Indonesian Natural Rubber Trade

56
MODEL PERDAGANGAN KARET ALAM INDONESIA: Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit dan Perdagangan Bebas RINGKASAN Dompak MT Napitupulu, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 17 Agustus 2004. Model Perdagangan Karet Alam Indonesia: Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit Dan Perdagangan Bebas; Komisi Pembimbing, Promotor: Prof. Dr. Ir. M. Muslich M., M.Sc., Ko-Promotor: 1) Dr. Harry Susanto, SU. 2) Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS 3) Dr. Kaman Nainggolan, MSc. Karet alam, hingga tahun 1998, merupakan komoditas penyumbang devisa terbesar dari sektor pertanian, namun harga karet alam yang terus merosot sejak tahun 1986 menyebabkan komoditas ini hanya mampu menyumbang devisa sebesar US. $. 786,2 juta pada tahun 2001 sehingga berada pada urutan tiga penyumbang devisa sektor pertanian bersama sama udang dan kelapa sawit. Harga karet alam yang turun dengan drastis menyebabkan tiga negara produsen karet alam utama dunia bersepakat untuk melakukan interfensi melalui pengurangan produksi (Supply Management Scheme / SMS) dan penawaran ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme / Aets) yang di kenal dengan ‘kesepakatan tripartite’. Namun demikian, apakah kesepakatan tripartite dapat menaikkan harga karet alam Indonesia hingga ke tingkat yang layak khususnya bagi petani karet rakyat masih perlu dipertanyakan. Dalam pada itu, perdagangan internasional telah mulai memasuki era awal perdagangan bebas, bagaimana kinerja perdagangan karet alam Indonesia dalam menyongsong perdagangan bebas yang secara mutlak akan dilaksanakan pada tahun 2020 juga perlu dikaji. Dua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kesepakatan tripartite dan sejumlah alternatif kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat meningkatkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia melalui pendekatan model simultan dinamis dengan skenario kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini dapat memperkaya pendekatan yang dapat dilakukan dalam ilmu perencanaan pembangunan pertanian. Selain berguna dalam pengembangan ilmu, hasil

Transcript of Indonesian Natural Rubber Trade

Page 1: Indonesian Natural Rubber Trade

MODEL PERDAGANGAN KARET ALAM INDONESIA:

Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit dan Perdagangan Bebas

RINGKASAN

Dompak MT Napitupulu, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya,

17 Agustus 2004. Model Perdagangan Karet Alam Indonesia: Simulasi Kebijakan

Menghadapi Kesepakatan Triparteit Dan Perdagangan Bebas; Komisi Pembimbing,

Promotor: Prof. Dr. Ir. M. Muslich M., M.Sc., Ko-Promotor: 1) Dr. Harry Susanto,

SU. 2) Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS 3) Dr. Kaman Nainggolan, MSc.

Karet alam, hingga tahun 1998, merupakan komoditas penyumbang

devisa terbesar dari sektor pertanian, namun harga karet alam yang terus merosot

sejak tahun 1986 menyebabkan komoditas ini hanya mampu menyumbang devisa

sebesar US. $. 786,2 juta pada tahun 2001 sehingga berada pada urutan tiga

penyumbang devisa sektor pertanian bersama sama udang dan kelapa sawit.

Harga karet alam yang turun dengan drastis menyebabkan tiga negara produsen

karet alam utama dunia bersepakat untuk melakukan interfensi melalui

pengurangan produksi (Supply Management Scheme / SMS) dan penawaran

ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme / Aets) yang di kenal dengan ‘kesepakatan

tripartite’. Namun demikian, apakah kesepakatan tripartite dapat menaikkan harga

karet alam Indonesia hingga ke tingkat yang layak khususnya bagi petani karet

rakyat masih perlu dipertanyakan. Dalam pada itu, perdagangan internasional

telah mulai memasuki era awal perdagangan bebas, bagaimana kinerja

perdagangan karet alam Indonesia dalam menyongsong perdagangan bebas yang

secara mutlak akan dilaksanakan pada tahun 2020 juga perlu dikaji. Dua

pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak

kesepakatan tripartite dan sejumlah alternatif kebijakan dalam koridor liberalisasi

perdagangan yang dapat meningkatkan harga dan perolehan devisa dari

perdagangan karet alam Indonesia melalui pendekatan model simultan dinamis

dengan skenario kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Hasil penelitian

ini dapat memperkaya pendekatan yang dapat dilakukan dalam ilmu perencanaan

pembangunan pertanian. Selain berguna dalam pengembangan ilmu, hasil

Page 2: Indonesian Natural Rubber Trade

ii

penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai informasi untuk

pengambilan keputusan dalam upaya menaikkan harga dan perolehan devisa dari

perdagangan karet alam Indonesia.

Upaya menaikkan harga dapat dilakukan dengan mengurangi

penawaran disatu sisi dan meningkatkan permintaan disisi lainnya. Kerjasama

tripartite pada dasarnya merupakan manifestasi dari struktur pasar karet alam dunia

yang bersifat oligopoly dimana mayoritas (66,52 %) produksi karet alam dunia

dihasilkan oleh tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand. Kolusi antara

tiga produsen utama sehingga menciptakan struktur pasar oligopoly menyebabkan

peluang menaikkan harga dengan cara mengurangi penawaran terbuka untuk

dilakukan. Penerapan kesepakatan tripartite dengan demikian akan mampu

menaikkan harga dan penerimaan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia.

Hipotesis lain yang dibangun dalam penelitian ini adalah: penghapusan pajak

ekspor, pengurangan subsidi harga pupuk, dan pegurangan areal perkebunan karet

dapat menaikkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam

Indonesia.

Data dalam penelitian ini adalah data timeseries yang dihimpun dari

berbagai institusi baik nasional maupun mancanegara yang memiliki data kinerja

perdagangan karet alam Indonesia. Nilai determinan perdagangan karet alam

dalam penelitian ini diprediksi dengan menggunakan model simultan dinamis yang

menggambarkan pola hubungan antara variabel dalam industri karet alam mulai dari

tingkat produksi hingga perdagangan luar negeri. Simulasi guncangan terhadap

kinerja perdagangan karet alam Indonesia serta alternatif kebijakan dilakukan

dalam model perdagangan karet alam Indonesia yang terdiri dari 78 variabel

endogen dan 261 variabel eksogen. Keterhandalan model diuji dengan

menggunakan uji-F, sementara pengaruh variabel prederterminan terhadap variabel

endogen dievaluasi dengan indikator koefisien determinasi R2, serta signifikasi dari

masing masing paremeter diuji dengan melihat derajat selang kepercayaan

kemampuan menolak hipotesis parameter variabel predeterminan sama dengan nol

(Ho: αi = 0) serta divalidasi dengan menggunakan pendekatan Gauss-Seidel.

Skenario simulasi yang dilakukan meliputi: melanjutkan Kesepakatan Tripartite,

pegurangan subsidi pupuk sebesar 15 dan 25 %, peingkatan suku bunga riel

sebesar 1,25 kali, peningkatan upah disektor pertanian sebesar 10 persen,

peningkatan investasi pertanian sebesar 25 persen, dan penghapusan Lahan

Perkebunan karet alam besar. Kinerja perdagangan juga disimulasikan pada

kondisi terjadi peningkatan produksi ban dalam negeri sebesar 5 persen,

Page 3: Indonesian Natural Rubber Trade

iii

peningkatan harga minyak sawit mentah sebesar 10 persen pertahun, peningkatan

harga minyak bumi sebesar 10 persen pertahun, terjadi depresiasi mata uang

Indonesia, Malayasia, dan Thailand sebesar 10 persen dan peningkatan GDP

negara importir sebesar 5 persen.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

1. Kesepakatan tripartite tahun 2002 dan 2003 berdampak pada kenaikan

harga karet alam Indonesia sebesar 5,45 % dan penerimaan devisa

sebesar 0,31 % namun belum memberikan harga yang layak bagi

petani produsen ( US $ 1,191/ kg).

2. Kebijakan tripartite hingga tahun 2008 dapat meningkatkan harga karet

alam Indonesia sebesar 2,74 dan perolehan devisa meningkat

sebesar 4,27 %.

3. Penghapusan pajak ekspor karet alam oleh Indonesia, Malaysia dan

Thailand akan meningkatkan harga karet alam Indonesia sebesar 3,68

persen dan devisa sebesar 5,55 persen.

4. Reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen akan menyebabkan harga

karet alam Indonesia naik sebesar 12,50 serta devisa sebesar 9,57

persen.

5. Harga yang layak bagi petani dapat diperoleh dengan kombinasi

kesepakatan Tripartite dengan penambahan investasi pertanian (15 %),

peningkatan upah disektor pertanian (10 %), serta penghapusan lahan

perkebunan besar

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah:

1. Model yang dibangun belum dapat mengungkap faktor yang

mempengaruhi transaksi perdagangan karet alam Indonesia baik di

pasar domestik maupun luar negeri secara sempurna karena belum

memasukkan variabel mutu karet alam Indonesia dan faktor yang

mempengaruhinya,

2. Penelitian ini, meskipun dalam beberapa aspek tertentu didukung oleh

data primer, belum dapat mengungkapkan bagaimana pelaksanaan riel

dari kesepakatan tripartite yang telah berakhir tahun 2003 yang lalu.

3. Keterbatasan data industri yang diperoleh menyebabkan variabel ini

hanya dijadikan sebagai variabel eksogen sehingga tidak mengungkap

lebih jauh faktor yang mempengaruhinya.

Page 4: Indonesian Natural Rubber Trade

iv

Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini maka peneliti

menyarankan untuk melakukan penelitian yang lebih konprehensif. Dalam penelitian

lanjutan disarankan untuk:

1. Menganalisis pelaksanaan nyata kesepakatan tripartite pada tahun 2002

dan 2003 dianjurkan untuk dilakukan

2. Fakta bahwa harga ekspor karet alam Indonesia lebih rendah dari

harga karet alam Malaysia dan Thailand merupakan penomena lain

yang menarik untuk dikaji. Penelitian yang dapat mengungkap faktor

perbedaan harga karet alam tiga negara produsen utama tersebut

dianjurkan untuk diteliti lebih lanjut.

3. Variabel agroindustri yang diharapkan menjadi full-factor dalam

menggerakkan permintaan bahan baku karet alam di pasar domestik

masih terbatas pada ‘jumlah produksi ban yang dihasilkan Indonesia’.

Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menjadikan variabel ini

sebagai variabel endogen sehingga dapat menambah variabel kebijakan

yang dapat dianjurkan untuk disimulasi.

Selain saran untuk penelian lanjutan, dalam upaya meningkatkan harga dan

perolehan devisa maka disarankan kepada pemerintah untuk:

1. Memperlambat laju pertumbuhan produksi karet alam dengan

mengurangi areal tanam atau setidaknya mencegah munculnya areal

perkebunan karet yang baru. Set aside jangka panjang lahan pertanian

dan realokasi lahan perkebunan karet menjadi lahan perkebunan lain

seperti kelapa sawit dapat dilakukan untuk merealisasi saran ini.

2. Perubahan permintaan minyak kelapa sawit yang mengarah pada

peningkatan harga CPO diperkirakan akan menyebabkan areal tanam

karet semakin berkurang. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan

pengembangan komoditas kelapa sawit dan hasil produksinya dengan

demikian dapat mengurangi motivasi petani karet untuk membuka areal

tanam baru.

3. Mayoritas (90,17 %) dari produk karet alam Indonesia yang diekspor

adalah kualitas SIR-20. Mutu bahan baku yang lebih baik seyogyanya

lebih disukai oleh konsumen, oleh karena itu pemerintah hendaknya

meningkatkan partisipasi aktif dari lembaga Litbang agar mutu karet

alam Indonesia dapat lebih ditingkatkan. Kerjasama anrtar negara

dibidang Litbang juga disarankan untuk dapat dipererat sebagaimana

yang dilakukan dibidang perdagangan.

Page 5: Indonesian Natural Rubber Trade

v

4. Investasi swasta besar pada industri karet alam hendaknya diarahkan

pada industri crumb rubber dan pengolahan bahan baku karet alam

menjadi barang setengah jadi

SUMMARY

Dompak MT Napitupulu, Postgraduate Program Brawijaya University, 17 Agustus 2004. Indonesia Natural Rubber Trade Model: Policy Simulation In the presence of Tripartite Joint Declaration and Trade Liberalization; Supervisor Commission: Promotor: Prof. Dr. Ir. M. Muslich M., M.Sc., Co-Promotor: 1) Dr. Harry Susanto, SU. 2) Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS 3) Dr. Kaman Nainggolan, MSc.

It was reported that natural rubber has been the major contributor among

agricultural commodity in generating Indonesian foreign income. However its price

vast decreasing since year 1996 made it contribute as much as US. $. 786.2 million

only to the Indonesian foreign income in year 2001. The natural rubber price was so

cheap that made three major producer countries sign an agreement to control the

market price through Supply Management Scheme (SMS) and Agreed Tonnage

Export Scheme (Aets) that is to reduce the production by four percent and export

supply by ten percent a year. Nevertheless, it is still questionable whether the

collaboration among those three countries is powerful enough in lifting the natural

rubber prices up to covers the farmer minimum basic needs. Furthermore, the world

trade liberalization is about to coming. How trade liberalization will effect the

Indonesian natural rubber trade performance is still need to be analyzed.

Comprehensive answer to those two problems could be finely established by

constructing an Indonesian Natural Rubber Trade Model. The main goal of this research was to find out some policy instruments that

could be taken in lifting up the natural rubber price in presence of tripartite joint

declaration and trade liberalization. Data was collected in time series from some

legal institutions which present natural rubber trade data on its database. The

quantitative value of natural rubber trade determinant in this research was predicted

in dynamic simultaneous model. This research could contribute in enriched the

agriculture development planning science through offering new natural rubber

international trade model. In addition to the scientific contribution, the research also

offers some alternatives for the government to increase the natural rubber price as

well as gain more foreign income.

Theoretically, raising commodity price could be stimulated by reducing the

quantity supplied as well as encouraging demand on the other side. Natural rubber

Page 6: Indonesian Natural Rubber Trade

vi

supply could be reduced by holding more domestic stock and harvesting less.

Collaboration among three natural rubber main producers called tripartite joint

agreement’ is, in fact, a manifestation of oligopoly market structure that enable

them reducing quantity supplied in order to raise the commodity price. Due to the

monopoly power gained by those three main producer countries, it is hypothesized

that the two schemes, SMS and Aets, declared in tripartite will raise both price and

foreign income gathered from Indonesia natural rubber trade. Other hypotheses built

in this research were: natural rubber export tax elimination, reducing fertilizer price

subsidy, and lessening natural rubber production area could increase both natural

rubber price and foreign income.

As it was declared in tripartite joint agreement, reducing both natural rubber

home production and export quota by four and ten percent respectively, do lifting up

the natural rubber price as well as foreign income, but the model simulation showed

that it was still not high enough to let small farmer gains sufficient income to cover

his family minimum needs. More specifically, the research findings were:

1. Implementation of tripartite in year 2002 and 2003 could increase the Indonesian natural rubber price up to 5.45 % and foreign income as much as 0.31 %.

2. Continuing the tripartite implementation until year 2008 could increase the natural rubber price and foreign income by 2.74 % and 4.27 % respectively.

3. Natural rubber export tax exclusion by Indonesia, Malaysia and Thailand will increase the natural rubber price and foreign income by 3.68 % and 5.55 % respectively.

4. Reducing domestic fertilizer price subsidy by 15 % will increase the natural rubber price and foreign income by 12.50 % and 9.57 % respectively.

5. Sufficient natural rubber price to meet the farmer minimum needs could be generated in combination of tripartite schemes, eliminating large private estate natural rubber production area, as well as increasing agriculture investment and agriculture wage by 15 % and 10 % respectively.

Some limitation of the research was: 1. The model has not powerful enough to perfectly reveal the factors

effecting Indonesia natural rubber trade since its failure to entering product quality as an endogenous variable.

Page 7: Indonesian Natural Rubber Trade

vii

2. In spite of the primary data has also been collected in supporting data analysis, the research has not able to well explained the riel implementation of supply management scheme (SMS) in small farmer production level.

3. Industries poor data gathered in this research obstructed the research to make it as an endogen variable as it was needed to well explain the full factors in raising both natural rubber price and foreign income.

Due to the limitation of the research, it is suggested to: 1. Undertake a primary data base research in order to find out the riel

implementation of tripartite agreement particularly in small farmer production level.

2. Undertake a more complicated research that enable to uncover the factors effecting price differentiation among three natural rubber main producer countries.

4. It is necessary to find out more information about agro-industry data to let it be an endogenous variable in constructing a powerful natural rubber trade model.

The implications of the research finding to the government economic development program were:

1. In order to facilitate the reduction of production supplied to the foreign market, it is necessary to cut natural rubber production area. The old natural rubber plantation should be renovated or changed to other export agriculture commodity plantation. Set aside program to the export agriculture commodity estate area could be declared in order to slow down the commodity supplied to the world market.

2. It is found a negative cross elasticity between crude palm oil price and the demand for natural rubber production area. It is meant that any improving in crude palm oil trade would hinder farmer to ask more land for natural rubber. It is suggested to the government to improve palm oil industries performance in order to hinder new entry in natural rubber industry.

3. It was found that most of exported Indonesian natural rubber was SIR-20 grade, the lowest allowed grade to enter the international natural rubber market. In order to win the international market competition it is suggested to the government to improve the domestic Natural Rubber Research and Development (R&D) Institution performance. It is also suggested that government to initiate tripartite collaboration on R&D among three main natural rubber production countries.

Page 8: Indonesian Natural Rubber Trade

viii

4. Private investment on natural rubber industry should be directed to crumb rubber factory as well as natural rubber based row material plants in order to create demand full factor in domestic natural rubber industry.

Page 9: Indonesian Natural Rubber Trade

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha pengasih

dan penyayang sebab karuniaNya sematalah yang menyebabkan penulis dapat

menyajikan tulisan disertasi yang berjudul: “Model Perdagangan Karet Alam

Indonesia: Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit Dan

Perdagangan Bebas’ ini.

Tulisan ini memuat pokok-pokok bahasan yang meliputi kinerja

perdagangan karet alam Indonesia dan sejumlah simulasi kebijakan yang dapat

ditempuh dalam rangka meningkatkan harga karet alam Indonesia baik di pasar

domestik maupun pasar luar negeri dengan tetap mempertahankan perolehan

devisa. Penulis menyadari bahwa meskipun upaya telah dikerahkan sepenuhnya

dalam menyajikan tulisan ini, namun karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki

penulis masih terdapat banyak kekurang tepatan dari analisis yang dilakukan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca agar

tulisan ini dapat berfanfaat bagi yang membutuhkannya.

Malang, 17 Agustus 2004,

Penulis

Page 10: Indonesian Natural Rubber Trade

x

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN .............................................................................................. iii

SUMMARY ............................................................................................. vii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. x

DAFTAR ISI .............................................................................................. xi

I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 1

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2

1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 2

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 3

II KERANGKA PIKIR ................................................................................... 4

2.1. Kerangka Teori ................................................................................. 4

2.2. Hipotesis ........................................................................................... 5

III. METODE PENELITIAN .............................................................. 6

3.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ............................................ 6

3.2. Estimasi Parameter ............................................................................ 6

3.3. Konstruksi Model ............................................................................ 6

3.4. Identifikasi Model .............................................................................. 8

3.4. Validasi Model ................................................................................. 8

3.5. Simulasi Model ................................................................................ 9

IV. KERAGAAN INDUSTRI KARET ALAM INDONESIA ...... 12 4.1. Produksi .......................................................................................... 12

4.2. Penawaran Karet Alam Indonesia ................................................... 13

4.3. Permintaan Karet Alam Indonesia ...................................................... 14

4.3.1. Permintaan Dalam Negeri ..................................................... 14

4.3.2. Permintaan LuarNegeri ......................................................... 15

4.5. Penerimaan Perdagangan Karet Alam Indonesia ............................. 19

V. DAMPAK KESEPAKATAN TRIPARTEIT ............................ 21 5.1. Validasi Mode ................................................................................... 21

5.2. Dampak Kesepakatan Triparteit, peramalan tahun 2002-2003 ......... 22

Page 11: Indonesian Natural Rubber Trade

xi

VI. ALTERNATIF KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KARET ALAM INDONESIA .................................................................... 29

6.1. Kesepakatan Triparteit .................................................................. 29

6.2. Liberalisasi Perdagangan .............................................................. 30

6.3. Simulasi Kebijakan ...................................................................... 32

6.3.1. Skenario Kebijakan Tunggal ............................................ 33

6.3.2. Skenario Kombinasi Kebijakan ........................................ 34

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 35 8.1. Kesimpulan ................................................................................... 35

8.2. Keterbatasan Penelitian ................................................................. 38

8.3. Saran ........................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 41

Page 12: Indonesian Natural Rubber Trade

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sub sektor pertanian sebagai salah satu sub-sektor non migas menjadi

salah satu andalan pemerintah dalam upaya melepaskan ketergantungan

perolehan devisa negara pada sektor migas. Komoditas karet alam adalah salah

satu diantara beberapa produk unggulan subsektor pertanian yang dewasa ini

sedang dikembangkan dan diharapkan mampu berkontribusi dalam perolehan

devisa sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada tahun 1998,

karet alam dalam berbagai tingkat mutu, SIR-3 s/d SIR-20, telah mampu

menyumbang devisa sebesar US $ 1101,5 juta yang sekaligus menjadi

penyumbang devisa terbesar dari sektor pertanian.

Posisi karet alam dalam perekonomian Indonesia semakin penting sebab

selain sebagai salah satu subsektor andalan penghasil devisa negara dari sektor

non-migas, usahatani karet juga identik dengan usahatani kerakyatan. Mayoritas

karet alam Indonesia dihasilkan oleh petani rakyat. Dirjenbun memperkirakan

bahwa pada tahun 1997, petani kecil memiliki kontribusi hingga 84,7 persen

dengan luas areal 3,5 juta hektar yang tersebar pada 21 provinsi dengan

kontribusi produksi sebear 76,1 persen (1,7 juta ton).

Upaya memposisikan komoditas karet alam sebagai salah satu sumber

devisa dihadapkan pada perkembangan perekonomian baik dalam negeri

maupun dunia yang akan memasuki era perdagangan bebas. Dalam lima tahun

terakhir, harga karet alam terus merosot dari harga tertinggi US$ 1,25 pada

tahun 1995 hingga mencapai titik US $ 0,43 per kg pada tahun 2000 suatu

tingkat harga yang bagi produsen karet alam dinilai sudah tidak wajar lagi.

Guna mengetahui respon perdagangan karet alam Indonesia terhadap

guncangan yang ditimbulkan oleh kesepakatan tripartite serta liberalisasi

perdagangan menyebabkan model perdagangan karet alam Indonesia perlu

dirumuskan. Model perdagangan karet alam Indonesia yang akurat dapat

digunakan sebagai dasar memilih kebijakan yang harus dilakukan untuk

meningkatkan kinerja perdagangan karet alam dalam menghadapi external

shoch yang akan dihadapi. Penelitian ini juga menjadi menarik untuk dilakukan

karena restriksi perdagangan berupa kuata ekspor dan pengurangan produksi

baru pertama kali dilakukan dalam sejarah perdagangan karet alam dunia.

1.2. Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut:

Page 13: Indonesian Natural Rubber Trade

2

Apakah kesepakatan tripartite dapat memicu peningkatan harga karet

alam Indonesia hingga ke tingkat yang layak bagi petani produsen ?.

Bagaimana dampak perdagangan bebas terhadap kinerja perdagangan,

khususnya harga karet alam Indonesia?

Kebijakan apa yang dapat ditempuh dalam upaya menaikkan harga karet

alam Indonesia ?.

Sejauh mana model perdagangan karet alam Indonesia yang akan

dibangun dalam penelitian ini dapat menjelaskan dampak kesepakatan tripartite

serta liberalisasi perdagangan terhadap peningkatan harga karet alam Indonesia

?

1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan maka tujuan utama dari

penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kesepakatan tripartite dan

sejumlah alternatif kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat

meningkatkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam

Indonesia melalui pendekatan model simulatan dinamis dari skenario kebijakan

yang dapat dilakukan. Secara lebih terperinci tujuan penelitian ini dapat disajikan

sebagai berikut:

Merumuskan model perdagangan karet alam Indonesia,

Menganalisis dampak kesepakatan Tripartite terhadap harga dan

perolehan devisa dari karet alam Indonesia,

Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap perdagangan

karet alam Indonesia,

Mengevaluasi kebijakan yang dapat meningkatkan harga dan perolehan

devisa dari karet alam Indonesia, serta

Memberikan rekomendasi kebijakan yang diperlukan dalam upaya

memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam memajukan industri karet alam

Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu

dengan diperkenalkannya pendekatan baru dalam konstruksi model yang

dilakukan. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kajian

perdagangan karet alam Indonesia dalam penelitian ini dilakukan dengan

pendekatan model persamaan dinamis simultan sehingga hasil penelitian ini

Page 14: Indonesian Natural Rubber Trade

3

diharapkan dapat memperkaya kajian perdagangan karet alam pada khususnya

dan perencanaan pembangunan pertanian pada umumnya.

Salah satu issu terbaru dalam perdagangan karet alam yang akan

mewarnai kinerja industri ini adalah kesepakatan tripartite untuk menaikkan

harga melalui instrumen pengurangan kuota ekspor dan produksi. Kerjasama

produsen yang mengarah ke pembentukan cartel sesuai sifatnya cenderung labil

sehingga harapan untuk memperoleh dampak positip dari kerjasama sejenis

perlu dikaji secara ilmiah. Model yang dibangun akan mengungkap determinan

perdagangan karet alam Indonesia sehingga dapat digunakan sebagai salah

satu acuan logis dalam menyusun kebijakan yang bermuara pada peningkatan

harga karet alam Indonesia dan devisa negara.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian Kajian perdagangan karet alam Indonesia pada penelitian ini meliputi

kinerja perdagangan ditingkat pasar domestik dan pasar dunia. Sesuai dengan

tujuan penelitian maka dalam penelitian ini akan dikaji dampak kesepakatan

tripartite dan terhadap kinerja perdagangan karet alam Indonesia. Model

perdagangan karet alam Indonesia dirumuskan berdasarkan hasil kajian pada

kedua tingkat pasar, selanjutnya dengan menggunakan model tersebut dilakukan

evaluasi dan simulasi kebijakan yang ditujukan untuk menentukan rekomendasi

kebijakan yang diperlukan dalam upaya memecahkan permasalahan yang

dihadapi dalam memajukan industri karet alam Indonesia.

Page 15: Indonesian Natural Rubber Trade

4

II. KERANGKA PIKIR

2.1. Kerangka Teori Keseimbangan pasar dunia tanpa adanya kesepakatan tripartite

diasumsikan berada pada keadaan persaingan sempurna sehingga harga dunia

(Pw) sama dengan biaya marginal dan harga karet alam baik dipasar domestik

maupun pasar impor (PD1 = PM1= Pw = MC = AC) dan jumlah ekspor pada titik

keseimbangan sebesar QM1 pada Gambar 1a. Kesepakatan tripartite (kolusi)

menyebabkan pasar akan mengarah pada persaingan monopolistik. Pada

persaingan monopolistik, keseimbangan pasar akan terjadi pada jumlah QM2

dengan harga PM2 yang lebih tinggi dari PM1 atau bahkan mendekati PM0 dimana

biaya marginal sama dengan penerimaan marginal (MC = MR) pada Gambar 1a.

Liberalisasi perdagangan pada hakekatnya diasosiasikan dengan

penghapusan segala restriksi perdagangan antar negara yang bersepakat

sehingga pasar dapat mendekati pasar persaingan sempurna. Apabila kuota

sebagaimana dibahas pada sub bab terdahulu berakibat pada peningkatan harga

di pasar internasional, penurunan harga domestik dan peningkatan stok di

negara eksportir, maka perdagangan bebas mengarah pada penurunan harga di

pasar internasional dan peningkatan harga di negara asal komoditas yang

diperdagangkan. Hukum satu harga untuk komoditas yang sama diharapkan

akan terealisir dengan liberalisasi perdagangan.

PW1

AC

PD0

PD1

PM0 PM2

QM0QM2QM1

PW2

QT0 0 0

SE0

MR

MC SM0

QD2 QD0 QD1

PM1

0

P P P

Gambar 1. Dampak pengurangan kuota ekspor terhadap keseimbangan perdagangan karet alam Indonesia .

a b c

DE0

Page 16: Indonesian Natural Rubber Trade

5

2.2. Hipotesis Sesuai dengan kerangka teoritis yang disajikan diatas maka dampak

kesepakatan tripartite, liberalisasi perdagangan, dan beberapa kebijakan yang

dapat diambil oleh pemerintah terhadap kinerja perdagangan karet alam

Indonesia diduga adalah sebagai berikut:

1. Pengurangan ekspor dan produksi oleh Indonesia, Malaysia dan

Thailand secara bersama-sama dapat meningkatkan harga karet alam

dunia, harga ekspor serta harga domestik karet alam Indonesia.

2. Penghapusan pajak ekspor akan meningkatkan penerimaan devisa

melalui peningkatan permintaan karet alam Indonesia di pasar

internasional.

3. Pengurangan subsidi harga pupuk akan meningkatkan harga dan

penerimaan devisa dari industri karet alam Indonesia.

4. Harga karet alam Indonesia dapat ditingkatkan dengan mengurangi

areal perkebunan karet.

Page 17: Indonesian Natural Rubber Trade

6

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data

primer yang meliputi, produksi dan mutu karet alam yang dihasilkan petani

dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan petani produsen dan informan

kunci. Data sekunder dalam penelitian ini merupakan data time seris yang

diperoleh dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Bank

Indonesia, Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO), FAO, dan

International Rubber Study Group (IRSG). Data sekunder yang dikumpulkan

dalam penelitian merupakan data time series sejak tahun 1977, hingga tahun

2001 sesuai dengan ketersediaan data.

3.2. Estimasi Parameter Data time seris yang dihimpun diasumsikan menyebar secara stationer.

Guna memenuhi asumsi tersebut maka data yang dihimpun terlebih dahulu di

validasi dengan menguji sifat stasioner data dengan mengikuti metode uji ‘the

Augmented Deickey-Fuller (ADF) Test’

Model yang dibangun dalam penelitian ini merupakan model dinamis.

Parameter dalam penelitian ini diestimasi dengan menggunakan procedur syslin

dengan metode 2SLS yang kemudian dilanjutkan dengan prosedur simnlin untuk

mengestimasi nilai variabel endogen. Berdasarkan nilai parameter dan variabel

yang diperoleh selanjutnya dilakukan simulasi kebijakan.

3.3. Konstruksi Model Model dalam tulisan ini diartikan sebagai penyajian pola hubungan antara

variabel dalam suatu sistem ekonomi yang di dalamnya terkandung suatu

diskripsi verbal atau analogi dari beberapa penomena yang terjadi dalam dunia

nyata. Suatu model dapat disajikan dalam bentuk diagram alur atau dalam

sekumpulan persamaan matematis yang menunjukkan pola hubungan antara

variabel didalamnya (Bannock et al. 1989, Intriligator 1978). Alur keterkaitan

variabel dalam model perdagangan karet alam Indonesia disajikan pada Gambar

2.

Page 18: Indonesian Natural Rubber Trade

7

- +

+

+

+

+ +

-

+

+

-

- LNRE INVERT

LNREL PFDL PCPO

IR

LNRSH

LNRSHL KPERT

QNRINA

QNRINAL EFIINA

+

QSNRINA

QXNRINA

PNRINA

QXNRIBL QXNRICHI QXNRIPA

QXNRICIS QXNRIRU

QXNRIJEQXNRISP

QXNRIKO QXNRIUK QXNRICA

QXNRINT

QXNRIUS

QXNRISIN

PNRW

PNRTHL

PNRMAL

PNRBLX

PNRCHI

PNRCIS

PNRJER

PNRCAN

PNRNTL

PNRIKOR

PNRPAN

PNRRUS

PNRSIN

PNRSPA

PNRUK

QMNRUKI

QMNRRU

QMNRJE

QXNRMAL STNRMAL XTNRMAL

EFIMAL

QXNRTHL STNRTHL XTNRTHL

EFITHL

QMNRSP

QMNRPA

QMNRCISI

QMNRSIN

QMNRKO

QMNCHII

QMNRCA

QMNRNT QMNRBL

EFIBLX QCNRBLX

QCNRNTL STNRCC EFISIN

QCNRSIN QXNRSIN QCNRKOR

QMNRKORM QCNRCAN STNRCAN

QCNRJER QMNRJER STNRJER

QMNRCISQMNRCIS

GDPCIS

QCNRINAL

PNRTIK

QCNRINA

PSRINA

QCNRBLX

QCSRBL QCNRBLX

QCNRNTL QCNRNTL

QCNRCIS

QCSRCIS QTCIS

PSRW

QCNRUKL

QCNRUK

QTUK

PSRUK

QCSRUK

POILW PSRWL

QCSRCC

QCSRW

STNRW PNRWL

Gambar 2. Diagram alur keterkaitan antar variabel dalam perdagangan karet alam Indonesia

Page 19: Indonesian Natural Rubber Trade

8

3.4. Identifikasi Model Model yang dibangun dalam penelitian ini terdiri dari 78 persamaan (g =

78). Total variabel dalam keseluruhan persamaan adalah 339 (K = 339) yang

terdiri dari 78 variabel endogen dan 261 variabel predetermined yang merupakan

variabel eksogen, variabel lag endogen (beda kala), dan variabel lag eksogen.

Dengan mereformulasi persamaan identifikasi model Koutsoyiannis (1977)

menjadi K – (g –1) = k, maka maka seluruh persamaan dapat dikatakan over

identified, sehingga pendekatan 2SLS dapat dengan baik digunakan sebagai

metode estimasi parameter dalam penelitian ini.

Keterhandalan model diuji dengan menggunakan uji-F, sementara

pengaruh variabel prederterminan terhadap variabel endogen dievaluasi dengan

indikator koefisien determinasi R2, serta signifikasi dari masing masing

paremeter diuji dengan melihat derajat selang kepercayaan menolak hipotesis

parameter variabel predeterminan = nol (Ho: αi = 0)

3.5. Validasi Model Validasi model ditujukan untuk menguji keterhandalan model yang

dibangun dalam memprediksi nilai aktual variabel endogen. Validasi model dalam

tulisan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Gauss-Seidel yakni

dengan menggunakan indikator Mean Percent Error (MPE), Root Mean Square

Percent Error (RMSPE), koefisien U-Theil serta dekomposisi dari koefisien U-

Theil menjadi proporsi bias (UM), proporsi varians (US) dan proporsi kovarians

(UC) dalam upaya menduga nilai aktual peubah endogen (Koutsoyannis, 1977)

Secara skematis, alur analisis data dalam penelitian ini secara ringkas

disajikan pada Gambar 3.

Page 20: Indonesian Natural Rubber Trade

9

4.5. Simulasi Model Pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dilakukan secara

deskriptif yang didasarkan pada hasil simulasi model yang dibangun. Hal ini

sejalan dengan tujuan simulasi model yakni untuk mengkaji dampak kebijakan

yang telah dan akan dilakukan dalam upaya memperbaiki kinerja perdagangan

karet alam Indonesia di pasar internasional. Pindyck dan Rubinfeld, (1981)

mengatakan bahwa simulasi model pada dasarnya ditujukan untuk mengevaluasi

MODEL

Validasi Model Daya Ramal

Akurat Tidak Akurat

Simulasi Kebijakan ex post (historis)

Peramalan variabel eksogen

Perubahan instrumen

Kalibrasi Model: Penyesuaian model/parameter sesuai dengan perubahan yang dapat terjadi

Peramalan nilai variabel endogen pada masa yang akan datang

Simulasi Kebijakan ex ante (future)

Perubahan instrumen variabel untuk masa yang akan datang

Gambar 3. Alur Tahap Perumusan Model dan Analisis data Penelitian

PERMASALAHAN

TUJUAN

KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU

KERANGKA PIKIR DAN KAJIAN KONSEPTUAL

HIPOTESIS

Page 21: Indonesian Natural Rubber Trade

10

dampak kebijakan yang dilakukan diwaktu lampau serta membuat peramalan

kemasa yang akan datang. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu menganalisis

dampak kesepakatan tripartite negara eksportir utama karet alam dunia, dan

liberalisasi pedagangan terhadap perdagangan karet alam serta kebijakan yang

telah diambil dan alternatif kebijakan yang perlu diambil pemerintah dalam

memajukan kinerja industri karet alam Indonesia, maka skenario simulasi yang

dilakukan adalah sebagai berikut:

Periode 2002-2003:

Kajian simulasi pada periode ini dilakukan pada pengurangan volume

ekspor (Agreed export tonnage scheme - Aets) dan pengurangan produksi karet

alam (Supply management scheme - SMS) masing-masing sebesar 10 dan 4

persen pertahun tahun 2002 – 2003 sesuai dengan kesepakatan Tripartite yang

dibuat oleh tiga negara Indonesia, Malaysia dan Thailand dan telah

ditandatangani di Denpasar Bali pada tanggal 12 Desember 2001.

Periode 2004 -2008.

Simulasi Ex-ante dilakukan pada periode waktu 2004 hingga 2008, lima

tahun kedepan. Periode waktu simulasi tersebut didasarkan pada sistem

perencanaan pembangunan yang dianut Indonesia yakni lima tahun (PELITA).

Beberapa variabel eksogen yang digunakan sebagai variabel kebijakan dalam

simulasi adalah:

Melanjutkan Kesepakatan Tripartite. Kesepakatan tripartite diyakini dapat

mendorong kenaikan harga karet alam.

Pengurangan subsidi pupuk sebesar 15 dan 25 %. Pengurangan subsidi

pupuk hingga 25 persen dianggap dapat membantu realisasi kesepakatan

tripartite yakni mengurangi produksi sebesar 4 persen pertahun namun tidak

akan menghilangkan sama sekali motivasi petani produsen untuk tetap

menggunakan input pupuk.

Peningkatan suku bunga riel. Peningkatan suku bunga akan

menguntungkan produsen karet alam yang telah eksis dan menambah hambatan

bagi pendatang baru.

Peningkatan upah disektor pertanian. Peningkatan upah sebesar 10

persen dianggap cukup moderat seiring dengan upaya menaikkan harga karet

alam dunia hingga diatas 1 US dollar per kilogram.

Peningkatan investasi pertanian sebesar 25 persen. Peningkatan

investasi dibidang pertanian hingga 25 persen diharapkan dapat membuka

Page 22: Indonesian Natural Rubber Trade

11

peluang mengembangkan agroindustri berbahan baku karet alam hingga rumah

tangga pedesaan di daerah daerah sentra produksi.

Penghapusan Lahan Perkebunan karet alam besar. Investasi swasta

besar pada industri karet alam dapat lebih diintensifkan pada industri crumb

rubber dan pengolahan bahan baku karet alam menjadi barang setengah jadi.

Peningkatan produksi ban dalam negeri sebesar 5 persen. Peningkatan

produksi ban diasumsikan akan meningkat sebesar 5 persen pertahun mengikuti

laju pertumbuhan pendapatan perkapita Indonesia.

Peningkatan harga minyak sawit mentah sebesar 10 persen pertahun.

Harga minyak kelapa sawit Indonesia diasumsikan dapat meningkat sebesar 10

persen menyusul pertumbuhan permintaan komoditas ini di pasar dunia.

Peningkatan harga minyak bumi sebesar 10 persen pertahun. Harga

minyak bumi diasumsikan masih akan terus meningkat sebesar 10 persen per

tahun menyusul ketidak pastian pasokan minyak dari negara negara produsen

utama minyak bumi dan gas dunia.

Depresiasi mata uang Indonesia, Malayasia, dan Thailand sebesar 10

persen. Depresiasi mata uang Indonesia, malaysia dan Thailand diperkirakan

masih akan mencapai rata-rata 10 persen pertahun menyusul upaya tiga negara

ini melepaskan diri dari krisis ekonomi dengan memacu kinerja perekonomian

masing-masing negara tersebut.

Peningkatan GDP negara importir sebesar 5 persen. Pertumbuhan

ekonomi negara importir karet alam sebesar 5 persen pertahun diasumsikan

masih dapat terealisir.

Page 23: Indonesian Natural Rubber Trade

12

IV. KERAGAAN INDUSTRI KARET ALAM INDONESIA

4.1. Produksi Karet alam Indonesia dihasilkan oleh perkebunan karet besar yang

dikelola baik oleh investor swasta (BUMS) maupun pemerintah (BUMN) serta

perkebunan karet rakyat. Luas areal perkebunan karet alam Indonesia pada

tahun 2001 adalah 3,32 juta hektar yang terdiri dari 2,776 juta hektar karet rakyat

dan 0,548 juta hektar perkebunan swasta besar dan pemerintah yang tersebar di

Sumatera, Kalimantan, dan sebahagian kecil di Jawa (Gapkindo, 2002). Total

areal perkebunan karet tersebut menghasilkan 1,543 juta ton karet alam dimana

1,209 juta ton dihasilkan oleh perkebunan karet rakyat serta 0,338 juta ton dari

perkebunan besar.

250000

500000

750000

1000000

1250000

1500000

1750000

2000000

2250000

2500000

2750000

3000000

3250000

3500000

3750000

1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001

LNRE Ha LNRSH LNRINA

Tahun

Ha

Data perkembangan luas areal tanam karet alam Indonesia selama 25

tahun terakhir menunjukkan bahwa perkebunan karet rakyat mengalami

pertumbuhan lebih pesat dibandingkan perkebunan besar. Areal tanaman

perkebunan karet besar setelah mencapai titik tertinggi pada tahun 1991

menurun sebesar 0,93 persen menjadi 530.000 hektar pada tahun 1992.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa luas areal perkebunan rakyat

mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 1,67 persen pertahun, lebih besar

dari laju pertumbuhan perkebunan karet besar yakni sebesar 0,68 persen

pertahun.

Gambar 4. Perkembangan areal tanam perkebunan karet alam Indonesia tahun 1977 - 2001, Ha.

Page 24: Indonesian Natural Rubber Trade

13

Tabel 1. Perkembangan produksi karet alam Indonesia periode tahun 1977 - 2001.

Rata-rata Satuan Rata-rata Pertumbuhan (%)

Areal tanam perkebunan besar Ha 502.112 0,68

% 17,06 -0,80

Areal tanam perkebunan rakyat karet Ha 2.467.460 1,67

% 82,94 0,18

Areal tanam perkebunan karet Indonesia Ha 2.969.572 1,49

Produksi perkebunan besar Ton 316,41 1,23

% 26,47 -1,34

Produksi perkebunan karet rakyat Ton 917.332 3.09

% 73.53 0.47

Produksi perkebunan karet Indonesia Ton 1233.742 2.60

Sumber : Hasil analisis data

Hasil analisis data menunjukkan bahwa luas areal perkebunan karet

Indonesia dipengaruhi oleh jumlah investasi, suku bunga real, kredit di bidang

pertanian dan harga minyak mentah kelapa sawit (CPO) disamping harga karet

alam itu sendiri (Persamaan MP-1 dan MP-2).

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan industri

perkebunan karet alam Indonesia mampu menghasilkan rata-rata produksi

sebesar 1,233 juta ton dengan laju pertumbuhan produksi sebesar 2,60 persen

per tahun selama periode tahun 1977 hingga 2001. Produksi karet alam

Indonesia dipengaruhi oleh baik harga ekspor karet alam Indonesia maupun

harga karet alam dunia disamping nilai tukar rupiah terhadap dollar US,

produktivitas perkebunan karet rakyat dan besar, serta luas areal kebun karet

nasional (MP-3).

4.2. Penawaran Karet Alam Indonesia Spesifikasi teknis karet alam yang dihasilkan oleh Indonesia, digolongkan

kedalam jenis mutu SIR-5CV, SIR-3L, SIR-3WF, SIR-5L, SIR-5, SIR-10, dan

SIR-20. Hingga tahun 2002, terdapat 96 industri crumb rubber di Indonesia yang

memproduksi karet spesifikasi teknis. Mayoritas, 82 perusahaan, diantaranya

menghasilkan SIR-20 dengan rata rata produksi sebesar 1.233.742 ton per

tahun.

Page 25: Indonesian Natural Rubber Trade

14

Tabel 2. Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia Berdasarkan Mutu Tahun 1982 – 2001, dalam ton

Tahun Mutu Karet Alam Indonesia

SIR 3CV,L,WF) SIR 5 SIR 10 SIR 20 SIR 50 Total

1986 38458 6991 41357 639587 7018 7334111987 33956 7816 45689 742379 5055 8348951988 35000 7400 44133 808111 6227 9008711989 31794 6704 48220 859973 0 9466911990 44596 2570 49392 874091 0 9706491991 47829 2166 50899 859664 0 9605581992 53794 1340 59456 958670 0 10732601993 54890 3183 56447 1007478 0 11219981994 64278 2149 46178 1031501 0 11441061995 63764 1481 51138 1044399 0 11607821996 55740 2813 62243 1085777 0 12065731997 50413 11975 54292 1087782 0 12044621998 42531 30375 39152 1203812 0 13158701999 42851 28426 37365 1125616 0 12342582000 38949 6308 55966 1159264 0 12604872001 39649 21923 44776 1290144 0 1396492

Rata-rata 46155.75 8976.25 49168.94 986140.5 1143.75 1091585 Sumber: Statitistik Industri Karet Remah, BPS , berbagai terbitan

4.3. Permintaan Karet Alam Indonesia

4.3.1. Permintaan Dalam Negeri Hasil analisis data menunjukkan bahwa pasar domestik mengkonsumsi

rata-rata sebesar 7,75 % dari produksi karet alam Indonesia. Data statistik

industri menunjukkan terdapat 189 perusahaan di dalam negeri yang secara

signifikan menggunakan karet alam sebagai bahan baku industri, dimana

diantaranya industri ban kendaraan bermotor, sejumlah 26 perusahaan, sebagai

konsumen utama (87,30 %) bahan baku karet alam.

Model yang dibangun menunjukkan bahwa jumlah permintaan domestik

karet alam Indonesia disamping dipengaruhi oleh harga karet alam itu sendiri

juga dipengaruhi oleh harga karet sintetis di pasar domestik. Sebagaimana

lazimnya fungsi permintaan, kurva permintaan karet alam domestik memiliki slop

negatip terhadap harga karet alam yang dibayarkan di pasar domestik. Setiap

kenaikan harga karet alam domestik sebesar Rp 1 akan menyebabkan konsumsi

karet alam di pasar domestik berkurang sejumlah 6,55 ton.

Page 26: Indonesian Natural Rubber Trade

15

4.3.2. Permintaan Luar Negeri Model permintaan impor karet alam Indonesia secara khusus disajikan

berdasarkan permintaan impor masing masing negara importir utama

sebagaimana disajikan pada fungsi persamaan MP-21 hingga MP-32. Salah

satu negara yang secara konsisten mengimport karet alam Indonesia, meski

hanya dengan kontribusi sekitar 1,23 persen pertahun, adalah Belgia-

Luxemburg. Negara importir karet alam Indonesia besar lainnya adalah

Canada. Data perdagangan karet alam Indonesia menunjukkan bahwa Canada

mengimpor karet alam dari Indonesia rata-rata sejumlah 33.711 ton, sekitar

sepertiga dari rata-rata konsumsi (100.995 ton) karet alam negara ini per tahun,

dengan laju pertumbuhan permintaan impor sebesar 8,75 persen per tahun.

Importir karet alam Indonesia lainnya adalah China. China mulai mengimpor

karet alam dari Indonesia sejak tahun 1988 dengan rata-rata 32.467 ton dan

rata-rata laju pertumbuhan impor sebesar 13,12 persen pertahun. Salah satu

negara industri baru di Asia, Korea. Negara ini mengimpor karet alam Indonesia

rata rata sejumlah 49.547 ton dengan laju pertumbuhan permintaan impor

sebesar 22,58 persen per tahun. Korea pada awalnya lebih memilih Malaysia

sebagai sumber bahan baku karet alam yang mereka butuhkan.

Prancis yang merupakan salah satu negara produsen outomotif terkenal

di dunia juga merupakan salah satu importir utama karet alam Indonesia.

Negara ini mengimpor karet alam dari Indonesia rata rata sejumlah 14.510 ton

dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,17 persen per tahun selama kurun

waktu tahun 1977 hingga 2001. Sebagaimana negara importir karet alam

lainnya, Prancis juga memasok kebutuhan industri mereka dengan mengimpor

karet dari negara produsen karet alam lainnya khususnya Malaysia (46.654

ton/tahun) dan Thailand (20.130 ton/tahun).

Jerman adalah salah satu negara industri di Uni Eropa yang secara

konsisten melakukan impor karet alam dari Indonesia. Negara ini mengimpor

karet alam dari Indonesia rata-rata sejumlah 34.976 ton per tahun atau sekitar

17,41 % dari rata-rata konsumsi (200.873 ton) karet alam negara ini dengan laju

pertumbuhan permintaan impor sebesar 2,29 persen per tahun. Negara Uni

Eropa lainnya yang dapat digolongkan sebagai negara importir utama karet alam

Indonesia adalah Belanda. Belanda mengkonsumsi bahan baku karet alam rata

rata sejumlah 73.005 ton per tahun selama periode waktu tahun 1977 hingga

2001. Kebutuhan karet alam tersebut utamanya diimpor dari Indonesia (32,45

Page 27: Indonesian Natural Rubber Trade

16

%), Malaysia (38,03 %), Thailand (12,58 %) dan sisanya 16,94 % diimpor dari

Singapura.

Jepang adalah negara konsumen karet alam terbesar dunia setelah

Amerika Serikat dan China. Jepang mengkonsumsi karet alam rata rata

sejumlah 588.828 ton per tahun selama periode waktu tahun 1977 hingga 2001.

Kebutuhan bahan baku karet alam tersebut diperoleh Jepang dari Indonesia

(9,47 %), Malaysia (10,60 %), Singapura (8,02 %) dan Thailand (72,13 %).

Negara lain yang menjadi salah satu konsumen karet alam Indonesia adalah

Rusia dengan rata rata 20450 ton. Tidak berbeda dengan negara konsumen

utama karet alam Indonesia lainnya, negara ini juga memperoleh pasokan karet

alam dari Indonesia (20,49 %) Malaysia (39,44 %) dan Thailand ( 1,64 %) serta

dari pasar Singapura sebesar 20,93 persen.

Pasar karet alam Indonesia lainnya adalah Singapura. Berbeda dengan

negara importir utama karet alam Indonesia terdahulu yang umumnya

mengimpor karet alam untuk digunakan sebagai bahan baku industri, Singapura

melakukan impor karet alam Indonesia utamanya untuk direekspor kembali ke

negara konsumen karet alam lainnya. Negara ini tercatat mengimpor karet alam

dari Indonesia, Malaysia dan Thailand rata rata sejumlah 224.418 ton, 173.602

ton, dan 63.641 ton per tahun pada periode waktu yang sama.

Inggris adalah negara konsumen karet alam besar lainnya yang juga

menjadi salah satu importir utama karet alam Indonesia. Inggris tercatat

mengkonsumsi karet alam guna memenuhi kebutuhan industri mereka rata-rata

sejumlah 128.309 ton per tahun dimana sekitar 83 % diantaranya diperoleh dari

Indonesia (10,14 %), Malaysia (48,81 %), Thailand (9,23 %) dan Singapura

(15,40 %). Konsumen karet alam Indonesia lainnya yang juga mengimpor jumlah

karet alam Indonesia terbesar adalah Amerika Serikat. Data statistik

menunjukkan bahwa Amerika Serikat mengkonsumsi rata-rata 503.941 ton per

tahun selama periode waktu tahun 1977 hingga 2001. rata-rata jumlah impor

karet alam Indonesia oleh AS tersebut setara dengan 44 persen dari rata rata

ekspor karet alam Indonesia atau setara dengan 58,53 persen dari rata-rata

konsumsi karet alam Amerika Serikat.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa permintaan impor karet alam

Indonesia oleh Prancis, Singapura, Inggris dan Amerika Serikat adalah inelastis,

sementara permintaan negara importir utama lainnya tergolong elastis. Pada

gugus persamaan diatas juga dapat dilihat bahwa karet alam Indonesia hiungga

derajat tertentu berkompetisi dengan karet alam Malaysia dan Thailand. Hal ini

Page 28: Indonesian Natural Rubber Trade

17

ditunjukkan oleh respon permintaan karet alam Indonesia oleh negara negara

importir atas perubahan harga karet alam Malaysia dan Thailand (Tabel 3).

Tabel 3. Elastisitas harga dan elastisitas silang permintaan import karet alam Indonesia.

Variabel

Dependen

Elastisitas Harga Elastisitas Silang

Variabel Independen Koefisien Variabel

Independen Koefisien

Impor Karet alam Indonesia oleh:

Harga Karet alam : Harga Karet

alam :

Belgia-Luxemburgh Indonesia -2.38 Thailand 3.20

Kanada Kanada -1.19 Malaysia 2.24

China Indonesia -0.28 Thailand 1.83

Prancis Indonesia -2.26 Malaysia 1.34

Thailand 1.57

Jerman Indonesia -1.21 Thailand 1.89

Korea Indonesia -3.95 Malaysia 1.78

Thailand 4.41

Belanda Indonesia -4.24 Malaysia 0.08

Thailand 0.22

Jepang Indonesia -2.19 Thailand 3.01

Rusia Indonesia -6.26 Malaysia 5.31

Thailand 1.42

Singapura Indonesia -0.57 Thailand 0.81

Inggris Indonesia -0.58 Thailand 0.45

Amerika Serikat Indonesia -0.15 Malaysia 0.21 Sumber : Hasil analisis data

4.4. Harga Karet Alam Indonesia. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa harga karet Indonesia (SIR-20)

berfluktuasi mengikuti pola perkembangan harga karet alam negara Malaysia

dan Thailand dengan stratifikasi TSR yang sama (Gambar 5).

Page 29: Indonesian Natural Rubber Trade

18

400

500

600

700

800

900

1000

1100

1200

1300

1400

1500

1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001Tahun

PNRINA PNRMAL PNRTHL PNRW

US.$

Sumber: FAO, 2002

Harga karet alam dunia (PNRW) terlihat berpengaruh nyata (94 %)

terhadap harga karet alam Indonesia. Harga karet alam dunia dilain sisi sangat

tergantung pada beberapa variabel (MP-73) diantaranya adalah harga karet

sintetis, konsumsi karet alam dunia, jumlah penawaran karet alam oleh negara-

negara produsen serta stok karet alam yang dimiliki di negara konsumen dan

produsen. Harga karet sintetis, sebagaimana disajikan pada persamaan MP-73

diatas berpengaruh positip ( αi > 0) hingga selang kepercayaan 99 persen.

Kelangkaan karet sintetis yang penawarannya sangat tergantung pada harga

minyak bumi mentah akan dapat meningkatkan harga karet alam dunia.

Kehawatiran kenaikan harga minyak menyusul belum stabilnya kondisi

perekonomian Irak akan memicu industri berbahan baku karet alam untuk

meningkatkan permintaan. Amir (2003) mengatakan bahwa pada periode April –

Juni 2003 harga karet alam jenis TSR-20 diyakini akan dapat mencapai US$1,20

per kg.

Gambar 5. Perkembangan Harga Karet Alam Dunia, Tahun 1977 - 2001

Page 30: Indonesian Natural Rubber Trade

19

4.5. Penerimaan Perdagangan Karet Alam Indonesia. Pasar karet alam dapat dibedakan kedalam pasar domestik dan pasar

luar negeri yang sekaligus menjadi salah satu sumber devisa bagi negara. Hasil

analisis data menunjukkan bahwa mayoritas (90,71 %) karet alam Indonesia

dipasarkan ke luar negeri dengan perolehan rata-rata devisa sebesar US $.

1.043,637 juta per tahun.

500000

700000

900000

1100000

1300000

1500000

1700000

1900000

2100000

1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001

Tahun

US.$ 1000

VQXNRINA-D

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sejak awal paruh kedua tahun

1990’an penerimaan devisa dari transaksi ekspor karet alam Indonesia menurun

dengan drastis. Permintaan negara konsumen karet alam dunia yang melonjak

pada akhir paruh pertama tahun 1990’an menyusul harga karet yang rendah dan

permintaan produk industri berbahan baku karet khususnya ban kendaraan

bermotor menyebabkan harga karet alam dunia mengalami boom pada tahun

1995. Namun demikian, resesi ekonomi pada paruh kedua tahun 1990’an yang

melanda hampir seluruh perekonomian negara-negara menyebabkan permintaan

hasil industri berbahan baku karet alam kembali melemah.

Berbeda dengan tren penerimaan devisa sebagaimana diuraikan diatas,

penerimaan rupiah dari hasil transaksi perdagangan karet alam Indonesia

dipasar domestik telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan sejak tahun 1998

setelah mengalami penurunan drastis sejak tahun 1995. Peningkatan nilai

Gambar 5. Perkembangan nilai penerimaan ekspor karet alam Indonesia periode tahun 1977 – 2001

Page 31: Indonesian Natural Rubber Trade

20

transaksi perdagangan karet alam Indonesia dipasar domestik juga disebabkan

meningkatnya permintaan industri dalam negeri yakni dari 97.000 ton pada tahun

1998 menjadi 143.000 ton pada tahun 2001.

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

450000

500000

550000

600000

1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001

Tahun

Rp.juta

NCNRINAR

Namun demikian rendahnya kontribusi pasar domestik dalam

mengkonsumsi karet alam Indonesia menyebabkan gejolak permintaan bahan

baku karet alam di pasar dunia tidak dapat diredam oleh pasar domestik.

Meskipun permintaan karet alam Indonesia dipasar domestik cenderung

meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 6,04 persen pertahun, pasar

domestik hanya menyerap rata-rata 7,61 persen hasil produksi karet alam

Indonesia dengan nilai perdagangan sebesar Rp 234.000,844 juta per tahun

selama periode waktu tahun 1977 hingga 2001.

Gambar 6. Perkembangan nilai penerimaan perdagangan domestik karet alam Indonesia periode tahun 1977 – 2001

Page 32: Indonesian Natural Rubber Trade

21

V. DAMPAK KESEPAKATAN TRIPARTITE

5.1. Validasi Model Analisis kinerja perdagangan karet alam Indonesia kedepan didasarkan

pada model perdagangan yang telah dibangun berdasarkan kinerja perdagangan

karet alam Indonesia pada periode waktu 1977 hingga 2001. Model

perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun dalam tulisan ini terdiri atas

78 persamaan perilaku dan 261 variabel eksogen termasuk varabel beda kala.

Hasil analisis data, sebagaimana disajikan pada Lampiran 4, menunjukkan

bahwa terdapat 44 persamaan diantaranya memiliki nilai RMSPE lebih kecil

sama dengan 25 persen, 16 persamaan memiliki RMSPE lebih lebih kecil sama

dengan 50 persen dan sisanya yakni 18 persamaan mempunyai nilai RMSPE

diatas 50 persen. Meskipun model persamaan simultan yang dibangun tidak

secara mutlak mampu memprediksi nilai aktualnya, namun mayoritas persamaan

dalam model yang dibangun memiliki nilai RMSPE yang relatif kecil.

Nilai koefisien regressi dari masing-masing persamaan penduga dalam

model simultan yang dibangun juga cenderung menunjukkan keterhandalan

model dalam memprediksi nilai aktual variabel endogen yang diamati. Hasil

simulasi dasar secara simulatan atas model yang dibangun menunjukkan

sejumlah 24 persamaan memiliki nilai R-Square diatas 0,75; sejumlah 24

persamaan memiliki nilai R-Square berkisar antara 0,50 hingga 0,75; 18

persamaan memiliki nilai R-Square berkisar antara 0,25 hingga 0,50; serta

sisanya sejumlah 12 persamaan memiliki R-Square berkisar kecil dari 0,25.

Sebaran persamaan individual berdasarkan koefisien regressi dalam model

simultan sebagaimana disajikan diatas menunjukkan bahwa setidaknya 50

persen variasi dari mayoritas (61,35%) variabel endogen dapat dijelaskan oleh

perubahan variabel regressornya.

Sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian, uji validasi model

juga akan dilakukan dengan mengevaluasi koefisien UM, UR, dan UC yang

merupakan dekomposisi dari Mean Square Error (MSE). Hasil analisis data

menunjukkan terdapat sejumlah 73 persamaan dalam model yang dibangun

memiliki nilai koefisien UM lebih kecil sama dengan 0,1; sejumlah dua

persamaan memiliki koefisien berkisar 0,1 hingga 0,25 dan sisanya tiga

persamaan memiliki nilai koefisien diatas 0,25. Indikator dekomposisi MSE lain

yang digunakan untuk menguji validitas model yang dibangun adalah indikator

Page 33: Indonesian Natural Rubber Trade

22

kesalahan komponen regresi (UR). Tidak terlalu berbeda dengan sebaran

persamaan berdasarkan nilai koefisien UM, mayoritas (65) persamaan dalam

model perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun memiliki koefisien lebih

kecil sama dengan 0,1; sembilan persamaan memiliki koefisien berkisar 0,1

hingga 0,25 dan sisanya empat persamaan memiliki nilai koefisien diatas 0,25.

Indikator ketiga yang dapat digunakan untuk menguji validitas model simultan

adalah bias kovarian (UC). Hasil analisis data ternyata menunjukkan konsistensi

yang baik dimana mayoritas (66) persamaan dalam model yang dibangun

memiliki nilai koefisien bias kovarian diatas 0,75; sejumlah tujuh persamaan

memiliki nilai berkisar antara 0,50 - 0,75 dan sisanya lima persamaan memiliki

nilai berkisar antara 0,25 - 0,50. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model

perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun dapat diharapkan memiliki

prediksi nilai aktual variabel endogen yang baik.

5.2. Dampak Kesepakatan Tripartite, peramalan tahun 2002- 2003

5.2.1. Penawaran Karet Alam Indonesia Hasil simulasi pada model perdagangan karet alam Indonesia yang

dibangun menunjukkan bahwa kesepakatan tripartite mampu menahan laju

pertumbuhan produksi dan penawaran karet alam Indonesia.

Tabel 4. Dampak Kesepakatan Tripartite terhadap Penawaran Karet alam Indonesia pada Tahun 2002 – 2003, dalam 000 ton dan persentase perubahan.

Variabel

Tanpa Kesepakatan

(dasar)

Tripartite

SMS AETS AETS dan SMS

000 ton 000 ton % 000 ton % 000 ton %

Produksi karet alam Indonesia 1584 1585.10 0.06 1593.90 0.61 1594.70 0.66

Perdagangan Karet alam Indonesia

- Domestik 137 136.80 0.07 137.80 0.80 138.00 0.95

- Ekspor 1143 1161.20 1.63 1127.60 -1.31 1146.10 0.31Sumber : Analisis data penelitian

Keterangan : SMS = Skim pengurangan produksi sebesar 4 % / Tahun

Aets = Skim pengurangan ekspor sebesar 10 % / Tahun Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kebijakan tripartite berdampak pada

meningkatnya produksi karet alam Indonesia rata-rata sebesar 0,66 persen per

tahun selama tahun 2002 dan 2003. Hal menarik untuk dicermati adalah bahwa

Page 34: Indonesian Natural Rubber Trade

23

kekuatan pasar yang merupakan interaksi simultan antar variabel sebagaimana

yang dibangun dalam model perdagangan karet alam Indonesia menyebabkan

kesepakatan untuk mengurangi produksi sebesar empat persen pertahun

diperkirakan hanya dapat mengurangi laju pertumbuhan produksi sebesar 0,77

persen menjadi 0,66 persen pertahun. Kebijakan tripartite mampu mengurangi

laju pertumbuhan produksi karet alam Indonesia sebesar 0,11 persen pertahun

pada tahun 2002 dan 2003.

Hasil peramalan produksi karet alam Indonesia pada tahun 2002 dengan

menggunakan model yang dibangun adalah sejumlah 1567.57 ribu ton, tidak

terlalu menyimpang dari perkiraan angka produksi hasil perkebunan karet alam

Indonesia tahun 2002 yakni 1630 ribu ton (Gapkindo, 2003). Rendahnya

sosialisasi kebijakan tripartite hingga ke tingkat produsen karet rakyat kiranya

perlu untuk diperhatikan. Hasil wawancara dengan petani produsen menunjukkan

bahwa hanya produsen karet swasta besar dan PTP yang mengetahui adanya

kesepakatan tripartite yakni mengurangi produksi dan ekspor masing masing

sebesar empat dan sepuluh persen pada tahun 2002 dan 2003. Petani karet

rakyat yang umumnya, 78,79 %, memperoleh informasi pasar dan teknologi

produksi hanya dari toke, meski 69,70 % diantaranya pernah mendengar istilah

tripartite, tidak pernah memperoleh anjuran untuk mengurangi produksi. Lebih

menarik lagi untuk dicermati adalah hanya 9,1 persen diantara responden yang

bersedia mengurangi produksi seandainya mereka dianjurkan untuk

melakukannya.

5.2.2. Harga Karet Alam Indonesia Hasil simulasi pada model perdagangan karet alam Indonesia yang

dibangun menunjukkan bahwa pengurangan produksi sebesar empat persen

oleh tiga negara yang bersepakat, Indonesia, Malaysia, dan Thailand

mengakibatkan kenaikan harga karet alam Indonesia rata rata sebesar US

$.4,40 /ton (0,53 %) selama dua tahun periode kesepakatan sebagaimana

disajikan pada Tabel 5 berikut. Respon perubahan harga karet alam Indonesia

terhadap skim pengurangan produksi yakni sebesar 0,53 persen per perubahan

empat persen produksi karet alam yang dilakukan secara bersama-sama oleh

tiga negara, dapat mengarah pada dugaan bahwa fungsi permintaan karet alam

Indonesia cenderung sangat elastis. Secara teoritis kebijakan pengurangan

produksi untuk menaikkan harga pada kondisi fungsi permintaan yang elastis

akan mengakibatkan penerimaan produsen yang lebih rendah.

Page 35: Indonesian Natural Rubber Trade

24

Tabel 5. Dampak Kesepakatan Tripartite terhadap Harga Karet Alam di Tiga Negara Produsen pada Tahun 2002 – 2003, US $. (persen perubahan)

Variabel Tanpa

KesepakatanTripartite

SMS AETS AETS dan SMS

US.$ US.$ % US.$ % US.$ %

Karet alam Indonesia 779 783.40 0.53 817.80 4.94 821.80 5.45

Karet alam Malaysia 885 890.20 0.56 934.60 5.58 939.60 6.15

Karet alam Thailand 822 832.40 1.31 838.60 2.07 849.50 3.40

Karet alam Dunia 916 921.20 0.56 966.30 5.48 971.40 6.04

Sumber : Analisis data penelitian

Keterangan : SMS = Skim pengurangan produksi sebesar 4 % / Tahun

Aets = Skim pengurangan ekspor sebesar 10 % / Tahun

Skim pengurangan produksi oleh tiga negara produsen utama karet alam

dunia lebih ditujukan untuk mendukung skim pengurangan ekspor (Aets)

sehingga penumpukan stok karet alam di masing-masing negara produsen tidak

terlalu besar. Hasil simulasi data pada model yang sama menunjukkan bahwa

skim Aets yakni pengurangan ekspor sebesar 10 persen oleh masing masing

negara mampu meningkatkan harga karet alam Indonesia sebesar 4,94 persen;

Malaysia sebesar 5,58 persen dan Thailand sebesar 2,07 persen serta harga

karet alam dunia sebesar 5,48 persen. Apabila kebijakan pengurangan produksi

(SMS) sebesar 4 persen dapat direalisasi oleh tiga negara yang bersepakat pada

tahun 2002 dan 2003, maka kombinasi dua kesepakatan tersebut akan

menaikkan harga karet alam sebesar 5,45; 6,15; 3,4; dan 6,04 persen masing

masing untuk harga karet alam Indonesia, Malaysia, Thailand dan dunia.

Terlepas dari keberhasilan masing masing negara untuk melakukan kesepakatan

tripartite secara utuh atau tidak, Abdullah (2002) mengatakan bahwa harga karet

alam SIR-20 di pasar internasional pada periode bulan Juli 2002 telah mencapai

US $. 810 per ton lebih baik dari harga rata rata tahun 2001 yakni US $. 540 per

ton.

Page 36: Indonesian Natural Rubber Trade

25

5.2.3. Permintaan Karet Alam Indonesia

5.2.3.1. Permintaan Dalam Negeri

Model perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun berdasarkan

kinerja perdagangan karet alam dari tahun 1977 hingga 2001 menunjukkan

bahwa setiap kenaikan harga karet alam sebesar satu persen di pasar domestik

akan mengakibatkan berkurangnya permintaan sebesar 0,23 persen (MP-20).

Fungsi permintaan karet alam domestik yang masih tergolong inelastis tersebut

memungkinkan kebijakan tripartite yang bermuara pada peningkatan harga

dapat memberikan kenaikan penerimaan dari hasil transaksi perdagangan karet

alam di pasar dalam negeri.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pengurangan produksi dan

ekspor sebagaimana yang disepakati oleh Indonesia, Malaysia dan Thailand

menyebabkan permintaan karet alam hanya akan bertumbuh rata rata sebesar

0,95 persen pertahun selama periode tahun 2002 dan 2003. Angka rata-rata

pertumbuhan permintaan tersebut lebih rendah dari laju pertumbuhan permintaan

karet alam oleh pasar domestik selama periode tahun 1977 hingga tahun 2001

yakni sebesar 6,04 persen pertahun.

6.2.3.2. Permintaan Luar Negeri

Kebijakan tripartite mengakibatkan berkurangnya permintaan impor karet

alam Indonesia oleh Belgia-Luxemburgh, Canada, Prancis, Jerman, Jepang,

Rusia, dan Inggris. Amerika Serikat, Korea Selatan, China dan Belanda

diperkirakan masih akan meningkatkan permintaan karet alam Indonesia

menyusul peningkatan kebutuhan bahan baku karet alam negara tersebut

meskipun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan periode

tahun 1977 – 2001. Trobosan baru oleh Firestone, industri ban terkenal di

Amerika Serikat, mengeluarkan jenis ban pesawat terbang baru yang mampu

mengangkut beban hingga 250.000 lbs pada kecepatan 250 mile per jam

misalnya membutuhkan bahan baku karet alam. Steichen (2002) juga

memperidiksi kebutuhan bahan baku karet alam oleh industri automotif Amerika

Serikat memiliki trend pertumbuhan yang positip. Goodyear sebagai misal

membutuhkan setidaknya 800.000 ton karet alam dan akan semakin banyak lagi

dimasa mendatang untuk memenuhi kebutuhan industri ban pesawat terbang

serta berbagai kendaraan berat lainnya yang belum mampu digantikan oleh karet

sintetis.

Page 37: Indonesian Natural Rubber Trade

26

Tabel 6. Dampak kesepakatan tripartite terhadap permintaan impor karet alam Indonesia oleh negara importir utama, tahun 2002 -2003

Variabel

Tanpa

Kesepakatan

Tripartite

SMS AETS AETS dan SMS

000 ton 000 ton % 000 ton % 000 ton %

Belgia Luxemburg 15.559 15.678 0.76 12.895 -17.12 13.013 -16.36

Canada 64.041 64.028 -0.02 63.918 -0.19 63.905 -0.21

China 56.341 56.450 0.19 56.853 0.91 56.962 1.10

Prancis 7.801 7.868 0.86 7.457 -4.40 7.524 -3.55

Jerman 57.458 57.489 0.05 57.151 -0.53 57.182 -0.48

Korea Selatan 111.100 111.400 0.27 112.700 1.44 112.900 1.62

Belanda 23.182 23.196 0.06 23.486 1.31 23.500 1.37

Jepang 153.200 154.000 0.52 144.400 -5.74 145.200 -5.22

Rusia 7.960 8.378 5.24 6.225 -21.80 6.643 -16.55

Singapura 45.860 62.307 35.86 36.373 -20.69 52.820 15.17

Inggris 3.019 3.073 1.79 2.854 -5.45 2.908 -3.66

Amerika Serikat 408.900 409.200 0.07 415.100 1.52 415.400 1.59

Jumlah 1407.022 1393.51 -0.96 1450.17 3.066 1436.46 2.09

Sumber : Analisis data penelitian

Keterangan : SMS = Skim pengurangan produksi sebesar 4 % / Tahun

Aets = Skim pengurangan ekspor sebesar 10 % / Tahun

Pertumbuhan industri automotif China yang pesat sejak pertengahan

tahun 1990’an menyebabkan permintaan karet alam oleh China semakin besar

(Burger dan Smit, 2003). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi

karet alam China mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,97 persen per

tahun selama periode waktu tahun 1977 hingga tahun 2001. Meskipun karet

alam Indonesia hanya berkontribusi rata-rata sebesar 5,42 persen terhadap total

kebutuhan karet alam China pertahun, pertumbuhan permintaan impor karet

alam negara ini dari Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13,12

persen pertahun.

5.2.4. Nilai Perdagangan Karet Alam Indonesia Simulasi pengurangan produksi dan ekspor dengan menggunakan

model perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun menunjukkan

Page 38: Indonesian Natural Rubber Trade

27

peningkatan harga dan konsumsi karet alam Indonesia baik di pasar domestik

maupun pasar ekspor.

Tabel 7 Dampak kesepakatan tripartite terhadap penerimaan hasil transaksi perdagangan karet alam Indonesia di pasar domestik, tahun 2002 - 2003

Variabel

Tanpa

Kesepakatan

Tripartite

SMS AETS AETS dan SMS

Unit Unit % Unit % Unit %

Konsumsi karet alam domestik (000 ton) 158 157.9 -0.06 156.7 -0.82 156.6 -0.89

Harga karet alam domestik (Rp./Kg) 6714.5 6718.7 0.06 6778.7 0.96 6782.8 1.02

Penerimaan domestik (Rp.juta) 1060.891 1060.88 0.00 1062.22 0.13 1062.19 0.12

Sumber : Analisis data penelitian

Keterangan : SMS = Skim pengurangan produksi sebesar 4 % / Tahun

Aets = Skim pengurangan ekspor sebesar 10 % / Tahun

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa upaya meningkatkan harga karet alam

dunia melalui skim manajemen produksi dan pengurangan ekspor menyebabkan

harga karet alam Indonesia di pasar domestik meningkat rata-rata sebesar 0,12

persen pertahun dari Rp 6714,5 menjadi Rp. 6778,7 per kilogram jika kebijakan

tripartei dilakukan. Kenaikan harga tersebut diperkirakan akan berdampak pada

menurunnya permintaan karet alam oleh konsumen dalam negeri sebesar 0,89

persen per tahun. Namun demikian, persentase kenaikan harga yang lebih

besar dari persentase penurunan transaksi perdagangan di pasar domestik

diperkirakan akan mampu meningkatkan nilai total perdagangan karet alam

Indonesia rata-rata sebesar 0,12 persen per tahun.

Dampak kesepakatan tripartite yang lebih besar diperkirakan akan

diperoleh dari penerimaan devisa atas transaksi perdagangan karet alam

Indonesia di pasar ekspor sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Kenaikan

volume dan harga ekspor karet alam Indonesia masing masing sebesar 0,31

dan 5,45 persen per tahun pada tahun 2002 – 2003 diperkirakan akan dapat

meningkatkan perolehan devisa sebesar 5,78 persen per tahun pada periode

yang sama.

Page 39: Indonesian Natural Rubber Trade

28

Tabel 8 Dampak kesepakatan tripartite terhadap penerimaan hasil transaksii perdagangan ekspor karet alam Indonesia, tahun 2002 - 2003

Variabel

Tanpa

Kesepakatan

Tripartite

SMS AETS AETS dan SMS

Unit Unit % Unit % Unit %

Ekspor karet alam Indonesia ( 000 ton) 1142.6 1161.2 1.63 1127.6 -1.31 1146.1 0.31

Harga ekspor karet alam Indonesia (US $/ton)

779.3 783.4 0.53 817.8 4.94 821.8 5.45

Penerimaan devisa (US. $.000) 890428.18 909684 2.16 922151.

3 3.56 941865 5.78

Sumber : Analisis data penelitian

Keterangan : SMS = Skim pengurangan produksi sebesar 4 % / Tahun

Aets = Skim pengurangan ekspor sebesar 10 % / Tahun

Page 40: Indonesian Natural Rubber Trade

29

VI. ALTERNATIF KEBIJAKAN PERDAGANGAN KARET ALAM INDONESIA

6.1. Kesepakatan Tripartite Kerjasama tripartite telah disepakati untuk dilaksanakan selama dua

tahun yakni tahun 2002 dan 2003. Terlepas dari derajat kontribusi dua program

dalam kesepakatan tripartite, harga karet alam di pasar internasional telah

menunjukkan peningkatan sejak awal tahun 2003. (Abdullah, 2002; Amir, 2003;

Wiyono, 2003)

Apabila dua skim kebijakan tripartite dilanjutkan hingga tahun 2008 maka

pengurangan ekspor sebesar 10 persen serta produksi sebesar 4 persen oleh

tiga negara yang bersepakat diperkirakan akan meningkatkan harga karet alam

Indonesia, Malaysia, Thailand masing masing sebesar 2,74; 2,60; dan 2,14

persen dibandingkan dengan tanpa interfensi.

Tabel 9. Perkiraan Dampak kesepakatan Tripartite terhadap Kinerja Perdagangan Karet alam Indonesia Tahun 2004 – 2008,

Variabel Unit Dasar Tripartite

Jumlah Jumlah Perubahan (%)

Harga Ekspor, Indonesia US $/ton 1022.00 1050.00 2.74

Harga Domestik Rp/Kg 8386.50 8447.00 0.72

Harga Ekspor, Malaysia US $/ton 1205.50 1236.90 2.60

Harga Ekspor, Thailand US $/ton 1053.90 1076.50 2.14

Harga Dunia US $/ton 1243.30 1275.20 2.57

Produksi Perkebunan Besar 1000 ton 426.80 427.10 0.07

Produksi Perkebunan Rakyat 1000 ton 722.50 725.10 0.36

Ekspor 1000 ton 961.80 976.10 1.49

Konsumsi Domestik 1000 ton 156.60 157.30 0.45

Penerimaan Domestik Rp juta 1313325.90 1328713.10 1.17

Penerimaan Devisa US $.1000 982959.60 1024905.00 4.27Sumber : Analisis data penelitian

Kenaikan harga karet alam di pasar domestik sebesar 0,72 persen

sebagai dampak dari kesepakatan tripartite akan diikuti oleh kenaikan produksi

karet rakyat rata-rata sebesar 0,31 persen, sementara produksi perkebunan

besar diperkirakan hanya meningkat sebesar 0,07 persen selama tahun 2004

hingga 2008. Kesepakatan tripartite diperkirakan akan memberikan dampak

Page 41: Indonesian Natural Rubber Trade

30

positip pada penerimaan transaksi perdagangan karet alam Indonesia.

Kenaikan harga dan volume perdagangan baik di pasar domestik maupun ekspor

diperkirakan akan mengakibatkan perubahan penerimaan dari perdagangan di

pasar domestik sebesar 1,17 persen serta peningkatan devisa dari ekspor karet

alam Indonesia sebesar 4,27 persen pertahun selama Tahun 2004-2008.

6.2. Liberalisasi Perdagangan Upaya memposisikan karet alam sebagai salah satu penyumbang devisa

dari sektor non migas dihadapkan pada perkembangan perekonomian dunia

yang akan memasuki era perdagangan bebas. Besarnya (92,83 %) persentase

produksi karet alam Indonesia yang dipasarkan ke luar negeri menyebabkan

industri karet alam Indonesia sangat rentan terhadap perubahan pasar yang

pesat seiring dengan dicanangkannya liberalisasi perdagangan. Liberalisasi

perdagangan telah membuka peluang kepada konsumen tradisional Indonesia

untuk melakukan pembelian langsung ke negara produsen lain sehingga dapat

menimbulkan guncangan terhadap perdagangan karet alam Indonesia.

Mutu diyakini menjadi salah satu kata kunci dalam memenangkan

persaingan pasar. Issue lingkungan yang semakin berkembang dalam paket

sanitasi dan fitosanitasi (SPS) dapat menyebabkan industri pengguna bahan

baku karet alam berupaya mencari bahan baku yang tidak berbau. Pergeseran

selera yang didorong oleh issue lingkunan tersebut dapat menjadi ancaman bagi

pasar karet alam Indonesia yang hingga dewasa ini masih menghasilkan karet

alam mutu rendah. Selain issue lingkungan, perkembangan teknologi yang

mengarah pada otomisasi membutuhkan mutu bahan baku karet alam yang

semakin baik. Data hasil yang diperoleh dari BPS Indonesia selama periode

tahun 1986 hingga 2001 menunjukkan bahwa mayoritas (90,18 %) karet alam

yang diproduksi Indonesia adalah SIR-20, kategori mutu karet alam terendah

yang diperbolehkan untuk diekspor.

Perdagangan tanpa interfensi adalah kata kunci dari liberalisasi

perdagangan. Interfensi yang umum dilakukan adalah upaya mempengaruhi

keputusan pelaku industri dari produsen hingga konsumen dalam melakukan

transaksi. Subsidi input pertanian dan restriksi ekspor merupakan bentuk

interfensi yang lazim dilakukan dalam lingkup industri tanaman ekspor termasuk

komoditi karet alam. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pupuk termasuk

salah satu input pertanian yang secara intensif disubsidi. Dengan asumsi

besarnya subsidi adalah merupakan selisih harga dunia dengan harga ditingkat

Page 42: Indonesian Natural Rubber Trade

31

petani, maka subsidi pupuk Indonesia adalah rata-rata sebesar 71,67 persen dari

harga impor selama kurun waktu 1977 hingga 2001.

Hasil simulasi pada model perdagangan yang dibangun menunjukkan

bahwa pengurangan subsidi pupuk hingga sebesar 25 persen diperkirakan akan

berdampak pada penurunan produksi baik perkebunan besar maupun

perkebunan karet rakyat rata-rata sebesar 15,42 dan 33,05 persen pertahun

selama kurun waktu tahun 2004 hingga 2008.

Tabel 10. Perkiraan Dampak Penurunan Subsidi Pupuk sebesar 25 % terhadap Kinerja Perdagangan Karet alam Indonesia Tahun 2004 – 2008,

Variabel Unit Dasar Penurunan Subsidi Pupuk

Jumlah Jumlah Perubahan (%)

Harga Ekspor, Indonesia US $/ton 1022.00 1235.00 20.84

Harga Domestik Rp/Kg 8386.50 8857.70 5.62

Harga Ekspor, Malaysia US $/ton 1205.50 1210.20 0.39

Harga Ekspor, Thailand US $/ton 1053.90 1083.90 2.85

Harga Dunia US $/ton 1243.30 1248.10 0.39

Produksi Perkebunan Besar 1000 ton 426.80 361.00 -15.42

Produksi Perkebunan Rakyat 1000 ton 722.50 483.70 -33.05

Ekspor 1000 ton 961.80 922.90 -4.04

Konsumsi Domestik 1000 ton 156.60 159.40 1.79

Penerimaan Domestik Rp juta 1313325.90 1411917.38 7.51

Penerimaan Devisa US $.1000 982959.60 1139781.50 15.95Sumber : Analisis data penelitian

Ekspor karet alam Indonesia diperkirakan akan berkurang rata-rata

sebesar 4,04 persen sementara permintaan domestik mengalami perubahan

sebesar 1,79 persen. Penurunan volume ekspor dapat diimbangi kenaikan harga

sehingga penerimaan devisa dari transaksi perdagangan karet alam Indonesia

naik menjadi US. $ 1.139,782 atau lebih tinggi sebesar 15.95 persen

dibandingkan jika tanpa kebijakan baru.

Page 43: Indonesian Natural Rubber Trade

32

6.3. Simulasi Kebijakan Penerimaan devisa dan peningkatan pendapatan petani merupakan

tujuan utama dari pembangunan ekonomi, termasuk pembangunan perkebunan

karet didalamnya. Skim interfensi managemen produksi dan ekspor yang

disepakati harus disertai dengan kebijakan produksi dan perdagangan karet

domestik. Upaya meningkatkan harga karet alam hendaknya dilakukan hingga

harga tersebut layak bagi petani karet rakyat sebagai kontributor utama dalam

industri karet alam di Indonesia. Petani karet rakyat umumnya memiliki

pendapatan utama dari usahatani karet yang dilakukan. Kebutuhan hidup sehari-

hari dengan demikian digantungkan pada jumlah penerimaan dari usahatani

karet yang dilakukan. Dengan demikian standart kebutuhan minimal petani

rakyat dapat digunakan sebagai ukuran harga layak minimal karet alam yang

dihasilkan. Bank Dunia menggunakan rata-rata pendapatan satu dollar Amerika

per kapita perhari sebagai batas garis kemiskinan di negara sedang

berkembang.

Hasil analisis data primer yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata

petani karet rakyat, dengan luas areal sadap rata-rata sebesar 4,58 Ha, dapat

menghasilkan 3,45 kg per kapita per hari dengan bagian harga yang diterima

petani produsen sebesar 24.32 persen dari harga f.o.b. Agar standar pendapatan

minimal, US $ 1/kapita/hari, oleh Bank Dunia dapat terpenuhi maka harga karet

alam yang harus diterima oleh petani adalah US. $ 0,289/kg. Dengan asumsi

nilai tukar rupiah sebesar Rp 9000/US $, maka harga karet ditingkat petani

adalah Rp 2605 /kg dan harga karet alam Indonesia di pasar ekspor (f.o.b)

sebesar US $. 1,191 / kg.

6.3.1. Skenario Kebijakan Tunggal

Simulasi kebijakan dalam tulisan ini akan dipandu oleh indikator

perubahan perolehan devisa lebih besar dari nol dan harga karet alam Indonesia

sebesar US $ 1,191/kg. Instrumen kebijakan ekonomi yang diharapkan dapat

dilakukan oleh pemerintah menyertai kesepakatan tripartite atau liberalisasi

perdagangan adalah: reduksi subsidi pupuk, meningkatkan investasi di sektor

pertanian, meningkatkan upah disektor pertanian, dan penghapusan lahan

perkebunan karet besar. Harga karet alam Indonesia juga dapat meningkat

apabila terjadi kenaikan harga minyak bumi (Crude oil), depresiasi nilai tukar

Page 44: Indonesian Natural Rubber Trade

33

mata uang Indonesia, Malaysia, dan Thailand, serta peningkatan pendapatan

nasional negara importir karet alam utama Indonesia.

Tabel 11. Perkiraan dampak perubahan beberapa instrumen kebijakan terhadap perubahan rata- rata harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia tahun 2004 -2008

No Skenario Harga Devisa

Perubahan

Harga Devisa

US $/Ton US. $.1000 % %

1 Tripartite 1.050,00 1.024.905,0 2,74 4,27

2 Penghapusan Pajak Ekspor oleh Indonesia, Malaysia, Thailand 1.059,60 1.037.560,3 3,68 5,55

3 Reduksi Subsidi Pupuk 15 % 1.149,80 1.079.041,73 12,50 9,57

4 Reduksi Subsidi Pupuk 25 % 1.235,00 1.139.781,5 20,84 15,95

5 Peningkatan Suku Bunga Riel 25 % 1021.18 997797.32 -0.08 1,51

6 Peningkatan Investasi Pertanian 25 % 1.052,20 1.007.165,8 2,95 2,46

7 Peningkatan Upah di Sektor Pertanian 10 % 1.069,00 1.019.077,7 4,60 3,67

8 Penghapusan Lahan Perkebunan, Besar 1.053,30 1.004.848,2 3,06 2,23

9 Peningkatan Produksi Ban Dalam Negeri 5 % 1047.10 785429.71 2.46 -20.09

10 Peningkatan Harga Minyak Sawit Mentah10 % 1.026,00 987.422,4 0,39 0,33

11 Peningkatan Harga Minyak Bumi 10 % 1.022,70 984.144,2 0,07 0,12

12 Depresiasi mata uang Indonesia, Malaysia dan Thailand 10 % 1.071,00 1.054.506,6 4,79 7,28

13 Peningkatan GDP negara Importir 5 % 1.027,10 990.946,1 0,50 0,81

Keterangan : Harga : Harga ekspor karet alam Indonesia (F.O.B), US $/Ton Devisa : Perolehan Devisa, US $ 1000/Ton

Sumber : Analisis data penelitian

Hasil simulasi instrumen kebijakan yang disajikan pada Tabel 11

menunjukkan bahwa peningkatan investasi di sektor pertanian sebesar 25

persen akan berdampak pada kenaikan peroleh devisa sebesar 2,46 persen.

Kenaikan harga karet alam dan perolehan ekspor juga dapat diperoleh melalui

peningkatan upah di sektor pertanian sebesar 10 persen dan penghapusan lahan

perkebunan karet besar. Hasil simulasi petumbuhan produksi industri ban

sebesar lima persen pertahun akan mengakibatkan harga domestik meningkat

hingga 23,8 persen dan menyebabkan volume ekspor berkurang hingga 22,01

persen sehingga penerimaan devisa berkurang sebesar 20,09 persen.

Page 45: Indonesian Natural Rubber Trade

34

Simulasi perubahan empat variabel eksogen lain yang diekspektasi akan

berubah seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia menunjukkan dampak

positip baik terhadap perubahan harga ekspor maupun devisa yang diperoleh

dari transaksi perdagangan ekspor karet alam Indonesia. Dengan demikian

simulasi perubahan yang terjadi pada empat variabel eksogen tersebut

bersamasama dengan kesepakatan tripartite dan liberalisasi perdagangan

diprediksi akan mampu meningkatkan harga karet alam hingga layak untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga petani produsen.

6.3.2. Skenario Kombinasi Kebijakan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa kesepakatan tripartite yang hanya

dikombinasikan dengan penambahan investasi pertanian sebesar 25 persen,

peningkatan upah disektor pertanian, serta penghapusan lahan perkebunan

besar (kombinasi skenario 1,5,7,8) hanya mampu menghasilkan harga karet

alam Indonesia hingga US. $ 1.158,5 per ton. Harga karet alam tersebut masih

lebih rendah dari US. $ 1,19 per ton yakni tingkat harga yang diperhitungkan

dapat memberikan penerimaan minimal satu dollar Amerika Serikat per kapita

per hari khususnya kepada petani karet rakyat. Kombinasi kebijakan dalam

koridor tripartite ini diperkirakan akan mampu meningkatkan harga karet alam

hingga mencapai US. $ 1,19 per ton jika dikombinasikan dengan kebijakan

reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen .

Kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat dilakukan

agar petani karet rakyat dapat memperoleh penerimaan diatas US. $. 1 / kapita /

hari adalah kombinasi skenario penghapusan pajak ekspor oleh tiga negara

produsen karet alam, reduksi subsidi pupuk sebesar 25 persen dan menambah

investasi pertanian sebesar 25 persen. Kombinasi tiga skenario ini dapat

diprediksi akan dapat menyebabkan harga karet alam naik hingga US $ 1.302,8

/ ton. Tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan reduksi subsidi sebesar

15 persen namun harus diikuti dengan upaya meningkatkan upah disektor

pertanian sebesar 10 persen dan penghapusan areal perkebunan karet besar.

Beberapa skenario kombinasi kebijakan lain yang dapat dilakukan dalam upaya

meningkatkan harga karet alam Indonesia dipasar ekspor diantaranya adalah

kombinasi skenario ‘reduksi subsidi pupuk sebesar 25 persen, menambah

investasi pertanian sebesar 25 persen dan meningkatkan upah disektor pertanian

sebesar 10 persen’.

Page 46: Indonesian Natural Rubber Trade

35

Tabel 12. Perkiraan dampak perubahan beberapa instrumen kebijakan terhadap rata- rata harga dan peningkatan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia tahun 2004 -2008

Skenario Harga Devisa

Perubahan

Harga Devisa

US $/Ton US. $.1000 % %

1,5, 1.080,2 1.049.414,3 5,69 6,73

1,5,7 1.127,2 1.085.493,6 10,29 10,40

1,5,7,8 1.158,5 1.106.599,2 13,36 12,63

2,3,5 1.217,6 1.158.254,2 19,14 17,59

2,3,5,7 1.264,6 1.192.214,3 23,74 21,26

2,3,5,7,8 1.295,9 1.211.614,7 26,80 23,49

2,4,5 1.302,8 1.219.030,0 27,48 23,97

2,4,5,7 1.349,8 1.251.534,6 32,07 27,65

2,4,5,7,8 1.381,1 1.269.783,3 35,14 29,87

1,5,7,8,3 1.286,3 1.198.651,5 25,86 22,20

2,3,5,7,8,G 1.354,7 1.303.031,7 32,55 32,03

2,4,5,G 1.361,6 1.310.676,2 33,23 32,51

2,4,5,7,G 1.408,6 1.343.945,3 37,83 36,19

2,4,5,7,8,G 1.439,9 1.362.577,4 40,89 38,41

4,5,7 1.312.2 1193839.6 28.40 22.09

1,5,7,8,3,G 1.345,1 1.289.628,1 31,61 30,74 Keterangan:

1 Kesepakatan Tripartite 2 Penghapusan Pajak Ekspor oleh Indonesia, Malaysia, Thailand 3 Reduksi Subsidi Pupuk 15 % 4 Reduksi Subsidi Pupuk 25 % 5 Peningkatan Investasi Pertanian 25 % 7 Peningkatan Upah di Sektor Pertanian 10 % 8 Penghapusan Lahan Perkebunan Besar G Peningkatan Harga Minyak Minyak Kelapa Sawit Mentah 10 %

Peningkatan Harga Minyak Bumi 10 % Depresiasi mata uang Indonesia, Malaysia dan Thailand 10 % Peningkatan GDP negara Importir 5 %

Page 47: Indonesian Natural Rubber Trade

36

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan Model Perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun dalam

penelitian ini terdiri dari 78 persamaan perilaku yang perubahannya dijelaskan

oleh 261 variabel eksogen sebagaimana yang disajikan pada Lampiran 6. Hasil

validasi menunjukkan bahwa model yang dibangun memiliki keterhandalan yang

cukup baik untuk dapat digunakan memprediksi perilaku perdagangan karet alam

Indonesia. Simulasi beberapa variabel kebijakan yang diduga dapat

mempengaruhi harga karet alam dan perolehan devisa negara dengan

menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa:

Penerapan kesepakatan tripartite pada tahun 2002 dan 2003 berdampak

pada kenaikan harga karet alam dunia sebesar 6,04 persen, harga karet alam

Indonesia sebesar 5,45 % dan penerimaan devisa dari transaksi perdagangan

ekspor karet alam Indonesia meningkat sebesar 0,31 per tahun pada periode

yang sama.

Penerapan kesepakatan tripartite juga berdampak pada kenaikan harga

konsumen sebesar 1,02 persen sehingga mengakibatkan konsumsi domestik

berkurang sebesar 0,89 persen pada tahun 2002 dan 2003.

Interaksi simulatan dari perubahan variabel akibat penerapan

kesepakatan tripartite berdampak pada kenaikan produksi karet alam Indonesia

sebesar 0,66 persen, lebih rendah 0,11 persen dibandingkan tanpa penerapan

kesepakatan tripartite.

Apabila dua skim kebijakan tripartite dilanjutkan hingga tahun 2008 maka

harga karet alam Indonesia, Malaysia, Thailand diperkirakan akan meningkat

masing masing sebesar 2,74; 2,60; dan 2,14 persen dan harga di pasar

domestik sebesar 0,72 persen. Kenaikan harga yang terjadi pada seluruh pasar

belum akan mengurangi transaksi ekspor karet alam Indonesia yang diperkirakan

akan mengalami peningkatan sebesar 1,49 persen pertahun pada periode tahun

2004 – 2008.

Laju pertumbuhan volume ekspor karet alam Indonesia yang melemah

dapat mempertahankan harga karet alam menyusul kenaikan harga minyak

mentah. Hasil analisis data menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu persen

Page 48: Indonesian Natural Rubber Trade

37

harga minyak mentah akan menyebabkan kenaikan harga karet sintetis sebesar

0,38 persen.

Kesepakatan tripartite akan dampak positip pada penerimaan transaksi

perdagangan karet alam Indonesia. Kenaikan harga dan volume perdagangan

baik di pasar domestik maupun ekspor akan diikuti oleh kenaikan penerimaan

dari pasar domestik sebesar 1,17 persen serta devisa sebesar 4,27 persen

pertahun selama Tahun 2004-2008.

Reduksi subsidi pupuk sebesar 25 persen akan menyebabkan harga

ekspor karet alam Indonesia naik sebesar 20,84 persen serta harga di pasar

domestik sebesar 5,62 persen; penurunan permintaan karet alam Indonesia

rata-rata sebesar 4,04 persen dan permintaan domestik meningkat sebesar 1,79

persen lebih rendah dari laju pertumbuhan selama kurun waktu 1977-2001 yakni

sebesar 6,04 persen pertahun. Persentase peningkatan harga ekspor yang lebih

besar dari persentase penurunan volume ekspor menyebabkan penerimaan

devisa diprediksi akan naik sebesar 15.95 persen.

Penghapusan pajak ekspor karet alam oleh Indonesia, Malaysia dan

Thailand akan meningkatnya harga ekspor karet alam Indonesia sebesar 3,68

persen serta harga domestik sebesar 0,69 persen sehingga akan meningkatkan

penerimaan devisa sebesar 5,55 persen serta nilai perdagangan karet alam di

pasar domestik sebesar 0,88 persen.

Kombinasi kebijakan dalam koridor tripartite diperkirakan akan mampu

meningkatkan harga karet alam hingga mencapai US. $ 1,191 per ton jika

dikombinasikan dengan kebijakan reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen.

Kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat dilakukan

agar petani karet rakyat dapat memperoleh penerimaan layak adalah kombinasi

penghapusan pajak ekspor oleh tiga negara produsen karet alam, reduksi subsidi

harga pupuk Indonesia sebesar 25 persen dan menambah investasi pertanian

sebesar 25 persen. Kombinasi tiga skenario ini dapat diprediksi akan dapat

menyebabkan harga karet alam naik hingga US $ 1.302,8 / ton. Reduksi subsidi

pupuk sebesar 25 persen dapat dikurangi hingga 15 persen namun harus diikuti

dengan upaya meningkatkan upah disektor pertanian sebesar 10 persen dan

penghapusan areal perkebunan karet besar.

Perubahan harga minyak sawit mentah sebesar 10 persen akan

berkontribusi pada penambahan harga karet alam sebesar 0,39 persen dan

penerimaan devisa sebesar 0,33 persen.

Page 49: Indonesian Natural Rubber Trade

38

Kombinasi ‘perubahan nilai tukar mata uang Rupiah, Ringgit Malaysia dan

Bath sebesar 10 persen, peningkatan pendapatan nasional negara importir

sebesar lima persen dan peningkatan harga minyak sawit mentah dan minyak

bumi masing masing sebesar 10 persen’ akan berkontribusi pada peningkatan

harga karet alam Indonesia sebesar 5,75 persen dan nilai ekspor sebesar 8,54

persen.

8.2. Keterbatasan Penelitian Model perdagangan karet alam Indonesia telah dirumuskan namun

demikian model yang dibangun belum dapat mengungkap faktor yang

mempengaruhi transaksi perdagangan karet alam Indonesia baik di pasar

domestik maupun luar negeri secara sempurna. Model yang dibangun belum

memasukkan variabel mutu karet alam Indonesia sebagai salah satu variabel

endogen sementara variabel ini diyakini sangat mempengaruhi harga karet alam

Indonesia. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel mutu

dalam model yang dibangun.

Jumlah variabel yang cukup banyak dalam model yang dibangun

menyebabkan peneliti harus memenuhinya dari beberapa sumber data sekunder

yang berbeda. Peneliti harus memilih sumber data yang diyakini lebih valid pada

saat dua atau lebih sumber menyajikan data variabel tertentu yang memiliki nilai

yang berbeda. Namun demikian bias data tidak dapat dihindari mana kala dua

atau lebih variabel harus saling dikaitkan pada model persamaan tertentu.

Penelitian sejenis dimasa mendatang dianjurkan untuk menggunakan sumber

data yang sama sehingga akurasi prediksi model yang lebih baik dapat dimiliki.

Jumlah persamaan yang cukup besar (78 persamaan) menyebabkan

formulasi masing-masing persamaan tergolong sulit sehingga model persamaan

yang memiliki kelompok variabel independen yang mampu menjelaskan

perubahan variabel dependent diatas 80 persen (R2 > 0,80) sejumlah 37

persamaan, sementara sisanya yakni sejumlah 41 persamaan memiliki 0,20 <R2

< 0,80. Formulasi model yang lebih hati hati dan akurat diharapkan dapat

dilakukan dalam penelitian sejenis berikutnya.

Penelitian ini, meskipun dalam beberapa aspek tertentu didukung oleh

data primer, belum dapat mengungkapkan bagaimana pelaksanaan riel dari

kesepakatan tripartite yang telah berakhir tahun 2003 yang lalu. Penelitian

lanjutan yang melihat pelaksanaan dan mengkaji dampak kesepakatan tripartite

pada tahun 2002 dan 2003 dianjurkan untuk dilakukan.

Page 50: Indonesian Natural Rubber Trade

39

Fakta bahwa harga ekspor karet alam Indonesia lebih rendah dari harga

karet alam Malaysia dan Thailand merupakan penomena lain yang menarik untuk

dikaji. Penelitian yang dapat mengungkap faktor yang mempengaruhi perbedaan

harga karet alam tiga negara produsen utama tersebut dianjurkan untuk diteliti

lebih lanjut.

Variabel agroindustri yang diharapkan menjadi full-factor dalam

menggerakkan permintaan bahan baku karet alam di pasar domestik masih

terbatas pada ‘jumlah produksi ban yang dihasilkan Indonesia’. Keterbatasan

data industri yang diperoleh menyebabkan variabel ini hanya dijadikan sebagai

variabel eksogen sehingga tidak mengungkap lebih jauh faktor yang

mempengaruhinya. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menjadikan

variabel ini sebagai variabel endogen sehingga dapat menambah variabel

kebijakan yang dapat dianjurkan untuk disimulasi.

Simulasi perubahan variabel dalam penelitian ini masih sangat terbatas

yakni reduksi subsitusi harga pupuk sebesar 15 dan 25 %, Peningkatan

investasi dibidang pertanian sebesar 25 %, peningkatan suku bunga perbankan

sebesar 25 %, Peningkatan upah disektor pertanian sebesar 10 % dan

penghapusan areal perkebunan karet besar hingga nol. Simulasi lebih rigit

disarankan untuk dilakukan dalam penelitian sejenis yang hendak dilakukan agar

dampak simulasi perubahan masing masing variabel terhadap perubahan harga

karet alam Indonesia dapat diprediksi lebih baik. Terlepas dari cukup banyaknya

keterbatasan penelitian ini, upaya yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi

pemicu penelitian sejenis sehingga perumusan kebijakan dalam upaya

meningkatkan kinerja perdagangan karet alam Indonesia dapat dilakukan

dengan lebih akurat.

Page 51: Indonesian Natural Rubber Trade

40

8.3. Saran Secara teoritis harga yang lebih tinggi dapat diperoleh jika terjadi ekses

permintaan. Memperlambat atau bahkan mencapai laju pertumbuhan produksi

negatif merupakan salah satu target dari kebijakan pembangunan ekonomi karet

alam Indonesia yang harus dilakukan. Laju pertumbuhan produksi karet alam

domestik sebagai misal dapat di perlambat dengan mengurangi areal tanam atau

setidaknya mencegah munculnya areal perkebunan karet yang baru. Set aside

jangka panjang lahan pertanian dengan merotasi penggunaan lahan pertanian

sebagai misal dapat dilakukan untuk mengurangi lahan perkebunan karet

domestik. Realokasi lahan perkebunan karet menjadi lahan perkebunan lain

seperti kelapa sawit misalnya, dapat diawali dari realokasi perkebunan karet

besar dan lahan perkebunan karet milik pemerintah.

Model yang dibangun juga menunjukkan adanya hubungan negatip yang

nyata antara luas areal tanam perkebunan karet dengan harga minyak mentah

kelapa sawit (CPO). Hal ini berarti perubahan permintaan minyak kelapa sawit

yang mengarah pada peningkatan harga CPO diperkirakan akan menyebabkan

areal tanam karet semakin berkurang. Berbagai kebijakan yang berkaitan

dengan pembangunan ekonomi kelapa sawit dengan demikian dapat mengurangi

motivasi petani karet untuk membuka areal tanam baru.

Mayoritas (90,17 %) dari produk karet alam Indonesia yang diekspor

adalah kualitas SIR-20. Mutu bahan baku yang lebih baik seyogyanya lebih

disukai oleh konsumen, oleh karena itu pemerintah hendaknya meningkatkan

partisipasi aktif dari lembaga Litbang agar mutu karet alam Indonesia dapat lebih

ditingkatkan. Kerjasama anrtar negara dibidang Litbang juga disarankan untuk

dapat dipererat sebagaimana yang dilakukan dibidang perdagangan.

Investasi swasta besar pada industri karet alam hendaknya diarahkan

pada industri crumb rubber dan pengolahan bahan baku karet alam menjadi

barang setengah jadi

Page 52: Indonesian Natural Rubber Trade

41

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. S., 2002, Harga karet di pasaran internasional belakangan ini mulai mantap. Harian Umum Kompas, 18 Agustus 2002. Jakarta

Ahmad R.. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR.. Puspa Swara. Jakarta.

Amir. S. A., Daud H. B., Honggokusumo S., dan Tunas E., 2003. Strategi Pemasaran Karet Alam. Paper disampaikan dalam rangka Pertemuan Teknis Peningkatan Dayasaing Karet Alam dalam era Pasar bebas. Pusat Penelitian Karet – Balai Penelitian Sembawa. Sumatera Selatan.

Anania G., 2001. Modeling Agricultural Trade Liberalization and Its Implication for the European Union. Working Paper N.12. INEA. Observatorio Sulle Politiche Agricole Dell’UE. Instituto Nazionale de Economia Agraria. Rende. Italy.

, 2001. The WTO Negotiation on Agriculture and the Common Agriculture Policy. Working Paper N.9/01. INEA. Observatorio Sulle Politiche Agricole Dell’UE. Instituto Nazionale de Economia Agraria. Rende. Italy.

Anderson. K., 2001. Globalization, WTO and ASEAN. Disiapkan secara khusus untuk Globalization for The ASEAN Economic Bulletin. Centre for International Economic Studies. University of Adelaide. Australia.

Anderson . K., dan Tyres . R. 1990. How Developing Contries could Gain From Agriculture Trade Liberalization in the Uruguay Round. Dalam Goldin. I., dan Knudsen . 1990. Ed. Agriculture Trade Liberalization. Implications for Developing Countries. Organization for Economic Co-Operation and Development. Paris

Anderson, K., Nick Berger, and Glyn Witter, 2001. Projecting the World Wine Market to 2005: Impacts of Structural and Policy Changes. CIES Discussion Paper 0121. Centre for International Economic Studies. University of Adelaide. Australia.

Androkovich R. A., and K. R. Stollery. 1991. Tax versus Quota Regulation: A Stochastic Model of the Fishery. American Journal of Agricultural Economics. Vol 72 (2): 300 – 308.

Anindita R., 2002. Economic Effects of Trade Liberalization on The Indonesian Coffee, Coconut and Rubber Industries. Dissertation. University of the Los Banos. Los Banos The Philippines.

Anonimus, 1998. Rencana Pembangunan Lima Tahun Provinsi Jambi. Bappeda Provinsi Jambi. Jambi

, 1999. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi. Jambi

, 1999. Provinsi Jambi Dalam Angka. BPS-Pemda Provinsi Jambi.

Babcock B. A. 1990. Acreage Decisions under Marketing Quotas and Yield Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics. Vol 72 (4): 958 – 965.

Bannock G., Baxter R. E. and Davis. E. 1989. Dictionary of Economics. The Economist Books. Hutchinson. London.

Ball. V. E. 1988. Modeling Supply Response in a Multiproduct Framework. American Journal of Agricultural Economics. Vol 70 (4): 813 – 825.

Page 53: Indonesian Natural Rubber Trade

42

Bertola G., R Faini. 1990. Import Demand and Nontariff Barriers: The impact of trade liberalization. Journal of Development Economics . 34 (2) : 269-268.

Bhuana, K.S., 2003. Prospek Pengembangan Industri Barang Jadi Karet: Studi kasus di PTP Nusantara III (Persero). Paper disampaikan dalam rangka Pertemuan Teknis Peningkatan Dayasaing Karet Alam dalam era Pasar bebas. Pusat Penelitian Karet – Balai Penelitian Sembawa. Sumatera Selatan.

Budiman, A.F.S., 2002. Exiting times ahead for Natural Rubber. Natural Rubber : 28 4th quarter 2002 : 1-3 . Rubber-Stichting. The Netherlands.

Burger. K, Smit. H, dan Vogelvang. B, 2002. Exhange rates and natural rubber prices, the effect of the Asian crisis. Working Paper. Faculty of Economics and Business Administration, Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands.

Bustami G., 2002. Ekspor Non Migas 2002 Diperkirakan Naik Lima Persen. Harian Umum Kompas, 04 Januari 2002. Jakarta

Caves. R.E., Jefrey A. F., Ronald W.J. 1996. World Trades and Payments, An Introduction. VIIth Ed . Harper Collins College Publishers. United States of America.

Chambers R. G., and P. L. Paarlberg. 1991. Are More Exports Always Better? Comparing Cash and In-Kind Export Subsidies. American Journal of Agricultural Economics. Vol 73(1): 142 – 154.

Chavas J. P. and M. T. Holt. 1990 . Acreage Decisions Under Risk. The Cost of Corn anad Soybeans. American Journal of Agricultural Economics. Vol 72 (3): 529 – 538.

Edizal. 1998. Analisis Ekonomi Lada Putih Muntok dan Perdagangan Lada Putih Dunia Sebagai Usaha Peningkatan Daya Saing Lada Putih Indonesia di Pasar Internasional. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB Bogor

Ekelund, Jr Robert B. dan Robert F. Hebert. 1997. A History of Economic Theory and Method. McGraw Hill Book Co. Singapore.

Elwamendri. 2000. Perdagangan Karet Alam Antar Negara Produsen Utama dan Amerika Serikat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor

Engchuan. A., 2000. Malaysia-Indonesia-Thailand Capai Kesepakatan Perdagangan Karet . Harian Umum Kompas 14 Juli 2000. Jakarta.

Falvey. R. 1999. Trade Liberalization and Factor Price Convergence. Journal of International Economics. Vol. 49 (1999): 195 – 210.

Frandsen. E. Soren., Jensen G. H., Yu Wusheng, Jorgensen. W. A., Modeling the EU Sugar Policy reform scenarios. Working Paper. Danish Institute of Agricultural and Fisheries Economics. Denmark

Frohberg. K., G. Fisher., and K. S. Parikh. 1990. Would Developing Countries Benefit from Agricultural Trade Liberalization in OECD Countries?. Dalam Goldin. I., dan Knudsen O. 1990. Ed. Agriculture Trade Liberalization. Implications for Developing Countries. Organization for Economic Co-Operation and Development. Paris

Fusfeld Daniel R. 1994. The Age Of the Economist. 7th Ed. Harper Collins College Publishers. New York. NY

GAPKINDO, Bulletin Karet: Informasi pasar & perkembangan karet Indonesia. Berbagai terbitan. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia. Jakarta

Page 54: Indonesian Natural Rubber Trade

43

., List of Member. Berbagai terbitan. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia. Jakarta

Gelan. A. 2002. Trade Liberalization and Urban-Rural Linkages: a CGE analysis for Ethiopia. Journal of Policy Modeling. Vol. 24 (2002): 707-738.

Grilli R. Enz, Barbara. B. E., dan Maria J. H. W.1980. The World Rubber Economy, Structure, Change, and Prospects. World Bank. Johns Hopkins University Press. Baltimore and London.

Hadisapoetra, S., 1973, Laporan perkembangan penyaluran pupuk, Team Ahli Pengendali Bimas. Departemen Pertanian. Jakarta.

Haley, Stephen L. 1998. Modeling the US Sweetner Sector: An Aplication to the Analysis of Policy Reform. Working Paper # 98-5. International Agricultural Trade Research Consortium. USDA/ERS/MTED. Washington, DC. USA.

Hanani. N. AR. Model Mikro-Makroekonomi Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Menghadapi Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor

Hendratno. S. 1989. Analisis Pasar Karet Alam TSR dan RSS Indonesia. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor

IRSG. 1980 – 2002. Rubber Statistical Bulletin. Internasional Rubber Study Group, London

Jones R. W. and Peter . B. K. 1985. Handbook of International Economics. Volume II. North-Holland. Amstrerdam, New York. Oxpords

Jehle Geoffrey A. dan Vassar College. 1991 Ed. Advanced Microeconomic Theory. 10th .Prentice-Hall International, Inc. Englewood Cliffs. N.J

Kindleberger. C. P., Lindert. P.H. 1995. Ekonomi Internasional. Alih Bahasa oleh: Burhanuddin Abdullah. 8th Ed. Penerbit Erlangga.

Kohli. U. R. 1978. A Gross National Product Function and the Derived Demand for Imports and Supply of Exports. The Canadian Journal of Economics. Vol XI (2) 167 – 182.

Koutsoyannis A. 1977. Theory of Econometrics. Harper & Row Publishers, Inc. United Kingdom.

Krugman. P.R, dan Maurice O. 1999. Ekonomi Internasional. Teori dan Kebijakan. 2nd Ed. Universitas Indonesia- HarperCollins Publisher. Indonesia

Kustiari, R., Erwidodo, and Sjaiful Bahri. 1977. Indonesia’s Agricultural Trade Policies: A Review. Working Paper 97.09. ACIAR Indonesian Research Project. CIES. University of Adelaide. Australia.

Lucas. R. E. B. 1988. Demand for India;s Manufactured Exports. Journal of Development Economics. Vol 29 (1): 63 – 75.

Marpaung. K. Iksan S. Kiptiyah S. M. 1998. Analisis Pemasaran Karet Rakyat Dalam Upaya Meningkatkan Harga di Tingkat Petani. Studi Kasus pada Daerah Sentra Produksi di Kecamatan Kumai. Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Ilmu ilmu Sosial. Vol. I No. 2:127-140. PPS. Universitas Brawijaya. Malang.

Matusz S. J., and D Tarr. 1999. Adjusting to Trade Policy Reform. Policy Research Working Paper No. 2124. The World Bank. Washinton DC.

Page 55: Indonesian Natural Rubber Trade

44

McCorriston S., 1990. Imperfect Competition, Trade Policy and Processed Agricultural Products: Some Initial Results. Journal of Food Distribution Research. June 90.

Mergos G., P. Karadeloglou, and C. Stoforos. 1999. Exploring the Impact of Agriculture Reform under Transition in Albania. Journal of Economic Planning. Vol. 32 (2): 103-127.

Moreddu C., K. Parris., and B. Huff. 1990. Agtriculture Policies in Developing Countriesand Agriculture Trade. Dalam Goldin. I., dan Knudsen . 1990. Ed. Agriculture Trade Liberalization. Implications for Developing Countries. Organization for Economic Co-Operation and Development. Paris

Mubyarto dan Dewanta. A. S., , 1991. Karet: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media Yogyakarta.

Nainggolan, K., 1996, Indonesian Agriculture Under A Free Trade Regime. Paper disajikan pada Konfrensi ASAE, 6 – 9 Agustus. Bali.

Nancy C. 1988 Usaha Untuk Meningkatkan Daya Saing Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional Melalui Efisiensi Pemasaran. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor.

Nikensari, S. I., Bambang Trianoso. 2003. Dampak Penurunan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian Indonesia: Model Analisa Komputasi Keseimbangan Umum. Indonesian Journal of Economics and Development. Vol. 4 No. 1. July 2003.

Octaviani R. 2000. The Impact of trade Liberalization on Indonesia Economy and Its Agricultural Sector. Dissertation. Department of Agriculture Economics. University of Sidney. dalam Anindita. R. 2002. Economic Effects of Trade Liberalization on The Indonesian Coffee, Coconut and Rubber Industries. Dissertation. University of the Los Banos. Los Banos The Philippines.

Paarlberg, P. L. 1995. Agricultural Export Subsidies and Intermediate Goods Trade. American Journal of Agricultural Economics. Vol 77 (1): 119 – 128.

Pindyck S. P., dan D. L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. 5th Ed. Prentice-Hall International. New Jersey

Ramanathan Ramu. 1994. Introductory Econometrics. With Aplication. 3rd Ed. San Diego. California

Ray E., J. 1981. The Determinants of Tariff and Nontariff Trade Restrictions in the United States. Jurnal of Political Economy. Vol. 89 (1): 105 – 121.

Ratnawati. A. 1996. Kebijakan Penurunan Tarif Impor dan Pajak Ekspor. Kinerja Perekonomian Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana . IPB Bogor

Rivai S. R. 1987. Pendugaan Dampak Kegiatan Ekspor Karet Alam Terhadap Pendapatan Wilayah Kalimantan Barat dan Kotamadya Pontianak. Fakultas Pasca sarjana. IPB Bogor.

Saleh. D. 1991. Optimalisasi Produksi dan Pemasaran Karet Alam Indonesia Dalam Dinamika Struktur Industri Karet Dunia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Ipb. Bogor

Schwarz, D., (1998), Trends in natural rubber usage for tyres, Proceedings of the International Rubber Forum, International Rubber Study Group, Bali, Indonesia.

Page 56: Indonesian Natural Rubber Trade

45

Sinuraya J. F., 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor

Siswoputranto, 1981. Perkembangan Karet Internasional. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS). Jakarta.

Soediyono. R. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. 6th Ed. Universitas Gajah mada. BPFE. Yogyakarta.

Stepherson. S., dan Erwidodo. 1995. The impact of the Uruguay Round on Indonesia’s Agriculture Sector. dalam Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor

Peterson, E.B., T. W. Hertel.. J.V. Stout. 1994. A Critical Assessment of Supply – Demand Models of Agricultural Trade. American Journal of Agricultural Economics. Vol 76 (4): 709 – 721.

Sunariyo. 2000. Analisis Perbaiki Mutu Bahan Olah Karet. Kasus Penggunaan Unit Pengolahan Hasil (UPH) Karet Rakyat di Lima Desa di Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Selatan. Kalimantan Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang

Syarbaini. Z., 2001. Harga Karet Alam Diprediksi Membaik Akhir Tahun 2001, Harian Umum Kompas 12 Me1 2001. Jakarta.

Trakayama A., M. Ohyama, dan H. Ohta. 1991. Trade, Policy, and International Adjustments. Academic Press, Inc. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto

Takeno T. 2001. Protectionism and Product Standarts Under Asymmetric Information. Georgetown University

Tomek. William G. dan Kenneth L.Robinson. 1981. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Ithaca dan London.

Warsito R dkk 1984. Transmigrasi. Dari Daerah Asal sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman. C.V. Rajawali. Jakarta.

Wibawa. G., 2002, Nasib Petani Karet Semakin Pahit. Harian Umum Kompas 6 Juli. 2002. Jakarta

Wijaya. A., 2000 Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia Suatu Pendekatan makroekonomika. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor

Wittwer G., N. Berger, K. Anderson. 2001. A Model of the Worl Wine Market. CIES Discussion Paper 0121. Center for International Economic Studies. University of Adelaide.

Wohlgenant. M. K., and Cox T.L. 1986. Prices and Quality Effects in Cross-Sectional Demand Analysis. American Journal of Agricultural Economics. Vol 68 (4): 908-919

Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.