Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

21
Brought By: Mazizaacrizal a.k.a Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com : www.facebook.com/mazizaacrizal E-mail : [email protected] INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM : PERSPEKTIF EKOLOGI 121

description

 

Transcript of Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

Page 1: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

Brought By: Mazizaacrizal

a.k.a

Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com

: www.facebook.com/mazizaacrizal

E-mail : [email protected]

INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM :

PERSPEKTIF EKOLOGI

121

Page 2: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

ABSTRAK

The environment damages are caused by wrong point of view toward nature. When

human used as measurement for everything (anthropocentrism), nature become the object that

cause disharmonious. This point of view become general of view in western, especially

among businessman. Ethic and moral become one entitle outside the business matter. The

answer of this chaos is to change anthropocentrism’s perception to a concept which make

human being as a part of cosmology. Islamic concept in viewing the nature as medium for

human to serve Allah, become theology foundation that needs to be studied as one of way to

anticipate the ecological damages from epistemology aspect.

Kata kunci:

Etika, bisnis, Ekologi

Pendahuluan

Perhatian serius terhadap lingkungan hidup sebenarnya baru mulai disadari pada tahun

1960-an. Persoalan polusi dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh berbagai

perusahaan mulai menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya persoalan ini, terutama

setelah ditemukannya berbagai penyakit yang diduga sebagai akibat pencemaran lingkungan.

Kesadaran tersebut semakin menguat akhir-akhir ini ketika masyarakat tidak hanya

merasakan berbagai penyakit “baru”, namun juga berbagai bencana alam yang ditimbulkan

dari kerusakan lingkungan.

Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis modern yang memanfaatkan ilmu

dan teknologi canggih telah membebani alam di atas ambang toleransi. Tidak ada atau

lemahnya pertimbangan moral dan etika di kalangan pelaku bisnis dianggap sebagai salah

satu faktor penting terjadinya eskalasi kerusakan lingkungan. Ada kecenderungan pelaku

bisnis hanya mementingkan diri sendiri (self center oriented) dengan prinsip homo homini

lupus.1 Demi menjalankan bisnis secara efisien, murah dan mendatangkan keuntungan yang

besar, pelaku bisnis tidak lagi melibatkan pertimbangan-pertimbangan etis dalam misalnya,

membuang limbah, merambah hutan dan mengebor sumber daya alam. Dengan kata lain,

selama aturan-aturan hukum dipenuhi, tanggung jawab moral pelaku bisnis hanyalah

1 Achmad Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan kedalam Corporate Behavior," dalam SINERGI, VOL. 1, No. 1,1998.

122

Page 3: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

menyediakan barang dan jasa dalam rangka memperoleh keuntungan maksimal; di luar itu,

mereka tidak memiliki tanggung jawab moral apapun.2

Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an di Amerika baru mulai terjadi kristalisasi

terhadap pemahaman etika bisnis. Berbagai perusahaan mulai menyusun kode etik,

menempatkan pejabat struktural yang mengurusi masalah etika dan tanggung jawab sosial,

menyediakan sarana hotline untuk mengantisipasi komplain masyarakat terhadap produk dan

layanan perusahaan dan sebagainya. Namun, di sisi lain, resistensi terhadap konsep

penerapan etika dalam bisnis masih tetap saja terjadi. Di antara mereka yang terkenal adalah

Milton Friedman dan Theodore Leavitt (professor marketing dan editor The Harvard

Business Review). Kedua ekonom ini tetap bersikukuh bahwa tanggung jawab utama suatu

perusahaan adalah menghasilkan profit. Bila perusahaan dituntut untuk berbuat lebih dari itu,

maka dinilai berseberangan dengan prinsip-prinsip free enterprise.3

Persoalan tentang etika bisnis dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan

sesungguhnya terkait dengan masalah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility). Pembahasan tentang tanggung jawab sosial perusahaan ini akan menjadi lebih

jelas bila kita membedakannya dengan tanggung jawab yang lain, yaitu tanggung jawab

ekonomi.4

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap masyarakat di

luar tanggung jawab ekonomis. Dengan demikian, bila kita berbicara tentang tanggung jawab

sosial perusahaan, maka dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan

demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara ekonomis.

Menurut Bertens, kegiatan itu bisa terjadi dengan dua cara: positif dan negatif. Secara positif

perusahaan bisa melakukan kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan ekonomi, dan

semata-mata dilakukan untuk kepentingan sosial. Sedangkan secara negatif, perusahaan bisa

menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang sebenarnya

menguntungkan secara ekonomi, tetapi akan merugikan masyarakat.5 Kegiatan-kegiatan

tersebut, baik positif maupun negatif, tentu bukan hal yang mudah diwujudkan dalam

praktek, belum lagi bila terjadi konflik antara kepentingan ekonomis dengan kepentingan

sosial.

2 Fieser, J., “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996.

3 Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis…"4 Dalam pembahasan-pembahasan ekonomi kontemporer, bisnis selalu dikaitkan

dengan dua tanggung jawab; ekonomi dan sosial, lihat misalnya dalam K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 295

5 Ibid., hal. 297.

123

Page 4: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

Gambaran di atas menunjukkan bahwa gerakan etika bisnis merupakan fenomena sosial

yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Upaya seperti ini akan terus berlanjut sampai

tercapainya kegiatan bisnis yang lebih bersih, lebih peduli sosial dan lingkungan. Buchholz

(1986) menganggap bahwa perusahaan merupakan bagian dari socio-political system. Jadi

tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas kepada para stockholder namun juga kepada

stakeholders yang lain. Dengan demikian, perusahaan juga harus memperhatikan harapan-

harapan masyarakat (Anshen, 1980). Hubungan antara perusahaan dengan masyarakat inilah

yang disebut sebagai kontrak sosial. Kontrak sosial, yang merupakan perjanjian tidak tertulis

dan bersifat informal, dengan demikian, tidak memiliki sanksi hukum yang tegas. Namun

hukuman masyarakat (sanksi sosial) yang diberikan seringkali memiliki dampak yang sangat

besar bagi perusahaan. Sebaliknya, jika perusahaan mempunyai komitmen untuk

mengimplementasikan kontrak sosial sesuai dengan harapan masyarakat, maka kontrak

tersebut akan menjadi safety net bagi perusahaan bersangkutan, yang dengan sendirinya akan

membantu perusahaan tersebut meningkatkan profit dan performance.6

Dapat dipahami bahwa kontrak sosial sesungguhnya merujuk kepada “kewajiban-

kewajiban suatu organisasi untuk melindungi dan memberi kontribusi kepada masyarakat di

mana ia berada.”7 Tanggung jawab yang diemban oleh suatu perusahaan terdiri dari tiga

wilayah: kepada pelaku organisasi, lingkungan alam, dan kesejahteraan secara umum.8

Berangkat dari deskripsi di atas, persoalan-persoalan yang akan diangkat dalam tulisan

ini adalah bagaimana sesungguhnya kedudukan etika dalam diskursus ekonomi Islam?

Bagaimanakah konsep dasar (core concept) yang menjadi pijakan internalisasi etika bisnis

tersebut? Secara lebih khusus, pembahasan tentang etika tersebut akan dikhususkan dalam

persoalan ekologi.

Seluruh persoalan di atas tentu saja akan dianalisis dalam perspektif ekonomi Islam.

Namun sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di awal bahwa dalam pandangan

penulis, ekonomi Islam tidak muncul dari “hampa budaya”. Artinya, memang kita tidak bisa

dengan serta merta mengadopsi ekonomi positif (konvensional), karena kita telah memiliki

identitas kita sendiri, yaitu worldview Islam. Di sisi lain, kita juga tidak bisa bersembunyi dan

menolak begitu saja ekonomi konvensional, karena kita tidak bisa lepas dari sistem yang

6 M.L. Pava dan J. Krausz, "The Association between Corporate Social Responsibility and Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business Ethics, 15 (1996), hal. 326

7 Sebagaimana dikutip dari Jay Barney dan Ricky W. Griffin oleh Rafik Issa Beekun, Islamic Business Ethic, (Herndon, Virginia, USA: International Institude of Islamic Thought, 1997), hal. 63

8 Ibid.

124

Page 5: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

telah hidup dan berkembang di tengah-tengah kita. Oleh karena itu, pembahasan-pembahasan

dalam tulisan ini tidak bisa lepas dari diskursus ekonomi positif.

B. Pergulatan Etika dengan Bisnis

Bisnis selama ini dipahami sebagai aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai

tambah melalui proses penyediaan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (to provide

products or services for profit). Dalam konteks perusahaan atau entitas, bisnis dipahami

sebagai suatu proses keseluruhan dari produksi yang mempunyai kedalaman logika, bahwa

bisnis dirumuskan sebagai maksimalisasi keuntungan (profit maximization) perusahaan

dengan meminimumkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu bisnis

seringkali lebih menetapkan pilihan strategis daripada pendirian berdasarkan nilai (etik).

Dalam hal ini pilihan-pilihan strategis biasanya didasarkan kepada logika subsistem, yakni

demi keuntungan dan kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Konsekuensi dari kesadaran

seperti ini pada akhirnya menuntun kepada sikap bisnis yang benar-benar hanya

mempertimbangkan keuntungan. Bahkan kesadaran seperti ini telah menjadi semacam jargon

yang dikenal luas dalam masyarakat bahwa; "bisnis adalah bisnis," atau di Barat dinyatakan

dengan "the business of business is business."

Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan,

kepercayaan, persamaan, religiusitas, tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya dipegangi

oleh para pelaku bisnis yang tidak atau kurang berhasil dalam bisnis. Sementara itu para

pelaku bisnis yang sukses banyak berpegang pada prinsip-prinsip bisnis yang terpisah dari

moral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan

manajemen konflik.9 Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara industri maju

atau Barat namun juga di Dunia Timur, citra bisnis tidak selalu baik. Citra negatif ini,

menurut Dawam, tidak lepas dari kenyataan bahwa pada dasarnya bisnis berasaskan

ketamakan, keserakahan, dan semata-mata berorientasi profit.10

Tidak hanya dalam tataran praksis, dalam tataran teoritispun banyak ditemui para

ilmuwan yang menentang penerapan moral dan etika ke dalam kegiatan bisnis. Milton

Friedman misalnya, seorang profesor emeritus dari Universitas Chicago dan pemenang

Hadiah Nobel ekonomi pada tahun 1976, adalah tokoh yang terkenal gigih mempertahankan

tesis pemisahan moral dengan bisnis. Pandangannya tersebut mulai marak setelah pemuatan

tulisannya The Social Responsibility of Business is to Increase Profits dalam New York Times 9 Dawam Rahadjo, "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II," dalam PRISMA,

No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995), hal.16.10 Ibid.

125

Page 6: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

Magazine, 13 September 1970.11 Friedman berpendapat bahwa doktrin tanggung jawab sosial

dari bisnis akan merusak sistem ekonomi pasar bebas. Ia menegaskan bahwa satu-satunya

tanggung jawab perusahaan adalah meningkatkan profit, yakni memanfaatkan sumber daya

dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan

keuntungannya, selama hal itu masih sebatas aturan-aturan main.12

Lebih jauh, Friedman menyatakan bahwa perusahaan tidak wajib mengeluarkan lebih

banyak biaya untuk mengurangi polusi daripada apa yang seperlunya demi kepentingan

perusahaan dan apa yang dituntut oleh hukum demi terwujudnya tujuan sosial, yakni menjaga

lingkungan hidup.13 Pemikiran ini menunjukkan bahwa tokoh sekaliber Friedman sekalipun,

tidak mengakui urgensi pertimbangan-pertimbangan etika (lingkungan) dalam kegiatan

bisnis.

Kenneth E. Boulding, salah seorang ekonom kontemporer, dalam suatu karyanya

Toward the Development of a Cultural Economics mencoba menggugat kondisi ekonomi

modern yang menurutnya telah kehilangan arti, makna atau pengertian kulturalnya, sehingga

berubah menjadi suatu disiplin abstrak yang hampa budaya.14 Perintis ekonomi ekologi ini

berpendapat bahwa orang pertama yang harus bertanggung jawab atas pereduksian ilmu

ekonomi menjadi abstraksi bebas nilai adalah David Ricardo. Bila dirunut lebih jauh lagi,

adalah Alfred Marshall, Stanley Jevons dan Walras, pendiri aliran Neo-Klasik, yang dengan

matematika ekonominya, dengan kalkulus diferensial dan persamaan simultannya, membawa

ilmu ekonomi semakin jauh dari matriks kultural.15

Pijakan Epistemologis

Konsep dasar (core concept) yang mendasari seluruh kehidupan umat Islam adalah

tawhid. Terkait dengan konsep ini, Chapra menyatakan bahwa, “On this concept rests its

whole worldview and strategy. Everything else logically emanates from it...” 16 Menjadi

seorang Muslim berarti meyakini ke-esa-an Allah dan menghadirkan Allah dalam perilaku

11 Dimuat dalam berbagai bunga rampai tentang etika bisnis, antara lain misalnya Thomas Donaldson dan P. Werhane (ed.), Ethical Issues in Business. A Philosophical Approach, (New Jersey: Prentice Hall, 1983).

12 Ibid., hal. 244: "There is one and only one social responsibility of business – to use its resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, to engages in open and free competition without deception or fraud."

13 Ibid., hal. 240.14 Sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Rahardjo dalam pengantarnya pada terjemahan

S.N.H. Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 1985), hal. 20.

15 Ibid.16 M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, hal. 202.

126

Page 7: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

kesehariannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketawhidan merupakan konsep dasar

dalam spiritualitas Islam. Sesuai dengan makna literalnya, Muslim dapat diartikan sebagai

seseorang yang telah menundukkan diri kepada Allah. Dengan penundukan diri tersebut,

seluruh aspek kehidupan muslim harus merujuk kepada kehendak Tuhan. Dalam pengertian

tersebut maka aspek ekonomi, misalnya, harus menjadi bagian dari agama.

Worldview Islam tersebut akan menjadi starting point, sekaligus sebagai pembeda

dengan ekonomi konvensional yang menempatkan agama pada wilayah yang berbeda sama

sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan

dan alam semesta, katakanlah misalnya domain ekonomi. Agama tidak memiliki campur

tangan dengan urusan materi (ekonomi) manusia. Oleh karena itu, pengejaran materi

merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu ekonomi sekuler, yang oleh Adam Smith

dan kemudian dilanjutkan oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth

(kesejahteraan).

Sebagai konsekuensinya, rasionalitas menuntut pemaksimalan keinginan akan kepuasan

material sebagai tujuan akhir yang harus dicapai. Inilah yang menjadi fondasi ilmu ekonomi

konvensional, dari Adam Smith bahkan sampai Keynes. Definisi ilmu ekonomi yang populer,

adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia menggunakan sumber daya yang terbatas

untuk memenuhi keinginannya yang tidak terbatas, mengilustrasikan penegasan akan

kecenderungan manusia terhadap kepuasan material sebanyak-banyaknya sebagai tujuan

akhir.

Dengan demikian, secara ontologis ekonomi mainstream sangat dipengaruhi oleh

physical realism yang menganggap realitas obyektif berada secara bebas dan terpisah di luar

diri manusia. Dalam hal ini Chua, sebagaimana dikutip oleh Iwan Triyuwono mengatakan:

Apa yang ada “di luar sana” (obyek) dianggap independen dari yang mengetahui

(subyek), dan pengetahuan dicapai ketika subyek merefleksikan secara benar dan

“menemukan” realitas obyektif...17

Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis sebenarnya merupakan

pandangan ontologi yang tidak tepat untuk memahami fenomena sosial. Menurut Capra, para

ilmuwan sosial memang telah mencoba dengan sangat serius untuk memperoleh kehormatan

dengan cara mengadopsi paradigma ala Descartes dan metode-metode fisika ala Newton

(yang mekanistis), namun demikian, kerangka ala Descartes seringkali sangat tidak cocok

17 Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari’ah (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal. xvi.

127

Page 8: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

untuk fenomena-fenomena yang mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka

menjadi semakin tidak realistis.18

Lebih jauh Capra mengatakan:

Ilmu ekonomi saat ini ditandai dengan pendekatan reduksionis dan terpecah-pecah...

Para ahli ekonomi biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi hanyalah satu aspek

dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan sosial; suatu sistem hidup yang terdiri

dari manusia yang saling berinteraksi secara terus menerus...19

Secara metodologis, pendekatan dalam ekonomi harus rasional, obyektif, kualitatif,

linear, dan kausal. Namun sesungguhnya anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas

dari nilai adalah justru merupakan pandangan yang tidak realistis. Setiap analisis fenomena

sosial yang diyakini oleh penelitinya sebagai “bebas nilai” sesungguhnya didasarkan pada

asumsi-asumsi sistem nilai yang telah terbangun di dalam pikiran peneliti tersebut. Secara

implisit pelibatan nilai tersebut tercermin dalam pemilihan dan interpretasi data. Penafian isu

tentang nilai justru menjadikan suatu penelitian kurang ilmiah karena di dalam penelitian itu

tidak ada asumsi-asumsi yang mendasari teori mereka.

Ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam dan premis-premis nilainya

diambil dari ajaran-ajaran etik-sosial al-Qur’ân dan Sunnah. Berdasarkan komposisinya maka

ia bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik. Usaha

Robbin untuk memisahkan etika dengan ilmu ekonomi tidak dapat diterima oleh sejumlah

kalangan, bahkan dalam ilmu ekonomi modern.20 Ilmu ekonomi Islam bahkan justru

menuntut dimasukkannya secara eksplisit nilai-nilai etik ke dalam ekonomi, yakni menerima

agama sebagai sumber nilai etik tersebut.21

Upaya membangun sebuah sistem moral ekonomi tidak hanya membutuhkan perangkat

kelembagaan yang secara formal berlaku, tetapi juga perangkat ilmu yang secara teoritis

dapat diterapkan. Dengan kata lain kita tidak sekedar perlu membentuk lembaga-lembaga

ekonomi yang secara normatif benar-benar sejalan dengan nilai moral yang diharapkan

(Islam), namun kita masih membutuhkan perangkat ilmu untuk aktualisasinya.22 Untuk

18 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (terj.) yogyakarta: Bentang, 1997), hal. 252-53.

19 Ibid., hal. 25320 Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, terj. M. Saiful Anam dan

M. Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 2821 Ibid., hal. 1922 A. M. Saefuddin, "Pengantar: Berbagai Arus Pemikiran Ekonomi," dalam M. Rusli

Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogya: Tiara Wacana, 1992), hal. xvii.

128

Page 9: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

membangun konstruksi ilmu yang kokoh maka kita perlu melacak landasan filosofis yang

terdiri dari tiga kerangka, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Pada tahap ontologi kita perlu menemukan nilai etika asumtif yang dapat digunakan

untuk mengisi kerangka landasan filsafat ilmu tersebut. Selanjutnya dalam tahap

epistemologi kita akan memerlukan pijakan empirik tertentu sebagai sumber keabsahan etika

yang akan dikembangkan. Pijakan empirik ini dapat dianggap sebagai kancah pengalaman

nilai moral tauhid, yakni kesatuan dan pembebasan. Dari kajian terhadap dua hal tersebut,

yakni secara filosofis mencoba menggali nilai-nilai dasar dan instrumental dalam Islam dan

secara empiris mengambil bahan-bahan kajian dari realitas masyarakat Muslim, maka sebuah

bangunan etika ekonomi menurut Islam mungkin akan terkonstruk.

Berdasarkan sifatnya yang normatif, maka pendekatan yang semestinya digunakan

dalam persoalan ini adalah dengan mereformulasikan nilai-nilai etik Islam ke dalam

seperangkat aksioma, yang dapat menyediakan suatu frame work yang memadai untuk

melakukan deduksi, baik mengenai norma-norma tingkah laku maupun pedoman-pedoman

kebijakan.

Landasan Teologis Etika Lingkungan

Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat dalam perilaku

ekonomi negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern

merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang

menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini.23 Secara artikulatif, Nasr

membongkar akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab

tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai

tanda-tanda kebesaran Tuhan.24

Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang akhir-akhir ini banyak

dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti pada aspek

kognitif-konseptual, kritik dan koreksi yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama,

menurut Amin Abdullah, mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama

biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis (tingkah manusia).25 Lebih jauh,

menurutnya, al-Qur’ân lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah lakunya, dan

23 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second (Lahore: Suhail AcademyPress. 1988), hlm. 6.24 Ibid. hlm. 75.25 M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam

Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, hal.116.

129

Page 10: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi terhadap rasio modernitas yang

dihubungkan secara langsung dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif

merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan

kata lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis,

seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya untuk menyatukan pemikiran

dan perbuatan merupakan problem yang begitu mendasar dalam diskursus filsafat

kontemporer.26

Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah, dimana setiap nilai,

seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam

adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan

kontrol dari kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan,

menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam yang diperintahkan oleh Allah.

Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika

Nabi adalah seluruh al-Qur’ân”. Al-Qur’ân tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-

pisah; sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai

worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi berdampingan

dengan instruksi untuk perlindungan alam.

Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan dibangun oleh persepsi

moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan oleh Allah

kepada mereka di atas bumi (Khalifat Allah fi al-’Ardl). Dari awal manusia memang tidak

dapat dipisahkan dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”...Allah telah membuat kamu tumbuh

dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang

baru. Dan Allah telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.”

(71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam

diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari ciptaan-Nya tersebut.

Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan memanfaatkan

lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan oleh

Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan dalam al-Qur’ân: ”Bukankah Dia

yang telah membuat bumi tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya,

dan menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah antara dua

lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61)

26 M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46, 1991, hlm. 91-92.

130

Page 11: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam adalah mencari

keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,

namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat

sebagai perusakan terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian

teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif.27 Secara

praksis, tuntutan moral Islam untuk menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku

serakah dan menyia-nyiakan (tabdzir).

Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan

bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun

yang bersifat material. Al-Qur’ân menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh

kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi juga dilukiskan

sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi

yang hidup maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai

pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang

suci dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat

untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan untuk mensucikan.” Ini artinya

bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan

untuk bersuci (ketika tidak ada air).

Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya

dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu,

semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan (perkataan Arab ’alam memang bermakna asal

”manifestasi”), guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar

peningkatan kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala

spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai

dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini,

manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan

hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam

bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di

sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, atau environmentalism.

E. Penutup

Perlakuan terhadap lingkungan sangat terkait dengan worldview yang berkembang di

masyarakat. Pandangan yang berkembang di dunia Barat adalah bahwa manusia merupakan

27 Quraih Shihab, Membumikan al-AQur’an, hal. 296-7

131

Page 12: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

ukuran dari segala sesuatu (antroposentrisme). Dengan akalnya, manusia dapat memperoleh

pengetahuan rasional sehingga dapat menduduki martabat yang unik, yakni menjadi penguasa

alam semesta. Bila ukuran itu diterjemahkan ke dalam ekonomi, maka yang terjadi adalah

tuntutan pemisahan nilai dari kegiatan ekonomi. Paham ini pada gilirannya tentu akan

memberi kontribusi negatif bagi pelestarian alam.

Jawaban dari kekacauan itu adalah perlunya menggeser pandangan yang bersifat

antroposentris tersebut dengan paham yang menjadikan manusia sebagai bagian dari

kosmologi. Islam memiliki landasan teologis etika lingkungan yang memandang alam

sebagai media bagi manusia untuk mengabdi kepada Allah.

132

Page 13: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah,

Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005.

___________ “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara

“Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46, 1991

Ahmad, M. Business Ethics in Islam (Pakistan: International Institute of Islamic Thought,

1995)

Anshen, M. “Changing the Social Contract: A Role for Business,” dalam Columbia Journal

of World Business, Nov-Des, 1980

Badroen, Faisal, (ed.). Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006)

Beekun, Rafik Issa. Islamic Business Ethics (Virginia: International Institute of Islamic

Thought, 1997), terjemahannya oleh Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004).

Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000).

Buchholz, R.A. Business Environment and Public Policy (New Jersey: Prentice Hall Inc.,

1986).

Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (terj.)

(Yogyakarta: Bentang, 1997).

Donaldson, Thomas dan P. Werhane (ed.). Ethical Issues in Business. A Philosophical

Approach (New Jersey: Prentice Hall, 1983).

Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam (Leiden, London, and Kobenhaven: E.J. Brill,

1991), terjemahannya oleh Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam Islam, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996).

Fieser, J. “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the Law Requires?” Dalam

Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996

Friedman, M. The Social Responsibility of Business is to Increase Profit (Harvard: Harvard

Business Scholl, 1970).

Gambling, T. dan R. Karim. Business and Accounting Ethics in Islam (London: Mansell,

1991).

Karim, M. Rusli, (ed.). Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992).

Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (London: The

Islamic Foundation, 1981), terjemahannya oleh Husin Anis dan Asep Hikmat. Etika

dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung; Mizan, 1985)

133

Page 14: Internalisasi Etika Bisnis Islam - Perspektif Ekologi

_____________Islam, Economics, and Society (London: The Islamic Foundation, 1994),

terjemahannya oleh M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin. Menggagas Ilmu

Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Second (Lahore: Suhail Academy Press. 1988)

Pava, M.L. dan J. Krausz. "The Association between Corporate Social Responsibility and

Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business

Ethics, 15 (1996).

Qardhawi, Yusuf. Daur al-Qiyam al-Akhlaqiyyah fi al-Iqtisha al-Islamy (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1995).

Rahadjo, Dawam. "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II," dalam PRISMA, No.

2 (Jakarta: LP3ES, 1995).

Sobirin, Achmad. “Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ke

dalam Corporate Behavior,” dalam SINERGI, Vol. 1 No. 1, 1998.

Yusuf, Choirul Fuad, "Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global," dalam

ULUMUL QUR'AN No. 3, VII, 1997, hal. 14-15.

Triyuwono, Iwan. Organisasi dan Akuntansi Syari’ah (Yogyakarta: LkiS, 2000).

134