Insersi AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) Post Placenta

16
Insersi AKDR Post Placenta I. Pendahuluan AKDR merupakan kepanjangan dari alat kontrasepsi dalam rahim atau IUD (Intra Uterine Device). IUD merupakan metode kontrasepsi reversibel, penggunaannya di Amerika sekitar 7,1% dan 1,3% pada usia 15 hingga 44 tahun pada Tahun 2002. AKDR post plasenta adalah AKDR yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya plasenta pada persalinan pervaginam. Hal ini mempunyai beberapa alasan untuk dilakukan, yaitu (a) ovulasi setelah kehamilan tidak dapat diprediksi dan CuT merupakan kontrasepsi yang berguna saat puerperium, (b) wanita memiliki motivasi yang tinggi untuk menerima kontrasepsi dan mendapatkan insersi IUD di pusat kesehatan, (c) Di Negara berkembang, persalinan mungkin merupakan waktu dimana wanita sehat datang dan bertemu dengan paramedis dan kesempatan untuk memberikan nasihat tentang kontrasepsi menjadi tidak jelas. Program keluarga berencana dapat menjadi kesempatan yang bagus pada masa antepartum untuk konseling dan masa post partum untuk insersi IUD. 1,2,3 Insersi AKDR post plasenta telah direkomedasikan oleh WHO sebagai metode yang aman dan efektif. Masa post plasenta merupakan masa dimana wanita memiliki motivasi tinggi dan merupakan metode efektif dmana anak dapat dirawat dengan pikiran yang relax tanpa adanya kecemasan untuk hamil. Insersi alat kontrasepsi dalam rahim (akdr) selama masa ini merupakan metode 1

description

- Alat kontrasepsi dalam rahim- post plasenta

Transcript of Insersi AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) Post Placenta

Insersi AKDR Post Placenta

I. Pendahuluan

AKDR merupakan kepanjangan dari alat kontrasepsi dalam rahim atau IUD (Intra

Uterine Device). IUD merupakan metode kontrasepsi reversibel, penggunaannya di Amerika

sekitar 7,1% dan 1,3% pada usia 15 hingga 44 tahun pada Tahun 2002. AKDR post plasenta

adalah AKDR yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya plasenta pada persalinan

pervaginam. Hal ini mempunyai beberapa alasan untuk dilakukan, yaitu (a) ovulasi setelah

kehamilan tidak dapat diprediksi dan CuT merupakan kontrasepsi yang berguna saat puerperium,

(b) wanita memiliki motivasi yang tinggi untuk menerima kontrasepsi dan mendapatkan insersi

IUD di pusat kesehatan, (c) Di Negara berkembang, persalinan mungkin merupakan waktu

dimana wanita sehat datang dan bertemu dengan paramedis dan kesempatan untuk memberikan

nasihat tentang kontrasepsi menjadi tidak jelas. Program keluarga berencana dapat menjadi

kesempatan yang bagus pada masa antepartum untuk konseling dan masa post partum untuk

insersi IUD.1,2,3

Insersi AKDR post plasenta telah direkomedasikan oleh WHO sebagai metode yang

aman dan efektif. Masa post plasenta merupakan masa dimana wanita memiliki motivasi tinggi

dan merupakan metode efektif dmana anak dapat dirawat dengan pikiran yang relax tanpa

adanya kecemasan untuk hamil. Insersi alat kontrasepsi dalam rahim (akdr) selama masa ini

merupakan metode yang ideal untuk beberapa wanita, karena tidak mempengaruhi pemberian air

susu ibu (ASI).4,5

II. Jenis

Ada dua jenis IUD, yaitu IUD dengan tembaga disekeliling gagangnya seperti copper T

380 A dan IUD yang dengan silinder yang mengandung progestogen seperti levonorgestrel.6

T380 A merupakan alat IUD yang direkomendasikan oleh WHO dengan bentuk seperti T

terbuat dari polyethylene densitas rendah dengan barium sulfat ditambahkan untuk opasitas X-

ray. Alat ini memiliki panjang 36 mm dan diameter 32 mm dengan bola pastik pada bagian

bawah tangkai vertikal untuk mencegah terjadinya penetrasi servikal. Sebuah lubang kecil

terdapat pada tangkai vertikalnya dekat pertemuan dengan kedua lengan horizontalnya yang

1

bertindak sebagai jangkar untuk kawat tembaga. IUD memiliki kerah tembaga pada kedua

tangan horizontal. Setiap kerah tersebut memiliki permukaan 35mm2. Kawat tembaga dengan

permukaan 310 mm2 berikatan disekitar tangkai vertikal dan mengandung 380 mm2 tembaga.

Dua benang monofilamen melekat pada tangan vertikal. T 380 A dapat bertahan hingga 10

tahun, bahkan ada literature yang mengatakan hingga 12 tahun.6,7

Mekanisme pastinya IUD ini masih belum diketahui, meskipun beberapa teori

mengatakan aktifitas spermisidal, mengganggu perkembangan ovum, dan aktivitas endometrium

yang menyebabkan fagositosis sperma dan mengganggu migrasi sperma atau kapasitas. Angka

kegagalan IUD ini sekitar 0,6 kehamilan per 100 wanita pertahun.6

Gambar 1. IUD tembaga8

Levonorgestrel-releasing intrauterine device atau LNG-20 IUD memiliki bentuk seperti

T dengan tabung di tangan vertikalnya yang mengeluarkan progestin levonorgestrel tiap harinya.

Dua benang monofilamen melekat pada tangan vertikalnya. Perbedaan IUD ini dengan T 380 A

adalah LNG-20 IUD dapat bertahan hingga 5 tahun. Mekanisme primernya adalah membuat

mucus servikal menjadi tebal yang mengganggu aktifitas dari sperma dan mengubah cairan

uterotubal sehingga mengganggu migrasi sperma. IUD ini menyebabkan anovulasi sekitar 10-

15% siklus dan mengganggu karakteristik dari endometrium untuk menurunkan implantasi.

2

Angka kehamilan sekitar 0,1 kehamilan per 100 wanita pada tahun pertama dan angka kumulatif

kehamilan menjadi 0,7 kehamilan per 100 wanita setelah 5 tahun.6

Gambar 2. IUD hormonal9

III. Cara Pemasangan IUD

Cara pemasangan IUD bisa didapatkan pada pembungkus IUD. Berikut adalah cara

pemasangan IUD: 10

Dilakukan pemeriksaan bimanual terlebih dahulu untuk memeriksa apakah ada

abnormalitas pada organ pelvis (terutama adanya kehamilan dan infeksi pada pelvis) dan

untuk menentukan posisi uterus. IUD dapat di insersi dalam uterus pada berbagai posisi,

tetapi perforasi biasa terjadi pada uterus dengan posisi retroverted.

Masukkan speculum, kemudian bersihkan serviks dengan menggunakan cairan

antisepptik.

Pegang bibir anterior serviks dengan menggunakan tenakulum dan tentukan arah uterus

dan kedalaman kavitasnya. Untuk membuat insersi lebih nyaman, dapat diinjeksi 1 ml

lidokain 1% (Xylocaine) kedalam serviks sebelum menggunakan tenakulum dan 5 ml

kedalam paraservikal pada arah jam 4 dan jam 8.

Kemudian memasukkan IUD kedalam introduser dalam kondisi steril.

3

Dengan daya tarik dari tenakulum, masukkan introduser IUD melalui kanalis serviks

kedalam uterus.

Kemudian lepaskan benang IUD dari introduser dan tarik alat pemasuknya, sehingga IUD

tetap berada di uterus.

Potong benangnya sekitar 1 inci.

Gambar. Cara pemasangan IUD5

4

IV. Mekanisme Kerja

Mekanisme IUD dapat diklasifikasikan menjadi setelah dan sebelum fertilisasi.

Mekanisme prefertilisasi yang mungkin meliputi penghambatan migrasi sperma dan viabilitas

dari serviks, endometrium dan tuba; memperlambat atau mempercepat transpor ovum melalui

tuba falopi; dan merusak atau menghancurkan ovum sebelum fertilisasi. Bukti secara hormonal

mengindikasikan bahwa IUD tidak menghambat ovulasi secara umum. Mayoritas wanita

menggunakan IUD hormonal aktif yang menurunkan atau mengeliminasi menstruasi masih

memiliki siklus ovulatori yang diukur menggunakan pengukuran secara hormonal dan

ultrasonography follicular. Mekanisme post fertilisasi yang mungkin terjadi meliputi

perlambatan atau percepatan transpor embrio awal melalui tuba falopi, merusak atau

menghancurkan embrio awal sebelum mencapai uterus dan mencegah terjadinya implantasi.10

Mekanisme prefertilisasi dan postfertilisasi tidak beroperasi secara bersamaan.

Mekanisme postfertilisasi terjadi hanya jika mekanisme prefertilisasi tidak mencegah fertilisasi.

Meskipun mekanisme prefertilisasi terjadi pada sebagian besar siklus, hal itu tidak cukup untuk

mencapai efisasi IUD dalam mencegah kehamilan.10

IUD dapat menyebabkan timbulnya reaksi radang lokal yang non-spesifik didalam cavum

uteri sehingga implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu. Oleh karena reaksi radang itu,

maka muncullah sel-sel inflamasi seperti leukosit PMN, makrofag, dan lain-lain. Dikarenakan

munculnya leukosit PMN, makrofag, foreign body giant cells, sel mononuclear dan sel plasma

yang dapat mengakibatkan lysis dari spermatozoa/ovum dan blastocyst. AKDR bekerja terutama

mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun AKDR membuat sperma sulit masuk ke dalam

alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi. Sehingga

memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.10,11

Perubahan secara biokimia pada mukus di serviks terjadi pada semua tipe IUD. Progestin

oral maupun sistemik diketahui dapat merubah mukus servikal dan secara teoritis seharusnya

menghambat transpor sperma melalui serviks. Pada studi tentang penggunaan IUD

levonorgestrel jangka panjang, 69% siklus ovulatori memiliki mukus servikal yang baik untuk

transpor sperma. Sebaliknya, IUD tembaga meningkatkan konsentrasi tembaga secara

substanstial pada mukus servikal dan hal ini menghambat motilitas sperma. Secara kontras pada

5

mukus servikal, terdapat bukti yang menunjukkan adanya perubahan endometrial yang

menyebabkan spermisidal, menghambat migrasi sperma melalui endometrium. Hal ini terjadi

pada semua tipe IUD. Tingginya reaksi inflamasi di endometrium pada pemakaian IUD tembaga

menunjukkan bahwa IUD tembaga memiliki efek spermisidal yang tinggi pada endometrial.

Pada studi in vitro didapatkan bahwa ion-ion tembaga menghambat motilitas sperma tetapi tidak

mempengaruhi kapasitas fertilisasi. Pada IUD levonorgestrel, atrofi dan desidualisasi kelenjar

dapat menghambat survival dari sperma.10

V. Keuntungan dan Kerugian

Waktu insersi, konseling, dan pelatihan dari paramedis merupakan faktor yang penting

pada insersi IUD pada masa post partum. Dalam hal ini, waktu insersi mempengaruhi resiko

terjadinya ekspulsi. Idealnya insersi post-parum seharusnya dilakukan dalam waktu 10 menit

setelah kelahiran plasenta (post-plasenta) atau hingga 48 jam kelahiran plasenta. Semakin lama

insersi IUD, semakin tinggi resiko terjadinya ekspulsi.12

Insersi IUD tembaga (Cu T) post plasental direkomendasikan pada ibu menyusui

dibandingkan yang tidak. Hal ini dikarenakan aman dan efektif. Insersi post plasental

berhubungan dengan rendahnya angka terjadinya expulsi dibandingkan insersi delayed post-

partum. Pemasangan IUD post-plasental pada saat operasi sesar memiliki angka expulsi yang

lebih rendah dibandingkan insersi pervaginam post-plasental.4

Keuntungan pemasangan IUD adalah:13

Efektifitas tinggi.

Aman bagi wanita.

Reversibel dan ekonomis.

Aman digunakan bagi wanita laktasi dan post partum.

Pilihan yang baik untuk wanita tua.

Dapat digunakan untuk waktu yang lama. Berdasarkan penelitian terakhir menunjukkan

T Cu 380 A efektif untuk 12 tahun.

Satu pertemuan untuk insersi dan follow up setelah satu, tiga hingga enam minggu untuk

cek.

IUD menjaga privasi wanita dan mengontrol fertilitasnya.

6

Tidak berinteraksi dengan medikasi.

Dapat dikeluarkan sesuai keinginan pasien.

Kerugian pemasangan IUD:13

Tidak mencegah terjadinya infeksi menular seksual atau HIV.

Pelvic Inflammatory Disease (PID) mungkin dapat terjadi ketika pada saat insersi wanita

tersebut memiliki infeksi Chlamydia atau gonore.

Tergantung kemampuan paramedis.

Dapat terjadi sakit, kram, atau perdarahan minor pada saat insersi.

Waktu menstruasi yang lebih lama, meningkatkan kram, perdarahan pada tiga bulan

pertama.

Dapat menyebabkan anemia apabila sebelum insrsi wanita tersebut rendah zat besi dan

IUD menyebabkan menstruasi yang lebih berat setiap bulannya.

VI. Kontraindikasi

Ada beberapa wanita yang kontraindikasi untuk dilakukan pemasangan IUD tembaga.

Seperti adanya riwayat penyakit keganasan tropoblastik, kanker endometrial atau TB pelvis

dan wanita yang sedang menderita IMS atau PID merupakan 4 kondisi berdasarkan WHO.

Wanita dengan resiko terkena IMS dan wanita dengan HIV atau AIDS dapat menggunakan

IUD tembaga tetapi seharusnya berhati-hati dan konsul tentang keamanan seks dan

pemakaian kondom sebaiknya dipromosikan. Perdarahan vaginal yang tidak jelas seharusnya

diinvestigasi sebelum insersi IUD.1,14

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif

Aktif atau adanya riwayat infeksi pelvis Penyakit liver (jika IUD hormonal)

Diduga hamil Adanya resiko terjadi PID, seperti terkena

penyakit infeksi menular seksual, meliputi

infeksi post-abortal sbelumnya atau

endometritis puerperal, pasangan seksual yang

berganti-ganti, tidak ada perbaikan respon

terhadap infeksi seperti mengidap HIV.

Kondisi dimana terjadi kavitas uteri distorsi

berat, seperti leiomyomata, polip endometrium,

atau uterus bikornuatum.

Perdarahan vaginal abnormal yang tifak

terdiagnosa, diduga ada keganasan genital,

Tabel 1. Kontraindikasi absolute dan relatif pemasangan IUD14

7

VII. Efek Samping dan Komplikasi

IUD dapat menyebabkan beberapa efek samping dan komplikasi, Efek samping dan

komplikasi dari IUD antara lain:

Gangguan Menstruasi

Efek IUD- berefek pada prostaglandin lokal- pada endometrium yang menyebabkan perdarahan

menstruasi dan dismenore. Perdarahan dapat menjadi lebih berat dan lebih lama selama 3 hingga

6 bulan penggunaan IUD. Pada percobaan klinis 15 % wanita tidak melanjutkan penggunaan

IUD karena alasan ini. Tingkat kesakitan dan perdarahan pada wanita yang menggunakan IUD

tembaga dan hormonal adalah sama.12

Dismenore

Adanya IUD didalam uterus berhubungan dengan tingginya insidensi dismenore. Tidak ada bukti

yang menunjukkan bahwa penggunaan IUD hormonal lebih sedikit menderita dismenore

dibanding IUD tembaga.12

Kehamilan Ektopik

Sebuah studi case control menggunakan meta-analisis menunjukkan tidak ada peningkatan resiko

terjadinya kehamilan ektopik pada pengguna IUD. Resiko absolute untuk segala macam

kehamilan sangat rendah pada pengguna IUD dan angka kehamilan ektopik berkisar 0,02 per 100

wanita pertahun dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi sekitar 0,3-

0,5 per 100 wanita.12

Infeksi Pelvis

Sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa resiko terjadinya infeksi pelvis telah menurun

setengah sejak tahun 1980. Infeksi biasa terjadi pada 20 hari pertama setelah insersi. Hal ini

dapat dihindari dengan menggunakan teknik aseptik pada saat insersi dan dengan mencegah

wanita untuk memiliki banyak pasangan atau pasangan yang memiliki banyak pasangan.

Skrining untuk IMS direkomendasikan pada daerah dimana prevalensi infeksi tinggi dan diantara

wanita yang memiliki resiko (termasuk wanita dibawah umur 25 tahun). Pelvic actinomyscosis

jarang terjadi berhubungan dengan penggunaan IUD. Actinomyscosis-like organisms (ALOs)

8

kadang terlihat pada apusan tetapi jika pasien tidak menunjukkan gejala, hal itu dapat dibiarkan

dan apusan dapat dilakukan ulang setelah 6-12 bulan kemudian. Jika ada gejala, maka IUD harus

dilepas. Hal itu dilakukan untuk menghindari kontaminasi dari vagina dan setelah itu dilakukan

kultur.12

Ekspulsi

Resiko terjadinya ekspulsi berkisar antara 1 hingga 20. Hal ini sering terjadi dalam 3 bulan

pertama penggunaan IUD dan biasanya terjadi selama menstruasi. Resiko terjadinya ekspulsi

adalah umur muda, nulipara, dan perdarahan berat. Banyak klinisi berpendapat bahwa pengguna

IUD sebaiknya datang secara regular untuk mengecek IUDnya.1,12

Perforasi

Perforasi pada uterus dapat terjadi pada saat insersi IUD meskipun hal ini jarang disadari. Pada

percobaan klinis yang besar didapatkan 1,3 setiap 1000 insersi. Follow up rutin dilakukan 6

minggu setelah insersi. Panjang cavitas uteri harus diukur untuk dan digunakan tenakulum saat

insersi untuk mengurangi resiko terjadinya perforasi.12

Daftar Pustaka

1. Memmel L, Gilliam M. Contraception. Eds Gibbs et Al. In Danforth’s Obstetrics and

Gynecology. 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2008. Ch.32

2. Yudianti I. Poltekkes Malang. Pemasangan AKDR Setelah Persalinan. 2011. Available in

http://www.poltekkes-malang.ac.id/artikel-196.html.

9

3. Kittur S, Kabadi YM. Research Article: Enhancing Contraceptive Usage by Post-

Placental Intrauterine Contraceptive Devices (PPIUCD) insertion with Evaluation od

Safety, efficacy, and Expulsion. International Journal of Reproduction, Contraception,

Obstetrics and Gynecology. 2012 Dec;1(1):26-32

4. Suri V. Post Placental Insertion of Intrauterine Contraceptive Device. Indian J Med Res.

2012 September; 136(3): 370–37.

5. Kapp. N, Curtis KM. Review Article: Intrauterine Device Insertion during The

Postpartum Period. Elsevier; Contraception 80: 2009. Hal. 327-336)

6. DeCherney et al. Contraception. In: Current Diagnosis and Treatments in Obstetrics and

Gynecology. 10th Edition. Mc Graw-Hill Companies: 2006. Ch. 36.

7. WHO. WHO/UNFPA TCU 380 A Intrauterine Device (IUD) Specification. In: The TCU

380 A Intrauterine Contraceptive Device (IUD): Specification, Prequalification and

Guidelines for Procurement, 2010. P.17

8. Health Central. Birth Control Options for Women- Intrauterine Devices (IUDs). 2013.

Available in http://www.healthcentral.com/ency/408/guides/000091_5.html

9. Bradford Clinic Obstetrics & Gynecology. Contraception. 2013. Available in

http://www.bradfordclinic.com/home/bradford_clinic-contraception.php

10. Stanford JB, Mikolajczyk RT. Reviews: Mechanisms of action of intrauterine devices:

Update and estimation of postfertilization effects. Am J Obstetric Gynecology 2002; 187:

1699-708

11. Glasier A. Contraception. In Eds: Edmonds KA.Dewhurts’s Textbook of Obstetrics &

Gynaecology. 7th Edition. Blackwell Publishing: 2007. P 309-310

12. Shukla M, Qureshi S, Chandrawati. Post-placental intrauterine device insertion- A five

year experience at a tertiary care center in north India. Indian J Med Res 136, September

2012. P 432-435

13. Solter C. Advantages and Disadvantages. In Participants Guide: Intrauterine Devices

(IUDs). Pathfinder International: 2008. P 10

14. Mackay HT. Contraception, Sterilization, and Abortion. Evans AT. In Manual of

Obstetrics. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 2007. Ch 5

10

11