INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI...

130
INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Hukum Oleh : MUHAMAD SONI WIJAYA 156010100111012 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI...

Page 1: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

(Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh

Gelar Magister Dalam Ilmu Hukum

Oleh :

MUHAMAD SONI WIJAYA

156010100111012

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pengaturan Pidana Korporasi dalam undang-undang Korupsi, Lingkungan,

PencucianUang …………………………………………………………………. 6

Tabel 1.2 Daftar Orisinalitas Penelitian ………………………………………………… 11

Tabel 1.3 Perumusan/penyebutan korporasi sebagai subyek tindak pidana

……………………………………………….….….………………………….. 70

Tabel 1.4 Aturan pemidanaan korporasi………………………………………………….. 71

Tabel 1.5 Model /sistim pertanggungjawaban pidana korporasi…………………………. 74

Tabel 1.6 Kesimpulan Hasil Perbandingan ……………………………………………….. 76

Tabel 1.7 Perbandingan Penjatuhan Pidana Korporasi .........................................................93

Page 3: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat-Nya

akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul Inkonsistensi Pengaturan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

(Analisis Yuridis Pada Undang-Undang tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang Dan Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup) PenulisanTesis ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh

gelar Magister dalam bidang ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Dalam penulisan tess ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan

moril, masukan dan saran, sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada

waktunya.Olehsebab itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis hanturkan ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Masruchin Rubai, SH.,MS selaku Pembimbing I penulis yang telah

meluangkan waktunya dan dengan sabar mengarahkan, membimbing, memotivasi,

serta memberikan kritik dan saran dalam Proses penulisan Tesis ini.

2. Bapak Dr. Imam Kuswahyono, SH. M.hum, selaku Pembimbing II penulis yang telah

meluangkan waktunya dan dengan sabar mengarahkan, membimbing, memotivasi,

serta memberikan kritik dan saran dalam Proses penulisan Tesis ini

3. Bapak Prof. Dr.Ir. Chanif Mahdi.,Ms. atas segala dukungan materiil, moril serta doa

dan restu yang diberikan kepada penulis

4. Bapak dan Ibu, H. Agus Hariyono dan Hj Mulyati. RM. Danar Satriyo Restyoko atas

segala doa dan restu yang diberikan kepada penulis

5. Dewi Salma Validya, SH, Aqeela Naura Putri, yang selalu memberikan kasih sayang

dan dukungan luar biasa yang diberikan kepada penulis

6. Dr. Jeane Darc Noviayanti Manik. SH, M.hum, yang selalu memberikan motivasi,

serta jalan keluar bagi penulis dalam penulisan Tesis ini

7. Bapak/Ibu Dosen serta Karyawan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang telah

mendidik dan memberikan pelayanan yang baik selama penulis belajar di Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya Malang.

8. Teman teman angkatan Magister Ilmu Hukum angkatan 2015

Page 4: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

9. Pihak pihak lain yang telah turut membantu selesainya tesis ini yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu

Akhirnya teriring doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat kepada

mereka semua. Penulis sangat sadar bahwa masih banyak hal-hal yang perlu dianalisa lebih

dalam, sehingga kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan.Akhir

kata dari penulis berharap apa yang dituangkan dalam penulisanTesis ini dapat memenuhi

kehendak semua pihak dan bermanfaat serta menambah khasanah ilmu pengetahuan

khususnya Fakultas Hukum Universutas Brawijaya.

Malang Juli 2017

Penulis

Page 5: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Page 6: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

iii

RINGKASAN

Muhamad Soni Wijaya, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Juli

2017, INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI DALAMPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

(Analisis Yuridis Pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-

UndangTindakPidanaPencucianUangdanUndang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

LingkunganHidup), Prof. MasruchinRuba’I, S.H., M.S., Dr. Imam Koeswahyono

S.H.,M.Hum

Pada tesis ini,penulis mengangkat permasalah anterkaitin konsistensi pengaturan

pertanggung jawaban pidana korporasi di dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia.Pilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh ketidak konsistenan atau terjadi

inkonsistensi perumusan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-

undangan di Indonesia

Berdasarkan hal tersebut diatas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah : (1).

Mengapa terjadi inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

perundang-undangan di Indonesia?, (2) Bagaimana dampak dari inkonsistensi pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peaturan perundang-undangan di Indonesia?,

(3) Bagaimana bentuk pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang akan datang.Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian hukum normative dengan metode pendekatan perundang-

undangan (statute approach), pendekatankasus (case approach), pendekatan perbandingan

(comparative approach), pendekatankonsep (conseptual approach). Bahanhukum yang

dipergunakan mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dengan analisa bahan

hukum yang dipilih adalah content analysis dengan memakai interprestasi hokum gramatikal,

sistimatis dan teleologis.

Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas

permasalahan yang ada bahwa alas an utama terjadinya inkonsistensi pengaturan

pertanggungjawaban pidana korproasi karena undang-undang tersebut merupakan undang-

undang khusus dan sekaligus LexSpesialis terhadap KUHP selain itu adanya ketidak

cermatan parapembentuk undang-undang membuat rumusan pertanggungjawaban korporasi.

Dampak utama yang ditimbulkan akibat inkonsistensi tersebut adalah adanya disparitas

putusan hakim dalam menjatuhkan putusannya terhadap korporasi yang melakukan tindak

pidana. Dalam iusconstituendum perlu diakomodirnya penyeragaman pengaturan mengenai

korporasi sebagai subjek hokum pidana, sehingga tidak ada perbedaan lagi. RUU KUHP

telah mengakomodir korporasi sebagai subyek hukum pidana dan sekaligus mengatur tentang

mekanisme pertanggungjawaban pidananya.

Kata Kunci :Korporasi, Inkonsistensi, PertanggungjawabanPidana

Page 7: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

iv

SUMMARY

Muhamad Soni Wijaya, master of Science in law, Faculty of law, University of Brawijaya

Juny 2017, INCONSISTENCY THE CRIMINAL CORPORATE IN THE LEGISLATION IN

INDONESIA (Analysis legal in the law of criminal acts of corruption, money laundering, and

law protection and environmental management), advisory commission, chair : Prof.

Masruchin Ruba’I, SH.,MS. Dr. Imam Koeswahyono. SH. Mhum.

In this thesis, the author raised the related issue of criminal liability of corporate

settings inconsistencies in legislation in Indonesia. The theme options effected by an

inconsistency or inconsistencies of criminal liability of corporate settings formulation in

legislation in indonesia

Based on the things above, this paper raised the problem formulation: (1) why is

there a corporate criminal liability arrangements inconsistencies in legislation in Indonesia?,

(2) how the impact of corporate criminal liability arrangements inconsistency in the laws and

regulations in Indonesia?, (3) how the shape of the criminal liability of corporations in

setting laws and regulations in Indonesia. The methods used in this study are normative legal

research with the method approach of legislation (the statute approach), the approach of the

case, a comparative approach, conceptual approach. Legal materials used include primary

legal materials, secondary and tertiary, with the analysis of the selected legal materials is

content analysis using grammatical interpretation of law, systematic way and teleologis

The research with the methods abov, the author answers to existing problems that the

main reason for the occurrence of criminal accountability arrangements corporation

inconsistency because the law is a special law and the lex specialist against the penal code

moreover the existence creation of legislation to make the formulation of corporate

accountability. The main impact caused due to these inconsistency is the disparity in the

judge’s verdict award against dropping the corporation who commits a criminal offence. In

ius constituendum need to be made regarding the setting of the corporate as a subject of

criminal law, so that there is no difference anymore. The bill of the criminal code has as the

subject corporation through criminal law and the criminal accountability mechanisms set

about.

Key Words : Corporate, Inconsistency, Criminal Liability

Page 8: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah salah satu Negara berkembang yang sedang

melakukan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan senantiasa akan

menimbulkan perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung di

dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1

Pembangunan di segala bidang dan globalisasi dan moderenisasi

tepatnya dalam hal kemajuan teknologi, komunikasi, transportasi, dan

informatika telah menyebabkan perkembangan yang sangat pesat khususnya

pada kegiatan usaha yang sudah tentu akan berdampak pada masyarakat. Pada

masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup di jalankan secara

perseorangan (privat). Seiring dengan perkembangan masyarakat dan

perkembangan zaman, maka timbulkebutuhan untuk mengadakan kerja sama

dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hal ini

muncul korporasi (dalam bentuk perseroan terbatas dan badan hukum lainnya)

yang menawarkan saham dan barang (jasa) pada masyarakat luas sehingga

jumlah kerja sama dapat mencapai ratusan bahkan ribuan orang.2

1Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 pada bagian penjelasan menyatakan bahwa : Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara sebagaimana di rumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.

2Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia(Strict Liability dan Vicarius Liability), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 28.

Page 9: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

2

Eksistensi suatu Korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi

kepentingan manusia maupun bagi kepentingan Negara. Dikatakan demikian

karena korporasi tidak dapat di lepaskan dalam kehidupan bermasyarakat atau

dengan kata lain usaha-usaha dalam rangka mencukupi kebutuhan umat

manusia tidak dapat di lepaskan dari keberadaan Korporasi.3Selain bagi

manusia eksistensi korporasi pun dirasakan penting bagi Negara, karena

korporasi memiliki peranan penting terhadap perekonomian nasional tepatnya

dalam rangka meningkatkan pertunbuhan ekonomi suatu Negara.Korporasi

memiliki peranan besar untuk meningkatkan penerimaan Negara dalam hal

(penerimaan pajak), menciptakan lapangan pekerjaan, ahli teknologi, terlebih

untuk sebuah bank, korporasi (yang dalam hal ini adalah bank) dapat

dikatakan sebagai pilar penopang perekonomian nasional.4

Terdapat beberapa contoh kasus kejahatan atau tindak pidana yang

melibatkan atau diduga dilakukan oleh suatu korporasi sebagai berikut :

1) Kasus Tindak Pidana Korupsi.5

yaitu PT. Giri Jaladhi Wana mendapatkan putusan yang berkekuatan

hukum tetap dari pengadilan, yaitu perkara No.

812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm., yang mana PT. Giri Jaladhi Wana ditetapkan

3Soetan K. Malikoel Adil menguraikan pengertian korporasi secara etimologis.Korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata corporation dalam bahasa Latin.Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan tio, maka corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu.Corporare sendiri berasal dari kata corpus (Indonesia = badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung : Utomo, 2004), hlm. 12

4Kristian, Kebijakan Integral Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporaasi di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hlm. 6

5http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor, diakses selasa 31 Januari 2017.

Page 10: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

3

sebagai tersangka dalam perkara korupsi dengan mengambil keuntungan

dana Pasar Sentra Antasari Banjarmasin, PT. Giri Jaladhi Wana

memperoleh kewajiban dan ha katas pembangunan Pasar Sentra Antasari.

PT. Giri Jaladhi Wana dianggap sebagai pihak yang dapat dimintai

pertanggungjawaban secara pidana karena turut menikmati segala

keuntungan dari pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari.

Dalam putusanya Pengadilan Negeri Banjarmasin menjatuhkan pidana

denda Rp. 1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) kepada

PT. Giri Jaladhi Wana dan pidana tambahan berupa penutupan sementara

PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.

2) Kasus semburan lumpur panas PT. Lapindo Berantas.6

Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006.Peristiwa ini

menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi

areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini

wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50

ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti

kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa

dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas

perekonomian di Jawa Timur genangan hingga setinggi 6 meter pada

pemukiman total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa;

rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit areal pertanian dan

perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha, lebih dari 15 pabrik yang

tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari

6http://s-moc.blogspot.co.id/2012/09/kehatan-korporasi-dalam-bencana-lumpur.html,

diakses selasa 9 Januari 2017.

Page 11: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

4

1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan

wilayah yang tergenangi rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur

(jaringan listrik dan telepon) terhambatnya ruas jalan tol Malang-

Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan

Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu

kawasan industri utama di Jawa Timur.

3) Kasus tindak Pidana Pencucian Uang.7

Pada kasus pencucian uang di Kebumen Jawa Timur yang melibatkan

Kepala Cabang Bank Lippo Kebumen Dra. Anastasi Kusmiati Pronoto

alias Mei Hwa ini terbukti melakuka tindak pidana pencucian uang dan

dikenai sanksi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar

Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pada kasus ini terdakwa Mei

Hwa bersama terdakwa lainya yakni Robert dan Tawfik edy bekerja sama

melakukan tindak pidana penipuan, lalu kemudia uang yang didapatkan

dari hasil penipuan tersebut dimasukkan kedalam rekening terdakwa

Anastasia alias Mei Hwa yang dipencar kebeberapa rekening bank yang

berbeda dengan maksud untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal

usul uang tersebut. Uang yang diterima dari transfer ke rekening tedakwa

Mei Hwa tersebut kemudia ditransfer lagi ke beberapa rekening pada

bank yang berbeda milik terdakwa Herry Robert sehingga seluruhnya

berjumlah Rp. 51.531.318.000. Terdakwa dalam kasus ini menggunakan

sarana perbankan sebagai media untuk melakukan kejahatan, jumlah uang

yang disamarkan terbilang sangat besar. Dengan digunakannya sarana

7Auliah Andika, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Pencucian Uang, Universitas Indonesia Jakarta, Tesis, Tahun 2012.

Page 12: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

5

perbankan dalam proses pentransferan tersebut sehingga maksud

terdakwa dalam menyamarkan dan menyembunyikan uang hasil

kejahatannya dapat terlaksana.

Pengaturan mengenai korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam

sistim hukum Indonesia pada dasarnya diatur secara tegas dalam berbagai

undang-undang yang bersifat khusus8.Pengakuan korporasi sebagai subyek

tindak pidana dalam undang-undang tersebut tidak diikuti dengan pengaturan

lebih lengkap dan jelas. Ketentuan khusus yang harus diatur dalam suatu

undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana

setidaknya mengenai:9

a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana;

b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan;

d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Terdapat beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur terkait

tanggungjawab hukum pidana korporasi diantaranya akan dipaparkan pada

tabel berikut ini :

8Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa yang di maksud dengan tindak pidana khusus

adalah adalah semua tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

9 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,(Kencana Prenada Media Group, Jakarta), hlm. 151.

Page 13: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

6

Tabel 1.1. Pengaturan Pidana Korporasi dalam undang-undang Korupsi, Lingkungan,

Pencucian Uang,

No PENGATURAN UU TIPIKOR

UU PPLH/ LINGKUNGAN

UU TPPU/ PENCUCIAN

UANG 1 Korporasi sebagai

subyek tindak pidana

Pasal 1 angka (3) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

Pasal 1 angka 32 menjelaskan bahwa badan hukum termasuk subjek tindak pidana

Pasal 1 angka (9) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

2 Pertanggung jawaban pengurus

Pasal 20 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab

Pasal 116 ayat (2), yang termasuk pengurus antara lain:orang yang memberi perintah atau pemimpin

Pasal 6 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab

3 Pola/model perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi

Pasal 20 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata

Pasal 116 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata

Pasal 6 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata hubung

4 Kriteria korporasi

melakukan tindak pidana

Pasal 20 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup pekerjaannya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama

Pasal 116 ayat (2), apabila dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha

Pasal 6 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh personil pengendali korporasi (pengurus), dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.-

5 Pihak yang mewakili apabila korporasi dituntut secara pidana

Pasal 20 ayat (3), apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus

Pasal118, apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus

pengurus

Sumber : diringkas dan diolah dari bahan hukum primer

Page 14: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

7

Dalam penjelasan Pasal terkait pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam Undang-undang tindak pidana khusus yaitu Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terdapat Perbedaan pengaturan

pertanggungjawaban korporasi. Perbedaan tersebut akan berakibat kepada

ketidakpastian hukum, dan inkonsistensi pengaturan dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia kemudian akan berdampak kepada

penegakkan hukum.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, munculbeberapa permasalahan

yaitu :

1. Mengapa terjadi inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban pidana

korporasi dalam perundang-undangan di Indonesia.

2. Bagaimana dampak dari inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

3. Bagaimana bentuk pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang akan datang.

1.3. Tujuan Penelitian

Identifikasi tujuan yang hendak dicapai dalam suatu penelitian adalah

sangat penting mengingat tujuan penelitian dengan manfaat yang akan

diperoleh dari penelitian sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu, tujuan

dalam penelitian ini adalah :

Page 15: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

8

1. Untuk menemukan dan menganalisa mengapa terjadi inkonsistensi

pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-

undangan di Indonesia.

2. Untuk menemukan, mengetahui dan menganalisis dampak pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

3. Untuk menganalisis dan merumuskan pengaturan pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

akan datang.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini baik secara teoritis maupun

secara praktis, adalah :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pengembangan ilmu

pengetahuan, dan memberikan masukan dalam hal pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana khusus yang

diharapkan dapat memberikan pemikiran terkait inkonsistensi pengaturan

Pidana Korporasi

2. Secara praktis :

a. Bagi DPR RI dan Presiden :

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan, masukan

ataureferensi terkait pengaturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi

Page 16: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

9

b. Bagi Akademisi :

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat

positif bagi pengembangan kajian ilmu hukum dan memberikan

bekal pengetahuan umum dan informasi secara jelas terkait

pengaturan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

1.5. Originalitas Penelitian

Dalam melakukan penelitian tesisi ini, peneliti telah melakukan

penelusuran terhadap berbagai tesis yang relevan dengan penelitian ini yaitu :

1. Penelitian Tesis Auliah Andika, persamaan dalam penelitian yaitu

Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi, perbedaannya penelitian ini menitik beratkan

pada studi kasus yaitu terhadap kasus Pencucian Uang yang dilakukan

oleh Korporasi, kontribusi dalam penelitian ini yaitu mengetahui kejahatan

yang dilakukan oleh korporasi dalam hal tindak pidana pencucian uang,

yang terbaru dalam penelitian ini yaitu perlu adanya peraturan yang tegas

untuk menjerat pelaku kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.10

2. Penelitian Tesis M. Yusfidli Adhyaksana, persamaan dalam penelitian

yaitu Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan

yang dilakukan oleh korporasi, perbedaannya penelitian ini menitik

fokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kontribusi

dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana

10Auliah Andika, Op.Cit.,2008

Page 17: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

10

pertanggungjawaban pidana korporasi didalam melakukan tindak pidana

korupsi terutama mengenai kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia

(BLBI).11

3. Penelitian Tesis Bisma Putra Mahardhika, persamaan dalam penelitian

yaitu Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait

pertanggungjawaban pidana korporasi, perbedaannya penelitian ini

menitik fokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yang

mengakibatkan kerugian pada ekologi dan masyarakat, kontribusi dalam

penelitian ini yaitu diperlukan rekonstruksi terkait pertanggungjawaban

pidana korporasi yang mengakibatkan kerugian pada ekologi dan

masyarakat.12

Berikut ini merupakan tabel untuk memudahkan melakukan suatu

penelusuran dan mengidentifikasi hasil studi atau penelitian terdahulu yang

relevan dengan penelitian ini,

11M. Yusfidli Adhyaksana, Pertanggungjawaban pidana korporasi Dalam

Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Universitas Diponegoro Semarang, Tesis, Tahun 2008.

12Bisma Putra Mahardika, Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban pidana Pengelola Perusahaan Pertambangan yang Mengakibatkan Kerugian Pada Ekologi dan Masyarakat, Universitas Brawijaya Malang,Tesis, Tahun 2016.

Page 18: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

11

Tabel 1.2. Daftar Orisinalitas Penelitian

No Tesis Judul Persamaan Perbedaan

1 Auliah Andika

Pertanggungjawaban pidana Korporasi pada Tindak Pidana Pencucian Uang

Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.

Perbedaannya penelitian ini menitik beratkan pada studi kasus yaitu terhadap pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi kontribusi dalam penelitian ini yaitu mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana pencucian uang

2 M. Yusfidli Adhyaksana

Pertanggungjawaban pidana korporasi Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI, 2008.

Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.

Perbedaannya penelitian ini menitik fokuskan terhadap Bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi ?

3 Bisma Putra Mahardhika

Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban pidana Pengelola Perusahaan Pertambangan yang Mengakibatkan Kerugian Pada Ekologi dan Masyarakat, 2016

Memiliki fokus kajian penelitian yang serupa yaitu terkait kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.

penelitian ini menitik fokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yang mengakibatkan kerugian pada ekologi dan masyarakat

Sumber : diolah dan diringkas dari naskah asli tesis yang dijadikan pembanding tesis ini

1.6. Kerangka Teoritik Dan Konseptual

Teori yang melandasi penulisan ini diantaranya Teori Kepastian Hukum,

Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Teori

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.ketiga teori tersebut akan digunakan

sebagai pisau analisa dalam pembahasan dan untuk menjawab rumusan

Page 19: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

12

masalah yang ada dalam penelitian, berikut ini adalah pemaparan dari ketiga

teori tersebut.

1.6.1. Kerangka Teori

1.6.1.1. Teori Kepastian Hukum

Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam

suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang

berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan

pelaksanaanya dengan suatu sanksi.13 Kepastian hukum merupakan salah satu

tujuan hukum yang sifatnya yaitu norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman

perilaku bagi semua orang. Ubi Jus Incertum, ibi jus nullum (dimana tiada

kepastian hukum, disitu tidak ada hukum).14

Kepastian hukum berkaitan erat dengan keteraturan masyarakat dan

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat

melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dalam bermsayarakat. Berdasarkan

ketentuan pada Pasal 1 KUHP menjelaskan tentang asas Legalitas atau

kepastian hukum terwujud apabila aturan tersebut telah tertuang dalam

perundang-undangan yang telah ada sehingga memberikan kepastian hukum

bagi pelaksananya, sebagai mana tertulis dalam norma yang menyatakan

:Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali aturan dalam peraturan

perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.Hal itu

berarti kepastian hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang bersifat non rektroaktif.

13Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta PT Rajagrafindo persada, 2010), hlm. 24.

14Ibid., hlm 82.

Page 20: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

13

Kepastian hukum15 adalah keadaan siatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara jelas, pasti dan logis, yang dimaksud jelas adalah tidak

adanya kekaburan norma atau keraguan sedangkan logis adalah menjadi suatu

sistim norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum memberikan pemberlakuan

hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaanya tidak

dapat dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat subyektif.Kepastian hukum

dalam suatu Negara adalah dengan adanya undang-undang yang telah

ditentukan dan sungguh-sungguh berlaku sebagai hukum, putusan-putusan

para hakim yang bersifat konstan, dan berakibat kepada masyarakat yang tidak

ragu-ragu terhadap hukum yang berlaku16. Tujuan dari setiap undang-undang

akan tercapai jika kalimat yang tersusun didalamnya sangat jelas sehingga

tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Kepastian hukum terkait

dengan penegakan hukum dan penegakan hukum itu sendiri merupakan proses

untuk mewujudkan tercapainya keinginan hukum.

Menurut Theo Huijibers, tujuan dari politik hukum bukan hanya untuk

menjamin keadilan tetapi juga untuk menciptakan ketentraman hidup dengan

memelihara kepastian hukum. Jadi maskudnya adalah, hukum bukan

merupakan tujuan (politik) hukum, tetapi sesuatu yang harus ada apabila

keadilan dan ketentraman hendak diciptakan .indikator adanya kepastian

15 Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum sudah menjadi semacam ideology dalam

berhukum. Secara sosio historis, masalah kepastian hukum muncul bersamaan dengan sistim ekonomi kapitalis, hukum modern tampil menjawab kebutuhan zaman tersebut adalah secara tertulis dan public, karena dengan tertulis dan diumumkan secara public maka segalanya dapat diramalkan dan dimasukkan menjadi alat analisa yang positivistic. Satjipto Rahardjo, Kepastian Hukum Dalam Kumpulan Tulisan Program Doktor UNDIP (Semarang: Universitas Diponegoro, 2009), hlm.1-2,

16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 119.

Page 21: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

14

hukum disuatu Negara, ditunjukkan dengan adanya perundang-undangan yang

jelas dan diterapkan oleh hakim maupun petugas hukum lainnya17.

Selain itu, Gustaf Radbruch memberikan konstibusi yang mendasar

terhadap teori kepastian hukum, dengan ide dasar hukum yaitu keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum18. Ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu

berada dalah hubungan serasi satu sama lain, melainkan dapat berhadapan,

bertentangan satu sama lain. Kehadiran hukum modern membuka pintu bagi

masuknya masalah yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu kepastian hukum,

karena nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada sejak

sebelum adanya era hukum modern.Sejak awal mula kedua nilai tersebut telah

menjadi wacana hukum dan menjadi publik, namun baru menjadi kepastian

hukum setelah dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum

menyangkut masalah bukan tentang keadilan dan

kemanfaatan, jadi kepastian hukum menurut Radbruch adalah adanya

kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian aturan19.

1.6.1.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Perundang-undang menyatakan bahwa perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara

umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.

17 Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm.

22 18 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Keadilan

(jurisprudence) (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2009), hlm. 288. 19Ibid, hlm. 297

Page 22: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

15

Ilmu pengetahuan Perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari

Gesetzgebungswissenschaft, adalah sebuah cabang ilmu baru yang mula-mula

berkembang di Eropa Barat, terutama di Negara-negara yang berbahasa

Jerman. Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini antara lain

adalah Peter Noll (1973), Jurgen Rodig (1975), Burkhardt Krems (1979), dan

Werner Maihover (1981). Di Belanda antara lain S.O Van Poelje (1980), dan

W.G Van der Velden (1988).20

Kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan

teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen

berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-

lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma

yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih

tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar

(Grundnorm)21.

Menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan perundang-undangan

(Gesetzgebungswissenschaft) merupakan ilmu yang interdisipliner yang

berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat

dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu:22

20 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998. hlm.

2. 21Ibid. hlm. 41. 22Ibid. hlm. 2-3

Page 23: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

16

a. Teori perundang-undangan (Gesetzgebungstheory), yang berorientasi

pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-

pengertian, dan bersifat kognitif;

b. Ilmu Perundang-undang (Gesetzgebungslehre), yang berorientasi

pada melakukan berbuatan dalam hal pembentukan peraturan

perundang-undangan, dan bersifat normative.

Guna mencari kejelasan terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana

korporasi, maka dibantu dengan teori hukum ilmu perundang-undangan

membantu dalam menulusuri proses pembuatan aturan sehingga temuan para

pembentuk undang-undang tentang pertanggungjawaban pidana korporasi

dapat dipahami dan tidak menimbulkan interpretasi.

Burkhardt Krems membagi lagi kedalam tiga bagian yaitu:

a. Proses perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren);

b. Metode perundang-undangan (Gesetzgebungsmethode);

c. Teknik perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik).

Istilah perundang-undangan (Legislation, wetgeving, atau Gesetzgebung)

mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu23 :

a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses

membentuk peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat,

maupun ditingkat daerah.

b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang

merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat

pusat maupun ditingkat daerah.

23Ibid. hlm. 3

Page 24: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

17

1.6.1.3. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Teori-teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

a. Teori Identifikasi

Teori ini juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal

liability24pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari

korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai

tindakan korporasi itu sendiri25yang dilakukan korporasi.26

Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap sebagai

atau Artinya, perbuatan mens rea para individu

itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. jika individu diberi kewenangan

untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea

para individu itu merupakan mens reakorporasi.27dikarenakan orang-orang

yang identik dengan korporasi sangat bergantung kepada jenis dan struktur

organisasi. Organisasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia.

Korporasi sebagai sebuah organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang

mengendalikan apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang

alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di

lingkungan korporasi itu hanyalah karyawan dan agen yang tidak lebih dari

24 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 80 & 105. Mahrus Ali dalam bukunya membedakan

penjelasan mengenai identification doctrinedengan direct corporate criminal liability.Meskipun dalam penjelasannya, Mahrus Ali menyatakan bahwa corporate criminal liabilityberhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan agen tertentu dalam suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Lihat hlm. 106.

25 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, Op.Cit,hlm. 80. 26Identification Doctrine adalah doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan dapat

melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,hlm. 87.

27 Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit, hlm. 307. Dengan menggunakan teori organ, pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan the state of mind of the senior officers of the company as being the state of mind of the company.

Page 25: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

18

tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin

atau kehendak perusahaan. Artinya, doktrin ini diharapkan dapat mendorong

pertanggungjawaban pidana dari korporasi atas actus reusdan mens readari

pejabat berwenang (controlling officers), tapi terbatas pada pejabat tersebut.

Directing mindatau orang-orang yang identik dengan korporasi menurut

Yedidia Z. Stern meliputi the general meeting, board of directors, managing

directors, general manager, chief executive, and possibly individual

directors, secretariesand shop managers.28Namun timbul pertanyaan apakah

jabatan tersebut dengan sendirinya akan bertanggung jawab setiap terjadi

tindak pidana dalam lingkup korporasi? Untuk itulah, pendekatan

menggunakan identification doctrinedalam menentukan directing

mindkorporasi harus dianalisis secara kontekstual.29Sutan Remy Sjahdeini

mengutip pendapat Little dan Savoline terkait dianutnyaidentification doctrine

dalam putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara Canadian Dredge

and Dock vs The Queen30yang menyatakanbahwa telah muncul beberapa asas

terkait identification doctrine dari putusan tersebut:31

28Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang

identik dengan korporasi Yedidia Z. Stern mengungkapkan terdapat lima pendekatan untuk menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan analisis fungsi.

29 Sutan Remy Sajhdeini, Op.Cit,hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing minddari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.

30Ibid.Mahkamah Agung Kanada dalam perkara tersebut berpendapat bahwa directing

corporation. 31Asas terkait keputusan tersebut adalaha)Directing minddari suatu korporasi tidak

terbatas pada satu orang saja. Sejumlah pejabat (officer) dan direktur dapat merupakan directing mind dari korporasi tersebut. b)Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki berbagai operasi (multiple operation) di berbagai lokasi geografis (memiliki berbagai kantor cabang) tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu

Page 26: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

19

b. Teori Strict Liability

Doktrin strict liabilitymengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana

dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak

perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada

pelakunya.Strict liabilityini merupakan konsep pertanggungjawaban tanpa

kesalahan (liability without fault ). Dengan kata lain, konsep strict liability

dirumuskan sebagai

(suatu bentuk

pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur

kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan).32Roeslan Saleh

menambahkan, dalam tindak pidana yang bersifat strict liabilityyang

dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal

itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban daripadanya. Jadi, tidak

dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liabilityadalah actus

lokasi yang terpisah dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi.c)Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab dengan mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana itu telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum. d)Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat (have a guilty mind and/or criminal intent), yaitu yang dikenal dalam hukum pidana pidana sebagai mens rea. Dalam doktrin ini, pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing minddari korporasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila tindak pidana itu tidak disadarinya. e) Untuk menerapkan identification doctrineharus dapat ditunjukkan bahwa perbuatan dari personil yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya, tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang bersangkutan, dan tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat bagi korporasi. f)Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis kontekstual (contextual analysis). g)Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan kasus per kasus (on a case by a case basis). Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggung jawab.Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan penting harus dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.Ibid., hlm. 106.

32 Barda Nawawi Arief, Op.Cit,hlm. 28.

Page 27: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

20

reus(perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan)

bukan mens rea (kesalahan).33

Konsep strict liabilitydi negara-negara common law diartikan sebagai

kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah

satu ciri utama tanggung jawab mutlak, yakni tidak adanya persyaratan tentang

kesalahan.34Sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak (strict

liability) telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa kasus, yang

sebagian besar berkaitan dengan resiko lingkungan35, dan keamanan/kesehatan

makanan, perlindungan konsumen, di samping ketertiban umum, fitnah

ataupencemaran nama baik, dan Contempt Of Court, serta pelanggaran lalu

lintas.36Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi

tindak pidana kesejahteraan (public welfare offences) yang bersifat tindak

pidana ringan yang diancam tindak pidana denda. Argumen ini dikemukakan

pula oleh Muladi dan Dwidja Priyatno sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy

Sjahdeini, yang menyatakan bahwa:37

hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran

yang sifatnyaringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu

lintas.Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap

pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut

perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat, misalnya

perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan

lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat

33Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21. 34 Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit,hlm. 298. 35ibid 36Ibid 37 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,hlm. 83.

Page 28: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

21

menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut

pertanggungjawaban pidana korporasi dengan adagium res ipsa

loquitur(fakta sudah berbicara sendiri).

Doktrin strict liabilityini terdapat dalam delik-delik yang diatur menurut

undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala prohibita), yang

pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce

sebagaimanadikutip dalam Yusuf Shofie menyatakan bahwa banyak faktor

yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang menetapkan penggunaan

strict liabilitydalam hukum pidana, seperti: karakteristik suatu tindak pidana,

pemidanaan yang diancamkan, ketiadaan sanksi sosial, kerusakan tertentu yang

ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat

tertentu dan konteksnya dalam suatu perundang-undangan.38 Selanjutnya

mengutip pendapat Romli Atmasasmita, pembentuk undang-undang telah

menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan

sebagai berikut:39

a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat;

b. Ancaman hukumannya adalah ringan;

c. Syarat adanya mens rea akan menghambat adanya tujuan perundang-

undangan;

d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan

terhadap hak-hak orang lain;

e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak

diperlukan.

38 Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 362-363. Keenam faktor tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhatian publik (public concern) terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability, agar keamanan masyarakat ( public safety), lingkungan hidup (environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the economic interest of the public), termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga.

39 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 78.

Page 29: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

22

c. Teori Vicarious Liability

Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai

pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang

dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious

liability adalahsuatu konsep pertanggungjawaban seorang atas kesalahan yang

dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada

dalam ruang lingkup pekerjaannya. (the legal responsibility of one person for

wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope

of employment).40

Black s Law Dictionary mendefenisikan vicarious liability sebagai

berikut:

action are conduct of sub-ordinate or associate (such as an employee) because

41

Dengan pengertian tersebut, doktrin ini pada dasarnya adalah untuk

menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang dapat dikenakan

pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh

orang lain.42Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi

jika pada diri pembuatnya terdapat unsur kesalahan, dengan vicarious liability

diberikan pengecualian, di mana seorang lain bertanggungjawab atas perbuatan

40 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1994), hlm. 33. 41 Black s Law Dictionary, dikutip dari Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana

Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 119. 42Menurut Hasbullah, secara umum tidak dimungkinkan adanya permintaan

pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain karena sifatnya yang personal dan seseorang itu dipidana akibat dari kesalahannya sendiri dan bukan akibat kesalahan orang lain.Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm.301.

Page 30: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

23

yang dilakukan oleh orang lain.43Pengecualian ini terjadi apabila ada hubungan

kerja, sebagaimana dalam asas respondeat superior,44dijelaskan sebagai

bentuk adanya hubungan antara masterdan servantatau antara principaldan

agent, dimanaberlaku adagium yang berbunyi qui facit per alium facit per se

(seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan

perbuatan itu).

Dalam perbuatan-perbuatan perdata, seorang pemberi kerja

bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya

sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya.45Hal ini memberikan

kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan

melawan hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar membayar

ganti rugi sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya.46Rasionalitas

penerapan doktrin ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan

kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung

dimiliki oleh majikan (korporasi).

Prinsip hubungan kerja yang dikenal dalamdoktrin vicarious liability,

disebut juga dengan prinsip delegasi.47Prinsip delegasi terkait dengan

mendelegasikan wewenang seseorang (korporasi) kepada bawahannya atau

43 M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi,Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 18.

44 Lihat Barda Nawawi Arief, Op.Cit,hlm. 37. Respondeat superiorsebenarnya merupakan hasil pengadopsian dari prinsip yang ada dalam hukum perdata, yaitu perbuatan melawan hukum, di mana dikenal suatu prinsip bahwa majikan akan bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawannya.

45 C. M. V. Clarkson dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. Vicarious liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

46 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 84.

47Ibid.,hlm. 97

Page 31: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

24

kuasanya yang bertindak untuk dan atas namanya, tetapi pemberi kuasa harus

bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan penerima wewenang apabila

iamelakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak mengetahui apa yang telah

dilakukan oleh bawahannya itu. Hal ini patut untuk ditekankan bagi korporasi,

sebagaimana pendapat Scalan dan Ryan menyatakan bahwa kebijakan hukum

telah menentukan bahwa suatu pendelegasian tidak dapat menjadi alasan

pemaaf bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul pertanggungjawaban

pidanasemata-mata karena tindak pidana tersebut telah dilakukan oleh

bawahannya yang telah menerima pelimpahan wewenang darinya.48Salah satu

contoh penerapan teori vicarious liability adalah kasus Allen vs Whitehead.49

Terdapat beberapa alasan mengapa doktrin vicarious liabilitydibutuhkan

dimana pertanggungjawaban pidana secara individual tidak dapat

digunakan50sehingga terdapat tempat bagi korporasi untuk bertanggung jawab,

antara lain:

a. Penerima kuasa seringkali tidak mempunyai aset yang mencukupi untuk

membayar kerugian yang timbul akibat suatu kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana korporasi dapat membantu mengurangi

masalah yang timbul dari kesalahannya.

48 Lihat Mahrus Ali., Op.Cit,hlm. 120 49X adalah pemilik rumah makan yang pengelolaannya diserahkan kepada Y (sebagai

manager). Berdasarkan peringatan polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar Y. Dalam kasus itu, X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act, 1839, Pasal 44. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y (manager rumah makan).Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu pada manager, maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah makan. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict Liability dan Vicarious Liability),(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 116-117.

50 V.S Khanna, en Should Corporations Be Held http://crawl.prod.proquest.com.s3.

amazonaws.com/fpcache/c32f92d88d0cedd33b2058d54439f274.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJF 7V7KNV2KKY2NUQ&Expires=1464668037&Signature=drsWw3axPSjQgJB3D7mYeM0RTS %3D, diakses pada tanggal 25 Pebruari 2017.

Page 32: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

25

b. Pertanggungjawaban korporasi meningkatkan pencegahan jika

penerima kuasa terbukti menempatkan aset korporasi dalam bahaya dan

akibat kesalahan tersebut. Jika korporasi yang menanggung biaya

tersebut, maka korporasi telahmeningkatkan motivasi untuk memonitor

para penerima kuasa, mencegah

c. mereka melakukan kesalahan. Jika penerima kuasa tidak terbukti

melakukan kesalahan, maka mereka tidak dapat dikenai

pertanggungjawaban lewat identification doctrinekarena para penerima

kuasa tidak dapat merespon pertanggungjawaban yang dibebankan

kepadanya.

Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi

dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun

yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan

berdasarkan uraian di atas, setidaknya terdapat dua syarat penting untuk

menerapkan doktrin vicarious liability, yaitu harus terdapat suatu hubungan,

seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja, serta tindak pidana

yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang

lingkup pekerjaannya.

1.6.2. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang akan dipergunakan. Untuk

memudahkan dan mencegah terjadinya kesalahpahaman dalam uraian, maka

dibawah ini akan dijelaskan beberapa istilah tersebut yaitu :

Page 33: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

26

1.6.2.1. Korporasi

Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)

sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula

subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat

hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum.

Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak

bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena

dikenal dalam bidang hukum perdata.51 Sedangkan apabila dilihat secara

etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan

corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal

corporatio 52

Sedangkan didalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum Satjipto

Rahardjomemberikan penjelasan apayang dimaksud dengan korporasi.53

51M

kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (Bandung: STHB, 1991), hal. 13

52 menurut Muladi dan Dwidja Priyatno: Seperti

zaman abad pertengahan at

sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya

merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.Ibid.hlm 12

53korporasi adalah Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaann Ilmu Hukum(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 13

Page 34: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

27

Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini

menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan

korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang

luas.54

Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup

mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang

hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum

yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum.

1.6.2.2. Pertanggungjawaban Pidana

Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas

culpabilitas) yang secara tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa

kesalahan.Artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam

hukum pidana karena telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan

pertanggungjawaban pidana.55

54 Beliau menyatakan bahwa: Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,

korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukukorporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh

Pertanggungjawaban Pidana KorporasiPers, 2006), hlm. 44.

55Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, 2012.hlm 203

Page 35: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

28

Menurut Simons,56

sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya

penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum

bertanggungjawab, apabila jiwanya

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari, bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum.

b. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.

Menurut Pompe,57

apabila keadaan jiwanya adalah demikian rupa, hingga apa yang telah ia

lakukan itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Keadaan jiwa yang

sedemikian rupa, dimaksud oleh Pompe adalah keadaan jiwa yang normal/

sehat yaitu keadaan yang memberikan kemampuan untuk bisa membedakan

mana perbuatan yang baik dan yang buruk, perbuatan yang dilarang dan tidak

dilarang dan sebagainya.

Menurut Van Hamel,58

keadaan yang normal dan suatu kedewasaan secara psikis yang membuat

seseorang itu mempunyai tiga macam kemampuan, yaitu:

a. Mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia

lakukan;

b. Mampu untuk menyadari, bahwa tindakannya itu dapat atau tidak dapat

dibenarkan oleh masyarakat, dan;

56Ibid. 57Ibid.hlm 204. 58Ibid. hlm 205.

Page 36: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

29

c. Mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia

lakukan.

Menurut Satochid Kertanegara,59 untuk adanya kemampuan

bertanggungjawab pada seseorang diperlukan adanya tiga syarat, yaitu:

a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat

mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga dapat juga

mengerti akibat perbuatannya;

b. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan

kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya itu;

c. Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu

adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari

sudut hukum, masyarakat, maupun dari sudut tata susila.

Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang

obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada

memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.Dasar adanya

perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar

dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini

berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia

mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan

seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana60.

59Ibid.hlm 206. 60Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. hlm 40

Page 37: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

30

1.6.2.3. Pencucian Uang (Money Loundering )

Money Loundering dapat di istilahkan dengan pencucian uang, atau

pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut juga dengan pembersihan

uang hasil transaksi gelap (kotor).Dalam UUTPPU Tahun 2002 istilah Money

Loundering disebut dengan pencucian uang, sebagaimana tercantum dalam

judul Undang-undang tersebut. Kata money dalam money loundering dapat

diistilahkan beragam. Ada yang menyebutnya dirty money, hot money, illegal

money atau illicit money.Dalam istilah Indonesia disebut secara beragam,

berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.61

Adapun pengertian korporasi dan pencucian uang menurut undang-

undang yaitu :

1. Pengertian korporasi menurut UU No. 25 Tahun 2003 sebagaimana

dalam Pasal 1 angka 3 dan UU No. 8 Tahun 2010 Pasal 1 angka 10 yaitu

: Korporasi merupakan kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pengertian pencucian uang menurut UU No. 25 Tahun 2003 Pasal 1

angka 1 yaitu :Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,

mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,

atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk

meyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga

seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Sedangkan pengertian pencucian uang menurut UU No. 8 Tahun 2010

Pasal 1 angka 1 yaitu :Pencucian uang adalah segala perbuatan yang

61 NHT Siahan, Money Loundering dan Kejahatan Perbankan, (Jakarta : Jala, 2008),

hlm 6

Page 38: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

31

memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-

undang ini.

1.6.2.4. Tindak Pidana Korupsi

Pengertian Tindak Pidana Korupsi berdasarkan UU No 31 Tahun 1999

Pasal 2 angka 1 yaitu : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara

dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

1.6.2.5. Pengertian Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pengertian Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 2 yaitu :

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis

dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,pemeliharaan,

pengawasan, dan penegakan hukum .

1.7. Metode Penelitian

Keberadaan metode penelitian memegang peranan sangat penting untuk

melakukan suatu penelitian ilmiah dibidang hukum. Salah satu cara kerja

keilmuan adalah ditandai dengan metode. Metode penelitian tesis ini

diuraikan sebagai berikut :

Page 39: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

32

1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian

yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur ilmiah untuk menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.62Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian dengan

cara analisis terhadap peraturan perundang-undanganyang didasarkan pada

hukum dogmatik, teori hukum, dan filsafat hukum.63Sisi normatif yang akan

dikaji yaitu adanya ketidakpastian hukum dan inkonsistensi dalam

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan

di Indonesia, antara lain Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

dan Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

1.7.2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan sebagai

berikut:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Dengan meneliti dan menganalisaperaturan perundang-undangandengan

menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang

berhubungan dengan isu hukum yang diteliti.64Yaitu Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

62Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia, 2012), hlm. 57. 63 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group,2011), hlm. 24. 64Ibid, hlm 93

Page 40: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

33

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pendekatan ini diperlukan untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian

suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundangundang-

undangan lainnya maupun dengan peraturan dibawah undang-

undang.Sehingga hasil dari telaah digunakan untuk memecahkan isu

hukum yang dihadapi.

b. Pendekatan Kasus (Case approach)

yakni dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu yang dihadapi.65dalam hal ini kasus yangdianalisis yaitu kasus

Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Pencemaran

Lingkungan.

c. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach)

Seperti dikutip Peter Mahmud Marzuki, perbandingan hukum merupakan

suatu metode studi dan penelitian hukum yaitu membandingkan hukum

yang bersifat deskriptif yang tujuan utamanya adalah mendapatkan

informasi, yaitu dengan membandingkan pertanggungjawaban pidana

korporasi dengan Negara lain. Perbandingan yang dimaksud yaitu

perbandingan dengan Negara Perancis, karena pengaturan

pertanggungjawaban disini lebih fokus dibandingan dengan Negara lain,

yang paling terpenting dalam pengaturan di Negara ini yaitu terdapat

65Ibid, hlm, 119.

Page 41: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

34

pengaturan yang melindungi Negara agar tidak mengalami kerugian yaitu

dengan bertanggungjawab apabila korporasi melakukan tindak pidana.

d. Pendekatan analisis konsep hukum (conceptual Approach)

Yaitu dengan meneliti pendapat-pendapat, pernyataan pernyataan,

komentar-komentar dalam muatan hukum dari berbagai pakat, sarjana,

ahli hukum dari dalam negeri maupun luar negeri (asing) yaitu mengenai

pertanggungjawaban korporasi.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif tidak mengenal adanya data-data dalam

penelitian yang dipergunakan, untuk menjawab permasalahan hukum maka

diperlukan adanya sumber-sumber bahan hukum yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier atau bahan non

hukum.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

hukum yang ditetapkan dan memiliki kekuatan yang mengikat, yang terdiri

dari peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. UUD NRI Tahun 1945.

2. UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025

3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Pasal 59 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Pasal 103 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana.

Page 42: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

35

5. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6. Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

7. Pasal 6-9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

8. Peraturan Mahkama Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak PidanaOleh

Korporasi.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer,66 antara lain berupa:

1) Buku-buku literatur hukum;

2) Risalah sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(selanjutnya disebut DPR RI) dengan Pemerintah Republik

Indonesia

3) Risalah sidang pembahasan undang-undang terkait serta naskah

akademiknya (sewaktu masih dalam bentuk Rancangan Undang-

Undang (RUU)

4) Disertasi, Tesis, atau Laporan Penelitian;

5) Jurnal, Artikel dan Makalah.

c. Bahan hukum tersier

66Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002), hlm 116.

Page 43: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

36

Bahan hukum tersier atau non hukum yaitu adalah bahan hukum yang

dapat membetikan petunjuk ataupun penjelasann untuk memperkuat bahan

hukum primer dan sekunder, seperti yang berasal dari ensiklopedia dan

kamus hukum. Bahan hukum tersier mendukung proses analisis hukum yang

dipergunakan, juga yang berkaitan langsung dengan materi penelitian ini

1.7.4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum

Teknik penelusuran bahan primer dan sekunder dilakukan secara studi

literature (kajian pustaka) dan searching internet serta inventarisasi peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas,

kemudian peraturan perundang-undnagan tersebut dikelompokkan

berdasarkan hierarkhinya. Bahan hukum yang telah diperoleh, kemudian

dipelajari, diedit dan dilekompokkan serta dianalisis sesuai dengan rumusan

masalah yang dikemukakan dalam tesis ini.

1.7.5. Teknik Analisa Bahan Hukum

Langkah selanjutnya setelah peneliti menemukan bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, peneliti akan menguraikan

secara deskriptif dengan menggunakan analisa yang akurat, sehingga mampu

menjawab permasalahan yang terjadi mengenai inkonsistensi pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam perundang-undangan di

Indonesia. Cara pengolahan bahan hukum akan dilakukan secara induktif,

yaitu dengan memaparkan permasalahan yang bersifat umum dari

permasalahan yang ada dan selanjutnya bahan hukum yang ada akan dikaji

serta dianalisis dengan melihat ketertkaitan diantaranya kemudian ditarik

kesimpulan dari hal tersebut.

Page 44: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

37

1.8. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini menggunakan kerangka penulisan dalam

beberapa bagian yang akan menggambarkan alur pengerjaan penelitian agar

menghasilkan karya ilmiah yang sistimatis, logis dan komperhensif melalui

sistimatika penulisan sebagai berikut :

Bab kesatu merupakan bab pendahuluan dimana dalam bab pertama ini

diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, originalitas penelitian, kerangka teori dan

konseptual, metode penelitian, sistimatika penelitian dan desain penelitian.

Bab kedua merupakan bab yang berisi tentang tinjauan pustaka yang

didalamnya diuraikan mengenai kajian umum tentang ruang lingkup

kejahatan korporasi, sistim pertanggungjawaban pidana korporasi, pidana

dan pemidanaan terhadap korporasi.

Bab ketiga merupakan bab yang membahas hasil penelitian dan

pembahasan yang akan menunjukkan hasil analisa terhadap inkonsistensi

pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perundang-

undangan di Indonesia.

Bab keempat merupakan bagian penutup yang akan menguraikan

mengenai kesimpulan yang akan ditarik dari serangkaian analisa hasil

penelitian dan pembahasan yang dilakukan di bab ketiga, serta dalam bab ini

akan diuraikan saran yang berguna bagi para pemangku kepentingan ataupun

penelitian yang akan datang.

Page 45: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

38

1.9.

Des

ain

Pene

litia

n

Bag

an 1

.1.

Des

ain

Pene

litia

n

HA

SIL

DA

N

PEM

BA

HA

SAN

M

ET

OD

E

PEN

EL

ITIA

N

RU

MU

SAN

M

ASA

LA

H

LA

ND

ASA

N

TE

OR

I L

AT

AR

B

EL

AK

AN

G

A.

Prob

lem

atik

a T

eori

tis

Peng

atur

an P

erta

nggu

ngja

wab

an

pida

na k

orpo

rasi

dal

am p

erat

uran

pe

rund

ang-

unda

ngan

di I

ndon

esia

te

jadi

inko

nsis

tens

i seh

ingg

a tid

ak

men

jam

in a

dany

a ke

past

ian

huku

m.

B.

Prob

lem

atik

a Y

urid

is

Dar

i beb

erap

a un

dang

-und

ang

yang

men

gatu

r per

tang

ungj

awab

an

pida

na k

orpo

rasi

kes

emua

nya

men

gatu

r per

tang

gung

jaw

aban

ya

ng b

erbe

da-b

eda

serta

pe

ngat

uran

nya

tidak

mem

berik

an

suat

u ke

jela

san

C

. Pr

oble

mat

ika

Sosi

olog

is

Tuju

an d

iatu

rnya

pen

gatu

ran

perta

nggu

ngja

wab

an p

idan

a te

rhad

ap K

orpo

rasi

ini m

enja

di

tidak

efe

ktif,

sehi

ngga

pen

egak

an

huku

m m

enja

di te

rham

bat.

1.

Men

gapa

terja

di

inko

nsis

tens

i pe

ngat

uran

pe

rtang

gung

jaw

aban

pi

dana

kor

pora

si

dala

m p

erun

dang

-un

dang

an d

i

Pene

litia

n H

ukum

N

orm

atif

Pend

ekat

an P

enel

itian

1.

Pen

deka

tan

Pera

tura

n Pe

rund

ang-

unda

ngan

(sta

tue

appr

oach

) 2.

Pen

deka

tan

Kas

us

(cas

e ap

proa

ch)

3. P

ende

kata

n pe

rban

ding

an

(Com

para

tive

appr

oach

) 4.

Pen

deka

tan

kons

ep

(con

sept

ual

appr

oach

)

2.

Bag

aim

ana

dam

pak

dari

inko

nsis

tens

i pe

ngat

uran

pe

rtang

gung

jaw

aban

pi

dana

kor

pora

si

dala

m p

erat

uran

pe

rund

ang-

unda

ngan

di

Indo

nesi

a

Teor

i Per

atur

an

peru

ndan

g-un

dang

an

Teor

i K

epas

tian

Huk

um

3.

Bag

aim

ana

bent

uk

peng

atur

an

perta

nggu

ngja

wab

an

pida

na k

orpo

rasi

da

lam

per

atur

an

peru

ndan

g-un

dang

an

di In

done

sia

yang

ak

an d

atan

g.

Teor

i Pe

rtang

gung

jaw

aban

pid

ana

korp

oasi

Has

il da

n pe

mba

hasa

n

1.

Terja

diny

a in

kons

iste

nsi

perta

nggu

ngja

wab

an

pida

na k

orpo

rasi

did

alam

per

unda

ng-u

ndan

gan

di i

node

nesi

a di

kere

naka

n U

U y

ang

men

gatu

r pe

rtang

gung

jwab

an

pida

na

korp

oras

i di

lu

ar

KU

HP

mer

upak

an

Lex

Spes

ialis

se

lain

itu

di

kare

naka

n ke

tidak

cer

mat

an p

ara

pem

bent

uk

UU

da

lam

m

erum

uska

n pe

rtang

gung

jaw

aban

pi

dana

kor

pora

si

2.

D

ampa

k ya

ng d

itim

buka

n ak

ibat

inko

nsis

tens

i pe

rtang

gung

jaw

aban

pid

ana

korp

oras

i ada

nya

disp

arita

s put

usan

3.

RU

U K

UH

P te

lah

men

gako

mod

ir ko

rpor

asi

seba

gai s

ubye

k ho

kum

pid

ana

dan

men

gatu

r ttg

m

ekan

ism

e pe

rtang

gung

jaw

aban

nya.

Dal

am

kons

ep p

emba

haru

an h

ukum

pid

ana,

terli

hat

bahw

a ho

kum

pid

ana

mas

a de

pan

(ius

cons

titue

ndum

) ter

sebu

t men

ilai b

ahw

a ke

jaha

tan

korp

oras

i mer

upak

an ti

ndak

pid

ana

dan

terh

adap

kor

pora

si te

rseb

ut d

apat

dik

enak

an

sank

si p

idan

a

Page 46: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Umum Tentang Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi

2.1.1. Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana,menurut

KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut sistem hukum Eropa

Kontinental (civil law) agak tertinggal jika dibandingkan dengannegara-negara

common law -negara

sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Perkembangan Pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam hukum pidana Indonesia terjadi melalui 3 (tiga) tahap

yaitu :

1. Tahap pertama

Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah

manusia alamiah (natuurlijke persoon).Pandangan ini dianut oleh KUHP yang

Societas

Delinquere Non Potest

pidana.Apabila dalam suatuperkumpulan terjadi tindak pidana maka tindak

pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.

Pandangan ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP (Pasal

51 W.v.S. Nederland) yang menya -hal di mana karena

ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau

Page 47: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

42

komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris

Dari ketentuan di atas maka terlihat bahwa para penyusun KUHP dahulu

societas delinquere non potest universitas

delinquere non potest

dogmatis dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu

disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia.

2. Tahap kedua

Pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana,

akantetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para

pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini

dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang hal tersebut.67

3. Tahap ketiga

Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan

meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya

dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi

atau kerugian yang diderita masyarakat, dapat demikian besarnya, sehingga tak

67Contoh peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini antara lain :a) UU No. 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja) b)UU No. 2 tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan); c) UU No. 3 tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan). d)UU No. 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api). e)UU No. 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek),f) UU No. 22 Tahun 1958 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan). g) UU No. 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing). h) UU No. 83 Tahun 1958 (Undang-Undang Penerbangan). i)UU No.5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi, berubah menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1989 ). Barda Nawawi Arief, kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm, 223.

Page 48: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

43

akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus

korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para

pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulang

delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang

sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk

mentaati peraturan yang bersangkutan.68

Peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini69 antara lain :

a. UU No. 7/Drt/1955 (UU Tindak Pidana Ekonomi);

b. UU No. 5 Tahun 1984 (Perindustrian);

c. UU No. 6 Tahun 1984 (Pos);

d. UU No. 5 Tahun 1997 (Psikotropika);

e. UU No 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana korupsi ).

Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di

Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda.

Namunsekarang di Negeri Belanda menurut Muladi70 telah memasuki tahap

keempat, yaitu pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di

luar KUHP (WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya UU Tanggal 23 Juni

1976Stb377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan

baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi :

1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan

hukum;

2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat

dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan

68Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, (Bandung, CV Utomo, 2004), hlm 27.

69 hlm 224. 70Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi manusia, dan Reformasi Hukum Di Indonesia,

(Jakarta, The Habibie Center, 2002),hlm 158.

Page 49: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

44

pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang

tindakan yang dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak

atas bersama-sama .

3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:

perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.

Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan perundang-

undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda yang mengatur

tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak

perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal

51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91

KUHP Belanda (pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk

semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.

2.1.2. Sistim Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

2.1.2.1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak dapat

dilepaskan dengan tindak pidana.Walaupun dalam pengertian tindak

pidanatidak termasuk masalah pertanggungjawaban.Tindak pidana hanya

menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan71.

Pandangan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Moelyatno, yang membedakan dengan tegas

(de strafbaarheid van het feit atau het verboden zjir van het feit

strafbaarheid van den persoon), dan sejalan dengan itu

71Dwidja Priyatno, kebijakan legislasi tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, (Bandung, CV Utomo, 2004), hlm 30.

Page 50: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

45

b l act) dan

criminal responsibilityatau criminal

liability)72. Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan

pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.Pandangan ini disebut

pandangan dualistis mengenai perbuatan pidana. Pandangan ini merupakan

penyimpangan dari pandangan yang monistis antara lain yang dikemukakan

oleh Simons yang merumuskan adalah :

gestelde, onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een

. Jadi unsur-unsur strafbaar feitadalah :

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat

atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar

persoon).

Simons mencampur unsur objektif (perbuatan) dan unsur subjektif

(pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah73 :

a. Perbuatan orang ;

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti

openbaar

Segi subyektif dari strafbaar feit :

72 Moelyatno, Seperti dikutip oleh Sudarto, Dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, (Semarang, Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 40

73Ibid, hal 41.

Page 51: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

46

a. Orang yang mampu bertanggung jawab;

b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa).

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau

dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Sudarto berpendapat bahwa untuk menentukan adanya pidana, kedua

pendirian itu tidak mempunyai perbedaan prinsipiil.Soalnya ialah apabila orang

menganut pendirian yang satu hendaknya memegang pendirian itu secara

konsekwen, agar supaya tidak ada kekacauan pengertian (begripsverwarring).

Jadi dalam mempergunakan istilah

lain apakah yang dimaksudkan ialah menurut pandangan monistis ataukah

yang dualistis. Bagi yang berpandangan monistisseseorang yang melakukan

tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan

dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untukdipidana karena harus

disertai syaratpertanggungan jawab pidana yang harus ada pada orang yang

berbuat74.

Selanjutnya menurut Sudarto, memang harus diakui, bahwa untuk

sistematik dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana dalam arti

der inbegriff dervoraussetzungen

der strafe), pandangan dualistis itu memberikan manfaat. Yang penting ialah

kita harus senantiasa menyadari bahwa untuk mengenakan pidana itu

diperlukan syarat-syarat tertentu. Apakah syarat itu demi jelasnya kita jadikan

satu melekat padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh Simons dan

sebagainya,ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat pada perbuatan dan

74Ibid, hlm 45.

Page 52: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

47

ada syarat yang melekat pada orangnya seperti dikemukakan oleh Moelyatno,

itu adalah tidak prinsipiil, yang penting ialah bahwa semua syarat yang

diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.

Berdasarkan uraian di atas bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup

apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur delik dalam undang-

undang, tetapi masih ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu bahwa orang

yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan atau bersalah.

Dengan perkataan lainorang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya maka perbuatan tersebut

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Jadi di sini berlaku

a (tiada pidana tanpa kesalahan).

Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia ataupun peraturan

lainnya, namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan karena akan

bertentangan dengan rasa keadilan, bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal

ia sama sekali tidak bersalah. Karena asas utama dalam pertanggungjawaban

pidana adalah kesalahan, maka timbul permasalahanbaru dengan diterimanya

korporasisebagai subjek hukum pidana.

Menurut Mardjono Reksodipuro,75 sehubungan dengan diterimanya

korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi

perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).

Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan

pertanggungjawaban pidana korporasi.Asas utama dalam pertanggung-jawaban

pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku.

75 Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, 1994), hlm 102.

Page 53: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

48

Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatan

yang melawanhukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawaban

pidana menurut hukum pidana. Perbuatan melawan hukum oleh korporasi

sekarang sudah dimungkinkan .

Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan bertindak

melalui manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan

yang pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan

pengurus (atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai perbuatan

korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaan

kedua adalah bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat

dinyatakan mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggung-jawabkan

menurut hukum pidana. Pertanyaan ini menjadi lebih sulit apabila difahami

bahwa hukum pidana Indonesia mempunyai asas yang sangat mendasar yaitu :

articelaan).76

Mengenai beberapa masalah tersebut di atas, maka untuk lebih jelas

harus diketahui lebih dahulu sistem pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam hukum pidana, dimana untuk sistem pertanggungjawaban pidana ini

terdapat beberapa sistem yaitu :

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab;

76Ibid

Page 54: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

49

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang

bertanggungjawab.

2.1.2.2. Pengurus Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab

Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum

pidana tahap I. Dimana para penyusun KUHP, masih menerima asas

(badan hukum tidak dapat

melakukan tindak pidana).Asas ini sebetulnya berlaku pada abad yang lalu

pada seluruh Eropa kontinental.Hal ini sejalan dengan pendapat-pendapat

hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan

kemudian juga dari aliran modern dalam hukum pidana77.

Ketentuan dalam KUHP yang menggambarkan penerimaan asas

adalah ketentuan Pasal 59

KUHP.Dalam pasal ini juga diatur alasan penghapus pidana

(strafuitsluitingsgrond). yaitu pengurus, badan pengurus atau komisaris yang

ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana.

2.1.2.3. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang

bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban ini terjadi di luar KUHP, seperti diketahui

bahwa dalam hukum pidana yang tersebar di luar KUHP, diatur bahwa

korporasi dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi tanggung jawab untuk itu

dibebankan kepada pengurusnya (contohnya Pasal 35 UU No 3 Tahun 1982

tentang Wajib Daftar Perusahan). Kemudian muncul variasi yang lain yaitu

77 Dwidja Priyatno, op cit, hlm 53

Page 55: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

50

tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah Untuk TanamanTertentu).

Kemudian muncul variasi yang lain lagi yaitu yang bertanggungjawab adalah :

pengurus, badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil atau kuasa di

Indonesia dari perusahan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia, dan

mereka yang sengaja memimpin perbuatan yang bersangkutan (Pasal 34 UU

No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal)78

2.1.2.4. Pengurus Korporasi sebagai pembuat dan juga yang

bertanggungjawab

Dalam sistem pertanggungjawab ini telah terjadi pergeseran pandangan,

bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di samping

manusia alamiah (natuurlijke persoon).Jadi penolakan pemidanaan korporasi

berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest, sudah mengalami

perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel

daderschap)79.Jadi dalam sistem pertanggungjawaban ketiga ini merupakan

permulaan pertanggungjawaban yang langsung dari korporasi.

Adapun hal-hal yang dapat dijadikan alasan pembenar bahwa korporasi

sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut:

karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang

diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian

besar, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya

78Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Op Cit, hlm 70. 79 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban

Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua Cetakan Pertama, (Malang, Banyumedia Publishing 2003), hlm 16.

Page 56: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

51

dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja,

tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak

pidana lagi, Dengan memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan

sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati peraturan yang

bersangkutan80.

Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengawali

penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat

dipertanggungjawabkan adalah UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, khususnya dalam Pasal 5

ayat (1) yang berbunyi :

Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu

badan hukum, suatu perseroan suatu perserikatan orang yang lainnya

atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana

serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum,

perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang

memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang

bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu atau

terhadap kedua-duanya.

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya berbagai aturan perundang-

undangan di luar KUHP lainnya, yang mengatur hal yang serupa misalnya :

Pasal 39 UU No 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi, Pasal 24 UU No 2tahun

1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Korupsi, dan lain lain.

Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana

dan dapat dipertanggungjawabkan, maka berbicara mengenai

80Ibid,hlm 15

Page 57: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

52

pertanggungjawaban pidana korporasi ada beberapa doktrin tentang

pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain :

a. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)

Perkembangan hukum pidana pada masa sekarang ini dalam hal-hal

tertentu asas geen straf zonder schuld diadakan penyimpangan.Penyimpangan

demikian terjadi apabila bagi suatu tindak pidana tertentu dinyatakan berlaku

asas strict liabelity. Asas strict liabelity adalah suatu ungkapan yang

menunjukkan kepada suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan

kesalahan terhadap satu atau lebih unsur dari actus reus81. Menurut doktrin ini,

seseorang dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu

walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea) atau secara sing-

kat dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability

without fault). Hal ini berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika ia

telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-

undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.82

Ketentuan mengenai doktrin ini juga dikenal dalam hukum pidana, LB.

Curson83 juga berpendapat mengenai doktrin ini.Secara teoritis, doktrin ini

telah diperkenalkan dan diketahui sejak pertengahan abad ke-19.Doktrin ini

diartikan sebagai kewajiban mutlak dengan ciri utama tidak perlu adanya

pembuktian (kesalahan) lebih jauh.Di Indonesia sendiri, pengetahuan

81Mahrus Ali ,Op.Cit. hlm. 53 82Barda Nawawi Op.Cit, hlm. 68. 83 Menurutnya penggunaan doktrin ini sangat perlu dalam menerapkan hukum pidana yang

didasarkan pada alasan-alasan, sebagai berikut : a) adalah sangat esensial untuk menjamin terpenuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan social, b) pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan social, c) tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 108.

Page 58: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

53

mengenai asas strict liability tidak hanya sebatas di kalangan teoritis atau ilmu

pengetahuan hukum pidana.Sebab, asas strict liability sesungguhnya telah

diterapkan sejak lama dalam penegakan hukum, terutama dalam penegakan

hukum lalu lintas dalam hal terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum

lalu lintas dan angkutan jalan.84

Perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, terdapat perbedaan

pendapat mengenai doktrin ini.Sebagian pendapat menyatakan bahwa doktrin

terapkan, kecuali apabila

dijumpai kesalahan besar pada pelaku. Sedangkan yang lain mengatakan

bahwa penerapan doktrin ini, harus dibuat persyaratan yang ketat, tergantung

pada kasus-kasus bersangkutan.85

Alasan atas dasar pemikiran yang menyatakan strict liability tidak

terdapat sama sekali kesalahan adalah bahwa meskipun orang yang telah

melakukan perbuatan terlarang sebagaimana dirumuskan dalam undang-

undangan, belum tentu dipidana. Sebaliknya, strict liability yang harus dibuat

persyaratan ketat (absolute liability) adalah bahwa dalam perkara strict

liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)

sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang, sudah dapat dipidana

tanpa perlu mempersoalkan apakah pembuat mempunyai kesalahan (mens rea)

atau tidak.86

84Ibid, hlm. 189. 85 Hulsman, dalam Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam

Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 14.

86Ibid, hlm. 110.

Page 59: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

54

b. Tanggung Jawab Pengganti ( Vicarious Liability)

Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang

dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal

responsibility of one person for the wrongful acts of another). Jadi, pada

umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara

majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam

pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang itu tidak melakukan

sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang

biasa, ia masih tepat dapat dipertanggungjawabkan.87

Didalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan Pertanggung

Jawab Pidana Roslan Saleh juga mengemukakan mengenai konsep vicarious

Liability.88Berdasarkan prinsip vicarious liability, pimpinan korporasi atau

siapa saja yang memberi tugas atau perintah kepada pegawainya, maka

pimpinan korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh

pegawai atau bawahannya.

Tanggung jawab ini diperluas hingga meliputi perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan

lain. Dengan demikian siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan kerja atau

87Ibid,hlm. 109-110. 88bahwa pada umumnya seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi

ada yang disebut dengan vicarious liability, maka orang yang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanganlah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang bertanggungjawab sebagai pembuat Undang-undang dapat menemukan vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut,1) seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila seseorang itu telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle). 2) Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant act is the maters act in law); Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Pidana, (Jakarta: Aksara Baru,1981), hlm. 116.

Page 60: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

55

hubungan lainnya, selama pekerjaan yang dilakukannya itu berada dalam

hubungan dengan korporasi, maka jika terjadi kesalahan korporasilah yang

bertanggungjawab.

c. Tanggung Jawab Identifikasi (Identification Liability)

Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban mutlak

(strict liability) danpertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability),

dimana pada doktrin identifikasi ini, asas mens rea tidak dikesampingkan,

sedangkan pada doktrin strictliability dan doktrin vicarious liability tidak

disyaratkan asas mens rea, atau asas mens rea tidak berlaku mutlak.

Perundang-undangan saat ini mengakui bahwa perbuatan dan sikap batin

dari orang tertentu berhubungan erat dengan korporasi dan juga berhubungan

erat dengan pengelolaan urusan korporasi, dipandang sebagai perbuatan dan

sikap batin korporasi. Orang-orang itu disebut sebagai senior officers atau

pejabat senior dari perusahaan. Perusahaan dianggap bertanggungjawab atas

tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam peruahaan

sepanjang pejabat senior tersebut melakukannya dalam ruang lingkup

kewenangan atau dalam urusan transaksi perusahaan.89

Menurut pandangan C.M.V Clarkson, perbuatan dan sikap batin

seseorang senior dalam suatu struktur perusahaan atau korporasi diidentifikasi

(dipersamakan) sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi90.Tanggungjawab

korporasi tersebut secara langsung.Langsung tersebut dapat diartikan sebagai

seseorang yang pengelola perusahaan dalam korporasi tidak seolah-olah

mewakili korporasi. Namun korporasi bertanggungjawab secara pidana

89 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia,(Bandung : CV.Utomo, 2004), hlm. 89-90

90 Setiyono,Kejahatan Korporasi, Op Cithlm.68

Page 61: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

56

terhadap tindak pidana yang dilakukan seorang pengelola perusahaan di dalam

korporasi sepanjang ia melakukan dalam lingkup kewenangan atau dalam

urusan atau kegiatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut.

Terdapat beberapa kasus-kasus dimana peraturanperundang-undang

mensyaratkan kesalahan kepada seseorang dalam pertanggungjawaban terkait

kerugian atau dalam hal keperdataan, maka kesalahan manajer atau

pemimpindipandang sebagai kesalahan suatu perusahaan.Kemudian terkait

pengaturan dalam hukum pidana, dimana peraturan perundang-undangan

mensyaratkan kesalahan (sikap batin jahat) dalam suatu tindak pidana, maka

kesalahan para direktur dan manajer atau pemimpin itulah yang kemudian

dipandang sebagai kesalahan dari suatu perusahaan itu sendiri.

Oleh karena itu, untuk tujuan-tujuan hukum, pejabat, atau pemimpin

adalah orang-orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun

bersama pengurus lainnya.Ia mewakili sikap batin dan kehendak perusahaan,

dan ia dibedakan dari mereka yang semata-mata sebagai pegawai dan agen

dari perusahaan yang harus melaksanakan petunjuk-petunjuk dari

pemimpinnya. Pada umunya, para pengendali perusahaan adalah para direktur

dan manajer.91

2.1.3. Pidana Dan Pemidanaan Terhadap Korporasi

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat

dipisahkan dari masalah pidana dan pemidanaan, oleh karena suatu

tindakpidana apabila dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka

konsekuensi lebih lanjut dari hal itu adalah penjatuhan pidana.

91Ibid, hlm. 91-92

Page 62: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

57

Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka

kapan dan bagaimana suatu sanksi pidana ditujukan pada korporasi, menurut

Clinard dan Yeagar haruslah memenuhi kriteria-kriteria tertentu, dimana jika

kriteri itu tidak ada maka sebaiknya sanksi perdatalah yang digunakan.92

Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi

masalah-masalah sosial dalam mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan

masyarakat.Penggunaan sanksi yang berupa pidana terhadap kejahatan

korporasi yang penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar

urgensinya.93Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk

mempertimbangkan peringatan Sudarto, bahwa sanksi pidana akan menemui

kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak

menggunakan ancaman pidana dapat mengakibatkan devaluasi dari undang-

undang pidana.94

Sehubungan dengan sanksi pidana ini, Jeremy Bentham menyatakan

bahwa pidana hendaknya jangan digunakan apabila groundless, needless,

unprofitable, dan ineffective.95Packer menyatakan bahwa pidana itu menjadi

penjamin yang utama apabila digunakan secara cermat, hati-hati dan secara

92 Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah :1) The degree of loss to the public. (Derajat

kerugian terhadap public); 2) The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager); 3) The duration of the violation .(lamanya pelanggaran). 4) The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi); 5) Evidence of intent to violate.(Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran); 6) Evidence of extortion, as in bribery cases.(Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap); 7) The degree of notoriety engendered by the media.(Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan media); 8) Precedent in law.(jurisprudensi); 9) The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi); 10) Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan); 11) The degree of cooperation evinced by the corporation .(Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm .237,238.

93Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia Publishing 2003,hlm, 116.117.

94Ibid, hlm, 117. 95Ibid

Page 63: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

58

manusiawi.Akan tetapi sebaliknya menjadi pengancam yang

membahayakanapabila digunakan secaraIndiscriminately dan coercively. Oleh

karena itu Packer menegaskan bahwa syarat-syarat penggunaan sanksi pidana

secara optimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar

anggota masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan

masyarakat dan tidak dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat

dianggap penting.

2) Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten

dengan tujuan-tujuan pemidanaan.

3) Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi

atau merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan.

4) Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah

dan tidak bersifat diskriminatif.

5) Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan

kesan memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

6) Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana

tersebut guna menghadapi perilaku tersebut.96

Dari pendapat tersebut di atas jelas bahwa pidana hendaknya digunakan

apabila memang benar-benar mendasar dan dibutuhkan. Danpidana itu akan

bermanfaat bila digunakan dalam keadaan yang tepat. Apabila penggunaan

pidana tersebut tidak benar akan membahayakan atau akan menjadi

96Ibid

Page 64: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

59

pengancam yang utama. Sebaliknya akan menjadi penjamin yang utama

apabila digunakan secara cermat, hati-hati, dan secara manusiawi.

Dasar pertimbangan pemidanaan korporasi menurut Tim Pengkajian

Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan

hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 menyatakan bahwa : jika

dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap

delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu

cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-

saingannya sangat berarti.97

Dengan demikian dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan

jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata bahwa pemidanaan

korporasi didasarkan kepada atau mengandung tujuan pemidanaan baik yang

bersifat preventif (khusus) dan tindakan represif.98

Kalau dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi

menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup :

1) Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan

pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki

penjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar oranglain

tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan

korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak

melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah

97Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm ,121.

98Ibid

Page 65: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

60

untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman

masyarakat.

2) Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan

masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat

luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua

pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan

kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana.

Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang

pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila

dikaitkan dengan korporasi , sehingga korporasi tidak mampu lagi

melakukan suatu tindak pidana.

3) Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat.

Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan

pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk

mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak

resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan

masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh

negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi

terhadap korban dilakukan oleh korporasi itusendiri yang diambil dari

kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.

4) Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan/keseimbangan, yaitu adanya

kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual

dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa

faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada

Page 66: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

61

proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat

sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi

kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general

apapun.99

Jadi pemidanaan terhadap korporasi harus sesuai dengan pendirian

integratif tentang tujuan pemidanaan seperti tersebut di atas.

Korporasi dijadikan subjek hukum pidana sama dengan manusia

alamiah, namun perlu diingat bahwa tidak semua tindak pidana dapat

dilakukan oleh korporasi dan sanksi pidana sebagaimana dirumuskan dalam

pasal 10 KUHP tidak semuanya dapat dikenakan pada korporasi. Apa sajakah

pidana yang dapat dikenakan pada korporasi ?.

in most cases the punishment visited upon the

corporation will be fine 100. Hal senada juga dikemukakan oleh Loebby

Loqman, bahwa tidak semua jenis pidana yang terdapat di dalam perundang -

undangan pidana dapat diterapkan terhadap korporasi.Pidana mati,

pidanapenjara, pidana kurungan, tidak dapat dijatuhkan pada korporasi.Yang

mungkin dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda.Selain pidana denda

juga terhadap korporasi dapat diberikan tindakan untuk memulihkan keadaan

seperti sebelum adanya kerusakan oleh suatu perusahaan.Sesuai dengan

perkembangan ganti rugi juga dapat dijatuhkan pada korporasi sebagai jenis

99Ibid, hlm 121-123 100 Peter Gillies, The Criminal Liability Of Corporation, Bahan Bacaan Kapita Selekta

Hukum Pidana, Penyunting Barda Nawawi Arief, Program S2 Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, 1999. hlm .125

Page 67: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

62

pidana baru.Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian terhadap korban,

dapat pula berupa pengganti kerusakan yang telah ditimbulkan.101

Menurut Brickey, sering dikatakan bahwa pidana pokok yang bisa

dijatuhkan pada korporasi hanyalah pidana denda (fine), seperti pendapat-

pendapat tersebut di atas, tetapi apabila dengan dijatuhkannya sanksi berupa

penutupan seluruh korporasi, maka pada corporate

death penalty ala bentuk pembatasan terhadap

aktivitas korporasi, maka sebenarnya mempunyai hakekat sama dengan pidana

penjara atau kurungan, sehingga ada istilah Pidana

tambahan berupa pengumuman keputusan hakim merupakan sanksi yang

paling ditakuti oleh korporasi.102

Dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, korporasi tidak dikenal sebagai

double track

system pidana dikenal juga

tindakan yang dapat dikenakan pada pelaku. Sanksi pidana diaturdalam pasal

a. Pidana pokok :

1. pidana mati,

2. pidana penjara,

3. kurungan,

4. denda, dan

101 Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian,

(Jakarta: Datacom, 2002), hlm 34-35. 102 Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan

Pertama, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991), hlm 56.

Page 68: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

63

5. pidana tutupan (berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946 Berita RI II

No. 247)

b. Pidana tambahan :

1. pencabutan hak-hak tertentu ,

2. perampasan barang-barang tertentu,

Sedangkan tindakannya diatur dalam Pasal 44 ayat (2) dan pasal 45

KUHP antara lain berupa : menempatkan di rumah sakit jiwa (Pasal 44 ayat

(2), dikembalikan kepada orang tua dan dijadikan anak negara (Pasal 45).Dari

ketentuan pidana di atas jelas bahwa semua sanksi dan tindakan di atas

ditujukan pada manusia alamiah, sedangkan sanksi yang dapat dikenakan pada

korporasi hanyalah denda, dan pengumuman keputusan hakim. Hal ini

disebabkan karena KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek

hukum.Dalam undang-undang hukum pidana yang tersebar di luar KUHP,

yang sudah mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum pidana,

misalnya UU Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt/1955) rumusan tindak

pidana dan tindakannya adalah sebagai berikut :

Hukuman pokok berupa :

1. hukuman penjara;

2. hukuman kurungan;

3. denda.

Hukuman tambahan berupa :

1. pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 KUHP;

2. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahan terhukum dimana

tindak pidana ekonomi itu dilakukan selama 1 (satu) tahun;

Page 69: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

64

3. perampasan barang-barang tetap yang berwujud atau tidak

berwujud:

a. dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan ;

b. yang sebagian atau seluruhnya diperoleh dengan tindak pidana

itu;

c. harga lawan yang menggantikan barang itu; tanpa

memperhatikan apakah barang atau harga lawan tersebut milik

si terhukum atau bukan miliknya.

4. perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud atau tidak

berwujud :

a. yang termasuk perusahan si terhukum, dimana tindak pidana itu

dilakukan ;

b. harga lawan yang menggantikanbarang-barang itu; tanpa

memperdulikan apakah barang atau harga lawan itu milik si

terhukum atau bukan miliknya, akan tetapi :

c. sekedar barang-barang itu sejenis dan mengenai tindak

pidananya;

d. bersangkutan dengan barang yang dapat dirampas menurut

ketentuan tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) sub c.

5. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah

atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah untuk

waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun;

6. Pengumuman keputusan hakim.

a. Perampasan :

b. perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si terhukum

tidak dijatuhkan sekedar hak-hak pihak ketiga dengan itikad

baik akan terganggu;

Page 70: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

65

c. dalam perampasan barang-barang, maka hakim dapat

memerintahkan, bahwa seluruhnya atau sebagian akan

diberikan kepada si terhukum.

Tindakan tata tertib antara lain :

1. penempatan perusahan di bawah pengampuan;

2. kewajiban membayar uang jaminan;

3. kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak atau

meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak;

4. kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan

keuntungan.

Dari jenis hukuman yang diuraikan di atas jelas bahwa untuk pidana

pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah denda, untuk pidana

tambahan pencabutan hak-hak tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 35

KUHP tidak dapat dikenakan pada korporasi oleh karena hak-hak tersebut

hanya melekat pada manusia alamiah.

Perkembangan selanjutnya lahir berbagai ketentuan pidana khusus, yang

mengatur korporasi sebagai subjek hukumnya, dengan merumuskan sanksi

pidana untuk korporasi bervariasi, yaitu ada yang merumuskannya kumulatif-

alternatif, alternatif dan merumuskannya tunggal.

Page 71: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

66

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA KORPORASI

3.1.1 Pengakuan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Jika berbicara terkait pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana

di Indonesia, badan hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana halnya

manusia, badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri,

dalam hal ini badan hukum harus bertindak dengan perantaraan orang biasa,

akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri,

melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban badan hukum itu.103

Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana dikenal sejak

tahun 1951 yang dicantumkan dalam Undang-Undang penimbunan barang-

barang, akan tetapi mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam

Pasal 17 ayat 1 UU No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi,

dan Pasal 49 Undnag-Undang No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-

Undang tindak pidana narkotika, Undang-Undang lingkungan hidup, Undang-

103 Hal ini sesuai dengan pasal 1655 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia

yang mengatakan Badan hukum itu dapat melakukan tindakan-tindakan selainnya oleh perantaraannya, tetapi juga ia tidak dapat sendiri menutup persetujuan pemberi kuasa dengan pengurusnya. Perbuatan dan pengurus itu tidak dapat disamakan dengan wakil dengan surat kuasa, sebagaimana sering terjadi diantara manusia biasa yang diwakili oleh orang lain. Khristyawan Wisnu Wardana dan Erna Susanti, Tanggungjawab Korporasi Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup, Risalah Hukum, Edisi Nomor 2, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, 2005, hal 29.

Page 72: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

67

Undang tentang psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan

Undang-Undang tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, korporasi

sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-

undangan khusus diluar KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui

manusia sebagai subjek hukum pidana.104

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang kemudian

disebut KUHP) yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas

tersebut ternyata begitu mempengaruhi munculnya Pasal 59 KUHP yang

berbunyi sebagai berikut: Dalam hal menentukan hukuman karena

pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris,

maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa

pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya.

Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang

hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi.Pasal 59 KUHP

tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh

seseorang/manusia, fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP.105

104Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (kencana Media

Group, Jakarta, 2012).hlm. 45. 105Secara lebih rinci Van Bemmelen menyatakan bahwa Pasal itu tidak membicarakan

tindak pidana korporasi, tetapi hanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurus atas suatu pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan.Begitu juga dengan kerugian yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan korporasi tersebut.Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, (Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008). hlm. 66.

Page 73: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

68

Berikut akan dikemukakan beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar

pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana

diantaranya yaitu106 :

1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita

masyarakat dapat sedemikian besarnya, sehingga tidak akan

mungkin seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi

keperdataan;

2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia,

sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang

paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan aktor

rasional korporasi;

3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi sering kali

menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga

kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegah

pengulangan tindakan itu;

4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah

satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para

pegawai itu sendiri;

5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk

mengadakan tindakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan

oleh atau dengan suatu korporasi, maka dari itu perlu dilakukan

pula untuk dimungkinkan memidanakan korporasi atau

pengurusnya saja;

6. Mengingat di dalam kehidupan sosial ekonomi, korporasi

semakin memainkan peranan yang penting;

7. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita

masyarakat dapat sedemikian besarnya, sehingga tidak akan

mungkin seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi

administratif;

106Kristian, Op.Cit. hlm 38

Page 74: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

69

Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat dan

menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.

3.1.2 Bentuk Inkonsistensi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi

Inkonsistensi peraturan perundang-undangan memiliki makna adanya

ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan-nya.Hal ini tentu bertentangan

dengan prinsip-prinsip negara hukum baik secara materiel maupun formil.

Secara materiel terkait dengan adanya ketidaktertiban suatu masyarakat

akibat adanya peraturan perundang-undanganan yang tidak menjamin

ketidakpastian hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan: setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama di hadapan hukum

Berkaitan dengan bentuk inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam

hal ini akan dipaparkan berikut ini.

Page 75: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

70

A. Perumusan/penyebutan korporasi sebagai subyek tindak pidana

Tabel1.3.

No Undang-undang Penyebutan subyek

1 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No13 Th 1999)

Dalam bab yang mengatur tindak pidana digunakan istilah : dalam hal dilakukan oleh atau atas nama korporasi

Pengertian korporasi dijelaskan dalam Pasal 1 ke 1

2 UU Pencucian Uang (UU No. 15Th 2002 jo UU No. 25 Th 2003 diganti menjadi UU No 8 Th 2010

UU lama (UU No. 15 Th 2002) Dalam bab yang mengatur tindak pidana

digunakan istilah: apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi

Pengertian korporasi dijelaskan dalam Pasal 1 ke 2

UU Baru (UU No. 8 Th2010)

Dalam bab yang mengatur tindak pidana, digunakan istilah dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi

Dalam ketentuan Pasal 1 diberikan pengertian sebagai berikut : Setiap orang adalah perseorangan atau

korporasi Korporasi adalah kumpulan orang dan

/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum

3 UU Lingkungan Hidup (UU No. 23 Th 1997 yang digantikan oleh UU No. 32 Th 1999

UU 23/1997 : Jika dilakukan oleh atau a.n. suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain (Pasal 46 (1))

UU 32/1999 Istilah korporasi hanya disebut dalam

penjelasan umum Dalam bab ketentuan pidana digunakan

istilah badan usaha (Pasal 116 dan 119) : apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha)

Dalam ketentuan Umum Pasal 1 sub 32 : setiap orang adalah perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum

Page 76: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

71

B. Aturan pemidanaan korporasi

Tabel .1.4.

No Undang-undang Aturan Pemindanaan Korporasi

1 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No13 Th 1999)

Pasal 20 : (1) Dalam hal dilakukan oleh atau a.n.

korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap : Korporasi, dan atau pengurusnya

(2) TPK dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang : Yang berdasarkan hubungan kerja

(hubungan lain) Bertindak dalam lingkungan korporasi

tersebut; Baik sendiri maupun bersama-sama

(3) Tuntutan terhadap korporasi diwakili pengurus

(4) Pengurus dapat diwakili orang lain (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus itu

: Menghadap sendiri dipengadilan dan Dibawa ke sidang pengadilan

(6) Panggilan dan surat-surat disampaikan ke tenpat tinggal pengurus atau ke kantornya

(7) Pidana pokok hanya denda dengan maksimum ditambah 1/3

Catatan Ayat (3) (6) diatas merupakan hukum acara

2 UU Pencucian Uang (UU No. 15Th 2002 jo UU No. 25 Th 2003 diganti menjadi UU No 8 Th 2010

UU lama (UU 15/2002 jo. UU 25/2003) Pasal 4 mengatur Pengaturan Jenis Pidana

(PJP) Korporasi : (1) Apabila dilakukan oleh pengurus

dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap : Pengurus dan/atau kuasa pengurus Maupun korporasi

(2) PJP pengurus dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

(3) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap TPPU yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi apabila kegiatan yang dilakukannya tidak termasuk dalam lingkup usahanya

Page 77: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

72

sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau kententuan lain yang berlaku bagi korporasi

(4) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri disidang pengadilan dan memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawah kesidang pengadilan

(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Catatan : Ayat (4) dan (5) merupakan hukum acara.

(1) Pidana pokok untuk korporasi adalah

pidana denda, dengan maksimum ditambah 1/3

(2) Korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi

UU Baru (UU 8/2010): Pasal 6 : Pidana dijatuhkan terhadap

korporasi dan/atau personil pengendali korporasi

Pasal 7 : Pidana untuk korporasi berupa denda dan pidana tambahan berupa : (1) Pengumuman putusan hakim; (2) Pembekuan sebagian atau seluruh

kegiatan usaha korporasi (3) Pencabutan izin usaha (4) Pembubaran dan/atau pelarangan

korporasi (5) Perampasan asset korporasi untuk

Negara dan/atau (6) Pengambilalihan korporasi oleh negara

Pasal 9 : Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda : (1) Diganti dengan perampasan harta

kekayaan milik korporasi atau personil pengedali korporasi (yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan

(2) Dalam hal harta kekayaan korporasi tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar

Page 78: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

73

Catatan :

UU baru ini membedakan pidana pengganti denda untuk orang dan untuk korporasi

Pidanapengganti denda untuk orang diatur dalam pasal 8 UU 8/2010 yaitu dganti dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan apabila harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda (menurut Pasal 11 UU 15/2002, pidana penggantinya 3 tahun penjara)

Ketentuan pidana pengganti denda untuk korporasi dalam pasal 9 diatas merupaka suatu kemajuan karena dalam UU lama tidak ada. Hanya sayangnya : d. Menurut ayat (2) pidana penggantinya

dijatuhkan terhadap personil pengendali, TIDAK ADA ketentuan pidana pengganti untuk korporasi kalau harta perampasan tidak mencukupi

e. TIDAK ADA ketentuan khusus berapa maksimum pidana kurungan untuk personil pengendali. Menjadi masalah kalau pasal 8 diberlakukan (makasimum kurungan pengantinya 1 tahun 4 bulan), terlebih denda untuk korporasi sangat besar bisa mencapai makasimum Rp. 100 miliar

3 UU Lingkungan Hidup (UU No. 23 Th 1997 yang digantikan oleh UU No. 32 Th 1999

UU No. 23 Th 1997 Pasal 46 (1) mengatur siapa yang dapat

dipertanggungjawabkan Pasal 46 (2) mengatur tentang kapan Badan

Hukum dapat dipertanggungjawabkan : tetapi perumusannya agak rancu dengan pasala 46 (1)

Jenis sanksi : pidana dan tindakan tata tertib. UU No. 32 Th 2009

Pertanggungjawaban pidana badan usaha (korporasi) diatur dalam Pasal 116-119, yang intinya : Yang dapat dipidana adalah (Pasal 116) :

a. Badan usaha dan/atau b. Orang yang memberi perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut atau

c. Orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.

Sanksi pidana terhadap sub b (pemberi perintah) atau sub c (pemimpin) tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-

Page 79: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

74

sama (Pasal 116 (2)) Ancaman pidana terhadap sub b dan sub c

berupa pidana penjara dan denda yang diperberat sepertiga (Pasal 117)

Sanksi pidana untuk sub a (badan usaha) diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili didalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional (pasal 118)

Terhadap badan usaha (sub a) dapat dikenakan pidnaa tambahan atau tindakan tata tertib berupa (Pasal 119): a. Perampasan keuntungan yang

diperoleh dari tindak pidana b. Penutupan seluruh atau sebagaian

tempat usaha dan/atau kegiatan c. Perbaikan akibat tindak pidana d. Kewajiban mengerjakan apa yang di

lelaikan tanpa hak dan/atau e. Penempatan perusahaan dibawah

pengampuan paling lama tiga tahun

C. Model /sistim pertanggungjawaban pidana korporasi

Tabel 1.5.

No Undang-undang Model pertanggungjawaban pidana Korporasi

1 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Th 1999)

Adapun model pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ini

Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat Dan juga yang Bertanggungjawab . Hal ini diatur didalam pasal 20 Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, maka tuntutn dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya

2 UU Pencucian Uang (UU No. 15Th 2002 jo UU No. 25 Th 2003 diganti menjadi UU No 8 Th 2010

Adapun model pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ini terdiri dari dua model.

Model pertama adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Bertanggungjawab.Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendai korporasi

Page 80: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

75

Catatan :bahwa tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan salah satunya kepada Korporasi.

Model kedua adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Pengurus Bertanggungjawab. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1), yang mengatur bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan pula kepada pengurus yakni Personil Pengendali Korporasi

3 UU Lingkungan Hidup (UU No. 23 Th 1997 yang digantikan oleh UU No. 32 Th 1999

Adapun model pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ini terdiri dari dua model.

Model pertama adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Bertanggungjawab.Hal ini diatur dalam Pasal 116 ayat (1) :apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a. badan usaha, dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang melakukan tindak pidana sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Catatan : bahwa tuntutan pidana dan sanksi pidana dapat dijatuhkan salah satunya kepada Badan Usaha

Model kedua adalah Korporasi Sebagai Pembuat Dan Pengurus Bertanggungjawab. Hal ini diatur dalam Pasal 116 ayat (1), yang mengatur bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan pula kepada pengurus yakni

lakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam kegiatan terseb Pengaturan ini juga terdapat pada Pasal 116 ayat (2) pabila tindak pidana lingkungan hidup yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama

Dari tabel 1,2 dan 3 baik mengenai perumusan penyebutan korporasi

sebagai subyek tindak pidana aturan pemidanaan korporasi dan model/sistim

Page 81: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

76

pertanggungjawaban pidana terhadap tiga undang-undang dapat disimpulkan

hal-hal sebagai berikut :

Tabel 1.6. Kesimpulan Hasil Perbandingan

No PENGATURAN UU TIPIKOR

UU PPLH/ LINGKUNGAN

UU TPPU/ PENCUCIAN UANG

1 Korporasi sebagai subyek tindak pidana

Pasal 1 angka (3) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

Pasal 1 angka 32 menjelaskan bahwa badan hukum termasuk subjek tindak pidana

Pasal 1 angka (9) menjelaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

2 Pertanggung jawaban pengurus

Pasal 20 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab

Pasal 116 ayat (2), yang termasuk pengurus antara lain:orang yang memberi perintah atau pemimpin

Pasal 6 ayat (1) tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab

3 Pola/model perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi

Pasal 20 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata hubung

Pasal 116 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata hubung

Pasal 6 ayat (1), pola perumusan pertanggungjawaban bersifat alternatif-kumulatif karena adanya kata

4 Kriteria korporasi melakukan tindak pidana

Pasal 20 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan

Pasal 116 ayat (2), apabila dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup

Pasal 6 ayat (2), korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh personil pengendali korporasi (pengurus), dalam rangka pemenuhan

Page 82: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

77

Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas,

Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa107:

1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak

pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus

2.

istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;

3. -

Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep

KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993.

Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan

korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang

khusus diluar KUHP.Oleh karena itu, perumusan korporasi sebagai subjek

hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I KUHP sehingga

107 Kapita Selekta Hukum Pidana

Bakti, 2003), hal. 226.

lain dalam lingkup pekerjaannya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama

kerja badan usaha

maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.-

5 Pihak yang mewakili apabila korporasi dituntut secara pidana

Pasal 20 ayat (3), apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus

Pasal118, apabila korporasi dituntut secara pidana maka yang mewakili dipersidangan adalah pengurus

pengurus

Page 83: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

78

dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi baik tindak pidana

yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur diluar KUHP.

3.1.3 Analisis Inkonsistensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berdasarkan analisis dari bahan hukum yang ada, tidak dapat dipungkiri

telah terjadi inkonsistensi pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi

dari mulai penyebutan korporasi sebagai subyek hukum, aturan pemidanaan

korporasi, sampai dengan model atau sistim pertanggungjawaban. Pada

prinsipnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang merupakan undang-undang khusus dan sekaligus lex

spesialisterhadap KUHP sehingga dibolehkan adanya ketentuan khusus dan

menyimpang dari KUHP, selain itu ada beberapa faktor terjadinya

inkonsistensi antara ketiga produk hukum tersebut adalah :

1. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam

kurunwaktu yang berbeda;

2. Pejabat yang berwenang untuk memben-tuk peraturan perundang-

undangan ber-ganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih

tugas atau penggantian;

3. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem

Page 84: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

79

4. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin

hukum;

5. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan

peraturan per-undang-undangan masih terbatas;

6. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang

mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan

perundang-undangan.

Berbagai perosalan di atas, tidak luput dari adanya faktor eksternal dan

internal dari inkonsistensi yang terjadi sekarang, hal ini secara filosofis,

sosiologi, dan politis mengakibatkan pembentukan peraturan perundang-

undangan terkadang diintervensi oleh politik hukum pembentuk undang-

undang sesuai dengan tafsir kondisi yang sedang ber-langsung, termasuk

dalam hal ini kepentingan usaha.

Gustav Radbruch memberikan kontribusi yang mendasar terhadap teori

kepastian hukum, dengan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan

dan kepastian hukum. Kepastian hukum adalah keadaan suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara jelas, pasti dan logis, yang dimaksud jelas

adalah tidak adanya kekaburan norma atau keraguan sedangkan logis adalah

menjadi satu sistim norma dengan norma yang lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum memberikan

pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang

pelaksanaanya tidak dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat

subyektif.Kepastian hukum dalam suatu Negara adalah adanya undang-

Page 85: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

80

undang yang telah ditentukan dan sungguh-sunguh berlaku sebagai hukum,

putusan-putusan hakim para hakim yang bersifat konstan, dan berakibat

kepada masyarakat yang tidak ragu-ragu terhadap hukum yang berlaku108.

Dengan penerapan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali109dari UU

Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU

Lingkungan hidup terhadap KUHP merupakan suatu upaya dari pembentuk

undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman bagi

aparat hukum dan masyarakat sehingga memberi manfaat dalam dalam

pelaksanaanya pada akhirnya subyek hukum merasa diperlakukan secara adil.

3.2. DAMPAK INKONSISTENSI PENGATURAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

3.2.1. Kasus Posisi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Terdapat beberapa kasus pidana yang pernah terjadi di Indonesia yang

dilakukan oleh korporasi diantaranya yaitu :

Kasus tindak pidana korupsi yang mengindikasikan keterlibatan

korporasi yang mana keterlibatan korporasi ini dilakukan oleh Direksi kasus

posisnya sebagai berikut :

108Gustav Radbruch, Bonie Litsheweski Paulson and Stanley L. Paulson, Statutory

Lawlessness and Supra-Sttatutory Law (1946), Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1 (Oxford University Press, 2006).Hlm .6

109Menurut pandangan Dworkin, dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus. Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Aturan Yang Bersifat Umum, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165-aturan-yang-bersifat -khusus-mengesampingkan-aturan-yang-bersifat-umum, diakses tangggal 11 Maret 2016.

Page 86: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

81

PT. Giri Jaladhi Wana110mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum

tetap dari pengadilan, yaitu perkara No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm., yang

mana PT. Giri Jaladhi Wana ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara

korupsi dengan mengambil keuntungan dana Pasar Sentra Antasari

Banjarmasin, PT. Giri Jaladhi Wana memperoleh kewajiban dan ha katas

pembangunan Pasar Sentra Antasari. PT. Giri Jaladhi Wana dianggap sebagai

pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana karena turut

menikmati segala keuntungan dari pembangunan dan pengelolaan Pasar

Sentra Antasari. Dalam putusanya Pengadilan Negeri Banjarmasin

menjatuhkan pidana denda Rp. 1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta

rupiah) kepada PT. Giri Jaladhi Wana dan pidana tambahan berupa penutupan

sementara PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.

Yang menarik dari putusan tersebut adalah ketika suatu korporasi tidak

dapat dipidana karena dianggap badan hukum yang tidak mempunyai hak dan

kewajiban, bukan manusia yang mempunyai hak dan kewajiban sehingga

dapat dipidana.Dalam perkara No. 821/Pid.Sus/2010/ PN.Bjm untuk pertama

kalinya korporasi dapat dipidana dalam tindak pidana korupsi.

Aspek pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan No.

821/Pid.Sus/2010/ PN.Bjm adalah :

1. Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi merupakan kejahatan

luar biasa (extra ordiary crime) sehingga perlu korporasi dapat

dipidana agar dapat menimbulkan efek jera. Dengan menggunakan

doktrin Vicarius Liability atau pertanggungjawaban pengganti, yang

110Ibidhttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor, diakses selasa 31 Januari 2017.

Page 87: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

82

artinya tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya dapat dimintai

pertanggungjawaban kepada atasannya, selama tindak pidana yang

dilakukan tujuan dan manfaat tersebut untuk korporasi, maka korporasi

dapat dijatuhi pidana

2. Perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan Pemerintah dan Bank

Mandiri, sehingga berdasarkan pertimbangan itulah Majelis Hakim

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana sesuai

dengan perbuatannya, dengan menjatuhkan putusan pidana denda,

ditambah 1/3 (sepertiga) dan penutupan sementara.

Kasus tindak pidana Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan

HidupPerkara Gugatan Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo antara Kementerian

Negara Lingkungan Hidup dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara

sebagai Penggugat Melawan PT. Kallista Alam Sebagai Tergugat111

Bahwa Tergugat PT. Kallista Alam memperoleh Izin Usaha Perkebunan

Budidaya yang diberikan Gubernur Aceh sesuai Surat Izin Gubernur Aceh

Nomor: 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011/ 25 Ramadhan 1432 H

dengan luas wilayah kurang lebih 1.605 hektar, berlokasi di Desa Pulo Kruet,

Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

Seluruh perkebunan milik Tergugat yaitu seluas 1.605 hektar berada

dalam kawasan yang disebut dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),

dimana KEL ditetapkan sebagai kawasan konservasi (kawasan yang dilindungi

oleh undang-undang) berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun

1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser yang batas-batasnya ditentukan oleh

111https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=25&idsu=19&id=4133 diakses

rabu 29 Maret 2017

Page 88: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

83

Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor : 190/Kpts-II/2001

tanggal 29 Juni 2001 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di

Propinsi Aceh.

Bahwa Tergugat telah membuka lahan gambut miliknya dengan cara

membakar, berdasarkan data hotspot (titik panas) yang bersumber dari satelit

MODIS yang dikeluarkan oleh National Aeronatics and Space Agency (NASA)

untuk periode Februari hingga Juni 2012.

Perbuatan Tergugat membuka lahan dengan cara membakar telah

memenuhi kualifikasi Perbuatan Melanggar Hukum (onrechtmatige daad)

berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : 01/MENLH/09/2012 tanggal

18 September 2012 dari Menteri Negera Lingkungan Hidup Republik

Indonesia kepada Jaksa Agung RI dan Surat Kuasa Khusus Substitusi No.: SK-

101/G/Gph/10/2012 tanggal 11 Oktober 2012 dari Jaksa Agung RI kepada Tim

Jaksa Pengacara Negara pada JAM DATUN dalam gugatan perkara a quo telah

diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Meulaboh denganputusan

Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo tanggal 8 Januari 2014 yang amar putusannya

sebagai berikut :

I. DALAM PROVISI

.- Menyatakan gugatan Provisi tidak dapat diterima;

II. DALAM EKSEPSI

.- Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.

Page 89: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

84

III. DALAM POKOK PERKARA

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas

tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di

Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok Kecamatan Darul Makmur,

Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27

dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan

hektar) sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi No. 18/1998

tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor

Pertanahan Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten,

Propvinsi Aceh (dahulu Nanggroe Aceh Darussalam).

3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar

hukum. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil

secara tunai kepada Penggugat melalui rekening Kas Negara

sebesar Rp. 114.303.419.000,00 (seratus empat belas milyar tiga

ratus tiga puluh tiga juta empat ratus sembilan belas ribu

rupiah).

4. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut

yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada

di dalam wilayah Izin Usaha untuk usaha budidaya perkebunan

kelapa sawit yang berada di dalam wilayah izin berdasarkan

surat izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011No.

525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di desa

Page 90: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

85

Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya

Provinsi Aceh untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.

5. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan

lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih

1000 hektar dengan biaya sebesar Rp. 251.765.250.000,00 (dua

ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta dua

ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan

kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan

perundangundangan yang berlaku.

6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)

sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari atas

keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini.

7. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang

timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 10.946.000,- (sepuluh juta

sembilan ratus empat puluh enam ribu rupiah).

8. Menolak gugatan penggugat selebihnya.

Bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor :

12/Pdt.G/2012/PN.Mbo tanggal 8 Januari 2014 tersebut telah diajukan upaya

banding oleh Tergugat (PT. Kallista Alam) dan telah diperiksa oleh Pengadilan

Tinggi Aceh dengan putusan Nomor: 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15

Agustus 2014 yang amar putusannya sebagai berikut :

Page 91: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

86

MENGADILI:

- Menerima permohonan banding dari pembanding, semula Tergugat;

- Memperbaiki pertimbangan hukum dan susunan amar putusan Pengadilan

Negeri Meulaboh tanggal 8 Januari 2014, Nomor :

12/Pdt.G/2012/PN.MBO yang dimohonkan banding tersebut sehingga

amarnya berbunyi sebagai berikut :

I. DALAM PROVISI

-. Menyatakan gugatan Provisi tidak dapat diterima;

II. DALAM EKSEPSI

-. Menolak Eksepsi Pembanding/dahulu Tergugat untuk seluruhnya.

III. DALAM POKOK PERKARA

o Mengabulkan gugatan Terbanding/dahulu Penggugat untuk

sebahagian;

o Menyatakan Pembanding/dahulu Tergugat telah melakukan

perbuatan melanggar hukum;

o Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat membayar ganti rugi

materiil secara tunai kepada Terbanding/ dahulu Penggugat

melalui rekening Kas Negara sebesar Rp. 114.303.419.000,00

(seratus empat belas milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta empat

ratus sembilan belas ribu rupiah).

o Memerintahkan Pembanding/ dahulu Tergugat untuk tidak

menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih

1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha untuk usaha

budidaya perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam wilayah

Page 92: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

87

izin berdasarkan surat izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus

2011No. 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di

desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan

Raya Provinsi Aceh untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.

o Menghukum Pembanding/ dahulu Tergugat untuk melakukan

tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar

seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp.

251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus

enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga

lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai

dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

o Menghukum Pembanding/ dahulu Tergugat untuk membayar uang

paksa (dwangsom) sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per

hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam

perkara ini.

o Memerintahkan Lembaga/ Dinas Lingkungan Hidup/ Pemerintah

Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya untuk

pemulihan lingkungan karena lokasi lahan meliputi 2 (dua)

Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya, Propindi

Aceh.

o Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas

tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di

Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok Kecamatan Darul Makmur,

Page 93: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

88

Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27

dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan

hektar) sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi No. 18/1998

tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Propvinsi Aceh

(dahulu Nanggroe Aceh Darussalam).

o Menghukum Pembading/dahulu Tergugat untuk membayar ongkos

perkara yang timbul dalam dua tingkat pengadilan yang dalam

tingkat banding sebesar Rp. 150. 000,- (seratus lima puluh ribu

rupiah).

o Menolak gugatan Terbanding/ dahulu penggugat selebihnya.

Kasus tindak Pidana Pencucian Uang yang mengindikasikan keterlibatan

tiga korporasi sekaligus yang mana keterlibatan korporasi ini dilakukan oleh

Direksi dan pemilik perusahaan atau personil pengendali korporasi.berikut

kasus posisinya :

Terdakwa Ie Mien Sumardi Direktur PT. Interasia Sekuritas atas suruhan

Lisa Santoso selaku Direktur Utama sekaligus pemilik PT. Interasia

Sekuritas yang merupakan kakak kandung Rico Santoso (selaku Direktur

Operasional PT. Bank Global Internasional Tbk) yang juga istri dari

Irawan Salim (selaku Direktur Utama PT. Global Internasional Tbk) pada

tangal 2 dan 3 desember 204 membawa uang kepunyaan PT. Bank Global

dari basement gedung kantor PT. Bank Global untuk kemudian ditukarkan

ke dollar Singapura di tempat penukaran mata uang asing (money

changer). Yang mana uang tersebut berjumlah Rp. 60 Miliyar baru saja

Page 94: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

89

diambil dari Bank Indonesia oleh Popy Wimandjaja dan Liem Sally

Purnamasari pegawai PT. Bank Global atas suruhan Rico Santoso dan

Irawan Salim selaku Direksi pada PT. Bank Global dimana uang tersebut

tidak dibukukan dalam khasanah PT. Bank Global akan tetapi disimpan di

gedung PT. Bank Global yang terletak dilantai 8 Menara Global. Pada

tangal 2 Desember 2004, Lisa Santoso menelpon Suardi pemilik sekaligus

Direktur Money Changer PT. Yan Shama Linque (PT. YSL) yang terletak

dijalan Gunung Sahari Raya No. 33 AB Jakarta Pusat, dalam pembicaraan

telepon terjadi kesepakatan bahwa :

1. Lisa Santoso membeli Dollar Singapura sebesar SGD. 2,000.000,-

dengan permintaan agar diserahkan kepada Lisa Santoso di Singapura

sebesar SGD. 1,750.000,- dan SGD. 250.000,- diserahkan kepada

utusan Lisa Santoso yang akan menyerahkan uang rupiah bernama Ie

Mien Sumardi

2. PT. Yan Shama Linque menghubungi Lisan Bahar, Direktur Utama

PT Surya Kencana Unggul untuk meneruskan ttransaksi Lisa Santoso

tersebut.

3. Ie Mien Sumardi atas permintan Lisa Santoso telah membawa uang

Rp. 12,5 Miliar untuk transaksi falut asing.

4. Sebagian dari uang tersebut yaitu Rp. 10.240.000,- dialihkan oleh PT.

Yan Shama Linque kepada Lisan Bahar untuk Transaksi pembelian

SGD. 1,850.000,- yang penyerahannya dilakukan di Singapura

langsung kepada Lisa Santoso.

Page 95: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

90

Kemudian pada tanggal 3 Desember 2004 Lisan Santoso menelpon

kembali Suardi pemilik PT. Yan Shama Linque untuk menukarkan uang

ke dollar Singapura sebanyak SGD. 2,250,000,- transaksi tersebut

kemudian diteruskan kepada Lisan Bahar selaku Direktur Utama PT.

Surya Kenca Unggul. Penawaran tersebut disanggupi oleh Lisan Bahar

termasuk peyerahan uang pembelian dolar Singapura tersebut kepada Lisa

Santoso di Singapura. Kemudian pada Lisa Santoso menelpon Pongky

Majaya selaku pengurus/pemegang saham PT. Dinamis Citra Swkarsa

untuk melakukan pembelian dolar Singapura dari Rp. 4.500.000.000,-

(empat miliar lima ratus juta rupiah) ke dalam SGD. 500,000,- . kemudian

hal tersebut juga di sangupi oleh pihak Pongky Majaya. Pada putusan

pengadilan tinggi ini terdakwa Ie Mien Sumardi telah terbukti melakukan

pembantuan tindak pidana pencucian uang dan dikenai pidana penjara

selama 5 tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 subsidair 2 bulan

kurungan. Terdakwa terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf g

UU No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002

tentang tindak pidana pencucian uang Jo. Pasal 56 ayat 1 KUHP.112

Sebelumnya ditingkat Pengadilan Negeri terdakwa Ie Mien Sumardi

divonis penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 300.000.000.00 (tiga

ratus juta rupiah) subsidair 5 bulan kurungan, salah satu pertimbangan Majelis

hakim dalam Putusan Pengadlan Negeri Jakarta Pusat ini adalah :

Bahwa unsur menukarkan atau perbuatan lainya atas harta kekayaan yang

diketahuinya, atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan

mata uang dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul

112Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor. 211/PID/2005/PT.DKI.Tanggal 4 Januari 2004

Page 96: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

91

harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan tindak

terbukti113

Putusan Pengadilan Tinggi kemudian menguatka putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat dengan perbaikan amar mengenai kwalifikasi perbuatan

terdakwa yang terbukti lamanya pidan penjara serta jumlah denda dan pidana

kurungan pengganti denda dimana amarnya menyatakan Ie Mien Sumardi

terbukti bersalah melakukan Pembantuan Pencucian uang, sehingga

hukumannya dikurangi menjadi pidana penjara selama 5 tahun dan denda

sebesar Rp. 200.000.000,00 subsudair 2 bulan kurungan. Salah satu

pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding untuk memberikan keringanan

hukuman bagi terdakwa adalah :

1. Bahwa terdakwa dalam perkara ini berperan sangat kecil hanya sebagai

pembantu penukar uang

2. Bahwa terdakwa tidak menikmati hasil kejahatan tersebut.114

3.2.2. Analisis Dampak Inkonsistensi Pengaturan Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di

Indonesia

Melihat dari ketentuan-ketentuan yang ada pada undang-undang Tindak

Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan

Undang-undang lingkungan hidup dalam pengaturan pidananya sudah jelas

seperti yang sudah dipaparkan diatas. Akan tetapi terdapat beberapa

113Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor.1056/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst .Tanggal 25 Oktober 2005

114Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor. 211/PID/2005/PT.DKI.Tanggal 4 Januari 2004

Page 97: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

92

perbedaan atau ketidakkonsistenan dalam penjeratan atau pemberian

hukuman pada korporasi yang melakukan tindak pidana. Dari

ketidakkonsistenan tersebut dampak yang ditimbulkan adalah timbulnya

ketidakpastian hukum, Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana

secara efektif dan efisien, disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat

berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, dan

terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, sehingga

mengakibatkan adanya disparitas putusan hakim dalam menjatuhkan

putusannya kepada korporasi yang melakukan tindak pidana.

Berikut akan diperjelas dengan tabel perbandingan penjatuhan pidana pada

korporasi :

Page 98: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

93

Tabe

l 1.7

. Pe

rban

ding

an P

enja

tuha

n Pi

dana

Kor

pora

si

No

Und

ang

unda

ng

Ket

entu

an p

idan

a M

odel

ka

sus

Putu

san

1 U

U T

inda

k Pi

dana

K

orup

si

(UU

No

31 T

h 19

99)

Pa

sal 2

0 :

a. D

alam

hal

dila

kuka

n ol

eh a

tau

a.n.

ko

rpor

asi,

tunt

utan

dan

pen

jatu

han

pida

na te

rhad

ap :

K

orpo

rasi

, dan

ata

u

peng

urus

nya

b. T

PK d

ilaku

kan

oleh

kor

pora

si a

pabi

la

dila

kuka

n ol

eh o

rang

-ora

ng :

Ya

ng b

erda

sark

an h

ubun

gan

kerja

(h

ubun

gan

lain

)

Ber

tinda

k da

lam

ling

kung

an

korp

oras

i ter

sebu

t;

Bai

k se

ndiri

mau

pun

bers

ama-

sam

a c.

Tun

tuta

n te

rhad

ap k

orpo

rasi

diw

akili

pe

ngur

us

d.

Peng

urus

dap

at d

iwak

ili o

rang

lain

e.

Hak

im d

apat

mem

erin

tahk

an p

engu

rus

itu :

Men

ghad

ap se

ndiri

dip

enga

dila

n da

n

D

ibaw

a ke

sida

ng p

enga

dila

n f.

Pang

gila

n da

n su

rat-s

urat

dis

ampa

ikan

ke

tenp

at ti

ngga

l pen

guru

s ata

u ke

ka

ntor

nya

g. P

idan

a po

kok

hany

a de

nda

deng

an

mak

sim

um d

itam

bah

1/3

Ada

pun

mod

el

perta

nggu

ngja

wab

an p

idan

a da

lam

Und

ang-

Und

ang

ini

Peng

urus

Kor

pora

si Se

baga

i Pem

buat

Dan

juga

ya

ng B

erta

nggu

ngja

wab

. H

al in

i dia

tur d

idal

am p

asal

20

Dal

am h

al ti

ndak

pid

ana

koru

psi d

ilaku

kan

oleh

ata

s na

ma

suat

u ko

rpor

asi,

mak

a tu

ntut

n da

n pe

njat

uhan

pi

dana

dap

at d

ilaku

kan

terh

adap

kor

pora

si d

an a

tau

peng

urus

nya

PT. G

iri Ja

ladh

i Wan

a m

enda

patk

an p

utus

an y

ang

berk

ekua

tan

huku

m te

tap

dari

peng

adila

n, y

aitu

per

kara

No.

81

2/Pi

d.Su

s/20

10/P

N.B

jm.,

yang

man

a PT

. Giri

Jala

dhi

Wan

a di

teta

pkan

seba

gai

ters

angk

a da

lam

per

kara

ko

rups

i den

gan

men

gam

bil

keun

tung

an d

ana

Pasa

r Sen

tra

Ant

asar

i Ban

jarm

asin

, PT.

Giri

Ja

ladh

i Wan

a m

empe

role

h ke

waj

iban

dan

ha

kata

s pe

mba

ngun

an P

asar

Sen

tra

Ant

asar

i. PT

. Giri

Jala

dhi W

ana

dian

ggap

seba

gai p

ihak

yan

g da

pat d

imin

tai

perta

nggu

ngja

wab

an se

cara

pi

dana

kar

ena

turu

t men

ikm

ati

sega

la k

eunt

unga

n da

ri pe

mba

ngun

an d

an p

enge

lola

an

Pasa

r Sen

tra A

ntas

ari.

Dal

am p

utus

anya

Pe

ngad

ilan

Neg

eri

Ban

jarm

asin

men

jatu

hkan

pi

dana

den

da R

p.

1.30

0.00

0.00

0,00

(sat

u m

iliar

tiga

ratu

s jut

a ru

piah

) kep

ada

PT. G

iri

Jala

dhi W

ana

dan

pida

na

tam

baha

n be

rupa

pe

nutu

pan

sem

enta

ra P

T.

Giri

Jala

dhi W

ana

sela

ma

6 (e

nam

) bul

an.

Page 99: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

94

N

o U

ndan

g un

dang

K

eten

tuan

pid

ana

Mod

el

kasu

s Pu

tusa

n

1 U

U P

encu

cian

U

ang

U

U N

o 8

Th 2

010

Pa

sal 6

: Pi

dana

dija

tuhk

an te

rhad

ap

korp

oras

i dan

/ata

u pe

rson

il pe

ngen

dali

korp

oras

i

Pasa

l 7

: Pi

dana

un

tuk

korp

oras

i be

rupa

den

da d

an p

idan

a ta

mba

han

beru

pa :

(7)

Peng

umum

an p

utus

an h

akim

; (8

) Pe

mbe

kuan

seba

gian

ata

u se

luru

h ke

giat

an u

saha

kor

pora

si

(9)

Penc

abut

an iz

in u

saha

(1

0) P

embu

bara

n da

n/at

au p

elar

anga

n ko

rpor

asi

(11)

Per

ampa

san

asse

t kor

pora

si un

tuk

Neg

ara

dan/

atau

(1

2) P

enga

mbi

lalih

an k

orpo

rasi

ole

h ne

gara

Pasa

l 9

: D

alam

hal

kor

pora

si t

idak

m

ampu

mem

baya

r pid

ana

dend

a :

(3)

Dig

anti

deng

an p

eram

pasa

n ha

rta

keka

yaan

m

ilik

korp

oras

i at

au

pers

onil

peng

edal

i kor

pora

si (y

ang

nila

inya

sa

ma

deng

an

putu

san

pida

na d

enda

yan

g di

jatu

hkan

(4

) D

alam

ha

l ha

rta

keka

yaan

ko

rpor

asi t

idak

men

cuku

pi, p

idan

a ku

rung

an

peng

gant

i de

nda

dija

tuhk

an

terh

adap

pe

rson

il pe

ngen

dali

korp

oras

i de

ngan

m

empe

rhitu

ngka

n de

nda

yang

te

lah

diba

yar

Ada

pun

mod

el

perta

nggu

ngja

wab

an p

idan

a da

lam

Und

ang-

Und

ang

ini

terd

iri d

ari d

ua m

odel

. M

odel

per

tam

a ad

alah

K

orpo

rasi

Seba

gai

Pem

buat

Dan

B

erta

nggu

ngja

wab

. H

al in

i dia

tur d

alam

Pa

sal 6

aya

t (1)

Dal

am

hal t

inda

k pi

dana

pe

ncuc

ian

uang

se

baga

iman

a di

mak

sud

dala

m P

asal

3, P

asal

4

dan

Pasa

l 5 d

ilaku

kan

oleh

kor

pora

si, p

idan

a di

jatu

hkan

terh

adap

ko

rpor

asi d

an/a

tau

pers

onil

peng

enda

i ko

rpor

asi

Kor

pora

si Se

baga

i Pe

mbu

at D

an P

engu

rus

Ber

tang

gung

jaw

ab. H

al in

i di

atur

dal

am P

asal

6 a

yat

(1),

yang

men

gatu

r bah

wa

perta

nggu

ngja

wab

an p

idan

a da

pat d

ibeb

anka

n pu

la

kepa

da p

engu

rus y

akni

Pe

rson

il Pe

ngen

dali

Kor

pora

si.

Kas

us B

ank

Glo

bal y

ang

mel

ibat

kan

terd

akw

a Ie

Mie

n Su

mar

di se

laku

Dire

ktur

U

tam

a, d

alam

kas

us in

i Ie

Mie

n Su

mar

di m

emba

ntu

Lisa

Sa

ntos

o un

tuk

mel

akuk

an

penu

kara

n da

na k

e M

oney

C

hang

er d

alam

rang

ka

men

ghila

ngka

n as

al u

sul d

ana

hasi

l kej

ahat

anny

a

Putu

san

Peng

adila

n Ti

nggi

D

KI J

akar

ta N

omor

. 21

1/PI

D/2

005/

PT.D

KI.T

angg

al

4 Ja

nuar

i 200

4 di

pida

na

penj

ara

sela

ma

5 ta

hun

dan

dend

a se

besa

r Rp.

20

0.00

0.00

0,00

subs

idai

r 2

bula

n ku

rung

an.

Page 100: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

95

N

o U

ndan

g un

dang

K

eten

tuan

pid

ana

Mod

el

kasu

s Pu

tusa

n

1 U

U L

ingk

unga

n H

idup

U

U N

o. 3

2 Th

19

99

Pe

rtang

gung

jaw

aban

pid

ana

bada

n us

aha

(kor

pora

si) d

iatu

r dal

am P

asal

116

-119

, ya

ng in

tinya

:

Yang

dap

at d

ipid

ana

adal

ah (P

asal

116

) d.

Bad

an u

saha

dan

/ata

u

e.

Ora

ng y

ang

mem

beri

perin

tah

untu

k m

elak

ukan

tind

ak p

idan

a te

rseb

ut a

tau

f. O

rang

yan

g be

rtind

ak se

baga

i pem

impi

n da

lam

tind

ak p

idan

a te

rseb

ut.

Sa

nksi

pid

ana

terh

adap

sub

b (p

embe

ri pe

rinta

h) a

tau

sub

c (p

emim

pin)

tanp

a m

empe

rhat

ikan

tind

ak p

idan

a te

rseb

ut

dila

kuka

n se

cara

send

iri a

tau

bers

ama-

sam

a (P

asal

116

(2))

Anc

aman

pid

ana

terh

adap

sub

b da

n su

b c

beru

pa p

idan

a pe

njar

a da

n de

nda

yang

di

perb

erat

sepe

rtiga

(Pas

al 1

17)

Sa

nksi

pid

ana

untu

k su

b a

(bad

an u

saha

) di

wak

ili o

leh

peng

urus

yan

g be

rwen

ang

mew

akili

did

alam

dan

dilu

ar p

enga

dila

n se

suai

den

gan

pera

tura

n pe

rund

ang-

unda

ngan

sela

ku p

elak

u fu

ngsi

onal

(pas

al

118)

Terh

adap

bad

an u

saha

(sub

a) d

apat

di

kena

kan

pidn

aa ta

mba

han

atau

tind

akan

ta

ta te

rtib

beru

pa (P

asal

119

): f.

Pera

mpa

san

keun

tung

an y

ang

dipe

role

h da

ri tin

dak

pida

na

g. P

enut

upan

selu

ruh

atau

seba

gaia

n te

mpa

t usa

ha d

an/a

tau

kegi

atan

h.

Per

baik

an a

kiba

t tin

dak

pida

na

i. K

ewaj

iban

men

gerja

kan

apa

yang

di

lela

ikan

tanp

a ha

k da

n/at

au

j. Pe

nem

pata

n pe

rusa

haan

dib

awah

pe

ngam

puan

pal

ing

lam

a tig

a ta

hun

Ada

pun

mod

el

perta

nggu

ngja

wab

an p

idan

a da

lam

Und

ang-

Und

ang

ini

terd

iri d

ari d

ua m

odel

. M

odel

per

tam

a ad

alah

K

orpo

rasi

Seb

agai

Pem

buat

D

an B

erta

nggu

ngja

wab

.Hal

in

i dia

tur d

alam

Pas

al 1

16

ayat

(1) :

M

odel

ked

ua a

dala

h K

orpo

rasi

Seb

agai

Pem

buat

D

an P

engu

rus

Ber

tang

gung

jaw

ab. H

al in

i di

atur

dal

am P

asal

116

aya

t (1

), ya

ng m

enga

tur b

ahw

a pe

rtang

gung

jaw

aban

pid

ana

dapa

t dib

eban

kan

pula

kep

ada

mem

beri

perin

tah

untu

k m

elak

ukan

tind

ak p

idan

a te

rseb

ut a

tau

oran

g ya

ng

berti

ndak

seba

gai p

emim

pin

dala

m k

egia

tan

terd

apat

pad

a Pa

sal 1

16 a

yat

PT. K

allis

ta A

lam

seba

gai b

adan

hu

kum

diw

akili

ole

h Su

bian

to

Rus

id y

ang

mer

upak

an D

irekt

ur

PT. K

allis

ta A

lam

. Dal

am

dakw

aann

ya Ja

ksa

Penu

ntut

U

mum

men

dakw

a te

rdak

wa

PT.

Kal

lista

Ala

m se

baga

i kor

pora

si

tela

h m

elak

ukan

pem

baka

ran

laha

n se

baga

iman

a di

mak

sud

dala

m

Pasa

l 69

ayat

(1) h

uruf

(h) y

ang

dila

kuka

n se

cara

ber

lanj

ut

seba

gaim

ana

diat

ur d

an d

ianc

am

pida

na d

alam

Pas

al 1

16 a

yat (

1)

huru

f (a)

, Pas

al 1

18, P

asal

119

U

ndan

g-un

dang

Nom

or 3

2 ta

hun

2009

tent

ang

perli

ndun

gan

dan

Peng

elol

aan

Ling

kung

an H

idup

da

n jo

pas

al 6

4 ay

at (1

) KU

H

men

ggun

akan

pen

deka

tan

kese

ngaj

aan

deng

an k

emun

gkin

an

bahw

a tin

daka

n tid

ak m

enyi

apka

n sa

rana

dan

pra

sara

na m

enye

babk

an

terja

diny

a ke

baka

ran.

Sel

ain

itu,

perta

nggu

ngja

wab

an p

engu

rus

tidak

men

ghap

us

perta

nggu

ngja

wab

an k

orpo

rasi

. Pe

ndek

atan

yan

g di

laku

kan

adal

ah

teor

i pow

er a

nd a

ccep

tanc

e se

suai

men

olak

kas

asi s

ehin

gga

men

guat

kan

putu

san

Peng

adila

n Ti

nggi

dan

men

jatu

hkan

pid

ana

dend

a 3

Mily

ar se

rta m

engh

apus

pi

dana

tam

baha

n re

habi

litas

i lah

an

kare

na su

dah

dipu

tusk

an d

alam

pu

tusa

per

data

PT K

allis

ta A

lam

, di

haru

skan

mem

baya

r ga

nti r

ugi m

ater

il da

n pe

mul

ihan

ling

kung

an

sebe

sar R

p 36

6 m

iliar

ka

rena

terb

ukti

mem

baka

r la

han

di la

han

gam

but

Raw

a Tr

ipa.

K

ewaj

iban

Kal

lista

Ala

m

untu

k m

emba

yar g

anti

rugi

sebe

sar R

p 11

4.33

3.41

9.00

0 da

n bi

aya

pem

ulih

an

lingk

unga

n te

rhad

ap la

han

yang

dib

akar

Rp

251.

765.

250.

000

Page 101: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

96

Jika berdasarkan teori perundang-undangan (Gesetgebugswissenscaft)

merupakan ilmu interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan

sosiologi yang secara garis besar dapatdibagi menjadi 2 bagian besar yaitu :

1. Teori perundang-undangan (Gesetzgebugstheory) yang berorientasi

pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-

pengertian, dan bersifat kognitif

2. Ilmu perundang-undangan (Gezetzgebungslehere), yang berorientasi

pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan

perundang-undangan, dan bersifat normatif

Untuk memberikan suatu pemidanaan yang tegas terhadap korporasi perlu

adanya perubahan dan penyamaan aturan atau sinkronisasi pengaturan terkait

pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan tindak pidana.

Berdasarkan teori perundang-undangan ini perlu adanya penyamaan

makna atau persamaan peraturan untuk memberikan suatu kejelasan terkait

pertanggungjawaban pidana korporasi, hal ini dimungkinkan untuk mencari

kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian, dan bersifat

kognitif, demi terciptanya tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan

kemanfaatan.

Page 102: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

97

3.3. PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

YANG AKAN DATANG

3.3.1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Negara

lain

a. Perancis

Hukum pidana materiil di Perancis sebagian besar diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Dalam penelitian ini, diperoleh data

yang berasal dari KUHP yang telah mengalami revisi sampai dengan tahun

2002. Dalam KUHP ini diatur mengenai, antara lain sanksi pidana yang dapat

dikenakan pada korporasi. Pada Pasal 131-37 diatur mengenai sanksi pidana

yang dapat dikenakan terhadap subjek hukum buatan yang melakukan

kejahatan dan pelanggaran115

Hukuman untuk kejahatan dan pelanggaran yang dikenakan kepada

subjek hukum korporasi adalah:

1. Denda;

2. Dalam perkara yang diatur oleh hukum, sanksi sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 131 39.

Oleh karena subjek hukum buatan, dalam hal ini korporasi dibedakan

dengan subjek hukum orang, maka untuk jumlah maksimal pidana denda yang

dapat diterapkan menjadi 5 (lima) kali lipat jumlah maksimal yang dapat

115Penalties for felonies and misdemeanours incurred by juridical persons are: 1. a

fine; 2. in the cases set out by law, the penalties enumerated under Article 131-39.

Page 103: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

98

dikenakan pada subjek hukum orang. Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal

131-38116

Jumlah maksimal denda yang dapat dikenakan kepada subjek hukum

buatan adalah 5 kali jumlah yang ditetapkan untuk subjek hukum orang,

sebagaimana diatur oleh hukum mengenai tindak pidana tersebut.Sebagaimana

disebutkan di atas, sanksi-sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada

korporasi, secara lebih rinci, diatur dalam Pasal 131-39117. Ketika suatu

undang-undang menetapkan sanksi terhadap subjek hukum buatan, suatu

kejahatan atau pelanggaran dapat dihukum oleh salah satu atau lebih dari

hukuman-hukuman berikut ini:

1. Dissolusi (pembubaran), yaitu dalam hal subjek hukum buatan dibuat

untuk melakukan suatu kejahatan, atau, ketika kejahatan atau

pelanggaran tersebut memiliki ancaman hukuman tiga tahun atau lebih,

dimana subjek hukum buatan telah dipindahkan dari sasarannya

semula, untuk melakukan kejahatan tersebut;

2. Larangan untuk melaksanakan, langsung maupun tidak langsung satu

atau lebih kegiatan profesional atau sosial, baik secara permanen atau

untuk maksimal 5 tahun;

3. Penempatan dibawah pengawasan hakim untuk maksimal 5 tahun.

4. Penutupan permanen atau penutupan selama maksimal 5 tahun, satu

atau lebih badan usaha, yang digunakan untuk melakukan kejahatan,

yang sedang diperiksa;

116The maximum amount of fine applicable to legal persons five times the sum laid down

for natural persons by the law that sanctions the offence. 117Article 131-39 Act no. 2001-504 of 12 June 2001 Article 14 Official Journal of 13

June 2001

Page 104: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

99

5. Diskualifikasi dari pelelangan publik, baik secara permanen atau untuk

jangka waktu maksimal 5 tahun;

6. Larangan, baik secara permanen atau untuk jangka waktu maksimal 5

tahun, untuk mengumpulkan dana dari masyarakat;

7. Larangan untuk menarik cek, kecuali cek yang dijinkan untuk ditarik

dananya oleh penarik, dari pembuat atau cek yang diseritifikasi, dan

larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu

maksimal 5 tahun.

8. Perampasan benda-benda yang digunakan atau dimaksudkan untuk

melakukan kejahatan, atau benda-benda yang merupakan hasil dari

kejahatan tersebut.

9. Pengumuman kepada publik, pidana atau penyebarluasannya baik

secara oleh media cetak atau oleh media televisi dan radio.

(Where a statute so provides against a legal person, a felony or misdemeanour may be punished by one or more of the following penalties:

1. Dissolution, where the legal person was created to commit a felony, or, where the felony or misdemeanour is one which carries a sentence of imprisonment of three years or more, where it was diverted from its objects in order to commit them;

2. Prohibition to exercise, directly or indirectly one or more social or professional activity, either permanently or for a maximum period of five years;

3. Placement under judicial supervision for a maximum period of five years;

4. Permanent closure or closure for up to five years of the establishment, or one or more of the establishments, of the enterprise that was used to commit the offences in question;

5. Disqualification from public tenders, either permanently or for a maximum period of five years;

6. Prohibition, either permanently or for a maximum period of five years, to make a public appeal for funds;

7. Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the drawer from the drawee or certified cheques, and the prohibition to use credit cards, for a maximum period of five years;

Page 105: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

100

8. Confiscation of the thing which was used or intended for the commission of the offence, or of the thing which is the product of it;

9. The public display of the sentence or its dissemination either by the written press or by any type of broadcasting.)

Meskipun sanksi-sanksi tersebut di atas, diperuntukkan bagi subjek

hukum buatan.Namun terdapat perbedaan apabila subjek hukum buatan

tersebut adalah lembaga publik, partai politik atau serikat pekerja.Sebagaimana

disebutkan dalam ketentuan berikutnya yaitu hukuman berdasarkan ayat 1 dan

3 di atas, tidak berlaku bagi lembaga publik yang dapat dikenakan

pertanggungjawaban pidana.Selain itu hal-hal tersebut juga tidak berlaku bagi

partai politik atau perkumpulan, atau serikat pekerja. Hukuman berdasarkan

ayat 1 tidak berlaku bagi lembaga yang mewakili pekerja118

Hukum Perancis membedakan jenis kejahatan, di antaranya adalah

kejahatan ringan (petty offences). Sanksi bagi kejahatan ringan diatur dalam

Pasal 131-40:

Hukuman yang dapat dikenakan kepada subjek hukum buatan untuk

pelanggaran ringan adalah:

1. Denda;

2. Hukuman yang mengandung perampasan atau pembatasan hak-hak

sebagaimana diatur oleh Pasal 131 42.

Hukuman-hukuman ini tidak menghalangi pengenaan satu atau lebih

hukuman-hukuman tambahan yang datur dalam Pasal 131 42.

(The penalties incurred by legal persons for petty offences are: 1. a fine;

118The penalties under 1 and 3 above do not apply to those public bodies which may

incur criminal liability. Nor do they apply to political parties or associations, or to unions. The penalty under 1 does not apply to institutions representing workers.

Page 106: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

101

2. the penalties entailing forfeiture or restriction of rights set out under article 131-42. These penalties do not preclude the imposition of one or more of the additional penalties set out under article 131-43.) Konsisten dengan ketentuan sanksi bagi kejahatan pada umumnya,

jumlah maksimal denda yang dapat dikenakan terhadap subjek hukum buatan,

yang melakukan kejahatan ringan adalah 5 kali dari yang dapat dikenakan

kepada subjek hukum orang sesuai dengan peraturan yang memuat sanksi

terhadap tindak pidana tersebut.

Perancis adalah negara dengan hukum pidana yang menentukan

klasifikasi (kelas) denda yang dikenakan terhadap kejahatan dan pelanggaran.

Dalam kaitan dengan setiap pelanggaran ringan dari kelas kelima, denda dapat

diganti dengan satu atau lebih hukuman yang memerlukan perampasan atau

pembatasan hak-hak berikut ini119

1. Larangan untuk menarik cek, kecuali cek yang dijinkan untuk ditarik

dananya oleh penarik, dari pembuat atau cek yang disertifikasi, dan

larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu

maksimal 1 tahun120

2. Perampasan benda-benda yang digunakan atau dimaksudkan untuk

melakukan kejahatan, atau benda-benda yang merupakan hasil dari

kejahatan tersebut121

Peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran ringan dapat

menerapkan hukuman tambahan yang disebutkan dalam ayat 5 Pasal 131 16

119Article131-42 120Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the

drawer from the drawee or certified cheques, and the prohibition to use credit cards, for a maximum period of one year;

121Confiscation of the thing which was used or was intended for the commission of an offence, or of any thing which is the product of it.

Page 107: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

102

dalam hal pelaku adalah subjek hukum buatan. Dalam kaitan dengan

pelanggaran ringan kelas kelima, peraturan juga dapat mengenakan hukuman

tambahan yang dirujuk oleh paragraf pertama dari Pasal 131 17122

Ketika suatu pelanggaran ringan dihukum dengan satu atau lebih

hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 131 43, pengadilan dapat

memutuskan untuk mengenakan satu atau lebih hukuman tambahan yang dapat

dikenakan, secara terpisah123

Pelaksanaan sanksi atau hukuman merupakan hal yang penting dalam

sistem peradilan pidana.Perancis mengatur mengenai hal ini dalam Penal Code.

Untuk likuidasi misalnya, disebutkan dalam Pasal 131-45 bahwa putusan yang

memerintahkan dissolusi dari subjek hukum buatan memerlukan rujukan

kepada pengadilan yang berkompeten untuk melakukan likuidasi124

Terhadap subjek hukum buatan yang mendapatkan pengawasan hakim

(judicial supervision), diatur mekanisme review.Dimana disebutkan

bahwa125Putusan untuk menempatkan subjek hukum buatan dibawah

pengawasan hakim memerlukan penunjukan seorang pegawai kehakiman yang

penunjukannya ditentukan oleh pengadilan.Penunjukan tersebut hanya berlaku

untuk kegiatan yang dilakukan oleh subjek hukum buatan, yang dalam

pelaksanaannya, atau pada saat dilaksanakannya, kejahatan tersebut

dilakukan.Paling tidak sekali dalam enam bulan, pegawai kehakiman tersebut

melapor kepada hakim pelaksana hukuman mengenai pelaksanaan

122Article131-43 123Article131-44 124The decision ordering the dissolution of a legal person entails its referral to the court

competent for its liquidation. 125 Article 131-46 Act no. 1992-1336 of 16 December 1992 Articles 345, 346 and 373

Official Journal of 23 December into force 1 March 1994

Page 108: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

103

tugasnya.Selama pemeriksaan laporan ini, hakim yang melaksanakan hukuman

dapat merujuk masalah tersebut kepada pengadilan yang menetapkan

pengawasan hakim.Pengadilan tersebut kemudian mengenakan hukuman baru

atau membebaskan subjek hukum buatan dari pengawasan hakim.

(The decision to place a legal person under judicial supervision entails

the appointment of a judicial officer whose remit is determined by the court.

His remit may only bear upon the activity in the exercise of which, or on the

occasion of which, the offence was committed. At least once every six months,

the judicial officer shall report to the penalties enforcement judge on the

fulfilment of his remit. Upon examining this report, the penalties enforcement

judge may refer the matter to the court that ordered judicial supervision. The

court may then either impose a new penalty, or release the legal person from

judicial supervision.)

Selain itu, sanksi yang lain adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal

131-47 yaitu adanya larangan mengumpulkan dana publik menimbulkan

larangan, bagi penjualan segala bentuk jaminan, mengadakan perjanjian

dengan segala lembaga bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan pasar

modal, atau segala bentuk pengiklanan126

Dalam Pasal 131-48, disebutkan mengenai keterkaitan antara sanksi yang

diberikan kepada subjek hukum buatan, dengan pasal-pasal yang relevan:

- The prohibition to exercise one or more social or professional

activities entails the consequences set out under article 131-28.

(Larangan untuk melaksanakan satu atau lebih kegiatan professional

126Prohibition to make a public appeal for funds entails prohibition, for the sale of any type of security, to resort any banking institutions, financial establishments or stock market companies, or to any form of advertising.

Page 109: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

104

atau sosial menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam

Pasal 131 28.)

- The mandatory closure of one or more establishments entails the

consequences set out in 131-33. (Keharusan menutup satu atau lebih

lembaga usaha menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam

Pasal 131 33.)

- The disqualification from public tenders entails the consequences set

out in article 131-34. (Diskualifikasi dari pelelangan publik

menumbulkan konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal 131

34.)

- The prohibition to issue cheques entails the consequences set out

under the first paragraph of article 131-19.(Larangan untuk

mengeluarkan cek menimbulkan konsekuensi sebagaimana diatur

dalam Pasal 131 19.)

- The confiscation of a thing is ordered pursuant to the conditions set

out under article 131-21.(Perampasan dari suatu benda sejalan

dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 131 21.)

- The public display or dissemination of the decision is ordered

pursuant to the conditions set out under article 131-35.(Pengumuman

kepada publik atau penyebarluasan keputusan yang ditetapkan

terhadap subjek hukum buatan didasarkan pada persyaratan

sebagaimana diatur dalam Pasal 131 35.)

b. Norwegia .

Page 110: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

105

Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam KUHP Norwegia,

yang diundangkan pada tahun 1902 dan mengalami beberapa kali revisi.Data

yang diperoleh pada penelitian ini adalah hasil revisi sampai dengan tahun

1994. Dalam Chapter 3a KUHP tersebut, Norwegia menggunakan istilah

enterprises

disebutkan bahwa ketika suatu ketentuan pidana dilanggar oleh seseorang yang

bertindak atas nama badan usaha, badan usaha tersebut dapat dikenakan

hukuman. Hal ini berlaku bahkan ketika tidak ada orang yang dihukum karena

pelanggaran tersebut. (When a penal provision is contravened by a person who

has acted on behalf of an enterprise, the enterprise may be liable to a penalty.

This applies even if no individual person may be punished for the

contravention.)

enterprise

dimaksud dengan badan usaha disini adalah suatu perusahaan, kelompok

masyarakat atau perkumpulan lainnya, badan usaha-satu orang, yayasan,

estate By enterprise is here meant a

company, society or other association, one-man enterprise, foundation, estate

or public activity.)

Ditetapkan bahwa hukuman terhadap badan usaha tersebut harus berupa

denda. Badan usaha tersebut dapat juga, dengan suatu putusan, dirampas hak-

haknya untuk melanjutkan usaha atau dapat dilarang dari menjalankannya

dalam bentuk-bentuk tertentu, cf. Section 29127

127The penalty shall be a fine. The enterprise may also by a judgment be deprived of the

right to carry on business or may be prohibited from carrying it on in certain forms, cf. section 29.

Page 111: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

106

Selanjutnya, pada § 48 b, disebutkan bahwa dalam memutuskan apakah

suatu hukuman dikenakan kepada suatu badan usaha sesuai dengan Pasal 48 a,

dan dalam menilai hukuman atas badan usaha, pertimbangan khusus harus

diberikan kepada:

a. kuman;

b. tingkatan beratnya tindak pidana;

c. apakah badan usaha seharusnya dapat, dengan pedoman, instruksi,

pelatihan, kendali atau upaya lainnya, mencegah tindak pidana

tersebut;

d. apakah tindak pidana dilakukan dengan maksud untuk memajukan

kepentingan badan usaha;

e. apakah badan usaha seharusnya telah atau mendapatkan keuntungan

dari tindak pidana tersebut;

f. kapasitas ekonomi badan usaha tersebut;

g. apakah sanksi yang lain sebagai konsekuensi dari tindak pidana telah

dikenakan terhadap badan usaha atau terhadap orang yang bertindak

atas nama badan usaha, termasuk apakah suatu hukuman telah

dikenakan terhadap individu perseorangan128

128 5 a) the preventive effect of the penalty, b) the seriousness of the offence, c) whether

the enterprise could by guidelines, instruction, training, control or other measures have prevented the offence, d) whether the offence has been committed in order to promote the interests of the enterprise, e) whether the enterprise has had or could have obtained any advantage by the offence, f) the enterprise's economic capacity, g) whether other sanctions have as a consequence of the offence been imposed on the enterprise or on any person who has acted on its behalf, including whether a penalty has been imposed on any individual person.

Page 112: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

107

3.3.2. Analisis Bentuk Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

Yang Akan Datang

Korporasi memang tidak diakui sebagai subyek hukum pidana dalam

KUHP.Tetapi dalam hukum pidana positif di luar KUHP banyak yang

mengatur korporasi yang diakui sebagai subyek hukum pidana. Misalnya

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-undang tentang Pembentasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan

sebagainya. Bahkan sejak rezim pemerintahan yang anti tindak pidana ekonomi

tahun 1955 telah mengeluarkan Undang-undang Darurat nomor 7 tahun 1955

tentang Pengusutan dan Penuntutan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) telah

dengan tegas mengakui Badan Hukum (in caso: Korporasi) sebagai subyek

hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.

Memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang pertanggungjawaban pidana korporasi ternyata terdapat kecenderungan

berupa:

1. Belum ada keseragaman penggunaan terminologi korporasi.

Terminologi yang dipergunakan untuk menyebutkan pengertian

korporasi terlihat masih beraneka ragam, seperti badan hukum, badan

usaha dan organisasi lain.

2. Belum adanya keseragaman tentang pengaturan kapan korporasi dapat

dipertanggungjawbkan.

Page 113: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

108

3. Belum ada keseragaman tentang siapa yang dapat

dipertanggungjawabkan.

4. Belum ada keseragaman tentang sanksi apa yang dapat dijatuhkan

kepada korporasi.

Sementara terhadap konsep KUHP pun masih terdapat kelemahan yang

menurut Barda Nawawi Arief kelemahan tersebut berupa :

a. Belum diatur secara jelas, kapan korporasi dikatakan telah melakukan

tindak pidana;yang ada hanya ketentuan mengenai kapan korporasi

dapat dipertanggungjawabkan (lihat pasal 46);

b. Tidak diatur secara khusus jenis sanksi pidana untuk korporasi;

c. Tidak ada ketentuan mengenai pidana tambahan atau tindakan tata

tertib khusus untuk korporasi.

Di sisi lain, menurut Muladi, pembicaraan masalah korporasi sebagai

subjek hukum (normadressat) akan menyentuh persoalan utama, yaitu kapan

dan apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam

hukum pidana. Itulah sebabnya Muladi memberikan pedoman sebagai

berikut:

1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum

apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial

sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum.

2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi

untuk perbuatan pidana, untuk pembuktian akhir pembuatan pidana,

disamping apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan statuta dari

badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan, maka

yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang

lingkup pekerjaan dari badan hukum

Page 114: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

109

3. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana

bilamana perbuatan yang terlarang yanguntuk

pertanggungjawabannya dibebabkan atas badan hukum dilakukan

dalam rangka pelaksanaan tugas dan / atau pencapaian tujuan-tujuan

badan hukum tersebut

4. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak pidana

kannya terlepas dari

terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana tindakan dilakukan

-

arrest HR. 1945). Syarat kekuasaan (machtsvereiste) mencakup:

wewenang mengatur/menguasai dan / atau memerintah pihak yang

dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang tersebut; mampu

melaksanakan kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil

keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan; dan mampu

mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka

mencegah dilakukannya tindakan terlarang; Selanjutnya syarat

penerimaan (aanvaardingsvereiste), hal ini terjadi apabila ada kaitan

erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di dalam

badan hukum dengan tindakan terlarang tersebut. Juga apabila ada

kemampuan untuk mengawasi secara cukup

5. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada

kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam

kegiatan yang nyata dari perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang

nyata dari perusahaan tertentu. Dalam kejadian-kejadian lain

penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi pertanggungjawaban,

kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang berbuat atas

nama korporasi sehingga dianggap juga dapat menimbulkan

kesengajaan badan hukum;

6. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu,

Page 115: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

110

kesengajaan dari seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat

mengakibatkan kesengajaan badan hukum;

7. Pertanggungjawaban juga bergantung dari organisasi internal dalam

korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi, demikian pula

apabila berkaitan dengan kealpaan;

8. Pengetahuan bersama dari sebagaian besar anggota direksi dapat

dianggap sebagai kesengajaan badan hukum, bahkan sampai pada

kesengajaan kemungkinan.129

Dalam penelitian Disertasi Sahuri130 disebutkan bahwa untuk dapat

mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana ada empat persoalan pokok

yang perlu diperhatikan, yaitu (1), masalah rumusan perbuatan yang dilarang;

(2), masalalah penentuan kesalahan korporasi; (3) masalah penetapan sanksi

terhadap korporasi; dan (4) sifat pertanggungjawaban korporasi. Untuk

perumusan perbuatan yang dilarang dan pertanggungjawaban korporasi masih

kurang jelas dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak

pidana dan korporasi yang bertanggungjawab.Dalam penentuan kesalahan

korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana, sangat sulit karena

kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara

pribadi, karena yang melakukan tindak pidana adalah orang/pengurus.Begitu

juga dengan sanksi pidana yang berhubungan dengan pertanggungjawaban

korporasi, belum tertata secara jelas.Sedangkan sifat pertanggungjawaban

korporasi dalam berbagai peraturan perundang- undangan tersebut bersifat

mutlak jika orang yang melakukan tindak pidana tersebut mempunyai

hubungan dengan korporasi atau mempunyai kedudukan fungsional.Akan

129 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002, hal. 160-161

130Sahuri L. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004

Page 116: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

111

tetapi bagaimana dengan alasan penghapusan pidana terhadap korporasi tidak

ditemukan.

Pengaturan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana harus jelas

dan tegas dengan mencantumkan secara autentik dalam ketentuan umum

KUHP yang sekarang sedang diperbaharui sehingga ketentuan di luar KUHP

harus mengikutinya.Namun, Zulkarnain 131 menilai bahwa pengaturan tentang

sistem pertanggungjawaban korporasi baik dalam undang-undang khusus di

luar KUHP maupun dalam Rancangan KUHP terbaru pun, tidak jelas dan

komprehensif.Aspek empirik dan yuridis serta kepentingan publik terkait

dengan pemidanaan korporasi dalam hal social welfare policy belum

diperhatikan.

Dari hasil penelitian ditemukan fakta bahwa sistem hukum pidana

Indonesia masih belum mengakui sepenuhnya bahwa korporasi adalah subyek

hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.Meskipun ada beberapa produk

kebijakan hukum pidana di luar KUHP yang mengatur pertanggungjawaban

korporasi, namun sistem pertanggungjawaban korporasi yang dianut masih

menggunakan doktrin vicarious liability. Hal tersebut sama halnya belum

mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana. Oleh karena itu, perlu

merekomendasikan adanya reformulasi kebijakan tentang sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi dan memasukkan rumusan tersebut

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi masalah

kejahatan korporasi (penal policy).Oleh karena itu, penggunaan sanksi yang

131Zulkarnain, Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dan Model Pemidanaannya, Hasil Penelitian Hibah Bersaing. DP2M Dikti. Univ Widyagama. Malang, 2007, hal. 38

Page 117: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

112

berupa pidana terhadap kejahatan korporasi harus dipertimbangkan urgensi dan

efektivitasnya.Karena pemidanaan bisa berfungsi sebaliknya dari yang

diharapkan. Suatu sanksi pidana akan menemui kegagalan dan mendatangkan

kecemasan belaka. Apabila terlalu banyak menggunakan ancaman pidana dapat

mengakibatkan devaluasi dari undang-undang pidana.

Jeremy Bentham juga menyarankan bahwa pidana hendaknya jangan

digunakan apabila groundless (tanpa dasar), needless (tidak sesuai kebutuhan),

unprofitable (tidak menguntungkan), dan ineffective (tidak efektif). Demikian

juga dengan Parker, ia menyatakan bahwa pidana itu menjadi penjamin yang

utama (prime guarantor) apabila digunakan secara cermat, hati-hati

(profidently) dan secara manusiawi (humanly). Akan tetapi sebaliknya pidana

bisa menjadi pengancam yang membahayakan (prime threatener) apabila

digunakan secara indiscriminatly dan coercively.

Pidana pokok yang bisa dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana

denda (fine), tetapi apabila dijatuhkan sanksi berupa penutupan seluruh

corporate death penalty

mati bagi korporasi). Sedangkan sanksi berupa segala bentuk pembatasan

terhadap aktivitas korproasi, maka sebenarnya mempunyai hakikat yang sama

dengan pid

pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim, merupakan sanksi

yang sangat ditakuti oleh korporasi.Setiyono kemudian menjelaskan bahwa

sesuai dengan motif-motif kejahatan korporasi, maka sanksi-sanksi yang

Page 118: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

113

bersifat ekonomis dan administratif lebih sesuai diterapkan dalam

pertanggungjawaban korporasi.

Namun, mengingat peranan korporasi sebagai pemberi kerja, maka

penerapan sanksi (khususnya penutupan perusahaan) terhadap korporasi harus

dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati.Hal ini sesuai dengan pendapat

Muladi132 bahwa dampak pemberian sanksi terhadap korporasi dapat menimpa

pada orang-orang yang tidak berdosa, seperti buruh, konsumen, pemegang

saham dan sebagainya.Sebaliknya, apabila tindak pidana yang dilakukan sangat

berat, maka di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan

pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas

korporasi, sebab dampak yang ingin dicapai tidak hanya mempunyai financial

impact, tetapi juga mempunyai non financial impact.

Terkait dengan pembaharuan hukum pidana tentang penanggulangan

kejahatan korporasi, perlu dicatat bahwa dalam Rancangan KUHP Baru

(KUHP Konsep) dalam penjelasan umum Buku I menyatakan bahwa:

Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan

perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya

pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula

manusia hukum (juridical person) yang lazim disebut

korporasi.Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek

hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus masih

dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh

korporasi dan pengurus atau pengurus saja. 133

132Muladi.Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), hal. 7 133 Lihat Penjelasan Umum RUU KUHP 1999/2000 Buku Kesatu angka 2

Page 119: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

114

Dengan demikian, maka mengingat hal tersebut perlu pembaharuan

kebijakan hukum pidana khususnya yang terkait dengan penanggulangan

kejahatan korporasi dengan menjadikan korporasi sebagai subyek hukum

pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.Selain mengkaji terhadap

peraturan hukum pidana positif yang berlaku, peneliti juga mengkaji konsep

KUHP baru (RUU-KUHP) yang merupakan Ius Constituendum.

RUU KUHP ini telah dirancang (dengan berbagai perubahan-

perubahannya) sejak tahun 1964 dan terakhir telah tersusun konsep KUHP

tahun 2015. Pada konsep KUHP tahun 2015 Jika sebelumnya, KUHP belum

mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka lain halnya dengan R-

KUHP. Dalam Pasal 48 R-

134

Dengan demikian korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah diakui

secara tegas dalam R-KUHP revisi 2015.Adapun mengenai definisi korporasi,

R-KUHP mendefinisikan korporasi sebagaimana definisi dalam hukum pidana

pada umumnya, yakni baik yang berbadan hukum maupun yang bukan

berbadan hukum. Definisi tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 189 R-

KUHP, yakni: kumpulan terorganiasi dari orang dan / atau kekayaan, baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.135

Dengan demikian, definisi korporasi dalam R-KUHP jauh lebih luas jika

dibandingkan dengan definisi korporasi dalam hukum perdata.Sebagaimana

dijelaskan sebelumnya bahwa definisi korporasi dalam hukum perdata adalah

134 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana revisi tahun 2015. Pasal 48 135 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana revisi tahun 2015. Pasal 189

Page 120: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

115

suatu badan hukum. Dalam hukum perdata, apa saja yang dianggap sebagai

badan hukum diatur secara tersendiri. Karenanya terhadap korporasi dalam

hukum perdata subjeknya lebih dibatasi.Contoh korporasi dalam hukum

perdata yang umum dikenal sebagai badan hukum adalah Perseroan Terbatas,

Koperasi, dan Yayasan.Sedangkan definisi korporasi yang digunakan dalam R-

KUHP tidak hanya membatasi terhadap subjek hukum badan hukum,

melainkan juga melingkupi bukan badan hukum, seperti CV, Firma, dan

persekutuan perdata lainnya.

Apabila mengkaitkan dengan model pertanggungjawaban pidana

korporasi sebagaimana dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro136 maka R-

KUHP mengadopsi dua model pertanggungjawaban pidana korporasi.Pertama

adalah korporasi sebagai pembuat dan korporasi bertanggungjawab.Hal ini

terdapat pada ketentuan Pasal 50 R-KUHP yang menyebutkan bahwa apabila

tindak pidana dilakukan oleh korporasi maka pertanggungjawaban pidana

dikenakan terhadap korporasi137.Kedua adalah korporasi sebagai pembuat dan

pengurus yang bertanggungjawab. Hal ini terdapat dalam ketentuan yang sama,

yakni Pasal 50 yang menyata

138

Dengan diadopsinya dua model pertanggungjawaban pidana tersebut

maka terdapat tiga kemungkinan penerapan pertanggungjawaban pidana yang

terjadi sebagaimana dikemukakan oleh Sutan Remy S. Pertama adalah

136Reksodiputro, Mardjono. Tindak Pidana Korporasi Dan Pertanggungjawabannya

(Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di Indonesia). Makalah dalam Pelatihan Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi FH UGM. Yogyakarta, 24 Ferbuari 2014.

137 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana revisi tahun 2015. Pasal 50

138 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana revisi tahun 2015. Pasal 50

Page 121: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

116

korporasi sebagai pembuat dan korporasi bertanggungjawab.Kedua adalah

korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, dan ketiga adalah

korporasi sebagai pembuat dan pengurus dan korporasi bertanggungjawab.139

Hal yang menarik mengenai pengaturan korporasi dalam R-KUHP

adalah pengaturan mengenai macam tindak pidana apa yang dianggap

dilakukan oleh korporasi. Dalam Pasal 49 R-KUHPdiatur bahwa: tindak pidana

dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai

kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak

untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan

hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha

korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.140

Ketentuan ini rupanya sekilas hampir serupa dengan ketentuan pada

Undang-Undang PPLH dalam merumuskan tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi. Dalam bukunya, Remmelink mengatakan bahwa korporasi akan

selalu dapat dikatakan berbuat atau tidak berbuat melalui atau diwakili oleh

perorangan.141

Dari aspek perbandingan hukum pidana, sebagaimana telah diuraikan di

atas, maka KUHP negara-negara Perancis, telah lebih maju dalam membuat

ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Apabila KUHP

sekarang ingin melakukan dengan lebih agresif proses pidana terhadap

korporasi, maka tentu harus membuat ketentuan serupa dalam revisi KUHP,

139 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti

Pers, 2006), hlm. 100 140 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana revisi tahun 2015. Pasal 49 141 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar-Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting

Dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1983.hlm. 106

Page 122: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

117

Apabila dilihat rumusan ketentuan yang mengatur mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi di negara lain, maka dapat diambil

contoh sanksi pidana yang diatur dalam KUHP Perancis:

1. Dissolusi (pembubaran), yaitu dalam hal subjek hukum buatan dibuat

untuk melakukan suatu kejahatan, atau, ketika kejahatan atau

pelanggaran tersebut memiliki ancaman hukuman tiga tahun atau lebih,

dimana subjek hukum buatan telah dialihkan dari sasarannya semula,

untuk melakukan kejahatan tersebut;

2. Larangan untuk melaksanakan, langsung maupun tidak langsung satu

atau lebih kegiatan profesional atau sosial, baik secara permanen atau

untuk jangka waktu maksimal 5 tahun;

3. Penempatan dibawah pengawasan hakim untuk jangka waktu

maksimal 5 tahun.

4. Penutupan permanen atau penutupan selama jangka waktu maksimal 5

tahun, satu atau lebih badan usaha, yang digunakan untuk melakukan

kejahatan, yang sedang diperiksa;

5. Diskualifikasi dari pelelangan publik, baik secara permanen atau untuk

jangka waktu maksimal 5 tahun;

6. Larangan, baik secara permanen atau untuk jangka waktu maksimal 5

tahun, untuk mengumpulkan dana dari masyarakat;

7. Larangan untuk menarik cek, kecuali cek yang dijinkan untuk ditarik

dananya oleh penarik, dari pembuat atau cek yang diseritifikasi, dan

larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu

maksimal 5 tahun.

Page 123: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

118

8. Perampasan benda-benda yang digunakan atau dimaksudkan untuk

melakukan kejahatan, atau benda-benda yang merupakan hasil dari

kejahatan tersebut.

9. Pengumuman kepada publik, pidana atau penyebarluasannya baik

secara oleh media cetak atau oleh media televisi dan radio.

Page 124: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

119

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Terjadinya inkonsistensi pengaturan pidana korporasi dalam perundang-

undangan dikarenakan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana

saat ini baru diakui dalam Undang-Undang yang mengatur tindak pidana

di luar KUHP. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang

khusus dan sekaligus lex spesialis terhadap KUHP sehingga dibolehkan

adanya ketentuan khusus dan menyimpang dari KUHP.

2. Dari ketidakkonsistenan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam perundang-undangan di Indonesia dampak yang ditimbulkan adalah

timbulnya ketidakpastian hukum. Peraturan perundang-undangan tidak

terlaksana secara efektif dan efisien, disfungsi hukum, artinya hukum tidak

dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, dan

terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, yang

mengakibatkan adanya disparitas putusan hakim dalam menjatuhkan

putusannya kepada korporasi yang melakukan tindak pidana.

3. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang akan datang bahwa pengaturan

yang sesuai dengan fakta hukum pengaturan koorporasi lebih dikehendaki

seperti dalam pengaturan korporasi didalam undang-undang pengelolaan

dan perlindungan lingkungan hidup, karena terlihat lebih lengkap, karena:

Pertama,dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah

jelas perumusan tentang subjek tindak pidana korporasi , sudah ada

Page 125: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

120

perumusan tentang kapan tindak pidana korporasi terjadi, yaitu ketika

seseorang bertindak dalam lingkungan korporasi baik dalam hubungan

kerja maupun hubungan lain, serta sudah ada rumusan tentang siapa yang

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

4.2. Saran

1. Dengan telah di terbitkannya Peraturan Mahkama Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah menjadi dasar atau SOP

(Standart Operasional Prosedure) bagi para penegak hukum. Bagi

Pemerintah (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) perlu membuat

aturan yang lebih tinggi tentang Tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah menjadi dasar atau SOP

(Standart Operasional Prosedure). Peraturan yang sekarang dirasakan

belum dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.

2. Sudah saatnya bagi DPR RI dan presiden untuk mengesahkan RUU

KUHP telah mengakomodir korporasi sebagai subyek hukum pidana

dan sekaligus mengatur tentang mekanisme pertanggungjawaban

pidananya. sehingga dengan di sahkannyaR-KUHP tidak adanya lagi

disparitas putusan hakim dalam menjatuhkan putusannya kepada

korporasi yang melakukan tindak pidana.

Page 126: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

121

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Bayumedia, 2005

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Keadilan (jurisprudence) Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2009.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.2007

---------------------------- Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2002 --------------------------- Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo

Persada, 1994. ---------------------------- Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT Citra

Aditya Bakti, 2003. Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung:

Mandar Maju, 1999 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo

Persada, 2002. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar

Maju, 2008. Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung: Utomo, 2004. --------------------- Antisipasi Hukum Pidana Terhadap kejahatan Korporasi

Dalam Era Globalisasi, karya Vira Jati No. 90 Tahun 1995 Bandung, Seskoad,1995.

E Fernano M Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai, Jakarta, Buku Kompas, 2007. Gustav Radbruch, Bonie Litsheweski Paulson and Stanley L. Paulson, Statutory

Lawlessness and Supra-Sttatutory Law (1946), Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1Oxford University Press, 2006.

Page 127: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

122

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia(Strict Liability dan Vicarius Liability). Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013. H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan

Pertanggungjawaban Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua Cetakan Pertama, Malang, Banyumedia Publishing 2003.

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum Yang Nyata di Negara Berkembang, Bali,

Pustaka Larasan, 2012. Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia, 2012. Kristian, Kebijakan Integral Formulasi Pertanggungjawaban Pidana

Korporaasi di Indonesia. Bandung: Nuansa Aulia, 2014. Khristyawan Wisnu Wardana dan Erna Susanti, Tanggungjawab Korporasi

Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup, Risalah Hukum, Edisi Nomor 2, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, 2005, hal 29.

Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian,

Jakarta: Datacom, 2002. Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi manusia, dan Reformasi Hukum Di

Indonesia, Jakarta, The Habibie Center, 2002. ----------- Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana,

Cetakan Pertama, Bandung, Sekolah Tinggi Hukum, 1991. ------------ Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di

Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. ------------- Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, 1992. -------------- dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,

Kencana Media Group, Jakarta, 2012 ------------------------------------- Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana. Bandung: STHB, 1991.

Page 128: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

123

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998. Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. --------------- Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan,

Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, 1994.

NHT Siahan, Money Loundering dan Kejahatan Perbankan, Jakarta, Jala,

2008 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada

Media Group, 2008 ------------------------------- Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011. Soedjono Dirdjosisworo, Respons Terhadap Kejahatan, Introduksi Hukum

penanggulangan Kejahatan(Introduction to the law of Crime Prevention), Sekolah Tinggi Hukum Bandung Press, 2002.

---------------------- kebijakan legislasi tentang sistem pertanggungjawaban

pidana korporasi di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004. Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu

Hukum.Jakarta PT Rajagrafindo persada, 2010. -------------------------- Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta,

Liberty, 2007. Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta,

1990 dalam Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008.

Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta,

Ghalia Indonesia, 1982. --------------------- Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta,

Aksara Baru,1981& 1983. Reksodiputro, Mardjono. Tindak Pidana Korporasi Dan

Pertanggungjawabannya (Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di

Page 129: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

124

Indonesia). Makalah dalam Pelatihan Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi FH UGM. Yogyakarta, 24 Ferbuari 2014.

Sjahdeini Sutan Remi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Press,

Jakarta, 2006.

Ilmu Hukum Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. ------------------------- Kepastian Hukum Dalam Kumpulan Tulisan Program Doktor UNDIPSemarang: Universitas Diponegoro, 2009. Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007. ------------------------ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Semarang, Yayasan Sudarto, 1990. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan, UMM Press, 2012. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995. Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum

Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011.

Zulkarnain, Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Tentang

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dan Model Pemidanaannya, Hasil Penelitian Hibah Bersaing. DP2M Dikti. Univ Widyagama. Malang, 2007.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007

Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005

2025.

Page 130: INKONSISTENSI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ...repository.ub.ac.id/1101/1/MUHAMAD SONI WIJAYA.pdf · (Analisis Yuridis Pada Undang-UndangTindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

125

Republik Indonesia.Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang No. 1

Tahun 1946 Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana versi Tahun 2015

TESIS

Auliah Andika, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Pencucian Uang, Universitas Indonesia Jakarta, Tesis, Tahun 2012.

M. Yusfidli Adhyaksana, Pertanggungjawaban pidana korporasi Dalam

Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Universitas Diponegoro Semarang, Tesis, Tahun 2008.

Bisma Putra Mahardika, Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban

pidana Pengelola Perusahaan Pertambangan yang Mengakibatkan Kerugian Pada Ekologi dan Masyarakat, Tesis, Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2016.

DISERTASI

Sahuri L. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004