Infeksi Bean common mosaic virus pada Umur Tanaman Kacang...

33
Volume 10, Nomor 6, Desember 2014 Halaman 181–187 DOI: 10.14692/jfi.10.6.181 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper Kampus Darmaga, Bogor 16680. Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-862362, Surel: [email protected] Infeksi Bean common mosaic virus pada Umur Tanaman Kacang Panjang yang Berbeda Infection of Bean common mosaic virus on Different Age of Yard Long Bean Hamdayanty, Tri Asmira Damayanti* Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 ABSTRAK Bean common mosaic virus (BCMV) merupakan salah satu virus penting yang menginfeksi kacang panjang karena menyebabkan produksi menurun dan bersifat tular benih. Penelitian bertujuan menentukan terjadinya infeksi BCMV pada umur tanaman berbeda terhadap efisiensi BCMV terbawa benih serta pengaruhnya pada pertumbuhan vegetatif dan produksi kacang panjang. Inokulasi BCMV dilakukan secara mekanis pada tanaman berumur 1, 2, 3, dan 4 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan terhadap periode inkubasi, insidensi dan keparahan penyakit, persentase BCMV terbawa benih, tinggi tanaman, dan produksi polong. Virus dideteksi dengan metode indirect ELISA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin muda tanaman terinfeksi BCMV, periode inkubasi semakin cepat, gejala penyakit semakin parah, pertumbuhan tanaman semakin terhambat, dan produksi polong semakin menurun. Keparahan penyakit pada tanaman yang diinokulasi pada umur 1, 2, 3, dan 4 MST berturut-turut 94.6, 83.8, 81.1, dan 69.6%. Infeksi BCMV pada umur tanaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap insidensi penyakit dan titer virus. Persentase BCMV terbawa benih berturut-turut sebesar 7, 66, 39, dan 24% pada umur tanaman 1, 2, 3, dan 4 MST. Infeksi BCMV pada tanaman umur 2 MST merupakan masa kritis tanaman menghasilkan benih yang membawa BCMV. Kata kunci: BCMV, Potyvirus, tular benih, umur tanaman ABSTRACT Bean common mosaic virus (BCMV) is one of the most important virus infecting yard long bean because it can decrease yield and seed transmitted. The aims of research were to determine the effect of plant age infected by BCMV on seed transmission efficiency of the virus, as well as its effect on plant growth. BCMV was mechanically inoculated on yard long bean at 1, 2, 3, and 4 weeks after planting (WAP). Observation was conducted for incubation period, disease incidence and severity, seed transmission efficiency of the virus, plant height, and productivity of the plants. Virus infection was detected using indirect ELISA method. The results showed that the earlier infection of BCMV occurred the shortest incubation period, the most severe symptoms, the highest inhibition of plant growth, and productivity. Disease severity was 94.6, 83.8, 81.1, and 69.6% on plants inoculated at 1, 2, 3, and 4 WAP, respectively. Disease incidence and virus titer was not affected by infection on different plant age. Seed transmission of BCMV was 7, 66, 39, and 24% on plants inoculated at 1, 2, 3, and 4 WAP, respectively. Infection on 2 WAP was considered the critical times for BCMV to be seed-borne on yard long bean. Key words: BCMV, plant age, Potyvirus, seed transmitted 181

Transcript of Infeksi Bean common mosaic virus pada Umur Tanaman Kacang...

Volume 10, Nomor 6, Desember 2014Halaman 181–187

DOI: 10.14692/jfi.10.6.181ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper Kampus Darmaga, Bogor 16680. Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-862362, Surel: [email protected]

Infeksi Bean common mosaic virus pada Umur Tanaman Kacang Panjang yang Berbeda

Infection of Bean common mosaic virus on Different Age of Yard Long Bean

Hamdayanty, Tri Asmira Damayanti*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Bean common mosaic virus (BCMV) merupakan salah satu virus penting yang menginfeksi kacang panjang karena menyebabkan produksi menurun dan bersifat tular benih. Penelitian bertujuan menentukan terjadinya infeksi BCMV pada umur tanaman berbeda terhadap efisiensi BCMV terbawa benih serta pengaruhnya pada pertumbuhan vegetatif dan produksi kacang panjang. Inokulasi BCMV dilakukan secara mekanis pada tanaman berumur 1, 2, 3, dan 4 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan terhadap periode inkubasi, insidensi dan keparahan penyakit, persentase BCMV terbawa benih, tinggi tanaman, dan produksi polong. Virus dideteksi dengan metode indirect ELISA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin muda tanaman terinfeksi BCMV, periode inkubasi semakin cepat, gejala penyakit semakin parah, pertumbuhan tanaman semakin terhambat, dan produksi polong semakin menurun. Keparahan penyakit pada tanaman yang diinokulasi pada umur 1, 2, 3, dan 4 MST berturut-turut 94.6, 83.8, 81.1, dan 69.6%. Infeksi BCMV pada umur tanaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap insidensi penyakit dan titer virus. Persentase BCMV terbawa benih berturut-turut sebesar 7, 66, 39, dan 24% pada umur tanaman 1, 2, 3, dan 4 MST. Infeksi BCMV pada tanaman umur 2 MST merupakan masa kritis tanaman menghasilkan benih yang membawa BCMV.

Kata kunci: BCMV, Potyvirus, tular benih, umur tanaman

ABSTRACT

Bean common mosaic virus (BCMV) is one of the most important virus infecting yard long bean because it can decrease yield and seed transmitted. The aims of research were to determine the effect of plant age infected by BCMV on seed transmission efficiency of the virus, as well as its effect on plant growth. BCMV was mechanically inoculated on yard long bean at 1, 2, 3, and 4 weeks after planting (WAP). Observation was conducted for incubation period, disease incidence and severity, seed transmission efficiency of the virus, plant height, and productivity of the plants. Virus infection was detected using indirect ELISA method. The results showed that the earlier infection of BCMV occurred the shortest incubation period, the most severe symptoms, the highest inhibition of plant growth, and productivity. Disease severity was 94.6, 83.8, 81.1, and 69.6% on plants inoculated at 1, 2, 3, and 4 WAP, respectively. Disease incidence and virus titer was not affected by infection on different plant age. Seed transmission of BCMV was 7, 66, 39, and 24% on plants inoculated at 1, 2, 3, and 4 WAP, respectively. Infection on 2 WAP was considered the critical times for BCMV to be seed-borne on yard long bean.

Key words: BCMV, plant age, Potyvirus, seed transmitted

181

J Fitopatol Indones Hamdayanty dan Damayanti

PENDAHULUAN

Bean common mosaic virus (BCMV) merupakan salah satu penyebab mosaik pada kacang panjang dan termasuk virus penting yang dapat menyebabkan penurunan produksi (Zheng et al. 2002). Infeksi BCMV menjadi salah satu penyebab penyakit mosaik kuning di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan insidensi penyakit mencapai 100% (Damayanti et al. 2009). Penyebab penting tersebarnya penyakit ini ialah sifat BCMV yang merupakan patogen tertular benih (Udayashankar et al. 2010).

Gejala infeksi BCMV pada tanaman kacang panjang berupa daun berwarna kuning terang, penebalan pada tulang daun, dan permukaan daun tidak rata akibat pertumbuhan urat daun tidak sebanding dengan pertumbuhan helaian daun (Zheng et al. 2002). Gejala infeksi BCMV yang lain berupa mosaik berupa lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, malformasi daun, daun menggulung, tanaman menjadi kerdil, dan polong serta biji yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat (Morales dan Castano 1987; Flores-Estévez et al. 2003; Udayashankar et al. 2010).

Tanaman yang terinfeksi virus pada umur tanaman yang berbeda akan menunjukkan respons yang berbeda. Semakin muda tanaman diinfeksi virus, insidensi penyakit semakin tinggi, periode inkubasi menjadi lebih singkat, dan distirbusi virus semakin cepat (Akhtar et al. 2004; Mandal et al. 2007). Belum banyak informasi terkait efisiensi BCMV terbawa benih kacang panjang, sedangkan insidensi penyakit mosaik kacang panjang akibat infeksi BCMV masih tinggi di lapangan. Tingginya insidensi BCMV di lapangan diduga disebabkan oleh tingginya BCMV terbawa benih. Oleh karena itu penelitian bertujuan menentukan pengaruh infeksi BCMV pada umur tanaman berbeda terhadap efisiensi BCMV terbawa benih serta pengaruhnya pada pertumbuhan vegetatif dan produksi kacang panjang.

BAHAN DAN METODE

Perbanyakan InokulumInokulum BCMV asal Cirebon diperbanyak

secara mekanis pada tanaman kacang panjang kultivar Parade umur 7 hari setelah tanam (HST). Cairan perasan dibuat dengan cara menggerus daun terinfeksi BCMV dalam bufer fosfat 0.01 M pH 7.0 yang mengandung merkaptoetanol 1% dengan perbandingan 1:5 (b/v). Permukaan daun yang akan diinokulasi virus sebelumnya ditabur dengan karborundum 600 mesh. Cairan perasan kemudian dioleskan pada permukaan atas daun. Karborundum yang masih menempel pada daun dibersihkan dengan air mengalir.

Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Uji

Benih kacang panjang yang digunakan ialah kultivar Parade. Lahan yang digunakan berupa lahan kering berukuran 100 m2 di daerah Darmaga, Bogor. Benih ditanam dengan jarak tanam 20 cm × 50 cm dan diberi pupuk kompos, urea, SP-36, dan KCl masing-masing dengan dosis 75 ton ha-1, 100 kg ha-1,100 kg ha-1, dan 200 kg ha-1. Pemantauan hama dan penyakit tanaman dilakukan setiap hari khususnya untuk hama Aphis craccivora yang merupakan vektor BCMV. Pengendalian A. craccivora secara mekanis dan kimiawi menggunakan insektisida berbahan aktif imidakloprid 5% dengan volume cairan semprot 725 L ha-1. Panen dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval panen 1 kali seminggu yang dimulai saat tanaman berumur 8 minggu setelah tanam (MST).

Perlakuan Inokulasi BCMV pada Umur Tanaman yang Berbeda

Empat perlakuan umur inokulasi tanaman kacang panjang yang diuji ialah 1, 2, 3, 4 MST dan perlakuan tanpa inokulasi virus sebagai kontrol tanaman sehat. Tiap perlakuan terdiri atas 3 petak sebagai ulangan dan masing-

182

J Fitopatol Indones Hamdayanty dan Damayanti

masing ulangan terdiri atas 20 tanaman. Petak diacak secara kelompok. Inokulasi BCMV dilakukan secara mekanis seperti pada tahap perbanyakan inokulum.

Peubah PengamatanPengamatan yang dilakukan meliputi

tinggi tanaman, periode inkubasi, tipe gejala, insidensi dan keparahan penyakit, titer BCMV, persentase BCMV terbawa benih, dan bobot polong. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 2 minggu sekali hingga 6 MST. Insidensi penyakit (IP) dihitung menggunakan rumus:

Keparahan penyakit dihitung setiap minggu dengan mengukur skor penyakit pada masing-masing tanaman uji. Kategori skor yang digunakan ialah 0, tidak bergejala; 1, gejala mosaik ringan; 2, gejala mosaik sedang; 3, gejala mosaik berat; 4, gejala mosaik berat dengan malformasi daun yang parah, kerdil, atau mati (Gambar 1). Nilai skor yang diukur kemudian dikonversi dalam nilai keparahan penyakit (KP) menggunakan rumus:

ni, jumlah tanaman dengan skor ke-i; vi, nilai skor penyakit; N, jumlah tanaman yang diamati; V, skor tertinggi.

Deteksi BCMV dari Tanaman dan BenihSampel daun dari tanaman hasil inokulasi

diambil pada 4 minggu setelah inokulasi (MSI) dan dideteksi untuk mengetahui perbedaan titer virus untuk masing-masing perlakuan waktu inokulasi yang berbeda.

Sebanyak 100 benih kacang panjang hasil panen tiap perlakuan inokulasi ditanam dalam baki berisi tanah steril sampai berumur 3 MST. Sampel tanaman dan sampel asal benih yang ditumbuhkan kemudian dideteksi menggunakan antiserum BCMV dengan metode indirect ELISA sesuai dengan protokol yang dibuat oleh produsen antiserum (Agdia).

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan ialah rancangan acak kelompok. Sebagai perlakuan ialah umur tanaman saat diinokulasi pada 1, 2, 3, 4 MST, dan kontrol. Data periode inkubasi, insidensi penyakit dan keparahan penyakit, tinggi tanaman, dan produksi polong kacang panjang dianalisis menggunakan ANOVA program SAS versi 9.0. Perlakuan yang memberikan pengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan pada taraf α 5%.

HASIL

Periode Inkubasi dan Tipe Gejala BCMVSemakin muda tanaman kacang panjang

terinfeksi BCMV, periode inkubasi semakin singkat (Tabel 1). Tanaman kacang panjang yang diinokulasi BCMV umur 1 MST memiliki periode inkubasi yang lebih singkat (8–9 HST) dibandingkan dengan perlakuan lain. Periode inkubasi BCMV pada tanaman yang diinokulasi BCMV umur 3 MST tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diinokulasi BCMV umur 2 dan 4 MST.

Tipe gejala infeksi BCMV berbeda berdasarkan waktu inokulasi (Tabel 1). Semakin cepat tanaman terinfeksi BCMV maka gejala yang muncul juga semakin parah.

Jumlah tanaman terinfeksiIP = × 100%Jumlah tanaman yang diinokulasi

Gambar 1 Skor keparahan penyakit berdasarkan gejala. a, skor 0; b, skor 1; c, skor 2; d, skor 3; dan e, skor 4.

a b c d e

KP = × 100%, dengan∑ (ni × vi)

N × V

183

J Fitopatol Indones Hamdayanty dan Damayanti

Gejala khas BCMV berupa penebalan tulang daun yang tampak pada tipe gejala mosaik berat. Beberapa tanaman juga menunjukkan adanya daun menguning pada saat tanaman memasuki fase pembungaan. Tanaman dengan gejala daun menguning juga menghasilkan polong dengan gejala mosaik dan malformasi polong (Gambar 2).

Insidensi dan Keparahan Penyakit serta Titer BCMV

Inokulasi BCMV pada tanaman umur 1–4 MST menunjukkan insidensi penyakit sebesar 100% (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa inokulasi BCMV pada umur tanaman kacang panjang yang berbeda tidak mem-berikan pengaruh terhadap tingkat insidensi penyakit BCMV di lapangan. Semakin muda tanaman diinokulasi BCMV menunjukkan ke-parahan penyakit tanaman semakin meningkat (Tabel 2). Keparahan penyakit tertinggi sampai terendah sesuai dengan umur tanaman saat diinokulasi.

Nilai absorbansi ELISA (NAE) merupakan gambaran kuantitatif virus yang menginfeksi tanaman. NAE dari setiap perlakuan (1, 2, 3, dan 4 MST) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 2).

BCMV Terbawa BenihPersentase BCMV terbawa benih yang

dipanen dari tanaman perlakuan menunjukkan bahwa dari masing-masing 100 benih yang diuji, BCMV terbawa benih sebesar 7, 66, 39, dan 24% berturut-turut untuk perlakuan inokulasi umur 1, 2, 3, dan 4 MST.

Pengaruh Infeksi BCMV terhadap Tinggi Tanaman dan Produksi Kacang Panjang

Inokulasi BCMV menghambat pertumbuh-an tanaman dan mengurangi produksi polong kacang panjang. Secara umum, semakin muda tanaman terinfeksi BCMV semakin terhambat tinggi tanaman. Efek infeksi BCMV terhadap tinggi tanaman telah terlihat pada saat tanaman berumur 4 MST khususnya pada tanaman yang diinokulasi BCMV umur 1 MST (Gambar 3).Semakin muda tanaman saat terinfeksi BCMV, produksi polong per ha juga semakin menurun. Penurunan produksi yang nyata terjadi saat tanaman kacang panjang terinfeksi BCMV pada umur 1 MST, yaitu sebesar 44.9% (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Periode inkubasi erat kaitannya dengan kemampuan virus menyebar dari tempat inokulasi ke bagian tanaman lainnya dan kemudian menunjukkan gejala. Virus mampu menyebar ke bagian tanaman yang masih muda dengan cepat karena tanaman muda belum memiliki sistem pertahanan yang kuat terhadap infeksi virus (Garcia-Ruiz dan Purphy 2001). Hal ini dapat menyebabkan semakin muda tanaman kacang panjang terinfeksi BCMV, periode inkubasi virus semakin cepat.

Gejala akibat infeksi BCMV yang paling parah adalah gejala mosaik dan vein banding. Munculnya gejala mosaik disebabkan adanya area yang terinfeksi dan tidak terinfeksi virus. Area yang terinfeksi virus biasanya berwarna hijau pucat karena hilangnya atau

Umur tanaman saat diinokulasi(MST)

Periode inkubasi*(HSI)

Tipe gejala**

1 8.22 ± 0.20 c MsR, MsB, MF, Kng, Kd2 13.75 ± 2.08 b MsR, MsB, MF, Kng3 15.12 ± 3.42 ab MsR, MsB4 17.38 ± 2.33 a MsR, MsBKontrol - Tidak ada gejala

Tabel 1 Periode inkubasi dan tipe gejala infeksi BCMV pada tanaman kacang panjang yang diinokulasi pada umur tanaman yang berbeda

*HSI: hari setelah inokulasi.**MsR, mosaik ringan; MsB, mosaik berat; MF, malformasi; Kng, kuning; Kd, Kerdil.MST, minggu setelah tanam.

184

J Fitopatol Indones Hamdayanty dan Damayanti

Waktu inokulasi(MST)

Insidensi penyakit* (%)

Keparahan penyakit* (%)

nilai absorbansi ELISA (NAE)

1 100 ± 0 a 94.58 ± 1.91 a 0.98 ± 0.01 a2 100 ± 0 a 83.75 ± 4.33 b 1.00 ± 0.09 a3 100 ± 0 a 87.08 ± 8.04 ab 1.09 ± 0.26 a4 100 ± 0 a 69.58 ± 6.41 c 1.01 ± 0.01 aKontrol 0 ± 0 b 0.00 ± 0.00 d 0.11 ± 0.03 b

Tabel 2 Insidensi penyakit, keparahan penyakit, dan nilai absorbansi ELISA hasil inokulasi BCMV pada umur tanaman kacang panjang yang berbeda

*Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf α 5%

Waktu inokulasi (minggu setelah tanam)

Produksi*(ton ha-1)

Penurunan produksi (%)

1 5.49 ± 0.32 b 44.92 8.15 ± 1.63 a 18.23 8.84 ± 1.54 a 11.34 9.39 ± 1.68 a 5.7Kontrol 9.96 ± 0.85 a 0

Tabel 3 Produksi kacang panjang yang diberi perlakuan inokulasi BCMV pada umur tanaman yang berbeda

*Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf α 5%

Gambar 3 Tinggi tanaman kacang panjang pada perlakuan waktu inokulasi BCMV yang berbeda. , tinggi tanaman 2 minggu setelah tanam (MST); , tinggi tanaman 4 MST;

, tinggi tanaman 6 MST. Notasi huruf yang sama menunjukkan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf kepercayaan 5%.

Waktu Inokulasi (MST)Kontrol1 2 3 4

300

250

200

150

100

50

0

a

b ab

a

a

a

a

a

a

a

a

a

a

b

ab

Ting

gi ta

nam

an (c

m)

Gambar 2 Gejala BCMV pada tanaman kacang panjang. a, penebalan tulang daun; b, daun menguning; c, mosaik dan malformasi polong.

a b c

185

J Fitopatol Indones Hamdayanty dan Damayanti

berkurangnya produksi klorofil. Persentase penurunan kandungan klorofil a, klorofil b,karotenoid, karbohidrat, protein, dan asam amino akibat infeksi Bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) pada Phaseolus vulgaris semakin meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Hemida 2005). Infeksi BCMV pada umur tanaman yang lebih muda dapat menyebabkan penurunan klorofil tanaman lebih awal dibandingkan dengan tanaman yang diinokulasi pada tanaman yang lebih tua. Pengurangan klorofil yang lebih awal dapat menyebabkan gejala mosaik yang muncul pada tanaman lebih parah sehingga meningkatkan keparahan penyakit pada tanaman. Keparahan yang lebih tinggi pada tanaman muda disebabkan karena tanaman belum memiliki ketahanan yang kuat terhadap infeksi virus (Wintermantel dan Kaffka 2006). Oleh karena itu semakin cepat tanaman terinfeksi maka keparahan penyakit juga semakin tinggi.

Tanaman buncis kultivar Dubbele Witte yang diinfeksi BCMV pada umur 10, 20, dan 30 HST menyebabkan BCMV terbawa benih berturut-turut sebesar 41.8, 2.8, dan 0.1% (Morales dan Castano 1987). Pada kasus BCMV yang menginfeksi kacang panjang dalam penelitian ini, persentase BCMV terbawa benih tertinggi pada tanaman yang diinokulasi BCMV umur 2 MST, bukan pada umur 1 MST, kemudian menurun hingga 4 MST. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi virus yang sama pada tanaman yang berbeda menyebabkan perbedaan masa rentan tanaman terinfeksi virus dan efisiensi terbawa benih.

Rendahnya BCMV terbawa benih pada tanaman yang diinokulasi 1 MST dibandingkan dengan 2 MST dapat disebabkan oleh pertumbuhan yang sangat terhambat pada tanaman yang diinokulasi umur 1 MST hinggamenyebabkan penghambatan pembentukan polong dan benih kacang panjang. Pem-bentukan benih yang terhambat menandakan proses pengangkutan nutrisi tanaman ke benih terhambat yang berarti pengangkutan virus ke benih juga terhambat. Persentase BCMV terbawa benih yang tinggi pada tanaman yang diinokulasi umur 2 MST menunjukkan

kemampuan virus terbawa pada benih yang sangat tinggi.

Benih kacang tunggak yang terinfeksi BCMV sebesar 10, 5, dan 3% dapat menyebabkan insidensi penyakit pada pertanaman selanjutnya sebesar 90, 53, dan 37% serta kehilangan hasil sebesar 74, 54, dan 36% (Udayashankar et al. 2010). Berdasarkan keparahan penyakit dan kehilangan hasil akibat BCMV terbawa benih ini diketahui bahwa BCMV terbawa benih memiliki peran yang sangat penting terhadap kehilangan hasil walaupun dalam persentase terbawa benih yang kecil. Tingginya persentase BCMV terbawa benih pada penelitian ini dapat menggambarkan tingginya keparahan penyakit yang akan timbul jika benih-benih tersebut ditanam.

Semakin cepat tanaman terinfeksi BCMV maka pertumbuhan tanaman semakin ter-hambat. Efek penghambatan tinggi tanaman terlihat ketika tanaman diinokulasi BCMV pada umur 1 MST. Pada umur 1 MST didugatanaman belum mempunyai sistem pertahanan yang cukup kuat untuk menghambat replikasi virus sehingga kemampuan virus untuk menghambat pertumbuhan tanaman juga semakin tinggi. Kacang panjang dari tanaman yang diinfeksi BCMV umur 1 MST menunjukkan penurunan produksi yang sangat tinggi. Tanaman yang terinfeksi virus dapat menjadi kerdil dan menghasilkan sedikit polong, masak lebih lambat dibandingkan dengan polong yang tidak terinfeksi. Infeksi virus pada tanaman yang muda akan meng-akibatkan kerugian hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan apabila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua (Udayashankar et al. 2010).

Infeksi BCMV pada umur tanaman yang berbeda berpengaruh pada periode inkubasi, keparahan penyakit, pertumbuhan tanaman, produksi, dan persentase BCMV terbawa benih. Secara umum, semakin muda tanaman terinfeksi BCMV akan menyebabkan periode inkubasi virus lebih singkat, keparahan penyakit lebih tinggi, dan pertumbuhan terhambat serta produksi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol

186

J Fitopatol Indones Hamdayanty dan Damayanti

atau infeksi BCMV pada umur tanaman yang lebih tua. Infeksi BCMV pada umur tanaman yang berbeda tidak berpengaruh nyata pada insidensi penyakit dan titer virus. Di antara umur tanaman yang berbeda saat terinfeksi BCMV, umur 2 MST merupakan masa kritis tanaman terhadap infeksi BCMV terbawa benih kacang panjang dibandingkan dengan inokulasi BCMV umur 1, 3, dan 4 MST.

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar AP, Hussain M, Khan AI, Haq MA, Iqbal MM. 2004. Influence of plant age, whitefly population and cultivar resistance on infection of cotton plants by Cotton leaf curl virus (CLCuV) in Pakistan. Field Crops Res. 86(1):15–21. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0378-4290-0(03)00166-7.

Damayanti TA, Alabi OJ, Naidu RA, Rauf N. 2009. Severe outbreak of a yellow mosaic disease on the yard long bean in Bogor, West Java. Hayati J Biosci. 16(2):78–82. DOI: http://dx.doi.org/10.4308/hjb.16.2.78.

Flores-Estévez N, Acosta-Gallegos JA, Silva-Rosales L. 2003. Bean common mosaic virus and Bean common mosaic necrosis virus in Mexico. Plant Dis. 87(1):21–25.D O I : h t t p : / / d x . d o i . o r g / 1 0 . 1 0 9 4 /PDIS.2003.87.1.21.

Garcia-Ruiz H, Purphy JH. 2001. Age-related resistance in bell pepper to Cucumber mosaic virus. Ann Appl Biol. 139(3):307–317. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1744-7348.2001.tb00144.x.

Hemida SK. 2005. Effect of Bean yellow mosaic virus on physiological parameters of Vicia faba and Phaseolus vulgaris. Int J Agric Biol. 7(2):154–157.

Mandal B, Wells ML, Martinez-Ochoa N, Csinos AS, Pappu HR. 2007. Symptom development and distribution of Tomato spotted wilt virus in flue-cured tobacco. Ann Appl Biol. 151(1):67–75. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1744-7348.2007.00153.x.

Morales FJ, Castano M. 1987. Seed transmission characteristics of selected BCMV strains in differential cultivars. Plant Dis. 71(1):51–53. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-71-0051.

Udayashankar AC, Nayaka SC, Kumar HB, Mortensen CN, Shetty HS, Prakash HS. 2010. Establishing inoculum threshold levels for Bean common mosaic virus strain Blackeye cowpea mosaic infection in cowpea seed. Afr J Biotech. 9(53):8958–8969. DOI: http://dx.doi.org/10.5897/AJB09.1066.

Wintermantel WM, Kaffka SR. 2006. Sugar beet performance with curly top is related to virus accumulation and age at infection. Plant Dis. 90(5):657–662. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-90-0657.

Zheng H, Chen J, Chen J, Adams MJ, Hou M. 2002. Bean common mosaic virus isolates causing different symptoms in asparagus bean in China differ greatly in the 5‘ parts of their genomes. Arch Virol. 147:1257–1262. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00705-002-0805-7.

187

Volume 10, Nomor 6, Desember 2014Halaman 188–194

DOI: 10.14692/jfi.10.6.188ISSN: 0215-7950

Integrasi Teknik Invigorasi Benih dengan Rizobakteri untuk Pengendalian Penyakit dan Peningkatan Hasil Tomat

Integration of Seed Invigoration with Rhizobacteria toControl Disease and Improve Yield of Tomato

Gusti Ayu Kade Sutariati, Abdul Madiki, Andi Khaeruni*Universitas Halu Oleo, Kendari 93232

ABSTRAK

Pengujian lapangan dilakukan untuk mengetahui perkembangan penyakit layu fusarium dan pertumbuhan tanaman tomat setelah perlakuan benih dengan teknik invigorasi yang dintegrasikan dengan rizobakteri. Perlakuan benih terdiri atas invigorasi dengan rizobakteri tunggal atau campuran, matriconditioning arang sekam padi atau serbuk, matriconditioning arang sekam padi atau serbuk yang diintegrasikan dengan rizobakteri tunggal atau campuran, hidrasi benih, dan fungisida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang paling efektif ialah integrasi matriconditioning arang sekam padi pada benih dengan rizobakteri Bacillus polymixa BG25. Perlakuan tersebut mampu meningkatkan jumlah dan bobot buah, berturut-turut 40% dan 166%, serta menekan perkembangan penyakit layu fusarium sebesar 70%. Oleh karena itu perlakuan tersebut dapat direkomendasikan sebagai perlakuan pra-tanam pada benih tomat untuk meningkatkan hasil panen dan mengendalikan penyakit layu fusarium di lapangan.

Kata kunci: arang sekam padi, Bacillus polymixa, layu fusarium

ABSTRACT

The effects of pre-planted seed invigoration treatment integrated with rhizobacteria were studied in an attempt to control fusarium wilt disease and to improve yield of tomato in the field. Seed treatments consisted of seed invigoration with single or mixture rhizobacteria, burned rice husk or sawdust seed matriconditioning, integrated seed matriconditioning with single or mixture rhizobacteria, seed hydration, and fungicide seed treatment. The result showed that the most effective treatment was the integration of rice hull charcoal seed matriconditioning with Bacillus polymixa BG25. The seed treatment increased total fruit and fruit weight by 40% and 166% , respectively. The treatment was also effective in suppressing disease incidence by 70%. Based on this experiment, rhizobacteria B. polymixa BG25 integrated with rice hull charcoal seed matriconditioning can be recommended as biocontrol agents in improving yield and controlling fusarium wilt disease of tomato.

Key words: Bacillus polymixa, fusarium wilt disease, rice hull charcoal

*Alamat penulis korespondensi: Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kampus Bumi Tridharma, Jalan HEA Mohodompit Anduonohu, Kendari 93232Tel: 0401-3193596, Faks: 0401-3193596, Surel: [email protected]

PENDAHULUAN

Tomat merupakan komoditas sayuran penting di Indonesia, karena tomat sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat sehari-

hari yang bernilai ekonomis tinggi. Kebutuhan masyarakat akan tomat di Sulawesi Tenggara belum diimbangi dengan produktivitas yang memadai. Produktivitas tomat di Sulawesi Tenggara masih sangat rendah yaitu,

188

J Fitopatol Indones Sutariati et al.

5 ton ha-1, sementara rata-rata produktivitas nasional mencapai 20 ton ha-1 (BPS 2004).

Keterbatasan benih unggul bermutu di lapangan dan insidensi penyakit layu masih merupakan kendala utama dalam peningkatan produktivitas tanaman tomat, sehingga masih memerlukan pengkajian lebih mendalam dan berkelanjutan untuk mendapatkan solusi pemecahan yang lebih baik. Gangguan penyakit menimbulkan efek yang jauh lebih luas jika patogen terbawa benih karena sumber penyebaran patogen sudah ada sejak awal pertumbuhan tanaman di lapangan. Oleh karena itu, benih harus dipersiapkan sebelum tanam dengan memberikan perlakuan benih yang dapat meningkatkan vigor benih, sekaligus mengendalikan penyakit sehingga produktivitas tanaman meningkat.

Perlakuan benih dengan mikroorganisme yang berasosiasi secara alami dan sinergis dengan tanaman inang merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Teknik pengendalian ini semakin populer karena meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan keamanan hayati dan kesehatan lingkungan sehubungan dengan fitotoksisitas akibat penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan. Rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman telah banyak dikembangkan dan dilaporkan efektif untuk mengendalikan berbagai penyakit tanaman. Rizobakteri dari kelompok Serratia sp J2, Pseudomonas fluorescens J3 dan Bacillus sp. BB11 memiliki kemampuan menghambat perkembangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum sebesar 66–74% (Guo et al. 2004). Aplikasi formulasi campuran rizobakteri B. subtilis ST21b, B. cereus ST21e, dan Serratia sp. SS29a efektif mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat (Khaeruni et. al. 2013) dan melindungi tanaman kedelai dari infeksi R. solani (Khaeruni et al. 2014). Penggunaan rizobakteri sebagai agens pengendalian hayati selain mempunyai potensi untuk melindungi tanaman selama siklus hidupnya, juga mampu menghasilkan hormon tumbuh, memfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat sehingga memberi

manfaat ganda bagi tanaman. Sejumlah isolat bakteri dari rizosfer tanaman cabai telah diteliti kemampuannya sebagai agens hayati dan pemacu pertumbuhan tanaman. Tiga isolat bakteri, yaitu B. polymixa BG25, S. liquefaciens SG01, dan P. fluorescens PG01 memiliki kemampuan meningkatkan vigor benih dan pertumbuhan tanaman cabai (Sutariati et al. 2006; Sutariati dan Wahab 2011), dan tanaman sorgum (Sutariati dan Khaeruni 2013) .

Penelitian ini bertujuan mendapatkan metode perlakuan benih melalui penggunaan teknik invigorasi benih dengan penambahan rizobakteri yang berperan sebagai biofertilizer dan biopestisida untuk mengendalikan penyakit dan meningkatkan hasil tanaman tomat.

BAHAN DAN METODE

Perbanyakan Isolat RizobakteriIsolat rizobakteri B. polymixa BG25

dan S. liquefaciens SG01 diperbanyak pada medium Tryptone soya agar (TSA), sedangkan P. fluorescens PG01 pada medium King’s B. Biakan murni yang berumur 48 jam disuspensikan dalam akuades steril sampai mencapai kerapatan populasi 109 cfu mL-1 (Sutariati et al. 2010).

Perlakuan Teknik Invigorasi dengan Penambahan Rizobakteri pada Benih

Percobaan lapangan disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 18 perlakuan benih yaitu, kontrol; hidrasi; fungisida; matriconditioning dengan serbuk arang sekam (Matrik MA); matriconditioning dengan serbuk gergaji (Matrik SG); Biopriming dengan B. polymixa BG25 (BG25); Biopriming dengan P. fluorescens PG01 (PG01); Biopriming dengan S. liquefaciens SG01 (SG01); Biopriming BG25 + PG01; Biopriming BG25 + SG01; Biopriming PG01 + SG01; Biopriming BG25 + PG01 + SG01; Biomatrik MA + BG25; Biomatrik SG + BG25; Biomatrik MA + PG01; Biomatrik SG + PG01; Biomatrik MA + SG01; Biomatrik SG + SG01. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 54 unit percobaan.

189

J Fitopatol Indones Sutariati et al.

Benih tomat terlebih dahulu didisinfeksi dengan natrium hipoklorit 5% selama 10 menit, dicuci 3 kali dengan air steril, dan dikeringanginkan dalam laminar air flow cabinet selama 1 jam. Perlakuan benih diuji pada suhu kamar mengikuti metode yang telah dilakukan sebelumnya (Sutariati dan Khaeruni 2013).

Benih tomat yang telah diberi perlakuan disemai dalam bak persemaian. Setelah berumur 4 minggu, bibit dipindahtanam dengan jarak tanam 50 cm × 60 cm dalam petakan-petakan percobaan seluas 5 m2. Pemupukan tanaman dengan N (100 kg ha-1) dilakukan 2 kali (1/3 dosis pada saat tanam dan 2/3 dosis saat tanaman berumur 4 minggu), sedangkan P (150 kg ha-1) dan K2O (100 kg ha-1) diberikan bersamaan waktu tanam.

Pengamatan pertumbuhan tanaman tomat menggunakan peubah tinggi tanaman dan jumlah cabang primer. Jumlah buah total, bobot buah total dan jumlah benih per buah diukur sebagai peubah hasil. Pengamatan terhadap kemampuan rizobakteri mengendalikan penyakit dilakukan dengan mengamati insidensi penyakit layu fusarium yang terjadi secara alami dengan rumus:

IP, insidensi penyakit; Y, jumlah tanaman terserang; N, jumlah tanaman yang diamati.

Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis keragaman pada taraf kepercayaan 95%. Uji nilai tengah dilakukan dengan uji Duncan.

HASIL

Tinggi TanamanSaat tanaman berumur 4 minggu setelah

tanam (MST), belum tampak secara nyata perbedaan pengaruh perlakuan invigorasi benih atau integrasinya dengan rizobakteri dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada benih yang mendapat perlakuan fungisida tampak adanya penghambatan pertumbuhan yang berbeda nyata dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Namun demikian, di antara 18 perlakuan benih yang diuji, rizobakteri

B. polymixa BG25 secara mandiri dan yang diintegrasikan dengan teknik invigorasi menggunakan matriconditioning serbuk arang sekam (Biomatrik serbuk arang sekam + BG25) dan rizobakteri P. fluorescens PG01 yang diintegrasikan dengan teknik invigorasi menggunakan matriconditioning serbuk gergaji (Biomatrik serbuk gergaji + PG01) memberikan tinggi tanaman yang baik walaupun tidak berbeda nyata dengan kontrol dan perlakuan benih lainnya (Tabel 1).

Jumlah Cabang PrimerAplikasi perlakuan benih menggunakan

rizobakteri atau rizobakteri yang diintegrasikan dengan teknik invigorasi berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang primer tanaman tomat. Pada pengamatan 4 MST di antara 18 perlakuan benih yang diuji, aplikasi B. polymixa BG25 yang dikombinasikan dengan P. fluorescens PG01 (biopriming), memberikan jumlah cabang primer lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah cabang primer terendah diperoleh pada kontrol dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada pengamatan 8 MST, perlakuan benih yang mampu memberikan jumlah cabang primer terbanyak ialah B. polymixa BG25 yang diintegrasikan dengan matrik serbuk arang sekam. Perlakuan ini berbeda nyata dengan kontrol, peningkatan jumlah cabang primernya mencapai 48% (Tabel 2).

Jumlah Buah Total, Bobot Buah Total, dan Jumlah Benih per Buah

Perlakuan benih menggunakan teknik invigorasi yang diintegrasikan dengan rizobakteri secara nyata meningkatkan hasil cabai dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3). Perlakuan benih dengan mengintegrasikan B. polymixa BG25 dan matriconditioning serbuk arang sekam ternyata mampu meningkatkan jumlah buah total tomat sampai 40% dibandingkan dengan kontrol. Integrasi B. polymixa BG25 dengan matriconditioning serbuk arang sekam juga mampu meningkatkan bobot buah total per tanaman. Bobot buah terendah diperoleh pada kontrol dan berbeda dengan perlakuan lainnya. Peningkatan bobot

IP = × 100 %, denganYN

190

J Fitopatol Indones Sutariati et al.

Perlakuan benih Jumlah cabang primer4 MST 8 MST

Kontrol 2.83 d 5.00 gHidrasi 3.58 dc 5.83 fgFungisida 3.92 b-d 5.92 fgMatrik Serbuk arang sekam (MA) 3.75 b-d 6.33 efMatrik Serbuk gergaji (MG) 4.33 a-c 6.67 d-fBiopriming BG25 4.75 a-c 7.33 deBiopriming PG01 4.33 a-c 6.92 d-fBiopriming SG01 4.58 a-c 7.25 deBiopriming BG25 + PG01 3.92 b-d 7.17 deBiopriming BG25 + SG01 4.75 a-c 7.92 b-dBiopriming PG01 + SG01 5.33 a 8.92 abBiopriming BG25 + PG01 + SG01 4.67 a-c 8.67 a-cBiomatrik BG25 + MA 4.83 a-c 9.33 aBiomatrik PG01 + MA 4.17 a-c 7.58 c-eBiomatrik SG01 + MA 4.33 a-c 7.92 b-dBiomatrik BG25 + MG 4.17 a-c 7.42 c-eBiomatrik PG01 + MG 4.92 ab 8.67 a-cBiomatrik SG01 + MG 4.58 a-c 7.75 b-d

Tabel 2 Jumlah cabang primer pada perlakuan teknik invigorasi benih yang diintegrasikan dengan rizobakteri

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT α 5%. MST, minggu setelah tanam; BG25, B. polymixa BG25; PG01, P. fluorescens PG01; SG01, S. liquefaciens SG01; MA, matriconditioning dengan serbuk arang sekam; MG, matriconditioning dengan serbuk gergaji.

Perlakuan benih Tinggi tanaman (cm)4 MST 8 MST

Kontrol 33.92 ab 82.53 fgHidrasi 33.78 ab 90.27 deFungisida 32.21 b 81.38 gMatrik Serbuk arang sekam (MA) 35.38 ab 88.79 d-fMatrik Serbuk gergaji (MG) 35.18 ab 87.28 e-gBiopriming BG25 39.61 a 100.68 a-cBiopriming PG01 37.05 ab 101.02 a-cBiopriming SG01 36.49 ab 104.31 abBiopriming BG25 + PG01 37.42 ab 100.56 a-cBiopriming BG25 + SG01 38.89 ab 103.35 abBiopriming PG01 + SG01 37.76 ab 94.95 cdBiopriming BG25 + PG01 + SG01 39.38 ab 99.43 bcBiomatrik BG25 + MA 40.49 a 106.72 abBiomatrik PG01 + MA 36.39 ab 100.06 bcBiomatrik SG01 + MA 36.42 ab 101.55 a-cBiomatrik BG25 + MG 36.75 ab 104.13 abBiomatrik PG01 + MG 40.67 a 107.99 aBiomatrik SG01 + MG 37.25 ab 99.47 bc

Tabel 1 Tinggi tanaman tomat pada perlakuan teknik invigorasi benih yang diintegrasikan dengan rizobakteri

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT α 5%. MST, minggu setelah tanam; BG25, B. polymixa BG25; PG01, P. fluorescens PG01; SG01, S. liquefaciens SG01; MA, matriconditioning dengan serbuk arang sekam; MG, matriconditioning dengan serbuk gergaji.

191

J Fitopatol Indones Sutariati et al.

buah total mencapai 166% dibandingkan dengan kontrol.

Aplikasi perlakuan benih juga berpengaruh secara nyata terhadap jumlah benih per buah. B. polymixa BG25 yang diintegrasikan dengan matriconditioning serbuk arang sekam atau P. fluorescens PG01 yang diintegrasikan dengan matriconditioning serbuk gergaji mampu meningkatkan jumlah benih per buah dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Peningkatan jumlah benih per buah mencapai 83–85% dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3).

Insidensi Penyakit Terjadi penurunan persentase insidensi

penyakit layu fusarium yang nyata pada benih yang mendapat perlakuan rizobakteri atau rizobakteri yang diintegrasikan dengan teknik invigorasi benih (Tabel 4). Ketiga rizobakteri yang digunakan (S. liquefaciens SG01, B. polymixa BG25, dan P. fluorescens PG01) baik secara mandiri maupun kombinasi dengan

teknik invigorasi benih (matriconditioning dengan serbuk arang sekam dan serbuk gergaji) secara nyata mampu menurunkan insidensi penyakit dibandingkan dengan kontrol.

Penurunan insidensi penyakit berkisar antara 87–96% dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teknik invigorasi benih yang diintegrasikan dengan rizobakteri melalui aplikasi pada benih ternyata lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan benih menggunakan fungisida (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ber-dasarkan pengukuran peubah pertumbuhan dan produksi, B. polymixa BG25 yang diin-tegrasikan dengan teknik invigorasi menggu-nakan matriconditioning serbuk arang sekam dan P. fluorescens PG01 yang diintegrasikan dengan teknik invigorasi menggunakan matri-conditioning serbuk gergaji memberikan hasil

Perlakuan benih Hasil tanaman tomatJBT BBT (g) JBN

Kontrol 21.08 e 1007.63 f 89.92 hHidrasi 25.75 d 1155.42 ef 112.75 fFungisida 26.58 b-d 1315.47 de 98.33 gMatrik Serbuk arang sekam (MA) 28.67 a-d 1511.50 d 111.00 fMatrik Serbuk gergaji (MG) 28.92 a-d 2076.75 c 114.50 fBiopriming BG25 28.58 a-d 2520.92 ab 126.25 cBiopriming PG01 26.08 cd 2259.83 b 117.33 efBiopriming SG01 28.00 a-d 2492.33 ab 127.50 cdBiopriming BG25 + PG01 27.83 a-d 2437.33 ab 122.67 deBiopriming BG25 + SG01 28.25 a-d 2546.00 ab 127.92 cdBiopriming PG01 + SG01 29.42 ab 2471.08 ab 138.25 bBiopriming BG25 + PG01 + SG01 28.67 a-d 2423.92 ab 137.83 bBiomatrik BG25 + MA 29.83 a 2681.00 a 166.67 aBiomatrik PG01 + MA 26.58 b-d 2320.83 bc 130.25 b-dBiomatrik SG01 + MA 29.08 a-c 2501.33 ab 134.00 bcBiomatrik BG25 + MG 26.50 b-d 2366.42 a-c 136.58 bBiomatrik PG01 + MG 28.83 a-d 2504.17 ab 163.17 aBiomatrik SG01 + MG 26.42 b-d 2322.08 bc 138.00 b

Tabel 3 Jumlah buah total, bobot buah total, dan jumlah benih per buah pada perlakuan teknik invigorasi benih yang diintegrasikan dengan rizobakteri

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT α 5%. JBT, jumlah buah total; BBT, bobot buah total; JBN, jumlah benih per buah; BG25, B. polymixa BG25; PG01, P. fluorescens PG01; SG01, S. liquefaciens SG01; MA, matriconditioning dengan serbuk arang sekam; MG, matriconditioning dengan serbuk gergaji

192

J Fitopatol Indones Sutariati et al.

Perlakuan benih Insidensi penyakit (%)Kontrol 20.24 aHidrasi 20.24 aFungisida 17.86 abMatrik Serbuk arang sekam (MA) 11.90 a-dMatrik Serbuk gergaji (MG) 14.29 a-cBiopriming BG25 4.76 fBiopriming PG01 7.14 c-fBiopriming SG01 9.52 b-fBiopriming BG25 + PG01 10.71 b-eBiopriming BG25 + SG01 5.95 efBiopriming PG01 + SG01 13.10 a-dBiopriming BG25 + PG01 + SG01 7.14 c-fBiomatrik BG25 + MA 5.95 efBiomatrik PG01 + MA 9.52 b-fBiomatrik SG01 + MA 13.10 a-dBiomatrik BG25 + MG 10.71 b-eBiomatrik PG01 + MG 5.95 efBiomatrik SG01 + MG 10.71 b-e

Tabel 4 Insidensi penyakit layu fusarium pada tomat pada perlakuan teknik invigorasi benih yang diintegrasikan dengan rizobakteri

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT α 5%. BG25, B. polymixa BG25; PG01, P. fluorescens PG01; SG01, S. liquefaciens SG01; MA, matriconditioning dengan serbuk arang sekam; MG, matriconditioning dengan serbuk gergaji.

yang terbaik. B. polymixa dan P. fluorescens adalah kelompok rizobakteri pemacu pertum-buhan tanaman yang efektif meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Peranan B. polymixa dan P. fluorescens sebagai pemacu pertumbuhan diduga berkaitan dengan ke-mampuanya melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen, memproduksi auksin (IAA) dan si-tokinin (Sutariati et al. 2012).

Aplikasi seed matriconditioning sebagai media inokulasi rizobakteri pada benih juga memberikan peran positif yang tidak dapat diabaikan. Seed conditioning bertujuan untuk mempercepat dan menyeragamkan pertumbuhan serta meningkatkan persentase pemunculan kecambah dan bibit. Prinsipnya ialah memobilisasi sumber daya yang dimiliki benih (internal) ditambah sumberdaya dari luar (eksternal) untuk memaksimalkan perbaikan pertumbuhan dan hasil tanaman. Seed conditioning merupakan perbaikan fisiologis dan biokimiawi yang berhubungan dengan kecepatan dan keserempakan, perbaikan dan peningkatan potensi perkecambahan dalam benih selama penundaan perkecambahan

oleh media potensial matrik rendah (matriconditioning) atau oleh media berpotensial osmotik rendah (priming atau osmoconditioning), dan terbukti efektif meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Ilyas 2006). Penggunaan teknologi invigorasi benih ditambah rizobakteri juga mampu melindungi benih yang ditanam dari infeksi cendawan patogen tular benih dan tular tanah (Silva et al. 2004).

Selain berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan, rizobakteri juga efektif mengendalikan penyakit layu fusarium pada tomat. Kemampuan bakteri rizosfer sebagai agens hayati patogen berhubungan dengan kemampuannya secara langsung memproduksi metabolit sekunder seperti siderofor, HCN, enzim ekstrasel dan senyawa antibiotik atau secara tidak langsung dengan menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Kazempour 2004; Kim et al. 2008). Indikator adanya induksi resistensi tanaman terhadap infeksi patogen yang disebabkan oleh perlakuan rizobakteri telah dilaporkan sebelumnya, antara lain terjadi

193

J Fitopatol Indones Sutariati et al.

peningkatan aktivitas enzim peroksidase, fenilalanin amonia-liase dan polifenol oksidase serta produksi senyawa fitoaleksin (Silva et al. 2004; Hoerussalam et al. 2013). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan teknik invigorasi benih yang diintegrasikan dengan rizobakteri selain mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman, juga mampu melindungi tanaman dari infeksi cendawan patogen bahkan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan fungisida.

Penerapan rizobakteri dalam budi daya tanaman dapat digunakan sebagai teknologi alternatif yang berperan ganda sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan pengendali penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa integrasi teknik biomatriconditioning arang sekam padi dengan rizobakteri dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman tomat, dan menurunkan insidensi penyakit layu fusarium yang merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman tomat.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Survei Pertanian: Produksi Tanaman Sayuran dan Buah-Buahan Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.

Guo JH, Hong YQ, Guo YH, Gong LY, Zhang LX, Sun PH. 2004. Plant growth promoting activities of rhizobacteria associates with tomato in semi-arid region. Biol Control. 29(1):66–73. DOI: http://dx.doi.org/1016/s 1049-9644(03)00124-5.

Hoerussalam, Purwantoro A, Khaeruni A. 2013. Induksi ketahanan tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap penyakit bulai melalui seed treatment serta pewarisannya pada generasi S1. J Ilmu Pert. 16(2):42–59.

Ilyas S. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul Agron. 34(2):124–132.

Kazempour MN. 2004. Biological control of Rhizoctonia solani, the causal agent of rice sheath blight by antagonistics bacteria in greenhouse and field conditions. Plant Pathol J. 3(1):88–96.

Khaeruni A, Wahab A, Taufik M, dan Sutariati GAK. 2013. Keefektifan Waktu Aplikasi Formulasi Rizobakteri Indigenos untuk Mengendalikan Layu Fusarium dan Meningkatkan Hasil Tanaman Tomat di Tanah Ultisol. J Hort. 23(4):365–371.

Khaeruni A, Asniah, Taufik M, Sutariati GAK. 2014. Aplikasi formulasi rizobakteri untuk pengendalian penyakit busuk akar rhizoctonia dan peningkatan hasil kedelai di tanah ultisol. J Fitopatol Indones. 10(2): 37–44. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.10.2.37.

Kim YC, Jung H, Kim KY, Park SK. 2008. An effective biocontrol bioformulation against Phytophthora blight of pepper using growth mixtures of combined chitinolytic bacteria under different field conditions. Eur J Plant Pathol. 120:373–382. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10658-007-9227-4.

Silva HSA, Romeiro RSR, Macagnan D, Vieira BAH, Pereira MCB, Mounteer A. 2004. Rhizobacterial induction of systemic resistance in tomato plants: non-specific protection and increase in enzyme activities. Biol Control. 29(3):288–295. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S1049-9644(03)00163-4.

Sutariati GAK, Khaeruni A. 2013. Seed biomatriconditioning using rhizobacteria for growth promotion and increase the yield of sorghum (Sorghum bicolour (L.) Moench) on marginal soil. Agric Sci Res J. 3(3):85–92.

Sutariati GAK, Safuan LO, Wahab A. 2012 Karakter Fisiologis dan Kemangkusan Rizobakteri Indigenus Sulawesi Tenggara sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman Cabai. J Hort. 22(1):57–64.

Sutariati GAK, Wahab A. 2011. Karakter fisiologi dan kemangkusan rizobakteri indigenus Sulawesi Tenggara sebagai pemacu pertumbuhan tanaman cabai. J Hort. 22(1):57–64.

Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S. 2006. Pengaruh perlakuan Plant Growth Promoting Rhizobacteria terhadap pertumbuhan bibit tanaman cabai. Bul Agron. 34(1):46–54.

194

Volume 10, Nomor 6, Desember 2014Halaman 195–201

DOI: 10.14692/jfi.10.6.195ISSN: 0215-7950

Keparahan Penyakit Daun Keriting Kuning dan Pertumbuhan Populasi Kutukebul pada Beberapa Genotipe Cabai

Intensity of Yellow Leaf Curl Disease and Population Growth of Whitefly on Chili Pepper Genotypes

Nissa Fawwaz Adilah, Sri Hendrastuti Hidayat*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Insidensi penyakit daun keriting kuning selalu ditemukan pada pertanaman cabai di Indonesia dan menjadi kendala produksi yang utama. Penyakit yang disebabkan oleh Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV) tersebut ditularkan oleh serangga vektor, yaitu kutukebul (Bemisia tabaci). Penelitian dilakukan untuk menentukan respons 6 genotipe tanaman cabai [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2] terhadap infeksi PYLCV dan mempelajari pertumbuhan populasi serangga vektor kutukebul pada masing-masing genotipe tersebut. Penularan PYLCV pada tanaman uji dilakukan menggunakan serangga vektor kutukebul. Kutukebul dipelihara pada 6 genotipe cabai untuk diamati pertumbuhannya. Evaluasi respons 6 genotipe cabai terhadap PYLCV menunjukkan bahwa genotipe IPBC12 tergolong genotipe tahan dengan keparahan berkisar antara 0–9.2% dan gejala yang ringan. Genotipe Rimbun, Meteor, Tornado, F1(12X14), dan 35C2 tergolong genotipe rentan dengan keparahan penyakit >20% dan gejala yang berat. Respons ketahanan genotipe IPBC12 dapat dihubungkan dengan perkembangan kutukebul pada genotipe tersebut. Jumlah telur kutukebul dan persentase keberhasilannya menjadi imago pada IPBC12 relatif lebih rendah dibandingkan dengan 5 genotipe lainnya. Genotipe IPBC12 dapat digunakan sebagai tetua sumber ketahanan pada perakitan varietas tahan PYLCV.

Kata kunci: Bemisia tabaci, ketahanan tanaman, insidensi penyakit, serangga vektor

ABSTRACT

Incidence of yellow leaf curl disease on chili pepper is very common in Indonesia and becomes major production constrain. The causal agent, Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV), is only transmitted by insect vector, i.e. whitefly (Bemisia tabaci). Research was conducted to determine response of 6 chili pepper genotypes [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, and 35C2] against infection of PYLCV and population growth of whitefly on each genotypes. Transmission of PYLCV to chili pepper genotypes was done using whitefly. Whitefly was maintained on each chili pepper genotypes to evaluate its population growth. Genotype IPBC12 was resistant to PYLCV having disease severity 0–9.2% and showed mild symptom. Genotypes Rimbun, Meteor, Tornado, F1(12X14), and 35C2 were susceptible having disease severity >20% and showed severe symptom. Resistance of IPBC12 might be correlated with the growth of whitefly on the genotype. The amount of whitefly eggs and its successful rate to become adult was relatively lower in IPBC12 than those in other genotypes. Genotype IPBC12 might be considered as resistance source in developing resistant variety of chili pepper to PYLCV.

Key words: Bemisia tabaci, disease incidence, insect vector, plant resistance

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

195

J Fitopatol Indones Adilah dan Hidayat

PENDAHULUAN

Sejak musim tanam 2003 peningkatan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai dilaporkan di beberapa daerah penanaman cabai di Indonesia, terutama di Jawa Tengah. Luas serangan penyakit mencapai 100% dengan keparahan penyakit yang cukup tinggi. Penyakit daun keriting kuning cabai tersebut disebabkan oleh Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV) yang termasuk genus Begomovirus (Tsai et al. 2006). Peningkatan keparahan penyakit pada cabai rawit dan cabai besar didaerah Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul dilaporkan mencapai 50–100%. Gejala utama yang ditimbulkan ialah perubahan warna daun menjadi warna kuning yang sangat jelas, penebalan tulang daun, dan penggulungan daun. Infeksi lanjut menyebabkan daun-daun mengecil dan ber-warna kuning terang, serta tanaman menjadi kerdil (Sulandari et al. 2006; Trisno et al. 2009).

Penyakit daun keriting kuning cabai ditularkan oleh serangga vektor, yaitu kutukebul (Bemisia tabaci) yang populasinya sangat melimpah saat musim kemarau yang sangat panjang (de Barro et al. 2008). Jumlah kutukebul pada saat penularan mempengaruhi tingginya insidensi penyakit dan masa inkubasi virus. Kepadatan populasi kutukebul pada suatu pertanaman bergantung pada kemampuan peletakan telur imago dan aktivitas makan. Peletakan telur dan aktivitas makan dipengaruhi oleh karakteristik dan morfologi daun seperti bentuk daun, warna daun, trikoma pada daun, dan senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder (Lapidot et al. 2001; Ganefianti et al. 2008; Faizah et al. 2012). Pertumbuhan populasi kutukebul yang cepat pada suatu varietas cabai dapat menjadi sumber penyebaran virus yang potensial.

Penelitian bertujuan menentukan respons genotipe cabai terhadap infeksi PYLCV dan ke-mampuannya dalam mendukung pertumbuhan populasi serangga kutukebul. Genotipe yang memperlihatkan respons ketahanan dapat digunakan sebagai bahan tetua (plasma nutfah) dalam perakitan varietas tahan penyakit.

BAHAN DAN METODE

Perbanyakan Serangga Vektor dan Inokulum Virus

Imago kutukebul dan sumber inokulum virus isolat PYLCV berasal dari koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kutukebul diperbanyak pada tanaman kapas dalam kurungan kasa kedap serangga dan PYLCV dipelihara di rumah kaca pada tanaman tomat. Perbanyakan virus pada tanaman tomat dilakukan melalui penularan dengan kutukebul. Kutukebul diberi periode makan akuisisi pada tanaman cabai sumber inokulum awal selama 24 jam, kemudian dipindahkan ke tanaman tomat sehat yang berumur 6 minggu setelah tanam sebanyak 10 ekor per tanaman dan dibiarkan selama 24 jam.Tanaman tomat dipelihara untuk digunakan sebagai sumber inokulum pada uji ketahanan genotipe cabai.

Uji Respons Genotipe Cabai terhadap Infeksi PYLCV

Genotipe cabai yang diuji terdiri atas 3 galur cabai berasal dari Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, yaitu IPBC12, 35C2, dan F1(12X14), dan 3 varietas cabai komersial, yaitu varietas Tornado, Rimbun, dan Meteor. Benih-benih cabai disemai pada medium semai komersial berupa campuran pupuk kandang, kompos, dan sekam. Bibit yang tumbuh dipelihara hingga berdaun 3–4 helai atau berumur 3–5 minggu setelah semai. Bibit kemudian dipindah ke pot kantung plastik berukuran 30 cm × 35 cm yang telah diisi campuran tanah steril dan pupuk kandang (2:1 b/b) sebanyak 5 kg.

Penularan virus dengan kutukebul di-lakukan seperti pada tahap perbanyakan inokulum virus dengan periode makan akuisisi 24 jam, periode makan inokulasi 24 jam, dan jumlah serangga 15 ekor pertanaman. Semua serangga yang digunakan dimatikan setelah periode makan inokulasi.

Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap dengan 6 genotipe cabai [IPBC12,

196

J Fitopatol Indones Adilah dan Hidayat

35C2, F1(12X14), Tornado, Rimbun, Meteor] sebagai perlakuan. Setiap perlakuan diulang 3 kali dengan 10 tanaman untuk setiap ulangan sehingga jumlah total tanaman pada setiap perlakuan 30 tanaman. Peubah yang diamati meliputi periode inkubasi, gejala, keparahan dan insidensi penyakit. Periode inkubasi ditentukan pada saat gejala pertama muncul. Insidensi penyakit dihitung pada minggu terakhir pengamatan menggunakan rumus sebagai berikut:

IP, insidensi penyakit; n, jumlah tanaman yang sakit; N, jumlah seluruh tanaman.

Keparahan penyakit dihitung dengan melakukan skoring terhadap gejala penyakit setiap minggunya berdasarkan kriteria tertentu (Tabel 1). Pengelompokkan respons ketahanan genotipe cabai dilakukan menggunakan kriteria ketahanan Ganefianti et al. (2008) (Tabel 2).

Uji Pertumbuhan Populasi Serangga Vektor pada Beberapa Genotipe Cabai

Uji populasi kutukebul diawali dengan menyiapkan satu tanaman cabai berumur 3 bulan dari masing-masing genotipe uji [IPBC12, 35C2, F1(12X14), Tornado, Rimbun, Meteor], kemudian 10 ekor imago kutukebul dipindahkan ke tanaman cabai per kurungan. Sebelumnya pada tanaman dipasang kurungan silinder yang terbuat dari plastik

mika yang bagian atasnya ditutup dengan kain kasa. Di bagian tengah plastik mika terdapat lubang yang berfungsi untuk memasukkan imago serangga. Kurungan silinder dipasang pada tangkai daun, masing-masing tanaman dipasang 3 kurungan. Setelah 48 jam, imago tersebut dikeluarkan dari kurungan, kemudian dilakukan pengamatan jumlah telur yang diletakkan oleh serangga. Pengamatan dilanjutkan setiap minggu setelah stadium telur selama 4 minggu untuk menghitung jumlah serangga pada stadium berikutnya.

HASIL

Respons Genotipe Cabai terhadap Infeksi PYLCV

Infeksi PYLCVpada 6 genotipe cabai yang diuji menunjukkan gejala berupa penguningan tulang daun dan sebagian lamina daun, serta daun melengkung ke bawah. Periode inkubasi PYLCV pada genotipe Rimbun, Meteor, Tornado, 35C2, dan F1(12X14) berkisar antara 6 dan 15 hari dengan insidensi penyakit berkisar antara 80.0% dan 96.7%. Insidensi penyakit lebih rendah dijumpai pada genotipe IPBC12 dengan periode inkubasi yang lebih panjang (Tabel 3).

Perkembangan penyakit setiap minggu diamati dengan mengukur keparahan penyakit pada 1–7 minggu setelah inokulasi. Keparahan penyakit meningkat setiap minggunya sampai dengan minggu ke-4 setelah inokulasi pada

Skor Gejala0 Tidak bergejala1 Tulang daun memucat, terlihat bercak kuning pada daun2 Seluruh tulang daun menguning, sebagian besar lamina daun menguning, daun keriting 3 Sebagian besar lamina daun menguning, daun keriting dan kecil4 Seluruh atau sebagian besar daun pada tanaman menguning, daun keriting, kecil, dan

tanaman kerdil.

Tabel 1 Kriteria gejala infeksi Begomovirus untuk menentukan skor keparahan penyakit

Respons Gejala Keparahan Penyakit (KP)Tahan Ringan 1% < KP ≤ 10%Agak rentan Sedang 10% < KP ≤ 20%Rentan Berat 20% < KP ≤ 40%Sangat rentan Sangat berat KP > 40%

Tabel 2 Kriteria ketahanan tanaman terhadap infeksi Begomovirus

IP = nN × 100% ,dengan

197

J Fitopatol Indones Adilah dan Hidayat

genotipe cabai IPBC12, 35C2,F1(12X14), Rimbun, dan Meteor, kemudian keparahan menurun sampai minggu ke-7. Berbeda dengan genotipe lainnya, keparahan penyakit pada varietas Tornado selalu meningkat setiap minggunya sampai pada pengamatan minggu terakhir. Keparahan penyakit tertinggi terjadi pada genotipe 35C2 (30.8%), sedangkan keparahan penyakit terendah terjadi pada genotipe IPBC 12 (9.2%) (Tabel 4). Respons 6 genotipe cabai tersebut dapat dikelompokkan menjadi genotipe rentan [Rimbun, Meteor, Tornado, F1(12X14), dan 35C2] dan genotipe tahan (IPBC12) berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit.

Perkembangan Kutukebul pada Beberapa Genotipe Cabai

Hasil pengamatan populasi kutukebul pada beberapa genotipe tanaman cabai menunjukkan perbedaan jumlah individu serangga pada tiap stadium. Jumlah telur terbanyak diperoleh pada genotipe 35C2, yaitu 74 telur dan paling sedikit pada genotipe Meteor, yaitu 51 telur (Tabel 5). Keberhasilan telur menjadi nimfa instar awal cukup tinggi, yaitu berkisar antara 74.5% dan 90.5%, tetapi keberhasilan nimfa instar awal menjadi nimfa instar akhir mengalami penurunan (44.9–71.4%). Persentase keberhasilan pupamenjadi imago bervariasi antara 64% dan 80 % (Tabel 6).

Genotipe Insidensi penyakit(%)

Periode inkubasi (hari)Kisaran Rata-rata Modus*

35C2 96.7 ± 5.8 a 6–15 7.4 7Rimbun 93.3 ± 11.6 a 7–15 9.6 7Meteor 90.0 ± 10.0 a 7–15 9.3 7Tornado 86.7 ± 15.3 a 7–15 9.4 7F1(12x14) 80.0 ± 20.0 a 7–15 9.9 7IPBC12 30.0 ± 10.0 b 9–15 13.0 13

Tabel 3 Rata-rata insidensi penyakit dan periode inkubasi Pepper yellow leaf curl virus pada6 genotipe cabai

*Modus menunjukkan hari terbanyak munculnya gejala pertama.Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan dengan taraf 5 %

Genotipe Keparahan penyakit (%)* Respons genotipe35C2 10.0–30.8 RentanRimbun 10.0–25.0 RentanMeteor 10.8–27.5 RentanTornado 8.3–29.7 RentanF1(12x14) 9.2–24.2 RentanIPBC12 0.0–9.2 Tahan

Tabel 4 Kisaran keparahan penyakit dan respons 6 genotipe cabai terhadap infeksi Pepper yellow leaf curl virus

*Kisaran keparahan penyakit diamati dari minggu ke-1 sampai dengan ke-7 setelah inokulasi

Genotipe Jumlah serangga pada tiap stadiumTelur Nimfa instar awal Nimfa instar akhir Pupa Imago

35C2 74 63 45 34 21Rimbun 63 57 36 25 16Meteor 51 44 24 15 12Tornado 55 41 19 11 8F1(12x14) 60 47 27 16 11IPBC12 58 49 22 15 10

Tabel 5 Perkembangan populasi kutukebul Bemisia tabaci pada beberapa genotipe cabai

198

J Fitopatol Indones Adilah dan Hidayat

PEMBAHASAN

Varietas tahan Begomovirus telah ditemukan pada tanaman tomat dan kacang buncis, tetapi belum banyak informasi mengenai genotipe cabai yang tahan terhadap Begomovirus. Varietas komersial tomat pertama dengan ketahanan terhadap Begomovirus ialah varietas TY20. Tomat galur H24 dengan ketahanan terhadap Tomato yellow leaf curl virus galur Taiwan dan India Selatan telah dilepas sebagai varietas komersial (Hanson et al. 2000). Galur kacang buncis A429 diketahui memiliki ketahanan terhadap Bean golden yellow mosaic virus yang ditunjukkan dengan gejala yang lemah ketika terinfeksi (Singh et al. 2000). Evaluasi yang dilakukan Ganefianti et al. (2008) menggunakan 27 genotipe cabai menunjukkan bahwa IPBC12 tahan terhadap Begomovirus dengan keparahan penyakit < 5%. Pengujian respons 6 genotipe cabai pada penelitian ini mendapatkan hasil yang sama, yaitu keparahan penyakit 9.2% untuk IPBC12.

Terdapat 2 jenis mekanisme ketahanan yang dimiliki oleh tumbuhan terhadap penyebab penyakit, yaitu ketahanan struktural dan ketahanan biokimia (Lapidot et al. 2001; Faizah et al. 2012). Ketahanan struktural merupakan sifat-sifat struktural tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan penghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam tumbuhan, sedangkan ketahanan biokimia merupakan reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan

patogen pada tumbuhan tersebut. Mekanisme ketahanan pada genotipe IPBC12 dapat berkaitan dengan struktur morfologi daun dan kemampuan tanaman menghasilkan senyawa inhibitor.Struktur morfologi daun dapat berperan pada kasus infeksi PYLCV melalui serangga vektor. Jumlah, panjang, dan tipe trikoma pada daun dapat mempengaruhi kepadatan populasi kutukebul pada tanaman dan juga berpengaruh terhadap peletakan telur oleh kutukebul pada tanaman. Jumlah telur yang diletakkan pada daun dengan trikoma yang padat dan rapat cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah telur pada daun dengan jumlah trikoma sedikit dan tidak rapat (Suharsono 2006). Ganefianti (2010) melakukan pengamatan terhadap trikoma tanaman cabai genotipe IPBC12 dan 35C2 yang hasilnya menunjukkan bahwa trikoma genotipe IPBC12 lebih banyak dan rapat dibandingkan dengan trikoma pada genotipe 35C2. Hal tersebut dapat menjelaskan jumlah telur pada IPBC12 lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah telur pada genotipe 35C2.

Berbagai faktor berpengaruh terhadap perkembangan serangga sejak stadium telur sampai menjadi imago. Salah satu faktor yang paling berpengaruh ialah aktivitas makan yang dilakukan serangga pada stadium nimfa dan setelah serangga menjadi imago. Aktivitas makan oleh instar awal akan menunjang perkembangannya menjadi instar akhir dan aktivitas makan pada instar akhir untuk berkembang menjadi pupa. Serangga kutukebul menghisap cairan tanaman dengan menusukkan stiletnya. Cairan tanaman yang dihisap merupakan nutrisi bagi kutukebul

Genotipe Nilai keberhasilan perkembangan (%)Tia* IaIb IbP PI

35C2 85.1 71.4 75.6 75.0Rimbun 90.5 63.2 69.4 64.0Meteor 86.3 54.5 62.5 80.0Tornado 74.5 46.3 57.9 72.7F1(12x14) 78.3 57.4 59.3 68.8IPBC12 84.5 44.9 68.2 66.7

Tabel 6 Keberhasilan perkembangan serangga vektor kutukebul pada tiap stadium

*Tia, fase telur menjadi instar awal; IaIb, fase instar awal menjadi instar akhir; IbP, fase instar akhir menjadi pupa; PI, fase pupa menjadi imago

199

J Fitopatol Indones Adilah dan Hidayat

untuk melangsungkan hidupnya. Sama halnya dengan pengaruh peletakan telur, trikoma juga dapat berpengaruh terhadap aktivitas makan serangga kutukebul, khususnya pada stadium nimfa. Pada genotipe IPBC12, trikoma yang rapat dapat menyulitkan kutukebul untuk menusukkan stiletnya, sehingga sebagian besar instar awal kutukebul kekurangan nutrisi untuk perkembangan hidupnya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah serangga pada stadium instar akhir. Begitu pula yang terjadi pada perkembangan instar akhir menjadi pupa, yaitu hambatan aktivitas makan mempengaruhi persentase keberhasilan nimfa instar akhir menjadi pupa.

Jumlah serangga vektor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi penyakit dan periode inkubasi virus. Jumlah serangga vektor yang tinggi menyebabkan insidensi penyakit semakin tinggi dan periode inkubasi virus semakin singkat, begitu pula sebaliknya (Aidawati et al. 2002). Aktivitas dan perilaku makan serangga vektor sangat menentukan kemampuannya untuk menularkan virus.

Respons 6 genotipe cabai terhadap infeksi PYLCV dapat dikelompokkan menjadi respons tahan (genotipe IPBC12) dan rentan [genotipe Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), dan 35C2]. Respon ketahanan genotipe IPBC12 dapat dihubungkan dengan perkembangan kutukebul pada genotipe tersebut. Jumlah telur kutukebul dan persentase keberhasilannya menjadi imago pada IPBC12 relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada genotipe lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an Indonesian isolate of Tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Plant Pathol J. 18(5):231–236. DOI: http://dx.doi.org/10.5423/PPJ.2002.18.5.231.

De Barro PJ, Hidayat SH, Frohlich D, Subandiyah S, Ueda S. 2008. A virus and its vector, Pepper yellow leaf curl virus

and Bemisia tabaci, two new invaders of Indonesia. Biol Invasions. 10:411–433. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10530-007-9141-x.

Faizah R, Sujiprihati S, Syukur M, Hidayat SH. 2012. Ketahanan biokimia tanaman cabai terhadap Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning. J Fitopatol Indones. 8(5):138–144. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.8.5.138.

Ganefianti DW. 2010. Genetik ketahanan cabai terhadap Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning dan arah pemuliaannya [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ganefianti DW, Sujiprihati S, Hidayat SH, Syukur M. 2008. Metode penularan dan uji ketahanan genotipe cabai terhadap Begomovirus. Akta Agrosia. 11(2):162–169.

Hanson PM, Bernacchi D, Green SK, Tanksley SD, Muniyappa V, Padmaja AS, Chen H-M, Kuo G, Fang D, Chen JT. 2000. Mapping a wild tomato introgression associated with Tomato yellow leaf curl virus resistance in a cultivated tomato line. J Amer Soc Hor Sci. 125(1):15–20.

Lapidot MM, Friedmen M, Pilowsky R BJ, Cohen S. 2001. Effect of host plant resistance to Tomato yellow curl virus (TYLCV) on virus acquisition and transmission by its whitefly vector. Phytopathology. 91:1209–1213. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO.2001.91.12.1209.

Singh SP, Morales FJ, Miklas PN, Teran H. 2000. Selection for Bean golden mosaic resistance in intra- and inter-racial bean populations. Crop Sci. 40:1565–1572. DOI: http://dx.doi.org/10.2135/cropsci2000.4061565x.

Suharsono. 2006. Antixenosis morfologis salah satu faktor ketahanan kedelai terhadap hama pemakan polong. Bul Palawija.11:29–34.

Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Hayati. 1(13):1–6.

200

J Fitopatol Indones Adilah dan Hidayat

Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Detection and sequence diversity of Begomovirus associated yellow leaf curl disease of pepper (Capsicum annum L.) in West Sumatra, Indonesia. J Microbiol Indones. 2:61–66.

Tsai WS, Shih SL, Green SK, Rauf A, Hidayat SH, Jan FJ. 2006. Molecular characterization of Pepper yellow leaf curl

Indonesia virus in leaf curl and yellowing diseased tomato and pepper in Indonesia. Plant Dis. 90(2):247. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-90-0247B.

201

Volume 10, Nomor 6, Desember 2014Halaman 202–209

DOI: 10.14692/jfi.10.6.202ISSN: 0215-7950

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Agronomi dan Hortikutura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jalan Meranti,Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629353, Faks: 0251-8629353, surel : [email protected]; [email protected]

Pendugaan Parameter Genetika Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Penyakit Antraknosa

Estimation of Genetic Parameters for Resistance of Chili Pepper to Anthracnose Disease

Syaidatul Rosidah, Muhamad Syukur*, WidodoInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Buah cabai yang merupakan populasi hasil persilangan genotipe C15 dan C2 digunakan untuk mempelajari parameter genetika ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Sebanyak 20 buah matang hijau dari setiap tanaman diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen resesif. Heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk karakter insidensi penyakit, dan diameter nekrosis. Heritabilitas arti sempit tergolong tinggi untuk karakter insidensi penyakit dan rendah untuk karakter diameter nekrosis. Nisbah ragam aditif bernilai tinggi untuk karakter insidensi penyakit dan sedang untuk karakter diameter nekrosis. Pembentukan varietas cabai tahan antraknosa sebaiknya diarahkan pada varietas galur murni.

Kata kunci: Colletotrichum acutatum, heritabilitas, heterosis, heterobeltiosis

ABSTRACT

Fruits of chili pepper as crossing population between C15 and C2 genotype were used to study genetic parameters of resistance for anthracnose disease caused by Colletotrichum acutatum. Twenty mature green chili pepper fruits from each plant were inoculated by C. acutatum PYK 04 isolate. The results showed that resistance to anthracnose in chili pepper was controlled by recessive gene. Broad-sence heritability were high for both disease incidence and necrotic diameter. Narrow-sence heritability were high for stem diameter and low for necrotic diameter. Additive-variance ratio were high for disease incidence and medium for necrotic diameter. Development of resistance varieties of chili pepper to anthracnose should be subjected to line varieties.

Key words: Colletotrichum acutatum, heritability, heterosis, heterobeltiosis

PENDAHULUAN

Luas areal pertanaman cabai di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 120 094 ha, namun luasnya tidak didukung dengan nilai produktivitas cabai yang tinggi. Produktivitas cabai nasional pada tahun 2012 hanya mencapai 7.94 ton ha-1 (BPS 2013). Kondisi

ini masih jauh dari produktivitas potensial cabai yang mampu mencapai 20–30 ton ha-1 (Syukur et al. 2010). Produktivitas cabai dipengaruhi banyak faktor salah satunya ialah serangan penyakit antraknosa. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kehilangan hasil cabai mencapai 50% (Pakdeevaraporn et al. 2005).

202

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

Beberapa spesies penyebab antraknosa di Indonesia ialah Colletotrichum acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici. Di antara spesies tersebut C. acutatum adalah jenis yang pertama dilaporkan dan paling dominan di Indonesia (AVRDC 2009). Spesies ini lebih virulen dibandingkan dengan C. gloeosporioides dan C. capsici (Mongkolporn et al. 2010). Umumnya, varietas cabai yang ada rentan terhadap penyakit antraknosa. Kim et al. (2010) melakukan pengujian terhadap 209 aksesi cabai dan 173 aksesi terinfeksi C. acutatum. Kim et al. (2012) menemukan bahwa dari 869 kultivar cabai yang diuji, 847 kultivar dinyatakan rentan terhadap C. acutatum. Marliyanti et al. (2013) menguji 5 kultivar cabai nasional dan 10 kultivar koleksi IPB, tidak ada yang tahan terhadap C. acutatum.

Pendugaan parameter genetika suatu karakter yang diinginkan sangat penting untuk diketahui dalam menentukan metode pemuliaan tanaman. Gen ketahanan terhadap penyakit antraknosa bersifat poligenik (Wusani 2004) dan tidak ada efek maternal (Syukur et al. 2007). Tingkat resistensi varietas cabai terhadap penyakit antraknosa masih tidak stabil (Park 2005). Hal ini terbukti dari analisis pengujian F1 hasil persilangan tanaman cabai tahan antraknosa dengan tanaman cabai rentan antraknosa menunjukkan respons yang berbeda tergantung dari kerentanan tetua (Kim et al. 2007). Oleh karena itu, perlu adanya studi pendugaan parameter genetika ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan sejak bulan Oktober 2012 sampai April 2013. Kegiatan penanaman cabai dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor. Kegiatan pemurnian, perbanyakan, pemeliharaan, inokulasi cendawan, dan pengamatan terhadap gejala antraknosa dilakukan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.

Bahan Tanaman dan Cendawan PatogenBahan tanaman yang digunakan ialah cabai

genotipe IPB C15 (0209-4 asal AVRDC) sebagai tetua tahan, IPB C2 (asal Departemen AGH) sebagai tetua rentan, F1(IPB C15 × 1PB C2), F1 Resiprokal (IPB C2 × IPB C15), BCP1(FI × 1PB C15), BCP2 (F1 × 1PB C2), dan F2. Set populasi tersebut ditanam sebanyak 10 tanaman P1, P2, F1, F1R, 50 tanaman BCP1, BCP2, dan 126 tanaman F2. Cendawan yang digunakan berasal dari biakan murni C. acutatum isolat PYK 04 yang dibiakkan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK). Kepadatan cendawan yang digunakan sebagai inokulum ialah 5 × 105 konidium mL-1.

Inokulasi C. acutatum pada Buah CabaiBahan pengujian penyakit adalah buah

cabai yang dipanen pada saat buah sudah tua, tetapi masih hijau. Setiap tanaman diambil sepuluh buah untuk diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04. Pengujian penyakit dilakukan sebanyak dua ulangan.

Buah dicuci menggunakan akuades, selanjutnya disuntik 2 µL inokulum pada 2 daerah yang berbeda (pangkal dan ujung buah). Buah ditempatkan di atas kawat dalam bak plastik yang dialasi tisu lembap. Bak ditutup dengan plastik polietilen dan diinkubasi pada suhu 25 °C selama 7 hari.

Pengamatan Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa

Pengamatan karakter ketahanan terhadap penyakit meliputi insidensi penyakit yang diamati pada hari ke-5 dan diameter nekrosis pada hari ke-7 setelah inokulasi. Insidensi penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

DI, insidensi penyakit; n, jumlah buah yang terserang; dan N, jumlah buah total.

Skor dan kriteria ketahanan terhadap penyakit antraknosa berdasarkan insidensi penyakit diduga dengan metode Yoon (2003) yang dimodifikasi Syukur et al. (2007), yaitu sangat tahan, 0–10% terserang; tahan, 11–20% terserang; moderat, 21–40% terserang; rentan,

DI = nN × 100%, dengan

203

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

41–70% terserang; dan sangat rentan, >70% terserang.

Heritabilitas arti luas diduga dengan rumus Allard (1960):

h2bs, heritabilitas arti luas; VP1, ragam populasi

P1; VP2, ragam populasi P2; VF1, ragam populasi F1; VF2, ragam populasi F2.

Heritabilitas arti sempit, dihitung berdasarkan rumus Warner (1952):

h2ns, heritabilitas arti sempit; VBCP1, ragam

populasi BCP1; VBCP2, ragam populasi BCP2; VF2, ragam populasi F2.

Nilai duga heritabilitas dianggap rendah jika h2 < 20%, sedang jika 20%< h2< 50%, dan tinggi jika h2 > 50% (Halloran et al. 1979).

Efek maternal diuji dengan membandingkan nilai tengah F1 dan F1R dengan uji t pada taraf 5%. Nisbah ragam aditif diduga dengan rumus:

a, nisbah ragam aditif; h2ns, heritabilitas arti

sempit; dan h2bs, heritabilitas arti luas.

Heterosis dihitung dengan rumus:

XF1, nilai rata-rata F1; dan MP, nilai tengah rata-rata kedua tetua.

Heterobeltiosis dihitung dengan rumus:

XF1, nilai rata-rata F1; HP, nilai tengah rata-rata tetua terbaik.

HASIL

Berdasarkan pengamatan insidensi penyakit, P1 adalah tetua yang memiliki kriterium moderat sampai sangat tahan, P2 memiliki kriterium sangat rentan, F1 dan F1R memiliki kriterium rentan dan sangat rentan, BCP1 dan BCP2 memiliki kriterium sangat rentan sampai moderat, dan F2 memiliki kriterium sangat rentan sampai tahan (Tabel 1).

P1 dan P2 merupakan genotipe yang mempunyai homozigositas yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ragam keduanya yang rendah (Tabel 1). F1 merupakan turunan pertama dari hasil persilangan P1 dengan P2 (P1 × P2), sedangkan F1R merupakan turunan pertama dari hasil persilangan P2 dengan P1 (P2 × P1). Gen-gen dalam F1 dan F1R merupakan gen-gen yang bersifat heterozigot yang terbentuk dari gabungan gen-gen homozigot P1 dan P2 sehingga secara genetika F1 dan F1R bersifat homogen. Ragam insidensi penyakit F1 dan F1R (168.75 dan 132.22) lebih tinggi dibandingkan dengan ragam kedua tetuanya. Keragaman ini lebih dipengaruhi oleh lingkungan. Ragam BCP1 dan BCP2 lebih besar dibandingkan dengan ragam P1, P2, F1, dan F1R. Ragam BCP1 dan BCP2 dipengaruhi oleh ragam genetika dan lingkungan. Keragaman genetika keduanya terbentuk dari persilangan F1 (homogen heterozigot) dengan tetuanya (homogen homozigot) menghasilkan progeni yang sebagian bersifat homozigot dan sebagian lagi bersifat heterozigot. Populasi F2 mempunyai ragam yang paling tinggi (369.1).

Skor Kriterium Jumlah tanamanP1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2

1 Sangat tahan 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.002 Tahan 3.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.003 Moderat 6.00 0.00 0.00 0.00 7.00 2.00 10.004 Rentan 0.00 0.00 1.00 2.00 31.00 25.00 52.005 Sangat rentan 0.00 10.00 8.00 8.00 12.00 23.00 63.00

Rata-rata 2.50 5.00 4.40 4.80 4.10 4.42 4.40Ragam (σ2) 93.33 91.39 168.75 132.22 317.11 294.74 369.10

Simpangan baku (σ) 9.66 9.56 12.99 11.49 17.81 17.17 19.21

Tabel 1 Jumlah tanaman pada setiap populasi berdasarkan skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa

P1, IPB C15; P2, IPB C2; F1, IPB C15 x IPB C2; F1R, IPB C2 x IPB C15; BCP1, F1x IPB C15; BCP2, F1 x IPB C2; F2, penyerbukan sendiri F1

h2bs= ((VF2 - (VF1 + VP1 + VP2)/3)/ VF2) × 100%, dengan

h2ns= ((2VF2 - (VBCP1 + VBCP2))/VF2) × 100%, dengan

a = h2

ns

h2bs

× 100% , dengan

Heterosis =XF1

MP × 100%, dengan

Heterobeltiosis =XF1

HP × 100%, dengan

204

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

Keragaman populasi F2 dipengaruhi oleh keragaman genetika, lingkungan, dan interaksi genetika dengan lingkungan. F2 dihasilkan dari penyerbukan sendiri populasi F1. Gen-gen F1 yang mengalami penyerbukan sendiri bersegregasi sehingga diperoleh progeni dengan kombinasi gen yang bervariasi. Sebagian progeni memiliki gen yang mengarah kepada P1, sebagian mengarah kepada P2, dan sebagian mengarah kepada F1.

Karakter ketahanan cabai terhadap antraknosa yang diamati selanjutnya adalah diameter nekrosis. Diamater nekrosis diukur pada jarak terpanjang penyebaran penyakit antraknosa (Tabel 2). Hasil pengukuran diameter nekrosis menunjukkan bahwa P1 memiliki diameter nekrosis yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan P2. Berkaitan dengan kriterium ketahanan terhadap antraknosa diketahui P1 yang bersifat moderatmemiliki diameter nekrosis yang rendah, sedangkan P2 yang bersifat sangat rentan memiliki diameter nekrosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1. Begitu pula dengan F1, F1R, BCP1, BCP2, dan F2 yang mengarah ke rentan sampai sangat rentan memiliki diameter nekrosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1, sehingga semakin rentan suatu populasi maka diameter nekrosisnya akan semakin tinggi. Hal ini karena cabai yang rentan akan memudahkan cendawan C. acutatum berkembang biak dan terus memperluas jangkauan serangannya.

Nilai ragam P1, P2, F1, dan F1R relatif rendah diikuti oleh ragam BCP1, BCP2, dan F2 yang tinggi. Nilai ragam ini sesuai dengan komposisi genetika P1, P2, F1, dan F1R yang homogen dan BCP1, BCP2, F2 yang heterogen. Ragam F2 mempunyai nilai tertinggi karena kontitusi genetika yang menyebar dari P1 sampai mengarah ke P2 (Tabel 2).

Nilai insidensi penyakit dan diameter nekrosis F1 dan F1R dibandingkan meng-gunakan uji t. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai tengah F1 dan F1R tidak berbeda nyata pada kedua karakter (Tabel 3). Hal ini berarti bahwa pewarisan sifat ketahanan cabai ter-hadap C. acutatum tidak dipengaruhi oleh efek maternal, melainkan dikendalikan oleh gen-gen yang berada di dalam inti sel.

Nilai heritabilitas arti luas insidensi penyakit antraknosa termasuk dalam kategori tinggi yaitu 68.09%. Adapun nilai heritabilitas arti sempitnya termasuk dalam kategori sedang yaitu 34.28%. Sumbangan ragam aditif ter-hadap ragam genetika pada karakter insidensi penyakit dapat dilihat dari nilai nisbah ragam aditif, yaitu 50.34. Nilai ini menunjukkan sumbangan ragam aditif yang cukup tinggi dari total ragam genetika. Karakter diameter nekrosis penyakit antraknosa yang muncul mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tergolong tinggi dan nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong rendah. Sumbangan ragam aditif terhadap total ragam genetika ialah 27.55% (Tabel 4).

Parameter PopulasiP1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2

Rata-rata diameter nekrosis (mm) 10.66 22.75 21.79 18.20 16.18 19.09 17.48Ragam (σ2) 23.39 34.23 31.17 40.42 62.74 62.38 67.76Simpangan baku (σ) 4.77 5.85 5.58 6.36 7.92 7.89 8.23

Tabel 2 Diameter nekrosis penyakit antraknosa pada setiap populasi cabai

P1, IPB C15; P2, IPB C2; F1, IPB C15 x IPB C2; F1R, IPB C2 x IPB C15; BCP1, F1x IPB C15; BCP2, F1x IPB C2; F2, penyerbukan sendiri F1

Populasi Insidensi penyakit (%) Diameter nekrosis (mm)F1 85 ± 12.99 21.8 ± 5.58F1R 86 ± 11.49 18.2 ± 6.36t-hitung -0.18 tn 0.13 tn

Tabel 3 Insidensi penyakit antraknosa dan diameter nekrosis pada populasi cabai F1 dan F1R

F1, IPB C15 x IPB C2; F1R, IPB C2 x IPB C15; tn, tidak berbeda nyata

205

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

Nilai tengah P1 dan P2 untuk karakter insidensi penyakit berbeda jauh dan nilai tengah F1 berada di antara kedua tetuanya (Tabel 5). Nilai heterosis tetua tengah 39.92%, artinya tingkat insidensi penyakit populasi F1 39.92% lebih tinggi dari nilai tengah kedua tetua. Heterobeltiosis bernilai 226.92% artinya tingkat insidensi penyakit populasi F1 226.92% lebih tinggi dibandingkan dengan insidensi penyakit tetua P1. Nilai heterosis dan heterobeltiosis tersebut menunjukkan bahwa F1 bersifat lebih rentan terhadap antraknosa.

Posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua dan rata-ratanya (MP) untuk karakter insidensi penyakit dapat dilihat pada Gambar 1. Populasi F1 tidak lebih unggul dari tetuanya karena lebih mengarah ke populasi yang rentan terhadap antraknosa. Diameter nekrosis penyakit antraknosa populasi F1

berada di antara tetua P1 dan P2. Heterosis tetua tengah sebesar 30.50% artinya diameter nekrosis populasi F1 30.50% lebih panjang dibandingkan dengan nilai tengah diameter nekrosis kedua tetuanya. Heterobeltiosis 104.41%, artinya diameter nekrosis populasi F1 104.41% lebih panjang dibandingkan dengan tetua P1.

PEMBAHASAN

Populasi P1 dan P2 mempunyai jarak ketahanan yang cukup jauh. Dilihat dari nilai rata-rata skor ketahanan terhadap antraknosa, P1 bersifat moderat; P2 bersifat sangat rentan; F1 dan F1R bersifat sangat rentan; BCP1, BCP2, dan F2 mengarah ke rentan. Dengan demikian gen ketahanan C. annuum terhadap C. acutatum bersifat resesif sebagaimana

Komponen ragam Insidensi penyakit Diameter nekrosisRagam lingkungan (σE) 117.82 29.60Ragam fenotipe (σP) 369.20 67.76Ragam genetika (σG) 251.38 38.16Ragam aditif (σA) 126.55 10.40Nisbah ragam aditif 50.34 27.25Heritabilitas arti luas (h2

bs) 68.09 56.32Heritabilitas arti sempit (h2

ns) 34.28 15.35

Tabel 4 Komponen ragam insidensi penyakit dan diameter nekrosis pada cabai yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum

Komponen heterosis Insidensi penyakit (%)

Diameter nekrosis (mm)

P1 26.00 10.66P2 95.50 22.75F1 85.00 21.80MP 60.75 16.71Heterosis (%) 39.92 30.50Heterobeltiosis (%) 226.92 104.41

Tabel 5 Heterosis dan heterobeltiosis insidensi penyakit dan diameter nekrosis penyakit antraknosa pada cabai

P1, IPB C15; P2, IPB C2; F1, IPB C15 x IPB C2; MP, rata-rata tetua

206

P1 (Moderat)

MP F1 P2(Sangat rentan)

26.00 60.75 85.00 95.50Gambar 1 Posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua dan rata-ratanya (MP) berdasarkan insidensi penyakit terhadap penyakit antraknosa.

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

yang dilaporkan oleh Syukur et al. (2007). Antraknosa merupakan penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi yang serius pada cabai (Lee et al. 2010) sehingga penting untuk merakit varietas tahan. Perakitan hibrida resisten terhadap antraknosa dari gen resesif membutuhkan waktu dan usaha yang lama (Kim et al. 2007) sehingga pembentukan varietas cabai tahan antraknosa diarahkan pada varietas bersari bebas (open pollinated). Seleksi untuk membentuk varietas tersebut dapat dilakukan pada generasi lanjut.

Kim et al. (2008b) menemukan bahwa ketahanan C. baccatum terhadap antraknosa (C. acutatum) dikendalikan oleh gen dominan tunggal, sedangkan menurut Mahasuk et al. (2009) gen tersebut adalah resesif tunggal pada buah matang hijau dan dominan tunggal pada buah matang merah. Hasil penelitian Pakdeevaraporn et al. (2005) dan Kim et al. (2008a) menyatakan bahwa ketahanan C. annuum terhadap C. capsici dikendalikan oleh gen resesif. Hal ini menunjukkan bahwa gen ketahanan terhadap antraknosa berbeda bergantung pada spesies cabai dan isolat antraknosanya.

Heritabilitas merupakan komponen genetika yang menunjukkan seberapa besar suatu sifat diturunkan kepada turunannya. Heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas arti luas dan arti sempit. Heritabilitas arti luas diduga dari perbandingan ragam genetika dengan ragam fenotipe. Ragam genetika diduga dari pengurangan ragam populasi F2 yang mewakili ragam fenotipe dengan rata-rata ragam P1, P2, dan P3 yang mewakili ragam lingkungan. Heritabilitas arti sempit diduga dari perbandingan ragam aditif dengan ragam fenotipe. Ragam aditif ditentukan dengan mengurangkan 2 kali ragam F2 yang merupakan ragam fenotipe dengan jumlah ragam BCP1 dan BCP2 yang merupakan ragam non aditif.

Keragaman insidensi penyakit lebih dipengaruhi oleh keragaman genetika. Menurut Syukur et al. (2011) keragaman genetika dan heritabilitas sangat bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi akan efektif jika populasi tersebut mempunyai keragaman genetika yang luas dan heritabilitas yang tinggi.

Beberapa penelitian mengenai ketahanan antraknosa sudah dilakukan. Syukur et al. (2007) menemukan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa (C. acutatum) mem-punyai heritabilitas arti luas yang tinggi dan heritabilitas arti sempit yang sedang. Sanjaya (2003) melaporkan bahwa ketahanan cabai hasil persilangan C. annuum dan C. chinense terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides dan C. capsici mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang rendah.Yustisiani et al. (2006) menyatakan ketahanan cabai hasil persilangan cabai merah dengan cabai ungu terhadap antraknosa yang disebab-kan oleh C. gloeosporioides mempunyai heritabilitas arti luas dan arti sempit yang tinggi.

Ketahanan cabai (C. annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh gen resesif. Heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk karakter insidensi penyakit, dan diameter nekrosis. Heritabilitas arti sempit tergolong sedang untuk karakter insidensi penyakit dan rendah untuk karakter diameter nekrosis. Nisbah ragam aditif bernilai tinggi untuk karakter insidensi penyakit dansedang untuk karakter diameter nekrosis. Pembentukan varietas cabai tahan antraknosa sebaiknya diarahkan pada varietas galur murni.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Pertanian yang telah membiayai penelitian ini melalui hibah KKP3T tahun 2012 kepada M. Syukur.

DAFTAR PUSTAKA

Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York (US): J Wiley & Sons.

Asian Vegetable Research and Development Center [AVRDC]. 2009. Development of Locally Adapted, Multiple Disease-Resistent and High Yielding Chili (Capsicum annuum) Cultivars for China, India, Indonesia, and Thailand Phase II. Taiwan (TW): AVRDC Publication.

207

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

Badan Pusat Statistika [BPS]. 2013. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 38. Jakarta (ID): BPS.

Halloran GM, Knight R, McWhirter KS, Sparrow DHB. 1979. Plant Breeding. Brisbane (AU): Australian Vice Chancellors Committee.

Kim JS, Jee HJ, Gwag JG, Kim CK, Shim CK. 2010. Evaluation on red pepper germplasm lines (Capsicum spp.) for resistance to anthracnose caused by Colletotrichum acutatum. Plant Pathol J. 26(3):273–279. DOI: http://dx.doi.org/10.5423/PPJ.2010.26.3.273.

Kim SG, Ro NY, Hur OS, Ho-Cheol, Gwag JG, Huh YC. 2012. Evaluation of resistance to Colletotrichum acutatum in pepper genetic resources. Plant Dis. 18(2):93–100. DOI: http://dx.doi.org/10.5423/RPD.2012.18.2.093.

Kim SH, Yoon JB, Do JW, Park HG. 2007. Resistance to anthracnose caused by Colletotrichum acutatum in chili pepper (Capsicum annuum L.). J Crop Sci Biotech. 10(4):277–280.

Kim SH, Yoon JB, Do JW, Park HG. 2008b. A major recessive gene associated with anthracnose resistance to Colletotrichum capsici in chili pepper (Capsicum annuum L.). Breeding Sci. 58:137–141. DOI: http://dx.doi.org/10.1270/jsbbs.58.137.

Kim SH, Yoon JB, Park HG. 2008a. Inheritance of anthracnose resistance in a new genetic resource, Capsicum baccatum PI1594137. J Crop Sci Biotech. 11(1):13–16.

Lee J, Hong JH, Do JW, Yoon JB. 2010. Identification of QTLs for resistance to anthracnose to two Colletotrichum species in pepper. J Crop Sci Biotech. 13(4):227–233. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s12892-010-0081-0.

Mahasuk P, Taylor PWJ, and Mongkolporn O. 2009. Identification of two new genes conferring resistance to Colletotrichum

acutatum in Capsicum baccatum. Phytopathology. 99:1100–1104. DOI:h t t p : / / d x . d o i . o r g / 1 0 . 1 0 9 4 /PHYTO-99-9-1100.

Marliyanti L, Syukur M, Widodo. 2013. Daya hasil 15 galur cabai ipb dan ketahanannya terhadap penyakit antraknosa yang di-sebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul Agrohorti. 1(1):7–13.

Mongkolporn O, Montri P, Supakaew T, Taylor, PWJ. 2010. Differential reactions on mature green and ripe chili fruit infected by three Colletotrichum spp. Plant Dis. 94:306–310. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-94-3-0306.

Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. 2005. Inheritance of resistance to anthracnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum. Plant Breeding. 124(2):206–208. DOI: http://d x . d o i . o r g / 1 0 . 1 1 1 1 / j . 1 4 3 9 -0523.2004.01065.x.

Park SK. 2005. Differential interaction between pepper genotypes and Colletotrichum isolates causing anthracnose [tesis]. Seoul (KR): Seoul National University.

Sanjaya L. 2003. Keterpautan marka amplified fragment length polymorphism dengan sifat resisten penyakit antraknosa pada cabai berdasarkan metode bulk segregant analysis. J Hort. 13(3):169–176.

Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul Agron. 35:112–117.

Syukur M, Sujiprihati S, Siregar A. 2010. Pendugaan parameter genetika beberapa karakter agronomi cabai F4 dan evaluasi daya hasilnya menggunakan rancangan perbesaran (augmented design). J Agrotropika. 15(1):9–16.

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA. 2011. Pendugaan ragam genetika dan heritabilitas karakter komponen hasil beberapa genotipe cabai. J Agrivigor. 10(2):148–156.

Warner JN. 1952. A Method of estimating heritability. Agron J. 44 : 427-430.

Wusani M. 2004. Pola pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum gloesporioides Penz.)

208

J Fitopatol Indones Rosidah et al.

pada cabai (Capsicum annuum var Jatilaba x Capsicum chinense-27) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Yoon JB. 2003. Identification of genetic resources, interspecific hybridization, and inheritance analysis for breeding pepper (Capsicum annuum) resistant to anthracnose. [disertasi], Seoul (KR): Seoul National University.

Yustisiani D, Dewi W, Rachmadi M, Ruswandi D, Rostini N, Setiamihardja R. 2006. Pewarisan karakter ketahanan terhadap antraknos (Colletotrichum gloeosporioides) pada hasil persilangan tanaman cabai ungu x cabai merah genotip RS07. Zuriat. 17(2):154–163.

209

Volume 10, Nomor 6, Desember 2014Halaman 210–213

DOI: 10.14692/jfi.10.6.210ISSN: 0215-7950

TEMUAN PENYAKIT BARU

Penyakit Kerupuk Tembakau di Sumatera Barat

Leaf Curl Disease of Tobacco in West Sumatera

Jumsu Trisno*, Rahil Ade Rifqah, MartiniusUniversitas Andalas, Padang 25163

ABSTRAK

Penyakit daun keriting (kerupuk) merupakan penyakit baru pada tanaman tembakau di Sumatera Barat. Penyakit ini sudah tersebar di seluruh area pertanaman tembakau di Kabupaten Limapuluh Kota dengan intensitas serangan 2.5–26.3%. Hasil amplifikasi dengan metode polymerase chain reaction menggunakan primer universal Begomovirus PAL1v 1978/PAR1c 715 dari daun tanaman tembakau yang bergejala menghasilkan amplikon berukuran 1600 pb. Hasil ini mengindikasikan adanya infeksi Begomovirus. Analisis urutan DNA isolat Sumatera Barat menggunakan program NCBI BLAST, menunjukkan bahwa isolat Begomovirus tersebut memiliki homologi dengan Pepper yellow leaf curl Indonesia Virus yang menginfeksi tanaman tomat sebesar 89% dan tanaman cabai 91–97% di Sumatera Barat. Hasil identifikasi ini merupakan laporan pertama infeksi Begomovirus pada tanaman tembakau di Sumatera Barat.

Kata kunci: Begomovirus, homologi nukleotida, penyakit daun keriting, polymerase chain reaction

ABSTRACT

Tobacco leaf curl disease (“kerupuk”) is a new disease on tobacco in West Sumatra. This disease has spread throughout the tobacco planting area in District Limapuluh Kota with intensity of 2.5–26.3%. DNA fragment of 1600 bp was successfully amplified using polymerase chain reaction method with primer pairs for Begomovirus PAL1v 1978/PAR1c 715 from tobacco leaves showing symptoms. This result indicated Begomovirus infection. Sequence analysis based on NCBI BLAST program showed that Begomovirus infecting tobacco in West Sumatera has the highest homology of 89% and 91–97% with Pepper yellow leaf curl Indonesia Virus infecting tomato and chili pepper in West Sumatera, respectively. This is considered as the first report of Begomovirus infection on tobacco in West Sumatra.

Key words: Begomovirus, nucleotide homology, kerupuk disease, polymerase chain reaction

*Alamat penulis korespondensi: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang 25162Tel: 075172701, Faks: 075172702, Surel: [email protected]

Tembakau (Nicotiana tabacum) merupakan produk hortikultura unggulan yang penting di Indonesia. Di Sumatera Barat tembakau merupakan produk unggulan Kabupaten Limapuluh Kota dengan produksi yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi produksi ini salah satunya disebabkan oleh

adanya penyakit tumbuhan, diantaranya penyakit daun keriting yang diduga disebabkan oleh virus. Hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa penyakit ini baru muncul pada musim tanam tahun 2008 dan dapat menimbulkan kerugian sampai 100%. Penyakit ini menginfeksi tanaman muda dari daun muda

210

J Fitopatol Indones Trisno et al.

atau pucuk tanaman sehingga tanaman kerdil dan tidak dapat berproduksi sama sekali. Tanaman yang terinfeksi penyakit ini menunjukkan gejala berupa klorosis pada daun, tepi daun menggulung, daun keriting dan menguning, tanaman menjadi kerdil (Gambar 1). Daun menjadi kaku dan apabila diremas akan pecah seperti kerupuk sehingga disebut penyakit kerupuk. Gejala penyakit ini mirip dengan Tobacco leaf curl virus anggota Begomovirus yang sudah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Thailand (Samretwanich et al. 2000), dan Banglades (Maruthi et al. 2005). Hidayat et al. (2008) juga melaporkan infeksi Tobacco leaf curl virus (TLCV) di Jawa Timur. Begomovirus termasuk famili Geminiviridae yang merupakan kelompok terbesar penyebab penyakit pada tanaman. Perkembangan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus sangat cepat sehingga tindakan pengendalian perlu segera diantisipasi.

Sampel daun diambil dari tanaman yang menunjukkan gejala dari 6 lokasi pertanaman tembakau di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sampel daun dibawa ke laboratorium dan disimpan pada suhu -20 °C sampai digunakan. Pada saat di lapangan dilakukan penghitungan intensitas serangan dengan metode pengambilan sampel secara acak sistematis, yaitu sebanyak 10% dari keseluruhan populasi tanaman. Intensitas penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

IP, instensitas penyakit; ni, sampel tanaman ke-i; Vi, nilai skala ke-i; Z, nilai skala tertinggi; N, jumlah tanaman sampel yang diamati.

Kategori skala yang digunakan mengikuti Trisno et al. (2009): 0, tidak ada gejala; 1, daun berwarna kuning pada pinggir dimulai pada daun muda; 2, daun sedikit keriting; 3, daun keriting, melengkung, dan menggulung, daun mengecil dan tanaman masih tumbuh; 4, tanaman kerdil, daun menggulung, dan pertumbuhan sudah terhenti.

Isolasi DNA Begomovirus dari sampel daun tanaman tembakau yang bergejala mengikuti metode Dellaporta et al. (1983) yang dimodifikasi dengan penambahan ekstraksi fenol:kloroform (1:1) sebanyak 2 kali.Amplifikasi DNA dengan teknik PCR menggunakan primer PAL1v 1978 (5’-G CAGGCCCACATYGTCTTYCCNGT-3’) dan PAR1c 715 (5’-G AGTDATRTTYTCRTCCA TCCA-3’). Reaksi PCR (25 µL) terdiri atas 5 µL DNA templat, 0.5 µL masing-masing primer, 1.5 unit Taq polymerase, Tris-HCl 10 mM (pH 9.0), KCl 50 mM, MgCl2 1.5 mM, setiap dNTP 200 µM (Amersham Pharmacia Biotech). Amplifikasi DNA dilakukan sebanyak 30 siklus melalui 3 tahapan, yaitu pemisahan utas DNA pada 94 °C selama 1 menit, penempelan primer pada 55 °C selama 2 menit, dan sintesis DNA pada 72 °C selama 2 menit. Khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis selama 10 menit, kemudian

∑ ni × ViZ × N × 100% ,denganIP=

Gambar 1 Gejala penyakit daun keriting (kerupuk) tembakau pada tanaman dengan umur berbeda. a, Tanaman muda (< 1 bulan); b, Tanaman umur 1–2 bulan; c, Tanaman umur > 2 bulan.

a b c

211

J Fitopatol Indones Trisno et al.

siklus berakhir dengan suhu 4 °C. Fragmen DNA hasil amplifikasi (5 µL) dielektroforesis pada gel agarosa 1% dalam bufer Tris-borate EDTA (TBE) 0.5 X dengan tegangan 75 volt dan diamati dengan transiluminator UV.

Fragmen DNA hasil amplifikasi selanjutnya digunakan sebagai templat untuk sikuensing dan hasil sekuen dianalisis menggunakan program NCBI BLAST (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST). Analisis homologi dengan isolat Begomovirus pada GeneBank dilakukan menggunakan program Clustal Omega dari Eropean Bioinformatics Institute (EMBL-EBI: www.ebi.ac.uk/ serve/clustalW).

Hasil survei yang dilakukan di 6 lokasi pertanaman tembakau di Kabupaten Limapuluh Kota menunjukkan bahwa pada semua lokasi ditemukan adanya gejala penyakit kerupuk dengan intensitas serangan rata-rata 26.3%. Amplifikasi DNA Begomovirus mengguna-kan primer PAL1v 1978/PAR1c 715 berhasil mendapatkan fragmen DNA berukuran

1600 pb dari 6 sampel daun (Gambar 2). Hasil amplifikasi tersebut merupakan indikasi adanya infeksi Begomovirus pada tanaman tembakau yang bergejala penyakit kerupuk.

Analisis sikuen nukleotida dilakukan terhadap satu isolat yang diberi kode ToLCV-Sumbar. Hasil perunutan nukleotida digunakan untuk analisis genetik menggunakan program BLAST. Hasil analisis menggunakan program BLAST menunjukkan bahwa isolat ToLCV-Sumbar mempunyai tingkat homologi 89% dengan Pepper yellow leaf curl Indonesia Virus (PYLCIndV) [Tomato] (GeneBank No. Aksesi AB269845.1), penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat. Hasil BLAST dengan isolat Begomovirus asal cabai Sumatera Barat menunjukkan homologi 91–97% (Tabel 1). Rybicki (1998) dan Fauquet dan Stanley (2003) menjelaskan bahwa nilai identitas sikuen nukleotida dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu virus sebagai satu spesies. Nilai identitas >90%

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1600 pb

Gambar 2 Hasil amplifikasi Begomovirus penyebab penyakit daun keriting (kerupuk) tembakau menggunakan pasangan primer PAL1v 1978/PAR1c 715 yang divisualisasi pada gel agarosa 1%. M, penanda DNA (1 kb Ladder); 1, kontrol positif (DNA Begomovirus asal tanaman cabai); 2–9, sampel Begomovirus asal tanaman tembakau dari Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

No. Aksesi Kode isolat Tanaman Inang/Lokasi asal

Homologi nukleotida (%)

AB189850.1 PYLCV Cabai / Bandung 88AF511529.1 TYLCV Tomat / Thailand 75HF569292.1 AYVV Ageratum conyzoides / China 74AB189845.1 PYLCV Tomat / Bandung 89AB267838.1 PYLCV Ageratum conyzoides/ Bandung 88

- PepPSS1-1 Cabai/ Sumatera Barat 93- PepPYK.1 Cabai/ Sumatera Barat 95- PepSo2.1 Cabai/ Sumatera Barat 94- PepTD1.1 Cabai/ Sumatera Barat 97- PepAG1.4 Cabai/ Sumatera Barat 91

Tabel 1 Homologi nukleotida antara Begomovirus asal tanaman tembakau Sumatera Barat dengan beberapa isolat Begomovirus yang dilaporkan dalam GeneBank dan isolat asal cabai Sumatera Barat

212

J Fitopatol Indones Trisno et al.

menunjukkan satu spesies yang sama sedangkan bila <90% merupakan galur yang baru. Oleh karena itu, isolat ToLCV-Sumbar masih tergolong satu spesies dengan PYLCIndV yang menginfeksi tomat. Hidayat et al. (2008) melaporkan bahwa penyakit kerupuk pada tanaman tembakau di Jember, Jawa Timur disebabkan oleh galur Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV). Hal yang sama dilaporkan oleh Aji (2012), bahwa gejala kuning dan kerdil pada tanaman tembakau di Klaten, Jawa Tengah disebabkan oleh infeksi TYLCV.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyakit kerupuk tembakau telah tersebar di seluruh area per-tanaman tembakau di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat. Penyebab penyakit kerupuk tembakau tersebut termasuk kelompok Begomovirus dengan tingkat homologi genetikayang tinggi dengan PYLCIndV yang meng-infeksi tomat. Upaya pengendalian penyakit perlu dilakukan untuk menekan kerugian yang disebabkan oleh penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aji TM. 2012. Deteksi Penyebab Penyakit Kerupuk dan Mosaik pada Tembakau dan Pengendalian Kutu Kebul dengan Barrier System di PTPN X (Persero), Klaten. [tesis]. Yogyakarata (ID): Universitas Gajah Mada.

Dellaporta SL, Wood J, Hicks JB. 1983. A plant DNA minipreparation: Version II. Plant Mol Biol Rep. 1(14):19–21. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/BF02712670.

Fauquet CM, Stanley J. 2003. Geminivirus classification and nomenclature:progress and problems. Ann Appl Biol. 142:165–189. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1744-7348.2003.tb00241.x.

Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Aidawati N. 2008. Molecular identification and sequence analysis of Tobacco leaf curl Begomovirus from Jember, East Java, Indonesia. Hayati J Biosci. 15(1):13–17.

Maruthi MN, Alam SN, Kader KA, Rekha AR, Colvin J. 2005. Nucleotide sequencing, whitefly transmission, and screening tomato for resistance against two newly described Begomoviruses in Bangladesh. J Phytopathol. 95:1472–1481. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PHYTO-95-1472.

Rybicki EP. 1998. A proposal for naming geminiviruses: a reply by the Geminiviridae study group chair. Arch Virol. 143:421–424. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s007050050299.

Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, Ikegami M. 2000. A new geminivirus associated with a yellow leaf curl disease of pepper in Thailand. Plant Dis. 84:1047. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2000.84.9.1047D.

Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Detection and sequence diversity of Begomovirus associated yellow leaf curl disease of pepper (Capsicum annum L.) in West Sumatra, Indonesia. J Microbiol Indones. 3(2):61–66.

213