INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar...

16
INVENSI ACEH UNTUK DUNIA Temuan demi temuan, pengembangan demi pengembangan terus bermunculan sebagai tanda bahwa masyarakat Aceh juga mampu menjadi inovator bahkan inventor. ARPUS.ACEH.GO.ID MENUJU ACEH CARONG DAN BERTAMADUN GEMERLAP KREATIVITAS LITERASI DINAS ARPUS PADA PKA 7 Dinas Arpus Aceh menghadirkan aneka kegiatan literasi kreatif yang dimulai sejak 7 hingga 15 Agustus 2018. 08 13 NOMOR 1 EDISI 2 TAHUN 2018 SEKOLAH ALAM, SEKOLAH TANPA SERAGAM Sekolah alam tak memiliki baju se- ragam. Aktivitas belajarnyapun lebih banyak berada di luar ruangan. POJOK WARNA- WARNI LITERASI Perpustakaan Wilayah Aceh mem- perhatikan pencahayaan, suhu ruang dan menahan polusi suara kendaraan di luar gedung dengan cukup baik. 04 RANGKANG SASTRA MASYHUR- KAN LITERASI DI BIREUEN Kini, di usianya yang ketujuh Rangkang Sastra lebih fokus pada pengembangan sastra dan teater dengan sasaran anak-anak. 12 PERNAK-PERNIK PIDIE Banyak hal tentang Pidie yang selama ini cuma kita dengar sebagai ‘kabar angin’ terjawab dalam buku ini. 15

Transcript of INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar...

Page 1: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

INVENSI ACEH UNTUK DUNIA

Temuan demi temuan, pengembangan demi pengembangan terus bermunculan sebagai tanda bahwa masyarakat Aceh juga mampu menjadi inovator bahkan inventor.

ARPUS.ACEH.GO.ID

MENUJU ACEH CARONG DAN BERTAMADUN

GEMERLAP KREATIVITAS LITERASI DINAS ARPUS PADA PKA 7

Dinas Arpus Aceh menghadirkan aneka kegiatan literasi kreatif yang dimulai sejak 7 hingga 15 Agustus 2018.

08 13

NOMOR 1 EDISI 2TAHUN 2018

SEKOLAH ALAM, SEKOLAH TANPA SERAGAM

Sekolah alam tak memiliki baju se-ragam. Aktivitas belajarnyapun lebih banyak berada di luar ruangan.

POJOK WARNA-WARNI LITERASI

Perpustakaan Wilayah Aceh mem-perhatikan pencahayaan, suhu ruang dan menahan polusi suara kendaraan di luar gedung dengan cukup baik.

04

RANGKANG SASTRA MASYHUR-KAN LITERASI DI BIREUEN

Kini, di usianya yang ketujuh Rangkang Sastra lebih fokus pada pengembangan sastra dan teater dengan sasaran anak-anak.

12

PERNAK-PERNIK PIDIE

Banyak hal tentang Pidie yang selama ini cuma kita dengar sebagai ‘kabar angin’ terjawab dalam buku ini.

15

Page 2: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201802 JURNALISME WARGA

PENGARAH: drh. IRWANDI YUSUF, M. Sc.; H. Ir. NOVA IRIANSYAH, M.T.; Drs. DERMAWAN, M.M. | PEN-ANGGUNG JAWAB: Dr. WILDAN, M. Pd. | PEMIMPIN REDAKSI: IHAN NURDIN | REDAKTUR: HERMAN RN | REPORTER: AYU ‘ULYA, RAIYANA PUTRI, YELLI SUSTARINA | FOTOGRAFER: HAYATULLAH PASEE | TATA LETAK: IQBAL RIDHA | KONSULTAN MEDIA: YARMEN DINAMIKA.

TA B LO I D

ALAMAT REDAKSI/SIRKULASI: Tabloid Iqra, Kompleks Gedung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Aceh, Jalan T. Nyak Arief, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia. TELEPON: 0651-7552323. EMAIL: [email protected]. WEBSITE: www.arpus.acehprov.go.id.

Tabloid Iqra diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh. Redaksi menerima kritik, saran, opini, dan kontribusi naskah, ilustrasi, dan foto/gambar terkait misi tabloid untuk menyosialisasikan hal-hal terkait literasi dan kearsipan di berbagai aspek sebagai bagian dari upaya membangun sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, dan mencerdaskan dalam rangka mewujudkan Aceh Carong, Aceh Meuadab, Aceh Hebat, dan SIAT. Syarat: lampirkan fotokopi/scanning identitas diri (KTP/SIM) dan pernyataan keaslian naskah/gambar/foto/ilustrasi minimal 300 dpi. Naskah/gambar/foto dikirimkan dalam bentuk elektronik.

50 Mahasiswa ISBI Dilatih

Jadi Jurnalis Kampus

JANTHO - Kam-pus pun memer-lukan jurnalis agar kegiatan-kegiatan di ling-

kungan kampus bisa terekspose ke luar, baik melalui siaran pers (press release), maupun den-gan mengunggahnya ke website almamater. Pe-mikiran itulah yang men-dasri Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh menggelar workshop ju-rnalistik di Gedung Seni Pertunjukan ISBI Aceh, Kota Jantho, Aceh Besar, Selasa (27/11/2018).

Pelatihan itu diikuti 50 mahasiswa dan se-jumlah dosen ISBI. Work-shop dimaksudkan untuk mencetak kader jurnalis di kampus yang berlo-kasi di Kota Jantho itu, minimal mereka mam-pu menulis siaran pers (press release).

“Setelah peserta mampu menulis press release dan berita, pelatihan ini akan dilan-jutkan dengan teknik menulis feature dan ar-tikel opini,” kata Kepala Humas ISBI Aceh, Nurul Aflah SIkom. Menurut alumnus Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Uni-versitas Syiah Kuala ini, pelatihan jurnalistik dan literasi akan dilakukan beberapa kali di ISBI ta-hun ini maupun tahun depan sampai terben-tuknya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers di kampus negeri terse-but.

Ini sesuai dengan ke-inginan Rektor ISBI Aceh, Dr. Ir. Mirza Irwansyah, M.L.A. Saat membuka workshop jurnalistik itu, Mirza mengatakan dalam waktu dekat ISBI akan membentuk UKM Pers. “Dengan demiki-an, jurnalistik cetak dan

online, fotografi, serta boradcasting akan lebih berkembang di kampus ini,” ujarnya.

Menurut Mirza, keterampilan menulis sangat penting dikuasai oleh mahasiswa, seperti halnya dosen, karena kampus merupakan lembaga ilmiah yang ha-rus melahirkan berbagai karya tulis. Baik yang sifatnya ilmiah maupun yang ilmiah populer. “Kampus juga melak-sanakan banyak keg-iatan yang layak diek-spose di media massa. Pantas kalau di kampus pun dicetak kader-kader jurnalis yang diharap-kan bisa berkolaborasi dalam pemberitaan dengan para jurnalis di media mainstream,” ujarnya.

Rektor juga me-nyebut bahwa menulis itu merangsang kecer-dasan. Ia juga mengutip pendapat Pramoedya Ananta Toer yang me-nyatakan menulis itu puncak kecerdasan dan menulis juga bekerja un-tuk keabadian.“Untuk kemajuan ISBI ke de-pan maka keterampilan menulis itu sangat pent-ing dikuasai civitas aka-demikanya,” kata Mirza.

Workshop tersebut mengusung tema Menu-lis Kreatif di Era Milenial. Pada pelatihan tahap I itu hanya diajarkan dua materi, yakni Teknik Penulisan Berita oleh Redaktur Pelaksana Har-ian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika, dan materi tentang Bahasa Indonesia Ragam Jurnal-istik disampaikan oleh Drs. Yusri Yusuf, M.Pd., Wakil Rektor I ISBI Aceh yang juga dosen Bahasa dan Sastra Indonesia.[ika]

MUDAHNYA MENEMUKANMAKANAN HALAL DI NEW YORK

LAPORAN AULA ANDIKA FIKRULLAH AL BALAD (Mahasiswa Master of Science in Instructional Technology, Le-high University USA, dan Ang-gota FAMe Banda Aceh) mel-aporkan dari Amerika Serikat

SALAH satu tantan-gan yang sering di-hadapi pelancong muslim di luar negeri adalah makanan ha-

lal (halal food). Tak jarang ada yang rela membawa makanan dari rumah, sekadar memak-an roti, atau bahkan mena-han lapar demi menghindari makanan yang dilarang dalam agama (bangkai binatang, babi, atau anjing).

Namun, kekhawatiran itu tak berlaku saat saya berkunjung ke Kota New York, Amerika Serikat. Meski penduduk muslim di pusat ekonomi Amerika ini hanya 1,1 persen dari total populasi umat beragama, bukan be-rarti makanan berlabel halal susah didapat. Soalnya, ge-rai kecil berlabel halal food sangat mudah ditemukan di sepanjang ruas jalan.

Pengalaman ini turut saya rasakan langsung sesaat ses-udah rapat dengan agenda yang begitu menguras pikiran dan emosi bersama Duta Be-sar Ukraina dan Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di masing-masing kan-tornya. Lalu saya bersama UN Youth Representative yang masing-masing terdiri atas dua pemuda asal Rusia dan dua pemuda asal Amerika me-milih mencari cemilan di seki-tar Gedung PBB yang terletak 1st Avenue New York City, Amerika Serikat.

Awalnya salah satu di anta-ra kami ingin menikmati sepo-tong pizza di salah satu kedai. Namun, saya dan Tamerlan,

pemuda asal Rusia yang beragama muslim, menawarkan kedai dengan label halal untuk disinggahi. Tak butuh waktu lama untuk kami menemukan kedai berlabel halal. Sebuah mobil box berukuran 3x10 me-ter cat hitam dengan balutan stiker kebab ala Middle East, dan tulisan Arab bertuliskan halal di setiap sudut mobil bagian belakang tampak se-dang terparkir di seberang jalan yang sedang kami lalui. Tapi, ketiadaan zebra cross di area itu menghalangi kami ke sana. Tak jauh kaki me-langkah, sekitar 50 meter dari mobil itu terparkir, kembali terlihat sebuah mobil dengan ukuran lebih kecil berdiri di tepat di depan sebuah pusat perbelanjaan. Tulisan ‘halal’ dan ‘masyaallah’ dalam ba-hasa Arab sangat mudah ter-deteksi oleh mata saya. Saya pun menawarkan itu kepada teman lainnya.

Lantas, kami memilih mobil ini untuk menikmati beberapa sajian makanan. “Assalamualaikum, akhi,” ucap saya kepada seorang pria berperawakan 40 tahu-nan itu. “Wa’alaikumussalam warahmatullah wabaraka. Alhamdulillah,.” jawabnya sambil menawarkan beber-apa makanan yang ia miliki. Terlihat dari logat ucapan salam yang dijawab olehnya dan bahasa Inggris yang di-gunakannya tampak bahwa pria ini keturunan Timur Ten-gah. Hal ini semakin terbukti dari varian makanan yang tersedia umumnya berciri khas negara padang pasir. Sebut saja kebab ayam, nasi ayam kari, dan lain-lain. Hal yang membuat saya semakin bersyukur adalah harga yang ditawarkan untuk satu porsi

makanan sangatlah mu-rah untuk kota sebe-sar New York, yakni satu porsi dihargai sebesar $5 atau Rp

72 ribu dan paling ma-hal $6. Harga ini terting-

gal jauh jika kita makan di restoran yang mana harganya bisa mencapai ratusan dolar sekali makan. Selain murah, jumlah yang disediakan oleh pemilik gerai halal ini pun san-gatlah banyak. Sebagai orang Aceh, saya sampai kewalahan menghabiskannya.

Mudahnya menemukan kedai berlogo halal di New York secara tidak langsung telah menjadi destinasi wisa-ta tersendiri bagi New York. Hal ini terbukti, hampir di se-tiap gerai halal yang terparkir di pinggir jalan Kota New York selalu dibanjiri pembeli. Seb-agai buktinya, saat saya coba menelusuri keyword halal food maka mesin pencari Google akan memberikan ri-buan pilihan tempat.

New York bukanlah kota yang didominasi oleh pen-duduk muslim. Meski demiki-an, makanan halal sangatlah mudah dijumpai di sini. Ham-pir setiap sudut avenue akan terlihat kedai berlabel halal.

Mengamati apa yang ter-jadi di lapangan, saya berkeya-kinan besar bahwa pertum-buhan muslim akan semakin pesat di New York dan ten-tunya gerai-gerai halal akan semakin membanjiri kota ini.

Walau demikian, saya masih tetap optimis bahwa pusat makanan halal dan in-dustri wisata halal tidak akan beralih ke daerah lain selain Aceh, tanoh lon sayang. Ayo, kita bersama-sama memban-tu Pemerintah Aceh dalam memajukan destinasi wisata halal Aceh. ([email protected])

VARIA LITERASI

Page 3: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201803

INI DIA KOMUNITAS LITERASI DAN SASTRA DI BANDA ACEH DAN ACEH BESAR

No Nama Komunitas Alamat Kabupaten/ Kota Pengelola Narahubung

1 Kampung Dongeng Aceh Jl. T. Usman Ulee Kareng Banda Aceh Siti Nur 0813 9744 0278

2 Bahasa Indonesia bagi Penu-tur Asing (BIPA)

Gedung Leuser, Jl. Tengku Syeikh Abdul Rauf Nomor 8 Banda Aceh

3 Komunitas Anak Sastra Tanah Aceh (KASTA)

Universitas Syah Kuala, Taman AAC Dayan Dawood, Darussalam Banda Aceh Riki 0853 6061 6959

4 Gemasastrin Universitas Syah Kuala, Taman AAC Dayan Dawood (FKIP) Syiah Kuala Banda Aceh Yola 0813 7702 0470

5 Rumah Cahaya FLP Wilayah Aceh

Jl. T. Syarif Nomor 7-E, Gampong Jeulingke, Syiah Kuala Banda Aceh Neli 0823 0400 4803

6 Forum Aceh Menulis (FAMe) Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Lr. Tunggai IV Gampong Lamgu-gop, Syiah Kuala

Banda Aceh Riri Istafa Najmi 0852 7771 1106

7 Rumah Relawan Remaja Jl. Peukan Bada-Ulee Lheue, Peukan Bada Aceh Besar Rahmiana Rahman 0853 9609 0977

8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808

9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di belakang Hotel Hermes], Lambhuk Banda Aceh Issana Burhan 0811 6810 224

10 Tikar Pandan Geuce Ineum, Banda Raya Banda Aceh Fauzan Santa 0852 7736 9616

11 Drah Aceh Lr. Lampoek Young Nomor 23b, Tanjung Selamat, Syiah Kuala Banda Aceh

12 Aceh Membaca Keude Kupi Aceh Jeumpa st, (di belakang Hotel Hermes), Lambhuk Banda Aceh Marjan 0852 8855 2166

LAPORAN YELLI SUSTARINA

BUDAYA literasi di Indonesia belum menjadi sesuatu yang membang-gakan, karena me-

mang belum membudaya di masyarakat Indonesia. Dari 72 negara yang dinilai berdasar-kan penelitian yang dipublika-si Programme for Internation-al Student Assessment (PISA), literasi masyarakat Indonesia

berada pada peringkat kedua terburuk dari 65 negara yang diteliti di dunia.

Hal ini tentu menjadi te-guran keras bagi kita semua bahwa betapa lemahnya pemahaman literasi bangsa ini. Akibat lemahnya literasi masyarakat Indonesia tak her-an kalau informasi hoaks pun berkembang pesat di Indone-sia. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi di media massa membuat penyeberan berita hoaks semakin mudah

berkembang sehingga perlu kecerdasan dan keterampi-lan literasi untuk menangkal semua hoaks tersebut.

Literasi merupakan ke-mampuan seseorang untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan men-gomunikasikan isi pesan di media. Keterampilan literasi biasanya diajarkan di seko-lah melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) seperti ket-erampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan

menulis. Namun, untuk me-ningkatkan kemampuan lit-erasi masyarakat Indonesia juga harus didukung oleh gerakan literasi yang berada di komunitas.

Oleh karena itu, saat ini Aceh mulai membangunkan komunitas literasi dan sastra sebagai wadah belajar ma-syarakat. Walaupun belum terlalu banyak, tapi beberapa komunitas literasi sudah mu-lai tumbuh dan berkembang di Banda Aceh dan Aceh Be-

sar. Kepala Dinas Per-

pustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr Wildan MPd beren-cana tahun depan dinas yang ia pimpin akan melakukan penelitian tentang perseba-ran komunitas literasi di se-luruh Aceh. Dimulai dari Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Berikut nama-nama komunitas yang terda-ta di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, dua daerah yang bertetangga.[]

DINAS ARPUS ACEH BEDAH EMPAT BUKU

BANDA ACEH - Sejak medio hingga akhir November 2018 Di-nas Perpustakaan dan Kearsipan (Ar-

pus) Aceh membedah empat buku karya empat penulis Aceh yang diterbitkan dinas tersebut tahun 2017. Acara ini dihadiri para pustakawan, akademisi, mahasiswa, pegawai negeri sipil (PNS), masyarakat umum hingga pemilik dan pengelola toko buku.

Keempat buku itu dibedah atau diresensi pada tanggal berbeda di Hotel Kryiad Mu-raya, Banda Aceh, dan dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas

Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr Wildan MPd.

Buku pertama dibedah pada Kamis (15/11) berjudul Panduan Shalat Paling Leng-kap Sesuai Amalan Kaum Ah-lussunnah Waljamaah Mazhab Asy Syaafi’i. Buku karya Guru Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Tgk Musliadi ini dibedah oleh Dekan Fakultas Hukum dan Syariah UIN Ar Ra-niry, Banda Aceh, Dr Muham-mad Siddiq Armia MH.

Pembedah menilai buku tersebut memang berisi pan-duan shalat paling lengkap. Be-gitupun, Dr Muhammad Siddiq memiliki sejumlah catatan dan

ada tiga buku lainnya yang su-dah dicetak Dinas Arpus Aceh pada 2017 untuk dibedah di tempat yang sama.

Tiga buku lainnya itu adalah karya Fairus M Nur Ibrahim ber-judul Qalbu Bukan Hati; Mencari Makna Hati dan Qalbu di Antara Arti arti yang Ambigu. Buku ini dibedah oleh Redaktur Pelak-sana Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika, pada Kamis (22/11).

Kemudian buku karya Cut Dira Miranda, Ulfa Khairina, dan Khiththati berjudul Man-tra Awan. Buku antologi puisi ini akan dibedah oleh Dosen Program Studi Bahasa dan Sas-tra Indonesia FKIP Unsyiah, Dr Mohd Harun Al Rasyid MPd, Selasa (27/11).

Terakhir, buku karya Abdul Qaiyum berjudul Rumah Ya Rabbi. Buku ini akan dibedah oleh Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Dr Jarjani Usman MS, Kamis (29/11).[ika]

saran untuk penyempurnaan buku tersebut, sebelum ia rekomendasikan bahwa buku setebal 294 halaman itu perlu dicetak ulang karena sangat berguna bagi umat Islam. Ter-lebih bagi bocah dan remaja muslim yang mulai belajar tata cara shalat yang benar.

Saat membuka acara bedah buku itu, Dr Wildan mengucap-kan terima kasih dan mengapr-esiasi Tgk Musliadi yang sudah berhasil menulis buku ini den-gan bahasa yang mudah dipa-hami semua kalangan.

“Kami berharap semakin banyak lahir penulis penulis di Aceh dari semua kalangan, apa-lagi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh membutuhkan buku-buku berkonten lokal. Si-lakan naskah tulisannya diaju-kan ke kami untuk dinilai oleh tim kami. Jika layak maka akan kami cetak dan bedah seperti saat ini,” kata Wildan.

Wildan menyebutkan pada tahun 2018 ini, Pemerintah

Aceh melalui dinas yang dip-impinnya hanya menyediakan anggaran untuk tujuh judul buku. Namun, naskah yang masuk delapan judul dan tujuh di antaranya sedang dinilai oleh tim di dinas tersebut.

“Kami berharap ke depan Pemerintah Aceh tidak lagi membatasi anggaran dengan nilai yang sama untuk setiap buku yang dicetak. Misalnya anggaran untuk satu judul semua Rp 15 juta, baik itu buku tebal maupun buku tipis. Kan tak mungkin juga seperti itu. Belum lagi untuk honor penu-lis guna menumbuhkan minat menulis. Biarlah tim yang me-nilai,” harap Wildan.

Wildan juga menambahkan bahwa dalam waktu dekat, pi-haknya juga akan meluncurkan aplikasi perpustakaan digital, sehingga semua buku di Dinas Arpus Aceh juga bisa dibaca se-cara online.

Menurut Wildan, selain buku hasil karya Tgk Musliadi,

VARIA LITERASI

Yarmen Din-amika, Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia yang juga Pembina Forum Aceh Menu-lis (FAMe) sedang membedah buku Fairus M Nur Ibra-him berjudul “Qa-lbu Bukan Hati”.

Page 4: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201804

Pojok Warna-warni Literasi

LAPORAN AYU ‘ULYA

DEBU, deru kenda-raan, dan terik mentari meru-pakan tiga kombi-nasi yang mutlak

akan kita hindari saat ingin melarutkan diri dalam sebuah bacaan di suatu tempat. Na-mun uniknya, posisi gedung sementara Perpustakaan Wilayah (Puswil) Aceh, peng-ganti perpustakaan yang kini sedang dalam proses pem-bangunan, dari luar terlihat seakan mengamini ketiga karakter tersebut.

Pintu sorong besi dua sisi (folding gate) pada gedung tiga tingkat yang diapit oleh rumah sakit dan bank itu ter-letak sangat dekat dengan jalur jalan utama yang begitu bising. Awalnya, timbul se-cuil kesangsian di dalam hati akan fungsi Puswil sementara tersebut. Akankah perubahan posisi dan mengecilnya ruang perpustakaan milik Pemer-intah Aceh itu kini justru me-nyurutkan minat masyarakat, terutama anak-anak, untuk bertandang ke perpustakaan atau tidak sama sekali?

***

Kamis, 27 September 2018. Dalam paparan sinar mataha-ri yang begitu terik, dengan mengendarai motor, saya menelusuri deretan gedung-gedung di sepanjang jalan Teuku Nyak Arief, Banda Aceh, secara perlahan. Sembari me-nyoroti satu per satu dari be-

dapat berbagai lukisan penuh keceriaan pada dinding-din-ging perpustakaannya. Dit-ambah lagi aura warna-warni yang dipancarkan sebuah po-jok baca berukuran 7x3 me-ter yang dikhususkan untuk bahan literasi anak-anak. Mau tak mau, saya harus merun-tuhkan asumsi kesangsian se-belumnya akan kelayakan ge-dung perpustakaan tersebut. Kemudian dengan tulus saya harus akui bahwa gedung itu cukup nyaman untuk disebut sebagai perpustakaan wilayah sementara. Minimal hingga ta-hun 2020 nanti, ketika gedung Perpustakaan Aceh resmi difungsikan kembali setelah mengalami rehab total.

POJOK REKREASI LITERASI

Dalam gedung per-pustakaan sementara itu, po-jok rekreasi literasi tentunya tak seluas dulu. Fasilitas beru-pa tempat lesehan, panggung dongeng, dan ragam media coret bagi anak-anak juga tak terlihat lagi keberadaannya.

Menurut keterangan seorang pegawai per-pustakaan, keterbatasan luas ruangan perpustakaan saat ini yang menjadi penyebab dihilan-gkannya fasilitas-fasilitas terse-but untuk sementara waktu. Namun, sekalipun dalam keter-batasan, pojok literasi ini tetap diminati pengunjung. Bahkan, menurut data perpustakaan terkini, tak kurang dari 20 anak bertandang setiap minggunya. Walau pojok ini dikhususkan untuk anak-anak usia PAUD hingga SD, masih terlihat be-berapa remaja yang singgah ke pojok tersebut untuk menikma-ti ragam bacaan yang tersedia.

Mengutip penuturan Lisa Siska Dewi, Kepala Seksi Lay-anan Perpustakaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, akhir pekan merupak-an momen tersendiri bagi anak-anak untuk belajar dan bermain di pojok literasi per-pustakaan. “Walau di hari lain mereka sibuk sekolah, tapi anak-anak tetap dapat menik-mati bahan bacaan dengan meminjam maksimal dua buku untuk dibawa pulang selama dua pekan,” terang Lisa.

Menurut para pegawai perpustakaan lainnya, selain buku bacaan umum, anak-anak juga kerap menanyakan ketersediaan buku pelajaran sekolah, seperti buku tematik, di Puswil Aceh ini. Tapi sayang-

nya, bacaan semacam itu tidak tersedia.

Buku pelajaran sekolah ti-dak tersedia di perpustakaan provinsi ini dikarenakan buku sekolah masuk dalam ranah perpustakaan sekolah. Pen-gadaannya pun didukung oleh dana BOS, sehingga bukan tanggung jawab per-pustakaan wilayah setempat untuk menyediakannya.

MAGANG DI PERPUSTAKAAN

Kasi Layanan Per-pustakaan yang akrab disapa Caca, juga memberikan infor-masi terbaru terkait program kegiatan perpustakaan bagi anak-anak sekolah. Menurut-nya, selain kegiatan memba-ca, bercerita, dan meminjam buku, terdapat pula kerja sama baru yang sedang disusun antara pihak perpustakaan dengan pihak sekolah dasar setempat.

Kegiatannya berupa kes-empatan yang diberikan kepa-da anak sekolah dasar untuk melaksanakan magang di per-pustakaan. Magang tersebut dimaksudkan untuk melatih kemandirian dan partisipasi mereka sehingga diharapkan dapat membuat anak-anak merasa lebih akrab dengan lingkungan perpustakaan.

“Sebaiknya anak-anak dibiasakan akrab dengan ling-kungan perpustakaan sejak dini. Sejak kecil diperkenalkan dengan buku sehingga ketika sudah kenal, mereka akan say-ang,” ujar Caca yang berasal dari Aceh Barat.

Sebagai informasi tam-bahan, Caca juga menjelas-kan bahwa untuk sementara waktu, Puswil Aceh tidak menyediakan layanan malam. Namum, jadwal aktivitas per-pustakaan tetap berlaku se-tiap hari. Dari hari Senin hingga Minggu. Untuk Senin sampai Jumat, perpustakaan dibuka sejak pukul 08.00-12.00 WIB, lalu istirahat dan kemudiaan layanan disambung kembali dari pukul 14.00 hingga 16.45 WIB. Sedangkan untuk jad-wal akhir pekan, Sabtu dan Minggu, perpustakaan dibuka sejak pukul 09.00 hingga 12.00 WIB, lalu istirahat dan kemu-dian disambung kembali pada pukul 14.00 hingga 16.00 WIB. Artinya, meski dalam kondisi sementara (darurat), sebet-ulnya jam pelayanan Puswil Aceh ini tetap saja lumayan panjang. []

lasan gedung berdempetan yang sekilas tampak serupa. Demi menemukan posisi pasti Puswil Aceh yang terletak di antara deretan warung kopi, bank, rumah sakit, bahkan tempat kursus.

Tak seberapa lama, sebaris spanduk merah terang berter-akan tulisan 73th Dirgahayu Indonesia yang tersemat di ujung kanopi parkiran menga-lihkan pandangan saya. Persis di sampingnya, terdapat pam-plet seukuran 2x1 meter bertu-liskan: Gedung Perpustakaan, Dinas Perpustakaan dan Ke-arsipan Aceh. Gedung yang sedari tadi saya cari tahu ke-beradaanya, akhir saya temu-kan.

Dari wujud luarnya, ge-dung Puswil tersebut sama sekali tidak tampak berbeda dengan deretan pertokoan kebanyakan. Dari jauh, sua-sana gedung tampak sunyi. Hanya puluhan kendaraan di parkiran yang menjadi per-tanda bahwa di dalam gedung yang terkesan sepi itu sebena-rnya ramai penghuni.

Pukul 14.30 WIB, selepas memarkirkan motor, saya

mengamati layar ponsel sembari melangkah menuju ruang perpustakaan yang di-sulap dari gabungan dua ruko (rumah toko) tanpa sekat. Kedatangan saya disambut oleh dua bilah mesin penyen-sor buku yang akan berbunyi bip, bip, bip, jika terdapat buku perpustakaan yang dibawa ke luar-masuk tanpa izin peminja-man.

Awalnya, saya merasa heran melihat pintu sorong besi selebar empat meter yang hanya dibuka satu depa sehingga jalur pintu untuk ke luar dan masuk ruangan cuma ada satu. Namun, setiba di dalam gedung, bagaikan Alice in Wonderland yang terlempar ke dunia baru, saya mulai me-mahami fungsi dan strategi penyulapan gedung tersebut sebagai sebuah perpustakaan mini.

Walau terkesan sederha-na, perpustakaan ini memper-hatikan pencahayaan, suhu ruang dan menahan polusi su-ara kendaraan di luar gedung dengan cukup baik. Bahkan, ternyata di balik gelapnya pin-tu sorong besi tersebut, ter-

You can find magic wherever you look. Sit back and relax, all you need is a book.

DR. SEUSS

POJOK KREASI

Page 5: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201805 LAPORAN UTAMA

Invensi Aceh untuk DuniaLAPORAN HERMAN RN DAN AYU ‘ULYA

APA yang tidak mungkin di zaman serbamungkin ini? Dulu, orang ma-sih berkirim surat

menggunakan kertas dan jasa pos. Lalu, bergerak maju, su-rat tak mesti lagi ditulis di atas kertas, tetapi cukup meng-gunakan komputer dan tanpa jasa pos. Surat yang dikirim tersebut dinamakan surat ele-ktronik atau e-mail.

Seiring perkembangan za-man, komunikasi elektronik pun bertambah maju. Jika se-belumnya komunikasi lintas-maya semisal berbalas e-mail hanya bisa dilakukan saat di depan komputer, kini semua itu dapat diselesaikan melalui handphone kapan saja dan di mana saja. Berbagai macam fitur teknologi sudah ada di telepon genggam sehingga berbalas pos elektronik, chat-ting, termasuk memublikasi-kan artikel dapat diselesaikan seketika.

Semua ini merupakan in-vensi dan inovasi manusia seb-agai makhluk yang senantiasa iqra (membaca dan belajar). Invensi (reka cipta) didefinisi-kan sebagai penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada. Sementara itu, pengemban-gan terhadap suatu temuan dari yang sudah pernah ada se-belumnya dinamakan inovasi.

Temuan demi temuan canggih dan pengembangan yang terus bergerak sesuai ke-butuhan zaman ini terus terjadi sepanjang usia bumi. Bahkan, untuk hal-hal yang dulu diang-gap mustahil atau impossible, kini bisa possible.

Dulu, orang memesan makanan dengan datang langsung ke restoran. Jikapun

dilakukan melalui telepon, si pemesan makanan tidak bisa melihat langsung menu apa saja yang terdapat di restoran terse-but. Sekarang, menu makan-an sudah tersedia di rumah masing-masing, restorannya pun dapat dipilih sesuai selera tanpa harus datang ke lokasi. Hanya dengan menekan satu tombol saja, makanan apa yang diinginkan dan dari restoran mana pun bisa sampai ke de-pan pintu rumah kita. Anda lapar dan malas ke luar rumah? Ada gofood sebagai solusinya.

Begitulah dunia sekarang. Teknologi menjawab segalan-ya, termasuk untuk hal-hal yang sudah menjadi kodrat alam sekali pun dapat dijawab oleh teknologi. Matahari,misalnya, sumber energi ini memang tidak dapat ditandingi, tetapi pemanasan dan pengeringan seperti cahaya matahari sudah mulai bisa diciptakan. Seka-rang, mengeringkan sesuatu selayaknya tenaga surya dapat dilakukan tanpa harus menung-gu siang. Ada alat teknologi ter-tentu yang menyimpan cahaya surya di siang hari lalu akan me-nyala di malam hari.

Selain itu, pengering buatan dengan bantuan tenaga surya pun sudah mulai dapat dicip-takan. Dosen dan mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dalam Program Pengabdian Kemi-traan Masyarakat di Gampông Patek, Aceh Jaya, telah berhasil menerapkan transfer teknolo-gi pengering tenaga surya. Ma-syarakat tidak lagi mesti men-jemur ikan asin atau lainnya di bawah sinar matahari, tetapi bisa menggunakan alat ini.

Alat transfer tenaga surya itu telah diuji oleh dosen dan mahasiswa Unsyiah pada ma-syarakat pengusaha pengolah ikan asin, ikan peda, dan keu-mamah (ikan kayu). Terbukti,

pengering tenaga surya dapat ditransfer menggunakan alat teknologi. Dengan teknologi ini, masyarakat tentunya tidak perlu khawatir dengan usaha penjemuran ikan asin mereka yang suatu waktu terkendala cuaca.

“Tahun ini, kita menyem-purnakan desain dan perbai-kan exhaust fan di outletuda-ra. Prinsip kerja alat ini sangat sederhana dan tepat guna. Dinding yang menggunakan akrilik menangkap panas dan meningkatkan suhu udara di dalam alat,” ujar Diswandi Nurba, salah seorang anggota tim pengabdian sebagaimana dikutip dariHarian Serambi In-donesia (12/9/2018).

Tahun ini, dosen dan ma-hasiswa Unsyiah juga berhasil membuat karya inventifhaba translator. Alat ini merupakan temuan baru berupa alat pen-erjemah bahasa isyarat bagi tunarungu dan tunawicara. Alat ini bekerja menggunakan sensor fles dan mikrokontroler

sebagai komponen pendeteksi gerakan jari.

Benda yang berbentuk sarung tangan ini dapat digu-nakan oleh semua jenis kelamin dan usia. Temuan baru dalam bidang teknologi ini mendapat sambutan dan apresiasi yang tinggi dari Bapak Teknologi In-donesia, BJ. Habibie.

DARI ACEH UNTUK DUNIA

Pengering tenaga surya dan haba translator hanya se-bagian kecil inventif ureueng Acehuntuk Indonesia bahkan untuk dunia. Temuan-temuan baru akan terus dilakukan oleh peneliti, dosen, mahasiswa, bahkan siswa-siswa di Aceh. Hal ini untuk menjawab tan-tangan dunia di era Revolusi Industri 4.0 ini.

Dalam bidang pendidi-kan, Aceh telah menyumbang invensi magic five fingers. Metode mudah berbicara dalam bahasa Inggris ini dite-mukan oleh seorangInterna-tional Master Trainer, Drs. Syah-ban Ahmad, M.M. Teknologi ini telah mendapatkan hak paten intelektual atas namanya.

Hal yang lebih dahsyat adalah hak paten Georadar In-ternational atas nama Prof. Dr. Teuku Abdullah Sanny, M.Sc. Pakar underground city ini ber-hasil menemukan dan mencip-takan sebuah alat pendeteksi sejarah kerajaan. Benda yang diberi nama Ground Penetrat-ing Radar (GPR) ini berhasil mendeteksi bekas Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Gampông Pande.

Selain inventif, masyarakat

Aceh juga mampu melakukan inovasi. Hal ini bahkan telah di-buktikan oleh seorang remaja sekolah tsnawiah asal Langsa, Naufal Raziq. Ia melakukan pengembangan terhadap teknologi listrik yang pernah ada sebelumnya. Naufal berha-sil membuat tenaga listrik dari pohon kuda-kuda (bak keudon-dong pageue). Ia melakukan inovasi ini di saat usianya masih 13 tahun.

Naufal, sebagaimana di-lansir banyak media, saat itu berusaha mencoba tenaga lis-trik pada beberapa pohon yang mengandung zat asam. Na-mun, ia baru berhasil menun-taskan eksperimennya pada pohon kuda-kuda. Percobaan-nya itu pun baru membuahkan hasil setelah lebih delapan kali diuji.

Temuan demi temuan, pengembangan demi pengem-bangan tersebut terusbermun-culan sebagai tanda bahwa masyarakat Aceh juga mampu menjadi inovator bahkan inven-tor. Hal ini pula yang diharap-kan Pelaksana Tugas (Plt) Gu-bernur Aceh, Nova Iriansyah, M.T., dalam pidato pembukaan Hari Pendidikan Daerah (Har-dikda) Aceh, 2 September 2018 di Lapangan Tugu Darussalam, Banda Aceh.

“Melalui momentum Har-dikda ini, kita perteguh tekad generasi muda untuk melahir-kan karya-karya yang kreatif, inovatif, dan inventif,” ujarnya.

Ya, itulah harapan kepala daerah dan seluruh rakyat Aceh dan itu pula yang akan menjadi bakti Aceh untuk dunia. []

Prinsip kerja alat ini sangat sederhana dan tepat guna. Dind-ing yang meng-gunakan akrilik menangkap panas dan meningkat-kan suhu udara di dalam alat

Adnan Ganto, Penasihat Menteri Pertahanan RI Bidang Ekonomi, sedang presentasi tentang Tantangan dan Peluang Revolusi Industri 4.0 pada pertemuan ke-60 FAMe di Gedung Arpus Aceh, Selasa (27/11/2018).

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah memberi arahan saat Irup Hardikda di Lapangan Tugu Unsyiah. (Dok. Humas Pemerintah Aceh)

Page 6: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

06DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 2018

Generasi Literasi Menyambut Industri 4.0

Industri 4.0 sudah di am-bang mata. Di berbagai seminar kekinian, tema ini kerap diangkat sebagai topik. Tak terkecuali oleh

komunitas Forum Aceh Men-ulis (FAMe) Banda Aceh. Se-bagai komunitas penggerak literasi, FAMe agaknya jauh-jauh hari mulai mempersiap-kan para anggotanya untuk menyambut fase berikutnya dari perubahan zaman terse-but.

Dalam pertemuan ke-60 FAMe di Aula Dinas Per-pustakaan dan Kearsipan Provinsi Aceh pada Rabu, 28 November 2018, bankir dunia Dr. H. Adnan Ganto, M.B.A. mengangkat topik bahasan tentang revolusi industri 4.0.

akan terjadi distrupsi secara cepat dan besar-besaran, khususnya terhadap cara mendifisikan uang, dan cara memperlakukannya.

Meski di sini kami berbeda cara lihat, tapi Adnan Ganto ti-dak menampik kemungkinan terdistrupsinya bank akibat kehadiran teknologi block-chain yang menghadirkan uang atau aset digital, walau tidak dalam jangka 30 tahun. Yang jelas, sejak dini banyak bank yang mulai ramah den-gan blockchain, meski belum terlalu ramah dengan digital currency-nya.

Adnan Ganto juga meng-ingatkan efek yang perlu diwaspadai dari era industri 4.0 yaitu hilangnya privasi se-seorang akibat penyebaran data digital secara mudah. Tiada lagi tempat bagi data untuk disembunyikan. Tapi, bagi saya, jika dunia mau menghilangkan bahaya ko-rupsi, maka pilihannya adalah bersiap dengan tranparansi radikal.

Selama ini, akibat keti-adaan transparansi radikal karena sifat internet yang masih tersentralisasi selalu

mampu membuat pelaku kejahatan menemukan cara melakukan korupsi, termasuk kejahatan lainnya di dunia in-ternet. Untuk itu, kehadiran blockchain dengan sifatnya yang terdesentralisasi adalah solusi.

Terlepas dari perbedaan, ulasan Adnan Ganto tentang Era Industri 4.0 dalam diskusi yang dipandu Yarmen Dinami-ka, itu adalah pesan kunci bagi Aceh untuk segera memper-siapkan diri agar berkah dari perubahan yang dipicu oleh teknologi ini dapat berman-faat bagi menurunkan angka kemiskinan, bukan hanya 1 persen per tahun, tapi lebih.

Tindakan yang perlu di-lakukan adalah mulai berk-erja secara eksponensial bukan secara linier lagi, dan ini menuntut semua stake-holder di Aceh untuk akrab dengan teknologi sehingga dapat menghadirkan ragam inovasi yang menjamin had-irnya pelayanan publik yang makin cepat, murah, aman, transparan, akuntabel, dan melibatkan banyak pihak.[]

*CEO aceHTrend

O L E H R I S M A N A R A C H M A N

Sebelumnya, di Unsyiah yang hadir adalah anak saya. Dia bendahara di acara Festi-val Ilmiah Ekonomi Islam yang juga dihadiri Adnan Ganto. Di FAMe, saya pula yang ha-dir, dengan topik yang sama. Sungguh, waktu bergerak cepat, apalagi dalam kepun-gan teknologi.

Saya menangkap, topik itu sebagai pesan untuk Aceh agar bersedia dan memper-siapkan diri menyambut pe-rubahan.

Pesan ini penting, sebab dalam teropongan Dewan Komisaris Morgan Bank ini, revolusi industri 4.0 ini secara fundamental akan mengubah cara hidup, cara berkerja, ter-masuk cara menjalin hubun-gan satu sama lain.

Bagi saya, jika Aceh tidak menyadari ini, maka Aceh, dalam kelakar saya, akan terus berada di era Evolusi Kemiski-nan 3.0. Suatu era di mana ger-ak turun angka kemiskinan di Aceh sangat lambat.

Bayangkan, dengan Rp64 triliun APBA (2008-2018) angka kemiskinan di Aceh masih 15,97 persen dari an-gka kemiskinan 26, 65 persen

(2007). Padahal saban ta-hun uang yang ada di Aceh (APBA+APBK+Dana Desa) ada Rp46 triliun.

Mengapa Aceh masih begini, salah satu sebabnya, meminjam ulasan Adan Gan-to, karena Aceh belum mem-buka diri untuk menyambut perubahan. Meminjam istilah Adnan Ganto, belum mampu keluar dari jebakan ego mas-ing-masing. Saya menyebut-nya karena masih mengan-dalkan kecerdasan indatu di keadaan yang menuntut be-radaptasi dengan kecerdasan buatan.

Padahal, salah satu pe-micu kita berada di ambang pintu revolusi 4.0, sebagai pin-tu masuk menuju gampong global adalah kecerdasan buatan atau yang akrab dise-but artificial intelligence (AI). Bukan hanya teknologi cang-gih ini saja, revolusi industri 4.0 juga dipicu oleh big data, e-commerce, fintech, shared economies, hingga penggu-naan robot.

Kehadiran teknologi block-chain, yang tidak disinggung oleh Adnan Ganto, menurut saya juga menjadi penyebab

LAPORAN UTAMA

Page 7: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201807

TAHUKAN ANDA?

INOVASI

Inovasi adalah penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelum-nya. Inovasi bisa dalam bentuk gagasan, metode, atau pun alat. Inovasi disebut juga pembaha-ruan atau pengenalan hal-hal yang baru. Misalnya, inovasi yang paling drastis dalam dasawarsa terakhir ini ialah pembangunan ja-ringan satelit komunikasi, di samping fiber optik.

Fiber atau serat optik adalah saluran transmisi atau sejenis kabel yang

terbuat dari kaca atau plastik yang sangat halus dan sedikit lebih tebal dari sehelai rambut, dan dapat digunakan untuk men-stranmisikan sinyal cahaya dari suatu tempat ke tem-pat lain. Sumber cahaya yang digunakan biasanya adalah laser atau LED.

Varian dari inovasi adalah inovasi produk. Ini bermakna usaha yang dijalankan untuk mencipa-takan produk baru sesuai dengan selera konsumen dan dapat meningkatkan angka penjualan.

INVENSI

Invensi adalah penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak per-nah ada. Invensi ini disebut juga reka cipta. Contoh invensi di bidang literasi adalah ditemukan sistem digitalisasi buku, sehingga buku bisa dibaca secara on-line (daring). Pembaca tidak harus datang lagi ke pustaka untuk membaca buku atau ke toko untuk membeli buku.

Contoh invensi di bidang

otomotif adalah ditemukan-nya alat pendeteksi alkohol yang dapat dipasang di dashboard mobil. Apabila pengemudi masuk ke dalam mobil dalam keadaan ma-buk (kadar alkohol di mulut atau di hidungnya di atas ambang batas toleransi) maka mesin mobil otomatis tak bisa distarter atau di-hidupkan. Dengan demikian, mobil tidak bisa dikendarai jika pengemudinya masih mabuk.

KREATIVITAS

Kreatvitas adalah kemam-puan untuk mencipta ses-uatu. Kreativitas disebut juga daya cipta. Orang yang memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk mencipta sesuatu disebut kreator. Satu hal yang perlu diingat bahwa pekerjaan yang kreatif menghendaki

kecerdasan dan imajinasi. Misalnya, bagaimana agar pengunjung atau jemaah yang berada di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh tidak kepana-san saat terik atau tidak basah saat hujan, maka dibangunlah payung-payung raksasa.

DIFERENSIASI

Diferensiasi adalah proses, cara, dan atau perbuatan untuk membedakan dari yang sebelumnya ada. Contohnya, dulu koran-koran tampil dalam format

hitam putih dengan layout seadanya. Tapi kini, hampir tak ada lagi koran yang tidak berwarna dengan tata wa-jah yang makin atraktif dan memikat.[ika]

SELANGKAH LAGI, HIKAYAT ACEH MASUK MOW UNESCO

BANDA ACEH - Hika-jat Atjeh (Hikayat Aceh), naskah kuno yang ditulis pada paruh kedua abad

17 dan diyakini sebagai karya ulama Aceh terkenal, Syamsud-din As-Sumatrani, kini sedang diperjuangkan Perpustakaan Pusat Nasional (Perpusnas) RI untuk diterima Unesco sebagai warisan Memory of the World (MoW) Tahun 2019.

Terkait dengan upaya itu, Ka-mis (25/10) siang dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) Praregistrasi Hikayat Aceh seb-agai Memory of The World 2019 di Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh. FGD yang ber-langsung dua jam itu difasilitasi oleh Redaktur Pelaksana Har-ian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika.

“FGD ini diperlukan untuk memperkaya upaya penyusu-nan naskah nominasi, karena pengusulan MoW harus dis-ertai kajian akademik. Kalau sudah dilengkapi dengan ka-jian akademik, berarti tinggal selangkah lagi Hikayat Aceh ini masuk nominasi MoW Unes-co,” kata Kepala Dinas Per-pustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr Wildan MPd saat membuka FGD yang dihadiri 20 pakar itu.

Mengawali FGD, Prof Dr Wardiman Djojonegoro (man-tan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru) dan Hermansyah MHum (Dosen Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry) tampil sebagai narasumber utama membahani para peser-ta yang notabene juga nara-sumber FGD.

Prof Wardiman yang saat ini berusia 83 tahun dengan penuh semangat membeber-kan bahwa Badan Resmi PBB untuk Urusan Pendidikan, Ilmu

Pengetahuan, dan Kebuday-aan (Unesco) akan kembali membuka pendaftaran MoW, diperkirakan pada Mei 2019. Untuk itu, Kepala Perpusnas, Dr Syarif Bando, mengusulkan dua naskah sastra kuno untuk didaftarkan (diregister) seb-agai nominee MoW dari Indo-nesia. Naskah tersebut adalah Sang Hyang Sikusa dan Hikajat Atjeh. Alasam pengajuan kare-na naskah Hikajat Atjeh terma-suk tua, merupakan warisan sastra kuno, masih tersimpan dengan baik dan aman (di Perpusnas dan di Universitas Leiden, Belanda), dan luput dari bencana tsunami.

Kepala Perpusnas, kata Prof Wardiman, juga setuju untuk mengundang Pemerin-tah Aceh menjadi salah satu co-nominator, di samping Univer-sitas Leiden. “Pemerintah Aceh diajak sebagai co-nominator agar para ilmuwannya dapat ikut aktif mengkaji pengusulan naskah ini,” kata Wardiman di-dampingi Dr Ahmad Masykuri, Kepala Pusat Reservasi Bahan Pustaka Perpusnas RI.

Menurut Wardiman, untuk ukuran sebuah manuskrip In-donesia, naskah Hikajat Atjeh itu tergolong sangat tua (ditulis antara 1650-1700), karena nas-kah di Indonesia biasanya cepat rusak akibat kelembaban yang tinggi, mengingat Indonesia negeri tropis.

MoW ini, kata Wardiman, bertujuan untuk melestarikan warisan arsip dunia dengan teknologi mutakhir dan me-ningkatkan preservasi dari arsiap-arsip yang mempun-yai arti global, maupun arsip yang mempuyai nilai regional atau nasional. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kepedu-lian para negara anggota atas arsip-arsip mereka, khususnya

arsip yang mempunyai nilai warisan dan arti global.

Narasumber lainnya, Her-mansyah MTh, MHum mer-ekomendasikan perlu adanya reproduksi naskah, alih media modern, dan sosialisasi nas-kah Hikajat Atjeh yang akan didaftarkan ke Unesco itu. Ia menyebut nakah tersebut se-bagai salah satu dari Naskah Agung Aceh yang berdasar-kan kajian Dr Hoesein Djajadin-ingrat maupun Dr Teuku Iskan-dar, diyakini sebagai karya Sy-amsuddin As-Sumatrani yang pernah menjadi Mufti Agung pada masa Kerajaan Aceh.

Aceh sendiri, menurutnya, memiliki sedikitnya 5.141 nas-kah yang sudah terdata, tapi baru 944 yang didigitalisasi. Ia berharap, naskah kuno lain-nya dari Aceh sepanjang dite-mukan naskah aslinya layak diusulkan ke Unesco sebagai MoW. Di antaranya Hikayat Raja-raja Pase yang lebih tua dibanding Hikajat Atjeh.

Aceh disebut Hermansyah sebagai lumbung manuskrip di Melayu, Nusantara. Seki-tar 6.000 naskah kuno Aceh tersebar di tangan masyara-kat dan pada beberapa lem-baga di Aceh. “Artinya, Aceh memiliki kekayaan naskah kuno atau manuskrip yang terbanyak di Nusantara, teta-pi terabaikan dan selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan pergu-ruan tinggi,” ujarnya.

Para peserta FGD itu se-luruhnya setuju jika naskah Hikajat Atjeh diregister ke Unesco untuk mendapatkan MoW tahun 2019, karena hal itu menunjukkan tingginya tamadun dan peradaban Aceh pada abad 17 yang bukti fisiknya masih ada hingga kini.[ika]

Prof Wardiman Djojonegoro sedang mempresentasikan langkah-langkah pengusulan Hikayat Aceh masuk sebagai Memory of World Unesco.

LAPORAN UTAMA

Page 8: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

08DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 2018

Gemerlap Kreativitas LiterasiDinas Arpus pada PKA 7

LAPORAN AYU ‘ULYA

RAGAM aktivitas yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsiapan (Arpus) Aceh dalam rang-

ka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-7 terbilang ramai, he-boh, dan meriah. Mengusung tema “Melalui PKA Ke-7, Mari Kita Berliterasi Menuju Aceh Carong” Dinas Arpus Aceh menghadirkan aneka kegiatan literasi kreatif yang dimulai se-jak 7 hingga 15 Agustus 2018.

Aneka aktivitas itu mulai dari seminar literasi, talkshow, pembacaan puisi, perlombaan, pameran, workshop, demo lukis, bazar buku, pemutaran film dokumenter, hingga lay-anan pembuatan kartu per-pustakaan secara gratis.

Stan Pameran Sejarah dan Kebudayaan Aceh saat itu di-buka resmi oleh Pelaksana Tu-gas (Plt) Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh, Dr Muhammad Jafar MHum. Dalam sambutannya, Jafar mengatakan, pameran yang digelar dalam rangka memeri-ahkan PKA VII itu ikut berperan dalam peningkatan minat baca masyarakat menuju Aceh Carong (cerdas).

Untuk menarik atensi war-ga, posisi stan dibangun tepat di depan halaman gedung Dinas Arpus dan panggung

literasi dirancang menghadap langsung ke Jalan Teuku Nyak Arief, Banda Aceh. Adapun ke-seluruhan rangkaian kegiatan digelar di seputar Kantor Dinas Arpus Aceh, mengingat lokasi tempat acara sangat strategis dan mudah dijangkau, persis di samping Asrama Haji Aceh sehingga diharapkan dapat mempermudah masyarakat untuk datang atau berkunjung.

Di dalam stan, pengunjung dapat melihat aneka foto, arsip, dan buku-buku langka yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan. Fasilitas sep-erti kipas angin, meja, dan kursi pun disediakan demi menjaga kenyamanan pengunjung yang ingin membaca buku-buku tersebut.

Tak hanya itu, para pengun-jung pun mendapatkan hadiah berupa Tabloid Iqra’ edisi khu-sus PKA yang dapat dibaca dan dibawa pulang tanpa perlu bayar.

Di dalam stan tersebut pen-gunjung juga mendapatkan pelayanan untuk membuat kartu anggota perpustakaan wilayah edisi khusus PKA se-cara gratis. Pembuatan kartu tersebut sangatlah mudah dan cepat. Syarat untuk mem-peroleh kartu keanggotaan perpustakaan pun cukup sederhana, yakni hanya men-gisi formulir pendaftaran ke-mudian pendaftar akan difoto oleh petugas Arpus.

Setelah menunggu lebih kurang sepuluh menit, kartu anggota Pepustakaan Provinsi Aceh ini pun selesai dibuat dan langsung bisa digunakan. Jadi, tak heran jika pengunjung Arpus berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai ang-gota perpustakaan. Hingga hari penutupan, tercatat tak kurang dari 2.000 orang yang telah mendaftarkan diri sebagai anggota baru Perpustakaan Provinsi Aceh. Suatu prestasi yang cukup gemilang dalam waktu yang tergolong singkat.

Di samping kenyamanan stan yang tersedia, panggung literasi Dinas Arpus pun me-nyajikan ragam pertunjukan memukau. Dua penyair dunia, Victor Vogadaev asal Rusia dan Siti Zainon Ismail dari Malaysia, turut tampil membacakan puisi mereka di pentas tersebut.

Keseruan semakin leng-kap dengan kehadiran penyair kenamaan asal Aceh, Fikar W. Eda dan Fatin Hamama dari Jakarta. Tak hanya itu, pentas literasi dan seni juga semakin meriah dengan kegiatan work-shop musikalisasi puisi yang digelar bersama Dedies Putra dan Devie Komala Syahni dari Sanggar Matahari, Jakarta.

Sesuai pesan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr. Wildan, M.Pd. bahwa panggung literasi disediakan sebagai wadah bagi para seni-man Aceh dan generasi muda

penggerak literasi untuk mengekspresikan diri. Berun-tung, panggung literasi terse-but tampaknya terfungsikan dengan baik hingga akhir acara.

Lepas sesaat dari kehebo-han panggung para ekstro-vert, penyeimbangan pojok ketenangan para introvert pun tersedia dengan apik dalam kegiatan tersebut. Lapak baca pustaka keliling dan pojok ba-zar buku hasil kerja sama Dinas Arpus dan Toko Buku Gramedia Banda Aceh menjadi surga lain-nya bagi para pecinta literasi.

Pasalnya, pada bazar terse-but, masyarakat dapat mem-beli beragam buku bestseller dengan harga yang sangat miring. Jika jeli memilih, buku keren dengan ratusan hala-man langsung dapat dibawa pulang hanya dengan modal 5.000 hingga 15.000 rupiah saja. Sungguh, para pecinta buku akan paham bahwa lupa mengunjungi pojok sepenting ini merupakan sebuah kerugian yang nyata.

Kembali ke aksi panggung literasi. Tak hanya pertunju-kan seni yang menjadi inti kegiatan kreatif Dinas Arspus Aceh, tapi berbagai sajian ilmu pengetahuan dari para pakar dan praktisi literasi lainnya pun turut hadir di panggung ini. Memboyong serta Forum Aceh Menulis (FAMe), Dinas Arpus menggelar seminar lit-erasi dengan beragam tema. Beberapa tema seminar yang disajikan di antaranya adalah public speaking (pemater-inya Saifuddin Bantasyam, dosen Fakultas Hukum Un-syiah) workshop jurnalistik (Yarmen Dinamika, Redaktur Pelaksana Harian Serambi In-donesia), mengenal steemit dan blog (Ihan Sunrise, pegiat Forum Aceh Menulis) serta teknik menulis cerpen (Azhari Aiyub, sastrawan). Bahkan kegiatan bedah buku Kura-kura Berjanggut, karya Azhari yang kemudian terpilih seb-agai karya terbaik pada ajang penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa Ke-18, turut me-lengkapi agenda kegiatan di panggung utama Dinas Arpus Aceh tersebut.

Kegiatan menarik dan mengejutkan lainnya malah muncul selepas seluruh rang-kaian seminar selesai dilak-

sanakan. Seakan tak ingin membuat masyarakat men-jadi pasif hanya menerima informasi, Dinas Arpus juga menawarkan kegiatan yang melibatkan interaksi masyara-kat untuk berkarya melalui media seni lukis. Mengajak serta para mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh bidang seni rupa, ma-syarakat diajak untuk meng-hasilkan karya melalui media seni lukis ekspresi. Kegiatan tersebut ternyata tak hanya menarik minat anak muda, tapi para dewasa pun tampak senang untuk ikut serta. Ter-masuk Rektor ISBI, Dr Mirza Irwansyah MLA.

Nani HS, Wartawati Ser-ambi Indonesia, salah seorang peserta seminar yang ikut ser-ta membuat lukisan ekspresi miliknya, mengaku tertarik dan puas dengan kegiatan tersebut.

“Satu ide produktif yang dapat meningkatkan rasa ber-kesenian kita. Mungkin banyak di antara kita yang sebenarnya punya bakat melukis, tapi kita kerap merasa melukis itu ribet dan mahal. Dengan adanya kegiatan melukis ekspresif ini, mindset kita menjadi berubah. Karena model lukisan seperti ini sangat bersifat rekreatif,” tuturnya.

Satu hal unik lainnya yang berlangsung selama perge-laran acara di Dinas Arpus ini adalah kehadiran puluhan siswa sekolah yang datang khusus untuk menonton film-film dokumenter yang dise-diakan pihak Arpus. Walau perdebatan butuh tidaknya Aceh akan bioskop masih ter-us berlanjut, tapi Dinas Arpus seakan dengan santai namun pasti mewadahi kegiatan no-bar (nonton bareng) para siswa sekolah tersebut.

Segala dedikasi dan pelay-anan terbaik diberikan oleh para panitia Dinas Arpus Aceh kepada masyarakat Aceh sela-ma acara berlangsung. Seluruh keberhasilan rangkaian acara tersebut seakan menjadi bukti bahwa kegiatan yang digelar untuk meningkatkan seman-gat literasi masyarakat Aceh serta peran perpustakaan dan kearsipan yang kreatif, inova-tif, dan mencerdaskan bukan-lah sekadar slogan semata. []

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Wildan Abdullah menyerahkan hadiah kepada peserta pada acara Talkshow Literasi. (Foto: Hayatullah Pasee)

LAPORAN KHUSUS

Page 9: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201809 LAPORAN KHUSUS

Mengulang Kembali KejayaanAceh dalam Poros Maritim Dunia

PEKAN kebudayaan tanpa seminar tera-sa hambar. Seperti kekurangan bobot ilmiahnya. Itu sebab,

Tim Ahli Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-7 yang diketuai Drs. Nurdin AR, M.Si mengga-gas seminar, bahkan berlevel internasional, saat berlang-sung PKA bulan Agustus lalu. Kegiatan ini dinamakan Semi-nar Internasional Kemaritiman dan Kebudayaan Aceh.

Seminar ini mengusung tema Peranan Aceh dalam Poros Maritim Dunia. Dari pa-paran sejumlah narasumber tergambar bahwa Aceh ber-peluang untuk mengulang kembali kejayaan Aceh dalam poros maritim dunia, seperti terjadi setelah kejatuhan Sriwi-jaya dan Majapahit.

Sejarah mencatat bahwa setelah dua kerajaan besar itu kolaps, lalu Kesultanan Aceh Darussalamlah yang memiliki peranan penting dalam dunia kemaritiman di Nusantara. Tapi sekarang, untuk bisa men-gulang kembali kejayaan Aceh dalam poros maritim dunia sangatlah ditentukan oleh ke-mampuan Aceh memproduksi komoditas yang dibutuhkan oleh masyarakat internasi-onal, di samping membangun lobi dan jejaring (networking)dengan pihak/negara asing. Mampukan Aceh menjawab peluang itu?

Jawabannya, antara lain, akan tergambar pada rumu-san dan rekomendasi seminar internasional PKA Ke-7 yang dirumuskan oleh enam orang ini. Terdiri atas Prof. Dr. Darwis A. Sulaiman, M.Pd., Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.A., Dr. Adli Abdullah, S.H., M.C.L., Dr. Rajab Bahry, M.Pd., Drs. Mawardi, M.Hum., M.A., dan Yarmen Dinamika.

***

SETELAH memperhatikan pre-sentasi para narasumber yang disampaikan pada Seminar In-ternasional Kemaritiman pada hari pertama, 13 Agustus 2018 di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, dengan pemateri seb-agai berikut:1. DR. Ir. Aryo Hanggono,

D.E.A. (Staf Ahli Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Kementerian Kelau-

(Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakar-ta) dengan judul Pelestar-ian Kebudayaan Tradisi di Aceh;

4. Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.A. (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) den-gan judul Kearifan Lokal Etnis Kluet dan Aneuk Jamee;

5. Drs. H. Mu’adz Vohry, M.M. (Ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Singkil) dengan judul Ke-arifan Lokal Etnis Singkil;

6. Abdul Karim, S.Pd. (Ke-pala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabu-paten Simeulue) dengan judul Kearifan Lokal Etnis Simeulue;

7. DR. Wildan, M.Pd. (Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh) dengan judul Upaya Pemertahan-an Bahasa Daerah Aceh);

8. DR. Mohd. Harun, M.Pd. (Ketua Jurusan Pendidi-kan Bahasa dan Sastra In-donesia FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh) dengan judul Perkemban-gan Sastra Daerah Aceh;

9. Prof. Yusny Saby, M.A., P.hD. (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) den-gan judul Kearifan Lokal Etnis Aceh;

10. Prof. Dr. M. Dien Madjid (Guru Besar UIN Syarif Hi-dayatullah Jakarta) den-gan judul Keberadaan dan Pemeliharaan Sumber Se-

jarah Aceh di Luar;11. DR. Rajab Bahry, M. Pd.

(Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh) dengan judul Kearifan Lokal Etnis Gayo dan Alas; dan

12. Ir. Muntasir Wan Diman (Pimpinan Yayasan Pergu-ruan Sri Ratu Shafiatuddin Kuala Simpang) dengan judul Kearifan Lokal Etnis Tamiang.

Juga dengan mempertim-bangkan saran dan pendapat dari para peserta seminar, tim perumus menyimpulkan dan merekomendasikan hal-hal se-bagai berikut:1. Setelah kejatuhan Sriwi-

jaya dan Majapahit, Kes-ultanan Aceh Darussalam memiliki peranan penting dalam dunia kemariti-man Nusantara. Untuk bisa mengulang kembali kejayaan Aceh dalam po-ros maritim dunia sangat ditentukan oleh kemam-puan Aceh memproduksi komoditas yang dibu-tuhkan oleh masyarakat internasional, di samping membangun lobi dan jeja-ring (networking) dengan pihak/negara asing.

2. Untuk berperan dalam poros maritim dunia, Aceh harus terkoneksi dengan pelabuhan-pelabuhan dan bandar udara-ban-dar udara di Indonesia dan negara-negara lain, terutama Pulau Penang,

Phuket, Kuala Lumpur, In-dia, dan Singapura.

3. Pengelolaan dan peman-faatan sumber daya ikan harus digunakan sepenuh-nya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan tetap menjaga keberlangsungan sumber daya ikan.

4. Poros maritim yang diga-gas oleh Pemerintahan Joko Widodo harus dim-ulai dari Aceh sebagai wilayah terluar sekaligus pintu masuk ke Indonesia dari jalur barat.

5. Dalam konteks perda-gangan dan networking internasional harus tetap dijaga dan dihormati hak-hak masyarakat adat pe-sisir, agar harmonisasi aktivitas kemaritiman tidak berbenturan den-gan kearifan lokal (local wisdom) di wilayah pesi-sir Aceh.

6. Aceh kaya dengan ke-arifan lokal yang sangat penting untuk mendo-rong pembangunan dae-rah. Akan tetapi, kearifan lokal itu banyak yang tidak dikenal lagi oleh generasi muda dan hampir punah tergerus oleh pengaruh kehidupan global. Keari-fan lokal harus dihidup-kan kembali, dilestarikan antara lain melalui pen-didikan dan harus ada komitmen pemerintah dan masyarakat untuk

tan Perikanan) dengan judul Kebijakan Kemariti-man Nasional;

2. DR. Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kement-erian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia) dengan judul Strategi Pengembangan Kebudayaan Nasional;

3. Prof. Dr. Dadang Sun-endar, M. Hum. (Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Repub-lik Indonesia) dengan judul Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Sas-tra Daerah;

4. Assoc. Prof. Dr. Sher Banu A.L Khan (National Univer-sity of Singapore) Aceh in the Seventeenth Century Maritime World;

5. Prof. Dr. Singgih Tri Su-listiyono, M. Hum. (Guru Besar Universitas Dipono-goro) dengan judul Bela-jar dari Sejarah Maritim, Menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia;

6. Prof. Dr. Muchlisin, M.Sc. (Guru Besar Universitas Syiah Kuala) dengan judul Potensi Kemaritiman Aceh;

7. DR. Sulaiman Umar, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala) dengan judul Aktu-alisasi Hak-Hak Masyara-kat Adat Pesisir dalam Pengembangan Kebi-jakan Kemaritiman Nasi-onal; dan

8. DR. Aslam Nur, M.A. (Dosen UIN Ar-Raniry) dengan judul Konsep Wisata Halal dan Strategi Penerapannya di Aceh.

Dilanjutkan dengan semi-nar hari kedua, tanggal 14 Agus-tus 2018 dengan narasumber-nya terdiri atas:1. Drs. Amiruddin, M.Si.

(Pelaksana Tugas Kadis Kebudayaan dan Pari-wisata Aceh) dengan judul Permasalahan Dalam Pelaksanaan Wisata Halal di Aceh;

2. Abu Hasan (Direktur Hon-ey Vacation Tour & Travel Sdn. Bdn, Malaysia) den-gan judul Daya Tarik Wisa-ta Halal Menurut Wisata Asing;

3. Prof. Dr. Irwan Abdullah

Suasana Seminar Internasional tentang Peran Aceh dalam Poros Maritim Dunia, medio Agustus 2018, dalam rangka PKA VII.

Page 10: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

10DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 2018

melestarikannya.7. Aceh tidak banyak

berubah, malah terting-gal jauh dari daerah lain, padahal dana untuk pem-bangunan Aceh selama ini sangatlah besar. Kunci-nya ada pada pendidikan dan kepemimpinan. Oleh karena itu, harus ada pe-rubahan besar dalam bi-dang pendidikan yang ha-rus terfokus untukmeng-hasilkan sumber daya insani yang berakhlak dan bermutu.

8. Perlu redefinisi terhadap istilah bangsa Aceh agar semua orang yang men-diami wilayah Aceh bang-ga sebagai orang Aceh.

9. Sebagai satu-satunya daerah bersyariat Islam

di Indonesia, Aceh sangat potensial dikembangkan sebagai destinasi wisata halal. Oleh karena itu, program utama pengem-bangan wisata halal harus diarahkan untuk membenahi prasarana dan sarana serta mentali-tas pelaku dan masyara-kat pendukung wisata sesuai tuntunan syariat. Sejalan dengan itu, perlu terus digencarkan pro-mosi wisata halal Aceh ke wilayah Nusantara dan mancanegara.

10. Aceh perlu juga menum-buhkembangkan keari-fan lokal yang positif un-tuk keharmonisan hidup masyarakat dalam era globalisasi dengan tetap

menghargai keberaga-man agar tidak liar dan tidak terkendali untuk menghindari perpeca-han umat.

11. Keberadaan kearifan-kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam etnis-etnis masyarakat Aceh yang telah terbukti dapat menciptakan ke-maslahatan hidup bagi masyarakat perlu diles-tarikan dan ditumbuh-kembangkan sebagai pengayaan terhadap ke-budayaan Aceh.

12. Bahasa ibu sangat ber-peran dalam upaya mem-pertahankan kearifan lo-kal karena di dalamnya terandung unsur nasihat dan pesan-pesan aga-

masehingga harus dicari cara untuk menggalak-kan kembali penggunaan bahasa ibu baik dalam keluarga maupun dalam dalam kehidupan sosial lainnya.

13. Perkembangan bahasa dan sastra daerah di Provinsi Aceh belum menggembirakan hing-ga saat ini. Beberapa bahasa daerah, seperti Devayan, Sigulai, dan Julu sudah sangat sedikit penuturnya. Pemerintah perlu menginisiasi qanun khusus yang mengatur pengakuan, perlindun-gan, dan pengembangan bahasa dan sastra daerah di Aceh sebagai sebuah kekayaan budaya lokal.

14. Hingga kini Aceh men-jadi lahan penelitian yang sangat menarik bagi para peneliti, baik dalam mau-pun luar negeri, karena 1) kebesaran kerajaan-kerajaan di Aceh, 2) Aceh merupakan pusat penye-baran Islam di Asia Teng-gara, dan 3) kegigihan rakyat Aceh dalam mela-wan kolonialisme (Portu-gis dan Spanyol) sehing-ga sumber sejarahnya tersebar di banyak neg-ara. Pemerintah perlu mendata ulang perseba-ran sumber-sumber ter-tulis mengenai Aceh di luar Aceh dan menghim-punnya kembali supaya mudah diakses oleh ma-syarakat Aceh.[ika]

Semangat Jemput BolaKhas FAMe Aceh Besar

LAPORAN IHAN NURDIN

Menghampiri dan diham-piri. Itulah se-mangat yang diusung oleh

Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Aceh Besar. Dengan semangat ini, komunitas yang dimotori oleh Cut Rahmawati itu pun menyelenggarakan kelas menulis di berbagai lokasi strategis di Aceh Be-sar. Tujuannya agar seman-gat literasi yang dikobarkan FAMe bisa tersebar di seluruh wilayah Aceh Besar.

“Selama ini kami menga-dakan kelasnya berpindah-pindah, ada di Lambaro, Darul Imarah, Peukan Bada, Indra-puri, Lhoknga, Simpang Rima, hingga Lampeuneurut,” ujar Koordinator FAMe Aceh Be-sar, Cut Rahmawati, Kamis, 20 September 2018.

Cakupan wilayah yang sangat luas memang men-jadi tantangan tersendiri bagi pengurus. Tapi, mereka tidak menjadikan itu sebagai kendala. Ada yang lebih pent-ing, yaitu membangkitkan motivasi dan menggalakkan semangat menulis di ma-

syarakat, khususnya kalangan muda.

“Kami ingin menjadikan aktivitas menulis itu meny-enangkan, bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan sarana dakwah dan sedekah kami. Dengan kegiatan tersebut kami jadi banyak pengalaman, kenalan baru, ilmu baru, pokoknya menyenangkan,” ujar perem-puan murah senyum ini.

Sebenarnya, kata Cut, banyak warga Aceh Besar yang tertarik untuk mengi-kuti kelas menulis ini, tetapi cakupan wilayah yang sangat

Ilmu-ilmu yang didapat-kan di ruang kelas dipraktik-kan berdasarkan kreativitas masing-masing anggotanya. Mereka juga pernah berkolab-orasi dengan LSM KuALA un-tuk belajar meliput langsung kegiatan bersih-bersih pantai yang dibuat lembaga itu di Ujong Pancu pada 19 Agustus 2018.

“Walaupun yang hadir ti-dak semua menuliskan hasil reportasenya, tetapi paling ti-dak mereka sudah mendapat-kan gambaran yang jelas men-genai konsep 5 W+1 H yang menjadi komponen mendasar dalam teknik menulis. Apala-gi waktu itu ada mentornya langsung, namanya Alan.”

Hingga saat ini sudah bela-san kelas menulis yang dibuat FAMe Chapter Aceh Besar. Cut mengaku senang, se-bab kehadiran komunitas ini mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dalam usia sependek itu, sudah ada dua perwakilan sekolah yang me-minta agar diajarkan menulis, yaitu MTsN 3 Aceh Besar dan satu sekolah dasar. Perminta-an kelas menulis juga datang dari salah satu pesantren di Kecamatan Baitussalam, teta-pi belum bisa dipenuhi karena belum ada kesesuaian jadwal.

Komunitas ini juga turut ambil bagian dalam meny-emarakkan Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2018, di mana Ka-bupaten Aceh Besar didaulat sebagai tuan rumahnya. Event ini digelar pada pekan ketiga November di Kota Jantho, ibu kota Aceh Besar.

“Kami mengadakan lomba puisi,” ujarnya. Hal ini menun-jukkan bahwa semangat lit-erasi bisa dikolaborasikan dengan berbagai kegiatan. []

besar tadi membuat mereka tidak terjangkau. Inilah yang membuat pengurus berinisi-atif meluangkan waktu, dana, dan tenaganya dengan meng-hampiri mereka melalui loka-si-lokasi strategis tadi. Ke de-pan Chapter Aceh Besar juga akan membuat kelas menulis di Lamteuba, Lhoong, Jantho, bahkan Pulo Aceh.

Chapter Aceh Besar ter-bentuk pada April 26 April 2018. Cut Rahmawati selaku penggagas langsung didapuk sebagai koordinator. Ia pun tancap gas mempromosikan komunitas tersebut. Saat ini sudah beranggotakan 138 orang yang terdiri atas pelajar dan siswa, mahasiswa, dosen, aktivis lembaga swadaya ma-syarakat, anggota ormas, hingga guru.

Anggotanya juga ada yang berasal dari kalangan pekerja swasta, ibu rumah tangga, sampai petani. “Campur bau-rlah,” kata Cut Rahmawati.

Inilah salah satu keunikan komunitas literasi yang per-tama kali terbentuk pada 16 Agustus 2017 lalu. Anggot-anya berasal dari berbagai latar belakang dan profesi. Tua muda bergabung men-jadi satu. Hal ini merupakan representasi dari semangat yang selalu didengungkan Pembina FAMe, Yarmen Din-amika, bahwa siapa pun bisa menjadi penulis, kecuali yang tidak mau.

LAPORAN KHUSUS

Page 11: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201811 FOKUS

LAPORAN YOVAN SERVANDA

Setiap pemimpin pun-ya obsesi. Begitu pula Dr. Wildan, M.Pd. Saat baru menjabat Kepala Dinas Per-

pustakaan dan Kearsipan Aceh pada April lalu, Wildan lang-sung menginginkan pelayanan perpustakaan bisa lebih cang-gih. Tidak hanya sekadar me-layani peminjaman buku secara manual. Pemustaka pun harus datang ke pustaka untuk baca atau pinjam buku. Ia mengang-gap cara itu sudah kuno.

Wildan ingin memanfaat-kan kemajuan teknologi in-formatika untuk memperluas jangkauan pelayanan per-pustakaan yang dikelola dinas yang ia pimpin. Ia terobsesi un-tuk segera melangkah ke fase digitalisasi pustaka dan Dinas Arpus Aceh menyediakan buku digital.

Hampir enam bulan ide itu berkecamuk di kepalanya. Kini, ide itu menjadi kenyataan. Dengan menggandeng sebuah perusahaan yang kaya pengala-man di bidang i-pustaka, akh-irnya Dinas Arpus Aceh kini me-miliki satu program unggulan yang ia namakan iPustakaAceh.

Program ini di-launching, Senin (3/12/2018) malam di Ge-dung AAC Dayan Dawood, Da-russalam, Banda Aceh. Disatu-paketkan dengan acara Gebyar Hari Kunjung Perpustakaan. Acara yang dihadiri lebih dari 1.000 orang ini diramaikan den-gan pergelaran seni, talkshow, penobatan Duta Baca serta Raja dan Ratu Baca Aceh.

Karena launching-nya di pengujung tahun ini, kata Wil-dan, maka untuk tahap awal Dinas Arpus Aceh hanya me-nyediakan 460 judul buku digi-tal dengan jumlah 2.300 eksem-plar. Artinya, per judul dikalikan lima eksemplar.

Konsekuensinya, dalam waktu bersamaan hanya lima pembaca yang bisa mengak-ses buku dengan judul yang sama. Jika ada orang keenam atau ketujuh ingin membaca buku tersebut maka dia harus antre sampai salah satu dari lima pembaca tersebut me-nyelesaikan bacaannya. Atau mengakhiri booking-nya atas buku itu.

Namun, untuk tahun de-pan, kata Wildan, akan dit-ambah sedikitnya 1.000 judul buku lagi. Tahun berikutnya, ditambah semakin banyak lagi hingga puluhan ribu judul buku,

disesuaikan dengan ketersedi-aan anggaran.

Dengan cara ini, maka koleksi buku di Perpustakaan Provinsi Aceh tidak hanya dapat dinikmati oleh warga sepu-taran Lamnyong dan Kopelma Darussalam, Banda Aceh, tapi bahkan dapat diakses versi digitalnya di mana pun dan oleh siapa pun yang sudah menjadi anggota iPustakaAceh.

Menurut Wildan, ada dua fungsi dasar buku digital dalam penggunaan sehari-hari, kare-na di zaman yang serbadigital ini perkembangan buku digital memang sangat pesat.

Pertama, sebagai salah satu alternatif media belajar. Penggunaan buku digital dalam dunia pendidikan san-gat banyak. Berbeda dengan buku konvensional, buku digital dapat memuat konten multimedia di dalamnya se-hingga dapat menyajikan cara belajar yang menarik. Selain itu, buku digital juga memudahkan pembaca dalam memahami tulisan yang disam-paikan oleh penulis. Itu karena, dengan menggunakan buku digital penulis dapat menyer-takan gambar, animasi, video, ataupun file multimedia lain-nya.

Kedua, sebagai me-dia berbagai informasi. Dengan menggunakan buku digital informasi dapat dise-barluaskan dengan lebih cepat dan lebih mudah dibanding-kan buku konvensional. Cara menyebarluaskan buku digital dapat melalui media seperti website, kelas maya, email, dan media digital yang lain. Bahkan sekarang buku digital juga dapat disebarluaskan melalui jejaring sosial dengan cepat dan mudah.

“Seseorang bahkan dapat menjadi pengarang sekaligus penerbit dari buku yang dibuat sendiri dengan mudah dan mu-rah,” kata Wildan.

Menurutnya, perkemban-gan teknologi digital yang se-makin cepat berpengaruh be-sar terhadap kehidupan manu-sia. Hal itu dibuktikan dengan adanya penemuan internet. Teknologi internet dapat mem-percepat pertukaran informasi ke seluruh penjuru dunia tanpa terhambat oleh jarak dan wak-tu.

Tidak hanya itu, teknologi internet juga menyebabkan pola hidup manusia berubah. Manusia menjadi tidak bisa lepas dari perangkat elektron-ik. Dalam hal ini, teknologi me-

miliki peran yang dapat men-gubah peradaban manusia. Nah, media informasi menjadi wilayah pertama yang terke-na arus digitalisasi. “Dahulu, buku-buku diterbitkan meng-gunakan kertas. Tapi kini, buku tersebut telah banyak dikon-versikan dalam bentuk digi-tal, menjadi buku digital atau dikenal dengan istilah eBook,” terang Wildan.

Mantan wakil rektor I In-stitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh ini menambahkan bahwa terdapat beberapa for-mat dalam buku digital, di an-taranya jpeg, pdf, DOC, ePub, dan lainnya. Dengan begitu, teknologi dapat mengubah pola pikir manusia menjadi leb-ih kreatif dan produktif untuk memanfaatkan teknologi.

Buku digital menjadikan in-formasi dapat disebarluaskan dengan cepat dibandingkan dengan buku konvensional. Selain itu dengan adanya buku digital otomatis mengurangi penggunaan kertas yang ber-lebihan. “Nah, secara ekologis inilah benefit nyata dari buku digital. Mudah diakses dan ramah lingkungan karena tak memerlukan kertas, bahkan tak mungkin dimakan rayap,” demikian Wildan. []

Dinas Arpus Aceh Sediakan Buku Digital

Page 12: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201812

Rangkang Sastra MasyhurkanLiterasi di Bireuen

LAPORAN IHAN NURDIN

KEDATANGAN saya ke Starblack Cof-fee di Jalan Hamzah Bendahara Bireuen malam itu disambut

senyum kompak sepasang suami istri. Mereka, Novianti Maulida Rahmah, akrab disapa Novi dan Verry Ramadhan den-gan panggilan lekatnya Very. Setelah membuat janji temu se-belumnya, akhirnya kami bisa bertemu dan menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk berbincang-bincang pada Min-ggu malam, 22 April 2018.

Novi dan Very merupakan pendiri sekaligus pengelola Rangkang Sastra. Sebuah Lem-baga Pendidikan Seni dan Sas-tra yang kehadirannya telah memberi warna bagi perger-akan dan kemajuan literasi, khususnya sastra dan seni di Kabupaten Bireuen. Pasangan suami istri yang menikah pada 2011 ini kompak mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan materi dalam menggerakkan lembaga tersebut. Malam itu, kekompakan mereka juga tam-pak melalui kostum yang mer-eka kenakan dengan setelan hitam-hitam.

Lembaga Pendidikan Seni dan Sastra (LPSS) Rangkang Sastra, begitulah nama yang mereka berikan untuk lembaga yang berdiri pada 2011 lalu itu. Sesuai namanya, lembaga ini fokus pada kegiatan-kegiatan berbau literasi dan seni. Kini, di usianya yang ketujuh Rang-kang Sastra lebih fokus pada pengembangan sastra dan

teater dengan sasaran anak-anak.

Novi mengisahkan bagaimana dirinya yang me-mang sangat menyukai sas-tra, akhirnya terjun langsung mendirikan dan mengelola lembaga yang fokus membina bibit-bibit muda di ranah terse-but. Semua itu ia lakukan demi harapan agar sastra dan seni bisa bergeliat di daerah yang terkenal dengan keripik pisang itu.

Ada sekeping cerita di balik semua itu yang masih di-ingat Novi sampai sekarang. “Semuanya berawal dari per-temuan dengan Herman RN ketika ada Lomba Baca Puisi Piala Rektor Unsyiah tahun 2011 lalu,” kata Novi mengenang ga-gasan awal terbentuknya LPSS Rangkang Sastra.

Perempuan murah senyum itu lantas melanjutkan cerit-anya, Herman RN yang tak lain adalah dosen di Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Un-syiah ketika itu didaulat men-jadi juri dalam kompetisi itu. Perbincangan demi perbincan-gan dengan Herman saat itulah yang memantik semangatnya untuk bertekad membuat se-buah komunitas penggerak literasi di Bireuen.

“Bang Herman bilang ke-napa tidak membentuk sebuah komunitas di Bireuen? Akhirnya kami bentuk Rangkang Sastra, tapi karena tidak ingin seten-gah-setengah kami langsung membuat lembaga yang me-miliki akta notaris,” ujarnya.

Novi dan Very pun sepakat memilih ‘Rangkang Sastra’ se-

bagai nama lembaganya. Pe-milihan nama ini bukan tanpa pertimbangan. Novi dan Very ingin Rangkang Sastra men-jadi wadah bagi semua orang tanpa harus terkesan eksklusif layaknya sebuah rangkang atau pondok dengan konsep yang terbuka.

“Niat awalnya cuma ingin sederhana saja, menjadikan Rangkang Sastra sebagai or-ganisasi yang sederhana, sim-ple,” ujar alumnus FKIP Bahasa Inggris Universitas Almuslim, Peusangan, Bireuen ini.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Rangkang Sastra fokus pada kelas pengemban-gan sastra, teater, musik, puisi, dan tari. Namun, untuk saat ini hanya dua bidang saja yang menjadi fokus utamanya, yaitu sastra dan teater anak. Dua hal ini memiliki keterkaitan pada peningkatan minat baca seb-agai salah satu bentuk praktik literasi.

Sebagai guru SD, Novi me-mang memiliki perhatian dan ketertarikan khusus pada anak-anak. Dunia anak, menurutnya, lebih menarik dan menantang. Kepolosan mereka membuat anak-anak mudah dibentuk dan daya ingat mereka masih sangat tajam, misalnya, dalam menghafal naskah. Selain itu, intensitas yang tinggi dengan anak-anak membuat kerinduan pasangan ini untuk segera pu-nya momongan jadi terobati.

Kini, anak-anak binaan Rangka Sastra kerap tampil di berbagai event kebudayaan. Khususnya teater, Novi lebih mengarahkan anak-anaknya

pada komedi Aceh atau yang dikenal dengan cagok. Melalui cagok tersebut berbagai pesan-pesan sosial kerap mereka kam-panyekan.

“Kalau teater anak undan-gannya sudah level nasional dan internasional, bahkan ka-lau level internasional seperti Sail Sabang tahun lalu, pertun-jukannya menggunakan tiga bahasa,” kata Novi.

Setiap tahunnya anak-anak binaan Rangkang Sastra men-jadi langganan undangan dari Pemerintah Kota Sabang un-tuk tampil pada Sabang Fair. Pada ajang Pekan Kebudayaan Aceh VII yang dihelat pada Agustus 2018, Rangkang Sastra berhasil menyabet tiga juara sekaligus, yaitu juara pertama cagok dan juara dua sendratari. “Juga juara tiga cipta dan baca puisi bahasa Aceh,” kata Novi saat dikonfirmasi kembali pada Sabtu, 23 September 2018.

Sebelumnya, pada medio April 2018 dua anak binaan Rangkang Sastra juga tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Ja-karta untuk pertunjukan Pang-gong Aceh, berkolaborasi den-gan seniman Aceh di Jakarta.

Pada 1-7 April lalu, Novi dan Verry bersama belasan orang lainnya dari Bireuen mewakili Indonesia di ajang bergengsi, Damanhour Internation Folk Festival VI Kairo, Mesir.

Di acara ini Novi dan timnya memperkenalkan kopi Aceh dengan diiringi pembacaan puisi yang digubah oleh penyair nasional kelahiran Bireuen, Fi-kar W Eda.

“Kalau biasanya orang memperkenalkan kopi Aceh lewat bait-bait puisi, kami lang-sung bikin pertunjukan kopi sareng di atas panggung,” ka-tanya semringah.

Rangkang Sastra tidak han-ya fokus pada pembinaan in-ternal saja, adakalanya mereka mendatangkan penulis-penulis atau sastrawan ternama ke Bi-reuen. Tujuannya agar praktik literasi dan sastra di Bireuen bisa lebih dikenal oleh ma-syarakat. Novi mengaku miris dengan kenyataan geliat sastra di Bireuen sebelumnya sangat minim.

“Rangkang Sastra yang per-tama kali membawa Pak Jose Rizal Manua ke Aceh, tepatnya ke Bireuen pada 2011 silam.” Be-berapa sastrawan muda Aceh yang pernah ia boyong ke Bi-

reuen, yaitu Idrus bin Harun dan Herman RN.

Novi mengaku bahwa dirinya mulai menyukai sastra sejak duduk di bangku kuliah. Perempuan kelahiran Binjai, Sumatera Utara, 9 November 1987 ini setidaknya telah men-elurkan sebelas buku sebagai wujud kecintaannya pada lit-erasi. Dua di antaranya Banta dan Poe Meurah (buku anak) dan Hijab 1st terbitan Rumah Pena Jakarta yang telah dua kali cetak.

Very juga tak ingin kalah dari istrinya, pria yang kini bekerja di Dinas Pendidikan Kabupaten Bireuen itu telah menelurkan dua novel yang ditulis berdasar-kan pengalaman pribadinya sebagai pendaki gunung dan pecinta Vespa. Bagi Novi prib-adi, buku-buku tersebut bukan hanya untuk kepentingan prib-adinya. Sebagai seorang guru dan mentor, ia ingin memberi teladan.

Kehadiran Rangkang Sas-tra kata Novi memang lebih mengedepankan pada hasil karya. Itulah sebabnya setiap kali Rangkang Sastra membuat lomba menulis, ada hasil yang berupa buku. Bahkan ada salah satu anggota mereka yang lulus tanpa seleksi di Dayah Jeumala Amal Luengputu, Pidie Jaya, karena berbagai prestasinya dalam bidang puisi.

Rangkang Sastra juga mendapat kepercayaan mem-fasilitasi pertemuan antara tim Kementerian Pariwisata dengan Pemerintah Malaysia terkait rencana usulan Pocut Meuligoe sebagai calon pahla-wan nasional. Pocut Meuligoe merupakan keturunan dari Tun Sri Lanang, pujangga ternama dari Malaysia. Semua ini be-rawal dari pementasan yang mengisahkan tentang Pocut Meuligoe yang naskahnya ditu-lis sendiri oleh Novi pada 2017. Pementasan itu ditampilkan khusus pada peringatan 17 Agustus 2017 atas permintaan Dandim Bireuen ketika itu.

Apa yang sudah dicapai selama ini tak lantas membuat pasangan ini berbesar hati. Bagi Novi dan Very, perjalanan me-masyhurkan sastra di Bireuen masih terbentang panjang. Dari Matang Geulumpang Dua tem-pat mereka berdomisili saat ini, Rangkang Sastra menjejaki se-tapak demi setapak bentangan tersebut. []

Novi bersama anak didiknya di LPSS Rangkang Sastra. (Dok.Pribadi)

Page 13: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

Sekolah Alam, Sekolah Tanpa Seragam

“Konsep yang ditanamkan di sini bukan ber-orientasi pada nilai, melainkan pada karakter. Kami mengang-gap setiap anak adalah bintang bagi dirinya sendiri sehingga dia akan men-jadi hebat sesuai dirinya, bukan seperti orang lain.”

NORA AINI YUNITAKEPALA SEKOLAH AINS

Hasil karya kreativitas dari para siswa AINS.

LAPORAN YELLI SUSTARINA

DARI kejauhan saya melihat beberapa anak bermain di pekarangan yang dikelilingi oleh

pepohonan hijau di sekitarnya. Mereka mengenakan pakaian bebas sesuai dengan gaya masing-masing, walau saat itu sedang berlangsung jam pe-lajaran. Saya memakir sepeda motor tepat di bawah pohon mangga dan menuju ruang guru di sekolah tersebut.

Sekolah yang saya kunjungi ini merupakan sekolah alam. Namanya, Aceh Islamic Nature School (AINS). Berada di Jalan Kerukunan, Desa Pango Deah, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Berbeda dengan sekolah umumnya, sekolah alam tak memiliki baju sera-gam. Aktivitas belajarnyapun lebih banyak berada di luar ru-angan (outdoor).

Setiba di ruangan guru, saya disambut Nora Aini Yunita SPd, Kepala Sekolah AINS. Ia sudah dua tahun memangku ja-batan itu sejak sekolah alam di-buka di Aceh pada tahun 2016. Inilah sekolah alam pertama yang ada di Aceh dengan kon-sep pembelajaran fokus pada pengembangan potensi anak.

“Setiap anak mempunyai potensi yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Jadi, di seko-lah ini kita juga memperlakukan anak sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Bahkan kita mem-beri kebebasan kepada setiap anak menggunakan pakaian sesuai dengan seleranya, asal-kan sopan dan nyaman dia kenakan. “Dengan begitu, anak-anak dapat menerima perbedaan di antara teman-temannya.” ujar Nora sambil membawa saya berkeliling sekolah.

Nora juga menjelaskan bahwa saat anak-anak datang ke sekolah mereka dibiarkan bermain terlebih dahulu. Ke-mudian pada pukul 08.00 mer-eka senam pagi dan pada pukul 09.30 WIB dilanjutkan dengan salat duha berjemaah. Pelaja-ran akan dimulai pada pukul 09.00 WIB saat semua anak sudah mulai terjaga dan siap untuk menerima pelajaran.

Saat belajar di luar ruangan, meskipun mereka terlihat ber-

main, tapi sebetulnya mereka sedang belajar mengeksplorasi alam. Kalau di sekolah formal anak-anak diajarkan materi berhitung dengan menuliskan-nya di papan tulis atau buku, di sekolah alam anak-anak justru belajar menghitung langsung berinteraksi dengan lingkun-gan sekitarnya.

“Ayo Nak, kita hitung batu, kita pilih daun yang jauh, kita hitung batang kayu yang ada di sini, dan sebagainya. Ya, be-gitulah pemberlajaran kami di sini, walau kelihatannya anak bermain, tapi sebenarnya mer-eka sedang belajar,” jelas Nora penuh semangat.

MASUK TANPA TESSaya dan Nora terus ber-

jalan sambil melihat aktivitas para siswa di sekolah alam. Ada yang berlari-lari, memanjat po-hon, dan sebagainya. Beberapa anak terlihat sedang berkon-sentrasi untuk memindahkan bambu kecil menggunakan jari telunjuk mereka didampingi oleh guru fasilitator. Anak-anak ini kompak memindahkan bambu tersebut. Satu di anta-ranya ada yang mengomandoi sehingga bambu tersebut bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Semua aktif bermain dan wajah-wajah ce-ria mewarnai aktivitas mereka. Sekolah ini bagaikan surga bagi mereka karena anak-anak bebas melakukan semaunya tanpa ada larangan.

Uniknya lagi, anak-anak yang hendak bersekolah di AINS diterima tanpa tes apa pun. Namun, orang tuanyalah yang harus diwawancarai ter-kait peraturan yang beraku di sekolah alam. Bila orang tuan-ya setuju dengan konsep dan sistem pembelajaran di AINS serta anak menyukai tempat

sekolah ini, maka sekolah alam AINS langsung menerimanya sebagai murid.

Sekolah ini dimulai dari jen-jang taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA). Namun, sekolah alam AINS baru dibuka sampai untuk kelas tiga sekolah dasar (SD) yang terdiri atas dua kelas TK dan tiga kelas SD. Setiap kelas terdapat empat sampai delapan anak yang diasuh oleh satu guru fasilitator.

Sedangkan untuk kuriku-lum, sekolah alam mengikuti kurikulum 2013 (K13) dari dinas pendidikan yang kemudian di-padatkan ke dalam kurikulum AINS. “Misalnya di dalam K13 terdapat tujuh tema, tapi kami padatkan menjadi tiga tema saja. Namun, di dalam tema itu nanti ada kegiatan outing, market day, outbound, dan lain-nya,” jelas Nora.

Ia juga menambahkan bahwa kurikulum di AINS lebih fleksibel, disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak se-hingga anak dapat menggali keunikan dan potensinya mas-ing-masing. Di dalam kurikulum AINS terdapat empat perkem-bangan yang diharapkan dari anak, yaitu perkembangan akhlak (role modeling), logika (learning from nature), kepe-mimpinan (outbound train-ing), dan perkembangan bisnis (learning from maestro).

Keempat perkembangan tersebut dibentuk melalui ber-bagai kegiatan. Misalnya, AINS berbagi. Dalam kegiatan ini setiap siswa dirutinkan berse-dekah pada setiap hari Jumat dan salat duha setiap pagi un-tuk menanamkan akhlak yang baik bagi anak. Kemudian melalui kegiatan berkebun dan camping diharapkan bisa meningkatkan perkemban-

gan logika mereka. Adapun outbound dilaksanakan untuk membentuk jiwa kepemimpi-nan pada mereka.

Selain itu juga ada kegiatan outing dan market daya yang membantu perkembangan jiwa bisnis dan berpikir kritis pada setiap anak.

TANPA PEMAKSAANPara siswa yang berseko-

lah di AINS tidak dipaksa un-tuk bisa memahami semua mata pelajaran. Katika anak tidak mampu memahami satu mata pelajaran tertentu dan nilai KKM- nya di bawah nilai yang diharapkan, guru fasilita-tor tidak memaksa anak terse-but untuk bisa mendapatkan nilai tinggi pada mata pelaja-ran tersebut.

“Setiap anak mempunyai keunggulannya masing-mas-ing. Apabila dia tidak mampu menguasai satu mata pelaja-ran, kami yakin mereka akan unggul di pelajaran lain. Jadi, kami tidak mempermasalah-kan hal itu karena konsep yang ditanamkan di sini bukan ber-orientasi pada nilai, melainkan pada karakter. Kami mengang-gap setiap anak adalah bintang bagi dirinya sendiri, sehingga dia akan menjadi hebat sesuai dirinya, bukan seperti orang lain,” kata kepala sekolah yang baru berusia 25 tahun itu.

Nora mengajak saya ke sebuah pondok kecil untuk duduk santai sambil menjelas-kan tentang sekolah yang mereka bina. Dari sini kami bisa melihat berbagai aktivitas siswa dan sesekali ada siswa yang menghampiri kami. “Bu Nora nanti kita buat kafe ya?” kata seorang anak. Dia terlihat sangat akrab dengan sang ke-pala sekolah.

Di sekolah alam AINS tidak

ada peringkat seperti di seko-lah formal umumnya. Mekip-un ada ujian semester dan ke-naikan kelas, tapi rapor yang diberikan kepada siswa bukan berpatokan pada nilai angka. Ada tiga rapor yang mereka terima, yaitu buku rapor dari dinas pendidikan, rapor AINS, dan rapor tahfiz. Istilah rank-ing 1 tidak ada di sini, karena semua anak adalah ranking 1. Konsep inilah yang dita-namkan di AINS sehingga trenberlomba-lomba untuk mendapatkan ranking 1 sep-erti terjadi di sekolah umum, tidak berlaku di AINS.

Para siswa diajarkan un-tuk menjadi dirinya sendiri dan fokus kepada apa yang menjadi kemampuan diri mereka. Jadi, tidak ada istilah membanding-bandingkan an-tara satu anak dengan yang lainnya, karena setiap anak mempunyai jalannya sendiri. Bagi siswa yang sudah keli-hatan potensinya maka guru fasilitator akan mengarahkan dan membimbing anak terse-but untuk mengembangkan bakat dan potensi yang ia mi-liki. Tentunya hal ini juga didu-kung oleh peran orang tua supaya potensi tersebut tidak hanya diasah di sekolah, tapi juga di rumah. Oleh karena itu, di sekolah alam inisetiap siswa mempunyai communi-cation book sebagai wahana komunikasi antara orang tua dan guru fasilitator. Melalui wahana inilah orang tua akan tahu pencapaian-pencapaian atau prestasi tertentu yang diraih anaknya. []

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 1 I DESEMBER 201813 FEATURE

Page 14: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

14DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 2018SOSOK

LAPORAN IHAN NURDIN

SUATU hari di bulan Juni 2014, Masykur yang saat itu masih berusia 17 tahun di-boncengi ayahnya,

Syafruddin, menemui Amirud-din Hassan di Teupin Raya, Pidie. Mengendarai sepeda motor matic, dua pria berbeda usia itu berangkat dari rumah mereka di Blang Glong, Lueng Putu, Pidie Jaya. Menyusuri jalanan yang jaraknya hanya beberapa kilometer saja.

Amiruddin Hasan meru-pakan kolektor barang-barang antik. Hari itu ia memperlihat-kan beberapa koleksi naskah kuno kepada Masykur dan sang ayah. “Itu pertama kali saya melihat naskah kuno yang usianya sudah mencapai ratusan tahun,” ujar Masykur, 19 September 2018.

Anak muda itu pun mengal-ami apa yang disebut jatuh cin-ta pada pandangan pertama. Pulang dari rumah Amiruddin, ia membawa serta tiga nas-kah yang ditukarnya dengan rupiah seharga delapan ratus ribu. Uang itu hasil tabungan dari aktivitas jual beli koin kuno yang sempat dilakoni selama rentang waktu 2012-2014 ke-tika ia masih SMP. Tiga naskah itu, yaitu dua naskah fikih den-gan kondisi sudah tak lengkap. “Satunya lagi naskah hikayat Khabar Hikam.”

Masykur takkan lupa pada momen yang dialaminya saat ia masih duduk di kelas dua MAN itu. Momen itulah yang men-gantarnya menjadi seorang kolektor dan peneliti naskah kuno atau manuskrip seperti saat ini. Aktivitas yang, menu-rut Masykur, sebagai ‘peker-jaan orang tua’, karena umum-nya para kolektor adalah orang berusia lanjut. Sedangkan ia baru berusia 21 tahun saat ini.

Ia pun lupa pernah bercita-cita ingin jadi pilot atau dokter. “Tapi kalau orang lihat saya banyak yang mengira sudah bapak-bapak,” katanya ber-seloroh.

Pada 2015 lalu Masykur mendirikan Pedir Museum. Tu-juannya sederhana saja, agar masyarakat bisa turut ‘me-nikmati’ koleksi yang ia miliki. Berawal dari tiga naskah yang ia peroleh dari Amiruddin Has-san, Masykur kini mempunyai 2.703 koleksi dari berbagai

Masykur, Penyelamat Manuskrip dari Lueng Putu

jenis seperti manuskrip, mata uang kuno atau numismatik, keramik, senjata, tekstil/kriya, etnografi, perhiasan, hingga kayu ukir.

“Sebanyak 462 di antaranya merupakan naskah. Itu belum terhitung arsip seperti surat-surat sultan, ulee balang, dan surat Belanda yang berjumlah 70 surat semuanya,” katanya.

Sekitar 30 persen koleksin-ya ia boyong ke Banda Aceh. Dipajang di sebuah ruangan di Museum Masyarakat Aceh Peduli Sejarah (Mapesa) seb-agai Sekretariat Pedir Museum di Banda Aceh. Ini ia lakukan untuk memangkas jarak bagi para peneliti yang memiliki keterbatasan waktu untuk me-lihat langsung koleksi Pedir Mu-seum di Lueng Putu, Pidie Jaya.

***

Rabu malam, 19 September 2018 lalu, saya menyambangi Sekretariat Pedir Museum di Gampong Punge Blang Cut, Banda Aceh. Tak susah men-carinya. Dari Lorong Pendidi-kan, begitu sampai di perem-patan Universitas Terbuka, be-loklah ke kiri. Museum Mapesa yang wujudnya masih berupa rumah ini berada di sebelah kiri antara Dayah Al-Fathani Da-russalam dan Masjid Subulus-salam. Senyum ramah Masykur menyambut kedatangan saya. Tak ada perasaan canggung walaupun baru kali ini kami bertemu.

Tanpa menunggu jeda, Masykur langsung mengajak saya ke ruangan tempat ia me-

majang barang-barang kolek-sinya. Ruangan itu tak begitu besar, berukuran 3x3 meter. Namun, ditata dengan rapi sehingga tampak lapang dan membuat kita betah berlama-lama di sana. Dari pintu ma-suk, pandangan saya langsung menangkap sepasang lemari yang rapat ke dinding. Ked-uanya penuh dengan koleksi naskah dan buku-buku.

Di sisi kiri saya, yang juga rapat ke dinding, tertata lima guci kuno yang sudah dir-estorasi dan sebuah benda dari kuningan. Di sampingnya ada sebuah kotak kaca berisi koleksi keramik dan kendi berukuran sedang. Keramik-keramik berukuran lebih kecil ditata dalam kotak kaca yang lebih tinggi. Keramik-keramik itu berasal dari Dinasti Yuan hingga Dinasti Ching. Di samp-ing kotak kaca itu terpajang aneka senjata tajam berbagai ukuran seperti rencong, pa-rang, dan keris. Selembar rom-pi milik bangsawan Aceh turut dipajang di dinding.

Di ruangan itu juga terdapat sebuah meja kerja. Di belakang meja kerja itu terbentang selembar kain sutra Aceh yang ditenun dengan benang emas. Di samping meja kerja terdapat sebuah lemari rendah untuk menyimpan berbagai koleksi lainnya. Di atasnya tertata an-eka benda-benda sejarah sep-erti kupiah dari tahun 1901 mi-lik Leube Mat Itam dari Krueng Geukueh, Aceh Utara, wadah dari kuningan, tembikar, ped-ang, hingga mata uang kuno. Ada juga kupiah dari tahun 1896

milik Bentara Keumangan, Pi-die. Ia juga mengoleksi stem-pel milik Ulee Balang Keumala dari tahun 1321 H/1903 M dan stempel milik ulama Aceh, H. Ibrahim.

Di ruangan itulah Masykur menghabiskan waktunya bila tidak ada aktivitas lain. “Siapa saja boleh datang ke sini, makin banyak yang datang saya makin senang,” ujar mahasiswa Juru-san Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini.

“Usaha mengumpulkan ini semua saya mulai sejak tahun 2014,” Masykur mengawali percakapan. “Saat itu saya ma-sih kelas dua MAN, baru seta-hun kemudian pada Juni 2015 terpikir mendirikan Pedir Mu-seum, karena barang-barang yang saya dapatkan umumnya berasal dari Pidie dan Pidie Jaya, wilayah yang memiliki se-jarah penting dalam Kerajaan Pedir di masa lalu.”

Sejak saat itu Masykur mulai rajin memburu koleksi manuskrip. Di bulan-bulan pertama, hampir setiap hari ia membeli naskah dari Amiruddin Hassan. Uang tabungan sebe-sar Rp25 juta yang ia persiapkan untuk biaya kuliah pelan-pelan menyusut. Menyadari harga naskah yang mahal bila mem-beli dari kolektor, Masykur pun memilih jalur gerilya. Ke luar-masuk kampung mencari langsung dari masyarakat. Ke-giatan itu ia lakukan sepulang sekolah. Kadang ia mengajak teman-temannya, tetapi tak ada yang mau. “Ya sudah, saya jalan sendiri. Belakangan

ada yang mau setelah melihat saya diundang ke kampus UIN Ar-Raniry untuk mempresen-tasikan koleksi saya,” ujarnya bersemangat.

Dari kursi plastik putih di seberang Masykur, saya duduk dan menyimak penjela-sananya. Sesekali obrolan kami terjeda karena Masykur harus menunjukkan kolek-sinya yang disimpan khusus, seperti kancing baju, ant-ing, cincin, dan azimat. Saya takjub pada ketelatenannya merawat benda-benda itu.

Terjun langsung ke ma-syarakat diakuinya memiliki tantangan yang berbeda. Apa-lagi banyak masyarakat yang pernah dikibuli pemburu nas-kah yang cuma ingin meraup untung semata. Bahkan ada warga yang naskahnya diam-diam dicuri.

“Ketika saya datang mer-eka sudah tidak percaya lagi. Karena sebelumnya mereka ada yang ditipu, dikatakan naskah mereka ingin disum-bangkan ke museum ternyata tidak. Ada yang naskahnya dicuri, seperti di Mali, Lamlo. Mereka baru sadar setelah kolektornya pergi. Ini tantan-gan berat.”

Namun, itu tidak mem-buat Masykur patah arang. Ia justru makin tertantang untuk bergerilya. Demi meyakinkan masyarakat agar mau mem-berikan naskahnya, Masykur membuat surat pernyataan tertulis bahwa naskah itu akan dirawat dengan baik dan tidak akan dijual kembali. Ma-syarakat tetap bisa melihat-nya kapan pun mereka mau. Baginya, apa pun akan ia laku-kan asal bisa menyelamatkan naskah-naskah itu. Bukan apa, sering ia mendapati naskah-naskah itu berada di tempat yang tidak layak seperti di kandang ayam atau kolong rumah. “Anehnya lagi, ada yang bilang naskah mereka itu keramat, saat saya minta tidak diizinkan tetapi naskah yang tak lain berupa Alquran kuno itu malah diletakkan di kandang ayam dan sudah di-penuhi kotoran ayam. Setelah dijelaskan mereka akhirnya memberikan juga, saya mem-beri mereka ganti rugi dalam bentuk uang.”

***

Kolektor muda manuskrip Aceh, Maskur memperlihatkan beberapa koleksi Pedir Museum miliknya. (Foto: Hayatullah Pasee)

Page 15: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 201815

Naskah-naskah itu dibeli dengan harga bervariasi, dari yang kisaran ratusan ribu hingga jutaan. Naskah terma-hal yang dibelinya yaitu Siratal Mustakim, kitab fikih karya Syekh Nuruddin Ar-Raniry yang harganya mencapai Rp5 juta lebih. Sementara naskah tertua koleksi Pedir Museum yaitu naskah yang disalin ulang oleh seorang ulama Aceh, Ja-maluddin Al Asyi, dari karya ulama Mesir yang ditulis pada 1063 H/1652 M, ditemukan di Keumala, Pidie. Masykur juga memiliki koleksi naskah surat Sultan Muhammad Daudsyah kepada para ulee balang yang

berisi ajakan untuk berperang melawan Belanda.

“Naskah ini sedang dalam proses penerjemahan. Saya mendapatkannya dari ma-syarakat di Lhokseumawe,” ujar anak kelima dari tujuh ber-saudara pasangan Syafruddin dan Nur Asiah ini.

Belakangan Masykur me-mang tak hanya fokus men-cari naskah di Pidie dan Pidie Jaya saja. Di mana pun ia men-dengar terdapat naskah atau benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan Aceh tetap akan ia buru. Cita-citanya, menjadikan Pedir Museum se-bagai pusat kajian dan koleksi

manuskrip di Asia Tenggara.Tak hanya memuat ten-

tang persoalan fikih dan tauhid saja, naskah-naskah itu juga menjelaskan tentang berbagai hal seperti ilmu perbintangan, obat-obatan, pertanian, dan sains. Sayang-nya tak banyak masyarakat khususnya anak muda yang paham pada teks-teks yang umumnya tertulis dalam baha-sa Aceh, aksara Jawi dan Arab. Inilah yang membuat Masykur gelisah dan membuatnya bertekad ingin mengalihba-hasakan naskah-naskah terse-but suatu saat nanti. Ia juga akan mendigitalisasi semua

naskahnya agar bisa diakses masyarakat dengan mudah.

Menyadari hal itu Masykur pun menyediakan waktunya untuk mengajar membaca manuskrip. Saat ini baru ada tiga rekan kuliahnya sebagai murid. Meneliti manuskrip dan cita-cita sebagai kolek-tor bukan lagi sebagai hasrat menyalurkan hobi pribadi se-mata. Namun, menjadi tang-gung jawab intelektual yang harus ia bagi kepada orang lain. Itulah yang membuatnya mau mengajar gratis kepada siapa pun yang ingin belajar membaca manuskrip di Pedir Museum.

“Banyak warisan sejarah Islam di Aceh yang butuh per-hatian, sebagai anak muda kita ingin generasi muda ke depan memperhatikan itu.”

Masykur terdiam sejenak. Bibirnya menyunggingkan senyum sementara matanya terlihat menerawang. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Saya sering dilanda kega-lauan. Merasa sendiri. Sangat sedikit yang bisa membaca naskah, mengajak orang pun susah. Mungkin sama sep-erti kegalauan Pak Ali Hasjmy setelah beliau meninggal akan seperti apa, itu yang saya ra-sakan hari ini.”[]

Pernak-pernik Pidie

Banyak hal tentang Pidie yang selama ini cuma kita dengar sebagai ‘kabar angin’ terjawab dalam buku ini. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang kita sangka berasal dari daerah lain ternyata ber-

asal dari Pidie. Dua hal itu setidaknya menjadi ‘syarat’ men-

gapa 25 judul tulisan yang terangkum dalam buku berjudul Pernak-pernik Pidie (Kuliner, Bu-daya, Sejarah & Ekonomi) ini perlu dibaca. Empat belas penulis kreatif di Pidie dengan beragam latar belakang mampu mengemas ide-ide ‘pas-aran’ menjadi tulisan yang informatif. Namun beberapa tulisan terasa agak kurang ‘renyah’ ketika dibaca.

Kejutan pertama saya dapatkan dari tulisan Muhammad Syawal yang berjudul Kupiah Meuke-utop dari Tungkop. Barangkali sama seperti yang ada di pikiran orang kebanyakan, bahwa topi atau kupiah ini berasal dari Aceh Barat karena identik dengan Teuku Umar. Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari kabupaten tersebut.

Nyatanya, “... bukanlah berasal dari Aceh

Barat tapi dari Gampong Tungkop, Pidie. ... Ku-piah itu selalu dipakai sebagai penutup kepala Teuku Umar. Seiring perjalanan waktu, nama kupiah Tungkup bergeser ucapan menjadi meu-keutop.” (Halaman: 25)

Begitu juga dengan tulisan Muthi’ah Adnan yang berjudul Mengupas Mahar Gadis Pidie. Tu-lisan ini sangat menggelitik saya dan menjadi tu-lisan kedua yang saya baca secara acak. Seolah ingin menjawab kabar angin mengenai pertan-yaan “benarkah jeulame atau mahar gadis Pidie mahal?”

Muthi’ah menjabarkan angka-angkanya se-cara detail dalam sebuah tabel. Angka-angka itu dikelompokkan berdasarkan kategori rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Angka-angka itu muncul karena empat pertimbangan, salah satunya faktor keturunan. Namun pembaca juga mendapatkan pencerahan, di balik tingginya ma-har gadis Pidie ternyata ada hikmah atau pelaja-ran penting.

Saya juga sempat tercengang dengan istilah keuribueng. Awalnya saya kira istilah itu merujuk

RESENSI

pada serangga kecil yang sengatannya sangat gatal dan pedih, yaitu agas atau keurimue. Ternya-ta keuribueng ini merupakan kuliner khas Pidie berupa adonan bubur beras dan disajikan dalam wadah anyaman daun nipah. Kuliner tradisional ini mulai langka. Bila melewati Pidie bisa singgah di Padang Tiji untuk mendapatkannya.

Banyak cerita-cerita menarik lainnya yang disajikan dalam buku ini, misalnya perihal ke-beradaan Guha Tujoh di Laweung. “Gua ini juga menyajikan kisah teleportasi, perpindahan satu materi melalui dimensi ruang dan waktu, dalam konteks spiritualisme.” (Halaman:95)

Itulah sekelumit gambaran mengenai isi buku ini. Selebihnya ada banyak pertanyaan yang Anda harus cari sendiri jawabannya di buku ini. Selain isi, sampul buku ini juga didesain menarik. Dengan menampilkan kupiah meukeutop sebagai simbol ‘Pidie’ yang beragam melalui simbol warna, terli-hat elegan dengan latar sampul yang seluruhnya berwarna hitam.

Saya juga surprise manakala mengetahui bah-wa salah satu penulisnya merupakan istri Wakil Bupati Pidie, yaitu Wikan Wistihartati. Wikan dengan karyanya berjudul Adee Ie Leubeu Me-manjakan Lidah menunjukkan dirinya yang bisa berbaur dan bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat.

Meski begitu bukan berarti buku ini tidak ada kekurangan, saya masih menemukan cacat se-cara semantik. Beberapa kosakata yang terdapat di buku ini masih belum sesuai Pedoman Umum dan Ejaan Bahasa Indonesia. Misalnya kata salat yang masih ditulis shalat atau saking ditulis sangk-ing.[]

Judul buku : Pernak-pernik Pidie (Kuliner, Budaya, Sejarah & Ekonomi)

Penulis : Mustafa Ibrahim Delima, dkk

Penerbit : Bandar Publishing

Tebal : xvi + 199 halaman

ISBN : 9-786025-440458

Tahun Terbit : 2018

OLEH HAYATULLAH PASEE

Page 16: INVENSI ACEH UNTUK DUNIA...8 Komunitas Kanot Bu Jl. Cut Nyak Dhien, Emperom, Jaya Baru Aceh Besar Reza Mustafa 0812 6934 5808 9 Polyglot Indonesia (PI) Keude Kupi Aceh Jeumpa st, [di

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 2 I DESEMBER 2018IKON

Maman Abdullah, Duta Baca yang Ingin Jadi Presiden

LAPORAN RAIYANA PUTRI KANA

Ma m a n Abdullah, Duta Baca P r o v i n s i Aceh ta-

hun 2018 adalah alumnus Juru-san International Humanitar-ian Law Fakultas Hukum Uni-versitas Syiah Kuala (Unsyiah). Maman terpilih sebagai Duta Baca Daerah setelah mele-wati proses seleksi dewan juri yang dilaksanakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh.

Duta Baca Aceh yang lahir di Jakarta, 24 November 1995 ini mempunyai hobi membaca. Buku yang telah dibaca di anta-ranya Doomday Conspiracy, Las-kar Pelangi, A Short History of Nearly They Thing, Negeri Lima Menara, You’re Stonger Than You Think, Bumi Manusia, Law of War for Armed Forces, Game of Thrones, Will Power Doesn’t Work, dan Khulafaurrasyidin.

“Semakin banyak baca maka semakin besar peluang

untuk memenangi kompetisi. Apalagi kompetisi yang ber-hubungan dengan literasi. Saya pribadi beberapa bulan ini su-dah menambah jumlah bacaan sekitar dua atau tiga buku lagi,” ujarnya saat ditemui Rabu pe-kan lalu.

Anak kedua dari pasangan Idrus dan Nuryati ini bercita-cita menjadi Presiden Indo-nesia atau minimal menjadi sosok berpengaruh dalam duniapendidikan Indonesia. Moto hidup Maman adalah Who wears a crown bears the crown. Ia mempunyai impian terhadap minat baca di Aceh, yaitu meningkat dan berkelan-jutan!

”Saya aslinya Aceh. Saya dari Meulaboh, Aceh Barat. Orang tua saya dari pihak ibu dari Sukabumi, Jawa Barat. La-hir di Jakarta, besar di Jakarta,

SMP di Sukabumi. Terakhir saya pindah ke Aceh saat MAN dan akhirnya saya kuliah di sini,” ujarnya ramah.

Berbagai prestasi telah di-raihnya, seperti Finalis Opini Detik.com 2017, Raja Baca Aceh 2017, Mentor TOEFL dan Pendi-dikan Agama Fakultas Hukum Unsyiah, Wakil Direktur UP3AI Fakultas Hukum Unsyiah, Fi-nalis Esai Tapal Batas Nasional 8 2017, Finalis Mahasiswa Ber-prestasi Fakultas Hukum Un-syiah 2016, Juara 2 English De-bate Competition pada MTQ Unsyiah Tahun 2017.

Selama lima tahun tera-khir ia banyak berkecimpung di dunia literasi. Baru-baru ini ia membentuk pustaka kam-pung bagi anak-anak miskin danyatim di Gampong Lam-paseh Kota, Banda Aceh.

Kegiatan itu dia lak-

sanakan berkerja sama den-gan Rumah Zakat. Maman datang ke sana setiap dua min-ggu sekali dengan membawa buku-buku baru. Setiap dua minggu sekali pula buku-buku tersebut diganti dengan buku-buku yang lebih baru. Tujuan-nya tak lain untuk meningkat-kan minat baca masyarakat, terutama anak-anak. Sering pula di Pustaka Wilayah Aceh setiap hari Sabtu dan biasanya di akhir bulan Maman men-gundang dan mengajak anak-anak TK/PAUD dari beberapa TK dan PAUD yang ada di Ban-da Aceh dan sekitarnya untuk datang dan juga menyaksikan penampilan strory telling. Te-manya luas, ada tentang ke-agamaan, kebudayaan, seni, bahkan sejarah.

Selama setahun tera-khir Maman juga aktif dalam

kepengurusan Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh. Berbagai lomba penulisan karya tulis ilmiah ia ikuti.

Maman juga tercatat se-bagai salah satu anggota Forum Inlis Lite Aceh, yaitu forum bagi para pustakawan dan bagi para pengguna ap-likasi pustaka bisa memakai aplikasi digital untuk memper-mudah bagi para pustakawan dan pemustaka sehingga lebih gampang untuk mencari kata-log buku, untuk mencari, me-minjam, dan mengembalikan buku.

“Inlis Lite Aceh juga ter-hubung dengan jurnal-jurnal internasional yang menjadi salah satu cara bagi pemer-intah untuk meningkatkan minat baca masyarakat, teru-tama masyarakat aceh,” ujar Maman. []