Inersia Uteri

71

Click here to load reader

Transcript of Inersia Uteri

Page 1: Inersia Uteri

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I.1 Identitas pasien

Nama : Ny.WN

Usia : 25 tahun

Alamat : Tebet Barat, Rt013/007, Tebet, Jakarta Selatan

Agama : Islam

Suku : Sunda

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

No RM : 325-40-26

Masuk RSCM : 20 November 2009, pk 18.00

I.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Keluar air-air dari kemaluan sejak satu setengah jam yang lalu

(Pasien di rujuk dari puskesmas Tebet dengan Hb rendah)

Riwayat Kehamilan Sekarang

Pasien mengaku hamil 9 bulan, namun pasien tidak ingat hari pertama haid terakhir (HPHT).

Selama ini pasien kontrol kehamilan hanya 1 kali di Puskesmas Tebet saat usia kehamilan 7

1

Page 2: Inersia Uteri

bulan, tidak pernah dilakukan USG.namun dikatakan bayi normal dan pasien tidak pernah

mengalami tekanan darah tinggi.

Satu setengah jam yang lalu keluar air-air dari kemaluan pasien, berwarna bening

disertai lendir dan darah. Pasien juga merasakan mules yang semakin bertambah sejak 12 jam

SMRS, namun tidak bertambah banyak sejak mules yang pertama. Saat itu pasien masih dapat

merasakan gerakan janin.

Selama hamil pasien tidak pernah mengalami keputihan atau nyeri saat berkemih.

pasien juga tidak mengalami sakit kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati dan kejang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi , riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya, jantung, diabetes mellitus dan

alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi , jantung, diabetes mellitus dan alergi disangkal

Riwayat Obstetri

Pasien lupa usia saat menarche. Selama ini siklus menstruasi teratur (30 hr), lama menstruasi 4

hari, ganti pembalut 2x/hari, tidak nyeri saat haid.

Pasien tidak pernah menggunakan KB. Pasien menikah 2 kali sedangkan suami menikah untuk

yang pertama kali. Saat ini pasien tidak bekerja sedangkan suami bekerja sebagai tukang sapu.

kesan sosial ekonomi rendah.

Status obstetri G2P1A0. Anak pertama usia 2,5 tahun, lahir didukun, berat lahir 3200 gram.

Page 3: Inersia Uteri

I.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: Baik

Kesadaran : Kompos mentis

Tanda vital :

TD : 160/90 mmHg

FN : 88x/menit

FP : 14x/menit

Suhu : afebris

Keadaan gizi : Baik

Status generalis

Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-

Paru : bunyi nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : bunyi jantung normal, murmur -, gallop –

Abdomen : membuncit sesuai kehamilan

Ekstremitas : akral hangat, CRT,2”

Status obstetrikus

TFU 34 cm , presentasi kepala, PUKI, kepala masuk 2/5, his 2x/10’/30”, TBJ 3410 gram.

I : v/u tenang, tampak air ketuban mengalir berwarna putih keruh

Io : portio tipis, ostium terbuka, tampak air ketuban mengalir, LEA -, fluor -, fluxus –

VT : portio lunak, aksial, tebal ½ cm, 7 cm, ketuban -, kepala H II

Page 4: Inersia Uteri

I.3 Pemeriksaan Penunjang

USG

Tampak janin presentasi tunggal hidup (JPKTH), DBP 93,2; AC 38,1; FL 71,7; TBJ 3307 gram.

Plasenta di fundus, ICA 5,1; aktivitas gerak nafas >2x/10 menit

Kesimpulan : sesuai dengan hamil aterm, air ketuban berkurang

Laboratorium

Darah Perifer Lengkap

Hb 7,4 g/dL

Ht 24

Leukosit 11.300/uL

Trombosit 656.000/uL

MCV/MCH/MCHC 55/17/31

BT/CT 03’00”/12’00”

GDS 83

Urinalisa

Sel epitel +

Leukosit 2-3

Eritrosit 0-1

Silinder/Kristal/Bakteri -/-/-

Berat jenis 1,025

pH 6,0

Protein/Glukosa/Keton -/-/++

Nitrit/leukosit esterase -/-

I.4 Daftar Masalah

G2P1H aterm, JPKTH dengan masalah

Page 5: Inersia Uteri

1. Inersia PK I aktif

2. Ketuban pecah 1 ½ jam, air ketuban berkurang

3. Hipertensi dalam kehamilan (HDK)

I.5 Rencana Diagnosis

Cek DPL, UL, GDS, OT/PT, Ur/Cr, LDH, albumin, BT/CT

CTG

I.6 Rencana terapi

1. Observasi TNSP, his dan DJJ/30 menit.

2. Observasi perburukan hipertensi menjadi PEB

3. Rencana awal partus pervaginam : augmentasi dengan oksitosin 5 IU/500 mL RL, naikan 4

tetes/30 menit sampai his adekuat kemudian nilai ulang 3 jam setelah his adekuat.

4. CTG saat his adekuat

5. Nifedipine 4x10 mg

I.7 Rencana Edukasi

Menjelaskan keadaan pasien dan tatalaksana tersebut kepada pasien dan keluarga.

1.8 Prognosis

Page 6: Inersia Uteri

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad sanactionam : Bonam

I.9 Follow Up

20 November 2009 pk 18.15

Terpasang augmentasi oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL mulai 8 tpm naik 4 tetes dalam 30 menit

sampai his adekuat, nilai 3 jam setelah his adekuat.

20 November 2009 pk 18.45

Tercapai his adekuat dengan oksitosin 8 tetes per menit --> nilai ulang 3 jam kemudian (21.45)

CTG : baseline 130 dpm, variabilitas 5-20 dpm, akselerasi +, deselerasi + dini, his +, gerak janin +

Kesan : kompresi kepala

20 November 2009 pk 19.30

S : ibu ingin meneran, gerak janin +

O : KU baik, CM, TD 140/90, FN 89x/menit, FP 22x/menit, Suhu afebris

Status generalis :

mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-

paru : bunyi nafas vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-

jantung : BJ I-II N, murur -, gallop -/-

Page 7: Inersia Uteri

ekstremitas : akral hangat

Status obstetrikus :

his 4x/10’/35”, DJJ 138 dpm

VT : portio lengkap, lengkap, kepala H III-IV, selaput ketuban -,

A : PK II

P : pimpin meneran

20 November 2009 pk 19.50

S : ibu dipimpin meneran, 20’ bayi belum lahir

O : KU baik, CM, TD 130/90, FN 98x/menit, FP 22x/menit, Suhu afebris

Status generalis :

mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-

paru : bunyi nafas vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-

jantung : BJ I-II N, murur -, gallop -/-

ekstremitas : akral hangat

Status obstetrikus :

his 4x/10’/35”, DJJ 80-90 dpm di luar dan di dalam his

VT : portio lengkap, lengkap, kepala H III-IV, selaput ketuban -, uuk kanan lintang

A : gawat janin PK II pada G2P1 Hamil aterm, JPKTH inersia PK I aktif, KP 3 ½ jam, air ketuban

berkurang, HDK

P : akhiri PK II dengan ekstraksi vakum

Page 8: Inersia Uteri

20 November 2009 pk 19.55

Dengan ekstraksi vakum lahir bayi laki-laki, BL 3520 gr, AS 7/9, bayi dikeringkan dan diselimuti,

tali pusat dijepit dan dipotong, ibu disuntik oksitosin 10 IU im kemudian dilakukan peregangan

tali pusat terkendali

20 November 2009 pk 20.00

Lahir spontan plasenta lengkap, dilakukan masase fundus, kontraksi baik, pada eksplorasi

didapatkanruptur perineum gr II, dilakukan jahitan hemostasis dan perineurafi. perdarahan kala

III dan IV 300 cc.

Observasi 2 jam postpartum

Jam ke Waktu TD FN Suhu TFU Kontraksi Perdarahan BAK

I 20.15

20.30

20.45

21.00

120/80

120/80

120/80

120/70

92

92

90

90

36,5 2 jbpst

2 jbpst

2 jbpst

2 jbpst

Baik

Baik

Baik

Baik

-

-

-

-

-

-

-

-

II 21.30

22.00

120/70

120/70

88

88

36,4 2 jbpst

2 jbpst

Baik

Baik

-

-

-

-

Laboratorium post partum

Darah Perifer Lengkap

Page 9: Inersia Uteri

Hb 6,9 g/dL

Ht 21

MCV/MCH/MCHC 63/21/34

Leukosit 19.700/uL

Trombosit 330.000/uL

Page 10: Inersia Uteri

BAB II

PEMBAHASAN UMUM

2.1. DISTOSIA

2.1.1. Definisi

Distosia adalah suatu persalinan yang sulit, ditandai dengan kemajuan persalinan yang

lambat. Untuk menentukan adanya distosia dapat menggunakan batasan waktu ataupun

kelajuan proses. Distosia dapat terjadi pada kala I ataupun kala II persalinan. Distosia pada

kala I aktif persalinan dapat dikelompokkan menjadi proses persalinan yang lambat

(protraction disorder) ataupun tidak adanya kemajuan persalinan sama sekali (arrest

disorder).

American college of Obstetricians dan Gynecologist (ACOG) memiliki definisi sendiri

mengenai gangguan kemajuan persalinan yang diadaptasi dari definisi awal pada tahun

1983. Distosia pada kala II persalinan ditandai dengan:

1. Pada nulipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 2 jam

2. Pada nulipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 3 jam

3. Pada multipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 1 jam

4. Pada multipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 2 jam

Proses persalinan yang macet (distosia) dapat terjadi akibat adanya gangguan pada salah

satu atau kombinasi dari empat komponen di bawah ini:

1. Gangguan pada daya pendorong, termasuk di dalamnya adalah gangguan

kontraksi uterus dan gangguan meneran

2. Gangguan presentasi, posisi, dan perkembangan janin

3. Gangguan pada tulang pelvis ibu

Page 11: Inersia Uteri

4. Gangguan pada jaringan lunak traktus reproduksi yang dapat menghalangi

penurunan janin

Secara lebih sederhana penyebab distosia dapat dikategorikan menjadi tiga P:

1. Gangguan pada powers (kontraksi uterus dan usaha meneran ibu)

2. Gangguan pada passenger (posisi janin, presentasi janin, dan ukuran janin)

3. Gangguan pada passage rongga pelvis dan jaringan lunak pada jalan lahir

2.2. DISTOSIA KARENA GANGGUAN PADA DAYA PENDORONG

2.2.1. Fisiologi kontraksi uterus

Reynolds dkk (1948) menggarisbawahi bahwa kontraksi uterus saat persalinan normal

ditandai dengan adanya gradient dari kontraksi uterus, dimana gradient terlama dan

terkuat adalah pada fundus (dominasi fundus) dan menjadi berkurang kearah serviks.

Caldeyro-Barcia dkk (1950) dari Montevideo, Uruguay, memasukkan balon kecil ke

miometrium pada beberapa level. Mereka menyatakan selain adanya gradient aktivitas,

didapatkan pula perbedaan onset dari kontraksi uterus di fundus, midzone dan uterus

bagian bawah. Larks (1960) mendeskripsikan bahwa stimulus kontraksi berasal kornu dan

beberapa milisekon kemudian sudah mencapai tempat lainnya, sehingga eksitasi akan

bergabung menjadi satu di fundus dan akan berjalan bersamaan ke bawah uterus.

2.2.2. Gangguan kontraksi uterus

Disfungsi uterus dapat dibedakan menjadi dua:

1. Disfungsi uterus hipotonik, yakni bagian basal uterus tidak hipertonus dan kontraksi

uterus simetris tetapi kekuatan selama kontraksi tidak cukup untuk membuat serviks

berdilatasi

Page 12: Inersia Uteri

2. Disfungsi uterus hipertonik atau disfungsi inkoordinasi, yakni kekuatan kontraksi bagian

basal berlebihan atau kekuatan dari fundus tidak tersalurkan dengan baik ke seluruh bagian

uterus

Montevideo dkk juga menemukan fakta bahwa tekanan kontraksi minimal untuk

mendilatasikan serviks adalah 15 mmHg. Hal ini sejalan dengan hasil yang ditemukan

Hendricks dkk yang melaporkan bahwa kuat kontraksi spontan yang normal biasanya 60

mmHg keatas. Dari observasi ini dapat disimpulkan ada 2 tipe dari disfungsi uterus yakni

hypotonus uterine dysfunction dan hyperteonic uterus dysfunction. Pada hypotonus uterine

dysfunction tidak ada hipertonus dan kontraksi uterus masih dalam pola normal, dan

kontraksi tersebut tidak cukup untuk mendilatasikan serviks. Pada hypertonic uterine

dysfunction, terjadi peningkatan tonus basal atau gangguan gradient tekanan. Gangguan

gradient tekanan dapat terjadi karena adaya kontraksi segmen uterus pada bagian selain

fundus, dan kontraksinya lebih kuat dari bagian fundus atau juga dapat terjadi asinkroni

dari impuls yang berasal dari kornu.

Gangguan kontraksi uterus dapat terjadi pada fase aktif (kala 1) ataupun pada kala 2.

2.2.3. Klasifikasi gangguan uterus

1. Inersia uterus hipotonik (Hypotonic Uterine Inertia)

Definisi

Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah dan dalam durasi yang pendek

Etiologi

Hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang dapat

mempengaruhi

Page 13: Inersia Uteri

1. Faktor umum

1. Primigravida terutama pada usia tua

2. Anemia dan asthenia

3. Perasaan tegang dan emosional

4. Pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin

5. Ketidaktepatan penggunaan analgetik

6. Faktor lokal

1. Overdistensi uterus

2. Perkembangan anomali uterus misal hipoplasia

3. Mioma uterus

4. Malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik

5. Kandung kemih dan rektum penuh

Tipe

1. Inersia Primer : Kontraksi uterus lemah sejak awal

2. Inersia Sekunder : Inersia berkembang setelah terdapat kontraksi uterus yang

sebelumnya baik

Gambaran klinis

1. Waktu persalinan memanjang

Page 14: Inersia Uteri

2. Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu pendek

3. Dilatasi serviks lambat

4. Membran biasanya masih utuh

5. Lebih rentan terdapatnya placenta yang tertinggal dan perdarahan paska persalinan

karena intarsia persisten

6. Tokografi : Gelombang kontraksi kurang dari normal dengan amplitude pendek

Penatalaksanaan

1. Pemeriksaan umum :

1. Pemeriksaan untuk menentukan disproporsi, malresentasi atau malposisi dan

tetalaksana sesuai dengan kasus

2. Penatalaksaan kala 1 yang baik

3. Pemberian antiobiotik pada proses persalinan yang memanjang terutama pada

kasus dengan membrane plasenta telah pecah

4. Amniotomi

1. Bila cervik telah berdilatasi > 3 cm

2. Bila presentasi bagian terbawah janin telah berada pada bagian bawah uterus

3. Ruptur membrane buatan (artificial) yang dapat menyebabkan augmentasi

kontraksi uterus. Hal ini terjadi karena pelepasan prostaglandin, dan terdapatnya

reflex stimulasi kontraksi uterus ketika bagian presentasi bayi semakin mendekati

bagian bawah uterus.

4. Oksitosin

Page 15: Inersia Uteri

5 unit oksitosin (syntocinon) dalam 500 cc glukosa 5% diberikan IV. Tetesan infuse

mulai dari 10 tetes/menit, dan kemudian meningkat secara bertahap sehingga

mendapatkan kontraksi uterus rata – rata 3x dalam 10 menit.

5. Metode persalinan

1. Persalinan per vaginam : Dengan menggunakan forceps, vakum atau ekstraksi.

Hal ini bergantung kepada bagian presentasi bayi, cerviks telah pembukaan

lengkap.

2. Operasi cesar sesario diindikasi pada : (1) Kegagalan denga metode tersebut, (2)

Kontraindikasi terhadap infuse oksitosin, missal pada kasus disproporsi, (3) Distres

fetal sebelum terjadi dilatasi cervical.

3. Inersia uterus hipertonus (Uncoordinated Uterine Action)

Tipe

1. Colicky uterus : Terjadi kontraksi uterus dari bagian uterus yang berbeda dan tidak

terdapat koordinasi yang baik

2. Segmen uterus bagian bawah hiperaktif : Sehingga dominasi bagian atas uterus menjadi

hilang.

Manifestasi Klinis

1. Persalinan menjadi memanjang

2. Kontaksi uterus tidak teratur dan lebih nyeri. Nyeri dirasakan sebelum dan selama

kontraksi

3. Tekanan istirahat intrauterine tinggi

Page 16: Inersia Uteri

4. Dilatasi cerviks lama

5. Ketuban pecah dini

6. Distress fetal dan maternal

Penatalaksaan

1. Pemeriksaan umum : Sama seperti inersia hipouteri

2. Pemberian analgesic dan antispasmodic, missal pethidine

3. Analgesia epidural memiliki keuntungan yang baik

4. Operasi cesar diindikasikan pada”

1. Kegagalan metode sebelumnya

2. Disproporsi

3. Distal fetus sebelum mengalami pembukaan sepertu

2.2.4. Faktor-faktor yang berpengaruh pada disfungsi uterus

1. Analgesia epidural

2. Perlu diperhatikan bahwa analgesia epidural dapat menyebabkan perlambatan proses

persalinan (Sharma and Leveno, 2000). Seperti yang tertera pada table berikut,

analgesia dapat memperlambat persalinan kala 1 dan kala 2

Page 17: Inersia Uteri

3. Korioamnionitis

Karena pada banyak kasus terdapat hubungan antara pemanjangan waktu persalinan

dengan infeksi intrapartum, beberapa klinisi menyimpulkan bahwa infeksi dapat

menyebankan aktivitas uterus yang tidak normal. Satin dkk (1992) mempelajari efek

korioamnionitis terhadap 266 stimulasi persalinan dengan oksitosin. Korioamnionitis

yang terdeteksi terlambat pada persalinan merupakan marker untuk operasi sexio,

namun korioamnitis yang ditemukan dini pada masa persalinan tidak diasosiasikan

dengan hal tersebut. Empat puluh persen wanita yang menderita korioamnionitis

setelah mendapatkan oksitosin untuk distosia persalinan pada akhirnya membutuhkan

sexio. Namun beberapa ahli berpendapat bahwa infeksi uterus merupakan konsekuensi

dari persalinan yang lama, bukan penyebab distosia.

4. Posisi ibu sewaktu persalinan

Berjalan-jalan sewaktu persalinan kala 1 dapat memperpendek waktu persalinan,

menurunkan jumlah oksitosin yang dibutuhkan nantinya, menurunkan kebutuhan

analgesia, dan menurunkan frekuensi episiotomi (Flynn dkk, 1978). Menurut Miller

(1983), uterus akan berkontraksi lebih sering dengan intensitas yang lebih kurang

dengan posisi supide dibandingkan dengan posisi miring. Kebalikannya, akan terjadi

bila posisi ibu duduk atau berdiri. Namun Bloom dkk (1998) membuktikan bahwa

ambulansi (berjalan-jalan) tidak mempercepat maupun memperlambat persalinan

pada wanita nullipara dan wanita multipara. The American College of Obstetricians and

Gynecologist (2003) telah menyimpulkan bahwa ambulasi tidak berbahawa dan

mobilitas dapat membuat si ibu lebih nyaman.

Page 18: Inersia Uteri

Pada kala 2 didapatkan banyak pendapat. Johnson dkk (1991) menemukan bahwa

penggunaan alat bantuan persalinan seperti kursi persalinan, pada beberapa RCT tidak

memiliki hasil yang dapat disimpulkan dan cenderung subjektif. Ada juga yang

melaporkan keuntungan dari menghindari posisi litotomi, sehingga akan didapatkan

pelvic outlet yang lebih luas. Russel (1969) melaporkan daerah pelvic outlet akan lebih

luas dengan posisi jongkok dibandingkan dengan supine. Sementara gupta dkk (1991)

melaporkan bawa tidak ada perbedaan dimensi pelvic outlet dengan posisi supine atau

jongkok. Crowley (1991) melaporkan tidak ada keuntungan yang lebih dari penggunaan

kursi persalinan, dan hal ini malah meningkatkan kejadian perdarahan. De Jong dkk

(1997) menemukan bahwa tidak ada peningkatan frekuensi perdarahan pada posisi

duduk. Posisi berdiri/tegak juga tidak mempengaruhi hasil obstetri pada persalinan kala

2, keuntungan yang didapatkan pada hal ini adalah nyeri ibu yang lebih kurang dan

kepuasan ibu terhadap pengalaman persalinan. Babayer dkk (1998) melaporkan bahwa

duduk atau jongkok yang terlalu lama pada persalinan kala 2 dapat menyebabkan

neuropati perineal.

5. Imersi air

Pendekatan ini ditujukan untuk mendapatkan relaksasi persalinan sehingga akan

menyebabkan persalinan yang lebih efisien dan lancar (Odent, 1983). Schorn dkk (1993)

melaporkan bahwa tekhnik ini tidak mempengaruhi dilatasi serviks, waktu persalinan,

rute kelahiranm atau penggunaan analgesia. Robertson dkk (1998) melaporkan bahwa

tekhnik imersi air tidak diasosiasikan dengan korioamnionitis ataupun endometriosis.

Kwee dkk (2000) melaporkan tekhnik imersi air dapat menurunkan tekanan darah ibu

dan tidak mempengaruhi tekanan darah fetus.

Page 19: Inersia Uteri

2.2.5. Diagnosis

Abnormalitas kontraksi uterus dibedakan berdasarkan fase menjadi:

1. Active Phase Disorder

Gangguan ini dibedakan lagi menjadi dua, yaitu protraction disorder dan arrest

disorder. Pada protraction disorder perkembangan yang terjadi lebih lambat dari

seharusnya (dilatasi serviks kurang dari 1 cm/ jam dalam pemantauan minimal 4 jam),

sedangkan pada arrest disorder , tidak ada perkembangan sama sekali. Kedua

diagnosis ini hanya dapat ditegakkan dalam keadaan wanita berada dalam fase aktif

dengan dilatasi minimal 4 cm. Delapan puluh persen wanita dengan active phase

disorder memiliki kontraksi uterus yang tidak adekuat (kurang dari 180 montevideo

unit).

2. Second Stage Disorder

Pada pembukaan lengkap, pada umumnya perempuan tidak dapat menahan rasa

ingin mendorong pada saat uterus berkonstraksi. Otot – otot abdomen akan

dikontraksikan berkali – kali untuk meningkatkan tekanan intra abdomen berkali – kali

untuk meningkatkan tekanan intra abdomen sepanjang kontraksi. Kontraksi uterus

dan otot abdomen mendorong janin keluar. Analgesia atau sedasi berat dapat

menurunkan reflex / rasa ingin berkonstraksi dan juga menurunkan kemampuan

perempuan untuk melakukan konstraksi otot abdomen.

Tabel 1 Pola persalinan Abnormal, Kriteria Diagnostik, dan Penatalaksanaan

Kriteria Diagnostik

Pola Nullipara Multipara Penatalaksanaan Penatalaksanaan

Page 20: Inersia Uteri

Persalinan khusus

Prolongation

Disorder

(Pemanjangan

Fase Laten)

> 20 jam > 14 jam Tirah baring Oksitosin atau section

cesarean pada

keadaan emergensi

Protraction

Disorders

1. Protracted

active – phase

dilatation

< 1.2 cm /

jam

< 1.5 cm Manajemen

ekspentansi

CPD

2. Protracted

descent

< 1.0 cm /

jam

< 2 cm / jam Manajemen

ekspentansi

CPD

Arrest

Disorders

1. Prolonged

deceleration

> 3 jam > 1 jam Oksitosin tanpa

CPD

Istirahat bila

kelelahan

2. Secondary

arrest of

dilatatiom

3. Arrest if

descent

> 2jam > 2 jam Sectio Cesarea

dngan CPD

Section Cesarea

Sumber : Cunningham F. Gary. Dystocia: abnormal labor. Wiliams Obstetrics. Edisi 22.

USA:Mc Graw-Hill.2005

Page 21: Inersia Uteri

1. Penatalaksanaan

Diperlukan pengawasan dalam persalinan lama oleh sebab apa pun. Penatalaksanaan

mencakup pengukuran tekanan darah tiap 4 jam, pencatatan denyut jantung janin tiap

setengah jam dalam kala I dan lebih sering dalam kala II, pemberian infus larutan glukosa

5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena bergantian, pemberian antinyeri berupa

petidin 50 mg. Selain pemeriksaan di atas juga perlu dilakukan pemeriksaan untuk

mengetahui apakah persalinan sudah benar dimulai atau tidak dan apakah terdapat

disproporsi sefalopelvik atau tidak.

Penatalaksanaan terhadap hypotonic uterine contraction meliputi:

1. Pemeriksaan keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya kepala janin dalam

panggul dan keadaan panggul

2. Memperbaiki keadaan umum ibu

3. Pengosongan kandung kencing serta rektum

4. Pemberian oksitosin, 5 satuan IU dalam laturan glukosa 5% diberikan infus intravena dengan

kecepatan 12 tetes per menit. Pemberian infus oksitosin memerlukan pengawasan

ketat. Infus dihentikan bila kontraksi uterus berlangsung lebih dari 60 detik atau kalau

denyut jantung janin melambat atau menjadi lebih cepat. Oksitosin jangan diberikan

pada grande multipara dan pernah mengalami seksio sesarea karena dapat

menyebabkan terjadinya ruptur uteri.

Penatalaksaan dalam hypertonic uterine contraction

Meliputi pengobatan secara simptomatis. Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi

pengurangan tonus otot dan ketakutan penderita.

Page 22: Inersia Uteri

1. Induksi dan Akselerasi persalinan

2.3.1. Definisi

Induksi persalinan adalah merangsang uterus untuk memulai terjadinya persalinan

Akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus

dalam persalinan

2.3.2. Tujuan

Tujuan tindakan tersebut adalah mencapai his 3x dalam 10 menit, lamanya 40 detik

2.3.3.Metode Induksi dan Akselerasi

1. Oksitosin

Prasyarat

1. Diberikan ketika proses kehamilan telah berada dalam fase aktif

2. Keadaan jalan lahir ibu memungkinkan bayi dapat lahir dengan perhitungan:

(1)Konjugata diagonalis normal, (2) Dinding dalam pelvis parallel, (3) Spina

ishiadika tidak prominen, (4) Sakrum tidak mendatar, (5) Sudut subpubik tidak

sempit, (6) Kepala bayi telah melewati pintu atas panggul atau telah turun dengan

tekanan dari fundus.

Indikasi

1. Induksi atau augmentasi

Pemantauan selama tindakan

Page 23: Inersia Uteri

2. Pemantauan denyut nadi, tekanan darah, dan kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut

jantung janin (DJJ)

3. Catat semua pengamatan pada partograf tiap 30 menit : (1) kecepatan infus

oksitosin, (2) frekuensi dan lamanya kontraksi, (3) Denyut jantung janin (DJJ).

Dengar DJJ tiap 30 menit dan selalu langsung setelah kontraksi. Apbila DJJ

kurang dari 100 menit/menit, segera hentikan infuse

Metode pemberian oksitosin

1. Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau garam fisiologik) mulai dengan

10 tetes per menit

2. Naikkan kecepatan infuse 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat

(3x tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) dan pertahankan sampai terjadi

kelahiran

3. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik) atau lebih dari 4

kali kontraksi dalam 10 menit, hentikan infuse dan kurangi hiperstimulasi

dengan: (1) Terbutalin 250 mcg IV pelan – pelan selama 5 menit, atau (2)

Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (gram fisiologis atau Ringer laktat) 10

tetes/menit

4. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih

dari 40 detik) setelah pemberian infuse oksitosin mencapai 60 tetes/menit: (1)

Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose (atau garam

fisologis) dan sesuaikan kecepatan infuse sampai 30 tetes/menit (15 mIU/menit),

(2)Naikkan kecepatan infuse 10 tetes per menit tap 30 menit sampai kontraksi

adekuat (3x tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) atau setelah infuse

oksitosin mencapai 60 tetes per menit

Page 24: Inersia Uteri

5. Jika masih tidak tercapai kontraksi yang adekuat dengan konsentrasi yang lebih

tinggi:

1. Pada multigravida, induksi dianggap gagal, lakukan seksio sesarea

2. Pada Primigravida, infuse oksitosin bisa dinaikkan konsentrasinya yaitu: 10 unit

dalam 500 ml dekstrose (atau garam fisiologik) 30 tetes per menit. Kemudian

naikkan 10 tetes tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat. Jika kontraksi tetap

tidak adekuat setelah 60 tetes per menit (60 mIU per menit, lakukan seksio

sesarea)

3. Jangan berikan oksitosin 10 unit dalam 500 ml pada multigravida dan pada bekas

seksio sesarea

4. Prostaglandin

Indikasi:

5. Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi persalinan

Pemantauan selama pemberian:

6. Pantau denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung

janin (DJJ). Catat semua pengamatan pada partograf

Metode pemberian:

7. Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg atau gel 2 – 3 mg ditempatkan pada

forniks posterior vagina dan dapat diulangi 6 jam kemudian (jika his tidak timbul)

8. Hentikan pemberian prostaglandin dan mulailah infuse oksitosin jika: (1) Ketuban

pecah, (2) Pematangan serviks telah tercapai, (3) Proses persalinan telah

berlangsung, (4) atau pemakaian prostaglandin telah 24 jam.

Page 25: Inersia Uteri

9. Misoprostol

Indikasi:

1. Penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks hanya pada kasus – kasus

tertentu misalnya : (1) Preeklampsia berat / eklampsia dan serviks belum matang

sedangkan seksio sesarea belum dapat segera dilakukan atau bayi terlalu

premature untuk bisa hidup, (2) Kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu

belum in partu, dan terdapat tanda – tanda ganguan pembekuan darah

Metode pemberian:

2. Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg di forniks posterior vagina dan jika his tidak

timbul dapat diulangi setelah 6 jam

3. Jika tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberian 25 mcg, naikkan dosis menjadi 50 mcg

tiap 6 jam

4. Jangan lebih dari 50 mcg setiap kali pakai, dan jangan lebih dari 4 dosis atau 200

mcg

5. Misoprostol mempunyai resiko meningkatkan kejadian rupture uteri. Oleh karena

itu, hanya dikerjakan di pelayanan kesehatan yang lengkap

6. Jangan memberikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol

7. Amniotomi

Indikasi:

1. Induksi atau augmentasi

2. Dari hasil pemeriksaan monitoring denyut jantung janin, diambil tindakan yang

dapat mencegah terjadinya janin jeopardy

Page 26: Inersia Uteri

3. Dari pemeriksaan kontraksi intrauterus, ketika dalam proses persalinan kontraksi

tidak memenuhi syarat

4. Elektif amniotomi dapat dilakukan untuk mendeteksi mekonium

Pemantauan selama tindakan:

1. Periksa denyut jantung janin

2. Lakukan pemeriksaan serviks dan catat konsistensi , posisi, penipisan, dan bukaan

serviks dengan menggunakan sarung tangan DTT

Tekhnik tindakan

1. Masukkan ½ kokher yang dipegang tangan kiri dengan bimbingan telunjuk dan jari

tengah tangan kanan hingga menyentuh selaput ketuban

2. Gerakkan kedua ujung jari tangan dalam untuk menorehkan gigi kokher hingga

merobek selaput ketuban

3. Cairan ketuban akan mengalir perlahan. Catat warnanya, kejernihan, pewarnaan,

mekonium,jumlahya. Jika ada pewarnaan mekoneum, suspek gawat janin

4. Pertahankan jari tangan dalam vagina agar cairan ketuban mengalir perlahan dan

ykin tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat yang menumbung

5. Setelah amniotomi, periksa DJJ pada saat kontraksi dan sesudah kontraksi uterus.

Apabila ada kelainan DJJ (kurang dari 100 atau lebih dari 180 DJJ/menit)

suspek gawat janin

6. Jika kelahiran diperkirakan tidak terjadi dalam 18 jam, berikan antibiotka

pencegahan: PenisilinG 2 juta unit IV atau ampisilin 2g IV (ulangi tiap 6 jam

sapai kelahiran). Jika pasien tidak ada tanda – tanda infeksi sesudah kelahiran,

antibiotik dihentikan

7. Jika proses persalinan yang baik tidak terjadi dalam 1 jam setelah amniotomi,

mulailah dengan infuse oksitosin

Page 27: Inersia Uteri

8. Pada persalinan dengan masalah misalnya sepsis atau eklampsia,infus oksitosin

dilakukan bersamaan dengan amniotomi

9. Kateter Foley

Indikasi:

1. Kateter foley merupakan alternative lain di samping pemberian prostaglandin untuk

mematangkan serviks dan induksi persalinan

2. Jangan lakukan kateter Foley jika ada riwayat perdarahan, ifeksi vaginal, ketuban

pecah, pertumbuhan janin terhambat

Metode tindakan

3. Pasang speculum DTT di vagina

4. Masukkan kateter Foley pelan – pelan melalui serviks dengan menggunakan forsps

DTT. Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum

5. Gelumbangkan balon kateter dengan menggunakan 10 ml air

6. Gulung sisa kateter dan letakkan di vagina

7. Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau sampai 12 jam

8. Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkan kateter, kemudian lanjutkan dengan

infuse oksitosin

9. Laminaria

1. Dengan menggunakan laminaria dapat tercapai pematangan cerviks. Dapat dipasang

saat malam hari sebelum dilakukan kelahiran pada keesokan harinya

2. Stripping Membranes

Metode tindakan:

Page 28: Inersia Uteri

1. Memasukkan tangan telunjuk ke dalam ostium sedalam mungkin dan kemudian

memutari ostium 360 derajat hingga 2 x putaran.

Komplikasi:

2. Dapat berpotensi menimbulkan infeksi, perdarahan dari plasenta previa yang tidak

terdiagnosa sebelumnya atau plasenta letak rendah, dan resiko rupture membrane

1. PENYAKIT HIPERTENSI SELAMA KEHAMILAN

2.4.1 Klasifikasi

1. Hipertensi dalam kehamilan / Hipertensi Gestasional

2. Preeklampsia

3. Eklampsia

4. Preeclampsia superimposed on chronic hypertension

5. Hipertensi kronik

Tabel 1. Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan1

Hipertensi Gestasional

Tekanan Darah (TD) > 140/90 mm Hg untuk pertama kali selama kehamilan

Tidak ada proteinuria

TD kembali normal < 12 minggu postpartum

Diagnosis akhir dibuat saat postpartum

Mungkin memiliki tanda atau gejala preeklampsia seperti nyeri epigastrium atau

trombositopenia

Page 29: Inersia Uteri

Preeklampsia

Kriteria minimal

TD > 140/90 mm Hg setelah usia kehamilan 20 minggu

Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ dipstick

Tanda dan gejala yang lebih mengarah pada preeclampsia

TD > 160/110 mg Hg

Proteinuria 2.0 g/24 hours atau > 2+ dipstick

Kreatinin darah > 1.2 mg/dL kecuali diketahui terdapat peningkatan dari sebelumnya

Trombosit < 100,000/mm

Hemolisis mikroangiopati (Peningkatan LDH)

Peningkatan ALT atau AST

Sakit kepala menetap atau gangguan penglihatan

Nyeri epigastrium menetap

Eklampsia

Kejang yang tidak dapat diketahui penyebab lainnya pada wanita dengan preeclampsia

Superimposed Preeclampsia on chronic hypertension

Proteinuria onset baru > 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi tapi tanpa

Page 30: Inersia Uteri

proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu

Peningkatan cepat proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit < 100.000 pada

wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu

Hipertensi Kronik

TD > 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan 20

minggu

Atau

Hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap setelah

12 minggu

1. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN / HIPERTENSI GESTASIONAL

2.5.1.Definisi

Tekanan darah sistolik > 140 mm Hg dan/atau diastolik > 90 mm Hg pada 2 kali

pemeriksaan yang berjarak kurang lebih 6 jam setelah usia kehamilan 20 minggu pada

wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal sebelum kehamilan atau sebelum

usia kehamilan 20 minggu.

Hipertensi gestasional dikatakan memberat bila terdapat peningkatan tekanan darah

sistolik mencapai > 160 mm Hg dan/atau diastolik > 100 mm Hg.

2.5.2.Insiden

Page 31: Inersia Uteri

Hipertensi gestasional adalah penyebab paling sering masalah hipertensi selama kehamilan

dengan insiden berkisar antara 6-17% pada wanita nulipara dan antara 2-4% pada wanita

multipara. Angka ini akan meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia

sebelumnya dan kehamilan ganda. Wanita dengan hipertensi gestasional dapat

berkembang menjadi preeklampsia dengan tingkat progresi tergantung dari usia gestasi

saat didiagnosis.

2.5.3.Perawatan Antepartum

Pengobatan optimal pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan sebelum usia

kehamilan 37 minggu masih kontroversial. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai

manfaat rawat inap, istirahat total, dan penggunaan obat antihipertensi.

Rawat inap

Dari berbagai penelitian, wanita dengan hipertensi gestasional, hipertensi ringan, dan

preeklampsia ringan disarankan untuk berobat jalan saja. Namun bila ada peningkatan

tekanan darah secara cepat menjadi nilai yang berat atau terdapat proteinuria (2+ atau

lebih) membutuhkan perawatan di RS untuk evaluasi yang lebih ketat.

Istirahat

Istirahat total atau sementara selama kehamilan sering disarankan untuk wanita dengan

hipertensi ringan-preeklampsia. Namun tidak ada bukti terbaru yang mendukung

rekomendasi ini meningkatkan outcome kehamilan. Sebagai tambahan, tidak ada penelitian

yang membandingkan istirahat total dengan pembatasan aktivitas pada tatalaksana wanita

dengan preeklampsia ringan. Di lain pihak, istirahat yang terlalu lama meningkatkan risiko

tromboemboli.

Page 32: Inersia Uteri

Obat Antihipertensi

Sudah banyak penelitian yang membandingkan penggunaan obat antihipertensi dengan

tanpa pengobatan atau placebo pada pengobatan wanita dengan hipertensi ringan atau

preeklampsia. Secara umum, penelitian ini menunjukkan tingkat progresi menjadi berat

yang rendah, dengan tidak ada perbedaan pada outcome perinatal.

Suplementasi

Berdasarkan hasil penelitian, suplementasi kalsium atau aspirin dosis rendah perlu

diberikan secara rutin untuk mencegah preeklampsia pada wanita nulipara. Sedangkan,

pemberian zinc, magnesium, minyak ikan, dan vitamin C dan E tidak perlu diberikan secara

rutin.

Pengawasan Ibu dan Janin

Tujuan pemantauan pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan adalah untuk

observasi terjadinya perburukan. Semua wanita perlu dievaluasi adanya gejala disfungsi

organ seperti sakit kepala berat, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, mual-muntah

sesak napas, dan penurunan volume urin. Juga dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti

protein urin 24 jam, kreatinin darah, trombosit, dan enzim hati. Evaluasi terhadap janin

yang disarankan adalah taksiran berat janin, indeks cairan amnion, velosimetri Doppler.

2.5.4.Rekomendasi Tatalaksana

Page 33: Inersia Uteri

Tujuan utama manajemen wanita dengan hipertensi gestasional-preeklampsia adalah

keselamatan ibu dan persalinan bayi matur yang tidak membutuhkan perawatan neonatus

intensif dan lama.

Secara umum, wanita dengan hipertensi ringan yang muncul pada usia kehamilan 37

minggu dan normotensi memiliki outcome yang sama. Jadi, pada wanita dengan serviks

yang matang dekat atau sesuai waktu persalinan dan pasien tanpa komplikasi sebaiknya

menjalani induksi persalinan. Namun bila serviks belum matang dapat diberikan

prostaglandin dan dilakukan induksi persalinan karena pada ibu terjadi peningkatan risiko

solusio plasenta dan progresi penyakit menjadi berat. Persalinan juga disarankan pada

wanita dengan usia kehamilan > 34 minggu bila terdapat ruptur membran, tanda

persalinan, pemeriksaan janin abnormal, dan pertumbuhan intrauterin terhambat.

Pada wanita yang tidak dilakukan persalinan, disarankan untuk makan seperti biasa tanpa

pengurangan garam, mengurangi aktivitasnya tapi tidak istirahat total. Penggunaan diuretik

atau obat antihipertensi tidak disarankan karena dapat menutupi gejala perburukan,

kecuali yang memang sudah mengalami preeklampsia berat. Saat kunjungan, wanita ini

perlu diedukasi dan diminta untuk melaporkan gejala preeklampsia berat. Mereka juga

disarankan untuk secepatnya datang ke RS bila mengalami nyeri perut, kontraksi uterus,

perdarahan vagina, atau penurunan gerakan janin.

Page 34: Inersia Uteri

2.5.5. Outcome ibu dan perinatal

Beberapa penelitian membandingkan outcome kehamilan pada wanita dengan hipertensi

gestasional dengan normotensi dan preeklampsia berat. Usia kehamilan saat persalinan

dan berat lahir pada wanita dengan hipertensi gestasional lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita normotensi. Begitu juga dengan angka induksi persalinan dan operasi

caesar. Di lain pihak, morbiditas maternal dan perinatal meningkat pada wanita dengan

hipertensi gestasional berat. Namun, angka abruptio placentae, kehamilan preterm, dan

bayi kecil masa kehamilan memiliki perbandingan yang sama dengan wanita preeklampsia

berat.

Page 35: Inersia Uteri

2. EKSTRAKSI VAKUM

2.6.1. Definisi

Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala

pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena

itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor

yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke

arah yang sama. Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman

yang dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akan

memegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk

dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melalui

seutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (oleh

kontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum).

2.6.2. Indikasi

Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/verteks.

2.6.3. Kontraindikasi

Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong).

Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul).

2.6.4.Syarat khusus

Pembukaan lengkap atau hampir lengkap

Presentasi kepala

Page 36: Inersia Uteri

Cukup bulan (tidak prematur)

Tidak ada kesempitan panggul

Anak hidup dan tidak gawat janin

Penurunan H III/III+ (Puskesmas H IV / dasar panggul)

Kontraksi baik

Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan

2.6.6.Prinsip ekstraksi vakum:

Membuat suatu caput succadeneum artifisialis dengan cara memberikan tekanan negatif

pada kulit kepala janin melalui alat ekstraktor vakum.

Gambar 1. Caput Succadeneum

Page 37: Inersia Uteri

Gambar 2. Pemasangan cawan penghisap dalam keadaan miring

2.6.7. Langkah-langkah klinik

1. Persetujuan tindakan

2. Persiapan sebelum tindakan

B.I. Pasien

1. Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha sudah

dibersihkan dengan air dan sabun.

2. Uji fungsi dan perlengkapan perlatan ekstraksi vakum.

3. Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.

4. Medikamentosa

1. Oksigen

2. Ergometrin

3. Prokain 1%

1.Larutkan antiseptik (Povidon lodin 10%)

2.Oksigen dengan regulator

Page 38: Inersia Uteri

3.Instrumen

1. Set partus : 1 set

2. Vakum ekstraktor : 1 setc. Klem ovum : 2

3. Cunam tampon : 1

4. Tabung 5 ml dan jarum suntik No. 23 (sekali pakai) : 2

5. Spekulum Sim’s atau L dan kateter karet : 2 dan 1

B.II Penolong (operator dan asisten)

1. Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata pelindung : 3 set

2. Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang

3. Alas kaki (sepatu/”boot” karet) : 3 pasang

4. Instrumen

1. Lampu sorot : 1

2. Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1

B.III. Bayi

1. Instrumen

1. Penghisap lendir dan sudep/penekan lidah : 1 set

2. Kain penyeka muka dan badan : 2

3. Meja bersih, kering dan hangat (untuk tindakan) : 1

4. Inkubator : 1 set

5. Pemotong dan pengikat tali pusat : 1 set

Page 39: Inersia Uteri

6. Tabung 20 ml dan jarum suntik No. 23/ insulin (sekali pakai) : 2

7. Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2

8. Popok dan selimut : 1

9. Alat resusitasi bayi

2. Medikamentosa

1. Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%

2. Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB

3. Epinefrin 0,01%

4. Antibiotika

5. Akuabidestilata dan Dekstrose 10%

1. Oksigen dengan regulator

1. Pencegahan infeksi sebelum tindakan

2. Tindakan

1. Instruksikan asisten untuk menyipakan ekstraktor vakum dan pastikan

petugas dan persiapan untuk menolong bayi telah tersedia.

2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terpenuhinya persyaratan

ekstraksi vakum.

1. Bila penurunan kepala di atas H IV (0/5), rujuk ke Rumah Sakit.

2. Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%,

bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan,

Page 40: Inersia Uteri

lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut.

3. Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.

1. Pemasangan mangkok vakum

1. Masukkan mangkok vakum melalui introitus, pasangkan pada kepala bayi

(perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak

rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil).

2. Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan

jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi

mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit

di antara mangkok dan kepala.

3. Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan

dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya.

4. Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam

mangkok) secra bertahap.

5. Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau -2 (Malmstroom) setelah 2

menit, naikkan hingga skala 60 (silastik) atau -6 (Malmstroom) dan tunggu 2

menit.

Ingat : Jangan gunakan tekanan maksumal pada kepala bayi, lebih dari 8

menit.)

6. Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase

acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut

dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif.

1. Penarikan

Page 41: Inersia Uteri

1. Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara

simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada

saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.

2. Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua.

Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat

kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.

Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir, sebaiknya

pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).

Apabila pada penarikan ternyata mangkuk terlepas hingga dua kali, kondisi

ini juga mengharuskan pasien dirujuk.

1. Saat subosiput berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga

lahirlah berturut-turut dahi, muka dan dagu.

1. Melahirkan bayi

1. Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu

depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang,

kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi.

2. Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat

dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.

2. Lahirkan plasenta

1. Suntikkan oksigen, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik

tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.

2. Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas

atau tidak lengkap).

3. Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).

Page 42: Inersia Uteri

1. Eksplorasi jalan lahir

1.Masukkan spekulum Sim’s/L atas dan bawah pada vagina.

2.Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau

robekan pada dinding vagina di tempat lain.

3.Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke

arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio.

4.Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan dan lanjutkan ke

langkah K.

5.Bila dilakukan episiotomi, lanjutkan ke langkah J.

2. Penjahitan episiotomi

1.Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah

disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot,

jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah.

2.Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset

bergigi.

3.Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampon dan kain

penutup perut bawah dengan kocher.

4.Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara

jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara

subkutikuler atau jelujur matras.

5.Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat

dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.

6.Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah

diberi larutan antiseptik.

Page 43: Inersia Uteri

7.Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan

episiotomi.

1. Dekontaminasi

2. Cuci tangan pascatindakan

3. Perawatan pascatindakan

1.Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi lanjut bila

diperlukan.

2.Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom yang

tersedia dalam status pasien.

3.Tegaskan pada petugas yang merawat untuk melaksanakan instruksi

pengobatan dan perawatan serta laporkan segera bila pada pemamntauan

lanjutan terjadi perubahan-perubahan yang harus diwaspadai.

2.6.8.Kriteria Kegagalan Ekstraksi Vakum

1. Cawan penghisap terlepas lebih dari 3 kali saat melakukan traksi dan hal ini biasanya

terjadi oleh karena :

1. Tenaga vakum terlampau rendah (seharusnya -0.8 kg/cm2) oleh karenakerusakan pada

alat atau pembentukan caput succedaneum yang terlampau cepat ( < 0.2 kg/cm2 per 2

menit)

2. Terdapat selaput ketuban atau bagian jalan lahir yang terjepit diantara cawan penghisap

dengan kepala anak.

3. Saat melakukan traksi : kedua tangan penolong tidak bekerja secara harmonis, traksi

dengan arah yang tidak tegak lurus dengan bidang cawan penghisap atau traksi

dilakukan dengan tenaga yang berlebihan.

4. Terdapat gangguan pada imbang sepalopelvik (CPD)

Page 44: Inersia Uteri

5. Setelah dilakukan traksi selama 30 menit, janin belum dapat dilahirkan.

2.6.9. Komplikasi

Pada Ibu :

6. Perdarahan

7. Infeksi jalan lahir

8. Trauma jalan lahir

Pada anak :

1. Ekskoriasi dan nekrosis kulit kepala

2. Cephal hematoma

3. Subgaleal hematoma

4. Perdarahan intrakranial

5. Perdarahan subconjuntiva, perdarahan retina

6. Fraktura klavikula

7. Distosia bahu

8. Cedera pada syaraf cranial ke VI dan VII

9. Erb paralysa

10. Kematian janin

2.6.10.Keunggulan ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:

1. Tehnik pelaksanaan relatif lebih mudah

2. Tidak memerlukan anaesthesia general

Page 45: Inersia Uteri

3. Ukuran yang akan melewati jalan lahir tidak bertambah (cawan penghisap tidak

menambah ukuran besar bagian anak yang akan melwati jalan lahir)

4. Trauma pada kepala janin relatif rendah

2.6.11.Kerugian ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:

1. Proses persalinan membutuhkan waktu yang lebih lama.

2. Tenaga traksi pada ekstraktor vakum tidak sekuat ekstraksi cunam.

3. Pemeliharaan instrumen ekstraktor vakum lebih rumit.

4. Ekstraktor vakum lebih sering menyebabkan icterus neonatorum.

2.6.12.Berbagai rekomendasi berkaitan dengan tindakan ekstraksi vakum :

1. Klasifikasi persalinan dengan ekstraksi vakum hendaknya menggunakan klasifikasi yang

sama dengan ekstraksi cunam.

2. Indikasi dan kontraindikasi yang dipakai dalam ekstraksi cunam hendaknya juga

digunakan pada ekstraksi vakum.

3. Ekstraksi vakum tidak boleh dilakukan pada kepala yang masih belum engage atau

diatas station 0.

4. Operator hendaknya memiliki pengalaman yang cukup dalam menggunakan peralatan

ekstraksi vakum.

5. Operator harus segera menghentikan usaha persalinan pervaginam dengan ekstraksi

vakum bila cawan penghisap terlepas sampai 3 kali saat melakukan traksi.

2.7 ANEMIA DALAM KEHAMILAN

2.7.1 Definisi

Pengukuran hematologi telah dilakukan secara luas pada wanita hamil yang sehat. Seperti

ditunjukkan pada Tabel 51-1, anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin kurang

Page 46: Inersia Uteri

dari 12 g/dl pada wanita tidak hamil dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau

puerperium. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (1990) mendefinisikan anemia

sebagai kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga dan kurang dari 10,5 g/dl

pada trimester kedua (Tabel 1).

Tabel 1. Konsentrasi Hemoglobin pada 85 wanita sehat

Hemoglobin (g/dL) Tidak Hamil Pertengahan

Kehamilan

Akhir Kehamilan

Mean 13.7 11.5 12.3

Less than 12.0 1% 72% 36%

Less than 11.0 None 29% 6%

Less than 10.0 None 4% 1%

Lowest 11.7 9.7 9.8

From Scott and Pritchard (1967), with permission

Kurangnya hemoglobin selama kehamilan disebabkan oleh ekspansi yang relatif lebih besar

dari volume plasma bila dibandingkan dengan peningkatan volume sel darah merah.

Ketidakseimbangan antara peningkatan plasma dan eritrosit yang ditambahkan ke sirkulasi

ibu selama trimester kedua adalah yang terbesar. Physiologicalanemia jangka panjang yang

digunakan untuk menjelaskan proses ini adalah oksimoron dan harus dibuang. Terlambat

dalam kehamilan, ekspansi plasma pada dasarnya berhenti sementara massa hemoglobin

terus meningkat.

Setelah melahirkan, tingkat hemoglobin biasanya berfluktuasi ke tingkat yang sederhana

dan kemudian naik dan biasanya melebihi pada saat tidak hamil. Tingkat dan jumlah

Page 47: Inersia Uteri

peningkatan pada awal puerperium adalah hasil dari hemoglobin yang ditambahkan selama

masa kehamilan dan jumlah kehilangan darah pada saat kelahiran dimodifikasi oleh

penurunan puerperal volume plasma.

2.7.2 Frekuensi

Frekuensi anemia selama kehamilan terutama tergantung pada suplemen zat besi. Ini lebih

umum di kalangan wanita miskin. Taylor dan rekan-rekan (1982) melaporkan bahwa syarat-

syarat tingkat hemoglobin rata-rata 12,7 g/dL pada wanita yang meminum suplemen besi

dibandingkan dengan 11,2 g/dL untuk wanita yang tidak mengambil meminum suplemen

besi. Bodnar dan rekan (2001) mempelajari sebuah kohort dari 59.248 kehamilan dan

menemukan prevalensi 27 persen untuk kelahiran anemia. Meskipun hal ini sangat

berkorelasi dengan anemia sebelum hamil, ditemukan dalam 21 persen perempuan

dengan tingkat hemoglobin normal.

2.7.3 Etiologi dan Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anemia Pada Kehamilan

Etiologi yang lebih umum dijumpai pada kehamilan dengan anemia tercantum dalam Tabel

2. Spesifik penyebab anemia sangat penting ketika mengevaluasi efek pada hasil

kehamilan. Sebagai contoh, ibu dan perinatal terdapat perubahan nyata pada wanita

dengan anemia sel sabit.

Tabel 2. Etiologi Anemia Selama Kehamilan

Acquired

Page 48: Inersia Uteri

Iron-deficiency anemia

Anemia caused by acute blood loss

Anemia of inflammation or malignancy

Megaloblastic anemia

Acquired hemolytic anemia

Aplastic or hypoplastic anemia

Hereditary

Thalassemias

Sickle-cell hemoglobinopathies

Other hemoglobinopathies

Hereditary hemolytic anemias

Kebanyakan penelitian tentang dampak anemia pada kehamilan, menggambarkan suatu

populasi yang besar. Hal ini mungkin berhubungan dengan nutrisi dan khususnya yang

disebabkan oleh kekurangan zat besi. Klebanoff dan rekan (1991) meneliti hampir 27.000

wanita dan menemukan sedikit peningkatan risiko kelahiran prematur dengan anemia pada

midtrimester. Lieberman dan rekan (1987) menemukan hubungan dengan hematokrit yang

rendah dan lahir prematur pada perempuan hitam. Anemia dapat berhubungan dengan

pertumbuhan janin yang terhambat, menurut Barker dan rekan (1990), dapat

menyebabkan penyakit kardiovaskuler pada saat dewasa. Kadyrov dan rekan (1998) telah

Page 49: Inersia Uteri

memberikan bukti bahwa anemia ibu mempengaruhi vaskularisasi plasenta dengan

mengubah angiogenesis pada awal kehamilan.

Menurut World Health Organization, anemia memberikan kontribusi hingga 40 persen

kematian ibu di negara-negara dunia ketiga (Viteri, 1994). Yang pertama kali ditemukan

paradoks adalah bahwa, ironisnya, wanita sehat dengan konsentrasi hemoglobin juga lebih

tinggi pada peningkatan risiko untuk kehamilan yang merugikan hasil. Temuan terakhir ini

mungkin akibat dari membatasi ekspansi volume darah normal kehamilan. Sebagai contoh,

Murphy dan rekan (1986) dijelaskan di atas 54.000 kehamilan tunggal di Cardiff Kelahiran

Survey dan melaporkan morbiditas perinatal berlebihan dengan konsentrasi hemoglobin

ibu yang tinggi. Scanlon dan rekan (2000) mempelajari hubungan antara tingkat

hemoglobin ibu dan prematur atau Pembatasan pertumbuhan bayi dalam 173.031

kehamilan. Konsentrasi hemoglobin wanita usia tiga standar deviasi di bawah rata-rata

pada 12 minggu mempunyai risiko 1,7 kali lipat dari kelahiran prematur. Sebaliknya,

perempuan yang tingkat tiga standar deviasi di atas rata-rata pada 12 atau 18 minggu

adalah 1,3

2.7.5 Tanda dan Gejala

Letargi dan mudah lelah adalah gejala umum pada kehamilan, banyak wanita akan

mengganggap hal ini normal dan tidak mengeluh. Vasodilatasi perifer yang membuat

kemerahan jarang terjadi dan membuat diagnosis anemia sulit ditegakkan. Pemeriksaan

hemoglobin mengurangi terjadinya keadaan anemia pada saat melahirkan.

2.7.6 Anemia Defisiensi Besi

Dua penyebab paling umum anemia selama kehamilan dan puerperium adalah kekurangan

zat besi dan kehilangan darah akut. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (1989)

memperkirakan bahwa sekitar 8 juta wanita Amerika usia adalah kekurangan zat besi.

Page 50: Inersia Uteri

Dalam kehamilan tunggal, kebutuhan besi ibu rata-rata hampir 800 mg-300 mg untuk janin

dan plasenta dan 500 mg, jika tersedia, untuk ekspansi massa hemoglobin ibu. Lebih dari

200 mg melalui usus, saluran kemih, dan kulit. Jumlah total (1000 mg) jauh melebihi

sebagian besar jumlah besi dalam tubuh dan mengakibatkan kekurangan zat besi anemia.

Dengan ekspansi volume darah yang sedikit lebih cepat selama trimester kedua,

kekurangan zat besi sering dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi hemoglobin. Pada

trimester ketiga, besi tambahan diperlukan untuk meningkatkan hemoglobin ibu dan untuk

transportasi ke janin. Karena jumlah besi ditransfer ke janin mirip dengan keadaan normal

dan pada ibu defisiensi besi, bayi yang baru lahir pada ibu yang menderita anemia yang

parah tidak akan menderita anemia defisiensi besi.

2.7.7 Diagnosis

Bukti morfologis klasik anemia kekurangan zat besi-eritrosit microcytosis-hypochromia dan

kurang diucapkan pada wanita hamil dibandingkan dengan pada wanita tidak hamil.

Anemia defisiensi zat besi selama kehamilan yang moderate biasanya tidak disertai dengan

jelas perubahan-perubahan morfologis eritrosit. Kadar feritin serum, bagaimanapun lebih

rendah daripada biasanya, dan tidak ada stainable sumsum tulang besi. Anemia defisiensi

zat besi selama kehamilan adalah akibat perluasan ekspansi volume plasma tanpa massa

hemoglobin. Evaluasi awal wanita hamil dengan anemia yang moderat harus mencakup

pengukuran hemoglobin, hematokrit, dan indeks sel darah merah; hati-hati pemeriksaan

darah perifer. Kadar feritin serum menurun selama kehamilan normal (Goldenberg dan

rekan, 1996). Kurang dari 15 g/L mengkonfirmasi anemia defisiensi besi. Van den Broek

dan rekan (1998) menemukan bahwa titik cutoff 30 g / L memiliki 85 persen positif dan nilai

prediksi negatif sebesar 90%.

Ketika seorang wanita hamil dengan anemia defisiensi zat besi yang moderat diberikan

terapi besi yang memadai, sebuah respons hematological terdeteksi terjadi peningkatan

Page 51: Inersia Uteri

retikulosit. Laju peningkatan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit biasanya lebih

lambat dari pada wanita tidak hamil karena perbedaan dalam volume darah.

2.7.8 Tatalaksana

Koreksi anemia dan cadangan zat besi dapat dicapai dengan senyawa besi sederhana, besi

sulfat, Fumarat, atau glukonat, yang menyediakan sekitar 200 mg per hari unsur besi. Jika

perempuan tidak dapat atau tidak akan mengambil besi peroral, terapi parenteral harus

diberikan (Andrews, 1999; Hallak dan rekan, 1997). Ada peningkatan setara tingkat

hemoglobin pada wanita yang diberikan, baik peroral maupun parenteral (Bayouneu dan

kolega, 2002; Sharma dan rekan, 2004).

Transfusi sel darah jarang diindikasikan kecuali terjadi hipovolemia akibat kehilangan darah

atau prosedur operasi darurat harus dilakukan pada wanita anemia berat. Untuk mengisi

kembali cadangan besi, terapi oral harus dilanjutkan selama 3 bulan setelah anemia

diperbaiki.

2.7.9 Anemia Akibat Kehilangan Darah Akut

Pada awal kehamilan, anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah akut adalah akibat

dari aborsi, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Lebih umum, anemia dari perdarahan

obstetri ditemukan setelah lahir. Pendarahan massif harus diberikan penanganan segera.

Setelah hipovolemia sudah teratasi dan hemostasis tercapai, anemia residu ditatalaksana

dengan besi. Pada wanita dengan anemia yang moderat (Hb lebih dari 7 g/dl) dengan

hemodinamik stabil, dapat ambulasi tanpa gejala, dan tidak ada septik, terapi besi

diberikan selama 3 bulan.

Page 52: Inersia Uteri

BAB III

PEMBAHASAN KHUSUS

Wanita, 25 tahun, dengan G2P1 datang ke rumah sakit dengan ketuban pecah 1 ½ jam. Ketuban

pecah pada pasien ini disertai pengeluaran lendir dan darah (bloody show). Pasien juga

mengalami kontraksi yang semakin bertambah sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Dari

pemeriksaan status obstetrikus didapatkan portio yang semakin menipis dengan tebal ½ cm

dengan pembukaan 7 cm. Data-data tersebut menunjukan bahwa pasien sudah mengalami in

partu yaitu berada dalam PK I aktif. Namun, dari pemeriksaan didapatkan his 2x/10’/30”. His

pada pasien ini termasuk his yang tidak adekuat jika dibandingkan dengan fase persalinan

sehingga dapat dikatakan pada pasien ini terdapat inersia uteri pada PK I aktif.

Page 53: Inersia Uteri

Inersia uteri pada PK I aktif dapat berupa protraction disorder dan arrest disorder. Pada

protraction disorder perkembangan yang terjadi lebih lambat dari seharusnya (dilatasi serviks

kurang dari 1 cm/ jam dalam pemantauan minimal 4 jam), sedangkan pada arrest disorder ,

tidak ada perkembangan sama sekali. Pada pasien ini tidak diketahui jenis gangguan inersia uteri

karena pembukaan awal tidak diketahui dan observasi 4 jam tidak dilakukan. Namun,

berdasarkan his yang tidak adekuat yaitu 2x/10’/30” dapat dilihat bahwa terdapat inersia uteri

hipotonik dimana kontraksi uterus kurang dari normal, lemah dan dalam durasi yang pendek.

Penyebab inersia uteri hipotonik (Hypotonic Uterine Ineartia) belum diketahui, namun pada

pasien ini di dapatkan faktor resiko anemia yang diketahui dari surat rujukan yaitu pasien di

rujuk dari Puskesmas Tebet karena Hb rendah. Hal ini diperkuat dengan adanya konjungtiva

pucat pada mata dan dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 7,4. Adanya

dispropori sefalopelvik masih mungkin dipikirkan karena belum diketahui pelvimetri klinis pada

pasien ini. Namun dari taksiran berat janin 3307 gram dengan riwayat melahirkan bayi 3200

gram, kemungkinan terjadinya CPD hanya sedikit meskipun belum dapat disingkirkan.

Dari pemeriksaan USG didapatkan janin tunggal hidup dengan denyut jantung janin

dalam batas normal dan gerakan janin masih aktif, maka dipikirkan untuk partus pervaginam

sehingga dilakukan penguatan atau augmentasi dari kontraksi uterus. Augmentasi dilakukan

dengan pemberian Oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL yang dimulai dengan 8 tetes permenit

kemudian dinaikan 4 tetes dalam 30 menit sampai didapatkan his yang adekuat. Tiga puluh

menit setelah pemberian Oksitosin dicapai keadaan his yang adekuat dengan 8 tetes permenit

dan direncanakan untuk penilaian ulang 3 jam kemudian. Empat puluh menit kemudian

didapatkan pembukaan lengkap sehingga ibu dipimpin meneran. Namun selama 20 menit

dipimpin meneran, bayi belum lahir. Hal ini dapat disebabkan karena his yang tidak adekuat (his

4x/10’/35) dan kelelahan pada pasien yang disebabkan oleh anemia. Dari pemeriksaan denyut

jantung janin didapatkan denyut jantung janin mengalami penurunan yaitu 80-90 dpm di luar

dan di dalam his. Hal ini dinyatakan sebagai gawat janin pada PK II sehingga harus dilakukan

persalinan segera. Pengakhiran persalinan pada PK II dapat berupa sectio caesaria cito, ekstraksi

vakum dan forcep atau cunam. Pada pasien dilakukan upaya partus percobaan pervaginam,

sehingga dipilih persalinan dengan ekstraksi vakum atau forcep.

Page 54: Inersia Uteri

Pemilihan vakum atau forcep tergantung pada keadaan ibu dan janin, tetapi keduanya

memiliki syarat dan indikasi yang sama yaitu pembukaan sudah lengkap, presentasi kepala, tidak

ada kesempitan panggul, dan tidak prematur. Pada ekstraksi vakum tetap dibutuhkan sinergi

antara tenaga mengedan ibu dengan tenaga dari ekstraksi vakum. Pada pasien sebaiknya

dilakukan ekstraksi dengan forcep atau cunam mengingat his pada pasien tidak adekuat dan

pasien mengalami anemia yang menyebabkan pasien tidak mempunyai cukup tenaga untuk

mengeluarkan janin. Namun dilihat dari teknik pelaksanaan yang relatif mudah dan trauma jalan

lahir pada pasien lebih sedikit maka ekstraksi vakum lebih dipilih, terutama untuk mencegah

kehilangan darah yang lebih banyak pada pasien dan mencegah anemia gravis.

Anemia pada pasien ini adalah anemia mikrositik hipokrom berdasarkan kadar Hb 7,4

mg/dL, MCV 55 pg dan MCH 17 fl. Anemia mikrositik hipokrom dapat disebabkan oleh defisiensi

besi atau thalasemia. Dari apus darah tepi di dapatkan gambaran anisositosis dan sel pencil,

sehingga kemungkinan anemia pada pasien ini adalah anemia defisiensi besi. untuk memastikan

anemia defisiensi besi perlu dilakukan pemeriksaan kadar feritin, serum iron dan TIBC. Kadar

hemoglobin saat pasien datang adalah 7,4 gr/dL dan kadar hemoglobin setelah melahirkan

adalah 6,9 g/dL sehingga dibutuhkan transfusi PRC pada pasien ini.

Pada pasien juga terdapat tekanan darah tinggi yang diukur pada saat datang ke rumah

sakit yaitu 160/90 mmHg. Tidak ada riwayat hipertensi pada saat sebelum hamil atau pada

kehamilan sebelumnya dan tidak ada proteinuria maka kemungkinan pasien menderita

hipertensi dalam kehamilan. Untuk menurunkan tekanan darah pada pasien dapat diberikan

tablet Nifedipine 4x10 mg sampai tekanan darah turun di bawah 140/90 mmHg.

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam mengingat tidak ada faktor yang

mengancam keselamatan pasien. Adanya anemia pada pasien dapat diatasi dengan transfusi

PRC. Prognosis ad functionam pada pasien adalah bonam karena dengan keadaan dan tindakan

yang dilakukan terhadap pasien tidak menimbulkan perlukaan hebat pada jalan lahir sedangkan

prognosis ad sanactionam pada pasien ini adalah bonam karena pasien tidak memiliki faktor

resiko untuk terjadinya inersia uteri pada kehamilan berikutnya kecuali jika pada kehamilan

berikutnya didapatkan kelainan yang bermakna. Prognosis ad vitam, ad functionam dan ad

sanactionam pada bayi adalah bonam karena tindakan ekstraksi vakum yang dilakukan pada

Page 55: Inersia Uteri

bayi yang aterm jarang menimbulkan perdarahan intrakranial dan kaput yang ditimbulkan oleh

vakum akan hilang dalam beberapa hari sampai minggu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams obstetrics. 22nd ed.

2006.Mc Graw hill.

2. Sibai BM. Diagnosis and management of gestasional hypertension and

preeclampsia. High risk pregnancy series: an expert’s view. 2003;102:181-92

3. El – Mowafi,D. Abnormal Uterine Action. Di unduh dari :

http://www.gfmer.ch/Obstetrics_simplified/abnormal_uterine_action.htm

Page 56: Inersia Uteri

4. Ekstrasi vakum. 2008. Diunduh dari : www.scrib.com/doc/6502554/ekstraksi-

vakum.html

5. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.repository.ui.ac.id.dokumen/lihat/2162.pdf

6. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.obfkumj.blogspot.com/2009/07/ekstraksi-

vakum.html

7. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.rafani.co.cc/2009/07/ekstraksi-vakum.html

8. Induksi dan Akselerasi Persalinan. Pada Buku Panduan Praktis Pelayanan

Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : 2002. Hal P 10 – P 15.