishna, Sudhita, & Mahadewi, 2015).

Penerapan pembelajaran dengan menggunakan video pembelajaran juga merupakan salah satu cara agar siswa memiliki motivasi yang besar terhadap materi yang berkaitan. Video pembelajaran dapat menjelaskan konsep yang ada pada materi gerak melingkar sehingga siswa dapat memahami asal mula rumus yang ada bukan dengan cara menghapal rumus. Untuk itu, peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang pengembangan video pembelajaran berbasis permainan tradisional untuk meningkatkan kualitas pembelajaran fisika di sekolah menengah atas khususnya pada materi gerak melingkar.

Selain itu penelitian tentang video pembelajaran sebagai media pembelajaran telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh Handziko dan Suyanto (2015) tentang pengembangan video pembelajaran menghasilkan video pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar dan penguasaan konsep. Penelitian lain tentang video pembelajaran dilakukan oleh Fansuri (2013) tentang penerapan video pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar. Hasil diperoleh bahwa pemberian materi dengan video pembelajaran untuk kelas eksperimen

Page 67: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

56

ternyata membuat banyak siswa mendapatkan nilai di atas KKM dibandingkan dengan kelas kontrol dimana pemberian materi dilakukan tanpa video pembelajaran. Abyadati (2015) melakukan penelitian analisis Video-Animasi-Teks-Narasi (VATeN) dimana dari pembahasan tentang VATeN memberikan gambaran bahwa tayangan video dan animasi dapat dipakai sebagai media pembelajaran fisika yang dapat menyajikan contoh peristiwa sehari-hari dan memunculkan kondisi fisis berkaitan dengan konsep fisika yang dipelajari. Kemudian penelitian yang dilakukan Agustina & Novita (2012) tentang pengembangan video pembelajaran untuk melatih kemampuan memecahkan masalah pada materi larutan asam dan basa dimana menghasilkan video pembelajaran yang valid, praktis dan efektif.

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, peneliti bermaksud melakukan suatu penelitian tentang “Pengembangan Video Pembelajaran Berbasis Permainan Tradisional pada Materi Gerak Melingkar”. Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu menghasilkan video pembelajaran berbasis permainan tradisional pada materi gerak melingkar untuk siswa sekolah menengah atas yang valid dan praktis. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (development research). Dalam penelitian pengembangan ini, model pengembangan yang digunakan adalah Model Rowntree. Model Rowntree merupakan model pengembangan yang berorientasi pada dihasilkannya produk.

Model ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pengembangan dan tahap evaluasi. Tahap perencanaan yaitu analisis kebutuhan dan perumusan tujuan pembelajaran. Pada tahap

pengembangan, yakni tentang pengembangan topik, penyusunan draf, produksi prototipe dari satu jenis produk yang akan digunakan untuk belajar. Pada tahap evaluasi, peneliti menggunakan model evaluasi formatif Tessmer yaitu: 1) selfevaluation; 2) expert review; 3) one-to-one evaluation; dan 4) small

group evaluation, karena tahapan ini telah sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai yakni menghasilkan produk video pembelajaran yang valid dan praktis

Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi walkthrough

Interview dan angket. Teknik walkthrough interview merupakan validasi data yang melibatkan beberapa ahli bertujuan untuk mengevaluasi produk. Walkthrough interview dilakukan pada tahap uji validasi dengan para ahli untuk mendapatkan validitas produk dan saran yang membantu dalam pengembangan produk sehingga dapat lebih baik. Data yang diperoleh berupa penilaian dan saran dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan pada video pembelajaran yang telah dikembangkan. Angket digunakan untuk mengetahui penilaian dan tanggapan siswa terhadap video pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran fisika pada saat one

to one evaluation dan small group

evaluation. Angket yang digunakan berupa pertanyaan dalam bentuk checklist seputar video pembelajaran yang dikembangkan dan juga disediakan kolom kritik dan saran.

Hasil walkthrough dengan ahli dianalisis secara deskriptif sebagai masukan untuk merevisi video pembelajaran. Masukan tersebut dituliskan pada lembar validasi. Lembar validasi yang diberikan kepada ahli dalam bentuk skala likert. Hasil dari validator pada lembar validasi akan disajikan dalam persentse (%). Nilai akhir yang diperoleh kemudian dikonfirmasikan dengan kategori yang ditetapkan seperti tabel 1.

Page 68: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

57

Tabel 1 Kategori Hasil Validasi Ahli (HVA)

Persentase Kategori

86 ≤ HVA 100 Sangat Valid

70 ≤ HVA < 86 Valid

56 ≤ HVA < 70 Kurang Valid

0 < HVA < 56 Tidak Valid (Wiyono, 2015)

Hasil angket pada waktu one-to-

one evaluation dan small group

evaluation digunakan untuk menguji kepraktisan dari prototipe yang dikembangkan. Data yang diperoleh melalui angket dianalisis dengan menggunakan skala Likert untuk mengukur pendapat, persepsi siswa pada penggunaan multimedia. Nilai angket dikonversi ke dalam persentase untuk mengetahui pendapat siswa terhadap video pembelajaran yang dhasilkan. Nilai akhir yang diperoleh selanjutnya dikonfirmasikan dengan kategori kepraktisan video pembelajaran yang dikembangkan. Kategori tingkat kepraktisan video pembelajaran dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Kategori Hasil One-to-One dan

Small Group (HEOS) Persentase Kategori

86 ≤ HEOS 100 Sangat Praktis

70 ≤ HEOS < 86 Praktis

56 ≤ HEOS< 70 Kurang Praktis

0 < HEOS < 56 Tidak Praktis

(Wiyono, 2015) HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan video pembelajaran berbasis permainan tradisional pada materi gerak melingkar untuk siswa sekolah menengah atas. Konsep gerak melingkar adalah konsep fisika dimana fenomenanya terdapat pada lingkungan siswa, tetapi fenomena tersebut akan lebih efektif apabila dapat ditampilkan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan media video

pembelajaran. Dengan adanya video pembelajaran, tentunya akan lebih mempersingkat waktu dan akan lebih terukur apabila dicontohkan dengan dilengkapi simulasi dalam bentuk animasi.

Sebelum membuat video pembelajaran, peneliti menyusun Jabaran Materi (JM), Garis Besar Isi Media (GBIM) dan storyboard yang berfungsi sebagai pedoman dalam membuat video pembelajaran. Selanjutnya peneliti masuk kedalam tahap pengumplan bahan yaitu aspek visual dan aspek audio.

Setelah semua bahan terkumpul, peneliti melakukan tahap produksi video. Dalam tahap ini dilakukan proses editing video menggunakan software movie

maker. Produksi video yang dikembangkan menghasilkan prototipe 1. Prototipe 1 yang telah dikembangkan kemudian dikoreksi oleh peneliti sebagai self-evaluation dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing. Setelah melalui tahap pengembangan, prototipe 1 divalidasi oleh beberapa expert review. Expert review atau validator ahli ini menilai dari dua aspek yaitu aspek media dan aspek isi. Dari hasil validasi aspek media dan aspek materi didapatkan rata-rata kedua aspek tersebut 88,92 yang termasuk dalam skala penilaian baik dan dapat dinyatakan sangat valid. Validator ahli mengizinkan uji coba produk dengan revisi sesuai saran.

Pada tahap one-to-one evaluation, video pembelajaran diujicobakan kepada 3 siswa untuk mengetahui respon terhadap video pembelajaran yang dikembangkan. Komentar siswa pada tahap one to one evaluation digunakan peneliti sebagai referensi melakukan revisi video pembelajaran yang dikembangkan. Berdasarkan penilaian siswa pada tahap one-to-one didapatkan bahwa persentase penilaian angket tanggapan siswa adalah 83,75. Jika merujuk pada tabel 2 nilai 83,75 termasuk dalam kategori praktis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa video

Page 69: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

58

pembelajaran termasuk dalam kategori praktis menurut penilaian siswa.

Peneliti melakukan uji coba produk dalam kelompok kecil pada tahap small

group yang bertujuan untuk mengetahui respon terhadap video pembelajaran yang dikembangkan. Berdasarkan angket tanggapan siswa dapat dilihat bahwa persentase penilaian angket tanggapan siswa adalah 85. Jika merujuk pada tabel 2 nilai 85 termasuk dalam kategori sangat praktis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa video pembelajaran yang dikembangkan termasuk dalam kategori praktis menurut penilaian siswa.

Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian relevan yang telah dilakukan sebelumnya. Erniwati, Eso, & Rahmia, (2014); Yuliono, dkk., (2014), Setyorini, dkk., (2016), telah melakukan penelitian berupa pengembangan dengan menggunakan media video sebagai sarana dalam proses pembelajaran. Secara keseluruhan, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian-penelitian tersebut menghasilkan bahwa penggunaan media video memiliki daya tarik lebih besar bagi siswa jika dibandingkan dengan penerapan pembelajaran secara konvensional sehingga menghasilkan pembelajaran yang lebih efektif untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Selain itu penggunaan media video dalam proses pembelajaran membuat proses pembelajaran menjadi lebih berkualitas karena media video memiliki kelebihan yaitu dapat menunjukkan gerakan atau kejadian yang sulit didemonstrasikan di depan kelas, memiliki nilai hiburan dari penyajiannya.

Penelitian relevan lainnya yang mendukung hasil penelitian ini berkenaan dengan implementasi permainan dengan menggunakan sebuah media yang diterapkan dalam proses pembelajaran fisika. Purnomo, dkk (2011) dan Rismala (2013) telah melakukan penelitian mengenai

penelitian tentang game sebagai media dalam pembelajaran fisika. Hasilnya secara umum menunjukkan bahwa pembelajaran dengan game dapat memotivasi siswa dalam belajar fisika dan mencapai hasil belajar siswa yang sesuai dengan kompetensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan permainan dalam pembelajaran melalui sebuah media lebih efektif digunakan dibandingkan pembelajaran secara konvensional dan sebagai sarana tambahan bagi guru dalam menjelaskan materi di kelas.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan ditemukan keunggulan dan kelemahan video pembelajaran. Keunggulannya antara lain 1) penelitian ini menghasilkan produk yang nyata dan langsung dapat digunakan guru atau siswa dalam pembelajaran materi gerak melingkar, 2) produk yang dihasilkan dapat menjelaskan konsep gerak melingkar secara lebih terperinci dengan adanya beberapa contoh dalam permainan tradisional, dan 3) siswa dapat belajar mandiri menggunakan produk video pembelajaran gerak melingkar. Sedangkan kelemahannya adalah proses dalam video pembelajaran tersebut tidak dapat menampilkan animasi disertai dengan keterangan (teks).

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa: 1) telah dihasilkan video pembelajaran berbasis permainan tradisional materi gerak melingkar yang sangat valid sebesar 88,92; dan 2) telah dihasilkan video pembelajaran berbasis permainan tradisional materi gerak melingkar yang praktis sebesar 83,75 pada tahap one to

one evaluation dan 85 pada tahap small

group evaluation. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa video pembelajaran yang telah dikembangkan layak untuk digunakan.

Page 70: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

59

DAFTAR PUSTAKA Abyadati, S. (2015). Analisis video-

animasi-teks-narasi (VATeN) pada pembelajaran fisika SMA materi kesetimbangan benda tegar. Disajikan dalam Prosiding

Seminar Nasional Fisika, 21 November 2015, UPI Bandung.

Agustina, A. & Novita, D. (2012). Pengembangan media pembelajaran video untuk melatih kemampuan memecahkan masalah pada materi larutan asam basa. Unesa Journal of Chemical

Education, 1(1): 10-16 Erniwati., Eso, R. & Rahmia, S. (2014).

Penggunaan media praktikum berbasis video dalam pembelajaran ipa-fisika untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi pokok suhu dan perubahannya. Jurnal Sains dan

Pendidikan Fisika, 10(3): 269 – 273

Fansuri, H. (2013). Penerapan video pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa kelas x teknik fabrikasi logam pada mata pelajaran teori las oxy-acetylene di smk negeri 1 seyegan. Skripsi Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

Handziko, R. C. & Suyanto, S. (2015). Pengembangan video pembelajaran suksesi ekosistem untuk meningkatkan motivasi belajar dan penguasaan konsep mahasiswa biologi. Jurnal Inovasi

Ilmiah, 1(2): 214- 224 Krishna, I. P. D. M., Sudhita, I.W.R., &

Mahadewi, L.P.P. (2015). Pengembangan media video pembelajaran pada mata pelajaran ipa siswa kelas VIII semester genap. e-Journal Edutech

Universitas Pendidikan Ganesha 3(1)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 65 Tahun 2013

tentang Standar Proses dan Pendidikan Menengah. Jakarta: Depdikbud

Pertiwi, A.C., & Setyarsih, W. (2015). Konsepsi siswa tentang pengaruh

gaya pada gerak benda

menggunakan instrumen force

concept inventory (fci)

termodifikasi. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika (JIPF). 4(2).

Purnomo, T. H., dkk. (2011). Educational computer game materi listrik dinamis sebagai media pembelajaran fisika untuk siswa SMA. Jurnal Pendidikan

Fisika Indonesia. 7(1), 121-127. Realita, A., Sukarmin, S., & Sarwanto, S.

(2016). Pengembangan modul fisika berbasis sains teknologi masyarakat (STM) pada materi fluida statis untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa SMA kelas X. Jurnal Inkuiri,

5(3), 113-121 Rismala, D, dkk. (2013). Game angry

birds dan program tracker sebagai media pembelajaran fisika pada topik gerak parabola. Salatiga, 4 (1).

Sanjaya, W. (2012). Perencanaan dan

Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Septiani, A., Syakbaniyah, S., & Mufit, F. (2013). Pengembangan bahan ajar cd interaktif materi suhu dan kalor berbentuk powerpoint materi suhu dan kalor untuk pembelajaran fisika kelas X SMA. Pillar of

Physics Education, 2, 49-56 Setyorini, E.S., dkk. (2016). Pembuatan

video pembelajaran menggunakan camtasio studio 7 sebagai media pembelajaran fisika pada materi hukum newton. Disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional

Pendidikan Biologi dan Saintek, 21 Mei 2016, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Page 71: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

60

Siahaan, S. M. (2012). Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran fisika. Disajikan dalam Prosiding

Seminar Nasional Fisika, 4 Juli 2012, Palembang.

Sujanem, R. (2012). Pengembangan modul fisika kontekstual interaktif berbasis web untuk meningkatkan pemahaman konsep dan hasil belajar fisika siswa SMA di Singaraja. Jurnal Nasional

Pendidikan Teknik Informatika, 1(1), 103-117

Wiyono, K. (2015). Pengembangan model pembelajaran fisika berbasis ICT pada implementasi

Kurikulum 2013. Jurnal Inovasi

Dan Pembelajaran Fisika, 2 (2), 123 – 131.

Yuliono, S.N., Sarwanto, & Wahyuningsih, D. (2014). Video pembelajaran berbasis masalah pada materi kalor untuk siswa kelas VII. Jurnal Pendidikan

Fisika, 2(1), 21 – 25 Zaman, M.Q., dkk. 2012. Pengembangan

multimedia pembelajaran interaktif menggunakan macromedia flash professional pada mata pelajaran fisika. Indonesian Journal of Curriculum

and Educational Technology

Studies, 1 (1), 6-7.

Page 72: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

61

Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Pemahaman

Konsep Fisika Ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa

Intan Kurnia Pertiwi Sukma, Sholikhan, dan Akhmad Jufriadi Program Studi Pendidikan Fisika, Sains dan Teknologi, Universitas Kanjuruhan Malang

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) perbedaan kemampuan awal antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan konvensional, 2) perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah, dan 3) interaksi model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan kemampuan awal siswa. Jenis penelitian ini adalah Quasi Eksperiment dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Pretest-Posttest Only Control Grup

Design. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Nasional Malang pada semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII, dengan jumlah 56 siswa yang terbagi dalam satu kelompok kelas eksperimen dan satu kelompok kelas kontrol. Teknik pengambilan data menggunakan tes pemahaman konsep. Analisis data menggunakan analisis varian anova dua jalur (two way anova). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) ada perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Dengan taraf signifikansi 0,003 < 0,05; 2) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah. Dengan taraf signifikan 0,000 < 0,05; dan 3) tidak ada pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan kemampuan awal terhadap pemahaman konsep dengan taraf signifikan 0,266 > 0,05. Kata Kunci: inkuiri terbimbing, kemampuan awal, pemahaman konsep

PENDAHULUAN

Ilmu fisika merupakan bagian dari mata pelajaran pengetahuan Alam yang menjelaskan berbagai gejala-gejala alam. Siswa menganggap bahwa belajar fisika adalah pelajaran yang tidak menyenangkan, penuh dengan rumus-rumus, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu pokok bahasan, baik yang sedang disampaikan guru maupun yang sedang dihadapi di meja belajar, tanpa diiringi kesadaran untuk menggali konsep lebih dalam yang sebenarnya dapat menambah wawasan ataupun mengasah keterampilan (Sholikhan, 2014).

Pada pelaksanaanya, pembelajaran fisika perlu disesuaikan dengan cara fisikawan terdahulu dalam memperoleh pengetahuan (Kurniawati, Wartono, & Diantoro, 2014). Dalam

pembelajaran fisika harus diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam Depdiknas (2006). Oleh sebab itu, dalam pembelajaran fisika menekankan pada pemberian pengalaman langsung dan berpusat pada siswa (Kurniawati, dkk., 2014).

Sesuai dengan isi Depdiknas (2006), salah satu tujuan pembelajaran fisika adalah memahami konsep fisika. Pemahaman konsep dapat membantu siswa mendefinisikan konsep (Arends, 2008). Pemahaman konsep dapat diperoleh dengan pembelajaran yang menekankan pemberian pengalaman langsung dan pembelajaran yang membuat siswa aktif.

Peran aktif siswa sangat mendukung pengetahuan yang akan dihasilkannya dalam proses belajar.

Page 73: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

62

Dalam proses belajar ini, penerapan model pembelajaran dapat membantu seorang guru untuk memberikan stimulus-stimulus aktif seorang siswa. Keaktifan siswa ini akan berdampak positif terhadap keberlangsungan proses belajar dan kualitas proses belajar siswa (Mufarrihah, 2014). Pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa adalah model pembelajaran inkuiri (Hermawati, 2012).

Model pembelajaran inkuiri terbimbing berorientasi pada aktivitas kelas yang berpusat pada siswa dan memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai sumber yang ada untuk memperoleh informasi. Siswa secara aktif akan terlibat dalam setiap proses atau sintak yang terdapat pada inkuiri terbimbing. Penggunaan inkuiri terbimbing disebabkan karena perkembangan pada intelektual siswa usia SMP menurut Piaget berada pada tingkatan operasional formal. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan dan pemahaman konsep peserta didik (Sanjaya, 2012).

Keberhasilan suatu proses pembelajaran selain dipengaruhi oleh model pembelajaran juga dipengaruhi oleh factor siswa itu sendiri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran meliputi beberapa aspek diantaranya aspek latar belakang dan sifat yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Faktor tunggal yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang diketahui oleh siswa yaitu kemampuan awal siswa. Pengetahuan awal dalam proses pembelajaran akan memudahkan siswa memahami konsep serta hubungan antar konsep (Adodo, 2013). Pada penelitian ini, faktor siswa yang digunakan adalah kemampuan awal siswa yang diperoleh dari hasil tes awal (pretest) dari materi suhu dan

perubahannya. Jannah (2015), mengemukakan bahwa kemampuan awal siswa adalah sejumlah informasi yang dimiliki oleh siswa yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajarinya dan dapat membantunya dalam memahami materi tersebut lebih lanjut.

Berdasarkan pemaparan uraian masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran konvensional, 2) mengetahui perbedaan konsep fisika antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah, dan 3) mengetahui pengaruh interaksi penggunaan model pembelajaran inkuiri dan konvensional dengan kemampuan awal terhadap penguasaan konsep fisika. METODE

Rancangan penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasi

experiment (ekspermen semu). Penelitian ini menggunakan desain pretest-posttest

only control group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di SMP Nasional Malang 2018/2019. Sampel pada penelitian ini dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini kelas eksperimen yaitu kelas VII C sejumlah 28 siswa dan kelas kontrol yaitu kelas VII D sejumlah 28 siswa.

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tes kemampuan awal dan tes pemahaman konsep yang berbentuk soal pilihan ganda berjumlah 25 butir soal pada setiap tes dan disesuaikan dengan indikator pemahaman konsep yang dikembangkan oleh Anderson dan Krathwohl (2015) yaitu: menafsirkan, memberikan contoh, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan.

Page 74: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

63

Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data tes kemampuan awal berupa nilai pretest dan data tes pemahaman konsep berupa nilai posttest terhadap model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran konvensional. Teknik analisis data untuk menguji hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis uji ANOVA (analysis of variance) dua jalur menggunakan SPSS 16.0 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini terdapat dua data yaitu kemampuan awal dan pemahaman konsep fisika siswa. Pada kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan kelas kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional.

Tabel 1 Hasil Analisis Uji Anova Dua Jalur

Dependent Variable:Pemahaman_Konsep

Source F Sig.

Model_Pembelajaran 9.835 0.003

Kemampuan Awal 36.538 0.000

Model_Pembelajaran * Kemampuan Awal 1.265 0.266

a R Squared = .173 (Adjusted R Squared = .125)

Perbedaan Pemahaman Konsep Siswa

antara Model Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing dengan Konvensional

Berdasarkan hasil analisis data source model pembelajaran pada Tabel 1, diperoleh nilai taraf signifikansinya adalah 0,003. Karena (0,003 < 0,05), maka H01 = ditolak. Artinya ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Arce, Bodner, and Hutchinson (2014) yang mengatakan model pembelajaran inkuiri merupakan praktek pembelajaran terbaik dibandingkan pembelajaran tradisional untuk membangun ketrampilan kuantitatif dan pemaham konsep. Pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan pemahaman konsep fisika bagi siswa (Carol, Kulhthan dan Todd, 2006); pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan marhasil belajar siswa (Widiadnyana, Sadia, & Suastra, 2014).

Fathurrohman (2015) mengatakan bahwa inkuiri terbimbing digunakan bagi

peserta didik yang berpikir lambat atau peserta didik yang mempunyai intelegensi rendah. Hal ini karena dalam pelaksanannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan. Sedangkan, apabila menggunakan metode ceramah maka akan mengakibatkan peserta didik menjadi pasif. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran berlangsung melalui metode ceramah yang dilakukan oleh guru, dilanjutkan dengan tanya jawab guru dan siswa dan di akhiri dengan latihan soal. Pembelajaran ini menempatkan tanggung jawab belajar berada dipihak guru yang dapat membuat siswa menjadi pasif dalam pembelajaran sehingga motivasi, minat belajar, dan rasa ingin tahu menjadi rendah dan akhirnya berdampak pada pemahaman konsep yang rendah.

Hal ini juga terbukti pada saat pelaksanaan pembelajaran bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah pembelaajaran yang berpusat pada siswa. Siswa dapat menemukan sendiri jawaban

Page 75: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

64

atas permasalahan yang telah diberikan. Dalam menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing siswa dapat bekerja sama dengan anggota kelompoknya. Setiap sintak pada model pembelajaran inkuiri terbimbing membuat siswa berperan aktif dalam kelompoknya, Kegiatan pembelajaran seperti ini yang tidak ditemukan pada model pembelajaran konvensional. Berkaitan dengan hasil penelitian ini, model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran konvensional memberikan efek yang berbeda terhadap pemahaman konsep. Hal ini dapat dilihat pada rata-rata nilai pemahaman konsep

siswa. Hasil tes pemahaman konsep siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing sebesar 76,85 sedangkan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional nilai rata-ratanya sebesar 72,14. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pemahaman konsep dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih tinggi dibandingkan model pembelajaran konvensional. Hal tersebut juga dapat dilihat dari presentase skor pada tiap indikator pemahaman konsep pada kelas kontrol dan kelas eksperimen yang dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Persentase Indikator - Indikator Pemahamaan Konsep Fisika berdasarkan

Model Pembelajaran

Analisis pada Gambar 1 siswa kelas eksperimen yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki persentase pemahaman konsep tertinggi pada indikator menjelaskan sedangkan pada kelas kontrol yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional memiliki presentase pemahaman konsep tertinggi pada indikator menyimpulkan. Perbedaan Pemahaman Konsep

antara Siswa yang memiliki

Kemampuan Awal Tinggi dengan

Rendah

Berdasarkan hasil analisis data source kemampuan awal pada Tabel 1, diperoleh nilai taraf signifikansinya adalah 0,000. Karena (0,000 < 0,05), maka H02 = ditolak. Artinya ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah.

Page 76: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

65

Kemampuan awal mempengaruhi pemahaman konsep siswa pada saat pembelajaran. Siswa datang ke kelas dengan membawa pemahaman awal tentang suatu konsep (Treagust & Duit, 2009). Kemampuan awal dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran (Trianto, 2007). Kemampuan awal juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Gultom & Silitonga, 2009). Sehingga kemampuan awal yang baik akan mendukung pemahaman konsep siswa yang baik dalam pembelajaran.

Penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2013) menunjukkan siswa dengan kemampuan awal tinggi meraih prestasi belajar baik kognitif, afektif dan

psikomotor lebih tinggi daripada peserta didik dengan kemampuan awal rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Wijayanti, 2013) yang menyatakan bahwa keberhasilan model pembelajaran inkuiri disebabkan oleh beberapa hal yang salah satunya yaitu model pembelajaran inkuiri yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan berpikir dan kemampuan menyelesaikan masalah IPA.

Berkaitaan dengan hasil penelitian ini, dapat dilihat hasil kemamouan awal siswa berdasarkan kategori tinggi dan kategori rendah pada tiap indikator dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Indikator Pemahaman Konsep Fisika Siswa Berdasarkan Kemampuan Awal

Tinggi dan Kemampuan Awal Rendah

Pada Gambar 2 mendeskripsikan tentang keseluruhan pemahaman konsep fisika siswa pada setiap kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa perbandingan hasil nilai kemampuan awal siswa pada tiap indikator. Siswa yang berkemampuan awal tinggi kuat pada indikator menjelaskan sedangkan lemah pada indikator membandingkan. Untuk siswa yang berkemampuan awal rendah hampir sama dengan siswa yang berkemampuan awal tinggi yaitu kuat

pada indikator menjelaskan tetapi lemah pada indikator merangkum.

Interaksi antara Model Pembelajaran

Inkuiri Terbimbing dan Kemampuan

Awal terhadap Pemahaman Konsep

Fisika Siswa

Berdasarkan hasil analisis data source model pembelajaran*kemampuan awal pada Tabel 1, diperoleh nilai taraf signifikansinya adalah 0,265. Karena (0,265 > 0,05), maka H03 = diterima. Artinya tidak ada pengaruh interaksi

Page 77: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

66

antara penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan kemampuan awal terhadap pemahaman konsep.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran konvensional sama–sama tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap pemahaman konsep ditinjau dari kemampuan awal siswa. Artinya siswa dengan kemampuan awal tinggi tidak selalu memiliki pemahaman konsep yang tinggi atau lebih baik apabila dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah dan sebaliknya. Meskipun pada analisis sebelumnya menunjukkan bahwa ada perbedaan pemahaman konsep fisika siswa dengan kemampuan awal tinggi, namun masih ada siswa yang memiliki pemahaman konsep fisika yang baik walaupun memiliki kemampuan awal rendah.

Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Fadilah, 2016) yang menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap hasil belajar IPA. Tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan tingkat kemampuan awal siswa terhadap hasil belajar dikarenakan beberapa faktor. (Slameto, 2013) mengemukakan bahwa hasil belajar dipengaruhi beberapa faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar. Faktor internal seperti jasmaniah, psikologis, dan kelelahan. Sedangkan faktor eksternal seperti faktor keluarga sekolah, dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut akan memberikan pengaruh pada hasil belajar siswa.

Hal ini disebabkan karena pemahaman konsep fisika siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar diri siswa selain oleh faktor model pembelajaran dan kemampuan awal siswa serta banyaknya keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan

sehingga kurang dapat mengontrol faktor-faktor yang ada di luar kegiatan pembelajaran.

SIMPULAN

Diperoleh simpulan bahwa: 1) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional, 2) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, dan 3) tidak ada pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan kemampuan awal terhadap pemahaman konsep. DAFTAR PUSTAKA

Adodo, S. O. (2013). Effect of mind-mapping as a self-regulated learning strategy on students’ archievement in basic science and technology, Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(1), 163-172

Anderson, L. W. & K. (2015). Kerangka

landasan untuk pembelajaran

pengajaran dan assesmen. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Arce, J., Bodner, G. M., Hutchinson, K. (2014). A study of the impact of inquiry based profesional development experiences on the belief of intermediate science teachers about “best practices” for classroom teaching. International

Journal of Education in

Mathematics, science and

Technology, 2(2), 85-95. Depdiknas. (2006). Standar isi untuk

satuan pendidikan dasar dan

menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Indonesia

Fathurrohman, M. (2015). Model-model

pembelajaran inovatif. Jogjakarta: Ar -Ruzz Media

Page 78: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

67

Gultom, A. & Silitonga, P. M. (2009). Pengaruh kemampuan awal dan model pembelajaran terhadap hasil belajar kimia SMA. Jurnal

Pendidikan Matematika dan Sains.

4(2), 7. Jannah. (2015). Pengaruh model

pembelajaran kooperatif dengan pendekatan problem posing ditinjau dari pengetahuan awal terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika siswa SMK. Jurnal

Pendidikan Fisika dan Teknologi,

1(4), 256-263. Kurniawati, I. D., Wartono, M Diantoro.

2014. Pengaruh pembelajaran inkuiri terbimbing integrasi peer instruction terhadap penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa. Jurnal pendidikan

fisika Indonesia. 10 (2014), 36-46. Sanjaya,W. (2012). Strategi

Pembelajaran Berorientasi

Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Slameto. (2013). Belajar dan Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Treagust, D.F., Chittleborough, G.D., & Mamiala, T.L. (2004). Student’s understanding of the descriptive and predictive nature of teaching models in organic chemistry. Research in Science Education, 34, 1-20.

Widiadnyana, I.W., Sadia, I.W., & Suastra, I.W. (2014). Pengaruh model discovery learning terhadap pemahaman konsep IPA dan sikap ilmiah siswa SMP. e-Journal

Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha

Program Studi IPA, 4.

Page 79: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

68

Pengembangan Media Pembelajaran Virtual Berbasis Algodoo v.2.1.0 pada

Pokok Bahasan Hukum Archimedes

Faiz Hasyim, Indrawati Wilujeng, dan Ari Krismandana

STKIP Al Hikmah Surabaya [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengembangkan media pembelajaran virtual berbasis algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes. Penelitian ini merupakan penelitian research & development. Prosedur pengembangan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pokok bahasan hukum Archimedes menggunakan metode pengembangan yang diadaptasi dari 4D. Dalam tahap pengembangan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1. pokok bahasan hukum Archimedes, dilakukan expert judgement oleh ahli media dan ahli materi serta uji coba terbatas media yang dilakukan terhadap 25 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersusunnya media media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes memiliki tingkat kelayakan berdasarkan penilaian ahli materi diperoleh prosentase sebesar 78 % termasuk dalam kategori baik. Sedangkan hasil penilaian ahli media diperoleh prosentase sebesar 81 % termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil uji coba terbatas diperoleh prosentase sebesar 82 %, sehingga dapat dikategorikan dalam kriteria sangat baik. Kata Kunci: pengembangan, Algodoo, hukum Archimedes

PENDAHULUAN

Revolusi industri 4.0 sudah di depan mata, disemua sektor harus siap menghadapi persaingan global yang semakin menantang. Walaupun lebih terkonsentrasi apada dunia industri, namun revolusi industri 4.0 memberikan spirit dalam dunia pendidikan bahwa tantangan dunia IT semakin menantang kedepan. Peran IT dalam menunjang pembelajaran di sekolah sudah menjadi kebutuhan utama. Bukan hanya siswa yang berkepentingan, namun guru juga harus terampil dalam menggunakan IT dalam pembelajaran.

Pembelajaran berbasis IT sudah menjadi kebutuhan dimasa sekarang. Bukan hanya pelajaran TIK yang sangat erat dengan dunia IT, namun semua mata pelajaran termasuk sains. Sains pada hakikatnya merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip, dan hukum yang teruji kebenarannya dan melalui suatu rangkaian kegiatan dalam metode ilmiah (Luki & Kustijono, 2017).

Secara teori, sains melibatkan tiga elemen utama yaitu sikap, proses, dan produk. Pendapat di atas menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang perlu ditekankan kepada siswa dalam pembelajaran sains, yakni adanya pemaham konsep-konsep sains yang memungkinkan pengembangan pemikiran dan proses sains yang mengarah pada kegiatan penemuan informasi melalui pengalaman pada diri siswa. Kemudian aspek sikap yang mendasari siswa dalam mempelajari ilmu sains. Oleh karena itu, semua hal tersebut perlu dijadikan pertimbangan oleh guru dalam memilih strategi mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Tiga aspek yang penting dari sains menurut definisi-definisi tersebut adalah sikap sains, proses sains, dan produk sains (Hasyim, 2015).

Pemahaman konsep sains, erat kaitannya dengan keterlibatan langsung

Page 80: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

69

siswa dalam proses belajar. Bermodal sikap ilmiah dan setelah melalui serangkaian proses pembelajaran, siswa dapat menyimpulkan hasil observasinya sendiri. Proses ini lebih dikenal dengan proses inkuiri siswa (Luki & Kustijono, 2017).

Proses inkuiri yang ingin diterapkan pada pembelajaran sains, guru tidak hanya menjelaskan materi sains dengan metode ceramah saja, namun penggunaan media sangat dianjurkan untuk digunakan dalam pembelajaran. Dalam penelitian ini, dari sekian banyak materi sains dipilih pokok bahasan hukum Archimedes sebagi fokusnya, karena hukum Archimedes ini dipelajari mulai dari tingkat SD sampai SMA dan sangat erat dengan media pembelajaran sains. Dalam menjelaskan pokok bahasan hukum Archimedes, guru dituntut menggunakan media untuk memantik proses inkuiri siswa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Hasyim, 2019) menjelaskan bahwa siswa sangat senang jika dalam pembelajaran sains, guru menggunakan media/alat peraga. Hal ini memperkuat bahwa penggunaan media pembelajaran sangat diperlukan dalam menjelaskan mata pelajaran sains.

Media pembelajaran sains memang sangat beragam, mulai dari media yang sangat sederhana sampai media yang sangat mahal. Untuk menjelaskan pokok bahasan hukum Archimedes biasanya dipakai media yang paling sederhana yaitu menggunakan air garam dan telur. Media ini mudah didapat, namun media ini sudah sangat familiar dan terlalu sering digunakan dalam menjelaskan pokok bahasan hukum Archimedes. Hampir semua guru di mana pun dan dijenjang apa pun menggunakan media ini dalam menjelaskan pokok bahasan hukum Archimedes. Perlunya terobosan baru dan membuat media alternatif yang bisa digunakan untuk menjelaskan pokok bahasan hukum Archimedes.

Pengembangan media pembelajaran sains untuk menjelaskan mata pelajaran sains berbasis IT mulai diincar banyak pihak. Tantangan penguasaan IT yang menuntut manusia semakin kreatif dan inovatif untuk menjawab tuntutan global. Lahirnya software Algodoo v.2.1.0 menjadi terobosan baru dalam membuat media pembelajaran sains berbasis IT. Algodoo adalah salah satu software yang ada di komputer yang juga sama dengan PhET. Software Algodoo ini juga merupakan media pembelajaran yang berbasis VPL (Virtual Physics Laboratory). Algodoo juga bisa dijadikan alternatif dalam proses pembelajaran fisika. Sejalan dengan hasil penelitian (Çelik, Sarı, & Nugroho, 2015) bahwa pembelajaran yang berbasis Algodoo mengalami respon positif dan mengalami peningkatan dalam hasil belajar peserta didik. Kegiatan Laboratorium pada software ini diciptakan sendiri oleh penggunanya. Algodoo hanya menfasilitasi benda-benda secara virtual dan dilengkapi dengan konsep-konsep fisika dalam pengaplikasianya. Pada pokok bahasan hukum Archimedes, Algodoo memberikan penyajian visualisai lebih nyata yang dihubungkan dengan reaksi alamiahnya dibandingkan dengan software PhET yang hanya menyajikan secara matematis (Rohman & Admoko, 2017).

Berdasarkan latar belakang di atas, serta didukung hasil studi awal lapangan (need assessment), maka diperlukan pengembangan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengembangkan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes. METODE

Penelitian yang berjudul pengembangan media pembelajaran virtual berbasis algodoo v.2.1.0 pada

Page 81: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

70

pokok bahasan hukum Archimedes ini merupakan research and development (R&D). Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari model pengembangan 4-D yaitu define, design, develop, and disseminate. Tahap define merupakan tahap analisis kebutuhan awal (need assessment) menggunakan angket berbasis online; tahap design terdiri atas rancangan awal pembuatan media, dan pembuatan media; tahap ketiga yaitu develop terdiri atas tahap validasi dan pengujian. Tahapan penelitian ini hanya sampai tahap ketiga yaitu tahap develop Karena hasil penelitian ini tidak disebarkan pada Instansi/Lembaga lain (selain tempat penelitian) maka hanya digunakan tiga tahap, yaitu sampai tahap pengembangan (develop).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan agustus 2018. Dalam penelitian ini, subjek uji coba yang akan diteliti adalah 25 guru IPA di Kota Surabaya Selatan yang dipilih dengan Teknik pusposive

sampling. Data yang diperoleh dari penelitian pengembangan adalah data kuantitatif. Data yang bersifat kuantitatif berupa angket ahli media, ahli materi, dan responden. Data kuantitatif ini berupa angka-angka yaitu 5, 4, 3, 2 dan 1 karena skala yang digunakan terdiri dari lima pilihan agar jelas penilaiannya.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik angket. Angket diberikan kepada ahli, reviewer, dan respon mengenai produk yang dikembangkan. Angket digunakan untuk memperoleh data mengenai kelayakan media. Data dari angket ini berupa angka-angka yaitu 5, 4, 3, 2 dan 1. Untuk mengetahui kelayakan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes dikategorikan berdasarkan rata-rata ideal dan simpangan baku ideal. Skor tertinggi ideal adalah skor tertinggi yang mungkin diperoleh dari hasil angket. Skor terendah ideal ialah skor terendah yang mungkin

diperoleh dari keseluruhan jawaban angket. Lima level kelayakan media memiliki rentang seperti pada Tabel 1. Kelima level tersebut adalah level sangat layak, layak, tidak memutuskan, tidak layak, dan sangat tidak layak (Hasyim, 2019).

Tabel 1 Konversi Nilai Skala 5 Rentang Skor (i) Kategori

x > + 1,80 SBi Sangat layak

+ 0,60 SBi < x ≤ + 1,80 SBi

layak

- 0,60 SBi < x ≤ + 0,60 SBi

Netral

– 1,80 SBi < x ≤ – 0,60 SBi

Tidak layak

x ≤ - 1,80 SBi Sangat tidak layak

Keterangan : Xi : ½ (skor maksimal + skor minimal

ideal) SBi : 1/6 (skor maksimal ideal-skor

minimal ideal).

Tabel 1 di atas, kemudian dipakai utnuk menentukan kelayakan produk berdasarkan uji validitas ahli (expert

judgement). Klasifikasi kelayakan produk dibagi menjadi lima kategori seperti pada Tabel 2 (Sukardjo, 2012).

Tabel 2 Teori Klasifikasi Respon Siswa Berdasarkan Skala 5

Kategori Persentase Skor Sangat layak X > 80 % Layak 60 % < X ≤ 80 % Netral 40 % < X ≤ 60 % Tidak Layak 20 % < X ≤ 40 % Sangat Tidak Layak

X ≤ 20 %

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap Define

Tahapan define dalam penelitian ini adalah menganalisis kebutuhan media pembelajaran menggunakan metode angket secara online. Angket berbasis

Page 82: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

71

online diberikan kepada guru IPA yang tersebar di Surabaya. Hasil analisis kebutuhan media pembelajaran di sekolah dapat dilihat dalam Gambar 1.

Gambar 1 Analisis Kebutuhan Media

Pembelajaran IPA

Pada Gambar 1, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 71,4 % menyatakan bahwa guru lebih membutuhkan media pembelajaran IPA berbasis digital daripada media non digital. Hal ini sesuai dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, didukung dengan adannya revolusi industri 4.0 yang sangat mengedepankan peran teknologi informasi dalam semua lini kehidupan.

Kebutuhan media pembelajaran berbasis digital menjadi tantangan tersendiri bagi guru-guru IPA, khususnya yang kurang menguasai teknologi informasi. Oleh karena itu, pengembangan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes menjadi salah satu alternatif untuk membantu pelaksanaan pembelajaran IPA yang lebih menyenangkan.

Tahap Desain

Tahap desain dalam penelitian ini terdiri atas rancangan awal pembuatan media, dan pembuatan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes. Rancangan awal produk tersebut meliputi penentuan materi dan langkah-langkah membuat produk. Pembuatan produk berupa menggunakan software Algodoo v.2.1.0.

Tahap Develop

Tahap develop merupakan tahapan dalam pengembangan produk. Setelah media pembelajaran berbasis Algodoo dibuat, dilakukan beberapa tahap validasi oleh ahli, yang meliputi validasi ahli materi, dan validasi oleh ahli media. Uji validitas ahli (expert judgement) ini untuk menentukan layak tidaknya produk yang dikembangkan. Produk awal yang sudah diuji kelayakannya berdasarkan expert judgement digunakan dalam uji coba produk. Uji coba produk dilakukan terhadap 25 guru IPA yang berada di wilayah Surabaya Selatan.

Hasil Kelayakan Produk Berdasarkan

Hasil Validasi Ahli Materi

Validasi ahli materi menggunakan instrumen angket 5 skala yang berisi pernyataan tentang ketersediaan unsur materi dalam produk yang dikembangkan. Pernyataan dalam angket terbagi menjadi 11 pernyataan dalam 4 kategori. Hasil validasi ahli materi terhadap produk yang dikembangkan secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 3. berikut.

Tabel 3. Hasil validasi ahli materi

Kategori Persentase Keakuratan materi 75 % Kelengkapan materi 80 % Konsep dasar materi 90 % Kesesuaian materi dengan media

75 %

Angket validasi ahli materi terdiri

atas 11 pernyataan yang tergabung dalam 4 kategori. Kategori pertama yaitu keakuratan materi mempresentasikan hasil sebesar 75%. Berdasarkan kategori keakuratan materi dapat ditarik kesimpulan bahwa produk yang dikembangkan layak untuk digunakan. Kategori kedua yaitu kelengkapan materi mempresentasikan hasil sebesar 80%. Berdasarkan kategori kelengkapan materi dapat ditarik kesimpulan bahwa produk yang dikembangkan layak untuk

Page 83: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

72

digunakan. Kemudian kategori ketiga yaitu konsep dasar materi mempresentasikan hasil sebesar 90%. Berdasarkan kategori konsep dasar materi dapat ditarik kesimpulan bahwa produk yang dikembangkan sangat layak untuk digunakan. Kategori terakhir, yaitu kesesuaian materi dengan media yang dikembangkan mempresentasikan hasil sebesar 75%. Berdasarkan kategori kesesuaian materi dengan media yang dikembangkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa produk yang dikembangkan layak untuk digunakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, didapat informasi bahwa persentase rata-rata hasil validasi ahli materi terhadap produk yang dikembangkan berdasarkan 4 kategori instrumen validasi ahli materi sebesar 80%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara utuh, hasil validasi ahli materi terhadap produk yang dikembangkan layak untuk digunakan.

Hasil Kelayakan Produk Berdasarkan

Hasil Validasi Ahli Media

Validasi ahli media menggunakan instrumen angket 5 skala yang berisi pernyataan tentang kriteria media yang dikembangkan. Pernyataan dalam angket terbagi menjadi 13 pernyataan dalam 3 kategori. Hasil validasi ahli media terhadap produk yang dikembangkan secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 4. berikut.

Tabel 4 Hasil validasi ahli media

Kategori Persentase Tampilan umum media 73 % Tampilan khusus media 73 % Penyajian media 80 %

Angket validasi ahli media terdiri

atas 13 pernyataan yang tergabung dalam 3 kategori. Kategori pertama yaitu tampilan umum media mempresentasikan hasil sebesar 73%. Berdasarkan kategori tampilan umum media dapat ditarik kesimpulan bahwa

produk yang dikembangkan layak untuk digunakan. Kategori kedua yaitu tampilan khusus media mempresentasikan hasil sebesar 73%. Berdasarkan kategori tampilan khusus media dapat ditarik kesimpulan bahwa produk yang dikembangkan layak untuk digunakan. Kemudian kategori ketiga yaitu penyajian media mempresentasikan hasil sebesar 80%. Berdasarkan kategori penyajian media dapat ditarik kesimpulan bahwa produk yang dikembangkan layak untuk digunakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, didapat informasi bahwa persentase rata-rata hasil validasi ahli media terhadap produk yang dikembangkan berdasarkan 3 kategori instrumen validasi ahli media sebesar 76%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara utuh, hasil validasi ahli media terhadap produk yang dikembangkan layak untuk digunakan. Uji Coba Produk

Setelah media dinyatakan valid oleh ahli, langkah berikutnya adalah uji coba produk. Produk diujicobakan ke 25 responden yang sudah dipilih menggunakan teknik pusposive

sampling. Responden diberikan angket yang terdiri atas 24 pernyataan dengan skala 5. Hasil uji coba produk secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 5. berikut.

Tabel 5 Hasil uji coba produk

Jumlah

Penilaian

Responden

Jumlah

Penilaian

Total

%

98 120 82 %

Berdasarkan uji coba produk, diperoleh data yang menunjukkan bahwa persentase penilaian media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes sebesar 82%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil uji coba produk yang dikembangkan sangat layak untuk digunakan.

Page 84: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

73

Berdasarkan hasil validasi ahli baik ahli materi maupaun ahli media, secara keseluruhan rerata prosentase hasil validasi ahli sebesar 78%. Berdasarkan (Sukardjo, 2012), prosentase 78% berarti produk yang dikembangkan layak digunakan. Hal ini dikuatkan dengan hasil uji coba produk yang mempresentasikan hasil sebesar 82%. Berdasarkan hasil uji coba, produk yang dikembangkan juga dinyatakan layak untuk digunakan. Oleh karena itu, secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum Archimedes layak untuk digunakan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Luki & Kustijono, 2017) bahwa pengembangan laboratorium virtual berbasis Algodoo dapat melatih keterampilan proses sains siswa pada pokok bahasan gerak parabola. Selanjutnya konsep Hukum Newton tentang Gravitasi juga lebih mudah dijelaskan dengan software

praktikum yang dikembangkan oleh (Rohman & Admoko, 2017) menggunakan Algodoo. Dalam eksperimen yang dilakukan oleh (Resmiyanto, 2017) menyatakan bahwa eksperimen konseptual dengan Algodoo sangat baik mampu menjadi jembatan penghubung antara dunia/fenomena fisis dengan formalisme dunia Newtonian. Animasi yang dibuat menggunakan software Algodoo yang dikembangkan (da Silva, Junior, Gonçalves, Viana, & Wyatt, 2014) ternyata dapat diterapkan untuk siswa dari berbagai tingkat pendidikan, mulai dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi.

Selain Algodoo sebagai software yang digunakan untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis digital, ada juga software seperti macromedia flash yang sering digunakan untuk mengembangkan media pembelajaran fisika. Penelitian yang dilakukan oleh (Azhari, Mastuang, & M., 2018), media pembelajaran fisika dengan macromedia

flash tentang optik cocok digunakan menjelaskan konsep optik. Media pembelajaran fisika dengan macromedia

flash juga dikembangkan oleh (Viajayani, Eka Reny; Radiyono, Yohanes; Rahardjo, 2013) pada pokok bahasan suhu dan kalor. Berdasarkan uji validitas ahli dan uji lapangan, produk yang dikembangkan dinilai dengan kategori baik dengan persentase penilaian sebesar 83,62%.

Berdasarkan pembahasan yang telah disebutkan di atas, maka sangat diperlukan penggunaan KIT Kalorimeter dalam pembelajaran IPA pokok bahasan kalor sehingga pembelajaran lebih menarik. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi informasi yang penting bagi sekolah yang bersangkutan bahwa pembelajaran IPA sangat membutuhkan media atau alat peraga untuk membangun struktur berpikir siswa dalam memahami mata pelajaran IPA, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan sekolah untuk segera melakukan pengadaan media interaktif yang mendukung dalam pembelajaran IPA.

SIMPULAN

Pengembangan media pembelajaran virtual berbasis Algodoo v.2.1.0 pada pokok bahasan hukum archimedes layak untuk gunakan. Hal ini dapat dilihat dari prosentase hasil validitas ahli materi sebesar 80% dan ahli media sebesar 76%. Kedua ahli memberikan penilaian layak terhadap produk yang dikembangkan. Hal ini didukung dengan hasil uji coba produk yang menegaskan bahwa produk sangat layak untuk digunakan dengan persentase hasil penilaian sebesar 82%. DAFTAR PUSTAKA

Azhari, A., Mastuang, M., & M., A. S. (2018). Pengembangan media pembelajaran fisika dengan macromedia flash untuk melatihkan penerapan konsep

Page 85: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

74

siswa SMP. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 5(2), 223. https://doi.org/10.20527/bipf.v5i2.3590

Çelik, H., Sarı, U., & Nugroho, U. (2015). Evaluating and developing physics teaching material with algodoo in virtual environment : Archimedes’ principle. International Journal of

Innovation in Science and

Mathematics Education, 23(4), 40–50.

da Silva, S. L., da Silva, R. L., Junior, J. T. G., Gonçalves, E., Viana, E. R., & Wyatt, J. B. L. (2014). Animation with algodoo: A simple tool for teaching and learning physics, 1–13. Retrieved from http://arxiv.org/abs/1409.1621

Hasyim, F. (2015). Pengembangan

instrumen integrated assessment

fisika untuk mengukur

keterampilan proses sains dan

kemampuan berpikir analitis

Peserta Didik SMA pada Pokok

Bahasan Elastisitas. Universitas Negeri Yogyakarta.

Hasyim, F. (2019). Analisis respon siswa terhadap penggunaan KIT kalorimeter dalam pembelajaran IPA pokok bahasan kalor. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 7(1), 11–18. https://doi.org/10.20527/bipf.v7i1.5875

Luki, N., & Kustijono, R. (2017). Pengembangan laboratorium virtual berbasis algodoo untuk melatihkan keterampilan proses sains siswa pada pokok bahasan gerak parabola. Jurnal Inovasi

Pendidikan Fisika, 06(03), 27–35. Resmiyanto, R. (2017). Eksperimen

konseptual tumbukan benda 1 dimensi dengan algodoo, 95–100.

Rohman, A. A., & Admoko, S. (2017). Pengembangan software praktikum fisika berbasis vpl algodoo untuk membelajarkan konsep hukum newton tentang gravitasi melalui penyelidikan. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika

(JIPF), 06(03), 323–328. Viajayani, E. R., Radiyono, Y., &

Rahardjo, D. T. (2013). Pengembangan media pembelajaran fisika menggunakan Macromedia Flash Pro 8. Jurnal

Pendidikan Fisika, 1(1), 144–155. https://doi.org/10.1049/iet-rpg:20070112

Sukardjo. (2012). Evaluasi pembelajaran

IPA. Yogyakarta: UNY.

Page 86: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

75

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbasis Demonstrasi

Terhadap Motivasi Belajar dan Pemahaman Konsep Fisika Siswa

Ansilina Delima, Sudi Dul Aji, dan Hestiningtyas Yuli Pratiwi Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kanjuruhan

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi terhadap motivasi belajar dan pemahaman konsep fisika siswa serta interaksi antara model pembelajaran dengan motivasi dan pemahaman konsep fisika siswa. Desain penelitian menggunakan quasi experimental

design dengan rancangan posttest control group design. Teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah soal tes dan angket. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan anova dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1) ada perbedaan motivasi belajar antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbasis Demonstrasi

dengan siswa yang diajar menggunakan model discovery learning, 2) ada perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbasis Demonstrasi dengan siswa yang diajar menggunakan model discovery learning, dan 3) ada interaksi antara model pembelajaran Kooperatif

Tipe STAD Berbasis Demonstrasi dengan motivasi belajar siswa dan pemahaman konsep fisika siswa. Kata Kunci: Kooperatif tipe STAD, demonstrasi, motivasi belajar, pemahaman

konsep fisika

PENDAHULUAN

Menurut Erina & Kuswanto (2015) bahwa belajar fisika merupakan suatu pembelajaran yang mengajarkan peserta didik untuk mempelajari tentang fenomena alam, hukum alam, dan melakukan pembuktian untuk menemukan konsep baru secara langsung dari konsep lama yang telah dimiliki. Fisika tidak sekedar suatu pembelajaran yang bersifat verbalitas seperti hapalan, pengenalan rumus-rumus, dan pengenalan istilah-istilah melalui rangkaian verbal tetapi siswa juga diarahkan untuk meningkatkan motivasi belajar yang berguna membantu memecahkan masalah dan memahami konsep-konsep dari materi yang disampaikan.

Kemampuan siswa dalam memahami konsep IPA khususnya pada ilmu Fisika merupakan salah satu kemampuan yang penting dan harus dimiliki oleh setiap pribadi peserta didik,

karena pemahaman konsep dalam fisika merupakan hal yang paling dasar dalam mempelajari fisika (Ihsanudin, 2013). Senada dengan pendapat Simanjuntak (2012) yang menyatakan bahwa Pemahaman konsep sangat ditekankan pada pembelajaran fisika karena pemahaman konsep merupakan syarat utama dalam mencapai keberhasilan belajar siswa. Pemahaman terhadap konsep dapat menjadikan dasar dari berbagai tuntutan pemikiran seperti mengingat, menjelaskan, menemukan fakta, menyebutkan contoh, menggeneralisasi, menerapkan, dan menganalogikan, serta menyatakan konsep baru dengan cara lain (Ain, 2013).

Namun, fakta yang diperoleh di lapangan tidaklah sesuai dengan yang diharapkan, dimana tingkat pemahaman konsep fisika dikalangan pelajar masih sangat rendah. Hal ini diperkuat oleh Hadiwiyanti (2015) yang mengatakan

Page 87: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

76

bahwa penguasan ataupun pemahaman konsep dikalang siswa masih sangat rendah.

Sejalan dengan yang dikatakan Ihsanudin (2013) bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap konsep fisika ternyata masih rendah dan mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan konsep yang didapatkannya dalam permasalahan yang sederhana. Selain itu proses pembelajaran fisika yang diterapkan di sekolah pada umumnya masih menerapkan metode konvensional yang menitik beratkan pada guru dan siswa hanya dituntut untuk menghapal teori-teori dan rumus-rumus tanpa peduli apakah peserta didik mengerti atau tidak pada materi yang diajarkan sehingga konsep-konsep yang seharusnya ditemukan secara langsung oleh siswa melalui pemberian pengalaman oleh guru baik dengan percobaan atau demonstrasi yang dilakukan di kelas ternyata tidak banyak dialami oleh siswa.

Penelitian Wahyuningsih (2014) menemukan bahwa masih ada kegiatan belajar mengajar yang menggunakan model pembelajaran langsung (Direct

Instruction) yang berpusat pada guru sementara siswa cenderung pasif selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini menyebabkan siswa merasa tidak termotivasi dalam belajar sehingga mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk siswa dalam memahami konsep-konsep dari materi yang dijelaskan.

Pemahaman konsep juga dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantarnya adalah model pembelajaran yang digunakan dan motivasi belajar. Hal ini diperkuat oleh Restami, Suma, & Pujani (2013) yang mengatakan bahwa Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pemahaman konsep fisika siswa adalah model pembelajaran yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan Abriani (2016) mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan pemahaman konsep Fisika masih

tergolong rendah dan perlu ditingkatkan adalah faktor siswa sendiri yang kurang termotivasi untuk belajar. Motivasi belajar siswa juga sangat bergantung pada model pembelajaran yang digunakan oleh guru dan cara menerapkannya dikelas selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, maka seorang guru yang kreatif harus dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mempelajari fisika untuk memahami konsep-konsep dari materi yang dijelaskan dengan menciptakan suatu model pembelajaran yang dapat membantu siswa agar lebih termotivasi. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman konsep sehingga siswa menjadi aktif dan pembelajaran menjadi berpusat pada siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Team

Achievement Division (STAD). Model pembelajaran kooperatif

tipe STAD merupakan model pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil secara heterogen berdasarkan kemampuan akademis yang berbeda, jenis kelamin dan suku yang berbeda. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim dan memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut dan akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi yang telah disampaikan dengan catatan, saat kuis siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu. Belajar dalam kelompok inilah yang tentunya sangat membantu siswa dalam memotivasi antara satu dengan yang lainnya sedangkan kuis dapat merangsang siswa untuk meningkatkan kemampuannya pada aspek kognitif khususnya pada pemahamannya terhadap konsep-konsep. Jadi, model Pembelajaran Koperatif tipe STAD menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran yang telah

Page 88: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

77

disampaikan oleh guru guna mencapai prestasi yang maksimal.

Model pembelajaran STAD ini telah banyak dilaksanakan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Juliantara, Santiyadnya, & Ariawan (2015) yang menunjukan bahwa penerapan model pembelajaran STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Sehubungan dengan itu hasil penelitian Yudiasa, Dibia, & Sumantri (2016) juga menjelaskan adanya peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

Namun dalam beberapa penelitian terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini peneliti menemukan beberapa kendala diantaranya: Jannah (2017) menjelaskan bahwa pada saat pelaksanaan proses pembelajaran kurang efektif dan efisien karena keterbatasan alat peraga sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Aryanti, Mahardika, & Indrawati (2017) juga menjelaskan dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD diharapkan guru juga diperhatikan alokasi waktu agar pembelajaran berjalan dengan lancar karena dalam penerapannya STAD membutuhkan waktu yang cukup banyak khususnya pada saat pembagian kelompok apalagi jika pembelajaran tersebut disertai dengan praktikum.

Penelitian terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD juga pernah dilakukan oleh Sudianti (2010) menyatakan bahwa Pembelajaran kooperatif tipe STAD menggunakan alat peraga dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengajar yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan penelitian lanjutan dapat dikembangkan lagi pembelajaran kooperatif tipe STAD menggunakan metode lainnya. Hal ini yang mendorong peneliti untuk memilih

salah satu metode yang dapat memudahkan siswa dalam menerima informasi, menerapkan konsep dan pendukung dalam proses pembelajaran, metode tersebut adalah metode demonstrasi. Metode Demonstrasi merupakan metode yang dapat digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran dengan cara memperagakan suatu materi, konsep atau kejadian.

Berdasarkan kajian teoritis dan empiris yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad

Berbasis Demonstrasi Terhadap Motivasi Belajar Siswa Dan Pemahaman Konsep Fisika”.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif. Desain penelitian adalah eksperimen semu (quasi

eksperimental design) dengan

Rancangan posttest only control group

design. Teknik pemilihan sampel yang digunakan adalah teknik purpose

sampling dengan instrumen penelitian adalah soal tes berbentuk pilihan ganda untuk mengukur pemahaman konsep fisika siswa dan angket untuk mengukur motivasi belajar siswa.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ANOVA dengan signifikansi α = 5% dalam SPSS

16,0 Windows. Namun, sebelum dilakukan uji hipotesis, dilakukan uji normalitas dan homogenitas sebagai uji prasyarat. Ketentuan pengambilan kesimpulan yaitu: H0 ditolak dan H1 diterima ketika P-Value (Sig.) kurang dari tingkat signifikansi (α) yakni 0.05, sebaliknya H0 diterima dan H1 ditolak ketika P-Value (Sig.) lebih dari tingkat signifikansi (α) yakni 0.05

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis statistik maka diperoleh hasil bahwa Adanya

Page 89: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

78

Perbedaan motivasi belajar antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dengan siswa yang diajar menggunakan model discovery learning. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis menggunakan uji anova dua jalur yaitu Sig < 𝛼 (0,002< 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Qomarudin (2014) yang membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi ini siswa tanpa terbebani mengikuti pelajaran karena merasa terbantu oleh teman-teman didalam kelompok apabila belum paham dengan materi yang sedang dipelajari. Selain itu belajar kelompok dan penghargaan dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi ini mampu membuat siswa yang berkemampuan tinggi memberikan bantuan kepada siswa yang berkemampuan rendah karena mereka merasa berada dalam satu kesatuan. Sehingga siswa yang pandai tidak enggan dengan teman yang kurang pandai dan yang kurang pandai pun tidak merasa minder dengan teman yang pandai. Dilain sisi, adanya perlakuan demonstrasi pada pembelajaran merangsang siswa untuk berpikir dan mencari informasi dari apa yang telah didemonstrasikan.

Adanya Perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan siswa yang diajar menggunakan model discovery

learning. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis menggunakan uji anova dua jalur yaitu Sig < 𝛼 (0,006< 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Harahap, 2014) yang membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Modifikasi Model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan demonstrasi ini siswa diarahkan untuk masuk kedalam kelompok yang telah ditentukan oleh peneliti dimana kelompok yang dibentuk didasari dengan prinsip model pembelajaran kooperatif tipe STAD bahwa siswa dibentuk dalam kelompok secara heterogen. Hal ini akan mendorong siswa untuk saling membantu atau bekerja sama dimana siswa yang berkemampuan tinggi akan membantu siswa yang berkemampuan rendah apabila kurang paham dengan materi yang didiskusikan. Selain itu siswa yang tidak mengerti atau yang berkemampuan rendah dan sedang tidak akan segan untuk bertanya kepada teman-teman yang mengerti karena mereka berada dalam satu kesatuan kelompok dan berusaha untuk mengerti karena akan merasa malu dengan teman-teman yang lain jika tidak memahami materi yang dipelajari tersebut.

Model pembelajaran ini menujukan bahwa ada keharusan setiap kelompok memastikan bahwa semua anggota kelompok memahamai materi yang didiskusikan karena setelah kegiatan diskusi dilanjutkan dengan pengetesan peningkatan individu dan penghargaan kinerja kelompok. Serupa dengan Penelitian yang telah dilakukan oleh Asmawati (2011) menemukan suatu kesimpulan bahwa siswa akan lebih mudah untuk menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya untuk saling bekerjasama dan saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan dan hadiah. Apalagi ketika siswa melakukan demonstrasi yang dapat membuat siswa merasa senang dan lebih percaya diri untuk menyelidiki dan mengetahui bagaimana cara manyajikan bahan pelajaran dengan menggunakan alat peraga secara langsung dan bagaiman suatu konsep jika diterapkan dalam dunia nyata.

Page 90: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

79

Interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe stad berbasis demonstrasi dengan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep fisika siswa. Berdasarkan hasil analisis data uji statistik diperoleh bahwa terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dan motivasi terhadap pemahaman konsep Fisika siswa. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis yaitu FHitung > FTabel (3,312 >3.15). Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ningtyas (2017) diperoleh hasil bahwa motivasi belajar memliki korelasi yang sangat tinggi dengan prestasi belajar siswa”. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pemahaman konsep fisika siswa adalah model pembelajaran yang digunakan selama proses pembelajaran berlanjaran berlangsung (Restami dkk., 2013). Sedangkan (Abriani, 2016) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan pemahaman konsep Fisika masih tergolong rendah dan perlu ditingkatkan adalah faktor siswa sendiri yang kurang termotivasi untuk belajar. Jadi, pemahaman konsep dapat meningkat apabila model pembelajaran yang diterapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi berpusat pada mendorong siswa untuk bekerja sama secara lebih aktif dan interaktif dalam mengikuti pembelajaran. Dengan demikian motivasi siswa pun menjadi lebih meningkat apalagi ketika diberitahukan bahwa akan ada penghargaan kepada kelompok yang berprestasi. Jika seorang siswa termotivasi maka ia akan berbusaha lebih giat dan intens dalam belajar untuk lebih memahami apa yang telah dipelajari. Di sisi lain, demonstrasi mampu memunculkan konsentrasi siswa yang optimal untuk mengarahkannya pada tahap perhatian yang lebih tinggi. Semakin bagus matode dan model pembelajaran yang digunakan semakin

besar pula rasa ketertarikan siswa terhadap pembelajaran dan munculnya kemauan siswa untuk berkonsentrasi dalam pembelajaran. Hal ini tentu akan memacu perkembangan yang semakin positif terhadap pemahaman konsep dan motivasi belajarnya. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa yang belajar menggunakan model kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dengan siswa yang belajar menggunakan model discovery learning, 2) Terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar menggunakan model kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dengan siswa yang belajar menggunakan model discovery learning, dan 3) Terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dengan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep fisika siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abriani, A. (2016). Peningkatan

pemahaman konsep fisika dengan

menerapkan model pembelajaran

evidence based learning dalam

pelaksanaan guided inquiry siswa

kelas x 8 di sman 1 polombangkeng

utara. Makasar. Retrieved From Http://Repositori.uin-alauddin.ac.id/1550/1/ayu abriani.pdf

Ain, T. N. (2013). Pemanfaatan visualisasi video untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika siswa pada materi tekanan hidrostatis. Jurnal Inovasi

Pendidikan Fisika, 2, 97–102. Aryanti, A. A., Mahardika, I. K., &

Indrawati. (2017). Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD disertai media LKS berbasis multirepresentasi terhadap aktivitas

Page 91: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

80

dan hasil belajar siswa di SMA. Jurnal Pembelajaran Fisika, 5, 33–369.

Asmawati, R. (2011). Pengaruh model

pembelajaran kooperatif tipe stad

terhadap penguasaan konsep siswa

pada materi bunyi. Jakarta. Retrieved FromHttp://Repository.Uinjkt.Ac.Id/Dspace/Bitstream/123456789/1541/1/101348-Asma Wati R.-Fitk.Pdf

Erina, R., & Kuswanto, H. (2015). Pengaruh model pembelajaran instad terhadap keterampilan proses sains dan hasil belajar kognitif fisika di SMA. Jurnal Inovasi

Pendidikan Ipa, 1. Hadiwiyanti, I. (2015). Analisis

pemahaman konsep fisika siswa di

smpdalam kaitannya dengan

penerapannya di lingkungan

sekolah. Harahap, N. (2014). Hubungan antara

motivasi dan aktivitas belajar siswa terhadap hasil belajar kognitif siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe student teams achievement division pada konsep ekosistem. Visipena, 5.

Ihsanudin, M. (2013). Penggunaan peta

konsep dengan bantuan multimedia

untuk meningkatkan pemahaman

konsep fisika siswa smp. universitas pendidikan indonesia. Retrieved From Http://Repository.Upi.Edu/Id/Eprint/1702

Jannah, N. A. (2017). Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe student team achievement division terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V Sekolah Dasar SeGugus II Kecamatan Panjatan Kulon Progo. Jurnal Pendidikan, 4, 262–267.

Juliantara, G. B., Santiyadnya, N., & Ariawan, K. U. (2015). Implementasi model pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan hasil belajar

perakitan komputer siswa kelas X TKJ2 SMK Negeri 1 Bangli Semester II tahun pelajaran 2014/2015. E-Journal Jurnal Jpte, 4.

Ningtyas, D. (2017). Hubungan motivasi

belajar dengan prestasi belajar

matematika siswa kelas v sd gugus

1 kecamatan kalirejo lampung

tengah. Lampung. Retrieved From Http://Digilib.Unila.Ac.Id/27214/3/Skripsi Tanpa Bab Pembahasan.Pdf

Qomarudin, A. (2014). Pengaruh model

pembelajaran kooperatif tipe stad

(student team achievement division)

terhadap motivasi dan hasil belajar

peserta didik pada pembelajaran fi

k ih semester genap di kelas x ma al

ma arif singosari kabupaten

malang. malang. Retrieved From Http://Etheses.Uin-Malang.Ac.Id/8679/1/12770047.Pdf

Restami, M. P., Suma, K., & Pujani, M. (2013). Pengaruh model pembelajaran POE (Predict-Observeexplaint) terhadap pemahaman konsep fisika dan sikap ilmiah ditinjau dari gaya belajar siswa. E-Journal Program

Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha, 3. Simanjuntak, M. P. (2012). Peningkatan

pemahaman konsep fisika mahasiswa melalui pendekatan pemecahan masalah berbasis video. Jurnal Pendidikan Fisika, 1.

Sudianti, E. (2010). Efektivitas

pembelajaran kooperatif tipe stad

(student teams-achievement

divisions) menggunakan alat

peraga terhadap hasil belajar

matematika siswa kelas viii mtsn

ngawi (penelitian eksperimen

pokok bahasan kubus). yogyakarta. Retrieved From Http://Digilib.Uin-Suka.Ac.Id/5162/2/Bab I%2cv%2cdaftar Pustaka.Pdf

Wahyuningsih, D. (2014). Motivasi

Page 92: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

81

belajar dan pemahaman konsep fisika siswa SMK dalam pembelajaran menggunakan model experiential learning. Jurnal

Pembelajaran Fisika. Yudiasa, I. K., Dibia, I. K., & Sumantri,

M. (2016). Penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar IPA siswa kelas V. E - Journal Pgsd

Universitas Pendidikan Ganesha, 6.

Page 93: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

82

Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL)

Terhadap Motivasi dan Kemampuan Analisis Siswa

Liliana Yulia Asril, Nurul Ain, dan Hestiningtyas Y. Pratiwi

Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan motivasi antara siswa yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dengan siswa yang menggunakan model konvensional. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan rancangan posttest only control design group. Populasi pada penelitian ini adalah kelas VIII SMP Negeri 2 Kepanjen dengan sampel penelitian diambil dari kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII B sebagai kelas kontrol. Masing-masing kelas terdiri dari 30 orang siswa dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data motivasi siswa dikumpulkan melalui observasi dan data kemampuan analisis dikumpulkan melalui tes pilihan ganda. Data dianalisis menggunakan uji anova dua jalur dengan bantuan Microsoft Excel 2010. Hasil penelitian membuktikan terdapat perbedaan motivasi dan kemampuan analisis antara siswa yang menggunakan model PBL dengan siswa yang menggunakan model konvensional serta terdapat interaksi antara model PBL terhadap motivasi dan kemampuan analisis. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpukan bahwa model PBL berpengaruh terhadap motivasi dan kemampuan analsis siswa dalam proses pembelajaran. Kata Kunci: PBL, motivasi, kemampuan analisis

PENDAHULUAN

Mutu pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh tenaga pendidik yang profesioanl dalam memberikan pengajaran dan pengalaman terhadap peserta didik (Jehanus, 2018). Berkaitan dengan pendidikan yang bermutu, laporan dari berbagai studi yang berskala nasional maupun internasional seperti Trends In International

Mathematics And Sciences Study

(TIMSS) Indonesia berada pada urutan ke-36 dari dari 49 negara sedangkan dari Program For International Student

Assessment (PISA) Indonesia berada diurutan ke-69 dari 76 negara (Sarnapi, 2016). Hal ini menunjukan pendidikan di Indonesia masih kurang bermutu dan sangat memprihatinkan dan harus ditingkatkan dengan model pembelajaran yang berpengaruh khususnya pada mata pelajaran IPA. IPA merupakan mata pelajaran yang mempelajari tentang berbagai gejala alam serta cendrung

mempelajari hukum-hukum alam melalui rumus-rumus yang sistematis yang menjadikan IPA sebagai mata pelajaran yang sulit dan membosankan bagi siswa (Liliosa, 2018). Pernyataan tersebut merujuk pada rendahnya motivasi siswa dalam belajar serta siswa kurang terlibat aktif dan meningkatkan kemampuan analisis terhadap berbagai gejala alam tersebut. Berdasarkan ulasan diata dapat diketahui melalui proses pembelajaran yang bersifat monoton dan mengandalkan metode ceramah dan tanya jawab melalui model pembelajaran konvensional.

Model konvensional membuat siswa pasif didalam kelas dan membosankan dalam menanggapi materi yang diberikan. Hal ini karena kurangnya motivasi siswa dalam belajar karena motivasi siswa dan proses pembelajaran merupakan satu kesatuan yang utuh, tanpa motivasi siswa tidak akan mampu menerapkan materi yang diberikan saat

Page 94: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

83

proses pembelajaran. Motivasi siswa dalam belajar merupakan faktor psikis seseorang yang bersifat nonintelektual yang berperan sebagai penumbuh gairah, merasa senang serta semangat untuk belajar secara mandiri maupun kelompok. Motivasi mencakup 6 aspek diantaranya minat, senang, konsentrasi, perhatian, ego-involvement dan pemahaman. Kurangnya motivasi yang menyebabkan tidak berkembangnya pengetahuan yang mendorong semangat dalam belajar (Sardiman, 2005). Pernyataan tersebut sejalan dengan sejalan dengan penelitian (Zubaidah, 2015) di SMP Brawijaya Smart School, proses pembelajaran sangat tidak sesuai dengan kurikulum yang sedang berlaku dan masih menggunakan metode tanya jawab (brain stroming) dan terbukti tidak memotivasi siswa dalam belajar. Penelitian tersebut melihat beberapa siswa terlibat aktif namun yang lainnya cendung pasif dan tidak memperhatikan bahkan sibuk berbicara dengan teman sebangku maupun sekelilingnya. Siswa sangat tidak fokus dan masih masih belum menemukan kaitan antara IPA dengan kehidupan nyata yang berdampak pada rendahnya hasil belajar antara 28 % hingga 36 %. Penelitian lain dari (Istanti, 2015) juga menemukan hal serupa yang dilaksanakan di Sekolah Dasar Gadingan yaitu hasil belajar siswa masih sangat rendah karena guru mengandalkan metode cerama, tanya jawab serta demonstrasi seadanya serta guru bukan lagi sebagai fasilitator tapi berperan aktif dalam proses pembelajaran (teacher

center). Selain motivasi belajar,

kemampuan analisis siswa juga harus ditingkatkan. Kemampuan analisis merupakan unsur domain kognitif hasil belajar (Harsanto, 2005). Kemampuan analisis merupakan kemampuan menerangkan hubungan yang ada dan berkombinasi berbagai unsur menjadi kesatuan yang utuh (Anderson, 2010). Indikator kemampuan analisis

diantaranya mengurai unsur informasi yang relevan, menghubungkan antara unsur yang relevan serta menentukan sudut pandang tentang tujuan mempelajari informasi. Berdasarkan indicator tersebut, maka kemampuan analisis memliki tiga aspek diantaranya analisis unsur, analisis hubungan dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi. Perkembangan pengetahuan sekarang mengharuskan siswa memiliki kemampuan analisis dalam mengurai dan menentukan hubungan permasalahan yang relevan hingga mampu menentukan tujuan dari permasalahan yang dipelajari berdasarkan sudut pandang permasalahan yang diurai.

Berdasarkan pemaparan di atas, perlu adanya model pembelajaran yang mampu berbagai permasalah tersebut. Salah satu model pembelajaran yang mampu mempengaruhi motivasi siswa dan kemampuan analisis adalah model problem based learning (PBL). PBL merupakan model pembelajaran sebagai dasar untuk mendapatkan pengetahuan dan kosep dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata (Indah, 2015). Hasil penelitian sebelumnya menunjukan penerapan model PBL menggunakan 5 sintak pada mata pelajaran IPA cukup berpengaruh terhadap kemampuan analisis, namun motivasi siswa masih sangat rendah ditandai dengan siswa masih mengharapkan teman dalam menyelesaikan proses permasalahan yang dipecahkan dalam kelompok kecil.

Penelitian ini masih menggunakan model PBL dengan 5 sintak tetapi peneliti akan mengkaji dengan variabel lain yaitu motivasi belajar. Materi yang dibatasi dalam penelitian ini yaitu tekanan zat denan sub materi tekanan zat pada dan zat cair. Hal ini Karen amateri tersebut memiliki karakteristik yang sangat kontekstual dan membutuhkan pengaplikasian dalam pembelajaran sesuai dengan kehidupan nyata sehingga

Page 95: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

84

siswa dituntut untuk mampu menganalisis proses pemecahan masalah dan mampu memotivasi siswa. Oleh karena itu, dilihat dari sintak model pembelajaran maka model PBL akan memberi berpengaruh terhadap motivasi dan kemampuan analisis. Adapun tujuan dari penelitian yaitu: 1) mengetahui adanya perbedaan motivasi antara siswa yang diajarkan meggunakan model PBL dengan siswa yang menggunakan model konvensional, 2) mengetahui adanya perbedaan kemampuan analisis siswa antara siswa yag diajarkan menggunakan model PBL dengan siswa yang menggunakan model konvensional, dan 3) mengetahui interaksi antara model PBL terhadap motivasi dan kemampuan analisis.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi

experiment) dengan desain eksperimen sederhana (posttest only control design

group). Desain tersebut memiliki dua kelompok kelas yang dipilih secara random yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan menggunakan model PBL dan kelas konrol menggunakan model pembelajaran konvensional.

Variabel dalam penelitian ini diantaranya varibel bebas yaitu model PBL yang diajarkan pada kelas eksperimen dan model konvensional pada kelas kontrol. Sedangkan variabel terikat yaitu motivasi belajar dan kemampuan analisis. Populasi pada penelitian ini yaitu kelas VIII SMP Negeri 2 Kepanjen dengan sampel penelitian dambil adri kemampuan awal yang sama dengan teknik purposive

sampling yaitu kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan Kelas VIII B sebagai kelas kontrol.

Instrumen pengambilan data yaitu data motivasi diperoleh menggunakan lembar observasi sedangkan kemampuan analisis menggunakan tes pilihan ganda. Sebelum soal digunakan, soal dengan jumlah 20 nomor diuji valitas dan reliabilitas terlebih dahulu dengan kriteria soal semua valid dengan rtabel 0,33. Sedangkan uji reliabilatas, dengan kr20 0,78 dan dinyatakan reliabititas tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji hipotesis dianalisis menggunakan uji anova dua jalur pada taraf signifikan 0,05 atau 5 % dengan bantuan Microsoft excel 2010. Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu data yang diperoleh dari hasil penelitian harus terdistribusi normal dan data harus homogen. Uji normalitas dianalisis menggunakan uji liliofers baik data motivasi maupun data kemampuan analisis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan nilai Lhitung < Ltabel sehingga keseluruhan data dinyatakan terdistribusi normal dan homogen. Uji hipotesis akan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1 Hasil Uji hipotesis

Kelom

-pok Fhitung Ftabel Kesimpulan

A 57,47 3,92 Ada Perbedaan B 43,19 3,92 Ada Perbedaan AB 11,60 3,92 Ada Interaksi

Pengaruh Model PBL Terhadap

Motivasi

Berdasarkan Tabel 1 di atas terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara siswa yang menggunakan model PBL (kelas eksperimen) dengan siswa yang menggunakan model konvensional (kelas kontrol). Hal ini dapat dibuktikan dengan data hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 1.

Page 96: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

85

Gambar 1 Nilai motivasi siswa tiap aspek

Berdasarkan Gambar 1 di atas

aspek yang paling menonjol pada kelas eksperimen yang menggunakan model PBL yaitu aspek senang, perhatian dan pemahaman. Menonjolnya ketiga aspek tersebut karena model PBL menjadikan siswa sebagai patokan dalam memecahkan masalah secara leluasa yang mebuat siswa senang dengan penuh perhatian serta mampu memahami materi yang mereka pelajari. Sedangkan kelas yang menggunakan model konvensional, aspek motivasi yang paling meninjol yaitu aspek konsentrasi, meskipun tidak memberikan masalah tapi sebagian besar siswa dalam kelompok melakukan praktikum meskipun kurang teliti. dilihat dari nilai peraspek motivasi, kelas yang mengunakan model PBL lebih tinggi dibandingkan kelas yang menggunakan model konvensional, sehingga model PBL berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa saat proses pembelajaran.

Penelitian ini membuktikan bahwa model PBL efisien untuk digunakan dalam proses pembelajaran didalam

kelas. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasi penelitian yang (Ramlawati, 2017) menyatakan model PBL memberikan pengalaman yang otentik yang mempromosikan pembelajaran aktif dan secara alami mengintegrasikan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh (Wiwi & Leonard, 2017) yang mengungkapkan bahwa model PBL dapat memberi pengaruh yang positif terhadap proses pembelajaran khususya motivasi siswa dalam proses pemecahkan masalah.

Pengaruh Model PBL Terhadap

Kemampuan Analisis Berdasarkan Tabel 1 di atas

terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara siswa yang menggunakan model PBL (kelas eksperimen) dengan siswa yang menggunakan model konvensional (kelas kontrol). Hal ini dapat dibuktikan dengan data hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 nilai kemampuan analisis siswa tiap aspek

Page 97: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

86

Berdasarkan Gambar 2 menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan analisis siswa yang menggunakan model PBL dengan model konvensional. Aspek yang menonjol pada kelas eksperimen yaitu analisis unsur, hal ini disebabkan karena siswa lebih mudah menganalisis permasalahan hingga menemukan proses pemecahan masalah hingga mampu membedakan dan mengkaji permasalahan yang diberikan dengan permasalahan yang ada dalam dunia nyata Sedangkan pada kelas kontrol, aspek yang menonjol yaitu analisis hubungan karena meskipun hanya menggunakan metode ceramah dan praktikum seadanya sebagian kecil siswa mampu membuat siswa menghubungkan materi dengan kehidupan dunia nyata.

Penelitian ini menunjukan pengaruh model PBL sangat besar dalam proses pembelajaran dan mengembangkan kemampuan analisis siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Herlinda (2017) menyatakan bahwa PBL dapat meningkatkan kemampuan analisis pada mata pelajaran Biologi dari nilai rata-rata 53,78 menjadi 82,83 dibandingkan dengan model konvensional.

Interaksi Antara Model PBL

Terhadap Motivasi dan Kemampuan

Analisis

Berdasarkan Tabel 1 terdapat interaksi antara model PBL terhadap motivasi dan kemampuan analisis. Hal ini dapat dibuktikan dengan data hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Interaksi PBL terhadap motivasi dan kemampuan analisis

Gambar 3 menunjukan adanya

interaksi antara model PBL terhadap motivasi dan keampuan analisis. Oleh karena itu model PBL sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran, interaksi antara model dengan variabel terikatnya sangat besar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Elaine, 2016) yang mengemukakan bahwa penggunaan model PBL dimulai dengan memberikan masalah untuk memancing rasa ingin tahu dan minat siswa hingga termotivasi untuk

memecahkan masalah yang sejalan dengan menganalisis percobaan dan membutuhkan kemampuan siswa dalam mengolah polah pikir.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa yang diajarkan menggunakan model PBL dengan siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional pada materi

Page 98: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

87

tekanan zat padat, tekanan hidrostatis dan hukum Archimedes, 2) terdapat perbedaan kemampuan analisis antara siswa yang diajarkan menggunakan model PBL dengan siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional pada materi tekanan zat padat, tekanan hidrostatis dan hukum Archimedes, dan 3) terdapat interaksi antara model PBL terhadap motivasi dan kemampuan analisis siswa pada materi tekanan zat padat, tekanan hidrostatis dan hukum Archimedes. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, W. L. (2010). Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran dan assesment. Jurnal

Pendidikan Nasional, 2 (1), 1–12. Elaine H.J. (2016). The interaction

between modern problem based streching towards analysis and motivation ability. Journal Science

Teacher Education, 1(2), 1–12. Harsanto, H. (2005). Melatih anak

berpikir analitis, kritis dan kreatif. Jurnal Pendidikan, 1(2), 1–8.

Herlinda, E. S. (2017). Pengaruh model problem based learning (PBL) terhadap hasil belajar, kemampuan pemecahan masalah fisika dan minat belajar siswapada materi fluida statis di SMAN 1 Lebong Sakti. Junal Pendidikan Fisika

Tadulako, 2, 3. Indah, K. R. (2015). Penerapan model

pembelajaran problem based leraning (PBL) melalui metode demonstrasi untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar fisika SMK PGRI 7 Malang. Jurnal

Internasional Pendidikan Fisika, 1(2), 1–8.

Istanti, R. (2015). Pengaruh model problem based learning terhadap motivasi belajar IPA siswa kelas V SDN Gadingan. Jurnal Nasional

Pendidikan Fisika, 2(1), 1–10. Jehanus, C. (2018). Pengaruh Model

Problem Based Learning (PBL)

Berbasis Assesment Kinerja

Terhadap Penguasaan Konsep

Fisika Ditinjau Dari Kemampuan

Kinerja Ilmiah Siswa Kelas X Sma

Negeri 2 Malang. Malang. Liliosa, S. (2018). Pengaruh model

inquiri terbimbing terhadap sikap

ilmiah dan prestasi belajar fisika. Malang.

Ramlawati. (2017). Pengaruh model problem based learning terhadap (PBL) motivasi dan hasil belajar IPA peserta didik. Jurnal Nasional

Pendidikan Fisika, VI(1), 1–14. Sardiman, S. (2005). Interaksi dan

motivasi belajar mengajar. Jurnal

Nasional Pendidikan, 1(1), 1–7. Sarnapi, S. (2016). Rendahnya peringkat

pendidikan di Indonesia. Jurnal

Nasional, 1(2), 8–18. Wiwi, W., & Leonard, L. (2017).

Pengaruh model problem based learning (PBL) terhadap kemampuan penalaran matematis Siswa, (12).

Zubaidah, S. (2015). Pengaruh problem based learning (PBL) terhadap motivasi dan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Brawijaya Smart School Malang. Jurnal Nasional

Pendidikan Fisika, 1(3), 1–14.

Page 99: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

88

Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan Berpikir Kritis

Ditinjau dari Motivasi Berprestasi

Linda Wiji Lestari*, Sholikhan, Akhmad Jufriadi

Program Studi Pendidikan Fisika, Sains dan Teknologi, Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) perbedaan berpikir kritis antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan konvensional, 2) perbedaan peningkatan berpikir kritis antara siswa yang memiliki motivasi prestasi tinggi dan motivasi prestasi rendah, dan 3) interaksi model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan motivasi prestasi terhadap peningkatan berpikir kritis. Jenis penelitian ini adalah Quasi

Eksperiment dengan rancangan Posttest Only Group Design. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMP di Kab. Malang pada semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII, dengan jumlah 52 siswa yang terbagi dalam satu kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol. Teknik pengambilan data menggunakan tes berpikir kritis dan angket (kuesioner) motivasi berprestasi. Analisa data menggunakan analisis varian anova dua jalur (two way

anova). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 1) ada perbedaan berpikir kritis antra model indkuiri terbimbing dengan konvensional dengan taraf signifikasi 0,000 < 0,05; 2) ada perbedaan peningkatan berpikir kritis antara siswa yang memiliki motivasi prestasi tinggi dan motivasi prestasi rendah dengan taraf signifikansi (0,000 < 0,05); dan 3) tidak ada pengaruh model pembelajaran dengan motivasi terhada berpikir kritis dengan taraf signifikansi (0,374 > 0,05).

Kata Kunci: inkuiri terbimbing, motivasi berprestasi, berpikir kritis

PENDAHULUAN

Kemampuan berpikir kritis pada masa ini sangat dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21 untuk menuntut manusia untuk memiliki kemampuan berpikir yang baik. (Nurul, 2016). Proses belajar IPA mengutamakan pada suatu proses penelitian dan pemecahan masalah. Ketika belajar IPA siswa diharapkan mampu meningkatkan proses berpikir untuk memahami fenomena alam (Wisudawati, 2014). Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah pengetahuan yang memepelajari tentang fenomena alam baik hidup dan tak hidup, yang meliputi Biologi, Kimia dan Fisika. Pada dasarnya IPA dibangun dengan dasar produk ilmiah, proses ilmiah dan sikap ilmiah ( Trianto, 2017)

Pembelajaran Fisika dapat diartikan bahwa proses pembelajaran yang mempelajari tentang kejadian alam yang terdapat pada kehidupan sehari–

hari. Salah satu usaha yang dilakukan guru untuk memperbaiki dan membantu siswa untuk memahami konsep fisika melalui penerapan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan hakikat pembelajaran fisika (Setiawan, 2012). Tujuan pembelajaran fisika yaitu diharapkan siswa dapat menguasi berbagai konsep dan prinsip fisika untuk dikembangkan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Prihandono, 2011).

Permasalahan umum pada pembelajaran IPA di SMP yaitu kurangnya motivasi siswa, sebagian besar siswa mengatakan bahwa IPA memiliki konsep yang susah dipahami dan banyaknya rumus matematis (Arviansyah, Indrawati, & Harijanto, 2011). Selain itu pemilihan model pembelajaran yang kurang tepat juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan berpikir kritis siswa.

Page 100: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

89

S==alah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis siswa yaitu dengan menerapkan model, metode pembelajaran atau penggunaan media yang tepat serta inovatif sehingga suasana dalam proses pembelajaran lebih menyenangkan.

Untuk mengatasi permasalahan perlu adanya upaya untuk memperbaiki strategi pembelajaran yang dapat mempermudah siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan adanya keterlibatan siswa yang tentunya dibimbing oleh pengajar. Sehingga siswa dapat mengembangkan potensi dan meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah satu model pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan motivasi berprestasi adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing. Inkuiri terbimbing merupakan pendekatan yang mana guru membantu dan membimbing siswa untuk melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada diskusi di dalam kelas ataupun dilaboratorium.

Kelebihan Inkuiri Terbimbing

yaitu 1) Menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan, artinya pada pembelajaran ini menempatkan siswa sebagai subjek belajar, 2) Seluruh siswa melakukan aktivitas untuk mencari dan menemukan konsep, dan 3) Mampu mengembangkan intelektual sebagai proses mental akibat siswa dituntut agar menguasai pelajaran (Jauhar, 2011). Oleh karena itu pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri.

Langkah–langkah pembelajaran inkuiri terbimbing yang meliputi 1) orientasi, 2) merumuskan masalah, 3) mengajukan hipotesis, 4) mengumpulkan data, 5) menguji hipotesis, dan 6) merumuskan kesimpulan dapat melatih siswa untuk memperdalam kemampuan

berpikir kritisnya yang juga akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi yang dapat mengaktifkan keterampilan menginterpretasi, menganalisis, dan mengevaluasi bukti atau gagasan, mengidentifikasi pertanyaan, membuat kesimpulan logis, serta memahami implikasi argumen.

Strategi pembelajaran inkuiri merupakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student

centered approach), sebab dalam pembelajara ini siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini siswa dapat menemukan jawabannya sendiri dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan, dengan itu dalam penguasaan materi bukan tujuan dari utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih penting adalah proses belajar. Model Inkuiri Terbimbing juga menekankan siswa dalam pengamatan, penyelidikan peristiwa yang telah ditetapkan pada rencana pembelajaran dan siswa diberi kesempatan untuk menggunakan pengetahuannya dalam penyelidikan (Putri, Yushardi, & Putra, 2016).

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui perbedaan berpikir kritis antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan konvensional, 2) mengetahui perbedaan peningkatan berpikir kritis antara siswa motivasi prestasi tinggi dan motivasi prestasi rendah, dan 3) mengetahui interaksi model pembelajarn inkuiri terbimbing

dengan motivasi berprestasi terhadap peningkatan berpikir kritis. METODE

Rancangan penelitian menggunakan Posttest only control group design, artinya desain ini melibatkan dua kelompok subjek, pemberian tes kepada kedua kelompok dilaksanakan setelah pembelejaran telah selesai diberikan.

Page 101: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

90

Dua kelompok subjek tersebut yakni kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dua kelas tersebut dianggap sama dalam semua aspek yang relevan dan perbedaan

hanya terdapat pada perlakuan yang diberikan. Rancangan penelitian ini dapat ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Matrik Rancangan Anova Dua Jalur

Variabel

Bebas

Variabel

Moderat

Strategi Pembelajaran

Inkuiri Terbimbing

(A1)

Konvensional

(A2)

Motivasi Prestasi (B)

Tinggi (B1) A1 B1 A2 B1 Rendah (B2) A1 B2 A2 B2

Sumber: Arikunto (2010)

Keterangan: A1 B1 : cara berpikir kritis siswa kelas

eksperimen yang belajar dengan strategi pembelajaran inkuiri dengan motivasi prestasi tinggi

A2 B1 : cara berpikir kritis siswa kelas kontrol yang belajar dengan pembelajaran konvensional dengan motivasi prestasi tinggi

A1 B2 : cara berpikir kritis siswa kelas eksperimen yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan motivasi prestasi rendah

A2 B2 : cara berpikir kritis siswa kelas kontrol yang belajar dengan pembelajaran konvensional dengan motivasi prestasi rendah

Penelitian ini dilaksanakan di

salah satu SMP di Kab. Malang pada semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII, dengan jumlah 52 siswa yang terbagi dalam satu kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol. Teknik pengambilan data menggunakan tes berpikir kritis dan angket (kuesioner) motivasi berprestasi. Analisa data menggunakan analisis varian anova dua jalur (two way anova).

Data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini yaitu: 1) data motivasi berprestasi siswa diperoleh dengan memberikan angket atau kuesioner yang diisi langsung oleh tiap siswa dengan prosedur yang telah

ditentukan. Pemberian angket dilakukan setelah atau sesudah diberi perlakuan dengan model pembelajaran Inkuiri terbimbing untuk kelas eksperimen dan konvensional untuk kelas kontrol; dan 2) Data berpikir kritis siswa adalah data yang dinilai dari skor yang diperoleh dari tes pemahaman konsep siswa setelah diberi perlakuan dengan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan konvensional. Tes berpikir kritis siswa ini diberikan pada akhir pembelajaran setelah model pembelajaran diterapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk dapat mengetahui tinggi rendahnya kemampuan berpikir siswa, setelah dilakukan pembelajaran siswa diberi posttest yang sama di kelas eksperimen dan kontrol. Sama halnya dengan motivasi berprestasi, kelas eksperimen maupun kontrol diberi angket yang sama untuk mengetahui apakah motivasi berprestasi ada kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis siswa.

Nilai Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa Berdasarkan Model

Pembelajaran

Kemampuan berpikir kritis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh menggunakan instrumen berpikir kritis. Nilai berpikir kritis siswa dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 102: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

91

Tabel 2 Data Hasil Berpikir Kritis Siswa

Model Jumlah

Sampel

Nilai Berpikir Kritis Rata-

rata Tinggi rendah

Inkuiri Terbimbing 26 94 50 73.1 Konvensi-onal 26 94 45 70.4

Berdasarkan data pada Tabel 2 untuk nilai tertinggi pada model pembelajaran konvensional dan model Inkuiri terbimbing adalah sama. Hal ini dikarenakan pada pembagian siswa kelas VII pada kedua sekolah menyamatarakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan rendah. Oleh karena itu kedua model pembelajaran ini digunakan agar mampu untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dari para siswa, dan menurut pihak sekolah pendekatan yang seperti itu akan membantu siswa yang berkemampuan rendah memiliki semangat yang sama dalam mengikuti pembelajaran. Pada data tersebut tes berpikir kritis siswa digolongkan pada

tingkat kognitif C1-C4 yakni menjelaskan, memahami, mengaplikasikan dan menganalisis. Selain dengan adanya tingkat kognitif dengan lima indikator yang diukur untuk mneguji tes berpikir kritis siswa yaitu memberikan penjelasan sederhana, memebangun keterampilan khusus, menyimpulkan, memberikan penjelasan lebih lanjut dan mengatur strategi dan taktik. Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat ditunjukan hasil presentase indikator berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun histogram presentase indikator berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Histogram Presentase Skor Indikator Berpikir Kritis Siswa

Analisis Gambar 1, siswa kelas VII

Diponegoro sebagai kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Inkuiri terbimbing memiliki presentase berpikir kritis tertinggi terlihat pada indikator memberikan penjelasan sederhana dengan presentase sebesar 77 %. Sedangkan yang terendah pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu pada indikator

memberikan penjelasan lanjut, dengan presentase sebesar 74 %. Nanum pada kelas kontrol dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yang tertinggi pada indikator memberikan penjelasan lanjut dan menyimpulkan dengan presentase sebesar 74 %. Sedangkan yang terendah ditunjukan pada indikator membangun keterampilan dasar, dengan presentase sebesar 70 %.

Page 103: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

92

Nilai Kamampuan Berpikir Kritis

Siswa Berdasarkan Motivasi

Berprestasi Siswa

Berdasarkan hasil penyebaran angket motivasi berprestasi siswa yang berisi 25

item pernyataan, hasil distribusi dan deskripsi skor motivasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Deskripsi Berpikir Kritis berdasarkan Motivasi Berprestasi

Model Pembelajaran Jumlah

Sampel

Nilai Berpikir Kritis Rata-

rata Tinggi rendah

Inkuiri Terbimbing 30 83 70 77,16 Konvensional 22 65 51 59,72

Pada hasil tersebut dapat dijabarkan bahwa deskripsi berpikir kritis berdasarkan motivasi berprestasi dalam kategori tinggi, dimana data tersebut menunjukan nilai tertinggi didapatkan sebesar 83 dan nilai terendah sebesar 70 dengan jumlah nilai rata-rata 77,16. Hal ini menunjukan bahwa pola berpikir kritis siswa masih sangat baik, jika dilihat dari motivasi berprestasi siswa. Sedangkan dalam kategori rendah, maka data dapat menunjukan nilai tertinggi yang dimiliki sebesar 65, sedangkan nilai terendah sebesar 51 dengan rata-rata yang dimliki sebesar 59,72. Hal ini menunjukan bahwa masih ada nilai rendah > 70, sehingga perlakukan dan penggunaan model nilai pembelajaran harus disesuaikan lagi dalam pembelajaran. Dan untuk melihat nilai berkemampuan kriti siswa berdasarkan

motivasi berprestasi siswa, maka dapat dilihat pada Gambar 2

Berdasarkan analisa histogram Gambar 2, maka dapat dijabarkan bahwa nilai tertinggi dari kategori tinggi adalah sebesar 85% pada indikator membangun keterampilan dasar, dan nilai yang terendah sebesar 84% pada indikator memberikan penjelasan langsung, memberikan penjelasan lanjut dan mengatur strategi dan taktik. Sedangkan nilai tertinggi pada kategori rendah yaitu sebesar 65% pada indikator memberikan penjelasan sederhana, dan nilai yang terendah sebesar 63% pada indikator membangun keterampilan dasar. Dari data motivasi tinggi dan rendah, disini peneliti akan menjabarkan tentang motivasi tinggi dan motivasi rendah secara terperinci mengenai indikator.

Gambar 2 Histogram Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan Motivasi

Berprestasi Siswa

Berdasarkan analisa histogram, dapat dijabarkan pada kategori tinggi dari lima indikator yang memiliki presentase

tertinggi yaitu pada membangun keterampilan dasar dan menyimpulkan dengan presentase sebesar 85 %. Dalam

Page 104: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

93

hal ini berarti siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan lebih mampu dalam berpikir dengan cara lain dari pernyataan yang telah dikenal sebelumnya. Selain itu pada kategori ini yang memiliki presentase terendah yaitu pada indikator memberikan alasan dan mendeduksi/memberikan kesimpulan. Berdasarkan data analisis, dapat

dijabarkan bahwa pada kategori rendah dari lima indikator yang memiliki indikator yang tinggi yaitu pada indikator memberikan penjelasan sederhana, denga presentase sebesar 66 %. Sedangkan untuk yang terendah yaitu pada indikator membangun keterampilan dasar,dengan presentase sebesar 63 %.

Tabel 4 Hasil Uji Anova Dua Jalur Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Berpikir_kritis

Source Type III Sum of

Squares Df

Mean Square

F Sig.

Model 1077.482 1 1077.482 15.626 .000 Motivasi 1372.510 1 1372.510 19.905 .000 Model * Motivasi 55.504 1 55.504 .805 .374

Perbedaan Berpikir Kritis antara

Model Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing dengan Konvensional

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan berpikir kritis antara model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan pembelajaran Konvensional. Perbedaan tersebut ditunjukan oleh hasil ANOVA dua jalur menunjukan bahwa nilai signifikansi 0,000. Karena (0,000 > 0,05 ), maka H01 ditolak. Pembelajaran yang diterima pada kelas eksperimen lebih mendalam dari pada pembelajaran yang diterima oleh kelas kontrol. Perbedaan yang diperoleh ini yang menyebabkan hasil pebelajaran yang diperoleh pun juga berbeda, sehingga berdampak pada kemampuan berpikir kritis siswa.

Adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dipengaruhi oleh suasana pembelajaran yang menarik dan lebih mendorong siswa untuk terlibat aktif, sehingga siswa memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Selain itu tingkat pemahaman siswa lebih mendalam karena siswa terlibat langsung dalam proses menemukan jawaban terhadap persoalan yang ada dan langsung mempraktekannya. Pembelajaran inkuiri ini yang didasari oleh filosofi

konstruktifisme, karena melalui pembelajaran ini siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri (Anggraeni, Restiati, & Widiyanti, 2013).

Model pembelajaran inkuiri memberikan pengalaman secara nyata kepada siswa sehingga siswa akan lebih aktif dan bisa mendapatkan pelajaran yang bermakna. Hal ini di dukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Liliasari dan Tanwil (2013) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen yang menggunakan model inkuiri terbimbing dengan kemampuan berpikir kritis kelas kontrol yang menggunakan model konvensional.

Perbedaan Peningkatan Berpikir

Kritis Siswa antara Motivasi

Berprestasi Tinggi dan Motivasi

Berprestasi Rendah

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi dan siswa yang mempunyai motivasi berprestasi rendah. Hal ini ditunjukan dengan nilai rata-rata berpikir

Page 105: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

94

kritis kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol menunjukan bahwa nilai signifikansi 0,000 maka motivasi berprestasi berpengaruh antara siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi dan rendah memiliki perbedaan yang signifikan.

Perbedaan ini terjadi karena saat pembelajaran nilai rata-rata berpikir kritis siswa tinggi lebih banyak dari pada nilai rata-rata berpikir kritis siswa rendah. Hal disebabkan oleh motivasi prestasi yang diberikan oleh peneliti lebih besar. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah dikarenakan siswa kurang memahami intruksi yang diberikan oleh guru. Mereka kurang paham dan cenderung diam dari pada bertanya kepada teman atau guru yang mengajar di depan kelas. Selain itu bisa juga dengan keadaan siswa yang kurang sehat, sehingga dapat mempengaruhi berpikir siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tri (2016) ada perbedaan motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah.

Motivasi berprestasi sangat mempengaruhi perilaku siswa dan mempunyai hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar mereka. Siswa yang mengalami permasalahan di sekolah pada umunya menunjukan tingkat motivasi untuk berprestasi rendah. Sehingga guru perlu mengupayakan untuk memberikan perhatian, kepedulian, umpan balik dan membuat isswa merasa memiliki kemampuan sehingga siswa berpandangan psitif terhadap dirinya

kemudian mengahsilkan tingkah laku yang positif (Taiyeb, Bahri, & Razak, 2012)

Motivasi berprestasi dapat mendorong seseorang untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik, dari apa yang mereka peroleh sebelumnya. Motivasi berprestasi akan mendorong kreativitas seseorang untuk melakukan aktivitas guna untuk mencapai tujuan dalam proses belajar (Sahidin dan Jamil, 2013).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wulandari (2013), menyatakan bahwa ada perbedaan antara siswa yang memiliki motivasi prestasi tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki motivasi prestasi rendah. Interaksi Model Pembelajaran Inkuiri

dengan Motivasi Berprestasi terhadap

Peningkatan Berpikir Kritis

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada interaksi model pembelajaran inkuiri dengan motivasi berprestasi terhadap peningkatan berpikir kritis. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan konvensional memiliki langkah pembelajaran yang berbeda, sehingga interaksi antar model pembelajaran tidak ada yang menunjukan signifikansi. Artinya siswa dengan motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah tidak selalu memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi atau dengan siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah

Page 106: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

95

Gambar 3 Tidak ada interaksi antara model pembelajarn dengan motivasi berprestasi

terhadap peningkatan berpikir kritis SIMPULAN

Diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) ada perbedaan berpikir kritis antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan Konvensional, 2) ada perbedaan penignkatan berpikir kritis antara siswa motivasi prestasi tinggi dan motivasi prestasi rendah, dan 3) tidak ada interaksi model pembelajaran inkuiri dengan motivasi berprestasi terhadap peningkatan berpikir kritis. DAFTAR PUSTAKA

Anggareni, N. W., Ristiati, N. P., & Widiyanti, N. L. P. M. (2013). Implementasi strategi pembelajaran inkuiri terhadap kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep IPA siswa SMP. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran IPA

Indonesia, 3(1). Arviansyah, R., Indrawati, I., &

Harijanto, A. (2011). Pengaruh model pembelajaran guided inquiry disertai LKS audiovisual terhadap aktivitas dan hasil belajar IPA siswa di SMP, Ridi, 4(4), 308–315.

Jauhar, M. (2011). Implementasi

PAIKEM dari behavioristik

sampai konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Prihandono, T. (2011). Efektivitas metode belajar fisika tanpa rumus pada pembelajaran sains. Jurnal

Saintifika, 13(1), 56-67. Putri, D. Q., Yushardi, Y., & Putra, P. D.

A. (2016). Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Dan Hasil Belajar Siswa Kelas X Php (Pengolahan Hasil Pertanian) 2 Di Smk Negeri 5 Jember. Jurnal Pembelajaran

Fisika Universitas Jember, 5(3), 246-252.

Sanjaya, W. (2006). Strategi

pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Santrok, J. W. (2003). Adolescence-

Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga

Setiawan, A. (2012). Metode praktikum dalam pembelajaran pengantar fisika SMA: Studi pada konsep besaran dan satuan tahun ajaran 2012/2013. Jurnal Pendidikan

Page 107: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

96

Fisika, 1(3), 285-290. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta, CV

Taiyeb A. M., Bahri A., & Razak R. B. (2012). analisis motivasi berprestasi siswa SMAN 8 Makassar dalam belajar biologi. Jurnal Bionature, 13 (2); 77-82

Trianto, T. (2007). Model-model

pembelajaran inovatif

berorientasi kontruktivistis. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Wulandari B. (2013) Pengaruh problem based learningterhadap hasil belajar ditinjau dari motivasi belajar PLC di SMK. Jurnal

Pendidikan Vokasi, 3 (2); 187-189

Page 108: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

97

Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan Inkuiri Bebas

Terhadap Pemahaman Konsep Fisika Ditinjau dari Motivasi Belajar

Nur Azizah Septiana Wulandari, Sholikhan, dan Akhmad Jufriadi

Program studi Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas terhadap pemahamn konsep fisika ditinjau dari motivasi belajar siswa. Penelitian ini menggunkan jenis penelitian quasi experiment dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah posstes only group design. Penelitian dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 10 Turen pada semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas VII, dengan teknik pengambilan sample menggunakan purposive sampling. Teknik pengambilan data menggunakan tes pemahaman konsep dan angket (kuesioner) motivasi belajar. Analisis data menggunakan analisis varian Anova Dua Jalur (two way anova). Hasil peneitian menunjukkan bahwa : 1) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar fisika menggunkan inkuiri bebas, 2) ada perbedaan pemahaman konsep fisika, antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi rendah, 3) tidak ada pengaruh interaksi penggunaan model pembelajaran inkuiri dengan motivasi motivasi belajar terhadap pemahamn konsep fisika.

Kata Kunci: Inkuiri terbimbing, inkuiri bebas, pemahaman konsep fisika, motivasi belajar

PENDAHULUAN

Permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang pendidikan dan satuan pendidikan. Menurut laporan Program for International student Assessment (PISA) bahwa hasil penilaian literasi sains Indonesia masih jauh dibawah negara-negara seperti Cina, Singapura dan Amerika serikat (USA). Siswa Indonesia masih dominan dalam level rendah, atau lebih pada kemampuan menghafal dalam pembelajaran sains dan matematika. Demikian juga hasil penelitian Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang diikuti siswa kelas VIII Indonesia tahun 2011. Indonesia berada di urutan ke-40 dengan skor 406 dari 42 negara yang siswanya dites di kelas VIII. Skors tes sains siswa Indonesia ini turun 21 angka

dibandingkan TIMSS 2007 (Darmal, 2014).

Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia terus ditingkatkan, guna memperoleh standar mutu pendidikan yang diharapkan. Selain itu, perlu disadari bahwa kunci utama keberhasilan mutu pendidikan terletak pada proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung kepada peserta didik agar mampu mempelajari dan memahami alam sekitar secara ilmiah (Jamilah, 2014).

Salah satu bagian IPA adalah fisika, fisika merupakan mata pelajaran yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena alam. Banyak siswa yang menganggap bahwa pelajaran fisika adalah pelajaran yang menakutkan karena terlalu banyak rumus-rumus didalamnya, sehingga mereka sulit untuk

Page 109: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

98

memahami konsep yang ada. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah saatnya guru melakukan inovasi dalam pembelajaran fisika guna menumbuhkan minat siswa untuk belajar Inovasi yang dapat dilakukan dengan menggunakan variasi model pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran (Marheni, Muderawan, & Tika, 2014).

Model pembelajaran yang dipandang mampu mengembangkan hasil belajar dan pemahaman konsep siswa yaitu model pembelajaran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri menurut Colburn (2012) tidak hanya mendikte tentang konsep, tetapi mendorong pengalaman belajar siswa untuk memahami konsep-konsep ilmiah, yang dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam, membuat konsep lebih lama diingat dan bermakna bagi siswa.

Model pembelajaran inkuiri terbimbing, merupakan suatu model pembelajaran yang mengacu kepada kegiatan penyelidikan dan menjelaskan hubungan antara objek dan peristiwa. Bentuk pembelajaran inkuiri terbimbing berupa memberi motivasi kepada siswa untuk menyelidiki masalah-masalah yang ada dengan menggunakan cara-cara keterampilan ilmiah dalam rangka mencari penjelasan-penjelasannya. Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh Malayeriazis, Jafari, Ebrahim, Sharif, Asgari, & Omidi (2012) bahwa pada pembelajaran inkuri terbimbing lebih menekankan pada kolaborasi siswa untuk memecahkan masalah secara berkelompok dan membangun pengetahuan secara mandiri. Sehingga, pembelajaran inkuiri terbimbing dapat membantu siswa menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab.

Selain itu, penelitian yang relevan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing juga dikemukakan oleh Adnyani, Sudana, & Wibawa (2015) dan Santiasih, Marhaeni, Tika, & Si (2014) menyimpulkan bahwa model

pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan konsep diri, sikap ilmiah, dan hasil belajar serta meningkatkan kemampuan siswa dalam menyatukan konstruksi pengetahuan dalam pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Selain model pembelajaran inkuiri terbimbing, model pembelajaran inovatif lain yang dipandang mampu dalam meningkatkan hasil belajar siswa dan keterampilan proses sains yaitu model pembelajaran inkuiri bebas. Dalam proses pembelajaran inkuiri bebas, siswa secara individu atau kelompok termotivasi untuk melakukan aktivitas masing-masing karena mereka harus menghasilkan produk yang berbeda untuk dijadikan satu dalam laporan kerja kelompok. Model pembelajaran inkuiri bebas yang memberikan kebebasan dan kesempatan kepada siswa untuk bereksplorasi dengan mengumpulkan fakta-fakta melalui kegiatan observasi ataupun eksperimen sehingga dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap konsep yang dipelajari.

Model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan model pembelajaran inkuiri bebas terdapat perbedaan pada tahap pemberian motivasi kepada siswa untuk memecahkan masalah. Pada model pembelajaran inkuiri terbimbing siswa diberikan motivasi di dalam belajar dan guru masih banyak berperan di dalam pembelajaran, sedangkan pada model pembelajaran inkuiri bebas guru tidak memberikan motivasi atau peran guru sangat sedikit dan siswa diberikan kebebasan di dalam memecahkan masalah (Darmal, 2014). Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas terhadap pemahamn konsep fisika ditinjau dari motivasi belajar siswa.

Page 110: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

99

METODE

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian quasi experiment dengan desain penelitian posstest only control

group design. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kelas VII SMP Muhammadiyah 10 Turen, tahun ajaran 2018/2019 yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah 88 siswa. Sampel pada penelitian ini dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Artnya, teknik pengambilan sample dengan pertimbangan tertentu. Rancangan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1 Rancanagan Penelitian Variabel

Bebas Variabel Moderat (X)

Model Pembelajaran (Y)

Inkuiri Terbimbing (Y1)

Inkuiri Bebas (Y2)

Motivasi Belajar

Tinggi (X1)

Y1 X1 Y2 X1

Rendah (X2)

Y1 X2 Y2 X2

Sumber: Kasiram (2010) Keterangan : Y1 X1 : Pemahaman konsep fisika

ditinjau menggunkan model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi

Y1 X2 : Pemahaman konsep fisika ditinjau menggunakan model

pembelajaran inkuiri terbimbing untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah

Y2 X1 : Pemahaman konsep fisika ditinjau menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi

Y2 X2 : Pemahaman konsep fisika ditinjau menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah

Instrumen dalam penelitian ini

adalah tes pemahaman konsep berbentuk uraian sebanyak 15 soal dan angket motivasi belajar sebanyak 25 butir item. hasil pengujian instrument tersebut di analisis menggunakan Uji Anova Dua Jalur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman Konsep Fisika siswa

berdasarkan model pembelajaran

Pemahaman konsep fisika siswa diperoleh melalui tes, setelah siswa diberikan perlakuan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas. Berdasarkan hasil tes yang berisi 15 soal uraian pada materi suhu dan Perubahannya, deskripsi hasil tes pemahaman konsep fisika berdasarkan model pembelajaran disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 Pemahaman Konsep Fisika Berdasarkan Model Pembelajaran

Model

Pembelajan

Jml.

Sampel

Pemahaman Konsep

Fisika Rata-

rata Tertinggi Terendah

Inkuiri Terbimbing

30 93 88

83,77

Inkuiri Bebas 30 53 52 62,90

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa pada model pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki nilai lebih tinggi daripada nilai inkuiri bebas. Hal ini dipengaruhi oleh kuantitas bimbingan

guru dalam pembelajaran. Dalam proses pembelajaran inkuiri terbimbing, peran guru cukup dominan untuk menuntun siswa dalam menemukan konsep dalam serangkaian percobaan. Sedangkan

Page 111: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

100

dalam inkuiri bebas, siswa belum mempunyai pengalaman belajar yang cukup karena bimbingan guru sangat sedikit dalam proses pembelajaran dan siswa diberikan kebebasan untuk bereksplorasi untuk menemukan konsep yang dipelajari.

Tes pemahaman konsep dikategorikan dalam tingkatan kognitif

pada C2 yaitu Memahami. Ada 7 proses kognitif yang dikembangkan dalam kategori Memahami, yaitu menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Deskripsi persentase skor indikator pemahaman konsep pada masing-masing kelas disajikan pada gambar 1.

Gambar 1 Persentase Indikator Pemahamaan Konsep Fisika Berdasarkan Model

Pembelajaran

Hasil analisis gambar 1 diperoleh bahwa siswa kelas VIIA yang menggunakan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing lebih memahami konsep pada indikator menjelaskan. Hal ini berarti siswa lebih mampu memahami konsep yang telah disampaiakan sehingga saat ada tes siswa mampu menjelaskan pemahamannya dengan baik,seperti halnya pada soal menjelaskan tentang definisi dari suhu,hampir semua siswa bisa menjelasakan definisi dari suhu.

Namun siswa kurang memahami konsep pada indikator membandingkan dan menafsirkan. Hal ini terbukti bahwa peresentase skor indikator membandingkan dan menafsirkan lebih rendah dari ketujuh indikator pemahaman konsep. Ini berarti siswa

belum mampu menghubungkan dua konsep atau lebih yang berbeda serta belum mampu menafsirkan sebuah permasalahan yang ada pada soal. Sedangkan pada kelas VIIIC sebagai kelas kontrol yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas memiliki prosentase pemahaman konsep tertinggi pada indikator menjelaskan serta memiliki prosentase terendah pada indikator menafsirkan. Keadaan ini sama seperti di kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing.

Pemahaman Konsep Fisika

Berdasarkan Motivasi Belajar

Data motivasi belajar di dapat dari hasil penyebaran angket,dimana angket

Page 112: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

101

ini bertujuan untuk mengetahui siswa yang memiliki motivasi tinggi dan siswa yang memiliki motivasi rendah, sehingga kategori tersebut dapat menunjukan

siswa yang memiliki pemahaman konsep fisika tinggi dan rendah berdasarkan motivasi belajar seperti Tabel 3.

Tabel 3 Pemahaman Konsep Fisika Berdasarkan Motivasi Belajar

Motivasi

Belajar

Jml.

Sampel

Pemahaman Konsep

Fisika Rata

-rata Tertinggi Terendah

Tinggi 31 86 76 80,35 Rendah 29 77 54 69,52

Berdasarkan hasil analisis deskripsi table 4.2 dapat dilihat bahwa pemahaman konsep fisika berdasarkan motivasi belajar dalam kategori tinggi, menunjukkan nilai tertinggi sebesar 86, dan nilai terendah sebesar 77. Sedangkan pada kategori rendah memiliki skor

motivasi tertinggi 76 dan pada motivasi terendah memiliki skor motivasi 54. Untuk penjabaran tiap indikator pemahaman konsep fisika siswa berdasarkan motivasi belajar dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Pemahaman Konsep Fisika Siswa Berdasarkan Motivasi Belajar

Berdasarkan analisis gambar 2 terlihat bahwa pada indikator pemahaman konsep fisika berdasarkan motivasi tinggi lebih memahami konsep pada indikator menjelaskan, namun siswa kurang memahami pada indikator merangkum.

Sedangkan pada pemahaman konsep fisika berdasarkan motivasi rendah,memiliki prosentase indikator

tertinggi pada menjelaskan, dan terendah pada indikator menafsirkan.

Hasil Anova Dua Jalur

Sebelum dilakuakannya uji Anova Dua Jalur terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat, yaitu uji normalias dan uji homogenitas. Setelah data terdistribusi normal dan varian data homogeny, maka dapat dilanjutkan dengan Uji Anova Dua Jalur. Berikut hasil analisis Anova Dua

Page 113: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

102

Jalur dengan menggunakan SPSS 16.0 for

Windows disajikan pada Tabel 4

Tabel 4 Hasil Analisis Uji Anova Dua Jalur (Two Way Anova)

Source Sig.

Corrected Model .000 Intercept .000 model_Pembelajaran .000 Motivasi .008 model_Pembelajaran * Motivasi

.065

a. R Squared = ,521 (Adjusted R

Squared = ,496) Berdasarkan hipotesis pertama

pada Tabel 4, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas. Hal ini ditunjukkan bahwa hasil taraf signifikannya yaitu 0,000 ≤ 0,05 sehingga H01 ditolak dan H11 diterima. Artinya, ada perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas.

Berkaitan dengan hasil penelitian, penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas memberikan efek yang berbeda terhadap pemahaman konsep fisika pada materi suhu dan perubahanya. Pengaruh model pembelajaran tersebut dapat dilihat pada rata-rata nilai pemahaman konsep fisika. Rata-rata nilai pemahaman konsep fisika yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing sebesar 83,77 lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri bebas dengan nilai rata-rata sebesar 62,90.

Perbedaan antara inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas (Sund dan Trowbridge, 1973) terletak pada

kuantitas bimbingan yang diperoleh dari guru. Bimbingan yang diperoleh kelas inkuiri bebas lebih sedikit dibandingkan inkuiri terbimbing. (Sadia, 2014).

Menurut Adiqka (2015), siswa masih perlu bimbingan dari guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran agar tidak terjadi pemahaman yang salah terhadap suatu konsep yang berakibat pada kesalahan pemahaman terhadap konsep-konsep selanjutnya. Dengan demikian, pada kelas inkuiri terbimbing siswa lebih terarah dalam proses pembelajaran. Sehingga, model pembelajaran inkuiri terbimbing efektif dalam peningkatan pemahaman konsep (Tangkas, 2012).

Berdasarkan hipotesis kedua pada table 4, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Hal ini berdasarkan hasil taraf signifikan yang di dapat yaitu 0,008 ≤ 0,05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa H02 ditolak dan H12 diterima. Artinya ada perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah.

Motivasi merupakan keadaan internal yang dapat membangkitkan, mengarahkan dan menjadi landasan perilaku seseorang dalam mencapai suatu tujuan. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam proses belajar. Motivasi dapat berasal dari dalam siswa (motivasi intrinsik) dan dari luar siswa (motivasi ekstrinsik). Dalam hal ini, Kebosanan siswa terhadap proses pembelajaran yang diterapkan guru dapat menimbulkan motivasi belajarnya menurun. Motivasi belajar rendah menyebabkan hasil belajar

Page 114: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

103

siswa menjadi tidak optimal (Glynn, 2009).

Berdasarkan hipotesis ketiga pada table 4, menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi penggunaan model pembelajaran inkuiri dengan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep fisika. Hal ini berdasarkan hasil taraf signifikan yang di dapat yaitu 0,065 > 0,05, sehingga H03 = diterima dan H11 ditolak, artinya tidak ada pengaruh interaksi pengguaan model pembelajaran inkuiri dengan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep fisika.

Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada interaksi penggunaan model pembelajaran inkuiri dengan motivasi belajar disebabkan karena pada kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran inkuiri terbimbing tidak semua siswa memiliki motivasi belajar rendah. Sedangkan pada kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran inkuiri bebas, tidak semua siswa memiliki motivasi belajar tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian (Handoyono & Arifin, 2016) dimana tidak ada interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap pemahaman konsep.

SIMPULAN

Diperoleh simpulan bahwa siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing memliki pemahaman konsep yang lebih baik dibandingkan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas, ini dibuktikan dengan rata-rata nilai pemahaman konsep fisika, bahwa nilai pada siswa yang belajar menggunkana model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri bebas.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyani, N. K., Sudana, D. N., & Wibawa, I. M. C. (2015).

Pengaruh model pembelajaran self regulated learning (srl) terhadap pemahaman konsep ipa siswa kelas iv sd di gudus xv kecamatan buleleng tahun pelajaran 2014/2015. Mimbar PGSD

Undiksha, 3(1). Colburn, A. (2000). An inquiry primer.

Science Scope, 42–44. Darma, I. W., Sadia, I. W., & Suma, I. K.

(2014). Studi komparatif model pembelajaran inkuiri bebas dan generatif terhadap pemahaman konsep dan kreativitas siswa. E-

Journal Program Pascasarjana

Universita Pendidikan Ganesha, 4(4), 1–20.

Glynn, S. M., Taasoobshirazi, G., & Brickman, P. (2009). Science motivation questionnaire: Construct validation with nonscience majors. Journal of

Research in Science Teaching:

The Official Journal of the

National Association for Research

in Science Teaching, 46(2), 127-146.

Handoyono, N. A., & Arifin, Z. (2016). Pengaruh inquiry learning dan problem-based learning terhadap hasil belajar PKKR ditinjau dari motivasi belajar. Jurnal

Pendidikan Vokasi, 6(1), 31-42. Jamilah, M. N. U. R. (2014). Pengaruh

Model Inkuiri Terhadap

Pemahaman Konsep Fisika Siswa

Pada Konnsep Bunyi. UIN Syarif Hidayatulla.

Kasiram. 2010. Metodologi penelitian

pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Malayeriazis, K., Jafari, Ebrahim, M., Sharif, M., Asgari, M., & Omidi, M. (2012). The impact of guided inquiry methods of teaching on the critical thinking of high school students. Journal of Education and

Practice, 3(10), 42–48. Marheni, N. P., Muderawan, I. W., &

Tika, I. N. (2014). Studi komparasi

Page 115: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

104

model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran inkuiri bebas terhadap hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa pada pembelajaran sains SMP. E-

Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha

Program Studi IPA, 4(2), 11. Santiasih, N. L., Marhaeni, A. N., Tika, I.

N., & Si, M. (2013). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap sikap ilmiah dan hasil belajar IPA Siswa Kelas V SD No. 1 Kerobokan

Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung tahun pelajaran 2013/2014. PENDASI: Jurnal

Pendidikan Dasar Indonesia, 3(1). Tangkas, I. M. (2012). Pengaruh

implementasi model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap kemampuan pemahaman konsep dan literasi sains siswa kelas X SMA PGRI 1 Amlapura. E-

Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha, 4, 1–11. Retrieved from pasca.undiksha.ac.id

Page 116: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

105

Analisis Gaya Belajar Mahasiswa Teknik Elektro dalam Mendukung

Pengembangan Media Pembelajaran Fisika Terapan Berbasis Pemantapan

Pendidikan Karakter di Era 4.0

Qamariah dan Wardiani Hiliadi Program Studi Teknik Listrik, Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Banjarmasin

[email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan gaya belajar serta mendeskripsikan rancangan media pembelajaran fisika terapan bagi mahasiswa Teknik Elektro, Politeknik Negeri Banjarmasin yang merupakan generasi z atau lebih dikenal dengan istilah digital natives. Artikel ini merupakan studi pendahuluan dari penelitian pengembangan (R&D) terhadap media pembelajaran fisika terapan dengan menggunakan model pengembangan ADDIE. Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa Teknik Elektro dengan sampel yang digunakan sebanyak 101 mahasiswa yang mendapatkan materi perkuliahan fisika terapan. Instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara dan angket. Berdasarkan hasil observasi diperoleh bahwa mahasiswa Teknik Elektro sebanyak: 29,9% memiliki gaya belajar visual, 36,4% memiliki gaya belajar auditori, dan 33,7 memiliki gaya belajar kinestetik. Hasil observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa semua mahasiwa sudah tidak asing lagi dengan penggunaan smartphone. Dengan demikian, pembelajaran fisika terapan dirancang dengan memanfaatkan smartphone sebagai salah satu media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat merupakan e-book yang terdiri dari beberapa bagian yaitu: pendahuluan sebagai motivasi awal, penjelasan materi, pemantapan, dan latihan soal. Pada setiap bagian tersebut disisipkan beberapa kegiatan yang mendukung pemantapan nilai-nilai karakter yang dimiliki oleh mahasiswa, diantaranya adalah disiplin, kreatif, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Kata Kunci: gaya belajar, media pembelajaran, digital natives, dan pendidikan karakter

PENDAHULUAN

Era industri 4.0 mendorong adanya inovasi dan kreasi pendidikan kejuruan (vocational education), dimana pemerintah diharapkan untuk melakukan relevansi diantara pendidikan dan pekerjaan dalam merespon adanya perubahan, tantangan, dan peluang yang harus memperhatikan aspek kemanusiaan, hal ini tentu saja membuat tantangan bagi pendidikan kejuruan semakin kompleks di era 4.0 (Yahya, 2018). Secara lebih lanjut, Yahya (2018) menambahkan bahwa sistem pembelajaran pada pendidikan kejuruan meliputi: 1) kurikulum dan pendidikan karakter, 2) bahan pembelajaran berbasis

teknologi, 3) kewirausahaan, 4) penyelarasan, dan 5) evaluasi.

Salah satu solusi yang digunakan dunia pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan dalam menghadapi era revolusi 4.0 adalah dengan menghasilkan lulusan yang kompetitif yang mampu menghadapi tantangan di dunia kerja dimana proses pembelajaran yang digunakan yang tidak hanya menekankan pada literasi lama (yaitu membaca, menulis, dan matematika), namun juga menitikberatkan pada literasi baru, yaitu: 1) literasi data, merupakan kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital, 2) literasi teknologi, pemahaman terhadap cara kerja mesin

Page 117: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

106

dan aplikasi teknologi, serta 3) literasi manusia yang meliputi humanities,

komunikasi, dan desain (Ahmad, 2018). Disamping itu, proses pembelajaran berdasarkan kerangka acuan pembelajaran abad XXI, tidak hanya memfokuskan pada model pembelajaran yang tepat, tetapi juga mengacu pada penggunaan teknologi digital, alat komunikasi, dan jaringan untuk mengakses, mengelola, serta pengintegrasian informasi (Thieman, 2008). Dua aspek paling menonjol yang digunakan dalam proses pembelajaran meliputi metode mengajar serta media belajar yang digunakan (Sudjana & Rivai, 2011).

Baik pemilihan metode maupun media pembelajaran harus mengacu pada karakteristik peserta didik. Salah satunya yaitu dengan menganalisi cara belajar dari setiap peserta didik. Ada banyak metode dalam mengidentifikasi gaya belajar peserta didik, diantaranya adalah dengan menggunakan identifikasi sensorik yang digunakan peserta didik dalam menerima informasi. Adapun tiga identifikasi atau modalitas sensorik utama yang didefinisikan oleh sistem saraf adalah visual, auditori, dan kinestetik (Ariffin, Solemon, & D, 2014). Oleh sebab itu, gaya belajar biasanya dikenal menjadi tiga macam yaitu gaya belajar visual, gaya belajar kinestetik, dan gaya belajar auditori.

Gaya belajar visual adalah gaya belajar yang berkaitan dengan sensorik seseorang untuk memahami lingkungan hidup dimana cara belajar terbaik dari mereka adalah dengan diberikan rangsangan berupa gambar, grafik, peta, gambar, dan slide. Peserta didik yang memiliki gaya belajar ini akan mendapatkan pemahaman dan penguasaan tingkat tertinggi apabila peserta didik diarahkan untuk melihat, memperhatikan, dan menulis apa yang hendak mereka pelajari (Moussa, 2014). Peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori memiliki cara belajar terbaik

melalui mendengarkan. Peserta didik yang demikian dapat mengingat informasi secara maksimal melalui mendengarkan ceramah, mendengarkan diskusi, dan mendengarkan musik (Moussa, 2014). Peserta didik yang memiliki gaya belajar kinestetik dapat belajar paling baik melalui gerakan. Ciri peserta didik yang memiliki gaya belajar ini adalah dalam belajar mereka cenderung suka melakukan gerakan fisik, contohnya merespon suara dan musik melalui gerakan fisik seperti menggerakkan anggota badan tertentu. Peserta didik yang demikian tidak peduli dengan persentasi visual dan tidak memproses informasi, mereka memiliki cara belajar terbaik dilingkungan dimana mereka terlibat secara fisik (langsung) di dalam proses pembelajaran (Moussa, 2014).

Selain analisis gaya belajar, penentuan cara belajar yang mengacu pada media pembelajaran juga sangat penting dalam melaksanakan proses pembelajaran. Media pembelajaran yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan menentukan ketercapaian pada tujuan pembelajaran. Pada era digital sekarang ini, peserta didik lebih dikenal dengan sebutan digital native, dimana dalam kesehariannya peserta didik sudah tidak asing lagi dengan media komputer dan internet. Digital native dikenal dengan istilah generasi Z, yaitu individu yang lahir diantara tahun 1996 sampai 2012 dan mulai masuk di dalam dunia perkuliahan. Sama seperti generasi sebelumya, yaitu generasi milenia, generasi gen Z telah dibesarkan dengan teknologi yang mudah diakses namun tingkat dimana tekonologi telah dimasukkan ke dalam kehidupan sehari-hari lebih meningkat daripada generasi sebelumnya (Schwieger, Dana|Ladwig, 2018). Dengan demikian media pembelajaran yang akan digunakan adalah media pembelajaran yang memanfaatkan teknologi.

Page 118: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

107

Penggunaan metode dan media pembelajaran yang tepat juga dirasa kurang cukup untuk menghasilkan lulusan yang kompetitif sesuai dengan tantangan di era industri 4.0, salah satu hal penting lainnya yaitu tanpa mengesampingkan pendidikan karakter pada setiap proses pembelajaran.

Pembentukan karakter yang berkualitas diterapkan sejak dini, yang mana dapat dipegaruhi oleh berbagai pihak diantaranya adalah keluarga, lingkungan masyarakat, teman sejawat, lingkungan sekolah, dan lain-lain (Fauzan & Nuryana, 2017). Pendidikan karakter adalah suatu hal yang sangat penting dalam membangun suatu bangsa, di era digital sekarang ini krisis karakter bangsa semain mewabah dikalangan generasi muda, khususnya bagi mahasiswa (Fauzan & Nuryana, 2017). Fauzan dan Nuryana mengemukakan pentingnya lembaga pendidikan sebagai tempat utnuk penanaman karakter seseorang yang tercermin dalam hakikat pendidikan dimana diyakini mampu membentuk karakter bangsa, meliputi: (1) pendidikan merupakan wadah dalam menerapkan prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia dimasa yang akan dating; (2) proses interaksi manusia sebagian besar terjadi di dunia pendidikan; (3) prinsip pendidikan yang berlangsung seumur hidup; (4) pendidikan merupakan suatu upaya dalam meyiapkan peserta didik menghadapi perkembangan zaman; (5) peningkatan kualitas kehidupan dapat diperoleh melalui Pendidikan (Fauzan & Nuryana, 2017).

Mengacu pada permasalahan tersebut, maka perlu dirancang suatu proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik di zaman sekarang tanpa mengesampingkan nilai-nilai karakter yang ada. Adapun rancangan proses pembelajaran yang dibuat diperuntutkan untuk mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Politeknik

Negeri Banjarmasin, yaitu untuk matakuliah Fisika Terapan II. Berdasarkan hasil observasi awal dengan mahasiswa diperoleh bahwa beberapa mahasiswa menginginkan metode pembelajaran yang efektif diantaranya adalah mengkalaborasikannya dengan tenologi. Tujuan penelitian ini ialah 1) mendeskripsikan persentase gaya belajar yang meliputi gaya belajar visual, auditori, dan kinestetis pada mahasiswa, dan 2) Mengambarkan desain/ rancangan media pembelajaran Fisika Terapan untuk mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Banjarmasin.

METODE

Penelitian ini merupakan studi pendahuluan dari penelitian pengembangan menggunakan model pengembangan ADDIE, yaitu Analysis,

Design, Develop, Implementation, dan Evaluate. Artikel ini membahas pada bagian analisis proses pembelajaran dan desain pembelajaran Fisika Terapan II yang akan diterapkan terhadap mahasiswa.

Populasi penelitian adalah mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Banjarmasin, sedangkan subjek penelitiannya adalah 101 dari 158 mahasiswa yang telah mendapatkan perkuliahan Fisika Terapan I. Adapun subjek penelitian tersebut meliputi 28 mahasiswa Program Studi Elektronika dan 73 mahasiswa Program Studi Teknik Listrik yang dipilih secara acak dengan teknik cluster sampling.

Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa observasi dan wawancara, sedangkan instrumen pengumpulan data yang digunakan meliputi pedoman wawancara, angket gaya belajar, dan angket observasi mahasiswa.

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskritif dengan menghitung persertanse nilai rata-rata gaya belajar mahasiswa yang terdiri dari tiga kategori yaitu: gaya

Page 119: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

108

belajar visual, auditori, dan kinestetik. Tabel 1 berikut ini merupakan indikator penilaian gaya belajar mahasiswa

Tabel 1 Indikator gaya belajar

No Indikator

1

Mendengarkan orang lain: sambil mencoret-coret kertas dengan saksama menggerak-gerakan anggota tubuh

2

Kebiasaan dalam berbicara mendengarkan pembicaraan panjang berbicara sambil melakukan gerakan/ isyarat singkat dan tidak senang mendengarkan pembicaran panjang

3

Cara yang digunakan agar mudah mengingat:

melalui penjelasan dan diskusi melalui informasi tertulis menuiskan berkali-kali

4

Cara yang digunakan agar mudah menghafal:

dengan membayangkan menghafal sambil berjalan dan melakukan sesuatu dengan cara mengucapkan

5

Yang menjadi kesulitan: mengigat info lisan dan berpidato menulis karya ilmiah duduk diam dalam waktu cukup lama

6

Cara belajar yang paling disukai: menggunakan model dan praktek mendengarkan membaca

7

Mudah belajar dalam melakukan kegiatan:

mendengarkan dan diskusi membaca prakikum

8

Hal yang palig mudah mengagu konsentrasi:

ketidakteraturan suara dan keributan

kegiatan di sekeliling

9

Kemampuan yang dimiliki menyusun potongan gambar dengan cepat merencanakan jangka panjang dengan baik menirukan, mengulang nada dan perubahan suara

10

Cara mengerjakan suatu pekerjaan

mengikuti petunjuk gambar terlebih dahulu bekerja sambil berbcara dengan diri sendiri/ orang lain mencari tahu sambil melakukan pekerjaan tersebut

11

Cara menggunakan program komputer yang belum dikuasai

langsung mencobanya sendiri melihat petunjuk gambar dan diagram yang ada bertanya kepada orang lain

12

Mengetahui suasana hati seseorang

melalui suara melihat ekspresi wajah memperhatikan gerakan badan

13

Menjelaskan dan mengajarkan sesuatu kepada orang lain

dengan cara menunjukkan dengan cara menceritakan dengan cara mempraktikan

14

Yang diingat saat bertemu kembali dengan seseorang

ingat semua yang dikerjakan lupa wajahnya tapi ingat namanya lupa namanya tapi ingat wajahnya

15

Kegiatan apa yang paling disukai demonstrasi diskusi dan berbicara kegiatan fisik

16

Jenis seni yang disukai seni musik seni gerak/ olahraga seni rupa

17 Cara mengisi waktu luang

menonton tv atau film mendengarkan radio atau musik

Page 120: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

109

melakukan permainan dan jenis pekerjaan tangan yang lainnya

(Nihayah, 2011) Keterangan: Gaya belajar visual Gaya belajar auditori Gaya belajar kinestetik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kebutuhan Mahasiswa

Berdasarkan hasil observasi angket penilaian gaya belajar yang telah disebarkan ke mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, dari 101 mahasiswa yang mengisi diperoleh persentase gaya belajar seperti tertera pada diagram berikut.

Gambar 1 Diagram persentase gaya

belajar mahasiswa Jurusan Teknik Elektro

Berdasarkan Gambar 1, diperoleh data bahwa gaya belajar mahasiswa semester II Jurusan Elektro, Politeknik Negeri Banjarmasin sebagian besar hampir sama. Hal ini dapat terlihat dari hasil persentase pada setiap gaya belajar yang masing-masing berkisar pada angka 30%, yaitu 30% mahasiswa memiliki gaya belajar visual, 36% mahasiswa memiliki gaya belajar auditori, dan 34% mahasiswa memiliki gaya belajar kinestetis.

Pada hakikatnya, gaya belajar merupakan cara seseorang untuk menerima suatu informasi, cara berpikir, serta memecahkan suatu permasalahan, yang mana tidak semua orang memiliki gaya belajar yang sama. Setiap orang pada dasarnya memiliki modalitas dari ketiga gaya belajar tersebut, namun biasanya hanya ada satu gaya belajar

yang paling menonjol yang kemudian dapat mempermudah orang tersebut untuk menyerap suatu informasi (Nihayah, 2011).

Seiring dengan kemajuan teknologi pada zaman sekarang, seorang pendidik hendaknya berupaya untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan menerapakan berbagai macam metode atau model pembelajaran inovatif (multi gaya). Upaya lainnya yang dapat dilakukan seorang pendidik yaitu dengan mengeksplorasi gaya belajar dari setiap peserta didik, yang bertujuan untuk membantu seiap peserta didik menjadi lebih fokus pada proses pembelajaran dimana pada akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan hasil belajar. Selain itu, adapun tujuan lainnya dalam identifikasi gaya belajar adalah untuk menemukan cara terbaik dalam belajar secara efektif bagi peserta didik dan cara terbaik mengajar secara efesien bagi pendidik (Pourhosein Gilakjani, 2012).

Adapun media pembelajaran yang digunakan adalah media pembelajaran yang telah disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa pada zaman sekarang. Berdasarkan hasil observasi lebih lanjut diperoleh data bahwa semua mahasiswa Teknik Elektro telah memiliki handphone, dimana 99,08% mahasiswa Teknik Elektro menyatakan sering menggunakannya. Adapun operating system yang digunakan sebagian besar adalah Android dan iOS. Hal ini membuktikan bahwa handphone

yang digunakan mahasiswa rata-rata adalah handphone yang bisa mengunduh dan mengakses berbagai macam aplikasi. Ini diperkuat dengan pernyataan bahwa 99,20% mahasiswa menyatakan tidak asing lagi dengan penggunaan Play

Store. Adapun kegiatan yang sering dilakukan oleh mahasiswa ketika menggunakan handphone antara lain: chatting, mendownload aplikasi, bermain game, mencari informasi dan sebagainya.

Dengan demikian, media pembelajaran yang akan digunakan

Page 121: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

110

adalah media pembelajaran e-book (electronic book). Pemilihan media pembelajaran ini didasarkan pada kebutuhan mahasiswa di zaman sekarang yang mengakses segala macam informasi melewati handphone masing-masing. Sehingga media pembelajaran ini termasuk dalam mobile learning. Penggunaan media pembelajaran mobile-

learning pada mata kuliah Fisika Terapan ini tentunya sesuai dengan karakteristik mahasiswa saat ini, yang mana semua mahasiswa Teknik Elektro merupakan generasi digital (digital natives).

Adapun keuntungan menggunakan mobile learning adalah: (1) mahasiswa tidak lagi melihat materi pembelajaran melaui textbook, tetapi dapat mengaksesnya dimana saja dan kapan saja, (2) mengehmat waktu dalam belajar, (3) ramah lingkungan, (4) interaktif, karena dapat disertakn video pembelajaran, (5) relatif lebih murah, karena mahasiswa hanya tinggal mendownload, (6) kesempatan untuk memberikan umpan balik dalam proses pembelajaran lebih besar, (7) menjadikan proses belajar mengajar sesuai dengan kebutuhan individu pada zaman sekarang, sehingga lebih mudah dalam memperbaharui pengetahuan yang mereka miliki, (8) memungkinkan mahasiswa merasa lebih senang dalam belajar, (9) mahasiswa dapay memperoleh stimulus dalam pemeblajaran, (10) mudah dibawa kemana saja, dan (11) menarik (Kumar, 2013).

Rancangan Pembelajaran

Mengacu pada hasil identifikasi gaya belajar mahasiswa semester II Jurusan Teknik Elektro yang mana persentase mahasiswa dengan gaya belajar visual, auditori, dan kinestetis adalah hampir sama besar, maka hendaknya proses pembelajaran didesain sebaik mungkin sehingga baik metode maupun media pembelajaran yang diterapkan tidak hanya memfasilitasi

pada satu jenis gaya belajar mahasiswa saja. Bagan berikut ini merupakan identifikasi cara belajar dan metode belajar yang didesain untuk diterapkan di kelas yang memiliki berbagai macam gaya belajar.

Gambar 2 Desain model pembelajaran

Berdasarkan manfaat dari mobile-

learning yang telah disebutkan sebelumnya, maka pada materi pembalajaran Fisika Terapan didesain dengan mentautkan link-link interaktif yang tentunya sesuai dengan pokok bahasan. E-book yang dibuat dengan menggunakan aplikasi FlipBuilder,

dimana e-book ini nantinya akan dapat dijalankan pada smartphone (mobile

learning) dan PC. Adapun bagian utama dari e-book

Fisika Terapan yang dibuat yaitu Pendahuluan, Materi/ Pokok Bahasan, dan Pemantapan. Pada bagian Pendahuluan berisi motivasi di awal pembelajaran dengan menampilkan atau menyajikan suatu fenomena yang berkaitan dengan materi yang akan di bahas. Bagian kedua yaitu materi pokok, dimana pada bagian ini terdiri dari penjelasan materi pokok yang disertai dengan contoh soal (tugas untuk diskusi). Bagian terakhir yaitu pemantapan berisi rangkuman materi dan beberapa tugas yang dapat dihubungkan langsung dengan e-learning institusi. Secara lebih jelasnya bagian-bagian tersebut dijelaskan pada Gambar 3 berikut.

Page 122: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

111

Gambar 3 Bagian utama dari e-book

Pentingnya pendidikan karakter juga menjadi acuan dalam pembuatan e-book ini, dimana beberapa nilai karakter mahasiswa akan ditumbuhkembangkan yang kemudian akan dimantapkan. Pemantapan karakter didasarkan pada peluang kebutuhan di dalam dunia kerja, mengingat mahasiswa jurusan teknik elektro nantinya merupakan lulusan yang siap terjun dalam dunia kerja, di era industri 4.0.

Ada 18 nilai karakter yang dirumuskan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional, yang meliputi:religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat

kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, berkomunikasi/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Adapun nilai-nilai karakter yan ditekankan pada media ini meliputi: disiplin, tangggung jawab, kreatif, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, tangung jawab, dan kreatif.

Gambar 4 berikut ini merupakan rancangan pembelajaran yang e-book yang telah disesuaikan dengan gaya belajar dan nilai karakter yang akan dimantapkan pada mahasiswa. Materi yang akan digunakan pada e-book ini merupakan materi kuliah Fisika Terapan.

Gambar 4 Rancangan pembelajaran

Page 123: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

112

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis gaya belajar mahasiswa jurusan Teknik Elektro, diketahui sebanyak: 29,9% memiliki gaya belajar visual, 36,4% memiliki gaya belajar auditori, dan 33,7 memiliki gaya belajar kinestetik. Pembelajaran pada mata kuliah fisika terapan dirancang dengan memanfaatkan smartphone sebagai salah satu media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat merupakan e-book menggunakan aplikasi FlipBlinder, yang terdiri dari beberapa bagian yaitu: pendahuluan sebagai motivasi awal, penjelasan materi, dan pemantapan. Pada setiap bagian tersebut disisipkan beberapa kegiatan yang mendukung pemantapan nilai-nilai karakter yang dimiliki oleh mahasiswa, diantaranya adalah disiplin, kreatif, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. (2018). Proses pembelajaran

digital dalam era revolusi industri 4

. 0 era disrupsi teknologi. Kementerian Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi. Fauzan, & Nuryana, D. I. (2017).

Pendidikan karakter sebagai pilar pembentukan karakter bangsa. Attawassuth, 1(1), 348–352.

Kumar, S. (2013). M-Learning: A new learning paradigm. International

Journal on New Trends in

Education and Their Implications, 4(2), 24–34.

Moussa, N. (2014). The importance of learning styles in education. Institute for Learning Styles

Journal. 1, 19–27. Nihayah, F. (2011). Profil Gaya Belajar

(Learning Style) dan IPK

Mahasiswa Jurusan Biologi. Pourhosein Gilakjani, A. (2012). Visual,

auditory, kinaesthetic learning styles and their impacts on english language teaching. Journal of

Studies in Education, 2(1), 104. Schwieger, Dana|Ladwig, C. (2018).

Reaching and retaining the next generation: Adapting to the expectations of Gen Z in the classroom. Information Systems

Education Journal, 16(3), 45–54. Thieman, G. Y. (2008). Using

technology as a tool for learning and developing 21st century citizenship skills : An examination of the NETS and technology use by preservice teachers with their K-12 students. Contemporary Issues in

Technology and Teacher

Education, 8(4), 342–366. Yahya, M. (2018). Era industri 4.0:

tantangan dan peluang

perkembangan pendidikan

kejuruan Indonesia. Pidato

Pengukuhan Penerimaan Jabatan

Professor, Disampaikan pada

Sidang Terbuka Luar Biasa Senat

Universitas Negeri Makassar,

Tanggal 14 Maret 2018. https://doi.org/10.1080/15298868.2011.636509

Page 124: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

113

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbasis

Demonstrasi Untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa

P. Sulastri, H. Yuli. Pratiwi, dan S.Dul. Aji

Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Kanjuruhan Malang

[email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas keterlaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis Demonstrasi dan mendeskripsikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis Demonstrasi untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan rancangan penelitian dilakukan melalui dua siklus yang terdiri dari 4 tahap. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC SMP PGRI 6 Malang sebanyak 35 orang. Data dianalisis dengan mereduksi data, penyajian data dan membuat kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi pada siklus I sebesar 79,5% dan siklus II 85,53%, motivasi belajar pada siklus I sebesar 77,04% dan pada siklus II 90,03%, dan prestasi belajar siswa pra siklus sebesar 71,4, siklus I sebesar 74,4 dan siklus II sebesar 80. Dengan temuan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kualitas keterlaksanaan pembelajaran dengan model STAD berbasis demonstrasi dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa. Kata Kunci: Koopertaif tipe STAD, motivasi, prestasi

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan sebuah elemen yang sangat penting dalam memajukan suatu bangsa dan negara, (Azizi & Prihandono, 2015). Kemajuan dan perkembangan dalam setiap bidang ditentukan dari tingkat ketercapaian pendidikan sehingga mutu pendidikan saat ini perlu ditingkatkan. Proses pendidikan harus bersifat terencana dan terjadi secara terus menerus (kontinu). Terencana mengandung arti proses pendidikan harus dirancang atau direncanakan jauh sebelum dilaksanakan, dengan dilakukan suatu pertimbangan tertentu dengan berbagai faktor-faktor pendukung yang telah disediakan. Sedangkan proses pendidikan yang terjadi tanpa henti atau sepanjang hayat, selama manusia hidup.

Fisika merupakan salah satu bagian dari IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang mempelajari tentang fenomena-fenomena yang terjadi di alam (Zaturahmi, Hamdi, & Ratnawulan,

2017:173). Fisika juga merupakan suatu bidang yang bukan hanya sekedar menerapkan persamaan dan definisi konsep dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi semestinya terdapat pula kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam proses pembelajaran. Salah satu tujuan pembelajaran fisika adalah siswa mampu menerapkan kejadian atau pengalaman yang dijumpainya untuk dapat memecahkan suatu masalah. Pembelajaran Fisika adalah suatu sarana untuk memperluas kecakapan intelektual siswa dalam menguasai konsep-konsep fisika dan keterkaitannya serta mampu menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan suatu masalah. Pembelajaran fisika membantu siswa untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi individu yang memiliki sikap ilmiah, mampu memproses fenomena serta ilmu pengetahuan yang didapatnya.

Namun, realita yang terjadi memperlihatkan bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami

Page 125: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

114

mata pelajaran fisika karena sebagian besar siswa menganggap mata pelajaran fisika sangat sulit dan membosankan (Ronawati, 2013). Ketika guru menyajikan materi pelajaran siswa cenderung pasif, yaitu hanya mendengar serta mencatat apa yang dijelaskan guru tanpa memahami topik pembelajaran yang sedang dipelajari. Hal ini membuktikan bahwa pelajaran Fisika adalah pelajaran kurang menarik serta kurang diminati oleh siswa. Disamping faktor siswa, faktor guru juga sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini guru diharapkan dapat memaksimalkan fungsinya sebagai motivator terutama sebagai fasilitator siswa (Dina dalam Zaturrahmi, dkk., 2017).

Anggapan negatif terhadap pelajaran Fisika seperti yang dijelaskan di atas juga dimiliki oleh siswa kelas VIIIC SMP PGRI 6 Malang. Hasil observasi yang telah dilakukan disekolah tersebut menunjukkan bahwa anggapan atau persepsi negatif berdampak pada kurangnya antusias serta perhatian siswa terhadap pembelajaran Fisika. Hal tersebut ditandai banyaknya siswa yang bersikap acuh ketika mengikuti pembelajaran. Saat guru menjelaskan materi, terdapat beberapa siswa yang melakukan aktivitas di luar kegiatan pembelajaran, seperti berbicara dengan teman, mengantuk dan bermain sendiri sehingga fokus siswa menjadi terpecah saat pembelajaran berlangsung.

Di samping itu peneliti juga melakukan wawancara langsung dengan beberapa siswa kelas VIIIC. Berdasarkan hasil wawancara, siswa kurang tertarik dengan cara mengajar guru yaitu terlalu sering menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas saja serta guru yang selalu mendominasi dalam kegiatan pembelajaran. Guru hanya fokus pada indikator ketuntasan belajar siswa. Guru kurang melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran

sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Metode ceramah ini juga sering membuat siswa mengantuk karena siswa tidak diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuannya, serta tidak memberikan tantangan kepada siswa untuk ikut berpartisipasi dalam pembelajaran. Hal ini dapat mengakibatkan siswa tidak termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dikelas dan dampaknya prestasi belajar siswa rendah. Hal tersebut ditandai dengan nilai rata-rata ulangan siswa kelas VIIIC sebesar 71,4, masih jauh di bawah nilai kriteria KKM yaitu 75.

Motivasi adalah kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologi yang akan mendorong seseorang untuk mencapai suatu prestasi sesuai yang diinginkan, Sudarwan dalam (Suprihatin, 2015). Perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan tahan lama. Motivasi sebagai pendorong individu dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuannya. Motivasi belajar bagi siswa sangat mempengaruhi dirinya dalam kegiatan pembelajaran disekolah. Prestasi belajar akan meningkat jika guru mampu memotivasi siswa dengan baik dan tepat. Motivasi belajar yang rendah akan mengakibatkan prestasi belajar siswa rendah, dalam hal ini siswa jadi terkesan lambat dalam mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan belajar, sikap menentang kepada siapa saja yang mengarahkannya pada proses belajar dan sering berperilaku menyimpang dalam kegiatan proses belajar disekolah. Ada enam aspek motivasi belajar yaitu: minat, perhatian, terlibat penuh/konsentrasi, senang, pemahaman atas materi dan tekun, (Aji, 2013:201). Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh atau dicapai seseorang dalam usaha belajarnya sebagaimana yang dinyatakan

Page 126: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

115

dalam raport, Poerwanto dalam (Hamdu & Agustina, 2011). Terdapat enam indikator prestasi belajar menurut Taksonomi Bloom yang direvisi Anderson dan Krakthwohl dalam (Maria, 2015) yaitu C1 (mengingat), C2 (memahami), C3(mengaplikasi), C4(menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan C6(mencipta). Pada prinsip prestasi belajar merupakan pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan akibat proses belajar siswa, Syah, (2012) dalam (Aini & Taman, 2012).

Salah satu upaya dalam pembelajaran fisika yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tpe STAD berbasis demonstrasi. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai pusat atau sentral dalam kegiatan pembelajaran untuk belajar secara berkelompok, saling menyumbangkan ide, serta menyelesaikan masalah bersama-sama (Widyaningsih, 2017).

Pembelajaran kooperatif terdapat berbagai varian model pembelajaran yang diterapkan. Model pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik untuk bekerja sama untuk memahami materi pembelajaran secara maksimal adalah model pembelajaran tipe STAD berbasis demonstrasi. STAD merupakan suatu model pembelajaran paling sederhana, memberikan motivasi kepada peserta didik agar mampu bekerjasama dengan kelompok masin-masing dalam memahami materi pelajaran yang dijelaskan oleh guru, Kusuma dalam (Ningtyas, 2010). Metode demonstrasi adalah cara yang digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar didalam kelas dengan memanfaatkan alat peraga untuk menjelaskan suatu kejadian dengan urutan, dengan memanfaatkan media pembelajaran yang sesuai dengan materi

yang disajikan, (Subrata, 2016). Metode demonstrasi juga merupakan metode penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan kepada siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu melalui alat peraga, baik sebenarnya atau sekadar tiruan (Sanjaya, 2012:152). Alat peraga merupakan benda nyata yang digunakan sebagai contoh, seperti batu, kertas, tanaman dan sebagainya, (Purwanto, 2012:167). Penerapan Metode demonstrasi ini sangat tepat untuk sekolah yang peralatannya belum mencukupi jika siswa melakukan percobaan sendiri, karena dalam metode demonstrasi percobaan cukup dilakukan oleh satu perangkat bahan, namun bisa diamati oleh seluruh siswa dalam waktu yang sama. Penerapan metode ini akan membutuhkan waktu yang singkat sehingga dapat menghemat waktu dalam melakukan kegiatan demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan beberapa perwakilan dari setiap kelompok siswa, sekaligus guru dapat membimbing siswanya. Penelitian ini bertujuan mengetahui keterlaksanaan kualitas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi, mengetahui peningkatan motivasi belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi. Serta mengetahui peningkatan prestasi belajar fisika siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi.

Penerapan model pembelajaran STAD berbasis demonstrasi ini diharapkan adanya perubahan pada diri siswa. Siswa yang awalnya merasa bosan dengan pembelajaran fisika menjadi mau menerima pembelajaran dengan baik, sehingga hal tersebut berdampak pada meningkatnya prestasi belajar siswa. Jadi penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas keterlaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD

Page 127: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

116

berbasis Demonstrasi dan mendeskripsikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis Demonstrasi untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dilaksanakan di kelas VIIIC SMP PGRI Malang, dengan rancangan dilakukan melalui dua siklus yang terdiri dari 4 tahap dengan pertemuan setiap siklus tiga kali pertemuan. Setiap siklus terdiri empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan reflkesi (Arikunto, 2016). Adapun prosedur yang harus dilalui yaitu a) observasi awal b) identifikasi masalah c) perencanaan tindakan d) pelaksanaan tindakan e) 0bservasi tindakan f) refleksi tindakan.

Instrumen yang digunakan yaitu lembar observasi pelaksanaan pembelajaran dan tes prestasi belajar. Lembar Observasi dibuat oleh peneliti dan digunakan untuk mengetahui sejauh mana peningkatan motivasi dan prestasi belajar fisika siswa stelah diterapkannya model pembelajaran STAD berbasis demonstrasi. Untuk menjamin validitas temuan penelitian ini, perlu dilakukan pengecekan data yang telah diperoleh. Cara pengecekan data yang digunakan adalah 1) ketekunan pengamat, 2) triangulasi, dan 3) pemeriksaan sejawat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian siklus I pada keterlaksanaan pembelajaran yaitu pada aspek kegiatan awal 77,25%, kegiatan inti 78,33%, kegiatan penutup 81,24%, dengan rata-rata keterlaksanan pembelajaran siklus I sebesar 78,93. hasil penilaian motivasi belajar siswa siklus I yaitu pada aspek minat 78,12%, aspek perhatian 78,12%, aspek konsentrasi 80%, aspek senang 71,87%, aspek pemahaman atas materi 79,15%, aspek tekun 75%. sehingga rata-rata motivasi

belajar siswa pada siklus i yaitu 77,04%. hasil tes prestasi belajar siklus i yaitu nilai rata-rata siswa sebsar 74,4 artinya belum memenuhi KKM (75). Hasil tes prestasi belajar pada siklus I lebih baik daripada kondisi awal yaitu nilai rata-rata siswa 71,4. Hasil penelitian siklus II yaitu pada keterlaksanaan pembelajaran yaitu pada kegiatan awal 88,53%, kegiatan inti 87,50%, kegiatan penutup 89,58%, dengan rata-rata keterlaksanan pembelajaran siklus II sebesar 88,53%. Dapat diketahui kualitas pelaksanan kegiatan pembelajaran pada siklus II rata-rata 88,58% berarti pelaksanaan pembelajarannya memenuhi kriteria sangat baik. Hasil penilaian motivasi belajar siswa siklus II yaitu pada aspek minat 90,63 %, Perhatian 90,63%, aspek Konsentrasi 85%, aspek Senang 90,63%, aspek Pemahaman atas materi 95,80%, aspek tekun 87,50%. Sehingga rata-rata motivasi belajar siswa pada siklus II yaitu 90,03%. Setelah dilakukan beberapa perbaikan pada sistem pembelajaran yang dilaksanakan sebelumnya diketahui adanya peningkatan prestasi belajar siswa. Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata pada siklus II dimana mencapai 80 jauh lebih tinggi dari hasil belajar siswa pada siklus I yang hanya74,4%. Dari hasil tes pada siklus II diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa memenuhi KKM (75) pada siklus II sebanyak 28 siswa atau 80% dari 35 siswa. Sedangkan untuk siswa yang tidak memenuhi KKM sebanyak 7 siswa atau 20% dari 35 siswa.

Keterlaksanaan pembelajaran

Pada tahap pendahuluan ini terdiri dari beberapa aspek yang diamati yaitu guru membuka pembelajaran dengan mengucapkan salam, memberikan motivasi dan apersepsi, dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Rata-rata persentase keterlaksanaan pembelajaran kegiatan pendahuluan siklus I adalah sebesar 77,25%. Sedangkan pada siklus II dapat diketahui bahwa rata-rata keterlaksanaan

Page 128: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

117

pembelajaran pada siklus II sebesar 88,53%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan persentase pelaksanaan pembelajaran dari siklus I pada kegiatan pendahuluan. Pada kegiatan inti ini terdiri dari beberapa tahap yaitu pembagaian kelompok, pembagian LKS, penyampaian materi dengan melakukan demonstrasi, membimbing siswa dalam mengerjakan LKS, presentasi kelompok, kuis atau tes individu. Rata-rata persentase kegiatan pembelajaran inti pada siklus I sebesar 78,33%. Sedangkan rata-rata kegitan pembelajaran inti pada siklus II sebesar 87,5%. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa pada kegiatan inti ini terjadi peningkatan persentase antara siklus I dan siklus II. Pada tahap kegiatan penutup ini siswa dan guru meminta siswa untuk menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dipelajari yang kemudian akan disempurnakan lagi oleh guru serta mengucapkan salam penutup. Rata-rata persentase kegiatan penutup pada siklus I adalah sebsar 81,24%. Sedangkan pada siklus II adalah sebesar 89,58%. Disimpulkan bahwa pada kegiatan penutup dari siklus I dan sikus II mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ketercapaian keterlaksanaan pembelajaran siklus I dan siklus II

Motivasi Belajar Persentase rata-rata aspek minat

pada siklus I adalah 78,12 %. Sedangkan pada siklus II rata-rata aspek minat sebesar 90,63%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 12,375%. Terjadinya peningkatan persentase ini karena siswa sudah terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan. Selain itu guru juga dalam melakukan demonstrasi selalu menjelaskan bahwa semua yang kita pelajari tidak akan lari jauh dari apa yang kita jumpai setiap hari. Sehingga siswa terlihat antusias dalam mempelajari materi, aktif melakukan demonstrasi, dalam diskusi kelompok dan menjawab serta menanggapi pertanyaan dengan baik. Aspek perhatian yaitu persentase rata-rata yang diperoleh pada siklus I adalah 78,12%. Sedangkan pada siklus II adalah 90,63. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan aspek perhatian dari siklus I ke siklus II

sebesar 12,55%. Peningkatan terjadi karena guru menekankan siswa untuk memperhatikan instruksi dan penjelasan yang disampaikan guru, memperhatikan penjelasan guru, tidak berbicara diluar materi pembelajaran serta memusatkan pada materi tugas yang diberikan guru. Sehingga ketika mereka fokus dan memperhatikan penjelasan guru maka mereka akan memahami materi pembelajaran dengan baik dan bisa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Pada aspek konsentrasi persentase yang diperoleh pada siklus I sebesar 80%. Sedangkan pada siklus II sebesar 87,5% Hal ini dapat disimpulkan ada peningkatan pada aspek ini sebesar 7,5%. Terjadinya peningkatan pada aspek ini adalah pada siklus II kehadiran siswa dikelas penuh sampai akhir pelajaran, menggunakan seluruh waktu pelajaran untuk belajar, memusatkan perhatian dalam mendengarkan jawaban teman, mendengarkan dan

77,25% 78,33%81,24%

88,53% 87,50%89,58%

Awal Inti Penutup

Siklus I

Siklus II

Page 129: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

118

memperhatikan saat guru memberikan petunjuk pada LKS maupun menjelaskan materi. Disini guru selalu mengingatkan dan menasehati siswa agar selalu terlibat penuh dalam mengikuti proses pembelajaran, tidak sering meminta ijin keluar kelas dan terlambat tanpa alasan yang jelas. Pada aspek senang persentase yang diperoleh pada siklus I sebesar 71,87%. Sedangkan pada siklus II sebesar 93,75%. Sehingga rata-rata aspek senang pada siklus II adalah 90,63%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan siklus I ke siklus II sebesar 18,75%. Peningkatan ini terjadi dikarenakan dalam proses pembelajaran siswa tidak merasa terancam, ketakutan melainkan terlihat ceria, wajah berseri-seri serta tidak mengantuk dan sering menguap atau meletakan kepala diatas meja. Hal ini karena guru dalam menjelaskan materi tidak membuat siswa mengantuk dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan terkait materi dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru agar siswa tidak mengantuk yaitu dengan diselingi game dan ketika siswa menjawab pertanyaan dari guru diberi tepuk tangan, sehingga siswa tidak mengantuk. Meskipun jawaban mereka salah sehingga dapat perbaiki lagi oleh guru. Pada aspek pemahaman atas materi persentase yang diperoleh pada siklus I adalah 79,16%. Sedangkan pada siklus II

adalah sebesar 95,80%. Dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan aspek pemahaman materi dari siklus I ke siklus II sebesar 16,635%. Meningkatnya aspek ini dilihat dari adanya perubahan pada setiap indikator yaitu, siswa dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru maupun teman saat melakukan presentasi, serta terlihat aktif dan penuh perhatian dalam membahas materi yang dipelajari. Sehingga dalam mengerjakan soal siswa paham karena telah memperhatikan penjelasan guru. Meningkatnya aspek ini juga karena guru menyuruh siswa untuk mencatat setiap poin penting atas pembelajaran yang disampaikan guru, sehingga siswa dapat mempelajarinya kembali di rumah. Pada aspek ketekunan persentase yang diperoleh pada siklus I adalah sebesar 75%. Sedangkan pada siklus II sebesar adalah 87,5%. Dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan aspek ketekunan dari siklus I ke siklus II sebesar 12,5%. Aspek ini meningkat karena pada siklus II siswa sudah terbiasa menyelesaikan tugas tepat waktu, catatan pelajaran lengkap dan rapi, serta siswa terlihat aktif dalam diskusi kelompok, mengerjakan tugas dengan baik dan saling memberikan masukan untuk setiap pertanyaan yang diajukan teman. Peningkatan motivasi belajar tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peningkatan motivasi belajar siklus I dan siklus II

Page 130: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

119

Keterangan: A: Minat B: perhatian C: Konsentrasi D:Senang E:Pemahaman atas materi F: tekun

Prestasi belajar

Berdasarkan hasil observasi awal bahwa diperoleh nilai rata-rata kelas VIIIC SMP PGRI 6 Malang yang terdiri dari 35 orang siswa adalah 71,4 dan dari 35 siswa yang tuntas terdiri dari 16 orang siswa. Hasil observasi awal ini digunakan sebagai petimbangan dan informasi hasil tes pembelajaran siklus I. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Pada siklus I, nilai rata-rata siswa adalah sebesar 74,4 dan jumlah siswa yang tuntas belajar 22 orang atau 62,85% dari jumlah siswa 35 orang. Meningkatnya prestasi belajar siswa dari observasi awal ke siklus I disebabkan penggunaan model pembelajaran yang digunakan oleh guru membuat siswa lebih memahami materi yang disampaikan oleh guru. Model pembelajaran yang disertai dengan demonstrasi membuat siswa lebih paham dan mengerti materi yang dijelaskan serta memperhatikan dan senang dengan model pembelajaran yang diterapkan. Pada siklus II diperoleh nilai rata-rata siswa sebessar 80. Hal ini menunjukan adanya peningkatan dari siklus sebelumnya. Jumlah siswa yang tuntas pada siklus II adalah 28 siswa atau 80% dari 35 orang siswa seluruhnya dan sudah mencapai kriteria berhasil. Peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus I ke siklus II karena siswa sudah mulai terbiasa dengan menggunakan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Selain itu guru lebih banyak memberikan latihan soal. Rata-rata prestasi belajar

siswa tiap siklus dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

Gambar 3 Nilai rata-rata siswa pra siklus,

siklus I dan siklus II

Hasil penelitian ini juga dikuatkan oleh hasil penelitian dari peneliti-peneliti sebelumnya, antara lain Adriyanto Bumma (2016) menemukan bahwa motivasi dan prestasi belajar dapat meningkat dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis Demonstrasi. Siswa yang diajarkan menggunakan metode demonstrasi cenderung memiliki prestasi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dalam metode demonstrasi siswa aktif dalam mengemukakan pendapat untuk menyelesaikan masalah. Serta siswa terlihat antusias dalam mengikuti proses pembelajaran disebabkan oleh siswa memperagakan sendiri materi yang didemonstrasikan.

SIMPULAN

Disimpulkan bahwa kualitas keterlaksananan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi yang dilaksanakan dikelas VIIIC SMP PGRI 6 Malang meningkat sebesar 6,03%, dengan rata-rata 82,51%. Dimana pada siklus I sebesar 79,5% dengan kriteria baik dan pada siklus II sebesar 85,53% dengan kriteria sangat baik. Pembelajaran fisika dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas VIIIC SMP PGRI 6 Malang sebesar 12,989% dengan rata-rata 83,53%. Hal

71,40%74,40%

80%

Pra

siklus

Siklus I Siklus II

Pra siklus

Siklus I

Siklus II

Page 131: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

120

ini dapat dibuktikan dengan data yang diperoleh pada siklus I sebesar 77,04% dengan kriteria baik dan pada siklus II sebesar 90,03% dengan kriteria sangat baik. Pembelajaran fisika dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis demonstrasi dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIIIC SMP PGRI 6 Malang dengan rata-rata 75,29 . Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata siswa pra siklus sebesar 71,4. Nilai rata-rata siswa pada siklus I sebesar 74,4, sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan yaitu nilai rata-rata siswa sebesar 80. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran koopratif tipe STAD berbasis demosntrasi dapat meningkatkan motivasi prestasi belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, S. D. (2013). Pembelajaran kooperatif numbered heads

together (NHT) berbasis eksperimen untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar. Jurnal Sains, 41(1).

Aini, P. N., & Taman, A. (2012). Pengaruh kemandirian belajar dan lingkungan belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sewon Bantul Tahun Ajaran 2010/2011. Jurnal Pendidikan Akuntansi

Indonesia, X(1), 48–65. Arikunto, S. (2016). Prosedur peneltian

suatu pendekatan praktik. PT Rineka Cipta: Jakarta

Azizi, R., & Prihandono, T. (2015). Dampak model pembelajaran kooperatif tipe stad (student teams achievement division) disertai metode eksperimen terhadap keterampilan proses sains dan

hasil belajar fisika siswa kelas x di sma negeri kalisat. Jurnal

Pembelajaran Fisika, 4(2). Bumma, A. (2016). Pembelajaran fisika

dengan model STAD berbasis

demonstrasi untuk meningkatkan

motivasi dan prestasi belajar

fisika siswa kelas VIIIB-SMP

PGRI 2 Singosari tahun pelajaran

2015/2016

Hamdu, G., & Agustina, L. (2011). Pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar ipa di sekolah dasar. Penelitian

Pendidikan, 12(1), 90–96 Purwanto, E. (2012). Strategi

pembelajaran bidang studi

geografi. Ombak: Yogyakarta Sanjaya, W. (2012). Strategi

pembelajaran berorientasi

standar pendidikan. Kencana Prenada Media Grup: Jakarta

Subrata, S. (2016). Penerapan metode demonstrasi pada materi asam basa garam untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik. Jurnal Scientia

Indonesia, 1(1), 37-44. Suprihatin, S. (2015). Upaya guru dalam

meningkatkan motivasi belajar siswa. Jurnal pendidikan ekonomi

UM Metro, 3(1), 73-82. Zaturrahmi, Z., Hamdi, H., &

Ratnawulan, R. (2017). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe stad berbasis proyek membuat alat eksperimen sederhana untuk meningkatkan aktivitas belajar dan kompetensi fisika siswa di kelas xi tkr smk adzkia padang. Gravity:

Journal Research and Learning

Physics (Gravity: Jurnal Ilmiah

Penelitian dan Pembelajaran

Fisika), 3(2).

Page 132: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

121

Pengaruh Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) Terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa

Rizka Aulia Wardhani, Nurul Ain, Hena Dian Ayu

Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Thingking

Aloud Pair Problem Solving terhadap motivasi terhadap prestasi belajar Fisika siswa yang dilakukan di SMA Negeri 1 Grati pada tahun pelajaran 2018/2019. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan posttest only control design

group. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI MIPA dan sampel penelitian terdiri dari 33 siswa kelas XI MIPA 4 sebagai kelas eksperimen dan 35 siswa kelas XI MIPA 2 sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Data dikumpulkan melalui observasi dan tes prestasi belajar siswa kemudian dianalisis menggunakan uji Anova dua jalur. Disimpulkan bahwa pengunaan model pembelajaran Thingking Aloud Pair Problem Solving memberikan dampak positif terhadap motivasi dan prestasi belajar Fisika siswa yaitu motivasi dan prestasi belajar fisika siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvesional. Model pembelajaran TAPSS terbukti mampu meningkatkan motivasi dan prestasi belajar Fisika siswa. Oleh karena itu, sekiranya dapat digunakan dalam pembelajaran fisika sehingga tujuan pembelajaran fisika dapat dicapai dengan optimal. Kata Kunci: Thingking aloud pair problem solving, motivasi belajar, prestasi belajar

fisika

PENDAHULUAN

Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu fisika secara langsung maupun tidak langsung juga berkaitan dengan teknologi saat ini. Sejalan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dituntut pula peningkatan kualitas pembelajaran fisika di sekolah. Pembelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang penting, maka seharusnya pembelajaran fisika dilakukan dengan cara yang menarik, menyenangkan dan mampu melibatkan siswa turut aktif dalam pembelajaran. (Putri, Syakbaniah & Ratnawulan, 2016). Fisika selalu dipandang sebagai mata pelajaran yang susah untuk dipelajari, dan membuat siswa merasa bosan untuk mempelajarinya dikarenakan penuh dengan teori serta rumus yang harus dihafal (Irawan, 2016).

Menurut Wijayanti (2014) pada umumnya, metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar fisika adalah metode pembelajaran konvensional yang lebih banyak mengandalkan ceramah. Dimana guru lebih memfokuskan diri pada upaya pemindahan pengetahuan ke dalam diri siswa tanpa memperhatikan bahwa ketika siswa memasuki kelas, siswa mempunyai bekal kemampuan dan pengetahuan yang tidak sama. Siswa hanya ditempatkan sebagai obyek sehingga siswa menjadi pasif dan tenggelam ke dalam kondisi belajar yang kurang merangsang aktivitas belajar yang kurang optimal.

Hal ini menyebabkan siswa kurang termotivasi. Motivasi belajar sendiri diperlukan sebagai bekal untuk memulai proses pembelajaran. Kamaludin (2017) mengatakan bahwa motivasi menjadi

Page 133: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

122

salah satu faktor psikologis yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan keberhasilan setiap aktivitas manusia, termasuk di dalamnya adalah aktivitas belajar. Tingginya tingkat motivasi belajar siswa dinilai mampu memberikan pengaruh positif pada prestasi belajar. Demikian sebaliknya, motivasi yang rendah akan menurunkan minat belajar dan secara tidak langsung akan memberikan dampak yang kurang baik pada prestasi belajar.

Prestasi belajar adalah hasil yang didapat setelah proses pembelajaran usai. Prestasi Belajar berkaita dengan motvasi belajar. Menururt Lestari (2011) prestasi siswa dapat meningkat jika motivasi belajar dapat menumbuhkan hasrat dan keinginan untuk belajar yang lebih bermakna. Kegiatan pembelajaran yang telah dipersiapkan guru diharapkan dapat berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan dan tujuan yang ingin diraih.

Problem solving merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pembelajaran fisika yang dapat mengaktifkan siswa, mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah menimbulkan sikap positif siswa serta meningkatkan motivasi siswa dalam belajar fisika. Membiasakan siswa dalam merumuskan masalah, menghadapi dan menyelesaikan soal merupakan salah satu cara untuk mencapai penguasaan suatu konsep akan menjadi lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat aliran Behaviorisme yang menyatakan bahwa untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dapat dilakukan dengan cara mengulang-ulang masalah yang di sampaikan (Hudojo,1988)

Salah satu tipe model pembelajaran koperatif yang mudah diterapkan untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa adalah TAPPS Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran TAPPS dalam kegiatan pembelajaran setiap siswa mendapat tugas untuk menjadi problem

solver dan listener sehingga siswa terlibat aktif dalam proses pemecahan masalah (Aftina dkk,, 2016). Siswa yang mampu memecahkan masalah yang diberikan saat pembelajaran berlangsung dapat meningkatkan prestasi siswa. Penggunaan model pembelajaran TAPPS agar dapat memotivasi siswa dalam kelompok agar mereka dapat saling membantu dan mendorong satu sama lain dalam menguasai materi yang disajikan (Apriyani, 2015)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini, peneliti membahas tentang pengaruh model TAPPS terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa. Sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmat, Muhardjito, & Zulaikah (2014) yang berjudul Kemampuan pemecahan masalah melalui strategi pembelajaran thinking aloud pair problem solving siswa kelas X SMA. Penelitian tersebut membahas tentang pengaruh strategi pembelajaran thinking aloud pair

problem solving berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa mengalami peningkatan.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui perbedaan motivasi siswa yang diajar melalui model pembelajaran Thingking Aloud Pair Problem Solving dengan model pembelajaran konvesional, 2) mengetahui perbedaan prestasi belajar Fisika siswa yang diajar melalui model pembelajaran Thingking

Aloud Pair Problem Solving dengan model pembelajaran konvesional, dan 3) mengetahui interaksi antara model pembelajaran Thingking Aloud Pair

Problem Solving dengan motivasi terhadap prestasi belajar Fisika siswa yang dilakukan di SMA Negeri 1 Grati pada tahun pelajaran 2018/2019.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Penelitian Kuantitatif tipe

Page 134: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

123

eksperimen semu. Desain penelitian yang digunakan adalah post-test control group

design. Dalam rancangaan ini, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diseleksi tanpa prosedur penempatan acak (without random assignment). Pada dua kelompok tersebut sama-sama dilakukan posttest dan kelompok yang mendapatkan perlakuan (treatment) hanya kelompok eksperimen. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, variabel tersebut adalah model TAPPS sebagai variabel bebas dan motivasi dan prestasi belajar sebagai variabel terikat.

Populasi yang akan diamati oleh peneliti adalah seluruh siswa kelas XI MIPA SMAN 1 Grati yang berjumlah 5 kelas. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kelas XI MIPA 4 dan XI MIPA 2 SMAN 1 Grati. Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa metode observasi dan tes. Dengan teknik ini akan diperoleh data nilai motivasi dan prestasi. Data prestasi belajar melalui tes tertulis berupa tes objektif pilihan ganda. Instrumen tes data prestasi belajar berupa 20 soal pilihan ganda yang memiliki rentang validasi sebesar 0,65-0,387. Rentang nilai reliabilitas soal pada penelitian ini adalah 0,753. Dengan demikian, instrumen (soal) tersebut bisa digunakan untuk mengukur ketercapaian prestasi belajar Fisika siswa.

Teknik analisis data dalam penelitian ini ada 2 yaitu analisis data kuantitatif dari nilai siswa dan analisis data kualitatif yang berasal dari observasi. Analisis data menggunakan uji Anova dua jalur. Semua analisis penelitian ini menggunakan tingkat signifikansi 5% dan menggunakan Microsoft Excel 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data motivasi diperoleh melalui observasi saat diberi perlakuan terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol sedangkan data prestasi belajar melalui tes objektif pilihan ganda. Hasil uji hipotesis pada taraf signifikansi 0,05 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Uji Hipotesis

Statistik F

hitung

F

tabel

Antar kelompok A 23,96 3,92 Antar Kelompok B 16,95 3,92 Antar Kelompok AB 4,23 3,92 Berdasarkan hasil uji hipotesis yang terdapat pada Tabel 1 dapat diperoleh bahwa:

Pengujian Hipotesis Pertama

Berdasarkan hasil data motivasi belajar siswa pada Tabel 1 kolom antar kelompok A diketahui bahwa nilai Fhitung

sebesar 23,96 dan Ftabel sebesar 3,92 maka Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti ada perbedaan motivasi belajar antara siswa yang menggunakan model TAPPS dengan siswa yang menggunakan model konvensional.

Pengujian Hipotesis kedua

Berdasarkan hasil data Prestasi Belajar siswa pada Tabel 1 kolom antar kelompok B diketahui bahwa ada perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang menggunakan model TAPPS dengan siswa yang menggunakan model konvensional, kareana nilai Fhitung sebesar 16,95 dan Ftabel sebesar 3,92 maka Fhitung

> Ftabel. Pengujian Hipotesis ketiga

Berdasarkan hasil data pada Tabel 1 kolom antar kelompok AB diketahui bahwa nilai Fhitung sebesar 4,23 dan Ftabel sebesar 3,92 maka Fhitung>Ftabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi antara model TAPPS terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa

Page 135: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

124

Hasil motivasi belajar siswa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Motivasi Belajar

Berdasarkan Gambar 1 maka, dapat dijabarkan sebagai berikut. Minat

Gambar 1 menunjukan aspek minat siswa kelas yang diajarkan menggunakan model TAPPS lebih tinggi dibandingkan kelas yang diajarkan menggunakan model konvensional. Model TAPPS akan membuat minat siswa akan terlihat dalam pembelajaran. Penilaian minat siswa pada model TAPPS dilakukan pada fase pengorganisasia kegiatan pembelajaran. Siswa akan bertanya dan mencatat informasi pembelajaran yang disampaikan. Dalam pembentukan kelompok, mayoritas siswa sudah mau bergabung dengan kelompok yag telah dibentuk. Kemudian guru memberikan peran dan tugas siswa sebagai problem

solver dan listener untuk berdiskusi memecahkan masalah yang diberikan melalui LKS yang dibagikan. Hal ini akan membuat minat siswa merasa tertantang melakukan peran yang diberikan pada saat pembelajaran. Perhatian

Gambar 1 menunjukan aspek pehatian pada siswa kelas yang diajarkan menggunakan model TAPPS lebih tinggi dibandingkan kelas yang diajarkan menggunakan model konvensional. Penilaian perhatian siswa pada model TAPPS dilakukan pada fase pemecahan masalah I dan II. Dalam aspek ini, baik problem solver maupun Listener sama

sama diasah perhatiannya ketika menerima tugas masing masing, hal ni dikarenaka tigas masing masing berbeda. Perlu perhatian yang cukup utuk dapat mengikuti pembelajaran dengan model TAPPS. Dengan adanya penggunaan model ini, perhatian anak akan semakin baik untuk meningkatkan motivasi belajar yang berdampak pada prestasi belajar.. Konsentrasi

Konsentrasi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran khususnya dalam memecahkan masalah yang melibatkan seluruh alat indra siswa terutama dalam melakukan percobaan. Gambar 1 menunjukan aspek konsentrasi siswa kelas yang diajar menggunakan model TAPPS lebih tinggi dibandingkan kelas yang diajarkan dengan model konvensional. Model TAPPS ini membuat siswa yang berperan sebagai problem solver memiliki tingkat konsentrasi yang cukup tinggi. Siswa yang berperan sebagai problemsolver akan berkonsetrasi untuk melakukan pemecahan masalah dari suatu percobaa maupun permasalahan yang telah diberikan. Model TAPPS juga membuat siswa yang berperan sebagai listener juga dilatih konsentrasinya. Hal ini terjadi ketika, listener mendengarkan dan mencatat penjelasan dari problem solver.

Ketika dia enggan mendengarkan dan mencatat penjelasan dari problem solver, maka penjelasan akan pemecahan masalah tersebut tidak akan terserap dengan baik dan siswa tidak mengasah konsentrasinya agar memahami penjelasan problem solver. Pemahaman atas materi

Gambar 1 menunjukan aspek pemahaman pada siswa kelas yang diajarkan menggunakan model TAPPS lebih tinggi dibandingkan kelas yang diajarkan menggunakan model konvensional. Penilaian pemahaman atas materi siswa pada model TAPPS dilakukan pada fase pengecekan. Dalam aspek ini, baik problemsolver maupun

020406080

100

kelas eksperimen

Page 136: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

125

listener diminta agar terlibat dalam memecahkan masalah atau melakukan percobaan dan menyelesaikan berbagai pertanyaan pada LKS. Dengan adanya LKS yang diberikan oleh guru, problem

solver dan listener akan berusaha menyelesaikan permasalahan sesuai dengan peran masig masing. Pemahaman atas materi juga dapat terlihat ketika problem solver maupun listener berdiskusi. Ketika problem solver

menyelesaikan pemecahan masalah, pemahaman atas materinya akan terlihat ketika problem solver dapat menjelaskan pemecahan masalah secara mendetail atau singkat kepada listener. Hal itu juga berlaku untuk listener, pemahaman atas materi akan terlihat ketika listener mendengarkan penjelasan pemecahan masalah oleh problem solver. Tekun

Gambar 1 menunjukan aspek tekun pada siswa kelas yang diajarkan menggunakan model TAPPS lebih tinggi dibandingkan kelas yang diajarkan menggunakan model konvensional. Dalam aspek tekun, pengaruh model TAPPS terhadap kelas yang diberi perlakuan membuat siswa terpicu menyelesaikan LKS yang telah diberikan oleh guru. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan LKS dengan sungguh sungguh dan menjelaskan kepada pasangan diskusinya yang beperan sebagai listener agar memahami permasalahan yang telah diselesaikan oleh problem solver. Tingginya aspek tekun disebabkan oleh adanya batasan waktu yang harus ditaati pada saat penyeleseian masalah sehingga siswa menyelesaikan tugas dengan sungguh-sungguh dan tepat waktu. Hal ini dikarenakan adanya 2 sesi dalam pembelajaran untuk saling bertukar peran dan menjalankan tugas mereka masing masing secara tepat waktu. Oleh karena itu anak akan terpicu

Penelitian ini sejalan dengan Penelitian Apriyani (2015). Apriyani

(2015) menyebutkan motivasi belajar yang tinggi menunjukkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif tipe TAPPS telah mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran kooperatif tipe TAPPS, siswa bekerja dalam kelompok. Problem solver dan listener saling mendukung untuk memecahkan permasalahan. Melalui bantuan listener, problem solver dapat menyampaikan semua pemikiran dan ide untuk memecahkan permasalahan. Dengan demikian, seluruh anggota kelompok memahami langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah beserta alasan mengapa memakai langkah seperti itu.

Begitu juga dengan penelitian Pate&Miller (2011) bahwa penelitian yang dilakukan selama periode pembelajaran yang meningkat dapat memberikan wawasan tentang efek TAPPS pada hasil lain seperti peningkatan motivasi belajar. Menurut Buchori, Rahmawati, & Baedowi (2015) bahwa pada model TAPPS di kelas eksperimen siswa menunjukkan ketertarikan terhadap serangkaian kegiatan pembelajaran yang terdapat.pada proses pembelajaran. Hal ini membuat siswa tidak mengalami kejenuhan sehingga kemauan peserta didik untuk belajar semakin besar. Ketertarikan tersebut membuat peserta didik semakin termotivasi. Dengan antusias dan motivasi siswa yang semakin besar membuat guru dalam mengelola proses belajar juga semakin baik.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan motivasi siswa kelas yang menggunakan model TAPPS dan kelas yang menggunakan model konvensional. Pada Kelas yang menggunakan model TAPPS aspek yang menonjol yaitu aspek konsentrasi. Menonjolnya aspek tersebut karena model TAPPS menjadikan siswa sebagai patokan dalam memecahkan

Page 137: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

126

masalah secara leluasa yang mebuat siswa merasa harus berkonsentrasi dalam memecahkan permasalahan sesuai dengan tugas masing-masing. Sedangkan kelas yang menggunakan model konvensional, aspek motivasi yang paling menonjol yaitu aspek pemahaman. Hasil prestasi belajar siswa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Prestasi Belajar

Berdasarkan hasil analisis data uji

statistik diperoleh bahwa ada perbedaan prestasi belajar Fisika siswa yang menggunakan model pembelajaran TAPPS dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis yaitu FHitung > FTabel pada taraf signifikansi 0,05. Hal selaras pun disampaikan pada penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2014) bahwa model pembelajaran TAPPS mampu memberi dampak positif pada peningkatan prestasi belajar siswa. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, diperoleh sebuah fakta dimana pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran TAPPS lebih efektif meningkatkan pretasi belajar dibandingkan metode pembelajaran konvensional .

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2014) mengatakan bahwa metode pembelajaran TAPPS siswa dibentuk kelompok dan diajak untuk belajar dengan mementingkan perkembangan individu lewat bimbingan guru baik secara kelompok maupun individu. Dalam metode pembelajaran TAPPS mampu menciptakan kinerja kelompok yang aktif dan menyenangkan yang mendorong terjadinya aktivitas

siswa dalam pembelajaran secara optimal. Metode pembelajaran TAPPS menjadikan pengajaran yang aktif dan menyenangkan baik secara kelompok maupun individu sehingga mewujudkan pembelajaran bermakna dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan .

Rahmat, dkk., (2014) mengatakan bahwa Pembelajaran dengan model TAPPS dapat membuat prestasi siswa di kelas ekperimen dari pada prestasi siswa di kelas konvensional karena selain melakukan ekperimen siswa juga diberikan permasalahan yang dapat melatih siswa dalam berpikir, serta menghubungkan materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari yang menimbulkan peningkatan prestasi siswa.

Menurut Sukilan (2018) model TAPPS dengan baik dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan

Pembelajaran dengan model TAPPS dapat meningkatkan proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Menurut Pate, Wardlow, & Johnson (2014) bahwa penelitian yang teah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran TAPPS mungkin menjadi langkah penting dalam pengembangan keterampilan metakognitif dan prestasi di kalangan siswa.

Adanya peningkatan prestasi belajar Fisika dapat dipengaruhi oleh suasana pembelajaran di kelas yang menarik dan lebih mendorong siswa untuk terlibat aktif sehingga siswa memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Siswa lebih tertarik belajar dengan

Page 138: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

127

menggunakan model TAPPS dikarenakan melalui pembelajaran ini siswa diberi tempat secara penuh untuk mengeksplor kemampuannya. Siswa juga merasa tertntang dengan berbagai peran yang diberikan oleh guru.

Berdasarkan hasil penilaian Junita (2014) adanya perbedaan perolehan skor rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas control. Perbedaan ini diakibatkan oleh berbedanya perlakuan yang diberikan dalam proses pembelajaran. Penerapan proses pembelajaran dengan menggunakan model TAPPS memberikan dampak yang lebih baik terhadap proses memahami masalah yang berkaitan dengan prestasi siswa. Hal ini dibuktikan dari perolehan skor rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.

Penelitian ini menunjukan model Thingking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dapat membuat siswa lebih antusias dalam belajar dan lebih memahami pelajaran Fisika. Pada saat diberi perlakuan siswa sangat aktif dalam melaksanakan percobaan dan sangat termotivasi. LKS yang dikembangkanpun membantu siswa dalam menganalisis bagaimana proses pemecahan masalah yang dapat dilakukan sekaligus memotivasi siswa dalam mendiskusikan prosess pemecahan masalah tersebut. Hal ini terdapat beberapa sintak model TAPPS yang berinteraksi terhadap motivasi sekaligus prestasi belajar siswa.

SIMPULAN

Diperoleh simpulan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran TAPPS terhadap motivasi dan prestasi belajar fisika siswa. Tingkat keberartian hubungan antara model pembelajaran dengan motivasi dan prestasi belajar fisika siswa adalah sangat kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Aftina, H. dkk. (2016). Efektifitas model tapps dan mmp berbantuan

geogebra terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik. Prosiding Seminar Matematika

Dan Pendidikan Matematika. Apriyani, D. C. N. (2015). Upaya

meningkatkan motivasi dan prestasi belajar mahasiswa dengan pembelajaran kooperatif tipe thinking aloud pairs problem solving pada mata kuliah aljabar linear. Βeta, 8(2), 142–152.

Buchori, A., Rahmawati, N. D., & Baedowi, S. (2015). Pengembangan mobile learning dengan model TAPPS pada materi barisan dan deret kelas X Semester I Di SMA Nasima Semarang, (January 2013). https://doi.org/10.1093/elt/ccs064

Hudojo, H. (1998). Mengajar dan belajar

matematika. Jakarta: Depdikbud. Hudojo, H. (1998). Pembelajaran

matematika menurut pandangan

kontruktivistik. (PPS, Ed.). Malang: IKIP Malang.

Junita, B. A. (2014). Implementasi think aloud pair problem solving (tapps) berbantuan media kartu bergambar terhadap hasil belajar kognitif siswa. Jurnal Ilmiah Pendidikan

Kimia “Hydrogen,” 3(2), 274–282. Kamaluddin, M. (2017). Pengaruh

motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika dan strategi untuk meningkatkannya. Seminar

Matematika Dan Pendidikan

Matematika, 455–460. Lestari, N. N. S. (2011). Pengaruh model

pembelajaran berbasis masalah (problembased learning) dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar fisika bagi siswa kelas VII SMP. Journal Education, 1(1), 1–21.

Pate, M. L., Wardlow, G. W., & Johnson, D. M. (2014). Effects of thinking aloud pair problem solving on the troubleshooting performance of undergraduate agriculture students in a power technology course.

Page 139: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

128

Journal of Agricultural Education, 45(4), 1–11.

Pate, M., & Miller, G. (2011). Effects of think–aloud pair problem solving on secondary–level students’ performance in career and technical education courses. Journal of

Agricultural Education, 52(1), 120–131.

Putri, M. E. P., Syakbaniah, & Ratnawulan. (2016). pengaruh lks terintegrasi sistem gerak tubuh manusia terhadap hasil belajar fisika siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe thinking aloud pair problem solving di kelas XI SMAN 5 Padang. Pillar Of Physic

Education, 7(April), 49–56.

Rahmat, M., Muhardjito, M., & Zulaikah, S. (2014). Kemampuan pemecahan masalah melalui strategi pembelajaran thinking aloud pair problem solving siswa kelas X SMA. Jurnal Fisika Indonesia, 18(54), 108–112.

Sukilan. (2018). Peningkatan Prestasi Belajar Matematika melalui Metode Kooperatif Model TAPPS. Jurnal Pendidikan: Riset &

Konseptual, 2(1), 1–7. Wijayanti, I. (2014). Pengaruh Metode

Pembelajaran Tapps (Thinking Aloud Pair Problem Solving) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII MTs Negeri Jetis Tahun Ajaran 2013 / 2014.

Page 140: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

129

Pembangunan Nilai Karakter Pada Praktikum Fisika Dasar

Eko Wahyu Nur Sofianto1, Ratna Kartika Irawati2 1Program Studi Tadris Fisika

2Program Studi Tadris Kimia Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

1 [email protected] 2 [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai karakter pada mahasiswa Tadris Fisika UIN Antasari Banjarmasin. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Dengan pengambilan data berupa observasi dan wawancara pada mahasiswa yang telah melaksanakan Praktikum Fisika Dasar. Melalui Praktikum Fisika Dasar yang dilaksanakan oleh mahasiswa Prodi Tadris Fisika dapat ditemukan nilai-nilai karakter. Nilai-nilai karakter yang didapatkan oleh mahasiswa adalah kejujuran, kerja keras, kerja sama, teliti, toleransi dan saling menghargai perbedaan demi tercapainya tujuan dari pelaksanaan Praktikum Fisika Dasar. Pelaksanaan Praktikum Fisika Dasar yang berkelompok dan bersama-sama dapat membangun nilai-nilai karakter pada mahasiswa Prodi Tadris Fisika. Kata Kunci: nilai karakter; praktikum fisika dasar

PENDAHULUAN

Tujuan dari pendidikan nasional adalah mencetak manusia seutuhnya yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan mempunyai sikap yang baik. Demi tercapainya tujuan pendidikan nasional maka sejak tahun 2013 pemerintah melaunching kurikulum 2013 dengan memberikan titik berat pada Kompetensi Inti. Kompetensi Inti pada kurikulum 2013 memberikan porsi pertama yaitu Kompetensi Inti Spiritual yaitu kompetensi yang membuat siswa mengagumi dan menghayati kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi Inti yang kedua adalah Sikap Sosial, dimana sikap sosial ini salah satunya adalah memberikan tanggung jawab pendidikan yang salah satunya pada pendidikan karakter (Khusniati, 2012). Pendidikan karakter dibentuk dalam rangka memberikan identitas diri siswa di kehidupan sehari-hari. Siswa yang memahami pelajaran IPA maka pendidikan karakter yang dapat dilihat

adalah siswa tidak membuang sampah sembarangan, tidak mengotori sungai, melestarikan hutan dan sikap-sikap yang mencerminkan sikap sosial yang berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan karakter dibentuk dengan cara pembiasaan yang dilakukan di dalam kelas. Pembiasaan yang dimaksud adalah adanya pelajaran yang dapat membuat siswa terbiasa dalam membangun nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter bukan hanya lagi disisipkan atau diberikan simbol dari sebuah RPP (Rencana Pelaksaanaan Pembelajaran) tetapi dari kebiasaan mata pelajaran yang ada di sekolah (Husamah, 2018).Berbeda dengan dahulu yang mana pendidikan karakter hanya diberikan pada pembelajaran PKn dan Pendidikan Agama. Salah satu mata pelajaran yang dapat menumbuhkan sikap pendidikan karakter adalah pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang tergabung bersamanya yaitu Fisika, Kimia dan Biologi. Maka yang dibutuhkan dalam Pembentukan pendidikan karakter adalah peran guru yang akan memberikan

Page 141: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

130

pembiasaan. Pembentukan pendidikan karakter harus guru yang tercetak dalam pembelajaran yang bernilai karakter. Guru bukan hanya menguasai konsep ilmu pengetahuan dan juga memberikan transfer ilmu tapi juga dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembiasaan pembelajaran.

Setiap orang tua menginginkan seorang anak yang menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai karakter yang unggul dari anak-anak yang lainnya (Pala, 2012). Setiap orang tua menginginkan seorang anak yang jujur, lebih bisa menghormati orang lain dan menghargai perbedaan (Mundilarto, 2013). Disadari atau tidak proses pembentukan karakter ditentukan oleh sekolah karena 12 tahun lamanya seorang anak akan menghabiskan waktunya di sekolah (Pala, 2012). Selain rumah dan lingkungan yang menentukan pembentukan karakter maka waktu mereka juga dihabiskan di sekolah (Singla, 2009). Sekolah dapat memberikan kegiatan pembiasaan yang menumbuhkan nilai karakter. Pembiasaan dalam pelajaran IPA dapat dimulai dengan melakukan kegiatan praktikum. Kegiatan pembelajaran IPA melalui kegiatan praktikum salah satu pembelajaran yang efektif dalam menumbuhkan pendidikan karakter bagi siswa (Husamah dkk, 2018). Kegiatan praktikum yang dikerjakan secara bersam-sama menunjukkan nilai eksistensi bekerja sama atau dengan istilah lain gotong royong demi selesainya tugas praktikum.

Pendidikan karakter menurut Pala (2011) pendidikan karakter terbagi menjadi 4 kategori yaitu moral, kinerja, intelektual dan kewarnegaraan. Dari kategori Pala (2011) pendidikan karakter memiliki komponen lengkap yang bila dimiliki siswa akan menjadikan siswa bukan hanya cerdas dalam intelektual tapi juga cerdas dalam sikap. Pendidikan karakter juga menumbuh kewajiban warga negara sebagai bangsa dan negara

merasa memiliki. Bentuk peendidikan karakter yang memiliki kewajiban sebagai bangsa dan negara adalah diaplikasikan lembur negara oleh bangsa Jepang (Risamasu, 2016) dalam melakukan kegiatan berbangsa dan bernegara. Pendidikan karakter bukan hanya berbicara tentang moral siswa tetapi juga berbicara siswa memiliki pengetahuan dalam pembelajaran di kelas.

Pembelajaran efektif yang sebenarnya bukan hanya meyelesaikan target kurikulum dari suatu mata pelajaran atau mata kuliah tetapi memberikan dampak perubahan positif dari pelajaran yang telah diperolehnya. Dampak positif itu yang dinamakan dengan pendidikan karakter (Gusmawaeti, 2014). Pendidikan karakter di sekolah bukan hanya membiasakan kegiatan keagamaan di dalam sekolah. Pendidikan karakter juga diberikan di identitas mata pelajaran sehingga tidak memisahkan antara nilai moral, agama dan intelektual (Agbola & Tsai, 2012). Pendidikan karakter yang lengkap antara penguasaan konsep dalam pelajaran kemudian mampu dikoneksikan dengan nilai moral dan keagamaan menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan pembelajaran.

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin sebagai salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) Kementrian Agama juga menginginkan terwujudnya seorang guru yang ideal. Guru yang menguasai konsep pembelajaran, berakhlak mulia dan mampu memberikan nilai-nilai pendidikan karakter bagi siswa. Salah satu program studi yang diharapkan mampu memberikan pembiasaan dalam pendidikan karakter adalah program studi Tadris Fisika. Kurikulum prodi Tadris Fisika mewajibkan mahasiswanya menempuh dan lulus mata kuliah Praktikum Fisika Dasar. Praktikum Fisika Dasar dibagai menjadi 2 yaitu Fisika Dasar 1 dan Fisika Dasar 2. Mata kuliah Praktikum Fisika Dasar 1 meliputi materi yang ada pada mata kuliah Fisika Dasar 1

Page 142: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

131

sedangkan Mata Kuliah Praktikum Fisika Dasar 2 meliputi materi yang ada pada Fisika Dasar 2.

Praktikum Fisika Dasar yang dibahas pada penelitian ini adalah Praktikum Fisika Dasar 1. Sajian materi pada mata kuliah praktikum Fisika Dasar 1 adalah menghitung kapasitas kalor suatu benda. Dari materi praktikum Fisika Dasar 1 dapat ditentukan karateristik materi dan nilai-nilai karakter yang dapat ditumbuhkan agar dapat mengerjakan praktikum dengan baik (Suryandari, 2019). Berikut ringkasan praktikum Fisika Dasar I: 1) Pada materi gerak lurus, praktikum menggunakan mesin Ticker

Timer untuk menentukan Gerak Lurus Beraturan dan Gerak Lurus Berubah Beraturan, 2) Pada materi bidang miring, praktikum menggunakan papan bidang miring dengan tujuan menentukan koefisien gesekan statis dan menentukan momen inersia benda yang bergerak menggelinding, 3) Pada materi Hukum Hooke, praktikum menggunakan pegas dengan tyjuan menentukan hubungan antara gaya yang bekerja dengan pegas dan pertambahan panjang pegas, menentan konstatnta pegas dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi periode getaran pegas, 4) Pada materi muai panjang, praktikum menggunakan alat muai panjang dengan tujuan untuk merumuskan koefisien muai panjang suatu batang logam dan menghitung nilai koefisien muai panjang, 5) Pada materi koefesien kekentalan zat, praktikum meggunakan viskometer yang bertujuan untuk mengukur kekentalan suatu zat, 6) Pada materi kalor jenis zat, praktikum menggunakan kalori meter dengan tujuan untuk menentukan kalor jenis zat padat, dan 7) Pada materi bandul sederhana, praktikum menggunakan bandul untuk mengukur frekuensi, periode dan hubungannya.

Praktikum Fisika Dasar I yang dilaksanakan oleh mahasiswa Prodi Tadris Fisika adalah materi pada Fisika Dasar I yang membutuhkan penguasaan

konsep Fisika yang baik (Suryandari, 2018). Pelaksanaan praktikum diawali dengan kegiatan pre test untuk mengetahui kesiapan mahasiswa melaksanakan praktikum. Pre test dilakukan untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa menguasai konsep sebelum menggunakan alat. Mahasiswa yang tidak siap melaksanakan praktikum akan kesulitan untuk mengaplikasikan alat dalam pembuktian sebuah konsep.

Praktikum Fisika Dasar I juga dapat membuktikan nilai-nilai kasat mata sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mahasiswa tentang kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Contohnya adalah nilai muai panjang yang kecil dapat diamati oleh mahasiswa, nilai momentum inersia kasat mata juga dapat diamati oleh mahasiswa, kekentalan yang nilainya kecil juga dapat diamati oleh mahasiswa dan lain-lain. Sehingga dari pembelajaran praktikum dapat diinterkoneksikan anatara konsep intelektual, moral dan keagamaan. Pelaporan Praktikum Fisika Dasar I juga membutuhkan koneksi bersama antara intelektual, moral dan keagaaman. Sehingga dengan Praktikum Fisika Dasar I dapat membangun nilai-nilai karakter pada mahasiswa Prodi Tadris Fisika.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dimana peneliti tidak melakukan eksperimen pada mata kuliah Praktium Fisika Dasar I Prodi Tadris Fisika. Penelitian ini melaporkan keadaan obyek yang diteliti sesuai dengan kategori Pendidikan Karakter. Teknik Pengambilan data yaitu observasi wawancara, dokumentasi dan Triangulasi. Kategori Pendidikan Karakter yang dimaksid dalam penelitian ini bertujuan untuk menyusun observasi dan wawancara yang digunakan dalam pengambilan data. Empat kategori Pendidikan Karakter (Pala, 2011) adalah moral, kinerja, intelektual dan kewarnegaraan.

Page 143: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

132

Pengambilan data observasi dilaksanakan saat mahasiswa melaksanakan Praktikum Fisika Dasar I dan diskusi laporan praktikum sementara sedangkan pemberian wawancara dilaksanakan setelah melaksanakan praktikum. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Prodi Tadris Fisika yang melaksanakan praktikum Fisika Dasar I sejumlah 32 mahasiswa Tahun Akademik 2018/2019. Hasil observasi dideskripsikan untuk menggambarkan suatu hasil temuan penelitian (Sugiyono, 2017). Hasil wawancara dikumpulkan kemudian dikelompokkan sehingga menghasilkan data yang sama serta memperoleh kepastian (Sugiyono, 2017). Setelah mendapatkan data observasi, wawancara dan dokumentasi digunakan teknik data Triangulasi. Teknik

Triangulasi data digunakan untuk mengetahui konsisten data yang diambil dan meningkatkan penguatan data (Sugiyono, 2017).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan observasi dan penyusunan lembar observasi dari empat kategori pendidikan karakter maka observasi yang digunakan adalah nilai moral, kinerja dan intelektual. Sedangkan aspek kewarnegaraan tidak dimasukkan dalam aspek observasi karena terlalu sulit untuk membuat indikator dari kewarnegaraan. Indikator kewarnegaraan akan dibuat dalam wawancara sehingga dapat mengetahui pembentukan karakter dari indikator kewarnegaraan. Hasil observasi Praktikum Mahasiswa Fisika Dasar I dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Observasi Praktikum Fisika Dasar I

No Indikator Observasi Total

Skor

1. Moral a. Mahasiswa berdoa sebelum memulai aktivitas 128 b. Mahasiswa memberikan perhatian kepada teman saat

praktikum 114

c. Mahasiswa membersihkan alat setelah praktikum 128 2. Kinerja a. Mahasiswa melakukan set up alat percobaan dengan baik 94 b. Mahasiswa melakukan pengamatan dengan baik 88 c. Mahasiswa mengutamakan keselamatan praktikum 128 3. Intelektual a. Mahasiswa mendapatkan hasil pre test yang baik 88 b. Mahasiswa melaksanakan praktikum sesuai dengan petunjuk 128 c. Mahasiswa membuat laporan sementara dengan lengkap dan

benar 128

Hasil observasi pada Tabel 1 dengan indikator moral menunjukkan skor sebesar 370 dengan persentase 96%. Skor pada indikator moral menunjukkan bahwa pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I mampu menumbuhkan pendidikan karakter dari mahasiswa Prodi Tadris Fisika. Hal ini terjadi karena dengan sifat pelaksanaan praktikum yang dilaksanakan secara berkelompok membuat mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab bersama, saling menghargai dan toleransi sehingga merasa bahwa praktikum terlaksanakan

dengan baik jika mengerjakan dengan nilai moral yang baik yang tertanam dari masing-masing individu (Husamah dkk, 2018). Hal ini juga didukung oleh pendapat Khusniati (2012) bahwa penyelesaian percobaan IPA diselesaikan dengan mengesampingkan sisi individu untuk menyelesaikan secara berkelompok.

Pada hasil wawancara mahasiswa tadris fisika dengan indikator moral mendapatkan hasil bahwa ada banyak hal dari individu yang harus ditekan agar bisa terselesaikan dengan baik. Nilai merasa

Page 144: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

133

paling benar, paling cerdas dalam menyelesaikan sesuatu diminimalisir agar dapat selesai dengan baik praktikum Fisika Dasar I. Pada tahap wawancara mendukung adanya observasi yang telah dilakukan oleh peneliti. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan pada mahasiswa menunjukkan jawaban yang sama pada indikator moral. Menurut Pala (2011) siswa akan memunculkan nilai moral ketika pada situasi yang dibutuhkan. Mahasiswa Prodi Tadris Fisika membutuhkan beberapa keadaan yang membuat menjadi nilai moral diaplikasikan.

Gambar 1 Mahasiswa Melaksanakan

Praktikum Viskositas

Pada Gambar 1 juga menunjukkan mahasiswa menekan sifat egois dengan memperhatikan salah satu kinerja teman satu kelompok. Secara tidak langsung terbagi tugas dengan baik dan dengan kesadaran sendiri. Mahasiswa menumbuhkan nilai-nilai moral dalam pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I.

Gambar 2 Mahasiswa Melaksanakan

Praktikum Viskositas di Luar Laboratorium

Pada Gambar 2 menunjukkan mahasiswa dapat berbagi tugas dan peran dengan baik. Sehingga kesan tugas praktikum dikerjakan sendiri tidak ada. Kelompok secara feeling alami membagi tugasnya dengan baik. Tidak ada dominasi dalam pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I. Sehingga dari nilai observasi sebesar 96% dan data dokumentasi gamabar 1 dan 2 menunjukkan praktikum Fisika Dasar I mampu membangun nilai-nilai moral pada mahasiswa. Pada penilaian observasi membersihkan alat setelah praktikum juga menunjukkan tanggung jawab bersama mahasiswa bahwa mengembalikan dalam keadaan bersih dan tidak menggantungkan pada laboran. Sifat saling membantu dapat ditumbuhkan pada mahasiswa Prodi Tadris Fisika. Sehingga mengerjakan sesuatu dalam keadaan bersih dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang dihasilkan dari indikator moral adalah tanggung jawab bersama, saling menghargai, menghargai perbedaan dan toleransi.

Hasil obsevasi tabel 1 pada indikator kinerja menunjukkan hasil skor 304 dengan persentase 79%. Hasil indikator kinerja menunjukkan pendidikan karakter pada mahasiswa tadris fisika dapat ditumbuhkan meskipun pada skor pengamatan tidak sebesar skor set up alat percobaan dan keselamatan kerja. Hal ini disebabkan pada tahap pengamatan dibutuhkan ketelitian, dan tahap ketelitian tidak dapat diselesaikan secara bersama. Ketelitian ada pada faktor individu yang dominan. Kelompok cenderung menyerahkan pada individu lain yang lebih baik ketelitian saat pengamatan. Menurut Mundilarto (2013) ketelitian ditumbuhkan secara perlahan dengan pembelajaran sains yang diselesaikan secara berkelompok kemudian menjadi pembentukan karakter individu. Sehingga meskipun skor hasil pengamatan tidak setinggi skor set up percobaan dan keselamatan kerja. Pada

Page 145: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

134

tahapan observasi kinerja mahasiswa Prodi Tadris Fisika mampu membangun pendidikan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter yang tumbuh pada praktikum Fisika Dasar I adalah kerja sama, ketelitian dan keselamatan kerja.

Gambar 3 Mahasiswa Mengamati

Besarnya Masa Besi pada Praktikum Menentukan Kapasitas Kalor

Gambar 3 menunjukkan

pengamatan pada neraca sama lengan membutuhkan ketelitian dan kemampuan konsep yang baik dalam konsep pengukuran. Mahasiswa yang melaksanakan praktikum dan mempunyai konsep pengukuran dengan baik dapat melaksanakan pengamatan dengan baik. Aspek ketelitian dibutuhkan dalam menentukan nilai masa besi. Beberapa mahasiswa mengusulkan menggunakan neraca digital agar mudah dalam melihat hasil masa besi. Tetapi peneliti menggunakan neraca sama lengan sehingga dapat mengetahui aspek indikator kinerja pada pendidikan karakter.

Gambar 4 Praktikum Menentukan

Kapasitas Kalor yang Membutuhkan Keselamatan dalam Bekerja

Pada Gambar 4 mahasiswa dapat melaksanakan nilai-nilai keselamatan dalam bekerja. Praktikum yang menggunakan pemanas untuk mengetahui suhu ketika tinggi kemudian dipindahkan dengan cepat juga membutuhkan faktor keselamatan yang tinggi. Nilai-nilai pendidikan karakter keselamatan dapat terbentuk dari pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I. Berdasarkan hasil wawancara nilai-nilai keselamatan dilatih awal saat melaksanakan praktikum Fisika Dasar. Ada banyak praktikum dan peralatannya yang dapat membangun nilai-nilai keselamatan. Sehingga dapat disimpulkan Pembentukan karakter dapat terbentuk dari pelsanaan praktikum Fisika Dasar I.

Berdasarkan hasil wawancara pada mahasiswa praktikum Tadris Fisika menyatakan bahwa aspek kinerja adalah salah satu aspek yang membutuhkan kemampuan individu yang baik untuk menyelesaikan praktikum dengan baik. Kemampuan dasar konsep mahasiswa yang baik akan membantu tugas kelompok praktikum yang baik. Menurut Mundilarto (2013) pembelajaran sains dapat digunakan untuk menumbuhkan kemampuan kognitif, kemampuan psikomotorik dan kemampuan afektif. Indikator kinerja pada pendidikan karakter dapat menumbuhkan kemampuan kognitif dan psikomotorik mahasiswa. Sehingga dari kegiatan praktikum karakter mahasiswa dapat terbentuk dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara Pembentukan pendidikan karakter kinerja membuat mahasiswa dapat mengukur sejauh mana kemampuan penguasaan konsep dan pengamatan dengan baik. Pendidikan karakter yang terbentuk adalah kerja sama, kerja keras, ketelitian dan kejujuran.

Hasil observasi pada indikator intelektual mendapatkan hasil 344 dengan persentase sebesar 89% menunjukkan bahwa Pembentukan

Page 146: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

135

pendidikan karakter terbentuk dari pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I. Mahasiswa membangun kemampuan intelektual dari belajar konsep tentang praktikum alat yang digunakan hingga mengambil data dan menganalisis dengan benar data praktikum. Hal ini didukung oleh pendapat Pala (2011) bahwa pembelajaran sains membutuhkan nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dibentuk dan salah satunya kemampuan intelektual. Mahasiswa mengasah kemampuan intelektual dengan melaksanakan praktikum fisika dasar dengan baik dan benar, sesuai petunjuk praktikum sehingga mendapat data yang benar. Data yang benar dapat dikerjakan bersama untuk membuat laporan sementara.

Gambar 5 Mahasiswa Melaksanakan

Praktikum Bidang Miring

Dari Gambar 5 mahasiswa yang melaksanakan praktikum menghitung momen inersia membutuhkan kemampuan intelektual agar dapat mendapatkan data yang tepat. Mahasiswa juga membagi tugasnya dengan baik sehingga sisi intelektual juga tidak melupakan nilai-nilai kebersamaan dalam kelompok. Mahasiswa membagi tugasnya dalam praktikum agar dapat terselesaikan denagn baik. Pembuatan laporan sementara juga dilakukan dengan tahapan yang melibatkan semua anggota kelompok dengan baik.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada mahasiswa tadris fisika mendapatkan hasil bahwa kemampuan intelektual dapat dibangun

dari pelaksanaan mata kuliah praktikum Fisika Dasar I. Menurut Gusmaweti (2014) bahwa pelaksanaan tahapan mengkomunikasikan adalah tahapan siswa dapat menunjukkan intelektual dari pelajaran sains yang didapatkan kepada teman-teman yang lain. Pelaksanaan diskusi kecil dalam rangka pengumpulan laporan sementara paraktikum membuat mahasiswa dapat membangun nilai-nilai pendidikana karakter dengan baik. Pendidikan karakter yang terbentuk adalah kerja sama, kerja keras dan kejujuran.

Observasi pada kategori kewarnegaraan tidak dapat dilaksanakan karena kesulitan untuk memberikan indikator observasi. Maka kategori kewarnegaraan dilakukan dengan wawancara kepada mahasiswa prodi Tadris Fisika. Dari hasil wawancara tentang kewarnegaraan dalam praktikum Fisika Dasar I. Mahasiswa menjawab bahwa pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I yang baik dan benar akan memberi hasil ketika lulus kuliah. Dengan melaksanakan praktikum Fisika Dasar I secara baik dan benar akan memberikan bekal pengetahuan pembuktian teori fisika. Karena sebagian besar mahasiswa mengaku kurang frekuensi untuk melaksanakan praktikum di sekolah. Pendidikan karakter yang terbentuk adalah kerja sama, kejujuran, kerja keras, ketelitian, saling menghargai perbedaan dan toleransi.

Pendidikan karakter pada kategori kewarnegaraan dapat dirasakan secara alami oleh mahasiswa yang melaksanakan praktikum Fisika Dasar I. Perbedaan cara pengambilan data, tafsir angka percobaan dan analisis dapat diselesaikan dengan baik apabila mahasiswa mempunyai karakter yang mau bekerja secara kelompok. Nilai individual yang mereka miliki menjadi bekal agar membantu ketika dalam kelompok terjadi kebuntuan. Praktikum Fisika Dasar I membuat mahasiswa memahami karakter mahasiswa satu

Page 147: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

136

dengan yang lainnya ketika mereka bekerja.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan maka pendidikan karakter terbagai menjadi empat kategori dan Pembentukan pendidikan karakter dari pelaksanaan praktikum Fisika Dasar I. Pembentukan pendidikan karakter dari empat kategori adalah sebagai berikut: 1) Kategori moral dapat membentuk nilai tanggung jawab bersama, saling menghargai, menghargai perbedaan dan toleransi, 2) Kategori kinerja dapat membentuk nilai kerja sama, ketelitian dan keselamatan kerja, 3) Kategori intelektual dapat membentuk nilai kerja sama, kerja keras dan kejujuran, dan 4) Kategori kewarganegaraan dapat membentuk nilai kerja sama, kejujuran, kerja keras, ketelitian, saling menghargai perbedaan dan toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

Agboola, A., & Tsai, K. C. (2012). Bring character education into classroom. European Journal Of

Educational Research, 1 (2), 163-170.

Gusmaweti, G. (2014). Character building with students in learning science approach scientific. Seminar Nasional FMIPA

Universitas Negeri Padang, 1-14. Khusniati, M. (2012). Pendidikan

karakter melalui pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan IPA

Indonesia. 1(2) 204-210. Mundilarto, M. (2013). Membangun

karakter melalui pembelajaran sains. Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun III, (2), 153-163.

Pala, A. (2011). The need for character education. International Journal

Of Social Sciences And Humanity

Studies. 3(2), 23-32. Risamasu, P.V.M. (2016). Pembelajaran

IPA menumbuhkan karakter siswa. Prosiding Nasional PGSD

UST, 249-259. Sugiyono, S. (2017). Metode Penelitian

Bisnis. Alfabeta Bandung. Suryandari, S. (2018). Pedoman

Percobaan Fisika Dasar. UIN Antasari Press Banjarmasin.

.

Page 148: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

137

Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Berbasis

PhET Terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar

Lexi Mansula Batukh, Nurul Ain, dan Hena Dian Ayu

Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS) berbasis PhET terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa dan mengetahui adanya interaksi antara model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan motivasi dan prestasi belajar siswa. Metode penelitian adalah eksperimen semu (quasi

Experimental Design), dengan rancangan only-posttest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMK Negeri 10 Malang. Teknik penentukan sampel menggunakan simple random sampling, diperoleh kelas X TKJ2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X MM4 sebagai kelas kontrol. Data motivasi dikumpulkan melalui observasi dan data prestasi dikumpulkan melalui test. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji Anova Dua Jalur (Two Way Anova) menggunakan bantuan program SPSS 16.0. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan motivasi dan prestasi belajar antara penerapan model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan pembelajaran konvensional. Hal ini diperkuat oleh nilai motivasi dan prestasi yang lebih tinggi dengan penerapan model pembelajaran CPS berbasis PhET dibandingkan pembelajaran konvensional. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya interaksi antara model pembelajaran CPS berbasis PhET terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model CPS berbasis PhET lebih berpengaruh terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa. Kata Kunci: Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS), PhET, Motivasi

Belajar, Prestasi Belajar PENDAHULUAN

Mutu pembelajaran fisika harus selalu ditingkatkan melalui model pembelajaran yang mampu memotivasi siswa untuk terlibat secara langsung dalam menemukan dan membangun sendiri pengetahuannya, agar pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain memperoleh pengetahuan yang relevan, juga dapat menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah, serta memahami konsep-konsep baru dan mengimplementasikan pengetahuannya dalam situasi-situasi nyata. Guru juga harus memperhatikan dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar Fisika sehingga diharapkan membuahkan prestasi belajar yang lebih baik (Adilah & Pujayanto, 2015). Prestasi yang tinggi mengindikasikan pengetahuan siswa yang lebih baik. Salah satu faktor

yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah motivasi. Motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang perlu dibangkitkan dalam upaya pembelajaran di sekolah (Hamdu & Agustina, 2011). Perkembangan zaman dan era globalisasi ditandai dengan pesatnya produk dan pemanfaatan teknologi informasi, menyebabkan penyelenggaraan pembelajaran bergeser pada upaya perwujudan pembelajaran modern. Temuan inovasi pembelajaran dengan teknologi informasi meliputi animation

learning, tutorial computer based

learning, dan virtual learning (Darmawan, 2014). Ada pula yang berpendapat, teknologi pendidikan adalah penerapan metode problem solving dalam pendidikan yang dapat dilakukan dengan alat-alat komunikasi (Nasution, 1982).

Page 149: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

138

Prestasi belajar siswa akan meningkat apabila siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran, tidak hanya menerima pengetahuan dari guru. Upaya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa merupakan tanggung jawab guru untuk memikirkan dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Kemudian, mengemas proses pembelajaran yang lebih bermakna, menarik, dan mengikuti perkembangan IPTEK, serta dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, perlu sekiranya dikembangkan penerapan model pembelajaran yang berbasis pada pemecahan masalah (problem solving).

Di sisi lain, adanya kemajuan teknologi di bidang komputer dan aplikasinya, sangat sesuai bila komputer digunakan sebagai salah satu komponen sumber pembelajaran. Dengan bantuan komputer dan berbagai program animasi dan virtual, maka konsep dan masalah materi pembelajaran yang sebelumnya hanya dituliskan dan digambarkan dalam buku maka selanjutnya dapat ditampilkan melalui media pembelajaran baik berupa animasi ataupun virtual. Hal ini untuk menyikapi tuntutan zaman yang semakin kompetitif. Pembelajaran abad 21 mencerminkan empat hal, yaitu comumunication, collaboration creative

and innovation, serta critical thinking and

Problem Solving. Kurikulum 2013 diharapkan dapat mengimplementasikan pembelajaran abad 21. Arsyad (2009) menyebutkan pembelajaran yang dilengkapi media pembelajaran berbasis komputer, diyakini mampu meningkatkan motivasi belajar, menciptakan pembelajaran yang lebih “hidup” dan melibatkan interaktifitas siswa. Motivasi dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar (Warti, 2016; Hamdu dan Agustina, 2011). Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi cenderung akan mempunyai sikap positif untuk berhasil

(Slameto, 2010). Dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis PhET yang dirasa cocok untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa, dimana pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah kreatif yang menuntut siswa untuk berpikir kreatif, maka siswa akan lebih termotivasi dalam pembelajaran. Dengan model pembelajaran yang berbasis PhET, simulasi yang diberikan dalam pembelajaran memanfaatkan kemajuan teknologi dengan menggunakan komputer atau personal computer (PC) maka dapat meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran, dimana siswa tidak harus belajar dalam ruangan laboratorium dengan banyak bahan dan alat-alat yang mungkin juga dapat berbahaya bagi siswa, tetapi siswa dapat melakukan praktikum atau simulasi secara langsung dan sesuai dengan kreatifnya siswa dalam menggunakan komputer. Dengan pembelajaran yang sedemikian yang meningkatkan motivasi siswa, maka prestasi siswa juga akan meningkat, sehingga sangat penting dan cocok menggunakan model pembelajaran CPS berbasis PhET untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan motivasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan pembelajaran model konvensional, 2) untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan pembelajaran model konvensional, dan 3) untuk mengetahui adanya interaksi antara model model pembelajaran CPS berbasis

PhET dengan motivasi dan prestasi belajar siswa. METODE

Penelitian ini merupakan eksperimen semu (quasi Experimental

Design), dengan rancangan only-posttest

Page 150: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

139

control group design. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMK N 10 Malang dengan sampel kelas X TKJ2 berjumlah 26 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas X MM4 berjumlah 26 siswa sebagai kelas kontrol, yang diperoleh melalui teknik simple random

sampling. Penelitian dilakukan pada semester genap tahun ajaran 2018/2019.

Instrumen penelitian adalah data motivasi yang dikumpulkan melalui teknik observasi dan data prestasi belajar siswa yang dikumpulkan melalui teknik test setelah penerapan CPS berbasis PhET. Validitas instrumen divalidasi oleh dosen pembimbing dan guru disekolah. Soal diuji validasi menggunakan rumus Pearson Product Moment, dengan nilai 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,396. Reliabilitas soal menggunakan rumus korelasi alpha, dengan signifikansi 5%, dengan nilai 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,396. Instrumen prestasi belajar telah diuji data dan diperoleh validitas 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,8 dan reliabilitas 𝑟11 = 0,432.

Data motivasi dan prestasi belajar telah memenuhi uji normalitas dengan uji Liliofers taraf sig. 5% dan uji homogenitas dengan uji Bartlet. Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis yang bertujuan untuk menjawab hipotesis. Teknik analisis data dalam penelitian menggunakan uji Anova Dua Jalur (Two

Way Anova) pada taraf signifikansi 5% atau 0,05 dengan bantuan program SPSS

16.0, untuk menguji perbedaan dari kelas eskperimen dan kelas kontrol, dengan kriteria pengambilan keputusan taraf signifikansi 5%, jika sig < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. HASIL DAN PEMBAHASAN

Motivasi Belajar Siswa

Data Motivasi Belajar siswa diperoleh dari data hasil observasi. Adapun hasil deskripsi Motivasi Belajar siswa yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 3 Hasil Perbandingan Motivasi Belajar

Gambar 1 memperlihatkan bahwa

rata-rata nilai motivasi belajar siswa kelas eksperimen adalah 88,8 pada aspek minat, 93,8 pada aspek perhatian, 85,0 pada aspek konsentrasi, 91,7 pada aspek dorongan berprestasi, dan 95,8 pada aspek tekun. Rata-rata nilai motivasi kelas kontrol yaitu 70,8 pada aspek minat, 72,9

pada aspek perhatian, 64,6 pada aspek konsentrasi, 75,8 pada aspek dorongan berprestasi, dan 77,1 pada aspek tekun. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi belajar siswa dengan pembelajaran CPS berbasis PhET lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional untuk semua deskriptor motivasi.

Page 151: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

140

Hasil analisis ini untuk mencari perbedaan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) Berbasis PhET dengan model pembelajaran konvensional. Analisis ini dilakukan dengan menghitung perbedaan motivasi belajar pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan Two Way Anova dengan bantuan program SPSS 16.0. Berdasarkan hasil uji Two Way Anova dengan bantuan program SPSS 16.0 diperoleh nilai sig 0,00 < 0,05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan motivasi belajar siswa antara penggunaan model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan model konvensional di SMKN 10 Malang. Pembelajaran (CPS) berbasis PhET

memberikan ruang cukup luas kepada siswa untuk mengungkapkan pendapat dan bertanya atas simulasi yang disajikan oleh guru. Langkah pertama pembelajaran ini adalah dengan memberikan materi secara umum dengan model pembelajaran CPS dengan simulasi PhET. Materi yang diberikan adalah rangkaian arus listrik seri dan pararel, kuat arus, tegangan dan hambatan dalam sebuah rangkaian. Siswa dapat melakukan simulasi menggunakan PhET, simluasi dapat dilakukan dengan bebas dan se-kreatif mungkin dari siswa, hal ini yang meningkatkan memotivasi belajar siswa. Selama pembelajaran dengan simulasi PhET terlihat minat siswa semakin tinggi, dimana perhatian dan konsentrasi siswa selalu terfokuskan kepada simulasi yang diberikan. Berbeda dengan kelas kontrol dengan meodel pembelajaran konvensional yang tidak mendapat perlakuan model pembelajaran seperti kelas eskperimen, guru selalu aktif berbicara dan hasilnya motivasi siswa terhadap pembelajaran menurun. Hal ini terlihat dari perilaku siswa yang kurang memperhatikan materi yang diajarkan guru. Siswa kurang tekun dalam

mengerjakan tugas, dan terlihat cepat bosan dengan pembelajaran yang konvensional. Siswa yang sudah memiliki perhatian dan minat pada pembelajaran, maka disaat guru memberikan tugas, lembar diskusi maupun ulangan harian, didapat siswa tekun mengerjakannya. Karena dengan model pembelajaran yang menarik dan kreatif, siswa merasa tidak akan bosan mengerjakan sebuah permasalahan yang diberikan guru, karena masalah yang diberikan memilki banyak solusi dalam memecahkannya.

Berdasarkan hasil analisis data serta penjelasan proses pembelajaran pada kelas eksperimen di atas, diketahui bahwa masing-masing aspek motivasi lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dan seperti penjelasan diatas pembelajaran dengan model CPS berbasis PhET dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, terdapat perbedaan motivasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem

Solving berbasis PhET dengan pembelajaran model konvensional. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Eftafiyana, Nurjanah, Armania, Sugandi, & Fitriani (2018), Sugianto & Wijaya (2018) dan Amalia (2013) yang membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa Data Prestasi Belajar Siswa

Berdasarkan data deskriptif yang diperoleh dari hasil posttest setelah pembelajaran, nilai rata-rata data prestasi belajar siswa kelas kontrol adalah 47.7, sedangkan nilai rata-rata data prestasi belajar siswa pada kelas eksperimen adalah 63.4. Adapun hasil deskripsi statistik data berpikir analisis siswa dapat disajikan pada Gambar 2.

Page 152: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

141

Gambar 2 Data Prestasi Belajar Siswa

Gambar 2, diperoleh besarnya

selisih nilai rata-rata prestasi belajar siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sebesar 15. Merujuk pada data yang diperoleh diketahui bahwa nilai prestasi belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan nilai prestasi belajar siswa kelas kontrol. Hasil analisis untuk mencari perbedaan prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran Creative Problem

Solving (CPS) Berbasis PhET dengan model pembelajaran konvensional. Analisis ini dilakukan dengan menghitung perbedaan prestasi belajar pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan Two Way Anova dengan bantuan program SPSS 16.0. Berdasarkan hasil uji Two Way Anova dengan bantuan program SPSS 16.0 diperoleh nilai sig 0,021 < 0,05. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis terdapat perbedaan motivasi dan prestasi belajar siswa antara model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan model konvensional peserta didik SMK N 10 Malang.

Pembelajaran pada kelas eksperimen yang diajar menggunakan model pembelajaran Creative Problem

Solving (CPS) berbasis PhET, peserta didik dapat lebih mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya dengan bertanya dan mengungkapkan pendapat terhadap pembelajaran dan terhadap simulasi yang disajikan oleh guru. Peneliti membimbing siswa dalam memecahkan masalah dengan cara yang kreatif, sesuai model pembelajaran yang digunakan dan siswa dapat memahaminya. Dibuktikan pemahaman

siswa saat diberi kesempatan dari peneliti untuk mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Saat siswa mengerjakan LKS, siswa memiliki minat untuk mengerjakannya dengan teman kelompoknya, minat yang ada karena dilihat bahwa masalah yang didapat berupa masalah yang kreatif, dimana masalah yang diberikan peneliti di dalam LKS dapat menimbulkan banyak solusi. Pada tahap diskusi, saat peneliti membimbing ke dalam setiap kelompok, siswa-siswa saling memberikan pendapatnya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Penerapan model pembelajaran CPS berbasis PhET pada kelas eksperimen melibatkan peserta didik secara aktif. Selain itu melalui proses pembelajaran yang menggunakan simulasi dan memberikan LKS, peserta didik diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep atau pemecahan masalahnya sendiri, sehingga memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran yang disampaikan, siswa menyelesaikan pemecahan masalah secara mandiri dan kreatif dengan mendengarkan arahan dan bimbingan dari peneliti sehingga siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Sedangkan penerapan model pembelajaran konvensional menampatkan peserta didik sebagai obyek. Peserta didik kurang mendapatkan kesempatan dalam menemukan suatu konsep, memberikan pendapat dan tanggapan maupun menimbulkan pemikiran kreatif pada siswa tentang sebuah permasalahan yang di dapat dalam pembelajaran. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap

Page 153: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

142

rendahnya prestasi belajar siswa pada materi yang telah diajarkan. Berdasarkan hasil tes prestasi belajar, menunjukan bahwa tingkat prestasi belajar peserta didik pada kelas kontrol yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional lebih rendah dibandingkan peserta didik pada kelas eksperimen yang diajar menggunakan model pembelajaran CPS berbasis PhET.

Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan diatas menunjukan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran CPS berbasis PhET dengan pembelajaran model konvensional. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Totiana & Redjeki (2012), Khotimah, Yamtinah, & Masykuri (2016) Raehanah, dkk, (2014), Koray (2017) dan Amalia (2013), yang menunjukan adanya

pengaruh penerpan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap prestasi belajar siswa.

Interaksi antara Model Pembelajaran

Creative Problem Solving (CPS)

Berbasis PhET terhadap Motivasi

Belajar dan Prestasi Belajar Siswa Hasil uji Two Way Anova dengan

bantuan program SPSS 16.0 menunjukan hasil perhitungan diperoleh nilai Fhitung > Ftabel yaitu 589.845 > 3.93 dengan (p<0,05). Sehingga hipotesis terdapat interaksi penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) berbasis PhET dengan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa. Hasil interaksi model pembelajaran CPS berbasis PhET

terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Interaksi Model Pembelajaran CPS berbasis PhET terhadap Motivasi

dan Prestasi Belajar

Berdasarkan Gambar 3, menggunakan scatter diagram dengan bantuan program SPSS 16.0 menunjukkan bahwa terdapat hubungan korelasi negatif, dimana terdapat korelasi yang kuat dan yang lemah. Hasil analisis hipotesis ketiga juga didukung oleh dua hipotesis sebelumnya yang menunjukan bahwa adanya pengaruh model pembelajaran CPS berbasis PhET terhadap motivasi belajar siswa dan pengaruh model pembelajaran CPS berbasis PhET terhadap

prestasi belajar siswa. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran CPS berbasis PhET berpengaruh terhadap peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol. Hasil penelitian ini, sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Hartantia, Hayus, Nugroho, & Saputro (2013), Hasmirah (2016), Martinsen & Furnham (2019) dan Puspitarini & Eksan (2017). yang

Page 154: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

143

menunjukan adanya interaksi model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa. SIMPULAN

Diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) terdapat perbedaan motivasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Creative Problem

Solving (CPS) berbasis PhET dengan model pembelajaran konvensional, 2) terdapat perbedaan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) berbasis PhET dengan model pembelajaran konvensional, dan 3) terdapat interaksi antara model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) berbasis PhET terhadap motivasi belajar dan prestasi belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Adilah, D. N., & Pujayanto, P. (2015, September). Eksperimen blended learning dan learning cycle 7E pada sub tema pengelolaan sampah ditinjau dari motivasi belajar siswa kelas VII SMPN 6 Surakarta. In PROSIDING:

Seminar Nasional Fisika dan

Pendidikan Fisika (Vol. 6, No. 5). Amalia, N. F. (2013). Keefektifan model

kooperatif tipe make a match dan model CPS terhadap kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar. Kreano, Jurnal

Matematika Kreatif-Inovatif, 4(2), 151-158.

Arsyad, A. (2009). Media pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Eftafiyana, S., Nurjanah, S. A., Armania, M., Sugandi, A. I., & Fitriani, N. (2018). Hubungan antara kemampuan berpikir kreatif matematis dan motivasi belajar siswa SMP yang menggunakan pendekatan creative problem solving. Teorema: Teori dan Riset

Matematika, 2(2), 85-92.

Hamdu, G., & Agustina, L. (2011). Pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA di sekolah dasar. Jurnal penelitian

pendidikan, 12(1), 90-96. Hartantia, R. M., Hayus, E. S. V.,

Nugroho, A., & Saputro, C. (2013). Penerapan model creative problem solving (CPS) untuk meningkatkan minat dan hasil belajar kimia pada materi pokok termokimia siswa kelas XI. IA2 SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal

Pendidikan Kimia (JPK), 2(2). Hasmirah, S. (2016). Pengembangan

Perangkat pembelajaran berbasis masalah tipe creatif problem solving (CPS) untuk meningkatkan minat dan penguasaan konsep fisika di SMA Negeri 9 Bulukumba. CHEMICA, 17(1), 67-75.

Khotimah, N., Yamtinah, S., & Masykuri, M. (2016). Penerapan model pembelajaran cooperative problem solving (cps) disertai jurnal siswa ( diary book ) untuk meningkatkan aktivitas belajar dan dan hasil kali kelarutan kelas xi semester ii sma negeri 2 surakarta tahun ajaran 2014 / 2015, 5(1), 55–63.

Koray, O. (2017). The Influence of Science Education Based on Creative Thinking on Learning Products. Retrieved February 28, 2019, from https://www.esera.org/doctoral-studies-subjects/190-pre-service-science-teacher-education/453-oezlem-koray

Martinsen, Ø. L., & Furnham, A. (2019). Cognitive style and competence motivation in creative problem solving. Personality and

Individual Differences, 139, 241-246.

Nasution, S. (1982). Teknologi

Pendidikan. Bandung: Jemars.

Page 155: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

144

Puspitarini, I. Y. D., & Eksan, B. S. (2017). Penerapan creative problem solving (cps) dan ideal problem solving (ips) berbasis pengalaman langsung (experiencing) ditinjau dari motivasi dan gaya belajar mahasiswa. Premiere

Educandum: Jurnal Pendidikan

Dasar dan Pembelajaran, 7(01), 69-75.

Raehanah, R., Mulyani, S., & Saputro, S. (2014). Pembelajaran kimia menggunakan model problem solving tipe search solve create and share (sscs) dan cooperative problem solving (cps) ditinjau dari kemampuan berpikir kritis dan kemampuan matematis. INKUIRI:

Jurnal Pendidikan IPA, 3(01).

Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-

Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugianto, S., & Wijaya, P. A. (2018). Penerapan model pembelajaran creative problem solving (cps) dengan berbantuan modul elektronik terhadap motivasi belajar dan kemampuan berpikir kreatif di sma negeri 8 pekanbaru tahun 2017. PEKA, 6(1), 72-79.

Totiana, F., & Redjeki, T. (2012). Efektivitas Model Pembelajaran Creative Problem Solving ( CPS ) Yang Dilengkapi Media Pembelajaran Laboratorium Virtual Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Pokok Koloid Kelas XI IPA Semester Genap SMA Negeri 1 Karanganyar, 1(1), 74–79

Page 156: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

145

Pengaruh Model Pembelajaran Guide Inquiry Berbantuan Mind Mapping

terhadap Literasi Sains Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa

Siska Apriliana, Chandra Sundaygara, dan Hena Dian Ayu

Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Guide

Inquiry berbantuan mind mapping terhadap literasi sains ditinjau dari motivasi belajar siswa. Metode penelitian ini ialah quasi experiment dengan desain Post-test Only

Control Group Design. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan pengumpulan data melalui post-tes literasi sains serta angket motivasi belajar. Pengujian hipotesis menggunakan Annova 2 Jalur. Hasil penelitian menunjukkan: 1) ada perbedaan literasi sains siswa yang belajar menggunakan pembelajaran Guide

Iquiry berbantuan mind mapping dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional, 2) Ada perbedaan literasi sains siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, dan 3) Tidak ada interaksi antara model pebelajaran Guide Iquiry berbantuan mind mapping dengan motivasi belajar terhadap literasi sains siswa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa literasi sains siswa yang belajar dengan pembelajaran Guide Inquiry berbantuan mind mapping lebih tinggi dari pembelajaran konvensional, serta siswa dengan motivasi belajar tinggi memiliki kemampuan literasi sains lebih tinggi dari siswa dengan motivasi belajar rendah. Kata Kunci: guide inquiry, mind mapping, literasi sains, motivasi belajar

PENDAHULUAN

Sains adalah satu cara kita untuk memahami dunia. Baik dari segi proses, hasil, serta dalam membuat keputusan personal, sains memungkinkan kita untuk terlibat dalam menciptakan pengetahuan baru ataupun menggunakan konsepnya untuk suatu kepentingan yang kita inginkan, dan kemampuan dalam praktik keterlibatan pada sains bisa kita sebut sebagai literasi sains (Snow & Dibner, 2016). Pembelajaran sains pada hakikatnya meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah yang seharusnya dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa sehingga meningkatkan kemampuan dalam mengkonstruksi, memahami, serta menerapkan konsep yang telah dipelajari. Dengan demikian, siswa akan terlatih menemukan sendiri berbagai konsep secara holistik, otentik, bermakna, dan juga aplikatif dalam pemecahan masalah (Ayu & Jufriadi, 2017).

Tujuan utama dalam pembelajaran sains adalah guna membangun literasi sains siswa, dan yang dimaksudkan dalam literasi sains adalah tentang pemahaman atas konsep-konsep sains dan pemahaman bagaimana konsep-konsep tersebut dapat dikembangankan (Puspitasari, 2015). Berdasar penelitian oleh Organisation for Economic Co-

operation and Development (OECD) melalui Programme for International

Student Assesstment (PISA), dari tahun awal diselenggarakan yaitu tahun 2000 hingga 2015, Indonesia masih mencatat rekornya pada urutan terbawah dari seluruh negara yang mengikuti program.

Rendahnya literasi sains siswa ditengarai berhubungan dengan proses pembelajaran sains yang belum memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan bernalar secara kritis (Yulianti, 2017). Dan menurut Suwono, Mahmudah, &

Page 157: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

146

Maulidiah, (2017), kurikulum sekolah di Indonesia kurang sensitif serta responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan baik dalam skala lokal, nasional, maupun global. Sedangkan Sundaygara & Gaharin, (2018) berpendapat bahwa siswa terbiasa menyelesaikan soal matematis hanya dengan cara rumus matematis pula. Selain itu sebagian besar pola pembelajaran masih bersifat transmitif, dimana guru mentransfer dan menyampaikan pengetahuan konsep pada peserta didik (Choiroh, Ayu, & Pratiwi, 2018). Dengan demikian, pengetahuan siswa tentang sains masih berupa hafalan (Jack, 2013). Maka dibutuhkan model pembelajaran yang mampu menghasilkan kemampuan untuk belajar, bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hal tersebut diperoleh siswa (Hilman, 2014).

Gormally, Brickman, Hallar, & Amstrong (2009) menjelaskan bahwa model pembelajaran Guide Inquiry merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan literasi sains siswa, karena disini siswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran tentang ide-ide ilmiah layaknya ilmuan. Namun dalam pelaksanaannya, Guide Inquiry memiliki sejumlah kekurangan yakni susahnya pengimplementasian karena terbentur kebiasaan belajar. Maka dibutuhkan penunjang untuk memudahkan, yaitu metode mind mapping. Menurut Hadinugraha, (2015), aktivitas membuat mind mapping mampu meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Mind

mapping sendiri merupakan cara mencatat kreatif dan cara termudah memasukkan informasi ke dalam otak dalam bentuk visual.

Selain model dan metode pembelajaran, kemampuan literasi sains

dipengaruhi oleh motivasi belajar siswa (Sugiharningsih, 2016). Motivasi belajar disini merupakan daya penggerak dari diri siswa untuk mau belajar. Bisa dianalogikan bahwa motivasi belajar ialah bahan bakar guna menggerakkan sebuah mesin (Khotimah, Zubaidah, & Lestari, 2015).

Tujuan dari penelitian ini ialah: 1) mengetahui ada tidaknya perbedaan literasi sains siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Guide Inquiry berbantuan mind mapping dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional, 2) mengetahui ada tidaknya perbedaan literasi sains siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, dan 3) mengetahui ada tidaknya interaksi model pembelajaran Guide Inquiry menggunakan metode mind mapping dengan motivasi belajar terhadap literasi sains siswa. METODE

Jenis penelitian ini ialah quasi

experiement, dengan menggunakan Post-

test Only Control Group Design. Desain penelitian tersaji dalam tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Desain Penelitian

Kelas Awal Perlakuan Akhir

Eksperimen O1 X O2 Kontrol O1 Y O2 Keterangan

O1 : Pengukuran motivasi siswa menggunakan angket

O2 : Post-test literasi sains X : Pembelajaran menggunakan

model Guide Inquiry berbantuan mind mapping

Y : Pembelajaran konvensional menggunakan model Direct

Instruction berbantuan mind

mapping

Page 158: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

147

Tabel 2 Matriks Rancangan Analisis Penelitian Variabel

Bebas Variabel Moderat

Model Pembelajaran

Guide Inquiry - Mind Mapping (X1)

Direct Instruction

- Mind Mapping (X2)

Motivasi Belajar (Y)

Tinggi (Y1) X1Y1 X2Y1

Rendah (Y2) X1Y2 X2Y2

Keterangan: X1Y1 : Hasil penelitian literasi

sains siswa menggunakan model pembelajaran Guide

Inquiry dengan metode mindmapping untuk siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi

X2Y1 : Hasil penelitian motivasi belajar siswa menggunakan model pembelajaran konvensional dengan metode mindmapping untuk siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi

X1Y2 : Hasil penelitian literasi sains siswa menggunakan model pembelajaran Guide

Inquiry dengan metode mindmapping untuk siswa yang memiliki motivasi belajar rendah

X2Y2 : Hasil penelitian motivasi belajar siswa menggunakan model pembelajaran konvensional mindmapping

untuk siswa yang memiliki motivasi belajar rendah

Penelitian ini dilaksanakan di SMP

Negeri 2 Malang pada semester genap tahun ajaran 2018/2019. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII IPA di SMP Negeri 2 Malang. Sampel diambil dari populasi dengan menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Penelitian ini diambil sampel 2 kelas yaitu: VIII.F sebagai kelas eksperimen yakni siswa

yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Guide Inquiry berbantuan mind mapping dan VIII.E sebagai kelas control yakni siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Dua kelas tersebut dipilih sebagai sampel karena memiliki nilai rata-rata yang hampir sama, atau bisa dikatakan homogen.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan tes bentuk uraian untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa dan lembar angket untuk mengetahui motivasi belajar siswa. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji Annova 2 Jalur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data nilai literasi sains dan skor motivasi belajar siswa dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 serta Tabel 4 dan 5 yang kemudian dilakukan pengujian hipotesis menggunakan Annova. Hasil uji hipotesis disajikan dalam Tabel 6. Sebelumnya dilakukan uji pendahulu, yakni uji normalitas dan homogenitas yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Uji Pendahuluan Uji Pendahuluan Sig.

Normalitas

Kelas eksperimen

0,117

Kelas kontrol 0,112 Homogenitas 0,92

Berdasarkan data pada Tabel 3, nilai Sig. > 0,05 sehingga sebaran data dikatakan normal dan homogen.

Page 159: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

148

Gambar 1 Nilai Literasi Sains

Gambar 2 Nilai Rata-rata Literasi Sains

Berdasarkan Motivasi

Berdasarkan Gambar 1, nilai rata-rata literasi sains pada kelas eksperimen dan kontrol adalah 73,86 dan 65,13. Uji analisis menggunakan annova 2 jalur pada Tabel 6 menunjukkan nilai Sig. < 0,05. Hal ini berarti ada perbedaan nilai rata-rata literasi sains siswa dalam penggunaan model pembelajaran Guide

Inquiry berbantuan mind mapping. Sedangkan pada gambar 2, nilai rata-rata literasi sains pada siswa dengan motivasi belajar tinggi dan rendah ialah 70,43 dan 68,50. Kemudian hasil analisis annova pun menunjukkan nilai Sig. < 0,05. Sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan kemampuan literasi sains siswa dengan motivasi belajar tinggi dan rendah.

Tabel 4 Nilai Literasi Sains Berdasarkan Motivasi Belajar pada Kelas Eksperimen

Motivasi Nilai Literasi Sains Rata-

rata Tertinggi Terendah

Tinggi 93 65 74,25 Rendah 88 60 73,38

Tabel 5 Nilai Literasi Sains Berdasarkan

Motivasi Belajar pada Kelas Kontrol

Motivasi Nilai Literasi Sains Rata-

rata Tertinggi Terendah

Tinggi 88 48 66.07 Rendah 80 40 64.26

Berdasarkan Tabel 4 dan 5, siswa dengan motivasi belajar tinggi salah satu diantaranya mendapatkan nilai 65 pada kelas eksperimen yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Guide Inquiry berbantuan mind mapping, dan 48 pada kelas kontrol. Dimana nilai tersebut ebih rendah dari seorang siswa dengan motivasi belajar rendah baik di kelas eksperimen ataupun kontrol.

Jika dilihat secara rata-rata, nilai literasi sains siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi lebih baik dari siswa dengan motivasi belajr rendah, baik di kelas eksperimen maupun kontrol.

Tabel 6 Hasil Analisis Annova 2 Jalur Uji Hipotesis Sig.

Model Pembelajaran 0,007 Motivasi Belajar 0,004 Model Pembelajaran* Motivasi Belajar

0,117

Berdasarkan Tabel 4, 5, dan tabel

6 pada baris ketiga yang menunjukkan nilai Sig. > 0,05 dapat diartikan bahwa tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan motivasi belajar siswa terhadap literasi sains.

73,86 65,13

0102030405060708090

100

Rata-rata nilai literasi sains

Kelas eksperimen Kelas kontrol

70,43 68,5

0102030405060708090

100

LS Berdasar Motivasi Tinggi

LS Berdasar Motivasi Rendah

Page 160: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

149

Uji Hipotesis

Berdasarkan Tabel 6 pada baris pertama, hasil analisis data hipotesis pertama menunjukkan nilai Sig. < 0,05. Dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima, yang artinya adanya perbedaan literasi sains siswa yang diajar menggunakan Guide Inquiry berbantuan mind mapping dengan siswa yang diajar dengan model konvensional. Sehingga, kemampuan literasi sains siswa yang tinggi pada kelas yang diberi perlakuan pembelajaran Guide Inquiry berbantuan mind mapping pada aspek pengetahuan dan indikator kompetensi sains yakni menjelaskan fenomena ilmiah, mengidentifikasi isu ilmiah serta menggunakan bukti ilmiah patut diduga akibat pengimplementasian model pembelajaran. Pembelajaran Guide

Inquiry yang memiliki tahapan merumuskan masalah, membuat hipotesis, melakukan eksperimen, mengorganisasikan data dan mengambil kesimpulan, serta menganalisis proses inquiry, membuat siswa terlibat aktif dalam berbagai kegiatan pembelajaran.

Gormally, dkk., (2009) mengatakan pembelajaran Guide Inquiry merupakan pembelajaran dengan cara menyajikan permasalahan pada siswa, kemudian siswa dibimbing dalam proses pemecahan masalahnya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merujuk sehingga siswa memiliki daya intelektual yang tinggi. Dengan demikian, siswa menjadi mandiri dalam berpikir dan hal ini akan meningkatkan pengetahuan siswa terhadap materi. Literasi sains merupakan pengambilan keputusan-keputusan yang bertumpu pada penalaran sesorang berdasarkan pengetahuan konsep sains yang dimiliki. Lukman, Suwono, & Suarsini, (2014) menjelaskan bahwa bentuk tertinggi dari suatu pemikiran siswa adalah penalaran, dan kemampuan bernalar yang dimaksud adalah membandingkan antar konsep (mengidentifikasi konsep, mengklasiikasikan, memberi contoh),

mengaplikasikan konsep, dan menyimpulkan suatu konsep.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Puspitasari (2015) yang mengungkapkan pembelajaran Guide

Inquiry lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Diperkuat penelitian Tamara & Sunarti (2017) yang mengungkapkan Guide

Inquiry mampu meningkatkan kemampuan literasi sains siswa pada materi elastisitas.

Kemampuan literasi sains juga ditunjang dengan metode mind mapping. Mind mapping merupakan cara mencatat kreatif dan cara termudah untuk meng-input sejumlah informasi kedalam otak dalam bentuk visual. Menurut Soslo (2007) dalam Hilman (2014), sembilan pluh persen dari semua informasi yang masuk ke dalam otak adalah dalam bentuk visual. Dengan demikian, siswa yang belajar dengan metode mind

mapping akan lebih mudah dalam mengingat materi.

Lumentut, Said, & Mustapa, (2017) mengatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan mind map akan meningkatkan daya hafal serta motivasi belajar, sehingga siswa menjadi lebih kreatif. Dalam penelitian Hadinugraha, (2015), aktivitas membuat mind map mampu meningkatkan kemampuan menjelaskan fenomena secara ilmiah serta meningkatkan relatif rendah kemampuan siswa dalam menggunakan bukti ilmiah. Karena dalam pembuatannya, mind mapping membuat siswa meringkat informasi, mengonsolidasi, berpikir secara kompleks serta merepresentasikan informasi.

Pada hasil analisis hipotesis kedua berdasarkan Tabel 6 baris kedua, menunjukkan nilai Sig. < 0,05. Dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima, yang mengartikan bahwa adanya perbedaan literasi sains siswa dengan motivasi belajar tinggi dan rendah. Perlu diketahui, guna mencapai tujuan dari

Page 161: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

150

pembelajaran sains diperlukan daya penggerak dari diri siswa untuk mau belajar yang disebut motivasi dan minat belajar. Motivasi dapat dianalogikan sebagi bahan bakar untuk menggerakkan mesin. Siswa dengan motivasi belajar yang tinggi memiliki dampak pada perhatiannya dalam pembelajaran, sehingga siswa tersebut lebih bersemangat dalam belajar dibandingkan dengan siswa yang motivasi belajarnya lebih rendah (Khotimah, dkk., 2015). Siswa yang termotivasi akan melibatkan diri lebih banyak dalam berbagai aktivitas atau kegiatan dalam pembelajaran. Sehingga akan memengaruhi hasil belajar. Hal ini didukung oleh pernyataan Aritonang (2008) dalam Lumentut, dkk., (2017) yakni faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar siswa dari dalam ialah minat dan motivasi belajar siswa.

Berdasarkan Tabel 6, hasil analisis hipotesis ketiga menunjukkan nilai Sig. > 0,05. Dengan demikian, H0 diterima dan H1 ditolak, sehingga dapat diartikan tidak adanya interaksi antara model pembelajaran dengan motivasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat pada tabel nilai literasi sains berdasarkan motivasi belajar tinggi dan rendah pada kelas eksperimen maupun kontrol. Meskipun secara rata-rata siswa dengan motivasi tinggi memiliki nilai literasi sains yang tinggi, namun ada siswa yang dikategorikan motivasi tinggi memiliki nilai literasi sains lebih rendah dari siswa yang dikategorikan motivasi rendah. Hal ini dikarenakan keberhasilan proses belajar mengajar dipengaruhi oleh banyak faktor.

SIMPULAN

Diperoleh simpulan bahwa literasi sains siswa yang belajar dengan pembelajaran Guide Iquiry berbantuan mind mapping lebih tinggi dari pembelajaran konvensional, serta siswa dengan motivasi belajar tinggi memiliki

kemampuan literasi sains lebih tinggi dari siswa dengan motivasi belajar rendah. DAFTAR PUSTAKA

Ayu, H. D., & Jufriadi, A. (2017). Pengaruh penerapan strategi open ended problem bersetting kooperatif terhadap kemampuan menyelesaikan masalah ditinjau dari kreativitas siswa SMP PGRI 6 Malang. Jurnal Inspirasi

Pendidikan, 7(1), 1. https://doi.org/10.21067/jip.v7i1.1549

Choiroh, A. N. L., Ayu, H. D., & Pratiwi, H. Y. (2018). Pembelajaran flipped classroom menggunakan metode mind mapping terhadap prestasi dan kemandirian belajar fisika. Jurnal Pendidikan Fisika, 7(1).

Gormally, C., Brickman, P., Hallar, B., & Amstrong, N. (2009). Effects of inquiry-based learning on students science literacy skills and confidence. International Journal

for the Scholarship of Teaching

and Learning, 3(2), 1–22. https://doi.org/https://doi.org/10.20429/ijsotl.2009.030216

Hadinugraha, S. (2015). Menggambar peta pikiran dalam pembelajaran IPA untuk meningkatkan literasi sains siswa. In Simposium

Nasional Inovasi dan

Pembelajaran Sains 2015 (Vol. 2015, pp. 553–556). Bandung.

Hilman. (2014). Pengaruh pembelajaran inkuiri terbimbing dengan mind map terhadap keterampilan proses sains dan hasil belajar IPA. Jurnal

Pendidikan Sains, 2(4), 221–229. Jack, G. U. (2013). Concept mapping and

guided inquiry as effective techniques for teaching difficult concepts in chemistry : Effect on students’ academic achievement. Journal of Education and

Practice, 4(5), 9–16.

Page 162: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

151

Khotimah, H., Zubaidah, S., & Lestari, U. (2015). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan teknik mind mapping terhadap motivasi dan hasil belajar siswa smp kelas viii. Skripsi

Jurusan Biologi-Fakultas MIPA

UM. Lukman, Y., Suwono, H., & Suarsini, E.

(2013). Pengaruh pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis blended learning terhadap literasi sains dan hasil belajar siswa kelas xi SMA Negeri 5 Malang. Malang: Universitas

Negeri Malang. Lumentut, R. S., Said, I., & Mustapa, K.

(2017). Pengaruh model pembelajaran guided inquiry dengan mind map terhadap hasil belajar dan motivasi siswa pada materi redoks di kelas X SMA Negeri 5 Palu. Jurnal Akademika

Kimia, 6(2), 113–118. Puspitasari, A. D. (2015). Efektifitas

pembelajaran berbasis guided inquiry untuk meningkatkan literasi sains siswa. OMEGA

\ Jurnal Fisika dan Pendidikan

Fisika, 1(2), 1–5.

Snow, C. E., & Dibner, K. A. (2016). Science literacy: Concepts,

contexts, and consequences. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/23595

Sugiharningsih, N. M. (2016). Profil

kompetensi literasi sains siswa

SMP Kelas IX Se-Kecamatan

Sukabumi Kota Bandar Lampung

Tahun Ajaran 2015/2016. Universitas Lampung.

Sundaygara, C., & Gaharin, D. (2018). Pengaruh multiple representation pada pembelajaran berbasis masalah terhadap penguasaan konsep fisika dasar II mahasiswa fisika. Momentum: Physics

Education Journal, 1(2), 111. https://doi.org/10.21067/mpej.v1i2.1863

Suwono, H., Mahmudah, A., & Maulidiah, L. (2017). Scientific literacy of a third year biology student teachers: Exploration study. KnE Social Sciences, 1(3), 269-278.

Yulianti, Y. (2017). Literasi sains dalam pembelajaran IPA. Jurnal

Cakrawala Pendas, 3(2), 21–28.

Page 163: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

152

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 5E Berbasis Eksperimen

Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep

dan Mereduksi Miskonsepsi Siswa

Vivi Proyanti Bere, Kurriawan Budi Pranata, dan Akhmad Jufriadi

Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Learning Cycle

5E meningkatkan pemahaman konsep siswa dan mereduksi miskonsepsi. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah quasi experiment. Populasi penelitian adalah siswa kelas XI IPA di SMA Nasional Malang. Instrumen yang digunakan untuk mengukur pemahaman konsep adalah soal uraian posttest, sedangkan untuk mengukur miskonsepsi adalah soal objektif kontekstual pretest – posttest. Teknik untuk menguji hipotesis adalah dengan menggunakan uji Anova Dua Jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) ada perbedaan pemahaman konsep siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E, dan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran konvensional, 2) ada perbedaan miskonsepsi siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E, dan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran konvensional, 3) ada interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E terhadap miskonsepsi dan pemahaman konsep siswa. Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan bahwa siswa yang belajar dengan model pembelajaran Learning Cycle 5E pemahaman konsepnya lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional, dan miskonsepsi siswa yang belajar dengan model pembelajaran Learning Cycle 5E lebih rendah daripada siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Kata Kunci: Learning Cycle 5E, pemahaman konsep, miskonsepsi

PENDAHULUAN

Secara alami kita tahu bahwasannya pengetahuan awal yang diperoleh siswa dari pengalaman hidupnya disebut dengan istilah konsepsi. Konsepsi ini dapat diperoleh siswa melalui pengalaman belajar pada tingkat pendidikan sebelumnya, membaca buku, melihat televisi atau internet, serta mungkin dari fenomena-fenomena di lingkungan sekitar (Smith & Abell, 2008). Oleh karena itu, di dalam kepala siswa telah dipenuhi dengan pengetahuan dan konsep yang diperoleh bukan hanya melalui televisi atau internet, membaca buku, melainkan juga dari fenomena-fenomena di lingkungan sekitar sebelum memasuki pelajaran.

Selain dari prakonsepsi, menurut Suparno dalam Sumadji dkk. (1998) miskonsepsi yang terjadi pada siswa ini

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya 1) situasi siswa meliputi (gagasan asosiatif; intuisi yang salah; memandang benda dari pandangan manusiawi; pengalaman; ketidak terbukaan siswa; dan minat belajar yang rendah); 2) buku teks; 3) penggunaan metode mengajar; dan 4) kontek.

Masalah miskonsepsi tidak hanya terjadi pada mata pelajaran fisika, melainkan hampir pada semua mata pelajaran. Adanya miskonsepsi disebabkan karena pemahaman konsep yang kurang baik. Pemahaman adalah suatu jenjang dalam ranah kognitif yang menunjukan kemampuan menjelaskan hubungan yang sederhana antara fakta-fakta dan konsep (Arikunto, 2007 : 115). Konsep merupakan ide yang mengkombinasikan beberapa unsur berbeda ke dalam satu gagasan tunggal

Page 164: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

153

(Agus, 2009 : 15). Senada dengan pengertian mengenai pemahaman dan konsep yang telah dikemukakan pemahaman konsep dapat di artikan sebagai kemampuan dalam mengaitkan antara fakta dan konsep dari suatu teori berdasarkan apa yang telah diperoleh dari berbagai sumber.

Dewasa ini, banyak siswa kurang mampu dalam memahami konsep-konsep fisika dengan baik. Meskipun dalam proses pembelajaran di kelas guru selalu melibatkan siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran dan meminta siswa untuk memperhatikan dengan baik pada materi yang disampaikan, namun sebagian besar siswa jarang untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami dari materi yang diajarkan. Bahkan seringkali banyak siswa yang terlihat malas - malasan dan tidak percaya diri untuk menjawab dan menjelaskan di depan kelas saat guru memberikan soal. Salah satu contoh pada materi getaran harmonis sederhana yang hanya menetukan periode bandul pun dianggap sulit, hal ini karena konsep yang tidak matang dari siswa sehingga sulit untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Seharusnya, sebagai guru kita harus bisa mengkolaborasikan antara model yang akan kita gunakan guna menunjang minat siswa untuk mempelajari fisika yang terkesan sulit.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan observasi pada hari selasa, 01 Oktober 2018 di SMA Nasional Malang. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terdapat dua kelas XI yaitu kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2. Diperoleh juga informasi bahwasannya nilai ketuntasan minimum di sekolah untuk mata pelajaran fisika adalah 70 namun secara bertahap berubah atau meningkat menjadi 75. Di SMA Nasional khususnya kelas XI IPA, dikatakan bahwa miskonsepsi sering terjadi dikalangan siswa kelas XI, dan pemahaman konsep akan materi pun terkadang berbeda. Hal ini disebabkan

karena faktor kemampuan dari peserta didik yang satu berbeda dengan peserta didik yang lain. Dikatakan pula bahwa untuk kelas XI IPA 1 cederung lebih diam dalam proses pembelajaran dibandingkan dengan kelas XI IPA 2 yang aktif. Oleh sebab itu guru di sekolah harus benar-benar – benar membantu siswa dalam memahami konsep dasar dari materi yang bersangkutan. Hal ini bertujuan, untuk tercapainya hasil belajar siswa yang baik, maka siswa harus memahami konsep fisika terlebih dahulu. Dengan demikian, untuk mengurangi miskonsepsi yang terjadi dikalangan peserta didik maka perlu ada suatu model pembelajaran yang tidak hanya memotivasi siswa untuk menggunakan pola pikir dalam memahami materi fisika. Rekomendasi model pembelajaran sebagai alternative untuk mengatasi masalah di atas adalah learning cycle 5E.

Model Learning Cycle 5E adalah model pembelajaran yang memiliki tahap-tahap pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dan kemampuan pemecahan masalah yang dihadapi siswa (Rosidi dan Muslim, 2015: 162). Hal ini senada dengan pendapat Novitasari, dkk., (2014: 61) yang mengatakan bahwa model pembelajaran Learning Cycle 5E memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat membangun dan mengoptimalkan pengetahuannya sendiri. Pada model pembelajaran learning cycle 5E, guru juga bisa mengkolaborasikan dengan eksperimen pada fase yang ada di dalam model pembelajaran learning cycle 5E. Dengan adanya eksperimen, maka dapat dipastikan bahwasannya pemahaman siswa yang rendah dalam mempelajari fisika akan semakin meningkat karena siswa diarahkan untuk benar - benar memahami materi yang dipelajari secara langsung melalui kegiatan eksperimen yang mereka lakukan. Dengan demikian pula, tingkat pemahaman siswa bisa semakin bertambah terkait fisika.

Page 165: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

154

Penelitian bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Learning

Cycle 5E meningkatkan pemahaman konsep dan mereduksi miskonsepsi.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 5e Berbasis Eksperimen Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Dan Mereduksi Miskonsepsi Pada Materi Getaran Harmonis Sederhana Kelas XI IPA SMA Nasional Malang Tahun Pelajaran 2018/2019”. Tujuan Penelitian ini ialah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Learning Cycle 5E meningkatkan pemahaman konsep siswa dan mereduksi miskonsepsi.

METODE

Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain Pretest-

Posttest Control Group Design. Rancangan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Penelitian ini dilaksanakan di Nasional Malang pada semester ganjil Tahun Ajaran 2018/2019. Populasi dalam penelitian ini seluruh siswa kelas XI IPA. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan

mengambil sampel dengan pertimbangan tertentu.

Tabel 1. Desain Pretest-Posttest Control

Group Design Kelompok Pretes Perlakuan Posttes

Eksperimen 𝑇1 𝑋1 𝑇2 Kontrol 𝑇1 𝑋2 𝑇2

Instrumen dalam penelitian ini

adalah tes berbentuk objektif untuk mengetahui miskonsepsi pada siswa dan tes berbentuk uraian untuk mengetahui pemahaman konsep siswa. Pengaruh adanya perlakuan model pembelajaran Learning Cycle 5E di analisis dengan menggunakan uji Anova Dua Jalur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman konsep siswa pada kelas yang menggunakan learning cycle 5e diperoleh nilai rata-rata 80,23 sedangkan yang menggunakan model konvensional diperoleh nilai rata-rata 69,65. Rata – rata pemahaman konsep siswa diperoleh dari kalkulasi nilai siswa baik dalam kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Hasil miskonsepsi siswa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Perbandingan Postest Kelas Kontrol - Eksperimen

Page 166: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

155

Berdasarkan Gambar 1 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat miskonsepsi tertinggi untuk soal postest ada pada kelas yang menggunakan model konvensional, sedangkan pada kelas yang menggunakan model learning cycle

5e sudah mengalami penurunan miskonsepsi. Hal ini menunjukkan perbedaan model yang digunakan yang berdampak pada miskonsepsi siswa. Hasil Anova 2 jalur dapat diihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil Anova 2 Jalur Uji Hipotesis Sig.

Miskonsepsi 0,000 Model Pembelajaran 0,000 Miskonsepsi* Model Pembelajaran

0,047

Sebelum melakukan uji hipotesis

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

dan uji homogenitas, hal ini dilakukan untuk mengetahui data terdistribusi secara normal dan homogen. Setelah dilakukan uji prasyarat maka dilanjutkan dengan uji ANOVA dua jalur dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows.

Hasil analisis data pada hipotesis pertama menunjukkan bahwa ada perbedaan miskonsepsi antara siswa yang belajar dengan model learning cycle 5E dan siswa yang belajar dengan model konvensional. Hal ini dapat diketahui dengan memberikan soal pretest untuk mengukur kemampuan awal siswa dan kemudian dilakukan dengan pemberian perlakuan soal posttest untuk mengukur kelanjutan miskonsepsi siswa setelah diberikan materi. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan perbandingan nilai pretest – posttest pada kelas yang menggunakan model learning cycle 5E

dan model konvensional.

Gambar 2 Diagram Pretest – Posttest Miskonsepsi Kelas Eksperimen

Tingkat miskonsepsi tertinggi ada

pada kelas yang menggunakan model konvensional, sedangkan pada kelas yang menggunakan model learning cycle

5E sudah mengalami penurunan miskonsepsi. Berdasarkan hasil analisis hipotesis ketiga analisis tes anova dua jalur (univariate) yang disajikan pada tabel hasil anova dua jalur memperlihatkan miskonsepsi dengan model pembelajaran dan pemahaman

konsep yaitu nilai signifikansi (sig.) sebesar 0,47. (0,47 < 0.05) maka hipotesis H13 diterima.

Dengan demikian ada interaksi antara model pembelajaran learning

cycle 5E terhadap miskonsepsi dan pemahaman konsep siswa. Dengan menggunakan model learning cycle 5E miskonsepsi semakin menurun dan pemahaman konsep siswa semakin mengalami peningkatan.

Page 167: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

156

Gambar 3 Diagram Perbandingan Pemahaman Konsep Kelas Kontrol – Eksperimen

Berdasarkan grafik histogram

pemahaman konsep pada gambar 3 di atas, dapat dilihat bahwa hasil yang di tunjukkan adalah kelas eksperimen yang menggunakan model learning cycle 5E memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan model konvensional. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh model pembelajaran learning cycle 5E terbukti meningkatkan pemahaman konsep siswa. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan sebelumnya berjudul pengaruh model learning cycle 5E terhadap pemahaman konsep siswa kelas VII SMP Negeri 3 lubuklinggau tahun pelajaran 2017/2018. Maka dapat dilihat bagaimana efektivitas penggunaan model learning cycle 5E terhadap pemahaman konsep siswa. SIMPULAN

Disimpulkan bahwa : 1) ada perbedaan miskonsepsi, antara siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dengan siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran konvensional, 2) ada perbedaan pemahaman konsep, antara siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran

learning cycle 5E dengan siswa yang belajar fisika menggunakan model pembelajaran konvensional, 3) ada interaksi penerapan model pembelajaran learning cycle 5E dan miskonsepsi terhadap pemahaman konsep siswa fisika, dan 4) dengan penerapan model learning cycle 5e maka ada peningkatan pemahaman dan dapat mereduksi miskonsepsi yang terjadi pada siswa

DAFTAR PUSTAKA

Agus, S. (2009). Cooperative learning teori dan aplikasi paikem. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Arikunto, S. (2007). Dasar-dasar

evaluasi pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Novitasari, W., dkk. (2014). Pengaruh model pembelajaran learning cycle tehadap pemahaman konsep matematika siswa kelas X SMA Negeri pada tahun pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan

Matematika. 3, (2), 60-64. Rosidi, A., & Muslim, S. (2015).

Pengaruh penerapan model pembelajaran learning cycle 5E terhadap hasil belajar siswa pada standar kompetensi memasang

Page 168: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

157

instalasi penerangan listrik. Jurnal

Pendidikan Teknik Elektro. 4, (1), 161-169.

Sudjana, S. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Suparno, P. (2013). Miskonsepsi &

perubahan konsep dalam

pendidikan fisika. Jakarta: Grasindo.

Page 169: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

158

Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan Keterampilan

Proses Sains Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Yohana Salwati, Sudi Dul Aji’, Hestiningtyas Yuli Pratiwi

Universitas Kanjuruhan Malang [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis, serta kolerasi antara model pembelajaran dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi Experimetal Design), dengan menggunakan only-

posttest control group design. Penelitian ini dilakukan di SMP PGRI 6 Malang di kelas VIIB sebagai kelas eksperimen dan kelas VIIC sebagai Kelas Kontrol. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketuntasan keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Selanjutnya diperoleh data bahwa terdapat interaksi antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP PGRI 6 Malang tahun ajaran 2018/2019. Kata Kunci: Model inkuiri terbimbing, keterampilan proses sains, kemampuan

berpikir kritis

PENDAHULAN

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan alam semesta dengan cara melakukan observasi atau penelitian berkaitan dengan fenomena alam yang terjadi. Dengan melakukan penelitian kita tidak hanya sebatas mempelajari teori dan konsep tetapi kita juga dapat mengetahui secara langsung fenomena alam yang terjadi (Fitriani, Gunawan, & Sutrio, 2017). Salah satu cabang dari ilmu pengetahuan alam adalah fisika. Fisika adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari mengenai gejala alam dan perubahan yang terjadi di alam, selain itu fisika juga lebih menekankan pada penguasaan konsep dan teori.

Siswa tidak dituntut mempelajari ilmu fisika untuk menghafal teori tetapi siswa lebih dituntut untuk lebih memahami atau mengerti. Pembelajaran fisika perlu menerapkan model inkuri ilmiah dengan demikian siswa bisa mengembangkan kemapuan berpikir

kritis, bekerja dan bersikap ilmiah serta dapat berkomonikasi (BSNP, 2006).

Proses pembelajaran IPA menekankan pada kegiatan belajar mengajar yang mengiring siswa untuk belajar mandiri tanpa harus berpusat pada guru, peran guru sebagai fasilitator. Siswa dituntut untuk lebih aktif dalam setiap kegiatan atau kerja ilmiah (contohnya pada saat melakukan eksperimen siswa harus bisa mengamati, melakukan percobaan, mengumpulkan data dan menarik kesimpulan), bisa bekerja sama dengan teman-teman serta seluruh lingkungan belajar. Sehingga siswa dapat meningkatkan keterampilan sainsnya dan juga kemampuann berpikir kritis (Jufri, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Husen & Lestari (2017) di kelas IPA 1 SMAN 1 Kasiman menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa tidak menonjol pada saat proses pembelajaran berlangsung. Pada saat guru meminta untuk menganalisis penyebab terjadinya masalah yang diberikan guru, siswa tidak dapat

Page 170: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

159

mengunakan kemampuan berpikir kritisnya, dan juga pada saat guru meminta siswa memberikan arumennya mengenai masalah yang ada, tidak ada satupun siswa yang berargumen. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa siswa juga tidak terlatih dalam kegiatan kerja ilmiah seperti mengajukan pertanyaan, berkomunikasi, dan menarik kesimpulan sehingga keterampilan proses sains yang mereka miliki sangat minim. Dalam pembelajaran dengan cara diskusi kelompok, 37% dari 30 siswa yang mengajukan pertanyaan dan hanya 33% siswa yang memberikan pendapat. Laporan tertulis yang diperiksa oleh guru hanya 27% siswa dapat menarik kesimpulan dengan benar.

Keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa tidak akan bisa berkembang dengan baik jika tidak diasah dan terus dilatih pada saat proses pembelajaran. Dengan kata lain disini guru harus bisa membut suatu model pembelajaran yang bisa memunculkan rasa tertarik siswa terhadap apa yang dipelajari, dengan demikian siswa akan terus tertantang untuk mencari tahu mengenai teori yang mereka pelajari.

Solusi untuk memecahkan permasalahan yang terkait dengan keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kritis siswa yaitu model pembelajaran yang berkaitan dengan cara mencari tahu , menemukan sendiri dan menekankan pada pengalaman belajar siswa, yang diperoleh dengan melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan kemampuan berpikir kritis siwa adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing (Marpaung, 2018)

Inkuiri terbimbing adalah model pembelajaran yang menekankan pada siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran, disini siswa harus bisa

menemukan sendiri jawaban atas permasalahan yang ingin dipecahkan dengan bimbingan dari seorang guru, disini guru hanya bertindak sebagai seorang pengarah, atau dengan kata lain selama proses pembelajaran berlansung semuanya berpusat pada siswa (Anam, 2015). Tujuan pembelajaran inkuiri terbimbing adalah membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara mengajukan pertanyaan-petanyaan yang dapat membuat siswa tertarik sehingga merasa tertantang dengan begitu rasa ingin tahu yang dimiliki siswa untuk belajar sangat tinggi (Dewi, Dantes, & Sadia, 2013).

Adapun rumusan masalah yang di kaji dalam penelitin ini adalah apakah ada pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis siswa smp pgri 6 malang?. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis siswa smp pgri 6 malang?.

METODE

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif sedangkan jenis penelitian adalah eksperimen semu (Quasi Experiment). Rancangan penelitian menggunakan posttest only control group design. Penelitian ini terdapat dua kelompok subyek penelitian yang mendapatkan perlakuan berbeda yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan selanjutnya diberikan posttest. Prosedur penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1 Desain penelitian posttest only

control group design Kelompok Perlakuan Posttest

Eksperimen 𝑋1 𝑇1 Kontrol 𝑋2 𝑇2

(Sukardi, 2010)

Page 171: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

160

Keterangan: 𝑋1 Pemberian perlakuan (treatment) kepada kelas eksperimen menggunakan model inkuiri terbimbing 𝑋2 Pemberian perlakuan (treatment) kepada kelas kontrol menggunakan model konvensional 𝑇1 Posttest kemampuan berpikr kritis kelompok eksperimen 𝑇2 Posttest kemampuan berpikr kritis kelompok kontrol

Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh objek penelitian yaitu siswa kelas VII SMP PGRI 6 Malang tahun ajaran 2018 dengan jumlah siswa Sampel dari penelitian ini diambil dari populasi menggunakan teknik purposive sampling dari populasi yang mempunyai rata-rata sama, normal, homogen dipilih untuk menjadi sebagai kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan kelas kontrol menggunakan model pemvelajaran konvensional. Kelas eksperimen berjumlah 28 orang dan kelas eksperimen dengan jumlah sama 28 siswa. Instumen yang digunakan untuk memperoleh data terdiri dari instrument keterampilan

proses sains dan instrumen kemampuan berpikir kritis siswa.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterampilan proses sains adalah lembar observasi. Hal-hal yang diamati keterampilan proses sains yang dimiliki oleh siswa selama proses pembelajaran yaitu: observasi, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, melakukan praktikum, dan mempresentasikan data.

Instrumen kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes, test yang diberi yaitu posttest. Posttest dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah diberi perlakuan. Indikator berpikir kritis adalah memberi penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberi penjelasan lanjutan dan mengatur strategi dan teknik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dekripsi hasil penelitian

Data Kemampuan Awal Siswa

Data kemampuan awal siswa diperoleh dari data nilai rata-rata rapor matapelajaran IPA Terpadu. Adapun hasil deskripsi kemampuan awal siswa yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Deskripsi kemampuan awal siswa

Kelas Jumlah

sampel

Nilai Kemampuan Awal Rata-rata

tinggi Rendah

Eksperimen 28 80 71 74 Kontrol 28 77 69 73

Berdasarkan Tabel 2 menunjukan bahwa untuk data kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen nilai minimum untuk kemampuan awal siswa adalah 71 dan nilai maksimum yang diperoleh siswa yaitu sebesar 80 dengan rata-rata kelas sebesar 74. Sedangkan pada kelas kontrol dengan nilai minimum atau nilai paling rendah sebesar 69 dan nilai tertinggi atau nilai maksimum yang diperoleh siswa adalah 77 dengan rata-

rata kelas sebesar 73. Dari nilai rata-rata kedua kelas tersebut, kelas eksperimen maupun kelas kontrol memiliki kemampuan awal yang sama.

Data Keterampilan Proses Sains Siswa

Data keterampilan proses sains didapatkan selama siswa diberi perlakuan mengunakan model pebelajaran inkuiri terbimbing pada kelas eksperimen maupun model pembelajaran

Page 172: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

161

konvensional pada kelas kontrol. Data yang diambil mengunakan observasi oleh observer. Indikator keterampilan proses sains yang dinilai ada 7 indikator dengan penilaian yang sama untuk setiap

kelompok. Hasil deskripsi data keterampilan proses sains yang dimiliki siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan jumlah siswa 56 orang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Data nilai keterampilan proses sains siswa

Kelas Model

pembelajaran sampel

Nilai keterampilan proses sains Rata-

rata Tertinggi Terendah Eksperimen Inkuiri

terbimbing 28 94 65 81

Kontrol Konvensional 28 75 53 64

Berdasarkan Tabel 3 menunjukan bahwa dari sampel 28 dibagi menjadi 7 kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang siswa setiap kelompok, dengan perlakuan model pembelajaran inkuiri terbimbing yang memperoleh nilai keterampilan proses sains yang tinggi diperoleh oleh satu kelompok sebesar 94, dan terendah sebesar 65 sehingga memeroleh rata-rata kelas nilai sebesar 81. Kelas kontrol dengan sampel 28 siwa dibagikan dalam 7 kelompok yang terdiri dari 4 orang

peserta didik dengan diberi perlakuan model pembelajaran konvensional mendapatkan nilai keterampilan proses sains tertinggi dirah oleh satu kelompok dengan nilai sebesar 75 dan nilai terendah diraih oleh satu kelompok dengan nilai sebesar 53, sehingga memperoleh nirai rata-rata keterampilan proses sains sebesa 64. Berdasarkan nilai tersebut besarnya selisih rata-rata keterampilan proses sains antara kelas eksperimen dan kelas kontrol sebesar 17.

Gambar 1 Keterampilan proses sains siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol

Gambar 1 menunjukan rata-rata setiap indikator keterampilan proses sains antara kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat perbedaan. Nilai rata-rata setiap indikator didominasi oleh

kelas eksperimen. Nilai yang diperoleh kelas eksperimen setiap indikator sebesar 70, 77, 74, 85, 88. Nilai setiap indikator yang diperoleh kelas kontrol adalah 66, 36, 28, 72, 70. Dari nilai tersebut

Page 173: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

162

disimpulkan bahwa setiap indikator keterampilan proses sains lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.

Data Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa

Berdasarkan data deskriptif yang diperoleh nilai rata-rata pada

kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen adalah 78. sedangkan nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis pada kelas kontrol adalah 73. Adapun hasil deskripsi statistik data kemampuan berpikir kritis siswa dapat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Kelas N Minimum Maksimum Mean

Eksperimen 28 55 95 78 Kontrol 28 45 90 73

Berdasarkan Tabel 4 menunjukan bahwa untuk data kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dengan nilai minimum atau nilai paling rendah yang diperoleh sebesar 48 dan nilai maksimum yang diperoleh siswa sebesar 95. Sedangkan pada kelas kontrol nilai paling rendah atau nilai minimum untuk kemampuan berpikir kritis siswa

sebesar 45 dan nilai maksismum yang diperoleh siswa yaitu, sebesar 90.dari nilai rata-rata kedua kelas tersebut, kelas eksperimen yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih tinggi dari pada nilai rata-rata pada kelas kontrol yaitu78>73. Hasil analisis anova dua jalur dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil Analisis Anova Dua Jalur

Source Dependent Variable F Sig.

Corrected Model Kemampuan_Berpikir_Kritis 5.209 .026

Keterampilan_Proses_Sains 94.430 .000

Intercept Kemampuan_Berpikir_Kritis 2.270E3 .000

Keterampilan_Proses_Sains 6.519E3 .000

Kelas Kemampuan_Berpikir_Kritis 5.209 .026

Keterampilan_Proses_Sains 94.430 .000

Error Kemampuan_Berpikir_Kritis

Keterampilan_Proses_Sains

Total Kemampuan_Berpikir_Kritis

Keterampilan_Proses_Sains

Corrected Total Kemampuan_Berpikir_Kritis

Keterampilan_Proses_Sains

Perbedaan Keterampilan Proses Sains

Antara Model Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing dan Model Pembelajaran

Konvensional

Hasil analisis hipotesis, di peroleh taraf signifikan 0,026 < 0,05. Kriteria pengujian: (α=0,05 ) yaitu nilai sig.> 0,05 maka H1 ditolak, dan jika nilai sig ≤ 0,05

maka H1 diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka H1 diterima. Artinya ada perbedaan keterampilan proses sains antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran konvensional. Hasil analisis keterampilan proses sains siswa

Page 174: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

163

mendapat nilai lebih baik dari kelas kontrol. Hasil uji statistika pada penelitian ini diketahui bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing mempengaruhi keterampilan proses sains siswa. Indikator keterampilan proses sains yang diukur dalam penelitian ini adalah mengamati atau observasi, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, melakukan praktikum, mempresentasikan data dan menerapkan konsep. Siswa yang belajar menggunakan inkuiri terbimbing memiliki pencapaian keterampilan proses sains lebih tinggi dikarenakan dalam pembelajaran dikarenakan langkah-langkah dalam model pembelajaran inkuiri terbimbing didukung oleh keterampilan proses sains (Maikristina, Dasna, & Sulistina, 2013). Hal ini juga didukung oleh peneliti terdahulu yang menyatakan bahwa melalui pembelajaran inkuiri terbimbing, siswa memiliki kesempatan yang luas untuk menumbuhkan dan meningkatkan keterampilan proses sains (Wulaningsih, Prayitno, & Probosari, 2012).

Model pembelajaran inkuiri terbimbing sangat berpengaruh bagi keterampilan proses sains siswa, karena siswa melakukan praktikum yang dirancang sendiri untuk memperoleh dan membentuk konsep secara mandiri, sehingga dalam pembelajarannya siswa meang dimiliki secara optimal nggunggunakan keterampilan proses (Puspaningtyas, 2017).

Mengamati atau observasi, berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, kegiatan mengamati atau observasi pada keterampilan proses sains, nilai yang didapatkan kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kelas kontrol. Hal ini terjadi karena pada kelas eksperimen siswa melakukan pengamatan sendiri mengenai suatu eksperimen yang akan dilakukan, sehingga mereka lebih menggunakan indera penglihatan mereka untuk

melakukan observasi dan mengukur data praktikum sendiri tampa bantuan dari guru., hal ini selaras dengan pernyataan peneliti sebelumnya model pembelajaran inkuiri terbimbing bisa meningkatkan keaktifan siswa dalam melakukan pengamatan atau mengobservasi (Fatwa, Wawan, Harjono, & Jamalluddin, 2018).

Mengajukan pertanyaan, indikator mengajukan pertanyaan dalam penelitian ini, kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan untuk kelas eksperimen dalam pembelajaran inkuiri terbimbing siswa terlebih daahulu diberi sebuaah permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendorong siswa untuk berdiskusi dan saling bertukar pikiran dengan guru selanjutnya siswa terdorong untuk mengajukan. Pertanyaan yang mereka ajukan sangat membantu mereka dalam melakukan hipotesis. Hal ini sesuai dengan selaras dengnn pendapat peneliti terdahulu yang menyatakan bahwa berdiskusi antara siswa atau guru dapat meningkatkan keterampilan proses sains salah satunya keterampilan mengajukan pertanyaan hal ini terjadi dengan berdiskusi siswa bisa saling bertukar pikiran, sehingga akan muncul pertanyaan baru terkaid suatu materi (Fitriyani, Haryani, & Susatyo, 2017)

Merumuskan hipotesis, aspek merumuskan hipotesis pada keterampilan proses sains dalam penelitian ini, kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini dikarenakan kelas eksperimen pada modell pembelajaran yang diberikan terdapat kesempatan untuk merumuskan hipotesis, berdasarkan pertanyaan yang mereka ajukan pada saat guru memberikan sebuah permasalahan. Hal ini sesuai dengan peneliti sebelumnya yang menyatakan ada peningkatan keterampilan proses sains pada indikator merumuskan hipotesis dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing (Handayani, 2016)

Page 175: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

164

Melakukan praktikum, berdasarkan data hasil penelitian, aspek melakukan praktikum pada keterampilan proses sains nilai yang diperoleh kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan, dalam langkah pembelajaran inkuiri terbimbing siswa bersama teman kelompok dalam kelompok dituntut aktif untuk melakukan peraktikum untuk membuktikan hipotesis yang dirumuskan. Dengan dibagikannya LKS model pembelajaran inkuiri terbimbing memudahkan siswa untuk melakukan praktikum sesuai tahapan dan adanya kerjasama antara teman dalam kelompok sehingga mereka lebih cepat dan tepat dalam melakukan praktikum dan mengumpulkan data.

Mempresentasikan data, berdasarkan data hasil penelitian, aspek mempresentasikan data dalam keterampilan proses sains kelas eksperimen mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Hal ini dikarenakan model pembelajaran inkuiri terbimbing yang menekankn siswa aktif dan melakukan diskusi sehingga mereka bisa mengetahui hasil dan dapat mempresentasi data dengan lancar tanpa harus terpaku pada hasil tulisan mereka. Sedangkan kelas kontrol karena kurangnya kekompakan untuk berdiskusi dan mempresentasi data, siswa malu utuk maju dan mereka hanya membaca pada buku dan jawaban mereka ada yang tidak sesuai dengan hasil eksperimen. Hal ini sealaras dengan peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa dengan melakukan diskusi keterampilan proses sains pada saat berkomonikasi atau mempresentasi data dapat meningkat.(Fitriyani, dkk., 2017)

Berdasarkan paparan aspek keterampilan proses sains diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses sains siswa akan lebih meningkat dan mudah dikembangkan jika dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing.

Perbedaan kemampuan berpikir kritis

siswa antara model pembelajaran

inkuiri terbimbing dan model

pembelajaran konvnsional

Hasil analisis hipotesis pada bab 4, di peroleh taraf signifikan 0,00 < 0,05. Kriteria pengujian: (α=0,05) yaitu nilai sig.> 0,05 maka H2 ditolak, dan jika nilai sig ≤ 0,05 maka H1 diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka H2 diterima. Artinya ada perbedaan keterampilan proses sains antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran konvensional.

Hasil uji kemampuan berrpikir kritis menunjukan rata-rata untuk kelas eksperimen yang diberi perlakuan model pembelajaran inkuiri terbimbing mengalami peningkatan. Sementara untuk kelas kontrol yang diberi perlakuan dengan model pembelajaran konvensional mengalami sedikit peningkatan . Hal ini berarti model pembelajaran inkuiri terbimbing memberikan pengaruh yang baik untuk meningkatkan keterampilan proses sains. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya menunjukan bahwa rata-rata capaian kemampuan berpikir kritis siswa meningkat melalui penerapan inkuiri terbimbing (Masitoh & Ariyanto, 2017). Data hasil uji statistika dalam penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikr kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan model konvensional. Hal ini sejaran dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suci, Wahyudi, & Rahayu, 2018)

Inkuiri terbimbing berpengaruh signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis fisika siswa. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menyatakan terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis setelah diterapkan model pembelajaran inkuiri terbimbing (Nurhudayah, Lesmono, & Sabiki, 2016). Proses pembelajaran menggunakan

Page 176: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

165

model pembelajaran inkuiri terbimbing menyediakan tahap pembelajaran dilakukan secarra berkelompok, sehingga terjadi pertukaran informasi untuk menyelesaikan masalah yang diajukan guru. (Jayadinata & Gusrayani, 2016)

Interaksi Antara Model Pembelajaran

Inkuiri Terbimbing Dan

Keterampilan Proses Sains Terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Hasil analisis hipotesis pada bab 4, di peroleh F hitung sebesar 5,209> F tabel 4,01. Kriteria `pengujian: jika nilai Fhitung< Ftabel mak H3= ditolak, dan jika nilai Fhitung > F tabel maka H3 diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka H3 diterima. Artinya ada perbedaan keterampilan proses sains antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran konvensional.

Data statistik menunjukan bahwa terdapat interaksi antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan peneliti Terdahulu yang menyatakan adanya hubungan antara keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kritis (Rohani, 2013). Pada hakikatnya keterampilan proses sains dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Keterampilan proses sains efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa (Noviyanti, Achmad, & Yolida, 2015). Sependapat dengan Keterampilan Proses sains siswa dapa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa (Lestari, Mursali, & Royani, 2015)

Peran model pembelajaran inkuiri terbimbing sangat penting untuk meningkatkan kemampuan intelektual siswa. Jika dilihat dari setiap tahap pada model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa, karena model pembelajaran inkuiri terbimbing masih ada kaitannya

dalam meningkatkan keterampilan proses sains (Fitriyani, dkk., 2017).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMP PGRI 6 Malang, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut ada perbedaan keterampilan proses sains antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan model pembelajaran konvensional, ada perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan model pembelajaran konvensional, dan ada interaksi antara model pembelajaran inkuiri terbimbing dan keterampilan proses sains terhadap kemampuan berpikir kritis. DAFTAR PUSTAKA

Anam, K. (2015). Pembelajaran berbasis

inkuiri metode dan aplikasi. Jakarta: Kencana.

BSNP. (2006). Permendiknas RI No.22

Tahun 2006 Tentang Standar Isi

Untuk Satuan Pendidikan Dasar

Dan Menengah. Jakarta. Dewi, N. L., Dantes, N., & Sadia, I. W.

(2013). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap sikap ilmiah dan hasil belajar IPA. Jurnal Pendidikan

Dasar Indonesia. Fatwa, Wawan, M., Harjono, A., &

Jamalluddin. (2018). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses dan penguasaan konsep sains ditinjau dari pengetahuan awal peserta didik, 4(1).

Fitriani, N., Gunawan, G., & Sutrio, S. (2017). Berpikir kreatif dalam fisika dengan pembelajaran conceptual understanding

Page 177: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

166

procedures (CUPS) berbantuan LKPD. Jurnal Pendidikan Fisika

Dan Teknologi. Fitriyani, R., Haryani, S., & Susatyo, E.

B. (2017). Pengaruh Model Inkuiri Terbimbing Terhadap Keterampilan Proses Sains Pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan. Jurnal Inovasi

Pendidikan Kimia, 11(2). Handayani, A. (2016). Pengaruh model

inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses sains di SMA Negeri 3 Singkawang.

Husen, A., & Lestari, U. (2017). Peningkatan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa SMA melalui implementasi problem based learning dipadu think pair share, (1990), 853–860.

Jayadinata, A. K., & Gusrayani, D. (2016). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap, 1(1).

Lestari, S., Mursali, S., & Royani, I. (2015). Pengaruh model pembelajaran langsung berbasis praktikum terhadap keterampilan proses sains, 6(1), 54–62.

Maikristina, N., Dasna, I. W., & Sulistina, O. (2013). Pengaruh penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa kelas XI IPA SMAN 3 Malang pada materi hidrolisis

garam. Jurnal Kimia FMIPA UNM, 1, 1–8.

Masitoh, I. D., & Ariyanto, J. (2017). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas X MIA pada materi pencemaran lingkungan di Surakarta. Journal Bioedukasi.

Universitas Sebelas Maret, 10(1), 71–79.

Rohani. (2013). Hubungan antara ketrampilan proses sains dan berpikir kritis siswa melalui strategi pembelajaran inkuiri pada materi polusi lingkungan Di SMA Negeri 3 Palangka Raya, 1.

Suci, Y., Wahyudi, & Rahayu, S. (2018). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kritis fisika peserta didik kelas X SMAN Kuripan tahun ajaran 2017/2018, 3(2), 181–187.

Sukardi, S. (2010). Metodologi

penelitian pendidikan: kompotensi

dan praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Wulaningsih, S., Prayitno, B. A., & Probosari, R. M. (2012b). Pengaruh Model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses sains ditinjau dari kemampuan akademik siswa. Pendidikan Biologi, 4(2), 33–43.

Page 178: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

167

Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Untuk

Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa

Yulia Sastri Selama, Nurul ain, dan Hena Diana Ayu

Pendidikan Fisika, Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Kanjuruan [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning ( PBL) dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas VIII-D di SMP Negeri 2 wagir. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIII-d SMP Negeri 2 Wagir sebanyak 26 orang siswa. Teknik pengambilan data pada ranah afektif dan psikomototik melalui instrumen penilaian observer dan pada ranah kognitif melalui tes dengan jumlah 10 soal persiklus, kemudian data yang diperoleh dianalisis menggunakan excel. Berdasarkan pembelajaran yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa. Kata Kunci: Problem based learning, hasil belajar afektif, kognitf, psikomotorik

PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah salah satu mata pelajaran pada tingkatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sulistyorini dan Supartono (2007) menyatakan “pada hakikatnya, IPA dipandang dari segi produk, proses dan pengembangan sikap. Hal ini berarti bahwa belajar IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil (produk), dan dimensi pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut bersifat saling terkait”. IPA berhubungan dangan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. Sementara itu, keberlangsungan hidup manusia sangat bergantung pada alam. Afrizon, Ratnawulan, & Fauzi (2012) menyatakan bahwa “berbagai macam upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya: menyempurnakan kurikulum, menggratiskan biaya sekolah untuk siswa SD dan SMP, melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir, melengkapi sarana dan prasarana seperti: laboratorium IPA, laboratorium komputer, perpustakaan, dan masih

banyak lagi sarana dan prasarana yang menunjang, memperbaharui model dan metode pembelajaran, mengadakan sertifikasi, penataran dan seminar guru. Selain itu, tahun 2010 pemerintah melakukan kegiatan Pendidikan Berkarakter”.

Hasil Belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah proses belajar berlangsung yang dapat memberikan perubahan tingkah laku untuk pengetahuan, pemahaman, sikap, dan ketetrampilan siswa sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagaimana yang dikemukan Sudjana (2015) hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang afektif, kognitif, dan psikomotor yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar pada ranah afektif dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas diantaranya siswa sangat ramai, keluar masuk ruangan, tidak mendengar penjelasan dari guru, ribut sendiri, tidak mengerjakan tugas, sehingga dalam penilaian afektif proses pembelajaran siswa masih kurang yang menyebabkan hasil belajar mereka kurang optimal.

Page 179: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

168

Hasil belajar pada ranah kognitif dapat dilihat dari data nilai siswa kelas VIII-D yang berjumlah 26 orang, yang memenuhi standar KKM sejumlah 40 %, sedangkan yang tidak memenuhi standar KKM sejumlah 60 %. Dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh sekolah adalah 75%. Sehingga hasil belajar siswa dalam menggunakan ranah kognitif belum optimal. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa. Karena anggapan bahwa IPA sebagai pelajaran menakutkan oleh siswa/siswi. Siswa mengalami kesulitan dalam menghafal, pemahaman, penerapan, dan analisis, sehingga membuat siswa terasa jenuh, membosankan dan kurang tertarik dalam proses pembelajaran berlangsung. Hasil belajar pada ranah psikomotor mengemukakan bahwa keterampilan proses merupakan keterampilan yang mengarah kepada pembangunan kemampuan dalam mengelolah waktu dan cara mengatur bahan pelajaran atau bahan percobaan dalam proses pembelajaran berlangsung masih kurang. Berdasarkan hasil pengamatan di kelas VIII-D pada saat peserta didik melakukan percobaan dalam kelompok yang terdiri dari 5-6 orang. Ada beberapa peserta didik yang belum tahu cara menggunakan alat dan bahan, cara penempatan rumus masih rendah, dan siswa tidak konsisten dalam mengelola waktu pada saat percobaan berlangsung. Sehingga dalam ketrampilan proses peserta didik masih kurang yang menyebabkan hasil belajar mereka kurang optimal.

Berdasarkan permasalahan di atas peneliti mencoba mencari solusi untuk dapat mengatasi hal tersebut, yaitu perlu adanya model pembelajaran yang mampu menangani berbagai permasalahan tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dapat mencapai tujuan dan meningkatkan hasil belajar terlebih khusus dalam pembelajaran IPA

yaitu dengan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan model pembelajaran sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan dan konsep serta pemecahan suatu masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata (Fakhriyah, 2014) diawal pembelajaran secara berkelompok membentuk pembelajar yang otonom dan mandiri. Dengan pembelajaran ini, siswa dapat aktif memecahkan masalah sehingga dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dri penelitian ini adalah 1) Apakah penerapan model pembelajaran PBL dapat meningkatkan hasil belajar (afektif, kognitf, psikomotorik) IPA pada siswa kelas VIII-D di SMP Negeri 2 Wagir, dan 2) Bagaimana kualitas keterlaksanaan pembelajaran menggunakan model PBL dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-D SMP Negeri 2 Wagir. Adapun tujuannya 1) untuk meningkatkan hasil belajar (afektif,kognitif, dan psikomotorik) IPA pada siswa SMP negeri 2 Wagir melalui penerapan model pembelajaran PBL dan 2) untuk mengetahui kualitas pembelajaran dengan model PBL dalam meningkatkan hasil belajar.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-D SMP Negeri 2 Wagir tahun ajaran 2018/2019 yang terdiri dari 26 siswa. Waktu penyelengaraan penelitian ini pada semester II (genap). Tahapan PBL yang dilakukan menurut Arends (2008) memiliki 5 sintak. Materi yang di gunakan adalah Tekanan KD 3.8. Guru model didampingi oleh 2 observer. Data hasil belajar kognitif siswa berupa skor jawabn soal tes kognitif siswa setiap akhir siklus. Pada ranah afektif dan psikomotorik dinilai melalui observer

dengan skor dan ruprik penilaian afektif

Page 180: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

169

dan psikomotorik, Data keterlaksanaan pembelajaran yaitu skor pencapaian keterlaksanaan pembelajaran oleh guru dan siswa dengan menggunakan model pembelajaran PBL.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan peneilitian tindakan kelas sebanyak dua siklus. Hasil keterlaksanaan pembelajaran dan hasil belajar IPA siswa diuraikan berikut.

Keterlaksanaan pembelajaran

Data persentase keterlaksanaan pembelajaran oleh guru pada siklus I dan siklus II diketahui terdapat peningkatan. Data perbandingan persentase keterlaksanaan pembelajaran oleh guru pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1 dibawah dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase keterlaksanaan pembelajaran oleh guru pada siklus I dengan rata-rata 77,14% dan pada siklus II dengan rata-rata 89,19 % .

Gambar 1 Grafik Perbandingan

Keterlaksanaan Model Pembelajaran I

Kualitas keterlaksanaan

pembelajaran

Pada proses pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran PBL diperoleh data observasi keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pedoman penilaian keterlaksanaan pembelajaran yang dibagi beberapa kegiatan yaitu kegiatan

pendahuluan, kegiatan inti serta kegiatan penutup.

Pada tahap pendahuluan pada siklus I pada saat guru memberikan motivasi, apersepsi acuan, menyampaikan pertanyaan pemecahan masalah serta tujuan pembelajaran kurang maksimal dan kurang dilakukan sehingga keterlaksanaan pendahuluan pada siklus I kurang maksimal dengan rata-rata 79,1 % kriteria cukup baik dan pada siklus II guru mengupayakan dengan adanya perbaikan yang dilakukan guru terhadap siklus I, yakni dengan menyampaikan pertanyaan pemecahan masalah tentang pelajaran yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran secara jelas dan terperinci sehingga siswa lebih terarah kegiatan mengikuti selama pembelajaran.

Pada tahap inti pada siklus I kurangnya kemampuan guru dalam memecahkan suatu permasalahan, siswa belum tahu bisa menentukan tujuan dari proses pemecahan masalah yang akan didiskusikan secara berkelompok dan siswa belum terbiasa dalam memecahkan suatu permasalahan, siswa juga belum paham dalam menggunakan alat dan bahan yang diperlukan, sehingga pada tahap ini kegiatan pembelajaran mengalami penurunan dengan nilai rata-rata 75,7% dengan kategori kurang baik. Dan guru mengupayakan untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran pada siklus II dengan mengubah cara menyampaikan suatu permasalahan dan guru memberikan contoh yang sederhana yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan secara berkelompok, sehingga siswa mudah paham dan dimengerti, dan guru memberikan arahan untuk menentukan alat dan bahan terlebih dahuluan sebelum proses pemecahan masalah berlangsung dari itu siswa mudah paham dan mengerti cara menentukan alat dan bahan yang diperlukan. Sehingga pada proses kegiatan inti pada siklus II sangat

Page 181: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

170

meningkat dengan nilai rata-rata 89% dengan kategori sangat baik.

Pada tahap penutup yang terdapat pada siklus I kurang kemampuan guru dalam menjelaskan kembali materi selama proses kegiatan berlangsung sehingga kegiatan penutup pada siklus I sedikit mengalami penurunuan dengan nilai rata-rata 92 % dengan kategori sangat baik dan pada siklus II guru memngupayakan untuk memperbaiki cara menyampaiakan atau cara menjelasakn materi kepada siswa sehingga siswa lebih paham dan mengerti dan bisa menarik kesimpulan

sehingga terjadinya peningkatan keterlaksanaan pembelajaran kegiatan penutup yang mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata 100 % . Karena pada saat penyampain materi mereka sudah terlihat antusias dan siswa sudah paham dalam menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan materi yang sudah dibahas. Hasil Belajar IPA siswa

Hasil belajar pada ranah afektif

Hasil perbandingan penilaian hasil belajar afektif tiap siklus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Perbandingan Penilaian Hasil Belajar Afektif Pada Siklus I dan II

Berdasarkan Gambar 2 diketahui

bahwa ranah afektif dapat meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran IPA di kelas VIII-D dapat dibuktikan pada siklus I dengan rata-rata 76 % dan pada siklus II dengan rata-rata 99%. Berdasarkan instrumen penilaian afektif siswa, rata-rata siswa sangat meningkat dan aktif terhadap pelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran PBL. Dari beberapa cara yang telah dilakukan oleh peneliti dalam mengidentifikasi penilaian afektif siswa terhadap penerapan model pembelajaran PBL pada mata pelajaran IPA dapat diketahui bahwa penilaian afektif siswa sangat baik dan selalu mengalami peningkatan dalam setiap siklus. Sehingga model pembelajaran ini dikatakan tepat dan

dapat membangkitkan penilaian sikap siswa dalam kegiatan belajar siswa. Dalam kegiatan mengajar peranan afektif sangat diperlukan karena dapat mengarahkan dan memelihara kedisplinan, tanggung jawab, kejujuran dalam melakukan kegiatan belajar. Penilaian afektif akan mendorong dan mempengaruhi tingkah laku siswa nantinya.Pada proses pembelajaran yang dilaksanakan dihasilkan dari data observasi menggunkan instrument afektif yang terdiri dari beberapa aspek afektif, yaitu :

Sikap Aktif

Sikap aktif siswa pada siklus I masih terlihat banyak siswa yang kurang aktif atau kurang berpartisipasi dalam

Page 182: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

171

melakukan praktikum sehingga kegiatan praktikum tidak berjalan sesuai yang di perlukan dapat dilihat dengan rata-rata 70,5%, sedangkan pada siklus II sikap aktif siswa sudah sangat meningkat dengan rata-rata 84 %. Sehingga guru mengupayakan agar siswa harus aktif dalam melakukan praktikum secara berkelompok sehingga proses terlaksanannya praktikum dapat berjalan dengan baik dan lancar. sikap aktif dalam kelompok merupakan salah satu tahap model pembelajaran PBL berbasis masalah yaitu tahap menyelesaikan masalah dimana dalam tahap menyelesaikan masalah siswa dilatih untuk mencari ide atau berpikir secara mandiri. Meningkatnya presentasi siswa aktif dalam berdiskusi pada siklus II karena guru melakukan perbaikan atas kekurangan pada siklus I.

Tanggung Jawab

Pada aspek tanggung jawab siklus I masih banyak yang kurang bertanggung jawab dalam mengerjakan LKS dan tugas dalam kelompok dengan persentase 75 % sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 92 % .Guru mengupayakan untuk mengarahkan siswa untuk saling bertanggung jawab dalamberdiskusi, mengerjakan LKS atau tugas yang diberikan karena guru menegaskan agar semuanya harus bisa mengerjkan tugas dengan baik sehingga pada siklus II aspek tanggung jawab sangat meningkat. Kejujuran

Pada aspek kejujuran siklus I masih banyak yang kurang bersikap jujur dalam mengerjakan LKS karena masih ada kelompok lain saling melihat hasil kerja kelompok lainya sehingga persentase 71% dengan kriteria kurang baik, sedangkan pada siklus II guru mengupayakan untuk tidak saling melihat hasil kerja kelompoknya dan harus bekerjasama dalam mengerjakan LKS sehingga proses disksusi berjalan dengan lancar. Pada siklus II aspek kejujran sudhan meningkat karena siswa

sudah mengerjakan LKS dengan jujur bersam teman kelompoknya dengan persentase menjadi 83% kriteria sangat baik. Sikap kejujuran pada tahap model pembelajaran PBL ini sangat di butuhkan agar siswa dilatih untuk bias mengerjakan soal dan LKS dengan mandiri tanpa harus melihat temannya.

Kedisiplinan

Pada aspek kedisplinan yang terjadi pada siklus I masih kurang karena masih banyak siswa yang ribut sendiri, ngobrol dengan temannya, siswa kurang berantusias dalam melakukan kegiatan eksperiemen dalam proses pembelajaran berlangsung dengan hasil persentase 88 %, sedangkan pada siklus II guru mengupayakan atau mengarahkan siswa untuk tidak bercerita sendiri atau ngobrol dengan teman kelompoknya dan harus bersikap atusias dam siswa selama proses kegiatan eksperiemen berlangsung siswa sudah terarah apa yang disampaikan gurunya dan siswa berantusias dan tidak ada yang ribut sendiri, tidak ada yang bahan diluar materi sehingga dikatakan aspek ini sangat meningkat dengan persentase 100 %. Sikap kedisiplinan dalam model pembelajaran PBL sangat diperlukan agar siswa melatih untuk bersikap displin terhdapa guru dan juga temannya.

Kerjasama dalam Melakukan

Percobaan

Pada aspek kerjasama siklus I masih kurang karena siswa belum terlihat kerjsamanya dalam kelompok masih ada yang mengharapkan temannya untuk mengerjakan tugasnya sehingaa kegiatan eksperiemen tidak berjalan dengan baik dengan persentase 75% sedangkan pada siklus II guru mengarahkan untuk tidak ulang kembali pada siklus II guru mengupayakan untuk saling bekerjasama dalam menyelesaiakn proses pemecahan masalah sehingga aspek kerjasama dikatakan sangat meningkat 100 %. Kerjasama dalam model pembelajaran

Page 183: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

172

PBL ini sangat diperlukan agar siswa bias bekerjasam dalam melakukan percobaan atau mengerjakan tugas kelompok

Menghargai Pendapat Orang lain

Pada aspek mengharap pendapat siklus I masih kurang terlihat pada saat kelompok lain mempersentasikan hasil kerja diskusinya di depan kelas masih banyak yang tidak memperhatikan teman yang sedang membaca hasilnya didepan kelas sehingga suasana kelas sangat ramai dan rata-rata persentase 79 % sedangkan pada siklus II guru mengingaktkan siswa untuk saling mengharagai temannya dan siswa pun sudah terarah dan bisa mendengarakan temannya pada saat mereka mempresentasikan hasil diskusinya didepan kelas sehingga pada aspek ini dikatakan sudah sangat meningkat 88 % karena guru sudah mengupayakan dengan baik.

Hasil belajar IPA pada ranah kognitif Hasil belajar kognitif siswa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Perbandingan Penilaian Hasil

Belajar Kognitf

Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa hasil belajar kognitf dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA dengan rata-rata pada siklus I 72 % dikategorikan kurang baik karena belum mencapai KKM yang sudah ditentukan di sekolah dan pada siklus II dengan rata-rata 88,04 %, karena sudah mencapai KKM yang sudah ditentukan.

Pemahaman kognitif belajar siswa yang meningkat merupakan salah satu

tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar merupakan salah satu indicator dari mutu pengajar yang menverminkan mutu pendidikan. Aspek kohnitif belajar siswa merupakan kemampuan kognitif siswa yang dapat diukur secar langsung melalui berbagai pembuktian, salah satunya adalah tes akhir setiap siklus.

Tes yang dilakukan adalah tes secara indibidu yaitu tes yang harus diselesaikan oleh siswa tanpa bantuan teman dan banyaknya soal pada siklus I adalah 10 soal pilihan ganda . Keberhasilan tindaka diukur dengan pencapaian ketuntasan belajar disesuaikan dengan kriteria ketuntasan belajar yang digunakan pada mata pelajaran IPA di SMP Negeri 2 wagir minimal 75%. Dari data hasil tes siswa pada tes akhir siklus I diketahui nialai rata-rata kemampuan kognitif siswa adalah 72 % mengalami peningkatan sebsar 12,04% dari hasil nilai UTS . Siswa yang tuntas pada siklus I 14 orang .

Pada tes akhir siklus II diketahui nilai rata-rata kemampuan kognitf siswa adalah 83,04% mengalami peningkatan 22,04 dari hasil tes siklus I. Siswa yang tuntas belajar pada siklus II adalah 22 orang siswa dengan persentase 8804% dari jumlah siswa yang belum tuntas belajar sebanyak 4 siswa. Dapat diketahui bahwa kemampuan kognitf belajar siswa dikategorikan sudah mencapai belajar. Berdasarkan urairain tersebut dapat disimpulkan bahwa kemapuan kognitf belajar siswa pada pelajaran IPA dengan menerapkan model pembelajaran PBL mengalami peningkatan. Karena model ini selain meningkatkan kemampuan kognitf belajar siswa, model ini juga sangat berguna dalam melatih siswa untuk memecahkan masalah secar aktif dan kemampuan siswa dalam berpikir.

Hasil belajar pada ranah psikomotorik

Hasil belajar psikomotorik siswa per siklus dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 184: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

173

Gambar 4 Perbandingan Penilaian Hasil Belajar Psikomotorik Pada Siklus I Dan II

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa hasil belajar psikomotorik dapat meningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA dengan rata-rata nilai pada siklus I adalah 79% dan pada siklus II rata-rata nilai yang meraka dapat adalah 84 %.

Mampu menjelaskan permasalahan

Pada indicator ini rata-rata penilaian psikomotorik siswa pada siklus I sebesar 84 % dan pada siklus II sebesar 85%. Peningkatan pada infikator ini disebabkan karena guru selalu merespon pertanyaan dari siswa sehingga siswa merasa mendapat perhatian guru dan siswa mulai membangun diskusi di dalam kelompoknya sehingga mereka memunculkan berbagai ide atau pendapatnya didalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi.

Mampu menjelaskan tujuan percobaan

Pada indicator ini rata-rata penilaian psimomotorik siswa pada siklus I siswa sebesar 88% dan pada siklus II sebesar 92%. Peningkatan pada indicator ini disebabkan karena guru mengarahkan siswa sehingga siswa mencapai tujuan praktikum yang mereka lakukan.

Mampu memecahkan masalah

Pada indikator ini rata-rata penilaian psikomotorik siswa pada siklus I siswa sebesar 77% dan pada siklus II

sebesar 79%. Peningkatan pada indicator ini disebabkan karena siswa teliti dan aktif dalam menyelesaikan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi.

Mampu menyebutkan alat dan bahan

percobaan

Pada indicator ini rata-rata penialain psikomotorik siswa pada siklus I siswa sebesar 75% dan pada siklus II sebesar 81%. Peningkatan pada indicator ini disebabkan karena guru sudah menjelaskan alat dan bahan yang akan diperlukan sehingga siswa sudah teliti dalam menggunakan alat dan bahan percobaan.

Mampu menyebabkan langkah-langkah

percobaan

Pada indikator ini rata-rata penialain psikomotorik siswa pada siklus I sebesar 71% dan pada siklus II sebesar 83%. Peningkatan pada indikator ini disebabkan karena guru sudah mengarahkan cara menyelesaikan praktikum sehingga siswa sudah terarah dan paham dalam melalukan pratikum. Mampu membuat kesimpulan percobaan

Pada indikator ini rata-rata penilain psikomotorik siswa pada siklus I sebesar 75% dan pada siklus II sebesar 86%. Peningkatan pada indicator ini disebabkan siswa sudah mulai paham permasalahan sehingga mereka mudah paham dalam menyimpulkan permasalahannya yang diperlukan.

Page 185: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

174

Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem

Based Learning (PBL) dapat meningkatakan hasil belajar IPA pada siswa kelas VIII-D di SMP Negeri 2 Wagir.

SIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) penerapan model PBL dapat meningkatkan hasil belajar (Afektif. Kognitif, dan Psikomotorik) siswa pada mata pelajaran IPA kelas VIII-D di SMP Negeri 2 Wagir (hasil belajar siswa siklus I dan Siklus II): a) Hasil Belajar Afektif Siswa dapat meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran IPA di kelas VIII-D dan dapat dibuktikan pada nilai siklus I dengan rata-rata 76 % dikategorikan cukup baik dan pada siklus II dengan rata-rata 99% dikategorikan sangat baik; b) Hasil Belajar Kognitif dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA dengan rata-rata pada siklus I 72 % dikategorikan kurang baik karena belum mencapai KKM yang sudah ditentukan di sekolah dan pada siklus II dengan rata-rata 88,04 % dikategorikan sangat baik karena sudah mencapai KKM yang sudah ditentukan, dan c) Hasil Belajar Psikomotorik dapat meningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA dengan rata-rata nilai pada siklus I adalah 79% dikategorikan cukup baik dan pada siklus II rata-rata nilai yang meraka dapat adalah 84 % dikategorikan sangat baik; dan 2) kualitas keterlaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran PBL dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-D dan dapat dibuktikan pada siklus I dengan rata-rata 77,14% dikategorikan baik dan pada

siklus II dengan rata-rata 89,19 % dikategorikan sangat baik.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizon, R., Ratnawulan, R., & Fauzi, A. (2012). Peningkatan perilaku berkarakter dan keterampilan berpikir kritis siswa kelas ix mtsn model padang pada mata pelajaran ipa-fisika menggunakan model problem based instruction. Jurnal

Penelitian Pembelajaran

Fisika, 1(1). Arends, Richard I. (2008). Learning to

teach: belajar untuk mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fakhriyah, (2014). Penerapan model

pembelajaran problem based

learning (pbl) untuk meningkatkan

meningkatkan hasil belajar ipa

siswa kelas viii ipa-1 sma frateran

malang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Kanjuruhan Malang

Hamalik. (1995). Penerapan model

pembelajaran problem based

learning untuk meningkatkan hasil

belajar IPA. Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Kanjuruhan Malang

Sudjana, (2005) meningkatkan hasil

belajar ipa smp/mts. Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Kanjuruhan Malang

Sulistyorini, S., & Supartono, M. S. (2007). Model Pembelajaran IPA SD dan Penerapannya Dalam KTSP. Yogyakarta: Tiara

Wacana. Sugiyono. (2015). Metode penelitian

kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Republik Indonesia No.

23 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Page 186: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

175

Validitas dan Reliabilitas Angket Kreativitas

Mencipta Produk Media Pembelajaran Fisika

Wiwik Agustinaningsih

Program Studi Tadris Fisika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Antasari

[email protected]

Abstrak Daya kreativitas menjadi fokus pendidikan dewasa ini yang mengarah pada penggalian potensi individu untuk mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang terus berubah. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli pendidikan sebelumnya bahwa kreativitas menjadi daya seseorang untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah bentuk instrumen penilaian diri dalam hal kreativitas bagi mahasiswa Tadris Fisika semester III UIN Antasari Banjarmasin yang menempuh mata kuliah Media Pembelajaran Fisika. Instrumen berupa angket dikembangkan mulai dari penentuan aspek kreativitas, pengembangan indikator, hingga merumuskan pertanyaan angket. Proses pengembangan angket dilakukan dengan prinsip penelitian pengembangan 4-D . Aspek yang digunakan adalah tinjauan proses berpikir kreatif yang meliputi fluency (kelancaran berpikir), flexibility (berpikir luwes), originality (berpikir orisinil/asli), dan elaboration (berpikir detail). Penilaian diri dipengaruhi oleh proses perkuliahan pengembangan media belajar fisika sederhana yang dibuat sesuai dengan gaya belajar kelompok mahasiswa. Validasi oleh ahli memberikan penilaian 3,54 pada skala 4 dengan kategori baik bahkan mendekati sangat baik untuk validitas isi, konstruksi, keterbacaan, dan prosedur penskoran. Reliabilitas stabil angket sangat tinggi yaitu 0,943 dilihat dari derajat kesalahan 5%. Penentuan reliabilitas ini diperoleh dari hasil pengulangan tes terhadap mahasiswa yang sama pada waktu yang berbeda (dua minggu setelah tes I). Berdasarkan hasil penilaian tersebut dapat disimpulkan angket kreativitas mencipta produk media pembelajaran fisika bersifat valid dan layak digunakan dalam penilaian kreativitas diri bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Media Pembelajaran Fisika. Kata Kunci: Instrumen, berpikir kreatif, gaya belajar

PENDAHULUAN

Tujuan pembelajaran IPA khususnya Fisika harus mampu mengarahkan pembelajarnya untuk meningkatkan daya imajinasi, kreatif, dan logis dalam berpikir (Fauziah, 2011: 99). Artinya guru yang kreatif sudah tentu bisa menjadikan siswanya turut berlatih menjadi kreatif. Mata kuliah media pembelajaran fisika ditujukan untuk mengembangkan kreativitas calon pendidik untuk mampu memanfaatkan hingga mengembangkan media belajar bagi siswa. Kegiatan dalam proses perkuliahan di kelas dikondisikan agar dapat memberi pengajaran sarat pengalaman bagi mahasiswa calon guru fisika dalam membuat media sederhana.

Dari kegiatan ini diharapkan muncul potensi kreatif pada diri mahasiswa.

Potensi kreatif menjadi perhatian dunia pendidikan mengingat pentingnya daya ini sebagai penciri output Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas. Jiwa manusia pada dasarnya menyenangi hal-hal yang baru. Kreatif berarti kemampuan seseorang untuk menghasilkan inovasi terhadap ide yang dikembangkannya hingga memberi nilai tambah maupun manfaat baru yang lebih bernilai. Besaran SDM kreatif inilah sebagai salah satu potensi yang perlu dipetakan dalam usaha meningkatkannya melalui proses pendidikan.

Pemetaan daya kreatifitas dapat dilakukan melalui penilaian diri oleh

Page 187: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

176

mahasiswa. Secara deskriptif, instrumen khusus dalam perkuliahan media pembelajaraan fisika dengan proses pengembangan produk media belum cukup banyak. Hal ini sebagai bagian permasalahan di perguruan tinggi dimana desain proses perkuliahan yang mendorong pemikiran kreatif dan meningkatkan kreativitas masih belum banyak diberikan pada perguruan tinggi (Baker dkk dalam Setyawan, 2006). Artinya pengalaman pendidikan generasi muda ini sering dikondisikan menuju pendekatan pasif dalam proses belajar mereka berupa teori.

Terlebih kreativitas, karena termasuk sisi psikologis individu, tidak mendapat perhatian untuk secara eksplisit termuat dalam kurikulum perguruan tinggi. Untuk itu dilakukan pengembangan angket kreativitas mencipta produk media pembelajaran fisika mengacu pada aspek kreativitas yang meliputi fluency (kelancaran), flexibility (keluwesan), originality

(orisinil), dan elaboration (memperinci) sebagai fokus.

Munandar dalam Islami dkk (2013: 250) memberikan ciri khas yang menunjukkan kemampuan berpikir kreatif pada seorang individu meliputi: 1) Keterampilan berpikir lancar (fluency), 2) Keterampilan berpikir luwes (flexibility), 3) Keterampilan berpikir orisinil (originality), dan 4) Keterampilan memperinci (elaboration). Indikator keempat aspek penciri tersebut yaitu: 1) kelancaran meliputi: a) mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak perntanyaan dengan lancar, b) memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, c) memikirkan lebih dari satu jawaban; 2) Kelenturan meliputi: a) menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, b) melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, c) mencari banyak alternatif atau arah yan berbeda-beda, dan d) mampu mengubah

cara pendekatan atau cara pemikiran; 3) keaslian meliputi: a) mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, (b) memikirkan cara yang tidak lazim, c) mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagiannya; 4) Elaborasi meliputi: a) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; dan b) Menambah atau memerinci detail-detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Indikator inilah yang menjadi dasar dalam pengembangan angket.

Angket dikembangkan mulai dari perumusan indikator berdasar definisi keempat aspek kreativitas sebelumnya. Selanjutnya setiap indikator diturunkan menjadi butir pertanyaan angket yang mengarah pada review pengalaman proses hingga menghasilkan produk media pembelajaran. Selanjutnya angket dikonsultasikan kepada ahli untuk mendapat penilaian serta saran perbaikan. Biro Layanan dan Bimbingan Konseling UIN Antasari menjadi wadah validasi instrumen dengan pertimbangan bahwa kreativitas termasuk ranah psikologis individu. Setelah revisi dan pembaharuan segi bahasa dan konten, angket diujicobakan pada mahasiswa yang telah menyelesaikan tugas pengembangan media belajar fisika dalam proses perkuliahannya.

Terkait proses perkuliahan, skema yang diadopsi yaitu strategi belajar mencipta produk (Agustinaningsih, 2018). Rancangannya dengan membagi siswa dalam kelompok belajar berdasar gaya belajar untuk selanjutnya membuat media sesuai gaya belajarnya dan melalui tahapan exploring, inventing, choosing,

dan implementing. Exploring berarti mengidentifikasi hal-hal yang ingin dilakukan, untuk kemudian berekplorasi terhadap hal-hal baru di lingkungan sekeliling, termasuk bahan baku yang berbeda, cara produksi yang berbeda yang belum pernah dipakai, atau cara produksi yang tidak dilakukan oleh

Page 188: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

177

perusahaan lain. Inventing dimulai dengan review terhadap bahan baku, alat, dan metode yang dimiliki untuk mewujudkan ide hasil eksplorasi. Review

dilakukan terhadap alat-alat yang akan digunakan untuk produksi, teknik, dan metode yang akan digunakan. Dalam hal ini pertimbangan berbagai hal merujuk pada efisiensi produksi. Choosing

dilakukan dengan analisis terhadap beberapa ide alternatif untuk selanjutnya memilih ide yang paling mungkin dilaksanakan. Ide terpilih disesuaikan dengan pasar yang dituju. Pada tahap ini dilakukan ujicoba terhadap produk dan mendapat koreksi balikan dari konsumen baik secara langsung maupun hasil analisis pemilik usaha. Tahap terakhir pembelajaran implementing, yaitu dengan menambah kualitas produk berdasar saran perbaikan dari kelompok lain saat presentasi di tahap choosing.

Sebagai contoh kelompok mahasiswa visual akan membuat media majalah fisika atau memanfaatkan macromedia flash. Demikian pula untuk kelompok mahasiswa kinestetik dan auditori sesuai dengan pilihan kreasi kelompoknya. Hal ini karena seseorang akan bisa bekerja sesuai dengan gaya belajarnya. Berarti kreativitasnya dapat diuji lewat belajar menghasilkan media yang bersesuaian dengan gaya belajar mahasiswa dalam satu kelompok. Tujuan pengelompokan pun tidak lepas dari adanya tuntutan proses kreatif yang dianggap lebih banyak perhatiannya pada individu dibandingkan kelompok (Harms dkk, 2017: 61). Sehingga dengan berkelompok dapat menstimulasi siswa untuk lebih mengeksplorasi daya kreativitasnya serta melatih kerja sama. Pernyataan lain yang mendukung bahwa hasil kerja individu secara mandiri tidak bisa memperlihatkan pola kreatif (Setyawan, 2006).

Pengembangan angket ini bersifat inovatif karena berusaha mendeskripsikan sebaran kreativitas mahasiswa. Umumnya deskripsi

kreativitas dalam belajar fisika dinilai melalui soal (Santofani & Dadan, 2016: 133). Perbedaan dalam penelitian ini adalah mengetahui kreativitas melalui angket penilaian diri terhadap kreativitas. Dimana siswa dapat lebih jujur dan terbuka dalam menjawab pertanyaan. Sebagaimana tanggapan dari mahasiswa penggunanya, angket kreativitas mencipta produk bisa mudah dijawab karena mahasiswa menilai dengan keadaan diri dan pengalaman belajar sebelumnya.

Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah 1) bagaimana tahapan pengembangan angket kreativitas mencipta produk media pembelajaran fisika?, dan 2) bagaimana validitas dan reliabilitas angket kreativitas mencipta produk media pembelajaran fisika?. Tujuannya adalah untuk mengetahui tahapan ilmiah proses pengembangan angket hingga menghasilkan angket yang valid dan reliabel.

METODE

Proses pengembangan angket dilakukan dengan prinsip penelitian pengembangan 4-D oleh Thiagarajan dkk meliputi Define (Pendefinisian), Design (Perancangan), Develop (Pengembangan), Disseminate (Penyebaran). Proses pendefinisian, dirumuskan indikator dari 4 aspek kreativitas yang sudah ditetapkan. Aspek yang dipilih merupakan aspek kreativitas ditinjau dari proses berpikir. Hal ini karena dalam perkuliahan media pembelajaran fisika, mahasiswa dituntut berpikir kreatif untuk menghasilkan media pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya sendiri. Setelah ditentukan aspek, selanjutnya menuju pada proses desain angket yang mengacu pada indikator.

Gambar 1 Tahapan Metode 4D

Page 189: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

178

Define (Aspek kreativitas dan

rumusan Indikator)

Indikator dikembangkan dari definisi berbagai pemahaman oleh banyak ahli kajian kreativitas dan buku maupun jurnal terkait. Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian indikator

sesuai aspek kreativitas seperti pada tabel 1. Sepuluh indikator untuk setiap aspek kemudian dikembangkan menjadi butir pertanyaan. Pertanyaan ini mengarah pada proses pengembangan media pembelajaran fisika yang dilakukan oleh mahasiswa selama satu semester.

Tabel 1 Aspek dan indikator kreativitas mencipta produk

Aspek Indikator

Fluency Menemukan hal-hal yang luar biasa dibalik hal-hal yang tampak biasa Menemukan masalah yang tidak umum dan penyelesaiannya Kemampuan menyeimbangkan kreasi gagasan dengan pengujian dan penilaian Hasrat untuk melenyapkan berbagai hal yang membatasi kemampuan Mampu menemukan dan mendefinisikan masalah Memberikan banyak ide, jawaban, solusi masalah, pernyataan dengan lancar Mencetuskan banyak cara maupun saran dalam melakukan tugas Memikirkan lebih dari satu jawaban alternative Menyiasati kegiatan rutin dengan cerdas Memiliki waktu bekerja yang padat/sibuk

Flexibility Membuat keterkaitan-keterkaitan yang tak terpikir oleh orang lain Menemukan tujuan lainnya dalam suatu tugas Tidak takut terhadap hal yang belum dikenalnya Memiliki kemampuan mengatasi stress Tidak takut menyatakan pemikiran dan perasaannya Dorongan untuk menemukan keteraturan dalam kekacauan Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi; Melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran;

Elaboration Menganggap diri kreatif Memberikan nilai tambah dan keindahan Berorientasi pada masalah Membutuhkan privasi dan kesendirian daripada orang pada umumnya Mampu berkonsentrasi penuh Memiliki rasa humor yang tinggi Menggabungkan hal-hal sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda, tak terduga, dan tidak lazim Memiliki intuisi kuat Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; Menambah atau memerinci detail-detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Memiliki semangat bekerja lebih banyak

Originality Menemukan solusi yang baru dan bermanfaat Menemukan suatu cara melakukan sesuatu dengan berbeda Menyelesaikan masalah dengan cara yang unik Menyukai keambiguan Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik;

Page 190: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

179

Memikirkan cara yang tidak lazim; Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian- bagiannya; Lebih banyak mendengar Menanyakan kepada pengguna tentang rasa, kualitas, ukuran, dan tampilan produk Berteman dengan banyak orang berbeda

Design (Draft I angket)

Dengan memperhatikan faktor isi, konstruksi, keterbacaan, dan pedoman penskoran, akhirnya didapatkan draft I angket Kreativitas Mencipta Produk Media Pembelajaran Fisika yang siap dikonsultasikan serta diberi penilaian oleh pakar sebagai validator dari Biro Layanan Bimbingan dan Konseling UIN Antasari Banjarmasin.

Aspek penilaian oleh ahli meliputi validitas isi, validitas yaitu telaah kemampuan suatu alat ukur untuk memberikan hasil pengukurannya dengan baik sesuai dengan indikator kreativitas. Sederhananya alat ukur tersebut dapat melakukan fungsi

ukurnya. Validitas konstruk menunjukan kemampuan untuk menterjemahkan teori ke dalam angket yang dikembangkan. Elemen lainnya yaitu keterbacaan dan prosedur penskoran.

Develop (Draft II angket)

Instrumen yang dihasilkan berupa angket dengan bentuk pernyataan dalam 3 tingkat skala penilaian (sering, kadang, dan jarang). Karena tinjauan aspek dalam ranah kognisi atau proses berpikir, maka kata kerja operasional mengacu pada tingkatan kognitif taksonomi Bloom. Uraian pertanyaan dalam kaitan indikator untuk setiap aspek disajikan pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.

Tabel 2 Uraian Butir-butir Pertanyaan Angket Kreativitas Aspek Fluency

Indikator Uraian

Menemukan hal-hal yang luar biasa dibalik hal-hal yang tampak biasa

Saya menemukan hal-hal yang tak terduga pada proses pengembangan media yang tampak biasa

Menemukan masalah yang tidak umum, juga penyelesaiannya

Saya menemukan penyelesaian masalah yang tidak umum pada pengembangan media

Kemampuan menyeimbangkan kreasi gagasan dengan pengujian dan penilaian

Saya mampu menyeimbangkan kreasi gagasan media dengan pengujian dan penilaiannya

Hasrat untuk melenyapkan berbagai hal yang membatasi kemampuan mereka

Saya menyingkirkan hal-hal yang menghambat ide dalam pengembangan media

Mampu menemukan dan mendefinisikan masalah sendiri

Saya mampu menemukan dan mendefinisikan masalah dalam pengembangan media secara mandiri

Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pernyataan dengan lancar;

Saya mengungkapkan pendapat saat diskusi pengembangan media di kelas

Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal;

Saya memberikan banyak saran untuk mengembangkan media

Memikirkan lebih dari satu jawaban; Saya memikirkan lebih dari satu jawaban untuk menemukan bentuk pengembangan media

Mampu menyiasati rutinitas dengan cerdas

Saya membuat jadwal untuk melaksanakan pengembangan media agar selesai tepat waktu

Memiliki waktu bekerja yang padat/sibuk

Saya memiliki sedikit waktu luang untuk mengerjakan pengembangan media

Lanjutan Tabel 1

Page 191: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

180

Tabel 3 Rumusan Butir-butir Pertanyaan Angket Kreativitas Aspek Flexibility

Indikator Uraian

Membuat keterkaitan-keterkaitan baru yang tak terpikir oleh orang lain

Saya menghubungkan suatu ide pengembangan media dengan pengalaman sebelumnya

Menemukan tujuan baru dalam suatu tugas

Saya menambahkan tujuan baru dalam proses pengembangan media

Tidak takut terhadap hal yang belum dikenalnya

Saya mengembangankan media yang belum pernah dikembangkan sebelumnya?

Memiliki kemampuan mengatasi stress Saya mampu mengatasi hambatan dalam pengembangan media

Tidak takut menyatakan pemikiran dan perasaannya

Saya mengungkapkan gagasan pengembangan media secara langsung tanpa takut ditolak

Dorongan untuk menemukan keteraturan dalam keadaan kacau balau

Saya berusaha mengatasi konflik dalam kelompok pengembangan media

Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi;

Saya memberikan gagasan media yang bervariasi

Melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda;

Saya memandang masalah dalam pengembangan media dari sudut pandang berbeda

Mencari banyak alternatif atau arah yan berbeda-beda;

Saya mencari banyak alternatif pemecahan masalah dalam pengembangan media

Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran;

Saya mengubah cara penyelesaian masalah saat cara lama tidak berhasil

Tabel 4 Rumusan Butir-butir Pertanyaan Angket Kreativitas Aspek Elaboration

Indikator Uraian

Menganggap diri kreatif Saya merasa diri sebagai pribadi kreatif Memberikan nilai tambah dan keindahan

Saya menambahkan nilai keindahan pada produk media pembelajaran

Berorientasi pada masalah Membutuhkan privasi dan kesendirian daripada orang pada umumnya

Saya membutuhkan kesendirian untuk memahami permasalahan dalam pengembangan media

Mampu berkonsentrasi penuh Saya mampu berkonsentrasi penuh saat bekerja dengan media yang dikembangkan

Memiliki rasa humor yang tinggi Saya mengembangkan rasa humor dalam media yang dibuat

Menggabungkan hal-hal sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda, tak terduga, dan tidak lazim

Saya mengkolaborasikan berbagai ide untuk dalam pengembangan media pembelajaran

Memiliki intuisi kuat Saya memahami cara kerja suatu alat tanpa dipelajari dahulu

Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk;

Saya mengembangkan gagasan pengembangan media pembelajaran dari yang sudah ada

Menambah atau memerinci detai;-detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Saya memberikan detail dari konsep media pembelajaran yang dibuat

Memiliki semangat bekerja lebih banyak

Saya memiliki semangat untuk melakukan tugas lainnya disamping pengembangan media

Page 192: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

181

Tabel 5 Rumusan Butir-butir Pertanyaan Angket Kreativitas Aspek Originality Indikator Uraian

Menemukan solusi yang baru dan bermanfaat

Saya menemukan manfaat lain yang berbeda pada media hasil pengembangan

Menemukan suatu cara melakukan sesuatu dengan berbeda

Saya melakukan pengembangan media dengan cara yang tidak sama dengan sebelumnya

Menyelesaikan masalah dengan cara yang unik

Saya menyelesaikan produk pengembangan media dengan cara yang tidak biasa

Menyukai keambiguan Saya menyenangi keadaan dimana media yang dikembangkan mengundang pertanyaan

Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik;

Saya memberi ungkapan unik secara spontan terhadap media hasil pengembangan

Memikirkan cara yang tidak lazim; Saya memikirkan cara yang tidak lazim dalam menyelesaikan pengembangan media

Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian- bagiannya;

Saya memasukkan kombinasi yang berbeda pada produk pengembangan media

Lebih banyak mendengar Saya suka mendengarkan presentasi ide media milik kelompok lain untuk memantik ide baru

Menanyakan kepada pengguna tentang rasa, kualitas, ukuran, dan tampilan produk

Saya menanyakan pendapat pengguna terkait media hasil pengembangan

Berteman dengan banyak orang berbeda

Saya mendiskusikan pembuatan media pembelajaran dengan orang-orang berbeda latar belakang keilmuan

Angket yang sama diberikan pada

mahasiswa yang sama sebanyak dua kali untuk melihat reliabilitasnya. Reliabilitas dimaksudkan kemampuan pengembang angket menterjemahkan teori yang digunakan ke dalama alat ukur. Sampel ujicoba angket dilakukan pada 18 orang mahasiswa semester III Tadris Fisika tahun akademik 2018/2019 yang mengambil mata kuliah Media Pembelajaran Fisika. Jarak pemberian angket pertama dan kedua adalah 2 minggu, dengan jumlah soal 40 butir. Reliabilitas dihitung dengan menggunakan rumus pearson.

Secara sederhana tahapan pengembangan angket ini mengadopsi cara pengembangan instrumen angket motivasi belajar oleh Sudibyo dkk (2016: 19) yang sudah diadaptasikan meliputi: a) menentukan aspek-aspek kreativitas, b) merumuskan indikator-indikator kreativitas, c) menyusun pertanyaan angket berdasar indikator, d) menguji

keterbacaan dan validitas isi, dan e) menguji reliabilitas angket. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan angket ini dilakukan dengan menguji validitas dan reliabilitas. Widodo (2006: 5) menyebutkan pengujian tentang kedua bentuk analisis penilaian diri mahasiswa ini penting karena instrumen yang secara khusus dipergunakan untuk mengukur atau menilai konsep diri mahasiswa belum cukup banyak diteliti dan dibakukan. Hal ini karena konsep penilaian diri yang terus berkembang karena bisa dipandang sebagai dimensi tunggal juga multidimensi. Untuk itu perlu penyesuaian dengan keperluan peneliti terhadap objek yang dikajinya. Penelitian ini menyesuaikan penilaian diri mahasiswa dengan angket yang menelaah sisi kreativitas mahasiswa dalam menciptakan produk media belajar fisika.

Lanjutan Tabel 5

Page 193: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

182

Penilaian diartikan sebagai aktivitas yang sistematis dan berkesinambungan oleh pendidik untuk mendapatkan, menganalisa, dan memberikan penafsiran terhadap data terkait proses dan hasil belajar, agar menjadi sumber informasi yang bermakna dalam usaha pengambilan keputusan pembelajaran (Nursalim, 2011). Dengan demikian hasil penilaian diri akan kreativitas ini bisa digunakan sebagai informasi untuk mengambil pendekatan pembelajaran yang lebih efektif sesuai pemetaan aspek kreativitas mahasiswa. Adapun hasil pengujian sebagai berikut.

Validitas Isi

Validitas isi dilakukan dengan diskusi informasi dengan ahli bidang psikologi pada BLBK UIN Antasari Banjarmasin. Hasil diskusi memberikan saran masukan dari segi bahasa, konstruksi angket, dan penilaian terhadap draft angket. Adapun aspek yang dinilai meliputi validitas isi, konstruksi angket, keterbacaan (bahasa), dan prosedur penskoran. Hasil validasi memberikan nilai rata-rata 3,54 pada skala maksimal 4, dengan kategori baik yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kriteria Penilaian Angket oleh

validator Aspek Skor Kriteria

Validitas Isi 3,33 Baik Konstruksi 3,67 Baik Keterbacaan 3,75 Baik Prosedur Penskoran

3,33 Baik

Validitas isi dinilai dari kesesuaian

perumusan indikator dengan aspek kreativitas, relevansi soal dengan tujuan penilaian kreativitas pengembangan media pembelajaran fisika, dan perumusan soal yang sesuai dengan indikator. Konstruksi dinilai dari perumusan kalimat soal, petunjuk menjawab, dan pedoman penskoran.

Keterbacaan dinilai dari perumusan soal yang tidak menimbulkan penafsiran ganda, bahasa soal yang mudah dipahami dan tidak memunculkan kata-kata yang sensitif, serta penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sedangkan prosedur penskoran dinilai pada kesesuaian teknik penilaian dengan tugas, kejelasan prosedur penilaian, dan kelengkapan instrumen berupa grafik skor.

Berdasarkan hasil validasi ahli diperoleh saran perbaikan untuk angket yang sudah dikembangkan. Saran berupa perubahan bentuk pertanyaan menjadi pernyataan angket. Penggunaan kalimat,” Apakah Anda . . .” (yang terkesan interogatif) menjadi, “ Saya mampu . . .”, “Saya merasa . . . ” (introspeksi/penilaian diri). Dengan perubahan ini menjadikan skor keterbacaan lebih tinggi, karena sesuai dengan tujuan pengembangan angket. Secara umum angket kreativitas mencipta produk memberikan data yang relevan sehingga diberikan penilaian baik dalam validasinya.

Perbaikan lainnya dari validasi isi yaitu bentuk pernyataan yang sebelumnya bersifat umum, berubah menjadi khusus karena memasukkan prase “pengembangan media pembelajaran fisika”. Artinya angket ini dikembangkan khusus untuk menilai kreativitas individu yang sebelumnya sudah melalui proses pembelajaran dengan tuntutan output belajar berupa produk kreatif sesuai bidang keilmuannya.

Reliabilitas

Pengujian reliabilitas dilakukan dengan metode pengulangan (reliabilitas stabil). Perolehan skor saat pengambilan data I (X) dihitung korelasinya dengan skor yang diperoleh pada pengambilan data II (Y). Rumus yang digunakan yaitu korelasi Pearson Product Moment (rxy) yang menggambarkan tingkatan reliabilitas angket.

Page 194: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

183

Hasil tabulasi data pada pengolah data excel dilanjutkan dengan melakukan perhitungan dengan rumus Pearson, didapatkan 𝑟𝑥𝑦 = 0,934. Koefisien korelasi 0,80 ≤ 𝑟𝑥𝑦 ≤ 1,00 masuk dalam kategori korelasi positif sangat tinggi (namun tidak sempurna). Tingkat reliabilitas sangat tinggi berarti adanya konsistensi dalam menjawab pertanyaan angket oleh mahasiswa pada pengambilan data I dan pengambilan data II.

Anastasi dan Urbina dalam Widodo (2006: 7) menyebutkan reliabilitas tes menunjukkan perbedaan-perbedaan individual dalam skor perolehan tesnya disebebkan oleh perbedaan-perbedaan sesungguhnya dalam karakteristik setiap individu yang dipertimbangkan. Hal ini berarti angket ini dapat menjadi sarana penilaian diri bagi mahasiswa dengan penunjukan hasil yang relatif sama sekalipun diujikan pada sampel lainnya.

Perolehan nilai reliabilitas tinggi juga dianalisis sebagai perolehan positif dari pengembangan pertanyaan angket yang bersumber dari definisi ahli terhadap keempat aspek kreativitas yang telah teruji. Ditambah dengan proses pengembangannya bersamaan dengan proses pembelajaran kelas hingga presentasi mahasiswa yang secara garis besar dirangkum dalam isi angket. Tentunya mahasiswa akan memberikan jawaban berdasarkan pengalaman belajar dan telaah terhadap diri saat menemui kasus serupa dengan pertanyaan yang diajukan. Dengan angket ini mahasiswa dapat menjawab lebih jujur tanpa ada tekanan maupun pengaruh luar dirinya. Sebagaimana disebutkan ahli bahwa kondisi kreatif yang dipengaruhi lingkungan, dapat muncul ketika individu merasa bebas dari tekanan, aman dan positif (Claxton dalam Setyawan, 2006).

Setiap pertanyaan diawali dengan kata “Saya . . . ., “ yang secara psikologis individu mengoreksi diri sendiri secara utuh. Sehingga jawaban yang diberikan

akan sesuai dengan keadaan subjek angket, sekalipun pada sampel dan waktu yang berbeda. Hal ini berarti angket ini mampu mendefinisikan secara jujur daya kreativitas mahasiswa setelah melalui tahapan belajar kreatif.

Tahap belajar kreatif menjadi dasar terbentuknya karakter kreatif calon guru fisika di masa yang akan datang. Sebagaimana dipahami bahwa tingkat kreativitas memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan seseorang memecahkan masalah khususnya dalam pelajaran fisika (Sambada, 2012: 47).

SIMPULAN

Angket kreativitas mencipta produk mendapat penilaian validasi dengan kategori baik dan reliabilitas dalam korelasi positif sangat tinggi. Ucapan Terimakasih

Terima kasih kepada Allah Swt atas karunia-Nya, maka penulisan artikel ini dapat diselesaikan dengan baik. Biro Layanan dan Bimbingan Konseling (BLBK) UIN Antasari Banjarmasin sebagai wadah validator instrumen, sehingga mendapat saran perbaikan yang sangat bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Agustinaningsih, W. (2018). Investasi dalam pendidikan fisika menuju kominitas ilmiah dan sosialistik, Prosiding Seminar Nasional

Pendidikan Banjarmasin,

Pendidikan Fisika, Universitas

Lambung Mangkurat, 137-143. Fauziah, Y. N. (2011). Analisis

kemampuan guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif siswa sekolah dasar kelas V pada pembelajaran IPA. Jurnal pendidikan ke-SD-an

Metodik didaktik UPI, Edisi khusus (2), 98-106.

Harms, M., dkk. (2017). Team creativity: Cognitive processes underlying

Page 195: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

184

problem solving. Elsevier, oxford University Press, 61-86.

Islami, F. N., dkk. (2013). Kemampuan fluency, flexibility, originality, dan self confidence matematika siswa SMP. Jurnal Pembelajaran

Matematika Inovatif, 1 (3) , 249-258.

Nursalim, E. (2011). Implementasi classroom assessment dalam pembelajaran. Jurnal Pendidikan

Al-Rabwah, IV (2). Sambada, D. (2012). Peranan kreativitas

siswa terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika dalam pembelajaran kontekstual. Jurnal

Penelitian Fisika dan Aplikasinya

(JPFA), 2 (2), 37-47.

Santofani, A., & Rosana, D. (2016). Pengembangan tes kreativitas pada pembelajaran fisika dengan pendekatan inkuiri pada materi teori kinetik gas. Jurnal Inovasi

Pendidikan IPA, 2 (2), 132-144. Setyawan, I. (2006). Pembelajaran

pendidikan tinggi dan pengembangan kreativitas. Jurnal

Psikologi Universitas Diponegoro, 3 (2).

Sudibyo, E., dkk. (2016). Pengembangan instrumen motivasi belajar fisika: angket. Jurnal Penelitian

Pendidikan IPA, 1 (1), 13-21. Widodo, P. B. (2006). Reliabilitas dan

validitas konstruk skala konsep diri untuk mahasiswa Indonesia. Jurnal

Psikologi Universitas Diponegoro,

3 (1), 1-9.

Page 196: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

185

Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan

Motivasi dan Prestasi Belajar Fisika Siswa

Klaudius Briantoro Jarut, Nurul Ain, dan Chandra Sundaygara

Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kanjuruhan [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas keterlaksanaan proses pembelajaran, meningkatkan motivasi dan prestasi siswa kelas VIII A Di SMP PGRI 02 Singosari menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Penelitian Ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan rancangan model Kemmis & McTaggart yang terdiri dari dua siklus. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII A SMP PGRI 02 Singosari dengan jumlah siswa 20 orang dengan kemampuan akademik yang berbeda-beda atau heterogen. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: lembar motivasi belajar,dan prestasi belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar dengan peningkatan sebesar 86,36%. Kata Kunci: inkuiri terbimbing, motivasi, prestasi belajar siswa

PENDAHULUAN

Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kualitas kehidupan bangsa sangat penting untuk menciptakan bangsa yang cerdas, damai, terbuka dan demokrasi, maka pembaharuan pendidikan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat bangsa Indonesia karena pendidikan harus dapat menyesuaikan diri (adaptif) terhadap perubahan zaman. Tujuan pendidikan nasional Indonesia menurut Undang-undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman, dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri

serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan demikian maka dengan kata lain tujuan pendidikan ini termasuk di dalamnya membentuk sumber daya manusia yang berkualitas yakni bangsa yang berperilaku takwa kepada Allah SWT, berilmu yang amaliah, beramal yang ilmiah. Dengan harapan bangsa ini mampu hadir dan siap dan berperan dalam persaingan global yang ketat. Gambaran tujuan pendidikan memuat tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan (Tirtarahardja. 2012: 37). Menurut pasal 3 UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Page 197: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

186

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”(UU Sisdiknas, 2011: 6). Di sini terlihat bahwa tujuan pendidikan itu bersifat normatif, yaitu mengandung unsur norma yang bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik (Tirtarahardja, 2012: 37).

Pembaharuan di bidang pendidikan haruslah dilakukan secara terus-menerus agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pendidik perlu memperhatikan keterkaitan materi pelajaran dengan konteks kehidupan peserta didik. Fisika merupakan salah satu disiplin ilmu pengetahuan alam yang cara kerjanya menggunakan menggunakan metode ilmiah. Sebagai hasil ilmu kedalaman penyerapan materi siswa sangat dipengaruhi oleh pendekatan guru. Berhasilnya tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena guru secara langsung dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan pemahaman serta keterampilan siswa. Untuk itu diperlukan suatu upaya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan fisika salah satunya adalah dengan memilih model pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi pelajaran agar diperoleh peningkatan prestasi belajar siswa khususnya pelajaran fisika. Berdasarkan hasil observasi pada magang dua (2) di SMP PGRI 02 Singosari kelas VIII TKB II pada tahun ajaran 2017/2018 diketahui bahwa proses pembelajaran Fisika di SMP PGRI 02 Singosari belum maksimal, ditemukan permasalahan yaitu: pertama, kurangnya sumber buku pembelajaran Fisika, maka ketika guru mengajar perhatian anak tertuju pada guru sehingga anak terlihat pasif dan suasana kelas menjadi tenang.

Kedua, guru masih menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan menjawab soal dan media utamanya adalah papan tulis, pola pembelajaran ini masih menggunakan model yang bersifat eksposisi yakni model pembelajaran yang berpusat pada guru. Ketiga, keberadaan siswa di kelas dalam proses pembelajaran tidak aktif atau siswa pasif.

Kondisi tersebut memberikan dampak pada rendahnya pencapaian hasil belajar siswa pada mata pelajaran Fisika dari segi pemahaman pembelajaran dan tingkat keberhasilan siswa pada pembelajaran Fisika. Berdasarkan hasil observasi motivasi, siswa kurang minat dalam mengikuti proses belajar mengajar dalam kelas, seperti, disuruh mengerjakan tugas malah siswanya lebih mengutamakan bermain sehingga hal ini berdampak pada prestasi belajar siswa. Faktor penyebab prestasi belajar siswa SMP PGRI 02 Singosari dapat dilihat bagaimana guru dalam penyajian materi yang monoton dalam proses pembelajaran sehingga kurang diminati siswa pada materi pelajaran fisika karena tidak disiapkan secara baik dari segi metode maupun media pengajaran. Dari pengamatan peneliti banyak siswa yang tidak mau bertanya, menjawab pertanyaan dalam proses pengajaran, siswa kurang berani mengemukakan gagasan dan memberi komentar dalam kegiatan belajar, sehingga siswa dianggap kurang aktif dalam proses pembelajaran.

Hasil observasi tersebut menunjukkan adanya indikasi siswa kurang termotivasi ketika pembelajaran berlangsung sehingga mengakibatkan pemahaman yang dimiliki oleh siswa menjadi kurang. Karena pemahaman kurang, maka prestasi belajar fisika siswa kelas VIII TKB II menurun. Ini dibuktikan dengan nilai siswa di bawah KKM, dimana nilai KKM yang telah ditetapkan adalah 65, sedangkan hasil nilai ulangan yaitu rata-rata 60,69. Dari 20 hanya 15 yang mencapai ketuntasan

Page 198: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

187

atau 46,88 % dan sisanya 53,12 % belum mencapai ketuntasan. Menjawab berbagai permasalahan yang ada, perlu ada upaya guru untuk memperbaiki pembelajaran fisika berupa pemilihan model yang tepat dan sesuai materi pembelajaran. Oleh karena itu perlu mencari solusinya, dicari dan dipilih penyelesaian yang terbaik dalam permasalahan ini untuk mengganti model pembelajaran yaitu menggunakan model pembelajaran inkuiri.

Pembelajaran inkuiri terbimbing dipilih dengan alasan bahwasanya metode ini sangat cocok digunakan dalam pembelajaran fisika, karena sesuai dengan karakter fisika itu sendiri yang lebih menekankan produk, proses, dan sikap ilmiah. Selain itu,dalam metode ini tingkah laku dilibatkan dalam usaha siswa di SMP PGRI 02 Singosari untuk

menjelaskan secara rasional fenomena alam, melibatkan keterampilan aktif siswa yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas keterlaksanaan proses pembelajaran, meningkatkan motivasi dan prestasi siswa kelas VIII A Di SMP PGRI 02 Singosari menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing.

METODE Penelitian ini menggunakan

rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Kemmis & Mc Taggart. Desain penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Desain penelitian model Kemmis & Mc Taggart

Penelitian ini dilaksanakan di SMP

PGRI 02 Singosaripada semester genap tahun pelajaran 2017/2018, bertempat di Singosari. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas SMP PGRI 02 Singosari dengan jumlah siswa 20 yang terdiri dari 8 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan dengan kemampuan akademik yang

berbeda-beda atau heterogen. Instrumen perlakuan adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan observasi yang dilakukan observer berkaitan dengan

Page 199: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

188

keterlaksanaan penerapan model inkuiri terbimbing yang diterapkan guru berjalan dengan cukup baik, yang ditandai dengan adanya peningkatan keterlaksanaan pembelajaran dari siklus I ke siklus II. Guru mengawali dengan melakukan pendekatan kepada siswa agar tidak merasa canggung dengan perubahan dan menggali kemampuan siswa agar terlibat aktif di dalam pembelajaran tentang hukum Newton I dan hukum Newton II. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing nampak pada langkah-langkah pembelajaran pada siklus I dan siklus II. Pada siklus I terdiri dari dua kali pertemuan, sedangkan siklus II terdiri dari dua kali pertemuan. Pada siklus I pertemuan pertama diterapkan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan materi yang diajarkan adalah hukum Newton I dapat berjalan dengan cukup baik, tapi masih ada yang perlu perhatikan dan membutuhkan bimbingan dalam mengkoordinir siswa dalam menerapkan model sehingga pembelajaran di kelas tidak berpusat kepada siswa yang mampu dan

mengabaikan siswa yang kurang mampu. Pertemuan ketiga siswa diberikan tes akhir untuk untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran fisika dengan menggunakan model inkuiri terbimbing. Pengamatan yang dilakukan observasi dua kali pertemuan pada siklus I dengan menggunakan lembar observasi sudah berjalan dengan baik hasilnya pun hampir mencapai kriteria yang suda ditetapkan. Dengan melihat lembar observasi yang kekurangannya masih ada, guru dan observer melakukan perbaikan untuk mengatasi kekurangan yang ada di siklus I. Sehingga pada tahap siklus II guru mampu meningkatkan suatu proses pembelajaran yang akurat untuk mencapai hasil belajar yang sangat baik. Kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang diamati oleh observer dengan menggunakan lembar observasi terhadap aktivitas siswa pada siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan dalam pembelajaran. Perbedaan keterlaksanaan pembelajaran kedua siklus dapat dilihat malalui Gambar 2.

Gambar 2 Diagram keterlaksanaan pembelajaran

Pada Gambar 2 di atas dijelaskan

bahwa ada perbedaan peningkatan keterlaksanaan pembelajaran pada siklus I dan siklus II. Kegiatan awal ada peningkatan sebesar 20%, kegiatan inti ada peningkatan sebesar 19,44% dan kegiatan akhir ada peningkatan sebesar 14,81%. Sedangkan rata-rata

keterlaksanaan pembelajaran 81,02% kategori baik.

Motivasi Belajar Siswa

Keterlaksanaan motivasi belajar siswa yang diamati pada siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 200: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

189

Gambar 3 Grafik presentase motivasi belajar siswa

Hasil observasi motivasi belajar

selama penerapan model inkuiri terbimbing dari aspek motivasi minat pada siklus I (81.25%) dan siklus II (90.62%) ada peningkatan sebesar 9,37%. Aspek perhatian pada siklus I (87.5%) dan siklus II (93.75%) ada peningkatan sebesar 6,25%. Aspek konsentrasi pada siklus I (84.37%) dan siklus II (93.75%) ada peningkatan sebesar 9,38%. Aspek Pemahaman materi pada siklus I (84.37%) dan siklus II (93.75%) ada peningkatan sebesar 9,38%. Aspek senang pada siklus I (81.25%) dan siklus II (100%) ada peningkatan sebesar 18,75%. Sedangkan aspek tekun pada siklus I (81.25%) dan siklus II (96.87%) ada peningkatan sebesar 15,62%. Rata-rata keseluruhan aspek motivasi pada siklus I (83.33%) dan siklus II (94.79%) mencapai 11,46% termasuk kategori Baik. Dalam pembelajaran ini, upaya guru dari refleksi siklus I selalu berupaya memberi arahan serta selalu mendamping siswa dan mendatangi kesetiap kelompok, dan selalu menyuruh siswa untuk mecatat tujuan pembelajaran dan materi pembelajaran yang penting, sehingga pada refleksi siklus II guru meneruskan penerapan inkuiri terbimbing agar hasil belajar siswa dan motivasi belajar siswa dapat mencapai ketuntasan klasikal. Berdasarkan uraian tersebut bahwa pengelolaan kelas untuk mengodisikan siswa supaya kondusif dalam belajar adalah penting untuk dilakukan sehingga

pembelajaran dapat berlangsung efektif, selain itu guru juga selalu memberikan pendampingan dan perhatian kepada siswa secara merata sehinggga motivasi klasikal siswa juga meninngkat.

Prestasi Belajar Siswa

Penerapan model inkuiri terbimbing pada siklus I nilai 67,65% mengalami peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada di siklus II dengan mencapai 76,55%. Peningkatan hasil belajar siswa tersebut memberikan gambaran bahwa penerapan model inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas VIII A SMP PGRI 02 Singosari. Peningkatan hasil belajar fisika siswa tiap siklus dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peningkatan Hasil Belajar

Siswa pada Siklus I dan Siklus II

Hasil penelitian ini mendukung

hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Arliyanti (2014) yang

Page 201: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

190

menunjukan adanya pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing

terhadap prestasi belajar siswa serta penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2016) yang membuktikan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing

berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hasil dalam pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar siswa selama proses pembelajaran dengan memberikan tes akhir pada setiap siklusnya. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam pelaksanaannya memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa pada ranah kognitif. Hasil ini dapat diketahui dari semakin terlibatnya siswa di dalam proses pembelajarannya pada siklus I dan siklus II, meningkatnya hasil belajar siswa dipengaruhi juga karena meningkatnya motivasi belajar siswa di dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjaya (2009:249) siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan memiliki hasil belajar yang tinggi, begitu pun siswa yang motivasi belajarnya rendah, cenderung hasil belajarnya juga rendah. Berdasarkan hasil ketuntasan belajar yang dimiliki siswa pada siklus I sebesar 67,65%, dan meningkatkan pada siklus II menjadi sebesar 76,55%. Hasil ketuntasan siswa secara klasikal pada siklus I rata-rata mencapai nilai 71,73% meningkatkan pada siklus II dengan rata-rata nilai 82,59%. Hasil tersebut membuktikan bahwa ketercapaian ketuntasan siswa secara klasikal telah tercapai dengan standar yang telah ditetapkan yaitu ≥80% yang mencapai nilai ≥70. Pencapaian hasil belajar yang meningkatkan pada siklus II juga nampak pada kegiatan pertemuan yang dilakukan selama 2 pertemuan pada siklus II. LKS yang dibagikan siswa pada tahap inkuiri terbimbing membuktikan bahwa proses pembelajaran akan berhasil pada tahap inkuiri terbimbing siswa sudah mampu untuk menyampaikan ide dan gagasannya berbagi dengan pasangan

kelompok lain dan menanggapi jawaban dari pasangan kelompok lain. Sejalan dengan penelitian tersebut penelitian yang dilakukan oleh Simamora (2014) yang menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diberikan model pembelajaran kooperatif inkuiri terbimbing sangat memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan kelas kontrol yang hanya diberikan metode pembelajaran secara konvesional. Penelitian Surayya, dkk (2014) yang menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvesional. Berdasarkan hasil penelitian di atas tersebut peneliti menyimpulkan bahwa proses pembelajaran yang menggunakan model inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa terlebih khusus pada mata pelajaran Fisika.

SIMPULAN

Simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1) ada perbedaan peningkatan keterlaksanaan pembelajaran pada siklus I dan siklus II, 2) pada siklus I presentase rata-rata motivasi belajar siswa sebesar 83.33% dengan kategori baik, dan 3) pembelajaran model inkuiri terbimbing

dapat meningkatkan prestasi belajar fisika.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, N. (2014). Implementasi pendekatan inkuiri sosial untuk meningkatkan pembelajaran sosiologi kelas xi ips di ma miftahul falah pasuruan. Review

Pendidikan Islam, 1(1), 55-64. Adawiyah, R. (2016). Pengaruh

pembelajaran inkuiri terhadap

kemampuan berpikir kritis dan

prestasi belajar siswa pada materi

animalia di man

bangkalan (Doctoral dissertation,

Page 202: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

191

University of Muhammadiyah Malang).

Sanjaya, W. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Jakarta: Prenada.

Sisdiknas. (2011).UU RI Nomor 20

Tahun 2003 Tentang Sisidiknas. Penerbit Citra Umbara: Bandung.

Tirtarahardja, dkk. (2012). Pengantar

pendidikan. (Edisi Revisi). Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.

Page 203: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

192

Pemanfaatan Aplikasi Android dalam meningkatkan Minat Belajar

Mahasiswa Pendidikan IPA

Ellyna Hafizah dan Farida Hayati

Pendidikan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

Abstrak

Pendidikan di abad 21 adalah pendidikan berbasis teknologi. Pendidikan berbasis teknologi ditunjang dengan media pembelajaran berbasis teknologi. Tujuan dari riset ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan aplikasi android dalam meningkatkan minat belajar mahasiswa Pendidikan IPA FKIP ULM. Metode yang digunakan adalah studi literatur. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif berupa statistik deskriptif, dan kualitatif dalam penjabaran hasil data. Hasil penelitian menunjukan bahwa aplikasi android digunakan untuk membantu penyelesaian tugas mahasiswa. penggunaan aplikasi android juga mampu dalam meningkatkan minat belajar mahasiswa. Riset ini sebagai dasar dari riset selanjutnya berupa pengembangan media ajar berbasis aplikasi android. Kata Kunci: Media ajar, aplikasi android, minat belajar

PENDAHULUAN

Media merupakan perantara penyampaian informasi, dalam Arsyad (2013) menekankan media sebagai perantara antara sumber dan penerima. Menurut Gultom (2016), media adalah bagian dari proses belajar mengajar. Menurut Arsyad (2010) media merupakan alat yang digunakan dalam proses belajar yang dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar.

Proses belajar di lingkungan harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak (Arsyad, 2013). Menurut Yusuf (2012), mahasiswa berada dalam rentang usia 18-25 tahun yaitu masa perkembangan remaja akhir dan dewasa awal. Menurut Gunarsa (2001:129-131), perkembangan mahasiswa berupa menerima keadaan fisiknya, memperoleh kebebasan emosional, menemukan model untuk identifikasi sendiri dalam proses belajar. Oleh karena itu, proses belajar mahasiswa harus menyesuaikan tahap dari perkembangannya.

Proses belajar mengajar di perkuliahan sumber informasi adalah dosen, mahasiswa, orang lain, bahan bacaan. Menurut Schramm (1977) dan Briggs (1977) dalam Istiqlal (2018) media itu merupakan teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan dosen atau sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi yang disampaikan kepada mahasiswa.

Dosen harus memiliki kemampuan untuk memilih media yang tepat. Menurut Emda (2011), tujuan penggunaaan media yang tepat adalah mahasiswa maksimal dalam memahami materi. Mahasiswa adalah peserta didik yang pandai dalam mengoperasikan tekknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Pemilihan media yang tepat adalah menyesuaikan dengan kebiasaan mahasiswa terutama penggunaan perangkat mobile atau smartphone. Menurut purbasari (2014) Perangkat mobile yang paling banyak digunakan adalah perangkat dengan sistem operasi android.

Media pembelajaran untuk mahasiswa idealnya adalah media yang

Page 204: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

193

berbasis teknologi. Menurut Darling Hammond & Bransford, (2005) teknologi dapat menyediakan alat untuk menilai berbagai bidang praktik, seperti simulasi, yaitu membuat model atau alat visualisasi pada bidang sains dan alat menganalisis naskah pada literatur. Tujuan dari riset ini ialah untuk mengkaji pemanfaatan aplikasi android dalam meningkatkan minat belajar mahasiswa Pendidikan IPA FKIP ULM. METODE

Metode yang digunakan dalam kajian ini merupakan kajian lieratur atau studi pustaka. Studi ini mengkaji pemanfaatan aplikasi android sebagai media pembelajaran oleh mahasiswa. Hasil kajian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN

Media pembelajaran berbasis android adalah media pembelajaran berbasis teknologi. Menurut Lubis & Ikhsan (2015) Penggunaan android sebagai sistem operasi pendukung yang digunakan dalam perangkat mobile di Indonesia berkembang ke taraf maksimal dengan rentang usia remaja ke dewasa. Banyaknya penggunaan perangkat mobile semakin membuka peluang digunakannya perangkat mobile dalam dunia pendidikan.

Penggunaan perangkat bergerak (mobile device) dalam proses pembelajaran kemudian dikenal sebagai mobile learning (m-learning) (Gorgiev,dkk, 2004). O’Malley (2003:6) mobile learning mendukung pendidikan yang dinamis dan tidak statis dalam keterbatasan ruang.

Pemanfaatan media berbasis android dapat meningkatkan motivasi dan prestasi kognitif peserta didik seperti yang dikatakan oleh Forment & Guerrero (2008) bahwa media berbasis mobile bersifat fleksibel, dapat digunakan berulang-ulang sesuai dengan kesiapan dan kemauan mahasiswa.

Media pembelajaran berbasis android ini dapat meningkatkan pemanfatan perangkat mobile atau tablet sebagai media belajar untuk peserta didik (Calimag, Mugel, Conde, & Aquino, 2014:119-128). Menurut Lubis & Ikhksan (2015) penggunaan aplikasi android telah meningkatkan secara signifikan antara motivasi belajar dan prestasi kognitif mahasiswa, mahasiswa juga mampu menyelesaikan tugas dengan bantuan aplikasi android tersebut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fredyana & Dewanto (2016) media pembelajaran berbasis android sangat layak dan menerima respon positif dari mahasiswa, juga mampu meningkatkan hasil belajar. Menurut Yuntoto (2015) Aplikasi android sangat layak digunakan sebagai media pembelajaran.

Media aplikasi android sangat menarik minat mahasiswa dalam proses pembelajaran. Hal tersebut berdasarkan penelitian Amin & Mayasari (2015) bahwa media pembelajaran berbentuk aplikasi android berbasis webblog yang telah dibuat sangat membantu dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran di perkuliahan sebagai alat bantu penyelesaian tugas-tugas. Mahasiswa sangat tertarik pada produk yang dikembangkan.

Menurut penelitian Papadakis, Kaliogiannas, & Zaranis (2017), bahwa media pembelajaran berbasis aplikasi android mampu meningkatkan kemampuan emosional dan kognitif dalam pendidikan lingkungan formal maupun nonformal.

Pemilihan aplikasi android sebagai media pembelajaran di perkuliahan adalah sesuai dengan perkembangan mahasiswa. Aplikasi android adalah media pembelajaran berbasis teknologi yang terbukti mampu meningkatkan motivasi, miat serta hasil belajar mahasiswa.

Page 205: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

194

SIMPULAN

Aplikasi android merupakan media pembelajaran berbasis tekologi yang sesuai diterapkan dalam perkuliahan. Media tersebut juga mampu meningkatkan iat dan motivasi serta hasil belajar mahasiswa. Selain sebagai media, aplikasi android juga menjadi alat bantu mahasiswa menyeesaikan tugas-tugas. DAFTAR PUSTAKA

Amin, A.K., & Mayasari, N. (2015). Pengembangan media pembelajaran berbentuk aplikasi android berbasis weblog untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa Pendidikan matematika ikip pgri bojonegoro. Magistra. (94).

Calimag, J. N., Mugel, P. A., Conde, R. S., & Aquino, L. B. (2014). Ubquitous learning environment using android mobile application. International Journal of Research

in Engineering & Technology , 2 (2), 119-128.

Darling-Hammond, L., & Bransford, J. (2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco: JosseyBass.

Emda, A. (2011). Pemanfaatan media dalam Pembelajaran Biologi di Sekolah. Jurnal ilmiah Didaktika, 12(1), 149-162.

Forment, M., & Guerrero, J.C. (2008). Moodlbile: Extending moodle to the mobile on/offline scenario. Proceedings of the IADIS

International Conference on

Mobile Learning. Fredyana, C. A., & Dewanto. (2016).

Pengembangan media pembelajaran berbasis android pada mata pelajaran teknologi dasar otomotif untuk kelas X

SMK Negeri 3 Buduran - Sidoarjo. JPTM, 5(3), 40-46

Gultom, J. (2016). Pemanfaatan media dalam proses belajar mengajar. Jurnal UNM. Medan.

Istiqlal, A. (2018). Manfaat media pembelajaran dalam proses belajar dan mengajar mahasiswa di perguruan tinggi. Jurnal

Kepemimpinan Dan Pengurusan

Sekolah. 3(2), 139-144. Lubis, I. R., & Ikhsan J.(2015).

Pengembangan media pembelajaran kimia berbasis android untuk meningkatkan motivasi belajar dan prestasi kognitif peserta didik sma.Jurnal

Inovasi Pendidikan IPA. 1(2). O’Malley,C, dkkl. 2003. Guidelines

forlearning/ Teaching/ Tutoring in a Mobile Environtment (Online), (http://www.mobilearn.org/download/results/guidelines.pdf , diakses pada 12 maret 2019.

Papadakis, S., Kalogiannis, M., & Zarannis, N.(2017). Educational apps from the android google play for greek preschooler: a systematic review. Journal

Computer & Education. 116(3), 139-160

Purbasari, R. J. (2014). Pengembangan aplikasi android sebagai media pembelajaran matematika pada materi dimensi tiga untuk Siswa SMA kelas X. Jurnal Pendidikan

dan Teknologi. 1(2). Yuntoto, S. (2015). Pengembangan

aplikasi android sebagai media pembelajaran kompetensi pengoperasian sistem pengendali elektronik pada siswa kelas XI SMKN Pengasih. Tugas akhir

skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta

Page 206: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

195

Pemanfaatan Produk Radar Cuaca dan Satelit untuk Mengidentifikasi

Sebaran Abu Vulkanik (Studi Kasus Letusan Gunung Agung Tanggal 26

November 2018)

Audia Azizah Azani1, Christine Natalia Sanda Tata2, Kuntinah3, Imma Redha

Nugraheni4, dan Abdullah Ali5

1,2,3,4Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 5Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

[email protected] , [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Radar cuaca dan satelit merupakan instrumen penginderaan jauh yang digunakan untuk memindai kondisi atmosfer. Objek yang dapat ditangkap oleh instrumen tersebut salah satunya adalah abu vulkanik. Pada tanggal 26 November 2017, Gunung Agung, yang terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, meletus hingga mengeluarkan abu vulkanik. Sebaran abu vulkanik tersebut dapat membahayakan kesehatan hingga keselamatan penerbangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sebaran abu vulkanik tersebut dengan memanfaatkan produk radar dan satelit. Produk radar yang dipakai dalam penelitian ini adalah MAX, VCUT, CAPPI V, dan VVP. Sementara produk satelit yang dipakai adalah satelit Himawari 8 dengan pengaturan RGB. Berdasarkan analisis produk tersebut didapatkan bahwa reflektivitas maksimum yang didapat sebesar 36 dBZ. Ketinggian erupsi mencapai 12-14 km. Material yang terdeteksi berupa material padat jenis coarse ash di lapisan bawah hingga fine ash di lapisan atas. Pergerakan abu vulkanik mendekati radar ke arah selatan hingga tenggara. Kata Kunci: radar cuaca, satelit, abu vulkanik.

PENDAHULUAN

Debu vulkanik merupakan bahan material vulkanik yang disemburkan ke udara ketika terjadi suatu letusan. Debu vulkanik yang terdapat di udara dapat menyebabkan kecelakaan pesawat atau akan menyebabkan kerusakan mesin pesawat. Mesin pesawat yang secara teratur terbang dengan beban debu mineral yang tinggi akan lebih cepat rusak dan membutuhkan perawatan dini (Skybrary, 2015). Untuk keselamatan penerbangan, International Civil

Aviation Organization (ICAO) mendirikan Volcanic Ash Advisory

Center (VAAC) yang bertugas untuk memonitor dan memprediksi sebaran debu vulkanik. VAAC Darwin bertanggungjawab untuk penerbangan di daerah Indonesia.

Di Indonesia, lembaga yang bertanggungjawab untuk mengelola informasi gunung api adalah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). PVMBG memiliki Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) yang bertugas untuk mengamati aktivitas gunung api baik secara visual maupun menggunakan alat.

Instrumen penginderaan jauh seperti satelit dan radar dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi sebaran debu vulkanik. Satelit Himawari 8 merupakan satelit yang banyak dimanfaatkan oleh peneliti di Indonesia untuk melihat sebaran debu vulkanik. Satelit tersebut memiliki 16 kanal serta dapat menghasilkan data tiap 10 menit. Pemanfaatannya dilakukan dengan menggunakan teknik komposit warna RGB (Red-Green-Blue) pada kanal

Page 207: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

196

visible dan infrared. Pengaturan tersebut dilakukan untuk dapat membedakan debu vulkanik dengan objek lain yang ditangkap oleh satelit, seperti awan (Pandjaitan, Susilowati, & Pandjaitan, 2016).

Sementara itu, radar cuaca dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai ketinggian kolom erupsi dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi (Marzano, Marchiotto, Textor, & Schneider, 2006). Radar cuaca memiliki hasil keluaran berupa produk yang dapat dimanfaatkan dalam memperoleh informasi tersebut. Satryabawa (2016) memanfaatkan produk CMAX, VCUT, dan VVP dalam melakukan analisis dari letusan Gunung Kelud pada tanggal 13 Februari 2014 dan Gunung Sangeang Api pada tanggal 30 Mei 2014. Produk tersebut mampu memberikan informasi terkait pola, karakteristik, dan ketinggian debu vulkanik dengan baik dan real time. Setyawan dan Putri (2018) menggunakan produk CAPPI V, MAX, dan VCUT dalam mengidentifikasi sebaran debu vulkanik dari Gunung Sinabung yang meletus pada tanggal 10 Januari 2014. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa radar mampu memberikan informasi arah sebaran yang lebih detail sesuai level ketinggian yang diinginkan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini akan memanfaatkan produk satelit serta

produk radar cuaca yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya untuk mengidentifikasi debu vulkanik yang terjadi saat meletusnya Gunung Agung pada tanggal 26 November 2017. Produk tersebut akan digunakan untuk memverifikasi hasil pengamatan visual dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) serta data prakiraan yang dikeluarkan oleh VAAC Darwin pada tanggal tersebut.

METODE

Lokasi penelitian berada di Gunung Agung yang terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, tepatnya pada koordinat 8° 20′ 35″ LS dan 115° 30′ 25″ BT. Gunung Agung memiliki ketinggian 3.031 meter di atas permukaan laut serta merupakan gunung berapi tipe stratovolcano. Waktu penelitian adalah pada tanggal 26 November 2017, yaitu pada waktu terjadinya erupsi di Gunung Agung. Debu vulkanik diamati menggunakan satelit Himawari 8 dan radar cuaca dari Stasiun Meteorologi Selaparang BIL, Lombok yang terletak pada koordinat 8° 45′ 11″ LS dan 116° 14′ 56″ BT. Penulis memanfaatkan data radar Lombok karena radar ini memiliki scanning task elevasi khusus untuk memantau Gunung Agung. Selain itu, wilayah Gunung Agung juga masih dapat dijangkau oleh radar Lombok dengan jarak sekitar 93 km.

Gambar 1 Lokasi Penelitian

Page 208: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

197

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Data dengan format .vol dan .ele Radar Gematronik di Stasiun Meteorologi Selaparang BIL, Lombok pada tanggal 26 November 2017. Radar cuaca Lombok adalah tipe C-Band single

polarization yang pada saat kejadian erupsi, memakai metode operasional VCP 21 dengan 9 elevasi (0.5°-19,5°), PRF 1125Hz/750 Hz untuk data dalam format .vol dan PRF 600Hz untuk data dalam format .ele. 2) Data satelit Himawari 8 dalam format .Z pada tanggal 26 November 2017 diperoleh dari Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG Pusat. 3) Peta spasial sebaran debu vulkanik Gunung Agung dari VAAC Darwin dapat diunduh di ftp://ftp.bom.gov.au/anon/gen/vaac/2017. Dan 4) Pengamatan visual yang dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang dapat diakses di situs http://www.vsi.esdm.go.id/.

Pengolahan data radar menggunakan software Rainbow 5.49 untuk menghasilkan produk CMAX, VCUT, RHI CAPPI V, dan VVP serta melakukan eksperimen perubahan palette pada produk RHI dengan

mengacu pada Selex Sistemi Integrati (2009). Analisis dilakukan dengan melihat nilai reflectivity dan kecepatan radial dari produk radar untuk fokus melihat jenis debu vulkanik berdasarkan nilai intensitas reflectivitynya.

Gambar 2 Pengelompokan jenis material

debu vulkanik berdasarkan nilai dBZ (SELEX Sistemi Integrati, 2009)

Data satelit Himawari 8 yang

digunakan adalah kanal IR, I2, I4 dan VS. Data tersebut kemudian diolah menggunakan aplikasi SATAID dengan teknik RGB berdasarkan The Volcanic

Ash RGB Product yang dikeluarkan oleh Bureau of Meteorology (2015). Langkah penelitian digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 3 berikut

Gambar 3 Diagram Alir

Page 209: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

198

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Visual PVMBG

Gunung Agung diamati secara visual dan instrumental dari Pos Pengamatan Gunungapi (PGA) yang berlokasi di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem dan Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Berdasarkan pengamatan visual yang dilakukan oleh PVMBG (2017) pada tanggal 26 November 2017, erupsi magmatik berwarna debu kelabu tebal telah teramati pada pukul 05.05 WITA (21.05 UTC) dengan ketinggian 2000 meter dari atas bibir kawah atau 5 km dari mean sea level (MSL). Debu menyebar ke arah tenggara dan timur jatuh paling tebal di Desa Sibetan (5 mm). Sebaran debu terjauh sampai ke Nusa Penida, Lombok, dan Sumbawa yang berada di bagian tenggara dari lokasi kejadian. Intensitas erupsi debu mengalami peningkatan pada pukul 05.45 WITA (21.45 UTC) dengan ketinggian

mencapai 3000 meter dari atas puncak (6 km dari MSL), hingga mencapai ketinggian 3300 m (6.3 km dari MSL) pada pukul 11:00 WITA (03.00 UTC).

Analisis Model Prakiraan VAAC

Darwin

Gambar 4 menampilkan informasi mengenai prakiraan arah sebaran debu vulkanik yang dikeluarkan oleh VAAC Darwin pada jam 01.20 UTC untuk perkiraan hingga jam 19.20 UTC dengan interval 6 jam. Pengamatan ketebalan debu vulkanik dilihat dari lapisan permukaan hingga 26.000 feet atau 8000 meter. Pada jam 01.20 UTC, debu vulkanik tersebar ke arah tenggara dengan kecepatan 10 knots. Pada enam jam berikutnya atau jam 07.20 UTC, VAAC memprakirakan bahwa debu vulkanik menyebar ke arah tenggara hingga selatan. Pola sebaran yang serupa juga terlihat pada pukul 13.20 UTC dan 19.20 UTC.

Gambar 4 Prakiraan sebaran debu vulkanik oleh VAAC Darwin

Page 210: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

199

Analisis Citra Satelit

Dalam mengolah data satelit, pengaturan warna R = S1 (IR-I2), G= S2 (I4-IR), B = VS (siang), I4 (malam). Dari satelit terlihat bahwa pada tanggal 26 November 2018 jam 01.00 UTC terdapat erupsi Gunung Agung yang terlihat dalam citra warna magenta dengan arah sebaran ke arah tenggara. Pada pukul 03.00 UTC sebaran debu vulkanik hanya sedikit terlihat karena terdapat awan Cumulonimbus di sekitar Gunung Agung. Pada pukul 07.00 UTC sebaran debu vulkanik di sekitar Gunung Agung tidak telihat karena tertutup oleh awan Cb yang sangat luas. Sebaran debu terlihat di perairan antara Bali dan Lombok dan sebagian sudah sampai di Lombok yang terlihat dengan citra warna merah. Pada pukul 13.00 UTC sebaran debu vulkanik di sekitar Gunung Agung mulai berkurang dengan warna yang mulai pudar. Pada pukul 17.00 UTC debu vulkanik semakin berkurang dengan warna sedikit kuning ke arah tenggara. Pada pukul 19.00 UTC debu vulkanik berwarna kuning ke arah timur, yang mana ini menunjukkan bahwa debu vulkanik tersusun dari partikel debu yang sangat kecil. Hasil tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Analisis citra satelit Himawari

8 di wilayah Gunung Agung tanggal 26 November 2017 menggunakan teknik RGB (a) 01.00 UTC (b) 03.00 UTC (c) 13.00 UTC (d) 19.00 UTC

Analisis Citra Radar

Produk CMAX

Berdasarkan analisis hasil citra radar Lombok menggunakan produk CMAX pada ketinggian 4 km (Gambar 6), pada jam 01.00 UTC terlihat debu vulkanik di sekitar koordinat Gunung Agung yang meluas ke arah tenggara dengan reflectivity maksimum 35.5 dBZ dengan range antara 5-35.5 dBZ. Jam 03.00 UTC, reflectivity maksimumnya naik menjadi 37.5 dBZ dengan range antara 0-37.5 dBZ serta memiliki echo yang semakin meluas. Jam 13.00 UTC mengalami penurunan menjadi 33.0 dBZ dengan range antara 0-33.0 dBZ serta luasan echo semakin berkurang. Jam 19.00 UTC, reflectivity maksimum yang ditangkap radar turun menjadi 32.5 dBZ dengan range antara 0-32.5 dBZ.

Gambar 6 Analisis reflectivity di wilayah

gunung Agung tanggal 26 November 2017 produk CMAX (a) 01.00 UTC (b) 03.00 UTC (c) 13.00 UTC (d) 19.00 UTC

Produk VCUT

Wardoyo (2013) menyebutkan bahwa echo debu vulkanik umumnya memiliki perubahan konsentrasi material terhadap ketinggian di lapisan dasarnya jika ditampilkan melalui produk VCUT. Gambar 7 menunjukkan skema VCUT yang mewakili tahap perkembangan echo material vulkanik untuk mendapatkan struktur vertikal dan ketinggian echo erupsi material vulkanik. Produk VCUT dibuat dengan ketinggian 0-20 km dan garis cut line pada koodinat awal 8.753 LS dan 116.249 BT hingga pada

Page 211: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

200

koordinat 8.313 LS dan 115.442 BT di mana kedua koordinat tersebut merupakan letak radar cuaca Lombok dan koordinat sekitar Gunung Agung. Hasil VCUT menunjukkan bahwa ketinggian erupsi material vulkanik mencapai 13-14 km dari MSL. Pada jam 01.00 UTC ketinggian erupsi mencapai 11-12 km dari MSL dengan nilai reflectivity maksimum 36 dBZ. Jam 03.00 UTC untuk ketinggian erupsi bertambah hingga 13-14 km dari MSL dengan nilai reflectivity maksimum 32 dBZ. Jam 13.00 untuk ketinggian erupsi berkurang hingga 9-10 km dari MSL dengan nilai reflectivity maksimum 32 dBZ. Jam 19.00 UTC untuk ketinggian erupsi tetap pada 9-10 km dari MSL dengan nilai reflectivity maksimum 31 dBZ. Daerah puncak gunung secara vertikal pada gambar ditunjukkan oleh daerah yang dibatasi warna merah.

Gambar 7 Struktur vertikal erupsi

Gunung Agung dari citra produk VCUT tanggal 26 November 2017 (a) 01.00 UTC (b) 03.00 UTC (c) 13.00 UTC (d) 19.00 UTC

Produk RHI dengan Perubahan Palette Dalam mendeteksi material erupsi

gunung api yang memiliki jenis material dan ukuran yang beragam, maka diperlukan perubahan setting palette pada citra produk RHI sehingga radar mampu menampilkan nilai dBZ yang sesuai dengan klasifikasi yang terdapat pada SELEX Sistemi Integrati (2009). Produk RHI digunakan karena menurut SELEX Sistemi Integrati (2009), RHI memiliki resolusi data yang lebih tinggi

dibandingkan VCUT. Citra produk RHI yang ditampilkan jam 00.55 UTC, karena pada jam ini tidak terdeteksi adanya awan sehingga echo yang ditampilkan dapat dikatakan material debu vulkanik. Gambar 8 menampilkan debu vulkanik dengan nilai reflectivity maksimum 16-37.5 dBZ yang termasuk ke dalam jenis coarse ash yang menyebar dari puncak gunung hingga ke ketinggian 8 km (3-11 km dari MSL. Sedangkan pada ketinggian 8-11 km dari puncak gunung (11-14 km dari MSL) terdapat material jenis fine ash dengan reflectivity kurang dari 16 dBZ, tepatnya berada pada range 2-15 dBZ.

Gambar 8 Debu vulkanik Gunung

Agung dari citra produk RHI dengan perubahan palette pada jam 00.55 UTC

Produk CAPPI V

Gambar 9 menunjukkan nilai CAPPI V yang ditangkap oleh Radar Lombok. Ketinggian dasar produk CAPPI V diatur pada 3.5 km, 5 km, 10 km, dan 13 km di atas permukaan laut untuk melihat apakah debu vulkanik masih terdeteksi pada ketinggian tersebut. Pada ketinggian 3.5 km, terdapat echo berwarna biru muda di sekitar wilayah meletusnya debu vulkanik, menandakan bahwa objek mendekati radar dengan kecepatan 2-6 m/s. Objek ini masih terlihat di ketinggian 5 km. Namun, pada

Page 212: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

201

ketinggian ini terdeteksi pula echo berwarna putih di mana ini menandakan adanya isodop, yang mengindikasikan adanya perubahan arah angin pada ketinggian tersebut. Objek juga masih terdeteksi pada ketinggian 10 km. Echo mulai berkurang pada ketinggian 13 km.

Gambar 9 Produk CAPPI V tanggal 26

November 2017 jam 03.00 UTC pada ketinggian 3.5 km, 5 km, 10 km, dan 13 km.

Produk VVP

Gambar 10 memperlihatkan profil angin di lokasi radar pada ketinggian 3-13 km di atas permukaan laut dan range

0-90 km pada jam 02.30 UTC hingga 05.00 UTC. Pada ketinggian 3-5 km, arah angin secara konsisten bertiup ke arah selatan hingga tenggara pada rentang waktu tersebut. Arah angin mulai berubah pada ketinggian 5.4 km mulai jam 03.20 UTC, yaitu menuju ke arah barat laut dan perlahan bergerak cenderung ke barat pada jam 04.40 UTC. Arah angin cenderung bervariasi pada ketinggian 5.8-7.8 km, yaitu ke arah utara atau timur laut. Setelah ketinggian tersebut, arah angin lebih dominan menuju ke arah barat pada ketinggian 8.2-12 km. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan arah sebaran dari debu vulkanik. Debu vulkanik yang berada pada lapisan bawah kemungkinan akan bergerak ke arah selatan atau tenggara. Hasil ini melengkapi hasil yang didapatkan pada produk CAPPI V, di mana produk tersebut hanya

menginformasikan kecepatan objek serta gerakannya secara radial (menjauhi atau mendekati) tanpa diketahui arah mata anginnya.

Gambar 10 Profil vertikal angin dari

produk VVP.

Pembahasan

Pengamatan visual yang dilakukan oleh PVMBG memberikan informasi real time yang bermanfaat, terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar daerah yang terdampak sebaran debu vulkanik. Begitu pula dengan informasi prakiraan yang dikeluarkan oleh VAAC Darwin. Informasi tersebut masih harus diverifikasi lagi dengan instrumen lain untuk melihat dampak sebaran debu vulkanik secara lebih luas.

Satelit Himawari 8 dapat memberikan informasi tentang objek di atmosfer dengan skala yang luas, termasuk debu vulkanik. Pengaturan warna RGB dilakukan agar debu vulkanik dapat diidentifikasi dan dibedakan dengan objek lain seperti awan. Melalui pengaturan tersebut, sebaran debu vulkanik dapat terlihat lebih jelas, yaitu berupa objek dengan warna magenta.

Radar cuaca menghasilkan data reflectivity, kecepatan radial, dan luasan spektrum. Data reflectivity dari radar dapat dimanfaatkan untuk melihat luasan

Page 213: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

202

sebaran debu vulkanik, jenis debunya, serta ketinggiannya. Produk CMAX menampilkan nilai maksimum reflectivity yang tertangkap oleh radar sehingga didapatkan informasi meluasnya atau berkurangnya debu vulkanik. Sementara produk VCUT dan RHI dapat menampilkan penampang membujur echo radar (secara vertikal) sehingga terlihat ketinggian dari echo tersebut, yang kemudian dimanfaatkan untuk memperkirakan ketinggian debu vulkanik. Pengaturan palette pada produk RHI dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jenis debu vulkanik yang tersebar, baik itu material coarse

ash ataupun fine ash. Namun, material fine ash yang memiliki nilai reflectivity di bawah 0 masih belum dapat dideteksi oleh radar. Hal tersebut kemungkinan akibat dari pengaturan radar yang menggunakan Volume Coverage Pattern (VCP) 21. VCP 21 umumnya digunakan untuk memindai presipitasi (Miller, Verlinde, Gilbert, Lehenbauer, Tongue, & Clothiaux, 1998). Sementara menurut Marzano, Marchiotto, Textor, & Schneider (2010), VCP 31 lebih cocok digunakan untuk debu vulkanik karena pulse yang dipancarkan lebih panjang dan waktu pemindaiannya lebih lama sehingga sensitivitasnya tinggi.

Data kecepatan radial juga dapat diperoleh dari produk radar, seperti produk CAPPI V dan VVP. Pada produk CAPPI V, dapat diperoleh informasi mengenai apakah sebaran debu vulkanik mendekati atau menjauhi radar pada ketinggian tertentu. Sementara pada produk VVP dapat diperoleh profil vertikal angin secara lebih rinci. Produk VVP dapat mendukung informasi yang didapat dari CAPPI V.

Informasi sebaran debu vulkanik yang diperoleh dari radar dan satelit secara tepat dapat memverifikasi informasi yang telah dikeluarkan oleh VAAC Darwin, yaitu mengenai arah sebaran yang menuju tenggara. Sementara itu, informasi ketinggian debu

vulkanik yang diperoleh dari radar dapat mengoreksi informasi visual dari PVMBG.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, baik satelit maupun radar cuaca dapat menampilkan dengan baik informasi mengenai debu vulkanik secara real time dan aktual. Informasi yang dapat diberikan berupa pola, jenis material, sebaran, arah dan pergerakannya, serta ketinggian debu vulkanik. Informasi tersebut juga dapat digunakan untuk memverifikasi hasil pengamatan visual PVMBG dan hasil prakiraan VAAC Darwin. Pada studi kasus erupsi Gunung Agung pada tanggal 26 November 2017, ketinggian erupsi pada pukul 03.00 UTC mencapai 13-14 km dari MSL dengan nilai reflectivity maksimum 37.5 dBZ. Jenis material yang terdeteksi berupa jenis coarse ash dan fine ash. Debu vulkanik yang berada pada lapisan bawah bergerak ke arah selatan atau tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

Bureau of Meteorology. (2015). The

volcanic ash RGB product. Retrieved from http://www.virtuallab.bom.gov.au/files/8114/3296/0698/VolcanicAshRGBTOTAL_Compatibility_Mode.pdf.

Marzano, F. S., Barbieri, S., Ferrauto, G., Vulpiani, G., Piciotti, E., Karlsdottir, S., Rose, W.I. (2006). Can we use weather radar to retrieve volcanic ash eruption clouds? a model and experimental analysis. Proceedings of ERAD

2006. Marzano, F. S., Marchiotto, S., Textor,

C., & Schneider, D. J. (2010). Model-based weather radar remote sensing of explosive volcanic ash eruption. IEEE Transactions on

Geoscience and Remote Sensing,

48(10), 3591–3607.

Page 214: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

203

Miller, M.A., Verlinde, J., Gilbert, C. V., Lehenbauer, G. J., Tongue, J. S., & Clothiaux, E. E. (1998). Detection of nonprecipitating clouds with the WSR-88D: A theoretical and experimental survey of capabilities and limitations. Weather and

Forecasting, 13, 1046-1062. Pandjaitan, B. S., Susilowati, A., &

Pandjaitan, A. (2016). Pemanfaatan data multi kanal satelit cuaca himawari 8 dengan menggunakan beberapa teknik RGB untuk mendeteksi debu vulkanik (Studi kasus: Letusan Gunung Bromo pada bulan Januari 2016). Seminar Nasional

Penginderaan Jauh 2016, 763-775.

PVMBG. (2017). Peningkatan status gunungapi agung, bali dari level iii (siaga) ke level iv (awas). http://vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/liputan-khusus/g-agung/1818-peningkatan-status-gunungapi-agung-bali-dari-level-iii-siaga-ke-level-iv-awas. Diakses 15 Desember 2018.

Satryabawa, I. K. M. (2016). Identifikasi

debu vulkanik dan ketinggian

erupsi menggunakan citra radar

sebagai data input model

HYSPLIT. Skripsi. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

SELEX Sistemi Integrati. (2009). Instruction manual rainbow® 5 –

products & algorithms. Germany: SELEX Sistemi Integrati GmbH

Setyawan, T. dan Putri, R. J. A. (2018). Penggunaan radar cuaca untuk mengidentifikasi sebaran debu vulkanik (studi kasus Letusan Gunung Sindebung 10 Januari 2014). Prosiding PIT Ke-5 Riset

Kebencanaan IABI Universitas

Andalas, Padang 2-4 MEI 2018. SKYbrary. (2015). Safety management

system. Retrieved from: http://www.skybrary.aero/index.php/Safety_Management_System. Diakses 8 Desember 2018.

Wardoyo, E. (2013). Detecting volcanic

ash with c-band weather radar

(case study eruption of mount

lokon december 6, 2012). 1st Asian Conference on Radar Meteorology, Jeju Island, South Korea.

Page 215: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

204

Analisis Dinamika Atmosfer Saat Kejadian Angin Puting Beliung di

Banjarmasin (Studi Kasus : 11 Januari 2019)

Sri Noviati1, Rezky Yunita2, dan Uli Mahanani3 1,2 Puslitbang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

3 Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin 1 [email protected]

2 [email protected] 3 [email protected]

Abstrak Pada tanggal 11 Januari 2019 telah terjadi fenomena angin puting beliung di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang mengakibatkan kerusakan rumah warga. Penelitian ini dilakukan untuk meninjau kondisi fisis atmosfer saat terjadinya fenomena tersebut. Adapun analisis yang dilakukan dengan menggunakan data citra satelit Himawari-8, citra radar cuaca serta data pengamatan sinoptik dan udara atas Stasiun Meteorologi Banjarmasin, yang kemudian dianalisa secara deskriptif. Hasil pengamatan citra satelit Himawari-8 menunjukan adanya masa udara basah yang berkumpul di wilayah Kabupaten Banjar dan sekitarnya dan terus berkembang hingga membentuk awan-awan konvektif yang bergerak dari arah barat. Hasil pengamatan radar cuaca juga menunjukan nilai reflektifitas tinggi yang menunjukkan adanya awan Cumulonimbus dan pola hook echo yang menjadi ciri khusus kejadian puting beliung. Hasil analisis Indeks labilitas udara menunjukan nilai Lifted Indeks (LI) 3.0, K-Indeks sebesar 35.9 dan CAPE memiliki nilai 1255 J/Kg yang mengindikasikan potensi yang cukup untuk pembentukan awan-awan konvektif. Hasil observasi permukaan menunjukan adanya peningkatan kecepatan angin hingga 27.8 km/jam saat kejadian, disertai dengan penurunan suhu udara menjadi 28.6 °C dan peningkatan kelembaban udara hingga 87%. Kata Kunci: Puting beliung, Awan Cumulonimbus, Banjarmasin

PENDAHULUAN

Berdasarkan Liputan Informasi Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, telah terjadi bencana Angin Puting Beliung yang terjadi di Desa Guntung Papuyu, Rt. 01/01, kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Gambar 1) pada tanggal 11 Januari 2019, Pukul 17.00 WITA yang mengakibatkan 10 rumah rusak, dengan terdampak 10 KK, 32 Jiwa (Kemkes, 2019). Angin Puting Beliung adalah angin kencang yang berputar yang keluar dari awan Cumulonimbus dengan kecepatan > 34,8 (tiga puluh empat koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam dan terjadi dalam waktu singkat (BMKG, 2010).

Gambar 1 Dokumentasi puting beliung di

Kec. Gambut, Kab. Banjar (sumber: www.instagram/wargabanua)

Page 216: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

205

Awan Cumulonimbus (Cb) adalah awan yang berbahaya bagi aktivitas manusia. Awan ini menimbulkan cuaca buruk seperti hujan deras, kilat dan petir, puting beliung, turbulensi, icing

(pembekuan) pada pesawat, squall atau gusty, bahkan hail (hujan es). Namun, tidak semua awan Cumulonimbus menimbulkan puting beliung. Keberadaan, karakteristik dan pertumbuhan awan Cb penting untuk dipelajari oleh prakirawan cuaca dalam pembuatan prakiraan khususnya prakiraan cuaca jangka pendek (2-6 jam ke depan) seperti melihat pertumbuhan dan pergerakan awan (Tjasyono, 2008).

Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, satelit cuaca dan radar cuaca sangat membantu dalam menganalisa kondisi fisis dan dinamis atmosfer dengan cakupan wilayah yang luas. Data citra radar bisa digunakan untuk mendeteksi adanya keberadaan awan Cumulonimbus. Salah satu penelitian tentang puting beliung menggunakan radar cuaca Doppler telah dilakukan oleh Bluestein, Houser, French, Snyder, Emmitt, PopStefanija, & Bluth (2014). Selain itu, observasi permukaan dan udara atas juga diperlukan guna keakuratan data parameter cuaca yang ada di permukaan bumi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengindetifikasi fenomena angin puting beliung dengan melakukan interpretasi kualitatif secara visual dari citra satelit, citra radar cuaca doppler merk EEC di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, data observasi permukaan (sinoptik) dan data pegamatan udara atas (radiosonde) Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin untuk mengetahui nilai masing-masing parameter pengamatan cuaca untuk mendeteksi adanya potensi angin puting beliung.

METODE

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dikaji adalah wilayah Kelurahan Guntung

Papuyu, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan yang mengalami fenomena angin puting beliung pada tanggal 11 Januari 2019, seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Lokasi Penelitian

(Sumber: google map) Data dan Metode

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra satelit cuaca Himawari-8 kanal WV, W3, O3 dan IR; citra radar cuaca EEC© produk CMAX dan VCUT. Data pengamatan sinoptik yang digunakan adalah data suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara serta arah dan kecepatan angin. Sedangkan pada pengamatan radiosonde menggunakan beberapa indeks labilitas sepeti K Index (KI) (Galway, 1956), lifted

index (LI) (George,1960), dan Convective Available Potential Energy

(CAPE) (Moncrieff & Green, 1972). Adapun Metode yang digunakan

ialah metode penelitian deskriptif analitis dengan melakukan interpretasi data satelit Himawari-8 menggunakan aplikasi SATAID (Tanaka, 2009). Berdasarkan data kanal citra satelit yang ada, dilakukan pengolahan menggunakan teknik RGB Airmass JMA untuk mengetahui distribusi masa udara dan aliran udara (Shimizu, 2016), seperti Gambar 3.

Page 217: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

206

Gambar 3 Deskripsi analisis RGB

Airmass JMA (Sumber: SATAID)

Kemudian dilakukan analisis nilai

reflektifitas citra radar produk CMAX guna mendeteksi keberadaan awan cumulonimbus yang menyebabkan angin puting beliung di sekitar lokasi kejadian dan analisis pola reflektifitas berbentuk comma echo (koma) atau hook echo (kait) mengacu pada teori tornado

genesis yang biasa diasosiasikan dengan kejadian puting beliung di sejumlah wilayah di Indonesia (Muzayanah& Hidayah, 2016).

Terakhir, mengumpulkan data parameter cuaca sebelum, pada saat dan setelah kejadian angin puting beliung dengan cara menganalisis masing-masing parameter cuaca hasil pengamatan sinoptik dan radiosonde.

HASIL DAN PEMBAHASAN Citra Satelit Himawari-8

Berdasarkan citra satelit Himawari-8 RGB Airmass pada tanggal 11 Januari 2019 jam 08.00 UTC terlihat adanya masa udara basah di sekitar wilayah Kalimantan Selatan. Namun belum terlihat adanya gugusan awan di sekitar wilayah Kec. Gambut. Pada pukul 09.00 UTC, terlihat adanya gugusan awan yang sangat massif di wilayah kec. Gambut dan sekitarnya yang menyebabkan cuaca buruk di wilayah tersebut, kondisi ini terus berlangsung hingga pukul 10.00 UTC seperti dalam Gambar 4 (a,b,c). Hasil pantauan citra

satelit, juga mengindikasikan suhu puncak awan pada jam 08.10 UTC sekitar <–20 oC lalu menurun hingga < -55 0C pada pukul 09.10 UTC. Suhu puncak awan masih menurun hingga <-700C pada pukul 10.10 UTC, seperti Gambar 5 (a,b,c) di sekitar wilayah Banjarmasin. Hal ini menunjukan tumbuhnya awan-awan Cumulonimbus yang berpotensi menimbulkan angin puting beliung, hujan lebat dan petir kilat.

Gambar 4 Citra massa udara 11 Januari

2019 jam (a) 08.00 UTC (b) 09.00 UTC (c) 10.00 UTC

Page 218: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

207

Gambar 5 Citra suhu puncak awan 11

Januari 2019 jam (a) 08.00 UTC (b) 09.00 UTC (c) 10.00 UTC

Berdasarkan analisis suhu puncak

awan di titik lokasi kejadian putting beliung yaitu Kel. Guntung Papuyu

(Gambar 6), terlihat adanya penurunan suhu puncak awan yang sangat signifikan antara pukul 08.00 UTC – 09.00 UTC. Penurunan suhu udara yang signifikan ini mengindikasikan adanya proses updraft yang kuat dalam fase pertumbuhan awan konvektif. Area dengan updraft kuat inilah yang berpotensi menimbulkan gangguan cuaca berupa putting beliung di permukaan.

Gambar 6 Grafik Suhu Puncak Awan di

Wilayah Kelurahan Guntung Papuyu

Citra Radar Cuaca

Hasil analisis citra radar dengan produk CMAX menunjukkan adanya pertumbuhan awan Cumulonimbus. Awan Cumulonimbus dapat diidentifikasi melalui nilai reflektifitas (dbz) yang tinggi (> 40 dbz). Gambar 7 (a,b,c) menunjukkan perubahan reflektifitas radar sebelum, saat dan sesudah kejadian putting beliung. Pada pukul 08.50 UTC terlihat gugusan awan cumulonimbus di wilayah kecamatan gambut dan sekitarnya juga didukung oleh analisis VCUT yang menunjukkan pola struktur awan konvektif hingga ketinggian 10km (Gambar 8). Pada pukul 09.00 UTC terdapat pola hook echo di wilayah kejadian putting beliung.

Page 219: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

208

Gambar 7 Citra radar 11 Januari 2019

jam (a) 08.50 UTC (b) 09.00 UTC dan (c) 09.10 UTC

Gambar 8 Citra VCUT radar 11 Januari

2019 jam 08.50 UTC

Hook echo merupakan pola reflektifitas yang membentuk kait (hook) akibat adanya gerakan naik udara (updraft) yang kuat. Kejadian puting beliung biasanya dapat ditandai ketika pola hook echo ini muncul di radar. Pada pukul 09.10 UTC pola hook echo sudah tidak teramati lagi. Berdasarkan laporan masyarakat, kejadian puting beliung berlangsung dalam waktu singkat hanya dalam hitungan menit. Analisis Pengamatan Udara Atas

Hasil analisis kondisi atmosfer nampak pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Indeks LI bernilai 3.0 menunjukkan kondisi atmosfer labil pada saat kejadian puting beliung. Sedangkan indeks KI yang digunakan untuk identifikasi potensi konvektif menunjukkan nilai 35.9 yang mengindikasikan adanya potensi konvektif sedang dengan kemungkinan thunderstorm hingga 80-90%. Sementara index CAPE (Convective Available

Potential Energy) sebesar 1255 J/kg menunjukkan potensi energi yang cukup dalam potensi konvektif dan berpotensi badai sedang.

Tabel 1 Indeks Labilitas Udara

Indeks Lifted Indeks K Indeks Cape

-3.0 35.9 1255

Analisis Pengamatan Sinoptik

Berdasarkan data pengamatan angin permukaan seperti dalam Gambar 9, pada hari kejadian angin puting beliung, kecepatan angin pada jam 6 UTC (14.00 WITA) sebesar 7.4 km/jam. Namun saat kejadian, yaitu pada pukul 09.00 UTC (17.00 WITA), kecepatan angin meningkat sangat signifikan, yaitu 27.8 km/jam. Kemudian pada jam 12 UTC (20 Wita), kecepatan angin menurun hingga 7.4 km/jam.

Page 220: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

209

Gambar 9 Kecepatan Angin 11 Januari

2019

Gambar 10 Suhu Udara 11 Januari 2019

Berdasarkan data pengamatan suhu udara dalam Gambar 10, pada hari kejadian angin puting beliung, suhu udara sejak pagi hingga siang hari mengalami peningkatan, yaitu 26.2 °C saat jam 00 UTC (08.00 WITA) hingga mencapai 33 °C pada jam 06 UTC (14.00 WITA). Proses konveksi terjadi akibat pemanasan di siang hari yang cukup kuat, sehingga tumbuhlah awan-awan konvektif yang berpotensi menghasilkan hujan dan cuaca buruk lainnya. Hasil pengamatan sinoptik juga menunjukan adanya mulai terjadinya hujan pada pukul 09 UTC hingga hujan lebat yang mencapai 55 mm/jam pada pukul 12 UTC.

Berdasarkan data pengamatan kelembaban udara dalam Gambar 11 pada hari kejadian angin puting beliung, kelembaban udara sejak pagi hingga siang hari mengalami penurunan mulai 92 % saat jam 00 UTC (08.00 WITA) hingga mencapai 62 % pada jam 06 UTC (14.00 WITA). Grafik Kelembaban udara berbanding terbalik terhadap grafik suhu udara. Udara yang kering saat menjelang siang hari ini disebabkan panas sinar

matahari yang bersinar hingga mencapai permukaan bumi. Namun, kelembaban udara mulai meningkat sejak siang hari, dan pada saat hujan lebat jam 12 UTC (20.00 Wita) kelembaban udara sekitar 87 % hingga malam dengan kelembaban udara sekitar 91 % pada jam 15 UTC (23.00 Wita).

Gambar 11 Kelembaban Udara 11

Januari 2019

SIMPULAN

Diperoleh simpulan bahwa kondisi atmosfer di permukaan dan udara atas pada tanggal 11 Januari 2019 mendukung terjadinya puting beliung di wilayah kec. Guntung papuyu Kab. Banjar. Analisis citra satelit menujukkan adanya awan-awan konvektif cumulonimbus dengan updraft kuat, terlihat dari penurunan suhu puncak awan yang signifikan. Citra radar juga menunjukkan adanya pola reflektifitas Hook echo yang berasosiasi dengan kejadian puting beliung. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofiisika atas semua data yang dipakai dalam makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fatkhuroyan, M.Kom atas diskusi dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA

BMKG. (2010). Peraturan kepala badan

meteorologi klimatologi dan

geofisika nomor: KEP.009 Tahun

Page 221: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

210

2010 tentang prosedur standar

operasional pelaksanaan

peringatan dini, pelaporan, dan

desiminasi informasi cuaca

ekstrim, BMKG, Jakarta. Bluestein, H. B., Houser, J. B., French,

M. M., Snyder, J. C., Emmitt, G. D., PopStefanija, I., ... & Bluth, R. T. (2014). Observations of the boundary layer near tornadoes and in supercells using a mobile, collocated, pulsed Doppler lidar and radar. Journal of Atmospheric

and Oceanic Technology, 31(2), 302-325.

Galway, J. G. (1956). The lifted index as a predictor of latent instability. Bulletin of the American

Meteorological Society, 37(10), 528-529.

George, J. J. (2014). Weather forecasting

for aeronautics. Academic press, 673.

Moncrieff, M. W., & Green, J. S. A. (1972). The propagation and transfer properties of steady convective overturning in shear. Quarterly Journal of the Royal

Meteorological Society, 98(416), 336-352.

Muzayanah, L. F dan Hidayah T. (2016). Interpretasi radar cuaca sebagai

kajian puting beliung dan angin

kencang wilayah Jawa Timur

(Studi Kasus Sidoarjo, Bangkalan

dan Pasuruan). https://perpus.stmkg.ac.id/view-pdf.php?id=401

Pusat Krisis Kemkes. (2019). Informasi

awal angin puting beliung di 1

Kecamatan, Banjar, Kalimantan

Selatan. http://pusatkrisis.kemkes.go.id/Angin%20Puting%20Beliung-di-BANJAR- . KALIMANTAN%20SELATAN-11-01-2019-8. Di sitasi online tgl 21-1-2019

Shimizu, A. (2016). New recipes of RGB composite image from Himawari-8 developed by JMA. AOMSUC-7 Training.

Tanaka, Y. (2009). SATAID-powerful

toolfor satellite analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center, Japan Meteorological Agency (JMA).

Tjasyono, Bayong H.K. (2008). Meteorologi terapan. ITB, Bandung.

Page 222: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

211

Pengaruh Variasi Komposisi Campuran dan Tekanan pada

Kualitas Pembakaran Briket Berbahan Cangkang Biji Karet dan

Abu Dasar Batubara

Ninis Hadi Haryanti1, Rijali Noor2, Dwi Aprilia3 1 Prodi Fisika FMIPA ULM

2,3 Prodi Teknik Lingkungan FT ULM [email protected]

Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan briket yang diharapkan dapat sebagai sumber energi terbarukan dan bahan bakar alternatif. Briket berbahan campuran cangkang biji karet dan abu dasar batubara dengan menggunakan perekat tepung tapioka melalui proses karbonisasi serta dilakukan uji kualitas pembakarannya. Abu dasar batubara berasal dari PLTU Asam asam Kab. Tanah Laut yang dicampur dengan biomassa cangkang biji karet yang berasal dari Desa Pengaron Kab. Banjar. Cangkang biji karet dan abu dasar yang telah dibuat serbuk, selanjutnya dilakukan proses kompaksi dengan tekanan kompaksi bervariasi 100 kg/cm2; 150 kg/cm2; 200 kg/cm2. Komposisi cangkang biji karet dan abu dasar terdiri 70%:30% dan 60%:40% serta perekat tepung tapioka 5% dalam persen berat. Kualitas pembakaran briket yang dihasilkan adalah waktu penyalaan awal yang diperlukan (10.35-12.21) menit; durasi pembakaran yang diperlukan dalam membakar briket (80.56-94.22) menit; kecepatan pembakaran briket (0,53-0,62) gram/menit. Hasil penelitian menunjukkan semakin banyak komposisi campuran cangkang biji karet dan semakin sedikit abu dasar batubara yang digunakan maka waktu penyalaan awal dan durasi pembakaran menjadi lebih lama sedangkan kecepatan pembakaran tetap. Semakin besar tekanan yang diberikan, waktu penyalaan awal dan durasi pembakaran briket semakin lama, sedangkan kecepatan pembakaran semakin cepat. Kata Kunci: briket, kualitas pembakaran, cangkang biji karet, abu dasar batubara.

PENDAHULUAN

Sumber energi yang berupa bahan bakar minyak tanah dan gas bumi merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Seiring dengan bertambahnya waktu, sumber energi tersebut semakin berkurang, sehingga diperlukan sumber energi alternatif. Satu diantara pilihan energi alternatif pengganti bahan bakar minyak adalah briket. Briket dapat dibuat dari berbagai biomassa dan limbah yang tidak dimanfaatkan.

Cangkang biji karet adalah satu diantara biomassa yang dapat dijadikan bahan utama pembuatan briket. Provinsi Kalimantan Selatan memiliki luas lahan 190 ribu hektar dengan 162,5 ribu ton hasil produksi tanaman karet. Diperkirakan setiap pohon karet dapat

menghasilkan sekitar 5.000 butir biji/tahun/ha dengan jumlah biji 200 biji/kg. (BPS, 2015). Pada saat ini, cangkang biji karet merupakan limbah yang tidak banyak digunakan bahkan dibuang begitu saja.

Selain cangkang biji karet, satu diantara limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan briket adalah abu dasar batubara. Abu dasar merupakan limbah yang dihasilkan dari pembakaran batubara di PLTU. Limbah abu hasil proses pembakaran PLTU Asam-asam yang terdiri dari abu terbang dan abu dasar mencapai 160 ton per hari (Ema, 2017). Abu dasar batubara masih memiliki nilai kandungan karbon yang bisa dimanfaatkan kembali dengan meningkatkan nilai panasnya bila dicampur dengan biomassa (Gunawan,

Page 223: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

212

2015). Penggunaan biomassa sebagai campuran briket akan lebih ramah lingkungan dikarenakan biomassa tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Sholichah dkk., (2011) melakukan penelitian tentang briket dengan variasi perekat, dan didapatkan hasil terbaik yaitu variasi sebesar 5% dengan waktu yang lebih cepat kering dibanding dengan variasi yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Risna (2016) dengan variasi tekanan 100, 70, dan 30 (kg/cm2) diperoleh bahwa penambahan tekanan untuk setiap ukuran partikel mengalami pola yang sama yakni penambahan tekanan berbanding lurus dengan nilai kerapatan.

Sementara penelitian Gunawan & Slamet (2015) ; Slamet & Gunawan (2016) dalam pembuatan briket berbahan abu dasar dengan menambahkan beberapa macam biomassa seperti cangkang kopi, cangkang kapuk, dan tempurung kelapa dengan perbandingan komposisi masing-masing 50%:50%; 60%:40%; 70%:30%. Diperoleh hasil kadar karbon campuran abu dasar dengan biomassa arang tempurung kelapa naik rata-rata 10,95%, arang cangkang kopi 7.25% dan arang cangkang kapuk 15.0%.

Semakin meningkatnya jumlah limbah biomassa dan abu dasar batubara, maka perlu adanya inovasi dalam pemanfaatan limbah-limbah tersebut sebagai sumber energi alternatif, sehingga dapat memberikan nilai tambah dari limbah tersebut. Pembuatan briket dengan memanfaatkan cangkang biji karet dan abu dasar batubara perlu dilakukan penelitian. Dari hasil uji diperoleh karakteristik briket yaitu kadar air (4,35-9,43) %; kadar abu (12,53-12,94) %; nilai kalor (3.597,59-4.549,88) kal/g (Haryanti, 2018).

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dengan menggunakan variasi komposisi dan tekanan dalam pembuatan briket. Adapun permasalahan

dalam penelitian ini adalah bagaimana kualitas pembakaran briket berbahan limbah cangkang biji karet dan abu dasar batubara. Disamping itu juga bagaimana pengaruh variasi komposisi dan tekanan pada kualitas pembakaran briket yang dihasilkan.

METODE Peralatan yang digunakan adalah

kaleng, panci, alu, saringan ukuran 50 mesh, pengaduk, baskom plastik, alat pencetak manual, neraca analitik, gelas ukur, penjepit, cawan porselein, oven, furnace, korek api, tungku briket, stopwatch. Bahan yang digunakan adalah limbah cangkang biji karet, limbah abu dasar batubara PLTU Asam-Asam, tepung tapioka, air, minyak tanah. Lokasi Penelitian: Desa Pengaron Kab. Banjar, PLTU Asam-Asam Kab. Tanah Laut, Lab. Teknik Mesin ULM, Lab. Dinas ESDM Provinsi KalSel, Lab. Baristand.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya dengan berpedoman pada standar baku mutu briket yang digunakan yaitu SNI 01-6235-2000, tentang Mutu Briket Kayu. Briket yang dibuat dengan menggunakan komposisi campuran cangkang biji karet dan abu dasar batubara sebesar 60%:40% dan 70%:30%. Variasi tekanan yang digunakan sebesar 100, 150, dan 200 (kg/cm2). Sedangkan perekat tepung tapioka yang dipakai sebanyak 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji yang dilakukan untuk mengetahui kualitas pembakaran briket adalah waktu penyalaan awal, durasi pembakaran, dan kecepatan pembakaran briket. Briket dengan kualitas pembakaran yang baik yaitu memiliki sifat-sifat penyalaan yang baik. Sifat penyalaan ini diantaranya adalah mudah menyala, waktu nyala cukup lama, kecepatan pembakarannya yang lambat. Lama waktu pembakaran sebuah briket akan mempengaruhi kualitas pembakaran, semakin lama menyala

Page 224: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

213

dengan nyala api konstan akan semakin baik.

Waktu Penyalaan Awal

Pada penelitian ini, waktu penyalaan awal adalah waktu yang diperlukan briket untuk dapat terbakar menjadi bara api. Briket yang akan digunakan sebagai bahan bakar diharapkan dapat mudah dinyalakan dan cepat membentuk bara api. Minyak tanah digunakan untuk memicu nyala api pada briket. Hasil uji diperoleh, setiap variasi komposisi briket menunjukkan waktu penyalaan awal yang tidak jauh berbeda

namun cenderung lambat. Waktu penyalaan awal briket dalam rentang waktu (10,35-12,21) menit, dengan tekanan yang diberikan masing-masing briket berbeda, yaitu 100 kg/cm2, 150 kg/cm2, dan 200 kg/cm2.

Didapatkan hasil bahwa semakin besar tekanan maka waktu penyalaan awal briket semakin lama, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Ini dikarenakan semakin besar tekanan yang diberikan, maka semakin rapat rongga pada briket, membuat oksigen sedikit sulit masuk ke dalam pori briket tersebut sehingga pembakaran cenderung lambat.

Gambar 1 Waktu Penyalaan Awal Briket Campuran Cangkang Biji Karet dan Bottom ash

(abu dasar) Batubara

Durasi Pembakaran

Briket yang baik adalah briket yang memiliki durasi pembakaran yang lama. Semakin lama durasi nyala baranya, maka akan menghemat pemakaian briket sebagai bahan bakar (Astini, 2014). Hasil uji diperoleh, durasi pembakaran briket adalah (80,56-94,22) menit. Briket dengan durasi pembakaran paling lama adalah briket dengan variasi komposisi 70% cangkang karet : 30% abu dasar batubara yaitu selama 94,22 menit.

Dari Gambar 2 didapatkan pada tekanan yang sama nilai durasi pembakaran tidak terlalu berbeda, namun terlihat bahwa perbedaan tekanan memberikan durasi pembakaran yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan semakin besar kerapatan pada sebuah briket semakin sedikit ruang pori yang terbentuk, sehingga oksigen yang akan mengisi pori-pori cenderung sulit masuk, reaksi pembakaran pun akan berlangsung lebih lambat dan berlangsung lebih lama hingga briket menjadi abu.

10,55

12,06 12,21

10,35

12,02 12,19

0

2

4

6

8

10

12

14

A2 A3 B2 B3 C2 C3

100 kg/cm2 150 kg/cm2 200 kg / cm2

(men

it)

Variasi Tekanan (kg/cm2)

(70% Cangkang Biji Karet :30% Bottom Ash

(60% Cangkang Biji Karet :40% Bottom Ash

Page 225: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

214

Gambar 2 Durasi Pembakaran Briket Campuran Cangkang Biji Karet dan Bottom ash (abu

dasar) Batubara

Kecepatan Pembakaran

Kecepatan pembakaran pada pembakaran briket dapat didefinisikan sebagai kecepatan massa briket (gram) yang terbakar setiap satuan waktu (menit). Kecepatan pembakaran dipengaruhi oleh struktur bahan, kandungan karbon terikat, dan tingkat kekerasan bahan. Jika kandungan senyawa volatilnya tinggi maka briket akan mudah terbakar dengan kecepatan pembakaran yang tinggi (Jamilatun, 2008).

Kecepatan pembakaran briket pada semua variasi komposisi tidak terlalu berbeda, yaitu berkisar antara (0,53-0,62) gram/menit. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa semakin besar tekanan yang diberikan pada briket, maka kecepatan pembakarannya semakin rendah. Hal ini karena semakin rapat briket maka semakin kecil pori yang terbentuk, membuat oksigen yang tersedia sedikit sehingga proses pembakaran terhambat.

Gambar 3 Kecepatan Pembakaran Briket Campuran Cangkang Biji Karet dan Bottom

ash (abu dasar) Batubara

81,2091,13 94,22

80,5690,21 94,21

0,0010,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,0090,00

100,00

A2 A3 B2 B3 C2 C3

100 kg/cm2 150 kg/cm2 200 kg / cm2

(gra

m/m

enit

)

Variasi Tekanan (kg/cm2)

(70% Cangkang Biji Karet :30% Bottom Ash

(60% Cangkang Biji Karet :40% Bottom Ash

0,620,55 0,53

0,620,55 0,53

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

A2 A3 B2 B3 C2 C3

100 kg/cm2 150 kg/cm2 200 kg / cm2

(men

it)

Variasi Tekanan (kg/cm2)

(70% Cangkang Biji Karet :30% Bottom Ash

(60% Cangkang Biji Karet :40% Bottom Ash

Page 226: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

215

Pengaruh Komposisi Campuran

Terhadap Kualitas Pembakaran

Briket

Berdasarkan tujuan penelitian untuk mendapatkan pengaruh komposisi campuran terhadap kualitas briket (waktu penyalaan awal, durasi pembakaran, kecepatan pembakaran), maka dilakukan uji Anova. Apabila nilai signifikansi < 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan komposisi campuran terhadap kualitas pembakaran briket, sedangkan apabila sebaliknya jika nilai signifikansi > 0,05 maka tidak ada pengaruh yang signifikan komposisi campuran terhadap kualitas pembakaran briket. Setelah dilakukan analisis data pada tabel dan aplikasi komputer menggunakan SPSS 22 dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara komposisi campuran terhadap kualitas pembakaran briket.

Dari hasil uji briket, kemudian dilakukan analisis data, didapat nilai signifikansi adalah 0.00, sehingga dapat disimpulkan bahwa variasi komposisi campuran berpengaruh terhadap kualitas pembakaran briket. Pada pengujian kualitas pembakaran yang meliputi waktu penyalaan awal, durasi pembakaran, dan kecepatan pembakaran.

Pengaruh variasi komposisi campuran cangkang biji karet dan abu dasar batubara terhadap kualitas pembakaran briket, semakin besar komposisi campuran cangkang biji karet dan semakin sedikit abu dasar batubara, waktu penyalaan awal dan durasi pembakaran semakin lama. Sedangkan kecepatan pembakaran briket sama.

Pengaruh Tekanan Terhadap Kualitas

Pembakaran Briket

Untuk mengetahui pengaruh variasi tekanan terhadap kualitas pembakaran briket, kembali dilakukan analisis data melalui aplikasi komputer SPSS 22 untuk dapat menyatakan bahwa variasi tekanan memiliki pengaruh terhadap kualitas pembakaran briket.

Apabila nilai signifikansi < 0,05 maka dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan tekanan terhadap kualitas pembakaran briket, sedangkan apabila sebaliknya jika nilai signifikansi > 0,05 maka tidak ada pengaruh yang signifikan tekanan terhadap kualitas pembakaran briket.

Setelah dilakukan analisis data, nilai signifikansi adalah 0.00, sehingga dapat disimpulkan bahwa variasi tekanan berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pembakaran briket. Pada pengujian kualitas pembakaran briket yang meliputi waktu penyalaan awal, durasi pembakaran, dan kecepatan pembakaran.

Pada waktu penyalaan awal, waktu yang diperlukan cukup lama dengan kerapatan dari briket pada penelitian ini cukup rapat, rongga yang dihasilkan sangat kecil sehingga perlu waktu lebih untuk briket bisa terbakar. Waktu penyalaan awal yang dihasilkan 10.35 menit-12.21 menit setiap briketnya. Semakin besar tekanan yang diberikan maka waktu penyalaan awal yang diperlukan semakin lama. Durasi pembakaran yang diperlukan dalam membakar briket berkisar antara 80.56 menit-94.22 menit. Dapat dihitung pada kecepatan pembakaran yang didapat pada penelitian ini berkisar antara 0,62 gram/menit-0,53 gram/menit untuk setiap briket.

Pengaruh variasi tekanan briket, semakin besar tekanan yang diberikan, waktu penyalaan awal dan durasi pembakaran briket semakin lama, sedangkan kecepatan pembakaran semakin cepat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nugraha, Widodo, & Wahyudi (2017) dengan memvariasikan tekanan dan komposisi gambut dan arang pelepah kelapa sawit didapatkan semakin banyaknya komposisi bahan tambahan yang diberikan ke dalam briket yang berupa gambut maka waktu penyalaan semakin sulit. Durasi pembakaran briket

Page 227: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

216

yang paling cepat adalah briket komposisi 90%:10% dengan tekanan 30 kg/cm2, yaitu 3718 s dan yang paling lama adalah briket komposisi 50%:50% dengan tekanan 10 kg/cm2, yaitu 3123,5 s. Semakin banyak bahan campuran tambahan gambut yang ditambahkan ke dalam campuran briket juga membuat laju pembakaran briket semakin menurun.

Setyowati dan Tirono (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh variasi tekanan pengepresan dan komposisi bahan terhadap sifat fisis briket arang. Hasil yang didapatkan briket paling optimum dengan perbandingan komposisi bahan 100 % tempurung kelapa menggunakan tekanan antara 100-150 N/cm2 dengan nilai lama pembakaran 64,39 menit. SIMPULAN

Kualitas pembakaran briket berbahan campuran cangkang biji karet dan abu dasar batubara memiliki waktu yang tidak singkat pada setiap komposisi campuran briketnya. Variasi komposisi campuran dan tekanan berpengaruh terhadap kualitas pembakaran briket cangkang biji karet dan abu dasar batubara. Semakin tinggi nilai tekanan dan semakin banyak komposisi campuran cangkang biji karet terdapat adanya peningkatan kualitas pembakaran briket.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI

01-6235-2000 tentang mutu briket kayu.

Badan Pusat Statististik (BPS). (2015). Tabel luas tanaman perkebunan menurut propinsi dan jenis tanaman, indonesia (000 Ha), 2012-2015*). https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/838

Badan Pusat Statististik (BPS). (2015). Tabel Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Propinsi dan

Jenis Tanaman, Indonesia (000 Ton), 2012-2015*). https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/839

Ema. (2017). Abu Batu Bara Jadi

Struktur Jalan. Harian Radar Banjarmasin Online tanggal 3 Juni 2017. Banjarmasin.

Gunawan, B., & Slamet, S. (2015). Pembuatan briket dari limbah bottom ash PLTU dengan biomassa cangkang kopi. Jurnal

SIMETRIS, 6 (2). Gunawan, G. (2015). Pengujian nilai

kalor dan kadar air terhadap briket sebagai bahan bakar padat yang terbuat dari bottom ash limbah pltu dengan biomassa tempurung kelapamelalui proses karbonisasi. Prosiding Snst Ke-6 Tahun 2015 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Haryanti, N.H. R. Noor. & D.Aprilia. (2018). Karakterisasi dan uji emisi briket campuran cangkang biji karet dan abu dasar batubara.

Prosiding Pendidikan Fisika

FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

Jamilatun, S. (2008). Sifat-sifat penyalaan dan pembakaran briket biomassa, briket batu bara dan arang kayu. Jurnal Rekayasa

Proses, 2(2). Nugraha, A., Widodo, A. S., & Wahyudi,

S. (2017). Pengaruh tekanan pembriketan dan persentase briket campuran gambut dan arang pelepah daun kelapa sawit terhadap karakteristik pembakaran briket. Rekayasa Mesin, 8(1), 29-36.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. (2006). Pedoman

pembuatan dan pemanfaatan

briket batubara dan bahan bakar

padat berbasis batubara. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

Page 228: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

217

Risna, R. (2016). Pengaruh tekanan dan ukuran partikel terhadap kualitas briket cangkang coklat. Skripsi

Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Halu Oleo. Kendari.

Setyowati, R. & M. Tirono. (2014). Pengaruh variasi tekanan pengepresan dan komposisi bahan terhadap sifat fisis briket arang. Jurnal Neutrino. 7: 23-24.

Sholichah, S., dkk. (2011). Studi banding penggunaan pelarut air dan asap

cair terhadap mutu briket tongkol jagung. Prosiding SnaPP 2011 Sains, Teknologi, dan Kesehatan. ISSN: 2089-3582

Slamet, S., & Gunawan, B. (2016). Briket campuran bottom ash batu bara limbah PLTU dan biomassa melalui proses karbonisasi sebagai sumber energi alternatif terbarukan. Prosiding SNATIF Ke-3 Tahun 2016. ISBN: 978-602-1180-33-4.

Page 229: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

218

Sistem Eigen Operator Matriks Hermitian dengan Metode Analitik

Nur Aida1, Bambang Supriadi2, dan Yushardi3 1,2,3Physics education, FKIP, University of Jember

[email protected] [email protected]

[email protected]

Abstrak Operator matriks Hermitian merupakan sebuah operator atau instruksi berupa matriks yang mempunyai sifat Hermitian. Salah satu syarat dari operator matriks Hermitian adalah operator matriks yang digunakan berupa matriks bujur sangkar (matriks dengan ordo n × n) yang mempunyai nilai determinan yang sama dengan nol. Untuk sistem Eigen sendiri merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir berupa kumpulan dari beberapa macam komponen variabel, diantaranya terdapat operator matriks Hermitian, nilai Eigen, dan fungsi Eigen. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan solusi lengkap sistem Eigen operator matriks Hermitian ordo n × n, dengan 2 ≤ n ≥ 4 yang merupakan bilangan riil rasional menggunakan metode analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode analitik didapatkan solusi lengkap sistem Eigen dari operator matriks ordo 2 × 2, 3 × 3, dan ordo 4 × 4, baik nilai Eigen maupun fungsi Eigen berupa bilangan yang riil. Semakin banyak jumlah ordo yang digunakan maka perhitungan untuk menyelesaikan sistem Eigen menggunakan metode analitik mempunyai langkah penyelesaian yang lebih panjang dan rumit. Hal ini dapat direfleksikan bahwa semakin banyak ordo dalam menentukan sistem Eigen, maka manfaat dalam bidang teknologi akan semakin bagus, misal pencacahan data akan semakin kompleks dan tingkat penyadapan informasi akan semakin sulit.

Kata Kunci: Hermite, determinan, sistem Eigen

PENDAHULUAN

Persoalan Eigen dalam Fisika mencakup operator, nilai Eigen, dan fungsi Eigen. Salah satu landasan dasar dalam mempelajari persoalaan Eigen adalah vektor. Vektor dalam suatu operator dapat berbentuk vektor kolom dan vektor baris yang membentuk suatu matriks (Sugiyono, 2016:11). Matriks dapat berlaku sebagai salah satu dari bentuk operator, yaitu suatu bentuk instruksi matematis yang mampu merubah bentuk suatu fungsi menjadi fungsi lain, akibat mengenai fungsi tersebut. Operator yang digunakan dalam perhitungan persoalaan Eigen yang dimaksud adalah operator matriks Hermitian (Purwanto, 2006:121).

Persamaan umum Schrodinger adalah salah satu permasalahan yang berkaitan dengan nilai Eigen (Onate, Onyeaju, Ikot, Idiodi, & Ojonubah,

2017:339). Ada kalanya perolehan nilai energi E dalam persamaan Schrodinger merupakan bentuk dari nilai Eigen, sedangkan untuk fungsi gelombangnya menggambarkan fungsi Eigen dan operator dari fungsi Eigen. Berdasarkan karakteristik umum dari fungsi gelombangnya, persamaan Schrodinger digolongkan menjadi 2 yaitu persamaan Schrodinger bergantung waktu (gayut waktu) dan persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (bebas waktu atau dalam keadaan tunak) (Supriadi, Prastowo, Bahri, Ridlo, & Prihandono, 2018:1).

Konsep operator matiks Hermitian dan sistem Eigen mampu memberikan kontribusi besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang ilmu pengetahuan, pendekatan distribusi operator matriks Hermitian sangat membantu dalam mempelajari

Page 230: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

219

quantum tunneling (Maji, 2016:1). Dalam bidang teknologi, metode diagonalisasi pada operator matriks hermitian memberikan manfaat sebagai pengamanan pesan rahasia (Nurhasimah, 2013:1); menganalisis sumber suara; dan memerankan peran dalam proses kerja dari sistem tenaga listrik PSS (Power

System Stabilizier). Penentuan solusi lengkap dari

operator matriks Hermitian biasanya menggunakan persamaan umum Eigen (Sugiyono, 2016:24-27). Penyelesaian sistem Eigen dalam Fisika Kuantum tidak dapat dikatakan mudah, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan prosedur yang rumit dengan aturan-aturan tertentu agar didapatkan solusi yang diinginkan. Terdapat berbagai metode untuk menyelesaikan solusi lengkap sistem Eigen, salah satuya adalah metode analitik.

Pada penelitian sebelumnya, terdapat penelitian yang berkaitan dengan sistem Eigen operator matriks hermitian, yaitu penelitian oleh Ning, Xu, Chi, Gong, & Huang (2010) tentang Incremental Spectral Clustering by

Efficiently Updating the Eigen System menyimpulkan bahwa suatu matriks atau suatu vektor dapat mempengaruhi hasil dari nilai Eigen. Pada penelitian sebelumnya, fokus penelitian hanya sampai pada penentuan nilai Eigen, dan metode yang digunakan masih banyak yang terfokus pada penggunaan metode diagonalisasi (metode selain metode analitik), seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015) menyimpulkan bahwa metode diagonalisai matriks dapat menyelesaikan persoalan Eigen operator matriks tridiagonal (berordo 3×3) dengan hasil berupa perolehan nilai Eigen dan vektor Eigen; dan Nurhasimah (2013) menunjukkan bahwa penyelesaian terhadap persoalan matriks hermitian ordo 3×3 dapat diselesaikan dengan metode diagonalisasi matriks. Penyelesaian akhirnya berupa pemaparan

dari matriks diagonal dengan nilai diagonalisasinya berupa perolehan nilai Eigen.

Fokus utama kajian dan pembaharuan dalam penelitian ini adalah penggunaan metode yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumya dalam menyelesaikan persoalan sistem Eigen, yaitu dengan menggunakan metode analitik. Pemilihan metode ini didasarkan pada perolehan nilai galat error yang kecil. Kelebihan lain dari penelitian ini adalah hasil akhir dari penelitian ini, yaitu berupa pemaparan solusi lengkap Sistem Eigen, didalamnya akan disajikan operator, nilai Eigen, dan fungsi Eigen ternormalisai. Hal ini menjadi salah satu kelebihan dari penelitian ini karena penelitian sebelumnya baru sampai pada penentuan nilai Eigen saja. Selain itu, penelitian ini menggunakan matriks dengan ordo 2×2, ordo 3×3, dan matriks ordo 4×4. Penerapan jumlah ordo yang semakin besar akan membutuhkan perhitungan analitik yang semakin kompleks dan rumit. METODE

Jika Q adalah operator linier yang mewakili besaran fisik Q dan 𝜓 adalah fungsi keadaan sistem, maka nilai rata-rata Q dapat dinyatakan dalam persamaan berikut. ⟨Q⟩ = ∫ψ*Qψdτ (1)

Nilai rata-rata selalu merupakan bilangan real, sehingga nilai ⟨Q⟩ = ⟨Q⟩*. Sifat operator hermitian tersebut disebut sifat hermite adjoint. Purwanto (2006:121) menyatakan bahwa syarat utama dari matriks hermitian adalah nilai dari operator konjugat hermitian (operator Q†) akan bernilai sama dengan nilai operator awal (operator 𝑄). 𝑄† = 𝑄 (2) Atau dapat dituliskan dalam persamaan : ∫ψ*Qψdτ = ∫ψ(Qψ)*dτ (3)

Menurut Sani dan Kadri (2017:117), ��† adalah sebuah operator hermite adjoint dari sebuah operator ��,

Page 231: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

220

apabila dua fungsi 𝜓 dan 𝜑 yang berharga berhingga, dan memenuhi aturan yang dituliskan pada persamaan (4) ∫ψ*QφdV = ∫(Q†ψ)*φ dV (4) Operator hermitian juga mempunyai 2 sifat, diantaranya :

a) (Q†)† = Q (5)

b) (QZ)† = Z†Q† (6) Jenis penelitian ini ialah penelitian

non eksperimen. Penelitian ini menggunakan 3 jenis variabel, yaitu variabel bebas, variabel kontrol, dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah operator matriks hermitian. Variabel kontrol dari penelitian ini adalah metode analitik. Variabel terikat dari penelitian ini adalah solusi lengkap sistem Eigen. Prosedur penyelesaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakann metode analitik untuk mendapatkan variabel-variabel yang dicari. Matriks yang digunakan berupa matriks bujur sangkar ordo 2×2, ordo 3×3, dan matriks ordo 4×4 yang mempunyai nilai determinan matriks yang sama dengan nol.

Menurut Alatas (2012) dan McMahon (2006), prosedur penyelesaian operator matriks hermitian dengan menggunakan metode analitik secara garis besar adalah sebagai berikut. 1) Mensubtitusikan operator matriks

hermitian ke dalam persamaan Eigen 𝑄𝜓 = 𝜆𝜓 2) Dari persamaan yang diperoleh pada

langkah sebelumnya akan memiliki solusi apabila determinan matriks bujur sangkar sama dengan nol

3) Menentukan nilai Eigen berdasarkan persamaan yang diperoleh dari hasil determinan matriks Menurut Sugiyono (2016:24) Banyaknya nilai Eigen tergantung dari banyaknya jumlah ordo pada operator matriks yang digunakan. Operator matriks hermitian dengan

ordo n×n akan mempunyai jumlah nilai Eigen maksimal sebanyak n.

4) Mensubtitusikan masing-masing nilai Eigen ke persamaan awal dan menentukan fungsi Eigen ternormalisasi

5) Menuliskan operator, nilai Eigen, dan fungsi Eigen ke dalam persamaan Eigen sehingga didapatkan solusi lengkap sistem Eigen.

6) Melakukan pembuktian Pembuktian dilakukan secara matematis terhadap solusi lengkap sistem Eigen, sehingga didapatkan hasil akhir secara matematis berupa kesamaan hasil antara ruas kanan dan ruas kiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji sistem Eigen (nilai Eigen dan fungsi Eigen) terhadap suatu persoalan Hermitian berupa operator matriks Hermitian menggunakan metode penyelesaian analitik. Operator matriks yang digunakan tersusun atas bilangan-bilangan yang riil rasional. Selain itu, penekanan dalam penelitian ini adalah operator matriks harus berupa matriks bujur sangkar yang mempunyai hasil perhitungan determinan yang sama dengan nol dan mempunyai nilai Eigen yang berupa bilangan riil rasional. Fokus utama operator matriks yang digunakan berupa matriks ordo 2 × 2, ordo 3 × 3, dan ordo 4 × 4.

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan operator matriks yang akan digunakan, yaitu : 𝑄 = [𝑞11 𝑞12 ⋯ 𝑞1𝑏𝑞21 𝑞22 ⋯ 𝑞2𝑏⋮ ⋮ ⋱ ⋮𝑞𝑎1 𝑞𝑎2 ⋯ 𝑞𝑎𝑏]

Operator matriks Q disubtitusikan ke dalam persamaan Eigen 𝑄𝜓 = 𝜆𝜓, dimana 𝜓 merupakan fungsi Eigen 𝜓 =

Page 232: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

221

[𝜓1𝜓2⋮𝜓𝑙 ] (dengan nilai 𝑙 = 3,4, …𝑑𝑠𝑡)

sehingga didapatkan

[(𝑞11 − 𝜆) 𝑞12 ⋯ 𝑞1𝑏𝑞21 (𝑞22 − 𝜆) ⋯ 𝑞2𝑏⋮ ⋮ ⋱ ⋮𝑞𝑎1 𝑞𝑎2 ⋯ (𝑞𝑎𝑏 − 𝜆)] [𝜓1𝜓2⋮𝜓𝑙 ]= 0 Dari operator matriks baru di atas, kemudian ditentukan determinan matriksnya. Proses determinan matriks terhadap matriks baru di atas menghasilkan persamaan karakteristik yang sama dengan nol. Proses subtitusi masing-masing variabel persamaan karakteristik ke dalam metode Horner akan menghasilkan nilai-nilai Eigen 𝜆𝑛. Banyaknya nilai Eigen tergantung dari jumlah ordo yang digunakan dalam operator matriks Hermitian. Langkah selanjutnya, untuk mendapatkan fungsi Eigen, subtitusikan masing-masing nilai Eigen 𝜆𝑛 ke dalam persamaan Eigen 𝑄𝜓 = 𝜆𝜓 sehingga

[𝑞11𝜓1 + 𝑞12𝜓2 + ⋯+ 𝑞1𝑏𝜓𝑙𝑞21𝜓1 + 𝑞22𝜓2 + ⋯+ 𝑞2𝑏𝜓𝑙⋮𝑞𝑎1𝜓1 + 𝑞𝑎2𝜓2 + ⋯+ 𝑞𝑎𝑏𝜓𝑙] = 𝜆𝑛 [𝜓1𝜓2⋮𝜓𝑙 ]

Melalui proses di atas diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut

𝜓 = [𝜓1𝜓2⋮𝜓𝑙 ] = [𝑠𝜓𝑛𝑡𝜓𝑛⋮𝑢𝜓𝑛] → 𝜓 = 𝜓𝑛 [𝑠𝑡⋮𝑢]

Dimana s, t, dan u merupakan suatu nilai yang didapatkan dari hasil subtitusi matriks diatas, dan 𝜓𝑛 dapat berupa 𝜓1, 𝜓2, atau 𝜓𝑙 yang merupakan fungsi acuan untuk mendapatan nilai s, t, dan u. Nilai 𝜓𝑛 dapat diperoleh dengan mensubtitusikan fungsi Eigen ke dalam syarat normalisasi 𝜓𝑇𝜓 = 1. Setelah diperoleh fungsi Eigen untuk masing-masing nilai Eigen, maka dapat dituliskan sistem Eigen sebagai berikut 𝑄𝜓 = 𝜆𝑛𝜓

[𝑞11 𝑞12 ⋯ 𝑞1𝑏𝑞21 𝑞22 ⋯ 𝑞2𝑏⋮ ⋮ ⋱ ⋮𝑞𝑎1 𝑞𝑎2 ⋯ 𝑞𝑎𝑏]𝜓𝑛 [𝑠𝑡⋮𝑢] = 𝜆𝑛𝜓𝑛 [𝑠𝑡⋮𝑢]

Perolehan nilai sistem Eigen dikatakan valid apabila peralian matriks antara ruas kanan dan ruas kiri didapatkan hasil yang sama.

Dengan menggunakan prosedur analitik seperti di atas, diperoleh Sistem Eigen untuk operator matriks Hermitian ordo 2 × 2, ordo 3 × 3, dan ordo 4 × 4 sebagai berikut :

Sistem Eigen operator matriks

Hermitian ordo 2 × 2

Penelitian ordo 2×2 diberikan operator Q sebagai berikut 𝑄 = [−1 25 2] Berdasarkan operator matriks Hermitian Q di atas, diperoleh 2 buah nilai Eigen yaitu 𝜆1 = 4 dan 𝜆2 = −3

Untuk 𝜆1 = 4 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓1 [ 12,5] = √ 17,25 [ 12,5] Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆1𝜓 [−1 25 2]𝜓1 [ 12,5] = 4𝜓1 [ 12,5] [−1 25 2]√ 17,25 [ 12,5] = 4√ 17,25 [ 12,5]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut [ 4√1 7,25⁄10√1 7,25⁄ ] = [ 4√1 7,25⁄10√1 7,25⁄ ]

Untuk 𝜆2 = −3diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓1 [ 1−1] = √12 [ 1−1] Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆2𝜓

Page 233: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

222

[−1 25 2]𝜓1 [ 1−1] = −3𝜓1 [ 1−1] [−1 25 2]√12 [ 1−1] = −3√12 [ 1−1]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut [−3√1 2⁄3√1 2⁄ ] = [−3√1 2⁄3√1 2⁄ ]

Operator matriks Hermite dengan ordo 2 × 2 mempunyai 2 buah sistem Eigen, artinya dalam kasus ini diperoleh nilai Eigen dan fungsi Eigen masing-masing 2 buah. Hal ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Sugiyono (2016:24), bahwa banyaknya nilai Eigen tergantung dari banyaknya jumlah ordo pada operator matriks yang digunakan. Operator matriks hermitian dengan ordo n×n akan mempunyai jumlah nilai Eigen maksimal sebanyak n. Sistem Eigen operator matriks

Hermitian ordo 3 × 3

Penelitian ordo 3×3 diberikan operator Q sebagai berikut 𝑄 = [−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ] Berdasarkan operator matriks Hermitian Q di atas, diperoleh 3 buah nilai Eigen yaitu 𝜆1 = 1, 𝜆2 = 2, dan 𝜆3 = 3

Untuk 𝜆1 = 1 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓1 [ 6−106 ] = √ 1172 [ 6−106 ] Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆1𝜓 [−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ]𝜓1 [ 6−106 ]

= 1𝜓1 [ 6−106 ]

[−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ]√ 1172 [ 6−106 ]= 1√ 1172 [ 6−106 ]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[ 6√1 172⁄−10√1 172⁄6√1 172⁄ ] = [ 6√1 172⁄−10√1 172⁄6√1 172⁄ ]

Untuk 𝜆2 = 2 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓1 [ 1−32 ] = √ 114 [ 1−32 ] Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆2𝜓 [−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ]𝜓1 [ 1−32 ] = 2𝜓1 [ 1−32 ]

[−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ]√ 114 [ 1−32 ]= 2√ 114 [ 1−32 ]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[ 2√1 14⁄−6√1 14⁄4√1 14⁄ ] = [ 2√1 14⁄−6√1 14⁄4√1 14⁄ ]

Untuk 𝜆3 = 3 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓3 [ 0−11 ] = √12 [ 0−11 ] Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆3𝜓 [−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ]𝜓3 [ 0−11 ] = 3𝜓3 [ 0−11 ]

Page 234: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

223

[−1 −3 −34 4 1−2 0 3 ]√12 [ 0−11 ] = 3√12 [ 0−11 ]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[ 0√1 2⁄−3√1 2⁄3√1 2⁄ ] = [ 0√1 2⁄−3√1 2⁄3√1 2⁄ ]

Operator matriks Hermitian dengan ordo 3 × 3 mempunyai 3 buah sistem Eigen, artinya dalam kasus ini diperoleh nilai Eigen dan fungsi Eigen masing-masing 3 buah. Hal ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Sugiyono (2016:24), bahwa banyaknya nilai Eigen tergantung dari banyaknya jumlah ordo pada operator matriks yang digunakan. Operator matriks hermitian dengan ordo n×n akan mempunyai jumlah nilai Eigen maksimal sebanyak n. Sistem Eigen operator matriks

Hermitian ordo 4 × 4

Penelitian ordo 4×4 diberikan operator Q sebagai berikut 𝑄 = [−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]

Berdasarkan operator matriks Hermitian Q di atas, diperoleh 4 buah nilai Eigen yaitu 𝜆1 = −1, 𝜆2 = −2, 𝜆3 = 3, dan 𝜆4 = 5

Untuk 𝜆1 = −1 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓1 [1000] = 1 [1000]

Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆1𝜓 [−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]𝜓1 [1000] = −1𝜓1 [1000]

[−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2] (1) [1000]= (−1)(1) [1000]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[−1000 ] = [−1000 ]

Untuk 𝜆2 = −2 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓4 [242−41−4035 ] = √ 163070 [242−41−4035 ]

Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆2𝜓 [−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]𝜓4 [242−41−4035 ]

= −2𝜓4 [242−41−4035 ]

[−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]√ 163070 [242−41−4035 ]= (−2)√ 163070 [242−41−4035 ]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[ −484√1 63070⁄82√1 63070⁄80√1 63070⁄−70√1 63070⁄ ]

= [ −484√1 63070⁄82√1 63070⁄80√1 63070⁄−70√1 63070⁄ ]

Untuk 𝜆3 = 3 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut

Page 235: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

224

𝜓 = 𝜓2 [1200] = √15 [1200]

Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆3𝜓

[−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]𝜓2 [1200] = 3𝜓2 [1200]

[−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]√15 [1200] = 3√15 [1200]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[ 3√1 5⁄6√1 5⁄0√1 5⁄0√1 5⁄ ]

= [ 3√1 5⁄6√1 5⁄0√1 5⁄0√1 5⁄ ]

Untuk 𝜆4 = 5 diperoleh fungsi Eigen sebagai berikut 𝜓 = 𝜓3 [5360] = √ 170 [5360]

Sehingga didapatkan sistem Eigen sebagai berikut. 𝑄𝜓 = 𝜆4𝜓

[−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]𝜓3 [5360] = 5𝜓3 [5360]

[−1 2 4 00 3 1 70 0 5 80 0 0 −2]√ 170 [5360] = 5√ 170 [5360]

Berdasarkan hasil akhir sistem Eigen di atas, diperoleh hasil pembuktian sebagai berikut

[ 25√1 70⁄15√1 70⁄30√1 70⁄0√1 70⁄ ]

= [ 25√1 70⁄15√1 70⁄30√1 70⁄0√1 70⁄ ]

Operator matriks Hermitian dengan ordo 4 × 4 mempunyai 4 buah sistem Eigen, artinya dalam kasus ini diperoleh nilai Eigen dan fungsi Eigen masing-masing 4 buah. Hal ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Sugiyono (2016:24), bahwa banyaknya nilai Eigen tergantung dari banyaknya jumlah ordo pada operator matriks yang digunakan. Operator matriks hermitian dengan ordo n×n akan mempunyai jumlah nilai Eigen maksimal sebanyak n.

SIMPULAN

Metode Analitik dapat dipergunakan menentukan solusi sistem Eigen untuk persoalan operator matriks Hermitian. Nilai Eigen dapat ditentukan apabila nilai hasil determinan matriks Hermitian sama dengan nol. Banyaknya nilai Eigen dan fungsi Eigen tergantung dari jumlah ordo matriks Hermitian yang digunakan. Penggunaan metode perhitungan analitik dalam menyelesaikan persoalaan Eigen untuk matriks ordo 2 × 2 dan ordo 3 × 3 masih dapat dipergunakan dengan mudah, namun untuk matriks ordo 4 × 4 membutuhkan perhitungan yang lebih kompleks dan panjang. Hal inilah yang menjadi salah satu kelemahan dari metode analitik. DAFTAR PUSTAKA

Alatas, H. (2012). Buku pelengkap fisika

matematika. Edisi 1. Bogor: IPB Press.

Maji, K. (2016). Hermite-distributed approximating functional-based formulation of multiconfiguration time-dependent hartree method: a case study of quantum tunnelling in a coupled double-well system. Pramana-J. Physics. 87(34): 1-8.

McMahon, D. (2006). Quantum

mechanics. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Ning, H., Xu, W., Chi, Y., Gong, Y., & Huang, T. S. (2010). Incremental spectral clustering by efficiently

Page 236: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

225

updating the eigen-system. Pattern

Recognition, 43(1), 113-127. Nurhasimah, N. (2013). Diagonalisasi

secara uniter pada matriks hermitian. Skripsi. Pekanbaru: UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Onate, C. A., Onyeaju, M. C., Ikot, A. N., Idiodi, J. O. A., & Ojonubah, J. O. (2017). Eigen solutions, shannon entropy and fisher information under the eckart manning rosen potential model. Journal of the

Korean Physical Society, 70(4), 339-347.

Purwanto, A. (2006). Fisika kuantum

edisi revisi. Yogyakarta: Gava Media.

Sani, R. A. Dan M. Kadri. Fisika

kuantum. (2017). Jakarta: Bumi Aksara.

Sari, N. M., Gemawati, S., & Sirait, A. (2014). Menentukan nilai eigen dan vektor eigen dari matriks tridiagonal. Jurnal Online

Mahasiswa (JOM) Bidang

Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, 2(1), 194-204. Sugiyono, V. (2016). Mekanika kuantum.

Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Supriadi, B., Prastowo, S. H. B., Bahri, S., Ridlo, Z. R., & Prihandono, T. (2018, March). The stark effect on the wave function of tritium in relativistic condition. In Journal of

Physics: Conference Series (Vol. 997, No. 1, p. 012045). IOP Publishing.

Page 237: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

226

Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Berbasis Mind Mapping terhadap Hasil Belajar Siswa

Riya Irianti, Noorhidayati, dan Dita Sifa Febriyanti

Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aktivitas belajar dan menguji pengaruh penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) berbasis mind mapping terhadap hasil belajar siswa kelas XI PIS SMAN 9 Banjarmasin tahun ajaran 2018/2019 pada konsep Sistem Peredaran Darah Manusia melalui kuasi eksperimen. Hasil belajar siswa diperoleh melalui pretest dan posttest sedangkan kognitif proses, afektif dan psikomotor diamati menggunakan rubrik observasi aktivitas siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model PBL berbasis mind mapping tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar kognitif produk yang terlihat dari nilai Pr>F = 0,423 yang berarti lebih besar dari 0.05. Selain itu nilai F = 0,87, nilai C.V yaitu 7,399, dan nilai R-Square sebesar 0,027 yang berarti 2,7% pembelajaran dipengaruhi oleh penerapan model pembelajaran PBL berbasis mind mapping, hal ini diduga karena adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Pada kelas perlakuan mendapat hasil kognitif proses dan hasil belajar afektif pada perilaku berkarakter siswa dengan kategori amat baik serta pada hasil belajar afektif perilaku sosial dan hasil belajar psikomotor dengan kategori baik. Kata Kunci: model pembelajaran, problem based learning (PBL), mind mapping,

hasil belajar

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan faktor utama dalam membentuk kepribadian manusia serta berperan dalam membentuk baik dan buruknya seseorang. Dalam hal ini guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam pendidikan karena guru memegang peran dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan (Rusman, 2013).

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terus melakukan pembaharuan dan inovasi dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah lahirnya kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mengusung adanya keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill). Walaupun pada praktiknya terdapat penekanan yang berbeda terhadap setiap jenjangnya. Pada jenjang sekolah dasar, aspek sikap lebih

besar proporsinya daripada aspek keterampilan dan pengetahuan. Akan tetapi, pada jenjang SMA, ketiga aspek itu diharapkan lebih berimbang. Sementara itu, pada jenjang perguruan tinggi, aspek pengetahuan lebih besar daripada aspek keterampilan dan sikap (Kosasih, 2014).

Berdasarkan observasi diperoleh bahwa proses pembelajaran biologi di SMAN 9 Banjarmasin khususnya kelas XI PIS (Biologi Peminatan) masih lebih banyak menerapkan model konvensional dan guru lebih dominan dalam pembelajara. Sehingga siswa cenderung pasif dan kurang mampu mengembangkan potensi diri seperti kemampuan berpikir diantaranya kemampuan memecahkan masalah. Siswa mampu mendengarkan dan mencatat informasi dari guru, berupa kalimat, uraian yang ditulis oleh guru di papan tulis atau bahan ajar, catatan menjadi kurang sistematis dan belum

Page 238: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

227

mengaitkan konsep sehingga siswa sulit memahami.

Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran adalah menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi kelak di masyarakat. Serangkaian strategi pembelajaran pemecahan masalah diperlukan dalam menghasilkan siswa yang memiliki kompetensi yang handal dalam pemecahan masalah (Wena, 2013).

Salah satu alternatif solusi untuk menangani permasalahan di atas adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Salah satu model yang dapat digunakan adalah problem based

learning (PBL). Menurut Hosnan (2016) PBL adalah pembelajaran yang menggunakan masalah nyata (autentik) yang tidak terstruktur dan bersifat terbuka sebagai konteks bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah dan berpikir kritis serta sekaligus membangun pengetahuan baru. PBL menjadikan masalah nyata sebagai pemicu bagi proses belajar peserta didik sebelum mereka mengetahui konsep formal, melalui proses diskusi, pengetahuan tersebut dapat dikonsolidasikan sehingga menjadi pengetahuan formal yang terjalin dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. PBL terdiri atas lima langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta diakhiri degan penyajian dan analisis hasil kerja siswa.

Model pembelajaran bukanlah satu-satunya hal penting yang harus diperhatikan dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Media pembelajaran juga merupakan salah satu

aspek penting guna melengkapi sebuah model pembelajaran serta dapat membantu meningkatkan suasana belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Teknik mind mapping adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan “memetakan” pikiran-pikiran seseorang, yaitu dengan cara menuliskan tema utama sebagai titik sentral atau tengah dan memikirkan cabang-cabang atau tema-tema turunan yang keluar dari titik tengah tersebut dan mencari hubungan antara tema turunan (Buzan, 2010).

Penerapan model PBL berbasis mind mapping diharapkan mampu menciptakan pembelajaran biologi yang mampu mendorong siswa berpikir tingkat tinggi karena siswa mampu memecahkan masalah dan melatih siswa memperoleh informasi baru, menyeleksinya, dan mengolahnya melalui catatan, gambar, atau diagram dengan baik, sehingga tujuan pembelajaran Biologi berhasil tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) berbasis mind mapping terhadap hasil belajar (kognitif produk, kognitif proses, afektif dan psikomotor) siswa kelas XI PIS SMAN 9 Banjarmasin tahun ajaran 2018/2019 pada konsep Sistem Peredaran Darah pada Manusia.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan metode eksperimen semu. Untuk menguji pengaruh penggunaan model pembelajaran problem based

learning berbasis mind mapping terhadap hasil belajar kognitif produk digunakan dengan metode eksperimen semu, sedangkan untuk mendeskripsikan hasil belajar kognitif proses, afektif dan psikomotorik siswa digunakan metode deksriptif.

Page 239: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

228

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Non-equivalent

control group design. Sampel pada penelitian ini adalah sampel total. Kelas eksperimen dibelajarkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning berbasis Mind Mapping dan kelas kontrol dengan pembelajaran kooperatif. Rancangan penelitian digambarkan sebagai berikut : (Sugiono, 2013)

Gambar 1 Rancangan penelitian the

non-equivalent control

group design

Keterangan : O1 : pretest

O2 : posttest X :Pembelajaran dengan model

PBL berbasis mind mapping

Kelas A : perlakuan

Kelas B : kontrol

Penelitian dilaksanakan pada bulan September – Desember 2018 pada siswa kelas XI PIS SMAN 9 Banjarmasin. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI PIS SMAN 9 Banjarmasin pada semester Ganjil tahun ajaran 2018/2019 yang terbagi menjadi 2 kelas yaitu kelas XI PIS-1 dan XI PIS-2. Sampel penelitian ditetapkan sebanyak dua kelas, kelas XI PIS-1 dan kelas XI PIS-2. Pengambilan sampel untuk penelitian ini menggunakan Total Sampling, yaitu jumlah sampel sama dengan populasi.

Variabel bebas dalam penelitian ini ialah penerapan model pembelajaran model pembelajaran problem based

learning (PBL) berbasis mind mapping,

sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar kognitif produk, kognitif proses, afektif dan psikomotorik siswa pada konsep Sistem Peredaran Darah Manusia.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1) soal pretest dan posttest, 2) lembar penilaian kognitif proses, 3) lembar penilaian afektif perilaku karakter (tanggung jawab dan peduli), 4) lembar penilaian afektif perilaku social (bekerjasama dan menyumbangkan ide/pendapat), dan 5) lembar penilaian psikomotorik. Analisis data tentang hasil belajar kognitif produk diperoleh melalui tes hasil belajar menggunakan soal-soal pilihan ganda yang dianalisis dengan menggunakan teknik Analisis kovarian (ANAKOVA) yang diolah dengan menggunakan aplikasi Statistical Analysis System

(SAS). Dengan tarif signifikan α ≤ 0,05. Analisis data kognitif proses, afektif dan psikomotor siswa dilakukan secara deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yaitu data hasil kompetensi siswa yang disajikan dalam bentuk skor, nilai atau angka, maka menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Data pengamatan aktivitas peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar ini menggunakan statistik deskriptif

persentase (%).Nilai yang diperoleh kemudian dikategorikan dalam rentangan sebagai berikut modifikasi dari Kunandar (2013) yaitu amat baik (90,1-100), baik (70,1-90), cukup (60,1-70) dan kurang (≤60).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang pengaruh

penerapan model pembelajaran Problem

Based Learning (PBL) berbasis Mind

Mapping terhadap hasil belajar siswa kelas XI PIS pada Konsep Sistem Peredaran Darah Manusia meliputi data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif terdiri dari nilai pretest dan posttest. Data kualitatif berupa nilai LKPD, penilaian afektif berkarakter, penilaian perilaku sosial dan psikomotor.

Kelas A O1 X O2 Kelas B O1 O2

Page 240: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

229

Hasil Belajar

Hasil belajar siswa terdiri dari hasil belajar kognitif produk (Pretest dan Postest), hasil belajar kognitif proses (LKPD), hasil penilaian afektif (perilaku berkarakter dan perilaku sosial), dan hasil belajar psikomotor.

Hasil Belajar Kognitif

Hasil Belajar Kognitif Produk

Ringkasan rerata belajar kognitif produk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Ringkasan Rerata Hasil Belajar

Kognitif Produk Hasil Belajar Kognitif Produk

Kelas Kontrol Kelas Perlakuan Pretest Posttest Pretest Posttest

51 83 59 80

Berdasarkan pada Tabel 1, kelas kontrol memiliki nilai rerata posttest yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas perlakuan. Data hasil belajar siswa di kelas perlakuan dan di kelas kontrol selanjutnya dianalisis menggunakan analisis kovarian (ANAKOVA).

Tabel 2 Ringkasan Analisis Data Hasil Kognitif Produk

Hasil Belajar Kognitif Produk

Pr>F F-Value R-Square C.V

0,423 0,87 0,027 7,399

Hasil analisis kovarian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa, pada subkonsep kelainan pada sistem peredaran darah manusia menunjukkan pembelajaran dengan model PBL berbasis Mind

Mapping tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar kognitif produk yang terlihat dari nilai Pr>F = 0,4234 yang berarti lebih besar dari 0.05. Selain itu nilai F = 0,87, nilai C.V yaitu 7,399685, dan nilai R-Square sebesar 0,027345 yang berarti pengaruh model PBL berbasis Mind Mapping masih rendah yaitu sebesar 2,7% .

Hasil Belajar Kognitif Proses

Rerata hasil belajar kognitif proses dinilai dari kemampuan siswa dalam mengerjakan LKPD baik pada kelas perlakuan maupun kelas kontrol. Ringkasan rerata hasil belajar LKPD disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Ringkasan Rerata Hasil Belajar

LKPD Hasil Belajar Kognitif Proses

Kelas

Kontrol Kategori

Kelas

Perlakuan Kategori

89 Baik 93 Amat Baik

Berdasarkan Tabel 3, rerata hasil

belajar LKPD kelas perlakuan lebih tinggi dari kelas kontrol. Namun secara keseluruhan, rerata hasil belajar LKPD sudah dalam ketegori baik dan amat baik. Kelas perlakuan dalam proses pembelajarannya disuguhkan masalah sehingga mereka lebih aktif menjawab LKPD yang diberikan dengan mencari berbagai sumber yang ada. Hasil Belajar Afektif

Hasil belajar afektif siswa meliputi perilaku berkarakter siswa dan perilaku sosial siswa.

Perilaku Berkarakter Siswa Ringkasan rerata perilaku berkarakter siswa disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Ringkasan Rerata Perilaku Berkarakter Aspek yang diamati

Bertanggung Jawab Peduli

Kelas

Kontrol

Kelas

Perlakuan

Kelas

Kontrol

Kelas

Perlakuan

83 94 82 93

Baik Amat Baik Baik Amat Baik

Ada dua aspek yang dinilai yaitu bertanggung jawab dan peduli dari hasil perhitungan rata-rata kelas kontrol termasuk dalam kategori baik sedangkan kelas perlakuan masuk dalam kategori amat baik. Perilaku berkarakter siswa

Page 241: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

230

pada semua aspek mencapai kategori baik dan amat baik. Secara keseluruhan, perilaku berkarakter siswa sudah mencapai indikator keberhasilan pada hasil belajar afektif dalam tahapan model PBL berbasis Mind Mapping.

Perilaku Sosial Siswa

Ringkasan rerata perilaku sosial disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Ringkasan Rerata Perilaku Sosial Psikomotor

Kelas

Kontrol Kategori

Kelas

Perlakuan Kategori

86 Baik 90 Baik

Aspek yang dinilai bekerjasama dan menyumbangkan ide/pendapat. Kedua kelas baik kontrol maupun perlakuan termasuk dalam kategori baik. Perilaku sosial siswa pada semua aspek sudah tergolong baik. Secara keseluruhan, perilaku sosial siswa sudah mencapai indikator keberhasilan pada hasil belajar afektif dalam tahapan model PBL berbasis Mind Mapping.

Berdasarkan data hasil perhitungan untuk hasil belajar afektif bahwa model PBL berbasis Mind

Mapping pada kelas perlakuan mencapai kategori baik dan amat baik. Aspek yang dinilai yaitu bertanggungjawab, peduli, bekerjasama, dan menyumbangkan ide karena siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah dalam bentuk

Mind Mapping.

Hasil Belajar Psikomotor

Ringkasan rerata psikomotor siswa disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Ringkasan Rerata Psikomotor

Siswa. Aspek yang diamati

Bekerjasama Menyumbangkan

ide/pendapat

Kelas

Kontrol

Kelas

Perlakuan

Kelas

Kontrol

Kelas

Perlakuan

79 86 82 83 Baik Baik Baik Baik

Berdasarkan Tabel 6 dapat terlihat bahwa hasil belajar psikomotorik siswa pada kelas perlakuan dan kelas kontrol termasuk dalam kategori baik. Secara keseluruhan, psikomotor siswa sudah mencapai indikator keberhasilan pada hasil belajar psikomotor dalam tahapan model PBL berbasis Mind Mapping. Penilaian psikomotorik dinilai dari mencari sumber informasi pada buku paket atau internet yang relevan, melakukan kegiatan-kegiatan berdasarkan langkah kerja yang telah ditentukan, mempresentasi hasil diskusi di depan kelas. Berdasarkan ketiga aspek tersebut pada kelas perlakuan siswa terlihat aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan berdasarkan langkah kerja yang telah ditentukan meskipun ada beberapa siswa yang tidak melakukan kegiatan tersebut sesuai dengan langkah yang ditentukan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa model PBL berbasis Mind Mapping tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar kognitif produk tetapi untuk hasil belajar proses dan hasil penilaian afektif mencapai kategori baik dan amat baik serta pada penilaian psikomotor mencapai kategori baik.

Hal ini diduga karena adanya faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi hasil belajar tersebut. Faktor eksternal yang diduga mempengaruhi diantaranya adalah proses pembelajaran di kelas perlakuan dilaksanakan pada siang hari yaitu jam 14.20-15.40, sehingga mempengaruhi factor nternal siswa yaitu sebagian siswa sudah kehilangan fokus dan mengakibatkan konsentrasi belajarnya menjadi rendah. Materi yang dipelajari pada jam tersebut diduga juga mempengaruhi hasil belajar karena minat siswa yang sudah mulai menurun.

Hasil belajar seseorang diperoleh dari beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor eksternal diantaranya adalah keadaan keluarga dan

Page 242: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

231

keadaan sekolah seperti metode pembelajaran, kurikulum, hubungan siswa dengan guru, hubungan siswa dengan siswa, disiplin guru, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung dan tugas rumah (Putri, Suratno, & Asyiah, 2015).

Model PBL merupakan model yang berfokus pada masalah yang akan membuat siswa aktif dalam penyelesaian masalahnya, namun siswa pada kelas perlakuan belum terbiasa dengan model PBL tersebut sehingga pada pelaksanaannya siswa lebih banyak bertanya tentang tahap-tahapan yang tertera pada LKPD. Hal tersebut memakan waktu cukup banyak karena guru harus menjelaskan kembali. Selain itu, ada beberapa siswa yang kurang mengerti cara membuat rumusan masalah dan tidak mengetahui pengertian hipotesis.

Berkenaan dalam melaksanakan tahapan-tahapan pada LKPD dan membuat Mind Mapping masing-masing kelompok membagi anggotanya menjadi 2 tim, tim pertama bertugas menjawab LKPD dan tim ke 2 bertugas membuat Mind Mapping. Sebenarnya hal tersebut merupakan keputusan yang tepat, namun ada beberapa kelompok yang kurang berkoordinasi saaat mengerjakan LKPD dan membuat Mind Mapping sehingga pemecahan masalah yang dituangkan dalam Mind Mapping tidak sesuai dengan yang terdapat dalam LKPD, hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi pemahaman konsep dari siswa yang tentunya juga akan sangat berpengaruh pada hasil belajarnya.

SIMPULAN

Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis

Mind Mapping terhadap hasil belajar siswa kelas XI PIS SMAN 9 Banjarmasin pada konsep sistem peredaran darah manusia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar kognitif produk siswa. Hasil belajar kognitif proses, afektif dan psikomotor mencapai kategori baik dan amat baik. Hal ini diduga dikarenakan oleh factor eksternal dan internal.

DAFTAR PUSTAKA

Buzan, T. (2010). Mind map. Jakarta: Gramedia.

Hosnan, H. (2016). Pendekatan saintifik

dan kontekstual dalam

pembelajaran abad 21. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kosasih, E. (2014). Strategi belajar dan

pembelajaran implementasi

kurikulum 2013. Bandung:Yrama Widya.

Kunandar, K. (2013). Penilaian autentik

(penilaian hasil belajar peserta

didik berdasarkan kurikulum

2013). Jakarta: Rajawali Putri, Y., Suratno. S, & Asyiah, I. N.

(2015). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) dengan menggunakan metode eksperimen terhadap aktivitas dan hasil belajar IPA-biologi siswa kelas VII SMP Negeri 2 Maesan Bondowoso. Pancaran Volume 4 (2), 163-172.

Rusman, R. (2013). Model-model

pembelajaran: mengembangkan

profesionalisme guru. Jakarta: Rajawali

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wena, M. (2013). Strategi pembelajaran

inovatif kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara

Page 243: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

232

Memperbaiki Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA melalui

Pembelajaran Biologi Berbasis Inkuiri pada Konsep Animalia

Norhasanah1, Muhammad Hasan2, dan Muhammad Zaini3 1,2SMAN 4 Barabai

3Program Studi Pendidikan Biologi FKIP ULM Banjarmasin [email protected]

Abstrak

Penelitian deskriptif ini bertujuan memperbaiki keterampilan berpikir kritis siswa SMA melalui pembelajaran biologi berbasis inkuiri pada konsep Animalia. Subyek penelitian adalah siswa SMA Negeri 4 Barabai kelas X MIA 3 tahun pelajaran 2018/2019. Penelitian ini dilakukan Januari-Februari tahun 2019. Jenis data meliputi keterampilan merumuskan pertanyaan, keterampilan merumuskan hipotesis, keterampilan mengumpulkan data, keterampilan menganalisis data, dan keterampilan membuat kesimpulan. Data dikumpulkan dari jawaban LKS 1 dan LKS 2 berbasis inkuiri dengan menggunakan rubrik keterampilan berpikir kritis. Hasil penelitian diperoleh keterampilan merumuskan masalah, keterampilan merumuskkan hipotesis, keterampilan mengumpulkan data, dan keterampilan membuat kesimpulan mengalami perbaikan dari kategori cukup menjadi baik, sedangkan keterampilan menganalisis data belum mengalami perbaikan dengan kategori cukup. Kata Kunci: Keterampilan berpikir kritis, biologi, pembelajaran berbasis inkuiri

PENDAHULUAN

Pembelajaran abad 21 atau pembelajaran di era revolusi industri 4.0 adalah pembelajaran berpusat pada siswa dengan pemanfaatan teknologi sebagai penunjang belajar siswa. Ada lima keterampilan yang perlu ditingkatkan pada abad ke-21 yang diperoleh dari hasil workshop National Research Council

(NRC) tahun 2007 yakni adaptasi, keterampilan komunikasi kompleks, keterampilan problem solving non rutin, manajemen diri/pengembangan diri, dan sistem berpikir (National Research Council, 2008). Hasil workshop selanjutnya memfokuskan menjadi tiga keterampilan yakni 1) keterampilan kognitif (problem solving non rutin, berpikir kritis, berpikir sistem), 2) keterampilan interpersonal (komunikasi yang kompleks, keterampilan sosial, kerja sama tim, sensitivitas budaya, keragaman), 3) keterampilan intrapersonal (manajemen diri, manajemen waktu, pengembangan diri, pengaturan diri, kemampuan beradaptasi,

dan fungsi eksekutif). Ketiga keterampilan ini menjadi fokus utama dalam pembelajaran.

Guru dituntut melatihkan keterampilan berpikir kritis, kerjasama, komunikatif, dan kreatif, ini penting dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas. Salah satu pembelajaran yang melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran berbasis inkuiri.

Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diadaptasikan dengan kemampuan siswa, dapat membangun struktur kognitif, dan dapat memotivasi siswa untuk berpikir kritis. Hamalik (2004) menjelaskan pembelajaran berbasiis inkuiri adalah suatu strategi (model) yang berpusat pada siswa. Pembelajaran berbasis inkuiri meliputi keterampilan proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukannya. Rochmah, Agil, & Suryani (2015) menjelaskan berpikir kritis meliputi kegiatan menganalisis,

Page 244: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

233

mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menginferensi dan mengevaluasi.

Belajar biologi sarat dengan proses dan produk sains. Myrna & Suryawati (2015) melaporkan keterampilan proses sains siswa dengan kriteria baik didapat melalui LKS. Nur, Nasution, & Suryanti (2013) menyatakan berpikir kritis mengajarkan berbagai strategi dan keterampilan yang dapat meningkatkan kemampuan kita untuk terlibat dalam evaluasi-evaluasi kritis. Penelitian ini menempatkan posisi guru sebagai fasilitator, jika tidak, maka pembelajaran hanya transfer pengetahuan belaka.

Dominasi guru dapat dihindari melalui penggunaan model-model pembelajaran. Wahyulina, Abdullah, & Zaini (2018) menjelaskan penggunaan model inkuiri dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Zaini (2016) melaporkan keterampilan berpikir kritis (merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data dan membuat kesimpulan) rata-rata cukup baik, dengan menggunakan model inkuiri. Keterampilan berpikir kritis siswa tergolong baik juga dengan menggunakan model inkuiri meliputi; merumuskan masalah, merancang percobaan, melakukan percobaan, dan membuat kesimpulan (Norhasanah & Ruswaty 2016).

Zaini dkk. (2018) melaporkan pembelajaran berbasis inkuiri pada pembelajaran biologi berpengaruh terhadap hasil belajar siswa dan kemampuan menganalisis dan mengevaluasi, namun tidak berpengaruh terhadap kemampuan mengaplikasi. Hidayati (2016) melaporkan pembelajaran IPA melalui kerja ilmiah menghasilkan keterampilan berpikir kritis dengan kategori baik yakni merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan, dan melakukan percobaan. Keterampilan berpikir kritis yang belum menunjukkan

tanda-tanda perbaikan yakni menganalisis data dan membuat kesimpulan. Ketuntasan klasikal hasil belajar telah tercapai, baik kognitif produk maupun kognitif proses, dan ada korelasi sesamanya.

Naita, Zaini, & Abdullah (2018). melaporkan perangkat RPP yang valid dan praktis meningkatkan aktvitas siswa dalam pembelajaran. Zaini & Supiati (2017) melaporkan perangkat RPP yang valid, praktis, dan efektif meningkatkan aktivitas pembelajaran. Pusparini (2017) menjelaskan kemampuan berpikir kritis diperoleh melalui pengamatan, hipotesis, pengklasifikasian, dan analisis. Banyak ragam penelitian yang digunakan untuk menggali keterampilan berpikir kritis, termasuk melalui penelitian tindakan kelas.

Norhasanah (2016) melaporkan merumuskan hipotesis, merancang percobaan dan melakukan percobaan tergolong baik melalui pembelajaran berbasis inkuiri. Hasil-hasil ini memperkuat alasan menempatkan pembelajaran berbasis inkuiri sebagai salah satu pilihan dalam pembelajaran seperti tercantum dalam Permendikbud nomor 65 tahun 2013.

Konsep-konsep biologi yang dipelajari di kelas dapat memotivasi para siswa belajar dan keterampilan berpikir (Zaini & Asnida, 2016). Belajar keterampilan proses tidak terbatas dikerjakan di sekolah pada kelas utuh, akan tetapi dapat dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil, atau secara individual (Nur, 2011). Boleh jadi mereka bekerja secara individual di kelas atau di rumah. Jika ini dilakukan maka dapat mengatasi jam pelajaran yang terbatas.

Menghadapi revolusi industri 4.0, dengan pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi sangat berimbas pada kebiasaan siswa dalam memanfaatkan teknologi yang sebagian mereka hanya menggunakan untuk jejaring sosial saja. Hal ini tentu peran

Page 245: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

234

guru untuk mengarahkan pemanfaatan teknologi sebagai penunjang penguasaan keterampilan berpikir kritis siswa melalui LKS berbasis inkuiri, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana memperbaiki keterampilan berpikir kritis siswa SMA melalui pembelajaran biologi berbasis inkuiri pada konsep Animalia. METODE

Penelitian deskriptif ini bertujuan memperbaiki keterampilan berpikir kritis siswa SMA melalui pembelajaran berbasis inkuiri pada konsep Animalia. Subjek penelitian adalah siswa SMA Negeri 4 Barabai kelas X MIA 3 tahun pelajaran 2018/2019.

Penelitian ini dilakukan Januari-Februari tahun 2019. Jenis data meliputi

keterampilan merumuskan pertanyaan, keterampilan merumuskan hipotesis, keterampilan mengumpulkan data, keterampilan menganalisis data, dan keterampilan membuat kesimpulan.

Data dikumpulkan dari jawaban LKS 1 dan LKS 2 dengan menggunakan rubrik keterampilan berpikir kritis, selanjutnya diberi skor dan dinyatakan dengan %, dirujuk dengan kategori 85,01-100% (Sangat Baik), 70,01-85,00% (Baik), 50,01-70,00% (Cukup), dan 01,00-50,00% (Kurang) (Adaptasi dari Akbar, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterampilan berpikir kritis siswa LKS 1 dan LKS 2 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Keterampilan Berpikir Kritis Siswa LKS 1 dan LKS 2

No Parameter LKS 1 Kategori LKS 2 Kategori

1 Merumuskan masalah

58,10% Cukup 76,19% Baik

2 Merumskan hipotesis 59,05% Cukup 76,67% Baik 3 Mengumpkan data 62,86% Cukup 72,86% Baik 4 Menganalisis data 54,29% Cukup 62,29% Cukup 5 Membuat

kesimpulan 59,05% Cukup 76,67% Baik

Tabel 1 menunjukkan semua parameter keterampilan berpikir kritis siswa mengalami perbaikan dari kategori cukup menjadi baik, kecuali parameter menganalisis data dengan kategori cukup.

Keterampilan berpikir kritis siswa (merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, dan membuat kesimpulan) mengalami perbaikan dari LKS 1 ke LKS 2. Sedangkan parameter menganalisis data belum mengalami perbaikan. Kegiatan pada LKS 1 dan LKS 2 yaitu keterampilan dalam merumuskan masalah dan merumuskan hipotesis (sintesis), mengumpulkan data dan menganalisis data (analisis), dan membuat kesimpulan (evaluasi).

Melatihkan keterampilan berpikir kritis adalah proses yang berkelanjutan. Hal ini tidak bisa terbatas pada sesi kelas saja, tapi harus dimasukkan melalui berbagai pertanyaan, pelajaran, dan kegiatan yang berfokus pada tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi (Reddington, 2012).

Keterampilan berpikir kritis siswa mengalami perbaikan, sehingga melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa perlu direkomendasikan dalam pembelajaran biologi. Cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah dengan memasukkannya menjadi bagian dari setiap pelajaran, salah satunya dengan menerapkan pembelajaran berbasis inkuiri.

Page 246: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

235

Berpikir kritis mengajarkan berbagai strategi dan keterampilan yang dapat meningkatkan kemampuan melakukan evaluasi-evaluasi kritis (Nur dkk., 2013). Oleh karena itu ditekankan guru sebagai fasilitator saja.

Pembelajaran berbasis inkuiri unggul dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa (Wahyulina dkk., 2018; Hidayati, 2016: Norhasanah dan Ruswaty, 2016; Norhasanah, 2016; Zaini, 2016. Kelebihan beberapa laporan ini adalah mereka menempatkan keterampilan berpikir kritis melalui parameter yang terukur.

Masih ada guru yang beranggapan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri sulit untuk diterapkan, hal ini tentu terkait dengan kemampuan guru tentang pembelajaran inkuiri masih kurang, sehingga mengalami kesulitan dalam mengaplikasikannya dalam pembelajaran.

Implementasi pembelajaran berbasis inkuiri tidaklah semudah yang dibayangkan, namun dalam penerapannya terdapat berbagai kesulitan. Menurut Sanjaya (2012) pembelajaran berbasis inkuiri menekankan kepada proses berpikir yang bersandarkan pada proses belajar dan hasil belajar. Selama ini guru yang sudah terbiasa dengan pola pembelajaran sebagai proses menyampaikan informasi yang lebih menekankan kepada hasil belajar, banyak yang merasa keberatan untuk mengubah pola mengajarnya.

Secara eksplisit parameter keterampilan berpikir kritis berdasarkan sintaks-sintaks inkuiri (Rochmah dkk., 2015; Pusparini, 2017). Implikasi dari hasil penelitian ini adalah model inkuiri sebagai salah satu pilihan dalam pembelajaran seperti tercantum dalam Permen Dikbud nomor 65 tahun 2013.

Mengingat kurikulum 2013 yang dicanangkan oleh pemerintah untuk menyongsong abad 21, dimana siswa dilatihkan untuk memiliki keterampilan

berpikir kritis. Meskipun keterampilan berpikir siswa setiap orang berbeda-beda, hal ini tentunya perlu peran guru yang mampu melatihkan kepada siswa secara bertahap dan terus menerus.

Pemanfaatan teknologi dengan penugasan bagi siswa melalui LKS berbasis inkuiri di abad 21 dalam menghadapi revolusi industri 4.0 sangat berperan penting untuk melatihkan keterampilan berpikir kritis, kerjasama, komunitif, dan kreatif.

Norhasanah & Fanani (2016) menjelaskan bahwa penggunaan lembar kegiatan siswa (Hand On Activity) dalam pembelajaran biologi untuk menggali keterampilan berpikir kritis siswa SMA dalam merancang percobaan, melakukan percobaan, dan membuat kesimpulan baik, sedangkan merumuskan hipotesis dan menganalisis data masih perlu perlu perbaikan. Selain itu, Norhasanah (2017) juga melaporkan kemampuan berkomunikasi dan bertanya siswa SMA dalam pembelajaran biologi meningkat.

Norhasanah (2018) melaporkan bahwa keterampilan berpikir kritis (merumuskan masalah, menganalisis data, membuat kesimpulan) dan keterampilan bekerjasama siswa pada konsep tumbuhan melalui LKS inkuiri dan penugasan berbasis internet di SMA mengalami peningkatan.

Melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa dari suatu konsep yang sudah mereka pelajari di kelas bertujuan agar mereka mampu menganalisis teori dan realita dalam kehidupan sehari-hari untuk menghadapi perubahan zaman sebagai modal dasar yang harus dikuasai dan dilatihkan kepada siswa secara berkelanjutan.

SIMPULAN

Disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa (merumuskan masalah, merumuskkan hipotesis, mengumpulkan data, dan membuat kesimpulan) mengalami perbaikan dari kategori cukup menjadi baik, sedangkan

Page 247: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

236

keterampilan menganalisis data belum mengalami perbaikan yakni kategori cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar. S. (2013), Instrumen perangkat

pembelajaran. Bandung. Remaja Rosdakarya Offset.

Hamalik, O. (2004). Proses belajar

mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Hidayati, N. (2016). Hasil belajar dan

keterampilan berpikir kritis siswa madrasah tsanawiyah dalam pembelajaran ipa melalui kerja ilmiah. Proceeding Biology

Education Conference, 13(1), 118-

127.

Myrna R, & Suryawati, E. S. (2015). Pengembangan lks materi pokok energi dalam sistem kehidupan di kelas vii smp dengan pendekatan ilmiah untuk mengembangkan keterampilan proses sains. Jurnal

Online Mahasiswa (JOM) Bidang

Keguruan dan Ilmu Pendidikan

2(2). Universitas Riau.

Naita, N. N.; Zaini, M. & Abdullah. (2018). Development Of Lesson Plan Instrument On Skleton, Muscles And Simple Machine Topic For Junior High School: The Validity and The Practicality Test. IOSR Journal of

Research & Method in Education

(IOSR-JRME), 8(2), 34-40. National Research Council (US). (2011).

Committee on the Assessment of 21st Century Skills. Assessing 21st

Century Skills: Summary of a

Workshop. Washington (DC): National Academies Press (US).

Norhasanah, N., & Ruswaty, R. (2016). Keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pembelajaran biologi konsep jamur di sma negeri 4 barabai. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA. http: //www.s2ipa.unlam.ac.id/category

/publikasi-ilmiah/proceeding/seminar nasional-pendidikan-ipa-2016/.

Norhasanah, N. (2016). Meningkatkan keterampilan proses siswa kelas x.5 sman 4 barabai melalui penerapan model inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem. Jurnal Inovasi

Pembelajaran (JINoP), 2(1). Norhasanah, N., & Fanani, M. (2016).

Penggunaan lembar kegiatan siswa (hand on activity) dalam pembelajaran biologi untuk menggali keterampilan berpikir kritis siswa sma. In Poceeding

Biology Education Conference:

Biology, Science, Enviromental,

and Learning , 13(1), 307-311. Norhasanah, N. (2017). Kemampuan

berpikir kritis siswa sma dalam pembelajaran biologi. Jurnal

Inovasi Pembelajaran Biologi:

Kajian Biologi dan

Pembelajarannya, 4(1). Norhasanah, N. (2018). Peningkatan

keterampilan berpikir kritis dan karakter kerjasama siswa pada konsep tumbuhan melalui lks inkuiri dan penugasan berbasis internet di sma. Bioedukasi-Jurnal

Pendidikan Biologi, 12(1), 30-34. Nur, M. (2011). Modul keterampilan-

keterampilan proses sains. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah, Unesa.

Nur, M., Nasution, N., & Suryanti, S. (2013). Berpikir kritis. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.

Pusparini, D. (2017). Meningkatkan hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa melalui pendekatan inkuiri pada konsep ekosistem kelas vii a smp negeri 3 kusan hilir. Bio-Pedagogi: Jurnal

Pembelajaran Biologi. 6(2), 29-35.

Page 248: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

237

Reddington, D. (2012). Developing

critical thinking skills in the abe

classroom. Bureau of Adult Education Mini-Grant.

Rochmah, N. H; Agil, A & Suryani, D. (2015). Meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa smk melalui pembelajaran fisika dengan model inkuiri terbimbing. In Prosiding Seminar

Nasional Universitas Negeri

Surabaya.

Sanjaya, W. (2012). Strategi

pembelajaran berorientasi

standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana.

Wahyulina, M., Abdullah, A., & Zaini, M. (2018). The Effectiveness of Lesson Plan Instruments on Digestive System Material through Inquiry Based Learning. European

Journal of Education Studies 4(4). 2018.

Zaini, M. & Supiati, S. (2017). Developing Learning Device on

Environmental Pollution Topic in Senior High School. The Social

Sciences 12 (12) 2269-2276. ISSN 1818-5800.

Zaini, M. (2016). Guided Inquiry Based Learning on the Concept of Ecosystem Toward Learning Outcomes and Critical Thinking Skills of High School Students. IOSR Journal of Research &

Method in Education (IOSR

JRME), 6(6). Zaini, M. & Asnida, D.J., (2016). The

Development of Science-Biology Learning Instrument Oriented to Mangrove Forest for Junior High School Students. In Prosiding

Seminar Biologi 12(1), 134-141. Zaini, M. (2016). Urgensi Penelitian

Pengembangan Dalam Menggali Keterampilan Berpikir Kritis In

Seminar Nasional Pendidikan IPA

Universitas Lambung Mangkurat

Page 249: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

238

Kualitas Lembar Kerja Peserta Didik Konsep Protista Berbasis

Keterampilan Berpikir Kritis

(Suatu Penelitian Berbasis Desain)

Muhammad Arsyad, Muhammad Zaini, dan Khairunnisa Aziati

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, [email protected]

Abstrak Lembar kerja peserta didik adalah bagian dari perangkat pembelajaran yang berperan penting dalam menggali keterampilan berpikir kritis peserta didik. LKPD yang berkualitas susah diperoleh kecuali melalui penelitian berbasis desain. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kualitas LKPD berbasis keterampilan berpikir kritis sehingga dihasilkan LKPD yang valid, praktis, dan efektif. Penelitian berbasis desain (penelitian pengembangan) menggunakan desain Tessmer, dengan tahapan expert review, one to

one evaluation, small group evaluation, dan field test evaluation. Didalam pelaksanaannya diakhiri sampai small group evaluation. Subjek expert review adalah dua orang akademisi dan satu orang praktisi (guru biologi). Subjek one to one

evaluation adalah tiga orang peserta didik. Subjek small group evaluation adalah enam orang peserta didik. Data validitas melalui expert review, kepraktisan isi diperoleh dari one to one evaluation, dan kepraktisan harapan bersamaan dengan keefektivan harapan diperoleh melalui small group evaluation. Data validitas dan kepraktisan isi dikumpulkan menggunakan teknik Delphi dengan ketetapan skor capaian akhir 4. Data kepraktisan harapan diperoleh dari respon peserta didik menggunakan lembar instrumen berupa angket dinyatakan dengan %. Keefektivan harapan berdasarkan skor keterampilan berpikir kritis peserta didik dalam mengerjakan LKPD. Hasil penelitian menunjukkan LKPD sangat valid menurut expert review, mudah digunakan karena praktis baik isi maupun harapan. Efektif digunakan karena keefektivan harapan juga sangat baik. Kata Kunci: Penelitian pengembangan, kualitas, LKPD, protista, keterampilan

berpikir kritis

PENDAHULUAN

Pendidikan abad ke-21 identik dengan Pendidikan abad milenial dan era evolusi industri 4.0. Setiap generasi, keterampilan berpikir tingkat tinggi selalu ditekankan dalam menghadapi pendidikan di abad ini, ditempuh melalui berbagai keterampilan agar dapat bertahan hidup (life skill) baik hard skill maupun soft skill sebagai tuntutan dunia pendidikan (Trilling & Fadel, 2009). National Research Council (2011) menetapkan salah satu keterampilan yang perlu ditingkatkan adalah keterampilan kognitif terdiri dari problem solving non-

routine, berpikir kritis, dan berpikir sistem. Keterampilan berpikir kritis

merupakan sebuah proses bertujuan mampu membuat keputusan dengan yakin atau melakukan sesuatu (keputusan rasional). Berpikir kritis merupakan kegiatan yang berangsur-angsur, aktif, dan teliti. Anindyta & Suwarjo (2014) berpendapat peserta didik harus memiliki keterampilan esensi yakni keterampilan berpikir kritis. Maksudnya agar dapat memperbaiki mutu generasi bangsa. Salah satu cara yang dilakukan untuk mencapai maksud di atas adalah memperbaiki LKPD yang merupakan bagian dari perangkat pembelajaran (perangkat rencana pelaksanaan pembelajaran). Berdasarkan Permendikbud nomor 65 tahun 2013

Page 250: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

239

menyatakan perangkat pembelajaran harus menerapkan pendekatan ilmiah pada proses pembelajaran. Konsep protista pada silabus yang dijabarkan dari kurikulum 2013 memiliki ranah kognitif (C3) yaitu menerapkan. Kompetensi Dasar 3 menekankan pada penerapan prinsip dan konsep, dan Kompetensi Dasar 4 menekankan pada proses sains. Jadi, pembelajaran konsep protista menurut kurikulum 2013 sudah memfasilitasi penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis. Masrikhah (2014) mengasumsikan konsep protista merupakan konsep biologi SMA yang sering memiliki kendala sehingga perlu pemahaman lebih yaitu diperlukan keterampilan berpikir kritis. Pembelajaran konsep ini diberikan kepada peserta didik dengan sifatnya yang abstrak-teoritis, maka hendaknya berbekal penguasaan konsep dan proses. Lembar kerja peserta didik bagian dari perangkat pembelajaran berperan penting pada proses pembelajaran. Kesalahan seringkali terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran, misalnya penggunaan LKPD yang belum mampu memaksimalkan proses pembelajaran, ini berdampak tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Sari (2012) menjelaskan sebagian guru hanya memberikan tugas mengerjakan soal-soal pada LKPD maupun buku paket. Kegiatan penyelidikan sebagai bekal awal dalam penyelesaian suatu masalah belum biasa dilakukan peserta didik, padahal melalui kegiatan penyelidikan, peserta didik dapat melatih dan membiasakan dirinya dalam membangun keterampilan berpikir kritis. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah memperbaiki LKPD melalui penelitin pengembangan. Dengan cara ini maka dihasilkan LKPD yang valid, praktis, dan efektif. Penelitian berbasis desain menekankan pada evaluasi formatif yang bertujuan memperbaiki (improve) sebuah produk, tahapannya adalah expert review,

one to one evaluation, small group

evaluation, dan field test evaluation. Tiga tahapan awal akan menghasilkan validitas, kepraktisan isi, kepraktisan harapan, dan keefektivan harapan LKPD. Dikatakan valid sesuai dengan state-of

the art-knowledge, praktis artinya mudah digunakan oleh pengguna, sedangkan efektif artinya mampu menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan kualitas lembar kerja peserta didik konsep protista berbasis keterampilan berpikir kritis. METODE

Penelitian berbasis desain menggunakan desain Tessmer. Subjek penelitian expert review adalah dua orang akademisi yaitu dosen Pendidikan Biologi PMIPA FKIP ULM Banjarmasin dan satu orang guru biologi SMAN 9 Banjarmasin. Subjek penelitian menetapkan kepraktisan isi adalah tiga orang peserta didik kelas X MIA 1 SMAN 9 Banjarmasin. Subjek kepraktisan harapan dan keefektivan harapan adalah enam orang peserta didik kelas X MIA 1 SMAN 9 Banjarmasin. Pemilihan subjek penelitian masing-masing ditetapkan berdasarkan kemampuan akademik berbeda yang diperoleh dari informasi guru biologi. Data validitas dikumpulkan menggunakan teknik Delphi, diperoleh dari expert review. Data kepraktisan isi juga dikumpulkan menggunakan teknik Delphi, diperoleh melalui tahap one to

one evaluation berdasarkan penilaian peserta didik terhadap LKPD dengan memberikan skor 1, 2, 3, atau 4. Data kepraktisan harapan diperoleh pada tahap small group evaluation berdasarkan respon peserta didik terhadap LKPD dengan memberikan respon setuju dengan simbol √ pada kolom (Ya) atau tidak setuju pada kolom (Tidak). Data keefektivan harapan juga diperoleh pada tahap small group evaluation berdasarkan skor keterampilan berpikir peserta didik dalam mengerjakan LKPD.

Page 251: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

240

Analisis data validitas isi pada semua komponen ditetapkan dengan skor maksimal 4 (Sangat valid). Kepraktisan isi LKPD pada semua komponen ditetapkan dengan skor maksimal 4 (Sangat baik). Kepraktisan harapan LKPD berdasarkan respon peserta didik, sedangkan keefektivan harapan diperoleh dari skor keterampilan berpikir kritis peserta didik, masing-masing data ini kemudian dinyatakan dengan % berdasarkan ketentuan Sangat baik (85 -

≤ 100%), Baik (70 -≤ 85%), Kurang baik (50 -≤ 70%), Tidak baik (1 -≤ 50%). HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas LKPD dalam penelitian ini berdasarkan validitas isi, kepraktisan isi, kepraktisan harapan, dan keefektivan harapan.

Validitas Isi

Hasil validitas isi LKPD melalui expert

review disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Validitas Isi No. As-pek

LKPD Ke-

1 2 3 4 5 6 v.1 v.2 v.3 v.1 v.2 v.3 v.1 v.2 v.3 v.1 v.2 v.3 v.1 v.2 v.3 v.1 v.2 v.3

1 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 2 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4

4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 5a 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5b 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5c 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 6a 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 6b 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 7a 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 7b 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 7c 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 8a 4 3 4 4 3 3 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4 3 4 8b 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 9 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4

Keterangan:

1) v1 = validator 1, v2 = validator 2, v3 = validator 3

2) Kategori: Sangat valid (4), Valid (3), Kurang valid (2), Tidak valid (1)

3) Nomor aspek: 1 Materi pembelajaran ada pada beberapa

LKPD yang menjadi satu kesatuan. 6a Foto pada cover dikenal oleh siswa.

2 Media pembelajaran pada LKPD mudah ditemukan.

6b Foto-foto di dalam LKPD juga dikenal siswa.

3 Memiliki daya adaptif terhadap kemajuan ilmu dan teknologi di sekitar siswa.

7a Menampilkan peta, bagan, gambar mudah dipahami dan menarik.

4 Memenuhi kaidah akrab dengan pemakainya.

7b Susunan isi LKPD dibuat sistematis.

5a Konsistensi menggunakan jenis dan ukuran huruf.

8a Mengkombinasi warna, gambar (sebagai ilustrasi).

5b Konsisten menggunakan spasi. 8b Menggunakan huruf tebal, cetak miring, dan warna.

5c Konsisten menggunakan tata letak. 9 Tugas dan latihan menantang mempelajari LKPD.

Page 252: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

241

Tabel 2 Komentar Validator dan Tindak Lanjut Perbaikan Validator Komentar Tindak Lanjut

v2 Hubungkan dengan materi pembelajaran yang sesuai pada jenjangnya.

Dihubungkan dengan penyajian wacana terkait materi pembelajaran yang sesuai.

v2 Jika ada bahan berupa sumber belajar, sebaiknya disebutkan.

Ditambahkan pada petunjuk kegiatan: Bacalah materi pembelajaran di buku paket.

v2 Kurang memenuhi kaidah akrab, karena kesan yang ditimbulkan masih satu arah.

Sebutan kata “Anda” sudah diganti menjadi “Kalian”.

v2 Gambar pada cover lebih menarik supaya tidak pecah.

Kualitas gambar ditingkatkan.

v2 Masih ada gambar yang melewati garis tebal.

Gambar disesuaikan margin kertas.

v3 Judul pada cover tidak boleh landscape dan cover masih banyak ruang kosong sehingga gambar perlu ditambah lagi.

Ubah judul ke dalam bentuk portrait

dan ruang kosong pada cover dilengkapi gambar lainnya.

v1 Hindari menggunakan tanda seru pada soal, dan tanda …. minimal 2 baris setiap soal.

Tanda seru dihilangkan dan tanda …… disesuaikan.

Validitas LKPD konsep protista

berkategori sangat valid. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Hidayah & Nurtjahyani, 2018; Maulia & Wulandari, 2018; Setyaningsih & Wulandari, 2018), yang menyatakan bahwa LKPD yang telah dikembangkan memiliki kategori sangat valid. Diperolehnya LKPD kategori sangat valid karena didukung komponen-komponen pembelajaran yang telah sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan pada instrumen validitas LKPD. Indikator/aspek yang dimaksud adalah sistematika penulisan, kebahasaan, konsistensi format penulisan, dan penyajian. Sistematika penulisan seluruh LKPD yang dikembangkan dalam segi penulisan sudah sistematis sehingga validator memberikan skor 4 dan LKPD dinyatakan sangat valid. Hal ini sejalan dengan Pattashiki (2013) menyatakan kriteria sangat valid yang diperoleh dari komponen kelayakan penyajian LKPD sesuai dengan pengembangan LKPD pada umumnya. Dalam hal ini

sistematika penyusunan LKPD sesuai kaidah yang berlaku (Daryanto & Dwicahyono, 2014). Kebahasaan merupakan salah satu indikator/aspek yang divalidasi kategori sangat valid, karena LKPD yang dikembangkan sudah memenuhi kaidah bersahabat/akrab dan sesuai dengan pemakainya. Widjajanti (2008) menyatakan penggunaan bahasa sesuai dengan tingkat kedewasaan peserta didik perlu diperhatikan, ini merupakan salah satu syarat konstruksi penyusunan LKPD. Rosalina, Noor, & Ila (2015) mendukung pernyataan ini, peserta didik terbantu dalam mempelajari LKPD dari penggunaan bahasa yang sederhana dan komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikannya. Hasil validitas kategori sangat valid sejalan dengan penelitian Pattashiki (2013) yang menyatakan kriteria sangat valid pada komponen kelayakan bahasa, yakni bahasa yang digunakan sudah sesuai dengan perkembangan berpikir dari peserta didik yang memudahkan peserta didik dalam memahami materi pembelajaran.

Page 253: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

242

Format penulisan LKPD kategori sangat valid, karena LKPD yang dikembangkan konsisten menggunakan jenis dan ukuran huruf, konsisten menggunakan spasi, penggunaan huruf tebal, cetak miring, garis bawah, dan warna. Hal ini didukung dengan pendapat Arsyad (2017) mengenai keharusan penggunaan kata-kata dengan gaya huruf mudah terbaca dan sederhana atau yang tidak bermacam-macam dalam satu tampilan ataupun serangkaian visual. Penyajian LKPD dapat membangkitkan motivasi/minat/rasa ingin tahu serta menarik, kategori sangat valid. Foto-foto yang dikenal oleh peserta didik mendukung pernyataan ini. Begitu juga dengan penampilan gambar yang mudah dimengerti dan menarik. Wahyuningsih (2012) menyatakan penggunaan gambar sebagai media

dalam pembelajaran sangat membantu peserta didik dalam menumbuhkan antusias belajar, termotivasi, dan aktif. Nopitasari, Meti, & Slamet (2012) menjelaskan timbulnya interaksi yang baik antara guru dan peserta didik dapat dimunculkan dengan adanya penggunaan gambar yang menjadikan peserta didik terlibat langsung dalam pembelajaran. Kepraktisan Isi

Kepraktisan meliputi kepraktisan isi dan kepraktisan harapan. Aspek kepraktisan dari material dilihat dari pengguna dapat menggunakan material tersebut dengan mudah (Plomp & Nieveen, 2007) ). Hasil penilaian peserta didik terhadap LKPD melalui one to one

evaluation merupakan kepraktisan isi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Penilaian Peserta Didik terhadap LKPD

No.

Aspek

LKPD Ke-

1 2 3 4 5 6

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 6 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 7 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Keterangan: 1) 1, 2, 3 = Peserta didik 2) Kategori: sangat baik (4), baik (3),

kurang baik (2), dan tidak baik (1) 3) Nomor aspek

1 Setiap bagian yang dipelajari mudah

dipahami. 5 Kualitas gambar bagus dan dapat dipahami

maksudnya. 2 Petunjuk menggunakan LKPD sudah jelas. 6 Kesalahan ketik atau tata bahasa tidak

ditemukan. 3 Keseluruhan isi LKPD lengkap dengan

urutan logis. 7 Foto pada cover jelas dan dapat dipahami

maksudnya. 4 Kata-kata yang digunakan mudah dipahami.

Page 254: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

243

Tabel 4 Komentar Peserta Didik dan Tindak Lanjut Perbaikan Peserta

Didik Komentar Tindak Lanjut

1,2,3 Ada beberapa istilah yang kurang dipahami.

Menggunakan istilah yang umum berlaku. Istilah “literatur” menjadi “sumber di internet”.

1 dan 3 Tidak paham dengan istilah “literatur”.

2 dan 3 Gambarnya kurang menarik. Gambar dibuat lebih menarik dan jelas.

Semua komentar peserta didik yang memerlukan perbaikan pada Tabel 4 telah ditunaikan. Peneliti telah meminta penjelasan kembali terhadap skor yang tidak maksimal dan setelah diberikan penjelasan mereka dapat memahaminya, sehingga peserta didik memberikan skor baru yakni 4 (sangat baik). Berdasarkan data ini, dilakukan uji kepraktisan harapan melalui small group evaluation.

Kepraktisan Harapan

Respon peserta didik terhadap LKPD melalui small group evaluation

berupa pertanyaan meliputi 1) kemudahan mempelajarinya, 2) kejelasan perintah yang diberikan untuk memperoleh keterampilan, 3) waktu yang tersedia, 4) kesesuaian dengan alokasi waktu pembelajaran, 5) peralatan, cara, sumber bahan bukan hal baru, 6) materi belum pernah dibelajarkan, 7) lingkungan belajar kondusif, dan 8) isi menarik untuk dipelajari. Respon peserta didik merupakan kepraktisan harapan, disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil Respon Peserta Didik terhadap LKPD

No. LKPD

Ke-

Respon Peserta Didik (%) Rata-rata (%) Kategori

1 2 3 4 5 6 1 I 87,5 87,5 100 87,5 75,0 75,0 85,42 Sangat baik 2 II 87,5 87,5 87,5 87,5 87,5 75,0 85,42 Sangat baik 3 III 87,5 87,5 100 87,5 100 87,5 91,67 Sangat baik 4 IV 87,5 87,5 100 87,5 100 87,5 91,67 Sangat baik 5 V 87,5 75,0 100 87,5 100 87,5 89,58 Sangat baik 6 VI 87,5 75,0 87,5 87,5 100 87,5 87,50 Sangat baik

Kepraktisan isi berdasarkan tujuh indikator. Penilaian peserta didik terhadap LKPD pada one to one

evaluation memiliki kepraktisan isi kategori sangat baik tera pada Tabel sebagaimana yang tertera pada Tabel 3. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Arbainsyah, 2016; Athira, Rahmi, & Kodri, 2015) yang menyatakan bahwa hasil dari one to

one evaluation memiliki kepraktisan sangat baik, dan dapat digunakan untuk dilanjutkan pada small group evaluation untuk memperoleh data kepraktisan harapan. Penelitian pengembangan merupakan evaluasi formatif yang

bertujuan memperbaiki (improve) produk (Tessmer, 1993). Jadi setiap menjumpai kekurangan selama proses pengembangan, selalu dilakukan perbaikan sesuai dengan mikro siklus dilaksanakannya tindakan (intervention). Dalam penelitian ini, tindakan dilakukan ketika meminta penilaian peserta didik (one to one evaluation) dan meminta respon peserta didik (small group

evaluation) Pengembangan LKPD konsep protista pada small group evaluation kategori sangat baik. Disini kepraktisan harapan berdasarkan respon peserta didik terhadap LKPD. Peserta didik menunjukkan respon positif terhadap

Page 255: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

244

LKPD berbasis keterampilan berpikir kritis yang dikembangkan. Dikatakan pula LKPD hasil pengembangan sangat praktis untuk digunakan dalam pembelajaran. Berdasarkan Tabel 5 kepraktisan harapan LKPD kategori sangat baik, hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Arbainsyah, 2016; Imama, 2015; Noorlatifah, 2017; Normala, 2017; Sari, 2018) yang menyatakan bahwa hasil dari small group evaluation memiliki kepraktisan harapan dengan kategori minimal baik. Sari (2018) menyatakan LKPD praktis digunakan karena guru mitra mampu melaksanakan pembelajaran dan peserta didik merespon dengan baik. Penggunaan bahasa yang mudah dipahami peserta didik pada setiap bagian LKPD misalnya petunjuk penggunaan dalam melaksanakan tugas memiliki kepraktisan harapan kategori sangat baik, hal ini menunjukkan LKPD telah menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Hidayati, Rinie & Sunu (2012) yang menyatakan sebanyak 90% dari peserta didik memahami LKPD yang dikembangkannya dan juga menarik, lugas, serta sederhana karena bahasa yang digunakan sudah komunikatif. Keseluruhan isi LKPD lengkap berdasarkan urutan logis, pada komponen ini LKPD memiliki kepraktisan harapan kategori sangat baik. Hal ini menunjukkan LKPD memiliki struktur/susunan yang mudah dipahami oleh peserta didik. Widjajanti (2008) menyatakan penyesuaian tingkat kemampuan peserta didik terkait dengan penyusunan LKPD perlu diperhatikan, yaitu dalam hal tata urutan pelajaran terlebih lagi dengan konsep yang menjadi sasaran adalah konsep yang begitu kompleks, sehingga perlu dipilah-pilah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana terlebih dahulu.

Komponen penyajian gambar dengan kualitas yang bagus termasuk foto pada cover jelas sehingga dapat dipahami maksudnya, memiliki kepraktisan harapan kategori sangat baik. Gambar-gambar sudah disajikan dengan menarik dan jelas sesuai dengan tujuan pembelajaran. Menurut Dinantia & Amran. (2017) LKPD yang dikembangkannya disajikan dengan tidak monoton yaitu dengan adanya gambar sehingga dapat disimpulkan LKPD yang dikembangkannya memiliki desain yang cukup bagus, peserta didik juga dapat memahami materi yang tertuang di dalam LKPD sehingga mampu mengerjakan LKPD dengan baik. Widjajanti (2008) juga menyatakan diantara syarat LKPD salah satunya adalah syarat teknis yang berupa gambar, penampilan, dan warna yang bertujuan agar peserta didik tidak merasa bosan dalam belajar. Adapun dalam penggunaan gambar bertujuan untuk membuat peserta didik lebih memahami pembelajaran yang diberikan karena sifat gambar identik dengan benda asli jika dibandingkan dengan penggunaan kata-kata saja. Bahan pembelajaran menarik untuk dipelajari adalah komponen yang memiliki kepraktisan harapan kategori sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa konten yang tertuang dalam LKPD menarik dan tidak membosankan bagi peserta didik, karena LKPD tidak hanya disajikan dengan tulisan-tulisan tetapi juga disertai gambar. Arsyad (2017) menjelaskan bahwa visual/gambar dapat memberikan pengaruh berupa ingatan yang tajam dan pemahaman yang lancar dalam proses belajar, karena melalui visual ini dapat menstimulasi peminatan peserta didik dalam menghubungkan dunia nyata dengan isi materi pembelajaran. Lingkungan belajar akrab dengan peserta didik dan isi LKPD berkaitan dengan hal-hal yang sudah dikenal sebelumnya. Komponen ini memiliki kepraktisan harapan kategori sangat baik

Page 256: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

245

dikarenakan pada LKPD protista menggunakan bahan-bahan praktikum yang tidak asing lagi bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan penelitian Hidayati et al. (2012) LKPD yang dikembangkannya memperoleh kategori sangat baik karena LKPD yang disajikan semuanya memanfaatkan media lingkungan sekitar sekolah dan

berhubungan dengan lingkungan sekolah. Keefektivan Harapan

Hasil penilaian keterampilan berpikir kritis oleh peserta didik melalui jawaban tugas-tugas LKPD pada small

group evaluation merupakan keefektivan harapan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Keterampilan Berpikir Kritis Peserta Didik

No. Keterampilan

Skor

Mak-

simal

Skor LKPD Ke- Rata-

rata

Skor

(%) Kategori

I II III IV V VI

1 Interpretasi 24 21,02 20,42 21,35 17,31 13,5 17,58 18,53 77,2 Baik

2 Analisis 20 18,16 18,5 18,77 13,83 11 16,87 16,18 80,9 Sangat baik

3 Evaluasi 14 12,91 12,5 - - - - 12,7 90,71 Sangat baik

4 Inferensi 12 10,46 10,43 10,14 9,57 7,25 10,25 9,75 81,25 Sangat baik

5 Eksplanasi 20 18,49 18,13 18,11 15,69 - 18,69 17,82 89,1 Sangat baik

6 Pengaturan diri 10 9,26 9,16 - - - - 9,21 92,1 Sangat baik

Rata-rata 85,21 Sangat baik

Keefektivan LKPD diukur berdasarkan hasil keterampilan berpikir kritis peserta didik melalui small group

evaluation. Tabel 6 menunjukkan rata-rata keterampilan berpikir kritis peserta didik sangat baik. Berdasarkan data ini LKPD efektif digunakan. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Angkowati, Zaini, & Badruzsaufari, 2018; Arbainsyah, 2016; Normala, 2017; Noorlatifah, 2017; Sari, 2018; Wahyulina, Abdullah, & Zaini, 2018) yang menyatakan keterampilan berpikir kritis peserta didik sangat baik. Penelitian ini menggunakan keterampilan berpikir kritis dari Facione (1990) memiliki kategori sangat baik meliputi analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan pengaturan diri, kecuali interpretasi (kategori baik). Berbeda dengan penelitian sebelumnya (Hidayati, 2016; Zaini, 2016; Zaini & Rusmini, 2016) yang menggunakan penelitian dengan keterampilan merumuskan masalah, menentukan jawaban sementara, dan menganalisis data dengan hasil kategori baik, sedangkan

keterampilan menarik kesimpulan kategori cukup (Hidayati, 2016; Zaini, 2016). Indikator keterampilan berpikir kritis yang terakhir ini bisa ditelusuri kesamaannya jika dihubungkan dengan sub keterampilan yang dikemukakan Facione (Facione, 1990). Enam LKPD yang dikembangkan hanya keterampilan berpikir kritis (eksplanasi) yang belum mampu memenuhi keseluruhan sub-keterampilan. Hal ini semata-mata kelemahan peneliti dalam menyiapkan LKPD pada tahap awal (evaluasi diri). Sekalipun demikian status keefektivan LKPD masing-masing keterampilan berpikir kritis kategori sangat baik yakni (analisis, inferensi, evaluasi, eksplanasi, dan pengaturan diri). Ironisnya keterampilan berpikir kritis (interpretasi) kategori baik, padahal merupakan keterampilan paling rendah tuntutannya (Facione, 1990). Keefektivan dalam penelitian ini hanya diukur berdasarkan keterampilan berpikir kritis sebagai focus

on, ini juga merupakan salah satu kelemahan dalam penelitian. Menurut

Page 257: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

246

Plomp (2007) pertanyaan penelitian menyangkut dua hal yakni focus on (keterampilan berpikir kritis) dan pengembangan yang memperlihatkan kualitas produk. Keefektivan harapan dari small

group evaluation berdasarkan hasil keterampilan berpikir kritis peserta didik. Zaini & Asnida (2016) menyatakan bahwa keefektivan instrumen pembelajaran terpenuhi didasarkan pada a) selesainya hasil belajar kognitif, b) tercapainya kategori baik pada hasil penilaian karakteristik perilaku, keterampilan sosial, dan keterampilan berpikir kritis, c) terlihat keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian dikemukakan inferensi sebagai berikut: 1) LKPD memiliki validitas isi sangat valid berdasarkan pendapat pakar pada semua indicator, 2) LKPD memiliki kepraktisan isi sangat baik berdasarkan hasil penilaian peserta didik pada semua indikator. Kepraktisan harapan sangat baik berdasarkan respon peserta didik pada semua indicator, dan 3) LKPD memiliki keefektivan harapan juga sangat baik berdasarkan hasil keterampilan berpikir kritis peserta didik yang diperoleh dari tugas-tugas mengerjakan LKPD. SIMPULAN

Lembar kerja peserta didik sangat valid menurut expert review, mudah digunakan karena praktis baik isi maupun harapan. Efektif digunakan karena keefektivan harapan juga sangat baik.

DAFTAR PUSTAKA

Angkowati, J., Zaini, M., & Badruzsaufari, B. (2018). The effectiveness of learning module to train critical thinking skill. European Journal of Education

Studies, 4, 118-126. Anindyta, P., & Suwarjo, S. (2014).

Pengaruh problem based learning

terhadap keterampilan berpikir kritis dan regulasi diri siswa kelas V. Jurnal Prima Edukasia, 2(2), 209-222.

Arbainsyah, A. (2016). Pengembangan

Perangkat Pembelajaran Topik

Interaksi Makhluk Hidup dengan

Lingkungannya dalam Melatihkan

Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

SMP. Unpublished thesis, Universitas Lambung Mangkurat.

Arsyad, A. (2017). Media Pembelajaran.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Athira, N., Rahmi, S., & Kodri, M.

(2015). Pengembangan lembar kerja peserta didik (LKPD) IPA berorientasi framework science PISA pada materi sistem ekskresi pada manusia untuk peserta didik kelas VIII Sekolah Menengah Pertama. In Prosiding Seminar

Nasional Pendidikan Biologi dan

IPA yang Inovatif, Kompetitif, serta

Berkarakter.

Daryanto, D., & Dwicahyono. (2014). Pengembangan Perangkat

Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.

Dinantia, A., & Amran, E.Y. (2017). Pengembangan lembar kegiatan peserta didik (LKPD) berbasis hierarki konsep pada pokok bahasan kelaruran dan hasil kali kelarutan. Jurnal Online Mahasiswa (JOM)

Bidang Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, 4(2), 1-10. Facione, P. (1990). Critical thinking: A

statement of expert consensus for

purposes of educational assessment

and instruction (the delphi report).

Fullerton: California State University.

Hidayah, K., & Nurtjahyani, S. D. (2018). Uji validitas pengembangan lembar kerja siswa (LKS) Biologi berbasis pendekatan saintifik pada materi perubahan lingkungan dan daur ulang limbah SMA kelas X untuk meningkatkan hasil belajar siswa. In Seminar Nasional XV

Page 258: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

247

Pendidikan Biologi FKIP UNS,

Surakarta, 90. Hidayati, D., Rinie P. P., & Sunu, K.

(2012). Pengembangan LKS berorientasi lingkungan sekitar sekolah pada materi ekosistem di MAN Pamekasan. BioEdu, 1(2), 14-16.

Hidayati, N. (2016). Hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa madrasah tsanawiyah dalam pembelajaran IPA melalui kerja ilmiah. In Proceeding Biology

Education Conference: : Biology,

Science, Enviromental, and

Learning, 13(1), 118-127.

Imama, N. AG. (2015). Pengembangan

Modul Berbasis Greening School

pada Konsep Klasifikasi Tumbuhan

di SMKN 1 Takisung. Unpublished thesis. Universitas Lambung Mangkurat.

Masrikhah, R. (2014). Make a match in cooperative learning untuk meningkatkan pemahaman materi protista pada siswa SMA. BIOMA

Jurnal Ilmiah Biologi, 3(2), 76-89. Maulia, H. H., & Wulandari, T. S. H.

(2018). Uji validitas pengembangan LKS (Lembar Kerja Siswa) Biologi SMA berbasis problem based learning pada materi perubahan lingkungan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Seminar

Nasional XV Pendidikan Biologi

FKIP UNS. Surakarta. pp. 68. Normala, R. F. (2017). Pengembangan

Perangkat Pembelajaran IPA SMA

Topik Klasifikasi Makhluk Hidup

Menggunakan Model Inkuiri

Terbimbing. Unpublished thesis. Universitas Lambung Mangkurat.

Noorlatifah, N. (2017). Pengembangan

perangkat pembelajaran ipa

menggunakan model inkuiri

terbimbing topik perubahan wujud

terhadap hasil belajar dan

keterampilan berpikir kritis di smpn

22 banjarmasin. Unpublished

thesis. Universitas Lambung Mangkurat.

Nopitasari, A., Meti I., & Slamet S. (2012). Pengaruh metode student created case studies disertai media gambar terhadap keterampilan proses sains siswa kelas X SMA Negeri 1 Mojolaban Sukoharjo. Jurnal Pendidikan Biologi, 4(3), 100-110.

Pattashiki, V. (2016). Pengembangan lembar kegiatan siswa dalam menunjang kegiatan belajar di kurikulum 2013 materi jurnal khusus. Jurnal Pendidikan

Akuntansi (JPAK), 4(3). Plomp, T., & Nieveen, N. M. (2007). An

introduction to educational design research. In Proceedings of The

Seminar Conducted at The East

China Normal University, Shanghai

(PR China). Stichting Leerplan

Ontwikkeling (SLO). Rosalina, A., Noor, F., & Ila. (2015).

Pengembangan lembar kerja siswa

berbasis representasi kimia pada

larutan penyangga. Published thesis, Universitas Lampung.

Sari, D. D. (2012). Penerapan model

problem based learning (pbl) untuk

meningkatkan kemampuan berpikir

kritis peserta didik pada

pembelajaran ipa kelas viii smp

negeri 5 sleman. Published thesis. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sari, N. N. (2018). Pengembangan

perangkat rencana pelaksanaan

pembelajaran materi rangka, otot,

dan pesawat sederhana jenjang

sekolah menengah pertama. Unpublished thesis. Universitas Lambung Mangkurat.

Setyaningsih, L. A. & Wulandari, T. S. H. (2018). Uji validitas lembar kerja siswa (LKS) Biologi SMA berbasis model pembelajaran double loop problem solving (DLPS) pada materi ekosistem untuk meningkatkan pemahaman konsep.

Page 259: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

248

In Seminar Nasional XV Pendidikan

Biologi FKIP UNS, Surakarta. 55. Tessmer, M. (1993). Planning and

conducting formative evaluation.

London: Cogan Page. Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st

century ckills: Learning for Life in

our times. San Fransisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

Wahyulina, M., Abdullah, A., & Zaini, M. (2018). The effectiveness of lesson plan instruments on digestive system material through inquiry based learning. European Journal of

Education Studies, 4, 415-419. Wahyuningsih, A.N. (2012).

Pengembangan media komik bergambar materi sistem saraf untuk pembelajaran yang menggunakan strategi PQ4R. Journal of

Innovative Science Education, 1(1). Widjajanti, E. (2008). Kualitas Lembar

Kerja Siswa. In Makalah Seminar

Pelatihan Penyusunan LKS untuk

Guru SMK/MAK pada Kegiatan

Pengabdian Kepada Masyarakat

Jurusan Pendidikan FMIPA

Universitas Negeri Yogyakarta, pp. 2-5.

Zaini, M. (2016). Guided inquiry based learning on the concept of ecosystem toward learning outcomes and critical thinking skills of high school students. IOSR

Journal of Research & Method in

Education (IOSR-JRME). Zaini, M., & Rusmini. (2016),

Pengembangan perangkat pembelajaran konsep klasifikasi benda terhadap keterampilan berpikir kritis siswa SMP. Proceeding Biology Education

Conference, Biology, Science,

Environmental, and Learning,

13(1). ISSN: 2528. Zaini, M., & Asnida, D.J. (2016). The

development of science-biology learning instrument oriented to mangrove forest for junior high school students. In Proceeding

Biology Education Conference:

Biology, Science, Enviromental,

and Learning, 1(2), 134-141.

Page 260: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

249

Pengukuran Kualitas Udara Ambien dan Kebisingan di Area dan Sekitar

Area Pelabuhan Khusus Batubara Pt. Adiapratama Coal Desa Serongga

Kabupaten Kotabaru

Bunda Halang, Muhammad Zaini, dan Riya Irianti

Universitas Lambung Mangkurat [email protected]

Abstrak Aktivitas Pelabuhan Khusus (Pelsus) batubara PT.Adiapratama Coal di tepian Sungai Serongga menghasilkan bahan buangan berupa polutan udara di area dan sekitar perusahaan tersebut. Bahan polutan udara tersebut ketika konsentrasinya di udara tinggi, kemungkinan dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup termasuk manusia. Tujuan penelitian adalah menentukan kualitas udara ambien dan kebisingan di area dan sekitar area Pelsus batubara PT. Adiapratama Coal Desa Serongga Kabupaten Kotabaru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sampling lapangan yang terdiri dari 3 titik sampling, yakni: 1) Pada area sekitar hopper Pelsus batubara PT. Adiapratama Coal, 2) pada area stockpile dekat ruang crusher Pelsus batubara PT. Adiapratama Coal, dan 3) pada area Road Acces Pelsus batu bara PT. Adiapratama Coal Serongga. Data kualitas udara di analisis menggunakan metode filtrasi (untuk sampel debu) dan metode gravimetrik (untuk sampel udara lainnya). Hasilnya dibandingkan dengan baku mutu udara ambien dan tingkat kebisingan no. 053 tahun 2007. Data kebisingan juga dianalisis dan membandingkannya dengan baku mutu yang dipersyaratkan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil pengamatan titik 1 (debu 26,47 µg/m3, SO2 72,48 µg/m3, NO2 21,37 µg/m3, CO 946, 11 µg/m3); titik 2 (debu 12,48 µg/m3, SO2 49,5 µg/m3, NO2 15,34, CO µg/m3, CO 525,44 µg/m3); dan titik 3 (debu 40,77 µg/m3, SO2 161,28 µg/m3, NO2 53,67 µg/m3, CO 1451,52 µg/m3) masih aman untuk makhluk hidup dan manusia karena nilainya masih jauh berada di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan. Hasil pengukuran kebisingan untuk pengukuran pada pengamatan titik 1 (57,6 dBA) dan titik 2 (53,1dBA) masih berada dalam kisaran di bawah baku tingkat kebisingan maksimum (85 dBA), sedangkan pada pengamatan titik 3 (Road Acces =58,14 dBA) sudah melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan (55 dBA) sebagaimana ditetapkan oleh Baku mutu tingkat kebisingan menurut Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No: 053 tahun 2007. Kata Kunci: udara ambien, kebisingan, pelabuhan khusus, tepian Sungai Serongga

PENDAHULUAN Kerusakan atau gangguan

lingkungan diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia baik langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi kesetimbangan ekosistem. Sastrawijaya (2000) mengemukakan bahwa, perubahan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang ditemukan pada daerah tersebut sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan, antara lain terjadinya penurunan kualitas udara dan kebisingan.

Salah satu kegiatan yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya

penurunan kualitas udara dan kebisingan adalah kegiatan pengangkutan batubara. Selain itu, kegiatan yang juga dapat menimbulkan penurunan kualitas udara adalah kegiatan stockpile dan crusher

batubara. Kendaraan bermotor terutama angkutan alat berat senangtiasa lalu lalang di daerah ini ketika ada pemuatan batubara dari stockpile menuju ke kapal tongkang. Akibatnya, terjadi peningkatan debu batubara. Kemudian aktivitas crusher juga bisa meningkatkan kebeadaan debu batubara di udara.

Polusi udara yang kemungkinan ditimbulkan oleh kegiatan industri,

Page 261: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

250

terutama kegiatan Pelsus batubara PT. Adiapratama Coal, tidak dapat dianggap enteng karena banyak sekali bahan-bahan kimia berbahaya yang bisa dihasilkannya. Beberapa bahan-bahan atau zat kimia yang dihasilkan akibat kegiatan Pelsus batubara antara lain adalah COx, NOx, SOx, hidrokarbon dan partikel. Zat-Zat tersebut dapat menimbulkan efek atau gangguan lingkungn berupa efek terhadap kondisi fisik atmosfer, efek terhadap faktor ekonomi, efek terhadap vegetasi, dan efek terhadap kehidupan binatang (Mukono, 2005). Bahkan polusi udara yang mengandung zat-zat kimia tersebut dapat menimbulkan gangguan atau membahayakan kesehatan manusia, antara lain beberapa kejadian orang meninggal karena keracunan gas Co di dalam mobil (Ahmad, 2004).

Selanjutnya, untuk melengkapi sarana dan prasarana Pelsus batubara, maka dibangunlah stockpile dan ruang crusher batubara yang memerlukan mein-mesin yang dapat menimbulkan bunyi yang terkadang mengganggu pendengaran. Bunyi mesin diesel yang intensitasnya 90 dB dan waktu kontak kurang dari 5 jam dikategorikan mempunyai tingkat kebisingan ‘ amat sangat bising’(Wardhana, 2004). Ganguan karena bising dapat memicu kegaduhan dan peningkatan emosi karena kebisingan adalah bunyi yang dapat mengangu dan merusak pendengan manusia.

Pada masa yang akan datang, jika kondisi udara dan kebisingan seperti digambarkan di atas tidak dipikirkan bagaimana cara untuk menanggulanginya, maka ada dugaan bahwa kondisi udara yang ada di area Pelsus batubara dan sekitarnya akan semakin buruk kualitasnya. Sebagai orang akademis seyognya sudah terpikirkan, bahkan telah melakukan aksi nyata untuk berpartisipasi dalam hal penanggulangan udara yang kualitasnya kurang bagus. Tentunya hal yang bijak

kita bisa lakukan adalah harus mempunyai data yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan. METODE

Metode penelian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Tepian Sungai Serongga Desa Serongga Kabupaten Kotabaru. Penelitian telah dilakukan pada bulan Februari beberapa tahun lalu. Pengambilan data dilakukan secara observasi, yaitu pengamatan secara observasi langsung ke lapangan. Alat yang digunakan adalah : HVS-500, alat penyerap udara, kaki tiga, mesin genset, level sound meter, GPS. Kamera digitalBahan yang digunakan adalah sampel udara.

Prosedur penelitian yaitu melakukan observasi lokasi penelitian, mempersiapkan alat dan bahan penelitian. Selanjutnya, menetapkan area pengamatan di area Pelsus dan sekitarnya. Area pengamatan terdiri atas 3 titik pengambilan sampel. Lokasi titik pertama berada pada area sekitar hopper pelabuhan khusus (Pelsus) batubara PT.Adiapratama Coal, titik kedua berada pada area stockpile dekat ruang crusher Pelsus batubara PT.Adiapratama Coal, dan titik ketiga pada area Road Acces

Pelsus batubara PT.Adiapratama Coal Serongga. Menghidupkan mesin genset dan mengambil sampel debu menggunakan kaki tiga yang dilengkapi HVS-500. Mengambil sampel udara dengan menggunakan alat penyerap udara (CO, NO2, dan SO2) merek Amott dengan menggunakan kaki tiga. Membiarkan alat penyerap udara tersebut terpasang di udara selama 1 jam. Memasang sound level meter pada area setiap titik sampel udara selama kira-kira 1 jam. Mendokumentasikan proses pengambilan sampel udara dan kebisingan tersebut. Selanjutnya, sampel udara pada alat penyerap udara tersebut dimasukkan kedalam box dan setelah sampai di kantor sampel udara tersebut

Page 262: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

251

dimasukkan ke dalam kulkas (dijaga supaya kondisi udara tetap pada suhu kamar). Data kualitas udara di analisis menggunakan metode filtrasi (untuk sampel debu) dan metode gravimetrik (untuk sampel udara lainnya). Hasilnya dibandingkan dengan baku mutu udara ambien dan tingkat kebisingan no.053 tahun 2007. Data kebisingan juga dianalisis dan membandingkannya dengan baku mutu yang dipersyaratkan tersebut.

HASIL

Kualitas Udara

Penelitian tentang pengukuran kualitas udara ambien yang telah dilakukan di area dan sekitar area Pelsus batubara PT.Adiapratama Coal Desa Serongga Kabupaten Kotabaru disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Hasil Pengukuran kualitas udara pada area dan sekitar area kegiatan

Pelsus Batubara PT. Adia Pratama Coal

No Parameter Satuan Titik Pengukuran Baku

Mutu* I II III

1 2 3 4

Debu (TSP) S02 N02 CO

g/m3

g/m3

g/m3

g/m3

26,47 72,48 21,37 946,11

12,48 49,5 15,34 525,44

40,77 161,28 53,67 1451,52

230 900 200 20.000

Keterangan : *) Baku Mutu Udara Ambien (debu, S02,

N02, C0) = Menurut Peraturan Gubernur Kal-Sel No.053 Tahun

2007 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan.

Gambar 1 Diagram Hasil Pengukuran Udara Ambien Desa Serongga Kabupaten Kotabaru Kebisingan

Masalah kebisingan sebenarnya masih merupakan bagian dari polusi udara karena rambatan bunyi yang terdengar oleh alat pendengaran manusia terjadi lewat udara. Hasil pengukuran

kebisingan pada area dan sekitar area Pelsus batubara PT.Adiapratama Coal Desa Serongga Kabupaten Kotabaru disajikan pada Tabel 2.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

TSP (Debu) SO2 NO2 CO

Titik 1 Titik 2 Titik 3

Page 263: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

252

Tabel 2 Hasil Pengukuran Kebisingan di area danskitar area Pelsus Batubara PT.Adia Pratama Coal

No Satuan

Bising

Lokasi Pengukuran Tingkat Kebisingan Baku Mutu*

I II III

85

55

1 dBA 57,6

53,1

58,14

Keterangan *) Kebisingan menurut Pertaturan Gubernur Kal-Sel no.053 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan

Baku Tingkat Kebisingan (85 dBA = untuk kawasan industri 55 dBA = untuk kawasan pemukiman)

Gambar 2 Pengukuran kebisingan (DBA)

Kualitas Udara

Hasil pengukuran kualitas udara seperti debu, SO2, NO2, dan CO pada seluruh titik pengukuran di wilayah studi masih relatif rendah. Masing-masing hasil pengukuran mempunyai range nilai yang bervariasi dan secara berturut-turut : Kadar debu pada titik pengamatan 1, 2 dan titik 3 mempunyai range nilai antara 12,48 μg/m3 - 40,77 μg/m3. Kadar SO2 mempunyai range nilai antara 49,5 μg/m3 – 161, 28 μg/m3 dan kadar NO2 mempunyai range nilai dari 15,34 μg/m3- 53,67 μg/m3 serta kadar CO mempunyai range nilai berkisar 525,44 μg/m3 – 1451,52 μg/m3. Semua nilai hasil pengukuran udara tersebut masih berada di bawah nilai baku mutu maksimum yang dipersyaratkan oleh Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No.053 tahun 2007 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan.

Rendahnya nilai hasil pengukuran debu dan beberapa parameter gas kimia udara tersebut karena pada saat

pengukuran di lapangan tidak ada kegiatan pemuatan batubara ke kapal tongkang, sehingga aktivitas di lokasi Pelsus menjadi berkurang karena tidak ada aktivitas pengangkutan batubara dari lokasi stockpile ke kapal tongkang. Begitu pula aktivitas yang ada di area stockpile dan ruang crusher menjadi berkurang. Ketiadaan aktivitas pengangkutan batubara menyebabkan aktivitas lalu lintas kendaraan alat berat menjadi sangat berkurang. Kegiatan transportasi batubara dapat menyebabkan timbulnya pencemar udara primer, antaralain CO, SOx,NOx, dan partikel berupa debu (Fardiaz, 1992). Pada masa mendatang, konversi pemakaian batubara semakin meningkat. Konstituen anorganik di dalam batubara mempunyai efek signikan terhadap hampir semua apek konversi pemakaian batubara. Pengetahuan tentang distribusi dan afinitas elemen anorganik adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi tranformasi batubara dan pemisahannya

57,6

53,1

58,14

50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

Titik 1 Titik 2 Titik 3

Page 264: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

253

selama proses konversi batubara. Emisi polutan dari pemakaian batubara dapat menyebabkan risiko lingkungan dan kesehatan yang serius. Emisi CO2, SO2, dan NOx dapat mnyebabkan dampak lingkungan yang penting seperti peningkatan temperaratur global. Konstituen anorganik yang terkandung dalam fly ash dan bottom ash adalah tipe lain dari polusi tanah (Radenovic, 2006). Pendapat lain mengatakan bahwa efek polutan gas CO dapat memberikan kelainan berupa kerusakan otot jantung dan susunan saraf pusat sertadapat memblokir fungsi transpor HbO2 dan meningkatkan HbCO dalam ddarah (Mukono, 2005).

Sebagian besar penemaran udara oleh belerang oksida (SOx) berasal dari peleburan bahan bakar fosil, terutama batubara. Jika konsentrasi SOx rendah tetapi waktu kontak terhadap tanaman cukup lama, maka kerusakan terhadap tanaman dapat terjadi. Keberadaaan gas SO2 dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian jaringan pada daun atau necrosis daun (Achmad, 2004). Bila kadar SOx berada dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan terhadap hewan dan manusia, misalnya gangguan terhadap sistem pernapasan. Kadar SOx dapat menyerang selaput lendir pada hidung (Wardhana, 2004). Selanjutnya, bolerang dioksida (SO2) merupakan senyawa gas berbau tidak sedap yang banyak dijumpai di kawasan industri yang menggunakan batubara sebagai sumber energi utama. Bolerang dioksida konsentrasi tinggi dapat mengganggu kesehatan, khususnya indra penglihatan dan selaput lendir sekitar saluran pernapasan (Siregar, 2005).

Konsentrasi NO2 meningkat segera setelah adanya kegiatan operasi industri, misalnya kegiatan lalu lintas (Siregar, 2005). Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa pencemar NO2 dapat mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman, antara lain dapat mengurangi pertumbuhan tinggi tanaman Udara yang

mengandung NO dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf yang mengakibatkan kejang-kejang.Bila keracunan NO berlangsung terus-menerus akan dappat menyebabkan kelumpuhan (Wardhana, 2004).

Variasi deposit debu dengan spesies tumbuhan yang spesifik telah diobservasi selama studi. Deklinasi konsentrasi pigmen daun, luas daun, dan persentase nitrogen sepanjang ketebalan daun meningkat mengindikasikan suatu dampak polusi debu (Sarma, Chandra, & Bhuyan, 2017). Pada sisi lain, partikel berupa debu (TSP) dapat mencemari lingkungan, terutama udara. Pencemar debu yang melayang-layang di udaya dapat mengganggu kesehatan terutama kesehatan manusia. Kebisingan

Hasil pengukuran kebisingan di lokasi Pelsus Batubara adalah : pada titik pengukuran 1 dan 2 secara berturut adalah 57,6 dBA dan 53,1 dBA. Keduanya masih berada dalam kisaran di bawah baku tingkat kebisingan maksimum (85 dBA untuk industri). Sedangkan titik pengukuran 3 (Road Acces) diperoleh nilai 58,14 dBA. Nilai ini sudah melebihi nilai ambang batas yang dipersyaratkan (55 dBA untuk kawasan pemukiman). Baku Mutu yang diacu berdasarkan Baku Mutu tingkat kebisingan menurut Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No: 053 Th.2007 Tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan.

Nilai kebisingan pada titik pengukuran 1 dan 2 sudah mulai tinggi tetapi belum melebihi nilai baku mutu yang dipersyaratkan. Hal ini disebabkan karena lokasi titik pengukuran1 dan 2 pada saat itu tidak ada kegiatan di area stockpile dan area crusher batubara sehingga tidak ada rambatan bunyi mesin baik bunyi mesin kendaraan alat angkut maun bunyimesin crusher batubara. Sedangkan pada titik pengukuran 3, yaitu

Page 265: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

254

pda Road Acces nilai kebisingan tersebut sudah melebihi ambang batas yang dipersyaratkan, karena pada saat pengukuran ternyata ada angkutan truck batubara yang melintas di jalan angkutan yang umum dan suaranya masih agak nyaring terdengar. Kebisingan dengan intensitas gelombang bunyi yang masih ditolelir =bawah 90 dBA (Ahmad, 2008). Bila seseorang usia di atas 40 tahun (tua) terpapar atau terpajan kebisingan intensitas tinggi secara terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang lama, maka orang bersangkutan beresiko terkena gangguan pendengaran (Dewanty & Sudarmaji, 2015). Oleh karena itu, tingkat kebisingan (terutama di road acces) perlu dikelola dan mendapat perhatian yang serius dari pemrakarsa kegiatan Pelsus khususnya dan dari pemerintah setempat umumnya.

SIMPULAN

Diperoleh simpulan bahwa: 1) Hasil pengukuran kualitas udara di area dan sekitar pelabuhan khusus batu bara PT.Adiapratama Coal Desa Serongga Kabupaten Kotabaru pada titik pengamatan 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah debu atau TSP (26,47 g/m3 ; 12,48 ; 40,77 µg/m3 ; SO2 (72,48 g/m3 ; 49,5 µg/m3 ; 161,28 g/m3 ) ; NO2 (21,37 g/m3 ; 15,34 g/m3 ; 53,67 g/m3 CO (946,11 g/m3 ; 525,44 g/m3 ; 1451,52 g/m3). Semua hasil pengukuran udara tersebut masih berada di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No.053 tahun 2007 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan. Sehingga masih layak digunakan sebagai kondisi udara yang memenuhi syarat kesehatan; dan 2) Hasil pengukuran kualitas kebisingan di area dan sekitar area pelabuhan khusus batu bara PT.Adiapratama Coal Desa Serongga Kabupaten Kotabaru pada titik pengamatan 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 57,5 dBA ; 53,1 dBA ; dan 58,14

dBA. Hasil pengukuran pada titik pengamatan 1 dan 2 masih masih aman atau layak karena masing-masing nilainya masih berada di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan (85 dBA untuk kawasan industri). Sedangkan pengukuran pada titik pengamatan 3 (road acces) tidak layak lagi dipergunakan berdasarkan baku mutu yang dipersyaratkan (55 dBA untuk kawasan pemukiman).

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. (2004). Kimia lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.

Ahmad, Muchtar. (2008). Kenyamanan

lingkungan kerja di kapal

perikanan. Program Studi Ilmu

Lingkungan.PPS Universitas Riau Dewanty, Rindy Astike & Sudarmaji.

(2015). Analisis dampak intensitas kebisinganterhadap gangguan pendengaranpetugas loundry. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 8 (2), 229 - 237

Fardiaz, S. (1992). Polusi air dan udara. Yogyakarta: Kanisius.

Mukono, H.J. (2005). Toksikologi

lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

Radenovic, A. (2006). Inorganic constituents in coal. Kem.Ind 55(2), 65-71.

Sarma, B., Chandra S.K, & Bhuyan, M. (2017). Impact of dust accumulation on three roadside plants and adaptive responses atNational Highway 37, Assam, India. An International Journal

Tropical Plant Research 4 (1) : 161-167.

Sastrawijaya, A. T. (2000). Pencemaran

lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Siregar, E. B. M. (2005). Pencemaran

udara, respon tanaman dan pengaruhnya terhadap manusia. e.USU Repository. Universitas Sumatra Utara

Tim CV. Tri Karsa Konsultan bekerjasama PT.Adiapratama

Page 266: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

255

Coal. (2009). Laporan

pelaksanaan kegiatan pelabuhan

khusus batubara di desa serongga

kabupaten kotabaru, PT.AdiaprataCoal

Wardhana, A. W. (2004). Dampak

pencemaran lingkungan.

Yogyakarta: Andi Offset.

Page 267: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

256

Metode Pembelajaran IMPROVE sebagai Alternatif untuk Mengembangkan

Kemampuan Siswa dalam Mengatasi Permasalahan Kimia

Rahmat Eko Sanjaya, Restu Prayogi, dan Almubarak

Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

Abstrak Pembelajaran yang menggunakan permasalahan sebagai basis pembelajaran, memiliki kemampuan untuk meningkatkan hasil belajar, motivasi dan keterampilan siswa. Pembelajaran yang berdasarkan pada masalah, memerlukan sebuah metode khusus untuk mengatasi permasalahan tersebut. Metode pembelajaran IMPROVE merupakan metode alternatif yang bersifat multidimensional dan dapat menjadi alternatif untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mengatasi permasalahan yang disajikan dalam pembelajaran kimia. Metode ini berdasarkan pada teori kognitif sosial dan metakognisi serta terdiri atas tiga kompenen yang saling berkaitan, yaitu peer

interactions, metacognitive questionings, feedback-corrective-enrichment. Langkah dalam penerapan metode ini merupakan uraian dari kata IMPROVE, yaitu Introducing

new concepts, Metacognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing

difficulties, Obtaining mastery, Verification, Enrichment. Penelitian terbaru atas penerapan metode ini menunjukkan bahwa metode IMPROVE memberikan respon kognitif yang baik serta meningkatkan hasil belajar dan kemampuan metakognitif siswa. Kata Kunci: IMPROVE, kemampuan mengatasi masalah, permasalahan kimia

PENDAHULUAN

Gabel dan Samuel (Wolfer, 2000), alasan utama siswa tidak berhasil dalam memecahkan masalah kimia adalah karena mereka tidak benar-benar paham terhadap konsep kimia. Wolfer (2000) menemukan bahwa siswa hanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah algoritmik yang tidak memerlukan pengetahuan mendalam terhadap konsep. Herron (1996), algoritmik merupakan prosedur yang digunakan untuk mendapatkan jawaban yang memiliki “jaminan” benar hanya dengan latihan dan tugas yang rutin serta menggunakan usaha yang minim. Yilmaz, Tuncer, & Alp (2007), menyatakan bahwa kebanyakan siswa mengatasi masalah kimia berupa persamaan dengan menggunakan hukum-hukum aljabar yang bersifat algoritmik, namun sedikit sekali yang mampu memanipulasi persamaan

tersebut untuk mendapatkan sebuah solusi. Reid dan Young (Yilmaz, Tuncer, & Alp, 2007), kesenjangan (gap) antara pemahaman konseptual dan algoritmik siswa disebabkan oleh teknik atau strategi mengajar yang masih tradisional. Teknik atau strategi mengajar yang tradisional menekankan kepada jawaban yang bersifat numerik atau prosedural, bukan menekankan pada hal yang berada di balik pertanyaan (konsep). Pembelajaran kimia akan lebih bermakna jika menekankan kepada hal-hal yang bersifat konsep dari pada hal-hal yang bersifat numerik atau algoritmik. Bukan berarti algoritmik tidak diperlukan, akan tetapi algoritmik dapat dipelajari dengan pembelajaran yang mengajarkan pengetahuan prosedural. Pengetahuan prosedural itu sendiri jika dipelajari sekali saja dengan baik, maka pengetahuan tersebut akan bekerja cepat dan otomatis (Dahar, 2011). Dengan

Page 268: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

257

demikian, pembelajaran yang menekankan pada konsep sangat berarti untuk diterapkan. Konsep yang dalam akan memungkinkan siswa memiliki berbagai macam jalan untuk menemukan solusi dari masalah. Hal ini dikarenakan konsep merupakan esensi dari pengetahuan yang dipelajari.

Kimia merupakan ilmu yang terdiri atas tiga tingkatan konsep (Johnstone, 2006), yaitu Makro, Sub-

Mikro dan Representasional (simbol, formula, persamaan dan grafik). Dalam proses pembelajaran, kimia menampilkan pembelajaran yang bersifat makroskopik dan mikroskopik serta menggunakan simbol untuk menjelaskan hubungan di antara keduanya melalui lambang-lambang kimia, rumus dan persamaan reaksi kimia (Gabel, 1999). Gambar 1 menunjukkan hubungan dari tiga tingkatan dalam konsep kimia.

Gambar 1 Tiga tingkatan konsep dalam kimia (Johnstone, 2006)

Konsep kimia yang memiliki sifat

mikroskopik dan menggunakan simbol dalam penyampaianya membuat kimia menjadi mata pelajaran yang memerlukan strategi atau pendekatan khusus. Pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher oriented) bukanlah filosofi yang salah dalam membelajarkan ilmu kimia, selama dalam penyampaiannya, guru memiliki kemampuan dan keterampilan untuk melakukan itu. Akan tetapi, proses seperti ini tidak akan mampu mengadaptasi perubahan zaman yang menuntut adanya kemampuan siswa untuk menghadapi tantangan global. Selain itu teacher

oriented hanya berfokus pada pengetahuan prosedural, yaitu tentang bagaimana siswa melakukan sesuatu (Anderson & Krathwohl, 2010). Padahal

masih terdapat pengetahuan lain berupa pengetahuan deklaratif (Winkel, 2009; Dahar, 2011) dan juga pengetahuan konseptual, faktual serta metakognitif (Anderson & Krathwohl, 2010). Salah satu cara untuk menghadapi hal tersebut adalah dengan menggunakan pembelajaran yang mengacu pada fiosofi student oriented yaitu pembelajaran yang berorintasi pada siswa. Student oriented menekankan kepada pembelajaran yang dilandasi dengan premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, siswa membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman tentang dunia dan lingkungan tempat hidup (Suyono & Hariyanto, 2011).

Salah satu pendekatan pembelajaran yang beorientasi pada siswa adalah pendekatan Problem

Page 269: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

258

Solving. Problem solving sebagai pendekatan, menitikberatkan pada kegiatan pembelajaran yang berdasarkan pada kemampuan memecahkan masalah untuk menguasai konsep pelajaran. Wood (2006) mengemukakan bahwa problem atau masalah didefinisikan sebagai sebuah situasi dimana jawaban atau tujuan belum diketahui. Peneliti yang mempelajari Problem Solving seperti Dewey, A. Newell, H. A. Simon, dan R. E. Mayer sepakat bahwa segala sesuatu akan menjadi problem atau masalah ketika dihadapkan dengan sebuah kesulitan yang jawabannya tidak akan ditemukan dalam waktu sesaat (Gök & Sılay, 2010). Akan tetapi, kesulitan bukanlah karakteristik atau ciri dari sebuah problem karena hal tersebut tergantung pada pengetahuan awal (prior

knowledge) dan pengalaman (experience) dari solver Gök & Sılay, 2010). Jadi, sebuah problem bisa menjadi problem

bagi seseorang tetapi mungkin tidak bagi orang lain.

Dalam mengatasi masalah atau menjawab sebuah problem, solver bisa saja tidak mendapatkan jawaban yang benar, akan tetapi hanya akan mendapatkan jawaban yang “terbaik” (Wood, 2006). Hal ini terjadi karena di dalam sains (kimia), setiap problem memiliki keunikan dan karakteristik masing-masing untuk dapat diatasi. Sebuah problem juga dapat menghasilkan keterampilan bagi solver seperti keterampilan mencari dan melihat data, memilih metode yang sesuai dan menyadari sebuah kekeliruan dengan berdiskusi serta keterampilan untuk menyajikan hasil pemikiran.

Para ahli melakukan penelitian tentang efektivitas dan dampak dari penggunaan problem solving terhadap prestasi dan hasil belajar serta dampak lainnya yang terkait, seperti motivasi dan sikap siswa. Di antara para ahli tersebut adalah Gök, T. & Sılay, İ dari University of Dokuz Eylul, Turki. Dalam hasil penelitiannya yang berjudul The Effects

of Problem-solving Strategies on

Students’ Achievement, Attitude and

Motivation, terungkap bahwa problem

solving dalam setting cooperative

learning memiliki prestasi, motivasi dan sikap lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Problem

solving juga dapat meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah riil dalam kehidupan, seperti yang dijelaskan oleh Mustofa Dogru (2008) dalam penelitiannya yang berjudul The

Application of Problem-solving Method

on Science Teacher Trainees on the

Solution of the Environmental Problems. Hal senada juga diungkapkan oleh Woods (2000) dalam artikelnya yang berjudul An Evidance Based Strategy for

Problem Solving. Woods (2000) menyatakan bahwa lebih dari 150 strategi dalam Problem Solving telah dipublikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa problem

solving memiliki peranan penting dalam pembelajaran.

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) dalam Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah-Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA menyatakan bahwa tujuan dari pembelajaran Kimia di SMA/MA berdasarkan kurikulum KTSP adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: 1. Membentuk sikap positif terhadap

kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa,

2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain,

3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta

Page 270: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

259

menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis,

4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat,

5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.

Dari tujuan mata pelajaran Kimia tersebut, terlihat bahwa mata pelajaran ini menginginkan agar pebelajar mampu menghadapi kehidupan nyata berupa kemampuan menghadapi berbagai problem dengan menggunakan ilmu yang telah dimiliki. Pesan agar siswa memiliki kemampuan mengatasi masalah (solve a

problem ability) dapat terlihat secara eksplisit dari tujuan pembelajaran kimia poin lima. Di sana menginginkan agar siswa tidak hanya paham dan mengerti, tetapi juga mampu menerapkan pemahaman dan pengertiannya tersebut dalam mengatasi pemasalahan. Kemampuan memecahkan masalah ini sangat erat kaitannya dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa.

Pada praktek pengajaran di sekolah, sebenarnya baik secara langsung maupun tidak langsung guru telah mempraktekan pengajaran dengan menggunakan problem solving. Akan tetapi perlu dicermati bahwa terdapat perbedaan yang fundamental antara problem solving sebagai sebuah pendekatan dan problem solving sebagai isi pelajaran. Selama ini guru menerapkan problem solving hanya pada ranah isi pelajaran, yaitu mengajarkan bagaimana siswa memecahkan masalah, tidak bagaimana siswa menguasai konsep dengan menggunkan pemecahan masalah (problem solving sebagai sebuah

pendekatan). Oleh sebab itu, pendekatan pembelajaran yang berfokus pada kemampuan siswa dalam memecahkan masalah untuk menguasai konsep pelajaran perlu dijadikan sebagai alternatif dalam proses belajar mengajar.

Pembelajaran yang hanya mengajarkan bagaimana memecahkan masalah tidak akan mampu bertahan dalam tuntutan perkembangan zaman. Selain itu, konsep pelajaran kimia yang memiliki aspek Makro, Sub-Mikro dan Representasional tidak akan terakomodasi semuanya jika pembelajaran hanya menggunakan pemecahan masalah sebagai isi pelajaran. Selain itu, jika pembelajaran hanya menggunakan problem solving sebagai isi pembelajaran maka siswa tidak akan mampu menjadi “true solver”. Seorang “true solver” harus memiliki kemampuan untuk solve a problem dalam berbagai kondisi dengan prior knowledge dan experience yang dimilikinya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah alternatif dalam pembelajaran yang mampu mengatasi solver disability in solve a problem. Tidak hanya itu, alternatif tersebut juga mampu mengakomodasi tingkatan konsep pembelajaran kimia yang memiliki tingkatan Makro, Sub-Mikro dan Simbolik. Pemaknaan dan pemahaman dari tingkatan konsep kimia ini memerlukan pengetahuan dan kemampuan yang tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga bersifat metakognitif. Alternatif yang mampu mengakomodasi gap di atas adalah dengan menggunakan IMPROVE sebagai metode dalam problem solving untuk pembelajaran kimia.

Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini disiapkan untuk membahas bagaimana IMPROVE dapat menjadi alternatif untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut: (1) mengetahui apa yang dimaksud dengan kemampaun memecahkan masalah; (2) mengetahui

Page 271: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

260

bagaimana IMPROVE dapat menjadi alternatif untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah; (3) mengetahui kelebihan dan kekurangan metode IMPROVE dalam problem solving. KEMAMPUAN MEMECAHKAN

MASALAH

Kemampuan memecahkan masalah diasumsikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan hasil pembelajaran berupa konsep dan prosedur yang diikuti dengan praktik, menyusun strategi dan menggunakan pengalaman untuk mengatasi permasalahan non-rutin (English, Lesh, & Fennewald, 2010). Kemampuan memecahkan masalah berdasarkan English, Lesh, & Fennewald (2010) menyinggung adanya kemampuan untuk mengatasi non-

routine problems. Dalam pembelajaran, kemampuan memecahkan masalah berdasarkan tingkatan masalah yang dipecahkan dibagi atas dua tingkatan, yaitu routine dan non-routine problems (Gilfeather & Regato, 1999). Routine

problem merupakan permasalahan yang menekankan pada kemampuan seorang individu untuk mengatasi masalah berdasarkan prosedur dan cara-cara yang telah diajarkan. Pebelajar dapat mengatasi masalah tersebut dengan mengikuti langkah-langkah yang telah diajarkan. Langkah-langkah tersebut dapat berupa satu, dua atau beberapa tahap. Secara berkala, setelah sesering mungkin mengatasi permasalahan dengan menggunakan langkah-langkah yang telah diajarkan, siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuannya tersebut dengan menggunakan segala daya, berupa kemampuan untuk memanipulasi gambar atau formula sehingga pebelajar dapat menemukan sendiri solusi dari permasalahan tersebut. Kemampuan siswa dalam mengatasi routine problem

dapat diukur dengan menggunakan paper

and pencil test. Nonroutine problem merupakan

permasalahan yang memfokuskan pada kemampuan siswa untuk dapat menggunakan logika dan daya nalarnya berupa kemampuan heuristik untuk mengatasi masalah. Polya (1973) menyatakan bahwa Heuristik bertujuan untuk mempelajari metode atau aturan untuk mengatasi suatu masalah. Heuristik merupakan prosedur atau strategi yang tidak memberikan solusi terhadap masalah, melainkan memberikan kemungkinan cara atau metode untuk menemukan solusi dari masalah tersebut (Gilfeather & Regato, 1999). Memberikan sebuah permodelan dan gambaran terhadap permasalah yang dihadapi merupakan dasar dari heuristik problem solving. Heuristik problem

solving yang lain yakni kemampuan siswa untuk mendeskripsikan situasi, membuat permasalahan menjadi lebih sederhana, menemukan informasi yang tidak sesuai dan mengkategorikan informasi yang dianggap perlu.

Dalam pembelajaran kimia, kedua permasalahan itu menjadi bagian dari pembelajaran kimia itu sendiri. Ilmu kimia yang memiliki tiga tingkatan konsep (Johnstone, 2006) membuat ilmu kimia memiliki problem atau masalah yang merupakan routine problem dan nonroutine problem. Dalam prakteknya di kelas, routine problem merupakan hal yang sering dijumpai. Permasalahan-permasalahan dalam ilmu kimia dapat diselesaikan dengan menggunakan langkah-langkah atau prosedur yang sudah jelas dan menjamin adanya solusi atas masalah tersebut. Langkah-langkah tersebut ada yang satu langkah dan ada yang bertahap-tahap dalam penyelesaiannya. Misalnya saja dalam materi Reaksi Redoks, untuk menyetarakan persamaan reaksi redoks, pebelajar akan menggunakan langkah-langkah yang telah dirumuskan. Jika siswa tersebut menggunakan langkah-

Page 272: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

261

langkah yang telah ditentukan untuk menyetarakan persamaan reaksi redoks, maka solusi dan jawaban dalam menyetarakan persamaan reaksi tersebut dapat terlihat. Bedahalnya dengan nonroutine problem, misalnya pada konsep Asam-Basa, permasalahan dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memerlukan daya nalar dan logika pebelajar untuk mengatasinya. Dapat dikatakan bahwa permasalahan dalam nonroutine problem merupakan permasalahan yang bersifat challenge atau tantangan yang bahasanya memiliki level di atas masalah rutin dan bersifat praktis. Akibatnya, pebelajar menggunakan heuristik untuk mengatasinya.

Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh English, Lesh, & Fennewald (2010) bahwa kemampuan memecahkan masalah (problem solving

ability) merupakan kemampuan pebelajar untuk menggunakan segenap kompetensi dan pengalamannya untuk mengatasi nonroutine problem, maka pebelajar akan dikatakan ablitity to solve

a problem dalam kimia jika memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat nonrutin (heuristik). Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah siswa yang hanya mampu mengatasi permasalah yang bersifat rutin berarti tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah? Definisi problem solving

ability yang disampaikan oleh English, Lesh, & Fennewald (2010) terang mengatakan bahwa hanya pebelajar yang dapat mengatasi nonrutin problem yang dapat disebut sebagai pebelajar yang mampu dalam memecahkan masalah (ability to solve a problem).

Kemampuan dalam memecahkan nonroutine problem dijadikan sebagai indikasi ability seorang siswa dalam memecahkan masalah karena pembelajaran yang hanya bermodalkan routine problem terlihat tidak mampu untuk menyiapkan siswa dalam

mengatasi masalah, baik di dalam maupun di luar sekolah (Haydar & Zolkower, 2009). Freudenthal (2002) menjelaskan bahwa nonroutine problem dapat memunculkan kemampuan untuk berpikir lebih tinggi, komunikasi, sikap kritis, interpretasi, refleksi, kreativitas dan mengeneralisasikan permasalahan sehingga memiliki relevansi dengan keadaan sebelumnya. Schloeglmann (2004) menyebutkan bahwa routine

problem merupakan bagian dari non-

routine problem, meskipun dalam temuannya menyatakan bahwa siswa seringkali mengalami kesalahan terhadap routine problem karena terbiasa melaksanakan non-routine problem. Di dalam non-routine problem terintegrasi routine problem. Bahkan non-routine

problem berlandaskan pada routine

problem disaat melaksanakan heuristiknya.

Polya (Kayan, 2007), nonroutine

problem memfokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir logis dan kreatif pebelajar. Nonroutine

problem memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order

Thinking) serta memberikan keterampilan tambahan kepada pebelajar berupa kemampuan untuk menemukan sebuah pola, generalisasi, pengembangan kemapuan prosedur atau algoritmik, mengorganisasikan data, memanipulasi simbol dan mereduksi problem menjadi lebih sederhana (London, 1993).

Jadi, meskipun kemampuan mengatasi non-routine problem menjadi indikasi dari kemampuan siswa dalam mengatasi masalah, kemampuan mengatasi routine problem juga diperlukan sebagai landasan awal untuk mengatasi non-routine problem. Hal ini terlihat dari karakteristik pembelajaran kimia disekolah berdasarkan kurikulum KTSP yang menyajikan problem bersifat prosedural untuk diatasi (routine

problem) kemudian ditingkatkan menjadi non-routine problem. Meskipun demikian, guru tetap harus

Page 273: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

262

memeperhatikan keamampuan siswa dalam mentransfer hal yang mereka pelajari dari satu problem ke problem

yang lain dalam hal menyusun nonroutine problem (Kayan, 2007). STRATEGI DALAM PROBLEM

SOLVING

Problem solving, secara sederhana merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh pebelajar untuk mengatasi atau memecahkan sebuah masalah yang dihadapi. Stanic dan Kilpatrick (McIntosh & Jarrett, 2000) mengidentifikasi secara umum tiga peran problem solving di sekolah, yaitu problem solving as context, problem

solving as skill dan problem solving as

art. Problem Solving as context.

McIntosh & Jarrett (2000) membagi problem solving as context menjadi beberapa kategori. Problem solving digunakan sebagai justifikasi dalam pembelajaran. Untuk membuat siswa agar tertarik belajar, materi dikaitkan dengan pengalaman mengatasi masalah di dunia nyata. Problem solving dijadikan sebagai hal yang mampu untuk memotivasi siswa melalui pembelajaran yang bersifat praktis dan kontekstual. Problem solving sebagai recreation, sebuah aktivitas yang menyenangkan untuk dilakukan. Problem solving sebagai practice, menguatkan keterampilan dan konsep yang telah dimiliki.

Ketika problem solving as context, penekanan terjadi pada kemampuan siswa untuk menggunakan problem sebagai cara untuk membantu menjelaskan konsep atau prosedur. Menggunakan problem solving as

context, guru menyajikan konsep menjadi bagian-bagian yang terpisah, tidak menyeluruh. Bagian-bagian lain dari konsep tersebut akan ditemukan sendiri oleh siswa dengan menggunakan problem yang diberikan. Dengan menggunakan problem solving as

context, tujuan guru menjadi beragam, yakni: menciptakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan bagian-bagian konsep dengan menggunakan media atau strategi yang diinginkan (motivation); membantu pebelajar membuat konsep menjadi nyata (practice); memberikan rasionalisasi atau logika terhadap bagian-bagian konsep tersebut (justification).

Problem Solving as a skill.

Problem solving dapat mengembangkan pemahaman konseptual dan ketramplian dasar. Problem solving as skill mengajarkan seperangkat prosedur umum yang digunakan untuk mengatasi atau memecahkan masalah yang besifat prosedural. Problem as skill menggunakan prosedur sebagai cara untuk memecahkan routine problem. Ketika problem solving dipandang sebagai kumpulan keterampilan, maka siswa yang menggunakan problem

solving as a skill hanya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan rutin.

Problem Solving as art. Polya (1973) mengemukakan sebuah gagasan bahwa problem solving sebagai sebuah art atau seni. Polya menunjukkan bahwa problem solving sebagai sebuah tindakan menemukan “modern heuristics” yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah masalah secara tuntas. Tujuan dari problem solving as art adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa menjadi problem solver yang memiliki keterampilan penuh dan menjadi pemikir yang dapat menghadapi segala persoalan.

Kimia merupakan mata pelajaran yang dapat dijadikan oleh problem

solving sebagai “lahan” untuk menggunakan ketiga perannya tersebut. Problem solving as a context dalam kimia juga dapat diterapkan justification, motivation, recreation dan practice.

Demikian juga dengan problem solving

as a skill, dalam kimia terdapat routine

problem yang memerlukan skill berupa keterampilan prosedural untuk mengatasinya. Terakhir adalah problem

Page 274: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

263

solving as a art, dalam belajar ilmu kimia diperlukan kemampuan untuk berpikir dan menemukan strategi atau keuristik untuk memecahkan masalah. Dalam proses untuk menemukan pemecahan masalah itulah, art diperlukan.

Polya (1973) dalam bukunya yang berjudul How To Solve It, mengidentifikasi empat fase yang menjadi dasar dalam proses pemecahan masalah. Pertama, siswa harus paham terhadap masalah yang dihadapi dan melihat dengan jelas informasi yang relevan dan tidak relevan di dalam masalah tersebut untuk memecahkan masalah itu sendiri. Kedua, menghubungkan berbagai konsep yang dimiliki dengan permasalahan yang dihadapi, untuk menemukan solusi. Ketiga, menerapkan rencana yang dibuat untuk mengatasi masalah. Keempat, melihat kembali solusi yang telah digunakan dan mendiskusikan solusi yang didapat tersebut.

Dalam perkembangannya, problem solving memiliki banyak strategi. Strategi-strategi tersebut dimaksudkan untuk menjadikan siswa mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Woods (2000) menyatakan bahwa lebih dari 150 strategi untuk problem solving telah terpublikasi. Beberapa di antaranya merupakan strategi yang memiliki nama berdasarkan akronim dari langkah-langkah pelaksanaannya. Misalnya, DO IT, IDEAL, SOLVE, ABCDE dan PHARMA. Begitu banyaknya strategi dalam problem solving menyebabkan beragam strategi yang dapat diterapkan dalam problem solving. Woods (2000) memberikan sebelas kriteria memilih strategi dalam problem solving. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Strategi harus bersifat umum, tetapi

dalam penggunaannya dapat dilakukan secara spesifik, sistematik dan dapat digunakan pada berbagai jenis masalah,

2. Memiliki konsistensi dalam memecahkan masalah berupa kemampuan untuk mengakomodasi pemahaman siswa dalam mengatasi masalah,

3. Jika memungkinkan, keterampilan dan perilaku dalam setiap langkah tidak disebutkan. Jika disebutkan keterampilan dan perilaku apa yang berada dalam setiap langkah, maka akan terjadi pengkotakan keterampilan atau perilaku dalam langkah tersebut,

4. Jumlah tahapan/langkah dalam strategi problem solving harus lebih dari tiga dan kurang dari sembilan. Hal ini untuk memfasilitasi munculnya informasi dari Short

Term Memory (STM),

5. Strategi harus berguna dan tidak hanya mengakomodasi kemampuan mengatasi masalah dalam setting akademik,

6. Fleksibel dalam pengaplikasiannya, 7. Strategi menggunakan problem

solving sebagai cara untuk menguasai konsep, bukan bersifat trivial,

8. Strategi memiliki esensi yang sama dalam memecahkan masalah, tapi memperkenankan adanya perbedaan gaya dalam menerapkannya,

9. Menekankan pada langkah yang mampu mangatasi masalah,

10. Strategi memiliki kesesuaian dengan solusi yang ingin dicapai serta metode yang digunakan dalam strategi itu memiliki kesesuaian dengan harapan dan strategi, selain itu metode dalam strategi berhubungan dengan perilaku dan keterammpilan kognitif,

11. Strategi mampu meningkatkan kemampuan siswa sebagai successful

problem solver. Berdasarkan kriteria tersebut,

Woods (2000) mengembangkan strategi dalam problem solving menjadi enam langkah, seperti yang tersaji pada Gambar 2.

Page 275: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

264

Gambar 2 Strategy six-stage Woods (MPS 6) (Woods, 2000)

Enam langkah (six-stages) yang

dikemukan oleh Woods (2000) merupakan sebagian dari berbagai macam strategi dalam problem solving. Beragamnya strategi dari problem

solving dan penjelasan yang disampaikan oleh Woods (2000) membuat penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa problem solving merupakan sebuah “proses untuk solve a problem”. Hal ini juga senada dengan yang dituliskan oleh Geoge Polya (1973) bahwa problem

solving merupakan sebuah “proses” bagi siswa untuk solve a nonroutine problem. Dalam solve a problem tersebut, siswa memerlukan banyak strategi. Sehingga kedudukan problem solving dapat diartikan sebagai sebuah nama dalam proses untuk solve a problem. Meskipun di dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa problem solving

merupakan sebuah metode dalam pembelajaran. Misalnya penelitian yang

dilakukan oleh Dogru (2008) menyebutkan bahwa problem solving as

a method for teaching, selain itu dia sendiri mengembangkan aktivitas tersendiri untuk menerapkan problem

solving method-nya. Aktivitas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Understanding the problem,

2. Gathering information regarding

problem solving,

3. Solution and interpretation of the

information about the problem,

4. Determining ways of solution

5. Determining the best effective

solution,

6. Preparing report and its evaluation. Hermanowicz (1961) membuat

sebuah tinjauan teoritik yang mendasari problem solving sebagai sebuah metode pengajaran. Tinjauannya tersebut berdasarkan pandangan John Dewey dalam bukunya yang mengungkapkan bahwa belajar merupakan belajar

Page 276: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

265

berpikir. Cara terbaik untuk berpikir adalah dengan merefleksikan pikiran. Menurut Dewey, cara merefleksikan pemikiran/pikiran adalah dengan proses “translasi” (perubahan linier dan semakna) dari situasi tanpa kejelasan, keraguan, konflik, kekacauan ke dalam sebuah situasi yang harmonis, jelas, koheren dan menenangkan. Dalam proses merefleksikan pikiran ini, Dewey mengembangkan lima fase, yang kemudian menjadi landasan oleh Hermanowicz (1961) untuk merasionalisasikan problem solving

sebagai metode pengajaran (pembelajaran). Perkembangan lebih lanjut dari pandangan Dewey ini adalah memunculkan sebuah konsep yang dikenal dengan konsep belajar dengan melakukan (learning by doing), sehingga Dewey dipandang sebagai ahli yang mendukung teori konstruktivisme (Suyono & Hariyanto, 2011).

Terminologi yang sesuai untuk mengawali problem solving, apakah pendekatan, strategi, model atau metode, tergantung kepada keyakinan dan landasan teoritik yang digunakan. Perbedaan terminologi dalam problem

solving tidak perlu dipertentangkan secara diamertal. Problem solving dapat dijadikan sebagai sebuah pendekatan karena problem solving dapat dijadikan sebagai sebuah pandangan atau titik tolak dalam pembelajaran yang sifatnya masih umum. Hal ini dapat terlihat dari beberapa strategi dalam problem solving

yang menempatkan problem solving sebagai sebuah pandangan yang dijadikan acuan umum dalam pembelajaran. Pengertian “pendekatan” seperti ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Sanjaya (2010). Meskipun, Roy Killen (Sanjaya, 2010) menyatakan bahwa pendekatan hanya dua, yaitu pendekatan student oriented

dan teacher oriented. Istilah “pendekatan” berorientasi pada pengembangan cara berpikir kritis, logis dan kreatif (Dasna, 2006). Salah satu

bagian atau keterampilan yang dikembangkan dalam problem solving adalah kreatif dan logis. Arifin (1995 dalam Dasna, 2006) mengemukan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan konsep dari Jerome S. Bruner, pendekatan induktif-deduktif dari Helda Taba, pendekatan tingkat perkembangan kognitif dari Jean Piaget, pendekatan inkuiri dari Schwab, pendekatan pemecahan masalah dari Metler dan pendekatan pengorganisasian konsep dari Ausubel. Melihat beberapa pengertian dari pendekatan dan contoh pendekatan menurut Metler, maka problem solving dapat menjadi sebuah pendekatan. Sehingga seperti yang tertulis sebelumnya, penulis memaknai problem solving merupakan sebuah pendekatan. Seterusnya dalam tulisan ini, problem solving merupakan sebuah pendekatan.

Problem solving sebagai sebuah pendekatan memerlukan piranti untuk mengimplementasikannya menjadi sebuah hal yang riil. Untuk mengimplementasikannya, diperlukan sebuah strategi. Strategi mengacu kepada rencana yang digunakan untuk mencapai sesuatu (a plan of operation achieving

something) (Sanjaya, 2010). Rencana tidak serta merta dapat dilaksanakan begitu saja. Diperlukan sebuah metode untuk merealisasikan strategi. Sehingga metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai sesuatu (a way in

achieving something). Strategi dalam problem solving yang menjadi pilihan penulis adalah strategi universal yang dirumuskan oleh Polya (1973): understanding, devising a plan, carry out

the plan dan looking back. Untuk merealisasikan strategi dan mengakomodasi keinginan adanya metakognitif, metode yang digunakan adalah IMPROVE yang dikembangkan oleh Zemira R. Mevarech dan Bracha Kramarski dari Bar-Ilan University, Israel.

Page 277: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

266

METODE PEMBELAJARAN

IMPROVE

Mevarech & Kramarski (1997) memperkenalkan sebuah metode pembelajaran yang menekankan kepada pembelajaran metakognitif (metakognitif

instruction) dalam memecahkan masalah. IMPROVE merupakan sebuah metode yang kegiatannya berdasarkan akronim dari IMPROVE itu sendiri.

Introducing the new concepts,

Metacognitive questioning,

Practicing,

Reviewing and reducing difficulties,

Obtaining mastery,

Verification,

Enrichment,

Introducing new concepts, guru memperkenalkan konsep kepada siswa. Proses penyampaian konsep awal oleh guru, siswa sebelumnya telah berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam menyajikan konsep awal, guru menggunakan teknik tanya jawab. Pertanyaan tersebut menggunakan pertanyaan-pertanyaan metakognitif, seperti “Apa masalah yang kita kerjakan?”, “Adakah persamaan atau perbedaan antara………dengan……?” dan “Strategi apa yang sesuai untuk masalah ini?”. Setelah melakukan hal tersebut, guru mengajarkan bagaimana mengoreksi rencana atau jawaban yang telah dikerjakan serta menjelaskan bagaimana jika rencana tidak sesuai.

Metaconitive questioning. Langkah ini selain dikerjakan oleh guru, juga dikerjakan oleh siswa saat mengerjakan tugas kelompok (practicing). Pertanyaan-pertanyaan tersebut samahalnya dengan pertanyaan guru pada tahap introducing new

concept. Pertanyaan tersebut diajukan sendiri dan dijawab sendiri oleh siswa.

Reviewing and reducing

difficulties. Ketika melaksanakan practicing, siswa kemungkinan besar akan menemukan kesulitan-kesulitan,

disaat itulah guru membantu siswa untuk me-reducing dan me-reviewing kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.

Mevarech & Kramarski (1997) dalam prosedur penelitiannya, mengungkapkan bahwa setelah beberapa kali pertemuan, diadakan tes formatif untuk mengetahui obtaining mastery dan melakukan verification terhadap siswa yang belum tuntas. Bagi siswa yang belum tuntas diberikan corrective

activities (remedial) dan lainnya berupa pengayaan, enrichment, dengan tugas yang bersifat challenge.

Metode IMPROVE dilandasi oleh teori kognitif sosial dan metakognitif. Metode ini terdiri atas tiga komponen, yaitu aktifitas metakognitif (metacognitive avtivities), kerja dengan teman sebaya (peer interactions) dan pemberian umpan balik-korektif-pengayaan (feedback-corrective-

enrichment) (Mevarech & Kramarski, 1997). Meskipun metode ini dikembangkan dalam pembelajaran matematika, tidak mustahil untuk diterapkan dalam pembelajaran kimia. Ada dua sudut pandang (point of view) yang dapat menjadi landasan dalam mengadaptasi sebuah “piranti” pembelajaran, baik model, metode atau pendekatan. Pertama, dilihat dari sisi karakteristik pembelajaran atau disiplin ilmunya. Kedua, dilihat dari kegiatan atau aktivitas dari “piranti” tersebut. Penulis melihat dari sudut pandang kedua. Metode IMPROVE dalam kegiatan dan aktivitasnya dapat diterapkan dalam pembelajaran kimia. Kegiatan dalam metode IMPROVE bersifat universal untuk mata pelajaran atau disiplin ilmu yang memiliki karakteristik algoritmik/numerik serta konseptual.

Teori yang melandasi metode IMPROVE ketara terlihat pada komponen-komponen di dalam metode IMPROVE itu sendiri. Teori kognitif sosial terlihat dari keterlibatan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya

Page 278: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

267

menggunakan interaksi dengan lingkungannya berupa teman sebaya (peer interactions). Teori kognitif sosial ini cenderung mengacu kepada teori kognitif sosial Vygotsky, meskipun dia merupakan konstruktivis sosial, dari pada teori kognitif sosial Albert Bandura yang seorang behavioris atau koneksionis (Hill, 2012). Vygotsky meskipun terkenal sebagai pionir filosofi konstruktivisme, Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya adalah pembelajaran kognisi sosial (social cognition) (Suyono & Hariyanto, 2011).

Peer interactions dalam komponen metode IMPROVE mengacu kepada seting pembelajaran kooperatif dan diskusi kelompok (Mevarech & Kramarski, 1997). Seting pembelajaran kooperatif yang diterapkan dalam pengembangan metode IMPROVE mengikuti aturan dari Brown dan Palincsar (Mevarech & Kramarski, 1997). Dalam kelas yang heterogen (level kognitif), siswa dikelompokkan ke dalam sebuah kelompok dengan proporsi, satu tinggi, dua sedang dan satu rendah. Idealnya dalam satu kelompok terdapat empat orang. Pembelajaran dalam seting kooperatif memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuan siswa. Meloth dan Deering (Mevarech & Kramarski, 1997) mengindikasikan bahwa, selain kooperatif dapat mengkonstruk pengetahuan siswa, kooperatif memiliki manfaat yang besar bagi siswa, diantaranya siswa dapat berbagi ide, mengungkapkan pendapat yang rasional dan logis serta menyediakan kemudahan dalam mengatasi problem berupa kerjasama kelompok. Pembelajaran dalam seting kooperatif melibatkan siswa untuk aktif dalam berdiskusi memecahkan masalah. Kramarski & Mizrachi (2004) menemukan bahwa diskusi kelompok yang melibatkan metacognitive guidence dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah real-life

task (nonroutine problem). Problem

solving yang diterapkan dalam seting kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil, menyediakan kondisi alami untuk kemampuan monitoring pribadi (inetrpersonal

monitoring). Kondisi alami tersebut tidak serta merta dapat mengaktifkan metakognisi siswa, melainkan harus diberikan pelatihan untuk mengaktifkannya.

Metakognitif pertama kali diperkenalkan oleh Flavell (Mevarech & Fridkin, 2006) sebagai “thingking about

thingking”. Metakognitif juga berarti kesadaran dalam proses berfikir dan mengontrol proses tersebut (Özsoy & Ataman, 2009). Metakognitif terbagi menjadi dua: pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan kontrol metakognitif (metacognitive control). Istilah lain terhadap klasifikasi ini juga dikemukakan oleh Flavell. Flavell membagi menjadi dua kategori dengan istilah: knowledge of cognitive processes

and products dan ability to control,

monitor and evaluate cognitive processes (Mevarech & Fridkin, 2006). Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran akan serta pengetahuan tentang kognisi diri sendiri (Anderson & Krathwohl, 2010). Anderson & Krathwohl (2010) membagi pengetahuan metakognitif menjadi pengetahuan strategis (pengetahuan siswa tentang strategi-strategi belajar dan berfikir); pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif (pengetahuan siswa tentang tugas-tugas kognitif, kapan dan mengapa harus menggunakan beragam strategi); pengetahuan diri (pengetahuan yang berkaitan dengan kognitif dan motivasional dari performa). Kontrol metakognitif atau regulasi metakognitif dianggap sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan untuk mengatur dan mengontrol proses kognitif (Özsoy & Ataman, 2009). Kontrol metakognitif berhubungan dengan

Page 279: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

268

aktivitas metakognitif yang menolong seseorang untuk mengontrol pikirannya.

Metakognitif dalam metode IMPROVE tercermin dari komponen metcognitive questioning. Pertanyaan metakognitif terbagi atas: comprehension

questions, strategic questions dan connection questions (Mevarech & Kramarski, 1997) serta reflecting

questions (Kramarski & Mizrachi, 2004). Pertanyaan metakognitif digunakan dalam problem solving, hal ini berkaitan dengan pengetian bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan “dialog” antara informasi atau konsep yang baru diterima dengan pengetahuan awal atau informasi/konsep awal (prior knowledge) yang dimiliki sebelumnya. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dengan

problem solving menggunakan sebuah regulasi atau kontrol untuk mengatasi masalah tersebut. Kontrol tersebut berupa bagaimana siswa dapat menggali sebuah masalah, merencanakan solusi, mengawasi penerapan solusi dan evaluasi terhadap solusi (Lester, Garofalo & Kroll, 1989 dalam Mevarech & Kramarski, 1997). Berdasarkan alasan yang demikian, diperlukan sebuah pertanyaan yang memandu siswa untuk memperjelas sebuah problem; menentukan kapan, mengapa dan bagaimana menggunakan sebuah strategi; menyederhanakan konsep untuk mengatasi problem; dan menghubungkankan pengetahuan awal dengan informasi baru (Mevarech & Kramarski, 1997). Pertanyaan-pertanyaan tersebut menitikberatkan kepada (a) struktur dari problem, (b) hubungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada, (c) strategi yang sesuai untuk mengatasi problem baru.

Pertanyaan metakognitif ini dikembangkan mengikuti strategi 4-steps yang dikembangkan oleh Polya (1973): orientation and problem identification

(understand), organization (devise aa

plan), execution (carry out the plan) and

evaluation (looking back). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dirancang untuk membantu siswa menjadi “sadar” (aware) terhadap problem yang dihadapi serta mamapu untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulate) untuk mengatasi problem tersebut. Schoenfeld (1987 dalam Mevarech & Kramarski, 1997), pengaturan diri (self-regulation) meliputi: (a) memahami problem sebelum menentukan solusi, (b) merencanakan sebuah solusi untuk mengatasi problem, (c) mengerjakan dengan seksama perencanaan yang telah dibuat, termasuk mengontrol/memantau apakah rencana sudah benar dikerjakan, (d) menentukan apa yang harus dilakukan ketika mengatasi problem (allocating resources when problem

solving). Lebih lanjut, Schoenfeld memberikan penjelasan bahwa kesadaran (awareness) dan pengaturan diri (self-

regulation) adalah dua aspek penting dalam metakognitif.

Comprehension questions.

Dirancang untuk memahami problem sebelum memecahkannya. Dalam pertanyaan jenis ini, siswa membaca problem dan memahaminya (read the

problem aloud), mendeskripsikan konsep dari problem tersebut dengan bahasa sendiri dan mengklasifikasikan problem berdasarkan kriteria yang telah dimiliki sebelumnya (Mevarech & Kramarski, 1997; Kramarski & Mizrachi, 2004). Comprehension questions berorientasi kepada kemampuan siswa dalam menangkap ide utama dari sebuah problem (Mevarech & Fridkin, 2006; Mevarech & Kramarski, 1997). Comprehension questions seperti: “apa masalah ini?”, “tentang apa masalah yang dikerjakan ini?”, “apa yang diberikan dalam problem ini?”,”apa yang tersedia dari problem ini?”, “jelaskan maksud dari problem ini dengan bahasa Anda sendiri?”.

Connection questions. Siswa difokuskan untuk dapat membedakan dan mempersamakan antara problem yang

Page 280: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

269

dihadapi dengan problem sebelumnya. Kemampuan membedakan atau mempersamakan tersebut tidak hanya dilihat dari permukaan problem tersebut melainkan juga isi dari problem tersebut. Sederhananya, yang dilihat tidak hanya struktur dari problem tersebut, tetapi juga isi dari problem tersebut (Mevarech & Kramarski, 1997). Misalnya, “apa perbedaan atau persamaan antara problem yang dihadapi saat ini dengan problem yang telah diatasi sebelumnya?”.

Strategic questions. Siswa dipandu menentukan strategi yang sesuai untuk mengatasi problem dan memberikan alasan mengapa strategi tersebut dapat mengatasi problem. Dalam strategic

questions, siswa ditekankan untuk menjawab pertanyaan “apa” (misalnya,”strategi apa yang sesuai untuk memecahkan masalah ini?”), “mengapa” (“mengapa strategi tersebut sesuai untuk memecahkan masalah ini?”), “bagaimana” (“bagaimana menerapkan strategi tersebut?”) (Mevarech & Kramarski, 1997).

Reflecting questions. Pertanyaan reflektif ini bersifat monitoring terhadap langkah-langkah penerapan strategi untuk memecahkan masalah dan bersifat evaluating tehadap seluruh proses dalam memecahkan masalah (Mevarech & Fridkin, 2006; Kramarski & Mizrachi, 2004). Monitoring terhadap langkah-langkah penerapan strategi, misalnya “apakah langkah-langkah yang saya lakukan sesuai dengan rencan?”, “mengapa saya terhenti dalam menyelesaikan masalah ini” (jika

mengalami kesulitan), “apa yang harus saya kerjakan lagi?” (jika sedikit keluar

dari rencana yang ditetapkan). Evaluating seluruh proses, ini dilaksanakan ketika problem sudah dipecahkan. Misalnya “apakah solusi seperti ini sudah benar?”(meskipun

jawaban benar), ”dapatkah saya memecahkan problem ini dengan cara yang berbeda?”

Pertanyaan-pertanyaan meta-kognitif ini membantu siswa dalam memahami dan memecahkan masalah. Siswa akan sadar terhadap apa yang dikerjakannya. Sadar terhadap apa yang harus dan tidak harus dikerjakannya. Kesadaran dalam melakukan sesuatu sangat ditekankan dalam metode IMPROVE. Seperti yang dijelaskan di atas, problem solving memiliki kaitan yang sangat erat dengan metakognisi. Sejalan dengan itu, Cohors-Fresenborg & Kaune (Anggo, 2011) mengelompokkan aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah (problem solving) terdiri atas (1) perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), dan (3) refleksi (reflection). Keterlaksanaan ketiga aktivitas metakognisi ini sangat ditentukan oleh kesadaran siswa terhadap pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan masalah yang dipecahkan serta bagaimana mengatur kesadaran tersebut dalam memecahkan masalah.

Metakognisi memiliki peranan yang sangat penting dalam problem

solving. Siswa yang memiliki kemampuan metakognisi akan menjadi seorang solver yang lebih baik (Toit & Kotze, 2009). Senada dengan hal tersebut, Özsoy & Ataman (2009) menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan metakognitif, memiliki keterampilan yang lebih baik dalam problem solving. Kemampuan metakognisi tidak didapat begitu saja, perlu sebuah latihan dan perjalanan yang lama untuk dapat melatih kemampuan metakognitif. Simbiosis mutualisme pun terjadi antara problem solving dengan metakognitif. Problem soving

memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan metakognisinya. Hal ini dikarenakan, seorang solver berkualitas harus memiliki “kesadaran” berpikir yang tinggi. Kemampuan dalam menganalisis sebuah strategi untuk memecahkan masalah dan melakukan tindakan reflektif terhadap hasil pemikirannya

Page 281: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

270

memerlukan kemampuan metakognisi. Metakognisi dapat dilatih dengan menggunakan problem solving. IMPROVE merupakan metode untuk problem solving. Mevarech & Fridkin (2006), IMPROVE dapat mengembangkan kemampuan metakognitif siswa. Hal ini terlihat dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan instrumen yang menggunakan kemampuan metakognisi, berupa knowledge of cognition (declarative,

prosedural and condtional) dan regulation of cognition (planning,

monitoring, debugging, evaluating and

information managing). Dengan demikan dapat ditarik garis merah bahwa, metode IMPROVE dapat mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Berkembangnya kemampuan metakognisi ini akan membuat siswa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengatasi masalah.

Komponen lain dalam IMPROVE adalah feedback-corrective-enrichment. Komponen ini didasarkan pada penelitian Mevarech & Susak (1993 dalam Mevarech & Kramarski, 1997) bahwa siswa yang belajar dalam seting kooperatif, menggunakan pertanyaan metakognitif serta menggunakan feedback-corrective dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah. Feedback-

corrective-enrichment dalam seting kooperatif berupa peer interaction dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Feedback-corrective-enrichment

dalam seting kooperatif memiliki kemampuan mengembangkan berpikir siswa karena dengan adanya feedback-

coorective-enrichment, siswa akan mendapatkan bagaimana cara belajar yang tuntas dengan menggunakan beberapa strategi (corrective) dan bagaimana berpikir lebih dalam untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah (enrichment). Feedback merupakan penegasan atas

konsep yang telah dikonstruk oleh siswa. Mevarech & Kramarski (1997) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang menerapkan feedback-corrective-

enrichment baik dalam seting kooperatif maupun individual, siswa memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah dari pada pembelajaran kooperatif/individual yang tidak menggunakan feedback-corrective-

enrichment. Feedback-corrective-enrichment

merupakan salah satu esensi dari mastery

learning (belajar tuntas) yang dikemukakan oleh Bloom (Guskey, 2007). Feedback dalam mastery learning

merupakan aktivitas guru dalam mastery

learning. Feedback dapat menggunakan tes formatif. Tes formatif tersebut memiliki esensi dalam tes formatif karena dalam tes formatif ada dua hal yang didapat oleh siswa. Pertama, siswa dapat mengetahui perkembangan dirinya dalam pembelajaran dan kedua, memadu siswa untuk mengetahui kesalahan (error) dirinya dalam pembelajaran (Guskey, 2007). Menindaklanjtui feedback adalah corrective dan enrichment. Corrective merupakan tindak lanjut dari siswa yang belum tuntas belajar. Tindakan corrective dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam mengerjakan formatif tes. Corrective

memiliki dua tujuan; pertama, sebagai sarana untuk mengetahui kesulitan siswa dalam belajar; kedua, sebagai kesempatan kedua bagi siswa untuk memperbaiki nilai. Enrichment, bagi siswa yang pembelajarannya tuntas dengan baik, perlu diberikan pembelajaran yang dapat lebih mengembangkan kemampuan siswa. Pembelajaran dalam enrichment menekankan kepada permasalahan yang bersifat praktis dan bersifat challenge.

Pelaksanaan corrective-

enrichment dilakukan setelah tes formatif pertama. Corrective-enrichment dilakukan dalam kelas pararel. Guru

Page 282: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

271

sendiri pada tahap ini berkolaborasi dengan kolega atau rekan guru lainnya untuk melaksanakannya. Perlu waktu khusus untuk melaksanakan corrective-

enrichment. Waktu tersebut diluar dari jam pelajaran sekolah yang telah terjadwal. Corrective akan memiliki dampak efektif jika dipertimbangkan gaya belajar, sumber daya dalam

pembelajaran dan intelegensi dari siswa (Guskey, 2007). Enrichment memiliki penekanan terhadap pembelajaran yang menekankan kepada “pemberian” pengalaman dengan level lebih tinggi. Tahapan pelaksanaan feedback-

corrective-enrichment dalam pembelajaran dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Mastery learning instructional process (Guskey, 2007)

Dari penjelasan di atas, terlihat

bahwa metode IMPROVE memiliki kemampuan mengembangkan keterampilan metakogitif (Mevarech & Fridkin, 2006) dengan seting kooperatif berupa peer interactions (Mevarech & Kramarski, 1997). Feedback-corrective-

enrichment selain dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa juga merupakan esensi dari mastery learning (Guskey, 2007). Sehingga IMPROVE merupakan metode multidimensi yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Selain menekankan kepada kemampuan memecahkan masalah, metode ini juga menekankan adanya pembelajaran tuntas (mastery learning).

Riset terbaru juga menunjukkan bahwa metode ini memiliki kemampuan dalam mengembangkan berbagai macam kemampuan siswa melalui pemecahan masalah. Mevarech & Fridkin (2006) menunjukkan bahwa metode ini selain dapat memberikan efek terhadap pengetahuan dan kemampuan berpikir siswa, metode ini juga memiliki kemampuan terhadap metakognisi siswa. Kemampuan metakognisi ini berkorelasi dengan kemampuan problem solving. Sejalan dengan itu, penelitian Mevarech

& Kramarski, (1997) juga menunjukkan bahwa metode IMPROVE dapat mengatasi heterogenitas level kognitif siswa di kelas, meningkatkan prestasi belajar siswa dan meningkatkan kemampuan berpikir dan rasionalisai terhadap problem. Kramarski & Mizrachi (2004) mengungkapkan bahwa kemampaun siswa dalam memecahkan real life task menggunakan metode IMPROVE dengan seting diskusi forum memberikan hasil yang signifikan dibandingkan pembelajaran dengan seting diskusi forum tanpa metode IMPROVE.

Melihat dari segala komponen yang mendasinya serta goals yang dihasilkan dalam setiap komponen tersebut, maka IMPROVE dapat menjadi sebuah alternatif dalam mengambangkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah-masalah kimia. Salah satu materi kimia yang melibatkan konsep dan kemapuan algoritmik yang tinggi adalah materi Asam Basa. Meskipun dalam kurikulum KTSP konsep Asam Basa hanya memfokuskan pada konsep, perlu dilibatkan aplikasi konsep tersebut dengan menggunakan kemampuan algoritmik/numerik. Algoritmik dalam Asam Basa dapat terlihat dari materi

Page 283: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

272

Hidrolisis dan Buffer. Sehingga jika konsep Asam Basa diajarkan secara komprehensip mulai dari konsep hingga aplikasinya, maka metode ini dapat menggunkan perannya secara efektif. Karakteristik materi Asam Basa (termasuk Hidrolisis dan Buffer) dapat diajarkan dengan problem solving menggunakan metode IMPROVE. Problem yang disediakan pada materi ini dapat bersifat praktis (nonroutine

problem/real life task) dan teoristis (routine problem). Dengan demikian, metode ini dapat diterapkan dengan efektif pada materi Asam Basa.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

METODE IMPROVE

Setiap “piranti” pembelajaran, strategi, pendekatan, model atau metode, memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing. Keunikan dan karakteristik tersebut terlihat dari kesesuaian penggunaan “piranti” tersebut dengan materi yang diajarkan. Selain itu, faktor efektifitas dan efisiensi dari sebuah “piranti” juga perlu dipertimbangkan. Seperti halnya pemebelajaran berbasis konstruktivis lain, dalam pelaksaannya problem

solving memerlukan waktu yang lebih lama untuk menghasilkan outcome yang lebih baik.

IMPROVE sendiri sebagai sebuah metode problem solving belum banyak diteliti mengenai kelebihan dan kekurangan dari metode ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui segala aspek yang berkaitan dengan metode ini, termasuk kelebihan dan kekurangannya. Dalam riset yang menjadi landasan IMPROVE, Mevarech & Kramarski (1997) mengungkapkan beberapa temuannya yang menjadi kelebihan dari metode IMPROVE ini. Pertama, kombinasi antara komponen metakognitif, peer interaction dengan feedback-corrective-enrichment

memiliki dampak postif terhadap hasil belajar siswa, termasuk dalam

memecahkan masalah. Kedua, siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan metode IMPROVE memiliki respon kognitif yang lebih baik dari siswa tanpa menggunakan metode IMPROVE. Respon kognitif tersebut berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mengatasi problem secara menyeluruh (comprehensive plans) dan menjustifikasi atau merasionalisasi solusi yang diberikan untuk mengatasi problem (opinion plans). Ketiga, keberagaman prior knowledge dari siswa dapat menjadikan sebuah problem dapat teratasi dengan maksimal. Beragamnya prior knowledge siswa tercover dalam peer-interaction IMPROVE. Peer-

interaction mengakibatkan solusi dan strategi dalam memecahkan sebuh masalah menjadi beragam. Keberagaman ini dapat menjadi justifikasi dan rasionalisai yang kuat dalam memecahkan sebuah problem.

Dari segi guru, meskipun tidak diteliti secara fokus, Mevarech & Kramarski (1997) menyampaikan sebuah temuan bahwa saat metode ini diperkenalkan, guru bersifat skeptis dan tidak yakin. Akan tetapi setelah guru melakukan pengajaran problem solving dengan metode ini, guru menyadari dan mayakini bahwa metode ini merupakan alternatif dalam membelajarkan problem

solving terutama terhadap kelas yang memiliki heterogenitas kognitif.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, studi tentang metode ini untuk mengetahui kekurangannya perlu dilakukan. Sejauh ini penulis belum mendapatkan sebuah literatur yang menyampaikan kekurangan metode ini. Berdasarkan artikel yang dipublikasikan oleh McIntosh & Jarrett (2000), penulis memiliki gagasan bahwa permasalahan atau kekurangan dari metode IMPROVE dalam mengembangkan problem solving

ability siswa tidak terletak pada struktur dari metode tersebut, melainkan dari problem yang akan diselesikan dengan metode tersebut.

Page 284: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

273

English, Lesh, & Fennewald (2010), kemampuan memecahkan masalah (Problem Solving Ability) merupakan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah nonroutine.

McIntosh & Jarrett (2000) mengungkapkan empat alasan yang menjadikan problem solving ability sulit untuk dicapai. 1. Teaching nonroutine problem solving

is difficult. Schoenfeld (McIntosh & Jarrett, 2000) mengungkapkan bahwa mengajar nonroutine problem susah karena: guru harus mengerti belul terhadap materi yang diajarkan. Guru kimia dalam mengajarkan nonroutine

problem harus ahli betul dalam pembelajaran kimia (content side); guru harus mengetahui kapan dia membantu dan mengarahkan siswa dalam memecahkan masalah (pedagogically side); suatu kondisi guru akan menemukan ketidaknyamanan dalam mengajarkan nonroutine problem akibat tidak mengetahui solusi dari sebuah problem (personally side). Solusi dari permasalah itu semua adalah dengan menguatkan kemampuan konten dari materi yang diajarkan dan memahami unsur-unsur pedagogik dalam pembelajaran serta memahami teori-teori belajar dan perkembangan kognitif siswa.

2. Nonroutine problems are difficult for

students. Memerlukan tingkatan kognitif yang tinggi bagi siswa untuk mengatasi nonroutine problem. Pengetahuan awal yang relatif tinggi dan pengalaman yang luas serta kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan syarat bagi siswa untuk mengatasi nonroutine problem

dengan sukses dan sempurna. Apalagi setiap siswa memiliki prior

knowledge dan experience yang berbeda. Selain itu, kebiasaan siswa yang menggunakan problem bersifat numerik/algoritmik mengakibatkan konsep siswa lemah (Yilmaz, Tuncer,

& Alp, 2007). Nonroutine problem

juga menggunkan historical problem dalam penyampaiannya. Dua hal ini juga menjadi faktor dalam kesulitan siswa untuk memecahkan nonroutine

problem. 3. Teachers are concerned about content

coverage. Guru pada umumnya cenderung mengulas materi pelajaran dan mungkin memperlebar cakupan materi. Akan tetapi jarang menerapkan pembelajaran yang berorientasi pada problem yang bersifat challenge atau nonroutine

problem. Perlu ada sebuah pembudayaan untuk mengatasi hal ini. Membudayakan agar permasalahan yang dikaji bersifat kontekstual dan terkini. Hal ini sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembangkan setiap saat.

4. Textbooks present few nonroutine

problems. Meskipun guru dan siswa berkeinginan untuk menyelesaikan dan menghadapi problem nonrutin, permasalahan selanjutnya muncul, yakni masih sedikit buku yang menyediakan problem nonrutin. Hal ini jelas menjadi salah satu penghambat dalam membangun problem solving ability. Jika seorang guru berkeinginan kuat untuk membangun problem solving ability

bagi siswanya, maka guru harus mengembangkan sendiri sumber daya yang dimilikinya untuk memciptakan sebuah nonroutine problem. Sekali lagi disini diperlukan sikap expert

seorang guru terhadap materi pelajaran yang diajarkannya.

Dari penjelasan mengenai kelemahan penerapan problem solving (memiliki dampak tidak langsung terhadap metode IMPROVE) untuk mencapai problem

solving ability, dapat ditarik sebuah ide yang menarik dan menggelitik untuk mengatasi hal tersebut. Berawal dari esensi teori social cognition atau social

constructivism oleh Vygotsky bahwa

Page 285: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

274

kebudayaan merupakan penentu utama dalam perkembangan individu, maka untuk mengatasi permasalahan yang menjadi kelemahan dalam penerapan problem solving adalah dengan mengubah budaya pembelajaran. Pembudayaan hal baru, meskipun terbukti memiliki dampak positif dalam perkembangan individu, tidak serta dapat diterapkan. Apalagi manusia-manusia di dalamnya yang menjadi objek pembudayaan tetap berpegang pada budaya lama yang sudah tidak luwarsa. Penulis memiliki keyakinan bahwa pembudayaan hal tersebut tidak bisa langsung diterapkan di dalam sekolah yang masih mempergunakan budaya lama, tetapi pembudayaan di mulai dari “pembawa kebudayaan”, yaitu calon-calon guru di universitas. Calon-calon guru tersebutlah yang perlu diubah kebudayaannya. Jika guru yang dihasilkan memiliki budaya yang sama dengan guru terdahulu, apakah dapat dikatakan universitas berhasil menciptakan guru sesuai tuntutan zaman atau malahan menciptakan guru yang “basi”/“tidak luarsa”? SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan memecahkan masalah

(problem solving ability) merupakan kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan hasil pembelajaran berupa konsep dan prosedur yang diikuti dengan praktik, menyusun strategi dan menggunakan pengalaman untuk mengatasi permasalahan non-rutin.

2. IMPROVE dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem

solving ability) dengan menggunakan peer-interaction, metacognitive

questioning dan feedback-corrective-

enrichment. 3. Kelebihan dari metode IMPROVE

adalah siswa memberikan respon

kognitif yang baik dalam memecahkan masalah dan dapat mengembangkan problem solving

ability siswa serta mendapat respon positif dari guru dengan menggunakan metode ini. Kekurangan dari metode ini tidak berkaitan dengan struktur metode tetapi berkaitan dengan problem yang berimplikasi kepada efektifitas penggunaan metode. Kekurangan dari problem yang menjadi kriteria dalam problem

solving ability adalah: (1) guru kesulitan dalam mengajarkan nonroutine problem, (2) siswa kesulitan dalam menghadapi nonroutine problem, (3) guru dalam pembelajaran hanya mengulas materi tanpa memberikan problem yang menantang (nonroutine problem), (4) buku teks yang menjadi pegangan minim akan nonroutine problem.

Adapun saran-saran yang dapat direkomendasikan dalam uraian ini adalah: 1. Metode IMPROVE sangat relevan

untuk diimplementasikan dalam pembelajaran kimia. Hal ini dikarenakan metode IMPROVE berlandaskan pada teori-teori dan konsep-konsep pembelajaran yang up

to date dan terbaru serta sesuai dengan tujuan pembelajaran kimia seperti yang diinginkan oleh kurikulum KTSP.

2. Seperti yang disebutkan pada bagian akhir dalam pembahasan, perlu adanya pembudayaan agar pembelajaran dengan pendekatan problem solving dapat menghasilkan siswa yang memiliki problem solving

ability. Pembudayaan tersebut dimulai dari calon-calon guru yang belajar di universitas. Universitas wajib membudayakan calon guru yang memiliki problem solving ability. Akan menjadi ironi ketika kurikulum mengamanatkan pembelajaran berorientasi pada problem solving

Page 286: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

275

ability sementara gurunya sendiri tidak memiliki problem solving

ability. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2010). A taxonomy for

learning, teaching and assessing:

A revision of bloom's taxonomy of

educational objectives (Revisi ed.). (A. Prihantoro, Trans.). New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Anggo, M. (2011). Pelibatan metakognisi dalam pemecahan masalah matematika. Edumatica , 1 (1), 25-32.

Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar

dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Dasna, I. W. (2006). Model siklus belajar (learning cycle) kajian teoritis dan implementasinya dalam pembelajaran kimia. Dalam I. W. Dasna, & Sutrisno, Model-Model

Pembelajaran Konstruktivistik

dalam Pembelajaran Sainas-

Kimia (pp. 69-98). Malang: Universitas Negeri Malang.

Dogru, M. (2008). The application of problem solving method on science teacher trainees on the solution of the environmental problems. International Journal of

Environmental & Science

Education, 3, 9-18. English, L., Lesh, R., & Fennewald, T.

(2010). Future directions and persfectives for problem. http://tsg.icme11.org/document/ge

t/458 , Diakses pada 4 Desember 2012.

Freudenthal, H. (2002). Revisiting

Mathematics Education; China

Lectures (Vol. 9). (A. Bishop, Ed.). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Gabel, D. (1999). Improving teaching and learning through chemistry. Journal of Chemical Education ,

76, 548-554.

Gilfeather, M., & Regato, J. d. (1999). Routine & nonroutine problem solving. Mathematics Experience-

Based Approach Introductions . Gök, T., & Sılay, İ. (2010). The effects of

problem solving strategies on students’ achievement, attitude and motivation. Lat. Am. J. Phys. Educ , 4, 7-21.

Guskey, T. R. (2007). Closing achievement gaps: revisiting benjamin s. bloom’s “learning for mastery”. Journal of Advanced

Academics , 19 (1), 8-31. Haydar, H., & Zolkower, B. (2009).

Beginning teachers and non routine problems: mathematics lesson study group in an urban context. In S. L. Swars, D. W. Stinson, & S. Lemons-Smith (Ed.), Proceedings

of the 31st annual meeting of the

North American Chapter of the

International Group for the

Psychology of Mathematics

Education. 5, 1083-1091. Atlanta: Georgia State University.

Hermanowicz, H. J. (1961). Problem solving as teaching method. Educational Leadership , 299-306.

Hill, W. F. (2012). Theories of learning;

Teori-teori pembelajaran

konsepsi, komparasi dan

signifikansi (5 ed.). (M. Khozim, Trans.). Bandung: Nusa Media.

Johnstone, A. H. (2006). Chemical education research in Glasgow in perspective. Chemistry Education

Research and Practice , 49-63. Kayan, F. (2007). A study on preservice

elementary mathematics teachers’ mathematical problem solving

beliefs. Middle East Technical University: A Thesis Submitted To The Graduate School Of Social Sciences.

Kramarski, B., & Mizrachi, N. (2004). Enhancing Mathematical Literacy with The Use of Metacognitive Guidance In Forum Discussion. Paper presented at 28th

Page 287: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

276

Conference of the International

Group for the Psychology of

Mathematics Education, 3, pp. 169-176.

London, R. (1993). A curriculum of Nonroutine Problems. Paper

presented at the Annual Meeting of

the American Educational

Research Association. Atlanta. McIntosh, R., & Jarrett, D. (2000).

Teaching mathematical problem

solving: Implementing the vision. The Northwest Regional Educational Laboratory. Portland: Mathematics and Science Education Center.

Mevarech, Z. R., & Kramarski, B. (1997). IMPROVE: A multidimensional method for teaching mathematics in heterogeneous classrooms. American Education Research

Journal , 34 (2), 365-394. Mevarech, Z., & Fridkin, S. (2006). The

effects of IMPROVE on mathematical knowledge, mathematical reasoning and meta-cognition. Springer:

Metacognition Learning , 1, 85-97. Özsoy, G., & Ataman, A. (2009). The

effect of metacognitive strategy training on mathematical problem solving achievement. International

Electronic Journal of Elementary

Education , 1 (2), 67-82. Polya, G. (1973). How to solve it; a new

aspect of mathematical method (2nd ed.). New Jersey: Princeton University Press.

Sanjaya, W. (2010). Strategi

pembelajaran berorientasi standar

poses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Schloeglmann, W. (2004). Routines in non-routine Problem. Proceedings

of the 28th Conference of the

International Group for the

Psychology of Mathematics

Education. 4, pp. 161-168. Psychology of Mathematics Education.

Suyono, & Hariyanto. (2011). Belajar

dan pembelajaran; teori dan

konsep dasar. (A. S. Wardan, Ed.) Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Toit, S. d., & Kotze, G. (2009). Metacognitive strategies in the teaching and learning of mathematics. Pythagoras , 70, 57-67.

Winkel, W. S. (2009). Psikologi

pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

Wolfer, A. J. (2000). Introductory

college chemistry students'

understanding of stoichiometry;

connections between conceptual

and computational understandings

and instruction. Oregon State University: A Thesis Report, In Partial Fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy.

Wood, C. (2006). The development of creative problem solving in chemistry. Chemistry Education

Research and Practice , 7(2), 96-113.

Woods, D. R. (2000). An evidence-based strategy for problem solving. Journal of Engineering Education , 443-459.

Yilmaz, A., Tuncer, G., & Alp, E. (2007). An old subject with recent evidence from Turkey: Students' performance on algorithmic and conceptual question of chemistry. World Applied Sciences Journal , 2

(4), 420-426.

Page 288: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

277

Students’ Multiple Intelligence Profile as a Guidelines for Enhancement of

Chemistry Teaching and Learning Quality

Almubarak, Restu Prayogi, Rahmat Eko Sanjaya

Pendidikan Kimia FKIP ULM [email protected]

Abstrak Perbedaan jenis kecerdasan mahasiswa merupakan bagian yang sangat mempengaruhi proses pengajaran dan pembelajaran di kelas. Di sisi lain, sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami materi kimia baik secara makroskopis atau multi representasi, sehingga pengajar butuh acuan dalam mendesain suatu konsep pembelajaran yang cocok. Studi ini bertujuan untuk mengetahui profil jenis kecerdasan mahasiswa berbasis multiple intelligence (kecerdasan majemuk). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif agar memperoleh gambaran isu yang ingin diidentifikasi. Sampel studi yakni seluruh mahasiswa pendidikan kimia angkatan 2014, 2015, 2016, dan 2017. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik angket. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis multiple intelligence (kecerdasan majemuk) mahasiswa yang paling dominan yakni kinestetik (14.15%), interpersonal (14.94%), intrapersonal (17.13%), dan naturalis (13.69%). Secara tidak langsung, data menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa pendidikan kimia memiliki potensi dan minat belajar yang baik meskipun belajar kimia butuh kecerdasan spasial agar memudahkan mereka paham konten materi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengidentifikasian profil mahasiswa dalam konteks pembelajaran merupakan unsur penting bagi setiap pengajar, artinya profil tersebut menjadi pedoman dalam meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran kimia di kelas. Kata Kunci: kecerdasan majemuk; pengajaran dan pembelajaran kimia, profil

mahasiswa

PENDAHULUAN

Kecerdasan majemuk merupakan teori yang dilahirkan oleh ahli Psikolog perkembangan yaitu Howard Gadner untuk menunjukkan bahwa setiap orang memiliki berbagai macam level kecerdasan, meskipun proses dan kadar pengembangan yang berbeda (Kurniawan, Rustaman, Kaniawati, & Hasanah, 2017). Kecerdasan adalah kemampuan atau keterampilan yang dapat dikembangkan, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan membuat masalah dan strategi pemecahannya (Constantinescu, 2014; Murray & Moore, 2012; Tai, 2014). Secara pemaknaan, kecerdasan majemuk (multiple intelligences) adalah kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu lebih dari satu, artinya

memandang manusia bukan karena skor tetapi bagaimana kemampuan mereka menyikapi dan menyelesaikan masalah dalam berbagai kondisi (Mustafa, Abu Jado, & Onoz, 2014; Kurniawan dkk., 2017).

Belajar berbasis kebutuhan merupakan bagian penting dalam suatu konsep pengajaran dan pembelajaran (Amitha & Ahm, 2017; Taber, 2012). Gaya pengajaran seorang pengajar berpotensi besar mempengaruhi pola pikir dan pencapaian akademik peserta didik khususnya di lingkungan perguruan tinggi (Tai, 2014; Yazicilar & Güven, 2009). Lingkungan belajar yang tidak memeproleh dukungan dari konsep pengajaran dan pembelajaran mempengaruhi perilaku peserta didik dan mereduksi motivasi mereka (Tehseen &

Page 289: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

278

Ul Hadi, 2015; Yazicilar & Güven, 2009). Salah satu faktor melemahnya proses berpikir peserta didik adalah ketidaksinkronan antara konsep pengajaran dengan level kecerdasan mereka sehingga kemampuan pedagogik pengajar berjalan tidak efektif (Tulbure, 2012; Yalmanci & Gözüm, 2013; Yazicilar & Güven, 2009). Berangkat dari perbedaan level kecerdasan peserta didik, pengajar perlu melakukan analisa dan identifikasi terhadap aspek tersebut agar pengajaran yang dilaksanakan mampu mengakomodir kebutuhan belajar mereka (Murray & Moore, 2012). Disisi lain, peserta didik masih membawa pemikiran bahwa kesulitan memahami ilmu kimia adalah harga mutlak sehingga butuh upaya keras dalam mencapai kriteria memahami (Liang, Chou, & Chiu, 2011; Rahhou, Kaddari, Elachqar, & Oudrhiri, 2015; Seçken, 2010). Padahal, dengan konsep pengajaran dan pembelajaran kimia yang sesuai dengan karakter mereka dan dengan penerapan pola belajar yang tepat, maka pencapaian akademik peserta didik jauh lebih mudah dan paradigma sulit belajar kimia perlahan tereduksi (Taber, 2017; Williams & Lo Fan Hin, 2018; Yalmanci & Gözüm, 2013).

Pembelajaran sains seperti kimia memerlukan pemahaman dan keterampilan yang kuat karena belajar kimia tidak hanya paham pada level makroskopik, tapi pada level partikulat atau submikroskopik dan simbolik (Ekiz dkk., 2011; Liang dkk., 2011; Ott, Brünken, Vogel, & Malone, 2018; Trivic & Milanovic, 2018). Jenis level representasi kimia tersebut merupakan unsur utama dalam belajar kimia bahwa peserta didik tidak hanya paham dengan konten tetapi bagaimana konten tersebut mampu diterapkan dalam kehidupan mereka (Eliyawati, Rohman, & Kadarohman, 2018). Prakonsep yang mereka miliki mampu dirubah oleh pengajaran dan pembelajaran kimia menjadi konsep ilmiah, maksudnya

pengetahuan yang mereka miliki dikonstruk menjadi suatu pemahaman bahwa ilmu kimia merupakan fenomena yang terjadi dalam kehidupan mereka (Karakus, Howard-Jones, & Jay, 2015; Regan, Childs, & Hayes, 2011; Taber, 2001, 2008). Artinya, konsep pengajaran dan pembelajaran kimia memiliki titik temu dengan variasi level kecerdasan peserta didik dengan tujuan memberikan kebebasan berpikir dalam belajar, menumbuhkan keterampilan proses sains, melatih kemampuan pemecahan masalah secara kreatif, meningkatkan motivasi belajar, dan mengasah kemampuan multirepresentasi mereka dalam memahami ilmu kimia (Akkuzu & Akçay, 2011; Taber, 2012; Tehseen & Ul Hadi, 2015; Trivic & Milanovic, 2018; Wardani & Susilogati, 2015).

Sehubungan dengan hal di atas, maka identifikasi level kecerdasan peserta didik perlu dilakukan oleh pengajar sebagai pedoman dalam mengetahui kecenderungan ploa belajardan bagaimana mengarahkan mereka dengan pola belajar yang dimiliki (Akkuzu & Akçay, 2011; Kurniawan dkk., 2017; Yazicilar & Güven, 2009). Selain itu, peserta didik secara tidak langsung mengenali karakter mereka melalui profil yang dibuat sehingga eksplorasi potensi dan kemampuan mereka lebih mudah diarahkan (Gardner & Hatch, 2007; Kask, Ploomipuu, & Rannikmäe, 2015; Kurniawan dkk., 2017). Jadi, belum ada profil mahasiswa yang secara utuh diarsipkan terkait profil karakter dan kecerdasan mereka. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilaksanakan menggunakan penelitian deskriptif untuk mengetahui gambaran level kecerdasan majemuk mahasiswa agar menjadi bahan pembaharuan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan kuantitatif dan kolaboratif juga menjadi bagian dari proses penelitian yang dilakukan.

Page 290: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

279

Gambar 1 Tahapan kegiatan penelitian

Tahap kegiatan dapat dilihat pada

Gambar 1. Tahap pertama yang dilakukan ialah melaksanakan observasi dan wawancara terhadap sampel, kemudian tahap tahap kedua menentukan teknik samplin, pengumpulan dan analisis data yang cocok sesuai kebutuhan penelitian. mempersiapkan instrumen yang akan digunakan sebagai analisis data pada penelitian ini. Tahap ketiga, proses pengindentifikasian dilaksanakan secara bertahap mengingat sampel yang digunakan tidak sedikit dengan menggunakan instrumen standar pengukuran kecerdasan majemuk. Kondisi sampel ini diharapkan mampu mewakili tujuan penelitian agar bersifat representatif. Tahap keempat, merekapitulasi data dan menganalisisnya agar memperoleh gambaran yang tepat. Tahap terakhir yakni membuat laporan penelitian dengan menjelaskan secara keseluruhan level kecerdasan majemuk sampel baik dalam bentuk grafik statistik ataupun penjelasan secara jelas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis karakter dan jenis kecerdasan peserta didik (mahasiswa) merupakan bagian terpenting yang harus dilakukan oleh pengajar sebelum

memulai proses pengajaran di kelas. Sehingga, perlunya mengetahui hal-hal tersebut dengan tujuan mempermudah pengajar dalam mendesain suatu pembelajaran yang ideal (Akkuzu & Akçay, 2011). Kegiatan menganalisis pola belajar atau tingkat kecerdasan mahasiswa dengan menggunakan instrumen yang baku atau standar (Brandriet, Xu, Bretz, & Lewis, 2011). Profil ini dinilai sangat penting dan berpengaruh terhadap proses perkuliahan di kelas. Sehingga, analsis dan kajian secara mendalam terus dilakukan agar hasil riset memiliki nilai representatif yang kuat.

Menganalisis karakter dan tingkat kecerdasan mahasiswa dengan menggunakan instrumen yang valid dan dapat dipercaya merupakan bentuk perwujudan nilai akuntabilitas adanya transparansi dalam penyebaran instrumen tersebut. Instrumen yang digunakan telah dipakai pada kajian disertasi dan beberapa penelitian, sehingga instrumen yang digunakan memiliki tingkat analisis yang dalam dan terpercaya. Instrumen yang diberikan berpotensi merubah pola pikir mahasiswa tentang dirinya dalam memahami konten kimia.

Observasi dan

Wawancara

Menentukan tenik

samplin,

pengumpulan

data, dan analisis

data

Melaksanakan

proses identifikasi

level kecerdasan

majemuk sampel

Merekapitulasi

data dan

meninjau

kecenderungan

level kecerdasan

majemuk mereka

Membuat laporan

dan profil

kecerdasan

majemuk

Page 291: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

280

(a)

(b) Gambar 2 (a) dan (b) Penyebaran

instrumen penelitian Profil yang ditampilkan tidak

hanya kesimpulan mengenai karakter dan tingkat kecerdasan mahasiswa, tetapi didalam profil tersebut terdapat lampiran rekapan data hasil analisis yang disertai dengan grafik kecenderungan karakter dan tingkat kecerdasan mereka secara keseluruhan.

Gambar 3 Kecenderungan Multiple

Intelligence (MI)

Gambar 3 menunjukkan profil kecerdasan majemuk angkatan 2014, 2015, dan 2016. Angkatan yang disebutkan tersebut direkapitulasi dalam satu data grafik karena ketiganya memiliki dominansi jenis kecerdasan yang sama yaitu kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Data di atas jelas menunjukkan bahwa jenis kecerdasan “intrapersonal” disetiap angkatan memiliki persentase yang tertinggi berturut-turut 17,45%; 16,94%; 17,21%. Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan seseorang memahami diri sendiri dan bertindak dengan pemahaman tersebut. Artinya, setiap individu memiliki cita rasa dan kesukaan tersendiri dalam belajar kimia, kemudian dengan sangat mengenali dirinya sendiri berarti secara langsung dia mampu mengenali kekuatan, motivasi dan keterbatasan dirinya dalam melakukan sesuatu. Jika menyinggung aspek “motivasi” (Akkuzu & Akçay, 2011; Aubrecht, 2018), dalam proses pengajaran dan pembelajaran kimia aspek motivasi menjadi hal yang penting. Hal ini dikarenakan bahwa dalam proses belajar kimia mahasiswa tidak hanya butuh kognitif yang terstruktur untuk bisa memahami materi, tetapi mereka (mahasiswa) butuh kemampuan imajinasi dan daya nalar yang kuat sehingga pengajar perlu melakukan apersepsi dan motivasi agar kemampuan tersebut mampu disalurkan mahasiswa selama proses pembelajaran. Kenapa? Mahasiswa yang memiliki kecerdasan intrapersonal (Kurniawan dkk., 2017) yang tinggi berarti mereka termasuk individu yang sulit berkomunikasi terhadap lingkungannya, sehingga untuk menumbuhkan keinginan belajar yang baik mereka berusaha keras untuk memotivasi diri sendiri dengan atribut lingkungan yang menyertainya.

Page 292: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

281

Gambar 4 Kecenderungan Multiple

Intelligence (MI) pada angkatan 2017 memiliki kriteria yang berbeda yakni pada aspek “linguistik” dan “matematis”

Gambar 4 adalah visualisasi

kecenderungan MI pada angkatan 2017, di mana pada angkatan sebelumnya mereka memiliki kesamaan kecenderungan kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis sedangkan 2017 hanya berbeda pada linguistik dan matematis. Dari gambar yang terlihat bahwa jenis kecerdasan “interpersonal” dan “intrapersonal” memiliki persentase tertinggi yakni masing-masing 16,52% dan 16,08%. Artinya, mahasiswa angkatan 2017 memiliki potensi komunikasi yang baik dan motivasi yang tinggi. Hal ini karena interpersonal diindikasi sebagai kemampuan seseorang memahami dan menilai kondisi psikologi orang lain sehingga mahasiswa dengan kecerdasan ini memiliki teknik komunikasi yang baik dalam proses pembelajaran. Motivasi dihubungkan dengan kecenderungan intrapersonal, artinya mahasiswa yang berada pada level ini (intrapersonal) memiliki kemampuan memahami diri sendiri dan mandiri sehingga memotivasi dinilai mudah dilakukan. Kecerdasan yang disebutkan didukung dengan kecenderungan level yang lain yani linguistik dan matematis. Secara konsep pembelajaran kimia, profil multiple

intelligence mahasiswa berpengaruh terhadap keputusan pengajar dalam

mendesain pola pengajaran yang sesuai kebutuhan mereka di kelas. Tabel 1 Contoh Profil Level kecerdasan majemuk mahasiswa

Profil Level Kecerdasan Majemuk

(Multiple Intelligences)

Nama : Sekar Ramadhanty

NIM : 1610120120011

Prodi : Pendidikan Kimia

Instansi : FKIP/ULM

Multiple Intelligences

#1 Interpersonal

Anda memiliki kemampuan memahami dan membedakan suasana hati, kehendak, motivasi dan perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, maupun gerak isyarat tertentu. Orang yang memiliki kemampuan tinggi pada kecerdasan ini dapat memahami orang lain, sering menjadi pemimpin diantara teman-temannya, mengorganisasi dan berkomunikasi dengan tepat.

#2 Linguistic

Anda berkemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis. Kecerdasan ini meliputi kemampuan menggunakan tata bahasa, bunyi bahasa, makna bahasa, dan penggunaan praktis bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari kecerdasan bahasa bermanfaat untuk berbicara, mendengarkan, membaca dan menulis.

#3 Intrapersonal

Anda memiliki kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami kekuatan dan keterbatasan diri, kesadaran akan suasana hati, kehendak, motivasi, sifat, keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, dan menghargai diri.

#4 Naturalis

Anda memiliki kemampuan untuk menunjukkan rasa empati, pengenalan, dan pemahaman tentang kehidupan dan alam (tanaman, hewan, geologi) serta memiliki pemahaman sederhana dan memahami hakikat alam.

Tabel 1 merupakan salah satu

contoh profil level kecerdasan majemuk

Page 293: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

282

mahasiswa pendidikan kimia, di mana profil ini menjadi pedoman bagi pengajar dalam mengidentifikasi perbedaan pola belajar setiap mahasiswa. Tabel tersebut akan menjelaskan setiap detail karakter atau kecenderungan MI setiap mahasiswa. Rekapitulasi kecenderungan MI secara keseluruhan menjadi bagian penting karena pengajar melakukan evaluasi dan manajemen kelas berbasis data MI mahasiswa yang dikumpulkan.

Secara keseluruhan berdasarkan gambar 5 bahwa rata-rata mahasiswa pendidikan kimia memiliki kecenderungan level kecerdasan yaitu, interpersonal 14,94%, intrapersonal 17,13%, naturalis 13,69%, dan kinsetetik 14,15% sehingga data ini menjadi bahan evaluasi bagi pengajar agar mengidentifikasi setiap potensi dan kemampuan kognitif mahasiswa. Potensi dan kemampuan kognitif seperti bagaimana mereka mengetahui jenis level kecerdasan mereka, model mental dalam memahami konten kimia, pola pikir, motivasi, dan karakter mereka sebagai modal dalam menghadapi arus teknologi pembelajaran yang dinamis.

Gambar 5 Persentase Rata-rata

Kecenderungan Multiple Intelligence

Secara Keseluruhan SIMPULAN

Profil ini menjadi cara yang efektif dalam mengembangkan potensi mahasiswa sebagai calon guru yang kompeten, unggul, berkarakter dan berdaya saing. Proses analisis yang dilakukan bersifat berkelanjutan dan

terus dipantau sebagai pembaharuan terhadap sikap dan perilaku mahasiswa selama masa studi dikampus dan sampai mereka terjun kedalam profesi sebagai pengajar. Kemudian, profil kecerdasan majemuk mahasiswa bagi pengajar yaitu mengetahui potensi dan kemampuan kognitif mahasiswa sebagai calon pengajar. Profil Multiple Intelligence

(MI) yang dianalisa juga menjadi basis peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran kimia di lingkungan Perguruan Tinggi agar mneghasilkan lulusan yang profesional, berintegritas, kreatif, dan inovatif. Selain itu, hasil analisis yang dilakukan secara tidak langsung juga mendukung visi Prodi Pendidikan Kimia yakni pelopor dalam inovasi pembelajaran kimia. Selain itu, mahasiswa bisa merefleksi dirinya sendiri sebagai calon pengajar terkait sikap dan perilaku mereka dalam pengajaran. Sikap dan perilaku mereka akan berpengaruh terhadap gaya pengajaran mereka kelak saat di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA Mustafa, S., Abu Jado, S., & Onoz, S..

(2014). Types of multiple intelligences among undergraduate students at yarmouk university in light of gardner’s theory. International Journal of

Humanities and Social Science, 4(6), 140–153.

Akkuzu, N., & Akçay, H. (2011). The design of a learning environment based on the theory of multiple intelligence and the study its effectiveness on the achievements, attitudes and retention of students. Procedia Computer Science, 3, 1003–1008.

Amitha, V., & Ahm, V. (2017). Multiple intelligence approach in the school curriculum : A review article, 3(3), 324–327.

Aubrecht, K. B. (2018). Teaching relevant climate change topics in

Page 294: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

283

undergraduate chemistry courses: Motivations, student misconceptions, and resources. Current Opinion in Green and

Sustainable Chemistry, 13, 44–49. Brandriet, A. R., Xu, X., Bretz, S. L., &

Lewis, J. E. (2011). Diagnosing changes in attitude in first-year college chemistry students with a shortened version of Bauer’s semantic differential. Chemistry

Education Research and Practice, 12(2), 271–278.

Constantinescu, R.-S. (2014). The theory of multiple intelligences-applications in mentoring beginning teachers. Procedia -

Social and Behavioral Sciences, 116, 3345–3349.

Ekiz, B., Tarkin, A., Bektas, O., Tuysuz, M., Kutucu, E. S., & Uzuntiryaki, E. (2011). Pre-service chemistry teachers’ understanding of phase changes and dissolution at macroscopic, symbolic, and microscopic levels. Procedia -

Social and Behavioral Sciences, 15, 452–455.

Eliyawati, Rohman, I., & Kadarohman, A. (2018). The effect of learning multimedia on students’ understanding of macroscopic, sub-microscopic, and symbolic levels in electrolyte and nonelectrolyte. Journal of Physics:

Conference Series, 1013(1). Gardner, H., & Hatch, T. (2007).

Educational implications of the theory of multiple intelligences. Educational Researcher, 18(8), 4–10.

Karakus, O., Howard-Jones, P. A., & Jay, T. (2015). Primary and secondary school teachers’ knowledge and misconceptions about the brain in turkey. Procedia - Social and

Behavioral Sciences, 174, 1933–1940.

Kask, K., Ploomipuu, I., & Rannikmäe, M. (2015). Changes in cognitive

skills during a gymnasium chemistry course. Procedia -

Social and Behavioral Sciences, 177(July 2014), 367–371.

Kurniawan, A., Rustaman, N. Y., Kaniawati, I., & Hasanah, L. (2017). Profile of cognitive ability and multiple intelligence of vocational students in application of electric energy conservation. Journal of Physics: Conference

Series, 895(1). Liang, J. C., Chou, C. C., & Chiu, M. H.

(2011). Student test performances on behavior of gas particles and mismatch of teacher predictions. Chemistry Education Research

and Practice, 12(2), 238–250. Murray, S., & Moore, K. (2012).

Inclusion through multiple intelligences. Journal of Student

Engagement: Education …, 2(1), 42–48. Retrieved from http://ro.uow.edu.au/jseem/vol2/iss1/8/

Ott, N., Brünken, R., Vogel, M., & Malone, S. (2018). Multiple symbolic representations: The combination of formula and text supports problem solving in the mathematical field of propositional logic. Learning and

Instruction, 58(April), 88–105. Rahhou, A., Kaddari, F., Elachqar, A., &

Oudrhiri, M. (2015). Infinity small concepts in the learning of chemistry. Procedia - Social and

Behavioral Sciences, 191, 1337–1343.

Regan, Á., Childs, P., & Hayes, S. (2011). The use of an intervention programme to improve undergraduatestudents’ chemical knowledge and address their misconceptions. Chemistry

Education Research and Practice, 12(2), 219–227.

Seçken, N. (2010). Identifying student’s misconceptions about SALT. Procedia - Social and Behavioral

Page 295: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

284

Sciences, 2(2), 234–245. Sugiyono. (2006). Metode penelitian

kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Taber, K. S. (2001). The mismatch between assumed prior knowledge and the learner’s conceptions: A typology of learning impediments. Educational Studies, 27(2), 159–171.

Taber, K. S. (2008). Towards a

curricular model of the nature of

science. Science and Education (Vol. 17).

Taber, K. S. (2017). Identifying research foci to progress chemistry education as a field. Educación

Química, 28(2), 66–73. Taber, K. S. (2012). Building the

structural concepts of chemistry: some considerations from educational research. Chem. Educ.

Res. Pract., 2(2), 123–158. Tai, F.-M. (2014). Exploring multiple

intelligences. The Journal of

Human Resource and Adult

Learning, 10 (1), 11–22. Tehseen, S., & Ul Hadi, N. (2015).

Factors influencing teachers’ performance and retention. Mediterranean Journal of Social

Sciences, (March). Trivic, D. D., & Milanovic, V. D. (2018).

The macroscopic, submicroscopic and symbolic level in explanations of a chemical reaction provided by thirteen-year olds. Journal of the

Serbian Chemical Society, 83(10), 1177–1192.

Tulbure, C. (2012). Learning styles, teaching strategies and academic achievement in higher education: A cross-sectional investigation. Procedia - Social and Behavioral

Sciences, 33, 398–402. Wardani, S., & Susilogati, S. (2015).

Inquiry in the laboratory to improve the multiple intelligences of student as future chemistry teacher. International Conference

on Mathematics, Science and

Education 2015 (ICMSE 2015), 2015 (ICMSE).

Williams, D. P., & Lo Fan Hin, S. (2018). Measuring the impact of context and problem based learning approaches on students’ perceived levels of importance of transferable & workplace skills. New Directions in the Teaching of

Physical Sciences, 12(12), 1–8. Yalmanci, S. G., & Gözüm, A. İ. C.

(2013). The effects of multiple intelligence theory based teaching on students’ achievement and retention of knowledge (example of the enzymes subject). International Journal on New

Trends in Education & Their

Implications (IJONTE), 4(3), 27–36.

Yazicilar, Ö., & Güven, B. (2009). The effects of learning style activities on academic achievement, attitudes and recall level. Procedia

- Social and Behavioral Sciences, 1(1), 2578–2583.

Page 296: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

285

Service-Learning sebagai Alternatif Metode Pembelajaran Mahasiswa dalam

Pengabdian kepada Masyarakat

Studi Kasus : IFSTS-L Yogyakarta, Halmahera Utara, dan Sumba Tengah

Paulus Bawole dan Kristian Oentoro

Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta [email protected]

Abstrak Salah satu Tri dharma perguruan tinggi yang wajib dilaksanakan oleh civitas academika adalah Pengabdian kepada masyarakat. Ada banyak metode yang diterapkan terkait dengan pengabdian masyarakat. Service–learning adalah salah satu metode pemberdayaan masyarakat yang mengitegrasikan kegiatan akademis pada pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya memberikan kesempatan mahasiswa melakukan refleksi tentang apa yang sudah mereka implementasikan. Paper ini merupakan hasil penelitian aksi yang membagikan pengalaman melakukan pengabdian pada masyarakat. Metode yang diterapkan adalah metode studi multi-kasus dengan terlibat langsung pada beberapa aktivitas yang sudah dilakukan. Kata Kunci: Service-learning, pemberdayaan, pengabdian

PENDAHULUAN

Salah satu Tridharma Perguruan Tinggi yang wajib dilaksanakan oleh Sivitas Akademika adalah Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sivitas Akademika yang terdiri dari Dosen dan Mahasiswa melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat memiliki peran penting bagi pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Di sisi lain, kegiatan pengabdian kepada masyarakat bagi mahasiswa juga merupakan ajang untuk belajar, khususnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan kemampuan dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat bagi masyarakat.

Peran Perguruan Tinggi di Indonesia diharapkan oleh pemerintah dapat membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Menurut Soesatyo (2018), kegiatan sivitas akademika di tengah masyarakat juga dapat diartikan sebagai laboratorium kehidupan untuk belajar

dan menghasilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif.

Service-learning adalah salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat diterapkan Mahasiswa dan Dosen dalam melaksanakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat. Karakteristik dasar dalam penerapan metode service–learning menurut Regina (2017) dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu : berfokus pencapaian efisiensi dan efektifitas bersama dengan komunitas, keterlibatan mahasiswa dan dosen sebagai supervisor secara aktif dalam seluruh tahap pelaksanaan, dan keterhubungan kegiatan dengan konten pembelajaran.

Proses pembelajaran Mahasiswa dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta salah satunya dilaksanakan melalui kegiatan International Field School of Thematic

Service-Learning (IFSTS-L) yang melibatkan mahasiswa mancanegara. Penerapan metode service-learning dalam IFSTS-L bertujuan untuk melakukan kombinasi antara proses pembelajaran akademik yang sudah

Page 297: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

286

dilakukan mahasiswa selama 6 semester, kemudian diimplementasikan untuk memberdayakan masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Dalam memberdayakan masyarakat proses yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen adalah belajar dari masyarakat (learning from the

community) untuk menemukan permasalahan dan potensi yang ada, Setelah itu mahasiswa dan dosen melayani masyarakat (service the

community) dengan mengimplementasikan kapabiltas akademik mereka untuk memecahkan permasalahan dan meningkatkan potensi yang ada (Bawole, Darsono, Prawoto, & Guspara, 2015).

Kajian service-learning sebagai metode pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan terhadap para mahasiswa IFSTS-L di Kota Yogyakarta, Kabupaten Halmahera Utara, dan Kabupaten Sumba Tengah. Ketiga lokasi ini (Gambar 1.) memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masyarakat, namun kegiatan pengabdian masyarakat di ketiga lokasi tersebut sama-sama menggunakan metode service-learning.

Gambar 1 Lokasi kegiatan IFSTS-L

UKDW Sumber gambar : merdeka.com

Berbagai kegiatan pengabdian

kepada masyarakat yang dilakukan mahasiswa IFSTS-L di lokasi didampingi oleh Dosen sebagai pembimbing. Peran mahasiswa dalam IFSTS-L tidak hanya belajar di tengah masyarakat akan tetapi diharapkan dapat menemukan problem dan potensi lokal sehingga mampu mendukung proses pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.

Mahasiswa dengan supervisi aktif dari dosen dalam rangkaian kegiatan IFSTS-L mendapatkan tugas untuk belajar (learning) dari masyarakat beserta lingkungan tempat tinggal merekam kemudian menggelar program pemberdayaan dan/atau memberikan rekomendasi sebagai proses pelayanan (service) kepada masyarakat. (Deloitte and Lingnan University, 2011). Oleh karena itu, penelitian dalam kegiatan mahasiswa IFSTS-L bertujuan untuk mengetahui masing-masing temuan dan rekomendasi serta melakukan perbandingan di ketiga lokasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan metode pembelajaran bagi Mahasiswa dalam pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat.

METODE

Penelitian yang dilakukan dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat dalam IFSTS-L menggunakan metode studi multi-kasus yang merupakan pengembangan dari metode studi kasus. Menurut Rahardjo (2017), metode studi kasus merupakan kajian yang bersifat intensif, terinci dan mendalam pada sebuah program, peristiwa, dan aktivitas yang dilakukan oleh individu, kelompok, institusi dan/atau organisasi. Melalui studi multi-kasus maka kajian dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antar kasus yang dalam penelitian ini adalah kegiatan PkM Mahasiswa IFSTS-L di Kota Yogyakarta, Kabupaten Halmahera Utara, dan Kabupaten Sumba Tengah.

Pembahasan dalam penelitian studi multi-kasus ini dilakukan dengan analisis secara kualitatif terhadap ketiga kegiatan PkM mahasiswa dalam IFSTS-L di tiga lokasi. Peneliti juga terlibat langsung dan intensif dalam kegiatan tersebut sebagai dosen pembimbing atau supervisor aktif agar mendapatkan data dan informasi secara rinci dan mendalam. Kegiatan IFSTS-L menerapkan metode

Yogyakarta

Sumba Tengah

Halmahera Utara

Page 298: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

287

service-learning dalam proses pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat (Gambar 2.), berikut adalah uraian setiap tahap : a. Pembekalan dan pelatihan (coaching)

untuk Mahasiswa dilakukan bukan hanya oleh Dosen dari beberapa ahli yang dibutuhkan untuk program. Materi yang diberikan adalah tentang berbagai pengetahuan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan metode service-

learning. b. Penerjunan Mahasiswa IFSTS-L ke

dalam masyarakat berpenghasilan rendah baik di kota maupun di desa.

Gambar 2 Proses Pelaksanaan PkM

dengan Metode Service–Learning. Sumber: Paparan Bawole pada

International Conference di

Taiwan, 2016

c. Pelaksanaan awal kegiatan IFSTS-L dengan metode service-learning di lapangan, yakni dengan rendah hati belajar (learning) dari masyarakat sambil melakukan identifikasi dan observasi yang ada pada wilayah yang menjadi target area pengabdian kepada masyarakat.

d. Pembelajaran di lokasi PkM tentang kehidupan dan penghidupan masyarakat yang akan dilayani, sampai menemukan permasalahan dan potensi yang dihadapi

masyarakat. Pendekatan terhadap masyarakat terutama kepada tokoh-tokoh penting masyarakat harus dilakukan. Mahasiswa juga belajar tentang kegiatan sehari-hari masyarakat, tidak hanya dari orang dewasa, tetapi juga dari remaja dan anak-anak.

e. Pelaksanakan program pelayanan (service) kepada masyarakat dengan berbagai program pemberdayaan (PkM) sehingga masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Pada saat mahasiswa melaksanakan PkM dengan metode service-learning, dosen sebagai supervisor memberikan pengawasan dan saran agar program Pengabdian kepada Masyarakat dapat dilakukan dengan hasil yang optimal.

f. Di akhir program pemberdayaan masyarakat mahasiswa melakukan audiensi dengan Bupati atau Walikota sebagai pimpinan Pemerintah Daerah diharapkan terkait dengan semua kegiatan yang sudah dilakukan mahasiswa di daerah miskin. Melalui audisensi tersebut, diharapkan pemerintah daerah akan memberikan perhatian khusus pada masyarakat berpenghasilan rendah Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah miskin dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan mereka.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengabdian Masyarakat dengan

metode service-learning di Kampung

Kricak - Kota Yogyakarta (IFSTS-L,

2010)

Pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa di Kampong Kricak berfokus pada sejarah lembaga sosial; bagaimana lembaga sosial tersebut muncul dan bagaimana fungsinya. Mahasiswa harus mengidentifikasi apa yang membuat lembaga-lembaga ini

Page 299: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

288

berhasil, kekurangan mereka dan karenanya memastikan bagaimana mereka dapat digunakan untuk meningkatkan ekonomi, hubungan sosial, dan lingkungan masyarakat.

Temuan

Lingkungan Hidup

Mahasiswa telah menemukan bahwa masing-masing kelompok sosial yang disebutkan di atas ikut serta dalam kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan di sekitar kampung mereka. Setiap kelompok melakukan pembersihan di sekitar area lokal mereka dan secara bergiliran membersihkan ruang komunal. Mahasiswa mengamati bahwa sebagian besar kelompok wanita yang berpartisipasi dalam pembersihan di sekitar jalan-jalan lokal sedangkan kelompok pria mengambil peran membersihkan sungai sebelum acara-acara komunitas besar. Ekonomi

Lembaga-lembaga sosial telah terbukti memberikan dukungan ekonomi kepada anggota masyarakat di saat dibutuhkan melalui berbagai program yang sudah mapan. Namun program-program ini telah terancam dalam beberapa tahun terakhir oleh salah urus ekonomi karena kurangnya keterampilan akuntansi dan manajemen daripada niat jahat. Hubungan sosial

Modal sosial yang melekat dalam Dasawisma, Ibu - Ibu dan Bapak - Bapak telah ditemukan sebagai manfaat paling berharga yang berasal dari lembaga sosial. Melalui pembangunan hubungan sosial masyarakat telah mampu menghasilkan sistem keamanannya sendiri, mendanai sebagian dari kebutuhan pembangunannya sendiri dan memberikan bantuan kepada penduduk pada saat dibutuhkan. Dengan demikian, lembaga-lembaga tingkat RT menyajikan potensi besar jika digunakan oleh pembuat kebijakan pemerintah.

Gambar 3 Aktivitas Mahasiswa dan Masyarakat di kampung Kricak

Sumber: Dokumentasi IFSTS-L 2010

Rekomendasi

Bisnis

• Dukungan pemerintah secara intensif untuk membangun bisnis komunitas harus dilaksanakan.

• Pendampingang dengan pelatihan, penilaian kelayakan, kembangkan perangkat keterampilan yang sudah ada sebelumnya.

• Penyediaan lokakarya pemerintah yang mengajarkan praktik akuntansi dasar dan keterampilan manajemen untuk mendukung fungsi ekonomi

(arisan, simpan pinjam, kas) dari lembaga sosial (Ibu Ibu, Bapak Bapak, Dasawisma).

Komunikasi

• Mendorong terciptanya forum di mana anggota masyarakat dapat dengan bebas mengekspresikan ide satu sama lain

• Pemerintah perlu memperbaiki saluran komunikasi pemerintah-kampung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara efektif

Page 300: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

289

• Peluang bagi pemerintah untuk menargetkan institusi sosial dan menyebarkan informasi kesejahteraan masyarakat

• Mendorong peningkatan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam masalah yang berkaitan dengan anak-anak dan orang tua.

Pengabdian Masyarakat dengan

Metode service-learning di Desa

Tagalaya-Tobelo, Kabupaten

Halmahera Utara (IFSTS-L, 2013) Pulau Tagalaya yang terletak

kurang lebih 5 kilometer dari tobelo memiliki jumlah penduduk sebanyak 539 jiwa. Mahasiswa kami tinggal bersama masyarakat setempat di pulau Tagalaya selama 4 minggu. Ketika disana, mahasiswa kami bertemu dengan banyak penduduk desa. Mereka berkonsentrasi pada beberapa bidang yang ditemukan pada saat mereka belajar (Learning) dari masyarakat dengan melakukan identifikasi dan observasi lapangan.

Hasil observasi mahasiswa di masyarakat Tagalaya membuktikan bahwa sengketa tanah yang terjadi di Tagalaya sangat berpengaruh terhadap berkurangnya kedatangan wisatawan, tenaga kerja lokal, kebersihan, praktik kerajinan tangan tradisional dan

kesadaran terhadap lingkungan yang berkelajutan.

Temuan

Kesehatan

Kesehatan di desa Tagalaya disediakan oleh Pustu, atau Puskesmas Pembantu. Di Pustu tersebut terdapat seorang Mantri yang menyediakan layanan sederhana seperti cek kesehatan, pengobatan dan melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan. Masalah yang menjadi perhatian adalah kurangnya fasilitas di Puskesmas. Mantri juga mengungkapkan bahwa Puskesmas membutuhkan tabung oksigen dan regulatoroksigen, juga kurangnya listrik untuk kulkas yang digunakan untuk menyimpan obat vaksinasi dan obat-obat tertentu.

Pariwisata

Tagalaya merupakan pulau dengan letak paling jauh dari pelabuhan Tobelo, dan paling kurang berkembang. Pulau ini memiliki pantai yang indah dan dunia bawah laut yang menarik, dan juga melimpahnya jenis ikan dan terumbu karang. Area yang akan dijadikan objek pariwisata adalah pantai dan permukiman desa. Sebagai akibatnya, kebersihan dan kesehatan menjadi hal yang sangat penting, terutama kebersihan.

Gambar 4 Pemberdayaan masyarakat di Desa Tagalaya–Tobelo, Kabupaten

Halmahera Utara (Sumber: Dokumentasi IFSTS-L 2013)

Page 301: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

290

Lingkungan

Dampak negatif dari sampah plastik di laut sudah didokumentasikan dengan baik, tetapi terkadang sulit untuk melihatnya dalam tingkat local. Di beberapa bagian laut, jumlah sampah plastic melebihi jumlah populasi makhluk mikroskopis laut paling kecil, dan ada pula pulau yang terbuat dari sampah plastic yang mengapung di lautan yang berada di belahan bumi bagian utara. Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang diberikan oleh mahasiswa terkait dengan program pemberdayaan masyarakat IFSTS-L di Tobelo dapat dilihat dibawah ini: • Salah komunikasi antara pemerintah

dan masyrakat Tagalaya harus menjadi perhatian. Masyarakat tidak mendapat keuntungan dan tidak diberdayakan karena kurangnya pengetahuan serta partisipasi masyarakat pada pengembangan tanah mereka.

• Pengembangan berbasis masyarakat, dilakukan lebih daripada hanya menjual kerajinan atau pementasan, tapi harus memberdayakan masyarakat sebagai aktor utama pariwisata.

• Mahasiswa merekomendasikan pendampingan pada Grup Seni dan budaya dengan nama TAGA'AYA HORIMOI dan menciptakan pasar alternatif untuk hasil kerajinan.

• Program pendampingan ini dapat memberdayakan masyarakat dan melanjutkan latihan untuk tradisi “adat” termasuk kerajinan, seni musik dan tari.

• Kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam kelompok masyarakat dapat menjadi kesempatan untuk menjual kerajinan tangan di kantor Dinas Pariwisata, dua toko Souvenir di Tobelo maupun online.

• Dengan menggunakan program pembelajaran pembuatan proposal oleh kelompok-kelompok, masyarakat dapat membuat proposal sendiri untuk diajukan pada pemerintah sesuai dengan anggaran dana yang mereka butuhkan.

Pengabdian Masyarakat dengan

Metode service-learning di Kampung

Ngadu Radi, Kabupaten Sumba

Tengah (IFSTS-L, 2016) Ngadu Radi adalah salah satu

kampung adat di Kabupaten Sumba Tengah yang terletak di Desa Anakalang. Sebagian besar penduduk Kampung Ngadu Radi bekerja di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan. Selain mempertahankan sistem gotong royong, sistem barter secara tradisional masih berlaku di kampung ini. Mahasiswa IFSTS-L di Kampung Ngadu Radi juga mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai perayaan dan acara adat seperti pernikahan, kematian dan upacara tradisional lainnya. Selama kegiatan IFSTS-L mahasiswa tinggal bersama dengan masyarakat di rumah adat, serta menghasilkan beberapa temuan dan rekomendasi, antara lain:

Temuan

Tenun Ikat

Mahasiswa telah menemukan bahwa pengetahuan lokal tentang proses membuat tenun ikat semakin menghilang. Salah satunya dengan melakukan pendataan perajin tenun yang hanya berjumlah 3 orang dari kaum lanjut usia (lansia). Meskipun begitu ketiga perajin tenun tersebut tidak memiliki kesempatan untuk membagi keterampilan menenun kepada generasi muda. Mahasiswa juga melakukan pertemuan dengan warga dan memahami beberapa permasalahan seperti biaya material, kurangnya koordinasi kelompok, tidak terawatnya peralatan tenun dan kurangnya niat generasi muda yang menyebabkan terhambatnya

Page 302: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

291

regenerasi keahlian tenun ikat. Kain tenun ikat khas Sumba Tengah terakhir kali ditenun dan dihasilkan di kampung ini pada tahun 2009.

Pertanian

Petani merupakan salah satu lapangan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk di Kampung Ngadu Radi. Padi merupakan komoditas utama, selain kopi, buah dan sayuran. Masa tanam dan panen padi hanya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, yakni pada musim penghujan.

Hal ini disebabkan karena kurangnya saluran irigasi ke lahan-lahan petani. Berdasarkan hasil diskusi mahasiswa dengan kelompok petani, perubahan iklim menjadi salah satu penyebab yang dikhawatirkan akan mengurangi produktivitas di sektor pertanian. Di samping itu, kelompok petani belum terdaftar oleh Pemerintah Daerah tidak mendapatkan berbagai bantuan, salah satunya adalah traktor untuk mempercepat proses bertani.

Gambar 5 Pemberdayaan masyarakat di Kampung Ngadu Radi, Kab. Sumba Tengah

(Sumber: Dokumentasi IFSTS-L 2016)

Pariwisata

Mahasiswa mendapat informasi bahwa Kampung Ngadu Radi pada tahun 80-an sempat menjadi destinasi wisata adat, akan tetapi seiring dengan pergantian bahan atap rumah tradisional dari alang-alang menjadi seng menurunkan minat wisatawan. Mahasiswa juga menyadari bahwa Kampung Ngadu Radi memiliki lokasi yang strategis, dekat dengan jalan, sawah, kebun dan sumber mata air, sehingga sangat cocok apabila dikembangkan menjadi kampung wisata. Keramahtamahan penduduk Kampung Ngadu Radi juga menjadi salah satu kekuatan pengembangan konsep pariwisata, di mana wisatawan bisa berkunjung untuk bermalam dan beraktivitas dengan masyarakat lokal

Rekomendasi

Berdasarkan proses pemberdayaan masyarakat dengan metode service-

learning maka, mahasiswa membuat beberapa rekomendasi, antara lain :

Sistem Pengairan

• Regulasi terkait pengelolaan air limbah rumah tangga dan sanitasi agar tidak mencemari lingkungan.

• Penelitian dan pengembangan air tadah hujan yang layak minum/ digunakan bagi masyarakat.

Tradisi dan Budaya

• Pembentukan kelompok perajin tenun ikat Sumba dan melakukan pengembangan organisasi sebagai bentuk regenerasi perajin kain tenun tradisional.

Page 303: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

292

• Penyuluhan terkait manajemen keuangan rumah tangga, khususnya dalam memberikan panduan antara biaya pendidikan dan biaya untuk upacara adat.

SIMPULAN

Disimpulkan bahwa implementasi program pemberdayaan dengan metode service-learning sebagai alternatif pendekatan desain terintegrasi dapat digunakan untuk mengembangkan permukiman berpenghasilan rendah yang tersedia di kota. Kesimpulan yang bisa ditarik antara lain adalah sebagai berikut: 1) Pengabdian masyarakat dengan metode service-learning adalah salah satu strategi pengembangan akademisi (Mahasiswa dan Dosen) secara aktif dengan mengapresiasi positif terhadap upaya masyarakat miskin dalam mengembangkan permukiman mereka. 2) Proses implementasi pengabdian masyarakat dengan metode service-

learning yang dimulai dengan pembelajaran mendalam untuk kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah kumuh di kota atau di desa-desa yang miskin adalah proses pembelajaran yang dapat membuka cakrawala mahasiswa tentang realita kehidupan masyarakat yang terpinggirkan. 3) Kegiatan Pengabdian (PkM) kepada masyarakat berpenghasilan rendah dilakukan setelah mahasiswa belajar dari masyarakat tentang kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian pengabdian masyarakat yang dilakukan sesuai dengan karakter masyarakat beserta permukiman mereka. Dan 4) Melalui program pemberdayaan masyarakat dengan metode service-learning, masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin dapat lebih mudah mengenali dan memahami potensi dan masalah permukiman mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Bawole P., Darsono, P., Prawoto, E.A., & Guspara W. (2015). The development pf low-income settlement by community driven strategy and introducing batik home industry. Journal of US-

China Public Administration,

12(11), 876-889. Bawole, P. (2016). The power of student

and community engagement in service-learning activity for neighborhood planning and design along the riverbanks. The 5th Asia-

Pacific Regional Conference on

Service – Learning. Deloitte and Lingnan University. (2011).

A review of the village adoption

project in yunan, china 2007 –

2010: A manual for service

learning and china’s rural development. Deloitte Touche Tohmatsu and Lingnan University, Honkong: HK-012ENG-11.

Jurusan Arsitektur, FT-UKDW.(2010) The strengthening the environment

quality of urban kampong.

Laporan Pengabdian Masyarakat

yang tidak dipublikasikan. Juni 2010

Jurusan Arsitektur, FAD - UKDW. (2013) Global network for local

transformation. laporan

pengabdian masyarakat yang

tidak dipublikasikan. Juni 2013

Jurusan Arsitektur, FAD - UKDW. (2016) Membangun Potensi Lokal

Menuju Desa Wisata yang

Berkelanjutan. Laporan

Pengabdian Masyarakat yang

tidak dipublikasikan. Juni 2016

Regina, C. (2017). Service-learning in

central and eastern europe

handbook for engaged teachers

and students. Mexico: Archivo Digital.

Rahardjo, M. (2017). Studi kasus dalam

penelitian kualitatif: konsep dan

prosedurnya. Malang: Program

Page 304: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

293

Pasca sarjana UIN Maulana Malik Ibrahim.

Soesatyo, B. (2018). Peran perguruan

tinggi dalam pembangunan

indonesia. Artikel online diunduh dari https:// kumparan.com/bambang-

soesatyo/peran-perguruan-tinggi-dalam-pembangunan-indonesia pada 26 Februari 2019.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Page 305: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

294

Pengintegrasian Kearifan Lokal Kalimantan Selatan

dalam Pembelajaran Fisika

Misbah1 dan Zainal Fuad2

1Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat 2Madrasah Tsanawiyah Negeri 5 Hulu Sungai Utara

[email protected]

Abstrak

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengintegrasian kearifan lokal Kalimantan Selatan dalam proses pembelajaran Fisika kelas XI. Metode yang digunakan berupa studi literatur. Berdasarkan pandangan teori belajar Sosiokultural, proses pembelajaran harus didasarkan pada fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar tempat tinggal peserta didik. Kearifan lokal Kalimantan Selatan sangat cocok untuk diintegrasikan dalam pembelajaran fisika kelas XI agar tercipta pembelajaran yang lebih bermakna. Berbagai materi fisika kelas XI yang dapat diintegrasikan dengan kearifan lokal Kalimantan Selatan di antaranya permainan basumpitan diintegrasikan dengan materi elastisitas, rumah lanting untuk materi fluida statis, pasar terapung untuk materi fluida dinamis, gula batu itik untuk materi suhu dan kalor, serta alat musik panting untuk materi gelombang bunyi. Pengintegrasian kearifan lokal ini dapat membantu siswa untuk memahami materi pembelajaran sehingga tercipta pembelajaran fisika menjadi menyenangkan dan bermakna.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Kalimantan Selatan PENDAHULUAN

Miskonsepsi sering terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah ketidaktepatan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru (Vlassi dan Karaliota, 2013). Bayram, Oskay, Emine, Ozgur, dan Sen (2013) mengungkapkan bahwa pembelajaran akan bermakna apabila kegiatan belajar mengajar dihadirkan berdasarkan pemahaman konsep yang telah dimiliki siswa dan berbagai fenomena ilmiah yang dapat disaksikan.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat, menuntut sumber daya manusia yang berkempang pula. Sekolah sebagai tempat proses pembelajaran memegang peran penting dalam pembentukan pengetahuan peserta didik. Berdasarkan hal tersebut, maka guru sebagai fasilitator pembelajaran harus merancang pembelajaran agar siswa tidak sebatas memahami isi buku, namun

juga memahami hal-hal di dalam kehidupan berdasarkan keilmuan yang diajarkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Mulyasa (2010) bahwa pembelajaran IPA bukan sebatas untuk menguasai konsep dan teori yang tertuang dalam buku, IPA harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari hal-hal yang terjadi pada diri dan lingkungan tempat tinggal.

Proses pembelajaran fisika tidak cukup dilaksanakan dengan menyampaikan konsep, tetapi juga harus memahami proses terjadinya fenomena fisika melalui penginderaan sebanyak mungkin. Melalui kejadian atau fenomena alam yang sering ditemui siswa di lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu sumber belajar yang dapat digunakan oleh guru dalam mengajar (Ardiyanti dan Winarti, 2013 ;

Page 306: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

295

Hartini, Isnanda, Wati, Misbah, An’nur, & Mahtari, 2018).

Menurut Jamalie (2014) Budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis, dan kearifan lokal (local

wisdom). Menurut Azizahwati, Maaruf, Yassin, & Yulianti (2015), kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Dua pendapat tersebut memberikan pemahaman bahwa kearifan lokal merupakan bagian dari budaya, yaitu sesuatu yang menjadi pedoman dan dijalankan oleh sekelompok orang dalam suatu tempat tertentu yang dipercaya sebagai hal baik serta penuh kebijaksanaan.

Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki banyak budaya. Setiap pulau di Indonesia memiliki beragam suku, ras, bahasa, pakaian, dan adat yang berbeda dengan daerah lain. Kekayaan budaya tersebut seharusnya dapat mendorong proses belajar mengajar menjadi bermakna (Atmojo, 2015).

Secara kultural, Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang heterogen karena didiami oleh lebih dari satu suku bangsa, yakni Melayu, Dayak, Jawa, Madura, Bugis, Cina, dan Arab. Namun demikian, penduduk mayoritas di Kalimantan Selatan adalah Melayu dan Dayak. Di daerah ini, suku bangsa Melayu disebut dengan Suku Banjar, sedangkan kelompok yang mendiami pedalaman yaitu orang Dayak disebut Urang Bukit. Oleh masyarakat setempat, Banjar dan Dayak dianggap sebagai suku bangsa asli Kalimantan Selatan (Radam, 2001). Keanekaragaman suku bangsa di Kalimantan Selatan juga berdampak pada keberagaman kearifan lokal, mulai dari permainan, bentuk bangunan, kegiatan sosial ekonomi, kuliner, hingga kesenian

Selama ini, proses pembelajaran di sekolah mengacu pada materi sesuai kurikulum dan buku yang diterbitkan

oleh penerbit nasional. Guru belum melakukan modifikasi pembelajaran yang dikaitkan dengan berbagai fenomena yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal peserta didik. Sehingga keberadaan kearifan lokal sebagai sumber belajar belum diintegrasikan secara maksimal (Wati, Hartini, Misbah, & Resy, 2017).

Pengintegrasian kearifan lokal dalam proses pembelajaran didukung oleh Teori Sosiokultural Vygotsky. Berdasarkan teori ini, anak terbentuk berdasarkan lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, proses belajar anak dimulai dari lingkungan. Dengan demikian maka berbagai fenomena yang disaksikan oleh peserta didik harus dihadirkan untuk membangun pemahaman yang lebih kuat terhadap materi pembelajaran.

Penelitian yang dilakukan oleh Ardiyanti dan Winarti (2013), Dewi, Wibawa, & Devi (2017) membuktikan metode pembelajaran berbasis fenomena dapat meningkatkan keterampilan berpikir siswa. Selain itu modul pembelajaran fisika SMA berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Azizahwati, dkk ., 2015 ; Wati, dkk., 2017). Pembelajaran terintegrasi kearifan lokal dapat mengoptimalkan karakter peserta didik (Oktaviana, Hartini, & Misbah, 2017 ; Hartini, Firdausi, Misbah, & Sulaeman, 2018). Pembelajaran berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan keterampilan proses sains (Dewi, dkk., 2017) serta dapat meningkatkan sikap ilmiah (Dwianto, Wilujeng, Prasetyo, & Suryadarma, 2017)

Berdasarkan kajian teoritis dan empiris tersebut di atas, penulis mengangkat judul pengintegrasian kearifan lokal Kalimantan Selatan dalam pembelajaran fisika. Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah bagaimanakah pengintegrasian kearifan lokal Kalimantan Selatan dalam pembelajaran fisika? Tujuan penulisan

Page 307: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

296

makalah ini adalah untuk mendeskripsikan berbagai kearifan lokal Kalimantan Selatan yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran fisika.

PEMBAHASAN

Pokok Bahasan Elastisitas

Pembelajaran materi elastisitas, berkaitan erat dengan benda-benda yang mengalami pertambahan panjang apabila diberi gaya. Kearifan lokal Kalimantan Selatan yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran fisika adalah permainan basumpitan. Permainan ini menggunakan media berupa dua buah kayu kecil yang keduanya dihubungkan oleh satu buah karet gelang. Di atas karet gelang tersebut, masing-masing pemain meletakkan sejumlah karet gelang sebagai rebutan. Karet gelang yang disumpit (dibidik) hingga jatuh ke tanah oleh salah satu pemain berhak diambil

dan menjadi milik pemain tersebut. Adapun alat untuk membidik adalah terbuat dari karet gelang yang telah dianyam sedemikian rupa sehingga dapat membidik karet gelang yang diperebutkan dalam permainan.

Gambar 1 Permainan basumpit

(Sumber: akuyangakut.blogspot.com) Berikut adalah fenomena dalam

permainan basumpitan dan kaitannya dengan materi elastisitas.

Tabel 1 Fenomena pada permainan basumpitan dan konsep fisika yang terjadi

No. Fenomena Konsep fisika

1 Karet mengalami pemanjangan maksimal apabila ditarik sangat kuat

Untuk mencapai pertambahan panjang pada karet, maka diperlukan gaya tarik yang besar pula, hal ini sesuai dengan Hukum Hooke: F = - k x

2 Apabila tiga buat karet disambung antar ujungnya, maka gaya yang diperlukan cukup kecil. Sedangkan apabila tiga karet tersebut digabung secara paralel, diperlukan yang lebih besar.

Susunan karet berpengaruh pada nilai konstanta gabungan. Jika karet disusun secara seri, berlaku persamaan: 1𝑘𝑝 = 1𝑘1 + 1𝑘2 + 1𝑘3

Sedangkan jika karet dirangkai secara paralel, maka berlaku persamaan: 𝑘𝑠 = 𝑘1 + 𝑘2 + 𝑘3 Berdasarkan dua persamaan tersebut, nilai kontansta karet yang dirangkai paralel lebih besar, hal inilah yang menyebabkan diperlukan gaya tarik lebih besar pada karet yang dirangkai paralel.

Pokok Bahasan Fluida Statis

Wilayah Kalimantan Selatan secara topografi termasuk dalam wilayah rawa dengan banyak sungai. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat

menyesuaikan bentuk bangunan dengan wilayah tempat tinggal berupa perairan, yakni dengan membuat rumah yang dapat mengapung di atas air atau biasa disebut rumah lanting. Struktur pada

Page 308: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

297

bangunan rumah lanting tidak menggunakan kayu sebagai penyangga maupun pondasi berupa beton.

Gambar 2 Rumah lanting

(Sumber: mentayaniira.wordpress.com) Berikut adalah fenomena pada

rumah lanting dan kaitannya dengan materi fluida statis.

Tabel 2 Fenomena pada rumah lanting

dan konsep fisika yang terjadi Fenomena Konsep Fisika

Rumah lanting menampung banyak beban di atasnya, namun tetap mengapung di atas air.

Rumah lanting dirancang dengan menggunakan pondasi berupa kayu gelondongan atau drum yang memiliki rongga udara di dalamnya, udara inilah yang menyebabkan massa jenis rata-rata bangunan rumah lanting lebih kecil dari air sungai. Kondisi mengapung dapat diperoleh apabila: 𝜌rumah lanting< 𝜌air sungai

Pokok Bahasan Fluida Dinamis

Faatihah, Setyaningsih, & Iswati (2014) mengungkapkan pasar terapung merupakan peninggalan sejarah dan budaya yang terbentuk dari kegiatan perdagangan di atas air sejak zaman Kerajaan Banjar 400 tahun silam. Pasar terapung yang masih mempertahankan eksistensi di tengah modernisasi di

Kalimantan Selatan adalah Pasar Terapung Lok Baintan yang terletak di tepian Sungai Martapura.

Gambar 3. Pasar terapung

(Sumber: nasional.tagar.id) Fenomena pada pasar terapung yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran fisika adalah sebagai berikut. Tabel 3 Fenomena pada pasar terapung

dan konsep fisika yang terjadi Fenomena Konsep Fisika

Dua buah jukung (perahu) yang berjalan beriringan akan cenderung saling mendekat dan bertabrakan

Saat dua jukung melaju kea rah yang sama, kecepatan aliran sungai di bawah jukung meningkat dan tekanannya kecil. Sebaliknya, kecepatan aliran sungai di sisi luar jukung lebih rendah dan tekanan lebih besar, yang memberikan dorongan pada jukung sehingga kedua jukung saling mendekat. Hal tersebut sesuai Asas Bernoulli yang berbunyi: “Tekanan fluida di tempat yang kecepatannya tinggi lebih kecil daripada di tempat yang kecepatannya lebih rendah”.

Pokok Bahasan Suhu dan Kalor

Gula batu itik adalah makanan yang berbahan dasar gula pasir. Kuliner ini menjadi ciri khas Kabupaten Hulu

Page 309: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

298

Sungai Utara karena bentuknya menyerupai itik Alabio yang merupakan maskot dari Kabupaten Hulu Sungai Utara. Gula batu itik dahulu digunakan sebagai bingkisan hadiah untuk pengantin. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, proses batatai

pengantin sudah jarang menyajikan gula batu itik. Meski demikian, makanan khas dari Kabupaten Hulu Sungai Utara ini tetap bertahan dan dapat ditemukan di pasar Amuntai. Selain berbentuk menyerupai itik, gula batu ini juga dapat dibentuk menyerupai sandal, keranjang, hingga kapal layar.

Berikut adalah fenomena dalam proses pembuatan gulabatu itik dan kaitannya dengan materi suhu dan kalor.

Gambar 4. Gulabatu itik

(Sumber: google.com)

Tabel 4 Fenomena pada pembuatan gulabatu itik dan konsep fisika yang terjadi

Fenomena Konsep Fisika

Air bersih dan gula yang dimasukkan ke dalam wajan pada awalnya terasa dingin, namun setelah dimasak air dan gula akan menjadi panas.

Tangan hanya dapat membedakan suhu (derajat panas) air gula secara kualitatif. Oleh karena itu diperlukan alat ukur berupa termometer (dalam skala celcius, kelvin, reamur, atau fahrenheit) untuk menyatakan suhu suatu benda secara kuantitatif. (𝑇𝑎)𝑋−𝑇𝑥(𝑇𝑎)𝑋−(𝑇𝑏)𝑋 = (𝑇𝑎)𝑌−𝑇𝑦(𝑇𝑎)𝑌−(𝑇𝑏)𝑌

Air gula yang dimasak di dalam wajan lalu dipanaskan akan tumpah ketika suhu cairan sangat tinggi.

Suatu benda yang dipanaskan akan mengalami perubahan bentuk (panjang, luas, volume) yang disebut sebagai pemuaian. Pemuaian panjang: ∆𝑙 = 𝑙𝑜𝛼∆𝑇 Pemuaian luas: ∆𝐴 = 𝐴𝑜𝛽∆𝑇 Pemuaian volume: ∆𝑉 = 𝑉𝑜𝛾∆𝑇

Saat memasak air gula, makin besar nyala api, maka semakin besar kenaikan suhu air gula. Pada kasus lain, dengan menggunakan besar api yang sama, air gula dengan massa yang besar akan mengalami kenaikan kenaikan suhu yang lebih tinggi. Namun, dengan massa dan perubahan suhu yang sama, kita memerlukan panas yang berbeda untuk memanaskan air gula dan air yang lain misal cairan timah.

Kalor (Q) adalah energi yang berpindah dari benda bersuhu tinggi (seperti api) ke benda yang bersuhu lebih rendah (seperti air gula). Pada proses pemanasan atau pendinginan suatu zat tanpa ada perubahan wujud, nilai kalor yang diperlukan atau dilepas sebanding dengan perubahan suhu. Dengan kalor yang sama, perubahan suhu yang terjadi berbanding terbalik dengan massa benda. 𝑄~∆𝑇 1𝑚 ~∆𝑇

Kalor yang dibutuhkan untuk mengubah suhu suatu benda dirumuskan sebagai: 𝑄 = 𝑚𝑐∆𝑇

Page 310: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

299

Setelah air gula dipanaskan, lama kelamaan akan mengental. Cairan kental ini selanjutnya dibentuk menjadi itik. Lama-kelamaan itik tersebut akan menjadi padat. Proses ini dinamakan membeku dengan ciri terjadinya pelepasan kalor ke lingkungan. Jika gula batu itik yang beku dipanaskan, maka gula batu tersebut akan mencair. Proses ini dinamakan mencair dengan ciri terjadinya penyerapan kalor.

Kalor yang diserap atau dilepas hanya menyebabkan perubahan wujud gula batu, sehingga tidak terjadi perubahan suhu. Kalor yang diserap atau dilepas ditentukan dengan persamaan: 𝑄 = 𝑚𝐿𝑓

Ketika air gula yang dingin dicampurkan dengan air gula panas, maka suhu kedua cairan gula akan menjadi hangat.

Pencampuran dua benda yang berbeda akan melibatkan proses penyerapan kalor dan pelepasan kalor. Sesuai prinsip kekekalan energi, jumlah kalor yang dilepas adalah sama dengan jumlah kalor yang diserap. Kekekalan energi pada pertukaran kalor pertama kali diukur oleh Joseph Black yang dirumuskan dalam Asas Black, yaitu: 𝑄lepas = 𝑄serap

Pada saat memasak air gula menggunakan wajan besar, hanya bagian bawah yang bersentuhan secara langsung dengan api, namun wajan akan terasa panas di seluruh bagiannya.

Panas atau kalor dapat berpindah melalui perantara suatu benda tanpa disertai perpindahan partikel disebut konduksi. Laju kalor konduksi dirumuskan sebagai: 𝑄𝑡 = 𝑘𝐴∆𝑇𝑙

Pada proses pembuatan gula batu itik, air gula terus diaduk ketika direbus. Ketika mengaduk, tangan yang berada di atas wajan panas akan merasakan udara hangat yang naik dari wajan.

Perpindahan panas atau kalor melalui partikel udara yang bergerak dari wajan panas merupakan contoh perpindahan panas secara konveksi. Perpindahan kalor secara konveksi merupakan proses perpindahan kalor melalui suatu zat disertai dengan perpindahan partikel-partikel zat tersebut. Laju kalor konveksi dirumuskan sebagai: 𝑄𝑡 = ℎ𝐴∆𝑇

Proses memasak air gula menggunakan api dari tungku. Orang yang berada di sekitar tungku akan merasakan panas meskipun tidak bersentuhan secara langsung dengan api.

Berpindahnya panas atau kalor tanpa melalui zat perantara (medium) disebut sebagai radiasi. Laju kalor radiasi dirumuskan sebagai berikut: 𝑄𝑡 = 𝑒𝜎𝐴𝑇4

Lanjutan Tabel 4

Page 311: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

300

Pokok Bahasan Gelombang Bunyi

Panting merupakan sebuah praktik musik yang berasal dari Kalimantan Selatan. Istilah panting memiliki dua arti, yakni pertama sebagai nama sebuah instrumen berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik dan kedua sebagai nama dari sebuah ansambel musik. Panting merupakan nama instrument musik jenis kordofon yang berasal dari instrument kecapi Dayak yang mendapat pengaruh dari gambus Melayu (Anderiani, 2016).

Gambar 5 Alat musik panting (sumber: kamerabudaya.com)

Berikut adalah fenomena dalam alat music panting dan kaitannya dengan materi gelombang bunyi.

Tabel 5 Fenomena pada dan konsep fisika yang terjadi

Fenomena Konsep Fisika

Tali senar panting terbuat dari bahan yang berbeda-beda. Senar yang terbuat dari bahan dengan massa jenis kecil lebih nyaring dibandingkan dengan senar yang memiliki massa jenis besar.

Massa jenis senar berbanding terbalik dengan frekuensi, sesuai dengan persamaan: 𝜆𝑓 = √𝐹𝜇

Oleh karena itu, apabila massa jenis senar (𝜇) kecil, maka frekuensi (f) yang dihasilkan oleh panting besar. Ketika frekuensi besar, maka akan terdengar suara yang nyaring.

Senar yang dipasang kencang membentuk panjang gelombang lebih besar dibandingkan senar yang longgar

Senar yang dipasang kencang berarti memiliki gaya tegangan tali yang besar. Berdasarkan persamaan: 𝜆𝑓 = √𝐹𝜇

Nilai gaya tegangan (F) berbanding lurus dengan panjang gelombang (𝜆). Oleh karena itu, apabila gaya tegangan diperbesar maka panjang gelombang yang dihasilkan juga besar.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal Kalimantan Selatandapat diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Berbagai kearifan lokal sebagai warisan budaya Kalimantan Selatan dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran fisika kelas XI, di antaranya materi elastisitas diintegrasikan dengan permainan basumpitan, materi fluida statis diintegrasikan dengan rumah lanting, materi fluida dinamis diintegrasikan dengan pasar terapung,

materi suhu dan kalor diintegrasikan dengan gulabatu itik, serta materi gelombang bunyi diintegrasikan dengan alat musik panting.

Kearifan lokal sebagai jati diri bangsa, yang sering ditemui oleh siswa selayaknya dapat digunakan oleh guru sebagai bahan pembelajaran. Guru dapat memperkenalkan materi pembelajaran berdasarkan fenomena yang berasal dari kearifan lokalagar terbangun pemahaman yang lebih kuat. Proses pembelajaran fisika seharusnya dimulai dari mengajak siswa memerhatikan kejadian yang

Page 312: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

301

dialami dalam kehidupan sehari-hari, memfokuskan siswa pada satu titik fenomen, lalu membimbing siswa untuk memahami fenomena tersebut dari sudut pandang fisika.

DAFTAR PUSTAKA

Anderiani, L. (2016). Musik panting di desa barikin kalimantan selatan: kemunculan, keberadaan, dan perubahannya. Resital, 17(3), 140-157.

Ardiyanti, F., dan Winarti, W. (2013). Pengaruh model pembelajaran berbasis fenomena untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa sekolah dasar. Kaunia, IX (2), 27-33.

Atmojo, S.E. (2015). Learning which oriented on local wisdom to grow a positive appreciation of batik jumputan (ikat celup method). Jurnal Pendidikan IPA Indonesia

4 (1), 48 – 55. Azizahwati, A., Maaruf, Z., Yassin,

R.M., & Yulianti, E. (2015). Pengembangan modul pembelajaran fisika sma berbasis kearifan lokal untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Prosiding

Pertemuan Ilmiah XXIX HFI

Jateng & DIY, 70 – 73. Bayram, Z., Oskay, O.O., Emine, E.,

Ozgur, S.D., dan Sen, S. (2013). Effect of inquiry based learning method on students’ motivation. Procedia – Social and Behavioral

Sciences 106, 988-996.

Dewi, N.P.S.R., Wibawa, I.M.C., & Devi, N.L.P.L. (2017). Kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses dalam pembelajaran siklus belajar 7e berbasis kearifan lokal. Jurnal

Pendidikan Indonesia, 6(1),125-133.

Dwianto, A., Wilujeng, I., Prasetyo, Z.K., & Suryadarma, I.G.P. (2017). The development of science domain based learning tool

which integrated with local wisdom to improve science process skill and scientific attitude. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia

6(1), 23-31. Faatihah, A., Setyaningsih, W., & Iswati,

T.Y. (2014). Revitalisasi pasar terapung lok baintan di banjarmasin dengan pendekatan arsitektur kontekstual. Arsitektura

12 (2). Hartini, S., Misbah, M., Helda, H.,

Dewantara, D. (2017). The effectiveness of physics learning material based on south kalimantan local wisdom. American Institute of

Physics Conference Proceedings,

“the 4th International Conference on

Research, Implementation, and

Education of Mathematics and

Science”, 1868, 070006. Hartini, S., Isnanda, M. F., Wati, M.,

Misbah, M., An’nur, S., & Mahtari, S. (2018, September). Developing a physics module based on the local wisdom of Hulu Sungai Tengah regency to train the murakata character. In Journal of Physics:

Conference Series (Vol. 1088, No. 1, p. 012045). IOP Publishing.

Hartini, S., Firdausi, S., Misbah, M., & Sulaeman, N. F. (2018). The development of physics teaching materials based on local wisdom to train saraba kawa character. Jurnal

Pendidikan IPA Indonesia, 7(2), 130-137.

Jamalie, Z. (2014). Akulturasi dan kearifan lokal dalam tradisi baayun maulid pada masyarakat banjar. El Harakah, 16 (2), 234-254.

Mulyasa, E. (2010). Kurikulum tingkat

satuan pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Oktaviana, D., Hartini, S., dan Misbah, M. (2017). Pengembangan modul fisika berintegrasi kearifan lokal membuat minyak lala untuk melatih karakter sanggam. Berkala

Page 313: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

302

Ilmiah Pendidikan Fisika 5(3), 272-285.

Radam, N.H. (2001). Religi orang bukit. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Semesta.

Vlassi, M., dan Karaliota, A. (2013). The comparison between guided inquiry and traditional teaching method, a case study for the teaching of the structure of matter

to 8th grade Greek students. Procedia – Social and Behavioral

Sciences 93, 494-497.

Wati, M., Hartini, S., Misbah, M., & Resy, R. (2017). Pengembangan modul fisika berintegrasi kearifan lokal hulu sungai selatan. Jurnal

Inovasi Dan Pembelajaran

Fisika, 4(2).

Page 314: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

303

Implementasi Pembelajaran Biologi Melalui TPS Pada Siswa Homeschooling

untuk Mengembangkan Kemampuan Berkomunikasi dan Aktivitas Siswa

Nurul Hidayati Utami

Program studi pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

Abstrak

Pembelajaran Homeschooling tidak berbeda dengan pembelajaran yang dilakukan secara klasikal di kelas. Pembelajaran tetap didampingi oleh guru (tutor) bersama orang tua. Fokus pada pembelajaran bukan hanya mendapatkan kecakapan akademik sehingga pembelajaran Biologi menggunakan model Think-Pair-Share pada siswa homeschooling bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan aktivitas siswa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi pada siswa homeschooling berkembang dengan baik, dan aktivitas siswa yang terkait pembelajaran biologi sangat baik. Kata Kunci: Homeschooling, Think-Pair-Share, Biologi

PENDAHULUAN

Homeschooling merupakan salah satu jalur pendidikan nonformal yang dipilih orangtua. Pada dasarnya homeschooling merupakan sekolah alternatif dengan pendekatan pendidikan at home, melalui proses pembelajaran yang menciptakan kenyamanan belajar bagi siswa (Muhtadi, 2014; Sadid, 2012).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada proses pembelajaran homeschooling masih dilakukan secara ekspositori sehingga siswa hanya menyimak secara teratur dan tertib. Interaksi yang dilakukan lebih banyak pada guru dan siswa namun sedikit interaksi antar siswa dengan siswa lainnya. Hal ini dikarenakan waktu yang terbatas dalam pembelajaran sehingga antar siswa memiliki keterbatasan berinteraksi sesame teman satu komunitas belajarnya, Meskipun pendidikan dilakukan secara homeschooling namun proses pembelajaran dilakukan secara nyaman bagi siswa.

Model pembelajaran yang diterapkan homeschooling terdapat perbedaan dengan sekolah regular baik

secara suasana, kegiatan dan lingkungannya (Dien, dkk.,2015). Penerapan pembelajaran tertentu dapat berpengaruh terhadap kemampuan siswa sehingga penerapan model yang tepat, karena hal tersebut maka perlu diterapkan model yang tepat untuk membelajarkan Biologi pada siswa Homeschooling. Terlebih pembelajaran dalam Biologi tidak dapat dipisahkan dari pendekatan saintifik (Sudarisman, 2018).

Model pembelajaran yang dapat digunakan pada siswa homeschooling adalah kooperatif tipe Think-Pair-Share.

Lie (Wena, 2008). Pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk saling bekerja sama dalam tugas terstruktur dan dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator.

Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil (2 anggota) dan lebih dicirikan penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Langkah

Page 315: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

304

pembelajaran dilakukan dengan berikut (Suprijono, 2009). Fase Thinking (berpikir) dimulai ketika guru mengajukan pertanyaan yang dikaitkan dengan pelajaran, dan siswa berpikir sendiri. Fase Pairing (berpasangan) dan Fase Sharing yakni siswa berbagi jawaban di kelas. TPS memberikan efek positif untuk memahami materi pembelajaran kepada siswa dengan bantuan oleh guru (Org, Sugiarto, & Sumarsono, 2014).

Tabel 1 Tahapan dan aktivitas TPS

Tahapan Aktivitas siswa

think

• memperhatikan penjelasan guru mengenai materi pbm

• membaca buku – buku relevan sesuai dengan pembelajaran

• menggunakan gawai untuk mencari referensi

• menuliskan jawaban yang dikerjakan secara mandiri

• mampu menyelesaikan soal secara mandiri

Pair

• berpasangan – pasangan • membaca sumber dan buku

– buku relevan bersama sama

• Menggunakan gawai untuk mencari referensi bersama-sama

• berdiskusi dengan pasangannya mengenai jawaban

• menyelesaikan soal secara berpasangan.

• merespon pertanyaan guru • merespon pertanyaan

teman Share

• berpasangan mengemukakan hasil diskusi berpasangan dikelas

• berbagi hasil diskusi yang telah dibicarakan pasangannya

• mempertahankan ide

Berbagai penelitian mengenai keefektifan TPS yang dilakukan oleh Sugiarto & Sumarsono (2014) terbukti dapat meningkatkan kemampuan membaca naratif. Selain itu penelitian yang dilakukan Hetika dkk. (2018) membuktikan adanya peningkatan motivasi dan akademik siswa.

Meskipun beberapa hasil penelitian pembelajaran memfokuskan pada peningkatan kemampuan akademik, namun pada prosesnya penelitian dilakukan dengan mendeskripsikan aktivitas siswa. Hal ini dilandasi oleh fokus utama pada pembelajaran homeschooling adalah pengembangan minat dan bakat yang dimiliki oleh siswa. Pelaksaan pembelajaran homeschooling

dapat didelegasikan pada lembaga, guru ataupun penyaluran kreatifitas. (Dien, dkk.,2015)

Penentuan materi dan topik pembelajaran dalam pembelajaran sepenuhnya diberikan kepada tutor sehingga pada prinsipnya mata pelajaran tetap diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa. Akibatnya pembelajaran pada homeschooling tetaplah dilakukan berbagai aktivitas bukan hanya sekedar mengerjakan soal bersama-sama antara guru dan siswa. Adapun berbagai aktivitas yang dilakukan diantaranya pembelajaran, mencari pengalaman belajar sendiri, mengembangkan aspek pribadi, memupuk kerjasama, memupuk disiplin

pembelajaran yang dilakukan secara kongkret, (Hamalik, 2005). Berdasarkan hal tersebut maka penting adanya interaksi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Sebab berbagai aktivitas positif yang dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran merupakan bagian dari belajar. Keterbatasan waktu belajar antar siswa memungkin terjadinya interaksi pembelajaran secara minim, oleh sebab itu dengan implementasi TPS dapat membantu peningkatan aktivitas pembelajaran secara positif.

Page 316: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

305

Aktivitas pembelajaran positif akan memberikan dampak pada kemampuan akademik untuk kesadaran belajar dari dalam diri.Implementasi TPS dapat mendukung keterampilan berkomunikasi yang bernilai penting pada pembelajaran sains di abad 21 (Sugiarto & Sumarsono 2014). Adapun berbagai komunikasi verbal dapat dilakukan terkait pembelajaran dengan berdiskusi, mempresentasikan hasil diskusi, menjawab pertanyaan dan menuliskan hasil akhir diskusi. Adapun indikator kemampuan berkomunikasi dapat dilihat secara detail pada Tabel 2.

Tabel 2 Indikator kemampuan

Berkomunikasi Lisan No Indikator berkomunikasi Lisan

1 Menguasai materi diskusi saat presentasi.

2 Menyampaikan hasil diskusi secara sistematis dan jelas.

3 Bertanya kepada guru atau siswa lain.

4 Mampu menjawab pertanyaan guru atau siswa lain

Berdasarkan pemaparan diatas maka

Penelitian ini bertujuan mengembangkan kemampuan untuk kemampuan akademik, aktivitas pembelajaran yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan komunikasi siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang terjadi pada pembelajaran secara kuantitatif maupun kualititatif. Subjek penelitian adalah siswa yang menempuh pendidikan di homeschooling di Kota Banjarmasin sebanyak 2 orang yang terdiri atas 1 laki dan 1 perempuan dengan karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Waktu penelitian dilakukan di semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Adapun Instrumen yang digunakan yakni

lembar kerja siswa, lembar observasi pembelajaran. Aktivitas siswa dianalisis secara deskriptif sedangkan kemampuan berkomunikasi terdapat kriteria standar yang ditetapkan pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria Standar yang ditetapkan

No Rerata

Capaian Kategori

1. 90% ≤ x A (sangat baik) 2. 75% ≤ x< 90% B (baik) 3. 60% ≤ x< 75% C (cukup) 4. 40% ≤ x< 60% D (rendah) 5. x< 40 % E (sangat

rendah)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Aktivitas Siswa pada TPS dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 dapat diketahui perbandingan aktivitas yang dilakukan antara siswa I dan S. Pada pertemuan pertama siswa I dan S belum mampu menyelesaikan tugas yang dikerjakan secara mandiri. Hal ini mengakibatkan lebih memakan banyak waktu pembelajaran meskipun telah menggunakan perangkat gawai. Pada pertemuan pertama antara siswa I dan S masih canggung untuk berinteraksi, hal ini mengakibatkan kemampuan untuk menyelesaikan soal dan berdiskusi belum dilakukan oleh kedua siswa tersebut selain itu keduanya belum mampu mengemukakan ide di kelas dikarenakan belum selesainya tugas yang diberikan oleh guru.

Selain itu, pada aktivitas menuliskan dan menyelesaikan jawaban secara individu belum dapat dilakukan hingga selesai pada kedua siswa, hal ini dikarenakan waktu pada tahapan think

pada awalnya hanya 10 menit kemudian setelah dilakukan penambahan waktu 5 menit, siswa terbantu unutk menyelesaikannya. Pada pertemuan selanjutnya tugas diberikan dengan sederhan sehingga siswa dapat berkontribusi.

Page 317: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

306

Tabel 4 Perbandingan aktivitas siswa PBM

Fase Aktivitas Siswa Pert. 1 Pert. 2 I S I S

Think memperhatikan penjelasan guru mengenai materi pbm √ √ √ √ membaca buku relevan sesuai dengan pembelajaran - - √ √ menggunakan gawai untuk mencari referensi √ √ √ √ menuliskan jawaban secara mandiri - - - √

Pair membaca sumber dan buku relevan bersama sama - - - √ Menggunakan gawai untuk mencari referensi bersama √ √ √ √ berdiskusi dengan pasangan mengenai jawaban - √ √ √ menyelesaikan soal secara berpasangan. - - √ √ merespon pertanyaan guru - - √ √ merespon pertanyaan teman √ √ √ √

Share mengemukakan hasil diskusi berpasangan dikelas - - √ √ berbagi hasil diskusi - - √ √ mempertahankan ide - √ √ √

keterangan I: siswa I, berjenis kelamin perempuan S: siswa S, berjenis kelamin laki-laki

Pada pertemuan kedua, siswa I dan S mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Adapun kemajuan yang dilakukan siswa antara mampu bekerja sama selama proses pembelajaran seperti berdiskusi, membaca dan mencari jawaban bersama, mengemukakan hasil diskusi serta berbagi hasil diskusi. Kemajuan aktivitas yang dilakukan oleh siswa tidak terlepas dari bantuan guru sebagai fasilitator. Hal ini sejalan dengan Sanjaya (2006) bahwa bekerja dalam kelompok dengan mengevaluasi keberhasilan sendiri oleh kelompok, sehingga membantu semua anggota memperoleh keberhasilan.

Berbagai penelitian mengenai keefektifan kooperatif TPS membuktikan dominannya berbagai aktivitas. Pada penelitian Kothiyal, Majumdar, Murthy, & Iyer (2013) bahwa kegiatan yang aktif pada fase think adalah menulis, fase berpasangan perilaku dominan berbicara (30%) dan menulis (23%), keduanya merupakan perilaku aktif dan diinginkan. Akhirnya, dalam fase berbagi, perilaku utama adalah 'mengikuti diskusi instruktur (60%).

Adapun perilaku guru pada proses pembelajaran dengan keluwesan interaksi antara guru dengan siswa seperti antusiasme guru dalam pengajaran. Hal ini akan membangun rasa nyaman anak selama pembelajaran berlangsung. Tercapainya kondisi belajar optimal jika guru mampu mengendalikan dan mengelola suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. (Suhardi, 2013) Tabel 5 Ringkasan kemampuan

berkomunikasi nilai lesy nilai Kategori

siswa I

68.75 C

(cukup) 75 B (tinggi)

siswa S

75 B

(tinggi) 87.5 B (tinggi)

keterangan I: siswa I, berjenis kelamin perempuan S: siswa S, berjenis kelamin laki-laki

Kemampuan berkomunikasi memiliki empat indicator yang dikembangkan, Indikator 1 yakni mengusai materi diskusi saat presentasi, pada indicator ini saat pertemuan pertama siswa I dan S belum menguasai materi, hal ini terlihat masih membaca teks hasil diskusi dan belum mampu mengeksplorasi jawaban.

Page 318: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

307

Indikator selanjutnya adalah menyampaikan hasil diskusi, hal ini terlihat dari ketika diminta menyampaikan hasil diskusi kedua siswa belum dilakukan secara sistematis dan jelas. Akibatnya ada beberapa soal yang dijawab masih belum berurutan. Kedua siswa menjawab berdasarkan tingkat kesukaran. Soal yang sukar dikerjakan setelah menyelesaikan soal yang mudah.

Indikator ketiga dan keempat adalah bertanya dan menanggapi siswa atau guru. Pada bagian in peserta didik melakukan dengan baik. Hal ini dapat diamati dari frekuensi pertanyaan yang dijawab oleh siswa semakin baik. Pencapaian kedua indicator seiring dengan peningkatan aktivitas siswa pada tahapan pair dan share pada pembelajaran kooperatif. Hal ini didukung pula oleh penelitian lainnya bahwa pembelajaran kooperatif meningkatkan komunikasi dan kerjasama siswa. (Melawati & Paristiowati, 2014)

Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan pada pembelajaran berlangsung, diketahui bahwa siswa I dan S memiliki peningkatan kemampuan berkomunikasi. Hal ini dibuktikan pada kemampuan siswa I terbukti dari cukup menjadi baik dan siswa S yang berada di nilai 75 dengan kategori baik menjadi 87.5 dengan kategori baik. Beberapa kendala dalam pembelajaran TPS adalah alokasi waktu yang singkat namun harus dibagi menjadi 3 tahapan. Setiap tahapan tidak dapat diberikan alokasi waktu yang sama. Hal ini dikarenakan aktvitas yang dilakukan berbeda-beda fokusnya. Selain itu guru perlu bersikap sebai fasilitator dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.

SIMPULAN

Diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) Aktivitas yang terkait dengan pembelajaran meningkat pada setiap tahapan pada pembelajaran TPS, dan 2) kemampuan berkomunikasi mengalami peningkatan hingga terkategori baik dari

empat indikator yang ditetapkan. Perkembangan kemampuan berkomunikasi beririangan dengan peningkatan aktivitas pembelajaran pada tahapan TPS.

DAFTAR PUSTAKA

Kothiyal, A., Majumdar, R., Murthy, S., & Iyer, S. (2013). Effect of think-pair-share in a large CS1 class: 83% sustained engagement. In Proceedings of the ninth annual

inter- national ACM Conference

on International Computing

Education Research (pp. 137-144).

Hamalik, O. 2005. Metode belajar dan

kesulitan kesulitan belajar. Bandung: Penerbit Tarsito.

Melawati, C., & Paristiowati, M. (2014). Analisis kemampuan komunikasi dan kerja sama pada pembelajaran kimia melalui model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team assited individualization). Jurnal Riset

Pendidikan Kimia, 4(1), 251–259. Muhtadi, A. (2014). Pendidikan dan

pembelajaran di sekolah rumah (Homeschooling). Suatu tinjauan teoritis dan praktis. Materi, 1–17.

Org, | Www Ijee, Sugiarto, D., & Sumarsono, P. (2014). The Implementation of think-pair-share model to improve students’ ability in reading narrative texts. International Journal of English

and Education, (33), 2278–4012. Sadid, A. (2012). Homeschooling :

Pilihan di tengah kegagalan sekolah formal, 7(2), 160–172.

Sanjaya, W. (2006). Strategi

pembelajaran berorintasi standar

proses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Sudarisman, S. (2018). Memahami hakikat dan karakteristik pembelajaran biologi dalam upaya menjawab tantangan abad 21 serta optimalisasi implementasi Kurikulum 2013. Florea : Jurnal

Page 319: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

308

Biologi dan Pembelajarannya, 2(1), 29–35.

Suhardi. (2013). Peningkatan partisipasi dan kerjasama siswa menggunakan model kooperatif tipe jigsaw pada materi protozoa kelas X SMA N Pengasih. Jurnal

Pendidikan Matematika Dan

Sains, 1(2), 140–146. Wena. M. (2009). Strategi

pembelajaran inovatif

kontemporer. Bumi Aksara, Surabaya.

Page 320: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

309

Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Perumahan dengan Metode AHP

Menggunakan Expert Choice

Surdiyanto

MTI IBI Darmajaya [email protected]

Abstrak

Penentuan perumahan mana yang harus dipilih oleh konsumen dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya harga, lokasi, fasilitas umum, perijinan, desain rumah, dan kedibilitas dari developer. Paper ini bertujuan untuk mencari kriteria-kriteria yang digunakan di dalam pemilihan perumahan oleh konsumen. Kriteria-kriteria tersebut dianalisis menggunakan metode AHP menggunakan software Expert Choice. Hasil analisis yang didapat kriteria tertinggi adalah perijinan legal tidaknya kepemilikan atas tanah dan bangunannya. Kata Kunci: SPK, Perumahan, AHP, Expert Choice

PENDAHULUAN

Memasuki tahun 2004, dunia properti kembali bangkit setelah terpuruk karena krisis moneter. Bisnis-bisnis dibidang properti mulai menjamur, baik dalam skala kecil, menengah maupun besar. Pengembangan ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah tertentu, tapi hampir seluruh daerah khususnya di wilayah Baturaja.

Gejolak perkembangan dibidang properti ini tidak hanya dipengaruhi oleh membaiknya perekonomian tetapi juga minat para konsumen mengikuti perkembangan ini. Peningkatan jumlah konsumen dari tahun ke tahun semakin bertambah. Para developer banyak yang menawarkan berbagai alternatif dari mulai harga, lokasi, desain, maupun cara pembayaran. Hal inilah yang menyebabkan konsumen harus pandai-pandai memilih perumahan mana yang akan mereka ambil yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang diinginkan.

Pemilihan akan tempat tinggal tentu harus dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Biasanya seseorang membeli rumah ke pengembang dengan melihat beberapa parameter harga, luas bangunan, luas tanah, jumlah kamar jarak dan lokasi. Semakin banyaknya alternatif pilihan

rumah yang ditawarkan terkadang menyulitkan seseorang dalam memilih dan memilah tempat tinggal yang sesuai.

Pengambilan keputusan pemilihan perumahan yang diinginkan oleh konsumen masih mengalami beberapa kendala yaitu lambatnya proses pengambilan keputusan tersebut. Hal ini dikarenakan belum adanya metode yang objektif untuk memutuskan pilihan yang cepat berdasarkan data perumahan yang mana yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan mengacu kepada solusi yang diberikan Analytical Hierarki

Process (AHP) dalam membantu membuat keputusan, seorang decision maker dapat mengambil keputusan tentang perumahan yang sesuai dengan yang dinginkan secara cepat dengan membandingkan semua kriteria yang ada. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi metode pengumpulan data primer dan metode pengumpulan data sekunder.

Identifikasi masalah dalam penelitian ini yang di alami oleh para developer perumahan adalah belum adanya sistem penentuan lokasi pembangunan perumahan komputerisasi. Sehingga dibutuhkan sebuah sistem dalam rangka mempermudah analisa penentuan lokasi pembangunan

Page 321: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

310

perumahan. Penentuan lokasi pembangunan perumahan biasanya dilakukan secara manual dengan peninjauan langsung ke lokasi. Kemudian diteliti dan dinilai kelayakannya sesuai dengan kriteria yang digunakan.

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan diselesaikan yaitu bagaimana merancang sebuah sistem pendukung keputusan dengan menggunakan metode AHP menggunakan Expert Choice untuk pemilihan lokasi perumahan. Adapun tujuan penelitian ini ialah menghasilkan sistem pemilihan lokasi perumahan menggunakan metode AHP menggunakan Expert Choice. METODE PENELITIAN

Metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan pustaka. Observasi dilakukan di Raja Property dengan cara melakukan pengumpulan data yang cukup efektif untuk mempelajari suatu sistem. Data yang diperoleh berupa data Alternatif dan data Kriteria perumahan. Wawancara dilakukan langsung kepada Direktur Utama dan pihak yang berhubungan dengan pengambil keputusan yaitu administrator. Data yang diperoleh adalah tentang sistem yang sedang berjalan, sejarah singkat instansi Raja Property dan apa yang diharapkan dari sistem yang akan dikembangkan. Metode pustaka, diperoleh dari buku-buku bacaan yang berhubungan dengan penelitian, misalnya buku tentang perumahan, buku perancangan sistem informasi, dan buku tentang sistem pengambilan keputusan. Selain itu juga melakukan pengumpulan data melalui catatan, laporan-laporan tertulis serta buku yang berkaitan dengan Sistem Pendukung Keputusan yang sesuai dengan sistem yang diterapkan pada Raja Property.

Metode perancangan perangkat lunak, dilakukan berbagai tahap diantaranya: 1) Analisa sistem yang berjalan untuk mengetahui adanya kelemahan dalam sistem. 2) Desain Sistem terdiri dari 2, yaitu Desain Input dan Output. Desain Input dimulai dengan mengolah data-data yang dimasukkan oleh bagian adminitrasi, yaitu Data Alternatif, Data Kriteria dan Data Pembobotan. Desain Output yaitu berupa laporan-laporan tentang Data Kriteria, Data Alternatif, Data Pembobotan dan Rangking dari alternatif. 3) Desain database antara lain: Data Kriteria, Data Alternatif, Data Pembobotan, dan Rangking. Selain itu juga akan dibuat Diagram Alir Data (DAD) sistem yang sedang berjalan dan akan dikembangkan. 4) Pengolahan data yang akan digunakan menggunakan Metode Analytical Hierarky Process. 5) Implementasi Sistem yang sudah siap akan dilakukan pada tahap ini, dengan kriteria program mudah dalam penggunaan oleh administrasi. 6) Testing/pengujian dilakukan dengan pengujian black box bertujuan untuk mengetahui fungsi yang salah atau kesalahan pada interface pada Sistem Pendukung Keputusan pada The A

Central Property. Jika terjadi kesalahan dapat diperbaiki agar tidak terjadi kesalahan pada saat implementasi. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap konsumen perumahan, maka didapat enam kriteria yang digunakan dalam proses pemilihan lokasi perumahan. Kriteria tersebut antara lain Harga, Lokasi, Fasilitas umum, Perijinan, Desain rumah, dan kredibilitas dari developer. Adapun keterangan dari masing-masing kriteria adalah sebagai berikut: Harga

Konsumen lebih memilih harga rumah yang sesuai dengan dana yang mereka miliki.

Page 322: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

311

Lokasi

Lokasi perumahan yang strategis lebih dilirik oleh konsumen, misalnya, dekatnya dengan jalan raya, pasar, rumah sakit, tempat kantor, sekolahan, dan banyak lain. Fasilitas Umum

Fasilitas umum disini adalah fasilitas umum yang disediakan pihak developer di lokasi perumahan. Misalnya kolam renang, hotspot, line telepon, ruko, pusat pendidikan, dan area permainan. Perijinan

Perijinan yang dimaksud adalah legal tidaknya seluruh perijinan yang telah dilakukan oleh pihak developer, misalnya IMB, Legalitas pembebasan

tanah, Hak Milik Bangunan, Sertifikat dan lain sebagainya. Desain Rumah

Semakin bagus dan rumit sebuah desain maka harganyapun semakin tinggi. Kredibilitas Developer

Nama sebuah developer ternyata juga menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih sebuah perumahan. Hal ini berhubungan dengan unsur kepercayaan dari konsumen dan dari lembaga perbankan. Struktur AHP untuk pemilihan

perumahan

Struktur AHP yang didesain bisa dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur AHP pemilihan perumahan

Hasil implementasi dengan software

Expert Choice

Gambar 2 Bobot dari masing-masing alternatif pada kriteria Harga

Memilih perumahan 100%

Harga Lokasi Fasilitas

Umum

Perijina

n

Desain

Rumah

Kumala Plosokun Nogotirt

Kredibilita

s

Developer

Page 323: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

312

Gambar 3 Grafik performance

Gambar 4 Grafik Dynamic

Gambar 5 Grafik Differences

Page 324: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

313

SIMPULAN

Proses pemilihan lokasi perumahan oleh konsumen terdiri dari enam kriteria yaitu harga, lokasi, perijinan, desain rumah, dan kredibilitas developer. Bobot tertinggi adalah kriteria lokasi, disusul harga, fasilitas umum, desain rumah, dan terakhir kredibilitas developer. Dari enam kriteria tersebut setelah diuji dengan software Expert Choice hasilnya memang sudah sesuai dengan ranking alternatif nama perumahan yang konsumen inginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Analytical Hierarchy Process (AHP). http://www.rfp-templates.com/Analytical-Hierarchy-Process (AHP).html. Diakses tanggal 31 Juli 2008.

AHP Approach Saaty, http://www.rfp templates.com/search/for/AHP-Approach-Saaty.html, diakses tanggal 4 Agustus 2008.

Turban, 2005, Decision Support Systems and Intelligent Systems (Sistem pendukung keputusan dan sistem cerdas) Jilid 1, Yogyakarta: Andi Offset,.

Page 325: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

314

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika dengan Metode Problem

Solving untuk Melatihkan Keterampilan Pemecahan Masalah

Sinar Meisura Asyifa, Mastuang, dan Syubhan Annur

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

[email protected]

Abstrak

Kemampuan pemecahan masalah siswa masih rendah dan belum ada perangkat pembelajaran yang mendukung untuk melatihkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan pada perangkat pembelajaran fisika dengan metode problem solving pada materi listrik dinamis berdasarkan validitas, kepraktisan, efektivitas, dan pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa. Instrumen penelitian ini adalah lembar validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar validasi materi ajar, lembar validasi Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar validasi Tes Hasil Belajar (THB), lembar pengamatan untuk keterlaksanaan RPP dan THB. Model pengembangan yang digunakan adalah model ADDIE. Subjek uji coba penelitian ini adalah kelas X-1 SMA PGRI 4 Banjarmasin sebanyak 26 siswa. Hasil penelitiannya menunjukan 1) validitas perangkat pembelajaran berkategori valid dengan persentase 89,92; 2) kepraktisan perangkat pembelajaran berkategori baik dengan rata-rata 3,34; 3) efektivitas perangkat pembelajaran berkategori sedang berdasarkan hasil belajar siswa dengan N-

gain 0,4; dan 4) pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa berkategori cukup. Diperoleh simpulan bahwa perangkat pembelajaran fisika dengan metode problem

solving pada materi listrik dinamis yang dikembangkan layak dipergunakan pada pembelajaran. Kata Kunci: Listrik dinamis, metode problem solving, kemampuan pemecahan

masalah

PENDAHULUAN

Kemampuan siswa dalam pembelajaran fisika tidak hanya dituntut untuk memahami konsep, prinsip maupun hukum serta teori, akan tetapi juga dituntut kemampuannya dalam pemecahan masalah (Sophia, Enawaty, & Sartika, 2017). Kemampuan pemecahan masalah sangat penting bagi keperluan siswa selama proses pembelajaran karena berhubungan dengan kondisi siswa saat menghadapi masalah (Amrita, Jamal, & Misbah, 2016; Misbah, 2016). Menurut (Makrufi, 2016) kemampuan pemecahan masalah merupakan kapasitas individu untuk berpikir dan menemukan solusi dari suatu permasalah melalui pencarian fakta, analisis informasi, dan menentukan rencana yang paling efektif, serta menyusun alternatif perbaikan. Melalui

pemecahan masalah, kemampuan intelektual tingkat tinggi siswa dapat berkembang seperti pendapat Gagne dalam teori belajarnya (Sugiantara, Arini, & Tastra, 2014).

Tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik, untuk itu diperlukan suatu perencanaan dan persiapan dalam proses belajar mengajar yang dibuat dalam sebuah perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran adalah segala alat dan perlengkapan berupa bahan tertulis agar guru dan siswa mudah dalam melakukan proses pembelajaran (Gunada,Sahidu,&Sutrio, 2015). Perangkat pembelajaran terdiri atas Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Tes Hasil Belajar (THB).

Page 326: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

315

Hasil wawancara dengan seorang guru fisika SMA PGRI 4 Banjarmasin kelas X, guru belum pernah melakukan pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan metode problem solving.

Hal ini dapat dilihat dari seringnya guru menggunakan metode ceramah. Serta perangkat pembelajaran yang ada belum mampu melatihan kemampuan pemecahan masalah siswa sehingga kemampuan siswa cukup rendah. Sumber belajar siswa berupa buku LKS, dimana hanya berisikan materi singkat yang kurang terperinci. Selain itu, belum tersedianya LKS yang dapat digunakan untuk mengerjakan latihan soal atau percobaan dalam melatihkan kemampuan pemecahan masalah siswa.

Permasalahan lain, siswa sering menggunakan rumus fisika tanpa mengetahui maknanya. Siswa belum mampu mengidentifikasi terlebih dahulu permasalahannya. Selain itu, siswa kurang memperhatikan langkah-langkah pengerjaan dan hanya mementingkan hasil akhir permasalahan. Menurut Febriansyah, Yusmin, & Nursangaji (2016) kesulitan belajar mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Kesulitan belajar tersebut meliputi, siswa belum mampu mengidentifikasi permasalahan yang diberikan dan menyatakan arti dari persamaan yang digunakan, serta ketidakmampuan siswa menyelesaikan beberapa langkah dan cenderung tidak teliti dalam perhitungan. Hal tersebut menunjukan, kemampuan pemecahan masalah siswa kurang terlatihkan.

Kemampuan pemecahan masalah siswa yang kurang dibuktikan dengan diberikannya tes menggunakan tahapan pemecahan masalah. Berdasarkan data hasil tes yang diberikan pada siswa diperoleh kemampuan pemecahan masalah, tiap tahapan yaitu : tahap memahami permasalahan 8,5%; tahap merencanakan penyelesaian masalah 0,0%; tahap menyelesaikan masalah 17,7%; dan tahap melakukan pengecekan 0,0%. Menurut Utami & Wutsqa (2017)

rendahnya nilai yang diperoleh karena siswa belum mampu memahami konsep dan kemampuan pemecahan masalah siswa kurang terlatihkan.

Berdasarkan beberapa fakta permasalahan yang terjadi di SMA PGRI 4 Banjarmasin tersebut. Agar pembelajaran dapat efektif dan optimal serta tercapainya tujuan pembelajaran, salah satu alternatif solusi untuk permasalahan tersebut yaitu dengan menerapkan metode problem solving. Menurut Nurliawaty, Yusuf, & Widyaningsih (2017), metode problem

solving tepat digunakan untuk siswa karena menyediakan tahapan - tahapan penyelesaian yang sistematis dalam memecahkan suatu masalah sehingga siswa akan lebih terarah dalam menyelesaikan permasalahan dengan tepat dan benar. Kelebihan metode ini dapat memotivasi, serta siswa dapat menguasai konsep untuk menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran (Johan, 2013)

Penerapan metode problem

solving melalui model pengajaran langsung dapat meningkatkan kemampuan analisis sintesis siswa (Fahrina, Jamal & Salam, 2018; Haryandi, Zainuddin, & Suyidno, 2013), serta meningkatkan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan rumus fisika (Atqiya, Jamal, & Mahardika, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Orrahmah, An’nur, & Salam (2016) memberikan kesimpulan terjadinya peningkatan yang tinggi dan signifikan terhadap hasil belajar fisika siswa menggunakan metode problem solving . Penelitian oleh Ruskandi & Hendra (2016), menghasilkan perubahan cara belajar dan pola pikir pada siswa yang awalnya pembelajaran pasif dan berpusat pada pengajar menjadi siswa yang lebih aktif dan mampu memecahkan permasalahan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ahliha, Mastuang, & Mahardika (2017) dapat meningkatkan proses kemampuan penyelesaian

Page 327: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

316

masalah secara ilmiah melalui metode problem solving.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengembangkan perangkat pembelajaran fisika dengan metode problem solving pada materi listrik dinamis. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan kelayakan perangkat pembelajaran fisika dengan metode problem solving pada materi listrik dinamis. Tujuan khususnya yaitu mendeskripsikan validitas, kepraktisan, dan keefektifan perangkat pada pembelajaran fisika dengan metode problem solving pada materi listrik dinamis.

METODE

Penelitian yang digunakan merupakan penelitian dan pengembangan. Produk yang dikembangkan ialah perangkat pada pembelajaran fisika dengan metode problem solving pada materi listrik dinamis. Adapun model pengembangkan pada penelitian ini, yaitu model pengembangan ADDIE. Prosedur yang dilakukan berdasarkan model pengembangan ADDIE dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Prosedur pengembangan ADDIE

Waktu penelitian dilakukan pada

semester genap tahun 2017/2018. Subjek uji coba penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA PGRI 4 Banjarmasin yang berjumlah sebanyak 26 orang siswa.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar validasi materi ajar, lembar validasi Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar validasi Tes Hasil Belajar (THB), lembar pengamatan untuk keterlaksanaan RPP dan THB. Teknik analisis data yaitu: analisis validitas perangkat pembelajaran diperoleh dari perhitungan persentase para validator. Analisis kepraktisan perangkat pembelajaran diperoleh dari perhitungan

rerata hasil pengamatan keterlaksanaan RPP tiap pertemuan. Analisis keefektifan perangkat pembelajaran diperoleh dari perhitungan gain score melalui nilai pretest dan posttest. Serta analisis kemampuan pemecahan masalah siswa diperoleh dari rata-rata skor THB yang dibandingkan dengan skor maksimum per-tahapan kemampuan pemecahan masalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan kemudian divalidasi, disimulasikan, dan diuji cobakan di kelas. Perangkat yang dikembangkan berupa RPP, materi ajar, LKS, dan THB menggunakan metode problem solving.

Page 328: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

317

Validitas Perangkat Pembelajaran

Hasil Validasi RPP

RPP dikembangkan, kemudian disajikannya suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari untuk memicu rasa ingin tahu siswa serta agar lebih aktif dalam proses pembelajaran. RPP disajikan dalam 2 penggalan, pada penggalan pertama berupa kegiatan praktikum dan pada penggalan kedua berupa materi dan kegiatan latihan soal untuk melatihkan kemampuan pemecahan suatu permasalahan, kemudian disesuaikan dengan metode yaitu problem solving. RPP yang telah dikembangkan divalidasi oleh 2 validator. Adapun hasil validasi RPP tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil validasi RPP

No Aspek

Tinjauan Skor Kategori

1 Perumusan Tujuan Pembelajaran

3,5 Sangat Baik

2 Bahasa 4,0 Sangat Baik

3 Isi yang Disajikan

3,5 Sangat Baik

4 Waktu 3,3 Baik

Validitas (%) 89,42 Sangat Valid

Reliabilitas 0,617 Tinggi

Secara keseluruhan, hasil validasi RPP diperoleh data seperti Tabel 1 berkategori sangat valid. Hal ini menunjukkan komponen-komponen yang dimuat telah sesuai dengan kriteria RPP yang baik menurut Akbar (2016) yaitu memenuhi aspek/kriteria: 1) perumusan tujuan pembelajaran yang jelas, 2) isi yang di sajikan, 3) alokasi waktu, dan 4) Bahasa. RPP yang dikembangkan ini di susun secara sistematis dengan memperhatikan langkah-langkah model/metode yang digunakan. Penyusunan RPP secara teratur dan profesional dapat dijadikan

pedoman agar rencana dan kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Serta memudahkan para pengajar melakukan pengamatan dan analisis terhadap program pembelajaran (Setiyasih, 2016).

Hasil Validasi Materi Ajar

Pada pengembangan materi ajar disesuaikan dengan metode problem

solving dengan materi listrik dinamis. Materi ajar dilengkapi dengan contoh soal serta pembahasan menggunakan prosedur berdasarkan kerangka kerja problem solving Polya, agar siswa terbiasa menggunakan metode problem

solving dalam pembelajaran. Selain itu isi materi ajar dibuat

bervariasi dengan menggunakan istilah-istilah yang unik dan dilengkapi dengan gambar menarik agar meningkatkan motivasi, semangat dan minat siswa dalam mempelajari materi ajar serta tidak membuat bosan.

Setiap akhir bab materi ajar dilengkapi dengan permainan acak kata yang bertujuan untuk mengingat kembali mengenai konsep - konsep dalam materi. Berikut gambar materi ajar yang dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Materi ajar yang dikembangkan

Materi ajar yang telah dikembangkan juga dilakukan validasi dengan hasil tertera pada Tabel 2.

Page 329: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

318

Tabel 2 Hasil validasi materi ajar No Aspek Tinjauan Skor Kategori

1

Kesesuaian materi dengan SK dan KD

3,3 Baik

Keakuratan Materi 3,1 Baik Kemutakhiran Materi 3,3 Baik

2

Teknik Penyajian 4,0 Sangat Baik Pendukung Penyajian 3,4 Baik Penyajian Pembelajaran 4,0 Sangat Baik Koherensi dan Keruntutan Alur Pikir 3,5 Sangat Baik

3

Lugas 3,0 Baik Komunikatif 4,0 Sangat Baik Dialog dan Interaktif 4,0 Sangat Baik Kesesuaian dengan Perkembangan Peserta Didik

3,3 Baik

Kesesuaian dengan Kaidah Bahasa 4,0 Sangat Baik Penggunaan Istilah, Simbol, atau Ikon

4,0 Sangat Baik

4 Kelayakan Kegrafikan 3,2 Baik Validitas (%) 84,44% Sangat Valid Reliabilitas 0,614 Tinggi

Secara keseluruhan, hasil validasi materi ajar diperoleh data seperti Tabel 2 memiliki kategori sangat valid. Hal ini menunjukkan aspek tinjauan yang dimuat dalam materi ajar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan BSNP yang kemudian dijabarkan dalam bentuk kriteria-kriteria yang cukup rinci sehingga siapa saja dapat menggunakannya.

Seperti yang dijelaskan Ulinuha, & Widodo (2016), Aspek kelayakan isi, yaitu: 1) kesesuaian materi pembelajaran dengan SK dan KD, 2) keakuratan materi pembelajaran, serta 3) kemutakhiran materi. Aspek kelayakan kebahasaan, terdiri dari: 1) komunikatif, 2) dialog dan interaktif, 3) lugas, 4) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia, 5) penggunaan istilah dan simbol atau ikon, dan 6) sesuai dengan perkembangan peserta didik (Kartikasari, 2015). Aspek kelayakan penyajian, terdiri dari: 1) teknik penyajian, 2) penyajian pembelajaran, 3) pendukung penyajian, dan 4) koherensi dan keruntutan alur pikir. Terakhir aspek kelayakan kegrafikan. Kesesuaian materi ajar yang dikembangkan ini dengan kriteria materi ajar yang

berkualitas menyebabkan tingkat validitasnya yakni sangat valid. Hasil Validasi LKS

LKS yang dikembangkan ini disesuaikan dengan metode problem

solving Polya dan disusun berdasarkan pada indikator dan disesuaikan dengan langkah - langkah pembelajaran dalam RPP, karakteristik siswa kelas X serta materi listrik dinamis.

Pada LKS yang dikembangkan ini, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi kegiatan praktikum, untuk membangun aktivitas siswa di kelas. Selain itu pada LKS disajikan permasalahan untuk melatihkan keterampilan pemecahan masalah siswa. Sedangkan LKS bagian kedua berisikan latihan soal yang disesuaikan dengan kerangka kerja Polya agar siswa lebih memahami materi pembelajaran yang diberikan. Berikut gambar LKS yang dikembangkan dengan menggunakan metode problem solving dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 330: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

319

Gambar 4 LKS yang dikembangkan

LKS yang telah dikembangkan juga dilakukan validasi dengan hasil yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil validasi LKS

No Aspek

Tinjauan Skor Kategori

1 Syarat-syarat Didaktik

3,3 Baik

2 Syarat-syarat Konstruksi

3,5 Sangat Baik

3 Syarat-syarat Teknis

4,0 Sangat Baik

Validitas (%) 89,58 Sangat Valid

Reliabilitas 0,707 Tinggi

Berdasarkan pada Tabel 3 LKS dikategorikan sangat valid. Adapun yang menyebabkan validasi LKS ini sangat valid dikarenakan aspek yang dimuat dalam LKS termasuk dalam kategori

LKS yang baik. Karena aspek LKS disusun sesuai dengan syarat-syarat yang disebutkan oleh Wahidah & Hasanuddin (2018) yaitu syarat didaktik, konstruksi, dan teknis

LKS merupakan pedoman bagi siswa dalam melakukan kegiatan berupa penyelidikan atau pemecahan soal secara terprogram (Rahmi, Wati, & Hartini, 2014). Menurut Wahidah & Hasanuddin (2018), LKS yang baik memenuhi tiga persyaratan, yaitu : 1) konstruksi, 2) dikdatik, dan 3) teknis.

Hasil Validasi THB

THB disusun berdasarkan pada KD, selanjutnya dijabarkan ke dalam indikator pembelajaran yang kemudian dirumuskan butir-butir soal. THB dilengkapi dengan kisi-kisi dan pedoman penskoran. Selain itu THB disusun dengan prosedur berdasarkan kerangka kerja Polya. Berikut gambar THB yang dikembangkan dengan menggunakan metode problem solving, dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 THB yang dikembangkan

THB yang telah dikembangkan

dilakukan validasi dengan hasil yang tertera pada Tabel 4.

Page 331: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

320

Tabel 4 Hasil validasi THB No.

Soal Aspek Tinjauan Skor Validitas

1 Konstruksi Umum 3,8 90,28 %

Sangat Valid Bahasa 3,0

2 Konstruksi Umum 3,9 91,67 %

Sangat Valid Bahasa 3,0

3 Konstruksi Umum 3,7 88,89 %

Sangat Valid Bahasa 3,0

4 Konstruksi Umum 3,9 91,67 %

Sangat Valid Bahasa 3,0

5 Konstruksi Umum 3,9 91,67 %

Sangat Valid Bahasa 3,0

6 Konstruksi Umum 3,9 91,67 %

Sangat Valid Bahasa 3,0 Reliabilitas 0,69 Tinggi

Berdasarkan pada Tabel 4 THB dapat dikategorikan sangat valid. Hal ini dikarenakan aspek THB yang dikembangkan disusun sesuai dengan aspek-aspek penilaian yang disebutkan Osnal, Suhartoni, & Wahyudi (2016) dan Harefa (2007) tentang THB yang baik dan bermutu tinggi yaitu memuat aspek penilaian konstruksi umum dan bahasa.

Selain itu, THB ini juga dilengkapi dengan kisi-kisi dan pedoman penskoran yang rinci dan jelas agar tidak terjadi bias dan variasi pemahaman ketika guru lain ingin menggunakannya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Safitri, Suratman, & Bistari (2017) yaitu THB yang dikembangkan harus dilengkapi dengan kisi-kisi soal, kunci jawaban, pedoman penskoran dan alternatif jawabannya agar memudahkan guru lain yang ingin menggunakannya.

Kepraktisan Perangkat Pembelajaran

Kepraktisan pada perangkat yang telah dikembangkan, diukur dengan keterlaksanaan pada RPP tiap pertemuan. Hasil keterlaksanaan RPP pada proses pembelajaran dapat dilihat pad Tabel 5.

Tabel 5 Hasil keterlaksanaan RPP

Kegiatan Skor

Penggalan 1 Fase 1 (Mempersiapkan siswa dan menyampaikan tujuan). 3,55 Fase 2 (Mendemonstrasikan Keterampilan). 3,69 Fase 3 (Membimbing Pelatihan Awal). 3,31 Fase 4 (Mengecek pemahaman dan umpan balik). 3,33

Penggalan 2 Fase 2 (Mendemonstrasikan pengetahuan). 3,39 Fase 3 (Membimbing Pelatihan Awal). 3,30 Fase 4 (Mengecek pemahaman dan umpan balik). 3,08 Fase 5 (Memberikan pelatihan lanjutan dan penerapannya). 3,75 Penutup. 3,54 Rata-rata 3,34

Kategori Sangat Baik

Page 332: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

321

Berdasarkan Tabel 5, rata-rata keterlaksanaan RPP secara keseluruhan termasuk kategori sangat baik. Hal ini disebabkan setiap fase dapat dilaksanakan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Mudahnya RPP ini dilaksanakan dikarenakan sintaks-sintaks yang dimuat dalam RPP disusun secara rinci, runut dan sistematis. Sejalan dengan Nieveen (1999) yang mengemukakan faktor yang mempengaruhi kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan yaitu perencanaan pembelajaran yang telah disusun secara detail. Keefektifan Perangkat Pembelajaran

Keefektifan perangkat pembelajaran diukur dari pencapaian hasil belajar siswa yaitu dari nilai pretest

dan posttest yang kemudian dihitung N-gain score. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pretest dan posttest

Rata-

Rata

Pretest

Rata-

Rata-

Posttest

< 𝒈 > Kategori

3,61 46,54 0,4 Sedang Berdasarkan Tabel 6, nilai uji gain

termasuk dalam kategori sedang. Nilai tersebut menunjukkan peningkatan dari hasil pretest ke hasil posttest siswa. Hal ini menunjukan bahwa pengembangan

perangkat pembelajaran yang dikembangkan cukup efektif untuk diterapkan pada proses pembelajaran.

Adapun yang menyebabkan efektivitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan ini berkategori sedang disebabkan pada saat kegiatan pembelajaran di kelas menggunakan metode problem solving. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian Ruskandi & Hendra (2016) yang menunjukan bahwa metode problem

solving mampu membuat sistem belajar menjadi lebih aktif, dan dapat mengubah kebiasaan belajar siswa yang biasanya hanya menerima informasi langsung dari guru menjadi mampu memecahkan masalah berdasarkan hasil temuan sendiri. Selain itu, hasil penelitian dari Orrahmah, An’nur, & Salam (2016) memberikan kesimpulan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang tinggi dan signifikan dengan kemajuan belajar. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan pemecahan masalah ditinjau dari skor THB. Tahapan – tahapan kemampuan pemecahan masalah tersebut adalah : (1) Memahami masalah, (2) Merencanakan penyelesaian, (3) Menyelesaikan masalah, (4) Melakukan pengecekan. Adapun hasilnya yaitu seperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Kemampuan Pemecahan Masalah No. Soal Tahapan 1 Tahapan 2 Tahapan 3 Tahapan 4

1 73,1 11,5 49,5 25,6 2 83,7 11,5 98,7 69,2 3 50,8 0,0 29,4 5,1 4 57,7 11,5 88,9 46,2 5 53,8 11,5 57,1 53,8 6 34,6 7,7 22,1 3,1

Rata-rata Keseluruhan

58,94 8,97 57,63 33,85

Kriteria Cukup Sangat Kurang Cukup Kurang

Berdasarkan Tabel 7 rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah siswa

berada pada kategori cukup. Namun pada tahap kedua dan ke empat masih

Page 333: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

322

berkategori sangat kurang. Pada tahap kedua, seharusnya siswa menuliskan persamaan yang akan digunakan, namun dilewatkan oleh sebagian besar siswa. Begitu pula pada tahap keempat. Seharusnya siswa mengecek satuan dengan menuliskan satuannya. Hal ini disebabkan belum terbiasanya siswa menyelesaikan persoalan dengan kerangka pemecahan masalah Polya.

Agar siswa terbiasa, diperlukan adanya latihan secara terus menerus (kontinu) lebih dari 3 kali pertemuan. Hal ini didukung oleh pendapat Misbah (2016) tentang pentingnya latihan dengan metode problem solving agar terbiasa memecahkan masalah dengan prosedur yang lengkap.

Secara keseluruhan pencapaian kemampuan pemecahan masalah dapat melatihkan siswa karena diperoleh pencapaian kategori cukup dan terjadi peningkatan dari data awal yang berkategori sangat kurang. Dengan demikian, perangkat pembelajaran fisika menggunakan metode problem solving

berusaha untuk dapat melatihkan kemampuan pemecahan masalah pada diri siswa. Hasil ini didukung oleh penelitian Ahliha, Mastuang, & Mahardika (2017) bahwa metode Problem Solving dapat meningkatkan proses kemampuan penyelesaian masalah siswa secara ilmiah. SIMPULAN

Perangkat pembelajaran fisika dengan metode problem solving pada materi listrik dinamis yang dikembangkan dinyatakan layak diterapkan dalam proses pembelajaran. Adapun temuan dari penelitian ini yaitu, a) validitas perangkat yang dikembangkan berkategori sangat valid dan reliable, b) kepraktisan pada perangkat berkategori sangat baik, c) keefektifan perangkat termasuk dalam gain score sedang, serta d) kemampuan pemecahan masalah siswa berkategori cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Ahliha, S., Mastuang, M., & Mahardika, A. I. (2017). Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII E SMP Negeri 26 Banjarmasin dengan menggunakan metode pemecahan masalah (problem solving) dalam setting pengajaran langsung. Berkala Ilmiah Pendidikan Fisika, 5(1), 118–132.

Akbar, S. 2016. Instrumen Perangkat

pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Amrita, P. D., Jamal, M. A., & Misbah, M. M. (2016). Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa melalui model pengajaran langsung pada pembelajaran fisika di kelas x ms 4 sma negeri 2 banjarmasin. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(3), 248-261. Atqiya, N., Jamal, M. A., & Mahardika,

A. I. (2016). Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan rumus fisika dengan menggunakan metode problem solving dalam sintaks pengajaran langsung pada siswa kelas viib smp muhammadiyah 1 banjarmasin. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(3), 237-247. Fahrina, F., Jamal, A., & Salam, A.

(2018). Meningkatkan kemampuan analisis sintesis siswa kelas x mia 6 sma negeri 2 banjarmasin melalui model pengajaran langsung dengan metode problem solving. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 6(1), 98-117.

Febriansyah, R., Yusmin, E., & Nursangaji, A. (2016). Analisis kesulitan siswa dalam memahami materi persamaan linear dua variabel di kelas X SMA. Jurnal

Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(3), 1–9.

Gunada, I. W., Sahidu, H., & Sutrio, S. (2015). Pengembangan perangkat pembelajaran fisika berbasis dan

Page 334: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

323

sikap ilmiah mahasiswa. Jurnal

Pendidikan Fisika Dan Teknologi, I(1), 38–46.

Harefa, A. O. (2007). Analisis konstruksi tes terhadap evaluasi hasil belajar. DIDAKTIK, 1(2), 94–100.

Haryandi, S., Zainuddin, Z., & Suyidno, S. (2013). Meningkatkan kemampuan analisis sintesis siswa melalui penerapan pengajaran langsung dengan metode problem solving. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 1(3), 265-270. Johan, H. (2013). Pengaruh SSCS

problem solving untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa pada pembelajaran konsep listrik dinamis. Jurnal Pendidikan

Matematika Dan IPA, 4(1), 13–19. Kartikasari, Y. (2015). Kelayakan isi dan

bahasa pada buku teks bupena bahasa indonesia kelas VII Karya Ima Rohimah. Jurnal Kata

(Bahasa, Sastra, Dan

Pembelajarannya), 1–6. Makrufi, A. (2016). Analisis kemampuan

pemecahan masalah siswa pada materi fluida dinamis. JURNAL

PEMBELAJARAN FISIKA, 4(5), 332–340.

Misbah, M. (2016). Identifikasi kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada materi dinamika partikel. Jurnal Inovasi Dan

Pembelajaran Fisika,3(2). Nieveen, N. (1999). Design approaches

and tools in education and training. Dordrecht: ICO Cluwer Academic

Publisher, 155–174. Nurliawaty, L., Yusuf, I., &

Widyaningsih, S. W. (2017). Lembar kerja peserta didik (LKPD) berbasis problem solving polya. Jurnal Pendidikan

Indonesia, 6(1), 72–81. Orrahmah, A., An’nur, S., & Salam, A.

(2016). Meningkatkan hasil belajar melalui model pengajaran langsung dengan metode problem

solving. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(2), 127–136. Osnal, O., Suhartoni, S., & Wahyudi, I.

(2016). Meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun tes hasil belajar akhir semester melalui workshop di KKG Gugus 02 Kecamatan Sumbermalang Tahun 2014/2015. Pancaran

Pendidikan, 5(1), 67–82. Rahmi, R., Wati, M., & Hartini, S.

(2014). Pengembangan lembar kerja siswa (LKS) berbasis inkuiri terbimbing dan multimedia pembelajaran IPA SMP. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 2(2), 133.

Ruskandi, K., & Hendra, H. (2016). Penerapan metode problem solving untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran ips di sekolah dasar. Metodik Didaktik, 10(2), 66–73.

Safitri, E., Suratman, D., & Bistari, B. (2017). Pengembangan instrumen untuk mengukur kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa dalam aspek fonetik materi geometri SMP. Jurnal Pendidikan Dan

Pembelajaran, 6(9), 1–14. Setiyasih, R. M. (2016). Kesesuaian

rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp) dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa jawa di smp se-kecamatan pulosari kabupaten pemalang. Javanese Learning and

Teaching Journal, 4(1), 65. Sophia, A., Enawaty, E., & Sartika, R. P.

(2017). Deskripsi kemampuan pemecahan masalah dalam materi perhitungan kimia pada siswa kelas XI SMA. Jurnal Pendidikan

Dan Pembelajaran, 7(2). Sugiantara, I. P. E., Arini, N. W., &

Tastra, I. D. K. (2014). Belajar matematika siswa kelas v universitas pendidikan ganesha. MIMBAR PGSD Undiksha, 2(1).

Page 335: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

324

Ulinuha, K., & Widodo, J. (2016). Analisis kelayakan isi buku teks mata pelajaran ekonomi SMA kelas X berdasarkan kurikulum tingkat satauan pendidikan (KTSP) di Kabupaten Semarang. Economic Education Analysis

Journal, 5(1), 206–218. Utami, R. W., & Wutsqa, D. U. (2017).

Analisis kemampuan pemecahan masalah matematika dan self-efficacy siswa SMP negeri di

Kabupaten Ciamis. Jurnal Riset

Pendidikan Matematika, 4(2), 166. Wahidah, N., & Hasanuddin, H. (2018).

Pengembangan lembar kerja siswa dengan model pembelajaran koperatif tipe kreatif-produktif untuk memfasilitasi kemampuan pemahaman konsep matematis siswa SMP Negeri 21 Pekanbaru. Journal For Research In

Mathematics Learning, 1(1), 79–90.

Page 336: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

325

Pengembangan Bahan Ajar Getaran Harmonis Melalui Model Pembelajaran

Inkuiri Terbimbing Untuk Melatihkan Kemampuan 5M

Pina Ayu Imanah, Mustika Wati, dan Abdul Salam M

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

Abstrak

Belum tersedianya bahan ajar yang secara khusus melatihkan kemampuan 5M peserta didik di SMAN 5 Banjarmasin melatarbelakangi dilakukan penelitian dan pengembangan bahan ajar fisika SMA topik getaran harmonis melalui pembelajaran inkuiri terbimbing. Tujuan penelitian ini menghasilkan bahan ajar serta kelayakan penggunaannya, sehingga secara khusus dapat dirumuskan tujuan yaitu.mendeskripsikan validitas bahan ajar, kepraktisan bahan ajar, dan efektivitas bahan ajar. Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D) dengan model ADDIE. Data diperoleh melalui lembar validasi bahan ajar, lembar pengamatan keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan lembar pengamatan kemampuan 5M. Subjek uji coba adalah peserta didik kelas .X MIA 4 SMA Negeri 5 Banjarmasin. Hasil penelitian. menunjukkan bahwa (1) validitas bahan ajar meliputi RPP, materi ajar, Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), dan Tes Hasil Belajar (THB) berkategori baik, (2).kepraktisan bahan ajar berdasarkan keterlaksanaan RPP berkategori sangat baik, (3) efektivitas bahan ajar berdasarkan kemampuan 5M berkategori sangat baik. Simpulan penelitian yaitu bahan ajar fisika SMA topik getaran harmonis melalui pembelajaran inkuiri terbimbing untuk melatihkan kemampuan 5M yang.dikembangkan layak untuk digunakan. Kata Kunci: Bahan.ajar, model inkuiri terbimbing, kemampuan 5M

PENDAHULUAN

Kuatnya arus globalisasi memunculkan persaingan salah satunya pada bidang pendidikan, untuk mengahadapi tantangan tersebut perlunya peningkatan kualitas pendidikan. Di era abad 21 dibutuhkan berpikir kritis dan keterampilan inovasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Rahma, 2012). Pendekatan saintifik digunakan pada kurikulum 2013 sesuai dengan permendikbud di indonesia (Musfiqon & Nurdyansyah, 2015). Pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang metode pencariannya harus berdasarkan pada bukti dari objek yang dapat diamati secara empiris serta terukur dengan ajaran penalaran yang khusus melalui kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan atau bisa kita kenal

dengan sebutan 5M (Aprilia & Mulyaningsih, 2014).

Berdasarkan hasil observasi di SMA Negeri 5 Banjarmasin diperoleh bahwa: 1) bahan ajar yang digunakan diperoleh dari sumber tertentu, 2) guru menggunakan metode ceramah dan penugasan, belum pernah dilakukan kegiatan penyelidikan seperti praktikum, sehingga peserta menjadi tidak aktif dan terlihat pasif karena kurang diberi kesempatan untuk ikut serta secara aktif dalam pembelajaran, 3) pembelajaran yang berlangsung hanya diperhatikan oleh sebagian peserta didik saja dan sebagian peserta didik tidak konsentrasi dalam pelajaran hanya ribut sendiri seraya berbicara bersama temannya, serta ada pula yang diam tetapi tidak memahami apa yang disampaikan guru dan 4) masih rendahnya pemahaman materi fisika

Page 337: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

326

perlu waktu yang lama untuk menjelaskan suatu materi. Selain melakukan pengamatan selama PPL peneliti juga melakukan tes awal untuk mengetahui kemampuan 3M peserta didik kelas X MIA 4 SMA Negeri 5 Banjarmasin berupa kemampuan menanya, menalar, dan mengkomunikasikan peserta didik. Diperoleh rata-rata keseluruhan kemampuan 3M sebesar 46,70. Pembelajaran berbasis sains adalah model pembelajaran inkuiri yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan peserta didik (Jaya & Sadia, 2014).

Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah tersebut yaitu melalui pengembangan bahan ajar menggunakan model inkuiri terbimbing untuk melatihkan kemampuan 5M. Model inquiry

learning merupakan suatu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencari, menyelidiki, dan menemukan sesuatu secara sendiri. Model inquiry

learning terbagi dalam beberapa tingkatan yang salah satunya adalah model inquiry learning terbimbing yang cocok diterapkan untuk pembelajaran yang berkaitan dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasar dalam bidang ilmu tertentu (Anam, 2016). Kelebihan dari menggunakan model inkuiri adalah tahap-tahap pembelajarannya dimana terdapat enam tahapan yang sesuai untuk peningkatan kemampuan 5M peserta didik (Azizah, Jayadinata, & Gusrayani, 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, diperoleh bahwa penggunaan perangkat pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing dapat melatihkan keterampilan proses sains peserta didik (Ayuningtyas, Soegiman, & Imam, 2015; Astuti, Hartini, & Mastuang, 2018). Selain itu penelitian mengenai penerapan model pembelajaran inkuiri dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik (Chairinda, Ngadimin, & Soewarno, 2017 ; Marisyah, Zainuddin, & Hartini, 2016), dapat melatih keterampilan generik sains peserta didik (Amalia, Zainuddin, & Misbah, 2016), dan sikap ilmiah peserta didik (Misbah, Dewantara, Hasan, & Annur, 2018). Serta hasil penelitian dari (Arifuddin, Salam, & Shofa, 2017) menyatakan bahwa pengembahan bahan ajar tersebut mampu melatihkan kemampuan 5M. Oleh karena itu, dengan menggunakan bahan ajar fisika melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing pada pokok bahasan getaran harmonis diharapkan dapat melatihkan kemampuan 5M peserta didik di SMA Negeri 5 Banjarmasin. Tujuan penelitian ini menghasilkan bahan ajar serta kelayakan penggunaannya, ditinjau dari aspek validitas, kepraktisan, dan efektivitas bahan ajar.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan. Model pengembangan yang digunakan yaitu model pengembangan ADDIE. Subjek uji coba penelitian ini ialah peserta didik kelas X MIA 4 SMAN 5 Banjarmasin sebanyak 33 orang. Jenis data hasil validasi berupa data kuantitatif. Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian yaitu RPP, LKPD, materi ajar, dan THB. Instrumen pengumpulan data berupa lembar validasi dan lembar pengamatan. Lembar validasi untuk mengetahui valid atau tidaknya bahan ajar. Lembar pengamatan bertujuan untuk mengamati keterlaksanaan RPP untuk mengetahui kepraktisan bahan ajar. Dan kemampuan 5M diukur dengan menggunakan lembar pengamatan untuk mengetahui efektivitas bahan ajar.

Teknik analisis data untuk bahan ajar menggunakan lembar validasi yang telah dinilai oleh akademisi dan praktisi, kemudian dihitung rerata skornya. Kepraktisan bahan ajar dilihat dari

Page 338: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

327

keterlaksaan RPP diukur dari lembar pengamatan yang telah dinilai oleh observer pada saat proses pembelajaran berlangsung , kemudian dihitung rerata skornya. Dan untuk efektivitas bahan ajar diukur dari lembar pengamatan kemampuan 5M yang diamati oleh dua orang pengamat untuk memberikan skor penilaian yang tepat pada setiap pertemuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produk Bahan ajar fisika SMA topik getaran harmonis melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk melatihkan kemampuan 5M yang dikembangkan meliputi RPP, LKD, materi ajar, dan THB. Bahan ajar yang telah divalidasi, disimulasikan, dan diuji cobakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan bahan ajar yang dikembangkan.

Validitas Bahan Ajar Hasil Validasi RPP

Pada penelitian ini RPP menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. RPP yang dikembangkan ini mengacu pada kompetensi inti dan kompetensi dasar yang berikutnya menjadi indikator dan tujuan pembelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum 2013 revisi 2016. Hasil validasi RPP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Validasi RPP

No Aspek

Tinjauan Skor

1. Format RPP 3,13 2. Bahasa 3,07 3. Isi RPP 3,12 Rata-rata 3,12 Kategori Baik

RPP yang dikembangkan ini sesuai dengan sintaks pembelajaran inkuiri yang kemukakan oleh Arends yang terdiri atas 6 tahapan yang didalamnya memuat tahapan kemampuan 5M. Pada

penyusunan RPP guru juga memuat standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar dan evaluasii (Chodijah, Fauzi, & Wulan, 2012).

RPP yang dikembangkan untuk tiga kali pertemuan dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing materi getaran harmonis untuk melatihkan kemampuan 5M pada peserta didik yang telah di validasi oleh tiga orang validator. Hasil validasi RPP dari tiga validator terdiri dari 3 aspek tinjauan, yaitu format RPP, bahasa, dan isi RPP dalam kategori baik.

Menurut (Daryanto & Dwicahyo, 2014) bahwa secara umum ciri-ciri RPP yang baik sebagai berikut: 1) memuat aktivitas proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan oleh guru yang akan menjadi pengetahuan belajar bagi peserta didik, dan 2) tahapan pembelajaran disusun secara terstruktur supaya tujuan pembelajaran dapat dicapai dan pembelajaran disusun sejelas mungkin, jikalau RPP digunakan oleh guru lain (misalnya ketika guru pelajaran tidak hadir), mudah dimengerti dan tidak membuat penafsiran ganda.

Hasil Validasi LKPD

Lembar kegiatan peserta didik adalah pedoman peserta didik yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan penemuan atau pemecahan masalah. LKPD dikembangkan bertujuan untuk melatihkan kemampuan 5M pada peserta didik berdasarkan pada indikator dan disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran dalam RPP, karakteristik peserta didik dan materi getaran harmonis. LKPD yang dikembangkan ini ada tiga disesuiakan dengan RPP yaitu LKPD-1 tentang ayunan sederhana bandul, LKPD-2 tentang getaran harmonis pada pegas dan LKPD-3 tentang energi mekanik getaran harmonis.

Page 339: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

328

LKPD terdiri dari judul percobaan, identitas kelompok, hari/tanggal,.tujuan percobaan, alat dan bahan, permasalahan, rumusan masalah, rumusan hipotesis, prosedur percobaan analisis, kesimpulan,.dan pertanyaan diskusi. LKPD tersebut dikembangkan mengacu pada model inkuiri terbimbing, dimana peserta didik dibimbing dan diarahkan untuk menentukan jawaban dalam praktikum. LKPD dibuat menarik dengan bingkai berwarna dan gambar animasi berwarna agar peserta didik tidak merasa bosan. Hasil dari LKPD yang dikembangkan pada materi getaran harmonis untuk melatihkan kemampuan 5M dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil validasi LKPD

No Aspek Tinjauan Skor

1. Format LKPD 3,33 2. Bahasa 3,17 3. Isi LKPD 3,25 Rata-rata 3,25 Kategori Baik

Penggunaan LKPD dalam proses

pembelajaran sangat bermanfaat karena LKPD dapat mengembangkan keterampilan proses, mengembangkan sikap ilmiah, membangkitkan minat peserta didik terhadap alam sekitarnya, meningkatkan aktivitas peserta didik, dan memudahkan guru dalam mengajar (Darmodjo & Kaligis, 1993). LKPD yang berorientasi pada kemampuan 5M atau keterampilan proses sains, peserta didik dituntut untuk aktif sehingga mampu menemukan fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai melalui percobaan (Masithussyifa, Ibrahim, & Ducha, 2012).

Hasil Validasi Materi Ajar

Materi ajar getaran harmonis .yang dikembangkan terbagi menjadi tiga yaitu materi ajar pertemuan I berisi pokok bahasan tentang pengertian getaran, amplitudo, frekuensi, dan periode pada bandul. Materi ajar pertemuan II berisi

pokok bahasan tentang gaya pemulih pada pegas, amplitudo, periode, dan frekuensi pada pegas. Sedangkan pertemuan III berisi tentang simpangan,kecepatan, percepatan, serta energi pada getaran harmonis. Hasil validasi dari materi ajar yang dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Validasi Materi Ajar

Materi ajar merupakan salah satu

dari bahan ajar. Isi dari bahan ajar minimal mencakup 8 hal yaitu petunjuk belajar, kompetensi yang akan diperoleh, isi materi pembelajaran, informasi pendukung, latihan-latihan, petunjuk kerja yang dapat berupa lembar kerja, evaluasi, dan respon atau balikan terhadap hasil evaluasi (Depdiknas, 2008).

Hasil Validasi THB

Tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran. THB dibuat mengacu pada tujuan pembelajaran pada RPP yang disusun menjadi kisi-kisi yang berisi nomor soal, indikator soal, soal, level soal, kunci jawaban, dan skor. THB yang dikembangkan dalam bentuk essai yang terdiri dari 8 soal mengenai getaran harmonis. Ranah kognitif soal essai adalah C2, C3, dan C4. THB digunakan untuk mengukur tercapainya tujuan pembelajaran dan melatihkan kemampuan 5M. Adapun komponen kemampuan 5M yang dapat dilatihkan dari THB yang dikembangkan adalah kemampuan mengamati, menalar,

No Aspek Tinjauan Skor

1. Format Materi Ajar 3,24

2. Bahasa 3,12 3. Isi Materi Ajar 3,00 4. Penyajian 3,10

5. Manfaat/ Kegunaan 3,00 Rata-rata 3,09 Kategori Baik

Page 340: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

329

menganalisis, dan menyimpulkan. THB disusun sesuai dengan karakteristik peserta didik dan materi getaran harmonis. Hasil validasi THB yang dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil Validasi THB

No Aspek Tinjauan Skor

Rata-rata

1. Konstruksi umum 3,50 2. Validitas Butir 3,25 Rata-rata 3,38 Kategori Sangat Baik

Soal THB dibuat untuk

mengetahui kemampuan peserta didik pada ranah psikomotorik. THB merupakan butir tes yang digunakan

untuk mengukur pencapaian peserta didik setelah akhir pembelajaran, yang disusun berdasarkan kisis-kisi penyusunan butir soal lengkap dengan jawabannya (Arendhany, Wati, & Salam, 2016).

Kepraktisan Bahan Ajar

Kepraktisan bahan ajar ditentukan dari keterlaksanan RPP. Bahan ajar yang dikembangkan dikatakan praktis bila para ahli dan praktisi menyatakan. bahwa secara teoritis bahan ajar dapat diterapkan di lapangan dan tingkat keterlaksanaan RPP berkategori baik dengan meninjau langkah-langkah pada kegiatan dalam RPP dapat dilaksanakan guru dalam pembelajaran di kelas (Rochmad, 2012).

Tabel 5 Keterlaksanaan RPP

Kegiatan Pembelajaran Rata-rata per pertemuan Rata-rata per aspek

I II III Rata-rata Kategori

Mendapatkan perhatian dan menjelaskan proses inkuiri

2,86 3,29 3,29 3,15 Baik

Menyajikan permasalahan 3,08 3,50 3,83 3,47

Sangat baik

Meminta peserta didik merumuskan hipotesis untuk menjelaskan permasalahan atau kejadian

3,50 3,00 3,50 3,33 Sangat baik

Mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data untuk menguji hipotesis

3,10 3,50 3,70 3,43 Sangat baik

Merumuskan penjelasan dan/atau kesimpulan

2,50 3,00 3,50 3,00 Baik

Merefleksi situasi bermasalah dan proses berpikir yang digunakan untuk menyelidikinya

3,25 3,25 3,58 3,36 Sangat baik

Rata-rata per pertemuan 3,05 3,26 3,57 3,29

Sangat baik

Reliabilitas 0,52 0,63 0,67 0,61 Tinggi

Berdasarkan Tabel 5, diperoleh nilai rata-rata keterlaksanaan RPP sebesar 3,29 kategori sangat baik. Rerata keterlaksanaan RPP tiap pertemuaan

mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan setiap selesai pembelajaran pada tiap pertemuan dilakukan evaluasi agar kegiatan pembelajaran pada tiap

Page 341: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

330

pertemuan selanjutnya dapat terlaksana dengan baik. Pelaksanaan kemampuan 5M peserta didik dilaksanakan sepanjang proses pembelajaran berlangsung.

Efektivitas Bahan Ajar

Efektivitas bahan ajar dilihat dari kemampuan 5M peserta didik. Pada setiap pertemuan selama kegiatan pembelajaran, dilakukan pengamatan terhadap kemampuan 5M peserta didik. Hasil kemampuan 5M peserta didik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kemampuan 5M Peserta Didik

Berdasarkan Tabel 6, diketahui

bahwa pada pertemuan II, kemampuan mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan mengalami peningkatan yang signifikan. Sedangkan pertemuan III diketahui ada beberapa kemampuan yang mengalami peningkatan dan penurunan. Dari data tersebut pada pertemuan III mengalami penurunan pada aspek menanya, menalar/menganalisis, dan mengkomunikasikan. Hal ini disebabkan beberapa kemampuan yang mengalami peningkatan dan penurunan. Dari data tersebut pada pertemuan III mengalami penurunan pada aspek menanya, menalar/menganalisis, dan mengkomunikasikan hal ini disebabkan percobaan yang berbeda dari pertemuan I dan II, alat dan bahan percobaan yang kurang sehingga antar kelompok saling bergantian dan menyebabkan beberapa kelompok yang tidak sempat untuk menganalisis hasil percobaan mereka. Sehingga memakan waktu yang cukup banyak sehingga guru mempersingkat waktu mereka melakukan kegiatan setelah mengumpulkan data. Waktu yang dipercepat ini membuat peserta didik

lebih terfokus untuk menyelesaikan mengisi LKPD dengan tepat waktu tanpa memperhatikan dengan baik cara penyampaian dan penulisan mereka. Sedangkan untuk Aspek kemampuan mengamati dan mencoba pada pertemuan I,II, dan III mengalami peningkatan. Pada dasarnya, kemampuan 5M yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar/menganalisis. Alasan yang mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam kegiatan mengamati adalah adanya faktor yang berasal dari dalam melingkupi faktor panca indra, intelegensi, gaya belajar,.minat, dan motivasi, serta faktor dari luar peserta didik mencakup sarana dan prasarana, guru, keluarga dan lingkungan sosial peserta didik di sekolah Lestarini & Putra, 2015).

Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dilengkapi dengan LKS dapat meningkatkan keterampilan proses sains (Kurniawati, Masykuri, & Saputro, 2016; Karim, Zainuddin, & Mastuang, 2016). Menurut Rohman & Amri suatu produk dapat dikatakan efektif jika dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang telah

Aspek 5M

Skor rata-rata per

pertemuan Rata-rata Kategori

I II III

Mengamati 3,42 3,83 3,92 3,72 Sangat baik

Menanya 3,58 4,00 3,92 3,83 Sangat baik

Mencoba 3,58 3,83 4,00 3,80 Sangat baik

Menalar/menganalisis 3,08 3,17 1,83 2,69 Baik Mengkomunikasikan 2,83 3,17 2,83 2,94 Baik

Skor rerata 3,40 Sangat Baik

Page 342: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

331

ditetapkan oleh pengembang (Anisah, Wati, & Mahardika, 2016). Rata-rata nilai kemampuan 5M peserta didik untuk tiga kali pertemuan yaitu sebesar 3,40 dalam kategori sangat baik hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model inkuiri terbimbing untuk melatihkan kemampuan 5M efektif.

SIMPULAN

Bahan ajar fisika model inkuiri terbimbing dinyatakan layak untuk melatihkan kemampuan 5M pada peserta didik. Bahan ajar fisika model inkuiri terbimbing untuk melatihkan kemampuan 5M meliputi RPP, materi ajar, LKPD, dan THB dinyatakan valid. Kepraktisan bahan ajar bernilai praktis berdasarkan keterlaksanaan RPP, dan bahan ajar dinyatakan efektif berdasarkan kemampuan 5M peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Y. F., Zainuddin, Z., & Misbah, M. (2016). Pengembangan bahan ajar ipa fisika berorientasi keterampilan generik sains menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing di smp negeri 13 banjarmasin. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(3), 183-191. Anam, K. (2016). Pembelajaran

Berbasis Inkuiri Metode dan

Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anisah, A., Wati, M., & Mahardika, A. I. (2016). Pengembangan perangkat pembelajaran getaran dan gelombang dengan model inkuiri terstruktur untuk siswa kelas VIIIA SMPN 31 Banjarmasin. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 4(1), 1–12.

Aprilia, L., & Mulyaningsih, S. (2014). Penerapan perangkat pembelajaran materi kalor melalui pendekatan saintifik dengan model

pembelajaran guided discovery kelas X SMA. Jurnal Inovasi

Pendidikan Fisika, 3(3), 1–5. Arendhany, H., Wati, M., & Salam, A.

(2016). Pengembangan bahan ajar fisika pada pokok bahasan suhu dan kalor dengan model pembelajaran sains Banjarmasin, Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(2), 112–120. Arifuddin, M., Salam, A., & Shofa, M.

(2017). Pengembangan bahan ajar berwawasan lingkungan bantaran sungai untuk melatihkan kemampuan 5M. Jurnal Sains Dan

Pendidikan Fisika, (April), 248–254.

Astuti, M. W., Hartini, S., & Mastuang, M. (2018). Pengembangan modul ipa dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi suhu dan kalor untuk melatihkan keterampilan proses sains. Berkala Ilmiah Pendidikan

Fisika, 6(2), 205-218. Ayuningtyas, P., Soegimin, S., & Imam,

S. A. (2015). Pengembangan perangkat pembelajaran fisika dengan model inkuiri terbimbing untuk melatihkan keterampilan proses sains siswa pada materi fluida statis. Jurnal Pendidikan

Sains Pascasarjana Universitas

Negeri Surabaya, 4(2), 638. Azizah, H. N., Jayadinata, A. K., &

Gusrayani, D. (2016). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi energi bunyi. Jurnal Pena Ilmiah, 1(1), 51–60.

Chairinda, C. I., Ngadimin, & Soewarno. (2017). Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI MIA 1 pada materi getaran harmonis di SMAN 12 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Pendidikan Fisika, 2(1), 70–76.

Chodijah, S., Fauzi, A., & Wulan, R.

Page 343: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

332

(2012). Pengembangan perangkat pembelajaran fisika menggunakan model guided inquiryyang dilengkapi penilaian portofolio pada materi gerak melingkar. Penelitian Pembelajaran Fisika, 1, 1–19.

Darmodjo, H., & Kaligis, J.R.E. (1993). Pendidikan ipa 2. Jakarta: Depdikbud.

Daryanto & Dwicahyono, A. (2014). Pengembangan perangkat

pembelajaran (silabus, rpp, phb,

bahan ajar). Yogyakarta: Gava Media.

Depdiknas. (2008). Panduan

pengembangan bahan ajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Jaya, I. M., & Sadia, I. W. (2014). Pengembangan perangkat pembelajaran biologi bermuatan pendidikan karakter dengan setting guided inquiry untuk meningkatkan karakter dan hasil belajar siswa SMP. E-Journal PGSD

Uniiversitas Pendidikan Ganesha

Pendidikan Ganesha, 4, 1–12. Karim, M. A., Zainuddin, Z., &

Mastuang, M. (2016). Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 10 Banjarmasin Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(1), 44-51. Kurniawati, D., Masykuri, M., &

Saputro, S. (2016). Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dilengkapi LKS untuk meningkatkan keterampilan proses

sains dan prestasi belajar pada materi pelajaran 2014/2015 pokok hukum dasar kimia siswa kelas X MIA 4 SMAN 1 Karanganyar Tahun. Jurnal Pendidikan Kimia

(JPK), 5(1), 16–21. Marisyah, M., Zainuddin, Z., & Hartini,

S. (2016). Meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar siswa pada pelajaran ipa fisika kelas viii b smpn 24 banjarmasin melalui model inkuiri terbimbing. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(1), 52-63. Masithussyifa, R. K., Ibrahim, M., &

Ducha, N. (2012). Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Berorientasi Keterampilan Proses pada Pokok Bahasan Sistem Pernapasan Manusia. BioEdu, 1(1), 7–10.

Misbah, M., Dewantara, D., Hasan, S. M., & Annur, S. (2018). The development of student worksheet by using Guided Inquiry Learning Model to train student's scientific attitude. Unnes Science Education

Journal, 7(1). Musfiqon, HM., & Nurdyansyah. (2015).

Pendekatan pembelajaran saintifik. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Rochmad, R. (2012). Desain model pengembangan perangkat pembelajaran matematika. Jurnal

Kreano, 3(1), 59–72. Suyidno, S. (2012). Evaluasi belajar

fisika. Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin: FKIP Unlam.

Page 344: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

333

Penerapan Model Quantum Teaching untuk Meningkatkan Keterampilan

Proses Sains dan Hasil Belajar Peserta Didik

Atikah, Muhammad Arifuddin, dan Sarah Miriam

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

Abstrak

Rendahnya keterampilan proses sains berakibat rendahnya hasil belajar peserta didik kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin. Maka dari itu, dilaksanakan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar peserta kelas X C SMKN 1 Banjarmasin menggunakan model quantum teaching. Tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan: 1) keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, 2) keterampilan proses sains, dan 3) hasil belajar. Penelitian ini memakai jenis penelitian tindakan kelas model Kemmis dan Mc Taggart dengan 2 siklus, setiap siklus mencakup perencanaan, pelaksanaan/ pengamatan, dan refleksi. Subjek penelitian ini peserta didik kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin yang terdiri dari 28 peserta didik. Data didapat melalui pengamatan dan tes. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian memperlihatkan: 1) Keterlaksanaan RPP secara keseluruhan pada siklus I dan siklus II memperoleh kriteria sangat baik dengan persentase 82,50% dan 97,00%; 2) Keterampilan proses sains peserta dodik pada siklus I ke siklus II dengan kategori baik menjadi sangat baik dengan persentase 66,00% dan 90,22%; dan 3) Adanya peningkatan hasil belajar peserta didik dari siklus I yang tuntas sejumlah 53,57% menjadi 82,14% pada siklus II, maka bisa dikatakan tuntas secara klasikal. Didapat simpulan bahwa keterampilan proses sains dan hasil belajar peserta didik kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin meningkat dengan menerapkan model quantum teaching. Kata Kunci: Hasil belajar, keterampilan proses sains, quantum teaching

PENDAHULUAN

Pendidikan diarahkan untuk me-ngembangkan kemampuan peserta didik, baik pengetahuan maupun keterampilan untuk dipakai dalam menempuh kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Keterampilan proses sains merupakan salah satu keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan (Juhji, 2016).

Kegiatan belajar mengajar dalam Kurikulum 2013 mengutamakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah merupakan dimensi pendidikan modern. Pendekatan ilmiah semua mata pelajaran mencakup menelusuri informasi melalui mengamati, menanya, percobaan, mengolah data/informasi, menyampai-kan data/informasi, menganalisis,

menalar, setelah itu menyimpulkan dan membangun pengetahuann (Majid & Rochman, 2015). Namun kenyataannya keterampilan proses sains peserta didik kurang terampil diakibatkan kegiatan pembelajaran fisika disekolah lebih mengutamakan kemampuan materi.

Sutarno (Berlinda, Jamal, & Miriam, 2017) menyatakan keterampilan proses sains adalah keterampilan yang dikembangkan dan digunakan ilmuan dalam penyelidikan ilmiah. Melatihkan keterampilan proses sains berarti peserta didik belajar dengan proses mengamati dan melakukan dengan alat indra sehingga ingatan otak lebih kuat serta otak lebih cepat menangkap informasi seperti pendapat Magnesen (Hidayatulloh & Madlazim, 2015).

Page 345: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

334

Sejalan dengan meningkatnya proses sains maka akan meningkat pula hasil belajar peserta didik. Namun disekolah masih sangat jarang diajarkan keterampilan proses hingga berdampak pula dengan hasil belajar yang rendah. Hal ini sesuai pendapat Khairi (2016) mengatakan bahwa rendahmya keterampilan proses sains peserta didik rendah, akan berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik, karena ingkat pemahaman dan penguasaan materi pembelajaran menjadi berkurang.

Hasil wawancara guru fisika di SMKN 1 Banjarmasin, model dan metode yang digunakan masih berpusat pada guru yaitu metode ceramah, peserta didik sangat jarang melakukan percobaan sehingga membuat keterampilan proses sains peserta didik tergolong sangat rendah. Hal ini terlihat dari banyak peserta didik yang belum bisa mengisi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) pada percobaan.

Hasil observasi dengan membagikan LKPD untuk materi yang sudah pernah dipelajari, diperoleh keterampilan proses sains dari 36 peserta didik untuk aspek mengamati peserta didik yang tuntas dengan minimal kriteria cukup baik sebesar 22,22%. Aspek menanya yang tuntas sebesar 2,78%. Aspek mencoba yang tuntas 0 %. Aspek menganalisis 0% peserta didik yang tuntas. Dan aspek mengomunikasikan 0% peserta didik yang tuntas. Hal ini memperlihatkan bahwa kelas X C Multimedia keterampilan proses sainsnya masih sangat rendah.

Hasil Ujian tengah semester (UTS) kelas X C Multimedia dari 36 peserta didik, 16,67% peserta didik yang tuntas. Hal ini dikarenakan, guru fisika cenderung mengajar dengan metode ceramah, dan pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga peserta didik kurang berpatisispasi aktif saat pembelajaran berlangsung, yang membuat peserta didik cepat merasa

bosan. Selain itu, peserta didik sangat jarang melakukan pecobaan, sehingga keterampilan proses sains masih sangat rendah sehinngga berakibat hasil belajar yang sangat rendah. Demikian itu, agar proses pembelajaran meningkatkan, guru diharapkan memberikan pembelajaran yang membuat peserta didik aktif, menyenangkan, sehinga peserta didik tidak menjadi termotivasi untuk belajar fisika.

Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan keterampilan proses sains pada pembelajaran fisika adalah menciptakan pengajaran efektif dan efisien yaitu menggunakan model pembelajaran yang menyenangkan, sesuai kemampuan dan keperluan peserta didik serta sesuai materi ajar. Diantanya yaitu menggunakan model quantum teaching fase TANDUR (fase Tumbuhkan, fase Alami, fase Namai, fase Demonstrasikan, fase Ulangi, dan fase Rayakan).

Quantum teaching merupakan orkestrasi bebagai hubungan di dalam dan disekitar momen belajar. Hubungan-hubungan ini mengalihkan potensi dan bakat alamiah peserta didik menjadi cahaya yang berguna bagi mereka sendiri dan bagi orang lain (A’la, 2010).

De Porter, reardon dan Nourin berpedapat bahwa model quantum

teaching mempunyai prinsip pengalaman sebelum pemberian nama harus dilakukan dengan memberi peserta tugas (pengalaman/eksperimen) supaya peserta didik dapat meyimpulkan pembelajaran. Sehingga dengan adanya pengalaman dapat dilatihkan keterampilan proses sains (Wena, 2014). Fathurrohman (Isnaini, Wigati, & Halimatussya’diyah, 2016) berpendapat bahwa quantum

teaching mempunyai motto membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan, berusaha memberikan kiat-kiat petunjuk dalam mempertajam pemahaman dan daya ingat.

Model Quantum teaching dapat memfungsikan kedua belahan otak kiri

Page 346: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

335

dan otak kanan pada fungsinya masing-masing (Eriyanti, Suyidno, & Suriasa, 2014). (Shoimin, 2014) mengatakan kelebihan model quantum teaching yaitu peserta didik didorong agar aktif mencoba sendiri, mengamati, dan mencocokkan teori dengan kenyataan, dan dapat mencoba melakukannya sendiri.

Teori yang mendasari model quantum teaching adalah teori Multiple

Intelegences (kecerdasan ganda) yaitu teori yang bersifat filosofis. Teori tersebut menyatakan aktivator perkembangan kecerdasan selanjutnya yaitu pengalaman-pengalaman yang mengasikkan ketika (Budiningsih, 2005). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih, Kurniawan, & Ashari (2015) menyatakan model pembelajaran TANDUR dapat meningkatkan keterampilan proses sains, dan hasil belajar peserta didik (Hertanti, Zainuddin, & Suyidno, 2013). Oleh sebab itu, peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan cara meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar peserta didik kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk menangani permasalahan yang ada di kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin yang berkaitan dengan rendahnya keterampilan proses sains pada pembelajaran fisika. Model penelitian ini menggunakan model Kemmis & Mc Taggart dengan rincian siklus yaitu perencanaan, tindakan dan observasi, dan refleksi (Rahmawati, Mastuang, & Misbah, 2017).

Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 28 orang. Sedangkan objek penelitian ini adalah keterampilan proses sains kelas X C Multimedia SMKN 1 Banjarmasin tahun

pelajaran 2017/2018. Materi pokok yang dipelajari adalah listrik arus searah.

Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar keterlaksanaan RPP, lembar pengamatan keterampilan proses sains dan tes hasil belajar peserta didik. Keterlaksanaan RPP adalah tingkat kesesuaian langkah-langkah RPP dalam model quantum teaching yang diukur melalui lembar pengamatan keterlaksanaan RPP yang diisi oleh dua orang pengamat dan dapat dikatakan ketika memperoleh persentase minimal ≥ 61%, dengan kategori baik. Keterampilan proses sains merupakan skor yang diperoleh dalam melaksanakan praktikum dikelas dengan aspek yang dinilai yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasikan/ menalar, dan mengomunikasikan, yang diukur dengan lembar pengamatan keterampilan proses sains yang diisi oleh empat orang pengamat dan dapat dikatakan tercapai ketika memperoleh persentase minimal ≥ 41% dengan kategori cukup baik. Hasil belajar yaitu ketuntasan belajar atau kadar pencapaian peserta didik akan materi yang diajarkan, diukur menggunakan THB atau tes kognitif berupa soal di setiap akhir pembelajaran, kemudian dinyatakan tuntas secara klasikal ketika mencapai minimal 75%

dan dinyatakan tuntas secara individu ketika mencapai KKM disekolah yaitu

72.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterlaksanaan RPP model quantum

teaching

RPP dengan model quantum

teaching dirancang sesuai kurikulum 2013 revisi sebanyak empat kali pertemuan, dengan alokasi waktu 3x40 menit untuk setiap pertemuan. Pengamat Keterlaksanaan RPP pada penelitian ini seanyak 2 orang. Hasil dari pengamatan keterlaksanaan RPP dalam proses kegiatan pembelajaran belajar mengajar selama empat kali pertemuan dari siklus

Page 347: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

336

I dan siklus II dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Rekapitulasi RPP siklus I

Siklus I

Penilaian

Persentase

(%) Kategori

Pertemuan I 82,21 Sangat baik Pertemuan II 82,69 Sangat baik Jumlah 82,45 Sangat baik

Hasil pengamatan keterlaksanaan RPP pada siklus I (Tabel 1) berkategori sangat baik, walaupun ada fase masih berkatagori baik, hal ini dikarenakan peneliti kurang mengefisienkan waktu, sehingga terlalu lama pada fase alami membuat fase selanjutnya harus menyesuaikan sisa waktu yang ada, sehingga pada fase rayakan ada sintak yang tidak telaksana. Namun, sudah mencapai indikator keberhasilan. Adanya fase yang masih berkategori baik, maka perlu ditingkatkankan lagi pada siklus II dengan lebih mengefisienkan waktu. Hasil pengamatan keterlaksanaan RPP siklus II dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi RPP siklus II

Pertemuan

Penilaian

Persentase

(%) Kategori

Pertemuan I 96,15 Sangat baik Pertemuan II 97,50 Sangat baik Rata-rata 96,82 Sangat baik

Hasil penilaian keterlaksanaan

RPP pada siklus II (Tabel 2) meningkat dengan kategori sangat baik, setiap fasenya juga terlaksana dengan sangat baik. Hal ini disebabkan perencanaan yang dilkukan oleh peneliti untuk mengefisienkan waktu dan peserta didik sudah mulai terbiasa dengan percobaan, sehingga tidak memerlukan waktu yang terlalu lama lagi. RPP disusun dengan sistematis dan dengan perencanaan yang matang dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku sehingga pembelajaran menjadi efektif dan terlaksana dengan

baik. Hal ini sesuai dengan pemikiran (Ali, 2017) bahwa peningkatan mutu proses dan hasil belajar peserta didik dikarenakan pembelajaran yang berjalan secara efektif dan bermutu. Pembelajaran berjalan efektif dan bermutu dihasilkan dari susunan RPP yaang lengkap dan sistematis. Oleh karena itu, setiap guru berkewajiban menyusun RPP dengan lengkap dan sistematis. Sejalan faktor instrumen yaitu perangkat pembelajaran yang baik pembelajaran akan efektif dan efisien (Ula, 2013).

Hasil pengamatan keterlaksanaa RPP siklus I dan II pada umumnya setiap fase berkategori sangat baik, walaupun ada beberapa fase yang hanya berkategoi baik. Hal ini menunjukkan mampu melaksanankan pembelajaran model quantum teaching dengan baik.

Pada fase tumbuhkan, menumbuhkan motivasi, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan berdasarkan fenomena dan menyampaikan tujuan, serta memberikan pengetahuan awal. Fase Alami, membagi peserta didik dalam kelompok, membagikan LKPD dan alat percobaan, dan melatihkan keterampilan proses sains aspek menanya, dan mencoba. Fase Namai, membimbing peserta didik menalar/menganalisis dan menyimpul-kan data hasil percobaan. Fase Demonstrasikan, meminta peserta didik mengomunikasikan hasil percobaannya. Fase Ulangi, peneliti memberikan contoh soal dan menyimpulkan pembelajaran. Fase Rayakan, pengajar menyampaikan pesan-pesan karakter sesuai materi dan memberi salam penutup.

Shoimin (2014) berdapat bahwa quantum teaching dengan kerangka TANDUR: 1) Fase Tumbuhkan, yaitu tahap menumbuhkan minat peserta didik 2) Alami, merupakan tahap keika guru menciptakan atau mendatangkan pengalaman. 3) Fase Namai, yaitu tahap memberikan kata kunci, rumus, strategi, konsep, atau model atas pengalaman

Page 348: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

337

yang telah diperoleh, 4) Demonstrasi, yaitu tahap dimana pengetahuan yang dimiliki peserta didik diterapkan ke dalam kehidupan mereka, 5) Ulangi, pengulangan akan memperkuat koneksi saraf, dan 6) Rayakan, memberikan penghargaan kepada peserta didik.

Keterampilan proses sains

Keterampilan proses sains peserta didik dilihat pada lembar kerja peserta didik yang dikerjakan pada proses pembelajaran berlangsung. Rekapitulasi data berdasarkan pengamatan observer pada siklus I dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Keterampilan proses sains

siklus I

Siklus I

Penilaian

Persentase

(%) Kategori

Pertemuan I 65,40 Baik Pertemuan II 66,61 Baik Rata-rata 66,00 Baik

Hasil pengamatan siklus I keterampilan proses sains peserta didik kelas X C Multimedia (Tabel 3) setelah dilaksanakan model quantum teaching,

meningkat dari pada sebelum dilaksanakan model quantum teaching

yang masih sangat rendah. keterampilan proses sains sudah mencapai indikator keberhasilan walaupun masih dalam kategori Baik.

Keterampilan proses sains pada siklus I masih beberapa peserta didik yang berkategori lemah, terutama pada aspek mengamati, mencoba, menganalisis, dan mengomunikasikan. Hal ini dikarenakan peserta didik belum terbiasa melakukan praktikum, sehingga masih kesulitan melakukan percobaan, menganalisis, dan mengomunikasikan. Pada aspek mengamati masih ada yang lemah karena pembelajaran dimulai ketika mereka belum benar-benar fokus. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan lagi pada siklus II.

Hasil pengamatan siklus II untuk keterampilan proses sains bisa dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Keterampilan proses sains Siklus

II

Siklus II

Penilaian

Persentase

(%) Kategori

Pertemuan I 88,48 Sangat baik Pertemuan II 92,41 Sangat baik Rata-rata 90,22 Sangat baik

Hasil pengamatan siklus II (Tabel 4) memperlihatkan bahwa meningkatnya keterampilan proses sains peserta didik dari siklus I, walaupun masih ada beberapa orang masih berkategori cukup baik pada aspek mencoba dan mengomunikasikan.

Model quantum teaching dapat meningkatkan keterampilan proses sains karena model quantum teaching

merupakan model pembelajaran yang memberikan suasana yang menyenang-kan, memberikan kesempatan peserta didik untuk bergerak aktif, mengalami langsung, memberikan perayaan pada akhir pembelajaran, sehingga kelas terasa menyenangkan dan peserta didik belajar nyaman.

Didasari Teori Accelerated

Learning yang menyatakan bahwa dengan upaya yang normal dan diikuti kegembiraan dan hasil untuk mengharuskan peserta didik agar belajar dengan kecepatan yang mengesankan. Didukung oleh penelitian Wahyuningsih dkk. (2015) menyatakan bahwa meningkatknya keterampilan proses sains dengan memakai model quantum

teaching karena model ini menuntut peserta didik berperan akitf dan ikut berpatisipasi dalam pembelajaran.

Penelitian Isnaini dkk. (2016) menyatakan model pembelajaran quantum teaching diterapkan kepada peserta didik berdampak baik kepada keterampilan proses belajar peserta didik sebab menuntut peserta didik untuk

Page 349: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

338

belajar lebih aktif dan partisipatif, sehingga peserta didik merasa nyaman dan senang mengikuti pembelajaran dan dapat menguasai pembelajaran serta keterampilan proses sains.

Melalui model quantum teaching, peserta didik mengalami langsung apa yang dipelajari, dan melalui model ini dapat dilatihkan keterampilan proses sains. Sehingga pembelajaran bukan saja hanya untuk mengembangkan kognitif-nya saja tetapi juga keterampilannya. Sejalan dengan teori Socratic Inquiry yang menyatakan inkuiri mengembang-kan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik, termasuk pe-ngembangan emosional, keterampilan, dan kemampuan intelektual (Yanti, 2015).

Ketuntasan hasil belajar peserta didik

Hasil belajar peserta didik secara hitungan telah diringkas dan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rekapitulasi hasil belajar

peserta didik

Siklus

Hasil Belajar

Jumlah peserta

didik tuntas

(orang)

Persentase

klasikal (%)

I 15 53,57 II 23 82,14

Hasil rekapitulasi ketuntasan belajar peserta didik siklus I (Tabel 5) menunjukkan jumlah peserta didik yang tuntas sebanyak 15 orang dari 28 orang dan ketuntasan klasikal nya sebesar 53,57%. Hasil belajar siklus I menunjukkan ketuntasan klasikalnya masih belum tuntas. Dikarenakan peserta didik masih belum terbiasa dengan model quantum teaching. Namun, hasil siklus I meningkat dari hasil belajar sebelum diterapkan model quantum teaching. Dengan model ini peserta didik diberikan informasi berupa fenomena sehingga peserta didik termotivasi dan bersemangat mengikuti pembelajaran. Sardiman (Dinata, Jamal, & Mastuang,

2016) menjelaskan bahwa motivasi mendorong peserta didik untuk melakukan pembelajaran, sehingga hasil belajar menjadi meningkat. Makin bagus motivasi yang diberikan, maka makin berhasil pembelajaran itu.

Hasil rekapitulasi ketuntasan belajar peserta didik siklus II menunjukkan hasil belajar sisklus II meningkat dari siklus I, yaitu sejumlah 23 orang yang tuntas dari 28 peserta didik. sehingga dapat dikatakan tuntas secara klasikal. Ketuntasan belajar peserta didik berkategori tuntas karena pada saat pembelajaran peserta didik sudah mulai terbiasa dengan model quantum teaching.

Model quantum teaching adalah model yang mna peserta didik yang berperan sangat antusias dan mengalami langsung melalui percobaan, sehingga daya ingat peserta didik lebih kuat. Peserta didik juga diberikan kesempatan untuk mengalami langsung apa yang mereka pelajari dengan begitu akan memberikan pengalaman yang tidak mudah dilupakan. Dengan percobaan mereka akan lebih memahami konsep dan prinsip fisika sehingga pembelaran lebih bermakna. Sejalan dengan teori kontruktivisme yang menjelaskan bahwa pengetahuan yang tidak bermakna hanya didapat dari proses pemberitahuan, sebaliknya pengetahuan yang bermakna merupakan hasil yang didirikan peserta didk sendiri (Sappaile, Ba’ra, Djam’an, Kadir, & Darwis, 2018).

Yahya (2017) menemukan dalam penelitiannya bahwa model pembelaja-ran quantum teaching membuat peserta didik lebih bersemangat dalam me-nerima pelajaran. Peserta didik mengalami pengalaman langsung materi yang dipelajarinya, sehingga materi akan lebih berkesan dan tersimpan lama dalam memori jangka panjang, sehingga akan meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati, dkk., (2017) yang menyatakan bahwa penerapan model

Page 350: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

339

quantum teaching dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Model quantum teaching

dirancang dengan pembelajaran yang menyenangkan sehingga peserta didik dapat belajar dengan nyaman dan dmampu membuat hasil belajar peserta didik meningkat. Sejalan penemuan Pratama, Jamal, & Suyidno (2013) bahwa situasi perasaan peserta didik yang baik membuat peserta didik mudah menampung materi yang diajarkan. Situasi perasaan dipegaruhi oleh suasana kelas yang aman dan menggembirakan yang dibangun oleh model quantum

teaching.

SIMPULAN

Model quantum teaching mampu

meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar peserta didik kelas X C SMKN 1 Banjarmasin yaitu dengan melakukan penekanan pada proses belajar mengajar pada fase tumbuhkan, fase alami, fase namai, fase demonstrasikan, fase ulangi dan fase rayakan.

Fase Tumbuhkan, peneliti me-nyampaikan tujuan, dan memberikan pengetahuan awal. Fase Alami, melatihkan keterampilan proses sains aspek menanya, dan mencoba. Fase Namai, membimbing peserta didik menalar/menganalisis dan menyimpul-kan data hasil percobaan. Fase Demonstrasikan, meminta peserta didik mengomunikasikan hasil percobaannya. Fase Ulangi, pengajar memberikan contoh soal dan menyimpulkan pembelajaran. Fase Rayakan, pengajar menyampaikan pesan-pesan karakter sesuai materi.

Selain itu pengajar memberikan bimbingan dan arahan yang kepada peserta didik saat melakukan percobaan, menganalisis, mengomunikasikan data hasil percobaan. Pengajar lebih memperhatikan waktu pembelajaran agar setiap fase dapat terlaksana dengan sangat baik. Dan pengajar memberikan

penjelasan yang lebih rinci dan bimbingan saat mencotohkan soal dan latihan soal.

DAFTAR PUSTAKA

A’la, M. (2010). Quantum teaching. Yogyakarta: DIVA Press.

Ali, M. (2017). Peningkatan kemampuan guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp) melalui supervisi akademik. Nusantara (Jurnal Ilmu

Pengetahuan Sosial), 3, 38–42. Berlinda, A., Jamal, M. A., & Miriam, S.

(2017). Meningkatkan keterampilan proses sains siswa menggunakan model pembelajaran guided inquiry. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 5(1), 109–117. Budiningsih, C. A. (2005). Belajar dan

pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Dinata, P. A. C., Jamal, M. A., & Mastuang, M. (2016). Meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa dengan asyik , dan menyenangkan pada siswa kelas ix a smp muhammadiyah 1 banjarmasin. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 4(2), 161–172. Eriyanti, M., Suyidno, S., & Suriasa, S.

(2014). Implementasi model quantum teaching untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa. Berkala Ilmiah Pendidikan

Fisika, 2(2), 97–109. Hertanti, J. I., Zainuddin, Z., & Suyidno,

S. (2013). Meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan pemuaian zat melalui penerapan model quantum teaching. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 1(2), 191-196.

Hidayatulloh, M., & Madlazim, M. (2015). Pengembangan perangkat pembelajaran inkuiri terbimbing berorientasi kurikulum 2013 dengan melatihkan keterampilan proses sains pada materi pengukuran. Jurnal Inovasi

Page 351: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

340

Pendidikan Fisika (JIPF), 04(02), 92–97.

Isnaini, M., Wigati, I., & Halimatussya’diyah, H. (2016). Pengaruh model pembelajaran quantum teaching dengan langkah-langkah tandur terhadap keterampilan proses belajar siswa materi sel kelas xi di sma muhammadiyah 1 palembang. Jurnal Biolmi, 2(1), 16–29.

Juhji, J. (2016). Peningkatan keterampilan proses sains siswa. Jurnal Penelitian dan

Pembelajaran IPA, 2(1), 58–70. Khairi, M. (2016). Hubungan

keterampilan proses sains dengan hasil belajar siswa melalui pemanfaatan media almi dipandu modul pada submateri invertebrata di mas babun najah kota banda aceh. Jurnal EduBio Tropika, 4, 49–52.

Majid, A., & Rochman, C. (2015). Pendekatan ilmiah implementasi

kurikulum 2013. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pratama, D. D., Jamal, M. A., & Suyidno, S. (2013). Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas Xi Ipa 1 Sma Korpri Banjarmasin Melalui Penerapan Model Quantum

Teaching Pada Materi Ajar Usaha-Energi. Berkala Ilmiah Pendidikan

Fisika, 1(2), 101–109. Rahmawati, N., Mastuang, M., &

Misbah, M. (2017). Meningkatkan hasil belajar siswa kelas viii a smp negeri 26 banjarmasin dengan menggunakan model quantum

teaching pada materi ajar tekanan. Berkala Ilmiah Pendidikan Fisika, 5(2), 189–197.

Sappaile, B. I., Ba’ra, Y., Djam’an, N., Kadir, & Darwis, M. (2018). Pengaruh Penerapan model pembelajaran discovery learning terhadap hasil belajar matematika ditinjau dari minat belajar siswa smp negeri di kota rantepao. Journal of Medives: Jurnal of

Mathematics Education IKIP

Veteran Semarang, 2(2), 253–266. Shoimin, A. (2014). 68 Model

pembelajaran inovatif dalam

kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz media.

Ula, S. (2013). Revolusi belajar. Yogyakarta: Ar-Ruzz media.

Wahyuningsih, S., Kurniawan, E. S., & Ashari. (2015). Penerapan model pembelajaran tandur guna meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar siswa kelas x sma negeri 4 purworejo tahun pelajaran 2014 / 2015. Radiasi, 7(1), 17–20.

Wena, M. (2014). Strategi pembelajaran

inovatif kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.

Yahya, H. (2017). Pengaruh penerapan model pembelajaran quantum

teaching terhadap hasil belajar biologi siswa sma islam terpadu al-fityan gowa. Jurnal Biotek, 5, 155–166.

Yanti, I. R. (2015). Penggunaan modul fisika sma / ma dan smk berbasis inkuiri. Jurnal Riset Edukasi Fisika

Dan Sains, 2(1), 55–65.

Page 352: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

341

Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Paminggir Melalui

Model Quantum Teaching

Muhammad Said, Sri Hartini, Misbah, dan Dewi Dewantara

Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat [email protected]

Abstrak

Penerapan model dan metode kurang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran fisika berdampak terhadap rendahnya aktivitas siswa. Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan tujuan secara umum untuk mendekripsikan cara meningkatkan aktivitas siswa melalui model quantum teaching pada pembelajaran usaha dan energi kelas XI IPA SMAN 1 Paminggir. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa. Penelitian ini menggunkan PTK model Hopskin terdiri dari dua siklus dan setiap siklus terdiri dari dua kali pertemuan. Subjek penelitian siswa SMA Negeri 1 Paminggir sebanyak 15 siswa. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar keterlaksanaan RPP, lembar pengamatan aktivitas siswa dan tes hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) keterlaksanaan RPP meningkat dari 3,13 pada siklus I menjadi 3,95 pada siklus II dengan kategori baik 2) aktivitas siswa meningkat dari 3, 16 pada siklus Imenjadi 3,44 siklus II kategori aktif, dan 3) hasil belajar siswa meningkat dari meningkat dari 33,00% siklus I menjadi 87,00% pada siklus II dengan kategori tuntas. Kesimpulan penelitian ini adalah dapat meningkat aktivits siswa kelas XI IPA SMAN 1 Paminggir malalui model quantum teaching pada materi usaha dan energi. Kata Kunci: aktivitas, hasil belajar, quantum teaching

PENDAHULUAN

Manusia diberikan kelebihan dari Allah SWT dengan akal yang tidak dimiliki makhluk lain. Untuk menjadikan akal dan pikiran menjadi lebih baik dibutuhkan pendidikan melalui sebuah proses pembelajaran (Susanti, 2013). Pendidikan memiliki peranan penting dalam sebuah kehidupan, pendidikan merupakan peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh perubahan tingkah laku yang baik untuk mencapai tujuan (Supramono, 2016). Aktivitas merupakan perbuatan untuk mengubah tingkah laku melalui proses atau prinsip belajar. Tanpa adanya aktivitas, belajar tidak terjadi. Sehingga interaksi aktivitas merupakan proses yang penting (Widayanti, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru mata pelajaran fisika SMA Negeri 1 Paminggir menyatakan bahwa selama ini guru

menyampaikan pembelajaran dengan metode konvensional. Guru memberikan penjelasan kemudian memberikan soal-soal sesuai buku pegangan siswa, sehingga siswa berpatokan pada guru hal tersebut menyebabkan siswa menjadi kurang aktif. Dari 15 orang siswa hanya 26,67% siswa yang aktif dan cukup aktif dalam pembelajaran seperti, mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru, berdiskusi antar teman, mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS), melakukan percobaan, menyimpulkan percobaan . Hasil belajar siswa pada ulangan harian siswa materi fisika diperoleh hasil 66,67% dari 15 siswa yang belum memenuhi ketuntasan.

Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan upaya yang dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Aktivitas merupakan keterlibatan siswa yaitu dalam bentuk pikiran, perhatian, sikap,

Page 353: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

342

dan aktivitas merupakan pembelajaran untuk menuju keberhasilan dalam pembelajaran dan menghasilkan manfaat dari kegiatan tersebut (Kunandar, 2011). Aktivitas anak yang terbatas pada mendengarkan, mencatat, menjawab pertanyaan guru, siswa hanya bekerja atas perintah (Widayanti, 2014). Aktivitas belajar akan terwujud apabila siswa terlibat belajar secara aktif (Purnamasari, Arifuddin, & Hartini, 2018)

Salah satu upaya untuk meminimalisasi permasalahan tersebut diperlukan sebuah model pembelajaran lain yang lebih memberdayakan siswa dengan menggunakan model quantum teaching. Quantum teaching dapat memotivasi, memberdayakan dan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar secara auditorial, visual, dan kinestetik sehingga memacu semangat belajar (Nurshabrina, 2012). Quantum teaching merupakan salah satu model melibatkan aspek-aspek mendukung suatu tujuan, sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan (Adawiyah, Nina, Solihin, & Ichas, 2015). Langkah-langkah model pembelajaran quantum

teaching yaitu tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, dan ulangi. Quantum

Teaching dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar karena model pembelajaran ini menggunakan prinsip sugesti dan mempengaruhi hasil belajar. Selain itu, model ini sangat menekankan dalam kreativitas siswa pada pembelajaran, siswa sangat aktif pada pembelajaran, siswa mampu mengembangkan sebuah teori atau pemahaman yang dimiliki mereka. Siswa diharuskan lebih percaya diri untuk mengeluarkan sebuah pendapat. (Yanuarti & Sobandi, 2016)

Pembelajaran dengan menggunakan quantum teaching diharapkan dapat mengubah suasana pembelajaran menjadi menyenangkan sehingga keterlibatan guru antara siswa dalam proses pembelajaran siswa merasa

senang dan saling bekerja sama, diskusi/kelompok. Keuntungan dari model quantum teaching ini adalah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk aktif bekerja sama dalam kelompoknya, diharapkan akan meningkatkan aspek kognitif siswa, siswa jadi bisa mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi kelompok, terjadi interaksi antarsiswa, keterampilan sosial akan meningkat, siswa menjadi lebih mandiri untuk mempelajari materi pembelajaran, yang pintar bisa mengajarkan yang kurang pintar dalam arti siswa dapat membantu teman, sehingga sifat individualisme akan berkurang, siswa dapat memahami konsep sulit, dan siswa dapat berfikir kritis (Kunandar, 2011). Agar mampu meningkatkan tingkat kepahaman siswa terhadap materi fisika sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.

Hasil penelitian Super Camp yang menerapkan model quantum teaching menunjukkan ketuntasan belajar siswa mendapatkan nilai yang lebih baik (DePorter, dkk, 2010). Penerapan quantum teaching dapat meningkatkan motivasi siswa (Eriyanti, Suyidno, & Suriasa, 2014), aktivitas siswa (Rusyadi, Zainuddin, & Wati, 2013) dan ketuntasan hasil belajar siswa (Darojah, 2013; Laila, Suhartono, & Susiani, 2012).

Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian yang berupaya meningkatkan aktivitas siswa melalui model pembelajaran quantum teaching. Diharapkan dapat mengubah suasana pembelajaran menjadi menyenangkan dan mampu meningkatkan aktivitas siswa. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan: 1) Keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran quantum teaching, 2) keterlakasanaan aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran quantum

teaching, dan 3) hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran quantum

teaching.

Page 354: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

343

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan model Hopskin menggunakan dua siklus, setiap siklus terdapat dua kali pertemuan. Setiap siklus terdapat perencanaan, yaitu: menyiapkan RPP, Menyiapkan LKS dan handout, mempersiapkan THB, dan instrumen pembelajaran berupa lembar pengamatan keterlaksanaan RPP dan aktivitas siswa. Tindakan dan pengamatan, yaitu: melaksanakan setiap fase pada sintaks model quantum

teaching, dan melakukan pengamatan pada saat proses pembelajaran yang dilakukan dua orang pengamat. Refleksi, yaitu: setelah data dikumpulkan, meliputi hasil pengamatan keterlaksanaan RPP, aktivitas siswa, dan tes hasil belajar, akan dilakukan analisis dan kemudian dilakukan refleksi untuk perbaikan pada siklus selanjutnya.

Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah 15 siswa kelas XI IPA SMA Negeri 17 Paminggir. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar keterlaksanaan RPP, lembar pengamatan aktivitas siswa dan tes hasil belajar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran

Penelitian ini menggunan model quantum teaching. Kegiatan pembelajaran menggunakan dua siklus, pada satu siklus dua kali pertemuan. Adapun hasil keterlaksanaan RPP dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Keterlaksaanan RPP

Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat disimpululkan bahwa keterlaksanaan RPP melalui penerapan model quantum teaching keterlaksanaan RPP yaitu siklus I dan siklus II meningkat dari 3,13 menjadi 3,95 dengan kategori cukup baik menjadi baik. Terjadinya meningkat guru telah bisa mengoptimalkan waktu, serta terbiasa siswa dengan model pembelajaran quantum teaching sehingga proses pembelajaran semakin mudah. Quantum

teaching merupakan memotivasi, memberdayakan dan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar secara auditorial, visual, dan kinestetik sehingga memacu semangat belajar (Nurshabrina, 2012). Peningkatan hasil penelitian model quantum teaching menunjukkan peningkatan siswa dalam mendapatkan nilai yang baik, juga lebih berpartisipasi, dan sesuai dengan hasil penelitian (DePorter, dkk, 2010; Yanuarti & Sobandi, 2016).

Analisis Aktivitas Siswa

Penelitian ini menggunan model quantum teaching. Kegiatan ini menggunakan dua siklus, dan pada satu siklus terdapat dua kali pertemuan. Adapun hasil aktivitas siswa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Rata-rata aktivitas siswa

Rata-rata aktivitas yang didapat

dari kegiatan siklus I yaitu kategori aktif, dan siklus II menunjukkan berkategori sangat baik dan rata-rata keseluruhan adalah 3,44 dengan kategori aktif. Pada

Page 355: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

344

siklus II aktivitas siswa sudah lebih baik dari siklus sebelumnya, dikarenakan siswa dan guru sudah mulai terbiasa menggunakan model pembelajaran quantum teaching. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan aktivitas pada siswa dari setiap siklus. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran quantum teaching dapat meningkatkan aktivitas siswa. Aktivitas adalah berupaya untuk mengubah tingkah laku melalui perbuatan. tidak adanya aktivitas, belajar tidak akan terjadi. Sehingga interaksi aktivitas merupakan prinsip penting (Widayanti, 2014). Hasil penelitian model quantum

teaching menunjukkan siswa lebih banyak berpartisipasi, sehingga meningkatkan aktivitas siswa (Rusyadi, dkk., 2013).

Analisis Hasil Belajar Siswa

Hasil belajar siswa diukur menggunakan tes hasil belajar (THB). THB diberikan pada setiap akhir siklus. Hasil belajar siswa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Hasil belajar

Hasil belajar SMA Negeri 1

Paminggir pada siklus I dan siklus II meningkat yaitu 33,00% menjadi 87,00%. Quantum teaching merupakan menciptakan kemampuan, bakat, dan potensi siswa dapat berkembang serta mampu meningkatkan hasil belajar. Melalui quantum teaching ini adalah diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk aktif bekerja sama dalam kelompoknya, sehingga akan

meningkatkan pengetahuan siswa (Kunandar, 2011). Hasil penelitian model quantum teaching menunjukkan bahwa siswa menjadi termotivasi untuk belajar (Eriyanti, dkk., 2014). Hal ini berdampak pada hasil belajar siswa yang semakin meningkat (Rahmawati, Mastuang, & Misbah, 2017; Hertanti, Zainuddin, & Suyidno, 2013).

SIMPULAN

Model quantum teaching dapat meningkatkan aktivitas siswa dan hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Paminggir. DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, F., Nina, S., Solihin, S., & Ichas, H. (2015). Aplication quantum teaching model to develoved student activity to socal studies in elementary school. Jurnal Antologi, 3 (2), 1-13.

Darojah, R. (2013). Penerapan model pembelajaran quantum teaching dalam peningkatan pembelajaran matematika pada siswa kelas iv sd negeri 5 makam tahun ajaran 2012/2013. Kalam Cendekia Pgsd

Kebumen, 4(5). DePorter, Bobby, B., & Reardon, M.

(2010). Quantum teaching. Bandung: Kaifa.

Eriyanti, M., Suyidno, S., & Suriasa, S. (2014). Implementasi model quantum teaching untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa. Berkala Ilmiah Pendidikan

Fisika, 2(2), 97-109. Hertanti, J. I., Zainuddin, Z., & Suyidno,

S. (2013). Meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan pemuaian zat melalui penerapan model quantum teaching. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 1(2), 191-196.

Laila, N., Suhartono, & Susiani, T. S. (2012). Penerapan model quantum teaching sebagai upaya peningkatan kualitas pembelajaran

Page 356: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

345

IPS kelas V SD Nur. Kunandar, (2011). Guru Profesional.

Jakarta: PT Grafido Persada Purnamasari, U. A., Arifuddin, M., &

Hartini, S. (2018). Meningkatkan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran IPA dengan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 6(1), 130–141.

Rahmawati, N., Mastuang, M., & Misbah, M. (2017). Meningkatkan hasil belajar siswa kelas viii a smp negeri 26 banjarmasin dengan menggunakan model quantum teaching pada materi ajar tekanan. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 5(2), 189-197. Rusyadi, A., Zainuddin, Z., & Wati, M.

(2013). Pengembangan perangkat pembelajaran quantum teaching pada materi ajar Elastisitas. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 1(1), 82-90. Susanti, H. (2013). Penerapan model

pembelajaran quantum teaching

dalam peningkatan pembelajaran matematika tentang bangun ruang siswa kelas V SD Negeri Mewek Tahun Ajaran 2012/2013. Kalam

Cendekia PGSD Kebumen, 4(2). Supramono, A. (2016). Pengaruh model

pembelajaran quantum (quantum teaching) terhadap hasil belajar Ipa Siswa Kelas III SD YPS Lawewu Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Nalar

Pendidikan, 4, 367–375. Yanuarti, A., & Sobandi, A. (2016).

Upaya meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran quantum teaching. Manajemen Perkantoran, 1(1), 11–18.

Widayanti, L. (2014). Peningkatan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa dengan metode problem based learning pada siswa kelas VIIA MTS Negeri Donomulyo Kulon Progo tahun pelajaran 2012/2013. Jurnal Fisika

Indonesia, 17(49).

Page 357: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

346

Pengembangan Perangkat Model Pembelajaran Generatif untuk Melatihkan

Pemahaman Konsep Fisika pada Materi Teori Kinetik Gas

Nor Hasanah, Zainuddin, dan Suyidno

Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin [email protected]

Abstrak

Rendahnya pemahaman konsep fisika dan aktivitas siswa masih menjadi permasalahan pendidikan di kelas XI SMA Negeri 10 Banjarmasin. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kelayakan perangkat model pembelajaran generatif untuk melatihkan pemahaman konsep fisika pada materi teori kinetik gas ditinjau dari validitas, kepraktisan, dan keefektifannya. Penelitian ini termasuk penelitian pengembangan yang menggunakan model ADDIE (analyze, design, development,

implementation, evaluation). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), materi ajar, lembar kerja siswa (LKS), dan tes hasil belajar (THB). Subjek uji coba adalah 25 siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 10 Banjarmasin. Instrumen yang digunakan meliputi lembar validasi, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar tes pemahaman konsep, dan lembar pengamatan aktivitas siswa. Data dianalisis secara deskriptif, kualitatif, dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) validitas perangkat pembelajaran meliputi RPP, materi ajar, LKS, dan THB yang dikembangkan mendapat kriteria valid; 2) kepraktisan perangkat pembelajaran ditinjau dari keterlaksanaan komponen RPP dengan kriteria sangat praktis; dan 3) keefektifan perangkat pembelajaran ditinjau dari peningkatan pemahaman konsep dengan kriteria sedang (<g>= 0,60) dan aktivitas siswa dengan kriteria aktif. Diperoleh simpulan bahwa perangkat model pembelajaran generatif pada materi teori kinetik gas yang dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran fisika. Kata Kunci: Pembelajaran generatif, pemahaman konsep, teori kinetik gas

PENDAHULUAN

Modal utama untuk menunjang keberhasilan dalam dunia pendidikan adalah pemahaman konsep (Suryani, 2013). Setiap pembelajaran ditekankan pada pemahaman konsep agar siswa memiliki bekal terlebih dahulu untuk menyelesaikan permasalahan dan dapat mengaplikasikan dalam permasalahan yang lainnya (Astuti & Dasmo, 2016). Siswa yang memahami konsep dengan benar akan mampu dan terlatih mengembangkan kemampuan berpikir logis dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari (Widyastuti & Pujiastuti, 2014). Semakin paham siswa terhadap konsep fisika, maka siswa akan benar-benar menguasai fisika (Firmansyah & Wulandari, 2016).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman konsep masih menjadi permasalahan dalam pendidikan (Hamdani, Kurniati, & Sakti, 2012; Irwandani, 2015). Hasil observasi dan wawancara dengan salah satu guru mata pelajaran fisika kelas XI IPA 2 SMA Negeri 10 Banjarmasin diperoleh bahwa: (1) guru hanya menggunakan satu model pembelajaran, (2) sebagian siswa kurang aktif dalam pembelajaran terlihat dari beberapa siswa kurang memperhatikan penjelasan guru pada saat pembelajaran berlangsung, (3) sumber belajar serta soal-soal yang digunakan didapatkan dari LKS yang dipinjamkan ke siswa, (4) hasil pemberian empat soal yang diberikan kepada 34 orang siswa dengan tiga

Page 358: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

347

indikator yaitu satu soal menjelaskan, satu soal menginterpretasi dan dua soal menganalisis, dari keseluruhan soal yang diberikan tidak ada siswa yang mencapai nilai kriteria ketuntasan minimum (KKM) sebesar 72. Soal pertama dengan tingkat menjelaskan hanya 47,05% saja siswa yang mampu menjawab, soal kedua dengan tingkat menganalisis hanya 26,50% siswa yang menjawab, soal ketiga dengan tingkat menganalisis hanya 47,05% siswa yang menjawab dan soal keempat dengan tingkat menginterpretasi hanya 26,50% siswa yang menjawab. Dari keseluruhan jawaban yang siswa berikan masih ada jawaban yang kurang tepat, (5) hasil ulangan akhir semester dari 35 orang siswa hanya 11,40% siswa yang nilainya mencapai KKM. Dengan demikian, hasil belajar siswa masih tergolong rendah dikarenakan kurangnya siswa memahami persoalan yang diberikan.

Pemahaman konsep merupakan pijakan awal dalam mengembangkan konsep dan menghubungkannya dengan pemahaman yang telah diperoleh (Wulandari & Mundilarto, 2016). Pemahaman konsep dapat diperoleh melalui pembelajaran yang aktif dan mengikutsertakan siswa dalam menemukan konsep fisika. Penggunaan model pembelajaran yang bervariasi dapat mempengaruhi proses pembelajaran dalam mencapai prestasi belajar yang maksimal (Herlina & Winaryati, 2012). Sehingga, dalam meningkatkan pemahaman konsep fisika siswa diperlukan suatu model pembelajaran yang membuat siswa aktif dikelas dan dapat membangun pengetahuan sebelumnya ke dalam pengetahuan yang dipelajari sekarang.

Salah satu model pembelajaran yang diharapkan dapat menyatukan gagasan-gagasan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya adalah model pembelajaran generatif (Huda, 2016). Model pembelajaran generatif adalah model

pembelajaran yang dalam proses belajar, siswa berpartisipasi aktif di dalamnya dan dalam mengkonstruksi makna dari pembelajaran yang ada berdasarkan pengetahuan dan pengalaman awal yang dimilikinya (Sharfina, Halim, & Safitri, 2017). Model pembelajaran generatif didukung oleh teori belajar konstruktivisme dan teori belajar kognitif yang berasumsi bahwa pengetahuan dibangun oleh pikiran siswa serta memiliki lima tahapan atau lima fase pembelajaran yaitu fase pertama adalah pengingatan, fase kedua yaitu tantangan dan konfrontasi, fase ketiga yaitu reorganisasi kerangka kerja konsep, fase keempat yaitu aplikasi dan pemantapan dan fase terakhir atau kelima yaitu refleksi (Zainuddin & Suriasa, 2014). Keseluruhan fase tersebut akan dimuat dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Berbagai penelitian telah dilakukan tentang pembelajaran generatif dalam pengaruhnya terhadap pemahaman konsep siswa. Penggunaan model pembelajaran generatif mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa (Ekaputri, 2016; Irwandani, 2015; Mustika, 2014; Suryani, 2013) dan berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar fisika siswa (Amaliah, 2013; Ariani, Zainuddin, & Wati, 2015; Fitriah, 2013; Nafikah, 2011; Nurkhayani, Zainuddin, & Annur, 2013) serta dapat mengurangi miskonsepsi siswa (Firmansyah & Wulandari, 2016; Hendriansyah, Zainuddin, & Mastuang, 2018; Primayoga, Zainuddin, & Suyidno, 2013). Dengan demikian, pengembangan perangkat pembelajaran fisika mampu membangun pengetahuan dan menemukan konsep yang sesuai dengan konsep keilmuan, serta membuat siswa aktif dalam pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian dengan judul pengembangan perangkat model pembelajaran generatif untuk melatihkan pemahaman konsep fisika pada materi

Page 359: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

348

teori kinetik gas. Adapun tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan kelayakan perangkat model pembelajaran generatif untuk melatihkan pemahaman konsep fisika pada materi teori kinetik gas.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Prosedur penelitian yang digunakan adalah model ADDIE yang terdiri dari lima kegiatan yaitu tahap analisis, tahap perancangan, tahap pengembangan, tahap implementasi, dan tahap evaluasi (Tegeh, Jampel, & Pudjawan, 2014)

Gambar 1 Tahapan model ADDIE

Subjek penelitian adalah 25 siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 10 Banjarmasin. Instrumen yang digunakan meliputi lembar validasi, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar tes pemahaman konsep, dan lembar pengamatan aktivitas siswa.

Data validitas perangkat pembelajaran dihasilkan dari penilaian pakar dan praktisi, selanjutnya dihitung rata-ratanya kemudian disesuaikan dengan kriteria validitas (adaptasi Widoyoko, 2016). Perhitungan reliabilitas hasil validasi perangkat pembelajaran dihitung menggunakan rumus Alpha Cronbach. Selanjutnya disesuaikan menggunakan kriteria derajat reliabilitas (Arikunto, 2015). Kepraktisan perangkat pembelajaran ditinjau dari keterlaksanaan RPP. Skor RPP pada setiap fase pembelajaran

selanjutnya dihitung rata-ratanya kemudian disesuaikan dengan kriteria keterlaksanaan RPP (Adaptasi Widoyoko, 2016). Reliabilitas hasil pegamatan keterlaksanaan RPP dihitung dengan persamaan inter-observer of

agreement (Mustaming, Cholik, & Nurlaela, 2015). Keefektifan perangkat pembelajaran ditinjau dari N-gain

pemahaman konsep dan aktivitas siswa. Hasil perhitungan N-gain kemudian dikonversikan ke dalam klasifikasi N-

gain <g> dengan kriteria (Yuliawan, 2015). Aktivitas siswa dilakukan dengan cara non-tes. Penilaian aktivitas siswa didasarkan pada nilai yang diperoleh siswa pada saat pembelajaran berlangsung. Aspek aktivitas yang diamati secara berulang akan direratakan. Hasil perhitungan aktivitas siswa selanjutnya di konversikan ke dalam kriteria penilaian aktivitas siswa (Aminoto & Pathoni, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Validitas perangkat pembelajaran

Penelitian ini mengembangkan perangkat pembelajaran yang meliputi rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa (LKS), materi ajar, dan tes hasil belajar (THB) dengan menggunakan model pembelajaran generatif untuk melatihkan pemahaman konsep siswa.

RPP yang dirancang pada penelitian ini menggunakan model pembelajaran generatif yang disusun berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Penelitian ini memuat tiga RPP untuk tiga pertemuan pada materi teori kinetik gas dengan alokasi waktu 3 kali pertemuan (6 x 45 menit). Hasil validasi RPP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil validasi RPP

Aspek penilaian Skor Kriteria

Format 3,40 Valid Bahasa 3,17

Isi 3,37

Page 360: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

349

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil penilaian validasi RPP memperoleh kriteria valid. Hal ini sesuai dengan pendapat Widoyoko (2016) bahwa perangkat dikatakan valid apabila perangkat tersebut dapat dengan tepat mengukur apa yang hendak diukur dan Nurfillaili, T, & Anggereni (2016)

apabila hasil analisis sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Diperkuat oleh komponen RPP yang dibuat sesuai dengan Permendikbud (2016) tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian, RPP yang dibuat layak digunakan dalam pembelajaran.

Gambar 2 Materi ajar

Materi ajar yang dikembangkan

sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2, berisi materi teori kinetik gas untuk melatihkan pemahaman konsep fisika yang digunakan siswa sebagai sumber belajar. Materi ajar terdiri dari 1) halaman sampul memuat identitas pemilik, 2) peta konsep, 3) sekilas info

memuat info tambahan terkait pembelajaran, 4) info fisika memuat ilmuan yang terkait dengan materi pembelajaran, 5) contoh soal, 6) uji pemahaman memuat soal-soal dengan tingkat pemahaman konsep untuk melatihkan pemahaman konsep fisika siswa, 7) ringkasan, 8) kunci jawaban uji

Page 361: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

350

pemahaman, 9) glosarium, dan 10) daftar pustaka. Pembuatan materi ajar ini sejalan dengan pendapat Chodijah, Fauzi, & Wulan (2012) yaitu materi ajar adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar siswa belajar secara mandiri, sehingga materi ajar berisi paling tidak tentang 1) petunjuk belajar, 2) kompetensi yang akan dicapai, 3) isi materi, 4) informasi pendukung, 5) latihan-latihan, 6) evaluasi, dan 7) balikan terhadap hasil evaluasi. Adapun hasil validasi materi ajar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil validasi materi ajar Aspek penilaian Skor Kriteria

Validitas tampilan 3,31 Valid

Validitas Isi 3,33

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil validasi materi ajar dinyatakan dengan kriteria valid. Hal ini sesuai dengan Santi & Santosa (2014) yang menyatakan bahwa masing-masing perangkat pembelajaran dikatakan valid apabila validitas minimal berada pada kriteria valid. Dengan demikian materi ajar yang dibuat telah layak untuk digunakan dalam pembelajaran.

Gambar 3 LKS

LKS merupakan lembar tugas yang

harus dikerjakan siswa, berisi tugas yang membantu siswa berlatih mengerjakan soal-soal dengan tingkat pemahaman konsep untuk mencapai tujuan pembelajaran. LKS pada penelitian ini ada tiga yang disesuaikan dengan keterlaksanaan yang terdapat pada RPP dan mengacu pada model pembelajaran generatif untuk melatihkan pemahaman konsep, dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil perhitungan validasi LKS dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil validasi LKS Aspek penilaian Skor Kriteria

Format 3,17 Valid Isi 3,33

Bahasa dan penulisan 3,00

Hasil validasi LKS (Tabel 3) menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan dinyatakan dengan kriteria valid. Sejalan dengan Norsanty & Chairani (2016) bahwa LKS yang layak ditinjau dari aspek validitas apabila hasil analisis validasi berada pada kategori

Page 362: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

351

valid atau sangat valid. LKS yang dikembangkan berdasarkan aspek format sejalan dengan pendapat Chodijah dkk. (2012) bahwa 1) LKS berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, 2) tugas pada LKS dapat berupa tugas teoritis maupun praktis, 3) LKS digunakan guru untuk memudahkan siswa belajar secara mandiri, memahami dan menjalankan

tugas tertulis dalam melaksanakan pembelajaran, dan 4) LKS harus memenuhi paling tidak kriteria yang berkaitan dengan tercapai/tidaknya sebuah KD yang dikuasai oleh siswa. Dengan demikian, LKS yang dibuat layak untuk digunakan dalam pembelajaran.

Gambar 4 THB

THB merupakan tes yang bisa

dibawa pulang oleh siswa dan digunakan untuk melatihkan pemahaman konsep fisika siswa. THB ini dibuat mengacu pada tujuan pembelajaran berdasarkan RPP. Total soal THB yang dibuat ada 13 soal. Tes hasil belajar ini kemudian divalidasi yang selanjutnya dari soal-soal tersebut akan digunakan untuk soal tes pemahaman konsep. Adapun hasil validasi THB dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil validasi THB

Aspek penilaian Skor Kriteria

Konstruksi umum 3,24 Valid

Validitas butir 3,21

Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil validasi THB dinyatakan dengan kriteria valid. Hal ini sesuai dengan Arikunto

(Nurfillaili dkk., 2016) yang menyatakan bahwa sebuah instrumen dapat dikatakan valid apabila hasilnya sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Penyusunan THB sejalan dengan Chodijah dkk. (2012) bahwa dalam penyusunan soal tes hasil belajar disesuaikan dengan indikator pembelajaran yang telah dirumuskan dari SK/KD materi yang dikembangkan. Dengan demikian, THB yang dibuat layak digunakan dalam pembelajaran.

Kepraktisan Perangkat Pembelajaran

Kepraktisan perangkat pembelajaran ditinjau dari hasil pengamatan keterlaksanaan RPP yang menunjukkan terlaksananya keseluruhan komponen RPP dan diamati oleh dua orang pengamat. Hasil analisis

Page 363: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

352

keterlaksanaan RPP dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil keterlaksanaan RPP

Kegiatan

pembelajaran Skor Kriteria

Pertemuan pertama 3,60 Sangat praktis

Pertemuan kedua 3,60 Pertemuan ketiga 3,70

Keterlaksanaan RPP digunakan

untuk mengetahui kepraktisan dari perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Hal ini sesuai dengan Akker (Mustaming dkk., 2015) bahwa kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan didasarkan pada keterlaksanaan perangkat pembelajaran di kelas. Nieveen (Mustaming dkk., 2015) menyatakan bahwa dalam mengukur tingkat kepraktisan dilihat dari apakah guru mempertimbangkan bahwa materi mudah dan dapat digunakan oleh guru dan siswa.

Tabel 5 menunjukkan bahwa keterlaksanaan RPP yang terdiri dari lima fase model pembelajaran generatif memperoleh kriteria sangat paraktis. Hal ini sejalan dengan Mustaming dkk. (2015) bahwa perangkat yang dikembangkan dapat dikatakan praktis jika para ahli dan praktisi menyatakan secara teoritis perangkat pembelajaran itu dapat diterapkan di lapangan dan tingkat keterlaksanaannya termasuk berkategori baik atau praktis. Sehingga dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan termasuk praktis.

Keefektifan perangkat pembelajaran Keefektifan perangkat

pembelajaran ditinjau dari hasil N-gain

pemahaman konsep dan aktivitas siswa. Hal ini sejalan dengan Mustaming dkk. (2015) bahwa perangkat pembelajaran dikatakan efektif misalnya dilihat dari komponen-komponen yaitu (1) aktivitas siswa; (2) pemahaman konsep siswa. Diperkuat dengan Nieveen (Mustaming dkk., 2015) bahwa mengukur tingkat

keefektifan dilihat dari tingkat penghargaan siswa belajar menggunakan produk tersebut. Selain itu, dapat dilihat juga dari hasil tes sebelum dan sesudah penggunaan perangkat pembelajaran (Anggela, Masril, & Darvina, 2013) serta hasil observasi karakter, hasil observasi aktivitas siswa selama pembelajaran, dan skor tes pemahaman konsep (Jaya, Sadia, & Arnyana, 2014). Adapun kriteria keefektifan terpenuhi jika pemahaman konsep dengan nilai N-gain berkriteria sedang dan aktivitas siswa mencapai aktif (Mustaming dkk., 2015). Hasil N-gain

pemahaman konsep siswa dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 N-gain pemahaman konsep Rata-

rata

pretest

Rata-

rata

posttest

<g> Kriteria

4,01 61,64 0,60 Sedang Hasil tes pemahaman konsep

(Tabel 6) menunjukkan bahwa skor rata-rata pemahaman konsep yang diperoleh siswa menggunakan model pembelajaran generatif mengalami peningkatan dari tes awalnya. Diperkuat oleh nilai N-gain

dengan kriteria sedang. Hal ini sesuai dengan penelitian (Ekaputri, 2016; Irwandani, 2015) bahwa model pembelajaran generatif dapat meningkatkan pemahaman konsep fisika siswa. Selain itu terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari tes awalnya sehingga model pembelajaran generarif ini juga meningkatkan hasil belajar siswa. Konsisten dengan penelitian (Ariani dkk., 2015; Nurkhayani dkk., 2013) bahwa model pembelajaran generatif dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa. Diperkuat dari kelebihan model pembelajaran generatif yaitu siswa dapat mengungkapkan pikiran, pendapat dan pemahamannya terhadap konsep sehingga mencapai hasil belajar pemahaman konsep (Shoimin, 2014). Adapun hasil pengamatan aktivitas siswa dapat dilihat pada Tabel 7.

Page 364: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

353

Tabel 7 Hasil penilaian aktivitas siswa Pembelajaran Skor (%) Kriteria

Pertemuan pertama

63,25

Aktif Pertemuan kedua

63,67

Pertemuan ketiga

61,55

Hasil pengamatan aktivitas siswa

(Tabel 7) menunjukkan bahwa hasil penilaian aktivitas siswa pada setiap pertemuan memperoleh kriteria aktif. Hal ini sesuai dengan penelitian (Syirlatifah, Haris, & Anis, 2014) bahwa pembelajaran generatif yang diterapkan dengan baik akan meningkatkan antusias siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Diperkuat dengan kelebihan dari model pembelajaran generatif yaitu dapat menciptakan suasana kelas yang aktif (Shoimin, 2014).

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan termasuk efektif, karena perolehan N-

gain pemahaman konsep dalam kriteria sedang dan aktivitas siswa termasuk aktif.

SIMPULAN

Perangkat model pembelajaran generatif pada materi teori kinetik gas layak digunakan dalam penelitian fisika. Hal ini karena temuan hasil penelitian menyatakan bahwa: 1) perangkat pembelajaran yang dikembangkan termasuk valid karena komponen RPP, materi ajar, LKS dan THB termasuk valid; 2) perangkat pembelajaran yang dikembangkan termasuk praktis karena komponen keterlaksanaan RPP termasuk sangat praktis; dan 3) perangkat pembelajaran yang dikembangkan termasuk efektif, karena n-gain

pemahaman konsep siswa sebesar <g> = 0,60 atau dalam kriteria sedang dan aktivitas siswa secara keseluruhan termasuk aktif.

DAFTAR PUSTAKA

Amaliah, Y. (2013). Pengaruh model

pembelajaran generatif

(Generative Learning) terhadap

hasil belajar fisika siswa pada

konsep cahaya. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Aminoto, T., & Pathoni, H. (2015). Penerapan media e-learning berbasis schoology untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar materi usaha dan energi di Kelas XI SMA N 10 Kota Jambi. Jurnal Sainmatika, 8(1), 13–29. https://doi.org/10.1051/matecconf/20152805003

Anggela, M., Masril, M., & Darvina, Y. (2013). Pengembangan buku ajar bermuatan nilai-nilai karakter pada materi usaha dan momentum untuk pembelajaran fisika siswa kelas XI SMA, 1, 63–70.

Ariani, W., Zainuddin, Z., & Wati, M. (2015). Meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan model generatif learning (GL) pada materi ajar wujud zat dan perubahannya. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 3(2), 111–121. Arikunto, S. (2015). Dasar-dasar

evaluasi pendidikan edisi 2. (R. Damayanti, Ed.). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Astuti, I. A. D., & Dasmo, D. (2016). Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing. Jrkpf Uad, 3(2), 39–44.

Chodijah, S., Fauzi, A., & Wulan, R. (2012). Pengembangan perangkat pembelajaran fisika menggunakan model guided inquiry yang dilengkapi penilaian portofolio pada materi gerak melingkar. Penelitian Pembelajaran Fisika, 1, 1–19. https://doi.org/https://doi.org/10.1234/jppf.v1i1.603

Ekaputri, Y. N. (2016). Pengaruh model

Page 365: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

354

pembelajaran generatif terhadap pemahaman konsep siswa kelas VIII MTs di Kabupaten Pesisir selatan. Stkip, I(1), 57–65.

Firmansyah, J., & Wulandari, S. (2016). Penerapan model pembelajaran generatif untuk mengurangi miskonsepsi pada materi gerak melingkar. Jurnal Serambi

Akademica, 4(1), 18–27. Fitriah, L. (2013). Berintegrasi imtak

pada materi ajar listrik dinamis bagi siswa kelas X MAN 1 Banjarmasin. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 1(2), 178–190. Hamdani, D., Kurniati, E., & Sakti, I.

(2012). Pengaruh pembelajaran generatif dengan menggunakan alat peraga terhadap pemahaman konsep cahaya kelas VIII di SMP Negeri 7 Kota Bengkulu. Jurnal

Exacta, X(1), 79–88. Retrieved from http://repository.unib.ac.id/6693/1/10. Isi vol x 2012 - Dedy Hamdani 079-088.pdf

Hendriansyah, I., Zainuddin, Z., & Mastuang, M. (2018). Penerapan model generatif dalam pembelajaran fisika untuk mengatasi hasil belajar dan miskonsepsi siswa. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 6(3), 336–344. https://doi.org/10.20527/bipf.v6i3.5289

Herlina, L., & Winaryati, E. (2012). Pengaruh variasi metode pembelajaran pada prestasi belajar siswa mata pelajaran kimia. Seminar Nasional Pendidikan,

Sains Dan Teknologi, 517–522. Huda, M. (2016). Model-model

pengajaran dan pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Irwandani, I. (2015). Pengaruh model pembelajaran generatif terhadap pemahaman konsep fisika pokok bahasan bunyi peserta didik MTs Al-Hikmah Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika

Al-Biruni, 4(2), 165. https://doi.org/10.24042/jpifalbiruni.v4i2.90

Jaya, I. M., Sadia, I. W., & Arnyana, I. B. P. (2014). Pengembangan perangkat pembelajaran biologi bermuatan pendidikan karakter dengan setting guided inquiry untuk meningkatkan karakter dan hasil belajar siswa SMP. E-

Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha, 4, 1–12.

Mustaming, A., Cholik, M., & Nurlaela, L. (2015). Pengembangan perangkat pembelajaran memperbaiki unit kopling dan komponen-komponen sistem pengoperasiannya dengan model discovery learning untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI Otomotif SMK Negeri 2 Tarakan. Pendidikan Vokasi:

Teori Dan Praktek, 3(1), 81–95. Mustika, M. (2014). Penerapan model

pembelajaran generatif dalam

meningkatkan penguasaan konsep

dan kemampuan pemecahan

masalah fisika pada siswa SMA. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Nafikah, L. (2011). Pengaruh model

pembelajaran generatif terhadap

hasil belajar fisika pada konsep

kalor. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Norsanty, U. O., & Chairani, Z. (2016). Pengembangan lembar kerja siswa (LKS) materi lingkaran berbasis pembelajaran guided discovery untuk siswa kelas VIII. Math

Didactic: Jurnal Pendidikan

Matematika, 2(1), 19–20. Nurfillaili, U., T, M. Y., & Anggereni, S.

(2016). Pengembangan instrumen tes hasil belajar kognitif mata SMA Negeri Khusus Jeneponto kelas XI Semester I. Pendidikan

Fisika, 4(2), 83–87. Nurkhayani, S., Zainuddin, Z., & Annur,

Page 366: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

355

S. (2013). Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 31 Banjarmasin pada pokok bahasan getaran dan gelombang melalui penerapan pembelajaran generatif. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 1(2), 137–150.

Permendikbud, R. I. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah (2016). Jakarta: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Primayoga, G., Zainuddin, Z., & Suyidno, S. (2013). Implementasi model generative learning untuk mereduksi miskonsepsi fisika pada materi ajar dinamika partikel. Berkala Ilmiah Pendidikan Fisika, 1(3), 271–277.

Santi, I. K. L., & Santosa, R. H. (2014). Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik pada materi pokok geometri ruang SMP. PHYTHAGORAS: Jurnal

Pendidikan Matematika, 11(1), 35–44. Retrieved from http://www.voxeu.org/article/zero-lower-bound-has-not-been-very-severe

Sharfina, S., Halim, A., & Safitri, R. (2017). Model pembelajaran generatif terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa kelas X SMA Negeri 1 Kuala, 5(1), 102–106.

Shoimin, A. (2014). Model pembelajaran

inovatif dalam kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suryani, I. (2013). Pengaruh penerapan

pembelajaran generatif dengan

pendekatan pair check terhadap

pemahaman konsep matematika

siswa jurusan ilmu pengetahuan

alam Madrasah Aliyah Darul

Hikmah Pekanbaru. UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru.

Syirlatifah, S., Haris, A., & Anis, A. (2014). Penerapan model pembelajaran generatif untuk meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 9 Makassar. Jurnal Sains Dan

Pendidikan Fisika, (3), 293–301. Tegeh, I. M., Jampel, I. N., & Pudjawan,

K. (2014). Model penelitian

pengembangan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Widoyoko, E. P. (2016). Evaluasi

program pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widyastuti, N. S., & Pujiastuti, P. (2014). Pengaruh pendidikan matematika realistik indonesia (PMRI) terhadap pemahaman konsep dan berpikir logis siswa. Jurnal Prima

Edukasia, 2(2), 183. https://doi.org/10.21831/jpe.v2i2.2718

Wulandari, W. T., & Mundilarto, M. (2016). Pengembangan perangkat pembelajaran fisika aktif tipe learning tournament berbasis local wisdom. Cakrawala Pendidikan, (3), 365–377.

Yuliawan, S. (2015). Keefektifan model

project based learning berbantuan

software multisim pada

peningkatan kompetensi

perancangan rangkaian digital

dasar di SMK N 1 Sedayu. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Zainuddin, Z., & Suriasa, S. (2014). “Strategi belajar-mengajar

fisika”. Materi ajar pada prodi Pendidikan Fisika. Tidak dipublikasikan.

Page 367: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

356

Eksplorasi Dimensi Kreativitas Siswa melalui Integrasi Pengetahuan Science

Technology Engineering and Mathematics (STEM)

Eko Susilowati, Suyidno

Prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat [email protected]

Abstrak

Kreativitas merupakan kompetensi penting yang harus dimiliki siswa berdasar standar kompetitif di abad ke-21 dalam memasuki era informasi dan teknologi. Hal ini memerlukan generasi kreatif yang mampu berinovasi untuk menjawab tantangan yang semakin meningkat dengan kebutuhan yang semakin kompleks. Penelitian ini menguji tingkat kreativitas mahasiswa dengan mengintegrasikan pengetahuan Science Technology Engineering and Mathematics (STEM) untuk membuat produk yang kreatif dengan tema energi terbarukan. Total responden dalam penelitian ini adalah 46 mahasiswa yang mengambil matakuliah fisika terapan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dengan mengacu pada dimensi kreativitas untuk menilai tingkat kreativitas mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan dimensi kreativitas mahasiswa dipengaruhi oleh pengetahuan STEM yang dapat mendukung kreativitas mahasiswa dengan mengkolaborasikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan STEM.

Kata Kunci: eksplorasi, kreativitas, STEM

PENDAHULUAN

Kerangka kerja abad 21 menuntut keterampilan hidup dan karir, ketermpilan pembelajaran dan inovasi, ketermpilan informasi, media teknologi dengan sistem pendukung yang berupa standar penilaian, kurikulum, pengembangan profesional, dan lingkungan belajar (P21, 2009). Hal tersebut terlihat pada Gambar 1 yang

mendorong kesuksesan peserta didik dalam mendapatkan ketermpilan dan pengetahuan melalui pembelajaran sepanjang hayat. Pada abad 21 ini, ketermpilan dan jenis pekerjaan telah bergeser, pekerjaan yang semula dikerjakan manusia digantikan oleh mesin, namun kebutuhan pemikiran ahli komunikasi semakin tinggi (David, 2003).

Gambar 1 Kerangka kerja pembelajaran abad 21

Page 368: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

357

Kompetensi utama yang diperlukan dalam menghadapi masa depan yaitu kreativitas, komunikasi, fleksibilitas, dan kemandirian (Illeris, 2002; Boe, 2011). Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan di Indonesia berusaha untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai kompetensi yang diperlukan abad 21 melalui pengembangan pendidikan yang kreatif dalam mewujudkan “Indonesia Kreatif 2045”. Akan tetapi hal tersebut belum didukung dengan pembelajaran di Indonesia yang masih mengandalkan hafalan dengan pengajaran yang masih bersifat konvensional (Marambe, 2012). Hal ini menyebabkan kreativitas peserta didik tidak berkembang dengan baik.

Integrasi Pengetahuan Science,

Technology, Engineering, and

Mathematics perlu digunakan pada proses pembelajaran (Kuenzi, 2008; Becker, 2011). Guru merancang pembelajaran berbasis STEM untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Lou, 2013). STEM dapat mengembangkan kreativitas peserta didik untuk menyelesaikan masalah kehidupan nyata. Peserta didik dapat memahami dan menerapkan STEM dengan lebih bermakna.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dimensi kreativitas mahasiswa melalui integrasi pengetahuan STEM. Model Project

Based Learning digunakan untuk menggali produk kreatif sebagai hasil dari proyek yang dikerjakan mahasiswa. Penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian yang terdiri dari: 1) Bagaimana kreativitas mahasiswa melalui integrasi pengetahuan STEM?, dan 2) bagaimana tingkat kreativitas mahasiswa berdasarkan tinjauan dimensi kreativitas?.

METODE

Kreativitas bukan merupakan talenta.warisan yang diturunkan dari

orang tua. Kreativitas dapat dilatih dan dikembangkan untuk menggali potensi peserta didik melalui proses pembelajaran (Peterson, 2001). Penelitian ini melibatkan 46 calon guru fisika yang memprogram matakuliah Fisika Terapan pada salah satu LPTK di Banjarmasin. Matakuliah ini dilakukan dengan bobot 2 SKS selama 16 kali pertemuan melalui enam tahapan pembelajaran seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tahapan pembelajaran

Tahapan Aktivitas

1 Mengidentifikasi Masalah 2 Mengeksplorasi Masalah

3 Merumuskan dan Menganalisa Ide

4 Merancang Desain Proyek

5 Membuat dan Menguji Coba Proyek

6 Melaporkan Hasil Proyek

Mahasiswa dibimbing untuk mengenali kondisi krisis energi yang terjadi di Indonesia khususnya menggali masalah energi yang terjadi di lingkungannya dan diarahkan untuk memecahkan masalah tersebut melalui pemberdayaan energi terbarukan. Melalui kegiatan ini, mahasiswa berpartsipasi aktif dan berkontribusi melalui tema energi terbarukan dengan membuat produk kreatif melalui integrasi STEM. Mahasiswa dibagi menjadi 11 kelompok dengan proyek yang berbeda. Proyek-proyek tersebut dipilih oleh tiap-tiap kelompok berdasarkan identifikasi dan eksplorasi masalah yang terjadi di lingkungan sekitar dengan tema energi terbarukan. Adapun proyek yang dikerjakan meliputi: energi sel surya, energi angin, energi air, dan energi lahan basah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 2007). Data kuantitatif diperoleh dari tes kreativitas, tes konsep energi, dan penilaian produk

Page 369: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

358

kreatif. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara, kuesioner, respon, dan jurnal mahasiswa. Instrumen-instrumen tersebut dihitung validitasnya dengan menggunakan Content Validity

Ratio (CVR) (Lawshe, 1975). Kemudian dilakukan uji-t berpasangan untuk mengetahui efektivitas integrasi pengetahuan STEM terhadap dimensi kreativitas mahasiswa. HASIL DAN DISKUSI

Hasil penelitian dibahas menjadi dua bagian yang menjawab pertanyaan penelitian. Bagian pertama menjelaskan bagaimana kreativitas mahasiswa melalui integrasi pengetahuan STEM. Bagian kedua menjelaskan bagaimana tingkat kreativitas mahasiswa berdasarkan tinjauan dimensi kreativitas.

Kreativitas mahasiswa melalui

integrasi pengetahuan STEM.

Tes kemampuan berpikir kreatif dilaksanakan sebelum dan setelah pembelajaran (tes awal dan tes akhir) untuk mengetahui apakah dengan integrasi pengetahuan STEM dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa. Kemampuan berpikir kreatif mahasiswa terdiri atas empat indikator yaitu kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi (Guilford, 1977; Rhodes, 1961). Hasil uji-t berpasangan dimensi kreativitas mahasiswa untuk tiap-tiap indikator yang terdiri dari komponen kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji t dimensi kreativitas mahasiswa

Subject Pre-test/Pos-test Paired Differences M

(SD) T

Fluency Pair 1 4.147 7.542*** Flu-pFlu (2.985) Flexibility Pair 2 4.611 11.168*** Fle-pFle (2.263) Originality Pair 3 3.280 6.773*** Ori-pOri (2.636) Elaboration Pair 4 2.825 5.741*** Ela-pEla (2.662)

*p<0.05, **p<0.01, ***p<0.001 Pada Gambar 2 menyatakan rata-rata persentase indikator kemampuan berpikir kreatif mahasiswa pada saat pre-test dan

pos-test yang menunjukkan adanya peningkatan.

Gambar 2 Rata-rata persentase pretest dan postest kemampuan berpikir kreatif

Page 370: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

359

Indikator kelancaran pada kemampuan berpikir kreatif mengalami peningkatan sebesar 18%, fleksibilitasnya sebesar 20%, orisinalitas sebesar 16%, dan elaborasi sebesar 15%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa pembelajaran melalui integrasi pengetahuan STEM dapat meningkatkan dimensi kreativitas mahasiswa. Pada aktivitas mengidentifikasi masalah, mengeksplorasi masalah, merumuskan dan menganalisa ide, dimensi kreativitas mahasiswa pada fleksibilitas (t=11,168; p<0,001), dan kelancaran (t=7,542; p<0,001) menunjukkan perkembangan dengan baik. Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah krisis energi dengan menawarkan banyak solusi yang kreatif.

Langkah berikutnya, merancang dan membuat desain proyek untuk merealisasikan ide yang telah dianalisis. Mahasiswa belajar mengidentifikasi masalah, menawarkan alternatif solusi, dan merancang proyek melalui integrasi pengetahuan STEM dengan berbagai kreatifitas. Pada saat kegiatan mendesain proyek, kelompok yang mendesain pembangkit listrik tenaga air merevisi desain proyek yang telah dirancangnya. Pada awalnya dalam pembuatan alat hydrofloating powerplant, turbin yang dipakai terbuat dari bahan seng, namun demikian setelah dilakukan uji coba bahan seng terlalu berat untuk dibentuk

menjadi sebuah system. Oleh karena itu diganti bahan polycarbonat yang bermasa lebih ringan dibanding bahan seng. Kemudian penggunaan bearing

mendukung perputaran pada turbin tersebut. Sistem roda-roda juga pada awalnya menggunakan gear untuk roda kecil dan piringan untuk roda besar, tetapi karena terkendala ketersediaan variasi ukuran bearing, diubah menggunakan puli yang terbuat dari kayu yang dapat dibentuk sesuai dengan ukuran yang sesuai, penggunaan puli kayu juga cenderung lebih ringan sehingga perputaran sistem tersebut cenderung lebih lancar. Jika menggunakan gear dan piringan sebagai roda-roda tali yang digunakan untuk saling menghubungkan antar roda yaitu rantai, tetapi karena roda-roda menggunakan puli kayu maka tali yang digunakan yaitu tali puli yang pada alat ini menggunakan tali panjang terbuat dari karet. Digunakan tali berbahan karet karena koefisien gesekan yang dimiliki bahan jenis karet cukup besar sehingga tidak terjadi slip saat roda berputar. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa telah bekerjasama untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Kesuksesan tersebut merupakan rangkaian kegiatan dan pengalaman yang dilakukan mahasiswa belajar dari kegagalan. Aktivitas pembelajaran mahasiswa melalui integrasi STEM dapat dijelaskan seperti pada Table 3.

Tabel 3 Aktivitas pembelajaran terintegrasi pengetahuan STEM

Kegiatan Integrasi pengetahuan STEM 1. Mengidentifikasi Masalah

Science

Ditinjau dari sains yaitu energi yang digunakan pada alat ini ialah energi kinetik dari air yang mengalir. Karena pengaruh pasang naik dan pasang surut, maka air sungai dapat mengalir. Berbeda dengan air mengalir pada daerah pegunungan yang alirannya dari hulu ke hilir. Namun, aliran ini dikarenakan pasang naik dan pasang surut air laut. Kemudian energi kinetik

Page 371: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

360

2. Mengeksplorasi Masalah

aliran sungai inilah yang dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Technology

Teknologi yang terdapat dalam hydrofloating adalah pembuatan alat pembangkit listrik tenaga air dengan menggunakan prinsip hydrofloating. Pada pembangkit tenaga air, alat yang digunakan tidak berpindah-pindah karena sumber penggeraknya biasanya dari air terjun atau dari bendungan. Pada alat ini, menggunakan pelampung sehingga alat lebih dinamis ketika diletakkan di atas permukaan air dan pada kondisi air yang pasang naik dan pasang surut. Engineering

Energi kinetik yang ada pada air mengalir akan memutar turbin yang mana kemudian menghasilkan energi mekanik. Energi mekanik yang dihasilkan inilah yang dapat memutar generator atau dynamo sehingga muncul energi listrik. Turbin yang berputar akibat energi kinetik aliran air ini dihubungkan dengan roda dan roda ini dihububungkan dengan dynamo. Perputaran dynamo akan menghasilkan energi listrik akibat perubahan medan magnet di dalam dynamo yang berputar. Mathematics

Perhitungan matematika pada hydrofloating menggunakan konsep hubungan roda-roda. Perbesaran energi listrik yang dihasilkan pada hydrofloating

powerplant menggunakan prinsip hubungan roda-roda dan hukum Faraday-lenz yang secara matematika dapat ditulis sebagai berikut: 1. Hubungan roda sepusat (seporos) 𝜔𝐴 = 𝜔𝐵 2. Hungan roda serantai

VA = VB ; 𝜔𝐴𝑅𝐴 = 𝜔𝐵𝑅𝐵 3. Hubungan roda saling bersinggungan

VA = VB ; 𝜔𝐴𝑅𝐴 = 𝜔𝐵𝑅𝐵 4. Hukum Faraday Lenz 𝐸 = −𝑁 ∆ΦΔ𝑡

3. Merumuskan dan Menganalisa Ide

4. Merancang desain proyek

5. Membuat dan menguji coba proyek

Lanjutan Tabel 3

Page 372: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

361

Temuan penelitian tersebut menjelaskan bahwa dimensi kreativitas mahasiswa berkembang dengan baik melalui integrasi pengetahuan STEM. Kreativitas mahasiswa yang meningkat merupakan kegiatan proses pembelajaran untuk secara bersama-sama menyelesaikan masalah yang sesuai dengan empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do,

learning to be, and learning to live

together (UNESCO, 2004).

Tingkat kreativitas mahasiswa

berdasarkan dimensi kreativitas

Dimensi kreativitas mahasiswa dikelompokkan menjadi emapat elemen yang sering disebut komponen 4P terdiri dari Person, Process, Product, and Press (Santanen, 2002; Davis, 1992; Rhodes, 1961). Karakteristik manusia sebagai individu pasti memiliki rasa, karya, cipta yang melibatkan kepribadian, motivasi, kecerdasan, gaya berpikir, kecerdasan emosional, dan pengetahuan (Kaufman, 2006).

Tabel 4 Hasil uji t dimensi kreativitas mahasiswa 4P

Subject Pre-test/Pos-test Paired Differences M (SD) t

Person Pair 1 8.25 6.05*** Per-pPer (7.36) Process Pair 2 14.54 10.15*** Pro-pPro (7.71) Product Pair 3 18.22 23.51*** Prd-pPrd (4.10) Press Pair 4 11.25 7.11*** Pre-pPre (9.53)

*p<0.05, **p<0.01, ***p<0.001

Hasil analisis data menyatakan bahwa mahasiswa mengalami perubahan secara signifikan pada semua komponen dimensi kreativitas 4P seperti yang terlihat pada Tabel 4. Komponen Product (t=23,51, p<0,001) mengalami perubahan paling besar, kemudian komponen Process (t=10,15, p<0,001), komponen Press (t=7,11; p<0,001), dan perubahan terkecil terletak pada komponen Person (t=6,05; p<0,001). Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran melalui integrasi pengetahuan STEM dapat meningkatkan dimensi kreativitas mahasiswa secara efektif. Di samping itu, proses pembelajarn melalui integrasi STEM ini mampu menciptakan lingkungan belajar yang mendorong mahasiswa dalam mengeksplorasi dimensi kreativitas secara maksimal.

SIMPULAN

Kompetensi kreativitas merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada pembelajaran abad 21. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dimensi kreativitas mahasiswa melalui integrasi pengetahuan STEM. Berdasarkan hasil dan diskusi di atas, dapat disimpulkan: (1) Proses pembelajaran melalui integrasi pengetahuan STEM dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa ditinjau dari kemampuan berpikir kreatif yang terdiri dari kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi; (2) Proses pembelajaran melalui integrasi pengetahuan STEM dapat meningkatkan dimensi kreativitas mahasiswa komponen dimensi kreativitas yang terdiri dari Person,

Process, Product, dan Press.

Page 373: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

362

DAFTAR PUSTAKA

Autor, D. H., Levy, F., & Murnane, R. J. (2003). The skill content of recent technological change: An empirical exploration. The

Quarterly journal of economics, 118(4), 1279-1333.

Becker, K., & Park, K. (2011). Effects of integrative approaches among science, technology, engineering, and mathematics (STEM) subjects on students' learning: A preliminary meta-analysis. Journal of STEM Education:

Innovations & Research, 12. Bøe, M. V., Henriksen, E. K., Lyons, T.,

& Schreiner, C. (2011). Participation in science and technology: young people’s achievement‐related choices in late‐modern societies. Studies in

Science Education, 47(1), 37-72. Creswell, J. W., Crack, P. V. L. (2007).

Designing and Conducting Mix Method Research, Sage Publication, London & New Delhi.

Davis, L. L. (1992). Instrument review: Getting the most from a panel of experts. Applied nursing research, 5(4), 194-197.

Guilford, J. P. (1977). Way beyond the IQ. Buffalo, NY: Creative Education Foundation.

Häkkinen, P., Järvelä, S., Mäkitalo-Siegl, K., Ahonen, A., Näykki, P., & Valtonen, T. (2017). Preparing teacher-students for twenty-first-century learning practices (PREP 21): a framework for enhancing collaborative problem-solving and strategic learning skills. Teachers

and Teaching, 23(1), 25-41. Illeris, K., Katznelson, N., Simonsen, B.,

& Ulriksen, L. (2002). Ungdom, identitet og uddannelse.

Kaufman, J. C., & Sternberg, R. J. (Eds.). (2006). The international

handbook of creativity. Cambridge University Press.

Kuenzi, J. J. (2008). Science, technology, engineering, and mathematics (STEM) education: Background, federal policy, and legislative action.

Lawshe, C. H. (1975). A quantitative approach to content validity 1. Personnel psychology, 28(4), 563-575.

Lou, S. J., Chung, C. C., Dzan, W. Y., Tseng, K. H., & Shih, R. C. (2013). Effect of using TRIZ creative learning to build a pneumatic propeller ship while applying STEM knowledge. International

Journal of Engineering Education, 29(2), 365-379.

Marambe, K. N., Vermunt, J. D., & Boshuizen, H. P. (2012). A cross-cultural comparison of student learning patterns in higher education. Higher Education, 64(3), 299-316.

Peterson, R. E. (2001). Establishing the creative environment in technology education: Creativity doesn't just happen by chance; the prepared environment nourished it. The Technology Teacher, 61(4), 7-11.

Rhodes, M. (1961). An analysis of creativity. The Phi Delta Kappan, 42(7), 305-310.

Santanen, E. L., Briggs, R. O., & de Devreede, G. J. (2002, January). Toward an understanding of creative solution generation. In Proceedings of the 35th Annual

Hawaii International Conference

on System Sciences (pp. 2899-2908). IEEE.

Smith, A. (2010). The influence of education on conflict and peace building, Background paper prepared for the Education for All Global Monitoring Report 2011 The Hidden Crisis: Armed conflict and education, Paris: UNESCO.

Page 374: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

363

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share

(TPS) Terhadap Hasil Belajar Fisika

Marsaulina Demiaty SMA Negeri 2 Palangka Raya

[email protected]

Abstrak

Model pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) dipilih sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan hasil belajar Fisika pada siswa kelas X yang didasarkan pada rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran fisika. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hasil belajar kognitif peserta didik melalui penerapan model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS) pada materi pokok Pengukuran di kelas X SMA Negeri 2 Palangka Raya. Jenis penelitian ini adalah analisis deskriptif. Sampel penelitian adalah kelas X MIPA 1 dengan jumlah peserta didik 40 orang. Instrumen yang digunakan adalah tes hasil belajar kognitif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari 40 siswa yang mengikuti tes hasil belajar terdapat 27 siswa yang tuntas dan 13 siswa yang masih belum tuntas. Ketuntasan klasikal siswa sebesar 67,5%, berarti secara klasikal pembelajaran tidak tuntas karena belum mencapai standar kriteria ketuntasan klasikal yang ditetapkan 75% tuntas..

Kata Kunci: Kooperatif Think Pair Share, hasil belajar

PENDAHULUAN

Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses tranformasi pengetahuan dari guru ke siswa. Transformasi ini maksudnya setelah terjadi transfer pengetahuan, siswa kemudian mengembangkan pengetahuan itu sendiri sesuai dengan struktur kognitifnya, lingkungan, dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang sedang terjadi dan digunakan untuk menyelesaikan masalah keseharian. Pembelajaran dirancang oleh guru sebagai pendidik sehingga terjadi komunikasi dua arah antara siswa dan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Salah satu materi Fisika yang diajarkan di kelas X SMA adalah materi pengukuran. Materi pokok pengukuran memiliki kompetensi dasar yaitu menerapkan prinsip-prinsip pengukuran besaran fisis, ketepatan, ketelitian, dan angka penting, serta notasi ilmiah. Kompetensi dasar tersebut merupakan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013.

Berdasarkan pengalaman belajar mengajar selama ini, siswa terkadang menunjukkan kebosanan dan kejenuhan. Siswa jarang bertanya meskipun guru telah memberikan kesempatan. Metode pembelajaran yang sering digunakan guru seperti metode ceramah dan penugasan.

Hasil belajar siswa kelas X MIPA SMA Negeri 2 Palangka tahun ajaran 2016/2017 masih di bawah KKM untuk mata pelajaran Fisika materi pengukuran. Hal ini dilihat dari nilai rata-rata ulangan harian materi pengukuran yang belum memenuhi KKM seperti yang dipersyaratkan sekolah yakni 75. Hal tersebut jelas menunjukkan adanya perbedaan antara proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas dengan proses pembelajaran yang diharapkan.

Untuk ini guru sekaligus peneliti mencoba menerapkan salah satu model pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif dan berdampak baik pada hasil belajar siswa adalah model Think

Pair Share (TPS). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa model pembelajaran

Page 375: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

364

TPS dapat digunakan sebagai alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar IPA (Surayya, Subagia, Tika, & Si, 2014).

Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang memiliki suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi didalam kelas (Triwulandari, Wati, M., 2017). Model pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang telah memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa lebih banyak untuk berfikir , menjawab dan saling membantu satu sama lain (Mufidah, Dzulkifli, & Titi, 2013; Novita, 2014; Musbir, 2015). TPS memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain (Kusuma & Aisyah, 2012).Pembelajaran kooperatif tipe TPS tidak berpusat pada guru, sehingga siswa harus berpikir untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi Fisika yang diberikan guru baik untuk mencapai tujuan individu maupun kelompok sehingga dapat mengatasi siswa yang kurang aktif. Melalui model ini siswa juga termotivasi untuk berani mengemukakan pendapat dan saling bertukar pikiran/ide, sehingga diharapkan dapat meningkatkan aktivitas siswa di dalam kelas.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian yang berjudul penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi pengukuran di kelas X MIPA SMA Negeri 2 Palangka Raya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) pada materi pengukuran.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra

eksperimental model one group pretest –

postest design. Populasi penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Think

Pair Share (TPS) ini adalah seluruh siswa kelas X MIPA SMA Negeri 2 Palangka Raya yang terdiri dari 8 kelas MIPA atau sebanyak 359 siswa MIPA. Sampel diambil dengan menggunakan teknik random sampling yaitu kelas X MIPA 1 dengan jumlah peserta didik 40 orang. Intrumen yang digunakan dalam kelas eksperimen ini adalah tes hasil belajar kognitif.

Data hasil belajar yang diperoleh dianalisis agar diketahui ketuntasan hasil belajar siswa. Analisis hasil belajar siswa terdiri dari ketuntasan individu, dan ketuntasan klasikal . Individu dikatakan tuntas jika nilai ketuntasan yang dicapai sebesar ≥ 75, atau jika dalam persentase (P) ≥ 75%, yaitu ketuntasan yang ditetapkan SMA Negeri 2 Palangka Raya. Secara klasikal dikatakan tuntas jika dalam kelas tersebut terdapat ≥ 75% individu yang tuntas dari jumlah siswa yang berada di kelas tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal yang dicapai siswa diperoleh dari hasil analisis tes hasil belajar setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. Hasil analisis ketuntasan individu dan klasikal siswa pada materi pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Ketuntasan Individu

Kriteria Jumlah siswa

Tuntas 26 Tidak Tuntas 24

Tabel 1 menunjukkan bahwa

secara individu terdapat 26 siswa yang tuntas dan 14 siswa yang tidak tuntas berdasarkan standar ketuntasan minimal yang telah ditetapkan sekolah yaitu ≥ 75%. Secara klasikal, pembelajaran

Page 376: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

365

fisika pada materi pengukuran masih dikatakan tidak tuntas karena persentase ketuntasan hanya 65%. Persentase ini masih belum mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu sebesar ≥ 75%.

Faktor yang menyebabkan sebanyak 26 siswa yang tuntas pada hasil belajar kognitif yang telah dilakukan antara lain: (1) Disebabkan oleh guru: Pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung, guru telah memberikan materi ajar dan bimbingan kepada siswa baik dalam bentuk latihan soal pada saat proses pembelajaran berlangsung maupun pada saat guru mengarahkan siswa dalam diskusi kelompok. Bimbingan ini dapat dimengerti dengan baik oleh siswa dan siswa tidak malu bertanya jika ada materi yang tidak dipahami, sehingga pada saat pemberian tes hasil belajar kognitif siswa dapat mengerjakan dengan baik; (2) Disebabkan oleh siswa: Selain menerima materi dari guru, siswa juga dapat memahami materi melalui anggota kelompok asalnya pada saat melakukan diskusi mengerjakan LKS. Selama proses pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe TPS, siswa terlihat aktif dan tidak malu untuk mengemukakan pendapat/ide dalam ketika berdiskusi dalam kelompok asalnya. Setelah diskusi dalam kelompok, siswa akan melakukan kegiatan Share (berbagi) ke kelompok lain; (3) Disebabkan penggunaan model kooperatif tipe TPS: Pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe TPS yang guru gunakan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami materi melalui siswa lainnya. Siswa tidak hanya memahami materi melalui guru saja, tetapi juga bisa melalui temannya, sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami kembali materi jika tidak sempat bertanya kepada guru. Model pembelajaran kooperatif TPS merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang

berbeda, sehingga dalam menyelesaikan tugas kelompok ketika mengerjakan LKS setiap anggota saling bekerja sama dan membantu untuk memahami materi pembelajaran.

Salah satu keunggulan model TPS adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep dalam suasana yang menyenangkan, dan mempermudah proses komunikasi antara guru dan siswa, siswa dan siswa, sehingga pembelajaran diharapkan menjadi lebih efektif dan kondusif (Triwulandari dkk, 2017). Model pembelajaran Think, Pair, and Share (TPS) memberikan kepada siswa waktu untuk berfikir dan merespons serta saling bantu satu sama lain untuk bertukar pendapat dan pemahaman mereka (Hartinah, 2018). Hal ini akan memudahkan siswa dalam memahami pelajaran dan membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan jawaban yang sangat tepat, serta mendorong siswa untuk meningkatkan kerja sama antar siswa. (Mufidah dkk., 2013). Dengan demikian, hasil belajar siswa dapat ditingkatkan dengan penerapan model pembelajaran TPS (Surayya, dkk, 2014; Chikmiyah, 2012; Musbir, 2015). SIMPULAN

Ketuntasan hasil belajar kognitif siswa setelah pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi pengukuran yaitu jumlah siswa yang tuntas sebanyak 26 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 14 siswa, dan ketuntasan klasikal siswa sebesar 65%.

DAFTAR PUSTAKA

Chikmiyah, C. (2012). Relationship between metacognitive knowledge and student learning outcomes through cooperative learning model type think pair share on

Page 377: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

366

buffer solution matter. Unesa

Journal of Chemical

Education, 1(1). Hartinah, A. S. (2018). Upaya

Peningkatan Hasil Belajar Siswa

Dengan Menggunakan Strategi

Kooperatif Tipe Think Pair And

Share Pada Mata Pelajaran Ipa

Materi Energi Alternatif Dan

Penggunaannya Di Kelas Iv Mis

Madinatussalam Desa Sei Rotan

Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli

Serdang (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatea Utara Medan).

Kusuma, F. W., & Aisyah, M. N. (2012). Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe think pair share untuk meningkatkan aktivitas belajar akuntansi siswa kelas XI IPS 1 SMA Negeri 2 Wonosari tahun ajaran 2011/2012. Jurnal

Pendidikan Akuntansi

Indonesia, 10(2). Mufidah, L., Dzulkifli, E., & Titi, T.

(2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Matriks. Jurnal

Pendidikan Matematika STKIP

PGRI Sidoarjo, 1(1), 117-125. Musbir, M. (2015). Perbandingan

Prestasi Belajar Siswa Yang Diajarkan Dengan Metode Think Pair Share Dan Metode Pembelajaran Langsung Pada Materi Gempa Bumi (Suatu studi pada SMP Negeri 1 Peusangan Siblah Krueng Kabupaten Bireuen). Visipena Journal, 6(1).

Novita, R. (2014). Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Pada Materi Trigonometri Di Kelas XI IA1 SMA Negeri 8 Banda Aceh. Visipena Journal, 5(1).

Surayya, L., Subagia, I. W., Tika, I. N., & Si, M. (2014). Pengaruh model pembelajaran think pair share terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran IPA

Indonesia, 4(1). Triwulandari, D., Wati, M., & M, A. S.

(2017). Perbedaan Hasil Belajar Siswa Antara Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Dengan Tipe Pair Checks. Berkala Ilmiah

Pendidikan Fisika, 5(1).

Page 378: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

367

Kreativitas Ilmiah Mahasiswa dalam Mendesain Rangkaian Listrik

Sederhana melalui Creative Responsibility Based Learning

Suyidno1, Eko Susilowati1, Mohamad Nur2, Leny Yuanita2, Titin Sunarti3 1Prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat

2Prodi S3 Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya

[email protected]

Abstrak

Mendesain rangkaian listrik sederhana termasuk salah satu kreativitas mahasiswa dalam inkuiri ilmiah maupun penyelesaian masalah kelistrikan; namun hambatan kreativitas sering menjadikan desain kreatif mahasiswa kurang mempertimbangkan aspek ilmiahnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan kreativitas ilmiah mahasiswa dalam mendesain rangkaian listrik sederhana melalui Creative Responsibility Based Learning (CRBL). Penelitian ini termasuk bagian dari desain penelitian pendidikan; yaitu pada tahapan pengembangan prototipe. Uji coba penelitian menggunakan one group pre-test post-test design pada 30 mahasiswa prodi pendidikan fisika. Pengumpulan data menggunakan Instrumen Tes Mendesain Rangkaian Sederhana yang diadaptasi dari Carson and Hu’Scientific Creativity Assesment, serta wawancara kepada beberapa mahasiswa. Teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Ditinjau dari aspek kreativitas mahasiswa, ada peningkatan jumlah desain rangkaian listrik sederhana dari 132 rangkaian menjadi 292 rangkaian. Sedangkan ditinjau dari aspek ilmiah, mahasiswa yang mampu mendesain rangkaian dengan benar yang semula hanya 1 mahasiswa menjadi 20 mahasiswa; meskipun masih ditemukan ada 10 mahasiswa yang desain gambar/simbol lampu dan baterai dalam rangkaian kurang tepat. Dengan demikian, CRBL dapat digunakan untuk menggali kreativitas ilmiah mahasiswa dalam mendesain rangkaian listrik sederhana. Implikasi hasil penelitian ini adalah CRBL dapat menjadi model alternatif untuk memaksimalkan kreativitas ilmiah mahasiswa dalam mendesain alat peraga sains maupun produk teknologi yang bermanfaat. Kata Kunci: Creative Responsibility Based Learning, Kreativitas Ilmiah, Mendesain

Rangkaian Listrik Sederhana PENDAHULUAN

Belajar fisika bukan sekedar menggali dan menemukan bidang ilmu fisika saja; namun juga menyiapkan individu kreatif dan inovatif dalam memecahkan masalah (Bilek, 2016; Ozdemir & Dikici, 2017). Mahasiswa dilibatkan mengidentifikasi variabel-variabel secara figural, simbolik, dan semantik untuk mendukung inkuiri ilmiah dan pemecahan masalah kehidupan nyata (Mukhopadhyay & Sen, 2013). Melalui belajar fisika, mahasiswa dapat disiapkan menjadi individu kreatif dan terpelajar secara ilmiah sebagai bekal kesuksesan mereka di masa depan (Ozdemir & Dikici, 2017).

Perkembangan sains dan teknologi dewasa ini menuntut perubahan mendasar bagi dunia pendidikan untuk menciptakan para kreator baru yang mampu mendesain solusi masalah. Mendesain (seperti: desain rangkaian listrik) merupakan fenomena pendidikan terkini yang banyak terjadi di sekolah dan ruang belajar informal di berbagai dunia (Maltese, Simpson, & Anderson, 2018). Disektor profesional, aktivitas mendesain produk kreatif ini bersinggungan dengan kreativitas ilmiah, inovasi sains dan teknologi, penemuan, serta pengambilan resiko (Simpson & Maltese, 2017). Vidergor (2017) dan Vidergor, Givon, & Mendel (2019) dapat menjelaskan bahwa

Page 379: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

368

suatu produk kreatif mencerminkan akumulasi pengetahuan yang baru atau penemuan konsep atau permasalahan menggunakan berbagai perspektif yang dipilih; di mana produk ini dapat berbentuk tertulis, lisan, benda, desain rangkaian, dll. Selain itu, produk kreatif adalah bervariasi dan berdasarkan minat dan kekuatan mahasiswa, disertai dengan evaluasi teman sebaya dan dosen.

Aktivitas mendesain eksperimen ini dapat dilatihkan melalui pembejaran sains berbasis kreativitas ilmiah, di antaranya melalui Creative

Responsibility Based Learning (CRBL). CRBL didesain untuk memfasilitasi tanggung jawab mahasiswa dalam memaksimalkan kreativitas ilmiah. Mahasiswa diberi tanggung jawab dengan berpartisipasi, menghormati orang lain, kerja sama, memimpin, dan berpendapat. Kreativitas ilmiah meliputi menentukan kegunaan benda untuk tujuan ilmiah, menemukan masalah sains, meningkatkan kegunaan suatu produk secara teknis, berimajinasi ilmiah, mendesain suatu eksperimen secara kreatif, memecahkan masalah sains dan mendesain produk yang kreatif.

Pembelajaran ini diawali membangkitkan tanggung jawab kreatif, mengorganisasi kebutuhan belajar kreatif, membimbing investigasi kelompok dan memantapkan tanggung jawab dalam menunjukkan kreativitas ilmiah, diakhiri evaluasi dan refleksi (Suyidno, Dewantara, Nur, & Yuanita, 2017; Suyidno, Nur, Yuanita, Prahani, & Jatmiko, 2018). METODE

Penelitian ini adalah bagian desain penelitian pendidikan (Plomp, 2013); yaitu pada tahap pengembangan prototipe untuk mengetahui desain rangkaian listrik sederhana dari mahasiswa saat sebelum dan sesudah diterapkan model CRBL pada uji coba kelas skala terbatas. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai

Juli 2016 pada 30 mahasiswa pendidikan fisika yang menempuh mata kuliah fisika dasar di salah satu LPTK di Banjarmasin. Instrumen Tes Desain Rangkaian Listrik Sederhana ini diadaptasi dari Carson’ Creativity Assesment (Carson, 2011) dan Hu’ Scientific Creativity Assesment (Hu & Adey, 2010). Butir tes yang digunakan disajikan di bawah ini.

Anda diberikan waktu lima menit! Seandainya disediakan 4 buah lampu, 3 buah baterai, dan beberapa kabel listrik. Gambarkan sebanyak mungkin cara yang dapat Anda lakukan untuk membuat lampu menyala! Jangan berhenti menulis hingga Anda diminta berhenti. Ketika diminta berhenti maka letakkan pensilmu dan baliklah lembar jawabanmu!

Instrumen tes di atas, sebelum digunakan telah divalidasi tiga pakar pembelajaran fisika dan diperoleh nilai validitas sebesar 3,81 dengan kriteria sangat valid dan koefisien cronbach’ alpha sebesar 0,93 dengan kriteria reliabilitas sangat tinggi (Suyidno et al., 2018); sehingga dapat digunakan sebagai instrumen penelitian.

Uji coba penelitian menggunakan one group pre-test post-test design (Sugiono, 2014); di mana mahasiswa pada awalnya diberikan tes awal mendesain rangkaian listrik sederhana, kemudian diterapkan CRBL dalam pembelajaran fisika selama 6 pertemuan; kemudian di akhir pertemuan, mahasiswa diminta mengerjakan kembali tes mendesain rangkaian listrik sederhana dam wawancara peneliti kepada beberapa mahasiswa untuk mengklarifikasi proses pemikiran kreatif mereka. Teknik analisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif, dengan menghitung dan mendeskripsikan jumlah desain rangkaian listrik sederhana ditinjau dari aspek kreativitas mahasiswa (tanpa mempertimbangkan benar/salah) dan ilmiah (mempertimbangkan kualitas

Page 380: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

369

desain berdasarkan kriteria benar, kurang benar, dan salah).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum diterapkan CRBL, beberapa variasi rangkaian listrik sederhana yang telah didesain mahasiswa disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Contoh desain awal rangkaian listrik sederhana

Gambar 1a memperlihatkan bahwa

mahasiswa A mampu membuat 5 (lima) variasi rangkaian sederhana dalam bentuk rangkaian seri maupun paralel; namun desain gambar lampu masih kurang jelas dan gambar baterai sudah jelas namun belum dilengkapi tanda positif/negatif. Berbeda dengan Gambar

1b dan 1c; mahasiswa mampu membuat 5 dan 7 variasi rangkaian listrik sederhana baik rangkaian seri maupun paralel, namun gambar lampu dan baterai juga masih kurang jelas. Berbagai variasi gambar rangkaian sederhana pada keseluruhan mahasiswa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Hasil Tes Awal Mendesain Rangkaian Listrik Sederhana

Page 381: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

370

Gambar 2 memperlihatkan bahwa mahasiswa pada umumnya sudah mampu mendesain rangkaian listrik secara seri maupun paralel, namun desain lampu dan baterai masih berdasarkan pemikirian mereka sendiri atau belum menggunakan simbol-simbol fisika atau gambar-gambar yang logis. Oleh karena itu, mahasiswa sebenarnya sudah memiliki kreativitas dalam dirinya karena mampu membuat variasi rangkaian listrik sederhana, namun belum memenuhi keilmiahan/kelogisan karena gambar rangkaian belum memakai simbol lampu, simbol baterai, atau gambar yang benar. Pemahaman konsep (seperti konsep ilmu fisika) diperlukan mahasiswa dalam pengembangan kreativitas mereka (Amponsah, Kwesi, & Ernest, 2019). Dengan demikian, hambatan kreativitas mengganggu proses berpikir mahasiswa untuk mengenali ide-ide kreatifnya sendiri (Mueller, Melwani, & Goncalo, 2012). Hambatan kreatif bisa dikarenakan faktor sosial budaya, juga bisa karena kurangnya pemahaman konsep, kurangnya sumber daya pengajaran dan pembelajaran kreatif, atau ketidaktahuan tentang pembelajaran kreatif (Amposah et al., 2019).

Setelah diterapkan CRBL; ternyata kemampuan mahasiswa dalam mendesain rangkaian mahasiswa menjadi semakin baik seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Desain Rangkaian Listrik

Sederhana Rangkaian

Didesain Mahasiswa

Kualitas Jawaban

B KB TB

Tes awal 132 buah 1 10 19 Tes akhir 292 buah 20 10 -

Keterangan: B = Benar, KB = Kurang Benar, TB = Tidak Benar

Tabel 1 memperlihatkan

penerapan CRBL mampu meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam mendesain rangkaian listrik sederhana yang semula 132 rangkaian menjadi 292 rangkaian;

begitu juga dengan aspek keilmiahannya ditinjau dari kualitas desain rangkaian bahwa dari 20 mahasiswa yang semula mendesain dengan benar/logis hanya 1 mahasiswa telah meningkat menjadi 20 mahasiswa; meskipun masih ditemukan 10 mahasiswa yang kualitas desainnya masih kurang benar, karena beberapa mahasiswa masih mendesain gambar/simbol lampu atau baterai dalam rangkaian tidak semestinya.

Peningkatan jumlah rangkaian dan kualitas jawaban pada Tabel 1; berarti CRBL tidak hanya mampu meningkatkan kreativitas mahasiswa; namun utamanya adalah mampu menghubungkan konsep-konsep fisika dalam mendesain produk kreatif, sehingga produk kreatif yang telah dihasilkan lebih logis (masuk akal). Hal ini didukung Suyidno et al. (2017) bahwa CRBL efektif meningkatkan kemampuan mendesain produk kreatif. Penerapan CRBL memaksimalkan tanggung jawab dan keterampilan proses mahasiswa dalam mengembangkan kreativitas ilmiahnya (Suyidno et al., 2018). Hal ini sesuai rekomendasi Daly, Mosyjowski, Oprea, Huang-Saad, & Seifert (2016) bahwa kualitas pengalaman belajar kreatif di ruang kelas universitas perlu menerapkan pedagogi termasuk membangun repertoar karya-karya sukses dalam suatu bidang, dan refleksi diri tentang proses kreatif. Pengembangan kreativitas ilmiah diyakini mampu mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan di masa depan yang kompleks dan penuh ketidakpastian (Amposah et al., 2019). SIMPULAN

Proses mendesain rangkaian listrik sederhana termasuk keterampilan dasar yang menunjang kesuksesan penyelidikan ilmiah maupun penyelesaian masalah di materi listrik. Melalui penerapan CBRL, kreativitas ilmiah mahasiswa dalam mendesain rangkaian listrik sederhana dapat

Page 382: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

371

dilatihkan dengan baik. Mahasiswa yang semula mendesain gambar lampu dan baterai masih sebatas pemikiran sendiri, berubah menggunakan simbol lampu atau baterai, maupun gambar lampu dan baterai yang benar. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengkaji kreativitas ilmiah mahasiswa fisika dalam mendesain percobaan maupun teknologi berkaitan dengan bidang fisika.

DAFTAR PUSTAKA

Amponsah, S., Kwesi, A.B., & Ernest, A. (2019). Lin’s creative pedagogy framework as a strategy for fostering creative learning in Ghanaian schools. Thinking Skills

and Creativity, 31, 11–18. Bilek, M. (2016). Question for current

science education: Virtual or real? Journal of Baltic Science

Education, 15(2), 136-139. Carson, S. (2011). Your creative brain,

seven steps to maximize

imagination, productivity, an

innovation in your live. Daly, S.R., Mosyjowski, E.A., Oprea,

S.L., Huang-Saad, A., & Seifert, C.M. (2016). College students’ views of creative process instruction acrossdisciplines. Thinking Skills and Creativity, 22, 1–13.

Hu, W & Adey, P. (2010). A scientific creativity test for secondary school students. International Journal of

Science Education, 24(4), 389-403.

Maltese, A.V., Simpson, A., & Anderson, A. (2018). Failing to learn: The impact of failures during making activities. Thinking

Skills and Creativity, 30, 116–124. Mueller, J. S., Melwani, S., & Goncalo,

J. A. (2012). The bias against creativity: Why people desire but reject creative ideas. Psychological Science, 23(1), 13–17.

Mukhopadhyay R., & Sen, M. K. (2013). Scientific creativity- A new emerging field of research: Some considera-tions. International

Journal of Education and

Psychological Research, 2(1), 1-9. Ozdemir, G. & Dikici, A. (2017).

Relationships between scientific process skills and scientific creativity: Mediating role of nature of science knowledge. Journal of Education in Science,

Environment and Health, 3(1), 52-68.

Plomp, T.J. (2013). Educational design research: An introduction. In Plomp, T.J. & Nieveen, N. (eds). Educational Design Research,

part A: An intro-duction, 10-51. http://downloads. slo. nl/Documenten/educational-design-research-part-a.pdf.

Simpson, A., & Maltese, A. (2017). Failure is a major component of learning anything: The role of failure in the development of STEM professionals. Journal of

Science Education and

Technology, 26(2), 223–237. Sugiono. (2014). Statistika untuk

penelitian. Bandung: Alfabeta. Suyidno, Dewantara, D., Nur, M., &

Yuanita, L. (2017). Maximize student’s scientific process skill within creatively product designing: creative responsibility based learning. Proceeding The

5th South East Asia Development

Research (SEA-DR) International

Conference. Suyidno, Nur, M., Yuanita, L., Prahani,

B. K., & Jatmiko, B. (2017). Effectiveness of creative responsibility based teaching model on basic physics learning to increase student’s scientific creativity and responsibility. Journal Baltic Science of

Education, 17(1), 136-151.

Page 383: snpfmotogpe.ulm.ac.idsnpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/prosiding-snpf... · (IoT), internet industri, komputasi awan (Cloud-based Manufactoring ), dan Smart Manufacturing

372

Vidergor, H. E. (2017). Effectiveness of the multidimensional curriculum model in developing high order thinking skills in elementary and secondary students. The

Curriculum Journal, 29(1), 95–115.

Vidergor, H.E., Givon, M., & Mendel, E. (2019). Promoting future thinking in elementary and middle school applying the Multidimensional Curriculum Model. Thinking Skills

and Creativity, 31, 19–30

.