INTERNATIONAL PRACTICES DALAM PENGELOLAAN · PDF fileUsaha budidaya ikan patin berkembang...
Transcript of INTERNATIONAL PRACTICES DALAM PENGELOLAAN · PDF fileUsaha budidaya ikan patin berkembang...
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-1
Bab 4
INTERNATIONAL PRACTICES DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN
SEBAGAI TINJAUAN PEMBELAJARAN
Pada dasarnya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat dikelompokkan
menjadi lima, yaitu :
1. Input control adalah masukan dari kegiatan perikanan yang dapat dikendalikan.
Masukan yang dapat dikendalikan tersebut berupa jumlah armada penangkapan
yang diperbolehkan untuk beroperasi.
2. Output control adalah keluaran dari kegiatan perikanan yang dapat dikontrol.
Keluaran yang dapat dikontrol tersebut adalah jumlah tangkapan atau kuota
tangkapan yang dipernolehkan.
3. Technical measures adalah ukuran teknis yang diperbolehkan dalam usaha
penangkapan ikan. Sebagai contoh adalah jenis dan ukuran alat tangkap yang
diperbolehkan, musim penangkapan yang diperbolehkan yang dianggap sesuai
dengan sumberdaya ikan yang ada dan agar tetap berjalan berkelanjutan.
4. Ecosystem base management adalah pengelolaan perikanan yang berbasis
pada ekosistem atau dikenal dengan istilah Ecosystem Approach to Fisheries
Management (EAFM). Pengelolaan perikanan harus dilakukan secara komprehensif
dengan melibatkan konektivitas antara ekosistem, hasil tangkapan, upaya
penangkapan, dan permintaan konsumen. Keempat aspek tersebut harus
terkoneksi dengan baik satu sama lainnya dan berjalan sinergis, sehingga tidak
dapat dipungkiri pentingnya pengelolaan berbasis ekosistem untuk menjaga
keberlanjutan sistem perikanan tersebut (Gambar 4.1).
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-2
Gambar 4.1 Keterkaitan Ekosistem dalam Pengelolaan Sistem Perikanan (sumber: http://worldoceanreview.com/en/wor-1/fisheries/causes-of-overfishing/)
5. Indirect economic instruments adalah alat pengontrol yang tidak secara
langsung dipergunakan namun merupakan hal penting yang sangat berpengaruh
pada kegiatan perikanan, sebagai contoh adalah pajak/retribusi ataupun subsidi.
Negara-negara maju di dunia pada umumnya telah melakukan 5 (lima) bentuk
pengelolaan perikanan seperti tersebut di atas, guna menjaga dan menjamin kegiatan
perikanannya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Berikut ini adalah uraian
singkat bentuk international practices dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dari
beberapa negara (seperti: Jepang, Australia, dan United Kingdom untuk pengelolaan
perikanan tangkap berkelanjutan, dan Vietnam, China, dan Norwegia untuk
pengelolaan perikanan budidaya berkelanjutan) yang dapat dijadikan sebagai tinjauan
pembelajaran bagi Indonesia dan juga jika dimungkinkan dapat diadopsi yang
tentunya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai karakteristik geografis
dan sosial-budaya Indonesia, yakni sebagai berikut:
4.1 Perikanan Tangkap
4.1.1 Jepang
Manajemen perikanan tangkap yang dilakukan oleh Jepang memfokuskan pada
jumlah alat tangkap dan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan. Sebagai langkah
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-3
manajemen yang dilakukan adalah dengan menetapkan input terkontrol dan output
terkontrol.
Input terkontrol yang dilakukan oleh Jepang adalah :
1. Ijin penangkapan : tidak sembarang orang boleh menangkap ikan, hanya nelayan
yang telah memiliki ijin yang boleh melakukan penangkapan ikan
2. Registrasi kapal penangkap ikan : kapal yang digunakan untuk menangkap ikan
adalah kapal yang sudah teregistrasi dan memiliki ijin untuk menangkap ikan di
laut.
Sedangkan untuk output terkontrol, pemerintah Jepang menetapkan jumlah
tangkapan ikan yang diperbolehkan untuk nelayan. Jumlah tersebut dihitung
berdasarkan :
1. Total Allowable Catch (TAC) : jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap,
jumlahnya dihitung dan ditentukan oleh pemerintah
2. Allowable Biological Catch (ABC) : jumlah tangkapan yang diperbolehkan
berdasarkan kondisi biologi ikan yang ditangkap
Sebagai penggerak dan untuk mempermudah kegiatan pengelolaan perikanan,
pemerintah Jepang membentuk beberapa organisasi yang berkonsentrasi pada
manajemen perikanan tangkap. Organisasi tersebut antara lain :
1. Fishery Agency (FA) yang merupakan bagian dari pemerintah nasional
2. Fisheries Research Agency (FRA) yang merupakan lembaga penelitian di bawah FA
3. Fisheries Experimental Centre yang bergerak dalam penelitian di tingkat
pemerintah daerah
4. Fishery Cooperative Association (FCA) adalah asosiasi/koperasi para pelaku usaha
perikanan, utamanya nelayan. Hampir semua nelayan terdaftar sebagai anggota
FCA. FCA memiliki beberapa fungsi diantaranya:
a. Sebagai pelelang atau pemasar ikan
b. Perbankan
c. Sarana pendidikan dan perkembangan teknologi
d. Pengelola perikanan
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di Jepang,
antara lain adalah: (1) Sistem perijinan benar-benar dijadikan sebagai input control
bukan dikaitkan dengan besarnya penerimaan pajak atau non-pajak yang akan
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-4
diterima, (2) Sistem kelembagaan organisasi pengelola pelaku usaha perikanan
tangkap yang terstruktur dan sistematis, dimana tidak ada pelaku usaha perikanan
tangkap yang berdiri sendiri atau individual, tetapi setiap pelaku usaha wajib menjadi
bagian atau anggota koperasi atau asosiasi, tergantung pada besarnya skala usaha.
4.1.2 Australia
Pemerintah negara bagian memiliki tanggung jawab untuk mengelola perikanan
Australia dalam 3 mil laut dari garis pantai. Sama halnya dengan Jepang, Australia juga
menerapkan input control dan output control.
Di bawah Manajemen Perikanan Act 1991, The Australian Fisheries Management
Authority (AFMA) dapat mengalokasikan empat jenis izin:
hak konsesi penangkapan ikan,
izin penangkapan ikan,
izin riset ilmiah, dan
izin penangkapan untuk kapal ikan asing.
Gambar 4.2 Peta Tata Cara Pengelolaan Perikanan Otoritas Australia (sumber: The Australian Fisheries Management Authority - AFMA, 2008)
(http://www.afma.gov.au/wp-content/uploads/2010/08/afz_map_20071213.pdf)
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-5
Berdasarkan Gambar 4.2 diketahui bahwa Australia telah memplotkan setiap
wilayah perairannya. Setiap wilayah perairan memiliki fungsi sebagai lokasi
penangkapan dari jenis ikan yang telah ditentukan sehingga armada dan alat tangkap
yang beroperasi juga terbatas sesuai dengan jenis ikan yang menjadi tujuan
tangkapan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang tindih antar para nelayan
serta mempermudah kontrol dari pemerintah.
Perikanan udang lebih dipusatkan di bagian utara Australia (Gambar 5.3).
Perikanan pelagis terutama tuna dan cakalang dipusatkan di bagian barat, selatan dan
timur Australia dengan penggunaan alat tangkap trawl. Sedangkan di bagian tenggara
dipusatkan untuk perikanan skala kecil yang menggunakan alat tangkap gillnet,
pancing dan perangkap dengan tujuan penangkapan kerang-kerangan, cumi-cumi dan
ikan pelagis kecil.
Gambar 4.3 Pengelolaan Perikanan Udang di Utara Wilayah Australia (sumber: The Australian Fisheries Management Authority - AFMA, 2005)
(http://www.afma.gov.au/fisheries/northern-prawn-fishery/)
Pemerintah Australia melalui lembaga risetnya, yakni Commonwealth Scientific
and Industrial Research Organisation (CSIRO) menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan
udang secara berkelanjutan, dengan memperhatikan tiga aspek utamanya, yaitu:
aspek sumber daya, aspek lingkungan, dan aspek ekonomi (Gambar 5.4).
1. Pada aspek sumberdaya dilakukan pengkajian stok udang untuk menetapkan
output terkontrol. Kemudian dibuat pemetaan untuk memudahkan nelayan untuk
memprediksi lokasi penangkapan. Selanjutnya kegiatan penangkapan udang
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-6
diarahkan pada maximum economic yield agar kegiatan penangkapan berlangsung
efektif, efisien dan memberikan keuntungan yang optimal.
2. Pada aspek lingkungan/ekosistem yang pertama dilakukan adalah menjaga dan
melindungi daerah pemijahan dan nursery ground ikan yang terdiri dari daerah
padang lamun dan mangrove dari kegiatan penangkpan ikan. Kemudian dilakukan
penetapan pelolosan pada jaring trawl untuk membebaskan penyu dan hasil
tangkapan sampingan lainnya. Selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap
sumberdaya ikan yang terancam punah maupun dilindungi.
3. Pada aspek ekonomi ditetapkan input terkontrol berupa jumlah, ukuran armada
penangkapan dan musim penangkapan yang diperbolehkan yang sesuai dengan
stok udang. Kegiatan penangkapan juga mempertimbangkan keefektifan dan
efisiensi kegiatan penangkapan ikan agar terdapat keuntungan dalam
pelaksanaannya.
Gambar 4.4 Pengelolaan Udang Berkelanjutan (sumber: CSIRO – Australian, 2009)
(http://csironewsblog.com/tag/northern-prawn-fishery/)
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di
Australia, antara lain adalah adanya: (1) Pemetaan setiap wilayah perairannya untuk
lokasi penangkapan dari jenis ikan yang telah ditentukan sehingga armada dan alat
tangkap yang beroperasi juga terbatas sesuai dengan jenis ikan yang menjadi tujuan
tangkapan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan wilayah
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-7
perairan antar para pelaku usaha penangkapan ikan atau para nelayan, sehingga
mempermudah Pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikannya, (2) Pelibatan
lembaga riset untuk mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada spesies
atau komoditas utama, mulai dari hulu hingga hilir.
4.1.3 United Kingdom (UK)
Pengelolaan perikanan di United Kingdom dilakukan dengan melakukan kontrol
terhadap input, output dan technical measures. Pengaturan input terkontrol dilakukan
dengan cara kapal ikan harus berlisensi, dan dalam aktivitas penangkapannya juga
menggunakan output kontrol berupa sistem kuota penangkapan yang diperbolehkan.
Selain itu untuk konservasi, tindakan teknisnya berdasarkan undang-undang Uni Eropa
yang meliputi ukuran minimum ikan, ukuran minimum mesh size, pembatasan area,
dan pembatasan pada beberapa jenis alat tangkap (technical measures).
Gambar 4.5 Cara Kerja Sistem Kuota di United Kingdom (sumber: Office for National Statistic/ONS, United Kingdom, 2010)
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-8
Berdasarkan Gambar 4.5 dapat diketahui cara kerja sistem kuota di Inggris.
Penentuan kuota dilakukan oleh Uni Eropa. Kemudian kuota tersebut dibagi
berdasarkan besarnya laut kepada negara-negara Eropa seperti New South Wales,
Irlandia Utara, Inggris dan Scotlandia. Dari kuota yang ditentukan Uni Eropa, Inggris
memperoleh kuota ikan pelagis 77,3%, ikan demersal 59% dan kerang-kerangan
47,5%. Pengaturan di Inngris dilakukan oleh Fish Producer Organisation (FPOs). FPOs
bertanggung jawab dalam mengelola kuota yang dialokasikan kepada mereka oleh
Pemerintah dan lebih dari 70% dari spesies kuota harus didaratkan oleh armada
Inggris. Anggota dari FPO yang memiliki armada berlebih dapat menjual kuotanya
pada nelayan yang lain.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di United
Kingdom, antara lain adalah adanya: (1) Sistem pengaturan input control yang
dikombinasikan dengan output control, yakni dengan cara kapal ikan harus berlisensi
dan diberi jatah kuota penangkapan yang diperbolehkan, (2) Sistem pengaturan
technical measures untuk kepentingan konservasi melalui regulasi yang mengatur
ukuran minimum ikan yang boleh dipasarkan, ukuran minimum mesh size (mata
jaring) yang digunakan, pembatasan area penangkapan, dan pembatasan beberapa
jenis alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah perairan tertentu.
4.2 Perikanan Budidaya
4.2.1 Vietnam
Vietnam sekarang dikenal sebagai salah satu negara terkemuka dalam bidang
akuakultur. Keberhasilan Vietnam menguasai pasar dunia ikan patin (Pangasianodon
hypophthalmus) adalah salah satu contoh dari pengelolaan usaha budidaya terpadu
yang berkelanjutan. Usaha budidaya ikan patin berkembang pesat di Vietnam mulai
tahun 2000 pada saat teknik pemijahan buatan untuk ikan patin berhasil diterapkan.
Sekarang Vietnam adalah pengekspor produk ikan patin utama dunia dengan produksi
stabil sekitar 1.200.000 ton per tahun senilai sekitar USD 1 Milyar per tahun (FAO,
2014).
Pengelolaan usaha budidaya patin di Vietnam dilakukan dengan melakukan
kontrol terhadap: (1) input terutama standar prosedur operasi produksi benih patin
dan teknik pembesaran sehingga memenuhi persyaratan Best Aquaculture Practices,
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-9
(2) output terutama kualitas produk primer serta produk turunannya sehingga dapat
memenuhi persyaratan standar Eropa dan Amerika Serikat untuk produk perikanan.
Pengaturan input terkontrol dilakukan dengan cara benih ikan harus berlisensi,
dan dalam aktivitas budidaya juga menggunakan output kontrol berupa sistem
budidaya perikanan yang ramah lingkungan serta memenuhi persyaratan Best
Aquaculture Practices. Selain itu, pada kontrol untuk end product, tindakan teknisnya
adalah zero waste product dimana semua bagian dari ikan patin dimanfaatkan (fillet,
kepala, kulit, jeroan ikan dan lain-lain semua dimanfaatkan dan tidak ada yang
terbuang menjadi limbah yang mencemari lingkungan.
Pada pengelolaan usaha budidaya patin di Vietnam terdapat tiga aspek yang
diperhatikan yaitu aspek sumberdaya, aspek lingkungan dan aspek ekonomi.
1. Pada aspek sumberdaya dilakukan pengkajian daya dukung lingkungan untuk
menetapkan besarnya biomassa ikan yang akan diproduksi. Kemudian dibuat
pemetaan untuk memudahkan pembudidaya untuk memprediksi lokasi usaha
budidaya. Selanjutnya kegiatan usaha budidaya diarahkan pada optimal economic
yield agar kegiatan budidaya berlangsung efektif, efisien dan memberikan
keuntungan yang optimal.
2. Pada aspek lingkungan/ekosistem yang pertama dilakukan adalah menjaga dan
melindungi agar limbah dari kegiatan budidaya tidak mencemari lingkungan
sekitarnya dengan penerapan Best Aquaculture Practices. Selanjutnya dilakukan
pengawasan terhadap kegiatan budidaya secara berkala dalam penerapan Best
Aquaculture Practices oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah Vietnam. Tujuan
dari aspek ini adalah agar usaha budidaya ikan patin di Vietnam dapat
berkelanjutan (sustainable).
3. Pada aspek ekonomi ditetapkan input terkontrol berupa persyaratan benih, pakan,
pupuk dan sarana produksi lainnya sesuai standar yang diperbolehkan yang sesuai
dengan teknologi budidaya yang diterapkan. Tujuan dari penetapan input
terkontrol tersebut adalah untuk menjamin keberhasilan usaha budidaya dengan
mempertimbangkan keefektifan dan efisiensi kegiatan budidaya ikan agar terdapat
keuntungan dalam pelaksanaannya.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha budidaya patin di Vietnam
antara lain adalah: (1) produksi akuakultur menggunakan sistem intensif dapat
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-10
dilakukan secara sustainable dengan penerapan pengawasan input, proses serta
output agar sesuai dengan standar Best Aquaculture Practices. Limbah budidaya dan
limbah end product diolah dan dimanfaatkan kembali sehingga meningkatkan efisiensi
usaha budidaya. (2) ada jaminan akses pembudidaya terhadap sumberdaya alam,
teknologi, sistem perbankan serta pasar, (3) ada dukungan kebijakan dari pemerintah
(supportive policies government) antara lain berupa peraturan tata ruang dan
peraturan perundangan yang jelas.
4.2.2 China
Negara China merupakan produsen akuakultur terbesar di dunia dengan total
produksi akuakultur di luar produksi rumput laut sebesar 41.108.306 ton pada tahun
2012, menyumbangkan 61,7% produk akuakultur dunia (FAO, 2014). Salah satu
usaha budidaya ikan yang berkembang dengan baik dan berkelanjutan (sustainable) di
China adalah sistem budidaya perikanan mina padi (rice field-fish culture). Sistem
budidaya mina padi di China sekarang merupakan salah satu sistem budidaya utama di
China. Disamping berkontribusi signifikan untuk ketahanan pangan dan sumber
penghasilan masyarakat pedalaman di China, pengembangan usaha sistem mina padi
berdasarkan keseimbangan ekosistem merupakan pendekatan penting dalam
pembangunan masyarakat pedalaman di China.
Pengelolaan usaha budidaya mina padi di China dilakukan dengan melakukan
kontrol terhadap (1) input terutama standar prosedur operasi (SOP) mina padi
berdasarkan prinsip rice–fish eco-culture systems and models, (2) output terutama
kualitas produk primer serta produk turunannya sehingga dapat memenuhi
persyaratan organic food production systems untuk produk perikanan.
Pengaturan input terkontrol dilakukan antara lain dengan cara mewajibkan
penggunaan bio-fertilizer serta penggunaan pupuk dan obat ramah lingkungan.
Manajemen budidaya dilakukan secara ramah lingkungan meliputi pemberian pakan,
pemupukan, kontrol hama dan penyakit dan manajemen kualitas air. Selain itu
pemerintah China juga menetapkan pola tanam mina disesuaikan dengan pola tanam
padi. Pada beberapa lokasi secara gradual sistem budidaya mina padi bertransformasi
menjadi sistem budidaya padi organik dan ikan organik. Label organik pada sistem
mina padi tersebut tidak hanya memberikan pendapatan tambahan bagi para pelaku
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-11
usaha tetapi juga secara keseluruhan berkontribusi terhadap pengembangan
masyarakat pedesaan di China.
Pada pengelolaan usaha budidaya ikan sistem mina padi di China terdapat tiga
aspek yang diperhatikan yaitu aspek sumberdaya, aspek lingkungan dan aspek
ekonomi.
1. Pada aspek sumberdaya dilakukan pengkajian lokasi yang sesuai untuk usaha
mina padi. Kemudian dibuat peraturan untuk menjamin keberlangsungan usaha
mina padi seperti penetapan tata ruang dan peraturan terkait lainnya. Selanjutnya
kegiatan usaha budidaya mina padi diarahkan pada rice–fish eco-culture systems
and models agar kegiatan budidaya berlangsung secara berkelanjutan.
2. Pada aspek lingkungan/ekosistem yang pertama dilakukan adalah menjaga dan
melindungi agar ekosistem kegiatan budidaya mina padi tetap terjaga kualitas
lingkungannya serta tidak ada pencemaran baik yang berasal dari lingkungan luar
ataupun yang berasal dari kegiatan budidaya.. Selanjutnya dilakukan pengawasan
terhadap kegiatan budidaya secara berkala dalam penerapan manajemen
budidaya ramah lingkungan meliputi pengawasan pemberian pakan, pemupukan,
kontrol hama dan penyakit dan manajemen kualitas air.
3. Pada aspek ekonomi ditetapkan input terkontrol berupa diversifikasi jenis ikan
sesuai dengan teknologi yang dipakai serta permintaan pasar, penggunaan pakan
sefisien mungkin, pupuk untuk padi dikurangi dosisnya karena sebagian kebutuhan
nutrisi padi sudah didapatkan dari kotoran ikan dan sisa pakan. Tujuan dari
penetapan input terkontrol tersebut adalah untuk menjamin efisiensi kegiatan
budidaya ikan agar terdapat keuntungan dalam pelaksanaannya.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha budidaya mina di China antara
lain adalah: (1) produksi akuakultur menggunakan sistem mina dapat dilakukan secara
sustainable dengan penerapan pengawasan input, proses serta output agar sesuai
dengan standar rice–fish eco-culture systems and models. Resiko kerusakan
lingkungan ditekan melalui minimalisasi penggunaan bahan kimia dan obat-obatan.
Sistem budidaya mina padi ini dapat diitingkatkan statusnya menjadi budidaya ikan
dan padi organik pada lokasi yang memenuhi persyaratan. (2) Sistem mina padi
merupakan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan
pemakaian bersama sumberdaya alam untuk produksi ikan dan padi., (3) Dukungan
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-12
dari pemerintah (supportive policies government) sangat penting terutama dalam
penentuan lokasi, pengaturan pola tanam serta penentuan tata ruang.
4.2.3 Norwegia
Negara Norwegia merupakan negara terkemuka di bidang budidaya laut
(mariculture) dengan komoditi utama ikan salmon dan ikan barramundi. Total
produksi budidaya laut Norwegia pada tahun 2012 mencapai angka 1.319.033 ton
(FAO, 2014). Salah satu usaha budidaya ikan yang berkembang dengan baik dan
berkelanjutan (sustainable) di Norwegia adalah sistem budidaya keramba jaring apung
(KJA) ikan barramundi di laut lepas (offshore).
Pengelolaan usaha budidaya ikan barramundi di laut lepas (offshore).dilakukan
dengan melakukan kontrol terhadap (1) input terutama kualitas dan ukuran (size)
benih ikan, kualitas pakan, pemakaian vaksin dan obat-obatan dan lain-lain harus
memenuhi standar Eropa untuk Best Aquaculture Practices (2) output terutama
kualitas produk harus dapat memenuhi persyaratan standar makanan Eropa dan
Amerika.
Pengaturan input terkontrol dilakukan antara lain dengan cara mewajibkan
penggunaan input produksi yang ramah lingkungan. Pemerintah Norwegia menerapkan
secara ketat ijin lokasi, pola tanam, serta SOP proses budidaya dan proses pengolahan
end product. Pada pengelolaan usaha budidaya markultur di Norwegia terdapat tiga
aspek yang diperhatikan yaitu aspek sumberdaya, aspek lingkungan dan aspek
ekonomi.
4. Pada aspek sumberdaya dilakukan pelaksanaan peraturan yang ketat untuk
menjamin kelestarian sumberdaya serta menjamin keberlangsungan usaha seperti
pembatasan ijin usaha, pembatasan konsesi ruang budidaya, penetapan tata
ruang dan peraturan terkait lainnya.
5. Pada aspek lingkungan/ekosistem dilakukan pengawasan yang ketat terhadap
kegiatan budidaya secara berkala meliputi pengawasan proses produksi budidaya
dan proses pengolahan hasil.
6. Pada aspek ekonomi pemerintah Norwegia menetapkan kebijakan yang
mendorong efisiensi kegiatan budidaya, penyediaan infrastruktur serta kebijakan
pro pasar untuk mendukung pemasaran produk marikultur Norwegia.
Bab 4 International Practices dalam Pengelolaan Perikanan sebagai Tinjauan Pembelajaran Page 4-13
Lesson learning dari praktek pengelolaan akuakultur di Norwegia antara lain
adalah: (1) pengembangan infrastruktur pendukung usaha budidaya laut oleh
pemerintah sangat diperlukan untuk dapat mendukung pengembangan usaha
budidaya laut yang berdaya saing dan berkelanjutan (2) Dukungan dari pemerintah
(supportive policies government) sangat penting terutama dalam penentuan ijin
usaha/konsesi wilayah laut serta kejelasan penentuan tata ruang.