inkontinensia urin

29
INKONTINENSIA URIN Kelompok 2

description

Inkontinensia Urin

Transcript of inkontinensia urin

Page 1: inkontinensia urin

INKONTINENSIA URIN

Kelompok 2

Page 2: inkontinensia urin

OUTLINE

Definisi Etiologi Epidemiologi Patofisiologi Klasifikasi Manifestasi klinis Diagnosis Tatalaksana Komplikasi dan prognosis

Page 3: inkontinensia urin

Definisi

Inkontinensia urin adalah gejala penyimpanan keluarnya urin tanpa disengaja sekalipun tidak terjadi kebocoran karena masalah sosial atau higenis.

Page 4: inkontinensia urin

ETIOLOGI

Jenis Etiologi

Stress UI Penurunan fungsi sfingter

Urge UI Over-aktivitas dari detrusor akibat gangguan

sensori (iritasi, inflamasi atau infeksi) dan

neurologi (gangguan fungsi sistem saraf pusat)

Mixed UI Campuran Urge dan Stress UI

Overflow UI Rusaknya kontraktilitas detrusor serta bledder

outlet obstruction

Functional UI Gangguan kognitif, fungsi atau mobilitas tanpa

disertai gangguan fungsi kandung kemih atau

kontrol neurologi.

Page 5: inkontinensia urin

FAKTOR RESIKO

↓ estrogen pada peri-menopause dan menopause melemahkan uretra

↓ berat badan Alkohol dan penggunaan obat-obatan :

Diuretik (misalnya: Frusemide), Antikolinergik (misalnya: Antihistamin), Analgesia narkotika (misalnya : Opioid), α-blocker (misalnya: Prazosin), CCB (misalnya: Nifedipin), Prostaglandin (misalnya: Misoprostol)

Usia penyebab utama inkontinensia akut pada lansia.

Page 6: inkontinensia urin

EPIDEMIOLOGI

Inkontinensia urin perempuan sangat berbeda antara negara maju dan kurang maju. Kehilangan uris secara involunter memiliki prevalensi sekitar 25% pada wanita muda (usia 14-21 tahun), 44% untuk 57% di paruh baya dan pascamenopause perempuan (usia 40 - 60 tahun), dan 75% pada wanita lanjut usia (umur ≥75 tahun). Namun, statistik ini mungkin dianggap remeh karena fakta bahwa setidaknya setengah dari wanita mengompol tidak melaporkan masalah ini ke dokter mereka seperti diungkapkan beberapa studi.

Page 7: inkontinensia urin

PATOFISIOLOGI

• Kandung kemih adalah otot berongga yang terletak di dasar panggul. – Otot detrusor otot utama dari kandung kemih

yang berasal dari otot polos berfungsi untuk menjaga kandung kemih dari pergerakan yang tidak diperlukan.

• Uretra kumpulan otot yang berfungsi untuk mempertahankan kontrol kandung kemih. – Sfingter internal berkontraksi setiap saat

kecuali saat berkemih (buang air kecil)– Sfingter eksternal berkontraksi sepanjang

waktu, ketika kandung kemih penuh untuk menghindari pengeluaran urin secara involunter.

Page 8: inkontinensia urin

• Ketika terasa kandung kemih mulai penuh dan perlu berkemih sinyal sensorik dikirimkan dari otak ke sfingter untuk memberikan sinyal relaksasi proses perkemihan.

• Otot detrusor relaksasi untuk membantu kandung kemih dalam penyimpanan urin sementara Sinyal dari otak diberikan otot detrusor kontraksi pergerakan memeras agar memungkinkan urin mengalir dari kandung kemih ke uretra.

Page 9: inkontinensia urin

↓ komplians kandung kemih

↓ kapasitas kandung kemih

↓ tekanan penutupan uretra

↓ kemampuan untuk menahan proses berkemih,

• ↑ kontraksi involunter otot detrusor, residu pasca miksi (post void residual/PVR), frekuensi berkemih dan pelemahan otot dasar panggul pada wanita dan pembesaran prostat pada pria. Selain terkait usia, penyakit kronis lainnya juga dapat berkontribusi terhadap terjadinya inkontinensia urin.

Perubahan yang terjadi pada saluran kemih terkait usia berkontribusi pada peningkatan prevalensi inkontinensia urin pada populasi lanjut usia:

Page 10: inkontinensia urin

KLASIFIKASI

Klasifikasi secara umum: UI transien UI kronis:

Stress Urge Mixed Overflow functional

Page 11: inkontinensia urin

Klasifikasi menurut ICS (International Continence Society): Nocturnal enuresis Continuous urinary incontinence Situational incontinence

Page 12: inkontinensia urin

MANIFESTASI KLINIS

Page 13: inkontinensia urin

DIAGNOSIS

ANAMNESIS Membedakan Jenis Inkontienesia

Transien: DIAPPERS atau DISAPPEAR mnemonic Kronis: The 3 incontinence question

Riwayat Masalah Kesehatan Kualitas Hidup Voiding Diary

Page 14: inkontinensia urin
Page 15: inkontinensia urin
Page 16: inkontinensia urin
Page 17: inkontinensia urin
Page 18: inkontinensia urin

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik urogenital dan RT Pemeriksaan kardiovaskuler Pemeriksaan muskuloskeletal Pemeriksaan neurologi Pemeriksaan paru

Page 19: inkontinensia urin
Page 20: inkontinensia urin

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes stress batuk: Hasil positif didapatkan bila

terjadi kebocoran urin. Sedangkan hasil negatif bila tidak didapatkan kebocoran atau kebocoran urin yang terlambat dalam waktu 5 – 15 detik.

Tes laboratorium: darah rutin (kreatinin) serta urinalisis

Postvoid Residual (PVR) Urine: Positif jika volume urin residu lebih dari 200 mL, kecurigaan jika volume residu 100 – 200 mL dan negatif jika kurang dari 50 mL.

Page 21: inkontinensia urin
Page 22: inkontinensia urin

TATALAKSANA

Modifikasi gaya hidup: berhenti merokok, pengurangan kafein dan pengurangan alkohol, penurunan berat badan, dan asupan cairan yang dimodifikasi.

Terapi perilaku: Pelatihan kandung kemih.

Perawatan invasif: Bedah, injeksi periuretra agen bulking, sfingter urin atrifisial

Page 23: inkontinensia urin

Modifikasi gaya hidup

Page 24: inkontinensia urin

Terapi perilaku

Page 25: inkontinensia urin

Farmakologi Antimuskarinik Duloksetin α-Agonis Estrogen Botulinum Toxin Mirabegron

Page 26: inkontinensia urin
Page 27: inkontinensia urin

Komplikasi

Infeksi saluran kemih Kelainan kulit Gangguan tidur Problem psikososial seperti depresi Mudah marah Terisolasi

Page 28: inkontinensia urin

Pronosis

Prognosis pasien bergantung pada jenis serta derajat keparahan UI. Selain itu juga bergantung pada tatalaksana yang dilakukan. Semakin baik tatalaksana, akan semakin baik pula prognosisnya.

Page 29: inkontinensia urin

DAFTAR PUSTAKA Al Taweel, Waleed., dan Raouf Seyam. 2015. Neurogenic bladder in spinal cord injury

patients. Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4467746/pdf/rru-7-085.pdf

Cook, B.K. et al., 2013. Urinary Incontinence in the Older Adult. , pp.3–20. Available at: https://www.accp.com/docs/bookstore/psap/p13b2_m1ch.pdf

Hersh, L. and Salzman, B., 2013. Clinical Management of Urinary Incontinence in Women, 87(9), pp.634-641. Available at: http://www.aafp.org/afp/2013/0501/p634.pdf

Khandelwal, C. and Kistler, C., 2013. Diagnosis of Urinary Incontinence, 87(8).pp.543-550. Available at: http://www.aafp.org/afp/2013/0415/p543.pdf

Kow, J.K., Carr, M. & Gnc, C., 2013. Diagnosis and management of urinary incontinence in residential care. BC MEDICAL JOURNAL, 55(March), pp.96–100. Available at: http://www.bcmj.org/sites/default/files/BCMJ_55_Vol2_incontinence.pdf

Ngarambe, C. & Peng, D., 2015. Female urinary incontinence: a systematic overview and non-surgical treatment. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology, 4(3), pp.527–539. Available at: http://www.ijrcog.org/?mno=182631

Qaseem, A. et al., 2014. Nonsurgical Management of Urinary Incontinence in Women: A Clinical Practice Guideline From the American College of Physicians, 161, pp.429-440. Available at: http://annals.org/data/Journals/AIM/930874/0000605-201409160-00010.pdf

Wang, Sheng-Min., et al. 2015. Overactive Bladder Successfully Treated with Duloxetine in a Female Adolescent. Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4540032/pdf/cpn-13-212.pdf

Wolosker, Nelson., et al. 2011. The Use of Oxybutynin for Treating Axillary Hyperhidrosis. Diambil dari: http://www.sweathelp.org/pdf/Munia%20study.pdf