Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam...

143
Indonesia Menggugat Ir. Sukarno

Transcript of Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam...

Page 1: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Indonesia Menggugat

Ir. Sukarno

Page 2: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Pendahuluan Tuan­tuan Hakim yang terhormat. Tatkala kami pada tanggal 16 Juni 1930 di dalam surat kabar membaca pidato­pembukaan

Volksraad oleh gouverneur­generaal, yang antara lain­lain hal berisi pula permakluman, bahwa kami akan terus dituntut dimuka pengadilan, maka tatkala itu juga kami berkata: “ini menjadi proses yang menggempar­kan!”

Memang sedari mula diadakan penggerebekan dan tang­kapan­tangkapan pada hari 29 Desember 1929, maka kekagetan yang meletus di dalam udara pergaulan hidup Indonesia dan negeri Belanda itu tak berhentilah terus mengumandangnya, perhatian dan kegemparan itu teruslah menggetarkan udara­politik Indonesia dan Negeri Belanda sampai pada hari ini.

Dan perhatian itu bukanlah sekali­kali berhubung dengan diri kami­orang persoonlijk, tetapi ialah disebabkan oleh maknanya proses ini, − sesuatu proses terhadap pada suatu pergerakan yang memang sedari lahirnya adalah hidup di dalam pusatnya perhatian, perhatian kawan­kawannya dan perhatian musuh­musuhnya. Perhatian dan kegemparan itu adalah melebihi perhatian dan kegemparan di zamannya proses “afdeeling B”, melebihi perhatian dan kegemparan di zamannya proses­proses “P.K.I.”, melebihi perhatian dan kegemparan di zamannya proses manapun juga, − tak lain tak bukan, yakni oleh karena proses ini adalah proses terhadap suatu pergerakan, yang menu­rut katanyaMiddendorp adalah dengan sebenar­benarnya “dagingnya daging dan darahnya darah” segenap pergerakan nasionalis di Indonesia adanya.

Tak usahlah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; ia, oleh karenanya, di dalam pemeriksaannya tidak boleh dipisahkan daripada soal­soal politik yang menjadi sifat dan azasnya pergerakan kami, dan yang menjadi nyawanya pikiran­pikiran dan tindakan­tindakan kami; ia di dalam peme­riksaannya harus memasukkan soal­soal politik itu di dalam gedung mahkamah ini, agar supaya Tuan­tuan Hakim bisa mengerti segala azas dan sifatnya pergerakan kami itu, mengerti segala sebab­sebab dan maksud­maksudnya tindakan­tindakan atau perkataan­perkataan kami yang menjadi pemeriksaan Tuan­tuan itu.

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, kami tidak sejak wa­sangka, kami percaya, bahwa Tuan, − bagaimana juga barangkali Tuan punya keyakinan politik −, kami percaya bahwa Tuan ada berdiri sama tengah. Maka oleh karenanyalah kami tersenyum akan caranya surat­surat­kabar, misalnya A.I.D. de Preanger­bode atau lain­lain surat­kabar yang benci kepada kami dan pergerakan kami, menghasut kepada Tuan­tuan Hakim bahwa di dalam proses ini kami tentu akan mendapat hukuman, yakni bahwa “putusan bebas tak bisa jadi”. Kami tersenyum pula, oleh karena surat­surat­khabar yang demikian itu adalah menunjuk­kan moralnya yang sebenarnya.

Kami tidak tahu apa­apa tentang Tuan­tuan punya keya­kinan politik. Kamipun tidak perlu mengetahuinya. Tetapi kami percaya bahwa peringatannya Mr. Dr. Schumann adalah tak perlu bagi Tuan­tuan, yakni peringatan bahwa:

“het is zoo verleidelijk om in den opruier tevens te straffen den tegenstander op politik gebied”. 1

“adalah begitu menarik­hati, menjatuhkan hukuman atas si penghasut, karena ia adalah

1 Bij Duys, Pleidooi Indonesische Studenten

Page 3: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

musuh di atas lapang politik”.1 Kami percaya, kami yakin, bahwa juga peringatannya Prof. Molengraaff ada tak perlu bagi Tuan. Prof. Molengraaff yang mengatakan, bahwa:

“aan de zijde waar onze sympathie is, door ons allicht ook het recht wordt gevonden”.2 “Pihak yang kita senangi, itulah yang kita pandang benar”. 2

− meskipun barangkali Tuan­tuan (kami tidak tahu), sepanjang katanya Mr. van Houten ada termasuk dalam golongan­golongan hakim.

yang “ook menschen zijnde, niet altijd staan buiten een conflict”.2 2 3

“karena juga manusia, tidak selamanya berdiri di luar sesuatu perjuangan”.2

malahan barangkali ada berdiri “midden in de politike beweging”. “di tengah­tengah pergerakan politik”.

atau

“een werkzaam aandeel in elken strijd nemen”.2

“ikut mempunyai bagian di dalam tiap­tiap perjuangan”. 2

Kami ulangi lagi: kami percaya bahwa Tuan­tuan hakim ada berdiri sama­tengah. Dan

jikalau nanti kami uraikan segala kami­punya keyakinan politik, jikalau nanti kami beberkan segala sifat P.N.I. dan segala penglihatan­penglihatan atau ideologi­ideologi kami, jikalau nanti kami masukkan “politik” di dalam gedung mahkamah ini, maka itu bukan untuk mempro­pagandakan kebenaran kami­punya keyakinan itu, melainkan hanyalah supaya Tuan­tuan bisa mengetahui azas, sifat dan aksinya P.N.I., dan bisa menakar, bisa mengerti, bisa begrijpen kami punya penglihatan politik, − dan dus begrijpen isi dan mak­sudnya segala perkataan­perkataan dan tindakan­tindakan kami yang Tuan­tuan periksa dalam proses ini. Hanya inilah maksud kami dengan mengucapkan pidato ini. Bagian yang bersangkutan dengan hukuman adalah bagiannya kami­punya pembela­pembela Mr. Sastro­muljono cs.

2 Bij Duys, Pleidooi Indonesische Studenten 32 Bij Duys, Pleidooi Indonesische Studenten

Page 4: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Sebab, Tuan­tuan Hakim, kami di sini didakwa bersalah menjalankan hal­hal, yang sangat sekali mengasih kesempatan lebar pada subjectief­oordeel, yakni pada pendapatan yang kurang sama tengah. Kami didakwa melanggar artikel 169 yang di dalam akte­tuduhannya berisi tuduhan­tuduhan pelanggaran artikel­artikel pemberontakan, artikel 161 bis, artikel 171 hukum­siksa. Kami didakwa menjalankan hal­hal yang di dalam buku hukum­siksa itu dikalimahkan dengan cara yang membuka jalan bagi subjectiviteit itu, − subjectiviteit atas pertanyaan “apakah yang dinamakan menyindir”, “apakah yang dinamakan voorwaardelijk”, “apakah yang dinamakan dengan kata­kata tertutup”, − subjectiviteit atas pertanyaan “apakah yang dinama­kan ketertiban umum”, “apakah yang dinamakan melanggar”, − subjectiviteit atas pertanyaan “apakah yang dinamakan mem­bangun rasa”, subjectiviteit atas pertanyaan “apakah yang di­namakan kabar­bohong”, “apakah yang dinamakan peri­kehidupan ekonomi dari pergaulan hidup”, dan lain­lain sebagai­nya. Terutama sekali artikel­artikel 161 bis 153 bis sangatlah sekali membuka kesempatan lebar pada subjectiviteit­oordeel itu. Kita, kaum politik Indonesia, kita sejak mula­mulanya artikel­artikel ini diterbitkan, tidak berhenti­hentinya mengkritik­nya, tidak berhenti­henti memprotesnya. Kita anggap artikel­artikel ini sebagai suatu halangan besar bagi menjalankan “hak berserikat dan berkumpul” yang toh tadinya sudah terancam sekali oleh adanya “haatzaai­artikelen” (artikel­artikel penye­gah menyebar rasa kebencian), oleh adanya “hak penDigulan” dan sebagainya itu. Kalau “haatzaai­artikelen” itu.

sudah tersohor dengan nama ”aller­ergerlijkst elastieke bepaling”,

”aturan­karet yang keliwat kekaretannya”, nama apakah harus dikasihkan kepada misalnya artikel 153 bis itu? Tiada salahnya, kalau tuan Mendels di dalam Tweede­Kamer Staten Generaal, − algemeene beschowingen Indesche begrooting 1926 −, menyebutkan:

Page 5: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

artikel ini “een horribel strafwetartikel”, “artikel hukum­siksa yang mendirikan bulu”,

yang ia “in de laatste jaren nog niet ontmoet”, “di dalam tahun­tahun yang akhir ini belum pernah jumpakan”,

Ia mengatakan,

“maar laat men dan niet meer spreken van een rechtstoestand”: “tetapi kalau begitu, janganlah bilang, bahwa di sini ada aturan­hukum”:

Ia mengatakan:

“het is de zuivere rechteloosheid”. “Ini sebenarnya berarti tidak ada aturan­hukum”.

Ya ia mengatakan:

“het is de terreur met de wet in de hand”. “ini adalah kesewenang­wenangan wet di dalam tangan”. Tuan­tuan Hakim, kami harap, kami percaya, bahwa di dalam Tuan­tuan punya tangan,

artikel ini tidak dibikin sewenang­wenang! En Toh berhubung dengan kekaretan artikel­artikel yang diancamkan atas diri kami­orang

itu, berhubung pula dengan soal, yang oleh Prof. Simons disebutkan: “de vraag in hoeverre en op welke wijke het strafrecht rekening moet houden met de overtuiging van den dader”. 4

“soal, sampai berapa jauh dan bagaimana hukum­siksa itu harus memperingati keyakinannya terdakwa”.3

atau berhubung dengan apa yang diperingati oleh Mr. Dr. Schumann,

bahwa hakim harus, “rekening houden met de verschillende omstandigheden, − met de meerdere of mindere welvaart der bevolking, met de meerdere of mindere provocatie”.3 “memperingati keadaan­keadaan, memperingati melarat­makmurnya penduduk, memperingati ada atau tidak­ada­nya sebab­sebab yang memaksakan kepada terdakwa men­jalankan perbuatan itu”.3

maka perlu sekalilah kami uraikan kepada Tuan­tuan segala bagian­bagiannya kami­punya keyakinan­politik yang terpen­ting, beserta bagian­bagiannya pergerakan P.N.I. yang

4 Bij Duys, t. a. p.

Page 6: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

perlu­perlu, − agar supaya Tuan­tuan lantas bisa mengerti dengan gampang, bahwa P.N.I. dan kami orang tidaklah bersalah atas hal­hal yang dituduhkan semuanya.

Maaflah, Tuan­tuan Hakim, kalau kami di dalam pidato ini minta Tuan­tuan punya perhatian sampai berjam­jam lamanya. Maaflah pula, kalau kami di sana sini mendalilkan beberapa dalil dari beberapa buku, sebab dalil­dalil itu perlu sekalilah untuk membuktikan kepada Tuan­tuan, bahwa apa yang kami ucapkan, − terutama yang pahit dan getir, − bukanlah hisapan dari jempol kami sendiri, tetapi ialah bersendi atas pengetahuannya orang­orang bijaksana dan tulus hati.

Atas salah satu pertanyaan Tuan Voorzitter di dalam verhoor, kami adalah menjawab, bahwa kami dengan sikap sama tengah yang bagaimanapun juga, sebagai kaum kiri adalah melihat lebih banyak kejelekan daripada kebagusan di dalam nasibnya negeri dan rakyat Indonesia sekarang ini. Kami adalah terkenal sebagai pengkritik nasibnya negeri dan rakyat yang jelek itu. Kami memang sering menjatuhkan kritik di atasnya. Tetapi kami tak pernahlah mengucapkan kritik yang palsu, kami tak pernahlah meninggalkan sikap yang adil. Sikap kami yang adil itu, akan mendapatlah bukti­bukti pula di dalam dalil­dalil itu, akan mendapatlah bukti­bukti di dalam sedikit­angka­angka yang nyata.

Dengan permintaan maaf yang demikian itu, sekarang kami mulaikan kami punya pembelaan diri.

Imperialisme dan Kapitalisme Tuan­tuan Hakim yang terhormat!

Di dalam aksi kami sering­seringlah kedengaran kata­kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua perkataan, inipun menjadi penyelidikan. Kami antara lain­lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya, kami berkata “kapitalisme harus dilenyap­kan”. Kami dituduh membahayai pemerintah kalau kami berseru “rubuhkanlah imperialisme”. Ya kami dituduhkan berkata bahwa kapitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme = pemerintah yang sekarang! Adakah bisa jadi benar tuduhan ini ? Tuduhan ini tidak bisa jadi benar. Kami tidak pernah, mengatakan bahwa kapitalisme = bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme = pemerintah; kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing kalau kami berkata kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah atau open­bare­orde atau apa saja kalau kami berkata imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan impeslisme kalau kami berkata imperialisme!

Apa dan artinya kapitalisme? Tuan­tuan Hakim, di dalam verhoor sudah kami katakan: Kapitalisme adalah stelsel pergaulan­hidup yang timbul daripada cara productie 1) yang 5

memisahkan kaum­buruh dari alat­alat produetie 2). Kapitalisme adalah timbul dari ini 6

cara­productie, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde 3) tidak jatuh di dalam 7

tangannya kaum­buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaala­cumulatie 4), kapitaal­concentratie 5), 8 9

51) Productie = pembikinan sesuatu barang 62) alat­alat productie yaitu misalnya mesin­mesin, pabrik­pabrik, dll 73) tambahnya harga oleh kerjanya yang membikin 84) penimbunan kapitaal

Page 7: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kapitaal­centratie 6) dan industrieele­reservearmee 7). Kapitalisme adalah mempunyai arah 10 11

kepada Verelendung. 8) 12

Haruslah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa, − tetapi ialah suatu faham, suatu begrip, suatu stelsel? Haruslah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah stelselnya cara­produksi, sebagai yang kami telah terangkan dengan singkat itu! Ah, Tuan­tuan Hakim, kami rasa tidak, Sebab tidak ada satu intellektuil yang tidak mengetahui artinya kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu sudah diselidiki dari kanan­kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu besar litteratuurnya (pustakanya), sebagai kapitalisme itu − hingga berpuluh­puluhan jilid, berpuluh­puluhan­ribu studiën dan standaardwerken dan brochures.

Tetapi arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu begrip. Ia bukan sebagai yang dituduhkan pada kami itu. Ia bukan ambtenaar B.B., bukan pemerintah, bukan gezag, bukan badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain, − suatu stelsel overheerschen atau beheerschen economie atau negeri bangsa lain. Ia adalah suatu verschijnsel, suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan­keharusan atau noodwendigheden di dalam geraknya “ekonomi­bangsa”, selama ada “ekonomi­negeri”, selama itu dunia economie sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi­bangsa”, selama ada “ekonomi­negeri”, selama itu dunia adalah melihat imperialisme. Ia kita dapatkan di dalam nafsunya burung Garuda Romein terbang kemana­mana menakluk­naklukkan negeri­negeri sekelilingnya dan di luarnya Lautan­Tengah. Ia kita dapatkan di dalam nafsunya bangsa Spanyol menduduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggeris, ia kita dapatkan di dalam nafsunya kerajaan Timur Sriwijaya me­naklukkan negeri penanjung Melaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah­tangganya negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam nafsunya negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua kepulauan Indonesia, dari Bali sampai ke Borneo, dari Sumatera sampai ke Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsunya kerajaan Japan menduduki penanjung Korea, mempengaruhi negeri Manchuria, menguasai pulau­pulau di Lautan­Teduh. Imperialisme adalah terdapat di semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu.

Bukan pada bangsa kulit­putih saja ada imperialisme, tetapi juga pada bangsa kulit­kuning, juga pada bangsa kulit­hitam, juga pada bangsa kulit­merah sawo sebagai kami, − sebagai terbukti di dalam zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit; − imperialisme adalah suatu “economische gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang ditentukan oleh rendah­tingginya ekonomi sesuatu pergaulan hidup, yang tak memandang bulu.

Dan sebagai yang tadi saya katakan, − imperialisme bukanlah saja stelsel atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tetapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau stelsel mempengaruhi ekonominya negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa “pelebaran negeri­daerah dengan

95) kapitaal kecil­kecil menjadi satu kapitaal besar 106) kapitaal besar­besar menjadi satu kapitaal besar 117) tentara kaum werkloos 128) memeralatkan kaum­buruh

Page 8: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kekerasan senjata” sebagai yang diartikan oleh van Kol. 9), − tetapi ia bisa juga berjalan hanya 13

dengan “putar­lidah” atau cara “halus­halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “penetration pacifique”.

Terutama di dalam sifatnya mempengaruhi (beheerschen) rumah tangganya bangsa lain, maka imperialisme zaman sekarang sama berbuah “negeri­negeri mandaat” alias “mandaatgebieden”, “daerah­daerah pengaruh” alias “invloeds­sferen” dan lain­lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah negeri jajahan, − koloniaalbezit.

Dan bukan saja di dalam dua macam itu, imperialisme bisa kita bagikan, − imperialisme bisalah juga kita bagikan dalam imperialisme­tua., dan imperialisme­modern. Tidaklah besar beda antara imperialisme­tua daripada bangsa Portugis atau Spanyol atau East India Company Inggeris atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke­16, ke­17, dan ke­18 − dengan imperialisme­modern yang kita lihat di dalam abad ke­19 atau ke­20, imperialisme­modern yang mulai menjalar ke mana­mana, sesudah modern­kapitalisme bertahta kerajaan di benua Europa dan di benua Amerika­Utara?

Imperialisme­modern, − imperialisme­modern yang kini merajalela di seluruh benua dan kepulauan Asia dan yang kini kami musuhi itu, − imperialisme­modern itu adalah anaknya modern­kapitalisme. − Imperialisme­modernpun sudah mempunyai literatuur, tetapi belum begitu terkenallah ia di dalam arti­artinya dan rahasia­rahasianya sebagai soal kapitalisme. Imperialisme­modern itu, oleh karenanya, Tuan­tuan Hakim, mau kami dalilkan artinya agak lebar sedikit dari buku­buku satu­dua. Kami tidak akan mendalilkan bukunya Sternberg “Der Imperialismus” yang walau sangat menarik­hati dan tinggi­ilmu, toh rada “kering” itu, rada “droog” buat mendengarnya, − kami mendalilkan Mr. Pieter Jelles Troelstra, itu pemimpin Belanda yang baru wafat yang menulis :

“Ik versta onder imperialisme dit verschijnsel, dat het grootendeels onder de macht der banken staande grootkapitaal van een bepaald land, de buitenlandsche politik van dat land aan zijn belangen weet dienstbaar te maken. De snelle economische ontwikkeling van de negentiendeeeuw bracht met zich een verbitterde concurrentie op agrarisch en industrieel gebied. Dat aan het einde van die eeuw de portectie snel veld won, was een van de gevolgen. De moderne grootindustrie was ontstaan, de produetiviteit van die grootindustrie was sterk opgevoerd, doch de afzetmogenjkheden in het eigen land waren beperkt en de noodzakelijkheid bestond, afzetgebieden buiten de grenzen te vinden. Deer eenerzijds op de beschermde binnenlandsche markt de prijzen op te voeren, andt.!r zijds op de buitenlandsche markten de dumping­tatktiek toe te passen, trachte de werkkrachten goedkoop zijn, en de winst niet door arbeids­grootindustrie in de mogelijkheid te voorzien, zonder de winst aan te tasten. Deze “aggressieve protectie” bracht op zichzelf reeds grootere spanning in de internationale verhoudingen teweeg. Daarnaast stond de snene ontwikkeling der groote banken, die over ste”eds grooter kapitalen beschikken, waarvoor bij de binnenlandsche industrie en handel niet voldoende plaatsing was te vinden. Hieruit vloeide voorts kapitaaI­export, die zieh in het bijzonder DaM eoonomische − AchterIijke, kapits.aJanne landeD richtte. (Bijvde stroom van

139) Tweede­Kamer Staten Gen, 22 Nov. 1901

Page 9: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Fransch en Engelsch kapitaal naar Rusland, en van Nederlandsch kapitaal naar de Ooost). Deze kapitaaluitvoer geschiedt niet aneen in den vorm van geld. Machines worden door de kapitaal­uitvoerende mogendheden verschaft, fabrieken gebouwd, spoorwegen en havens aangelegd, enz. In vele gevanen is het voor de kapitaalbeleggers voordeeliger hun geld te exploiteeren in ondernemingen in economisch­Achterlijke landen, waar de wetgeving e.d. wordt beperkt”. “Yang saya artikan dengan imperialisme ialah: itu kejadian pergaulan hidup, yang terjadi karena modal­besar dari sesuatu negeri yang kebanyakan ada di bawah kekuasaan­nya bank­bank, memperusahakan politik­luar­negeri dari­pada negeri itu guna kepentingannya modal­besar itu sendiri. Kemajuan abad yang kesembilanbelas yang cepat itu sudahlah melahirkan suatu persaingan mati­matian di atas lapang perusahaan­tanah dan perusahaan­kepabrikan. Salah satu hasilnya persaingan ini ialah bahwa, pada penghabisan abad itu, politik “melindungi negeri sendiri” makin lama makin laku. Kepabrikan­besar sudahlah lahir, jumlahnya barang­barang yang dibikin oleh kepabrikan­besar ini sangatlah tambah­nya, tetapi di negeri sendiri barang­barang itu tak bisalah habis terjual, maka timbunah keperluan mencarikan pasar baginya di luar negeri sendiri. Caranya kepabrikan­besar itu mengatur kesukaran ini dengan tak mengurangkan untungnya ialah: menjual barang­barang itu di pasar­negeri­sendiri yang terlindungi itu dengan harga mahal, dan menjual barang­barang itu di pasar luar­negeri dengan politik“dumping”, yakni menjual barang­barang itu dengan harga yang lebih murah daripada harga­biasanya disitu. Maka cara “melindungi diri sendiri dengan menyerang orang lain” ini saja sudahlah membikin tambah “panasnya” sikap antara negeri satu terhadap negeri yang lain. Selainnya itu, bank­bank yang besar adalah menjadi makin subur, makin besar jumlah kapitalnya, yang tidak bisa diusahakan di dalam pabrik­pabrik dalam negeri­sendiri. Maka lantas mengalirlah kapital itu ke luar, teristimewa ke negeri­negeri yang masih belum maju ekonominya dan yang kekurangan modal. (Misalnya aliran kapital Perancis dan Inggeris ke negeri Roes, dan aliran kapital Belanda ke Timur). Aliran kapital keluar ini, tidaklah hanya berupa aliran harta saja. Negeri­negeri yang mengeluarkan kapital itu jugalah mengirimkan mesin­mesin, mendirikan pabrik­pabrik, membikinkan jalan­jalan kereta api dan pelabuhan­pelabuhan dan sering kali juga kaum kapital itu adalah lebih beruntung lagi dengan memasukkan uangnya dalam onderneming­onderneming di negeri­negeri yang belum maju ekonominya, di mana kaum buruhnya murah dan di mana untung tidak terancam oleh arbeidswetgeving atau sesuatu hukum­perburuhan” Begitulah keterangan Mr. Pieter Jenes Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan

seorang socialist lain, yakni R.N. Brailsford, itu pengarang Inggeris yang termashur. 1) 14

“Rijkdom in onze dagen is in de eerste plaats de gelegenheid voor buitengewoon voordeelige belegging. Verovering in den ouden zin is uit de mode geraakt .....

141) De Oorlog van Staal en Goud, Salinan van Revestein, p. 22, 51, 68

Page 10: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Het jagen van concessies in het buitenland en het exploiteeren van de potentieele rijkdommen van zwakke staten en stervende rijken wordt meer en meer een officieele onderneming, een nationale affaire. In deze fase is uitvoer van kapitaal voor de heerschende klasse gewichtiger en aantrek­kelijker geworden dan de uitvoer van waren. Imperialisme is eenvoudig de pontieke uitdrukking van de groeiende neiging van het Impitaal, dat opgestapeId is in de meer beschaafde industrieele landen, zich te exploiteeren naar de minder beschaafde en minder bewoonde”. “Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu ialah pertama­tama kesempatan menjalankan modal dengan untung yang besar sekali. Perampasan negeri dengan terang­terangan seperti zaman dulu, kini sudahlah tak laku lagi ..... Menurut concessie­concessie di luar­negeri, dan membuka kekayaan­kekayaannya kerajaan­kerajaan yang lembek dan negeri­negeri yang hampir mati, itulah kini makin menjadi perusahaan officieel, perusahaan nasional. Di atas tingkat ini maka bagi kaum atasan adalah lebih penting dan lebih menarik­hati, mengalirkan uang keluar daripada mengalirkan barang­barang. Imperialisme baresnya, ialah suatu keadaan politik, yang ditimbulkan oleh nafsu yang makin lama makin keras daripada modal yang ditimbun­timbunkan di negeri­negeri kepabrikan yang lebih maju, akan menggerakkan diri di negeri­negeri yang kurang maju dan yang kurang banyak penduduk”. Bukanlah dengan dua contoh ini telah ternyata sebenar­benarnya, bahwa yang pengiraan

yang imperialisme itu kaum ambtenar, atau bangsa kulit­putih, atau pemerintah, atau “gezag” dalam umumnya, ada salah samasekali? Tetapi marilah kita mendengarkan satu kali lagi uraiannya seorang sosialis lain, yakni uraiannya Otto Bauer 10) yang termashur itu, yang 15

melihat di dalam modern­imperialisme itu, suatu politik melebarkan­daerah. suatu expansiepolitik *) yang 16

“dient steeds het doel, aan het kapitaal beleggingssfeer en afzetmarkten te verzekeren. In de kapitalistische volkseconomie scheidt zich elk oogenblik een deel van het maatschappelijke geldkapitaal uit de circulatie van het industrieele kapitaal af ........ Een deel van het maatschappelijke kapitaal is dus elk oogehblik doodgelegd, ligt elk oogenblik braak. Is veel geldkapitaal doodgelegd, heeft het terugstroomen der vrijgekomen kapitalis­plinters naar de productiesferen slechts langzaam plaats, dan daalt anereest de vraag naar produksimiddelen en naar arbeidskrakhten. Dit beteekent het onmiddelijk dalen der prijzen en winsten in de productie­middelen­industrie, de verzwaring van den va kvereenigingsstrijd, het dalen der arbeidsloonen. Beide verchijn­selen werken echter ook terug op die industrieen, die de verbruiks goederen vervaardigen. De vraag naar de goederen, die onmiddellijk diellen tot bevrediging der menschelijke beboeften daalt, omdat eenerzijds de kapitalisten, die hun inkomen uit de arbeids­middelen­industrieen trekken, geringer insten bekomen, en omdat anderzijds de grootere werkeloosheid en de dalende

1510) Nationalitatenfrage p. 461 e.v. 16*)

Page 11: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

loonen de koopkrakht der arbeidersklasse verminderen. Daardoor worden ook in de bedrijven voor verbruiks­goederen de prijzen. winsten, arbeidsloonen kleiner; zoo heeft het afscheiden van een grooter deel van het geldkapitaal uit de kringloop van het kapitaal in de gezamenlijke industrie, dalende prijzen, winsten, loonen, vermeerderde werkloosheid, tengevolge. Deze kennis is. nu voor ons doel van groot belang, want nu eerst kunnen we de doeleinden van de kapitalistische beheerspolitik begrijpen. Ze streeft naar beleggingssferen voor bet kapitaal en naar afzetmarkten voor de waren. Nu begrijpen wij, dat deze geen arzondelijke opgaven zijn, doch in wezen een en dezelfde opgaaf. “selamanya bermaksud, mengasihkan kepada modal itu lapang­lapang bergerak dan pasar penjualan barang. Di dalam rumah tangga kemodalan maka tiap­tiap waktu adalah sebagian modal­uang yang memisahkan diri dari­pada modal yang diusahakan dikepabrikan ..... Tiap waktu oleh karenanya, maka sebagian daripada modal itu menjadilah “mati”, menjadilah “bero” (jav.). Jikalau banyak modal menjadi “mati” demikian itu jikalau modal­modal yang terlepas ini tak gampang mengalir kembali ke dalam perusahaan­perusahaan pabrik dengan cepat, maka pertama­tama lantas menjadi kuranglah laris­nya penjualan tenaga­kaum­buruh: Ini adalah berarti bahwa harga­harga dan untung­untung di dalam perusahaan­perusahaan yang membikin alat­alat produksi itu dengan segera merosotlah ke bawah; perjuangan pergerakan kaum sekerjapun menjadilah lebih berat oleh karenanya, upah­upah kaum buruh menjadi turun. Tetapi dua­dua hal ini berpengaruh juga atas perusahaan­perusahaan yang mem­bikin barang­barang bekal hidup. Barang­barang bekal hidup hidup sehari­hari inipun menjadilah kurang banyak pembelinya, yakni oleh karena pertama­tama kaum modal dari perusahaan­perusahaan alat­produksi itu kini kurang besar untungnya, dan kedua oleh karena kelas kaum buruh itu, yang kini banyak werkloos dan upahnya turun, kekuatannya pembeli menjadi kurang. Oleh karena itu, maka juga di dalam perusahaan­perusahaan bekal hidup lantas merosotlah harga­harga, untung­untung dan upah­upah. Demikianlah keadaannya, bagaimana terpisahnya modal dari perusahaan­perusahaan umum sudah berbuntutlah merosotnya harga­harga, untung­untung dan upah­upah beserta tambah banyaknya kaum werkeloos. Pengetahuan ini adalah amat penting sekali bagi kita, sebab baru sekaranglah kita bisa mengerti maksud­maksudnya politik mengungkungi negeri­negeri lain itu. Politik ini bermaksud mencarikan lapang­lapang usaha bagi kapital dan pasar­pasar bagi barang­barangnya. Sekarang mengertilah kita, bahwa dua hal ini bukanlah soal­soal yang terpisah satu dari yang lainnya, tetapi di dalam hakekatnya ialah satu soal yang sama”. Sekianlah dalil­dalil kami tentang artinya kata imperialisme dari penanya orang­orang

socialist. Marilah kita sekarang men­dengarkan keterangannya orang yang bukan socialist, yakni keterangannya tuan Dr. J.S. Bartstra di dalam bukunya “Geschiedenis van het moderne imperialisme”, di mana nanti akan tertampak juga kebenaran perkataan kami, bahwa impe­rialisme itu ialah bukan regeering, bukan sesuatu anggota regeering, bukan sesuatu bangsa asing, tetapi suatu kehausan, suatu nafsu, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain adanya:

“et woord “imperialisme” is het eerst gebruikt in Engeland + 1880. Men bedoelde ermee

Page 12: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

het streven om de zelfbesturende kolonien, wier e trekkingen tot het moederland in het afgeloopen “liberaletijd­perk” vrij los waren geworden, weer vaster aan Engeland te verbinden. Opmerkelijk is, dat het woord deze oorspron­kelijke beteekenis geheel verloren heeft” . ........ langzamelhand begon het woord een andere beg ripsinhoud te krijgen: het werd nu het streven van die Britten, die “het rijk” een nog veal grootere koloniale uitbreiding wilden geven, hetzij door de verwerving van landen, die door hun aardrijkskundige Jigging een gevaar zouden kunnen opleveren in de handen van concurrenten, hetzlj door de hand te leggen op zulke gebieden, die ean goede afzetmarkt konden worden of waar veel grondstoffen te vinden waren voor binnen­Iandsche nijverheid, welke juist in dien tijd moor en meer te lijden begon te krijgen van buitenlandsche modedinging” “In de beteekenis van omgebreidelde koloniale uitbreiding kon het begrip weldra algemeen worden ........... “Perkataan “imperialisme” mula­mula dipakainya ialah di negeri Inggeris kira­kira dalam tahun 1880. Yang dimak­sudkan orang dengan kata itu ialah usaha menarikkan lebih keras lagi pertalian yang menggabungkan koloni­koloni dengan pemerintahan sendiri. *) kepada 17

negeri Inggeris, sebab pertalian ini di dalam “zaman liberaal” adalah menjadi terlampau longgar. Sangat menarik perhatian ialah, bahwa perkataan ini sekarang sudah hilanglah samasekali maknanya yang mula­mula itu”. ....... lama­lama, maka perkataan­perkataan ini mendapatlah arti nafsunya itu bangsa Inggeris, yang mau lebih melebarkan lagi daerah jajahan Inggeris dengan jajahan­jajahan baru, baik dengan merampas negeri­negeri yang bila di tangan musuh bisa menjadi bahaya, maupun dengan menguasai negeri­negeri yang bisa menjadi pasar­pasar­penjualan bagi barang­barang bikinan pertukangan negeri­sendiri, atau di mana ada terdapat banyak bekal­bekal untuk pertukangan negeri sendiri itu, yang justru pada waktu itu, makin menderita banyak rugi daripada persaingan negeri luaran” “Di dalam arti melebar­lebarkan daerah dengan jajahan­jajahan baru itu, maka faham imperialisme itu kini menjadi umum .............” Maka sesudah itu, Dr. Bartstra lantas mengasih keterangan lebih jauh atas penglihatannya

kaum sosialis terhadap pada imperialisme itu: “Dat het woord echter zoo'n ell01' popUlarhelt verk.t'\;.gea heeft,­ danKt het aan de SOClaald.emOCL”aIolI:lClle pL'Opd.ganua, we het versclllJnsel VOOrS\;eld.e als de CO~tUmt;le van het kapitahscSClle productae­systeem. :l::l.et zijn dan ook !vJ.aI'Xistische sCllrijvers geweest, zooals .Houdolf .tillferd.1ng, Karl !tenner, ook de bekende B.N. Brailsford, die aan het woord een veel diepere en wijdere beteekenis hebDen gegeven. V olgens hen is het imperialisme de noodwendige buitenlandsche polltiek van staten met oon “overrijp kapitalisme”. Daaronder wordt daD verstaan oon kapitallsme met ver doorgevoerde bedrijfs ­ en bankconcentratie. Daardoor en niet het minst door de veranderde functie van het protectioniSDle, ­ van middel om zichzelf staande te houden tegenover het

17*) Canada, Australia, dll

Page 13: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

buitenland tot “dumping­stelsel” −, heeft het niet langeI genoeg aan de traditioneele liberale denkbeelden van staatsontliouding, vrije concurrentie en pacifisme. Die zijn dan als het ware omgeslagen in het tegendeel daarvan, n.1. het streven om de zuiver polltieke makhtsmiddelen van de staat aan te wenden voor economische doeleinden, als : beinvloeden en veroveren van afzet­ en grond stofgebieden, ook het waarborgen der rentebetalingen van kapitalen, die uitgezet zijn in economisch­akhterlijke landen. Op het laatste punt, dat van de zg. “kapitaal­export” wordt door de genoemde schrijvers bijzonder de nadruk gelegd. Door het veel intenser drijven van de nijverheid, door de concentratie in het bankwezen en het “dumping­stelsel” waren, ­ zoo zeggen zij, ­ ontzaglijke kapitalen opgehoopt, die in het binnenland dikwijls niet genoeg aangewend konden worden. Vandaar dat neer en meer de noodzakelijkheid werd gevoeld om groote kapitalen uit te zettcn in economischakhterlijke landen, natuurlijk tegen zoo hoog mogelijke interest. Men kan dan tevens bereiken, dat groote bestellingen werden gedaan van spoorwegen, makhines, enz. bij de eigen nijverheid. Gevolg van een en ander: verscherpte verhoudingen tot het buitenland, oorlogsgevaar, militaire expedities, “invloedssferen” in overzeesche gewesten, controle op de inkomsten en uitgaven van vreemde landen door consortia van Europeesche bankiers, jakht naar kolonien. Ziedaar het imperialisme !” “Sebabnya perkataan itu menjadi terkenal ke mana­mana, ialah oleh propagandanya kaum sociaal­democraat, yang mengatakan, bahwa imperialisme itu ialah suatu keadaan yang tidak­boleh tidak tentu dilahirkan oleh cara­produksi kemodalan. Memang kaum Marxist­lah, sebagai Rudolf Hilferding, Karl Renner dan juga H.N. Brailsford yang terkenal itu, yang mengasihkan kepada perkataan itu suatu arti yang lebih dalam dan lebih lebar lagi. Menurut mereka, maka imperialisme itu ialah politik­luar­negeri yang tidak­boleh tidak pasti dijalankan oleh negeri­negeri yang kapitalismenya sudah terlampau matang. Yang mereka maksudkan dengan kata­kata belakangan ini ialah: suatu kapitalisme yang aturan­aturan perusahaan dan aturan­aturan banyaknya sudah sangat rapat tergabung tersusun­nya. Oleh sebab inilah, dan bukan buat bagian kecil, juga oleh rubahnya pekerjaannya protectionisme, − dulu protectionisme ini cuma buat melindungi negeri­sendiri saja terhadap pada persaingannya negeri­luaran, sekarang ia sudah menjadi stelsel “dumping”− *) maka kapitalisme yang demikian itu tak puaslah lagi dengan 18

faham­faham liberal yang biasanya, yakni faham yang mana staat tak boleh ikut campur di dalam urusan partikelir, faham persaingan merdeka, dan faham menjunjung tinggi altar perdamaian. Faham­faham ini seolah­olah terputarlah sama­sekali men­jadi sebaliknya, yaitu menjadi nafsu memperusahakan kekuasaan­politik daripada staat itu guna kepentingan­kepentingan rezeki, misalnya guna merebut dan mem­pengaruhi pasar­pasar perdagangan dan tempat­tempat pengambilan bekal­bekal kepabrikan, beserta guna menjaga supaya bunganya modal­modal, yang dijalankan di negeri­negeri yang ekonominya rendah, tidak terganggulah suburnya. Fatsal yang belakangan inilah, yakni fatsal pengaliran kapital ke negeri luar, oleh penulis­penulis tadi sangat sekali ditunjukkan kepentingannya. Tersebabkan oleh banyak lebih keras bekerjanya pertukangan, tersebab­kan oleh pergabungannya bank­bank, dan tersebabkan oleh stelsel dumping, maka, begitulah mereka

18*) Dumping = menjual barang sendiri

Page 14: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

berkata menjadi bukan mainlah banyaknya modal yang tertimbun­timbun­kan, yang di dalam negeri sendiri sering tak cukup kesem­patan buat menjalankan. Itulah sebabnya, yang Makin lama lantas makin terasalah perlunya menjalankan banyak modal di negeri­negeri asing yang ekonominya masih mundur, tentu saja dengan bunga yang setinggi­tingginya. Selainnya dari itu lantas bisalah juga tercapai, yang industri di negeri­sendiri lantas mendapat pesanan yang besar daripada alat­alat jalan kereta­api, mesin­mesin dll. Buntut satu dengan lainnya ialah: sikap negeri­negeri luaran menjadi lebih “panas”, bahaya peperangan, pengiriman­pengiriman mili­tair, daerah­daerah­pengaruh” di negeri­negeri seberang, pengawasan atas keluar­masuknya uang di negeri­negeri asing oleh serikat­serikat kaum bankir Europah, pemburuan mencari negeri jajahan. Itulah imperialisme!” Akhirnya maka Dr. Bartstra sekali lagi mengatakan dengan saksama apa yang ia sebutkan

modern­imperialisme: “Onder modern­imperialisme wordt verstaan het streven naar ongelimiteerde uitbreiding van koloniaal bezit, zooals dat in de periode :f: 1880 tot heden de buitenlandsche staat kunde van bijna aIle groote cultuurlanden dreef, in hoofdzaak ten bate van hun industrie en bank­kapitaal. Het is in het minst niet de eenige, zelfs niet. op aIle momenten de meest frappante van de zeer verschillende beweeg krachten van het tijdvak geweest, maar wel is het in zijn gevolgen een der meest gewichtige geworden, omdat het toonneel der algemeene geschiedenis erdoor is uitgebreid, voor het eerst en voor goed, over de geheele aarde”. “Yang disebutkan modern­imperialisme ialah nafsu me­lebarkan jajahan dengan tak­berbatas, sebagaimana semen­jak th. 1880 sampai sekarang menjadi penyorongnya politik luar negeri dari hampir semua negeri­negeri besar, terutama guna kepentingan industri sendiri dan modal­bank­sendiri. Imperialisme ini bukan sekali­kali tenaga­penyorong yang satu­satunya daripada zaman tersebut, malahan bukan yang paling membangunkan perhatian daripada tenaga­tenaga penyorong yang bermacam­macam daripada zaman itu, − tetapi di dalam buntut­buntutnya ia adalah menjadi yang paling penting, yakni oleh karena lapang­sifatnya riwayat­dunia menjadi dilebarkanlah olehnya, sampai ke seluruh muka­bumi, − buat pertama kali ini seterusnya. Begitulah artinya modern­imperialisme. Dan artinya perkataan imperialisme­tua? Imperialisme­tua, sebagai yang kita alamkan dalam abad­abad sebelumnya bagian­kedua

dari abad ke 19 −, imperialisme­tua di dalam hakekatnya adalah sama dengan imperialisme­modern: nafsu, zucht, streven, neiging, stelsel untuk menguasai atau mempengaruhi rumah­tangganya negeri lain atau bangsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar pagar negeri­sendiri. Sifatnya lain, azas­azasnya lain, wujutnya lain, − tetapi hakekatnya, wezennya sama!

Page 15: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Di dalam abad­abad yang pertama atau di dalam abad ke 19, di dalam abad ke 16 atau ke 20, − dua­duanya adalah Imperialisme! Imperialisme, − begitulah kami katakan tadi −, adalah terdapat pada semua zaman! Ya, sebagai Prof. Jos. Schumpeter mengatakan:

“is zoo oud als de wereld”, “de ongebreidelde lust van een staat om zich gewelddadig uit te breiden buiten zijn natuurlijke grenzen” “adalah sama­tuanya dengan dunia”, − nafsu yang tiada berhingga daripada sesuatu staat, melebar­lebarkan daerah­nya keluar­pagar dengan kekerasan dan perkosaan”. Imperialisme mana − juga yang kita ambil, imperialisme­tua atau imperialisme­modern, −

bagaimana juga kita bolak­balikkan, darimana juga kita pandangkan, − imperialisme tetap­lah suatu faham, suatu nafsu, suatu neiging, suatu zucht, suatu lust, suatu streven, suatu stelsel,− dan bukan ambtenaar B.B., bukan pemerintahan, bukan gezag, bukan bangsa Belanda, bukan bangsa asing manapun jua, − pendek­kata bukan lichaam, bukan manusia, bukan benda atau materie!

Nafsu, neiging, zucht atau stelsel ini sejak zaman purbakala sudahlah menimbulkan politik­luar­negeri, menimbulkan perse­teruan dengan lain negeri, menimbulkan perlengkapan senjata­darat dan senjata­armada, menimbulkan perampasan­perampasan negeri asing, menimbulkan koloni­koloni yang diambili rezeki­nya, − zaman modern ia menimbulkan “Bezugliinder” yakni tempat pengambilan bekal kepabrikan, menimbulkan afzetge­bieden atau pasar­pasar penjualan hatsilnya kepabrikan itu, menimbulkan lapang bergerak bagi modal yang tertimbun­timbun, menimbulkan “daerah­pengaruh”, menimbulkan “pro­tectoraten”, menimbulkan “negeri­negeri mandaat” dan koloni­koloni dan macam­macam “lapang­lapang usaha” lain­lain, sehingga imperialisme adalah juga suatu bahaya bagi negeri­negeri yang merdeka.

Baik “daerah­daerah­pengaruh” maupun­negeri­negeri­mandaat”, baik “protectoraten” maupun “koloni­koloni”,− semuanya terjadinya begitu sebagai ternyata pula dari dalil­dalil kami tadi itu, untuk pencarian rezeki atau untuk penjagaan pencarian rezeki, semuanya ialah hasilnya keharusan­keharusan urusan ekonomi. Partai Nasional Indonesia menolak semua teori, yang mengatakan bahwa asal­asalnya kolonisatie dalam hakekat­nya ialah bukan pencarian rezeki, menolak semua teori yang mengajarkan, bahwa sebab­sebabnya rakyat Europa dan Amerika mengembara di seluruh dunia dan mengadakan koloni di mana­mana itu, ialah keinginan mencari kemashuran, atau keinginan kepada segala hal yang asing, atau keinginan menye­barkan kemajuan dan kesopanan. Teorinya Gustav Klemm yang mengajarkan, bahwa menyebarnya bangsa­menang” kemana­mana itu selainnya oleh nafsu mencari kekayaan ialah terdorong pula oleh “nafsu mencari kemashuran”, “nafsu mencari keakuran”, “nafsu melihat negeri­asing”, “nafsu mengumbara merdeka”, atau teorinya Prof. Thomas Moon, yang mengatakan, bahwa imperialisme itu selainnya berazas ekonomi juga adalah berazas nationalisme dll., sebagai ia diuraikan dalam ia­punya buku “Imperialism and World­politics”, − teori­teori itu buat sebagian besar kami tolak sama sekali. Tidak! bagai Partai Nasional Indonesia penjadahan itu asal­asalnya yang dalam, asal­asalnya yang diepliggend dan fundamonteel, ialah nafsu mencari benda, nafsu mencari rezeki belaka adanya.

“De eerste oorzaak tot kolonisatie is bijna altijd de beenging der levensverhoudingen in het eigen land”. “Asal­asalnya kolonisasi yang paling penting ialah hampir selamanya sempitnya keadaan rezeki di negeri­sendiri”.

Page 16: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

begitulah Prof. Dietrich Schafer menulis 1), dan Dernburg, kolonialdirector negeri Jerman 19

sebelumnya perang, dengan terus­terang mengakui pula: 2) 20

“Koloniseeren is het geschikt maken van den grond, van zijn onderaardsche schatten, van de flora, van de fauna, en vooral van de bevolking, ten gunste van de economische behoeften van de koloniseerende natie” ........... “Penjajahan adalah usaha­mengolah tanah, mengolah tambang­tambang, mengolah tanaman­tanaman mengolah sesatoan, dan terutama sekali adalah usaha mengolah penduduknya, bagi keperluan rezekinya bangsa yang menjajahkan ............ O, memang, Tuan­tuan Hakim, penjajahan membawa pengetahuan, penjajahan membawa

kemajuan, penjajahan mem­bawa kesopanan. Tetapi maksud yang sedalam­dalamnya ialah urusan rezeki, atau sebagai Dr. Abraham Kuyper menulisnya di dalam ia­punya buku “Antirevolutionaire staatkunde”: − “suatu urusan perdagangan”, “een mercantiele betrekking”!

“Kolonis zonder eigen gezins­kolonisatie geven kans om het land van de Inlanders tot rijke productie te brengen, er de mijnen te ontginnen, er onze koopwaren ter markt te brengen, en omgekeerd aan koopwaren der kolonie ten onzent een markt te doen vinden, maar het verband blijft economisch. Het gaat om ontginningen, om fabricage, am marktverkeer en handel over zee, maar tot zelf in taal en zeden, en vooral in de religie kan het bezettende volk zich tegenover het onderworpen volk geheel vreemd houden. Het is en blijft een mercantiele betrekking, die het bezettende land verrijkt en het bezette land niet zelden verarmt”. “Kolonis”, − begitulah pemimpin besar ini menulis 1), ”kolonis zonder penanaman 21

sumah­sumah kulit putih buat berdiam menjadi penduduk di koloni itu selama­lamanya, adalah mengasih kesempatan menyuburkan perhasilannya negeri bumiputera itu, menggali tambang­tambangnya, menjual barang kita disitu dan sebaliknya mencarikan pasar­pasar urusan rezeki. Urusan ini ialah urusan pem­bukaan tanah, urusan memberikan barang­barang urusan pasar dan perdagangan seberang­laut, tetapi sampai di dalam urusan bahasa dan adat­istiadatpun, dan terutama sekali di dalam urusan agamanya rakyat yang kalah itu maka bangsa yang menang bisalah juga tak ikut campur sama­sekali. Urusan ini adalan dan tetaplah urusan per­dagangan, yang mengayakan negeri yang menjajahkan dan yang tak jarang memelaratkan negeri yang dijajahkan. Dan Brailsford di dalam bukunya yang paling baru 2) adalah berkata: 22

“Het imperialisme heeft het prachtige epos van zijn durf en organiseerend genie in de aardkorst zelve gegrijpt van het met ijs bedekte Siberie tot de zandvlakten van Zuid­Afrika. Doch de geschenken aan opvoeding, intellectueele prikkels en menschelijker bestuur, die het meebrengt, zijn steeds bijprodu'cten van zijn zelfzuchtige activiteit. Deze gaven te schenken is zelden, zoo nooit, het motief van zijn robuste pioniers. Indien zij eenige motief hebben, dat een weinig hoogeI' staat dan materieele winst, is het de glorie en de

191) Kolonial Geschichte p.12. 202) Bij Douwes­Dekker, Kolonial ideaal 211) Bij Snouk Hurgronje, Colijn over Indie 222) Hoe lang nog? p.227 e.v.

Page 17: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

vergrooting van het moederland. Doch de drang, die hen, naar deze “plaatsen in de zon” drijf was gewoonlijk, of de begeerte om een markt van grondstoffen te monopoliseeren, of de nog lager berekening, dat er een goedkoope en ongeorganiseerde massa arbeidskracht ligi te wachten, om geexploiteerd te worden. Wanneer het dit aIles niet is, is het een berekening, die ontspringt uit het spel van materieele belangen met geographische gegevens ...... Het bijproduct van de beschaving is een gemak, dat al te duidelijk onze eigen bedoelingen dient.” “Imperialisme itu sudahlah menguraikan ia­punya sejarah kegagahan dan iapunya sejarah kecerdikan menyusun di atas muka­bumi sendiri, dari Siberia yang tertutup air­beku itu sampai ke padang­padang pasir di Afrika­Kidul. Tetapi anugerah­anugerah pendidikan, kemajuan­pikiran dan aturan­memerintah yang lebih layak, yang ia bawa, hanya­lah “rontongan­rontongan” saja dari ia­punya keasyikan yang angkara­murka itu. Mengasihkan “anugerah­anugerah” ini, tak pernahlah menjadi maksud bagi barang­barang perdagangan koloni di negeri kita, − tetapi urusan ini tetaplah yang pertama­tama dari pemuka­pemuka yang gagah itu. Bila umpamanya mereka benar­benar mem­punyai maksud yang agak lebih tinggi sedikit daripada keuntungan benda, maka itu ialah maksud menambahkan kebesaran dan kemuliaan tanah tumpah darahnya sendiri. Tetapi nafsu yang mendorongkan mereka pergi ke­”tempat­tempat di cahya matahari” ini, biasanya ialah keinginan menggagahi­sendiri sesuatu pasar bekal­bekal kepabrikan, atau ialah perhitungan yang lebih durjana lagi, bahwa disitu adalah tersedia rakyat­buruh yang murah harga dan tak tersusun, yang mereka nanti bisa suruh bekerja mandi keringat. Jikalau bukan hal­hal ini semuanya, maka mereka adalah terdorong oleh suatu perhitungan yang timbul daripada campurannya alasan­alasan­kekayaan dengan alasan­alasan­daerah ........ Rontongan kesopanan itu tadi, nyatalah suatu keperluan bagi kita­punya kepentingan sendiri”. Tidakkah benar sekali oleh karenanya, kalau Prof. Anton Menger menulis: “Het ware doel der kolonisatie is de exploitatie van een volk, dat op een lageren trap van ontwikkeling staat; in vrome tijden verbergt men dit achter het mom van “Christendom” en in verlichte tijden achter dat van ‘beschaving’ der Inlanders” , “Maksud penjajahan yang sebenar­benarnya ialah menarik keuntungan daripada kerjanya suatu rakyat yang lebih rendah tingkat­kemajuannya; di zaman­alim maksud ini ditutupilah dengan kedok “Agama Kristen” ; dan di zaman­kemajuan dengan kedok ‘mau menyopankan’ bumiputera”,

atau kalau Friedrich Engels bersenda­gurau :

“De Engelschen zeggen altijd Christendom en meenen dan katoen”? “Bangsa Inggeris selamanya berkata Christendom, tetapi yang dimaksudkan sebenarnya ialah kapas”? Nafsu akan rezeki, Tuan­tuan Hakim, nafsu akan rezekilah yang menjadi penyorongnya

Columbus menempuh samudra Atlantika yang luas itu; nafsu akan rezekilah yang menyuruh

Page 18: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Bartholomeus Diaz dan Vasco de Gama menentang hebatnya gelombang samudra Hindia; pencarian rezekilah yang menjadi “noordster” dan “kompasnya” 1) Admiraal Drake, 23

Magelhaens, Heemskerk atau Cornelis de Houtman. Nafsu akan rezekilah yang menjadi nyawanya compagnie di dalam abad ke­17 dan ke­18; nafsu akan rezekilah pula yang menjadi sendi­sendinya balapan cari jajahan di dalam abad ke 19, yakni sesudah modern­kapitalisme menjelma di Eropah dan Amerika.

Sebelum zaman modern­kapitalisme itu, maka bangsa Inggeris sudahlah menguasai sebagian dari Amerika, sebagian dari Hindustan; sebagian dari Australia dan lain­lain sebagainya, yakni sudahlah menaruh sendi­sendinya “British Empire”, nanti­nya, − sudahlah bangsa Perancis menguasai sebagian pula dari Amerika dan sebagian juga dari Hindustan, − sudahlah bangsa Portugis mengibarkan benderanya di Amerika­Kidul dan di beberapa tempat di seluruh Asia, − sudahlah bangsa Spanyol menguasai Amerika­Tengah dan kepulauan Philipina,− sudahlah bangsa Belanda menduduki Afrika­Kidul, beberapa bagian kepulauan Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Celebes­Kidul dan Sumatera. Sudahlah di zaman itu kita melihat hebatnya tenaga­berusaha daripada nafsu mencari rezeki itu tadi, yakni geweldige daadkracht­nya imperialisme tua adanya!

Dan tatkala modern­kapitalisme beranak modern­impe­rialisme, maka kita menjadi saksi atas “balapan cari jajahan” yang seolah­olah tiada terhingga! Kini orang Inggeris sudah bisa mengusir bangsa Perancis dan Portugis dan Belanda dari Hindustan. Tiada imperialismenya, tiada hingganya lagi bendera Inggeris ditanam kemana­mana, tiada puas­puasnya kehausan kapitalisme Inggeris mencari dan meminum sumber­sumber kekayaan di luar pagar daripada “hetrijk” sendiri, − tiada suatu benua yang tak mendengar dengungnya pekik­perjuangan imperialisme Inggeris:

“When Britain first on Heaven's command. Arose from out the azure main. This was be charter of the land. And angelic voices sung this strain. Rule, Britannia, rule the waves! Britons never shall be slaves!” “Ketika Inggeris atas sabdanya Gusti. Menjelma dari samudera biru. Itu memanglah haknya negeri. Dan bidadari menyanyikan lagu. Perintahlah, Inggeris, perintahlah ombak! Bangsa Inggeris tak menjadi budak !” Hindustan takluk Singapore dan Malaka diduduki. Tiong­kok direbut haknya menetapkan

bea dan hak­hak exterritoriaal, beserta dibikin “daerah­pengaruh” dengan jalan keras dan jalan “halus­halusan”. Egypte “diperlindungi”. Mesopotamia “dimandati”, Hongkong, kepulauan Fiji, West­India, Kepulauan Falkland, Gibraltar, Malta, Cyprus, Afrika, ......... imperialisme Inggeris

231) Perkataan Mr. de Louter

Page 19: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

seolah­olah tiada puasnya! Dan negeri­negeri yang lain­lain? Negeri yang lain­lainpun ikut lari di dalam balapan ini:

Perancis menaruhkan kakinya di Afrika­Utara, di Indo­China, di Martinique, di Guadeloupe, di Reunion, di Guyana, di Somali, di Nieeuw­Caledonia,− Amerika merebut Cuba, Portoriko, Philipina, Hawaii dll., − Jerman melancar­lancarkan tangan imperialisme ke pulau Marshall, ke Afrika Barat­Timur, ke Togo, ke Kamerun, ke pulau­pulau Carolinen, ke Kiautsjiau, kekepulauan Marianen, geger perkara Marokko dan lain­lain, − Italia hibuk memperusahakan ia­punya pendudukan Assab dekat selatan Bab El Mandeb, mengatur­ngaturkan kekuasannya di Afrika­Utara, mengambil Kossala, mencoba menaklukkan Abessinia, mengaut­aut di Tripola dan lain­lain pula.

Bahwasanya, balapan mencari kolonie yang kita alamkan di dalam zaman modern­kapitalisme itu, yang mengaut­aut ke kiri dan ke kanan dan memasang mulut serta mengulur­ulurkan kukunya sebagai Maha­Kala yang angkara­murka, − balapan mencari koloni ini tak adalah persamaannya di seluruh riwayat manusia.

Dan di Asia sendiripun − modern­imperialisme itu mem­buktikan asal­turunannya: Asal­turunannya daripada kekacauan­kekacauan ekonomi, anak daripada kapitalisme, yang di dalam lingkungan rumahtangga sendiri kekurangan lapang usaha. Di atas sudah kami katakan, bahwa imperialisme itu bukan tabiat bangsa kulit­putih saja, bukan “kejahatan­hati” kulit­putih saja: − Bukan saja modern­imperialisme, tetapi juga imperialisme­tua adalah kita dapatkan pada mana­mana bangsa. Kita ingat akan imperialisme bangsa Tartar yang di dalam abad ke­13 dan ke­14 sebagai “angin simum” menakluk­naklukkan sebagian besar dari benua Asia; kita ingat akan imperialisme bangsa­bangsa Aria, Machmud Gazni dan Barber yang memasuki negeri Hindustan; kita ingat akan imperialisme Sriwijaja yang menaklukkan pulau­pulau sekelilingnya; kita ingat akan imperialisme Majapahit, yang menguasai hampir semua kepulauan Indonesia beserta Malaka. Tetapi modern­imperialisme Asia barulah kita lihat pada negeri Jepang tempo yang akhir­akhir ini: modern­imperialisme di Asia. adalah suatu “barang­baru”, suatu unicum, suatu nieuwigheid; memang hanya negeri Jepang saja daripada negeri­negeri Asia yang sudah masuk ke dalam modern­kapitalisme itu. Modern­kapitalisme Jepang yang butuh akan minyak­tanah dan arang­batu, modern­kapitalisme Jepang yang juga membangkitkan tambahnya penduduk yang deras sekali sehingga melahirkan nafsu mencari negeri­negeri emigratie *), − 24

modern­kapitalisme Jepang itu membikin rakyat Jepang lupa akan keksatriaannya dan menamakan kuku­kuku­cengkeraman­nya di penanjung Sachalin dan Sohalin dan Korea dan Manchuria.

Nama, “kami­punya rakyat­rakyat Asia yang diperbudak­kan” bagi Jepang, nama itu adalah suatu barang bohong, suatu barang justa, suatu impian kosong bagi nationalisten kolot, yang mengira bahwa Japanlah yang akan membentuk kepada imperialisme Barat dengan dengungan suara: “Berhenti!”. − Bukan membentak “berhenti!”, tetapi dia sendirilah ikut menjadi belorong­imperialisme yang angkara­murka! Dia sendirilah yang ikut menjadi hantu yang mengancam keselamatan negeri Tiongkok, dia sendirilah yang nanti di dalam perguletan maha­hebat dengan belorong­belorong­imperialisme Amerika dan Inggeris ikut membahayai keamanan dan keselamatan negeri­negeri sekeliling Lautan­Teduh, dia sendirilah salah satu belorong yang nanti akan perang­tanding di dalam perang Pacifik!

24*) emigrate = pemindahan rakyat

Page 20: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Balapan cari jajahan” di dalam bagian kedua daripada abad ke­19 adalah mula­mula suatu balapan antara negeri­negeri Eropah saja. Tetapi sesudah di dalam balapan ini negeri Inggeris menjadi yang terkemuka, sesudah kapitalisme Inggeris di dalam imperialismenya bisa membelakangkan sekalian musuh­musuh­nya, sesudah John Bull boleh menjanji “Perintahlah, Inggeris, perintahlah ombak” sesudah itu maka masuklah dua kampiun baru di dalam gelanggang imperialisme dan menjadilah balapan ini di dalam abad ke 20 suatu balapan­baru antara Inggeris, Amerika dan Jepang, suatu balapan­baru antara mengejar kekuasaan di atas negeri maha­kaya yang sampai sekarang belum bisa “terbuka” seluas­luasnya itu, yakni: negeri Tiongkok!

Perebutan kekuasaan di Tiongkok inilah yang kini menjadi nyawanya persaingan antara belorong­belorong imperialisme tiga macam itu, perebutan kekuasaan di Tiongkok inilah kini menjadi pokoknya politik­luar­negeri dari Jepang, Amerika dan Inggeris. Siapa kuasa di Tiongkok, dialah akan kuasa pula di seluruh daerah Pacific. Siapa yang menggenggam rumah­tangga Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula segala urusan rumah­tangga seluruh dunia Timur, baik tentang ekonomi, maupun tentang militair. Oleh karena itu, Tuan­tuan Hakim, maka rebutan negeri Tiongkok itu akan sampai dibelapati oleh belorong­belorong tadi, dibelapati dipeperangan Lautan­Teduh!

Tentang propaganda kami berhubung dengan bahaya peperangan Lautan­Teduh itu, akan kami uraikan lebih lebar di lain tempat.

Imperialisme di Indonesia. Tuan­tuan Hakim yang terhormat, begitulah gambarnya imperialisme di Asia di luar

Indonesia. Dan keadaan di Indonesia? Ah, Tuan­tuan Hakim, kita mengetahuinya semua. Kita

mengetahui bagaimana di dalam abad­abad ke­17 dan ke­18 Oost­Indische­Compagnie, terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa­bangsa Inggeris, Portugis dan Spanyol, menanam stelselnya monopoli *). Kita. mengetahui kerasnya dan kejamnya cara menanam dan 25

memperteguhkan monopolie itu. Kita mengetahui, bagaimana di kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan, kerajaan­kerajaan dihancurkan, miliyunan tanaman­tanaman cengkeh dan pala saban tahun dibasmikan (hongitochten). Kita mengetahui, bagai­mana, untuk menjaga monopoli di kepulauan Maluku itu, kerajaan Makassar ditaklukkan, perdagangannya dipadamkan, sehingga penduduk­penduduk Makassar itu ratusan, ribuan yang kehilangan pencarian­rezekinya dan terpaksa menjadi bajak­laut yang merampok kemana­mana. Kita mengetahui, bagaimana di tanah Jawa dengan politik “divide et impera” yakni dengan politik “memecah­mecah” sebagai Prof. Veth atau Clive Day atau Raffles mengatakan kerajaan­kerajaannya satu­persatu diperhambakan, ekonominya rakyat oleh stelselnya monopoli contingenten **) van leverantien ***) samasekali disempitkan, ya samasekali didesak dan 26 27

dipadamkan. Kita mengetahui, ...... tetapi cukup, Tuan­tuan Hakim y.t.h.!

25*) Monopoli = “hak” berdagang sendiri. Orang lain tidak boleh ikut­ikut berdagang barang yang dimonopilikan itu. 26**) Contingent = Serupa pajak, dibayarnya dengan barang­barang hasil­bumi oleh kepala­kepala. 27***) Leverantien = Kepala­kepala dipastikan setor barang­barang hasil­bumi yang dibeli oleh Compagnie. Tetapi banyaknya dan harganya

barang itu Compagnielah yang menetapkan

Page 21: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Caranya Oost­Indische­Compagnie menanamkan mono­polinya, caranya Oost­Indische­Companie mengekalkan mono­polinya, caranya Oost­Indische­Compagnie memperteguhkan monopolinya, tidaklah asing lagi bagi siapa yang suka membaca.

Tetapi, maafkanlah Tuan­tuan Hakim, bahwa kami di sini mau bercerita sedikit lebar atas zaman Oost­Indische­Compagnie itu dan juga atas zaman cultuur­stelsel, yakni oleh karena bekas­bekasnya O.I.C dan cultuur­stelsel itu sampai kini hari masih tertanam, di dalam susunan pergaulan hidup Indo­nesia, sehingga sifat­sifatnya P.N.I. terpengaruhilah oleh karenanya.

Maaflah yang berhubung dengan hal itu kami adalah sependapatan dengan Prof. Snouck Hurgronje yang menulis:

“Nu kan men zeggen, dat het nutteloos is, stil te staan bij verleden zonden, waaraan het tegenwoordige geslacht niet schuldig is, maar ............. het effect van die twee eeuwen wanbeheer op de geesteshouding der inheemsche bevolking tegenover het Westen mag bij de beschouwing der “vraagstukken” allerminst buiten rekening blijven” 1). “Orang bisa berkata, bahwa tiada gunanya membongkar­bongkar kedosaan sediakala, yang orang zaman sekarang tak ikut­ikut menjalankan, tetapi ............... pengaruhnya pemerintah jahat yang dua abad itu di atas sikap­kebatinannya penduduk bumi putera terhadap kepada dunia­Barat, tidak bolehlah diabaikan kalau kita menye­lidiki “soal­soal” itu”. Oleh karena itu, sekali lagi maaflah, yang kami berhubung dengan cultuur­stelsel itu, di

bawah ini mengulangi pendapatan­pendapatannya satu­dua kaum intellek Europa yang ternama: “De Compagnie beheerscht dehoofden en legt dezen verplichtingen op, die zij afwentelen op de bevolking. De Compagnie is hebzuchtig eerder dan wreed, maar het gevolg is hetzelfde: Onderdrukking!”, “Compagnie itu menundukkan kepala­kepala dan mem­bebaninya dengan kewajiban­kewajiban, yang oleh kepala­kepala itu dijatuhkan lagi di atas pundak rakyat. Compagnie itu lebih serakah daripada kejam, tetapi kesudahannya adalah sama: Penindasan!”,

begitulah Prof. Colenbrander menulis 2), dan Prof. Veth berkata: 28

“Wreedheid behoort niet tot hare heerschende ondeugden, maar hare kortzichtige ...... inhaligheid heeft misschien meer kwaad gesticht dan zij door wreedheid had kunnen doen. Zelfs de gruwelen van Nerotroffen slechts weinige slachtoffers in zijn nabijheid, en lieten de welvaart der provincien ongedeerd; maar een slecht ingericht bestuur is een algemeene ramp”. “Kekejaman bukanlah ia­punya kejahatan yang biasa, tetapi ia­punya keserakahan yang picik itu barangkali adalah lebih merusak daripada kekejaman. Meski kekuasaan Nero 29

*)­pun hanyalah mencelakakan sedikit orang­orang yang berdekatan dengan dia saja dan

281) Colijn over Indie pag. 33. 292) Kol. Gesch. II Pag. 252

Page 22: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

tidaklah mengganggu kesejahteraan mukim­mukim; tetapi suatu pemerintahan yang jelek aturan­aturannya 3)adalah suatu bencana umum”. 30

Dus tidak selamanya “kejam”, tidak selamanya “wreed”? Tetapi toh sering kejam dan

buas. Marilah kita membaca lagi Colenbrander tentang pena­naman monopoli di Ambon dan

Banda: “Coen (Jan Pieterzoon Coen Sk), is in deze gansche zaak, die een vlek op zijne nagedachtenis wierp, met een onmenschelijke wreedheid − opgetreden, die zelfs Compagnie’s dienaren te kras was ......... Tot de bewindhebbers toe heeft het koele verhaal zijner executien, in Coen’s brieven vervat, onthutst ........ “ ‘t zal wel ontsagt, maar geen gunst baren” ........... zoo oordeelen de lieden zelve, terwille van wier winsten een bloeiende bevolking ...... nagenoeg was uitgeroeid”. 1) 31

“Coen (Jan Pieterszoon Coen Sk.), di dalam ini perkara yang meninggalkan noda di atas namanya, adalah men­jalankan kekejaman yang bukan kekejaman manusia lagi, − sampai hamba­hamba Compagnie­pun menjadi jemu ... Sampai kepala­kepala Compagnie­pun sama terkejut oleh cerita­cerita hukuman­hukuman mati, yang Coen tuliskan di dalam ia­punya surat­surat dengan hati yang tiada rasa­kemanusiaan ... “Itu benar membikin takut, tapi tiada membawa kasih” ... Begitulah pendapatannya orang­orang sendiri, yang untuk keperluan labanya, menjadi sebabnya suatu negeri penduduknya hampir ditumpaskan samasekali” . Dan Prof. Kielstra menceritakan: 2). 32

“Het handelsmonopoli moest door de onzen worden verworven en, was het eenmaal verkregen, dan werd zonder bedenking elk middel toegepast dat voor zijn handhaving dienstig was. Voor de belangen dier bevolkingen voelden onze machthebbenden bitter weinig: de Mohamedanen en heidenen waren in het oog der Christenen minderwaardig; naar de opvattingen van dien tijd vormden zij − men bezigde gaarne bijbelsche uitdrukkingen − een “verkeerd en verdraaid geslacht”, dat, wanneer het de Compagnie weestreefde, desnoods vernietiging verdiende”. Monopoli­dagang itu harus diperolehkan oleh orang­orang kita, dan bilamana sudah di dalam tangan kita, maka zonder banyak pikiran lagi segala macam upaya dikerjakanlah untuk mengekalkannya. Kepentingan­kepentingan pendu­duk tak diperdulikan oleh pemuka­pemuka kita; kaum Islam dan kaum yang bukan­Islam di dalam matanya kaum Kristen adalah kurang­harga; menurut faham­faham zaman itu, maka mereka, − orang gemar pada perkataan­perkataan dari kitab Injil −, adalah “bangsa buruk” dan jahanam”, yang bila berani melawan Compagnie, harus dibinasakan samasekali.” Lagi satu dalil dari seorang Jerman: Prof. Dietrich Schäfer, yang berbunyi:

30*) Raja bangsa Romein yang sangat buas 313) Java II p. 250 321) t.a.p.p. 117

Page 23: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“De pogingen, die ze deden, ook de naburige Australische eilanden binnen het bereik van hun werkzaamheid te brengen, hebben we reeds vermeld. Toen het bleek dat hier voor het toenmalige bedrijf niets te halen viel, beperkte men zich tot de uitbuiting van de reeds vroeger bekende gebieden. De wijze, waarop deze plaats had, heeft men niet ten onrechte de meest rücksichtslose genoemd, waarvan de koloniale ervaring weet te verhalen.” 1) 33

Percobaan­percobaan mereka, memasukkan kepulauan Australia yang dekat­dekat ke dalam lingkungan perusaha­annya, sudahlah kami ceritakan. Tatkala ternyata bahwa di sini tiada hasil apa­apa bagi perusahaan mereka ketika itu maka perusahaan itu lantas dipusatkanlah di atas pemerasan dan perampokannya pulau­pulau yang terkenal lebih dulu saja. Caranya perampokan ini, tak salahlah kalau orang namakan yang paling kejam di seluruh riwayat kolonial adanya.” Sebagai penutup, pemandangannya Prof. Snouck Hurgronje, yang berkata: “Het eerste bedrijf der Nederlandsch Indische tragedie heet Compagnie, en begint bijna gelijk met de­17e eeuw. De hoofdacteurs hebben aanspraak op onze bewondering om hunne onverschrokken energie, maar het doel, waarvoor zij werkten, en de door hen gebezigde middelen waren van zulken aard, dat men, zelfs bij volle betrachting van den regel, de faits et gestes met den maatstaf van hun tijd te meten, vaak moeite heeft om zijn afscbuw te bedwingen. Het “experiment” begon zoo, dat de bewoners van Indië in aanraking kwamen met het uitschot der Hollandsche natie, die hen met zooveel geringschatting behandelden als zij verdroegen, en wier taak het was, aIle krachten in te spannen tot verrijking eener groep aanndeelhouders in het moederland. De ambtenaren van dit gecharterde lichaam, door hunne broodheeren al te kort gehouden, maar niet minder dan deze belust op winst, vertoonden een beeld van corruptie dat het ergste, wat men Oostersche volken aanwrijft, in de schaduw stelt.” 1) 34

“Bagian yang pertama daripada cerita­rindu Hindia­Belanda itu adalah bernama Compagnie, dan mulainya hampirlah sama dengan abad yang ke­17. Pemuka­pemukanya adalah berhak atas kita­punya rasa­hormat karena hebatnya mereka­punya kemauan berusaha, tetapi maksud yang mereka kejar. dan upaya­upaya yang mereka jalankan untuk mengejar maksud itu, adalah begitu rupa, sehingga kita, meskipun kita tak kurang­kurang mem­peringati cara­dan adat­istiadat zaman dulu itu, sukar sekalilah menahan kita­punya rasa­jemu dan rasa­jijik. Itu “percobaan” mulainya, ialah, yang penduduk­penduduk Hindia itu belajar kenaI dengan “tainya” bangsa Belanda, yang mempermainkan mereka dengan sombong dan lagak, dan yang pekerjaannya tak lain daripada memeraskan keringat untuk mengayakan sekawan aandeelhouders di tanah­airnya. Punggawa­punggawanya compagnie ini, yang oleh majikan­majikannya hanya digaji sedikit, tetapi yang tak kurang serakah untung daripada majikan­majikannya itu, adalah menunjukkan suatu kerendahan dan kejahatan budi­tindak, yang melebihi segala kejelekan yang dituduh­kan kepada bangsa­bangsa Timur!” Begitulah gambarnya imperialisme­tua daripada Oost­Indische­Compagnie. Sesudah

Oost­Indische­Compagnie pada kira­kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut matilah stelselnya 332) Verstiging Ned. Gezag pag.12. 341) Kolonial Geschicte pag. 82.

Page 24: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

monopoIie, tidak ikut matilah stelsel­mengaut­untung yang bersendi pada paksaan. Malahan ... sesudah habis zaman commissie­commissie dan pemerintahan Inggeris, yang mengisi tahun­tahun 1800­1830; sesudah habis zaman “tergoyang­goyang” antara ideologie­tua dan ideologie­baru *) sebagai yang disebar­sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak 35

van den twijfel” 2) ini, maka datanglah stelsel­kerja­paksa yang lebih kejam lagi, lebih 36

mengungkungkan lagi, lebih me­mutuskan nafas lagi, − yakni stelsel kerja­paksa daripada cultuur­stelsel, yang sebagai cambuk jatuh di atas pundak dan belakangnya rakyat kita! Juga cultuur­stelsel ini, Tuan­tuan Hakim, tidak usah kami beberkan lebar­lebar kekejamannya; juga cultuur­stelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya, dan oleh kaum terpelajar yang mempelajari riwayatnya.

Tetapi, juga daripada Cultuur­stelsel ini, yang bekas­bekasnya sampaiini hari masih belum hilang, dan mem­pengaruhi susunan P.N.I. itu, (sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangkan satu­dua pendapatannya kaum­kaum ahli itu:

“De uitbuiting der bevolking, waaraan nu bijna geen andere grens gesteld was dan haar physiek uithoudings­vermogen, kon ongehinderd plaats vinden”. “Pemerasan dan perampokan penduduk itu, yang tiada batas lagi melainkan batas kuat atau tidaknya badan orang­orang penduduk itu memikulnya, kini bisalah dijalankan dengan tiada halangan suatu apa lagi.”

begitulah Prof. Gonggrijp berkata 3) Dan di lain tempat pujangga ini menulis: 37

“Niet alleen dus berustte dit systeem op dwang; die dwang was, in de donkere eerste twintig jaren van het hier besproken tijdvak, zwaarder dan het juk der oontingenten, wier heffing in hoofdzaak aan de inheemsche hoofden werd overgelaten. Het cultuur­stelsel werd verzwaard door de activiteit van den Europeeschen ambtenaar; deze beteekende een verzwaring van den druk van het stelsel en tegelijkertijd zijn technische verbetering en groote rendabiliteit”. “Geen cultuur is zulk een plaag geweest als die van indigo. Toen deze in 1830 op roekelooze wijze in de Preanger was ingevoerd, werd ze tot een ware volksramp. In het district Simpoer van dat gewest werden de mannen uit een aantal dessa’s gedwongen om 7 maanden onafgebroken, ver van hun woningen, aan de indigovelden te werken; al dien tijd hadden ze in hun eigen voeding te voorzien. Bij hun thuiskomst vonden zij hun rijstgewas vernietigd. Gedurende de vijf eerste maanden van 1831 werden 5000 mannen met 3000 buffels uit hetzelfde district gedwongen, de gronden te ontginnen voor een opgerichte fabriek. Toen die arbeid was afgeloopen, ontbraken de indigostekken. Eerst twee maanden later, nadat de alang­alang, het gevreesde onkruid, het ontgonnen terrein reeds bedekte, ontving men indigozaad uit Batavia. Mannen, vrouwen,kinderen werden nu opgejaagd om de velden opnieuw te spitten. Meer dan eens brachten zwangere vrouwen haar kinderen onder den zwaren arbeid tel wereld” ......... “Aturan ini bukannya saja bersendi atas paksaan, tetapi paksaan itu, di dalam dua puluh tahun di awalnya masa yang kami bicarakan ini, adalah lebih berat daripada bebannya contingen, yang pemungutannya ialah terutama diserahkan kepada kepala­kepala

351) Colijn over Indië pag. 33. 36*) ideologie = akal­pikiran 372) J.E. Stokvis, Van Wingewest naar zelfbestuur.

Page 25: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Bumiputera. Cultuur­stelsel adalah lebih berat, yakni lantaran kerajinannya ambtenaar Belanda; kerajinan ambtenaar Belanda ini adalah berarti tambah beratnya tindasan stelsel itu, beserta pula tambah baiknya cara­kerjanya dan tambah besar hasil­untungnya.” “Tiada Cultuur adalah begitu menggoda kesejahteraan sebagai nila. Tatkala cultuur nila ini di dalam tahun 1830 dimasukkan di tanah Priangan dengan cara yang angkara, maka rakyat menjadilah binasa celaka sama­sekali. Di dalam district Simpur daripada keresidenan ini maka penduduk laki­laki daripada beberapa desa dipaksakanlah bekerja di kebon­kebon nila itu, tujuh bulan lamanya, jauh dari rumahnya; selama tujuh bulan itu mereka haruslah mencari makan sendiri. Tatkala mereka pulang lagi, maka ternyatalah bahwa mereka­punya tanaman padi sudah binasa. Di awalnya. 1831, maka daripada district ini, lima bulan lamanya, 5000 orang laki­laki dengan 3000 kerbau dipaksakanlah mengolah tanah buat suatu pabrik yang baru didirikan. Tatkala kerja ini sudah selesai, benih­benih nila belumlah tersedia. Baru dua bulan kemudian daripada itu, ketika alang­alang, itu rumput­rumput yang orang takuti, sudah subur memenuhi tanah­tanah yang diolah tadi, datanglah benih nila dari Betawi. Orang laki­laki, perem­puan, kanak­kanak sekarang digiringkanlah disuruh meng olah lagi ladang­ladang itu. Kerapkali adalah perempuan­perempuan hamil yang melahirkan anak selagi berkeluh­kesah menjalankan kerja yang seberat itu” .........

Dan Stokvis menceritakan: 1) 38

“Nog in 1866 waren er streken, waar de koffieplanter 4 ä 5 ct. per dag verdiende, terwijl hij 30 ct. noodig had voor zijn levensonderhoud. In de indigocultuur werd in vele gevellen ƒ 8.­ per jaar uitbetaald ....... Er waren loonen in de koffiecultuur van ƒ 4.50 perjaar en per gezin, dus 90 ct. per persoon ............” In de Preanger zag dezelfde schrijver (Vitalis) de hongerende menschen als geraamten langs de wegen wankelen. Sommigen waren zoo uitgeput, dat zij het hun als voorschot toegediende voedsel niet konden opnemen; zij stierven .........” ........ volksverhuizingen kwamen ook in de cultures veel voor en op groote schaal. Het was de eenige mogelijke redding uit de ellende”. “Stokslagen en geeselingen waren aan de orde van den dag en op vele indigovelden was de geeselpaal een gewoon verschijnsel.” “Het ging hier om een volk, dat niet wettelijk maar feitelijk in slavernij verkeerde. Het had de vrees voor zijn hoofden in zich opgenomen; die hoofden weer hadden de vrees voor den overheerscher geleerd. Al wat er nog aandurf en vrijheidsgeest in den Javaan geleefd had, was verloren onder den ruwen handel der compagnie, en de kwade fout van Van den Bosch was, dat hij het reeds ontwrichte volk opnieuw onderwierp aan een uitmergeling, welke in wezen volslagen gelijk was aan het Compagnie­systeem. Ze was èrger en schuldiger! De Compagnie had geen aansprakelijkheid te aanvaarden of aanvaard. Zij dreef negotie met de middelen van den harden negotiant. Van den Bosch vertegenwoordigde destaat zelf, een moederland, dat zooveel had goed te maken. Alle middelen, welke de koloniale verhouding weerzinwekkender konden maken dan ze van nature reeds is, hebben hij en zijn opvolgers gebezigd. Het opleggen van een Westersche, dus meer eischende productie­methode aan een tropische agrarische gemeenschap is reeds

383) Econ. Gesch, Ned­Indië, pag. 123.

Page 26: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

een druk, maar zwaarder nog is het leed dat de machtsdrift van het vreemde ras medebrengt” ......... “Sampai di dalam tahun 1866 misih adalah daerah­daerah, di mana sipenanam kopi hanyalah menerima 4. atau 5 sen sehari, sedangkan ia harus ada 30 sen buat hidup. Di dalam cultuur nila acap kali orang bayarkan ƒ8, − setahun ......... Di dalam cultuur kopi adalah upah yang hanya ƒ4.50setahun buatorang­orang seisi rumah,− yakni 90 sen buat satu orang. Penulis Vitalis adalah melihat orang­orang yang kelaparan itu merangkak sepanjang jalan, tinggal tulang kulit belaka seperti jerangkong­bengkarak kurusnya. Beberapa orang adalah begitu letih, sampai mereka tak bisa makan lagi makanan yang orang kasihkan padanya sebagai persekot; mereka lantas meninggal ........” ........ di dalam cultuur­cultuur itu sering­sering jugalah rakyat lantas sama kabur meninggalkan negerinya, jumlahnya malah sering besar sekali. Memang ini adalah jalan yang satu­satunya untuk menyelamatkan diri daripada siksa itu”. “Pukulan dengan pentung dan labrakan dengan cambuk terjadilah sehari­hari, dan di ladang nila orang tidaklah heran lagi kalau tiang­tiang buat mengikat orang­orang yang mau dicambuk”. “Di sini adalah suatu rakyat yang tidak sepanjang wet, tetapi dengan sebenarnya hiduplah di dalam perbudakan. Rakyat itu memang takut kepada kepala­kepalanya; kepala­kepala ini sudahlah pula belajar takut kepada kaum yang memerintah. Semua kegagahan dan semua semangat­kemerdekaan yang dulu hidup di dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini sudah lenyaplah oleh kekuasaannya Compagnie dan kejahatan v.d. Bosch yaitu: ia meng­hisapkan lagi sungsumnya rakyat yang memang sudah binasa itu, hisapan yang mana sebenarnya tak bedalah sedikit juapun daripada stelselnya compagnie itu. Malahanlebih kelewat danlebih jahat! Sebab compagnie tak haruslah memikul pertanggungan­jawab dan memang tak pernahlah suka memikul pertanggungan­jawab itu. Compagnie adalah berdagang dengan cara­caranya kaum dagang yang kaku­hati. Tetapi v.d. Bosch adalah mewakili negeri, mewakili staat − tanah­air yang begitu banyak berhutang budi. Segala macam upaya, yang bisa membikin aturan jajahan itu menjadi lebih keji lagi daripada memang, sudahlah dijalankan olehnya dan oleh pengganti­penggantinya. Sudah beratlah tindasannya suatu cara­produsi Barat di atas suatu pergaulan­hidup pertanian di dunia Timur, tetapi masih lebih berat­lagilah rasanya kesengsaraan yang terjadi karena kesombongan si orang asing itu atas kekuasaannya” Dua dalil lagi, Tuan­tuan Hakim, lantas kami tutup kami­punya dalil­dalil berhubung

dengan cultuur­stelsel ini: dua dalil lagi dari Prof. Kielstra dan Prof. Veth: “Men wist in Nederland niet, of veinsde niet te weten, dat in Indië alle uitgaven voor onderwijs, openbare − werken, politie en zooveel meer, steeds tot een uiterst minimum werden teruggebracht om de “batige sloten” te hooger te kunnen opvoeren; en, wat nog erger was, dat de bevolking door den haar opgelegden dwang zoozeer in de teelt van haar eigen voedingsmiddelen werd belemmerd, dat in verschillende gewesten armoede en ellende, hongersnood en voIksverloop ontstonden”, 1) 39

391) Van Wingewest naar Zelfbestuur

Page 27: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Orang di negeri Belanda tidak tahu, atau pura­pura tidak tahu bahwa di Hindia semua bea­bea onderwijs, openbare werken, politie dan banyak lain­lain hal lagi, selamanya diungsret­ungsretkan sampai sekecil­kecilnya, agar supaya “untung bersih” bisa menjadi sebesar­besarnya; dan, yang lebih jahat, bahwa penduduk adalah begitu terhalang­halangi di dalam pertaniannya ia­punya keperluan hidup sendiri oleh kerja­paksa yang ditimbulkan di atas pundak­nya itu, sehingga di beberapa daerah timbullah keme­laratan dan kesengsaraan, kelaparan dan pelarian rakyat”.

dan “zelfs voor hen die in het cultuur­stelsel een weldaad zoowel voor Java als voor het moederland zien, voor Java omdat het den Javaan lot den arbeid opleidde, voor het moederland omdat het zijn schatkist vulde, − moet dunkt mij de hypocrisie stuitend zijn waarmede het ingevoerd”, 2) 40

“meski buat siapapun yang memandang cultuur­stelsel itu suatu kebajikan buat tanah Jawa maupun buat negeri Belanda, − buat tanah Jawa oleh karena stelsel ini mendidik orang Jawa suka bekerja, buat negeri Belanda oleh karena mengisi bendahara negeri −, maka sepanjang pendapatan kami, kemunafikan mengerjakannya adalah menjemukan dan mengejikan”,

begitulah itu dua orang professor menulis.

Tuan­tuan Hakim yang terhormat!, Oost Indische Com­pagnie mengkocar­kacirkan rumah­tangga Indonesia, Cultuur­stelsel mengkocar­kacirkan rumah­tangga Indonesia. Tuan­tuan barangkali bisa juga lantas mempunyai pikiran: “benar V.O.C. dan Cultuur­stelsel jahat, benar V.O.C. dan Cultuur­stelsel ada suatu bencana bagi rakyat Indonesia, benar V.O.C. dan Cultuur­stelsel memasukkan rakyat Indonesia di dalam kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa membongkar­bongkar hal­hal yang sudah kuno?”

Betul Tuan­tuan Hakim, kejahatan V.O.C. dan kejahatan Cultuur­stelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati­nasional tak gampanglah melupakannya.

“De herinnering des menschen aangeleden onrecht is lang;gedaan onrecht wordt spoedig vergeten”. “Kelaliman yang orang deritakan lama sekalilah orang ingat; kelaliman yang orang perbuatkan, sebentar sekalilah orang lupakan”,.........

begitulah Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan, sebagai pula telah dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje di muka itu, − buntut­buntutnya V.O.C. dan Cultuur­stelsel itu naweënnya V.O.C. dan Cultuur­stelsel itu yang dua­duanya berstelsel monopoli, sampai ini hari belumlah hilang, sampai ini hari masihlah tercerminkan di dalam wujudnya susunan pergauIan Indonesia, sehingga politik dan gerakan­nya Partai­Nasional­Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan, terpengaruilah oleh karenanya!

Di dalam pertengahan abad ke­19 “modern kapitalisme” yang bersendi atas “kerja­merdeka” dan “persaingan­merdeka”, di negeri Belanda mulai timbul. Toh .........

401) Vestiging Ned, gezag p. 38.

Page 28: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Cultuur­stelsel yang bersendi atas “kerja­paksa” dan yang terutama mengasih untung kepada staat Belanda itu, yang tidak begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda partikelir itu, cultuur­stelsel itu tidak lekas­lekas dihapuskan. Bukan oleh karena staat Belanda tak memperdulikan kepentingannya kaum modalnya partikelir, bukan oleh karena kepentingan staat itu ada lebih ditinggikan daripada kepentingan bourgeoisie, tetapi tak lain tak bukan ialah oleh karena bourgeoisie Belanda pada masa itu adalah butuh pada cuItuur­stelsel itu sebagai pembayar segala hal­hal yang perlu diadakan lebih dulu bagi suburnya kapitalisme di negeri Belanda sendiri! Henriëtte Roland Holst di dalam bukunya “Kapitaal en Arbeid in Nederland”

adalah menulis: “Het was practisch gehandeld van de bourgeoisie in de vijftiger jaren en een gezonde uiting van klassebewustzijn, dat zij het cultuur­stelsel niet in den hoek wierp eer zij er alles had uitgehaald wat het kon geven ............. het gevaar bestond, dat al ongeduldige en te haastig vooruitstrevende geesten al te spoedig den Javaan de zegeningen van vrij arbeid hadden willen verschaffen en het cultuur­stelsel, die erfenis der autokratic, door het particulier initiatief vervangen. Echter enkelen mochten zoo gezind zijn, de bourgeoisie in haar geheel was wijzer. Zij voelde als klasse vóór alles belang te hebben, eerstens, bij armortisatie der schuld. Tweedens: bij de ontheffing van handel en bedrijf door vermindering van rechten en belastingen, die alleen door het onder I genoemde kon tot stand komen. Derdens: bij bouw van spoorwegen en waterwegen, zónder de natie op groote kosten te jagen, die bij de op zuinigheid gestelde Nederlanders, het vuurtje van konservatisme aangeblazen zouden hebben. Dit alles was noodig vóór de individueele exploitatie van Indië kon beginnen, want national­krediet, spoorwegen en havens in het moederland moesten van die exploitatie de steunpunten zijn. Al die goede dingen leverden de Indische baten, dus de Indische baten moesten, voorloopig, behouden blijven”. 1) 41

“Bourgeoisie di dalam tahun­tahun limapuluhan adalah cerdik sekali dan adalah menunjukkan keinsyafan­kelas yang sehat, yang ia tidak membuangkan cultuur­stelsel itu di dalam kolong sebelum ia mengeduk dulu segala hal­hal yang cultuur­stelsel itu bisa kasihkan ......... Adalah bahaya, yang kaum­kaum yang tak sabar nanti terlampau tergopoh­gopohlah mengasihkan kepada bangsa Jawa itu berkah­berkahnya kerja­merdeka dan terlampau tergopoh­gopohlah menggantikan cultuur­stelsel, warisan dari pemerintahan lalim itu, dengan perusahaan partikelir. Tetapi, benar satu dua orang berpendapatan begitu, − bourgeoisie seumumnya adalah lebih budiman. Bourgeoisie itu sebagai kelas adalah merasa bahwa, teristimewa­mewa, kepentingannya ialah: pertama, naiknya crediet daripada staat oleh pelunasan hutangnya. Kedua: pengurangan beratnya beban yang harus dipikul oleh perdagangan dan perusahaan dengan jalan pengurangan tingginya bea­bea dan pajak­pajak yang bourgeoisie itu harus bayar, − pengurangan bea dan pengurangan pajak yang mana hanyalah bisa laksana, kalau fatsal itu tadi sudah selesai. Ketiga: pembikinan jalan­jalan kereta­api dan jalan­jalan­air, dengan tidak terlalu­lalu sekali merogoh kantongnya bangsa, sebab ini nanti bisalah menggugahkan kekolotannya bangsa Belanda itu, yang selamanya hemat dan kikir. Semua hal­hal ini adalah perlu sebelum pengedukan kekayaan Hindia oleh orang partikelir bisa dijalankan; sebab nationaal­crediet, jalan­jalan kereta­api dan pelabuhan­pelabuhan adalah perlu untuk menjadi alas­alasnya usaha ini.

412) Java II pag. 410

Page 29: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Segala hal yang baik ini Hindialah yang membayar, dus buat sementara waktu, Hindia harus­lah tetap membayar”. Tetapi, sesudah syarat­syarat modern­kapitalisme semua selesai terurus, sesudah national

krediet kembali kokoh dan sesudah jalan, jalan kereta­api, kanaal­kanaal, pelabuhan­pelabuhan telah rampung, sesudah modern­kapitalisme menjadi subur, maka surplus­kapitaalnya *) 42

mulailah ingin dimasukkan di Indonesia, − modern­imperialisme mulailah lahir. Tak berhenti­henti modern­imperialisme itu lantas memukul­mukul di atas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukanya, tak berhenti­henti kampiun­kampiunnya modern­imperialisme yang tak sabar lagi itu menghantam­hantam di atas pintu­gerbang itu, tak berhenti­henti penjaga­penjaga pintu gerbang itu saban­saban sama gemetar mendengar dengungan pekik “naar vrijheid!” “naar vrij arbeid” daripada kaum­kaum liberaal­kapitalisme yang ingin lekas­lekas dimasukkannya. Dan akhirnya, pada kira­kira tahun 1870, dibukalah pintu­gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin meniup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai gemuruhnya tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah,− maka sesudah­nya Agrarische dan Suikerwet de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten­Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir itu di Indonesia, mengadakan pabrik­pabrik gula di mana­mana, kebon­kebon teh, onderneming­onderneming tembakau dan lain sebagainya, ketambahan lagi modal­partikelir yang membuka macam­macam perusahaan tambang, macam­macam perusahaan kereta­api, tram, kapal, atau pabrik­pabrik yang lain­lain. Imperialisme­tua makin lama makin laju, makin lama makin mati, imperialisme­modern menggantilah tempat­nya, − cara­pengedukan harta yang menggali untung bagi staat Belanda itu makin lama makin berubahlah, terdesak oleh cara­pengedukan baru yang mengayakan modal­partikelir.

Caranya­pengeduk berubah, − tetapi banyakkah perubahan bagi rakyat Indonesia? Tidak, Tuan­tuan Hakim yang terhormat, banjir harta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar, “drainage” Indonesia malahan makin makan!.

“In den kolonialen strijd van 1848­1870 ging het uitsluitend tusschen dwangcultuur en vrijen arbeid; men zag een intensieve herhaling van de meeningstwisten uit de twijfel­periode na den val der Compagnie; ook nu duidelijkheid bij het behoud en onhelderheid bij de oppositie. De conservatieven blijven het koloniaal­bezit als bron voor staatswillst beschouwen, de oppositie gruwde van de verwerking van het koloniale land als “wingewest”. Zuiver en menschlievend was hun strevell naar eell vrij arbeidend en rein bestuurd Indie met ruime ontwikkelingskansen; maar met de besten hunner voorloopers deelden zij het bijna symphatieke zelfbedrog, alsof het vrije kapitaal slechts behoefde binnen te treden om Indie uit den staat van wingewest te zien bevrijd. Toch, volar het verzwalrte yolk ging het slechts om wisselillg van exptaitant. Het zou wel gedaan zijn met de kwade vermenging van staatskapitalisme en staatsbestuur, onder moederlandsche verhoudingen, welke volkszeggenschap terughielden; maar de nieuwere koloniale geschiedenis heeft toch al geleerd, dat de verdwijning van het cultuur­stelsel slechts de overwinning va den eenen exploitant op den anderen beduidde. Het wingewest kreeg nieuwe aandeelhouders. Het particuliere kapitaal wierp verhoogden in. vloed op den staat

421) pag. 85, 86.

Page 30: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

en dan ook in het koloniale staatsgebeid. En nimmer vloeide het “batig­saldo” rijker dan juist onder den nieuwen exploitant; het volgde slechts stillere wegen” ........... “Di dalam perbantahan tentang soal − jajahan antara tahun 1848 dan tahun 1870 yang menjadi pusatnya perselisihan ialah soal kerja­paksa ataukah kerja merdeka; perselisihan di zaman baru− jatuhnya compagnie sediakala, ini adalah terjadi lagi; kini kaum­kolot lagilah yang nyata­terang alasannya, dan kaum­muda lagilah yang kurang nyata­terang alasan­alasannya itu. Kaum kolot tetaplah meman­dang negeri jajahan itu sebagai sumber keuntungannya staat, kaum­muda adalah jemu melihat negeri jajahan itu dibikin negeri­pengedukan harta. Suci dan penuh dengan rasa kemanusiaanlah usahanya kaum­muda itu membikin Hindia dijadikan negeri kerja­merdeka dan negeri yang terperintah dengan bersih­hati sehingga lekas bisa maju; tetapi, sebagai juga penganjur­penganjur yang dahulu, maka mereka adalah menglabui mata sendiri, mengira bahwa masuknya modal itu saja sudah cukuplah untuk memerdekakan Hindia daripada keadaan negeri pe­ngedukan harta itu. Toh, bagi rakyat yang sudah letih itu, ini tak lainlah daripada penggantian pengeduk belaka. Betul berhentilah kejahatan penyampuran staats­kapitalisme dengan staats­bestuur itu yang karena per­bandingan­perbandingan di negeri Belanda tak mengasih hak kepada rakyat ikut bicara; tetapi riwayat kolonial yang baru toh sudah cukuplah mengajarkan, bahwa hilangnya cultuur­stelsel itu tak lainlah daripada kemenangan sipengeduk yang satu di atas si­pengeduk yang lain. Negeri pengeduk­harta ini hanyalah mendapat aandeel­houders yang baru saja. Modal partikelir mendapatlah pengaruh yang besar di atas staat, juga di atas lapangnya staat jajahan. Dan tak pernahlah “untung­bersih” itu mengalirnya begitu deras sebagai justru di bawah pimpinannya si­pengeduk baru ini; aliran itu hanyalah melalui jalan­jalan yang lebih tenang belaka” .........

begitulah Stokvis menggambarkannya. 1) 43

Dan tidakkah “kena” sekali perbandingannya Multatuli yang membandingkan “cultuur­stelsel” itu dengan:

“Een net van buizen, zich in het oneindige splitsend en verdeelend tot millioenen fijne buisjes, alle op de borst van millioenen Javanen uitloopend, alle in verbinding met de hoofdbuis, waarop een flinke stoomzuiger pompt; terwijl bij particuliere exploitatie ieder avon turier toegang kreeg tot alle buizen en zijn eigen stoommachine kon doen werken op de bron.” 2) 44

“Suatu kumpulan pipa­pipa yang terpecah­pecah lagi menjadi pipa­pipa­kecil milliunan­miliunan banyaknya, masing­masing masuk di dalam dadanya miliunan­miliunan orang Jawa dan masing­masing berhubungan dengan satu ibu­pipa, dimana bekerja satu pompa yang kuat; sedang di dalam aturan berusaha partikelir, tiap­tiap pengejar­untung bolehlah masuk di dalam semua pipah dan bolehlah me­ngerjakan ia punya mesin sendiri mempompa sumber itu”. Tidakkah “kena sekali perbandingan ini?

43*) modal kelebihan 441) Van Wingewest naar Zelfbestuur pag. 92

Page 31: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, dengan dua citaat ini, maka sifat umum daripada modern­imperialisme di Indonesia itu sudah cukuplah tergambar, sudah cukuplah geteekend. Memang, bagi rakyat Indonesia perobahan sejak tahun 1870 itu hanyalah perubahan caranya pengedukan rezeki; bagi rakyat Indonesia, imperialisme­tua dan imperialisme­modern dua­duanya tinggal lmperialisme belaka, dua­duanya tinggal pengangkutan rezeki Indonesia keluar, dua­duanya tinggal drainage!

O, zeker, zaman modern­imperialisme mendatangkan “kesopanan”, zaman modern­imperialisme mendatangkan peri­kehidupan: damai dan “tentram” yakni mendatangkan vrede. Zaman modern­imperialisme mendatangkan tambahnya jumlah rakyat yang deras, mendatangkan bevolkingsaanwas yang cepat sekali. Zaman modern­imperialisme mendatangkan jalan­jalan­lorong yang menggampangkan perhubungan antara tempat­tempat di Indonesia satu dengan yang lain, mendatangkan jalan­jalan kereta­api, mendatangkan pelabuhan­pelabuhan dan perhubungan­perhubungan kapal yang sempurna, tetapi, adakah itu hal­hal semua di dalam hakekatnya, terpandang dari pendirian pergaulan­hidup­nasional, suatu kemajuan yang setimbang dengan bencana yang disebar­sebar oleh usaha­partikelir itu?

Ah, Tuan­tuan Hakim, berapakah tidak banyaknya orang­orang yang tersuramkan penglihatannya itu oleh banyaknya modal­modalan hasil­hasil­kesopanan­barat yang masuk di negeri kita, dan lantas mengira bahwa modern­imperialisme itu adalah mendatangkan kemajuan belaka. Berapakah tidak banyaknya orang­orang yang terbalikkan matanya oleh schijn belaka, terbalikkan matanya oleh syariatnya keadaan, yang didatangkan oleh modern­imperialisme itu, dan lantas me­manggut­manggutkan kepala sambil berkata: “Memang, me­mang, sekarang sudahlah berlainan sekali dengan zaman Compagnie atau Cultuur­stelsel adanya!”

O memang, syariatnya memang mendayakan, schijn­nya memang memutarkan mata! Modern­imperialisme itu, menurut perkataannya Kautsky adalah:

“verschillend met de oude politik der uitbuitings­kolonien, die daarin slechts objecten van plunderingen zag, van samenschrapen van rijkdom, die men als kapitaal het moederland binnensleepte. Integendeel, het is een politik, die juist kapitalen aan de koloniën toevoert, kultuurwerken in deze landen opbouwt, schijnbaar dus niet meer verwoestend, doch juist kultuurbevorderend werkt.” 1) 45

“berlainan dengan politik­tua terhadap pada kolonie­kolonie perasan, yang memandang negeri jajahan itu hanyalah sebagai barang yang harus dirampok saja, sebagai kekayaan yang harus diangkut, dan yang bisa diangkut ke negeri sendiri sebagai modal. Sebaliknya ia (modern­imperialisme) adalah suatu politik yang justru memasukkan modal­modal kedalam kolonie, mendirikan kerja­kerja­cultuur disitu,− dus sepanjang syariatnya seolah­olah tidak lagi merusakkan, tetapi malahan memajukan cultuur.”

Tetapi hakekatnya, bagaimanakah hakekatnya! “cultuur” yang didatangkan oleh modern­imperialisme itu!

“Itu damai dan ketentraman”, − begitulah J. E. Stokvis menutup pemandangannya atas Oost lndische Compagnie −,

452) Bij Roland Holst, Kapitaal en Arbeid in Ned. p. 150

Page 32: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

die vrede echter beteekende een verloren strijd, vaak een heldenstrijd .......... om de nationale vrijheid; de sterke toename van het zielental was de voortplanting van ontwrichte en misbruikte tropenvolken” 2)............. 46

“itu damai dan ketentraman adalah berarti suatu perjuangan yang asor, seringkali juga perjuangan pahlawan yang gagah berani untuk merebut kemerdekaan nasional; itu tambahnya penduduk yang deras adalah beranak­berbuahnya rakyat­rakyat Timur yang korat­karit dan rusak” .........

dan tiap­tiap perkataan di dalam kalimat ini bolehlah kita pakaikan untuk zaman modern­imperialisme itu. Lagi pula, bevolkings aanwas tidak selamanya berarti welvaart, tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kesejahteraan umum, sebagai diuraikan oleh Peter Maszlow di dalam bukunya “Die Agrarfrage in Ruszland”.

Di dalam kalangan kaum proletar di Eropah tambahnya jumlah manusia adalah lebih besar dan lebih cepat daripada di dalam kalangan kaum pertengahan dan kaum atasan, − adakah ini berarti bahwa kaum proletar itu lebih nyaman hidupnja daripada kaum bourgeoisie? Bahwasanya, tambahnya penduduk di Indonesia itu tak lainlah daripada “vootplanting van ontwrichte en misbruikte tropenvolken” yakni “beranak­buahnya rakyat­rakyat yang korat­karit dan rusak belaka”, sebagai Stokvis mengatakan tadi!

Dan itu jalan­jalan­lorong, itu jalan­jalan kereta api, itu perhubungan­perhubungan kapal, itu pelabuhan­pelabuhan, − tidaklah itu bagus sekali bagi rakyat Indonesia?

O zeker, kita mengakui faedahnya alat­alat­pengangkutan, yakni faedahnya modern­verkeersmiddelen itu, mengakui pengaruhnya, yang baik di atas perhubungan dan kemajuan rakyat, kita mengakui bahwa, jikalau umpamanya rakyat Indonesia itu sekarang kehilangan halhal itu semua, niscaya ia merasa rugi, − tetapi tak dapat disangkallah bahwa modern verkeers­middelen itu adalah menggampangkan geraknya modal partikelir. Tak dapat disangkallah, bahwa verkeers­middelen itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang perusahaanya, membesar­besarkan diri dan beranak di mana­mana, sehingga kerezekian rakyat lantas menjadi makin kocar­kacir oleh karenanya!

“de verbetering der communicatieen productie middelen zou inderdaad de productiekracht der economisch achterlijke landen beduidend vergrooten indien ze niet samenviel met de steeds groeiende toenamo van militaire lasten en buiten landsche schulden. Door dez ( factoren wordt die verbetering slechts een middel, uit arm( landen meer producten te per.sen als anders, zoo veel uit t( persen, dat niet alleen de even tueele meerproduksi daardoOl opgezogen wordt, die uit d( technische verbeteringen gebo ren wordt, maar ook zoo vee). dat de hoeveelheid pl'oducten die in het land ten behoeve del' pl'oducenten overblijft, afneemt.Onder zulke omstandigheden wordt de technische vooruitgang tot een middel van roof.bouw en verarming.” “Perbaikan­perbaikan alat­alat pengangkutan dan alat­alat­produksi itu,” − begitulah Karl Kautsky di dalam bukunya ‘Sozialismus und Kolonial­politik’ menulis (pag. 41), − “perbaikan­perbaikan alat­alat­pengangkutan dan alat­alat­produksi itu memang tentulah akan berhenti tambahnya tenaga­tenaga­produksi daripada negeri­negeri yang ber­kemunduran ekonominya, umpama tidak dibarengi oleh tambahnya bea­bea kemiliteran

461) Soz. und Kol. Pol. pag. 43.

Page 33: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

yang makin berat saja, dan oleh tambahnya hutang­hutang pada negeri luaran. Oleh karena hal­hal ini, maka perbaikan itu hanyalah menjadi suatu upaya belaka untuk memeraskan kekayaan­kekaya­annya negeri­negeri yang melarat, begitu banyak diperas­kan, sehingga bukan saja tambahnya produksi, yang terjadi karena perbaikan­perbaikan tadi itu, juga samasekali habislah dihisap ...... tetapi juga begitu banyak diperaskan, sehingga jumlahnya bekal­hidup yang tinggal di dalam negeri untuk hidupnya rakyat dan buruh, makin lama menjadilah makin kurang pula. Di bawah keadaan­keadaan yang demikian, maka kemajuan tehnik tadi tak lainlah daripada alat­perampokan dan alat memberatkan belaka .........” Begitulah pendapatannya “kaum merah”. Tetapi juga Kolonial Direktor­Dernburg,

pemimpin imperialisme Jerman sebelumnya perang besar, seorang yang dus bukan kaum “pengasut”, − Kolonial Direktor Denburg yang di muka sudah kami dalilkan kalimatnya yang begitu terus terang tentang azas­azasnya penjajahan yang sebenarnya, − Kolonial­Direktor Dernburg itu adalah dengan terus

terang lagi berkata: “Maar de ervaringen van alle koloniseerende volken wijzen uit, dat groote koloniale gebieden zonder spoorwegen een onzeker economisch niet ontsluitbaar bezit blijven”. 1) 47

“Tetapi, semua rakyat­rakyat yang mempunyai negeri jajahan sudahlah mendapat pengalaman, bahwa negeri­negeri jajahan yang luas­luas, akan tetaplah menjadi suatu kepunyaan yang tak menghasilkan harta sedikitpun juga, jikalau tidak dikasih jalan­jalan kereta­api”

Dan keadaan di negeri kita? Bukti­bukti di negeri kita?

“Tanah Jawa mempunyai jalan­jalan kereta­api dan tram.” begitu ex­Assistent­Resident Schmalhausen yang terkenal itu menulis.

“Java bezit spoorwegen en tramlijnen, talrijke erfpachts­landen zijn ontgonnen en in exploitatie gebracht, er zijn vele suikeren indigofabrieken verrezen, ......... maar heeft dit alles kunnen verhinderen, dat de welvaart in plaats van vóóruit, áchteruit is gegaan?”, 48

2) “Tanah Jawa mempunyai jalan­jalan kereta­api dan tram, banyak tanah­tanah erfpacht sudah dibuka dan diusahakan, banyak pabrik­gula dan pabrik­nila sudah berdiri, ........ tetapi adakah semua hal ini bisa menghalang­halangi, yang kesejahteraan rakyat tidak maju, tetapi sebalik­nya malahan makin mundur ?”

dan Prof. Gonggrijp menulis :

“Deze uitrusting van Indië met moderne verkeers­middelen was het noodzakelijk complement van de ontwikkeling der particuliere nijverheid met haar voor de wereldmarkt bestemde massaproducten ...... Een groote en duidelijk zichtbare invloed op de welvaart van de massa der inheemsche bevolking hebben de moderne verkeers­middelen ......... nog niet gehad.” 3) 49

472) t.a.p. pag. 12­13. 481) Bij Parvus, Die Kolonial Pol. und der Zusammenbruch pag. 15. 492) Over Java en de Javanen, pag. 169.

Page 34: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Pelengkapan Hindia dengan alat­alat pengangkutan yang modern itu adalah suatu hal yang perlu, suatu noodzakelijk complement, bagi suburnya perusahaan partikelir yang barang­barang­hasilnya harus didagangkan di pasar­pasar­dunia itu. Suatu pengaruh besar dan nyata di atas kesejah­teraan rakyat penduduk daripada moderne verkeers­middelen itu belumlah ada” . “Noodzakelijk complement bagi suburnya perusahaan partikelir”! Dan berapa “noodzakelijk

complement”­kah yang tidak ditemukannya. Ada aturan erfpacht yang bersendi atas “gewetenstopper” *)domeinverklaring 4)**) buat 50 51

onderneming­onderneming di pegunungan; ada aturan menyewa tanah (grondhuurregeling) bagi onderneming­onderneming tanah­datar yang banyak pen­duduk; ada aturan contract buruh dengan punalesanctie bagi onderneming­onderneming yang kekurangan kuli; dan “ketertiban dan keamanan” dan lapang­usaha di mana­mana dengan staatsafronding” 1) yang 52

memusnahkan kemerdekaannya negeri­negeri Aceh, Jambi, Kerinci, Lombok, Bali, Boni dan lain­lain; ada stelsel­onderwijs yang menghasilkan kaum­buruh “halusan”; ada artikel 161 bis W.v.S. yang mentiadakan hak­mogok sedang hukum perlindungan kaum­buruh tidak ada samasekali, sehingga nasib kaum­buruh boleh dipermainkan semau­maunya; − sungguh benar kapital­partikelir tak kurang­kurang “noodzalijke complementen”, kaum modern­imperialisme berada di suatu surga!

Hebatlah melarnya perusahaan imperialisme itu menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepala! Imperialisme­tua yang dulunya terutama hanya sistem meng­angkuti bekal­bekal hidup saja, kini sudahlah melar menjadi raksasa imperialisme­modern yang empat macam, saktinya”: pertama : Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal­bekal hidup, kedua : Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal­bekal untuk pabrik­pabrik di Europa, ketiga : Indonesia menjadi negeri pasar­penjualan barang­barang hasil daripada

macam­macam kepabrikan asing, keempat : Indonesia menjadi lapang­usaha bagi modal yang ratusan, ribuan­milliunan rupiah

jumlahnya, − bukan saja modal Belanda tetapi sejak adanya “Opendeur politik” 2) juga modal Inggeris, 53

juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain­lain, sehingga imperialisme di Indonesia ialah international karenanya.

Terutama “sakti” yang keempat inilah, yakni “sakti” yang membikin Indonesia menjadi exploitatie­gebied daripada buitenlandch surplus­kapitaal, lapang­usaha bagi modal­modal­kelebihan dari negeri­negeri asing, adalah yang paling hebat, dan Makin lama Makin bertambah hebatnya pula!

Di dalam th. 1870 jumlahnya tanah erfpacht adalah 35.000 bahu, di dalam tahun 1901 sudah 622.000 bahu, di dalam tahun 1928 sudah 2.707.000 bahu, − kalau dijumlahkan juga dengan landbouwconcessies, jumlah ini buat tahun 1928 menjadi 4.592.000 bahu! Jumlahnya tanah juga ditanami karet kini tak kurang dari+ 488.000 bahu, hasilnya+ 41.000 ton; jumlahnya 503) t.a.p. pag. 190 51*) Penidur angan­angan hati jahat 524) v. Vollenhoven, De Indonesier en zijn grond 53**) Semua tanah diakui kepunyaan staat.

Page 35: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kebun teh+132.000 bahu, hasilnya+ 73.000 ton; jumlahnya kebun kopi+127.000 bahu, hasilnya + 55.000 ton; jumlahnya kebun tembakau + 79.000 bahu, hasilnya + 65.000 ton; jumlahnya kebun tebu + 275.000 bahu, hasilnya 2.937.000 ton. 3) 54

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, milliunan, tidak, milliarden rupiah lah jumlahnya imperialistisch­kapitaal yang kini mengeduk kekayaan­kekayaan Indonesia!

Dr. F. G. Waller, di muka ledenvergadering daripada Verbond van Nederlandsche Werkgevers 4) adalah berpidato: 55

“De ondernemersraad schat de belastbare winst van de Indische bedrijven: suiker, rubber, tabak, thee, koffie, kina, aardolie, mijnbouw, bankinstellingen, en nog een aantal kleinere bedrijven, in 1924 op 490 milliun gulden, in 1925 op 540 milliun gulden. Bij schatting kan men aannemen dat hiervan 70% door Nederlandsche beleggers wordt ontvangen, dat is dus rond 370 milliun gulden. Wanneer wij dit bedrag kapitaliseeren tegen de hooge rente van 9 of 10% dan zou de waarde van die bedrijven thans zijn het reusachtig bedrag van 3700 á 4100 milliun gulden. Dit cijfer, maakt natuurlijk geen aanspraak op nauwkeurigheid, maar wel geeft het de orde aan van de waarde van het Nederlandsche bezit in Nederlandsch Indië, en mij is gebleken dat langs geheel anderen weg ge maakte becijferingen tot het zelfde resultaat voeren. N u is het geheele in Nederland in de vennogensbelasting aangeslagen vennogen 12 milliard, zoodat ons Indische bezit niet minder dan. 1/3 van ons volksvermogen bedraagt.” 5) 56

“Menurut penaksirannya majelis ­ majikan, maka besarnya untung bersih dalam tahun 1924 daripada perusahaan­perusahaan gula, karet, tembakau, teh, kopi, kina, minyak­tanah, hasil­hasil tambang, bank­bank, beserta beberapa perusahaan yang kecilan adalah sejumlah 490 milliun rupiah, − di dalam tahun 1925 sejumlah 540 miliun rupiah. Menurut taksiran, bolehlah ditentukan, bahwa dari jumlah ini adalah 70 presen yang jatuh ditangannya pihak­pihak Belanda, yakni kira­kira 370 milliun rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah sekian ini di atas bunga 9 atau 10 persen, maka harganya perusahaan­perusahaan itu tadi sekarang adalah besar sekali, yaitu 37000 á 4100 milliun rupiah. Angka ini tentu tidak boleh dinamakan angka sek­sama, tetapi ia dengan sebenar­benarnya adalah meng­gambarkan besarnya harga kekayaan Belanda di Hindia Nederland, dan saya mengetahuilah, bahwa perhitungannya orang­orang yang mengambil jalan lain adalah sama buahnya. Kekayaan yang di negeri Belanda terkenai vermogensbelasting adalah 12 milliard, sehingga kekayaan kita yang ada di Hindia tak kuranglah daripada sepertiga­nya kekayaan rakyat kita semua” ......− Lebih dari 4000 milliun rupiah kapitaal Belanda saja, Tuantuan Hakim yang terhormat,

tetapi jumlah semua modal asing yang berusaha di Indonesia adalah lebih besar lagi, − yakni jikalau kita hitung dengan memakai azas perhitungan Dr. Waller itu juga: −kurang­lebih 6000 miliun rupiah!

Enam milliar rupiah dengan untung setahun­tahunnya rata­rata sepuluh%! Tetapi berapa perusahaan asingkah yang untungnya tidak berlipat­lipat ganda lagi, berapa perusahaan asingkah yang dividennya tidak kadang­kadang sampai 30, 40, ya kadang­kadang sampai lebih

541) Staatsafronding = pembulatan jajahan 552) Opendeur­politiek = politik pintu terbuka 563) Verg. Statist: jaaroverz, 1928

Page 36: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

dari 100%! Kita mengetahui dividennya tembakau Sumatera yang besarnya 35% di dalam tahun 1924, kita mengetahui dividennya kina yang berlipat­lipat lagi, kita kenaI akan dividen­dividen yang sampai 170 persen! Kita oleh karenanya, tidaklah heran kalau seorang sebagai Colijn mengatakan, bahwa modal asing harus terus mengerumuni Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah­gula, sebagai “de mieren den suikerpot”! 2) 57

Memang milliunan rupiah harganya hasil­hasil perusahaan kapital asing itu yang saban tahun diangkuti dari Indonesia keluar, milliunan rupiah besarnya uitvoerwaarde daripada hasil­hasil itu saban tahun. Di dalam tahun 1927 keluarnya kopi ialah ƒ74.000.000.­; keluarnya teh ƒ90.000.000.­; keluarnya tembakau ƒ107.000.000.­; keluarnya minyak ƒ155.000.000.­; keluarnya gula ƒ360.000.000.­ (malahan sebelum hebatnya persaingan dari Cuba: kadang­kadang lebih dari ƒ400.000.000,­); keluarnya karet ƒ417.000.000.­, jumlah semua barang yang keluar tak kurang dari ƒ1600.000.000.­. 3) 58

Pendek­kata, saban tahun kekayaan yang diangkuti dari Indonesia ialah sedikit­dikitnya ƒ1500.000.000.­!

Dan harganya invoer? Harganya barang­barang yang masuk Indonesia? Tuan­tuan Hakim yang terhormat, Indonesia adalah suatu koloni, di mana, sebagai tadi telah kami katakan, sakti imperialisme, yang nomor empatlah yang paling hebat, semua koloni yang terutama ialah bagi lapang­usahanya modal asing yang kelebihan, suatu exploitatiegebied buitenlandsch surplus­kapitaal. Suatu koloni yang demikian itu, uitvoernya selamanya adalah melebihi invoer, kekayaannya yang diangkuti keluar selamanya adalah lebih banyak daripada harganya barang yang dia masukkan.

Inilah yang menjadi sifatnya rumah­tangga kita yang miring itu:uitvoeroverschot *), dan 59

bukan invoeroverschot, − lebih banyak kekayaan yang keluar, dan bukan lebih banyak barang yang masuk, bahkan bukan pula “les produits se changent contre les produits”, yakni bukan pula barang yang keluar sama dengan barang yang masuk.

Uitvoeroverschot di Indonesia makin lama makin besar: Di dalam tahun delapanpuluhan uitvoeroverschot ini adalah + ƒ25.000.000.­; di dalam

tahun sembilanpuluhan dia sudah menjadi + ƒ36.000.000.­; di dalam tahun­tahun penghabisan dari abad ke 19 dia sudah tambah menjadi + ƒ45.000.000.­; di dalam kanan­kirinya tahun 1910 dia sudah menjadi ƒ145.000.000.­; di dalam tahun akhir­akhir ini dia sudah menjadi ƒ700.000.000.­ 2) ya di dalam tahun 1919 dia pegang record menjadi ƒ1.426.000.000.­ 3) 60 61

Bahwasanya, − Indonesia bagai kaum imperialisme adalah suatu sorga, suatu paradijs. Suatu paradijs yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada bandingan kenikmatannya:

Bij vergelijking der internationale cijfers, ...... blijkt, dat geen enkel ander land een uitvoeroverschot heeft, dat percentueel zoo hoog is als dat van Nederlandsch Indië”., “Kalau kita bandingkan angka­angka di Hindia dengan angka­angka negeri­negeri yang lain, ... maka ternyatalah bahwa tidak ada satu negeri lainnya, yang procentage uitvoeroverschot­nya begitu tinggi seperti Hindia Belanda!”

574) 40 September 1927 pag. 16. 585) Bij. Duys 592) Kol. vraagstukken v. heden en morgen p. 124 603) bandingkan statistisch jaaroverzicht 1928 61*) kalau misalnya harga barang yang keluar 1500 miliun, dan harganya barang yang masuk 500 miliun, maka uitvoeroverschot adalah 1500

mill. – 500 mill. = 100 milliun.

Page 37: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

begitu Prof. v. Gelderen, kepala Centraal Kantoor voor de Statistiek di sini, berkata. 1) 62

Dan bangsa Indonesia? Bagaimanakah nasibnya bangsa Indonesia? “Jawab adalah singkat,” − begitulah Mr. Brooshooft seorang yang bukan socialist di dalam

bukunya “De Ethische Koers in de koloniale politiek” menjawab, −:

“Het antwoord is kort en goed, wij duwen hem in den afgrond!” “Wij drijven hem in denzelfden poel van ellende, die in de Westersche maatschappij millioenen tot aan den hals houdt omsloten: de uitbuiting van den man, die niets heeft den zijn arbeid door den bezitter van het kapitaal, d.i. van de macht.” 3) 63

“Jawab adalah singkat, kita menjerumuskan dia ke dalam jurang!” “Kita menjerumuskan dia ke dalam lumpur­kesengsaraan, yang di dalam pergaulan hidup negeri Barat menenggelamkan jutaan manusia sampai ke batang­leher­nya, pemerasan orang yang tak mempunyai apa­apa melainkan tenaga­kerjanya saja, oleh orang yang meng­genggam modal, yakni yang menggenggam kekuasaan.” Ah, Tuan­tuan Hakim, begitu banyak orang bangsa Belanda yang tidak mengetahui

kesengsaraannya rakyat Indonesia, begitu banyak bangsa Belanda, yang mengira bahwa rakyat Indonesia itu senang kehidupannya.

Dan toh, .......... tidak kuranglah orang­orang pandai bangsa Belanda pula yang menunjukkan kesengsaraan ini di dalam buku­buku, artikel­artikel atau pidato­pidato, − tidak kuranglah kaum terpelajar bangsa kulit putih yang mengakuinya! Keseng­saraan rakyat Indonesia haruslah diakui oleh siapa saja yang mau menyelidikinya dengan hati yang bersih; kesengsaraan rakyat itu bukan “omong­kosong” atau “hasutannya kaum pengasut”. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realiteit yang gampang dibuktikan dengan angka­angka. Lagipula, Tuan­tuan Hakim, adanya uitvoeroverschotten itu saja, − yang juga bukan “omong­kosong”, melainkan suatu barang yang nyata oleh adanya angka­angka statistiek −, adanya hal yang negeri Indonesia itu lebih banyak diangkuti kekayaannya keluar daripada dimasukkan, adanya hal itu saja sudah cukuplah bagi siapa yang mempunyai sedikit pengetahuan tentang ekonomi, bahwa di sini keadaan adalah “miring,” − bahwa disini tidak ada evenwicht, tidak ada “timbangan”. Dan bukan saja keadaan itu “miring”, bukan saja ada “onevenwicht” − tetapi (oleh sebab uitvoeroverschotten itu makin lama makin besar saja), keadaan “miring” itu makin lama juga menjadi makin “miring,” onevenwicht itu makin lama juga makin onevenwichtiger!

“Tentu saja”, − begitulah katanya D.M.G. Koch tatkala ia membicarakan uitvoeroverschotten ini, −

“Het spreekt vanzelf, dat een dergelijk stelselmatig onttrekken van jaar op jaar to enemende bedragen aan Indie dit land schatten doet onthouden, die voor zijn economische ontwikkeling zouden kunnen dienen.” 1) 64

622) Bandingkan v. Geldercn, voorlezingen pag. 98 633) D.M.G. Koch­Vakbeweging 1927 pag. 570 641) Voorlezingen pag. 105

Page 38: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Tentu saja pengambilan harta yang saban tahun makin bertambah jumlahnya itu, bagi Hindia adalah berarti hilangnya kekayaan­kekayaan yang sebenarnya bisa dipakai untuk keperluan kemajuannya.” Lagipula Tuan­tuan Hakim, tidaklah pemerintah sendiri mengakui akan adanya

“kekurangan sejahtera” itu, tidaklah pemerintah sendiri mengakui akan adanya “mindere welvaart” itu, tatkala pemerintah ini beberapa tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaart­commissie”? Tidaklah Minister Idenburg sendiri duapuluh­tahun yang lalu telah menyebutkan “chronischen nood”, suatu “kesengsaraan yang terus­menerus” ,

“die zich thans in een groot deel van Java openbaart”. 2) 65

“yang sekarang menjangkit, di sebagian besar dari tanah Jawa.” tidaklah minister itu pula mengakui akan adanya suatu “kemelaratan yang sudah makan”, suatu “ingevreten armoede”, *) sehingga 66

“de economische toestand van een groot deel der bevolking te wenschen overlaat”? *) “perikehidupan ekonomi daripada sebagian besar penduduk adalah jelek” ?

Tidaklah minister jajahan itu juga mengakui pula akan adanya “penyetoran rezeki keluar”, yakni akan adanya “drainage”, walaupun ia berpendapatan bahwa:

“het aanduiden dezer kwaal gemakkelijker dan een middel te vinden om haar te bestrijden”? 1) 67

“penyakit ini lebih gampang ditunjukkannya daripada didapatkan obat untuk menyembuhkannya”? Dan tidaklah kurang pula orang­orang Belanda lain yang mengakui keadaan ini pada zaman

itu; tuan Pruys v.d. Hoeven, bekas Lid Raad van Indië, di dalam bukunya “Veertig jaren Indische dienst”

adalah menulis: “In het lot van den Javaan is in de laatste 40 jaren weinig verbeterd. Buiten de aristocratie en eenige landsdienaren vindt men nog altijd maar één klasse, levende van de hand in de tand. Een meer welgestelde stand heeft zich nog niet kunnen vormen, daarentegen heeft men in latere jaren een proletariaat zien ontstaan, vroeger alleen op de hoofdplaatsen bekend.” 3) 68

“Nasibnya orang Jawa di dalam empatpuluh tahun yang akhir­akhir ini tidaklah banyak diperbaiki. Di luar golongannya kaum ningrat dan beberapa hamba­negeri, maka misih sajalah orang mendapatkan satu kelas yang hidupnya “sekarang makan besok tidak”. Suatu kaum yang hidup senang belumlah bisa ada, sebaliknya di dalam tahun­tahun yang belakangan ini adalah terlahir suatu kelas proletar, yang dulu banyak terdapat di kota­kota saja.”

653) pag. 65 661) t.a.p. blz. 570 672) van Kol. ned. Indie in de St. Gen. pag. 112 68*) van Kol. ned. Indie in de St. Gen. pag. 112

Page 39: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

H.E.B. Schmalhausen, bekas Assistent­Resident, di dalam bukunya “Over Java en de Javanen” adalah bercerita:

“Ik was er zelf getuige van hoe vrouwen, − na een paar uren geloopen te hebben; op de plaats harer bestemming aankwamen om dan te ondervinden, dat zij aan het snijden geen deel konden nemen, omdat er te veel helpsters waren. Sommigen barstten in tranen uit en gingen wanhopig aan den kant van den weg zitten. Zulke toestanden kan men eerst leeren begrijpen na een langdurig verblijf in de binnenlanden, wanneer men ten minste genoeg belang stelt in land en volk om steeds de oogen open te houden!” “Wij maakten .......... de berekening ............. naar juiste gegevens en kwamen toen tot het resultaat dat de waarde van de verdiende padie hoogstens 10.09 per dag bedroeg.” “Om die onnoozele waarde van 9 centen door zwaar werk in de brandende zon te ver dienen, loopen, zooals wij” zeggen, vrouwen dikwijls uren ver en worden dan soms nog afgewezen. Zulke feiten werpen een helderde licht op de wezenlijke toestanden dan tallooze oppervlakkige verslagen en redevoeringen” (pag 14). “Saya sudah melihat dengan mata sendiri bagaimana orang­orang perempuan, sesudahnya jalan berjam­jam jauhnya, datang di tempat yang dimaksudkannya itu dan lantas sama mendapat kabar, bahwa mereka tak boleh ikut mengetam padi, oleh karena sudah terlampau banyak yang menger­jakannya. Beberapa perempuan itu lantas menangislah dan sama duduklah di tepi jalan, keputusan asa. Keadaan­keadaan yang demikian itu, barulah orang bisa mengarti kalau orang sudah hidup di desa bertahun­tahun lamanya, asal saja mempunyai cukup perhatian di atas perikehidupan negeri dan rakyat dan membukakan mata selama­lamanya!” “Kita lantas membikin perhitungan yang teliti, dan hasilnya perhitungan itu ialah, bahwa harganya padi yang mereka terimakan sebagai upah tak lebihlah dari ƒ0.09 sehari­harinya.” “Untuk menerima upah­remeh seharga 9 sen itu dengan kerja berat di bawah panasnya matahari, maka orang­orang perempuan itu, sebagai tadi kita lihat, haruslah lebih dulu berjalan berjam­jam jauhnya, dan kadang­kadang misihlah ditolak juga. Kenyataan­kenyataan yang demikian ini adalah lebih membukakan keadaan­keadaan yang sebe­narnya daripada verslag­verslag dan pidato­pidato yang hanya mengenai luarnya perkara saja.”

Dan Mr. Brooshooft menulis dia­punya kalimat yang termashur “Kita jerumuskan dia di dalam jurang” yakni “Wij duwen hem in den afgrond”, sedang di dalam Staten Generaal perkara “inzinking” ini ramailah dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti­hentilah membongkar keadaan­keadaan ini, tidak berhenti­berhentilah membicarakan “negeri yang tiada sungsum lagi” atau “uitgemergelde gewesten” itu, tidak berhenti­hentilah menggambarkan nasibnya “koloni sengsara” atau “noodlijdende kolonie” ini; tidak berhenti­hentilah menangiskan itu “kemun­duran manusia dan ternak”, yakni itu “physieke achteruitgang van mensch en en vee”. 1) 69

Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu. Adakah keadaan sekarang berbeda? Adakah keadaan hari ini lebih baik?

691) van Kol. ned. Indie in de St. Gen. pag. 107

Page 40: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan dengan angka­angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut, tidak makin kecil, melainkan makin besar, makin mem­banjirkan, mendahsyatkan, − bahwa uitvoeroverschotten makin tak berhingga,− bahwa onevenwicht makin menjadi onevenwichtiger! Bagi siapa yang mau mengerti, maka tidak­boleh­tidak, drainage yang makin membanjirkan itu pasti berarti rakyat makin sengsara, pasti berarti rakyat itu, dengan per­kataannya Mr. Brooshooft, makin terjerumus di dalam “jurang”! Jikalau di zamannya Pruys v.d. Hoeven kita sudah melihat,

“een proretariat, vroeger alleen op de hoofdplaatsen be­kend” . “suatu kelas proletar yang dulu hanya terdapat di kota­ kota saja.”

jikalau di zamannya Mr. Brooshooft kita sudah melihat,

“uithuiting van den man: die niets heeft dan zijn arbeid door den bezitter van het kapital”. “pemerasan orang yang tak mempunyai apa­apa, melainkan ia­punya tenaga­kerja oleh si­penggenggam modal”. Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya yang “memproletarkan” yakni

proletariseeringstencenz dengan se­nyata­nyatanya, − bagaimanakah kerasnya proletariseering­stendenz itu di zaman kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara imperialistisch itu makin lama makin mengaut, kapitaal asing makin lama makin bertambah banyak dan bertambah besar “saktinya”! Di dalam bukunya Dr. Huender “Overzicht van den Econ toestand der inheemsche bevolking van Jva en Madura” kita membaca:

“Was in 1905 ruim 71 procent van de volwassen bevolking betrokken bij het landbouwbedrijf, de laatste mede­deelingen in den volksraad ............. leeren, dat thans nog 52 procent uitsluitend inkomsten uit het landbouwbedrijf heeft” ...... 1) 70

“Sedang di tahun 1905 jumlahnya orang yang kerja tani adalah 71 % daripada jumlah penduduk yang dewasa, − permakluman volksraad yang akhir­akhir ini adalah meng­ajarkan bahwa sekarang hanya 52% saja yang hidup dari pertanian itu” ............

dan Prof. v. Gelderen dari Centraal Kantoor voor de Statistiek adalah menulis:

“De uitheemsche bedrijfsontwikkeling heeft uit zichzelve de strekking deze grondverhouding: ondernemer en kapitaal, dus winst buitenlandsch arbeid, dus loon Indisch, telkens weer en geleidelijk op steeds grooter scbaaI te reproducee ren. Zij oefent daarmee zeer zeker vraag uit naar arbeids kracht en verschaft in den vorm van loon aan een toenemtmd deel der bevolking ook inkomen. Maar zij doet dit op dere, zeer eenzijdige wijze. Zij maakt de inheemsche bevolking tot een natie van loontrekkers en daarmee van Indie een loonstrekker onder de naties.” 1) 71

“Kemajuan perusahaan asing adalah memang membikin makin melebarnya dan makin mendalamnya perbandingan ini: majikan dan kapitaal dus juga keuntungan, asing − kaum buruh, dus upah, bumi­putera. Betul kemajuan perusahaan asing itu dibarengi oleh lebih lakunya tenaga kaum buruh dan memang mengasih penghidupan kepada makin lama makin

703) Bij Sneevliet, proces 711) Verg. Ned. Indie in de St. Gen. 1897­1909 (v. Kol)

Page 41: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

banyak orang bumiputera dengan upah yang ia bayarkan kepadanya. Tetapi keadaan menjadilah miring. Kemajuan perusahaan asing itu adalah mem­bikin penduduk bumiputera menjadi natie yang hanya terdiri dari kaumburuh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan natie­natie.” “Natie yang hanya terdiri dari kaum­kaum­buruh belaka dan “Si buruh di dalam pergaulan

natie­natie”, Tuan­tuan Hakim, itu bukan nyaman! Itu bukan mengasih harapan besar bagi hari­kemudian! Itu bukan mengasih perspektif pada hari­kemudian itu!, jikalau terus­terusan begitu! Tidaklah oleh karenanya, wajibnya tiap­tiap nationalis mencegah keadaan yang begini itu dengan sekuat­kuatnya? tidakkah hal ini saya sudah cukup buat mengasih pembenaran pada kami­punya pergerakan?

“Natie yang hanya terdiri dari kaum­buruh belaka”! amboi, dan berapakah besarnya upah yang biasanya diterima oleh kang Kromo atau kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya, besarnya upah di dalam perusahaan yang terpenting, yakni perusahaan gula, − itu perusahaan gula yang terdiri di tengah­tengah pusat pergaulan­hidup Bumiputera, di tengah­tengah ulu­hatinya pergaulan­hidup itu? Menurut Statistisch Jaaroverzicht: rata­rata hanya ƒ0.45 sehari bagi orang laki­laki dan ƒ0.35 sehari bagi perempuan! 2) 72

Bahwa sesungguhnya, Dr. Huender tak salahlah kalau ia menulis : “De suikercultuur is voor de Indonesische grond­gerechtigden nadeelig; de loonen, die zij uitkeert aan de bij haar werkzame Indonesiers, zijn, zoo al niet te laag om er het leven bij te houden, toch zeker “minimumloonen”. “Perusahaan gula adalah jahat bagi yang menyewakan tanah; upah yang ia bayarkan kepada bangsa Indonesia yang bekerja di perusahaan itu, adalah, bila tidak terIalu rendah buat menolak maut, toh setidak­tidaknya upah minimum, yakni upah yang paling rendah.”

dan bukan di dalam perusahaan­gula saja kita dapatkan itu “upah yang paling rendah” atau “minimumloonen”! Minimumloonen di Indonesia kita dapatkan di mana­mana. Selama rumah tangga rakyat Bumiputera masih suatu rumah­tangga yang kocar kacir; selama rakyat Bumiputera masih “minimumlijdster” *) sebagai Dr. Huender mengatakannya 1) selama itu 73 74

maka upah­upah di mana­mana tentulah berwujud upah­upah­minimum pula,− selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksalah menerima saya upah­upah yang bagaimanapun juga rendahnya, “buat menolak maut”, “om er het leven bij te houden”. Prof. van Gelderen di dalam ia­punya buku adalah dengan seterang­terangnya menunjukkan perhubungan (causaal verband) antara rumahtangga kita yang kocar­kacir ini dengan rendahnya upah­upah di dalam kita­punya pergaulan­hidup yang menurut pen­dapatnya, ialah bukan “Ertragslohn”, tetapi “Erhaltungslohn”, 2) yakni upah yang “tiap cukup jangan sampai mati kelaparan”,− upah yang 75

“samen”, (valt) met de kosten van het bestaansminimum”!2)

721) pag. 10 731) t.a.p. pag. 116 742) Verg. Stat. Jaaroverz, 1928, pag. 193. Cijfers Dr. Huender rada tinggian sedikit 75*) “minimumlijdster” = rakyat yang sudah begitu kelewat melaratnya, sehingga kalau umpamanya dikurangi sedikit saja bekal­hidupnya,

niscaya ia binasa

Page 42: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Dan hidupnya, bestaannya rakyat umum? Bagaimanakah bestaannya rakyat umum? Di atas sudah kami katakan, bahwa Dr. Huender menyebutkan rakyat Bumiputera itu “minimum lijdster”.

“Het moeilijke en beklemmende van den economischen toestand op Java en Madura ligt juist hierin, dat voor de bevolking, die tot de uiterste grens van haar kunnen belast, “minimumlijdster” schijnt te wezen, blijkbaar verscheidene der van over­heidswege ter verbetering ondernomen maatregelen ondoeltreffend zijn” ......... 3) 76

“Yang paling sukar dan yang paling mendahsyatkan ber­hubung dengan peri­keadaan ekonomi tanah Jawa dan Madura itu ialah justru, bahwa bagi penduduknya, yang lantaran memang sudah kelewat berat beban­bebannya itu menjadi suatu rakyat “minimum­lijdster”, beberapa daya­upaya yang ditindakkan oleh pemerintah untuk mem­perbaiki nasibnya, sama­sekali tersia­sialah adanya”

begitulah ia­punya putusan. Dan Prof. Boeke di dalam “Het zakelijke en persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek” adalah berkata:

“De keuterboer, de armoedige Javaansche padiplanter ......... heeft niet alleen zelf een ellendig bestaan, maar kan zoo goed als geen invloed uitoefenen op de welvaart van zijn omgeving; de schamele overschotten van zijn bedrijf staan niet toe dat, buiten de eerste levensbehoeften, verderliggende behoeften van eenige beteekenis bevredigd worden door andere maatschappelijke groepen, die wachten op wat hij te vragen en te bieden heeft. Het voornaamste wat hij maatschappelijk bewerkt, is een druok op het loonpeil”. 1) 77

“Si tani kecil, bapatani Jawa Yang melarat itu ........., bukanlah saja sangat sengsara hidupnya, tetapi ia juga sekali­kali tidaklah bisa menjalankan pengaruh sedikit juapun di atas kesejahteraan kampung­desanya: hasil­hasil perusahaannya tak cukuplah untuk memenuhi kebutuhan­kebutuhan di luar yang seperlu­perlunya, dan yang harus dibelinya dari orang­orang lain. Ia punya pengaruh di atas pergaulan hidup, terutama hanyalah memerosotkan tinggi­rendahnya upah umumnya”.

“Perikehidupan yang keliwat melarat”, “een ellendig bestaan”. Tuan­tuan Hakim, begitulah pendapatan Prof. Boeke, seorang toh bukan, bolshevik atau “pengasut”, − melainkan seorang ahli­ekonomi yang ternama! Angka­angka, Tuan­tuan Hakim? Menurut perhitungannya” Dr. Huender maka pendapatan seorang kepala­rumah Marhaen setahun­tahunnya ialah rata­rata ƒ161,­ jumlahnya beban rata­rata ƒ22,50 − dus netto pendapatan setahun adalah ƒ161.50 − ƒ22.50 = ƒ138.50 seratus tigapuluh delapan rupiah limapuluh sen!, Tuan­tuan Hakim, di dalam duabelas bulan! Yakni: belum sampai ƒ12,­ satu bulannya; yakni: belum sampai ƒ0.40 sehari: yakni kalau dimakan lima orang, (besarnya somah rata­rata), belum sampai ƒ0.08 seorang sehari! Bahwa sesungguhnya: sejak kalimahnya Pruys v.d. Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat hidupnya “sekarang makan besok tidak”; sejak perkataannya Mr. Brooshooit bahwa rakyat terjerumus di dalam “jurang”; sejak dengungnya suara van Kol yang membikin dakwaan atas adanya “negeri­negeri yang tiada sungsum lagi” atau “kolonie yang sengsara” atau “kemunduran manusia dan ternak”, − sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup “sekarang

761) t.a.p. 246 772) pag. 67

Page 43: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jurang”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “kolonie yang sengsara”!

Bahwasanya, − drainage yang kita deritakan dengan tiada berhentinya itu, tak luputlah menunjukkan pengaruhnya, − imperialisme­modern tak luputlah menunjukkan kejahatan sakti­saktinya!

Orang bisa berkata: “Adakah imperialisme­modern itu berkejahatan? Gula “memasukkan” uang di dalam pergaulan­hidup Indonesia dengan upah­upah dan penyewaan tanah; karet, teh, kopi, kina, hanya membuka tanah­tanah hutan yang jauh dari rakyat: minyak­tanah keluarnya dari sedalam­dalamnya, − semuanya mengasih “berkah” pada rakyat dan kesempatan berburuh!

O, memang, − memang gula “memasukkan” uang; memang onderneming erfpacht tidak begitu “mengenai rakyat; − memang semuanya mengasih kesempatan berburuh. Tetapi marilah kita membaca pemandangannya Prof. Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada “berhak”), yang modal asing itu dikasihkan kepada kita, dan bagaimana macamnya kaum­modal asing itu “memeliharakan” kesejahteraan kita:

“De voordoolen, die de Inlandsche bevolking aan het Europeesche kapitaal dankt, zijn bijproducten van den arbeid der ondernemers, niet en zeker niet in de oorste plaats door hen bedoeld. Hun doel is ............ geld verdienen ...... gesteld eens dat de “suikerpot”− om Colijns beeld te gebruiken− begon leeg te raken, doordien oon of moor der aan den bodem ontwoekerde producten een prijscrisis doorleefden, dan kropen de mieren fluks weer in den grond, zonder zich iets aan te trekken van het lot der 35 of 50 milliun, die dusver de suikerpot gevuld hielden ........Zoolang, gelijk nu, de mieren zich om den suikerpot verdringen, dat zeggen, de Europeesche ondernemingen goede zaken doen, zijn de belangen van de Inlanders tegenover hun natuurlijk streven naar steeds grooter wints, niet veilig zonder een flink tegenwicht......Men behoeft geen anti­kapitalist te zijn, om de gevaren, waarmee de Inlandsche bevolking eener kolonie door het Westersche kapitaal bedreigd wordt, zeer ernstig in te zien. “Manfaat­manfaat yang diterima oleh penduduk Bumi­putera daripada modal asing itu hanyalah “rontogan­rontogan” belaka daripada usahanya kaum majikan itu, − rontogan­rontogan yang samasekali tidak sengaja dirontog­kannya. Mereka­punya maksud hanyalah ......... cari duit. Seandainya “wadah gula” itu mulai menjadi kosong lantaran salah satu atau lebih daripada hasil­hasil­bumi itu turun harga, maka segeralah semut­semut itu nyusup lagi ke dalam tanah, zonder ambil perduli sedikitpun jua atas nasibnya rakyat 35 atau 50 juta yang tadinya mengisi “wadah gula” itu ........... Selama, sebagai sekarang, semut­semut itu tadi berdesak­desak mengerumuni wadah gula itu, − dengan lain kata, selama onderneming Eropah itu membikin banyak untung, maka kepentingan­kepentingan Bumiputera tidaklah sama terhadap mereka punya nafsu membesar­besarkan untung itu, bila tidak ada alat penjagaan yang kuat......Orang tidak usah menjadi anti­kapitalist, buat mengerti bahwa bahaya yang mengancam penduduk Bumiputera daripada sesuatu kolonie dari pihaknya modal Barat adalah besar sekali. Marilah kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang diterangkan oleh Prof. van Gelderen

didalam ia punya buku itu tadi, bahwa tinggi­rendahnya upah itu adalah ditetapkan oleh”productiviteitnya” pergaulan hidup umum, − bahwa jikalau pergaulan­hidup umum itu

Page 44: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kocar­kacir, upah pasti kocar­kacir dan serendah­rendahnya pula : − bahwa jikalau pergaulan hidup umum itu ada suatu ”Ernahrungswirtschaft”, loon pasti hanya “Erhaltungslohn” adanya! Marilah kita ingat, bahwa keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya, memang membenarkan kenyataan ini, − yakni bahwa, di mana rakyat Bumiputera itu umumnya adalah “minimum­lijdster”, upah yang biasa diterima­nya jugalah memang hanya “minimumloonen”, “erhaltung­slohnen” belaka! Marilah kita ingat, bahwa industri­imperialisme yang cita­citanya ialah membikin untung yang setinggi­tingginya itu, dan yang dus mempunyai kepentingan di atas adanya upah­upah yang serendah­rendahnya, (yakni mempunyai kepentingan di atas adanya loonen yang, minimum­loonen), − oleh karenanya, mempunyailah kepentingan pula atas tetapnya pergaulan hidup kita ini di dalam keadaan yang kocar­kacir, mempunyai belang atau tetapnya rakyat­rakyat kita bersifat “minimum lijdster”, mempunyai belang atau tetapnya kita punya rumah­tangga atau Wirtschaft itu bersifat “Ernahrungs­wirtschaft” adanya!

Prof. van Gelderen menulis: “Zou de productiviteit, der Inlandsche voortbrenging en daarmee de huurwaarde del gronden merkbaar gaan stijgen, dan werd bij een gegeven cultuurwijze der Europeesche ondernemers hun bedrijf minder rendabel. Een onmiskenbare belangentegenstelling, die van tijd tot tijd zich duidelijk voelbaar maakt” 1) 78

“Het veschil in arbeidsproductiviteit bij aanwending van arbeid in het inheemsche en in het uitheemsche arbeidsproces komt grootendeels den uitheemschen ondernemer ten goede. Hoe geringer dit versehil zou worden, doordat de produetiviteit van den inlandschen arbeid in eigen sfeer (d.i. in laaste instantie de productiviteit van den inlandschen landbouw) zou gaan stijgen, des te meer verminderde deze andere bron van rentabiliteit van het uitheemsehe grootbedrijf.” “Bilamana pergaulan hidup Bumiputra bertambah sehatnya, sehingga harga­sewaan tanah juga naik ke atas, maka perusahaan kaum modal Eropah itu menjadi kurang untungnya. Ini adalah suatu pertentangan kepentingan yang nyata, yang kadang­kadang terasa dengan sangat.” ”Bedanya hasil pekerjaan di dalam halnya tenaga­manusia itu diusahakan di dalam perusahaan­Bumiputera dan di dalam halnya tenaga manusia itu diusahakan di dalam perusahaan­asing, buat sebagian besar jatuhlah di dalam tangannya si kaum­modal asing itu. Makin kecilnya beda ini, yakni apabila pergaulan­hidup Bumiputera menjadi lebih sehat, maka makin kecillah pula keuntungan yang perusahaan asing itu dapatkan daripada sumber ini.”

Dan di dalam bukunya Prof. Schrieke “The Effect of Western Influence on native civilizations in the Malay Archipelago”, kita membaca kalimatnya tuan Meyer­Ranneft yang sekarang menjadi voorzitternya Volksraad:

“Het bed rag, verdiend door kapitaal en industrieel bedrijf wordt evenredig grooter naarmate de inheemsche levensstandaard inferieurder is,” 1) 79

“Jumlah harta yang diterima oleh modal dan perusahaan itu menjadilah lebih besar kalau tingkatnya pergaulan­hidup Bumiputera itu ada lebih melarat,”

783) pag. 246 791) pag. 11

Page 45: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

sedang Prof. Boelce dengan lebih terus­terang lagi adalah berpidato:

“Zij, − (de uitheemsche ondernemers, Sk)−, vervullen in hoofdzaak de economische rol die de wereld van de kolonie verwacht, zij weten uit Indie in het algemeen en uit den Indischen bodem in het bijzonder te halen wat er in zit en aan het gebied zijn grootste economische nuttigheid te verschaffen, zij brengen in hoofdzaak de producten voort die de wereld. markt behoeft en zij verwachten en eischen daarbij van Indie niet verder dan goeden grond en goedkoope arbeidskrachten; de bevollcing is voor hen niet veel meer dan eenmiddel (voor zoover betreft de Javaansche bevolking) of noodzakelijk kwaad (voor zoover betreft de inheemsche bevolking in de huitengewesten). Voor hen geldt ................ slechts het aanbod op de arbeidsmarkt en de grondprijs; wat het aanbod vergroot en de prijs verlaagt komt hun ten stade. Zij zijn, zij moeten zijn, wat de Duitscher zoo kenmerkend noemt “Real­politiker”, de werkelijkheid en de zakelijkheid gaan voor, het ideelle en het persoonlijke element is voor hen onvruchtbaar of erger”. 2) 80

“Mereka, − (kaum modal asing, Sk.) −, adalah teristimewa menjalankan rol ekonomi yang memang diharapkan oleh dunia daripada sesuatu kolonie, mereka pandailah menge­duk kekayaan dari Hindia umumnya dan dari bumi Hindia khususnya dan membikin negeri itu setinggi­tinggi laba − ekonominya, mereka teristimewa adalah mengeluarkan hasil­hasil yang dibutuhkan oleh pasar­dunia, dan mereka hanyalah mengharap dan meminta tanah­subur dan kaum­buruh­murah saya dari Hindia; rakyat penduduk mereka tak lebihlah daripada suatu alat (tanah Jawa) atau suatu kesusahan yang misti (luar tanah Jawa). Buat mereka, yang paling perlu hanyalah jumlah kaum­buruh dan harganya tanah; mereka­punya keuntungan ialah terletak dalam banyaknya kaum buruh dan banyaknya tanah, sehingga harga dan upah menjadilah rendah. Mereka adalah, mereka haruslah kaum “Real­Politiker”, sebagai­mana orang Jerman menyebutkannya. Drusan perusahaan adalah dikemukakan, urusan hati adalah tiada guna.”

Dengan lain­lain perkataan: Kaum modal partikelir adalah mempunyai kepentingan atas rendahnya productiviteit dan rendahnya standaard pergaulan hidup kita, imperialisme­modern adalah dus menghalang­halangi kemajuan pergaulan hidup kita itu, imperialisme­modern adalah dus suatu rem bagi kita­punya kemajuan social­ekonomi!

Benar sekali, − modern­imperialisme adalah “membikin rakyat Bumiputera menjadi natie yang hanya terdiri dari kaum­buruh belaka, dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan natie­natie!”

Dan si buruh yang bagaimana, Tuan­tuan Hakim!, − si buruh yang loonennya minimunloonen, si buruh yang Wirtschaftnya Minimumwirtschaft!, siburuh yang upahnya upah kokoro! Hati­nasional tentu berontak atas kejahatan modern­imperialisme yang demikian itu! !

Lagi pula, − siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan­kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnbedrijven­partikelir, yakni perusahaan­perusahaan­tambang­partikelir, sebagai tin, sebagai arang­batu, sebagai minyak! Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan­kekayaan­tambang itu?!

801) t.a.p. pag. 59

Page 46: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Musnah, musnahlah itu kekayaan­kekayaan buat selama­lamanya bagi kita, musnahlah buat selama­lamanya bagi pergaulan­hidup Indonesia, masuk di dalam kantongnya beberapa aandeelhouders belaka!

“........... Perusahaan­hasil­tambang, yang lama­lama meng­habiskan kekayaan­kekayaan tambang itu”, − begitulah Prof. v. Gelderen menulis −.

“Ook hierbij blijven alleen de produksikosten in het land. Het netto­rendement valt den buitenlandschen kapitaal­bezitters toe. Hieronder schuilt niet alleen interest en ondernemerswinst, doch bovendien de z.g. “mijnrente”, de vergoeding voor het onvervangbare, monopolistisch deel, dat in de opbrengst van alle mijnen schuilt, die een hoogere dan de “grensproductiviteit” bezitten. Door afschrijving en reserveering kan de in den mijnbouw belegde kapitaalsom voor den bezitter behouden blijven. Het object dezer werkzaamheid, de kolen, de olie, de tin, gaat onherroepelijk verloren”! 1) 81

“Juga di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanyalah ongkos­ongkos­produksi saya. Hasil­nettonya jatuhlah di dalam tangannya kaum­modal asing. Di dalam hasil netto ini bukan sayalah termasuk bunga dan lain­lain tetapi juga yang dinamakan “mijnrente”, yakni harganya bagian monopolistisch yang tidak bisa diganti, − bagian yang mana adalah terbenam di dalam hasil tiap­tiap perusahaan tambang yang mempunyai penghasilan yang lebih tinggi daripada “grensproductiviteit” . Dengan afschrijving dan reserveering maka jumlah kapitaal yang diusahakan di dalam perusahaan tambang itu bisalah tetap di dalam tangannya yang memiliki. Tetapi barang yang diusahakan itu, yakni arang­batu, minyak­tanah, tin, musnahlah buat selama­lamanya”! “Onherroepelijk verloren!” “Musnah buat selama­lamanya!” Bahwasanya: “natie­kaum­buruh”, minimumloonen”, “minimumlijdster”, “kemajuan

sosial­ekonomi direm”, “kekayaan­tambang musnah buat selama­lamanya”, − bahwa­sanya, semua perkataan­perkataan yang tidak menggembirakan! Dan toh ............ apakah hak­hak bangsa kita? Apakah hak­hak bangsa kita, yang sekiranya boleh kita “timbangkan” dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan ini? Apakah hak­hak bangsa kita yang boleh dipakai sebagai obat di atas lukanya hati­national yang perih ini? Onderwijs? Oh, di dalam “abad­kesopanan” ini, di dalam “eeuw van beschaving” ini, menurut angka­angkanya Centraal Kantoor voor de Statistiek, orang laki­laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum ada .......... ½%! 2) Dan toch, Hollandsch­Inlandsch­Onderwijscommissie 82

memajukan voorstel member­hentikan penambahannya Hollandsch­Inlandsch­Onderwijs! − Pajak­pajak enteng? Rapportnya Meyer­Ranneft­Huender me­nunjukkan, bahwa kang Marhaen yang pendapatannya setahun rata­rata hanya ƒ160.­ itu, harus membayar pajeg sampai kurang lebih 10%, dari pendapatannya; bahwa bagi bangsa Eropah pajeg yang setinggi itu barulah dikenakan kalau pendapatannya tak kurang dari ƒ8.000 à ƒ9.000 setahunnya!; bahwa pajeg yang special mengenai kang Marhaen, yang pada tahun 1919 sudah mencapai ƒ86.900.000,­ jumlah itu, di bawah bestuurnya G.G. Fock dinaikkan lagi menjadi ƒ173.400.000,­ setahunnya!; bahwa

811) pag. 77 822) t.a.g. pag. 12

Page 47: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

teristimewa beban­beban­desa seringlah berat sekali adanya! − Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanyalah ada 343 rumah sakit goepermen 1); kematian bangsa Bumiputera 83

setahun­tahunnya tak kurang dari+ 20% 3), ya, di dalam kota­kota besar sampai kadang­kadang 84

30, 40, 50% 4), sepertinya di Betawi, di Pasuruan, di Makassar! Kesempatan bekerja di 85

pulau­pulau luar tanah Jawa? Soal contractkoelie dan poenale sanctie, itu perbudakan­zaman­baru atau modern­slavernij seolah­olah tak akan habis­habis di “pertimbangkan” dan sekali lagi di “pertimbangkan”; − Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan yang melindungi kaum­buruh tak ada sama­sekali, arbeidsinspectie tinggal namanya saja, hak­mogok, yang di dalam negeri­negeri yang sopan sudah bukan soal lagi itu, dengan adanya artikel 161 daripada Wetboek van Strafrecht musnahlah samasekali daripada realiteit, terhalimunkan sama­sekali menjadi impian belaka! − Kemerdekaan drukpers dan hak­berserikat dan berkumpul? .......... Tuan­tuan Hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan tulus menanya lagi: Adakah di sini bagi kita bangsa Indonesia kemerdekaan drukpers, adakah di sini hak, yang dengan sebenarnya boleh kita namakan hak berserikat dan berkumpul? Amboi, − adakah di sini hak­hak itu, di mana Wetboek van Strafrecht misih saja berisi itu haatzaai­artikelen yang bisa diulurkan sebagai karet, itu haatzaai­artikelen yang hampir zonder perubahan dioverkan dari “gewrocht der duisternis” *) sebagai Thorbecke menyebutkan 86

drukpers­reglement, di mana “horribel strafwetartikel” 153­bis­ter yang lebih­lebihelastisch lagi mengancam keselamatannya tiap­tiap journalist dan tiap­tiap pemimpin sebagai kami ini hari, di mana hak penDigulan mengasih kekuasaan yang hampir tak berhingga kepada pemerintah terhadap pada tiap­tiap pergerakan dan tiap­tiap manusia yang ia tidak sukai? Adakah di sini hak­hak itu, di mana openbare kritik gampang sekali mendapat tegoran atau stopan, di mana tiap­tiap vergadering penuh dengan spion­spion politik, di mana hampir tiap­tiap pemimpin dibuntuti reserse di dalam geraknya ke mana­mana, di mana gampang sekali diadakan “vergaderverbod”, di mana­mana rahasia surat sering sekali dilanggar diam­diam sebagai kami melihat dengan mata sendiri? Adakah di sini hak­hak itu, di mana rapportnya spion­spion itu saja atau tiap­tiap surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat membikin penggrebekan di mana­mana, mengunci berpuluh­puluh pemimpin di dalam tahanan, yang menje­rumuskan pemimpin­pemimpin itu ke dalam dunia perbuangan? Tuan­tuan Hakim, marilah sekali lagi kita tanya dengan hati yang tenang dan tulus: adakah di sini bagi bangsaku kemer­dekaan­drukpers, dan hak berserikat­dan berkumpul, di mana menjalankannya “kemerdekaan” dan “hak” itu dihalang­halangi oleh macam­macam halangan, diranjaui oleh macam­macam ranjau yang demikian itu???

Tidak!, di sini tidak ada hak­hak itu! Dengan macam­macam halangan dan macam­macam ranjau demikian itu, maka “kemerdekaan” itu tinggal namanya saja “kemerdekaan”, “hak” itu tinggal namanya saja “hak”; dengan macam­macam serim­patan yang demikian, maka “kemerdekaan­drukpers” dan “hak­berserikat­dan­berkumpul” itu lantas menjadi suatu omong­kosong, suatu paskwil! Hampir tiap­tiap journalist sudah pernah merasakan tangan besinya hukum, hampir tiap­tiap pemimpin Indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap­tiap bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan­radicaal lantas saya dipandang “berbahaya bagi keamanan umum”!

831) t.a.p. 113 842) pag. 86 851) Stat. Jaaroverz. 56 863) verg. Jaaroverz. 50

Page 48: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Bahwa sesungguhnya: − Tidak adalah hak­hak yang orang kasihkan pada rakyat Indonesia untuk “ditimbangkan” dengan bencana pergaulan­hidup dan bencana kerezekian yang ditebar­tebarkan oleh modern­imperialisme itu; tidak adalah hak­hak yang orang kasihkan pada rakyat kita yang cukup nikmat dan menggembirakan untuk dipakai penglipur­hati­nasional yang mengeluh melihat sociale dan economische ontwrichting yang diadakan oleh modern­imperialisme itu:tidak adalah hak:! yang orang kasihkan pada rakyatku yang boleh dipakainya sebagai gegaman, sebagai penguat, sebagai sterking untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak­abrik­kan kita­punya kerezekian dan kita­punya pergaulan­hidup itu adanya!

ooOoo

Page 49: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Pergerakan di Indonesia. Toch..........., dikasih hak­hak atau tidak dikasih hak­hak; dikasih gegaman atau tidak

dikasih gegaman; dikasih sterking atau tidak dikasih sterking, − tiap­tiap mahluk, tiap­tiap ummat, tiap­tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaga­nya, jikalau ia sudah terlalu­lalu sekali merasakan celakanya diri yang teraniaya oleh suatu daya yang angkara­murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, − walau cacingpun tentu bergerak berkeluget­keluget kalau merasakan sakit!

Seluruh riwayat dunia adalah riwayatnya golongan­golongan manusia atau bangsa­bangsa yang bergerak meng­hindarkan diri daripada sesuatu keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert Spencer, adalah riwayatnya “reactid verzet van verdrukte elementen”! Kita ingat akan pergerakannya Jesus Kristus dan Christendom yang menghindarkan rakyat­rakyat Yahudi dan rakyat­rakyat Lautan­Tengah dari bawah kakinya burung garuda Romein: kita ingat akan perjuangan rakyat Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasannya Spanyol; kita ingat akan pergerakan­pergerakan burgerlijke democratie yang menghindarkan rakyat­rakyat Eropah di dalam akhirnya abad ke 18 dan awalnya abad ke 19 dari bawah tindasannya autocratie dan absolutisme *); kita menjadi saksi atas hebatnya 87

pergerakan­pergerakan sosialisme yang mau menggugurkan tahtanya kapitalisme; kita mengetahui pergerakan rakyat Mesir di bawah pimpinan Arabi dan Zaglul Pasha beserta pergerakannya rakyat Hindia di bawah pimpinan Tilak atau Gandhi melawan ketemaân asing; kita mengetahui perjuangannya rakyat Tiongkok menjatuhkan absolutisme Mandsju dan melawan imperialisme Barat; kita telah bertahun­tahun melihat seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih menentang imperialisme asing, − tidakkah ini memang sudah terbawa oleh hakekatnya keadaan, tidakkah ini memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan dan melindungi diri atau nafsu zelfbehoud yang ada pada tiap­tiap sesuatu yang bernyawa, tidakkah ini memang sudah “reactief verzet van verdrukte elementen” itu?

Rakyat Indonesiapun sekarang sejak 1908 sudah berbangkit; nafsu menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga kepadanya! Modern­imperialisme yang mengaut­ngaut di Indonesia itu, − modern­imperialisme yang menyebarkan kesengsaraan di mana­mana itu, − modern­imperialisme itu sudah menyinggung dan membangkitkan dia­punya musuh­musuh sendiri. Raksasa Indonesia yang tadinya pingsan seolah­olah tak bernyawa, raksasa Indonesia itu yang sekarang sudahlah berdiri setegak­tegaknya dan sudahlah mamasangkan tenaganya! Saban­saban kali ia mendapat han­taman, saban­saban kali ia rebah, tetapi saban­saban kali pula ia tegak kembali! Sebagai mempunyai kekuatan rahasia, sebagai mempunyai kekuatan penghidup, sebagai mempunyai aji­pancasona dan aji­candrabirawa, ia tak bisa dibunuh dan malahan ia makin lama makin tak terbilang pengikutnya!

Amboi, − di manakah kekuatan­duniawi yang bisa memadamkan semangat sesuatu bangsa, di manakah kekuatan duniawi yang bisa menahan bangkitnya sesuatu rakyat yang mencari hidup, di manakah kekuatan­duniawi yang bisa mem­bendung banjir janji digerakkan oleh tenaga­tenaga pergaulan­hidup sendiri! di manakah benarannya jerit daripada anggota­anggota dan sahabat­sahabat imperialisme yang mengatakan ini ialah bikinannya beberapa kaum “pengasut”, yakni kaum “opruiers”, kaum “raddraaiers”, kaum “ophitsers” dan

874) verg. Jaaroverz. 54

Page 50: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

lain sebagainya, dan yang oleh karenanya sama mengira bahwa pergerakan itu bisa dibunuh kalau “pengasutnya” semua dimasukkan bui, dibuang atau digantung? Puluhan, ratusan, ya ribuan “pengasut” dan “opruiers” dan “ophitsers” sudah dibui atau dibuang, − tetapi adakah pergerakan itu berhenti” adakah pergerakan itu mundur, tidakkah pergerakan itu di dalam umumnnya yang baru + 20 tahun itu malahan semakin menjadi besar dan semakin menjadi umum?

“Man tötet den Geist nicht”, begitulah Ereligrath menyair­kannya, − “orang tak bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun 1900, yakni sebelumnya di sini ada “pengasut”, sebelumnya di sini ada “ophitsers”, sebelumnya di sini ada “raadraaiers”, maka Ir. van Kol sudahlah mendengungkan ia­punya peringatan di dalam Tweede­Kamer yang bunyinya:

“Gaat voort,...... tot er eenmaal een einde zal komen; eenmaal, wie weet wanneer, zal opbliksemen de “stille kracht!”........ “Berbuatlah terus begitu,........ sampai nanti satu ketika datang saat penghabisannya; satu ketika, entah kapan, pastilah meledak “kekuatan rahasia!”...... En inderdaad, die “stille krakht” is opgebliksemd! Itu “kekuatan rahasia” sudahlah

meledak! Seluruh dunia sekarang melihatlah bangkit dan geraknya kekuatan rahasia itu! Seluruh dunia yang tidak sengaja membuta­tuli, mengertilah, bahwa kekuatan rahasia ini bukanlah bikinan manusia, tetapi ialah bikinannya pergaulan­hidup yang mau mengobati diri sendiri. Seluruh dunia yang tulus­hati mengertilah, bahwa pergerakan ini ialah anti­thesenya *) 88

imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan bikinannya “pengasut”, bukan bikinannya “opruiers”, bukan bikinannya “raddraaiers”, bukan bikinanya “ophitsers”­lah pergerakan ini − pergerakan ini ialah bikinannya kesengsaraan dan kemelaratan rakyat! Ir. Albarda di dalam Tweede­Kamer adalah memperingatkan:

“Onder hen, die geroepen zijn of althans zich geroepen achten om de verschijnselen van den tijd in het openbaar te bespreken, zijn er sommigen die de InIandsche beweging en haar groei gaarne voorstellen als de vruchten van westersche revolutionaire denkbeelden en die meenen, dat aan die beweging de kop kan worden ingedrukt door een krachtig regeeringsbeleid daartegen te richten en door politie en justitie tegen haar propagandisten te mobiliseeren. Die beschouwing en die taktiek zijn buitengewoon oppevlakkig; zij getuigen van evenveel gemis van historisch inzicht als van politiek begrib... Zoo’n beweging komt voort uit de maatschappelijke verhoudingen en uit de veranderingen die deze rondergaan. Zoo’n beweging zou ontstaan zijn en zou groeien, ook al had nooit een Europeesche revolutionnair In Indië een voet aan wal gezet. Zoo’n beweging groeit door, ook al zou men haar van al de leiders en propagandisten berooven. Evenmin als in de 16e eeuw de kerkhervorming is gestuit door de vervolging der ketters evenmin als in de 19e eeuw de sociaal­democratie is ten onder gebracht door Bismarck’s politiek van gewelddadige onderdrukking, evenmin kan in de 20e eeuw de Indische volksbeweging door een reactionnair regeeringsbeleid worden teruggedrongen of ook maar tol staan gebracht.

88*) = “bikinannya hantu kegelapan”

Page 51: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Die beweging groeit vòòrt, en er is niet aan te twijfelen, of zijzal haar ideaal, de bevrijding van de Indische bevolking uit vreemde overheersching, bereiken!........ .” 1) 89

“Diantara mereka, yang berwajib atau merasa wajib membicarakan kejadian­kejadian­zaman di muka umum adalah beberapa orang yang menggambarkan pergerakan Bumiputera dan suburnya pergerakan Bumiputera itu sebagai buahnya pikiran­pikiran revolutionnair dari negeri Barat, dan yang sama mengira bahwa pergerakan itu bisa ditindas de ngan suatu cara­pemerintahan yang keras dan dengan menggerakkan politie dan justitie untuk melawan propagandist­propagandistnya. Pemandangan dan taktiek yang demikian itu adalah menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidaklah mempunyai pengertian­riwayat dan tidaklah mempunyai pengertian­politik sedikit juapun adanya ...... Pergerakan yang demikian itu adalah timbul daripada keadaan­keadaan pergaulan­hidup sendiri dan daripada perubahan­perubahan di daIam pergaulan­hidup itu sendiri. Pergerakan yang demikian itu tetaplah akan timbul dan tetaplah akan subur, walau tidak ada kaum revolutionnair bangsa Eropah seorang juapun yang menginjak tanah Hindia! Pergerakan yang demikian itu tentu teruslah akan subur, walaupun pemimpin­pemimpinnya dan propa­gandist­propagandistnya semua dibasmi. Sebagaimana di dalam abad ke 16 pergerakan kerkher­vorming *) tidak bisa dicegah 90

dengan pemburuan anggota­anggotanya, sebagaimana di dalam abad 19 social­democratie tidak bisa ditumpas dengan politik penindasan yang dijalankan oleh Bismarck, maka di dalam abad ke 20 pergerakan rakyat di Hindia tak akanlah bisa pula dimundurkan atau diberhentikan dengan cara pemerintahan yang reactionair. Pergerakan itu terus akan maju dan ia tidak boleh tidak pasti akan mencapai cita­citanya, yakni merdekanya penduduk Hindia daripada pemerintahan asing”. Tuan­tuan Hakim barangkali berkata: “O, itu peman­dangannya kaum socialist!” Wahai dan, Dr. Kraemer seorang yang bukan socialist, menulis di dalam Koloniale Studien:

2) 91

“Hier ligt ook de verklaring waarom men zich schromelijk vergist, wanneer men waant, dat de zoogenaamde ontwaking v.h. Oosten, of om binnen eigen grenzen te zijn: de Inlandsche beweging, slechts het problem stelt van een dun, proportioneel buitengewoon gering laagje intellectueelen. Tegen wil en dank bevinden zich de “silent masses” ook in de smeltkroes,” “Maka di sinilah terletaknya keterangan, apa sebabnya orang salah samasekali, jikalau orang mengira, bahwa yang dinamakan kesedaran­Timur itu, atau di dalam lingkungan kita sendiri: pergerakan rakyat Bumiputera hanyalah pergerakannya sedikit kaum intellectueel saja. Mau atau tidak mau “rakyat murba yang diam itu” adalah ikut pula mendidih di dalam pergolakan ini,”

dan Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh juga bukan kaum pembuta­tuli akan satu kepercayaan, adalah tempo hari berkata:

89*) autocratie dan absolutisme = kekuasaan di dalam tangannya satu orang saja Pemerintahan lalim 90*) anthithese = lawan 911) 19 Desember 1919

Page 52: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“De “voedingsbodem” ......... was toen en is nog steeds niet de aankweeking, door overvoeding met westersch onder­wijs van eenige duizenden intellectueelen, die niet door de Inlandsche maatschappij geabsorbeerd kunnen worden, maar het overal gekoesterde, hier aan de oppervlakte waar te nemen, daar wat dieper verscholen door lieden van een andere bangsa.........” 3) 92

“Sumbernya”........ dulu dan sekarang bukanlah ajuajuannya beberapa ribu kaum intellectueel yang terlampau banyak memakan onderwijs Barat dan yang takbisa dihisap oleh pergaulan­hidup Bumiputera belaka, − tetapi ialah rasa­perlawanan terhadap pada bangsa asing, yang terkandung pemerintahannya orang­orang di dalam hati di mana­mana, dan yang kadang­kadang tampak keluar dan kadang­kadang tinggal terbenam.’’ Bahwasanya: matahari bukan terbit karena ayam jantan berkokok, ayam jantan berkokok

karena matahari terbit! Dan dengan sedikit perubahan maka kami di sini, bagi kaum­kaum yang masih saja mengira bahwa pergerakan itu bikinannya “pengasut”, mengkobarkan lagi api­pidatonya Jean Jaurès, itu kampiun kaum­buruh Perancis yang termashur, di dalam dewan­rakyat Perancis terhadap pada wakil­wakilnya kaum modal:

“Ach mijne heeren, hoe zonderling verblind zijt gij door aan enkele menschen de universeele evolutie die zich voltrekt toe te schrijven! Zijt gij dan niet getroffen door de wereldomvang der nationalistische beweging? Overal, in alle onvrije landen verschijnt zij op hetzelfde oogenblik. Sinds het laatste tiental jaren is het niet meer mogelijk de geschiedenis van Egypte, India, China, de Philippijnen, Indonesia te schetsen zonder daarbij ook tevens die der nationalistische beweging te verhalen! ............ En het is in tegenwoordigheid dezer algemeene beweging die de Aziatische volkeren meesleept de meest van elkaar afwijkende volkeren, onder welk klimaat zij ook leven, tot welk ras zij ook behooren, − het is in tegenwoordigheid van zulk een beweging, dat ge spreekt van enkele op zichzelf staande opruiers. Maar ge doet hen die ge aldus beschuldigt te veel eer aan, ge schrijft te veel macht toe aan hen die ge opruiers noemt. Het is niethun werk zulk een overweldigende beweging te ontketenen; de zwakke ademtocht van enkele menschen­monden is niet voldoende om dezen orkaan der Aziatische volkeren te doen losbarsten! Neen, mijne heeren, de waarheid is dat deze beweging uit de diepte der dingen zelf is ontstaan; zij komt voort uit de tallooze lijdensgevallen welke zich tot nu toe niet bijeenvoegen, maar die in een verlossing­roepende machts­preuk haar wachtwoord vonden. De waar heid is, dat ook in Indonesia de nationalistische beweging evenveel uit het door U verafgode imperialisme ontstond als uit het economisch drainage­systeem dat zich sinds eeuwen in het land ontwikkelt............ Het imperialisme is de groote ophitser, het imperialisme is de groote opruier: breng het imperialisme dus voor uwe gendarmen!” 1) 93

“Ah, tuan­tuanku, begitu aneh tuan­tuan tersilaukan mata, mengatakan bahwa kemajuan umum ini adalah bikinannya beberapa orang saja! Tidakkah mengenai perhatian tuan­tuan, bahwa pergerakan nationalist itu terdapat di seluruh muka bumi ini? Dimana­mana,

92*) pergerakan protestan 932) Pebruari 1927 pag. 5.

Page 53: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

tiap­tiap negeri yang tak merdeka ini berbareng­barenglah bangkitnya. Sejak sepuluh tahun yang akhir ini, orang tidaklah bisa menulis riwayat Mesir, India, Tiongkok, Philippina dan Indonesia dengan zonder menceritakan riwayatnya pergerakan­per­gerakan nationalis juga! Dan di hadapan pergerakan umum yang menghela rakyat­rakyat Asia itu, rakyat­rakyat yang berbedaan satu sama lain, hawa bagaimanapun juga yang mereka hisap, warna yang bagaimanapun juga warna­kulitnya, − dihadapan pergerakan yang demikian itu, maka tuan­tuan berkata, bahwa pergerakan itu adalah bikinannya satu­dua pengasut yang tiada hubungan dengan rakyat. Tetapi tuan adalah mengasih terlampau banyak kehormatan pada orang­orang yang tuan sebutkan demikian itu, tuan adalah terlampau tinggi menaksirkan mereka punya kekuasaan. Mereka tidak kuasa menggerakkan pergerakan yang begitu mahahebat terjangnya; lemahnya hawa­nafas yang keluar daripada satu­satu mulut manusia tidak kuasalah meniupkan angin­taufan rakyat­rakyat Indonesia yang gemuruh ini! Tidak, tuan­tuanku, sebenarnya pergerakan ini adalah timbul daripada sedalam­dalam hakekatnya keadaan sendiri; pergerakan ini adalah timbul daripada keseng­saraan­kesengsaraan yang tadinya belum menghubungkan diri satu sama lain, tetapi yang kini sudahlah menemukan semboyannya di dalam suatu i’tikad yang mengajak merdeka. Sebenarnya pula, pergerakan nationalis di Indonesia pun adalah timbul daripada imperialisme yang tuan pundi­pundikan maupun daripada sistem penyerotan kekayaan yang telah berabad­abadan bertindak di negeri itu ............... Imperialisme itulah penghasut yang terbesar, imperialis­melah pembakar hati rakyat; bawalah imperialisme itu di muka politie dan di muka hakim!” Benar sekali!; “bawalah imperialisme itu di muka politie dan di muka hakim! ............” Toh ............... bukan imperialisme, bukan anggota­anggota imperialisme, bukan

sahabat­sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trip, bukan Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Alimusa, bukan Wormser yang kini berada di muka mahkamah Tuan­tuan Hakim, − tetapi kami: tetapi Gatot Mangkupraja, tetapi Maskun, tetapi Supriadinata, tetapi Sukarno!

Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak merasa salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar hal­hal yang dituduhkan, sebagai nanti akan lebih jelas kami terangkan. Kami oleh karena itu, memang mengharap­harap dan menunggu­nunggu Tuan­tuan punya putusan bebas, mengharap­harap moga­moga Tuan­tuan mengambil putusan vrijspraak adanya!

Tetapi, Tuan­tuan Hakim, marilah kami melanjutkan kami­punya pidato­pembelaan: Pergerakan rakyat Indonesia bukanlah bikinannya kaum “penghasut”. Juga sebelum ada

“pengasut” itu, juga zonder ada “pengasut” itu, maka udara Indonesia sudahlah penuh dengan hawa­kesedihan merasakan kesengsaraan, dan oleh karenanya, penuh pula dengan hawa­keinginan menghindarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak puluh­puluhan tahun udara Indonesia sudah penuhlah dengan hawa­hawa yang demikian itu. Sejak puluh­puluhan tahun rakyat­rakyat Indonesia itu hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menunggu­nunggu datang­nya wahyu yang akan menyalakan api­pengharapan di dalamnya, menunggu­nunggu datangnya mantram yang bisa menyang­gupkan sesuap nasi dan sepotong nasi dan sepotong kain kepadanya. Haraplah memikirkan, Tuan­tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu­nunggu datangnya “Ratu­adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai

Page 54: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

ini hari masih terus menyalakan harapannya rakyat, − apakah sebabnya sering sekali kita mendengar kabar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul seorang “Imam­Mahdi” atau “Heru Cakra” atau turunan seorang dari Wali­Sanga. Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu tak berhenti­henti, tak habis­habis menunggu­nunggu atau mengharap­harap datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada di dalam kegelapan tak berhenti­berhenti pula saban jam, saban menit, saban sekon menunggu­nunggu dan mengharap­harap; “kapan, kapankah matahari terbit!” O, siapa yang mengerti akan sebab­sebab yang lebih dalam ini, siapa yang mengerti akan diepere ondergrond daripada kepercayaan rakyat ini, sebagaimana yang diterangkan pula oleh Prof. Snouck Hurgronje di dalam brochurenya “Vergeten Jubile’s”, 2) tentu sedih dan ikut menangislah hatinya, kalau ia 94

saban­saban kali mendengar suara rakyat meratap: “kapan, kapankah Ratu Adil datang”,− tentu sedih dan menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban­saban kali melihat lekasnya dan setianya rakyat menyerahkan diri ke dalam tangannya sesuatu orang kyai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru Cakra” atau “Ratu Adil” adanya!

“Zulke “gruwelen” (opstandenSk) waren, zoolang het inheemsche intellect nog niet geoutilleerd was voor de uiting van inheemsche bezwaren, de natuurIijke uitingen van opgekropte ergernis en lang onderdrukte weerstand tegen de botte poging om volken te besturen zonder zich van hunne wenschen en belangen ernstig rekenschap te geven en die tot richtsnoer te nemen. Zooals thans groote kringen van Inlanders steeds gereed staan om zich openlijk te scharen achter een hunner eigen intellectueelen, van wien zij gevoelen dat hij hun belang voorstaat, ook al zijn zij “nog niet rijp” om al zijne theoriën te doorgronden, zoo waren zij tevoren vaak toegankelijk voor de lokstem van leiders, die hun langs geheime wegen en door geheimzinnige middelen te verwerven verlossing beloofden, of die in het geheim een leger wierven om daarmee heiligen oorlog tegen de ongeloovingen te voeren, zoodra de gelegenheid gunstig zou zijn. De ijdelheid van zulke pogingen om zich met geheel ontoereikende middelen ruimte te verschaffen, konden zij niet inzient en zoo scheen ieder, die hun eenratoe­adil, eenmahdi, een rechtvaardig bestuur in uitzicht steIde, een profeet. Onontbeerlijke levensvoorwaarden, die de natuur, de normale orde der dingen, de overheersching door vreemden hun schenen te onthouden, zochten zij te veroveren langs boven­natuurlijken weg van magie ........... in vertrouwen op de hulp des hemels”. “Selama kaum intellect Bumiputera belum bisa menge­mukakan keberatan − keberatan bangsanya, maka keributan­keributan yang demikian itu adalah peledakan yang semestinya daripada dendam hati dan rasa perlawanan yang lama telah terbenam, terhadap pada usaha memerintah rakyat dengan tidak memperdulikan keinginan­keinginan dan kepentingan­kepentingan rakyat itu dan dengan tidak mengambil keinginan­keinginan rakyat itu sebagai arah­haluan pemerintahannya. Sebagaimana sekarang besar jumlahnya orang bangsa Indonesia yang senantiasa dengan terus­terang bersedia akan berdiri di belakangnya seorang intellectueel bangsanya sendiri yang membela mereka­punya kepentingan, walaupun mereka “belum matang” buat mengerti semua teori­teorinya, − begitu pula rakyat itu dulu seringkali suka mengikuti pemimpin­pemimpin yang menyanggupkan kebebasan­sengsara kepadanya dengan menginjak jalan­jalan rahasia dan mengusahakan upaya­upaya rahasia, atau yang dengan jalan sembunyi mengumpulkan tentara untuk berperang­sabil dengan kaum kafir bilamana ada kesempatan baik. Rakyat itu

943) Calijn over Indië pag. 12

Page 55: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

tak bisalah mengarti bahwa itu percobaan­percobaan membuka dunia dengan jalan yang samasekali kurang sempurna, tentu akan sia­sialah belaka, dan itulah sebabnya yang tiap­tiap orang yang menyanggupkan kepadanya seorang ratu­adil atau orang mahdi, lantas sajalah dipandangnya sebagai orang nabi. Syarat­syarat hidup yang perlu­perlu yang menurut perasaannya adalah tak dikasihkan kepadanya oleh kodrat­alam, oleh jalannya keadaan­keadaan yang biasa, atau oleh si pemerintah asing, mereka cobalah merebutnya dengan jalan yang ga’ib .......... dengan menentukan turunnya pertolongan Tuhan,”...............

begitulah Prof. Snouck itu berkata, 1) 95

Dan sebagaimana sang kyai atau sang dukun itu pembikin daripada kepercayaan­umum dan harapan­umum atas kedatanganya Ratu Adil atau Heru Cakra itu, sebagaimana mereka mendapatnya pengaruh itu ialah hanya oleh karena rakyat­umum hatinya memang menangis mendoa­doa dan menunggu­nunggu datangnya Ratu Adil atau Heru Cakra itu, maka kami yang disebutkan “pengasut” bukanlah pula pembikinnya pergerakan rakyat sekarang ini, dan bukanlah pula pengaruh kami itu terjadinya ialah oleh karena licinnya kami­punya lidah atau tajamnya kami­punya pena.

Pergerakan rakyat adalah bikinannya kesengsaraan rakyat, pengaruh kami di atas rakyat adalah pula bikinannya kesengsaraan rakyat! Kami hanyalah menun­jukkan jalan; kami hanyalah mencarikan bagian­bagian yang rata dan datar untuk aliran­aliran yang makin lama makin mengebah dan membanjir itu; kami hanyalah menunjukkan tempat­tempat yang harus dilalui oleh banjir itu, agar supaya banjir itu bisa dengan sesempurna­sempurnanya mencapai Lautan­Keselamatan dan Lautan­Kebesaran adanya ..................

ooOoo

951) Verg. Rapport Jean Jaurès pag. 25

Page 56: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Partai Nasional Indonesia Tempat yang harus dilalui? Manakah tempat­tempat yang harus dilalui? Partai Nasional

Indonesia dengan sepenuh­penuhnya keyakinan menjawab: tempat­tempat yang berjajar­jajar menuju ke arah Indonesia­Merdeka! Sebab di belakang­nya lndonesia­Merdeka itulah tampak kepada mata P.N.I. keindahannya Samudera­Keselamatan dan Samudera­Kebesaran itu, di belakangnya lndonesia­Merdeka itulah tampak kepada mata P.N.I. sinarnya hari­kemudian yang melambai­lambai !

Inilah pokoknya keyakinan P.N.I., sebagai yang tertulis di dalam buku keterangan­azasnya itu: “Partai Nasional Indonesia berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan­hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan­nasional. Oleh karena itu, maka semua bangsa Indonesia terutama haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan­nasional itu.”

Dengan bahasa Belanda: de nationale vrijheid als zeer belangrijke voorwaarde tot de nationale reconstructie!

Berlainan dengan banyak partai­partai politik lain, yang mengatakan “perbaikilah dulu rumah­tangga, nanti kemerdekaan lantas datang sendiri”: − berlainan dengan partai­partai lain, yang menganggap kemerdekaan itu sebagai buahnya perbaikan rumahtangga, − maka P.N.I. berkata: “kemerdekaan­nasional usahakanlah, sebab baru dengan kemerdekaan­nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah­tangganya dengan tidak terganggu, yakni dengan sesempurna­sempurnanya”, − P.N.I. berkata: “de volkomen nationale reconstructie alleen mogelijk na wederkomst der nationale onafhankelijkheid.“

Tuan­tuan Hakim, sepanjang keyakinan kami, azas P.N.I. yang demikian ini dalam hakekatnya tidak bedalah dengan azas perjuangan kaum­buruh di Eropah dan Amerika, tidak bedalah dengan azas yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan socialisme, kaum­buruh itu harus lebih dulu mencapai kekuasaan­pemerintahan.

“Het proletariaat kan den tegenstand der kapitalistische klasse tegen de overbrenging der bedrijfsmiddelen van particulier in maatschappelijk bezit slechts breken door verovering der politieke macht. Voor dit doel hebben zich over de geheele wereld de arbeiders, die, tot bewustzijn van hunne taak in den klassenstrijd zijn gekomen, georganiseerd,” “Koum proletar hanyalah bisa mengalahkan per lawannya kaum modaI terhadap usaha membikin alat­alat productie itu dari milik­partikelir dijadikan milik­umum, dengan mengambil kekuasaan pemerintahan. Untuk maksud yang demikian ini, maka kaum­buruh seluruh dunia, yang telah insyaf akan kewajibannya di dalam perlawanan­kelas, adalah menghimpunkan dan menyusunkan diri satu sama lain,”

begitulah paragraaf 11 daripada keterangan­azas Sociaal Democratische Arbeiders Partij berbunyi. 96

Welnu, buat sesuatu rakyat jajahan, buat sesuatu rakyat yang di bawah imperialisme bangsa lain, hakekatnya perkara sepanjang keyakinan kami tidaklah lain. Buat sesuatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat usahanya rakyat itu melawan bencananya imperialisme itu,

962) pag. 13

Page 57: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

perlu sekali pula“politieke macht” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu, maka kalimat tadi itu mendapatlah variasi:

“Het koloniaal overheerschte volk kan den tegenstand der imperialistische klasse tegen zijn nationaal − reconstructieve arbeid slechts breken door verovering der politieke macht.” “Rakyat jajahan hanyalah bisa mengalahkan perla­wanannya kaum imperialisme terhadap kepada usaha memperbaiki lagi semua susunan pergaulan­hidupnya, dengan mengambil kekuasaan pemerintahan, yakni dengan mengambil politieke macht.”

Dan apakah artinya “politieke macht” bagi sesuatu rakyat penjajahan? Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan “, apakah artinya “mencapai kekuasaan­pemerintahan” bagi sesuatu rakyat kolonial? Mencapai politieke macht bagi sesuatu rakyat kolonial adalah berarti mencapai nationale­regeering, mencapai kemer­dekaan­nasional, − mencapai hak untuk mengadakan wet­wet sendiri, mengadakan aturan­aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri!

Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa mencapai politieke macht itu, Partai Nasional Indonesia tidak tèdèng­aling­aling mengambil kemerdekaan­nasional itu sebagai maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia mengerti, atau lebih benar: kami mengerti −, bahwa mengejar politieke macht en dus mengejar kemerdekaan­nasional itu, adalah consequentie dan voorwaarde, buntut dan syarat, bagi perjuangan contra imperialisme itu adanya.

Sebagai di negeri Barat kapitalist mengusahakan politieke machtnya mempengaruhi rumah­tangganya staat menurut mereka­punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalist itu mengusahakan politieke machtnya untuk mengadakan aturan­aturan rumah­tangga staat yang menguntungkan mereka­punya kepentingan dan meniada kan aturan­aturan yang merugikan mereka­punya belang, − sebagaimana kaum kapitalist itu mengusahakan mereka punya politieke macht untuk menjaga dan memeliharakan kapitalisme−, maka di sesuatu negeri jajahan kaum imperialist adalah mengusahakan politieke macht­nya pula untuk mempengaruhi rumah­tangganya staat menurut mereka­punya kepentingan, yakni menurut kepentingan stelsel imperialisme! Oleh karena pengaruh itu, maka hampir tiap­tiap aturan yang penting di dalam sesuatu negeri jajahan lantas adalah bersifat menguntungkan kepentingannya kaum impe­rialisme itu, sesuai dengan belangnya kaum imperialisme itu. Hampir tiap­tiap aturan yang penting di dalam sesuatu negeri jajahan adalah lantas bersifat untuk penjajahan itu, untuk­imperialisme itu. Oleh sebab itu, maka, salama sesuatu negeri masih bersifat kolonie, ya lebih jauh lagi: selama sesuatu negeri masih bersifat “protectoraat” ataupun “mandaat­gebied”, − pendek kata selama sesuatu negeri masih belum samasekali leluasa mengadakan aturan­aturan rumah­tangga sendiri −, maka sebagian atau segenap aturan­aturan rumah­tangganya adalah mempunyai “cap” yang imperialistisch adanya. Artinya: selama rakyat belum mencapai politieke macht atas negeri sendiri, maka sebagian atau segenap dari ia­punya syarat­syarat­hidup, baik yang economie maupun yang social maupun yang politiek, adalah diperuntukkan bagi kepentingan­kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. Ia adalah seolah­olah terikat kaki dan tangannya tak bisa leluasa berjuang memusuhi daya­dayanya imperialisme yang membencanai kepadanya, tak bisa leluasa berjuang menghalang­halangi yang syarat­syarat­hidupnya adalah diper­untukkan bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat­syarat­hidupnya itu bagi peri­kehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan sosialnya sendiri, peri kehidupan politiknya sendiri, peri­kehidupan cultuurnya. Ya, pendek kata, tak bisalah leluasa berusaha

Page 58: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

memusuhi dan memberhentikan imperialisme, tak bisalah pula leluasa menyubur­nyuburkan budan sendiri! *) 97

Rakyat kolonial adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri sendiri”, suatu rakyat yang tak bisa berada “zichzelf”, suatu rakyat yang hampir semua apa­apanya kena “cap” yang imperialistisch itu, − “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar daripada kaum imperialisme adanya. Tidak adalah per­samaan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme: tidak adalah belangengemeenschap antara dua pihak itu. Antara dua pihak itu adalah pertentangan­kepentingan, adalah pertentangan­kebutuhan, − adalah tegenstelling van belangen, adalah conflict van behoeften. Semua kepentingannya kaum imperialisme, baik yang ekonomi, maupun yang sosial, baik yang politik maupun yang cultureel umumnya, semua kepentingannya kaum imperialisme itu adalah bertentangan, tegengesteld pada kepentingannya Bumiputera. Kaum Imperialisme sebisa­bisa mau meneruskan adanya kolonisatie, − Bumiputera sebisa­bisa maumemberhentikan kolonisatie itu. Aturan­aturan yang diadakan di bawah pengaruh kaum imperialisme, adalah dus bertentangan dengan kepen­tingannya Bumiputera itu adanya.

En toh, Bumiputera menerima saja aturan­aturan itu? toh Bumiputera menghormati aturan­aturan itu? O memang, Bumi­putera menerima saja aturan­aturan itu, Bumiputera meng­hormati aturan­aturan itu. Tetapi mereka menerimanya dan menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputera kalah, hanya oleh karena Bumiputeraterpaksa menerimanya dan terpaksa menghormatinya!

Bukankah justru kekalahan ini sebabnya mereka dikolonikan? Bukan justru kekalahan ini yang memaksakan padanya menjadi rakyat jajahan? Jules

Harmand, Ambassadeur Honoraire dan Koloniale Specialiteit dari bangsa Perancis, adalah di dalam bukunya yang termashur “Domination et Colonisatlon” menulis dengan terang­terangan :

“Zonder twijfel kan het voorkomen, dat het belang van den inboorling coincideert met dat van den kolonisator; maar dat is een zeldzame ontmoeting. Gemeenlijk ............. zijn ze met elkaar in oppositie.” 98

“De twee gedachten “dominatie” en “geweld” of ten minste “dwang”, zijn tot elkaar betrekkelijk of complementair. Al naar gelang van plaats, omstandigheid en gedrag, kan het geweld meer of minder werkelijk of gematigd zijn, openlijk of bewimpeld, − maar zijn gebruik kan nimmer verdwijnen. Den dag, waarop de dwang ophoudt te bestaan, houdt ook de dominatie op te bestaan” .......... 99

“Kepentingan kaum Bumiputera tentu saja bisa jatuh sama dengan kepentingan kaum yang men jajahkan; tetapi ini adalah pertemuan yang jarang sekali terjadi. Biasanya kepentingan­kepentingan itu adalah tabrakan satu sama lain.” “Faham “penjajahan” dan “perkosaan” atau setidak­tidaknya “paksaan,” adalah bergandeng an satu sama lain. Perkosaan ini, menurut tempat, keadaan, dan tingkah­laku, bisalah menjadi lebih atau kurang keras atau lunak, terang­terangan atau tertutup, − tetapi perkosaan itu tak pernahlah bisa dihilangkan sama sekali. Pada hari perkosaan itu hilang, maka hilanglah juga segala penjajahan adanya” ............

971) pag. 13 98 Leidsch program 99*) Menurut keyakinan kami, maka hilangnya pemerintahan asing dari Indonesia belum tentulah juga dibarengi oleh hilangnta

imperilaisme asing sama sekali. Imperialisme yang overheerschen hilang, tetapi imperialisme yang beheerschen (lihatlah Tiongkok) lenyapnya batu kemudian.

Page 59: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Adakah pengakuan yang lebih terang­terangan, adakah ketulusan hati yang lebih tulus?

Bahwa sesungguhnya kita tidaklah berdiri sendiri kalau kita mengatakan, bahwa oleh adanya pertentangan kepentingan itu, tiap­tiap systeem atau aturan kolonial adanya diterima dan dihormati rakyat jajahan itu, ialah hanya karena mereka terpaksa menerima dan terpaksa menghormatinya belaka, − terpaksa, yakni tidak dengan puas­hati, tidak dengan ridho­hati, tidak dengan kemufakatan yang sebenar­benarnya, tidak dengan persetujuan yang sepenuh­penuhnya!

Oleh karena itulah, Tuan­tuan Hakim, maka tidak ada satu rakyat negeri jajahan yang tidak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap­harapkan datangnya hari­kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung­dengungkan semboyan“naar de politieke macht” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengkobar­kobarkan nafsu ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita­cita umun belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa memusuhi dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas­luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan per­gaulan­hidup sesuatu negeri bekas­jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi nationale reconstructienya.

Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumahtangganya tiap­tiap negeri, tiap­tiap bangsa, baik bangsa Timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai kebesaran zonder kemerdekaan­nasional, tidak ada satu negeri bisa menjadi teguh dan kuasa umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri koloni yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap­tiap bangsa jajahan adalah ingin kemerdekaan itu, ingin supaya lantas bisa mencapai kebesaran itu Tiap­tiap rakyat yang tak merdeka, tiap­tiap rakyat yang dus tak bisa dan tak boleh mengatur rumahtangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri, adalah hidup di dalam hawa yang tak kejam, yakni hidup di dalam hawa yang kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu“permanente onrust” *) yang tersebutkan oleh tabrakannya daya­daya yang aan elkaar­tegengesteld itu, − suatu 100

keadaan yang tidak­bolehtidak lantas menimbulkanlah pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan­pertentangan itu, yak ni keinginan keras akan berhentinya ketidak merdekaan itu tadi adanya. Dari Marokko sampai Philipina, dari Korea sampai Indonesia, melancar­lancar kemana­mana melalui gunung dan samudra, terdengarlah suara yang memanggil­manggil kemerdekaan itu, − bukan saja dari mulutnya rakyat­rakyat yang baru saja merasakan pengaruhnya imperialisme, tetapi juga, ya malahan terutama, dari mulutnya bangsa­bangsa yang sudah berabad­abadan tak menerima cahyanya matahari­kebesaran.

“Zelfs na een eeuwenlangp occupatie ......... zou het voor den overheerscher een dwaasheid zijn te meenen, dat men hem liefheeft, − zou men blind zijn indien men gelooft, dat de overheerschte maatschappij zijn beheer met voldoening ondergaat”......... “Hoe zwak of 101

hoe gedegenereerd, hoe barbaarsch men de overheerschten ook moge veronderstellen te zijn, − hoe slecht hun eigen hoofden ook moge zijn, of andersom, hoe beschaafd in hun manieren en hoe intelligent men zich hen ook moge indenken, ........ ze zullen het vertrek of de verdwijning van de vreemde overheersching altijd als een bevrijding beschouwen.”4

100 pag. 122 101 pag 153

Page 60: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Sekalipun sudah berabad­abadan mereka menjajah”, begitulah Jules Harmand menulis lagi, − “sekalipun sudah berabad­abadan mereka menjajah ....... maka piciklah kaum pertuanan itu kalau mereka adalah dicintai, − butalah mereka kalau mereka menyangka, bahwa pergaulan­hidup yang mereka jajahkan itu suka memikul penjajahannya dengan rasa yang senang­hati” ........ “Bagaimanapun juga lemahnya atau merosotnya kaum yang dijajahkan itu bagaimana­pun juga biadabnya, − bagaimanapun juga lalimnya mereka­punya kepala­kepala sendiri, atau sebalik­nya, bagaimanapun juga sopannya mereka­punya adat­istiadat dan bagaimanapun juga tingginya mereka­punya kepandaian, ...... mereka selamanya akan memandanglah perginya hapusnya pemerintahan asing itu sebagai suatu pelepasan belenggu.”

Mengertilah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad­abadan di dalam hati rakyat? Mengertilah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap­tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap­tiapvergadering bangsa Indonesia,−juga kalau kami disebutkan “penghasut” tidak menghadirinya! −, sebentar­sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”? Mengertilah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai­partai politik yang paling sabar atau gematigpun. misalnya Boedi­Oetomo dan Pasundan yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum “pengasut”, juga sama mengambil cita­cita Indonesia­Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi diterimanya menjadi anggota P.P.P.K.I.?

Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang menge­mukakan cita­cita itu; Partai Nasional Indonesia hanya lah Iebih tentu mengutamakan kemerdekaan­nasional itu, menjunjung kemerdekaan­nasional itu dari gevolg dijadikanvoorwaarde yang amat penting bagi pembaikan kembali semua susunan pergaulan­hidup Indonesia yang sekarang kocar­kacir ini, dan bagi bisa­berhasilnya perjuangan memberhentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia adalah mengambil soal kolonial itu di dalam hakekat yang sedalam­dalamnya, mengambil soal kolonial itu terus ke dalam pokok­pokoknya, − mengambil soal kolonial itu di dalamfilsafatnya yang sebenar­benarnya, yakni filsafat− kami ulangkan lagi −, bahwa di dalam tiap­tiapkoloniaal­systeem adalahpertentangan­kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum Bumiputera; bahwa di dalam tiap­tiap koloniaal­systeem umumnya keadaan­keadaan adalah dipengaruhi, di “capkan”, diperuntukkan bagi kepentingan­kepentingan imperialistisch; − bahwa dus di dalam koloniaal­systeem mana juga, kepentingan Bumiputera tak bisa dapat terpelihara sesempurna­sempurnanya.

Dan juga di dalam keyakinan ini, maka Partai Nasional Indonesia tidak berdiri sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, maka Partai Nasional Indonesia adalah mendapat pembenaran di dalam ujar­ujarannya pemimpin­pemimpin besar di negeri­negeri lain. Jikalau Mustapha Kamil dari Mesir menulis bahwa “sesuatu bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup” jikalau Manuel Quezon dari Philipina berkata bahwa “lebih baik zonder Amerika ke Neraka daripada dengan Amerika ke Sorga”, jikalau Patrick Henry dari Amerika­dulu berteriak “Kasihkanlah padaku kemerdekaan, atau kasihkanlah padaku maut sama­sekali”, − maka itu bukanlah jeritnya budi­pekerti yang “panas” belaka, tetapi di dalam hakekatnya mereka tidak lain daripada mengutamakan kemerdekaan­nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Ierland, Michael Davitt, menulis:

Page 61: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Noch voorspoed, noch misleiding, noch een voordeelige wetgeving zou het Iersche volk ooit kunnen bevredigen zonder het recht om ons land zelf te regeeren.” 102

“Sekalipun keuntungan, maupun pembujukan, maupun aturan­hukum yang manfaat bagaimanapun juga, tidak akanlah bisa memuaskan hatinya rakyat Ier, jikalau rakyat itu tidak berhak menjalankan pemerintahan sendiri,”

ya jikalau kita membaca bahwa seorang pemimpin Ierland yang lain, Erskine Childers, menolak tingkat freestate dan menuntut kemerdekaan yang sepenuh­penuhnya dengan perkataan :

“De vrijheid is geen quaestie van meer of minder, ze is als de dood: zij is er of zij is er niet. Als men ons reserves maakt, dan is dat de vrijheid niet meer”, 103

“Kemerdekaan bukanlah soal tawar­menawar, kemerdeka­an adalah sebagai maut: diaada atau dia tidak ada. Kalau orang membikin pengurangan ini dan itu, bukanlah lagi bernama merdeka”.

− tidakkah itu dalam hakekatnya suatu pembenaran pula dari kita­punya pendirian itu? Tetapi, perhatikanlah perkataan­perkataan Jozef Mazzini, Bapa rakyat Italia, yang lebih terang lagi :

“Dit vaderland op te bouwen,is zelf een noodzakelijkheid. De aanmoedigingen en de middelen waarvan ik U heb ge sproken, kunnen slechts uitgaan van een vereenigd en vrij vaderland. De verbetering van Uw maatschappelijken toestand kan slechts volgen uit Uw deelname in het staatkundige leven der naties.” “Misleide U niet het denk beeld, dat ge Uw stoffelijken toestand zoudt kunnen verbeteren, zonder eerst het nationale vraagstuk op te lossen; ge zult er niet in slagen”,............... 104

“Menyusunkan ini tanah­air, malahan adalah suatu ke­harusan. Daya­daya dan upaya­upaya yang kami bicarakan tadi itu, hanyalah bisa diusahakan bila tanah­air kita adalah tanah­air yang bersatu dan yang merdeka. Pembaikannya kamu­punya pergaulan­hidup hanyalah bisa terjadi kalau kamu telah ikut campur­gaul dalam peri­kehidupannya semua bangsa.” “Janganlah mengira, bahwa kamu akan bisa memperbaiki keadaan kerezekianmu itu, kalau soal­nasional belum kamu selesaikan; kamu­punya usaha tentu akan tersia­sia belaka”,......

dan perhatikanlah pula perkataan­perkataan Sister Nivedita, yang mengutamakan kemerdekaan­nasional itu buat suburnya hidup kebatinan dan hidup­seni, di dalam bukunya Okakura “Die Ideale des Ostens”:

“De kunst kan zich slechts bij volkeren ontwikkelen, die invrijheid leven. Ze is in waarheid het geweldige middel en de vrucht van het Hooggevoel der vrijheid, dat wij nationaliteitsbewustzijn noemen”. 105

“Seni hanyalah bisa subur di kalangan rakyat­rakyat yang hidup merdeka saja. Dia sebenarnya adalah alat­hidup dan buahnya itu rasa­kemerdekaan, yang kita sebutkan semangat bangsa”.

102*) satu ketidakjenjaman yang terus­terusan 103 t.a.p. pag 154 104 Goblet, L’Irlande dans la crise Universelle­pag. 45 105 Tery, En Irlande pag. 101

Page 62: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Ini adalah ucapan­ucapan belaka. Praktijknya? Marilah kita misalnya mendengarkan pidatonya Dr. Sun Yat Sen tentang San Min Chu I, di

mana rakyat Tiongkok ini, sesudahnya menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya ialah tidak mempunyai kemerdekaan­nasional yang sejati melainkan malahan ada suatu “hypocolony” *), 106

menggambarkan terganggu­nya rumah­tangga Tiongkok itu dengan kata­kata: “Waar China op gelijke politieke basis stond als de andere naties, daar kon zij vrijelijk met hen wedijveren op economisch terrein, en was zij in staat zonder feilen zichzelf te handhaven. Maar niet zoodra gebruiken de vreemde naties politieke macht als een schild voor economische doeleinden, of China verliest haar vermogen ze met succes te weerstaan of met hen te wedijveren”. 107

“Tatkala Tiongkok dengan bangsa­bangsa lain ada berdiri di atas alas­politik yang sama, maka dia bisalah bersaingan merdeka dengan bangsa­bangsa itu di atas lapang­ekonomi, dan dia bisalah mempertahankan diri dengan tak membuat kesalahan. Tetapi sesudah bangsa­bangsa asing itu mem­perusahakan kekuasaan­politiknya sebagai suatu tameng bagi maksud­maksudnya rezeki, maka Tiongkok lantas tak bisa lagilah mempertahankan diri atau bersaingan dengan bangsa­bangsa itu.”

Dan sekarang, sesudahnya kemerdekaan nasional dari negeri Tiongkok itu makin lama makin teguh, maka ahli­pikir Inggris H.G.Wells adalah menulis:

“Tegenwoording is het waarschijnlijk, dat er meer goed hersenmateriaal en meer toegewijde mannen bezig zijn, de moderniseering en reorganisatie van de Chineesche beschaving uit te werken, dan wij zouden vinden onder de directie van welk Europeesch volk ook.” 108

“Pada zaman sekarang ini bisa jadi adalah bekerja lebih banyak otak dan lebih banyak orang­orang yang setia­hati mengerjakan moderniseering danreorganisatie­nya kesopanan Tiongkok, daripada di bawah directie­nya bangsa Eropah yang manapun juga.” Dan praktijknya di Indonesia? Adakah praktijknya di sini membenarkan keyakinan P.N.I.,

bahwa negeri yang tak merdeka itu memang segala atau bagian daripada aturan­aturan dan syarat­syarat­hidupnya dipengaruhi, di “cap” kan, diperuntukkan bagi kepentingan­kepentingan imperialistisch, yang ber­tentangan dengan Bumiputera itu?Praktijk adalah di sini membenarkan dengan sepenuh­penuhnya! Kita melihat, bahwa untuk sempurnanyaindustrieel­imperialisme itu berusaha di sini, maatschappij kita diproletariseerkan, kita dijadikan “rakyat kaum­buruh”; kita mengetahui, bahwa kaum imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum­buruh­murah itu, sebagai diterangkan oleh Prof. van Gelderen, mempunyailah kepentingan di dalam rendahnya productiviteit kita­punya pergaulan­hidup, en dus sengaja pula merendahkan productiviteit itu dan melawan keras akan tiap­tiap usaha bangsa Bumiputera yang mau menaik­kan produktiviteit itu. Lihatlah,− jikalau kita mau memajukan perusahaan kita kebon teh dan pabrik teh, jikalau kita mendirikan nationale Bank di Surabaya, jikalau kita mau mendirikan

106 Mazzini, De plichten v.d. mensch p. 171 en 179 107 pag. 8. 108*) Hypo­colony = negeri yang lebih “koloni” dari kolonie

Page 63: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

suatu scheepstransport­maatschappij Indonesia, maka menjadilah kaum imperialisme itu geger perkara itu “pucuk­beweging”, geger perkara keniatan pemerintah mau mengasihkan hak credietverband pada bank nasional itu, geger memaki­maki di dalam pers dan di dalam kalangan pelajaran atas maksud mendirikan scheepstransportmaatschappij itu ada­nya. Dan kita melihat kaum imperialisme itu, sebagai yang kami telah kemukakan di dalam verhoor, menjalankan pengaruhnya, invloednya, ya tyrannienyu *) di atas pemerintahan, sebagai yang dimarahkan 109

oleh Prof. Snouk Hurgronje dengan kata­kata: .............het (is) noodig, dat het hoogste gezag door dezen (door de’ ondernemers­Sk) met evenveel eerbied bejegend worden als door die inlandsche bestuurders, die volgens Colijn steeds een oog op Buitenzorg gericht houden Inderdaad houden de meesten hunner echter in den laatsten tijd ook beide oogen derwaarts gericht, niet echter om wenken op te volgen, maar om hunne eischen te kennen te geven, die neerkomen op de inrichting en werking der regeeringsmachine naar hunnen zin. Dit is ook een soort revolutie............” 110

............. perlu sekalilah, bahwa pemerintah yang tertinggi itu sama banyak dihormati oleh ini kaum majikan sebagai oleh kaum bistir Bumiputera, yang sepanjang Colijn senan­tiasa mengarahkan satu mata ke Bogor itu. Memang di dalam tempo yang akhir­akhir ini kebanyakan kaum majikan itu acapkali mengarahkanlah dua­dua matanya ke sana, tetapi tidak buat menerima dan menurut perintah, melainkan ialah buat mengemukakan mereka­punya tuntutan­tuntutan, yakni untuk membelokkan peraturan­peraturan dan kerjanya pemerintahan sesuai dengan mereka­punya kemauan. Ini juga suatu macam revolutie......”

Kita melihat kaum imperialisme itu mempengaruhi pemerintah mengadakan tarief­politiek yang menguntungkan baginya, sebagai tertulis di dalam A.I.D. de Preangerbode beberapa bulan yang lalu di bawah kepala “vrijhandel binnen het rijk is in strijd met het belang van Nederland en van Indië”: kita melihat bagaimana di sini adalah suatu aturan­pajak, yang sebagai ditun­jukkan oleh commissie Meyer­Ranneft­Huender, enteng sekali bagi kaum Eropah dan berat sekali bagi kaum Indonesia; kita melihat bagaimana di sini adalah bea­karet, yang mengenai karet Bumiputera saja, sehingga suburnya mendapat rintangan besar; kita melihat bagaimana di sini adalah itu aturan contract­kulie beserta punale­sanctienya, yang sama­sekali hanya menguntung­kan kaum modal belaka!, kita melihat tidak adanya artikel 161­bis W.v.S., yang juga melulu berarti untungnya kaum kapitaal, cilakanya kaum­buruh; kita melihat adanya macam­macam aturan yang menghalangi pergerakan rakyat apa saja, yang memusuhi pada imperialisme itu; kita melihat suatuonderwijs­politiek yang membunuh rasa­kebangsaan dan mendidik kepada pemuda kita menjadi pennelikkers **) dan tidak menjadi manusia­manusia yang tabiat­semangatnya 111

merdeka; kita melihat suatu keadaan, sebagai De Stuw mengatakannya, bahwa rakyat “voortdurend afhankelijker wordt van het uitheemsche element en daarmede zich voortdurend verder verwijdert van het ideaal Indië voor de Indiërs”; “makin lama menjadi makin tergantunglah kepada pihak asing, sehingga ia juga makin lama makin jauhlah daripada cita­cita Hindia buat bangsa Hindia”;

109 pag. 503 110 pag. 525 111*) tyrannie = kelaliman

Page 64: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kita melihat .................. tetapi cukup, Tuan­tuan Hakim, cukup untuk membuktikan kebenarannya keyakinan P.N.I. itu! P.N.I. memang adalah suatu partai yang tidak mau ngalamun, suatu pertai yang tidak mau terapung­apung di atas awan angan­anganan; − P.N.I. adalah suatu partai yang dengan dua­dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia melihat, bahwa imperialisme adalah bertentangan keyakinan dengan kita, ia melihat bahwa kaum imperialisme itu mengusahakan politieke machtnya untuk menjaga dan memeliharakan kepentingannya,− dus ia mengata­kan, bahwa kita barulah bisa memusuhi dan memberhentikan imperialisme itu seleluasa­leluasanya kalau politieke macht itu sudah di dalam tangan kita, bahwa kita barulah bisa meng­usahakan pembaikan kembali kitapunya pergaulan­hidup itu dengan sesempurna­sempurnanya kalau kita sudah merdeka, − dus ia memujikan rakyat Indonesia mengejar kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, − “zoo helder als glas”, begitulah orang Belanda berkata!

Dan mendatangkan Indonesia­Merdeka itu ? Bagaimanakah datangnya Indonesia­Merdeka itu? Juga di dalam menjawabnya soal ini

maka P.N.I. dengan dua­duanya kaki berdiri di atas realiteit. Ia menjawab soal itu dengan yakin: “dengan usaha rakyat Indonesia sendiri!” Ia tak mau mengikut pengelamunannya setengah orang yang mengira, bahwa adanya stelsel imperialisme disini itu ialah untuk mendidik kita dibikin “matang” atau “rijp”, dan bahwa jikalau nanti kita sudah cukup “didikan”, jikalau nanti kita sudah cukup “matang”, jikalau nanti kita sudah cukup “rijp”, stelsel imperialisme itu lantas akan “berhenti sendiri”, − “mengasihkan” kemerdekaan kepada kita sebagai suatu “anugerah yang berharga”, sebagai suatu “kostbaar geschenk”!

Amboi, alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu; alangkah benarnya kalau begitu perkataan Volken­bondspact artikeI 2, bahwa kolonial politik itu adalah suatu “mission sacree”, suatu “suruhan yang suci” dari bangsa­bangsa kulit putih terhadap kepada bangsa­bangsa kulit berwarna!

Tidak, Tuan­tuan Hakim yang terhormat, pengalamunan yang demikian itu adalah pengalamunan yang kosong sama sekali Pengalamunan yang demikian itu adalan pengalamunan yang sama sekali terapung­apung di atas awan, pengalamunan yang tidak berdiri di atas kenyataan sedikit juapun adanya! Tidak, stelsel imperialisme tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; stelsel imperialisme tidak akan membikin kita menjadi “rijp”; stelsel imperialisme tidak akan meng­ “anugerahi” kita dengan kemerdekaan, tetapi malahan sebalik­nya akan bertambah­tambah mengokohkan penjajahan dengan pelbagai tali­tali wadag dan tali­tali yang halus”, Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu tidaklah buat “suruhan yang suci”, tidaklah buat suatu “missionsacree”. Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu ialah untuk kepentingan­kepentingan impe­rialisme sendiri! Imperialisme adalah bertentangan kepentingan dengan kita; bukan kepentingannya imperialismelah “mematang­kan” kita atau “merupakan” kita; bukan kepentingannya imperialismelah “menganugerahkan” kemerdekaan kepada kita. Kepentingan imperialisme adalah meneruskan, mengekal­kan, mengokohkan penjajahan itu buat selama­lamanya!

O memang, imperialisme datangnya ialah dari bangsa­bangsa yang lebih pandai dari kita; imperialisme datangnya ialah dari negeri­negeri yang lebih mempunyai modern cultuur dari kita imperialisme datangnya ialah dari dunia yang lebih tinggi tehnik dan ilmu­pikirannya diri kita, imperialisme datangnya ialah dari kalangan yang lebih pandai menjalankan“struggle for life” 112

112 Colijn over Indië, pag. 41

Page 65: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

*) dari kita. Kita mengakui hal ini semuanya. Tetapi kita tidak mau mengakui, bahwa stelsel imperialisme itu dus mendidik kita ke arah ke”matangan”! Karl Kautsky, itu theoreticus Sociaal­Democratie yang termashur, di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonialpolitik” hoofdstuk III adalah menulis:

“maar de uitbuiting van het kapitalisme berust niet alleen op het naakte geweld, niet op het recht van den sterkste, ook niet op de onderscheiding van standen, maar op de maatschappelijke vrijheid van het individu, die daardoor tot onvrijheid wordt, dat de eene zijde niets bezit en de andere de productiemiddelen in uitsluitend bezit hebben. De bezitloosheid brengt echter mee gebrek aan beschavings­middelen, dus ook aan beschaving. Deze schijnt daardoor tot de heerschende kIaase beperkt te zijn. Zoo verkrijgt voor de laatste haar heerschappij over het proletariaatden schijn van de heerschapplj der cultuur over de onbeschaafdheid, van een heerschappij der uit­gelezen intellectueelen over de groote massa der on ontwikkelden, the great unwashed **) zooals de Engelschen 113

zeggen. En aan dezen schijn houden de bezittenden vast........ Niet voor hun persoonlijk voordeel, niet om de winst, buiten zij volgens dezen schijn de proletariers uit, zij heerschen slechts over hen in het algemeen belang der maatschappij. Binnen de eigen naties treedt deze ethiek op als bevestiging van het hoogere recht der bezittenden over de bezitloozen. Tegenover andere naties ................ proclameert zij practisch niets andens dan het recht der kapitalistische naties op de heerschappij over de geheele menschheid!” 114

“tetapi adanya kapitalisme itu memeraskan rakyat tidaklah bersendi atas perkosaan­terang­terangan saja, tidaklah atas haknya siapa yang lebih kuat, tidakpun atas perbedaan­derajat, tetapi ialah bersendi di atas kemerdekaan­pergaulan­hidup daripada manusia masing­masing, yang sebenarnya justru menjadi ketidak merdekaan, karena pihak yang satu tak mempunyai apa­apa dan pihak yang lain menggagahi alat­alat­produksi sebagai milik sendiri. Tetapi siapa yang tak mempunyai apa­apa adalah pula kekurangan alat­alat­kesopanan, dus juga kekurangan kesopanan. Maka kesopanan ini seolah­olah hanya bisalah terdapat pada kelas atasan saja. Itulah sebabnya, maka keunggulan kelas ini di atas kelas proletar tertampaknya ialah seolah­olah keunggulan cultuur diatas kebiadaban, − seolah­olah keunggulan kaum terpelajar itu, the great unwashed. **) sebagai orang Inggris menyebutkannya. Dan kaum atasan memeganglah 115

teguh akan syariat­keadaan yang demikian ini .............. Menurut syariat­keadaan yang demikian itu maka mereka merasakannya kaum proletar itu lantas seolah­olah bukanlah untuk keuntungan atau laba sendiri, tetapi hanya untuk keperluan­umum daripada pergaulan­hidup saja. Di dalam lingkungan bangsa sendiri maka ethiek yang demikian ini adalah berarti suatu pembenaran bahwa kaum kaya harus memerintah kaum yang tak mempunyai apa­apa. Terhadap kepada bangsa­bangsa lain ............ maka ethiek Wi tak lainya daripada berarti bahwa bangsa­bangsa yang kapitalistisch itu mempunyailah hak memerintahkan seluruh dunia manusia!”

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, itulah dasarnya semua omongan tentang “voogdijleuze”nya stelsel imperialisme atas kita bangsa yang “sekarang masih bodoh”, dasarnya semua omongan

113**) pennelikkers = penjilat pena 114*) Strunggle for life = perjuangan merebut hidup 115**) The great unwashed = “kaum yang tidak tercuci”

Page 66: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

atas isme ia tidak mendapat pertolongan; dari stelsel imperialisme ia malahan hanyalah akan mendapat rintangan!

Tidak, tidak, − voogdij itu tidak ada, didikan itu omong­kosong belaka,− didikan itu“mere phrase”. Kalau bangsa Indonesia ingin mencapai politieke macht yakni ingin merdeka, kalau bangsa kita itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan voogdij atas diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri! Dari stelsel imperialisme ia tidak mendapat pertolongan; dari stelsel imperialisme iamalahan hanyalah akan mendapat rintangan!

Sudah semestinya kaum imperialisme itu merintang­rintangi tiap­tiap usaha kita kearah kebaligan. Sudah semestinya kita dihalang­halanginya didalam kita­punya zelvoogdij, dimaki­maki, dimintakan hukuman, dimintakan pembuangan, diminta­kan tiang penggantungan sebagai dulu Nieuws van den Dag memintakannya. Oleh karena itulah, Tuan­tuan hampir saban minggu, saban hari membaca cacian dan makian dari fihaknya A.I.D. de Preanger­Bode atau Java­Bode atau de Locomotief atau Surabayaasch Handelsblad ke arah adres kita, membaca hasutan­hasutan yang sampai mencoba mempengaruhi keadilan­nya putusan Tuan­tuan di dalam proses ini!

Ah, Tuan­tuan Hakim, itu begitu logisch, itu begitu vanzelfsprekend, itu memang semestinya: Tuan­tuan menge­tahui, bahwa A.I.D. de Preanger­Bode adalah surat­kabarnya kaum karet, kaum kina, kaum teh di seluruh Priangan; Tuan­tuan mengetahui, bahwa Surabajaasch Handelsblad adalah surat­kabarnya kaum gula; Tuan­tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah surat­kabarnya kaum dagang di Kali­Besar; Tuan­tuan mengetahui bahwa semua surat­surat­kabar yang reactionnair itu adalah surat­kabarnya kaum imperialisme yang kita musuhi itu, bahwa jeritan­jeritannya yang mencaci­maki kepada kaum pergerakan itu ialah jeritannya orang­orang yang takut akan kebakaran gedung­hartanya, takut terancam dividend­nya, takut terancam keselamatannya perusahaannya yang meng­hasilkan kekayaan milliun­milliunan itu! Tuan­tuan mengetahui hal itu semuanya!; − dan oleh karenanya, tidak khawatirlah kami akan apa yang dituliskan oleh Mr. Ritter dalam buku “Drukpersvrijheid” serie pro en en contra tentang :

“de mogelijkheid eener beinvloeding van de rechterlijke macht door een publieke opinie is een gevaarlijke mogelijkheid”, “bahwa yang bisa juga mengenai mahkamah hakim, yakni bahaya yang mahkamah itu kena pengaruhnya publieke opinie”,

dan percayalah kami, bahwa Tuan­tuan akan menjalankan keadilan dengan tidak kena pengaruhnya hasutan­hasutan surat­surat kabar yang benci kepada pergerakan itu tadi.

Ah, Tuan­tuan Hakim, kami sudah biasa − lagi akan maki­makian yang memang sudah logis itu. Kami tak heran lagi di atasnya ; − mereka punya kepentingan adalah terancam oleh usaha kita, mereka tentunya menjadi geger!

Prof. Snouck Hurgronje adalah menulis : “De ondernemers hebben zich krachtig georganiseerd, en zich den dienst van scherpe tongen en vlotte pennen verzekerd, teneinde door een veelzijdige propaganda niet alleen elken twijfel aan die zegeningen (van het particuliere kapitaal­Sk.) weg te nemen, maar ook de twijfelaars hevig te bestrijden. De geheele Europeesche dagbladpers in Indie is voor

Page 67: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

dien heiligen oorlog gewonnen, ook die couranten, die vanouds hare kolommen voor klaagtoonen uit de Inlandsche wereld gaarne openstelden. Neen, moed is ........ vereischt, om tegen die met alle soorten van munitie zoo wel uitgeruste troepen in het veld te trekken.” 116

“Kaum majikan adalah menghimpunkan diri dengan teguh, dan mereka adalah banyak hamba yang licin lidahnya dan tajam penanya, yakni bukan saja untuk menghilangkan tiap­tiap ketidakpercayaan atas berkah­berkahnya modal asing itu dengan propaganda yang luas, tetapi juga untuk memerangi keras sekali semua orang yang tidak percaya akan berkah­berkah itu. Semua surat­kabar Eropah di Hindia kini sudahlah suka ikut kepada perang­sabil ini, malahan juga itu koran­koran, yang dulunya suka membuka halamannya bagi ratap­tangis yang keluar dari dunia Bumiputera. Tidak! ......... gagah­beranilah siapa­orang yang berani menentang tentara yang begitu cukup alat­alat senjatanya itu”. Dan tuan Lievegoed, bekas redacteur de Locomotief, seorang liberaal yang tulushati, yang

dus dikeluarkan dari de Locomotief itu, sudah di dalam tahun 1925 adalah menulis bahwa kegegeran kaum imrialisme itu ialah :

“een ideaalloos rechts­extremisme dat onder rammelende leuzen roekelooze belangen­politiek drijft.” “suatu extremisme­kanan, yang sama sekali tak mem­punyai cita­cita­tinggi, yang menjalankan politik­duit membuta­tuli dengan semboyan­semboyan yang menulikan telinga.”

dan bahwa:

“geen partij meer schade doet aan het Nederlandsch Indisch gezag in Indonesie dan deze luidruchtige groep, die onder het voorwendsel van gezagschraging aIIes zoekt neer te slaan wat haar eng belang bedreigt.” (Loc: 5 Nov. 1925) “sebenarnya tidak ada satu golongan yang begitu membencanai kekuasaan Hindia­Belanda daripada golongan yang gembar­gembor ini, yang dengan pura­pura menyokong pemerintah, memukul ke kanan dan ke kiri untuk merebahkan apa saja yang mengancam kepen­tingannya.” Juist!, benar sekali, Tuan­tuan Hakim: “pura­pura menyokong pemerintah”, “onder het

voorwendsel van gezagschraging” mereka minta kami dihukum, dibuang, atau digantung, tetapi sebenarnya ialah oleh karena kantongnya dan dividennya terancam! Untuk keselamatan kantong dan untuk keselamatan dividen ini juga, mereka kalau perlu, tak segan pula melanggar gezag itu, sebagai misalnya A.I.D. de Preanger­Bode tak segan sebentar­sebentar melanggar gezag itu, atau sebagai misalnya Nieuw van den Dag, yang dulu pernah menghina g.g. de Graeff dengan penghinaan.

“Ga weg, maak plaats, Indie heeft krachtiger mannen noodig”! “Pergilah, enyahlah, Hindia butuh kepada orang­orang yang lebih keras” !

116 pag. 19

Page 68: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Kantongnya terancam!, Tuan­tuan Hakim, kantongnya terancam!; − Untuk melindungi kantong ini, maka mereka mengabui mata publik,− untuk menjaga kepentingan ini maka mereka mengadakan pers yang tiada moral melainkan moral­duit, tiada etik melainkan etik­fulus!

“Juga negeri Belanda”,− begitulah tuan Vleming, bekas kepala belasting­accountantsdienst disini, berpidato −,

“Ook Nederland is nog steeds een kapitalistisch geregeerd wordend land, waar het krachtig georganiseerd grootkapitaal en niet het minst dat wat zijn belangen heeft in Indonesie, niet alleen een ongekende economische macht bezit,maar ook met alle hem ten dienste staande middelen grooten invloed weet uit te oefenen op de regeering. En deze middelen zijn niet gering. Dit groot­kapitaal is nauw verbonden aan de Engelsche, Amerikaansche, Belgische, Duitsche, Franche enz. enz. grootkapitalisten, die vanwege de zg. opendeur­politiek, ook in Indonesie hun belangen hebben en die met de Nederlandsche georganiseerd zijn in de In 1921 opgerichte “ondernemerraad voor Nederl. Indie”. Direct of indirect beschikt deze ondernemersraad over een uit gebreide pers en persvoorlich­tingsdienst, terwijl zijn belang hebben den tevens geinteresseerd zijn bij twee in het buitenland verschijnende bladen, “The New World” en “Le Monde Nouveau”. Met leugen, bedrog, broodroof, − en waar zijn belangen het meebrengen en zulks bereiket kan worden, is het bereid veel verder te gaan − voert het georganiseerde groot­kapitaal in ieder land, dus ook in Indonesie, zijn belangenstrijd, de bakens verzettend als dat noodig wordt.” 117

“Juga negeri Belanda masihlah ada suatu negeri yang diperintah secara kapitalistisch, suatu negeri di mana modal­besar yang terhimpun teguh itu, terutama yang mempunyai kepentingan­kepentingannya di Indonesia, bukan saja mempunyai kekuasaan­okonomie yang besar sekali, tetapi juga mejalankan pengaruh habitat di atas pemerintah dengan semua alat­alat yang dipunyainya. Dan alat­alat ini bukanlah remeh. Modal besar ini adalah rapat berhubungan dengan modal­besar dari Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Perancis, dll, yang sejak adanya opendeur­politiek mempunyailah juga kepentingannya di Indonesia, dan yang bersama­sama dengan modal Belanda itu tergabunglah satu sama lain di dalam suatu “Majelis­majikan untuk Hindia Belanda” yang didirikan di dalam tahun 1921. Majelis­majikan ini dengan jalan direct atau indirect mempunyailah kekuasaan di atas suatu pers dan penyuluhan­pers yang lebar­lapang, sedang mereka juga mempunyai kepentingan di dalam dua surat­kabar di luar negeri, yakni “The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan pendustaan, penipuan, pembunuhan pencarian­hidup orang lain, − dan kalau kepentingannya memandang perlu, mereka tak segan bertindak lebih kejam − maka modal­besar itu di dalam tiap­tiap negeri, dus juga di Indonesia menjalankanlah perjuangan kepentingannya, dengan merubah haluan dimana perlu.” Lebih terang daripada tuan Vleming itu tak bisalah digambarkan asal­asalnya moraal­duit

dan ethiek­duit daripada pers imperialisme di Indonesia itu. Oleh karena itu, tak haruslah kita heran atau marah atas kegegerannya surat­surat­kabar ála A.I.D. de Preanger­Bode atau ála

117**) The great unwashed = “kaum yang tidak tercuci”

Page 69: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Surabajaasch Handelsblad itu. Biar mereka gembar­gembor, biar mereka berpikir ke kanan dan ke kiri, biar mereka jengkelitan berdiri di atas kepalanya,− kami tak akan ambil pusing, kami tak akan ambil mumet, kami akan bekerja terus!

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, marilah kami meng­ulangi lagi: politieke macht kemerdekaan, hanyalah bisa didatangkan oleh usaha rakyat Indonesia sendiri! Kaum imperialisme sudah semestinya menghalang­halangi kita; dari stelsel imperialisme, yang hidupnya daripada penjajahan itu, kita tak harus mengharap sokongan memberhentikan penjajahan itu. Nasib kita adalah di dalam genggaman kita sendiri; keselamatan kita adalah di dalam kemauan kita, sendiri, di dalam tekad kita sendiri, di dalam kebiasaan kita sendiri, di dalam usaha kita sendiri. Semboyan kita tidaklah “minta­minta”, tidaklah “mengemis”, tidaklah “mendicancy” sebagai Tilak *) mengatakannya, − tetapi semboyan kita haruslah 118

“noncooperation”, lebih benar: “selfhelp” **) “zelfverwer­kelijking”, “selfreliance”!, sebagai 119

yang kita simbolkan dengan simbol kepala banteng! Siapa yang masih mengharap­harap pertolongan dari stelsel imperialisme, siapa yang masih

percaya akan “anugerah” yang nanti akan di “anugerah”kan olehnya, siapa yang masih meng­gugu akan omongan “mission sacree”, siapa yang masih mengarahkan mukanya ke Barat, ia adalah sama­sekali buta akan kenyataan yang sebenarnya, buta akan realiteit.

Sebab kenyataan yang sebenarnya adalah, sebagai tertulis di dalam keterangan­azas kita, bahwa negeri Belanda peri­kehidupannya sangatlah tergantung daripada penjajahan Indonesia. Kenyataan yang sebenarnya adalah menyebabkan Mr. Dijkstra di dalam Indische Gids 1914 menulis:

“de bevolking kan in de eerste eeuwen niet van ons cultuurimperialisme verwachten, dat onze macht en kennis dienstbaar zal worden gemaakt aan hunne Beschaving en gezondheid”. “penduduk di dalam seratus atau duaratus tahun ini tak usahlah mengharap, bahwa kekuasaan dan kepandaian kita itu akan kita usahakan bagi pendidikan dan kesehatannya”.

Kenyataan yang sebenarnya adalah menyebabkan tuan Vleming berpidato:

“Voor de algemeene welstand van de bijna 7½ milliun inwoners van ons klein landje .... is het van enorme beteekenis, dat jaarlijks een belangrijk uitvoersaldo, dat wil dus zeggen een belangrijk grootere waarde die Indie uitvoert dan invoert, in den vorm van dividend, Interest, tantieme, salarissen, pensioenen, verlofstractementen ........... enz. enz. naar Nederland stroomt”. 120

“Bagi kesejahteraannya penduduk 7½ milliun daripada negeri kita yang kecil itu ...... besar sekalilah faedahnya, yang tiap­tiap tahun adalah uitvoersaldo yang besar, artinya lebih banyak harga yang keluar dari Hindia daripada harga yang masuk mengalir ke negeri Belanda dengan berupa dividend, bunga, tantiëme, gaji­gaji, pensiun­pensiun, tractementverlof dan lain sebagainya”.

118 Colijn over Indie, pag. 39 119 Intern. Soc. Dem. Kol. pol, pag. 82 120*) Tilak adalah pemimpin rakyat Hindustan yang utama

Page 70: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa, sebagai Prof. Moon menuliskan, kebesaran negeri Belanda sekarang ini ialah oleh karena negeri Belanda itu mempunyai negeri jajahan Indonesia yang luas dan banyak penduduk itu. Kenyataan yang sebenarnya adalah menjadi sebabnya Dr. Sandberg tempohari geger membikin buku yang spesial bernama “Indie verloren, rampspoed geboren”, “Indonesia merdeka, Nederland bangkrut”, − menjadi sebabnya Staatscommissie voor de Verdediging van Nederlandsch­Indie menulis :

“Ook uit economisch oogpunt zou het verlies van Indie in den volsten zin des woord een nationale ramp voor het moederland zijn”. 121

“Juga terpandang dari penglihatan ekonomi, maka lepasnya Hindia adalah berarti suatu bencana nasional yang sehebat­hebatnya bagi negeri Belanda”. Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa sudah zaman dulupula minister Baud berkata

“Indie is de kurk waarop Nederland drijft”. “Hindia adalah gabus di atas mana Nederland terapung­apung”, − bahwa de Kat Angelino di dalam ia­punya buku “Staat kundig beleid en bestuurszorg in Ned. Indie”, (standaardwerk yang mendapat sokongan dari ministerie van Kolonien, Tuan­tuan Hakim), dengan terus­terang menulis :

“Het industrieele Westen kan zonder de producten der agrarische tropische en sub­tropische gebieden, welke in hoofdzaak de koloniale wereld samenstellen, niet bestaan. Zijn maatschappij is door tallooze economische banden aan die gebieden en hun toekomst onverbrekelijk vastgeketend”. 122

“Dunia Barat yang penuh dengan kepabrikan itu tidaklah bisa hidup zonder hasil­hasilnya negeri­negeri panas dan setengah­panas, yakni sebagian besar negeri­negeri jajahan. Pergaulan­hidup adalah tertalikan dengan sekeras­kerasnya kepada negeri­negeri itu dengan tali­tali­ekonomi yang banyak sekali”. Tidakkah ini berarti, bahwa dunia Barat itu seperti bunuh diri sendiri, kalau dengan

kemauan sendiri mengasih kemerdekaan kepada dunia Timur? Bahwa sesungguhnya: siapa yang dengan keadaan yang semacam itu masih berani meng­harapkan pertolongan daripada dunia Barat di dalam ia punya usaha memerdekakan negeri dan bangsanya, − ia adalah menutupkan mata! P.N.I. tidak mau menutupkan mata, P.N.I. tidak mau mimpi, P.N.I. tidak mau ngalamun,− P.N.I. adalah “tangi” setangi­tanginya!

Banyak orang yang mengatakan, bahwa politieknya P.N.I. yang bersendi kepada “percaya diri sendiri itu”, adalah tersebabkan oleh halnya pemerintah tidak meluluskan ia punya “Novemberbeloften” dari tahun 1918, yang menyanggupkan perluasan hak­hak bagi rakyat Indonesia. Sangkaan yang demikian ini adalah salah: Azas P.N.I.“percaya pada diri sendiri” tidaklah tersebabkan oleh pencederaannya persanggupan­persanggupan Novem ber itu ; azas P.N.I. itu, sebagai kami terangkan tadi, ialah keluar daripada analyse *) keadaan kolonial di 123

dalam hakekatnya, − yakni daripada analyse hakekatnya imperialisme sendiri. Azas “percaya pada diri sendiri” itu tidaklah buat Indonesia saja, tetapi sebenarnya dipakai untuk perjuangannya tiap­tiap rakyat jajahan yang mengejar kemerdekaan. Ia boleh dipakai oleh bangsa Hindustan, bangsa Indochina, bangsa Philippina, bangsa Korea, bangsa Mesir, − pendek 121**) Selfhelp, selfreliance = berusaha sendiri 122 t.a.p. pag. 72 123 Bij Sneevliet, Proces, pag. 257

Page 71: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kata oleh tiap­tiap bangsa yang berkeluh­kesah memikul bebannya imperialisme asing. Azas kita tidaklah terikat kepada batas­batasnya negeri kita sendiri saja, − azas kita adalah “supra­nationaal”, oleh karena hakekatnya imperialisme adalah supranationaal pula. Imperialisme didalam hakekatnya dimana­mana adalah sama; dimana­mana imperialisme adalah: nafsu menguasai dan mempengaruhi negeri orang lain untuk keun­tungan sendiri; dimana­mana imperialisme adalahberten­tangan kepentingan dengan rakyat yang didudukinya! Dimana­mana stelsel imperialisme tidaklah akan “mematangkan” dan memerdekakan kolonienya dengan kemauan sendiri !

Diciderainya persanggupan­persanggupan­November itu tidaklah membikin keingkaran kita. Politiknya gouverneur­generaal Fock yang menciderai kata kehormatan yang oleh pemerintah van Limburg Stirum dipersanggupkan itu; politiek­nya g.g. Fock yang malahan memberatkan nasib kita dengan bezuiniging, dengan overcompleet, dengan cabutan duurtetoe­slag, dengan tambahan belasting, dengan circulaire pembung­keman, dengan vergaderverbod, dengan artikel 161­bis dan lain­lain sebagainya; politiknya g.g. Fock yang sama sekali suatu penghinaan atas semangatnya persanggupan­persanggupan­November itu, − politik yang demikian itu tidaklah mengasal­kan kami­punya azas, tetapi hanyalah menambah teguhnya kami­punya kepercayaan di dalam kebenarannya kami­punya azas itu saja, menambah teguhnya kami­punya kepercayaan di dalam kebenarannya kami­punya analyse; yakni analyse bahwa kaum imperialisme yang sesudahnya perang besar itu malahan makin butuh akan kekayaan Indonesia, haruslah menjalankan pengaruhnya atas pemerintahan! November­beloften, yang toh dikasihkannya juga tidak karena sekonyong­konyong kita dipandang lebih “matang” sedikit, tetapi hanya karena keadaan politik ada sangat mengkhawatirkan, yakni oleh karena pada masa itu perhubungan Nederland­Indonesia, ada menjadi sangat tipis sekali, pergerakan rakyat makin membanjir, sedang keadaan Nederland sendiri ada sangat berbahaya, − November­beloften yang oleh karenanya, toh sudah mempunyai sifat “persanggupan karena takut” alias “angstbeloften” itu − November­beloften itu, sesudah bahaya hilang, oleh kaum imperialisme tidak­boleh tidak harus dipaksakan menciderainya !

“Het was het hoogtepunt van het internationale gebeuren, toen de splinters van stuk­geslagen tronen het volk van Nederland om de ooren vlogen en de donder van buitenlandsche revoluties over zijn velden rolde.” “Ketika itu kejadian­kejadian internasional sudahlah men­capai puncak­kepanasannya, tatkala singgasana­singgasana hancurlah terpukul terbang − di kanan­kirinya telinga − rakyat Belanda, dan tatkala gunturnya revolutie­revolutie luar­negeri gemuruh terdengar menyambar­nyambar di atas ladang­Iadangnya.”

− begitulah Troelstra menggambarkan keadaan tatkala November­beloften itu perlu diucapkan, tetapi, sesudahnya bahaya hilang, tatkala November­beloften itu perlu dicabut lagi, maka segeralah kita mengetahui “rahasia” sebabnya, yakni “rahasia” yang dibukakan oleh Prof. Treub di dalam verge­deringnya ondernemersraad pada 21 Juli 1923, − rahasia yang berbunyi:

“Een der indrukken, die ik reeds lang, voordat ik in Indie kwam, had, is daar zeer versterkt, nl. dat, tengevolge van den oorlog,Indië voor Nederland van nog veel grootere beteekenis is geworden, dan het voordien was!”

Page 72: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Salah suatu indruk yang lama sebelumnya saya datang di Hindia, sudah saya kandungkan, disana adalah sangat terkuatkan lagi, yaitu bahwa Hindia sesudahnya peperangan itu, adalah menjadi lebih besar lagi pentingnya bagi negeri Belanda daripada dahuIu!”

“Rahasia!” .............. Tetapi “rahasia” yang buat kita kaum P.N.I. bukanlah “rahasia” lagi, − “rahasia” yang gemerincing dengan ringgit, “rahasia” yang berbau guIa, “rahasia” yang berbau karet, “rahasia” yang berbau minyak, berbau teh, berbau tembakau dan lain­lain! Sedang di zaman perang uitvoeroverschot “hanya” kurang lebih ƒ300.000,000.­ setahun­tahunnya, sedang di zaman perang itu procentage uitvoeroverschot ialah “hanya” rata­rata 40% daritotale uitvoer, maka di dalam tahun 1919 menjadilah ia lebih dari ƒ1.400.000.000.­, menjadilah ia lebih dari 70% dari jumlahnya uitvoer! Oleh sebab itu, ini “rahasia” adalah “rahasia” yang tidak 124

mengherankan kita lagi, bahwa November­beloften itu harus diciderainya, harus digantinya dengan politiek yang sangat reactionnair!

Di dalam buku peringatan limabelas tahun berdirinya Indonesische Vereeniging kaca 25 ­ 26,

kami membaca: “En wanneer na den vrede, door het werk der vernietiging op groote schaal een economische ontreddering komt ........... is Europa dubbel aangewezen op de “onontgonnen gebieden” van het Oosten, waar moeder Natuur in geduldige onuitputtelijkheid hare rijkdommen verschaft. Dan moet de staatkunde er ook een zijn, die gericht is op de ruimste mogelijkheid van machtsuitoefening, zonder welke een intensieve exploitatie niet kan plaats grijpen. De Britsche reactionnaire politieke onmiddellijk na den oorlog t.o. v. India is een noodwendig gevolg daarvan. Maar ook Amerika, die in hoofdzaak zich toch nog zelf kan bedruipen, laat zijn zoo geroemde isolementspolitiek varen om als imperialistische macht in het Oosten op te treden. Van waar anders de tegenstrijdige regeeringsverklaringen ...... dat de Philippijnen eerst wel, dan weer niet “rijp’’ worden geacht voor onafhankelijkheid, die in de Jones Act van 1916 in uitzicht is gesteld? Nederland, die door zijn neutraliteitshouding in den oorlog van materieele verwoestingen bespaard is gebleven, doch in min of meer sterke mate de crisis­gevolgen van het continent moet ondervinden, spant dan ook alle krachten in om de door den oorlog losser geworden economische banden met Nederlandsch Indië weer nauw aanzich te trekken,” ............ “Dan tatkala sesudahnya perdamaian, tersebabnya oleh kerja­pembinasaan itu,

keadaan­ekonomi menjadi kacau­balau, ........... maka Eropah adalah menjadi berganda­ganda lebih butuh lagi pada “padang­padang yang belum terbuka” di dunia­Timur, dimana Ibu­Alam bersedia mengasihkan kekayaan­kekayaan dengan kemurahan yang tiada hingga. Maka politik­kerajaan haruslah juga suatu politik yang menjalankan kekuasaan yang sekeras­kerasnya, sebab zon­der politik yang demikian itu kekayaan tadi tidaklah bisa dikeduk sebanyak­banyaknya. Itulah sebabnya maka negeri Inggris sebentar sesudahnya peperangan adalah men­jalankan politik yang reactionnair sekali terhadap pada India.

124 1e deel, 1e ged: pag. 89

Page 73: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tetapi juga Amerika, yang toh sebenarnya masih cukup makan kekayaan sendiri, adalah meninggalkan ia­punya isolementspolitiek *) yang di mashurkan itu, dan men­jalankanlah 125

politik­imperialisme di dunia­Timur. Kalau tidak begitu, darimanakah datangnya keterangan­keterangan pemerintah yang bertentangan satu sama lainnya, yakni bahwa mula­mula Philippina dianggapnya sudah matang, kemudian belum matang untuk kemer­dekaan, sebagai mana dipersanggupkan di dalam Jones Act. 1916? Negeri Belanda, yang karena tak ikut perang, tidak begitu menderitakan kerusakan benda, tetapi yang toh ikut pula merasakan benar­benar pengaruhnya krisis di benua Eropah, tak urunglah juga lantas bekerja sekuat­kuatnya buat mengeraskan pertalian­ekonomi antara negeri Belanda dan Hindia, yang oleh peperangan itu menjadi agak longgar adanya.” ..........

dan − gouverneur­generaal Fock dikirimkanlah ke sini, November­beloften musnalah menjadi kabut atau halimun di dalam peringatan belaka, − lebih teguh lagilah oleh karenanya keyakinan kita akan azas “selfhelp” dan “selfreliance” itu, lebih insyaf lagilah kita bahwa kemerdekaan adalah hasilnya perjuangan kita sendiri!

Bahwasanya: sebagaimana kaum­buruh negeri Belanda berjuang untuk algemeen kiesrecht *) dengan nyanyian: 126

“Wat helpen ons gebeden, voor het kiesrecht dient gestreden!”, “Tak gunalah meminta sayang, buat kiesrecht harus berjuang!”

maka kita juga mendengungkan kita­punya semboyan:

“Wat helpen ons gebeden, voor de vrijheid dient gestreden!” “Tak gunalah meminta sayang, buat kemerdekaan harus berjuang!”

Berjuang! Dengan apa berjuang? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Dengan merusak keamanan­umum? Dengan menjalankan kejahatan? Amboi, tidak! Tidak dengan pedang, tidak dengan bedil, tidak dengan bom, tidak dengan melanggar artikel 153­bis atau 169, tidak dengan melintasi batasnya wet kita strijden atau berjuang, − kita berjuang ialah dengan sesuatu “pembikinan­tenaga” yang halal, yakni dengan suatu modern­georganiseerde machtvorming di dalam Iingkungannya wet, sebagaimana kaum­buruh di negeri Belanda berjuangnya melawan kapitalisme dan “mengambilnya” politieke macht itujuga tidak memakai cara­cara yang diha­ramkan oleh hukum, melainkan juga hanya dengan machts­vorming yang halal belaka. Machtsvorming yang halal, pembikinan­kuasa di dalam lingkungannya wet, itulah yang P.N.I. maksudkan, Tuan­tuan Hakim, dan bukanmachtsvorming yang dlharamkan oleh wet itu, − bukan machtsvorming dengan serdadu­serdadu rahasia, bukan machtsvorming á la nihilisme, bukan pula machtsvorming yang bermaksud membahayai “keamanan­umum”, melanggar 153 bis dan artikel 169 buku hukum siksa.

Buat apa dan machtsvorming! buat apa dan pembikinan­kuasa!, kami dengar orang bertanya. Machtsvorming, pem­bikinan­kuasa, oleh karena soal­kolonial adalah soal­kuasa, soal­macht! Machtsvorming oleh karena seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perubahan­perubahan besar hanyalah diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan

125*) analyse = pengupasan 126 Verg. Koch. Vakbew: 1927 p. 570 en v. Gelderen: Voerlez: p. 98 e.v.

Page 74: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

akan untung­rugi menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menun­tutkannya. “Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak­haknya dengan kemauan sendiri”, “nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan”, begitulah Marx berkata. Seluruh riwayat dunia adalah, riwayatnya pergerakan­pergerakan macht ini. Seluruh riwayat dunia, terutama sesudah lahirnya faham democratie pada fajarnya abad ke 19, adalah menunjukkan machtsvorming itu; tiap­tiap partai politik, tiap­tiap serikat sekerja, tiap­tiap vereeniging adalah suatu machtsvorming, suatu pembikinan­kuasa suatu pembikinan­tenaga. Orang­orang manusia yang tersendiri tidaklah besar kekuasaannya, de individueele enkeling kan geen groote macht ontplooien. Maka orang­orang manusia yang tersendiri itu lantas mengumpulkanlah diri satu sama lain, menggabungkanlah diri satu sama lain, − suatu vereeniging lahirlah didunia. Kalau misalnya orang­orang Eropah disini mengadakan suatu perkumpulan P.E.B., kalau orang­orang Eropah di sini mendirikan Vaderlandsche Club, kalau sebagian orang Tionghoa membangunkan Chung Hwa Hui, kalau orang­orang Bumiputera menyerikatkan diri di dalam“Wargi­Bandung” atau “Tulak Bahla Tawil Umur”, maka mereka hanyalah mendirikan badan­badan pembikinan­kuasa belaka.

O memang, machtsvormingnya P.E.B., machtsvormingnya Vaderlandsche Club, machtsvormingnya “TuIak Bahla Tawil Umur” tidaklah sama sifat­tabiatnya. dengan machtsvormingnya P.N.I. Sedang P.E.B. mengejar kepentingan­kepentingan yangsesuai dengan kepentingan imperialisme, sedang Vaderlandsche Club mau meneruskan penjajahan Indonesia itu sampai lebur kiamat, sedang T.B.T.O. percaya pula di dalam kebahagiaannya penjajahan itu, − sedang perkumpulan­perkumpulan itu adalah partai­partai reaktie ataubehoudspartijen, maka P.N.I. adalah mengajar kepentingan­kepentingannya yang samasekali ber­tentangan dengan kepentingannya imperialisme, P.N.I. adalah partai­perlawanan, partaioppositie. Machtsvorming P.N.I. sebagai yang tadi kami katakan, machtsvorming P.N.I. adalah timbul daripada keyakinan bahwa soal­kolonial adalah soal­macht. Selama rakyat Indonesia belum menjadi suatu macht yang maha­sentosa, selama rakyat itu masih saja tercerai­berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,− selama itu maka kaum imperialisme yang mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan­tuntutannya. Sebab tiap­tiap tuntutan rak yat Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme; tiap­tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa menurutinya. Tiap­tiap kemenangan rakyat Indonesia atas kaum imperialisme dan pemerintah adalah buahnya desakan yang rakyat itu kerjakan, tiap­tiap kemenangan rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie! *) 127

Socialist Cramer pada 10 Juni 1925 adalah berkata dalam Tweede­Kamer: “Ondanks aIle mooi klinkende frasen, blijkt hieruit duiddelijk dat ................ de NederlandscheI belangen, of juist uitgedrukt de belangen, van het grookapitaal, voor alles veilig moeten worden gesteld; de belangen van het Indische volk komen eerst in de tweede, derde of vierde plaats. Mijnheer de Voorzitter! Het Indische volk zal niet nalaten daaruit de eenig juiste gevolgtrekking te maken, dat het van een Kamer zooals die thans is samengesteld, niets kan en behoeft te verwachten en dat het, wil het wat bereiken,macht tegenover macht zal hebben te stellen. Want is de geheele

127*) isomentspolitiek = politik tak mau ikut pusing apa yang terjadi di luar pagar.

Page 75: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

questie van het al of niet rijp zijn om mede te regeeren niet in hoofdzaak een machtsquestie?” “Walaupun diselimuti oleh kata­kata manis yang bagaimana juga, maka ternyatalah di sini dengan senyata­nyatanya, bahwa .......... kepentingan­kepentingan Belanda, atau lebih benar: kepentingan­kepentingan modal besar, senantiasa lebih dulu diperhatikan: kepentingan rakyat Hindia barulah datang di tempat yang kedua, ketiga atau keempat. Tuan Voorzitter ! Rakyat Hindia tentu tak oranglah mengambil pengajaran yang satu­satunya daripada hal ini, yakni bahwa mereka tak bisa dan tak haruslah mengharap suatu apa daripada Kamer yang demikian ini susunannya, dan bahwa mereka, bilamana mereka mencapai suatu apa, haruslah menghadapkan kekuasaan kepada kekuasaan. Sebab tidakkah soal matang atau belum matang buat ikut memerintah itu, terutama sekali ialah soal kekuasaan?” “Kekuasaan dihadapkan kepada kekuasaan”, “macht tegenover macht”, begitulah

nasehatnya Cramer. En toh ......... Cramer bukan bolsheviek, Cramer bukan socialist­kiri! Cramer bukan orang yang mau main bedil­bedilan atau bom­boman, bukan orang yang mau “membahayai keamanan­umum”, bukan orang yang mau “menyerang” atau “merubuhkan” gezag. Cramer adalah socialist yang “kutuk”, seorang “rechtscihapen burger”, anggota opposite­partij S.D.A.P. yang aman itu !

Bahwasanya; machtsvormingnya sesuatu partai­perlawanan tidaklah selamanya harus machtsvorming yang melintasi ling­kungan hukum! Sebagaimana S.D.A.P. dengan jalan machts­vorming yang halal itu, dari suatu grup kecil yang dihina­hina dan dimakimaki bisa menjadi suatu macht yang ditakuti orang karena Sekarang mempengaruhi orang ratusan­ribu; sebagai­mana S.D.A.P. itu, dengan menggerakkan puluhan­ribu kaum rakyat, dengan mendirikan serikat­serikat kaum­buruh, dengan mengadakan cooperatie­cooperatie, dengan mengeluarkan ber­puluh­puluh surat­kabar, bisa mendesak dan memaksa kepada musuhnya mengadakan concessie­concessie yang berharga: sebagaimana S.D.A.P. atau kaum­buruh di Eropah­Barat dengan machtsvorming yang maha­hebat tetapi halal itu, mau mencapai politieke macht dan lantas memberhentikan kapitalisme, − P.N.I. dengan jalan machtsvorming pula ingin menjadi macht yang ditakuti, yang akhirnya bisa menuntun rakyat Indonesia ke atas politieke macht juga, − politieke macht, kemerdekaan, yang menurut penglihatan kami adalahsyarat yang terpenting untuk memberhentikan imperialisme sama­sekali.

Mencapai politieke macht!, − mendatangkan Indonesia­Merdeka!− ya juist, mendatangkan Indonesia­Merdeka!, dus P.N.I. mau berontak kalau kemerdekaan itu tidak dikasihkan!” − begitulah orang bisa berkata.

Amboi, aneh benar “logica” yang demikian ini! Kalau memang benar “logica” yang demikian itu, orang lantas boleh me­ “logica”­kan pula: dus P.S.I. yang bercita­cita pemerintahan­Islam itu, juga mau berontak!,− atau orang boleh me­”logica”­kan pula. dus Boedi Oetomo, dus Pasundan, dus Kaum­Betawi, dus Sarekat­Madura, dus semua anggauta P.P.P.K.I. yang juga mau mendatangkan kemerdekaan itu, juga mau membikin huru­hara!, − yang orang boleh me­”logica”­kan pula: dus S.D.A.P., dus I.S.D.P., dus Albarda c.s. dan Stokvis c.s. yang bersemboyan “naar de politieke macht !, weg met het kapitalisme!” itu, juga mau mengamuk dengan bom dan dynamiet!

Page 76: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Amboi, kocak benar kalau begitu: Ouweheer Stokvis mengamuk dengan bom dan dynamiet!! Padahal, − bagaimana­kah aksinya I.S.D.P.? Bagaimanakah aksinya S.D.A.P.? Bagai­manakah Stokvis c.s. dan Albarda c.s. itu mau mencapaikan politieke macht itu?

“Bagaimana jalannya mengambil politieke macht?”, begitulah kaum itu menjawab di dalam mereka­punya buku­keciI tentang azas dan tujuan S.D.A.P.,

“Wij zijn er mede bezig bij elk stuk organisatie, dat wij vestigen en uitbreiden. Wij werken er aan bij elke verkiezing, bij kiesrechtstrijd, bij elke groote actie tegen de bourgeoisie. Het is geen opstand van één dag, maar het werk onzer opstandigheid van lange jaren .......... De uitorlijke middelen, waarmee het proletariaat den strijd voert, richten zich naar de eischen en mogelijkheden van dien strijd en naar de wapenen, die de kapitalistische samenleving zelve ons levert. Daarom vooral gebruiken wij het parlement; daarom ook gebruikt de vakbeweging − di negeri Belanda ada hak­mogok, Tuan­tuan Hakim − het wapen der werkstaking, dat haar door de onmisbaarheid der arbeiders in het voortbrengingsproces aan de hand wordt gedaan. Maar datzelfde wapen gebruikt het prole­tariaat ook voor algemeene politieke en klasse eischen, als het meent, er profijt van te kunnen trekken .......... Geweld is ons door de ervaring gebleken eenslecht middel te zijn, vrijweloverbodig als wij de macht hebben, schadelijk zoolang wij die niet hebben ............ welke actie evenwel wij ook zouden willenvoeren − weIk middel door ons mocht worden ter handgenomen − de onontbeerlijke grondslag van alles is: het bestaan van een duurzame, hecht ineensluitende, groeiende organisatie, van een organisatie die het zedelijk recht en de macht heeft, de leiding der arbeidersklasse in den klasenstrijd op zich te nemen.” 128

“Kita adalah mengambil politieke macht itu pada tiap­tiap usaha organisasi yang kita dirikan dan kita luaskan. Kita adalah mengerjakannya pada tiap­tiap pemilihan dewan­rakyat dan perjuangan untuk pemilihan itu, pada tiap­tiap aksi yang besar melawan bourgeoisie. Kerja ini bukanlah perlawanan dari satu hari, tetapi ialah kerjaperlawanan yang berpuluhan­tahun. Alat­alat, yang diusahakan oleh kaum proletar di dalam perlawanan ini, adalah ikut berubah menurut keharusan­keharusan dan pertimbangan akan hasil­tidaknya, dan menurut pula senjata­senjata yang dikasihkan oleh pergaulan­hidup kapitalistisch itu kepada kita. Itulah sebabnya kita bekerja di dalam parlement; itulah juga sebabnya pergerakan sekerja − di negeri Belanda ada hak­mogok. Tuan­tuan Hakim − mempe­rusahakan senjata pemogokan, yang ada padanya oleh halnya tiada satu apa­apa bisa terbikin jikalau tidak dengan tenaganya kaum­buruh. Tetapi senjata pemogokan ini dipakailah juga oleh kaum proletar untuk merebut tuntutan­tuntutan­kelas, kalau ia memandang perlu ...... Perkosaan adalah menurut pengalaman kita suatu senjata yang tak baik, tak perIu kalau kita mempunyai ke­kuasaan, merugikan kalau kita tidak mempunyai kekuasaan itu. ............ Tetapi bagaimana juga aksi yang hendak kita jalankan, bagaimana juga senjata yang hendak kita usahakan, − sendinya semua itu tidak­boleh tidak haruslah suatu organisatie yang langsung, yang teguh dan yang subur, suatu organisasi yang pantas dan kuasa menjadi penun­tutannya kaum proletar di atas padang perjuangan­kelasnya.”

128*) Algemeen­kiesrecht = hak semua rakyat ikut memilih dan dipilih menjadi anggota dewan­rakyat.

Page 77: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Sesungguhnya, − kocak betullah “logica” yang me­”logica”kan bahwa dus P.N.I. akan membikin huru hara. Tetapi, juga dengan tidak menertawakan “logica” yang kocak itu, maka tiap­tiap orang yang mau mengakui bahwa sedikitnya otak kami toh masih belum terganggu, tiap­tiap orang yang tidak memandang kami orang­orang yang gila atau orang­orang idiot, tentulah mengarti, bahwa kami mustahillah tak mengetahui bahwa kemerdekaan itu hanyalah bisa tercapai dengan suatu usaha­susunan dan usaha­kekuasaan yang maha­sukar dan maha­berat adanya, dan bahwa mustahillah pula kami misalnya bisa berkata, bahwa kemerdekaan itu akan datang daIam tahun 1930! Sebagaimana politieke macht tidak bisa dicapaikan oleh kaum­buruh Eropah di dalam satu, dua, tiga, sepuluh, duapuluh tahun, maka kemerdekaanpun tak bisa diperolehkan oleh rakyat Indonesia di dalam satu nafas !

Ai­ai, “kemerdekaan akan datang dalam tahun ‘30!” Kami dikatakan pernah bilang bahwa kemerdekaan akan datang dalam tahun 1930!

Sesungguhnya, kalau memang benar begitu, perlu sekalilah kami dengan segera dikirimkan ke rumah­sakit gila Tjikeumeuh, afdeeling “ongeneeslijke patiënten”, bersama­sama dengan saudara Mr. Sartono, yang juga dikatakan pernah berpidato kemerdekaan akan datang tahun ini.

“Di atas pertanyaan Mr. Sartono,” − begitulah kami membaca dalam Bintang­Timur Hollandsche editie 4 Januari j.l. −,

“op de vraag van Mr. Sartono, waarop de feiten der tenlastelegging berusten, gaf de politie ten bescheid, dat de regeering bericht heeft ontvangen van geheel Indonesia, dat de P.N.I. een revolutie in het leven wil roepen, en ook dat. alweer volgens spionnenberichten, Mr.Sartono in een openbare (???) vergadering zou hebben uitgelaten, dat in 1930 dit land zijn vrijheid zou herkrijgen ......... Mr. Sartono antwoordde hierop ad rem, dat het Hoofdbestuur nimmer een dergelijk plan heeft ontworpen. Immers, indien het waar mocht zijn, dan zou daarvoor een zeker besluit vanwege het Hoofdbestuur zijn verschenen met instructies! En daarenboven, wanneer ze inderdaad dat snoode plan hadden, dan zouden ze zeker allen wapens of minstens een golok in huis moeten hebben, terwijl nu bij deze massale huiszoekingen bij geen der leiders een mes of ander wapen is aangetroffen. Hij herinnert zich wel, dat hij in een openbare vergadering verklaard heeft dat in 1930 onze Chineesche broeders gelijk worden gesteld met de Europeanen. In verband daarmede moet hij gezegd hebben, dat als consequentie daarvan de Indonesier ook aanspraak hebben op die rechtten, voortvloeiende uit de gelijkstellingswet. Hij heeft steeds verklaard, dat hij gaarne de vrijheid van Indonesia wenschte. In bijna elke openbare vergadering heeft hij dat zonder eenige restrictie verkondigd. Echter heeft hij nimmer beweerd dat Indonesia met ingang van 1 Januari 1930 merdeka zou zijn, en dat tegen dien tijd hier revolutie zou uitbreken. Indien hij zoo iets moet hebben uitgelaten, dan verwondert het hem, dat hij niet bij die gelegenheid was gearresteerd” ......... “di atas pertanyaan Mr. Sartono apakah yang menjadi pasal­pasalnya pendakwaan, maka politik adalah menjawab, bahwa pemerintah mendapat kabar dari seluruh Indonesia, yang P.N.I. akan mengadakan pemberontakan dan juga bahwa menurut kabar­kabar spion, Mr. Sartono di dalam suatu openbare vergadering (???) pernah berkata, bahwa negeri ini dalam tahun 1930 akan merdeka ........... Mr. Sartono lantas menjawablah dengan tandes, bahwa Hoofdbestuur tak pernah mempunyai maksud yang demikian itu. Sebab umpama benar begitu, maka niscayalah Hoofdbestuur itu mengadakan besluit di atasnya dengan instruksi­instruksi yang cukup. Lagipula, umpama mereka memang mempunyai maksud

Page 78: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

yang demikian, tentunya mereka semua haruslah mempunyai senjata­senjata atau setidak­tidaknya satu golok di rumah, sedangkan tatkala diadakan penggrebekan di mana­mana itu, tidak ada satu pisau atau satu senjata apa saja terdapat pada pemimpin­pemimpin itu. Menurut ingatannya, maka ia di dalam suatu openbare vergadering pernah mengata­kan, bahwa saudara­saudara kita bangsa Tionghoa akan dipersamakan dengan bangsa Eropah di dalam tahun 1930. Berhubung dengan hal ini, kalau tidak salah ia adalah mengatakan, bahwa semestinya bangsa Indonesia harus juga mendapatkan hak­persamaan itu. Ia selamanya mene­rangkan bahwa ia ingin melihat Indonesia merdeka. Dalam tiap­tiap openbare vergadering ia mengatakan hal itu dengan tidak dikurangi sedikitpun juga. Tetapi ia tidak pernahlah berkata bahwa Indonesia akan merdeka pada 1 Januari 1930, dan bahwa pada saat itu di sini akan ada revolusi. Kalau memang ia bilang begitu, maka ia heranlah, apa sebabnya ia tidak ditangkap seketika itu juga”. Benar sekali! Kita tak pernah tedeng aling­aling bahwa kita mengejar kemerdekaan, kita

tak pernah tedeng aling­aling bahwa P.N.I. punya idam­idaman ialah Indonesia­Merdeka! Tetapi kita tidak begitu idioot, mengira atau mengatakan bahwa kemerdekaan itu dalam satu nafas akan datang !

O memang, kalau umpamanya kemerdekaan itu bisa jatuh dari langit ini hari, kalau umpamanya bisa datang seorang malaikat­manis yang menghadiahkan kemerdekaan ituini hari, maka kita, dari Partai Nasional Indonesia, kita tidak akan menolaknya tetapi sebaliknya akan bersuka­raya. Kita di dalam hal itu akan mengucap syukur dan alhamdulillah, oleh karena sepanjang keyakinan kita kemerdekaan adalah kuncinya pintu­gerbang sorga kebesaran kita. Kita memandang kemerdekaan ini­hari itu sebagal suatu ideaal yang seindah­indahnya, dan oleh karena itu, tidak adalah bagi kita kemerdekaan yang datangnya terlalu pagi.

Kita tidak mau bersikap sebagai, setengah kaum sosialis, yang sudah lebih dahulu− à priori − menghilas­hilas azasnya sendiri dengan menolak tuntutan merdeka­ini­hari, menolak ideaal merdeka ini­hari. *) Tetapi ......... kemerdekaan tidak akan datang ini hari atau besok pagi! 129

Kemerdekaan hanyalah hasilnya suatu usaha­susunan dan usaha­persatuan yang sesuatu rakyat harus kerjakan tak berhenti­berhenti dengan habis­habisan mengeluarkan keringat, membanting tulang, memeras tenaga. Kemerdekaan, menurut perkataannya pemimpin Hindustan Surendra Nath Bannerjee adalah:

“een jaloersche godin die de meest stipte aanbidding verlangt en van haar aanbidders vlijtige en onafgebroken devotie eischt” ........... “seorang dewi yang cemburu hati, yang minta dipundi­pundi dengan saksama sekali, dan yang menuntut daripada pemundi­pemundinya kebaktian yang rajin dan tiada habishabisnya:” ............

129*) Kalau si musuh karena desakan kita lantas menuruti sebagian atau semua tuntutan­tuntutan kita, maka si musuh itu adalah mengadakan concessie.

Page 79: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Kemerdekaan, begitulah kami sering­sering terangkan di dalam rapat­rapat­umum, kemerdekaan tidaklah bagi kita. Kemer­dekaan adalah buat anak­anak kita, buat cucu­cucu kita, buat buyut­buyut kita yang sama hidup di kelak­kemudian hari!

Tidak!, untuk mencapai kemerdekaan itu, P.N.I. tidak ber­maksud pedang­pedangan atau golok­golokan atau bom­boman, tidak pula bermaksud menyindir atau memujikan pengrusakan keamanan­umum atau pelanggaran gezag atau menjalankan hal­hal lain sebagai yang dituduhkan kepada kami di dalam proces ini, tetapi P.N.I. mengerjakanlah machtsvorming yang halal itu, mengerjakanlah pembikinan­kuasa itu menurut modelnya modern­organisatie. Dan sebagaimana kaum­buruh di Eropah yang juga memandang politieke macht dan lenyapnya kapita­lisme sebuah kunci yang satu­satunya bagi kebagian yang sejati itu, dalam pada menumpuk­numpukkan machtsvormingnya itu sudah mencoba­coba meringankan nasibnya dengan pelbagai aturan­aturan dari kemenangan­kemenangan yang bisa tercapai ini­hari; sebagaimana kaum­buruh Eropah itu dalam pada mengejarnya maksud yang tertinggi itu tak emoh akan onmiddellijke voordeelen, maka P.N.I.­pun dalam pada usaha­nya mengejar kemerdekaan itu sudah pula berjuang secara halal bagi keuntungan­keuntungan ini­hari yang demikian itu juga adanya. P.N.I.­pun dalam pada mengejar Indonesia­Merdeka itu, sudah pula berusaha di atas lapang ekonomi, sosial dan politik sehari­hari, ya malahan memandang keuntungan­keuntungan­ini­hari itu sebagai syarat­syarat pula bagi kemer­dekaan itu. Ia mencoba mendirikan sekolahan­sekolahan, mem­bangunkan rumah­rumah­sakit, melawan riba, menyokong bank­bank­nasional, membuka cooperaties, memajukan vakbond­vakbond dan perserikatan­perserikatan tani. Ia mencoba meng­hilangkan haatzaai­artikelen beserta artikel­artikel 153­bis­ter dan artikel 161­bis dari Strafwetboek, menghilangkan exor­bitante recten daripada gouverneur­generaal. Ia mencoba men­jadi penyokong rakyat yang sengsara itu di dalam kebutuhannya sehari­hari. Dan jika P.N.I. pada saat ini belum banyak hasil di atas lapang itu; jika P.N.I. belum banyak sekolahannya, belum banyak polikliniknya, belum banyak cooperatienya; jika P.N.I. belum dapat menghapuskan ranjau­ranjau politik yang kami sebutkan tadi, maka itu adalah oleh karena P.N.I. baru berumur dua­tiga tahun saja!

Di dalam makna inilah Kongres P.N.I. di Jacatra tahun yang lalu mengambil putusan akan mengadakan “daadwerkelijke­actie” di dalam tahun 1929 ­ 1930!

Di dalam makna “berusaha secara halal mendatangkan perbaikan­perbaikan yang bisa tercapai hari­sekarang” itulah perkataan “daadwerkelijkeactie” harus diartikan. Sebelumnya Kongres di Jacatra itu, sebelumnya bulan Mei 1929 itu, maka P.N.I. masihlah hidup di dalam zamannya propaganda. Segala vergadering­vergaderingnya, segala ucap­ucapannya, segala gerak­bangkitnya, sebelumnya Kongres Jacatra itu, terutama hanyalah mengenal­ngenalkan diri belaka kepada rakyat Indonesia, mempropaganda­propagandakan azas­azas dan tujuan­tujuannya, agar supaya rakyat Indonesia mengetahui dan menjadi ketarik oleh kebenaran azas­azasnya itu. Hampir di tiap­tiap openbare­vergadering yang diadakan oleh P.N.I. di dalam phase yang pertama ini, kami hanyalah berpidato menerangkan panjang­lebar kita­punya 130

keterangan­azas belaka, sebagai yang tercetak di dalam buku­statuten P.N.I. itu. Hampir tiap­tiap openbare­vergadering di dalam phase ini adalah openbare­vergadering buat mendirikan cabang­baru, atau openbare­vergadering buat menambah terkenalnya diri dan azas P.N.I. di tempat cabang yang sudah ada. Di dalam phase­propaganda ini, maka P.N.I. belumlah mengadakan “actie”; belumlah meng­usahakan organisasinya untuk mendatangkan

130 Toelstra – De S.D.A.P. Wat zij is en Wat zij wil 8e druk pag. 54

Page 80: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

perbaikan­per­baikan yang termaktub di dalam daftar usahanya. Di dalam phase itu, P.N.I. hanyalah mempropagandakan beginselnya belaka, − belumlah ia “berusaha”, belumlah ia beractie untuk melaksanakan werk­programnya!

Nah, tatkala di dalam permulaan tahun 1929 P.N.I. sudah rada banyak anggotanya, tatkala pada permulaan tahun 1929 itu P.N.I. sudah rada banyak mempunyai tenaga, tatkala pada saat itu P.N.I. sudah cukup agaknya dipropagandakan, − maka Hoofdbestuur memandanglah perlu mengerjakan apa yang tertulis dalam daftar­usahanya, Hoofdbestuur memandanglah perIu menginjak lapangnya perbuatan, lapangnya daad, lapangnya actie. Beginsel sudah cukup dipropagandakan, − welnu, werk­program sekarang harus dikerjakan, “daad­werkelijke­actie” sekarang harus dijalankan! Dan atas voorstel­nya Hoofdbestuur itu, maka Kongres Jacatra adalah mengambil putusan menjalankan daadwerkelijke actie itu tentang pasal­pasal I d dan III d dari daftar­usaha, yakni pasal­pasal “menghapuskan halangan­halangan yang merintangi kemerde­kaan diri, kemerdekaan bergerak, kemerdekaan drukpers, kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul”, beserta memajukan vakbond­vakbond dan perserikatan­perserikatan tani”. Sejak Kongres Jacatra itu maka phase­propaganda adalah tertutup,− mulailah phase­baru, mulailah phasenya constructieve verwerkelijking, yakni phasenya bekerja, phasenya actie.

Caranya beraksi? Caranya ber­daadwerkelijke­actie? Bom, bedil, dinamit?− Tidak, caranya ber­daadwerkelijke­actie” tidaklah dengan bom; tidak dengan bedil, tidak dengan dinamit, tidak pula dengan apa­apa yang dilarang hukum. Caranya tak lainlah melainkan mengadakan openbare­vergaderingen dimana­mana untuk mempengaruhi, menggugahkan, membangkitkan publieke opinie, mengadakan artikel­artikel di dalam surat­surat­kabar, mengadakan kursus­kursus kepada anggota­anggota sendiri tentang pasal­pasal itu tadi. Caranya tak lainlah melain­kan menggerakkan kekuasaan kita secara halal, membesar­besarkan kekuasaan itu. Caranya tak lainlah melainkan mobileeren kita­punya macht secara halal, uitbouwen kita­punya machtsvorming itu, tak lainIah melainkan S.D.A.P. beraksi, sebagai partai Sarekat Islam beraksi, sebagai tiap­tiap perhimpunan yang bersendi kepada machtsvorming beraksi, − yakni menggerakkan semangat sendiri dan menggerakkan semangatnya publieke opinie sehebat­hebatnya, − mengeluarkan tenaga – bekerja − kedalam untuk melahirkan badan­badan­organisasi yang perlu, misalnya vak − dan tanibonden itu tadi, mengeIuarkan tenaga­bekerja­keluar untuk mengadakan desakan yang sekuat­kuatnya agar supaya tuntutan­tuntutannya bisa terlaksanakan adanya. Bukan desakan dengan bom, bukan desakan dengan dinamit, bukan desakan dengan apa­apa yang dilarang oleh hukum!, − tetapi desakan halal, desakan yang sebagai kami katakan di dalam verhoor, oleh Dr. Ratu Langit tatkala ia masih radicaal dan belum lunak sebagai sekarang, disebutkan “desakan semangat”, “moreelgeweld”.

Ah, Tuan­tuan Hakim, adakah perkataan­perkataan “daad­werkelijke­actie” tentu berarti pemberontakan, barricaden, perkosaan,− adakah perkataan­perkataan itutentu berarti geweld, 131

atau setidak­tidaknya, perlanggaran hukum? Kaum socialist di Eropah­Barat toh sering juga menganjurkan “daadwerkelijke­actie” itu,

sering juga mengan­jurkan “directe­actie”, − dan mereka toh juga tidak memak­sudkan pelanggaran hukum, perkosaan atau bom­boman dengan “directe­actie” itu!

“Daar de macht van het grootkapitaal juist niet zit in de eerste plaats in het parlement, doch daarbuiten, kan de arbeidersklasse haar strijd niet bepalen tot het parlement alleen.

131*) Pembaca tentu ingat kita­punya perselisihan hebat dengan Stokvis c.s tentang perkara ini

Page 81: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Daarom dient de arbeidende klasse naast het wapen der parlementaire actie, te aanvaarden, in de groote momenten van haren strijd, het wapen der directe­actie, de politieke­actie der vakbonden”, ......... 132

“Oleh karena kekuasaan modal­besar tidaklah pertama­tama duduk di dalam parlement, tetapi di luar parlement itu, maka kaum­buruh tidak bisalah berjuang hanya di dalam parlemen itu saja. Oleh karena itu, maka kaum buruh itu pada saat­saat perjuangannya yang besar, berdamping­dampingan dengan aksinya di dalam parlemen, haruslah mengusahakan senjatanya direkte­actie, yakni politieke­actie daripada serikat­serikat­sekerja”, ............

begitulah misalnya pemuka S.D.A.P. berpidato, − dan semua orang mengetahuilah, bahwa dengan directe­actie di luar parlement itu tidaklah dimaksudkan pelanggaran hukum, atau perkosaan, atau insurrectie!

Tidak, tuan­tuan Hakim, sekali lagi kami ulangkan: tidak dengan bermaksud membikin huru­hara, tidak dengan ber­maksud membikin putsch, *) tidak dengan bermaksud melanggar 133

artikel 153­bis atau lain­lain hal yang dituduhkan di dalam proses ini, P.N.I. mau menjalankan aksinya mengejar kemer­dekaan, − tetapi P.N.I. mau mencapaikan maksudnya itu dengan mengorganisirkan dan menggerakkan suatu machtsorganisatie yang wettig, sua tu nationalistische machtsorganisatie modern, suatu nationalistische massaactie; **) yang 134

menolak tiap­tiap cara yang tidak nationalistische adanya. Tetapi perkataan “revolutionair”!, − tetapi halnya P.N.I. menyebutkan diri suatu partai

“revolutionair”!, − tidakkah itu berarti bahwa P.N.I. ada bermaksud pemberontakan, atau setidak­tidaknya bermaksud pelanggaran gezag, penggangguan keamanan umum?

O memang, kami sering mengatakan bahwa kami adalah kaum revolutionair, kami sering menyebutkan P.N.I. itu suatu partai revolutionair! P.N.I. memang sedari muIanya adalah suatu partai revolutionair! Kalimat di dalam surat­pendakwaan, bahwa P.N I adalah kemudian menjadi revolutionair, kalimat itu adalah salah sama sekali. P.N.I. tidak­kemudian menjadi revolutionair, − P.N.I. adalah revolutionair sejak hari lahirnya! Tetapi kata revolutionair di dalam makna kita, samasekali tidak berarti “mau membikin pemberontakan” atau “menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”. Kata revolution air di dalam makna kita adalah berarti “radicaal”, “mau mengadakan perubahan dengan lekas”, “omvormend in snel tempo”. Kata revolutionair di dalam makna kita haruslah diambil sebagai baliknya kata “sabar”, baliknya kata “gematigd”. Kita, kaum P.N.I., kita memang bukan kaum sabar, kita memang bukan kaum gematigd, kita memangbukan kaum “uler­kambang”, yang selamanya kita sebutkan kaum “kapuk”; kita adalah kaum ”radicaal”, kaum yang ingin mengadakan perubahan yang selekas­lekasnya, − kita adalah kaum “Kepala Banteng”.

Ah, Tuan­tuan Hakim, perkataan “revolutionair” toh tidak di dalam makna kita saja berarti “ingin perubahan dengan lekas” yakni “omvormend in snel tempo!” Kalau’ orang berkata “stoommachine itu adalah mengadakan revolutie di dalam cara­produksi”, kalau orang berkata “Prof. Einstein sudah me­revolusikan segenap ilmu alam”, kalau menyebutkan “Yesus Kristus seorang revolutionair yang terbesar di seluruh riwayat dunia”, kalau pacifist­Tolstoyanist *) Ds. 135

132 phase = “zaman”, tingkat 133 Di Eropa­ kalau kaum pemberontak membikin pemberontakan di kota­kota, makamereka mendirikan “barricaden” di jalan­jalan di kota­kota

itu, dari meja, kursi almari, karung yang berisi tanah, dan lain­lain. 134 Mr. Toelstra – De Soc. Dem. na den oorlog 1912 pag. 17 135*) putsch = pemberontakan­kecil

Page 82: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

B. de Light menulis buku “Christen­revolutionnair”, − ya kalau kaum Marxist, berhubung dengan wet­evolutie di dalam pergaulan­hidup (sebagai variatie atas Heraclitus’ “pantarei”) berkata: “kita hidup di dalam revolutie terus­terusan, yakni di dalam Revolution im Permanenz”, − adakah itu semua mengingatkan akan pedang, akan bedil, akan bom, akan dinamit, barricaden, darah­manusia dan hawa­mayat?

P.N.I. adalah “revolutionair” oleh karena P.N.I. ingin mengadakan perubahan yang lekas dan radicaal. Prof. Bluntschli, itu ahli hukum­kerajaan yang termashur dan yang sama sekali bukan “kaum merah”, adalah mengatakan bahwa revolutie umumnya ialah berarti: “Umgestaltung von Grund aus”, yakni perubahan yang radicaal, perubahan yang sedalam­dalamnya. Sebagaimana tiap­tiap partai yang mau mengadakan perubahan yang radicaal ada suatu partai yang revolutionair, maka P.N.I. adalah pula suatu partai yang revolutionair. Perhimpunan­Indonesia adalah revolutionair, P.S.I. adalah revolutionair, I.S.D.P. adalah revolutionair, sebagai tuan Koch mengakui sendiri, segenap perjuangan­kelas daripada kaum­buruh adalah revolutionair.

“Niet bepaalde vormen van klassenstrijd zijn revolutionair, maar deklassenstrijd zelf is in wezen revolutionair, niettegenstaande velen alleen rumoer en staking revolutionair vinden.” “Bukan wujudnya atau sifat­sifatnya perjuangan­kelaslah yang revolutionair, tetapi perjuangan­kelas itu sendiri di dalam hakekatnya adalah revolutionair, meskipun banyak orang hanyalah menyebutkan keributan dan pemogokan saja revolutionair.”

begitulah Stenhuis berkata. Dengarkanlah pula bagaimana sociaal­democraat Liebknecht yang 136

tersohor itu menerangkan perkataan “revolutionair”: “Wij beleven “die Revolution im Permanenz”. De wereldgeschiedenis is ééne voortdurende revolutie. Geschiedenis en revolutie zijn aan elkaar identiek. Het revolutionaire omvormings proces in maatschappij en staat is geen oogenblik onderbroken, want staat en maatschappij zijn levcnde organismen, − en het eind van dit omvormings −, dit vernieuwingsproces, is de dood. Dat hebben wij sociaal­democraten begrepen en daarom vormen wij een revolutionaire partij, d.i. een partij, die ten doel heeft de hinderpalen en belemmeringen voor de natuurlijke ontwikkeling van maatschappij en staat uit den weg te ruimen!”, “Kita adalah hidup di dalam revolutie yang terus­terusan, di dalam Revolution im Permanenz. Seluruh riwayat dunia adalah satu revolutie yang terus­terusan. Riwayat dan revolutie adalah sama. Proces­perubahan yang revolutionair di dalam pergaulan­hidup dan staat, tak pernah berhentilah sekejap matapun jua, sebab staat dan pergaulan­hidup adalah barang­barang yang hidup, − dan berhentinya proses­perubahan atau proses­pembaharuan ini adalah datangnya maut. Kita kaum sosial­demokrat mengartilah akan hal ini, dan itulah sebab­nya kita ada satu partai yang revolutionair, yakni suatu partai yang bermaksud menghilangkan halangan­halangan yang menghalang­halangi gerak­suburnya pergaulan­hidup dan staat itu adanya!”

136**) massa = rakyat murba yang million­milliunan itu

Page 83: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

dan dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebutkan kaumnya itu kaum revolutionair: “De socialisten zijn revolutio nair, niet wegens het gewelddadige in hun manieren, maar wegens hun opvatting van den groei der productiewijze, te weten: dat die groei andere eigendoms en voortbrengingsvormen, tegen­overgesteld aan de thans heerschende, zal moeten voortbrengen, zij zijn revolutionair wegens hun streven om de klasse, die het nieuwe stelsel zal moeten uitvoeren, daarvoor te organiseeren en rijp te maken”. 137

“Kaum socialist adalah revolutionair, tidak karena gemar pada perkosaan, tetapi ialah oleh karena kepercayaannya bahwa cara­productie itu adalah hidup dan gerak­subur, yakni: bahwa hidup dan gerak­suburnya cara­productie itu akan melahirkan pengertian­pengertian tentang milik dan sifat­sifat productie baru, yangberlainandengan apa yang ada sekarang; − mereka adalah revolutionair oleh karena usahanya menyusun­nyusunkan dan mematang­matangkan kelas yang akan menjalankan stelsel baru itu”.

Sesungguhnya, − jitu sekalilah perkataan Karl Kautsky yang berbunyi:

“De sociaal­democratie is een revolutionaire, niet echter een revoluties makende partij!” 138

“Sociaal­democratie adalah suatu partai revolutionair, tetapi bukanlah suatu partai yang membikin revolutie”! Tidakkah ternyata sekarang kebenarannya perkataan kami, bahwa S.D.A.P. adalah

revolutionair, bahwa I.S.D.P. adalah revolutionair, bahwa Albarda c.s. adalah revolutionair, bahwa Stokviti, bahwa de Dreu, bahwa Midden­dorp adalah revolu­tionair? Tidakkah P.N.I. revolutionair juga, tidakkah kami kaum revolutionair juga, − P.N.I. dan kami, yang juga bermaksud “menghilangkan halangan­halangan yang menghalang­halangi gerak­suburnya pergaulan hidup dan staat”, juga bermaksud “menyusun­nyusunkan dan mematang­matangkan rakyat bagi­nya”, yakni “daarvoor te organiseeren”, “daarvoor rijp te maken”? Oleh karena itu sekali lagi memang P.N.I. adalah revolutionair, kami adalah kaum revolutionair, − tetapi tidak karena apa­apa, melainkan hanyalah oleh karena P.N.I. ingin perubahan yang lekas dan radicaal, ingin “omvorming in snel tempo”, ingin “Umgestaltung von Grund aus” itu. P.N.I. dan kami adalah revolutionair, tidak karena P.N.I. dan kami mau golok­golokan atau bom­boman atau dinamit­dinamitan, tidak karena P.N.I. (dengan perkataan Kautsky) “een revoluties makende partij”, − tetapi hanyalah karena P.N.I. ingin meng­hilangkan segala hal­hal yang merintangi dan memundurkan suburnya pergaulan­hidup Indonesia, dan mengorganisirkan rakyat untuk menghilangkan rintangan­rintangan itu. *) 139

Amboi! golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok­golokan, bom­boman dan dinamit­dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit!! Seperti tidak ada senjata lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal­udara, ribuan, ketian, milliunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata­semangat lagi, yang jikalau memang sudah sedar dan bangkit dan berkobar­kobaran di dalam kalbu­rakyat, ada lebih­lebih hebat kekuasaannya daripada seribu bedil dan seribu meriam, ya, seribu armada­laut dan Seribu tentara yang lengkap­alat dan lengkap­senjata! Seperti kami tak mengetahui akan kekuasaannya semangat­rakyat yang bisa dibikin maha­sakti dan maha­digjaya itu, orang 137*) orang yang cinta damai 138 Rede 3 Okt 1928 voor de ontwikkelings­vereeniging te Amsterdam, zie A.I.D. 4 Aug. 1930 139 Quack Socialisten V pag. 327

Page 84: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

menuduh kami mau membikin rame­rame dengan mercon­sumet dan mercon­banting!! Seperti tidak ada ilmu ke Timuran lagi, yang dinantikan dalam buku Bagawad­Gita, dan yang mengajar­kan kekuatan semangat itu!:

“Ik zeg U, wapens raken ‘t leven niet; Vuur brandt het niet, geen water overstroomt, Noch schroeit het heete wind. Ondoordringbaar, Onaangetast, Onbetreedbaar en vrij Onsterfelijk, overàl, standvastig, vast, Onziehtbaar, onuitspreeklijk, door geen woord Noch door gedacht’ omvat, steeds gansch ziehzelf − Zoo wordt de Ziel genoeind!” “Ketahuilah, hidup tidaklah terkanai senjata; Api tidaklah membakarnya, air tidaklah mengabahinya, Angin­panas tidaklah memakannya. Tak bisa dimasuki, Tak bisa diserang, Tak bisa diinjak, dan Merdeka, Tak bisa mati, umum, tetap, tegak, Tak terlihat, tak bisa diucapkan, tak bisa dikatakan Dan tak bisa diciptakan, senantiasa pribadi Begitulah adanya Roh!”

− Tidak, P.N.I. tidak mencari kekuasaannya di dalam ribut­ributan atau bom­boman atau dinamit­dinamitan, tidak pula mencari tenaganya didalam sengaja melanggar wet sebagai dituduhkan di sini. P.N.I. mencari kekuasaan machtsvormingnya ialah di dalam organisasi sosial dan organisasinya semangat rakyat yang sadar dan bangkit, mencari kekuasaan machts­vormingnya ialah dengan lebih lagi menghidup­hidupkan dan menyusun­nyusun semangat rakyat yang oleh pengaruhnya imperialisme turun­temurun, kemarin sudah hampir padam tetapi kini mulai menyala lagi. P.N.I. mengetahui, P.N.I. insyaf, P.N.I. yakin, bahwa jika semangat rakyat itu sudah tersusun serta menyala berkobar­kobaran, tidak ada satu kekuasaan duniawi yang bisa membinasakannya. P.N.I. yakin, bahwa jika ia sudah menggenggam senjata­semangat yang demikian itu, ia tentu mencapai segala apa yang dimaksudkan, zonder pedang, zonder bedil, zonder bom, zonder meriam, ya, zonder “kocak­kocakan” sengaja melanggar artikel 153­bis dan 169 Strafwetboek, sebagai yang dituduhkan pada kami dalam proces ini. Dengan senjata semangat yang demikian itu, maka ia dengan sebenar­benarnya menggenggam senjata yang maha­sakti, dengan sebenar­benar­nya beraji candabirawa dan pancasona, − alvermogend, onsterfelijk, onoverwinnelijk!

“Wie kan een volk ketenen, als zijn geest niet geketekend wil worden? Wie kan een volk vernietigen, als zijn geest niet vernietigd wil worden?”, “Siapakah bisa merantai sesuatu bangsa, kalau semangatnya tak mau di rantai? Siapakah bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau semangatnya tak mau binasa?”,

Page 85: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

begitulah Sarojini Naidu, Srikandi India, berpidato tatkala membuka Indian National Congress yang keempatpuluh, dan Mac Swiney, pendekar Ierland yang termashur itu, di dalam ia­punya 140

“Principes de la Liberte” adalah menulis: “Want een ontwapende man kan geen menigte menschen weerstaan, een enkel leger kan geen legioenen zonder tal overwinnen, − maar àlle legers van àlle staten op aarde hebben te zamen niet de macht één enkele ziel te doen bukken, die vast besloten is te strijden voor recht.” 141

“Sebab seorang orang yang tiada senjata tak bisalah me­nentang orang banyak, satu tentara tak bisalah mengalah­kan tentara­tentara yang tiada jumlah,− tetapisemua tentara daripada semua negeri di muka­bumi ini tidak cukup kekuatanlah menundukkan satu nyawa saja yang berjuang mengejar keadilan dengan ketetapan hati”.

Sesungguhnya, buat apa bom­boman atau dinamit­dinamitan, buat apa kocak­kocakan sengaja melanggar artikel 153­bis dan 169, − kalau kita dengan machtsvorming organisatie­semangat itu saja sudah mempunyai kepastian bekal mencapai semua maksud?

P.N.I. oleh karenanya, tak berhenti­berhenti menyubur­nyuburkan semangat rakyat itu. Semangat tiap­tiap rakyat yang disengsarakan oleh sesuatu keadaan, baik rakyat proletar di negeri­negeri kepabrikan maupun rakyat di tanah­tanah jajahan adalah semangat ingin merdeka. Welnu, kita menyuburkan semangat­ingin­merdeka itu pada rakyat Indonesia. Kita me­nyuburkannya tidak terutama dengan keinsyafan­kelas sebagai pada pergerakan kaum­buruh umumnya, tetapi dengan keinsyafan­bangsa, dengan keinsyafan­nationaliteit, dengan nationalisme. Sebab tiap­tiap rakyat yang dikuasai oleh bangsa lain, tiap­tiap rakyat jajahan, tiap­tiap rakyat yang saban hari, saban jam merasakan imperialismenya lain natie, − tiap­tiap rakyat yang kolonial overheerscht demikian itu adalah berbudi­akal nationalistisch. Rasa­pertentangan, yang di Eropah atau di Amerika berwujud rasa­pertentangan­kelas, oleh karena kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai di sana ada terdiri dari satu bangsa, satu kulit, satu rasa, − rasa­pertentangan itu disesuatu negeri jajahan adalah menyatu, samen­vallen, dengan pertentangan nationaliteit. Bukan terutama rasa­pertentangan si­ buruh terhadap pada si­kapitalist, bukan terutama rasa­pertentangan­kelaslah yang kami alamkan di dalam sesuatu kolonie, tetapi ialah rasa­pertentangan si hitam terhadap si putih, si Timur terhadap si Barat, si gekoloniseerde terhadap sin kolonisator.

P.N.I. mengerti hal ini: P.N.I. mengerti, bahwa di dalam kesadaran­nationaliteit, di dalam nationalisme inilah letaknya daya yang nanti bisa membuka kenikmatannya hari­kemudian. P.N.I. oleh karenanya, menyubur­nyuburkan dan mempeli­harakanlah nationalisme itu, dari nationalisme yang kurang hidup dibikin nationalisme yang hidup, dan nationalisme yang instinctief dibikin nationalisme yang bewust, dari nationalisme yang statis dibikin nationalisme yang dinamis, − pendek kata: dari nationalisme yang negatif dibikin nationalisme yang positif adanya. Dibikin positif nationalisme, Tuan­tuan Hakim, dibikin positif nationalisme, sebab dengan nationalisme yang hanya rasa­protest atau rasa­dendam saja terhadap pada imperialisme, kita belumlah tertolong. Kita­punya nationalisme haruslah suatu nationalisme yang positif, suatu nationalisme yang scheppend, suatu nationalisme yang “mendirikan”, suatu nationalisme yang “mencipta dan memuja”. Dengan nationalisme yang positief itu maka rakyat Indonesia bisa

140 Der Weg zur Macht pag 57. 141*) Lihatlah buat maknanya revolutie, insurrectie dan putsch lebih jauh, keterangan­keterangan kami di dalam bagian verhoor

Page 86: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

mendirikan ia­punya syarat­syarat hidup merdeka yang wadag dan yang halus, yang materieel dan yang geesteIijk. Dengan sekarang sudah meng­hidup­hidupkan nationalisme yang positief itu, maka ini bisa menjaga, jangan sampai nationalisme itu menjadi nationalisme yang benci kepada lain bangsa, yakni jangan sampai nationalisme itu menjadi chauvinistisch nationalisme atau aggressief jingo­nationalisme sebagai yang kita alamkan jahat­nya di dalam perang dunia yang lalu, − suatu aggressief jingo­nationalisme “of gain and loss” sebagai C.R. Das mengatakannya, yakni suatu jingo­nationalisme yang “untung atau rugi” dan yang menyerang­nyerang. Dengan nationalisme yang positief itu, maka rakyat Indonesia merasalah kebe­narannya kalimat­kalimat Arabindo Ghose yang mengatakan bahwa nationalisme yang demikian itu adalah sebenarnya Allah sendiri.

Dengan nationalisme yang demikian itu, maka rakyat kita tentulah melihat hari­kemudian itu sebagai fajar yang berseri­serian dan terang­cuaca, tentulah hatinya penuh dengan peng­harapan yang menghidupkan. Tidaklah lagi hari­kemudian itu dipandang olehnya sebagai malam yang gelap­gulita, tidaklah lagi hatinya penuh dengan syak dan dendam belaka. Dengan nationalisme yang demikian itu rakyat kita akan ridho dan suka hatilah menjalankan segala korbanan­korbanan untuk pembeli hari­kemudian yang toh indah dan menginginkan itu. Dengan pendek kata: dengan nationalisme yang demikian itu rakyat kita akan bernyawa, akan hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang!

“Oleh karena rasa­kebangsaanlah”, − begitulah pemimpin Mesir yang termashur, Mustapha Kamil, menggambarkan positief nationalisme itu.

“het is door patriotisme dat achterlijke volken gauw tot beschaving geraken, tot grootheid en tot macht. Het is patriotisme dat vormt het bloed dat stroomt in de aderen van krachtige naties, en het is patriotisme dat leven geeft aan elk levend mensch.” 142

“oleh karena rasa­kebangsaanlah maka rakyat­rakyat yang mundur lekas bisa mencapai kesopanan, kebesaran dan kekuasaan. Rasa kebangsaanlah yang menjadi darah yang mengalir di dalam urat­uratnya bangsa­bangsa yang gagah­kuat, dan rasa­kebangsaanlah yang menghidupkan tiap­tiap manusia yang hidup.” ,

zonder nationalisme tiada kemajuan, zonder nationalisme tiada natie.

“Nationalisme is dat kostbare bezit, hetwelk aan een staat het vermogen geeft naar ontwikkeling te streven en aan een volk om zijn bestaan te handhaven.” 143

“Nationalisme adalah itu milik­mahal, yang mengasih kekuasaan kepada suatu staat mengejar kemajuan, dan kepada sesuatu bangsa mempertahankan hidupnya.” Dan caranya menyuburkan nationalisme itu?, jalannya adalah tiga:

begitulah Dr. Sun Yat Sen berkata: Pertama : kita menunjukkan kepada rakyat bahwa ia­punya hari dulu adalah hari­dulu yang

indah. Kedua : kita menambahkan keinsafan rakyat, bahwa ia­punya hari­sekarang adalah

hari­sekarang yang gelap.

142 Dalam “ASIA” 143 Bij Tery, En Irlande pag. 140

Page 87: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Ketiga : kita memperlihatkan pada rakyat sinarnya hari­kemudian yang berseri­serian dan terang­cuaca, beserta cara­caranya mendatangkan hari­kemudian yang penuh dengan persanggupan itu.

Dengan lain kata, P.N.I. menggugahkan dan menghidupkan keinsafan rakyat akan ia­punya “grootsch verleden”, “donker­heden”, dan “de beloften eener lichtende, wenkende toekomst”. P.N.I. mengetahui bahwa hanya trimurti inilah yang akan bisa menjadikan kembang jaya­kusuma yang menghidupkan lagi nationalisme rakyat yang laju.

Kita­punya hari­dulu yang indah, kita­punya grootsch verleden! − Ah, Tuan­tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh­hati kalau mendengarkan cerita akan keindahannya itu, siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran­kebesaran! Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat­nasionalnya, kalau mendengar kan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan Kediri dan Singosari dan Majapahit dan Pajajaran,− kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram­kedua di bawah Sultan Ageng! Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu sampai ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar, di Persia dan di Tiongkok! Tetapi sebaliknya siapakah tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian kebesarannya hari­dulu itu, pasti cukup­kekuatan untuk mendatangkan hari­kemudian yang indah pula, pasti masih juga mempunyai kebiasaan­kebiasaan menaik­lagi di atas tingkat kebesaran di kelak kemudian­hari? Siapakah yang tidak seolah­olah mendapat nyawa­baru dan tenaga­baru kalau ia membaca riwayatnya zaman dulu itu! Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesarannya hari­dulu itu, lantas hiduplah rasa­nasionalnya, lantas menyala lagilah api­harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa­baru dan tenaga­baru oleh karenanya.

O memang, zaman dulu zaman feodal, *) zaman sekarang zaman modern. Kita bukan mau 144

menghidupkan lagi zaman feodal itu; kita bukanpun mufakat dan cinta kepada aturan­aturan feodal itu. Kita mengetahui kejelek­kejelekannya bagi rakyat. Kita hanyalah menunjukkan kepada rakyat, bahwa feodalisme kita hari­dulu itu adalah feodalisme yang hidup, feodalisme yang tidak sakit­sakitan, feodalisme yang gezond dan bukan feodalis me yang ziekelijk, − feodalisme yang penuh dengan ontwikkelingskansen dan yang, umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa “meneruskan perjalanannya”, bisa “volbrengen evolutienya”, yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan­hidup modern yang sehat pula! **) 145

Tetapi bagaimana pergaulan­hidup kita hari­sekarang itu? Bukan sehat, bukan gezond, bukan penuh dengan ontwikkelingskansen, tetapi sakit­sakitan, tetapi ziekelijk, tetapi “kosong”. Di awal, takala kami menggambarkan nasibnya rakyat Indonesia pada masa ini, takala kami menceritakan caranya imperialisme mengobrak­abrikkan pergaulan­hidup kita itu, maka Tuan­tuan sudah mendapat sedikit pemandangan atas keadaan hari­sekarang itu. Berhubung dengan sempitnya tempo, cukup lah sekian saja, tak perlulah kami tambah­tambahi. Teta pi perlu sekalilah kami terangkan di sini, bahwa keinsyafan akan jeleknya nasib hari­sekarang inilah yang paling menghidupkan rasa­nasional rakyat.

Memang bukan saja bagi rakyat kita, tetapi bagi tiap­tiap rakyat lain dan tiap­tiap manusia, tiap­tiap mahluk Yang bernyawa, maka pengetahuan akan sesuatu nasib yang jelek adalah

144 Lothrop Stoddard, “The new World of Islam”, p. 151 145 San Min Chu I, Sianghai 1928 pag. 55

Page 88: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

sumbernyakeinginanakan nasib yang lebih nyaman baginya. Tidak ada keinginan, tidak ada harapan, tidak ada nafsu, kalau tidak ada rasa tak puas atau onbevredigdheid dengan keadaan yang ada.

Itulah sebabnya, maka tiap­tiap perkumpulan atau tiap­tiap negeri dan di tiap­tiap zaman, suka sekali “membongkar keadaan”, yakni suka sekali membeber­beberkan keadaan­keadaan yang ia tak sukai. Jikalau A.I.D. de Preanger­Bode mengamuk perkara regeeringspolitiek sekarang atau pergerakan rakyat yang ia takuti, jikalau P.E.B. geger membicarakan bahaya yang mengancam kepentingannya imperialisme, jikalau Vaderlandsche Club memaki­maki ke kanan dan kiri, maka itu semua adalah oleh karena mereka tak senang akan keadaan sekarang dan oleh karena mereka dengan menyiarkan mereka­punya ontevredenheid atau ketidak­senangan itu, bermaksud membangunkan atau mengeraskan lagi keinginan, harapan, nafsu kaumnya akan keadaan yang lebih nyaman baginya. Begitu pula maka P.S.I., Boedi Oetomo, Pasundan, dan perkumpulan atau surat­kabar Indonesia manapun jua, dengan mereka­punya propaganda atau protes­protes, tak lainlah daripada bermaksud menyebarkanmereka­punya ke tak senangan dan membesarkan lagi keinginan dan nafsu mereka­punya kaum.

Welnu, kalau P.N.I. lebih menginyafkan lagi rakyat Indonesia akan kepahitan nasibnya hari­sekarang itu, maka ia tak lainlah pula daripada bermaksud memperkelaskan lagi keinginan dan harapan rakyat itu akan keadaan­keadaan yang lebih layak. P.N.I. mengetahui, bahwa keinginan dan harapan inilah yang menjadi penyorongnya nafsu berusaha, penyorongnya “nafsu­mendirikan”, penyorongnya “nafsu­mengadakan”. P.N.I. mengerti, bahwa makin mendalamnya keinsyafan rakyat akan getirnya nasib hari­sekarang itu, membikin pula makin rajinnya dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan­kesanggupan hari­kemudian yang indah itu, mengarti, bahwa makin termasuknya keinsyafan akan perihnya hari­sekarang itu di dalam daging dan sungsum rakyat, membikinlah lebih hidupnya rasa­nasional, lebih berkobar­kobarnya positief­nationalisme yang memang sudah menyala!

Orang boleh menamakan ini menyebarkan “ontevreden­heid”, orang boleh menamakan ini “membikin pahit­hati dan dendam­hati pada rakyat”, orang boleh mengata kan kami penghasut, pembakar nafsu, ophitser, opruier, − kami menjawab: apa bedanya perbuatan kami itu sebagai tadi kami terangkan, dengan perbuatannya A.I.D. dan V.C. dan P.E.B. dalam hakekatnya, apa bedanya dengan perbuatan P.S.I., B.O., Pasundan dan lain­lain? Lagi pula: kami tidak pernah mening­galkan obyektiviteit, kami tidak menyebarkan yang dinamakan “ontevredenheid” itu untuk “ontevredenheid”, kami tidak “membikin pahit­hati dan dendam”untuk membangkitkan rasa­kebencian dan rasa­kedengkian atau nafsu­nafsu lain­lain yang rendah, − kami menyebarkan yang dinamakan “ontevredenheid” itu hanyalah untuk lebih menghidupkan dan lebih mengeras­kan lagi keinginan rakyat akan keadaan yang lebih nyaman, lebih membesarkan kemauannya berusaha, lebih menyubur­kan positief nationalisme adanya.

Kami di sini ingatlah akan pidatonya Dr. Sun Yat Sen yang berkata: “Indien de toestand die ik beschreven heb ...... waar is, dan moeten wij goed in onze geest vasthouden de gevaarlijke positie welke wij nu innemen en de critieke periode die wij nu doormaken, voordat we kunnen weten hoe ons verloren nationalisme te doen herleven.” “Indien wij een herleving beproeven zonder de toestand goed te begrijpen, dan zal aIle hoop voorgoed verdwijnen en het Chineesche yolk zal worden vernietigd.”

Page 89: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Wij moeten zelf eerst de feiten weten, wij moeten begrijpen dat deze rampen imminent zijn, wij moeten ze broadcasten totdat een ieder beseft, wat een tragedie de val van onze nat!.e zou beteekenen”. “Wanneer wij het nationaUsme willen aanwakkeren, dan moeten. wij eerst onze vierhonderd millioen doen beseffen dat hun doodsuur nabij is!”............ 146

“Jikalau keadaan yang tadi saja gambarkan itu ada benar, maka kita haruslah menanamkan di dalam kita­punya peringatan, keadaan kita yang mengkhawatirkan itu dan berbahayanya kedudukan kita sekarang ini, sebelum kita bisa mengetahui bagaimana caranya menghidup­hidupkan lagi kita­punya nationalisme yang telah padam itu. Jikalau kita mau menghidup­hidupkan lagi nationalisme itu zonder mengarti benar­benar keadaan kita, maka tiap­tiap harapan akan menjadi matilah dan rakyat Tiongkok akan menjadilah binasa. Kita harus lebih dahulu mengetahui keadaan­keadaan ini, kita harus mengarti bahwa bencana­bencana ini sangatlah mengancamnya, kita harus mendengungkannya kemana­mana, sehingga tiap­tiap orang bangsa kita menjadilah merasakan seinsaf­insafnya bagaimana besar kecilakaan kita jikalau bangsa kita sampai jatuh. Jikalau kita mau mengkobarkan­kobarkan rasa­nasionalis­me, maka kita haruslah menanamkan keyakinan di dalam rakyat kita yang empat ratus juta itu, bahwa bahala­maut adalah hampir menerkam kepadanya !” ............ Artinya: membikin rakyat insyaf akan keadaannya yang sengsara itu, agar supaya

nationalismenya bangun dan ia mau bergerak,− itulah pengajarannya pemimpin besar ini. Itulah yang kita kerjakan pula.

Ontevredenheid yang memang ontevredenheid, bukanlah bikinan kami; ontevredenheid yang tulen dan asli itu, adalah bikinannya imperialisme sendiri!

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, begitulah bagian yang pertama dan bagian yang kedua daripada usaha P.N.I. menyuburkan semangat nasional itu: membangunkan keinsyafan akan hari­dulu dan hari­sekarang. Tentang bagian yang ketiga, cara­cara mencapainya, tentang bagian yang ketiga itu, kami, juga oleh sempitnya tempo, tak usahlah panjang kata: sebab segenap usaha P.N.I. akan machtsvorming, segenap actie P.N.I. keluar dan ke dalam, segenap gerak­bangkitnya, ya segenap jiwa raganya P.N.I. adalah cara­cara mendatangkan dan melaksanakan kesanggupan­kesanggupan hari­kemudian itu; dan akan bisanya rakyat Indonesia men­capaikannya, buat kita kaum P.N.I. bukanlah teka­teki lagi: rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar­sinaran dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir sebagai bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula dikelak kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, yang melebihi lagi ketinggian tingkat itu!

Tetapi wujudnya hari­kemudian ? Bagaimana wujudnya hari­kemudian itu ? Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari kemudian dengan saksama. Tidak

ada satu manusia yang bisa menentukan lebih dulu wujudnya hari­kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu manusia yang mendahului riwayat. Kita hanya bisa menetapkan ancer­ancerannya saja, kita hanya bisa mempelajari tendenznya. Misalnya kaum Marxist­pun tak 146*) zaman feudal = zaman “ningrat­ningratan”

Page 90: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

bisa menujumkan wujudnya pergaulan hidup socialistisch dengan saksama, melainkan juga hanyalah bisa mengetahui garis­garisnya yang besar dan tendenznya belaka. Hari­kemudian Indonesia kini hanyalah tampak sinarnya saja yang indah sebagai sinarnya fajar yang akan menyingsing, hanyalah kedengaran persanggupan­persanggupannya saja sebagai merdunya gamelan pada malam terang­bulan yang kedengaran dari jauhan. Sebagai di dalam cerita wayang sebelumnya Ksatria Danajaya datang, kita lebih dulu sudah mendengar nyanyiannya burung­burung yang menghantarkan dan mengikutnya, − begitulah pula datang­nya hari­kemudian yang indah itu kini sudah dialamatkan lebih dulu kepada kita, yang menunggu­nunggunya dengan hati yang mengharap­harap. Kita sudah mendengar persanggupan­persang­gupannya akan rezeki milliun­milliunan yang tak diangkuti ke negeri lain, akan perikehidupan rakyat yang dus senang dan selamat, akan keadaan sosial yang sesuai dan memenuhi kebutuhannya, akan susunan hidup politik yang secara kerak­yatan longgar, akan kemajuan seni, ilmu, cultuur yang tak terhalang­halang. Kita mendengar persanggupannya akan suatu Federatieve Republik Indonesia, yang hidup di dalam persobatan dan kehormatan dengan bangsa­bangsa lain, akan suatu bendera Indonesia yang menghiasi angkasa Timur. Kita mendengar persanggupannya akan suatu natie yang teguh dan sehat, ke luar dan ke dalam .....................

Tuan­tuan Hakim yang terhormat, dengan menggambarkan tiga bagian tentang hari­dulu, hari­sekarang dan hari­kemudian itu, maka kami sudahlah dengan singkat sekali menunjukkan usahanya P.N.I. tentang nyawanya machtsvormingnya, yakni nationalisme, − kecintaan pada tanah­air dan bangsa, rasa­gembira atas kebahagiaannya, rasa­mengeluh atas kemalangannya.

Marilah kita sekarang menjawab pertanyaan, apakah urat­urat dan saraf­sarafnya machtsvorming P.N.I. itu. Urat­urat dan saraf­saraf machtsvorming P.N.I. adalah bertentangan dengan urat­urat dan syaraf­syarafnya stelsel imperialisme di sini. Urat­urat dan syaraf­syarafnya stelsel imperialisme yang terpenting adalah empat rupa;

pertama : stelsel imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politiek memecah­belah;

kedua : stelsel imperialisme menetapkan rakyat Indonesia di dalam kemunduran; ketiga : stelsel imperialisme membangunkan keper­cayaan di dalam hati dan pikiran

rakyat, bahwa bangsa kulit­berwarna itu memang bangsa yang kurang “karaatnya” dan bahwa bangsa kulit­putih memang “adhi­adhining” bangsa;

keempat : stelsel imperialisme membangunkan keperca­yaan di dalam hati dan pikiran rakyat pula, bahwa kepentingan­kepentingan rakyat itu adalah sesuai dan sama dengan kepentingan­kepentingan kaum imperialisme itu, sehingga rakyat itu jangan menjalankan politik self­help dan politik ingin­merdeka, tetapi haruslah memeluk politik bersatu dengan kaum­pertuanan, yakni associatie­politiek. 147

∗) Nah, samasekali bertentangan dengan politik divide et impera inilah, samasekali

bertentangan dengan politik yang menetapkan rakyat di dalam kemunduran; sama­sekali berhadap­hadapan dengan politik yang bermaksud “psychologische injectie van de inferioriteit

147**) Untuk mengerti kalimat­kalimat kami ini, orang harus ingat, pergaulan­hidup itu “tidak diam”, tetapi senantiasa hidup, senantiasa maju, senantiasa berEvolusi. Anggota P.N.I tentu ingat akan kami­punya kursus­kursus tentang “Phasenleer”

Page 91: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

van het bruine en de superioriteit van het blanke ras”, sama­sekali contra associatie­politiek itulah urat­urat dan saraf nya matchsvorming P.N.I. .

P.N.I. menjawab politik divide et impera itu dengan dengungannya itikad persatuan­Indonesia, menjawab politik yang memecah­mecah itu dengan dayanya mantram natio­nalisme Indonesia yang merapatkan baris. Dari zaman dulu sampai zaman sekarang, berabad­abadlah rakyat kita itu kemasukan bagi­pemecah tak berhenti­henti, baik di zaman compagnie maupun di zaman modern. Memang di dalam perceraian dan di dalam ketidak­rukunan itulah letaknya kemenangan musuh. “Verdeel en heersch”, **) − itulah 148

mantram­nya tiap­tiap rakyat yang mau mengalahkan rakyat lain, mantramnya imperialisme di mana­mana zaman dan dimana­mana negeri. “Verdeel en heersch” adalah mantramnya bangsa Romein yang memang penemu mantram itu, adalah mantramnya bangsa Spanyol dan Portugis di zaman dulu mengibarkan benderanya dinegeri­negeri orang lain, adalah mantramnya bangsa Inggeris mendirikan ia­punya kerajaan­dunia “British Empire”. Dengarkanlah bagaimana Prof. Seeley di dalam ia­punya buku yang termashur “The expansion of England” menceriterakan “verdeelen­heersch politiek” di India:

“Wanneer Engeland, dat geen militair land is, werkelijk een bevolking van een paar milIioen zielen moest beheerschen met een engelsche militaire macht, is het onnoodig te zeggen, dat de last onze krachten zou te boven gaan. Maar het is niet zoo ................ doordat Engeland Indie tot onderwerping bracht en het er in houdt in hoofdzaak met behulp van Indische troepen en met Indisch geld ......... Indien er in Indie een. nationale beweging kan ontstaan zooals die waarvan wij in Italie getuigen waren, zou de Britsche macht niet eens zooveel weerstand kunnen bieden, als Oostenrijk in Italie, maar zou onmiddellijk ineen moeten vallen.” 149

“Een menigte individuen, niet verbonden door gemeen­schappelijke gevoelens en belangen, is gemakkelijk te on derwerpen, omdat zij tegen elkaar kunnen worden gebruikt. “ “Zooals ge ziet werd de muiterij grootendeels onderdrukt door de volken van Indie tegen elkaar op te zetten.” 150

“Jikalau negeri Inggeris, yang bukan negeri militer itu, dengan sesungguhnya harus memegang suatu rakyat dari beberapa juta manusia dengan sesuatu kekuasaan militer Inggeris, maka tak perlulah dikatakan lagi, bahwa kita tak akan bisa memikul beban yang seberat itu. − Tetapi keadaan bukanlah begitu, ................ sebab, Inggeris adalah menaklukkan India dan mengekalkan India di dalam ketaklukan itu terutama ialah dengan serdadu bangsa India dan harta India ........... Jikalau umpamanya di India bisa bangkit suatu pergerakan­kebangsaan sebagai yang dahulu kita lihat di Italia, maka kekuasaan Inggeris tidak akanlah bisa cukup kekuatan melawannya sebagai dahulu Oosten­rijk di Italia, tetapi niscayalah segera menjadi gugur” . “Rakyat yang tidak tergabung satu sama lain oleh perasaan­perasaan yang sama dan kepentingan­kepentingan yang sama, adalah gampang ditaklukkan, oleh karena mereka bisa diadu­dombakan satu sama lain.”

148 san min chu I pag. 102, 112. 149∗) bandingkan pikiran­pikiran kami ini dengan pikiran­pikiran Moh. Hatta didalam ia punya “Indonesia­vrij”, dan juga dengan pikiran­pikiran

Dr. Sun Yat Sen. 150**) “Pecahkanlah, nanti kamu bisa memerintahnya!”

Page 92: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Sebagai tuan melihat sendiri maka pemberontakan ini adalah dipadamkan dengan mengadu­dombakan rakyat India itu satu dengan yang lain” Dan di Indonesiapun, imperialisme­tua dan imperialisme­modern tak lupa akan

kemanjuran mantram itu; di Indonesiapun bagi­pemecah tak berhenti­berhenti bekerja: “− haar gevaarlijkste vijanden had zij door de toepassing van den regel “divide et impera‘‘ schier machteloos gemaakt; ....... zij had hare schoonte triomphen behaald door de wapenen der zwakken, sluwe berekening en list.” − “− ia­punya musuh­musuh yang terkuasa adalah ia lemahkan samasekali dengan menjalankan politik “verdeel en heerch” itu; ....... ia adalah mendapatkan ia­punya kemenangan­kemenangan yang terbagus dengan senjatanya kaum lemah, perhitungan yang muslihat dan tipu daya.” −

begitulah Prof. Veth menggambarkan politiknya imperialisme­tua di Indonesia itu, dan Clive 151

Day adalah menulis : “Divide et impera” was de natuurlijke zinspreuk, die gevolgd werd bij het in aanraraking komen met inlandsche staten en was het beginsel dat voor het grootste deel tot het welslagen der Nederlanders heefl bijgedragen.” 152

“Politik memecah­mecah adalah peribahasa yang diikuti­nya di dalam pergaulannya dengan kerajaan­kerajaan bumi­putera, dan buat sebagian besar adalah azas­kemenangan­nya bangsa Belanda itu.” Imperialisme­tua kini sudah mati; tetapi tidak matilah warisan yang dikasihkannya kepada

imperialisme­modern, yakni warisan japa­mantram “verdeel en heersch” yang ampuh itu. Tidak sebagai dulu, − dipakai menakluk­naklukkan dan melebar­lebarkan jajahan, − semua pulau sudah takluk, “staatsafronding” sudah selesai −, − tidak sebagai dulu dibarengi dengan geme­rincingnya pedang, letusnya bedil dan gunturnya meriam, tetapi dipakai mengekalkan apa yang sudah tercapai dengan melalui (menurut katanya Stokvis) “jalan­jalan yang lebih sunyi”, “stillcre wegen”.

Memang, semua kepulauan sudah takluk, “staat­safronding” sudah selesai, − lahirnya Indonesia dibikin satu, lahirnya diikat di dalam satu persatuan, tetapi “persatuan” ini, menurut perkataannya seorang socialist adalah suatu:

“onderworpen eenheid, die slechts een eenheid van onder worpenheid is,” 153

“persatuan yang takluk, yang hanya persatuan daripada ketaklukan belaka.” dan amboi ............. janganlah bathinnya menjadi satu, jangan­lah semangatnya kemasukan nationalisme dan menjadi semangat natie! Sebab kaum imperialisme tahu, bahwa suatu rakyat yang tiada nationalisme dan tiada semangat­natie adalah sebagai Dr. Sun Yat Sen mengatakan, hanya “a sheet of loose sand” belaka,sebagai pasir yang meruluk dan ngeprul dan tiada

151 pag. 175, 204 (vertaling Steinmetz) 152 pag. 207, 208 153 Java II pag. 193

Page 93: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

hubungan satu sama lainnya, yang bisa ditiup­tiupkan kemana­mana dan bisa dikoreh semau­maunya.

Semangat, semangatlah yang terutama oleh stelsel imperialisme­modern itu dijatuhi mantram, di “verdeel” supaya stelsel itu bisa “heerschen” selama­lamanya. Semangatlah yang terutama dimasuki bayi­pemecah agar supaya tidak bisa menjadi semangat nationalisme yang masuk sebagai semen di dalam pasir yang ngeprul itu dan membikin daripada satu blok beton maha­besar yang ibarat tak bisa hancur walau di meriam juga.

Kaum­imperialisme modern tak lupa akan wejangan karuhun­karuhunnya itu. Japa­mantram “divide et impera”tak lupa saban hari, saban jam dikemah­kemihkan. “Bilamana India menjadi satu natie,” − begitulah Prof. Seeley mengajarkan padanya, 154

“Zoodra lndie zou toonen te zijn ............ een onderworpen natie, zouden wij onmiddelijk begrijpen het onmogelijk te kunnen handhaven” ............... “Wanneer door een of andere oorzaak de bevolking zich als behoorende tot een nationaliteit gaat voelen, dan zeg ik niet dat er reden is te vreezen voor onze heerschappij; dan zeg ik, moeten wij onmiddelijk alle hoop opgeven!” “Bilamana India menjadi satu natie, maka kita segeralah mengerti, bahwa kita tak akan bisa terus memegangnya” ...... “Jikalau oleh salah suatu sebab, rakyat itu merasa dirinya satu kebangsaan, maka saya tidak berkata bahwa kita harus khawatir akan keadaan kekuasaan kita, tetapi saya berkata bahwa kita sekejap­mata­itu­juga harus melepaskan tiap harapan!”

“Sekejap mata itu jua harus melepaskan tiap­tiap harapan!”, “Onmiddellijk aIle hoop opgeven!”, − bahwa sesungguhnya: suatu ajaran yang mendahsyatkan! Tetapi, − neen, tidak, tidak usah dahsyat dan kurang tidur! Sebab tidakkah cukup surat­surat khabar sebagai A.I.D. de Preanger­Bode, Java­Bode, Nieuws v.d, Dag, de Locomotief, Surabajaasch Handelsblad dll. yang saban minggu, saban hari biasa menebar­nebarkan benih pemecahan itu, berisi caci­makian atas tiap­tiap usaha­persatuan dan atas tiap­tiap usaha membangunkan nationalisme dan pihaknya “Inlander”! Tidakkah bahasa Indonesia, yakni bahasa­persatuan, akan lekas dihapuskan dari sekolah­sekolahan, dan tidakkah sistem pendidikan dari sekolah­sekolahan itu sudah membunuh tiap­tiap rasa­kebangsaan, − “denationaliseerend”! Tidakkah masih ada seorang Colijn, yang dengan ia­punya buku “Koloniale vraagstukken van heden en morgen” mencoba mewujudkan azas divide et impera itu didalam suatu susunan administrasi­pemerintahan yang bernama “eilandgouverne­menten”, tidaklah misih ada seorang De Kat Angelino yang membikin buku­buku tebal yang penuh dengan rapal­rapal pembunuh semangat nationalisme Indonesia itu! Tidakkah masih ada seorang Couvreur, yang di dalam suatu nota memujikan kepada regeering:

“de openstelling van Bali voor de missie en de kerstening der bevolking. Aldus zou men in de toekomst kunnen krijgen een Roomsch­Katholiek­Bali, dat eenwig zou vormen tusschen Java en de Oostelijk gelegen eilanden. Men heeft reeds zoo’n Christelijkwig tusschen Aceh en Minangkabau: het gekerstende Batakland”, “pembukaan Bali untuk agama Kristen dan pengeristenan penduduknya. Begitulah orang di kemudian hari akan mempunyai suatu negeri Bali yang Roomsch­Katholiek, yang bisa menjadi bayi antara pulau Jawa dan pulau­pulau sebelah Timur. Orang sudah mempunyai

154 Nederl. beheer p. 52

Page 94: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

bayi Kristen yang demikian itu antara Aceh dan Minangkabau, yakni: negeri Batak yang telah dibikin nasrani itu”,

− tidakkah misih ada seorang Couvreur yang memujikan bayi yang demikian itu, sehingga dari kalangan bangsa Indonesia Kristen terdengarlah protest yang berbunyi:

“Mijn God, een Christelijk wig! Moeten wij, Christen Indonesiers, die al verschillen wij van Godsdienst met de andere landgenooten, toch in elk geval kinderen zijn van Moeder­Indonesia, − moeten wij toestaan, dat onze heerlijke godsdienst voor dat doel wordt misbruikt? Moeten wij toestaan, dat het heerlijke Christendom als middel wordt gebruikt, om onze nationale eenheid onmogelijk te maken, en om de kinderen van Moeder­Indonesia van elkaar te vervreemden?” 155

“Astaga, suatu bayi Kristen! Bolehkah kita bangsa Kristen­Indonesiers, yang walaupun berbedaan agama dengan bangsa sendiri yang lain­lain, toh juga putera­putera Ibu­Indonesia, − bolehkah kita membiarkan saja bahwa kita­punya agama yang suci itu dihina untuk maksud yang demikian itu? Bolehkah kita membiarkan saja, bahwa agama Kristen yang suci itu dipakai sebagai alat untuk mencegah persatuan kebangsaan kita, dan untuk meng­asingkan putera­putera Ibu­Indonesia satu dari yang lain?”

Pendek kata, tidakkah dimana­mana misih ada sistem, yang menanggungkan padamnya semangat itu dan menanggungkan kekalnya perceraian antara “inlander” dengan “inlander” itu !

Tetapi kita, kaum yang ingin kuasa, kitapun tak usah kurang tidur! Kitapun kini mempunyai japa­mantram yang malahan nantinyatentu lebih ampuh daripada mantramverdeel en heersch itu, kitapun tak sia­sia maguru di dalam per­tapaannya Sanghiang Merdeka, yang mewejangkan pada kita saktinya ilmu “bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh!” Kitapun memperhatikan pula pengajarannya Prof. Seeley tadi itu, tetapi di dalam kita punya arti, di dalam kita­punya makna!

Persatuan Indonesia, Tuan­tuan Hakim, persatuan Indo­nesia, yang menggabungkan segenap rakyat Indonesia itu men­jadi satu ummat, satu bangsa, satu natie, itulah urat dan syarafnya machtsvorming P.N.I. yang pertama.

Dan yang kedua? Urat­syaraf machtsvorming kita yang kedua adalah kontra urat­syaraf stelsel imperialisme yang kedua pula. Stelsel imperialisme mau menetapkan rakyat kita di dalam kemunduran, − wahai, kita mau menjunjung rakyat kita daripada kemunduran itu! Kita mengetahui: kemunduran budi­akal rakyat adalah kepentingan stelsel Imperialisme disini. Sebab Imperialis­me di sini bukanlah terutama handelsimperialisme; imperialisme di sini adalah sebagai kami terangkan di muka, yakni paling­hebat terutama di dalam saktinya yangkeempat, yakni paling hebat di dalam mengusahakan Indonesia sebagai exploitatie­gebied daripada surplus­kapital. Ia adalah paling hebat di dalam usahanya sebagai landbouw­industrien, industri pertam­bangan, industri biasa, dan perusahaan lain­lain, − yakni semua­nya perusahaan, yang butuh akan kaum buruh­murah, akan penyewaan­tanah­murah, akan kebutuhan­kebutuhan rakyat yang murah. Untuk kemurahan hal­hal ini, maka rakyat kita dibikin rakyat yang “hidup kecil” dan “narima”, rendah pengetahuannya, lembek kemauannya,

155 v.d. Zee, S.D.A.P. en Indonesia, pag 29.

Page 95: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

sedikit nafsu­nafsunya, padam kegagahannya, rakyat “kambing” yang bodoh dan mati­energinya!

Di muka sudah kami beberkan penyelidikannya Prof, van Gelderen yang membuktikan kepentingan imperialisme ini atas kemunduran sosial­ekonomi rakyat: nah, kemunduran budi­akalpun, geestelijke decadence­pun adalah di dalam kepen­tingannya itu!

Di dalam Welvaartverslag deel IX b 2 kaca 172 kami membaca: “De desaman en zijn hoofd en de desagemeente vormen van ouds den “kleinen man” de dienstbaren, ......... die dus nederig te houden is, overingens de belastingbetaler bij uitnemendheid. De priyayi daarentegen behoort tot de stand der bevelvoerenden en in het algemeen belang moet dit onderscheid goed merkbaar gehouden worden. Daarop is hier de heele maatsechappij gegrond ......... Al heeft men gelukkig toenemend voor den kleinen man gezorgd, ....... klein moet hij blijven!” “Rakyat desa dan kepalanya dan kampungnya dari dahulu kala adalah “si orang kecil”, si rendah­bakti, ........ yang oleh karenanya harus ditetapkan rendah selamanya, − pembayar­pembayar pajak yang sebaik­baiknya, Kaum priyayi sebaliknya adalah termasuk kaum yang meme­rintah; untuk keperluan­umum maka perbedaan ini harus dibikin seterang­terangnya. Seluruh pergaulan hidup di sini adalah disendikan di atas azas ini .......... Walaupun orang sudah makin banyak memelihara kepentingan si orang kecil itu, .......... ia harus tetap kecil, − klein moet hij blijven!”

“Klein moet hij blijven”, Tuan­tuan Hakim, − dia harus tetap “hidup kecil” dan “nerima”, tetap rakyat “kambing” yang harus menurut saja!; − berpuluhan tahun sistem ini bekerja, ya berabad­abadan sistem ini menjalankan pengaruhnya. Herankah Tuan­tuan, kalau nyonya Augusta de Wit di dalam bukunya “Natuur en Menschen in Indie” ada menulis :

“Het onrecht heeft te lang geduurd; de geesten zijn er naar gegroeid, vergroeid. De gedachten zijn krom en klein geworden, de wil hangt slap” .........? 156

“Ketidak­adilan sudahlah berjalan terlalu lama; budi­akal sudahlah mengkerut menurut kepadanya. Akal­pikiran sudahlah menjadi bengkok dan kecil, kemauan sudahlah menjadi lemah dan gelembos” .........? Herankah Tuan­tuan, kalau P.N.I. menuliskan perlawanan kepada geestelijke decadence ini

di atas panji­panjinya? Kita, kaum P.N.I., kita mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih banyak onderwijs­rakyat, menyokong sekolahan­sekolahan rakyat, mengurangkan analphabetisme di kalangan rakyat. Kita mencoba membangkit­bangkitkan dan membesar­besarkan ke mauan rakyat akan nasib yang lebih mempernasib manusia, menyalakan lebih banyak nafsu­nafsu di dalam kalbunya rakyat. Kita berusaha menghidup­hidupkan lagi kegagalan rakyat, wilskracht rakyat, energie rakyat sebagai sediakala,− rakyat yang ‘kini “sudah mati kutunya” itu “rakyat kambing” yang menurut Professor Veth:

“de tijger in hen getemd”, “semangat­harimaunya sudah jinak sampai kutu­kutunya”,

karena

156 t.a.p. pag. 204, 209

Page 96: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“de slaapdrank eener lange onderwerping aan over­machtigevreemdelingen zijne werking niet heeft geinist”! 157

“obat­tidurnya ketaklukan pada bangsa­bangsa yang kuasa tak luputlah bekerjanya”! Energi rakyat inilah salah satu urat syaraf machtsvorming kita, − salah satu urat syaraf penolak daya imperialisme, tetapi terutama sekali ialah urat syaraf penyorong rakyat kelapang muka!

Tuan­tuan Hakim, sempitnya tempo memaksakan kami membicarakan urat syaraf machtsvorming P.N.I. yang nomor tiga dengan cara yang sesingkat­singkatnya pula. Urat syaraf yang nomor tiga ini adalah bergandengan sekali dengan urat syaraf nomor dua itu, yakni bergandengan sekali dengan urat syaraf penolak daya yang mengambing­ngambingkan itu. Sebab stelsel imperialisme di sini tidaklah berkepentingan saja atas kemunduran sosial­ekonomi dan kemunduran budi­akalnya rak­yat kita itu, − stelsel imperialisme di sini adalah pula ber­kepentingan atas halnya rakyat itu percaya bahwa ia memang suatu rakyat kelas kambing.

Di atas sudah kami tunjukkan, bahwa kaum Imperialisme itu, sebagai kaum imperialisme dimana­mana saja, adalah menutupi maksudnya yang sebenar­benarnya. Mereka menutupi dengan macam­macam teori yang manis, mereka mengatakan bahwa maksudnya bukanlah urusan rezeki, bukanlah urusan yang begitu “kasarnya”, − tetapi ialah maksud, “mendidik” kita dari bodoh ke arah kemajuan, dari “tidak matang” dijadikan “matang”, pendek kata bahwa mereka ialah mau memenuhi suatu “suruhan yang suci”, yakni suatu “mission sacree”.

Mereka mengatakan, bahwa mereka itu tidaklah mendapat keuntungan apa­apa, tidaklah mendapat manfaat apa­apa, melainkan ialah malahan mendapat rugi belaka, malahan men­dapat beban belaka,− yakni malahan mendapat “burden”,“white mans burden” *), menjunjung dan 158

memikul kita ke atas kemajuan! Maka untuk “lakunya” teori “mission sacree” ini, untuk “lakunya” teori “white mans

burden” itu, perlu sekalilah kaum kulit­coklat itu dimasukkan ke dalam kepercayaan, bahwa mereka dalam hakekatnya memang suatu bangsa inferieur atau “kurang karaat”, bahwa sebaliknya bangsa kulit putih adalah bangsa yang memang superieur, bangsa yang memang “adhi­adhining” bangsa, − dan bahwa dus sudah semestinya bangsa yang “inferieur” ini harus “dituntun” oleh bangsa yang “superieur” itu dengan ......... imperialismenya!

“Itu tuan­tuan rambut­jagung”, − begitulah Karl Kautsky di dalam bukunya tentang ras dan jodendom menggambarkan pendiriannya bangsa “rambut­jagung” itu terhadap pada bangsa Yahudi −:

“de blonde heeren proklameeren zichzelve als de meest wijzen, edelsten en krachtsvolsten aller menschen, wien aIle anderen hebben te dienen,” 159

“itu tuan­tuan rambut jagung mengunggul­ngunggulkanlah diri sendiri sebagai orang­orang yang paling budiman, paling murah­hati, paling gagah­kuat, yang pantas diham­bai oleh semua orang­orang lain.”

dan adakah pendiriannya terhadap pada bangsa­bangsa Asia berbeda, adakah pendiriannya terhadap bangsa kita berlainan? Tidak, tidak berbeda, tidak berlainan,− tidak kurang keraslah di

157 Suluh Indonesia Muda, Sep – Okt 1928, p. 274/275 158 pag. 90 159 Java, I, pag. 299

Page 97: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Indonesia itu bekerjanya sistem menanamkan kepercayaan dalam hati kalbu rakyat bahwa mereka memang superieur, kita memang inferieur, − tidak kurang keraslah di sini menyalanya kesombongan si­kulit­putih alias tropenwaan, tidak kurang keraslah di sini merajalela rasa “Ijeu aing ujah kidul!”

Pastoor van Lith, itu Orang­Alim yang tulus hati, belum lama berselang di dalam bukunya­kecil yang termashur , adalah menulis: 160

“Maar al behooren zij dus heelemaal niet tot de kruidnageldieven van die dagen, zij deelen toch mee in de erfenis. Zij hebben allen een legaatje getrokken uit de nalatenschap van de roemrijke O.I. Compagnie. Ze komen in Indië als telgen van de grootmogende Heeren XVII, als zonen des overheerschers, met de fierheid van het geslacht der overheerschers tegenover de overheerschten. Misschien zijn zij zich van die fierheid onbewust, zij hebben ze. Wellicht hadden zij die niet, toen zij uit Nederland vertrokken, zeer mogelijk; wanneer zij eenmaal in Indië zijn dan ontkomen ze daaraan niet. De omgeving biologeert hen. De een meer, de ander minder, allen krijgen van den rassenwaan een deel te pakken. De Nederlandsche maatschappij, zooals zij nu ......... in Indië voortleeft, is een voortzetting van de handelszaak de vroegere Compagnie, en elke Nederlander, al is hij katholiek, ........... leeft in de atmosfeer van dien grooten kruidenwinkel, ............. en leeft voor de reuzenon­dememing van wier voortbestaan en bloei zijn eigen leven, zijn eigen welzijn afhangt.” “Tetapi, walapun mereka sama­sekali tidak termasuk golongan pencuri­pencuri cengkeh sedia­kala, mereka toh ikut menerima warisannya. Mereka semua adalah menerima bagian daripada warisan compagnie yang ter­mashur itu. Mereka datangnya di Hindia ialah sebagai turunan­turunannya “Tuan­tuan XVII” itu, sebagai putera­puteranya yang memerintah, dengan kesombongannya kaum yang memerentah terhadap kaum yang diperintah. Barangkali mereka tidaklah merasa akan kesombongan itu, tetapi mereka tohada sombong. Barangkali mereka tidak­lah begitu tatkala mereka meninggalkan negeri Belanda; tetapi bilamana mereka sudah ada di Hindia, maka mereka tak luputlah menjadi sombong. Keadaan­keadaan di kanan­kiri­nya adalah memutarkan samasekali mereka­punya hati dan pikiran, yang satu kurang, yang lain lebih, − semua terjangkitlah oleh penyakit kesombongan­bangsa itu. Pergaulan­hidup Belanda yang sekarang ada di Hindia itu, adalah sebenarnya terusannya perusahaan­dagang daripada compagnie dulu itu, dan tiap­tiap orang Belanda, walaupun ia katolik, ........... adalah hidup di dalam hawanya kedai­rempah­rempah yang besar itu, ............... dan adalah hidup untuk keperluannya perusahaan besar itu, yang terus hidupnya dan suburnya adalah berarti ia­punya hidup dan ia­punya keselamatan sendiri.”

Lebih terang sebagai di sini, tidak bisalah dinyatakan, bahwa rasa keunggulan itu adalah salah satu urat syaraf daripada perusahaan besar “reuzen­onderneming” itu. Memang, tidak kurang­kuranglah kita mendengar cacian “Inlander seperti kerbau”, “Inlander goblok”, “Inlander bodoh, kalau gak ada kita modar lu”, − beserta lain­lain “pujian” yang “segar” lagi! Tetapi, walau begitu, toh bukan terutama di dalam ucap­ucapan kesombongan satu­satunya orang Eropa itu letaknya bahaya yang terbesar bagi kita, bukan terutama di dalam ketinggian­hati sesuatunya bangsa kulit putih itu letaknya bencana­batin dari rakyat kita − bahaya yang terbesar dan

160*) burden = beban. White mans burden = bebannya si kulit putih

Page 98: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

bancana yang paling merusak adalah di dalam halnya ada sistem yang tak pedot­pedot menginjeksikan pada rakyat kita racun­kepercayaan “kamu Inlander bodo, kamu modar kalau tidak kita tuntun” itu. Sebab injeksi ini lama­lama “makan”! Berabad­abad kita mendapat cekokan “Inlander bodo”, berabad­abad kita di injeksi rasa­kurang karaat, turun­temurun kita menerima sistem ini, − ketambahan lagi kita ditetapkan “rendah” dan ditetapkan “kecil” sebagai welvaartverslag itu tadi mengatakannya, dipadam­padamkan segenap kita­punya energi, sekarang percayalah kebanyakan bangsa kita, bahwa kita, sesungguhnya, memang adalah bangsa kurang­karaat yang tak bisa apa­apa! Hilanglah tiap­tiap kepercayaan atas kebisaan sendiri, hilanglah tiap­tiap rasa­kegagahan, hilanglah tiap­tiap rasa zelfvertrouwen dan fierheid. Kita, sediakala adalah bangsa yang ikut menjunjung tinggi obornya cultuur Timur dan kebesaran Timur, yang dulu begitu insaf akan kebisaan­diri dan kepandaian­diri, kita sekarang menjadilah rakyat yang sama sekali hilang keinsafan itu. Kita menjadilah kini rakyat yang mengira, ya percaya bahwa kita memang adalah rakyat yang “inferieur”. Kini dimana­mana terdengarlah kesah: “yah, kita memang bodo, kalau tidak ada bangsa Eropah bagaimana kita bisa hidup!”

O Tuan­tuan Hakim, bagaimana baiknya kalau kita bisa membongkar bencana­batin yang demikian ini! Bagai mana baiknya kalau kita bisa menamakan lagi dengan sekejap mata saja “wahyu cakraningrat” yang meniadakan rantai­roh yang mengikat itu! Tuan­tuan tentu mengerti, bahwa perasaan “memang kurang­karaat” atau inferioriteitsgevoel itu adalah racun bagi kemajuannyatiap­tiap bangsa,rem, yang sejahat­jahatnya bagi gerak­suburnya atau evolutienya tiap­tiap rakyat.

Herankah Tuan­tuan, kalau Tuan melihat P.N.I. mem­banting tulang memberantas inferioriteitsgevoel ini, memeras keringat dan tenaganya memberantas segala perasaan “ini tak bisa­itu tak bisa” ini, membongkar teori “mission sacree” dan “white mans burden” dengan akar­akarnya, − mengembalikan lagi kepercayaan di dalam kalbu rakyat, bahwa bangsa kita, asaI saja dikasih kesempatan, mempunyailah kebisaan­kebisaan yang tak kalah dengan kebisaan­kebisaan bangsa lain? Herankah Tuan, kalau melihat P.N.I. membongkar­bongkar kebohongan kata, bahwa dunia Timur akan menjadi biadab sama sekali kalau tidak ada dunia Barat? Tidak, bagi kita kaum Partai Nasional Indonesia, bagi kita tidaklah syak­wasangka lagi, bahwa “inferioriteit” atau “kebodohan” kita itu bukanlah “inferioriteit” dan “kebodohan” yang memang sifat­hakekat natuurnya dengan kulit berwarna, tetapi hanyalah “inferioriteit” dan “kebodohan” yang terbikin dan terinjeksikan belaka, − tidaklah pula kita syak­wasangka lagi atas kebenarannya kalimat Karl Kautsky yang memang sudah kami dalilkan itu, yakni kalimat:

“De bezitloosheid brengt echter mee gebrek aan beschavingsmiddelen, dus ook aan beschaving”. 161

“Siapa orang yang tak mempunyai suatu apa, adalah tentu kekurangan pula alat­alat kesopanan, dus juga kekurangan kesopanan”,

dan bahwa theorie “mission sacree” itu hanyalah benar di dalam syariat alias schijnnya saja.

“den schijn van de heerschappij der cultuur over de onbeschaafdheid !” 162

“syariat atau schijn akan keunggulan cultuur di atas kebiadaban!”

161 Bij Sneevliet, Proces 162 De politiek v. Ned. : t.o.v. Ned. Indië, pag. 11

Page 99: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Syariat, schijn, Tuan­tuan Hakim, schijn! Schijn bahwa kita memang bangsa yang kurang­karaat, schijll bahwa kaum imperialisme adalah kaum yang lebih superieur di dalam hakekatnya. Memberantas ini schijn, memberantas itu rasa­kurang­karaat, itulah kita­punya urat syaraf machtsvorming yang ketiga. Dengan memberantas itu rasa­kurang­karaat, maka P.N.I. menaruhlah salah satu syarat yang terpenting bagi politiknya “percaya pada diri sendiri”, “bekerja sendiri untuk sendiri !”,− yakni syarat bagi politiknya “self­reliance” atau “self­help”!

Marilah kami sekarang membicarakan urat syaraf machts­vorming kita yangkeempat. Juga di sini kami bisa singkat­kata. Sebab tadi sudahlah kami terangkan, bahwa di dalam tiap­tiap negeri jajahan adalah belangenstelling antara kaum impe­rialisme dan Bumiputera, adalah pertentangan kepentingan antara dua pihak itu di atas tiap­tiap lapang, baik lapang ekonomi, maupun lapang sosial, baik lapang politik maupun lapang apa saja juapun adanya. Tak benarlah ajaran kaum imperialisme bahwa dua pihak itu mempunyai persamaan kepentingan, gemeen schap of gelijkheid van belangen, dan oleh karenanya, tak benarlah pula ajarannya, bahwa dus koloni itu harus selamanya bersatu dengan “negeri ibu” dan bahwa dus kita harus menjalankan politik bersatu dengan kaum sana, yakni associatie­politiek.

Tidak, P.N.I. tidak mau mengakui persamaan kepentingan itu, tidak mau menjalankan associatie­politiek itu. P.N.I. adalah teguh di dalam keyakinannya, bahwa di sini adalah pertentangan kepentingan, belangentegenstelling, belangen­antithese, sebagaimana pula diakui oleh banyak kaum Eropah yang tulus hati. P.N.I. teguh di dalam keyakinannya, bahwa dengan adanya belangenstelling itu tidak adalah satu koloni yang bisa membereskan pergaulan hidupnya dengan sempurna, kalau belangen­tegenstelling itu belum berhenti adanya, − yakni kalau lebih dulu kolonie itu belum berhenti menjadi kolonie! P.N.I. adalah karenanya partai­kemerdekaan, − partai nationalevrij­heid. Dan kemerdekaan tidak akan “dihadiahkan” oleh imperialisme dengan sekarang berusaha “mematangkan” kita dulu, sebab kemerdekaan adalah ruginya imperialisme itu. Kemerdekaan adalah hasilnya yang kita sendiri harus meng­usahakan, yang kita sendiri harus menciptakan dan memujikan! Politik asosiasi adalah bertentangan dengan faham kepribadian ini, politik asosiasi adalah mengeruhkan keadaan. Di dalam sesuatu koloni adalah belangen­antithese, − welnu, politik kita haruslah berdiri di atas antithese itu juga. Siapa orang Indonesia yang tidak berdiri dia atas antithese ini di dalam politiknya, ia adalah ngalamun! P.N.I. tidak mau ngalamun, P.N.I. tidak mau terapung­apung di atas awan angan­anganan, − P.N.I. mau berdiri di atas keadaan yang sebenarnya, di atas realiteit. Tidak, bukan associatie­politiek, tetapi politiek antitheselah yang menjadi urat syarafnya machtsvorming P.N.I. yang hempat. Dengan politiek­antithese ini, maka ia adalah menarikgaris yang terang antara sini dan sana, memisahkan golongan sini dari golongan sana, − menjernihkan keadaan menjadi sejernih­jernihnya!

Tuan­tuan Hakim, kami sekarang tinggal menerangkan satu hal lagi daripada machtsvorming kita. Kami sudah menerangkan nyawa machtsvorming kita, yakni nationalisme. Kami sudah menerangkan pulaurat­urat dansyaraf­syaraf machtsvorming itu, yakni persatuan Indonesia, memerangi kemunduran budi­akal rakyat, membantras perasaan kurang­karaat, menjalankan politik antithese. Kami sekarang harus menerangkan anggota­anggotanya machtsvorming kita itu, − badan lahirnya, badan­wadagnya, stoffelijk lichaamnya.

Badan­wadagnya machtsvorming P.N.I.?

Page 100: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Badan­wadagnya machtsvorming P.N.I. sebagai yang diinginkannya, adalah massa. Idam­idaman P.N.I. bukanlah satu partai dari puluhan atau ratusan orang saja, bukanlah perkum­pulan segundukan kaum “salon politiekers” yang pekerjaannya sehari­hari hanya menggerutu saja, − idam­idaman P.N.I. ialah suatu pergerakan massa yang sehebat­hebatnya, suatu massa­actie, yang membangkitkan ribuan, laksaän, ketian, ya milliunan rakyat tua­muda, laki­perempuan, pandai­bodo, menak dan somah! Hanya dengan massa­actie yang demikian itulah, menu­rut keyakinannya, machtsvormingnya bisa menjadi sempurna. Hanya dengan massa­aetie yang sebagai banjir yang maha­kuasa dan tak dapat dicegah majunya, massa­actie yang sebagai gelombang melimpahi seluruh Indonesia, dari Aceh sampai ke Fak­Fak, hanya dengan massa­actie yang begitu, macht­vormingnya bisa menjadimacht yang sebenar­benarnya. Air­air Indonesia yang terang sejak windu­berwindu, air­air Indonesia itu P.N.I. ingin mengalirkannya, sumber sambung sumber, sungai sambung sungai, samudera sambung samudera, sehingga akhirnya menjadilah aliran yang maha­lebar dan maha­tinggi, bergelombang­gelombangan menuju ke satu arah. Dengan badan­wadag yang sebagai raksasa itu, dengan urat syaraf empat­sakti sebagai yang tadi kami terangkan, dengan nyawa nationalisme yang berkobar­kobaran di dalam kalbu, maka sepanjang idam­idaman P.N.I. machtsvormingnya menjadilah sebagai Krishna Tiwikrama, − hebat, onoverwinnelijk!

Krishna­Tiwikrama! Dus toh revolusi, dus toh hamuk sebagai “hamuk Jayabinangun”, dus toh huru­hara atau setidak­tidaknya menjungkirkan hukum?

Bukan, sekali lagi bukan! Bukan pelanggaran hukum atau revolusi, − tetapi sua tu massa­actie yang aman tetapi

hebat, sesuatu massa­actie yang ordelijk tetapi geweldig, sebagai misalnya massa­actie S.D.A.P. tatkala duapuluh tahun yang lalu berjuang buat merebutkan Algemeen­Kiersrecht. Adakah di dalam massa­actienya S.D.A.P. pada waktu itu, tatkala puluhan, ratusan­ribu manusaia bergerak, bom­boman atau dinamit­dinamitan, pengrusakan keamanan­umum, pelanggaran gezag? Adakah S.D.A.P. di dalam kiesrecht­massa­actie itu mengalirkan darah, adakah pemimpin­pemim­pinnya kena hukuman lantaran melanggar artikel ini atau artikel itu?

Tuan­tuan Hakim, rakyat Belanda sekarang merasa besar hatilah atas algemeen kiesrechtnya, merasa besar­hatilah di atas kemenangan democratie itu; kitapun ikut mengucap bahagia di atasnya, kitapun ikut berseru: “bahagia, bahagialah kamu dengan itu algemeen kiesrecht, o, bangsa Belanda!” − Tetapi, .......... marilah kita ingat sebentar, bagaimana rakyat Belanda itu cara­nya mendatangkan algemeen kiesrecht itu, bagaimana caranya kemenangan democratic itu didatangkan! Tak lain tak bukan,− dengan massa­actie! dengan massa­actie yang bergelombang­gelombang melimpahi seluruh Nederland, membangkitkan seluruh energinya rakyat, mengelek­triseer sekujur badannya natie, − massa­actie yang hebat dan kini tertulis dengan letter­emas di dalam buku riwayatnya bangsa Belanda mendatangkan aturan pemerintahan yang modern! Massa­actie yang demikian hebatnya itulah diidam­idamkan oleh P.N.I., massa­actie yang hebat dan maha­kuasa, yang juga menggetarkan seluruh tubuhnya rakyat dan juga meng­elektriseer sekujur badannya natie, − massa­actie yang ber­gelombang­gelombangan menuju kearah maksudnya, tidak dengan bermaksud iseng­iseng langgar­langgaran wet sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proces ini, tidak pula dengan senyata bom atau bedil atau gas­racun atau “rame­ramean” apapun jua, melainkan hanyalah dengan senjata­semangat yang berupa nationalisme beserta empat urat syaraf itu tadi saja adanya, sebab senjata­semangat ini,

Page 101: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

asal sudah cukup mengasahnya, sudah bisalah membikin kita menjadi maha­sakti dan tak dapat dipertundukkan, yakni bisa membangkitkan desakan “moreel geweld” yang maha besar, sehingga semua maksud kita tentu dapat tercapai!

Kami kembali lagi: badan­wadagnya machtvorming P.N.I. adalah kami carikan di dalam rakyat­murba yang bermilliun­milliunan itu, di dalam massa yang berkerumun­kerumunan sebagai semut.

Aha! A.I.D. sering menulis atau saksi Albreghs a la Colijn berkata, − dus gantinya P.K.I., dus gantinya “Gombinis”!! Satu “Iogica” lagi yang kocak, Tuan­tuan Hakim!

“Logisch”, bukan? P.N.I. didirikan tidak lama sesudah P.K.I. mati, P.N.I. sering menunjukan sikap anti­imperialisme sebagai P.K.I., P.N.I. mau menggerakan masa sebagai P.K.I., dus P.N.I. sama dengan P.K.I., dus merah­putih­kepala­banteng sama dengan merah­martil­arit, dus nationalist­Indonesia sama dengan “Gombinis” !

Toch,...... walau “logica” yang begitu “logisch” itu, − P.N.I. bukan “Gombinis”! P.N.I. memang didirikan di dalam tahun 1927, memang anti­imperialisme, memang suatu partai massa, memang suatu partai yang kromoistisch dan marhaenistisch, memang dikhawatirkan oleh Dr. Cipto akan lekas dituduh dan ditindas sebagai gantinya P.K.I., tetapi P.N.I. bukan “Gombinis”, P.N.I. bukan “heimelijk opvolgster” *) dari Partai Kommunist Indonesia! 163

P.N.I. adalah suatu partai revolutionair nationalisme sebagai yang kami terangkan tadi, − dan massaisme, kromoisme, marhaenisme P.N.I. tidaklah karena faham “Gombinis” melain­kan ialah oleh karena susunan pergaulan hidup Indonesia memang menyuruh P.N.I. memeluk kromoisme dan mar­haenisme itu!

Menyuruh memeluk kromoisme? Ya, Tuan­tuan Hakim,menyuruh memeluk kromoisme, sebagaimana susunan per­gaulan hidup Eropahmenyuruh kaum sosialis memeluk prole­tarisme pula! Sebab susunan pergaulan hidup Indonesia sekarang adalah pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaumtani­kecil, kaumburuh­kecil, kaumpedagang­kecil, kaum pelajar­kecil, pendek kata: ............... kaum kromo dan kaum marhaen yang apa­apanya semua kecil! Suatu nationale­bourgeoisie **) yang kuasa sebagai di Hindustan, suatu 164

nationale­bourgeoisie yang tenaganya bisa dipakai di dalam perjuangan melawan imperialisme itu dengan suatu “selfcontaining”­politiek, ***) di sini boleh dikatakan tidaklah ada. Banyak 165

kaum nasionalis bangsa Indonesia, yang mengatakan bahwa per­gerakan Indonesia harusmeniru pergerakan Hindustan dengan mengadakan pula boy­cott economie atau swadeshi sebagai di Hindustan itu. Kami menjawab: kalau bisa, memang bagus, tetapi pergerakan Indonesia tidak bisa meniru pergerakan Hindustan, tidak bisa ikut­ikut mengadakan swadeshi, tidak bisa memakai tenaganya suatu nationale­bourgeoisie, oleh karena di Indonesia tidak ada nationale­bourgeoisie yang kuasa itu. Pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang hampir melulu mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan kang Marhaen saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai kaum Kromo dan kaum Marhaen belaka! Di dalam tangannya kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisatienya kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama harus dicari tenaganya. Siapa dari kaum pergerakan Indonesia menjauhi atau ia tak mau bersatu dengan saudara­saudara “rakyat rendah” yang sengsara dan berkeluh­kesah itu, siapa yang menjalankan politik 163 t.a.p 164 t.a.p 165*) Didalam surat­pendakwaan adalah tertulis bahwa P.N.I. adalah “heimelijk opvolgester” dari P.K.I., artinya bahwa P.N.I. adalah “gantinya”

P.K.I. dengan sembunyi­sembunyi.

Page 102: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“salon­salonan” atau “menak­menakan”, siapa yang tidak mem­perusahakanmarhaenisme atau kromoisme, − walaupun ia seribukali sehari berteriak cinta­bangsa­cinta­rakyat, ia hanyalah menjalankan politiek yang....... cuma “politiek­politiekan” belaka!

Kekromoan dan kemarhaenan!, − itulah kini gambarnya susunan pergaulan hidup kita. Sebab stelsel imperialisme di Indonesia adalah dari sejak mulanya, dari zaman Compagnie sampai ke zaman Cultuurstelsel, dari zaman Cultuurstelsel sampai ke zaman modern, merabut dan membasmi tiap­tiap perusahaan­besar daripada rakyat kita dengan sulur­sulurnya dan akar­akarnya, menghalang­halangkan dan membikin tidak bisa lagi hidupnya sesuatu perusahaan nijverheid atau industrie atau onderneming Indonesia apapun jua. Perdagangan, pelajaran, pertukangan, − semua matilah oleh pengaruhnya Imperialisme­tua dan imperialisme­modern yang dua­duanya mono­polistisch itu!

Kini tinggallah perdagangan kecil belaka, pelajaran kecil belaka, pertukangan kecil belaka, pertanian kecil belaka ketam­bahan lagi miliunan kaum­buruh yang sama­sekali tiada perusahaan sendiri, − kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah pergaulan­hidup kekromoan dan kemarhaenan saja !

Tuan­tuan Hakim, sempitnya tempo menghalang­halangi pada kami menguraikan dan membuktikan keadaan yang penting ini lebih lebar, tetapi satu­dua dalil daripada bangsa Eropah yang terpelajar tak bisalah kami tinggalkan, misalnya dari Raffles, Prof. Veth, Prof. Kielstra, Prof. Gonggrijp, Prof.v. Gelderen, ataupun Schmalhausen, Rouffaer dll, yang semuanya adalah membuktikan kebenarannya kata kami itu!

Di dalam bukunya Raffles yang termashur tentang Tanah­Jawa maka kami membaca tentang imperialisme­tua:

“Het zou even moeilijk zijn, een uitvoerige beschrijving der uitgestrektheid te geven, welke de handel van Java tijdens de vestiging der Nederlanders in de Oostersche zeeen genoot, als het smartelijk zou zijn te moeten aantoonen, op welke wijs die handel door vreemde tusschenkomst belemmerd, geheelveranderd en beperkt werd, door het gezag van een wankelend monopolie, door eigenbaat en geldzucht met macht gepaard, en door de kortzichtige dwingelandij van een koopmans­bestuur” ..........

“Zoodanig zijn de voornaamste der een­endertig artikelen van beperking, die elke beweging van den handel omkluisterde en de laatste vonk van ondernemingsgeest uitbluschte, ten behoeve van bekrompene inzichten van eigenbaat, welke men de dweepzucht der geldgierigheid zou kunnen noemen.” . 166

“Begitu sukarnya menceriterakan luasnya per­dagangan di tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai berdiam dilautan­lautan Timur, begitu menyedihkan hati­nya menceriterakan halnya perdagangan itu dihalang­halangi, dirubah dan dikecil­kecilkan oleh perbuatan bangsa asing itu, oleh kekuasaannya monopolie yang sudah bobrok, oleh ketamakan dan keserakahan akan duit yang dibarengi oleh kekuasaan dan oleh kelaliman yang picik daripada suatu pemerintahan­saudagar” .................

“Demikianlah artikel­artikel yang terpenting daripada artikel­artikel tigapuluh­satu, yang membelenggu tiap­tiap pergerakan perdagangan dan memadamkan samasekali semua api kemauan­usaha, untuk memuaskan nafsu­nafsu picik dan angkara­murka, yang orang boleh namakan keharusannya keserakahan harta.”

166**) Nationale­bourgeoisie = kaum modal bangsa sendiri.

Page 103: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tuan­tuan Hakim, Raffles adalah terkenal sebagai pembenci bangsa Belanda, terkenal

sebagai Hollander­hater! Marilah oleh karenanya, kita segera menyelidiki pendapatannya pujangga­pujangga Belanda sendiri, dan kita akan mendengarkan pendapatannya yang tidak berbeda. Tidakkah Prof. Veth tentang imperialisme­tua itu mengatakan,

bahwa bangsa kita : “der 16e eeuw nog, evenals die van Majapahit, zich vooral als ondernemendehandelaars, stoute zeevaarders, onverschrokken kolonisten onderscheidden, en dat zij als geheel genomen ................. een groote verandering hebben moeten ondergaan om in de vreedzame landbouwers van onzen tijd te worden herschapen”. “masih di dalam abad ke enambelas, sebagai juga di zaman Majapahit, adalah terutama terkenal sebagai kaum saudagar yang besar­usaha, kaum pelajar yang gagah, kaum perantau yang berani, dan bahwa mereka umumnya ......... adalah tentunya menderitakan perubahan yang besar sekali, menjadi kaum tani yang diam dan damai sebagai sekarang ini”.

dan bahwa :

“toch duidelijk, dat de tijger in hen getemd is en de slaapdrank eener lange onderwerping aan overmachtige vreemdelingen zijne werking niet heeft gemist”! . 167

“toh nyatalah dengan senyata­nyatanya, bahwa semangat harimaunya sudah menjadi jinak sampai kutu­kutunya, beserta obat­tidurnya ketaklukan yang lama sekali pada bangsa­bangsa asing yang maha­kuasa itu sudahlah bekerja”!

Tidakkah Prof. Kielstra menulis :

“De handelspolitiek der Nederlanders had er toe geleid, dat vele bronnen van bestaan waren verstopt of geheel uiitgedroogd; maar wat deerde dat! Werd niet ............ geleeraard, dat men nooit moest afgaan van de stelregel, dat een arm volk het gemakkelijkst te reegeeren is!” 168

“Politik perdagangannya bangsa Belanda adalah menye­babkan yang banyak sumber­sumber penghidupan menjadi­lah tertutup atau kering samasekali; tetapi perduli apa! Tidakkah orang mengajarkan, bahwa orang tak boleh menyimpang dari pepatah, bahwa rakyat yang melarat itu adalah yang paling gampang diperintahkan!”. Dan haraplah memperhatikan perkataan Prof. Gonggrijp yang berbunyi : “De geweldige handhaving van dat monopolie heeft de welvaart van de Molukken vernietigd, en neergedrukt het weinige dat (nog) onder de inheemsche bevolking van Java aan handelsgeest en ondernemingslust leefde” 169

167***) Selfcontaining­politiek = politiek membikin sendiri segala kebutuhan rakyat membikin sendiri kain­kain bakal baju­celana, membikin sendiri perkakas, membikin sendiri gula atau minyak, − dus tidak membeli barang bikinan kaum imperialisme, melainkan segala kebutuhan itu dibikin perusahaan bangsa sendiri.

168 Geschiedenis v. Java. Vertaling v. de Sturler 1836, pag. 116 en 140. 169 Java I pag. 299.

Page 104: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Usaha mengekalkan monopolie itu sudahlah membinasa­kan samasekali kesejahteraannya Maluku, danmenindas semua semangat perdagangan dan kemauan usaha yang masih ada pada penduduk tanah Jawa” .

− haraplah memperhatikan pula oordeelnya Prof. v. Gelderen yang menulis di dalam iapunya voorlezingen :

“Een uitvoerige litteratuur maakt het onbetwijfelbaar, dat een begin van stelsel­matigen actieven handel, van overzeesch ruilverkeer met de toenmalige middelen ....... .... redds aanwezig was ....... door het stelsel van contingenten en leveringen, later dat der dwangcultures, werd de Inlandsche producent weggedrongen van de wereldmarkt en de verdere ontwikkeling van een eigen klasse van ondernemers, handelaren, belemmerd!” 170

“Dengan adanya pustaka yang luas kini tak bisalah disang­kal lagi, bahwa pada zaman itu sudah adalah permulaan daripada perdagangan yang giat, daripada perhubungan dagang dengan tanah seberang ...... Oleh adanya stelsel contingenten dan leverantien, *) kemudian 171

oleh adanya stelsel cultuur­paksaan, maka kaum producent Bumiputera didesaklah daripada pasar dunia dandihalang­halangilah suburnya suatu kelas­majikan dan kelas­saudagar bangsa sendiri !” Orang bisa membantah: “0, itu keadaan tempo dulu, keadaan sekarang sudah lain !” O memang, − itu keadaan tempo dulu, itu jahatnya imperialisme­tua! Tetapi keadaan

sekarang, dibawah Imperialisme­modern, tidak lain! Keadaan sekarang masih tetap menghalang­halangi timbulnya suatu kaum­perusahaan­besar di Indonesia, tetap “mengkromokan”, tetap “memarhaenkan” di dalam tendenznya,− walau, dengan meminjam lagi perkataan Stokvis, “melalui jalan­jalan yang lebih sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetaplah menunjukkan suatu pergaulan­hidup tani­kecil, pedagang­kecil, pelajar­kecil, segala­nya kecil, beserta milliun­milliunan kaum yang tak mempunyai sesuatu milik atau perusahaan sendiri yang bagaimana kecilnya pun jua, − kaum proletar, yang (terbawa oleh tendenznya modern­imperiaIisme yang sepanjang Prof. v. Gelderen membikin kita menjadi “rakyat kaum­buruh”, dan “si­buruh antara natie­natie itu”), makin lama makin bertambah.

Dalil­dalil? Haraplah memperhatikan perkataan ex­Assistent­Resident SchmaIhausen, yang atas rapportnya Du Bus yang berbunyi :

“Hetzelfde, en in nog veel hoogere mate, is waar ten aanzien der lijnwaden. Java in vroeger tijd ontbood de fijnere soorten van de kust, maar van die voor dagelijksch gebruik voorzag het zichzelf en den Archipel grooten deels mede. Bij ladingen gingen zij van Java uit en verspreidden zij zich over de omliggende eilanden. Thans voeren wij op Java en in den Archipel onze Nederlandsche lijnwaden in ......... Onder dit conflict gaat de eigen fabricatie te niet en vleien zich onze Vaderlandsche fabrieken die wel spoedig geheel te zullen vervangen”. “Hal yang sama, dan malahan lebih­lebih keras lagi, adalah terjadi pada perusahaan tenun. Di dalam zaman dulu tanah Jawa adalah mengambil kain­kain yang lebih haIus dari pesisir, tetapi kain­kain untuk keperluan sehari­hari dia bisalah membikin sendiri untuk

170 t.a.p. pag. 19. 171 t.a.p. pag. 76

Page 105: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kebutuhan tanah Jawa dan malahan juga untuk sebagian besar daripada kepulauan Hindia. Kapal­kapalanlah kain­kain itu meninggalkan tanah Jawa, menyebarkan kian­kemari ke semua nusa­nusa sekelilingnya. Sekarang kita masuk­kanlah kita­punya kain­kain Belanda di tanah Jawa dan di nusantara Hindia itu ......... Di bawah pengaruhnya per­tentangan ini, maka perusahaan Bumiputera menjadi mundurlah ada nya, dan pabrik­pabrik kita di negeri Belanda adalah harapan besar bisa menggantinya sama sekali” . menulis commentaar buat zaman­sekarang yang mengatakan : “Terwijl Du Bus onder de oorzaken van den ongunstigen toestand, naast den verhinder den uitvoer van rijst, het ver dwijnen van zooveel andere artikelen van uitvoer noemt, kan men in onzen tijd ook weer opmerken, dat vele inlandsche industrieen zijn te niet gegaan of kwijnen 172

“Sedang Du Bus diantara sebab­sebabnya keadaan jelek ini, selainnya mundurnya perdagangan beras, menyebutkan pula hilangnya begitu banyak perusahaan­perusahaan uitvoer, maka kita di dalam zaman sekarang ini jugalah boleh mengatakan lagi, bahwa banyak sekalilah perusahaan­perusahaan Bumiputera yang mundur atau mati!” Dan adakah beda tulisannya G.P. Rouffaer yang berbunyi : “Zoo moest het gebeun, dat de eigen textielnijverheid ........ steeds neergedrukt werd door den aanzienlijken import uit den vreemde”? 173

“Dengan keadaan yang demikian itu, maka tidak­boleh­tidak, perusahaan­kain pastilah ma ti makin lama makin menjadi tertindas oleh banyaknya kain­kain dari asing yang masuk ke dalam negeri” ? Tidak, tidak beda. Dan tidak bedalah pula nasibnya perusahaan­perusahaan Indonesia yang

lain­lain. Dimanakah sekarang kitapunya pelajaran! Dimanakah kitapunya perusahaan besi dan kuningan, kita­punya kaum pedagang? Sesungguhnya, benarlah tulisan Prof. v. Gelderen yang berbunyi :

“......... deze ontwikkeling (dari moderne industrieen. Tuan­tuan Hakim) heeft teruggedrongen de elementen van de hooger ontwikkelde huisindustrieen. De Inlandsche exporthandel is vernietigd en de locale industrie verdween voor de vloedgolf van de goedkoope importartikelen der massaproductie.” 174

“........ Zoo handhaafde zich, ook in het tijdperk der vrije cultures, dat op het cultuur­stelsel is gevolgd, de historisch voltrokken scheiding tusschen den Javaanschen tani, en hiermede feitelijk de Inlandsche bevolking, en de wereldmarkt onzer dagen.” 175

“....... suburnya perusahaan­perusahaan asing ini sudahlah mendesakkan pertukangan­pertukangan di rumah. Perdagangan export Bumiputera adalah menjadi mati sama sekali, dan perusahaan yang hanya membikin barang untuk daerah sendiri saja

172 Voorlezingen p. 122. 173*) Lihatlah buat maknanya kata­kata ini, salah satu noot dimuka. 174 t.a.p. pag. 139 175 Voornaamste industrieen pag. 2.

Page 106: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

menjadi hilang tersapu oleh gelom­bangnya barang­barang import murah bikinannya massa­productie”. “....... Begitulah maka, juga di dalam zamannya cultuur­merdeka, yang mengikut zamannya cultuur­stelsel itu, si bapa tani Jawa, (dan oleh karenanya, sebenarnya juga segenap penduduk Bumiputera) tetaplah terpisahkan dari pasar­dunia zaman sekarang.” Tuan­tuan Hakim, dengan pergaulan hidup yang demikian ini, dengan pergaulan hidup

yang tiada kelas­perusahaan­besar ini, dengan pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum Kromo dan kaum Marhaen saja ini, kita dari Partai Nasional Indonesia, yang selamanya berdiri di atas realiteit itu, kita harus menjalankan politik yang Kromoistisch dan Marhaenistisch pula. Tidak bisalah kita mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesakkan ia keluar dengan kekuatannya persaingan­economie, tidak bisalah kita mencoba melemahkan dayanya dengan daya nationaal­economische “selfcontaining” sebagai di Hindustan itu. Kita hanyalah bisa mengalahkannya dengan aksinya kang Kromo dan kang Marhaen, dengan nationalistische massa­actie yang sebesar­besarnya. Kita mencoba menyusun­nyusunkan energinya massa yang bermilliun­milliunan itu, mencoba membelokkan energinya segenap kaum intellectueel Indonesia kearah susunan massa itu; kita mencoba, − dan kita yakin akan bisa −, kita mencoba mengasih keinsyafan pada kaum intellectueel Indonesia itu, bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus terjun dan berjuang, di dalam kalangan massa inilah mereka harus mencari kekuasaannya natie, − jangan sebagai dulu hanya menjalankan politiek “salon­salonan” saja, menggerutu sendiri­sendirian atau marah­marahan di dalam kalangan sendiri saja.

Tidak!” “di dalam massa, dengan massa, untuk massa!”, − itulah harus menjadi semboyan kita dan semboyan tiap­tiap orang Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah­air dan bangsa !

Tuan­tuan Hakim, kami sekarang sudah menerangkan wujudnya machtvorming P.N.I. itu: nyawanya nationalisme, urat­syarafnya empat macam, badannya massa dan murba !

Marilah sekarang kami menerangkan dengan singkat bagai­manageraknya machtsvorming itu, bagaimana machtsvorming itu menjalankan aksinya.

Geraknya machtsvorming P.N.I. adalah ditetapkan oleh karakternya, adalah ditentukan oleh sifatnya pergerakan kita. Karakternya pergerakan kita adalah “nationale bevrijdings­beweging en hervormingsbeweging tegelijk”, yakni pergerakan yang berusaha untuk kemerdekaan Indonesia dan untuk perbaikan­perbaikan yang kiranya bisa tercapaikan sekarang juga.

“Dalam pada itu”, − begitulah Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer, berkata 176

“intusschen heeft de inlandsche, beweging, evenals de sociaal­democratie een tweeledig karakter. Terwijl zij streeft naar de verwezenlijking van haar ideaal in detoe­komst, tracht zij in het heden verbeteringen te verkrijgen in het lot van de massa’s, wier ideaal zij dient. Evenals de sociaal­democratie verwacht zij van den strijd voor onmiddellijke lotsverbetering, behalve die lotsverbetering zelf, ook een zoodanige intellectueele verheffing en scholing van de massa die zij leidt, dat deze tot de verwezenlijking van het ideaal eerder en beter in staat geraakt.”

176 In Dr. Schrieke’s “Western influence etc.” pag. 99.

Page 107: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“dalam pada itu, maka pergerakan Bumiputera, sebagai juga sosial­demokrasi, mempunyailah sifat yang cabang dua. Dalam pada ia mengejar cita­citanya yang kemudian­hari, maka ia sudah mencobalah mendatangkan perbaikan­perbaikan pada hari­sekarang di dalam nasibnya rakyat yang ia mau laksanakan cita­citanya itu. Sebagai sosial­demokrasi, maka ia mengharap­harap daripada perjuangan merebut perbaikan­perbaikan hari­sekarang itu, selainnya perbaikan­perbaikan itu sendiri, juga pendidikan akal pikirannya dan pengolahan tenaganya rakyat yang ia pim­pin, sehingga rakyat itu bisa lebih lekas dan lebih mencapai cita­citanya.” Artinya: pergerakan kita adalah pergerakan, yang dalam pada usahanya mengejar

kemerdekaan, sudah pula berusaha mendatangkan perbaikan­perbaikan yang kiranya bisa tercapai didalam hari­sekarang. Ia adalah suatu pergerakan yang bukan saja menulis didalam statutennya perkataan­perkataan “kemer­dekaan Indonesia”, − ia adalah pula menuliskan di dalam statuten itu “bekerja untuk Indonesia merdeka”, dan mem­punyailah pula daftar­usaha yang berisi macam­macam pasal “perbaikan­hari­sekarang” itu tadi. Dan sebagai Ir. Albarda tadi mengatakan, maka perjuangan dan actie untuk pasal­pasalnya daftar­usaha itu adalah pula sebagai suatu tempat mengolah tenaga dan mengasah hati, suatu scholing, suatu training, bagi cita­cita yang lebih tinggi dan lebih sukar lagi, yakni kemer­dekaan tanah­air dan bangsa. Actie untuk mendirikan sekolahan­sekolahan sendiri, actie untuk mendirikan rumah­rumah­sakit sendiri, actie untuk memberantas riba dan analphabetisme, actie untuk membangunkan cooperasi­cooperasi, actie menuntut hapusnya artikel 153­bis­ter atau haatzaaiartikelen atau hak pendigulan, actie menuntut pelebaran hak­berserikat­dan­ber­kumpul dalam umumnya beserta kemerdekaan surat­kabar, − itu “actie sehari­hari” semuanya adalah mempunyai “faedah­mendidik”, yakni mempunyai “paedagogische waarde” yang tinggi sekali bagi rakyat, dan bagus sekali pula untuk mengasih rakyat keinsyafan dan kepercayaan akan tenaganya, akan kekuatannya, akan macht­nya yang sebenarnya.

Dan bersamping­sampingan dengan actie sehari­hari ini, bersamping­sampingan dengan apa yang kita sebutkan “daad­werkelijke acties” ini, maka kita menghasilkanlah pada rakyat itu macam­macam teori beserta pengajarannya pergerakan­pergerakan di negeri­negeri lain,− yakni kita mengasih kepada rakyat itu kursus­kursus dan surat­surat­bacaan, agar supaya rakyat itu mengetahui segala seluk­beluk perjuangannya, mengetahui apa sebabnya ia harus berjuang, buat apa ia harus berjuang, dengan apa ia harus berjuang, artinya: agar supaya rakyat tidak menginjaki jalan­jalan yang salah dan tidak pula sebagai kambing mengikuti saja kepada tuntunan dengan tidak ikut memikir. Kursus­kursus, brochures­brochures dan surat­surat­orgaan, − itulah hal­hal yang tak dapat dipisahkan dari­pada sesuatu massa­actie yang insyaf atau bewust, sesuatu massa­actie yang mempunyai doorzicht.

Massa­actie zonder teori kepada yang menjalankannya, massa­actie zonder kursus­kursus, brochures dan surat­surat­kabar, adalah massa­actie yang tak hidup dan tak bernyawa, − massa­actie oleh karenanya, tak mempunyai kemauan, tak mempunyai wil. Padahal, hanya ini wil­lah yang bisa menjadi motor­tenaganya massa­actie itu yang sebenar­benarnya! Karl Kautsky, itu theoreticusnya massa­actie kaum­buruh Eropah yang termashur, adalah di dalam bukunya “Der Weg zur Macht” mengajarkan kepada kita:

“De wil als strijdlust wordt bepanld: 1e. door den prijs van den strijd, die de strijdenden wenkt, 2e. door het krachtsgevoel, 3e. door de werkelijke kracht. Hoe hooger de prijs, des te sterker is de wil, dus te meer waagt men, des te energieker biedt men al zijn krachten

Page 108: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

aan, om dien prijs te erlangen. Maar dit geldt alleen dan, wanneer men er van overtuigd is over de krachten en kundigheden te beschikken, die voor de bereiking van den prijs noodig zijn. Heeft men niet het noodige vertrouwen in zichzelf, dan moge het strijddoel nog zoo aanlokkelijk zijn, − het ontketent geen willen, doch slechts een wenschen, een vurig verlangen, dat zeer brandend kan wezen, doch geen daad doet geboren worden en practisch volkomen nutteloos is. − Het krachtsgevoel is even kwaad als nutteloos, wanneer het niet op werkelijke kennis der eigen krachten en die van den tegenstander berust, doch slechts op blooteillusies. Kracht zonder krachtsgevoel blijft dood, toont geen willen. Krachtsgevoel zonder kracht kan onder zekere omstandig­heden tot daden voeren, die den tegenstander verrassen en schuchteren, zijn wil of verlammen. Maar blijvende resultaten zijn zonder werkelijke kracht niet te bereiken. Ondernemingen die niet door werkelijke kracht, doch slechts door misleiding van den tegenstander t.a.v. de eigen kracht tot overwinning hebben geleid, moeten vroeger of later altijd te gronde gaan, en een te grootere ontmoe­diging achterlaten naarmate de eerste resultaten glansrijker zijn geweest. ....... Onze eerste en gewichtigste opgaaf is de ver­meerdering van de kracht van het proletariaat. Deze kunnen wij natuurlijk niet naar believen vergrooten. De krachten van het proletariaat zijn voor een zekere toestand van de kapitalistische maatschappij door haar economische verhoudingen bepaald, en laten zich niet willekeurig vermeerderen. Maar men kan de werking der voorhanden krachten vergrooten door hare verspilling tegen te gaan. De nietbewuste processen in de natuur beteekenen een oneindige verspilling van krachten, wanneer wij ze vanuit het standpunt onzer doelstellingen beschouwen. De natuur heeft zelf geen doelstelling, die ze dient. Het bewuste willen van den mensch geeft hem doelstelingen, wijst hem echter ook de wegen aan, die doelstellingen zonder krachts­verspilling, met de geringste krachtsinspanning. te bereiken. Dit geldt ook voor den strijd van het proletariaat. Wel heefl hij al van meetaf niet zonder het bewustzijn der deelnemers plaats, maar hun bewuste willen omvat daarbij slechts hun dichtbijzijnde persoonlijke behoeften. De maatschappelijke veranderingen, die uit dien strijd voortspuiten, blijven voor de strijders eerst verborgen. Als maatschappelijke gebeur­tenis is dientengevolge de klassenstrijd langen tijd een onbewuste gebeurtenis en als zoodanig behept met al de krachtsverspilling, die in alle onbewuste gebeurtenissen te vinden is. Slechts de kennis van het maatschappelijke proces, van zijn tendenzen en van zijn doelen vermag aan deze krachtsverspilling een einde te maken, de krachten van het proletariaat te concentreeren, ze in groote organisaties samen te vatten, die door groote doeleinden vereenigd worden en planmatig alle persoonlijke en oogenbliksacties ondergeschikt maken aan de blijvende klassebelangen, welke op hun beurt weder ten dienste der gezamenlijke maatsc­happelijke ont wikkeling worden gesteld. Met andere woorden: de theorie is de factor die de mogelijke krachtsontwikkeling van het proletariaat ten zeerste verhoogt, terwijl ze het ook leert op de meest doelmatige wijze gebruik te maken van de door de economische ontwikkelling gegeven krachten en hun Verspilling tengengaat. De theorie verhoogt echter niet alleen de werkzame kracht van het proletariaat, maar ook zijn krachtsbewustzijn. En dat is niet minder noodzakelijk.” 177

177 Voorlezingen p. 123

Page 109: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Kemauan berjuang adalah ditentukan: pertama oleh upah­nya perjuangan yang memanggil­manggil kaum perjuangan itu, kedua oleh rasa­kekuatan, ketiga oleh kekuatan yang sebenarnya ada. Makin berharga upah itu, maka makin keraslah juga kemauan, makin besarlah keberanian tekad, makin giatlah orang mengerjakan tenaganya untuk mem­peroleh upah itu. Tetapi ini hanyalah begitu, bilamana orang mempunyai keyakinan, bahwa ia adalah kekuatan dan kepandaian yang perlu untuk mencapai upah itu. Jikalau orang tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, maka maksud perjuangan itu, walaupun bagaimana juga menariknya hati, tidaklah membangkitkan suatu kemauan, tetapi hanyalah suatu keinginan, suatu nafsu yang bisa juga keras, tetapi tidak melahirkan suatuperbuatan, dan oleh karenanya, tiada faedah, Rasa­kekuatan adalah sama jahat dengan tiada faedahnya, jikalau rasa­kekuatan itu tidak terpikullah oleh pengetahuan yang benar tentang kekuatan musuh, tetapi hanya terpikul oleh pengalamunan yang kosong belaka. Kekuatan zonder rasa­kekuatan, krachtzonder krachtsgevoel, adalah mati, tidak menun­jukkanlah kemauan. Rasa­kekuatan zonder kekuatan, kadang­kadang bisalah juga melahirkan perbuatan­per­buatan yang mengejutkan musuh dan mengecilkan hatinya, menundukkan atau melemahkan kemauannya. Tetapi hasil­hasil yang kekal dan langgeng tidaklah bisa dicapai kalau tidak ada kekekuatan yang sebenarnya. Perjuangan­perjuangan yang mendatangkannya kemenangan tidak karena kekuatan yang sebenarnya ada, tetapi hanya dengan mengabui mata si musuh saja tentang keadaannya kekuatan sendiri itu, suatu ketika pastilah menjadi runtuh lagi, dan pastilah meninggalkan suatu rasa keputusan­asa yang makin keras bilamana buah­buah yang pertama tadi itu lebih berseri­serian. ............ Kita punya kerja yang pertama dan yang terpenting adalah membesar­besarkan kekekuatannya kaum proletar itu. Kekuatan ini tentu saja tidak bisalah kita besar­besarkan semau­mau kita. Kekuatan kaum proletar itu bagi sesuatu tingkat daripada pergaulan­hidup kemodalan sudahlah dipastikan oleh perbandingan­perbandingan ekonominya, dan tidak bisalah dibesar­besarkan semau­maunya. Tetapi orang bisa membesarkan hasil­geraknya kekuatan­kekuatan yang ada, dengan menjaga jangan sam­pai ada tenaga yang terbuang. Proses­proses di dalam alam yang tidak bewust *) adalah dibarengi oleh terbuangnya 178

kekuatan­kekuatan yang tiada hingga, bilamana kita pandangnya daripada penjurunya kita­punya maksud­maksud. Alam malahan tidak mempunyailah sesuatu maksud. Kemauan manusia yang bewust adalah mengasih kepadanya maksud­maksud, tetapi menunjukkanlah pula kepadanya jalan­jalan yang harus diinjaki untuk mencapai maksud­maksud itu zonder banyak kekuatan yang ter­buang, yakni dengan kekuatan yang sesedikit­dikitnya. Begitu jugalah halnya dengan perjuangan kaum proletar. Betul perjuangan ini sedari mulanya memang tidaklah zonder bewustnya yang menjalankan, tetapi mereka­punya kemauan yang bewust itu hanyalah mengenai mereka­punya kebutuhan persoonlijk yang dekat­dekat saja. Perubahan­perubahan − pergaulan hidup yang timbul daripada perjuangan ini, mula­mula tidaklah diketahui oleh kaum yang berjuang itu. Oleh karena itu, maka perjuangan kelas itu (sebagai kejadian pergaulan hidup) adalah lama sekali suatu kejadian yang tidak bewust, dan oleh karena­nya pula, banyaklah kekuatan­kekuatan yang terbuang sebagaimana memang banyak kekuatan­kekuatan yang terbuang pula di dalam tiap­tiap kejadian yang tidak bewust. Hanya pengetahuan tentang proses pergaulan hidup, tentang arah­arahnya dan tentang tujuan­tujuannya, bisalah memberhentikan terbuangnya

178 19 Desember 1919

Page 110: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kekuatan­kekuatan ini, memusatkan kekuatan­kekuatannya kaum proletar, mempersatukan kekuatan­kekuatan itu di dalam organisasi­organisasi besar, yang tergabung satu sama lain oleh maksud­maksud tinggi dan yang membelakangkan tiap­tiap actie kecil­kecil terhadap kepada kepentingan­kepentingan­kelas yang tetap, kepentingan­kepentingan­kelas yang mana adalah diperhambakan lagi kepada kemajuan pergaulan hidup umum adanya. Dengan lain­lain perkataan: teori adalah factor yang sangat sekali mengeraskan kesuburan kekuatannya kaum proletar, teori itu adalah juga mengajarkan kepada kaum proletar bagaimana mengusahakan kekuatan­kekuatan, yang diten­tukan oleh tingkatnya kemajuan ekonomi, dengan cara yang paling manfaat, beserta bagaimana menjaga jangan sampai ada kekuatan yang terbuang. Tetapi teori itu bukan saja membesarkan hasil geraknya kekuatan kaum proletar, − ia adalah juga membesarkan keinsyafan akan kekuatan itu, yakni membesarkan krachtsbewustszijn. Dan ini tidaklah kurang perlunya.” Tuan­tuan Hakim, dengan dalil ini maka tergambarlah dengan seterang­terangnya

bagaimana besar faedahnya pemim­pin mengasih teori kepada kaum yang ia tuntun. P.N.I. mengasih teori itu, ia mengadakan kursus­kursus dan surat­surat­orgaan. Ia mengasih teori atas seluk beluknya imperialisme, teori atas soal­soalnya pergerakan sendiri, teori atas pengajaran­pengajarannya atau leeringennya pergerakan­pergerakan di negeri lain. Tetapi, − bukan hanya teori sajalah yang menambah kekuatannya rakyat; bukan hanya kursus­kursus dan brochures dan surat­surat­orgaan sajalah yang membesarkan kemauannya rakyat. Rakyat haruslah dituntun dan diolah pula kemauan dan tenaganya di atas lapangnya perbuatan, − di”train” kemauan dan tenaganya di atas lapangnya “daadwerkelijke acties”, yakni di”train” bekerja untuk mendatangkan perbaikan­perbaikan hari­sekarang sebagai yang kami sebutkan tadi itu. Di sinilah rakyat itu bisa diolah kemauan dan tenaganya diukur­ukur dan ditaker­taker kekuatannya, dipelihara dan dibesar­besarkan kekuasaannya, digembleng kekerasan­hati dan energinya!

Karl Kautsky tentang daadwerkelijke acties itu adalah mengajarkan: “Yang belum dipunyai oleh kaum proletar”, − buku “Der Weg zur Macht” adalah tertulis

hampir 30 tahun yang lalu, Tuan­tuan Hakim yang terhormat −, “Wat het proletariaat nog mist is het bewustzijn van zijn macht ............ Wat de sociaal­democratie vermag te doen, doet ze, het proletariaat dat bewustzijn bij te brengen. Ook hier weer door theoretische voorlichting, maar niet door deze alléén. Werkzamer voor de vorming van het krachtsbewustzijn dan alle theorie is steeds de daad. Zijn successen in den strijd tegen den tegenstander zijn het, waarmee de sociaal­democratie aan het proletariaat zijn kracht op de meest duidelijke wijze demonstreert en daardoor zijn krachtsgevoel op zijn krachtigst verhoogt. Successen, die ze echter ook weder hebben te danken aan de omstandigheid, dat ze wordt geleid door een theorie, welke aan de bewuste, georganiseerde deelen van het proletariaat mogelijk maakt, om op elk oogenblik het maximum van zijn voorhanden krachten aan te wenden. De werkzaamheid der vakbonden buiten de angelsaksische wereld is van begin af door sociaal­democratische kennis in het leven géroepen en bevrucht. Naast haar successen zijn het de succesvolle worstelingen om en in de parlementen, die het krachtsgovoel en de kracht van het proletariaat machtig hebben opgeheven, niet allen door de materieele voordeelen, die daarbij aan enkele proletarierslagen ten deel vielen, maar voor aIles ook

Page 111: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

daardoor, dat de bezitlooze, totnogtoe angstig gemaakte en hopelooze volksmassa’s hier een kracht zien optreden, die dapper tegen aIle heerschende machten den strijd opnam, overwinning op overwinning bevocht en daarbij toch niets anders was dan een organisatie van die bezitloozen zelf. Daarin berust de groote beteekenis der Meifees ten, daarin die van de verkiezingsstrijden zoomede die van de strijden om het kiesrecht. Niet altijd brengen ze het proletariant belangrijke materieele voordeelen, dikwijls zijn deze niet in verhouding tot de offers van den strijd, en toch beteekenen ze, waar ze met een overwinning eindigen, steeds een geweldige aanwas van de werkende krachten van het proletariaat, omdat ze zijn krachtsgevoel en daarmee de energie van zijn wil in den klassentrijd machtig prikkelen. Niets vreezen echter onze tegenstanders meer als het groeien van dit krachtsgevoeI! Ze weten, dat de reus voor hen ongevaarlijk blijft, zoolang hij zich niet bewust wordt van zijn kracht. Zijn krachtsgevoel klein te houden, dat is hun grootste zorg; materieele concessies haten ze zelf minder dan de moreele overwinningen van het proletariaat, die zijn krachtsgevoel verhoogen.” 179

“Yang belum dipunyai oleh kaum proletar itu ialah keinsafan akan kekuasaannya ...... Sosial­demokrasi adalah bekerja sekeras­kerasnya mengasihkan kepada kaum proletar keinsafan itu. Juga di dalam hal ini dengan penyu­luhan teori, tetapi tidak dengan penyuluhan teori itu saja. Lebih menggugahkan keinsafan­kekuatan daripada semua teori, adalah perbuatan, daad. Dengan kemenangan­kemenangan perjuangannya melawan si musuh itulah, maka sosial­demokrasi menunjukkan kepada kaum proletar itu kekuatannya dengan senyata­nyatanya, dan oleh karena­nya pula, membesarkan rasa­kekuatannya itu dengan sebesar­besarnya. Tetapi sebaliknya juga, maka kemenangan­kemenangan ini hanyalah bisa terjadi karena suatu teori, yang mengasih susuluh kepada bagian­bagian kaum proletar yang bewust dan tersusun, bagaimana caranya mengambil hasil yang sebanyak­banyaknya daripada kekuatan­kekuatannya yang ada pada setiap waktu. Gerakan­bangkitnya serikat­serikat sekerja di luar negeri Inggeris adalah sedari mulanya dilahirkan dan diwahyui oleh pengetahuan dan ilmu sosial­demokrasi. Berdamping­dampingan dengan kemenangan­kemenangan tadi itu, maka perjuangan­perjuangan di dalam dan untuk dewan − rakyatlah yang menghebatkan sekali kepada kekuatannya dan rasa­kekuatannya kaum proletar itu, − bukan saja oleh buah­buahnya kemenangan yang diper­olehkan oleh beberapa golongan kaum proletar itu, tetapi teristimewa juga ialah oleh karena rakyat­rakyat yang melarat dan yang tadinya dibikin­bikin takut dan putus­asa itu, di sini melihatlah berbangkitnya suatu kekuatan yang dengan gagah berani berjuang melawan kaum­kaum yang kuasa dan bisa merebut kemenangan lagi dan kemenangan lagi, sedangkan kekuatan itu toh tidak lain daripada organisasinya kaum­melarat itu sendiri. Inilah arti­besar daripada pesta­pesta di bulan Mei, dari­pada perjuangan­perjuangan dimusimnya pemilihan ang­gota dewan − rakyat, daripada perjuangan­perjuangan merebut kiesrecht. Tidak selamanyalah perjuangan­perjuangan ini membawa kemenangan­wadag kepada kaum proletar, malahan sering sekalilah besarnya kemenangan­kemenangan wadag ini tidak setimbang dengan besarnya korbanan­korbanan yang jatuh di dalam perjuangan itu,

179 p. 49 e.v.

Page 112: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

− en toh, di mana perjuangan­perjuangan itu menang, maka kekuatan­kekuatannya kaum­proletar lantas menjadilah hebat bertambah besarnya, oleh karena perjuangan­perjuangan yang demikian itu adalah mengobarkan rasa­kekuatannya dan kekerasan kemauannya di dalam perjuangan­kelas. Tetapi tidak adalah barang yang lebih ditakuti oleh musuh­musuh kita daripada bertambah­tambahnya rasa­kekuatan ini! Mereka tahu, bahwa raksasa ini tidak berbahayalah bagi mereka, selama ia­tidakinsaf akan kekuatannya. Mereka oleh karenanya tidak berhenti­hentilah mencari akal memadam­madamkan rasa­kekuatan itu; concessie­concessie wadag malahan tidaklah begitu dibenci oleh musuh­musuh kita sebagai kemenangan­kemenangan − batin daripada kaum proletar yang membesarkan rasa kekuatannya itu.” Tuan­tuan Hakim, juga di Indonesia, adalah suatu raksasa yang tidak ditakuti oleh kaum

imperialisme, selama ia belum insaf akan tenaganya. Tetapi kami, dari Partai Nasional Indonesia, kami berusaha mengasih kepada raksasa itu dengan teori dan daadwerkelijke acties, keinsafan akan tenaganya yang maha­besar itu. Kami berusaha menggugahkan dan mem­besarkan krachtsgevoelnya raksasa itu, menghidupkan ia­punya krachtsbewustzijn dengan surat­surat­kabar, dengan kursus­kursus, dengan meeting­meeting, dengan demonstratie­demontratie, dengan usaha − mendirikan sekolahan­sekolahan, dengan actie mengadakan cooperatie­cooperatie, dengan perjuangan buat hapusnya pelbagai ranjau di dalam strafwet­boek, dan dengan jalan lain­lain lagi. Raksasa kekuasaan, yang bernyawa nasionalisme, berurat syaraf empat rupa, berbadan rakyat­murba itu, raksasa itu kini makin lama memang sudah makin tergugahlah keinsyafan akan tenaganya! Heranlah Tuan­tuan Hakim, bahwa imperialisme makin lama makin marah dan geger pula? Herankah tuan­tuan Hakim, bahwa surat­surat­kabar kaum imperialisme itu, sebagai misalnya A.I.D., de Preanger­Bode, Nieuws v.d. Dag, Java­bode, de Locomotief, Soera­bajaasch Handelsblad dan lain sebagainya, makin lama makin keras pekiknya “hukumlah Soekarno cs.?”, “buanglah Soekarno cs.!”, “laranglah P.N.I. hidup terus!” Herankah Tuan­tuan, bahwa kaum itu sampai mencoba mempengaruhi Tuan­tuan­punya pengadilan?

Kami tidak heran. Kami tidak heran pula kalau kaum yang benci kepada pergerakan kita, supaya pergerakan itu gampang dan ada jalan buat ditindasnya, menjalankan provocatie. Provocatie seringlah sekali dicobakan pada pergerakan kaum­buruh di Eropah, provocatie seringlah pula kita alamkan di negeri kita. Provocatie terutama sebelum pergerakan itu menjadi sentosa betul, yakni untuk ada jalan sah menindas pergerakan itu mumpung­mumpung pergerakan itu misih belum kuat sekali, − provocatie itu sering kita temukan. Kita sering dicoba dipro­voseer akan perbuatan­perbuatan jahat dengan bajingan­bajingannya “Sarekat Hejo” atau “Pamitran” sebagai sering terjadi di daerah Cianjur atau di kidulnya. Bandung, dengan rojokan akan penumpahan­darah sebagai di desa Cikeruh daerah Rancaekek atau di desa Panjairan utaranya Bandung, dengan pengrusakan Clubhuis sebagai di Gadobangkong, dengan dipinta meneken atau mengisi lijst­lijst­pemberontakan sebagai di bengkel S.S. bulan Desember 1929,− dengan macam­macam jalan lain yang rendah dan keji. Tetapi kita tak mau diprovoceer, kami tak berhenti­henti mendidik anggota­anggota tinggal aman, jangan mau diprovoceer!

Sebab kami mengetahui, − kalan kita kena diprovoceer, maka kitalah yang dijatuhi palang­pintu!!

Page 113: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tidak! Tuan­tuan Hakim, kita tak mengambil pusing akan maki­makiannya dan hasut­hasutannya kaum atau surat­surat kabar imperialisme yang sudah semestinya itu, kita tak mengasih jalan bagi provokasi. Kita dengan tenang hati terus bekerja sepanjang jalan yang halal dan yang tak melanggar hukum, membesar­besarkan kekuasaan rakyat, menggugah­gugahkan dan menghidup­hidupkan keinsafan rakyat akan kekuasaannya itu; kita dengan kepala dingin terus berusaha secara halal menyusunkrachtnya rakyat dan membangunkankrachts­gevoelnya rakyat. Satu kali sedar, maka krachtsbewustzijn ini tak akan tidur lagi. Dengan geraknya kekuasaannya rakyat dan dengan hidupnya keinsafan akan kekuasaannya itu, maka pemerentah dan kaum imperialisme terpaksalah menuruti kehendaknya satu­persatu. Sepuluh tahun yang lalu Albarda adalah bercerita:

“............. de hervormingspolitiek in Nederlandsch Indië is nu niet meer het beleid der genadige welwillendheid of het gevolg van den vrijen en nobelen gewetensdrang, zij is nu geworden de politieke weerslag van den machtsgroei der bevolking, die haar nooden blootlegt en haar eischen voordraagt. Zij is geworden de politiek der concessies aan de groeiende macht der volksbeweging.” 180

“.......... politik mengasih − perbaikan­perbaikan kepada Hindia Belanda sekarang bukanlah lagi karena cara­pemerintahan yang murah­hati atau karena suruhannya rasa­kasih, − politiek itu sekarang adalah hasil suburnya kekuasaan penduduk yang membeberkan mereka­punya kesengsaraan dan memajukan mereka­punya tuntutan­tuntutan. Politik itu sudahlah menjadi politik concessie­concessie terhadap kepada kekuasaannya pergerakan rakyat yang makin hebat.” Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian, raksasa Indonesia sudahlah lebih kuasa, danlebih

insaf akan kekuasaannya! Segera akan datanglah saat­saatnya yang pemerentah dan kaum imperialisme itu harus lebih banyak lagi tunduk kepada tuntutannya, harus lebih banyak lagi melepaskan concessie­lagi dan concessie­lagi, haruslebih banyak lagi menjerahkan hak­hak dan perbaikan­perbaikan kepadanya. Bahwasanya, zonder geger berdebat­debatan dengan wakil­wakilnya imperialisme itu dalam volksraad sebagai misalnya Fruin cs. atau Bruineman etc., zonder pula bom­boman atau dinamit­dinamit, zonder kocak­kocakan sengaja melanggar artikel 153­bis dan 169 Strafwet­boek sebagai dituduhkan kepada kami dalam proses ini,− maka dengan macht yang nyata dan machtgevoel yang hidup itu, kita toh mencapai concessie­concessie yang penting!

Sebaliknya, zonder Macht dan zonder machts­gevoel, maka kita, walaupun dengan politik­lidah yang bagaimana juga licinnya, tidak akanlah mendapat kemenangan yang besar­besar!

Tidakkah benar pertanyaan Albarda yang berbunyi: “Zou de volksraad toen in het leven zijn geroepen, als niet in Indië een krachtige volksbeweging was onstaan, die invloed op het bestuur over eigen volksleven verlangde? Ik zou verder willen vragen: Zijn niet de bekende November­beloften van 1918 en de instelling van de herzienings­commissie −Carpentier−Alting te beschou­wen als bewijzen

180*) bewust = insyaf

Page 114: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

van het ontzag, misschien ook van de vrees, welke de jonge volksbeweging in die veel bewogen jaren ......... inboezemde?” 181

“Apakah kiranya volksraad itu diadakan juga, jikalau di Hindia tidak ada suatu pergerakan rakyat yang kuat, yang ingin menjalankan pengaruh di atas caranya memerentah bangsa sendiri? Saya tanya lebih jauh: Tidakkah persanggupan­persanggupan bulan November 1918 terkenal itu dan diada­kannya herzieningscommissie− Carpentier− Alting harus dipandang sebagai bukti­bukti daripada ketakutan dan barangkali juga dari pada kedahsyatan terhadap kepada pergerakan­rakyat muda di dalam tahun­tahun yang menggegerkan itu?” Tidak benar pula, kalau kami, walaupun kami di dalam verhoor mengatakan bahwa P.N.I.

belum mencapai concessie­concessie yang besar, mengatakan bahwa diadakannya “Inlandsche meerderheid” di dalam volksraad dan diadakannya dua anggota Bumiputera di dalam Raad van Indie, adalah sebenarnya concessie pula terhadap pada pergerakan kita nasional Indonesia yang makin mendapat kekuasaan itu? Bahwasanya: dengan macht mendapat concessie­concessie yang besar, zonder macht tidak mendapat concessie­concessie yang besar itu?

“Baik”, − orang sekarang berkata −, consessie­consessie yang penting dapat tercapai dengan jalan yang halal itu! Tetapi kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan Indonesia!, tidakkah itu harus direbut oleh rakyat Indonesia dengan pemberontakan, dengan revolutie­darah?

Tuan­tuan Hakim, di dalam verhoor kami telah menerangkan dengan tulus hati: kami tidak tahu bagaimana langkah yang penghabisan itu. Ya kami tidak “memikir­pikirkan acan” akan soal langkah penghabisan itu. Kami tidak tahu akan perbandingan­perbandingan dikelak­kemudian­hari itu, sebagai­mana kami tadi juga tidak tahu dengan saksama akan wujudnya kita­punya pergaulan hidup dikelak­kemudian­hari. Kami misal­nya tidak tahu apakah Nederland pada saat penghabisan tidak lantas mengarti, lebih baik memberhentikan penjajahannya dengan damai. Kamipun tidak tahu, apakah misalnya di zaman itu kapitalisme Barat tidak sudah rubuh, imperialisme diganti dengan perhubungan­ekonomi Eropa­Asia dengan jalan mer­deka, yakni dengan jalan vrijruil­verkeer. Pendek­kata, bagi kami, bagi siapapun juga, bagi tiap­tiap manusia, hari­kemudian itu adalah suatu buku yang tertutup: Tertutup tentang soal bagaimana wujudnya langkah rakyat Indonesia yang peng­habisan, tertutup tentang soal kapan terjadinya langkah penghabisan itu.

Kami bagi sekarang, hanyalah mengetahui, bahwa tiada kemerdekaan zonder nationalisme, dus kami menghidup­hidupkan nationalisme; bahwa tiada kemerdekaan zonder persatuan­bangsa, dus kami memperusahakan adanya persatuan­bangsa; bahwa tiada kemerdekaan zonder macht, dus kami menyusunkan macht; bahwa tiada kemerdekaan zonder machts­bewustzijn, dus kami menggugah­gugahkan machtsbewustzijn itu. Kami hanyalah mengetahui bahwa kemerdekaan itu adalah minta­syarat­syarat atau voorwaarden, dus P.N.I. bekerja untuk terlaksananya syarat­syarat atau voorwaarden itu. Dan kami hanyalah pula mengetahui, bahwa kemerdekaan tidaklah jatuh dari langit besok pagi atau lusa, tetapi bahwa ia adalah hasilnya kerja berat yang melalui berpuluh­puluh concessies politik. Hosial dan ekonomi yang semuanya tidak jatuh dari Iangit, melainkan harus kita desakkan atau afdwingkan satu­persatu dengan desakannya “moreel geweld” kita adanya.

181 t.a.p. 52

Page 115: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Jalan yang melalui berpuluh­puluh consessie inilah, Tuan­tuan Hakim, yang kami maksudkan dengan kata­kata, bahwa langkah penghabisan itu masih ada di dalam “ver verschiet”, − tidak sebagai uitlegkunst atau putar­lidahnya A.I.D. de Preanger­Bode, yang menulis bahwa kami mengatakan, bahwa langkah­penghabisan itu misih “na eeuwen” lagi terjadinya.

Tidak!, − jikalau kami berkata bahwa terjadinya langkah­penghabisan itu misih ada. “zoo ver in het verschiet, dat men zich daaromtrent nog niets gerealiseerd heeft”. “begitu jauh sehingga orang belum mengetahui apa­apa di atasnya”.

maka kami tidakIah bermaksud mengatakan apa­apa tentang tempoh atau chronologienya langkah­penghabisan itu terjadi. Tentang tempohnya langkah­penghabisan itu terjadi, tentang apabilanya langkah­penghabisan itu terjadi, kami tak dapat mengetahui suatu apa, dan kami di dalam verhoor pun telah menerangkan “zelfs bij benadering niet te weten”.

Dengan sesungguhnya, Tuan­tuan Hakim, entahkapan terjadinya langkah­penghabisan itu! Entah hanya tahunan lagi saja, entah puluhan tahun lagi, entah ratusan tahun lagi! Kami dengan kata­kata “ver verschiet” itu adalah bermaksud mengata­kan bahwa antara hari­sekarang dan hari­kemudian itu adalah lapang yang lebar, lapangnya berpuluh­puluh consessie yang semuanya satu­persatu harus kita capaikan dengan usahanya nationalistische massa­actie yang maha­hebat tetapi halal itu. Lama­sebentarnya kita melalui lapang ini, lama­sebentarnya tempoh kita dapat mencapaikan concessie­concessie ini, − itu adalah tergantung daripada kekuatan dan kesempurnaannya kita­punya organisasi, tergantung dari lemah­kuatnya “moreel geweld” yang kita dapat bangkitkan. Makin sempurna kita­punya organisasi, makin besar tenaganya kita­punya “moreel geweld”, − makin lekaslah hari­kemerdekaan itu mendekat!

Welnu, Partai Nasional Indonesia ingin lekas dapat me­nambah­nambah besarnya“moreel geweld” yang ia keluarkan, ingin lekas dapat mencapaikan semua consessie­consessie itu di dalam tempo yang secepat­cepatnya oleh karenanya. Inilah sebabnya Partai Nasional Indonesia ada suatu partai yang revolutionnair, suatu partai yang ingin mendatangkan perubahan­perubahan itu denganlekas, suatu partai yang ingin mengadakan“omvorming in snel tempo”.

Tuan­tuan Hakim, kami mengulangi lagi: tentang soalbagaimana wujudnya langkah yang penghabisan, dan tentang soalapabila langkah yang penghabisan itu, kami tak mengetahui suatu apa. Kami hanyalah mengetahui, bahwa P.N.I. tak adalah maksud menyimpang dari jalan yang wettig belaka. Kami hanya­lah mengetahui bahwakami danP.N.I. tidak ingin atau tidak sengaja mau membikin pemberontakan, baik sekarang maupun kemudian­hari, bahwa kami dan P.N.I. siang dan malam adalah mengharap­harap dan mendoa­doa jangan sampai ada per­tumpahan­darah, bahwa kami dan P.N.I. sepanjang kekuatannya akan berusahalah menghindarkan tiap­tiap pertumpahan­darah!

Kami dan P.N.I., Tuan­tuan Hakim, kami dan P.N.I.! − entah kaum imperialisme sendiri! Kepada kaum imperialisme itu, kami tak akan puas­puas mengasih ingat dengan kesucian hati:

“Janganlah menyengsarakan sekali kepada rakyat, jangan­lah membakar kemarahan rakyat, janganlah mengabaikan tun­tutan­tuntutan rakyat. Sebab revolusi bukanlah bikinan manusia, bukanlah bikinan beberapa penghasut, bukanlah bikinan bebe­rapa samen zweerders, − revolusi

Page 116: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

adalah bikinan pergaulan hidup yang hampir tenggelam tertutup jalan nafasnya di dalam kesengsaraan, yakni bikinan pergaulan hidup sendiri yang kepepet. Manusia tidak bisa membikin revolutie semau­maunya, manusia tidakpun bisa mencegah revolutie kalau sudah telaat, yakni kalau sudah kasep.”

“Kita, kaum Partai Nasional Indonesia, kita betul kaum revolutionnair, tetapi kita bukan kaum yang membuat pem­berontakan. Bumi dan langit akan kita panggil mencegah tiap­tiap pertumpahan­darah! Tetapi, − hai kamu kaum impe­rialisme!, kamu senantiasa menebar­nebarkan benih keseng­saraan itu, kamu, senantiasa mepepet­mepetkan pergaulan hidup itu, kamu senantiasa menebar­nebarkan benih revolusi itu.”

Bagi kamu adalah cocok sekali tulisannya Dr. van den Bergh van Eysinga yang berbunyi: “De eigenlijke scheppers van de Revolutie ...... zijn, in den gang der huidige Geschiedenis, de zg. “ordelijke” burgers zij hebben het wonderlijke lichaam van samenleving en cultuur ziek gemaakt, en zij hebben het, doordat zij enkel dachten om zich zelve, omhun belang en winst.” 182

“Di dalam zaman sekarang ini, maka yang sebenarnya menjadi pembikin sesuatu revolusi ialah kaum yang disebutkan penduduk­penduduk yang “aman”, merekalah yang membikin badannya pergaulan hidup dan cultuur menjadi sakit dan membikinnya sakit itu ialah karena mereka hanya memikirkan diri sendiri saja, mereka­punya kepentingan sendiri saja dan mereka­punya keuntungan sendiri saja.” “Sebelum kasep, lekaslah berhentikan usahamu menyeng­sarakan rakyat, lekaslah

perhatikan keinginan dan tuntutan rakyat. Sebab jikalau oleh perbuatanmu itu bantu­pem­berontakan nanti mengaut­aut, jikalau oleh angkara­murkamu itu revolusi nanti melahirkan diri sendiri, maka seribu Partai Nasional Indonesia “tidak akanlah bisa mencegahnya, seribu macam usaha­manusia tidak akanlah bisa menolaknya. “Kita mengetahui”, begitulah Karl Kautsky menulis:

“Wij weten, ............ dat het evenmin in onze macht is deze revolutie te maken als in die onzer tegenstanders ze te verhinderen!” 183

“kita mengetahui, ........ bahwa kita tiadalah kekuasaanmembikin revolusi ini, sebagaimana juga musuh­musuh kita tiadalah kekuasaan mencegah kepadanya! Perhatikanlah peringatannya Prof. Bluntschli yang berkata: “Het eenige zekere middel om de revolutie te vermijden, is de tijdige en grondige hervorming ......... Zoodra de hoop op hervorming in een krachtig volk ondergaat, vangt de vertwijfeling der revolutie aan. De hoofdschuld is bij de machthebbers, .......... niet bij de verkeerd geregeerde naties, die een natuurlijken en beteren rechtstoestand eischen. Het is daarom een onnoozele opvatting, wanneer de revoluties van onzen eeuw voortdurend als het maakwerk van een troep samenzweerders worden voorgesteld” . “Jalannya yang satu­satunya untuk menghindarkan sesuatu revolusi, ialah mengadakan perbaikan yang selekas­lekasnya dan yang sedalam­dalamnya ......... Pada saat yang sesuatu rakyat padam harapannya akan mendapat perbaikan, pada saat itu mulailah revolusi

182 Tweede­Kamer 19 Des 1919 183 Tweede­Kamer 21 Des 1922

Page 117: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

menyala. Kesalahan yang terbesar adalah pada kaum yang kuasa, .......... tidak pada bangsa­bangsa yang salah diperintahnya, dan yang men cari kehidupan yang lebih layak dan lebih baik. Oleh karena itu, dungu sekalilah orang, jikalau mengira, bahwa revolusi­revolusi di dalam abad kita ini adalah bikinannya sekawan penyamun belaka.” Tuan­tuan Hakim, moga­moga kaum imperialisme suka memperhatikan peringatan ini.

Kita, kaum nasionalis Indonesia, kita selamanya akan menjunjung tinggi perdamaian dan keamanan. Kita tak mempunyai keinginan atau niat menum­pahkan darah: kita malahan tak akan puas­puas berusaha, supaya hari­kemudian itu hanya membawa keamanan dan perdamaian belaka. Tetapi kita tak mempunyai kekuasaan mene­tapkan gambarnya hari­kemudian itu. Kekuasaan itu adalah pada kaum imperialisme sendiri. Merekalah yang akhirnya menggenggam ketentuan di atasnya, merekalah yang bisa menetapkan gambarnya sudah hari sekarang, merekalah yang bisa menghindarkan huru­hara itu.

Indonesia akan bebas. Tentang soal ini, tentang halnya Indonesia akan menjadi merdeka, tentang halnya Indonesia akan lepas dari negeri Belanda di kelak kemudian hari, tentang soal ini bagi kita tidaklah teka­teki lagi. Tiadalah teka­teki pula akan bebasnya negeri kita itu bagi tiap­tiap manusia yang mau mengerti riwayat, bagi tiap­tiap manusia, baik bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda, yang mau bertulus­hati. Seluruh riwayat dunia, seluruh riwayat­manusia yang berpuluh­puluh abad itu, tidak adalah menunjukkan satu rakyat yang terjajah selama­lamanya. Seluruh riwayat­manusia itu malahan adalah saban­saban kali menunjukkan menjadinya merdeka rakyat­rakyat dan negeri­negeri yang tadinya terkungkung.

Oleh karena itu, jikalau rakyat Indonesia mengusahakan berhentinya penyajahan itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengejar kebebasan itu, jikalau kami­orang memanggil­manggil kemerdekaan itu, maka rakyat Indonesia, maka Partai Nasional Indonesia, maka kami­orang hanyalah memenuhi “keharusan­keharusan riwayat” belaka, − menjalankan “historische taak” nya tiap­tiap bangsa dan tiap­tiap negeri, − “historische taak” yang tidak boleh tidak pasti terjadi, pasti terlaksana.

Tetapi caranya. Indonesia akan merdeka, caranya tali penjajahan akan terlepas, adalah samasekali menurut kehendak kaum imperialisme sendiri, − adalah di dalam genggaman kaum imperialisme sendiri.

Bukan kepada kita, bukan kepada rakyat Indonesia, tetapi kepada imperialisme dan kaum imperialisme sendirilah kata yang penghabisan!

ooOoo

Page 118: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Pelanggaran Artikel­artikel 169 dan 153­bis adalah Mochal

Tuan­tuan Hakim yang terhormat! Bagian yang pertama daripada kami­punya pidato sekarang sudahlah habis. Sudahlah

mengetahui Tuan­tuan sekarang, segala azas­azas dan sifat­sifat actie P.N.I., beserta segala keyakinan­keyakinan kami di dalam garis­garisnya yang besar.

Di dalam awalnya kami­punya pidato itu, kami sudah menerangkanlah kepada Tuan­tuan, bahwa maksud kami menceritakan azas P.N.I. beserta keyakinan kami itu dengan singkat, ialah bukan mempropagandakan hal­hal itu kepada Tuan, melainkan hanyalah untuk menunjukkan kepada Tuan­tuan azas dan sifat P.N.I. itu, agar supaya Tuan­tuan bisa mengerti asal­asal dan sebab­sebabnya kami­punya perkataan­perkataan atau tindakan­tindakan yang menjadi penyelidikannya proses ini.

Maka dengan apa yang kami uraikan tadi itu, nyatalah dengan senyata­nyatanya, bahwa P.N.I. adalah partai yang halal belaka, − partai yang tidak mempunyai maksud hal­hal sebagai yang dituduhkan itu. Tidak adalah dimaksudkannya pemberon­takan, tidak adalah dimaksudkannya menyuruh orang kepada pemberontakan, tidak adalah dimaksudkannya pemogokan­pemogokan, tidak ada lah pula dimaksudkannya pelanggaran­pelanggaran sepanjang artikel 171 strafwetboek sebagai nanti akan kami uraikan lebih lebar. Oleh karena itu, bagian yang pertama daripada pendakwaan hilanglah sama sekali kekuatan­nya. Lagipula: artikel 169 strafwetboek, menurut arrest H. R. 3 Desember 1894 W.R. 6586 dan juga menurut bukunya Prof. Simons II kaca 217 dan Noyon aant. 3 ad art. 140, hanyalah mengenai perhimpunan­perhimpunan yang didirikannya ialah dengan maksud yang tertentu menyuruh anggota­anggotanya menyalankan misdrijven itu. Dan Partai Nasional Indonesia tidaklah didirikan dengan maksud hal­hal yang termaktub di dalam tuduhan itu. Partai Nasional Indonesia adalah jauh daripada maksud yang demikian itu tatkala dilahirkan di dunia, − dan memang adalah pula jauh daripadanya selama ia hidup dan bergerak di dunia dua­tiga tahun ini. Partai Nasional Indonesia adalah partai yang dari hari lahirnya sampai hari sekarang halal belaka, wettig belaka.

Tetapi bukan itu sajalah yang ternyata dari pidato kami bagian pertama itu. Dari Pidato kami bagian pertama itu adalah ternyata pula, bahwa kami mustahil bisa bersalah menjalankan hal­hal yang dituduhkan itu; mustahil kami, yang mengetahui bahwa dengan nationalistische machtsvorming itu saja, kita sudah bisa membukamogelijkheden yang luas,− yang menge­tahui bahwa kita harus menjauhi segala hal yang tak perlu yang bisa menyebabkan jatuhnya palang­pintu di atas pundak kita, − yang mengetahui bahwa kemerdekaan tidaklah tercapai dengan satu unjalan nafas, − mustahil kami, yang mengetahui hal­hal itu semuanya, bisa “berkocak­kocakan” atau “iseng­isengan” sengaja melanggar art. 153­bis dan 169 itu adanya!

Tidak, Tuan­tuan Hakim, kami tidak usah berkocak­kocakan demikian itu supaya maksud­maksud kami bisa tercapai. Kami hanyalah harus bekerja serajin­rajinnya pada suatu machtsvorming secara modern yang teguh dan sentosa, suatu machtsvorming yang terang­terangan, sebagai misalnya machtsvormingnya kaum proletar di Eropah.

Page 119: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Sebab dengan machtsvorming yang demikian itu, dengan suatu macht yang nyata dan hebat serta diinsyafi oleh anggota­anggotanya, dengan suatu macht yang bernyawa nationalisme, berurat­syaraf empat­sakti itu, berbadan wadag massa yang berkerumuan itu, dengan macht yang demikian itu kita toh sudah bisa menjadi maha­sakti dan maha­kuasa, − amboi sesungguh­nya, zonder bom­boman atau dinamit­dinamitan, zonder kocak­kocakan sengaja membahayai keamanan umum, atau melanggar gezag atau ikut pada perkumpulan yang bermaksud kejahatan, zonder menjalankan barang sesuatu yang dilarang oleh hukum!

Tuan­tuan sekarang bisa membantah: “masa rakyat tidak tuan hasut sepanjang artikel 153­bis, masa tuan tidak bersalah sepanjang artikel 169, toh semua orang tahu, bahwa rakyat setahun yang lalu ternyata tak aman dan tak tenteram!; masa tuan tidak bersalah, toh di mana­mana rakyat berbisik­bisik bahwa tahun ini akan ada apa­apa! Itu semua toh misti ada sebabnya!”

O memang, Tuan­tuan Hakim, kalau rakyat memang tak tentram, kalau memang ada bisik­bisikan tahun 1930 akan ada apa­apa, itu harus dan misti ada sebabnya! Tiada suatu keadaan zonder sebab, tiada suatu keadaan zonder oorzaak, tiada suatu kejadian zonder causaal­verband dengan sesuatu kejadian yang lain! Tetapi, − di dalam hal yang diselidiki sekarang ini, adalah kami yang mentetap kami menjawab: tidak!, bukan kami yang menjadi sebabnya! bukan kami yang menjadi oorzaaknya! ....... Banyak saksi­saksi adalah menerangkan, bahwa kami selamanya mendidik keamanan. Orang yang selamanya mendidik keamanan, mustahillah sengaja melanggar artikel 153­bis dan 169 Strafwetboek itu, mustahillah menjadi sebabnya tak tenteramnya rakyat atau bisikan­bisikan rakyat itu tadi.

Apa dan sebabnya? Sebabnya adalah banyak; sebabnya adalah sebagian terletak di dalam kepercayaan rakyat umum,− jugasebelum kami bergerak!,− bahwa di dalam tahun ini memang akan ada “apa­apa”; sebabnya adalah sebagian pula terletak di dalam usahanya kaum yang benci kepada pergerakan dan mau membencanai pergerakan itu dengan pelbagai ancaman kepada orang desa bahwa toh pergerakan di dalam tahun ini akan”diributkan”; sebabnya adalah pula terletak di dalam kesengsaraan rakyat, yang sebagai kami terangkan di muka, membikin rakyat itu gampang sekali percaya akan ramal­ramalan yang kosong; sebabnya bisa juga sebagian terletak di dalam ancamannya kaum Communist yang tatkala organisasinya dihancurkan beberapa tahun yang lalu, sama mengancamkan “Awas nanti tahun 1930”! sebabnya ......... tetapi cukup Tuan­tuan Hakim.

Cukuplah kalau kami kemukakan, bahwa juga sebelum kami pergerak, juga zonder kami bergerak, ketak­tenteraman itu sudah ada!

Haji Agus Salim, menurut surat kabar Sin Po tanggal 13 Januari yang lalu adalah menerangkan bahwa: “Di Kudus ada satu kyai dan ia­punya 50 murid yang dual jimat dan ramalkan bahwa pada tahun 1930 bakal ada kejadian penting”.

Bujangga Jawa yang termasyur Kyai Rongowarsito pun adalah membikin ramalan, bahwa dalam tahun 1930 bakal ada kejadian yang luar biasa, sebagaimana diperingatkan pula oleh surat kabar Darmokondo tanggal 8 januari yang lalu.

Ya, suatu surat kabar pemerintah sendiri, yakni Pusaka Sunda, keluaran Bureau voor de Volkslectuur, beberapa bulan yang lalu adalah berisi suatu advertentie yang berbunyi:

Keanehan tahun 1930 !!!

Page 120: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Ti taun pungkur keneh jalma­jalma satanah Pasundan guyur ibur, pada mareunang beja yen dina taun 1930 bakal aya kejadian anu aneh. Sarere pada samar kama pijadieunana sarta taya nu terang. Ayeuna nembe kahartos, sihoreng nu matak ngageunjleungkeun teh buku kaluaran Bale Pustaka, carios: Pangeran Kornel, nya eta menak Sunda anu linuhung, luhung elmuna, gede wawanenna, saincak­incakna tuladeun wungkul.

Ku margi eta sadaya urang Sunda perlu karagungan iyeu buku, komo ari urang Sumedang mah, wantu Pangeran Kornel teh beunang disebutkan pupunjunganana. Dalah sanes urang Sumedang oge sami bae perluna mah, sugan jadi pitulung ngaluhungkeun budina.

Ijeu buku sanes mung sae rupina bae, nanging basana ge teu kinten maherna, perlu diaraos ku sugri anu keur ngarulik basa.

Pangaosna sahiji mung ...... ƒ 0.70. ­­­­­­­­­­­­

Surat kabar pemerintah sendiri!, Tuan­tuan Hakim, surat kabar pemerintah sendiri

memuat perkataan­perkataan yang begitu, mengasih makanan, mengasih voedsel, pada kepercayaan rakyat itu! Tuan­tuan bisa membantah: O, itu cuma suatu advertentie saja!”.

Baik!, − tetapi tidakkah mengenai perhatian Tuan­tuan, bahwa advertentie ini adalah termuat di dalam surat kabar pemerintah, dan tidakkah mengenai perhatian Tuan­tuan perkataan­perkataan di dalam advertentie itu yang berbunyi : “Ti taun pungkur keneh, jalma­jalma satanah Pasundan guyur ibur, pada mareunang beja jen dina tahun 1930 bakal aja kajadian anu aneh”, yakni, bahwa “dari sejak tahun dulu mula, orang­orang setanah Pasundan sama ramai, mendapat kabar, bahwa di tahun 1930 akan ada kejadian yang aneh?”

Tidakkah ini suatu bukti, bahwa ramalan dan kepercayaan tentang tahun 1930 itu di dalam kalangan rakyat memang sudah tak aneh Iagi, dan memang sudah sebagai “keadaan biasa” belaka? Herankah kita kalau “ketidak tenteraman” itu semakin “makan”?

Tetapi kami, apakah yang kami katakan kepada rakyat? Apakah yang kami ajarkan berhubung dengan kepercayaan rakyat tentang tahun 1930 itu? Bukan mengasih makanan, bukan menambah­nambahi atau membesar­besarkan kepercayaan itu, tetapi membantah, menjustakan, membohongkan ramalan itu ! Sebab kami mengerti: Tak baiklah rakyat mempunyai harapan yang kosong, dan kami tahu: kaum yang benci pada pergerakan itu, sengajalah uitbuiten kepercayaan rakyat itu untuk mem­bencanai pergerakan, sengaja meng­exploiteer kepercayaan rakyat itu untuk mencobakan provokasi­provokasi yang rendah. Dan jikalau provocatie itu berhasil,−kitalah yang nanti diingkel­ingkel!kitalah yang dijadikan anjing­belang!, kitalah yang mendapat palang­pintu !!

Sesungguhnya, Tuan­tuan Hakim, “ketidak­tenteraman” rakyat dan “bisik­bisikan” tentang tahun ‘30 tadi itu bukanlah kami yang menyebabkan, bukanlah kami yang menghasutkan; “ketidak­tenteraman” dan “bisik­bisikan” itu hanyalah suatu keadaan yang memang sudah tertanam di dalam budi­akal rakyat sejak sebeIumnya kami bergerak; kami­punya pergerakan hanyalah kebetulan berjatuhsama, coincideeren, dengan keper­cayaan rakyat itu! Dan bukan saja berjatuh sama: kami­punya pergerakan adalah malahan secukupnya membantah dan

Page 121: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

mem­bohongkan padanya, mengasih peringatan dan didikan pada rakyat bahwa ramalan­ramalan tentang tahun 1930 itu adalah kosong belaka! Sangkaan bahwa kamilah yang mengasutnya, sangkaan itu haruslah kami tolak dengan seyakin­yakinnya dan sekeras­kerasnya!

Tetapi soal perang Pacific, soal bakal datangnya perang Pacific, tidakkah itu suatu bukti bahwa kami dengan menye­barkan kabar bohong sengaja membikin rakyat jadi tak tenteram, − suatu bukti, bahwa kami benar­benar menjalankan misdrijf yang dimaksudkan oleh artikel 171 strafwetboek?

Memang Tuan­tuan Hakim, memang!: kami adalah membicarakan soal Lautan­Teduh itu, − kami adalah mengata­kan bahwa perang Pasifik itu akan datang. Kamitidak menyangkal hal itu, kami tidak memungkirinya. Kami hanyalah menyangkal, bahwa kabar perang Pacific adalah “kabar­bohong” atau “logenachtig bericht”, kami hanyalah menyangkal, bahwa maksud kami dengan menyebarkan kabar perang Pacific itu ialah sengaja merusak ketentuan rakyat. Kabar perang Pasifik adalah mula­mula keluarnya dari penanya kaum­kaum Eropah yang ter pelajar tinggi dan bijaksana sebagai nanti kami terangkan, − kabar itu kami sebarkan tidaklah untuk sengaja merusak ketenteraman, tetapi ialah supaya rakyat segera sentosa, segera menjadi natie!

Di dalam permulaannya kami punya pidato, maka kami sudahlah menceritakan, bahwa balapan cari jajahan pada zaman sekarang ini adalah balapan mati­matian antara belorong­belorong imperialisme Inggeris, Amerika dan Jepang. Kami di situ menceriterakan, bahwa nyawa persaingan antara tiga belorong ini ialah perebutan negeri Tiongkok. Kami mencerita­kan bahwa siapa yang bisa berkuasa di Tiongkok, dialah yang akan bisa berkuasa di seluruh daerah Pacific, bahwa siapa yang bisa menggenggam rumah­tangga Tiongkok, dialah yang akan bisa menggenggam rumah­tangga seluruh dunia Timur, ekono­mis dan militer. Kami menceritakan, bahwa untuk merebut upah yang sebegini tingginya itulah, belorong­belorong imperialisme Amerika, Jepang dan Inggeris itu akan sampai nekatlah adu tenaga di dalam suatu peperangan maha besar, yakni peperangan Pacifik. Peperangan Pacifik, bagi belorong­belorong tiga macam itu, adalah suatu peperangan untuk soal “to be or not to be”, − suatu peperangan untuk soal “ er op of er onder”, suatu soal “hidup atau mati”. Oleh karena itulah, maka perang Pacific ini tidak akan berupa perang kecil­kecilan saja tetapi akan berupalah peperangan yang menggegerkan seluruh dunia­manusia, menggenjlongkan seluruh daerah Lautan Teduh.

Kita sebagai rakyat yang negerinya dekat sekali pada Lautan Pacific itu, yang bertinggal dipinggirnya Lautan Teduh itu, kita harus mengerti, bahwa hebatnya perang Pacific ini tentu akan terasa pula pengaruhnya di negeri kita, bahwa api yang akan menyala­nyala di Lautan Teduh itutentu akan terasa pula panasnya di lingkungan negeri kita sendiri. Kita harus mengarti, bahwa jikalau rakyat Indonesia itu tidak segera menjadi suatu natie yang teguh dan sentosa, jikalau susunan pergaulan hidup Indonesia itu tidak sudah diperteguhkan sedikit­sedikit, kita bisa jugalah tak tahan atau tak cukup kekuatan menderitakan pengaruhnya peledakan itu, bisa juga tak tahan berdiri kalau umpamanya buntutnya salah satu belorong ini menyabet menge­nai diri kita adanya. Oleh karena itulah, maka kami sering­sering memperingatkanlah rakyat Indonesia itu akan bahaya yang mengancam dirinya dari arahnya Lautan Teduh itu, bukan dengan mak sud merusak ketenteraman rakyat, bukan dengan maksud jahat menggegerkan rakyat, tetapi ialah untuk meng­gugahkan keyakinan rakyat Indonesia itu akan perlunya lekas­lekas menjadi natie!

Kita tidak pernah mengatakannya, ya kita tidak menge­tahui, kapan perang Lautan Teduh itu akan meledak; kita tidak perlu mengetahui, akan di mana pusat­peledakannya; kita hanyalah

Page 122: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

mengetahui, bahwa jikalau tanda­tanda yang sekarang tertampak itu tidak menyalahi perhitungan manusia, perang Pacific itusatu ketika tentu akan meledak! Sebagaimana tiap­tiap manusia yang jauh penglihatannya sudah bisa merasa­rasakan lebih dulu akan datangnya perang besar 1914 − 1918 itu sebelum perang ini terjadi, sebagaimana misalnya penulis H. N. Brailsford dengan bukunya “The War of Steel and Gold” sudah bisa lebih dulu menujumkan akan datangnya perang besar itu sebelum perang ini menggemuruhkan meriamnya, maka tiap­tiap manusiapun yang memperhatikan jalannya imperialisme­imperialisme Amerika, Inggeris dan Jepang itu di dalam tempo yang akhir­akhir ini, tentulah mendapat keyakinan bahwa tabrakan Pacific itu satu ketika, entah kapan, pasti terjadi. Sebagaimana perang besar 1914­1918 itu mempunyai penujum­penujum yang lebih dulu sudah menujumkan dia akan terjadi,− misalnya penulis buku “The War of Steel and Gold” itu tadi −, maka perang Lautan Teduhpun sekarang juga sudah mempunyai penujum­penujumnya, misalnya, sebagaimana kami terangkan di dalam verhoor, Ernst Reinhard dengan ia­punya buku “Die Imperialistische Politiek im fernen Oosten”, Karl Haushofer dengan ia­punya buku “Geo­politiek des Pazifischen Ozeans”, Hector C. Bywater dengan ia­punya buku­buku “Seapower in the Pacific” dan “The Great Pacific War”.

Juist, − orang bisa berkata −, perang Pacific mempunyai penujum­penujumnya, perang Pacific mempunyai profeten­nya,itu semua kaum bolsheviek yang selamanya menyebar­nyebarkan kabar­bohong!

Pardon!, Ernst Reinhard bukan bolsheviek, Karl Haushofer bukan communist, Hector Bywater bukan anggota 3e Inter­nationale atau Sowjet Executief Comite!

Ernst Reinhard adalah suatu “rechtschapen burger” Zwitserland yang duduk di dalam Nationalrat, Karl Haushofer adalah professor tentang Geopolitiek pada Universiteit Munchen yang termashur itu, Hector Bywater adalah anggota Engelsche Marine! Pengiraan, bahwa tujuman atas akan terjadinya perang Pacific itu hanyalah buah­otaknya kaum bolsheviek yang sakit demam saja, pengiraan itu adalah salah sama sekali. Bukan kaum boisheviek yang dikatakan demam­otak itu, bukan kaum “gombinis” atau kaum pelempar­bomlah yang mengadakan Pacific­litteratuur yang berharga, tetapi kaum neutraal yang objectief, kaum neutraal yang menyendikan segala ucap­ucapannya di atas bukti­bukti atau feitten­materiaal yang nyata dan besar­jumlah.

Inderdaad: siapa yang membaca feitenmateriaal itu didalam Reinhards “Imperialistische Politiek im fernen Osten”, di dalam Haushofers “Geopolitiek des Pazifischen Ozeans”, atau didalam Bywater’s “Seapower in the Pacific” itu tadi, siapa yang membaca di dalam buku­buku itu sebagaimana Amerika, Inggeris dan Jepang bersedia­sedia melengkap­lengkapkan senjatanya masing­masing; siapa yang membaca di buku­buku itu uraiannya penulis­penulisnya yang sudah disangkal karena disendikan atas bukti­bukti yang nyata; ......... siapa yang mem­perhatikan tujuman­tujumannya penulis­penulis itu, dia tentulah mendapat keyakinan bahwa satu hari entah kapan, perang Pacific itu pasti terjadi!

Kita membaca di situ bagaimana Jepang merebutkan concessie­concessie­minyak di Sachalin buat keperluan armada­nya; kita membaca di situ bahwa yang dinamakan “conferentie perlucutan senjata” di Washington itu hanyalah suatu akal Amerika belaka, mengikat kaki Jepang yang makin lama makin menakut­nakuti itu dengan perdamaian bahwa armadanya tidak boleh lebih dari 315.000 ton kapal­perang dan 81.000 ton kapal pembantu, sedang kapal­kapal masing­masing pihak tidak boleh lebih besar dari 40.000 ton satu­satunya, meriam­meriam masing­masing pihak tidak boleh lebih besar dari 406 mm. kalibernya. Kita membaca disitu

Page 123: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

bagaimana cerdik dan muslihat­nya masing­masing pihak, toh membesar­besarkan kekuasaan­nya dengan membikin banyak kruiser­kruiser kecilan tetapi yang lebih cepat, beserta membikin banyak kapal­kapal selam, − kruiser­kruiser kecilan dan kapal­kapal­selam yang di dalam peperangan­besar 1914­1918 terbukti lebih “efficient” daripada kapal­kapal perang yang terlalu besar. Kita membaca di situ bahwa di dalam beberapa tahun saja sesudahnya komedie conferentie itu, Jepang seperti terjangkit setan bekerja membikin 30 kruiser­baru, 77 destroyer baru, 73 kapal­selam baru, − Inggeris hibuk membanting tulang mengadakan 13 kruiser­baru, 4 destroyer baru, 6 kapal selam baru. − Amerika sebagai kemasukan iblis darahnya geger menyelesaikan 19 kruiser baru, 106 destroyer baru dan 48 kapal­selam baru. Kita membaca di 184

situ, apa sebabnya Inggeris mau memindah kan vlootbasisnya dari Malta ke Timur, yakni ke Singapore dipinggir daerah Pacific, − dan apa sebabnya Amerika tak berhenti­berhentinya membujuk­bujuk Perancis menjual kepulauan Oceania kepada­nya, yakni supaya ia bisa menambah lagi benteng­bentengnya laut yang kini sudah banyak itu. Kita membaca disitu, bagaimana Amerika sebentar­sebentar mencoba kekuatannya denganvlootmanoeuvres, terutama dibawah pimpinannya marine­secretaris Wilbur, − manoeuvres mencoba kekuatan Panamabasis dalam tahun 1923, mencoba kekuatan Antillen− dan Virginia­basis dalam tahun 1924, mencoba kekuatan Pearl­Harbour dan Hawaii­basis dalam tahun 1925; dan bagaimana kemudian daripada itu, Amerika lantas mengadakan Pacific­kruisvaart umum dengan disaksii oleh wakil­wakilnya 40 surat­kabar Amerika yang terbesar, yakni supaya semangat publiek Amerika bisa dipengaruhi dengan semangat­imperialisme adanya. Pendek kata: Kita membaca di situ, bagaimana tiga negeri ini sebagai kena penyakit rabies anjing­gila sama melengkap­lengkapkan senjatanya! Dan siapa yang suka menghargakan feitenmateriaal dan isinya buku­buku itu tadi sebagai kami menghargakannya, dia tentulah tidak­bolehtidak, mendapat pula keyakinan bahwa satu hari pastilah datang saatnya yang air­air samudra Pacific itu menjadi heksenketel yang tiada bandingannya di seluruh riwayat­dunia, menjadi kawah­neraka yang mendidih seolah­olah besok pagi akan kiamat!

Sebagai tiga maha raja­singa yang sudah berhadap­hadapan mau menerkam satu sama lain dengan sudah memeringiskan giginya dan sudah mengeluarkan kuku­kukunya, sebagai tiga ular­belorong yang sudah memasang­masangkan mulutnya mau menelan satu sama lain, sebagai tiga ikan oktopus atau cumi maha besar yang sudah mengeloget­ngelogetkan tangan­tangan­penjerotnya akan membinasakan musuhnya, maka kini Inggeris bersiap di Singapore, Jepang menyedia­nyediakan senjatanya di Jepang sendiri beserta di kepulauan Mariana, Marshall dan Bonin, − Amerika berbenteng di Dutch Harbour, di Hawaii, di Tutuila, di Guam, dan di Manilla!

Tuan­tuan Hakim, siapakah yang tidak percaya bahwa perang Pacific itu akan datang, kalau ia melihat bukti­bukti pelengkapan senjata yang demikian ini? Siapakah yang bisa mendustakan, siapakah yang bisa loochenen perhitungan akan pecahnya perang ini, dengan feitenmateriaal sebagai yang ditundjukkan oleh Reinhard, oleh Prof. Haushofer, oleh Bywater itu? Siapakah yang bisa mengatakan bahwa akan datangnya perang Lautan Teduh itu adalah “kabar­bohong”,− “logenachtig bericht” sebagai yang dimaksudkan oleh artikel 171 Strafwet­boek −, kalau ia melihat, bahwa kaum terpelajar yang ternama sebagai Reinhard dan professor Haushofer, marine­specialiteit yang terkenal sebagai Hector Bywater, sama menujumkannya sesudah penyelidikan yang teliti?

184 Revol Cult. p. 17

Page 124: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Dan bukan menujumkan saja akan datangnya, Tuan­tuan Hakim! Hector Bywater di dalam iapunya buku “The great Pacific War” malahan bisalah menyebutkan jalannya perang itu satu­persatu, gerak­bangkitnya pergelutan belorong­belorong­imperialisme itu hampir dengan seksama. Ia mengatakan, bahwa meledaknya Perang Pacific itu ialah oleh karena Jepang mau membelokkan publieke opinie di Jepang yang terjangkit per­gerakan revolusionair. Ia menujumkan, bahwa pada permulaan peperangan itu, Amerika adalah bisa dipukul lemah oleh karena suatu kapal Jepang bisa menghancurkanlah Pannama kanaal dengan peledakan dinamit yang maha hebat, − bahwa Manilla dan kepulauan Philippina bisa direbut oleh musuh,− bahwa suatu armada Amerika bisa dibinasakanlah sama­sekali. Ia lantas meramalkan, bahwa, sesudahnya kena pukulan­pukulan itu, rakyat Amerika lantas hiduplah semangat­kemarahannya, bahwa segenap armada Amerika yang masih ada Iantas ngamuklah membasmi armada Jepang di dalam suatu pertempuran mati­matian didekatnya Guam, − dan bahwa kemudian daripada itu perdamaian lantas terjadi. “Ia adalah terlalu kecil menaksirkan”, − begitulah commentaar Ernst Reinhard atas gambarnya tabrakan yang dibikin oleh Hector Bywater ini, −

“hij heeft haar zeker klein gedacht, als hij haar als een duel tusschen twee staten vooruitzag. Dat zal de botsing zeker niet zijn”. 185

“ia adalah terlalu kecil menaksirnya, kalau ia mengira bahwa tabrakan ini hanyalah tabrakan antara dua kerajaan saja. Itu tentu tidak begitu, − dat zal de botsing zeker niet zijn”. Amboi, − “dat zal de botsing zker niet zijn!”, perang Pasific menurut Reinhard akan lebih

besar lagi dari tujumannya Bywater itu! O, tidakkah wajib rakyat Indonesia lekas­lekas menjadi kuat, lekas­lekas memperteguhkan pergaulan­hidupnya, lekas­lekas menjadi natie, agar supaya cukup kesentosaan menolak pengaruhnya perang besar ini, − pengaruh yang tidakbolehtidak tentu kita deritakan, yang hidup di pinggir Lautan­Teduh itu!

Sayang Tuan­tuan Hakim, sayang kami tak cukup tempo buat membeberkan di sini semua isinya buku tiga penulis itu tadi, tetapi di sini kami sediakan salah satu daripadanya, − kalau Tuan­tuan timbang perlu, bolehlah Tuan­tuan nyatakan sendiri.

Toh, marilah kami di sini mengambil satu­dua citaat daripadanya, marilah kita mendengarkan ceritanya Reinhard yang berbunyi:

“Jepang wil het probleem van het verre Oosten naar zijn zin oplossen. Maar wat zijn machten, wat zijn trusts willen, dat past Amerika en Morgan niet. De strijd om de buit blijft bestaan. Wanneer zal hij uitbreken? Deze vraag heeft Amerika te beantwoorden”. (p.215) ................ Amerika wapent zich .............. Het bouwt niet alleen zijn vloot, maar ook zijn stationnen in den Pacific gereed. Van Dutch­Harbour op de Aleuten, over Hawaii naar Tutuila en Guam tot de Philippijnen toe, strekt zich een wijdgespannen boog uit van Amerikaansche vestingen, een boog, die Jepang in het Noorden en Zuiden als een tang omklemt. Jepang merkt de stalen greep van deze tang. Maar ook England bespeurt hem”. (p. 224) “De spanning groeit. Geen ventiel opent zich. Heden is de oververhitte ketel nog in staat, den sterken druk te weerstaan. Maar de concurrentie der Amerikaansche en Jepangsche trusts in China sleept er gestadig nieuwe brandstof bij, werpt dag aan dag olie in het vuur.

185 Macht p. 57

Page 125: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Eens moet de dag komen, waarop de stoomdruk den ketel met geweldige kracht tot explosie brengt!” ............ (p. 223) . “Als vanwege China een oorlog uitbreekt, dan wordt het zeker een wereldoorlog in den waren zin des woords, .............. Wij zullen allemaal moeten meedansen, als de dood de Chineesche doodenwijs ten gehoore geeft”. (p. 227). “Jepang mau menyelesaikan soal Timur­jauh itu menurut dia­punya kemauan. Tetapi apa yang dikemaui oleh kaum­kaum­kuasanya dan oleh trust­trustnya, itu tidak menye­nangkanlah hati Amerika dan Morgan. Perjuangan rebutan mangsan tetaplah ada. Kapankah perjuangan ini meledaknya? Pertanyaan ini Amerikalah yang harus menjawab”. ....... Amerika melengkap­lengkapkanlah senjatanya ...... ia bukan saja menyelesaikan armadanya, tetapi juga station­stationnya di Lautan­Teduh. Dari Dutch Harbour di kepulauan Aleuten, melewati Hawaii ke Tutuila dan Guam sam pai ke Philippina, maka adalah melengkung satu bengkungan yang­maha­besar daripada benteng­benteng Amerika, satu bengkungan, yang menggigit Jepang di utara dan di selatan sebagai satu gegep­kakatua. Jepang sudahlah merasa gigitannya gegep ini. Tetapi juga kepada Inggeris tampaklah dia”. “Keadaan makin lama menjadilah makin panas. Tidak ada satu jalan­hawalah yang terbuka. Kini ketel itu masihlah cukup kuat menahan kekuatan­kekuatan dari dalam. Tetapi persaingan trust­trust Amerika dan Jepang di Tiongkok adalah tak berhenti­henti membesar­besarkan apinya, ada­lah saban hari menyiramkan minyak di atas api itu. Satu ketika pasti datanglah saatnya, yang ketel itu meledaklah dengan cara yang sehebat­hebatnya oleh kerasnya tenaga­tenaga di dalamnya!” “Jikalau peperangan rebutan Tiongkok ini nanti meledak, maka tentulah ia suatu peperangan dunia yang sebenar­benarnya ............ Kita semua terpaksalah nanti ikut menari, jikalau hantu­maut memainkan ia­punya lagu kematian”. Tuan­tuan Hakim, begitulah bunyinya tujuman kaum­kaum bijaksana itu. Kita, kaum Partai

Nasional Indonesia, kita mengerti akan bahaya yang mengancam rakyat dari peperangan hebat ini. Kita merasa wajib memperingatkan rakyat tentang bahaya itu, kita merasa wajib memuji­mujikan kepada rakyat supaya lekas­lekas menjadi teguh, lekas­lekas menjadi natie. Sebab kita, sekali lagi kami katakan, kita insyaf, kita yakin, bahwa rakyat kita dan negeri kita, yang berduduk di pinggir samudera peperangan itu, niscaya akan mendapat pengaruh pula yang membencanai ekonomi dan pergaulan hidup.

Kita tidak mengatakan bahwa perang Pacific itu tahun ini akan pecah. Kita tidak pula mengatakan bahwa ia sebentar lagi akan meledak. Kita hanyalah memperingatkan, bahwa dengan adanya persaingan Amerika, Jepang dan Inggeris itu, peperangan itu akan terjadi.

Ah, Tuan­tuan Hakim, di Indonesia ini, toh bukan kami saja yang mengatakan akan datangnya perang itu, toh bukan kami saja yang mengumumkan kabar itu, yang memang bukan kabar bohong! Dr. Ratu Langi di dalam zittingnya volksraad 14 Juni 1928, dus lebih dulu dari kami, adalah membicarakan akan datangnya perang Pasific itu juga, dan belakangan ini A.I.D. de Preanger­bode dan Java­Bodepun ikut menceritakannya! Adakah mereka menyebarkan “logenachtig bericht”? Adakah bermaksud merusak ketenteraman rakyat ?

“Dalam pada itu”, begitulah Dr. Ratu Langi berpidato, −

Page 126: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“Intusschen, bij de krachtsinspanning in sini − en sana− groep, wordt door de westersche groepen maar al te zeer uit het oog verloren, dat de, staatkundige toekomst van Indonesia ook, en voor een belangrijk deel, beheerscht zal worden door de verdere evolutie der internationale situatie in het zg. uiterste Oosten ........ Men onderdrukt psychologisch gesproken, eenvoudig het feit, dat het koloniale vraagstuk van Indonesia een deel is van het groote Pacific­vraagstuk, en dat dit land niet kan ontkomen aan het lot, actief wellicht, maar zeker passief, betrokken te worden in een conflict in den Pacific, waarbij geweldige machten tegen elkaar zuIlen opbotsen ............ Trachten wij ons den toestand te realiseeren; over Oost­Azie heeft zich een netwerk gewezen van economische, politieke en strategische activiteit. De egoiatische, economische motieveen voorop, zooals altijd, en daarna volgen scheepladingen ethisch­humanitaire leuzen over beschaving brengen etc. “Drie dingen”, zegt Max Reinhard (sebetulnya Ernst Reinhard, Tuan­tuan Hakim) “heeft het vreemde kapitaal in China gezocht; markten voor zijn waren, grondstoffen voor zijn gronds­tofbasis en goedkoope arbeidskrachten voor zijn fabrieken” ........ Wat van China gezegd werd, geldt mutatis mutandis voor veIe andere Pacificgebieden. Alleen, het Pacific­vraagstuk vindt zijn exponent in China, om de afmetingen, die de kwesties daar hebben en omdat wij daar, als het ware onder onze oogen het treurspel zien afspelen van een onafhankelijk land, dat overgeleverd is aan een niets ontziend egoïsme van zekere machtscombinaties. Maar het is duidelijk, dat dit alles, de pachtgebieden, de invloeds − en interessensferen of opendeur­politiek ...... noodzankelijk een toestand van spanning moet veroorzaken, in den zin, dien Van den Bergh van Eysinga daaraan hecht. Deze moreel eenzijdige relaties, waarvan gezegd wordt, dat ze alleen gehandhaafd kunnen worden, zoolang de vreemde naties krachting genoeg zijn om op haar handhaving te blijven staan, al die wijzen van ingrijpen, zijn evenzoovele haarden, waarop conflicten zullen groeien, conflicten, die zullen uitvlammen tot ver over de grenzen van het Rijk van het Midden. Want in den wedijver om economische voordeelen stuit het Westen echter thans op tegenstand, passief en achtief. Passief van de regeneratieve krachten van het Oosten zelf, en actief van een Ooostersch rivaal ......... en dat is Japan. Bij dezen toestand zullen antithese en antagonisme groeien en verscherpen, totdat ze eenmaal hun normale oplossing zullen moeten vinden in een catastrophaal conflict, waarbij diplomatie en staatsmanskunst zich moeten terugtrekken achter de monden van kanonnen en metrailleurs. Het voorstel deezer catastrophale oplossing is reeds zichthaar en de voorteekenen zijn niet te misduiden, als men maar zien will en zich niet laat misleiden door gelegenheid en hoeraspeeches, die ten slotte geen grijntje pit hebben ......... ......... Oost Azie is het schaakbord geworden van de internationle economische en militaire penetratie­politiek; wij zien stuk na stuk naar voren schuiven on wederdom terugtrekken; Duitschland trekt zich, terug van Kiauchiau, Japan posteert er een zijner stukken, Amerika geeft Jap, knooppunt van teIegraafkabels, prijs, Japan plaats daar een ander Japan breidt zijn vloot sedert den wapenstiIstand van 1918 uit met 19 kruisers, 154 destroyers en 45

Page 127: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

onderzoebooten waartegenover Engeland in Singapore een vlootbasis bouwt en Amerika zijn vloot met een nog grooter aantal uitbreidt en de steunpunten Hawaii, Tutuila en Guam versterkt. En hieronder door, aan de publieke controIe ontsnappend, werken spionnen, stukken van lager orde, die vlechten het netwerk waarop straks het tournooi gespeeld zal worden en grande style ........... ...... Maar intusschen kunnen te avond of te morgen de tegengerichte strevingen boven de bodem van Oost­Azie tot manifeste botsingen komen, en een heksensabbath ontketenen ook over deze Ianden en ook zonder onzen wil. Wat dan? Hoe is de positie van Indonesia in het castatsprophale conflict, dat niet kan uitblijven ............ ?” “dalam pada itu, maka di dalam perjuangan adu­tenaga antara golongan sini dan golongan sana itu, oleh golongan­golongan Barat terlampau sekalilah dilupakan, bahwa keadaan politik di Indonesia di kelak­kemudian­hari adalah buat sebagian besar juga di bawah pengaruhnya gerak­bangkitnya keadaan international di daerah Timur­jauh ......... Orang dengan gampang sekali adalah mengabaikan, bahwa kolonial dari Indonesia itu adalah suatu bagian daripada soal Pacific yang besar itu, dan bahwa negeri ini tidak akan bisalah menghindarkan diri daripada cengke­ramannya soal pergulatan di Lautan­Teduh, dimana kekuasaan­kekuasaan yang maha­hebat nanti akan tabrakan satu sama lain ............ Marilah kita coba menggambarkan keadaan ini; di seluruh Asia­Timur adalah terancam suatu jaring dari pada kekuatan­kekuatan ekonomi, politik dan militer, Maksud­maksud dan keserakahan akan rezeki adalah sebagai biasa berjalan di muka, dan kemudian diikutilah oleh berkapal­kapalan banyaknya omongan­omongan tentang “men­datangkan kesopanan” dan lain sebagainya. “Tiga macam hal­hal”, begitulah Max Reinhard berkata (sebetulnya Ernst Reinhard, Tuan­Tuan Hakim) “tiga macam hal­hal yang dicari oleh modal asing di Tiongkok itu; pasar­pasar buat barang­barang perdagangannya, bekal­bekal untuk perusahaan­perusahaannya, dan kaum­buruh­murah untuk pabrik­pabriknya” ........... Apa yang saya katakan dari Tiongkok, bolehlah juga dikatakan dari daerah­daerah lautan­Teduh yang lain. Hanya, pusatnya soal Pacific ini adalah Tiongkok, yakni karena soal­soal di situ adalah soal­soal yang besar; dan oleh karena kita, ibarat di bawah kita­punya hidung sendiri, adalah melihat keadaan­sedih, bagaimana suatu negeri yang merdeka menjadilah korban makanannya keserakahan kekuasaan­kekuasaan yang tamak dan angkara­murka. Tetapi nyatalah dengan senyata­nyatanya, bahwa hal itu semua, yaitu daerah­daerah­penyewaan, daerah­daerah­pengaruh, daerah­daerah kepentingan atau opendeurpolitiek ...... tidak­boleh­tidak tentulah menyebabkan keadaan men­jadi panas di dalam makna yang dikasihkan oleh Van den Bergh van Eysinga. Ini perhubungan­perhubungan yang mencong, yang menu­rut kata orang hanyalah bisa dikekalkan selama bangsa­bangsa asing itu masih sama cukup kekuatan untuk menge­kalkannya, semua hal­hal itu adalah kawah­kawah di mana nanti akan terjadilah peledakan­peledakan, − yang apinya nanti akan berkobar­kobarlah sampai melewat­lewati batas­batasnya negeri Tiongkok. Sebab, di dalam persaingan merebut keuntungan­keuntungan ekonomi ini maka dunia Barat sekarang mene­muilah musuh yang pasif dan aktif. Pasif daripada tenaga­tenaga

Page 128: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

pembaharuan daripada dunia Timur sendiri, aktif daripada musuh­persaingan bangsa Timur, ..... yakni negeri Jepang. Dengan keadaan yang demikian ini, maka pertentangan dan permusuhan akan menjadilah makin lama makin besar dan makin sengit, sehingga satu ketika tidak­boleh tidak pasti pecahlah satu perbentusan yang maha­hebat, di mana diplomasi dan politik− lidah terpaksa memundurkan diri di belakang mulutnya meriam­meriam dan metrailleurs. Pendahuluan daripada bencana ini sekarang sudahlah tampak dari tanda­tandanya tak bisalah dipungkiri lagi, asal saja orang mau membuka matanya dan tidak mengabui mata sendiri itu dengan pidato­pidato omong­kosong yang akhirnya tidak berisi garam sedikit juapun adanya ............... Asia­Timur sekarang sudah menjadilah papan caturnya politik international yang bermaksud menanamkan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan­militer; kita melihat mundur­majunya buah­buah catur itu satu persatu; negeri Jerman adalah memundurkan diri dari Kiauchiau, Jepang menaruhlah disitu salah satu buah­catur­nya, Amerika melepaskanlah Jap, pusat pertemuannya kawat­kawat telegraaf itu, Jepang menaruhlah di situ suatu buah­catur yang lain, Jepang menambahlah semenjak tahun 1918 kekuatan armadanya dengan 19 kruisers, 54 desroyers dan 45 kapal­selam, sedang Inggris membikin ia­punya benteng­laut di Singapura, dan Amerika menambah kekuatan armadanya dengan jumlah kapal yang lebih besar lagi dan menambah pula kekuatan benteng­bentengnya di Hawaii, di Tutuila dan di Guam. Dan dibawah hal­hal ini semua, tak terlihat oleh pengawasan publik, bekerjalah spion­spion, buah­buah­catur tingkat rendahan, yang menganyamkan jaring di atas mana nanti peraduan­tenaga itu akan dijalankanlah dengan cara yang maha­hebat ............ Tetapi dalam pada itu, maka esok atau lusa nafsu­nafsu yang bertentangan satu sama lain itu bisa meledaklah bertabrakan di atas bumi Asia­Timur, mendidihlah kawah­neraka yang meluap­luap ke mana­mana, juga ke negeri di sini, juga di luar kemauan kita. Apakah yang harus kita perbuat? Bagaimanakah kedudukan Indonesia di dalam tabrakan maha­bencana yang tidak­boleh tidak pasti akan terjadi itu ............?” Tuan­tuan Hakim, Dr. Ratu Langi bukanlah komunis, bukanlah sosialis, bukanlah

nasionalis­kiri sebagai kami. Dr. Ratu Langi adalah seorang yang sekarang terkenal gematigd sekali, yakni seorang yang terkenal sangat “lunaknya” dan sangat “kapuknya”. Dan Dr. Ratu Langi orang dus tidak gampang mengatakan, bahwa ia “omong bohong”, sebagai yang sering dituduhkan kepada kaum radikal. Toh, − Dr. Ratu Langi berpidato juga bahwa perang Pacific alian meledak, bahwa “heksensabbath” dan “catastrophaal conflict” itu “niet kan uitblijven”, akan membakar dunia Timur “te avond of te morgen”! sesungguhnya, adakah kabar perang Pacific itu, kalau kami yang mengabarkannya kepada rakyat, sekonyong­konyong menjadi “kabar­bohong”, sekonyong­konyong menjadi “loge­nachtig bericht”? Adakah kabar itu, kalau kami yang mengabar­kannya, sekonyong­konyong berarti, bahwa kami sengaja mau merusak ketenteraman­umum? Adakah kabar itu, kalau kami yang mengucapkannya, sekonyong­konyong menjadi alasan untuk mengusahakan artikel 171 wetboek van strafrecht?

Toh tidak, Tuan­tuan Hakim! En toh, ........ kami berdiri di muka Tuan­tuan Baldal .......... terdakwa melanggar artikel 171

itu!

Page 129: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

O nasib!, .......... sedang kami dilanjrat berhubung dengan soal Pacific ini, sedang kami menjadi pesakitan di hadapan mahkamah tuan­tuan berhubung dengan soal Pacific itu, maka dipertengahan bulan Oktober yang lalu diadakanlah vlootma­noeuvres Jepang yang maha­hebat, dan A.I.D. de Preangerbode pada ketika itu memuatlah suatu kabar Associated Press yang berbunyi:

“De voorbereidingen begonnen reeds op 7 dezer .......... toen eenheden van de blauwe vloot naar hun concentratiepunt Koere vertrokken en de vijandelijke schapen in het geheim opereerden in Zuidelijke wateren, tot zelf in de buurt van Formosa toe. Iets verder dan Formosa ............ liggen de Philippijnen, maar niemand zou zoo ondiplomatik zijn er ook maar op te zinspelen, dat de aanval van dien kant komt!” “Persediaan­persediaan sudahlah mulai pada tanggal 7 bulan ini, tatkala kapal­kapalnya armada biru berangkat kearah tempat pusatnya di Koere, sedang kapal­kapal musuh adalah bergerak dengan sembunyi­sembunyian di lautan­lautan kidul, sampai kedekat­dekatnya pulau Formosa. Sedikit lebih jauh lagi dari Formosa itu .......... adalah kepulauan Philippina, tetapi tak seorangpun akan begitu kasar­bibir menyindir­nyindir, bahwa darisanalah akan datangnya serangan!” Sedang kami dilanjrat berhubung dengan soal Pacific itu, maka A.I.D. de Preangerbode 6

Oktober 1930 adalah mem­bicarakan akan terpecahnya soal Pacific itu sebagai suatu soal practisch­actueel di dalam foordartikelnya, yang berkepala: “De vlootwet”, − Yakni menganjurkan diterimanya begrooting pem­besaran armada Hindia­Belanda guna menjaga neutraliteit di dalam perang Pacific yang dipastikan olehnya akan meledak itu! Sedang kami dilanjrat berhubung dengan soal Pacific itu, maka Java­bode adalah mengumumkan artikel serie­seriean dari penanya “Observer” yang mengatakan, bahwa keadaan di dunia Pacific “sudahlah begitu panas, sehingga sebab yang sekecil­kecilnyapun sudah cukup buat meledakkan peperangan Pacific itu”. 186

Dan kami menanya lagi: Adakahkami harus dihukum, kalaukami ikut­ikut membicarakan soal Pacific itu, adakah kami sekonyong­konyong menjadi penyebar logenachtig bericht guna merusak ketenteraman umum, kalau kami ikut­ikut me­ramalkan Pacific­oorlog itu, − Pacific­oorlog, yang di Indonesia juga diramalkan oleh Dr. Ratu Langi, juga diramalkan oleh A.I.D. de Preangerbode, juga diramalkan oleh Javabode itu?

Tetapi hasutan harus berontak atau mogok kalau perang itu sudah datang!! Kami tidak pernah menghasut yang demikian itu. Kami tidakpun pernah menyindir atau memujikan dengan tertutup akan perbuatan­perbuatan yang demikian itu, atau per­buatan apa saja yang dilarang oleh hukum. Kami, sebagai tadi terangkan, hanyalah memujikan supaya rakyat lekas menjadi natie agar kuat menolak pengaruhnya peperangan Pasifik itu, (terutama pengaruh ekonomi), − pengaruh yang tentu kita deritakan oleh karena kita hidupdi pinggir Lautan Pasifik! Lebih dari 10 saksi membuktikan hal­hal ini, Tuan­tuan Hakim. Dan lagi, − mana boleh jadi kami menghasut mogok, mana boleh jadi kami menyuruh atau memujikan staking, di mana kami tidak berdiri di muka perserikatan sekerja atau tidak berdiri di muka kaum buruh yang tersusun di dalam vakvereeniging; mana boleh jadi kami memujikan staking­stakingan, dimana pendirian kami terhadap pada staking itu ternyata dengan seterang­terang­nya di dalam manifest bestuur

186 Verg. Reinhard p. 211.

Page 130: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

P.N.I. yang termuat di dalam “Banteng­Periangan” No. 9­10 yang kami serahkan kepada Tuan­tuan itu? Mana boleh jadi kami berkata bahwa perang Pasifik akan terjadi dalam tahun 1930 atau lekas­lekas, dan bahwa pada saat pecahnya itu kita akan merebut kemerdekaan, dimana ternyata tidak ada satu anggota P.N.I. yang terdapat mempunyai senjata apa saja yang pantas dipakai berontak, yakni di mana tidak terdapat satu bedil atau satu pistol atau satu pedang tatkala diadakan penggeledahan di mana­mana?

Tetapi perkataan­perkataan “rubuhkanlah imperialisme!”, “rubuhkanlah kapitalisme!”; − perkataan­perkataan “imperialis­me memeras kita”, “kapitalisme menindas kita”, − tidakkah yang demikian itu bukti­bukti bahwa kami bersalah melanggar artikel 153 bis atau 169? Kami menjawab: kami mustahil sengaja melanggar artikel­artikel itu. Kami toh, sebagaimana banyak saksi menerangkan kepada Tuan­tuan Hakim, selamanya men­didik keamanan, selamanya mendidik kesabaran. Kami toh, selamanya menghukum anggota­anggota yang membahayai keamanan­umum itu. Adakah bisa jadi bahwa orang yang senan­tiasa mendidik keamanan, lantas sengaja melanggar artikel 153­bis atau 169? Adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk bagi Tuan­tuan Hakim, bahwa orang yang tak berhenti­henti mengur­suskan “harus menjauhi segala hal yang teu puguh”, yakni harus menjauhi segala yang tidak senonoh”, mengancam tiap­tiap anggota yang melanggar keamanan dengan royement, mem­bohongkan bisik­bisikan akan ada apa­apa tahun 1930, − adakah waarschijnlijk bagi Tuan­tuan, bahwa orang yang demikian itu lantas mempunyai opzet, *) membahayai keamanan umum atau melanggar gezag menjalankan 187

hal­hal yang dituduhkan dalam proses ini? O, zeker, kami memang pernah mengatakan “rubuhkanlah imperialisme!”, rubuhkanlah

kapitalisme!”, − kami memang pernah mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme angkara­murka, imperialisme mencelakakan kita, kapitalisme merusak rakyat” dan lain­lain sebagainya, − tetapi adakah bisa jadi, bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme itu pemerintah­yang − sekarang atau keamanan­umum, adakah bisa jadi bahwa kami memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda atau bangsa asing yang lain?

Kapitalisme dan imperialisme, Tuan­tuan Hakim, kapitalis­me dan imperialisme, sebagai kami uraikan diawalnya kami punya pidato dengan disokong dalil­dalilnya orang­orang yang ternama, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum B.B., bukanlah gezag, bukanlah suatu badan atau materie,− kapi­talisme dan imperialisme, sebagai tiap­tiap perkataan yang berakhiran dengan “isme”, adalah suatu faham, suatu begrip, suatu stelsel!

Stelsel ini yang mencilakakan, stelsel ini yang merusak, stelsel ini yang jahat, stelsel inj. yang harus “dirubuhkan”, − bukan bangsa asing, bukan pemerintah, bukan gezag! Amboi adakah kami begitu goblok, adakah kami kering­otak atau barangkali miring­otak, mengira bahwa imperialisme = gezag, kapitalisme = bangsa asing, − kami, yang toh setidak­tidaknya boleh dinamakan orang terpelajar? Adakah kami sia­sia, lebih dari 20 tahun duduk di atas bangku sekolahan, *) lebih dari 10 tahun membaca sociale litteratuur, mempelajari ilmu sociale 188

wetenschappen, − yang kami tidak tahu bedanya antara impe­rialisme­kapitalisme dengan gezag beserta bangsa asing?

Ah, Tuan­tuan Hakim, di dalam salah satu daripada producten yang diserahkan oleh saksi Albreghs, toh dengan seterang­terangnya tertulis, bahwa yang kami orang musuhi itu ialah suatu stelsel, dan bahwa “kita tidak menyalahkan Holland” dan bahwa “niet aIle Hollanders zijn

187 pag. 224. 188 Lihatlah Java­Bode 3 Desember 1930

Page 131: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

slecht”! Di dalam catatan­catatan leiderscursus toh tertulis dengan seterang­terangnya, bahwa imperialisme adalah suatu faham atau tabeat, dan di dalam keterangannya banyak saksi toh ternyata juga, bahwa yang kami­orang empat terdakwa maksudkan dengan kata imperialisme itu ialah suatu faham atau suatu nafsu, sedang di dalam keterangan saksi­saksi Doelhadi, Entjo, Soemarta, H. Mansoer, yang sama menerangkan, bahwa kata impelialisme terjadinya ialah dari kata imperium, ternyata pula dengan senyata­nyatanya bahwa kami orang empat terdakwa sebelum­nya membicarakan imperialisme itu, lebih dulu adalah mengasih keterangan atau uitleg yang jelas tentang faham dan arti­artinya!

Lagi pula, tidakkah kami punya politieke­visie mengata­kan bahwa dengan berhentinya 189

gezag di sini, imperialisme itu belum tentu berhenti sama sekali, yakni bahwa dengan ber­hentinya gezag itu, Indonesia buat sementara waktu misih menjadi lapangnya imperialisme, misih belum terhindar dari exploitatienya buitenlandsch surpluskapitaal, misih ada kaum gula, kaum minyak, kaum tembakau dll., sebagai misalnya sekarang negeri Tiongkok atau Persia yang merdeka itu dua­duanya bongkok menderitakan exploitatienya imperialisme asing! Tidakkah kami punya politieke­visie itu mengatakan, bahwa pemerintahan nasional itu,− dus kalau gezag asing di sini sudah tidak ada! −, selainnya buat nationale reconstructie, adalah suatu syarat untuk melawan imperialisme dengan leluasa dan memberhentikannya sama sekali, sebagaimana juga misal­nya kaum socialist memandang politieke macht sebagai suatu syarat untuk memberhentikan kapitalisme! tidakkah dengan kami­punya politieke­visie itu, ternyata dengan seterang­terang­nya, bahwa di dalam kami­punya visie imperialisme dan gezag bukanlah satu, bukanlah identiek!

Lagi pula tidakkah kami sering­sering menerangkan di tahun kursus­kursus atau openbare vergadering, bahwa impe­rialisme di Indonesia sejak adanya opendeur­politiek adalah dihinggapi pula oleh imperialisme Amerika, imperialisme Inggeris, imperialisme Jepang dan lain­lain, − imperialisme Belanda dengan modal + ƒ40.000.000.000,­, imperialisme asing yang lain­lain dengan modal + ƒ2.000.000.000,­, sedang gezag di Indonesia toh hanya Nederlandsch gezag saja! Tidakkah di dalam keterangan­azas P.N.I. tertulis dengan seterang­terangnya apa yang bernama impelialisme itu, dan bahwa imperialisme di sini itu bersifat international, − keterangan­azas P.N.I., yang kami menjadi penulisnya! Tidakkah kami, kalau kami mem­bicarakan imperialisme itu dikursus atau diopenbare­verga­dering, biasa sekali lantas membikin suatu analyse dari­padanya, − analyse di dalam empat sifat yang kami sebutkan diawalnya pidato ini dan yang juga tertulis di dalam keterangan azas − P.N.I. −, yakni pertama sifat pengambilan bekal­bekal hidup, kedua sifat pengambilan bekal­bekal atau basis­grondstoffen untuk industri di negeri asing, ketiga sifat mem­perusahakan Indonesia menjadi pasar­penjualan barang­barang dari asing, keempat sifat memperusahakan Indonesia menjadi exploitatie­gebied buitenlandsch surplus­kapitaal, − sambil selamanya menyebutkan angka­angka hasil “gula + ƒ400.000.000.­ setahunnya:, ”karet + ƒ400.000.000, setahun­nya”, “minyak + ƒ150.000.000,­ setahunnya” dan seterusnya, sehingga ternyata bahwa yang kami namakan imperialisme itu ialah bukan gezag!

Sesungguhnya, Tuan­tuan Hakim, bahwa kami tak menge­tahui bedanya imperialisme dengan gezag, itu adalah suatu hal yang tidak bisa masuk akal, suatu hal yang mochal, suatu hal yang mustahil!

189*) opzet = sengaja

Page 132: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tetapi Tuan­tuan barangkali membantah: “Betul tuan tahu bahwa imperialisme bukan gezag, tuan tahu bahwa kapitalisme bukan bangsa asing, − tetapi, tatkala tuan berseru “rubuhkanlah imperialisme dan kapitalisme!”, tuan maksudkan gezag dan bangsa asing!”

Ini juga mustahil, Tuan­tuan Hakim! Kami toh, kepada semua­anggota baru, kalau, kami me­nerangkan azasnya P.N.I. dengan

panjang­lebar, senantiasa menerangkan juga panjang­lebar artinya dua perkataan impe­rialisme dan kapitalisme itu, sifat­sifatnya dan internatio­naliteitnya imperialisme itu, sebagai yang kami uraikan tadi. Kami toh spesial mengadakan kursus serie­seriean spesial tentang pasal imperialisme, mengadakan kursus serie­seriean atas halnya bagaimana kapitalisme­kapitalisme di Eropah dan Amerika mengasih “cap” sendiri­sendiri atas imperialisme­imperialismenya di Asia, − dari barbaarsch­roofimperialisme Spanyol zaman dulu sampai monopolistisch­imperialisme Belanda di Indonesia, dari half­monopolistisch­imperialisme Inggeris di Hindostan sampai liberaal­imperialisme Amerika di Philippina! Kami toh spesial mengadakan kursus­kursus tentang pasal kapitalisme, kursus­kursus buat menerangkan artinya dan faktor­faktornya, yakni kursus­kursus tentang meerwaarde­theorie, tentang kapitaal­accumulatie, tentang kapitaal­concenratie, tentang kapitaal­centralisatie tentang industrieel­reservearmee dan lain­lain!

Pendek kata Tuan­tuan Hakim, perkataan imperialisme dan kapitalisme seringlah kami terang­terangkan maknanya, per­kataan­perkataan itu, kalau kami ucapkan, mustahillah kami lantas sebenarnya memaksudkan gezag atau bangsa asing. Apalagi ............ bahwa kamipernah mengatakan bahwa impe­rialisme = gezag, bahwa kami pernah mengatakan bahwa imperialisme = regent, = wedana, camat, kopral, bahwa kami pernah mengatakan bahwa kapitalisme = bangsa asing, − itu adalah lebih mustahil lagi, lebih lagi sama sekali tidak ada emper­empernya !

Amboi, umpama kami dengan kata imperialisme itu memaksudkan kaum B.B. atau pemerintah, toh barangkali lebih baik sama sekali kami berkata imperialisme = gubernur jenderal, imperialisme = residen, imperialisme = hupkomissaris polisi, dan seterusnya!

Tidak, kalau kami berkata imperialisme maka kami bermaksud juga imperialisme, kalau kami berkata kapitalisme maka kaui bermaksud juga kapitalisme. Memang imperialisme dan kapitalisme ini yang jahat, memang imperialisme dan kapitalisme ini yang harus dirubuhkan, memang imperialisme dan kapitalisme ini yang kami musuhi. Kami adalah ingin merubuhkan suatu nafsu atau stelsel, tidak gezag atau sesuatu bangsa!

Tetapi perkataan­perkataan yang tajam­tajam itu!, − buat apa memakai perkataan yang tajam­tajam itu, buat apa memakai perkataan “merubuhkan”, “menghancurkan”, “mencelakakan”, “merusak”, dan lain sebagainya, kalau tidak buat menghasut dan buat mengganggu keamanan­umum, − buat merusak ketenteraman rakyat?

O, memang, Tuan­tuan Hakim, kami­punya bahasa adalah bahasa yang radikal. Kami­punya bahasa bukanlah bahasa nenek­nenek yang sudah jatuh pingsan kalau mendengar kata “kemerdekaan”, kami­punya pidato­pidato bukanlah pidatonya paderi di dalam gereja atau pidatonya juru­khotbah di dalam masjid. Kami adalah natiolis­revolutioner, nationalist yang radikal, nationalis kepala banteng! Kami­punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar­kobaran dengan semangat nasional, berkobar­kobaran dengan rasa­kecewa atas celaka dan sengsaranya rakyat. Siapakah tidak pedih dan dendam hati, siapakah tidak kecewa­hati kalau ia mengetahui celaka dan sengsaranya rakyat sebagai yang kami gambarkan di

Page 133: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

muka tadi, kalau memang ia mau bertulus­hati! Sebagai pidato­pidatonya hampir semua pemimpin­pemimpin kaum celaka dan kaum sengsara dimana­mana negeri, sebagai bahasanya semua pemuka kaum terpepet hatinya penuh dengan rasa­pedih dan rasa­kecewa, sebagai bahasa semua kaum radikal dan revolutioner yang semangatnya berkobar­kobaran, maka pidato­pidato kami dan bahasa kami penuhlah dengan kata­kata yang radikal dan tandes, penuhlah dengan gambar­gambar, tamsil­tamsil, babasan dan saloka yang berisi semangat yang berkobar­kobaran pula. Tetapi tidak adalah pidato­pidato kami dan bahasa kami itu berisi opzet melanggar artikeI 153­bis, tidak adalah ia berisi maksud menjalankan kejahatan­kejahatan yang dituduhkan dengan artikel169!

Jikalau Mr. Pieter Jelles Troelstra di dalam api­pidatonya berkata: “hantamkanlah kita­punya palu­godam di atas singga­sananya kapitalisme!”; jikalau Jean Jaures menggetarkan hati dan semangat pendengar­pendengarnya dengan perkataan: “ini kesengsaraan sekarang sudah menjadilah bangun, dan menun­tutlah dengan menggenggam pisau­belati ia­punya tempat di bawah matahari”; jikalau pemimpin­pemimpin proletariaat mendengungkan “majulah perang menghancurkan kapitalisme, majulah perang melawan kaum­kaum yang kuasa”; jikalau di dalam parlemen atau meeting partai apa saja kita sebentar mendengar seruan “rapatkanlah barisan”, “luruglah bentengnya musuh”, “asahlah senjatamu yang paling tajam untuk melebur pengkhianat­pengkhianat kita secindil­abangnya”; jikalau Pas­toor van Lith di sini berseru pada rakyat Indonesia:

........... laat hen misbruik maken van hun macht, indien zij dit verkiezen, − gij zult groeien tegen de verdrukking, als staal gehard worden in het vuur, krachten winnen door zelfverweer, de krijgskracht leeren van Uw vijand, en reuzensterk door de kracht van het getal, aanneengesmeed door volhardend samen werken en samen­verchten, tenslotte toch als overwinnaar uit den kamp te voorschijn komen.” 190

........... biarlah mereka lalim mengerjakan mereka­punya kekuasaan kalau mereka mau, meski ditindas bagaimana juga, kamu akan menjadilah makin kuat, menjadilah makin keras ibarat baja di dalam api, menambah­nambahkan tenagamu karena melindungkan diri, meyakinkan cara­berkelahi daripada musuh, dan maha­kuat oleh besarnya jumlahmu, tergemblengkan satu sama lain oleh pekerjaan bersama dan perkelahian − bersama, kamu akhirnya toh akan keluar dari peperangan itu sebagai pihak yang menang”.

− jikalau kita mendengar perkataan­perkataan yang demikian itu, adakah kita lantas harus ingat akan palu­godam yang sebenar­nya, akan tahta kerajaan yang sebenarnya, akan pisau­belati yang sebenarnya, akan perang yang sebenarnya, akan pedang, akan bom, akan dinamit, akan meriam, serdadu, darah, dan lain­lain?, adakah mereka sengaja mau merusak­keamanan­umum atau melanggar gezag atau menjalankan sesuatu kejahatan yang dilarang oleh hukum di negerinya masing­masing?

Jikalau Prof. Boeke berkata, bahwa “bapa tani bangsa Jawa adalah hidup kelewat sengsara”; jikalau Dr. Huender menuliH, bahwa keadaan di sini sudah membikin rakyat menjadi “minimumlijdser”; jikalau van Kol mendengungkan ia­punya protest tentang adanya “drainage” yang merusak negeri kita menjadi “negeri yang habis terhisap sungsumnya”; jikalau Mr. Brooshooft mengatakan:

190*) kami mulai sekolah di desa

Page 134: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“wij, duwen den Inlander in den afgrond, wij drijven hem in denzelfden poel van ellende die in de westersche maatschappij millioenen tot aan den hals houdt omsloten”, “kita menjerumuskan rakyat Bumiputera itu ke dalam jurang, ke dalam lembah­kesengsaraan yang juga meneng­gelamkan milliunan orang di dunia Barat sampai ke batang­lehernya” ,

dan berkata bahwa di sini adalah: “uitbuiting van den man die niet heeft dan zijn arbeid door den bezitter van het kapitaal, d.i. van de macht”, “perampok orang yang tak mempunyai apa­apa melainkan tenaganya bekerja, oleh kaum yang menggenggam modal, yakni menggenggam kekuasaan”,

− adakah mereka bermaksud menghasut atau sengaja melanggar hukum?

Tidak, Tuan­tuan Hakim, mereka tidak adalah maksud yang demikian itu; mereka hanyalah menulis atau mengucapkan pidato yang penuh dengan perkataan­perkataan yang berapi, mereka hanyalah menulis atau membeberkan oratorisch talent *) yang penuh denganwelsprekendheid 191

dan penuh dengan gambar­gambar, babasan dan saloka yang mengagumkan. Begitupun kami, di mana kami dengan semangat yang berkobar­kobaran. berseru “rubuhkanlah imperialisme!”, di mana dari mulut kami keluar apinya perkataan­perkataan “hancurkanlah itu nafsu angkara­angkara”, “lawanlah kapitalisme­imperialisme yang menghisap kita itu dengan segenap kita­punya tenaga”, maka kami tidak ada satu kejap mata sengaja membahayai keamanan­umum, sengaja melanggar gezag, sengaja menyalankan apa­apa yang dilarang oleh hukum di sini! Kami, sebagai dipersaksikan oleh banyak saksi, adalah senantiasa mendidik akan keamanan dan menjunjung tinggi akan keamanan itu, kami adalah malahan mengancamkan royement dan mengasih royement pada siapa yang merusak keamanan itu!

Ah, Tuan­tuan Hakim, mana boleh jadi kami sengaja men­jalankan perbuatan­perbuatan atau sengaja mempunyai maksud­maksud yang dituduhkan kepada kami itu, mana boleh jadi kami bisa bersalah sepanjang artikel 153­bis atau 169 itu, di mana kami di dalamleider­kursus yang tertutup dan rahasia itu sampai mengadakan theorie anti­revolutie dan anti­putsch dan mendidik kepada leiders­leiders itu supaya selamanya men­junjung tinggi pada keamanan, mana boleh jadi di mana kami di dalam leider­kursus yang rahasia itu, − zonder takut telinganya cucunguk atau coro alias spion, zonder takut telinganya politik, − senantiasa mendidik kepada pemuka­pemuka­muda itu menginjak jalan yang halal agar supaya kita­punya machts­vorming tidak mendapat gangguan dan bisa melahirkan suatu macht yang sekuasa­kuasanya, sebagai terbukti daripada per­saksiannya beberapa pemimpin­pemimpin yang Tuan­tuan dengar itu?

Kalau kami memang senang kepada pengrusakan keamanan umum, kalau kami memang ingin akan pelanggaran gezag, kalau kami memang bermaksud pula hal­hal yang dituduhkan dengan artikel 169 itu, maka di sinilah tempatnya, di dalam leider­kursus inilah tempatnya kami mengajarkan hal itu kepada subleders, agar supaya subleiders itu, kalau ber­propaganda ke desa dan ke kampung, bisa menyebarkanlah “benih­racun” kami itu ke mana­mana, sehingga sempurnalah “keamanan­umum terrusak”, sempurnalah “gezag terlanggar”, sempurnalah “misdrijven dari artikel 169 itu terjadi”! En toh, bagaimanakah kenyataan! Kenyataan adalah menunjukkan sebaliknya, kenyataan adalah membuktikan bahwa kami di dalam kami­punya

191 politieke visie = penglihatan politik

Page 135: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

“sarang” leider­kursus itu bukanlah bertelor racun, tetapi ialah bertelor barang, yang walaupun pahit rasanya bagi kaum imperialisme, sepanyang wet, adalah halal belaka!

O memang, kami tidak tedeng­aling­aling, − telor yang kami jatuhkan di dalam leider­kursus dan kursus­kursus biasa itu, adalah pahit sekali rasanya bagi kaum yang berkepentingan atas terusnya keadaan­keadaan yang sekarang! Kami di mukapun tidak tedeng­aling­aling, bahwa maksud P.N.I. adalah berusaha serajin­rajinnya menyusun­nyusunkan suatu nationalistische machts­organisatie, suatu raksasa­kekuasaan yang insyaf akan kekuasaannya, suatu raksasa maha­sakti ibarat saktinya. Krishna Tiwikrama! Kami tidak tedeng­aling­aling bahwa P.N.I. hanya­lah percaya kepadamacht yang demikian itu saja, untuk men­datangkan concessies dan perbaikan­perbaikan di dalam kita­punya pergaulan­hidup yang dikungkungi oleh belangen­tegenstellingen itu! Tetapi kamipun sudah menerangkan, bahwa machtsvorming dan macht ini sama sekali tidaklah memeluk faham bom atau dinamit, sama sekali tidaklah memeluk pula faham yang dilarang oleh artikel 153­bis atau yang dituduhkan dengan artikel 169 dari wetboek van strafrecht itu.

Sekali lagi memang: telor P.N.I. adalah telor yang pahit sekali bagi kaum imperialisme; dan kaum imperialismepun tak lupa mencaci­maki dan menjelek­jelekkan kami sepuas­puasnya di dalam surat­surat­kabar dan perkumpulan­perkumpulannya, menuntutkan hukuman atau pembuangan atas diri kami, menun­tutkan larangan atas actienya P.N.I., − tetapi tak bolehlah disangkal oleh siapa­juga bahwa telor P.N.I. itu adalah telor yang halal!

Tuan­tuan Hakim, oleh karenanya, kembali lagi kami menanya: adakah boleh jadi, adakah waarschijnlijk, bahwa kami mempunyai opzet yang dimaksudkan oleh artikel 153­bis atau bahwa kami melanggar artikel 169, − kami yang menurut per­saksiannya banyak saksi itu senantiasa mendidik keamanan,kami yang sering memperingatkan jangan kena provokasi,kami yang membohongkan ramalan tentang tahun 1930, kami yang mengancamkan dan mengasih royement kepada tiap­tiap ang­gota yang melanggar keamanan itu, kami yang menurut per­saksiannya anam subleiders di dalam leiders­curcus seringkali mendidik menjunjung tinggi akan keamanan agar supaya machtsvorming tidak terganggu, dan mengajarkan theorie anti­revolutie, anti­putsch, anti­geweld, anti­golok­golokan, yang bagaimana juga?

Adakah hal­hal ini semuanya belum cukup untuk me­yakinkan Tuan­tuan Hakim atas ketidaksalahan kami­orang? Adakah barangkali timbul pertanyaan pada Tuan­tuan, buat apa kami spesial mendidik keamanan itu, buat apa kamispesial mendidikanti­golok­golokan itu, kalau keamanan tidak me­mang terancam bahaya dan kami tidak takut akan buahnya propaganda kami sendiri ?

Tuan­tuan Hakim, tidak benarlah gagasan yang demikian itu. Ketahuilah, bahwa P.N.I. adalah hidup di dalam suatu zaman dimana udara Indonesia

memang penuh dengan keper­cayaan rakyat tentang “akan ada apa­apa” di dalam tahun 1930 itu, di mana ingatannya rakyat akan cara­cara dan methodenya P.K.I. dan S.R. yang belum berselang­lama matinya itu misih belum hilanglah samasekali, di mana kamu reactie tak berhenti­berhenti mencoba menjatuhkan P.N.I. dengan pelbagai provo­kasi yang rendah dan keji! Didalam waktu yang demikian itu, P.N.I. yang memang sebenarnya partai keamanan dan men­junjung tinggi akan keamanan, di dalam waktu yang demikian itu P.N.I. haruslah lebih­lebih dari misti menanamkan faham keamanan itu di dalam otak, hati, tulang­sungsum dan darah dagingnya rakyat. Sebab, selainnya yang P.N.I. memang tak mau akan mengrusak

Page 136: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

keamanan, maka sebagai tadi sudah beberapa kali kami katakan, P.N.I. tahu bahwadialah yang mendapat palang pintu kalau ada apa­apa!!

Sebab P.N.I. di dalam matanya kaum reactie memang sudah sedari lahirnya adalah di cap domba­hitam atau anjing­belang, memang sudah sedari lahirnya di cap zondebok yang hanya bisa menjalankan kejahatan­kejahatan belaka! Tanyakan hal ini kepada Mr. Wormser, Tuan­tuan Hakim, ia tentu bakal membetulkannya ............

Belum juga cukup menunjuk­nunjuk akan kemokhalannya kami bersalah, Tuan­tuan Hakim? Welnu, haraplah menanya kepada tuan Datoek Toemenggoeng dari Kantoor voor Inlandsche Zaken, apakah tidak benar yang kami di dalam suatu openbare vergadering P.N.I. di Pekalongan telah menerangkan bahwa P.N.I. tak akan menginjaki jalan yang tak aman. Haraplah membaca verslagnya openbare vergadering P.P.P.K.I. di Solo sebentar sebelumnya kami ditangkap, vergadering yang mana dihadliri juga oleh Tuan­tuan Gobee dan Van der Plas dari Kantoor itu tadi, − haraplah membaca verslagnya di dalam “de Locomotief” dari 28 December 1929 di mana tertulis bahwa kami mencela pemberontakan­pemberontakan dengan kata­kata:

“De vroegere pogingen tot verwekking van “revolutie” in Sumatra, Aceh, Borneo, Celebes etc. zijn aIle symptomen van ellende onder de tani’s, die actie voeren tot verbetering van hun lot. We moeten nu andere wegen inslaan om een duurzame verbetering te bereiken”. “Percobaan di zaman dahulu, mengadakan pem berontakan di Sumatera, Aceh, Borneo, Selebes dan lain­lain tempat, semuanya adalah tanda­tanda kesengsaraannya kaum tani yang berusaha mencari perbaikan nasibnya. Kita zaman sekarang ini haruslah menginyak jalan­jalan yang lain, untuk mencapai perbaikan­perbaikan yang kekal.”

− haraplah membaca verslagnya dalam surat­kabar “Bintang Timur” 30 Desember 1929, di mana ada tertulis bahwa kami berpidato :

“Itu pembrontakan dari tempo hari di Sumatra, Java, Selebes, Borneo dll., itu semua disebabkan karena keadaan rakyat sangat jelek dan oleh karena rakyat adakan gerakan buat memperbaiki dan mintak perbaiki nasib yang jelek itu ............

Kita sekarang tidak ambil jalan sedemikian. Kita sekarang adakan actie yang sah buat mendatangkan kebaikan rakyat seumumnya”. Haraplah kalau Tuan­tuan Hakim tidak percaya pada verslag koran, haraplah menanyakan

kebenarannya verslag­verslag ini pada tuan­tuan Gobee dan Van der Plas itu tadi, atau kepada wakil pemerintah siapa saja yang menghadiri rapat P.P.P.K.I. itu!

Sesungguhnya, sudah nyatalah senyata­nyatanya. bahwa tidak bisa jadi, tidak ada empernya, tidak waarschijnlijk, ya tidak mogelijk, mokhal, mustahil kami bisa bersalah atas apa­apa yang dituduhkan dalam proces ini, − kami yang begitu banyak­nya bukti­bukti atau penunjuk­penunjuk, bahwa kami selamanya adalah mendidik kepada keamanan itu!

Toh, ............... barangkali Tuan­tuan Hakim masih belum juga yakin? Baik!, tetapi apakah Tuan­tuan dan misih syak­wasangka, kalau Tuan­tuan memperingatkan halnya kami di dalam bulan Desember tahun yang lalu menemui wakil pemerintah tuan Mr. Ir. Kiewiet de Jonge dengan permintaan supaya tuan itu suka memintakan idin bagi kami kepada residen

Page 137: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Midden­Priangan untuk mengadakan vergadering­vergadering openbaar, dimana kami dimuka seluruh dunia mau mem­bohongkan ramalan tentang tahun 1930 itu, dan mau mendidik seluruh rakyat, terutama yang belum masuk P.N.I., akan tinggaI tenteram dan menjunjung tinggi keamanan.

Idin buat openbare­vergadering? Ya, Tuan­tuan Hakim Idin buat openbare­vergadering, − tetapi bukan idin buat openbare­vergadering biasa, melainkan ialah idin buat openbare­verga­dering di mana kami akan membantah bisik­bisikan itu, dan dimana kami akan membeberkan teori tentang massa­actie yang P.N.I. maksudkan!

Sebab, sebagai yang sudah kami terangkan di dalam verhoor, pada suatu hari sebelumnya Desember itu, residen Midden­Priangan adalah kecewa­hati atas halnya saudara Gatot Mangkupradja dalam suatu rapat terbuka mengatakan bahwa P.N.I. memperusahakan kemerdekaan itu ialah dengan tidak mau mengalirkan darah setetespun jua, − pada suatu hari, tuan Kuneman telah memperingatkan pula kami, bahwa tiap­tiap pidato yang ada perkataannya “darah” walau melarang meng­alirkan darah, akan ditegor oleh politie atau distop sama sekali!

Ya, Tuan­tuan Hakim, sampai ini hari kami belum mengarti apa jeleknya meIarang meneteskan getih­walau­hanya­setetes, sampai ini hari misihlah suatu teka­teki bagi kami jahatnya propaganda sayang akan darah manusia!

Tetapi, bagaimana juga, kami di dalam bulan Desember itu memandang perlu sekali membantah di dalam openbaar omong kosong tentang tahun 1930 itu dan memandang perlu sekali mendidik keamanan dan ketenteraman pada rakyat. Bukan terutama kepada rakyat didalam kalangan P.N.I., Tuan­tuan Hakim, − rakyat didalam P.N.I. sudahlah cukup mendapat didikan yang demikian itu di dalam kursus­kursus yang tertutup! Tetapi kepada rakyat di luar kalangan P.N.I., rakyat di luar organisasi yang misih kegelapan itu, kepada rakyat yang misih bodoh ini, yang gampang diabui matanya oleh kaum provo­cateurs, yang gampang ditipu oleh kaum Sarekat­Sarekat atau Pamitran, yang gampang dibodohi oleh kaum jahat­hati yang lain­lain, − kepada rakyat di luar P.N.I. inilah kami butuh akan openbare vergadering itu, − hanya di dalam openbare verga­dering itulah kami akan bisa berjumpa dan mengasih didikan kepadanya!

Dan bahwasanya!, didikan itu pada waktu itu adalah perlu sekali, sebab dengan makin mendekatnya tahun 1930, ramalan tadi makin “makan”, kaum provocateurs makin rajin mengabui mata rakyat yang belum masuk P.N.I., kaum Pamitran makin merajalela, kaum dessa­politie makin bertambah jumlahnya yang ikut kena terjangkit penyakit “akan ada apa­apa” itu, − pendek kata, dengan mendekatnya tahun 1930 udara di luar kalangan P.N.I. makin getar dan tak tenteramlah adanya. P.N.I. meman­dang perlu sekali ikut berusaha mengembalikan ketenteraman itu. P.N.I. memang tak suka akan keadaan rakyat yang tak tenteram itu. P.N.I. lagipula mengetahui, sebagai beberapa kali sudah kami katakan tadi, bahwa:− kalau ada apa­apa di luar kesalahannya dan di luar anggungannya, toh dia yang paling dulu mendapat sangkaan, toh dia, yang paling dulu dianjing­belangkan, toh dia, yang paling dulu dijatuhi palang pintu!

Welnu, kami minta perantaraannya Mr. Ir. Kiewiet de Jonge untuk hal yang kami katakan tadi itu. Mr. Ir. Kiewiet de Jonge pergi ke tuan Kuneman; Mr. Ir. Kiewiet de Jonge sesudahnya itu lantas mengkabarkanlah kepada kami dengan surat, bahwa kami harus menemui tuan Kuneman, yakni kalau kami sudah pulang dad Congres P.P.P.K.I. di Solo dan dari tournee *) 192

ke Jawa­Tengah. 192 t.a.p. pag. 32

Page 138: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Tetapi, Tuan­tuan Hakim, tetapi! ............. tournee belum habis, kami belum kembali di Bandung, − di Mataram pada 29 Desember kami sudah ditangkap, ditahan di kantor politie, dimasukkan di dalam bui, dikunci belakang pintu besi dan tralie besi, − sampai hari sekarang! ............ Yah, begitulah nasibnya pemimpin, kami pikul nasib itu dengan senantiasa ingat akan Ibu­Indonesia, tetapi kami menanya kepada Tuan­tuan penjabat pengadilan dan penjunjung keadilan: Adakah bisa jadi, adakah masuk akal, bahwa kami yang mempunyai permintaan yang demikian itu pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge, bisa bersalah atas hal­hal yang dituduhkan pada kami di dalam proces ini? Adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk, adakah masuk akal bahwa kami yang mau mengadakan openbare­vergadering di mana­mana untuk mendidik keamanan itu, bisa mempunyai opzet melanggar keamanan yang dilindungi oleh artikel 153­bis dan 169 itu?

O memang, politie sering menerima verslag yang “kocak” dari spion­spionnya, politie sering mendapat laporan yang sensasional dari mata­matanya, politie sendiri sering mengirim­kan verslag saringan kabar­kabar spion kepada parketnya pro­cureur­generaal yang “meng­agumkan”. Tetapi, − spion adalah spion, mata­mata budi pekertinya tinggallah budi pekerti mata­mata, cucunguk moraalnya tinggallah moraal cucunguk! Mereka selamanya mempunyai nafsu “mengocakkan” verslagnya, menambah­nambahi laporannya, − dan amboi, berapa tinggi­kah pengetahuan atau ontwikkelingnya!

Kami mengetahui adanya politiek­oplitioneel­overzicht yang menyebutkan kami menghasut pemogokan pada perusahaan post!, sedang sebenarnya kami hanya membicarakanhak mogok di tiap­tiap negeri yang sopan, dan memujikan cabutannya artikel 161 bis wetboek van strafrecht. Kami mengetahui adanya politiek­politioneel overzicht yang menga­takan, bahwa kami menujumkan pertolongan dari Jepang, sedang tiap­tiap hidung mengetahui, bahwa barangkali tidak ada satu orang Indonesia yang begitu anti kepada Jepang sebagai kami. Kami mengetahui pula adanya politiek­politioneel­overzicht, yang dengan “stalen gezicht” alias “muka kaju” memberitakan bahwa Mr. Iskaq sudah bicara di dalam suatu vergadering P.N.I. di Malang, sedang Mr. Iskaq itu seumur hidup belum pernah menginjak Malang buat urusan politik, ya barangkali seumur hidup belum pernah menginjak Malang sama sekali !! ............

Memang, Tuan­tuan Hakim, ini semua “kocak”, ini semua sangat “mendirikan bulu”, − tetapi juga ini semua “tragisch!” *) 193

Tragisch, tragisch sekali, tragisch setragisch­tragischnya, sebagai terbukti tahun yang lalu, tatkala kabar­spion yang “jempol­jempol” itu mengatakan dengan banyak kekocakan bahwa P.N.I. tanggal 1 Januari 1930 akan mengadakan rrrrevolutie,− rrrrevolutie yang akhirnya ........... mengkerut menjadi perkara di dalam proces ini!

Herankah Tuan­tuan Hakim, bahwa misalnya sampai Mr. Van Helsdingen di dalam volksraad memintakan:

“een scherper toezicht op do spionnen, die onrustwekkende onjuiste berichten aanbrengen, desnoodig door onver­biddelijlk zulke lieden te ontslaan?” 194

“pengawasan yang lebih keras atas spion­spion, yang menyetorkan kabar­kabar bohong yang membikin onar, kalau perlu dengan melepas orang­orang yang demikian itu zonder ampunan lagi”?

193*) oratorisch talent = kepandaian berpidato 194*) tournee = keliling inspeksi

Page 139: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

Herankah Tuan­tuan, bahwa kami, yang mengetahui akan bahaya yang datang dari spion yang jahat­hati atau bodok­otak itu, sudah pernah meminta Mr. Ir. Kiewiet de Jonge meneruskan harapan kami kepada pemerintah, supaya lebih banyak **) mengada spion intellectueel yang 195

bisa mengerti akan maknanya pidato­pidalo kami, yakni supaya rapport­rapport kepada dan dari politie tidak ngacau sebagai sekarang? Tetapi sebaliknya juga, tidaklah Tuan­tuan mendapat satu penunjuk lagi akan mochal dan mustahilnya kami bisa sengaja bersalah atas hal­hal yang dituduhkan pada kami di dalam proces ini, kami yang meminta lebih banyakspion intellectueel supaya kursus­kursus kami dan actie kami sempurna bisa diamat­amati, − kursus­kursus kami dan actie kami, yang memang tak pernah berisi satu apa saja yang harus kami sembunyikan!

Setengah orang barangkali heran, melihat seorang pemim­pin partai revolutionair dan non­cooperator bermusyawarat dengan wakil pemerintah. Lahirnya saja hal ini mengherankan, lahirnya saja hal ini sebagai bertentangan dengan kita­punya azas. Tetapi di dalam hakekatnya, di dalam sejatinya perkara, azas kita itu tidaklah terlanggar sedikitpun jua: Pertemuan kami dengan wakil pemerintah bukanlah timbul dari keinginan bekerja bersama­sama, melainkan hanyalah timbul dari halnya actie P.N.I. dan non­cooperation P.N.I. itu, bukanlah actie dan non­cooperation yang sembunyi­sembunyian, bukanlah actie dan non­cooperation yang seselumputan, bukanlah actie dan non­cooperation àla nihilisme, tetapi ialah actie dan non­cooperation yang terang­terangan! Kita ialah berjuang dengan zonder tedeng­aling­aling membukakan dan menunjukkan kita­punya dada, kita ialah berjuang dengan ketulusannya ksatria, kita berjuang ialah dengan open vizer! Dan oleh karena perjuangan kita yang dengan open vizier inilah, oleh karena actie yang tiada satu hal yang harus kita sembunyikan itulah, maka kami tak kuat akan mata­mata atau spion­spion, asal saja spion­spion itu spion yang intellectueel yang mengerti akan segala apa yang ia dengarkan!

Dan sekali lagi kami menanya: adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk, kami bersalah tentang hal­hal yang dituduhkan kepada kami itu, kami yang minta diamat­amati oleh sebanyak­banyaknya spion intellectueel?

Moga­moga sekarang Tuan­tuan, sesudahnya mendengar segala hal­hal yang kami beberkan itu, mendapat keyakinan akan ketidaksalahan kami­orang itu adanya!

Tuan­tuan Hakim yang terhormat!, − kami sekarang meng­ulangi, kami membikin resume; sudah terlampau lamalah kami meminta Tuan­tuan punya perhatian:

Imperialisme yang kami musuhi itu, adalah suatu faham, suatu begrip, suatu nafsu, suatu streven, suatu stelsel, suatu politik menaklukkan atau mempengaruhi negeri orang lain atau ekonomi bangsa lain. Imperialisme, dan juga kapitalisme bukanlah pemerintah, bukanlah bangsa asing, bukanlah kaum ambtenaar, bukanlah badan atau materie apapun juga,− impe­rialisme dan kapitalisme adalah nafsu dan stelsel belaka. Indonesia sudah lebih dari 300 tahun menderitakan imperialisme itu, lebih dari 300 tahun dipengaruhi, diduduki, diexploiteer oleh imperialisme, − dulu imperialisme­tua, kini imperialisme­modern.

Baik imperialisme­tua, maupun imperialisme­modern, − dua­duanya bagi negeri Indonesia dan rakyat Indonesia adalah membikin melesetnya dan kocar­kacirnya susunan pergaulan­hidup, dua­duanya adalah pengedukan­rezeki, exploitatie, drainage yang sangat. Oleh karena itu, kehidupan rakyat Indo­nesia kini adalah kehidupan “minimumlijdster”, pergaulan­hidup Indonesia adalah pergaulan­hidup “rakyat kaum­buruh”, rakyat Indonesia menjadilah rakyat

195*) Tragisch = merindukan

Page 140: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

yang celaka. Maka kecelakaan rakyat ini, kesengsaraan rakyat ini, air­mata rakyat ini, dan bukan hasutan kami­orang, bukan hasutan “opruiers”, bukan hasutan manusia manapun jua, melahirkan suatu pergerakan rakyat, yang berakhiran di dalam pergerakan P.N.I. itu, − di dalam satu pergerakan yang berkeyakinan, bahwa, oleh adanya pertentangan­kepentingan antara sana dan sini, syarat yang amat penting bagi pembaikan segala susunan pergaulan­hidup kita dan bagi memberhentikan imperialisme ialah politieke macht, − kemerdekaan nasional. Pertentangan­kepentingan ini­pun meng­asih keyakinan kepadanya, bahwa umumnya segala perbaikan yang penting­penting hanyalah bisa datang kalau diusahakan oleh kitasendiri, dengan kebisaan kita sendiri, dengan macht kita sendiri. Sebab soal­soal jajahan bukanlah soal hak, bukanlah soal recht, − soal­soal jajahan adalah soal­kekuasaan, soal macht. Partai Nasional Indonesia oleh karenanya, mau menyusunkan macht ini; ia mau mengorganisirkan rakyat Indonesia dengan jalan yang halal dijadikan suatu machts­organisatie yang sentosa, − ia dengan rajin mengusahakan machts­vorming yang halal itu. Ia mendapatkan nyawa baginya di dalam nationalisme yang hidup dan berkobar­kobar, ia mendapatkan urat­syaraf baginya di dalam sakti­sakti amput rupa yang tadi kami terangkan, ia mencarikan badan­wadagnya di dalam massa, di dalam rakyat­murba yang ribuan, ketian, milliunan itu. Dengan nyawa yang demikian, dengan urat­syaraf yang demikian, dengan badan­wadag yang demikian, maka organisatie­rakyat ilu menjadilah nanti macht yang maha­hebat, menjadilah nanti raksasa yang maha sakti.

P.N.I. mengasih raksasa­kekuasaan ini keinsyafan akan kekuasaannya, mengasih padanya machtsgevoel dan machts­bewustzijn dengan jalan teori serta perbuatan, dengan jalan kursus­kursus dan surat­surat­orgaan beserta daadwerkelijke acties bermacam­macam, − daad­werkelijke acties yang juga untuk mengusahakan pasal­pasal daftar­usahanya. Dengan kekuasaan dan keinsyafan akan kekuasannnya itu, maka raksasa Indonesia tidak boleh tidak tentu, pasti bisa mendatangkan perbaikan­perbaikan atau concessie­concessie yang penting dan berharga, yang akhirnya di kelak­kemudian­hari mendatangkan Indonesia­Merdeka!

Dengan ini semua, maka ternyatalah bahwa actienya P.N.I. itu adalah actie yang tak melanggar hukum, − teryatalah bahwa kami tak melanggar hal­hal yang dituduhan dengan artikel 169 itu.

O memang, actie P.N.I. adalah merugikan sekali pada imperialisme dan kaum imperialisme, membahayai kantong mereka dan dividend mereka, tetapi tidak adalah hal­hal di dalamnya yang bertentangan dengan hukum. Tidak adalah kami­orang pernah sengaja berbuat barang sesuatu yang dilarang oleh hukum itu, tidak adalah keadilan, yang akan mengambil putusan. Kami menunggu Tuan­tuan punya putusan itu, yang tentu tak lupa mempertimbangkan segala apa yang kami uraikan tadi. Kami tidak merasa salah. Kami tidak memajukan verlichtende omstandigheden, kami tidak memajukan alasan­alasan buat mengembangkan diri,− kami hanyalah kami­orang pernah ber­salah atas hal apa saja yang dituduhkan dalam proses ini.

Ketaktentraman tempo yang akhir­akhir itu bukanlah bikinan kami atau karena kami, bukanlah melentungnya benih­benih yang kami orang tebar­tebarkan, bukanlah bekerjanya “nafas racun” yang keluar dari mulut kami­orang, − ketaktentraman tempo yang akhir­akhir itu memang sudahlah terjadi oleh kepercayaan rakyat akan ramalan tahun 1930 yang bukan­bukan, oleh perbuatan­perbuatannya kaum­kaum pem­benci­pergerakan yang jahat­hati dan rendah­budi, oleh sebab­sebab yang semuanya di luar tanggungan P.N.I. adanya. Kami, semua pemimpin­pemimpin P.N.I., kami malahan senantiasa mendidik keamanan dan mendidik anti kekerasan, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak saksi biasa dan oleh enam saksi­pemimpin

Page 141: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

yang dulu menghadiri leiders­cursus. Kami malahan senantiasa mendidik dengan kena provokasi, mengancamkan dan mengasihkan royement pada tiap­tiap anggota yang melanggar keamanan. Kami malahan membohongkan ramalan tentang tahun 1930, memerangi kepercayaan yang mengganggu keamanan itu, − kami malahan berpidato di dalam openbare­vergadering di mana­mana, di Pekalongan, di Solo dan lain­lain tempat, mengatakan bahwa jalan yang kita injaki harus jalan yang sah belaka. Kami malahan memajukan permintaan pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge tentang niat mengadakan rapat­rapat terbuka, guna membantah ramalan itu dan mendidik rakyat di luar P.N.I. supaya mencitai ketentraman, − memintakan lebih banyak spion intellectueel agar­supaya actie dan kursus­kursus kami bisa diamat­amati dan diverslagkan kepada dan oleh politie dengan tidak dikocak­kocakkan. Kami pendek­kata, kami senantiasa menjunjung tinggi akan ketentraman dan menjunjung tinggi akan segala larang­larangan hukum!

O memang, di muka kami tak mungkin dan kami meng­akui: machtsvorming P.N.I. adalah machtsvorming yang men­dirikan bulu­punduknya kaum imperialisme, bahasa kami adalah bahasa radikal yang bernyala­nyala dengan api­kekeciwaan­hati atas kesengsaraan rakyat dan berkobar­kobar dengan semangat nasional yang hurung, − kami adalah kaum noncooperator dan revolutionnair, − tetapi walau begitu, adakah bisa jadi, adakah waar­schijnlijk, adakah masuk akal, bahwa kami bersalah atas hal­hal yang dituduhkan dalam proses ini, kami yang begitu banyak bukti dan banyak petunjuk akan sebaliknya, kami yang berniat dan bertindak sebagai yang kami tutur­tuturkan tadi itu, kami, pencinta keamanan dan pecinta ketertiban itu? Adakah bisa jadi, Tuan­tuan Hakim yang terhormat, adakah bisa masuk akal, bahwa kami sekonyong­konyong bisa mempunyai opzet membahayai keamanan­umum melanggar gezag atau menjalankan hal­hal yang dimaktubkan dalam artikel 169, kami yang berbuat dan bertindak sebagai kami ceritakan itu.

Dengan seolah­olah tiada keadilan lagi maka kami, yang senantiasa mendidik keamanan itu, yang mempunyai niat yang begitu suci sebagai yang kami beritahukan pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge itu, dilemparkan ke dalam bui, dikunci dan digeredel di dalam sel yang hanya 1½ x 2½ Meter, tiga ratus tiga puluh hari lamanya dulu dikasih melihat matahari hanya dua kali dua jam sehari­harinya, ditaruh di pinggirnya kebinasaan ekonomi dan kebinasaan pencaharian hidup! ....... En toh, ........ berapa lama­kah berselang, yang kami, juga via Mr. Ir. Kiewiet de Jonge, pada permulaan tahun 1929 menyampaikan kata pada peme­rintah yang berbunyi: “Kasihkanlah pada kami kans untuk menyusunkan tenaga rakyat, − kalau ada apa­apa, kamilah yang akan memikul segala pertanggunganjawab, kamilah yang sanggup diasingkan kedalam rimba dan rawa pembuangan”?

Beberapa lamakah berselang, yang kami dengan kata­kata ini menunjukkan pula, bahwa kami memang hanya berniat mengorganiseer rakyat belakan dijadikan suatu macht yang maha kuasa dan maha sakti, zonder keniatan melanggar hukum! Dan buat sekian kalinya lagi kami menanya: adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk, bahwa orang yang memas­rahkan diri untuk dimasukkan ke dalam kesengsaraannya hidup pembuangan kalau ada apa­apa yang menyimpang dari hukum, − adakah waarschijnlijk bahwa orang yang demikian itu bisa mempunyai opzet menjalankan hal­hal yang dituduhkan dalam proces ini ?

Tuan­tuan Hakim, sekarang Tuan­tuanlah yang akan mengangkat kata, sekarang Tuan­tuanlah yang akan melahirkan pendapatan, SekarangTuan­tuanlah, penjabat pengadilan dan penjunjung keadilan, yang akan mengambil putusan. Kami menunggu Tuan­tuan punya putusan itu, yang tentu tak lupa mempertimbangkan segala apa yang kami uraikan tadi. Kami

Page 142: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

tidak merasa salah. Kami tidak memajukan verlichtende omstandigheden, kami tidak memajukan alasan­alasan buat mengentengkan diri, − kami hanyalah membuktikan bahwa kami tidak bersalah, menunjukkan mochalnya kami bisa sengaja menjalankan hal­hal yang dituduhkan itu. Kami oleh karenanya, memang mengharap dan menunggu putusan bebas. Seluruh rakyat Priangan, seluruh rakyat Indonesia, seluruh dunia manu­sia yang tulus­hati dan cinta pada keadilan adalah mengharap dan menunggu pula putusan bebas itu.

Moga­moga demikianlah adanya. Tetapi, jikalau seandai­nya Tuan­tuan Hakim toh memandang kami bersalah, jikalau seandainya Tuan­tuan Hakim toh menjatuhkan hukuman, jikalau seandainya kami­orang toh harus menderita lagi kesengsaraan­penjara, wahai apa boleh buat, moga­moga pergerakan seolah­olah mendapat wahyu­baru dan tenaga­baru oleh karenanya, moga­moga Ibu­Indonesia suka menerima nasib kami itu sebagai korbanan yang kami persembahkan di atas hari­baannya, moga­moga Ibu­Indonesia suka menerimanya sebagai bunga­bunga yang harum dan cantik yang bisa dipakai menghiasi sanggul­kundainya yang manis itu. Memang rohani kami tak adalah merasa masgul, rohani kami adalah berkata, bahwa segala apa yang kami tindakkan itu adalah hanya kami­punya kewajiban, − kami­punya plicht.

Pemimpin Hindustan Bal Gangadhar Tilak yang besar itu, di muka mahkamah adalah berkata :

“Het kan zijn de Wil der Voorzienigheid, dat de Zaak die ik voorsta beter gediend zal zijn met mijn lijden dan met mijn vrijheid.” “Barangkali sudah kemauannya Yang Maha­Suci, bahwa pergerakan yang kami pimpin itu akan lebih majulah dengan kami­punya kesengsaraan daripada dengan kami­punya kemerdekaan.” Perkataan Tilak ini kami jadikan perkataan kami sendiri. Juga kami adalah menyerahkan

segenap raga dengan seridho­ridhonya kepada tanah­air dan bangsa, juga kami adalah menyerahkan segenap jiwa kepada Ibu­Indonesia dengan seikhlas­ikhlasnya hati. Juga kami adalah mengabdi kepada suatu ideaal yang suci dan luhur, juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan haknya tanah­air dan bangsa atas peri­kehidupan yang merdeka, Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahunpun, tidaklah bisa menghilangkan haknya negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu. Untuk laksananyahak ini maka kami ridho menderitakan segala kepahitan yang dituntutkan oleh tanah­air itu, ridho menandang kesengsaraan yang dipintakan oleh Ibu­Indonesia itu setiap waktu.

Memang tanah­air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu­Indonesia adalah mengharap daripada semua putera­putera dan puteri­puterinya pengabdian yang demikian itu, penyerahan jiwa­raga yang tiada batas, pengorbanan­diri walau yang sepahit­pahitnyapun kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang ikhlas. Putera­putera dan puteri­puteri Indonesia haruslah merasa sayang, bahwa mereka untuk pengabdian ini, masing­masing hanya bisa menyerahkan satu badan saja, satu roh saja, satu nyawa saja, − dan tidak lebih!

Sebab, tiada korbanan yang hilang terbuang, tiada korbanan yang tersia­sia,−“no sacrifice is wasted”, begitulah Sir Oliver Lodge berkata. Dengan korbanan­korbanannya hari­sekarang, maka hari­kemudian akan menjadilah makin bercahya, makin berseri­serian, makin berkilau­kilauan, lebih berkilau­kilauan lagi daripada segenap kebesarannya hari yang sediakala. Fajar­kebesaran­baru, fajar kemuliaannya hari­kemudian bagi kita itu, kini sudahlah menyingsing, − fajar itu makin lama makin menerang, dan walau dihalang­halangi oleh

Page 143: Indonesia Menggugat - nasionalisme.idnasionalisme.id/Dokumen/IndonesiaMenggugat.pdf · Di dalam aksi kami seringseringlah kedengaran katakata “kapitalisme” dan “imperialisme”.

kekuatan­manusia yang bagaimanapun juga, walau dirintang­rintangi oleh kekuatan­wadag dari negeri manapun jua, walau dicegah oleh segenap kekuatan­duniawi daripada segenap. negeri di atas segenap muka­bumi ini, ia tidak boleh tidak, harus, tentu, pasti akan diikuti oleh terbitnya matahari yang menghidupkan segala sesuatu yang harus hidup dan mematikan segala sesuatu yang harus mati. Segala daya­dayanya kegelapan akan hancur­cairlah sebagai salju di hadapan sinarnya matahari ini, segala awan­awan­gelap yang menyuramkan angkasa akan musnahlah tertiup oleh angin­hangat yang keluar daripadanya.

Rakyat Indonesia sudahlah bersedia dengan hati yang memukul­mukul akan menghormati terbitnya matahari itu. Dengan rakyat Indonesia itu kami menderita kesengsaraan, dengan rakyat Indonesia itu kami bersuka­raya. Dengan rakyat Indonesia itu kami menunggu putusan Tuan­tuan Hakim.

Memang kami­orang berdiri di hadapan mahkamah Tuan­tuan ini bukanlah sebagai Soekarno, bukanlah sebagai Gatot Mangkoepradja, bukanlah sebagai Maskoen atau Soepriadinata, − kami­orang berdiri di sini ialah sebagai bagian­bagian daripada rakyat Indonesia yang berkeluh­kesah itu, sebagai putera­putera Ibu­Indonesia yang setill dan bakti ke­Padanya. Suara yang kami keluarkan di dalam gedung mahkamah sekarang ini, tidaklah tinggal diantara tembok dan dinding­dindingnya saja, − suara kami itu adalah didengar­dengarkan pula oleh rakyat yang kami abdii, mengumandang kemana­mana, melintas­lintasi tanah­datar dan gunung dan samudera, ke Kota­Raja sampai ke Fak­Fak, ke Oeloesiaoe − dekat − Manado sampai ke Timor. Rakyat Indonesia yang mendengarkan suara kami itu, adalah merasa mendengarkan suaranya sendiri.

Putusan Tuan­tuan Hakim atas usaha kami­orang, adalah putusan atas usaha rakyat Indonesia sendiri, atas usaha Ibu­Indonesia sendiri. Putusan­bebas, rakyat Indonesia akan bersyukur, putusan tidak­bebas, rakyat Indonesia akan tafakur.

Kami memujikan Tuan­tuan mempertimbangkan segala hal­hal ini. Dan sekarang, di dalam bersatu­hati dengan rakyat Indonesia itu, di dalam bakti dan bersujud kepada Ibu­Indonesia yang kami cintai itu, − didalam kepercayaan bahwa rakyat Indonesia dan Ibu­Indonesia akan terus nanti menjadi mulia, nasib yang bagaimanapun juga mengenai kami, maka kami siap­bersedia mendengarkan putusan Tuan­tuan Hakim!

ooOoo

ooOoo