INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

111

Transcript of INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

Page 1: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328
Page 2: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

 

 

Page 3: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

 INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

DAFTAR ISI

Aspek Filosofis dan Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah Lukiyadi dan Sugiran ......................................................................................................... 1

Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan Citra Perpustakaan : Implementasi Kode Etik Profesi Sebagai Guide Line Perilaku Pustakawan Bakhtiyar ............................................................................................................................ 7

Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Kota Surabaya Menggunakan Permainan Kalender Endah Sri Kustiningsih ...................................................................................................... 20

Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat Bagi Siswa Kelas IV Endrayana Putut L.E. ......................................................................................................... 30

Peningkatan Prestasi Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Pada Siswa Kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya Soesanti .............................................................................................................................. 39

Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode Tutor Sebaya Kelas VII D SMP Negeri 3 Surabaya Nina Purnawati .................................................................................................................. 43

Peningkatan Hasil Belajar IPA Menggunakan Pendekatan Inquiri Terbimbing Siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya Siti Munawaroh .................................................................................................................. 53

Peningkatan Aktfitas dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan Tambang di Indonesia Dengan Model Kooperatif Tipe NHT Pada Siswa Kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik Imam Qurniawan ............................................................................................................... 57

Penerapan Layanan Informasi Untuk Meningkatkan Pemahaman Studi Lanjut Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 3 Surabaya Siti Sanawiyah .................................................................................................................... 64

Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik Memancing di kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro Lumajang Andik Siswoyo .................................................................................................................... 70

Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik Hardboardcut Melalui Pendekatan Ekspresif-Kreatif Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya Ahmad Mustamir ................................................................................................................ 78

Paradigma Baru Dalam Menghidupkan Kembali GBHN Sumi Hartoyo ..................................................................................................................... 90

Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan dan Isolat Protein Kedelai Ghani Arief Firmansyah, Fungki Sri Rejeki, dan Endang Retno Wedowati .................... 95  

Page 4: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

1

Lukiyadi, Aspek Filosofi dan Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Aspek Filosofis dan Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Lukiyadi, Sugiran email : [email protected]

UPBJJ Universitas Terbuka Surabaya

Abstrak Penulisan ini bertujuan mengemukakan aspek filosofis dan strategi pendidikan karakter di sekolah. Hal tersebut dianggap penting mengingat kevitalan peran karakter anak bangsa dalam rangka membangun suatu bangsa. Olah karena itu, pendidikan karakter menjadi suatu keniscayaan apabila suatu bangsa menginginkan bangsa menjadi bangsa yang berjaya. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter meliputi nilai agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan keempat nilai tersebut teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa yang meliputi nilai atau karakter: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kebijakan yang mengembalikan pendidikan pada rel hakiki pendidikan, yaitu membangun manusia yang utuh. Pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak memunyai akhlak mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya. Untuk memperoleh hasil yang diinginkan diperlukan strategi-strategi dalam pendidikan karakter. Ada berbagai strategi yang telah dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan dalam rangka pendidikan kaarakter di sekolah. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa apapun strateginya, guru memiliki peran terpenting dalam pendidikan karakter di sekolah.

Kata kunci : Filosofis, Strategi, Pendidikan Karakter

Pendahuluan “Kejatuhan politik cuma kehilangan

penguasa. Kejatuhan ekonomi cuma kehilangan sesuatu. Tetapi kejatuhan karakter, suatu bangsa kehilangan segalanya” (Latif, 2009:95). Ungkapan tersebut tampaknya sederhana, tetapi apabila direnungkan sebenarnya memiliki makna yang dalam. Ungkapan tersebut memperlihatkan pentingnya karakter bagi kehidupan suatu bangsa. Karakter menentukan masa depan suatu bangsa.

Kenyataan menunjukkan bahwa seluruh masyarakat yang kokoh memunyai pondasi moral yang kokoh pula. Semua studi tentang sejarah pembangunan ekonomi menunjukkan adanya hubungan erat antara faktor moral dan ekonomi. Kesuksesan negara-negara dan kelompok-kelompok dalam pembangunan sebagian disebabkan oleh etika yang mereka punyai. Etika tersebut mendorong timbulnya

semangat kemandirian, kerja keras, tanggung jawab keluarga dan sosial, perilaku hemat (menabung), dan kejujuran (Davidson dalam Megawangi, 2004:7).

Dahulu bangsa Indonesia optimis dan bangga bahwa bangsa Indonesia memiliki tiga modal besar, yaitu wilayah yang luas, sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk yang besar, yang menjadi akan menjadi faktor penunjang keberhasilan pembangunan. Optimistis tersebut selau dicantumkan dalam rumusan sakral Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Akan tetapi, setelah sekian puluh tahun Indonesia melakukan pembangunan bangsa secara mandiri, sudah banyak kekayaan alam yang terkuras, prestasi yang diraih oleh Indonesia adalah sebagai sepuluh negara miskin dan terkorup di dunia. Menurut Megawangi (2004:11) melimpahnya sumber daya alam dapat menjadi petaka bagi bangsa. Negara

Page 5: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

2

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

yang ketergantungan terhadap sumber daya alam tinggi akan mudah terkena penyakit dutch disease, sebuah fenomena sosial, ketergantungan terhadap kekayaan alam yang melimpah membuat negara jatuh miskin bukan hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam bidang sosial budaya.

Di sisi lain, beberapa negara kecil dengan wilayah yang tidak luas dan juga tidak terlalu kaya sumber daya alam seperti Singapura, Korea Selatan, dan Jepang dapat tumbuh menjadi negara maju, kaya, kuat dari segi ekonomi, teknologi, dan politik. Kekuatan negara-negara tersebut terletak pada rendahnya tingkat kriminalitas dan karakter masyarakatnya yang terkenal beretos kerja tinggi.

Hubungan antara aspek moral dan kemajuan bangsa juga dikemukakan oleh Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland University. Lickona mengemukakan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda tersebut sudah ada, maka itu berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata memburuk, (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, kesepuluh tanda-tanda tersebut sudah terjadi di Indonesia (Megawangi, 2004:8).

fenomena keseharian masyarakat Indonesia belum menunjukkan sejalan dengan karakter yang dijiwai oleh falsafah pancasila. Oleh karena itu muncul berbagai permasalahan bangsa antara lain: (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai pancasila, (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila, (3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, (6) melemahnya kemandirian bangsa.

Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan tersebut, kebijakan pemerintah RI melalui Kemenetrian Pendidikan Nasional membuat program pendidikan karakter bagi siswa SD, SMP, dan SMTA harus mendapat apresiasi yang memadai. Seperti diharapkan oleh Mendiknas (2011) pembangunan karakter merupakan kebutuhan asasi dalam berbangsa dan bernegara yang merupakan pilar kebangkitan bangsa, merupakan bagian penting dan takterpisahkan dari pembangunan nasional. Pendidikan karakter tersebut dimaksudkan untuk mencegah menurunnya nilai-nilai yang menjunjung jati diri bangsa. yang luhur.

Aspek Filosofis Pendidikan Karakter

Dalam kemendiknas (2010) dijelaskan tentang pengertian karakter dan pendidikan karakter. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Pendidikan karakter merupakan upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.

Mendiknas (2011) menjelaskan bahwa pendidikan karakter bertujuan dan fungsi sebagai berikut. Tujuan pendidikan karakter adalah mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu pancasila yang meliputi:. (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang baik; (2) membangun bangsa berkarakter pancasila; (3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negara, serta mencintai umat manusia. Pendidikan karakter berfungsi: (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural, (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (3) membangun sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.

Page 6: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

3

Lukiyadi, Aspek Filosofi dan Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, menurut Kemendikanas (2010) meliputi nilai agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan keempat nilai tersebut teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa yang meliputi nilai atau karakter: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.

Secara filosofis tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok (Sadulloh, 2011:58). Tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan pandangan hidup individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami tujuan akhirnya, sehingga hanya tujuanlah yang dapat ditentukan terlebih dahulu dalam pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut perlu dipahami dalam kerangka hubungan dengan tujuan hidup tersebut, baik yang berkaitan dengan tujuan hidup individu maupun kelompok. Peserta didik maupun pendidik secara pribadi memiliki tujuan dan pandangan hidup tersendiri dan sebagai masyarakat atau warga negara memiliki tujuan hidup bersama.

Membicarakan tujuan pendidikan akan meyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan religi, filsafat, ideologi, dan sebagainya. Hummel (dalam sadulloh, 2011:59) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan harus mengandung tiga nilai sebagai berikut. (1) Authonomy, yaitu memberikan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimal kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. (2) Equity (keadilan), yaitu tujuan pendidikan tersebut harus memberikan kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. (3) Survival, yang berarti pendidikan akan

menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Berdasarkan ketiga nilai tersebut, pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi lebih baik, manusia-manusia yang berkebudayaan. Manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik. Nilai-nilai di atas menggambarkan pendidikan dalam suatu konteks sangat luas, menyangkut kehidupan seluruh umat manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa secara filosofis pendidikan karakter merupakan kebijakan yang mengembalikan pendidikan pada rel hakiki pendidikan, yaitu membangun manusia yang utuh. Para pakar pendidikan berpendapat bahwa pendidikan yang terlalu menekankan pendidikan akademik (kognitif atau otak kiri) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter (kecerdasan emosi atau otak kanan) adalah penyebab utama gagalnya membangun manusia yang berkualitas. Sebaliknya, pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak memunyai akhlak mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara keberhasilan pendidikan karakter, keberhasilan akademik, dan perilaku prososial anak (Megawangi, 2004:38). Strategi Pendidikan Karakter

Yusuf dan Sugandhi (2011:36-41) mengenukakan bahwa ada beberapa strategi yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan karakter. 1. Menciptakan iklim religius yang kondusif. Maksud strategi adalah agar pihak sekolah,

dalam hal ini kepala sekolah, guru, dan staf sekolah lainnya perlu memiliki komitmen yang sama untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam proses pendidikan di sekolah.

2. Menata iklim sosio-emosional. Sekolah merupakan lingkungan yang

diharapkan dapat mengembangkan kompetensi sosial dan emosional siswa. Oleh karena itu, sekolah perlu difungsikan sebagai lingkungan yang mendukung berkembangnya kedua kompetensi siswa tersebut.

3. Membangun budaya akademik. Sekolah perlu mengembangkan budaya

akademik di kalangan siswa. Dalam hal ini, pimpinan sekolah dan guru perlu

Page 7: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

4

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

menampilkan diri sebagai teladan dalam membangun budaya akademik.

4. Terpadu dengan proses pembelajaran. Pendidikan karakter bukan mata pelajaran,

tetapi setiap guru dituntut untuk menanamkan nilai-nilai karakter (akhlak mulia) itu kepada para siswa dengan cara mengintegrasikan materi pendidikan karakter di dalam materi pembelajaran.

5. Terpadu dalam program bimbingan konseling.

6. Terpadu dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pendidikan karakter dapat dipadukan

dengan kegiatan ekstrakurikuler, misalnya kepramukaan, palang merah remaja, olahraga, kesenian, dan lain-lain.

7. Kerja sama dengan pihak lain. Untuk membangun karakter pihak sekolah

dapat bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu, misalnya instansi pemerintah atau swasta, organisasi kemasyarakatan, pengusaha, dan lain-lain.

Ashfahani (2012) mengemukakan bahwa ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran karakter. Strategi yang dimaksud yaitu pertama, melalui kegiatan pembelajaran, Kedua, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, dan ketiga kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler.

Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antaraeyang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga).

Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu: pertama, kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksanaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan

diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman. Kedua, kegiatan spontan adalah Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana. Ketiga, keteladanan, Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerjakeras. Keempat, pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas.

Aspek yang juga perlu diperhatikan dalam menyusun strategi adalah merancang kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler di tingkat sekolah. Demi terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter.

Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apapun strategi yang digunakan dalam pembelajaran karakter, peran guru memegang peranan penting. Oleh karena itu, ada beberapa cara yang dapat ditempuh guru dalam menggunakan strategi ini. (1) Guru memberikan teladan kepada siswa, misalnya, dalam bertutur kata yang santun, berpakaian yang bersih dan sopan dan disiplin dalam mengajar. (2) Guru mengaitkan materi nilai-nilai karakter dengan materi pelajaran. (3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat atau mengajukan pertanyaan. (4) Guru bersikap objektif dalam memberikan nilai. (5) Guru memberikan penghargaan/reward kepada siswa yang berprestasi atau berkelakuan baik dan memberikan hukuman yang bersifat edukatif kepada siswa yang berperilaku tidak baik. (6) Guru membangun sikap toleransi,

Page 8: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

5

Lukiyadi, Aspek Filosofi dan Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

saling menghargai, dan tolong menolong di antara siswa. Pembelajaran Sastra sebagai Contoh

Dibandingkan dengan pembelajaran mata pelajaran lain, pembelajaran bahasa dan sastra memiliki keunggulan apabila difungsikan sebagai sarana pembelajaran pendidikan karakter. Pembelajaran bahasa dan sastra berkemungkinan untuk memasukkan berbagai sumber belajar, termasuk moral, nilai, budaya, ideologi, terintegrasi dalam materi pembelajaran. Kenyataan bahwa isi dan tujuan pembelajaran bahasa dan sastra juga berkaitan dengan nilai moral, memperkuat potensi pembelajaran bahasa dan sastra sebagai sarana pendidikan karakter.

Menurut Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter.Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Penciptaannya yang dilakukan bersama-sama dan saling berjalinan seperti terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Namun, kenyataan tersebut di dalam sastra dihadirkan melalui berbagai tahap proses kreatif. Artinya bahan-bahan tentang kenyataan tersebut dipahami melalui proses penafsiran baru oleh pengarang. Adapun manfaat sastra bagi pembaca, adalah berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan dalam hidup melalui kebaikan jasmani dan kebaikan rohani.

Lebih jauh dari itu sastra dalam kaitan dengan pendidikan karakter, yaitu sastra sebagai media pembentuk watak moral peserta didik, dengan sastra kita bisa mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, kita bisa membentuk karakter peserta didik, sastra mampu memainkan perannya. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersaman, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada peserta didik melalui sastra.

Peran pembelajaran sastra yang dapat digunakan sebagai sarana pendidikan karakter dapat dicontohkan tulisan Razak dkk. (2013) dan Sulistyorini (2012) yang meneliti peran cerita rakyat sebagai sarana pembinaan karakter bangsa. Menurut mereka pemanfaatan cerita rakyat sangat efektif untuk mengajarkan etika maupun moral yang baik. Cerita rakyat sebagai hiburan di dalamnya memuat suatu ajaran yang bersifat mendidik. Melalui para tokoh cerita dapat disampaikan sikap, perilaku, maupun tutur kata tokoh yang mencerminkan etika maupun moral.

Penutup

Pendidikan karakter menjadi faktor penentu yang penting dalam pembangunan bangsa. Jumlah penduduk dapat menjadi modal pembangunan apabila penduduk tersebut mempunyai karakter yang baik. Sebaliknya, penduduk yang besar hanya akan menjadi beban apabila mempunyai karakter yang tidak baik. Dengan lain kata, ada kaitan yang erat eksistensi suatu bangsa dengan karakter anak bangsa.

Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kebijakan yang mengembalikan pendidikan pada rel hakiki pendidikan, yaitu membangun manusia yang utuh. Pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak memunyai akhlak mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya.

Untuk memperoleh hasil yang diinginkan diperlukan strategi-strategi dalam pendidikan karakter. Ada berbagai strategi yang telah dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan dalam rangka pendidikan kaarakter di sekolah. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa apapun strateginya, guru memiliki peran terpenting dalam pendidikan karakter di sekolah. Daftar Pustaka Ashfahani, Aufa. 2012. “Strategi Pendidikan

Karakter di Sekolah. ”http://strategidankebijakan pembelajaran.blogspot.com/2012/05/strategi-pendidikan-karakter-di-sekolah.html. Diakses 15 Maret 2019.

Herfanda, A.Y. 2008. Sastra Sebagai Agen Perubahan Budaya dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana.

Page 9: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

6

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Kemendiknas. 2010. Pedoman Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan peelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi tepat untuk Membangun Bangsa. Bandung: BPMIGAS dan Energy.

Razak, Che Rahimah Che. 2013. “Cerita Rakyat sebagai Wadah Pembinaan Karakter Bangsa.” Dalam Suwardi Endraswara dkk. (Eds.) Folklore dan

Folklife dslsm Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sulistyorini, Dwi. 2013. “Pemanfaatan Cerita Rakyat sebagai Penanaman Etika untuk Membentuk Pendidikan Karakter Bangsa.” Dalam Suwardi Endraswara dkk. (Eds.) Folklore dan Folklife dslsm Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Press.

Page 10: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

7

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan Citra Perpustakaan : Implementasi Kode Etik Profesi Sebagai Guide Line Perilaku

Pustakawan

Bakhtiyar email: [email protected]

Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui; tentang upaya membangun integritas pustakawan demi peningkatan citra perpustakaan. Obyek penelitian, membangun integritas melalui implementasi kode etik sebagai guide line kinerja pustakawan guna meningkatkan citra perpustakaan. Ruang lingkup penelitian, manivestasi kode etik sebagai guide line kinerja pustakawan. Penelitian menggunakan historical approach, metode pencarian data adalah library research. Analisis bersifat diskriptif kualitatif, sumber analisa berasal dari bahan-bahan pustaka teoritis, penelitian dan bukan penelitian. Dilakukan content analysis dan observasi dimanfaatkan mendukung konstruksi teoritis. Hasil penelitian tehadap upaya membangun integritas pustakawan demi peningkatan citra perpustakaan adalah sebagai berikut: (a). Implementasi kode etik pustakawan secara bersungguh-sungguh dan konsekwen agar terinternalisasi dengan baik pada tiap diri individu pustakawa. (b). Kode etik pustakawan harus dijadikan guide line pedoman untuk bersikap dan bertingkah laku baik dilingkungan internal perpustakaan maupun eksternal perpustakaan.(c). memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggar kode etik pustakawan.

Kata Kunci : Citra Perpustakaan, Guide Line, Integritas Pustakawan, Implentasi,

Kode Etik Pustakawan Pendahuluan

Dalam rangka penyelenggaraannya, perpustakaan memerlukan orang (SDM) untuk ditunjuk sebagai pengelola perpustakaan. Orang-orang tersebut diberi tugas dan tanggung jawab dan harus memiliki kemampuan dalam mengelolah perpustakaan dengan baik dan professional. Pengelola perpustakaan yang memegang kendali mekanisme organisasi dan menentukan dalam upaya meningkatkan pelayanan pengguna dalam sebuah perpustakaan adalah pustakawan. Seorang pustakawan senantiasa dituntut memiliki kemampuan yang handal dan berkualitas, yang terwujudkan dalam kinerja secara profesional dan menjalankan seluruh kode etik yang berlaku.

Pengelolaan perpustakaan senantiasa mencakup menejemen koleksi dan pelayanan terhadap pemustaka. Pustakawan dalam bekerja sehari-hari, selalu dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka adalah sebagai

pelayan bagi pemustaka yang datang. Artinya pustakawan selalu berhubungan dengan pemustaka. Oleh karenanya pustakawan sangat perlu untuk memperhatikan cara bersikap dan berperilaku yang baik kepada pemustaka, termasuk juga etika dalam melayani pemustaka dengan ramah dan penuh perhatian. Pada galibnya pustakawan adalah sosok pelaksana segala mekanisme aktivitas organisasi perpustakaan, memberikan pelayanan kepada pemustaka sesuai dengan tugas dan tanggungjawab profesinya, dari lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi, yang dimilikinya melalui pendidikan.

Mencermati perkembangan dan kaitannya dengan kompetensi pustakawan, menurut Kamil (dalam Nurazizah, 2008: 1) bahwa pustakawan Indonesia pada umumnya memiliki keterbatasan antara lain: (a) kurang memiliki pengetahuan bisnis; (b) pustakawan tidak memiliki kemampuan untuk bergerak

Page 11: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

8

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

secara bersamaan dalam ruang lingkup informasi, organisasi, dan sasaran organisasi; (c) kemampuan kerjasama dalam kelompok dan juga kepemimpinannya tidak memadai dalam posisi strategis dan; (d) kurang memiliki kemampuan manajerial. Bakhtiyar (2014:49) mengemukakan

Semakin pesat perkembangan informasi dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin berkembang dan bervariatif peran pustakawan dalam masyarakat. Konsekwensi yang harus dihadapi adalah pustakawan tidak boleh tertinggal sedikitpun dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama perkembangan teknologi informasi yang tidak pernah berhenti. Artinya pustakawan harus selalu menyiapkan diri untuk berperan secara optimal dalam menghadapi kemajuan tuntutan jaman

Oleh karenanya pustakawan senantiasa dituntut untuk menyesuaian diri dengan perkembangan zaman sebab di alam keterbukaan informasi, perlu ada kebebasan intelektual dan memperluas akses informasi bagi kepentingan masyarakat luas. Kompleksitas urusan dan pekerjaan yang ditangani perpustakaan membutuhkan sumber daya yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi. Pustakawan wajib ikut berperan aktif dalam melaksanakan kelancaran arus informasi dan ikut bertanggung jawab bagi kemajuan generasi sekarang dan yang akan datang. Pada realitasnya pustakawan, juga memili role performance untuk melakukan berbagai tugas sebagai pembawa perubahan sosial dan budaya serta meningkatkan kecerdasan masyarakat. Memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap informasi semakin berkembang, dimana sentuhan teknologi informasi komunikasi semakin memasuki kedalam sendi-sendi kehidupan msyarakat, maka sangat urgen membutuhkan layanan jasa informasi yang cepat, tepat dan dapat.

Layanan jasa informasi pada masyarakat yang dilaksanakan oleh perpustakaan, sebagai lembaga yang mempunyai maksud dan tujuan serta fungsi pelayanan publik di bidang informasi. Sebagaimana yang diutarakan oleh Bakhtiyar (2016:5-6) bahwa ;

“ Salah satu bidang layanan publik yang krusial adalah layanan jasa informasi. Dalam layanan jasa informasi merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai

bidang kegiatan masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara melalui prosedur tertentu. Layanan jasa informasi menyangkut dua sisi kepentingan yaitu: (1) kepentingan pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah. (2) kepentingan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian dalam melakukan usaha dan kegiatan berkaitan dengan informasi yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. “

Tugas dan fungsi perpustakaan, realitasnya dilaksanakan oleh pustakawan, sehingga tak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan profesi pustakawan semakin dibutuhkan keberadaannya. Dalam aktivitas kerja sehari-hari, pustakawan merupakan tenaga perofesional yang berkompetensi sangat sarat berkecimpung dengan pelayanan jasa informasi. Pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya itu, perilaku pustakawan selalu erat berkaitan dengan kode etik pustakawan. Justru kekuatan pustakawan terletak pada etika profesi yang dimiliki dan diimplementasikan dalam kinerjanya, guna mencapai tujuan organisasi perpustakaan.

“Karakteristik manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh perpustakaan memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani, memiliki tujuan sosial serta akuntabel pada masyarakat penggunanya. Seiring dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan perpustakaan dan upaya mewujudkan pelayanan prima, paradigma pelayanan publik menjadi semakin berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, dengan lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan pustakawan dan masyarakat, serta menerapkan sistim kompetisi dan pencapaian target yang selalu didasarkan pada visi, misi, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai organisasi. (Bakhtiyar, 2017:18-19)

Page 12: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

9

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

Tuntutan dan harapan masyarakat

terhadap pustakawan dalam menjalankan profesinya, tidak terbatas hanya pada profesionalisme, kompetensi dan kualitasnya saja, melainkan pustakawan harus memiliki integritas yang tinggi. Integritas pustakawan merupakan kunci terhadap keberhasilan dalam kinerja pustakawan. Apalah artinya profesionalisme, kompetensi dan kualitas, tanpa diikuti oleh integrasi yang tinggi dalam bekerja. Sebab integritas merupakan kejujuran dan kebenaran yang merupakan akurasi dari tindakan seseorang. Integritas pustakawan dapat diartikan sebagai suatu tindakan pustakawan dalam bekerja secara sungguh-sungguh, tidak berpura-pura, berbohong atau munafik dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kerja di perpustakaan. Jadi integritas pustakawan adalah merupakan tindakan kejujuran dan mengutamakan kebenaran dalam melaksanakan aktivitas bekerja dengan memegang erat-erat etika profesinya sebagai guide line dalam perilaku kerja profesinal.

Dalam mekanisme aktivitas kerja pada organisasi perpustakaan, sangat urgen untuk dapat membentuk integritas pustakawan sehingga kinerja pustakawan benar-benar handal, berkualitas, dan profesional. Oleh karenanya internalisai etika profesi pustakawan sangat urgen bagi setiap pustakawan, dengan melalui mengimplementasikan kode etik secara sungguh-sungguh dan konsekwen, yaitu melaksanakan sepenuhnya sebuah pedoman untuk menjalankan sebuah profesi. Kode etik akan menjadi pegangan, tuntunan moral dan rujukan bagi setiap pustakawan Indonesia.

Menurut Sulistyo Basuki (2001), kode etik pustakawan adalah sistem norma, nilai, dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi pustakawan. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yang sebenarnya adalah untuk mengatur ruang gerak para profesional agar memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya dan mencegahnya dari perbuatan yang tidak profesional.

Internalisasi kode etik pustakawan dapat dilakukan dengan melalui implementasi kode etik profesi, secara benar dan konsekwen pada

tiap individu pustakawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesinya, sehingga memliki dampak secara langsung terhadap citra perpustakaan dalam masyarakat. Adanya citra perpustakaan yang baik maka berimplikasi terhadap apresiasi masyarakat terhadap eksistensi perpustakaan menjadi semakin tinggi, mengingat kinerja pustakawan disamping handal, berkualitas dan profesional ternyata juga memiliki integritas sangat tinggi. Citra perpustakaan yang positif menyebabkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap eksistensi perpustakaan menjadi semakin baik. Oleh karenanya integritas pustakawan dalam kinerjanya di organisasi perpustakaan, menjadi sangat urgen untuk menggapai citra perpustakaan yang positif sehingga eksistensi perpustakaan mendapat apresiasi positif dalam masyarakat.

Berdasarkan diskripsi yang telah terpaparkan diatas, tujuan penelitian ini untuk berusaha mengetahui tentang upaya membangun integritas pustakawan demi peningkatan citra perpustakaan. Pembahasan terhadap implementasi kode etik dan etika profesi pustakawan, sangat menarik perhatian berbagai kalangan ilmuwan, praktisi dan pemerhati perpustakaan. Berbagai sudut pandang keilmuan dapat digunakan sebagai pisau analisa untuk memahami realitas integritas pustakawan dalam melaksanakan aktivitas kerja dalam organisasi perpustakaan. Oleh karenanya dalam penelitian ini, penulis menentukan dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan pembahasan yang menggunakan pendekatan perspektif sosio kultural.

Kajian Pustaka A. Integritas

Kata "integritas" berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain memiliki integritas atau tidak sejauh mereka bertindak sesuai dengan nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan.

Integritas dapat diartikan sebagai suatu

Page 13: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

10

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

tindakan untuk bekerja secara sungguh-sungguh, tidak berpura-pura atau munafik dalam bekerja. Jadi integritas merupakan tindakan kejujuran dan mengutamakan kebenaran dalam bekerja.dengan memegang erat-erat etika profesinya sebagai guide line dalam perilaku kerja profesinal. B. Citra Perpustakaan

Menurut pendapat Dahlan (1992), citra ialah suatu image, suatu gambaran, penyerupaan, garis besar atau kesan yang utama, bahkan bayangan yang dipunyai seseorang terhadap individu, organisasi atau institusi, instansi pemerintah dan lain-lainnya. Sedangkan menurut pendapat Hoeroestijati (2010:3) yang dengan tegas menyatakan bahwa citra merupakan kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak hati publik dalam rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi tentang diri kita yang sampai ke public. Demikian juga, Muslimin (2004) juga menyatakan pendapatnya bahwa;

“citra itu berakar dari nilai-nilai kepercayaan yang konkretnya diberikan secara individual dan merupakan pandangan atau persepsi, serta terjadinya proses akumulasi dari amanah kepercayaan yang telah diberikan oleh individu-individu tersebut akan mengalami suatu proses cepat atau lambat untuk membentuk suatu opini yang lebih luas dan abstrak, yaitu sering dinamakan citra.”

Berbagai definisi di atas dapat disimpulan, bahwa citra sebuah perpustakaan merupakan kesan kuat ditangkap dan melekat pada para pemustaka terhadap perpustakaan. Apabila perpustakaan dan pustakawan ingin mempunyai citra yang baik dan ingin mendapatkan apresiasi positif dalam masyarakat, maka harus mampu untuk menunjukan atau menampilkan role peformance yang baik dan prestasi yang menonjol, sesuai kode etik pustakawan secara konsisten. Sebab citra perpustakaan yang positif hanya dapat dibangun dengan melalui proses interaksi yang panjang serta komunikasi interpersonal, yang mana para pemustaka mempersepsi perpustakaan dan pustakawan ataupun sebaliknya.

Citra perpustakaan merupakan motivasi bagi pustakawan agar lebih meningkatkan pelayanan yang berkualitas kepada pemustaka. Citra yang baik terhadap perpustakaan, maka para pemustaka akan memberikan kepercayaan serta menerima segala produk

berwujud koleksi dan layanan prima perpustakaan. Citra positif tidak hanya terbatas membawa eksistensi perpustakaan saja, melainkan dapat mengembangkan citra lembaga peenaungnya, baik secara internal maupun eksternal. C. Nilai-Nilai Kode Etik

Bertens (2004) mengatakan bahwa untuk menjelaskan pengertian nilai bukan menjadi perkara yang mudah. Setidaknya, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik, sesuatu yang disukai, dan sesuatu yang diinginkan. Sedangkan menurut pendapat Harch (1997), nilai-nilai merupakan konsep yang hidup di dalam pikiran manusia dalam suatu kelompok, yang dianggap memiliki makna untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Nilai-nilai ini kemudian menentukan benar, salah, baik, atau buruk. Kelompok dalam kajian ini adalah kelompok pustakawan yang telah tergabung dalam Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) dan bermufakat menciptakan suatu pedoman sikap dalam kinerjanya yang dikenal dengan kode etik pustakawan. Terwujudnya kode etik pustakawan pasti berlandaskan nilai-nilai dan norma-norna yang dijadikan guide line pustakawan, yang sangat dipahami oleh para penyusunannya.

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang hares dihindari. Kode Etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. D. Kode Etik

Kode etik secara etimologis berarti kode dan etik. Dalam bahasa Inggris yang berarti “code” yaitu : (a) bagaimana tingkah laku atau perilaku orang dalam hidupnya atau dalam situasi tertentu; (b) peraturan atau undang-undang tertulis yang harus diikuti, sedangkan kata etik memiliki makna sebagai suatu gagasan umum atau kepercayaan yang mempengaruhi perilaku dan sikap masyarakat. Kata etik dalam makna jamak berarti sejumlah aturan moral atau prinsip berperilaku untuk menentukan mana yang baik dan benar serta mana yang buruk atau salah. Suwarno

Page 14: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

11

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

menegaskan (2012:92) bahwa kode etik adalah sistem nilai, norma dan aturan professional yang tegas dan tertulis, menyatakan apa prilaku yang benar atau baik dan apa yang tidak benar atau tidak baik bagi professional. Kode etik menyatakan dengan tegas tentang perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dihindari dan apa yang harus dilakukan.

Menurut pendapat Lasa HS (2009:174), kode etik pustakawan adalah norma-norma atau- aturanaturan yang wajib dipatuhi pustakawan untuk menjaga kehormatan, martabat, citra dan profesionalisme. Adapun secara gamblang menurut pendapat Hermawan (2006:63), kode etik adalah seperangkat standar berisikan aturan-aturan tingkah laku, yang berupa norma-norma yang ditentukan dan dibuat oleh organisasi profesi, yang diharapkan dapat menjadi pedoman untuk menuntun anggotanya dalam berperilaku menjalankan peranan dan tugas profesinya dalam masyarakat. Kode etik profesi dibuat secara tertulis, sistematis, tegas dan jelas sehingga dapat dengan mudah untuk dipahami oleh setiap anggota. Kode etik pustakawan merupakan standar tingkah laku dan norma yang seharusnya menjadi pedoman dan dapat menuntun para pustakawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesionalnya.

Dalam kaitannya dengan profesi, kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standar perilaku anggotanya. Nilai profesional, paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kode etik adalah seperangkat ukuran baku yang berisi standar aturan tingkah laku, yang berupa sistim norma-norma, nilai-nilai, aturan profesional yang dibuat oleh organisasi profesi secara tegas tertulis dan sistimatis, yang harus dipatuhi pustakawan sehingga dapat menuntun pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya guna menjaga kehormatan, martabat, citra dan profesionalisme. E. Kode Etik Pustakawan

Etika profesi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) diatur dalam AD dan ART yang mencakup kewajiban umum, kewajiban

kepada organisasi dan profesi kewajiban sesama pustakawan, dan kewajiban pada diri sendiri. Kewajiban umum merupakan suatu sikap dan tindakan yang dilaksanakan pustakawan demi kepentingan dan kemaslahatan umum. Oleh karena itu tiap pustakawan Indonesia: (a). Menyadari sepenuhnya bahwa profesi pustakawan adalah profesi yang terutama mengemban tugas pendidikan dan penelitian.(b). Dalam menjalankan profesinya, harus menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian pada negara dan bangsa. (c). Menghargai dan mencintai kepribadian dan kebudayaan Indonesia. (d). Mengamalkan ilmu pengetahuannya untuk kepentingan sesama manusia, bangsa dan agama. (e). Menjaga kerahasiaan informasi yang bersifat pribadi yang diperoleh dari masyarakat yang dilayani. Metode Kajian A. Obyek Kajian.

Obyek kajian berorientasi pada pembahasan integritas pustakawan melalui implementasi kode etik pustakawan sebagai guide line perilaku pustakawan dalam kinerjanya di perpustakaan. Pemahaman pada konsep implentasi kode etik profesi dan integritas sangat urgen bagi pustakawan dalam pelaksanan tugas dan kewajiban profesinya, sehingga dapat meningkatkan citra perpustakaan. B. Ruang Lingkup Dan Fokus Kajian.

Ruang lingkup kajian bertumpu pada manivestasi kode etik profesi sebagai guide line perilaku pustakawan dalam kinerjanya di perpustakaan. Kinerja pustakawan senantiasa menjunjung tinggi tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban profesinya, yaitu memberikan pelayanan prima bagi pemustaka. Kepuasan pemustaka menjadi orientasi utama bagi pustakawan, sehingga dihasilkan loyalitas pemustaka yang tinggi terhadap eksistensi dan citra perpustakaan. Pustakawan dalam kinerjanya sentiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan pimpinan, pemustaka, sesama pustakawan dan masyarakat. Oleh karenanya kode etik pustakawan harus menjadik pedoman dalam bertingkahlaku dan bersikap, sehingga reputasi pustakawan semakin baik dan citra perpustkaan semakin positif dalam masyarakat. C. Pendekatan Dan Metode Kajian Analis-pemikiran kritis dan realitis

Page 15: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

12

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

terhadap pengaplikasian pemikiran suatu konsep dalam suatu kurun waktu yang telah dan sedang terjadi, secara metodologis kajian ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach). Kajian sejarah memiliki ciri dominan yaitu merupakan penyelidikan kritis mengenai perkembangan pemikiran baik dijaman lampau maupun sekarang dengan menggunakan data primer yang dianggap sebagai sumber informasi primer. Metode kajian yang digunakan dalam pencarian data yang berisikan informasi penting adalah kajian perpustakaan atau studi pustaka (library research) dengan membaca berbagai literatur yang bersubyekkan integritas pustakawaan, kode etik pustakawan, serta perkembangan implementasi kode etik pustakawan sebagai guide line dalam dunia kerja di perpustakaan. D. Analisis Kajian

Analisis kajian terhadap aplikasi kode etik pustakawan sebagai guide line pustakawan menggunakan analisa diskriptif kualitatif. Adapun sumber analisa berasal dari kajian bahan-bahan pustaka yang berisi teoritis, penelitian dan kajian bukan penelitian. Di samping itu, juga dilakukan analis isi (content analysis). Analisa isi dimaksudkan untuk melakukan analisa terhadap makna yang terkandung dalam keseluruhan konsep intaegritas, kode etik profesi sebagi guide line pustakawan, serta aplikasinya dalam dunia kerja di perpustakaan. Observasi atau pengamatan sehari-hari di perpustakaan digunakan sebagai pelengkap untuk mendukung konstruksi teoritis, khususnya mengenai makna guide line, kode etik pustakawan dan makna reputasi dan integritas. Segala yang terjadi dalam mekanisme prilaku kerja di perpustakaan, sangat menggambarkan dan wujud nyata pengaplikasian kode etik pustakawan, sehingga membawa dampak positif yaitu meningkatkan reputasi pustakawan dan citra positif perpustakaan. PEMBAHASAN A. Membangun Integritas

Cara untuk membangun integritas adalah dengan bekerja secara profesional dalam segala bidang, melakukan sesuatu dengan penuh rasa bertanggung jawab, memberikan pelayanan yang maksimal kepada pemustaka, dan menjalin hubungan baik dengan pemustaka, rekan sejawat atau pimpinan. Sikap seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap pustakawan di

Indonesia, selain dapat menjaga integritas juga dapat menaikkan citra pustakawan.

Secara umum, tugas utama seorang pustakawan adalah sebagai pelayan masyarakat terutama masyarakat pengguna perpustakaan. Maka dari itu, untuk menjadi pustakawan yang handal dan profesional, seorang pustakawan harus memiliki skill dan juga tanggung jawab untuk menjaga harkat dan martabat profesi pustakawan dengan menjalankan kode etik tersebut dengan sepenuh hati. Selain itu, melakukan pelayanan yang prima terhadap masyarakat pengguna, seorang pustakawan haruslah memiliki kemampuan untuk memahami kebutuhan masyarakat pengguna.

Menurut Suherman (2012), idealnya seorang pustakawan adalah mereka yang menjadi pustakawan versatilis, yaitu pustakawan yang ada dalam jaman baru yang memiliki karakteristik seorang versatilis, yaitu mereka yang mampu mengkombinasikan kompetensi dan keahlian teknis dengan pengalaman bisnis dan kemampuan memberikan solusi komprehensif. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengalaman, kemampuan menjalankan berbagai tugas yang beragam dan multidisiplin. Sifat sang versatilis adalah fleksibel terhadap teknologi, orientasi utamanya adalah untuk memberikan solusi sesuai kebutuhan yang diminta oleh pengguna.

Proses reputasi profesi yang dijalankan terkadang berjalan bukan tanpa hambatan, hal ini diakibatkan karena ketidaktahuan pustakawan akan adanya kode etik pustakawan yang harus dilaksanakan demi menjaga integritas pustakawan. Proses reputasi dijalankan agar pustakawan bersikap profesional. Arifin (2006) menjabarkan profesionalisme, dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian “jasa profesi” ialah : 1) Kerja seorang profesional beritikad untuk

merealisasikan kebijakan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah material.

2) Kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan atau pelatihan yang panjang, eksklusif, dan berat.

3) Kerja seorang profesional diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral harus

Page 16: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

13

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.

Pustakawan dapat dianggap sebagai profesi apabila memiliki ciri-ciri profesi sebagai berikut: memiliki badan tubuh teoritis yang membentuk dasar intelekual profesi, memberikan otonomi, melakukan kontrol atas perilaku praktisi melalui lisensi dan kode etik, memiliki tujuan yang dominan, memiliki monopoli atas praktek profesi, dan memiliki asosiasi profesional. Pustakawan bisa dikatakan profesional apabila telah menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan kode etik pustakawan. Kode etik yang di tetapkan oleh IPI harus dijadikan sebagai panduan perilaku untuk meningkatkan kinerja pustakawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. B. Kode Etik Profesi Sebagai Guide Line

Kode etik dijadikan standart aktivitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guide lines). Masyarakat pun menjadikan sebagai pedoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi, yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang bertentangan dengan masyarakat.

Oteng/Sutisna (1986: 364) mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi. Kode etik bersifat mengikat semua anggota dengan tujuan mengendalikan perilaku profesional dalam upaya meningkatkan citra profesi. Kode etik selain menjadi aturan juga menjadi landasan moral yang harus dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesi. Dalam hal ini kode etik pustakawan akan memberikan pedoman tentang bagaimana kita bersikap, baik bersikap terhadap pemustaka, rekan sejawat maupun pimpinan.

Kode etik adalah norma, nilai, dan aturan profesional tertulis secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesinal. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Menurut Basuki tujuan kode etik sebenarnya adalah untuk mengatur ruang gerak para profesonal agar memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya dan

mencegahnya dari perbuatan yang tidak profesional. Maka, menurut Dewey, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekuatan pustakawan terletak pada etika yang dimiliki (Bopp and Smith, 2001 : 29).

Menurut Hennawan dan Zen (2006), pada dasarnya tujuan kode etik suatu profesi adalah sebagai berikut: (a). Menjaga martabat dan moral profesi. (b). Memelihara hubungan anggota profesi. (c). Meningkatkan pengabdian anggota profesi. (d). Meningkatkan mutu profesi. E). Melindungi masyarakat pemakai Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.

Dalam American Psychological Association. (2003:4), suatu etika profesi menuntut memiliki prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari kewajiban moral anggotanya yang berwujud : (a). Respect for rights and dignity of the person, yaitu prinsip yang selalu menghormati hak dan martabat masyarakat. (b). Competence, yaitu kemampuan atau keahlian yang sesuai dengan bidang kerja yang di tekuni. (c). Responsibility, yaitu tanggung jawab dalam setiap pelaksanaan tugas-tugas. (d). Integrity, yaitu tidak terpisah-pisah antara hak dan kewajiban, selalu ada keseimbangan antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban di setiap tugasnya.

Pustakawan perlu memiliki pengetahuan untuk memahami arti penting kode etik. Seperti pengetahuan bagaimana cara berperilaku dan aturan bersikap. Ketika seorang pustakawan mengerjakan kewajiban mereka terhadap masyarakat, pustakawan harus memperhatikan segi psikologi masyarakat tersebut. Karena tingkah laku manusia memiliki dua aspek yang saling berinteraksi; yaitu pertama, aspek objektif yang bersifat struktural (aspek jasmaniah dari tingkah laku tersebut) dan yang kedua, aspek subjektif yang bersifat fungsional (aspek

Page 17: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

14

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

rohaniah dari tingkah laku tersebut) (Qalyubi, 2003 : 247).

Pustakawan dapat dikatakan profesional apabila beretika, sebab dalam etika terdapat pengetahuan moral yang terdapat dalam kode etik sebagai ciri organisasi profesi. Kode etik merupakan pedoman bagi anggota dalam menjalankan profesinya. Kode etik akan menjadi pegangan, tuntunan moral dan rujukan bagi setiap pustakawan. Perpustakaan dan kode etik pustakawan adalah dua unsur yang sangat penting dan saling berkaitan. Keduanya dapat dikatakan sebagai gerbangnya sebuah pendukung masyarakat untuk gemar membaca. Perpustakaan menjadi pusat sumber daya informasi, sedangkan kode etik pustakawan sebagai pedoman berjalannya kegiatan perpustakaan. Perpustakaan berfungsi sebagai pusat sumber daya informasi. Perpustakaan mengelola informasi dari mulai perolehan sampai pada penyajiannya sedangkan kode etik mengatur wilayah nilai-nilainya. C. Aspek-Aspek Implementasi Kode Etik

Pustakawan Pembahasan terhadap kode etik, tentu

saja tidak boleh melupakan dari organisasi pembuatnya, karena kode etik senantiasa berada dalam wilayah suatu organisasi yang mempunyai anggota-anggota yang berperan aktif untuk menjalankan perilaku kinerja yang erat berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung didalamnya. Pelaksanaan terhadap nilai-nilai dan norma-norma oleh para anggota organisasi, senantiasa diawali dengan adanya pemahaman, yang menurut Scheine (dalam Laksmi, 2007:100-103) disebut sebagai suatu budaya organisasi, yaitu : a. Nilai-Nilai Kode Etik Pustakawan

Nilai-nilai adalah merupakan bentuk kesadaran tertinggi yang sangat dipahami oleh para individu, dimana merupakan seperangkat konsepsi yang hidup didalam alam pikiran individu manusia dalam suatu kelompok, yang dianggap sangat bernilai dan berharga sehingga menjadi tuntunan atau pedoman hidup. Kode etik adalah merupakan hasil akhir dari tingkat kesadaran dan pemahaman pustakawan yang telah tergabung dalam suatu organisasi profesi. Kemudian dijadikan sebagai pegangan atau pedoman untuk menuntun sikap dan tingkah laku dalam melakukan tugas profesinya. Artinya kode

etik mempunyai dan berisi nilai-nilai yang telah disepakati oleh seluruh anggota profesi dan diinternalisasikan melalui proses sosialisasi yang panjang kepada pustakawan, agar dipahami dan dilaksanakan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya. Nilai-nilai adalah konsep-konsep yang hidup dan mengendap didalam alam pikiran manusia dalam suatu kelompok, dimana nilai-nilai itu dianggap mempunyai makna tinggi untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur perilaku hidup manusia. Nilai-nilai inilah yang kemudian sangat menentukan mana yang salah benar, tercela, terpuji baik atau buruk.

b. Usaha dan Tindakan Implementasi Usaha adalah suatu aktivitas tindakan yang dilakukan dengan berdasarkan pada sesuatu yang telah direncanakan. Sedangkan impelmentasi dapat diartikan pelaksanaaan atau menindaklanjuti suatu rencana, suatu metode atau desain kedalam suatu tindakann yang nyata atau realistis. Artinya implementasi adalah tindakan yang dilaksanakan oleh individu, kelompok, pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk menggapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Tindakan-tindakan yang dilakukan diusahakan untuk dapat mentranformasikan keputusan-keputusan yang ditetapkan, yang menjadi pola-pola operasional, serta dapat melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk menggapai perubahan-perubahan, baik dalam skala yang besar maupun dalam skala kecil yang telah diamanatkan oleh keputusan-keputusan yang telah disepakati dan ditetapkan.

Perpustakaan merupakan sebuah organisasi yang sangat dinamis dan didalamnya sangat sarat berbagai budaya organisasi, dimana segala aktivitas pengadaan, pengumpulan, pengolahan, pelayanan dan penyebaran informasi selalu mengacu pada kode etik profesi. Adapun sebagai motor penggerak utama terhadap roda organiassi perpustakaan, tak lain adalah pustakawan. Tak elak lagi bahwa peranan dan posisi pustakawan menjadi sangat penting dan strategis, dalam perkembangan perpustakaan yang memiliki basic orientasi pada pemenuhan kebutuhan informasi kepada segenap pemustaka. Dalam sejarah perkembangannya pekerjaan pustakawan telah menjadi sebuah

Page 18: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

15

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

profesi dan sejak tahun 1988 pemerintah Indonesia, telah mengakui bahwa profesi pustakawan adalah sebagai jabatan fungsional. Sebagai suatu profesi, maka otomatis pustakawan dalam kinerjanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar. Adapun sebagai konsekwensinya, maka pustakawan dalam melaksanakan aktivitas kinerjanya, dimana semua tugas dan tanggung jawabnya senantiasa mengacu pada kode etik profesi pustakawan, sebagai acuan pokok dan mendasar dalam berperilaku menjalan profesinya. D. Implementasi Kode Etik dan Profesi

Pustakawan Role ekspectation wajib dilaksanakan

oleh pustakawan yaitu menjalankan tugas dan kewajiban secara optimal dan sebaik-baiknya, sesuai harapan dan tuntutan para pemustaka. Adapun implementasi secara realitas terhadap kode etik profesi pustakawan terwujud dalam: (1). Perilaku dan sikap pustakawan dalam praktek kerja. (2). Tuntutan kriteria terhadap profesi pustakawan. (3). Sikap kerja pustakawan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab profesinnya. (4). Sikap dan prilaku pustakawan dalam menjalankan kuwajiban. (5). Sikap dan perilaku pustakawan dalam menjalin interaksi atau hubungan. 1. Sikap dan perilaku pustakawan dalam

realitas praktek kerja. Sikap dan perilaku yang baik dalam

memberikan layanan membawa dampak positif secara langsung yaitu memberikan kepuasan kepada pemustaka, sehingga terbentuk pula citra positif terhadap eksistensi perpustakaan. Dalam praktek dilapangan sikap dan perilaku pustakawan dalam kinerjanya wajib menampilkan dan harus dilakukan oleh setiap pustakawan meliputi (a). Jujur dalam bertindak dan bersikap. (b). Rajin dan disiplin. (c). Murah senyum. (d). Sopan dan hormat. (e). Lemah lembut dan ramah tamah. (f). Simpatik. (g). Bijaksana.. (h). Memiliki rasa tanggung jawab

2. Tuntutan kriteria profesi pustakawan Berdasarkan SK MENPAN

No.18/MENPAN/1968 dan diperbaharui melalui SK MENPAN No.33/MENPAN/98, kemudian keluar keputusan Presiden RI No.87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional. Artinya pemerintah telah mengakui profesi pustakawan Indonesia. Adanya Peraturan

Pemerintah tersebut, pustakawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesinya dapat lebih maksimal. Sedangkan kriteria-kriteria sebagai penentu itu profesi atau bukan profesi adalah; (a). Memiliki pola Pendidikan tingkat akademik. (b). Berorientasi pada jasa. (c). Tingkat kemandirian. (d). Memiliki kode etik (e). Memiliki batang tubuh ilmu pengetahuan

3. Sikap kerja pustakawan terhadap tugas dan tanggung jawab profesinya

Terdapat banyak jenis pekerjaan menjadi tanggungjawab pustakawan dan paling utama adalah bertanggungjawab memberikan pelayanan prima kepada setiap pemustaka. Menurut Rubin (dalam Hermawan 2006:72) memberikan gambaran atau contoh tanggungjawab yang wajib dilakukan oleh pustakawan rujukan yaitu : (a). Menyediakan layanan pada pemustaka atas permintaan. (b). Melakukan evaluasi, seleksi, dan penyiangan bahan pustaka. (c). Membantu pemakai dalam penelusuran informasi. (d). Membantu pemakai dalam melakukan strategi penelusuran yang efektif. (e). Mengklarifikasikan informasi yang dibutuhkan. (f). Memberi instruksi dan mendidik pemakai tentang teknik-teknik penelusuran sumber informasi. (g). Mengelola sumber informasi baik tercetak, non cetak, maupun elektronik agar mudah diakses. (h). Melindungi hak privasi, rahasia dan kebebasan intelektual pemakai. (i). Berpartisipasi dalam kegiatan profesi untuk meningkatkan profesionalisme dan pengetahuan individual. (j). Berpartisipasi dalam perbaikan system informasi local. (k). Mendidik staf (bawahan) untuk meningkatkan keterampilan mereka. (l). Menciptakan alat-alat temuan dan situs web untuk membantu pencari informasi.

4. Sikap dan perilaku pustakawan dalam melaksanakan kuwajiban

Menurut pendapat Hermawan (2006:111-122) yang secara tegas menjelaskan bahwa tentang prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam Kode Etik Pustakawan, menunjukkan bahwa di pustakawan memiliki kuwajiban-kuwajiban sebagai berikut : a. Kewajiban kepada bangsa dan negara

Pustakawan menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian

Page 19: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

16

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

dan tanggungjawab keapda instansi tempat bekerja, bangsa dan Negara.

b. Kewajiban kepada masyarakat 1) Pustakawan wajib untuk

melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pemustaka secara cepat, tepat, dan akurat sesuai prosedur yang ditetapkan dalam pelayanan perpustakaan, santun dan tulus.

2) Pustakawan wajib untuk melindungi kerahasiaan dan privasi menyangkut informasi yang ditemui atau dicari dan bahan pustaka yang diperiksa atau dipinjam pemustaka.

3) Pustakawan wajib ikut ambil bagian dalam aktivitas yang diselenggarakan masyarakat dan lingkungan tempat bekerja, terutama yang sangat erat berkaitan dengan pendidikan, kebudayaan dan usaha sosial. Pustakawan berupaya menciptakan citra perpsutakaan yang baik dalam masyarakat.

c. Kewajiban kepada profesi 1) Pustakawan wajib melaksanakan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tanggal Ikatan Pustakawan Indonesia dan Kode Etik Pustakawan Indonesia.

2) Pustakawan wajib memegang teguh terhadap prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha-usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.

3) Pustakawan wajib menyadari dan menghormati terhadap hak milik intelektual yang berkaitan erat dengan bahan perpustakaan dan informasi.

d. Kewajiban kepada rekan sejawat Pustakawan wajib memperlakukan rekan sekerja dengan berdasarkan sikap yang saling menghormati, dan bersikap adil kepada rekan sejawat serta berusaha untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

e. Kewajiban kepada diri pribadi 1) Pustakawan wajib untuk

menghindarkan diri, dari menyalahgunakan fasilitas perpustakaan untuk memenuhi kepentingan pribadi, rekan sekerja dan pemustaka tertentu.

2) Pustakawan harus dapat untuk memisahkan antara kepentingan pribadi dan aktivitas professional kepustakawanan.

3) Pustakawan senantiasa berusaha untuk meningkatkan dan memperluas pengetahuan dan kemampuan diri serta profesionalisme.

5. Sikap dan perilaku pustakawan dalam menjalin hubungan

Dalam Kode Etik Pustakawan Indonesia tahun 2006 pada pasal 4 hingga 8 secara gamblang dijelaskan tentang sikap kerja pustakawan dalam menjalin hubungan. (Ibid. : 123-149). a. Menjalin hubungan dengan pengguna

(pasal 4) Pustakawan wajib untuk menjunjung tinggi atas hak perorangan atas informasi. Pustakawan senantiasa menyediakan akses tak terbatas, adil dan tanpa pandang ras, status sosial, agama, ekonomi, politik, gender dan budaya, kecuali ditentukan oleh peraturan perundang- undangan. 1) Pustakawan tidak bertanggungjawab

atas konsekuensi pengguna informasi yang diperoleh dari perpustakaan.

2) Pustakawan berkewajiban untuk melindungi hak privasi pengguna dan kerahasiaan menyangkut informasi yang dicari atau dibutuhkan.

3) Pustakawan wajib mengakui dan menghormati hak milik intelektual.

b. Menjalin hubungan antar pustakawan (pasal 5) 1) Pustakawan harus selalu berusaha

mencapai keunggulan-keunggulan dalam profesinya dengan cara memelihara dan senantiasa untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.

2) Pustakawan senantiasa untuk bekerja sama dengan pustakawan lain dalam upaya-upaya mengembangkan kompetensi professional pustakawan, baik secara individu perorangan maupun sebagai kelompok.

3) Pustakawan senantiasa untuk memelihara dan memupuk interkasi/ hubungan/kerjasama yang lebih baik antar sesama rekan.

Page 20: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

17

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

4) Pustakawan wajib untuk memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan untuk menjunjung terhadap Korps Pustakawan secara wajar.

5) Pustakawan senantiasa untuk menjaga nama baik dan martabat rekan, baik didalam maupun diluar kedinasan.

c. Menjalin hubungan dengan perpustakaan (pasal 6) . 1) Pustakawan harus ikut berperan aktif

dalam perumusan kebijakan menyangkut segala aasktivit jasa kepustakawanan.

2) Pustakwan wajib bertanggung jawab terhadap pengembangan perpustakaan.

3) Pustakawan harus senantiasa berupaya membantu dan mengembangkan pemahaman serta kerjasama semua jenis perpustakaan.

d. Menjalin hubungan pustakawan dengan organisasi profesi 1) Pustakawan senantiasa memenuhi

iuran keanggotaan secara disiplin. 2) Pustakawan senantiasa mengikuti

kegiatan organisasi sesuai kemampuan dengan penuh tanggung jawab.

3) Pustakawan wajib untuk mengutamakan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.

e. Menjalin hubungan pustakawan dengan masyarakat 1) Pustakawan senantiasa bekerja sama

dengan anggota komunitas organisasi yang sesuai dan senantiasa berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan serta komunitas yang dilayaninya.

2) Pustakawan senantiasa untuk berupaya dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan dalam masyarakat.

D. Sanksi Kode Etik Kode etik berisikan nilai-nilai dan

cita-cita, menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan dengan tekun dan konsekuen. Tiap pelaksanaannya perlu adanya pengawasan terus menerus. Kode etik pustakawan merupakan landasan moral sebagai pedoman sikap dan tingkah laku bagi pustakawan. Pada kode etik pustakawan secara nyata mengandung sanksi-sanksi bagi

pelanggar kode etik. Sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah: (1) sanksi moral, dan (2) sanksi administratif. Bila pelanggaran kode etik tersebut berhubungan dengan pelanggaran hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku maka diproses sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. E. Urgensitas internalisasi kode etik profesi

pustakawan Pada hakekatnya internalisasi kode etik

profesi pustakawan adalah merupakan penanaman nilai-nilai dan norma-norma profesi, yang wajib dilaksanakan oleh setiap pustakawan dalam kinerjanya. Apabila internalisasi itu sukses pada masing-masing diri individu pustakawan, maka secara otomatis integritas pustakawan dapat dengan mudah terwujud. Internalisasi kode etik profesi pustakawan harus dapat mendarah daging pada diri pustakawan, sehingga kode etik tersebut dapat menjadi guide line bagi pustakawan dalam melaksanakan layanan jasa informasi perpustakaan.

Adapun implikasi langsung dari integritas pustakawan dalam kinerjanya itu adalah terciptanya citra positif terhadap perpustakaan dan eksistensi perpustakaan memperoleh apresiasi yang positif dalam masyarakat. Integritas dan citra perpustakaan dalam realitas praktek kerja pelayanan jasa informasi perpustakaan, senantiasa memperhatikan dua aspek yang sangat penting meliputi: (a). Aspek professional adalah pustakawan Indonesia harus berpendidikan formal ilmu perpustakaan, dituntut untuk gemar membaca, cerdas, tanggap, berwawasan luas, terampil dan kreatif, mentaati etika profesi, mempunyai motivasi tinggi, berkarya dibidang kepustawanan dan mampu melaksanakan penelitian serta penyuluhan. (b).. Aspek kepribadian dan perilaku adalah pustakawan Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya. Bermoral pancasila, memiliki tanggungjawab sosial dan kesetiawakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, ramah, simpatik. Terbuka terhadap kritikan dan saran, siaga dan tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berdisiplin tinggi, menjunjung etika profesi pustakawan Indonesia.

Page 21: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

18

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Penutup Upaya untuk membangun integritas

pustakawan demi peningkatan citra perpustakaan dapat dilakukan dengan melalui: (a) implementasi kode etik pustakawan

secara bersungguh-sungguh dan konsekwen agar terinternalisasi dengan baik pada tiap individu pustakawa

(b) kode etik pustakawan harus dijadikan guide line pedoman untuk bersikap dan bertingkah laku baik dilingkungan internal perpustakaan maupun eksternal perpustakaan, dikarenakan kode etik pustakawan menggambarkan perwujudan nilai-nilai professional suatu profesi, yang diejawantahkan kedalam standar perilaku pustakawan dalam memberikan pelayanan prima pada pemustaka

(c) memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggar kode etik pustakawan, agar dalam bertindak tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak etis.

Daftar Pustaka American Psychological Association. (2003).

Guidelines on multicultural education, training, research, practice, and organizational change for Psychologists. American Psychologist. Vol 58(5), May 2003

Arifin, Anwar.(2006). Ilmu Komunikasi : Sebuah pengantar ringkas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Bakhtiyar.(2014). Peran Pustakawan Semakin Bervariatif : Tinjauan Sosiologi Tenatang Perkembangan Peran Pustakawan Sebagai Implikasi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jurnal Ilmiah Sosial, Plitik dan Sains Informasi MADANI. Volume XIV, Nomor 2, Agustus 2014. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Bakhtiyar.(2016). Pelaksanaan Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur : Studi Implementasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Pelayanan Prima Perpustakaan di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Sosial, Plitik dan Sains Informasi MADANI. Volume XVII, Nomor 1, Januari 2016. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Bakhtiyar.(2017). Peran Pemimpin

Menciptakan Sinergitas Kerja Dalam Pelayanan Publik Bidang Informasi : Pemanfaatan Strategi Komunikasi Guna Mewujudkan Pelayanan Prima Perpustakaan Dalam Perspektif Sosio Politik. TIBANNDARU Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Volume 1, Nomor 1, April 2017. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Bartens, K.(2004). Etika. Jakarta: Gramedia Basuki, Sulistyo. Kode etik. 7 November

2001. http://tarto.mtiltiply.com Akses tanggal 20 November 2009.

Bopp, Richard E. and Linda C Smith. Reference and Information Service : an Introduction. 3rd Editions. Englewood Libraries Unlimited 2001

Dahlan, M. Alwi. (1992). Peranan dan Peluang Public Relation Dalam Meningkatkan Citra dan Pelayanan Perbankan, dalam buku Dahlan M. Sutaalaksanana, Candra Ismail (ed). Strategi Membangun Citra Perbankan dan Antisipasi Krisis. Jakarta: International Finance and Banking Institute/Institut Keuangan dan Perbankan Indonesia (IPBI/IKPI)

Hatch, Mary Jo.(1997). Organization Theory : Modern, Symbolic, and Postnodern Perspective. New York: Oxford University Press.

Hermawan, Rachman & Zen, Zulfikar. 2006. Etika Kepustakawanan. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Hoeroestijati, (2010). Peran Pustakawan Dalam Pembentukan Citra Perpustakaan. http://pemasaran.wikispace.com/file/view/makalah+manajemen+pemasaran.Pdf

Indonesia. Surat Keputusan Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor 18 Tahun 1968 tentang Rumpun Jabatan Fungsional.

Indonesia. Surat Keputusan Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor 33 Tahun 1998 tentang Rumpun Jabatan Fungsional.

Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional.

Page 22: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

19

Bakhtiyar, Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan

Indonesia.(2007). “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan

Laksmi. (2007). Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan:Inspirasi Dari Sebuah Karya Umberto Eko. Jakarta: Sang Seto.

Lasa Hs. (2009). Kamus Kepustakawan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Book Niaga, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang : 2009

Muslimin.(2004). Hubungan Masyarakat dan Konsep kepribadian. Malang UMM Press

Nurazizah. (2008). Usaha Pustakawan dalam Meningkatkan Kualitas Layanan Pengguna di Perpustakaan FIB UI.

Pdf. Diunduh dari ….. pada tanggal 8 Mei 2013, pkl. 13.00 WIB.

Oteng, Sutisna.(1986). Administrasi Pendidikan. Bandung: PT Angkasa

Qalyubi, Syihabuddin. (2003). Dasar-dasar Ilmu. Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan IPI. Fak. Adab UIN SUKA.

Suwaro, Wiji. (2010). Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group.

Suherman.(2012). “pustakawan Asean Dalam Pusaran Arus Informasi Global” Jurnal Media Pustakawan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 19 (1) 2012: 13-16.

Page 23: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

20

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Kota Surabaya Menggunakan Permainan Kalender

Endah Sri Kustiningsih

email: [email protected] SMP Negeri 3 Surabaya

Abstrak

Berbicara sebagai keterampilan berbahasamenjadi alat ukur untuk mengetahui kemampuan Bahasa Inggris siswa. Kemampuan bahasa Inggris yang baik merupakan bekal siswa untuk tahapan atau jenjang berikutnya.Permasalahan penelitiandirumuskandalam peningkatan kemampuan berbicara bahasa Inggris melalui permainan kalender pada siswa kelas 7 B SMP Negeri 3 Kota Surabaya tahun pelajaran 2018/2019. Langkah dalam penelitian ini berupa observasi, tes kemampuan, dan kuesioner. Semua data dianalisa dan dibandingkan dengan kriteria minimum siswa. Penelitian ini menggunakan 2 siklus untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui permainan dengan tahapan: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Hasil penelitian diharapkan media permainan kalender bisa menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa dalam menggunakan bahasa Inggris. Hasil pengamatan aktivitas guru dalam mengajar pada siklus I pertemuan I mencapai 84.6%, pertemuan II mencapai 85.4%, siklus II pertemuan I mencapai 86.6%, dan pertemuan II mencapai 87.5%. hasil pengamatan aktivitas siswa dalam proses belajar pada siklus I pertemuan I mencapai 73.6%, pertemuan II mencapai 76.6%, siklus II pertemuan I mencapai 81.2%, dan pertemuan II mencapai 82.9%. Hasil kemampuan berbicara Bahasa Inggris siswa kelas VII B SMPN 3 Surabaya meningkat dengan diterapkannya media game (kalender).Peningkatan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa dibuktikan dengan peningkatan persentase ketuntasan yang dicapai siswa. Persentase kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa pada siklus I pertemuan I mencapai 65% untuk rata ratanya dan 16% untuk ketuntasan klasikal, pertemuan II mencapai 71% untuk rata rata dan 22% untuk ketuntasan klasikal. Pada siklus II pertemuan I rata rata nya mencapai 82.5% dan ketuntasan klasikaal mencapai 66%, dan pertemuan II mencapai 85.5% untuk rata rata dan 87.5 untuk ketuntasan klasikal.

Kata Kunci: Peningkatan, Kemampuan Berbicara, Permainan Kalender. Pendahuluan

Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran umum yang sudah dikurikulumkan pada tingkatan SD, SMP, SMA sebagai mata pelajaran bertaraf Internasional. Dalam pelaksanaanya siswa diajarkan untuk memahami arti kata, membaca, dan mendengar. Akan tetapi pada proses pembelajaran siswa masih mengalamikesulitan dalam menguasai Bahasa Inggris dikarenakan keanekaragaman dalam tenses, grammar, vocabulary dan jenis kata. Maniruzzaman (2010) mengungkapkan bahwa, siswa mengalami kesulitan dalam

pembelajaran kosa kata kalimat dan pengucapannya. Oleh karena itu kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris pun masih perlu ditingkatkan, dengan cara memberikan target kepada siswa untuk mampu menguasai empat komponen yaitu, listening, speaking,reading, dan writing.

Di antara kempat kemampuan di atas, berbicara merupakan persoalan tersendiri yang harus dikuasai oleh siswa, yang menjadi perpaduan kemampuan antara otak, olah kata atau kalimat dan kemampuan mendengarkan.

Page 24: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

21

Endah, Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B

Persoalan yang sering ditemuisiswa memiliki kemampuan dalam bahasa Inggris tetapi tidak bisa mengucapkan dengan benar. Dengan kata lain, kemampuan siswa bertata bahasa masih pada tahapankompetensi (competence) belum sampai pada tahap performansi (performance).Halini dapat dilihat dari nilai mereka yang masih di bawah KKM dari hasil pre test. KKM bahasa Inggris di SMP Negeri 3 Surabaya adalah 80, baik pada pencapaian pengetahuan maupun keterampilan. Kendala yang paling sering muncul adalah rendahnya kemampuan mereka dalam hal keterampilan berbicara. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh L Woodrow dalam jurnal RELC tahun 2006, tentang“second language anxiety has a debilitating effect on the oral performance of speakers of English as a second language”. Kajian Pustaka

Penyebab rendahnya nilai siswa dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, kurangnya kemampuan berbahasa Inggris di tingkat sekolah dasar, sehingga di tingkat SMP menjadi sulit bagi siswa untuk mampu berbicara bahasa Inggris dengan baik. Kedua, kurangnya praktik yang dilakukan baik di sekolah ataupun di rumah yang menyebabkan pengucapan yang kurang tepat. Ketiga, penggunaan metode yang kurang tepat dalam proses pembelajaran Bahasa Inggris. Keempat, adanya anggapan bahwa berbicara dalam bahasa Inggris merupakan sesuatu yang „baru‟ karena tidak ditemui dalam lingkungannya. Diantara beberapa faktor tersebut, penggunaan metode yang kurang tepat menjadi poin utama, oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Inggris adalah dengan menggunakan metode permainan kalender.

Permainan merupakan salah satu cara pembelajaran yang cukup menarik bagi siswa karena dalam prosesnya siswa tidak dituntut untuk menerima pelajaran dalam kondisi penuh tekanan, melainkan siswa seolah-olah bermain sambil belajar.Media permainan kalender dilakukan dengan cara menuliskan nama, hari, tanggal, bulan dan tahun. Setelah itu siswa bergiliran membacakan tulisannya dalam bahasa Inggris, selanjutnya siswa diminta untuk menceritakan kegiatannya sehari-hari. Metode ini sudah diterapkan pada sekolah SMP Negeri 3 Surabaya dan

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terjadi peningkatan terhadap kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan ini menitikberatkan pada Bagaimana proses pembelajaran menggunakan permainan kalender pada siswa kelas VII B SMPN 3 Surabaya Tahun Pelajaran 2018/2019 dan bagaimana hasil peningkatan berbicara Bahasa Inggris pada siswa tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) mendeskripsikan proses pembelajaran menggunakan permainan kalender pada siswa kelas VII B SMPN 3 Surabaya Tahun Pelajaran 2018/2019; 2)mendeskripsikan hasil peningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris pada siswa kelas VII B SMPN 3 Surabaya Tahun Pelajaran 2018/2019. Adapun penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru yaitu, sebagai bahan informasi tentang metodepembelajaran yang sesuai untuk mengajarkan materi berbicara (speaking). Bagi siswa adalah meningkatkan prestasi dan nilai siswa dalam mempelajari materi berbicara (speaking ); meningkatkan motivasi belajar siswa pada materi speaking.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas, oleh karena itu perlu dipahami terkait penggunaan istilah di antaranya adalah pembelajaran berbicara Bahasa Inggris di SMP berfokus pada peningkatan kompetensi siswa untuk mampu menggunakan bahasa tersebut dalam mencapai tujuan komunikasi di berbagai konteks, baik lisan maupun tulis adapun kondisi di lapangan ada 4 macam skill yang harus mereka kuasai, yaitu: (a) speaking (berbicara), (b) reading (membaca), (c) writing (menulis) dan (d) listening (mendengar).Berbicara adalah suatu aktivitas yang memadukan semua unsur kemampuan yang dimiliki siswa baik dalam penguasaan kosa kata, susunan kata atau kalimat dan kemampuan memadukan ide yang ada dalam pikirannya dengan kemauan atau kemampuan dalam mengungkapkannya (H. G. Tarigan, 2006: 18), sementara menurut Tri Susilowati (1991:03), berbicara adalah kegiatan berkomunikasi yang secara umum dilakukan dalam bentuk interaksi tatap muka sebagai bagian dari dialog atau bentuk pertukaran informasi.

Media Pembelajaran adalah alat atau sarana yang digunakan untuk memudahkan siswa dalam menerima pengajaran yang

Page 25: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

22

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

diberikan oleh guru. Secara khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual dan verbal.Media Pembelajaran Games (Kalender) merupakan permainan yang dapat diterapkan dalam pengajaran bahasa Inggris. Hal ini didukung oleh pendapat WrightBetteridge dan Buckby yang menyatakan bahwa permainan dapat diterapkan dalam mepelajari bahasa di semua keahlian tingkatan pembelajaran. Keahlian yang diimaksud adalah berbicara, mendengarkan, menulis dan membaca.Bentuk gamesatau permainan yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajarseperti: hangman, puzzle, simon says, word match, observe and remember, blindfold game, snake and ladder, kalender dan masih banyak lagi. Sudjana dalam Dhian, (2009:2) menyatakan bahwa penilaian proses belajar adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Maka dari itu, untuk menilai proses pembelajaran diperlukan instrument atau kriteria sebagai dasar untuk mengetahui hasil yang ditemukan, kemudian data yang diperoleh selanjutnya akan dibahas untuk ditarik kesimpulan. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat reflektif, partisipatif, kolaboratif, dan spiral, serta bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, dan kompetensi atau situasi embelajaran.Dalam penelitian ini, siklus digunakan untuk mengetahui tingkat perubahan kemampuan siswa sebelum dan setelah menggunakan teknik permainan kalender dalam upaya meningkatkan kemampuan berbicara pada kelas VII B SMPN 3 Kota Surabaya. Menurut Arikunto(2012:16) ada empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan evaluasi, dan (4) analisa dan refleksi.

Penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Kota Surabaya dengan subjek siswa kelas VII B Tahun Pelajaran 2018/2019 dikarenakan di kelas ini siswa memiliki kemampuan berbicara yang lebih rendah dibanding kelas lain. Siswa kelas VII B berjumlah 42 siswa yang terdiri dari19 siswa laki-laki dan 23

siswa perempuan. Penelitian ini menggunakan tiga macam instrumen yaitu: 1. Kuesioner , digunakan untuk

mengumpulkan informasi tentang respon siswa kepada kemampuan berbicara. Kuesioner ini terdiri atas 10 pertanyaan untuk mengetahui pandangan siswa terhadap belajar Bahasa Inggris khususnya peningkatan penguasaan bahasa Inggris. Kuesioner diberikan untuk memberi penguatan kepada kemampuan siswa yang rendah dalam berbicara bahasa Inggris.

2. Tes, dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu pada pada awal sebelum menerapkan siklus. Hal ini untuk mengatur kemampuan dasar siswa dalam berbicara bahasa Inggris.Tes kedua dilaksanakan setelah siklus awal, hal ini dimaksudkanmengetahui perkembangan siswa setelah mendapatkan metode permainan kalender untuk mengetahui peningkatan kemampuan berbicara mereka.

3. Catatan lapangan, adalah catatan tambahan saat penerapan metode permainan, sekaligus mendapatkan data–data yang ada di lapangan.

Sesuai dengan instrumen di atas, maka teknik pengumpulan datanya adalah teknik tes dan non tes. Teknik tes dipergunakan untuk memperoleh nilai tes akhir siswa, sedangkan teknik non tes dipergunakan untuk memperoleh data tentang penerapan metode pembelajaran permainan kalender Analisis data dilakukan dengan cara observasi terhadap aktivitas guru dan siswa. Hasil observasi guru dapat dihitung dari jumlah perkiraan berikut.

Berdasarkan penentuan persentase di

atas, maka guru dapat dikatakan berhasil menerapkan metode permainan kalender pada siswa, keberhasilan itu dapat dicapai setelah melihat kriteria ketuntasan belajar-mengajar dengan poin 85%< PNR ≤ 100%.

Persentase Nilai Rata-rata (PNR) = jml score/12 X 100% Kriteria taraf keberhasilan tindakan ditentukan sbb: 85%< PNR ≤ 100% = Sangat Baik 70% < PNR ≤ 84% = Baik 55% < PNR≤ 69% = Cukup 40% < PNR ≤ 54% = Kurang 0% < PNR ≤ 39% = Sangat Kurang

Page 26: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

23

Endah, Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B

Hasil Dan Pembahasan Siklus 1 Pertemuan 1

Pertemuan 1 dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dalam perencanaan yang dibagi menjadi 3 kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Semua kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dalam siklus 1 ini adalah wujud dari perencanaan tindakan pembelajaran yang telah disusun sebelumnya yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan peningkatkan hasil belajar berbicara peserta didik Pertemuan 1 dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 28 September 2018 jam ke 1 – 2 yakni jam 06.30 – 07.50 WIB.

Data hasil pengamatan guru yang dilakukan oleh kolaborator 1 dan 2 pada siklus 1 pertemuan 1 kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru sudah baik. Dalam kegiatan awal guru sudah melaksanakan kegiatan dengan baik. Pada kegiatan guru memberi salam dan meminta peserta didik berdoa, guru meminta peserta didik mengurutkan huru meminta huruf huruf acak, guru meminta peserta didik memilih kelompok dan pada kegiatan guru meminta peserta didik melingkari media, kedua kolaborator memberikan penuh 4. Sedangkan untuk kegiatan yang lain mendapatkan nilai 3. Karena ada kelompok yang belum mengerti apa yang harus dilakukan dan guru harus menjelaskan ulang langkah-langkah pembelajaran dengan permainan kalender membuat guru tidak menyampaikan manfaat pembelajaran. Pada nilai akhir kolaborator 1 memberi skor 43 dengan persentase 82.7% dan kolaborator 2 memberi skor 45 dengan prosentase 86.5%. sehingga rata ratanya adalah 84.6%. Ada beberapa kegiatan yang belum mencapai hasil maksimal sehingga menjadikan peneliti untuk meningkatkan kemampuannya pada penelitian berikutnya.

Selanjutnya hasil pengamatan siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris pada siklus I pertemuan I. Pengamatan siswa dengan menggunakan media permainan kalender yang diberikan guru, tidak semua peserta didik menjawab salam dan ikut berdoa di awal pembelajaran yang artinya masih adanya peserta didik yang belum melakukan hal itu. Mereka masih belum fokus ke kegiatan ini. Pada kegiatan ini peserta didik

masih mendapatkan skor 98 dari total 128. Berarti masih sekitar 76.6%. Peserta didik menjawab benda yang ada di kelas memperoleh nilai 95.5 yang berarti sekitar 74.6%. Peserta didik memperhatikan tujuan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dengan nilai 98, berarti sekitar 76.6%. Peserta didik berperan aktif mengurutkan kata kata acak nilainya 99 dengan prosentase77.3%. Peserta didik membaca hasilnya dengan ucapan dan intonasi yang benar dengan nilai 88.5 atau sekitar 69.4%.

Pada kegiatan inti, peserta didik tanggap dalam memilih kelompok dan aktif mendapat nilai 97 dengan prosentase 75.8%, sedangkan untuk kegiatan peserta didik dengan sigap duduk melingkari media nilainya 94, atau sekitar 73.4%. Peserta didik menganalisa dan berdiskusi dengan kelompoknya untuk membahas tentang kegiatan sehari hari yang dilakukan di dalam kelas mendapat skor 94 berkisar 73,4%. Peserta didik mengungkapkan hasil diskusinya dengan nilai 89.5 dan prosentasenya 70.2%. Peserta didik menyampaikan hasil observasi mendapat nilai 91 dengan prosentase 71.1%. Peserta didik berani untuk menanyakan materi yang sedang di bahas menjadi nilai terendah peserta didik yaitu 86.5 dengan prosentase 67.8%.

Pada kegiatan penutup ada 2 kegiatan yaitu : Peserta didik merespon pertanyaan guru dengan nilai 96.5 dengan prosentase 75.4% dan eserta didik mengerjakan tugas dari guru dengan nilai 98 dan prosentasenya 76.6%.

Dari uraian diatas, secara keseluruhan rata rata untuk kedua kolaborator adalah 73.6% sehingga perlu adanya peningkatan pada pertemuan 2. Kriteria hasil keterampilan berbicara ini adalah pronounciation (ucapan), intonation (intonasi) dan fluency (kelancaran).

Dari data hasil pada data diatas, dari aspek pronounciation terdapat 1 peserta didik yang mendapat nilai 1, dengan prosentase 9%, 11 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 34%,16 peserta didik mendapat skor 3 dengan prosentase 50% dan 2 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 6%. Dalam aspek intonation, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 14 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 44%, peserta didik mendapat skor 3 dengan prosentase 41% (13 peserta didik) dan 5 peserta didik mendapat angka sempurna 4,

Page 27: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

24

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

sekitar 16%. Dalam aspek kelancaran, 1 peserta didik yang mendapat nilai 1, sekitar 3%, 15 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 47%, peserta didik mendapat skor 3 dengan prosentase 47% (15 peserta didik) dan 1 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 3%. Pertemuan 2

Pada tahap perencanaan peneliti menyiapkan RPP sesuai dengan langkah- langkah media permainan kalender, menyiapkan materi, sumber belajar, media dan instrumen. Instrumen yang disiapkan meliputi instrumen penilaian proses dan penilaian hasil. Instrumen penilaian proses terdiri dari lembar observasi aktivitas guru menggunakan media kalender dan lembar observasi aktivitas siswa.Instrumen penilaian hasil yaitu lembar penilaian sikap, lembar penilaian keterampilan, dan lembar penilaian pengetahuan melalui tes akhir berupa tes tulis. Instrumen penunjang yaitu catatan lapangan. Pertemuan 2 siklus I dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 3 Oktober jam ke 1-2 yakni pukul 06.30 - 07.50 WIB. Kegiatan pada siklus I pertemuan 2 sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun. Pengamatan dilakukan terhadap aktifitas guru, dan peserta didik. Dari data hasil pengamatan guru yang dilakukan oleh kolaborator 1 dan 2 pada siklus 1 pertemuan 2 kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru sudah ada peningkatan.

Dalam kegiatan awal guru sudah melaksanakan kegiatan dengan baik. Pada kegiatan guru memberi salam dan meminta peserta didik berdoa, meminta peserta didik memilih kelompok, pada kegiatan guru meminta peserta didik melingkari media dan guru memberikan tugas, kedua kolaborator memberikan penuh 4. Sedangkan untuk kegiatan yang lain mendapatkan nilai 3. Karena ada kelompok yang belum mengerti apa yang harus dilakukan dan guru harus menjelaskan ulang langkah-langkah pembelajaran dengan permainan kalender. Pada nilai akhir kolaborator 1 memberi skor 40 dari total 48 dengan persentase 83.3% dan kolaborator 2 memberi skor 42 dengan prosentase 87.5%. sehingga rata ratanya adalah 85.4%. Ada beberapa kegiatan yang belum mencapai hasil maksimal sehingga menjadikan peneliti untuk meningkatkan kemampuannya pada penelitian berikutnya.

Berdasarkan data tabel hasil

pengamatan peserta didik dengan menggunakan media game (kalender)yang diberikan guru, tidak semua peserta didik menjawab salam dan ikut berdoa di awal pembelajaran, tetapi ada peningkatan dibanding pertemuan 1. Mereka masih belum fokus ke kegiatan ini. Pada kegiatan ini peserta didik masih mendapatkan skor 98 dari total 128. Berarti masih sekitar 78.3%. Peserta didik menjawab benda yang ada di kelas memperoleh nilai 98 yang berarti sekitar 76%. Peserta didik memperhatikan tujuan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dengan nilai 100, berarti sekitar 77.5%. Peserta didik membaca hasilnya dengan ucapan dan intonasi yang benar dengan nilai 96.5 atau sekitar 74.8%.

Dari data hasil, dari aspek pronounciation tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 9 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 28%,15 peserta didik mendapat skor 3 dengan prosentase 63% dan 3 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 9%. Dalam aspek intonation, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 8 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 25%, peserta didik yang mendapat skor 3 dengan prosentase59% (19 peserta didik) dan 5 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 16%.

Dalam aspek kelancaran, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 9 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 28%, peserta didik yangmendapat skor 3 dengan prosentase 56% (18 peserta didik) dan 5 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 16%. Siklus 2 Pertemuan 1

Dari data hasil pengamatan guru yang dilakukan oleh kolaborator 1 dan 2 pada siklus 2 pertemuan 1 kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru sudah ada peningkatan. Dalam kegiatan awal guru sudah melaksanakan kegiatan dengan baik. Pada kegiatan guru memberi salam dan meminta peserta didik berdoa, meminta peserta didik memilih kelompok, pada kegiatan guru meminta peserta didik melingkari media dan guru memberikan tugas, kedua kolaborator memberikan penuh 4. Sedangkan untuk kegiatan yang lain mendapatkan nilai 3. Karena ada kelompok yang belum mengerti apa yang harus dilakukan dan guru harus menjelaskan ulang langkah-langkah

Page 28: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

25

Endah, Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B

pembelajaran dengan permainan kalender. Pada nilai akhir kolaborator 1 memberi skor 41 dari total 48 dengan persentase 85.4% dan kolaborator 2 memberi skor 42 dengan prosentase 87.5%. sehingga rata ratanya adalah 86.5%. Ada beberapa kegiatan yang belum mencapai hasil maksimal sehingga menjadikan peneliti untuk meningkatkan kemampuannya pada penelitian berikutnya.

Berdasarkan data hasil pengamatan peserta didik dengan menggunakan media game (kalender)yang diberikan guru, tidak semua peserta didik menjawab salam dan ikut berdoa di awal pembelajaran, tetapi ada peningkatan yang bagus dibanding siklus 1. Mereka masih belum fokus ke kegiatan ini. Pada kegiatan ini peserta didik masih mendapatkan skor 109 dari total 128, berarti sekitar 85.2%. Peserta didik menjawab benda yang ada di rumah memperoleh nilai 103.5 yang berarti sekitar 80.1%. Peserta didik memperhatikan tujuan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dengan nilai 103.5, berarti sekitar 80.1%. Peserta didik membaca hasilnya dengan ucapan dan intonasi yang benar dengan nilai 108 atau sekitar 84.4%.

Pada kegiatan inti, peserta didik tanggap dalam memilih kelompok dan aktif mendapat nilai 111.5 dengan prosentase 87.1%, sedangkan untuk kegiatan peserta didik dengan sigap duduk melingkari media nilainya 102.5, atau sekitar 80.1%. Peserta didik menganalisa dan berdiskusi dengan kelompoknya untuk membahas tentang kegiatan sehari hari yang dilakukan di dalam kelas mendapat skor 108.5 berkisar 84.8%. Peserta didik mengungkapkan hasil diskusinya dengan nilai 98.5 dan prosentasenya 76.9%. Peserta didik menyampaikan hasil observasi mendapat nilai 98 dengan prosentase 76.6% yang menjadi nilai terendah dari semua kegiatan peserta didik. Peserta didik berani untuk menanyakan materi yang sedang di bahas yaitu 96 dengan prosentase 75%.

Pada kegiatan penutup ada 2 kegiatan yaitu : Peserta didik merespon pertanyaan guru dengan nilai 103.5 dengan prosentase 80.0%dan peserta didik mengerjakan tugas dari guru dengan nilai 104 dan prosentasenya 81.3%.

Dari uraian diatas, secara keseluruhan rata rata untuk kedua kolaborator adalah 81.2%. Dibanding dengan siklus 1 pertemuan 2 ada peningkatan sekitar.

Kriteria hasil keterampilan berbicara ini adalah pronounciation (ucapan), intonation (intonasi) dan fluency (kelancaran).

Dari data hasil pada data diatas, dari aspek pronounciation tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 3 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 9%,24 peserta didik mendapat skor 3 dengan prosentase 75% dan 3 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 16%.

Dalam aspek intonation, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 2 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 6%, peserta didik yang mendapat skor 3 dengan prosentase 75% (24 peserta didik) dan 6 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 19%.

Dalam aspek kelancaran, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 5 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 16%, peserta didik yangmendapat skor 3 dengan prosentase 16% (5 peserta didik) dan 23 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 72%. Dengan total nilai rata rata 82.3 dan terdapat 21 anak yang melampaui KKM. dan masih harua ditingkatkan untuk mencapai ketuntasan belajar. Pertemuan 2

Dari data hasil pengamatan guru yang dilakukan oleh kolaborator 1 dan 2 pada siklus 2 pertemuan 2 kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru ada peningkatan yang lebih baik lagi.

Dalam kegiatan awal guru sudah melaksanakan kegiatan dengan baik. Pada kegiatan guru memberi salam dan meminta peserta didik berdoa, meminta peserta didik memilih kelompok, pada kegiatan guru meminta peserta didik melingkari media dan guru memberikan tugas, kedua kolaborator memberikan penuh 4. Sedangkan untuk kegiatan yang lain mendapatkan nilai 3 karena belum maksimalnya kegiatan tersebut. Pada nilai akhir kolaborator 1 memberi skor 42 dari total 48 dengan persentase 87.5% dan kolaborator 2 memberi skor 42 dengan prosentase 87.5%. sehingga rata ratanya adalah 87.5%.

Berdasarkan data hasil pengamatan peserta didik dengan menggunakan media game (kalender)yang diberikan guru, tidak semua peserta didik menjawab salam dan ikut berdoa di awal pembelajaran, tetapi ada peningkatan yang bagus dibanding pertemuan sebelumnya. Pada kegiatan ini peserta didik

Page 29: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

26

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

masih mendapatkan skor 10.5 dari total 128, berarti sekitar 86.3%. Peserta didik menjawab benda yang ada di tempat umum memperoleh nilai 105.5 yang berarti sekitar 82.4%. Peserta didik memperhatikan tujuan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dengan nilai 106.5, berarti sekitar 83.2%. Peserta didik membaca hasilnya dengan ucapan dan intonasi yang benar dengan nilai 108 atau sekitar 84.4%.

Pada kegiatan inti, peserta didik tanggap dalam memilih kelompok dan aktif mendapat nilai 115.5 dengan prosentase 90.2%, sedangkan untuk kegiatan peserta didik dengan sigap duduk melingkari media nilainya 107.5, atau sekitar 83.9%. Peserta didik menganalisa dan berdiskusi dengan kelompoknya untuk membahas tentang kegiatan sehari hari yang dilakukan di dalam tempat umum mendapat skor 110.5 berkisar 86.3%. Peserta didik mengungkapkan hasil diskusinya dengan nilai 100 dan prosentasenya 78,5%. Peserta didik menyampaikan hasil observasi mendapat nilai 102 dengan prosentase 79.6% yang menjadi nilai terendah dari semua kegiatan peserta didik. Peserta didik berani untuk menanyakan materi yang sedang di bahas yaitu 98 dengan prosentase 76.6%.

Pada kegiatan penutup ada 2 kegiatan yaitu : Peserta didik merespon pertanyaan guru dengan nilai 106 dengan prosentase 80.0%dan peserta didik mengerjakan tugas dari guru dengan nilai 104 dan prosentasenya 82.8%. Dari uraian diatas, secara keseluruhan rata rata untuk kedua kolaborator adalah 82.9%. Dibanding dengan siklus 2 pertemuan 1 ada peningkatan sekitar 2%. Hasil belajar Bahasa Inggris

Kriteria hasil keterampilan berbicara ini adalah pronounciation (ucapan), intonation (intonasi) dan fluency (kelancaran). Dari data hasi, dari aspek pronounciation tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1, 1 peserta didik mendapat nilai 2 dengan prosentase 3%, 25 peserta didik mendapat skor 3 dengan prosentase 78% dan 6 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 19%. Dalam aspek intonation, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1 dan 2 , 26 peserta didik yang mendapat skor 3 dengan prosentase 81 % dan 6 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 19%. Dalam aspek kelancaran, tidak ada peserta didik yang mendapat nilai 1 dan 2, 4 peserta didik yangmendapat skor 3

dengan prosentase 12 % dan 28 peserta didik mendapat angka sempurna 4, sekitar 88%. Dengan total nilai rata rata 85.2 dan terdapat 28 anak yang telah melampaui KKM. Berarti pada pertemuan 2 siklus 2 sudah mengalami ketuntasan belajar.

Pada siklus I guru menerapkan media permainan kalender dalam pembelajaran bahasa Inggris yang telah disusun dalam RPP. Melalui kegiatan pengamatan yang dilakukan observer dan ditunjang dengan catatan lapangan, didapatkan hasil yaitu (1) Guru sudah melaksanakan kegiatan awal. (2) Guru sudah melaksanakan langkah pembelajaran dengan baik meskipun ada beberapa indikator yang memiliki kelemahan. (2) Sebagian besar siswa belum aktif dalam kegiatan diskusi kelompok (3) Sebagian besarsiswa masih belum percaya diri mengungkapkan hasil diskusi (5) Siswa cukup baik dalam hal bertanya pada guru. (6) Saat guru memberikan soal tes akhir, siswa dapat menyelesaikan dan mengumpulkan lembar jawaban dengan tertib. Persentase aktivitas guru pada siklus I pertemuan 1 sebesar 84.6% dengan kriteria baik (B) pertemuan 2 sebesar 85.4% dengan kriteria sangat baik (A), dengan persentase aktivitas siswa sebesar 73.6 % dengan criteria cukup. Pertemuan 2 sebesar 76.6% deangan kriteria cukup. Dalam siklus I secara klasikal siswa belum seluruhnya mengungkapkan hasil diskusi sesuai pikirannya dan berani bertanya pada guru jika mengalami kesulitan. Karena itu guru masih berperan aktif untuk membimbing siswa agar lebih percaya diri dan aktif dalam kegiatan kelompok.

Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian baik siklus I dan siklus II diketahui bahwa penerapan media permainan kalender di kelas VII B SMPN 3 Surabaya telah sesuai dengan langkah-langkah media game. Hasil penilaian proses belajar mencakup siklus I dan siklus II mengenai aktivitas guru dan siswa. Dari penilaian inilah dapat diketahui perubahan proses belajar dan peningkatan, setelah diterapkan media permainan kalender Berikut ini pembahasan dari paparan data yang mencakup aktivitas pembelajaran dalam siklus I dan siklus II.

Berkaitan dengan teknik penilaian proses pada siklus I di atas, pengamatan dan catatan lapangan memiliki nilai lebih dibandingkan teknik pengumpul data proses yang lain. Melalui pengamatan didapatkan keaslian data primer yang diperoleh dari

Page 30: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

27

Endah, Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B

pelaku yang diamati. Pada siklus I hasil pengamatan yang didukung dari catatan lapangan menunjukkan adanya peningkatan. Pada siklus II guru menerapkan media permainan kalender dalam pembelajaran bahasa Inggris yang telah disusun dalam RPP dengan sangat baik. Melalui pengamatan dan catatan lapangan didapatkan hasil yaitu 1. Guru melaksanakan langkah pembelajaran

dengan sangat baik sesuai dengan sintak media permainan kalender.

2. Siswa mulai percaya diri menuliskan jawaban mereka pada saat mengerjakan tugas.

3. Siswa mulai berani merespon jawaban kelompok lain dalam presentasi dan bertanya.

Pada siklus II persentase aktivitas guru pertemuan 1 sebesar 86.5 % dengan kriteria sangat baik, pertemuan 2 sebesar 87.5%, persentase aktivitas siswa pertemuan 1 sebesar 81.2 % dengan kriteria baik, dan pertemuan 2 sebesar 82.9% dengan criteria aktivitas baik.. Berkaitan dengan persentase ini, diketahui proses pembelajaran dengan media permainan kalender tersebut telah memenuhi kriteria yang dapat digunakan dalam penilaian proses secara keseluruhan dalam siklus I dan II. Jadi, pada siklus II menunjukkan adanya peningkatan aktivitas guru dan aktivitas siswa dibandingkan dari tahap siklus I. Hal ini juga disebabkan karena adanya perubahan gaya mengajar yang dilakukan guru. Dalam media permainan kalender terdapat kegiatan berdiskusi, mengomunikasikan, mendengarkan, dan juga tanya jawab antar-anggota ataupun lintas anggota dari kelompok lain.

Berdasarkan hasil penelitian peningkatan hasil belajar bahasa Inggris melalui media permainan kalender di kelas VII B SMPN 3 Surabaya, terjadi peningkatan keterampilan berbicara dari tahap siklus I, dan siklus II. Oleh sebab itu, penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan sebab hasil merupakan akibat dari suatu proses. Berikut dibahas lebih lanjut mengenai hasil belajar siklus I dan siklus II. Pada keterampilan berbicara ada 3 aspek penilaian. Berdasarkan hasil penilaian pada pertemuan 1 , pronounciation 3 siswa sangat buruk dalam upronounciation, 11 siswa masih belum tepat, 16 siswa dengan sedikit kesalahan dan 2 siswa dengan ucapan yang tepat. Dalam aspek intonation, 14 siswa masih belum sempurna,

13 siswa dengan intonasi yang bagus dan hanya 5 siswa dengan intonasi sangat bagus. Pada aspek fluency, 1 siswa yang teramat kesulitan dalam berbicara bahasa Inggris, 15 siswa yang kesulitan, 15 siswa yang lancer berbicara dan 1 yang sangat lancar. Rata rata keterampilan siswa adalah 65% dan ketuntasan klasikal adalah 16%.

Pada pertemuan 2 hasil keterampilan siswa pada aspek pronounciation adalah 9 siswa masih belum tepat, 20 siswa dengan sedikit kesalahan dan 3 siswa dengan ucapan yang tepat. Dalam aspek intonation, 8 siswa masih belum sempurna, 19 siswa dengan intonasi yang bagus dan hanya 5 siswa dengan intonasi sangat bagus. Pada aspek fluency, 9 siswa yang kesulitan, 18 siswa yang lancar berbicara dan 5 yang sangat lancar. Dari data tersebut, ketuntasan klasikal mencapai 22%. Pembelajaran pada siklus I menggunakan media permainan kalender dengan penilaian pada keterampilan berbicara siswa. Pada siklus I, rata-rata hasil belajar ssiswa pada pertemuan 1 adalah 65%, dan pertemuan 2 adalah 71%. Dan ketuntasan klasikal pada pertemuan 1 sebesar 16% dan 22% pada pertemuan 2 dengan kategori sangat kurang. Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat dikatakan adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa siklus I pertemuan 1 dan 2 meskipun ketuntasan klasikal belum mencapai ketuntasan klasikal yang diharapkan yakni 85%.Karena keterampilan berbicara siswa pada tahap I masih belum mencapai ketuntasan belajar klasikal yakni 85%, maka dilaksanakan siklus II dengan rencana perbaikan berdasarkan hasil refleksi siklus I.Pembelajaran pada siklus II menggunakan media game (kalender) dengan penilaian keterampilan berbicara siswa.

Berdasarkan hasil penilaian pada siklus 1 pertemuan 1 , 3 siswa masih belum tepat, 24 siswa dengan sedikit kesalahan dan 5 siswa dengan ucapan yang sangat tepat. Dalam aspek intonation, 2 siswa masih belum sempurna, 24 siswa dengan intonasi yang bagus dan hanya 6 siswa dengan intonasi sangat bagus. Pada aspek fluency, 4 siswa yang kesulitan, 15 siswa yang lancer berbicara dan 23 yang sangat lancar. Rata rata keterampilan berbicara siswa adalah 82% dan ketuntasan klasikal adalah 66%. Pada siklus 2 pertemuan 2 hasil keterampilan berbicara siswa pada aspek pronounciation adalah 1 siswa masih belum tepat, 25 siswa dengan

Page 31: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

28

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

sedikit kesalahan dan 6 siswa dengan ucapan yang tepat. Dalam aspek intonation, 26 siswa dengan intonasi yang bagus dan hanya 6 siswa dengan intonasi sangat bagus. Pada aspek fluency, 4 siswa yang lancar berbicara dan 28 yang sangat lancar. Dari data tersebut, rata rata keterampilan berbicara siswa adalah 85.2% dan ketuntasan klasikal mencapai 87.5%.

Pembelajaran pada siklus 2 menggunakan media permainan kalender dengan penilaian pada keterampilan berbicara siswa. Pada siklus 2, rata-rata hasil belajar ssiswa pada pertemuan 1 adalah 82.5%, dan pertemuan 2 adalah 85%. Dan ketuntasan klasikal pada pertemuan 1 sebesar 66% dan 87.5% pada pertemuan 2 dengan kategori baik. Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat dikatakan bahwa ada peningkatan keterampilan berbicara siswa dari tahap siklus I ke tahap siklus II. Nilai keterampilan berbicara siswa pada siklus II sudah mencapai ketuntasan belajar klasikal yang telah ditentukan. Peningkatan keterampilan berbicara siswa yang dicapai siswa dikarenakan perubahan yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas yakni memberikan bimbingan yang lebih intensif kepada siswa yang memiliki kemampuan berbicara belum tuntas dengan memberikan tanya jawab untuk mengingatkan kembali materi yang telah dipelajari. Berdasarkan hal tersebut ketuntasan hasil belajar tidak terlepas dari adanya proses belajar yang menunjang keterlaksanaan media game (kalender) yang di laksanakan dalam siklus I dan II. Proses belajar baik dari proses belajar siswa ataupun proses mengajar guru keterampilan berbicara siswa. Keterampilan berbicara siswa pada dasarnya merupakan akibat dari suatu proses belajar. Hal ini berarti keterampilan berbicara siswa bergantung pada proses belajar siswa dan proses mengajar guru. Simpulan

Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan dalam penelitian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu penerapan media permainan kalender pada keterampilan berbicara siswa pada siswa VII B SMPN 3 Surabaya sudah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan sintak yang ada. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan persentasi aktifitas guru yang diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas guru dalam mengajar pada siklus I pertemuan

I mencapai 84.6%, pertemuan II mencapai 85.4%, siklus II pertemuan I mencapai 86.6%, dan pertemuan II mencapai 87.5%. hasil pengamatan aktivitas siswa dalam proses belajar pada siklus I pertemuan I mencapai 73.6%, pertemuan II mencapai 76.6%, siklus II pertemuan I mencapai 81.2%, dan pertemuan II mencapai 82.9%.

Hasil kemampuan berbicara Bahasa Inggris siswa kelas VII B SMPN 3 Surabaya meningkat dengan diterapkannya media game (kalender).Peningkatan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa dibuktikan dengan peningkatan persentase ketuntasan yang dicapai siswa. Persentase kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa pada siklus I pertemuan I mencapai 65% untuk rata ratanya dan 16% untuk ketuntasan klasikal, pertemuan II mencapai 71% untuk rata rata dan 22% untuk ketuntasan klasikal. Pada siklus II pertemuan I rata rata nya mencapai 82.5% dan ketuntasan klasikaal mencapai 66%, dan pertemuan II mencapai 85.5% untuk rata rata dan 87.5 untuk ketuntasan klasikal. Daftar Pustaka Arikunto dkk. 2012. Penelitian Tindakan

Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Brown, D. 2001. Language Assessment

Principle and Classroom Practices.America: Pearson Education Inc

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006.Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bahasa Inggris SMP/MTs. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Cummins, J. 1984. Bilingualism and Special Education: Issues in Assessment and Pedagogy. Clevedon, England: Multilingual Matters.

Horby, dkk.1995. The Advanced Learner’s Dictionary of Current English. London: Oxford University Press.

Hidayati. 2011. “Meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Berbicara Bahasa Inggrismelalui Game Kelas 5 di SD Pujon Malang”. Kumpulan Artikel Ilmiah.

Joshi, Suresh. 2001. Game Based Teaching Model foe Teaching Physic,India: Deakin University Press.

Maniruszzaman. 2010. Belajar Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Kedua. Bandung.

Page 32: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

29

Endah, Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B

Riyanto. 2011. “Penelitian Tindakan Kelas Pembelajaran”. Jurnal Pendidikan.

Supardi, Suhardjono.2011. Strategi Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: ANDI Offset.

Susilowati, Tri. 1991. Speaking, Listening, Learning: Working with Children in Key Stages 1 and 2.Jakarta: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur.2006 Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Wachidah, Siti, dkk. 2016. When English Rings a Bell, Jakarta. Kemendikbud.

Page 33: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

30

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat Bagi Siswa Kelas IV

Endrayana Putut L.E.

email : [email protected]

Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Bahasa dan Sains

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstrak

Matematika perlu dikembangkan dan ditingkatkan meliputi materi, proses belajar

mengajar, lingkungan serta fasilitas sekolah, sebagaimana tujuan khusus pengajaran

Masalah yang dihadapi siswa adalah kurangnya penguasaan konsep tentang bilangan

bulat sehingga hasil belajar siswa masih kurang. Guru mendominasi pembelajaran

dengan metode ceramah dan kurang kreatif sehingga yang terjadi adalah teacher

centered. Hal tersebut menjadikan peserta didik kurang termotivasi dan kurang

semangat dalam mengikuti pembelajaran. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam

pembelajaran yaitu dengan model pembelajaran yang menciptakan pembelajaran

menjadi students centered atau metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning)

. Metode pembelajaran kooperatif yang akan dikembangkan adalah kombinasi antara

pembelajaran offline dengan metode Problem Based Learning dan Teams Games

Tournament (PBLTGT) dengan pembelajaran online, yang diharapkan dapat

mengubah gaya belajar anak dalam proses pembelajaran dan siswa dapat mengenal

beberapa permasalahan kontekstual dalam kehidupan sehari – hari, agar tujuan

pembelajaran dapat tercapai pada siswa kelas IV Sekolah Dasar. Materi yang

disampaikan dalam penelitian ini adalah tentang bilangan bulat. Penelitian ini

menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah tes, observasi dan catatan lapangan. Seorang

peserta didik dikatakan tuntas belajar untuk menguasai suatu kompetensi dasar pada

kurikulum 13 dari aspek pengetahuan dan aspek keterampilan.

Kata Kunci: Blended Cooperative Learning, Teams Games Tournament, bilangan bulat

Pendahuluan

Matematika merupakan ilmu yang

mendasari perkembangan teknologi modern,

mempunyai peranan yang penting dalam

berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya

pikir manusia. Perkembangan di bidang

teknologi informasi dan komunikasi

dipengaruhi dan dilandasi oleh perkembangan

Matematika. Matematika merupakan pelajaran

yang berkaitan langsung dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, baik materi maupun kegunaannya.

Sehingga Matematika perlu dikembangkan dan

ditingkatkan meliputi materi, proses belajar

mengajar, lingkungan serta fasilitas sekolah,

sebagaimana tujuan khusus pengajaran

Matematika di sekolah dasar yaitu

menumbuhkembangkan keterampilan

berhitung yang berguna dalam kehidupan

sehari-hari.

Pengertian Matematika menurut

Sumardyono (2004:28) secara umum definisi

matematika dapat dideskripsikan sebagai

berikut, di antaranya: (1) Matematika sebagai

struktur yang terorganisir. Agak berbeda

dengan ilmu pengetahuan yang lain,

matematika merupakan suatu bangunan

struktur yang terorganisir. Sebagai sebuah

struktur, ia terdiri atas beberapa komponen,

yang meliputi aksioma, pengertian

pangkal/primitif, dan dalil/teorema (termasuk

di dalamnya lemma (teorema pengantar) dan

corolly, (2) Matematika sebagai alat (tool)

yaitu matematika juga sering dipandang

sebagai alat dalam mencari solusi berbagai

masalah dalam kehidupan sehari-hari, (3)

Matematika sebagai pola pikir deduktif yaitu

matematika merupakan pengetahuan yang

memiliki pola pikir deduktif, artinya suatu

teori atau pernyataan dalam matematika dapat

diterima kebenarannya apabila telah

Page 34: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

31

Endrayana, Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat

dibuktikan secara deduktif (umum), (4)

Matematika sebagai cara bernalar (the way of

thinking) yaitu matematika dapat pula

dipandang sebagai cara bernalar, paling tidak

karena beberapa hal, seperti matematika

memuat cara pembuktian yang sahih (valid),

rumus-rumus atau aturan yang umum, atau

sifat penalaran matematika yang sistematis, (5)

Matematika sebagai bahasa artificial artinya

simbol merupakan ciri yang paling menonjol

dalam matematika. Bahasa matematika adalah

bahasa simbol yang bersifat artifisial, yang

baru memiliki arti bila dikenakan pada suatu

konteks, (5) Matematika sebagai seni yang

kreatif yaitu penalaran yang logis dan efisien

serta perbendaharaan ide-ide dan pola-pola

yang kreatif dan menakjubkan, maka

matematika sering pula disebut sebagai seni,

khususnya merupakan seni berpikir yang

kreatif.

Berdasarkan hasil pengamatan saat

pembelajaran, masalah yang dihadapi siswa

adalah kurangnya penguasaan konsep tentang

bilangan bulat sehingga hasil belajar siswa

masih kurang. Guru juga masih mendominasi

pembelajaran dengan metode ceramah

sehingga yang terjadi adalah teacher centered.

Hal tersebut menjadikan peserta didik kurang

termotivasi dan kurang semangat dalam

mengikuti pembelajaran. Untuk itu perlu

dilakukan perubahan dalam pembelajaran

yaitu dengan model pembelajaran yang

menciptakan pembelajaran menjadi students

centered. Jadi kegiatan belajar berpusat pada

peserta didik, guru sebagai motivator dan

fasilitator didalamnya agar suasana kelas lebih

kondusif. Beragam permasalahan kontekstual

juga dikenalkan kepada peserta didik agar

mereka lebih mengenal penggunaan keilmuan

yang telah mereka pelajari. Pembelajaran juga

dapat diberikan melalui beberapa

permasalahan yang dapat diselesaikan

menggunakan konsep Matematika.

Menurut Sardiman, belajar itu

merupakan perubahan tingkah laku atau

penampilan, dengan serangkaian kegiatan

misalnya dengan membaca, mengamati,

mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.

Juga belajar itu akan lebih baik, kalau sumber

belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi

tidak bersifat verbalistik. Artz dan Newman

mendefinisikan Kooperatif sebagai kelompok

kecil atau siswa yang bekerja sama dalam satu

tim untuk mengatasi suatu masalah,

menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai

satu tujuan bersama (Miftahul Huda, 2011).

Dari latar belakang di atas, maka perlu

dilakukan inovasi baru yaitu pembelajaran

dengan metode gabungan antara Problem

Based Learning dan Teams Games

Tournament (PBLTGT) untuk mengubah gaya

belajar anak dalam proses pembelajaran agar

tujuan pembelajaran dapat tercapai,

menciptakan pembelajaran yang aktif dan

menyenangkan, menumbuhkan semangat

belajar bilangan bulat bagi siswa kelas IV

Sekolah Dasar.

Kajian Pustaka

Pembelajaran Kooperatif (Cooperative

Learning)

Pembelajaran kooperatif adalah

pendekatan pembelajaran yang berfokus pada

penggunaan kelompok kecil siswa untuk

bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi

belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Pembelajaran ini muncul karena adanya

perkembangan dalam sistem pembelajaran

yang ada. Pembelajaran kooperatif

menggantikan sistem pembelajaran yang

individual. Dimana guru terus memberikan

informasi ( guru sebagai pusat ) dan peserta

didik hanya mendengarkan. Pembelajaran

kooperatif mendapat dukungan dari Vygotsky

tokoh teori kontruktivisme. Pembelajaran

kooperatif ini membuat siswa dapat

bekerjasama dan adanya partisiasi aktif dari

siswa. Guru sebagai fasilisator dan

pembimbing yang akan mengarahkan setiap

peserta didik menuju pengetahuan yang benar

dan tepat. Dengan pembelajaran kooperatif

diharapkan saling menciptakan interaksi yang

asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat

belajar ( learning community ). Siswa tidak

hanya terpaku belajar pada guru, tetapi dengan

sesama siswa juga.

Pembelajaran kooperatif adalah

pembelajaran yang secara sadar dan sengaja

mengembangkan interaksi yang silih asuh

untuk menghindari ketersinggungan dan

kesalahpahaman yang dapat menimbulkan

permusuhan, sebagai latihan hidup di

masyarakat. Didalam pembelajaran kooperatif

terdapat elemen-elemen yang berkaitan, antara

lain saling ketergantungan positif antara guru

dan siswa, interaksi tatap muka, akuntabilitas

individual, dan keterampilan menjalin

hubungan antar pribadi. Tujuan pembelajaran

kooperatif antara lain meningkatkan hasil

belajar akademik, penerimaan terhadap

Page 35: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

32

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

keragaman, dan pengembangan ketrampilan

sosial yakni mengajarkan kepada siswa

keterampilan kerjasama dan kolaborasi untuk

saling berinteraksi dengan teman yang lain.

TGT (Teams Games Tournament)

Salah satu model pembelajaran

kooperatif adalah TGT (Teams Games

Tournament). Menurut Suprijono (2012),

model pembelajaran TGT merupakan model

pembelajaran kooperatif dengan membentuk

kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang

terdiri atas 3-5 siswa yang heterogen, baik

dalam hal akademik, jenis kelamin, ras,

maupun etnis. Inti dari model ini adalah

adanya game dan turnamen akademik.

Sebelum memulai game dan turnamen

akademik, guru terlebih dahulu menempatkan

siswa dalam sebuah tim yang mewakili

heterogenitas kelas ditinjau dari jenis kelamin,

ras, maupun etnis. Masing-masing siswa

nantinya akan mewakili kelompoknya untuk

bersaing dalam meja turnamen.Setelah kelas

dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, guru

kemudian menyajikan materi dan selanjutnya

siswa bekerja mengerjakan LKS dalam

kelompoknya masing-masing. Apabila ada

anggota kelompok yang kurang mengerti

dengan materi dan tugas yang diberikan, maka

anggota kelompok yang lain bertugas

memberikan jawaban seta menjelaskannya

sebelum pertanyaan tersebut diajukan kepada

guru.Untuk memastikan apakah semua

anggota kelompok telah menguasai materi,

maka siswa akan bertanding dalam game dan

turnamen ademik. Game hanya diikuti oleh

perwakilan dari masing-masing kelompok,

sedangkan turnamen diikuti oleh semua siswa.

Ketika turnamen akademik, siswa akan

dipisahkan dengan kelompok asalnya untuk

ditempatkan dalam meja-meja turnamen.

Setiap meja turnamen terdiri dari beberapa

siswa yang mewakili kelompoknya masing-

masing. Penentuan dimana meja turnamen

yang akan ditempati oleh siswa dilakukan oleh

guru, yaitu dengan melihat homogenitas

akademik. Maksudnya, siswa yang berada

dalam satu meja turnamen adalah siswa

dengan kemampuan akademiknya setara. Hal

ini dapat ditentukan berdasarkan nilai yang

diperoleh saat pre-test.Untuk lebih jelasnya,

berikut ini disajikan tahapan-tahapan dalam

model pembelaran TGT. Menurut Slavin

(2005:166-167), langkah-langkah model

pembelajaran TGT ada lima tahap, yaitu: tahap

presentasi di kelas, tim,game, turnamen, dan

rekognisi tim. Uraian selengkapnya sebagai

berikut:

1. Presentasi di kelas

Penyajian materi dalam TGT diperkenalkan

melalui presentasi kelas. Presentasi kelas

dilakukan oleh guru pada saat awal

pembelajaran. Guru menyampaikan materi

kepada siswa terlebih dahulu yang biasanya

dilakukan dengan pengajaran langsung

melalui ceramah. Selain menyajikan materi,

pada tahap ini guru juga menyampaikan

tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus

dilakukan siswa, serta memberikan

motivasi. Pada tahap ini, siswa juga dapat

diikutsertakan saat penyajian materi.

Bahkan agar lebih menarik, penyajian

materi bisa disajikan dalam bentuk

audiovisual yang dikemas dalam CD

interaktif seperti yang dilakukan dalam

penelitian ini. Pada saat penyajian materi,

siswa harus benar-benar memperhatikan

serta berusaha untuk memahami materi

sebaik mungkin, karena akan membantu

siswa bekerja lebih baik pada saat kerja

kelompok, game dan saat turnamen

akademik. Selain itu, siswa dituntut

berpartisipasi aktif dalam pembelajaran

seperti mengajukan pertanyaan, menjawab

pertanyaan yang diajukan guru, dan

mempresentasikan jawaban di depan kelas.

2. Tim/kelompok

Setelah penyajian materi oleh guru, siswa

kemudian berkumpul berdasarkan

kelompok yang sudah dibagi guru. Setiap

tim atau kelompok terdiri dari 3 sampai 5

siswa yang anggotanya heterogen. Dalam

kelompoknya siswa berusaha mendalami

materi yang telah diberikan guru agar dapat

bekerja dengan baik dan optimal saat

turnamen. Guru kemudian memberikan

LKS untuk dikerjakan. Siswa lalu

mencocokkan jawabannya dengan jawaban

teman sekelompok. Bila ada siswa yang

mengajukan pertanyaan, teman

sekelompoknya bertanggung jawab untuk

menjawab dan menjelaskan pertanyaan

tersebut. Apabila teman sekelompoknya

tidak ada yang bisa menjawabnya, maka

pertanyaan tersebut bisa diajukan kepada

guru. Belajar dalam kelompok sangat

bermanfaat, karena dapat mengembangkan

keterampilan sosial siswa. Keterampilan

sosial memupuk keterampilan kerja sama

siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud

adalah berbagi tugas dengan anggota

Page 36: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

33

Endrayana, Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat

kelompoknya, saling bekerja sama, aktif

bertanya, menjelaskan dan mengemukakan

ide, menanggapi jawaban/pertanyaan dari

teman, dan sebagainya.

3. Game (permainan)

Apabila siswa telah selesai mengerjakan

LKS bersama anggota kelompoknya, tugas

siswa selanjutnya adalah melakukan game.

Gamedimainkan oleh perwakilan dari tiap-

tiap kelompok pada meja yang telah

dipersiapkan. Di meja tersebut terdapat

kartu bernomor yang berhubungan dengan

nomor pertanyaan-pertanyaan pada lembar

permainan yang harus dikerjakan peserta.

Siswa yang tidak bermain juga

berkewajiban mengerjakan soal-soal game

beserta teman sekelompoknya.

4. Tournament (turnamen)

Turnamen biasanya dilakukan tiap akhir

pekan atau akhir subbab. Turnamen diikuti

oleh semua siswa. Tiap-tiap siswa akan

ditempatkan di meja turnamen dengan

siswa dari kelompok lain yang kemampuan

akademiknya setara. Jadi, dalam satu meja

turnamen akan diisi oleh siswa-siswa

homogen (kemampuan setara) yang berasal

dari kelompok yang berbeda. Meja

turnamen diurutkan dari tingkatan

kemampuan tinggi ke rendah. Meja 1 untuk

siswa dengan kemampuan tinggi, meja 2

untuk siswa dengan kemampuan sedang.

Meja 3 untuk siswa dengan kemampuan di

bawah siswa-siswa di meja 2, dan

seterusnya. Di meja turnamen tersebut

siswa akan bertanding menjawab soal-soal

yang disediakan mewakili kelompoknya.

Soal-soal turnamen harus dirancang

sedemikian rupa agar semua siswa dari

semua tingkat kemampuan dapat

menyumbangkan poin bagi kelompoknya.

Jadi, guru membuat kartu soal yang sulit

untuk siswa pintar, dan kartu dengan soal

yang lebih mudah untuk anak yang kurang

pintar. Siswa yang mendapat skor tertinggi

akan naik ke meja yang setingkat lebih

tinggi. Siswa yang mendapatkan peringkat

kedua bertahan pada meja yang sama,

sedangkan siswa dengan peringkat-

peringkat di bawahnya akan turun ke meja

yang yang tingkatannya lebih rendah.

Setelah siswa ditempatkan dalam meja

turnamen, maka turnamen dimulai dengan

memperhatikan aturan-aturannya. Aturan-

aturan turnamen TGT yaitu:

(1) cara memulai permainan

Untuk memulai permainan, terlebih

dahulu ditentukan pembaca pertama.

Cara menentukan siswa yang menjadi

pembaca pertama adalah dengan

menarik kartu bernomor. Siswa yang

menarik nomor tertinggi adalah

pembaca pertama.

(2) Kocok dan ambil kartu bernomor dan

carilah soal yang berhubungan dengan

nomor tersebut pada lembar

permainan.

Setelah pembaca pertama ditentukan,

pembaca pertama kemudian mengocok

kartu dan mengambil kartu yang

teratas. Pembaca pertama lalu

membacakan soal yang berhubungan

dengan nomor yang ada pada kartu.

Setelah itu, semua siswa harus

mengerjakan soal tersebut agar mereka

siap ditantang. Setelah si pembaca

memberikan jawabannya, maka

penantang I (siswa yang berada di

sebelah kirinya) berhak untuk

menantang jawaban pembaca atau

melewatinya.

(3) Tantang atau lewati

Apabila penantang I berniat

menantang jawaban pembaca, maka

penantang I memberikan jawaban

yang berbeda dengan jawaban

pembaca. Jika penantang I

melewatinya, penantang II boleh

menantang atau melewatinya pula.

Begitu seterusnya sampai semua

penantang menentukan akan

menantang atau melewati.

Apabila semua penentang sudah

menantang atau melewati, penantang

II memeriksa lembar jawaban dan

mencocokkannya dengan jawaban

pembaca serta penantang. Siapapun

yang jawabannya benar berhak

menyimpan kartunya. Jika jawaban

pembaca salah maka tidak dikenakan

sanksi, tetapi bila jawaban penantang

salah maka penantang mendapatkan

sanksi. Sanksi tersebut adalah dengan

mengembalikan kartu yang telah

dimenangkan sebelumnya (jika ada).

(4) Memulai putaran selanjutnya

Untuk memulai putaran selanjutnya,

semua posisi bergeser satu posisi

kekiri. Siswa yang tadinya menjadi

penantang I berganti posisi menjadi

pembaca, penantang II menjadi

Page 37: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

34

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

penantang I, dan pembaca menjadi

penantang yang terakhir. Setelah itu,

turnamen berlanjut sampai kartu habis

atau sampai waktu yang ditentukan

guru.

(5) Perhitungan poin

Apabila turnamen telah berakhir,

siswa mencatat nomor yang telah

mereka menangkan paa lembar skor

permainan. Pemberian poin turnamen

selanjutnya dilakukan oleh guru.

Selanjutnya, poin-poin tersebut

dipindahkan ke lembar rangkuman tim

untuk dihitung rerata skor

kelompoknya. Untuk menghitung

rerata skor kelompok adalah dengan

menambahkan skor seluruh anggota

tim kemudian dibagi dengan jumlah

anggota tim yang bersangkutan.

5. Rekognisi tim (penghargaan tim)

Penghargaan kelompok diberikan

berdasarkan rerata skor kelompok.

Penghargaan kelompok diberikan sesuai

criteria (rata – rata skor tim ) yaitu tim baik

( rerata 40 ), tim sangat baik ( rerata 45)

dan tim super ( rerata 50).

Problem Based Learning

Problem Based Learning (PBL) adalah

suatu model pembelajaran yang melibatkan

siswa untuk memecahkan masalah melalui

tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa

dapat mempelajari pengetahuan yang

berhubungan dengan masalah tersebut dan

sekaligus memiliki ketrampilan untuk

memecahkan masalah. PBL atau pembelajaran

berbasis masalah sebagai suatu pendekatan

pembelajaran yang menggunakan masalah

dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa

untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan

keterampilan pemecahan masalah, serta untuk

memperoleh pengetahuan dan konsep yang

esensial dari materi pelajaran.PBL memiliki

karakteristik sebagai berikut: (1) belajar

dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan

bahwa masalah tersebut berhubungan dengan

dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan

pelajaran seputar masalah, bukan seputar

disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab

yang besar kepada siswa dalam membentuk

dan menjalankan secara langsung proses

belajar mereka sendiri, (5) menggunakan

kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk

mendemonstrasi-kan yang telah mereka

pelajari dalam bentuk produk atau kinerja.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas

bahwa pembelajaran dengan model PBL

dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal

ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun

guru, kemudian siswa memperdalam

pengetahuannya tentang apa yang mereka

telah ketahui dan apa yang mereka perlu

ketahui untuk memcahkan masalah tersebut.

Siswa dapat memilih masalah yang dianggap

menarik untuk dipecahkan sehingga mereka

terdorong berperan aktif dalam belajar.

Masalah yang dijadikan sebagai fokus

pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui

kerja kelompok sehingga dapat memberi

pengalaman-pengalaman belajar yang beragam

pada siswa seperti kerjasama dan interaksi

dalam kelompok, di samping pengalaman

belajar yang berhubungan dengan pemecahan

masalah seperti membuat hipotesis, merancang

percobaan, melakukan penyelidikan,

mengumpulkan data, menginterpretasikan

data, membuat kesimpulan,

mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat

laporan. Keadaan tersebut menunjukkan

bahwa model PBL dapat memberikan

pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan

kata lain, penggunaan PBL dapat

meningkatkan pemahaman siswa tentang apa

yang mereka pelajari sehingga diharapkan

mereka dapat menerapkannya dalam kondisi

nyata pada kehidupan sehari-hari.

PBL merupakan model pembelajaran

yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik

konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus

pembelajaran ada pada masalah yang dipilih

sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-

konsep yang berhubungan dengan masalah

tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan

masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak

saja harus memahami konsep yang relevan

dengan masalah yang menjadi pusat perhatian

tetapi juga memperoleh pengalaman belajar

yang berhubungan dengan ketrampilan

menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan

masalah dan menumbuhkan pola berpikir

kritis.Bila pembelajaran yang dimulai dengan

suatu masalah apalagi kalau masalah tersebut

bersifat kontekstual, maka dapat terjadi

ketidakseimbangan kognitif pada diri siswa.

Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu

sehingga memunculkan bermacam-macam

pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa

yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa

terjadi…”, “bagaimana mengetahuinya…” dan

seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan

Page 38: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

35

Endrayana, Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat

tersebut telah muncul dalam diri siswa maka

motivasi intrinsik siswa untuk belajar akan

tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan

peran guru sebagai fasilitator untuk

mengarahkan siswa tentang “konsep apa yang

diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa

yang harus dilakukan” atau “bagaimana

melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan

tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL

dalam pembelajaran dapat mendorong siswa

mempunyai inisiatif untuk belajar secara

mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan

dalam kehidupan sehari-hari dimana

berkembangnya pola pikir dan pola kerja

seseorang bergantung pada bagaimana dia

membelajarkan dirinya.

PBLTGT ( Problem Based Learning And

Teams Games Tournament)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti

menarik kesimpulan bahwa PBL dapat

dipadukan dengan TGT dalam pembelajaran

karena dengan PBL akan lebih mengenalkan

siswa dengan masalah yang konkret dalam

hidup sehari - hari . Siswa yang belajar

memecahkan suatu masalah akan membuat

mereka menerapkan pengetahuan yang

dimilikinya atau berusaha mengetahui

pengetahuan yang diperlukannya. Artinya

belajar tersebut ada pada konteks aplikasi

konsep. Penyelesaian masalah digunakan

sebagai dasar untuk berkompetisi melalui

TGT. Sehingga siswa dapat mengintegrasikan

pengetahuan dan ketrampilan secara

berkesinambungan dan mengaplikasikannya

dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang

mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu

konsep atau teori yang mereka temukan

selama pembelajaran berlangsung. PBLTGT

juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir

kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam

bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan

dapat mengembangkan hubungan

interpersonal dalam bekerja kelompok serta

kecepatan dan ketepatan dalam bekerja dalam

tim.Selain guru sebagai fasilitator, guru

hendaknya juga menyadari arti penting suatu

pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya

berbasis “Why” bukan sekedar “How”. Oleh

karena itu, setiap tahap dalam pemecahan

masalah, ketrampilan siswa dalam tahap

tersebut hendaknya tidak semata-mata

ketrampilan “How”, tetapi kemampuan

menjelaskan permasalahan dan bagaimana

permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam

proses pemecahan masalah digunakan sebagai

kerangka atau panduan dalam proses belajar

melalui PBLTGT.

Blended Cooperative Learning

Menurut Wasis (2016,45), pembelajaran

berbasis Blended Learning adalah

pembelajaran yang mengkombinasi strategi

penyampaian pembelajaran menggunakan

kegiatan tatap muka, pembelajaran berbasis

computer ( secara offline dan online) melalui

internet dan mobile learning. Pembelajaran

blended dapat mengkombinasikan satu atau

lebih dari enam dimensi, yaitu penggabungan

pembelajaran offline dan online, belajar secara

mandiri dan secara kolaboratif dan aktif,

pembelajaran yang terstruktur dan tidak

terstruktur, custom content dan off-the shelf

content, bekerja dan belajar (Wasis,2016,169).

Dalam penelitian ini akan digabungkan antara

pembelajaran berbasis masalah, offline,

pembelajaran kooperatif dan online. Di dalam

penelitian ini, pembelajaran secara online

dilakukan pada tahapan evaluasi pembelajaran,

yakni siswa mengerjakan soal ujian dengan

berbasis computer ( Computer Based Test).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan

deskriptif kualitatif.. Deskriptif kualitatif

merupakan suatu penelitian dengan

penggambaran melalui kata-kata atau kalimat

untuk memperoleh suatu kesimpulan.

(Sugiyono, 2012: 12). Penelitian deskriptif

kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan

apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya

terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat,

analisis dan menginterpretasikan kondisi yang

sekarang ini . Dengan kata lain penelitian

deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk

memperoleh informasi-informasi mengenai

keadaan yang ada. Penelitian ini bertujuan

untuk menerapkan model pembelajaran

kooperatif tipe PBLTGT (Problem Based

Learning And Teams Games Tournament)

dalam peningkatan hasil belajar matematika

tentang bilangan bulat siswa kelas IV di

Sekolah Dasar.

Prosedur penelitian ini menggunakan

metode penelitian tindakan kelas yang

pelaksanaan tindakannya terdiri atas tiga

siklus. Arikunto, dkk. (2008: 16) menyebutkan

garis besar tahapan penelitian tindakan kelas

antara lain planning (perencanaan), acting

tindakan/pelaksanaan), observing

(observasi/pengamatan), dan reflecting

(refleksi). Pada tahap perencanaan, peneliti

Page 39: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

36

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

menyiapkan materi bilangan bulat, menyusun

RPP dan skenario pembelajaran, menyiapkan

media pembelajaran, menyiapkan instrumen

penelitian, melakukan koordinasi dengan guru

kelas dan teman sejawat selaku observer, dan

menyiapkan hadiah untuk kelompok terbaik.

Pada tahap pelaksanaan, peneliti

melaksanakan pembelajaran sesuai dengan

RPP bersamaan dengan dilaksanakannya

kegiatan observasi oleh observer. Pada tahap

refleksi, peneliti mengadakan analisis,

pemahaman, dan penyimpulan hasil tindakan.

Keempat tahapan ini selalu berhubungan dan

berkelanjutan dalam prosesnya, serta

mengalami perbaikanperbaikan hingga

tercapainya tujuan yang diharapkan.

Teknik pengumpulan data yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah tes,

observasi an catatan lapangan. Tes yang

digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir

pembelajaran yaitu evaluasi dengan

menggunakan lembar penilaian yang berupa

LKS dan lembar penilaian individu.

Observasi yang dilakukan terhadap

aspek keterampilan atau partisipasi aktif siswa

selama proses pembelajaran berlangsung serta

sikap ( afektif ) siswa selama proses

pembelajaran tersebut.

Untuk mengetahui peningkatan hasil

belajar siswa, peneliti melakukan penjumlahan

nilai yang diperoleh siswa, dibagi dengan

jumlah siswa yang ada di kelas. Dirumuskan

sebagai berikut:

Keterangan:

M = Mean (Nilai rata-rata)

∑Xi = Jumlah nilai seluruh siswa

N = Banyak siswa

Kriteria Penilaian M :

>80% = Sangat tinggi

60-79% = Tinggi

40-59% = Sedang

20-39% = Rendah

<20% = Sangat rendah

(Aqib,2008:41)

Ketuntasan belajar siswa secara klasikal

digunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

P = Persentase ketuntasan belajar

∑siswa yang tuntas belajar = Banyak

siswa yang tuntas belajar

∑siswa = Banyak

siswa

(Aqib, 2008:41)

Dengan kriteria tingkat keberhasilan belajar

siswa dalam presentase, yaitu:

>80% = Sangat tinggi

60-79% = Tinggi

40-59% = Sedang

20-39% = Rendah

<20% = Sangat rendah

(Aqib, 2008:41)

Hasil belajar siswa aspek keterampilan dan

afektif menggunakan perhitungan sebagai

berikut :

( )

(Permendikbud No. 58, 2014:311)

Indikator keberhasilan dalam pembelajaran

atau seorang peserta didik dikatakan tuntas

belajar untuk menguasai KD pada kurikulum

13 aspek pengetahuan dan KI.4 pada aspek

keterampilan. Seorang peserta didik

dinyatakan tuntas belajar untuk menguasai KD

yang dipelajari apabila berdasarkan hasil tes

dihitung dari jumlah siswa menjawab soal

benar minimal 80% dengan mencapai KKM

70. Sedangkan untuk penilaian sikap untuk

KD pada KI.1 dan KI.2 berkategori baik.

(Permendikbud No. 104 Tahun 2014:12-13).

Hasil dan Pembahasan

Hasil Belajar Siswa Aspek Pengetahuan

Di dalam penelitian ini, untuk mengukur

keberhasilan siswa dalam aspek kognitif atau

pengetahuan, digunakan pre-test dan post-test.

Pre-test diberikan pada saat awal pembelajaran

selama 10 menit untuk mengetahui

kemampuan awal siswa di dalam materi

bilangan bulat berupa soal cerita. Post-test

diberikan di akhir pembelajaran selama 10

menit untuk mengetahui seberapa besar

pemahaman siswa di dalam menangkap

pelajaran materi bilangan bulat setelah

menggunakan metode PBLTGT. Dari

sebanyak 36 siswa, diperoleh hasil sebagai

berikut :

Page 40: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

37

Endrayana, Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat

Tabel 1 Nilai Pre-Test dan Post-Test Siswa

Sis

wa P

re Po

st Sis

wa P

re Po

st Sis

wa P

re Po

st N1 7

0 90 N1

3 7

0 90 N2

5 6

0 10

0 N2 7

0 90 N1

4 6

0 10

0 N2

6 5

0 70

N3 8

0 10

0 N1

5 8

0 90 N2

7 6

0 90

N4 7

0 10

0 N1

6 7

0 90 N2

8 7

0 10

0 N5 7

0 10

0 N1

7 6

0 80 N2

9 7

0 90

N6 7

0 90 N1

8 5

0 80 N3

0 6

0 90

N7 7

0 80 N1

9 6

0 10

0 N3

1 8

0 80

N8 7

0 90 N2

0 7

0 90 N3

2 7

0 10

0 N9 6

0 90 N2

1 7

0 10

0 N3

3 6

0 10

0 N1

0 5

0 80 N2

2 6

0 90 N3

4 5

0 90

N1

1 6

0 10

0 N2

3 8

0 90 N3

5 6

0 70

N1

2 7

0 10

0 N2

4 7

0 80 N3

6 7

0 90

Dari tabel 1 diatas, diperoleh rata – rata nilai

pre test adalah 65,8 dan nilai post test yaitu

90,6. Pencapaian hasil belajar ini mengalami

peningkatan dari hasil post-test terhadap pre-

test, yaitu tingkat ketuntasan 95 %

dikarenakan ada dua siswa yang belum tuntas,

yakni N26 dan N35.

Hasil Belajar Siswa Aspek Keterampilan

Di dalam penelitian ini, didapatkan nilai

keterampilan dari siswa SDN Menanggal 601

Surabaya dalam aspek keterampilan dan

keaktifan dalam mengerjakan soal yang

diberikan.

Tabel 2 Nilai Keterampilan Siswa

Siswa Nilai Siswa Nilai Siswa Nilai N1 90 N13 90 N25 90 N2 90 N14 90 N26 80 N3 90 N15 90 N27 90 N4 90 N16 90 N28 90 N5 100 N17 80 N29 90 N6 90 N18 80 N30 90 N7 100 N19 100 N31 80 N8 90 N20 90 N32 90 N9 90 N21 90 N33 90

N10 80 N22 90 N34 90 N11 90 N23 90 N35 80 N12 90 N24 90 N36 90

Rata – rata nilai keterampilan adalah 89,2

dalam hal ini dapat dikatakan bahwa siswa

SDN Menanggal 601 Surabaya tuntas untuk

aspek keterampilan.

Hasil Belajar Siswa Aspek Afektif

Di dalam penelitian ini, didapatkan nilai

keterampilan dari siswa SDN Menanggal 601

Surabaya dalam aspek kerjasama tim dan

disiplin serta tanggung jawab akan tugas yang

diberikan.

Tabel 3 Nilai Afektif Siswa

Siswa Nilai Siswa Nilai Siswa Nilai N1 85 N13 85 N25 85 N2 90 N14 85 N26 85 N3 85 N15 85 N27 85 N4 85 N16 90 N28 85 N5 85 N17 85 N29 85 N6 85 N18 90 N30 85 N7 85 N19 90 N31 85 N8 85 N20 90 N32 85 N9 90 N21 90 N33 85

N10 90 N22 90 N34 85 N11 85 N23 85 N35 85 N12 85 N24 85 N36 85

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat disimpulkan

bahwa siswa tuntas dalam aspek penilaian

afektif.

Simpulan

Berdasarkan penelitian diperoleh tiga

hasil belajar siswa, yaitu pengetahuan,

keterampilan dan afektif. Dari hasil pre-test

dan post-test menunjukkan bahwa pencapaian

penilaian siswa aspek pengetahuan sangat

tinggi yaitu 90,6. Pencapaian keberhasilan

belajar dalam hal ini mencapai 95% karena

dari 36 siswa hanya terdapat 2 siswa yang

belum tuntas. Di dalam penelitian ini,

didapatkan nilai keterampilan dari siswa SDN

Menanggal 601 Surabaya dalam aspek

keterampilan dan keaktifan dalam

mengerjakan soal yang diberikan. Rata – rata

nilai keterampilan adalah 89,2 dalam hal ini

dapat dikatakan bahwa siswa SDN Menanggal

601 Surabaya tuntas untuk aspek keterampilan.

Sedangkan untuk nilai afektif dari siswa SDN

Menanggal 601 Surabaya dalam aspek

kerjasama tim dan disiplin serta tanggung

jawab akan tugas yang diberikan dan diperoleh

rata – rata adalah berpredikat baik. Dari hasil

di atas, dapat dikatakan bahwa model

pembelajaran Blended Cooperative Learning

Page 41: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

38

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

dapat diterapkan untuk menjelaskan materi

bilangan bulat di kelas IV Sekolah Dasar.

Diharapkan bahwa Blended Cooperative

Learning ini dapat dilakukan untuk materi

pembelajaran Matematika yang lainnya dan

pada level selain kelas IV ataupun pada

jenjang sekolah yang lain, yaitu sekolah

menengah.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur

Penelitian (suatu pendekatan praktik).

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Aqib, Zainal dkk. (2008). Penelitian Tindakan

Kelas.Bandung: Yrama Widya.

Endrayana(2019). Combined Cooperative

Learning Model PBLTGT (Problem

Based Learning And Teams Games

Tournament) Materi Bilangan Bulat

Bagi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Jurnal Inovasi Vol.XXI No.1,Januari

2019. Surabaya : FBS UWKS

Huda, M. (2011). Cooperative

LearningMetode, Teknik, Struktur dan

Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Indarti, Titik. (2008). Penelitian Tindakan

Kelas (PTK) dan Penulisan Ilmiah.

Surabaya: FBS UNESA.

Permendikbud. (2014). Bahasa, Sastra, dan

Budi Darma. Surabaya: Temprina

Media Grafika

Putut, Endrayana(2017). Hubungan Antara

Kecerdasan Emosional dan Prestasi

Belajar Matematika Wajib Pada Siswa

Kelas XI IPA 4 SMAN 15 Surabaya.

Jurnal Inovasi Vol.XIX No.1, Januari

2017. Surabaya : FBS UWKS

Slavin, R.E. (2005). Cooperative

LearningTeori, Riset dan Praktik.

Bandung: Nusa Media.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Bandung: CV Alfabeta.

Sumardyono. (2004). Karakteristik

Matematika dan Implementasinya

Terhadap Pembelajaran Matematika.

Yogyakarta: Depdiknas

Suprijono. (2012). Cooperative Learning Teori

dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta:

Depdiknas.

Page 42: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

39

Soesanti, Peningkatan Prestasi Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Kooperatif

Peningkatan Prestasi Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Pada Siswa Kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya

Soesanti

email : [email protected] SMP Negeri 3 Surabaya

Abstrak

Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan pada siswa kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 40 siswa dan terdiri dari 16 laki-laki dan 24 perempuan. Penelitian ini dimulai dari Oktober hingga November 2018. Dari hasil penelitian ditemukan dalam pembelajaran IPS di kelas VII SMP Negeri 3 Surabaya, yaitu masih belum optimalnya motivasi siswa, siswa masih tergantung pada guru dan pembelajaran yang masih kurang inovatif. Hal ini yang mendorong peneliti melakukan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament untuk meningkatkan prestasi belajar siswa agar tercapai tujuan pembelajaran. Penelitian ini terdiri dari dua siklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dan evaluasi. Penelitian ini dikatakan berhasil apabila 85% siswa mencapai KKM. Data diambil dari hasil ulangan harian. Hasil dari siklus 1 sebanyak 84,59% siswa melebihi KKM dengan rata-rata nilai 85. Hasil dari siklus 2 sebanyak 92,5% siswa melebihi KKM dengan rata-rata nilai 88,5. Kenaikan hasil dari siklus 1 ke siklus 2 menunjukkan bahwa model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan prestasi belajar IPS siswa kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya.

Kata kunci : prestasi belajar, pembelajaran kooperatif, Teams Games Tournament Pendahuluan

Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan secara umum dapat dimengerti sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar siswa aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, dan budi mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Berdasarkan pengamatan peneliti, Pembelajaran IPS seperti yang tertuang dalam Kurikulum SMP Negeri 3 Surabaya, berlangsung masih bersifat konvensional meskipun sudah terdapat beberapa inovasi dalam pembelajaran. . Artz dan Newman mendefinisikan Kooperatif sebagai kelompok kecil atau siswa yang bekerja sama dalam satu tim untuk mengatasi suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai satu tujuan bersama (Miftahul Huda, 2011). Rendahnya hasil belajar IPS Kelas VII F semester 1 tahun pelajaran

2017/2018, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TGT pada siswa VII F SMP Negeri 3 Surabaya agar dapat meningkatkan prestasi belajar IPS. Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa Kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya melalui pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. Kajian Pustaka

Slameto (2003) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Menurut pandangan Gino (2005), belajar merupakan kegiatan yang kompleks yang terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Selain itu belajar memiliki tiga tahab yaitu persiapan untuk belajar, perolehan dan unjuk perbuatan dan alih belajar. Dari beberapa pengertian belajar

Page 43: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

40

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Pembelajaran adalah suatu usaha dan proses yang dilakukan dengan mengacu pada tujuan yang sistematik dan terarah untuk mewujudkan perubahan tingkah laku. Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai seseorang dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan dalam pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan tes angka nilai yang diberikan oleh guru ( Whina. 2006 : 11 ). Dimyati ( 1999: 43 ), menyatakan bahwa prestasi merupakan hasil usaha yang dilakukan dan menghasilkan perubahan yang dinyatakan dalam bentuk simbol untuk menunjukkan kemampuan pencapaian dalam hasil kerja dalam waktu tertentu. Pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang diperoleh akan membentuk kepribadian siswa, memperluas kepribadian siswa, memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan kemampuan siswa.

Bertolak dari hal tersebut maka siswa yang aktif melaksanakan kegiatan dalam pembelajaran akan memperoleh banyak pengalaman. Dengan demikian siswa yang aktif dalam pembelajaran akan banyak pengalaman dan prestasi belajarnya meningkat. Sebaliknya siswa yang tidak aktif akan minim/sedikit pengalaman sehingga dapat dikatakan prestasi belajarnya tidak meningkat atau tidak berhasil. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah sesuatu yang dapat dicapai yang dinampakkan dalam pengetahuan, sikap, dan keahlian.

Pembelajaran kooperatif menurut Mohamad Nur (2005:129) adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (academic Skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal skill. Menurut pendapat Lie (2002:32), pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur dan dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat (siswa lain) sebagai Menurut Depdiknas (2006:18) pada pembelajaran ini guru seyogyanya mengarahkan, membantu para siswa menemukan informasi, dan berperan sebagai salah satu sumber belajar, yang mampu menciptakan lingkungan social yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah.

Menurut Suprijono (2012), model pembelajaran TGT merupakan model pembelajaran kooperatif dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri atas 3-5 siswa yang heterogen, baik dalam hal akademik, jenis kelamin, ras, maupun etnis. Inti dari model ini adalah adanya game dan turnamen akademik. Sebelum memulai game dan turnamen akademik, guru terlebih dahulu menempatkan siswa dalam sebuah tim yang mewakili heterogenitas kelas ditinjau dari jenis kelamin, ras, maupun etnis. Masing-masing siswa nantinya akan mewakili kelompoknya untuk bersaing dalam meja turnamen. Setelah kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, guru kemudian menyajikan materi dan selanjutnya siswa bekerja mengerjakan LKS dalam kelompoknya masing-masing. Apabila ada anggota kelompok yang kurang mengerti dengan materi dan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertugas memberikan jawaban seta menjelaskannya sebelum pertanyaan tersebut diajukan kepada guru.

Untuk memastikan apakah semua anggota kelompok telah menguasai materi, maka siswa akan bertanding dalam game dan turnamen ademik. Game hanya diikuti oleh perwakilan dari masing-masing kelompok, sedangkan turnamen diikuti oleh semua siswa.

Ketika turnamen akademik, siswa akan dipisahkan dengan kelompok asalnya untuk ditempatkan dalam meja-meja turnamen. Setiap meja turnamen terdiri dari beberapa siswa yang mewakili kelompoknya masing-masing. Penentuan dimana meja turnamen yang akan ditempati oleh siswa dilakukan oleh guru, yaitu dengan melihat homogenitas akademik. Maksudnya, siswa yang berada dalam satu meja turnamen

Page 44: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

41

Soesanti, Peningkatan Prestasi Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Kooperatif

adalah siswa dengan kemampuan akademiknya setara. Hal ini dapat ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh saat pre-test.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan tahapan-tahapan dalam model pembelaran TGT. Menurut Slavin (2005:166-167), langkah-langkah model pembelajaran TGT ada lima tahap, yaitu: tahap presentasi di kelas, tim,game, turnamen, dan rekognisi tim.

Berdasarkan landasan teori yang sudah diuraikan dari setiap variabel diatas, maka dapatlah peneliti ajukan kerangka berpikir dalam pemecahan masalah penelitian sebagai berikut: Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan pola dan langkah – langkah yang benar dapat meningkatkan kualitas dan hasil belajar siswa secara bertahap. Metode Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas dilakukan pada siswa Kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 40 siswa dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang heterogen yang terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 24 siswa perempuan. Waktu penelitian mulai bulan Oktober sampai dengan bulan November 2018.

Penelitian ini adalah penelitian tindakan yang terdiri dari dua siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dan evaluasi. Penelitian ini akan berhasil apabila 85% siswa mencapai KKM dari 40 siswa. Sumber data dalam penelitian ini diambil dari hasil ulangan harian. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan instrumen hasil belajar.

Analisis data dilakukan dengan data yang sudah dikumpulkan setiap tahapan siklus dengan tabel/diagram yang menunjukkan peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan siklus sebelumnya. Apabila peningkatan sudah sesuai dengan indicator keberhasilan maka penelitian dianggap telah berhasil dengan harapan meningkatkan hasil belajar IPS. Penelitian berlangsung dari Oktober sampai dengan bulan November 2018; meliputi: identifikasi masalah; merancang penelitian; menyusun instrumen; menyusun RPP; tindakan di

kelas; pengolahan data dan pelaporan. Hasil Dan Pembahasan 1. Kondisi Awal

Ada 44,11% siswa dari 40 siswa yang nilai hasil belajarnya belum mencapai KKM. Artinya siswa yang memiliki nilai diatas 85 hanya 22 siswa.

2. Kegiatan siklus a. Siklus 1

Siklus 1 dilaksanakan tanggal : 01-10-2018, 08-10-2018, dan 15-10-2018. Perencanaan pada siklus pertama dilakukan dengan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk memetakan indikator dengan materi ajar. Langkah berikutnya menelaah silabus materi ajar sebagai pedoman penyusunan Rencana Pelaksanaan pembelajaran (RPP). Kemudian memilih media yang digunakan dan melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe group investigation. Diakhir siklus 1 dilakukan evaluasi hasil belajar. Pencapaian pada siklus 1 sebanyak 84,59% artinya ada 34 siswa mencapai KKM dan sisanya 6 siswa belum mencapai KKM. Dalam siklus 1 ternyata masih ditemukan beberapa kendala yaitu: 1) Siswa masih punya ketergantungan

pada guru 2) Motivasi belajar pada siswa masih

rendah Dengan memperhatikan hasil pada siklus pertama maka penelitian dilanjutkan ke siklus 2.

b. Siklus 2 Siklus 2 dilaksanakan tanggal 22-10-2018, 29-10-2018 dan 05-11-2018. Pada siklus 2, dilakukan langkah-langkah seperti siklus 1 sampai dengan evaluasi. Setelah dianalisis data dan dibicarakan dengan tim kolaborator ternyata pencapaian hasil belajar siswa yaitu 92,50% artinya 37 siswa telah mencapai KKM, dan ada 3 siswa yang belum mencapai KKM dengan nilai rataan 88,50.

Page 45: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

42

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Grafik 1 Nilai Kondisi Awal Siklus 1 dan Siklus 2

Berdasarkan hasil siklus 2 dapat dikatakan bahwa: a. Guru dalam mengelola

pembelajaran sudah baik b. Pemilihan metode pembelajaran

sudah tepat c. Pemberian penguatan

(reinforcement) dan menumbuhkan motivasi belajar siswa.

Dengan memperhatikan hasil penelitian pada siklus kedua baik dari hasil evaluasi belajar siswa serta peran guru dalam mengimplementasikan Tipe group investigation maka penelitian ini dinyatakan berhasil.

Simpulan

Melalui pembelajaran koperatif tipe TGT dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam belajar IPS di kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya. Adanya peningkatan keterlibatan siswa dalam pembelajaran koperatif tipe TGT. Keberhasilan pembelajaran koperatif tipe TGT dalam meningkatkan hasil belajar IPS, dibutuhkan perencanaan yang matang dan teliti. Pembelajaran koperatif tipe TGT dapat dijadikan sebagai suatu alternatif pembelajaran bagi guru IPS. Daftar Pustaka Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning.

Jakarta: Gramedia.

Depdikbud. 1999.Model Pembelajaran

Kooperatif. Semarang: Depdikbud. Depdiknas. 2006. Permen Nomor 22 Tahun

2006. Jakarta: Depdiknas. Dimyati. 1999, Belajar dan Pembelajaran.

Jakarta: Rineka Cipta. Gino, Dkk. 1995. Belajar dan Pembelajaran.

Surakarta: UNS. Huda, M. (2011). Cooperative

LearningMetode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Johnson, Elaine B. 2006. Contextual Teaching & Learning. Bandung MLC.

Mohamad Nur. 2005 Pembelajaran Kooperatif. Surabaya. UNESA.

Moleong. L. J. 1999 Metodologi Penelitihan Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Muslimin Ibrahim,2001 Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA.

Nurhadi. 2002 Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontektual. Jakarta: Depdiknas.

Slameto. 2003 Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas.Jakarta: Bumi Aksara.

Whina Sanjata, 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana.

0

5

10

15

20

25

41 ‐ 50 51 − 60 61 – 70 71 – 80 81 – 90 91 − 100

Awal

Siklus 1

Siklus 2

Page 46: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

43  

 

Nina, Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode

Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode Tutor Sebaya Kelas VII D SMP Negeri 3 Surabaya

Nina Purnawati

email : [email protected] SMP Negeri 3 Surabaya

Abstrak

Dalam pembelajaran praktik ansambel musik, pengelolaan kelas secara tepat sangat diperlukan. Berdasarkan pengalaman peneliti, pembelajaran secara klasikal belum membuahkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam bermain musik ansambel melalui penelitian ini peneliti akan mencoba menerapkan metode Tutor sebaya.Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas, yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Proses pelaksanaan, penelitian ini dibagi menjadi 3 siklus, setiap siklus mencakup 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, unjuk kerja, angket dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Metode tutor sebaya mampu meningkatkan hasil belajar bermain recorder. (2) Metode tutor sebaya mampu meningkatkan hasil belajar bermain pianika.(3) Metode tutor sebaya mampu mengefektifkan waktu pertemuan di dalam kelas dibandingkan dengan metode klasikal. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar (1) para guru seni budaya menerapkan metode tutor sebaya dalam pembelajaran ansambel musik di sekolah.(2) Mencoba menerapkan metode tutor sebaya dalam mencapai tujuan pelajaran pada kompetensi dasar yang lain.

Kata Kunci : tutor sebaya, seni musik, ansambel Pendahuluan

Pembelajaran seni musik adalah pembelajaran seni budaya yang berusaha menggali serta mengembangkan potensi estetika peserta didik serta mempengaruhi siswa agar mempunyai nilai estetika sehingga dapat memperhalus budi pekerti, karena dalam seni terdapat unsur- unsur keindahan, keteraturan, kedisiplinan dan dinamika. Melalui pendekatan ”belajar dengan seni,”” belajar melalui seni ”, dan ” belajar tentang seni’, pembelajaran seni musik diberikan karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap perkembangan peserta didik berupa pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi / berkreasi. pembelajaran seni musik diharapkan mampu memberikan pemahaman, pengetahuan, pengalaman juga kemampuan berkarya seni agar siswa bisa berapresiasi terhadap budaya sendiri dan bisa menghargai orang lain yang pada akhirnya mereka bisa berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keberlangsungan pembelajaran seni budaya juga sudah dioptimalkan dengan melayani kebutuhan hakiki berkesenian sesuai bakat dan minat siswa dengan menerapkan model pembelajaran Tutor Sebaya sehingga terwujud kelas seni musik, seni rupa, dan seni tari pada jam pelajaran yang bersamaan sekaligus.

Ketersediaan fasilitas yang representatif di sekolah tidak serta merta dengan mudah bisa dimanfaatkan oleh peserta didik secara optimal untuk mengembangkan kemampuan apresiasi dan kreatifitas bermain musik. Beberapa faktor penyebabnya antara lain: a. perbedaan rentang nilai yang menyolok

antara siswa yang skill/ talenta musikalnya bagus dengan siswa yang kurang cakap;

b. munculnya sikap egois siswa pandai yang merasa tinggi hati dan enggan berbagi kecakapan dengan temannya yang belum menguasai alat musik secara baik;

c. rendahnya motivasi berlatih musik bagi sebagian siswa terutama penguasaan akord-

Page 47: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

44  

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

akord lagu disebabkan terbatasnya mendapat bimbingan yang memadai;

d. Keterbatasan daya pemantauan guru kepada siswa dalam penugasan latihan musik di luar sekolah juga berdampak lambatnya mengasah skill siswa. Apalagi dalam permainan musik Ansambel yang terbatas pada grup/kelompok kecil menuntut skill masing-masing pemusik dalam membawakan suatu karya music. Sementara alokasi waktu tatap muka yang tersedia belum bisa secara maksimal menghasilkan kualitas pembelajaran yang optimal. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa teramat jarang ditemukan guru seni yang memiliki multi talenta dalam kecakapan menguasai permainan seluruh ragam alat musik. Sehingga praktis guru hanya mampu memberikan dasar-dasar bermain musik untuk beberapa jenis alat musik tertentu saja.

Berdasarkan paparan adanya kesenjangan untuk tuntutan pembelajaran bermain musik bersama yang disebabkan masih banyak hambatan belajar oleh factor eksternal, maka diusulkan solusi yang berkaitan dengan strategi pembelajaran. Adapun model pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah strategi pembelajaran tutor sebaya. Model pembelajaran dengan mengandalkan kemampuan teman sebaya sebagai tutor/pembimbing dalam praktik bermain musik ini dipilih mengingat ada beberapa siswa yang sudah memiliki kecakapan bermain musik. Hasil yang diharapkan, siswa dapat belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Terutama pada materi pembelajaran dengan kompetensi menyajikan musik bersama dari karya musik Daerah setempat. Pengembangan gagasan kreatif dalam bentuk Ansambel yang menuntut skill musical seseorang harus bisa menyesuaikan dengan pemain lain. Siswa harus menjaga atau menciptakan harmonisasi dari musik yang mereka mainkan. Dengan bermain musik di sebuah music ansambel, siswa dapat belajar bagaimana menyatukan rasa hati & visi, melatih kesabaran, keuletan, belajar menghargai ide atau pendapat orang lain, belajar disiplin, belajar bersosialisasi dan banyak lagi sisi edukasi positif.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tujuan pembelajaran pendidikan seni budaya di sekolah Menengah Pertama adalah agar peserta didik dapat berapresiasi dan berkreasi di bidang seni. Apresiasi berarti kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni menjadi sensitif terhadap gejala estetis sehingga mampu menikmati dan menilai karya karya tersebut secara semestinya. Sedangkan kreasi berarti mampu mengungkapkan perasaan estetis/ keindahan kedalam bentuk karya seni. Tujuan pembelajaran seni di kelas 7 semester II adalah Mengekspresikan diri melalui karya seni musik yang dijabarkan dalam Kompetensi Dasar menyajikan karya musik daerah setempat secara perorangan maupun kelompok di depan kelas. Dari penjabaran diatas setiap peserta didik di tuntut untuk dapat menampilkan hasil karya seni dalam bentuk musik ansambel di depan kelas.

Pembelajaran seni budaya di SMP Negeri 3 Surabaya, selama ini lebih sering menggunakan metode klasikal, yang dalam pelaksanaannya lebih berpusat pada aktifitas guru. Selain aktifitas metode klasikal juga membutuhkan banyak waktu. Kenyataan di kelas VII D pada pelajaran seni budaya KD Mengekspresikan diri melalui karya seni musik yang dijabarkan dalam Kompetensi Dasar Menyajikan karya musik daerah setempat secara perorangan maupun kelompok tersebut. Dari 38 siswa di kelas 7D, baru ada 59% siswa yang telah mencapai KKM, sedangkan 41% peserta didik yang lain masih mendapat nilai di bawah KKM. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya latihan dalam bermain musik. Arikunto (1986:77) menyatakan bahwa metode tutor sebaya ialah pemanfaatan siswa yang mempunyai keistimewaan, kepandaian dan kecakapan di dalam kelas untuk membantu memberi penjelasan, bimbingan dan arahan kepada siswa yang kepandaiannya agak kurang atau lambat dalam menerima pelajaran yang usianya hampir sama atau sekelas. Tutor sebaya dalam penelitian ini diambil dari kelas yang diteliti yaitu kelas VIID. Dalam metode Tutor sebaya ini diharapkan anak yang kurang pandai atau mengalami kesulitan dalam penguasaan materi dapat di bantu kesulitannya. Pembelajaran dengan metode Tutor Sebaya, waktu pelaksanaan dapat berjalanan dengan sangat leluasa. Siswa dapat belajar tidak hanya di

Page 48: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

45  

 

Nina, Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode

dalam kelas, di luar kelas pun siswa dengan santai dapat belajar sebaik-baiknya, hal ini dapat dilakukan karena yang membantu mnyampaikan materi berasal dari teman sejawat. Selain waktu yang tersedia cukup banyak, , dalam pembelajaran Tutor Sebaya peran guru lebih banyak sebagai pengontrol kondisi kelas, dan pengendali suasana. Kajian Pustaka

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara Etimologis belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki pengertian bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu. Fudyartanto dalam Nanik Suprihyatin (2011:3) memperjelas definisi mengungkapkan bahwa belajar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dipunyai sebelumnya. Margon dkk dalam Nanik Suprihyatin( 2011: 4) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. "Belajar adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 2004:14). Perubahan perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila tidak terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil.

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,1987: 2). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan Hasil belajar adalah “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004:22). Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap

dan cita-cita (Sudjana, 2004:22). Hasil belajar banyak diartikan sebagai seberapa jauh hasil yang telah dicapai siswa dalam penguasaan tugas-tugas atau materi pelajaran yang diterima dalam jangka waktu tertentu. Hasil belajar pada umumnya dinyatakan dalam angka atau huruf sehingga dapat dibandingkan dengan satu kriteria (Prakosa, 1991). Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Sudjana, 1989:39). Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam diri siswa perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh Clark (1981:21) menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30 % dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana, 2002:39).

Ansambel secara umum diartikan sebagai bentuk bermain musik bersama- sama. Ensemble (Prancis) juga berarti kelompok musik dalam satuan kecil atau permainan bersama dalam satuan kecil alat musik (Banoe, 2003: 133). Dalam kaitannya dengan kegiatan ansambel musik, sering pula kita gunakan pengelompokan musik atas dasar fungsi atau perasannya di dalam permainan. Menurut peranan dan fungsinya alat-alat musik yang digunakan dalam bermain musik ansambel dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu alat musik melodis ( contoh recorder dan pianika ), alat musik harmonis ( contoh piano, keyboard, gitar ), alat musik ritmis ( senar drum atau tamborin, kendang, ketipung, bedug ). Dalam bermain ansambel musik dibutuhkan kekompakan antar bagian, oleh karena itu sebelum memulai praktek setiap kelompok bagian akan memiliki satu ketua kelompok yang bertugas mengkoordinasi, baik itu bagian, melodis, harmonis ataupun ritmis, sedangkan untuk komposisi pemain, untuk jumlah siswa dalam kelas yang lebih dari 20 orang dapat kita pecah menjadi 2 grup ansambel musik. Bermain musik ansambel sangat membutuhkan kerja sama dan kekompakan. Kemampuan seseorang tidak akan berarti bila tidak didukung oleh kekompakan kelompok. Kriteria keberhasilan pembelajaran ditinjau dari sudut proses yang menekankan pada bentuk pengajaran yang harus merupakan interaksi dinamis sehingga

Page 49: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

46  

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

siswa sebagai subyek belajar mampu mengembangkan potensinya melalui belajar.Kriteria keberhasilan pembelajaran ditinjau dari sudut hasil penguasaan siswa baik dari kualitas maupun kuantitas (Nasution,2003:56)

Kuswaya Wihardit dalam Aria Djalil (1997:3.38) menuliskan bahwa “pengertian tutor sebaya adalah seorang siswa pandai yang membantu belajar siswa lainnya dalam tingkat kelas yang sama”. Hisyam Zaini dalam Amin Suyitno (2004:24) menyatakan bahwa “Metode belajar yang paling baik adalah dengan mengajarkan kepada orang lain. Oleh karena itu, pemilihan model pembelajaran tutor sebaya sebagai strategi pembelajaran akan sangat membantu siswa di dalam mengajarkan materi kepada teman-temannya”. Menurut Miller (1989) dalam Aria Djalil ( 1997:3.34) berpendapat bahwa “Setiap saat murid memerlukan bantuan dari murid lainnya, dan murid dapat belajar dari murid lainnya.” Jan Collingwood (1991:19) dalam Aria Djalil (1997:3.34) juga berpendapat bahwa “Anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan karena dia bergaul dengan teman lainnya.” Untuk memudahkan dan memperlancar proses belajar mengajar secara klasikal, guru dapat memanfaatkan pengajaran tutor sebaya. Sebagaimana dikemukakan oleh Putranti (2007: 1) bahwa kelebihan tutor sebaya dalam pendidikan yaitu dalam penerapan tutor sebaya, anak-anak diajar untuk mandiri, dewasa dan punya rasa setia kawan yang tinggi. Artinya dalam penerapan tutor sebaya itu, anak yang dianggap pintar bisa mengajari atau menjadi tutor temannya yang kurang pandai atau ketinggalan. Di sini peran guru hanya sebagai fasilitator atau pembimbing saja.

Dengan demikian, proses pembelajaran seni musik dapat terbantu dengan adanya pengajaran oleh tutor sebaya. Pada setiap kelompok siswa yang memainkan alat musik tertentu (misal: drum), guru menunjuk salah seorang siswa yang dianggap paling menguasai permainan drum untuk melatih sesuai dengan partitur musik yang diberikan guru, atau menjadikan tutor sebaya bagi teman- temannya satu kelompok. Sehingga, pada saat berlangsungnya pembelajaran tutor sebaya pada drum, guru dapat lebih konsentrasi untuk melatih kelompok lainnya, demikian seterusnya. Setiap pengajaran tutor sebaya hendaknya dilakukan dalam ruangan

yang berbeda-beda agar tidak mengganggu kosentrasi kelompok lainnya. Dengan pengajaran tutor sebaya, maka proses pembelajaran musik di sekolah dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Pembagian kelompok berdasarkan alat musik diatur sedemikian rupa agar komposisi musik dapat dimainkan secara balance atau seimbang. Agar model pembelajaran seni musik dengan model tutor sebaya mencapai tingkat keberhasilan yang diharapkan, peneliti merumuskan langkah-langkah pembelajaran meliputi: a. Merencanakan tujuan pembelajaran yang

jelas dan mudah dicapai. b. Menjelaskan tujuan itu kepada seluruh

siswa (kelas). Misalnya: agar pelajaran praktik bermain musik bersama dalam bentuk band dapat mudah dipahami.

c. Mendelegasikan kewenangan beberapa siswa yang ditunjuk sebagai tutor.

Menyiapkan ruangan dan sumber belajar serta fasilitas peralatan belajar yang memadai.

d. Menggunakan cara yang praktis dan mudah dipahami.

e. Memusatkan kegiatan tutorial pada keterampilan yang akan dilakukan tutor.

f. Memberikan arahan singkat mengenai pembelajaran yang akan dilakukan tutor.

g. Melakukan pemantauan terhadap proses belajar yang terjadi melalui tutor sebaya.

h. Mengkondisikan agar siswa yang menjadi tutor tidak sombong.

Tutor sebaya akan merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya. Hal ini membantu memperkuat apa yang telah dipelajari dan diperoleh atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Ketika mereka belajar dengan “tutor sebaya”, peserta didik juga mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna. Penjelasan tutor sebaya kepada temannya lebih memungkinkan berhasil dibandingkan guru. Peserta didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab. Ini merupakan pendekatan kooperatif bukan kompetitif. Rasa saling menghargai dan mengerti dibina di antara peserta didik yang bekerja bersama. Tutor dikatakan berhasil jika dapat menjelaskan dan yang dijelaskan dapat membuktikan bahwa dia telah mengerti atau memahami dengan cara hasil pekerjaannya. Manfaat peran tutor sebaya :

Page 50: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

47  

 

Nina, Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode

1). Memberi pengaruh positif, baik dalam pendidikan dan sosial pada guru, dan tutor sebaya.

2). Merupakan cara praktis untuk membantu belajar siswa secara individu.

3). Pencapaian kemampuan dengan bantuan tutor sebaya hasilnya bisa menjadi di luar dugaan (lebih baik).

4). Jumlah waktu yang dibutuhkan peserta didik akan meningkat karena bisa di luar sekolah

5) Tutor sebaya memiliki tanggung jawab kepada pembelajar agar mampu memotivasi dan meminimalkan kesenjangan antara siswa yang pandai dan siswa yang kurang sehingga sama-sama memiliki minat belajar yang tinggi.

Pada intinya bahwa penggunaan metode tutor sebaya dalam pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar dan mutu pendidikan yang merupakan salah satu variasi pembelajaran di samping metode pembelajaran yang lain. "Belajar adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 204:14). Perubahan perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil. Hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupa sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik).

Dengan memperhatikan pengertian tutor sebaya, maka dapat disimpulkan bahwa metode tutor sebaya ialah pemanfaatan siswa yang mempunyai keistimewaan, kepandaian

dan kecakapan di dalam kelas untuk membantu memberi penjelasan, bimbingan dan arahan kepada siswa yang kepandaiannya agak kurang atau lambat dalam menerima pelajaran yang usianya hampir sama atau sekelas. Untuk menentukan siapa yang akan dijadikan tutor diperlukan pertimbangan-pertimbangan sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut:a) Memiliki kepandaian lebih unggul daripada siswa lain. b) Memiliki kecakapan dalam menerima pelajaran yang disampaikan oleh guru. c) Mempunyai kesadaran untuk membantu teman lain.d). Dapat diterima dan disenangi siswa yang mendapat program tutor sebaya, sehingga siswa tidak mempunyai rasa takut atau enggan untuk bertanya kepadanya dan rajin.e)Tidak tinggi hati, kejam atau keras hati terhadap sesama kawan f) Mempunyai daya kreatifitas yang cukup untuk memberikan bimbingan yaitu dapat menerangkan pelajaran kepada kawannya.

Agar pelaksanaan pengajaran tutor sebaya dapat berlangsung secara efektif dan berhasil, guru perlu memperhatikan pemilihan petugas tutor sebaya dan pembentukan kelompok. Banyaknya petugas tutor sebaya ditentukan oleh ciri-ciri yang telah disebutkan di atas dan disesuaikan dengan banyaknya siswa dalam kelas tersebut dan banyaknya siswa dalam tiap-tiap kelompok yang akan direncanakan. Petugas itu dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat melaksanakan tugas dengan sebaik mungkin. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dimungkinkan metode tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar bermain musik ansambel kelas VII D SMP Negeri 3 Surabaya tahun pelajaran 2018/ 2019. Metode Penelitian

Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Surabaya tahun pelajaran 2018/ 2019 pada kelas VII D Semester 2 dengan Standar Kompetensi (SK) Menyajikan karya musik daerah setempat secara perorangan maupun kelompok di depan kelas. Obyek penelitian ini adalah siswa kelas VII D SMP Negeri 3 Surabaya tahun pelajaran 2018/ 2019 yang berjumlah 38 siswa yang terbagi menjadi 15 laki-laki dan 23 perempuan dengan latar belakang bervariasi.

Jenis data yang di dapat adalah data kuantitatif dan kualitatif, yaitu sebagai berikut.

Page 51: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

48  

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

1. Data hasil belajar diambil dengan cara memberikan tes kepada para siswa berupa unjuk kerja.

2. Data pelaksanaan pelaksanaan pembelajaran diperoleh dari hasil pengamatan selama pelaksanaan tindakan tiap siklus dengan metode observasi.

3. Data refleksi guru dan siswa diambil dengan cara pemberian angket kepada siswa setelah selesai tiap siklus.

Penelitian Tindakan Kelas dilaksanakan melalui proses pengkajian berdaur yang terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan merefleksikan. Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dikemukakan tersebut maka penelitian ini dapat dikategorikan dalam peneltian gabungan antara kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang diamati. Dalam pelaksanaan observasi ada beberapa teknik yang bisa digunakan antara lain: observasi partisipasif, yaitu pengamat ikut aktif dengan kegiatan obyek yang diamati. Sedangkan observasi non partisipasif adalah pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan yang diselidiki.Dalam kegiatan ini penulis menggunakan observasi partisipasif, dimana penulis ikut aktif dalam kegiatan yang diamati.

2. Penilaian Unjuk Kerja Tes unjuk kerja berupa soal berbentuk praktik unjuk kerja yang harus dikerjakan siswa setiap akhir siklus untuk mengukur kemampuan musik dan hasil belajar siswa. Tes unjuk kerja dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok.

3. Kuisioner Kuisioner merupakan alat pengumpul data dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang harus dijawab dengan tertulis juga. Jawaban – jawaban dalam pertanyaan ini dapat di jawab secara terbuka maupun secara tertutup tergantung dari jenis data yang akan diungkap. Pada penelitian ini pertanyaan diberikan setiap akhir tindakan pada tiap siklus, untuk mengetahui persepsi dan kesan siswa terhadap pelaksanaan tindakan.

4. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data terkait dengan sumber materi pembelajaran, termasuk program tahunan, program semester, rencana pelaksanaaan pembelajaran dan kegiatan selama pelaksanaan penelitian tindakan kelas berlangsung, termasuk dianataranya pengambilan gambar kegiatan selama proses pembelajaran berlangsung.

Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif berdasarkan hasil observasi terhadap proses dan hasil belajar siswa dengan langkah sebagai berikut: a. Melakukan reduksi, yaitu mengecek

dan mencatat kembali data-data yang telah terkumpul.

b. Melakukan interpretasi, yaitu menafsirkan selanjutnya diwujudkan dalam bentuk pernyataan.

c. Melakukan inferensi, yaitu menyimpulkan apakah dalam tindakan pembelajaran ini terjadi peningkatan proses dan hasil belajar siswa atau tidak berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan bersama observer.

d. Tahap tindak lanjut, yaitu merumuskan langkah-langkah perbaikan untuk si- klus berikutnya.

e. Pengambilan kesimpulan, diambil berdasarkan analisis hasil observasi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian dituangkan dalam bentuk interpretasi berupa kalimat pernyataan. Menetapkan pedoman peningkatan kualitas belajar seni musik dengan indikator sebagai berikut: 1) Hasil belajar psikomotorik personal

dinyatakan meningkat jika skor postes siklus I meningkat dari postes siklus II, dengan standar ketuntasan belajar ≥ 70 sebagaimana ditentukan dalam KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) mata pelajaran Seni Budaya di SMP Negeri 3 Surabaya

2) Kemampuan penerapan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sosial dinyatakan meningkat jika skor postes siklus I meningkat dari skor postes siklus II, dengan standar ketuntasan belajar ≥ 70 (soal tes berupa kemampuan menyelesaikan penugasan praktik musik).

3) Aktivitas siswa/proses belajar pada aspek psikomotorik grup (kemampuan bekerja sama) dan afektif (kemauan

Page 52: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

49  

 

Nina, Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode

menghargai orang lain) dinyatakan meningkat jika mengalami peningkatan dari siklus ke siklus pada pembelajaran bermain musik bersama lagu daerah setempat. Penelitian Tindakan Kelas ini

direncanakan 3 siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Langkah awal yang dilakukan sebelum PTK dilaksanakan adalah melaksanakan Pre Test berupa praktik unjuk kerja kepada siswa untuk melihat kemampuan bermain musik siswa. Hasil tes siswa dianalisa untuk menentukan tindakan yang tepat dalam mengatasi kesulitan siswa menghubung-hubungkan fakta dan membuat kesimpulan. Dari hasil analisa maka ditetapkan bahwa tindakan yang digunakan untuk mengatasi rendahnya kemampuan musikal siswa adalah melakukan pembiasaan praktik latihan bermain musik di akhir pembelajaran. Dengan berpedoman pada refleksi awal tersebut maka dilaksanakan PTK dengan prosedur (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, (4) refleksi dalam setiap siklus.

Untuk melaksanakan pembelajaran dengan tutor sebaya, guru/peneliti mempersiapkan bahan ajar dan langkah-langkah mengajar sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh tutor dan oleh peserta didik.Tahap Perencanaan Tindakan meliputi:(1) membuat Program, (2) menyiapkan Tutor , (3) menyiapkan sarana dan prasarana, (4) membuat lembar observasi, (5) membuat alat bantu mengajar yang diperlukan, (6) membuat alat evaluasi / test unjuk kerja. Kegiatan yang dilaksanakan dalam tiap tahap adalah melakukan skenario pembelajaran yang telah dibuat, antara lain:(1) guru melakukan apresiasi, motivasi untuk untuk mengarahkan siswa memasuki KD yang akan dibahas. (2) guru menjelaskan tujuan yang akan dibahas. (3) guru menjelaskan materi pelajaran hari itu dengan menjelaskan lankah kerja yang akan digunakan. (4) guru membagi kelompok dengan pendampingan tutor yang sudah disiapkan.

Observasi atau pengamatan pada siswa ditekankan pada kerjasama, serta keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Selain itu, aktifitas serta peran siswa dalam pembelajaran tutor sebaya juga diamati. Keterlibatan anak dalam kegiatan belajar mengajar tak jelas pada keaktifan dan partisipasi siswa dalam melakukan aktifitas yang disampaikan tutor.

Pada kondisi awal pembelajaran masih berfokus pada guru sebagai pusat aktifitas. Keaktifan siswa siswa masih banyak dalam kendali dan peintah guru. Pada siklus satu satu keaktifan guru mulai berkurang. Aktifitas siswa mulai dibantu oleh para tutor yang berperan sebagai pendamping. Pembelajaran sudah banyak melibatkan tutor. Pada siklus 2, peran guru sudah banyak mengalami pengurangan. Guru hanya memberikan ulasan dan sesekali membantu tutor dalam penyampaian materi, termasuk mengkondisikan siswa. Pada siklus 3 Guru hanya memberikan tugas kepada para tutor untuk diajarkan kepeserta didik. Dalam pelaksanaan pembelajaran, setiap siklus diamati, untuk mengetahui apakah setiap tindakan ada perubahan atau belum. Perolehan data pada setiap siklus diadakan penilaian unjuk kerja berupa bermain musik menggunakan pianika atau recorder. Penilaian dilakukan sesuai dengan perencanaan yang terdapat pada RPP. Data yang dianalisis meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Perubahan yang terjadi pada saat

pembelajaran maupun sesudah pembelajaran

2. Peningkatan hasil belajar pada setiap siklus. Hasil Dan Pembahasan

Hasil belajar siswa kelas VII D SMP Negeri 3 Surabaya pada mata pelajaran Seni Budaya semester genap dengan Standar Kompetensi Mengekspresikan diri melalui karya seni musik yang dijabarkan dalam Kompetensi Dasar Menyajikan karya musik daerah setempat secara perorangan maupun kelompok belum memperoleh hasil yang maksimal. Dalam ulangan harian yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2018 yang diikuti oleh 38 siswa, 19 siswa mencapai KKM atau sekitar 59%, dengan nilai rerata 74. Sebelum penelitian dilaksanakan , guru belum melaksanakan pembelajaran dengan Tutor Sebaya. Jalannya pembelajaran lebih banyak di dominasi oleh guru, sedangkan siswa lebih banyak diperlakukan sebagai obyek belajar. Dalam kondisi awal anak diajak bermain alat musik untuk memainkan sebuah lagu secara berulang-ulang, baik bersama maupun berkelompok. Penilaian dilaksanakan setelah pertemuan kedua berakhir. Siklus 1 1. Perencanaan, guru membuat Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP).

Page 53: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

50  

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

2. Pelaksanaan Tindakan a. Pendahuluan, sebelum melaksanakan

kegiatan Pembelajaran ( Satu minggu sebelumnya), guru melatih 9 anak yang memiliki kelebihan dalam bermain musik untuk dibimbing menjadi tutor ( waktu diluar jam pelajaran). Diharapkan dengan cara ini akan terbentuk sistem pembelajaran efektif dan efisien.

b. Kegiatan Inti, sesuai dengan yang telah direncanakan, dalam siklus pertama ini pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran Tutor sebaya. Dalam kegiatan ini guru melakukan langkah-langkah , antara lain: (i) Guru melakukan apresiasi, motivasi

untuk untuk mengarahkan siswa memasuki KD yang akan dibahas.

(ii) Guru menjelaskan tujuan yang akan dibahas.

(iii) Guru menjelaskan materi pelajaran hari itu dengan menjelaskan lankah kerja yang akan digunakan.

(iv) Guru membagi kelompok dengan pendampingan tutor yang sudah disiapkan.

Dalam pembelajaran siklus satu, guru masih ikut campur tangan dalam pelaksanaan pembelajaran, walaupun hanya mengiringi lagu, dan memperhatikan jalannya pembelajaran.

c. Hasil Pelaksanaan. Pada siklus satu, terjadi peningkatan hasil belajar. Pencapaian ketuntasan belajar sebesar 84 %, dengan nilai tertinggi 100, nilai terendah 62, dan nilai rerata 86,16. Nilai tertinggi pada siklus 1 adalah 100. Nilai ini mengalami peningkatan sebesar 4,25%. Nilai terendah pada siklus 1 adalah 62. Pada siklus 1 mengalami peningkatan dari 42 menjadi 62 sebesar 47%. Rata-rata nilai secara keseluruhan adalah 86,14 dengan prosentase ketuntasan belajar sebesar 84%.

No

Uraian Kondisi Awal Siklus 1

1 Tindakan

Dalam proses pembelajaran belum menerapkan Tutor sebaya

Dalam pembelajaran sudah menggunakan Tutor Sebaya

2 Proses Pembelaj

Keaktifan siswa

Sebagian besar

aran tergantung pada perintah guru

siswa aktif tanpa perintah guru

3 Hasil Belajar

Nilai ulangan harian Nilai tertinggi : 94 Nilai terendah : 42 Nilai rerata :Ketuntasan :

Nilai ulangan harian Nilai tertinggi : 100 Nilai terendah : 62 Nilai rerataKetuntasan

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan metode tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar dalam proses pembelajaran, selain itu juga metode Tutor sebaya membantu mengembangkan aktivitas dan kreatifitas siswa. Peningkatan kwalitas proses mengakibatkan terjadinya peningkatan pada segi hasil belajar siswa. Nilai tertinggi siswa mengalami peningkatan sebesar 4,2%, dari 96 menjadi 100. Nilai terendah mengalami peningkatan sebesar 47,6%, dari 42 menjadi 62. Nilai rerata mengalami peningkatan sebesar 21,81%, dari 74 menjadi 86,14, dan pencapaian prosentase ketuntasan belajar juga mengalami peningkatan sebesar 25%, dari 59% menjadi 84%. Peningkatan hasil belajar dari kondisi awal ke siklus pertama tersebut tergolong peningkatan yang cukup tinggi. Namun hal tersebut wajar karena pada kondisi awal guru banyak menggunakan sistim drill.

Siklus 2 1. Perencanaan, guru menyusun RPP 2. Pelaksanaan Tindakan

a. Pendahuluan Sebelum melaksanakan kegiatan, guru melatih 9 anak yang memiliki kelebihan dalam bermain musik untuk dibimbing menjadi tutor. Diharapkan dengan cara ini akan terbentuk sistem pembelajaran efektif dan efisien.

b. Kegiatan Inti Kegiatan inti pada siklus 2 hampir sama dengan siklus pertama, hanya waktunya yang relatif singkat. Pada siklus ini guru hanya mengenalkan lagu yang dimainkan oleh para tutor. Pada

Page 54: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

51  

 

Nina, Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode

kegiatan berikutnya siswa ikut bermain bersama tutor. Kegiatan berikutnya pada pertemuan tersebut para siswa bermain bersama dengan bimbingan tutor. Satu minggu berikutnya dilakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa.

3. Hasil Pelaksanaan. Pada siklus dua ada sedikit peningkatan hasil belajar. Pencapaian ketuntasan belajar sebesar 93 %, dengan nilai tertinggi 100, nilai terendah 69, dan nilai rerata 87,1. Pada siklus dua ada sedikit peningkatan hasil belajar. Pencapaian ketuntasan belajar sebesar 93 %, dengan nilai tertinggi 100, nilai terendah 69, dan nilai rerata 87,1. Prosentase yang belum tuntas : 3/ 24 x 100% = 12,5%.

No

Uraian Siklus 1 Siklus 2

1 Tindakan Dalam proses pembelajaran menerapkan Tutor sebaya

Dalam pembelajaran sudah menggunakan Tutor Sebaya

2 Proses Pembelajaran

Sebagian besar siswa aktif tanpa perintah guru

Sebagian besar siswa aktif tanpa perintah guru

3 Hasil belajar

Nilai ulangan harian Nilai tertinggi : 100 Nilai terendah : 62 Nilai rerataKetuntasan

Nilai ulangan harian Nilai tertinggi : 100 Nilai terendah : 69 Nilai rerataKetuntasan

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada siklus 2 terjadi peningkatan baik kwalitas proses maupun hasil belajar siswa. Dalam proses pembelajaran siswa menjadi lebih aktif, dan lebih bertanggungjawab. Dalam proses ini anak lebih tertantang untuk mencoba sesuatu yang baru dengan kondisi lagu yang berbeda. Adapun hasil belajar siswa, mengalami peningkatan yang signifikan. Nilai tertinggi sudah maksimal yaitu 100. Nilai terendah naik 11,2% dari 62 menjadi 69.Nilai rerata naik 1,16% dari 86,14 menjadi 87,14. Ketuntasan belajar naik 7% dari 86,14% menjadi 93%.

Simpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan

sebagai berikut. 1. Dengan menggunakan metode tutor sebaya

mampu meningkatkan hasil belajar dalam pembelajar ansambel pada alat musik pianika.Nilai terendah mengalami peningkatan sebesar 38,88%, yaitu dari nilai 54 menjadi 75, nilai tertinggi mengalami peningkatan sebesar 4,16%.

2. Dengan menggunakan metode tutor sebaya mampu meningkatkan hasil belajar pada pembelajaran musik ansambel pada alat musik recorder.Nilai terendah mengalami peingkatan sebesar 64,28%, dan nilai tertinggi mengalami peningkatan sebesar 8,69%.

3. Pembelajaran dengan metode tutor sebaya ternyata lebih efektif digunakan dibanding dengan metode klasikal dalam pembelajaran musik ansamel. Hal ini terbukti karena pembelajaran dengan tutor sebaya dapat dilakukan diluar kelas/ diluar jam tatap muka.

Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar (1) para guru seni budaya me nerapkan metode tutor sebaya dalam pembelajaran ansambel musik di sekolah.(2) Mencoba menerapkan metode tutor sebaya dalam mencapai tujuan pelajaran pada kompetensi dasar yang lain. Daftar Pustaka Ali Muhamad. 2004. Bimbingan dan Belajar.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya Agustin Marsal. 2006. Bermain Band. Jakarta:Arlangga.

Aria Djalil . 1997. Metode Tutor Sebaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Arikunto. 1986. Metode Tutor Sebaya.Yogyakarta: Aditya Media.

Budidharma. 2001. Ilmu Harmoni. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Hasim Zaini. 2004. Metodologi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

John Coolingwood. 1991. Education Research.by Pearson Education , Lac Upper River, New Jersey (terjemahan)

Kuswoyo Wihardid. 1997. Metode Tutor Sebaya. Jakarta: Arlangga

Miller. 1989. Psikologi Belajar. Bandung: CV. Pustaka Setia

Nasution, 2003.Psikologi Belajar. Bandung: CV. Pustaka Setia

Page 55: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

52  

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Nanik Suprihyatin. 2010. Bimbingan dan Pemecahan Masalah. Yogyakarta: Aditya Media

PP mendiknas No 22. 2006 Sugiyanto.2004.Harmoni Komposisi. Jakarta:

Arlangga Sudjana, 2002. Psikologi Belajar. Salatiga:

Widya Sari Perss. Setyowati, 2006. Psikologi Perkembangan.

Bandung: CV. Pustaka Setia Sukarman. 2004. Bakat dan Hasil Belajar.

Bandung: CV Irama Widya Zaenal Aqib.2006. Penelitian Tindakan Kelas.

Bandung: CV Irama Widya

Page 56: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

53

Siti M, Peningkatan Hasil Belajar IPA Menggunakan Pendekatan Inquiri

Peningkatan Hasil Belajar IPA Menggunakan Pendekatan Inquiri Terbimbing Siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya

Siti Munawaroh

email : [email protected] SMP Negeri 3 Surabaya

Abstrak

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilatar belakangi oleh rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Berdasarkan pengamatan, sebagian besar siswa kelas VIII mendapatkan nilai IPA di bawah KKM (80). Setelah diadakan identifikasi masalah maka alternative solusi yang dianggap tepat adalah mempelajari IPA secara kelompok yang heterogen dan tidak terpaku oleh guru sebagaimana yang dilakukan dalam pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Penelitian ini mencoba memecahkan masalah tersebut melalui penelitian tindakan kelas dengan pendekatan inkuiri terbimbing untuk siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya. Peningkatan hasil belajar siklus I dan siklus II dapat dilihat dengan meningkatnya hasil prosentase keaktifan siswa dari 62,038 menjadi 76,25%, meningkatnya hasil prosentase kerjasama siswa dari 52,46% menjadi 72,66%, meningkatnya nilai rata-rata siswa dari 69,05 menjadi 76,00 meningkatnya ketuntasan klasikal dari 55% menjadi 85 %, dan juga meningkatnya hasil kinerja guru dari 70,83% menjadi 81,25%.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kompetensi dasar IPA siswa. Temuan penelitian ini dapat menjadi masukan guna meningkatkan mutu proses belajar mengajar IPA di sekolah menengah pertama.

Kata kunci : inkuiri terbimbing, hasil belajar.IPA Pendahuluan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di kelas pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Surabaya diidentifikasi terdapat permasalahan yaitu. Dilihat dari kegiatan dan aktivitas siswa setiap kali pembelajaran. Dari 38 siswa hanya 30 siswa yang aktif mengikuti pelajaran dan sebagian diantaranya hanya tidur setiap kali pembelajaran.Ada siswa yang berpendapat bahwa setiap kali pembelajaran IPA serasa didongengi sehingga membuat siswa mengantuk. Masih banyak yang menjadi sorotan ketika menjadi pengajar sekaligus pengamat dalam penelitian ini, diantaranya: 1. hasil tes formatif masih kurang

memuaskan, pada ulangan akhir semester gasal 2017/2018 didapat nilai rata-rata kelas 77 sedangkan nilai Kriteria Ketuntasan Mminimum (KKM) 80 dan ketuntasan belajar seluruh kelas 80%

2. siswa cenderung tidak menunjukan minat yang baik terhadap pembelajaran IPA, hal

ini terlihat pada saat pelajaran IPA banyak siswa yang mengobrol sendiri dan tidak mendengarkan pada saat guru mengajar

3. guru sering menemukan kesulitan memberikan motivasi siswa agar mampu mengemukakan pertanyaan atau pendapat.

Hal ini terjadi dikarenakan cara pengajaran guru masih menggunakan metode ceramah sehingga membuat siswa cenderung bosan dan kurang aktif saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Kemudian guru jarang sekali memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan teman sejawat atau dengan guru dalam upaya mengembangkan pemahaman konsep, pengembangan interaksi kelompok dan kerjasama.Hal ini mengakibatkan proses belajar mengajar di kelas jauh dari menyenangkan

Salah satu upaya dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa dalam mata pelajaran IPA fisika adalah dengan pembelajaran aktif yaitu dengan mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran serta memberikan motivasi kepada siswa

Page 57: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

54

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

untuk belajar dan selain itu juga seorang guru harus mampu memilih model pembelajaran yang sesuai dan kemampuan menyajikan model pembelajaran yang menarik dan bervariasi. Model pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan dasar dan sikap positif siswa, sehingga proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien dalam suasana yang menyenangkan sehingga akan membangkitkan minat serta meningkatkan motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran IPA fisika, juga mampu meningkatkan kemampuan berpikir siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan, dan mengukur paradigma pembelajaran dari siswa sehingga objek atau sasaran pembelajaran menjadi subjek pelaku dan tujuan pembelajaran.

Maka dari itu pembelajaran IPA fisika perlu diperbaiki guna meningkatkan kemampuan dan prestasi siswa. Usaha itu dimulai dengan pembentukan proses pembelajaran yang dilakukan guru yaitu dengan menawarkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa. Salah satu caranya yaitu pembelajaran dengan model pembelajar inkuiri.

Pembelajaran inkuiri, berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahamiinformasi. Strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri (Trianto, 2007:135).

Dari permasalahan diatas, maka peneliti mencoba menggunakan pendekatan inkuiri sebagai salah satu alternatif yang di harapkan mampu meningkatkan kemampuan siswa berpikir kritis untuk menyelesaikan permasalahkan fisika dan melatih siswa mencari jalan keluar dengan strategi yang dimilikinya. Kajian Pustaka Pengertian belajar

Menurut Biggs belajar didefinisikan dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional dan rumusan

kualitatif (Muhibbin, 2004:91). Secara kuantitatif, belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasi siswa.

Menurut Slameto (2010: 54-72). Faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu:

Faktor Intern a. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam

diri individu yang sedang belajar. b. Faktor eksternal Faktor intern adalah faktor yang berasal

dari luar diri individu yang sedang belajar. Hasil belajar

Menurut Agus Suprijono (2011 : 5) ”hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Dengan adanya proses belajar, maka otomatis seorang individu akan mengalami perubahan tingkah laku sebagai suatu hasil dari proses belajar, dimana diharapkan perubahan perilaku tersebut menuju ke arah yang lebih baik. Metode Penelitian

Penelitian tindakan kelas merupakan suatu studi sistematis yang dilakukan guna memperbaiki praktik-praktik atau kinerja dalam melaksanakan pembelajaran dengan melakukan tindakan praktis serta refleksi terhadap tindakan yang telah di lakukan. Penelitian ini akan di laksanakan di SMP Negeri 3 Surabaya tepatnya di kelas VIII. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus pada tanggal 7 Februari 2018 sampai tanggal 27 Maret 2018. Indikator keberhasilan penelitian meliputi: a. Aspek Kognitif :

Siswa dapat dikatakan tuntas belajar apabila nilai yang didapat dari hasil tes telah memenuhi kreteria ketuntasan minimum (KKM). yakni 8,00. Dikatakan berhasil apabila 90 % siswa nilainya di atas atau sama dengan KKM.

b. Aspek afektif dan psikomotorik Pembelajaran dikatakan berhasil apabila keaktifan siswa mencapai prosentase >80%.

Kriteria penafsiran variabel penelitian ini ditentukan: Jika diperoleh prosentase < 65% = respon guru

Page 58: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

55

Siti M, Peningkatan Hasil Belajar IPA Menggunakan Pendekatan Inquiri

tidak baik Jika diperoleh prosentase 66% - 80% = respon guru cukup baik Jika diperoleh prosentase 81% - 90% = respon guru baik Jika diperoleh prosentase >90% = respon guru sangat baik Hasil Dan Pembahasan

Penelitian tindakan kelas dilaksanakan pada tanggal 7 Februari 2018 sampai tanggal 27 Maret 2018 di kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya Tahun Pelajaran 2017/2018. Setelah persiapan dilakukan maka langkah selanjutnya adalah pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dengan dua siklus, dan tiap siklus terdiri atas tahapan perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I dan siklus II pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing menunjukkan

peningkatan hasil belajar. Pembelajaran tersebut mampu meningkatkan hasil belajar siswa di kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya pada materi pokok tekanan. Hal ini dapat dilihat pada siklus I yang dari 38 siswa terdapat 80% siswa yang tuntas belajar secara individu, dapat dilihat gambar di bawah ini. Sedangkan pada siklus II terdapat 90% siswa tuntas KKM. Dibandingkan dengan siklus I yaitu sebesar 80 % dan siklus II sebesar 95 % tampak bahwa siswa cenderung lebih aktif. Kerjasama antar siswa juga mengalami peningkatan yang cukup besar, yakni dari 80% menjadi 97%. Kinerja guru juga meningkat dari 85% menjadi 95%. Ini menunjukkan bahwa harus ada perubahan pada proses pembelajaran yang baru dan menarik bagi siswa, sehingga siswa lebih antusias mengikuti pelajaran. Jika dilihat dari perbandingan grafik antara siklus I dan siklus II adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Rangkuman pelaksanaan keseluruhan

Berdasarkan uraian di atas, dengan

menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dalam pokok bahasan Tekanan kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya dapat meningkatkan hasil belajar, keaktifan siswa, dan kerjasama siswa dalam proses belajar mengajar sehingga pendekatan pembelajaran ini dapat diterapkan pada KBM selanjutnya untuk memotivasi dan menumbuhkan minat siswa dalam belajar. Simpulan

Pembelajaran IPA melalui Pendekatan Inkuiri Terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya, karena pembelajaran dengan

menggunakan metode inquiri terbimbing dirasa lebih menarik dan menyenangkan sehingga siswa tidak merasa bosan. Pada hasil belajar dan keaktifan siswa melalui penerapan Pendekatan Inkuiri Terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar IPA Terdapat kesamaan dalam peningkatannya, karena peningkatan hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat keaktifan siswa itu sendiri. Daftar Pustaka H, Hamruni. 2009. Strategi dan model-model

pembelajaran aktif menyenangkan. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

0 0

75 77

0

80 80 79 8085

95 97

8590

95

0

20

40

60

80

100

120

Keaktifan Kerjasama Rata ‐ rataKelas

KetuntasanKlasikal

Kinerja Guru

pra siklus

siklus 1

siklus 2

Page 59: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

56

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Roestiyah N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.

Jakarta: Prestasi Pustaka. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudjana, M A. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya

Page 60: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

57

Imam, Peningkatan Aktfitas Dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan

Peningkatan Aktfitas Dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan Tambang Di Indonesia Dengan Model Kooperatif Tipe NHT

Pada Siswa Kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik Imam Qurniawan

email : [email protected] MAN 1 Gresik

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar geografi siswa melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas. Subyek penelitian ini yaitu siswa kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik yang berjumlah 38 orang, terdiri atas 15 laki-laki dan 23 perempuan. Materi pembelajaran di dalam pelaksanaan penelitian ini adalah tentang sebaran bahan tambang di Indonesia, yang ada di semester gasal kelas XI kurikulum 2013 revisi 2017. Setelah diadakan tindakan terjadi peningkatan rata-rata aktivitas siswa sebesar 74,6 pada siklus 1 meningkat menjadi 81,2 pada siklus II dan megalami peningkatan 88,90 di siklus ke III. Penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam hal ini terbukti dari peningkatan hasil belajar pada siklus 1 yaitu 75,1 mengalami peningkatan pada siklus ke II yaitu 84,2 dan meningkat pada siklus ke III yaitu 89,30. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran kooperatif NHT dapat diterapkan untuk meningkatkan aktifitas dan hasil belajar Geografi materi sebaran bahan tambang di Indonesia pada siswa kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik.

Kata kunci: pembelajaran kooperatif, NHT, geografi, XI IPS Pendahuluan

Mata Pelajaran Geografi, yang diujikan dalam ujian nasional merupakan pelajaran jurusan di sekolah menengah atas sehingga pelajaran geografi perlu mendapat perhatian dalam hal pencapaian prestasi. Pelajaran geografi berperan dalam menentukan kelulusan siswa pada ujian Nasional maka harus dipastikan bahwa siswa harus mencapai prestasi geografi yang baik untuk dapat mencapai kelulusan. Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa prestasi geografi secara umum masih belum bisa dikatakan membanggakan. Sementara itu pelajaran Geografi sangat berperan dalam menentukan keberhasilan pendidikan siswa. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan bagi orang tua, guru dan siswa itu sendiri. Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh para guru untuk meningkatkan hasil belajar geografi, baik dalam bentuk pemenuhan fasilitas belajar, penambahan waktu belajar dan penerapan berbagai metode di dalam kelas. Semua ini belum bisa mendongkrak hasil belajar geografi. Diperlukan upaya lain dalam hal

penerapan metode belajar tepat untuk memberi dukungan dan tambahan alternatif lain juga untuk memperkaya penerapan metode yang sudah ada, guna mencapai hasil belajar yang lebih baik pada geografi di jenjang Sekolah Menengah Atas. Permasalahan tidak tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal adalah masih banyaknya jumlah siswa yang belum tuntas terjadi pada setiap sekolah dan di setiap mata pelajaran, termasuk di MAN 1 Gresik. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan di MAN 1 Gresik di peroleh data banyaknya jumlah siswa yang belum mencapai syarat ketuntasan minimal pada mata pelajaran Geografi yaitu 75.

Tabel 1. Hasil tes Mata Pelajaran Geografi di

Kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik Tahun Pelajaran 2017/2018.

No Interval Frekuensi Persentase 1 ≥ 75 ( Tuntas ) 7 17% 2 < 75 (Tidak Tuntas ) 31 83% Jumlah 38 100%

(Sumber: Dokumentasi Guru peneliti kelas XI IPS I Tahun 2017)

Page 61: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

58

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Syarat minimal ketuntasan belajar Geografi yaitu 75. Dalam pembelajaran guru perlu memperhatikan kriteria ketuntasan (KKM) hal berikut ini: 1. KKM ditetapkan pada awal tahun

pelajaran 2. KKM ditetapkan oleh forum MGMP

sekolah/madrasah 3. Nilai KKM dinyatakan dalam bilangan

bilangan bulat dengan rentang 40-100 4. Sekolah dapat menetapkan nilai dibawah

nilai ketuntasan 5. Nilai KKM harus dicantumkan dalam

laporan hasil belajar siswa. Menurut Djamarah (2008) yang

menjadi petunjuk suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah sebagai berikut: 1. Daya serap terhadap bahan pengajaran

yang diajarkan mencapai prestasi tinggi,baik secara individu, maupun kelompok

2. Perilaku yang terdapat dalam tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok.

Kondisi di lapangan banyak guru yang mengalami kesulitan dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Guru dituntut dapat mengelola kelas yang efektif, dapat dinyatakan bahwa segala macam kegiatan proses pembelajaran dapat mencapai tujuan yang diinginkan, dengan kata lain dapat memberikan pengaruh dan dampak positif terhadap pembelajaran siswa.

Kemampuan mengelola kelas sering juga disebut sebagai kemampuan menguasai kelas dalam arti guru harus mampu menguasai, mengontrol, mengendalikan perilaku siswa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran di kelas dalam artian dapatmeningkatkan motivasi dan aktivitas belajar siswa. Selain itu, kemampuan pengelolaan kelas yang baik yang dilakukan oleh guru dapat pula menjadi faktor dalam meningkatkan mutu pendidikan. Tidak hanya itu, motivasi untuk siswa yang tumbuh dalam diri siswa akan membantu siswa dalam meningkatkan aktivitas belajarnya sehingga dapat mencapai hasil yang terbaik. Dalam ini kerberhasilan pengelolaan kelas akan memberikan dukungan terhadap efektivitas tercapainya tujuan pembelajaran.

Pembelajaran dikatakan efektif apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen berfungsi secara keseluruhan, peserta merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran memberi kesan, fasilitas memadai, materi dan metode yang digunakan. Praktek pembelajaran geografi di sekolah selama ini terkesan tidak menarik bagi siswa. Siswa menganggap pelajaran geografi hanya sebagai pelajaran yang lebih bersifat hafalan, yakni hanya membeberkan teori-teori saja tanpa ada prakteknya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa geografi merupakan mata pelajaran yang kurang menarik sehingga siswa kurang antusias, membosankan, sulit dan lain-lain yang menunjukan sebenarnya siswa tidak menyukai pelajaran tersebut. Keadaan ini dapat diperparah lagi jika guru mengajarkannya monoton, terlalu teoritis, dan kurang buku ajar dan fasilitas penunjang lain.

Berdasarkan hasil observasi di kelas dan wawancara dengan guru geografi fakta menunjukan bahwa: 1. Model pembelajaran yang diaplikasikan

selama ini adalah model ceramah dengan dominasi guru yang sangat tinggi di kelas dan belum divariasi dengan model pembelajaran lain seperti praktikum sebagai penunjang teori yang telah ada.

2. Pelaksanaan pembelajaran hanya berpusat pada guru

3. Komunikasi guru dan siswa kurang intensif 4. Perhatian siswa terhadap materi

pembelajaran belum terfokus, sebab kondisi pembelajaran monoton dan searah.

5. Siswa sulit memahami materi pelajaran yang diajarkan oleh guru

6. Siswa hanya mencatat materi yang diberikan guru

7. Guru kurang memberi dorongan dan motivasi kepada siswa untuk belajar

8. Sumber belajar yang digunakan masih kurang yaitu hanya menggunakan buku pelajaran dan lembar kerja siswa (LKS)

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa guru dalam melaksanakan pembelajaran geografi sering dilaksanakan dengan menularkan pengetahuan atau menberikan informasi secara lisan. Di sini yang aktif adalah guru sedangkan siswa hanya pasif mencatat dan mendengarkan sehingga aktivitas dan kreatifitas siswa kurang nampak. Rendahnya nilai siswa diakibatkan karena siswa kurang aktif dalam pembelajaran dan

Page 62: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

59

Imam, Peningkatan Aktfitas Dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan

guru dalam mengelola kelas belum memusatkan siswa sebagai pusat kegiatan. Siswa yang hanya mencatat saja dan kurang aktif di dalam kelas disaat guru menyampaikan materi, memiliki penguasaan materi yang tidak maksimal. Siswa masih mendapatkan nilai yang rendah karena keadaan siswa masih pasif di kelas. Kajian Pustaka Pembelajaran Kooperatif ( Cooperative Learning)

Endrayana (2019) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Pembelajaran ini muncul karena adanya perkembangan dalam sistem pembelajaran yang ada. Pembelajaran kooperatif menggantikan sistem pembelajaran yang individual. Dimana guru terus memberikan informasi ( guru sebagai pusat ) dan peserta didik hanya mendengarkan. Pembelajaran kooperatif mendapat dukungan dari Vygotsky tokoh teori kontruktivisme. Pembelajaran kooperatif ini membuat siswa dapat bekerjasama dan adanya partisiasi aktif dari siswa. Guru sebagai fasilisator dan pembimbing yang akan mengarahkan setiap peserta didik menuju pengetahuan yang benar dan tepat. Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat belajar ( learning community ). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru, tetapi dengan sesama siswa juga.

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat. Didalam pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan, antara lain saling ketergantungan positif antara guru dan siswa, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, dan keterampilan menjalin hubungan antar pribadi. Tujuan pembelajaran kooperatif antara lain meningkatkan hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial yakni mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi untuk saling berinteraksi dengan teman yang

lain.Kurangnya aktivitas belajar siswa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran. Guru sering memberikan pelajaran dalam bentuk ceramah, sehingga siswa tidak terangsang untuk mengembangkan kemampuan berfikir kreatif. Oleh karena itu model pembelajaran kooperatif tipe NHT diharapkan dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat memotivasi dan mengaktifkan siswa sesuai dengan teori belajar tentang pentingnya keterlibatan seluruh siswa dalam proses pembelajaran sehingga terbentuk pemahaman geografi. Pembelajaran yang berlangsung dengan memotivasi siswa yang tinggi maka akan mendapatkan perolehan prestasi belajar yang tinggi. Motivasi yang tinggi dalam pembelajaran, apalagi motivasi instrinsik akan sangat menentukan perolehan prestasi belajar. Proses kerjasama dalam diskusi kelompok dalam penerapan NHT memungkinkan siswa lebih kritis dan memperdalam konsep sehingga berpengaruh terhadap prestasi belajar geografi tanpa membedakan kemampuan akademik siswa. Pada intinya model pembelajaran NHT dapat membuat siswa menjalin interaksi antar siswa melalui diskusi secara bersama-sama dalam menyelesaian masalah yang dihadapi.

Berikut ini kelebihan pembelajaran NHT yang dapat memperbaiki pembelajaran yaitu : a. Terjadi interaksi antar siswa melalui diskusi

siswa secara bersama dalam menyelesaian masalah yang dihadapi.

b. Dengan bekerja secara kooperatif ini, kemungkinan kontruksi pengetahuan akan menjadi lebih besar kemungkinan untuk siswa dapat sampai pada kesimpulan yang diharapkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya, berdiskusi, dan mengembangkan bakat kepemimpinan.

Art dan Newman (Trianto, 2009:56) mengemukakan bahwa dalam belajar kooperatif, siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran kooperatif bisa digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Dengan bekerja secara kooperatif ini, siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakan keterampilan bertanya, berdiskusi, dan mengembangkan bakat

Page 63: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

60

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

kepemimpinan sehingga kemungkinan kontruksi pengetahuan akan menjadi lebih besar.

Menurut Oemar Hamalik (2008:159) evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar ini sesuai dengan tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran model NHT adalah mengembangkan kemampuan berpikirsecara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental ( Sumarmi : 2012). Berdasarkan aspek-aspek yang saling berhubungan erat yang diuraiakan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Geografi mengunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) Pada Kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik Tahun Pelajaran 2018/2019. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Menurut Dave Edbutt (1985) dalam Pargito (2011: 18) PTK adalah penelitian tindakan yang dilakukan terhadap usaha-usaha perbaikan praktik pendidikan oleh para partisipan (guru-murid) melalui langkah-langkah dalam praktik mereka dengan cara merefleksikannya dalam praktik mereka sendiri. Penelitian tindakan kelas ini dilaksananakan di MAN 1 Gresik. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik sebanyak 38 siswa. Obyek penelitian adalah Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Tipe Numbered head together pada semester gasal Tahun Pelajaran 2018/2019 di MAN 1 Gresik. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan tes. Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran siswa terhadap mata pelajaran geografi. Lembar observasi ini dibuat oleh peneliti dan guru mata pelajaran Hasil dan Pembahasan Aktivitas Siswa

Dalam penelitian ini data aktivitas siswa yang diamati adalah aktivitas On Task. Data

aktivitas siswa diambil selama kegiatan pembelajaran berlangsung. 1) Proses PTK

Pada siklus 1 siswa sudah mulai terbiasa mengikuti pembelajaran dengan metode yang diterapkan oleh guru mata pelajaran maupun guru peneliti. Walaupun masih ada sebagian siswa yang sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Meningkatnya aktivitas siswa didukung oleh meningkatnya aktivitas guru dalam membimbing dan meningkatkan suasana yang mengarah kepembelajaran kooperatif tipe NHT. Dalam siklus I ini semua siswa berdiskusi dengan teman sekelompoknya, melakukan tukar menukar informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat. Semua siswa berdiskusi dan meyakinkan anggota kelompoknya bahwa setiap kelompoknya mengetahui jawaban terhadap tugas kelompoknya tersebut dengan batas yang telah ditentukan yaitu 30 menit untuk berdiskusi. Saat diskusi menggunakan model pembelajaran NHT (Numbered Head Together) siswa masih bingung dengan model pembelajaran baru ini,karena itu di dalam diskusi kelompok tidak semua siswa mengerjakan tugas kelompok. Di dalam kelompok ada beberapa siswa yang masih mendominasi dalam mengerjakan tugas kelompok. Dalam siklus ini guru lebih memberikan perhatian kepada siswa dan menbantu siswa jika mendapat kesulitan.

Pada siklus II dibahas tentang jenis-jenis sumber bahan tambang ditambah dengan media audio visual. Siswa dibagi menjadi kelompok yang berbeda dari siklus I. Pembagian kelompok ini berdasarkan kemampuan akademiknya. Siswa yang memperoleh nilai tinggi dicampur dengan siswa yang memperoleh nilai rendah. Pada saat sebelum menyampaikan materi guru memberikan penguatan agar siswa lebih termotivasi lagi untuk aktif dalam kelas.

Pada siklus III kegiatan pembelajaran benar-benar memanfaatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa dibagi menjadi kelompok yang berbeda dari siklus I dan II. Materi yang diberikan yaitu tentang sumber bahan tambang. Dalam siklus III ini dilaksanakan di

Page 64: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

61

Imam, Peningkatan Aktfitas Dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan

outdoor dikarenakan agar siswa tidak jenuh dalam kondisi kelas.

2) Aktivitas Belajar Siswa Berikut ini adalah tabel persentase

aktivitas siswa pada setiap siklus:

Tabel 2 Data Aktivitas Siswa

Sumber: Dokumentasi guru peneliti

Dapat diketahui bahwa jumlah ratarata persentase pada siklus I adalah 74,6% mengalami peningkatan pada siklus II yaitu 81,2%, dan mengalami peningkatan pada siklus III 88,90%. Pembagian kelompok pada setiap siklus berdasarkankemampuan akademiknya. Siswa yang memperoleh nilai tinggi dicampur dengan siswa yang memperoleh nilai rendah. Dalam siklus ini aktivitas yang dinilai yaitu aktivitas on task, walaupun masih terdapat suasana yang gaduh didalam pelajaran tetapi pada siklus III ini dikatakan berhasil karena indikator keberhasilan telah tercapai dengan persentase 88,90% dengan indikator 80% dari yang ditetapkan.

3) Hasil Belajar Siswa Data Hasil belajar siswa diperoleh

setelah siswa melakukan tes pada setiap akhir siklus. Data hasil belajar siswa dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Data Hasil Belajar Siswa No Subjek S1 S2 S3

1 Banyak siswa nilai ≥75

78,2% 85,3% 91%

2 Nilai rata – rata kelas

75,1 84,2 89,30

Sumber: Hasil tes akhir siklus I,II dan III

Jika siswa memperoleh nilai ≥75 maka siswa dapat dikatakan tuntas belajar. Begitu juga dengan persentase ketuntasan belajar siswa dikelas yaitu ≥75. Pada siklus satu, hasil belajar siswa masih tergolong rendah karena belum mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sebesar 75%. Hanya 78,2% siswa yang mencapai

ketuntasan atau 30 siswa dari 38 siswa. Hal ini disebabkan karena masih ada siswa yang dalam prosespembelajaran tidak memperhatikan guru menjelaskan materi pembelajaran atau mempelajari materi pembelajaran. Walaupun masih ada beberapa siswa yang tidak mengikuti proses pembelajaran secara efektif. Hasil pada siklus kedua, suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan mulai tercipta. Pada siklus kedua ini hasil belajar siswa yang mendapat nilai ≥75 juga mengalami peningkatan. Pada siklus II ini siswa mulai memahami pelajaran dengan menggunakan metodeyang baru seperti model kooperatif tipe NHT. Siswa dapat memahami materi yang diberikan dengan cepat.

Hasil pada siklus ketiga ini tingkat pemahaman siswa tentang standar kompetensi memahami sumberdaya alam meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil akhir siklus siswa kelas XI IPS 1 pada siklus ketiga ini yang semakin meningkat. Hal ini karena suasana pembelajaran semakin efektif. Adanya peningkatan tersebut dikarenakan siswa mulai terbiasa dengan rangkaian kegiatan pembelajaran yang mulai dapat diikuti oleh siswa dan dapat berjalan sesuai skenario pembelajaran. Adanya peningkatan tersebut menyatakan pembelajaran kooperatif sudah berlangsung secara efektif. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa indikator keberhasilan yang telah ditetapkan telah tercapai, sehingga penelitian ini dihentikan pada siklus ke III. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) ini dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar belajar siswa kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik pada standar kompetensi Sumber Bahan Tambang.

Deskripsi Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran a) Siklus I

Pembelajaran melalui penggunaan Model Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) mengamati siswa berupa aspek aktivitas. Pengamatan aktivitas siswa pada siklus I, proses pembelajaran yang

Siklus Persentase Aktifitas Siswa

1 74,6% 2 81,2% 3 88,90%

Page 65: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

62

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

kurang berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini dapat terlihat pada aktivitas siswa antara lain: 1) Siswa belum menunjukan aktivitas

dan kreatifitas yang tinggi karena di awal ini siswa masih terpaku pada pola pembelajaran lama. Sekitar empat puluh satu persen siswa menunjukan sikap yang pasif.

2) Siswa masih menganggap guru sebagai pusat pembelajaran. Siswa hanya sebatas memperhatikan, mendengar dan mencatat.

3) Potensi siswa belum digarap secara maksimal sehingga siswa belum bisa menampilan keaktifan dan keterampilan berbicara, bertanya, berdikusi, mengemukakan dan menanggapi pertanyaan.

4) Penggunaan media gambar sedikit membantu membuat siswa lebih tertarik dan antusias. Penggunaan media dianggap sesuatu yang relatif baru karena selama ini siswa jarang menjumpainya pada proses belajar di kelas.

b) Siklus II Pada siklus II sudah mengalami perubahan pada aktivitas belajar yaitu: 1) Siswa sudah mulai menunjukan

aktivitas dan kreatifitas yang cukup karena di tahap lanjutan ini pola pikir bahwa guru sebagai pusat pembelajaran mulai berubah. Prosentase jumlah siswa yang pasif menjadi sekitar tiga puluh satu.

2) Siswa sudah mulai menganggap guru bukan satu-satunya sebagai pusat pembelajaran tapi hanya sebatas fasilitator. Siswa tidak lagi sekedar memperhatikan, mendengar dan mencatat tapi masih banyak hal yang bisa dilakukan.

3) Potensi siswa lebih bisa berkembang secara maksimal sehingga siswa lebih bisa menampilan keaktifan dan keterampilan berbicara, bertanya, berdikusi, mengemukanan dan menanggapi pertanyaan dll.

4) Penggunaan media audio visual pada siklus II ini sangat menarik bagi siswa dan sangat membantu terjadinya pemahaman dan penguasaan materi

pembelajaran.siswa lebih tertarik dan antusias. Penggunaan media audio visual dapat melengkapi buku sebagai sumber belajar.

c) Siklus III Pada siklus III sudah mengalami perubahan pada aktivitas belajar yaitu: 1) Siswa menunjukan aktivitas dan

kreatifitas yang sangat tinggi karena di siklus III ini siswa berada di luar ruangan kelas karena media yang digunakan adalah objek nyata yang ada di luar kelas. Pada tahap ini 80,66 % siswa aktif mengikuti semua kegiatan pembelajaran.

2) Siswa menjadi terbuka pemikiranya bahwa lingkungan yang ada di sekitar kita dapat menjadi sumber belajar. Hal ini memberi tantangan tersendiri bagi siswa untuk menemukan informasi terkait dengan materi yang dipelajari.

3) Penggunaan objek nyata yang ada di luar kelas dapat memberi kesempatan dan ruang lebih luas untuk berdiskusi menyampaikan pendapat, bertanya menanggapi karena komunikasi mereka tidak terikat aturan-aturan yang biasanya membatasinya. Pembelajaran berlangsung lebih natural

4) Penggunaan model pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dengan media bersifat outdoor membantu membuat siswa lebih tertarik, antusias, rileks, nyaman, dan rekreatif . Hal ini dianggap sesuatu yang relatif baru karena selama ini siswa jarang mejumpainya pada proses belajar di luar kelas. Berdasarkan kegiatan pembelajaran

yang berlangsung di siklus I, II, dan III maka dapat diketahui adanya peningkatan aktfitas pembelajaran. Peningkatan aktifitas tersebut akan sangat mendukung pencapaian hasil belajar yang diharapkan. Peningkatan aktifitas belajar berbanding lurus dengan hasil belajar. Deskripsi Hasil Belajar Siswa a) Siklus I

Pada siklus I ini nilai rata-rata yaitu sebesar 75,1 dengan ketuntasan klasikal sebesar 78,2% siswa yang mencapai ketuntasan 30 siswa dari 38 siswa.

b) Siklus II Pada siklus II Nilai rata-rata hasil belajar

Page 66: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

63

Imam, Peningkatan Aktfitas Dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan

mengalami kenaikan menjadi 84,2 dengan ketuntasan klasikal sebesar 85,3% siswa yang mencapai ketuntasan 32 siswa dari 38 siswa.

c) Siklus III Pada Siklus ke III nilai rata-rata yaitu sebesar 89,30 dengan ketuntasan klasikal sebesar 91% yang mencapai ketuntasan 35 siswa dari 38 siswa penelitian ini cukup dilakukan sampai pada siklus III saja.

Hasil belajar geografi masih rendah, Hal ini disebabkan karena masih ada siswa yang dalam proses pembelajaran tidak memperhatikan guru menjelaskan materi pembelajaran atau mempelajari materi pembelajaran. Walaupun masih ada beberapa siswa yang tidak mengikuti proses pembelajaran secara efektif.Hasil pada siklus kedua, suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan mulai tercipta.Pada siklus kedua ini hasil belajar siswa yang mendapat nilai ≥75 juga mengalami peningkatan. Pada siklus II ini siswa mulai memahami pelajaran dengan menggunakan metode yang baru seperti model kooperatif tipe NHT. Siswa dapat memahami materi yang diberikan dengan cepat.Hasil pada siklus ketiga ini tingkat pemahaman siswa tentang standar kompetensi memahami sumberdaya alam meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil akhir siklus siswa kelas XI IPS 1 pada siklus ketiga ini yang semakin meningkat. Hal ini karena suasana pembelajaran semakin efektif. Adanya peningkatan tersebut dikarenakan siswa mulai terbiasa dengan rangkaian kegiatan pembelajaran yang mulai dapat diikuti oleh siswa dan dapat berjalan sesuai skenario pembelajaran. Adanya peningkatan tersebut menyatakan pembelajaran kooperatif sudah berlangsung secara efektif. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa indikator keberhasilan yang telah ditetapkan telah tercapai, sehingga penelitian ini dihentikan pada siklus ke III. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT ini dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar belajar siswa kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik pada standar kompetensi Sumber Bahan Tambang. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pembelajaran Geografi

dengan model pembelajaran numbered head together (NHT) pada pokok bahasan sumber bahan tambang di kelas X1 IPS 1 MAN 1 Gresik dapat disimpulkan bahwa: 1. Model pembelajaran kooperatif tipe

NHT dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa dengan cara peran siswa lebih ditingkatkan melalui tahapan 3 siklus padamodel kooperatif tipe NHT yakni setiap siklus diberi penambahan media, yang semakin baik.

2. Model kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa hal ini terbukti dari peningkatan hasil belajar pada siklus 1 yaitu 75,1% mengalami peningkatan pada siklus ke II yaitu 84,2% dan meningkat pada siklus ke III yaitu 89,30% sehingga dapat dikatakan mengalami kenaikan yang signifikan.

Agar proses pembelajaran lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama melaksanakan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik ada beberapa temuan yang peneliti peroleh yang dapat dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan bagi penyempurnaan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) dalam proses pembelajaran. Daftar Pustaka Djamarah,Syaiful Bahri. 2008. Psikologi

Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Endrayana(2019). Combined Cooperative

Learning Model PBLTGT (Problem Based Learning And Teams Games Tournament) Materi Bilangan Bulat Bagi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Jurnal Inovasi Vol.XXI No.1, Januari 2019. Surabaya : FBS UWKS

Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Pargito, 2011. Penelitian Tindakan Bagi Guru dan Dosen. Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja.

Sumarmi, 2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media.

Trianto.2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Jakarta: Kencana.

Page 67: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

64

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Penerapan Layanan Informasi Untuk Meningkatkan Pemahaman Studi Lanjut Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 3 Surabaya

Siti Sanawiyah

email: [email protected] SMP Negeri 3 Surabaya

Abstrak

Pemahaman siswa yang kurang terhadap pemahaman studi lanjut pada saat duduk di bangku sekolah menengah pertama khususnya pada kelas VIII mengakibatkan kesulitan untuk memilih studi lanjut pada jenjang sekolah selanjutnya setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Salah satu upaya yang telah dilakukan guru BK untuk meningkatkan pemahaman studi lanjut siswa adalah melaksanakan layanan informasi melalui metode ceramah klasikal namun hasil yang diperoleh belum cukup baik karena siswa merasa perlu adanya penambahan materi yang lengkap tentang studi lanjut. Untuk menunjang dan mendukung siswa maka guru BK membuat materi tentang studi lanjut, guru BK adalah praktikan sekaligus observer dan pembuat materi. Diharapkan dengan penambahan materi tentang studi lanjut pemahaman siswa tentang studi lanjut akan meningkat dengan menggunakan metode penelitian tindakan bimbingan dan konseling (PTBK). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman studi lanjut siswa dengan penelitian tindakan bimbingan dan konseling (PTBK) pada siswa kelas VIII. Hasil akhir dari penelitian ini adalah layanan informasi mampu meningkatkan pemahaman studi lanjut siswa kelas VIII. Hasil dari observasi aktivitas guru adalah 100%, observasi aktivitas siswa 100% dan hasil dari lembar kerja pemahaman siswa adalah sebesar 89,5%. Siswa antusias dan tertarik mengikuti kegiatan pemberian layanan informasi tentang studi lanjut. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa layanan informasi efektif digunakan untuk meningkatkan pemahaman studi lanjut dengan metode penelitian tindakan bimbingan dan konseling (PTBK).

Kata kunci : layanan informasi, pemahaman studi lanjut, bimbingan konseling Pendahuluan

Masa remaja merupakan saat dimana individu atau seseorang bisa mengembangkan potensi yang dimiliki dengan baik, dengan mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya maka remaja akan mampu mengaktualisasikan diri dan memperoleh kepuasan. Tidak hanya itu pada masa ini adalah waktu yang tepat untuk menyelaraskan potensi, bakat dan minat yang dimiliki dengan pekerjaan sehingga nantinya diharapkan sekolah atau studi lanjut yang akan dipilih dapat menunjang bukan malah menghambat. Pengetahuan dan kesadaran diri akan potensi, bakat dan minat serta pekerjaan yang tepat untuk individu masing-masing juga akan meminimalisir fenomena salah jurusan yang selama ini kerap terjadi.

Untuk menunjang potensi, bakat, dan minat yang dimiliki individu diperlukan

adanya perencanaan karir yang matang. Perencanaan karir yang matang merupakan hasil dari suatu proses yang berkesinambungan dan memerlukan waktu yang cukup lama agar terdapat kesesuaian antara harapan dan cita- cita. Karir seseorang bukan hanya sekedar pekerjaan yang dijabatnya , melainkan suatu pekerjaan atau jabatan yang benar-benar sesuai dan cocok dengan potensi-potensi diri dari orang-orang yang menjabatnya. Sehingga setiap orang yang memegang pekerjaan yang dijabatnya itu akan merasa nyaman untuk menjabatnya dan kemudian mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan prestasinya, mengembangkan potensi dirinya , lingkungan, serta sarana dan prasarana yang diperlukan dalam menunjang pekerjaan yang sedang dijabatnya.

Dilihat dari kenyataan yang ada di atas maka hendaknya individu mulai

Page 68: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

65

Siti S, Penerapan Layanan Informasi Untuk Meningkatkan Pemahaman Studi

mempersiapkan karir sejak dini terutama sejak masa SMP karena saat SMP seseorang sudah waktunya untuk mengeksplorasi karir. Hal ini tentu sesuai dengan tugas perkembangan di SMP menurut Wardati&Jauhar (2011:71) yaitu mengenal bakat, minat, serta arah kecenderungan karir dan apresiasi seni. Dalam tugas perkembangan di SMP bertujuan untuk memahami pengaruh kemampuan, bakat dan minat terhadap karir, kemudian siswa mampu mengapresiasi berbagai jenis karir dalam bidang seni serta siswa mampu mengarahkan kecenderungan karir sendiri sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat. Dari pernyataan yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa SMP merupakan tahapan yang penting dalam karir karena masa itu siswa mengeksplorasi kariernya. Diharapkan dengan mampu mengeksplorasi karir secara optimal maka nanti siswa mampu memilih SMA/SMK yang tepat dan sesuai dengan bakat, minat dan pekerjaan yang cocok dengan siswa tersebut.

Studi lanjut menurut Sutikna (1998:17) adalah kelanjutan studi yang ditempuh oleh seseorang atau individu mulai dari jenjang SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi (PT). Yulita (2010:69), jenis studi lanjut setelah lulus SMP dibagi menjadi 2 yaitu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya satu jenisnya dan program penjurusan yang ada di SMA kebanyakan hanya ada 3 yaitu IPA, IPS, dan Bahasa, sementara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibagi menjadi sembilan kelompok, yaitu sebagai berikut: a. Kelompok teknologi dan industry b. Kelompok bisnis dan manajemen c. Kelompok seni dan kerajinan d. Kelompok pariwisata e. Kelompok kesenian f. Kelompok olahraga g. Kelompok agama h. Kelompok kesehatan dan obat-obatan i. Kelompok kesejahteraan masyarakat

Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki tujuan dan arah pendidikan yang berbeda. SMA mempunyai tujuan memberikan persiapan kepada siswa lulusannya, terutama untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi (PT) baik itu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sedangkan SMK memberikan

persiapan kepada siswa lulusannya agar mampu dan siap bersaing memasuki dunia kerja dan dapat melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi (PT). Setelah lulus dari SMP ada 2 pilihan studi lanjut yang akan dipilih yaitu antara SMA dan SMK. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan siswa di SMP Negeri 3 Surabaya diperoleh informasi bahwa siswanya masih belum paham tentang informasi studi lanjut sehingga setelah lulus dari SMP para siswa bingung dalam menentukan pilihan studi lanjut. Saat mengadakan wawancara dengan 3 orang siswa yang sudah lulus juga diperoleh informasi bahwa siswa tersebut merasa sekolah yang ditempuh kurang begitu menunjang dan sesuai dengan keinginan mereka. Materi tentang informasi studi lanjut di SMP Negeri 3 Surabaya sebenarnya sudah diberikan akan tetapi masih sebatas informasi tentang jenis studi lanjut di Sekolah Menengah yaitu SMA dan SMK serta pengertian dari SMA dan SMK, hambatan yang ditemui dalam memilih studi lanjut, cara mengatasi hambatan tersebut. Media yang digunakan dalam penyampaian informasi tersebut berupa ceramah. Dengan adanya informasi tersebut maka peneliti ingin membantu guru BK untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang studi lanjut sehingga tidak bingung saat menentukan pilihan studi lanjut setelah lulus SMP. Peneliti akan membuatkan materi studi lanjut yang belum diberikan ke siswa seperti pengelompokan jurusan di SMA dan SMK, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih studi lanjut. Materi yang selama ini hanya menggunakan media ceramah akan dipadukan dengan tampilan power point dalam bentuk slide yang diharapkan akan memudahkan siswa dalam memahami materi studi lanjut tersebut. Oleh karena itu peneliti akan menambahkan materi tentang studi lanjut.

Dengan adanya informasi tambahan diharapkan siswa semakin mengerti dan memahami studi lanjut sehingga mampu memilih studi lanjut secara tepat selain itu memberikan pemahaman mengenai studi lanjut pada siswa, khususnya siswa kelas VIII SMP diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah kesulitan memilih studi lanjut. Pemilihan kelas VIII yang akan diberikan informasi studi lanjut tambahan karena kelas VIII merupakan jenjang menuju kelas IX dimana saat kelas IX nanti siswa

Page 69: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

66

sudah menentudengan mmaka kdalam mdilaksanyakni mserta dakarena penelitialayanan pemaham Metode

Bditeliti dLayananPemahampenelitiameningkmelalui menggundengan mdiharapkstudi lamemilihkeinginadengan yang digtindakandengan kolaborasebagai observerdiorientadkk, (2merupakguru diddiri, dkinerjansiswa mtindakankelas yModel perencanspiral rRencanadan peDwitaga

Pedalam b

dihadapkanukan studi lamemahami s

ketika kelas menentukan pnakannya lay

membantu pesapat menent

itu sangaan untuk

informasi man tentang

Penelitian erdasarkan

dan judul penn Informasman Tentanan ini secarakatkan pema

layanan nakan metomeningkatnykan tingkat panjut dapat

h SMA/SMKan dan potentujuan terse

gunakan penen Bimbingan

pelaksanaatif guru BK

praktikan r. PTBK asikan pada 2007:14), pkan penelitidalam kelasndengan tujunya sebagai gmenjadi menn kelas ini dyang diguna

Kemmis &naanya, Kemrefleksi dira; Tindakan; erencanaan ama, 2010:20enelitian tinbentuk siklu

n pada panjut sehingstudi lanjut s

IX siswa pilihan studi yanan informserta didik agtukan tujuanat penting

mengetahumampu

studi lanjut.

permasalahanelitian ini ysi Untuk ng Studi a umum beahaman studinformasi

ode ceramahya pemahampemahaman st membantu

K yang tepat nsi masing-mebut, maka jeelitian ini adn dan Konsaan penel

K SMP Negedan pen

dalam pePTK. Menu

penelitian tiian yang dnya sendiri muan untuk guru, sehinggningkat. Daldesain penel

akan adalah & Mc Tammis menggui yang dimPengamatankembali (K

0) dakan kelas

us, siklus ya

pilihan untgga diharapkejak kelas Vtidak bingulanjut. Tuju

masi di SMgar memahamn karir. Ol

mengadakui penerap

meningkatk

an yang akaitu PenerapMeningkatkLanjut, maertujuan unt

di lanjut siswbidang ka

h dan diskuman studi lanj

siswa terhadu siswa ag

sesuai dengmasing. Sesuenis peneliti

dalah penelitiseling (PTBKlitian secaeri 3 Surabaneliti sebagengertian iurut Wardhaindakan kelilakukan ol

melalui reflekmemperbai

ga hasil belajlam penelitilitian tindak

desain PTggart. Dalaunakan systemulai dengn; dan ReflekKusumah d

ini dilakukang diranca

tuk kan

VIII ung uan MP mi leh kan pan kan

kan pan kan aka tuk wa arir usi, jut

dap gar gan uai ian ian K) ara aya gai ini ani las leh ksi iki jar ian kan TK am em gan ksi

dan

kan ang

dadapesesipemreseunpepenakededikudida

ad1.

INOVASI,

alam penelitalam tiap ertemuan seewaktu-waktiklus memilierencanaan,

melakukan pefleksi pada elanjutnya mntuk siklus engamatan penelitian iniantinya akanelas. Untuk engan haraigunakan auantitatif danikumpulkan ata.

Teknik dalah untuk m

Skor pemaPada skor dari hasidiberikan diberikan. hasil lembdengan pemean. Adkualitas tininformasi sebagai ber

KeteranganM ∑ fxNHasil penkemudian nilai persememahamilanjut. Rum

Hasil pendibandingktaraf penBerikut krmemahamilanjut.

Volume XXI,

tian ini sebsiklus terdiesuai dengau bisa beruiki 4 tahapa

menenpengamatan,hasil. Setela

mempersiapka2 yang did

pada siklus adalah sisw

n dipilih secamendapatka

apan, dalaanalisis den juga data

melalui te

analisis damenganalisisahaman siswa

pemahamanl lembar

setelah Nilai yang

ar kerja siswrhitungan ra

dapun rumungkat pemahstudi lanjut rikut:

n : = Mean (= Jumlah= Jumlah

ghitungan ndiolah lagi

entase kemai materi layamusan yang d

ghitungan pkan dengan nguasaan kriteria keberhi materi laya

I, Nomor 2, J

banyak 2 sikiri dari 1 an kebutuha

ubah. Masingan yaitu: m

ntukan t, serta mah siklus 1 dan perencanadasarkan pa

1. Subjewa kelas Vara random an data yanam peneliteskriptif da

kualitatif yaeknik peng

ata yang ds pada bagiana n siswa ini d

kerja siswlayanan itelah dipero

wa tersebut data-rata yang

us untuk mhaman materi

rata-rata ke

(skor rata-rah nilai siswa h siswa nilai rata-rauntuk men

ampuan siswanan informdigunakan ad

persentase kkriteria kebkemampuan rhasilan siswanan inform

Juli 2019

klus dan atau 2

an yang g-masing

melakukan tindakan, elakukan

dilakukan aan ulang ada hasil ek dalam VIII yang

dari tiap ng sesuai tian ini ari data ang telah gumpulan

igunakan n :

diperoleh wa yang informasi oleh dari dilakukan g disebut

melakukan i layanan elas ialah

ta kelas)

ata kelas dapatkan

wa dalam masi studi dalah :

kemudian erhasilan

siswa. wa dalam masi studi

Page 70: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

Siti S

(Sumberoleh pen 2. Lemb

Lembpengmempernyobserobserkretekriter

Tabel 2Skor

Setelselanmeng

KeterP = pF = fN = j Seteldata ysehinpada

Hasil D

Papenelitiamendesk

, Penerapan

Tabe

r : Buku Pedneliti).

bar observasbar observamatan yang

mberikan tandyataan yangrvasi. Setelrvasi akan

eria yang tria sebagai b2: kriteria p

4

3

2

1

lah dilaknjutnya dilakggunakan rum

rangan: persentase frekuensi jumlah subje

lah dilakukanyang diperol

ngga mudah dkriteria yang

an Pembahaada bagian an dan kripsikan pen

n Layanan In

el 1: kriteriaSkor/Ratarata Kelas80-100 66-79 56-65

40-55

0-39

doman Unes

si vasi ini adg diisi oleh pda centang g tersedia lah diisi,

dinilai setelah ditent

berikut: penilaian haKriteria

Sangat baik Baik

Cukup baik

Kurang baik

kukan pkukan penghimus:

(Sud

ek

n perhitunganleh akan didedipahami deng telah ditent

asan ini akan d

pembahanerapan laya

nformasi U

a keberhasila- s

Tingkat KemampuBaik SekaBaik Cukup

Kurang

Kurang Se

sa 2006 yan

dalah lembpeneliti deng(√) pada itepada lemb

maka lembesuai dengtukan deng

asil observas

k

engelompoktungan deng

ijono,2006:4

n ini, maka eskripsikan ngan merujutukan.

disajikan haasan, yaianan informa

Untuk Menin

lan taraf pen

uan Kateg

ali MampMampMamp

TidakMamp

ekali TidakMamp

ng sudah dise

bar gan em bar bar gan gan

si

kan gan

43)

uk

asil itu asi

unpaSumguinsein

mguinsiobhaobobsisepa91pemsipe45pepe

sipebapemefsikebekemte

ngkatkan Pe

nguasaan kegori Kriter

keberpu Berhapu Berhapu Tidak

k pu

TidakBerha

k pu

Tidak

esuaikan den

ntuk meningada siswa urabaya Ta

meliputi : (1)uru dan sisnformasi berletelah menformasi.

Pada tmencari perse

uru dan sisnformasi peiswa. Berikbservasi aktiasil lembar bservasi dilbservasi aktiiswa. Hasil detiap siklus ada siklus I 1,7%, siklusertemuan ke

maksimal 10iswa pada eningkatan y5%, pertemertemuan I mertemuan II m

Hasil liswa padaeningkatan. Hahwa layanaemahman s

media permafektif dalam iswa. Pada serja siswa elum mencaeberhasilan m

mendapatkan ersebut terg

emahaman S

emampuan sria rhasilan asil asil k Berhasil

k asil k Berhasil

ngan penelit

gkatkan pemkelas VIII

ahun Ajarandata hasil p

swa selama langsung; (2ngikuti p

ahap pengoentase hasil swa dalam emahaman kut ini dipivitas guru, kerja siswa.akukan padvitas guru da

dari observasmengalami

pertemuan III pertemua

e II mening00%. Hasil

setiap sikluyaitu pada s

muan II 74mendapatkanmendapatkanembar kerja

setiap Hasil tersebuan informasi tudi lanjut ainan amplo

pemahamansiklus I perssebesar 67,pai nilai minmaka diulang

hasil 89,5olong tingk

Studi

siswa

tian yang dib

mahaman stuB SMP N

n 2018/201pengamatan

pemberian 2) hasil belajpemberian

olahan data observasi kpemberian perencanaan

paparkan haaktivitas sis

. Pada peneda dua aspan observasi si aktivitas gi peningkataI 75%, pertean I 95,8% dgkat mencap

observasi us juga msiklus I pert

4%, pada sn hasil 86% dn 100%. a siswa pemsiklus me

ut telah memdapat meninsiswa. pen

op serasi sn perencanaasentase hasi,5%. Hasil inimal dalam

ngi pada siklu5%. Denga

kat kemapu

67

butuhkan

udi lanjut Negeri 3 9, yang aktivitas layanan

jar siswa layanan

peneliti keaktifan

layanan n karier asil dari swa serta elitian ini ek yaitu aktivitas

guru pada an yaitu emuan II dan pada pai hasil aktivitas

engalami temuan I siklus II dan pada

mahaman engalami

mbuktikan ngkatkan nggunaan sangatlah an karier il lembar

tersebut m kriteria us II dan an hasil an Baik

Page 71: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

68

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

sekali, pada kategori Mampu, dan dengan kriteria keberhasilan Berhasil dengan rentangan 80%-100%.

Berdasarkan hasil analisis yang diuraikan sebelumnya, menunjukkan adanya peningkatan pemahaman studi lanjut siswa setelah diberikan layanan informasi. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi “ada perbedaan skor pemahaman studi lanjut sebelum dan sesudah diberikan layanan informasi tentang studi lanjut untuk siswa dengan penelitian tindakan bimbingan dan konseling (PTBK)”, dapat diterima dengan pemberian dua siklus.

Dalam penelitian tentang penerapan layanan informasi untuk meningkatkan pemahaman studi lanjut mengalami peningkatan pemahaman dari siklus I ke siklus II berupa perbaikan dalam hal aktivitas dan respon siswa terhadap materi studi lanjut. Perbaikan dalam aktivitas dan respon siswa ini ternyata bisa ditingkatkan dengan ice breaking. Untuk itu maka konselor dan peneliti tidak perlu menambahi pemberian media lain sebagai penunjang materi studi lanjut. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan dua siklus dapat disimpulkan bahwa layanan informasi tentang studi lanjut dapat meningkatkan pemahaman studi lanjut siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya. Berdasarkan hasil temuan yang ada di lapangan selama pelaksanaan penelitian maka saran yang bisa diberikan pada beberapa pihak adalah sebagai berikut: 1. Bagi konselor

Hasil yang diperoleh dari penelitian tentang penerapan layanan informasi untuk meningkatkan pemahaman studi lanjut ini perlu ditindaklanjuti oleh konselor misalnya memanfaatkan pemahaman studi lanjut sebagai materi sehingga siswa mempunyai arah dan tujuan saat akan memilih studi lanjut setelah lulus SMP. Dengan adanya materi tersebut diharapkan konselor mampu memanfaatkan menjadi lebih baik lagi dan dikemas lebih menarik misalnya dengan media slide atau media dari karton atau apapun yang mampu menunjang dan membuat siswa lebih tertarik dan paham dengan studi lanjut setelah lulus SMP.

2. Bagi peneliti selanjutnya: Penelitian tentang penerapan layanan

informasi untuk meningkatkan pemahaman studi lanjut siswa ini metode penyampaian yang diberikan masih berupa ceramah akan lebih baik apabila peneliti selanjutnya mengemas lebih menarik lagi misalnya dalam bentuk slide, atau media lain yang sekiranya lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa.

Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Syaifudin. 2012. Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Basori, Muhammad. 2004. Paket Bimbingan Perencanaan Dan Pengambilan Keputusan Karier Bagi Siswa SMU. Malang: UM.

Hariastuti, Retno Tri. 2008. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Surabaya: Unesa University Press

Hikmawati, Fenti. 2010. Bimbingan Konseling. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kunandar. 2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Nurihsan, Achmad Juntika. 2006. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama.

Nursalim, Muhammad dan Suradi. 2002. Layanan Bimbingan Dan Konseling. Surabaya: Unesa University Press.

Peraturan Pemerintah No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah

Revaldi, Aischa. 2010. Memilih Sekolah untuk Anak.Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta.

, 2012. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Sukardi, Dewa Ketut. 2002. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

, Dewa Ketut dan Kusmawati, Desak P.E.N. 2008. Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutikna, Agus. 1998. Bimbingan Karir untuk SMA. Jakarta: Intan Pariwara.

Page 72: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

69

Siti S, Penerapan Layanan Informasi Untuk Meningkatkan Pemahaman Studi

Undang-undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wardati. dan Jauhar, Mohammad. 2011. Implementasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Wardhani, Igak. Dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas.Jakarta: Universitas Terbuka

Winkel, W.S dan Hastuti, M.M Sri. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi

Yulita, Rintystini & Suzy Charlotte. 2010. Bimbingan dan Konseling SMP . Jakarta : Gelora Aksara Pratama.

Winarsunu, Tulus. 2009. Statistik Dalam Penelitian Psikologi & Pendidikan. Malang: UMM Press.

Page 73: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 0854-4328

PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ILMIAH INOVASI

1. Naskah berupa hasil penelitian, gagasan konseptual, dan kajian aplikasi teori. 2. Naskah belum pernah dipublikasikan melalui media lain dan karya asli penulis, bukan

plagiat. 3. Naskah dapat ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 4. Penulisan berpedoman pada bahasa standar termasuk ejaannya, untuk naskah berbahasa

Indonesia sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 46 tahun 2009.

Format Penulisan Naskah 1. Naskah diketik dalam:

a. Kertas ukuran A4 b. Jenis huruf Time News Roman, ukuran 12 c. Spasi 1,5 d. Margin atas dan kiri 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm e. Panjang artikel 12 s.d. 20 halaman, termasuk tabel dan daftar pustaka.

2. Unsur Artikel Riset: a. Judul b. Nama penulis c. Status (pekerjaan dan instansi) d. Alamat email e. Abstrak f. Kata kunci g. Pendahuluan (ada permasalahan) h. Kajian pustaka/teori i. Metode penelitian (kerangka) j. Hasil dan Pembahasan k. Simpulan l. Daftar pustaka

3.Unsur Artikel Non Riset: a. Judul b. Nama penulis c. Status (pekerjaan dan instansi) d. Alamat email e. Abstrak f. Kata kunci g. Pendahuluan (ada permasalahan) h. Kajian pustaka/teori i. Metode Kajian j. Pembahasan (menjawab permasalahan) k. Penutup l. Daftar pustaka

4. Abstrak: Panjang 100-200 kata, diketik 1 spasi, berisi tujuan, metode, dan hasil analisis. 5. Kata kunci 3-5 kata. 6. Subpokok bahasan ditulis cetak tebal, hanya huruf awal kata yang menggunakan huruf

kapital. 7. Format penulisan daftar pustaka

a. Rujukan dari buku, contoh:

Page 74: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019 ISSN 0854-4328

Tecuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta : Pustaka Jaya b. Rujukan dari koran atau majalah, contoh:

Ali, Muhammad. 10 Agustus 2014. “Politik dan Moral”. Dalam Jawa Pos, hlm.4 Jawa Pos. 10 Agustus 2014. “Judul Tajuk”, hal. 4.

c. Rujukan dari internet, contoh: Ali, Muhammad. 1999. “Relief Candi Prambanan”. Jurnal Kebudayaan. Tahun 3 no 7, (https://www.jurnalkebud.ac.id, di akses 10 Agustus 2014)

d. Rujukan dari buku kumpulan artikel atau karya tulis, contoh: Mahayana, Maman S. 2007. “Ideologi Novel Indonesia”. Dalam Maman S. Mahayana. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

e. Rujukan dari prosiding, contoh: Wahyuningrum, Rida. 2015. “Efl Speech Sounds of Austic Young Learners”. Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABSTRA) VII. Madura: Progdi Sastra Inggris, FISIP, Universitas Trunojoyo.

8. Setiap kutipan harus disertai nama belakang pengarang, tahun terbit, dan nomor halaman sumber.

File diserahkan dalam CD atau dapat langsung di email ke : [email protected], disertai dengan nama, instansi & no hp. Untuk keterangan lebih lanjut dapat menghubungi:

Drs. Kaswadi, M.Hum (081 330 500 495)

Page 75: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

 

  

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

UCAPAN TERIMA KASIH Kami sampaikan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Ahmadi Susilo, M.Si. (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan dan Isolat Protein

Kedelai Ghani Arief Firmansyah, Fungki Sri Rejeki, dan Endang Retno Wedowati

2. Dr. Ali Mustofa, S.Si., M.Pd (Universitas Negeri Surabaya) Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Aspek Filosofis dan Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

Lukiyadi dan Sugiran

3. Dr. Sugeng Susilo Adi, H.Hum., M. Ed. (Universitas Brawijaya) Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik

Memancing di kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro Lumajang Andik Siswoyo

4. Dr. Kaswadi, M.Hum. (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya) Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Integritas Pustakawan Sebagai Kekuatan Utama Dalam Meningkatkan Citra

Perpustakaan : Implementasi Kode Etik Profesi Sebagai Guide Line Perilaku Pustakawan Bakhtiyar

(2) Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bermain Musik Ansambel Melalui Metode Tutor Sebaya Kelas VII D SMP Negeri 3 Surabaya

Nina Purnawati (3) Paradigma Baru Dalam Menghidupkan Kembali GBHN

Sumi Hartoyo

5. Dr. Fatkul Anam, M.Si. (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya) Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Blended Cooperative Learning Model Materi Bilangan Bulat Bagi Siswa Kelas

IV Endrayana Putut L.E.

(2) Penerapan Layanan Informasi Untuk Meningkatkan Pemahaman Studi Lanjut Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 3 Surabaya Siti Sanawiyah

(3) Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik Hardboardcut Melalui Pendekatan Ekspresif-Kreatif Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya Ahmad Mustamir

6. Dr. Ribut Surjowati,M.Pd. (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya) Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas VII B SMP

Negeri 3 Kota Surabaya Menggunakan Permainan Kalender Endah Sri Kustiningsih

Page 76: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

 

  

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

(2) Peningkatan Aktfitas dan Hasil Belajar Geografi Materi Sebaran Bahan Tambang di Indonesia Dengan Model Kooperatif Tipe NHT Pada Siswa Kelas XI IPS 1 MAN 1 Gresik Imam Qurniawan

7. Dra. Marmi, M.Si (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya) Yang telah mengoreksi artikel berjudul: (1) Peningkatan Prestasi Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Teams Games Tournament Pada Siswa Kelas VII F SMP Negeri 3 Surabaya Soesanti (2) Peningkatan Hasil Belajar IPA Menggunakan Pendekatan Inquiri Terbimbing

Siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Surabaya Siti Munawaroh

Page 77: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

70

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik Memancing di kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro Lumajang

Andik Siswoyo

email : [email protected]

SMKN Senduro Lumajang

Abstrak Penelitian ini mengambil judul “ Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik Memancing di kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro Lumajang”. Bahasa Indonesia di SMK adalah mata pelajaran Wajib. Dengan demikian pelajaran Bahasa Indonesia di SMK merupakan mata pelajaran yang integral (berhubungan satu sama lain). Sub aspek membaca pada mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki kepentingan tersendiri dalam kaitannya dengan pembinaan dan pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut kedudukan guru dalam proses pembelajaran sebagai mediator amat berperan dalam meningkatkan hasil belajar siswa-siswanya. Dari pengamatan awal (pra siklus) diketahui bahwa aktivitas siswa terkesan monoton dan hasil belajar siswa berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yakni sebesar 75. Untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa, dimaksud guru harus menggunakan metode yang selektif, efektif dan efisien supaya hasil yang diharapkan dapat maksimal. Dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini, tindakan yang dimunculkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro Lumajang, adalah “penggunaan metode Teknik Memancing”.Dari hasil observasi memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia, yaitu pada siklus I siswa yang telah memperoleh nilai 75 atau lebih mencapai 13 siswa atau 43% dengan angka rata-rata 70 menjadi 30 siswa atau 100% dengan angka rata-rata 83 pada siklus II. Dari hasil perbaikan pembelajaran yang telah dilaksanakan melalui Penelitian Tindakan Kelas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan Metode Memancing dapat meningkatkan hasil belajar Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro. Berdasarkan kesimpulan ini, maka disarankan kepada rekan guru agar menguasai dan mencoba menerapkan metode pembelajaran terbaru seperti metode Memancing supaya suasana pembelajaran bisa hidup, bervariasi dan terbukti efektif meningkatkan hasil belajar.

Kata Kunci: Kemampuan Menjawab, Soal Negosiasi, Metode Teknik Memancing Pendahuluan

Di era globalisasi ini ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat terutama ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Negara membutuhkan manusia yang terampil dan cerdas. Sebagai seorang guru kita dituntut untuk dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah. Guru harus menguasai berbagai kemampuan seperti penguasaan bahan, penguasaan proses, penguasaan fondasi profesional kependidikan dan kemampuan

penyesuaian diri terhadap suasana kerja dan kepribadian.

Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 19 ayat 1 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) secara eksplisit menjelaskan proses pembelajaran yang harus dipedomani oleh para guru sebagai berikut:

“Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang

Page 78: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

71

Andik, Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik

yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.”

Berbicara tentang pembelajaran, tidak akan terlepas dengan pengalaman belajar apa yang mesti diberikan kepada peserta didik agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup maupun untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat.

Sebagai fasilitator, guru bertugas, membimbing dalam mendapatkan pengalaman belajar, memonitor kemajuan belajar, membantu kesulitan belajar (melancarkan pembelajaran).

Suasana belajar yang diharapkan adalah situasi yang menjadikan peserta didik bersemangat dan betah, bukan kejenuhan yang mereka rasakan. Hal tersebut yang saat ini berlaku di kelas X Akuntansi 2 SMKN Senduro Lumajang.

Berdasar pada pertimbangan tersebut di atas peneliti berusaha meningkatkan hasil belajar siswa dengan menggunakan metode Memancing pada materi mata pelajaran Bahasa Indonesia mengenai soal negosiasi. Pembelajaran dinyatakan berhasil apabila siswa menguasai materi pelajaran. Tingkat penguasaan biasanya dinyatakan dengan nilai, ini terbukti pada tugas, nilai ulangan harian siswa pelajaran Bahasa Indonesia mengenai contoh soal negosiasi yang relatif rendah. Kajian Pustaka Pengertian belajar

Para ahli mendefinisikan belajar dengan pengertian yang beragam sebagai berikut : a) Hilgard dan Bower dalam Theories of

learning seperti dikutip Ngalim Purwanto (1996,84), mengemukakan, ”Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau atas dasar kecendrungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).”

b) Gagne, dalam The Conditions of Learning seperti dikutip Ngalim Purwanto (1996,84), menyatakan bahwa: “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-

nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”

c) Good dan Boophy, dalam Educational Psychology: a Realistic Approch, seperti dikutip Ngalim Purwanto(1996,85) mengemukakan arti belajar dengan kata-kata yang singkat, Yaitu Learning is the development of new associations as a result of experience. Artinya pembelajaran merupakan pengembangan asosiasi-asosiasi baru sebagai hasil dari pengalaman. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa belajar itu suatu proses yang benar-benar bersifat internal (a purely internal event). Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata; proses itu terjadi dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

d) Crow dan Crow, dalam buku Educational Psychology, menyatakan “Learning is acquisitions of habits, knowledge, and attitude”, belajar adalah memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Menurut mereka, hal-hal yang dirumuskan di atas meliputi cara-cara yang baru guna melakukan suatu upaya memperoleh penyesuaian diri terhadap situasi yang baru (Alex,2009).

Dari beberapa definisi di atas, ciri-ciri yang penting dari belajar adalah sebagai berikut: a) Belajar merupakan suatu perubahan

dalam tingkah laku, dan perubahan itu bisa mengarah pada tingkah laku yang lebih baik, akan tetapi juga ada kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buru;

b) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman, dalam arti, perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar;

c) Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek-aspek kepribadian, baik psikis maupun fisik, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapan, sikap ataupun kebiasaan.

Untuk bisa disebut belajar, perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada periode yang cukup panjang. Seberapa lama periode waktu itu

Page 79: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

72

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

berlangsung, sulit ditentukan dengan pasti, namun perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian, atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya berlangsung sementara. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran adalah penciptaan kondisi dan situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang efisien dan efektif bagi peserta didik (Vembriarto,1994).

Menurut Syaiful Sagala dalam Ramayulius(2009,239), pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan azaz pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan, Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik.

Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman(Susi,2009). Hasil Belajar

Istilah hasil belajar terdiri atas dua kata yaitu hasil dan belajar. Hasil merupakan suatu hasil yang telah dicapai pembelajar dalam kegiatan belajarnya. Sedangkan Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku, atau memaknai sesuatu yang diperoleh. Hasil belajar menunjukkan kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu semester(Susi,2009).

Hasil belajar merefleksikan keluasan, kedalaman, dan kerumitan (secara bertingkat), yang digambarkan secara jelas dan dapat diukur dengan teknik-teknik penilaian tertentu. Perbedaan antara kompetensi dengan hasil belajar terdapat pada batasan dan patokan kinerja peserta didik yang dapat diukur. Indikator hasil belajar dapat digunakan sebagai dasar penilaian terhadap peserta didik dalam mencapai pembelajaran dan kinerja yang diharapkan.

Data hasil belajar sangat diperlukan oleh guru untuk mengetahui ketercapaian hasil proses belajar-mengajar yang telah berlangsung dan dapat juga sebagai indikator untuk mengetahui keterbatasan peserta didik yang menjadi

tanggung jawab pendidik. Data hasil belajar dapat diperoleh melalui beberapa cara antara lain melalui serangkaian tes yang dilakukan oleh guru selama satu semester. Hasil belajar dapat dikatakan baik, jika terjadi peningkatan hasil dari setiap tes yang dilakukan selama satu semester, sampai kepada hasil tes semester itu sendiri (Dwi,2009). Pengertian Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah merupakan bahasa nasional dan merupakan pelajaran wajib pada semua jenjang pendidikan, guna menyatukan semua suku bangsa yang ada di bumi nusantara Indonesia dalam mewujudkan kesatuan nasional (Akmal,2008). Metode Memancing a) Metode

Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yangg dikehendaki; cara kerja yg bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan menurut Armai Arief (2002,40), metode adalah suatu jalan yang dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.

b) Memancing Memancing adalah memberikan sesuatu untuk memikat orang lain sehingga dapat memperoleh apa yang diinginkan.Dalam rangka keberhasilan pelaksanaan Memancing, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut. (1) Memahami sifat peserta didik (2) Mengenal peserta didik secara

individual (3) Memanfaatkan prilaku peserta didik

dalam pengorganisasian belajar (4) Mengembangkan kemampuan

berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah.

(5) Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik

(6) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar

(7) Memberikan umpan balik yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar

Page 80: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

73

Andik, Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik

(8) Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental.

Perangkat dan pembelajaran dalam Metode memancing sebagaimana berikut: (1) Jam kedatangan peserta didik Digunakan untuk memantau kedatangan

peserta didik secara mandiri. Peserta didik memutar jarum jam sesuai dengan kedatangannya.

(2) Kotak soal Digunakan untuk menyediakan soal yang

dikerjakan sebelum jam pelajaran dimulai.

(3) Papan pajangan (4) Majalah dinding kelas/sekolah (5) Perpustakaan kelas dan alat peraga (6) Daftar pengurus kelas. Pengurus kelas atau daftar piket peserta didik untuk melatih tangung jawab peserta didik, yang tugasnya tidak hanya membersihkan ruangan kelas, tetapi juga membantu kelancaran pembelajaran.

Metodologi Pendidikan Metodologi pendidikan adalah cara yang

dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Metodologi pendidikan yang dinyatakan dalam Al-Qur’an menggunakan sistem multi approach (pendekatan bervariasi) yang meliputi antara lain: (1) Pendidikan religius, bahwa manusia

diciptakan memiliki potensi dasar atau bakat keagamaan.

(2) Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau berakal fikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.

(3) Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga latar belakangnya mempengaruhi proses pendidikan.

(4) Pendekatan bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif, dan afektif yang harus ditumbuhkembangkan.

Menurut Armai Arif (2002,84), metode pengajaran yang dikenal secara umum, antara lain adalah: (1) Metode ceramah, memberikan pengertian

dan uraian suatu masalah. (2) Metode diskusi, memecahkan masalah

dengan berbagai tanggapan. (3) Metode eksperimen, mengetahui proses

terjadinya suatu masalah. (4) Metode demonstrasi, menggunakan peraga

untuk memperjelas sebuah masalah.

(5) Metode pemberian tugas, dengan cara memberi tugas tertentu secara bebas dan bertanggung jawab.

(6) Metode sosiodrama, menunjukkan tingkah laku kehidupan.

(7) Metode drill, mengukur daya serap terhadap pelajaran.

(8) Metode kerja kelompok. (9) Metode tanya jawab. (10) Metode proyek, memecahkan masalah

dengan langkah-langkah secara ilmiah, logis dan sistematis.

Metodologi Penelitian

Perbaikan pembelajaran dilakukan melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berlangsung selama dua (2) siklus. Dalam setiap siklus, kegiatan yang dilakukan meliputi : 1. Refleksi ; 2. Pelaksanaan Perbaikan Pembelajaran ; 3. Tindakan Perbaikan ; 4. Refleksi. a. Siklus I a) Rencana

Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan pada siklus I antara lain: a. Membuat rencana perbaikan

pembelajaran I dengan Pokok bahasan Soal negosiasi.

b. Menyiapkan media pembelajaran, berupa buku pegangan

c. Menyiapkan lembar observasi siswa d. Menyiapkan alat evaluasi e. Menyiapkan APKG 1 dan APKG 2

b) Pelaksanaan Kegiatan pembelajaran siklus pertama dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 11 Januari 2018 dengan Pokok bahasan Soal negosiasi Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain :

(a) Apersepsi dengan tanya jawab tentang Soal negosiasi ;

(b) Memotivasi siswa agar aktif mengikuti pelajaran;

(c) Memberi kesempatan pada siswa untuk menanyakan hal yang belum jelas yang berhubungan dengan materi yang dijelaskan;

(e) Melakukan observasi terhadap aktivitas siswa;

(f) Melakukan evaluasi terhadap kemampuan menjawab soal negosiasi.

Page 81: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

74

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

c). Pengamatan/Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilaksanakan pengumpulan data dengan melakukan pengamatan atau observasi terhadap pelaksanaan perbaikan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan instrumen sebagai berikut : 1. Negosiasi ialah .... 2. Tujuan negosiasi ialah .... 3. Unsur-unsur pembangun teks negosiasi

adalah …. 4. Cara melakukan pengajuan dan

penawaran adalah .... 5. Teks negosiasi dapat ditemukan dalam

bentuk .... 6. Struktur teks negosiasi adalah ....

d). Refleksi Berdasarkan hasil

pengamatan terhadap proses pembelajaran pada siklus pertama yang dilaksanakan Kamis, 11 Januari 2018, bahwa perbaikan pembelajaran pada siklus pertama belum terjadi peningkatan hasil belajar yang maksimal. Nilai siswa masih di bawah nilai rata-rata. Untuk meningkatkan kemampuan menjawab soal negosiasi perlu menggunakan metode yang berbeda, yaitu menggunakan metode Memancing.

b. Siklus II a). Rencana

Kegiatan yang dilaksanakan pada siklus II antara lain: 1. Membuat rencana perbaikan pembelajaran

II dengan pokok bahasan Soal negosiasi. 2. Menggunakan metode Memancing 3. Menyiapkan alat evaluasi 4. Menyiapkan lembar observasi siswa 5. Menyiapkan APKG 1 dan APKG 2

b). Pelaksanaan Kegiatan pembelajaran dilaksanakan pada Kamis, tanggal 08 Februari 2018 dengan pokok bahasan Soal negosiasi dengan menggunakan metode Memancing. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah : 1. Guru mengkondisikan kelas Membaca doa bersama sebelum belajar Mengabsen siswa Mengemukakan tujuan pembelajaran

“teks negosiasi”. Apersepsi; melontarkan pertanyaan

kepada siswa, ”Siapa yang mengetahui Soal negosiasi Materi Soal negosiasi?”.

2. Bagian pertama Menjelaskan pengertian teks negosiasi

Meminta siswa (acak) untuk menginventarisir perbedaan Materi negosiasi di papan tulis/whiteboard.

Guru menyebutkan tentang teks negosiasi

Guru menawarkan kepada siswa untuk menyebutkan pengertian teks negosiasi

Siswa menginventarisir teks negosiasi

Guru menstimulasi siswa dengan menyebutkan teks negosiasi

3. Bagian kedua Guru meminta salah satu siswa

untuk menyebutkan pengertian teks negosiasi dan siswa lain menyimak penuturan siswa

Meminta pendapat kepada siswa tentang ciri-ciri teks negosiasi sesuai buku panduan

Menjelaskan secara ringkas teks negosiasi

Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan menjawab pertanyaan guru atau pertanyaan dari siswa lain

4. Menyimpulkan pelajaran Memberitahukan pelajaran yang

akan datang Guru menutup, mengakhiri

pelajaran dengan membaca hamdalah/doa

5. Guru melakukan observasi terhadap aktifitas siswa

6. Melakukan evaluasi terhadap kemampuan menjawab soal negosiasi

c). Pengamatan / Pengumpulan Data Pada tahap ini dilaksanakan pengamatan atau observasi terhadap pelaksanaan perbaikan pembelajaran Bahasa Indonesia tentang Soal negosiasi dengan instrumen sebagai berikut : 1. Negosiasi ialah .... 2. Tujuan negosiasi ialah .... 3. Unsur-unsur pembangun teks

negosiasi adalah …. 4. Cara melakukan pengajuan dan

penawaran adalah .... 5. Teks negosiasi dapat ditemukan

dalam bentuk .... 6. Struktur teks negosiasi adalah ....

d). Refleksi Berdasarkan hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran pada siklus kedua

Page 82: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

Andik,

yang2018siklubelajkemasudah(100%

Hasil da

KelDe

KelDala

Refleksi

pemI jumendiadsiswmendemtercanego

Hasil Berd

atau padadalah

, Peningkat

dilaksanaka8, bahwa peus kedua sudar yang makampuan menh mencapai %).

an PembahaD

Aktifitalas X Akuntngan Mater

DKetuntasan

las X Akuntam Pembela

i Berdas

mbelajaran Baumlah yang ncapai 15 dakan perbaiwa yang mncapai 19 s

mikian targeapai dan kosiasi sudah

dasarkan hasda siklus II d

menggunak

an Kemamp

an Kamis tanerbaikan pemdah terjadi pksimal. Ini dinjawab soal 75 ke atas

asan Diagram as Belajar Sitansi 2 SMKri Pokok Soa

Diagram n Belajar Sis

tansi 2 SMKajaran Baha

sarkan hasahasa Indonememperolehsiswa atau ikan pada s

mendapat nilsiswa atau et yang dikemampuan

memuaskan

sil perbaikandengan upayakan metod

puan Menja

nggal 08 Febrmbelajaran peningkatan hibuktikan den

negosiasi ysudah 30 si

iswa KN Senduroal negosiasi

swa

KN Sendurosa Indonesia

sil pengamesia, pada sih nilai 75

48%. Setsiklus II jumlai 75 ke 100%. Den

inginkan sumenjawab

.

n pembelajaraa yang dilakude Memanc

awab Soal N

ruari pada hasil ngan yang iswa

a

matan iklus baru telah mlah atas

ngan udah soal

an II ukan cing,

Negosiasi de

ternyata hajumlah 15 satas menjadnilai rata-rasiswa meninPembahasaa. Siklus I Berupaya pepenggunaanpelajaran BAkuntansi 2sebab dengjawab siswmemberikandisajikan. Wmenggunaksiswa beldiharapkan.b. Siklus I Beterhadap usiklus II, MemancingIndonesia teAkuntansi 2sebab denMemancingantusias, npembelajarametode Memmeningkat. Simpulan

Dari yang telah Tindakan kesimpulan Memancingbelajar PaIndonesia siSenduro. Hmeningkatnnegosiasi tIndonesia, ytelah mempsiswa atau 4menjadi 30 rata-rata 83 target yangkemampuanmemuaskan

engan Meto

asilnya bisasiswa yang mdi 19 orang ta kelas 82 d

ngkat menjadan I rdasarkan perbaikan sn metode Bahasa Indo2 SMKN Sengan menggunwa lebih an tanggapan Walaupun pan metode tlum menc

II erdasarkan upaya perba

ternyata pg pada entang Soal 2 SMKN Senngan men

g siswa lnyaman, dan siklus II mancing, ter

hasil perbdilaksanakanKelas, ma

bahwa pg dapat mada mata iswa kelas Xal ini dapat ya kemampterhadap peyaitu pada peroleh nila438% denga

siswa atau pada siklus

g diinginkan n menjawab n.

ode Teknik

a meningkmendapat ni

atau 100%dan keaktifadi 94%.

pengamatan siklus I tanya jawaonesia di

nduro terbuktnakan metoaktif bertanterhadap mapada siklus tanya jawabcapai nilai

hasil penaikan pembpenggunaan

pelajaran negosiasi di

enduro sanganggunakan lebih bersdan senang

telah mengrnyata evalu

baikan pemban melalui Paka dapat penggunaan meningkatka

Pelajaran X Akuntansi 2

dilihat dari puan menjawembelajaran siklus I siswai 75 mencan angka rata100% dengaII. Dengan d sudah tercsoal negosia

75

at. Dari lai 75 ke , dengan

an belajar

terhadap ternyata

ab pada kelas X ti efektif, de tanya nya dan ateri yang

I telah b, namun i yang

ngamatan belajaran

metode Bahasa

i kelas X at efektif,

metode emangat,

g. Pada ggunakan asi dapat

belajaran Penelitian

diambil Metode

an hasil Bahasa

2 SMKN semakin

wab soal Bahasa

wa yang capai 13 a-rata 70, an angka demikian apai dan asi sudah

Page 83: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

76

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Daftar Pustaka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017.

Buku Guru Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2017 untuk SMA/MA/SMK/MAK. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2017 untuk SMA/MA/SMK/MAK. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2017. Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2016. Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Kurikulum 2013 SMK/MAK. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Abyan, Amir, 1995: Perencanaan dan Pengelolaan Pembelajaran Bahasa Indonesia, Jakarta, Dirjen BINBAGAIS dan Universitas Terbuka

Arikunto, Suharsimi, 2006: Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta

A.M, Sardiman, 2016: Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Rajawali Pers.

Arief, Armai, 2002: Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Pers

Aqib, Zainal, 2008: Standar Kualifikasi-Kompetensi-Sertifikasi Guru-Kepala Sekolah-Pengawas, Bandung, YRAMA WIDYA

Aqib, Zainal, 2007: Karya Tulis Ilmiah Bagi Pengembangan Profesi Guru, Bandung, YRAMA WIDYA

Dimyati dan Mudjiono, 2006: Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta

Hamalik, Oemar, 2003: Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta, Bumi Aksara

Ibnu Muhammad Al-Jarjani, Ali, 1988 : At-Ta’riifaat, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah

Isnaini, Moh, dkk, 2008: Pedoman Penulisan Skripsi Berbasis PTK, Palembang, Program Kualifikasi Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah

Kohn, Alfie, 2007: Memilih Sekolah Terbaik Untuk Anak ; penerjemah Ika Wulandari. 2009, Tangerang: Penerbit Buah Hati

Kunandar, 2009: Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru, Jakarta, Rajawali Press

Matsna, Moh, 2008: Bahasa Indonesia; Al-Qur’an Hadits kelas X Madrasah Aliyah, Semarang, Karya Toha Putra.

Nasution, S, 2008: Berbagai Pendekatan dalam PROSES Belajar Dan Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara.

Nugroho, Sigit, 2008: Dasar-Dasar Metode Statistika, Jakarta, GRASINDO

Ramayulius, 2008: Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia

Sakni, Ridwan, 2009: Pengembangan Sistem Evaluasi Pendidikan, Palembang, P3RF

Singarimbun, Masri, 1995: Metode Penelitian Survai, Jakarta, LP3ES

Subana, et. al, 2008: Statistik Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia

Uno, Hamzah B, 2009 : Perencanaan Pengajaran, Jakarta, Bumi Aksara

Vembriarto, St. Dkk, 1994 : KAMUS PENDIDIKAN, Jakarta, Grasindo

Wardhani, IGA K, dkk, 2007 : Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta, Universitas Terbuka

Wikaya, Ade, 2007: Bahasa Indonesia, Bandung, Acarya Media Utama

Jurnal Quantum, Vol.4 No.3, September-Desember 2009: Jurnal Madrasah dan Bahasa Indonesia, Seri : Memperbaiki Mutu Pembelajaran Melalui Penelitian Tindakan Kelas, Palembang, Madrasah Development Centre (MDC) SUM

Sumber Dari Internet Conny, Semiawan, dkk, 1986: Pendekatan

Keterampilan Proses, Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar,

Page 84: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

77

Andik, Peningkatan Kemampuan Menjawab Soal Negosiasi dengan Metode Teknik

Jakarta, Gramedia, diakses dari (http//massofa.wordpress.com)

Pakde Sofa, 2008: Tugas-Tugas Guru dalam Evaluasi Pembelajaran, diakses dari internet (http//massofa.wordpress.com)

Pakde Sofa, 2009: Prinsip-Prinsip Belajar, diakses dari internet (http//massofa.wordpress.com)

Pakde Sofa, 2008: Kupas Tuntas Metode Penelitian Kualitatif, diakses dari inernet (http//massofa.wordpress.com)

Wikipedia bahasa Indonesia: Penelitian Kualitatif

Wikipedia, The free encyclopedia : Action Research

Page 85: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

78

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik Hardboardcut

Melalui Pendekatan Ekspresif-Kreatif Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya

Ahmad Mustamir

Email : [email protected] SMP Negeri 3 Surabaya

Abstrak

Di dalam pelaksanaan pembelajaran seni rupa di sekolah, siswa belum mampu berkarya seni grafis cetak tinggi secara maksimal, hal ini disebabkan pembelajaran seni grafis yang disajikan belum memanfaatkan teknik cetak tinggi dengan pendekatan yang tepat. untuk meningkatkan kemampuan tersebut diupayakan melalui pendekatan Ekspresi-Kreasi yang diharapkan akan mampu membantu dalam berkarya seni grafis teknik hardboardcut. Tujuan penelitian peningkatan berkarya seni grafis teknik hardboardcut ini adalah meningkatkan kemampuan berkarya pada tahap pengkonsepan atau perancangan berkarya, dan tahap berkarya. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan melalui tahapan studi pendahuluan, perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Tindakan dilakukan secara kolaboratif antara guru dengan peneliti. Sumber data penelitian ini adalah siswa dan guru. Instrumen yang digunakan oleh peneliti berupa pedoman observasi, catatan lapangan, dan pedoman penilaian. Analisis data dilaksanakan berdasarkan data model alir yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.Peningkatan kemampuan berkarya siswa dalam berkarya seni grafis nampak dari hasil pembelajaran pada siklus I dan siklus II. Pada siklus I hasil pembelajaran berkarya seni grafis masih belum menunjukkan hasil maksimal, pada tahap perancangan berkarya siklus I nilai rata-rata kelas 71,53, sedang pada tahap berkarya siklus I nilai rata-rata kelas 67,74. Berdasarkan hasil refleksi siklus I, dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan pada siklus II, hasilnya terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas pada tahap perancangan berkarya siklus II menjadi 83,5% dan tahap berkarya menjadi 81,7%. Secara keseluruhan dari tahap perancangan berkarya, dan saat berkarya terjadi peningkatan 18,79%. Pembuatan sketsa meningkat 25%, dan karakter garis meningkat 19,6%. Pada proses pembelajaran naik 14,29%, keaktifan naik.13,8%, keberanian naik12,22%. sedang dalam hasil karya siswa mengalami peningkatan 19,51%, pengerolan naik21,94%, dan pengepresan naik 22,62%, serta teknik naik 18,71%. Disarankan kepada guru seni budaya tingkat SMP bila menemui kesulitan dalam mengembangkan kreativitas siswa terutama ketika proses berkarya seni grafis teknik cetak tinggi mapun teknik lainnya, untuk memanfaatkan pendekatan dan metode ekspresi- kreasi.Selain itu, selama proses berkarya disarankan untuk menyiapkan peralatan dan bahan berkarya yang tepat dengan menggunakan teknik berkarya yang sesuai dengan ketentuan atau prosedur berkarya seni grafis.

Kata Kunci : berkarya seni grafis, hardboardcut, ekspresi-kreasi, SMP Pendahuluan

Kurikulum mata pelajaran Seni Budaya memuat aspek konsepsi, apresiasi, dan kreasi yang disusun sebagai suatu kesatuan. Ketiga aspek kegiatan tersebut harus merupakan rangkaian aktivitas seni yang harus dialami siswa dalam aktivitas berapresiasi dan berkreasi seni. Pendidikan seni di sekolah umum pada objeknya diarahkan untuk menumbuhkan sensitivitas dan kreativitas

sehingga terbentuk sikap apresiatif, kritis, dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh (Depdiknas,2003:4). Pembelajaran Seni Rupa yang merupakan mata pelajaran kesenian di Sekolah Menengah Pertama mengacu pada tujuan untuk menumbuhkan sensitivitas dan kreativitas sehingga terbentuk sikap apresiatif, kritis, dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh (Depdiknas, 2003:5). Tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa

Page 86: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

79

Ahmad, Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik

pengajaran Seni Rupa dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi seni melalui kegiatan apresiatif, kreatif, dan kritis. Kegiatan tersebut akan memperdalam rasa, cita, dan karsa siswa dalam menikmati sebuah karya. Kemampuan ini hanya mungkin tumbuh jika dilakukan serangkaian kegiatan meliputi pengamatan, analisis, penilaian, serta kreasi dalam setiap aktivitas seni baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kajian Pustaka

Penekanan lebih lanjut dalam pembelajaran Seni Rupa dijabarkan dalam Standar kompetensi pembelajaran Seni Rupa di Sekolah Menangah Pertama terdiri atas tiga kompetensi, yakni (1) mengapresiasi dan mengekspresikan karya seni rupa terapan melalui gambar bentuk obyek tiga dimensi, (2) mengapresiasi dan mengekspresikan karya seni rupa terapan melalui gambar/ lukis, karya seni grafis cetak tinggi dan kriya tekstil batik daerah Nusantara, (3) Mengapresiasi dan mengekspresikan karya seni rupa murni yang dikembangkan dari beragam unsur seni rupa Nusantara dan mancanegara (Depdiknas, 2003:14). Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika. Seni rupa dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu seni rupa murni atau seni murni, kriya, dan desain. Seni rupa murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi, sementara kriya dan desain lebih menitikberatkan fungsi dan kemudahan produksi. Seni grafis cetak tinggi tergolong dalam seni murni, hal ini atas dasar karya yang ditujukan untuk ekspresi pribadi(http://wikipedia.com/senirupa). Terjemahan seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah fine art. Namun sesuai perkembangan dunia seni modern, istilah fine art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya ke dalam bahasan visual arts (http://Wikipedia.com/senirupa).

Seni rupa murni terbagi dalam 4 bagian yaitu seni patung, seni lukis, seni keramik dan seni grafis cetak tinggi. Seni rupa murni lebih mengkhususkan diri pada proses penciptaan

karya seninya dilandasi oleh tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan batin senimannya.Seni murni diciptakan berdasarkan kreativitas dan ekspresi yang sangat pribadi (lukis, patung, grafis, keramik). Namun dalam hal tertentu, karya seni rupa murni itu dapat pula diperjualbelikan atau memiliki fungsi sebagai benda pajangan dalam sebuah ruang. Seni grafis cetak tinggi merupakan seni murni dua dimensi dikerjakan dengan teknik cetak baik yang bersifat konvensional maupun melalui penggunaan teknologi . Teknik cetak konvensional antara lain :(1) Cetak Tinggi (Relief Print) : woodcut print, wood engraving print, lino cut print, kolase print, (2) Cetak Dalam (Intaglio) : dry point, etsa, mizotint,sugartint, (3) Cetak Datar (Planography), dan (4) Cetak Saring (silk screen ).

Teknik Cetak dengan penggunaan teknologi, misalnya offset dan digital print (http://guruvalah.20m.com). Seni grafis cetak tinggi mengacu pada penjelasan di atas tergolong dalam seni murni atau fine art. Hal ini disebabkan proses serta produk seni grafis cetak tinggi lebih pada pemuasan ekspresi diri bukan untuk tujuan kemudahan produksi atau fungsional lainnya. Seni grafis cetak tinggi sendiri memiliki 4 macam teknik, yaitu (1) Teknik Cetak Tinggi atau Relief Print, di mana tinta berada pada permukaan yang tinggi dari matrix. teknik relief meliputi: cukil kayu, cukil hardboard , engraving kayu, cukil linoleum/linocut, dan cukil logam/metalcut, (2) Teknik Cetak Dalam atau Intaglio, tinta berada di permukaan matrix yang dalam sebagai penghantar warna, teknik ini meliputi: engraving, etsa, mezzotint, aquatint, dan drypoint, (3) Teknik Cetak Datar atau planografi dimana matrix permukaan bagian dalam sebagai penghantar warna, teknik ini meliputi: litografi, monotype dan teknik digital, dan (4) Teknik Cetak Saring atau stensil, termasuk Cetak Sablon. Teknik hardboardcut adalah salah satu teknik relief print atau teknik cetak tinggi, sehingga proses berkaryanya identik dengan teknik cetak tinggi yang memiliki permukaan timbul , yang berfungsi sebagai penghantar tinta(baik monokrom atau polikrom) adalah bagian atau permukaan yang tinggi atau timbul tersebut.

Untuk memperoleh wujud acuan yang timbul tersebut dapat dikerjakan dengan cara menghilangkan bagian-bagian(dengan

Page 87: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

80

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

dicukil) yang tidak diperlukan menghantarkan tinta, sehingga tinggal bagian-bagian yang difungsikan sebagai penghantar warna atau tinta. Salah satu sifat seni grafis cetak tinggi cetak timbul atau cetak tinggi adalah bila acuannya sendiri diamati baik-baik, maka permukaan acuan akan tampak sebagai permukaan yang berukir atau berelief. Karena itu cetak tinggi disebut pula sebagai cetak tinggi atau relief print(Mutarto,1990). Seni grafis cetak tinggi cetak tinggi memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan teknik seni grafis cetak tinggi yang lainnya diantaranya, (1) seni grafis cetak tinggi cetak tinggi adalah teknik tertua, sehingga menjadi ciri utama seni grafis cetak tinggi, (2) sebagai dasar teknik percetakan yang meliputi pembuatan stempel, cetak emboss, dan mesin tik konvensional, (3) seni grafis cetak tinggi cetak tinggi adalah teknik paling mudah diantara teknik lainnya yang cocok diajarkan pada siswa tingkat SMP, (4) seni grafis cetak tinggi cetak tinggi memiliki beberapa tahap yang saling berkaitan atau continuous step, sehingga memerlukan ketelatenan dan keseriusan berkarya, (5) seni grafis cetak tinggi cetak tinggi menekankan unsur ekspresi dan kreasi disetiap tahap berkaryanya, yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menggambar, mencukil, dan mencetak.

Sebagai salah satu fine art, seni grafis cetak tinggi mengalami pemerosotan peminat, bahkan beberapa seniman seni grafis cetak tinggi lebih menarik untuk pindah ke seni lukis, Patung, dan seni- seni lainnya. Sebagaimana dilansir dalam majalah visual art edisi bulan juni 2010 halaman 27 yang menyatakan bahwa banyak pegrafis yang hijrah ke seni-seni lain yang lebih populer dan digemari saat ini. Mereka dihimbau untuk ”pulang”, agar seni grafis cetak tinggi yang saat ini sekedar pelengkap penyerta seni rupa Indonesia, bisa eksis.” Dalam observasi yang telah peneliti lakukan pada kelompok guru Seni Budaya dan Ketrampilan (SBK) tingkat SMP di beberapa sekolah pada tahun 2018, ternyata tidak ada satupun guru SBK yang membelajarkan Seni grafis cetak tinggi dalam tataran praktek, semua guru hanya memberikan pengetahuan tentang seni grafis cetak tinggi secara umum kepada peserta didik. Melihat hasil observasi ini, maka tidak heran jika seni grafis cetak tinggi menjadi

seni murni yang tertinggal dibanding dengan cabang seni murni (fine Art) yang lainnya. Dari hasil obervasi juga diperoleh data bahwa sebagian guru SBK enggan memasukkan materi seni grafis cetak tinggi dalam tataran praktek karena keterbatasan alat dan bahan yang diperlukan.

Perkembangan teknologi telah mempermudah manusia dalam berbagai aspek kehidupan, sedemikian halnya dengan berkarya seni grafis cetak tinggi, tidak dibutuhkan alat dan bahan yang mahal, cukup dengan menggunakan bahan- bahan sintesis karya seni grafis cetak tinggi dapat dibuat seperti hardboard sebagai matrixnya, cuter sebagai alat cukilnya, dan Cat Minyak sebagai tintanya, serta Spon sebagai pengganti Rol. Karena esensi seni grafis cetak tinggi bukan pada medianya tetapi pada tradisi dan prosedurnya(Visual Art,2010: 23). Oleh karena itu, sebagai langkah awal selain untuk mengembangkan pendidikan seni grafis cetak tinggi sebagaimana tertera dalam standar kompetensi lulusan pembelajaran seni rupa SMP (Depdiknas,2003), pengenalan seni grafis cetak tinggi dalam tataran praktek dengan pendekatan dan teknik yang tepat diharapkan juga mampu meningkatkan eksistensi seni grafis cetak tinggi Indonesia khususnya di kota Surabaya. Untuk mencapai tujuan tersebut guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan daya sensitivitas dan kreativitas siswa melalui seni grafis cetak tinggi. Salah satunya adalah dengan menggunakan Pendekatan Ekspresi-Kreatif. Pendekatan Ekspresi-Kreatif adalah pendekatan yang mengajak siswa untuk belajar mengungkapkan perasaan dan gejolak emosinya itu dalam bentuk karya yang ekspresif. Siswa juga dirangsang untuk menciptakan karya seni yang memiliki keanehan dan kebaruan sebagai substansi dari kreativitas(Harianti,2003).

Pendekatan Ekspresi Bebas menurunkan Metode Ekspresi Bebas ,jadi istilah ”ekspresi bebas” dapat digunakan sebagai Pendekatan atau Paradigma dan juga sebagai Metode (Tarjo, 2004: 134). Adapun Metode Ekspresi Bebas identik dengan metode Ekspresi-Kreatif (Jefferson, 1980) atau metode Kerja Cipta. Jenis metode ini merupakan bentuk lain dari metode menggambar bebas yang disarankan oleh A.J. Suharjo. Metode ini merupakan

Page 88: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

81

Ahmad, Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik

pengembangan dari pendapat Victor Lowenfeld yang menganjurkan agar setiap guru yang bermaksud mengembangkan kreasi siswanya untuk bebas berekspresi. Dengan cara ini guru menjauhkan diri dari campur tangannya terhadap aktivitas yang dilakukan siswanya. Atas dasar tersebut metode ini sering dinamakan Metode Ekspresi-Kreatif atau Pendekatan Ekspresi-Kreatif. (Tarjo,2005:135). Pada metode Ekspresi-Kreatif dalam penelitian ini memiliki beberapa keunggulan,(1) lebih mengutamakan ketrampilan proses, (2) Siswa diarahkan dari berimajinasi ke berfikir yang lebih ekspresif atau pemuasan diri, (3) lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa, (4) mampu memberikan motivasi yang lebih optimal dalam mengembangkan kemampuan berkesenian siswa (Tarjo,2005). Proses berkarya seni grafis cetak tinggi yang memiliki 3 tahap kunci berkarya yang meliputi tahap perancangan desain, tahap berkarya yang meliputi pembuatan matrix, pengerolan, dan pengepresan, dan tahap pencetakan. Masing- masing tahap memiliki kompetensi yang berbeda, tahap pembuatan sketsa merupakan tahap awal yang melandasi proses berkarya selanjutnya, melalui proses pembuatan sketsa siswa menuangkan ide atau gagasannya dalam bentuk visualisasi sketsa (Schinneller,1961:133-138).

Dalam praktek pembelajaran di kelas siswa kurang dapat menuangkan idenya secara ekspresif sesuai dengan ide dalam diri siswa, mayoritas siswa memiliki kecenderungan untuk mencontoh gambar yang sudah ada atau meniru temannya, sehingga siswa menjadi lemah dalam berekspresi yang selanjutnya dapat melemahkan daya kreatifitas siswa (Harianti,2003). Penerapan pendekatan ekspresi-kreasi sebagai salah satu pendekatan sekaligus metode untuk mengembangkan kemampuan berekspresi siswa secara lebih original atau asli dari diri siswa, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berkarya siswa terutama dalam berkarya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut yang menekankan ekspresi yang lebih dalam setiap tahap berkaryanya. Tahap pembuatan matrix sebagai bagian dalam tahap berkarya menggunakan teknik cukil memiliki ranah pengembangan motorik, kogntif, dan attitude siswa, yaitu siswa harus mampu mencukil papan hardboard , menerapkan pola reflektif ,

dan emosi atau sikap yang sabar dalam berkarya.

Tahap berkarya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut merupakan tahap penentu kepuasan siswa, pada tahap ini siswa ditekankan mampu melakukan pencetakan dengan warna dan media yang telah disediakan melalui teknik pengerolan, dan pengepressan.Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berkarya seni grafis teknik cetak tinggi hardboardcut melalui pendekatan ekspresif-kreatif. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berkarya seni grafis teknik cetak tinggi bermedia hardboard melalui pendekatan ekspresi-kreatif di kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan ini digunakan karena data yang dikaji dalam pendekatan ini berupa perilaku pembelajaran dari orang yang diteliti, berlatar alamiah, peneliti sebagai pengumpul data utama, data dianalisis secara deskriptif induktif, menekankan hasil dan proses, dan hasil penelitian diverifikasikan dan dikonfirmasikan dengan orang-orang yang berkaitan dengan yang diteliti. Bogdan dan Biklen (1992: 29-30) menyatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki ciri- ciri (1) berlatar belakang ilmiah sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) bersifat deskriptif, yakni data dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, (3) memperhatikan proses dan hasil, (4) bersifat induktif dalam analisis datanya, dan (5) mengutamakan permahaman makna (Noer, 2008:31). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yaitu suatu pengamatan terhadap proses kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa(Arikunto,2008:3). Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection (Santyasa,2007:5)

Pemilihan PTK sebagai pendekatan penelitian karena masalah yang dipecahkan

Page 89: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

82

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

berasal dari proses pembelajaran di kelas, yaitu pembelajaran berkarya seni grafis. Penelitian ini sengaja dirancang dan dilakukan sebagai tindakan untuk memperbaiki pembelajaran berkarya seni grafis. Dengan maksud tersebut, penelitian ini dilaksanakan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru Seni Budaya di SMP Negeri 3 Surabaya. Dalam hal ini peneliti dan guru bekerjasama dalam merancang dan melaksanakan tindakan kelas. Dalam proses pembelajaran itu Dimyati (1997:3) menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan tipe penelitian terapan yang melibatkan peneliti dalam tindakan pemecahan praktis.

Penelitian tindakan kelas ini digunakan untuk pemecahan masalah praktis dan untuk peningkatan kualitas pembelajaran berkarya seni grafis. Penelitian tindakan kelas dipilih karena sesuai dengan karakteristik kondisi pembelajaran seni grafis di kelas , yaitu (1) adanya permasalahan praktis yang ditemui oleh guru di kelas, yaitu kekurangmampuan siswa dalam berkarya seni grafis, (2) dilakukan secara kolaboratif antara guru dan peneliti dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran, dan (3) dapat menjadi sebuah refleksi yang dibuat oleh publik, yaitu penerapan teknik hardboardcut dengan pendekatan ekspresi-kreasi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berkarya seni grafis siswa. Cross (dalam Rofi’uddin, 1995:2) menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memberikan sumbangan nyata bagi peningkatan profesional guru, penyiapan pengetahuan, dan pemahaman dan wawasan tentang perilaku guru dan siswa. Penelitian dilakukan secara sistematis mulai perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi yang kesemuanya itu bertujuan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran melalui peningkatan kemampuan berkarya seni grafis teknik hardboardcut dengan pendekatan ekpresi-kreasi.

Menurut Kemmis dan Taggart (dalam Dasna, 2007:8) PTK dimulai dengan refleksi awal, yaitu guru merefleksikan masalah-masalah yang ada di kelasnya. Kegiatan ini meliputi identifikasi masalah, analisis masalah, perumusan masalah, dan perumusan hipotesis tindakan. Setelah itu guru melakukan: (1) planning (perencanaan), (2) acting (pelaksanaan), (3) observing

(pengamatan) dan reflecting (refleksi). Keempat kegiatan yang terakhir ini merupakan suatu rangkaian yang berulang sampai mencapai hasil yang diharapkan. Perencanaan mencakup tindakan yang akan dilakukan untuk memperbaiki, meningkatkan atau merubah perilaku dan sikap yang diinginkan sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan. Adapun pelaksanaan tindakan menyangkut apa yang dilakukan peneliti sebagai upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana tindakan. Selama proses pelaksanaan tindakan dilaksanakan pula proses pengamatan dari tindakan yang dilaksanakan atau dikenakan terhadap siswa. Pada proses akhir dilaksanakan refleksi yaitu kegiatan analisis, sintesis, interpretasi terhadap semua informasi yang diperoleh saat kegiatan tindakan. Dalam kegiatan ini peneliti mengkaji, melihat, dan mempertimbangkan hasil-hasil atau dampak dari tindakan. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai peneliti partisipan, yaitu peneliti yang ikut serta dalam proses pembelajaran berkarya seni grafis teknik hardboardcut. Adapun yang memberikan arahan dan materi tetap guru pengajar seni budaya kelas tersebut, peneliti sebatas melaksanakan observasi atau pengamatan, memberikan saran pada saat refleksi, dan evaluasi.

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya yang berjumlah 38 siswa dengan perincian 20 wanita dan 18 laki-laki. Data dalam penelitian ini berupa data yang berkaitan dengan penerapan pendekatan ekspresi sebagai upaya meningkatkan kemampuan berkarya seni grafis teknik hardboardcut. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari aktivitas pembelajaran berkarya seni grafis siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya dengan penerapan teknik hardboardcut melalui pendekatan ekspresif dan hasil karya seni grafis siswa. Disamping itu, peneliti melakukan wawancara, dilaksanakan kepada siswa Kelas VIII A yang telah melaksanakan proses pembelajaran peningkatan kemampuan berkarya seni grafis hardboardcut. Teknik wawancara ini dilakukan untuk dapat mengangkat data-data tentang kelebihan dan kendala-kendala yang dihadapi siswa ketika berkarya seni grafis teknik hardboardcut.Teknik observasi dilaksanakan untuk mengetahui pelaksanakan proses

Page 90: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

83

Ahmad, Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik

pembelajaran peningkatan kemampuan berkarya seni grafis hardboardcut di kelas. Observasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang keaktifan siswa dan keberanian siswa ketika proses berkarya. Untuk memperoleh hasil penilaian dilakukan dengan tes praktek, yaitu tes berkarya seni grafis dengan teknik hardboardcut berpendekatan ekspresi-kreasi. Siswa diminta membuat karya seni grafis pada setiap siklus. Hasil tes praktek ini adalah karya seni grafis siswa.

Analisis data dilaksanakan berdasarkan analisis data model alir yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam Noer(2008:44), meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi atau simpulan. Analisis data dimulai dari pengumpulan data sampai data terkumpul. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penumpukan data dan data segera dapat direfleksi, sehingga proses pemaknaan dan simpulan dapat dilakukan secepatnya. Setelah menelaah dan meneliti keseluruhan data yang terkumpul secara teliti dan komperehensif yang berkaitan dengan pembelajaran peningkatan kemampuan berkarya seni grafis teknik hardboardcur meliputi, pembuatan sketsa, matrix, proses berkarya, dan pemajangan hasil karya. Data yang terkumpul ditelaah berdasarkan rambu-rambu penilaian. Pada tahap tersebut data yang bermakna dipilah dan dipilih serta dikelompokkan datu kesatuan sambil diberi kode berbeda berdasarkan maknanya. Data tersebut adalah data yang berkaitan dengan data verbal maupun data non verbal yaitu data proses dan data hasil yang berupa data pembuatan sketsa, matrix, proses berkarya, dan pemajangan hasil karya. Penyajian data dilakukan dengan mengorganisasikan informasi yang telah direduksi tersebut. Seluruh data dirangkum dan disajikan secara terpadu ke dalam satuan-satuan informasi yang memungkinkan untuk menarik simpulan. Satuan- satuan informasi tersebut berupa format, tabel, dan daftar, data pembuatan sketsa berkarya seni grafis dengan pendekatan ekspresi-kreasi, data pembuatan matrix , data berkarya seni grafis, dan pemajangan hasil karya. Data disajikan tiap siklus dengan kalimat yang jelas, lugas, dan sederhana. Hal tersebut dilakukan agar penyajian data dapat dipahami dengan mudah.

Berdasarkan temuan permasalahan pada studi pendahuluan peneliti bersama dengan

guru merencanakan tindakan. Tindakan yang dilakukan oleh guru dan peneliti dalam bentuk pembelajaran berkarya seni grafis teknik cetak tinggi bermedia hardboard dengan menggunakan pendekatan ekspresif-kreatif. Untuk itu, guru dan peneliti bersama-sama merumuskan rancangan tindakan yang dirancang dalam II siklus pembelajaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut. (1) Menyusun rancangan tindakan berupa

rencana pembelajaran yang meliputi (a) kompetensi dasar, (b) rumusan indikator pembelajaran, (c) penyusunan skenario pembelajaran, (d) materi dan media pembelajaran, (e) evaluasi proses dan evaluasi hasil, (f) pengorganisasian kelas, dan (g) penentuan alokasi waktu.

(2) Menyusun indikator, deskriptor, sebagai kriteria dalam mengukur keberhasilan pembelajaran berkarya seni grafis

(3) Menyusun rambu-rambu alat perekam atau pengumpul data meliputi panduan observasi pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan ekspresif, pedoman wawancara, format catatan lapangan dan dokumentasi.

(4) Melakukan refleksi dengan guru kelas VIII A selaku mitra penelitian agar pemberian tindakan benar-benar efektif dan efisien.

Setelah rancangan tindakan telah dibuat, langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan dimana guru akan melaksanakan tindakan di depan kelas, sementara peneliti bersama guru melaksanakan observasi.Pelaksanaan tindakan dilakukan mengikuti rencana yang telah disusun pada tahap perencanaan. Uraian terhadap pelaksanaan tindakan sebagai berikut. (1) Melaksanakan pembelajaran dengan

pendekatan ekspresif berdasarkan pada rencana pembelajaran yang telah disusun.

(2) Setiap pertemuan dalam pelaksanaan tindakan pada tiap siklus mengikuti skenario pembelajaran yang telah disusun.

(3) Selama pelaksanaan tindakan, guru melaksanakan pembelajaran atau bertindak sebagai aktor utama dalam kegiatan pembelajaran. sementara peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan.

(4) Penilaian terhadap pelaksanaan tindakan

Page 91: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

84

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan. Dari penelitian tersebut, diperoleh data hasil tindakan yang difokuskan pada penilaian terhadap kuantitas siswa yang bertanya dan memberikan merespon, kualitas karya seni grafis hardboardcut dinilai pada karya perancangan berupa sketsa dan karya seni grafis hardboardcut. berdasarkan pengamatan yang dilakukan siswa. Hasil penilaian yang diperoleh didiskusikan oleh peneliti dan guru (kolaborator) untuk mendapatkan umpan balik.

Kegiatan refleksi dilakukan pada setiap akhir siklus. Kegiatan tersebut dilakukan antara guru dan peneliti untuk membahas dan mendiskusikan tentang hal-hal yang telah dilaksanakan selama pembelajaran. Hal-hal yang dilakukan selama refleksi tersebut meliputi (1) menganalisis kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan, (2) membahas kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan tindakan dalam pembelajaran, dan (3) menguraikan kendala yang ditemukan dalam pemberian tindakan dan pemecahan yang berkaitan dengan efektivitas pencapaian perencanaan yang telah ditetapkan. Hasil refleksi tersebut digunakan untuk perbaikan tindakan pada siklus berikutnya. Berdasarkan hasil refleksi siklus I, peneliti akan mempertimbangkan perlu tidaknya dilakukan tindakan pada siklus II, pertimbangan tersebut didasarkan pada ada tidaknya peningkatan kemampuan siswa dalam berkarya seni grafis teknik hardboardcut pada siklus I. Sebagai tindak lanjut penyempurnaan siklus tersebut, daur tindakan akan dihentikan apabila telah menunjukkan hasil kemajuan dan kemampuan siswa yang berarti. Hasil Dan Pembahasan

Pada Tahap Perancangan desain terdiri atas dua kegiatan meliputi (1) menentukan gagasan atau ide yang akan divisualisasikan dalam karya seni grafis cetak tinggi, dan(2) membuat sketsa karya seni grafis cetak tinggi dengan menggunakan pendekatan ekspresi. Dalam menentukan gagasan secara kreatif untuk dijadikan karya seni grafis cetak tinggi, siswa harus memiliki

konsep berkarya seni grafis cetak tinggi . untuk itu, siswa diberi pemahaman konsep oleh guru dengan cara demonstrasi dan pemanfaatan media berupa contoh karya seni grafis cetak tinggi teknik cetak tinggi media hardboardcut. Melalui cara itu, kreativitas siswa dalam berkarya seni grafis cetak tinggi lebih kreatif. Pemantapan pemanhaman konsep berkarya seni grafis cetak tinggi dilakukan dengan siswa diperkenalkan dengan alat dan bahan berkarya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut. Diantaranya siswa diperkenalkan dengan jenis- jenis alat cukil yang berfungsi untuk mencukil permukaan hardboard, selain itu siswa juga diperkenalkan dengan hardboard. Pemantapan konsep berkarya seni grafis cetak tinggi ditandai dengan siswa membuat sebuah karya cukil di permukaan hardboard dengan gagasan atau ide sesuai dengan sketsa yang dibuat secara spontan. Melalui kegiatan ini siswa mampu mengenali fungsi pisau cukil dan mengerti karakter hardboard, serta teknik mencukil yang benar. Kegiatan pembelajaran yang melalui demonstrasi membuat sketsa di papan tulis yang dilakukan oleh guru, pengenalan alat dan bahan, ditambah dengan curah pendapat atas contoh karya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut memberikan andil besar dalam pengembangan kreatifitas siswa dalam berkarya. Setelah serangkain pemahaman konsep tersebut, siswa diarahkan untuk membuat sketsa karya seni grafis cetak tinggi dengan gagasan yang murni ekspresi dari diri- sendiri siswa. Siswa tampak antusias dalam memvisualisasikan gagasan ke dalam sketsa karya seni grafis cetak tinggi. Kegiatan membuat sketsa karya seni grafis cetak tinggi dilakukan oleh siswa secara antusias dan serius. Guru mengarahkan agar siswa memfokuskan sketsa yang dibuat berdasarkan gagasan yang telah ditentukan. Guru memfasilitasi siswa dengan memonitoring proses pembuatan sketsa. Beberapa siswa belum begitu berani mengajukan pertanyaan atas sketsa yang dibuatnya, malah sebagian menyembunyikan karya sketsanya

Page 92: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

85

Ahmad, Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik

dengan alasan malu, tetapi pada perkembangan berikutnya siswa yang kurang berani akhirnya berani untuk menunjukkan karya sketsanya dan berani bertanya jika belum paham.

Tindakan pertama dalam berkarya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut adalah pencarian gagasan yang akan dituangkan ke dalam bentuk sketsa karya seni grafis cetak tinggi. Dalam kegiatan ini, guru memperlihatkan contoh karya seni grafis cetak tinggi yang dijadikan sebagai media untuk memberikan inspirasi siswa dalam menemukan gagasan yang selanjtunya akan divisualisasikan dalam bentuk sketsa. Pembuatan sketsa karya merupakan proses awal dalam berkarya. Sketsa yang dibuat tersebut digunakan sebagai arahan dalam berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang memuaskan. Teknik ini akan memberikan kesempatan siswa dalam mengekspor kemampuannya ke dalam bentuk sketsa dengan memperhatikan kreatifitas berkarya. dengan curah pendapat yang difasilitasi oleh guru secara intensif, siswa berhasil menemukan gagasan ekspresif dari dalam diri siswa. Keberhasilan tersebut ditandai dengan siswa mampu membuat sketsa karya seni grafis cetak tinggi yang ekspresif dan kreatif.

Pelaksanaan tindakan peningkatan kemampuan berkarya seni grafis cetak tinggi dengan teknik hardboardcut pada tahap saat berkarya meliputi (1) Siswa melihat kembali sketsa yang telah dibuat pada tahap perancangan desain, (2) Siswa menetapkan ide atau gagasan yang akan dibuat menjadi karya seni grafis cetak tinggi, dengan kata lain perubahan ide atau gagasan dimungkinkan terjadi pada siswa, (3) Siswa memindahkan gambar sketsa ke permukaan papan hardboard dengan menggambarnya ulang atau menjiplaknya, (4) Siswa secara berkelompok atau individu untuk memeriksa komposisi,dan proporsi dengan memperbandingkan dengan sketsa, (5) Siswa merevisi dan mengedit gambar sketsa di papan hardboard, (6)Siswa mencukil hardboard sesuai dengan garis dan bidang yang digambar

dalam hardboard, (7) Siswa memberi tinta cetak permukaan hardboard yang telah dicukil dengan menggunakan alat yang telah disediakan(rol), (8) Siswa mencetak hasil pengerolan di atas kertas, dengan menggunakan sistem pengepresan atau penekanan kertas di atas hardboard yang telah dicukil dan dilumuri tinta cetak memanfaatka handpres, (9) Siswa memisahkan kertas dari papan hardboard dan mengeringkannya.

Berdasarkan analisis pelaksanaan pembelajaran berkarya seni grafis cetak tinggi dengan teknik hardboardcut pada tahap saat berkarya, diperoleh hasil proses dan produk sebagai berikut. Secara umum siswa tampak aktif dalam memvisualisasikan gagasan dalam bentuk sketsa. Siswa pun tampak aktif memantapkan sketsa yang dilanjutkan dengan memindahkan karya sketsa di atas kertas ke permukaan hardboard. Respon yang diberikan guru menjadi motivasi siswa untuk memperbaiki hasil karya yang dibuat. Siswa merasa dihargai terhadap hasil karya yang dibuat. Sehingga siswa semakin termotivasi untuk berkarya seni grafis cetak tinggi.

Proses pemindahan karya sketsa dari atas kertas ke permukaan hardboard berlangsung dengan antusias dilakukan oleh siswa. Tahap selanjutnya siswa mencukil permukaan hardboard sesuai dengan sketsa yang telah dibuat di permukaan hardboard. Pencukilan hardboard dapat dilakukan oleh siswa dengan kualifikasi baik, meskipun awalnya sebagian siswa belum mampu mencukil dengan tajam dan dalam, tetapi pada akhirnya siswa mampu membuat cukilan di permukaan hardboard dengan tajam dan dalam.Proses pengerolan permukaan hardboard dengan tinta cetak satu warna, awalnya sebagian siswa belum dapat mengerolkan tinta cetak secara merata di permukaan hardboard. Melalui bimbingan guru dibantu oleh siswa yang telah mampu merolkan tinta cetak dengan merata, siswa mampu merolkan tinta cetak dengan baik.Melalui sistem pengepresan dengan handpress, siswa mencetak karya seni grafis cetak tinggi dengan media

Page 93: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

86

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

kertas linen. Awalnya siswa mengalami kesulitan dalam proses pengepresan, mayoritas siswa melakukan pengepresan sekedarnya saja, seharusnya pengepresan dilakukan dengan memastikan tinta cetak benar-benar telah menempel secara merata di permukaan kertas Linen, sebelum tinta cetak menempel rata di permukaan kertas proses pengepresan belum diakhiri.

Dengan arahan dari guru secara intensif siswa mampu melakukan pengepresan dengan baik.

Berikut adalah tabel peningkatan kemampuan berkarya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut dengan pendekatan ekspresif-kreatif pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya yang telah dilaksanakan selama dua siklus berkelanjutan,

Tabel 1. Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik Hardboardcut

No

Indicator

Perencanaan desain

peningkatan

saat berkarya

peningkatan

siklus I siklus II

(%) siklus I siklus II

(%)

1 ide 67,78 84,72 25,00 2 variasi garis 69,58 82,92 19,16 3 keaktifan 73,47 83,61 13,80 4 motivasi 72,92 83,33 14,29 5 keberanian 73,89 82,92 12,22 6 pencukilan 68,33 81,67 19,51 7 pengepresan 70,00 85,83 22,62 8 pengerolan 65,83 80,28 21,94 9 teknik 66,81 79,31 18,71

rata-rata 16,89 20,70

rata-rata peningkatan total 18,79%

Keterangan: 1. Ide adalah tingkat keunikan ide siswa yang diwujudkan dalam bentuk sketsa yang

original. 2. Variasi Garis adalah variasi komposisi garis dalam sketsa. 3. Keaktifan adalah keaktifan siswa selama mengikuti proses pembelajaran dinilai

berdasarkan frekuensi bertanya dan pemanfaatan waktu berkarya. 4. Motivasi adalah keseriusan dalam mengikuti proses pembelajaran 5. Keberanian adalah keberanian dalam mengungkapkan ide dalam bentuk sketsa tanpa

takut salah. 6. Pencukilan adalah tingkat kehalusan cukilan matrix sesuai dengan sketsa. 7. Pengepresan adalah kemampuan siswa dalam mengepres kertas di atas matrix

hingga tinta benar-benar berpindah dari matrix ke kertas. 8. Pangerolan adalah kemampuan siswa mengerolkan tinta pada permukaan

matrix dengan alat rol. 9. Teknik adalah penerapan sistem negatif saat pemindahan sketsa di kertas ke papan

hardboard. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan yang diperoleh maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu pada tahap perancangan desain siswa telah mengalami peningkatan dari yang mulanya belum ekspresif dalam berkarya sampai mampu

membuat sketsa karya seni grafis cetak tinggi yang original karya sendiri dan telah berani memvisualisasikan karya dengan berani. Hal ini nampak pada peningkatan kemampuan visualisasi ide yang ekspresif dan kreatif sebesar 25% pada siklus II, dan peningkatan komposisi garis yang lebih variatif sebesar

Page 94: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

87

Ahmad, Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik

19,16% pada siklus II. Pada tahap berkarya seni grafis cetak tinggi siswa telah menunjukkan peningkatan yang berarti. Hal ini dapat dilihat pada proses pencukilan meningkat 68,33% yang berarti siswa telah mampu mencukil hardboard sesuai dengan sketsa secara tajam dan halus, pada proses pengerolan juga mengalami peningkatan sebesar 65,83% ini juga berarti siswa telah mampu merolkan tinta ke permukaan hardboard dengan kategori yang merata, selanjutnya pada proses pengepresan siswa mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu 70%, ini menunjukkan siswa mampu melaksanakan pengepresan sebagai proses akhir berkarya dengan baik, yang terakhir pada penguasaan teknik siswa juga mengalami peningkatan sebesar 66,81% yang menunjukkan karya siswa telah benar secara teknik dengan kata lain tidak ada karya yang terbalik dari sketsa awalnya. Peningkatan kemampuan berkarya seni grafis cetak tinggi teknik hardboardcut siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Surabaya dengan pendekatan ekspresif-kreatif mencapai 18,79% menyeluruh pada rata-rata semua indikator selama dua siklus pembelajaran.

Disarankan kepada guru seni budaya tingkat SMP bila menemui kesulitan dalam mengembangkan kreativitas siswa terutama ketika proses berkarya seni grafis cetak tinggi teknik cetak tinggi mapun teknik lainnya, untuk memanfaatkan pendekatan dan metode ekspresi-kreasi. Selain itu, selama proses berkarya disarankan untuk menyiapkan peralatan dan bahan berkarya yang tepat dengan menggunakan teknik berkarya yang sesuai dengan ketentuan atau prosedur berkarya seni grafis cetak tinggi teknik cetak tinggi agar kemampuan siswa dalam berkarya tidak terhambat oleh pemanfaatan alat dan bahan yang kurang tepat. Disarankan kepada siswa yang mengikuti mata pelajaran seni budaya materi berkarya seni grafis cetak tinggi teknik cetak tinggi, untuk berupaya mengekspresikan diri secara original tidak perlu mencontoh karya milik siswa lain, sehingga siswa dapat membuat karya yang kreatif. Disarankan pula, dalam berkarya seni grafis cetak tinggi siswa harus telaten dan sabar serta serius dalam mengikuti tahap demi tahap berkarya seni grafis cetak tinggi teknik cetak tinggi sesuai dengan prosedur yang tepat agar dapat membuat karya yang memuaskan.

Daftar Pustaka Ali, Matius. 2006.Seni Musik SMP Untuk

Kelas VII.Jakarta: Erlangga Aminatus ,Noer S. 2008. Peningkatan

Kemampuan Menggambar Objek Melalui Teknik Menggambar Langsung Siswa Kelas VII SMP Negeri 6 Jember Tahun Pelajaran 2007-2008. Skripsi, Program Studi Seni Rupa, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Asrori, Imam. 1995. Al-wasaail Al-mu’iynat. Malang: Jurusan Sastra Arab Barret, Maurice.1982.Art Education a strategy for Cource Design.London:

Heineman Educational Book Bogdan R.dan Biklen. 1992. Riset Kualitatif

untuk Pendidikan: Pengantar Teori dan Metode. Terjemahan oleh Munandir. Jakarta: Depdikbud

Danim, Sudarwan. 1994. Media Komunikasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Depdiknas. 2004. Kurikulum Seni Budaya. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran SeniBudaya

Sekolah Menengah Pertama. Jakarta. Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Standar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Dimyati dan Mudjiono.1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dimyati dan Mudjiono.2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Harianti, Diah. 2007. KajianKebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Seni Budaya.

Jakarta.Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional

Haryati, Ismatoyo, dan Triyono. 2003. Peningkatan Pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian dengan Pendekatan Kreatifitas di Kelas III SDN 2 Borokulon Purworejo.Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Semarang: Lembaga Penelitian Universitas Terbuka.

Husodo, Sri. 2007. Peningkatan Kreativitas Siswa Melalui permainan cipta Lagu

Page 95: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

88

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

dalam Pembelajaran Seni Budaya di SMP Nasima Semarang. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang. Universitas Negeri Semarang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Kemmis, S dan Mc. Taggart. 1992. The

Action Research Planner. Australia: Deakin Universcity Press

Khisbiyah, Yayah.(Ed).2004. Pendidikan Apresiasi Seni. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Latuheru, john D. 1988. Media Pembelajaran Dalam Proses Belajar Masa Kini.

Jakarta: Depdikbud Mastuti, siti.2010. Pelaksanaan Layanan

Bimbingan Belajar Pendidikan Agama Islam (Pai) Pada Siswa Kelas V Di SDN Purwomartani Kalasan Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2008-2009. Skripsi tidak diterbitkan.

Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia. McKim's, George. 2008. How To Make a

Woodcut Print - Five Easy Steps. http://searchwap.com/woodcut.html. (diakses 26 September 2010)

Miarso, Yusuf Hadi. 1984. Teknologi Komunikasi pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali

Moeleong, Lexy, J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakary Muhajir, Imam. 1991. Pengetahuan Seni. Jakarta: Depdiknas

Mulyasa.2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Murip,Yahya. 2008.Pengantar Pendidikan. Bandung: Prospect

Mutarto dan Titik Sriwardani.1990.

Pengantar Seni Cetak. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.

Pinasti, W.2009.Pengaruh minat dan Kebiasaan Belajar terhadap Prestasi Siswa Kelas X APK di SMK Arjuna 2 Malang. Skripsi tidak diterbitkan.

Malang:Pendidikan Administrasi Perkantoran Universitas Negeri Malang.

Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno.2007. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Jakarta: PT Refika Aditama.

Rohidi, Tjetjep R. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung:

Accent Graphic Communication Sacari, Agus.2000. Seni Rupa dan Desain.

Jakarta: Erlangga Sadiman, Arief. 2002. Media Pendidikan :

Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Santyasa, I Wayan. 2007. Metodologi Penelitian Tindakan Kelas. Makalah workshop tentang Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bagi Para Guru SMP 2 dan 5 Nusa Penida Klungkung, pada tanggal 30 Nopember s.d 1 Desember 2007 di Nusa Penida. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha

Schinneller, James A.1961. Art: Search and Self Discovery. Pennsylvania: International Texbook Company

Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Slameto.2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Soehardjo. 2005.Pendidikan Seni Dari Konsep Sampai Program. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sudjana, Nana.2005. Dasar-dasar Proses Belajar-Mengajar.Bandung: Sinar Baru Algosindo.

Tarjo, Enday. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FPBS, UPI Bandung.

Tim Abdi Guru. 2002. Pembelajaran Seni Rupa. Jakarta: Erlangga

Usman, Basyaruddin dan Asnawir. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat press

Veronica, A.P.2005. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Terhadap Hasil Belajar Pokok Bahasan Laporan Keuangan pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Grobogan. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Yusrina. 2006.Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di SMP YPI Cempaka Putih Bintaro (Online) (http://idb4.wikispaces.com/file/view/rc02- pengaruh+PAI+terhadap+pembentukan+akhlak+siswa.pdf, diakses 31 Januari

Page 96: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

89

Ahmad, Peningkatan Kemampuan Berkarya Seni Grafis Cetak Tinggi Teknik

2009). Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.

Page 97: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

90

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Paradigma Baru Dalam Menghidupkan Kembali GBHN

Sumi Hartoyo email : [email protected]

UPBJJ Universitas Terbuka Surabaya

Abstrak Tulisan ini bertujuan memberikan wawasan berkaitan dengan pemikiran pentingnya pemberlakuan kembali GBHN sebagai panduan pembangunan nasional. Sebagaimana diketahui, pada era reformasi telah terjadi amandemen terhadap UUD 1945. Satu di antara amandemen tersebut adalah penghapusan GBHN sebagai landasan pembangunan nasional. Ketiadaan GBHN merupakan konsekuensi logis dari pemilihan presiden secara langsung. Salah satu aspek penilaian terhadap calon presiden adalah melalui rencana atau program yang ditawarkannya. Program-program itu dikenal sebagai visi dan misi capres dan interprestasi capres dalam upaya mencapai cita-cita bangsa yang tersirat dalam pembukaan konstitusi. Akan tetapi, amandemen tersebut kemudian dianggap ada kelemahannya. RPJP dan RPJM sebagai pengganti GBHN dianggap kurang dapat dikontrol oleh wakil rakyat karena dibuat dan dilaksanakan oleh presiden. Oleh karena itu, kemudian timbul pemikiran untuk kembali ke GBHN yang dilontarkan oleh para tokoh bangsa baik dari kalangan akademik maupun politisi. Berdasarkan hal-hal tersebut perlu adanya GBHN dengan paradigma baru, sebab dengan GBHN paradigma baru ini fungsi GBHN ada 2 yaitu (1) sebagai arahan pembangunan yang dirumuskan DPR, DPD, ABRI, POLRI, PNS dan tokoh-tokoh penting sehingga semua pihak akan bertanggungjawab tentang arah pembangunan, sehingga dapat digunakan untuk wacana kampanye dan debat capres dan cawapres, sehingga kampanye dan debat tidak jauh melenceng perlu diketahui bahwa pemilihan DPR dan DPD harus lebih dulu dari Pilpres karena DPR dan DPD harus terbentuk lebih dulu; (2)Sebagai pertanggungjawaban ditetapkan oleh DPR, DPD, itu tidak berarti presiden bertanggungjawab kepada MPR melainkan bertanggungjawab pada rakyat langsung hal ini bisa kita lihat bila capres dalam menjabarkan GBHN itu menarik bagi rakyat maka akan terpilih, dan bila mencalonkan lagi dan bisa membuktikan dapat melaksanakan GBHN dengan baik dan rakyat puas maka capres itu akan terpilih kembali ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat.

Kata kunci: GBHN, paradigma baru, amandemen Pendahuluan

Tujuan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Penyelenggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara, bersama-sama segenap rakyat Indonesia. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia

yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju dan kukuh kekuatan moral dan etika. Pembangunan yang terpusat yang dilaksanakan selama orde baru ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomis, serta tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi. Karena itu reformasi

Page 98: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

91

 

Sumi Hartoyo, Paradigma Baru Dalam Menghidupkan Kembali GBHN

perlu dilakukan lagi paradigma baru dalam pengembangan di Indonesia di masa depan dalam rangka mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dalam amandemen UUD 1945, GBHN dihapus. Padahal, GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara yang merupakan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh MPR untuk lima tahun guna mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Meskipun sekarang pelaksanaan pembangunan mengacu pada RPJM dan RPJP dengan UU nomor 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 sebagai dasar melakukan pembangunan, namun dalam pelaksanaan ada yang setuju dan tidak setuju tentang rencana pembangunan tersebut.

Makalah ini mengetengahkan perdebatan mengenai keberadaan GBHN tersebut. Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumbangan pemikiran agar diperoleh langkah kebijakan yang lebih baik di masa mendatang. Kajian Pustaka

Membicarakan GBHN dalam konteks arah pembangunan memiliki kaitan erat dengan kebijakan publik. Implementasi kebijakan sering dianggap sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur dan teknik yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki. Sederhananya adalah realita implementasi melibatkan berbagai pihak dan menyangkut kepada hubungan-hubungan keorganisasian yang kompleks. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang di implementasikan dengan baik oleh para pelaksana kegiatan (Firdaus, 2018).

Ada berbagai pengertian tentang kebijakan publik. Menurut Agustino,

kebijakan publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Menurut Dunn kebijakan adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Anderson mendefinisikan kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu kebijakan publik juga kebijakan yang dikembangkan atau dibuat oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (Indotesis.com, 2017).

Menurut Widodo dan Totok (2001:190), dalam praktiknya kebijakan publik baiknya harus mengandung unsur-unsur. Unsur-unsur yang dimaksud adalah (1) kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. (2) Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. (3) Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan. (4) Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai sesuatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu). (5) Kebijakan publik (positif), selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).

Anderson menyatakan 4 aspek kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi. 1. Kebijakan publik berorientasi pada maksud

atau tujuan dan bukan secara serampangan 2. Kebijakan publik merupakan pola tindakan

yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan menyiapkan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan yang mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan UU mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya.

3. Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerinta dan bukan apa yang diinginkan pemerintah

Page 99: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

92

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

4. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.

GBHN Versus RPJP/RPJM

Pada masa reformasi GBHN telah dihapuskan melalui amandemen UUD 1945. Menurut konstitusi hasil amandemen ini kewenangan MPR menyusun GBHN telah dihilangkan MPR yang anggotanya terdiri dari anggota DPR dan DPD, hanya bertugas untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden serta wakil presiden terpilih yang dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu MPR dapat memberhentikan presiden serta wakil presiden dalam masa jabatannya apabila yang bersangkutan melanggar hukum dan berkhianat terhadap bangsa dan negara, itupun setelah diputuskan oleh MK.

Ketiadaan GBHN merupakan konsekuensi logis dari pemilihan presiden secara langsung. Salah satu aspek penilaian terhadap calon presiden adalah melalui rencana atau program yang ditawarkannya. Program-program itu dikenal sebagai visi dan misi capres dan interprestasi capres dalam upaya mencapai cita-cita bangsa yang tersirat dalam pembukaan konstitusi. Walaupun sudah ada rencana pembangunan jangka panjang namun masih menjadi polemik bagi elit politik tentang program-program yang dicanangkan. Ada beberapa tokoh misal Megawati Soekarnoputri ingin mengembalikan GBHN di UUD 1945 namun selama beberapa dekade GBHN telah menjelma menjadi suatu dokumen yang sakti bahkan sakral, Sehingga GBHN secara politik bisa menyatukan presiden bila menyimpang dari GBHN. Namun untuk mengamandemenkan kembali ke UUD 1945 yang asli, konsekuensinya akan mengubah seluruh sistem politik dan ketatanegaraan, termasuk kedudukan MPR dan pemilihan presiden.

Meskipun ada kesulitan dalam kembali ke UUD 1945 yang asli, itu harus dicarikan solusi yang terbaik sebab GBHN dalam fungsinya sebagai visi dan misi bangsa Indonesia berguna untuk mencantumkan arah pembangunan nasional. Jadi pembangunan nasional terarah dan terancang dengan jelas.

Wacana pemberlakuan kembali GBHN menguat ketika dilaksanakannya Kongres Kebangsaan Forum Pemred yang bertajuk “Menggagas Kembali Haluan Negara Menuju 100 Tahun Kemerdekaan Indonesia” yang berlangsung di Hotel Bidakara Jakarta pada 10-11 Desember 2013. Kongres tersebut menghadirkan sejumlah pimpinan lembaga negara kala itu sebagai pembicara seperti Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua DPD RI Irman Gusman, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelv. Pembelakuan kembali GBHN dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa GBHN lebih jelas dalam menentukan arah pembangunan bangsa dibandingkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) (Rochman, 2016).

Menurut Zuhro (Watyutink, 2018), kesungguhan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam versi baru patut diapresiasi. Saat ini momentum paling tepat mengevaluasi perjalanan bangsa selama 20 tahun reformasi. Empat kali amandemen UUD 1945, telah membawa bangsa ini kepada tujuan yang tidak jelas. GBHN adalah panduan. Kompas pembangunan nasional. Dari sisi demokrasi, konten dan filosofinya harus berasal dari rakyat, untuk rakyat dan untuk negara. Apa itu? Konstitusi dan preambule keempat UUD 1945. Tak boleh keluar dari situ. MPR harus fokus, menukik dan komprehensif mengkaji sistem perencanaan pembangunan model GBHN itu. Jika tidak, dia bisa menjadi sumber malapetaka. Dia harus berisi dan mengikat. Tak boleh diubah. Dan, tidak hanya sekadar indah dari segi casing. Presiden terpilih bertangungjawab kepada MPR. Demikian pula dari segi periodesasinya. Harus disesuaikan dengan perubahan masa jabatan presiden hasil amandemen UUD 1945. Supaya ada kontinuitas dan keterukuran, untuk menghindari ganti presiden ganti kebijakan. SPN model GBHN harus visioner 100 tahun Indonesia ke depan.

Selama ini rencana pembangunan jangka menengah atau panjang (RPJM/RPJP) berbasis pada program yang dibuat oleh calon presiden terpilih. Program ini dijadikan

Page 100: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

93

 

Sumi Hartoyo, Paradigma Baru Dalam Menghidupkan Kembali GBHN

undang-undang sebagai acuan kerja kabinetnya selama dia memerintah.

Permasalahannya menurut Hidayat Nur Wahid dengan UU yang baru atau hasil perubahan, presiden maksimal 2 kali masa jabatan (10 tahun), setelah itu ada presiden yang baru, presiden yang baru maukah terikat dengan UU yang lama yang dijanjikan oleh presiden lama serta visinya atau tidak. Contoh pemerintahan presiden Joko Widodo membuat program sendiri sesuai janji-janji saat kampanye. Program ini tentu berbeda dengan era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak adanya acuan kerja ini membuat program pemerintah sulit berjalan berkesinambungan.

Berbagai pihak banyak yang menyesalkan penghapusan tugas MPR dalam menentukan GBHN karena tanpa GBHN pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan dan Indonesia akan kesulitan dalam menghadapi ancaman di masa depan. GBHN sebagai aset bangsa kembali diperhitungkan dalam peranannya sebagai pagar kehidupan bangsa. Hilangnya pagar kehidupan telah membuat bangsa ini dengan mudah dijamah tangan-tangan asing, dimana visi pembangunannya cenderung hanyut dalam hiruk pikuk kepentingan asing, sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Maka itu, berbagai pihak meminta hak dan jati diri pembangunan bangsa tetap berpijak pada aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang dituangkan dalam GBHN. Indonesia kembali ke sistem GBHN, untuk maksud itu banyak hal yang harus dikaji, baik secara yuridis, sosiologis dan metode logis. Yang harus pula diperhitungkan adalah perubahan paradigma berfikir yang ikut merubah arena, wajah dan struktur politik. Dalam era reformasi, demokrasi mulai terkondisi di berbagai etnis kehidupan sekalipun demokrasi yang dilahirkan di Indonesia abortus sehingga menjadi industri politik. Semua identitas yang muncul dan berkembang dalam masyarakat mendapat ruang sehingga kegiatan politik terbuka lebar-lebar bagi semua kelompok yang ada.

Muncul pertanyaan, sistem GBHN bisakah diterapkan dalam arena baru berpolitik ini? Apakah representasi, partisipasi dan penataan ruang publik yang telah diatur dengan UU harus dikoreksi lagi? Bagaimana mencari solusi kalau terjadi konflik kepentingan dalam menyusun GBHN? Kita sekarang berada dalam medan rencana. Politik

adalah medan wacana dan GBHN bisa menjadi pertempuran wacana. Dengan majunya media, kita sekarang menjadi masyarakat tontonan, apakah akan kita mempertontonkan perebutan dan konflik kepentingan dari para penguasa di negeri ini.

Penerapan kembali sistem GBHN memang sudah menjadi aspirasi, tapi perlu kajian yang seksama. Arena wajah dan struktur politik telah berubah. Sekarang ini perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep negara tidak mudah diatasi, karena paradigma berfikir terarah pada kebebasan. Paradigma baru tentang keberadaan GBHN perlu pemikiran, sebab dalam usaha menghidupkan GBHN di kaji MPR, ada yang pro dan kontra ini karena kemampuan dan pola pikir para anggota DPR dan para pengamat yang berbeda-beda, perlu diketahui menghidupkan GBHN ini hanya merupakan bentuk arahan pembangunan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat tanpa mengurangi arti kedaulatan rakyat, sebab ada indikasi bahwa sila ke 4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sudah mengalami erosi, untuk menghindari supaya tidak semakin jauh meninggalkan sila ke 4 Pancasila. Mari kita usahakan GBHN itu dimusyawarahkan tanpa mengurangi keberadaan RPJM dan RPJP, sebab fakta dilapangan membuktikan bahwa RPJM masih ada yang pro dan kontra, maka perlu GBHN dirumuskan bersama DPR, DPD dan ABRI, Polri dan PNS untuk mengurangi konflik ke depan bangsa Indonesia dalam pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Perlu diketahui bahwa GBHN paradigma baru ini tidak memerlukan pertanggung jawaban presiden ke MPR hanya menunjukkan arahan pembangunan, pertanggungjawaban capres nanti terletak pada rakyat untuk memilih atau tidak capres dalam menjabarkan GBHN dalam kampanye atau debat capres.

Sehingga diharapkan program-program yang disampaikan capres itu dapat terarah dan berkesinambungan. Ini bisa berjalan sangat tergantung kebesaran hati dan jiwa besar para pembuat keputusan. Penutup

Dari pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Page 101: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

94

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

1. Apabila kembali ke GBHN akan mengubah sistem misal mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, sehingga akan mengurangi arti dari pemilihan presiden secara langsung dan presiden bisa dijatuhkan oleh MPR karena tidak bisa mempertanggungjawabkan GBHN. Pembangunan bisa berkesinambungan dan terarah

2. Bahwa UUD 1945 tidak mengharuskan adanya GBHN karena bangsa kita perlu menjalankan apa yang sudah menjadi perintah konstitusi dimana presiden terpilih yang menentukan arah pembangunan jangka pendek dan menengah. Hanya kita perlu merumuskan RPJP dan RPJM diatur dalam UU walaupun nama bukan GBHN.

3. Perlu adanya GBHN dengan paradigma baru. Sebab dengan GBHN paradigma baru ini fungsi GBHN ada 2 yaitu: a. Sebagai arahan pembangunan yang

dirumuskan DPR, DPD, ABRI, POLRI, PNS dan tokoh-tokoh penting sehingga semua pihak akan bertanggungjawab tentang arah pembangunan, sehingga dapat digunakan untuk wacana kampanye dan debat capres dan cawapres, sehingga kampanye dan debat tidak jauh melenceng perlu diketahui bahwa pemilihan DPR dan DPD harus lebih dulu dari Pilpres karena DPR dan DPD harus terbentuk lebih dulu.

b. Sebagai pertanggungjawaban Ditetapkan oleh DPR, DPD, itu tidak

berarti presiden bertanggungjawab

kepada MPR melainkan bertanggungjawab pada rakyat langsung hal ini bisa kita lihat bila capres dalam menjabarkan GBHN itu menarik bagi rakyat maka akan terpilih, dan bila mencalonkan lagi dan bisa membuktikan dapat melaksanakan GBHN dengan baik dan rakyat puas maka capres itu akan terpilih kembali ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat.

Daftar Pustaka Firdaus, Muhammad Riyandi. 2108.

“Tantangan Implementasi Kebijakan Publik Zaman Now.” https://banjarmasin.tribunnews.com/2018/08/02/tantangan-implementasi-kebijakan-publik-zaman-now.

Indotesis.Com. 2017. “Pengertian, Bentuk, dan Tahapan Kebijakan Publik.” https://medium.com/@indotesis/pengertian-bentuk-dan-tahapan-kebijakan-publik-b4edd8aaf462

Rochman, Fatchur. 2016. “Pemberlakuan Kembali GBHN” https://constituendum.wordpress.com/2016/01/21/pemberlakuan-kembali-gbhn/

Watyutink. 2018. “Tanpa GBHN Pembangunan Indonesia Tanpa Arah?” https://www.watyutink.com/opini/Jangan-Seperti-Melukis-di-Atas-Pasir

Widodo, Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto. 2001. Sumber Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti

Page 102: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

95

 

Ghani, Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan

Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan dan Isolat Protein Kedelai

Ghani Arief Firmansyah*), Fungki Sri Rejeki**), Endang Retno Wedowati**) email : [email protected]

*) Mahasiswa Program Studi Teknologi Industri Pertanian **) Dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknik, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstrak

Sosis merupakan makanan olahan daging yang disukai masyarakat Indonesia dari anak-anak sampai orang dewasa. Pada penelitan ini sosis dibuat dengan bahan dasar wortel. Wortel memiliki kadar protein yang rendah sehingga diperlukan penambahan isolat protein kedelai sebagai penambah protein dan karagenan sebagai pembentuk tekstur. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penambahan karagenan dan isolat protein kedelai pada karakteristik sosis wortel dan kelayakan finansial produk sosis wortel.Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor dan diulang 3 kali. Faktor pertama adalah penambahan karagenan (2%, 3% ,4%) dan faktor kedua adalah penambahan isolat protein kedelai (2%, 3%, 4%). Faktor karagenan tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter sedangkan faktor isolat protein kedelai namun berpengaruh nyata terhadap parameter kadar protein, air, dan karbohidrat. Interaksi antar factor berpengaruh terhadap parameter serat kasar. Perlakuan terbaik adalah penambahan karagenan 4% dan isolat protein kedelai 4% yang menghasilkan sosis wortel dengan karakteristik kadar protein 3,82%, abu 3,18%, air 66,40%, lemak 0,38%, karbohidrat 26,21%, serat kasar 1,11%, rendemen 85,60%, dan uji fisik tekstur 7,33N serta persentase kesukaan rasa 41,1%, aroma 41,1%, dan tekstur 48,9%.Rancangan usaha sosis wortel layak untuk dikembangkan dengan nilai BEP30.977 kemasan, NPV sebesar Rp173.290.432,00, IRR 17,79%, dan PP 4 tahun 2 bulan.

Kata kunci : Sosis Wortel, Karagenan, Isolat Protein Kedelai. Pendahuluan

Kesehatan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Masa kanak-kanak membutuhkan banyak nutrisi dan serat untuk mencapai tumbuh kembang dan optimal. Salah satu asupan yang baik bagi anak didapatkan dari sayur dan buah. Diet tinggi sayur dan buah baik untuk melindungi kesehatan tubuh, termasuk dalam menjaga berat badan (Mitchell dkk, 2013). Namun demikian kesadaran anak untuk mengonsumsi buah dan sayur sangat rendah, karena rasa yang tidak disukai anak dan tekstur yang sulit dicerna. Untuk itu perlu dilakukan diversifikasi produk olahan sayur dan buah.

Salah satu produk olahan pangan yang disukai anak-anak adalah sosis. Sosis pada umumnya terbuat dari daging, dalam penelitian ini bahan baku daging diganti dengan sayuran yaitu wortel, wortel dipilih

karena dari segi tampilan produk sosis wortel akan terlihat menarik. Penggantian bahan baku sosis dengan wortel akan mengakibatkan penurunan nilai gizi terutama dari kandungan proteinnya, karena wortel memiliki kadar protein yang rendah sehingga diperlukan penambahan sumber protein. Dalam penlitian ini akan digunakan isolat protein kedelai, karena isolat protein kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih murni, yaitu 95%. Selain itu juga mempunyai sifat fungsional antara lain emulsifikasi, daya serap lemak dan daya serap air (Ulya, 2005).

Pembuatan sosis memerlukan bahan tambahan pangan sebagai bahan penstabil yang sangat berpengaruh terhadap tekstur sosis. Dalam penelitian ini dipergunakan karagenan karena karagenan mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya dan bersifat

Page 103: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

96 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moraino, 1977). Berdasarkan sifatnya yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi menjadi stabil (Fashier dan Parker, 1985).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi karagenan dan isolat protein kedelai terhadap karakteristik sosis wortel, serta mengetahui kelayakan finansial produk sosis wortel. Parameter yang diuji adalah kadar protein, abu, air, lemak, karbohidrat, serat kasar, rendemen, uji fisik tekstur dan uji organoleptik meliputi rasa, aroma, dan tekstur.

Kajian Pustaka

Produk sosis merupakan produk pangan yang berupa emulsi minyak dalam air, yang berasal dari potongan kecil daging yang digiling dan diberi bumbu (Winarno, 2002). Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi cairan dalam cairan lain, yang molekulnya tidak berbaur tetapi saling berlawanan (Winarno, 2002). Ada berbagai jenis sosis, secara umum terdiri dari daging, bahan pengikat (binder), bahan pengisi (filler), emulsifier, bumbu dan selongsong (Pearson, 1987).

Wortel (Daucus carota) merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak tumbuh di Indonesia dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, per bagian yang bisa dimakan, mengandung vitamin A 12.000 SI (Kumalaningsih, 2006). Wortel merupakan sumber merupakan sumber penting karoten dan mencapai 14% dari kandungan total vitamin A. (Gaman,1992) selain itu juga mengandung serat yang cukup tinggi, yaitu 4 g per 100 g (Rusilanti dan Kusharto, 2007).

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni karena kadar proteinnya minimum 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai, Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai bahan campuran dalam makanan olahan daging dan susu. Isolat protein kedelai baik sekali digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan, juga sebagai bahan pengikat dan pengemulsi dalam produk-produk daging (Koswara, 2005). Berbagai macam bentuk

isolat protein kedelai dengan sifat fungsional yang berbeda dapat diperoleh secara komersil. Sifat fungsional protein yang utama antara lain emulsifikasi, daya serap lemak dan daya serap air (Ulya, 2005).

Karagenan merupakan polisakarida berantai lurus dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung sulfat yang diekstrak dari rumput laut merah (Fardiaz, 1989). Menurut Towle (1973), karagenan diekstrak dengan air atau larutan alkali panas yang diikuti proses dekolorisasi dan pengeringan. Karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moraino, 1977). Berdasarkan sifatnya yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi menjadi stabil (Frasier dan Parker, 1985). Metode Penelitian Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2017 sampai Januari 2018. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pangan dan Laboratorium Analisis Hasil Industri Program Studi Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya serta Universitas Brawijaya Malang. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan ialah wortel, tepung tapioka, karagenan,isolat protein kedelai, garam, gula, bawang putih, bawang merah, lada, minyak, putih telur, es batu dan bahan-bahan kimia untuk analisa.Alat yang digunakan ialah baskom, sendok, mixer, pisau, parutan, alat pencetak, selongsong plastik, kompor gas, timbangan, thermometer alkohol, dan alat uji lainnya. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan rancangan penelitian yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah penambahan karagenan (K) dengan 3 level yaitu 2% (K1), 3% (K2), dan 4% (K3). Faktor kedua adalah penambahan isolat protein kedelai (I) dengan 3 level yaitu 2% (I1), 3% (I2), dan 4% (I3), diulang 3 kali. Pelaksanaan Penelitian

Page 104: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

97

 

Ghani, Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan

Pembuatan Sosis Wortel dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Sosis Wortel

Parameter Pengamatan

Parameter yang dianalisis pada produk sosis wortel ini terdiri dari uji kimia (kadar protein, abu, air, lemak, karbohidrat, dan serat kasar), rendemen, uji fisik tekstur serta uji organoleptik (rasa, aroma, dan tekstur) dengan skala hedonik. Metode Analisis

Hasil pengamatan data parametrik menggunakan analisis ragam apabila terdapat perbedaan nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan dan data non parametrik menggunakan uji Deskriptif dan Uji Friedman. Pemilihan Alternatif

Parameter yang digunakan dalam proses pembuatan sosis wortel adalah protein, serat kasar, rasa, aroma, dan tekstur. Penentuan bobot kepentingan untuk setiap parameter menggunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP), sedangkan penentuan

alternatif terpilih menggunakan metode nilai harapan. Nilai harapan adalah rata-rata tertimbang terhadap seluruh kemungkinan hasil dimana penimbangnya adalah nilai probabilitas yang dihubungkan dengan setiap hasil. Analisis Finansial

Analisis finansial menggunakan beberapa kriteria kelayakan berdasarkan beberapa parameter penilaian. Parameter yang digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP) (Pujawan, 2004). Pemilihan lokasi usaha didirikan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang harus dipertimbangkan (Wignjosoebroto, 2003). Dalam perhitungan anaisis finansial digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:

Page 105: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

98 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

1. Lokasi yang dipilih ialah Kabupaten Pasuruan karena wilayah tersebut penghasil wortel dengan tingkat produksisekitar 14.043 ton.

2. Harga wortel yakni Rp12.000,00 per kilogram.

3. Upah Minimum Karyawan Kabupaten Pasuruan menurut Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Timur sebesar Rp3.288.093,75.

4. Menggunakan sumber air dari PDAM, dan energi listrik dari PLN.

5. Selama proses berlangsung harga utilitas mengalami kenaikan sebesar 10% per tahun.

6. Terjadi kenaikan bahan baku, bahan pembantu, upah tenaga kerja, dan harga jual produk sebesar 10% per tahun.

7. Usia guna proyek selama 5 tahun dengan suku bunga yang berlaku sebesar 15%.

Hasil dan Pembahasan Kadar Protein

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar perlakuan, namun terdapat perbedaan yang nyata pada faktor isolat protein kedelai terhadap parameter kadar protein. Hasil uji Duncan perlakuan isolat protein kedelai yang terdapat pada Tabel 1.

Isolat protein berpengaruh nyata terhadap kadar protein karena isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang memiliki kadar protein minimum 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai (Koswara, 2005).

Tabel 1. Uji Duncan Faktor Isolat Protein Kedelai terhadap Kadar Protein (%)

Konsentrasi penambahan isolat protein kedelai.

Kadar Protein (%)

I1 (2%) 2,6478c I2 (3%) 3,2267b I3 (4%) 3,7778a

Semakin tinggi kadar protein maka

semakin baik. Karagenan berasal dari rumput laut (E. cottoni) memiliki kandungan kimia protein yang rendah sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein. Menurut Yunizal (2004) kandungan protein rumput laut sebesar 3,46%.

Kadar Abu Hasil analisis ragam menunjukkan tidak

terjadi interaksi antar perlakuan, dan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kedua faktorterhadap parameter kadar abu. Histogram presentase kadar abu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram Persentase Kadar Abu

Karagenan tidak berpengaruh nyata

terhadap kadar abu karena unsur mineral yang terkandung pada rumput laut (bahan dasar karagenan) memang tinggi tetapidalam

pembuatan sosis wortel ini karagenan diberikan dengan konsentrasi yang rendah sehingga hasil kadar abu menjadi rendah. Isolat protein kedelai juga tidak berpengaruh

Page 106: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

99

 

Ghani, Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan

nyata karena kandungan dari isolat protein kedelai yaitu murni minimum 95%. Kadar Air

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar perlakuan, namun

terdapat perbedaan yang nyata pada faktor isolat protein kedelai terhadap parameter kadar air. Hasil uji Duncan perlakuan isolat protein kedelai yang terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Duncan Faktor Isolat Protein Kedelai terhadap Kadar Air (%)

Konsentrasi penambahan isolat protein kedelai.

Kadar Air (%)

I1 (2%) 68,1100b I2 (3%) 66,9733a I3 (4%) 66,7200a

Karagenan tidak berbeda nyata diduga

karena kandungan air dalam bahan baku karagenan yaitu rumput laut memang tinggi akan tetapi kandungan air banyak yang hilang selama proses pembuatan karagenan. Isolat protein kedelai berbeda nyata karena isolat protein kedelai mengandung protein yang bersifat dapat menyerap air. Penyerapan air oleh protein berkaitan dengan adanya gugus-gugus polar rantai samping seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril yang menyebabkan protein bersifat hidrofilik dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Perbedaan jumlah dan tipe gugus-gugus polar tersebut menyebabkan perbedaan kemampuan protein dalam menyerap air (Kilara, 1994).

Semakin banyak penambahan isolat protein kedelai semakin tinggi kadar protein menyebabkan semakin banyak air yang terikat oleh protein sehingga jumlah kadar air bebas yang terhitung saat uji kadar air semakin menurun. Semakin menurun kadar air maka semakin baik.

Kadar Lemak

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar perlakuan, dan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kedua faktor terhadap parameter kadar lemak. Histogram presentase kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram Persentase Kadar Lemak

Karagenan tidak berbeda nyata diduga

karena bahan dasar dari karagenan adalah rumput laut yang mengandung lemak rendah. Dharmananda (2002) dalam Handayani, Sutarno dan Setyawan (2004), mengemukakan bahwa rumput laut secara umum mengandung lemak sebesar 1-5% dari berat kering. Isolat protein kedelai juga tidak berbeda nyata karena produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat

fungsionalnya lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai (Koswara, 2005). Kadar Karbohidrat

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar perlakuan, namun terdapat perbedaan yang nyata pada faktor isolat protein kedelai terhadap parameter kadar karbohidrat.

Page 107: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

100 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

Tabel 3. Uji Duncan Faktor Isolat Protein Kedelai terhadap Kadar Karbohidrat (%) Konsentrasi penambahan isolat

protein kedelai. Kadar Karbohidrat (%)

I1 (2%) 25,4022b I2 (3%) 26,5444a I3 (4%) 26,5533a

Isolat protein kedelai berbeda nyata

diduga karena semakin banyak isolat protein kedelai yang ditambahkan kadar protein menjadi lebih tinggi dan kadar air menurun sehingga kadar karbohidrat semakin tinggi hal ini karena perhitungan kandungan karbohidrat by difference yang dihitung berdasarkan

kandungan air, protein, lemak, dan abu selain itu yang terhitung karbohidrat sebenarnya juga termasuk senyawa yang lainnya seperti vitamin, asam-asam, dan sebagainya. Kadar Serat Kasar

Hasil interaksi yang terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Interaksi terhadap Kadar Serat Kasar (%)

Interaksi Kadar Serat Kasar (%) K1I1 0,9067a K2I2 0,9867abK2I3 1,0367abK2I1 1,0600abK1I2 1,1100bcK3I3 1,1133bcK3I2 1,1200bcK3I1 1,1300bcK1I3 1,2800c

Hasil analisis ragam menunjukkan

terjadi interaksi, namunfaktor karagenan dan faktor isolat protein kedelai tidak berpengaruh secara nyata terhadap parameter kadar serat kasar.

Faktor 1 dan 2 yaitu karagenan dan isolat protein kedelai terjadi interaksi pada kadar serat diduga karena karagenan memiliki kandungan serat yang tinggi yaitu dalam 100 gram rumput laut mengandung kandungan

serat sebesar 28,39%, sedangkan isolat protein kedelai bebas dari karbohidrat, lemak, dan serat kasar. Rendemen

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar perlakuan, dan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kedua faktor terhadap parameter rendemen. Histogram presentase rendemen dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram Persentase Rendemen

Dari hasil rendemen produk sosis wortel

dapat dilihat bahwa rendemen setiap perlakuan tidak jauh berbeda karena dalam formulasi pembuatan sosis bahan yang dibutuhkan sama

Page 108: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

101

 

Ghani, Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan

semua kecuali faktor karagenan dan isolat protein kedelai yang ditambahkan. Uji Fisik Tekstur

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar perlakuan, dan tidak

terdapat perbedaan yang nyata pada kedua faktor terhadap parameter rendemen. Histogram uji fisik tekstur dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Histogram Uji Fisik Tekstur

Karagenan tidak berbeda nyata karena

sebagaimana fungsinya yaitu sebagai stabilisator, thickener, dan pembentuk gel serta pembentuk tekstur tetapi dalam pembuatan sosis wortel ini konsentrasi karagenan yang ditambahkan rendah yaitu 2%,3%,4% sehingga tidak dapat memperbaiki tekstur seperti sosis pada umumnya. Isolat protein kedelai juga tidak berbeda nyata karena bahan tersebut fungsinya bukan untuk membuat tekstur yang diinginkan. Organoleptik A. Rasa

Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap rasa

sosis wortel. Indra Pengecap, dalam hal kepekaan rasa, maka rasa manis dapat dengan mudah dirasakan pada ujung lidah, rasa asin pada ujung dan pinggir lidah, rasa asam pada pinggir lidah dan rasa pahit pada bagian belakang lidah. Perolehan skor tersebut dikarenakan semua komponen bahan yang digunakan sama semua, tetapi penambahan faktor karagenan dan isolat protein kedelai berbeda memungkinkan terjadi pengaruh nyata. Histogram tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa terdapat pada Gambar 5.

Gambar 5. Histogram Tingkat Kesukaan Parameter Rasa

Page 109: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

102 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

B. Aroma Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa

perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap aromasosis wortel.Perolehan skor tersebut dikarenakan karagenan dan isolat protein kedelai tidak memiliki aroma yang dominan sehingga pada parameter aroma tidak terdapat

perbedaan yang nyata, dan bahan baku sosis wortel ini adalah wortel yang sudah di blanching sehingga tidak menimbulkan aroma khas wortel yang langu. Histogram total kesukaan panelis terhadap parameter rasa terdapat pada Gambar 6.

Gambar 6. Histogram Tingkat Kesukaan Parameter Aroma

C. Tekstur

Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuanberpengaruh nyata terhadap tekstur sosis wortel. Perolehan skor tersebut dikarenakan fungsi karagenan yaitu sebagai stabilisator, thickener, dan pembentuk gel serta pembentuk tekstur berdasarkan kesukaan panelis, panelis memiliki kesukaan yang

berbeda-beda terhadap produk sosis wortel. Karagenan jika ditambahkan terlalu banyak akan membuat tekstur sosis wortel menjadi sangat keras. Panelis dapat memberikan penilaian suka atau tidak sukanya terhadap produk sosis wortel. Histogram tingkat kesukaan panelis terhadap parameter Tekstur terdapat pada Gambar 7.

Gambar 7. Histogram Tingkat Kesukaan Parameter Tekstur

Pemilihan Alternatif

Pemilihan alternatif dilakukan bertujuan untuk memilih perlakuan terbaik dari beberapa perlakuan yang ada. Penentuan bobot kepentingan masing-masing parameter dilakukan dengan menggunakan AHP.

A. Analitycal Hirarchy Process (AHP) Analisis yang digunakan untuk

perhitungan AHP adalah tekstur, protein, serat kasar, rasa dan aroma. Diagram Pie bobot kepentingan parameter kualitassosis wortel ditunjukkan pada Gambar 8.

Page 110: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

103

 

Ghani, Pembuatan Sosis Wortel Dengan Penambahan Karagenan

Gambar 8. Diagram Pie Bobot Kepentingan Parameter Sosis Wortel

B. Nilai Harapan

Alternatif terbaik adalah perlakuan yang memiliki skor nilai harapan tertinggi. Skor

nilai harapan untuk masing-masing perlakuan terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skor Nilai Harapan Masing-Masing Perlakuan

Perlakuan Nilai Harapan K1I1 2,15 K1I2 3,07 K1I3 4,46 K2I1 3,00 K2I2 3,23 K2I3 3,87 K3I1 6,13 K3I2 6,08 K3I3 8,46

Hasil Analisis Finansial

Perencanaan kapasitas produksi adalah guna menentukan berapa jumlah unit yang akan diproduksi (Handoko, 2000). Berdasarkan hasil perhitungan kelayakan finansial, proyek pembuatan sosis wortel layak

untuk dikembangkan menjadi sebuah industri karena jumlah penjualan diatas BEP, NPV > 0, IRR > suku bunga yang berlaku (15%), dan PP di bawah usia guna proyek (Soeharto, 2002). Hasil analisis finansial untuk perlakuan K3I3 terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Finansial

BEP 30.977 unit (pack) IRR 17,79% > 15% NPV Rp173.290.432,00 PP 4 tahun 2 bulan

Kesimpulan 1. Faktor karagenan tidak berpengaruh nyata

terhadap semua parameter, isolat protein kedelai berpengaruh nyata terhadap kadar protein, kadar air, dan kadar karbohidrat namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu, kadar air, kadar lemak, rendemen, dan tekstur alat tetapi kedua faktor tersebut terjadi interaksi hanya pada kadar serat. Faktor isolat protein kedelai berpengaruh nyata terhadap uji organoleptik parameter rasa dan tekstur, untuk parameter aroma tidak berpengaruh nyata.

2. Hasil analisis keputusan menunjukkan bahwa perlakuan yang terpilih adalah perlakuan K3I3 dengan konsentrasi penambahan karagenan 4% dan konsentrasi penambahan isolat protein kedelai 4% dengan skor nilai harapan sebesar 8,46. Hasil uji pada perlakuan K3I3

yaitu kadar protein 3,82%, kadar abu 3,18%, kadar air 66,40%, kadar lemak 0,38%, kadar karbohidrat 26,21%, kadar serat kasar 1,11%, rendemen 85,60%, dan tekstur 7,33 N serta hasil total tingkat

Page 111: INOVASI, Volume XXI, Nomor 1, Januari 2019 ISSN 0854-4328

104 

 

INOVASI, Volume XXI, Nomor 2, Juli 2019

kesukaan terhadap uji organoleptik rasa 41,1%, aroma 41,1%, dan tekstur 48,9%.

3. Dari hasil analisis finansial dengan parameter BEP, NPV, IRR, dan PP dapat disimpulkan bahwa rancangan usaha sosis wortel layak untuk dikembangkan dengan nilai BEP sebanyak 30.977 kemasan atau setara dengan pendapatan sebesar Rp149.278.163,00. NPV positif sebesar Rp173.290.432,00. IRR yang mencapai 17,79% lebih besar dari suku bunga bank yaitu sebesar 15%. PP yang diperlukan untuk mengembalikan modal adalah 4 tahun 2 bulan.

Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar

bisa menghasilkan produk sosis wortel yang lebih berkualitas, terutama pada rasa dan tekstur yang diinginkan.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait penerimaan konsumen dan daya simpan untuk produk sosis wortel.

Daftar Pustaka Fashier, L.R. and Parker, N.S., 1985. How Do

Food Emultion Stabilizers Work?. CRISRO Food Research Quarterly. 45(2), 33-39.

Fardiaz, D., 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Gaman, M., 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press, Edisi II

Handayani, T., Sutarno, dan Setyawan, A.D., 2004. Analisis Komposisi Rumput Laut Sargassum crassifolium J. Agardh. Biofarmasi 2 (2): 45-52.

Handoko, T. H., 2000. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi II, Cetakan Keempat Belas, Penerbit BPFE. Yogyakarta.

Kilara, A., 1994. Whey Protein Functionally, In : Protein Functionally Food System. Marcel Dekker Inc. New York. p.325-356

Koswara, S., 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai : Menjadikan Makanan

Bermutu, Pustaka Sinar harapan, Jakarta.

Kumalaningsih, S., 2006. Antioksidan Alami Penangkal Radikal Bebas, Sumber manfaat, Cara penyediaan, dan Pengolahan. Trubus Agrisarana, Surabaya

Mitchell, L. G., Farrow, C., Haycraft, E., and Mayer, C., 2013. Parental Influences on Children’s Eating Behaviour and Characteristics of Successful Parent-Focussed Interventions. Appetite, 60, p.85-94.

Moraino, T.W., 1977. Sulphate Seaweed Polyshaccarides. In : Food Colloids. The AVI Publishing. West Port, Connecticut, p.347-381

Pearson A.M. and Dutson. 1987. Advances in Meat Products Advances in Meat. Research, Vol3 Restructed Meat and Poultry Product. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

Pujawan, I. N., 2004. Ekonomi Teknik. Guna Widya. Surabaya.

Rusilanti dan Kusharto, CM., 2007. Sehat dengan Makanan Berserat. Agromedia Pustaka. Jakarta selatan

Soeharto, I., 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Towle, G.A., 1973. Carragenan. Industrial Gums. Academic Press, Lo,don, p.83-114

Ulya, M., 2005. Studi Kelayakan Pendirian Industri Isolate Soy Protein. Thesis. Sekolah pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wignjosoebroto, S., 2003. Pengantar Teknik dan Manajemen Industri. Guna Widya. Surabaya.

Winarno, F.G., 2002. Ilmu Pangan dan Gizi, PT. Gramedia. Jakarta.

Yunizal, 2004. Teknologi Pengolahan Alginat. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta