Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

51
REFERAT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT Disusun oleh: Stanley Proboseno, S.Ked NIM. 072011101065 Dokter Pembimbing: dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A dr. Gebyar Tri Baskara, Sp.A dr. Ramzy Syamlan, Sp.A dr. Saraswati Dewi, Sp.A disusun untuk melaksanakan tugas kepaniteraan klinik Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Di RSD dr. Soebandi, Jember

description

Referat dan studi ilmu tentang infeksi saluran pernapasan akut atas pada anak-anak.

Transcript of Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

Page 1: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

REFERAT

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Disusun oleh:

Stanley Proboseno, S.Ked

NIM. 072011101065

Dokter Pembimbing:

dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A

dr. Gebyar Tri Baskara, Sp.A

dr. Ramzy Syamlan, Sp.A

dr. Saraswati Dewi, Sp.A

disusun untuk melaksanakan tugas kepaniteraan klinik

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak

Di RSD dr. Soebandi, Jember

SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK

RSD DR. SOEBANDI JEMBER

2012

Page 2: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

i

Daftar Isi

Daftar Isi......................................................................................................................i

Bab 1. Pendahuluan.....................................................................................................i

Bab 2. Pembahasan.....................................................................................................2

2.1. Rinitis..........................................................................................................2

2.1.1. Definisi.................................................................................................3

2.1.2. Etiologi.................................................................................................3

2.1.3. Patofisiologi..........................................................................................5

2.1.4. Manifestasi Klinis.................................................................................6

2.1.5. Diagnosis..............................................................................................8

2.1.6. Tatalaksana........................................................................................10

2.1.7. Pencegahan.........................................................................................13

2.2. Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut..............................................13

2.2.1. Definisi...............................................................................................14

2.2.2. Etiologi...............................................................................................14

2.2.3. Patogenesis.........................................................................................16

2.2.4. Manifestasi Klinis...............................................................................17

2.2.5. Diagnosis............................................................................................18

2.2.6. Tatalaksana........................................................................................18

a. Terapi antibiotik........................................................................................19

b. Tonsilektomi..............................................................................................20

2.2.7. Komplikasi.........................................................................................21

2.3. Otitis Media...............................................................................................21

2.3.1. Definisi...............................................................................................21

2.3.2. Epidemiologi.......................................................................................22

2.3.3. Patogenesis.........................................................................................22

2.3.4. Otitis media akut................................................................................23

2.3.5. Otitis media dengan efusi...................................................................26

Lampiran..................................................................................................................27

Page 3: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

ii

Page 4: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

Bab 1. Pendahuluan

Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional

pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa hubungan antara usaha

peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena tanpa modal

kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita. Usaha peningkatan

kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan

telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks, dimana penyakit

yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama pada yang paling rawan yaitu

ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta anak bawah lima tahun.

Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA

(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan

bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu

penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang

maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk

rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran

pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai

pada,masa dewasa. dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya

Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena

menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4

kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA

setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit

ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %.

Kematian yangterbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi

berumur kurang dari 2 bulan. Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat

masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang

untuk berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan

kurang gizi.

Page 5: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

Bab 2. Pembahasan

2.1. Rinitis

Rinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza, cold, atau selesma

adalah salah satu dari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) tersering

pada anak-anak. Anak-anak lebih sering mengalami rinitis daripada dewasa. Rata-

rata mereka mengalami 6-8 kali rinitis per tahun, sedangkan orang dewasa 2-4 kali

per tahun. Selama tahun pertama kehidupan, anak laki-laki lebih sering

mengalami rinitis daripada anak perempuan. Penyakit ini juga merupakan

penyebab terbanyak yang menyebabkan anak tidak dapat pergi ke sekolah.

Diperlukan pemahaman yang lebih baik akan epidemiologi dan patofisiologi

penyakit tersebut sehingga dapat mengurangi kunjungan ke dokter dan tatalaksana

yang tidak perlu. Selain itu, diperlukan juga rasionalisasi penggunaan antibiotik

dalam tatalaksana rinitis untuk mengatasi keadaan tersebut.

Rinitis dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi insidennya tergantung pada

musim. Di belahan bumi utara, insiden rinitis meningkat. Rinitis tetap tinggi

selama musim dingin, dnan menurun pada musim semi, sedangkan di daerah

tropis, rinitis terutama terjadi pada musim hujan.

Rinitis adalah infeksi virus akut yang sangat menular. Rinitis ditandai

dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, dan iritasi tenggorokan, serta dapat

disertai dengan atau tanpa demam. Hampir semua rinitis disebabkan oleh virus,

virus penyebab tersering adalah Rhinovirus, sedangkan jenis virus lainnya adalah

virus parainfluenza, Respiratory Syncitial Virus (RSV), dan Coronavirus. Dengan

demikian, antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana rinitis. Hanya dalam

keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rinitis, yaitu jika merupakan bagian

dari faringitis seperti pada rinofaringitis (nasofaringitis).

Page 6: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

3

2.1.1. Definisi

Rinitis merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernapasan

atas ringan gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri

tenggorok, dan batuk. Infeksi ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan

merupakan penyakit yang paling sering diderita manusia. Di Amerika Serikat,

lebih kurang 25 juta pasien per tahun datang ke dokter karena infeksi saluran

pernapasan atas tanpa komplikasi.

Rinitis merupakan penyakit akut yang sangat infeksius, dan biasanya

disebabkan oleh virus. Salah satu penyebab virus rinitis adalah virus Influenza,

sehingga terdapat salah pengertian penyebutan rinitis dengan flu, yang merupakan

nama lain influenza. Pada kenyataannya, ada banyak jumlah virus yang dapat

menyebabkan rinitis, misalnya Rhinovirus, Adenovirus, virus Parainfluenza,

Respiratory Syncitial Virus (RSV), dan lain-lain.

Kumpulan gejala yang terdapat pada penyakit ini adalah hidung tersumbat,

bersin, coryza (inflamasi mukosa hidung dan pengeluaran sekret), iritasi faring,

serta dapat pula dijumpai demam yag tidak terlalu tinggi. Melihat kumpulan

gejala tersebut, maka terminologi selesma lebih sesuai daripada rinitis, coryza,

atau nasofaringitis(terminologi yang biasa dipakai di literatur. Terminologi rinitis

terlalu terfokus pada kelainan di hidung dan infeksi pada faring, walaupun pada

keadaan sebenarnya bukan hanya itu yang terjadi. Akan tetapi beberapa literatus

masih menggunakan nasofaringitis untuk membicarakan rinitis.

2.1.2. Etiologi

Beberapa virus telah teridentifikasi sebagai penyebab rinitis. Rhinovirus,

RSV, virus Influenza¸virus Parainfluenza, dan R \Adenovirus merupakan

penyebab rinitis tersering pada anak usia prasekolah. Persentase virus-virus ini

sebagai penyebab rinitis bervariasi antara penelitian satu dengan yang lainnya. Hal

ini mungkin dikarenakan perbedaan waktu dilakukannya penelitian, metode

pengambilan sampel dan pemeriksaan, serta usia subyek penelitian. Meskipun

demikian, Rhinovirus merupakan penyebab rinitis tersering pada semua usia,

apapun metode pemeriksaannya. Rhinovirus yang mempunyai lebih dari 100

Page 7: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

4

serotipe merupakan penyebab 30-50% rinitis per tahun, dan dapat mencapai 80%

selama musim semi.

Tabel 2.1.1 Etiologi Rinitis Berdasarkan Kekerapannya

Kategori Mikroorganisme

Penyebab rinitis terbanyak Rhinovirus

Virus Parainfluenza

RSV

Coronavirus

Dapat menyebabkan rinitis Adenovirus

Enterovirus

Virus Influenza

Virus Parainfluenza

Reovirus

Mycoplasma pneumoniae

Jarang menyebabkan rinitis Coccidioidas immitis

Histoplasma capsulatum

Bordetella pertussis

Chlamydia psitacci

Coxiella burnetti

Sumber: Herendeen, E.N., Szilagy G.P. Infection of the upper respiratory tract dalam:

Behrman, E.R., Kliegmann, M.R., Jenson, H.B. Penyunting. Textbook of Pediatrics 16th

ed, Philadelphia dalam: Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B. 2010.

Page 8: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

5

Meskipun jarang, rinitis dapat juga disebabkan oleh Enterovirus (Echovirus

dan Coxsakievirus) dan Coronavirus. Coronavirus ditemukan pada 17-18% orang

dewasa dengan onfeksi saluran pernapasan atas. Human metapneumovirus, virus

yang relatif baru ditemukan, selain diketahui menyebabkan pneumonia dan

bronkiolitis, dapat juga menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas ringan. Pada

sekitar 5% pasien dengan rinitis, ditemukan dua atau lebih virus pada saat yang

bersamaan; sedangkan 20-30% rinitis tidak diketahui penyebabnya. Etiologi

rinitis berdasarkan kekerapannya dapat dilihat pada Tabel 2.1.1

2.1.3. Patofisiologi

Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi aerosol yang mengandung

partikel kecil, deposisi droplet pada mukosa hidung atau konjungtiva, atau melalui

kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus yang berasal dari

penyandang atau dari lingkungan. Cara penularan antara virus yang satu berbeda

dengan yang lainnya. Virus Influenza terutama ditularkan melalui inhalasi aerosol

partikel kecil, sedangkan Rhinovirus ditularkan melalui kontak tangan dengan

sekret, yang diikuti dengan kontak tangan ke mukosa hidung atau konjungtiva.

Patogenesis rinitis sama dengan patogenesis infeksi virus pada umumnya,

yaitu melibatkan interaksi antara replikasi virus dan respon inflamasi pejamu.

Meskipun demikian, patogenesis virus-virus saluran respiratori dapat sangat

berbeda antara satu dengan yang lainnya karena perbedaan lokasi primer tempat

replikasi virus. Replikasi virus Influenza terjadi di epitel trakeobronkial,

sedangkan Rhinovirus terutama di epitel nasofaring.

Pemahaman patogenesis rinitis terutama didapat dari penelitian pada

sukarelawan yang diinfeksi dengan Rhinovirus. Infeksi dimulai dengan deporit

virus di mukosa hidung anterior atau di mata. Dari mata, virus menuju hidung

melalui duktus lakrimalis, lalu berpindah ke nasofaring posterior akibat gerakan

mukosilier. Di daerah adenoid, virus memasuki sel epitel dengan cara berikatan

dengan reseptor spesifik di epitel. Sekitar 90% virus Rhinovirus menggunakan

intercellular adhesion mollecule-1 (ICAM-1) sebagai reseptornya.

Page 9: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

6

Setelah berada di dalam sel epitel, virus bereplikasi dengan cepat. Hasil

replikasi virus tersebut dapat dideteksi 8-10 jam setelah inokulasi virus intranasal.

Dosis yang dibutuhkan untuk terjadinya infeksi Rhinovirus adalah kecil, dan lebih

dari 95% sukarelawan tanpa antibodi spesifik terhadap serotipe virus akan

terinfeksi setelah inokulasi intranasal. Meskipun demikian, tidak semua infeksi

menyebabkan timbulnya gejala klinis. Gejala klinis hanya terjadi pada 75% orang

yang terinfeksi.

Infeksi virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga timbul gejala klinis tersumbat dan

sekret hidung yang merupakan gejala utama rinitis. Stimulasi kolinergik

menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan bersin. Mekanisme pasti

tentang bagaimana virus menyebabkan perubahan di mukosa hidung belum

diketahui dengan pasti. Dilaporkan bahwa gejala timbul bersamaan dengan influks

sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke dalam mukosa dan sel epitel hidung.

Derajat keparahan kerusakan mukosa hidung berbeda antar virus. Virus

Influenza dan Adenovirus menyebabkan kerusakan yang luas, sedangkan infeksi

Rhinovirus tidak menyebabkan perubahan histopatologik pada mukosa hidung.

Tidak adanya kerusakan mukosa pada infeksi Rhinovirus menimbulkan dugaan

bahwa gejala klinis pada infeksi Rhinovirus mungkin bukan disebabkan oleh efek

sitopatik virus, melainkan karena respons inflamasi pejamu. Beberapa mediator

inflamasi yang berperan pada virus adalah kinin, leukotrien, histamin, interleukin

(IL) 1, 6, dan 8, tumor necrosis factor (TNF), dan regulated by activation normal

T-cell expressed and secreted (RANTESI). Kadar IL-6 dan IL-8 menentukan

derajat keparahan rinitis.

2.1.4. Manifestasi Klinis

Gejala rinitis timbul setelah masa inkubasi yang sangat bervariasi antar

virus. Gejala klinis pada infeksi Rhinovirus terjadi 10-12 jam setelah inokulasi

intranasal, sedangkan masa inkubasi virus Influenza adalah 1-7 hari. Secara

umum, keparahan gejala meningkat secara cepat, mencapai puncak dalam 2-3

hari, dan setelah itu membaik. Rata-rata lama terjadi rinitis adalah 7-14 hari, tetapi

Page 10: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

7

pada beberapa pasien gejala dapat menetap hingga 3 minggu. Gejala pada anak

sangat berbeda dengan dewasa. Adanya sekret hidung dan demam merupakan

gejala yang sering ditemukan selama tiga hari pertama. Sekret hidung yang

semula encer dan jernih akan berubah menjadi lebih kental dan purulen. Sekret

yang purulen tersebut tidak selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, tetapi

berhubungan dengan peningkatan jumlah sel PMN. Sekret berwarna putih atau

kuning berhubungan dengan adanya sel PMN, sedangkan sekret berwarna

kehijauan disebabkan oleh aktivitas enzim sel PMN.

Gejala lain meliputi nyeri tenggorok, batuk, rewel, gangguan tidur, dan

penurunan nafsu makan. Pemeriksaan firik tidak menunjukkan tanda yang khas,

tetapi dapat dijumpai oedem dan eritema mukosa hidung serta limfadenopati

servikalis anterior. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek rinitis tidak

hanya terbatas pada kavum nasalis, tetapi dapat juga terjadi di sinus paranasalis.

Pemeriksaan CT-scan dan foto polos sinus yang dibuat pada awal perjalanan

penyakit pada orang dewasa dengan rinitis tanpa komplikasi menunjukkan adanya

kelainan bermakna pada sinus yang sembuh spontan tanpa pemberian antibiotik.

Hal ini menunjukkan bahwa kelainan sinus selama rinitis tidak selalu akibat

infeksi sekunder oleh bakteri, tetapi dapat merupakan bagian dari perjalanan

penyakit normal.

Penelitian lain pada 65 anak menunjukkan bahwa 47% anak dengan rinitis

mempunyai kelainan sinus pada pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala, yang

secara bermakna berhubungan dengan gejala rinitis yang terjadi dua minggu

sebelumnya. Tidak diketahui dengan jelas apakah kelainan ini disebabkan oleh

kegagalan sistem drainase sinus atau karena infeksi virus ke mukosa sinus.

Kelainan pada telinga tengah juga sering terjadi pada penyakit rinitis tanpa

komplikasi. Dua pertiga anak berusia 2-12 tahun mempunyai tekanan telinga

tengah yang abnormal selama dua minggu sejak terjadinya onset rinitis. Tekanan

yang abormal ini hanya sementara selama terjadinya rinitis. Penyebabnya masih

belum jelas, tapi diperkirakan bahwa virus di nasofaring menyebabkan disfungsi

tuba Eustachius, dan tekanan telinga tengah menjadi abnormal. Dugaan lain

Page 11: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

8

adalah virus juga menginfeksi mukosa telinga tengah atau mukosa tuba

Eustachius.

Mekipun rinitis merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan dengan

durasi yang pendek, komplikasi karena infeksi bakteri dapat juga dijumpai.

Macam-macam komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

a. Otitis media.

Merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada anak. Penyakit ini terjadi

pada sekitar 20% anak dengan infeksi saluran pernapasan atas karena virus.

Komplikasi ini paling sering terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 setelah onset

gejala infeksi saluran pernapasan atas. Infeksi virus pada saluran pernapasan

atas sering menyebabkan disfungsi tuba Eustachius, yang dianggap sebagai

faktor penting dalam patogenesis otitis media.

b. Rinosinusitis.

Infeksi sekunder bakteri pada sinus paranasalis perlu dipertimbangkan apabila

gejala nasal menetap hingga lebih dari 10-14 hari. Rinosinusitis bakterial

diperkirakan terjadi pada 6-13% anak dengan infeksi saluran pernapasan atas

karena virus.

c. Infeksi saluran pernapasan bawah.

Pneumonia dapat terjadi karena infeksi sekunder oleh bakteri atau akibat

penyebaran virus ke jaringan paru. Penelitian menunjukkan bahwa campuran

bakteri-virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada anak.

d. Eksaserbasi asma.

Penelitian menunjukkan bahwa infeksi Rhinovirus berperan pada terjadinya

kurang lebih 50% eksaserbasi asma pada anak.

e. Lain-lain.

Komplikasi lain dapat berupa epistaksis, konjungtivitis, dan faringitis.

2.1.5. Diagnosis

Penegakan diagnosis rinitis sebenarnya relatif mudah, tetapi perlu

diwaspadai beberapa diagnosis banding yang memiliki gejala mirip untuk

Page 12: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

9

menghindari kesalahan terapi. Hal lain yang patut diingat adalah penentuan

apakah sudah terjadi komplikasi atau tidak.

Dignosis rinitis diperoleh berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit

yang diperoleh dari anamnesis yang baik. Perlu ditanyakan karakteristik rinorea,

apakah bilateral atau unilateral, dan apakah pasien memiliki riwayat alergi.

Kebiasaan merokok pada orang tua juga perlu ditanyakan, karena asap rokok yang

terhirup dapat memperberat gejala rinitis. Selian itu, perjalanan penyakit juga

perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah sudah terjadi komplikasi atau belum

pada pasien. Nyeri tenggorok kadang sulit dibedakan dengan gejala faringitis

karena streptokokus. Pembedanya adalah tidak ditemukannya hidung buntu dan

nasal discharge yang merupakan gejala utama rinitis pada faringitis akibat

streptokokus.

Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan gejala yang khas. Penegakan

diagnosis rinitis lebih mudah dilakukan pada orang dewasa, sedangkan pada anak

agak sulit karena anak tidak dapat menyampaikan keluhannya, apalgi pada bayi di

mana demam merupakan gejala pertama yang timbul pada awal infeksi. Sulit bagi

klinisi untuk menentukan apakah demam ini merupakan bagian dari infeksi virus

yang ringan atau infeksi bakteri yang berat. Pada pemeriksaan fisis, warna sekret

hidung tidak dapat membedakan penyebab penyakit, misalnya mukosa hidung

pada pasien rinitis alergi biasanya oedem, tetapi tidak selalu berwarna pucat.

Beberapa gambaran klinis yang perlu dicari adalah keterlibatan otitis media, nyeri

pada wajah atau sinus, pembesaran kelenjar servikal, tanda-tanda gangguan

pernapasan (sesak, takipnea, wheezing, ronki, retraksi), juga tanda-tanda atopik.

Pada setiap anak dengan batuk pilek harus ditentukan apakah ada peningkatan laju

pernapasan serta penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Kedua tanda ini

penting untuk deteksi dini pneumonia.

Ditemukannya virus penyebab rinitis merupakan baku emas diagnosis,

tetapi hal ini tidak dianjurkan dalam penatalaksanaan pasien sehari-hari. Metode

identifikasi virus yang dapat dilakukan meliputi kultur vitus, deteksi antigen, dan

polymerase chain reaction (PCR). Meskipun sensitivitas dan spesifitas masih

diragukan, saat ini telah tersedia berbagai uji deteksi antigen untuk mendeteksi

Page 13: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

10

virus Influenza, virus Parainfluenza, RSV, dan Adenovirus, tetapi tidak digunakan

untuk mendeteksi Rhinovirus karena banyaknya jumlah serotipe yang dimiliki.

2.1.6. Tatalaksana

Hingga saat ini terapi rinitis yang efektif masih belum ditemukan karena

bervariasinya tipe virus penyebab dan mekanisme patogenesis yang

mendasarinya.

a. Non medikamentosa.

Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak

menggunakan terapi medikamentosa. Ada beberapa cara untuk mengatasi

hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk

melakukan elevasi kepala saat tidur. Pada bayi dan anak dianjurkan

pemberian terapi suportif cairan yang adekuat, karena pemberian minum

dapat meredakan rasa nyeri dan gatal pada tenggorokan.

b. Medikamentosa.

Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, pemberian obat

dianjurkan untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak

nyaman biasanya adalah demam, malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan

batuk persisten.

Obat-obat simptomatis merupakan obat yang paling sering diberikan,

terutama ditujukan untuk menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu.

Pada bayi dan anak, terapi simptomatis yang direkomendasikan adalah

asetaminofen (atau ibuprofen untuk anak berusia lebih dari enam bulan)

utnuk menghilangkan demam yang mungin terjadi pada hari-hari pertama.

Pemberian tetes hidung saline yang diikuti dengan hisap lendir dapat

mengurangi sekret hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat

diberikan semprot hidung saline. Dekongestan topikal tidak dianjurkan pada

anak yang lebih kecil, karena penggunaan berlebihan dapat menimbulkan

rebound phenomena dan memperlama gejala yang timbul. Penggunaan pada

anak yang lebih besar dianjurkan satu kali sehari pada saat malam sebelum

tidur, maksimal selama tiga hari.

Page 14: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

11

i. Antihistamin.

Penggunaan antihistamin pada rinitis tidak mengubah perjalanan

penyakit. Efek sampingnya bahkan dapat memperparah penyakit,

yaitu mulut terasa kering, hidung tersumbat, atau agitasi. Penelitian

secara randomized controlled trial antara anak dengan terapi

kombinasi antihistamin dan plasebo tidak menunjukkan perbedaan.

Kombinasi obat ini juga tidak menunjukkan efek proteksi terhadap

komplikasi otitis media.

Selain sedasi, efek samping antihistamin yang lain adalah paradoxic

excitability, depresi napas, dan halusinasi. Karena berpotensi toksik

dan tidak terbukti bermanfaat, antihistamin hanya boleh diberikan

pada anak berusia di atas 12 bulan, dengan harapan pada efek sedasi.

ii. Antitusif.

Pemberian pada anak dengan rinitis tidak bermanfaat. Pada anak

dengan penyakit reaktif saluran respiratori yang dipicu infeksi saluran

pernapasan karena virus, antitussif dapat menyebabkan mucous

plugging dan memperburuk gejala. Baik kodein maupun

dekstrometorfan memiliki potensi toksisita termasuk distress

pernapasan. Karena itu penggunaan antitusif tidak disarankan pada

anak.

iii. Dekongestan.

Dekongestan merupakan obat simptomatis yang menyebabkan

vasokonstriksi mukosa hidung. Dekongestan yang sering digunakan

adalah pseudoephedrine hydrochloride, phenylephrine hydrochloride,

dan phenylpropanolamine hydrochloride. Pada orang dewasa, obat-

obat tersebut terbukti efektif menghilangkan kongesti nasal dan

meningkatkan patensi, tetapi tidak terbukti efektivitasnya pada anak.

Efek samping dekongestan meliputi takikardi, peningkatan tekanan

darah diastolik, dan palpitasi.

iv. Zinc.

Page 15: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

12

Efektivitas zinc pada terapi rinitis masih belum jelas. Uji klinik acak

buta ganda pada 249 anak sekolah dasar (SD) tidak menunjukkan

manfaat yang berarti. Bahkan efek samping seperti nausea, iritasi

tenggorok, dan diare lebih banyak dialami pada anak-anak dengan

perlakuan.

v. Echinacea.

Uji klinik acak buta ganda pada anak berusia 2-11 tahun tidak

menunjukkan perbedaan dalam lama dan berat gejala rinitis antara

kelompok yang mendapat echinacea dengan kelompok plasebo.

vi. Vitamin C.

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemberian

vitamin C dosis tinggi dapat mengurangi lamanya gejala rinitis.

Namun pada penelitian-penelitian terbaru dengan perbaikan

metodologi menunjukkan tidak adanya manfaat pemberian vitamin C

dalam pencegahan maupun pengobatan rinitis.

vii. Antibiotik.

Antibiotik banyak diberikan pada ISPA atas tanpa komplikasi

walaupun tidak ada bukti efektif peranannya dalam terapi rinitis.

Antibiotik tidak dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder

pada rinitis, bahkan meningkatkan efek samping dan kejadian rsitensi.

Pemberian antibiotik hanya direkomendasikan pada kondisi yang jelas

berhubungan dengan infeksi sekunder bakteri seperti otitis media,

rinosinusitis, dan penumonia.

Alasan pemberian antibiotik yang sering dilontarkan selama ini adalah

adanya sekret hidung yang mukopurulen dan lama sakit yang melebihi

satu minggu. Pengentalan sekret terjadi secara normal sejak hari ke-3

awitan akibat deskuamasi sel epitel, peningkatan sel PMN, dan jumlah

bakteri yang merupakan koloni normal. Pemberian antibiotik tidak

mempersingkat durasi penyakit dan tidak mencegah timbulnya

komplikasi.

viii. Antivirus.

Page 16: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

13

Antivirus efektif pada influenza namun tidak pada ISPA atas lainnya

seperti rinitis. Kendalanya adalah membedakan kedua penyakit ini.

Prediktor yang sering digunakan adalah adanya demam tinggi dengan

awitan mendadak, batuk serta gejala-gejala rintis lainnya.

Antivirus yang dapat digunakan antara lain amantadin, oseltamivir,

dan zanamivir. Penggunaan rimantadin tidak dianjurkan karena resiko

resistensi. Penggunaan antivirus di Indonesia tidak umum,

kemungkinan karena biaya tidak murah bila dibandingkan dengan

efek yang ditimbulkan, yaitu hanya mengurangi penyakit selama 24

jam. Selain itu, antivirus juga hanya eektif dalam 36 jam pertama flu.

2.1.7. Pencegahan

Cara terbaik untuk mencegah penularan adalah dengan mencuci tangan,

khususnya setelah kontak dengan sekret pasin baik secara langsung maupun tidak

langsusng. Pemberian imunisasi Influenza setahun sekali dapat mencegah infeksi

Influenza dan komplikasinya.

2.2. Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut

Merupakan ISPA yang banyak terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada

faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi maupun beratnya penyakit.

Faringitis biasa terjadi pada anak, namun jarang pada usia di bawah satu tahun.

Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada

usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insiden faringitis streptokokus

tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun, dan sebanding

antara laki-laki dan perempuan.

Faringitis dapat disebabkan bakteri maupun virus. Karena itu diperlukan

strategi yang baik agar dapat membedakan mana pasien yang memerlukan terapi

antibiotik dan mana yang tidak.

Page 17: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

14

Diperkirakan sekitar 30 juta kasus terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.

Sebelas persen anak usia sekolah berobat ke dokter setiap tahun dengan diagnosa

faringitis.

2.2.1. Definisi

Istilah faringitis akut digunakan untuk menyebut semua infeksi akut pada

faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari.

Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain

di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, maka

infeksi lokal jarang terjadi, sehingga pengertian faringitis secara luas mencakup

tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan

sekitarnya dtandai dengan keluhan nyeri tenggorok.

2.2.2. Etiologi

Bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis. Virus merupakan etiologi

terbanyak faringitis, terutama pada anak usia pra sekolah (3 tahun). Virus

penyebab penyakit pernapasan seperti Adhenovirus, Rhinovirus, dan virus

Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (VBE) dapat

menyebabkan faringitis namun disertai gejala mononukleosis seperti splenomegali

dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak,

sitomegalovirus, rubella, dan virus-virus lainnya dapat menunjukkan gejala

faringitis akut.

Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri terbanyak penyebab

faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri ini menyebabkan 15-30% (kecuali kasus

epidemi) kasus faringitis akut pada anak, dan 5-10% kasus pada orang dewasa.

Streptokokus grup A bukan penyebab umum faringitis pada anak namun pernah

dilaporkan kasus pada tempat penitipan anak.

Mikroorganisme seperti Chlamydia dan Micoplasma dapat menyebabkan

infeksi namun sangat jarang terjadi.

Page 18: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

15

Tabel 2.2.1 Mikroorganisme penyebab faringitis akut

Mikroorganisme Penyakit

Bakteri

Streptokokus grup A Faringitis, tonsilitis, demam scarlet

Streptokokus grup C dan G Faringitis, tonsilitis, scarletiniform

Campuran bakteri anaerob Vincent’s angina

Neisseria gonorhoeae Faringitis, tonsilitis

Corynebacterium dyphteriae Difteri

Arcanobacterium haemolyticum Faringitis, scarletiniform

Yersinia enterocolica Faringitis, enterokolitis

Yersinia pestis Plague

Franciellla tularensis Tularemia

Virus

Rhino Common cold/rinitis

Corona Common cold

Adeno Pharyngoconjuctival fever, ISPA

Herpes simplex 1 dan 2 Faringitis, gingivostomatitis

Parainfluenza Cold, croup

Coxsackie A Herpangina, penyakit tangan mulut dan kuku

Epstein Barr Infeksi mononukleosis

Sitomegalo Mononucleosis virus sitomegalo

Human Immunodeficiency Infeksi HIV primer

Influenza A dan B Influenza

Mikoplasma

Mycoplasma pneumoniae Pneumonia, bronkitis, faringitis

Chlamydia

Chlamydia psitacci ISPA, pneumonia

C. pneumoniae Pneumonia, faringitis

Sumber: Clinical Infectious Disease 1997: 25: 574-83 dalam Rahajoe, N.N., Supriyatno,

B., Setyanto, D.B. 2010.

Page 19: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

16

2.2.3. Patogenesis

Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk prganisme ini, kontak

langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi dengan benda

yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang

berperan, demikian juga penularan melalui makanan.

Penyebaran SBHGA memerlukan pejamu yang rentan serta kontak yang

erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia < 2 tahun, mungkin karena kurang

kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Infeksi pada toddlers paling sering

melibatkan nasofaring dan kulit (impetigo). Remaja jarang terinfeksi karena telah

mengalami kontak dengan organisme sebanyak beberapa kali sehingga sudah

terbentuk kekebalan.

Kontak erat dengan sekelompok besar anak, misalnya kelompok anak usia

sekolah, akan meningkatkan penyebaran penyakit. Rata-rata anak usia pra sekolah

mengalami 4-8 episode ISPA setiap tahun. Sedangkan anak usia sekolah

mengalami 2-6 episode setiap tahunnya.

Faringitis jarang disebabkan oleh bakteri, dan bakteri penyebab tersering

adalah SBHGA. Streptokokus grup C dan D dapat menyebabkan epidemi

faringitis akut akibat makanan dan air yang terkontaminasi dan lebih sering

menyerang dewasa.

Arcanobacterium haemolyticum jarang menyebabkan tonsilitis dan faringitis

namun gejala serangannya sering menyerupai faringitis streptokokus. Penyakit ini

banyak terjadi pada remaja dan dewasa.

Saat ini faringitis difteri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini

terutama terjadi pada anak yang tidak diimunisasi dan anak dengan kemampuan

sosial ekonomi orang tua rendah. Infeksi mononukleosis disebabkan oleh VBE

sebagian besar terjadi pada anak berusia 15-24 tahun.

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring

yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan

iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan

melibatkan nasofaring, mukosa nasal, dan palatum molle. Setelah terjadi inokulasi

agen infeksi di mukosa faring, timbul peradangan lokal, dan diikuti eritema faring,

Page 20: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

17

tonsil, atau keduanya. Transmisi SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan

dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala nampak setelah

masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.

2.2.4. Manifestasi Klinis

Gejala khas faringitis akibat bakteri streptokokus adalah nyeri tenggorokan

dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya

dikeluhkan anak berusia dia atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan

muntah. Selain itu didapatkan juga demam yang dpaat mencapai 40o C, yang

diikuti nyeri tenggorokan beberapa jam kemudian. Gejala seperti rinore, suara

serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Dalam

anamnesis dapat ditemukan riwayat kontak dengan pasien rinitis.

Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut

streptokokus menunjukkan gejala infeksi streptokokus, berupa eritema pada tonsil

dan mukosa faring disertai pembesaran tonsil.

Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai tanda dan gejala

berikut:

Awitan akut disertai mual dan muntah.

Faring hiperemis.

Demam.

Nyeri tenggorok.

Tonsil bengkak disertai eksudasi.

Kelenjar getah bening anterior leher bengkak dan nyeri.

Uvula bengkak dan merah.

Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder.

Ruam skarletina.

Petekiae palatum molle.

Page 21: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

18

Sedangkan bila dijumpai tanda dan gejala berikut, maka kemungkinan besar

bukan faringitis streptokokus:

Usia <3 tahun.

Awitan bertahap.

Kelainan meliputi beberapa mukosa.

Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak.

Mengi, ronki.

Eksantema ulseratif.

Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah,

dan warna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior

tonsil hingga ke palatum molle dan/atau ke uvula.

Pada faringitis akibat virus, dapat ditemukan ulkus di palatum molle dan

dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan

eksudat pada faringitis streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam

24 jam, berlangsung 4-10 hari (penyakit swasirna), jarang menimbulkan

komplikasi, dan memiliki prognosis baik.

2.2.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratorium.

Klinisi sulit membedakan faringitis streptokokus dan virus hanya dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakan diagnosis keduanya

adalah pemeriksaan kultur apusan tenggorok dari dinding faring posterior dan

regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media agar darah domba 5% diikuti aplikasi

piringan basitrasin, lalu ditunggu selama 24 jam.

2.2.6. Tatalaksana

Faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang

memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik selain

difteri.

Page 22: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

19

Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus karena tidak akan

mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat

cukup serta pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi yang baik. Pemberian

gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap) pada anak yang cukup besar dapat

mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat demam atau nyeri berlebih,

dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan,

terutama pada infeksi influenza karena seringnya insiden sindrome Reye.

a. Terapi antibiotik

Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan gejala klinis dan

hasil kultur positif pada pemeriksaan apusan tenggorok. Akan tetapi, hingga saat

ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis

akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi

faringitis akut streptokokus karena kekhawatiran pada salah satu komplikasinya,

yaitu demam reumatik.

Antibiotik pilihan pada terapi faringitisakut streptokokus grup A adalah

Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis selama 10 hari atau Bnezatin

Penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000

IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada

anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama, amoksisilin memiliki rasa yang

lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari,

efektivitasnya sama dengan Penisilin V oral selama 10 hari.

Untuk anak dengan alergi penisilin dapat diberikan eritromisin etil suksinat

40 mg/kgBB/hari , eritomisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari dengan pemberian 2, 3,

atau 4 kali sehari selama 10 hari. Atau makrolid generasi terbaru seperti

azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari berturut-turut.

Antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II juga dapat memberikan efek

yang sama tapi jarang diberikan karena selain mahal, risiko resistensinya lebih

besar.

Kegagalan terapi adalah terdapatnya streptokokus persisten setelah terapi

selesai yang terjadi pada 5-20% populasi, dan lebih sering ditemukan pada

Page 23: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

20

populasi dengan pengobatan penisilin oral dan bukannya suntik. Hal ini dapat

disebabkan oleh komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normla

yang memproduksi β–laktamase.

Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko

tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi

berulang streptokokus. Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan

menyarankan terapi kedua, klindamisin 20-30 mg/kgBB/hari selama 10 hari,

amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis dalam 10 hari, atau

injeksi Bnezathine Penisilin G IM dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan

1.200.000 IU (BB>30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi ketiga pasien tetap

positif, kemungkinan pasien merupakan karier yang risiko ringan terinfeksi

demam reumatik.

b. Tonsilektomi

Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah dilakukan secara luas untuk

mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren walaupun dasar ilmiah tindakan ini masih

belum jelas. Terapi dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam

dua dasawarsa terakhir ini. Ukuran tonsil dan adenoid bukan lah indikator yang

tepat. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada tnsilofaringitis berulang atau kronis.

Terdapat beberapa indikator klinis yang digunakan, salah satunya adalah

kriteria yang digunakan Children’s Hospital of Pittsburgh Study, yaitu tujuh atau

lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun sebelumnya,

lima atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun

selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi

dengan antibiotik setiap tahun selama 3 tahun sebelumnya. American Academy

Otolaryngology and Head and Neck Surgery mneetapkan terdapatnya tiga atau

lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dalam setahun sebagai bukti yang cukup

untuk dilakukan pembedahan. Indikator klinis di atas tidak dapat diterapkan di

Indonesia dan memerlukan pemikiran lebih lanjut.

Keputusan tonsilektomi harus didasarkan pada tanda dan gejala yang terkait

secara langsung terhadap hipertrofi, obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan

Page 24: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

21

struktur terkait. Ukuran tonsil anak relatif lebih besar daripada orang dewasa.

Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi tonsil. Tonsilektomi sedapat mungkin

dihindari pada anak usia di bawah 3 tahun. Bila ada infeksi aktif, tonsilektomi

harus ditunda selama 2-3 minggu.

Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada

otitis media kronis dan rekuren. Sebuah RCT menunjukkan bahwa adenoidektomi

dan miringotomi bilateral (tanpa timpanoplasti) memberikan keuntungan pada

anak berusia 4-8 tahun yang menderita otitis media kronis dengan efusi.

Indikasi lain tonsiloadeoidektomi adalah terjadinya obstructive sleep apnea

akibat pembesaran adenotonsil.

2.2.7. Komplikasi

Kejadian komplikasi sangat jarang. Beberapa kasus dapat berlanjut

menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus

dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas.

Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau

secara hematogen. Akibat perluasan langsung antara lain adalah

rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses

retrofaringeal atau parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen

SBHGA dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau artritis

septik, sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan

glomerulonefritis.

2.3. Otitis Media

2.3.1. Definisi

Otitis media merupakan peradangan telinga tengah yang berhubungan

dengan efusi telinga tengah yang merupakan penumpukan cairn di telinga tengah.

Otorheae merupakan discharge telinga yang dapat berasal dari membran timpani.

Otitis media diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis, otoskopi, lama akut, dan

komplikasi. Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah yang terganggu.

Diagnosis dan tatalaksana penting karen otitis media merupakan penyakit yang

Page 25: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

22

sering ditemukan dan dapat menyebabkan komplikasi penyebaran infeksi sampai

ke intrakranial.

2.3.2. Epidemiologi

Hampir 85% anak memiliki episode otitis media akut paling sedikit satu kali

dalam tiga tahun pertama kehidupan dan 50% anak mengalami dua episode atau

lebih. Anak yang menderita otitis media pada tahun pertama kehidupan memiliki

kenaikan risiko otitis media kronis atau otitis media berulang. Insiden penyakit

akan cenderung menurun setlah usia 6 tahun. Di Amerika Serikat hampir semua

anak pada usia 2 tahun akan mengalami otitis media, dan kira-kira 17% anak usia

6 bulan telah mengalami 3 episode atau lebih. Episode yang sering berulang

mengakibatkan meningkatnya kekhawatiran orang tua, di samping biaya

pengobatan yang harus ditanggung. Di negara berkembang, komplikasi yang

sering terjadi adalah gangguan pendengaran, untuk itu pemberian vaksin

pneumokokus penting untuk mencegah otitis media dan komplikasinya.

2.3.3. Patogenesis

Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak

dibandingkan dewasa. Tuba Eustachius anak lebih horisntal dan lubang bukaan

tonus tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid

pada anak dapat mengisi nasofaring sehingga secara mekanik menyumbat lubang

hidung dan tuba Eustachius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba.

Tuba Eustachius secara normal tertutup saat menelan. Tuba Eustachius

melindungi telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah,

dan memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan atmosfer dalam telinga

tengah. Obstruksi mekanik maupun fungsional tuba Eustachius dapat

mengakibatakn efusi telinga tengah. Obstruksi intrinsik dapat terjadi akibat infeksi

atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring.

Obstruksi fungsional, yang lazim pada anak-anak, dapat terjadi karena jumlah dan

kekakuan kartilago penyokong tuba. Obstruksi telinga tengah mengakibatkan

Page 26: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

23

tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika menetap mengakibatkan efusi

transudat telinga tengah.

Bila tuba Eustachius mengalami obstruksi mekanik tidak total, kontaminasi

sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila membran

timpani mengalami perforasi), karena aspirasi atau karena mengalami peniupan

selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang terjadi

secara cepat juga dapat menyebabkan efusi terlinga tengah yang bersifat

haemoragik. Bayi dan anak kecil emmiliki saluran tuba yang relatif lebih pendek

dibandingkan dewasa, yang membuatnya lebih rentan terhadapa influks sekresi

nasofaring.

Faktor lain yaitu infeksi bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran napas

yang berulang juga sering menyebabkan otitis media melalui inflamasi dan

oedem mukosa dan penyembatan lumen tuba Eustachius. Kuman yang sering

menyebabkan otitis media di antaranya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus

influenza, dan Moraxella cataris.

Otitis media akut merupakan peradangan telinga tengah dengan gejala

awitan dan beberapa tanda klinis yang cepat, nyeri, demam, anoreksia, iritabel,

dan juga muntah. Otitis media yang disertai efusi ditandai dengan adanya efusi

telinga tengah yang asimptomatis. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan getaran

membran timpani yang menurun, bentuk cembung, kemerahan, dan keruh.

2.3.4. Otitis media akut

Otitis media akut sering terjadi pada anak dan termasuk diagnosis yang

paling sering pada anak dengan gejala panas. Membran timpani yang cembung

merupakan salah satu tanda kecurigaan otitis media.

Manifestasi klinis

Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran napas yang kemudian disertai

keluhan nyeri telinga, demam, dan gangguan pendengaran. Pada bayi, gejala ini

tidak khas, sehingga gejala yang timbul iritabel, diare, muntah, malas minum, dan

Page 27: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

24

sering minum air. Pada anak yang lebih besar biasanya keluhan berupa rasa nyeri

dan tidak nyaman pada telinga.

Diagnosis

Diagnosis otitis media akut dibuat berdasarkan pemeriksaan membran

timpani. Pemeriksaan ini mungkin sulit dilakukan pada anak karena saluran

telinga yang kecil, adanya srumen, dan keadaan anak yang tidak kooperatif. Dari

pemeriksaan otoskopi didapatkan pergerakan membran timpani berkurang,

cembung, kemerahan dan eruh, dapat dijumpai sekret purulen. Adanya

penurunana gerak membran timpani merupakan dasar kecurigaan otitis media

akut. Bila diagnosis masih meragukan, perlu dilakukan aspirasi telinga tengah.

Para dokter, khususnya dokter anak, seringkali misdiagnosis etrhadap otitis media,

dan untuk menghindarinya dilakukan pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan

otoskopi dapat mengurangi lebih dari 30% kesalahan yang terjadi. Hal ini dapat

dijelaskan karena sebagai klinisi, dokter mendiagnosa berdasarkan gejala klinis

dan warna membran timpani, sedangkan dokter THT lebih memperhatikan gerak

dan posisi membran timpani.

Pengobatan

Terapi tergantung kuman dan hasil uji sensitivitas. Organisme penyebab

yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza.

Pada neonatus kurang dari dua minggu, bakteri Gram negatif, Staphylococcus

aureus, Strepyococcus grup B lebih sering diucapkan.

Sebelum didapatkan hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan

antibiotik pilihan awal. Amoksisilin dengan dosis 40mg/kgBB/hari dalam 3 dosis

selama 10 hari. Pemberian obat tersebut selama 3 hari dapat memperkecil risiko

timbulnya efek samping terapi. Akan tetapi, banyak kuman yang telah resisten

terhadap amoksisilin, khususnya penghasil β–laktamase. Pilihan obat lainnya

adalah eritromisin (50 mg/kgBB/hari) bersama dengan sulfonamid (100

mg/kgBB/hari trisulfa atau 150 mg/kgBB/hari sulfizoksasol) diberi 4 kali sehari,

trimetoprim-sulfametoksasol (8 dan 40 mg/kgBB/hari) diberi 2 kali sehari,

Page 28: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

25

sefaklor (40 mg/kgBB/hari) 3 kali sehari, amoksisilin-klavulanat 40

mg/kgBB/hari 3 kali sehari, atau sefiksim 8 mg/kgBB/hari sekali atau 2 kali

sehari. Jika pasien sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin, maka dapat

digantikan dengan golongan eritromisin dan sulfonamid atau sulfisoksasol.

Pada otitis media tanpa komplikasi, pemberian antibiotika cukup selama 3

hari. Apabila dalam perjalanannya terdapat perburukan gejala klinis atau

didapatkan kuman yang resisten, maka timpanosentensis perlu dilakukan untuk

mengidentifikasi kuman penyebab.

Terapi suportif lain dapat diberikan, antara lain analgetik, antipiretik,

dekongestan. Pada pasien dengan nyeri telinga berat miringotomi dapat dilakukan

untuk memberi kelegaan. Kadang insisi yang besar perlu dilakukan etika

melakukan miringotomi untuk mempermudah drainase telinga tengah. Jika dalam

24 jam terdapat penambahan tanda dan gejala sedangkan pasien masih dalam

terapi antibiotik, maka kita harus mencurigai adanya infeksi bersama seperti

meningitis dan komplikasi otitis media supuratif. Anak harus segera dilakukan

pemeriksaan ulang, timpanosentesis, dan miringotomi. Setelah 2 minggu pasien

dievaluasi, khususnya penyembuhan otoskopik.

Efusi telinga tengah menetap

Jika efusi telinga tengah menetap sesudah 10-14 hari terapi antibiotika, satu

atau lebih pilihan berikut dianjurkan:

a. Pemberian antimikroba jenis lain.

b. Dekongestan, antihistamin.

c. Kostikosteroid sistemik.

Apabila ditemukan efusi telinga tengah yang asimptomatik, dapat diobservasi

selama 6 minggu tanpa terapi.

Otitis media akut berulang

Anak yang mengalami infeksi salluran napas, dapat mengakibatkan anak

mengalami episode otitis media akut berulang. Gejalanya biasanya tidak berat,

memeiliki respon yang baik dengan terapi, dan episode serngan akan menurun

Page 29: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

26

sesuai pertambahan umur. Anak dengan otitis media akan berulang, di mana

episode sebelumnya mengalami kesembuhan, dapat diterapi sama dengan terapi

yang diberikan sebelumnya. Tetapi jika terdapat intensitas serangan berulang yang

sering dengan jangka waktu antar serangan yang dekat, harus dilakukan evaluasi

ulang.

2.3.5.Otitis media dengan efusi

Otitis media dengan efusi adalah efusi telinga tengah dengan tidak

ditemukan tanda infeksi akut, seperti otalgia dan demam. Otitis ini dapat

terjadi pasca pengobatan otitis media akut sebelumnya. Lama efusi dapat

dibagi 3, akut (kurang dari 3 minggu), subakut (3 minggu-3 bulan), dan

kronis (lebih dari 3 bulan. Efusi dapat bersifat serous, mukoid, atau

prurulen.

Manifetasi klinis

Pada otitis media dengan efusi, seringkali ditemukan membran

timpani yang retraksi. Membran timpani biasanya keruh, mobilitasnya

juga terganggu. Kadang, wlaau hanya ada sedikit efusi, dapat ditemukan

retraksi membran timpani dan berkurangnya mobilitas akibat tekanan

udara negatif telinga tengah

Pengobatan

Karena sekuel dan komplikasi yang sedikit dan jarang terjadi, maka

otitis media dengan efusi tidak perlu diterapi. Otitis media dengan terapi

ini sering sembuh sendiri. Hanya pada keadaan tertentu perlu diberi terapi

seperti efusi kronis bilateral dan gangguan pendengaran yang mencolok.

Keadaan tersebut dapat diberi terapi kombinasi dekongestan dan

antihistamin. Pada efusi akut dan subakut dapat diberikan antibiotik

amoksisilin maupun amoksisilin-klavulanat selama 10-30 hari. Pada efusi

kronis atau terjadi efusi akut berulang, di samping pemberian antibiotik,

Page 30: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

27

pilihan miringotomi dengan memasukkan pipa timpanostomi harus

dipertimbangkan. Hal ini bertujuan memperbaiki ventilasi telinga tengah.

Page 31: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

28

Lampiran

Gargles

Berkumur adalah tindakan di mana satu gelembung cairan di mulut

seseorang. Biasanya mengharuskan kepala dimiringkan kembali, memungkinkan

seteguk cairan untuk duduk di tenggorokan bagian atas. Kepala dapat dimiringkan

dengan memperluas baik leher atau belakang, tergantung pada apa yang nyaman

untuk gargler tersebut. Air ini kemudian dikeluarkan dari paru-paru,

menyebabkan cairan gelembung dan berombak-ombak di seluruh wilayah

tenggorokan dan mulut.

Seperti berkumur bisa dilakukan berulang-ulang dengan cairan yang sama

untuk waktu yang lebih besar dari kapasitas paru-paru seseorang memungkinkan,

seseorang sementara memiringkan kepala ke depan untuk dapat bernapas dalam

lagi dengan mudah, sebagai cairan perjalanan ke depan mulut. Bernapas dalam

dapat dilakukan melalui mulut untuk orang dengan hidung tersumbat, ini

membutuhkan jumlah yang lebih rendah dari cairan sehingga tidak tumpah keluar

saat mulut dibuka untuk menghirup.

Ini adalah metode umum untuk membersihkan tenggorokan, saat berkumur

air hangat dan garam, jika seseorang memiliki sakit tenggorokan karena virus

pernafasan atas, infeksi atau penyebab lainnya

Berkumur dipraktekkan di Jepang untuk pencegahan dirasakan infeksi virus.

Sebuah studi 2005 menemukan bahwa berkumur dengan air baik yang sederhana

atau solusi providone / yodium efektif dalam mencegah infeksi pernafasan atas

dan mengurangi keparahan dari gejala jika dikontrak Sebuah studi kemudian

menemukan bahwa prosedur yang sama tidak mencegah. Penyakit influenza

seperti. sumber-sumber lain atribut manfaat bagi efek plasebo yang sederhana.

Salah satu cara yang umum digunakan adalah dengan tisanes atau teh.

Menurut etiket barat modern, berkumur adalah kegiatan yang cukup sopan

selama acara sosial atau waktu makan. Hal ini biasanya dilakukan di kamar mandi

di wastafel sehingga cairan menolak dapat dibuang dengan benar.

Page 32: Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas

29

Lozenges

Sebuah permen tenggorokan (batuk drop, troche, cachou, atau batuk manis)

adalah tablet kecil obat dimaksudkan untuk dibubarkan perlahan dalam mulut

untuk menghentikan sementara batuk dan melumasi dan menenangkan jaringan

teriritasi tenggorokan (biasanya karena sakit tenggorokan) , mungkin dari pilek

atau influenza. Tablet batuk telah mengambil permen nama, berdasarkan bentuk

aslinya.

Lozenges mungkin berisi benzokain, obat bius, atau minyak kayu putih.

Non-menthol tenggorokan lozenges umumnya menggunakan seng glukonat glisin

baik atau pektin sebagai yg menawar rasa sakit lisan. Beberapa merek

tenggorokan lozenges mengandung dextromethorphan.

Masih varietas lainnya, seperti Halls, mengandung mentol, minyak

peppermint dan / atau spearmint sebagai bahan aktif mereka (s). Lozenges Madu

juga tersedia.