Inkontinensia Urine
-
Upload
aienx-zali -
Category
Documents
-
view
151 -
download
5
description
Transcript of Inkontinensia Urine
INKONTINENSIA URINE
I. PENDAHULUAN
Inkontinensia urine didefinisikan oleh International Continence Society sebagai
kehilangan urine secara involunter yang mewakili masalah higienis dan sosial pada tiap
individu. Inkontinensia urine dapat dianggap sebagai gejala yang dilaporkan pasien,
dapat juga sebagai suatu tanda yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan dan dapat
juga berbentuk suatu gangguan.(1, 2)
Inkontinensia urine tidak dianggap sebagai suatu penyakit karena tidak ada etiologi
yang spesifik bagi kondisi ini, dan tiap kasus bersifat multifaktorial. Etiologi bagi
inkontinensia urine ini dapat beragam dan dalam kebanyakan kasus tidak dapat
difahami sepenuhnya. (1-3)
Terdapat empat jenis inkontinensia urine yang didefiniskan dalam Clinical Practice
Guideline yang dikeluarkan oleh Agency for Health Care Policy and Research, yaitu;
stress, urge, mixed dan overflow. Inkontinensia urine tipe stress ditandai dengan
kebocoran urine yang terjadi saat adanya peningkatan tekanan intra-abdominal, pada
saat tertawa, bersin, batuk, menaiki tangga atau stres fisik lainnya. Inkontinensia tipe
urge adalah kebocoran urine involunter yang disertai dengan urgensi. Inkontinensia
urine tipe mixed adalah kombinasi dari stress dan urge yang ditandai dengan kebocoran
terkait urgensi dan peningkatan tekanan intra-abdominal.(1, 3-5)
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi kejadian inkontinensia urine yang tepat sukar untuk ditentukan. Antara
kesulitan yang ditemukan adalah dalam menentukan derajat, kuantitas dan frekuensi
kehilangan urine yang esensial dalam menentukan suatu kondisi patologis.(3, 4)
1
Sebanyak 50-70% wanita dengan kondisi inkontinensia urine gagal untuk
mendapatkan evaluasi dan rawatan akibat stigma sosial. Hanya 2-5% individu dengan
inkontinensia yang mendapat perawatan yang sesuai. Rata-rata individu dengan kondisi
inkontinensia urine ini menunggu 6-9 tahun sebelum mendapatkan konsultasi dan
perawatan medis.(3, 4)
Inkontinensia urine diperkirakan mengena 10-13 juta penduduk di Amerika Serikat
dan sekitar 200 juta individu di seluruh dunia. Inkontinensia urine tipe stress merupakan
kondisi yang paling umum ditemukan pada pasien rawat jalan, mewakili 29-75% dari
keseluruhan kasus. Aktivitas yang berlebihan dari otot detrusor menyumbang hingga
33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya disebabkan oleh bentuk campuran.(1, 4)
III. ANATOMI & FISIOLOGI
Dinding dari kandung kemih terdiri atas beberapa lapisan dan mengandung mukosa,
submukosa, otot dan lapisan adventisia. Mukosa kandung kemih terdiri atas sel epitel
transisional yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume kandung kemih yang
kecil, lapisan mukosa ini membentuk permukaan yang berlipat-lipat. Namun, pada saat
kandung kemih diisi dengan urine, lipatan ini kemudian akan membentang dan menipis.(1, 4)
2
Gambar 1: Anatomi kandung kemih: Dinding kandung kemih mengandung lapisan
mukosa, submukosa, muskuler dan adventisia. (1)
Gambar 2: Gambar mikrograf dari dinding kandung kemih. Mukosa kandung kemih
yang kosong membentuk lipatan rugae.(1)
3
Lapisan otot kandung kemih dikenal sebagai otot detrusor, yang terdiri atas tiga
lapisan otot yang diatur dalam anyaman pleksiform. Susunan pleksiform ini dapat
berekspansi dengan cepat pada saat kandung kemih terisi dengan urine dan menjadi
komponen utama dalam kemampuan kandung kemih untuk mengakodomasi volume
urine yang besar.(1, 2, 4)
Ketika kandung kemih terisi, kontraksi sfingter urogenital merupakan bagian
integral dari kontinensia. Komponen sfingter ini meliputi sfingter uretra, sfingter
urethrovaginal (UVS) dan kompresor uretra (CU). Sfingter uretra adalah otot lurik yang
membungkus urethra secara sirkumferential. Sebagai perbandingan, UVS dan CU
adalah pita otot lurik yang melengkungkan ventral uretra dan masuk ke dalam jaringan
fibromuskular dari dinding vagina anterior.(1, 4)
Gambar 3: Anatomi sfingter urogenital.(1)
Ketiga otot ini berfungsi sebagai suatu kesatuan dan berkontraksi dengan efektif
untuk menutup uretra. Sfingter uretra ini terdiri atas slow twitch muscle fiber dan tetap
berkontraksi secara tonik, yang memberi kontribusi pada kontinensia pada saat istirehat.
Sebaliknya UVS dan CU terdiri atas fast twitch muscle fiber yang memungkinkan
4
kontraksi cepat dan menutup lumen uretra pada saat kontinensia ditantang oleh
peningkatan mendadak dari tekanan intra-abdomen.(1, 4)
Otot lurik sfingter urogenital menerima persarafan motorik melalui saraf pudendal.
Serabut saraf somatik ini mengontrol otot lurik sfingter urogenital secara volunter.
Dengan demikian, neuropati pudendal yang dapat terjadi setelah persalinan lama dapat
mempengaruhi fungsi normal dari otot-otot ini. Selain itu, operasi panggul sebelumnya
atau radioterapi panggul juga dapat merusak saraf, pembuluh darah dan jaringan lunak
sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan fungsi sfingter urogenital yang tidak efektif dan
selanjutnya menyebabkan inkontinensia.(1, 2, 4)
Gambar 4: Innervasi kandung kemih dan uretra.(1)
Pada saat kandung kemih terisi, sinyal aferen sensorik akan diteruskan ke medulla
spinalis melalui saraf pelvis dan hipogastrikus, yang kemudian akan diteruskan ke pusat
berkemih di pons melalui traktus spinotalamikus lateral dan kolum dorsal. Stimulasi
simpatis yang ditransmisikan melalui nervus hipogastrikus berperan mempertahankan
aktivitas otot polos dari sfingter uretra dan membantu dalam relaksasi otot detrusor
untuk penyimpanan urine. Pada waktu yang sama, sinyal somatik eferen ke otot lurik di
dasar panggul yang ditransfer melalui saraf pudendal menyediakan aktivitas sfingter
5
uretra secara volunter dan augmentasi pada resistensi urethra pada saat terjadinya
peningkatan tekanan dalam kandung kemih. Ketika intensitas sinyal aferen meningkat
pada saat pengisian kandung kemih, ambang batas kesadaran dicapai, dimana akan
timbul sensasi untuk berkemih. Pada saat itu, sinyal dari pusat berkemih di pons akan
dibawa ke bagian sakral medulla spinalis melalui traktus retikulospinal dan
kortikospinal. Setelah itu akan terjadi stimulasi kolinergik parasimpatis pada detrusor
dan refleks relaksasi otot lurik dasar panggul dan proses berkemih akan terjadi.(1, 2, 4)
Serabut saraf simpatis akan melewati saraf pleksus hipogastrikus dan berkomunikasi
dengan reseptor alfa dan beta yang terdapat didalam kandung kemih dan uretra.
Stimulasi pada reseptor beta adrenergik akan menyebabkan relaksasi otot polos dalam
kandung kemih dan membantu dalam penyimpanan urine. Sebaliknya reseptor
adrenergik alfa terstimulasi oleh norepinefrin dan menyebabkan kontraksi urethra, akan
membantu dalam penyimpanan urine dan kontinensia.(1, 2, 4)
Pada saat pengosongan kandung kemih, stimulasi simpatis akan berkurang, dan
stimulasi parasimpatis akan dipicu. Khususnya, impuls pada saraf panggul akan
mengstimulasi pengeluaran asetilkolin dan menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Bersamaan dengan stimulasi detrusor, asetilkolin ini merangsang reseptor asetilkolin
dalam uretra dan menyebabkan terjadinya relaksasi untuk berkemih.(1, 4, 6)
Sel otot polos diantara detrusor bergabung antara satu sama lain sehingga jalur
listrik yang keluar dari satu sel otot ke yang berikutnya bersifat rendah resistensi.
Dengan demikian, aksi potensial dapat menyebar dengan cepat ke seluruh otot detrusor
untuk menyebabkan kontraksi yang cepat dari seluruh kandung kemih. Selain itu,
susunan pleksiform serabut detrusor kandung kemih memungkinkan kontraksi
multiarah dan ideal untuk kontraksi konsentrik pada saat pengosongan kandung kemih. (1, 4, 6)
IV. ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
6
Pada keadaan normal, tekanan pada vesika urinaria lebih tinggi daripada tekanan di
uretra, sehingga urine akan tertinggal di dalam vesika urinaria. Pada saat terjadi
peningkatan tekanan intra-abdominal, maka tekanan ini akan diteruskan ke vesika
urinaria dan uretra secara merata sehingga tidak terjadi perbedaan tekanan antara vesika
urinaria dan uretra. Hal ini menyebabkan terjadinya inkontinensia.(1, 7)
Faktor resiko terjadinya inkontinensia urine adalah kehamilan, umur lanjut,
menopause, bedah pelvis, dan kondisi kesehatan pasien itu sendiri seperti gangguan
neurologis dan penggunaan obat-obatan. (1, 7, 8)
Tipe dari inkontinensia urine mungkin berbeda berdasarkan usia, dengan beberapa
studi menunjukkan prevalensi inkontinensia tipe stres yang lebih tinggi pada wanita
dengan usia kurang dari 60 tahun. Tidak semua penelitian mengkonfirmasi temuan ini
dan penyebab dari kecenderungan ini juga masih belum diketahui dengan pasti. (1, 4)
Prevalensi inkontinensia urine lebih banyak terjadi pada pasien multipara
dibandingkan dengan pasien nullipara. Proses persalinan mungkin menyebabkan
terjadinya trauma langsung pada otot dasar panggul dan jaringan pengikat disekitarnya.
Persalinan juga dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf-saraf yang selanjutnya
menyebabkan disfungsi pada otot panggul.(1, 4, 9)
Beberapa studi secara inkonsisten telah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kejadian disfungsi urinearia setelah usia post-menopause. Menurut penelitian dari Iosif
1981, reseptor estrogen banyak ditemukan di uretra, otot pubokoksigeus dan trigonum
kandung kemih. Dipercayai terjadinya perubahan pada kolagen akibat dari
hipoestrogenik, berkurangnya vaskularisasi uretral dan penurunan volume otot skelet
yang secara kolektif menyebabkan gangguan pada fungsi uretra dengan mekanisme
penurunan tekanan pada uretra pada saat istirahat.(1, 4, 9)
V. PATOFISIOLOGI
7
Inkontinensia urine tipe stress disebabkan oleh tekanan luar dari kandung kemih
yang melebihi tekanan penutupan sfingter uretra. Otot-otot detrusor vesika menjadi
tidak aktif atau tidak berkontraksi. Pada kebanyakan kasus, relaksasi pelvis
menyebabkan leher kandung kemih menjadi hipermobil sehingga pada saat terjadi
peningkatan tekanan intra-abdominal, dalam waktu yang singkat akan diteruskan ke
kandung kemih dan uretra. Ini akan meningkatkan tekanan intravesika dan intrauretra
dan selanjutnya menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.(1, 4)
Pada kondisi normal, tekanan intra-abdominal akan ditransmisi ke kandung kemih
dan uretra secara bersamaan. Namun pada saat terjadi atoni atau kerusakan pada saraf
pudendal setelah persalinan per vaginam, leher kandung kemih akan berada di bawah
otot levator ani dan menyebabkan hilangnya angulus uretrovesika. Tekanan intra-
abdominal hanya akan distransmisi ke kandung kemih dan mengurangi tekanan
penutupan uretra sehingga terjadinya inkontinensia.(1, 2, 7)
Gambar 5: Teori transmisi tekanan. Pada wanita dengan sokongan yang normal,
peningkatan tekanan intra-abdomen akan didistribusikan ke sisi kontralateral dari
kandung kemih dan uretra. Pada mereka dengan sokongan uretra lemah, peningkatan
tekanan intra-abdomen mengubah sudut urethrovesika dan hilangnya kontinensia.(1)
Sokongan uretra merupakan bagian integral dari kontinensia. Sokongan ini berasal
dari ligamen sepanjang aspek lateral uretra, disebut ligamen pubourethra, vagina dan
8
kondensasi fasia lateral, fasia tendinous arkus panggul, dan levator ani. Dengan
hilangnya sokongan pada uretra, kemampuan untuk menutup uretra berkurang. Hal ini
mengurangi tekanan penutupan uretra dan ketidakmampuan untuk mengatasi
peningkatan tekanan kandung kemih. Dengan demikian, kontinensia hilang. (1, 9)
Gambar 6: Perbedaan sokongan pada fascia puboservikal yang masih intak
dengan fascia yang sudah robek.(9)
Pada inkontinensia tipe urge, komponen sfingter berfungsi dengan baik, namun
terjadi peningkatan yang abnormal pada otot detrusor yang hipertonik atau terjadinya
disfungsi neurologis. Pada saat adanya sensasi untuk berkemih, kandung kemih yang
terisi tidak dapat di inhibisi dan terjadi kontraksi yang kuat pada otot detrusor sehingga
menyebabkan sfingter urethra terbuka dan terjadi pengosongan kandung kemih yang
tidak dapat dikawal oleh pasien. Jika penyebab inkontinensia berhubung dengan
gangguan defisit neurologis, maka kondisi ini dinamakan neurogenic detrusor
overactivity. Namun jika gejala inkontinensia tipe urge di dapat tanpa di temukan
gangguan neurologis, maka kondisi ini dinamakan detrusor instability. (3, 5, 10)
9
Faktor penyebab utama yang menyebabkan inkontinensia tipe overflow adalah
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna akibat dari gangguan kontraksi dari
detrusor atau obstruksi pada outlet kandung kemih. Gangguan kontraksi detrusor sering
dihubungkan dengan penyakit diabetes mellitus dan tumor pada lumbosakral. Pada
kebanyakan kasus, kedua neuropati sensoris dan motoris terganggu.(3, 5)
VI. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu
diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalam memilih tes
diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya, keluhan penderita yaitu; kencing keluar
pada saat batuk, tertawa, dan bersin, keluarnya kencing tidak dapat ditahan, dan kencing
keluar menetes pada saat kandung kemih penuh.(1, 8)
Beberapa metode dilakukan dalam mengumpul gejala yang dialami pasien dalam
usaha untuk melakukan studi dan membandingkan hasil dari pelbagai pengobatan untuk
inkontinensia. Namun kebanyakan dari bahan yang disediakan ini tidak sesuai untuk
digunakan saat praktek seharian. Dengan pendekatan yang lebih mudah, penilaian
inkontinensia dimulai dengan deskripsi dari gejala berkemih itu sendiri. Pada saat
dilakukan evaluasi, frekuensi berkemih dan jumlah pad yang digunakan per hari, jenis
pad dan kekerapan mengganti pad serta derajat saturasi pada pad yang digunakan
merupakan hal-hal yang penting untuk dipertimbangkan. Walaupun hal-hal ini tidak
menunjang pada tipe inkontinensia, namun tetap memberi informasi yang penting
dalam menentukan derajat gejala yang dialami pasien dan apakah kondisi ini
mengganggu aktivitas seharian pasien. (1, 2, 4)
Kebiasaannya, pasien tidak mengingat data yang akurat tentang kebiasaan berkemih
sehari-hari. Justeru, dalam memperoleh data yang akurat, tiap pasien perlu melengkapi
daftar berkemih, dimana pasien perlu mencatat jumlah air yang diminum setiap hari,
10
jumlah urine yang keluar setiap kali pasien berkemih, episode untuk kebocoran urine
dan hal-hal yang menyebabkan terjadinya inkontinensia, dan ini dilakukan selama 3
hari. Pasien juga harus mencatat jam tidur dan waktu pasien bangun dari tidur. (1, 2, 4)
Jam &
jumlah urine
Kebocoran
urine
Aktivitas saat
kebocoran urine
Asupan cairan
(jenis dan jumlah cairan)
Tabel 1: Contoh tabel yang dapat digunakan sebagai daftar berkemih.(2)
b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis bagi pasien dengan inkontinensia termasuk evaluasi neurologis
dari perineum. Evaluasi klinis dimulai dengan memicu refleks bulbokavernosus. Tes ini
dilakukan dengan melakukan sentuhan pada labium mayora dengan menggunakan
cotton swab. Normalnya akan terjadi kontraksi pada kedua labia secara bilateral.
Hilangnya refleks ini menunjukkan terjadinya defisit neurologis sentral atau perifer.
Pemeriksaan kedua yang dapat dilakukan adalah anal wink dimana kontraksi
sirkumferensial pada sfingter anus akan terjadi setelah cotton swab menyentuh
permukaan perianal. Aktivitas dari sfingter uretra externa memerlukan innervasi S2 dan
S4 yang intak. Refleks anocutaneous ini dimediasi oleh saraf yang sama, jadi gangguan
refleks ini kemungkinan akibat dari defisit pada distribusi saraf ini.(1, 2, 4)
Sokongan uretra yang lemah kebiasaannya mengikuti prolaps organ panggul (POP).
Evaluasi eksterna untuk POP merupakan indikasi pada semua pasien wanita dengan
inkontinensia urine. Setelah itu, perlu dilakukan juga evaluasi untuk kekuatan otot
pelvis untuk menentukan defek pada kompartemen vagina. Wanita dengan
inkontinensia urine derajat ringan hingga sedang biasanya menunjukkan respon yang
baik terhadap latihan otot dasar panggul.(10, 11)
11
Jika urethra tidak disokong dengan baik, mungkin akan menunjukkan tanda-tanda
hipermobilitas selama terjadinya peningkatan tekanan intra-abdominal. Untuk menilai
mobilitas, klinisi akan menempatkan ujung kapas yang lembut ke dalam uretra di
urethrovesical junction. Tes ini disebut sebagai tes Q-tip, dimana evaluasinya mungkin
menimbulkan rasa kurang nyaman dan penggunaan analgesia intrauretra biasanya
membantu. Umumnya gel lidokain 1% dioles pada kapas sebelum pemeriksaan
dilakukan. Setelah kapas berada diposisi yang tepat, pasien diminta melakukan manuver
Vasalva dan sudut swab saat istirahat dan pada saat maneuver Vasalva diukur dengan
goniometer. Sudut yang lebih dari 30° di atas garis horizontal menunjukkan
hipermobilitas uretra. (1, 2, 7)
Gambar 7: Tes Q tip pada pasien dengan hipermobilitas uretra. A – Sudut Q tip saat
istirehat. B – Sudut Q tip dengan maneuver Vasalva. Urethrovesical junction yang tidak
disokong dengan baik menyebabkan defleksi Q tip kearah atas.
Pada semua wanita dengan inkontinensia urine, infeksi atau patologi traktus
urinearia perlu disingkirkan. Urinalisis dan kultur urine dikirim saat kunjungan pertama.
Pemeriksaan lain yang sering dilakukan pada pasien dengan inkontinensia adalah
12
pengukuran postvoid residual. Setelah pasien berkemih, volume sisa dalam dapat diukur
dengan alat sonografi atau kateterisasi transurethral. Volume postvoid yang besar
mungkin mencerminkan beberapa masalah, termasuk infeksi berulang, obstruksi uretra
atau defisit neurologis. Sebaliknya volume yang kecil biasanya sering ditemukan pada
mereka dengan inkontinensia urine tipe stres.(1, 8)
Inkontinensia dapat juga dipastikan dengan melakukan pad test. Terdapat pelbagai
metode dalam melakukan tes ini. Antaranya adalah meminta pasien untuk minum
sebanyak 500 ml air dan kemudian menggunakan pad dan melakukan aktifitas seharian
seperti biasa. Setelah itu, pad yang telah digunakan akan ditimbang. Peningkatan berat
pad sebanyak 1gram dalam 1 jam dapat dianggap sebagai inkontinensia urine.(4, 10)
Pengukuran obyektif fungsi kandung kemih digabungkan dalam serangkaian tes
disebut sistometri. Sistometri dapat berupa sederhana dan kompleks dan kedua metode
ini mempunyai sensitivitas yang berbeda.(1, 4, 9, 10)
Sistometri tipe sederhana dapat menentukan inkontinensia tipe stres dan
overaktivitas dari detrusor, serta pengukuran sensasi pertama, keinginan untuk
berkemih dan kapasitas kandung kemih. Kateter dimasukkan ke uretra dan kandung
kemih dikosongkan. Air steril dimasukkan ke dalam kateter sebanyak 60ml, dan
ditambah sehingga timbulnya sensasi terisinya kandung kemih, adanya keinginan untuk
berkemih, dan kapasitas maksimum kandung kemih. Volume cairan yang diisi dicatat
pada setiap kondisi ini. Perubahan meniskus cairan didalam jarum suntik juga perlu
diperhatikan. Setiap elevasi meniskus menunjukkan kontraksi kandung kemih dan dapat
menegakkan diagnosis overaktivitas detrusor. Setelah kapasitas maksimum dicapai,
kateter dilepas dan pasien diminta untuk melakukan manuver Vasalva atau batuk sambil
berdiri. Kebocoran urine menandakan inkontinensia tipe stres. (1, 4, 10)
13
Gambar 8: Sistometrik sederhana
Sistometri kompleks lebih sering dilakukan oleh uroginekologis atau urologis. Tes
ini dapat dilakukan dengan posisi berdiri atau duduk tegak di kerusi khusus untuk
evaluasi urodinamik. Satu kateter akan dimasukkan ke dalam kandung kemih dan satu
kateter lain akan dimasukkan ke dalam vagina atau rektum pasien. Dari kedua kateter
ini, didapatkan bacaan tekanan, termasuk tekanan intra-abdominal, tekanan vesikuler,
tekanan detrusor, volume kandung kemih dan laju aliran cairan infus. Dari pemeriksaan
ini, informasi tentang kondisi kandung kemih, tekanan intra-abdomen, dan otot-otot
detrusor dapat diperoleh dan seterusnya menentukan tipe inkontinensia.(1, 2, 10)
VII. PENATALAKSANAAN
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi
pada kasus derajat ringan ataupun sedang, bisa dimulai dengan terapi konservatif.
Latihan otot dasar panggul adalah terapi non-operatif yang paling populer, selain
stimulasi dan pemakaian alat mekanis. (1, 4)
1. Konservatif
a) Latihan otot dasar panggul
14
Pada wanita dengan inkontinensia derajat ringan sampai sedang, latihan otot
dasar panggul mungkin dapat membantu meringankan gejala inkontinensia.
Latihan Kegel ini ditemukan pada tahun 1940-an oleh Arnold Kegel,
ginekologis Amerika Serikat. Latihan ini memerlukan kontraksi volunter
dari otot levator ani. Dalam memastikan pasien melakukan latihan Kegel
dengan benar, klinisi dapat melakukan pemeriksaan lanjut pada saat
pemeriksaan fisis. Jari pemeriksa dimasukkan ke dalam vagina pasien dan
pasien disuruh melakukan kontraksi pada otot dasar panggul, sama seperti
saat menahan kencing. Kontraksi otot ini dipertahan selama 10 detik dan
dilakukan sebanyak 10 kali berturut-turut, 3 hingga 4 kali dalam sehari. (4, 8, 11,
12)
b) Stimulasi listrik
Sebagai alternatif untuk latihan otot dasar panggul, vaginal probe dapat
digunakan untuk memberikan stimulasi listrik frekuensi rendah ke otot-otot
levator ani. Frekuensi yang digunakan untuk inkontinensia urgensi biasanya
lebih rendah dibandingkan dengan inkontinensia stres. Stimulasi listrik ini
dapat digunakan sebagai monoterapi ataupun dikombinasi dengan latihan
otot dasar panggul. (1, 4, 7)
c) Pessarium
Pessarium digunakan untuk mengobati inkontinensia serta prolaps dari organ
panggul. Pessarium inkontinensia digunakan untuk mengurangi turunnya
urethrovesical junction. Ini dapat memberikan sokongan pada leher kandung
kemih dan dengan demikian mengurangi episode inkontinensia. (1, 2, 10)
15
Gambar 9: pessarium yang dapat digunakan pada inkontinensia.(2)
2. Operasi
Pada pasien yang tidak mengalami perubahan yang adekuat atau tidak
menginginkan manajemen konservatif, tindakan operasi merupakan langkah
selanjutnya untuk mengobati inkontinensia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,
sokongan uretra adalah penting dalam mengekalkan kontinensia. Dengan
demikian, tindakan operasi yang memperbaiki kembali sokongan ini biasanya
dapat mengobati inkontinensia. (1, 2, 10)
a) Retropubic urethropexy
Prosedur ini mencakup prosedur Burch dan prosedur colposuspension
Marshall-Marchetti-Krantz (MMK), yang melibatkan suspension dan anchorage
fascia puboservikal ke kerangka muskuloskeletal daerah panggul. Tehnik Burch
merupakan tindakan gold-standard, yang menggunakan kekuatan dari ligamen
iliopectineal untuk mengangkat dinding anterior vagina dan jaringan
16
fibromuskuler periuretra dan perivesikuler. Sebaliknya, tehnik MMK bagian
periosteum dari os pubis yang digunakan untuk menyokong jaringan ini. (1, 2, 4, 5)
Gambar 10: Lokasi untuk dilakukan reattachment fascia endopelvis pada
prosedur retropubic urethropexy. A: Fascia arkus tendineus. B: Periosterum
simfisis pubis. C: ligamen ileopectineal. D: fascia obturator internus. (2)
b) Pubovaginal sling
Dengan operasi ini, bagian dari fascia rectus atau fascia lata diletakkan dibawah
leher dari kandung kemih melalui ruang retropubis. Ujung dari fascia ini
kemudian di ikat di fascia rektus abdominis. Prosedur ini dapat menyokong
uretra dan menyebabkan uretra ditekan pada saat terjadi peningkatan tekanan
abdominal. (1, 2, 4)
17
Gambar 11: Prosedur pubovaginal sling di mana fascia di tempatkan pada leher
kandung kemih dan ujungnya diikat pada fascia rektus abdominis. (2)
c) Midurethral sling
Penggunaan sling ini mulai meluas pada tahun 1990-an. Terdapat banyak variasi
dari prosedur ini, semuanya melibatkan penempatan miduretral dengan serat
sintetis. Secara sederhana, prosedur ini diklasifikasikan menurut rute
pemasangan dan dibagi lagi melalui pendekatan retropubik atau transobturator.
Prosedur yang sering digunakan adalah tension free vagina tapa (TVT) dan
transobturator tape (TOT). (1, 2, 10)
18
Gambar 12: Pemasangan miduretra sling; serat sintetis dimasukkan setelah
dilakukan diseksi minimal pada miduretra dan dilanjutkan dengan pemasangan
trokar melalui retropubis.(2)
VIII. KESIMPULAN
Dari keempat tipe inkontinensia urine, tipe yang paling sering terjadi pada
wanita hamil ada tipe stress, dihubungkan dengan disfungsi dari otot dasar panggul.
Secara teori, ini dikaitkan dengan wanita yang memang memiliki resiko untuk
mendapat inkontinensia, terutama pada wanita dengan jaringan ikat atau kolagen
dasar panggul yang lemah. Adalah memungkinkan bahwa efek kumulatif dari
persalinan multipel, usia lanjut, menopause mengatasi mekanisme kompensasi dari
hilangnya sokongan otot dasar panggul hingga menyebabkan timbulnya gejala dari
inkontinensia. Deteksi dini adalah perlu sebagai suatu langkah pencegahan. (2, 10, 12)
DAFTAR PUSTAKA
19
Primary Sources
Secondary Sources
Uncategorized References
1. Schorge JO SJ, Lisa M. Halvorson, Barbara L. Hoffman, Karen D. Bradshaw, F.
Gary Cunningham. William's Gynecology. 1st ed. China: McGraw-Hill Companies;
2008. 1-20 p.
2. Nygaard I MS, Wall LL. Berek & Novak's Gynecology. 14th ed. Berek JS,
editor. California: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 849-83 p.
3. SP V. Urinary Incontinence 2013 [updated Oct 7, 2013; cited 2013 October].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/452289-overview#showall.
4. Edmonds DK. Dewhurst's Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th ed. India
Blackwell Publishing; 2007. 504-34 p.
5. Kumar P MN. Jeffcoate's Principles of Gynaecology. 7th ed. India: Jaypee
Brothers Medical Publisher; 2008. 845-54 p.
6. Guyton AC. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Pennysylvania: Elsevier
Saunders; 2006.
7. Padubidri VG DS. Shaw's Textbook of Gynaecology. 15th ed: Elsevier; 2010.
177-95 p.
8. M D, M.W R. Stress Urinary Incontinence in Women: Diagnosis and Medical
Management. 2005.
9. Smith RP. Netter's Obstetrics and Gynecology 2nd ed. China: Elsevier; 2008.
171-6 p.
10. PA N. Danforth's Obstetrics and Gynecology. 10th ed. Gibbs RS, Karlan, Beth
Y, Haney, Arthur F, Nygaard, Ingrid E., editor: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
11. Sangsawang B. Stress Urinary Incontinence in Pregnant Women: A Review of
Prevalence, Pathophysiology and Treatment 2013:901-12.
12. Kapoor D S FRM. Therapeutic Management of Incontinence and Pelvic Pain.
2nd ed. Jeanette Haslam JL, editor. London: Springer; 2008. 143-5 p.
20