INSTITUTIONAL CHANGE

30
INSTITUTIONAL CHANGE, CONTINUITY AND DECOUPLING IN THE INDONESIAN INDUSTRIAL RELATION SYSTEM Perubahan Institusional, Kelanjutan dan Decoupling dalam Sistem Hubungan Industrial di Indonesia Abstraksi: Artikel ini menganalisa perjalanan panjang perubahan dan kelanjutan yang ada pada sistem hubungan industri (Industrial Relation / IR) di Indonesia. Meski hanya terfokus pada reformasi pekerja setelah era Soeharto, analisis ini juga memperluas kajian antar waktu secara mundur untuk melihat aspek kunci pada periode orde lama dan orde baru sehingga dapat menyediakan perspektif pada pembangunan yang terjadi sekarang ini. Artikel ini memperlihatkan analis pada teori insitusional dan highlights pada peranan berbagai tokoh pada tiap periode perubahan. Data dikumpulkan melalui wawancara naratif dengan tokoh IR yang relevan dan juga dikumpulkan dari berbagai macam sumber lainnya. disaat menjelaskan fakta-fakta perubahan pada logika dan struktur di hubungan industri (IR) Indonesia, pengarang juga mengungkapkan fakta pada tiap perjalanan institusional. Artikel ini juga memuat perubahan terkini yang telah menghasilkan beberapa hasil yang negatif kepada kalangan pekerja dan pergerakan buruh, dan perubahan yang lebih memfokuskan kepada keterbukaan elemen-elemen yang struktural namun kurang memperhatikan elemen kesadaran kultural dan normatif yang menentukan sikap kepada struktur yang baru. Kata Kunci: Berkelanjutan/Continuity; Perubahan Institusional/Institutional Change; Logika

Transcript of INSTITUTIONAL CHANGE

Page 1: INSTITUTIONAL CHANGE

INSTITUTIONAL CHANGE, CONTINUITY AND DECOUPLING IN THE INDONESIAN INDUSTRIAL RELATION SYSTEM

Perubahan Institusional, Kelanjutan dan Decoupling dalam Sistem Hubungan Industrial di Indonesia

Abstraksi: Artikel ini menganalisa perjalanan panjang perubahan dan kelanjutan yang ada pada sistem hubungan industri (Industrial Relation / IR) di Indonesia. Meski hanya terfokus pada reformasi pekerja setelah era Soeharto, analisis ini juga memperluas kajian antar waktu secara mundur untuk melihat aspek kunci pada periode orde lama dan orde baru sehingga dapat menyediakan perspektif pada pembangunan yang terjadi sekarang ini. Artikel ini memperlihatkan analis pada teori insitusional dan highlights pada peranan berbagai tokoh pada tiap periode perubahan. Data dikumpulkan melalui wawancara naratif dengan tokoh IR yang relevan dan juga dikumpulkan dari berbagai macam sumber lainnya. disaat menjelaskan fakta-fakta perubahan pada logika dan struktur di hubungan industri (IR) Indonesia, pengarang juga mengungkapkan fakta pada tiap perjalanan institusional. Artikel ini juga memuat perubahan terkini yang telah menghasilkan beberapa hasil yang negatif kepada kalangan pekerja dan pergerakan buruh, dan perubahan yang lebih memfokuskan kepada keterbukaan elemen-elemen yang struktural namun kurang memperhatikan elemen kesadaran kultural dan normatif yang menentukan sikap kepada struktur yang baru.

Kata Kunci: Berkelanjutan/Continuity; Perubahan Institusional/Institutional Change; Logika Institusional/Institutional Logic; Hubungan Industri/Industrial relation (IR).

Page 2: INSTITUTIONAL CHANGE

PENDAHULUAN

Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 telah terjadi banyak perubahan pada sistem hubungan industri (IR) di Indonesia, seperti pada perkembangan sistem ketika Era Reformasi memperlihatkan kemiripan seperti yang terjadi ketika perubahan era orde lama ke orde baru pada kepemimpinan presiden Soekarno ke presiden Soeharto. Terdapat juga perubahan yang signifikan kepada struktur formal dari IR di Indonesia selama masa itu, pertanyaan yang tersisa adalah perubahan besar yang terjadi selama dekade terakhir benar-benar menunjukan perubahan yang jauh dari masa lalu, seperti yang telah di nyatakan oleh beberapa penulis (seperti Ford, 2000; Manning, 2008), atau perubahan yang terjadi hanya sekedar hasil dari perjalanan panjang dan pola yang sudah sering digunakan oleh tokoh-tokoh kunci yang terus berada didalam sistem daripada perubahan radikal pada struktur yang ada.

Dengan mempertimbangkan pertanyaan tentang perubahan dan kelanjutannya, artikel ini memuat kerangka teori mulai dari teori institusional untuk mengevaluasi mekanisme yang terjadi apakah telah terjadi perubahan dan atau kestabilan pada periode-periode yang ada. Mengingat perubahan-perubahan yang terjadi belakangan ini diantara perubahan-perubahan yang ada sebelumnya dan penggunaan beberapa pokok dari teori institusional membuat kita dapat melakukan penilaian yang lebih tepat tentang bentuk dari kestabilan institusional, termasuk juga tujuan dan implementasi dari perubahan yang diterapkan ditiap era. Sebagai tambahan, peran dari dari institusi yang tepat adalah sebagai penjaga dari berkelanjutannya tiap penetapan kebijakan sementara juga membuka kesempatan untuk para tokoh/pelaku yang ada untuk mendorong perubahan (cf.Campbell, 2004; Pierson, 2004). Terakhir, penggunaan cara pandang ini dapat memberikan pertimbangan dari berbagai macam logika instusional yang dapat berdampingan atau bahkan dapat saling bertentangan antara satu logika institusional dengan yang lainnya. dalam keadaan di Indonesia dapat dikatakan bahwa keadaan tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat begitu kompleksnya keadaan lingkungan geografis, budaya, suatu Negara yang beragam dengan ekonomi yang berkembang dengan sektor informal yang luas.

Page 3: INSTITUTIONAL CHANGE

Kunci utama dalam memahami perubahan sistem IR di Indonesia adalah struktur IR dikuasai oleh sistem de jure yang juga sering kali terselubung, sistem de facto yang ada juga sangat rumit sehingga menjadi penghalang bagi logika institusional. Karakteristi ini merefleksikan renggangnya pengaturan institusional yang mentolerir ketidakcocokan diantara pilar institusional, seperti institusi regulatif, normative dan kognitif (Scott, 2008). Para pakar institusional menyebut proses ini sebagai “decoupling”, yaitu suatu kondisi dimana struktur terpisahkan dari aktifitas dan aktifitas terpisahkan dari hasilnya (Fiss, 2007). Keadaan ini memungkinkan situasi untuk terbentuk ketika perubahan radikal dalam struktur mungkin terjadi meskipun perilaku dari pelaku/tokoh tidak berubah dengan pemikiran yang masih mengakar dengan ide institusi yang mengakar sebelumnya.

Perubahan dalam sistem IR di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto telah dipelajari pada berbagai macam perspektif (Caraway,2004; Ford. 2000a; Manning dan Roesad, 2007). Ketika studi-studi ini telah terbukti sangat berguna dalam menyediakan perspektif dan detail mengenai berbagai aspek kunci pada revolusi kelas pekerja, sebagai contoh adalah pengaruh dari tokoh internasional di dalam prosesnya, peninjauan ulang pancasila sebagai “ideology” pada sistemnya, dan isi dari perundang-undangan No.13/3000, semua aspek tersebut menjadi dibatasi kekuatannya ketika peninjauan ulang dilakukan, dan selain itu beberapa hal telah mempunyai dampak dalam proses perubahan dalam bentuk institusional telah mempengaruhi perilaku dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sistem IR dan membuat logika dan hasil yang berbeda.

Pengarang yang lain (Hadiz, 1997; La Bot, 2001; Manning, 1993) telah mencatat kunci dari pengembangan IR di Indonesia. Baik La Botz dan Hadiz menyediakan laporan secara mendalam pada catatan sejarah dan perubahan yang terjadi pada institusi IR, meskipun membahas hal yang sama keduanya memiliki fokus dan perspektif yang berbeda dalam laporannya, Manning menyediakan analisa institusional yang gamblang, namun karya Hadiz memberikan catatan mengenai perubahan awal dan kurangnya hubungan dengan perkembangan yang ada sekarang ini.

Page 4: INSTITUTIONAL CHANGE

Artikel yang dibuat ini menganalisa perubahan yang terjadi belakangan ini pada IR di Indonesia dengan cakupan waktu yang lebih luas, menggunakan pandangan institusional secara sosiologi dan sejarah (Campbell, 2004; Scott, 2008; Thelen, 1999). Yang membuat artikel ini lebih komperhensif mengingat semua elemen utama dalam pilar institusi (konitif, normative dan regulative) dan juga kejadian penting yang ada pada sejarah IR di Indonesia termuat pada artikel ini. Penulis juga menekankan peran dari tokoh-tokoh yang relevan yang ada di masing-masing periode perubahan dan pengaruh antara perspektif makro dan mikro, seperti yang telah lama diperdebatkan pada analisis institusional (Sahlin dan Wedlin, 2008; Scott, 2008). Hubungan antar pelaku dan mekanisme institusional, seperti penyebaran ide dan karakteristik dasar dari institusional yang membentuk atau mengharuskan pilihan yang harus dibuat oleh tokoh/pelaku yang ada, disebutkan juga dalam diskusi pada artikel ini bagaimana tokoh kunci telah memobilisasi kekuatan untuk memberikan pengaruh perubahan pada logika institusional yang berlaku.

Artikel ini di bagi menjadi empat bagian. Pertama, diuraikannya kerangka teoritis pada perubahan institusional. Kedua, pendekatan metodologikal digunakan pada riset data yang ada. Ketiga, logika institusional pada IR pada saat orde lama dan orde baru di ulas kembali, diikuti dengan penafsiran pada perubahan yang ada setelah era Soeharto. Terakhir, bagian ini mendiskusikan isu-isu yang ada dalam perjalanan panjang perubahan dan kelanjutannya pada IR di Indonesia.

Page 5: INSTITUTIONAL CHANGE

MENTEORIKAN PERUBAHAN INSTITUSIONAL

Institusi adalah karakteristik dari keteraturan sosial dan menyediakan stabilitas dan makna kepada kehidupan sosial (Jepperson, 1991). Termasuk didalamnya adalah elemen regulative, normatif dan kognitif-kebudayaan, bersamaan dengan aktifitas dan sumber daya yang terkait (Scott, 2008). Istitusi juga membangun sistem pengetahuan yang menyediakan refrensi sikap/perilaku untuk pelaku yang menjadi bagian didalamnya. Sehingga, semakin kuat institusi yang ada, semakin stabil keadaan sosial, membuat penentuan sikap baik secara individu ataupun kolektif makin kuat. Meskipun fokus kepada kekuatan struktural dalam menentukan sikap menjadi poin penting, teori institusi juga mengenal peran dari agen individu (human agency) dalam menstrukturisasi dan merubah keteraturan sosial(DiMaggio, 1988; Scott, 2008).

Disaat lingkungan institusi menjadi lebih kompleks, logika-logika institusional seringkali saling berdampingan dan atau saling bersaing satu sama lain, dengan demikian menyisakan ruang yang luas untuk keambiguan berkembang dan pelaku/tokoh yang ada didalamnya mendapat kesempatan untuk melakukan perubahan, logika institusional mengacu pada “prinsip-prinsip yang terorganisir yang membentuk perilaku pada sekelompok partisipan” (Reay dan Hining, 2009), yang “menyediakan aturan formal dan informal bagi aksi, interaksi dan interpretasi yang menuntun dan mengharuskan pembuatan keputusan” (Thornton dan Ocasio, 1999:804).

Logika institusional dapat menjadi gamblang atau juga bisa menjadi terselubung. Persaingan antar logika dapat mengarahkan kepada penggantiang logika yang tidak cocok atau pantas dengan logika baru yang dikombinasikan ulang dalam ide gabungan yang baru. Meskipun perubahan institusional adalah tentang ketidakberlanjutannya atau longsornya logika institusional atau pada kasus yang estrim hancurnya institusi yang berlaku sebelumnya (oliver, 1992; Reay dan Hinings, 2009). Logika yang tetap bertahan bisa disebabkan karena logika itu lebih cocok atau dikarenakan logika itu adalah bagian dari kekuatan tokoh yang ada dibandingkan karena instrument itu memang rasional. (DiMaggio dan Powell, 1991;Scott, 2008).

Page 6: INSTITUTIONAL CHANGE

Para Ahli Institusi menyatakan ada dua tipe perubahan institusional, yang diberi nama ‘Path Dependent’ dan ‘Punctuated Equilibrium (Campbell, 2004). Kasus pertama seringkali terjadi ketika proses ‘penguatan dari diri sendiri’ atau ‘self-reinforcing’ terjadi yaitu adalah mekanisme dari tanggapan positif memperkuat kejadian kecil yang terjadi sebelumnya, pada beberapa kasus bahkan mempunyai dampak yang lebih besar bagi kejadian setelahnya dan menimbulkan perubahan yang besar kepada peraturan dalam jangka panjang (Pierson, 2000). Dengan kekuatan bantuan yang sangat besar, sebuah institusi bisa terbentuk dengan sangat kuat dan menyebabkan sulitnya untuk dirubah. Terjadi dengan berbagai macam mekanisme baik secara eksplisit maupun implisit guna menjaga keteraturan sosial. Pada kasus yang kedua, sebuah institusi bahkan dapat berubah menjadi lebih radikal lagi ketika terjadi ketidakcocokan dengan institusi yang lainnya dimana kedua institusi itu berada di wilayah yang sama.hal ini biasanya terjadi ketika munculnya krisis. Meskipun sebuah perubahan yang sepertinya terlihat radikal bisa saja menjadi ‘path dependent’ ketika dianalisis lagi melalui kerangka perjalan waktu yang panjang. Sehingga kerangka perjalanan waktu atau ‘time frame’ adalah elemen yang penting dalam menanalisa perubahan institusional (Lihat Campbell, 2004; Pierson, 2004). Untuk alasan ini pembangunan yang terjadi sekarang dalam sistem IR di Indonesia yang didiskusikan dalam artikel ini dijabarkan dalam konteks pembangunan selama 50 tahun terakhir.

Dalam lingkungan yang lebih global, para tokoh/pelaku dan ide-idenya bisa lebih bebas melintasi berbagai macam batasan institusional, sehingga dapat melebarkan ruang lingkup institusional (cf. Drori, 2008; Wooten and Hoffman, 2008). Keadaan ini membuat lebih mudahnya interaksi antar logika institusional dengan lingkup yang lebih luas dan kemudian dapat membuat tekanan agar terjadi perubahan atau penyesuaian pada logika-logika tergantung dari sekumpulan kriteria berdasarkan kepatutanya. Legitimasi dari logika asli dapat diujikan lagi melalui logika baru yang datang, sehingga menghasilkan tekanan untuk menghasilkan pandangan yang serupa dalam prakteknya sehingga sesuai dengan kriteria yang berlaku secara global. Sebuah tekanan yang dapat diarahkan melalui mekanisme secara coercive (paksaan), mimetic (meniru), atau secara normatif (DiMaggio dan Powell, 1983). Proses coercive dimulai dari berbagai macam bentuk peraturan, kesamaan normative yang terjadi melalui standart normative yang ditentukan oleh komunitas professional dan perilaku mimetic atau yang mengikuti standart yang ada dimulai dari ketidakyakinan oleh apa yang ada kemudian menemukan panutan yang lebih menarik dan terlihat lebih sah dibanding apa yang dipunya.

Page 7: INSTITUTIONAL CHANGE

METODOLOGI

Kebanyakan data untuk studi ini dikumpulkan selama tiga bulan melalui studi lapangan di Indonesia. Riset ini adalah bagian dari studi yang lebih besar lagi mengenai efek institusional pada konstruksi sistem sumber daya manusia (Human Resource/HR System) dengan banyaknya perusahaan multinasional di Indonesia yang telah memantau perubahan pada HR/IR selama beberapa tahun belakangan. Metode pada studi yang lebih luas telah memasukan partisipan untuk penelitian dari delapan HR/IR internet mailing list di Indonesia untuk memantau informasi dan ide mengenai HR/IR yang beredar diantara para professional, konsultan dan akademisi. Observasi dilakukan dengan intens mulai dari April 2008 hingga Oktober 2009.

Wawancara lapangan secara mendalam untuk studi ini dilakukan oleh berbagai macam tokoh/pelaku yang relevan yang mewakili grup serikat buruh, organisasi buruh non-pemerintahan (Non-Governmental Organizations/ NGOs), Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan akademisi yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses reformasi buruh. Tujuh informan berpartisipasi dalam wawancara naratif secara langsung, dilakukan dalam bahasa Indonesia, selama 1,5 sampai 2 jam. Studi ini juga dilakukan dengan delapan interview dari empat contoh kasus dalam organisasi pada studi yang lebih besar sebagai cara untuk mengerti efek dari reformasi buruh dalam organisasi. Juga dilakukan, pertukaran informasi melalui e-mail yang dilakukan dengan beberapa narasumber , termasuk juga asosiasi resmi APINDO (Asosiasi Pegawai Indonesia), sebagai informasi, klarifikasi dan perspektif tambahan. Untuk memerkaya perkembangan data setelah melalui wawancara, berbagai macam laporan (seperti dari ILO, Trade Union Rights Centre atau TURC), berita yang diterbitkan, opini-opini pada organisasi dan blog pribadi juga menjadi tambahan untuk studi ini. Data cadangan tentang frekuensi pemogokan buruh yang ada di figur 1 juga dikumpulkan untuk menyediakan perspektif pada konteks institusional. Data membujur tentang jumlah serikat buruh, jumlah anggota serikat, dan jumlah partisipan dalam pemogokan telah dicari namun tidak dapat ditemukan untuk melengkapi perjalanan waktu yang ada pada grafik. Disinilah permasalahan untuk area ini. Ada beberapa periset (Hadiz, 1997; Lambert, 1993; Soeprobo dan Tjiptoherijanto, 2001) yang telah mengkutip beberapa aspek dari data ini, tetapi hanya untuk beberapa tahun dan tidak terlalu akurat seperti yang dikatakan penulisnya. Dengan segala hormat kepada anggota serikat, narasumber seperti Sunarijati dan Silaban memberikan komentar tentang data yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mengklaim bahwa tidak ada verifikasi langsung dari pemerintahan. Singkatnya, data yang dapat dipertanggungjawabkan sulit ditemukan untuk semua periode waktu.

Page 8: INSTITUTIONAL CHANGE

Konsisten dengan cara pandang sosiologi-instutsionalis, analisis dari perubahan institusional dan kestabilan pada artikel ini memasukan tidak hanya pengaturan struktural dan regulative tetapi juga elemen kognitif-kebudayaan, yang mana hanya diungkapkan lewat perilaku para pelaku/tokoh yang terkait. Ketika perubahan mungkin terlihat radikal dalam level struktural, akan mungkin terlihat berbeda ketika perilaku para pelaku/tokoh dan pokok logikanya masih dipertimbangkan. Konsekuensinya, sepanjangan waktu para pelaku/tokoh yang terus bersikap lelah dengan peraturan yang lama akan mempunyai keinginan untuk melakukan perubahan struktural yang radikal. Konsekuensi dari hal ini adalah para periset harus mencari melebihi mekanisme struktural ketika menginvestigasi perubahan, kekuatan yang mengakar dan turun temurun dari institusi sebelumnya harus dipertimbangkan, terutama mekanisme kognitif untuk mengarahkan pilihan, kejadian dan hasilnya (cf. Knight, 2000)

SEBUAH ANALISIS INSTITUSIONAL PADA SISTEM IR DI INDONESIA

Berbagai macam logika institusional telah menjadi penyelamad pada sistem IR di Indonesia pada beberapa waktu, pemerintahan dan tokoh yang telah membentuk proses IR sebagai refleksi dari agendanya dan untuk mengatasi tekanan institusional. Dengan mengesampingkan era kolonialisasi Belanda, pembagian zaman dari IR di Indonesia dapat dikategorikan paling tidak menjadi tiga bagian, yaitu: Orde Lama (1945-1965), Orde Baru (1965-1998) dan Setelah Orde Baru (1998-sekarang). Beberapa penulis menamakan orde terakhir sebagai era reformasi

Perubahan Stabilitas diantara Orde Lama dan Orde BaruSistem IR di Indonesia telah mendapat kan pengaru dari perubahan yang luas pada

lingkungan sosial dan politik sepanjang waktu dan dengan ide yang lebih luas yang telah berjalan menembus batasan institusional. Setelah era kolonisasi, politik Indonesia mempunyai karakteristik tergantung dari kompetisi yang sedang terjadi, ketegangan dan konflik antara ide-ide institusionalisasi yang telah di adopsi dan terkadang menyebabkan bangkit dan jatuhnya berbagai macam pemerintahan (Cribb, 1999). Feith (1982) menyimpulkan bahwa perubahan rezim telah secara dramatis merubah wajah Indonesia juga dan sehingga dapat digambarkan proses politik Indonesia sebagai gambaran dari ketidakstabilan.

Page 9: INSTITUTIONAL CHANGE

Pergolakan ini telah mempengaruhi kondisi buruh secara dramatis seperti yang terdokumentasikan pada literature hubungan antar buruh (Hadiz 1997; La Botz 2001). Pemerintahan orde lama telah memberikan tingkatan kebebasan kepada pergerakan buruh, paling tidak selama tahun 1945-1957, dan masa perkembangan serikat. Kementrian mencatat sebanyak 1501 serikat baik nasional, regional maupun lokal pada tahun 1955 (King, 1982; Hadiz, 1997). Perlindungan dasar kepada hak buruh juga telah ditentukan pada proses legistlasi yang progresif yang mencakup jam kerja, perihal tentang pekerja perempuan dan anak-anak, dan pemeriksaan buruh (Manning, 1993)

Semua mungkin telah terlihat nyaman, namun ada masalah yang sudah menjadi karakteristik. Banyak organisasi buruh, terutama serikat dan federasi buruh, telah bergabung atau bahkan dikontrol oleh partai politik. Yang tidak selalu bekerja untuk kepentingan sosial-ekonomi bagi pekerja saja namun mereka juga sering terlihat secara jelas hanya melayani kepentingan anggota partainya saja (Hadiz, 1997: 49).

Kompetisi dan ketegangan diantara serikat juga menunjukan bahwa pergerakan buruh di Indonesia semenjak tahun awal membawa pergerakan buruh yang terpecah-pecah yang membuat keseluruhan posisi dari buruh menjadi lemah dalam bibit demokrasi ini. Ketegangan ini juga dapat dilihat pada banyaknya perselisihan industrial yang mempunyai dampak negatif pada kemampuan sebuah bangsa yang baru untuk menstabilkan dan membangun ekonominya (Manning, 1993)

Sebagai hasil dari konflik dan kompetisi politik yang berkepanjangan, pada saat periode selanjutnya dalam administrasi pemerintahan Soekarno berubhah dari demokrasi liberal menjadi yang dinamakannya Demokrasi Terpimpin, yang sebenarnya mencirikan jenis dari kediktaktoran politik (La Botz, 2001). Dia mengkonsentrasikan kekuatan kepada dirinya, sementara dia berpura-pura menjadi penengah bagi pandangan-pandangan yang berkembang (Cribb, 1999:32). Akibatnya, rezim tersebut juga memulai menaruh tekanan pada pergerakan buruh dan sejak 1957 telah terjadi usaha untuk mengontrol langsung kegiatan perburuhan. UU darurat No.7 yang dikeluarkan tahun 1963, yang melarang pemogokan pada industry vital dan institusi pemerintahan (Hadiz, 1997; Uwiyono, 2001). Campur tanggan militer juga telah dilakukan untuk mengontrol masalah perburuhan. Semenjak itu angka pemogokan dan pekerja yang terlibat menurun drastis dari waktu ke waktu, dengan sedikit pergelakan pada beberapa waktu tetapi menjadi tidak ada sama sekali pada tahun 1962 (King, 1982; lihat juga figure 1).

Page 10: INSTITUTIONAL CHANGE

Rezim orde baru dari Soeharto secara resmi memerintah pada tahun 1966 dan menentapkan kontrol perburuhan yang lebih ketat dari sebelumnya. Kontras dengan ideologi Soekarno, Gerakan yang dibawa Soeharto sangat erat dengan pandangan ekonomi pragmatic dan penuh dengan agenda politik. Sebagai contoh, rezim ini berkeinginan untuk menari investasi asing dan untuk mendorong hal ini terjadi malah membuat kebijakan untuk menekan biaya untuk para buruh, meskipun membuat pendapatan buruh menjadi kecil rezim ini menutupi niatannya dan bisa menenangkan keadaan sosial. untuk menciptakan ketenangan industrial rezim ini menggunakan cara-cara seperti mengawasi ketat pergerakan buruh, melakukan intimidasi pada pergerakan buruh dan menggunakan campur tangan militer. La Botz (2001) menyimpulkan bahwa praktek ini sebagai gambaran dari kontrol absolute dari Negara dan militer terhadap masalah perburuhan.

Ketika seharusnya rezim baru ini melanjutkan undang-undang perlindungan buruh dari orde sebelumnya, orde ini justru menyimpang. Peraturan sebelumnya mengharuskan agar adanya perlindungan terhadap hak dasar dari buruh yang harus dipertimbangkan (Caraway, 2004) Manning, 2008), tetapi hal ini diabaikan dan malah mengeluarkan keputusan yang berlawanan dari kalangan eksekutif yang membolehkan praktek perburuhan illegal untuk dilakukan. Strategi decoupling ini telah dilakukan untuk memenangkan legitimasi dari berbagai macam stakeholder, pekerja, pegawai, dan grup yang mempunyai kepentingan terhadap buruh, meskipun mendapat berbagai macam kritik dari kelompok yang lain. Hal ini menunjukan bagaimana tokoh yang kuat seperti yang ada pada rezim Soeharto mempergunakan kekuatan untuk menetapkan dan mendukung logikan yang pararel pada lingkungan regulatif pada sistem IR di Indonesia. Kerangka institusional yang bermasalah ini menyisakan celah bagi pergerakan buruh dan aktivis perburuhan untuk memberontak dan mengajukan transformasi insitusi pada masa mendatang.

Secara ideology, rezim ini memperkuat legitimasi melalu pengaturan IR dengan mengaikannya dengan pancasila, sebuah retorika pemersatu bagi bangsa yang sebelumnya diperkenalkan oleh Soekarno, dengan menyebut sebagai Hubungan Industrial Pancasila. Ideologi asli dari pancasila telah menyediakan narasi yang kuat untuk kesatuan bagi wilayah Indonesia namun sering disalah gunakan untuk membenarkan penekanan dan telah dikritik sebagai sarana mempopulerkan pandangan monolitik khususnya ‘kejawaan’ dalam Negara yang beragam ini. HIP secara khusus menekankan dan mengenalkan harmonisasi dan kerjasama bagi hubuan antara buruh dan pegawai, sebuah logika untuk membalikan anggapan militerisasi buruh dari orde lama. Meskipun begitu, ideologi dari HIP cenderung mensahkan kepentingan pribadi dari rezim yang berkuasa, dalam menjaga kemajuan ekonomi kan kestabilan politik, daripada menciptakang kondisi buruh yang benar-benar damai.

Page 11: INSTITUTIONAL CHANGE

Selama era Soeharto berlangsung, HIP berubah menjadi ideologi yang membenarkan buruh untuk terus bekerja dan dalam tekanan fisik.

Ketika orde lama membolehkan kebebasan untuk berorganisasi dan menciptakan lingkungan bagi berbagai macam organisasi buruh, orde baru malah melebur organisasi-organisasi yang ada menjadi suatu serikat dibawah pemerintahan, yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) Deklarasi penyatuan itu diresmikan pada 20 Februari 1973. Kemudian, pada tahun 1985, kemudian pada tahun 1985 serikat federal ini diubah menjadi model unitary dan diganti namanya menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Posisi kunci dari serikat dipegang oleh staff dari partai yang berkuasa yaitu Golongan Karya (Golkar) dan anggota militer (La Botz, 2001). Serikat ini tidak pernah memenuhi tugasnya sebagai perwakilan bagi anggotanya, melainkan menjadi suara bagi kepentingan pemerintahan pada permasalahan perburuhan.

Dalam kondisi yang represif, para pekerja dan aktivis perburuhan tidak tinggal diam. Usaha untuk melawan sistem yang berlaku terjadi tetapi hampir semuanya dilakukan secara tersembunyi. Aktivis dari kalangan pelajar juga bergabung dalam kalangan ini (La Botz, 2001). Mereka mengembangkan logika perlawanan, yang berpusat pada ide hak-hal sipil, melawan logika pemerintahan terpusat oleh orde baru. Kemudian mereka mengambil alih akar dari organisasi serikat buruh secara diam-diam, kemudian bekerja sama dengan buruh dan NGO yang terkait dengan hak asasi manusia, menjadi terlibat dengan konfrontasi yang lebih terbuka (Ford, 2000a; 2003), meskipun mereka mengambil resiko karena adanya kekuatan represif yang bisa menyiksa, memenjara atau membunuh secara diam-diam. Dari awal dekade 90an, serikat seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) juga ikut bergabung dengan kelompot tersebut. Konfrontasi terbuka ini dapat terjadi juga karena mendapat dukungan dari kalangan internasional sepertin International Confederation of Free Trade Union (ICFTU), the World Confederation of Labour (WCL), the International Labour Organization (ILO), organisasi hak asasi manusia dan juga pemerintahan AS, Dukungan ini berbentuk ribuan surat dan berbagai macam delegasi yang dilayangkan kepada kedutaan Indonesia, protes dan demonstrasi, dan juga ajakan dan iklan di media massa (Silaban, 2009:xv).

Ulasan sebelumnya telah menjabarkan beberapa perubahan dan kelanjutan logika institusional antara pemerintahan orde yang lama dan yang baru.

Model dari institusi soekarno dapat dilihat dari kegagalannya untuk mengantarkan hasil yang pragmatic dalam ekonomi dan politik, paling tidak itu yang digambarkan oleh pendukung Soeharto. Orde baru meskipun menyebutkan dirinya sebagai agen dari perubahan, tetap menajutkan ide-ide lama dan membentuk pembangunan insitusionalnya sendiri yang

Page 12: INSTITUTIONAL CHANGE

membolehkan intervensi mendalam dari pemerintah dan militer, dalam melegitimasi ideologi pancasila. Kekuatan berlebihan yang dipergunakan tidak juga dapat menghilangkan ide yang menginginkan institusi IR yang lebih demokratis yang telah terbentuk melalui akar-akar pergerakan dari aktivis pelajar, buruh NGO dan serikat alternative yang telah mengakses dan mengangkat logika institusional yang lebih luas dari komunitas buruh internasional. Pergerakan perlawanan ini tetap membawa dari logika sebelumnya dari Demokrasi IR Indonesia yang di campur dengan adopsi dari pandangan institusi internasional meskipun dihalangi oleh aksi represif kejam oleh pemeritahan yang berkuasa. Perluasan ruang lingkup institusional ini dan kehadiran kekuatan untuk merubah dan menstabilkan, menurut kami adalah langkah sugestif dari tipe perubahan path dependent, meskipun kita telah mengetahui telah terjadinya penggantian sistem formal.

Gelombang protes yang terus meningkat terlihat pada pertengahan 1990 (Figur 1), telah membuka jalan untuk terjadinya deinstusionalisasi di IR pada sistem masa orde baru.

Perubahan Instutsi Pada Era Reformasi

Dimulai sejak 1997 perubahan radikal dengan skala besar terjadi. Krisis ekonomi semenjak pertengahan tahun 1997 disertai dengan tekanan politik yang besar dari dalam dan luar negeri yang membuat rezim Soeharto goyang hingga berujung hancurnya kekuasan. Terjadi tekanan agar cepat dilaksanakannya sistem yang lebih demokratis pada politik Indonesia dan lingkungan IR. Manning (2008) dan Ford (2000) meneliti bahwa ada perubahan signifikan pada sistem IR di Indonesia. Pertanyaanya adalah apakah perubahan ini benar-benar revolusioner seperti yang terlihat di permukaan.

Kejatuhan Soeharto juga menyebabkan hancurnya berbagai macam kontrol represif dari Negara, termasuk juga sistem IR yang seringkali menggunakan campur tangan militer. Dalam tekanan oleh tokoh dalam dan luar negeri, pemerintahan Habibie membuat berbagai macam perubahan cepat. Beberapa aktivis buruh yang dipenjara di bebaskan dan serikat baru diterima (ICTFTU, 1998; Quinn, 2003). Kemudian dengan bantuan dari ILO, pemerintahan sesudah Soeharto meratifikasi delapan pokok konvensi ILO dan diterjemahkan kedalam regulasi Indonesia (Caraway, 2004; Manning, 2008; Rahayu dan Sumarto, 2003). Kunci dari semua itu adalah hasil konvensi No.87, 1948 menggenai Kebebasan Asossiasi dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi.

Page 13: INSTITUTIONAL CHANGE

Reformasi buruh ini telah dibagi menjadi dua babak yang berbeda tetapi saling terkait (Caraway, 2004; Manning, 2008). Caraway mencatat babak pertama, yang mana melibatkan adopsi dari standart dasar perburuhan dari ILO, dimulai dengan diratifikasikannya konvensi ILO No. 87 pada juni 1998 pada saat pemeritahan Habibie, dan berakhir ketika pemerintahan GusDur mewujudkan kebebasan berasosiasi melalui Trade Union Act (No.21/2000). Terdapat jarak waktu selama sekitar dua setengah tahun sebelum babak kedua dimulai, selama itu ada ketidak setukuan dari kalangan serikat, asosiasi kepegawaian dan pemerintahan kepada Dekrit Mentri No.150/2000 pokok pengenai PHK, tahun kerja dan pembayaran. Narasumber pada studi ini mengklaim bahwa serikat dan aktivis perburuhan terlibat aktif dan mempengaruhi reformasi forma dalam tahap pertama. Tetapi pengaruh mereka berkurang ketika memasuki babak kedua, dimana perubahan terjadi melalui pengajuan undang-undang Ketenagakerjaan (No.13/2003) dan Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pada tahap ini, beberapa serikat yang berpengaruh mundur dari proses formal menyatakan keprihatinanya tentang peran yang dominan dari beberapa grup politik dan ekonomi yang berkepentingan dan sebagain besar narasumber mengklaim bahwa ‘politik uang’ telah dipergunakan agar undang-undang tersebut dapat diloloskan oleh DPR (lihat juga Suryomenggolo,2004).

Dalam memahami reformasi frmal, kita juga harus bisa melihat periode sebelum reformasi dan perjalanan panjang dari usaha tokoh-tokoh seperti para pelajar, Buruh NGO dan beberapa serikat dagang untuk meningkatkan kesadaran pada kebanyakan tenaga kerja dan juga organisasi internasional, dalam mempublikasi keadaan represif dalam sistem IR di Indonesia. Usaha dari kelompok-kelompok tetap berlanjut tetapi diluar reformasi formal yang ada sebagai penyedia solusi alternatif, meskipun mereka tidak terlalu diperhitungkan oleh legistlasi dan pemerintahan.

Reformasi formal membawa beberapa institusi baru kedalam sistem IR yang sudah ada di Indonesia. Ide bagi instusi yang baru paling tidak sebagiannya bersumber dari masukan luar. Ide-ide ini berhubungan dengan standart, struktur dan praktek organisasi buruh yang berlaku secara internasional yang digunakan untuk mengganti logika dan praktek lama yang tidak cocok lagi, terutama yang berhubungan dengan cara represif dari orde lama.Yang pertama adalah memunculkan lagi beragam serikat buruh dan aliansi yang dimunculkan dari federasi dan konfederasi yang independen. Hal ini menggambarkan perbedaan dari sistem orde baru dimana SPSI adalah satu-satunya serikat bentukan pemerintah yang diperbolehkan untuk hadir, tetapi indikasi kelanjutan institusional dari orde lama tetap saja ada dengan seldikit perbedaan, seperti tetap hadirnya konfederasi dan kurangnya affiliasi serikat dengan partai politik.

Page 14: INSTITUTIONAL CHANGE

Kemunculan dari berbagai macam serikat juga merupakan indikasi dari keinginan untuk melestarikan ide yang telah berlaku secara luas agar kebebasan berorganisasi dan standart buruh internasional yang menyediakan berbagai macam logika institusional. Pada pembangunan awal ini, kembalinya hak beraosisiasi menyediakan momentum yang kuat agar terjadinya perkembangan yang positif dalam konteks kemajuan IR di Indonesia. Meskipun begitu beberapa narasumber setuju bahwa ada sisi negatif dari banyaknya serikat yang muncur karena menimbulkan besarnya gerakan buruh secara terpisah. Pada saat itu ada lebih dari 100 serikat yang terbentuk dalam level nasional dan saling berkompetisi untuk mendapatkan anggota dan menyebarkan pengaruh. Sebaliknya kepadatan serikat diklaim menurun mungkin dikarenakan kurangnya figur resmi yang dapat diandalkan, yang artinya usaha organisasi kurang efektif. Semua aktifis buruh dan para intelektual yang menjadi narasumber riset ini menyetujui terjadinya fragmentasi ini, dan beberapa menyatakan bahwa fragmentasi telah dimanipulasi ketika proses reformasi berlawanan dengan keinginan buruh. Fragmentasi juga merefleksikan ideology ‘kekaburan’ dalam gerakan buruh di Indonesia (Silaban, 2009) dan kepentingan pragmatis dari beberapa elit perburuhan (Siregar, 20/02/09; lihat catatan). Hal ini mirip dengan yang terjadi pada rezim orde lama dan mencerminkan situasi yang serupa pada keadaan politik Indonesia yang lebih luas dimana fragmentasi adalah kunci utama. Hal ini mencerminkan antara taktik dan strategi politik yang belum matang atau perbedaan ideological yang mendalam diantara tokoh yang relevan yang berada dalam gerakan buruh di Indonesia.

Pembangunan institusiopnal yang kedua memperhatikan tentang pengenalan Pengadilan Hubungan Industrial atau PHI sebagai mekanisme formal yang baru untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan. Sistem judicial ini telah mengganti mekanismen non-judisial yang direpresentasikan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan atau P4, yang diwakili oleh tiga bagian perwakilan. Sistem pengadilan disarankan oleh ILO melalui asisten teknis yang disediakan oleh ILO kepada Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Hal itu dianggap sebagai mekanisme standard dan digunakan oleh Negara-negara lainnya. sebagai cara untuk menyediakan mekanisme yang mudah, cepat, adil dan murah untuk menyelesaikan permasalahan buruh. (Quinn, 2003; Nugroho, 23/02/2009). Pengadilan ini mulai beroperasi pada tahun 2006, dua tahun setelah UU No.2/2004 disahkan.

Mekanisme yang diadopsi dari ILO ini mungkin mempunyai resiko karena kurang familiar untuk institusi IR di Indonesia. Masalahnya adalah mungkin karena sistem administrasinya, berhubungan juga dengan masalah yang lebih luas seperti masalah sistemik di Indonesia masih belum benar karena sistem pengadilan di Indonesia masih banyak terdapat korup dan birokrasi yang lambat. Ada pula masalah dengan pekerja dan serikat yang masih kurang familiar dengan mekanisme pengadilan atau kekurangan biaya untuk menyewa pengacara.

Page 15: INSTITUTIONAL CHANGE

Perubahan ketiga adalah persetujuan legal bagi pegawai kontrak dan outsourcing untuk menyediakan buruh bagi pasar yang lebih besar dan fleksibilitas bisnis. Manning dan Roesad (1997) menyatakan hukum yang baru akan lebih protektif. Tetapi situasi yang ada sekarang telah memberikan gambaran yang berbeda (Tjandra dan Hanggrahini 2007). Tambunan (16/02/2009) dan siregar sebagai contoh mengamati kondisi perburuhan yang anda telah menjadi lebih buas, karena berkembang pesatnya Outsourcing Illegal dan karyawan kontrak yang perusahaan yang tidak bermoral. Hasil akumulatif dari kasus-kasus yang ada berujung pada permintaan dihapuskannya pelegalan praktek outsourcing.

Diskusi dan KesimpulanDiskusi berikut akan menganalisa reformasi buruh di Indonesia setelah tahun 1998 pada konteks dari perspektif jangka panjang pada institusi IR. Muncul pertanyaan akan berkelanjutankah perubahan yang terjadi ini tentang klaim yang dibuat bahwa telah terjadi perubahan besar dari praktek lama. Aspek kunci dari perubahan dan kelanjutannya selama proses ini dirangkum dalam table satu.

Page 16: INSTITUTIONAL CHANGE

TABEL 1 Orde Lama Awal (1945-1957)

Orde Lama Akhir(1957-1966)

Orde Baru (1966-1998)

Era Reformasi (1998-sekarang)

Ideologi pemerintahan yang berlaku

Liberal, Demokrasi parlementer

Demokrasi Terpimpin, mengarah pada autoritarian

Pancasila sebagai perwakilan demokrasi

Demokrasi Liberal

Prinsip ekonomi yang dominan

Ekonomi Kerakyatan, berdasarkan prinsip kekeluargaan, dengan Negara mengatur sektor vital

Ekonomi yang terpimpin atau terencana, berdasarkan prinsip kepercayaan, berdikari.

Liberalisme yang bertambah, dengan peran pemerintahan yang terpusat dan kuat

Neo-Liberal

Kebebasan berekspresi

Kebebasan berekspresi sepenuhnya

Beberapa kebebasan dilarang pada industry yang vital

Kebebasan yang sedikit, kedamaian industry dijamin pemerintah

Kebebasan berekspresi sepenuhnya

Peran pemeritah Adil, peranannya lebih besar menjadi regulative dengan sistem tripartite

Peningkatan peran pemerintah

Pemerintahan terpusat, fokus terhadap kepentingan perusahaan, terabaikannya berbagai macam hak buruh meskipun diatur UU

Penguranggan peran pemerintah, decentralisasi kekuasaan kepada pemerintahan daerah, penegakan terhadap perilaku perusahaan illegal dikurangi

Peran militer Tidak ada intervensi militer

Awal intervensi militer

Intervensi militer secara mendalam

Tidak ada intervensi militer

Bentuk perserikatan

Banyak, perserikatan ganda

Banyak, perserikatan ganda

Perserikatan tunggal sejak 1973, perserikatan alternatif muncul, peran penting dari buruh NGO

Banyak, perserikatan ganda, munculnya konfederasi, kelanjutan peran dari buruh NGO

Affiliasi politik bagi perserikatan

Sangat diafilias Sangat diafilias Tidak ada afiliasi politik secara formal

Beberapa afiliasi

Asosiasi Perusahaan

Ada semenjak tahun 1952, tidak ada informasi pasti

Ada, tidak ada informasi pasti

Ada, tetapi diawasi,dan lebih merepresentasikan kepentingan oleh pemerintah

Ada, dan lebih berfungsi

Mekanisme pasar buruh

Outsourcing tidak relevan

Outsourcing tidak relevan

Persetujuan legal terhadap outsourcing dibatasi

Outsourcing diterima secara legal, dipergunakan secara luas, dan yang illegal terus bertambah

Mekanisme penyelesaian

masalah

Penyelesaian masalah secara non-judicial

Penyelesaian masalah secara non-judicial

non-judicial, diatur negara

Pengadilan lokal yang independent, model yang diadopsi dengan dukungan ILO

Page 17: INSTITUTIONAL CHANGE

Pada keadaan di Indonesia mengindikasikan bahwa mekanisme institusi pada waktu yang berbeda dapat membentuk atau membatasi tokoh/pelaku dan juga menyediakan kesempatan untuk merubahnya. Perubahan yang dibahas menunjukan tingkatan yang tinggi dari isomorphisim normative menuju penerimaan secara luas terhadap standard perburuhan internasional, dan adopsi terhadap praktek yang biasa dilakukan pada pengadilan baru dalam konteks agenda ekonomi dari neo-liberal. Pengertian dari standart dan prakteknya diterapkan kedalam konteks institusional di Indonesia, tetapi belum mengubah keseluruhan institusi yang ada. Institusionalisasi yang belum selesai ini lagi-lagi menciptakan decoupling pada institusi yang membuat asumsi dan perilaku yang lama untuk kembali mempengaruhi pengaturan struktur dan prosedur yang baru. Hasil yang negatif telah disebutkan sebelumnya bahwa reformasi tidak cukup mengarahkan elemen penting dan masih beresiko terjadi kegagal lagi dimasa yang mendatang. Elemen penting ini merujuk kepada karakteristik institusi yang lebih luas, termasuk pilar-pilar elemen (scott, 2008); mekanisme seperti isomorphism (Dimaggio dan Powell, 1983); path-dependency (Campbell, 2004); dan juga institusi yang terhubung atau dapat saling bertukar ide. Kasus ini menunjukan perlunya pemahaman yang kuat pada karakteristik institusional yang ada dalam mengatur perubahan institusional yang akan terjadi.