Intoleransi Laktosa Diantara Anak

21
Intoleransi Laktosa pada anak-anak dengan gizi buruk dan diare yang diakui oleh pusat gizi, rumah sakit Mulago, Uganda. Richard Nyeko, Israel Kalyesubula, Edison Mworozi dan Hanifa Bachou. Abstrak Latar belakang Intoleransi laktosa merupakan komplikasi diare yang umum terjadi pada bayi dengan malnutrisi dan merupakan penyebab kegagalan dalam suatu pengobatan. Kombinasi kelainan gizi dengan infeksi mengakibatkan kekurangan energi protein dimana terjadi pengurangan kapasitas mukosa usus dalam menghasilkan enzim laktase. Penatalaksaan standar pada pasien dengan gizi buruk meliputi rehabilitasi gizi dengan pemberian susu formula yang mengandung laktosa. Walaupun demikian, pada beberapa anak yang berisiko mengalami intoleransi laktosa kemungkinan tidak dapat mencapai hasil penatalaksanaan yang diinginkan. Studi ini bertujuan untuk membuktikan hubungan terjadinya intoleransi laktosa dengan faktor-faktor yang berkorelasi dalam masyarakat. Metode Studi deskriptif ini dilakukan di Mwanamugimu Nutrition Unit (MNU), rumah sakit Mulago pada bulan Oktober 2006 sampai Februari 2007 dan melibatkan 196 anak dengan gizi buruk dan diare yang berusia 3- 60 bulan. Hasil 1

Transcript of Intoleransi Laktosa Diantara Anak

Page 1: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

Intoleransi Laktosa pada anak-anak dengan gizi buruk dan diare yang diakui

oleh pusat gizi, rumah sakit Mulago, Uganda.

Richard Nyeko, Israel Kalyesubula, Edison Mworozi dan Hanifa Bachou.

Abstrak

Latar belakang

Intoleransi laktosa merupakan komplikasi diare yang umum terjadi pada bayi dengan

malnutrisi dan merupakan penyebab kegagalan dalam suatu pengobatan. Kombinasi kelainan

gizi dengan infeksi mengakibatkan kekurangan energi protein dimana terjadi pengurangan

kapasitas mukosa usus dalam menghasilkan enzim laktase.

Penatalaksaan standar pada pasien dengan gizi buruk meliputi rehabilitasi gizi dengan

pemberian susu formula yang mengandung laktosa. Walaupun demikian, pada beberapa anak

yang berisiko mengalami intoleransi laktosa kemungkinan tidak dapat mencapai hasil

penatalaksanaan yang diinginkan. Studi ini bertujuan untuk membuktikan hubungan terjadinya

intoleransi laktosa dengan faktor-faktor yang berkorelasi dalam masyarakat.

Metode

Studi deskriptif ini dilakukan di Mwanamugimu Nutrition Unit (MNU), rumah sakit

Mulago pada bulan Oktober 2006 sampai Februari 2007 dan melibatkan 196 anak dengan gizi

buruk dan diare yang berusia 3- 60 bulan.

Hasil

Studi penelitian yang dilakukan selama periode tersebut menunjukkan bahwa 196 anak

dengan gizi buruk dan diare, 50 (25.5%) dari anak-anak tersebut mengalami intoleransi laktosa

(reduksi tinja ≥ 1 + [0.5%] dan pH feses < 5.5) dan gizi buruk umumnya lebih banyak terjadi

pada anak-anak yang mengalami kwashiorkor 27/75 (36.0%) dibandingkan dengan marasmus

dan kwashiorkor 6/25 (24.0%) dan marasmus 17/96 (17.7%). Gizi buruk disertai dengan edema

(p= 0.032), erosi kulit perianal (p= 0.044), frekuensi buang air besar yang meningkat (p= <0.001)

dan mengalami diare sebanyak 2 kali dalam periode 3 bulan (p= 0.007) merupakan predictor

independen terjadinya intoleransi laktosa.

Faktor lain yang memiliki korelasi bermaknaterhadap intoleransi laktosa diantaranya

adalah usia 3-12 bulan; imunisasi yang tidak lengkap; diare persisten; muntah-muntah; dehidrasi

dan perut kembung. Asi eksklusif kurang dari 4 bulan dan diare yang semakin parah dalam

1

Page 2: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

proses pengobatan dengan inisiasi susu juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya

intoleransi laktosa.

Kesimpulan

Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa pada studi ini relatif tinggi, yakni mencapai 25.5

%. Skrining feses rutin yang dilakukan berupa pH feses dan reduksi tinja sebaiknya dilakukan,

khususnya pada anak-anak yang mengalami gizi buruk dan diare dengan edema, erosi kulit

perianal, tingginya frekuensi buang air besar serta mengalami riwayat diare ≥ 2 kali dalam

waktu 3 bulan. Penggunaan diet bebas laktosa seperti yogurt dapat dipertimbangkan

pemberiannya bagi anak-anak yang terbukti mengalami intoleransi laktosa dan rendah

responsnya terhadap terapi dengan susu formula.

2

Page 3: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

I. Latar Belakang

Intoleransi laktosa merupakan komplikasi diare yang umum terjadi pada bayi dengan gizi

buruk dan merupakan penyebab gagalnya suatu pengobatan. Prevalensi terjadinya intoleransi

laktosa sekunder adalah 26% sampai 100% pada anak-anak. Aktivitas enzim laktase berkurang

pada pasien dengan kwashiorkor bahkan pada derajat rendah sekalipun. Intoleransi karbohidrat

lebih banyak terjadi pada penderita kwashiorkor (48.3%) dibandingkan dengan marasmus (15%),

marasmus- kwashiorkor (20%) dan anak-anak yang dalam keadaan stabil (23.5%). Kwashiorkor

juga berhubungan dengan kemampuan penyerapan zat gizi pada pasien. Sebagai akibatnya,

pasien dengan kwashiorkor juga mengalami penurunan kadar vitamin dan mineral dan hal

tersebut juga mendukung terjadinya kerusakan yang lebih parah terhadap mukosa usus dan

proliferasi bakteri abnormal dalam usus dan terjadinya imunodefisiensi.

Anak dengan kurang energi protein pada umumnya mengalami penurunan aktifitas enzim

laktase. Intoleransi laktosa sekunder dapat terjadi pada semua usia namun lebih banyak terjadi

pada bayi.

Manifestasi klinis intoleransi laktosa adalah tinja cair yang bersifat asam, perut kembung,

dan flatus yang berlebihan. Erosi kulit perianal yang merupakan akibat dari kontak kulit dengan

tinja yang bersifat asam juga manifestasi klinik yang sering ditemukan. Angka kejadian

intoleransi laktosa meningkat secara bermakna pada anak-anak yang memiliki riwayat diare dan

dehidrasi yang berkorelasi dengan diare osmotik.

Dalam suatu penelitian, intoleransi susu pada kasus diare lebih banyak terjadi pada anak

yang terinfeksi giardia. Studi yang dilakukan Pettoello dan rekannya di Italia juga menemukan

korelasi antara malabsorpsi laktosa dengan anak-anak yang terinfeksi giardiasis dimana

prevalensinya 45 %.

Angka kematian pada anak-anak yang mengalami gizi buruk sangat tinggi (24 % kejadian

pada saat penelitian ini dilakukan). Kematian ini sebagian diakibatkan adanya dehidrasi yang

memperburuk keadaan defisiensi enzim laktase.

3

Page 4: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

II. Metode

Tempat studi

Studi dilakukan di Mwanamugimu Nutrition Unit (MNU) of Mulago Hospital, Kampala,

rumah sakit pendidikan bagi Makerere University College of Health Sciences. Bagian pediatrik

dan kesehatan anak merupakan salah satu departemen terbesar di rumah sakit tersebut, menerima

pendaftaran lebih dari 10 000 anak setiap tahunnya. MNU memiliki kapasitas 72 kasur yang

secara khusus menangani anak dengan gizi buruk dengan rata-rata pendaftaran pasien 50-70

pasien setiap bulannya, sekitar 50% pasien datang dengan diare, dan sisanya datang dengan

penyakit yang bervariasi sesuai dengan musim.

Pola studi

Studi penelitian ini menggunakan penelitian cross- sectional. Sampel penelitian dihitung

berdasarkan rumus Leslie Kish (The Leslie Kish Formula) dan prevalensinya sebesar 15 %

ditemukan oleh Tolboom pada anak marasmus Besotho.

Populasi penelitian terdiri atas anak-anak dengan gizi buruk dan diare yang berusia 3-60

bulan, diakui sebagai pasien di rumah sakit Mulago selama studi ini berlangsung. Klasifikasi gizi

buruk menurut WHO (World Health Organizations) : penderita gizi buruk adalah seorang anak

dengan berat badan menurut tinggi badan kurang dari -3SD atau kurang dari 70 % baku median

WHO-NCHS (National Centre for Health Statistics), atau anak-anak yang mengalami pitting

edema pada kakinya (pitting pedal oedema). Adapun klasifikasi Wellcome menyebutkan bahwa

penderita kwashiorkor adalah anak dengan berat badan menurut usia 60-80 % baku median

dengan adanya edema pada kaki, marasmus adalah gizi buruk dengan berat badan

menurut usia < 60% dan tidak ada edema, atau marasmus-kwashiorkor dimana berat badan

menurut usia < 60 % disertai edema pada kedua kakinya. Anak-anak yang diet dengan makanan

bebas laktosa tidak masuk dalam sampel penelitian ini.

Pengumpulan data/ prosedur studi penelitian

Pengumpulan data yang dilakukan penulis dilakukan berdasarkan pengelompokkan

sampel dan pemberian kuesioner serta pemeriksaan tinja pasien dalam waktu 24 jam setelah

diberikan susu yang mengandung laktosa. Adapun pemeriksaan feses yang dilakukan meliputi

pemeriksaan pH dan reduksi tinja. Pemeriksaan positif apabila reduksi tinja sama atau lebih

4

Page 5: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

daripada 1+(=0.5%) dan pH tinja < 5.5. Pemeriksaan mikroskopi terhadap tinja bertujuan untuk

mengetahui adakah ditemukannya lemak, telur cacing atau kista, parasit (giardiasis), sel radang

dan jamur (Candida albicans). Penilaian yang cepat untuk mengetahui ada/ tidaknya komplikasi

adalah adanya hipotermia, dehidrasi, dan atau syok serta infeksi. Pasien juga telah mendapatkan

terapi sebelum dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini bermannfaat bagi orang tua maupun

pengasuh anak. Pada penelitian ini juga dilakukan pre-test konseling HIV.

Prosedur laboratorium

Pemeriksaan sampel darah sebelumnya telah dilakukan untuk pemeriksaan HIV.

Konseling mengenai hasil pemeriksaan tersebut akan dilakukan secepatnya setelah hasilnya

keluar. Semua anak yang ditemukan positif HIV akan dialih rawatkan ke bagian klinik penyakit

infeksi pediatrik (Paediatric Infectious Disease Clinic / PIDC) untuk mendapatkan penanganan

yang sesuai. Hal ini juga dilakukannya pada ibunya yang menderita HIV.

Pemeriksaan pH tinja dilakukan dengan menggunakan kertas pH sedangkan pemeriksaan

reduksi tinja menggunakan larutan Benedict. Pemeriksaan ini dilakukan pada laboratorium yang

memiliki tenaga kerja handal serta reputasi yang terpercaya di rumah sakit Mulago.

Pengaturan Data dan analisis data

Data dikumpulkan dan dimasukkan dalam suatu sistem komputerisasi yang menggunakan

Epidata 3.1. Semua data yang telah terkumpul sebelum analisa data telah dilakukan pemeriksaan

ulang untuk memeriksa kelengkapan data serta keakuratan data. Analisa data dilakukan dengan

menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SSPS II). Adapun

variabel yang digunakan berupa rata-rata (means), median, serta deviasi standar (DS)

Dalam analisis data ini juga digunakan odds ratio serta test Chi-square yang digunakan

sebagai kekuatan data dan mengetahui korelasi antar faktor-faktor terkait dengan variabel

dependen sementara tes student digunakan untuk variabel selanjutnya.

Adanya multivariabel data digunakan untuk menentukan faktor independen yang

menunjukkan korelasi terhadap intoleransi laktosa. Nilai p < 0.05 dapat dipertimbangkan adanya

korelasi bermakna dalam data statistik ini. Adapun hasil penelitian ini telah disimpulkan pada

tulisan, tabel, serta grafik yang tercantum pada jurnal penelitian ini.

5

Page 6: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

Pertimbangan etik

Penelitian ini melibatkan badan etika dan komite penelitian dari universitas Makere serta

persatuan penelitian dan teknologi nasional Uganda (Ethics and Research Committee of The

School of Health Sciences, Makerere University, and The Uganda National Council for Science

and Technology). Informed consent (pernyataan persetujuan) telah dilakukan sebelum penelitian

dilakukan kepada orang tua maupun pengasuh anak.

6

Page 7: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

III. Hasil penelitian

Studi penelitian ini melibatkan196 anak yang berusia 3-60 bulan (rata-rata umur 15.5

bulan dan median 12 bulan). 64 (32.7%) dalam studi penelitian anak ini ditemukan positif HIV

dan hanya satu diantara mereka yang menjalani pengobatan dengan menggunakan antiretrovirus.

113 (57.7%) adalah laki-laki dan hanya 50.0% (98/116) yang telah melakukan imunisasi.

Angka prevalensi intoleransi laktosa sebesar 25.5% dan diderita lebih banyak oleh

anak-anak yang berusia 3-12 bulan (68.0%), dimana 90% kasus yang terjadi pada anak-anak

memiliki riwayat intoleransi laktosa selama 2 tahun. Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa

menurun setelah 24 bulan kehidupan mereka, dan pada usia inilah terjadinya peningkatan

prevalensi penderita intoleransi laktosa akibat gizi buruk dapat terlihat.

Intoleransi laktosa pada umumnya lebih banyak pada anak-anak dengan kwashiorkor

{27/75 (36.0%), [p= 0.011]} dibandingkan marasmus dan kwashiorkor {6/25 (24.0%),

[p=1.000]} dan marasmus {17/196 (17.7%), [p=0.021]} (tabel 1. Toleransi laktosa dengan gizi

buruk).

7

Page 8: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

Analisis data selanjutnya menggunakan umur anak serta status imunisasi (tabel 2), dalam

masa ASI eksklusif dan pada masa diberikannya susu terapeutik (Tabel 3). Kedua hal ini

memiliki korelasi bermakna dengan intoleransi laktosa. Selain itu terdapat pula hubungan dengan

terjadinya diare, riwayat terjadinya diare dalam waktu 3 bulan serta frekuensi buang air besar

(Tabel 4). Adanya muntah-muntah, suhu badan, status hidrasi serta adanya edema, erosi kulit

perianal dan perut kembung merupakan manifestasi klinis bermakna pada kasus intoleransi

laktosa (Tabel 5).

Dengan adanya multivariabel dalam analisa data ini, gizi buruk yang disertai edema, erosi

kulit perianal, frekuensi buang air besar dan mengalami riwayat diare berulang dalam waktu

3 bulan merupakan prediktor independen dalam studi penelitian intoleransi laktosa.

8

Page 9: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

9

Page 10: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

10

Page 11: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

11

Page 12: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

IV. Diskusi

Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa pada 196 anak yang menderita gizi buruk dan

diare sebesar 25.5% sebelumnya telah dilakukan studi penelitian Senegal yang menyimpulkan

bahwa prevalensi intoleransi laktosa adalah 26 %. Walaupun demikian, angka prevalensi pada

studi ini juga memiliki hasil yang signifikan.

Berdasarkam hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya intoleransi laktosa lebih

banyak terjadi pada anak-anak dengan kwashiorkor 27/75 (36.0%) dibandingkan marasmus

kwashiorkor 6/25 (24%) dan marasmus 17/96 (17.7%) konsisten dengan penelitian yang

dilakukan oleh Tolboom dan rekan-rekannya. Fakta ini tidaklah mengejutkan dan fakta ini

memperkuat penyataan bahwa kwashiorkor menunjukkan korelasi dengan berbagai variabel gizi

buruk, seperti halnya kerusakan mukosa usus sehingga terjadi defisiensi penyerapan vitamin dan

mineral. Kegagalan usus dalam mencegah perkembangbiakan bakteri sehingga bateri tersebut

mampu melewati lipopolisakarida dan beredar dalam sirkulasi darah sehingga tidak

terkontrolnya mekanisme inflamasi yang terjadi dalam tubuh manusia juga berperan penting

dalam hal ini.

Sebagian besar anak-anak (68%) dengan intoleransi laktosa adalah bayi berusia 3-12

bulan. Hal ini, walaupun demikian juga menjadi risiko bagi anak-anak normal sebagaimana

ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Gabr dan rekannya di Mesir. Hal yang

menjadi perbedaan ialah pada anak-anak normal, intoleransi laktosa terjadi secara primer dimana

manifestasi klinisnya semakin bermakna pada saat usia anak mencapai 5 tahun.

Anak-anak dengan intoleransi laktosa memiliki frekuensi buang air besar lebih sering (≥8

kali dalam 24 jam) [p<0.001]. hal ini juga ditemukan dalam studi penelitian yang dilakukan oleh

Ozmert dan rekannya di Turki.

Penderita dengan intoleransi laktosa juga memiliki riwayat penyakit diare dalam waktu 3

bulan. Adanya penyakit diare berulang akan menimbulkan gangguan pada vili usus sehingga hal

ini merupakan predisposisi defisiensi laktase.

Intoleransi laktosa lebih banyak menyerang anak-anak yang menderita diare persisten

(34.2%) apabila dibandingkan dengan diare akut (20.0%). Fagundes-Neto dan koleganya di

Brazil juga mendapatkan hasil studi penelitian yang mendukung fakta ini (33.3% dan 18.2%)

Tiga puluh lima anak (70%) dengan intoleransi laktosa akan menunjukkan manifestasi klinis

erosi kulit perianal (p< 0.001).

12

Page 13: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

Penelitian lain menyebutkan adanya korelasi antara intoleransi laktosa dengan giardiasis,

namun ternyata hanya satu anak yang menderita giardiasis dan ia tidak dapat dibuktikan

mengalami intoleransi laktosa. Begitu pula dengan Salmonela dan penderita HIV, tidak ada

korelasi bermakna dengan intoleransi laktosa.

Studi penelitian memiliki keterbatasan diantaranya tidak dilakukan breath hydrogen test

(uji hidrogen napas) yang mana merupakan gold standar dalam menentukan diagnosa intoleransi

glukosa. Pemeriksaan ini tidak dilakukan karena mahal.

13

Page 14: Intoleransi Laktosa Diantara Anak

V. Kesimpulan

Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa yang terjadi pada anak-anak dengan gizi buruk

dan diare pada studi ini relatif tinggi, yakni mencapai 25.5%, khususnya pada kelompok

umur 3-12 bulan. Prediktor klinik dari intoleransi laktosa pada anak dengan gizi buruk meliputi

edema, erosi kulit perianal, meningkatnya frekuensi buang air besar dan memiliki riwayat diare

berulang ≥ 2 kali dalam waktu 3 bulan. Adanya intoleransi laktosa dapat dipertimbangkan

melalui skrining feses rutin meliputi pH feses dan reduksi tinja. Pemberian yogurt dapat

dipertimbangkan bagi anak-anak yang terbukti mengalami intoleransi laktosa dan rendah

responsnya terhadap terapi.

VI. Permasalahan

Para peneliti menyatakan bahwa mereka sependapat mengenai penelitian ini.

14