inkontinensia urin
-
Upload
desrainy-inhardini -
Category
Documents
-
view
83 -
download
1
description
Transcript of inkontinensia urin
Inkontinensia Urin pada Wanita
Lanjut Usia
Desrainy Inhardini Gunadiputri
Kelompok C5
NIM 102010261
Inkontinensia Urin pada Wanita Lanjut Usia
Desrainy Inhardini Gunadiputri*
Pendahuluan
Inkontinensia urin oleh International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, secara obyektif dapat diperlihatkan dan
merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Penyakit akan meningkatkan morbiditas,
memberikan perasaan tidak nyaman dan menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial,
psikologi, aktifitas seksual dan pekerjaan, Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal.1 Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi.
Kondisi ini bukan merupakan bagian yang normal dari proses penuaan, walaupun
prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Diagnosis banding inkontinensia
urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih dari satu faktor penyebab terlibat,
sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit. 2 Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun
terapi obat dan pembedahan jika diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensianya.3
Anamnesis
Pada kasus inkontinensia urin, karakteristik inkontinensia dapat diketahui dari anamnesis.
Hal-hal yang biasanya dikeluhkan oleh pasien adalah:4
1. Urin keluar pada waktu tertawa, batuk, bersin, dan latihan
2. Urin tidak dapat ditahan
3. Urin keluar menetes pada saat timbul sensasi ingin berkemih
Pengambilan anamnesa tentang riwayat berkemih dapat dilakukan dengan menggunakan
format sederhana sebagai berikut:
* Desrainy Inhardini Gunadiputri, Mahasiswa Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat, e-mail: [email protected]
1
1. D uration of incontinence
2. C ircumstances of the leak, e.g sense of urgency, coughing, straining
3. B ladder storage symptoms i.e frequency, urgency, nocturia
4. A ny voiding symptoms i.e straining, intermittency, poor stream, post void dribble.
Riwayat penyakit dahulu mencakup masalah medis lainnya seperti diabetes mellitus
(menyebabkan timbulnya diuresis osmotik jika kontrol glukosa buruk), insufisiensi vaskuler
(menyebabkan timbulnya inkontinensia pada malam hari saat edema perifer dimobilisasi ke
sistem vaskuler, sehingga menyebabkan peningkatan diuresis), penyakit paru kronis (yang
dapat menyebabkan stress incontinence karena batuk kronis), Cerebro Vascular Accident
(CVA) sebelumnya dan adanya hipertensi haruslah dicari.
Riwayat pernah menjalani operasi yang dapat mempengaruhi proses berkemih juga harus
digali, seperti reseksi prostat transuretra, operasi untuk kondisi stress incontinence, atau
operasi pelvis. Pertanyaan tentang fungsi buang air besar dan erektil juga harus dilakukan.
Riwayat obstetrik seperti jumlah paritas, riwayat persalinan sulit, riwayat persalinan lama
perlu dicari pada wanita dengan stress incontinence.
Dicari mengenai riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi traktus urinarius
bagian bawah.
Riwayat kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan fungsional berkemih seperti fungsi
tangan, kemampuan berpakaian, keseimbangan duduk, kemampuan untuk melakukan transfer
dan ambulasi juga perlu diketahui untuk mencari kemungkinan mengapa pasien menjadi
inkontinensia dan untuk merencanakan manajemen terapi.
Riwayat nyeri atau ketidaknyamanan area suprapubik atau perineal perlu diketahui. Sensasi
seperti itu dapat timbul karena kemungkinan adanya karsinoma kandung kemih, batu atau
distensi akut kandung kemih.
Yang terakhir adalah mencari tahu keterbatasan sosial yang disebabkan oleh karena
inkontinensia. Hal ini penting karena akan menentukan strategi manajemen.2
2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien inkontinensia harus dilakukan termasuk deteksi kondisi medis
umum yang mungkin mempengaruhi traktus urinarius bagian bawah. Kondisi tersebut
mencakup insufisiensi kardiovaskuler, penyakit paru, proses neurologis (delirium, demensia,
multiple sclerosis, stroke, penyakit Parkinson, neuropati (otonom atau perifer), kelainan di
bagian tulang belakang dan punggung bawah), kelainan perkembangan genitourinarius serta
adanya edema perifer.4
Pemeriksaan pelvis, termasuk evaluasi struktur penyokong uretra merupakan hal yang
penting. Beberapa hal yang penting dalam pemeriksaan fisik:2
1. Pasien dengan inkontinensia urin harus diperiksa dalam keadaan kandung kemih
penuh, terutama jika keluhan utamanya adalah stress incontinence.
2. Pasien harus berdiri tegak, relaks dengan kaki terbuka selebar bahu lalu pasien diminta
untuk batuk beberapa kali untuk melihat jika ada tanda fisik stress incontinence yang
tampak. Jika tampak keluar urin, konfirmasikan hal tersebut dan apakah hal tersebut
mengganggu dia. Banyak wanita lansia mengalami keluarnya urin dalam jumlah
sedikit selama pemeriksaan tersebut dan merasa hal tersebut bukanlah suatu masalah
yang mengganggu (cough stress test). Diagnosis stress incontinence tidak dapat
ditegakkan jika manuver ini tidak berhasil dilakukan. Jika terjadi kebocoran, penting
untuk dicatat apakah hal ini terjadi bersamaan dengan stress manuver atau tertunda
beberapa detik. Jika tertunda maka hal ini lebih mengesankan adanya DO (dipicu oleh
batuk) daripada outlet incompetence.
3. Banyak wanita dengan urge incontinence yang disebabkan oleh detrusor overactivity
menampakkan keluarnya urin saat dilakukan cough stress test, tetapi hal ini dapat
tidak relevan terhadap keluhan utamanya. Penemuan fisik ini harus diatur dalam
konteks anamnesa pasien agar relevan.
4. Keluhan pasien harus dikonfirmasikan lagi kepada pasien terutama jika akan
direncanakan terapi operatif.
Pemeriksaan juga dilakukan pada abdomen, rektum, genital, dan evaluasi persarafan
lumbosakral. Pemeriksaan pelvis perempuan penting untuk menemukan beberapa kelainan
seperti prolaps, inflamasi, keganasan.3
3
Pemerikaan Penunjang
Selain dilakukan urinalisis dan kultur urin, pemeriksaan laboratorium juga harus mencakup
pemeriksaan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum. Kultur urin akan membantu
untuk menyingkirkan infeksi, yang berhubungan dengan inkontinensia.
Jika catatan berkemih menggambarkan adanya poliuria maka konsentrasi glukosa serum dan
kalsium juga harus diperiksa. Pada pria dengan volume PVR melebihi 150-200ml, renal
sonography harus dilakukan untuk mengeksklusikan kemungkinan hidronefrosis. Pada pasien
dengan hematuria steril yang mengalami ketidaknyamanan suprapubik atau perineal atau
pasien dengan resiko tinggi karsinoma kandung kemih (contoh seorang pria perokok atau pria
dengan onset urgensi dan atau urge incontinence yang baru dengan sebab yang tidak dapat
dijelaskan), harus dilakukan cystoscopy dan sitologi urin. Sitologi urin bermanfaat untuk uji
penyaringan keganasan traktus urinarius, teatpi penggunaan test sangat tergantung dari
akurasi laboratorium melakukan sitologi. Sitologi urin yang rutin tidak bermanfaat, tetapi uji
ini harus dilakukan pada wanita tua yang berusia lebih dari 50 tahun dengan gejala traktus
urinarius iritatif, terutama jika gejalanya menunjukkan onset yang mendadak.
Pemeriksaan urin dengan uji dipstick dan mikroskopis penting untuk menyingkirkan adanya
infeksi, kelainan metabolik, dan penyakit ginjal.
Adanya hematuria harus dievaluasi dengan sitologi, urografi intravena, dan sistoskopi. Biopsi
kandung kemih harus dilakukan jika diduga terdapat suatu keganasan.2
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja untuk pasien tersebut adalah inkontinensia campuran, yaitu tipe urgensi dan
tipe stres, yang akan lebih lanjut dibahas pada etiologi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus ini adalah inkontinensia selain dari tipe urgensi dan tipe stres,
yaitu inkontinensia tipe overflow dan tipe fungsional, serta inkontinensia akut yang bisa
4
disebabkan karena berbagai macam hal, seperti pada kondisi berkurangnya kesadaran, infeksi
traktus urinarius (cystitis dan urethritis), konsumsi obat-obatan tertentu, depresi dan
kecemasan, diabetes melitus, mobilitas yang terbatas, dan impaksi feses, yang akan dibahas
lebih lanjut pada etiologi.
Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang
dibagi menjadi dua fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan
struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi, dan
lingkungan.3
Setelah terbentuk di ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Urin tidak
mengalir melalui ureter hanya karena tarikan gravitasi, melainkan karena kontraksi peristaltik
otot polos di dinding ureter mendorong urin maju dari ginjal ke kandung kemih. Ureter
menembus dinding kandung kemih secara oblik, melewati dinding kandung kemih beberapa
sentimeter sebelum membuka ke dalam rongga kandung kemih. Susunan anatomik ini
mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal ketika tekanan di kandung kemih
meningkat.5
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh
saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di
bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak.3
Kandung kemih dapat menampung fluktuasi volume urin yang besar. Kandung kemih terdiri
dari otot polos yang dilapisi bagian dalamnya oleh suatu jenis epitel khusus. Luas permukaan
epitel yang melapisi bagian dalam dapat bertambah dan berkurang oleh proses teratur daur
ulang membran sewaktu kandung kemih terisi dan mengosongkan dirinya. Selain itu, dinding
kandung kemih yang sangat berlipat-lipat menjadi rata sewaktu pengisian kandung kemih
untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan.5
Kandung kemih terdiri atas empat lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan
submukosa, dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih
5
terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses
berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang
dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Namun, pintu keluar dari kandung kemih
dijaga oleh dua sfingter, yaitu sfingter uretra internus dan sfingter uretra eksternus. Sfingter
adalah cincin otot yang ketika berkontraksi menutup saluran melalui suatu lubang. Sfingter
uretra internus terdiri dari otot polos sehingga tidak berada di bawah kontrol volunter, dan
sfingter ini merupakan bagian terakhir dari kandung kemih. Sfingter uretra internus
menyebabkan uretra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh
noradrenalin.3,5
Di bagian lebih bawah saluran keluar, uretra dilingkari oleh satu lapisan otot rangka, sfingter
uretra eksternus. Sfingter ini diperkuat oleh diafragma pelvis, suatu lembaran otot rangka
yang membentuk dasar panggul dan membantu menunjang organ-organ panggul. Neuron-
neuron motorik yang menyarafi sfingter eksternus dan diafragma pelvis terus-menerus
mengeluarkan sinyal kecuali jika mereka dihambat sehingga otot-otot ini terus berkontraksi
secara tonik untuk mencegah keluarnya urin dari uretra. Dalam keadaan normal, ketika
kandung kemih melemas dan terisi, baik sfingter internus maupun eksternus menutup untuk
menjaga agar urin tidak menetes. Selain itu, karena sfingter eksternus dan diafragma pelvis
adalah otot rangka dan karenanya berada di bawah kontrol sadar maka orang dapat secara
sengaja mengontraksikan keduanya untuk mencegah pengeluaran urin meskipun kandung
kemih berkontraksi dan sfingter internus terbuka.5
Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat saraf yang
mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf
diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal.
Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih
berelaksasi sehinga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk
berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih
disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin.
Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin.
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui medula
spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
6
menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
Interferensi aktivitas koligernik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot
detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglanding-inhibiting drugs dapat
mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium-channel dependent.
Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih.
Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan
pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti
dasar inervasi adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih.
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu, pengobatan
dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat konraksi sfingter,
sedangkan zat alpha-blocking (terazosin [Hytrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter.
Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu, zat beta-
adrenergic blocking (propranolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra
dan melepaskan aktivitas kontraktil adrenergik-alfa.
Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang
tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada
posisi tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi
yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan
tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula spinalis
segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian (penyimpanan)
kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta penghambatan
aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada
fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis
meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih.
Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks
serebri, dan serbelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses miksi
7
belum diketahui dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah
menghambat sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi.
Kejadian inkontinensia urin meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia lanjut bukan
penyebab terjadinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan merupakan kondisi normal
pada usia lanjut melainkan merupakan faktor predisposisi (kontributor) terjadinya
inkontinensia urin.
Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan
perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah.
Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan
dan hormon androgen pada laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan
fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi,
dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel.
Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra
mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Pada laki-laki
terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi
penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan
penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH
lingkungan wanita.
Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic floor) mempunyai peran penting
dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar
panggul disebabkan oleh banyak faktor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi,
denervasi neurologik). Perubahan fisiologis akibat proses menua pada organ dasar panggul
antara lain meningkatnya deposit kolagen, meningkatnya rasio jaringan ikat-otot, dan otot
yang melemah.
Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital bawah
mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan.3
8
Etiologi
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin.
Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanannya yang tepat. Perlu
dibedakan empat penyebab pokok, yaitu gangguan urologik, neurologis,
fungsional/psikologis, dan iatrogenik/lingkungan. Perlu dibedakan pula antara inkontinensia
akut dan kronik (persisten). Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan
dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika kondisi akut teratasi
atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi
urikontinensia yangtidak berkaitan dengan kondisi akut/iatrogenik dan berlangsung lama.3
A. Inkontinensia Akut
Inkontinensia transien sering terjadi pada lansia. Jenis inkontinensia ini mencakup sepertiga
kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang
menjalani rawat inap.2 Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.2,36
Tabel 1. Penyebab-penyebab inkontinensia transien (reversibel)3
D Delirium or acute confusional stateI Infection, urinaryA Atrophic vaginitis or urethritisP PharmaceuticalP Psychologic disorders: depressionE Endocrine disordersR Restricted mobilityS Stool impaction
Delirium
Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit
yang bersifat akut (contohnya karena infeksi), kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan
dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan
manajemen medis dalam mengatasinya dibandingkan dengan manajemen kandung kemih.27
Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritis dapat menyebabkan
iritasi kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang mengakibatkan
9
seorang lansia tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria
(infeksi asimptomatik) yang banyak terjadi pada lansia, tidak selalu mengindikasikan adanya
infeksi dan bisa saja bukan etiologi inkontinensia, tetapi banyak dokter yang akan menterapi
ini dengan antibiotika walaupun hal tersebut tidak didukung oleh bukti penelitian.2
Atrophic vaginitis
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa
terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau
urge incontinence.2
Obat-obatan
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada lansia. Obat-obatan seperti
diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak
dapat menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence. Agen antikolinergik
dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan
overflow incontinence. Sedatif, seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan
menyebabkan confusion dan inkontinensia sekunder, terutama pada lansia. Alkohol,
mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas dan menimbulkan
diuresis.
Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya tonus sfingter
uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi
timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang
menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan
meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan
ini sering bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers,
yang sering dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan
uretra dan menyebabkan stress incontinence.2
Psikologis
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal
ini jarang terjadi pada orang lansia dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan
dapat menyebabkan pasien mengalami “kebocoran” urin. Mekanisme ini biasanya merupakan
kombinasi dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi
10
awal ditujukan pada gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih
terdapat inkontinensia maka harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.2
Output Urin yang Berlebihan
Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman
berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat
menyebabkan suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan
terjadinya peningkatan produksi urin hingga 10 liter per hari pada kandung kemih sehingga
menimbulkan overflow incontinence. Kondisi hipertiroid dapat menginduksi kandung kemih
menjadi overactive, sehingga menimbulkan kondisi urge incontinence. Disamping itu, kondisi
hipotiroidism dapat menyebabkan kandung kemih hipotoni dan menimbulkan overflow
incontinence.2
Mobilitas yang terbatas
Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada lansia. Keterbatasan mobilitas
ini dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik,
stenosis spinal, gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial,
claudication, perasaan takut jatuh, stroke, masalah kaki atau ketidakseimbangan karena obat-
obatan. Pemeriksaan yang cermat sering mendapatkan bahwa hal ini sebetulnya merupakan
penyebab yang dapat dikoreksi. Jika tidak dapat dilakukan koreksi, maka pola miksi di
samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini.2
Impaksi feses
Diimplikasikan sebagai penyebab inkontinensia urin hampir lebih dari 10% pasien yang
dirujuk ke klinik inkontinensia. Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan
menekan syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat
menimbulkan kondisi retensi urine dan overflow incontinence.2
B. Inkontinensia kronik/persisten
Jika kebocoran menetap setelah penyebab inkontinensia akut dihilangkan, perlu
dipertimbangkan penyebab inkontinensia yang berasal dari traktus urinarius bagian bawah.2
11
Secara klinis, dibagi empat tipe, namun dalam kenyataannya sering terjadi tumpang tindih
satu dengan lainnya.
Inkontinensia kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi:2,3,8,9
1. Inkontinensia urin tipe urgensi
Tipe inkontinensia ini ditandai dengan adanya keinginan berkemih yang kuat secara
mendadak tetapi disertai dengan ketidakmampuan untuk menghambat refleks miksi,
sehingga pasien tidak mampu mencapai toilet pada waktunya.2,3 Riwayat kondisi ini khas
dengan adanya gejala overactive bladder (frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor
presipitasi yang dapat diidentifikasi, seperti cuaca dingin, situasi yang menekan, suara air
mengalir.2 Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kelainan ini dibagi
menjadi dua subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe motorik disebabkan oleh lesi
pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel
atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral. Subtipe sensorik disebabkan oleh
hipersensitivitas kandung kemih akibat sistitis, uretritis, dan divertikulitis.3
2. Inkontinensia urin tipe stres
Inkontinensia urin tipe stres terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum
uretra tanpa disertai aktivitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan intra
abdominal. Peningkatan tekanan intra abdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin,
tertawa dan aktivitas fisik tertentu (contoh : mengedan). Inkontinensia tipe stres dapat
terjadi karena penurunan leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya
tahanan uretra atau keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah didefinisikan
sebagai suatu kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cm H2O atau
Valsava leak pressure kurang dari 60cm H2O.2 Ini terutama terjadi pada perempuan usia
lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat
seringnya melahirkan, operasi, dan penurunan estrogen.3
3. Inkontinensia urin tipe overflow
Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-laki
atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan
dapat menimbulkan inkontinensia urin tipe ini. Manifestasi kliniknya berupa berkemih
sedikit, pengosongan kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia.3
12
4. Inkontinensia urin tipe fungsional
Terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat,
gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur), gangguan neurologik dan psikologik.3
Pada pasien geriatri sering pula terjadi inkontinensia tidak satu tipe melainkan merupakan tipe
campuran, atau kombinasi dari dua tipe atau lebih. Inkontinensia tipe campuran yang sering
terjadi adalah kombinasi antara inkontinensia urin tipe stres dan urgensi.3 Pada kondisi ini
outlet kandung kemih lemah dan detrusor bersifat overactive. Jadi pasien akan mengeluhkan
adanya keluarnya urin saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal disertai dengan
keinginan kuat untuk berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas
uretra dan intabilitas detrusor.2
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bagi penderita inkontinensia dapat dilakukan dalam dua bagian besar,
dengan menggunakan obat-obatan (medikamentosa) ataupun dengan non-obat (non-
medikamentosa). Penatalaksanaan sering juga disebut dengan terapi. Pada prinsipnya,
manajemen terapi untuk pasien dengan disfungsi berkemih adalah:
1. Mencegah komplikasi traktus urinarius bagian atas (contoh deteorisasi fungsi renal,
hydronephrosis, renal calculi, pyelonephritis) dan traktus urinarius bagian bawah
(contoh cystitis, batu kandung kemih, vesicoureteral reflux)
2. Membuat suatu program manajemen kandung kemih yang membuat pasien dapat
berintegrasi kembali secara mudah ke masyarakat.
Terapi yang dilakukan berbeda untuk tiap masing-masing kasus. Untuk inkontinensia
campuran, dilakukan terapi khusus untuk inkontinensia urgensi dan stress. Terapi yang dapat
dilakukan adalah:2
A. Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan langkah awal terapi inkontinensia urgensi. Merupakan manajemen
terapi pilihan jangka panjang karena :
13
1. Terapi obat untuk terapi ini mempunyai efek samping antikolinergik yang tidak
menyenangkan.
2. Angka penyembuhan dengan terapi perilaku ini cukup baik bila dibandingkan
dengan terapi obat, dan setiap terapi obat, efeknya akan ditingkatkan dengan
memodifikasi tingkah laku yang menyebabkan timbulnya penyakit ini.
Terapi perilaku didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi ini terjadi karena hilangnya kontrol
kortikal terhadap detrusor pada proses berkemih yang sebelumnya ada selama fase toilet
training anak-anak. Tujuan bladder retraining (bladder drill) adalah membentuk kembali
kemampuan kontrol korteks serebral terhadap fungsi kandung kemih. Dengan bladder
retraining diharapkan pola kebiasaan disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk
menekan urgensi dapat diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung
kemih dan memperpanjang interval berkemih. Terapi ini diberikan jika pasien dapat bekerja
sama melalui suatu regimen berkemih terkontrol, yang secara bertahap interval antar waktu
berkemihnya akan ditingkatkan sehingga siklus urgensi, frekuensi dan urge incontinence
dapat diubah.
Bladder retraining dilakukan dengan cara meningkatkan waktu antar berkemih secara
progresif 10-15 menit setiap satu minggu atau kepustakaan lain menyebutkan 30 menit setiap
2–5 hari hingga tercapai interval yang cukup (2,5-3 jam). Interval berkemih ditingkatkan
secara bertahap seiring dengan kemampuan pasien menekan urgensi dalam waktu yang cukup
lama agar dapat berjalan secara perlahan ke toilet dan berkemih secara terkontrol. Kontraksi
dasar panggul dipergunakan untuk menginhibisi urgensi dan menunda berkemih.
Contoh bladder retraining adalah sebagai berikut jika catatan berkemih menunjukkan bahwa
pasien mengalami “ngompol” setiap 3 jam, pasien diminta untuk berkemih setiap 2 jam.
Setelah berhasil tidak “ngompol” selama 3 hari berturut-turut, pasien memperpanjang waktu
intervalnya selama 1/2jam dan mengulangi proses tersebut diatas hingga tercapai kepuasaan
atau tercapai kondisi kontinen. Pasien tidak perlu berkemih pada malam hari bila tidak
menginginkannya.
Latihan kandung kemih ini sering sangat bermanfaat untuk pasien-pasien dengan perbaikan
lesi neurologis (contoh cedera kepala, stroke) dan fungsi kandung kemih tetapi mengalami
gangguan berkemih atau rasa takut adanya inkontinensia berdasarkan pengalaman
sebelumnya.
14
Jika pasien tidak dapat bekerja sama (contohnya pasien demensia), dapat dilakukan
“prompted voiding” dan routine toileting. Dengan teknik routine toileting, pasien dibawa ke
toilet secara teratur untuk menghindari episode inkontinen. Sementara untuk pasien yang
menyadari status kandung kemihnya, prompted voiding dapat diberikan. Pada terapi ini,
pasien diminta berkemih dengan interval yang teratur, pasien diperbolehkan berjalan jika
mampu atau didampingi ke toilet.
B. Terapi Obat-obatan
Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik
terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stres. Obat-obat yang dipergunakan dapat
digolongkan menjadi: antikkolinergik-antispasmodik, agonis adrenergik alfa, estrogen topikal,
dan antagonis adrenergik alfa. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia
urin, efek samping harus diperhatikan apabila dipergunakan pada pasien geriatri, seperti mulut
kering, mata kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstipasi, dan delirium.
C. Terapi Operasi
Terapi operasi untuk memperbaiki kapasitas kandung kemih pada pasien dewasa dengan
kelainan berkemih neurogenik terkadang diperlukan walaupun jarang dilakukan. Pada
umumnya indikasi operasi adalah DH berat, compliance kandung kemih yang buruk atau
berlanjutnya deteriorasi traktus urinarius bagian atas walaupun sudah diberikan terapi
farmakologis dan lainnya.
Salah satu teknik yang sering dipakai untuk meningkatkan kapasitas dan tekanan kandung
kemih adalah intravesikal augmetation cystoplasty, yaitu pengangkatan sebagian kandung
kemih dan dilekatkannya sebuah segmen usus di kandung kemih yang tersisa. Mast dan
rekannya mencatat bahwa dari 28 pasien yang menjalani tindakan ini karena refrakter
terhadap terapi konservatif, 70% berhasil menghentikan inkontinensia (dengan rata-rata
follow-up 1,5 tahun). Keberhasilan ini meningkat menjadi 85% dengan penambahan artificial
sfingter pada pasien dengan tahanan sfingter yang rendah. Komplikasi yang mungkin terjadi
meliputi infeksi traktus urinarius yang rekuren (59%), pembentukan batu (22%). Komplikasi
yang menyebabkan diperlukannya lagi tindakan operasi lebih lanjut 44%. Pasien perlu
dimotivasi secara baik dan memahami bahwa pengosongan kandung kemih yang tidak efisien
dapat terjadi setelah operasi, sehingga diperlukan clean intermittent catheterization (CIC)
jangka panjang. Juga terjadi peningkatan mukus di urin karena adanya segmen usus; hal ini
15
yang terkadang mengganggu pasien. Konsekuensi jangka panjang dari perlekatan usus ini
tidak diketahui. Beberapa penelitian melaporkan timbulnya adenokarsinoma di kandung
kemih setelah 10 tahun augmetation cystoplasty.
D. Terapi Penyokong
Alat bantu tambahan, seperti pembalut dan pakaian dalam khusus tidak bermanfaat jika
inkontinensianya bersifat menetap. Penggunaannya disesuaikan dengan masalah masing-
masing pasien. Pembalut sering sangat membantu baik sebagai terapi primer atau pendukung
dalam manajemen berkemih. Custom fit diapers lebih bersifat kosmetik dibandingkan
pembalut yang terdahulu. Kegagalannya adalah karena harganya yang mahal, rasa malu
pasien, kesulitan untuk menggunakannya dan gangguan kulit jika tidak diganti setelah 2-4 jam
basah.
E. Stimulasi elektrik
Stimulasi elektrik langsung pada kandung kemih dilaporkan merupakan hal yang paling
efektif pada pasien dengan underactive dan areflexic bladder. Keberhasilan awal dalam
menurunkan volume PVR dilaporkan pada 50-60% kasus. Akan tetapi kegagalan sekunder
sering ditemukan karena adanya fibrosis, erosi kandung kemih, malfungsi elektrode atau
malfungsi peralatan lain. Keberhasilan yang bertahan hanya dalam jangka waktu pendek
disertai dengan efek samping yang banyak, menyebabkan pendekatan ini secara umum tidak
direkomendasikan.
F. Kegel Exercise
Latihan Kegel diciptakan oleh seorang dokter kandungan bernama Arnold Kegel pada tahun
1940. Dr Kegel pertama kali mengembangkan latihan ini untuk membantu wanita sebelum
dan setelah melahirkan. Selanjutnya latihan ini juga dapat digunakan dalam membantu
menangani stress inkontinensia urine yaitu pengeluaran urine tidak terkontrol akibat bersin,
batuk, tertawa atau melakukan latihan jasmani. Latihan kegel bermanfaat untuk melatih otot
dasar panggul yaitu rangkaian otot dari tulang panggul sampai tulang ekor. Latihan kegel
merupakan latihan dalam bentuk seri untuk membangun kembali kekuatan otot dasar panggul.
Otot dasar panggul tidak dapat dilihat dari luar, sehingga sulit untuk menilai kontraksinya
secara langsung. Oleh karena itu, latihannya perlu benar-benar dipelajari, agar otot yang
dilatih adalah otot yang tepat dan benar.
16
Epidemiologi
Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami
inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan
lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1.
Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan
Keluarga (PUSAKA) di Jakarta (2002) mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe
stres sebesar 32,3%. Sedangkan survei yang dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian
inkontinensia urin stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.
Penelitian di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito mendapatkan angka prevalensi inkontinensia urin
14,74%.
National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE), program yang meneliti inkontinensia urin
pada 5204 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan jumlah perempuan di negara
tersebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar 14,8juta orang, sepertiga di antaranya
merupakan inkontinensia urin tipe campuran (34,4%). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Diokno dkk, pada perempuan usia lanjut di atas 60 tahun mendapatkan dari 1150 subyek yang
dipilih secara random, 434 orang di antaranya mengalami inkontinensia urin. Dari mereka
yang mengalami inkontinensia urin 55,5% merupakan inkontinensia urin tipe campuran,
26,7% dengan inkontinensia tipe stres saja, 9% dengan inkontinensia urin tipe urgensi saja,
dan 8,8% dengan diagnosis lain.3
Prognosis
1. Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul,
prognosis cukup baik.
2. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki
dengan obat obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
3. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan / retensi urin).4
17
Kesimpulan
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, secara
obyektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Inkontinensia
urin secara umum dibagi menjadi inkontinensia urin akut yaitu yang bersifat sementara, dan
inkontinensia urin kronik yang bersifat menetap. Untuk bisa memberikan terapi yang tepat,
harus ditentukan terlebih dahulu penyebab inkontinensia tersebut, dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Daftar Pustaka
1. Universitas Sriwijaya. Stres inkontinensia. Diunduh dari
http://digilib.unsri.ac.id/download/Stres%20inkontenesia.pdf tanggal 13 Januari 2012.
2. Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Diunduh dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/evaluasi_dan_manajemen_medis_
inkontinensia_urin.pdf tanggal 13 Januari 2012.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5. Jilid 3. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 865-74.
4. Universitas Sriwijaya. Inkontinensia urine. Diunduh dari
http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf tanggal 13 Januari
2012.
5. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EG; 2011: 594-7.
6. Isselbacher KJ. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 1. Edisi 13.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999: 42-3.
7. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. Maj Kedokt Indon, Volume: 58, Nomor:
7, Juli 2008.
8. Graber MA. Buku saku dokter keluarga. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2006: 549-50.
9. Morgan G, Hamilton C. Obstetri dan ginekologi: panduan praktik. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003:292.
18
19
1 Universitas Sriwijaya. Stres inkontinensia. Diunduh dari http://digilib.unsri.ac.id/download/Stres%20inkontenesia.pdf tanggal 13 Januari 2012.2 Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Diunduh dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/evaluasi_dan_manajemen_medis_inkontinensia_urin.pdf tanggal 13 Januari 2012.3 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid 3. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 865-74.4 Universitas Sriwijaya. Inkontinensia urine. Diunduh dari http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf tanggal 13 Januari 2012.5 Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EG; 2011: 594-7.6 Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. Maj Kedokt Indon, Volume: 58, Nomor: 7, Juli 2008.7 Isselbacher KJ. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 1. Edisi 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999: 42-3.8 Graber MA. Buku saku dokter keluarga. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006: 549-50.9 Morgan G, Hamilton C. Obstetri dan ginekologi: panduan praktik. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003:292.