INTROPEKSI DIRI

download INTROPEKSI DIRI

of 4

description

muhasabah nafs

Transcript of INTROPEKSI DIRI

MUHASABAH AN NAFS (INTROPEKSI DIRI)Oleh : dr. Henri Perwira Negara

Wahai Saudaraku, pernahkah Anda berusaha menghitung-hitung kebaikan dan keburukan diri anda ? Sebagaimana Anda menghitung rupiah dan harta Anda?

Pernahkah Anda berusaha menyendiri, lalu mengingat-ingat kekurangan dan kualitas ibadah Anda ? Pernahkah Anda merenungkan amal ketaatan yang telah sekian lama Anda bangga-banggakan? Sudah Bersihkah ia dari kotoran riya, sumah, kebidahan, serta dari ambisi-ambisi duniawi ?

Ketahuilah ! Wahai Saudaraku, waktu terus bergulir. Yang telah lewat tidak akan pernah kembali. Umur kita semakin berkurang dan ajal kian mendekat. Tiada daya yang bisa menolaknya. Oleh karena itu, orang yang menginginkan keselamatan, dia akan menyiapkan diri menghadapinya. Dia akan membekali diri untuk menempuh perjalanan panjang dan menakutkan. Dia akan terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan dan kesalahan. Allh Azza wa Jalla telah mengingatkan kita :

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.[al-Hasyr/59:18]

Bahkan al-Hasan menjadikan introspeksi diri sebagai tanda keimanan seseorang, "Tidaklah anda jumpai seorang mukmin, kecuali dalam keadaan menghitung-hitung dirinya: Apa yang ingin engkau lakukan? Apa yang ingin engkau makan? Apa yang ingin engkau minum? Sebaliknya, orang fjir akan terus berbuat tanpa memperhitungkan dirinya."

Sehingga introspeksi diri adalah salah satu tanda keimanan seseorang dan meninggalkannya merupakan tanda kefasikan. Lebih dari itu, introspeksi diri menggambarkan tingkat ketakwaan seseorang. Maimun bin Mahrn mengatakan, "Sesungguhnya orang yang bertakwa akan lebih kuat menghitung-hitung dirinya bila dibandingkan dengan penguasa zhalim dan sekutu dagang yang pelit."

Definisi Muhasabah An Nafs (introspeksi diri). Imam al-Mawardi mengatakan: "Muhasabah adalah mengintrospeksi diri pada malam hari terhadap aktivitasnya di siang hari. Apabila terpuji maka dilanjutkan dengan perbuatan yang semisal. Jika ternyata jelek, dia akan memperbaiki dan tidak mengulanginya di hari esok."[1]

Muhasabah adalah ketika akal memperhatikan kondisi jiwa, semakin baik atau semakin rusak. Selalu bertanya terhadap perbuatan yang dikerjakan. Mengapa dikerjakan, dan untuk siapa? Jika kebaikan ini karena Alloh dia akan meneruskannya, jika tidak maka dihentikan. Dia akan selalu mencela jiwa atas kelalaian dan kesalahan, jika bisa ditambal dengan perbuatan baik yang menghapusnya, dia akan segera mengerjakannya."[2]

Hukumnya. Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: "Karena seorang hamba akan dihisab atas segala sesuatu, sampai pendengaran, mata dan hatinya sebagaimana Alloh berfirman: 1

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isro [17]: 36)

Semestinya setiap insan muhasabah dirinya sebelum dia diteliti dalam perhitungan hari kiamat. Yang menunjukkan wajibnya introspeksi diri adalah firman Alloh yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Yaitu hendaklah setiap orang melihat apa yang sudah diperbuatnya untuk hari kiamat, apakah amalannya termasuk amalan yang sholih yang bisa menyelamatkan dirinya ataukah amalan yang jelek yang akan membinasakannya. Walhasil, bahwa kebaikan hati adalah dengan muhasabah diri. Hati akan jelek jika diremehkan dan ditinggalkan."[3]

Klasifikasi jiwa. Jiwa manusia ada tiga macam:1. Jiwa yang jelek . Dia adalah jiwa yang selalu memerintahkan berbuat kejelekan, mengikuti hawa nafsu, kesesatan dan tempat-tempat yang jelek. Mengenai jenis jiwa ini Alloh berfirman:

"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Robbku. Sesungguhnya Robbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Yusuf [12]: 53)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: "Kejelekan jiwa itu berkisar dua perkara: mengerjakan kemaksiatan atau lemah dalam mengerjakan ketaatan."[4]

1. Jiwa yang tenang dan bagus. Dia adalah jiwa yang memerintahkan kebaikan dan melarang dari kejelekan. Selalu tenang ingat kepada Alloh kembali dan taubat kepada-Nya, dan selalu dekat dan rindu berjumpa dengan Alloh.

. "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Robbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya." (QS. al-Fajr [89]: 27-28)

1. Jiwa yang selalu mencela dan menyesal. Jiwa jenis ini ada yang mengatakan adalah sifat bagi jiwa yang baik dan jelek. Karena jiwa yang baik akan mencela perbuatan jelek, dan jiwa yang jelek akan mencela perbuatan baik. Alloh berfirman: . "Aku bersumpah demi hari kiamat. Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. al-Qiyamah [75]: 1-2)"[5]

Keutamaan dan manfaat Intropeksi diri 1. Alloh memerintahkannya. Berdasarkan firman Alloh yang berbunyi:

. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. al-Hasyr [59]: 18-19)

Syaikh Abdurrohman as-Sa'di mengatakan: "Ayat yang mulia ini adalah dalil tentang muhasabah seorang hamba terhadap dirinya. Dan sudah selayaknya bagi manusia untuk berintrospeksi diri. Jika dia menjumpai kekurangan, maka wajib menambalnya dan berlepas diri dari dosa dengan taubat serta berpaling dari segala sebab yang bisa membawa dosa. Jika dia menilai bahwa dirinya banyak meremehkan perintah-perintah Alloh , maka hendaknya ia bersungguh-sungguh dan meminta pertolongan kepada Alloh agar diberikan kekuatan untuk menjalankan perintah. Maka yang terhalang dari kebaikan adalah orang yang lalai dari perkara ini, dia seperti kaum yang lupa kepada Alloh , tidak ingat hak-hak Alloh , dan dia malah berpaling mengikuti hawa nafsu! Akibatnya Alloh melupakan mereka, melupakan kebaikan dan manfaat bagi mereka. Jadilah perkara mereka tidak membuahkan apa pun. Mereka kembali dalam keadaan merugi dunia dan akhirat, tertipu dan tidak mungkin ditambal, karena mereka adalah orang-orang yang fasik."[6]

1. Introspeksi diri adalah jalan selamat bagi jiwa. Seorang muslim diibaratkan sebagai tawanan di dunia ini. Dia tidak akan merasa aman sedikitpun hingga berjumpa dengan Alloh .[7] Segala tindakannya akan ditanya pada hari esok. Oleh karenanya bagi orang yang berintrospeksi diri kemudian bangkit dengan memperbaiki arah hidupnya, dia akan memetik buahnya di hari yang tiada guna lagi harta dan anak. Alloh berfirman:

"Pada hari ketika mereka dibangkitkan Alloh semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Alloh mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Alloh Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. al-Mu-jadilah [58]: 6)

Dan juga firman Alloh : "Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya: ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh: dan Alloh memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Alloh sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya." (QS. Ali Imron [3]: 30)

Ketahuilah, sebagaimana orang yang bergelut dalam dunia bisnis dan perdagangan, mereka menghitung hasil usahanya di akhir bulan atau tahun. Demikian pula hendaknya seorang muslim menghitung terhadap amalannya.2

Bila pedagang menghitung hasil usahanya untuk mengetahui untung dan rugi, adapun seorang muslim yang dicari dengan introspeksi diri adalah keuntungan akhirat dengan meraih jiwa yang bersih. Karena hal itu adalah inti kebahagiaan dirinya. Alloh berfirman: . "Sesungguhnya beruntung lah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (QS. asy-Syams [91]: 9-10)

1. Introspeksi diri akan menghantarkan taubat kepada Alloh . Orang yang melihat keadaan dirinya ternyata berada dalam kekurangan akan segera memperbaiki dan bertaubat kepada Alloh Alloh berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Alloh, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya." (QS. al-A'rof [7]: 201)

Hasan al-Bashri berkata: "Seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama dia introspeksi diri dan hal itu menjadi perhatiannya."[8]

1. Mengingatkan perhitungan di akhirat. Seluruh hamba pasti akan diadili Alloh . Sebelum kita mengalami, ada baiknya kita introspeksi diri dan menghitung amalan sendiri. Alangkah bagusnya ucapan sahabat mulia Umar bin Khoththob tatkala berkata: "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Karena hal itu akan lebih ringan bagi kalian dalam menghadapi hari hisab besok."[9]

1. Obat penyakit hati. Sebab utama munculnya penyakit hati adalah bersumber dari diri sendiri. Tidaklah penyakit ini bisa hilang kecuali dengan introspeksi dan berusaha mengubah diri pribadi menjadi lebih baik. Alloh berfirman: "Sesungguhnya Alloh tidak mengubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. ar-Ro'd [13]: 11)

Imam Ibnul Qoyyim berkata: "Sesungguhnya seluruh penyakit hati itu berasal dari jiwa. Seluruh kotoran bermuara pada jiwa, menyerap dan menjalar ke seluruh anggota badan, dan yang pertama kali akan menerimanya adalah hati." [10]

1. Disibukkan dengan aib diri sendiri. Abu Darda berkata: "Tidaklah seseorang dikatakan faqih hingga dia membenci manusia karena Alloh kemudian dia menilai dirinya sendiri, sehingga dia akan sangat benci terhadap dirinya."[11]

Bentuk introspeksi diri 1. Introspeksi diri sebelum beramal Yang bisa dilakukan untuk tujuan ini ialah dengan melihat dan memperhatikan keinginan jiwa ketika akan berbuat. Hendaknya dia menilai apakah keinginan yang terlintas itu untuk kebaikan dan ada manfaatnya ataukah kejelekan semata. Jika baik maka bisa dikerjakan, namun jika tidak hendaknya dibatalkan. Hasan al-Bashri berkata: "Semoga Alloh merahmati seseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Alloh dia teruskan, namun apabila untuk selain-Nya dia akhirkan."[12] Jenis muhasabah sebelum beramal ini sangat penting untuk menimbang apakah amalan yang akan kita kerjakan baik ataukah jelek, ikhlas karena Alloh ataukah ingin riya'. Agar benar-benar amalan kita diterima di sisi Alloh dan tidak sekedar beramal tanpa mempedulikan akibatnya, sehingga termasuk dalam firman Alloh yang berbunyi: . "Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka)." (QS. al-Ghosyiyah [88]: 3-4)

1. Introspeksi diri setelah beramal Jenis introspeksi ini ada tiga bentuk: a. Introspeksi diri terhadap ketaatan yang sudah dikerjakan akan tetapi masih ada celah-celah yang kurang. Yang harus dipenuhi ketika mengerjakan ketaatan adalah ikhlas dan mutaba'ah Rosululloh . Hendaklah dua perkara ini menjadi inti perhatiannya dalam beramal. b. Introspeksi diri terhadap seluruh perbuatan yang bila ditinggalkan akan lebih baik daripada dikerjakan. Contoh kongkretnya adalah bila mengerjakan kemaksiatan atau mengerjakan perbuatan yang tidak wajib hingga perkara yang wajib terlalaikan, seperti orang yang sholat tahajjud semalam suntuk hingga sholat subuhnya terlewatkan. c. Introspeksi diri terhadap perkara yang boleh atau kebiasaan. Yaitu dengan bertanya diri sendiri apakah saya mengerjakannya ada niat ibadah ataukah sekedar rutinitas biasa. Karena perkara yang boleh bisa bernilai ibadah jika diniatkan ibadah. Sahabat Mulia Mu'adz bin Jabal pernah berkata:

"Adapun saya, maka saya sholat dan tidur. Dan saya berharap dalam tidur saya apa yang saya harapkan dalam sholat saya." (HR. al-Bukhori: 4086, Muslim: 1733)[13]

Bagaimana memulai introspeksi diri. Imam Ibnul Qoyyim berkata: "Hendaknya mulai dari perkara-perkara yang wajib, apabila menjumpai kekurangan maka berusahalah untuk menutupnya. Kemudian perkara-perkara yang dilarang, jika sadar bahwa dirinya pernah mengerjakan yang haram maka tambah lah dengan taubat, istighfar dan perbuatan baik yang bisa menghapus dosa. Kemudian introspeksi diri terhadap perkara yang melalaikan dari tujuan hidup ini. Jika selama ini banyak lalai, maka hilangkan lah kelalaian tersebut dengan banyak dzikir, menghadap Alloh . Kemudian introspeksi diri terhadap anggota badan, ucapan yang keluar dari lisan, langkah kaki yang diayunkan, pandangan mata yang dilihat, telinga dalam hal yang didengarkan. Tanyakanlah dalam diri, apa yang saya inginkan dengan ini, untuk siapa saya kerjakan dan bagaimana saya mengerjakannya."[14]

Kisah teladan 1. Umar Bin Khoththob Anas bin Malik berkata: Suatu hari aku pernah pergi bersama Umar Bin Khoththob. Tatkala beliau masuk ke sebuah kebun, saat itu antara aku dan beliau dipisahkan dengan sebuah tembok, aku mendengarnya berkata: Umar bin Khoththob adalah Amirul Mukminin, uh, tidak berguna!, demi Alloh, engkau taat kepada Alloh wahai Ibnu Khoththob atau jika tidak engkau akan disiksa oleh-Nya!."[15]

1. Hanzholah al-Usaidi Abu Bakr dan Hanzholah datang menemui Rosululloh . Hanzholah berkata: "Wahai Rosululloh, Hanzholah telah berbuat nifak!." Rosululloh menjawab: "Mengapa bisa demikian wahai Hanzholah?" Hanzholah menjawab: "Wahai Rosululloh, kami jika bersamamu, ingat surga, neraka, hingga seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala langsung. Namun bila kami keluar dari sisimu, kami tersibukkan dengan istri, anak dan mencari nafkah, sehingga kami banyak lupa dan lalai." Mendengar hal itu Rosululloh bersabda: "Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian konsisten dengan keadaan kalian seperti ketika berkumpul bersamaku dan selalu ingat, maka para malaikat akan menyalami di tempat-tempat tidur kalian, di jalan-jalan kalian, akan tetapi wahai Hanzholah, waktu, waktu beliau mengucapkannya tiga kali."[16] 3

1. Sufyan Bin Uyainah Dia berkata: "Ada salah seorang dari kalangan salaf bertemu saudaranya, lantas dia berkata: Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Alloh, jika engkau mampu tidak menyakiti orang yang engkau cintai maka lakukanlah!. Laki-laki itu keheranan sambil bertanya: Apakah ada orang yang menyakiti orang yang ia cintai? Salaf itu menjawab: Ya, jiwamu itu adalah sesuatu yang paling berharga bagimu, apabila engkau bermaksiat kepada Alloh, sungguh engkau telah menyakiti jiwamu!"[17]

1. Abdulloh Bin Mubarak Suatu hari Abdulloh bin Mubarok pernah ditanya: "Mengapa kamu tidak duduk-duduk bersama kami?" Beliau menjawab: "Aku pergi bersama para sahabat dan tabi'in!" yang bertanya berkata: Di mana ada para sahabat dan tabi'in? beliau menjawab: Aku pergi merenungi dan mempelajari ilmu mereka, sehingga aku mendapati pengaruh ilmu dan amalan mereka. Namun, apa yang bisa aku perbuat jika bersama kalian, kalian hanya meng-ghibah manusia!"[18]

1. Ibrahim at-Taimiy Dia berkata: "Aku ibaratkan diriku berada dalam surga, aku makan buah-buahannya, minum dari sungainya dan berkumpul dengan para bidadarinya. Dan aku ibaratkan juga bahwa diriku berada dalam neraka, aku makan dari buah zaqumnya, minum dari lelehan apinya, berusaha melepaskan diri dari rantai-rantai yang mengikat. Aku berkata kepada diriku: Wahai jiwa, apa yang engkau inginkan? Jiwa berkata: Aku ingin dikembalikan ke dunia, sehingga aku bisa beramal sholih. Aku berkata: engkau berada dalam angan-angan belaka, beramallah!"[19]

Footnote [1] Adab Dunya wa ad-Din hlm. 560, al-Mawardi, Tahqiq, Yasin Muhammad as-Sawas[2] Silsilah A'mal al-Qulub hlm. 269, Qism Tahqiq bi Markaz Dr. Abdul Warits al-Haddad, Kairo[3] Ighotsatul Lahfan: 1/167, Ibnul Qoyyim, Tahqiq, Ali Hasan Ali Abdul Hamid[4] Syarah al-Ushul min Ilmi al-Ushul hlm.10 [5]Lihat Ighotsatul Lahfan: 1/153-156, Ibnul Qoyyim, at-Ta'liq 'ala al-Qowaid wal Ushul al-Jami'ah hlm.11, Ibnu Utsaimin[6] Taisir Karim ar-Rohman hlm.1014[7]Mukhtashor Minhajul Qoshidin hlm.471, Ahmad bin Abdurrohman al-Maqdisi, Tahqiq: Ali Hasan Ali Abdul Hamid[8] Muhasabah an-Nafs No.34, Nadhrotun Naim: 8/3323[9] Muhasabah an-Nafs No.22, Ibnu Abi Dunya, Nadhrotun Naim: 8/3322[10] Ighotsatul Lahfan: 1/74[11] Az-Zuhd No.134, Ighotsatul Lahfan: 1/168[12] HR. al-Baihaqi dalm Syuakbul Iman: 5/458[13] Ighotsatul Lahfan: 1/162-164, Ibnul Qoyyim[14] Ighotsatul Lahfan: 1/165[15] Muhasabah an-Nafs No.23, Ibnu Abi Dunya[16] HR. Muslim: 2750[17] Muhasabah an-Nafs No.96[18] Hilyah Auliya: 8/164[19] Muhasabah an-Nafs No.34