Infeksi cacing pada anak.pdf

download Infeksi cacing pada anak.pdf

of 29

description

definisiklasifikasietologiterapi

Transcript of Infeksi cacing pada anak.pdf

  • 1

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    DIVISI INFEKSI

    INFEKSI CACING PADA ANAK

    Oleh:

    Sri N. E. Simanjuntak

    05 801 940

    Penguji:

    dr. Retno Hernik, Sp.A

    SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD JAYAPURA

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS CENDERAWASIH

    PAPUA

    2012

  • 2

    DAFTAR ISI

    Daftar Isi .......................................................... i

    Daftar Tabel ...........................................................iii

    Daftar Gambar ..........................................................iii

    Referat

    BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1

    BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ........................................................... 3

    2.1 Soil transmitted helminths ........................................................... 3

    2.1.1 Ascaris Lumbricoides

    a. Hospes dan nama penyakit ........................................................... 4

    b. Epidemiologi ........................................................... 4

    c. Morfologi dan daur hidup ........................................................... 5

    d. Patologi dan gejala ........................................................... 6

    e. Diagnosis ........................................................... 7

    f. Pengobatan ........................................................... 7

    g. Pencegahan ........................................................... 8

    2.1.2 Trichuris trichiura

    a. Hospes dan nama penyakit ........................................................... 8

    b. Epidemiologi ........................................................... 8

    c. Morfologi dan daur hidup ........................................................... 8

    d. Patologi dan gejala ........................................................... 9

    e. Diagnosis ........................................................... 10

    f. Pengobatan ........................................................... 10

    g. Pencegahan .......................................................... 11

    2.1.3 Enterobius vermicularis

    a. Hospes dan nama penyakit ........................................................... 11

    b. Epidemiologi ........................................................... 11

    c. Morfologi dan daur hidup ........................................................... 11

    d. Patologi dan gejala ........................................................... 12

  • 3

    e. Diagnosis ................................................................. 12

    f. Pengobatan ................................................................. 12

    2.1.4 Cacing Tambang

    a. Hospes dan nama penyakit ........................................................... 13

    b. Epidemiologi .....................................................13

    c. Morfologi dan daur hidup ........................................................... 13

    d. Patologi dan gejala ........................................................... 14

    e. Diagnosis ........................................................... 15

    f. Pengobatan ........................................................... 15

    2.2 Taeniasis

    a. Definisi ................................................................ 15

    b. Hospes ................................................................. 16

    c. Sumber Penularan ................................................................. 16

    d. Cara Penularan ................................................................. 16

    e. Masa Tunas ................................................................. 17

    f. Gejala Klinis ................................................................. 17

    g. Diagnosis ................................................................. 18

    h. Pengobatan ................................................................. 21

    i. Pencegahan ................................................................. 22

    BAB III. PENUTUP

    KESIMPULAN ................................................................. 20

    Daftar Pustaka ................................................................. 23

  • 4

    Daftar Tabel

    Tabel 1. Infeksi Soil transmitted helminths pada manusia ................................ 3

    Daftar Gambar

    Gambar 1. Telur dan cacing Ascaris lumbricoides dewasa .................................. 5

    Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides .................................................... 6

    Gambar 3. Telur dan cacing Trichuris trichiura dewasa ...................................... 8

    Gambar 4. Siklus hidup cacing Trichuris trichiura ............................................. 9

    Gambar 5. Siklus hidup cacing tambang ...........................................................14

    Gambar 6. Siklus hidup cacing Taenia solium ...................................................17

  • 5

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Infeksi kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit (berupa

    cacing) kedalam tubuh manusia, parasit ini mempunyai tubuh yang simestris bilateral dan

    tersusun dari banyak sel (multi seluler). Cacing yang penting atau cacing yang sering

    menginfeksi tubuh manusia terdiri atas dua golongan besar yaitu filum Platyhelmithes dan

    filum Nemathelminthes1.

    Filum Platyhelmithes terdiri atas dua kelas yang penting yaitu kelas Cestoda dan kelas

    Trematoda, sedangkan filum Nemathelmithes kelasnya yang penting adalah Nematoda.

    Cacing gelang, cacing cambuk, cacing tambang adalah kelas Nematoda yang selalu parasitik

    pada tubuh manusia dan menjadikannya sebagai tempat hidup dan berkembang biak atau

    hospes definitif.

    Jenis cacing yang sering ditemukan dapat menimbulkan infeksi adalah cacing ascaris

    lumbricoides (A. lumbricoides), cacing Trichuris trichiura (T. trichiura) dan cacing tambang

    Necator americanus (N. americanus) dan Ancylostoma duodenalle (A. duodenalle) dan

    cacing Strongyloides stercoralis (S. stercoralis) dimana cara penularanya melalui tanah atau

    yang disebut dengan Soil Transmitted Helminths atau STH (Anonim, 2008). STH adalah

    kelompok cacing golongan nematoda, yang dalam perkembanganya memerlukan tanah untuk

    berkembang menjadi bentuk infektif1.

    Di Indonesia infeksi kecacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai.

    Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang

    beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan

    lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di

    pedesaan maupun di perkotaan. Infeksi kecacingan ini berhubungan erat dengan perilaku

    hidup sehat dan hygiene sanitasi lingkungan. Infeksi kecacingan bisa menyebabkan

    morbiditas yang dapat menyerang semua golongan terutama golongan penduduk yang kurang

    mampu sehingga beresiko terinfeksi oleh cacing. Infeksi parasit cacing merupakan problem

    kesehatan yang masih sering terlewatkan begitu saja. Hal ini disebabkan karena minimnya

    perhatian terhadap penyakit ini, meskipun jika diperhitungkan dapat berakibat yang sangat

    merugikan. Memang secara klinis sering tidak menampakkan gambaran yang jelas dan

    keluhan yang berarti, tetapi infeksinya yang bersifat menahun akan mengakibatkan terjadinya

  • 6

    ketidakseimbangan pemenuhan kecukupan gizi. Karena sifat parasitnya, maka cacing akan

    mengambil jatah makan yang berasal dari intake yang sesungguhnya berfungsi untuk

    mencukupi proses-proses metabolisme tubuh penderita1.

    Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang

    tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang).

    Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800

    juta1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta

    terinfeksi trichuris.

    Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat

    terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak

    usia sekolah dasar. Oleh sebab itu penting bagi kalangan masyarakat terutama orang tua

    untuk mengetahui bagaimana infeksi kecacingan ini terjadi dan bagaimana cara mengobati

    serta mencegahnya2.

    Pembahasan kali ini adalah mengenai infeksi-infeksi cacing yang banyak ditemukan

    di Indonesia, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Oxyuris vermicularis, dan

    Necator americanus et duodenale yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth

    yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah, dan kelompok Taenia Sp3.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi

    di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases). Penyakit yang

    termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang

    muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit

    yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap,

    penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian.3

    2.1 Soil Transmitted Helminths

    Soil-transmitted helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda yang

    menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak dengan larva

    yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah di negara-negara subtropis

    dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa soil-transmitted helminths dapat hidup

    selama bertahun-tahun di saluran percernaan manusia. Lebih dari dua milyar penduduk dunia

    terinfeksi oleh paling sedikit satu spesies cacing tersebut, terutama yang disebabkan oleh A.

    lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang (WHO, 2005; WHO, 2006).4

    Tabel 1. Infeksi soil-transmitted helminths pada manusia 4

    (Sumber : Dewi S. Soil transmitted helmints. 2010. Diunduh dari:

    (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16639/4/chapter%20II.pdf)

    Cacing Penyebab Utama di Seluruh Dunia Penyakit Perkiraan populasi

    yang terinfeksi (juta)

    Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221

    Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795

    Necator americanus dan

    Ancylostoma duodenale

    Infeksi cacing tambang 576-740

    Strongyloides strecoralis Infeksi cacing benang

    (threadworm)

    30-100

    Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28% anak

  • 8

    2.1.1. Ascaris lumbricoides

    a. Hospes dan nama penyakit

    Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit yang

    disebabkannya disebut askariasis.5

    b. Epidemiologi

    Ascaris lumbricoides merupakan nematoda usus terbesar. Angka kejadiannya

    di dunia lebih banyak dari cacing lainnya, diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di

    dunia pernah terinfeksi dengan cacing ini. Hal ini disebabkan karena telur cacing ini

    lebih tahan terhadap panas dan kekeringan.Tidak jarang ditemukan infeksi campuran

    dengan cacing lain, terutama Trichuris trichiura2,6.

    Menurut Bethony dkk, 2006 cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit

    yaitu tersebar di seluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang

    lembab, dengan angka prevalensi kadangkala mencapai di atas 50%. Meskipun infeksi

    cacing ini dapat terjadi pada segala usia, namun angka prevalensi dan intensitas

    infeksi tertinggi terjadi pada anak usia sekolah, 5-15 tahun4,5,6.

    Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan telur cacing yang infektif ( telur

    yang mengandung larva ). Di daerah tropis, infeksi cacing ini mengenai hampir

    seluruh lapisan masyarakat, dan anak lebih sering terinfeksi. Endemisitas perbedaan

    insiden dan intensitas infeksi pada anak dan orang dewasa kemungkinan disebabkan

    oleh karena berbeda dalam kebiasaan, aktivitas dan perkembangan imunitas yang

    didapat2.

    Pencemaran tanah oleh cacing lebih sering disebabkan oleh tinja anak. Di Indonesia,

    kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja

    di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat

    pembuangan sampah5. Cara penularan pada manusia dari tangan ke mulut; jari-jari

    yang terkontaminasi oleh kontak tanah. Cara lain, bahan makanan ( terutama segala

    sesuatu yang dimakan mentah ) menjadi terinfeksi oleh pupuk manusia atau oleh lalat.

    Endemisitas Askariasis dibantu oleh pengeluaran telur cacing yang sangat tinggi dan

    resistensinya terhadap keadaan lingkungan yang tidak sesuai. Telur-telur terbukti

    tetap infektif pada tanah selama berbulan-bulan dan dapat bertahan hidup di cuaca

    yang lebih dingin (5-10C) selama 2 tahun. Penularan askariasis dapat terjadi

    musiman atau sepanjang tahun6,7.

  • 9

    c. Morfologi dan daur hidup

    Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm. Stadium

    dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak

    100.000-200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

    Gambar 1. Telur dan cacing Ascaris lumbricoides dewasa8

    (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm)

    Telur yang dibuahi dalam lingkungan yang sesuai berkembang menjadi bentuk

    infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh

    manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju

    pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti

    aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding

    alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan

    bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan

    pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam

    esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing

    dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu

    kurang lebih 2 bulan.5

  • 10

    Gambar 2. Siklus Hidup Ascariasis lumbricoides8

    1)Cacing dewasa, 2)Telur infertil dan telur fertil, 5)Larva yang telah menetas, 7)Larva matur

    (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm)

    d. Patologi dan Gejala Klinis

    Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan

    larva. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang

    penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan

    berkurang, diare atau konstipasi.5 Status nutrisi anak dengan askariasis dapat lebih

    dipengaruhi oleh latar belakang sosioekonomik dan nutrisinya daripada oleh pengaruh

    infeksi askaris6,9.

    Morbiditas dapat bermanifestasi selama migrasi larva yang melalui paru-paru

    atau dihubungkan dengan adanya cacing dewasa di usus halus.

    Askariasis paru dapat terjadi paska pemajanan yang berat dan juga sering pada

    individu yang hidup di daerah dengan penularan infeksi musiman. Tanda-tanda yang

    paling khas adalah batuk, sputum berbercak darah dan eosinofilia. Pada foto thoraks

    tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut

    sindrom Loeffler5,6.

  • 11

    Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga

    memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini

    menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Adanya cacing

    dewasa pada usus halus disertai dengan keluhan tidak jelas seperti nyeri perut dan

    kembung. Obstruksi usus walaupun jarang, dapat karena massa cacing pada anak

    yang terinfeksi berat; insiden puncak terjadi pada anak umur 1-6 tahun. Mulainya

    biasanya mendadak dengan nyeri perut kolik berat dan muntah, yang dapat berbercak

    empedu; gejala ini dapat memperburuk dengan cepat dan menyertai perjalanan yang

    serupa dengan obstruksi usus akut etiologi lain apapun6.

    e. Diagnosis

    Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara

    langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu

    diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau

    hidung, maupun melalui tinja.

    Diagnosis askariasis paru atau obstruktif didasarkan terutama pada data klinis

    dan indeks kecurigaan tinggi5,6.

    f. Pengobatan

    Beberapa agen kemoterapeutik efektif melawan askariasis; namun tidak ada

    yang berguna selama fase infeksi paru. Pengobatan, terutama dengan anak dengan

    infeksi berat harus didekati dengan hati-hati. Pemberian Piperazin sitrat ( 150

    mg/kgBB peroral dosis inisial, diikuti oleh 6 dosis masing-masing 65mg/kgBB

    interval pemberian tiap 12 jam secara peroral), menyebabkan paralisis neuromuskular

    parasit dan pengeluaran cacing relatif cepat, sehingga obat ini adalah obat pilihan

    untuk obstruksi usus atau saluran empedu6.

    Terapi pilihan untuk ascariasis gastrointestinal meliputi albendazole (400 mg

    peroral dosis tunggal, untuk segala usia), mebendazole (100 mg 2 kali sehari peroral

    selama 3 hari atau 500 mg peroral dosis tunggal untuk segala usia), atau pyrantel

    pamoate (11 mg/kgBB peroral dosis tunggal, maksimum 1 gram). Karena

    hipersentivitas sporadis dan reaksi neurotoksik telah dilaporkan dengan derivat

    piperazin, obat-obat lain seperti mebendazol (100 mg dua kali sehari selama 3 hari)

    harus digunakan untuk mengobati askariasis tidak terkomplikasi atau dengan

    albendazol dosis tunggal 400 mg. Tindakan operatif mungkin diperlukan pada

    keadaan dimana terjadi obstruksi yang berat.6,10.

  • 12

    g. Pencegahan

    Anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku secara teratur,

    pemakaian jamban keluarga serta pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan,

    tidak menggunakan feses manusia sebagai pupuk dapat mencegah askariasis5,6.

    2.1.2 Trichuris trichiura

    a. Hospes dan nama penyakit

    Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang disebabkannya disebut

    trikuriasis5.

    b. Epidemiologi

    Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di daerah panas dan

    lembab, dan juga di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk, cacing ini jarang

    dijumpai di daerah yang gersang, sangat panas atau sangat dingin. Cacing ini

    merupakan penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis.

    Angka infeksi tertinggi pada anak terjadi pada usia 5-15 tahun. Penularan terjadi

    melalui kontaminasi tangan, makanan (sayur atau buah yang dipupuki dengan pupuk

    kotoran manusia) atau minuman. Transmisi juga dapat terjadi secara langsung melalui

    lalat atau serangga lain1,4,5,6. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya

    sedikit pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacing ini8.

    c. Morfologi dan daur hidup

    Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4

    cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang

    seluruh tubuh. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan caecum dengan bagian

    anteriornya (spikulum) yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Di tempat

    itulah cacing mengambil makanannya. Seekor cacing betina diperkirakan

    menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir1,5,9.

    Gambar 3. Telur dan Cacing dewasa T. Trichiura8

    (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm)

  • 13

    Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan

    dengan semacam peninjolan yang jernih pada kedua kutub. Telur yang dibuahi

    dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-

    6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat

    yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

    Di dalam tanah, memerlukan sekurang-kurangnya 3 - 4 minggu untuk menjadi

    embrio2,5. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.

    Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.di dalam usus

    dapat menetap selama 3-10 hari. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke bagian

    distal dan masuk ke daerah kolon, terutama caecum. Jadi cacing ini tidak mempunyai

    siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa

    betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.5

    Gambar 4. Siklus hidup cacing Trichuris trichiura8

    (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm)

    d. Patologi dan Gejala klinik

    Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di caecum, akan

    tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak-

  • 14

    anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di

    mucosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu

    defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi

    trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat

    perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Disamping itu cacing ini ini mengisap darah

    hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia5,9.

    Pendeita terutama anak dengan infeksi trichuris yang berat dan menahun,

    memunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom

    disentri, anemia, berat badan turun, hipoproteinemia dan kadang-kadang disertai

    prolapsus rekti2,4,5,6.

    e. Diagnosis

    Diagnosis dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.5

    f. Pengobatan

    Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari atau dosis tunggal 500 mg untuk

    segala usia adalah obat yang aman dan efektif5,6; obat ini mengurangi pengeluaran

    telur sekitar 90-99% dan angka kesembuhannya mencapai 70-90%6.

    Obat alternatif yang digunakan yaitu Albendazol dosis tunggal 400 mg peroral

    untuk segala usia5 atau 400 mg peroral perhari selama 3 hari9,10.

    Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Yunus.R, mengenai

    keefektifan albendazole pemberian sekali sehari selama 1, 2 dan 3 hari dalam

    menanggulangi infeksi T. Trichiura pada anak sekolah dasar di Kecamatan Medan

    Tembung, didapatkan hasil bahwa Cure Rate pemberian Albendazole dosis tunggal

    selama 3 hari lebih efektif dibanding pemberian dosis tunggal selama 1 atau 2 hari.

    Angka Egg Reduction Rate (ERR) mencapai 99,64% dan Cure Rate (CR) mencapai

    95,65% untuk infeksi intensitas ringan. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu

    yang dilakukan oleh Sirivichayakul C, dkk tahun 2003 yang menyarankan pemakaian

    Albendazole selama 3 hari untuk menanggulangi infeksi cacing cambuk intensitas

    ringan, sedangkan untuk infeksi berat diperlukan pengobatan selama 5 hingga 7

    hari10.

    Alternatif lain yaitu Pirantel pamoat dosis tunggal 10-15 mg/kgBB5.

    Terdapat lisensi terapi yang terbaru saat ini yaitu Nitazoxanide, obat ini telah

    menunjukkan angka penyembuhan yang lebih tinggi dibanding dengan albendazol

    dosis tunggal.

  • 15

    Dosis yang dipakai yaitu:

    1 3 tahun : 2 x 100 mg selama 3 hari ( peroral )

    4 11 tahun : 2 x 200 mg selama 3 hari ( peroral )

    Dewasa : 2 x 500 mg selama 3 hari ( peroral )6.

    g. Pencegahan

    Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan personal,

    meningkatkan kondisi sanitasi dan mengeliminasi penggunaan feses manusia sebagai

    pupuk6.

    2.1.3 Enterobius vermicularis - Pinworm (Oxyuris vermicularis)

    a. Hospes dan nama penyakit

    Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut enterobiasis atau

    oksiuriasis5.

    b. Epidemiologi

    Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada

    di daerah panas.5 Prevalensi infeksi ini paling tinggi terjadi pada anak antara umur 5-

    14 tahun. Pada umumnya berada di sekitar tempat tinggal, tempat bermain anak atau

    pada anak yang tidur secara bersama-sama, hal-hal tersebut dapat memfasilitasi

    transmisi telur cacing. Autuinokulasi dapat terjadi pada individu yang memiliki

    kebiasaan memasukkan atau mengisap-isap jari6.

    c. Morfologi dan daur hidup

    Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Cacing jantan berukuran 2 5

    mm. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga caecum, usus besar dan di usus halus

    yang berdekatan dengan rongga caecum. Makanannya adalah isi dari usus.

    Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke

    daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-

    telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur

    menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan.

    Telur resisten terhadap desifektan dan udara dingin, dala keadaan lembab telur dapat

    hidup sampai 13 hari.

  • 16

    Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan

    mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.

    Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur

    menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Waktu yang diperlukan

    untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing

    dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu

    sampai 2 bulan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited), bila tidak

    ada reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir5.

    d. Patologi dan gejala klinis

    Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.

    Gejala klinis yang menonjol disebabkan oleh stimulasi mekanik dan iritasi di sekitar

    anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah

    tersebut sehingga menyebabkan pruritus lokal5,6.

    Gejala klinis yang paling umum adalah rasa gatal dan kesulitan tidur oleh

    karena pruritus nokturnal. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke

    usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga

    menyebabkan gangguan di daerah tersebut.5

    e. Diagnosis

    Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar

    anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing

    dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah denagn alat anal swab yang

    ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar atau

    membilas setelah buang air besar5.

    f. Pengobatan

    Obat antihelmintik sebaiknya diberikan kepada individual yang terinfeksi juga

    kepada seluruh anggota keluarganya. Dosis tunggal mebendazol (100 mg peroral

    untuk segala usia) diberikan, lalu diulang pada 2 minggu, angka kesembuhan dapat

    mencapai 90-100%.

    Regimen alternatif lainnya yaitu albendazol dosis tunggal (400 mg peroral

    untuk segala usia) diulang kembali setelah 2 minggu atau pirantel pamoat (11

    mg/kgBB peroral) dosis tunggal.6

  • 17

    Mebendazol efektif terhadap semua stadium perkembangan cacing kremi,

    sedangkan pirantel dosis tunggal tidak efektif terhadap stadium muda.5 Membiasakan

    anak mandi pagi akan menyingkirkan telur cacing ini dalam porsi besar. Frekuensi

    mengganti pakaian dalam, perlengkapan tempat tidur, sprei akan mengurangi resiko

    lingkungan tempat tinggal yang terinfeksi telur cacing dan mengurangi resiko

    terjadinya autoinfeksi.6

    2.1.4 Infeksi cacing tambang

    a. Hospes dan nama penyakit

    Manusia adalah hospes parasit ini. Parasitnya terdiri dari Necator americanus

    dan Necator duodenale. Penyakitnya disebut necatoriasis dan ankilostomiasis5.

    b. Epidemiologi

    Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang karena pada zaman dahulu

    cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai

    fasilitas memadai5. Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di

    tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan

    perkebunan. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan. Antara

    tahun 1972-1979 prevalensi di berbagai daerah di Indonesia adalah 50%. Pada survei-

    survei yang dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia antara

    tahun 1990-1991 hanya didaptkan 0 - 24,7%. Infeksi N. Americanus lebih luas

    penyebarannya dibandingkan A. Duodenale, dan spesies ini juga merupakan

    penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia3,5.

    c. Morfologi dan daur hidup

    Cacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam ke

    belakang. Terdapat 2 stadium larva yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan

    larva filariform yang infektif. Penularannya melalui kontak dengan tanah. Cacing

    betina N. americanus dapat memproduksi 10.000 telur sehari dan A. duodenale

    memproduksi 20.000 telur sehari3,4.

  • 18

    Gambar 5. Siklus hidup cacing tambang8

    (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm)

    d. Patologi dan gejala klinis

    Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa

    gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan patologi yang terjadi disebabkan

    oleh 3 fase sebagi berikut:

    1. Fase cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva menembus kulit.

    Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground itch. Timbul rasa nyeri dan

    gatal pada tempat penetrasi4,5.

    2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari pembuluh

    darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering, asma yang disertai

    dengan wheezing dan demam4.

    3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa pada

    mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus halus

    menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah dan berlendir.

    Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing tambang kronis akibat

    kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh cacing tersebut di mukosa usus.

    Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada status

    besi tubuh dan gizi penjamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita),

  • 19

    serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. Duodenale menyebabkan

    perdarahan yang lebih banyak dibandingkan N. Americanus3. Jumlah darah yang

    hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi Necator americanus

    dan 0,15 mL pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap

    harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator americanus dan 5

    mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale, sehingga kadar

    hemoglobin dapat turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah4.

    e. Diagnosis

    Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan untuk

    menemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses.

    Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung

    dengan mikroskop cahaya. Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai

    adalah anemia mikrositik hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar total iron

    binding capacity yang tinggi3.

    f. Pengobatan

    Mebendazole dikatakan dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus.

    Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efikasi mebendazole ini seperti

    Abadi (1985) pada pemberian mebendazole 500 mg dosis tunggal mendapat angka

    penyembuhan 93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk A. Lumbricoides, T. Trichiura dan

    cacing tambang4. Dalam hal ini pada pengobatan infeksi cacing tambang, 100 mg obat

    diminum pada pagi dan malam hari selama 3 hari berturut-turut atau dengan dosis

    tunggal 500 mg7. Apabila belum sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu

    kemudian4.

    2.2 Taeniasis

    a. Definisi

    Cacing ini dikenal dengan nama umum cacing pita. Yang penting di indonesia

    yaitu taenia saginata dan taenia solium. Penyakitnya disebut Taeniasis. Taeniasis ialah

    penyakit zoonosis parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang tergolong dalam

    genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium) pada manusia.

  • 20

    Sistiserkosis (Cysticercosis) ialah infeksi oleh bentuk larva Taenia solium

    (Cysticercus Cellulosa) pada manusia. Apabila infeksi tersebut berlangsung pada

    sistim saraf pusat, maka disebut Neurosistiserkosis ( Neurocysticercosis )11.

    b. Hospes

    Hospes definitif dari Taenia Sp hanya manusia, kecuali untuk Taenia Solium,

    manusia juga berperan sebagai hospes perantara. Sedangkan hewan (hospes) perantara

    ialah babi untuk Taenia Solium dan sapi untuk Taenia saginata5,11.

    c. Sumber Penularan

    Sumber penularan taeniasis/sistiserkosis :

    1. Penderita teaniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau proglotid cacing

    pita.

    2. Hewan (terutama) babi, sapi yang mengandung larva cacing pita (cysticercus).

    3. Makanan / minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur-telur cacing pita.

    d. Cara Penularan

    Seseorang bisa terkena infeksi cacing pita (taeniasis) melalui makanan yaitu

    memakan daging yang mengadung larva, baik larva yang terdapat pada daging sapi

    (Cysticercus bovis) maupun larva Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) yang

    terdapat pada daging babi. Sedangkan penularan sistiserkosis / neurosistiserkosis pada

    manusia adalah melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur-telur cacing

    Taenia Solium. Penularan dapat juga terjadi karena autoinfeksi, yaitu langsung

    melalui ano-oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari penderita Taniasis solium,

    atau autoinfeksi internal akibat adanya gerakan antiperistatik dari usus. Telur Taenia

    saginata tidak menimbulkan sistiserkosis pada manusia.

  • 21

    Gambar 6. Siklus hidup cacing Taenia Solium8

    (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm)

    e. Masa Tunas

    Masa tunas infeksi cacing berkisar antara 8-14 minggu. Cacing pita dewasa

    dapat tahan hidup sampai 25 tahun dalam usus.

    f. Gejala Klinis

    Taeniasis

    Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak patognomonis (khas).

    Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Gejala klinis dapat timbul

    sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut

    antara lain rasa tidak enak pada lambung , nausea (mual), badan lemah, berat badan

    menurun, nafsu makan menurun, sakit kepala, konstipasi (sukar buang air besar),

    pusing, diare, dan pruiritus ani (gatal pada lubang pelepasan). Pada pemeriksaan darah

    tepi (hitung jenis) terjadi peningkatan eosinofil (eosinofilia) Gejala klinis taeniasis

    solium hampir tidak dapat dibedakan dari gejala klinis taeniasis saginata10.

  • 22

    Secara psikologis penderita dapat merasa cemas karena adanya segmen /

    proglotid pada tinja dan pada Taenia saginata segmen dapat lepas dan bergerak

    menuju sphincter anal yang merupakan gerakan spontan dari segmen.

    Sisterkosis

    Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi dari

    kista. Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala atau dapat ditemukan

    adanya nodul subkutan. Sistiserkosis serebri sering menimbulkan gejala epilepsi atau

    gejala tekanan intrakranial meninggi dengan sakit kepala dan muntah yang

    menyerupai gejala tumor otak. Pada kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai

    bintik kalsifikasi dalam otak.

    g. Diagnosis

    Taeniasis

    Diagnosa taeniasis dapat ditegakkan dengan 2 ( dua ) cara yaitu :

    a) Menanyakan riwayat penyakit (anamnesis).

    Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah

    mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar

    maupun secara spontan. Bila memungkinkan sambil memperhatikan contoh potongan

    cacing yang diawetkan dalam botol transparan.

    b) Pemeriksaan tinja

    Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari defekasi spontan.

    Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia

    Sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis.

    Pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat juga ditemukan proglotid jika

    keluar.

    Dinyatakan penderita taeniasis, taeniasis, apabila ditemukan telur cacing Taenia Sp

    pada pemeriksaan tinja secara mikroskapis dan / atau adanya riwayat mengeluarkan

    progloid atau ditemukan prohlotid pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dengan

    atau tanpa disertai gejala klinis11.

    Sistiserkosis

    Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada

    a) Anamnesis :

    1. Berasal dari / berdomisili didaerah endemis taeniasis / Sistiserkosis

  • 23

    2. Gejala taeniasis ( )

    3. Riwayat mengeluarkan proglotid ( )

    4. Benjolan ( nodul subkutan ) pada salah satu atau lebih bagian tubuh ( + )

    5. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya ( )

    6. Riwayat / gejala epilepsi ( - )

    7. Gejala peninggian tekanan intra kranial ( - )

    8. Gejala neurologis lainnya (- )

    b) Pemeriksaan fisik :

    1. Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular satu lebih

    2. Kelainan mata ( oscular cysticercosis ) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh

    sistiserkosis ( )

    3. Kelainan neurologis ( - )

    c) Pemeriksaan Penunjang

    1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : Proglotid ( )

    2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing taenia sp ( )

    3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis ( + )

    4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi anatomi

    yang khas untuk sistiserkosis (+)

    Paling sedikit gejala klinis yang harus ditemukan pada tersangka sistiserkosis

    ialah teraba benjolan/nodul subktan atau intra muskular baik satu atau lebih pada

    orang yang berasal dari/berdomisili di daerah endemis taeniasis / sistiserkosis.

    Dinyatakan penderita sistiserkosis apabila pada tersangka sistiserkosis sudah

    dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan serologis danatau pemeriksaan biopsi.

    Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immuno

    Sorbent Assay) dan atau Immunoblot Spesimen yang diperiksa berupa serum (darah

    vena yang diambil kurang lebih 5ml).

    Pada tersangka sistiserkosis yang menunjukkan respon positif terhadap obat

    sistiserkosis, membantu menegakkan diagnosis (dapat dianggap sebagai penderita

    sistiserkosis)11.

  • 24

    Neurosistiserkosis

    Dinyatakan tersangka neurosistusekosis apabila :

    a) Anamnesis

    1) Berasal dari / berdomisili didaerah endemis

    2) Gejala taeniasis ( )

    3) Riwayat mengeluarkan proglotid ( )

    4) Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya ( )

    5) Riwayat /gejala epilepsi ( +)

    6) Gejala peninggian tekanan intra kranial ( )

    7) Gejala neurologis lainnya ( )

    b) Pemeriksaan fisik

    Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih,

    Kelainan mata ( ocular cysticercosis ) dan kelainan lainnya yang disebabkan

    cysticercosis ( ),

    Kelainan neurologis ( ).

    c) Pemeriksaan Penunjang

    1) Pemeriksaan secara tinja makroskopis : proglotid (+)

    2) Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing Taenia sp ( + )

    3) Pemeriksaan darah tepi : Hb , leukosit ( leukositosis ), Eritrosit, hitung jenis

    (Eosinofilia), laju endap darah / LED ( meningkat ) dan gula darah

    4) Punksi lumbal : sel ( eosinofil meningkat 70 % ), Protein ( meningkat 100

    % ) glukosa ( menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah ) NaCI

    5) Pemeriksaan serologi ( ELISa dan atau Immunoblot ) : sistiserkosis (+)

    Spesimen yang diperiksa berupa cairan otak ( LCS ) kurang lebih sebanyak 2-

    3 cc.

    6) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang

    sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih baik lagi pemeriksaan CT Scan

    (Computerized tomography scanning) atau MRI (magnetic resonance

    imaging).

  • 25

    Paling sedikit gejala klinis yang harus ditemukan pada tersangka

    neurosistiserkosis adalah adanya riwayat epilepsi / gejala epilepsi dengan atau tanpa

    disertai sakit kepala yang berlangsung lebih dari dua minggu, serta mual dan / atau

    muntah pada orang yang berasal dari / berdomisili di daerah endemis.

    h. Pengobatan

    1. Pengobatan taeniasis

    Penderita Taeniasis diobati ( secara massal ) dengan Praziquantel , Dosis 100

    mg / kg , dosis tunggal. Cara pemberian obat praziquantel adalah sebagai berikut:

    a) Satu hari sebelum pemberian obat cacing, penderita dianjurkan untuk makan

    makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.

    b) Malam harinya setelah makan malam penderita menjalani puasa.

    c) Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong penderita diberi obat cacing. Dua

    sampai dua setengah jam kemudian diberikan garam Inggris (MgS O4) 7,5 gram

    untuk anak anak, sesuai dengan umur, yang dilarutkan dalam sirup (pemberian

    sekaligus). Penderita tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama. Setelah

    buang air besar , penderita diberi makan bubur.

    d) Sebagian kecil tinja dari buang air besar pertama dikumpulkan dalam botol yang

    berisi formalin 5-10 % untuk pemeriksaan telur Taenia sp.

    e) Proglotid dan skoleks dikumpulkan dan disimpan dalam botol yang berisi alkohol

    70 % untuk pemeriksaan morfologi yang sangat penting dalam identifikasi spesies

    cacing pita tersebut.

    f) Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil bila skoleks Taenia Sp. dapat ditemukan

    utuh bersama proglotid.

    2. Pengobatan sistiserkosis

    a) Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal /dibagi 3 dosis per oral

    selama 15 hari, atau

    b) Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral selama 7 hari

    Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun albendazole, reaksi dari tubuh dapat

    dikurangi dengan memberikan kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis

    tunggal / dibagi 3 dosis atau dexamethasone dengan dosis yang setara dengan

    prednison). Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah pengawasan

    petugas kesehatan atau dilakukan dirumah sakit.

  • 26

    3. Penderita /tersangka neurosistiserkosis dirujuk ke rumah sakit

    Pengobatan penderita neurosistiserkosis rumah sakit adalah sebagai berikut :

    a) Preziquantael dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis,

    diberikan per oral selama 15 hari, atau

    b) Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal/dibagi 3 dosis, per oral

    selama 30 hari.

    Untuk mengurangi reaksi dari tubuh diberikan dexamethasone (atau prednison

    dengan dosis yang setara dengan dexamethasone) selama 45 hari , diturunkan

    bertahap :

    1) 15 hari pertama diberikan 3x5 mg/hari, per oral

    2) 15 hari kedua diberikan 2x5 mg/hari, per oral

    3) 15 hari ketiga diberikan 1x5 mg/hari, per oral

    Obatobat lain yang diberikan adalah obat-obat simptomatik dan suportif.

    j. Pencegahan

    1. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taenasis

    2. Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan

    tidak mencemari tanah atau rumput.

    3. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan

    sehingga tidak dapat berkeliaran.

    4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging

    yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor

    dengan dinas Peternakan).

    5. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran

    tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak

    memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan

    Papua.

    6. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah

    matang atau mentah.

    7. Memasak daging sampai matang ( diatas 57 C dalam waktu cukup lama ) atau

    membekukan dibawah 10 selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima

    tetapi dapat pula tidak berjalan, karena perubahan yang bertentangan dengan adat

    istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil

    dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut11.

  • 27

    BAB III

    PENUTUP

    Infeksi kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit (berupa

    cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan dapat menimbulkan

    infeksi terutama adalah cacing Ascaris lumbricoides, cacing Trichuris trichiura, cacing

    Oxyuris vermicularis dan Cacing tambang yang termasuk dalam kelompok Soil-trnasmitted

    helminths dan cacing Taenia solium.

    Secara umum prognosa dari infeksi kecacingan ini adalah baik, jikalau anak tidak

    mendapatkan suatu komplikasi yang lain dan diobati secara tepat. Penyakit infeksi cacing

    sering diabaikan karena tidak selalu memberikan gejala klinis pada awal infeksi, namun

    dampak jangka panjangnya selalu merugikan. Untuk mencegah penularan dari infeksi cacing

    ini sendiri, diperlukan peran serta seluruh masyarakat untuk memutuskan rantai penularan

    cacing yaitu melalui pola hidup yang bersih dan sehat, menghilangkan kebiasaan

    menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk, juga menghindari kebiasaan memakan

    makanan yang kurang matang.

  • 28

    Daftar pustaka

    1. Wiwied S. Infeksi cacing pada anak. Majalah panasea 2009. Tersedia dari: URL:

    http://www.heqris.com/2009/08/infeksi-cacing-pada-anak-cacingan.html. [Diunduh

    1 Januari 2012]

    2. Ginting SA. Hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian cacingan

    pada anak sekolah dasar di desa suka kecamatn tiga panah, kabupaten karo,

    propinsi sumatra utara. 2002. Tersedia dari: URL:

    http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-sri%20alemina.pdf. [Diunduh 1 Januari

    2012]

    3. Sumanto D. Faktor resiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah. 2010.

    Tersedia dari: URL: http://eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf.

    [Diunduh 1 Januari 2012]

    4. Dewi S. Soil transmitted helmints. 2010. Tersedia dari: URL:

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16639/4/chapter%20II.pdf.

    [Diunduh 03 Januari 2012]

    5. Margono SS, Alisah S. Nematoda usus. Dalam: Gandahusada S, Ilahude H, Pribadi

    W. (Penyunting) Parasitologi kedokteran. Jakarta: Gaya baru; 2006: 8-37

    6. Dent AE, Kazura JW. Helminthic disease. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,

    Jenson HB, Stanton. (Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, 18th ed.

    Philadelphia: WB Saunders company; 2007. Part XVI section 16.

    7. Hkelek M. Nematode infections. Tersedia dari: URL:

    http://emedicine.medscape.com/article/224011-overview. (Updated: Dec 5, 2011).

    [Diunduh 03 Januari 2012]

    8. Anonim. Laboratory identification of parasites of public health concern. 2011.

    Parasite image library. Tersedia dari: URL:

    http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm. [Diunduh 16 januari

    2012]

    9. Siregar B. Definisi kecacingan. 2010. Tersedia dari: URL:

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16404/4/Chapter%20II.pdf.

    [Diunduh 6 Januari 2012]

    10. Yunus R. Keefektifan albendazole pemberian sekali sehari selama 1, 2 dan 3 hari

    dalam menanggulangi infeksi Trichuris trichiura pada anak sekolah dasar di

    kecamatan medan tembung. 2008. Tersedia dari: URL:

    http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6244. [Diunduh 10 Januari 2012]

  • 29

    11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk pemberantasan

    taeniasis/sistiserkosis di Indonesia. Tersedia dari: URL:

    www.depkes.go.id/downloads/Taeniasis.pdf. [Diunduh 10 Januari 2012]