INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI...
Transcript of INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI...
INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
(Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh
Gelar Magister Dalam Ilmu Hukum
Oleh :
MUHAMAD SONI WIJAYA
156010100111012
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pengaturan Pidana Korporasi dalam undang-undang Korupsi, Lingkungan,
PencucianUang …………………………………………………………………. 6
Tabel 1.2 Daftar Orisinalitas Penelitian ………………………………………………… 11
Tabel 1.3 Perumusan/penyebutan korporasi sebagai subyek tindak pidana
……………………………………………….….….………………………….. 70
Tabel 1.4 Aturan pemidanaan korporasi………………………………………………….. 71
Tabel 1.5 Model /sistim pertanggungjawaban pidana korporasi…………………………. 74
Tabel 1.6 Kesimpulan Hasil Perbandingan ……………………………………………….. 76
Tabel 1.7 Perbandingan Penjatuhan Pidana Korporasi .........................................................93
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul Inkonsistensi Pengaturan
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
(Analisis Yuridis Pada Undang-Undang tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang Dan Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup) PenulisanTesis ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh
gelar Magister dalam bidang ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Dalam penulisan tess ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan
moril, masukan dan saran, sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.Olehsebab itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis hanturkan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Masruchin Rubai, SH.,MS selaku Pembimbing I penulis yang telah
meluangkan waktunya dan dengan sabar mengarahkan, membimbing, memotivasi,
serta memberikan kritik dan saran dalam Proses penulisan Tesis ini.
2. Bapak Dr. Imam Kuswahyono, SH. M.hum, selaku Pembimbing II penulis yang telah
meluangkan waktunya dan dengan sabar mengarahkan, membimbing, memotivasi,
serta memberikan kritik dan saran dalam Proses penulisan Tesis ini
3. Bapak Prof. Dr.Ir. Chanif Mahdi.,Ms. atas segala dukungan materiil, moril serta doa
dan restu yang diberikan kepada penulis
4. Bapak dan Ibu, H. Agus Hariyono dan Hj Mulyati. RM. Danar Satriyo Restyoko atas
segala doa dan restu yang diberikan kepada penulis
5. Dewi Salma Validya, SH, Aqeela Naura Putri, yang selalu memberikan kasih sayang
dan dukungan luar biasa yang diberikan kepada penulis
6. Dr. Jeane Darc Noviayanti Manik. SH, M.hum, yang selalu memberikan motivasi,
serta jalan keluar bagi penulis dalam penulisan Tesis ini
7. Bapak/Ibu Dosen serta Karyawan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang telah
mendidik dan memberikan pelayanan yang baik selama penulis belajar di Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang.
8. Teman teman angkatan Magister Ilmu Hukum angkatan 2015
9. Pihak pihak lain yang telah turut membantu selesainya tesis ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu
Akhirnya teriring doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat kepada
mereka semua. Penulis sangat sadar bahwa masih banyak hal-hal yang perlu dianalisa lebih
dalam, sehingga kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan.Akhir
kata dari penulis berharap apa yang dituangkan dalam penulisanTesis ini dapat memenuhi
kehendak semua pihak dan bermanfaat serta menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya Fakultas Hukum Universutas Brawijaya.
Malang Juli 2017
Penulis
iii
RINGKASAN
Muhamad Soni Wijaya, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Juli
2017, INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAMPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
(Analisis Yuridis Pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-
UndangTindakPidanaPencucianUangdanUndang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
LingkunganHidup), Prof. MasruchinRuba’I, S.H., M.S., Dr. Imam Koeswahyono
S.H.,M.Hum
Pada tesis ini,penulis mengangkat permasalah anterkaitin konsistensi pengaturan
pertanggung jawaban pidana korporasi di dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia.Pilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh ketidak konsistenan atau terjadi
inkonsistensi perumusan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-
undangan di Indonesia
Berdasarkan hal tersebut diatas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah : (1).
Mengapa terjadi inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
perundang-undangan di Indonesia?, (2) Bagaimana dampak dari inkonsistensi pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peaturan perundang-undangan di Indonesia?,
(3) Bagaimana bentuk pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang akan datang.Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum normative dengan metode pendekatan perundang-
undangan (statute approach), pendekatankasus (case approach), pendekatan perbandingan
(comparative approach), pendekatankonsep (conseptual approach). Bahanhukum yang
dipergunakan mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dengan analisa bahan
hukum yang dipilih adalah content analysis dengan memakai interprestasi hokum gramatikal,
sistimatis dan teleologis.
Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas
permasalahan yang ada bahwa alas an utama terjadinya inkonsistensi pengaturan
pertanggungjawaban pidana korproasi karena undang-undang tersebut merupakan undang-
undang khusus dan sekaligus LexSpesialis terhadap KUHP selain itu adanya ketidak
cermatan parapembentuk undang-undang membuat rumusan pertanggungjawaban korporasi.
Dampak utama yang ditimbulkan akibat inkonsistensi tersebut adalah adanya disparitas
putusan hakim dalam menjatuhkan putusannya terhadap korporasi yang melakukan tindak
pidana. Dalam iusconstituendum perlu diakomodirnya penyeragaman pengaturan mengenai
korporasi sebagai subjek hokum pidana, sehingga tidak ada perbedaan lagi. RUU KUHP
telah mengakomodir korporasi sebagai subyek hukum pidana dan sekaligus mengatur tentang
mekanisme pertanggungjawaban pidananya.
Kata Kunci :Korporasi, Inkonsistensi, PertanggungjawabanPidana
iv
SUMMARY
Muhamad Soni Wijaya, master of Science in law, Faculty of law, University of Brawijaya
Juny 2017, INCONSISTENCY THE CRIMINAL CORPORATE IN THE LEGISLATION IN
INDONESIA (Analysis legal in the law of criminal acts of corruption, money laundering, and
law protection and environmental management), advisory commission, chair : Prof.
Masruchin Ruba’I, SH.,MS. Dr. Imam Koeswahyono. SH. Mhum.
In this thesis, the author raised the related issue of criminal liability of corporate
settings inconsistencies in legislation in Indonesia. The theme options effected by an
inconsistency or inconsistencies of criminal liability of corporate settings formulation in
legislation in indonesia
Based on the things above, this paper raised the problem formulation: (1) why is
there a corporate criminal liability arrangements inconsistencies in legislation in Indonesia?,
(2) how the impact of corporate criminal liability arrangements inconsistency in the laws and
regulations in Indonesia?, (3) how the shape of the criminal liability of corporations in
setting laws and regulations in Indonesia. The methods used in this study are normative legal
research with the method approach of legislation (the statute approach), the approach of the
case, a comparative approach, conceptual approach. Legal materials used include primary
legal materials, secondary and tertiary, with the analysis of the selected legal materials is
content analysis using grammatical interpretation of law, systematic way and teleologis
The research with the methods abov, the author answers to existing problems that the
main reason for the occurrence of criminal accountability arrangements corporation
inconsistency because the law is a special law and the lex specialist against the penal code
moreover the existence creation of legislation to make the formulation of corporate
accountability. The main impact caused due to these inconsistency is the disparity in the
judge’s verdict award against dropping the corporation who commits a criminal offence. In
ius constituendum need to be made regarding the setting of the corporate as a subject of
criminal law, so that there is no difference anymore. The bill of the criminal code has as the
subject corporation through criminal law and the criminal accountability mechanisms set
about.
Key Words : Corporate, Inconsistency, Criminal Liability
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah salah satu Negara berkembang yang sedang
melakukan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan senantiasa akan
menimbulkan perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung di
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1
Pembangunan di segala bidang dan globalisasi dan moderenisasi
tepatnya dalam hal kemajuan teknologi, komunikasi, transportasi, dan
informatika telah menyebabkan perkembangan yang sangat pesat khususnya
pada kegiatan usaha yang sudah tentu akan berdampak pada masyarakat. Pada
masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup di jalankan secara
perseorangan (privat). Seiring dengan perkembangan masyarakat dan
perkembangan zaman, maka timbulkebutuhan untuk mengadakan kerja sama
dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hal ini
muncul korporasi (dalam bentuk perseroan terbatas dan badan hukum lainnya)
yang menawarkan saham dan barang (jasa) pada masyarakat luas sehingga
jumlah kerja sama dapat mencapai ratusan bahkan ribuan orang.2
1Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 pada bagian penjelasan menyatakan bahwa : Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara sebagaimana di rumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.
2Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia(Strict Liability dan Vicarius Liability), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 28.
2
Eksistensi suatu Korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi
kepentingan manusia maupun bagi kepentingan Negara. Dikatakan demikian
karena korporasi tidak dapat di lepaskan dalam kehidupan bermasyarakat atau
dengan kata lain usaha-usaha dalam rangka mencukupi kebutuhan umat
manusia tidak dapat di lepaskan dari keberadaan Korporasi.3Selain bagi
manusia eksistensi korporasi pun dirasakan penting bagi Negara, karena
korporasi memiliki peranan penting terhadap perekonomian nasional tepatnya
dalam rangka meningkatkan pertunbuhan ekonomi suatu Negara.Korporasi
memiliki peranan besar untuk meningkatkan penerimaan Negara dalam hal
(penerimaan pajak), menciptakan lapangan pekerjaan, ahli teknologi, terlebih
untuk sebuah bank, korporasi (yang dalam hal ini adalah bank) dapat
dikatakan sebagai pilar penopang perekonomian nasional.4
Terdapat beberapa contoh kasus kejahatan atau tindak pidana yang
melibatkan atau diduga dilakukan oleh suatu korporasi sebagai berikut :
1) Kasus Tindak Pidana Korupsi.5
yaitu PT. Giri Jaladhi Wana mendapatkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap dari pengadilan, yaitu perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm., yang mana PT. Giri Jaladhi Wana ditetapkan
3Soetan K. Malikoel Adil menguraikan pengertian korporasi secara etimologis.Korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata corporation dalam bahasa Latin.Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan tio, maka corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu.Corporare sendiri berasal dari kata corpus (Indonesia = badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung : Utomo, 2004), hlm. 12
4Kristian, Kebijakan Integral Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporaasi di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hlm. 6
5http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor, diakses selasa 31 Januari 2017.
3
sebagai tersangka dalam perkara korupsi dengan mengambil keuntungan
dana Pasar Sentra Antasari Banjarmasin, PT. Giri Jaladhi Wana
memperoleh kewajiban dan ha katas pembangunan Pasar Sentra Antasari.
PT. Giri Jaladhi Wana dianggap sebagai pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pidana karena turut menikmati segala
keuntungan dari pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari.
Dalam putusanya Pengadilan Negeri Banjarmasin menjatuhkan pidana
denda Rp. 1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) kepada
PT. Giri Jaladhi Wana dan pidana tambahan berupa penutupan sementara
PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.
2) Kasus semburan lumpur panas PT. Lapindo Berantas.6
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006.Peristiwa ini
menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi
areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini
wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50
ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti
kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa
dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur genangan hingga setinggi 6 meter pada
pemukiman total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa;
rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit areal pertanian dan
perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha, lebih dari 15 pabrik yang
tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari
6http://s-moc.blogspot.co.id/2012/09/kehatan-korporasi-dalam-bencana-lumpur.html,
diakses selasa 9 Januari 2017.
4
1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan
wilayah yang tergenangi rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur
(jaringan listrik dan telepon) terhambatnya ruas jalan tol Malang-
Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan
Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur.
3) Kasus tindak Pidana Pencucian Uang.7
Pada kasus pencucian uang di Kebumen Jawa Timur yang melibatkan
Kepala Cabang Bank Lippo Kebumen Dra. Anastasi Kusmiati Pronoto
alias Mei Hwa ini terbukti melakuka tindak pidana pencucian uang dan
dikenai sanksi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pada kasus ini terdakwa Mei
Hwa bersama terdakwa lainya yakni Robert dan Tawfik edy bekerja sama
melakukan tindak pidana penipuan, lalu kemudia uang yang didapatkan
dari hasil penipuan tersebut dimasukkan kedalam rekening terdakwa
Anastasia alias Mei Hwa yang dipencar kebeberapa rekening bank yang
berbeda dengan maksud untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal
usul uang tersebut. Uang yang diterima dari transfer ke rekening tedakwa
Mei Hwa tersebut kemudia ditransfer lagi ke beberapa rekening pada
bank yang berbeda milik terdakwa Herry Robert sehingga seluruhnya
berjumlah Rp. 51.531.318.000. Terdakwa dalam kasus ini menggunakan
sarana perbankan sebagai media untuk melakukan kejahatan, jumlah uang
yang disamarkan terbilang sangat besar. Dengan digunakannya sarana
7Auliah Andika, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Pencucian Uang, Universitas Indonesia Jakarta, Tesis, Tahun 2012.
5
perbankan dalam proses pentransferan tersebut sehingga maksud
terdakwa dalam menyamarkan dan menyembunyikan uang hasil
kejahatannya dapat terlaksana.
Pengaturan mengenai korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam
sistim hukum Indonesia pada dasarnya diatur secara tegas dalam berbagai
undang-undang yang bersifat khusus8.Pengakuan korporasi sebagai subyek
tindak pidana dalam undang-undang tersebut tidak diikuti dengan pengaturan
lebih lengkap dan jelas. Ketentuan khusus yang harus diatur dalam suatu
undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana
setidaknya mengenai:9
a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana;
b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan;
d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.
Terdapat beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur terkait
tanggungjawab hukum pidana korporasi diantaranya akan dipaparkan pada
tabel berikut ini :
8Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa yang di maksud dengan tindak pidana khusus
adalah adalah semua tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
9 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,(Kencana Prenada Media Group, Jakarta), hlm. 151.
6
Tabel 1.1. Pengaturan Pidana Korporasi dalam undang-undang Korupsi, Lingkungan,
Pencucian Uang,
No PENGATURAN UU TIPIKOR
UU PPLH/ LINGKUNGAN
UU TPPU/ PENCUCIAN
UANG 1 Korporasi sebagai
subyek tindak pidana
Pasal 1 angka (3) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
Pasal 1 angka 32 menjelaskan bahwa badan hukum termasuk subjek tindak pidana
Pasal 1 angka (9) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
2 Pertanggung jawaban pengurus
Pasal 20 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab
Pasal 116 ayat (2), yang termasuk pengurus antara lain:orang yang memberi perintah atau pemimpin
Pasal 6 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab
3 Pola/model perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi
Pasal 20 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata
Pasal 116 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata
Pasal 6 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata hubung
4 Kriteria korporasi
melakukan tindak pidana
Pasal 20 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup pekerjaannya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
Pasal 116 ayat (2), apabila dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha
Pasal 6 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh personil pengendali korporasi (pengurus), dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.-
5 Pihak yang mewakili apabila korporasi dituntut secara pidana
Pasal 20 ayat (3), apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus
Pasal118, apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus
pengurus
Sumber : diringkas dan diolah dari bahan hukum primer
7
Dalam penjelasan Pasal terkait pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam Undang-undang tindak pidana khusus yaitu Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terdapat Perbedaan pengaturan
pertanggungjawaban korporasi. Perbedaan tersebut akan berakibat kepada
ketidakpastian hukum, dan inkonsistensi pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia kemudian akan berdampak kepada
penegakkan hukum.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, munculbeberapa permasalahan
yaitu :
1. Mengapa terjadi inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam perundang-undangan di Indonesia.
2. Bagaimana dampak dari inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
3. Bagaimana bentuk pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang akan datang.
1.3. Tujuan Penelitian
Identifikasi tujuan yang hendak dicapai dalam suatu penelitian adalah
sangat penting mengingat tujuan penelitian dengan manfaat yang akan
diperoleh dari penelitian sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu, tujuan
dalam penelitian ini adalah :
8
1. Untuk menemukan dan menganalisa mengapa terjadi inkonsistensi
pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-
undangan di Indonesia.
2. Untuk menemukan, mengetahui dan menganalisis dampak pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
3. Untuk menganalisis dan merumuskan pengaturan pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
akan datang.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini baik secara teoritis maupun
secara praktis, adalah :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pengembangan ilmu
pengetahuan, dan memberikan masukan dalam hal pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana khusus yang
diharapkan dapat memberikan pemikiran terkait inkonsistensi pengaturan
Pidana Korporasi
2. Secara praktis :
a. Bagi DPR RI dan Presiden :
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan, masukan
ataureferensi terkait pengaturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi
9
b. Bagi Akademisi :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat
positif bagi pengembangan kajian ilmu hukum dan memberikan
bekal pengetahuan umum dan informasi secara jelas terkait
pengaturan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
1.5. Originalitas Penelitian
Dalam melakukan penelitian tesisi ini, peneliti telah melakukan
penelusuran terhadap berbagai tesis yang relevan dengan penelitian ini yaitu :
1. Penelitian Tesis Auliah Andika, persamaan dalam penelitian yaitu
Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi, perbedaannya penelitian ini menitik beratkan
pada studi kasus yaitu terhadap kasus Pencucian Uang yang dilakukan
oleh Korporasi, kontribusi dalam penelitian ini yaitu mengetahui kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi dalam hal tindak pidana pencucian uang,
yang terbaru dalam penelitian ini yaitu perlu adanya peraturan yang tegas
untuk menjerat pelaku kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.10
2. Penelitian Tesis M. Yusfidli Adhyaksana, persamaan dalam penelitian
yaitu Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi, perbedaannya penelitian ini menitik
fokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kontribusi
dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana
10Auliah Andika, Op.Cit.,2008
10
pertanggungjawaban pidana korporasi didalam melakukan tindak pidana
korupsi terutama mengenai kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).11
3. Penelitian Tesis Bisma Putra Mahardhika, persamaan dalam penelitian
yaitu Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait
pertanggungjawaban pidana korporasi, perbedaannya penelitian ini
menitik fokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yang
mengakibatkan kerugian pada ekologi dan masyarakat, kontribusi dalam
penelitian ini yaitu diperlukan rekonstruksi terkait pertanggungjawaban
pidana korporasi yang mengakibatkan kerugian pada ekologi dan
masyarakat.12
Berikut ini merupakan tabel untuk memudahkan melakukan suatu
penelusuran dan mengidentifikasi hasil studi atau penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini,
11M. Yusfidli Adhyaksana, Pertanggungjawaban pidana korporasi Dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Universitas Diponegoro Semarang, Tesis, Tahun 2008.
12Bisma Putra Mahardika, Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban pidana Pengelola Perusahaan Pertambangan yang Mengakibatkan Kerugian Pada Ekologi dan Masyarakat, Universitas Brawijaya Malang,Tesis, Tahun 2016.
11
Tabel 1.2. Daftar Orisinalitas Penelitian
No Tesis Judul Persamaan Perbedaan
1 Auliah Andika
Pertanggungjawaban pidana Korporasi pada Tindak Pidana Pencucian Uang
Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Perbedaannya penelitian ini menitik beratkan pada studi kasus yaitu terhadap pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi kontribusi dalam penelitian ini yaitu mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana pencucian uang
2 M. Yusfidli Adhyaksana
Pertanggungjawaban pidana korporasi Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI, 2008.
Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Perbedaannya penelitian ini menitik fokuskan terhadap Bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi ?
3 Bisma Putra Mahardhika
Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban pidana Pengelola Perusahaan Pertambangan yang Mengakibatkan Kerugian Pada Ekologi dan Masyarakat, 2016
Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
penelitian ini menitik fokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yang mengakibatkan kerugian pada ekologi dan masyarakat
Sumber : diolah dan diringkas dari naskah asli tesis yang dijadikan pembanding tesis ini
1.6. Kerangka Teoritik Dan Konseptual
Teori yang melandasi penulisan ini diantaranya Teori Kepastian Hukum,
Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Teori
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.ketiga teori tersebut akan digunakan
sebagai pisau analisa dalam pembahasan dan untuk menjawab rumusan
12
masalah yang ada dalam penelitian, berikut ini adalah pemaparan dari ketiga
teori tersebut.
1.6.1. Kerangka Teori
1.6.1.1. Teori Kepastian Hukum
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam
suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaanya dengan suatu sanksi.13 Kepastian hukum merupakan salah satu
tujuan hukum yang sifatnya yaitu norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman
perilaku bagi semua orang. Ubi Jus Incertum, ibi jus nullum (dimana tiada
kepastian hukum, disitu tidak ada hukum).14
Kepastian hukum berkaitan erat dengan keteraturan masyarakat dan
menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat
melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dalam bermsayarakat. Berdasarkan
ketentuan pada Pasal 1 KUHP menjelaskan tentang asas Legalitas atau
kepastian hukum terwujud apabila aturan tersebut telah tertuang dalam
perundang-undangan yang telah ada sehingga memberikan kepastian hukum
bagi pelaksananya, sebagai mana tertulis dalam norma yang menyatakan
:Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali aturan dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.Hal itu
berarti kepastian hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang bersifat non rektroaktif.
13Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta PT Rajagrafindo persada, 2010), hlm. 24.
14Ibid., hlm 82.
13
Kepastian hukum15 adalah keadaan siatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara jelas, pasti dan logis, yang dimaksud jelas adalah tidak
adanya kekaburan norma atau keraguan sedangkan logis adalah menjadi suatu
sistim norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum memberikan pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaanya tidak
dapat dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat subyektif.Kepastian hukum
dalam suatu Negara adalah dengan adanya undang-undang yang telah
ditentukan dan sungguh-sungguh berlaku sebagai hukum, putusan-putusan
para hakim yang bersifat konstan, dan berakibat kepada masyarakat yang tidak
ragu-ragu terhadap hukum yang berlaku16. Tujuan dari setiap undang-undang
akan tercapai jika kalimat yang tersusun didalamnya sangat jelas sehingga
tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Kepastian hukum terkait
dengan penegakan hukum dan penegakan hukum itu sendiri merupakan proses
untuk mewujudkan tercapainya keinginan hukum.
Menurut Theo Huijibers, tujuan dari politik hukum bukan hanya untuk
menjamin keadilan tetapi juga untuk menciptakan ketentraman hidup dengan
memelihara kepastian hukum. Jadi maskudnya adalah, hukum bukan
merupakan tujuan (politik) hukum, tetapi sesuatu yang harus ada apabila
keadilan dan ketentraman hendak diciptakan .indikator adanya kepastian
15 Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum sudah menjadi semacam ideology dalam
berhukum. Secara sosio historis, masalah kepastian hukum muncul bersamaan dengan sistim ekonomi kapitalis, hukum modern tampil menjawab kebutuhan zaman tersebut adalah secara tertulis dan public, karena dengan tertulis dan diumumkan secara public maka segalanya dapat diramalkan dan dimasukkan menjadi alat analisa yang positivistic. Satjipto Rahardjo, Kepastian Hukum Dalam Kumpulan Tulisan Program Doktor UNDIP (Semarang: Universitas Diponegoro, 2009), hlm.1-2,
16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 119.
14
hukum disuatu Negara, ditunjukkan dengan adanya perundang-undangan yang
jelas dan diterapkan oleh hakim maupun petugas hukum lainnya17.
Selain itu, Gustaf Radbruch memberikan konstibusi yang mendasar
terhadap teori kepastian hukum, dengan ide dasar hukum yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum18. Ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu
berada dalah hubungan serasi satu sama lain, melainkan dapat berhadapan,
bertentangan satu sama lain. Kehadiran hukum modern membuka pintu bagi
masuknya masalah yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu kepastian hukum,
karena nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada sejak
sebelum adanya era hukum modern.Sejak awal mula kedua nilai tersebut telah
menjadi wacana hukum dan menjadi publik, namun baru menjadi kepastian
hukum setelah dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum
menyangkut masalah bukan tentang keadilan dan
kemanfaatan, jadi kepastian hukum menurut Radbruch adalah adanya
kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian aturan19.
1.6.1.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-undang menyatakan bahwa perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
17 Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm.
22 18 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Keadilan
(jurisprudence) (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2009), hlm. 288. 19Ibid, hlm. 297
15
Ilmu pengetahuan Perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari
Gesetzgebungswissenschaft, adalah sebuah cabang ilmu baru yang mula-mula
berkembang di Eropa Barat, terutama di Negara-negara yang berbahasa
Jerman. Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini antara lain
adalah Peter Noll (1973), Jurgen Rodig (1975), Burkhardt Krems (1979), dan
Werner Maihover (1981). Di Belanda antara lain S.O Van Poelje (1980), dan
W.G Van der Velden (1988).20
Kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan
teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen
berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma
yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar
(Grundnorm)21.
Menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan perundang-undangan
(Gesetzgebungswissenschaft) merupakan ilmu yang interdisipliner yang
berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu:22
20 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998. hlm.
2. 21Ibid. hlm. 41. 22Ibid. hlm. 2-3
16
a. Teori perundang-undangan (Gesetzgebungstheory), yang berorientasi
pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-
pengertian, dan bersifat kognitif;
b. Ilmu Perundang-undang (Gesetzgebungslehre), yang berorientasi
pada melakukan berbuatan dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan, dan bersifat normative.
Guna mencari kejelasan terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi, maka dibantu dengan teori hukum ilmu perundang-undangan
membantu dalam menulusuri proses pembuatan aturan sehingga temuan para
pembentuk undang-undang tentang pertanggungjawaban pidana korporasi
dapat dipahami dan tidak menimbulkan interpretasi.
Burkhardt Krems membagi lagi kedalam tiga bagian yaitu:
a. Proses perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren);
b. Metode perundang-undangan (Gesetzgebungsmethode);
c. Teknik perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik).
Istilah perundang-undangan (Legislation, wetgeving, atau Gesetzgebung)
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu23 :
a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses
membentuk peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat,
maupun ditingkat daerah.
b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang
merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah.
23Ibid. hlm. 3
17
1.6.1.3. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Teori-teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
a. Teori Identifikasi
Teori ini juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal
liability24pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari
korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai
tindakan korporasi itu sendiri25yang dilakukan korporasi.26
Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap sebagai
atau Artinya, perbuatan mens rea para individu
itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. jika individu diberi kewenangan
untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea
para individu itu merupakan mens reakorporasi.27dikarenakan orang-orang
yang identik dengan korporasi sangat bergantung kepada jenis dan struktur
organisasi. Organisasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia.
Korporasi sebagai sebuah organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang
mengendalikan apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang
alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di
lingkungan korporasi itu hanyalah karyawan dan agen yang tidak lebih dari
24 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 80 & 105. Mahrus Ali dalam bukunya membedakan
penjelasan mengenai identification doctrinedengan direct corporate criminal liability.Meskipun dalam penjelasannya, Mahrus Ali menyatakan bahwa corporate criminal liabilityberhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan agen tertentu dalam suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Lihat hlm. 106.
25 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, Op.Cit,hlm. 80. 26Identification Doctrine adalah doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan dapat
melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,hlm. 87.
27 Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit, hlm. 307. Dengan menggunakan teori organ, pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan the state of mind of the senior officers of the company as being the state of mind of the company.
18
tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin
atau kehendak perusahaan. Artinya, doktrin ini diharapkan dapat mendorong
pertanggungjawaban pidana dari korporasi atas actus reusdan mens readari
pejabat berwenang (controlling officers), tapi terbatas pada pejabat tersebut.
Directing mindatau orang-orang yang identik dengan korporasi menurut
Yedidia Z. Stern meliputi the general meeting, board of directors, managing
directors, general manager, chief executive, and possibly individual
directors, secretariesand shop managers.28Namun timbul pertanyaan apakah
jabatan tersebut dengan sendirinya akan bertanggung jawab setiap terjadi
tindak pidana dalam lingkup korporasi? Untuk itulah, pendekatan
menggunakan identification doctrinedalam menentukan directing
mindkorporasi harus dianalisis secara kontekstual.29Sutan Remy Sjahdeini
mengutip pendapat Little dan Savoline terkait dianutnyaidentification doctrine
dalam putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara Canadian Dredge
and Dock vs The Queen30yang menyatakanbahwa telah muncul beberapa asas
terkait identification doctrine dari putusan tersebut:31
28Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang
identik dengan korporasi Yedidia Z. Stern mengungkapkan terdapat lima pendekatan untuk menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan analisis fungsi.
29 Sutan Remy Sajhdeini, Op.Cit,hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing minddari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.
30Ibid.Mahkamah Agung Kanada dalam perkara tersebut berpendapat bahwa directing
corporation. 31Asas terkait keputusan tersebut adalaha)Directing minddari suatu korporasi tidak
terbatas pada satu orang saja. Sejumlah pejabat (officer) dan direktur dapat merupakan directing mind dari korporasi tersebut. b)Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki berbagai operasi (multiple operation) di berbagai lokasi geografis (memiliki berbagai kantor cabang) tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu
19
b. Teori Strict Liability
Doktrin strict liabilitymengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana
dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak
perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada
pelakunya.Strict liabilityini merupakan konsep pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault ). Dengan kata lain, konsep strict liability
dirumuskan sebagai
(suatu bentuk
pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur
kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan).32Roeslan Saleh
menambahkan, dalam tindak pidana yang bersifat strict liabilityyang
dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal
itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban daripadanya. Jadi, tidak
dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liabilityadalah actus
lokasi yang terpisah dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi.c)Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab dengan mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana itu telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum. d)Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat (have a guilty mind and/or criminal intent), yaitu yang dikenal dalam hukum pidana pidana sebagai mens rea. Dalam doktrin ini, pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing minddari korporasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila tindak pidana itu tidak disadarinya. e) Untuk menerapkan identification doctrineharus dapat ditunjukkan bahwa perbuatan dari personil yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya, tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang bersangkutan, dan tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat bagi korporasi. f)Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis kontekstual (contextual analysis). g)Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan kasus per kasus (on a case by a case basis). Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggung jawab.Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan penting harus dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.Ibid., hlm. 106.
32 Barda Nawawi Arief, Op.Cit,hlm. 28.
20
reus(perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan)
bukan mens rea (kesalahan).33
Konsep strict liabilitydi negara-negara common law diartikan sebagai
kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah
satu ciri utama tanggung jawab mutlak, yakni tidak adanya persyaratan tentang
kesalahan.34Sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak (strict
liability) telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa kasus, yang
sebagian besar berkaitan dengan resiko lingkungan35, dan keamanan/kesehatan
makanan, perlindungan konsumen, di samping ketertiban umum, fitnah
ataupencemaran nama baik, dan Contempt Of Court, serta pelanggaran lalu
lintas.36Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi
tindak pidana kesejahteraan (public welfare offences) yang bersifat tindak
pidana ringan yang diancam tindak pidana denda. Argumen ini dikemukakan
pula oleh Muladi dan Dwidja Priyatno sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy
Sjahdeini, yang menyatakan bahwa:37
hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran
yang sifatnyaringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu
lintas.Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap
pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut
perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat, misalnya
perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan
lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat
33Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21. 34 Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit,hlm. 298. 35ibid 36Ibid 37 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,hlm. 83.
21
menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut
pertanggungjawaban pidana korporasi dengan adagium res ipsa
loquitur(fakta sudah berbicara sendiri).
Doktrin strict liabilityini terdapat dalam delik-delik yang diatur menurut
undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala prohibita), yang
pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce
sebagaimanadikutip dalam Yusuf Shofie menyatakan bahwa banyak faktor
yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang menetapkan penggunaan
strict liabilitydalam hukum pidana, seperti: karakteristik suatu tindak pidana,
pemidanaan yang diancamkan, ketiadaan sanksi sosial, kerusakan tertentu yang
ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat
tertentu dan konteksnya dalam suatu perundang-undangan.38 Selanjutnya
mengutip pendapat Romli Atmasasmita, pembentuk undang-undang telah
menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan
sebagai berikut:39
a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat;
b. Ancaman hukumannya adalah ringan;
c. Syarat adanya mens rea akan menghambat adanya tujuan perundang-
undangan;
d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan
terhadap hak-hak orang lain;
e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak
diperlukan.
38 Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 362-363. Keenam faktor tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhatian publik (public concern) terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability, agar keamanan masyarakat ( public safety), lingkungan hidup (environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the economic interest of the public), termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga.
39 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 78.
22
c. Teori Vicarious Liability
Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai
pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang
dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious
liability adalahsuatu konsep pertanggungjawaban seorang atas kesalahan yang
dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada
dalam ruang lingkup pekerjaannya. (the legal responsibility of one person for
wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope
of employment).40
Black s Law Dictionary mendefenisikan vicarious liability sebagai
berikut:
action are conduct of sub-ordinate or associate (such as an employee) because
41
Dengan pengertian tersebut, doktrin ini pada dasarnya adalah untuk
menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang dapat dikenakan
pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh
orang lain.42Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi
jika pada diri pembuatnya terdapat unsur kesalahan, dengan vicarious liability
diberikan pengecualian, di mana seorang lain bertanggungjawab atas perbuatan
40 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), hlm. 33. 41 Black s Law Dictionary, dikutip dari Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 119. 42Menurut Hasbullah, secara umum tidak dimungkinkan adanya permintaan
pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain karena sifatnya yang personal dan seseorang itu dipidana akibat dari kesalahannya sendiri dan bukan akibat kesalahan orang lain.Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm.301.
23
yang dilakukan oleh orang lain.43Pengecualian ini terjadi apabila ada hubungan
kerja, sebagaimana dalam asas respondeat superior,44dijelaskan sebagai
bentuk adanya hubungan antara masterdan servantatau antara principaldan
agent, dimanaberlaku adagium yang berbunyi qui facit per alium facit per se
(seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan
perbuatan itu).
Dalam perbuatan-perbuatan perdata, seorang pemberi kerja
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya
sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya.45Hal ini memberikan
kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan
melawan hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar membayar
ganti rugi sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya.46Rasionalitas
penerapan doktrin ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan
kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung
dimiliki oleh majikan (korporasi).
Prinsip hubungan kerja yang dikenal dalamdoktrin vicarious liability,
disebut juga dengan prinsip delegasi.47Prinsip delegasi terkait dengan
mendelegasikan wewenang seseorang (korporasi) kepada bawahannya atau
43 M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi,Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 18.
44 Lihat Barda Nawawi Arief, Op.Cit,hlm. 37. Respondeat superiorsebenarnya merupakan hasil pengadopsian dari prinsip yang ada dalam hukum perdata, yaitu perbuatan melawan hukum, di mana dikenal suatu prinsip bahwa majikan akan bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawannya.
45 C. M. V. Clarkson dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. Vicarious liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
46 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 84.
47Ibid.,hlm. 97
24
kuasanya yang bertindak untuk dan atas namanya, tetapi pemberi kuasa harus
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan penerima wewenang apabila
iamelakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak mengetahui apa yang telah
dilakukan oleh bawahannya itu. Hal ini patut untuk ditekankan bagi korporasi,
sebagaimana pendapat Scalan dan Ryan menyatakan bahwa kebijakan hukum
telah menentukan bahwa suatu pendelegasian tidak dapat menjadi alasan
pemaaf bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul pertanggungjawaban
pidanasemata-mata karena tindak pidana tersebut telah dilakukan oleh
bawahannya yang telah menerima pelimpahan wewenang darinya.48Salah satu
contoh penerapan teori vicarious liability adalah kasus Allen vs Whitehead.49
Terdapat beberapa alasan mengapa doktrin vicarious liabilitydibutuhkan
dimana pertanggungjawaban pidana secara individual tidak dapat
digunakan50sehingga terdapat tempat bagi korporasi untuk bertanggung jawab,
antara lain:
a. Penerima kuasa seringkali tidak mempunyai aset yang mencukupi untuk
membayar kerugian yang timbul akibat suatu kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana korporasi dapat membantu mengurangi
masalah yang timbul dari kesalahannya.
48 Lihat Mahrus Ali., Op.Cit,hlm. 120 49X adalah pemilik rumah makan yang pengelolaannya diserahkan kepada Y (sebagai
manager). Berdasarkan peringatan polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar Y. Dalam kasus itu, X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act, 1839, Pasal 44. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y (manager rumah makan).Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu pada manager, maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah makan. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict Liability dan Vicarious Liability),(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 116-117.
50 V.S Khanna, en Should Corporations Be Held http://crawl.prod.proquest.com.s3.
amazonaws.com/fpcache/c32f92d88d0cedd33b2058d54439f274.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJF 7V7KNV2KKY2NUQ&Expires=1464668037&Signature=drsWw3axPSjQgJB3D7mYeM0RTS %3D, diakses pada tanggal 25 Pebruari 2017.
25
b. Pertanggungjawaban korporasi meningkatkan pencegahan jika
penerima kuasa terbukti menempatkan aset korporasi dalam bahaya dan
akibat kesalahan tersebut. Jika korporasi yang menanggung biaya
tersebut, maka korporasi telahmeningkatkan motivasi untuk memonitor
para penerima kuasa, mencegah
c. mereka melakukan kesalahan. Jika penerima kuasa tidak terbukti
melakukan kesalahan, maka mereka tidak dapat dikenai
pertanggungjawaban lewat identification doctrinekarena para penerima
kuasa tidak dapat merespon pertanggungjawaban yang dibebankan
kepadanya.
Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi
dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun
yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan
berdasarkan uraian di atas, setidaknya terdapat dua syarat penting untuk
menerapkan doktrin vicarious liability, yaitu harus terdapat suatu hubungan,
seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja, serta tindak pidana
yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang
lingkup pekerjaannya.
1.6.2. Kerangka Konseptual
Dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang akan dipergunakan. Untuk
memudahkan dan mencegah terjadinya kesalahpahaman dalam uraian, maka
dibawah ini akan dijelaskan beberapa istilah tersebut yaitu :
26
1.6.2.1. Korporasi
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)
sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula
subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat
hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum.
Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak
bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena
dikenal dalam bidang hukum perdata.51 Sedangkan apabila dilihat secara
etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan
corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal
corporatio 52
Sedangkan didalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum Satjipto
Rahardjomemberikan penjelasan apayang dimaksud dengan korporasi.53
51M
kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (Bandung: STHB, 1991), hal. 13
52 menurut Muladi dan Dwidja Priyatno: Seperti
zaman abad pertengahan at
sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya
merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.Ibid.hlm 12
53korporasi adalah Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaann Ilmu Hukum(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 13
27
Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini
menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang
luas.54
Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup
mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang
hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum
yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum.
1.6.2.2. Pertanggungjawaban Pidana
Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas
culpabilitas) yang secara tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa
kesalahan.Artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam
hukum pidana karena telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan
pertanggungjawaban pidana.55
54 Beliau menyatakan bahwa: Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,
korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukukorporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh
Pertanggungjawaban Pidana KorporasiPers, 2006), hlm. 44.
55Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, 2012.hlm 203
28
Menurut Simons,56
sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya
penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum
bertanggungjawab, apabila jiwanya
a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari, bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum.
b. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.
Menurut Pompe,57
apabila keadaan jiwanya adalah demikian rupa, hingga apa yang telah ia
lakukan itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Keadaan jiwa yang
sedemikian rupa, dimaksud oleh Pompe adalah keadaan jiwa yang normal/
sehat yaitu keadaan yang memberikan kemampuan untuk bisa membedakan
mana perbuatan yang baik dan yang buruk, perbuatan yang dilarang dan tidak
dilarang dan sebagainya.
Menurut Van Hamel,58
keadaan yang normal dan suatu kedewasaan secara psikis yang membuat
seseorang itu mempunyai tiga macam kemampuan, yaitu:
a. Mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia
lakukan;
b. Mampu untuk menyadari, bahwa tindakannya itu dapat atau tidak dapat
dibenarkan oleh masyarakat, dan;
56Ibid. 57Ibid.hlm 204. 58Ibid. hlm 205.
29
c. Mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia
lakukan.
Menurut Satochid Kertanegara,59 untuk adanya kemampuan
bertanggungjawab pada seseorang diperlukan adanya tiga syarat, yaitu:
a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat
mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga dapat juga
mengerti akibat perbuatannya;
b. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya itu;
c. Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari
sudut hukum, masyarakat, maupun dari sudut tata susila.
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang
obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.Dasar adanya
perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini
berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana60.
59Ibid.hlm 206. 60Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. hlm 40
30
1.6.2.3. Pencucian Uang (Money Loundering )
Money Loundering dapat di istilahkan dengan pencucian uang, atau
pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut juga dengan pembersihan
uang hasil transaksi gelap (kotor).Dalam UUTPPU Tahun 2002 istilah Money
Loundering disebut dengan pencucian uang, sebagaimana tercantum dalam
judul Undang-undang tersebut. Kata money dalam money loundering dapat
diistilahkan beragam. Ada yang menyebutnya dirty money, hot money, illegal
money atau illicit money.Dalam istilah Indonesia disebut secara beragam,
berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.61
Adapun pengertian korporasi dan pencucian uang menurut undang-
undang yaitu :
1. Pengertian korporasi menurut UU No. 25 Tahun 2003 sebagaimana
dalam Pasal 1 angka 3 dan UU No. 8 Tahun 2010 Pasal 1 angka 10 yaitu
: Korporasi merupakan kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pengertian pencucian uang menurut UU No. 25 Tahun 2003 Pasal 1
angka 1 yaitu :Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,
atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
meyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Sedangkan pengertian pencucian uang menurut UU No. 8 Tahun 2010
Pasal 1 angka 1 yaitu :Pencucian uang adalah segala perbuatan yang
61 NHT Siahan, Money Loundering dan Kejahatan Perbankan, (Jakarta : Jala, 2008),
hlm 6
31
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
1.6.2.4. Tindak Pidana Korupsi
Pengertian Tindak Pidana Korupsi berdasarkan UU No 31 Tahun 1999
Pasal 2 angka 1 yaitu : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
1.6.2.5. Pengertian Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengertian Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 2 yaitu :
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum .
1.7. Metode Penelitian
Keberadaan metode penelitian memegang peranan sangat penting untuk
melakukan suatu penelitian ilmiah dibidang hukum. Salah satu cara kerja
keilmuan adalah ditandai dengan metode. Metode penelitian tesis ini
diuraikan sebagai berikut :
32
1.7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian
yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.62Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian dengan
cara analisis terhadap peraturan perundang-undanganyang didasarkan pada
hukum dogmatik, teori hukum, dan filsafat hukum.63Sisi normatif yang akan
dikaji yaitu adanya ketidakpastian hukum dan inkonsistensi dalam
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia, antara lain Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
dan Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
1.7.2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan sebagai
berikut:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Dengan meneliti dan menganalisaperaturan perundang-undangandengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang
berhubungan dengan isu hukum yang diteliti.64Yaitu Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
62Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia, 2012), hlm. 57. 63 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2011), hlm. 24. 64Ibid, hlm 93
33
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pendekatan ini diperlukan untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian
suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundangundang-
undangan lainnya maupun dengan peraturan dibawah undang-
undang.Sehingga hasil dari telaah digunakan untuk memecahkan isu
hukum yang dihadapi.
b. Pendekatan Kasus (Case approach)
yakni dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan isu yang dihadapi.65dalam hal ini kasus yangdianalisis yaitu kasus
Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Pencemaran
Lingkungan.
c. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach)
Seperti dikutip Peter Mahmud Marzuki, perbandingan hukum merupakan
suatu metode studi dan penelitian hukum yaitu membandingkan hukum
yang bersifat deskriptif yang tujuan utamanya adalah mendapatkan
informasi, yaitu dengan membandingkan pertanggungjawaban pidana
korporasi dengan Negara lain. Perbandingan yang dimaksud yaitu
perbandingan dengan Negara Perancis, karena pengaturan
pertanggungjawaban disini lebih fokus dibandingan dengan Negara lain,
yang paling terpenting dalam pengaturan di Negara ini yaitu terdapat
65Ibid, hlm, 119.
34
pengaturan yang melindungi Negara agar tidak mengalami kerugian yaitu
dengan bertanggungjawab apabila korporasi melakukan tindak pidana.
d. Pendekatan analisis konsep hukum (conceptual Approach)
Yaitu dengan meneliti pendapat-pendapat, pernyataan pernyataan,
komentar-komentar dalam muatan hukum dari berbagai pakat, sarjana,
ahli hukum dari dalam negeri maupun luar negeri (asing) yaitu mengenai
pertanggungjawaban korporasi.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif tidak mengenal adanya data-data dalam
penelitian yang dipergunakan, untuk menjawab permasalahan hukum maka
diperlukan adanya sumber-sumber bahan hukum yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier atau bahan non
hukum.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
hukum yang ditetapkan dan memiliki kekuatan yang mengikat, yang terdiri
dari peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. UUD NRI Tahun 1945.
2. UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Pasal 59 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Pasal 103 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
35
5. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7. Pasal 6-9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
8. Peraturan Mahkama Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak PidanaOleh
Korporasi.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer,66 antara lain berupa:
1) Buku-buku literatur hukum;
2) Risalah sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(selanjutnya disebut DPR RI) dengan Pemerintah Republik
Indonesia
3) Risalah sidang pembahasan undang-undang terkait serta naskah
akademiknya (sewaktu masih dalam bentuk Rancangan Undang-
Undang (RUU)
4) Disertasi, Tesis, atau Laporan Penelitian;
5) Jurnal, Artikel dan Makalah.
c. Bahan hukum tersier
66Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm 116.
36
Bahan hukum tersier atau non hukum yaitu adalah bahan hukum yang
dapat membetikan petunjuk ataupun penjelasann untuk memperkuat bahan
hukum primer dan sekunder, seperti yang berasal dari ensiklopedia dan
kamus hukum. Bahan hukum tersier mendukung proses analisis hukum yang
dipergunakan, juga yang berkaitan langsung dengan materi penelitian ini
1.7.4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum
Teknik penelusuran bahan primer dan sekunder dilakukan secara studi
literature (kajian pustaka) dan searching internet serta inventarisasi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas,
kemudian peraturan perundang-undnagan tersebut dikelompokkan
berdasarkan hierarkhinya. Bahan hukum yang telah diperoleh, kemudian
dipelajari, diedit dan dilekompokkan serta dianalisis sesuai dengan rumusan
masalah yang dikemukakan dalam tesis ini.
1.7.5. Teknik Analisa Bahan Hukum
Langkah selanjutnya setelah peneliti menemukan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, peneliti akan menguraikan
secara deskriptif dengan menggunakan analisa yang akurat, sehingga mampu
menjawab permasalahan yang terjadi mengenai inkonsistensi pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam perundang-undangan di
Indonesia. Cara pengolahan bahan hukum akan dilakukan secara induktif,
yaitu dengan memaparkan permasalahan yang bersifat umum dari
permasalahan yang ada dan selanjutnya bahan hukum yang ada akan dikaji
serta dianalisis dengan melihat ketertkaitan diantaranya kemudian ditarik
kesimpulan dari hal tersebut.
37
1.8. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini menggunakan kerangka penulisan dalam
beberapa bagian yang akan menggambarkan alur pengerjaan penelitian agar
menghasilkan karya ilmiah yang sistimatis, logis dan komperhensif melalui
sistimatika penulisan sebagai berikut :
Bab kesatu merupakan bab pendahuluan dimana dalam bab pertama ini
diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, originalitas penelitian, kerangka teori dan
konseptual, metode penelitian, sistimatika penelitian dan desain penelitian.
Bab kedua merupakan bab yang berisi tentang tinjauan pustaka yang
didalamnya diuraikan mengenai kajian umum tentang ruang lingkup
kejahatan korporasi, sistim pertanggungjawaban pidana korporasi, pidana
dan pemidanaan terhadap korporasi.
Bab ketiga merupakan bab yang membahas hasil penelitian dan
pembahasan yang akan menunjukkan hasil analisa terhadap inkonsistensi
pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-
undangan di Indonesia.
Bab keempat merupakan bagian penutup yang akan menguraikan
mengenai kesimpulan yang akan ditarik dari serangkaian analisa hasil
penelitian dan pembahasan yang dilakukan di bab ketiga, serta dalam bab ini
akan diuraikan saran yang berguna bagi para pemangku kepentingan ataupun
penelitian yang akan datang.
38
1.9.
Des
ain
Pene
litia
n
Bag
an 1
.1.
Des
ain
Pene
litia
n
HA
SIL
DA
N
PEM
BA
HA
SAN
M
ET
OD
E
PEN
EL
ITIA
N
RU
MU
SAN
M
ASA
LA
H
LA
ND
ASA
N
TE
OR
I L
AT
AR
B
EL
AK
AN
G
A.
Prob
lem
atik
a T
eori
tis
Peng
atur
an P
erta
nggu
ngja
wab
an
pida
na k
orpo
rasi
dal
am p
erat
uran
pe
rund
ang-
unda
ngan
di I
ndon
esia
te
jadi
inko
nsis
tens
i seh
ingg
a tid
ak
men
jam
in a
dany
a ke
past
ian
huku
m.
B.
Prob
lem
atik
a Y
urid
is
Dar
i beb
erap
a un
dang
-und
ang
yang
men
gatu
r per
tang
ungj
awab
an
pida
na k
orpo
rasi
kes
emua
nya
men
gatu
r per
tang
gung
jaw
aban
ya
ng b
erbe
da-b
eda
serta
pe
ngat
uran
nya
tidak
mem
berik
an
suat
u ke
jela
san
C
. Pr
oble
mat
ika
Sosi
olog
is
Tuju
an d
iatu
rnya
pen
gatu
ran
perta
nggu
ngja
wab
an p
idan
a te
rhad
ap K
orpo
rasi
ini m
enja
di
tidak
efe
ktif,
sehi
ngga
pen
egak
an
huku
m m
enja
di te
rham
bat.
1.
Men
gapa
terja
di
inko
nsis
tens
i pe
ngat
uran
pe
rtang
gung
jaw
aban
pi
dana
kor
pora
si
dala
m p
erun
dang
-un
dang
an d
i
Pene
litia
n H
ukum
N
orm
atif
Pend
ekat
an P
enel
itian
1.
Pen
deka
tan
Pera
tura
n Pe
rund
ang-
unda
ngan
(sta
tue
appr
oach
) 2.
Pen
deka
tan
Kas
us
(cas
e ap
proa
ch)
3. P
ende
kata
n pe
rban
ding
an
(Com
para
tive
appr
oach
) 4.
Pen
deka
tan
kons
ep
(con
sept
ual
appr
oach
)
2.
Bag
aim
ana
dam
pak
dari
inko
nsis
tens
i pe
ngat
uran
pe
rtang
gung
jaw
aban
pi
dana
kor
pora
si
dala
m p
erat
uran
pe
rund
ang-
unda
ngan
di
Indo
nesi
a
Teor
i Per
atur
an
peru
ndan
g-un
dang
an
Teor
i K
epas
tian
Huk
um
3.
Bag
aim
ana
bent
uk
peng
atur
an
perta
nggu
ngja
wab
an
pida
na k
orpo
rasi
da
lam
per
atur
an
peru
ndan
g-un
dang
an
di In
done
sia
yang
ak
an d
atan
g.
Teor
i Pe
rtang
gung
jaw
aban
pid
ana
korp
oasi
Has
il da
n pe
mba
hasa
n
1.
Terja
diny
a in
kons
iste
nsi
perta
nggu
ngja
wab
an
pida
na k
orpo
rasi
did
alam
per
unda
ng-u
ndan
gan
di i
node
nesi
a di
kere
naka
n U
U y
ang
men
gatu
r pe
rtang
gung
jwab
an
pida
na
korp
oras
i di
lu
ar
KU
HP
mer
upak
an
Lex
Spes
ialis
se
lain
itu
di
kare
naka
n ke
tidak
cer
mat
an p
ara
pem
bent
uk
UU
da
lam
m
erum
uska
n pe
rtang
gung
jaw
aban
pi
dana
kor
pora
si
2.
D
ampa
k ya
ng d
itim
buka
n ak
ibat
inko
nsis
tens
i pe
rtang
gung
jaw
aban
pid
ana
korp
oras
i ada
nya
disp
arita
s put
usan
3.
RU
U K
UH
P te
lah
men
gako
mod
ir ko
rpor
asi
seba
gai s
ubye
k ho
kum
pid
ana
dan
men
gatu
r ttg
m
ekan
ism
e pe
rtang
gung
jaw
aban
nya.
Dal
am
kons
ep p
emba
haru
an h
ukum
pid
ana,
terli
hat
bahw
a ho
kum
pid
ana
mas
a de
pan
(ius
cons
titue
ndum
) ter
sebu
t men
ilai b
ahw
a ke
jaha
tan
korp
oras
i mer
upak
an ti
ndak
pid
ana
dan
terh
adap
kor
pora
si te
rseb
ut d
apat
dik
enak
an
sank
si p
idan
a
41
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Umum Tentang Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi
2.1.1. Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana,menurut
KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law) agak tertinggal jika dibandingkan dengannegara-negara
common law -negara
sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Perkembangan Pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam hukum pidana Indonesia terjadi melalui 3 (tiga) tahap
yaitu :
1. Tahap pertama
Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah
manusia alamiah (natuurlijke persoon).Pandangan ini dianut oleh KUHP yang
Societas
Delinquere Non Potest
pidana.Apabila dalam suatuperkumpulan terjadi tindak pidana maka tindak
pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.
Pandangan ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP (Pasal
51 W.v.S. Nederland) yang menya -hal di mana karena
ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau
42
komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris
Dari ketentuan di atas maka terlihat bahwa para penyusun KUHP dahulu
societas delinquere non potest universitas
delinquere non potest
dogmatis dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu
disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia.
2. Tahap kedua
Pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana,
akantetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para
pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini
dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang hal tersebut.67
3. Tahap ketiga
Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan
meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya
dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi
atau kerugian yang diderita masyarakat, dapat demikian besarnya, sehingga tak
67Contoh peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini antara lain :a) UU No. 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja) b)UU No. 2 tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan); c) UU No. 3 tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan). d)UU No. 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api). e)UU No. 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek),f) UU No. 22 Tahun 1958 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan). g) UU No. 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing). h) UU No. 83 Tahun 1958 (Undang-Undang Penerbangan). i)UU No.5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi, berubah menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1989 ). Barda Nawawi Arief, kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm, 223.
43
akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus
korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para
pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulang
delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang
sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk
mentaati peraturan yang bersangkutan.68
Peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini69 antara lain :
a. UU No. 7/Drt/1955 (UU Tindak Pidana Ekonomi);
b. UU No. 5 Tahun 1984 (Perindustrian);
c. UU No. 6 Tahun 1984 (Pos);
d. UU No. 5 Tahun 1997 (Psikotropika);
e. UU No 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana korupsi ).
Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di
Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda.
Namunsekarang di Negeri Belanda menurut Muladi70 telah memasuki tahap
keempat, yaitu pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di
luar KUHP (WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya UU Tanggal 23 Juni
1976Stb377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan
baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi :
1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan
hukum;
2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat
dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan
68Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, (Bandung, CV Utomo, 2004), hlm 27.
69 hlm 224. 70Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi manusia, dan Reformasi Hukum Di Indonesia,
(Jakarta, The Habibie Center, 2002),hlm 158.
44
pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang
tindakan yang dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak
atas bersama-sama .
3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan perundang-
undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda yang mengatur
tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak
perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal
51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91
KUHP Belanda (pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk
semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.
2.1.2. Sistim Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
2.1.2.1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak dapat
dilepaskan dengan tindak pidana.Walaupun dalam pengertian tindak
pidanatidak termasuk masalah pertanggungjawaban.Tindak pidana hanya
menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan71.
Pandangan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Moelyatno, yang membedakan dengan tegas
(de strafbaarheid van het feit atau het verboden zjir van het feit
strafbaarheid van den persoon), dan sejalan dengan itu
71Dwidja Priyatno, kebijakan legislasi tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, (Bandung, CV Utomo, 2004), hlm 30.
45
b l act) dan
criminal responsibilityatau criminal
liability)72. Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan
pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.Pandangan ini disebut
pandangan dualistis mengenai perbuatan pidana. Pandangan ini merupakan
penyimpangan dari pandangan yang monistis antara lain yang dikemukakan
oleh Simons yang merumuskan adalah :
gestelde, onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een
. Jadi unsur-unsur strafbaar feitadalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar
persoon).
Simons mencampur unsur objektif (perbuatan) dan unsur subjektif
(pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah73 :
a. Perbuatan orang ;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
openbaar
Segi subyektif dari strafbaar feit :
72 Moelyatno, Seperti dikutip oleh Sudarto, Dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, (Semarang, Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 40
73Ibid, hal 41.
46
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau
dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Sudarto berpendapat bahwa untuk menentukan adanya pidana, kedua
pendirian itu tidak mempunyai perbedaan prinsipiil.Soalnya ialah apabila orang
menganut pendirian yang satu hendaknya memegang pendirian itu secara
konsekwen, agar supaya tidak ada kekacauan pengertian (begripsverwarring).
Jadi dalam mempergunakan istilah
lain apakah yang dimaksudkan ialah menurut pandangan monistis ataukah
yang dualistis. Bagi yang berpandangan monistisseseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan
dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untukdipidana karena harus
disertai syaratpertanggungan jawab pidana yang harus ada pada orang yang
berbuat74.
Selanjutnya menurut Sudarto, memang harus diakui, bahwa untuk
sistematik dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana dalam arti
der inbegriff dervoraussetzungen
der strafe), pandangan dualistis itu memberikan manfaat. Yang penting ialah
kita harus senantiasa menyadari bahwa untuk mengenakan pidana itu
diperlukan syarat-syarat tertentu. Apakah syarat itu demi jelasnya kita jadikan
satu melekat padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh Simons dan
sebagainya,ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat pada perbuatan dan
74Ibid, hlm 45.
47
ada syarat yang melekat pada orangnya seperti dikemukakan oleh Moelyatno,
itu adalah tidak prinsipiil, yang penting ialah bahwa semua syarat yang
diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.
Berdasarkan uraian di atas bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup
apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur delik dalam undang-
undang, tetapi masih ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan atau bersalah.
Dengan perkataan lainorang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya maka perbuatan tersebut
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Jadi di sini berlaku
a (tiada pidana tanpa kesalahan).
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia ataupun peraturan
lainnya, namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan karena akan
bertentangan dengan rasa keadilan, bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal
ia sama sekali tidak bersalah. Karena asas utama dalam pertanggungjawaban
pidana adalah kesalahan, maka timbul permasalahanbaru dengan diterimanya
korporasisebagai subjek hukum pidana.
Menurut Mardjono Reksodipuro,75 sehubungan dengan diterimanya
korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi
perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).
Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi.Asas utama dalam pertanggung-jawaban
pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku.
75 Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, 1994), hlm 102.
48
Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatan
yang melawanhukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawaban
pidana menurut hukum pidana. Perbuatan melawan hukum oleh korporasi
sekarang sudah dimungkinkan .
Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan bertindak
melalui manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan
yang pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan
pengurus (atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai perbuatan
korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaan
kedua adalah bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat
dinyatakan mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggung-jawabkan
menurut hukum pidana. Pertanyaan ini menjadi lebih sulit apabila difahami
bahwa hukum pidana Indonesia mempunyai asas yang sangat mendasar yaitu :
articelaan).76
Mengenai beberapa masalah tersebut di atas, maka untuk lebih jelas
harus diketahui lebih dahulu sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam hukum pidana, dimana untuk sistem pertanggungjawaban pidana ini
terdapat beberapa sistem yaitu :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
76Ibid
49
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
2.1.2.2. Pengurus Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab
Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum
pidana tahap I. Dimana para penyusun KUHP, masih menerima asas
(badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana).Asas ini sebetulnya berlaku pada abad yang lalu
pada seluruh Eropa kontinental.Hal ini sejalan dengan pendapat-pendapat
hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan
kemudian juga dari aliran modern dalam hukum pidana77.
Ketentuan dalam KUHP yang menggambarkan penerimaan asas
adalah ketentuan Pasal 59
KUHP.Dalam pasal ini juga diatur alasan penghapus pidana
(strafuitsluitingsgrond). yaitu pengurus, badan pengurus atau komisaris yang
ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana.
2.1.2.3. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang
bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban ini terjadi di luar KUHP, seperti diketahui
bahwa dalam hukum pidana yang tersebar di luar KUHP, diatur bahwa
korporasi dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi tanggung jawab untuk itu
dibebankan kepada pengurusnya (contohnya Pasal 35 UU No 3 Tahun 1982
tentang Wajib Daftar Perusahan). Kemudian muncul variasi yang lain yaitu
77 Dwidja Priyatno, op cit, hlm 53
50
tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah Untuk TanamanTertentu).
Kemudian muncul variasi yang lain lagi yaitu yang bertanggungjawab adalah :
pengurus, badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil atau kuasa di
Indonesia dari perusahan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia, dan
mereka yang sengaja memimpin perbuatan yang bersangkutan (Pasal 34 UU
No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal)78
2.1.2.4. Pengurus Korporasi sebagai pembuat dan juga yang
bertanggungjawab
Dalam sistem pertanggungjawab ini telah terjadi pergeseran pandangan,
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di samping
manusia alamiah (natuurlijke persoon).Jadi penolakan pemidanaan korporasi
berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest, sudah mengalami
perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel
daderschap)79.Jadi dalam sistem pertanggungjawaban ketiga ini merupakan
permulaan pertanggungjawaban yang langsung dari korporasi.
Adapun hal-hal yang dapat dijadikan alasan pembenar bahwa korporasi
sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut:
karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang
diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian
besar, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya
78Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Op Cit, hlm 70. 79 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua Cetakan Pertama, (Malang, Banyumedia Publishing 2003), hlm 16.
51
dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja,
tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak
pidana lagi, Dengan memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan
sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati peraturan yang
bersangkutan80.
Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengawali
penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat
dipertanggungjawabkan adalah UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, khususnya dalam Pasal 5
ayat (1) yang berbunyi :
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan suatu perserikatan orang yang lainnya
atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana
serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu atau
terhadap kedua-duanya.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya berbagai aturan perundang-
undangan di luar KUHP lainnya, yang mengatur hal yang serupa misalnya :
Pasal 39 UU No 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi, Pasal 24 UU No 2tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi, dan lain lain.
Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana
dan dapat dipertanggungjawabkan, maka berbicara mengenai
80Ibid,hlm 15
52
pertanggungjawaban pidana korporasi ada beberapa doktrin tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain :
a. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Perkembangan hukum pidana pada masa sekarang ini dalam hal-hal
tertentu asas geen straf zonder schuld diadakan penyimpangan.Penyimpangan
demikian terjadi apabila bagi suatu tindak pidana tertentu dinyatakan berlaku
asas strict liabelity. Asas strict liabelity adalah suatu ungkapan yang
menunjukkan kepada suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan
kesalahan terhadap satu atau lebih unsur dari actus reus81. Menurut doktrin ini,
seseorang dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu
walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea) atau secara sing-
kat dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without fault). Hal ini berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika ia
telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-
undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.82
Ketentuan mengenai doktrin ini juga dikenal dalam hukum pidana, LB.
Curson83 juga berpendapat mengenai doktrin ini.Secara teoritis, doktrin ini
telah diperkenalkan dan diketahui sejak pertengahan abad ke-19.Doktrin ini
diartikan sebagai kewajiban mutlak dengan ciri utama tidak perlu adanya
pembuktian (kesalahan) lebih jauh.Di Indonesia sendiri, pengetahuan
81Mahrus Ali ,Op.Cit. hlm. 53 82Barda Nawawi Op.Cit, hlm. 68. 83 Menurutnya penggunaan doktrin ini sangat perlu dalam menerapkan hukum pidana yang
didasarkan pada alasan-alasan, sebagai berikut : a) adalah sangat esensial untuk menjamin terpenuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan social, b) pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan social, c) tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 108.
53
mengenai asas strict liability tidak hanya sebatas di kalangan teoritis atau ilmu
pengetahuan hukum pidana.Sebab, asas strict liability sesungguhnya telah
diterapkan sejak lama dalam penegakan hukum, terutama dalam penegakan
hukum lalu lintas dalam hal terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum
lalu lintas dan angkutan jalan.84
Perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, terdapat perbedaan
pendapat mengenai doktrin ini.Sebagian pendapat menyatakan bahwa doktrin
terapkan, kecuali apabila
dijumpai kesalahan besar pada pelaku. Sedangkan yang lain mengatakan
bahwa penerapan doktrin ini, harus dibuat persyaratan yang ketat, tergantung
pada kasus-kasus bersangkutan.85
Alasan atas dasar pemikiran yang menyatakan strict liability tidak
terdapat sama sekali kesalahan adalah bahwa meskipun orang yang telah
melakukan perbuatan terlarang sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undangan, belum tentu dipidana. Sebaliknya, strict liability yang harus dibuat
persyaratan ketat (absolute liability) adalah bahwa dalam perkara strict
liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)
sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang, sudah dapat dipidana
tanpa perlu mempersoalkan apakah pembuat mempunyai kesalahan (mens rea)
atau tidak.86
84Ibid, hlm. 189. 85 Hulsman, dalam Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 14.
86Ibid, hlm. 110.
54
b. Tanggung Jawab Pengganti ( Vicarious Liability)
Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal
responsibility of one person for the wrongful acts of another). Jadi, pada
umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara
majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam
pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang itu tidak melakukan
sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang
biasa, ia masih tepat dapat dipertanggungjawabkan.87
Didalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan Pertanggung
Jawab Pidana Roslan Saleh juga mengemukakan mengenai konsep vicarious
Liability.88Berdasarkan prinsip vicarious liability, pimpinan korporasi atau
siapa saja yang memberi tugas atau perintah kepada pegawainya, maka
pimpinan korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh
pegawai atau bawahannya.
Tanggung jawab ini diperluas hingga meliputi perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lain. Dengan demikian siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan kerja atau
87Ibid,hlm. 109-110. 88bahwa pada umumnya seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi
ada yang disebut dengan vicarious liability, maka orang yang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanganlah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang bertanggungjawab sebagai pembuat Undang-undang dapat menemukan vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut,1) seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila seseorang itu telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle). 2) Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant act is the maters act in law); Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Pidana, (Jakarta: Aksara Baru,1981), hlm. 116.
55
hubungan lainnya, selama pekerjaan yang dilakukannya itu berada dalam
hubungan dengan korporasi, maka jika terjadi kesalahan korporasilah yang
bertanggungjawab.
c. Tanggung Jawab Identifikasi (Identification Liability)
Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban mutlak
(strict liability) danpertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability),
dimana pada doktrin identifikasi ini, asas mens rea tidak dikesampingkan,
sedangkan pada doktrin strictliability dan doktrin vicarious liability tidak
disyaratkan asas mens rea, atau asas mens rea tidak berlaku mutlak.
Perundang-undangan saat ini mengakui bahwa perbuatan dan sikap batin
dari orang tertentu berhubungan erat dengan korporasi dan juga berhubungan
erat dengan pengelolaan urusan korporasi, dipandang sebagai perbuatan dan
sikap batin korporasi. Orang-orang itu disebut sebagai senior officers atau
pejabat senior dari perusahaan. Perusahaan dianggap bertanggungjawab atas
tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam peruahaan
sepanjang pejabat senior tersebut melakukannya dalam ruang lingkup
kewenangan atau dalam urusan transaksi perusahaan.89
Menurut pandangan C.M.V Clarkson, perbuatan dan sikap batin
seseorang senior dalam suatu struktur perusahaan atau korporasi diidentifikasi
(dipersamakan) sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi90.Tanggungjawab
korporasi tersebut secara langsung.Langsung tersebut dapat diartikan sebagai
seseorang yang pengelola perusahaan dalam korporasi tidak seolah-olah
mewakili korporasi. Namun korporasi bertanggungjawab secara pidana
89 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia,(Bandung : CV.Utomo, 2004), hlm. 89-90
90 Setiyono,Kejahatan Korporasi, Op Cithlm.68
56
terhadap tindak pidana yang dilakukan seorang pengelola perusahaan di dalam
korporasi sepanjang ia melakukan dalam lingkup kewenangan atau dalam
urusan atau kegiatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut.
Terdapat beberapa kasus-kasus dimana peraturanperundang-undang
mensyaratkan kesalahan kepada seseorang dalam pertanggungjawaban terkait
kerugian atau dalam hal keperdataan, maka kesalahan manajer atau
pemimpindipandang sebagai kesalahan suatu perusahaan.Kemudian terkait
pengaturan dalam hukum pidana, dimana peraturan perundang-undangan
mensyaratkan kesalahan (sikap batin jahat) dalam suatu tindak pidana, maka
kesalahan para direktur dan manajer atau pemimpin itulah yang kemudian
dipandang sebagai kesalahan dari suatu perusahaan itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk tujuan-tujuan hukum, pejabat, atau pemimpin
adalah orang-orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun
bersama pengurus lainnya.Ia mewakili sikap batin dan kehendak perusahaan,
dan ia dibedakan dari mereka yang semata-mata sebagai pegawai dan agen
dari perusahaan yang harus melaksanakan petunjuk-petunjuk dari
pemimpinnya. Pada umunya, para pengendali perusahaan adalah para direktur
dan manajer.91
2.1.3. Pidana Dan Pemidanaan Terhadap Korporasi
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat
dipisahkan dari masalah pidana dan pemidanaan, oleh karena suatu
tindakpidana apabila dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka
konsekuensi lebih lanjut dari hal itu adalah penjatuhan pidana.
91Ibid, hlm. 91-92
57
Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka
kapan dan bagaimana suatu sanksi pidana ditujukan pada korporasi, menurut
Clinard dan Yeagar haruslah memenuhi kriteria-kriteria tertentu, dimana jika
kriteri itu tidak ada maka sebaiknya sanksi perdatalah yang digunakan.92
Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi
masalah-masalah sosial dalam mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan
masyarakat.Penggunaan sanksi yang berupa pidana terhadap kejahatan
korporasi yang penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar
urgensinya.93Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk
mempertimbangkan peringatan Sudarto, bahwa sanksi pidana akan menemui
kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak
menggunakan ancaman pidana dapat mengakibatkan devaluasi dari undang-
undang pidana.94
Sehubungan dengan sanksi pidana ini, Jeremy Bentham menyatakan
bahwa pidana hendaknya jangan digunakan apabila groundless, needless,
unprofitable, dan ineffective.95Packer menyatakan bahwa pidana itu menjadi
penjamin yang utama apabila digunakan secara cermat, hati-hati dan secara
92 Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah :1) The degree of loss to the public. (Derajat
kerugian terhadap public); 2) The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager); 3) The duration of the violation .(lamanya pelanggaran). 4) The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi); 5) Evidence of intent to violate.(Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran); 6) Evidence of extortion, as in bribery cases.(Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap); 7) The degree of notoriety engendered by the media.(Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media); 8) Precedent in law.(jurisprudensi); 9) The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi); 10) Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan); 11) The degree of cooperation evinced by the corporation .(Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm .237,238.
93Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia Publishing 2003,hlm, 116.117.
94Ibid, hlm, 117. 95Ibid
58
manusiawi.Akan tetapi sebaliknya menjadi pengancam yang
membahayakanapabila digunakan secaraIndiscriminately dan coercively. Oleh
karena itu Packer menegaskan bahwa syarat-syarat penggunaan sanksi pidana
secara optimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar
anggota masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan
masyarakat dan tidak dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat
dianggap penting.
2) Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten
dengan tujuan-tujuan pemidanaan.
3) Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi
atau merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan.
4) Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah
dan tidak bersifat diskriminatif.
5) Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan
kesan memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
6) Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana
tersebut guna menghadapi perilaku tersebut.96
Dari pendapat tersebut di atas jelas bahwa pidana hendaknya digunakan
apabila memang benar-benar mendasar dan dibutuhkan. Danpidana itu akan
bermanfaat bila digunakan dalam keadaan yang tepat. Apabila penggunaan
pidana tersebut tidak benar akan membahayakan atau akan menjadi
96Ibid
59
pengancam yang utama. Sebaliknya akan menjadi penjamin yang utama
apabila digunakan secara cermat, hati-hati, dan secara manusiawi.
Dasar pertimbangan pemidanaan korporasi menurut Tim Pengkajian
Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan
hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 menyatakan bahwa : jika
dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap
delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu
cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-
saingannya sangat berarti.97
Dengan demikian dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan
jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata bahwa pemidanaan
korporasi didasarkan kepada atau mengandung tujuan pemidanaan baik yang
bersifat preventif (khusus) dan tindakan represif.98
Kalau dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi
menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup :
1) Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan
pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki
penjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar oranglain
tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan
korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak
melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah
97Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm ,121.
98Ibid
60
untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman
masyarakat.
2) Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan
masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat
luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua
pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan
kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana.
Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang
pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila
dikaitkan dengan korporasi , sehingga korporasi tidak mampu lagi
melakukan suatu tindak pidana.
3) Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat.
Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan
pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk
mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak
resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan
masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh
negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi
terhadap korban dilakukan oleh korporasi itusendiri yang diambil dari
kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.
4) Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan/keseimbangan, yaitu adanya
kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual
dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa
faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada
61
proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat
sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi
kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general
apapun.99
Jadi pemidanaan terhadap korporasi harus sesuai dengan pendirian
integratif tentang tujuan pemidanaan seperti tersebut di atas.
Korporasi dijadikan subjek hukum pidana sama dengan manusia
alamiah, namun perlu diingat bahwa tidak semua tindak pidana dapat
dilakukan oleh korporasi dan sanksi pidana sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 10 KUHP tidak semuanya dapat dikenakan pada korporasi. Apa sajakah
pidana yang dapat dikenakan pada korporasi ?.
in most cases the punishment visited upon the
corporation will be fine 100. Hal senada juga dikemukakan oleh Loebby
Loqman, bahwa tidak semua jenis pidana yang terdapat di dalam perundang -
undangan pidana dapat diterapkan terhadap korporasi.Pidana mati,
pidanapenjara, pidana kurungan, tidak dapat dijatuhkan pada korporasi.Yang
mungkin dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda.Selain pidana denda
juga terhadap korporasi dapat diberikan tindakan untuk memulihkan keadaan
seperti sebelum adanya kerusakan oleh suatu perusahaan.Sesuai dengan
perkembangan ganti rugi juga dapat dijatuhkan pada korporasi sebagai jenis
99Ibid, hlm 121-123 100 Peter Gillies, The Criminal Liability Of Corporation, Bahan Bacaan Kapita Selekta
Hukum Pidana, Penyunting Barda Nawawi Arief, Program S2 Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, 1999. hlm .125
62
pidana baru.Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian terhadap korban,
dapat pula berupa pengganti kerusakan yang telah ditimbulkan.101
Menurut Brickey, sering dikatakan bahwa pidana pokok yang bisa
dijatuhkan pada korporasi hanyalah pidana denda (fine), seperti pendapat-
pendapat tersebut di atas, tetapi apabila dengan dijatuhkannya sanksi berupa
penutupan seluruh korporasi, maka pada corporate
death penalty ala bentuk pembatasan terhadap
aktivitas korporasi, maka sebenarnya mempunyai hakekat sama dengan pidana
penjara atau kurungan, sehingga ada istilah Pidana
tambahan berupa pengumuman keputusan hakim merupakan sanksi yang
paling ditakuti oleh korporasi.102
Dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, korporasi tidak dikenal sebagai
double track
system pidana dikenal juga
tindakan yang dapat dikenakan pada pelaku. Sanksi pidana diaturdalam pasal
a. Pidana pokok :
1. pidana mati,
2. pidana penjara,
3. kurungan,
4. denda, dan
101 Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian,
(Jakarta: Datacom, 2002), hlm 34-35. 102 Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan
Pertama, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991), hlm 56.
63
5. pidana tutupan (berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946 Berita RI II
No. 247)
b. Pidana tambahan :
1. pencabutan hak-hak tertentu ,
2. perampasan barang-barang tertentu,
Sedangkan tindakannya diatur dalam Pasal 44 ayat (2) dan pasal 45
KUHP antara lain berupa : menempatkan di rumah sakit jiwa (Pasal 44 ayat
(2), dikembalikan kepada orang tua dan dijadikan anak negara (Pasal 45).Dari
ketentuan pidana di atas jelas bahwa semua sanksi dan tindakan di atas
ditujukan pada manusia alamiah, sedangkan sanksi yang dapat dikenakan pada
korporasi hanyalah denda, dan pengumuman keputusan hakim. Hal ini
disebabkan karena KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek
hukum.Dalam undang-undang hukum pidana yang tersebar di luar KUHP,
yang sudah mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum pidana,
misalnya UU Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt/1955) rumusan tindak
pidana dan tindakannya adalah sebagai berikut :
Hukuman pokok berupa :
1. hukuman penjara;
2. hukuman kurungan;
3. denda.
Hukuman tambahan berupa :
1. pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 KUHP;
2. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahan terhukum dimana
tindak pidana ekonomi itu dilakukan selama 1 (satu) tahun;
64
3. perampasan barang-barang tetap yang berwujud atau tidak
berwujud:
a. dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan ;
b. yang sebagian atau seluruhnya diperoleh dengan tindak pidana
itu;
c. harga lawan yang menggantikan barang itu; tanpa
memperhatikan apakah barang atau harga lawan tersebut milik
si terhukum atau bukan miliknya.
4. perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud atau tidak
berwujud :
a. yang termasuk perusahan si terhukum, dimana tindak pidana itu
dilakukan ;
b. harga lawan yang menggantikanbarang-barang itu; tanpa
memperdulikan apakah barang atau harga lawan itu milik si
terhukum atau bukan miliknya, akan tetapi :
c. sekedar barang-barang itu sejenis dan mengenai tindak
pidananya;
d. bersangkutan dengan barang yang dapat dirampas menurut
ketentuan tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) sub c.
5. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah
atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah untuk
waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun;
6. Pengumuman keputusan hakim.
a. Perampasan :
b. perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si terhukum
tidak dijatuhkan sekedar hak-hak pihak ketiga dengan itikad
baik akan terganggu;
65
c. dalam perampasan barang-barang, maka hakim dapat
memerintahkan, bahwa seluruhnya atau sebagian akan
diberikan kepada si terhukum.
Tindakan tata tertib antara lain :
1. penempatan perusahan di bawah pengampuan;
2. kewajiban membayar uang jaminan;
3. kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak atau
meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak;
4. kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan
keuntungan.
Dari jenis hukuman yang diuraikan di atas jelas bahwa untuk pidana
pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah denda, untuk pidana
tambahan pencabutan hak-hak tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 35
KUHP tidak dapat dikenakan pada korporasi oleh karena hak-hak tersebut
hanya melekat pada manusia alamiah.
Perkembangan selanjutnya lahir berbagai ketentuan pidana khusus, yang
mengatur korporasi sebagai subjek hukumnya, dengan merumuskan sanksi
pidana untuk korporasi bervariasi, yaitu ada yang merumuskannya kumulatif-
alternatif, alternatif dan merumuskannya tunggal.
66
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI
3.1.1 Pengakuan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Jika berbicara terkait pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana
di Indonesia, badan hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana halnya
manusia, badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri,
dalam hal ini badan hukum harus bertindak dengan perantaraan orang biasa,
akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban badan hukum itu.103
Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana dikenal sejak
tahun 1951 yang dicantumkan dalam Undang-Undang penimbunan barang-
barang, akan tetapi mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam
Pasal 17 ayat 1 UU No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi,
dan Pasal 49 Undnag-Undang No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-
Undang tindak pidana narkotika, Undang-Undang lingkungan hidup, Undang-
103 Hal ini sesuai dengan pasal 1655 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
yang mengatakan Badan hukum itu dapat melakukan tindakan-tindakan selainnya oleh perantaraannya, tetapi juga ia tidak dapat sendiri menutup persetujuan pemberi kuasa dengan pengurusnya. Perbuatan dan pengurus itu tidak dapat disamakan dengan wakil dengan surat kuasa, sebagaimana sering terjadi diantara manusia biasa yang diwakili oleh orang lain. Khristyawan Wisnu Wardana dan Erna Susanti, Tanggungjawab Korporasi Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup, Risalah Hukum, Edisi Nomor 2, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, 2005, hal 29.
67
Undang tentang psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan
Undang-Undang tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, korporasi
sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-
undangan khusus diluar KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui
manusia sebagai subjek hukum pidana.104
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang kemudian
disebut KUHP) yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas
tersebut ternyata begitu mempengaruhi munculnya Pasal 59 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut: Dalam hal menentukan hukuman karena
pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris,
maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa
pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya.
Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang
hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi.Pasal 59 KUHP
tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
seseorang/manusia, fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP.105
104Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (kencana Media
Group, Jakarta, 2012).hlm. 45. 105Secara lebih rinci Van Bemmelen menyatakan bahwa Pasal itu tidak membicarakan
tindak pidana korporasi, tetapi hanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurus atas suatu pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan.Begitu juga dengan kerugian yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan korporasi tersebut.Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, (Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008). hlm. 66.
68
Berikut akan dikemukakan beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar
pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
diantaranya yaitu106 :
1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita
masyarakat dapat sedemikian besarnya, sehingga tidak akan
mungkin seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi
keperdataan;
2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia,
sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang
paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan aktor
rasional korporasi;
3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi sering kali
menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga
kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegah
pengulangan tindakan itu;
4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah
satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para
pegawai itu sendiri;
5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk
mengadakan tindakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan
oleh atau dengan suatu korporasi, maka dari itu perlu dilakukan
pula untuk dimungkinkan memidanakan korporasi atau
pengurusnya saja;
6. Mengingat di dalam kehidupan sosial ekonomi, korporasi
semakin memainkan peranan yang penting;
7. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita
masyarakat dapat sedemikian besarnya, sehingga tidak akan
mungkin seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi
administratif;
106Kristian, Op.Cit. hlm 38
69
Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat dan
menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.
3.1.2 Bentuk Inkonsistensi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi
Inkonsistensi peraturan perundang-undangan memiliki makna adanya
ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan-nya.Hal ini tentu bertentangan
dengan prinsip-prinsip negara hukum baik secara materiel maupun formil.
Secara materiel terkait dengan adanya ketidaktertiban suatu masyarakat
akibat adanya peraturan perundang-undanganan yang tidak menjamin
ketidakpastian hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan: setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum
Berkaitan dengan bentuk inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam
hal ini akan dipaparkan berikut ini.
70
A. Perumusan/penyebutan korporasi sebagai subyek tindak pidana
Tabel1.3.
No Undang-undang Penyebutan subyek
1 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No13 Th 1999)
Dalam bab yang mengatur tindak pidana digunakan istilah : dalam hal dilakukan oleh atau atas nama korporasi
Pengertian korporasi dijelaskan dalam Pasal 1 ke 1
2 UU Pencucian Uang (UU No. 15Th 2002 jo UU No. 25 Th 2003 diganti menjadi UU No 8 Th 2010
UU lama (UU No. 15 Th 2002) Dalam bab yang mengatur tindak pidana
digunakan istilah: apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi
Pengertian korporasi dijelaskan dalam Pasal 1 ke 2
UU Baru (UU No. 8 Th2010)
Dalam bab yang mengatur tindak pidana, digunakan istilah dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi
Dalam ketentuan Pasal 1 diberikan pengertian sebagai berikut : Setiap orang adalah perseorangan atau
korporasi Korporasi adalah kumpulan orang dan
/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum
3 UU Lingkungan Hidup (UU No. 23 Th 1997 yang digantikan oleh UU No. 32 Th 1999
UU 23/1997 : Jika dilakukan oleh atau a.n. suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain (Pasal 46 (1))
UU 32/1999 Istilah korporasi hanya disebut dalam
penjelasan umum Dalam bab ketentuan pidana digunakan
istilah badan usaha (Pasal 116 dan 119) : apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha)
Dalam ketentuan Umum Pasal 1 sub 32 : setiap orang adalah perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum
71
B. Aturan pemidanaan korporasi
Tabel .1.4.
No Undang-undang Aturan Pemindanaan Korporasi
1 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No13 Th 1999)
Pasal 20 : (1) Dalam hal dilakukan oleh atau a.n.
korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap : Korporasi, dan atau pengurusnya
(2) TPK dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang : Yang berdasarkan hubungan kerja
(hubungan lain) Bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut; Baik sendiri maupun bersama-sama
(3) Tuntutan terhadap korporasi diwakili pengurus
(4) Pengurus dapat diwakili orang lain (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus itu
: Menghadap sendiri dipengadilan dan Dibawa ke sidang pengadilan
(6) Panggilan dan surat-surat disampaikan ke tenpat tinggal pengurus atau ke kantornya
(7) Pidana pokok hanya denda dengan maksimum ditambah 1/3
Catatan Ayat (3) (6) diatas merupakan hukum acara
2 UU Pencucian Uang (UU No. 15Th 2002 jo UU No. 25 Th 2003 diganti menjadi UU No 8 Th 2010
UU lama (UU 15/2002 jo. UU 25/2003) Pasal 4 mengatur Pengaturan Jenis Pidana
(PJP) Korporasi : (1) Apabila dilakukan oleh pengurus
dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap : Pengurus dan/atau kuasa pengurus Maupun korporasi
(2) PJP pengurus dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(3) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap TPPU yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi apabila kegiatan yang dilakukannya tidak termasuk dalam lingkup usahanya
72
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau kententuan lain yang berlaku bagi korporasi
(4) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri disidang pengadilan dan memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawah kesidang pengadilan
(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Catatan : Ayat (4) dan (5) merupakan hukum acara.
(1) Pidana pokok untuk korporasi adalah
pidana denda, dengan maksimum ditambah 1/3
(2) Korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi
UU Baru (UU 8/2010): Pasal 6 : Pidana dijatuhkan terhadap
korporasi dan/atau personil pengendali korporasi
Pasal 7 : Pidana untuk korporasi berupa denda dan pidana tambahan berupa : (1) Pengumuman putusan hakim; (2) Pembekuan sebagian atau seluruh
kegiatan usaha korporasi (3) Pencabutan izin usaha (4) Pembubaran dan/atau pelarangan
korporasi (5) Perampasan asset korporasi untuk
Negara dan/atau (6) Pengambilalihan korporasi oleh negara
Pasal 9 : Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda : (1) Diganti dengan perampasan harta
kekayaan milik korporasi atau personil pengedali korporasi (yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan
(2) Dalam hal harta kekayaan korporasi tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar
73
Catatan :
UU baru ini membedakan pidana pengganti denda untuk orang dan untuk korporasi
Pidanapengganti denda untuk orang diatur dalam pasal 8 UU 8/2010 yaitu dganti dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan apabila harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda (menurut Pasal 11 UU 15/2002, pidana penggantinya 3 tahun penjara)
Ketentuan pidana pengganti denda untuk korporasi dalam pasal 9 diatas merupaka suatu kemajuan karena dalam UU lama tidak ada. Hanya sayangnya : d. Menurut ayat (2) pidana penggantinya
dijatuhkan terhadap personil pengendali, TIDAK ADA ketentuan pidana pengganti untuk korporasi kalau harta perampasan tidak mencukupi
e. TIDAK ADA ketentuan khusus berapa maksimum pidana kurungan untuk personil pengendali. Menjadi masalah kalau pasal 8 diberlakukan (makasimum kurungan pengantinya 1 tahun 4 bulan), terlebih denda untuk korporasi sangat besar bisa mencapai makasimum Rp. 100 miliar
3 UU Lingkungan Hidup (UU No. 23 Th 1997 yang digantikan oleh UU No. 32 Th 1999
UU No. 23 Th 1997 Pasal 46 (1) mengatur siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan Pasal 46 (2) mengatur tentang kapan Badan
Hukum dapat dipertanggungjawabkan : tetapi perumusannya agak rancu dengan pasala 46 (1)
Jenis sanksi : pidana dan tindakan tata tertib. UU No. 32 Th 2009
Pertanggungjawaban pidana badan usaha (korporasi) diatur dalam Pasal 116-119, yang intinya : Yang dapat dipidana adalah (Pasal 116) :
a. Badan usaha dan/atau b. Orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau
c. Orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.
Sanksi pidana terhadap sub b (pemberi perintah) atau sub c (pemimpin) tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-
74
sama (Pasal 116 (2)) Ancaman pidana terhadap sub b dan sub c
berupa pidana penjara dan denda yang diperberat sepertiga (Pasal 117)
Sanksi pidana untuk sub a (badan usaha) diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili didalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional (pasal 118)
Terhadap badan usaha (sub a) dapat dikenakan pidnaa tambahan atau tindakan tata tertib berupa (Pasal 119): a. Perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana b. Penutupan seluruh atau sebagaian
tempat usaha dan/atau kegiatan c. Perbaikan akibat tindak pidana d. Kewajiban mengerjakan apa yang di
lelaikan tanpa hak dan/atau e. Penempatan perusahaan dibawah
pengampuan paling lama tiga tahun
C. Model /sistim pertanggungjawaban pidana korporasi
Tabel 1.5.
No Undang-undang Model pertanggungjawaban pidana Korporasi
1 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Th 1999)
Adapun model pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ini
Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat Dan juga yang Bertanggungjawab . Hal ini diatur didalam pasal 20 Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, maka tuntutn dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya
2 UU Pencucian Uang (UU No. 15Th 2002 jo UU No. 25 Th 2003 diganti menjadi UU No 8 Th 2010
Adapun model pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ini terdiri dari dua model.
Model pertama adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Bertanggungjawab.Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendai korporasi
75
Catatan :bahwa tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan salah satunya kepada Korporasi.
Model kedua adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Pengurus Bertanggungjawab. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1), yang mengatur bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan pula kepada pengurus yakni Personil Pengendali Korporasi
3 UU Lingkungan Hidup (UU No. 23 Th 1997 yang digantikan oleh UU No. 32 Th 1999
Adapun model pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ini terdiri dari dua model.
Model pertama adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Bertanggungjawab.Hal ini diatur dalam Pasal 116 ayat (1) :apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a. badan usaha, dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang melakukan tindak pidana sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Catatan : bahwa tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan salah satunya kepada Badan Usaha
Model kedua adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Pengurus Bertanggungjawab. Hal ini diatur dalam Pasal 116 ayat (1), yang mengatur bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan pula kepada pengurus yakni
lakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam kegiatan terseb Pengaturan ini juga terdapat pada Pasal 116 ayat (2) pabila tindak pidana lingkungan hidup yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama
Dari tabel 1,2 dan 3 baik mengenai perumusan penyebutan korporasi
sebagai subyek tindak pidana aturan pemidanaan korporasi dan model/sistim
76
pertanggungjawaban pidana terhadap tiga undang-undang dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut :
Tabel 1.6. Kesimpulan Hasil Perbandingan
No PENGATURAN UU TIPIKOR
UU PPLH/ LINGKUNGAN
UU TPPU/ PENCUCIAN UANG
1 Korporasi sebagai subyek tindak pidana
Pasal 1 angka (3) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
Pasal 1 angka 32 menjelaskan bahwa badan hukum termasuk subjek tindak pidana
Pasal 1 angka (9) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
2 Pertanggung jawaban pengurus
Pasal 20 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab
Pasal 116 ayat (2), yang termasuk pengurus antara lain:orang yang memberi perintah atau pemimpin
Pasal 6 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab
3 Pola/model perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi
Pasal 20 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata hubung
Pasal 116 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata hubung
Pasal 6 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata
4 Kriteria korporasi melakukan tindak pidana
Pasal 20 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan
Pasal 116 ayat (2), apabila dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
Pasal 6 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh personil pengendali korporasi (pengurus), dalam rangka pemenuhan
77
Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas,
Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa107:
1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak
pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus
2.
istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;
3. -
Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep
KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993.
Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan
korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang
khusus diluar KUHP.Oleh karena itu, perumusan korporasi sebagai subjek
hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I KUHP sehingga
107 Kapita Selekta Hukum Pidana
Bakti, 2003), hal. 226.
lain dalam lingkup pekerjaannya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
kerja badan usaha
maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.-
5 Pihak yang mewakili apabila korporasi dituntut secara pidana
Pasal 20 ayat (3), apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus
Pasal118, apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus
pengurus
78
dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi baik tindak pidana
yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur diluar KUHP.
3.1.3 Analisis Inkonsistensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berdasarkan analisis dari bahan hukum yang ada, tidak dapat dipungkiri
telah terjadi inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi
dari mulai penyebutan korporasi sebagai subyek hukum, aturan pemidanaan
korporasi, sampai dengan model atau sistim pertanggungjawaban. Pada
prinsipnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang merupakan undang-undang khusus dan sekaligus lex
spesialisterhadap KUHP sehingga dibolehkan adanya ketentuan khusus dan
menyimpang dari KUHP, selain itu ada beberapa faktor terjadinya
inkonsistensi antara ketiga produk hukum tersebut adalah :
1. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam
kurunwaktu yang berbeda;
2. Pejabat yang berwenang untuk memben-tuk peraturan perundang-
undangan ber-ganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih
tugas atau penggantian;
3. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem
79
4. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin
hukum;
5. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan
peraturan per-undang-undangan masih terbatas;
6. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan.
Berbagai perosalan di atas, tidak luput dari adanya faktor eksternal dan
internal dari inkonsistensi yang terjadi sekarang, hal ini secara filosofis,
sosiologi, dan politis mengakibatkan pembentukan peraturan perundang-
undangan terkadang diintervensi oleh politik hukum pembentuk undang-
undang sesuai dengan tafsir kondisi yang sedang ber-langsung, termasuk
dalam hal ini kepentingan usaha.
Gustav Radbruch memberikan kontribusi yang mendasar terhadap teori
kepastian hukum, dengan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Kepastian hukum adalah keadaan suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara jelas, pasti dan logis, yang dimaksud jelas
adalah tidak adanya kekaburan norma atau keraguan sedangkan logis adalah
menjadi satu sistim norma dengan norma yang lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum memberikan
pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang
pelaksanaanya tidak dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat
subyektif.Kepastian hukum dalam suatu Negara adalah adanya undang-
80
undang yang telah ditentukan dan sungguh-sunguh berlaku sebagai hukum,
putusan-putusan hakim para hakim yang bersifat konstan, dan berakibat
kepada masyarakat yang tidak ragu-ragu terhadap hukum yang berlaku108.
Dengan penerapan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali109dari UU
Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU
Lingkungan hidup terhadap KUHP merupakan suatu upaya dari pembentuk
undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman bagi
aparat hukum dan masyarakat sehingga memberi manfaat dalam dalam
pelaksanaanya pada akhirnya subyek hukum merasa diperlakukan secara adil.
3.2. DAMPAK INKONSISTENSI PENGATURAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
3.2.1. Kasus Posisi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Terdapat beberapa kasus pidana yang pernah terjadi di Indonesia yang
dilakukan oleh korporasi diantaranya yaitu :
Kasus tindak pidana korupsi yang mengindikasikan keterlibatan
korporasi yang mana keterlibatan korporasi ini dilakukan oleh Direksi kasus
posisnya sebagai berikut :
108Gustav Radbruch, Bonie Litsheweski Paulson and Stanley L. Paulson, Statutory
Lawlessness and Supra-Sttatutory Law (1946), Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1 (Oxford University Press, 2006).Hlm .6
109Menurut pandangan Dworkin, dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus. Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Aturan Yang Bersifat Umum, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165-aturan-yang-bersifat -khusus-mengesampingkan-aturan-yang-bersifat-umum, diakses tangggal 11 Maret 2016.
81
PT. Giri Jaladhi Wana110mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum
tetap dari pengadilan, yaitu perkara No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm., yang
mana PT. Giri Jaladhi Wana ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara
korupsi dengan mengambil keuntungan dana Pasar Sentra Antasari
Banjarmasin, PT. Giri Jaladhi Wana memperoleh kewajiban dan ha katas
pembangunan Pasar Sentra Antasari. PT. Giri Jaladhi Wana dianggap sebagai
pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana karena turut
menikmati segala keuntungan dari pembangunan dan pengelolaan Pasar
Sentra Antasari. Dalam putusanya Pengadilan Negeri Banjarmasin
menjatuhkan pidana denda Rp. 1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta
rupiah) kepada PT. Giri Jaladhi Wana dan pidana tambahan berupa penutupan
sementara PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.
Yang menarik dari putusan tersebut adalah ketika suatu korporasi tidak
dapat dipidana karena dianggap badan hukum yang tidak mempunyai hak dan
kewajiban, bukan manusia yang mempunyai hak dan kewajiban sehingga
dapat dipidana.Dalam perkara No. 821/Pid.Sus/2010/ PN.Bjm untuk pertama
kalinya korporasi dapat dipidana dalam tindak pidana korupsi.
Aspek pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan No.
821/Pid.Sus/2010/ PN.Bjm adalah :
1. Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi merupakan kejahatan
luar biasa (extra ordiary crime) sehingga perlu korporasi dapat
dipidana agar dapat menimbulkan efek jera. Dengan menggunakan
doktrin Vicarius Liability atau pertanggungjawaban pengganti, yang
110Ibidhttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor, diakses selasa 31 Januari 2017.
82
artinya tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya dapat dimintai
pertanggungjawaban kepada atasannya, selama tindak pidana yang
dilakukan tujuan dan manfaat tersebut untuk korporasi, maka korporasi
dapat dijatuhi pidana
2. Perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan Pemerintah dan Bank
Mandiri, sehingga berdasarkan pertimbangan itulah Majelis Hakim
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana sesuai
dengan perbuatannya, dengan menjatuhkan putusan pidana denda,
ditambah 1/3 (sepertiga) dan penutupan sementara.
Kasus tindak pidana Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
HidupPerkara Gugatan Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo antara Kementerian
Negara Lingkungan Hidup dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara
sebagai Penggugat Melawan PT. Kallista Alam Sebagai Tergugat111
Bahwa Tergugat PT. Kallista Alam memperoleh Izin Usaha Perkebunan
Budidaya yang diberikan Gubernur Aceh sesuai Surat Izin Gubernur Aceh
Nomor: 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011/ 25 Ramadhan 1432 H
dengan luas wilayah kurang lebih 1.605 hektar, berlokasi di Desa Pulo Kruet,
Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
Seluruh perkebunan milik Tergugat yaitu seluas 1.605 hektar berada
dalam kawasan yang disebut dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),
dimana KEL ditetapkan sebagai kawasan konservasi (kawasan yang dilindungi
oleh undang-undang) berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun
1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser yang batas-batasnya ditentukan oleh
111https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=25&idsu=19&id=4133 diakses
rabu 29 Maret 2017
83
Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor : 190/Kpts-II/2001
tanggal 29 Juni 2001 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di
Propinsi Aceh.
Bahwa Tergugat telah membuka lahan gambut miliknya dengan cara
membakar, berdasarkan data hotspot (titik panas) yang bersumber dari satelit
MODIS yang dikeluarkan oleh National Aeronatics and Space Agency (NASA)
untuk periode Februari hingga Juni 2012.
Perbuatan Tergugat membuka lahan dengan cara membakar telah
memenuhi kualifikasi Perbuatan Melanggar Hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : 01/MENLH/09/2012 tanggal
18 September 2012 dari Menteri Negera Lingkungan Hidup Republik
Indonesia kepada Jaksa Agung RI dan Surat Kuasa Khusus Substitusi No.: SK-
101/G/Gph/10/2012 tanggal 11 Oktober 2012 dari Jaksa Agung RI kepada Tim
Jaksa Pengacara Negara pada JAM DATUN dalam gugatan perkara a quo telah
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Meulaboh denganputusan
Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo tanggal 8 Januari 2014 yang amar putusannya
sebagai berikut :
I. DALAM PROVISI
.- Menyatakan gugatan Provisi tidak dapat diterima;
II. DALAM EKSEPSI
.- Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.
84
III. DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas
tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di
Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok Kecamatan Darul Makmur,
Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27
dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan
hektar) sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi No. 18/1998
tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten,
Propvinsi Aceh (dahulu Nanggroe Aceh Darussalam).
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar
hukum. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil
secara tunai kepada Penggugat melalui rekening Kas Negara
sebesar Rp. 114.303.419.000,00 (seratus empat belas milyar tiga
ratus tiga puluh tiga juta empat ratus sembilan belas ribu
rupiah).
4. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut
yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada
di dalam wilayah Izin Usaha untuk usaha budidaya perkebunan
kelapa sawit yang berada di dalam wilayah izin berdasarkan
surat izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011No.
525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di desa
85
Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya
Provinsi Aceh untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.
5. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan
lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih
1000 hektar dengan biaya sebesar Rp. 251.765.250.000,00 (dua
ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan
kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari atas
keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini.
7. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang
timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 10.946.000,- (sepuluh juta
sembilan ratus empat puluh enam ribu rupiah).
8. Menolak gugatan penggugat selebihnya.
Bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor :
12/Pdt.G/2012/PN.Mbo tanggal 8 Januari 2014 tersebut telah diajukan upaya
banding oleh Tergugat (PT. Kallista Alam) dan telah diperiksa oleh Pengadilan
Tinggi Aceh dengan putusan Nomor: 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15
Agustus 2014 yang amar putusannya sebagai berikut :
86
MENGADILI:
- Menerima permohonan banding dari pembanding, semula Tergugat;
- Memperbaiki pertimbangan hukum dan susunan amar putusan Pengadilan
Negeri Meulaboh tanggal 8 Januari 2014, Nomor :
12/Pdt.G/2012/PN.MBO yang dimohonkan banding tersebut sehingga
amarnya berbunyi sebagai berikut :
I. DALAM PROVISI
-. Menyatakan gugatan Provisi tidak dapat diterima;
II. DALAM EKSEPSI
-. Menolak Eksepsi Pembanding/dahulu Tergugat untuk seluruhnya.
III. DALAM POKOK PERKARA
o Mengabulkan gugatan Terbanding/dahulu Penggugat untuk
sebahagian;
o Menyatakan Pembanding/dahulu Tergugat telah melakukan
perbuatan melanggar hukum;
o Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat membayar ganti rugi
materiil secara tunai kepada Terbanding/ dahulu Penggugat
melalui rekening Kas Negara sebesar Rp. 114.303.419.000,00
(seratus empat belas milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta empat
ratus sembilan belas ribu rupiah).
o Memerintahkan Pembanding/ dahulu Tergugat untuk tidak
menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih
1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha untuk usaha
budidaya perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam wilayah
87
izin berdasarkan surat izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus
2011No. 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di
desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan
Raya Provinsi Aceh untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.
o Menghukum Pembanding/ dahulu Tergugat untuk melakukan
tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar
seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp.
251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus
enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga
lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
o Menghukum Pembanding/ dahulu Tergugat untuk membayar uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per
hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam
perkara ini.
o Memerintahkan Lembaga/ Dinas Lingkungan Hidup/ Pemerintah
Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya untuk
pemulihan lingkungan karena lokasi lahan meliputi 2 (dua)
Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya, Propindi
Aceh.
o Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas
tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di
Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok Kecamatan Darul Makmur,
88
Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27
dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan
hektar) sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi No. 18/1998
tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Propvinsi Aceh
(dahulu Nanggroe Aceh Darussalam).
o Menghukum Pembading/dahulu Tergugat untuk membayar ongkos
perkara yang timbul dalam dua tingkat pengadilan yang dalam
tingkat banding sebesar Rp. 150. 000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah).
o Menolak gugatan Terbanding/ dahulu penggugat selebihnya.
Kasus tindak Pidana Pencucian Uang yang mengindikasikan keterlibatan
tiga korporasi sekaligus yang mana keterlibatan korporasi ini dilakukan oleh
Direksi dan pemilik perusahaan atau personil pengendali korporasi.berikut
kasus posisinya :
Terdakwa Ie Mien Sumardi Direktur PT. Interasia Sekuritas atas suruhan
Lisa Santoso selaku Direktur Utama sekaligus pemilik PT. Interasia
Sekuritas yang merupakan kakak kandung Rico Santoso (selaku Direktur
Operasional PT. Bank Global Internasional Tbk) yang juga istri dari
Irawan Salim (selaku Direktur Utama PT. Global Internasional Tbk) pada
tangal 2 dan 3 desember 204 membawa uang kepunyaan PT. Bank Global
dari basement gedung kantor PT. Bank Global untuk kemudian ditukarkan
ke dollar Singapura di tempat penukaran mata uang asing (money
changer). Yang mana uang tersebut berjumlah Rp. 60 Miliyar baru saja
89
diambil dari Bank Indonesia oleh Popy Wimandjaja dan Liem Sally
Purnamasari pegawai PT. Bank Global atas suruhan Rico Santoso dan
Irawan Salim selaku Direksi pada PT. Bank Global dimana uang tersebut
tidak dibukukan dalam khasanah PT. Bank Global akan tetapi disimpan di
gedung PT. Bank Global yang terletak dilantai 8 Menara Global. Pada
tangal 2 Desember 2004, Lisa Santoso menelpon Suardi pemilik sekaligus
Direktur Money Changer PT. Yan Shama Linque (PT. YSL) yang terletak
dijalan Gunung Sahari Raya No. 33 AB Jakarta Pusat, dalam pembicaraan
telepon terjadi kesepakatan bahwa :
1. Lisa Santoso membeli Dollar Singapura sebesar SGD. 2,000.000,-
dengan permintaan agar diserahkan kepada Lisa Santoso di Singapura
sebesar SGD. 1,750.000,- dan SGD. 250.000,- diserahkan kepada
utusan Lisa Santoso yang akan menyerahkan uang rupiah bernama Ie
Mien Sumardi
2. PT. Yan Shama Linque menghubungi Lisan Bahar, Direktur Utama
PT Surya Kencana Unggul untuk meneruskan ttransaksi Lisa Santoso
tersebut.
3. Ie Mien Sumardi atas permintan Lisa Santoso telah membawa uang
Rp. 12,5 Miliar untuk transaksi falut asing.
4. Sebagian dari uang tersebut yaitu Rp. 10.240.000,- dialihkan oleh PT.
Yan Shama Linque kepada Lisan Bahar untuk Transaksi pembelian
SGD. 1,850.000,- yang penyerahannya dilakukan di Singapura
langsung kepada Lisa Santoso.
90
Kemudian pada tanggal 3 Desember 2004 Lisan Santoso menelpon
kembali Suardi pemilik PT. Yan Shama Linque untuk menukarkan uang
ke dollar Singapura sebanyak SGD. 2,250,000,- transaksi tersebut
kemudian diteruskan kepada Lisan Bahar selaku Direktur Utama PT.
Surya Kenca Unggul. Penawaran tersebut disanggupi oleh Lisan Bahar
termasuk peyerahan uang pembelian dolar Singapura tersebut kepada Lisa
Santoso di Singapura. Kemudian pada Lisa Santoso menelpon Pongky
Majaya selaku pengurus/pemegang saham PT. Dinamis Citra Swkarsa
untuk melakukan pembelian dolar Singapura dari Rp. 4.500.000.000,-
(empat miliar lima ratus juta rupiah) ke dalam SGD. 500,000,- . kemudian
hal tersebut juga di sangupi oleh pihak Pongky Majaya. Pada putusan
pengadilan tinggi ini terdakwa Ie Mien Sumardi telah terbukti melakukan
pembantuan tindak pidana pencucian uang dan dikenai pidana penjara
selama 5 tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 subsidair 2 bulan
kurungan. Terdakwa terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf g
UU No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002
tentang tindak pidana pencucian uang Jo. Pasal 56 ayat 1 KUHP.112
Sebelumnya ditingkat Pengadilan Negeri terdakwa Ie Mien Sumardi
divonis penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 300.000.000.00 (tiga
ratus juta rupiah) subsidair 5 bulan kurungan, salah satu pertimbangan Majelis
hakim dalam Putusan Pengadlan Negeri Jakarta Pusat ini adalah :
Bahwa unsur menukarkan atau perbuatan lainya atas harta kekayaan yang
diketahuinya, atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan
mata uang dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
112Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor. 211/PID/2005/PT.DKI.Tanggal 4 Januari 2004
91
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan tindak
terbukti113
Putusan Pengadilan Tinggi kemudian menguatka putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dengan perbaikan amar mengenai kwalifikasi perbuatan
terdakwa yang terbukti lamanya pidan penjara serta jumlah denda dan pidana
kurungan pengganti denda dimana amarnya menyatakan Ie Mien Sumardi
terbukti bersalah melakukan Pembantuan Pencucian uang, sehingga
hukumannya dikurangi menjadi pidana penjara selama 5 tahun dan denda
sebesar Rp. 200.000.000,00 subsudair 2 bulan kurungan. Salah satu
pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding untuk memberikan keringanan
hukuman bagi terdakwa adalah :
1. Bahwa terdakwa dalam perkara ini berperan sangat kecil hanya sebagai
pembantu penukar uang
2. Bahwa terdakwa tidak menikmati hasil kejahatan tersebut.114
3.2.2. Analisis Dampak Inkonsistensi Pengaturan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia
Melihat dari ketentuan-ketentuan yang ada pada undang-undang Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Undang-undang lingkungan hidup dalam pengaturan pidananya sudah jelas
seperti yang sudah dipaparkan diatas. Akan tetapi terdapat beberapa
113Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor.1056/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst .Tanggal 25 Oktober 2005
114Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor. 211/PID/2005/PT.DKI.Tanggal 4 Januari 2004
92
perbedaan atau ketidakkonsistenan dalam penjeratan atau pemberian
hukuman pada korporasi yang melakukan tindak pidana. Dari
ketidakkonsistenan tersebut dampak yang ditimbulkan adalah timbulnya
ketidakpastian hukum, Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana
secara efektif dan efisien, disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat
berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, dan
terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, sehingga
mengakibatkan adanya disparitas putusan hakim dalam menjatuhkan
putusannya kepada korporasi yang melakukan tindak pidana.
Berikut akan diperjelas dengan tabel perbandingan penjatuhan pidana pada
korporasi :
93
Tabe
l 1.7
. Pe
rban
ding
an P
enja
tuha
n Pi
dana
Kor
pora
si
No
Und
ang
unda
ng
Ket
entu
an p
idan
a M
odel
ka
sus
Putu
san
1 U
U T
inda
k Pi
dana
K
orup
si
(UU
No
31 T
h 19
99)
Pa
sal 2
0 :
a. D
alam
hal
dila
kuka
n ol
eh a
tau
a.n.
ko
rpor
asi,
tunt
utan
dan
pen
jatu
han
pida
na te
rhad
ap :
K
orpo
rasi
, dan
ata
u
peng
urus
nya
b. T
PK d
ilaku
kan
oleh
kor
pora
si a
pabi
la
dila
kuka
n ol
eh o
rang
-ora
ng :
Ya
ng b
erda
sark
an h
ubun
gan
kerja
(h
ubun
gan
lain
)
Ber
tinda
k da
lam
ling
kung
an
korp
oras
i ter
sebu
t;
Bai
k se
ndiri
mau
pun
bers
ama-
sam
a c.
Tun
tuta
n te
rhad
ap k
orpo
rasi
diw
akili
pe
ngur
us
d.
Peng
urus
dap
at d
iwak
ili o
rang
lain
e.
Hak
im d
apat
mem
erin
tahk
an p
engu
rus
itu :
Men
ghad
ap se
ndiri
dip
enga
dila
n da
n
D
ibaw
a ke
sida
ng p
enga
dila
n f.
Pang
gila
n da
n su
rat-s
urat
dis
ampa
ikan
ke
tenp
at ti
ngga
l pen
guru
s ata
u ke
ka
ntor
nya
g. P
idan
a po
kok
hany
a de
nda
deng
an
mak
sim
um d
itam
bah
1/3
Ada
pun
mod
el
perta
nggu
ngja
wab
an p
idan
a da
lam
Und
ang-
Und
ang
ini
Peng
urus
Kor
pora
si Se
baga
i Pem
buat
Dan
juga
ya
ng B
erta
nggu
ngja
wab
. H
al in
i dia
tur d
idal
am p
asal
20
Dal
am h
al ti
ndak
pid
ana
koru
psi d
ilaku
kan
oleh
ata
s na
ma
suat
u ko
rpor
asi,
mak
a tu
ntut
n da
n pe
njat
uhan
pi
dana
dap
at d
ilaku
kan
terh
adap
kor
pora
si d
an a
tau
peng
urus
nya
PT. G
iri Ja
ladh
i Wan
a m
enda
patk
an p
utus
an y
ang
berk
ekua
tan
huku
m te
tap
dari
peng
adila
n, y
aitu
per
kara
No.
81
2/Pi
d.Su
s/20
10/P
N.B
jm.,
yang
man
a PT
. Giri
Jala
dhi
Wan
a di
teta
pkan
seba
gai
ters
angk
a da
lam
per
kara
ko
rups
i den
gan
men
gam
bil
keun
tung
an d
ana
Pasa
r Sen
tra
Ant
asar
i Ban
jarm
asin
, PT.
Giri
Ja
ladh
i Wan
a m
empe
role
h ke
waj
iban
dan
ha
kata
s pe
mba
ngun
an P
asar
Sen
tra
Ant
asar
i. PT
. Giri
Jala
dhi W
ana
dian
ggap
seba
gai p
ihak
yan
g da
pat d
imin
tai
perta
nggu
ngja
wab
an se
cara
pi
dana
kar
ena
turu
t men
ikm
ati
sega
la k
eunt
unga
n da
ri pe
mba
ngun
an d
an p
enge
lola
an
Pasa
r Sen
tra A
ntas
ari.
Dal
am p
utus
anya
Pe
ngad
ilan
Neg
eri
Ban
jarm
asin
men
jatu
hkan
pi
dana
den
da R
p.
1.30
0.00
0.00
0,00
(sat
u m
iliar
tiga
ratu
s jut
a ru
piah
) kep
ada
PT. G
iri
Jala
dhi W
ana
dan
pida
na
tam
baha
n be
rupa
pe
nutu
pan
sem
enta
ra P
T.
Giri
Jala
dhi W
ana
sela
ma
6 (e
nam
) bul
an.
94
N
o U
ndan
g un
dang
K
eten
tuan
pid
ana
Mod
el
kasu
s Pu
tusa
n
1 U
U P
encu
cian
U
ang
U
U N
o 8
Th 2
010
Pa
sal 6
: Pi
dana
dija
tuhk
an te
rhad
ap
korp
oras
i dan
/ata
u pe
rson
il pe
ngen
dali
korp
oras
i
Pasa
l 7
: Pi
dana
un
tuk
korp
oras
i be
rupa
den
da d
an p
idan
a ta
mba
han
beru
pa :
(7)
Peng
umum
an p
utus
an h
akim
; (8
) Pe
mbe
kuan
seba
gian
ata
u se
luru
h ke
giat
an u
saha
kor
pora
si
(9)
Penc
abut
an iz
in u
saha
(1
0) P
embu
bara
n da
n/at
au p
elar
anga
n ko
rpor
asi
(11)
Per
ampa
san
asse
t kor
pora
si un
tuk
Neg
ara
dan/
atau
(1
2) P
enga
mbi
lalih
an k
orpo
rasi
ole
h ne
gara
Pasa
l 9
: D
alam
hal
kor
pora
si t
idak
m
ampu
mem
baya
r pid
ana
dend
a :
(3)
Dig
anti
deng
an p
eram
pasa
n ha
rta
keka
yaan
m
ilik
korp
oras
i at
au
pers
onil
peng
edal
i kor
pora
si (y
ang
nila
inya
sa
ma
deng
an
putu
san
pida
na d
enda
yan
g di
jatu
hkan
(4
) D
alam
ha
l ha
rta
keka
yaan
ko
rpor
asi t
idak
men
cuku
pi, p
idan
a ku
rung
an
peng
gant
i de
nda
dija
tuhk
an
terh
adap
pe
rson
il pe
ngen
dali
korp
oras
i de
ngan
m
empe
rhitu
ngka
n de
nda
yang
te
lah
diba
yar
Ada
pun
mod
el
perta
nggu
ngja
wab
an p
idan
a da
lam
Und
ang-
Und
ang
ini
terd
iri d
ari d
ua m
odel
. M
odel
per
tam
a ad
alah
K
orpo
rasi
Seba
gai
Pem
buat
Dan
B
erta
nggu
ngja
wab
. H
al in
i dia
tur d
alam
Pa
sal 6
aya
t (1)
Dal
am
hal t
inda
k pi
dana
pe
ncuc
ian
uang
se
baga
iman
a di
mak
sud
dala
m P
asal
3, P
asal
4
dan
Pasa
l 5 d
ilaku
kan
oleh
kor
pora
si, p
idan
a di
jatu
hkan
terh
adap
ko
rpor
asi d
an/a
tau
pers
onil
peng
enda
i ko
rpor
asi
Kor
pora
si Se
baga
i Pe
mbu
at D
an P
engu
rus
Ber
tang
gung
jaw
ab. H
al in
i di
atur
dal
am P
asal
6 a
yat
(1),
yang
men
gatu
r bah
wa
perta
nggu
ngja
wab
an p
idan
a da
pat d
ibeb
anka
n pu
la
kepa
da p
engu
rus y
akni
Pe
rson
il Pe
ngen
dali
Kor
pora
si.
Kas
us B
ank
Glo
bal y
ang
mel
ibat
kan
terd
akw
a Ie
Mie
n Su
mar
di se
laku
Dire
ktur
U
tam
a, d
alam
kas
us in
i Ie
Mie
n Su
mar
di m
emba
ntu
Lisa
Sa
ntos
o un
tuk
mel
akuk
an
penu
kara
n da
na k
e M
oney
C
hang
er d
alam
rang
ka
men
ghila
ngka
n as
al u
sul d
ana
hasi
l kej
ahat
anny
a
Putu
san
Peng
adila
n Ti
nggi
D
KI J
akar
ta N
omor
. 21
1/PI
D/2
005/
PT.D
KI.T
angg
al
4 Ja
nuar
i 200
4 di
pida
na
penj
ara
sela
ma
5 ta
hun
dan
dend
a se
besa
r Rp.
20
0.00
0.00
0,00
subs
idai
r 2
bula
n ku
rung
an.
95
N
o U
ndan
g un
dang
K
eten
tuan
pid
ana
Mod
el
kasu
s Pu
tusa
n
1 U
U L
ingk
unga
n H
idup
U
U N
o. 3
2 Th
19
99
Pe
rtang
gung
jaw
aban
pid
ana
bada
n us
aha
(kor
pora
si) d
iatu
r dal
am P
asal
116
-119
, ya
ng in
tinya
:
Yang
dap
at d
ipid
ana
adal
ah (P
asal
116
) d.
Bad
an u
saha
dan
/ata
u
e.
Ora
ng y
ang
mem
beri
perin
tah
untu
k m
elak
ukan
tind
ak p
idan
a te
rseb
ut a
tau
f. O
rang
yan
g be
rtind
ak se
baga
i pem
impi
n da
lam
tind
ak p
idan
a te
rseb
ut.
Sa
nksi
pid
ana
terh
adap
sub
b (p
embe
ri pe
rinta
h) a
tau
sub
c (p
emim
pin)
tanp
a m
empe
rhat
ikan
tind
ak p
idan
a te
rseb
ut
dila
kuka
n se
cara
send
iri a
tau
bers
ama-
sam
a (P
asal
116
(2))
Anc
aman
pid
ana
terh
adap
sub
b da
n su
b c
beru
pa p
idan
a pe
njar
a da
n de
nda
yang
di
perb
erat
sepe
rtiga
(Pas
al 1
17)
Sa
nksi
pid
ana
untu
k su
b a
(bad
an u
saha
) di
wak
ili o
leh
peng
urus
yan
g be
rwen
ang
mew
akili
did
alam
dan
dilu
ar p
enga
dila
n se
suai
den
gan
pera
tura
n pe
rund
ang-
unda
ngan
sela
ku p
elak
u fu
ngsi
onal
(pas
al
118)
Terh
adap
bad
an u
saha
(sub
a) d
apat
di
kena
kan
pidn
aa ta
mba
han
atau
tind
akan
ta
ta te
rtib
beru
pa (P
asal
119
): f.
Pera
mpa
san
keun
tung
an y
ang
dipe
role
h da
ri tin
dak
pida
na
g. P
enut
upan
selu
ruh
atau
seba
gaia
n te
mpa
t usa
ha d
an/a
tau
kegi
atan
h.
Per
baik
an a
kiba
t tin
dak
pida
na
i. K
ewaj
iban
men
gerja
kan
apa
yang
di
lela
ikan
tanp
a ha
k da
n/at
au
j. Pe
nem
pata
n pe
rusa
haan
dib
awah
pe
ngam
puan
pal
ing
lam
a tig
a ta
hun
Ada
pun
mod
el
perta
nggu
ngja
wab
an p
idan
a da
lam
Und
ang-
Und
ang
ini
terd
iri d
ari d
ua m
odel
. M
odel
per
tam
a ad
alah
K
orpo
rasi
Seb
agai
Pem
buat
D
an B
erta
nggu
ngja
wab
.Hal
in
i dia
tur d
alam
Pas
al 1
16
ayat
(1) :
M
odel
ked
ua a
dala
h K
orpo
rasi
Seb
agai
Pem
buat
D
an P
engu
rus
Ber
tang
gung
jaw
ab. H
al in
i di
atur
dal
am P
asal
116
aya
t (1
), ya
ng m
enga
tur b
ahw
a pe
rtang
gung
jaw
aban
pid
ana
dapa
t dib
eban
kan
pula
kep
ada
mem
beri
perin
tah
untu
k m
elak
ukan
tind
ak p
idan
a te
rseb
ut a
tau
oran
g ya
ng
berti
ndak
seba
gai p
emim
pin
dala
m k
egia
tan
terd
apat
pad
a Pa
sal 1
16 a
yat
PT. K
allis
ta A
lam
seba
gai b
adan
hu
kum
diw
akili
ole
h Su
bian
to
Rus
id y
ang
mer
upak
an D
irekt
ur
PT. K
allis
ta A
lam
. Dal
am
dakw
aann
ya Ja
ksa
Penu
ntut
U
mum
men
dakw
a te
rdak
wa
PT.
Kal
lista
Ala
m se
baga
i kor
pora
si
tela
h m
elak
ukan
pem
baka
ran
laha
n se
baga
iman
a di
mak
sud
dala
m
Pasa
l 69
ayat
(1) h
uruf
(h) y
ang
dila
kuka
n se
cara
ber
lanj
ut
seba
gaim
ana
diat
ur d
an d
ianc
am
pida
na d
alam
Pas
al 1
16 a
yat (
1)
huru
f (a)
, Pas
al 1
18, P
asal
119
U
ndan
g-un
dang
Nom
or 3
2 ta
hun
2009
tent
ang
perli
ndun
gan
dan
Peng
elol
aan
Ling
kung
an H
idup
da
n jo
pas
al 6
4 ay
at (1
) KU
H
men
ggun
akan
pen
deka
tan
kese
ngaj
aan
deng
an k
emun
gkin
an
bahw
a tin
daka
n tid
ak m
enyi
apka
n sa
rana
dan
pra
sara
na m
enye
babk
an
terja
diny
a ke
baka
ran.
Sel
ain
itu,
perta
nggu
ngja
wab
an p
engu
rus
tidak
men
ghap
us
perta
nggu
ngja
wab
an k
orpo
rasi
. Pe
ndek
atan
yan
g di
laku
kan
adal
ah
teor
i pow
er a
nd a
ccep
tanc
e se
suai
men
olak
kas
asi s
ehin
gga
men
guat
kan
putu
san
Peng
adila
n Ti
nggi
dan
men
jatu
hkan
pid
ana
dend
a 3
Mily
ar se
rta m
engh
apus
pi
dana
tam
baha
n re
habi
litas
i lah
an
kare
na su
dah
dipu
tusk
an d
alam
pu
tusa
per
data
PT K
allis
ta A
lam
, di
haru
skan
mem
baya
r ga
nti r
ugi m
ater
il da
n pe
mul
ihan
ling
kung
an
sebe
sar R
p 36
6 m
iliar
ka
rena
terb
ukti
mem
baka
r la
han
di la
han
gam
but
Raw
a Tr
ipa.
K
ewaj
iban
Kal
lista
Ala
m
untu
k m
emba
yar g
anti
rugi
sebe
sar R
p 11
4.33
3.41
9.00
0 da
n bi
aya
pem
ulih
an
lingk
unga
n te
rhad
ap la
han
yang
dib
akar
Rp
251.
765.
250.
000
96
Jika berdasarkan teori perundang-undangan (Gesetgebugswissenscaft)
merupakan ilmu interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan
sosiologi yang secara garis besar dapatdibagi menjadi 2 bagian besar yaitu :
1. Teori perundang-undangan (Gesetzgebugstheory) yang berorientasi
pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-
pengertian, dan bersifat kognitif
2. Ilmu perundang-undangan (Gezetzgebungslehere), yang berorientasi
pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan, dan bersifat normatif
Untuk memberikan suatu pemidanaan yang tegas terhadap korporasi perlu
adanya perubahan dan penyamaan aturan atau sinkronisasi pengaturan terkait
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan tindak pidana.
Berdasarkan teori perundang-undangan ini perlu adanya penyamaan
makna atau persamaan peraturan untuk memberikan suatu kejelasan terkait
pertanggungjawaban pidana korporasi, hal ini dimungkinkan untuk mencari
kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian, dan bersifat
kognitif, demi terciptanya tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan
kemanfaatan.
97
3.3. PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
YANG AKAN DATANG
3.3.1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Negara
lain
a. Perancis
Hukum pidana materiil di Perancis sebagian besar diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Dalam penelitian ini, diperoleh data
yang berasal dari KUHP yang telah mengalami revisi sampai dengan tahun
2002. Dalam KUHP ini diatur mengenai, antara lain sanksi pidana yang dapat
dikenakan pada korporasi. Pada Pasal 131-37 diatur mengenai sanksi pidana
yang dapat dikenakan terhadap subjek hukum buatan yang melakukan
kejahatan dan pelanggaran115
Hukuman untuk kejahatan dan pelanggaran yang dikenakan kepada
subjek hukum korporasi adalah:
1. Denda;
2. Dalam perkara yang diatur oleh hukum, sanksi sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 131 39.
Oleh karena subjek hukum buatan, dalam hal ini korporasi dibedakan
dengan subjek hukum orang, maka untuk jumlah maksimal pidana denda yang
dapat diterapkan menjadi 5 (lima) kali lipat jumlah maksimal yang dapat
115Penalties for felonies and misdemeanours incurred by juridical persons are: 1. a
fine; 2. in the cases set out by law, the penalties enumerated under Article 131-39.
98
dikenakan pada subjek hukum orang. Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal
131-38116
Jumlah maksimal denda yang dapat dikenakan kepada subjek hukum
buatan adalah 5 kali jumlah yang ditetapkan untuk subjek hukum orang,
sebagaimana diatur oleh hukum mengenai tindak pidana tersebut.Sebagaimana
disebutkan di atas, sanksi-sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada
korporasi, secara lebih rinci, diatur dalam Pasal 131-39117. Ketika suatu
undang-undang menetapkan sanksi terhadap subjek hukum buatan, suatu
kejahatan atau pelanggaran dapat dihukum oleh salah satu atau lebih dari
hukuman-hukuman berikut ini:
1. Dissolusi (pembubaran), yaitu dalam hal subjek hukum buatan dibuat
untuk melakukan suatu kejahatan, atau, ketika kejahatan atau
pelanggaran tersebut memiliki ancaman hukuman tiga tahun atau lebih,
dimana subjek hukum buatan telah dipindahkan dari sasarannya
semula, untuk melakukan kejahatan tersebut;
2. Larangan untuk melaksanakan, langsung maupun tidak langsung satu
atau lebih kegiatan profesional atau sosial, baik secara permanen atau
untuk maksimal 5 tahun;
3. Penempatan dibawah pengawasan hakim untuk maksimal 5 tahun.
4. Penutupan permanen atau penutupan selama maksimal 5 tahun, satu
atau lebih badan usaha, yang digunakan untuk melakukan kejahatan,
yang sedang diperiksa;
116The maximum amount of fine applicable to legal persons five times the sum laid down
for natural persons by the law that sanctions the offence. 117Article 131-39 Act no. 2001-504 of 12 June 2001 Article 14 Official Journal of 13
June 2001
99
5. Diskualifikasi dari pelelangan publik, baik secara permanen atau untuk
jangka waktu maksimal 5 tahun;
6. Larangan, baik secara permanen atau untuk jangka waktu maksimal 5
tahun, untuk mengumpulkan dana dari masyarakat;
7. Larangan untuk menarik cek, kecuali cek yang dijinkan untuk ditarik
dananya oleh penarik, dari pembuat atau cek yang diseritifikasi, dan
larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu
maksimal 5 tahun.
8. Perampasan benda-benda yang digunakan atau dimaksudkan untuk
melakukan kejahatan, atau benda-benda yang merupakan hasil dari
kejahatan tersebut.
9. Pengumuman kepada publik, pidana atau penyebarluasannya baik
secara oleh media cetak atau oleh media televisi dan radio.
(Where a statute so provides against a legal person, a felony or misdemeanour may be punished by one or more of the following penalties:
1. Dissolution, where the legal person was created to commit a felony, or, where the felony or misdemeanour is one which carries a sentence of imprisonment of three years or more, where it was diverted from its objects in order to commit them;
2. Prohibition to exercise, directly or indirectly one or more social or professional activity, either permanently or for a maximum period of five years;
3. Placement under judicial supervision for a maximum period of five years;
4. Permanent closure or closure for up to five years of the establishment, or one or more of the establishments, of the enterprise that was used to commit the offences in question;
5. Disqualification from public tenders, either permanently or for a maximum period of five years;
6. Prohibition, either permanently or for a maximum period of five years, to make a public appeal for funds;
7. Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the drawer from the drawee or certified cheques, and the prohibition to use credit cards, for a maximum period of five years;
100
8. Confiscation of the thing which was used or intended for the commission of the offence, or of the thing which is the product of it;
9. The public display of the sentence or its dissemination either by the written press or by any type of broadcasting.)
Meskipun sanksi-sanksi tersebut di atas, diperuntukkan bagi subjek
hukum buatan.Namun terdapat perbedaan apabila subjek hukum buatan
tersebut adalah lembaga publik, partai politik atau serikat pekerja.Sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan berikutnya yaitu hukuman berdasarkan ayat 1 dan
3 di atas, tidak berlaku bagi lembaga publik yang dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana.Selain itu hal-hal tersebut juga tidak berlaku bagi
partai politik atau perkumpulan, atau serikat pekerja. Hukuman berdasarkan
ayat 1 tidak berlaku bagi lembaga yang mewakili pekerja118
Hukum Perancis membedakan jenis kejahatan, di antaranya adalah
kejahatan ringan (petty offences). Sanksi bagi kejahatan ringan diatur dalam
Pasal 131-40:
Hukuman yang dapat dikenakan kepada subjek hukum buatan untuk
pelanggaran ringan adalah:
1. Denda;
2. Hukuman yang mengandung perampasan atau pembatasan hak-hak
sebagaimana diatur oleh Pasal 131 42.
Hukuman-hukuman ini tidak menghalangi pengenaan satu atau lebih
hukuman-hukuman tambahan yang datur dalam Pasal 131 42.
(The penalties incurred by legal persons for petty offences are: 1. a fine;
118The penalties under 1 and 3 above do not apply to those public bodies which may
incur criminal liability. Nor do they apply to political parties or associations, or to unions. The penalty under 1 does not apply to institutions representing workers.
101
2. the penalties entailing forfeiture or restriction of rights set out under article 131-42. These penalties do not preclude the imposition of one or more of the additional penalties set out under article 131-43.) Konsisten dengan ketentuan sanksi bagi kejahatan pada umumnya,
jumlah maksimal denda yang dapat dikenakan terhadap subjek hukum buatan,
yang melakukan kejahatan ringan adalah 5 kali dari yang dapat dikenakan
kepada subjek hukum orang sesuai dengan peraturan yang memuat sanksi
terhadap tindak pidana tersebut.
Perancis adalah negara dengan hukum pidana yang menentukan
klasifikasi (kelas) denda yang dikenakan terhadap kejahatan dan pelanggaran.
Dalam kaitan dengan setiap pelanggaran ringan dari kelas kelima, denda dapat
diganti dengan satu atau lebih hukuman yang memerlukan perampasan atau
pembatasan hak-hak berikut ini119
1. Larangan untuk menarik cek, kecuali cek yang dijinkan untuk ditarik
dananya oleh penarik, dari pembuat atau cek yang disertifikasi, dan
larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu
maksimal 1 tahun120
2. Perampasan benda-benda yang digunakan atau dimaksudkan untuk
melakukan kejahatan, atau benda-benda yang merupakan hasil dari
kejahatan tersebut121
Peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran ringan dapat
menerapkan hukuman tambahan yang disebutkan dalam ayat 5 Pasal 131 16
119Article131-42 120Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the
drawer from the drawee or certified cheques, and the prohibition to use credit cards, for a maximum period of one year;
121Confiscation of the thing which was used or was intended for the commission of an offence, or of any thing which is the product of it.
102
dalam hal pelaku adalah subjek hukum buatan. Dalam kaitan dengan
pelanggaran ringan kelas kelima, peraturan juga dapat mengenakan hukuman
tambahan yang dirujuk oleh paragraf pertama dari Pasal 131 17122
Ketika suatu pelanggaran ringan dihukum dengan satu atau lebih
hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 131 43, pengadilan dapat
memutuskan untuk mengenakan satu atau lebih hukuman tambahan yang dapat
dikenakan, secara terpisah123
Pelaksanaan sanksi atau hukuman merupakan hal yang penting dalam
sistem peradilan pidana.Perancis mengatur mengenai hal ini dalam Penal Code.
Untuk likuidasi misalnya, disebutkan dalam Pasal 131-45 bahwa putusan yang
memerintahkan dissolusi dari subjek hukum buatan memerlukan rujukan
kepada pengadilan yang berkompeten untuk melakukan likuidasi124
Terhadap subjek hukum buatan yang mendapatkan pengawasan hakim
(judicial supervision), diatur mekanisme review.Dimana disebutkan
bahwa125Putusan untuk menempatkan subjek hukum buatan dibawah
pengawasan hakim memerlukan penunjukan seorang pegawai kehakiman yang
penunjukannya ditentukan oleh pengadilan.Penunjukan tersebut hanya berlaku
untuk kegiatan yang dilakukan oleh subjek hukum buatan, yang dalam
pelaksanaannya, atau pada saat dilaksanakannya, kejahatan tersebut
dilakukan.Paling tidak sekali dalam enam bulan, pegawai kehakiman tersebut
melapor kepada hakim pelaksana hukuman mengenai pelaksanaan
122Article131-43 123Article131-44 124The decision ordering the dissolution of a legal person entails its referral to the court
competent for its liquidation. 125 Article 131-46 Act no. 1992-1336 of 16 December 1992 Articles 345, 346 and 373
Official Journal of 23 December into force 1 March 1994
103
tugasnya.Selama pemeriksaan laporan ini, hakim yang melaksanakan hukuman
dapat merujuk masalah tersebut kepada pengadilan yang menetapkan
pengawasan hakim.Pengadilan tersebut kemudian mengenakan hukuman baru
atau membebaskan subjek hukum buatan dari pengawasan hakim.
(The decision to place a legal person under judicial supervision entails
the appointment of a judicial officer whose remit is determined by the court.
His remit may only bear upon the activity in the exercise of which, or on the
occasion of which, the offence was committed. At least once every six months,
the judicial officer shall report to the penalties enforcement judge on the
fulfilment of his remit. Upon examining this report, the penalties enforcement
judge may refer the matter to the court that ordered judicial supervision. The
court may then either impose a new penalty, or release the legal person from
judicial supervision.)
Selain itu, sanksi yang lain adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal
131-47 yaitu adanya larangan mengumpulkan dana publik menimbulkan
larangan, bagi penjualan segala bentuk jaminan, mengadakan perjanjian
dengan segala lembaga bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan pasar
modal, atau segala bentuk pengiklanan126
Dalam Pasal 131-48, disebutkan mengenai keterkaitan antara sanksi yang
diberikan kepada subjek hukum buatan, dengan pasal-pasal yang relevan:
- The prohibition to exercise one or more social or professional
activities entails the consequences set out under article 131-28.
(Larangan untuk melaksanakan satu atau lebih kegiatan professional
126Prohibition to make a public appeal for funds entails prohibition, for the sale of any type of security, to resort any banking institutions, financial establishments or stock market companies, or to any form of advertising.
104
atau sosial menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam
Pasal 131 28.)
- The mandatory closure of one or more establishments entails the
consequences set out in 131-33. (Keharusan menutup satu atau lebih
lembaga usaha menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam
Pasal 131 33.)
- The disqualification from public tenders entails the consequences set
out in article 131-34. (Diskualifikasi dari pelelangan publik
menumbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal 131
34.)
- The prohibition to issue cheques entails the consequences set out
under the first paragraph of article 131-19.(Larangan untuk
mengeluarkan cek menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur
dalam Pasal 131 19.)
- The confiscation of a thing is ordered pursuant to the conditions set
out under article 131-21.(Perampasan dari suatu benda sejalan
dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 131 21.)
- The public display or dissemination of the decision is ordered
pursuant to the conditions set out under article 131-35.(Pengumuman
kepada publik atau penyebarluasan keputusan yang ditetapkan
terhadap subjek hukum buatan didasarkan pada persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 131 35.)
b. Norwegia .
105
Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam KUHP Norwegia,
yang diundangkan pada tahun 1902 dan mengalami beberapa kali revisi.Data
yang diperoleh pada penelitian ini adalah hasil revisi sampai dengan tahun
1994. Dalam Chapter 3a KUHP tersebut, Norwegia menggunakan istilah
enterprises
disebutkan bahwa ketika suatu ketentuan pidana dilanggar oleh seseorang yang
bertindak atas nama badan usaha, badan usaha tersebut dapat dikenakan
hukuman. Hal ini berlaku bahkan ketika tidak ada orang yang dihukum karena
pelanggaran tersebut. (When a penal provision is contravened by a person who
has acted on behalf of an enterprise, the enterprise may be liable to a penalty.
This applies even if no individual person may be punished for the
contravention.)
enterprise
dimaksud dengan badan usaha disini adalah suatu perusahaan, kelompok
masyarakat atau perkumpulan lainnya, badan usaha-satu orang, yayasan,
estate By enterprise is here meant a
company, society or other association, one-man enterprise, foundation, estate
or public activity.)
Ditetapkan bahwa hukuman terhadap badan usaha tersebut harus berupa
denda. Badan usaha tersebut dapat juga, dengan suatu putusan, dirampas hak-
haknya untuk melanjutkan usaha atau dapat dilarang dari menjalankannya
dalam bentuk-bentuk tertentu, cf. Section 29127
127The penalty shall be a fine. The enterprise may also by a judgment be deprived of the
right to carry on business or may be prohibited from carrying it on in certain forms, cf. section 29.
106
Selanjutnya, pada § 48 b, disebutkan bahwa dalam memutuskan apakah
suatu hukuman dikenakan kepada suatu badan usaha sesuai dengan Pasal 48 a,
dan dalam menilai hukuman atas badan usaha, pertimbangan khusus harus
diberikan kepada:
a. kuman;
b. tingkatan beratnya tindak pidana;
c. apakah badan usaha seharusnya dapat, dengan pedoman, instruksi,
pelatihan, kendali atau upaya lainnya, mencegah tindak pidana
tersebut;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan maksud untuk memajukan
kepentingan badan usaha;
e. apakah badan usaha seharusnya telah atau mendapatkan keuntungan
dari tindak pidana tersebut;
f. kapasitas ekonomi badan usaha tersebut;
g. apakah sanksi yang lain sebagai konsekuensi dari tindak pidana telah
dikenakan terhadap badan usaha atau terhadap orang yang bertindak
atas nama badan usaha, termasuk apakah suatu hukuman telah
dikenakan terhadap individu perseorangan128
128 5 a) the preventive effect of the penalty, b) the seriousness of the offence, c) whether
the enterprise could by guidelines, instruction, training, control or other measures have prevented the offence, d) whether the offence has been committed in order to promote the interests of the enterprise, e) whether the enterprise has had or could have obtained any advantage by the offence, f) the enterprise's economic capacity, g) whether other sanctions have as a consequence of the offence been imposed on the enterprise or on any person who has acted on its behalf, including whether a penalty has been imposed on any individual person.
107
3.3.2. Analisis Bentuk Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Yang Akan Datang
Korporasi memang tidak diakui sebagai subyek hukum pidana dalam
KUHP.Tetapi dalam hukum pidana positif di luar KUHP banyak yang
mengatur korporasi yang diakui sebagai subyek hukum pidana. Misalnya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-undang tentang Pembentasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan
sebagainya. Bahkan sejak rezim pemerintahan yang anti tindak pidana ekonomi
tahun 1955 telah mengeluarkan Undang-undang Darurat nomor 7 tahun 1955
tentang Pengusutan dan Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) telah
dengan tegas mengakui Badan Hukum (in caso: Korporasi) sebagai subyek
hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.
Memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pertanggungjawaban pidana korporasi ternyata terdapat kecenderungan
berupa:
1. Belum ada keseragaman penggunaan terminologi korporasi.
Terminologi yang dipergunakan untuk menyebutkan pengertian
korporasi terlihat masih beraneka ragam, seperti badan hukum, badan
usaha dan organisasi lain.
2. Belum adanya keseragaman tentang pengaturan kapan korporasi dapat
dipertanggungjawbkan.
108
3. Belum ada keseragaman tentang siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Belum ada keseragaman tentang sanksi apa yang dapat dijatuhkan
kepada korporasi.
Sementara terhadap konsep KUHP pun masih terdapat kelemahan yang
menurut Barda Nawawi Arief kelemahan tersebut berupa :
a. Belum diatur secara jelas, kapan korporasi dikatakan telah melakukan
tindak pidana;yang ada hanya ketentuan mengenai kapan korporasi
dapat dipertanggungjawabkan (lihat pasal 46);
b. Tidak diatur secara khusus jenis sanksi pidana untuk korporasi;
c. Tidak ada ketentuan mengenai pidana tambahan atau tindakan tata
tertib khusus untuk korporasi.
Di sisi lain, menurut Muladi, pembicaraan masalah korporasi sebagai
subjek hukum (normadressat) akan menyentuh persoalan utama, yaitu kapan
dan apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam
hukum pidana. Itulah sebabnya Muladi memberikan pedoman sebagai
berikut:
1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum
apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial
sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum.
2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi
untuk perbuatan pidana, untuk pembuktian akhir pembuatan pidana,
disamping apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan statuta dari
badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan, maka
yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang
lingkup pekerjaan dari badan hukum
109
3. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana
bilamana perbuatan yang terlarang yanguntuk
pertanggungjawabannya dibebabkan atas badan hukum dilakukan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan / atau pencapaian tujuan-tujuan
badan hukum tersebut
4. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak pidana
kannya terlepas dari
terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana tindakan dilakukan
-
arrest HR. 1945). Syarat kekuasaan (machtsvereiste) mencakup:
wewenang mengatur/menguasai dan / atau memerintah pihak yang
dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang tersebut; mampu
melaksanakan kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil
keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan; dan mampu
mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka
mencegah dilakukannya tindakan terlarang; Selanjutnya syarat
penerimaan (aanvaardingsvereiste), hal ini terjadi apabila ada kaitan
erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di dalam
badan hukum dengan tindakan terlarang tersebut. Juga apabila ada
kemampuan untuk mengawasi secara cukup
5. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada
kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam
kegiatan yang nyata dari perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang
nyata dari perusahaan tertentu. Dalam kejadian-kejadian lain
penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi pertanggungjawaban,
kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang berbuat atas
nama korporasi sehingga dianggap juga dapat menimbulkan
kesengajaan badan hukum;
6. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu,
110
kesengajaan dari seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat
mengakibatkan kesengajaan badan hukum;
7. Pertanggungjawaban juga bergantung dari organisasi internal dalam
korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi, demikian pula
apabila berkaitan dengan kealpaan;
8. Pengetahuan bersama dari sebagaian besar anggota direksi dapat
dianggap sebagai kesengajaan badan hukum, bahkan sampai pada
kesengajaan kemungkinan.129
Dalam penelitian Disertasi Sahuri130 disebutkan bahwa untuk dapat
mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana ada empat persoalan pokok
yang perlu diperhatikan, yaitu (1), masalah rumusan perbuatan yang dilarang;
(2), masalalah penentuan kesalahan korporasi; (3) masalah penetapan sanksi
terhadap korporasi; dan (4) sifat pertanggungjawaban korporasi. Untuk
perumusan perbuatan yang dilarang dan pertanggungjawaban korporasi masih
kurang jelas dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak
pidana dan korporasi yang bertanggungjawab.Dalam penentuan kesalahan
korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana, sangat sulit karena
kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara
pribadi, karena yang melakukan tindak pidana adalah orang/pengurus.Begitu
juga dengan sanksi pidana yang berhubungan dengan pertanggungjawaban
korporasi, belum tertata secara jelas.Sedangkan sifat pertanggungjawaban
korporasi dalam berbagai peraturan perundang- undangan tersebut bersifat
mutlak jika orang yang melakukan tindak pidana tersebut mempunyai
hubungan dengan korporasi atau mempunyai kedudukan fungsional.Akan
129 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002, hal. 160-161
130Sahuri L. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004
111
tetapi bagaimana dengan alasan penghapusan pidana terhadap korporasi tidak
ditemukan.
Pengaturan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana harus jelas
dan tegas dengan mencantumkan secara autentik dalam ketentuan umum
KUHP yang sekarang sedang diperbaharui sehingga ketentuan di luar KUHP
harus mengikutinya.Namun, Zulkarnain 131 menilai bahwa pengaturan tentang
sistem pertanggungjawaban korporasi baik dalam undang-undang khusus di
luar KUHP maupun dalam Rancangan KUHP terbaru pun, tidak jelas dan
komprehensif.Aspek empirik dan yuridis serta kepentingan publik terkait
dengan pemidanaan korporasi dalam hal social welfare policy belum
diperhatikan.
Dari hasil penelitian ditemukan fakta bahwa sistem hukum pidana
Indonesia masih belum mengakui sepenuhnya bahwa korporasi adalah subyek
hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.Meskipun ada beberapa produk
kebijakan hukum pidana di luar KUHP yang mengatur pertanggungjawaban
korporasi, namun sistem pertanggungjawaban korporasi yang dianut masih
menggunakan doktrin vicarious liability. Hal tersebut sama halnya belum
mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana. Oleh karena itu, perlu
merekomendasikan adanya reformulasi kebijakan tentang sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi dan memasukkan rumusan tersebut
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi masalah
kejahatan korporasi (penal policy).Oleh karena itu, penggunaan sanksi yang
131Zulkarnain, Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dan Model Pemidanaannya, Hasil Penelitian Hibah Bersaing. DP2M Dikti. Univ Widyagama. Malang, 2007, hal. 38
112
berupa pidana terhadap kejahatan korporasi harus dipertimbangkan urgensi dan
efektivitasnya.Karena pemidanaan bisa berfungsi sebaliknya dari yang
diharapkan. Suatu sanksi pidana akan menemui kegagalan dan mendatangkan
kecemasan belaka. Apabila terlalu banyak menggunakan ancaman pidana dapat
mengakibatkan devaluasi dari undang-undang pidana.
Jeremy Bentham juga menyarankan bahwa pidana hendaknya jangan
digunakan apabila groundless (tanpa dasar), needless (tidak sesuai kebutuhan),
unprofitable (tidak menguntungkan), dan ineffective (tidak efektif). Demikian
juga dengan Parker, ia menyatakan bahwa pidana itu menjadi penjamin yang
utama (prime guarantor) apabila digunakan secara cermat, hati-hati
(profidently) dan secara manusiawi (humanly). Akan tetapi sebaliknya pidana
bisa menjadi pengancam yang membahayakan (prime threatener) apabila
digunakan secara indiscriminatly dan coercively.
Pidana pokok yang bisa dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana
denda (fine), tetapi apabila dijatuhkan sanksi berupa penutupan seluruh
corporate death penalty
mati bagi korporasi). Sedangkan sanksi berupa segala bentuk pembatasan
terhadap aktivitas korproasi, maka sebenarnya mempunyai hakikat yang sama
dengan pid
pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim, merupakan sanksi
yang sangat ditakuti oleh korporasi.Setiyono kemudian menjelaskan bahwa
sesuai dengan motif-motif kejahatan korporasi, maka sanksi-sanksi yang
113
bersifat ekonomis dan administratif lebih sesuai diterapkan dalam
pertanggungjawaban korporasi.
Namun, mengingat peranan korporasi sebagai pemberi kerja, maka
penerapan sanksi (khususnya penutupan perusahaan) terhadap korporasi harus
dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati.Hal ini sesuai dengan pendapat
Muladi132 bahwa dampak pemberian sanksi terhadap korporasi dapat menimpa
pada orang-orang yang tidak berdosa, seperti buruh, konsumen, pemegang
saham dan sebagainya.Sebaliknya, apabila tindak pidana yang dilakukan sangat
berat, maka di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan
pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas
korporasi, sebab dampak yang ingin dicapai tidak hanya mempunyai financial
impact, tetapi juga mempunyai non financial impact.
Terkait dengan pembaharuan hukum pidana tentang penanggulangan
kejahatan korporasi, perlu dicatat bahwa dalam Rancangan KUHP Baru
(KUHP Konsep) dalam penjelasan umum Buku I menyatakan bahwa:
Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan
perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya
pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula
manusia hukum (juridical person) yang lazim disebut
korporasi.Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek
hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus masih
dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh
korporasi dan pengurus atau pengurus saja. 133
132Muladi.Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), hal. 7 133 Lihat Penjelasan Umum RUU KUHP 1999/2000 Buku Kesatu angka 2
114
Dengan demikian, maka mengingat hal tersebut perlu pembaharuan
kebijakan hukum pidana khususnya yang terkait dengan penanggulangan
kejahatan korporasi dengan menjadikan korporasi sebagai subyek hukum
pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.Selain mengkaji terhadap
peraturan hukum pidana positif yang berlaku, peneliti juga mengkaji konsep
KUHP baru (RUU-KUHP) yang merupakan Ius Constituendum.
RUU KUHP ini telah dirancang (dengan berbagai perubahan-
perubahannya) sejak tahun 1964 dan terakhir telah tersusun konsep KUHP
tahun 2015. Pada konsep KUHP tahun 2015 Jika sebelumnya, KUHP belum
mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka lain halnya dengan R-
KUHP. Dalam Pasal 48 R-
134
Dengan demikian korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah diakui
secara tegas dalam R-KUHP revisi 2015.Adapun mengenai definisi korporasi,
R-KUHP mendefinisikan korporasi sebagaimana definisi dalam hukum pidana
pada umumnya, yakni baik yang berbadan hukum maupun yang bukan
berbadan hukum. Definisi tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 189 R-
KUHP, yakni: kumpulan terorganiasi dari orang dan / atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.135
Dengan demikian, definisi korporasi dalam R-KUHP jauh lebih luas jika
dibandingkan dengan definisi korporasi dalam hukum perdata.Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa definisi korporasi dalam hukum perdata adalah
134 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana revisi tahun 2015. Pasal 48 135 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana revisi tahun 2015. Pasal 189
115
suatu badan hukum. Dalam hukum perdata, apa saja yang dianggap sebagai
badan hukum diatur secara tersendiri. Karenanya terhadap korporasi dalam
hukum perdata subjeknya lebih dibatasi.Contoh korporasi dalam hukum
perdata yang umum dikenal sebagai badan hukum adalah Perseroan Terbatas,
Koperasi, dan Yayasan.Sedangkan definisi korporasi yang digunakan dalam R-
KUHP tidak hanya membatasi terhadap subjek hukum badan hukum,
melainkan juga melingkupi bukan badan hukum, seperti CV, Firma, dan
persekutuan perdata lainnya.
Apabila mengkaitkan dengan model pertanggungjawaban pidana
korporasi sebagaimana dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro136 maka R-
KUHP mengadopsi dua model pertanggungjawaban pidana korporasi.Pertama
adalah korporasi sebagai pembuat dan korporasi bertanggungjawab.Hal ini
terdapat pada ketentuan Pasal 50 R-KUHP yang menyebutkan bahwa apabila
tindak pidana dilakukan oleh korporasi maka pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap korporasi137.Kedua adalah korporasi sebagai pembuat dan
pengurus yang bertanggungjawab. Hal ini terdapat dalam ketentuan yang sama,
yakni Pasal 50 yang menyata
138
Dengan diadopsinya dua model pertanggungjawaban pidana tersebut
maka terdapat tiga kemungkinan penerapan pertanggungjawaban pidana yang
terjadi sebagaimana dikemukakan oleh Sutan Remy S. Pertama adalah
136Reksodiputro, Mardjono. Tindak Pidana Korporasi Dan Pertanggungjawabannya
(Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di Indonesia). Makalah dalam Pelatihan Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi FH UGM. Yogyakarta, 24 Ferbuari 2014.
137 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana revisi tahun 2015. Pasal 50
138 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana revisi tahun 2015. Pasal 50
116
korporasi sebagai pembuat dan korporasi bertanggungjawab.Kedua adalah
korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, dan ketiga adalah
korporasi sebagai pembuat dan pengurus dan korporasi bertanggungjawab.139
Hal yang menarik mengenai pengaturan korporasi dalam R-KUHP
adalah pengaturan mengenai macam tindak pidana apa yang dianggap
dilakukan oleh korporasi. Dalam Pasal 49 R-KUHPdiatur bahwa: tindak pidana
dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak
untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha
korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.140
Ketentuan ini rupanya sekilas hampir serupa dengan ketentuan pada
Undang-Undang PPLH dalam merumuskan tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi. Dalam bukunya, Remmelink mengatakan bahwa korporasi akan
selalu dapat dikatakan berbuat atau tidak berbuat melalui atau diwakili oleh
perorangan.141
Dari aspek perbandingan hukum pidana, sebagaimana telah diuraikan di
atas, maka KUHP negara-negara Perancis, telah lebih maju dalam membuat
ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Apabila KUHP
sekarang ingin melakukan dengan lebih agresif proses pidana terhadap
korporasi, maka tentu harus membuat ketentuan serupa dalam revisi KUHP,
139 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti
Pers, 2006), hlm. 100 140 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana revisi tahun 2015. Pasal 49 141 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar-Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1983.hlm. 106
117
Apabila dilihat rumusan ketentuan yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi di negara lain, maka dapat diambil
contoh sanksi pidana yang diatur dalam KUHP Perancis:
1. Dissolusi (pembubaran), yaitu dalam hal subjek hukum buatan dibuat
untuk melakukan suatu kejahatan, atau, ketika kejahatan atau
pelanggaran tersebut memiliki ancaman hukuman tiga tahun atau lebih,
dimana subjek hukum buatan telah dialihkan dari sasarannya semula,
untuk melakukan kejahatan tersebut;
2. Larangan untuk melaksanakan, langsung maupun tidak langsung satu
atau lebih kegiatan profesional atau sosial, baik secara permanen atau
untuk jangka waktu maksimal 5 tahun;
3. Penempatan dibawah pengawasan hakim untuk jangka waktu
maksimal 5 tahun.
4. Penutupan permanen atau penutupan selama jangka waktu maksimal 5
tahun, satu atau lebih badan usaha, yang digunakan untuk melakukan
kejahatan, yang sedang diperiksa;
5. Diskualifikasi dari pelelangan publik, baik secara permanen atau untuk
jangka waktu maksimal 5 tahun;
6. Larangan, baik secara permanen atau untuk jangka waktu maksimal 5
tahun, untuk mengumpulkan dana dari masyarakat;
7. Larangan untuk menarik cek, kecuali cek yang dijinkan untuk ditarik
dananya oleh penarik, dari pembuat atau cek yang diseritifikasi, dan
larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu
maksimal 5 tahun.
118
8. Perampasan benda-benda yang digunakan atau dimaksudkan untuk
melakukan kejahatan, atau benda-benda yang merupakan hasil dari
kejahatan tersebut.
9. Pengumuman kepada publik, pidana atau penyebarluasannya baik
secara oleh media cetak atau oleh media televisi dan radio.
119
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Terjadinya inkonsistensi pengaturan pidana korporasi dalam perundang-
undangan dikarenakan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana
saat ini baru diakui dalam Undang-Undang yang mengatur tindak pidana
di luar KUHP. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang
khusus dan sekaligus lex spesialis terhadap KUHP sehingga dibolehkan
adanya ketentuan khusus dan menyimpang dari KUHP.
2. Dari ketidakkonsistenan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam perundang-undangan di Indonesia dampak yang ditimbulkan adalah
timbulnya ketidakpastian hukum. Peraturan perundang-undangan tidak
terlaksana secara efektif dan efisien, disfungsi hukum, artinya hukum tidak
dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, dan
terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, yang
mengakibatkan adanya disparitas putusan hakim dalam menjatuhkan
putusannya kepada korporasi yang melakukan tindak pidana.
3. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang akan datang bahwa pengaturan
yang sesuai dengan fakta hukum pengaturan koorporasi lebih dikehendaki
seperti dalam pengaturan korporasi didalam undang-undang pengelolaan
dan perlindungan lingkungan hidup, karena terlihat lebih lengkap, karena:
Pertama,dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah
jelas perumusan tentang subjek tindak pidana korporasi , sudah ada
120
perumusan tentang kapan tindak pidana korporasi terjadi, yaitu ketika
seseorang bertindak dalam lingkungan korporasi baik dalam hubungan
kerja maupun hubungan lain, serta sudah ada rumusan tentang siapa yang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
4.2. Saran
1. Dengan telah di terbitkannya Peraturan Mahkama Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah menjadi dasar atau SOP
(Standart Operasional Prosedure) bagi para penegak hukum. Bagi
Pemerintah (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) perlu membuat
aturan yang lebih tinggi tentang Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah menjadi dasar atau SOP
(Standart Operasional Prosedure). Peraturan yang sekarang dirasakan
belum dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.
2. Sudah saatnya bagi DPR RI dan presiden untuk mengesahkan RUU
KUHP telah mengakomodir korporasi sebagai subyek hukum pidana
dan sekaligus mengatur tentang mekanisme pertanggungjawaban
pidananya. sehingga dengan di sahkannyaR-KUHP tidak adanya lagi
disparitas putusan hakim dalam menjatuhkan putusannya kepada
korporasi yang melakukan tindak pidana.
121
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Bayumedia, 2005
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Keadilan (jurisprudence) Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2009.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.2007
---------------------------- Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002 --------------------------- Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1994. ---------------------------- Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT Citra
Aditya Bakti, 2003. Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung:
Mandar Maju, 1999 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2002. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar
Maju, 2008. Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung: Utomo, 2004. --------------------- Antisipasi Hukum Pidana Terhadap kejahatan Korporasi
Dalam Era Globalisasi, karya Vira Jati No. 90 Tahun 1995 Bandung, Seskoad,1995.
E Fernano M Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Jakarta, Buku Kompas, 2007. Gustav Radbruch, Bonie Litsheweski Paulson and Stanley L. Paulson, Statutory
Lawlessness and Supra-Sttatutory Law (1946), Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1Oxford University Press, 2006.
122
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia(Strict Liability dan Vicarius Liability). Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013. H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan
Pertanggungjawaban Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua Cetakan Pertama, Malang, Banyumedia Publishing 2003.
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum Yang Nyata di Negara Berkembang, Bali,
Pustaka Larasan, 2012. Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia, 2012. Kristian, Kebijakan Integral Formulasi Pertanggungjawaban Pidana
Korporaasi di Indonesia. Bandung: Nuansa Aulia, 2014. Khristyawan Wisnu Wardana dan Erna Susanti, Tanggungjawab Korporasi
Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup, Risalah Hukum, Edisi Nomor 2, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, 2005, hal 29.
Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian,
Jakarta: Datacom, 2002. Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi manusia, dan Reformasi Hukum Di
Indonesia, Jakarta, The Habibie Center, 2002. ----------- Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Cetakan Pertama, Bandung, Sekolah Tinggi Hukum, 1991. ------------ Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. ------------- Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, 1992. -------------- dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana Media Group, Jakarta, 2012 ------------------------------------- Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana. Bandung: STHB, 1991.
123
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998. Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. --------------- Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan,
Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, 1994.
NHT Siahan, Money Loundering dan Kejahatan Perbankan, Jakarta, Jala,
2008 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada
Media Group, 2008 ------------------------------- Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011. Soedjono Dirdjosisworo, Respons Terhadap Kejahatan, Introduksi Hukum
penanggulangan Kejahatan(Introduction to the law of Crime Prevention), Sekolah Tinggi Hukum Bandung Press, 2002.
---------------------- kebijakan legislasi tentang sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004. Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu
Hukum.Jakarta PT Rajagrafindo persada, 2010. -------------------------- Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta,
Liberty, 2007. Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta,
1990 dalam Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008.
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1982. --------------------- Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta,
Aksara Baru,1981& 1983. Reksodiputro, Mardjono. Tindak Pidana Korporasi Dan
Pertanggungjawabannya (Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di
124
Indonesia). Makalah dalam Pelatihan Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi FH UGM. Yogyakarta, 24 Ferbuari 2014.
Sjahdeini Sutan Remi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Press,
Jakarta, 2006.
Ilmu Hukum Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. ------------------------- Kepastian Hukum Dalam Kumpulan Tulisan Program Doktor UNDIPSemarang: Universitas Diponegoro, 2009. Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007. ------------------------ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Semarang, Yayasan Sudarto, 1990. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan, UMM Press, 2012. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995. Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011.
Zulkarnain, Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Tentang
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dan Model Pemidanaannya, Hasil Penelitian Hibah Bersaing. DP2M Dikti. Univ Widyagama. Malang, 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005
2025.
125
Republik Indonesia.Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang No. 1
Tahun 1946 Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Republik Indonesia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana versi Tahun 2015
TESIS
Auliah Andika, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Pencucian Uang, Universitas Indonesia Jakarta, Tesis, Tahun 2012.
M. Yusfidli Adhyaksana, Pertanggungjawaban pidana korporasi Dalam
Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Universitas Diponegoro Semarang, Tesis, Tahun 2008.
Bisma Putra Mahardika, Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban
pidana Pengelola Perusahaan Pertambangan yang Mengakibatkan Kerugian Pada Ekologi dan Masyarakat, Tesis, Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2016.
DISERTASI
Sahuri L. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004