inventarisasi ikan

76

description

zzzz

Transcript of inventarisasi ikan

Page 1: inventarisasi ikan
Page 2: inventarisasi ikan

ISBN: 979-3149-48-5

INVENTARISASI DATA DASAR SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT

SUMBERDAYA IKAN KARANG KEPULAUAN KANGEAN - SUMENEP MADURA

JAWA TIMUR

PUSAT SURVEI SUMBERDAYA ALAM LAUT BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

(BAKOSURTANAL) 2003

Jl. Raya Jakarta � Bogor Km.46 Cibinong, Jawa Barat 16911 Telp. (021) 8752063, 8759481. Fax. (021) 8759481. Telex : 48305 BAKOST IA � Box 46 � CBI CIBINONG

Page 3: inventarisasi ikan

TIM PENYUSUN INVENTARISASI DATA DASAR

SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT

SUMBERDAYA IKAN KARANG KEP. KANGEAN - MADURA JAWA TIMUR

TIM PENGARAH DAN NARASUMBER Ketua : Dr. Aris Poniman (Deputi Survei Dasar dan Sumberdaya Alam) Anggota : Drs. Suwahyuono, MSc (Kepala Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut) Ir. Badrudin, MSc., APU. (BRPL, Departemen Kelautan dan Perikaan) Drs. Suprajaka, MTP (Pemimpinn Proyek INEV-SDAL) TIM TEKNIS:

Drs. A.B Suriadi M.A, MSc (KaBid. Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut) Drs. Yudi Siswantoro, MSi ( PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir

dan Laut) TIM PELAKSANA ;

Ketua (merangkap anggota ) : Drs. Yudi Siswantoro, MSi (PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir

dan Laut) Anggota : 1. Drs. Isa Nagib Edrus, M.Sc (Analis Ikan Karang) 2. Imam Suprihanto, S.Si (Analis Terumbu Karang) 3. Ir. Hari Suryanto (Analis Tanah) 4. Drs. Turmudi, MSi (Analis Geomorfologi) 5. Yusuf Effendi (Analis, Operator SIG) 6. Masduki (Analis, Operator SIG) 7. Dedy Mukhtar (Analis, Operator SIG) 8. Abdul Jamil (Analis, Operator SIG) 9. Aswelly (Administrasi, Operator SIG)

PENULIS :

! Drs. Yudi Siswantoro, M.Si ! Drs. Isa Nagib Edrus, M.Sc ! Imam Suprihanto, SSi

PENYUNTING :

! Drs. Suwahyuono, M.Sc ! Drs. A.B Suriadi M.A, M.Sc

Desain Sampul : Yudi Siswantoro

Page 4: inventarisasi ikan

KATA PENGANTAR

Ucapan terima kasih dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dengan telah dilaksanakannya Penyusunan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk tema Sumberdaya Ikan Karang.

Kegiatan Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk Sumberdaya Ikan Karang di Kepulauan Kangean merupakan sebagian dari Kegiatan Pusat Survei Sumberdaya Alam di wilayah ALKI II. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan survei terintegrasi dari tiga bidang untuk kegiatan Sumberdaya Pesisir dan Laut yaitu; Bidang Inventarisasi, Bidang Neraca Sumberdaya Alam, serta Bidang Basisdata yang merupakan uji aplikasi �Pedoman� dari Norma Pedoman Prosedur Standard dan Spesifikasi (NPPSS).

Dari hasil Inventarisasi Sumberdaya Ikan Karang ini diharapkan diperoleh pengkayaan untuk penyusunan Spesifikasi Teknis khususnya spesifikasi teknis sumberdaya ikan karang, yang merupakan bagian dari NPPSS.

Buku ini disusun atas dukungan penuh dari Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut (INEV-SNML) BAKOSURTANAL pada tahun anggaran 2003.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada beberapa pihak, yang telah turut membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini yaitu :

1. Pimpinan BAKOSURTANAL, yang telah mempercayakan pelaksanaan serta mendukung kegiatan ini.

2. Pimpinan beserta staf Proyek INEV-SNML BAKOSURTANAL, yang membantu dan mendukung seluruh pembiayaan dari kegiatan ini

3. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur, atas kerjasama dan bantuannya demi kelancaran kegiatan.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, atas kerjasama dan bantuannya untuk koordinasi dengan instansi di daerah sehingga kegiatan ini dapat berjalan lancar.

5. Instansi sektoral, Tim Penyusun Sektoral, dan Narasumber, atas kerjasama dan bantuannya sehingga pelaksanaan kegiatan ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan

6. Seluruh tim pelaksana di BAKOSURTANAL, atas kerjasama dan dukungan penuh sehingga peyusunan kegiatan ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang i

Page 5: inventarisasi ikan

Penyusun menyadari bahwa pelaksanaan kegiatan dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan dan kritikan serta saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Cibinong, Desember 2003

Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Kepala,

Drs. Suwahyuono, M.Sc. 370 000 135

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang ii

Page 6: inventarisasi ikan

ABSTRAK

Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut merupakan kegiatan yang sangat diperlukan, dan dibutuhkan guna ketersediaan data bagi perencanaan daerah, terutama wilayah yag sangat komplek, beragam dan saling berkaitan seperti wilayah pesisir dengan laut.

Ikan Karang merupakan jenis ikan yang spesifik dan hidup di wilayah sekitar terumbu karang. Meningkatnya eksploitasi terumbu karang dan penangkapan ikan karang yang tidak ramah lingkungan, menyebabkan kerusakan yang semakin meluas, terutama lingkungani wilayah dimana ikan karang hidup, yaitu terumbu karang. Dikhawatirkan perubahan dan perusakan ekosistem ini akan mempengaruhi ekologi wilayah terumbu karang, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan menurunkan asset daerah di bidang perikanan tangkap dan ikan hias. Ketersediaan data yang akurat dan up to date, terutama di wilayah habitat ikan karang yang tersebar luas di wilayah timur Jawa Timur ini sangat diperlukan, guna perencanaan pengembangan wilayah, terutama wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikan karang agar dapat dipantau dan diawasi perkembangannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah melaksanakan inventarisasi data dasar sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, terutama sumberdaya Ikan Karang, yang akan digunakan sebagai data dasar bagi berbagai kepentingan di wilayah pesisir dan laut agar sesuai dengan potensi yang dimiliki. Metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan aplikasi inderaja dan SIG, yang

akan menghasilkan peta digital skala 1:250.000 dan skala 1:50.000 dengan tema Ikan Karang.

Jenis citra yang digunakan yaitu Citra Landsat TM7, dengan dibantu berbagai peta dari

BAKOSURTANAL seperti peta Rupabumi, LPI, LLN dan RePProT dari berbagai skala, serta

survei lapang berupa penyelaman di beberapa titik sampel guna membantu dalam pembuatan

petanya.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang iii

Page 7: inventarisasi ikan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i ABSTRAK iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi

I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Maksud dan Tujuan 3

1.3. Sasaran 3 1.4. Peralatan 4 1.5. Tahapan Kegiatan 5

1.6. Outline Penulisan Hasil Kegiatan 6 II GAMBARAN UMUM TERUMBU KARANG DAN

IKAN KARANG 8 2.1. Gambaran Umum Terum,bu Karang dan Lingkungannya 8 2.2. Status Terumbu Karang Secara Umum 12 2.3. Satus Terumbu Karang di Indonesia 13 2.4. Pemulihan Terumbu Karang dan Rehabilitasinya 15 2.5. Pemulihan Organisma Indikator dalam Monitoring

Terumbu Karang 16 2.6. Ekologi Ikan Karang 18 2.6.1. Jaringan Makanan dan Cara makan 18 2.6.2. Keanekaragaman Ikan Karang 22 2.6.3. Interaksi Sosial 26 2.6.4. Simbiosis Mutualisme 27

2.6.5. Penyerupaan dan Mimicry 28 III METODOLOGI 31 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 31 3.2. Metoda 32 3.3. Alat dan Bahan 32 3.4. Analisa Data 33

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang iv

Page 8: inventarisasi ikan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 36 4.1. Kondisi Komunitas Ikan Karang 36 4.1.1. Keanekaragaman Ikan karang 36 4.1.2. Pengelompokan Ikan Karang 40 4.1.3. Ikan Indikator dan Indeks IRDI 42 4.1.4. Ikan Sebagai Sumberdaya yang Bernilai Ekonomis 44

4.2 Pemetaan Ikan Karang 46 V KESIMPULAN DAN SARAN 53 DAFTAR PUSTAKA 55 LAMPIRAN 60

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang v

Page 9: inventarisasi ikan

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah jenis ikan di berbagai terumbu karang

Tabel 2. Gambaran umum lokasi transek pada setiap stasiun

Tabel 3 Kondisi ikan karang di Pulau-Pulau Kangean, Sumenep Madura, menurut

stasiun penelitian

Tabel 4. Kebiasaan makan Chaetodontidae

Tabel 5. Sebaran dan LuasTerumbu Karang Skala 1:50.000

Tabel 6. Daftar Titik Sampel Penelitian Ikan karang dan Terumbu Karang di

Kepulauan Kengean

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hubungan tropik pada ikan-ikan terumbu karang

Gambar 2. Wilayah penelitian inventarisasi sumberdaya ikan karang

Gambar 3 Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1708-07

Gambar 4. Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1709-01

Gambar 5. Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1808-01.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang vi

Page 10: inventarisasi ikan

INVENTARISASI SUMBERDAYA IKAN KARANG

DI PULAU MADURA � KEP. KANGEAN

SUMENEP MADURA

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Pulau-pulau Kangean yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Sumenep,

Madura, menyimpan aneka potensi pesisir dan kelautan yang dapat diekploitasi dari tiga

ekosistem utama, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Sumberdaya

terumbu karang Pulau-pulau di Kangean memberikan kontribusi yang cukup besar bagi

sektor perikanan di Jawa Timur, sama halnya dengan kontribusi Kepulauan Seribu pada

perikanan di Jawa Barat./ DKI Jakarta. Komoditas yang menarik dari terumbu karang di

Madura antara lain adalah ikan kerapu, lobster, teripang, rumput laut, ikan hias, kekerangan,

kerang mutiara, dan kepiting. Usaha perikanan yang meningkat dalam beberapa tahun

terakhir ditambah managemen lingkungan yang buruk, seperti penangkapan ikan dengan

racun dan bahan peledak, menyebabkan tekanan yang besar atas terumbu karang di Kangen

(Effendi 2003). Karena ikan karang mempunyai afinitas yang kuat atas habitatnya di area

terumbu karang, kegiatan penangkapan yang ilegal ini akan menjadi ancaman pada

eksistensi ikan karang di Kangean. Sebagaimana telah terbukti di perairan lain bahwa

kerusakan terumbu karang telah membawa dampak negatif atas sumberdaya karang.

Kerusakan terumbu karang di Bali menyebabkan penurunan produksi lobster, dari 78,3 ton

pada 1978 menjadi 21 ton pada tahun 1985, dan juga menyebabkan penurunan hasil

tangkapan muroami di pulau-pulau Seribu Teluk Jakarta, dari 68,1 ton pada tahun 1970

menjadi 35,2 ton pada tahun 1981 (Subani, 1987).

Selain tingkat produktivitas atau hasil tangkapan ikan tersebut, indikator yang lebih

spesifik digunakan dalam menilai kerusakan terumbu karang adalah persen tutupan karang

batu. Namum demikian karena ikan karang selalu memberikan respon yang baik dan cepat

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

1

Page 11: inventarisasi ikan

terhadap perubahan-perubahan lingkungan, seorang evaluator sering pula menggunakan

jenis ikan karang tertentu sebagai indikator kerusakan perairan karang, walaupun dia bukan

tergolong specialist (Nash, 1989). Beberapa indikator ini sebenarnya merupakan pertanda

(warning) penting yang justru kurang mendapat respon posistif dari aparat terkait di daerah,

sehingga usaha-usaha inventarisasi sumberdaya selalu terlambat dilakukan setelah

kerusakan berat terjadi di suatu perairan karang. Dengan kata lain, usaha pengelolaan

sumberdaya perairan karang selalu tidak didukung oleh ketersediaan informasi yang cukup.

Adapun inventarisasi ikan-ikan karang bukan saja strategis dalam hubungannya

dengan monitoring kemunduran mutu lingkungan perairan terumbu karang, tetapi juga

strategis untuk mendukung usaha-usaha pengelolaan sumberdaya karang. Sebab kurangnya

informasi tentang kondisi perairan pulau-pulau kecil di setiap wilayah turut menambah

peningkatan masalah yang sudah ada, seperti tidak adanya pola pengelolaan yang spesifik

dan buruknya managemen lingkungan yang ditandai oleh lemahnya sistem hukum dan

kelembagaan kelautan serta lemahnya koordinasi antara unsur terkait.

Perhatian atas meningkatnya masalah lingkungan dan implikasi jangka panjangnya

sehubungan dengan hilangnya berbagai sumberdaya karang terus berkembang. Wilayah-

wilayah yang berpotensial mengalami degradasi terus dimonitoring dan dipetakan.

Beberapa ahli telah membagi berbagai pola pengelolaan berdasarkan teori ekologis, yang

hasil dari studi lapangannya seringkali merupakan langkah awal untuk mengelola wilayah

karang. Namun saat ini, cara-cara yang praktis untuk mewujudkan pola-pola pengelolaan

wilayah terumbu karang masih langka. Hanya sedikit sekali wilayah-wilayah terumbu

karang di dunia dan bahkan hampir tidak ada di Asia Tenggara secara efektif diproteksi dan

dimonitor secara berkala. Bahkan pada wilayah dengan proteksi resmi, dalam beberapa

kasus yang ada, managemen di lapangannya belum betul-betul efektif (White, 1987).

Dengan alasan yang sama, dapat kita duga bahwa mengapa sebagian besar wilayah karang

di banyak tempat telah mengalami degradasi sumberdaya.

Sejauh mana hal ini terjadi di perairan terumbu karang Kangean dapat diketahui

melalui usaha inventarisasi sumberdaya, dan yang terpenting dari itu semua adalah sifat

kondisional komunitas ikan karang selayaknya dapat tercermin melalui format desimanasi

yang representatif untuk berbagai kepentingan melalui analisa keruangan dengan

menggunakan Geographical Information System (GIS).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

2

Page 12: inventarisasi ikan

Pada satu sisi, kerusakan area karang dapat mempengaruhi komunitas ikan karang.

Dalam hal ini timbul pertanyaan bahwa berapa besar jenis yang hadir dan jenis apa saja yang

hilang dari lingkungan karang di lokasi tersebut. Indeks-indeks ekologis keragaman,

kekayaan dan keseimbangan populasi ikan karang, yang dapat digunakan sebagai �bench

mark� bagi wilayah kajian yang lain atau sebagai atribut GIS, dapat memperbandingan satu

area karang dengan area karang yang lain. Pada sisi yang lain, jumlah jenis dan individu dari

populasi ikan tertentu, seperti ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), dapat menjadi petunjuk

kesehatan dan keragaman karang. Penelitian ini terfokus pada analisis ke dua masalah ini,

sementara pola penyajian hasilnya dimaksudkan untuk memberikan satu pembelajaran

dalam standarisasi format teknis survei kelautan dan pelaporan, yang dengannya usaha-

usaha pemetaan sumberdaya pesisir dalam kaitannya dengan GIS dapat diseragamkan secara

nasional dan dapat menjadi acuan bagi daerah-daerah yang memiliki tujuan yang sama.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud kegiatan ini adalah melakukan inventarisasi dan pemetaan ikan karang di P.

Madura - Kepulauan Kangean. Tujuan kegiatan ini secara umum adalah untuk menggali

potensi sumberdaya hayati ikan karang guna memenuhi kebutuhan informasi dan data yang

cukup berkualitas sesuai dengan prosedur guna penyusunan Norma, Prosedur, Pedoman,

Standar dan Spesifikasi (NPPSS), sedangkan tujuan utamanya adalah untuk menguji coba

penerapan Pedoman Inventarisasi dan pemetaan ikan karang.

1.3. Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah :

- Interpretasi citra untuk mengetahui sebaran ikan karang

- Melakukan survei lapang untuk mengecek hasil interpretasi dan identifikasi

kondisi terumbu karang secara �in situ�

- Sebagai masukan perbaikan Pedoman inventarisasi

Sedangkan sasaran dari kegiatan ini secara lebih spesifik adalah untuk

menginvetarisasi ikan karang (coral fishes) dan mengetahui kondisi kesehatan karang yang

secara tidak langsung saling berkaitan dengan keberadaan ikan indikator.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

3

Page 13: inventarisasi ikan

1.4. Peralatan

1.4.1. Peralatan Pemetaan Digital

Peralatan pemetaan digital untuk kegiatan ini berupa Software dan peralatan

hardware. Software yang digunakan untuk analisis citra yaitu :

1. Software ER Mapper 5.5 Software ini digunakan untuk menganalisa citra

Landsat ETM-7, untuk melihat kenampakan wilayah atau tutupan terumbu

karang yang ada.

2. Arc info, dan Arc View digunakan untuk proses digitasi, analisa sampai

pembuatan format kartografi guna plotting atau cetak ke hard copy.

Adapun peralatan hardware yang digunakan untuk pemetaan digital ini diantaraya :

1. Komputer untuk digitasi dan analis citra/digital, dan Komputer Administrasi

2. Printer dan Plotter

1.4.2. Peralatan Lapangan

Dalam mempersiapkan pengambilan data terumbu karang di perairan Kepulauan

Kangean diperlukan bahan dan peralatan pendukung yang antara lain :

a. Peralatan,

- SCUBA Equipment (Tabung selam, Bouyancy Conpensator Device/BCD,

Regulator, Fins, Booties, Masker dan snorkel, Wetsuits, Timah pemberat)

- High Pressure Compressor

- Kapal Motor berukuran sedang (7 ton)

- Underwater Camera photo dan Underwater Camera video

- Alat tulis bawah air

- Roll meter, untuk transek di bawah air

- Buku identifikasi karang dan ikan karang

- Tas sampel

- Sechi disk

- Water Checker

- Current meter

- GPS untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna mengetahui posisi titik

sample atau posisi lokasi pembuatan training area di lapangan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

4

Page 14: inventarisasi ikan

b. Bahan,

- Film negatif, video film, Alkohol, formalin, Gasoline/Bensin

Selain peralatan di atas, untuk kelancaran dan memudahkan kegiatan diperlukan alat

transportasi kendaraan darat seperti mobil dan motor

1.5. Tahapan Kegiatan

Kegiatan untuk penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilaksanakan,

tahapan tersebut diantaranya meliputi :

1.5.1. Persiapan

Sebelum pelaksanaan kegiatan diperlukan persiapan-persiapan agar kegiatan ini

dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan maksud/tujuan kegiatan. Pada tahap ini

dilakukan pra survei di wilayah yang akan diteliti, yang dilaksanakan oleh ketua tim disertai

oleh penanggung jawab kegiatan.

Adapun persiapan yang diperlukan diantaranya adalah persiapan administrasi

berupa perijinan untuk melakukan kegiatan dan pemetaan terumbu karang, rute dan jadwal

kapal, transportasi menuju wilayah kegiatan / penelitian, serta literatur pendukung. Pada

tahap ini ditentukan kapan waktu pelaksanaan kerja lapang yang sebaiknya dilaksanakan,

karena dalam pelaksanaan survei ini dilakukan di laut/perairan yang sangat tergantung oleh

cuaca.

1.5.2. Tahap Pra Lapangan

Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra wilayah kegiatan, citra yang digunakan

yaitu citra Landsat ETM-7. Dengan diketahuinya habitat terumbu karang dapat diperoleh

gambaran sementara habitat ikan karang dan wilayah yang perlu di survei lapang atau

diambil sampelnya untuk acuan atau guidence bagi wilayah lainnya yang serupa sehingga

identifikasi data di lapangan tidak perlu dilakukan pada seluruh wilayah penelitian.

Selain interpretasi citra dilakukan pula penentuan rute atau jalan yang akan dilalui

guna kelancaran kegiatan, base camp, serta peralatan dan kendaraan yang akan digunakan.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

5

Page 15: inventarisasi ikan

1.5.3. Tahap Kerja Lapang

Pelaksanaan kerja lapang dilakukan setelah semua kegiatan persiapan selesai

dilaksanakan. Pada tahap ini tiga bahan yang paling penting untuk kelengkapan survei

lapangan adalah:

! Peta tentative yang akan di cek (di lapangan)

! Peta Rupabumi untuk memandu perjalanan lapangan

! Citra Inderaja hasil interpretasi (hard-copy) yang akan digunakan untuk cek lapang.

Pada tahap kerja lapang yang perlu dilakukan diantaranya :

a. Pembuatan Titik Sampel Lapangan

b. Penentuan stasiun pengamatan (pengambilan contoh/pengamatan in situ)

c. Prosedur pengamatan (pengambilan contoh)

1.5.4. Tahap Paska Lapangan

Setelah melaksanakan survei lapang perlu tahap paska lapangan yang terdiri dari:

# re-interpretasi guna mengetahui dan memperbaiki kesalahan hasil interpretasi

awal, sehingga diperoleh hasil sesuai dengan kenyataan pada titik sample di

lapang.

# Digitasi peta tematik berdasarkan hasil re-interpretasi yang telah diperbaiki

# Analisa hasil

1.6. Outline Penulisan Hasil Kegiatan

Penulisan hasil kegiatan ini disusun menjadi lima bab, yaitu:

Bab 1. Pendahuluan.

Menjelaskan latar belakang kegiatan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam

Pesisir dan Laut untuk sumberdaya ikan karang di sebagian P. Madura dan kepulauan

Kangean, maksud dan tujuan, kerangka konseptual, sasaran daerah penelitian beserta ruang

lingkupnya. Tujuan dari Bab ini adalah agar dapat memahami latar belakang dan tujuan dari

kegiatan ini.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

6

Page 16: inventarisasi ikan

Bab 2. Gambaran Umum Ikan Karang dan Terumbu karang

Berisi gambaran umum tentang ikan karang dan terumbu karang. Dengan

memberikan gambaran umum tentang hubungan antara ikan karang dan terumbu karang ini

diharapkan pembaca dapat memahami keterkaitan antara berbagai faktor fisik dengan

kondisi ikan karang di pesisir wilayah Madura � Kangean, Jawa Timur.

Bab 3. Metoda

Bab ini menerangkan data dan peralatan beserta metode yang digunakan untuk

kegiatan ini. Metode pemetaan ikan karang dijelaskan tahap demi tahap, beserta bagan

alirnya. Dengan memaparkan metodologi dari kegiatan ini, diharapkan pembaca dapat

memahami bagaimana peta ini dibuat, spesifikasi yang digunakan untuk pembatasan

pemetaan sumberdaya ikan karang serta sumber data yang digunakan.

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

Bab ini menyajikan penjelasan tentang hasil akhir Peta Sumberdaya Ikan Karang

wilayah pesisir beserta analisanya. Analisa Peta Sumberdaya Ikan Karang mencakup

penyebaran ikan karang, jenis, kelimpahan serta dominansi dari ikan karang di wilayah

penelitian.

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyajikan pokok-pokok kesimpulan dari rangkaian pemetaan Ikan Karang

di wilayah pesisir Madura dan Kangean serta beberapa saran untuk penelitian dan

pengembangan lebih lanjut.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

7

Page 17: inventarisasi ikan

BAB II

GAMBARAN UMUM TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG

2.1. Terumbu karang dan lingkungannya

Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati laut

dan produktivias yang tinggi dan merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomis bagi

orang-orang yang tinggal di sekitarnya dan sering pula sebagai sumber utama untuk ruang

hidup, makanan, dan pendapatan bagi mereka yang tinggal dekat terumbu karang

(Wilkinson and Buddemeier, 1994; Grassle et al. 1990).

Terumbu karang terbentuk dalam batasan-batasan yang terdifinisikan dengan baik

dari lingkungan fisik. Karang ditemukan di daerah tropis dan subtrofis pada kedalaman

kurang dari 100 meter. Batimetri, suhu, cahaya, sifat-sifat air, arus laut dan sejarah

perubahan-perubahan pada permukaan laut semuanya memberikan andil dalam menentukan

distribusi, komposisi dan keragaman dari ekosistem terumbu karang (Achituv and Dubinsky,

1990; Kleypas, 1997, as cited by Lough, 1998).

Komunitas terumbu karang hidup tumbuh secara kontinyu melampaui struktur

komposit kalsium karbonat dari karang sebelumnya dan membangun karang batu dan

ganggang coralline, seperti Halimeda (ganggang hijau) dan Lithothamnion (ganggang

merah). Coral dan ganggang ini membangun sejumlah besar unsur kalsium karbonat dalam

skeleton-skeletonnya (rangkanya), dan ini adalah bahan-bahan yang membentuk struktur

geologis dari terumbu karang. Penumpukkan yang kontinyu membuat suatu karang tumbuh

dan selalu mempertahankan posisi tumbuhnya terhadap kenaikan permukaan laut. Koral

pembangun karang semuanya bergabung dalam membentuk satu sifat penting. Sel-sel

ganggang mikroskopik (Zooxanthellae) yang bersimbiose dengan koral dapat hidup dalam

jaringan karang dan menyediakan dengan banyak sekali kebutuhan-kebutuhan makanan bagi

koral melalui kemampuannya dalam fotosintesa. Hubungan simbiotik ini dapat dibayangkan

sebagai suatu mikrokosmos dalam komunitas karang, di mana ganggang yang mampu

bersimbiotik menyediakan bahan orgaik yang membentuk basis dari rantai makanan dalam

komunitas (Wilkinson and Buddemeier, 1994).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

8

Page 18: inventarisasi ikan

Terumbu karang adalah ekosistem yang dinamis dan terintegrasi dengan bahan

penyusun mineral yang disumbangkan oleh hewan dan tanaman. Karena adanya unsur-unsur

seperti ini terumbu karang menjadi suatu ekosistem dengan keragaman dan kompleksitas

yang tinggi. Kondisi seputar lingkungan yang ada juga dapat membuat terumbu karang

menjadi rapuh dan cepat rusak, karena karang tumbuh dengan baik didekat permukaan air

laut yang hangat dan dekat dengan batas-batas daratan. Karenanya perubahan-perubahan

dalam kondisi lingkungan di laut, udara atau daratan yang berinteraksi dengan laut adalah

memungkinkan untuk mempengaruhi kehidupan ekosistem karang. (Smith and Buddemeier,

1992; Wilkinson and Buddemeier, 1994).

Menurut Wilkinson and Buddemeier (1994), pertumbuhan dan fungsi terumbu

karang adalah terbaik di bawah kondisi umum seperti di bawah ini:

1 Suhu air dalam kisaran optimum antara 23 � 30 °C;

2 Iradiasi matahari konstan, laut yang jernih di lintang tropis.

3 Tingkat sedimentasi yang rendah;

4 Rendahnya konsentrasi unsur nutrien organik dan inorganik;

5 Kisaran salinits antara 25 sampai 40 ppt; dan

6 Terlindung dari tingkat radiasi UV-B yang berlebihan.

Sementara, faktor-faktor lingkungan kunci yang memainkan peranan dalam

mengontrol kesehatan terumbu karang didiskusikan di bawah ini.

# Cahaya

Cahaya adalah penting untuk perawatan dan pertumbuhan karang keras dan sebagian

besar jenis-jenis lain yang hidup dalam ekosistem terumbu karang, dan terutama sekali

untuk kepentingan produksi primer yang mendukung keseluruhan komponen ekosistem.

Tetapi, tidak semua cahaya/sinar menguntungkan. Pada umumnya, radiasi matahari yang tak

tampak seperti ultraviolet adalah merugikan bagi organisma hidup. Menurut panjang

gelombang dari radiasi matahari yang tak tampak, sinar tersebut dibagi menjadi tiga band

ultraviolet, yakni UV-C (200-280nm); UV-B (280-320nm) and UV-A (320-400nm). Sinar

UV-B dan sinar dengan panjang gelombang yang terpendek dari UV-A dapat merusak DNA

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

9

Page 19: inventarisasi ikan

secara fisikologis. Sementara UV secara potensial memiliki daya perusak yang besar, tetapi

UV tidak dapat melewati lapisan atmosfir (Wilkinson and Buddemeier, 1994).

Komunitas karang terbatas keberadaannya pada perairan dangkal, karena ganggang

simbiotik membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesa. Kebutuhan dan adaptasi sinar

pada koral seperti untuk kepentingan memelihara laju maksimum dari pengkapuran dan

fotosintesa adalah dapat dipertahankan hingga di bawah kedalaman 20 meter dalam kondisi

perairan bersih (Falkowski et al., 1990).

Penetrasi cahaya matahari di badan air dapat dihambat oleh tingkat turbiditas,

sehingga laju sidementasi yang tinggi dapat berpengaruh buruk pada koral dan karang,

diantaranya adalah menurunnya kecepatan tumbuh dan menghambat pembentukan koloni-

koloni baru (Brown and Howard, 1985; Babcock and Davies, 1991; Wilkinson and

Buddemeier, 1994). Sebaliknya, perairan yang jernih dapat memberikan kesempatan untuk

penetrasi sinar ultraviolet (UV-B), sehingga terumbu karang lebih terbuka terhadap radiasi

yang mempunyai pengaruh buruk pada organisma karang (Jokiel and York, 1982). Tetapi,

koral dan kebanyakan dari fauna karang di perairan dangkal telah mengembangkan suatu

mekanisma baik untuk memblok atau menghindar dari radiasi UV yang merugikan dengan

cara menghasilkan bahan-bahan yang dapat menyerap UV, yang mungkin disintesa oleh

simbion-simbionnya atau akumulasi biologis melalui rantai makanan. Jadi, ganggang

simbiotik menolong untuk melindungi hewan hospes terhadap pengaruh-pengaruh yang

merugikan dari radiasi UV, seperti menyediakan makanan (Chalker et al., 1986; Dunlap and

Chalker, 1986). Gangguan potensial yang berhubungan dengan peningkatan radiasi UV

salah satunya disebabkan oleh penurunan lapisan ozon. Jika terjadi gangguan UV

menunjukkan perimbangan antara kerusakan DNA dan mekanisma perbaikan alami saling

bergantian menghadapi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki serta konsekuensi

pengurangan komunitas plankton dan pengurangan dalam kelangsungan hidup larva (Jokiel

and York, 1982).

# Gerakan Air

Gerakan air, termasuk ombak, adalah faktor penting yang menentukan zonasi karang,

morfologi karang, dan distribusi kedalaman terumbu karang, ganggang, dan fauna karang

yang lain (Wilkinson and Evans, 1989). Badai biasanya membentuk kendali tidak tetap dan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

10

Page 20: inventarisasi ikan

terputus-putus dalam masa yang panjang terhadap struktur perkembangan komunitas karang

dengan jalan memangkas habis dan atau mengganti substrat sehingga akan tumbuh koloni

baru. Badai, ombak, dan arus adalah juga kekuatan-kekuatan yang menyebabkan

sedimentasi dan transpor nutrien, yang akan membentuk garis pantai dengan jalan

penumpukan dan erosi (Wilkinson and Buddemeier, 1994).

# Salinitas

Tingkat optimum salinitas untuk komunitas karang kira-kira 35 ppt, tetapi karang dapat

bertahan hidup di atas kisaran salinitas antara 25 sampai 42 ppt, di mana kehilangan

organisme akan terjadi dengan cepat pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. Sebaliknya

salinitas dengan konsentrasi yang tetap di bawah 20 ppt untuk waktu lebih dari 24 jam

menyebabkan kematian pada koral dan sebagian besar fauna karang yang lain, sehingga

kejadian kematian lebih cepat dapat terjadi pada tingkat salinitas yang terendah (Smith and

Buddemeier, 1992).

# Nutrien

Hubungan antara tingkat nutrien inorganik (nitrat, fosfat) dan terumbu karang agak bersifat

paradox. Koral membutuhkan sangat sedikit suplay nutrien karena koral mempunyai

mekanisme internal yang efektif untuk mendaur ulang nutrien antara coral sebagai inang

(hewan) dan zooxantella (tanaman) sebagai simbion (Muscatine and Porter, 1977).

Organisme karang lainnya yang mempunyai kemampuan fotosintesis juga biasa hidup dan

tumbuh pada konsentrasi nutrien yang rendah. Komunitas terumbu karang dapat terpengaruh

secara buruk oleh tingkat nutrien yang tinggi dan akhirnya mengalami degradasi kehidupan.

Hal ini terjadi karena meningkatnya turbiditas perairan dari sebab plankton, meningkatnya

bioerosi, rekruitmen koral gangang filamen, briozoa, dan teritip. Jadi kelebihan nutrien

(eutrofikasi) tidak selalu membawa pengaruh yang baik untuk terumbu karang (Wilkinson

and Buddemeier, 1994).

# S u h u

Pertumbuhan terumbu karang yang intensif terbatas pada lingkungan perairan hangat

(tropis dan subtropis). Banyak ahli menemukan bahwa garis isotermal tahunan rata-rata

20°C atau garis isotermal pada wilayah dingin 18-°C yang bersamaan dengan garis lintang

yang tinggi membatasi pertumbuhan terumbu karang. Tetapi, pengertian dari respon koral

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

11

Page 21: inventarisasi ikan

terhadap suhu sulit dijelaskan secara tepat karena adanya perbedaan antar jenis dan

perbedaan di dalam jenis sendiri serta kuatnya pengaruh dari adaptasi jenis lokal (Coles et

al., 1976; Smith and Buddemeier, 1992). Peningkatan suhu pada tempat yang terbatas yang

hanya sedikit di atas rata-rata suhu maksimum setempat dapat membawa kematian pada

banyak koral (Jokiel and Coles, 1990), dan bahkan kenaikkan yang terkecilpun dapat

menyebabkan pemutihan (bleaching) pada koral (Glynn, 1993). Ketika terumbu karang

berhadapan dengan perubahan suhu lingkungan yang terjadi dengan cepat, koral lebih peka

terhadap proses pemanasan dari pada pendinginan, dan banyak yang menampakan

kehidupan di dekat batas atas suhu yang mematikan (Jokiel and Coles, 1990).

# Kondisi Kejenuhan

Kondisi kejenuhan kalsium karbonat adalah satu variabel yang menampakan

pengaruh dari laju pembentukan kalsium pada sebagian kecil koral dan ganggang, tetapi

sedikit sekali diketahui hubungannya dengan efek keseluruhannya terhadap formasi karang.

Kondisi kejenuhan menghimpun semua pertimbangan tentang pengaruh-pengaruh suhu atas

biogeografi, karena ada suatu korelasi yang sangat kuat antara tingkat kejenuhan aragonida

yang tinggi dengan suhu air yang tinggi. Hal ini sekarang menjadi pokok perhatian para ahli

karena pengaruh penambahan karbon dioksida pada atmosfir akan mengurangi kejenuhan

kalsium karbonat dari permukaan laut, yang pada akhirnya dapat mengurangi terjadinya

kalsifikasi pada sebagian kecil organisme (Smith and Buddemeier, 1992; Wilkinson and

Buddemeier, 1994).

2.2. Status Terumbu Karang Secara Umum

Terumbu karang sangat sensitif pada gangguan-gangguan dan dapat mati oleh

tekanan dari kejadian-kejadian yang bersifat lokal atau global. Tanda-tanda dalam catatan

fosil, sebagai terlihat dalam suksesi karbonat lintas kontinen seperti menurunnya keragaman

hayati dan hilangnya taksa karang yang merupakan bagian penting dari terumbu karang, dsb,

adalah sama baik untuk tingkat kejadian-kejadian wilayah atau global (Cooper, 1994).

Sementara, dipandang dari keterbukaan pemanfaatan terumbu karang oleh umum, terumbu

karang mengalami ekploitasi secara intensif dan degradasi habitat yang disebabkan oleh

sebagian besar kegiatan manusia (McManus and Cabanban, 1992), khususnya kegiatan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

12

Page 22: inventarisasi ikan

penangkapan ikan yang merusak seperti penangkapan dengan bahan peledak yang

membawa dampak buruk langsung pada ekosistem terumbu karang (Jennings and Polunin,

1996; Soede and Erdmann, 1998).

Pada awal tahun 1990an, peringatan dini telah diberikan di semua wilayah bahwa

terumbu karang di dunia dalam kondisi masalah yang serius, di mana degradasi skala besar

terjadi di Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, bagian wilayah Pasifik, dan lintas

Karibia (Wilkinson, 1998).

2.3. Status Terumbu Karang di Indonesia

Sejak tahun 1990an, kerusakan terumbu karang dan usaha-usaha pelestariannya telah

menjadi pokok bahasan dalam kebijakan lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun

internasional (Moosa, 1996). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan alam

dan manusia yang menyebabkan penurunan persentasi tutupan karang telah terjadi di

Indonesia. Badai tropis telah menimbulkan sedikit pengaruh buruh pada terumbu karang di

Indonesia, tetapi gejolak lautan dan aliran air tawar ke laut yang terjadi akibat pergantian

dua musim setiap tahun sangat menentukan pertumbuhan karang di beberapa lokasi.

Peristiwa El Niño pada tahun1983 menyebabkan peningkatan suhu air laut di laut

Jawa dan kematian koral sampai 90% sebagai akibat pemutihan (bleaching) di beberapa

lokasi perairan karang pulau-pulau Seribu Teluk Jakarta. Lima tahun kemudian hanya

separuhnya dari karang batu yang rusak dapat pulih kembali. Sementara, kira-kira 75 % -

100 % kasus pemutihan karang, di mana katagori 25 % tutupan karang batu pada saat itu,

terjadi di sekitar Taman Nasional Bali Barat, dan juga terlihat pada perairan karang

Tulamben (Bali bagian Timur), sehingga yang nampak hidup hanya karang lunak (soft

coral) yang terpisah-terpisah letaknya. Juga ada sedikit kasus pemutihan karang pada Nusa

Penida dan Nusa Lembongan, Bali. Banyak anemon sampai kedalaman 36 m di Tulamben

Bali terkena pemutihan, tetapi lainnya pada kedalaman 44 m kelihatan normal (Chou, 1998;

Wilkinson, 1998). Kecuali itu, umumnya karang di bagian Barat Indonesia telah mengalami

tekanan yang berlebih akibat kegiatan manusia dibanding karang yang ada di wilayah Timur

Indonesia. Pada tahun 1998, berdasarkan pada persentasi tutupan karang batu yang diukur

pada 190 lokasi transek menunjukkan bahwa 41,6 % adalah buruk, 31,6 % sedang, 24,3 %

baik dan 26 % sangat baik (Chou, 1998).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

13

Page 23: inventarisasi ikan

Kesadaran yang meningkat akan pentingnya perlindungan ekosistem perairan telah

melahirkan program besar skala nasional, yakni Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan

Sumberdaya Terumbu Karang yang diimplementasikan di lima provinsi. Proyek ini

didukung oleh pinjaman lunak dari World Bank, JICA, AusAid and Global Environment

Facility. Proyek ini mengembangkan sistem rehabilitasi dan pengelolaan berbasis

masyarakat yang tujuannya antara lain adalah pemanfaatan sumberdaya karang yang

berkelanjutan dan menyelamatkan karang dari kerusakan dan kesehatan karang yang

menurun secara perlahan-lahan (Moosa, 1996 ; Chou, 1998). Pendekatan partisipasi penting

untuk laksanakan dengan berbagai strategi oleh daerah-daerah tertentu. Adalah sangat

penting suatu program rehabilitasi yang terdiri dari tehnik-tehnik yang tepat memiliki

kemampuan untuk memperbaiki secara efektif. Sistem yang mengalami penurunan mutu

menjadi beberapa kondisi yang diinginkan melalui percepatan perubahan biotik atau proses

suksesi (Luken, 1993, as cited by Hobbs and Norton, 1996).

Banyak cara pengelolaan karang yang berjalan baik di daerah dan beberapa Area

Perlindungan Laut (APL) telah dibangun di Asia Tenggara. Kira-kira 10 % dari 106 APL

yang dibentuk di beberapa negara ASEAN telah dikelola dengan efektif. Tetapi, selalu ada

koordinasi dan komunikasi yang buruk antara badan pemerintah yang mengatur bagian-

bagian wilayah pantai yang berbeda, dan konflik-konflik yang terjadi mempengaruhi usaha-

usaha konservasi dan perlindungan. Untuk alasan itu, ada suatu kebutuhan untuk

meningkatkan komitmen politik untuk memelihara sumberdaya terumbu karang di Asia

Tenggara. Akhir-akhir ini pengelolaan berbasis masyarakat telah menunjukkan wilayah-

wilayah keberhasilan, khususnya dalam penerapkan satu kisaran model yang berbeda,

contohnya adalah Filipina dan Thailand. Chou (1998) menekankan bahwa pengelolaan

masyarakat atas area-area setempat menyediakan motivasi yang terbaik untuk mengelola

sumberdaya yang banyak dibutuhkan masyarakat, dan juga menghasilkan kendali-kendali

yang efektif atas kegiatan-kegiatan yang merusak, sementara ko-manajemen antara badan

pemerintah, masyarakat setempat, dan organisasi non-pemerintah lebih efektif jika

diterapkan untuk area yang luas.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

14

Page 24: inventarisasi ikan

2.4. Pemulihan Terumbu Karang dan Rehabilitasinya

Endean (1977, dalam Fucik et al, 1984) menyatakan bahwa pulihnya kondisi

ekosistem karang dengan sempurna dari kondisi rusak adalah tidak mudah didifinisikan atau

diukur, seperti mudahnya mengukur kerusakannya. Teori menyebutkan bahwa difinisi

pemulihan terumbu karang melibatkan kembalinya jenis-jenis tipikal yang selalu berasosiasi

dengan koral, terbentuknya komponen-komponen penting dari komunitas karang dalam

wilayah geografis tertentu, dan terbentuknya kembali hubungan-hubungan komplek yang

biasa ada di antara jenis-jenis biota karang. Dari sudut pandang yang praktis mengukur

pemulihan terumbu karang mungkin terlampau berdimensi luas. Karena di antara

kebanyakan ekosistem laut yang komplek dalam hubungannya dengan struktur komunitas

dan fungsi ekologis, monitoring semua aspek biologi karang untuk keperluan mencari bukti

pemulihan atau untuk mendifinisikan satu tingkat penyembuhan adalah sangat sukit.. Tetapi,

ada beberapa aspek dari struktur karang dan fungsi yang dapat digunakan secara logis

sebagai petunjuk (indikator) dari satu tingkat pemulihan. Secara spesifik terumbu karang

mempunyai komposisi jenis, kelimpahan, dominasi, reproduksi, pertambahan koloni,

pertumbuhan, dan kematian di antara organisma hermapitik (contohnya koral dan ganggang

koralin). Pemulihan mungkin dapat diukur dengan cara membandingkan hasil pengamatan

kualitatif dan pengukuran kuantitatif terhadap pola-pola penggunaan indikator ini atas

pemulihan karang dengan asumsi bahwa pemulihan biota koral adalah hasil yang terjadi dari

pemulihan seluruh komunitas karang.

Menurut Fucik et al. (1984), pengukuran kepulihan karang adalah rumit, karena

pemulihan terumbu karang cenderung menjadi proses yang membutuhkan periode waktu

yang panjang. Berdasarkan temuan-temuan Endean (1977), periode penyembuhan adalah

berhubungan dengan luasnya area kerusakan yang dapat dilihat dari tutupan karang keras

(hard corals). Pemulihan pada lokasi kerusakan skala sempit umumnya membutuhkan

waktu kurang dari 10 tahun, yang mana pemulihan terjadi pada bagian-bagian utama dari

sisa-sisa komunitas yang tidak mengalami kerusakan secara penuh dan wilayahnya

memungkinkan untuk pertumbuhan karang. Pemulihan secara penuh terumbu karang yang

mengalami kerusakkan berat membutuhkan 10 sampai 20 tahun, sementara yang mengalami

kerusakan paling buruk dalam skala luas membutuhkan beberapa dekade untuk kembali

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

15

Page 25: inventarisasi ikan

seperti kondisi semula. Rinkevich and Loya (1977) menyatakan bahwa jika sumber-sumber

polusi yang menyebabkan kronisnya kesehatan karang hadir dalam daerah karang yang

mengalami kerusakan, maka pemulihan mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama lagi

atau bisa saja tidak terjadi pemulihan sama sekali.

Karena pemulihan terumbu karang yang rusak dapat menjadi satu proses yang

berkepanjangan, tujuan utama dari program rehabilitasi apa saja harus dapat mendukung

atau mempercepat pemulihan karang rusak. Proses-proses penting yang harus diperhatikan

untuk merancang suatu program rehabilitasi adalah antara lain:

1. Penempatan kembali larva koral untuk pertumbuhan yang kontinyu dan reproduksi dari

koral-koral yang tersisa dan membentuk koloni-koloni baru pada area yang rusak

(Endean, 1977, in Fucik et al. 1984);

2. Rekolonisasi (lebih dari sekedar regenerasi dari koral-koral yang bertahan hidup) untuk

tujuan pemulihan atas karang-karang yang berfungsi sebagai kontrol (Loya, 1976 in

Fucik et al. 1984);

3. Penempatan kembali larva-larva dari terumbu karang sekitar untuk tujuan pemulihan

area karang yang rusak (Shinn, 1976, in Fucik et al. 1984).

4. Transplantasi karang untuk tujuan rehabilitasi terumbu karang yang rusak dalam kondisi

lingkungan yang memungkinkan percepatan pertumbuhan karang (Maragos, 1974;

Shinn, 1976, in Fucik et al. 1984); dan

5. Persiapan substrat, ruang dan sumberdaya untuk rekolonisasi jenis-jenis yang bergerak

dan penempatan kembali larva karang, misalnya persiapan terumbu karang buatan atau

habitat buatan (Randall, 1963, in Fucik et al. 1984).

2.5.Pemilihan Organisma Indikator dalam Monitoring Terumbu Karang

Penggunaan suatu jenis sebagai indikator adalah diukur dari kemampuannya dalam

memperlihatkan tanda-tanda yang dapat diukur oleh pengamat pada waktu sedini mungkin.

Diasumsikan bahwa jika organisma yang dipilih untuk monitoring adalah merupakan satu

kesatuan dari sistem kehidupan karang, tanggapan-tanggapannya harus cukup

mencerminkan adanya proses-proses yang mengancam sistem tersebut secara keseluruhan,

di mana tentu saja juga mempengaruhi berbagai komponen lainnya. Karena pemulihan

terumbu karang yang rusak adalah suatu proses jangka panjang, indikator pertama yang

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

16

Page 26: inventarisasi ikan

dapat digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan seiring waktu dalam tingkat populasi

adalah ikan. Kecuali itu, indikator kedua adalah makroalga yang hidup di dasar, tutupan

karang batu, dan keragaman jenis (Gomez and Yap, 1988).

Ikan adalah organisma yang relatif lebih kompleks, di mana banyak aspek biologinya

dan perilakunya dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesesuian habitatnya. Kehadiran

atau ketidakhadiran jenis-jenis tertentu adalah juga petunjuk yang akurat dalam kasus-kasus

tertentu, karena kemampuan ikan dapat berpindah-pindah, ikan dapat keluar dari wilayah

tetapnya untuk memilih habitat-habitat dengan keadaan yang lebih menyenangkan. Contoh

dari calon-calon yang mungkin dijadikan sebagai organisma indikator adalah jenis-jenis

tertentu dari ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), yang adalah ikan predator karang (Reese,

1981). Ikan-ikan dari suku ini dianggap sebagai ikan pemakan polyp karang yang berguna

untuk memantau pengaruhnya pada terumbu karang atau sebagai indikator yang sensitif

untuk menentukan kondisi kesehatan terumbu karang. Perubahan-perubahan dalam

distribusi dan kelimpahannya dapat menjadi suatu petunjuk bahwa komunitas karang telah

mengalami gangguan atau tekanan (Vivien and Navarro, 1983; Reese, 1977, 1981). Selain

itu, mereka dapat berguna dalam mendeteksi beberapa keadaan pada tingkat yang rendah,

dengan polusi yang kronis melampaui periode waktu yang panjang atau mereka dapat

berguna dalam mendeteksi keadaan-keadaan tanpa gangguan seperti hanya sekadar untuk

mengetahui struktur karang (Reese, 1981; Manthachitra et al., 1991).

Makroalga yang hidup di dasar perairan umumnya menjadi mata rantai pertama

dalam jaring-jaring makanan. Tanaman-tanaman besar yang hidup di dasar pada daerah

sublittoral (pasang surut) munkin dapat menjadi bukti dari rantai penghubung yang paling

sensitif pada kisaran luas faktor-faktor, seperti suhu, sehingga dapat digunakan sebagai

organisma indikator yang bernilai tinggi. Juga karena mereka mempunyai struktur dan

fisiologi yang sederhana, dan mereka cenderung bersifat oportunis, alga dapat diprogram

secara alami untuk merespon lebih cepat pada fluktuasi-fluktuasi yang terjadi dalam

lingkungannya. Beberapa respon ini, seperti pertumbuhan, kematian dan gejala-gejala

patologi tertentu, adalah tidak sulit untuk diukur (Gomez and Yap, 1988).

Suatu pengkajian kondisi karang harus melibatkan secara menyeluruh yang

sedikitnya beberapa catatan tentang koral itu sendiri. Respon karang adalah tidak mudah

dilihat, dan tidak sebagaimana hal-hal yang mudah diukur pada suatu skala yang signifikan,

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

17

Page 27: inventarisasi ikan

sebagaimana hal itu menjadi signifikan bila mengukur ikan atau alga. Tetapi berbagai tehnik

telah dikembangkan yang menggunakan koral sebagai organisma indikator. Meluasnya

tutupan oleh karang dan jenis benthik lainnya pada dasar perairan karang yang tersedia di

tempat itu dan kisaran kehadiran jenis diterima sebagai indikator yang signifikan dari

kondisi kesehatan karang. Umumnya persentasi tutupan karang dan keragaman jenis yang

tinggi menunjukkan kesehatan karang (Gomez and Yap, 1988). Tehnik yang populer akhir-

akhir ini untuk memperkirakan tutupan atau kelimpahan karang dan fauna karang benthik

lainnya adalah menggunakan pendekatan struktur fisiognomik (benthic life-form). Penelitian

benthic lifeforms adalah suatu persyaratan untuk mengerti lebih baik variasi yang

membingungkan dari bentuk jenis-jenis dalam suatu terumbu karang (English et al., 1994).

Penggunaan �lifeform coding� dari biota karang yang hidup dalam terumbu karang dan

komunitas karang di daerah ASEAN (Tabel 1) telah membuka kemungkinan baru untuk

memperbandingkan struktur komunitas karang dalam wilayah masing-masing dan dengan

Great Barrier Reef di Australia (Licuanan and Montebon, 1991).

2.6. Ekologi Ikan Karang

Mengetahui sifat-sifat ekologi ikan karang adalah penting, karena akan

mempermudah proses pekerjaan dalam sensus visual. Pengetahuan ini akan menggiring

pengamat secara praktis dalam membedakan berbagai variasi ikan, baik yang terlihat serupa

maupun yang jelas-jelas berbeda satu sama lain. Satu jenis ikan bisa mudah dikenali melalui

kebiasaan, perilaku, habitat, warna, tempat makan, makanan dan teman sisbiosisnya. Di

bawah ini akan diuraikan sekelumit sifat-sifat ekologis ikan karang.

2.6.1. Jaring makanan dan cara makan

Menurut White (1987), empat puluh persen jenis ikan yang diketahui di dunia, atau

8.000 jenis, hidup di perairan hangat paparan kontinental pada kedalaman kurang dari 200

m. Perairan tropis di dekat dan di area karang, dibandingkan dengan area tempered,

mengandung lebih beragam jenis tetapi dengan sedikit individu dalam setiap jenis. Seorang

penyelam yang untuk pertama kalinya menyelam di area karang tentu saja merasa sulit

untuk membedakan beribu-ribu ikan yang hadir dan bergerak anggun di antara berbagai

jenis karang dan fauna lain yang selalu berasosiasi dengan karang. Karena jumlahnya

banyak dan hidup di antara ruang dan celah-celah terumbu karang, maka status ikan karang

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

18

Page 28: inventarisasi ikan

merupakan penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang, terutama

sekali berperan dalam tingkat tropik rantai makanan di terumbu karang.

Hewan mungkin diklasifikasikan menurut tempatnya dalam rantai makanan. Dalam

bentuk yang paling sederhana, satu rantai makanan terdiri dari produser (tanaman),

konsumer (hewan), dan dekomposer (bakteri). Tiap deretan bertingkat mulai dari produser

sampai karnivore teratas disebut tingkat tropik (Gambar 1). Kebanyakan rantai makanan

adalah kompleks dengan sejumlah tingkat, subdivisi, dan alur-alur yang berganti-ganti,

sehingga istilah jaring makanan juga digunakan, yang mana ribuan celah karang yang yang

berliku-liku dan area permukaan terumbu karang menyokong keberagaman yang besar

sekali dari intevetebrata laut dan ganggang yang pada gilirannya menyediakan makanan

untuk berbagai jenis ikan dan non ikan. kakap, bambangan, swanggi dan ikan lainya yang

berdiam di celah karang sepanjang hari tetapi bergerak ke sembarang tempat untuk makan

pada malam hari adalah jenis ikan yang hanya sebagian waktunya bergantung pada

ekosistem karang. Mereka masuk ke dalam jaring-jaring makanan di karang ketika mereka

dimangsa oleh pemangsa ikan yang lebih besar seperti kerapu, dan membuang feses di situ.

Sementara itu feses-feses ini merupakan nutrien bagi jenis karang dan ikan yang lain.

Di antara konsumer, ada tiga tingkat tropik dasar: herbivora, omnivora, dan

karnivora. Untuk ikan, istilah planktivora digunakan untuk mengidentifikasi karnovora yang

memakan zooplankton (sangat sedikit sekali ikan yang memakan fitoplankton, seperti

mullet). Istilah coralivora digunakan untuk omnivora yang memakan karang, karena karang

mengandung 2 jaringan yang terdiri dari jaringan tanaman sekaligus hewan. Istilah

detritivora digunakan untuk ikan-ikan omnivora yang memakan bagian-bagian tanaman dan

hewan yang mengalami dekomposisi (membusuk). Istilah piscivora mengacu pada karnivora

yang terutama sekali memakan ikan.

Pada tingkat dasar dari jaring makanan di terumbu karang adalam tanaman laut,

termasuk ganggang diatom, dinoflagelata, fitoplankton, zooxantela, ganggang bentik, dan

rumput laut. Ada beberapa ikan yang memakan masing-masing tanaman laut ini. Sedikit

jenis ikan yang memakan fitoplankton: belanak dan bandeng memakan ganggang diatom

dan sampah-sampah detritus dari dasar perairan. Sejumlah ikan kepe-kepe dan coralivora

lain memakan zooxantella yang terkandung dalam jaringan karang. Sejumlah kecil ikan

kakatua dan sekartaji/butana memakan rumput laut, dan sejumlah besar ikan-ikan herbivora

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

19

Page 29: inventarisasi ikan

memakan ganggang bentik yang berbentuk filamen. Ikan-ikan kakatua, sekartaji, dan

baronang adalah tergolong ikan-ikan yang suka berkeliling untuk merumput (grazers), mirip

ternak di laut. Perumput yang paling kecil seperti ikan blenid dan kebanyakan ikan betok

umumnya memiliki daerah teritorial sendiri sekitar area sempit yang mampu menghasilkan

pelindung (shelter) yang cukup. Beberapa ikan kakatua, sekartaji, baronang, dan

rudderfishes kesana-kemari memakan daun ganggang besar (Lieske dan Myers, 1997).

Zooplankton

PEMANGSA IKAN BESAR (Hiu, kerapu, kuwe, barakuda)

PEMANGSA IKAN KECIL (Bambangan, kakap, kerapu,

kuwe)

PEMANGSA IKAN PERAIRAN TENGAH

(Ikan kuwe)

PEMANGSA KARANG

(Kepe-kepe, Kakatua dan Buntal)

Karang

PEMANGSA INVERTEBRATA

PERAIRAN TENGAH (Ikan Betok dan Klupid)

PEMANGSA INVERTEBRATA BENTIK (Ikan Kepe-kepe dan Kerapu)

Invertebrata bentik

Fitoplankton Detritus Ganggang Bentik

PEMANGSA DETRITUS (Belanak dan Bandeng)

HERBIVORA (Ikan Pakol, sekartaji,

Blenid, Gobid, Bayeman, Keling)

Gambar 1. Hubungan tropik pada ikan-ikan terumbu karang (Sumber: Nybaken, 1988)

Pada rataan terumbu dan goba, komunitas ikan bentik hidup di sekitar kepala-kepala

karang dan area pasir di antaranya. Karang-karang massive yang umumnya tanpa lekukan

celah yang dalam seringkali dikunjungi oleh pemakan polyp karang seperti ikan kakatua,

ikan mendut, dan ikan kepe-kepe. Karang-karang bercabang menyediakan permukaan untuk

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

20

Page 30: inventarisasi ikan

sejumlah besar ikan-ikan kecil seperti ikan gobi dan betok yang mungkin mengurumuni dan

memakan zooplankton dan debris makanan lainya yang ada di balik permukaan karang

tersebut.

Ikan kepe-kepe seperti juga ikan mendut dan buntal ayam adalah terutama sekali

tergolong omnivora. Banyak jenis kepe-kepe memakan berbagai invertebrata kecil dan

polyp karang. Beberapa ikan kepe-kepe dan kupas-kupas (Oxymonacanthus longirostris)

memiliki makanan khusus, yaitu polyp karang yang digunting dari skeleton karang oleh

moncong dan gigi yang khusus. Kakatua kepala besar (Bolbometapon muricatum) dan

beberapa ikan mendut, tato/kupas-kupas, dan buntal ayam memakan potongan-potongan

karang dan skeleton. Sejumlah ikan mendut, tato, dan buntal ayam juga memakan beragam

invertebrata seperti bulu babi, krustase, bintang laut dan ganggang berangka kapur yang

keras. Detritus masuk ke dalam rantai makanan ikan terutama sekali melalui invertebrata

bentik yang dimangsa oleh karnivora. Hanya sedikit sekali ikan-ikan yang memakan

langsung detritus, seperti ikan beberapa ikan gobid dan belanak (Lieske dan Myers, 1997).

Ganggang karang juga menyokong sebagian besar populasi ikan-ikan herbivora yang

termasuk jenis-jenis sekartaji/butana (surgionfish), betok (damselfish), mendut (triggerfish),

kepe-kepe (butterflyfish), baronang (rabbitfish) dan buntel (pufferfish). Sementara jenis-jenis

ikan herbivora yang biasa memindahkan substrat atau mencabit potongan-potongan struktur

karang termasuk blenid, gobi, ekartaji, kakatua (parrofish), dan sedikit dari jenis betok dan

mendut.

Semua jenis ikan pada terumbu karang menyesuaikan diri dengan jaring makanan

dalam beberapa cara sehingga ada suatu keseimbangan yang rumit dari banyak hubungan

mangsa memangsa. Beberapa kelompok ikan tentu saja penting untuk ekosistem terumbu

karang. Beberapa jenis ikan kepe-kepe sebagai contoh, memiliki makanan kegemarannya

sendiri seperti polyp karang. Jadi, ikan-ikan ini hanya ada di tempat mana karang tumbuh

dan mungkin dapat digunakan sebagai satu indikator yang sederhana bagi kondisi kesehatan

karang , yaitu dengan jalan memperhatikan jumlah individu dan keragaman jenisnya. Karena

ikan kakatua memakan karang dan batuan kalsium dan membuang butiran-butiran putih

yang telah dihaluskan oleh gilingan pharyngealnya, mereka secara signifikan menyebabkan

erosi karang dan pembentukan pasir. Satu individu dewasa kakatua dapat menumpuk 500 kg

pasir per tahun pada area karang (White, 1987).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

21

Page 31: inventarisasi ikan

Menurut Nybaken (1988), tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu

karang adalah karnivora, mungkin sekitar 50 � 70 % dari jenis ikan. Banyak dari karnivora

ini tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi

sebaliknya merupakan opportunistik, mengambil apa saja yang berguna bagi mereka. Selain

itu, mereka juga memakan mangsa yang berbeda pada setiap tingkatan tropik yang berbeda

menurut siklus kehidupan mereka. Dalam hubungannya dengan kebiasaan makan yang

umum dari kebanyakan ikan karnivora, jumlah ikan pemakan bangkai (scavenger) sangat

kecil, karena karnivora hanya mengkonsum setiap organisme yang baru mati (masih segar).

Selanjutnya, sekitar 15 % dari kelompok ikan karang merupakan herbivora dan

pemakan karang yang diwakili oleh ikan-ikan dalam suku kakatua (Scaridae) dan

Sekartaji/butana (Acanthuridae). Sisanya tergolong omnivora atau multivora (pemakan

segala), seperti diwakili oleh ikan-ikan penghuni sejati dalam terumbu karang, yaitu kepe-

kepe (Chaetodontidae), betok/giru (Pomacentridae), injel (Pomacantidae), ikan tato/kipas-

kipas (Monocanthidae), buntel kotak (Ostraciontidae), dan buntel ayam (Tetraodontidae).

Sementara yang tergolong pemakan plankton (plankton feeder) dijumpai hanya sedikit.

Mereka umumnya bertubuh kecil dan dijumpai dalam bentuk schooling (kawanan), seperti

ikan-ikan dalam suku Clupeidae (Klupid) dan Atherinidae (ikan berkulit perak).

2.6.2. Keanekaragaman ikan karang

Lebih jauh Nybaken menjelaskan bahwa daerah Indo-Pasifik bagian tengah

khususnya di wilayah perairan Filipina dan Indonesia memiliki jumlah jenis yang besar,

tetapi menjauhi wilayah ini jumlahnya berangsur-angsur berkurang (Tabel 1), seperti

terumbu atlantik mempunyai jenis yang relatif sedikit.

Tabel 1. Jumlah jenis ikan di berbagai terumbu karang

Daerah Geografis Jumlah Species Ikan

Kepulauan Filipina Nuigini Great Barrier Reef Kepulauan Seychelle Kepulauan Marshall dan Mariana Kepulauan Bahama Kepulauan Hawaii

2177 1700 1500

880 669 507 448

Sumber: Goldman dan Talbot, 1976, dalam Nybaken, 1988)

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

22

Page 32: inventarisasi ikan

Terumbu karang menyediakan beragam habitat, yang masing-masing dengan

seperangkat sifat-sifat jenisnya sendiri. Perbedaan dalam tingkat kontak atau kepekaan

terhadap hempasan ombak, arus, cahaya, jumlah gangang, plankton dan makanan lain, dan

kelimpahan, bentuk, dan keragaman dari karang dan shelter lain menyatu untuk terciptanya

suatu keberagaman relung-relung (niche) yang cocok. Tidak hanya satu relung yang

mungkin dapat dihuni oleh satu jenis ikan, tetapi juga beberapa relung nampak didiami oleh

sekumpulan acak dari sejumlah jenis ikan-ikan (Lieske dan Myers, 1997)

Jumlah jenis ikan yang menghuni sebuah area terumbu karang tunggal adalah sangat

luar biasa banyaknya, yaitu mencapai 500 untuk satu terumbu dalam sistem Great Barrier

Reef. Dalam hal ini jelas bahwa besar jumlah spesies mempunyai hubungan yang signifikan

dengan sebaran dan keberagaman jenis karang. Tetapi bagaimana keragaman jenis yang

besar ini dapat terbentuk dan terpelihara eksistensinya ? Hanya sedikit asumsi yang dapat

ditelusuri oleh ahli biologi karang untuk menjawab pertanyaan yang rumit ini.

Asumsi yang umum adalah bahwa keragaman ikan karang dibentuk karena adanya

keanekaragaman habitat dalam ekosistem terumbu karang. Seperti disebutkan di atas, dalam

satu area karang kita biasa menemukan banyak ruang, celah, lekukan, liang tempat hidup

yang ada di badan karang sendiri, di substrat batuan, pasir, ganggang, lamun, dan

sebagainya. Habitat yang beragam ini ternyata mampu membawa pada suatu asumsi bahwa

semakin beragam habitat semakin beragam pula jenis-jenis ikan yang ditemukan. Namun

habitat yang banyak itu belum mampu menerangkan bagaimana tingginya keragaman

tersebut dapat dipertahankan? Teori yang timbul ternyata mengandung sedikit pertentangan

menyangkut keragaman ikan karang dan struktur komunitasnya. Pandangan yang dianggap

klasik saat ini adalah bahwa hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi

yang tinggi sehingga setiap jenis mempunyai tempat beradaptasi khusus yang diperoleh dari

persaingan pada suatu keadaan di karang atau spesialisasi dalam jenis makanan dan peran

dari jenis tersebut dalam ekosistem dan keberhasilan dalam membentuk interaksi positif

antara jenis. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan karang memiliki relung ekologi (ecology

niche) yang sempit dalam satu struktur terumbu karang yang luas, sehingga daerah itu dapat

menampung lebih banyak jenis. Asumsi ini berkembang dari teori �ecology niche�.

Sementara pandangan Sale (1977, dalam Nybaken, 1988) tentang uniknya keanekaragaman

ikan karang ini dituangkannya dalam hipotesis yang dia sebut �lottery�, yaitu bahwa ikan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

23

Page 33: inventarisasi ikan

tidak mempunyai sifat khusus, di mana banyak jenis yang cenderung pada pada kebutuhan

yang sama, sehingga timbul persaingan aktif di antara jenis. Tempat yang baik dan

ketekunan tersedia karena kesempatan yang terbentuk bagi setiap jenis ikan untuk

menempati ruang yang kosong.

Jika diamati secara seksama, walaupun ikan-ikan karang ini dijumpai dalam jumlah

besar pada area yang relatif sempit dan dengan gerakan yang jelas, ternyata mobilitasnya

terbatas dan hampir tidak melakukan migrasi ke tempat yang jauh. Hal ini nampak sebagai

akibat dari pembagian habitat yang kemudian terlokalisasi dalam konsep relung ekologi.

Dari sini timbul asumsi bahwa ikan-ikan tertentu memiliki wilayah otorita dan perilaku

pertahanan otorita, contoh ini diperlihatkan oleh perilaku ikan belosoh, tempakul, giru, dan

betok.

Lebih jauh Nybaken (1988) menjelaskan bahwa fenomena menarik lainnya yang

digambarkan oleh perilaku ikan-ikan nokturnal dan diurnal juga memberikan dasar pada

asumsi tentang tingginya keberagaman ikan di area karang. Meskipun beberapa dari jenis

nokturnal ini secara ekologis sama dengan jenis diurnal tertentu (contohnya serinding malam

- Apogonidae menggantikan betok - Pomacentridae), ini merupakan cara lain yang

memungkinkan timbulnya sejumlah besar jenis di terumbu tanpa persaingan secara

langsung.

Menurut Lieske dan Myers (1997), pada terumbu karang, lebih dari 75 % ikan-ikan

merupakan jenis diurnal yang menghabiskan waktu siangnya pada permukaan karang atau

sedikit diatasnya. Banyak dari jenis-jenis diurnal adalah ikan-ikan berwarna-warni dan

menyolok mata yang paling sering berhubungan dengan terumbu karang, termasuk jenis-

jenis dari bayeman, nori, keling, lamboso, betok, baslet, kerapu, kepe-kepe, sekartaji,

kakatua, bambangan, injel, mendut, hawkfish dan beberapa bijinangka. Kira-kira 30 % ikan

karang bersifat kriptik (bersembunyi, meliang) dan jarang bisa terlihat oleh

pengamat/penyelam awam. Kebanyakan ikan-ikan ini bertubuh kecil dan merupakan

penyamar yang baik atau menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bersembunyi

dalam bangunan karang. Ikan-ikan yang tergolong kriptik termasuk belut laut, gobid, blenid,

tangkur, dan kebanyakan dari ikan lepu batu. Jenis-jenis ini ada yang termasuk diurnal

seperti juga nokturnal dan beberapa dari padanya mungkin aktif sepanjang waktunya.

Banyak belut laut dan lepu seperti juga bijinangka menjadi lebih aktif dan mengeluarkan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

24

Page 34: inventarisasi ikan

sebagian besar waktunya di senja hari. Selebihnya kira-kira 10 % ikan karang adalah jenis

ikan nokturnal yang tetap bersembunyi dalam gua dan celah sepanjang siang tetapi muncul

kepermukaan untuk mencari makan pada malam hari. Contoh ikan-ikan ini adalah gelagah,

gete-gete, swanggi, gora swanggi, murjan, brajanata yang memakan makanan khusus seperti

elemen-elemen besar zooplankton dalam air di atas karang, sementara murjan, brajanata dan

banyak dari gete, gelagah memakan invertebrata motile pada permukaan karang. Yang

mengherankan kira-kira 10 % ikan karang hidup di atas atau menyelinap di bawah pasir,

lumpur, atau pecahan kecil karang (rubbles). Contohnya : belut laut, tempakul (Synodus

spp), ikan sebelah, percis pasir ( Parapercis spp.), penyelam pasir (Trichonotus spp.),

belenid, gobid dan bayeman, keling, koja, belodok (Wrasses). Kebanyakan dari ikan-ikan ini

adalah karnivora pemakan invertebrata kecil. Banyak juga ikan-ikan yang berlindung di

badan karang bepergian ke luar wilayah yang luas mencakup area pasir dan rubble. Ini

termasuk beberapa ikan sekartaji yang herbivora dan beberapa kelompok karnivora seperti

kerapu, kakap, bambangan, dan lentjam. Sejumlah besar ikan-ikan karang yang kecil selalu

berenang tidak pernah jauh dari rumah karangnya. Pada porsi yang relatif kecil, 8 %, fauna

ikan pantai dikelompokan dalam jenis ikan yang berpergian jauh (pelintas karang),

contohnya ekor kuning, barakuda, hiu, dan ikan kuwe. Kebanyakan ikan-ikan ini adalah

karnivora, tetapi hanya sedikit, terutama ekor kuning, yang termasuk planktivora.

Asumsi-asumsi di atas menjadi nampak kontroversial jika kita menelaah lebih jauh

tentang hubungan-hubungan dalam jaring makanan. Seperti telah disebutkan di atas,

kenyataannya mayoritas ikan karang adalah karnivora yang opportunistik, sehingga

bagaimana mungkin untuk menjelaskan adanya kekayaan jenis akibat dari relung-relung

ekologi yang sempit. Sementara jika kita mengabaikan konsep �ecology niche� tersebut

pada akhirnya akan menyulitkan kita dalam menjelaskan kekayaan jenis ikan pada area

karang. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti bahwa tidak ada sama sekali karnivora yang

mengkhususkan makanannya pada organisme tertentu. Di samping itu konsep ekologi niche

bukan harga mati yang berhubungan dengan kebiasaan makan, tetapi juga menyangkut

peran satu organisme dalam habitat mikronya. Relung ekologi mempunyai pengertian yang

laus, meliputi ruang fisik yang dihuni satu organisme, peranan fungsionalnya dalam

komunitas dan posisinya dalam gradian berbagai parameter kimia-fisik. Tiga aspek relung

ekologi meliputi relung spasial dan ruang (habitat), relung tropik dalam rantai makanan, dan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

25

Page 35: inventarisasi ikan

relung multidemensi atau relung hipervolume (Odum, 1975). Jadi relung ekologi suatu jenis

ikan tidak hanya menyangkut tempat hidupnya tetapi juga meliputi peran (kemampuan

mereka merubah energi, sikap dan prilaku, dan merespon terhadap lingkungan biotik dan

abiotik) serta bagaimana jenis lain yang merupakan tetangganya menjadi kendali baginya

(kompetisi intraspesifik).

2.6.3. Interaksi Sosial

Ikan-ikan memperlihatkan beragam kebiasaan atau gaya hidup untuk mengatasi

hidup bersama dalam dunia karang yang padat dan penuh persaingan. Beberapa jenis ikan

selalu ditemukan dalam kelompok sementara yang lain hidup berpasangan atau menyendiri

(soliter). Schooling (hidup bergerombol) adalah satu strategi yang diadopsi oleh banyak

jenis ikan yang tinggal atau berpergian dari tempat perlindungan karang ke lautan terbuka,

di mana maksudnya untuk mempertahan diri dari serangan predator dan juga pertahanan

teritorial.

Sejumlah besar ikan karang memiliki wilayah teritorial. Jenis teritorial menjaga

secara khusus satu area yang menutup satu atau lebih sumber makanan, rumah (shelter),

pasangan dan sarang. Mereka biasanya sangat agresif terhadap pendatang dari jenisnya

sendiri. Penguasa area yang dominan biasanya akan mengusir rivalnya seperti dewasa

lainnya dari jenis kelamin yang sama tetapi akan berbagi area yang dikuasai dengan lawan

jenisnya yang lebih kecil. Ikan-ikan teritorial ini secara berkala memiliki satu tempat

istirahat yang paling disenangi yang untuknya mereka kembali dan mempertahankannya

secara agresif pada akhir dari hari berselang. Banyak jenis memelihara satu area teritorial

untuk berkembangbiak. Tempat seperti ini mungkin memiliki batas sebagai area teritorial

untuk makanan atau menjadi porsi kecil rentang tempat kediaman.

Pandangan dan warna adalah yang terpenting dalam kehidupan sosial dari

kebanyakan ikan karang. Adanya pola-pola warna yang berbeda memungkinkan setiap jenis

untuk mengenal jenisnya sendiri. Perubahan-perubahan yang dikontrol perilaku dalam

pewarnaan dan dalam pengabilan sikap menyampaikan pesan di antara ikan-ikan sama

halnya ekspresi wajah yang diperlihatkan manusia. Dalam beberapa species suara dan bau-

bauan mungkin juga memainkan peranan dalam interaksi sosial. Operculae dan sirip yang

mengembang umumnya untuk memperlihatkan agresi. Betina-betina dari banyak jenis

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

26

Page 36: inventarisasi ikan

memancarkan warna-warna yang kuat cemerlang selama masa bercumbu. Pada malam hari,

banyak jenis memperlihatkan pola-pola warna yang lemah, sering dengan benjolan-benjolan

atau batang-batang yang kontras yang dapat menolong mereka menyesuaikan dengan latar

belakangnya (kamuflase).

2.6.4. Simbiosis: Mutualisme

Kehidupan beberapa hewan karang berhubungan secara dekat dengan, dan sering

bergantung atas hidup jenis lainnya. Ini dikenal sebagai simbiosis. Ada tiga bentuk dasar

simbiosis: mutualisme, yaitu merupakan interaksi suatu jenis biota yang memberi

keuntungan bagi kedua jenis yang berasosiasi akan tetapi terdapat ketergantungan di antara

kedua jenis; komensalisme, suatu organisme bergantung kepada organisme yang lain tanpa

merugikannya; dan parasitisme, ketika satu organisme mendapat keuntungan dari organisme

yang lain. Semua bentuk ini ditemukan antara ikan-ikan karang Micronesia (Lieske dan

Myers, 1997).

Hubungan simbiotik di antara hewan laut mencakup spektrum yang luas. Hubungan

simbiotik komensialisme lebih banyak ditemukan di antara hewan laut dibandingkan

assosiasi mutualisme.

Assosiasi mutualistik antara ikan dengan species lain yang telah banyak dipelajari

yaitu antara ikan dengan cnidaria (Nybaken, 1988; Tandipayuk dan Hartati, t.t). Beberapa

contoh asosiasi yang unik disajikan di bawah ini. Di Wilayah Indo-Pasifik Barat di daerah

terumbu karang terdapat asosiasi mutualistik antara ikan-ikan kecil dan genera Amphiprion

(apace/giru), Premnas (giru belang) dan Dascyllus (dakocan/betok karang) dengan berbagai

jenis anemon besa. Ikan-ikan kecil tersebut dapat hidup di antara tentakel anemon dengan

mencegah lepasnya nematokis dari tentakel anemon, Ikan-ikan lain dengan ukuran yang

sama ternyata tidak mampu mencegah pelepasan nematokis anemon yang mematikan

dirinya yang selanjutnya menjadi mangsa dari anemon.

Asosiasi mutualistik juga terjadi antara Sifonofora yang berbahaya, yaitu ubur-ubur

serdadu portugis (Physalia) dengan ikan kecil Nomeus gronovii yang berenang di anatara

tentakel-tentakel dan menahan nematokis. Ikan-ikan muda sering berkumpul di bawah genta

ubur-ubur Shifozoa yang besar (Cyanea dan Crysaora) untuk berlindung dari pemangsaan.

Keadaan yang sama juga terjadi antara ikan-ikan dengan bulu babi berduri panjang,

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

27

Page 37: inventarisasi ikan

Diadema spp. Bulu babi bersifat sirkumtropik dalam perairan yang dangkal dan memiliki

duri-duri yang panjang dan tipis yang dengan mudah dapat menembus daging. Terdapat dua

jenis ikan tropis yaitu Aeoliscus strigatus (ikan piso-piso - Shrimpfish) dan Diademichthys

deversor (keling garis - Striped clingfish) yang telah beradaptasi hidup di antara duri-duri

Diadema spp. sebagai tempat perlindungan. Ikan-ikan tersebut nampak seperti duri-duri

bulu babi sehingga aman dari gangguan predator.

Asosiasi antara ikan dengan ikan lain, umumnya antara ikan besar dengan ikan-ikan

kecil. Ikan pemandu (Neucrates ductor) dan remoras (Echeneis remora) selalu ditemukan

pada ikan-ikan yang lebih besar atau vertebrata laut yang lain seperti penyu.

Tipe asosiasi lain yang dikenal sebagai �tingkah laku membersihkan� terjadi antara

berbagai species ikan kecil (ikan dokter - Labroides spp.) dan udang yang secara aktif

menarik ikan-ikan besar dengan maksud membersihkan mereka dari berbagai ektoparasit.

Tingkah laku rnembersihkan tersebar luas dan nampaknya terdapat di semua terumbu. Pada

proses asosiasi ini ikan-ikan pembersih (atau udang-udang) sering membuat �stasiun

pembersihan�, yaitu tempat mereka mengumumkan kehadirannya dengan warna yang terang

dan menyolok. Selama proses pembersihan, ikan yang dibersihkan tetap tinggal diam saat

ikan pembersih bergerak di atas tubuhnya untuk membersihkan parasit-parasit yang

menempel. Setiap karnivora nampak menahan diri seperti gencatan senjata. Sehingga ikan

pembersih merasa aman. Para pembersih bahkan sering masuk ke dalam rongga mulut dan

celah-celah insang.

Asosiasi mutualistik antara ikan dan cumi-cumi dengan bakteri lumenesens umum

ditemukan di zona mesopelagik. Dari asosiasi ini bakteri memperoleh makanan dari hewan

yang lebih besar. Sebaliknya, ikan atau cumi-cumi menggunakan cahaya yang dihasilkan

bakteri untuk melakukan pertahanan dan atau penyerangan.

2.6.5. Penyerupaan dan Mimicry:

sebagai cara ikan memproteksi diri Di antara banyak gaya hidup ikan-ikan karang adalah sifat-sifatnya yang bergantung

pada warna tanaman dan hewan lain. Menurut Lieske dan Myers (1997), Penyerupaan dan

mimicry adalah cara-cara yang digunakan oleh sejumlah jenis ikan untuk menangkap

mangsa atau melepaskan diri dari predator. Banyak jenis ikan bergantung pada kamuflase

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

28

Page 38: inventarisasi ikan

untuk memadukan penampilan diri dalam dan dengan lingkungan sekitarnya. Ikan-ikan

jenis lepu (Scorpionidae) dan ikan-ikan kodok (Antenariidae) memiliki jumbai yang dapat

mengembang atau kutil-kutil yang menyerupai daun ganggang, dan bahkan beberapa

membawa ganggang yang tumbuh pada permukaan tubuhnya. Banyak kerapu mempunyai

pola-pola warna yang tidak menyerupai latar belakang apapun, tetapi ketika memasuki

wilayah gelap, mereka mendadak tidak tanpak. Beberapa ikan tidak cocok dengan latar

belakangnya secara keseluruhannya tetapi menyerupai yang lain secara lebih dekat, sehingga

menjadi suatu yang tidak menarik bagi predator atau pemangsa. Juvenil ikan keling tanduk

(Novaculichthys taeniaorus) serupa menyerupai dan berenang seolah-olah dia adalah

serumpun rumput laut yang berayun-ayun.

Kemiripan sebagai suatu cara perlindungan diri dikenal sebagai mimicry. Ini terjadi

ketika suatu organisme menyerupai lainnya yang dilindungi dari predasi oleh sifat ketidak

sukaan, daya peracunan, atau beberapa sifat lainnya. Mimicry terjadi dalam dua bentuk

dasar. Pertama, batesian mimicry terjadi ketika satu hewan yang tidak terproteksi

menyerupai hewan lain yang terproteksi. Ke dua, mullirian mimicry terjadi ketika dua

hewan atau lebih terproteksi dengan menyerupai secara lebih dekat satu sama lain. Di antara

ikan-ikan karang, batesian mimicry adalah lebih umum dari yang kedua. Jenis-jenis ikan

yang terproteksi atau model, umumnya mempunyai pola warna yang jelas berbeda dan

sering menyolok sekali (disebut aposematic coloration) yang karena predator tertentu

belajar untuk menghindar setelah pengalaman pertama atau kedua, sehingga mimic yang

nampak serupa juga dihindari. Contoh tipikal batesian mimicry adalah termasuk ikan buntal

ayam berbisa, Canthigaster valentini dan ikan kupas-kupas yang bisa dimakan, Paraluterus

prionurus. Buntal ayam tidak disukai dan beracun kuat, dia perenang yang relatif lambat

yang membuat sedikit usaha untuk bersembunyi. Sementara kupas-kupas yang bisa dimakan

tidak hanya serupa dengan buntal ayam tetapi juga berenang seperti buntal.

Dalam mimicry yang agresif, mimic mengambila permainan tebak-tebakan � suatu

langkah lanjutan untuk maksud memperoleh suatu keuntungan lain daripada proteksi

terhadap pengorbanan hewan-hewan lainnya. Mimicry yang agresif kira-kira baik

dikembangkan di antara blenid yang memiliki mimic perawat (clener), contohnya blenid

Aspidontus taeniatus yang telah mengembangkan suatu pola warna yang identik dengan ikan

dokter (Labroides dimidiatus). Seperti diketahui ikan dokter ini mempunyai kebiasaan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

29

Page 39: inventarisasi ikan

merawat ikan-ikan lain dengan cara membuang/membersihkan parasit-parasit dan potongan-

potongan jaringan rusak. Sementara jenis pemangsa ikan akan bersikap dengan membuka

mulutnya karena ikan pembersih ini berenang ke dalam untuk mencari makanan. Seolah-

olah ada gencatan senjata. Pemangsa tersebut mengenali pelayanan pembersihan ini dan

tidak akan berusaha memakannya. Sementara blenid tersebut menggunakan samarannya

untuk melakukan pendekatan lebih pada ikan-ikan lain yang mengharapkan perawatan.

Tetapi untuk mengganti perawatan yang sebenarnya, blenid tersebut berenang dengan cepat

untuk mendapatkan makanan dari kepingan sirip atau sisik. Penyamaran blenid tidak

sempurna : ikan-ikan yang lebih tua dan berpengalaman biasanya belajar untuk

membedakan mimic palsu ini dan menghindarinya.

Beberapa juvenil ikan raja bau atau bibir tebal, Plectorhinchus spp., adalah

memungkinkan untuk memiliki mullirian mimicry, tetapi itu belum sepenuhnya

dipertunjukan bahwa mereka beracun. Mereka secara khusus memiliki pola warna serupa

dari cahaya yang kontras dan tonjolan gelap, dan berenang atau melayang-layang di tempat

terbuka dengan gerakan badan dan sirip yang menyolok mata. Dengan cara menyerupai satu

sama lain, kefektifan dari aposematic coloration diperkuat karena predator dapat belajar

untuk menghindari mereka secara kolektif melalui satu pengalaman buruk yang hanya sekali

terjadi.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

30

Page 40: inventarisasi ikan

BAB III METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 19 Juni s/d 02 Juli 2003 di wilayah perairan

karang Pulau-pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura, di mana secara geografis

terletak pada lintang 06° 50,00� - 07° 20,00� dan bujur 115° 10,00� - 116° 00,00� yang

terdiri dari lembar peta/sheet Kangean dan sheet Kayuwaru yaitu lembar/sheet 1708-06

(Kangean), sheet 1708-07 (Kangean), sheet 1709-01 (Kangean), sheet 1709-02 (Kayuwaru),

dan sheet 1808-01 (P. Sepanjang) yang diperoleh dari Peta Lingkungan Pantai Indonesia,

yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL dan DISHIDROS (Gambar 2). Titik sampel

sebagai stasiun penelitian dipilih berdasarkan keberadaan terumbu karang yang berpotensial

adanya tekanan kegiatan manusia, tekanan alam, dan jauh dari gangguan atau wilayah

perlindungan (Tabel 2). Pengambilan data dilakukan antara tanggal 25 s/d 28 Juni 2003.

Sumber : Peta Lingkungan Laut Nasional skala 1:500.000 (BAKOSURTANAL � DISHIDROS)

Gambar 2. Wilayah penelitian inventarisasi sumberdaya ikan karang

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

31

Page 41: inventarisasi ikan

3.2. Metoda

Survai ini dilakukan dengan pendekatan sensus visual pada garis transek (English et

al., 1994). Data ikan karang didapat melalui sensus visual yang dikerjakan oleh penyelam

sepanjang garis transek 70 meter, dengan luas area sensus (70 x 10) m2. Jenis dan perkiraan

jumlah ikan dicatat dalam data sheet kedap air. Identifikasi jenis ikan menggunakan buku

petunjuk bergambar (Kuiter, 1992 dan Lieske dan Myers, 1994). Penyelaman pendahuluan

dilakukan untuk membuat daftar species baku ikan setempat. Ikan karang dikelompokkan

menurut statusnya, seperti ikan indikator, ikan major, dan ikan target (English et al., 1994).

Ikan indikator kebanyakan dari suku Chaetodontidae yang kehadirannya dapat

merefleksikan kondisi kesehatan karang. Ikan major adalah golongan ikan hias dan non-ikan

hias yang selalu berasosiasi dengan karang, baik sebagai penetap maupun pelintas. Ikan

target adalah dari golongan ikan yang biasa dicari oleh nelayan untuk dimakan dan dijual.

3.3. Alat dan Bahan Dalam mempersiapkan pengambilan data ikan karang di perairan Kepulauan

Kangean diperlukan bahan dan peralatan pendukung yang antara lain :

a. Peralatan,

- SCUBA Equipment ( Tabung selam, Bouyancy Conpensator Device/BCD,

Regulator, Fins, Booties, Masker dan snorkel, Wetsuits, Timah pemberat)

- High Pressure Compressor

- Kapal Motor berukuran sedang ( sekitar 7 ton)

- Underwater Camera photo dan Underwater Camera video

- Alat tulis bawah air, Roll meter untuk transek di bawah air

- Buku identifikasi karang dan ikan karang

- Tas sample, untuk penyimpanan sampel

- Sechi disk, untuk mengukur kecerahan air laut

- Water Checker, untuk mengukur Ph, Salinitas, Suhu, kandungan oksigen, dsb

- Current meter, untuk mengukur arus laut

- GPS, untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna mengetahui posisi titik

sample atau posisi lokasi pembuatan training area di lapangan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

32

Page 42: inventarisasi ikan

b. Bahan,

- Film negatif, film video, Alkohol, formalin, Gasoline/Bensin

3.4. Analisa Data

Analisa keragaman hayati ikan karang menggunakan beberapa indek yang dianggap

penting sebagai �baseline data�. Indeks-indeks itu adalah Indeks Kekayaan Jenis (Richness

Indices), Indeks Keanekaragaman (Diversity indices) dan Indeks Keseimbangan (Evenness

Indices) (Ludwig dan Reynold, 1988).

Indeks Kekayaan Jenis (Richness Indices) mengacu pada

(1) Indeks Margalef [R1 = (S-1)/ln(n)], dan

(2) Indeks Menhinick [R2 = S / √n], di mana S = banyaknya jenis, n = jumlah

individu ikan untuk semua jenis. Indeks Keanekaragaman mengacu pada (1)

Indeks Simpson [ λ = ∑ {(ni(ni � 1) / (N(N �1)}] dan (2) Indeks Shannon [H =

Σ{(ni/N) ln(ni/N)} ], di mana ni = jumlah ikan jenis ke I, dan N = total individu

ikan untuk semua jenis.

Indeks Simpson adalah identik dengan Indeks Dominasi [D = (1 � H)], di mana nilai

kedua Indeks ini berbanding terbalik dengan Indeks Shannon. Semakin besar prediksi nilai

dominasi terhadap komunitas biota, berarti semakin kecil nilai prediksi terhadap

keanekaragaman komunitas tersebut. Dalam hal ini keanekaragaman komunitas dianggap

terbaik jika nilai λ atau D mendekati 0 dan terburuk jika nilainya mendekati 1 (misalnya

terjadi pada lingkungan hidup yang mengalami tekanan atau pencemaran). Berarti bahwa

kisaran nilai kedua Indeks (λ dan D) tersebut antara 0 dan 1. Semakin mendekati nilai 0,

menyebabkan nilai Indeks H akan semakin besar (keanekaragaman hayati dianggap tinggi).

Sebaliknya semakin mendekati 1, menyebabkan nilai Indeks H semakin kecil

(keanekaragaman hayati dianggap buruk). Dalam kondisi alamiah besarnya nilai Indeks H

untuk komunitas ikan karang berkisar diantara nilai 3 (sedang). Dalam ekosistem yang

matang seringkali nilai H menjadi > 3. Dalam kondisi lingkungan yang buruk menyebabkan

hanya sebagian kecil populasi biota yang bertahan dan menjadi berkembang mendominasi

komunitas biota setempat. Ini berarti nilai Indeks Dominasi atau nilai Indeks Simpson untuk

komunitas tersebut akan membesar dari 0 mendekati 1 dan akibatnya keanekaragaman (H)

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

33

Page 43: inventarisasi ikan

mengecil dari 3 mendekati 1. Selain itu, unsur yang membentuk keanekaragaman hayati

juga ditinjau dari banyaknya populasi yang menonjol (melimpah atau paling melimpah).

Keragaman populasi ini mengacu pada besarnya diversity number dari Hill yaitu N1 dan N2,

di mana N1 ditafsirkan sebagai banyak populasi dari suatu species yang cukup melimpah,

sedangkan N2 adalah banyaknya populasi dari suatu species yang paling melimpah.

Rumusnya adalah N1 = eH , dan N2 = 1/ λ, di mana H adalah Indeks Shannon dan λ adalah

Indeks Sampson.

Karena dominasi suatu populasi dalam komunitas juga mempengaruhi keseimbangan

ekosistem, berarti besaran nilai Indeks Keanekaragaman (H) bukan hanya tergantung pada

nilai Indek Simpson atau Indeks Dominasi, tetapi juga sangat ditentukan oleh nilai Indek

Keseimbangan populasi dalam suatu komunitas. Karena itu analisis data ini juga

memperhitungkan Indeks-Indeks Keseimbangan. Pada beberapa tulisan Indeks ini juga

disebut Indeks Kemerataan. Indeks tersebut antara lain adalah Indeks Pielou [E1 = {H / ln

(S)}]; Sheldon [ E2 = (eH/ S) ] ; Heip [E3 = {(eH - 1 / (S - 1)}] ; Hill [E4 = {(1 / λ) / eH}] ;

Modifikasi dari Hill [E5 = {(1 / λ) - 1} / (eH � 1)], di mana S = banyaknya jenis, H = Indeks

Shannon, λ = Indeks Simpson, dan e = bilangan natural. Analisis hasil penelitian lebih

terfokus pada Indeks Shannon (H), Indeks Simpson (λ) atau Indeks Dominasi (D) dan

Indeks Keseimbangan (E1 ; Pielou). Sementara sisanya digunakan sebatas �bench mark�

bagi hasil kajian yang serupa. Sedangkan kepadatan ikan karang merupakan perhitungan

jumlah individu per satuan luas transek (10 m x 70 m). Semua prosedural untuk perhitungan

rumus-rumus di atas menggunakan prinsif-prinsif Microsoft Excel. Contoh aplikasinya

disajikan pada Lampiran A.

Untuk menganalisis kondisi kesehatan karang berdasarkan kehadiran ikan indicator

(Chaetodontidae) digunakan Irian Jaya Reef Diversity Index (IRDI), di mana persamaannya

IRDI = Cx/41 x 100 %. Cx adalah jumlah jenis ikan indicator yang terdapat di suatu lokasi.

Kondisi karang yang sehat memiliki nilai IRDI ≥ 75 %, sementara kondisi yang buruk

memiliki nilai IRDI ≤ 30 % (Nash, 1989).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

34

Page 44: inventarisasi ikan

Tabel 2. Gambaran umum lokasi transek pada setiap stasiun

Stasiun (Station)

Posisi Geografis Transek

(Geographical Position of the

Transects)

Dasar Perairan dan Persentasi Tutupan

Karang (Sea Bottom &

Percent Cover of Corals)

Jarak Pandang

Horizontal (Body Water

Visibility)

Arus Air (Water

Current)

Nama Lokasi

(Study site)

1 S 6° 57� 27,2� E 115° 26� 09�

Reef slope, pasir, rubble 56.90 %

Baik (10 m) Sedang

P. Keriting Tanpa penduduk

Wilayah konservasi

2 S 7° 03� 06� E 115° 38� 14,4�

Reef slope, pasir, rubble 17.10 %

Baik (10 m) Sedang P. Sapangkur besar

Berpenduduk

3 S 7° 00� 41,7� E 115° 40� 23�

Reef slope, pasir, rubble 27.17 %

Baik (10 m) Sedang

P. Paliat Berpenduduk,

Wilayah budidaya mutiara

4 S 6° 57� 38,8� E 115° 42� 17,13�

Reef slope, pasir, rubble 18.07 %

baik (10 m) Sedang

P. Stabok Berpenduduk Area Wisata

5 S 6° 50� 03,6� E 115° 12� 38�

Fringing reef, pasir, rubble 22.47 %

Sangat baik (> 20 m) Sedang

P. Maburit Bependuduk

Area transportasi

6 S 6° 49� 55,7� E 115° 13� 41�

Fringing reef, pasir, rubble 11.40 %

baik (> 10 m) Sedang

P. Kangean Utara Berpenduduk Area berlabuh

Sumber : Hasil Survei Lapang INSDAL, Juni � Juli 2003

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

35

Page 45: inventarisasi ikan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Komunitas Ikan Karang

4.1.1. Keanekaragaman ikan karang

Survei secara detail untuk ikan karang adalah sulit. Beberapa tehnik pendataan

populasi ikan karang secara detail sering berhubungan dengan penggunaan racun ikan dan

bahan peledak untuk membunuh dan mengumpulkan sampel ikan. Oleh karena itu, sering

menimbulkan dampak negatif dan tidak sesuai digunakan untuk area perlindungan.

Sementara itu teknik visual sensus memiliki kelemahan-kelemahan tertentu dan sangat

bergantung pada keterampilan dan konsistensi pengamat yang harus memiliki kemampuan

untuk mengenal dan mengingat serta mencatat ratusan jenis-jenis ikan karang. Tetapi

dengan berbagai kelemahannya, tehnik ini lebih disetujui untuk pendataan ikan karang

dengan maksud-maksud yang praktis dan keamanan lingkungan (Kenchington, 1988).

Dalam kontek ini, hasil penelitian ini tentu saja tidak lepas dari kelemahan-

kelemahan metoda yang digunakan, seperti sensual visual. Survei ini telah berhasil

mengindentifikasi secara minimal jenis-jenis ikan karang, sejauh mereka dapat dilihat

(Lampiran B). Namun demikian peran pengamat (biologist) yang sabar, berpengalaman,

penyelam yang tangguh, dan waktu inventarisasi yang tepat diharapkan dapat memperkecil

kelemahan tersebut dan memperbesar hasil temuan. Penentuan waktu sensus dan

penyelaman pendahuluan untuk membuat daftar jenis-jenis baku ikan setempat adalah

sangat penting untuk mengurangi bias hasil sensus. Waktu sensus yang baik adalah ketika

puncak pasang dan atau sore hari menjelang petang. Pada saat ini ikan-ikan keluar untuk

makan dan ikan yang bersifat nokturnal biasanya sudah mulai keluar.

Keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan karang di suatu area terumbu karang

perlu diekspos untuk kepentingan managemen penangkapan, terutama sekali untuk

pengaturan penangkapan dan atau proteksi bagi ikan-ikan yang memiliki kelimpahan rendah

sementara bernilai ekonomis tinggi dan rentan terhadap penangkapan yang berlebih. Untuk

alasan desiminasi keanekaragaman hayati, hasil sensus visual pada area transek yang berupa

sederet nama-nama ikan karang yang berhasil dikenali disajikan secara detail pada Lampiran

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

36

Page 46: inventarisasi ikan

B. Dari Lampiran ini telah dihimpun berbagai aspek praktis dan indeks-indeks ekologis dari

populasi ikan karang sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kondisi ikan karang di Pulau-Pulau Kangean, Sumenep Madura, menurut stasiun penelitian

S T A S I U N ( S T A T I O N ) No. K a t a g o r i ( C a t a g o r i e s ) 1 2 3 4 5 6

1 Kondisi Taksonomi Ikan : (Disciption of Fish Taxonomy) 1.1. Jumlah jenis (Species Number) 52 75 108 82 86 112 1.2 Jumlah marga (Genus Number) 32 43 63 46 47 63 1.3 Jumlah suku (Family Number) 18 18 28 23 18 24 2 Kondisi Populasi Ikan : (Fish Population State) 2.1. Richness Index, Margalef: R1 5.47 7.94 10.82 8.61 8.84 11.97 2.2. Menhinick Index: R2 0.49 0.71 0.77 0.74 0.70 1.08 2.3. Simpson Diversity Index: Lambda 0.08 0.09 0.04 0.07 0.07 0.07 2.4. Shannon Diversity Index: H 2.94 2.94 3.68 3.21 3.21 3.40 2.5. Hill's diversitry Number: N1 18.85 18.96 39.50 24.79 24.73 29.96 2.6. Hill's diversitry Number: N2 12.69 11.05 26.32 13.74 13.73 14.40 2.7. Evenness Index: E1 0.74 0.68 0.79 0.73 0.72 0.72 2.8. Evenness Index: E2 0.36 0.25 0.37 0.30 0.29 0.27 2.9. Evenness Index: E3 0.34 0.24 0.36 0.29 0.28 0.26 2.10 Evenness Index: E4 0.67 0.58 0.67 0.55 0.56 0.48 2.11. Evenness Index: E5 0.65 0.56 0.66 0.54 0.54 0.46 2.12 Jumlah Individu (Individual Number) 11148 11147 19793 12237 15068 10679 2.13 Kepadatan (individual/m2) 16 16 28 17 22 15 3 Pengelompokan Status ikan : (Fish Grouping) 3.1. Percentage of the major fishes (M ; % ) 61.5 74.7 63.9 58.5 60.5 56.3 3.2. Percentage of the target fishes ( T ; % ) 32.7 24.0 26.9 34.1 32.6 36.6 3.3. Percentage of indicator fishes ( I ; % ) 5.8 1.3 9.3 7.3 7.0 7.1 4. Ikan Indicator (Indicator Fishes) 4.1 IRDI Index (%) 7.32 2.44 24.39 14.63 14.63 19.51 4.2 Jumlah jenis (Species number) 3 1 10 6 6 8 5 Status Ekonomi Ikan : (Fish-economic valuing) 5.1. Low valuable fishes (%) 75.0 76.0 63.0 63.4 66.3 67.0 5.2. Fair valuable fishes (%) 13.5 13.3 20.4 20.7 16.3 14.3 5.3. High valuable fishes (%) 11.5 10.7 16.7 15.9 17.4 18.8 Sumber : Hasil Survei Lapang INSDAL, Juni � Juli 2003

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

37

Page 47: inventarisasi ikan

Sederet nama yang ditabulasi terkadang hanya menyajikan nomenklatur dari

berbagai jenis ikan karang dan mungkin dapat membosankan bagi pembaca, kecuali

diberikan informasi penting bagi ikan-ikan tersebut. Status masing-masing ikan, apakah

tergolong ikan Target, Mayor, atau ikan Indikator akan menunjukan peran ikan-ikan karang

dalam komunitasnya dan ini mudah dikenali melalui petunjuk-petunjuk (simbol T, M, dan I)

yang disiapkan di bagian kolom tabel, sama seperti status ekonomi dari masing-masing ikan,

seperti (*) cukup mempunyai nilai, (**) bernilai ekonomis sedang, dan (***) bernilai

ekonomis tinggi. Nilai ekonomis ikan-ikan ini didasarkan pada a) Jika ia ikan pangan (ikan

target), maka permintaan pasar akan jenis itu apakah tinggi, sedang, atau rendah; b) jika ia

ikan hias (baik ikan mayor atau ikan indikator), nilainya sangat ditentukan dari sifat warna,

bentuk, gerakan-gerakan yang anggun dan unik, kelangkaan jumlahnya di terumbu karang,

adanya usaha dan tujuan pasarnya (apa untuk ekspor atau pasar domestik).

Tabel 4 menunjukkan bahwa stasiun yang memiliki jumlah jenis ikan karang yang

relatif tinggi adalah untuk lokasi pulau Kangean sebelah utara (stasiun 6), seperti juga

diperlihatkan oleh Indeks kekayaan jenis (R1=11,97 dan R2=1,08) yang relatif tinggi

dibanding nilainya pada stasiun lainnya, walaupun ditinjau dari Indeks keragamannya (H)

yang relatif lebih rendah dibanding nilai H pada Pulau Paliat sebelah selatan (stasiun 3).

Karena komunitas ikan pada stasiun 3 memiliki tingkat keseimbangan populasi yang relatif

tinggi dengan indeks dominasi yang rendah dibanding yang ditemukan pada stasiun 6.

Disamping itu stasiun 3 memiliki jumlah ikan-ikan berkoloni lebih banyak (N1=39,5 koloni

dan N2= 26,3 koloni) dan juga memiliki kelimpahan ikan yang tertinggi (dari kisaran 15

sampai 28 individual/m2 untuk semua stasiun).

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kisaran jumlah jenis ikan karang menurut letak

stasiun berkisar antara 52 sampai 112 jenis, sementara Indeks keanekaragaman (H) berkisar

antara 2,94 sampai 3,68. Indeks kesimbangan berkisar antara 0,68 sampai 0,79 dan Indeks

dominasi berkisar antara 0,04 sampai 0,09. Ini berarti bahwa keanekaragaman komunitas

ikan di sini masuk dalam interval sedang sampai tinggi dengan keseimbangan populasi yang

cukup baik. Tetapi jika ini menjadi patokan, maka dibandingkan dengan area-area terumbu

karang yang sehat dengan keragaman yang tinggi, seperti di kepulauan Banda, Maluku,

kondisi keragaman ikan karang di Pulau-Pulau Kangean relatif masih lebih rendah. Variasi

indeks keanekaragaman ikan karang pada 6 lokasi di kepulauan Banda berkisar antara 3,57

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

38

Page 48: inventarisasi ikan

sampai 4,27 dengan jumlah jenis berkisar antara 142 sampai 224 species. Variasi Indeks

Dominasi berkisar antara 0,0256 sampai 0,1148 dan variasi Indeks Keseimbangan 0,68

sampai 0,81 (Edrus et al., 1992). Alasan yang mungkin dapat diterima dari perbedaan ini

adalah telah rusaknya habitat ikan yang dijumpai pada setiap lokasi penelitian Pulau-pulau

Kangean disamping rendahnya persen tutupan karang (Tabel 2).

Secara tidak langsung, tingginya keanekaragaman ikan karang, khususnya ikan-ikan

mayor dan ikan indikator, dapat menjadi petunjuk sehatnya suatu perairan karang. Menurut

Odum (1975), keragamanan biota merupakan bukti yang digunakan untuk melihat ada

tidaknya tekanan terhadap lingkungan sebagai akibat ekploitasi atau pencemaran. Ekosistem

yang matang (dalam arti perkembangannya dan tidak ada komponen yang membuat tekanan

terhadap kesimbangan komunitas atau tidak ada kekuatan lain yang memutuskan fungsi dari

masing-masing komponen dalam ekosistem) biasanya ditandai oleh keragaman yang tinggi

dan kesimbangan populasi yang serasi. Kondisi pada saat itu disebut steady state, di mana

kisaran kesimbangan masih dianggap moderat dan berada pada skala 0,6 � 0,8. Secara

umum kiasaran keragaman dinyatakan dengan skala Simpson 0 � 1. Nilainya merupakan

selisih dari 1 � D (D= indeks dominasi). Keragaman maksimum, di mana proporsi jumlah

individu antar populasi sama besar, tercapai apabila nilainya = 1. Tetapi pada kenyataannya

secara alamiah keragaman maksimum jarang terjadi di alam. Jadi rendahnya keragaman ikan

yang disertai dengan ekstrimnya dominasi suatu jenis pada suatu area terumbu karang

merupakan petunjuk adanya tekanan-tekanan yang buruk pada area tersebut. Karena hanya

ikan-ikan tertentu yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup dan berkembang biak di area

yang mengalami tekanan. Tekanan ini bisa diartikan sebagai hasil dari pencemaran perairan

dan rusaknya habitat ikan. Menurut Gomez dan Yap (1984) ikan merupakan organisma yang

relatif kompleks, banyak aspek dari biologisnya dan perilakunya dapat digunakan untuk

ukuran atau tanda-tanda tentang tingkat kesesuaian (suitability) dari habitat-habitatnya. Oleh

karena itu disamping faktor musim, kerusakan habitat seringkali disinyalir sebagai faktor

penyebab tidak tanpaknya berbagai jenis ikan karang yang penting dan bernilai ekonomis

pada waktu tertentu.

Kecenderungan adanya keinginan untuk memperbandingkan potensi sumberdaya

dari lokasi yang satu dengan yang lain, baik berdekatan atau mungkin berjauhan, secara

umum semua indeks ekologis di atas (Tabel 3) perlu disajikan secara menyeluruh sebagai

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

39

Page 49: inventarisasi ikan

suatu �baseline data� yang dapat dijadikan �bench mark� bagi hasil kajian lanjutan. Semua

indeks tersebut merupakan data yang baik dan refresentatif bagi usaha pemetaan

sumberdaya perikanan karang dalam konteks GIS. Sangat disarankan bahwa semua survei

perikanan karang dapat menyajikan indeks-indeks yang sama seperti di atas.

4.1.2. Pengelompokan ikan karang

Menurut Hutomo (1993), ikan-ikan karang sebagian besar tergolong ikan bertulang

keras (Teleostei) dari ordo Percifomes. Dalam sejarah evolusinya, ordo ini berkembang pada

zaman tersier. Kelompok yang �paling erat kaitannya� dengan lingkungan terumbu karang

meliputi delapan suku. Dari subordo Labridei, terdiri atas ikan cina-cina (Labridae), ikan

kakatua (Scaridae) dan ikan betok (Pomacentridae). Dari subordo Acanthuroidei terdiri atas

ikan butana (Acanthuridae), ikan baronang (Siganidae) dan ikan bendera (Zanclidae). Dari

subordo Chaetodontidei meliputi ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) dan kambing-kambing

(Pomacanthidae). Sementara suku-suku ikan yang lain dan biasa berasosiasi dengan terumbu

karang juga tercatat sebagai ikan karang, meskipun habitat aslinya adalah pasir, batuan, atau

lamun.

Untuk kepentingan yang lebih praktis dalam pengelolaannya, pengelompokan ikan

karang ini berkembang di luar taksonominya yang resmi ke arah penentuan status ikan

karang, di mana di dalamnya ikan karang digolongkan menjadi kelompok ikan Major, ikan

Target dan ikan Indikator.

Lampiran B dengan jelas menunjukkan jenis mana yang tergolong Major, Target dan

Indicator. Tetapi Lampiran B tidak menunjukan seluruh jenis yang biasa hadir atau

berasosiasi dengan terumbu karang. Tidak banyak jenis ikan Target ekonomis penting yang

teridentifikasi di area transek, seperti jenis yang berasal dari kelompok suku Holocentridae

(Murjan/Brajanata), Serranidae (Kerapu), Lutjanidae (Kakap, Bambangan), Haemullidae

(Bibir tebal), Scaridae (Kakatua), Siganidae (Baronang) dan Acanthuridae (Butana). Bahkan

jenis-jenis dari Lethrinidae (Lentjam) tidak muncul sama sekali. Sama seperti ikan Napoleon

(Cheilinus undulatus), satu jenis ekonomis penting tetapi kontropersial dalam

pemanfaatannya. Begitu juga untuk jenis-jenis ikan major atau ikan hias, banyak yang

absen. Apalagi untuk jenis jenis ikan indicator yang tergolong dalam suku Chaetodontidae.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

40

Page 50: inventarisasi ikan

Ratio dari ketiga kelompok ikan Mayor, Target dan Indikator dalam kecenderungan

normal, yaitu masing-masing 60 %, 30 % dan 10 % khususnya untuk stasiun 1,3,4,5 dan 6.

Sementara stasiun 2 miskin akan ikan target dan hanya memiliki satu jenis ikan indikator.

Walaupun keberadaan ikan karang dapat digeneralisasi, artinya di mana ada terumbu

karang selalu dijumpai berbagai jenis ikang karang yang sama, tetapi sekali lagi hadirnya

jenis ikan karang tertentu sangat ditentukan oleh habitatnya atau relung ekologinya (ecology

niche) di mana ikan menunjukkan perannya di situ dalam tingkat yang lebih mikro atau

dapat pula kehadirannya untuk keperluan-keperluan reproduksi dan makanan yang spesifik.

Seperti diketahui bahwa sejumlah besar lubang dan celah pada karang menyediakan

tempat perlindungan yang melimpah untuk berbagai jenis ikan dan invertebrata dan ini

adalah penting untuk tempat asuhan ikan. Beberapa ikan-ikan yang biasa menetap di

terumbu karang memiliki tempat-tempat perlindungan, yang dihuni secara bergantian antara

ikan-ikan diurnal dan nokturnal. Selama siang hari banyak ikan nokturnal menempati

lubang-lubang dan celah-celah ini sementara ikan-ikan diurnal keluar mencari makan dan

jenis-jenis ikan lain menunggu di sekitarnya. Sebaliknya malam hari peran-peran mereka

digantikan. Lebih jauh Salm dan Kenchington (1988) menjelaskan bahwa untuk startegi

interaksi antar jenis, jenis yang tinggal dalam kondisi yang padat pada terumbu karang dapat

mengembangkan berbagai macam interaksi, baik itu berupa antibiosis (mengeluarkan bahan

kimia yang berbahaya bagi organisma lain) atau simbiosis (hubungan yang saling

menguntungkan).

Ikan-ikan yang hidup di area terumbu karang memiliki tempat spesifik untuk

berproduksi dan berkembang biak. Ada yang memiliki sarang sementara selama masa kawin

dan reproduktif, dan ada pula ikan-ikan yang menetap dan menguasai wilayahnya. Sebagai

contoh adalah jenis-jenis ikan anemon (Amphiprion spp.; Premnas spp.) dan ikan sersan

mayor (Abudefduf spp.). Ikan giru pasir (anemon) merupakan ikan yang hidup bersimbiosis

dengan anemon, sebagai tempat untuk menetap dan berkembang biak. Sementara ikan-ikan

sersan mayor selama musim kawin bergerak keluar batas area karang mencari celah atau gua

untuk menetap sampai selesai masa musim kawin (Fahmi, 2001). Dapat diasumsikan bahwa

dengan absennya anemon tersebut di area terumbu karang, berarti juga hilangnya jenis ikan

giru pasir di tempat itu.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

41

Page 51: inventarisasi ikan

Contoh yang lain adalah berkenaan dengan assosiasi ikan kepe-kepe

(chaetodontidae) dengan jenis karang tertentu. Seperti misalnya jenis Chaetodon trifascialis,

distribusi dan kelimpahannya tergantung dari adanya jenis karang Acropora confertus dan

Acropora hyacinthus (Rees, 1977). Kehadiran Chaetodon baronessa dan Chaetodon

trifasciatus di suatu perairan biasanya merupakan suatu pertanda bahwa di lokasi tersebut

banyak terdapat karang keras akropora tabular dan bercabang, karena makanan pokoknya

adalah polyp karang dari marga acropora (Mackay, 1994). Menurut Nybakken (1988) dan

Mackay (1994, dalam Edrus dan Syam, 1998) bahwa ketertarikan ikan kepe-kepe terhadap

terumbu karang kuat sekali dan ini disinyalir karena alasan jenis makanan. Ikan ini

meskipun bersifat omnivora, ada sebagian besar yang hanya senang dengan makanan

tertentu saja. Makanan kegemarannya adalah polyp karang, sedangkan jenis-jenis makanan

yang lain dapat dilihat pada Tabel 4. Untuk alasan ini mungkin saja jenis-jenis dari

Chaetodont tidak tampak hadir pada suatu lokasi.

Untuk alasan yang sama, yaitu makanan, dalam 24 jam sering dijumpai ikan-ikan

pelintas yang keluar masuk area terumbu karang berulang-ulang dalam sehari. Ikan ini

kebanyakan mencari mangsa di terumbu karang, sehingga digolongkan juga dalam

kelompok ikan target yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Contoh ikan ikan ini adalah

kebanyakan dari golongan ikan ekor kuning (Caesio spp.; Paracaesio spp.) ; ikan kuwe

(Caranx spp. ; Carangoides spp.), dan ikan barakuda (Sphyraena barracuda). Karena ikan-

ikan ini termasuk dalam golongan ikan pelagis yang memiliki mobilitas tinggi, jarang dapat

disensus di area transek karang yang dangkal. Walaupun sering ditemukan di luar batas

wilayah transek. Ikan kuwe sering terlihat melintas di area pelabuhan atau di area karang

yang dalam dan terjal (slope atau drop off).

4.1.3. Ikan indikator dan Indeks IRDI

Sensus ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) sangat mudah dilakukan bagi tehnisi (non-

specialist), khususnya baik untuk kepentingan monitoring kondisi karang secara periodik.

Ikan ini paling kentara di antara ichthyfauna karang. Jenis-jenisnya mudah dikenali dan

taksonominya telah ditentukan. Jenis-jenis ikan ini sering dijumpai berpasangan dan

memiliki daerah teritorial, karennya mudah dihitung secara individual.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

42

Page 52: inventarisasi ikan

Tabel 4. Kebiasaan makan Chaetodontidae

Chaetodontidae Makanan (Food) Catatan (Remark) Chaetodon auriga a ; b ; c ; y A : Karang polips (Coral polyps) Chaetodon baronessa A B : Anemon laut (Sea anemones) Chaetodon citrinelus a ; d ; e C : Polychaetes Chaetocion ephippium a ; d ; f ; g Chaetodon punctatofasciatus a ; d ; e ; h

d : Benthos kecil (Small benthic invertebrates)

Chaetodon kleinii I ; y ; k E : Ganggang filamenta (Filamentous Chaetodon melannotus a** algae) Chaetodon meyeri a F : Spons (Sponges) Chaetodon oceilicaudus l** G : Telur ikan (Fish eggs) Chaetodon octofasciatus u H : Karang (Corals) Chaetodon ornatissimus m I : Soft coral polyps Chaetodon rafflesi a* ; b ; c y : Ganggang (Algae) Chaetodon speculum a ; d K : Zooplankton Chaetodon trifascialis a ; n L : Karang lunak (Soft corals) Chaelodon trifasciatus a Chaetodon unimaculatus c ; e ; h ; l ; o Chaetodon vagabundus a ; b ; c ; y

m : Coral tissue, particularity damaged areas that exude large quantities of mucous

Chaetodon xanthurus u n : Mucous of acropora coral Chelmon rostratus c ; o O : Krustase kecil (Small crustaceans) Coradion melanoppus u p : Hydroids Forcipiger flavissiimus c ; g ; o ; q ; r ; s ; t Q : Echinoderma (Echinoderms) Hemitaurichthys polylepis t R : Pediceria of sea urchins Heniochus chrysozonus a S : Kepiting kecil (Small crabs) Heniochus varius u T : Planktons U : Tidak ada data (No information)

* : Primarily on octocolallian and scleractinian coral polyps

** : Litophyton viridis, and species of the genera Sarcophyton, Nepthia and Clavularia

Sumber : Mackay, 1994

Keunikan ikan kepe-kepe adalah kelimpahan dan jumlah jenisnya pada suatu

perairan dapat memberikan gambaran mengenai kualitas terumbu karang setempat. Para ahli

telah sepakat dalam menempatkan jenis-jenis dari Chaetodontide sebagai species indicator

kondisi terumbu karang, terutama hal yang berhubungan dengan perilaku dan makannya.

Jenis makanan merupakan alasan yang utama dari keberadaan ikan kepe-kepe di area

terumbu karang. Mackay, 1994 telah mengamati kebiasaan makan Chaetodontidae (Tabel

4).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

43

Page 53: inventarisasi ikan

Untuk terumbu karang di Wilayah Timur Indonesia, seperti Irian, di mana kondisi

karang masih dalam katagori sehat, ikan kepe-kepe hampir selalu dijumpai dalam jumlah

jenis dan individu yang tinggi. Dengan alasan ini, Nash (1989) telah mengembangkan tolok

ukur kesehatan dan keragaman terumbu karang yang dikenal sebagai Irian Diversity Index

(IRDI). Melalui indeks ini satu lokasi terumbu karang dengan lokasi lainya dapat

diperbandingkan. Indeks ini juga data refrensentatif untuk kepentingan GIS.

Dalam kontek studi ini, ikan kepe-kepe yang merupakan kelompok ikan indicator

kesehatan karang hadir dalam jumlah yang sangat kecil di beberapa lokasi penelitian Pulau-

Pulau Kangean, yaitu antara 1 sampai 10 jenis. Dari jumlah ini diperoleh Indeks IRDI di

bawah 30 % (Table 4). Ini berarti kondisi kesehatan karang batu di semua stasiun masuk

dalam katagori buruk. Buruk dalam arti keragaman karang batu yang rendah dan atau

persentasi tutupan karang batu yang rendah.

4.1.4. Ikan sebagai sumberdaya yang bernilai ekonomis

Tujuan penilaian sumberdaya selalu melibatkan identifikasi perubahan-perubahan

dalam kontek ongkos dan keuntungan karena perubahan-perubahan berkenaan dengan

dampak lingkungan. Penilaian sumberdaya adalah suatu pengembangan dari analisis �cost &

benefit�. Ini berhubungan dengan konsep nilai yang berhubungan dengan apa yang

seseorang ingin bayar untuk barang dan jasa. Dalam kontek lingkungan alam, pertanyaan

yang paling relevan untuk penilaian sumberdaya adalah bagaimana perubahan-perubahan

dalam kepuasan masyarakat atau kesejahteraan yang disebabkan dari perubahan-perubahan

dalam kualitas lingkungan. Pertanyaan mendasar yang paling umum digunakan dalam

pendekatan penilaian sumberdaya adalah �keuntungan ekonomis dan kehilangan apa saja

yang disebabkan dari perubahan-perubahan kualitas lingkungan?� (Briones, 1999).

Dalam interaksi perdagangan ternyata banyak pengalaman yang dapat diperoleh

bahwa sekecil apapun atau seburuk apapun rupa ikan ternyata memiliki nilai ekonomis, baik

itu ikan pangan maupun ikan hias. Dalam kontek interaksi manusia dengan alam,

keuntungan hakiki yang didapat dari ikan sebagai sumberdaya perairan karang bukan

terletak pada ketersediaan protein hewani dan tingginya harga jual tetapi lebih menjurus

pada bagaimana pengelolaan sumberdaya itu dapat memelihara atau mempertahankan

tingginya persentasi dari ikan-ikan yang bernilai ekonomis dalam suatu perairan karang. Ini

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

44

Page 54: inventarisasi ikan

hanya akan didapat jika pengguna-pengguna mau sedikit menghargai dan memelihara

dengan baik habitat-habitat ikan tersebut.

Data tentang status ekonomi ikan-ikan karang sangat berarti bagi pengelolaannya,

setidaknya dapat menimbulkan rangsangan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penetapan

regulasinya. Ratio dari berbagai tingkat penilaian ekonomi (Tabel 4) juga dapat menjadi

petunjuk tentang nilai dan kualitas dari ekosistem karang. Ini juga merupakan atribut yang

baik untuk GIS.

Dalam hubungannya dengan sumberdaya ikan karang, hasil temuan survei ini

menunjukkan bahwa seluruh lokasi perairan karang Pulau-Pulau Kangean didominasi oleh

ikan-ikan yang bernilai ekonomis rendah (berkisar antara 63 % sampai 75 %). Sementara

ratio penilaian yang relatif bisa dikatakan normal untuk komunitas ikan karang adalah

seperti yang diperlihatkan pada stasiun 3 (bernilai ekonomis rendah 63 %, bernilai ekonomis

sedang 20,4 % dan bernilai ekonomis tinggi 16,7 %). Seperti telah disebutkan di atas,

banyak jenis ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi dan sedang absen dari pengamatan di

wilayah transek. Diasumsikan bahwa hal ini disebabkan oleh rusaknya habitat ikan. Jadi

kemunduran mutu lingkungan sangat berpengaruh pada nilai sumberdaya ikan karang.

Sebagaimana hal ini juga diakui oleh beberapa pengusaha perikanan setempat. Nampak

bahwa mereka tidak merasa puas dengan kondisi mutu lingkungan saat ini.

Keuntungan jangka pendek yang diperoleh saat ini dari perairan karang tidak berarti

apa-apa jika �return cost�nya diikuti oleh kerusakan terumbu karang. Sebagai contoh,

analisis ekonomi oleh Soede dan Pet (2000) menunjukkan besarnya kerugian bersih

penangkapan ikan dengan peledak setelah 20 tahun sebesar US$ 306.800 per km2 untuk

terumbu karang yang memiliki potensi wisata tinggi, dan perlindungan pantai sebesar US$

33.900 per km2 terumbu karang untuk daerah yang potensinya rendah.

Saat ini, pengelolaan terumbu karang dan mangrove cenderung untuk keuntungan

yang berfihak pada kepentingan manusia dan bukan pada ekosistem karang dan mangrove

itu sendiri, walaupun efek dari pengelolaan atas sumberdaya tersebut tidak dapat dianggap

untuk memperoleh keuntungan semata-mata. Pengelolaan seperti ini lebih terarah pada

pendekatan yang lebih terorganisir pada masalah-masalah produksi dari pada penurunan

mutu lingkungan dan konservasi. Pengelolaan ini terfokus pada kuantitas dari produk

sumberdaya, dimana pada kenyataannya bahwa tujuan dari perikanan komersil dan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

45

Page 55: inventarisasi ikan

kehutanan adalah untuk memperoleh produksi yang sebesar-besarnya tanpa

memperhitungkan input dari faktor lain, seperti environmental cost. Keseimbangan yang

serasi antara pemanfaatan dan proktesi diharapkan dapat memperkecil beban lingkungan

tersebut, sehingga pada akhirnya akan dicapai kesinambungan pemanfaatan.

4.2. Pemetaan Ikan Karang

Sebenarnya sangat sulit untuk memetakan sebaran dari ikan karang yang ada di

perairan. Tetapi dengan korelasi antara tutupan karang dengan jenis dan kelimpahan ikan

dapat diprediksi area sebaran ikan karang di Kepulauan Kangean dan Madura.

Ikan karang merupakan ikan yang menetap, dalam arti kata tidak seperti ikan pelagis

yang mencari makan sampai ke tempat jauh dan selalu bergerak sesuai dengan musim, arus,

dan suhu air laut. Dengan adanya sifat ikan karang yang mancari makan dan hidup hanya

disekitar terumbu karang tersebut, maka sebaran dari ikan karang dapat diprediksi

keberadaannya. Hanya sulitnya, untuk mengetahui jenis maupun kelimpahan ikan karang

tersebut tetap harus melakukan survei lapang langsung di dalam air atau melakukan

penyelaman. Titik sampel yang diperlukan dengan penyelaman, untuk mengetahui jenis dan

polulasi ikan karang di seluruh wilayah Madura dan kangean cukup banyak. Hal ini cukup

sulit dilakukan, sehubungan dengan waktu yang diperlukan untuk melakukan penyelaman

cukup memakan waktu dan tenaga, sehingga dengan waktu yang terbatas maka wilayah

yang di teliti atau digunakan sebagai titik sampel sangat sedikit.

Terbatasnya titik sampel yang diteliti menyebabkan kondisi ikan karang yang ada di

seluruh perairan Madura dan Kangean hanya dapat diprediksi secara umum saja. Hanya

pada wilayah penelitian/titik sampel saja yang dapat secara rinci diketahui jenis dan

populasinya, sedangkan pada wilayah lainnya berdasarkan prediksi dan kemungkinan saja,

sesuai dengan citra Landsat yang digunakan untuk membantu mendekteksi sebaran terumbu

karang di Kangean dan Madura.

Jika melihat korelasi antara kelimpahan ikan karang, jumlah ikan major, ikan target

dan ikan indikator dengan kondisi perairan kurang begitu berkorelasi karena kondisi air di

perairan Kangean tersebut termasuk baik. Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa

perbedaan jumlah dan kelimpahan ikan di Kangean tersebut dipengaruhi oleh campur tangan

manusia, yaitu dengan cara merusak habitat (terumbu karang) tempat ikan karang tersebut

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

46

Page 56: inventarisasi ikan

hidup, serta penangkapan ikan karang dengan cara yang kurang ramah lingkungan. Beberapa

kerusakan karang di wilayah Kangean diantaranya diakibatkan oleh adanya pengeboman

terumbu karang dan peracunan perairan, yang menyebabkan ikan menjadi mabuk dan

mudah untuk diambil, tetapi pengambilan dengan cara ini menyebabkan rusaknya terumbu

karang, tempat dimana ikan karang tersebut hidup dan berkembang biak. Dari 23 lembar

pemetaan terumbu karang dan ikan karang tersebut, maka wilayah yang memiliki terumbu

karang terdiri dari 11 lembar (NLP) yang dapat dilihat pada tabel 5. Adapun wilayah

penelitian atau pengambilan sampel dapat dilihat pada peta survei lapang di belakang. Pada

peta ini dapat dilihat lokasi titik pengambilan sampel yang disertai oleh data perairan, foto

dan video yang menggambarkan keadaan atau kondisi terumbu dan ikan karang tiap titik

sampel, dan dikemas dalam album terpisah.

Pada lampiran pemetaan sebaran ikan karang di belakang dapat dilihat hasil prediksi

yang dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa titik sampel di wilayah

Kangean.

Tabel 5. Sebaran dan LuasTerumbu Karang Skala 1:50.000 Nomor Lembar / NLP Luas (Ha) %

1 Tamberu (NLP 1609-22) 3639.48 6.85 2 Ambuten (NLP 1609-31) 64.78 0.12 3 Kwanyar (NLP 1608-02) 6689.75 12.59 4 Kalowang (NLP 1708-01) 10586.04 19.93 5 Pulau Guwaguwa (NLP 1708-05) 2864.74 5.39 6 Kangean (NLP 1708-06) 65.29 0.12 7 Kangean (NLP 1708-07) 6219.57 11.71 8 Kangean (NLP 1709-01) 176.60 0.33 9 Kayuwaru (NLP 1709-02) 704.88 1.33 10 Pulau Sepanjang (NLP 1808-01) 19287.50 36.31 11 Sampang (NLP 1608-04) 2827.62 5.32

Jumlah 53126.25 100.00 Sumber : Hasil interpretasi Citra Landsat ETM 7 tahun 2002 � 2003, dan digitasi tahun 2003

Pada tabel di bawah (tabel 6) dapat dilihat kondisi air di wilayah penelitian di

beberapa perairan yang berdekatan dengan pulau-pulau sekitar Kepulauan Kangean.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

47

Page 57: inventarisasi ikan

Beberapa parameter yang di ukur dengan peralatan Water Checker dan Seechi disk

diantaranya yaitu : Kecerahan air laut, Ph (keasaman air), Conductivity (penghantar listrik),

Turbidity (kekeruhan), Disolve Oksigen (kelarutan oksigen dalam air), Temperatur, dan

Salinitas (kandungan garam dalam air).

Adapun Titik sampel wilayah penelitian, yang terdiri dari 3 sheet peta skala 1:50.000

dapat dilihat pada gambar/peta nomor 3, sampai nomor 5. di bawah ini.yaitu sheet 1708-07,

sheet 1709-01 dan 1808-01.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

48

Page 58: inventarisasi ikan

Tab

el 6

. DA

FTA

R T

ITIK

SA

MPE

L PE

NEL

ITIA

N IK

AN

KA

RA

NG

DA

N T

ERU

MB

U K

AR

AN

G D

I KEP

. KA

NG

EAN

N

O.

STA

SIU

N

POSI

SI

AIR

W

AK

TU

K

ET

ER

AN

GA

N

K

ecer

ahan

Ph

C

ondu

ct

Tur

b.

DO

T

emp.

Sa

lin.

1.

P. K

eriti

ng

S 0

60 57�

27

,2��

E

1150 2

6� 0

9��

Seec

hi 7

m

4.54

52

.7

10

6.66

28

.9

3.48

25

Juni

200

3 Pk

. 12.

58

P. K

eriti

ng td

k ad

a pe

nghu

ni (m

onye

t) P.

Kan

gean

foto

22

, Tim

e 16

.40

P. S

abun

ten

Foto

23

, 24.

P. S

aur

Foto

25.

2.

P.

Sau

r �

P. S

epan

gkur

S

070 0

3� 0

1��

E 11

50 38�

13�

� K

edal

aman

± 3

m

5.71

53

.1

10

6.48

28

.2

1.51

26

Juni

200

3 Pk

. 09.

51

Air

Jern

ih, k

ondi

si

cuac

a ce

rah

P.

Sau

r �

P. S

epan

gkur

S

070 0

3� 0

3��

E 11

50 38�

22�

� Se

echi

11

m

26 Ju

ni 2

003

Pk. 1

2.53

3.

Pete

rnak

anm

utia

ra M

axim

a P.

Pal

iat

S

070 0

0�

41.7

��

E 11

50 40�

23�

6.

75

52.8

10

6.

58

28.8

5.

51

26 Ju

ni 2

003

Pk. 1

4.59

Fo

to 3

3 - 3

6

4 P.

Sita

bok

S 0

60 57�

38

.0��

E

1150 4

2�

17.8

��

Seec

hi 7

.5 m

6.

62

10

6.

56

28.2

3.

53

27 Ju

ni 2

003

Pk. 0

8.53

A

ntar

a P.

Pal

iat

dan

P.Sa

lera

ngan

S

060 5

7�

39.5

��

E 11

50 42�

17

.9��

27

Juni

200

3 Pk

. 10.

48

5.

P. M

ambu

rit

S 0

60 50�

03

.6��

E

1150 1

2�

38.0

��

Seec

hi 9

m (s

udah

sa

mpa

i das

ar)

8.94

53

.9

10

6.60

28

.0

3.57

28

Juni

200

3 Pk

. 08.

53

Kon

disi

cor

al

keru

saka

n <5

0%

6.

P.

Kan

gean

Sebe

lah

Uta

ra

pela

buha

n (a

ntar

a m

ercu

suar

pela

buha

n)

S 0

60 49�

55

.7��

E

1150 1

3�

41.0

��

7.

5 53

.0

10

6.70

28

.3

3.51

28

Juni

200

3 Pk

. 11.

33

Kon

disi

cor

al ru

sak

>80%

Pe

nguk

uran

Ph

dng

lakm

us

Sum

ber :

Has

il pe

nelit

ian

Tim

Inve

ntar

isas

i Sum

berd

aya

Alam

Lau

t BAK

OSU

RTAN

AL, 2

003

In

vent

aris

asi D

ata

Das

ar S

urve

i Sum

berd

aya

Alam

Pes

isir

dan

Lau

t � S

umbe

rday

a Ik

an K

aran

g

49

Page 59: inventarisasi ikan

Gam

bar

3. T

itik

Sam

pel W

ilaya

h Pe

nelit

ian

Skal

a 1:

50.0

00 sh

eet 1

708-

07

Inve

ntar

isas

i Dat

a D

asar

Sur

vei S

umbe

rday

a Al

am P

esis

ir d

an L

aut �

Sum

berd

aya

Ikan

Kar

ang

50

Page 60: inventarisasi ikan

Gam

bar

4.

Titi

k Sa

mpe

l Wila

yah

Pene

litia

n Sk

ala

1:50

.000

shee

t 170

9-01

In

vent

aris

asi D

ata

Das

ar S

urve

i Sum

berd

aya

Alam

Pes

isir

dan

Lau

t � S

umbe

rday

a Ik

an K

aran

g

51

Page 61: inventarisasi ikan

Gam

bar

5.

Titi

k Sa

mpe

l Wila

yah

Pene

litia

n Sk

ala

1:50

.000

shee

t 180

8-01

Inve

ntar

isas

i Dat

a D

asar

Sur

vei S

umbe

rday

a Al

am P

esis

ir d

an L

aut �

Sum

berd

aya

Ikan

Kar

ang

52

Page 62: inventarisasi ikan

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN • Kesimpulan : 1. Keanekaragaman jenis ikan karang di Pulau-pukau Kangean tergolong katagori sedang

dengan kisaran jenis antara 52 sampai 112. Indeks keanekaragaman terendah (2,94)

dijumpai di Pulau Keriting dan Pulau Sapangkur dan tertinggi (3,68) ditemukan di Pulau

Paliat bagian Selatan.

2. Keseimbangan populasi ikan karang dalam komunitasnya cukup stabil (E = 0,68 sampai

0,79) dan tidak ada tanda-tanda adanya ledakan satu atau lebih populasi atau dengan kata

lain tidak ada dominasi yang menonjol di antara populasi (D = 0,04 sampai 0,09).

3. Sumberdaya perikanan karang di wilayah ini masuk dalam kategori rendah jika

dibandingkan dengan Wilayah Timur Indonesia. Banyak jenis ikan karang yang

memiliki nilai ekonomis tinggi tidak ditemukan (absen), baik itu menyangkut ikan target

maupun ikan hias. Sementara potensi ikan hias tidak cukup menjanjikan pengembangan

usaha pemanfaatannya, karena disamping kurang jenisnya, habitatnya telah banyak yang

rusak.

4. Indek keanekaragaman ikan indikator (IRDI index) menunjukan bahwa kondisi

kesehatan dan keragaman karang adalah buruk pada semua lokasi transek.

5. Sebaran jenis ikan karang yang berkorelasi dengan sebaran terumbu karang masih sulit

dilakukan dengan citra. Perkiraan sebaran jenis ikan masih mengacu pada penelitian

survei langsung dengan penyelaman, dan hanya pada wilayah yang tidak terlalu besar.

• S a r a n :

1. Perlu adanya pencanangan dan pelembagaan sistem pengelolaan sumberdaya alam

laut berbasis masyarakat.

2. Pengawasan, proteksi, dan usaha-usaha konservasi sumberdaya alam laut hendaknya

menjadi bagian terpenting dari program partisipasi masyarakat di samping program

peningkatan pemanfaatannya.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

53

Page 63: inventarisasi ikan

3. Zona pemanfaatan dan konservasi sumberdaya sudah semestinya ditata sejak dini.

4. Hentikan penangkapan ikan yang merusak

5. Kembangkan wisata laut yang berkelanjutan

6. Kembangkan pemetaan, pemantauan, dan jaringan kerja informasi terumbu karang

guna mendukung pengelolaan yang baik.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

54

Page 64: inventarisasi ikan

DAFTAR PUSTAKA Achituv, Y. and Z. Dubinsky. 1990. Evolution and Zoogeography of Coral Reefs. In: Coral

Reefs. Ecosystem of the world 25. Z. Dubinsky (Ed.), Elsevier, Amsterdam, pp. 1 � 9.

Babcock, R. and P. Davis. 1991. Effects of sedimentation on settlement of Acropora

millepora. Coral Reefs 9:205-208. Barnes, R.S.K. 1974. Estuarine Biology. In : Studies in Biology. No. 49. Edward Arnold

Ltd. (pbl) London, 76 pp. Butler, M.J.A., M.C. Mouchot, V. Barole, C. LE Blanc. 1988. The Application of Remote

Sensing Technology to Marine Fisheries: An Introductory Manual. FAO Fisheries Technical Paper No.295. FAO. Rome.

Brown, B.E. and L.S. Howard. 1985. Assessing the effects of stress on reef corals. Adv.

Mar. Biol. 22:1-63. Briones, N.D. 1999. Economic valuation of environmental impacts. Lecture Notes for ENS

211. School of Environmental Science and Management, UPLB, Los Banos, Philippines.

Chalker, B.E., W.C. Dunlap and P.L. Jokiel. 1986. Ligh and coral. Oceanus 29:22-23. Coles, S.L., P.L. Jokiel and C.R. Lewis. 1976. Thermal tolerance in tropical versus

subtropical Pacific reef corals. Pacific Science 30: 159-166. Chou, L.M., 1998. Status of Southeast Asian Coral Reefs. In: Status of Coral Reefs of the

World: 1998. C. Wilkinson (Ed). Sida � Australian Institute of Marine Science � ICLARM Publ., Quensland, Australia.

Copper, P. 1994. Ancient reef ecosystem expansion and collapse. Coral Reefs 13: 3 � 11. Dartnal, A. J.. and M. Jones. 1986. A Manual of Survey Method for Living Resources in

Coastal Area. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science. Australian Institute of Marine Science.

Dollar, S.J. 1982, Wave stress and coral community structure in Hawaii. Coral Reefs 1:71-

81. Dunlap, W.C. and B.E. Chalker. 1986. Identification and quantitation of near-UV absorbing

compounds (S-320) in a hermatypic scleratinian. Coral Reefs 5: 155-160.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

55

Page 65: inventarisasi ikan

Edrus, I.N., A.R. Syam dan La Sui. 1992. Potensi, Pemanfaatan dan Prospek Pengembangan Perikanan Karang di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, dalam hubungannya dengan Kepariwisataan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 74: 32 � 39.

Edrus, I.N. dan A.R. Syam. 1998. Sebaran Ikan Hias Suku Chaetodontidae di Perairan

Karang Pulau Ambon dan Peranannya dalam Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Jurnal Penenlitian Perikanan Indonesia Vol. IV (3) : 1 � 10.

Effendy, M. 2003. Banyak potensi yang hilang sia-sia. Wawancara wartawan Harian Jawa

Post � Radar Madura, Senin 30 Juni 2003, dengan Ketua Pusat Studi Perikanan dan Kelautan Universitas Trunojoyo.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine

Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Fahmi. 2001. Tingkah laku reproduksi pada ikan. Oseana, Vol. XXVI (1): 17 � 24. Falkowski, P.G., P.L. Jokiel and R.A. Kinzie III. 1990. Irradiance and Corals. In: Coral

Reefs: Ecosystem of the world 25. Z. Dubinski (Ed.). Ellsevier, Amsterdam. Pp. 89-107.

Folk, R.L., 1980. Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing Company, Austin,

Texas 78703. Fucik, K.W., T.J. Bright, and K.S. Goodman. 1984. Measurements of Damage, Recovery,

and Rehabilitation of Coral Reefs Exposed to Oil. In: Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. J. Cairns, Jr. and A.L. Buikema, Jr. (Eds). Butterworth Publishers, Boston.

Gomez, E.D. and H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management

Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.

Glynn, P.W. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspective. Coral reefs 12: 1-18. Grassle, J.F., P. Laserre, A.D. McIntyre and G.C. Ray. 1990. Marine Biodiversity and

Ecosystem Function. Biology International 23, 19 p.HEALD, E.J. and W.E ODUM. 1972. The Contribution of Mangrove Swamps to Florida Fisheries. Gulf and Carib. Fish Inst. Proc. 22nd. Ann. Sess : 130 -135.

Hutomo, M. 1986b. Methods of Samplings Coral Reef Fish. Training Course in Coral Reef

Research Methods and Management. SEAMEO � BIOTROP, No. 2. Bogor. Hal 37-53.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

56

Page 66: inventarisasi ikan

. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metoda Pengkajiannya. Dalam: Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. P30-LIPI Jakarta.

. 1995. Pengantar Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya.

P3O-LIPI. Jakarta. Hobbs, R.J. and D.A. Norton. 1996. �Commentary: Towards a conceptual framework for

restoration Ecology�. Restoration Ecology 4 (2): 93 � 110. Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. �Impacts of fishing on tropical reef ecosystems�.

AMBIO 25 (1): 44-49. Jokiel, P.L. and R.H. York Jr. 1982. Solar ultraviolet photobiology of reef coral Pocillopora

damicornis and symbiotic zooxanthellae. Bull. Mar. Sci. 32:301-315. Jokiel, P.L. and S.J. Coles. 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to

elevated temperature. Coral reefs 8: 155-162. Kenchington, R.A. 1984. Scientific investigations for planning. In: Coral Reef Management

Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta. P. 53.

Kleypas, J.A. 1007. Modeled estimates of global reef habitat and carbonate production since

the last glacial maximum. Paleoceanography 12: 533 � 545. Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent

Waters. Gramedia, Jakarta. Lieske, E. and R. Myers. 1997. Reef Fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta,

Indonesia. Licuanan, W.Y. and A.R.F. Montebon. 1991. An evaluation of minimum life-form transect

lengths for classification studies. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Water Areas, A.C. Alcala (Ed), 30 January � 1 February 1989, Marine Science Institute, Univ. of the Philippines, Manila, Philippines.

Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra.

Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and

Computing. Jhon Wiley & Son, New York. 337 p. Mackay, K.T. 1994. �Butterfly fishes of the family Chaetodontidae at Hila reef. Ambon,

Maluku, Indonesia�. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura (Unpublished).

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

57

Page 67: inventarisasi ikan

Manthachitra, V., S. Sudara and S. Satumanapatpan. 1991. Chaetodon octofasciatus as indicator species for reef condition. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Water Areas, A.C. Alcala (Ed), 30 January � 1 February 1989, Marine Science Institute, Univ. of the Philippines, Manila, Philippines

McManus, J.W. and A.S. Cabanban. 1992. Coral reef recruitment studies in Southeast Asia:

background and implications. Proc. Workshop on coral and fish recruitment, Report No. 7, ASEAN-Australian Living Coastal Resources Project, 1-8 June 1992, Bolinao Marine Lab. Bolinao, Pangasinan, Philippines. p 7-17.

Moosa, M.K., 1995. �Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP)�. A

Paper presented in the Mataram Marine Communication Forum, Mataram, Indonesia, August 18 � 23, 1995 (in press).

Muscatine, L. and J.W. Porter. 1977. Reef corals : mutualistic symbioses adapted to

nutrient-poor enviroments. Bioscience 27: 454-459. Nash, S.V. 1989. Reef Diversity Index Survey Method for Non Sspecialist. Tropical Coastal

Area Management Vol. 4 (3): 14 � 17. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Muhammad

Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo dan Sukristijono). Penerbit PT Gramedia. Jakarta.

Odum, E.P. 1975. Fundamental of Ecology. E.B. Sounders Co., Philadelphia, 574 pp. Reese, E. 1977. Coevolution of Coral and Coral Feeding Fishes of Family Chaetodontidae.

Proceeding of the third International Coral Reef Symposium 1:267-274. Reese, E. 1981. �Predation on corals by fishes of the family Chaetodontidae: implication

for conservation and management of coral reef ecosystem�. Bulletin of Marine Science 31 (3): 594-604.

Rinkevich, A.A. and Y. Loya. 1977. Harmful effects of chronic oil pollution on a Red Sea

scleractinian coral population. In: Proceeding of the Third International Coral Reef Symposium, Vol. II: Geology, D.L. Taylor (Ed), Miami: Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science.

Salm, R.V. and R.A. Kenchington, 1988. The Need for Management. In: Coral Reef

Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 9.

Smith S.V. and R.W. Buddemeier. 1992. Global change and coral reef ecosystems. Ann Rev.

Ecol. Syst. 23:89-118.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

58

Page 68: inventarisasi ikan

Soede, L.P. and M.V. Erdmann. 1998. �Blast fishing in Southwest Sulawesi, Indonesia�. Naga, the ICLARM Quarterly, April-June 1998: 4-9.

Soede, L.P. , H.S.J. Cesar, J.S. Pet. 2000. Economic issues related to blast fishing on

Indonesian coral reefs. Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 3 (2): 33 �40. Subani, W. 1987. Kerusakan ekosistem perairan pantai dan dampaknya terhadap

sumberdaya perikanan di pantai selatan Bali Barat, Timur Lobok dan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 42.

Tandipayuk, L.S. dan Hartati. t.t. Interaksi antara ikan dengan lingkungan biotik. Makalah

pada Pelatihan Ekologi Perikanan di Universitas Hasanudin Ujung Pandang. (Unpublished).

Vivien, H.M.L. and Y.B. Navarro. 1983. �Feeding diets and significance of coral feeding

among chaetodontidae fishes in Moorea (French Polynesia)�. Coral Reefs 2:119-127.

White, A.T. 1987. Coral Reefs, Valuable Resources of Southeast Asia. ICLARM Education

Series 1. Manila, Philippines. Wilkinson, C. 1998. Executive Summery. In: Status of Coral Reefs of the World: 1998. C.

Wilkinson (Ed). GCRMN Global Coral Reef Monitoring Network: SIDA-AIMS � ICLARM, Australian Institute of Marine Science, Cape Ferguson, Queensland, Australia.

Wilkinson, C.R. and R.W. Buddemeier. 1994. Global Climate Change and Coral Reefs:

Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOC-ASPEI-IUCN Global Task Team on the Implication of Climate Change on Coral Reefs. IUCN Publications Service Unit, Cambridge, 124 pp.

Wilkinson, C.R. and E, Evans. 1989. Sponge distribution across Davies Reef, Great Barrier

Reef, relative to location, depth and water movement. Coral Reefs 8: 1-7.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

59

Page 69: inventarisasi ikan

LAMPIRAN A

PETUNJUK PENGHITUNGAN INDEKS KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG BERDASARKAN APLIKASI MICROSOFT EXCEL

(Ludwig and Reynold, 1988) Tabel Simulasi lembar kerja/worksheet aktif dari Microsoft Excel : A B C D E F G H

1 Data ikan Stasiun 1 2 Luas area transek: 700 m2 3 Jenis-jenis ni ni*(ni-1) (ni/n)*Ln(ni/n) 4 5 Taeniura lymma 2 2 -0.00734292 6 Sargocentron rubrum 16 240 -0.04087491 7 Anyperodon leucogrammicus 4 12 -0.0131968 8 Scolopsis ciliata 100 9900 -0.15704813 9 Scolopsis margaritifer 100 9900 -0.15704813

10 Plectorhyncus chatodonnoides 2 2 -0.00734292 11 Plectorhyncus gaterinoides 2 2 -0.00734292 12 Apogon aureus 1000 999000 -0.33386207 13 Apogon compressus 50 2450 -0.09713704 14 Apogon fuscus 20 380 -0.04869682 15 Sphaeramia nematoptera 60 3540 -0.11068943 16 Lutjanus decussatus 60 3540 -0.11068943 17 Scarus bleekeri 60 3540 -0.11068943 18 Scarus dimidiatus 20 380 -0.04869682 19 Scarus ghoban 20 380 -0.04869682 20 Scarus rivulatus 250 62250 -0.26959527 21 Scarus tricolor 1 0 -0.00404372 22 Siganus puellus 30 870 -0.0665125 23 Siganus virgatus 20 380 -0.04869682 24 Siganus vulpinus 25 600 -0.05787501 25 Zebrasoma scopas 10 90 -0.02807101 26 Zanclus cornutus 10 90 -0.02807101 27 28 Total : 1862 1097548 -1.80221994 29 30 Jumlah jenis (S) : 22 (N*(N-1) = 3465182 31 Kepadatan (Ind./m2) : 2.66 32 1) Richness Index, Margalef: R1 = ( S - 1 ) / ln ( n ) = 2.789064466 33 2) Menhinick Index: R2 = S / V n = 0.509838752 34 3) Diversity: Simpson Index: λ = Σ ( ni ( ni-1 )) / (n ( n-1)) = 0.316736033 35 4) Shannon Index: H = - Σ [ ( ni / n ) ln ( ni / n ) ] = 1.802219939 36 5) Hill's diversitry Number: N1 = eH = 6.063092231 37 6) N2 = 1 / λ = 3.157203147 38 7) Evenness Index: E1 = (ln N1)/ln (No) = 0.583046 39 8) E2 = (N1 / No ) = 0.275595101 40 9) E3 = (N1 - 1) / (No - 1) = 0.230140556 41 10) E4 = (N2 / N1) = 0.520724909 42 11) E5 = (N2 - 1) / (N1 - 1) = 0.426064359 43

Prosedur:

1. Isi sel F5 s/d F26 dengan jumlah individu ikan sesuai dengan jenisnya (data hasil transek). 2. Ketik pada sel F28 : =SUM(F5:F26), selanjutnya akan didapat Total indivudu 1862. 3. Ketik pada sel G5 : =F5*(F5 � 1), selanjutnya akan diperoleh nilai 2. Kemudian copy sel G5 tsb

untuk semua sel dibawahnya sampai sel G26. Semua nilai hitungnya akan muncul secara otomatis. 4. Ketik pada sel G28 : =SUM(G5:G26), selanjutnya akan didapat Total ni*(ni-1) = 1097548.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

60

Page 70: inventarisasi ikan

5. Ketik pada sel H5 : =F5($F$28)*LN(F5/$F$28), selanjutnya akan didapat nilai -0.00734292. Kemudian copy sel H5 tsb untuk semua sel dibawahnya sampai sel H26.

6. Ketik pada sel H28 : =SUM(H5:H26), selanjutnya akan didapat Total (ni/n)*Ln(ni/n) = -1.80221994 7. Ketik pada sel E30 :=COUNT(F5:F26), selanjutnya akan didapat jumlah jenis (S) = 22. 8. Ketik pada sel E31 : =F28/C2, selanjutnya akan didapat nilai kepadatan individual/m2 = 2,66. 9. Ketik pada sel H30 : =(F28)*(F28-1), selanjutnya akan didapat N*(N-1) = 3465182. 10. Ketik pada sel H32 : =((E30)-1)/LN(F28), selanjutnya akan didapat indeks R1 = 2.789064466. 11. Ketik pada sel H33 : =E30/SQRT(F28), selanjutnya akan didapat indeks R2 = 0.509838752. 12. Ketik pada sel H34 : =G28/H30, selanjutnya akan didapat indeks Simpson = 0.316736033. 13. Ketik pada sel H35 : =(H28)*-1, selanjutnya akan didapat indeks H = 1.802219939. 14. Ketik pada sel H36 : =EXP(H28), selanjutnya akan didapat N1 = 6.063092231. 15. Ketik pada sel H37 : =1/H34, selanjutnya akan didapat N2 = 3.157203147. 16. Ketik pada sel H38 : =LN(H36)/LN(E30), selanjutnya akan didapat E1 = 0.583046. 17. Ketik pada sel H39 : =H36/E30, selanjutnya akan didapat E2 = 0.275595101. 18. Ketik pada sel H40 : =(H36-1)/E30, selanjutnya akan didapat E3 = 0.230140556. 19. Ketik pada sel H41 : =H37/H36, selanjutnya akan didapat E4 = 0.520724909. 20. Ketik pada sel H42 : =(H37-1)/(H36-1), selanjutnya akan didapat E5 = 0.426064359.

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

61

Page 71: inventarisasi ikan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

62

Page 72: inventarisasi ikan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

63

Page 73: inventarisasi ikan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

64

Page 74: inventarisasi ikan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

65

Page 75: inventarisasi ikan

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

66

Page 76: inventarisasi ikan

Lampiran C

DAFTAR PETA skala 1 : 50.000

NO NAMA LEMBAR NOMOR LEMBAR

1. Gresik 1608 � 01 2. Kwannyar 1608 - 02 3. Pasuruan 1608 � 03 4. Sampang 1608 � 04 5. Probolinggo 1608 � 05 6. Pamekasan 1608 - 06 7. Besuki 1608 � 07 8. Sumenep 1608 - 08 9. Panarukan 1608 - 09 10. Klampis 1609 - 12 11. Tanjung Bumi 1609 - 21 12. Tamberu 1609 - 22 13. Ambuten 1609 - 31 14. Gapura 1609 - 32 15. Kalowang 1708 - 01 16. Kangean 1708 - 02 17. Pulau Raas 1708 - 03 18. Pulau Guwa - Guma 1708 - 05 19. Kangean 1708 - 06 20. Kangean 1708 - 07 21. Dungkek 1709 - 11 22. Kangean 1709 - 02 23. Pulau Sepanjang 1808 - 01

Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang

67