INTEGERASI FUNGSI SOSIAL DAN FUNGSI BISNIS...
Transcript of INTEGERASI FUNGSI SOSIAL DAN FUNGSI BISNIS...
208 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
INTEGERASI FUNGSI SOSIAL DAN FUNGSI BISNIS
BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DI LAMPUNG
INTEGRATIONS OF SOCIAL FUNCTION AND PROFIT FUNCTION
OF BMT IN LAMPUNG
Oleh
Ridwan Saifuddin
Fungsional Peneliti Pada Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi Daerah
Provinsi Lampung
Jl. Drs. Warsito No. 77 Telukbetung Bandar Lampung
Email : [email protected]
ABSTRAK
Terdapat dua pilar operasional Baitul Maal wat Tamwil (BMT), yaitu fungsi sosial dan fungsi
bisnis. Keduanya mencakup prinsip muamalah dalam Islam yang tidak memisahkan antara
kepentingan materi dan immateri. Masalah dalam operasional BMT di Lampung adalah
perlakuan yang timpang antara fungsi sosial dan fungsi bisnis, di mana fungsi bisnis
berorientasi laba terlalu mendominasi, dan cenderung meninggalkan fungsi sosialnya. Fungsi
sosial dicerminkan dalam pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS), sedangkan
fungsi bisnis dicerminkan dalam perkembangan ukuran finansial baik pertumbuhan aset
maupun laba BMT.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder laporan keuangan
BMT, serta data primer yang diperoleh melalui pengungkapan pendapat dan kuesioner
kepada 36 responden pengelola BMT di Lampung. Metode analisis menggunakan diagram
tulang ikan (fishbone diagram) untuk mengindetifikasi akar penyebab lemahnya fungsi sosial
BMT di Lampung. Hasil penelitian menunjukkan pengelola BMT di Lampung cenderung
melalaikan fungsi sosialnya, sehingga BMT lebih merefleksikan lembaga bisnis murni.
Penyebab lemahnya fungsi sosial BMT adalah faktor management, manpower, methods,
money, dan environment. Analisis laporan keuangan BMT juga menunjukkan tidak adanya
hubungan yang jelas antara peningkatan kinerja bisnis yang ditunjukkan dengan
perkembangan aktiva dan laba, dengan kinerja fungsi sosial BMT. Laporan keuangan BMT
juga belum sepenuhnya mengacu pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan.
Kata kunci: Kesenjangan, dana ZIS, fishbone diagram, internal BMT.
209 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
ABSTRACT
The baitul maal wat tamwil (BMT) has two major functions, such as social and business.
Both of them are suitable with the principles if muamalah in Islam. The baitul maal wat
tamwil in Lampung, actuallu, faces problems that must be solved. They are not able to run
those functions equally. They only do business more than social. Social function is reflected
by the management of donation of zakah, infak and sadaqah (the ZIS) while the other
function, business, is reflected by the growth of the the BMT finance. This research uses two
sources in gathering data. First, secondary data are obtained from financial report of the
BMT. Second, primary data are obtained from questionnaire which spread to 36 respondents
of the BMT staffs. This research also used fishbone diagram to analyze the data.
Findings show that the BMT staffs still have not been able to do social function as well as
business function. They tend to do business only. Of course, it is caused by many factors such
as lack of human resources, methods, money and environment. The findings also show that
there is no significant correlation between the growth of business performance and special
performance of the BMT. Moreover, the report shows that it is still not based on the Pedoman
Standar Akuntansi Keuangan.
Keywords: gap, donation of the ZIS, fishbone, internal of the BMT
PENDAHULUAN
Keuangan mikro (microfinance) telah
diakui sebagai suatu instrumen yang efektif
dalam upaya mengatasi kemiskinan di
banyak negara. Tidak saja pada tingkat
nasional, bahkan lembaga dunia
Perserikatan Bangsa Bangsa mengakui dan
telah mencanangkan tahun 2005 sebagai
Tahun Kredit Mikro Internasional. Konsep
keuangan mikro meliputi jasa keuangan
seperti kredit atau pembiayaan, simpanan,
serta jaminan bagi masyarakat miskin
dalam aktifitas ekonomi dan pemenuhan
kebutuhan hidupnya.
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) dalam mendukung pemberdayaan
UKM sering kali dikaitkan dalam satu
konteks upaya sektoral mengatasi masalah
kemiskinan. Masyarakat miskin dengan
penghasilan rendah berikut aktivitas UKM-
nya sering menghadapi persoalan dalam
memenuhi kebutuhan hidup dan
permodalan, sehingga terkadang harus
menghadapi kondisi yang tidak
menyediakan cukup pilihan untuk dapat
keluar dari masalah keuangan tersebut.
Mereka menghadapi lingkaran setan
kemiskinan (poorness vicious circle)
dengan rendahnya penghasilan, ketiadaan
kepemilikan aset atau tabungan, dan
ketidakmampuan berusaha, apalagi
dukungan finansial dari lembaga keuangan.
Salah satu bentuk lembaga keuangan mikro
yang banyak muncul akhir-akhir ini adalah
Baitul Maal wat Tamwil (BMT), yang
dalam operasionalnya idealnya
berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam.
Karena itu, karakteristik ekonomi Islam
hendaknya menjadi perhatian dan panduan
bagi para pengelola BMT, sehingga
lembaga tersebut mampu merefleksikan
serta mengaktualisasikan keunggulan
sistem ekonomi Islam tersebut dan tidak
terjebak pada praktik ekonomi kapitalistik
yang individualistis dan meterialistis.
210 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
Misi mulia yang diemban BMT dengan dua
fungsi maal dan tamwil tersebut merupakan
refleksi dari bagian sistem perekonomian
Islam yang menghendaki keadilan dalam
distribusi pendapatan serta kesempatan
berusaha bagi semua lapisan masyarakat.
Selain berperan sebagai lembaga
pembiayaan, BMT juga membawa misi
sebagai lembaga sosial bagi masyarakat
yang membutuhkan melalui akad-akad
yang diaplikasikan dalam lembaga tersebut
baik yang berbasis keadilan maupun
kedermawanan.
Peran BMT juga strategis dalam rangka
mengisi ruang yang tidak dimasuki oleh
perbankan dalam menyediakan fasilitas
pembiayaan kepada usaha-usaha mikro,
mengatasi pengangguran dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun, peranan
LKM yang telah ada—termasuk juga
BMT—pada kenyataannya belum mampu
melayani masyarakat khususnya mereka
yang berpenghasilan rendah, atau
kelompok fakir miskin, secara optimal.
Sementara, keberadaan jasa rentenir yang
menawarkan pinjaman cepat dengan bunga
sangat tinggi kepada masyarakat yang
memiliki kebutuhan mendesak, hingga saat
ini masih cukup eksis di beberapa wilayah.
Optimalisasi peran BMT dalam
menggerakkan dan meningkatkan kapasitas
perekonomian masyarakat khususnya usaha
kecil dan mikro perlu mendapat perhatian
serta dukungan mengingat potensinya yang
besar dalam mengangkat taraf kehidupan
masyarakat berpenghasilan rendah. Selain
itu, lembaga ini juga perlu meningkatkan
perannya dalam pemberdayaan kelompok
fakir miskin yang belum memiliki kapasitas
untuk mendapatkan pembiayaan komersiil
karena tidak memadainya aset yang
dimiliki.
Ada dua fungsi BMT yang berbeda, yaitu
fungsi baitul maal sebagai institusi kolektor
zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan distributor
kepada mereka yang berhak atau disebut
sebagai mustahiq, serta fungsi sebagai
baitul tamwil yaitu institusi keuangan dan
bisnis yang berorientasi pada
pengembangan usaha-usaha produktif,
seperti investasi yang diarahkan bagi
kegiatan ekonomi skala kecil (Ascarya dan
Sanrego, 2007, Hal.17).
Terhadap kebutuhan masyarakat dari aspek
sosial tersebut, BMT hendaknya mampu
mengantisipasi dengan memberdayakan
fungsi baitul maal-nya dengan lebih baik.
Keseimbangan yang terintegrasi dalam
menjalankan fungsi baitul maal dan baitul
tamwil tersebut akan lebih menjamin
tersedianya pelayanan bagi masyarakat
sekaligus mengoptimalkan manfaat dari
kehadiran BMT tersebut.
Dengan definisi Baitul Maal wat-Tamwil
tersebut berarti BMT dapat diartikan
sebagai lembaga sosial-ekonomi, dimana
dalam implementasinya harus selalu
berusaha untuk menyeimbangkan antara
peran sosial dan peran ekonominya. BMT
tidak boleh terjebak pada ekstrem
kapitalisme yang hanya mengedepankan
motif mencari keuntungan (profit) sebagai
satu-satunya tujuan. Tidak juga berpuas diri
hanya sebagai lembaga yang memberikan
manfaat sosial, tanpa juga memiliki
kemapuan efisiensi dalam mengoptimalkan
penggunaan sumber dayanya dalam rangka
mengembangkan lembaga secara ekonomi.
Dalam implementasinya, operasional BMT
di Lampung cenderung ―terdistorsi‖
menjadi seperti halnya lembaga keuangan
murni yang hanya berorientasi laba. Hal
tersebut terlihat dari fokus perhatian
211 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
pengelolanya terhadap fungsi baitul tamwil
dalam mengembangkan usahanya dan
meningkatkan laba yang setiap tahun
diakumulasikan dalam sisa hasil usaha
untuk dibagi kepada ―pemegang saham.‖
Sementara fungsi baitul maal yang melekat
dalam lembaga tersebut, yang ditunjukkan
dengan perkembangan dana zakat, infaq,
shadaqah yang dikelola, nyaris tidak
tertangani secara serius.
Dari data laporan keuangan BMT, terlihat
adanya kesenjangan yang signifikan antara
pertumbuhan aset dengan pertumbuhan
dana ZIS yang dikelola sepuluh BMT di
Lampung. Bahkan, perkembangan
pengelolaan dana ZIS menunjukkan tidak
adanya kemajuan yang berarti dari tahun ke
tahun. Secara umum, perbandingan antara
jumlah dana zakat, infaq, shadaqah yang
mencerminkan kinerja baitul maal dengan
jumlah aset BMT yang berada di Provinsi
Lampung berada pada rasio yang sangat
kecil kurang dari satu persen.
Fungsi sosial BMT sebagai baitul maal
dapat diimplementasikan begitu luas, tidak
saja terbatas pada penggalangan dana dan
penyaluran yang bersifat charity, tetapi
juga penyaluran dana untuk kegiatan
produktif masyarakat kelompok fakir
miskin dalam rangka pemberdayaan, yang
diharapkan akan dapat berkembang
menjadi usaha yang mandiri. Konsep baitul
maal dalam lembaga BMT ini meski
terinspirasi dari baitul maal yang
dipraktikan pada masa Rasulullah SAW
dan mulai dilembagakan pada masa
sahabat, tetapi berbeda baik menyangkut
cakupan operasinya maupun
manajemennya.
Melihat pertumbuhan fungsi bisnis yang
lebih mengedepan dibanding fungsi
sosialnya, BMT di Provinsi Lampung
cenderung menjalankan fungsi tamwil
secara lebih dominan, bahkan telah
cenderung meninggalkan fungsi baitul
maal-nya. Kondisi tersebut menimbulkan
kesenjangan antara kebutuhan masyarakat
yang menjadi segmen pasar BMT dengan
fungsi pelayanan yang diberikan oleh
lembaga tersebut. Pada akhirnya, kinerja
BMT menjadi kurang optimal dalam
menjalankan fungsinya yang idealnya dan
untuk dapat mengatasi masalah kemiskinan
serta meningkatkan taraf ekonomi umat.
Permasalahan
Dalam perspektif Islam, aktifitas muamalah
(bisnis) bukan sekadar berorientasi pada
keuntungan di dunia, melainkan juga
menghasilkan value added yang akan
didapat di akhirat. Dalam praktiknya,
aktivitas bisnis tidak boleh lepas sama
sekali dari perhatiannya terhadap
permasalahan lingkungan. Menjalankan
bisnis dengan cara abai terhadap
lingkungannya—dengan berbagai dampak
eksternalitas—pada gilirannya akan
mengancam kelangsungan bisnis itu
sendiri.
BMT sebagai lembaga keuangan mikro
yang bernafas Islam seharusnya mampu
mengartikulasi dan mangaktualisasikan
orientasi tersebut ke dalam aktifitas
operasionalnya. BMT—sesuai dengan
filosofi lembaga—tidak boleh hanya
berorientasi pada keuntungan materi
(profit), tetapi juga harus memperhatikan
misi sosialnya, membawa rahmat bagi alam
(masyarakat) juga membangun dan
memelihara jaringan ukhuwah seluruh
potensi kaum muslimin.
212 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
Lembaga BMT secara de facto harus
menjalankan dua fungsi usaha sekaligus,
yaitu dalam bidang pengelolaan zakat,
infaq, shadaqah (ZIS), serta lembaga
intermediasi keuangan mikro syariah. Bila
salah satunya tidak tidak berjalan, maka
hakikatnya lembaga tersebut tidak tepat
untuk disebut sebagai BMT, melainkan
baitul maal saja atau baitul tamwil saja.
Kedua fungsi tersebut merupakan suatu
sistem dalam wadah BMT yang bekerja
sinergis, yang seharusnya tidak dipisahkan
satu sama lain. Pengingkaran terhadap
prinsip ini dapat berakibat fatal terhadap
keutuhan jati diri BMT sebagai lembaga
keuangan mikro syariah. Siapa pun tidak
berhak mengklaim lembaganya sebagai
BMT bila de facto baitul maalnya tidak
berjalan (Ilmi, 2002, Hal.67).
Konsep ideal BMT tersebut, dengan
mengintegrasikan fungsi sosial dan fungsi
bisnis secara baik, akan melahirkan kinerja
lembaga yang lebih optimal dalam
memberikan manfaat bagi masyarkat
khususnya kelompok yang berpengasilan
rendah. Namun, BMT di Lampung dalam
aktivitas operasionalnya masih cenderung
mengedepankan fungsi bisnis dan
meninggalkan fungsi sosialnya.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut: ―Adanya
perlakuan yang timpang antara fungsi
bisnis (tamwil) dan fungsi sosial (maal)
BMT. Kepincangan (gap) antara fungsi
bisnis dan fungsi sosial BMT tersebut
membuat keberadaannya kurang optimal
mencapai sasaran yang diharapkan,
terutama dalam memberikan manfaat bagi
masyarakat berpenghasilan rendah atau
kelompok fakir-miskin. Kesenjangan
tersebut adalah kurang berjalannya fungsi
sosial BMT khususnya di Provinsi
Lampung.‖
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui faktor penyebab dan akar
masalah dari lemahnya fungsi sosial
(baitul maal) BMT di Lampung.
b. Mengetahui langkah yang dapat diambil
pengelola BMT untuk meningkatkan
fungsi sosial lembaga tersebut.
Teori
Perkembangan kelembagaan keuangan
sebagai lembaga intermediasi, baik bank
maupun lembaga keuangan bukan bank
yang mengalami pasang surut sesuai
dengan perkembangan kondisi keuangan
dan moneter yang dialami suatu negara.
Lembaga keuangan terdiri dari beraneka
ragam bentuk lembaga yang bergerak pada
sektor finansial. Dengan demikian, konsep
lembaga keuangan dapat dirumuskan dalam
beberapa definisi tergantung dari sudut
mana melihatnya (Rivai, dkk, 2007,
Hal.15).
Lembaga keuangan dalam sistem
perbankan adalah lembaga keuangan yang
menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, Pasal 1, ‖adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup masyarakat banyak.‖
Sedangkan lembaga keuangan bukan bank
adalah lembaga keuangan selain bank, yang
dalam kegiatannya tidak diperkenankan
213 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
menghimpun dana secara langsung dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, yang
meliputi perusahaan asuransi, dana pensiun,
pasar modal, leasing, modal ventura,
pegadaian, serta perusahaan pembiayaan
lainnya.
Dilihat dari sifat operasinya, suatu lembaga
atau organisasi dapat dibagi menjadi dua
macam. Pertama, lembaga yang
berorientasi untuk mendapatkan
keuntungan (profit institution). Kedua,
lembaga yang dalam menjalankan
aktivitasnya tidak berorientasi
mengumpulkan keuntungan (non-for-profit
institution) yang dalam bahasa lain sering
disebut organisasi nirlaba. Kelangsungan
hidup organisasi nirlaba sangat tergantung
dari berbagai sumbangan yang diberikan
oleh pihak-pihak yang percaya kepada
organisasi tersebut.
Di berbagai negara, seperti Amerika Serikat
dan Eropa, organisasi nirlaba berkembang
sangat pesat. Secara umum, pengertian
organisasi nirlaba adalah institusi yang
dalam menjalankan operasinya tidak
berorientasi mencari laba. Namun
demikian, bukan berarti organisasi nirlaba
tidak dibolehkan menerima atau
menghasilkan keuntungan dari setiap
aktivitasnya. Hanya biasanya jika
memperoleh keuntungan, keuntungan
tersebut dipergunakan untuk menutupi
biaya operasional atau kembali disalurkan
untuk kegiatan utamanya lagi (Widodo dan
Kustiawan, 2001, Hal 4).
Keuangan mikro (microfinance) merupakan
alat yang penting dan strategis dalam
mewujudkan pembangunan dalam tiga hal
sekaligus, yaitu: menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pendapatan
masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.
Akses terhadap jasa keuangan yang
berkelanjutan merupakan prasyarat bagi
masyarakat miskin dan pengusaha mikro
untuk meningkatkan kemampuan dan
kapasitas ekonominya.
Layanan microfinance dapat dilakukan baik
oleh pemerintah, swasta, LSM, lembaga
keuangan formal ataupun informal, bahkan
oleh perseorangan. Layanan microfinance
yang dilakukan oleh perbankan disebut
microbanking. Konsep microbanking
adalah bagaimana perbankan dapat
melayani sektor usaha mikro yang
umumnya bersifat informal.
Pengertian BMT atau padanan kata dari
Balai-usaha Mandiri Terpadu adalah
lembaga keuangan mikro yang
dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,
untuk menumbuhkembangkan bisnis usaha
mikro dan kecil, dalam rangka mengangkat
derajat dan martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin (PKES,
2006, Hal.1).
Secara konseptual, BMT memiliki dua
fungsi, yaitu baitul maal (bait = rumah,
maal = harta) yang menerima titipan dana
zakat, infaq dan shadaqah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai
dengan peraturan dan amanahnya, dan
fungsi baitut tamwil (bait = rumah, at-
tamwil = pengembangan harta) untuk
melakukan kegiatan pengembangan usaha-
usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan kecil terutama dengan
mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan
ekonominya (Aziz, 2004, Hal.1).
214 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
BMT adalah lembaga keuangan mikro yang
memadukan kegiatan ekonomi berupa
simpanan dan pembiayaan dalam berbagai
jenis akad, serta kegiatan sosial melalui
penggalangan titipan dana sosial untuk
kepentingan masyarakat, seperti zakat,
infaq dan shadaqoh serta
mendistribusikannya dengan prinsip
pemberdayaan masyarakat sesuai peraturan
dan amanahnya (Aziz, 2005, Hal.1).
Dalam menjalankan fungsi sosialnya, BMT
dapat berperan sebagai outlet bagi lembaga
baitul maal. Pengajuan pembiayaan atau
peminjaman yang tidak layak kepada BMT,
dapat dipertimbangkan untuk diambil alih
baitul maal (Widyaningrum. 2002).
Sedangkan misi ekonomi BMT sebagai
baitul tamwil dilakukan melalui berbagai
pembinaan yang menyertai pembiayaan
yang diberikan kepada pelaku usaha mikro.
Dalam banyak kisah sukses BMT,
kedekatan LKM tersebut dengan
masyarakat serta pelaku usaha mikro yang
dibiayainya dibangun melalui pembinaan
berbasis kelompok yang materinya
mencakup tata kelola usaha, teknis dan
spiritual secara berkelompok. Pembinaan
berbasis kelompok ini di satu sisi sangat
mendukung performa kolektibilitas
pembiayaan dengan penerapan tanggung
jawab bersama dan di sisi lain
meningkatkan efisiensi BMT dalam
melakukan pengawasan dan penyuluhan
atau pembinaan.
Tujuan BMT adalah terciptanya sistem,
lembaga dan kondisi kehidupan ekonomi
rakyat banyak yang dilandasi oleh nilai-
nilai dasar salaam: keselamatan yang
berintikan keadilan, kedamaian, serta
kesejahteraan berwujud pada tiga perempat
usaha mikro dan kecil di seluruh Indonesia
sebelum tahun 2014 (Aziz, 2004, Hal.2).
Praktik baitul maal secara esensi dan
aplikasi sebenarnya telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, dan secara formal mulai
ada pada masa Khulafaur Rasyidin. Baitul
maal merupakan lembaga keuangan Islam
yang strategis dalam tatanan sistem
ekonomi Islam. Lembaga ini banyak
memberikan kontribusi dalam membangun
perekonomian umat Islam bahkan mampu
menyejahterakan umat. Sejarah Islam
menjadi saksi akan hal tersebut (Fikri,
1997, Hal.207).
Dalam konteks lain yang lebih sempit yaitu
lembaga BMT, fungsi baitul maal dapat
diimplementasikan tidak saja terbatas pada
penggalangan dana dan penyaluran yang
bersifat sesaat, tetapi juga penggalangan
dan penyaluran dana yang
berkesinambungan untuk kegiatan-kegiatan
produktif masyarakat kelompok fakir
miskin dalam rangka pemberdayaan, yang
diharapkan akan dapat berkembang
menjadi usaha yang lebih mandiri.
Baitul maal dalam BMT berperan dalam
beberapa hal, antara lain:
1. Mengelola dana ZIS dari lembaga,
anggota, maupun masyarakat
disekitarnya.
2. Membantu baitul tamwil dalam
menyediakan kas untuk alokasi
pembiayaan nonkomersial qardul
hasan.
3. Menyediakan cadangan penyisihan
penghapusan pembiayaan macet akibat
kebangkrutan usaha nasabah baitul
tamwil yang berstatus ghorimin.
4. Dengan kiprahnya yang nyata dalam
usaha-usaha peningkatan bidang
215 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
kesejahteraan sosial, seperti pemberian
beasiswa, santunan kesehatan,
sumbangan pembangunan sarana umum
dan peribadatan, serta lainnya, ia dapat
membantu baitul tamwil dalam
menyukseskan kegiatan promosi
produk-produk penghimpunan dana
(funding) dan penyalurannya kepada
masyarakat (financing).
Dengan pengelolaan dana-dana kebajikan
tersebut, diharapkan dapat menjadi sarana
untuk menumbuhkan unit-unit usaha baru
yang merintis usahanya dari awal, sehingga
kemudian menjadi mitra BMT yang siap
dan layak untuk mendapatkan pembiayaan
berikutnya dengan akad komersiil melalui
fungsi tamwil-nya.
BMT idealnya mampu menjalankan dua
peran tersebut secara sinergis. Alternatif
lain, BMT dapat bekerja sama secara
sinergis dengan lembaga lain dalam
mengelola potensi filantrophi umat Islam
yang dirasakan mengalami peningkatan
dari waktu-ke-waktu. Dengan seiring
berjalannya dua fungsi muamalah tersebut,
diharapkan melahirkan umat yang semakin
berdaya secara ekonomi dengan taraf
kesejahteraan yang semakin baik.
Mengenai pengertian shadaqah dan infaq
ini, sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa
sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang
sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian
yang lain mengatakan infaq wajib
dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah
dinamakan shadaqah (www.pkpu.or.id).
Sumber dana ZIS berasal dari:
a. Zakat BMT berasal dari keuntungan
bersih BMT selama periode satu tahun.
b. Zakat dari nasabah BMT yang dipotong
dari rekening atas perintah nasabah
tersebut.
c. Zakat dari pihak luar BMT adalah dana
yang disetor atau dititipkan oleh pihak
luar ke rekening ZIS BMT.
d. Infaq didapatkan dari pihak luar atau
diterima dari nasabah BMT dengan
memotong dari rekening atas perintah
nasabah tersebut.
e. Shadaqah didapatkan dari pihak luar
atau diterima dari nasabah dengan
memotong dari rekening atas perintah
nasabah tersebut (Aziz dan Hatta, 2006,
Hal.45).
Sedangkan pengertian qardul hasan adalah
pinjaman tanpa imbalan yang
memungkinkan peminjam untuk
menggunakan dana tersebut selama jangka
waktu tertentu dan wajib mengembalikan
dalam jumlah yang sama pada akhir
periode yang telah disepakati. Laporan
sumber dan penggunaan qardul hasan
merupakan laporan yang menunjukkan
sumber dan penggunaan dana selama
jangka waktu tertentu, serta saldo qardul
hasan pada tanggal tertentu (Aziz dan
Hatta, 2006, Hal.46).
Dana qardul hasan bersumber dari:
a. Infaq yang didapatkan dari pihak luar
atau diterima dari nasabah BMT dengan
memotong dari rekening atas perintah
nasabah tersebut.
b. Shadaqah yang didapatkan dari pihak
luar atau diterima dari nasabah BMT
dengan memotong dari rekening atas
perintah nasabah tersebut.
c. Denda yang berasal dari keterlambatan
pelunasan piutang maupun pembiayaan
yang diberikan oleh BMT kepada
216 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
debiturnya yang diakibatkan karena
kelalaian debitur yang bersangkutan.
d. Sumbangan yang didapatkan dari
nasabah atau pihak luar.
e. Hibah.
f. Penerimaan nonsyariah, misalnya yang
berasal dari penerimaan jasa giro BMT
pada bank konvensional atau
penerimaan lainnya yang tidak dapat
dihindari dari kegiatan operasional
BMT.
Khusus penyaluran dana nonsyariah
diarahkan untuk membantu pembangunan
fasilitas atau infrastruktur publik, seperti
jalan dan jembatan dan bukan untuk
bantuan konsumtif atau untuk
perseorangan.
Dana qardul hasan dapat disalurkan untuk
dana kebajikan dan sebagai dana bergulir
dan/atau pinjaman sosial. Laporan sumber
dan penggunaan dana kebajikan merupakan
laporan yang memberikan informasi agar
pemakai dapat mengevaluasi aktivitas BMT
dalam mengelola dana tersebut, atau
berkaitan dengan pelaksanaan fungsi sosial
BMT yang bersangkutan.
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
dalam penelitian dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
a. Fungsi sosial (baitul maal) BMT di
Provinsi Lampung selama ini tidak
berjalan secara optimal dan lebih
mengedepankan fungsi bisnisnya.
b. BMT di Lampung belum optimal
memberikan pelayanan jasa keuangan
kepada kaum dhuafa maupun sektor
usaha mikro.
METODE PENELITIAN
Tahapan penelitian dimulai dari batasan
penelitian di mana yang menjadi indikator
fungsi sosial BMT sebagai tema bahasan
adalah dana zakat, infaq dan shadaqah
(ZIS) yang dikelola oleh sepuluh BMT di
Lampung. Sepuluh BMT tersebut dipilih
dari 36 BMT berdasarkan data lembaga
pendamping Microfin (2008), atas dasar
kinerja (tamwil) yang dinilai dapat
mewakili dan relatif lebih baik dibanding
BMT lainnya yang ditunjukkan dengan
perkembangan aset dan laba dalam periode
lima tahun berturut-turut.
Dari sepuluh BMT tersebut diambil data
sekunder berupa laporan keuangan masing-
masing sebagai dasar melakukan analisa
adanya kesenjangan dalam pengelolaan
fungsi maal dan tamwil BMT yang
bersangkutan. Selain data sekunder
tersebut, penelitian ini juga menggunakan
kuesioner mengenai penyebab lemahnya
fungsi sosial BMT yang terdiri dari 15
pertanyaan dengan pilihan jawaban ―Ya‖
dan ―Tidak.‖ Kuesioner tersebut disebarkan
dan diisi oleh pengurus atau pengelola dari
36 BMT yang aktif beroperasi hingga
sekarang.
Kuesioner disusun berdasarkan identifikasi
faktor penyebab lemahnya fungsi sosial
BMT, yang diketahui melalui proses
pengungkapan pendapat (brainstorming)
dengan pengurus dan pengelola sepuluh
BMT di Lampung yang menjadi objek
penelitian.
Identifikasi faktor penyebab tersebut
dikelompokkan berdasarkan katagorisasi
yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil
identifikasi melalui pengungkapan
pendapat terhadap faktor penyebab
217 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
lemahnya fungsi sosial BMT tersebut yang
kemudian disusun menjadi bentuk
pernyataan-pernyataan dalam kuesioner.
Alat analisis menggunakan diagram sebab-
akibat atau diagram tulang ikan (Fishbone
Diagram), yang selanjutnya menjadi
panduan merumuskan hasil penelitian.
Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung,
dengan mengambil 36 BMT yang tersebar
di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung
Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara,
Way Kanan, Tulangbawang, Tanggamus,
Kota Metro, dan Bandar Lampung. Kriteria
yang menjadi dasar memilihnya adalah
BMT yang aktif dan cukup berkembang
dengan baik hingga penelitian ini
dilaksanakan.
Pengumpulan data dilakukan dengan
penyebaran kuesioner kepada 36 BMT
yang menjadi sampel dari penelitian ini.
Kuesioner terdiri dari 15 pertanyaan yang
bersifat tertutup, dengan pilihan jawaban
―ya‖ atau ―tidak.‖ Kuesioner tersebut diisi
oleh anggota pengurus atau unsur pengelola
masing-masing BMT.
Analisis penelitian yang akan dilakukan
adalah, analisis data sekunder dan
identifikasi faktor penyebab lemahnya
fungsi sosial dengan menggunakan model
fishbone diagram. Tujuannya adalah
mengidentifikasi akar masalah lemahnya
fungsi sosial BMT dan langkah yang dapat
diambil pengelola lembaga tersebut untuk
mengatasi permasalahan.
Penelitian ini ingin mengetahui faktor
penyebab lemahnya fungsi sosial BMT,
untuk itu penelitian menguraikan faktor
penyebab tersebut menggunakan fishbone
diagram. Data yang akan dipergunakan
adalah neraca dan rugi laba akhir tahun
pada masing-masing BMT, khususnya
untuk mengetahui jumlah dana zakat, infaq,
shadaqah (ZIS) dan dana kebajikan (qardul
hasan) yang dikelola BMT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
BMT dengan dua pilar baitul maal dan
tamwil idealnya dapat terbangun dengan
baik, seiring dan bersinergi dalam
mengembangkan lembaga serta masyarakat
sekitarnya. Segmen masyarakat yang
menjadi sasaran BMT tidak semua dapat
terlayani dengan fungsi bisnisnya.
Masyarakat miskin berpendapatan rendah,
bahkan tak menentu (dhuafa), yang masih
menghadapi masalah dalam pemenuhan
kebutuhan dasar sehari-hari tidak dapat
terlayani dengan pembiayaan komersial
BMT. Sementara para aghnia (masyarakat
yang secara ekonomi tergolong mampu)
relatif memiliki ―hambatan psikologis‖
untuk menggunakan jasa BMT, misalnya
untuk simpanan, di mana mereka akan
cenderung memilih menggunakan jasa
perbankan untuk kebutuhan layanan
keuangan.
Dalam rangka penguatan fungsi sosial
tersebut, khususnya bagi BMT yang ada di
Lampung, maka pertama perlu dilakukan
pembenahan manajemen lembaga.
Kehadiran BMT secara kelembagaan perlu
dipersiapkan untuk menjalankan dua peran
dalam masyarakat, yaitu peran untuk
mengembangkan sektor produktif dan
kebutuhan konsumtif melalui fungsi
tamwil, serta peran untuk memberdayakan
kaum dhuafa untuk lebih terjamin
pemenuhan kebutuhan pokoknya dan lebih
berdaya melalui fungsi maal.
Pembenahan manajemen yang dapat
dilakukan adalah, menyusun dan
218 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
menyepakati antara anggota, pengurus,
serta pengelola tentang indikator-indikator
keberhasilan pengelolaan BMT, yang tidak
hanya terfokus pada ukuran komersial
(laba), melainkan juga indikator dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi sosial, seperti
pemberdayaan kaum dhuafa melalui
berbagai bentuk pemanfaatan dana ZIS.
Oleh karena itu perlu dipersiapkan
infrastruktur pendukungnya, mulai dari
rekrutmen tenaga yang akan khusus
menangani fungsi sosial tersebut, sarana
administrasi, evaluasi dan penyusunan
struktur organisasi yang mengakomodasi
baitul maal sebagai unit atau bagian khusus
untuk menangani masalah tersebut, dan
menjamin struktur organisasi tersebut dapat
berjalan dengan baik dengan dukungan
sarana-prasarana yang dibutuhkan.
Di samping itu, kebijakan-kebijakan
pengurus dan pengelola hendaknya mulai
menyentuh sektor maal, baik pada tataran
target atau proyeksi ke depan, maupun
penyediaan petunjuk pelaksanaan fungsi
sosial tersebut. Motivasi para pengurus dan
pengelola BMT perlu ditingkatkan dengan
mengkaji kembali pentingnya fungsi sosial
tersebut dalam memberdayakan masyarakat
serta menggerakkan ekonomi rakyat di
sekitarnya, yang pada gilirannya akan dapat
mendorong pertumbuhan bisnis BMT itu
sendiri. Termasuk juga mengkaji kembali
filosofi BMT sebagai sebuah lembaga yang
membawa misi muamalah dalam Islam
adalah untuk mewujudkan keadilan dalam
masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data sekunder serta
pengungkapan pendapat secara langsung
(brainstorming) maupun melalui kuesioner,
dapat disimpulkan bahwa, BMT di
Lampung belum melaksanakan fungsi
sosialnya dengan baik, bahkan cenderung
meninggalkannya, dengan lebih
mengedepankan fungsi bisnis yang
berorientasi laba. Fungsi sosial BMT dalam
penelitian ini adalah menggunakan
indikator jumlah dana zakat, infaq, dan
shadaqah (ZIS) yang dikelola BMT
bersangkutan.
Dari analisis terhadap laporan keuangan
neraca sepuluh BMT tidak terlihat ada
hubungan (pola) keterkaitan yang jelas
antara kecenderungan pertumbuhan bisnis
(tamwil) BMT dengan perkembangan
fungsi sosialnya. Perkembangan fungsi
bisnis BMT tidak sejalan dengan
perkembangan fungsi sosialnya, di mana
perkembangan tamwil jauh meninggakan
baitul maal BMT.
Secara ringkas, penelitian yang melibatkan
pengurus dan pengelola BMT di Lampung
ini menyimpulkan bahwa faktor
manajemen paling dominan menjadi
penyebab lemahnya fungsi sosial BMT,
setelah itu faktor sumber daya manusia,
kemudian faktor metode dan prosedur
kerja, faktor dana, dan faktor lingkungan
eksternal.
219 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
Saran
Saran untuk pengelola BMT:
Perlu evaluasi kembali tentang
implementasi filosofi BMT sebagai
lembaga yang mengintegrasikan fungsi
sosial dan fungsi bisnis, baik dalam
aspek manajemen, sumber daya
manusia, metode kerja, serta dukungan
finansial baik secara internal maupun
eksternal.
Perlu dilakukan analisis SWOT tentang
pelaksanaan fungsi baitul maal BMT,
serta manfaatnya, baik bagi
perkembangan lembaga, maupun bagi
masyarakat di wilayah kerjanya.
Alternatif yang dapat dilakukan dalam
menjalankan misi sosial BMT adalah
dengan menghidupkan dan
menjalankan unit kerja dalam lembaga
BMT yang khusus mengurusi
pengelolaan ZIS, mulai dari
perencanaan, penggalangan, hingga
penyalurannya; atau dapat bekerja sama
dengan lembaga amil zakat yang ada,
dan bisa juga beberapa BMT dalam satu
wilayah bergabung membentuk
lembaga amil zakat bersama untuk
menggali potensi ZIS dari lingkungan
sekitarnya. Langkah ini tentu perlu
dibarengi penyiapan sumber daya
manusia yang memahami dan memiliki
komitmen kuat untuk melaksanakan
tugasnya, melalui pendidikan dan
pelatihan yang terencana dan
berkesinambungan.
Saran untuk penelitian berikutnya:
Perlu penelitian lebih lanjut yang lebih
komprehensif mengenai optimalisasi
fungsi dan kinerja BMT sebagai ujung
tombak lembaga keuangan syariah
dalam meningkatkan kapasitas ekonomi
serta kemandirian umat, di samping
penelitian-penelitian yang telah ada.
Perlu penelitian tentang efektifitas
BMT dengan status badan hukum
koperasi, baik menyangkut legalitas
operasinya dalam penggalangan dana
masyarakat, pelaksanaan dua pilar
bisnis dan sosial, maupun prospek
pengembangan dan keberlanjutannya ke
depan, serta alternatif bentuk badan
hukum BMT yang sesuai untuk
berjalannya dua fungsi tersebut dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Mohammad Daud, 1988, Sistem
Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
Jakarta, UI-Press.
An-Nabhani, Taqyuddin, 2002, Memba-
ngun Sistem Ekonomi Alternatif;
Perspektif Islam, Jakarta, Risalah
Gusti.
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktek,
Jakarta, Gema Insani Press.
Assauri, Sofjan, 2007, Manajemen Pema
saran, Jakarta, Raja
GrafindoPersada.
Aziz, Amin, 2005, AD/ART Baitul Maal
wat Tamwil, Jakarta, Pinbuk Press.
_________, 2006, Buku Saku Tata Cara
Pendirian BMT, Jakarta, PKES.
_________, dan Rahmadi J. Hatta, 2006,
Akuntansi BMT, Jakarta, Pinbuk
Press.
220 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
Chapra, Umer, 2001, The Future of
Economics: An Islamic Perspective;
Landscape Baru Perekonomian
Masa depan, Jakarta, Shari’ah
Economics and Banking Institute
(SEBI).
Evans dan Lindsay, 2007, An Introduction
to Six Sigma & Process
Improvement; Pengantar Six Sigma,
Jakarta, Salemba Empat.
Gaspersz, Vincent, 2006, Sistem Manaje-
men Kinerja Terintegrasi Balanced
Scorecard Dengan Six Sigma; untuk
Organisasi Bisnis dan Pemerintah,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Hafidhuddin, Didin, 2002, Zakat dalam
Perekonomian Modern, Jakarta,
Gema Insani.
Harahap, Sofyan S, 2001, Menuju Perumu-
san Teori Akuntansi Islam, Jakarta,
Pustaka Quantum.
Hardini, Isriani, S.S. dan Muh. H. Giarto,
2007, Kamus Perbankan Syariah,
Bandung, Marja.
Ilmi, Makhalul, 2002, Teori dan Praktek
Lembaga Mikro Keuangan Syariah,
Yogyakarta, UII Press.
Islahi, A.A., 1997, Konsep Ekonomi Ibnu
Taimiyah, Penerjemah Anzhari
Thayib, Surabaya, Bina Ilmu.
Kamal, Mustafa (Editor), 1997, Wawasan
Islam dan Ekonomi; Sebuah Bunga
Rampai, Jakarta, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Karim, Adiwarman, 2004, Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan,
Jakarta, Rajawali Pers.
Kartajaya, Hermawan dan Muhammad
Syakir Sula, 2006, Syariah
Marketing, Bandung, mizan.
Kasali, Rhenald, 2000, Membidik Pasar
Indonesia; Segmentasi, Targeting,
Positioning, Jakarta, Gramedia.
Metwally, M.M., April 1995, Teori dan
Model Ekonomi Islam, Jakarta,
Bangkit Daya Insana.
Muhammad, 2004, Manajemen Dana Bank
Syariah, Yogyakarta, Ekonisia.
__________, 2004, Ekonomi Mikro dalam
Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE.
Mulianto, Sindu, Eko Ruddy Cahyadi dan
Widjajakusuma, 2006, Panduan
Lengkap Supervisi Diperkaya
Perspektif Syariah; Menuju
supervisi yang profesional, beretos
kerja tinggi, dan amanah, Jakarta,
PT Alex Media Komputindo.
Nasution, Mustafa Edwin dan Uswatun
Hasanah (Editor), 2005, Wakaf
Tunai Inovasi Finansial Islam;
Peluang dan Tantangan dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Umat,
Jakarta, PKTTI UI – Bank
Indonesia.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk, 2006,
Pengenalan Eksklusif Ekonomi
Islam, Jakarta, Kencana.
Rangkuti, Freddy, Marketing Analysis
Made Easy; Teknik Analisis
Pemasaran dan Analisis Kasus
Menggunakan Excel dan SPSS,
2005, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama.
Rao, Carr, Dambolena, Kopp, Martin,
Rafii, Schlesinger, Total Quality
Management; A Cross Functional
Perspective, 1996, New York,
Chichester, Brisbane, Toronto,
Singapore, John Wiley & Sons.
221 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
Rivai, H. Veithzal, dkk. Bank and Finan-
cial Institution Management;
Conventional & Sharia System,
2007, Jakarta, Rajagrafindo
Persada.
Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah 12, 13,
14. Bandung, Alma’arif.
Umar, Husein, 2005, Riset Pemasaran dan
Perilaku Konsumen, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama.
Yunus, Muhammad, 2007, Bank Kaum
Miskin; Kisah Yunus dan Grameen
Bank Memerangi Kemiskinan,
Jakarta, Marjin Kiri.
Yusuf, Eva Zhoria Dr. dan Lesley Wiliams
Dr., 2007, Manajemen Pemasaran;
Studi Kasus Indonesia, Jakarta,
Sekolah Tinggi Manajemen.
Widodo, Hertanto dan Teten Kustiawan,
2001, Akuntansi dan Manajemen
Keuangan untuk Organisasi
Pengelola Zakat, Jakarta, Institut
Manajemen Zakat.
Penelitian:
Ginanjar, Adhitya, 2003, Faktor Dominan
yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Aset Lembaga Keuangan Mikro
Syariah, Tesis PSTTI UI.
Mukhlisin, 2007, Analisis Tingkat Keseha-
tan Lembaga Keuangan Mikro
Syariah Baitul Maal wat Tamwil
Pringsewu, Skripsi FE Unila.
Mulyadi, Arief, 2006, Dukungan LKM
terhadap Usaha Mikro dan Kecil
untuk Meningkatkan Ketahanan
Daerah, Tesis Pascasarjana UI.
Salam, Abdul Dr., 2008, Working Papers in
Interdisciplinary Studies; Koperasi
Simpan Pinjam: Sustainabilitas
Lembaga Keuangan Mikro, Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada.
Siena, Ibnu, 2005, Analisis Pengaruh Dana
Zakat, Infaq, Sedekah (ZIS), Tingkat
Pendidikan, dan Lama Usaha
Mustahiq terhadap Peningkatan
Pendapatan Usaha (Studi Kasus
Para Peserta Program Ikhtiar
Peramu Periode 1999-2004), Tesis
PSTTI.
Widyaningrum, Nurul, 2002, Model
Pembiayaan BMT dan Dampaknya
Bagi Pengusaha Kecil; Studi Kasus
BMT Dampingan Yayasan Peramu
Bogor, AKATIGA.
Wijaya, Yudho Adi, 2007, Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pembiayaan
Pada Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (Studi Kasus BMT Daarut
Tauhid), Tesis PSTTI UI.
Paper:
Agustianto, Zakat, Wakaf, dan BMT,
PSTTI, UI.
Ascarya dan Diana Yumanita, 2007, The
Profile of Micro, Small, and
Medium Enterprises in Indonesia
and the Strategy to Enhance Islamic
Financial Services through Baitul
Maal wa Tamwiel, Proceedings of
the 2nd
Islamic Conference 2007
(iECONS2007) organized by
Faculty of Economics and
Muamalat, Islamic Science
University of Malaysia.
Ascarya dan Yulizar D. Sanrego, 2007,
Redefine Micro, Small, and Medium
Enterprises Classification and the
Potency of Baitul Maal wa Tamwiel
as Intermediary Institutions in
Indonesia, Paper presented at UBD-
IRTI International Conference on
Inclusive Islamic Financial Sector
222 INOVASI dan PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN VOL.04 NO. 03
Development: ―Enhancing Islamic
Financial Services for Micro and
Medium Sized Enterprises
(MMEs)‖, UBD-IRTI, Empire
Hotel and Country Club, Negara
Brunei Darussalam, 17-19 April,
2007.
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah Republik Indonesia,
2004, Juklak Koperasi Jasa
Keuangan Syariah.
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK) Propinsi Lampung,
2002, Kumpulan Materi Pelatihan
Calon Pengelola Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) Masjid, PINBUK
Lampung.
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK) Wilayah Jawa Barat,
Materi Pelatihan Pengelola Baitul
Maal Wat Tamwil.
Wijono, Wiloejo Wirjo, 2005, Pemberda-
yaan Lembaga Keuangan Mikro
Sebagai Salah Satu Pilar Sistem
Keuangan Nasional: Upaya
Kongkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan, apresiasi terhadap
Tahun Keuangan Mikro 2005 dan
Millenium Development Goals
(MDGs) yang digagas oleh PBB.