Inkontinensia Urine

29
INKONTINENSIA URINE I. PENDAHULUAN Inkontinensia urine didefinisikan oleh International Continence Society sebagai kehilangan urine secara involunter yang mewakili masalah higienis dan sosial pada tiap individu. Inkontinensia urine dapat dianggap sebagai gejala yang dilaporkan pasien, dapat juga sebagai suatu tanda yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan dan dapat juga berbentuk suatu gangguan. (1, 2) Inkontinensia urine tidak dianggap sebagai suatu penyakit karena tidak ada etiologi yang spesifik bagi kondisi ini, dan tiap kasus bersifat multifaktorial. Etiologi bagi inkontinensia urine ini dapat beragam dan dalam kebanyakan kasus tidak dapat difahami sepenuhnya. (1-3) Terdapat empat jenis inkontinensia urine yang didefiniskan dalam Clinical Practice Guideline yang dikeluarkan oleh Agency for Health Care Policy and Research, yaitu; stress, urge, mixed dan overflow. Inkontinensia urine tipe stress ditandai dengan kebocoran urine yang terjadi saat adanya peningkatan tekanan intra-abdominal, pada saat tertawa, bersin, batuk, menaiki tangga atau stres fisik lainnya. Inkontinensia tipe 1

description

Inkontinensia Urine

Transcript of Inkontinensia Urine

INKONTINENSIA URINE

I. PENDAHULUAN

Inkontinensia urine didefinisikan oleh International Continence Society sebagai

kehilangan urine secara involunter yang mewakili masalah higienis dan sosial pada tiap

individu. Inkontinensia urine dapat dianggap sebagai gejala yang dilaporkan pasien,

dapat juga sebagai suatu tanda yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan dan dapat

juga berbentuk suatu gangguan.(1, 2)

Inkontinensia urine tidak dianggap sebagai suatu penyakit karena tidak ada etiologi

yang spesifik bagi kondisi ini, dan tiap kasus bersifat multifaktorial. Etiologi bagi

inkontinensia urine ini dapat beragam dan dalam kebanyakan kasus tidak dapat

difahami sepenuhnya. (1-3)

Terdapat empat jenis inkontinensia urine yang didefiniskan dalam Clinical Practice

Guideline yang dikeluarkan oleh Agency for Health Care Policy and Research, yaitu;

stress, urge, mixed dan overflow. Inkontinensia urine tipe stress ditandai dengan

kebocoran urine yang terjadi saat adanya peningkatan tekanan intra-abdominal, pada

saat tertawa, bersin, batuk, menaiki tangga atau stres fisik lainnya. Inkontinensia tipe

urge adalah kebocoran urine involunter yang disertai dengan urgensi. Inkontinensia

urine tipe mixed adalah kombinasi dari stress dan urge yang ditandai dengan kebocoran

terkait urgensi dan peningkatan tekanan intra-abdominal.(1, 3-5)

II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi kejadian inkontinensia urine yang tepat sukar untuk ditentukan. Antara

kesulitan yang ditemukan adalah dalam menentukan derajat, kuantitas dan frekuensi

kehilangan urine yang esensial dalam menentukan suatu kondisi patologis.(3, 4)

1

Sebanyak 50-70% wanita dengan kondisi inkontinensia urine gagal untuk

mendapatkan evaluasi dan rawatan akibat stigma sosial. Hanya 2-5% individu dengan

inkontinensia yang mendapat perawatan yang sesuai. Rata-rata individu dengan kondisi

inkontinensia urine ini menunggu 6-9 tahun sebelum mendapatkan konsultasi dan

perawatan medis.(3, 4)

Inkontinensia urine diperkirakan mengena 10-13 juta penduduk di Amerika Serikat

dan sekitar 200 juta individu di seluruh dunia. Inkontinensia urine tipe stress merupakan

kondisi yang paling umum ditemukan pada pasien rawat jalan, mewakili 29-75% dari

keseluruhan kasus. Aktivitas yang berlebihan dari otot detrusor menyumbang hingga

33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya disebabkan oleh bentuk campuran.(1, 4)

III. ANATOMI & FISIOLOGI

Dinding dari kandung kemih terdiri atas beberapa lapisan dan mengandung mukosa,

submukosa, otot dan lapisan adventisia. Mukosa kandung kemih terdiri atas sel epitel

transisional yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume kandung kemih yang

kecil, lapisan mukosa ini membentuk permukaan yang berlipat-lipat. Namun, pada saat

kandung kemih diisi dengan urine, lipatan ini kemudian akan membentang dan menipis.(1, 4)

2

Gambar 1: Anatomi kandung kemih: Dinding kandung kemih mengandung lapisan

mukosa, submukosa, muskuler dan adventisia. (1)

Gambar 2: Gambar mikrograf dari dinding kandung kemih. Mukosa kandung kemih

yang kosong membentuk lipatan rugae.(1)

3

Lapisan otot kandung kemih dikenal sebagai otot detrusor, yang terdiri atas tiga

lapisan otot yang diatur dalam anyaman pleksiform. Susunan pleksiform ini dapat

berekspansi dengan cepat pada saat kandung kemih terisi dengan urine dan menjadi

komponen utama dalam kemampuan kandung kemih untuk mengakodomasi volume

urine yang besar.(1, 2, 4)

Ketika kandung kemih terisi, kontraksi sfingter urogenital merupakan bagian

integral dari kontinensia. Komponen sfingter ini meliputi sfingter uretra, sfingter

urethrovaginal (UVS) dan kompresor uretra (CU). Sfingter uretra adalah otot lurik yang

membungkus urethra secara sirkumferential. Sebagai perbandingan, UVS dan CU

adalah pita otot lurik yang melengkungkan ventral uretra dan masuk ke dalam jaringan

fibromuskular dari dinding vagina anterior.(1, 4)

Gambar 3: Anatomi sfingter urogenital.(1)

Ketiga otot ini berfungsi sebagai suatu kesatuan dan berkontraksi dengan efektif

untuk menutup uretra. Sfingter uretra ini terdiri atas slow twitch muscle fiber dan tetap

berkontraksi secara tonik, yang memberi kontribusi pada kontinensia pada saat istirehat.

Sebaliknya UVS dan CU terdiri atas fast twitch muscle fiber yang memungkinkan

4

kontraksi cepat dan menutup lumen uretra pada saat kontinensia ditantang oleh

peningkatan mendadak dari tekanan intra-abdomen.(1, 4)

Otot lurik sfingter urogenital menerima persarafan motorik melalui saraf pudendal.

Serabut saraf somatik ini mengontrol otot lurik sfingter urogenital secara volunter.

Dengan demikian, neuropati pudendal yang dapat terjadi setelah persalinan lama dapat

mempengaruhi fungsi normal dari otot-otot ini. Selain itu, operasi panggul sebelumnya

atau radioterapi panggul juga dapat merusak saraf, pembuluh darah dan jaringan lunak

sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan fungsi sfingter urogenital yang tidak efektif dan

selanjutnya menyebabkan inkontinensia.(1, 2, 4)

Gambar 4: Innervasi kandung kemih dan uretra.(1)

Pada saat kandung kemih terisi, sinyal aferen sensorik akan diteruskan ke medulla

spinalis melalui saraf pelvis dan hipogastrikus, yang kemudian akan diteruskan ke pusat

berkemih di pons melalui traktus spinotalamikus lateral dan kolum dorsal. Stimulasi

simpatis yang ditransmisikan melalui nervus hipogastrikus berperan mempertahankan

aktivitas otot polos dari sfingter uretra dan membantu dalam relaksasi otot detrusor

untuk penyimpanan urine. Pada waktu yang sama, sinyal somatik eferen ke otot lurik di

dasar panggul yang ditransfer melalui saraf pudendal menyediakan aktivitas sfingter

5

uretra secara volunter dan augmentasi pada resistensi urethra pada saat terjadinya

peningkatan tekanan dalam kandung kemih. Ketika intensitas sinyal aferen meningkat

pada saat pengisian kandung kemih, ambang batas kesadaran dicapai, dimana akan

timbul sensasi untuk berkemih. Pada saat itu, sinyal dari pusat berkemih di pons akan

dibawa ke bagian sakral medulla spinalis melalui traktus retikulospinal dan

kortikospinal. Setelah itu akan terjadi stimulasi kolinergik parasimpatis pada detrusor

dan refleks relaksasi otot lurik dasar panggul dan proses berkemih akan terjadi.(1, 2, 4)

Serabut saraf simpatis akan melewati saraf pleksus hipogastrikus dan berkomunikasi

dengan reseptor alfa dan beta yang terdapat didalam kandung kemih dan uretra.

Stimulasi pada reseptor beta adrenergik akan menyebabkan relaksasi otot polos dalam

kandung kemih dan membantu dalam penyimpanan urine. Sebaliknya reseptor

adrenergik alfa terstimulasi oleh norepinefrin dan menyebabkan kontraksi urethra, akan

membantu dalam penyimpanan urine dan kontinensia.(1, 2, 4)

Pada saat pengosongan kandung kemih, stimulasi simpatis akan berkurang, dan

stimulasi parasimpatis akan dipicu. Khususnya, impuls pada saraf panggul akan

mengstimulasi pengeluaran asetilkolin dan menyebabkan kontraksi otot detrusor.

Bersamaan dengan stimulasi detrusor, asetilkolin ini merangsang reseptor asetilkolin

dalam uretra dan menyebabkan terjadinya relaksasi untuk berkemih.(1, 4, 6)

Sel otot polos diantara detrusor bergabung antara satu sama lain sehingga jalur

listrik yang keluar dari satu sel otot ke yang berikutnya bersifat rendah resistensi.

Dengan demikian, aksi potensial dapat menyebar dengan cepat ke seluruh otot detrusor

untuk menyebabkan kontraksi yang cepat dari seluruh kandung kemih. Selain itu,

susunan pleksiform serabut detrusor kandung kemih memungkinkan kontraksi

multiarah dan ideal untuk kontraksi konsentrik pada saat pengosongan kandung kemih. (1, 4, 6)

IV. ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO

6

Pada keadaan normal, tekanan pada vesika urinaria lebih tinggi daripada tekanan di

uretra, sehingga urine akan tertinggal di dalam vesika urinaria. Pada saat terjadi

peningkatan tekanan intra-abdominal, maka tekanan ini akan diteruskan ke vesika

urinaria dan uretra secara merata sehingga tidak terjadi perbedaan tekanan antara vesika

urinaria dan uretra. Hal ini menyebabkan terjadinya inkontinensia.(1, 7)

Faktor resiko terjadinya inkontinensia urine adalah kehamilan, umur lanjut,

menopause, bedah pelvis, dan kondisi kesehatan pasien itu sendiri seperti gangguan

neurologis dan penggunaan obat-obatan. (1, 7, 8)

Tipe dari inkontinensia urine mungkin berbeda berdasarkan usia, dengan beberapa

studi menunjukkan prevalensi inkontinensia tipe stres yang lebih tinggi pada wanita

dengan usia kurang dari 60 tahun. Tidak semua penelitian mengkonfirmasi temuan ini

dan penyebab dari kecenderungan ini juga masih belum diketahui dengan pasti. (1, 4)

Prevalensi inkontinensia urine lebih banyak terjadi pada pasien multipara

dibandingkan dengan pasien nullipara. Proses persalinan mungkin menyebabkan

terjadinya trauma langsung pada otot dasar panggul dan jaringan pengikat disekitarnya.

Persalinan juga dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf-saraf yang selanjutnya

menyebabkan disfungsi pada otot panggul.(1, 4, 9)

Beberapa studi secara inkonsisten telah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

kejadian disfungsi urinearia setelah usia post-menopause. Menurut penelitian dari Iosif

1981, reseptor estrogen banyak ditemukan di uretra, otot pubokoksigeus dan trigonum

kandung kemih. Dipercayai terjadinya perubahan pada kolagen akibat dari

hipoestrogenik, berkurangnya vaskularisasi uretral dan penurunan volume otot skelet

yang secara kolektif menyebabkan gangguan pada fungsi uretra dengan mekanisme

penurunan tekanan pada uretra pada saat istirahat.(1, 4, 9)

V. PATOFISIOLOGI

7

Inkontinensia urine tipe stress disebabkan oleh tekanan luar dari kandung kemih

yang melebihi tekanan penutupan sfingter uretra. Otot-otot detrusor vesika menjadi

tidak aktif atau tidak berkontraksi. Pada kebanyakan kasus, relaksasi pelvis

menyebabkan leher kandung kemih menjadi hipermobil sehingga pada saat terjadi

peningkatan tekanan intra-abdominal, dalam waktu yang singkat akan diteruskan ke

kandung kemih dan uretra. Ini akan meningkatkan tekanan intravesika dan intrauretra

dan selanjutnya menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.(1, 4)

Pada kondisi normal, tekanan intra-abdominal akan ditransmisi ke kandung kemih

dan uretra secara bersamaan. Namun pada saat terjadi atoni atau kerusakan pada saraf

pudendal setelah persalinan per vaginam, leher kandung kemih akan berada di bawah

otot levator ani dan menyebabkan hilangnya angulus uretrovesika. Tekanan intra-

abdominal hanya akan distransmisi ke kandung kemih dan mengurangi tekanan

penutupan uretra sehingga terjadinya inkontinensia.(1, 2, 7)

Gambar 5: Teori transmisi tekanan. Pada wanita dengan sokongan yang normal,

peningkatan tekanan intra-abdomen akan didistribusikan ke sisi kontralateral dari

kandung kemih dan uretra. Pada mereka dengan sokongan uretra lemah, peningkatan

tekanan intra-abdomen mengubah sudut urethrovesika dan hilangnya kontinensia.(1)

Sokongan uretra merupakan bagian integral dari kontinensia. Sokongan ini berasal

dari ligamen sepanjang aspek lateral uretra, disebut ligamen pubourethra, vagina dan

8

kondensasi fasia lateral, fasia tendinous arkus panggul, dan levator ani. Dengan

hilangnya sokongan pada uretra, kemampuan untuk menutup uretra berkurang. Hal ini

mengurangi tekanan penutupan uretra dan ketidakmampuan untuk mengatasi

peningkatan tekanan kandung kemih. Dengan demikian, kontinensia hilang. (1, 9)

Gambar 6: Perbedaan sokongan pada fascia puboservikal yang masih intak

dengan fascia yang sudah robek.(9)

Pada inkontinensia tipe urge, komponen sfingter berfungsi dengan baik, namun

terjadi peningkatan yang abnormal pada otot detrusor yang hipertonik atau terjadinya

disfungsi neurologis. Pada saat adanya sensasi untuk berkemih, kandung kemih yang

terisi tidak dapat di inhibisi dan terjadi kontraksi yang kuat pada otot detrusor sehingga

menyebabkan sfingter urethra terbuka dan terjadi pengosongan kandung kemih yang

tidak dapat dikawal oleh pasien. Jika penyebab inkontinensia berhubung dengan

gangguan defisit neurologis, maka kondisi ini dinamakan neurogenic detrusor

overactivity. Namun jika gejala inkontinensia tipe urge di dapat tanpa di temukan

gangguan neurologis, maka kondisi ini dinamakan detrusor instability. (3, 5, 10)

9

Faktor penyebab utama yang menyebabkan inkontinensia tipe overflow adalah

pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna akibat dari gangguan kontraksi dari

detrusor atau obstruksi pada outlet kandung kemih. Gangguan kontraksi detrusor sering

dihubungkan dengan penyakit diabetes mellitus dan tumor pada lumbosakral. Pada

kebanyakan kasus, kedua neuropati sensoris dan motoris terganggu.(3, 5)

VI. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu

diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalam memilih tes

diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya, keluhan penderita yaitu; kencing keluar

pada saat batuk, tertawa, dan bersin, keluarnya kencing tidak dapat ditahan, dan kencing

keluar menetes pada saat kandung kemih penuh.(1, 8)

Beberapa metode dilakukan dalam mengumpul gejala yang dialami pasien dalam

usaha untuk melakukan studi dan membandingkan hasil dari pelbagai pengobatan untuk

inkontinensia. Namun kebanyakan dari bahan yang disediakan ini tidak sesuai untuk

digunakan saat praktek seharian. Dengan pendekatan yang lebih mudah, penilaian

inkontinensia dimulai dengan deskripsi dari gejala berkemih itu sendiri. Pada saat

dilakukan evaluasi, frekuensi berkemih dan jumlah pad yang digunakan per hari, jenis

pad dan kekerapan mengganti pad serta derajat saturasi pada pad yang digunakan

merupakan hal-hal yang penting untuk dipertimbangkan. Walaupun hal-hal ini tidak

menunjang pada tipe inkontinensia, namun tetap memberi informasi yang penting

dalam menentukan derajat gejala yang dialami pasien dan apakah kondisi ini

mengganggu aktivitas seharian pasien. (1, 2, 4)

Kebiasaannya, pasien tidak mengingat data yang akurat tentang kebiasaan berkemih

sehari-hari. Justeru, dalam memperoleh data yang akurat, tiap pasien perlu melengkapi

daftar berkemih, dimana pasien perlu mencatat jumlah air yang diminum setiap hari,

10

jumlah urine yang keluar setiap kali pasien berkemih, episode untuk kebocoran urine

dan hal-hal yang menyebabkan terjadinya inkontinensia, dan ini dilakukan selama 3

hari. Pasien juga harus mencatat jam tidur dan waktu pasien bangun dari tidur. (1, 2, 4)

Jam &

jumlah urine

Kebocoran

urine

Aktivitas saat

kebocoran urine

Asupan cairan

(jenis dan jumlah cairan)

Tabel 1: Contoh tabel yang dapat digunakan sebagai daftar berkemih.(2)

b. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis bagi pasien dengan inkontinensia termasuk evaluasi neurologis

dari perineum. Evaluasi klinis dimulai dengan memicu refleks bulbokavernosus. Tes ini

dilakukan dengan melakukan sentuhan pada labium mayora dengan menggunakan

cotton swab. Normalnya akan terjadi kontraksi pada kedua labia secara bilateral.

Hilangnya refleks ini menunjukkan terjadinya defisit neurologis sentral atau perifer.

Pemeriksaan kedua yang dapat dilakukan adalah anal wink dimana kontraksi

sirkumferensial pada sfingter anus akan terjadi setelah cotton swab menyentuh

permukaan perianal. Aktivitas dari sfingter uretra externa memerlukan innervasi S2 dan

S4 yang intak. Refleks anocutaneous ini dimediasi oleh saraf yang sama, jadi gangguan

refleks ini kemungkinan akibat dari defisit pada distribusi saraf ini.(1, 2, 4)

Sokongan uretra yang lemah kebiasaannya mengikuti prolaps organ panggul (POP).

Evaluasi eksterna untuk POP merupakan indikasi pada semua pasien wanita dengan

inkontinensia urine. Setelah itu, perlu dilakukan juga evaluasi untuk kekuatan otot

pelvis untuk menentukan defek pada kompartemen vagina. Wanita dengan

inkontinensia urine derajat ringan hingga sedang biasanya menunjukkan respon yang

baik terhadap latihan otot dasar panggul.(10, 11)

11

Jika urethra tidak disokong dengan baik, mungkin akan menunjukkan tanda-tanda

hipermobilitas selama terjadinya peningkatan tekanan intra-abdominal. Untuk menilai

mobilitas, klinisi akan menempatkan ujung kapas yang lembut ke dalam uretra di

urethrovesical junction. Tes ini disebut sebagai tes Q-tip, dimana evaluasinya mungkin

menimbulkan rasa kurang nyaman dan penggunaan analgesia intrauretra biasanya

membantu. Umumnya gel lidokain 1% dioles pada kapas sebelum pemeriksaan

dilakukan. Setelah kapas berada diposisi yang tepat, pasien diminta melakukan manuver

Vasalva dan sudut swab saat istirahat dan pada saat maneuver Vasalva diukur dengan

goniometer. Sudut yang lebih dari 30° di atas garis horizontal menunjukkan

hipermobilitas uretra. (1, 2, 7)

Gambar 7: Tes Q tip pada pasien dengan hipermobilitas uretra. A – Sudut Q tip saat

istirehat. B – Sudut Q tip dengan maneuver Vasalva. Urethrovesical junction yang tidak

disokong dengan baik menyebabkan defleksi Q tip kearah atas.

Pada semua wanita dengan inkontinensia urine, infeksi atau patologi traktus

urinearia perlu disingkirkan. Urinalisis dan kultur urine dikirim saat kunjungan pertama.

Pemeriksaan lain yang sering dilakukan pada pasien dengan inkontinensia adalah

12

pengukuran postvoid residual. Setelah pasien berkemih, volume sisa dalam dapat diukur

dengan alat sonografi atau kateterisasi transurethral. Volume postvoid yang besar

mungkin mencerminkan beberapa masalah, termasuk infeksi berulang, obstruksi uretra

atau defisit neurologis. Sebaliknya volume yang kecil biasanya sering ditemukan pada

mereka dengan inkontinensia urine tipe stres.(1, 8)

Inkontinensia dapat juga dipastikan dengan melakukan pad test. Terdapat pelbagai

metode dalam melakukan tes ini. Antaranya adalah meminta pasien untuk minum

sebanyak 500 ml air dan kemudian menggunakan pad dan melakukan aktifitas seharian

seperti biasa. Setelah itu, pad yang telah digunakan akan ditimbang. Peningkatan berat

pad sebanyak 1gram dalam 1 jam dapat dianggap sebagai inkontinensia urine.(4, 10)

Pengukuran obyektif fungsi kandung kemih digabungkan dalam serangkaian tes

disebut sistometri. Sistometri dapat berupa sederhana dan kompleks dan kedua metode

ini mempunyai sensitivitas yang berbeda.(1, 4, 9, 10)

Sistometri tipe sederhana dapat menentukan inkontinensia tipe stres dan

overaktivitas dari detrusor, serta pengukuran sensasi pertama, keinginan untuk

berkemih dan kapasitas kandung kemih. Kateter dimasukkan ke uretra dan kandung

kemih dikosongkan. Air steril dimasukkan ke dalam kateter sebanyak 60ml, dan

ditambah sehingga timbulnya sensasi terisinya kandung kemih, adanya keinginan untuk

berkemih, dan kapasitas maksimum kandung kemih. Volume cairan yang diisi dicatat

pada setiap kondisi ini. Perubahan meniskus cairan didalam jarum suntik juga perlu

diperhatikan. Setiap elevasi meniskus menunjukkan kontraksi kandung kemih dan dapat

menegakkan diagnosis overaktivitas detrusor. Setelah kapasitas maksimum dicapai,

kateter dilepas dan pasien diminta untuk melakukan manuver Vasalva atau batuk sambil

berdiri. Kebocoran urine menandakan inkontinensia tipe stres. (1, 4, 10)

13

Gambar 8: Sistometrik sederhana

Sistometri kompleks lebih sering dilakukan oleh uroginekologis atau urologis. Tes

ini dapat dilakukan dengan posisi berdiri atau duduk tegak di kerusi khusus untuk

evaluasi urodinamik. Satu kateter akan dimasukkan ke dalam kandung kemih dan satu

kateter lain akan dimasukkan ke dalam vagina atau rektum pasien. Dari kedua kateter

ini, didapatkan bacaan tekanan, termasuk tekanan intra-abdominal, tekanan vesikuler,

tekanan detrusor, volume kandung kemih dan laju aliran cairan infus. Dari pemeriksaan

ini, informasi tentang kondisi kandung kemih, tekanan intra-abdomen, dan otot-otot

detrusor dapat diperoleh dan seterusnya menentukan tipe inkontinensia.(1, 2, 10)

VII. PENATALAKSANAAN

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi

pada kasus derajat ringan ataupun sedang, bisa dimulai dengan terapi konservatif.

Latihan otot dasar panggul adalah terapi non-operatif yang paling populer, selain

stimulasi dan pemakaian alat mekanis. (1, 4)

1. Konservatif

a) Latihan otot dasar panggul

14

Pada wanita dengan inkontinensia derajat ringan sampai sedang, latihan otot

dasar panggul mungkin dapat membantu meringankan gejala inkontinensia.

Latihan Kegel ini ditemukan pada tahun 1940-an oleh Arnold Kegel,

ginekologis Amerika Serikat. Latihan ini memerlukan kontraksi volunter

dari otot levator ani. Dalam memastikan pasien melakukan latihan Kegel

dengan benar, klinisi dapat melakukan pemeriksaan lanjut pada saat

pemeriksaan fisis. Jari pemeriksa dimasukkan ke dalam vagina pasien dan

pasien disuruh melakukan kontraksi pada otot dasar panggul, sama seperti

saat menahan kencing. Kontraksi otot ini dipertahan selama 10 detik dan

dilakukan sebanyak 10 kali berturut-turut, 3 hingga 4 kali dalam sehari. (4, 8, 11,

12)

b) Stimulasi listrik

Sebagai alternatif untuk latihan otot dasar panggul, vaginal probe dapat

digunakan untuk memberikan stimulasi listrik frekuensi rendah ke otot-otot

levator ani. Frekuensi yang digunakan untuk inkontinensia urgensi biasanya

lebih rendah dibandingkan dengan inkontinensia stres. Stimulasi listrik ini

dapat digunakan sebagai monoterapi ataupun dikombinasi dengan latihan

otot dasar panggul. (1, 4, 7)

c) Pessarium

Pessarium digunakan untuk mengobati inkontinensia serta prolaps dari organ

panggul. Pessarium inkontinensia digunakan untuk mengurangi turunnya

urethrovesical junction. Ini dapat memberikan sokongan pada leher kandung

kemih dan dengan demikian mengurangi episode inkontinensia. (1, 2, 10)

15

Gambar 9: pessarium yang dapat digunakan pada inkontinensia.(2)

2. Operasi

Pada pasien yang tidak mengalami perubahan yang adekuat atau tidak

menginginkan manajemen konservatif, tindakan operasi merupakan langkah

selanjutnya untuk mengobati inkontinensia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,

sokongan uretra adalah penting dalam mengekalkan kontinensia. Dengan

demikian, tindakan operasi yang memperbaiki kembali sokongan ini biasanya

dapat mengobati inkontinensia. (1, 2, 10)

a) Retropubic urethropexy

Prosedur ini mencakup prosedur Burch dan prosedur colposuspension

Marshall-Marchetti-Krantz (MMK), yang melibatkan suspension dan anchorage

fascia puboservikal ke kerangka muskuloskeletal daerah panggul. Tehnik Burch

merupakan tindakan gold-standard, yang menggunakan kekuatan dari ligamen

iliopectineal untuk mengangkat dinding anterior vagina dan jaringan

16

fibromuskuler periuretra dan perivesikuler. Sebaliknya, tehnik MMK bagian

periosteum dari os pubis yang digunakan untuk menyokong jaringan ini. (1, 2, 4, 5)

Gambar 10: Lokasi untuk dilakukan reattachment fascia endopelvis pada

prosedur retropubic urethropexy. A: Fascia arkus tendineus. B: Periosterum

simfisis pubis. C: ligamen ileopectineal. D: fascia obturator internus. (2)

b) Pubovaginal sling

Dengan operasi ini, bagian dari fascia rectus atau fascia lata diletakkan dibawah

leher dari kandung kemih melalui ruang retropubis. Ujung dari fascia ini

kemudian di ikat di fascia rektus abdominis. Prosedur ini dapat menyokong

uretra dan menyebabkan uretra ditekan pada saat terjadi peningkatan tekanan

abdominal. (1, 2, 4)

17

Gambar 11: Prosedur pubovaginal sling di mana fascia di tempatkan pada leher

kandung kemih dan ujungnya diikat pada fascia rektus abdominis. (2)

c) Midurethral sling

Penggunaan sling ini mulai meluas pada tahun 1990-an. Terdapat banyak variasi

dari prosedur ini, semuanya melibatkan penempatan miduretral dengan serat

sintetis. Secara sederhana, prosedur ini diklasifikasikan menurut rute

pemasangan dan dibagi lagi melalui pendekatan retropubik atau transobturator.

Prosedur yang sering digunakan adalah tension free vagina tapa (TVT) dan

transobturator tape (TOT). (1, 2, 10)

18

Gambar 12: Pemasangan miduretra sling; serat sintetis dimasukkan setelah

dilakukan diseksi minimal pada miduretra dan dilanjutkan dengan pemasangan

trokar melalui retropubis.(2)

VIII. KESIMPULAN

Dari keempat tipe inkontinensia urine, tipe yang paling sering terjadi pada

wanita hamil ada tipe stress, dihubungkan dengan disfungsi dari otot dasar panggul.

Secara teori, ini dikaitkan dengan wanita yang memang memiliki resiko untuk

mendapat inkontinensia, terutama pada wanita dengan jaringan ikat atau kolagen

dasar panggul yang lemah. Adalah memungkinkan bahwa efek kumulatif dari

persalinan multipel, usia lanjut, menopause mengatasi mekanisme kompensasi dari

hilangnya sokongan otot dasar panggul hingga menyebabkan timbulnya gejala dari

inkontinensia. Deteksi dini adalah perlu sebagai suatu langkah pencegahan. (2, 10, 12)

DAFTAR PUSTAKA

19

Primary Sources

Secondary Sources

Uncategorized References

1. Schorge JO SJ, Lisa M. Halvorson, Barbara L. Hoffman, Karen D. Bradshaw, F.

Gary Cunningham. William's Gynecology. 1st ed. China: McGraw-Hill Companies;

2008. 1-20 p.

2. Nygaard I MS, Wall LL. Berek & Novak's Gynecology. 14th ed. Berek JS,

editor. California: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 849-83 p.

3. SP V. Urinary Incontinence 2013 [updated Oct 7, 2013; cited 2013 October].

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/452289-overview#showall.

4. Edmonds DK. Dewhurst's Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th ed. India

Blackwell Publishing; 2007. 504-34 p.

5. Kumar P MN. Jeffcoate's Principles of Gynaecology. 7th ed. India: Jaypee

Brothers Medical Publisher; 2008. 845-54 p.

6. Guyton AC. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Pennysylvania: Elsevier

Saunders; 2006.

7. Padubidri VG DS. Shaw's Textbook of Gynaecology. 15th ed: Elsevier; 2010.

177-95 p.

8. M D, M.W R. Stress Urinary Incontinence in Women: Diagnosis and Medical

Management. 2005.

9. Smith RP. Netter's Obstetrics and Gynecology 2nd ed. China: Elsevier; 2008.

171-6 p.

10. PA N. Danforth's Obstetrics and Gynecology. 10th ed. Gibbs RS, Karlan, Beth

Y, Haney, Arthur F, Nygaard, Ingrid E., editor: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

11. Sangsawang B. Stress Urinary Incontinence in Pregnant Women: A Review of

Prevalence, Pathophysiology and Treatment 2013:901-12.

12. Kapoor D S FRM. Therapeutic Management of Incontinence and Pelvic Pain.

2nd ed. Jeanette Haslam JL, editor. London: Springer; 2008. 143-5 p.

20

21