INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH ...

download INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH  (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

of 25

Transcript of INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH ...

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    1/25

    1

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

    (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    Mutiara MutiahGita Arasy Harwida

    Fitri Ahmad KurniawanFakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo

    Abstract

    The SMEs is the nation assets which contributes more than 50% of the Ind onesias Gross Domestic Product (GDP) structure. In fact, the growth of the SMEs numbers is not followed by the increase of the tax revenue from this sector. Furthermore, as the effect, the SMEs sector became the object of extensification tax from the Directorate General of Taxation (DJP). Besides, some research found that the SMEs also were not handy in making the financial statement as of the basic information tocalculate the income tax. Thus, this research objective is to dig the SMEs interpretation towardstaxation and its implication. The informant of this research were SMEs taxpayers who live in the

    Kabupaten Bangkalan who represented the individual or non-individual tax payers whose businesswere in the manufacturing, trading, or service sector. All the data were gathered from direct interview with the informant and being analyzed by using the phenomenologist approach. Beside theSMEs activist this research also positioned the tax officer as an informant in order to confirm all the

    information obtain ed from the SMEs informants. The result showed that the SMEs informant interpretation towards the taxation were almost associated with its core substances which were as aresponsibility, expended by the government for the regard of public interest and based on the law and regulation. However, not all of the SMEs informants were able to implement their taxation obligationappropriately. Moreover, they argued that the taxation obligation and its implication tended to put them in a complicated situation as they had to do many things to fulfill their obligation regarding taxation.

    Keyword: Taxation and Its Implication, Interpretation, Financial Statement, The SMEs

    1. PENDAHULUAN

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    2/25

    2

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Disaat Indonesia mengalami krisis, yang mampu bertahan dikala deburan ombak

    keterpurukan hanyalah UMKM. UMKM ibarat sebuah pioner bangsa yang mampu menjelma sebagai

    dewa penyelamat disaat keterpurukan terjadi. Perekonomian Indonesia sesungguhnya secara riil

    digerakkan oleh para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kelompok usaha ini telah

    terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan Produk Domestik

    Bruto (PDB) nasional dan ekspor. Kontribusinya secara total dalam PDB sebesar 55,6%, mampu

    menyerap tenaga kerja sebanyak 96,18% dengan nilai investasi 52,9% dan kinerja ekspor non migas

    mencapai 20,2% (Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 2009). Dari

    besarnya penerimaan negara yang berasal dari sektor UMKM, maka akan berpotensi besar pula

    jumlah penerimaan pajak dari sektor tersebut. Jumlah UMKM yang dari tahun ke tahun semakin

    menjamur, memberikan peluang kepada pemerintah untuk membidik sektor ini dalam upaya

    ekstensifikasi pajak. Namun, hal tersebut tidak mudah karena dimungkinkan adanya berbagai

    penafsiran dari Wajib Pajak UMKM dalam hal perpajakannya. Dan fakta di lapangan menunjukkan

    tumbuhnya UMKM tidak seiring dengan jumlah kenaikan penerimaan pajak (DJP, 2009). UMKM

    merupakan suatu usaha yang identik dengan kesederhanaan, sehingga dalam hal pembuatan laporan

    keuangan juga masih sederhana. Laporan keuangan hanya sebatas sebuah pencatatan mengenai

    jumlah pembelian dan penjualan yang dapat dicapai selama kegiatan operasionalnya.

    Beberapa penelitian tentang praktek akuntansi keuangan pada UMKM menunjukkan bahwa

    masih rendah dan memiliki banyak kelemahan (Suhairi & Wahdini, 2006; Raharjo & Ali, 1993;

    Benjamin, 1990; Muntoro, 1990). Pihak bank dan fiskus seringkali mengeluhkan ketidakmampuan

    dan atau kelemahan-kelemahan UMKM dalam menyusun laporan keuangan. Dari beberapa hasil

    penelitian yang menunjukkan kesulitan atau kelemahan UMKM dalam menyusun laporan keuangan,

    maka akan membawa dampak dalam menentukan jumlah penghasilan kena pajak. Sulitnya

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    3/25

    3

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    menghitung pajak, merupakan salah satu yang sering dikeluhkan masyarakat bila berhubungan

    dengan kantor pajak. Bukan hanya Wajib Pajak (WP) orang pribadi, WP badan juga mengalami hal

    yang sama. Padahal, bagi WP badan, ada kewajiban membuat laporan keuangan (Direktorat Jenderal

    Pajak, 2009)

    Selain sebagai alat untuk mengetahui perkembangan usaha dan untuk kepentingan

    stakeholders , laporan keuangan juga merupakan sumber data untuk menghitung pajak. Dalam praktik,

    sangat sering WP masih bertanya berapa pajak yang harus dibayar. Padahal pemerintah sudah

    mengeluarkan kebijakan sistem pemungutan pajak yang memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk

    menentukan sendiri pajak yang harus dibayar, yaitu menghitung, membayar dan melaporkan sendiri

    pajak yang terutang atau yang dikenal dengan sistem pemungutan pajak self assessment system .

    Dengan diberlakukannya sistem penghitungan pajak self assessment system , sepertinya menambah

    kebingungan wajib pajak khususnya UMKM yang notabene masih sederhana dalam pembukuannya

    dan mayoritas masih melakukan pencatatan. Berdasarkan fenomena yang berkembang di masyarakat

    menunjukkan bahwa, UMKM masih sederhana dalam hal perlakuan akuntansinya, maka

    kemungkinan besar terdapat berbagai penafsiran atau penginterpretasian terhadap kewajiban

    perpajakannya. Berdasarkan penelitian kuantitatif Ekawati dan Radianto (2008) yang melakukan

    survey terhadap pemahaman dan kepatuhan Wajib Pajak UMKM di Kota Yogyakarta, maka

    penelitian ini mencoba melakukan pengembangan dengan menganalisis WP UMKM yang terdapat di

    Kabupaten Bangkalan menggunakan metode kualitatif. Karena, di Kabupaten Bangkalan memiliki

    potensi yang besar terhadap perkembangan UMKM. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah

    UMKM yang mempunyai omzet penjualan hingga ratusan juta rupiah (Dinas Koperasi dan UMKM

    Kabupaten Bangkalan, 2010).

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    4/25

    4

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa dalam

    penafsiran atau penginterpretasian WP UMKM terhadap pajak. Dengan demikian akan diketahui

    tingkat pemahaman Wajib Pajak terhadap perpajakan dan kinerja dari aparat pajak dalam upaya

    meningkatkan penerimaan pajak.

    2. LANDASAN TEORI

    2.1 Hakekat Interpretasi

    Interpretasi adalah suatu deskripsi dan ungkapan yang mencoba untuk mengerti tentang sebuah

    data atau peristiwa melalui pemikiran yang lebih mendalam (Mudji, 2005). Selain itu, Interpretasi

    dapat dikatakan sebagai aktivitas yang bertujuan untuk memberikan informasi yang menarik dan

    akurat untuk mengungkapkan pemahaman dan pengertian tentang arti dan hubungan antara pihak

    yang menafsirkan ( interpreter ) dengan suatu peristiwa (Joko, 2003).

    Dalam interpretasi, pemahaman dan pemaknaan untuk penafsiran tidak diarahkan pada suatu proses

    yang hanya menyentuh permukaan saja tetapi ditekankan untuk mampu menembus ke dalam makna

    yang terkandung di dalam peristiwa. Untuk itu interpreter diharuskan memiliki wawasan yang luas

    dan mendalam tentang objek dan peristiwa yang sedang dibahas. Selain itu, berhasil tidaknya

    interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal sangat bergantung pada kecermatan dan

    ketajaman interpreter dalam memandang peristiwa tersebut.

    Dalam konsep penafsiran diharapkan interpreter tidak hanya menjelaskan secara klausal

    dalam pemahamannya tetapi lebih dalam membawa diri pada suatu pengalaman hidup serta

    memasukkan unsur-unsur kognitif, emosional, dan visional manusia secara keseluruhan untuk

    membentuk kerangka tindakan komunikatif yang akhirnya akan mencapai pemaknaan yang bersinergi

    dan timbal balik (Mudji, 2005). Selain itu, faktor ilmu pengetahuan, teori, filsafat, pergerakan sosial

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    5/25

    5

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    sampai pada idealisme merupakan hal-hal yang sangat mempengaruhi seorang interpreter dalam

    menginterpretasi sebuah fenomena.

    2.2 Pengertian Pajak

    Definisi pajak menurut UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

    Perpajakan pasal 1 ayat (1) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

    atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

    secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara baik sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

    berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal

    (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

    umum (Mardiasmo, 2008:1)

    2.3 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak UMKM

    Kewajiban perpajakan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam hal

    perpajakannya, baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan. Setiap Wajib Pajak mempunyai

    kewajiban perpajakan yang berbeda, karena terdapat kriteria-kriteria tertentu untuk tiap golongan

    Wajib Pajak termasuk untuk Wajib Pajak UMKM. Kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak UMKM

    adalah sebagai berikut:

    a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

    b. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar

    c. Mengisi dengan benar SPT dan melaporkannya dalam batas waktu yang telah ditentukan.

    d. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    6/25

    6

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    e. Melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

    Sedangkan, hak-hak Wajib Pajak menurut Mardiasmo (2008:54) meliputi:

    a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding.

    b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT

    c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan.

    d. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT.

    e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.

    f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak.

    g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

    h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat

    ketetapan pajak yang salah.

    i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.

    j. Apabila Wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, Wajib Pajak berhak meminta bukti

    pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak, mengajukan surat keberatan dan permohonan

    pajak.

    k. Hak mendapatkan pelayanan perpajakan gratis.

    l. Hak kerahasian bagi wajib pajak.

    m. Hak mendapatkan insentif perpajakan.

    2.4 Telaah Literatur

    Berdasarkan penelitian Ekawati dan Radianto (2008) yang melakukan penelitian survey terhadap

    pemahaman dan kepatuhan Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Yogyakarta

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    7/25

    7

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    menunjukkan bahwa secara keseluruhan Wajib Pajak UMKM paham dan patuh dalam melakukan

    kewajiban perpajakan.

    Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengembangan penelitian dengan menggunakan

    metode kualitatif yang bertujuan untuk mencari makna (interpretasi) pajak dan implikasinya menurut

    perspektif Wajib Pajak UMKM. Dengan demikian, akan ada perbedaan dengan penelitian sebelumnya

    yang menggunakan metode kuantitatif. Tidak hanya itu, dalam penelitian ini peneliti juga melibatkan

    fiskus. Dengan pertimbangan bahwa fiskus memiliki kaitan dengan pemahaman Wajib Pajak UMKM

    terhadap pajak dan implikasinya.

    Selain itu, penelitian ini menggunakan paradigma interpretif dengan pendekatan fenomenologi

    yang mengaca pada fenomena yang terjadi pada UMKM menunjukkan bahwa UMKM masih lemah

    dalam praktek akuntansi khususnya dalam menyusun laporan keuangan (Suhairi & Wahdini, 2006;

    Raharjo & Ali, 1993; Benjamin, 1990; Muntoro, 1990). Laporan keuangan merupakan alat yang

    digunakan sebagai dasar dalam perhitungan pajak. Karena lemahnya dalam menyusun laporan

    keuangan, dikhawatirkan UMKM mengalami kesulitan dalam menentukan besarnya pajak yang harus

    dibayar. Dan kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa, tumbuhnya UMKM tidak

    seiring dengan kenaikan penerimaan pajak.

    3. METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Jenis dan Paradigma Penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

    membangun suatu proposisi dan menjelaskan makna dibalik realita sosial yang terjadi. Penelitian ini

    juga berupaya memandang apa yang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan

    yang diperoleh di dalamnya dimana peneliti berpijak dari realita atau peristiwa yang berlangsung

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    8/25

    8

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    dilapangan dengan latar belakang lingkungan yang alamiah (Bungin, 2007:44). Paradigma yang

    digunakan dalam penelitian ini menggunakan Paradigma interpretif memfokuskan pada pola pikir,

    etika, dan perilaku manusia dianggap sebagai suatu tindakan yang melibatkan niat, kesadaran, dan

    alasan tertentu yang tergantung pada makna dan interpretasi manusia dalam memahami dan

    memandang fenomena sosial (Bungin, 2007:46).

    3.2 Pendekatan Fenomenologi

    Pendekatan fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau

    fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian

    ini dilakukan dalam situasi yang alami sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami

    fenomena yang dikaji. Pemahaman atas suatu fenomena tergantung pada siapa yang menafsirkan,

    waktu, situasi, kepentingan atau tujuan pembacaan, pengetahuan, kebiasaan, pengalaman, serta latar

    belakang lainnya (Ridwan, 2008).

    3.3 Informan

    Informan yang pertama adalah pemilik UMKM. Karena, pemilik merupakan orang yang dinilai tahu

    mengenai segala apa yang berkaitan dengan usahanya yang dalam hal ini adalah mengenai pajak.

    UMKM yang menjadi objek atau informan dalam penelitian ini adalah UMKM yang berada di

    kabupaten Bangkalan. Jumlah UMKM yang dipilih sebanyak 3, peneliti menginginkan adanya

    tanggapan, pandangan, reaksi, serta interpretasi atas pajak dari UMKM yang berbeda latar belakang

    guna mempertajam data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data

    dalam bentuk narasi, ucapan yang selanjutnya dianalisa untuk dijadikan bukti-bukti guna mendukung

    kebenaran dalam pengungkapan suatu pandangan mengenai alasan interpretasi obyek terhadap

    fenomena.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    9/25

    9

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Adapun kriteria UMKM yang dipilih adalah sebagai berikut:

    a) Berbentuk perseorangan atau badan

    b) Manufaktur, jasa dan dagang

    Informan yang kedua adalah Direktorat Jenderal Pajak (Fiskus). Fiskus disini lebih spesifik

    adalah bagian yang terkait dengan sosialisasi perpajakan (kebijakan perpajakan bagi UMKM) dan

    bagian ekstensifikasi pajak. Karena, hal ini bermaksud untuk konfirmasi data setelah informasi dari

    UMKM diperoleh. Dan DJP yang dipilih adalah KPP Pratama Bangkalan yang berada dalam naungan

    Direktorat Jenderal Pajak Kanwil II Jawa Timur.

    3.4 Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, meliputi:

    b. Survei pendahuluan

    Berupa menggali informasi-informasi up-to date baik melalui artikel, internet, media cetak, dan

    lainnya untuk memperoleh gambaran tentang UMKM dan memahami permasalahan yang akan

    diteliti dan dibahas dalam penelitian ini.

    c. Survei kepustakaan

    Berupa kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data jadi yang diperoleh baik dari buku-buku,

    jurnal maupun aturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan teori-teori yang mendukung.

    d. Pengumpulan data lapangan

    Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan observasi, wawancara, rekaman dan dokumentasi.

    Proses pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, dalam observasi tersebut

    peneliti melakukan wawancara secara mendalam guna memperoleh informasi yang terkait dengan

    tujuan penelitian. Dalam proses wawancara, peneliti menggunakan alat perekam untuk

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    10/25

    10

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    mempermudah proses pengumpulan data. Dan sebagai tambahan informasi/data diperoleh dari

    dokumentasi-dokumentasi yang mendukung penelitian.

    3.5 Teknik Analisis Data

    Langkah-langkah analisis data pada pendekatan fenomenologi (Creswell, 2007), yaitu:

    1. Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena

    pengalaman yang telah dikumpulkan.

    2. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap

    penting.

    3. Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan dengan melakukan horizonaliting yaitu

    setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya pernyataan

    yang tidak relevan dengan topik pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif dihilangkan

    sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau pembentuk dari

    phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan).

    4. Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang

    bagaimana pengalaman tersebut terjadi.

    5. Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena sehingga

    menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian

    mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada informan) dan

    structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi).

    6. Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang

    diteliti dan mendapatkan makna pengalaman informan

    mengenai fenomena tersebut.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    11/25

    11

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    7. Membuat laporan pengalaman setiap informan, setelah itu membuat tulisan gabungan dari

    gambaran-gambaran tersebut.

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Tax And I mplication Dalam Realitas Usaha Mikro Kecil Dan Menengah

    Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, kita mempunyai kewajiban untuk membangun

    negeri ini yaitu salah satunya dengan membayar pajak. Agar kemauan untuk membayar pajak itu

    tinggi, maka pemahaman terhadap definisi atau substansi dari pajak itu sendiri perlu diperhatikan.

    Ibaratnya kita membayar pajak akan tetapi tidak mengetahui maksud dan tujuannya, sehingga sama

    halnya dengan peribahasa membeli kucing dalam karung .

    Untuk menghindari hal demikian, penelitian ini mencoba menggali informasi dari beberapa

    informan yang mempunyai latar belakang yang berbeda tentang pemahamannya terhadap definisi atau

    substansi dari pajak. Dari informan yang sudah peneliti wawancarai, mereka mendefinisikan pajak

    sebagai berikut:

    Menurut informan A:

    Kalau bagi saya mbakpajak itu kewajiban kita kepada Negara, ya.. sama kayak sholatlah mbak yang merupakan kewajiban kita kepada Tuhan, bukannya saya sok atau gimana ya.. setidaknya berusahamemenuhi kewajiban meskipun tidak sempurna.nah kembali ke pajak tadi...itu merupakan kewajiban kitakepada Negara yang mempunyai penghasilan. Ibaratnya saya punya penghasilan 5000 yang 1000 buat

    pajak kayak gitu. Saya dan keluarga juga bayar pajak..anak dan suami saya juga bayar pajak..

    Dari pernyataan informan A di atas definisi atau subtansi dari pajak sudah cukup mengena yaitu

    merupakan suatu kewajiban . Mereka sudah paham terhadap kewajibannya sebagai warga Negara

    yaitu dengan membayar pajak. Kenyataan tersebut selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

    Ekawati dan Radianto (2008) yang menyatakan bahwa Wajib Pajak UMKM paham terhadap

    kewajiban perpajakannya.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    12/25

    12

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Berbeda dengan pernyataan dari informan B yang merupakan usaha mikro, mereka tidak tahu

    apa itu pajak, sebagaimana kutipan percakapan yang sudah peneliti dapatkan sebagai berikut:

    saya gak tahu tapi kalo berbicara masalah pajak, apa selama ini sudah transparan? alokasi pajak itu untuk apa-untuk apanya?belum kan?sepertinya pajak itu masuk ke kantong pemerintah sendiri..kita lihat tu kasus

    sapa..Gayus ato sapa lah..

    Dari pernyataan di atas, informan secara definisi tidak mengetahui pajak, akan tetapi secara

    implisit informan tersebut paham substansi dari pajak. Sebagaimana kutipan apa selama ini sudah

    transparan?alokasi pajak itu untuk apa- untuk apanya? , dari sepenggal pernyataan tersebut

    informan tahu kalau sebenarnya pajak itu dialokasikan untuk kepentingan umum bukan malah untuk

    kepentingan segelintir orang yang dalam hal ini masuk ke kantong pemerintah sendiri.

    Untuk informan C yang berbentuk badan usaha, menyatakan hal yang berbeda tentang

    pajak:

    Saya berharap semoga artinya pajak itu adalah suatu bentuk sumbanga n dengan nilai tertentu yang

    tercantum dalam UU yang hasilnya tersebut digunakan untuk pembangunan.

    Pernyataan dari infoman C lebih mengarah pada suatu bentuk iuran yang telah ditetapkan berdasarkan

    undang-undang, hal ini selaras dengan teori yang telah dipaparkan dalam UU No.28 Tahun 2007

    tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan teori dari Dr. Rochmat Soemitro dalam

    Mardiasmo (2008:1).

    Berdasarkan penjelasan dari ketiga informan yang sudah peneliti wawancarai, mereka

    menginterpretasikan pajak hampir sudah mengena terhadap substansi dari pajak itu sendiri. Informan

    A menyatakan pajak itu suatu kewajiban , informan B secara eksplisit menyatakan bahwa pajak

    seharusnya untuk pembangunan, dan informan C menyatakan besaran pajak atau nilai yang

    tercantum dalam UU . Hal ini mengindikasikan bahwa, mereka cukup paham terhadap substansi

    pajak.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    13/25

    13

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Praktek akuntansi UMKM menunjukkan bahwa masih rendah dan memiliki banyak

    kelemahan (Suhairi & Wahdini, 2006; Raharjo & Ali, 1993; Benjamin, 1990; Muntoro, 1990). Pihak

    bank dan fiskus seringkali mengeluhkan ketidakmampuan dan atau kelemahan-kelemahan UMKM

    dalam menyusun laporan keuangan tersebut, padahal laporan keuangan merupakan formula utama

    dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak. Karena masih lemahnya UMKM dalam praktek

    akuntansi khususnya menyusun laporan keuangan, maka peneliti akan membuktikan dengan mencari

    tahu bagaimana UMKM dapat menentukan penghasilan kena pajaknya. Berikut adalah sepenggal

    pernyataan dari para informan:

    Informan A:

    Saya ada m bak laporan keuangan tapi gak terlalu lengkap cuma rekapitulasi penjualan, pembelian sama laporan rugi laba. saya kalo ngitung pajak gak pake laporan keuangan soalnya bingung yang masalah biaya-biaya yang dikurangkan itu..kan ada yang boleh dikurangkan sama yang gak bolehdikurangkan..jadi ya saya milih pake norma perhitungan lebih gampang.

    Informan A merasa kesulitan dalam menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, jika

    berdasarkan laporan keuangan, karena informan A merasa kebingungan dengan biaya-biaya yang

    dapat dan tidak dapat dikurangkan. Laporan keuangan yang dibuat pun cukup sederhana hanya

    laporan rugi laba dan rekapitulasi tentang pembelian dan penjualan. Hal demikian yang menjadi

    alasan informan A untuk memilih menggunakan norma perhitungan. Pernyataan yang senada

    dikemukakan oleh informan B, yang memilih untuk menggunakan norma perhitungan dalam

    menentukan besarnya pajak yang dibayar. Berikut adalah sepenggal pernyataan dari informan B:

    Kalo ngitung untung hanya oret -oretankita gak buat la poran keuangan..kita mengira-ngira belibarangnya berapa trus dijual berapa..nah selisihnya itu yang jadi keuntungannya. Yang masalahngitung pajak penghasilan yaitu kan setahun sekali, buat nentuin jumlah penjualan selama setahun

    ya kita kira-kira, penjualan kotor sebulan itu dikalikan 12 bulan, dari situ kita tahu penghasilan kena pajaknya dikalikan persenannya norma perhitungan. Saya repot dan bingung kalo bikin laporankeuangan,,jadi milih yang gampang- gampang aja.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    14/25

    14

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Kondisi yang sangat berbeda dengan informan sebelumnya, jika informan A masih ada

    laporan keuangan meskipun hanya sederhana, namun informan B sama sekali tidak menyusun laporan

    keuangan, hanya sebatas oret-oretan mengenai perputaran operasionalnya yang meliputi pembelian

    dan penjualan. Informan B merasakan kerepotan jika harus menyusun laporan keuangan. Jadi secara

    umum, kedua informan tersebut (A dan B) memilih menggunakan norma perhitungan untuk

    menentukan besarnya pajak yang dibayar, karena merasa lebih mudah tanpa harus menyusun laporan

    keuangan sebagai dasar untuk mengitung PhKP. Perbedaan interpretasi tersebut mungkin karena latar

    belakang pendidikan informan. Informan A berlatar belakang pendidikan S1 ekonomi, sehingga

    sedikit banyak mengetahui manfaat penyusunan laporan keuangan, meskipun masih sederhana.

    Berbeda dengan informan B yang mempunyai latar belakang pendidikan SLTA, kemungkinan besar

    informan tersebut belum mengetahui manfaat penyusunan laporan keuangan, sehingga merasa repot

    jika menyusun laporan keuangan.

    Menentukan besarnya pajak dengan menggunakan norma perhitungan, hanya berlaku untuk

    WP OP yang mempunyai peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00

    (empat miliar delapan ratus juta rupiah), sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.36 tahun 2008

    pasal 14 ayat (2). Sehingga bagi WP badan tidak diperkenankan menggunakan norma perhitungan,

    tetapi wajib melakukan pembukuan (menggunakan laporan keuangan untuk menentukan besarnya

    pajak yang dibayar). Dengan demikian, aturan tersebut mau tidak mau harus dijalankan, sebagaimana

    hasil wawancara dengan informan C yang berstatus sebagai WP badan sebagai berikut:

    Laporan keuangan ada pake ledger..jadi laporan keuangan hanya sekitar buku besar saja, daritransaksi dicatat ke buku besar..dari situ kita bikin laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi.

    Laporan keuangan yang buat pajak kan kita bikin setahun sekalikita yang sulit itu sering terjadidalam mengartikan transaksi. Jadi ginikita sering salah mengartikan traksaksi yang boleh dan gak boleh di kurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajakjadi itu yang bikin kita repot.

    Karena usaha kita sudah berbentuk badan jadi kita wajib pake pembukuanyang jadi masalah sering salah mengartikan traksaksi itu.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    15/25

    15

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Meskipun kewajiban menggunakan laporan keuangan untuk menentukan besarnya pajak

    yang dibayar (pembukuan) diprioritaskan bagi WP badan, akan tetapi WP OP yang memiliki

    peredaran bruto lebih dari Rp. 4,8 miliar memiliki kewajiban yang sama dengan WP badan. Dan yang

    menjadi masalah dalam menggunakan laporan keuangan untuk menentukan besarnya pajak yang

    dibayar adalah rata-rata informan menyatakan kesulitan dalam mengartikan transaksi.

    Dapat disimpulkan bahwa dari beberapa pernyataan dari informan menyebutkan, Informan

    A menyatakan meskipun sudah ada laporan keuangan, tetapi memilih menggunakan norma

    perhitungan untuk menentukan pajak, karena merasa kesulitan untuk membedakan biaya-biaya yang

    boleh dan tidak boleh dikurangkan dalam pajak. Informan B merasa keberatan kalau menyusun

    laporan keuangan karena repot, sehingga hanya membuat oret-oretan saja. Untuk menentukan

    penjualan setahun (peredaran bruto) guna menghitung pajaknya juga berdasarkan perkiraan saja. Lain

    halnya dengan informan C, karena adanya kewajiban melakukan pembukuan bagi Wajib Pajak badan,

    maka harus menyusun laporan keuangan, meskipun tidak terlalu lengkap.

    Sebenarnya pemerintah cukup akomodatif dengan menggulirkan kebijakan yang

    mempermudah UMKM dalam menghitung pajaknya yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (2), (3), dan (5)

    UU Pajak Penghasilan, memberikan kemudahan bagi UMKM untuk menghitung pajaknya tanpa

    melalui pembukuan. Ini dilakukan dengan cara menghitung penghasilan neto melalui norma

    penghitungan. Dengan cara ini, penghitungan pajak sangat mudah dan praktis. Dasarnya, cukup

    dengan mengetahui jumlah peredaran bruto usaha selama satu tahun. Untuk menghitung penghasilan

    netonya, dikalikan dengan persentase norma penghitungan yang telah ditetapkan besarannya. Terakhir

    dengan keputusan Dirjen Pajak No. KEP-536/PJ/2000. Namun, tidak semua dan secara otomatis

    UKM dapat menggunakan norma penghitungan. Hingga tahun pajak 2006, yang diperkenankan

    melakukan norma penghitungan adalah yang memperoleh omzet atau peredaran bruto kurang dari Rp

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    16/25

    16

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    600 juta. Itupun hanya bagi yang berstatus sebagai orang pribadi. Bukan badan usaha. Kemudian

    terdapat aturan juga melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.03/2007 tentang kebijakan baru

    mengenai besaran peredaran bruto yang dapat menggunakan norma penghitungan yaitu sampai

    dengan Rp.4.800.000.000. Wajib Pajak yang berstatus badan tetap ada kewajiban melakukan

    pembukuan. Jadi mau tidak mau laporan keuangan harus tetap dibuat dengan konsekuensi apapun.

    Selain membayar pajak penghasilan (pribadi atau badan), UMKM juga wajib membayar

    pajak-pajak lainnya baik pajak pusat maupun pajak daerah. Kewajiban membayar pajak selain pajak

    penghasilan, telah dikemukakan oleh informan sebagai berikut:

    Informan A:

    selain bayar pajak penghasilan, saya juga bayar Pajak Bumi dan Bangunan. Terus itu mbak, saya dulu pernah pas mengadakan pameran produk saya di Jakarta kan menyewa tempat, nah oleh pihak pengelola sayadisuruh bayar pajak katanya sih pajak PPN, jadi pajak yang saya bayar itu pajak penghasilan, PBB, dan

    PPN..Untuk pajak- pajak yang lain belum.

    Informan B:

    pajak yang saya bayar cuma pajak penghasilan dan pajak bumi dan bangunan..PPN g ada wong saya ini pedagang kecil, beli barang di pasar terus saya jual lagi dengan mematok keuntungan ya tidak banyak paling 500 sampai 1000 ja.

    Informan C:

    . PPN yang dikenakan pada kita itu bukan PPN barang tetapi PPN jasa..ya ibaratnya kita itu makelar..jasamakelarnya itu yang kena....

    Pajak yang kita bayar itu pajak pph badan,ppn, dan pajak pph perorangan..yang pajak perorangan itu saya dan juga karyawan

    Ketiga informan menyatakan bahwa selain membayar pajak penghasilan (pribadi atau badan),

    mereka membayar PPN dan PBB. Namun melihat pernyataan dari informan A, dia dikenakan PPN

    atas sewa tempat, padahal jika dilihat dari transaksinya, menyewa tempat seharusnya juga dipotong

    PPh pasal 4 ayat (2) atas jasa sewa tempat/bangunan. Hal ini membuktikan implementasi atas PPh

    pasal 4 ayat (2) belum dilaksanakan yaitu melakukan pemotongan PPh atas transaksi sewa

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    17/25

    17

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    tempat/bangunan. Berbeda dengan informan B yang hanya membayar PPh pribadi dan PBB, informan

    B tidak dikenakan PPN karena belum PKP dan merupakan pedagang kecil (usaha mikro). Selanjutnya

    informan C selain membayar PPh pribadi juga bayar PPh badan dan PPN. Informan C membayar PPh

    badan karena statusnya sebagai WP badan, dan membayar PPN atas jasa yang dijalankan karena

    informan C sudah ditetapkan sebagai PKP.

    Namun berdasarkan penjelasan dari informan C, implementasi dari pengenaan PPN tidak

    tepat. Karena sebelumnya informan C menyatakan PPN yang dikenakan adalah atas jasa akan tetapi

    dasar penghitungan PPN-nya dari jumlah penjualan dikurangi jumlah pembelian dikalikan dengan

    tarif 10%. Pernyataan itu keluar ketika informan menjelaskan adanya PPN yang kurang bayar. Berikut

    adalah sepenggal pernyataan dari informan C:

    .. Tahun 2007 labaku 38 juta tapi PPN-ne 60 juta itu dari mana?ini kan PPN Cuma 10%, berartikalau sampai 60 juta labanya dapete sampai 600 juta. Lah wong gak sampai 60 juta. Itu dapat darimana? Itu dapatnya dari 10% dikali penjualan- pembelian..

    Dari pernyataan diatas terlihat jelas bahwa informan C menghitung besarnya PPN yang

    dikenakan yaitu dari penjualan pembelian x 10%. Padahal pengenaan PPN berdasarkan UU PPN

    No.42 tahun 2009 pasal 8A ayat (1) yaitu mengalikan tarif 10% dengan dasar pengenaan pajak (harga

    jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor atau nilai lain). Memang jika dihitung secara sederhana,

    hasil dari PPN kurang bayar adalah sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan atau

    implementasi PPN di usaha informan C belum tepat. Selain itu, WP juga harus memperhatikan

    pengenaan PPN atas usaha atau jasa tertentu yang tidak diatur dalam UU akan tetapi diatur dalam

    peraturan lainnya, penjualan-penjualan yang memiliki unsur PPN yang dapat digolongkan pajak

    keluaran serta biaya-biaya yang memiliki unsur PPN yang dapat digolongkan pajak masukan.

    Sehingga, akan bisa ditelusuri apa yang menyebabkan perbedaan perhitungan PPN yang dikenakan.

    Berkaitan dengan adanya kewajiban membayar pajak bagi Warga Negara Indonesia salah

    satunya UMKM, maka kewajiban membayar pajak itu pasti akan membawa dampak atau implikasi.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    18/25

    18

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Implikasi yang ditimbulkan dapat berupa implikasi positif maupun implikasi negatif. Menurut

    UMKM beberapa dampak atau implikasi yang dirasakan karena adanya kewajiban membayar pajak

    adalah sebagai berikut:

    Informan A:

    Dampak dari pajak ya itu mbak kita jadi ngurus NPWP, ngitung, ngisi SPT terus melaporkannya. Bagi sayaitu cukup merepotkan yatapi ya harus gimana lagi itu kan sudah jadi kewajiban kita.

    Informan B:

    gini ya usa ha saya ini kan masih tergolong kecil tapi ya Alhamdulillah dapat berjalan lancar terus, buktinya saya sampai sudah bisa bayar pajak. Tapi memang saya akui, dengan adanya pajak itu ya cukup bikin kitarepot, harus ngitung sendiri pajaknyaya untungnya k ita gak pake laporan keuangan, coba kalau nyusunlaporan keuangan tambah bingung. Kita gak nyusun laporan keuangan karena memang biar gak ribet.

    Informan C:

    Dengan adanya pajak hpp kita jadi mahal, sehingga cukup berpengaruh terhadap penjualan jasa yan g kitatawarkan..jasa tersebut kena PPN..masyarakat cenderung memilih jasa yang tanpa PPN. Tidak hanya itu..pajak

    juga menambah pekerjaan kita..karena belum bikin laporannya, menghitungiya kalo laporannya bener..kalo salah kita kena sanksi, itu yang bikin repot.

    Dari pernyataan ketiga informan diatas, tampaknya dengan adanya pajak memberikan

    dampak atau implikasi yang cenderung mengarah pada suatu kerepotan, mereka merasa banyak yang

    harus dikerjakan terkait adanya pajak yang dikenakan. Hal ini mungkin, karena manfaat yang

    ditimbulkan dari adanya pajak itu tidak secara langsung dapat mereka rasakan, sehingga paradigma

    yang muncul adalah sesuatu yang cenderung berkonotasi negatif. Padahal jika kita menyadari

    sepenuhnya manfaat dan nilai dari pajak, mungkin paradigma seperti itu tidak akan muncul sehingga

    dengan penuh kesadaran akan melaksanakan kewajibannya sebagai Warga Negara yang baik.

    Untuk mencapai suatu kesadaran, pemahaman dan kepatuhan dari Wajib pajak tentunya

    diimbangi dengan suatu sistem yang baik dari pihak pembuat kebijakan dalam hal ini fiskus. Sistem

    tersebut meliputi kebijakan perpajakan, administrasi serta kinerja daripada fiskus itu sendiri.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    19/25

    19

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Kebijakan perpajakan, sistem administrasi dan kinerja fiskus tentunya mendapat sorotan dari Wajib

    Pajak yang selama ini menjadi objek dari sistem tersebut. Menurut Wajib Pajak UMKM sehubungan

    dengan hal-hal yang berkaitan dengan sistem perpajakan adalah sebagai berikut:

    Informan A:

    Menurut saya, sebenarnya tidak ada masalah dengan aturan -aturan pajak, yang terpenting bagaimana prang-orang pajak itu memberikan pelayanan yang terbaik buat Wajib Pajak, kalau pelayanannyaenak..kita juga kan gak males kalau berurusan dengan pajak. Harapan saya, agar kita sebagai Wajib Pajak

    selalu diarahkan dan kepercay aan kita gak disalah gunakanlah.

    Informan B:

    Harapan semua orang itu pastinya ingin yang terbaik, kita lihat sajalah yang ada di depan mata apa yang terjadi pada kinerja pajak. Ya niat kita bayar pajak inikan kembalinya pada kita. Istilahnya dari kita,oleh kita dan untuk kita. Tapi kenapa kok ada kasus penyelewengan pajak itu. Harapan saya sih mungkin

    pemerintah lebih menata mentalnya karena apa, uang pajak itu kan katanya untuk pembangunan jangan sampailah masuk ke kantong sendiri. Terus yang masalah kebijakan atau mengenai aturan pajak mungkin sudah cukup lumayan tidak ada masalah bagi saya.

    Informan C: Pengenaan pajak itu kan sifatnya mengikat ada hukumnya tapi pada kenyataannya kenapa kok yang dikenakan pajak itu hanya wp sedangkan yang bukan wp yang sebenarnya sudah kena pajak itu banyak

    yang tidak bayar pajak.. ada dlm suatu peraturan dlm uu pajak yang menyatakan bahwa bagi perusahaan jasa yang mempunyai omset penjualan sampai dengan 600jt maka akan ditetapkan sebagai pkp.... pkp ini kan s ebetulnya merupakan asset dr kantor pajak..karena pkp2 inilah yng memberikankontribusi pada kantor pajak.. seharusnya mereka itu berperan aktif lah untuk menjaring pkpkarena apamisalnya gini kita menjual tiket dengan ppn kan otomatis lebih mahal yang belum jadi pkp g ada ppnotomatis lebih murahkenapa mereka g ad ppn karena mereka belum menjadi pkp kenapa blm pkp krnmereka bukan wp,,kenapa bukan wp krn mereka g daftarnah berarti pihak pajak slm ini pasif dong menunggu orang daftar.. kita lihat saja secara kasat mata di terminal itu kan banyak agenbuspenghasilan mereka kalo diitung -itung sudah lebih dari ptkp anggap saja satu orang 40.000 satu bus

    isinya 20 0rang kalo dikalikan sudah berapa itunah seperti itu mereka belum jadi wpmereka tidak mendaftarkan diri..berarti petugas pajak selama ini pasif kan, y setidaknya menjaring mereka atau bahkanbisa dipaksa.kalo seperti ini yang bisa membuat kecemburuan sosial .Yang terpenting adalah sosialisasi, karena kita kan tidak selamanya paham..trus tiap-tiap daerah itu adaapa tu namanya AR..nah AR selama ini sifatnya pasif..klo wp g bertanya y mereka diam..kalo seperti itukan kita g ngerti,,seharusnya mereka lebih aktif lah.

    Secara umum dapat disimpulkan bahwa evaluasi ketiga informan diatas rata-rata

    menyoroti masalah kinerja dari pegawai pajak itu sendiri, mereka mempunyai harapan ke depannya

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    20/25

    20

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    pegawai pajak lebih menata diri kembali baik dari segi pelayanan maupun mental. Karena jika

    image nya sudah tertata dengan baik, maka kepercayaan akan terbentuk dengan sendirinya yang

    akhirnya bermuara pada suatu kesadaran untuk meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan

    kewajiban perpajakan.

    4.2 Pemahaman UMKM terhadap Pajak Versi Kacamata Fiskus

    Jika berbicara tentang pajak, dua pihak yang saling bersinergi adalah Direktorat Jenderal

    Pajak (fiskus) dan Wajib Pajak. Fiskus merupakan pihak yang menangani masalah perpajakan

    meliputi pembuat kebijakan, melakukan pengawasan dan pemeriksaaan. Sedangkan Wajib Pajak

    merupakan pihak yang menjalankan kebijakan yang ada terkait dengan perpajakan. Guna

    meningkatkan penerimaan pajak, fiskus membidik UMKM sebagai target ekstensifikasi yang

    potensial.

    Hasil kegiatan ekstensifikasi pajak yang sudah dilakukan KPP Pratama Bangkalan (fiskus)

    dalam kurun waktu 2010, telah berhasil menjaring 40 UMKM yang mendapatkan Nomor Pokok

    Wajib Pajak (Bagian Ekstensifikasi KPP Pratama Bangkalan, 2010). Ternyata dalam melakukan

    ekstensifikasi pajak untuk UMKM bukanlah hal yang mudah, sebagaimana kutipan pernyataan dari

    fiskus sebagai berikut:

    Hasil eks tensifikasi 40 unit UMKM merupakan upaya yang tidak mudah, karena kami dalam melakukan

    ekstensifikasi menghadapi suatu kendala, dimana kebanyakan UMKM itu tidak memasang papan nama sehingga kami kesulitan dalam melakukan identifikasi, alhasil yang kita dap at cuma segitu jumlahnya

    Dari pernyataan fiskus di atas terkait dengan kegiatan ekstensifikasi, ternyata menghadapi

    suatu kendala yang dalam hal ini sehubungan dengan identitas dari UMKM yang belum ada, sehingga

    fiskus kesulitan dalam melakukan identifikasi. Kesulitan tersebut yang akhirnya membuahkan hasil

    hanya sedikit UMKM yang terjaring. Fakta tersebut berarti mendukung atau selaras dengan

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    21/25

    21

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    pernyataan dari salah satu UMKM yang menyatakan bahwa masih banyak UMKM yang belum

    menjadi Wajib Pajak.

    Upaya ekstensifikasi yang dilakukan fiskus tidak hanya berhenti pada pemberian Nomor

    Pokok Wajib Pajak, namun ada upaya tindak lanjut dengan mensosialisasikan kebijakan perpajakan.

    Pemahaman UMKM terhadap perpajakan merupakan perwujudan atau salah satu bukti dari kinerja

    fiskus dalam mensosialisasikan kebijakan perpajakan. Berdasarkan pengamatan peneliti, fiskus

    berusaha untuk mensosialisasikan kebijakan perpajakan bagi UMKM sebagai tindak lanjut kegiatan

    ekstensifikasi. Seperti halnya fiskus telah melakukan sosialisasi perpajakan yang bekerja sama

    dengan pihak akademisi dan instansi-instansi yang terkait. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPP

    Pratama Bangkalan, bahwasannya KPP Pratama Bangkalan berusaha melakukan sosialisasi setiap

    bulan (data terlampir). Kegiatan sosialisasi tersebut merupakan perwujudan sosialisasi direct , selain

    itu, fiskus juga melakukan sosialisasi melalui media cetak, elektronik, spanduk, brosur dan lain-lain.

    Dari berbagai upaya yang telah dilakukan di atas, lalu bagaimana hasil yang sudah dicapai

    untuk mewujudkan pemahaman dari UMKM. Pemahaman UMKM terhadap perpajakan menurut

    kaca mata fiskus adalah sebagai berikut:

    Tingkat pemahaman UMKM terhadap kewajiban perpajakan selama ini cukup lumayan, mereka lumayan patuh meski masih ada juga yang merasa takut terlebih dahulu ketika pegawai pajak melakukan sosialisasi,karena mereka masih keberatan kalau harta mereka digunakan untuk membayar pajak.

    Menurut pegawai pajak (fiskus) tingkat pemahaman UMKM cukup lumayan, namun ada juga UMKM yang merasa keberatan jika sebagian harta mereka digunakan untuk membayar pajak.

    Untuk mengatasi hal demikian, pegawai pajak (fiskus) dapat lebih proaktif mendekatkan diri dan

    merangkul UMKM agar mau membayar pajak dengan melakukan sosialisasi yang lebih intens.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    22/25

    22

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Sosialisasi yang dijalankan oleh fiskus selama ini, banyak menghadapi kendala,

    sebagaimana kutipan berikut:

    Berdasarkan pengalaman sosialisasi yang sudah kami jalankan kemarinUMKM lebih antusiasmenghadiri sosialisasi jika diadakan oleh KPP yang bekerja sama dengan dinas-dinas terkait sepertidinas koperasi dan UMKMmungkin karena mereka di bawah naungan dinas tersebut maka timbul rasa percaya dan aman, mereka banyak yang datang, namun jika diadakan pihak lain merekakurang berminat

    Mengaca dari pengalaman yang sudah ada, berarti UMKM cenderung berminat mengikuti

    sosialisasi jika diadakan oleh KPP yang bekerja sama dengan dinas-dinas yang terkait misalnya Dinas

    Koperasi dan UMKM. Apapun kendalanya, setiap kebijakan seyogyanya memang harus

    disosialisasikan agar bisa dipahami dan diterima oleh masyarakat. Selama ini image fiskus kurang

    mendapatkan tempat di hati masyarakat. Hubungan antara Wajib Pajak dan fiskus seringkali berada

    dalam posisi tidak setara secara de facto meskipun secara de yure kesetimbangan ini sudah coba

    diakomodasi di dalam Pasal 36A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007.

    Ada keyakinan yang kuat bahwa sesungguhnya masih cukup tersedia ruang dan cara untuk

    meningkatkan kualitas komunikasi antara Wajib Pajak dan fiskus dengan basis pengetahuan dan

    keilmuan di dalam ranah perpajakan. Kesadaran untuk menjadi Wajib Pajak dan memenuhi segala

    kewajibannya perlu dibina sehingga timbul disetiap kalbu Wajib Pajak yang hidup bermasyarakat.

    Dengan demikian, maka roda pemerintahan akan berlangsung lancar demi kepentingan wajib pajak itu

    sendiri, lancarnya suatu roda pemerintahan akan melancarkan pula tercapainya keseluruhan cita cita

    rakyat atau penduduk yang hidup dalam negara adil dan makmur berdasarkan lingkup nilai nilai

    Pancasila dan UUD 1945.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    23/25

    23

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Setiap rakyat atau penduduk harus sadar bahwa kewajiban membayar pajak bukanlah untuk

    pihak lain, tetapi untuk melancarkan jalannya roda pemerintahan yang mengurusi segala kepentingan

    rakyat sendiri. Jadi sadar berkorban dan pengorbanan itu adalah untuk kepentingannya sendiri dari

    generasi ke generasi.

    Oleh sebab itu, dengan adanya sosialisasi diharapkan kepatuhan wajib pajak dapat timbul dari diri

    wajib pajak. Sehingga wajib pajak sadar akan kewajiban kewajibannya dalam hal membayar pajak.

    5. PENUTUP

    Berdasarkan penjelasan dari ketiga informan yang sudah peneliti wawancarai, mereka

    menginterpretasikan pajak hampir sudah mengena terhadap substansi dari pajak itu sendiri meliputi

    (suatu kewajiban, digunakan untuk pengeluaran umum dan didasarkan pada undang-undang). Hal ini

    mengindikasikan bahwa, mereka cukup paham terhadap substansi pajak.

    Berkaitan dengan ketepatan implementasi pajak, bahwa ada beberapa informan yang kurang tepat

    mengimplementasikan pajaknya. Informan A, seharusnya memotong PPh pasal 4 ayat (2) atas

    penggunaan jasa sewa tempat/bangunan, tetapi tidak dijalankan. Kemudian informan C tidak tepat

    dalam menggunakan formula penghitungan PPN-nya.

    Implikasi dari adanya pajak bagi UMKM menunjukkan bahwa dari pernyataan ketiga

    informan, tampaknya dengan adanya pajak memberikan dampak atau implikasi yang cenderung

    mengarah pada suatu kerepotan, mereka merasa banyak yang harus dikerjakan terkait adanya pajak

    yang dikenakan. Hal ini mungkin, karena manfaat yang ditimbulkan dari adanya pajak itu tidak secara

    langsung dapat mereka rasakan, sehingga paradigma yang muncul adalah sesuatu yang cenderung

    berkonotasi negatif.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    24/25

    24

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Banda Aceh, 21-22 Juli 2011

    Berkaitan dengan upaya ekstensifikasi pajak yang berjalan belum maksimal, maka implikasi

    bagi Direktorat Jenderal Pajak hendaknya lebih agresif menggandeng Dinas Koperasi dan UMKM

    untuk berjalan bersama-sama demi suksesnya upaya ekstensifikasi. Karena secara fungsi, Dinas

    Koperasi dan UMKM merupakan Instansi Pemerintah yang sedikit banyak mengetahui seluk beluk

    objek yang dinaunginya.

    Dengan demikian, diharapkan upaya ekstensifikasi dapat berjalan dengan maksimal. Tidak hanya itu,

    sosialisasi yang berkesinambungan dari pemerintah secara khusus kepada UMKM maupun secara

    umum kepada masyarakat merupakan salah satu cara efektif untuk memastikan pemahaman terhadap

    penerapan pajak dan implementasinya berjalan sesuai dengan tujuannya.

    Keterbatasan-keterbatasan utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,

    penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi, untuk penelitian selanjutnya disarankan

    dengan menggunakan pendekatan yang lain misalnya pendekatan etnomenologi agar mendapatkan

    informasi yang lebih mendalam untuk mengungkap realitas sosial pada UMKM. Kedua, interpretasi

    atas pajak dan implikasinya perspektif UMKM dalam penelitian ini tidak dapat digeneralisasi sebagai

    interpretasi UMKM secara keseluruhan. Ketiga, untuk penelitian selanjutnya dilakukan di daerah

    yang menjadi sentra UMKM, agar dapat diketahui tingkat pemahaman UMKM sehingga dapat

    membantu DJP untuk menjalankan fungsi dan tugasnya lebih maksimal lagi.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke ArahPenguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

    Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah RagamVarian Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

    Benjamin, W.P. 1990. Laporan Keuangan (Ikhtisar Akuntansi) Perusahaan Kecil, Dalam, DalamProsiding, Seminar Akuntan Nasional, Surabaya.

  • 7/30/2019 INTERPRETASI PAJAK DAN IMPLIKASINYA MENURUT PERSPEKTIF WAJIB PAJAK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (SEBUAH STUDI INTERPRETIF)

    25/25

    25

    Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

    Creswell, J. W. 2007. Kualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publication, Inc.

    Dinas Koperasi dan UMKM Bangkalan. 2010

    Direktorat Jenderal Pajak. 2009 http/www.pajak.go.id diunduh tanggal 27 November 2010

    Ekawati, Liana dan Radianto, Dwi EW. 2008. Survey Pemahaman dan Kepatuhan Wajib Pajak UsahaKecil dan Menengah Di Kota Yogyakarta. Jurnal Terakreditasi Teknologi dan ManajemenInformatika Vol:6 Edisi Khusus: 185-190 http/www.ISSN.com diunduh tanggal 28 November 2010

    Joko. 2003. Interpretasi dan Pemahaman dalam Proses Akulturasi Sosial. Kumpulan PenelitianSosiologi dan Bahasa. http://www.journal.ccs.soston.ac.uk diunduh tanggal 30 November 2010

    Kementerian Koperasi dan UMKM. 2009http://www.smecda.com/Files/Dep_Pembiayaan/17_Informasi_Kebjakan_Perpajakan_Kop_UKM.pdf diunduh tanggal 28 November 2010

    Mardiasmo. 2008. Perpajakan. Yogyakarta: Andi

    Mudji, Fransisca. 2005. Interpretasi dan Hakekat Penafsiran dalam Menggali Makna . On- line at

    http://www.wikipedia.org/wiki/interpretasi diunduh tanggal 28 November 2010Muntoro, R. K. 1990. Praktek Akuntansi Keuangan, Dalam Prosiding, Seminar Akuntan Nasional,

    Surabaya.

    Raharjo, M.D & Ali, F. 1993. Faktor-faktor Keuangan yang Mempengaruhi Usaha Kecil danMenengah di Indonesia; Studi kasus Asean, (pp. 16-50) . Jakarta: LP3ES

    Republik Indonesia. 2007. Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan TataCara Perpajakan. Bandung: Citra Umbara

    Ridwan, Akhmad. 2008. Realitas Referensial Laba Akuntansi Sebagai Refleksi Kandungan Informasi

    (Studi Interpretif-Kritis Pada Komunitas Akuntan dan Non-Akuntan). Disertasi tidak dipublikasuikan, STIESIA Surabaya

    Suhairi dan Wahdini. 2006. Persepsi Akuntan Terhadap Overload Standar Akuntansi Keuangan(SAK) Bagi Usaha Kecil Dan Menengah, Makalah yang disampaikan pada SNA IX-Padang

    http://www.journal.ccs.soston.ac.uk/http://www.smecda.com/Files/Dep_Pembiayaan/17_Informasi_Kebjakan_Perpajakan_Kop_UKM.pdfhttp://www.smecda.com/Files/Dep_Pembiayaan/17_Informasi_Kebjakan_Perpajakan_Kop_UKM.pdfhttp://www.wikipedia.org/wiki/interpretasihttp://www.wikipedia.org/wiki/interpretasihttp://www.smecda.com/Files/Dep_Pembiayaan/17_Informasi_Kebjakan_Perpajakan_Kop_UKM.pdfhttp://www.smecda.com/Files/Dep_Pembiayaan/17_Informasi_Kebjakan_Perpajakan_Kop_UKM.pdfhttp://www.journal.ccs.soston.ac.uk/