Injil Kebudayaan Dan Ideologi

download Injil Kebudayaan Dan Ideologi

of 34

Transcript of Injil Kebudayaan Dan Ideologi

INJIL, KEBUDAYAAN DAN IDEOLOGI Sebuah perspektif dalam Konteks Indonesia DR. Sostenes Sumihe Pertanyaan pokok di sini adalah bagaimana pendirian gereja terhadap masalah hubungan Injil dengan kebudayaan dan ideologi? Jawaban terhadap persoalan ini merupakan sumbangan untuk memperkaya kajiankajian yang ada mengenai persoalan tersebut, terutama dalam konteks kultural dan ideologis di Indonesia. Dan kemudian melihat implementasinya dalam kaitan pergumulan gereja di Papua. 1. Pemahaman Mengenai Injil, Kebudayaan dan Ideologi. Injil dipahami sebagai kabar baik dan terkait erat dengan Yesus Kristus dan karya keselamatan-Nya. Kepada murid-murid Yohanes, yang menanyakan kehadiran Mesias, Yesus menunjuk kepada pekerjaan dan pelayanan-Nya: membangkitkan orang mati (Mat. 11:4-5). Sekalipun tidak langsung menyebut diri-Nya Mesias, namun jawaban-Nya telah menunjuk kepada kemesiasan-Nya. Dan mereka yang mendengar jawaban tersebut akan segera mengerti, bahwa apa yang dilakukan Yesus itu merupakan tanda-tanda kehadiran jaman mesianis. Jawaban Yesus tersebut menunjukkan, bahwa Injil adalah kabar baik, sebab ia menyentuh realitas kehidupan manusia. Bagi mereka yang buta, lumpuh, kusta dan tuli, penyembuhan dan pemulihan dari penyakitpenyakit tersebut merupakan sebuah berita kesukaan atau Injil. Injil selalu dan selamanya berhubungan dengan realitas kehidupan. Pemberitaan yang

tidak menyentuh realitas, bukan Injil. Mungkin ia sebuah berita, tetapi bukan kabar baik atau Injil. Injil sebagai kabar baik tidak dapat dipisahkan dari konteks. Injil adalah Injil kalau pemberitaannya berlangsung dalam perjumpaan dengan kehidupan nyata manusia dan membawa pembaruan. Jadi Injil adalah berita kesukaan mengenai karya keselamatan Allah yang nyata di dalam kehidupan dan pelayanan Yesus, yang menyentuh baik kehidupan rohani maupun jasmani, yang datang kepada manusia sebagai sebuah panggilan untuk pembaruan kehidupan. Tema sentral dalam pemberitaan Yesus adalah Kerajaan Allah. Pekerjaan dan pelayanan Yesus yang menyembuhkan itu merupakan pendemonstrasian Kerajaan Allah atau kedaulatan Allah di dalam kehidupan manusia. Di dalam dan melalui pelayanan dan kehidupan Yesus Kerajaan Allah menerobos masuk ke dalam kehidupan manusia. Namun ini barulah satu sisi dari pemberitaan Yesus. Pemberitaan Yesus mengenai Kerajaan Allah juga menunjuk kepada dimensi keakanan-Nya. Karena itu, sekalipun Yesus telah menunjukkan tanda-tanda Kerajaan Allah melalui hidup dan pelayanan-Nya, namun Kerajaan Allah belum menggantikan kemiskinan, penyakit, dan kematian. Pengalaman pahit demikian masih terus berlangsung, tetapi kehadiran Kerajaan Allah dan kepenuhannya di masa depan itu memberikan perspektif yang baru dalam melihat realitas tersebut. Injil tidak dapat dipisahkan dari konteks. Dan salah satu aspek penting dalam konteks adalah kebudayaan. Karena itu, dalam bahasan ini kebudayaan turut dikaji. Pemahaman sekitar kebudayaan mengalami

perkembangan. Perkembangan pemikiran di sekitar teori evolusi, terutama di Barat pada abad ke 19, memberi juga pengaruh terhadap pemahaman kebudayaan. Ada anggapan bahwa manusia adalah bagian dari dunia hewani, tingkah laku manusia adalah bagian dari sifat hewani tersebut. Dalam hubungan ini, kebudayaan dilihat sebagai bawaan atau warisan biologis. Banyak yang keberataan dengan pandangan ini, bukan saja karena merendahkan derajat manusia, tetapi juga karena melihat bahwa kebudayaan itu dapat dipelajari. Ada peranan manusia dalam pengembangan kebudayaan. Nilai-nilai dan sistem kebudayaan tidak dapat dimengerti dan diberlakukan serta dikembangkan bila warga kebudayaan tidak mempelajarinya (Hoebel, Kroeber dan Kluckohn, dan Van Peursen). Tindakan kebudayaan manusia merupakan hasil proses belajar. Begitu juga dengan pengembangan kebudayaan. Manusia adalah pembentuk kebudayaan. Di samping itu, kebudayaan dilihat sebagai suatu yang mengandung makna yang dengannya manusia mengkomunikasikan dan mengembangkan pengetahuan serta sikap terhadap kehidupan. Karena itu kebudayaan mengungkapkan adanya relasi-relasi atau jaringan-jaringan di mana manusia saling terkait dan tergantung satu dengan yang lain. Dalam hal ini, kajian mengenai kebudayaan bersifat interpretatif dalam rangka mencari makna, yang dengannya manusia mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya (Geertz). Kebudayaan tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan berfungsi

menjelaskan keseluruhan cara hidup suatu masyarakat. Atau seperti ditekankan oleh Luzbetak, kebudayaan adalah a societys design for life (sebuah rancangan kehidupan masyarakat). Pemikiran dan pandangan hidup atau perilaku seseorang atau kelompok masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang mempengaruhi warga kebudayaan. Karena itu, suatu gagasan dan perilaku individu atau kelompok masyarakat tidak dapat di mengerti tanpa memahami kebudayaan warga kebudayaan itu sendiri. Dalam hubungan ini, orang berbicara mengenai dimensi kognotif, afektif dan evaluatif dari kebudayaan (Hiebert). Dimensi kognotif menekankan aspek pengetahuan konseptual berbagai hal di sekitar kehidupan masyarakat. Dimensi afektif berkaitan dengan perasaan dan sikap terhadap hal-hal tertentu, sedangkan dimensi evaluatif dihubungan dengan penilaian moral mengenai apa yang salah atau benar, yang baik atau yang buruk. Dimensi-dimensi ini mengungkapkan manisfestasi kebudayaan berupa pemikiran-pemikiran, konsep-konsep, sikap atau cara pandang terhadap objek tertentu. Termasuk dalam manifestasi kebudayaan tersebut adalah agama. Ini dapat diamati dalam pandangan mengenai Tuhan, dunia, roh, kematian, keselamatan, juga dalam bentuk-bentuk upacara dan bendabenda suci keagamaan yang disertai simbol-simbol religi. Dalam hal ini, agama bukan merupakan sistem nilai yang berdiri sendiri di luar kebudayaan, melainkan bagian dari kebudayaan, yang mengungkapkan sebuah sistem religi yang mempengaruhi kehidupan manusia. Tetapi, agama tidak sepenuhnya ditentukan oleh kemampuan manusia

menciptakan kebudayaan seperti antara lain dalam bentuk simbol-simbol religi. Upacara keagamaan tidak dapat dilepaskan dari keyakinan atau kepercayaan tentang dunia adikodrati, misalnya tentang Tuhan. Sebuah upacara memiliki nilai religius karena adanya keyakinan tersebut. Dan justru keyakinan itulah yang memberikan watak dan bobot sakral terhadap suatu tindakan kebudayaan, seperti upacara-upacara keagamaan. Jadi ada dimensi wahyu atau penyataan di dalam agama, dan ini yang membedakannya dengan idelogi. Oleh karena itu, patut ditekankan bahwa ideologi lebih dihubungkan dengan penataan kehidupan sosial dan secara rasional menjadi landasan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat. Dalam ideologi tindakan-tindakan sosial dan politik tidak didasarkan pada perenungan wahyu ilahi, melainkan didorong oleh gagasan ideologis dan memperhadapkannya dengan realitas sosial. Dalam kajian ini ideologi dipahami sebagai sebuah sistem kepercayaan yang menjelaskan dan memberikan legitimasi tatanan sosial yang ideal, baik yang sedang berlangsung yang akan diusahakan serta menggariskan strategi dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang ideal (Eka Darmaputera). Jadi pada dasarnya ideologi adalah alat perjuangan untuk mencapai kehidupan yang ideal. Pemahaman ini merupakan definisi kerja untuk memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. 2. Pancasila dan Kebudayaan.

Dari kajian historis diketahui bahwa lahirnya Pancasila berkaitan dengan pertanyaan ketua BPUPKI, dr. Rajiman Wediodiningrat, mengenai dasar negara yang akan dibentuk. Persoalan ini membawa anggota badan tersebut terbagi atas dua kelompok, yaitu mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan kelompok nasionalisme. Ketika perdebatan mengenai dasar negara mengalami jalan buntu, pada dasar itulah Soekarno mengusulkan usul alternatif, yaitu Pancasila sebagai dasar negara. Usul ini diterima secara bulat, karena dianggap sebagai jalan keluar yang pragmatis dari situasi kebuntuan dan dapat mempertemukan kelompok yang berbeda itu. Usul Soekarno tersebut kemudian dirumuskan lebih lanjut oleh sebuah panitia, yang hasilnya kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta pada sila pertama dirumuskan: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini merupakan upaya kompromi antara kelompok yang mempertahankan Islam sebagai dasar negara dengan mereka yang mempertahankan paham kebangsaan. Tetapi, kemudian rumusan tersebut dihapus karena mendapat kritik dari wakil-wakil Indonesia Timur. Dan ini dilakukan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Maka rumusan Pancasila menjadi: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut bukan hanya berasal dari lingkungan kebudayaan Indonesia, melainkan diperkaya pula oleh nilai-nilai yang

berlaku luas dalam masyarakat internasional, seperti nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial. Dalam kerangka Pancasila, negara yang dibangun itu bukan negara agama, tetapi bukan juga negara sekuler. Dalam hubungan ini, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, amat menentukan. Terutama dengan dihapusnya kalimat: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dari Piagam Jakarta, menjadikan Pancasila sebagai sebuah solusi jitu yang menampung aspirasi kelompok yang tidak menghendaki negara sekuler, dan sekaligus memenuhi keinginan kelompok yang tidak menghendaki negara agama. Sila tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kesatuan dengan sila kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Sehingga upaya-upaya dalam rangka kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial dijalankan tanpa meninggalkan nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Pancasila, sebagaimana yang disebutkan di atas, berfungsi sebagai ideologi bangsa, yaitu sebagai landasan dan sekaligus tujuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila juga diterima sebagai dasar di mana di atasnya bangsa dan negara didirikan. Selain itu, ia dipahami pula sebagai pandangan hidup, yang memuat konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Dalam fungsi seperti itu, klaim kesetiaan dan kepatuhan kepada Pancasila cukup menonjol, sehingga terkesan Pancasila menjadi semacam agama atau sebuah kuasi agama. Namun kajian-kajian mengenai Pancasila baik

dalam hal perumusannya, dari sudut pandang pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memperlihatkan, Pancasila tidak diposisikan sebagai sebuah agama. Dari sudut perumusannya, Pancasila tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah agama bagi bangsa Indonesia. Pemunculannya adalah untuk menjadi dasar pendirian negara Indonesia. Sebelum Pancasila lahir sukusuku bangsa Indonesia sudah memeluk berbagai agama. Dan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa justru memperkuat rasa keberagaman yang sudah ada. Di jaman pemerintahan Soekarno, yang dikenal dengan jaman Orde Lama, Pancasila pun tidak diposisikan sebagai agama. Dekrit Presiden, yang dikeluarkan Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, menegaskan kembali ke Undang-Undang Dasar 45 dan Pancasila, setelah konstituante gagal mengatasi konflik-konflik ideologis. Penegasan ini menyatakan Pancasila tetap sebagai dasar negara. Dalam pemerintahan Soeharto, yang dikenal dengan jaman Orde Baru, Pancasilapun tetap dipertahankan dan diamalkan, bukan saja sebagai dasar negara tetapi sekaligus sebagai tujuan kemerdekaan Indonesia. Di sini pengamalan Pancasila mendapat perhatian dan penekanan yang cukup besar, yaitu lewat program penataran pengamalan Pancasila. Melalui program ini diharapkan Pancasila sebagai dasar negara benar-benar menjadi pedoman dan penuntun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekalipun menjadi pedoman dan penuntun, namun tidak mengatur religiositas umat beragama.

Demikian juga dari sudut pandang agama-agama, Pancasila tidak ditempatkan sebagai sebuah agama. Pancasila tidak menggeser dan mengganti posisi agama-agama. Pancasila tetap sebuah ideologi dan merupakan solusi jitu yang dinilai dapat mempersatukan bangsa Indonesia di tengah pluralitas agama. Pancasila tidak dijadikan agama bersama di samping agama-agama yang ada. Pancasila justru membuka peluang berkembangnya agama-agama, dan dengan demikian pluralitas agama diakui sebagai realitas masyarakat. Pancasila menjadi dasar bersama yang mempersatukan karena ia berakar dalam kebudayaan. Atau seperti dikatakan Soekarno ia digali dari bumi Indonesia. Ini tidak berarti bahwa tidak ada pengaruh nilai-nilai dari luar budaya Indonesia. Soekarno mengakui hal itu. Dan itu memperkaya nilainilai yang digali dari bumi Indonesia, seperti nilai-nilai gotong-royong, keseimbangan dan keselarasan merupakan nilai-nilai yang menentukan dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk itu. Dalam hal ini Pancasila sering digambarkan oleh T.B. Simatupang sebagai payung besar yang dibawahnya berlindung dan bersatu bangsa Indonesia. Semua orang dapat menerima nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan menggunakannya sebagai dasar hidup bersama. Ini dimugkinkan oleh sifat Pancasila yang inklusif dan non-diskriminatif. Hal ini diperkuat oleh pendekatan budaya Pancasila yang dapat menjembatani pluralitas masyarakat. Eka Darmaputera menyebut pendekatan tersebut sebagai pendekatan bukan ini dan buka itu. Dalam pendekatan ini kepelbagaian ditampung, dan kalau berhadapan dengan

pilihan-pilihan tidak ada satupun yang ditolak atau diterima sepenuhnya. Setiap kelompok masyarakat diakui identitas kultural, sosial dan agamanya, tetapi identitas itu walaupun diakui dan dihargai, namun harus disimpan untuk diri sendiri, sebab semua orang dan semua golongan memiliki satu identitas, yaitu sebagai anggota-anggota dari satu keluarga besar, bangsa Indonesia. 3. Pendekatan Ekumenis terhadap Kebudayaan dan Ideologi di Lingkungan DGD Dalam lingkungan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) proses konsilier mengenai hubungan Injil dengan kebudayaan dimulai pada pertemuan Conference on World Mission and Evangelism (CWME) tahun 1973 di Bangkok. Sekalipun demikian, ayunan langkah ke arah proses tersebut sudah berlangsung sebelumnya, terutama dalam Sidang Raya DGD Ke-3 di new Delhi (1961). Dalam sidang raya New Delhi kebudayaan tidak lagi dibicarakan dalam bentuk tunggal (culture), melainkan plural (cultures). Menggunakan kebudayaan dalam bentuk jamak hendak menekankan peranan kebudayaan dalam rangka pemberitaan Injil, sehingga dianggap suatu kekeliruan untuk mengidentifikasikan kebudayaan Barat dengan kebudayaan Kristen dan mengabaikan kebudayaan yang lain atau menganggap sebagai kekafiran. Identifikasi demikian dinilai dapat menjadi hambatan dalam kesaksian, pelayanan dan pemberitaan. Dalam hal ini, kebudayaan tidak lagi dilihat hanya sebagai masalah etis saja, melainkan juga dalam kerangka

misiologis. Cara pandang demikian digarisbawahi dalam konferensi Bangkok. Dalam konferensi tersebut kebudayaan dinilai mempunyai peranan penting dalam membentuk respons manusia terhadap panggilan Kristus. Jawaban manusia terhadap Injil tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Kebudayaan dalam pekabaran Injil bukan hanya sasaran pembaruan oleh Injil, tetapi sekaligus menginkarnasikan Injil. Tetapi juga mendorong lahirnya ungkapan-ungkapan iman pendengar Injil yang sesuai dengan budaya mereka sendiri. Jadi pertemuan Bangkok memperbaiki pendekatan terhadap kebudayaan dengan melihat kebudayaan sebagai masalah misiologis. Dan sejak Bangkok kata kontekstual menjadi istilah teknis dalam diskusi-diskusi ekumenis mengenai masalah hubungan Injil dengan kebudayaan. Cara pandang yang baru terhadap kebudayaan ini menjadi pendekatan utama dalam seluruh diskusi dan perdebatan sekitar hubungan Injil dengan kebudayaan. Identitas Kristen tidak lagi dilepaskan dari identitas kultural. Sidang Raya DGD ke-5 di Nairobi (1975) misalnya dalam semua seksi mengkaitkan pembahasannya dengan kebudayaan. Digarisbawahi mengenai peranan kebudayaan dalam rangka pengakuan akan Kristus, dimana diisyaratkan bahwa kebudayaan dapat melahirkan suatu yang baru, tetapi juga yang orisinil dari lingkungan konteks kultural. Upaya memahami secara baru peranan kebudayaan terus dilakukan dengan mencari dasar-dasar teologis. Upaya ini dicatat oleh Sidang Raya ke-6 DGD di Vancouver (1983), sebagai sebuah agenda baru ekumenis

(a new ecumenical agenda). Tanggapan terhadap agenda ini muncul dalam konsultasi Injil dan kebudayaan di Riano, Italy (1984) dengan memahami masalah hubungan Injil dan kebudyaan dalam terang penciptaan dan peristiwa inkarnasi Kristus. Sejak Riano upaya mendekati masalah hubungan itu seakan mengalami jalan buntu, sebab tidak ada gagasangagasan yang lebih maju. Terobosan yang terjadi dalam upaya tersebut berlangsung di Sidang Raya ke-7 DGD di Canberra, Australia (1991), yang dilakukan oleh Chung Hyun Kyung. Pendekatannya bersifat pneumatologis dengan mengidentifikasikan kehadiran Roh Kudus dengan roh-roh mereka yang sudah mati atau roh-roh dari bumi, udara dan air. Tetapi identifikasi ini dikritik oleh pemimpin-pemimpin gereja Ortodoks, Lutheran dan Evangelikal karena menganggap dasar konstitusi DGD telah digeser oleh kecenderungan sinkretistik dalam gagasan tersebut. Akan tetapi, pendekatan pneumatologis ini tetap dilihat sebagai jalan yang dapat digunakan untuk mengungkapkan hubungan Injil dengan kebudayaan. Pertemuan Salvador menggarisbawahi kehadiran Roh Kudus di dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan. Ditekankan bahwa Allah itu esa, dan diakui Roh yang hadir di dalam kebudayaan dan keberagaman manusia tidak lain dari pada Roh Kudus. Sekalipun pertemuan Salvador tidak mengemukakan hal yang sama sekali baru disekitar hubungan Injil dan kebudayaan, kecuali menggarisbawahi apa yang sudah dikembangkan sebelumnya, namun pertemuan tersebut telah merehabilitasi pendekatan pneumatologis yang dianggap sinkretistik,

yang dikembangkan oleh Chung Hyun Kyung di sidang raya Canberra. Dan ini sekaligus merehabilitasi pendekatan terhadap masalah sinkretisme dalam hubungan Injil dengan kebudayaan. Sinkretisme menunjuk kepada percampuran Injil dengan unsur-unsur di luar dan bahkan bertentangan dengan Injil itu sendiri. Dan dalam masalah hubungan Injil dengan kebudayaan singkretisme tidak dapat dihindari. Ia dapat mempengaruhi atau bahkan menggagalkan iman kepada Kristus. Ancaman sinkretisme adalah pada jantung Injil, yaitu Yesus Kristus. Karena itu, kriteria untuk mencermati bahaya sinkretisme harus dipusatkan pada Kristus. Pertanyaan pokok bukan lagi, apakah orang sadar atau tidak sadar akan bahaya itu dalam hubungan Injil dengan kebudayaan, melainkan apakah interaksi Injil dan kebudayaan itu dapat membantu umat percaya mengekspresikan iman kepada Kristus, ataukah mengasingkannya dari iman itu. Sementara itu, diskusi mengenai ideologi diwarnai oleh sikap negatif maupun positif. Dalam sejarah gerakan ekumene masa antara1930-an sampai 1960-an istilah tersebut diterima secara negatif. Ini terutama terkait dengan Marxist dan komunisme, yang dianggap sebagai sistem pemikiran yang berlawanan dan menentang kekristenan, karena, seperti nyata dari konferensi IMC di Tambaran (1938), ideologi itu bersifat atheistik dan materialistik. Sidang Raya pertama DGD di Amsterdam (1948), kemudian Sidang Raya ke-2 DGD di Evanston (1954) menolak baik komunisme maupun kapitalisme dan sosialisme. Pemahaman baru yang posistif terhadap ideologi muncul dalam konferensi Gereja dan Masyarakat di Geneva (1966). Di sini ideologi dimengerti

sebagai pemikiran teoritis dan analitis yang mendukung keberhasilan untuk perubahan yang revolusioner di dalam masyarakat atau untuk mendukung dan mempertahakan status quo. Sikap posistif ini memperkuat perhatian yang sudah dikembangkan sebelumnya mengenai tanggung jawab sosial gereja di tengah masyarakat. Sikap positif ini diikuti pula oleh komitmen untuk mengadakan studi lebih mendalam mengenai ideologi dan menempatkannya secara struktural dalam program DGD, terutama terkait dengan program dialog dengan Orang-orang Berkepercayaan Lain, sehingga program ini pada sidang Komite Sentral DGD di Addis Ababa (1971) menjadi program Dialog dengan Orang-orang Berkepercayaan Lain dan Ideologi-ideologi. Dengan demikian, dialog yang dikembangkan bukan saja dengan umat beragama lain, tetapi juga dengan para penganut ideologi. Tetapi, kemudian dialog dengan ideologi-ideologi ditiadakan dari program tersebut. Paling sedikit ada tiga alasan yang mendasarinya. Pertama, karena sudah banyak studi yang dilakukan mengenai kekristenan dan ideologi; kedua, diskusi dan perdebatan mengenai hubungan kekristenan dan ideologi terutama dengan Marxisme berlangsung dalam situasi perang dingin. Orang Kristen Barat bila berbicara mengenai idelogi menunjukkan kepada Marxisme, sedangkan orang Kristen di Eropa Timur menunjuk kepada Kapitalisme, dan menilai gereja-gereja Barat telah melakukan kompromi dengan kapitalisme dan secara teologis merasa tidak ada persoalan. Tetapi mereka mencegah gereja-gereja Timur mengambil sikap yang sama. Oleh karena itu, dan ini alasan ketiga, sukar diidentifikasi

mitra dialog. Kalalu dalam dialog dengan umat beragama lain mitra dialog dapat diidentifikasi, namun dengan penganut ideologi-ideologi mitra dialog sulit untuk ditentukan. Bertolak dari alasan tersebut, maka sejak pertemuan Komite Sentral DGD di Geneva (1984) , program dialog dengan penganut ideologi-ideologi dihapus dari program dialog dengan umat beragama lain. Tetapi tidak berarti bahwa perhatian DGD kepada masalah ideologi sudah tidak ada lagi. Perhatian tetap ada, yang secara administratif ditangani oleh komisi mengenai partisipasi gereja dalam pembangunan, namun fokusnya diarahkan pada implikasi-implikasi ideologis dalam berbagai aspek kehidupan terutama aspek sosio-ekonomi dan sosio-politik. Sejak sidang raya DGD (1948) masalah sosial, ekonomi dan politik sudah mendapat perhatian. Di sini dimunculkan konsep the responsible society (masyarakat bertanggung jawab) oleh Oldham. Ini merupakan jawaban terhadap realitas masyarakat yang memprihatinkan akibat revolusi industri dengan berbagai dampak negatifnya, baik terhadap kehidupan individu maupun kelompok masyarakat. Yang ditekankan dalam konsep tersebut ialah kebebasan dan tangung jawab manusia. Tanggung jawab itu berlaku baik pada tataran horizontal, yaitu di antara sesama manusia maupun pada tataran vertikal, yaitu tanggung jawab terhadap Tuhan. Sampai pada dekade enam puluhan konsep tersebut dianggap relevan bagi gereja-gereja dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi, sosial dan politik. Karena itu, konferensi Gereja dan Masyarakat di Geneva (1966) menegaskan kembali relevansi konsep masyarakat bertanggung jawab

dalam menghadapi tantangan dan pergumulan gereja mengenai konflik idelogis antara kapitalisme dan sosialisme. Juga ditekankan perlunya dilakukan revolusi menentang tatanan masyarakat yang tidak adil, namun tidak mendukung cara-cara revolusioner bila tidak memungkinkan manusia hidup dalam keadilan dan perdamaian. Akan tetapi, mereka yang menganut gagasan teologi revolusi (Richard Shaul) mengkritik pemikiran sosial etis dan menghendaki suatu pendekatan yang radikal untuk memperjuangkan keadilan. Dalam kerangka berteologi kontekstual, sejak tahun 1971 gagasan teologi revolusi itu mulai dipahami dalam kerangka teologi pembebasan (Gustavo Gutierres), dan sangat berpengaruh terhadap pertimbangan-pertimbangan dalam menghadapi masalah sosial politik dan keadilan sosial dalam pemikiran sosial-etis di lingkungan gerakan ekumene. Sejak sidang raya Nairobi (1975) perhatian terhadap masalah keadilan sosial, ekonomi dan politik makin luas, mencakup masalah hak asasi manusia, seksisme dan rasisme. Termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan hidup untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang lestari dan adil. Semua ini berkaitan dengan konsep Just, Participatory and Sustainable Society (masyarakat yang adil, yang melibatkan orang dan dapat dipertahankan). Dan pada sidang raya Vancouver (1983) masalah lingkungan hidup dikaitkan dengan masalah keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan kembali digarisbawahi. Perhatian terhadap masalahmasalah sosial, ekonomi dan politik yang dilakukan di berbagai bagian dunia, termasuk kunjungan tim DGD ke Indonesia (Papua) pada tanggal

27 Januari 4 Februari 1999 memperlihatkan perhatian DGD terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang dipengaruhi oleh berbagai pemikiran ideologis. Jadi walaupun program dialog dengan penganut ideologi-ideologi itu tel;ah dihapus, namun peranan DGD dalam menghadapi masalah-masalah ideologis tetap ada. Tetapi dengan suatu paradigma baru, yang tidak diarahkan kepada sekelompok orang yang menganut paham ideologi tertentu, melainkan lebih diarahkan kepada upaya menjawab persoalanpersoalan kemanusiaan yang terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung dalam suatu kawasan tertentu, yang melibatkan semua kelompok masyarakat, apapun ideologi yang mereka anut. Perhatian dan tindakan di sekitar masalah-masalah tersebut memperlihatkan dukungan dan solidaritas DGD bagi masyarakat internasional yang menghadapi situasi yang sulit. Inipun merupakan cara untuk membangun dan memperluas hubungan kekeluargaan secara ekumenis. Dengan demikian gerakan ekumene menjadi sebuah gerakan solidaritas kemanusiaan. 4. Pendekatan terhadap Kebudayaan dan ideologi di Lingkungan PGI Diskusi dan perdebatan ekumenis mengenai masalah hubungan Injil dan kebudayaan dan ideologi berlangsung juga di antara gereja-gereja di Indonesia, khususnya dalam lingkungan PGI. Untuk memahami hubungan tersebut pertama-tama dikemukakan pemahaman mengenai Injil, kebudayaan dan ideologi di lingkungan PGI.

Dalam sidang raya ke-7 DGI di Pematang Siantar (1971), Injil dipahami sebagai berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia (Markus 1:15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Lukas 4: 18-19). Injil bukan sebuah berita kesukaan mengenai kehidupan rohani saja, tetapi juga mengenai kehidupan jasmani. Injil bersifat menyeluruh, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Berita kesukaan yang bersifat menyeluruh itu, juga dipahami sebagai pemberlakuan kehendak Allah di atas bumi ini (Sidang Raya ke-9 DGI di Tomohon - 1980). Yang menghadirkan berita ini adalah Allah sendiri, sebagaimana nyata dalam Kristus, dan yang terus bekerja menyatakan kehendak-Nya di dalam Roh Kudus. Jadi Injil yang bersifat menyeluruh itu dipahami dalam kerangka karya Allah tritunggal. Sementara itu, pemahaman mengenai kebudayaan tidak berbeda dengan yang berkembang di lingkungan DGD. Sama seperti dalam lingkungan DGD, pemahaman mengenai kebudayaan dalam lingkungan PGI juga tidak dibatasi pada kebudayaan dalam artian tradisional, tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan modern yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, kesenian, agama, hukum, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebudayaan mencerminkan identitas, atau seperti yang dipahami dalam konferensi Gereja dan Masyarakat, di Klender (1976), sebagai manifestasi jawaban manusia atas pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya, tentang dunia sekitarnya bahkan tentang hal-hal yang jauh dari dirinya. Oleh karena itu, kebudayaan mempunyai sifat yang

dinamis. Sedangkan pemahaman ideologi dikaitkan dengan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara yang dinilai dapat mempersatukan bangsa Indonesia. Konsultasi mengenai Pancasila dan Membangun Masa Depan Bangsa, Salatiga (1975), menekankan ideologi sebagai kerangka pemikiran dan dasar bersama. Maka dalam kerangka Pancasila ideologi dimengerti sebagai pemikiran dasar bersama, alat pemersatu yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai patokan bagi pengembangan tatanan kehidupan bersama masyarakat. Pendekatan PGI terhadap kebudayaan, agama dan ideologi bersifat positif, tetapi sekaligus kritis dan dialogis. Kebudayaan diterima secara positif, karena dinilai sebagai pemberian Allah bagi manusia. Iapun dapat digunakan dalam kehidupan bergereja seperti dalam pelayanan, kesaksian dan kehidupan peribadahan jemaat. Penggunaan kebudayaan yang demikian merupakan upaya kontekstualisasi dalam mengkomunikasikan Injil. Allah sendiri mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan, maka respons manusia terhadap Injilpun tidak mungkin di luar kebudayaan. Akan tetapi, gereja harus kritis menggunakan kebudayaan. Ini penting untuk menghindari kecenderungan penggunaan kebudayaan ke arah yang desktruktif. Oleh karena itu, faktor manusia sebagai pengembang kebudayaan mempunyai peranan penting. Yang ditekankan di sini adalah sikap etis yang mencegah pengembangan kebudayaan ke arah yang merusak tatanan kehidupan masyarakat maupun individu. Sikap ini

dibentuk dengan mengembangkan etika sosial dan etika kebudayaan, yang mengarahkan kebudayaan kepada nilai-nilai yang positif seperti gotongroyong, solidaritas, dan saling berbagi di antara warga masyarakat. Agama sebagai bagian kebudayaan mendapat banyak perhatian PGI dan gereja-gereja anggotanya dengan mengembangkan hubungan dialogis. Hubungan ini sudah diupayakan sejak tahun 1976 dengan secara khusus memberi perhatian terhadap pendalaman pemahaman mengenai agamaagama. Dalam sidang raya PGI di Pematang Siantar hubungan itu ditempatkan dalam rangka partisipasi gereja dalam pembangunan, karena disadari bahwa partisipasi itu tidak mungkin dilakukan tanpa hubungan dan kerja sama dengan golongan lain. Dalam menanggulangi masalah kemiskinan misalnya, PGI dan gereja-gereja anggota, sebagaimana nyata dalam sidang raya ke-11 di Surabaya (1998), menekankan kerja sama di antara agama-agama. Hubungan dan kerja sama itu tidak saja mengenai pengembangan konsep melalui berbagai pertemuan, melainkan mencakup apa yang disebut dialog kerja sosial atau dialog dalam pembangunan, yang bertujuan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Hubungan dan kerja sama demikian sekaligus memperlihatkan sikap positif terhadap kehidupan bermasyarakat berdasarkan falsafah Pancasila. Dalam konferensi Gereja dan Masyarakat, Klender (1976) dibahas tentang pengamalan Pancasila dalam pembangunan masa depan. Digarisbawahi bahwa pembangunan adalah pengamalan Pancasila dalam rangka menghadapi tantangan yang akan dihadapi oleh gereja dan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, pelayanan dan partisipasi gereja dalam

pembangunan ditempatkan dalam rangka pengamalan dan perwujudan nilai-nilai Pancasila. Sikap posistif terhadap masalah kemasyarakatan memperlihatkan pula tanggapan positif terhadap dunia. Dunia bukan sesuatu yang harus dijauhi atau dihindari, melainkan dilihat sebagai tempat kehadiran dan keberadaan gereja dalam menjalankan misinya. Di sini dunia, bagi PGI, benar-benar ditempatkan sebagai masalah teologis. Ini tidak dapat dilepaskan dari pemikiran bahwa gereja bukanlah sebuah persekutuan yang tertutup dan bergumul mengenai dirinya sendiri dihadapan Tuhan, tetapi juga terbuka terhadap persoalan kehidupan dunia dan manusia di sekitarnya. Dalam konsultasi teologi di Sukabumi (1970), pemikiran tersebut disebut pergumulan rangkap di mana ditekankan bahwa gereja tidak hanya bergumul dan mempertahankan kesetiaannya kepada Tuhan, tetapi juga mengggumuli masalah dunia, sehingga di dalam kesetiaannya kepada Tuhan, gereja dapat menjalankan tugas panggilannya secara mengena dan bermakna. Dalam hubungan itu, PGI dan gereja-gereja melihat partisipasi dalam revolusi dekade enam puluhan dan pembangunan sejak tahun tujuh puluh sebagai tugas panggilan gereja dalam menanggapi masalah kemasyarakatan. Pelayanan dan partisipasi dalam pembangunan bukan tanpa landasan yang kuat. Ada dua alasan yang mendasari partisipasi tersebut. Pertama adalah landasan teologis, yaitu panggilan memberitakan Injil Kerajaan Allah, yang dipahami sebagai berita kesukaan mengenai pembaharuan hidup baik dalam tataran kehidupan rohani maupun jasmani,

mengenai kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan. Pembangunan, bagi PGI dan gereja-gereja anggota, dilihat sebagai sarana yang dapat mewujudkan apa yang terkandung di dalam Injil tersebut. Di samping dasar teologis, landasan kedua bagi partisipasi gereja adalah dasar ideologis, yaitu Pancasila. Gereja dan umat Kristen di Indonesia adalah bagian integral dari masyarakat dan bangsa. Maka mereka turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan yang dijalankan bangsa Indonesia. Sehingga siapa saja yang berpartisipasi dalam pembangunan harus melakukannya sebagai pengamalan Pancasila. Tidak ada pertentangan antara dua dasar tersebut. Malahan PGI dan gereja-gereja anggota melihat pembangunan sebagai pengamalan Pancasila merupakan jalan yang terbaik dan relevan yang harus ditempuh untuk mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam konteks kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebab dengan berpartisipasi dalam pembangunan gereja turut memperjuangkan dan berusaha agar keadilan dan kesejahteraan dapat diwujudkan. Ini sekaligus menjelaskan tujuan PGI dan gereja-gereja anggota berpartisipasi dalam pembangunan, yaitu tidak hanya sekedar memenuhi tanggung jawab karena bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Partisipasi dan pelayanan dalam pembangunan dilakukan sebagai perwujudan panggilan untuk mewujudnyatakan tanda-tanda Kerajaan Allah, agar di dalam masyarakat ada kehidupan yang layak bagi manusia, yang sesuai dengan harkat kemanusiaan manusia. Panggilan untuk berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan itu

menunujukkan sikap positif PGI dan gereja-gereja anggota terhadap kegiatan pembangunan. Sikap ini sudah dikenal di jaman revolusi tahun enam puluhan, dan kemudian terus dipertahankan dalam era pembangunan tahun tujuh puluhan. Tetapi bukan hanya positif, tetapi juga kritis yang populer dengan sikap positif, kritis, kreatif dan realistis. Positif berarti mendukung apa baik bagi kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan; kritis berarti tidak begitu saja menerima dan mendukung kegiatan pembangunan, tetapi menolak unsur-unsur yang destruktif. Kreatif berarti kemampuan menciptakan hal-hal baru untuk menunjang percepatan proses pembangunan; sedangkan realistis adalah kesadaran mengenai batas-batas kemampuan dalam berpartisipasi. Jadi sikap positif, kritis, kreatif dan realistis itu menjelaskan model pendekatan yang dikembangkan PGI dan gereja-anggota dalam berpartisipasi, yaitu pendekatan dialektis. Akan tetapi, seperti akan tampak dalam kajian selanjutnya, PGI dan gereja-gereja anggota tidak terlalu berhasil menjalankan pendekatan dialektis itu, karena terlalu bersikap positif terhadap kekuasaan, sehingga menjadi kurang kritis. 5. Hubungan Injil, Kebudayaan, Agama dan Ideologi Hubungan Injil dan kebudayaan dapat dilihat dalam beberapa model pendekatan. Mencermati kajian-kajian yang sudah ada sebelumnya, dapat dicatat beberapa model pendekatan, seperti pendekatan yang melihat Injil dalam pertentangan dengan kebudayaan, pendekatan yang menempatkan Injil dalam kebudayaan dan pendekatan yang menempatkan Injil di atas

kebudayaan disertai dengan penekanan pada peranan tranformatif Injil terhadap kebudayaan. Pendekatan yang melihat Injil dalam pertentangan dengan kebudayaan merupakan posisi tertua dalam masalah hubungan Injil dan kebudayaan yang dapat dijumpai pada permulaan kekristenan dalam pertentangan gereja mula-mula dengan kebudayaan Yahudi dan kemudian dengan kebudayaan Yunani-Romawi. Sikap ini tidak dapat dilepaskan dari anggapan yang menyamakan kebudayaan dengan dunia atau kosmos (Yunani) dalam PB. Padahal Yohanes menggunakan kata tersebut tidak untuk keseluruhan kebudayaan, melainkan secara khusus dunia atau kebudayaan yang dikuasai kejahatan. Sementara itu, dalam pendekatan yang menempatkan Injil di atas kebudayaan dapat dicermati beberapa tipe. Pertama, anggapan bahwa Allah itu di atas kebudayaan dan Ia tidak peduli dengan dunia ini. Deisme mewakili pandangan ini. Tipe lain dari posisi tersebut adalah pendekatan sintetik, yang memandang Kristus sebagai penggenapan kebudayaan. Karena itu, Kristus bukan hanya Kristus dari kebudayaan, tetapi juga Kristus di atas kebudayaan. Termasuk dalam posisi ini adalah pendekatan dualistis, dimana ada pemisahan total antara Allah dan manusia. Tipe lain yang dapat digolongkan dalam pendekatan Kristus di atas kebudayaan adalah sikap konversionistik. Kejatuhan dalam dosa menyebabkan adanya pertentangan antara Kristus dengan manusia. Namun, di sini manusia tidak ditarik ke luar dari dunia, sebaliknya ia dipanggil untuk bertobat di dalam dunia dan kebudayaannya.

Sementara itu, mengenai hubungan Injil dengan agama sebagai bagian dari kebudayaan diwarnai baik pendirian yang ekslusif maupun sikap yang inklusif serta pandangan yang menghargai realitas pluralitas agama. Pendirian yang ekslusif itu dapat ditemukan dalam kelompok evangelikal konservatif dan neo-orthodoksi. Kelompok evangelikal konservatif, seperti tampak dalam deklarasi Frankfurt, sangat kuat menekankan primasi otoritas Alkitab sebagai satusatunya sumber pengenalan akan Allah. Sebab di dalamnya diberitakan penyataan Allah di dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu, kelompok ini menolak gagasan penyataan Allah di luar kesaksian Alkitab. Dan hanya di dalam Yesus Kristus terbuka kemungkinan bagi manusia mengenal Allah. Kecenderungan eksklusivisme dapat pula dicermati dalam gagasan agama sebagai ketidakpercayaan. (Karl Barth). Eksklusivisme menolak peranan agama dalam keselamatan, sebab keselamatan hanya diperoleh melalui iman kepada Kristus. Dan ini, terutama bagi Barth keselamatan yang mau diusahakan melalui jalan keberagamaan manusia sudah dilakukan Allah di dalam penyataan Yesus Kristus. Di sini jelas, sikap eksklusif bukan didasarkan pada studi tentang agama, melainkan sepenuhnya sebagai konsekuensi dari penekanan pada penyataan Allah di dalam Yesus Kristus. Tetapi, menurut Barth, tidak tertutup kemungkinan bagi agama menjadi sebuah agama benar. Agama dapat menjadi agama yang benar sejauh ia diterangi oleh penyataan Allah di dalam Kristus itu. Kekristenan dapat menjadi sebuah agama yang benar kalau penyataan itu menjadi sentral di

dalamnya. Sementara itu, dalam pendirian yang inklusif diakui ada penyataan ilahi di dalam agama-agama, yang sering disebut penyataan umum. Pendirian ini dapat dijumpai antara lain dalam pemikiran orang orang seperti Wolfhart Pannenberg, Paul Tillich, dan Braaten. Sekalipun mereka mengakui penyataan di dalam agama-agama, namun universalitas dan keunikkan Kristus dalam hal keselamatan tetap dipertahankan. Sebab keselamatan tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan Allah di dalam sejarah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus mempunyai posisi sentral dalam sejarah. Dan oleh kedatangan-Nya, sejarah agama-agama menjadi tidak berarti sebagai simbol atau bentuk penyataan yang sesungguhnya untuk mengungkapkan keselamatan. Karena itu, walaupun mereka di luar gereja tidak dikucilkan dari keselamatan, namun keselamatan hanya dapat dicapai melalui dan di dalam Yesus Kristus. Betapapun penyataan dalam agama-agama menunjukkan adanya manifestasi Ilahi, namun hal ini tidak menjamin manusia memperoleh keselamatan. Jadi di dalam sikap inklusif ada penghargaan terhadap penyataan Allah di dalam agama-agama. Namun, penyataan ini tidak menjamin dan bukan jalan keselamatan. Jaminan keselamatan hanya dapat ditemukan di dalam penyataan Allah di dalam Yesus Kristus. Mereka yang mempertahankan pluralitas agama mengakui peranan agamaagama dalam rangka keselamatan. Ada banyak penyataan ilahi yang memungkinkan berbagai jawaban manusia sebagaimana terungkap dalam berbagai tradisi agama. Mereka yang mempertahankan posisi tersebut,

seperti Hick, Panikkar, Samartha, sekalipun mengakui keunikkan Kristus, namun menolak memberlakukannya bagi agama-agama di luar kekristenan. Oleh karena itu pula mereka menolak kristosentrisme. Yang dikembangkan adalah pendekatan yang menempatkan Allah sebagai pusat. Dalam hubungan ini, Hick mengajukan gagasan Copernican Revolution dalam teologi di mana Allah berada di pusat dan di sekelilingnya terdapat agama-agama termasuk kekristenan, sehingga yang sentral bukan Kristus dan gereja, melainkan Allah. Gereja dan agama-agama sama-sama berada di sekitar pusat tersebut. Sementara itu, Panikkar menekankan dimensi universalitas Kristus yang berinkarnasi dalam diri Yesus. Namun ini menegaskan tidak ada nama atau bentuk historis yang dapat mengekspresikan sepenuhnya dan secara final Kristus itu. Kristus sebagai simbol keselamatan yang universal tidak dapat diungkapkan secara objektif, dan karena itu dibatasi hanya sebagai seorang penting dalam sejarah. Ia menolak klaim bahwa Kristus universal telah menjadi nyata sepenuhnya di dalam Yesus. Klaim itu telah menjadi batu sandungan bagi dialog Kristen dengan agama-agama lain. Namun, ia juga keberatan demi dialog ketuhanan Yesus dikaburkan dan dilupakan. Yesus adalah nama di atas segala nama yang mengekspresikan Kristus universal. Cara dan bentuk demikian pun terjadi dalam agama-agama dan dengan nama yang berbeda-beda. Samartha mencari dasar pijak teologinya pada Allah, yang dimengertinya sebagai Yang Lain dan Dia saja sebagai Yang Absolut. Di hadapan Allah ini tidak ada figur agama dapat menyebut dirinya sebagai yang final

mengungkapkan misteri-Nya. Karena itu, klaim absolutisme atas figurfigur agama tertentu tidak dapat dipertahankan. Bagi orang Kristen hidup dalam persekutuan dengan Kristus bukan satu-satunya jalan untuk bersekutu dengan Allah. Karena itu, masalah hubungan Kristen dengan agama-agama harus bertolak dari pendekatan teosentris. Pendekatan yang menghargai pluralitas membuka kemungkinan bagi para penganut kepercayaan yang berbeda-beda untuk masuk ke dalam proses dialog. Bagi umat Kristen dialog itu lahir dari kesadaran bahwa mereka berada dalam suatu dunia yang pluralistik. Dan mereka tidak dapat mengabaikan situasi tersebut, malah terpanggil untuk membangun hubungan dialogis dan kerja sama dengan berbagai golongan dalam masyarakat. Konsultasi Kandy, Srilangka (1967), yang dipandang sebagai titik tolak yang baru dalam dialog, menekankan bahwa manusia adalah gambar Allah, dan bahwa Kristus mati bagi semua orang. Maka mereka dari kepercayaan lain bukanlah musuh, melainkan mitra. Seluruh umat berada dalam satu sejarah universal dengan harapan dan tugas bersama. Untuk membangun hubungan demikian, dituntut kesediaan untuk saling mendengar dan mengakui kebenaran. Di sini dibutuhkan dasar. Mereka yang mempertahankan pluralitas mengakui bahwa di latar belakang agama-agama hanya ada satu Realitas Akhir atau Allah atau apapun namanya, yang menyatakan diri tidak hanya dalam kekristenan, tetapi juga dalam agama-agama lain. Dan setiap agama merespons penyataan tersebut, tentu dengan penghayatan dan cara penyembahan yang berbedabeda.

Dalam rangka teologi kontekstual, mendengar kebenaran-kebenaran dalam setiap agama penting, agar dapat mengembangkan sebuah keyakinan yang terbaik di luar kebenaran-kebenaran sebelumnya. Dengan ini berarti dialog membawa serta masalah sinkretisme juga. Dalam hal ini orang berbicara mengenai kontekstualisasi sinkretistik (Hesselgrave dan Rommen). Di sini sinkretisme dilihat positif, yaitu sebagai jalan masuk Injil ke dalam kebudayaan, agama dan ideologi. Sejauh Kristus masih berada di pusat iman, bahaya kompromi dalam sinkretisme dapat dihindari, dan sinkretisme dapat dilihat sebagai jalan ke arah upaya berteologi secara kontekstual. Dalam upaya ini sikap kristis tetap dibutuhkan baik terhadap kebudayaan, agama dan ideologi. 6. Injil dan Teologi dalam Konteks Indonesia Hubungan Injil dengan kebudayan dan ideologi sebagaimana dikemukakan di atas merupakan aspek penting dalam perjumpaan Injil dengan kebudayan dan ideologi, yaitu bahwa Injil sebagai kabar baik hanya dapat dipahami dalam hubungan dialogis. Percakapan Yesus dengan Zakheus (Luk.19:1-10), dan Yesus dengan dua orang murid di jalan ke Emaus (Luk 24:13-15) memperlihatkan bahwa Injil itu dapat dimengerti melalui dan di dalam dialog kehidupan. Dialog ini memunculkan kesadaran mengenai nilai kebenaran yang menunjuk kepada Injil. Tetapi, nilai kebenaran itu bukan sesuatu yang asing, melainkan bagian dari lingkungan kultural atau ideologis. Kebenaran ini dapat ditemukan di dalam lingkungan tersebut, dan adanya perjumpaan dengan Injil nilai

kebenaran itu diungkapkan. Dalam hal ini, Injil berperang menerangi kebudayaan dan ideologi, sehingga terungkap nilai-nilai kehidupan serta menyempurnakan apa yang tidak dapat dilakukan baik oleh kebudayaan maupun ideologi bagi keselamatan manusia. Hubungan dialogis tersebut dapat pula diterapkan dalam rangka hubungan Injil dan Pancasila. Sebab dalam hubungan terdapat aspek-aspek yang dapat dipertemukan dalam rangka saling melengkapi dan memperkaya, tanpa mengingkari perbedaan. Injil dan Pancasila sama-sama menggarisbawahi kebaikan, kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia, baik pada sisi rohani maupun sisi jasmani. Nilai-nilai Pancasila mengekspresikan aspek-aspek yang prinsipal dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan masalah moral, mental, spiritual, kemanusiaan, kebangsaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Nilai-nilai ini bersifat universal, kapan dan di mana saja selalu menyertai perjalanan kehidupan manusia dan masyarakat. Pada setiap tempat dan waktu penghayatan dan aplikasi nilai-nilai tersebut selalu kontekstual, namun di mana saja manusia dan masyarakat membangun kehidupan nilainilai itu tidak dapat diabaikan. Dalam Pancasila nilai-nilai tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang utuh. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, persatuan, demokrasi dan keadilan satu dengan yang lain saling berhubungan. Upayaupaya membangun nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, persatuan, demokrasi dan keadilan tidak terlepas dari nilai religius. Dengan kata lain antara aspek spiritual dan material tidak dipisahkan. Pembangunan

material dan pengelolaan kehidupan sosial kemasyarakatan berlangsung dalam kerangka pikir yang mengutamakan segi ketuhanan, harkat kemanusiaan manusia, kebebasan, keadilan dan tangung jawab. Karena nilai-nilai Pancasila dan Injil tidak bertolak belakang satu dengan yang lain, maka keduanya dapat ditempatkan dalam hubungan dialogis. Pancasila memang bukan Injil dan Injil pun bukan Pancasila, tetapi justru karena itulah mereka dapat ditempatkan dalam kerangka hubungan dialogis. Pancasila dapat menjadi wahana penginkarnasian Injil. Melalui Pancasila, Injil dapat diekspresikan dalam bahasa ideologis dalam kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat. Dalam hal ini, Pancasila menjadi semacam emerging pattern atau pola pemunculan Injil di dalam konteks Indonesia. Akan tetapi, Pancasila bukan segala-galanya yang dapat mengungkapkan Injil secara lengkap dan sempurna. Pancasila hanya sebuah ideologi yang menyediakan sebuah cetak biru tatanan masyarakat ideal. Ia dapat berperang secara baik atau buruk tergantung pada penghayatan dan pengaplikasiannya oleh masyarakat. Dalam hal ini, Injil menerangi dan penuntun gereja dalam mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila itu di dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan dialogis Pancasila dan Injil dpat dilihat semata-mata sebagai masalah etis. Pancasila mendukung masalah kehadiran dan keberadaan agama, sebab moralitas dan spiritualitas, harkat kemanusiaan manusia, kebebasan dan tanggung jawab, yang terkait erat dengan kehidupan agama, tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Namun, Pancasila

tidak dapat mengoreksi sebuah dogma agama yang melecehkan kemanusiaan manusia. Yang dapat melakukannya adalah agama itu sendiri. Dalam gereja, itu berarti gerejalah yang harus mengadakan pembaruan pada ajaran yang tidak menghargai harkat kemanusiaan manusia. Dalam hal ini pemahaman dan penghayatan mengenai Injil sangat menentukan, terutama mengenai tindakan Allah dalam sejarah sebagaimana nyata dalam Kristus Yesus. Oleh karena itu, hubungan Injil dan Pacasila harus ditempatkan sebagai masalah teologis, terutama mengenai tindakan Allah dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai keterikatan dan tekanan yang menghilangkan kebebasan dan tanggung jawabnya, termasuk yang disebabkan oleh agama. Dalam hubungan ini, Pancasila merupakan wahana yang efektif untuk mewujudnyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah seperti keimanan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya di dalam konteks masyarakat Indonesia. Juga Pancasila diyakini dapat menjadi alat pemersatu masyarakat Indonesia yang pluralis, maka dapat menjadi alat pemunculan Injil dalam konteks pluralitas harkat kemanusiaan manusia, kebebasan dan keadilan dan tanggung jawab, Injil menerangi dan mendorong gereja untuk mengoreksi dan memperbarui aplikasi nilai-nilai Pancasila itu di dalam kehidupan masyarakat; sehingga Pancasila benar-benar berarti bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Di sinilah Injil tampil sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan (Roma 1:6). Dalam hubungan itu, patut dicatat kehadiran dan keberadaan gererja, sebab gereja menjadi tempat di mana perjumpaan Injil dengan kebudayaan

dan ideologi mengalami proses interaksi menuju upaya kontekstualisasi. Ini harus hidup dalam konsep persekutuan, kesaksian dan pelayanan gereja di tengah masyarakat. Di sini dicatat tiga aspek kehadiran gereja, yaitu gereja sebagai persekutuan pelayanan, persekutuan profetis dan persekutuan moral. Keberadaan gereja sebagai persekutuan pelayanan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan misi Kristus yang menyatakan Kerajaan Allah (Verkuyl, Berkhof). Apa yang dilakukan gereja sebagai pelayanannya tidak lain dalam rangka mewujudkan keadilan dan perdamaian di dalam masyarakat baik dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Apapun bentuk pelayanan atau diakonia itu selalu berkaitan dengan keadilan, kedamaian, kebenaran dan kesejahteraan manusia, yang merupakan tandatanda Kerajaan Allah, yang hadir di dalam dan melalui Yesus Kristus. Menyebut pelayanan gereja berkaitan dengan Kerajaan Allah, berarti menunjuk kepada tindakan Allah di dalam sejarah yang sudah dan sedang berlangsung. Ini juga berarti pelayanan gereja memiliki dimensi eskhatologi, menunjuk kepada penggenapan Kerajaan Allah di masa depan. Dengan demikian, gereja sebagai persekutuan yang melayani selalu berada dalam gerakan pelayanan menyongsong kepenuhan Kerajaan Allah itu. Jadi apa yang dilakukan gereja sebagai pelayanannya tidak hanya merupakan suatu repitisi dan reaktualisasi tindakan keselamatan Allah, tetapi sekaligus menunjuk kepada kedatangan Kerajaan Allah di dalam segala kepenuhan dan kemuliaannya. Di samping gagasan di sekitar Kerajaan Allah dan tindakan Allah di dalam sejarah, realitas masyarakat

yang pluralis merupakan pula masalah yang harus dijawab. Sikap yang dikembangkan PGI dan gereja anggota untuk menjembatani realitas tersebut adalah sikap toleransi dan membangun hubungan dialogis dan kerja sama di antara golongan agama di dalam masyarakat. Sikap ini dapat dikembangkan tidak hanya dari sisi agama-agama, tetapi juga Pancasila sebagai dasar falsafah mendukung sikap tersebut. Peran dan kehadiran gereja sebagai persekutuan yang melayani harus pula diimbangi dengan kehadirannya sebagai persekutuan profetis. Sikap profetis ini menunjukkan bahwa gereja bukanlah persekutuan yang tertutup untuk dirinya dan tiidak peduli dengan dunia sekitarnya, melainkan sebuah persekutuan yang terbuka terhadap dunia dan sekaligus kritis terhadap segala ketidakadilan dan pengabaian harkat kemanusiaan manusia. Fungsi profetis ini merupakan unsur hakiki yang mempertajam aspek pelayanan di tengah masyarakat; sehingga pelayanan itu lebih bermakna dan terwujud apa yang disebut gereja sebagai persekutuan misioner (Verkuyl). Dalam konteks Indonesia, sikap dan peran profetis ini tercermin dalam prinsip yang dikembangkan di lingkungan PGI dan gereja-gereja anggota, yaitu positif, kritis, kreatif dan realistis. Sikap ini menunjukkan bahwa gereja-gereja terbuka dan mendukung usaha-usaha pembangunan dalam masyarakat, tetapi sekaligus kritis terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan Injil Kerajaan Allah. Sayangnya sikap kritis ini tidak cukup nyaring berbunyi, sehingga PGI dan gereja anggota cenderung menjadi alat kekuasaan ketimbang menyuarakan dan membela hak-hak rakyat kecil

tak berdaya. Kehadiran dan peran gereja baik sebagai persekutuan yang melayani maupun persekutuan profetis berlangsung di tengah masyarakat yang sedang membangun masa depannya yang baru yang sering disebut sebagai masyarakat madani. Sebutan ini merupakan jabaran dari civil society. Konsep ini mengacu kepada Madinah, kota yang sebelumnya bernama Yastrib, di mana masyarakat Islam pernah mengembangkan peradaban yang tinggi di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Madinah berasal dari kata madanniyah, artinya peradaban. Masyarakat madani berarti masyarakat berperadaban. Jadi konsep ini berakar pada dan bernuansa islami, dan ini mengacu pada Piagam Madinah. Maka sekalipun ada penghargaan terhadap demokrasi, namun kecenderungan primordial masih sangat kuat. Sebab, masyarakat madani dalam Piagam Madinah tidak lain adalah sebuah masyarakat agama, yang tata kehidupannya diatur dan dijalankan berdasarkan syariat Islam. Tidak semua golongan Islam menerima konsep masyarakat madani itu. NU menolak konsep tersebut karena masyarakat madani merupakan kesatuan syariat, sehingga tidak ada pemisahan antara masyarakat dan agama (Islam), dan ini dapat melahirkan diskriminasi dalam masyarakat, yang menjadikan masyarakat non-Islam sebagai warga negara kelas dua. Dengan demikian suatu kekeliruan menyamakan civil society, yang dikembangkan di Barat dengan konsep masyarakat madani sebagaimana disebutkan di atas. Dalam konsep yang pertama kewarganegaraan menjadi unsur utama, sedangkan dalam masyarakat madani agama menjadi

panglima. Oleh karena itu, dalam civil society kewarganegaraan tidak dipandang berdasarkan golongan atau agama, melainkan berdasarkan status warga negara yang memiliki kedudukan yang sama. Bagi gereja, masalah pokok bukanlah mengenai pilihan antara masyarakat madani dan civil society, melainkan sejauh mana konsep-konsep itu mendorong terciptanya sebuah masyarakat demokratis, egaliter, adil dimana ada penghargaan terhadap hak-hak setiap warga negara tanpa memandang suku, golongan dan agama. Yang harus dilakukan gereja adalah mencari visi bersama sebagai konsep alternatif, yang tidak dikembangkan berdasarkan kepentingan kelompok melainkan yang bertolak dari kepentingan dan kesejahteraan bersama seluruh bangsa. Yang harus ditawarkan adalah sebuah konsep yang dapat menjalani pluralitas masyarakat. Dalam masyarakat pluralis itu, yang dibutuhkan adalah model masyarakat yang dapat menjembatani kemajemukan tersebut. Dan secara khusus dalam kemajemukan agama seperti di Indonesia, bukan sebuah masyarakat agama yang harus dibangun, tetapi juga bukan masyarakat sekuler. Yang tepat untuk dikembangkan adalah masyarakat yang berdasarkan Pancasila, yaitu masyarakat yang bukan sekuler dan juga bukan masyarakat agama. Dapat disebut sebagai masyarakat Pancasila. Dalam masyarakat ini tidak ada satu agamapun yang secara normatif mengatur kehidupan publik. Dalam masyarakat yang demikian posisi agama adalah sebagai kekuatan moral yang menyerukan dan menyuarakan kritik-kritik moralnya terhadap yang berlaku di dalam masyarakat (Eka Darmaputera).

Dalam hubungan itulah pentingnya kehadiran gereja sebagai persekutuan moral (Lewis Mudge). Pemahaman gereja sebagai persekutuan moral menekankan bahwa gereja harus menjadi gereja. Ini terutama dalam rangka memahami secara baru kehadiran dan misi gereja dalam masyarakat kontemporer dimana masalah kehidupan, globalisasi dan pluralitas makin menonjol (Konrad Raiser). Di sini dibutuhkan dasar etis yang kuat baik pada level individu maupun dalam tataran komunitas umat percaya. Kalau gereja mau memberikan makna bagi kehidupan masyarakat, ia harus menjadi sebuah persekutuan yang memiliki disiplin moral tinggi. Gereja harus menjadi sebuah kekuatan moral yang independen (Stephen L. Carter). Gereja harus menjadi sama sekali lain yang berbeda dengan dunia sekitarnya. Sekalipun gereja harus menjadi lain, namun tidak berarti ia harus terasing dari lingkungan sekitarnya. Ia berada dalam masyarakat pluralis dan karena itu tetap berada dalam interaksi dengan orang lain. Yang dibutuhkan bukanlah solusi sektarian, melainkan katakanlah, sebuah pedoman bagaimana orang Kristen bisa hidup di dalam gereja yang sedang mengalami pembaruan moral dan di tengah-tengah berbagai tekanan dan persaingan kehidupan yang sedang dihadapi sekarang ini. Dalam hal ini, pembentukan moral harus membawa gereja kepada pengembangan persekutuan yang tidak terbatas pada institusi dan tradisi gereja, namun lebih pada persekutuan umat manusia sebagai penghuni bumi ini. Dan ini dicatat oleh Konrad Raiser sebagai sebuah paradigma baru ekumenis, dimana muncul kesadaran mengenai bumi yang didiami

ini sebagai sebuah keseluruhan interrelasi. Paradigma baru ini dapat pula diterapkan dalam mengatasi pluralitas terutama dalam menjembatani kecenderungan primordial karena penekanan yang berlebihan pada kepentingan golongan dan kelompok agama. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah etika bersama atau apa yang disebut Hans Kung global Ethic yaitu sebuah konsensus dasar mengenai nilai, norma dan sikap yang mengatur kehidupan bersama. Dalam konteks masyarakat Pancasila, sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada lima nilai yang dipegang sebagai etik bersama : a. Religiositas Sengaja digunakan istilah religositas dan bukan agama untuk menekankan bahwa keimanan dan ketaqwaan yang hendak dibangun dalam masyarakat Pancasila itu tidak berdasarkan agama tertentu. Religiositas yang mau dibangun adalah berdasarkan tradisi agama yang dianut setiap warga negara. Dalam hal ini sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat menentukan. Karena dengan sila ini dihindari penerapan sistem agama negara, sehingga tidak ada satu agama tertentu yang menentukan nilainilai dan norma-norma kehidupan bersama sebagai satu bangsa. Sila itu pula mencerminkan penolakkan terhadap konsep negara sekuler, sehingga nilai-nilai agama tetap mempunyai tempat dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat Pancasila, hubungan agama dan negara tidak dibaurkan, tetapi juga tidak dipisahkan secara mutlak. Setiap warga negara dapat mengisi nilai Ketuhanan itu sesuai agama masing-masing. Jadi sila

pertamapun sudah mengandung di dalamnya nilai demokratis, yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan beragama. Toleransi dan kebebasan beragama dapat dicatat sebagai nilai demokratis tersebut. b. Kemanusiaan Perdebatan di sekitar upaya mencari dasar bersama di tengah pluralitas tidak dapat dilepaskan dari masalah kemanusiaan. Semua agama dengan cara masing-masing mengekspresikan penghargaan terhadap masalah kemanusiaan itu. Apresiasi terhadap kemanusiaan manusia ini dapat dipegang sebagai kriteria bersama dalam membangun relasi di antara sesama manusia. Dalam pelayanan Yesus dimensi kemanusiaan merupakan aspek sentral seperti tampak dalam ajaran moral-Nya yang tersebar dalam Injil-injil. Nilai kemanusiaan itu tidak saja ditandai oleh relasi yang baik dengan Tuhan, tetapi juga relasi di antara sesama manusia. Mewujudkan nilai kemanuiaan seperti itu merupakan tugas panggilan gereja. Tetapi, gereja tidak perlu membentuk sebuah komunitas masyarakat baru sendiri semacam ethical society dari Kuntowijoyo, sebab perhatian terhadap masalah kemanusiaan bukan hanya konsern gereja, tetapi juga menjadi perhatian dari agama-agama lain. Yang harus dilakukan gereja adalah membantu agar masyarakat Indonesia dapat mengembangkan kemanusiaannya dalam semua level kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial. Upaya ini merupakan implementasi dari keyakinan adanya panggilan

Allah atas manusia untuk mengembangkan harkat dan martabat manusia sebagaimana tercermin dalam gagasan mengenai gambar Allah. Penegakkan hak asasi manusia adalah tercermin dari panggilan Allah itu, sebab manusia yang diciptakan dalam gambar Allah itu adalah manusia yang memiliki martabat dan hidup dalam relasi dengan Allah dan dengan sesamanya manusia. Hak asasi itu menunjuk kepada harkat manusia yang tidak dapat dilanggar (Alf Tergel). Tidak peduli apakah itu sebagai, individu maupun sebagai sebuah komunitas sosial. Tidak ada pertentangan antara hak asasi individu dan hak asasi komunitas sosial, keduanya saling mengisi. Hak asasi individu hanya dapat dibangun dalam sebuah masyarakat yang adil, dan masyarakat yang adil hanya dapat dibangun di atas dasar penghargaan terhadap hak asasi individu (Moltmann). Karena itu, sebuah masyarakat yang korup menjadi ancaman bagi penegakkan hak asasi perorangan. c. Persatuan Dengan wawasan etik kemanusiaan itu tersedia kemungkinan dibangun sebuah masyarakat yang bersatu, demokratis dan berperadaban. Kekuatan wawasan etik kemanusiaan itu dalam mempersatukan masyarkat Indonesia telah terbukti dalam sejarah, yaitu melalui pengalaman bersama kemanusiaan dalam penderitaan dan perjuangan kemerdekaan. Karena itu, persatuan bangsa Indonesia tidak bersifat etnik melainkan etis (Franz Magnis-Suseno). Persatuan ini tidak hanya menyangkut masalah sosio-kultural, sosio

ekonomi dan sosio politik. Dalam konteks pluralitas agama, kesatuan itupun merupakan masalah teologis, yaitu kesatuan umat manusia sebagai gambar Allah. Dalam hal ini penting dikembangkan gagasan hubungan persahabatan antar kepercayaan. Hubungan ini tidak berdasarkan tradisitradisi agama yang terbatas pada teks-teks, melainkan mengungkapkan kebaikan-kebaikan manusia yang mendorong kehidupan yang sehat bagi kehidupan bersama, yang dapat membawa kepada sikap toleransi. Dari sisi iman Kristen sikap tersebut merupakan penjabaran agape ilahi, kasih yang tidak mengandung klaim. Karena itu toleransi berdasarkan agape tersebut adalah toleransi tanpa syarat, yang membimbing orang untuk bersikap toleran kepada orang lain walaupun ia salah. Sikap toleransi dalam kerangka agape ilahi dapat membangun solidaritas dan kesatuan di antara umat percaya dari agama-agama yang berbeda tanpa harus mempersoalkan apakah kebenaran yang ia anut itu benar atau salah. d. Demokrasi Demokrasi yang menjadi karakteristik masyarakat sipil, yang berkembang di Barat, mempunyai akar dalam kekristenan. Ini bahkan sudah dapat ditelusuri dalam tradisi kenabian dalam Perjanjian Lama, dimana ada indikasi yang dapat diasosiasikan dengan demokrasi dunia Barat modern, yaitu pemisahan otoritas sipil dengan otoritas agama. Dari kekristenan mula-mula dapat pula diamati unsur-unsur demokrasi yang dikembangkan dalam masyarakat modern. Misalnya mengenai

prinsip kesamaan di antara manusia, yang tampak dalam sikap saling menolong dan memenuhi kekurangan orang lain. Atau pemilihan para Bishop dan Diaken dapat pula dicatat sebagai contoh lain dari demokrasi di dalam kekristenan. Pemisahan antara agama dan negara yang menjadi salah satu ciri demokrasi Barat dapat pula dicermati dari sikap Yesus dalam hubungan dengan Kaisar. Dan ini memperlihatkan pembebasan agama dari kekuasan negara. Di sini negara diberi posisi yang sekuler. Namun demikian keduanya tidak dapat dipertentangkan. Orang dapat saja menjadi seorang Kristen sambil mempertahankan tatanan politik yang dianutnya tanpa mempertentangkannya dengan hukum Tuhan. e. Keadilan Apresiasi terhadap kemanusiaan mendorong orang untuk melakukan keadilan, sebab menjunjung harkat dan martabat manusia membawa orang kepada perjuangan untuk melakukan yang baik, adil dan benar serta upaya membebaskan orang lain dari penderitaan. Rasa keadilan tidak dapat dipisahkan dari prinsip kemanusiaan. Apakah yang menjadi tolok ukur bagi keadilan itu? Jawabnya tergantung pada pemahaman orang mengenai keadilan. Dalam kapitalisme keadilan diukur berdasarkan prestasi atau kemampuan orang. Makin banyak prestasinya makin banyak hasil yang diperoleh, dan ini adil. Dalam sosialisme keadilan diukur menurut kebutuhan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru keadilan tidak dapat diukur

berdasarkan kemampuan atau prestasi manusia, melainkan berdasarkan kerajaan Allah. Keadilan yang bertolak dari Kerajaan Allah tidak ditentukan oleh jasa-jasa atau hak-hak pribadi, bahkan tidak oleh kebutuhan manusia, melainkan oleh kemurahan Allah. Maka yang diperjuangkan mengenai keadilan sosial dalam terang Kerajaan Allah, bukan pemilikan material dan klaim atasnya, melainkan kualitas kemanusiaan manusia yang mencerminkan kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, perdamaian, persatuan, dan solidaritas. Inilah yang menjadi motivasi perjuangan gereja dalam mewujudkan keadilan. 7. Injil Kerajaan Allah dalam Konteks Papua Baru Nilai-nilai yang disebutkan di atas sesungguhnya merupakan nilai-nilai Injil Kerajaan Allah itu sendiri. Sebab nilai-nilai itu selain tidak bertentangan dengan Injil, tetapi juga mencerminkan berlakunya kuasa atau kedaulatan Allah dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam konteks pergumulan gereja di Papua perlu diberi perhatian pada nilai kemanusiaan. Hal itu tidak lepas dari realitas dan pengalaman mengenai pengabaian nilai kemanusiaan dalam beberapa tahun terakhir ini. Theo van den Broek dkknya pernah menggambarkan kondisi sosial politik dan hak asasi manusia di Papua yang sangat memprihatinkan karena adanya kekerasan dan bahkan pembunuhan terjadi. Ini merupakan wujud pengabaian harkat kemanusiaan. Dalam realitas seperti itu tidak cukup kita mendekati Papua sebagai masalah politik dan ekonomi, sebab dalam kedua aspek ini

manusia tidak sepenuhnya dilihat sebagai manusia gambar Allah (imago Dei), tetapi lebih sebagai alat kepentingan politik dan ekonomi. Masalah kemanusiaan di Papua dan Papua itu sendiri harus dilihat dan ditempatkan sebagai masalah teologis; yaitu dalam kerangka tindakan Allah dalam sejarah. Tindakan dan keterlibatan Allah di dalam sejarah kita bicarakan sebagai orang Kristen. Artinya, kita tidak berbicara mengenai tindakan dan keterlibatan Allah itu secara umum, tetapi bertitik tolak dari peristiwa Kristus. Sebab, di luar peristiwa Kristus kita tidak dapat mengatakan apaapa mengenai tindakan Allah, kecuali sebuah uraian filosofi agama mengenai konsep berpikir tentang tindakan keilahian dari dunia adikodrati. Kita tidak berbicara mengenai tindakan Allah berdasarkan spekulasi atas tindakan ilahi, tetapi berdasarkan apa yang telah dilakukan Allah di Papua. Dan tentang hal ini iman Kristen menggarisbawahi peristiwa Kristus itu sebagai tindakan Allah di dalam sejarah manusia. Tindakan Allah itu sekaligus universal dan partikular. Peristiwa Kristus mengungkapkan keprihatinan dan kepedulian Allah bagi dunia ini. Dunia ini adalah ciptaan Allah dan karena itu dunia ini juga adalah milik-Nya. Ini menggugurkan anggapan bahwa Allah ibarat tukang jam tangan yang meninggalkan jam itu berputar sendiri. Tidak demikian dengan Allah yang telah menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Ia adalah Allah sejarah. Allah terlibat dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia ini. Karena itu tidak bisa dikatakan sejarah sebuah bangsa steril dari keterlibatan Allah. Tidak ada sejarah Allah yang berdiri sendiri; sejarah itu berlangsung di dalam

dan bersama sejarah sebuah bangsa. Tetapi ini tidak berarti bahwa sejarah sebuah bangsa itu tanpa cacat. Sejarah itu dilakoni manusia dan acapkali manusia tidak berhasil menghayati keterlibatan Allah. Kesadaran dan penghayatan itu dibungkus oleh ambisi menguasai dan menaklukkan (Kej. 1:28) di luar keterlibatan Allah. Maka sejarah tidak jarang mempertontonkan brutalisme dan sadisme manusia, yang anehnya di catat sebagai serbuah cerita kepahlawanan. Dan sering kali tidak ada keberanian mengoreksi sejarah, karena pertimbangan politik, budaya bahkan ekonomi. Akibatnya, sejarah menjadi pembungkus atas pengabaian dan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ini yang kita saksikan dalam sejarah banyak bangsa di dunia ini. Sejarah tidak harus dilihat sebagai sebuah buku yang tertutup. Sejarah adalah sebuah pengalaman manusia bersama Allah dan manusia bersama sesamanya. Dari sana manusia belajar masalalunya untuk menentukan sikap terhadap masa kini serta menata masa depan. Jadi ada sikap kritis terhadap sejarah. Sikap kritis demikian dapat dicermati dari sikap Yesus sendiri. Ia menghargai apa yang sudah berlangsung dalam sejarah bangsa Israel, tetapi sekaligus kritis terhadap tradisi yang mengalir di dalamnya. Bukan hanya kritis, tetapi juga memberikan nilai baru sesuai prinsip dan nilai Kerajaan Allah yang dinyatakan-Nya. Dengan demikian sejarah tidak menjadi statis, melainkan terus mengalir ke masa depan ke titik akhir dari sejarah Allah sendiri. Dan sesungguhnya titik akhir sejarah Allah itu telah

terjadi di dalam Yesus Kristus; dan ini menjadi titik tolak sikap kritis terhadap sejarah setiap bangsa. Mengkritisi sejarah bukan semata-mata karena peristiwa Kristus. Di samping peristiwa Kristus ada peristiwa pencurahan Roh Kudus. Ini bukan dua peristiwa berdiri sendiri-sendiri, terpisah dan tidak kait-mengait. Keduanya merupakan tindakan Allah yang satu dan utuh. Dalam yang pertama Allah menyelamatkan, dan di dalam yang kedua Allah mempertahankan dan menjamin karya keselamatan-Nya itu (bnd. 2 Kor. 5:5). Kerangka pikir di atas membawa kita kepada pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai sejarah manusia dan masyarakat di Papua; antara lain, apakah sejarah kita itu telah mengungkap sejarah Kerajaan Allah di Papua? Apakah ada elemen-elemen yang harus kita kritisi dan koreksi dalam sejarah itu? Dan apa sikap gereja dalam menanggapi sejarah itu? Kita akan melihat persoalan-persoalan itu dalam terang Injil Kerajaan Allah. Sejak Konsultasi Teologi di Manokwari tahun 1980 GKI di Tanah Papua telah menetapkan Kerajaan Allah sebagai visi teologinya. Ini mempunyai konsekuensi, yaitu bahwa GKI sudah harus melihat dan menempatkan pelayanannya dalam kerangka pewujudnyataan Kerajaan Allah di Tanah Papua. Tentu saja Kerajaan Allah tidak dalam artian teritorial, melainkan kuasa atau kedaulatan Allah. Dan di mana saja Allah berdaulat di dalam kehidupan manusia di situ keselamatan-Nya menjadi nyata. Menjawab pertanyaan murid-murid Yohanes, Yesus mengemukakan tanda-tanda Kerajaan Allah yang Ia, sebagai Mesias, telah hadirkan di antara manusia;

khususnya mereka yang mengalami krisis kemanusiaan. Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Mat. 11:4-5). Yesus tidak menjawab langsung pertanyaan murid-murid Yohanes, melainkan menunjuk kepada fakta pekerjaan sebagai Mesias. Dan mereka yang mendengar itu mengerti bahwa jaman mesianis telah berlaku. Fakta yang diperlihatkan Yesus itu menunjukkan bahwa pengajaran dan pekerjaan Yesus mengenai Kerajaan Allah itu menyentuh realitas hidup umat yang miskin dan menderita karena berbagai sebab. Dan kalau mereka itu mendapat perhatian, pertama-tama dan terutama bukan karena mereka itu miskin dan menderita, tetapi karena dalam realitas seperti itulah paling menonjol dan nyata bahwa tanda-tanda Kerajaan Allah tidak dapat dilihat. Yesus mau orang yang ada di dalam realitas seperti itu melihat dan mengalami tanda-tanda Kerajaan Allah, sebab mereka menjadi bagian daripadanya. Keberpihakan kepada yang miskin dan menderita, yang harkat kemanusiaannya diabaikan itu, karena Kerajaan Allah telah berlaku dalam kehidupan manusia. Tetapi keterlibatan Allah dalam kehidupan manusia itu tidak berakhir dengan pekerjaan dan pelayanan Yesus. Allah terus bekerja. Peristiwa Pentakosta harus dimengerti dalam kerangka kontinutas pekerjaan Allah itu. Maka hidup dalam persekutuan dengan Roh Allah berarti berpartisipasi dalam pekerjaan Allah itu. Dari sudut ini kita dapat mengerti

mengapa Ottow dan Geisler mengawali pekerjaan mereka dengan pengakuan: Dengan Nama Allah kami menginjak tanah ini. Mereka menunjukkan bahwa Kerajaan Allah mulai dinyatakan di Papua; dan tanda-tanda kerajaan itu harus dinyatakan dalam kehidupan nyata manusia dan masyarakat Papua melalui tindakan pemerdekaan dalam bentuk pendidikan, kesehatan, pertanian, pemberdayaan melalui berbagai ketrampilan kaum perempuan dan pembentukan spiritualitas dan iman kepada Yesus Kristus. Tidak heran bila Dr. T.B. Simatupang pernah menyatakan bahwa gereja di Papua adalah pelopor pembangunan kesejahteraan masyarakat. Mencermati apa yang dicatat di atas, maka harus dikatakan bahwa visi teologi GKI, Kerajaan Allah, pada hakekatnya merupakan kristalisasi dari pekerjaan dan pelayanan para zendeling. Dan sejak awal berdirinya GKI, kehadiran dan pemerintahan Allah dalam sejarah Papua diakui dan dirumuskan dalam Tata Gereja GKI; khususnya mengenai Pengakuan. Dicatat, bahwa Yesus Kristus Ialah Kepalanya dan Tuhannya, yang memeliharakan dan memerintahkan Gereja dengan Sabda-Nya dan Firman-Nya (Tata Gereja 1956, hlm 3). Jadi, sekalipun tidak secara langsung menyebut Kerajaan Allah, namun kutipan ini telah menunjukkan pemerintahan Allah telah berlaku. Dan gereja ini mempunyai pengakuan dan komitmen untuk terus menyatakan Kerajaan itu di Tanah Papua. Ini secara tegas dirumuskan dalam Amanat demikian: Melakukan jabatan pengasihan dan kedermawanan menurut teladan Kristus (Ibid). Tentu saja konteks di mana pekerjaan dan pelayanan para zendeling serta

GKI di awal berdirinya itu berbeda dengan konteks sekarang. Ada banyak persoalan yang sebelumnya tidak ada sekarang harus ditanggapi secara serius. Misalnya mengenai masalah sosial, budaya, politik hukum, ekonomi HAM dan lingkungan hidup. Masalah-masalah ini harus mendapat perhatian serius. Itu semua menyodorkan agenda baru bagi gereja-gereja untuk disikapi. Masalah kita bukan harus mengubah dan mengganti visi yang ada dengan yang baru. Tetapi, melakukan hermeneutik yang baru, bukan saja untuk menemukan gagasan-gagasan, tetapi juga tindakan pastoral yang baru. Kalau benar akan dilakukan hermeneutik yang baru, maka akan terlihat bahwa posisi gereja-gereja di Papua sekarang ini tidak memadai untuk menanggapi agenda baru yang disodorkan oleh perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, HAM dan ekologi dewasa ini. Harus ada perubahan paradigma dari ketergantungan kepada yang kuat kepada keberpihakan dan hidup bersama dengan yang lemah, miskin, terbelakang, sakit dan tak berdaya. Teriakan mereka untuk minta tolong sangat nyaring, tetapi sayang rintihan itu tidak cukup kuat menyaingi suara-suara yang lain. Kita tak mampu mendengar, karena kita tidak bersama mereka. Waktunya sekarang ini untuk menyeberang. Ini bukan soal kepentingan politik atau ekonomi, di atas semuanya itu ada masalah teologi. Kalau gereja itu TUBUH KRISTUS di dunia, ia harus dapat berkata seperti Yesus: Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada ORANG-ORANG MISKIN (Luk. 4:18). DAFTAR PUSTAKA Anderson, Gerald H., Religion as a Problem for the Christian Mission, in D. Dawe and J. Carmen (eds.) Christian Faith in Religiously Plural World (maryknoll, New York: Orbis Books) 1978. Anshari, Endang Saifudin, Piagam Jakarta, (Jakarta, Gerna Insani Press) 1997 Ariarajah, S. Weley., Gospel and Culture. An Ongoing Discussion Within the Ecumenical Movement (Genewa: WCC) 1994. Barnes, Michael., Christian Identity & Religion Plural, (London: PPCK) 1989 Barry, Brian., Democracy, Power and Justice (Oxford: Clarendon Press) 1989. Barth, Karl., Church Dogmatics, Vol. 1/2, (Edinburg: T. & T. Clark) 1956. Broek, P. A. Theo van den. et. Als., Memoria Passionis di Papua, Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia: Gambaran 2000 (Jakarta: SKP & LSPP) 2001. Darmaputera, Eka., Pancasila dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia) 1993 Geertz, Clifford., The Interpretation of Culture (London: Hutchinson & Co. Ltd.) 1973. Hick, John., God and the Universe of Faiths (London: Mc Millan) 1973. Hiebert, Paul G., Anthropological in Sights for Missionaries (Grand

Rapids: Baker Book House) 1985 Hoebel, E. Adamson, Anthtropology: The Study of Men, 4 th.ed. (New York: McGraw Hill) 1972 Knitter, Paul F., No Other Name ? A Critical survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (New York: Maryknoll) 1996 Luzbetak, L.J., The Church and Culture ( Maryknoll: Orbis Books) 1995. Nababan, S.A.E., Pergumulan Rangkap (Jakarta: BPK Gunung-Mulia) 1971. Niebuhr, H. Richard, Christ and Culture (New York: Harper and Brother Publishers) 1951. Pannenberg, Wolfhrat, Revelation as History (London McMillan) 1968. Race, Alan, Christian and Religious Pluralis (London: SCM Press) 1993 Sumihe, S., (Disertasi) Injil, Kebudayaan dan Ideologi Pancasila, Pendekatan Ekumenis terhadap Kebudayaan dan Ideologi serta Maknanya bagi Gereja-gereja di Indonesia, (Jakarta: STT) 2001

UPAYA BERTEOLOGI DI PAPUA PENDAHULUAN Dalam tahun-tahun belakangan ini, terutama setelah sidang Dewan Gereja se Dunia di new Dehli 1961, telah terjadi pergeseran penting dalam perspektif berteologi. Pergeseran Memang pergeseran atau perobahan tersebut, didasarkan pada upaya untuk menemukan kembali makna pengalaman Iman sebagai proses penhayatan terhadap Injil dalam dimensi kehidupan (menurut bahasa, adat-istiadat, system sosial, ekonomi, dan politik) dalam konteks. Upaya ini jika dilihat dan dikaji, disebabkan oleh sikap penilaian terhadap situasi masa lalu, perkembangan masa sekarang, dan kepada harapan masa mendatang. Sikap ini muncul dari kerangka pengamatan para teolog yang lahir dari konteksnya, yang melihat realitas historis Pekabaran Injil yang terjadi pada masa lampau, di mana hasil dari Pekabaran Injil tersebut menimbulkan ketergantungan dan cenderung meniru pola kerohanian dari luar konteks serta turut mempengaruhi identitasnya. Disamping mencoba mengoreksi realitas tersebut, untuk mengembangkan suatu bentuk teologi yang secara kritis, kreatif dan terbuka kepada wawasan baru dengan memberi penekanan terhadap penghayatan Iman menurut adat istiadatnya. Realitas Pekabaran Injil ini diisyaratkan oleh K. Ph. Erari sebagai berikut : Pada umumnya gereja-gereja kita di Indonesia, dilahirkan dengan

bantuan dokter ataupun perawat dari Eropa Barat, terutama Belanda dan Jerman. Beberapa diantaranya masih mengenakan pakaian dari Eropa, bahkan sampai kepada cara makannya. Lebih parah lagi, karena masih ada gereja-gereja yang diberi makan oleh gereja Ibunya.2) Dengan melihat dan mengkaji hal itu, dalam upaya menemukan identitas sebagai orang Kristen dalam konteks (di mana secara definitif konteks merupakan kebudayaan setempat), maka diperlukan suatu pola ideal dan realistis yang dapat dipakai untuk mengintegrasikan iman kristen dengan kebudayaan setempat. Usaha-usaha dalam bidang ini, lebih dikenal dengan upaya kontekstual dibidang teologi atau teologi kontektual. .3) Dan dalam kajiannya bukan merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, oleh karena akan muncul dampak yang berupa tanggapan secara konfrontatif dan negatif dalam kehidupan manusia. Hal ini disadari sebagai akibat dari unsur kualitas dari iman Kristen dan kebudayaan yang acap kali dianggab berbeda dan saling bertentangan. Oleh sebab itu diperlukan suatu dialog yang komunikatif dalam rangka memberikan warna relasi yang tepat. W.F. Rumsarwir mengemukakan tentang hal itu bahwa: Injil sebagaimana dipahami adalah kabar baik, berita keselamatan. Bukan sesuatu yang diciptakan atau dibuat manusia, melainkan suatu karunia Allah kepada manusia untuk keselamatan manusia. Karenanya Injil tidak termasuk kebudayaan, seperti Agama dan Gereja. Injil berada diluar . .

kebudayaan. Injil didatangkan kepada tiap-tiap kebudayaan untuk membawa individu-individu dan masyarakat kepada Tuhan dengan konsekwensi bahwa kebudayaan masyarakat yang dikabari Injil itu akan disusun kembali sesuai dengan ukuran-ukuran Injil, yang kelak berpengaruh dan mengganti nilai-nilai serta tujuan yang ada pada suatu kebudayaan. .4) Gereja-gereja yang berada dalam konteks dunia ketiga, menyadari eksistensinya bukan merupakan suatu bentuk mutlak dari penghayatan imannya. Alasan ini disebabkan karena ketika Injil dibawa ke Asia, Afrika, Amerika Latin dan Pasifik oleh misi Katolik Roma dan Protestan pada abad ke 18 dan 19, sebagian besar pelayanan Pekabaran Injil itu disertai kolonisasi dan westernisasi. Kepercayaan diri yang dimiliki oleh para kolonialis berdasar pada rasa superior dalam kebudayaan dan agama, hal ini menjadikan mereka dalam banyak hal menolak kebudayaan masyarakat di mana Injil itu dibawa masuk..5) Hal ini dipertegas melalui catatan dari OEGSTGEEST mengenai visi teologia dan relasi antara GKI dan NHK, salah satu bagiannya mengungkapkan bahwa : Visi dan corak Teologia yang mewarnai seluruh kehidupan Gereja di Irian Jaya diakui bahwa masih mencerminkan corak teologia dari Eropah. Hal mana antara lain nampak dalam sistim organisasi, tata gereja, liturgi, nyanyian gerejawi, ketekesase Gereja, bahkan kurikulum dalam . .

pendidikan teologia. Disadari bahwa Teologia dari Eropah mewarnai Gereja di Irian, masih kurang memperhitungkan agama-agama suku Irian; misalnya konsep tentang alam semesta, tentang manusia, tentang Allah, dosa, keselamatan dan seterusnya. Kalaupun itu ada, maka biasanya disertai dengan interpetasi Barat. Kesimpulan yang ditarik adalah bahwa kekristenan di Irian Jaya, masih dalam banyak segi diterima sebagai baju luar saja. Secara sosio anthropologis, pertemuan Injil dan kebudayaan di Irian Jaya, masih berada pada tahap imitasi (meniru) dan tahap seleksi, belum tiba pada tahp integrasi (injil diintegrasikan kedalam keseluruhan tata hidup dan tata susunan sosio kultural agamani orang Irian)..6) Dengan demikian Injil yang dibawa yang berkembang hingga dewasa ini telah mengakibatkan karakter kerohanian atau konsep berteologi dari dunia ketiga terimplisit budaya Eropa. Namun disisi lain, ada juga keinginan dari teolog lokal untuk merumuskan suatu bentuk penghayatan kerohanian (kekristenan) itu dari keberadaan hidup. Hal ini dijelaskan oleh Charles W. Forman, sebagai berikut : Kekristenan telah menanggalkan gagasan bahwa ia bergantung pada landasannya di barat dan kini telah menyatakan diri berjati diri Timur. mulai saat ini topik-topik diskusi akan lebih banyak berkisar pada implikasi kekristenan dengan landasan timur terhadap hidup yang berpola Barat, seiring dengan pokok-pokok kajian seputar persoalan-persoalan .

lama. . Namun, kebebasannya yang baru dengan corak pribumi itu harus memampukan kekristenan bukan-Barat berbicara baik terhadap unsurunsur barat maupun timur tentang lingkungannya atas dasar prakarsa dan ketentuan sendiri, dan bukan sekedar gaung kekristenan Barat. .. Kekristenan bukan-Barat kini telah beranjak dewasa..7) Keinginan akan kebebasan tersebut menunjukkan bahwa penyeragaman berteologi secara universal tidak dapat terjadi dalam satu definisi teologi, hal ini disebabkan karena cara memahami dan mengungkapkan Iman dari seseorang, kelompok, suku, ras dan bangsa itu tergantung pada pola dan tingkah laku dalam konteks eksistensinya. Oleh sebab dapat dikatakan bahwa dengan adanya penghargaan terhadap identitasnya, maka akan tersirat ungkapan Iman yang mengandung pengertian persekutuan yang universal. Gereja Kristen Injili di Irian Jaya, sebagai salah satu Gereja yang hadir sebagai hasil Pekabaran Injil dari Zending Eropa, yang menerapkan konsep berdasarkan prinsip-prinsip misioner, ekonomis dan nasionalis yang juga mengacu pada kerangka sejarah Pekabaran Injil pertengahan abad ke 19, yakni perdagangan (comerce), Pemerintahan (civilisation), dan Agama Kristen (christianity),.8) mulai meninjau apa yang telah diwarisi dari misionaris barat tentang Injil dan Kebudayaan Kristen, terutama dalam menemukan kembali Injil itu, dalam suatu bentuk corak yang khas (budaya) yang dapat diterima dan dimengerti oleh dirinya sendiri. Upaya . .

kearah itu mulai dipelopori Teolog lokal, terutama dalam upaya mengangkat kembali nilai-nilai kebudayaan, yang pada masa lalu dianggap sebagai kekafiran. Hal ini bukanlah hal yang mudah, oleh karena kemajemukan, pluralitas kehidupan, yang turut melatar belakangi pola hidup dan mempengaruhinya. Oleh sebab itu, Irian Jaya sebagai basis pelayanan GKI, memperlihatkan bahwa, masyarakatnya memiliki karakteristik sebagai komunitas yang khas, yakni sekalipun tergolong ras Melanesia yang berbeda dari kebanyakan ras Melayu dari total penduduk Indonesia, akan tetapi dalam struktur sosial masyarakat Irian Jaya juga dijumpai begitu banyak suku, bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda. Jika ditinjau dari kepelbagaian tersebut, maka hal itu merupakan tantangan mendasar, terutama dalam menentukan suatu sistem nilai yang menjadi kerangka acuan berteologi. Namun Dr. Jan Boelaars, dalam penelitiannya mengenai sejumlah suku di Irian Jaya untuk mengetahui ciri khas dan latar belakang masing-masing kebudayaan, mengakui bahwa meskipun ada perbedaan namun bisa juga ditemukan sejumlah ciri umum yang sama. Diantaranya kemampuan improvisasi, realisme dan pragmatisme, harga diri, self relience, dan penghargaan atas otonomi individu..9) Dari segi inilah, secara prinsipil dimungkinkan untuk isi Iman Kristen secara kontekstual dapat di dibangun, yakni pada setiap tempat, waktu dan keadaan. Dimana iman itu, dapat diekspresikan, diinterpretasikan dan diaplikasikan menurut eksistensi hidupnya. Sehingga Iman yang ada, diakui lahir,bertumbuh dan dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang konkrit. Di mana Iman .

Kristen diberi aksentuasi, artikulasi, yang khusus dalam prinsip teologis sesuai dengan tempat ia hadir. Dengan demikian untuk menjawab kebutuhan gereja dalam menyatakan persekutuan, pelayanan dan kesaksian disamping mandiri dalam bidang teologi, daya dan dana, maka diperlukan perhatian yang serius. Sehingga gereja dengan tegas dapat mengungkapkan hakekat Iman yang benarbenar lahir dari dirinya sendiri. Paul Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions, New York: Orbis Books, 1985, 288 hal. beserta indeks dan kepustakaan. PENDAHULUAN Buku Knitter ini merupakan buku yang sarat dengan informasi dan pemikiran-pemikiran yang berani sertajujur dari pergumulan -pergumu Ian yang ada sekitar pluralitas agama. Paul Knitter berusaba untuk tetap obyektif saat ia memaparkan sikap-sikap dan pandangan yang telab ada dalam masyarakat maupun sikap dan pandangan dari agama Kristen. Pemaparan Knitter yang obyektif, jujur dan berani inilah yang membuat buku ini menjadi enak dan menarik untuk dibaca. Bukunya terbagi dalam tiga bagian, yang antara lain berisi tentang: Yang pertama, pemaparan sikap-sikap yang ada dari berbagai macam disiplin ilmu tentang pluralitas agama. Yang ke-dua, diuraikan oleh Knitter tentang sikap-sikap dan tanggapan yang muncul dari orang-orang Kristen terhadap

persoalan pluralitas agama. Dan yang ke-tiga, berisi tentang bagaimana melakukan dialog yang lebih otentik. TANGGAPAN UMUM MENGENAI PLURALITAS AGAMA Penelitian teologi dimulai dengan suatu pemaparan beberapa pandangan yang umum dikemukakan oleh pemikir-pemikir dari luar ilmu teologi. Menurut pandangan yang pertama, semua agama itu relatif. Sebab semua agama dibangun di atas sejarah manusia, dan sejarah manusia itu berubah dari satu waktu ke waktu lainnya. Setiap sejarab punya pernyataannya sendiri-sendiri yang sesuai dengan konteksnya. Jadi alangkah salahnya menjadikan agama itu sebagai sesuatu yang absolut yang dilepaskan dari konteks sejarahnya. Walaupun agama itu memang merupakan pernyataan yang Absolut tetapi itu tidak menjadikan agama sebagai absolut. Sebab yang Absolut itu telab memasuki sejarah dan bergerak bersama-sama dengan sejarah yang terbatas pada ruang dan waktu, pada konteks tertentu. Untuk mengenal yang Absolut tidaklah menjadikan agama sebagai yang absolut, tetapi membiarkan agama tetap ada dalam. kerelatifannya, membiarkan agama ada dalam sejarah dan tidak dikeluarkan dari sejarah. Semua agama pada. hakikatnya adalah saxna, yakni berasal dan menuju pada Realitas Yang Ilahi. Pandangan Toynbee yang dipaparkan oleb Knitter, mengatakan bahwa agama dibedakan atas dua bagian, hakikat dan bukan hakikat. Hakikat agama adalah pengalaman spiritualitas, sedangkan bukan hakikat adalah ungkapan-ungkapan keagamaan. Senada dengan itu Frithjof Schuon mengatakan ada dua dimensi dalam kehidupan beragama,

yakni dimensi esoteris (hakikat) dan dimensi eksoteris (bentuk). Pada hakikatnya (dimensi esoteris) semua agama adalah sama, ia adalah pengalaman spiritual yang berasal dari dan menuju pada Yang Absolut, sedang dimensi eksoterisnya (bentuk) agama terpecah-pecah dalam berbagai bentuk (Islam, Kristen, Budha d1l.). Dilihat secara. psikologi temyata iman mempunyai hubungan yang erat dengan kejiwaan manusia atau bisa dikatakan bahwa agama itu timbul dari proses psikologi (alam bawah sadar) yang sama dari setiap individu. Alam. bawah sadar itu menurut lung dan Freud adalah diri kita. yang sebenarnya, baik pada. saat ini maupun masa depan yang belum diaktuatisasikan. Realitas bawah sadar adalah misterius, supranatural, unsur yang mendasar yang ada baik dalam diri kita. maupun dalam. dunia. Bawah sadar itu merupakan "suara yang diam" yang hanya bisa ditangkap dengan mitos dan simbol. Jadi alam. bawah sadar adalah pola dasar dari semua agama, yang berbeda adalah cara kita. menangkapnya yakni mitos dan simbol yang kita pakai untuk menangkap "suara yang diam" tersebut (hal. 60). Mengingat persamaan dan perbedaan seperti itulah maka Jung menyimpulkan bahWa tidak ada mitos, simbol atau agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai yang absolut, yang satu-satunya dan yang paling benar. TANGGAPAN AGAMA KRISTEN TERHADAP PLURALITAS AGAMA Setelah memaparkan pandangan-pandangan yang ada secara umum

mengenai hakikat dan bentuk agama mengenai persamaan dan pebedaan yang ada antar agama lewat kacamata sejarah, filsafat metafisik dan psikologi, maka Knitter menyempitkan tulisan dan penelitiannya kepada p