IMPLIKASI KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP...
Transcript of IMPLIKASI KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP...
i
IMPLIKASI KEPRIBADIAN EKSTROVERT TERHADAP
PEMEROLEHAN BAHASA ARAB
Diajukan untuk Mengikuti Ujuan
Promosi
Ahmad Habibi Syahid
NIM: 11.2.00.0.13.01.0097
PEMBIMBING
DR. Muhbib Abdul Wahab, M.Ag
NIP. 19681023 199303 1 002
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
ii
iii
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
NAMA : Ahmad Habibi Syahid
NIM : 11.2.00.0.13.01.0097
JUDUL TESIS : Implikasi Kepribadian Ekstrovert
terhadap Pemerolehan Bahasa Arab
Menyatakan bahwa draf tesis telah diverifikasi oleh Prof. DR.
Ahmad Rodoni, pada tanggal 23 Agustus 2014.
Draf tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi:
1. Perbaikan Abstrak
Demikian pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh ujian Pendahuluan.
Jakarta, 23 Agustus 2014
Ahmad Habibi Syahid
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Segala nikmat yang Allah berikan telah memberikan kekuatan
kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Salawat dan salam
kepada Nabi Muhammad dan seluruh keluarganya, sahabat, dan
pengikut sunnahnya.
Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan pada program Magister Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
menguraikan tentang implikasi kepribadian ekstrovert dalam
pemerolehan bahasa Arab. Dalam menyelesaikan penulisan tesis
ini sangat banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa semua ini dapat dihadapi berkat
dorongan dan motivasi dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan
banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Komaruddin Hidayat selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Azyumardi Azra selaku direktur
SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga kepada seluruh
jajaran pimpinan SPs, Prof. Suwito, M.A., Dr. Yusuf Rahman,
M.A., seluruh karyawan dan karyawati tata usaha, dan
perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Muhbib Abdul Wahab, M.Ag., selaku pembimbing dan
promotor dalam penulisan tesis ini. Masukan, saran, dan
kritikan yang telah diberikan sangat berguna sebagai bentuk
pengembangan pengetahuan bagi penulisan tesis ini juga
seluruh dosen yang telah memberikan gagasan-gagasan
pemikiran demi berkualitasnya penulisan tesis ini.
3. Kepada seluruh keluarga, orang tuaku yang tersayang pak H. A.
Hidayat dan Ibu Hj. Nur’aidah, yang telah memeberikan
motivasi, dukungan dan doa yang sangat berharga tanpa kenal
lelah hingga selesainya penulisan tesisi ini. Kepada Kakak ku
Ahmad Rahman Hakim dan Adik-adik ku Ahmad Fahmil Huda
dan Nadya Rahmah yang telah menghibur di kala susah.
4. Buat sahabat-sahabatku Yakin, Deni, Mulyadi, Aidil, Mas Gus,
Mujib, Rahman, Isti, Iffa, mbak Ita, Albab, Annisa, dan teman-
teman angkatan 2012 SPS UIN Syarif Hidayatullah yang telah
vi
bersama-sama berjuang memberikan masukan-masukan pada
penulisan tesis ini semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu.
Semoga tesis ini dapat memberikan pengetahuan kepada
semua pihak. Penulis menyadari bahwa tesis ini mempunyai
banyak kekurangan untuk itu diharapkan tesis ini dapat
memberikan ide bagi peneliti lain untuk membuat perkembangan
penelitian lebih lanjut.
Ciputat, 21 Agustus 2014
Ahmad Habibi Syahid
vii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahmad Habibi Syahid
Tempat tanggal lahir : Serang, 29 Januari 1990
Jenjang Pendidikan : S2 Pengkajian Islam
Konsentrasi : Pendidikan Bahasa Arab
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul
‚IMPLIKASI KEPRIBADIAN EKSTROVERT
TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA ARAB‛ adalah
hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan
sumbernya, apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan
kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya,
selain itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi saya siap
menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
diberlakukan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-
benarnya.
Jakarta, 21 Agustus 2014/24 Shawwa>l 1435
Yang membuat pernyataan
Ahmad Habibi Syahid
viii
ix
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “IMPLIKASI KEPRIBADIAN
EKSTROVERT TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA
ARAB” yang ditulis oleh Ahmad Habibi Syahid NIM
11.2.00.0.13.01.0097 telah melalui proses bimbingan dan bisa
diajukan untuk Ujian Promosi.
Jakarta, 21 Agustus 2014
Pembimbing
DR. Muhbib Abdul Wahab, M.Ag
x
xi
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI PENDAHULUAN
Tesis dengan judul “IMPLIKASI KEPRIBADIAN
EKSTROVERT TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA
ARAB” yang ditulis oleh Ahmad Habibi Syahid NIM
11.2.00.0.13.01.0097 telah melalui proses Ujian Pendahuluan dan
bisa diajukan untuk Ujian Promosi.
Jakarta, 21 Agustus 2014
DR. Yusuf Rahman, M.A
(Ketua Sidang/Penguji)
(…………………………….)
Prof. DR. Syukron Kamil, M.A
(Penguji 1)
(…………………………….)
DR. Yeni Ratnayuningsih, M.A
(Penguji 2)
(…………………………….)
DR. Muhbib Abdul Wahab, M.Ag
(Pembimbing/Penguji 1)
(…………………………….)
xii
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab – Latin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ى
h = ه
w = و
y =
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dhammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fathah dan ya Ai a dan i ...ى
Fathah dan …و
wau
Au a dan w
Contoh :
H{aul : حول H{usain : حسيي
xiv
C. Maddah
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fathah dan alif a> a dan garis di atas ىآ
Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ىي
Dhammah dan ىو
wau
u> u dan garis diatas
D. Ta’ marbutah (ة)
Transliterasi ta’ marbutah ditulis dengan ‚h‛ baik
dirangkai dengan kata sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah
(هدرسة) madrasah (هرأة)
Contoh:
al-Madinah al-Munawwarah : الودينة الونورة
E. Shaddah
Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bersaddah itu.
Contoh:
nazzal : نزل rabbana : ربنا
F. Kata Sandang
Kata sandang ‚ال‛ dilambangkan bukan berdasar huruf
yang mengikutinya baik huruf syamsiyah ataupun qamariah di
ikuti dengan huruf ال"" .
Contoh:
al-Qalam : القلن al-Shams :الشوس
G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan
di dalam bahasa Indonesia, seperti هللا, asma>’ al-husna> dan ibn,
kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
xv
ABSTRAK
Tesis ini menyimpulkan bahwa semakin ekstrovert
seseorang dalam mempelajari bahasa asing maka akan semakin
baik dalam menguasai bahasa asing tersebut. Dalam kalimat lain,
semakin tinggi kadar ekstrovert seseorang maka akan semakin
rendah tingkat kesukaran dalam mempelajari bahasa
Tesis ini sependapat dengan pemikiran Avram Noam
Chomsky (2006) dalam Language and Mind dan New Horizon of
the Study of Language and Mind dengan teorinya Generatif
Transformasi yang mengatakan bahwa manusia memiliki sifat
bawaan dalam memperoleh sebuah bahasa yang sudah dibawa
sejak lahir atau yang disebut dengan LAD (Language Acquisition
Device). Sependapat juga dengan Rossier (1975), dan Wakamoto
bahwa kepribadian tertentu (ekstrovert) memiliki pengaruh yang
signifikan dalam pemerolehan bahasa asing.
Tesis ini bertolak belakang dengan pemikiran Ivan
Petrovich Pavlov (1849-1936) dan BF. Skinner (1904-1990) yang
menggagas teori pemerolehan bahasa behavioristik yang
mengatakan bahwa manusia ibarat sebuah “tabula rasa” yang
berarti bahwa manusia dilahirkan tanpa membawa kecenderungan
apapun. Pemikiran ini menafikan sifat bawaan manusia yang salah
satunya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa. Tesis ini
merupakan bentuk kritik terhadap pemikiran Pavlov dan Skinner
tersebut di atas.
Tesis ini menggunakan sumber utama dari data-data
penelitian lapangan terhadap pemerolehan bahasa asing serta
implikasi kepribadian ekstrovert dalam pemerolehan bahasa asing.
Data selanjutnya dikembangkan dengan hasil penelitian
kepustakaan. Data-data tersebut, dibaca, dan dikaji dalam kerangka
analisis deskriptif karena penulis bermaksud mendiskripsikan
tentang implikasi kepribadian ekstrovert dalam pemerolehan
bahasa asing khususnya pemerolehan bahasa Arab di Pondok
Pesantren Modern.
Kata Kunci: Implikasi, Kepribadian Ekstrovert, Pemerolehan,
Bahasa Arab
xvi
xvii
ملخص البحث
يف تعليم اللغة األجنبية (Ekstrovert )الشخص أثبتت ىذه الرسالة أن كلما انبسطو بعبارة أخرى كلما ارتفع انبساط الشخص فاخنفض مستوى . فحسن يف اتقان اللغة األجنبية
. الصعوبة يف تعليم اللغة األجنبية (Avram Noam Chomsky) أيدت ىذه الرسالة رأي أفرام نوام تشومسكي
قال أن اإلنسان لو مسة , و لو النظرية التحول توليدي" اللغة و العقل" يف كتابو (2006)و . جهاز اكتساب اللغة"و بعبارة أخرى , فطرية يف اكتساب اللغة اليت محلها من الوالدة
لو تأثري كبري (منبسط) أن الشخصية (Wakamoto ) و وكموتو(Rossier )أيدت رأيي روسري. يف اكتساب اللغة األجنبية
و (Ivan Pevtrovich Pavlov )رفضت ىذه الرسالة رأيي إيفان فيرتوفيش فالوف فإهنما بدآ النظرية اكتساب اللغة السلوكية ومها قاال أن مثل (B.F. Skinner )سيكينري
ىذا الرأي ينفي السمة . وىو أن اإلنسان يولد دون ميل أي اجتاه. اإلنسان كأساس البدءىذه الرسالة ىي شكل من أشكال اإلنتقاد على . الفطرية لإلنسان اليت تؤثر يف اكتساب اللغة
. رأي فالوف سيكينريوادلصدر الرئيسئ يف ىذه الرسالة ىو البيانات ادليدانية لالكتساب اللغة األجنبية، مث
تقرأ البيانات وتدرسها يف اإلطار التحليل الوصفي ألن . تطور البيانات بنتيجة حبث ادلكتبةالباحث سيصف عن آثار انبساط الشخص يف اكتساب اللغة األجنبية وباخلصوص يف
. اكتساب اللغة العربية يف معهد احلديث العربيةاللغة ، اكتساباآلثار، الشخص منبسط، : نقاط احلاكمةال
xviii
xix
Abstract
This thesis shows that the more extrovert persons learns a
foreign language, the better he masters such a language. In another
word, the higher is the level of the extrovert, the lower is the level
of the difficulties in learning a language.
This thesis signifies Noam Chomsky’s theory of
Transformational Generative Grammar that the competence of
human in acquiring language is innate, which called LAD
(Language Acquisition Device). This thesis is also in accordance
with Rossier and Wakamoto’s views that an extrovert personality
has a significant influence toward a foreign language acquisition.
This thesis is not in line with Ivan Petrovich Pavlov and BF.
Skinner’s behavioristic theories that humans were born without ane
tandency.
The main sources of this thesis are the field data on a
foreign language acquisition and the implication of extrovert
personality in a foreign language acquisition are conducted in
Pondok Pesantren Modern Assa’adah. Literature sources in forms
or books and articles written by researchers who have written on
the relevant subjects are the secondary sources for this thesis. This
thesis uses Descriptive Analytical method.
Keywords: Implication, Extrovert Personality, Acquisition, Arabic
Language
xx
xxi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................. v
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................ vii
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................ xiii
ABSTRAK ................................................................................. xv
ملخص البحث.................................................................................... xvii
ABSTRACT. . .............................................................................. xix
DAFTAR ISI ............................................................................. xxi
DAFTAR TABEL ................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xxiv
Bab I Pendahuluan ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Masalah Penelitian ............................................................. 10
C. Tujuan Penelitian................................................................ 11
D. Manfaat Penelitian.............................................................. 11
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan.................................... 13
F. Metodologi Penelitian ........................................................ 16
G. Sistematika Penelitian ........................................................ 22
Bab II Pemerolehan Bahasa Kedua: Perspektif Teoretis ......... 25
A. Pembiasaan Operan dan Kompetensi Linguistik dalam
Akuisisi Bahasa .................................................................. 25
B. Corak Kepribadian dalam Pemerolehan Bahasa Kedua ..... 36
C. Myers-BriggsType Indicator (MBTI) dalam Mengukur
Kepribadian pada Akuisisi Bahasa Kedua ......................... 45
Bab III Proses Pemerolehan Bahasa Arab di Pondok Pesantren
Modern Assa’adah ....................................................................... 49
A. Aspek-aspek Pemerolehan Bahasa Kedua ......................... 50
1. Latar Belakang Bahasa Santri ........................................ 52
xxii
2. Interaksi Edukatif Dalam Berbahasa Arab ..................... 62
3. Lingkungan Sosial Santri .............................................. 66
B. Kepribadian Ekstrovert-Introvert dan Pemerolehan
Bahasa Arab ....................................................................... 74
C. Framework Model Pemerolehan Bahasa Arab Bagi
Kepribadian Ekstrovert-Introvert ....................................... 81
Bab IV Implementasi Pemerolehan Bahasa Arab di Pondok
Pesantren Modern pada Santri Ekstrovert ............................. 85
A. Pemerolehan Bahasa Arab pada Santri Ekstrovert ............. 85
1. Risk-Taking ................................................................... 86
2. Motivational ................................................................. 91
3. Sociable ........................................................................ 98
B. Implementasi Keterampilan Berbicara dalam Membentuk
Bakat berbahasa pada Santri Ekstrovert ........................... 101
C. Program Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa Arab di
Pondok Pesantren Modern .............................................. 104
Bab V Penutup ............................................................................ 121
A. Kesimpulan ....................................................................... 121
B. Saran .............................................................................. 123
Daftar Pustaka ............................................................................ 125
Glossary ....................................................................................... 137
Indeks .......................................................................................... 141
Lampiran-lampiran ................................................................... 145
xxiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis-Jenis Mata Pelajaran Bahasa Arab........................ 63
Tabel 2. Motivasi Santri Angket Poin 1 ...................................... 94
Tabel 3. Motivasi Santri Angket Poin 2 ...................................... 95
Tabel 4. Motivasi Santri Angket Poin 3 ...................................... 95
Tabel 5. Motivasi Santri Angket Poin 4 ...................................... 96 Tabel 6. Motivasi Santri Angket Poin 5 ...................................... 97
Tabel 7. Kegiatan Pengembangan Keterampilan Berbicara ....... 102
Tabel 8. Perbedaan Antara Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa
Kedua .......................................................................... 107
Tabel 9. Motivasi Santri Angket Poin 5 .................................... 109
Tabel 10. Nilai Santri Ekstrovert-Introvert pada Program
Pengembangan Bahasa Arab ....................................... 116
Tabel 1. Respon Santri Ekstrovert-Introvert ............................. 117
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Proses Akuisisi Bahasa ............................................... 27
Gambar 2. Karikatur Language Acquisition Device .................... 28
Gambar 3. Grafik Latar Belakang Bahasa Santri ......................... 55
Gambar 4. Grafik Bahasa Untuk Komunikasi dengan Teman ...... 56
Gambar 5. Grafik Pemahaman Ibu tentang Bahasa arab .............. 58 Gambar 6. Grafik Pemahaman Ayah tentang Bahasa Arab. ......... 59
Gambar 7. Histigram Respon Santri Terhadap Lingkungan
Berbahasa Arab ......................................................... 70
Gambar 8.Histigram Respon Santri Ekstrovert Terhadap
Penciptaan Lingkungan Berbahasa Arab .................. 71
Gambar 9. Histigram Respon Santri Introvert terhadap Penciptaan
Lingkungan Berbahasa Arab ..................................... 72
Gambar 10.Histigram Test MBTI ............................................... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan fenomena sosial yang tidak dapat
terlepas dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Sejak
manusia ada, mereka telah belajar bahasa secara alamiah.
Khususnya bahasa keluarga yang diperlukannya untuk
berkomunikasi dengan orang sekelilingnya, artinya untuk dapat
hidup sebagai makhluk yang bermasyarakat (atau makhluk sosial).1
Pada awal abad 20, Ferdinand de Saussure seorang ahli lingustik
Swiss telah menjelaskan apa sebenarnya bahasa itu dan bagaimana
keadaan bahasa itu di dalam otak (psikologi). Dia memperkenalkan
konsep penting yang disebutnya sebagai langue (bahasa), parole
(bertutur) dan langage (ucapan).2
Pada hakikatnya, bahasa merupakan media untuk
menuangkan ide sekaligus menyampaikan pesan tertentu kepada
orang lain. Ide-ide tersebut bersumber dari intuisi, imajinasi, dan
pengalaman pribadi seorang pemakai bahasa. Bahasa punya hakikat
memengaruhi, menyampaikan sesuatu, menguasai, menaklukkan,
dan menundukan pelbagai ihwal ke dalam suatu universalisme.
1 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011), 30. Dalam sebuah makalah yang ditulis oleh
Agus Suherman Suryadimulya Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Padjadjaran tahun 2008 mengenai ―Analisis Teori Monitor Dalam
Akuisisi Bahasa Kedua” menjelaskan bahwa dalam proses perkembangan,
semua anak manusia yang normal paling sedikit memperoleh satu bahasa
alamiah, jelasnya setiap anak yang normal atau mengalami pertumbuhan yang
wajar memperoleh suatu bahasa yaitu bahasa pertama atau bahasa ibu dalam
tahun-tahun pertama kehidupannya di dunia. 2 De Saussure menegaskan bahwa objek kajian linguistic adalah langue,
sedangkan parole adalah objek kasian psikologi. Hal itu berarti bahwa apabila
kita ingin mengkaji bahasa secara tuntas dan cermat, selayaknya kita
menggabungkan kedua disiplin ilmu itu karena pada dasarnya segala sesuatu
yang ada pada bahasa itu bersifat psikologis. Lihat Vanda Hardinata, Dasar-
dasar Psikolinguistik, 10. Dalam e-book. Accesed: http://vanda.lecture.ub.ac.id
tgl 9 September 2013 12.48 WIB.
2
Melalui bahasa pula seseorang berpikir tentang kemungkinan-
kemungkinan, kualitas, hubungan, nilai, dan sebagainya sehingga
bahasa dapat dilihat sebagai cara kita mengalami dan memahami
kenyataan dan cara kenyataan tampil kepada kita.3
Dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab VII Pasal 33
mengenai Bahasa Pengantar bahwa 1. Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan
nasional, 2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu, 3.
Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada
satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan
berbahasa asing peserta didik.4
Bahasa Arab5 merupakan bahasa asing yang sudah lama
digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran.
Terutama di pondok pesantren modern, bahasa Arab bukan lagi
menjadi bahasa pengantar saja dalam proses pembelajaran, akan
tetapi bahasa Arab sudah dijadikan sebagai bahasa resmi dalam
melakukan komunikasi sehari-hari antar santri. Penguasaan bahasa
Arab bagi para santri menjadi hal yang penting. Hal ini dapat
3 Fathul Mujib, Rekonstruksi Pendidikan Bahasa Arab (Yogyakarta: PT
Bintang Pustaka Abadi, 2010), 4. 4 Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diunduh
http://www.slideshare.net/dipa_234/uu-sisdiknas tgl 9 September 2013 13.19
WIB. 5 Demikian yang dikatakan oleh T{u’aymah yang dikutip oleh Ghina
Fathanah bahwa bahasa asing selain bahasa Inggris menjadi penting. Penguasaan
bahasa asing selain bahasa Inggris, dalam hal ini bahasa Arab, merupakan hal
yang sangat mendesak. Banyak informasi ilmu pengetahuan baik di bidang
teknik, ilmu-ilmu murni, psikologi, maupun seni bersumber dari buku-buku
berbahasa Arab. Selain itu bahasa Arab merupakan sarana komunikasi dalam
pengembangan dunia pariwisata dan bisnis. Lihat Ghina Fathanah, ―Akuisisi
Bahasa Kedua, Studi Pada Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bandung‖
Tesis di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009, 1. Lihat juga Rushdi Ah{mad T{u’aymah, Ta’limu al-‘Arabiyah li Ghairi an-Na>t{iqi>na Biha>, Mana>hijuhu wa Asa>li>buhu, Ribat 1989, 13.
3
membantu mereka terhadap proses pemerolehan bahasa kedua
khususnya maupun dalam mempelajari cabang-cabang dari bahasa
Arab. Bagi kaum muslim, penguasaan bahasa Arab akan sangat
membantu dalam beribadah, seperti menunaikan ibadah haji.
Ketika membutuhkan sesuatu di Tanah Suci, Anda tidak perlu
bersusah-payah mencari penerjemah. Di samping itu, penguasaan
bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya—Nah{wu, S{arf,
Bala>ghah, Mant}iq, dan lain-lain—juga akan memudahkan kita
dalam memahami al-Qur‘an yang diturunkan dalam bahasa Arab.
Jika kita mengerti apa yang terkandung dalam al-Qur‘an, tentu
akan semakin terasa nikmat saat membacanya.6
Tujuan utama dalam pembelajaran bahasa yaitu untuk
memiliki kompetensi berbahasa, sehingga seseorang dapat
menggunakan bahasa itu untuk memenuhi kebutuhan dan
keperluan hidupnya. Pada prinsipnya, bahasa apapun merupakan
alat bersosialisasi bagi manusia sebagai makhluk sosial. Oleh
karena itu, keberhasilan membangun sosial dan komunikasi antar
sesama manusia selalu disebabkan dan dipengaruhi oleh faktor
bahasa.7
Pemerolehan bahasa asing/bahasa kedua berbeda dengan
pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua walau pun masih banyak
yang menggunakan kedua istilah tersebut secara bersamaan.
Skinner dan Barlow mengatakan, ―learning is a progressive
6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ―Sesungguhnya ketika Allah
menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah,
serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab,
maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam, kecuali
dengan bahasa Arab. Beliau juga mengatakan bahwa bahasa Arab memberi
pengaruh besar bagi kehidupan seorang muslim. Seorang muslim yang pandai
berbahasa Arab, akan sangat mudah memahami kitab-kitab klasik yang dikarang
oleh ulama-ulama terdahulu. Dengan begitu, penguasaan bahasa Arab akan
semakin menguatkan keimanannya. Muttaqin, ―Pentingnya Belajar Bahasa‖
dalam Majalah Gontor. Diunduh: http://www.majalahgontor.net, tgl 09
September 2013 12.56 WIB. 7 ‘Abdu al-‘Ali>m Ibra>hi>m, Muwajjih al-Fanny li Mudarrisi al-Lughah
al-‘Arabiyah (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, tt.), 48. Lihat juga Ghina Fathanah,
―Akuisisi Bahasa Kedua‖, 69.
4
behavior adaptation”, bahwa belajar itu merupakan suatu proses
adaptasi perilaku yang bersifat progresif.8 Sedangkan kebalikannya
Chomsky dengan konsep tata bahasa transformasional-generatif
mengatakan bahwa tingkah laku bahasa tidak dipengaruhi oleh
pemberian stimulus eksternal dan respon seperti yang dikatakan
oleh para behaviorisme.9 Akan tetapi yang mampu memikul
tanggung jawab tingkah laku bahasa hanyalah kemampuan
bawaan.10
Dalam penguasaan bahasa kedua, pembelajaran kosakata
merupakan hal yang sangat penting. Kemudian langkah pertama
dalam proses pemerolehan kosakata adalah membuat semacam
daftar kumpulan kosakata.11
Terlepas dari pembelajaran kosakata
dalam pemerolehan bahasa kedua seperti yang telah disampaikan di
atas bahwa kemampuan bawaan adalah faktor dari pemerolehan
bahasa atau disebut language acquisition (LA).12
Temuan yang diperoleh penulis tentang perkembangan
kebahasaan di salah satu Pondok Pesantren Modern di Serang
8 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, 29.
9 Behaviorisme adalah salah satu teori akuisisi bahasa yang mengatakan
bahwa peniruan sangat penting dalam mempelajari bahasa, teori ini juga
mengatakan bahwa mempelajari bahasa berhubungan dengan pembentukan
hubungan antara kegiatan stimulus respon dengan proses pengetahuannya. Aliran
ini dipelopori oleh B.F. Skinner. 10
Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, 51. 11
Schmitt seperti yang dikutip oleh Sara Leigh-Anne Hahn,
―Developing The English Language Vocabulary of Native Korean Speaking
Students Throught Guided Language Acquisition Design‖, A Dissertation of The
Department of Educational Leadership and The Graduate School of University
of Oregon in Partial Fulfillment of The Requirements for The Degree of Doctor
of Education, 2009, 19. Dalam disertasi tersebut dijelaskan bahwa sebuah kata
datang dari dua bentuk yaitu lisan dan tulisan. Nation seperti yang dikutip dalam
disertasi ini mengatakan bahwa mengetahui bentuk lisan (berbicara) berarti
pelajar bahasa kedua mampu mengenali kata tersebut saat ia berbicara dan
mampu mengekspresikan makna kata tersebut dalam pembicaraannya. Dan
mengetahui bentuk tulisan (menulis) berarti pelajar bahasa kedua mampu
mengenali kata saat ia sedang membaca dan mampu menggunakan kata tersebut
saat menulis dengan sewajarnya. Disetasi ini diunduh dari
https://scholarsbank.uoregon.edu tgl 16 Juni 2013 06.16 WIB. 12
Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, 51.
5
Banten mengalami kemerosotan yang cukup signifikan. Minat
terhadap kebahasaan di pondok tersebut dapat dikatakan hanya
berkisar 40%13
dibandingkan dengan minat terhadap pembelajaran
sains. Aktivitas kebahasaan di sana dilandasi karena adanya
punishment bagi pelanggar bahasa, sehingga kesadaran serta minat
akan berbahasa menjadi menurun.
Kita menyadari bahwa dalam dunia pendidikan atau
pembelajaran, banyak faktor yang dapat menunjang keberhasilan
pembelajaran serta peningkatan prestasi belajar siswa. Salah satu
yang menjadi faktor yang memiliki andil dalam pendidikan adalah
tugas yang diemban oleh seorang pendidik14
dalam mengetahui
karakteristik siswa atau pun kepribadiannya. Bagaimana pendidik
mampu untuk merancang sebuah pembelajaran dengan para siswa
yang memiliki kepribadian yang beragam serat karakteristik-
karakteristik yang berbeda. Pendidik perlu memperhatikan faktor-
faktor dalam pemerolehan bahasa terutama pemerolehan bahasa
kedua. Menurut Baradja terdapat enam faktor yang perlu
diperhatikan secara cermat, yaitu tujuan, kepribadian pembelajar,
pengajar, bahan, metode, dan faktor lingkungan. Meski demikian,
faktor tujuan, kepribadian pembelajar, dan pengajar merupakan tiga
faktor utama. Dari ketiga faktor ini kemampuanan berbahasa kedua
mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang menyangkut pembelajar
dan proses belajar. Pelajar atau siswa yang belajar bahasa, sebagai
faktor yang paling utama, terutama pada kepribadian mereka. Hal
13
Data yang diperoleh penulis dalam penelitian pendahuluan dengan
melakukan observasi terhadap aktivitas kebahasaan santri salah satu Pondok
Pesantren Modern di Serang Banten pada tanggal 26 Agustus 2013. Di mana
ditemukan kesalahan penulisan pada laporan kepanitian suatu kegiatan.
Penulisan Tie (dasi) ditulis seperti ini Tai. Dan kemampuan berbicara yang
masih terbata-bata sedangkan santri tersebut duduk di kelas Akhir kelas 6
setara dengan kelas XII SMA. Hal ini apakah disebabkan karena santri
tersebut ekstrovert-introvert atau kemampuan bahasanya yang kurang. 14
Pendidik atau pengajar ibarat seorang dokter. Oleh karena itu
pengajar harus mengenal persis apa yang terjadi pada pelajar sebelum perlakuan
tertentu diberikan. Untuk bisa melakukan itu, pengajar seyogyanya
menempatkan diri sebagai mitra belajar dan mitra berbahasa pelajar.
6
ini bertujuan untuk mengetahui dengan pasti mengapa kepribadian
mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua. Jawaban atas
pertanyaan ‗mengapa‖ inilah yang merupakan wujud tujuan belajar
bahasa kedua. Pengajar merupakan pihak yang membantu pelajar.
Dalam kondisi tertentu, kehadirannya dapat digantikan oleh buku
teks, tape recorder, film, atau yang lain.15
Melihat masalah tentang kepribadian, bahwa kepribadian
pelajar yang belajar bahasa terutama terhadap pemerolehan bahasa
kedua, dinilai sebagai faktor penting dalam proses pemerolehan
bahasa. Hal ini menuntut penyusunan bahan ajar dalam
pembelajaran bahasa kedua terhadap perbedaan kepribadian pelajar
yang belajar bahasa. Kepribadian yang banyak dikenal adalah
kepribadian ekstrovert dan introvert. Kepribadian ekstrovert
dianggap sebagai pembelajar bahasa yang baik, dikarenakan oleh
ciri kepribadian ekstrovert yang sociable, mereka lebih suka
berkumpul dan bergabung dengan banyak orang dan hal itu
digunakan untuk saling berkomunikasi satu sama lain.16
Kepribadian merupakan salah satu faktor penentu
kemampuan berbahasa kedua atau lebih tepatnya dalam
pemerolehan bahasa kedua. Seperti yang sudah dijelaskan dalam
teori Chomsky bahwa pemerolehan bahasa adalah bersifat bawaan
terlepas apakah ada pengaruh dari luar pribadi si pembelajar
bahasa. Kepribadian juga merupakan salah satu faktor individual
difference dalam mempelajari sebuah bahasa atau pun dalam
konteks pemerolehan bahasa.
Telah dikatakan di atas, bahwa dalam proses
perkembangan, semua anak manusia yang normal tanpa ada
gangguan apapun, paling sedikit memperoleh satu bahasa alamiah.
15
Vanda Hardinata, Dasar-dasar Psikolinguistik, 73. E-Book Diunduh
dari http://vanda.lecture.ub.ac.id/files/2013/05/psikolinguistik-vandaUB.pdf tgl
09 September 2013 12:48 WIB. 16
Cook dalam Zafar Shahila and Meenakshi, K., ―A Study on The
Relationship between Extroversion-Introversion and Risk-Taking in The Context
of Second Language Acquisition‖, International Journal of Research Studies in
Language Learning, 2012, Volume 1 Number 1, 34.
7
Dengan kata lain, setiap anak yang normal atau pertumbuhan
wajar, memperoleh satu bahasa yaitu bahasa pertama atau bahasa
asli (bahasa ibu) dalam tahun-tahun pertama kehidupannya di
dunia.17
Kemudian beberapa penelitian mengemukakan tentang
bahasa ibu membawa efek terhadap pemerolehan bahasa kedua.
Kita selalu mendengar pengaduan prihal aksen-aksen dalam bahasa
asing setiap hari; seorang berkebangsaan Prancis atau Jepang,
mereka dikatakan mampu berbicara bahasa Inggris, jika mampu
mengucapkan kata dalam bahasa Inggris walau hanya sekedarnya.
Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun sejak karya Weinreich
diterbitkan, telah banyak kajian yang cukup luas mengenai
bagaimana pembelajaran dan penggunaan bahasa kedua yang
dipengaruhi oleh bahasa pertama, apakah itu mengenai analisis
kontrastif, perpindahan suatu bahasa, pengaruh crosslinguistic atau
mengenai hal lain.18
Dalam teori akulturasi19
pemerolehan bahasa kedua
hanyalah merupakan salah satu aspek akulturasi dan tingkat
pengakulturasian seorang pelajar pada kelompok bahasa sasaran
akan mengambil tingkat pemerolehan bahasa-keduanya.
Akulturasi, dan juga pemerolehan bahasa kedua, ditentukan
17
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa (Bandung:
Angkasa, 2011 Edisi Revisi), 95. Lihat juga Agus Suherman Suryadimulya,
Analisis Teori Monitor Dalam Akuisisi Bahasa Kedua (Lembaga Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Padjadjaran tahun 2008). 18
Vivian Cook, Effect of The Second Language on The First,
Introduction: The Changing L1 in The L2 User’s Mind (Cromwell Press Ltd,
2003), 1. 19
a process in which changes in the language, culture, and system of
values of a group happen through interaction with another group with a different
language, culture, and system of values. For example, in second language
learning, acculturation may affect how well one group (e.g. a group of
immigrants in a country) learn the language of another (e.g. the dominant
group). Lihat Jack C. Ricahrd dan Ricahrd Schmidt, Dictionary of Language
Teaching & Applied Linguistics Fourth Edition, (Pearson, 2010), 5 – 6.
8
tingkat/taraf jarak sosial20
dan psikologis21
antara sang pelajar dan
kebudayaan bahasa kedua.22
Dengan adanya taraf psikologis yang
membahas tentang pribadia atau individu sang pelajar dalam hal ini
pembelajar bahasa, membuat pemerolehan bahasa menjadi semakin
menarik.
Seorang pelajar memiliki cara yang berbeda untuk dapat
beradaptasi dan memahami petunjuk khususnya dalam
pembelajaran bahasa. Robinson (2002) menyatakan bahwa setiap
individu dapat diklasifikasikan menjadi dua ranah yaitu ranah
kognitif, dan ranah afektif/konatif, di mana kemampuan kognitif
seperti kecerdasan, bakat pembelajaran bahasa, atau kapasitas atau
kecepatan mengingat berbeda dari kemampuan afektif/konatif
seperti rasa takut, motivasi, dan emosi dari satu individu.23
Berhubungan dengan cara yang berbeda dalam beradaptasi adalah
adanya faktor individu atau kepribadian seorang pelajar dalam
pembelajaran bahasa atau pun pemerolehan bahasa kedua.
Dalam hipotesis perbedaan pemerolehan dan belajar, orang
dewasa mempunyai dua cara24
yang berbeda, berdikari dan mandiri
mengenai pengembangan kompetensi dalam suatu bahasa kedua.25
Pemerolehan bahasa yang dilakukan secara tidak sadar, di mana
pemeroleh bahasa kedua menggunakan bahasa kedua sebagai alat
20
Jarak sosial merupakan akibat dari sejumlah faktor yang
mempengaruhi sang pelajar sebagai anggota kelompok sosial dalam kontaknya
dengan kelompok bahasa sasaran. 21
Jarak psikologis merupakan akibat dari berbagai faktor efektif yang
berkaitan dengan sang pelajar sebagai seorang pribadi, sebagai individu. 22
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, 205-206. 23
Irene Debora, ―Kepribadian Ekstrovert dan Introvert dalam Pelajaran
Bahasa Inggris‖, artikel di Pasca Sarjana Linguistik - Penagajaran Bahasa
Universitas Indonesia. 24
Cara yang pertama adalah pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa
biasanya merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu
sadar akan kenyataan bahwa mereka menggunakan bahasa untuk saling
berkomunikasi. Sedangkan cara yang kedua adalah dengan belajar bahasa.
Menggunakan istilah belajar karena memutuhkan proses sadar dengan mengacu
kepada pengetahuan sadar terhadap bahasa kedua. 25
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, 143-144.
9
komunikasi. Faktor ketidaksadaran itu sebenarnya dipengaruhi oleh
kepribadian seseorang dalam pemerolehan bahasa kedua dan
menggunakannya dalam berkomunikasi.
Selain temuan tentang kemerosotan bahasa yang terjadi di
pondok pesantren modern Assa‘adah, penulis juga melihat adanya
perbedaan kepribadian pada santri pondok pesantren modern
Assa‘adah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
pemerolehan bahasa Arab. Salah satu yang nampak pada perbedaan
tersebut adalah dari kemampuan berbicara santri antara santri
dengan kepribadian ekstrovert dan santri dengan kepribadian
introvert.
Atas dasar hal tersebut, tesis ini meneliti tentang implikasi
kepribadian ekstrovert pada santri terhadap proses pemerolehan
bahasa kedua lebih khususnya pemerolehan bahasa Arab.
Tesis ini mengupas proses pemerolehan bahasa Arab di
Pondok Pesantren Modern Assa‘adah dengan menggunakan
pendekatan psikolinguistik26
terhadap pola atau model pemerolehan
bahasa Arab di pondok pesantren tersebut ditinjau dari teori
behaviorisme, Nativisme dan teori pasca naturalistic. Hal ini
disebabkan karena penulis meyakini bahwa kepribadian seseorang
mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua terutama pada santri
dengan kepribadian ekstrovert dan pada akhirnya nanti dapat
disimpulkan bahwa semakin ekstrovert seseorang dapat
berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa Arab dan kemampuan
berbahasa Arab terutama terhadap kemampuan berbicara bahasa
Arab pada santri ekstrovert. Juga kepribadian tertentu memiliki
cara yang berbeda dalam akuisisi bahasa asing sehingga dapat
diimplementasikan dalam kemampuan berbahasa asing.
26
Levelt mengatakan bahwa psikolinguistik adalah studi mengenai
penggunaan bahasa dan perolehan bahasa oleh manusia. Lih Samsunuwiyati
Mar‘at, Psikolinguistik Suatu Pengantar (Bandung: PT Refika Aditama, 2011),
1.
10
B. Masalah Penelitian
A. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, masalah yang akan saya
teliti difokuskan pada menguji pemerolehan bahasa Arab secara
nature. Juga melihat pengaruh kepribadian terhadap
pemerolehan bahasa Arab yang fokus terhadap pemerolehan
keterampilan berbicara bahasa Arab.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pemerolehan bahasa
itu lebih bersifat nature. Begitu pula dalam pemerolehan bahasa
Arab yang bersifat nature, di mana seseorang sudah memiliki
piranti bahasa yang memungkinkan seseorang sudah memiliki
kemampuan berbahasa. Namun dalam pemerolehan bahasa Arab
pun perlu memperhatikan corak perbedaan individual seorang
pelajar yang mempelajari bahasa, salah satunya adalah
kepribadian (personality).
Berikut beberapa masalah yang diidentifikasi terutama
dalam hal pembelajaran dan pemerolehan bahasa Arab antara
lain (1) Pengaruh bahasa ibu dalam pemerolehan bahasa; (2)
Pengaruh lingkungan terhadap peningkatan kemampuan bahasa;
(3) Interaksi edukatif atau komunikasi antara guru dan siswa; (4)
Metode yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab; (5)
Media yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab; (6)
Perbedaan kepribadian siswa dalam pembelajaran dan
pemerolehan bahasa Arab; (7) kemampuan berbahasa Arab
dalam keterampilan berbicara.
B. Pembatasan Masalah
Melihat begitu luasnya permasalahan yang diidentifikasi,
maka jangkauan permasalahan seperti yang terurai di atas akan
lebih dibatasi. Jadi permasalahan dalam kajian ini dibatasi pada
sejauh mana kepribadian seorang pelajar yang mempelajari
bahasa Arab dapat mempengaruhi proses pemerolehan bahasa
Arab dan mengapa kepribadian tertentu berimplikasi terhadap
penguasaan keterampilan berbicara.
11
Objek penelitian ini dibatasi pada proses akuisisi bahasa
Arab yang terjadi di Pondok Pesantren Modern Assa‘adah.
Bahasa Arab dipilih oleh penulis dikarenakan sebagian banyak
dari materi yang diajarkan di Pondok Pesantren Modern
Umumnya dan khususnya di Pondok Pesantren Assa‘adah
adalah kajian-kajian keislaman dengan rujukan buku-buku
berbahasa Arab. Pondok Pesantren Modern Assa‘adah juga
termasuk salah satu pondok pesantren modern yang menetapkan
bahasa Arab sebagai bahasa kedua atau bahasa resmi yang
digunakan dalam komunikasi sehari-hari para santri. Akusisi
bahasa Arab yang akan dikaji akan dilihat dari sisi kepribadian
pembelajar bahasa.
C. Perumusan Masalah
Berlandaskan pada pembatasan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka masalah yang akan diteliti dapat
dirumuskan sebagai berikut mengapa kepribadian ekstrovert
berimplikasi terhadap pemerolehan bahasa kedua di pondok
pesantren modern terutama terhadap pemerolehan kemampuan
berbicara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah termaktub, maka penelitian
ini bertujuan untuk mengungkap implikasi kepribadian ekstrovert
terhadap pemerolehan bahasa Arab di pondok pesantren modern
Assa‘adah serta mampu mengimplementasikan hasil temuan
terhadap pengembangan pembelajaran bahasa Arab di pondok
pesantren modern Assa‘adah.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun secara praktis. Di bawah ini akan dipaparkan
tentang manfaat penelitian secara teoritis dan praktis:
12
1. Manfaat Penelitian Secara Teoritis
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang komprehensif tentang pemerolehan
bahasa asing/bahasa kedua terutama terhadap perdebatan
antara teori behaviorisme dan naturalistik. Penelitian
pemerolehan bahasa ini yang lebih mengarah kepada pelajar
yang mempelajari bahasa dalam artian kepada kepribadian
si pelajar bahasa diharapkan dapat memberikan wawasan
yang lebih luas lagi terhadap faktor kepribadian pelajar
yang belajar bahasa dalam pemerolehan bahasa kedua. Dan
implikasi dari penelitian ini adalah upaya untuk dapat
mendesain cara belajar sesuai dengan karakteristik dan
kepribadian para pelajar. Upaya ini direalisasikan dengan
pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Pondok
Pesantren Modern Assa‘adah. Khususnya pada
pemerolehan bahasa perspektif kepribadian pelajar yang
belajar bahasa Arab yang dijadikan sebagai objek kajian
dalam penelitian ini.
2. Manfaat Penelitian Secara Praktis
Sedangkan dari sisi praktis, bahwa penelitian ini dapat
memberikan masukan bagi Pondok Pesantren Modern
Assa‘adah, khususnya bagi para guru sebagai fasilitator
dalam pemerolehan bahasa anak. Sehingga pemahaman
guru terhadap kepribadian anak didiknya akan memberikan
kemudahan dalam menentukan strategi ataupun metode
dalam pembelajaran bahasa Arab. Sehingga acuannya tidak
lagi berorientasi kepada pencapaian nilai-nilai tertulis, akan
tetapi menjadi bekal bagi para siswa dalam berkompetensi
serta turuf aktif dalam dinamika permasalahan-
permasalahan dunia yang tidak dapat diprediksi
kepastiannya.
Di samping manfaat secara teoritis atau pun praktis bahwa
penelitian ini juga diharapkan dapat menarik para peneliti untuk
meneliti sejauh mana kepribadian pelajar bahasa mempengaruhi
13
akuisisi bahasa kedua mereka. Kemudian langkah apa yang akan
ditempuh dalam pembelajaran bahasa kedua melihat dari sisi
kepribadian pelajar. Agar kajian tentang akuisisi bahasa kedua
khususnya bahasa Arab menjadi lebih komprehensif.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian tentang akuisisi bahasa kedua sudah banyak
dilakukan, namun dari semua peneltian terdahulu belum banyak
yang mengkaji akuisisi bahasa arab sebagai bahasa kedua apalagi
yang dilakukan di pondok pesantren dengan menitik beratkan pada
perbedaan kepribadian pembelajar bahasa Arab. Namun demikian
sebagai bahan perbandingan dapat penulis himpun beberapa
penelitian terdahulu tentang akuisisi bahasa antara lain:
Penelitian yang dilakukan oleh Wakamoto, sebanyak 254
pelajar Jepang yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa
asing ikut berpartisipasi. Hasil dari penelitian itu mengatakan
bahwa kepribadian ekstrovert lebih memeiliki konektivitas yang
tinggi terhadap strategi pembelajaran bagi pelajar bahasa. Ia pun
melakukan survey terhadap para pelajar tingkat dasar dalam sebuah
kursus bahasa Inggris yang menyatakan tentang pemilihan
pembelajaran di sana serta menemukan tipe kepribadian
seseorang.27
Penelitian yang dilakukan oleh Fillmore yang
menghubungkan strategi-strategi sosial, seperti bergabunglah
dengan kelompok dan bertindaklah seolah-olah Anda mengerti dan
memahami apa yang sedang terjadi, meskipun Anda tidak mengerti
atau tidak memahami strategi-strategi kognitif anggaplah bahwa
apa yang dikatakan orang lain secara tidak langsung relevan
27
Zafar Shahila and Meenakshi, K., ―A Study on The Relationship
between Extroversion-Introversion and Risk-Taking in The Context of Second
Language Acquisition‖, 35.
14
dengan situasi yang ada, atau dengan apa yang mereka atau Anda
alami.28
Dalam sebuah penelitian tentang kepribadian ekstrovert
yang tidak cocok terhadap pembelajaran task-based learning di
dalam kelas yang diteliti oleh Reza Gholami, dkk., sebanyak 140
orang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa sebanyak 53,6% dari
angka populasi memiliki kepribadian ekstrovert dan tidak cocok
terhadap pembelajaran tersebut. Sedangkan sebanyak 46,4% dari
angka populasi memiliki kepribadian introvert. Dengan jumlah 75
partisipan berkepribadian ekstrovert dan 65 partisipan
berkepribadian introvert.29
Rossier30
pada tahun 1975 melakukan sebuah penelitian
tentang pengaruh kepribadian ekstrovert terhadap pembelajaran
bahasa Inggris di USA. Ia menguji hubungan antara ekstroversi-
introversi yang berkomunikasi dengan native speaker serta
kefasihan dalam berbicara bahasa Inggris. Ia menemukan hubungan
yang positif antara pelajara dengan kepribadian ekstrovert yang
diukur dengan Eysenck Personality Questionaire dan kefasihan
berbicara bahasa Inggris.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana
Linguistic – Pengajaran Bahasa Arab Universitas Indonesia tentang
―Kepribadian Ekstrovert dan Introvert dalam Pembelajaran Bahasa
28
Dalam hal ini ia menekankan pentingnya variasi individual antara
para pelajar dalam menerapkan strategi-strategi yang dilukiskannya sebagai
satuan tugas belajar suatu bahasa baru. Lihat Henry Guntur Tarigan, Pengajaran
Pemerolehan Bahasa, 171. 29
Reza Gholami, Reza Vaseghi, Hamed Barjasteh2, Noreen Nordin,
Extroversion is not a Benefit in a Task-Based Language Classroom (Singapore:
IACSIT Press, International Conference on Languages, Literature and
Linguistics IPEDR vol.26, 2011), 139. 30
Rossier dalam Yuan Martina Dinata, ―Pendekatan Berbasis Tugas,
Kepribadian Ekstrovert, dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab‖, Tesis di
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. 13. Rossier
menyimpulkan bahwa pelajar dengan kepribadian ekstrovert merupakan variable
yang signifikan yang mempengaruhi pembelajaran bahasa Inggris di USA.
15
Inggris‖ Irene Debora. Ia menyatakan bahwa setiap pembelajar
bahasa memiliki cara yang berbeda untuk beradaptasi dan
memahami petunjuk khususnya dalam pembelajaran bahasa. Ia pun
mengemukakan dalam kesimpulannya bahwa penelitian tentang
kepribadian ekstrovert itu lebih baik dalam pembelajaran bahasa
kedua dibandingkan dengan kepribadian introvert tidak lagi
komprehensif. Hal ini dikarenakan adanya temuan-temuan yang
menyatakan bahwa anak introvert juga dapat menerima dengan
baik terhadap pembelajaran bahasa.31
Seperti halnya yang
dilakukan oleh Michael Forney dengan kesimpulan yang sama
bahwa baik kepribadian ekstrovert ataupun introvert memiliki
kemampuan dalam pemerolehan bahasa kedua hanya caranya saja
yang berbeda.32
Menurut penelitian Ghina Fathonah dari Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa proses
pemerolehan bahasa kedua yang bersifat alami belum sepenuhnya
dapat diterima dan diterapkan di pesantren-pesantren modern. Hal
ini terkait dengan input pelajar yang masih lemah dalam menguasai
bahasa target itu sendiri dan juga para pelajar masih harus
mendapat reward dan punishment dalam meningkatkan kedisplinan
berbahasa. Selanjutnya penelitian ini pun menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa kedua yang berusaha menerapkan prinsip-
prinsip naturalistik lebih berhasil dibandingkan dengan sekolah
yang menerapkan prinsip behaviorisme mutlak.33
31
Irene Debora, ―Kepribadian Ekstrovert dan Introvert dalam Pelajaran
Bahasa Inggris‖, artikel di Pasca Sarjana Linguistik - Penagajaran Bahasa
Universitas Indonesia. 32
Michael Forney, ―Introverts and Extroverts: Close Encounters with
Communicators of a Different Kind‖, Article was accesed in
http://www.austincc.edu/colangelo/1318/Introverts-Extroverts.htm 06 september
2013 10.02 WIB. 33
Ghina Fathonah, ―Akuisisi Bahasa Kedua Studi Pada Pondok
Pesantren Modern di Kabupaten Bandung‖, Tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, 160-161.
16
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Karena penelitian ini dilakukan untuk dapat mengungkap
bagaimana proses akuisisi bahasa Arab pada pelajar ekstrovert
dan pelajar introvert di pondok pesantren modern, maka
penelitian ini dikategorikan dalam jenis kualitatif dengan
analisis deskriptif dengan melihat temuan-temuan yang didapat
di lapangan.
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa:
1. Data Primer, diperoleh dari sumber utama yaitu Pondok
Pesantren Modern Assa‘adah sebagai objek penelitian
berupa hasil angket, wawancara dan observasi tentang
proses pemerolehan bahasa Arab pada santri dengan
kepribadian introvert dan ekstrovert dan implikasinya
terhadap keterampilan berbicara di pesantren tersebut dan
dokumen-dokumen seperti arsip nilai, arsip peraturan
tentang pembelajaran bahasa Arab di pesantren yang
dimaksud, majalah, buletin yang dibuat dan diterbitkan oleh
pesantren yang dijadikan objek penelitian atau lainnya,
keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada teknik
pengumpulan data yang dibahas setelah penjelasan ini.
2. Data Sekunder, diperoleh dari berbagai sumber tertulis
(kepustakaan) baik laporan kajian-kajian terdahulu berupa:
disertasi, tesis, jurnal-jurnal, buku-buku, artikel, tulisan-
tulisan dalam bentuk cetakan atau elektronik yang berbicara
tentang tema yang sama; serta sumber dan data penunjang
lainnya.
17
3. Populasi dan Sampel
1. Populasi34
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh
santri di Pondok Pesantren Modern Assa‘adah Pasirmanggu
Cikeusal Serang Banten yang menetapkan bahasa Arab sebagai
bahasa kedua atau bahasa resmi dalam komunikasi sehari-hari.
Seluruh guru bahasa Arab dan pelajar (santri) yang berada di
pesantren tersebut adalah populasi yang menjadi subjek penelitian.
Peneliti akan menjadikan seluruh pembelajar bahasa Arab yang
berada dalam populasi sebagai sumber data penelitian untuk
melihat pola dan metode yang digunakan dalam proses
pemerolehan bahasa kedua mereka terutama dilihat dari sisi
kepribadian para pelajar bahasa Arab.
Dari populasi yang telah dipaparkan di atas, penulis
menetapkan populasi terjangkau adalah santri kelas 1 MMI Pondok
Pesantren Modern Assa‘adah Pasirmanggu Cikeusal Serang Banten
(setara dengan kelas 7 SMP) tahun ajaran 2013-2014 sejumlah 137
santri, sehingga pengambilan sampel didasarkan pada besarnya
populasi tersebut. Besarnya sampel ditentukan sebanyak 20% dari
sub populasi.35
Kelas I terdiri dari pembelajar setaraf dengan usia
34
Menurut Ary, et al., populasi adalah semua anggota sekelompok
orang, kejadian, atau objek yang telah dirumuskan secara jelas, atau kelompok
lebih besar yang menjadi sasaran generalisasi. Pandangan yang sama juga
dikemukanan oleh Ubaidat, et al. (1987), bahwa populasi penelitian adalah
sekumpulan individu yang diteliti. Pernyataan ini dipertegas oleh Ibnu, et all.
(2003), bahwa populasi adalah semua subjek atau objek sasaran penelitian. Lihat
Moch Ainin, Metodologi Penelitian Bahasa Arab (Malang: Hilal Pustaka, 2007),
92. 35
Penarikan sampel sebesar 20% ini didasarkan pada pendapat
Suharsimi Arikunto, bahwasanya besarnya sampel boleh ditentukan sebanyak
10%-15% atau 20%-25% jika seandainya jumlah populasi lebih dari 100. Akan
tetapi menurutnya jika populasi kurang dari 100 atau di bawah 100 maka sampel
yang diambil adalah sesuai dengan jumlah populasi. Lihat Suharsimi Arikunto,
Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2006), 134. Yu>suf al-‘Ani>z mengatakan bahwa penentuan sampel ditentukan
dengan besarnya jumlah populasi. Hal ini dimaskudkan untuk mempermudah
pelaksanaan penelitian. Lihat Yu>suf al-‘Ani>z wa al-A<kharu>n, Mana>hiju al-Tarbawi>y bayna al-Naz{riyah wa al-Tat{bi>q (Daulah Kuwait, 1999), 254.
18
SMP kelas VII yang baru masuk pesantren dengan latar belakang
meraka rata-rata lulusan SD. Artinya mereka masuk ke pesantren
dengan latar belakang tidak menguasai bahasa Arab secara
memadai. Serta dengan bekal kosong tentang pengetahuan bahasa
Arab. Hal ini berarti, bahwa mereka betul-betul baru mengenal
bahasa Arab pertama kalinya saat masuk pesantren. Walau pun
tidak dipungkiri mungkin sebagian kecil dari mereka ada yang
sudah mempelajarinya saat di SD karena adanya muatan lokal
bahasa Arab atau sekolah di madrasah diniyah.
2. Sampel
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Cluster Sampling didapat santri dengan kepribadian
ekstrovert dan introvert.36
Kemudian dilakukan purposive sampling
(sampel bertujuan) diperoleh 26 sampel yaitu 13 sampel dengan
kadar ekstroversi dominan dan 13 sampel dengan kadar introversi
yang dominan.37
Untuk mendapatkan 26 sampel dari 137 populasi terjangkau
dilakukan tes MBTI untuk melihat kadar ekstrovert-introvert pada
santri. Tes ini dilakukan dengan cara santri mengisi angket tes
MBTI untuk melihat kadar ekstrovert-introvert. Dari hasil tes
MBTI tersebut diambil 13 santri dengan kadar ekstrovert dominan
dan 13 santri dengan kadar introvert dominan sebagai sampel.
36
Puguh Suharso, Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Bisnis:
Pendekatan Filosofi dan Praktis (Jakarta: PT Indeks, 2009), 62. Jika desain
penelitian menggunakan metode deskriptif maka sampel yang digunakan adalah
minimal 10% populasi. Namun jika populasi relative kecil, maka penentuan
minimum sampel adalah 20% populasi. 37
Pemilihan sampel secara acak ini didasarkan pada suatu
pertimbangan, bahwa semua anggota populasi memiliki peluang (probability)
yang sama untuk menjadi anggota sampel. Lihat Moch Ainin, Metodologi
Penelitian Bahasa Arab (Malang: Hilal Pustaka, 2007), 99.
19
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data. Hal ini dilakukan agar semakin
banyak data yang dikumpulkan akan semakin membantu dalam
menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam penelitian ini,
antara lain adalah sebagai berikut:
Observasi
Observasi adalah sebuah proses pengumpulan data secara
terbuka (open-ended), informasi yang didapat pertama kali
dengan mengamati orang-orang dan tempat pada suatu
lokasi penelitian.38
Jenis observasi yang dilakukan adalah
observasi partisipatif, yaitu peneliti berada di lokasi yang
diamati, mengamati kegiatan-kegiatan yang berlangsung
serta terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.39
Cara ini
dilakukan untuk memperoleh data tentang: 1) Proses
Pemerolehan Bahasa; 2) Tingkah laku pembelajar bahasa;
dan 3) Aktivitas kebahasaan pada prilaku dengan
kepribadian ekstrovert-introvert.
Wawancara
Dalam buku Approaches to Social Research wawancara
dikenal dengan istilah ‖Verbal Reports”. Dijelaskan bahwa
verbal reports memberikan penjelasan-penjelasan yang
38
Spradley mengatakan bahwa ketika para pendidik mulai berfikir
tentang penelitian kualitatif, mereka selalu berpikir ke arah pengumpulan data di
sekolah-sekolah tertentu secara observasi. Tanpa ragu bahwa kegiatan observasi
menunjukkan bentuk dari pengumpulan data yang sering digunakan di mana
peneliti dapat memberikan asumsi yang berbeda sepanjang proses observasi itu
terjadi. Lihat John W. Creswell, Educational Research: Planning, Conducting,
and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (Pearson Prentice Hall,
2005), 211. 39
Obseravasi ini juga bisa disebut dengan pengamatan berperanserta
yaitu pengamat dalam hal ini menjadi anggota penuh dari kelompok yang
diamatinya. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2000), 127.
20
akurat secara sederhana dan global tentang latar belakang
suatu variabel seperti usia, jenis kelamin, status peperangan
atau pun pendidikan. Wawancara atau verbal reports juga
dapat digunakan untuk penelitian subjektif seperti ilmu
pengetahuan, kepercayaan, tingkah laku, perasaan dan
pendapat.40
Dalam penelitian ini, penulis melakukan
wawancara mengenai segala aspek yang berkenaan dengan
akuisisi bahasa, perbedaan kepribadaian yang terjadi pada
pembelajar bahasa, proses pembelajaran bahasa kedua serta
aktivitas-aktivitas kebahasaan di Pondok Pesantren Modern.
Wawancara ditujukan kepada Pimpinan Pesantren, Kepala
Sekolah/Madrasah, 1 Guru bidang studi mata pelajaran
bahasa Arab kelas I MMI, bagian pengembangan bahasa
sebanyak 5 guru dan Pembelajar (santri) sesuai dengna
sampel yang telah ditentukan.
Proses wawancara berlangsung atau dilaksanakan di luar
waktu jam belajar, sekira pukul 16.00 atau pukul 20.00.
wawancara yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk
mengumpulkan data serta informasi terkait pembelajaran
bahasa asing khususnya bahasa Arab, kendala yang
ditemukan dalam peningkatan kemampuan berbahasa santri
serta strategi-strategi dalam meningkatkan kemampuan
bahasa asing santri.
Kueisioner/Angket
Dalam penelitian ini, penggunaan kuesioner dipilih sebagai
metode yang tepat untuk mengumpulkan data.41
Kuesioner
/angket dalam penelitian ini terdiri dari beberapa item yang
40
Royce A. Singleton, Jr. and Bruce C. Straits, Approaches to Social
Research third edition (New York: Oxford University Press, 1999), 105. 41
Pemilihan kueisioner/angket sebagai metode untuk mengumpulkan
data karena mempunyai banyak kebaikan sebagai instrument pengumpul data,
tentu dengan cara dan pengadaan yang mengikuti persyaratan yang telah
dihariskan dalam penelitian. Lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 224.
21
terbagi ke dalam bagian-bagian yang sesuai dengan
indikator-indikator, antara lain:
1. Data umum
2. Latar belakang pendidikan dasar santri
3. Kepribadian pelajar (santri) yang belajar bahasa Arab
4. Kemampuan dalam pembelajaran bahasa Arab
5. Test MBTI42
Seluruh item dalam angket tersebut dinyatakan dengan
kalimat pernyataan, respon atau jawaban menggunakan
skala pernyataan setuju, netral dan tidak setuju.
Dokumen-dokumen
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data dari sumber
yang berupa dokumen-dokumen tentang pesantren, kajian-
kajian terdahulu yang relevan berupa: disertasi, tesis, jurnal-
jurnal, juga tulisan-tulisan para ahli yang tertuang dalam
buku-buku, koran-koran, majalah-majalah baik berbentuk
cetak atau elektronik yang berbicara tentang tema yang
sama; juga dapat berupa dokumen-dokumen berupa
majalah, bulletin, buku data siswa, buku disiplin, pedoman
pembelajaran serta laopran kegiatan yang dibuat dan
diterbitkan oleh pesantren tersebut atau lainnya. Serta
sumber dan data penunjang lainnya.
5. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis.
Pengolahan data dilakukan melalui analisis kualitatif dengan
mengkategorikan temuan sesuai ciri dan makna. Untuk
42
Carl Gustav Jung menjabarkan tentang kepribadian manusia yang
introvert dan extrovert, kemudian Katharine Cook Briggs dan anak
perempuannya yang bernama Isabel Briggs Myers mengembangkan teori Jung
ini dan dinamakan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). diunduh dari
http://www.yaminsetiawan.com/cgi-bin/test05.pl tgl 9 September 2013 13.39
WIB, beserta instrument test MBTI.
22
memperoleh tingkat kesahihan data atau informasi digunakan
teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding.43
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah descriptive-analysis dan descriptive-comparative, yaitu
mendeskripsikan temuan-temuan tentang pemerolehan bahasa yang
meliputi proses pembelajaran di dalam kelas serta aktifitas-aktifitas
kebahasan di luar kelas yaitu di lingkungan Pondok Pesantren
Modern Assa‘adah. Kemudian dianalisis secara komparatif, yaitu
suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh tentang dua
kepribadian pada pembelajar bahasa kedua, kemudian
dibandingkan dan dikembangkan pola-pola hubungan tertentu. Dari
pola-pola hubungan itu diambil kesimpulan tentang pemerolehan
bahasa Arab di Pondok Pesantren Modern Assa‘adah dan diketahui
strategi dan teknik dalam pembelajaran bahasa Arab terhadap
kepribadian tertentu dalam pemerolehan bahasa Arab.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, maka penulis menyusun
penelitian ini dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang akan
menjelaskan latar belakang serta alasan pemilihan tema dalam
penelitian ini. Lebih rinci diuraikan identifikasi masalah, rumusan
masalah, pembatasan masalah serta tujuan dan manfaat penelitian
ini, dan dijelaskan pula metodologi serta langkah-langkah
penelitian yang akan dilakukan.
Bab kedua akan menjabarkan tentang perdebatan-
perdebatan mengenai pemerolehan bahasa perspektif teoretis.
Pembahasan di mulai dengan kajian tentang teori pembiasaan oleh
Skinner dan kompetensi linguistic oleh Chomsky dalam akuisisi
43
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), 178.
23
bahasa, kaitannya dengan keribadian pembelajar bahasa dan tes
indikator kepribadian dalam pemerolehan bahasa kedua. Bab ini
merupakan kajian-kajian teoretis mengenai pemerolehan bahasa
dilihat dari sisi kepribadian seorang pembelajar bahasa.
Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai proses
pemerolehan bahasa Arab di Pondok Pesantren Modern, yang akan
dijabarkan melalui aspek-aspek Pemerolehan Bahasa Kedua, Latar
Belakang Bahasa Santri, Interaksi Edukatif dalam Berbahasa Arab,
Lingkungan Sosial Santri, Kepribadian Ekstrovert-Introvert dan
Pemerolehan Bahasa Arab, dan Framework Model Pemerolehan
Bahasa Arab Bagi Kepribadian Ekstrovert-Introvert.
Bab keempat merupakan tujuan utama dari penelitian ini,
yaitu implementasi pemerolehan bahasa Arab di pondok pesantren
modern pada santri ekstrovert yang meliputi pembahasan tentang
pemerolehan bahasa Arab pada santri ekstrovert, implementasi
keterampilan berbicara dalam membentuk bakat berbahasa pada
santri ekstrovert dan program pembelajaran dan pemerolehan
bahasa Arab di pondok pesantren modern.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
saran serta rekomendasi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik
untuk mengkaji tema pada penelitian ini lebih dalam.
24
25
BAB II
PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
PERSPEKTIF TEORETIS
Para ahli linguistik mengemukakan bahwa banyak faktor-
faktor yang mempengaruhi proses akuisisi bahasa kedua,
diantaranya adalah aspek kepribadian seseorang. Untuk itu bab II
ini merupakan penjelasan teori-teori tentang pemerolehan bahasa,
pembiasaan operan dan kompetensi linguistik, serta corak
kepribadian dalam pemerolehan bahasa dan alat ukur kepribadian
sebagai kerangka acuan dalam penelitian ini untuk mengkaji
bagaimana proses akuisisi bahasa kedua terjadi, serta perdebatan
yang terjadi di kalangan linguis.
A. Pembiasaan Operan dan Kompetensi Linguistik dalam
Akuisisi Bahasa
Peneliti SLA (Second Language Acquisition) telah
meminjam ide dari berbagai sumber yang berbeda (antara lain,
linguistik, psikologi, pendidikan, sosiologi). Akibatnya, studi SLA
dapat dipahami sebagai bidang interdisipliner yang berusaha untuk
menjelaskan tentang faktor-faktor dari disiplin ilmu psikolinguistik
yang begitu luas, kemudian ilmu sosiolinguistik, atau pun
neurobiologis yang mempengaruhi akuisisi bahasa kedua, begitu
pula pada bahasa komunikasi antar anak atau pelajar dewasa.
Berbagai isu yang berpotensi berada di bawah lingkup SLA
Penelitian ini akibatnya sangat besar, meliputi domain dari kedua
kompetensi linguistik dan komunikatif.1
Akuisisi bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa.
Perbedaan tersebut disebabkan akuisisi bahasa baik itu akuisisi
bahasa kedua atapun akuisisi bahasa pertama semuanya didapat
1 Numa Markee, Conversation Analysis Second Language Acquisition
Research, (Lawrence Erlbaum Associates, Inc, 2000), 5.
26
secara tidak sengaja.2 Krashen
3 mengungkapkan bahwa orang
dewasa mempunyai dua cara yang berbeda mengenai
pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, akuisisi
bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak
mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka.
Akuisisi bahasa merupakan proses bawah sadar. Pada pemerolehan
bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai
bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan
kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar
bahasa. Akan tetapi ada hipotesis akuisisi belajar yang menuntut
bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan
memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber.4
Berbicara mengenai akuisisi bahasa, tidak terlepas dari
perlengkapan pemerolehan atau acquisition device, yang
merupakan perlengkapan hipotesis berdasarkan input data linguistic
primer dari suatu bahasa, yang menghasilkan suatu output yang
terdiri atas suatu tata bahasa adekuat secara deskriptif terhadap
bahasa tersebut. Lihat gambar 1.5
2 Ghina Fatonah, “Akuisisi Bahasa Kedua Studi Pada Pondok Pesantren
Modern di Kabupaten Bandung”, Tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009, 27. 3 Stephen D Krashen, Second Language Acquisition and Second
Language Learning (Pergamon Press Inc, 1981), 2. Dikutip oleh Ghina Fatonah,
“Akuisisi Bahasa Kedua Studi Pada Pondok Pesantren Modern di Kabupaten
Bandung”, 27. 4 Stephen D Krashen, Second Language Acquisition and Second
Language Learning (Pergamon Press Inc, 1981), 100. Dikutip oleh Ghina
Fatonah, “Akuisisi Bahasa Kedua Studi Pada Pondok Pesantren Modern di
Kabupaten Bandung”, 27. 5 Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik (Bandung: Angkasa, 2009),
Edisi Revisi, 227.
27
Gambar 1
Krashen berpendapat bahwa akuisisi bahasa kedua tidak
dapat dilaksanakan dalam situasi formal dalam artian proses
akuisisi berlangsung tidak seperti proses pembelajaran.6 Proses
akuisisi ini hanya dapat dicapai dengan menggunakan bahasa target
dalam komunikasi. Karena menurutnya pendidikan formal hanya
berfungsi sebagai monitor terhadap kaidah-kaidah bahasa yang
dipelajarinya. Selanjutnya Krashen dan Terrel pun membedakan
antara proses akuisisi bahasa kedua dan pembelajaran bahasa kedua
dalam tabel di bawah ini:
Chomsky berpendapat bahwa pada dasarnya manusia
memiliki bagian yang disebut dengan faculties of the mind atau
disebut dengan “kapling-kapling intelektual”. Salah satu kapling
tersebut adalah untuk bahasa.7 Chomsky juga menyebutkan bahwa
manusia memiliki kapling kodrati yang dibawa sejak lahir yang
dinamakan LAD (Language Acquisition Device).8
Aitchison9 menggambarkan LAD dengan karikatur sebagai
berikut (seperti yang dikutip oleh Soenjono):
6 Stephen D Krashen, Second Language Acquisition and Second
Language Learning, 41. 7 Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 232. 8 Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
232. 9 Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
233.
Data Linguistik Primer/Utama
Perlengkapan pemerolehan bahasa (acquisition device)
Tata-Bahasa (Grammar) bahasa
tersebut
28
Gambar 2. Language Acquisition Device
Manusia di mana pun juga pasti akan dapat menguasai, atau
lebih tepatnya memperoleh, bahasa asalkan dia tumbuh dalam
suatu masyarakat. Hal ini lah yang menjadi perdebatan di antara
para ahli linguis. Mereka mempermasalahkan apakah kemampuan
memperoleh bahasa itu bersifat nurture atau nature?10
Di bawah ini
akan dijelaskan mengenai teori pembiasaan dari Skinner yang
menyatakan bahwa kemampuan memperoleh bahasa itu bersifat
nurture dan yang kedua mengenai teori kompetensi linguistic
dipelopori oleh Chomsky yang menolak teori yang dibawa Skinner.
Ia menyatakan bahwa kemampuan memperoleh bahasa bersifat
nature
.
1. Pembiasaan Operan dari Skinner
Pembiasaan operan dikembangkan oleh B.F. Skinner pada
sekira pertengahan abad ke-20.11
Pembiasaan operan atau juga
disebut dengan persyaratan instrumental yang dipelopori oleh
Skinner menyatakan bahwa adanya penekanan pada hubungan dua
10
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 234. 11
Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, 114.
29
kesatuan tingkah laku. Ia mengatakan bahwa adanya penambahan
frekuensi serta intensitas dari kesatuan tingkah laku, jika diberi
imbalan atau hadiah. Semakin besar imbalan atau hadiah yang
diberikan maka akan berpengaruh terhadap tingkah laku suatu
organism dan frekuensi serta intensitas tingkah laku akan lebih
besar dibandingkan dengan yang sebenarnya dihasilkan.12
Pernyataan Skinner yang menyatakan bahwa imbalan atau
hadiah tersebut dapat mempengaruhi frekuensi dan intensitas suatu
response menjadi lebih besar disebut dengan “hukum pengaruh”
(law of effect).13
Teori tentang pembiasaan ini lahir dari suatu
percobaan yang dilakukan oleh Skinner terhadap seekor tikus.
Percobaan yang dimaksud adalah terhadap seekor tikus yang ia
letakkan dalam sebuah kandang kecil yang berjeruji besi.
Kemudian di dalam kandang tersebut ia melatakkan dua buah
tongkat pengungkit dan di atas punggung kandang ia meletakkan
dua buah mangkuk. Mangkuk pertama ia isi dengan makanan dan
mangkuk kedua ia isi dengan bedak gatal. Jika tikus itu menginjak
tongkat pengungkit yang pertama maka tikus tersebut akan
mendapatkan makanan, namun jika tikus itu menginjak tongkat
oengungkit kedua maka tikus tersebut akan terkena bedak gatal.
Dari percobaan itu, tikus mampu belajar dari pengalaman setelah ia
mencoba menginjak kedua tongkat di dalam kandang dan setelah
itu tikus tersebut selalu menginjak tongkat pertama dan akan
mendapatkan makanan. Tikus tersebut tidak lagi menginjak tongkat
kedua yang berisi bedak gatal.14
berdasarkan percobaan ini Skinner
menetapkan dan mengakui adanya penguatan.15
Hasil percobaan yang dilakukan oleh Skinner, ia
mnyimpulkan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk
12
Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, 114. 13
Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, 115. 14
Lihat Ghina Fathonah, “Akuisisi Bahasa Kedua”, Tesis di Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. 32-33. 15
Fuad Abd Hamid, Proses Belajar Mengajar, 14. Seperti yang dikutip
oleh Ghina, “Akuisisi Bahasa Kedua”, 33.
30
kedalamnya pengetahuan penggunaan bahasa, didasarkan adanya
stimulus (dorongan), yang kemudian diikuti oleh respon. Hadiah
atau stimulus pada dasarnya adalah hasil yang akan didapat setelah
menerima respon tersebut. Jika respon yang diterima benar maka
diberi hadiah, namun jika responnya salah maka dihukum.16
Skinner sebagai pelopor modern dalam pandangan ini,
menjelaskan bahwa percobaan yang dilakukan pada seekor tikus
tersebut adalah membuat sebuah kebiasaan melalui proses
pengulangan.17
Hal ini yang kemudian oleh Skinner disamakan
dengan pemerolehan bahasa pada manusia. Ia memandang bahwa
bahasa tidak lain hanyalah merupakan seperangkat kebiasaan.
Kebiasaan tersebut menurutnya tidak dapat dilakukan tanpa melalui
proses latihan yang bertubi-tubi atau dengan melakukan
pengulangan.18
Ali Muhammad Khauly mengatakan—seperti yang dikutip
oleh Ghina, bahwa istilah stimulus mengacu pada semua hal atau
perubahan yang ada pada lingkungan. Stimulus dapat tercipta dari
luar organisme (external stimulus), misalnya suara keras, suara
manusia, ujaran atau sinar. Stimulus juga dapat tercipta dari dalam
organism (internal stimulus), seperti rasa lapar, atau keinginan
untuk makan atau bahkan keinginan untuk berbicara.19
Tidak jauh
dengan stimulus, respon pun bisa berupa respon dari luar
(eksternal) atau pun respon dari dalam (internal).20
Skinner menganut paham behaviorisme radikal. Ia dikenal
banyak orang awam karena teorinya yang telah berusaha
menghubungkan prinsip-prinsip persyaratan instrumental dengan
16
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 235. 17
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 235. 18
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 235. 19
Ghina, “Akusisi Bahasa Kedua”, 35. 20
Rod Ellis dalam Ghina, “Akuisisi Bahasa Kedua”, 35.
31
bahasa manusia.21
Behavioris mengatakan bahwa setiap tingkah
laku yang diikuti oleh stimulus yang intens memungkinkan
terjadinya peningkatan perilaku di masa depan. Dan sebaliknya jika
setiap tingkah laku yang tidak diikuti dengan stimulus sebagai
penguat, memungkinkah terjadinya penurunan perilaku di masa
depan.22
Kaum Behaviorisme berpandangan bahwa bahasa adalah
bagian penting dari keseluruhan tingkah laku manusia. Kaum
Behaviorisme menamakan bahasa sebagai perilaku verbal (verbal
behavior). Para pakar aliran ini memusatkan perhatian mereka pada
aspek-aspek bahasa yang kasat mata—nampak terlihat oleh mata,
yang dapat diamati, sehingga data mereka adalah berupa ujaran-
ujaran tersebut untuk membangun teori akuisisi bahasa.23
Menurut
Skinner, setiap ujaran mengikuti satu bentuk yang bersifat verbal
dan non verbal.24
Seluruh sistem Skinner didasarkan pada pengkondisian
operan atau pembiasaan operan. Dalam teorinya, organisme berada
pada proses "operating" pada lingkungan, yang dalam istilah biasa
berarti itu terpental sekitar dunianya. Selama ini "operating", suatu
organisme berada dalam jenis khusus dari sebuah stimulus, yang
disebut reinforcing stimulus, atau dapat disebut dengan reinforce
atau penguat. Stimulus khusus ini memiliki efek meningkatkan
operan tersebut, yaitu, perilaku yang terjadi sebelum penguat
tersebut. Ini yang disebut dengan pengkondisian operan: "perilaku
diikuti oleh konsekuensinya, dan sifat konsekuensi memodifikasi
kecenderungan organisme untuk mengulang perilaku di masa
depan".25
Shalah „Abdul Majid—yang dikutip oleh Ghina,
mengungkapkan bahwa ada tiga konsep penting dalam teori
21
Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, 117. 22
C. George Boeree, B.F. Skinner Personality Theories, 4 23
Ghina, “Akusisi Bahasa Kedua”, 34. 24
Ghina, “Akusisi Bahasa Kedua”, 34. 25
C. George Boeree, B.F. Skinner Personality Theories, 4
32
Behaviorisme yang dianut oleh Skinner yaitu rangsangan
(stimulus) disimbolkan dengan huruf S, tanggapan atau respon
(response) yang disimbolkan dengan huruf R, dan penguatan
(reinforcement) dengan symbol P.26
akan tetapi menurut Skinner,
konsep penting dalam belajar bahasa adalah stimulus-respon,
penguatan, ulangan, dan tiruan27
Brady dan Conrad (1960) secara eksplisit membandingkan
penekanan pada respon atau tanggapan yang diperkuat oleh respon
dari beberapa stimulus yang berasal dari system limbic seperti
halnya air (tikus), susu (kucing), atau pellet gula (monyet).28
Dari paparan di atas tersebut nampak jelas bahwa yang
menjadi dasar dari teori pembiasaan operan adalah adanya
stimulus, respon dan penguatan. Stimulus merupakan hasil yang
akan didapat dari respon suatu organisme. Belajar adalah
kecenderungan Stimulus tertentu yang akan menghasilkan respon
tertentu.29
Jika respon baik maka stimulus yang didapat akan baik
pula. Akan tetapi jika respon salah maka stimuls yang dihasilkan
adalah berupa hukuman.30
Jadi pada dasarnya menurut Skinner
dalam teori pembiasaan operan ini menyatakan bahwa manusia
berbahasa bukan karena adanya LAD atau bawaan setiap manusia
akan tetapi proses pengkondisian suatu organisme akan membentuk
sebuah kebiasaan terhadap suatu tingkah laku juga dalam
berbahasa.31
26
Ghina,”Akusisi Bahasa Kedua”, 34. 27
B.F. Skinner dalam Douglas H. Brown, Principle of Language
Learning and Language Teaching, 22. Dikutip juga oleh Ghina, “Akusisi Bahasa
Kedua‟, 34. 28
Wendow W. Henton, Iver H. Iversen, Classical Conditioning and
Operant Conditioning A Response Pattern Analysis, (New York: Springer-
Verlag, 1978), 45. 29
Ghina, “Akusisi Bahasa Kedua”, 35. 30
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 235. 31
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Edisi Ketiga, 235.
33
2. Kompetensi Linguistik
Berbeda dengan teori Skinner yang menganggap bahwa
manusia tidak memiliki bawaan sejak lahir hanya pembiasaanlah
yang membentuk tingkah laku manusia, dan pentingnya stimulus
eksternal dalam pembelajaran, pada bagian ini akan dibahas
mengenai kompetensi linguistic dalam proses akuisisi bahasa yang
dipelopori oleh Noam Chomsky.
Chomsky menganggap Skinner keliru dalam memahami
kodrat bahasa. Menurutnya bahasa bukanlah suatu kebiasaan yang
dibentuk dengan cara pengulangan dan penguatan. Akan tetapi
bahasa adalah suatu system yang diatur oleh seperangkat peraturan
(rule-governed). Bahasa juga menurutnya adalah kreatif dan
memiliki ketergantungan struktur. Kedua kodrat ini hanya dimiliki
oleh manusia. Tidak bisa disamakan dengan pengkondisian
terhadap hewan atau pembiasaan yang sudah dilakukan oleh dua
tokoh behaviorisme Skinner dan Pavlov.32
Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada
akhir er 1950-an, Chomsky yang merupakan penganut aliran
nativisme menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa
akuisisi bahasa dipengaruhi oleh lingkungan. Ia berpendapat bahwa
akuisisi bahasa itu dipengaruhi oleh nature bukan lingkungan. Hal
ini menurutnya disebabkan oleh bawaan atau sebuah alat yang telah
dibekali kepada manusia sejak ia lahir.33
Menurut pandangan nativist34
bahwa akuisisi berasal dari
interaksi antara faktor bawaan dan lingkungan (nature dan nurture).
Bahasa menurut mereka tidak dipelajari. Akan tetapi dalam kondisi
normal, hal ini dipandang penting pada waktu tertentu, asalkan
32
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
236. Chomsky juga menambahkan bahwa menyamakan tikus atau anjing dalam
memperoleh pengetahuan dengan kemampuan manusia dalam memperoleh
bahasa adalah cara yang terlalu menyederhanakan fakta. 33
Maria T Guasti, Language Acquisition The Growth of Grammar,
(London: A Bradford Book The MIT Press Cambridge, 2002), 17. 34
Maria T Guasti, Language Acquisition The Growth of Grammar, 18.
34
anak-anak belajar bahasa lisan atau bahasa tulisan. Mereka harus
mempelajari kata demi kata dari bahasa yang dipelajari, begitu pula
leksicon-nya. Mereka juga harus pandai meniru dari keteraturan
bahasa mereka dan bagaimana alat bawaan mereka terbentuk dan
digunakan dalam lingkungan linguistic mereka.
Chomsky menuturkan bahwa anak memperoleh bahasa itu
bukan seperti piring kosong, tabula rasa, ia memperoleh bahasa
sama seperti mereka memperoleh kemampuan untuk berdiri dan
berjalan. Ia telah dibekali dengan sebuah alat yang pada
pembahasan di atas disebut dengan LAD (language acquisition
device) atau piranti pemerolehan bahasa.35
Selain itu ada pula yang dilancarkan oleh para nativist
dalam membantah atau tidak setuju dengan teori Skinner adalah
berhubungan dengan bahasa itu sendiri. Menurut mereka bahasa
merupakan sesuatu yang hanya dimiliki oleh manusia seperti
ujaran-ujaran dan tidak dimilki oleh hewan sebab bahasa
merupakan system yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan
tergantung pada struktur.36
Toeri kompetensi linguistik, dianggap sebagai teori linguis
mengenai pengetahuan linguistic.37
Chomsky mengatakan bahwa
teorinya tentang bahasa itu mengubah linguistic menjadi suatu
cabang psikologi kogniitf.38
. Chomsky—seperti yang dikutip oleh
Ghina, menyatakan bahwa jika anak-anak tidak memiliki sifat
bawaan pengetahuan bahasa, bagaimana mereka untuk memperoleh
tata bahasa dari input kebahasaan yang mereka terima.39
Dasar dari teori Chomsky adalah bahwa teori bahasa harus
menjadi teori kompetensi agar linguis mencoba untuk
mengkategorikan jumlah intfinite variabel kinerja yang tidak
35
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
236. 36
Brwon dalam Ghina, “Akuisisi Bahasa Kedua”, 36. 37
Henry G. Tarigan, Psikolinguistik, 130. 38
Henry G. Tarigan, Psikolinguistik, 130. 39
Martyn Barret dalam Ghina, “Akuisisi Bahasa Kedua”, 38.
35
mencerminkan kemampuan linguistik yang mendasari pembicara-
pendengar.40
Chomsky juga menganggap bahwa bahasa merupakan
sesuatu yang kompleks, sebuah system aturan yang abstrak, dan
Chomsky beranggapan bahwa pekerjaan teori pemerolehan bahasa
adalah untuk menggambarkan sebuah system pengetahuan dan
digunakan untuk menjelaskan bagaimana bahasa itu diperoleh. Itu
lah yang biasa menjadi pertanyaan bagi Chomsky yang ia sebut
dengan aspek kreatif bahasa (the creative aspect of language),
kemampuan orang normal untuk menghasilkan ujaran yang sesuai
dengan situasi yang dialaminya dan cukup baru untuk
memahaminya ketika orang lain melakukannya.41
Chomsky dianggap pencetus gagasan kompetensi linguistik,
ia mengaitkan pengetahuan pembicara yang ideal dengan struktur
gramatikal bahasa nya. Chomsky menulis: ''teori linguistik pada
dasarnya bersangkutan dengan pembiacara-pendengar yang ideal,
dalam ujuran homogenitas, siapa yang tahu apakah bahasa yang
digunakan sudah sempurna atau salah oleh kondisi tata bahasa yang
tidak relevan seperti sebagai keterbatasan memori, gangguan,
pergeseran perhatian dan minat, dan kesalahan (acak atau
karakteristik) dalam menerapkan pengetahuannya tentang bahasa
dalam kinerja aktual''.42
Bagian yang sukar sebenarnya dalam teori Chomsky adalah
menemukan secara tepat apa sebenarnya bakat atau bawaan
(innate) itu.43
Ali Muhammad Khauli—dikutip oleh Ghina,
mengatakan bahwa istilah innate atau bawaan merupakan istilah
kompleks yang memiliki banyak arti dan membuka peluang
40
Brown, Principle of Language Learning and Teaching, 44. 41
Geoff Jordan, Theory Construction in Second Language Acquisition,
(Amsterdam: John Benjamins, 2004), 6. 42
Marysia Johnson, A Philosophy of Second Language Acquisition,
(London: Yale University Press, 2004), 86. 43
Vanda Herdinata, Dasar-Dasar Psikolinguistik, 35. E-Book.
Accesed: http://vanda.lecture.ub.ac.id/files/2013/05/psikolinguistik-vandaUB.pdf
pada tanggal 9 September 2013 12.48 WIB.
36
misinterpretasi.44
Oleh karena itu, tidaklah tepat beranggapan
bahwa semua kelompok nativist mengklaim sifat bawaan ini
berlaku dalam berbagai bidang keilmuan seperti pragmatic,
fonologi, leksikon, dan tata bahasa secara sejajar.45
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
innate atau bawaan yang dimaksud oleh para nativist disebut oleh
Chomsky dengan teori kompetensi linguistic.46
B. Corak Kepribadian dalam Akuisisi Bahasa Kedua
Kepribadian47
berasal dari kata pribadi dengan imbuhan ke-
an48
. Kepribadian dalam bahasa Arab disamakan dengan kata
shakhs}i>yah (شخصية), sedangkan dalam bahasa Inggris kata
kepribadian disamakan dengan kata personality49
. Kepribadian
menurut asal katanya berasal dari bahasa Latin “personare” yang
berarti mengeluarkan suara.50
Adler mendefiniskan kepribadian
44
Ghina Fathonah, “Akuisisi Bahasa Kedua”, 39. 45
Ghina Fathonah, “Akuisisi Bahasa Kedua”, 39. 46
Geoff Jordan, Theory Construction in Second Language Acquisition,
6. 47
Keadaan manusia sebagai perseorangan; keseluruhan sifat-sifat yang
merupakan watak orang (biasa juga bergeser berarti; orang yang baik sifat dan
wataknya). Lihat. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 768. Lihat juga Neila Ramdhani,
Apakah Kepribadian Menetukan Pemilihan Media Komunikasi 48
Konfiks pembentuk nomina abstraksi yang mempunyai ciri atau sifat. 49
Kepribadian adalah aspek-aspek perilaku individu, sikap, keyakinan,
pemikiran, tindakan, dan perasaan yang dipandang sebagai tipikal dan karakter
dari seseorang dan diakui oleh orang tersebut dan juga orang lain. Faktor
kepribadian seperti self-esteem, penghambatan, kecemasan, pengambilan resiko
dan ekstroversi, diperkirakan untuk mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua
karena mereka dapat berkontribusi untuk motivasi dan pilihan bagi strategi
pembelajar. Lih. Jack C. Richards, Ricahrd Schmidt, Longman Dictionary of
Language Teaching & Applied Linguistics-Fourth Edition, (Pearson Education
Limited, 2010), 431. 50
M.N. Purwanto, Psikologi Pendidikan (edisi ke-16), (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), 154. Seperti yang dikutip oleh Tommy, dkk,
“Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe
Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005, 92. Lihat juga Jess
37
sebagai gaya hidup individu atau karakteristik seseorang untuk
bereaksi terhadap masalah-masalah hidup termasuk tujuan hidup.51
Kepribadian menurut Eysenck meliputi tingkah laku dan
kecenderungan-kecenderungan yang terorganisir dalam suatu
hirarki berdasarkan tingkat kekhususannya.52
Walau pun sulit untuk mendefiniskan apa itu kepribadian,
bahwa kepribadian dapat diartikan sebagai sebuah pattern (pola)
dari ciri seseorang yang secara relative bersifat permanen serta
merupakan karakter yang unik yang memberikan konsistensi dan
kecenderungan personal bagi manusia berperilaku.53
Menurut orang awam, kepribadian sering didefiniskan
dalam hal daya tarik sosial. Orang dengan “kepribadian yang baik”
adalah seseorang yang mengesankan bagi orang lain dengan
kemampuannya bergaul dengan baik dengan orang lain.54
Namun
kepribadian yang didefiniskan dalam hal daya tarik sosial tidak
memadai dalam dua hal utama, pertama membatasi jumlah dan
jenis perilaku yang dianggap sebagai aspek kepribadian; yaitu
hanya jenis perilaku bahwa perseptor memilih dalam membuat
penilaian tentang daya tarik atau disatraktif dari yang dirasakan
yang dianggap sebagai bagian dari kepribadian, kedua, hal tersebut
Feist, Gregory J. Feist, Theories of Personality-Sixth Edition, (New York: Mc
Graw Hill, 2006), 3. Ia menyatakan bahwa kata “personality” berasal dari bahasa
Latin yaitu “Persona”, yang merujuk pada pertunjukkan teater dengan
menggunakan topeng dengan actor bernama Roman dalam drama Yunani. 51
Dikutip oleh Tommy, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi
Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2,
Desember 2005, 92. Kepribadian juga dapat didefiniskan sebagai alasan yang
mendasar bagi setiap orang terhadap perilaku individu dan pengalamannya.
Susan Cloninger, Theories of Personality Understanding Persons-Fourth
Edition, (Pearson Prentice Hall, 2004), 3. 52
Dikutip oleh Tommy, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi
Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2,
Desember 2005, 92. 53
Jess Feist, Gregory J. Feist, Theories of Personality-Sixth Edition,
(New York: Mc Graw Hill, 2006), 4. 54
Ricahrd M. Ryckman, Theories of Personality-Ninth Edition,
(Thomson Higher Education, 2008), 4.
38
membawa implikasi yang masuk akal, bahwa beberapa individu,
yang jelas-jelas memiliki sejarah belajar yang unik dan memiliki
sifat tempramen55
secara biologis adalah tanpa kepribadian.56
Para ahli psikologi pada umumnya berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan kepribadian itu bukan hanya mengenai tingkah
laku yang diamati saja tetapi juga termasuk didalamnya apakah
sebenarnya individu itu.57
Kepribadian juga bersifat psikofisik,
yang berarti baik faktor jasmaniah maupun rohaniah itu bersama-
sama memegang peranan dalam kepribadian. Sedangkan menurut
Tommy, dkk mendefinisikan kepribadian adalah tingkah laku serta
sifat-sifat yang dimiliki seseorang yang menjadikannya beda
dengan orang lain yang bersifat dinamis.58
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan kepribadian adalah suatu perilaku
seseorang disertai sifat-sifat yang melekat di dalamnya yang
menempatkan seseorang tersebut berbeda dengan orang lain dan
bersifat dinamis tidak tetap.
Akuisisi bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa.
Perbedaan tersebut dikarenakan akuisisi bahasa baik itu akuisisi
55
Kata tempramen biasanya digunakan untuk merujuk kepada
perbedaan individu yang sangat berakar pada bagian perilaku biologis dan hal
tersebut diwariskan. Zoltan Dornyei, The Psychology of The Language Learner
Individual Differences in Second Language Acquisition, (London: Lawrance
Erlbaum Associates, 2005), 11. 56
Ricahrd M. Ryckman, Theories of Personality-Ninth Edition,
(Thomson Higher Education, 2008), 4. 57
M.N. Purwanto, Psikologi Pendidikan (edisi ke-16), (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), 140. Purwanto juga menambahkan bahwa
kepribadian itu bersifat dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa adanya suatu
perubahan. Hal tersebut menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan
merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bawaan yang ada pada
individu dengan lingkungannya. Seperti yang dikutip oleh Tommy, dkk,
“Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe
Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005, 92. 58
Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet
Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005,
92.
39
bahasa kedua atapun akuisisi bahasa pertama semuanya didapat
secara tidak sengaja.59
Unsur ketidaksengajaan tersebut mungkin
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah
kepribadian.60
Carl Gustav Jung dan Hans J. Eysenck membedakan
kepribadian kedalam dua tipe, yaitu introvert dan ekstrovert, untuk
menyatakan adanya perbedaan dalam reaksi-reaksi terhadap
lingkungan sosial dan dalam tingkah laku sosial. Eysenck juga
mengemukakan bahwa tipe kepribadian introvert dan ekstrovert
menggambarkan keunikan individu dalam bertingkah laku terhadap
suatu stimulus sebagai perwujudan karakter, tempramen, fisik dan
intelektual individu dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.61
Jung juga mengidentifikasikan kepribadian seseorang, yang
pertama kali perlu diperhatikan adalah apakah seseorang tersebut
lebih berorientasi ke dunianya sendiri (introversi) atau lebih
berorientasi ke luar dunianya (ekstraversi). Jung menyebut
introversi dan ekstraversi sebagai sifat fundamental. Sikap
fundamental dapat berkombinasi dengan 4 fungsi psikologi lainnya
yaitu dengan berfikir, merasakan (perasaan), sensasi dan intuisi.
Laufer menyatakan bahwa tidak ada penguasaan bahasa
baik bahasa pertama, atau pun bahasa kedua atau bahasa asing,
anak atau orang dewasa dapat berlangsung tanpa akuisisi lexis—
aturan gramatikal dalam diri mereka, kecuali mereka
menghubungkan suara tertentu kedalam makna tertentu, hal
59
Ghina Fatonah, “Akuisisi Bahasa Kedua Studi Pada Pondok
Pesantren Modern di Kabupaten Bandung”, Tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, 27. 60
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepribadian adalah sifat
hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang
membedakannya dari orang atau bangsa lain. 61
Seperti yang dikutip oleh Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam
Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi
Vol. 3 No. 2, Desember 2005, 93.
40
tersebut hanya abstraksi menarik dengan nilai komunikatif yang
cukup.62
Eysenck dalam penelitiannya menemukan dua dimensi
dasar kepribadian yaitu introvert dan ekstravert, untuk menyatakan
adanya perbedaan dalam reaksi-reaksi terhadap lingkungan sosial
dalam tingkah laku sosial.63
Eysenck mengemukakan bahwa tipe
kepribadian introvert dan ekstrovert menggambarkan keunikan
individu dalam bertingkah laku terhadap suatu stimulus sebagai
perwujudan karakter, tempramen, fisik, dan intelektual individu
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Eysenck
tipe kepribadian introvert dan ekstrovert merupakan dua dimensi
yang penting dibandingkan dengan dimensi tipe kepribadian
lainnya, seperti neurotic-introvert, stabil-ekstravert.64
1. Kepribadian Introvert
Sebagaimana dikutip oleh Hall dan Lindzey, Eysenck
mengemukakan ciri-ciri kepribadaian introvert, bahwa individu
dengan kepribadian introvert selalu mengarahkan pandangannya
pada dirinya sendiri. Seluruh perhatian diarahkan ke dalam hidup
jiwanya sendiri. Tingkah lakunya terutama ditentukan oleh apa
yang terjadi dalam pribadinya sendiri.65
Eysenck pun menjelaskan
bahwa individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung diam,
62
Nassim Golaghaei, “Extroversion/Introversion and Breadth of
Vocabulary Knowledge”, Modern Journal of Language Teaching Methods
(MJLTM), vol. 1 Issue 3 Dec. 2001. 71. 63
Eysenck dalam Lawrence A. Pervin yang dikutip oleh Tommy, dkk,
“Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe
Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005, 93. 64
Wallace dalam Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan
Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2,
Desember 2005, 93. 65
Bagi individu introvert, dunia luar tidak banyak berarti dalam
penentuan tingkah lakunya, sebab itu individu tipe ini kerapkali tidak
mempunyai kontak dengan lingkungan sekelilingnya. Tommy, dkk, “Perbedaan
Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”,
Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005, 93.
41
ia lebih suka membaca dibandingkan berkumpul (bersosial) dalam
lingkungan sosial serta berkomunikasi dengan orang lain, sehingga
memiliki sedikit teman dan pada umumnya menghindar dari
keramaian.66
Carl Jung mengemukakan bahwa individu dengan
kepribadian introvert menempatkan suatu pandangan subjektif
antara persepsi terhadap sebuah objek dan perilaku mereka sendiri,
dan menjaga tingkah laku tersebut layaknya sebuah karakter, di
mana hal tersebut sama dengan situasi objektif.67
Crow dan Crow menguraikan tentang karakteristik
kepribadian introvert yaitu individu dengan tipe kepribadian
introvert lebih lancar menulis daripada bicara, cenderung/sering
diliputi kekhawatiran, lekas malu dan canggung, cenderung bersifat
radikal, suka membaca buku-bukudan majalah, lebih dipengaruhi
oleh perasaan-perasaan subjektif, agak tertutup jiwanya, menyukai
bekerja sendiri, sangat menjaga/berhati-hati terhadap penderitaan
dan miliknya, serta menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan.68
Individu yang memiliki kepribadian introvert sangat
sensitive terhadap rasa sakit, lebih mudah merasa lelah, lebih
memperhatikan pelajaran di sekolah, performansi individu dengan
tipe kepribadian introvert akan menurun apabila berada dalam
kondisi yang menggairahkan.69
66
Shahila Zafar, K. Meenakshi, “A Study on The Relationship Between
Extroversion-Introversion and Risk-Taking in The Context of Second Language
Acquisition”, International Journal of Research Studies in Language Learning,
Vol. 1, Number. 1, Jan 2012. 34. 67
Carl G. Jung, Psychological Types, accesed at www.Abika.com pada
tanggal 11 Februari 2014, 13.45. 68
Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2000), 151. Lihat juga Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan
Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2,
Desember 2005, 94. 69
Lawrence A. Pervin, The Science of Personality, (New York: Oxford
University Press, 2003), 44-45. Dikutip juga oleh Tommy dkk, “Perbedaan
Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”,
Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005, 94.
42
Hall dan Lindzey menjelaskan biasanya individu yang
memiliki kepribadian introvert dikenal sebagai seorang yang
pendiam, yang sukar diselami batinnya. Eysenck juga berpendapat
bahwa mereka selalu menarik diri dari pergaulan dan sering kali
takut pada orang, mempunyai kecenderungan menolak segala
sesuatu yang datang dari luar. Pengambilan keputusan dan
anggapan meraka tidak mau dipengaruhi oleh orang lain. Mereka
hanya percaya kepada diri sendiri, pengalaman dan anggapan
sendiri, dan cenderung cepat bosan. Maka dari itu tampak sifat-sifat
tegas dan berkeras hati.70
Tommy, Fransisca, dan Susanti dalam papernya
menyimpulkan bahwa kepribadian introvert adalah individu yang
memiliki kecenderungan tingkah laku serta sifat-sifat yaitu tertutup,
kurang suka bersosialisasi, lebih menyukai beraktivitas sendiri
dibandingkan bersama-sama. Individu yang memiliki kepribadian
introvertjuga lebih senang melakukan aktivitas yang tenang tidak
banyak bergerak seperti membaca buku, hati-hati, terkontrol,
pesimis dan bertanggung jawab.71
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa kepribadian introvert adalah individu yang
cenderung memiliki sifat tertutup. Sukar dalam bergaul dan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Ia cenderung menutup
diri dan lebih suka untuk membaca buku atau majalah
dibandingkan dengan berkomunikasi/berbicara dengan orang lain.
2. Kepribadian Ekstrovert
Eysenck mengemukakan bahwa orang dengan tipe
kepribadian ekstrovert lebih kuat mengarahkan dirinya pada
lingkungan sekelilingnya, dan pada umumnya suka berteman,
ramah, menyukai pesta-pesta, mempunyai banyak teman,
70
Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet
Berdasarkan Tipe Kepribadian”, 93. 71
Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet
Berdasarkan Tipe Kepribadian”, 94.
43
membutuhkan orang lain untuk menjadi lawan bicara mereka, tidak
suka membaca ataupun belajar sendirian, senang humor, selalu siap
menjawab, menyenangi perubahan dan santai. Individu yang
memiliki tipe kepribadian ekstrovert juga lebih memilih untuk tetap
bergerak dan melakukan sesuatu dibandingkan harus berdiam diri,
lebih agresif, mudah marah dan terkadang ia bukan orang yang
dapat dipercaya.72
Crow dan Crow menguraikan lebih terperinci lagi sifat-sifat
dari kepribadian ekstrovert yaitu individu dengan kepribadian
ekstrovert lancar/lincah dalam berbicara, bebas dari
kekhawatiran/kecemasan, tidak lekas malu dan tidak canggung,
umumnya bersifat konservatif, mempunyai minat pada atletik,
dipengaruhi oleh data objektif, ramah dna suka berteman, suka
bekerja bersama orang-orang lain, kurang memperdulikan
penderitaan dan milik sendiri, mudah menyesuaikan diri dan luwes
(fleksibel).73
Tipe kepribadian ekstrovert cenderung sociable (suka
bersosialisasi), menyukai pesta, memiliki banyak teman, sangat
membutuhkan kegembiraan, dan bekerja pada situasi mendadak.74
Individu dengan kepribadian ekstrovert memiliki sifat sosial, lebih
banyak melakukan tindakan daripada merenung atau berpikir, serta
memiliki motif-motif yang didorong oleh kejadian-kejadian
eksternal.75
Kegiatan ekstrovert langsung diarahkan pada dunia luar.
Ekstrovert lebih bersifat ramah seperti mengadakan pesta, memiliki
banyak teman, dan perlu kegembiraan dalam segala hal yang
72
Hall dan Lindzey, Theories of Personality-4th
Edition, Hohn Wiley &
Sons, CN, 1998. Dikutip oleh Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam
Penggunaan Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, 94. 73
Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2000), 151. 74
Lawrence A. Pervin, The Science of Personality, (New York: Oxford
University Press, 2003), 44. 75
Chaplin dalam Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan
Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, 94.
44
mereka lakukan. Mereka adalah tipe kepribadian yang selalu
mencari sensasi, lebih hidup dan lebih aktif. Individu dengan tipe
ini lebih mudah terganggu dalam belajar, sebagian sebagai akibat
dari lemahnya kemampuan mereka untuk berkonsentrasi dalam
waktu yang lama.76
Menurut Eysenck pribadi ekstrovert cenderung mudah
dalam beradaptasi sekalipun dengan lingkungan asing, menyukai
pesta, memiliki banyak teman, membutuhkan orang lain untuk
menjadi lawan bicara mereka, menyenangi humor, optimistic,
memiliki sifat kepemimpinan, sangat membutuhkan stimulasi
eksternal, cenderung mencari sensasi, mudah marah, kurang
mengontrol perasaan mereka.77
Tommy, Fransisca, dan Susanti dalam papernya
menyimpulkan bahwa kepribadian ekstrovert cenderung memiliki
tingkah laku serta sifat-sifat yang dimiliki oleh individu dengan
tipe kepribadian ini mempunyai sifat terbuka, senang berteman
dengan siapa saja, baik di lingkungan yang lama maupun di
lingkungan yang baru, senang beraktifitas bersama-sama, aktif,
tingkah lakunya cenderung dipengaruhi oleh orang lain, ekspresif
dan kurang bertanggung jawab.78
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert
cenderung terbuka, memiliki sifat atau karakter yang senang
bersosialisasi, mudah bergaul, baik di lingkungan lama maupun di
lingkungan baru, aktif dalam segala hal, tingkah lakunya tidak
bersifat subjektif tapi lebih dipengaruhi oleh pendapat orang lain.
76
Shahila Zafar, K. Meenakshi, “A Study on The Relationship between
Extroversion-Introversion and Risk-Taking in The Context of Second Language
Acquisition”, International Journal of Research Studies in Language Learning,
Volume 1 Number 1. 34. 77
Aiken dalam Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan
Fungsi Internet Berdasarkan Tipe Kepribadian”, 94. 78
Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet
Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005,
95.
45
C. Myers-BriggsType Indicator (MBTI) dalam Mengukur
Kepribadian pada Akuisisi Bahasa Kedua
Tes MBTI79
ini dilakukan untuk menentukan kepribadian
dari masing-masing pembelajar bahasa kedua. Tes ini tidak
mengukur intelegensi, motivasi, kedewasaan, atau kesehatan
mental seseorang. Akan tetapi, membagi manusia menjadi 16 tipe
kepribadian yang berbeda, sesuai dengan 4 dimensi yang telah
ditentukan. MBTI terdiri dari:
1. Terbuka (Extraverted) atau Tertutup (Introverted)
2. Pengindera (Sensing) atau Intuitif (Intuition)
3. Pemikir (Thinking) atau Perasa(Feeling)
4. Penilai (Judging) atau Pengamat (Perceiving)
Test MBTI merupakan alat untuk mengidentifikasi 16 jenis
kepribadian yang berbeda yang dapat digunakan untuk
menggambarkan seseorang.80
Tes MBTI81
instrumen didasarkan pada karya psikolog Carl
Jung dan pencetus tes ini yaitu Isabel Briggs Myers dan ibunya,
Katharine Briggs Masak, yang menghabiskan waktu selama
bertahun-tahun untuk mengamati perilaku manusia. Ide-ide mereka
membantu menjelaskan mengapa berbagai jenis orang tertarik pada
hal yang berbeda, memilih berbagai jenis pekerjaan, dan kadang-
kadang merasa sulit untuk memahami satu sama lain-semuanya
karena dasar perbedaan dalam cara orang menerima informasi dan
membuat keputusan tentang hal itu.
79
Carl Gustav Jung menjabarkan tentang kepribadian manusia yang
introvert dan extrovert, kemudian Katharine Cook Briggs dan anak
perempuannya yang bernama Isabel Briggs Myers mengembangkan teori Jung
ini dan dinamakan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). diunduh dari
http://www.yaminsetiawan.com/cgi-bin/test05.pl tgl 9 September 2013 13.39
WIB, beserta instrument test MBTI. 80
Myers-Briggs Type Indicator, Interpretive Report, Report Prepared
For Jane Sample, Oktober 2009. 81
Naomi L. Quenk, Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), (John
Wiley & Sons, Inc., 2009), 1.
46
Jenis psikologis Jung82
(1921/1971) telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris pada tahun 1923. Hasil dari teori yang
dibangun oleh Jung umumnya digunakan terbatas pada kalangan
Jung dan psikoanalisis di Eropa dan Amerika. Hal yang sangat luar
biasa, bahwa dua perempuan, Katharine C. Briggs dan putrinya,
Isabel Briggs Myers membaca karya Jung, menghabiskan waktu
selama 20 tahun untuk mempelajarinya, dan merancang instrumen-
MBTI kuesioner untuk menilai tipologi. Tahun-tahun dalam hidup
mereka digunakan untuk membaca secara intensif karya-karya Jung
dan melakukan observasi yang cermat terhadap perilaku individu
hingga mereka berdua mendapat kesimpulan bahwa tipologi yang
mereka buat dapat digunakan untuk menggambarkan perbedaan
kepribadian seseorang dan yang penting, bahwa penilaian tersebut
dapat dimanfaatkan dengan praktis dalam kehidupan masyarakat.83
Alasan menggunakan tes MBTI dalam mengidentifikasi
kepribadian dalam penelitian pemerolehan bahasa karena relevansi
tes ini cukup beragam, seperti dalam bidang pendidikan,
pengembangan karir, perilaku organisasi, fungsi kelompok,
pengembangan tim, serta bisa juga digunakan untuk kepentingan
psikoterapi antara individu, pasangan, dan keluarga.84
Pada dasarnya tes MBTI ini bersifat milik pribadi dengan
arti tes ini dikelolo sendiri oleh penemu tes ini. Adapun kuesioner
atau booklet Tanya jawab dikelola secara online. Sehingga dalam
pelaksanaannya tidak adanya monitoring dalam artian sulit untuk
dilacak.85
Orang dapat dengan bebas menjawab setiap pertanyaan
melalui tes online tanpa harus menjawab sesuai dengan
kecenderungan yang sebenarnya, sehingga hasil dari tes ini pun
82
Naomi L. Quenk, Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), (John
Wiley & Sons, Inc., 2009), 2. 83
Naomi L. Quenk, Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), (John
Wiley & Sons, Inc., 2009), 2. 84
Naomi L. Quenk, Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), (John
Wiley & Sons, Inc., 2009), 4. 85
Naomi L. Quenk, Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), (John
Wiley & Sons, Inc., 2009), 31.
47
tidak dapat dilihat validitasnya. Terkecuali tes ini dilakukan dengan
pengawasan seperti halnya ujian-ujian di sekolah, perusahaan atau
apa pun.86
Tes MBTI dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi
kadar kepribadian santri pondok pesantren modern Assa‟adah.
Kemudian dikelompokkan dari hasil tersebut menjadi dua
kelompok yaitu satu kelompok santri dengan kadar ekstrovert
dominan dan satu kelompok santri dengan kadar introvert dominan.
Pada dasarnya tes ini digunakan untuk menggambarkan 16
tipe kepribadian, berikut di bawah ini gambaran hasil tes MBTI
tentang 16 tipe kepribadian87
:
ISTJ ISFJ INFJ INTJ
ISTP ISFP INFP INTP
ESTP ESFP ENFP ENTP
ESTJ ESFJ ENFJ ENTJ
Keterangan:
I : Introvert
E : Ekstrovert
S : Sensing
T : Thinking
J : Judging
F : Feeling
N : Intuition
P : Perceiving
86
Naomi L. Quenk, Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), (John
Wiley & Sons, Inc., 2009), 31. 87
Allen L. Hammer, “Myers-Briggs Type Indicator; Career Report”,
CPP.Inc, 2004, 3.
48
Untuk mengukur 16 tipe kepribadian terutama pada
kepribadian ekstrovert-introvert, scoring
Saat ini tes MBTI dapat dilakukan secara manual yaitu
mengunjungi situs-situs penyedia tes ini. Setelah mengisi beberapa
item pertanyaan atau berupa angket, secara otomatis hasil dari tes
MBTI ini akan muncul yang menggambarkan kepribadian
seseorang. Kekurangan tes MBTI secara online tidak dapat
dilakukan monitoring sampai sejauh mana keakuratan atas jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, akan tetapi tes ini bisa
dilakukan baik oleh perorangan atau pun lembaga untuk tujuan
tertentu, seperti untuk pengenmbangan pembelajaran, dan
peningkatan keterampilan.
49
49
BAB III
PROSES PEMEROLEHAN BAHASA ARAB DI PONDOK
PESANTREN MODERN
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II bahwa
kepribadian seseorang dapat mempengaruhi proses pemerolehan
bahasa kedua baik yang bersifat nature ataupun nurture. Pada
tahun 1975 Rossier1 melakukan penelitian tentang kepribadian
khusus mempengaruhi kefasihan berbicara bahasa Inggris. Dia
menyimpulkan bahwa: komponen kepribadian khusus
mempengaruhi kefasihan dalam berbicara bahasa Inggris. Dia
menguji seseorang dengan kepribadian ekstroversi-introversi yang
berkomunikasi/kontak dengan English Native Speaker, dan
kefasihan berbicara bahasa Inggris. Dia menemukan hubungan
yang positif antara ekstroversi yang diukur dengan Eysenck
Personality Questionire dan kefasihan berbicara bahasa Inggris.
Pada bab III ini membahas hasil penelitian terhadap proses
pemerolehan bahasa Arab di Pondok Pesantren Modern Assa‟adah
kelas VII SMP pada siswa dengan kepribadian khusus. Fokus
penelitian ini dikenakan pada faktor kepribadian (personality)
sebagai salah satu aspek individual difference dalam pengajaran
bahasa asing2. Penulis juga membahas tentang kepribadian
1 Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis Tugas, Kepribadian
Ekstrovert dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab”, Tesis di Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, 13. Lihat juga Strong „Social
Styles and Second Language Acquisition of Spanish-speaking Kinderteners‟
TESOL Quarterly, dia meneliti siswa berbahasa asli dengan kepribadian
ekstrovert-introvert, Strong menemukan bahwa siswa dengan kepribadian
ekstrovert mampu mempelajari bahasa dengan lebih cepat. Seorang pembelajar
dengan kepribadian ekstrovert memiliki kemampuan komunikasi personal yang
baik sehingga lebih cepat dalam mempelajari bahasa terutama dalam komunikasi
oral. Dalam Rod Ellis, The Study of Second Language Acquisition (New York:
Oxford University Press. 1994), 523. 2 Ellis mengatakan bahwa yang dimaksud dengan individual difference
(perbedaan individu) adalah bagaimana seorang pembelajar mempelajari bahasa
kedua (bahasa asing), kemudian secapat ia mempelajari bahasa tersebut dan
bagaimana ia berhasil dalam mempelajarinya. Perbedaan tersebut meliputi
50
Ekstrovert-Introvert terkait pemerolehan bahasa Arab. Penulis juga
membahas tentang freamwork model pemerolehan bahasa pada
kepribadian ekstrovert-introvert.
A. Aspek-aspek Pemerolehan Bahasa Kedua/ Arab
Setiap individu pelajar tentunya akan mengalami proses
berkomunikasi sesama mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari di
keluarga maupun di lingkungan masyarakat, di mana mereka
bergaul saling berinteraksi sosial. Bentuk yang dihasilkan dari
komunikasi mereka adalah bahasa, dari sinilah bahasa itu memiliki
peranan penting dalam kehidupan seorang manusia.
Dalam kehidupan manusia, ada dua bahasa yang timbul di
lingkungannya. Bahasa pertama dan bahasa kedua, seperti yang
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa yang dimaksud
dengan bahasa pertama adalah bahasa yang diajarkan oleh ibu
(orang tua) maka biasa disebut sebagai bahasa ibu. Sedangkan yang
dimaksud dengan bahasa kedua merupakan bahasa yang dipelajari
oleh seorang anak setelah menerima dan mempelajari bahasa yang
diajarkan oleh ibunya, (bukan bahasa ibu). Jika dapat dilihat,
bahasa kedua adalah bahasa yang didapatkan dari lingkungan di
luar rumah, seperti lingkungan sekolah, tempat bermain, dan
lingkungan sosial. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan
bahasa kedua adalah bahasa Arab yang diajarkan di lingkungan
pesantren. Dalam kasus ini tentu berbeda pemerolehannya dengan
bahasa ibu.
Dalam hal pemerolehan bahasa, bahasa pertama memiliki
beberapa peran terkait pada pemerolehan bahasa kedua. Bingjun
(2013) menjelaskan bahwa sejak studi tentang pemerolehan bahasa
ini muncul yaitu sekira tahun 1960, banyak komponen-komponen
terkait dengan studi pemerolehan bahasa salah satunya adalah
peran bahasa pertama dalam pemerolehan bahasa kedua. Dia
faktor-faktor umum , termasuk di antaranya bakat dan motivasi belajar, serta
strategi belajar tertentu dalam mempelajari bahasa kedua.
51
menjelaskan bahwa ada enam peran bahasa pertama pada
pemerolehan bahasa kedua antara lain sebagai berikut: (1) Sesuai
dengan teori behavioristik, focus peran bahasa pertama dalam
pemerolehan bahasa kedua adalah peran kondisi (operant
conditioning); (2) Menjelaskan tentang pengaruh interaksi dalam
pemerolehan bahasa kedua, penekanan dalam hal komunikasi serta
kebutuhan sosial; (3) Sesuai dengan teori kognitif, penekanan pada
hal yang logis dan proses berfikir; (4) Sesuai dengan teori nativist
atau teori biological yaitu penekanan pada kapasitas genetic yang
melekat pada manusia; (5) Untuk menekan pada pembelajar serta
strategi pembelajaran; (6) Mentransfer pemerolehan unsur-unsur
bahasa seperti fonetik, lexicology, sintaksis, semantik dan
pragmatik dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua.3
Pemerolehan bahasa kedua/Arab didasarkan atas beberapa
aspek pembahasan yang mempengaruhi pemerolehan bahasa
kedua. Di antara aspek-aspek pemerolehan bahasa kedua, tiga
diantaranya merupakan faktor yang cukup mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua, antara lain: latar belakang bahasa
(bahasa pertama) dalam memperoleh bahasa kedua, interaksi
edukatif4 dalam dalam memperoleh bahasa Arab, serta lingkungan
sekitar yang punya peran penting dalam mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua.
3 MA. Bingjun, “What is the Role of L1 in L2 Acquisition?”, CSCanada
Studies in Literature and Language, Vol. 7, No. 2, 2013, 31. 4 Sardiman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan interaksi
edukatif adalah interaksi yang dilakukan secara sengajar dengan didasarkan oleh
tujuan tertentu, yaitu untuk menghantarkan anak didik menuju tingkat
kedewasaannya. Interaksi berpangkal pada konsep komunikasi yang memiliki
makna menjadikannya milik bersama, yakni saling memberikan pikiran-pikiran,
pengetahuan, keterampilan serta nilai. Lihat Sardiman, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 18. Edi Suardi dalam
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, 15, mengatakan bahwa
interaksi belajar-mengajar memiliki tujaun yaitu membantu anak didik dalam
suatu perkembangan tertentu, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat
perhatian.
52
Pondok pesantren modern merupakan salah satu dari
lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat proses pemerolehan
bahasa kedua. Salah satu di antara pesantren-pesantren modern se-
Indonesia yang menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang
merupakan bahasa kedua dan digunakan untuk berkomunikasi
sehari-hari adalah Pondok Pesantren Modern Assa‟adah.
Pemerolehan bahasa kedua/Arab tentunya juga dipengaruhi
oleh latar belakang bahasa santri. Latar belakang bahasa yang
dimaksud adalah bahasa pertama/ibu. Pada pembahasan kali ini,
akan dibahas mengenai latar belakang bahasa santri Pondok
Pesantren Modern Assa‟adah Pasirmanggu. Hasil ini didapat dari
wawancara dengan Bapak Pimpinan, Para Ustadz dan Santri serta
penyebaran angket yang diisi oleh 26 santri yang dijadikan sebagai
responden.
1. Latar Belakang Bahasa Santri
Tampaknya sudah merupakan keyakinan umum bahwa
pemerolehan bahasa kedua sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa
pertama sang pelajar. Dukungan yang paling jelas terhadap
keyakinan ini muncul dari aksen-aksen asing dalam ujaran bahasa
kedua seorang pelajar. Misalnya, kalau orang Perancis berbahasa
Inggris, maka bahasa Inggrisnya beraksen Perancis, dan kalau
orang Toba berbahasa Sunda, maka bahasa Sundanya beraksen
Toba.5
Pemerolehan bahasa6 tentunya berbeda dengan pembelajaran
bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa sedangkan orang dewasa
5 Tarigan mengatakan bahwa bahasa pertama sangat mempengaruhi
bahasa kedua seorang pelajar. Bukan hanya dilihat dari aksen saja pengaruh itu
bisa dilihat, akan tetapi dari tingkat-tingkat bahasa lainnya pun membuktikan hal
itu, seperti kosakata dan tata bahasa. Walaupun kosakata dan tata bahasa tidak
terlihat jelas sebagai pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua. Lihat
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa (Bandung: Aksara,
2011), Ed. Revisi, 104. 6 Chomsky dan James menjelaskan bahwa dalam pemerolehan bahasa,
manusia memiliki tiga tingkatan yang harus dicapai antara lain: pertama,
53
hanya mempelajarinya saja. Akan tetapi dalam kaitannya dengan
penelitian ini, orang dewasa dapat dikatakan memperoleh bahasa
serta dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah
yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak.
Terkait dengan latar belakang bahasa santri, pimpinan
pondok pesantren modern assa‟adah pasirmanggu cikeusal serang
banten mengatakan, bahwa pada proses penerimaan santri baru, ada
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh calon santri baru,
salah satunya adalah mengikuti tes bahasa. Pada saat penerimaan
santri baru, ada beberapa tes yang harus dilalui. Tes bahasa Inggris
dan bahasa Arab menjadi salah satu tes yang diberlakukan di
Pondok Pesantren Modern Assa‟adah. Walau pun substansi tes
masih dalam kategori mudah.7
Pimpinan menjelaskan bahwa tes bahasa, Inggris ataupun
Arab dimaksudkan untuk menguji sejauh mana pengetahuan dasar
calon santri baru tentang penguasaan bahasa Inggris dan Arab.
Bukan hanya pada saat penerimaan calon santri baru saja tes bahasa
dilakukan. Santri baru yang sudah dinyatakan diterima pun harus
mengikuti tes kembali untuk pengklasifikasian kelas termasuk
kedalamnya tes bahasa, baik lisan maupun tulisan.8
tingkatan akal manusia, di dalamnya terdapat sebuah perangkat/piranti untuk
memperoleh bahasa, mengolahnya, mengatur serta mengikat bahasa tersebut.
Piranti itu disebut dengan LAD (Language Acquisition Device), kedua, setelah
diproses pada tingkatan pertama, tingkatan kedua adalah kemampuan berbahasa
disebut Linguistic Competence, pada proses ini diperoleh bagaimana membentuk
sebuah bahasa menjadi serangkaian kata-kata yang tersusun/terstruktur, ketiga,
proses akhir ini yang disebut dengan inovasi dan produksi bahasa hasil dari
kemampuan berbahasa. Lihat S}ala>h{ ‘Abdu al-Maji>d al-‘Araby, Ta’allum al-Lugha>t al-H{ayah Wa Ta’li>muha> Baina al-Naz{riyyah Wa al-Tat{bi>q (Bayru>t:
Maktabah Libna>n, 1981), 15-16. 7 Hasil wawancara dengan Pimpinan Pondok Pesantren Modern
Assa‟adah Pasirmanggu Cikeusal Serang Banten, Hari Rabu tanggal 5 Maret
2014, pukul 20.35 WIB. 8 Wawancara dengan Pimpinan Pondok Pesantren Assa‟adah
Pasirmanggu Cikeusal Serang Banten. Hari Rabu Tanggal 5 Maret 2014, pukul
20.35 WIB. Ia menambahkan bahwa tes bahasa ini bukan untuk menuntut calon
santri baru yang akan menjadi santri di Pondok Pesantren Modern Assa‟adah,
54
Latar belakang bahasa merupakan faktor yang dinilai
menjadi pengaruh dalam memperoleh bahasa kedua. Latar
belakang bahasa disebut juga bahasa pertama9 atau bahasa ibu
memiliki peran penting dalam pemerolehan bahasa kedua/asing.
Krashen10
menambahkan bahwa terdapat perbedaan antara
pemerolehan bahasa kedua dengan pembelajaran bahasa kedua. Ia
mengklaim bahwa pemerolehan bahasa dikembangkan secara tidak
sadar yaitu berkembang di alam bawah sadar, melalui pemahaman
kearah input pada saat seseorang berkomunikasi. Sedangkan hal
yang kedua yaitu pembelajaran bahasa dikembangkan secara sadar
melalui pembelajaran secara sengaja terhadap bahasa kedua.11
Dari hasil angket yang disebar keseluruh sampel penelitian
yaitu sebanyak 26 orang terdiri dari 13 santri dengan kepribadian
ekstrovert dan 13 santri dengan kepribadian introvert, pada poin
akan tetapi menguji sejauh mana pemahaman mereka. Karena mereka akan
menemui materi-materi kepondokan yang kebanyak menggunakan bahasa Arab
dan Inggris. Ia memahami bahwa calon santri baru terdiri dari berbagai karakter
bahasa. Sebagian ada yang berbahasa nasional namun adapula yang berbahasa
daerah (yang dimaksud karakter bahasa santri adalah bahasa pertama atau yang
disebut bahasa ibu yang terdiri dari bahasa nasional Indonesia dan bahasa
daerah). 9 Proses pemerolehan bahasa pertama tentunya berbeda dengan
pemerolehan bahasa kedua/asing. Ellis menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa
pertama diperoleh dengan cara alamiah tanpa menggunakan kesadarannya,
sehingga hal ini terjadi pada alam bawah sadar mereka. Sedangkan pada
pemerolehan bahasa kedua, biasanya terjadi pada masa remaja, atau dewasa.
Khususnya pada masa remaja, ia menjelaskan bahwa pada masa remaja untuk
memperoleh bahasa kedua memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan juga
mempelajarinya dengan keadaan sadar bukan dengan alam bawah sadar. Lihat
Rod Ellis, Second Language Acquisition (New York: Exford University Press,
2003), 54-55. 10
Krashen dalam Ellis, Second Language Acquisition, 55. 11
Krashen dalam MA Bingjun, “What is the Role of L1 in L2
Acquisition?”, 31-32. Dalam teori monitor yang dipeloporinya bahwa
pemerolehan bahasa yang bersifat natural itu terjadi dalam proses alam bawah
sadar sedangkan pembelajaran bahasa terjadi dalam proses alam sadar. Seorang
pembelajar bahasa mampu menggunakan control bahasa dan system regulasi
mereka sendiri untuk menyesuaikan perilaku bahasa mereka. Dan bahasa
pertama mereka disebut dengan bahasa asli yang menjadi salah satu faktor
penentu control bahasa dan system regulasi tersebut.
55
pertama tentang latar belakang bahasa pada pernyataan pertama
bahwa 54% menyatakan bahwa mereka berkomunikasi dengan
keluarga dengan mengguakan bahasa Indonesia, 8% menyatakan
bahwa mereka berkomunikasi dengan keluarga menggunakan
bahasa daerah dan 38% menyatakan bahwa mereka berkomunikasi
dengan keluarga menggunakan bahasa Indonesia dan terkadang
juga menggunakan bahasa daerah. Sedangkan 0% berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa asing yaitu bahasa Arab dan Inggris
.12
Gambar 3. Grafik Latar Belakang Bahasa Santri Dalam
Berkomunikasi Dengan Keluarga
Dari gambar 3 di atas menunjukkan bahwa latar belakang
bahasa santri dominan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Berarti bahasa Indonesia merupakan rata-rata bahasa
12
Angket Kuesioner Santri Ekstrovert-Introvert poin latar belakang
bahasa santri dengan pernyataan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi di
rumah, dengan jawaban Indonesia, Daerah, Indonesia dan Daerah, Arab, dan
Inggris. Sebanyak 14 santri menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi di rumah/dengan keluarga. Sebanyak 2 santri menggunakan
bahasa daerah dalam berkomunikasi di rumah/dengan keluarga. Sebanyak 10
santri menggunakan bahasa Indonesia dan daerah dalam berkomunikasi di
rumah/dengan keluarga.
54%
8%
38%
0% 0%
Latar Belakang Bahasa Santri Di Rumah
Bahasa Indonesia
Bahasa Daerah
Bahasa Indonesia & Daerah
Bahasa Inggris
Bahasa Arab
56
pertama santri Pondok Pesantren Modern Assa‟adah. Sehingga ada
pengaruh aksen13
bahasa In
donesia terhadap pemerolehan bahasa kedua/Arab.
Penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya digunakan untuk
berkomunikasi di rumah/dengan keluarga saja, melainkan
digunakan untuk berkomunikasi dengan teman-teman di
lingkungan rumah. Berdasarkan hasil angket dengan item no 2
tentang latar belakang bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan teman, diperoleh data sebanyak 15 orang berkomunikasi
dengan teman menggunakan bahasa Indonesia. Sebanyak 2
berkomunikasi dengan teman menggunakan bahasa daerah.
Sebanyak 9 orang berkomunikasi dengan teman menggunakan
bahasa Indonesia dan terkadang daerah. Sedangkan tidak ada yang
berkomunikasi dengan teman menggunakan bahasa asing, baik
bahasa Arab ataupun bahasa Inggris.14
Gambar 4. Grafik Bahasa yang Digunakan untuk
Berkomunikasi dengan Teman di Lingkungan Rumah
13
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, 104. 14
Hasil angket poin latar belakang bahasa santri item ke-2. Mayoritas
mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
58%
8%
34%
0% 0%
Bahasa Komunikasi Dengan Teman di Lingkungan Rumah
Bahasa Indonesia
Bahasa Daerah
Bahasa Indonesia & Daerah
Bahasa Inggris
Bahasa Arab
57
Dari grafik 4 di atas menunjukkan tentang bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi dengan teman di lingkungan
rumah. sebanyak 58% berkomunikasi menggunakan bahasa
nasional yaitu bahasa Indonesia, sedangkan 34% lainnya
berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. 8% berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Indonesia terkadang juga bahasa
daerah, sedangkan 0% berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
asing yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari data di atas
menunjukkan bahwa latar belakang santri merupakan aspek dari
pemerolehan bahasa. Seorang teman yang menjadi lawan berbicara
sehari-hari mennjadi salah satu faktor penentu seseorang
memperoleh bahasa. Seseorang dikatakan mampu berbicara bahasa
daerah ketika di lingkungan rumah dengan teman-temannya
berkomunikasi dengan bahasa daerah. Proses kreatif menggunakan
bahasa daerah dalam percakapan termasuk ke dalam pemerolehan
bahasa yang tanda mereka sadari mereka mampu berbahasa
daerah.15
Ibu dan ayah sejatinya adalah guru pertama yang
mengajarkan kita berbahasa. Terutama ibu menjadi satu-satunya
guru yang mengajari kita bagaimana berucap. Oleh karena itu
15
Hal ini menunjukkan bahwa, jika seseorang dalam kesehariannya
berkomunikasi dengan teman menggunakan bahasa kedua/asing maka secara
tidak sadar ia akan mampu berkomunikasi dengan bahasa kedua/asing.
Penekanan terhadap penggunaan bahasa kedua/asing oleh orang lebih dewasa
menjadi kurang berpengaruh dibandingkan dengan koreksi atau tuntutan
lingkungan atau percakapan sehari-hari dengan teman-teman. Senada dengan
yang dikemukakan oleh Ferris (2002), ia mengatakan bahwa berdasarkan sebuah
studi, bahwa seorang siswa membutuhkan sebuah koreksi, namun dalam hal ini
mereka akan mengalami kehilangan kepercayaan diri mereka ketika mereka
menerima koreksi/kritik langsung dari orang yang lebih dewasa. Berbeda ketika
seseorang saling mengoreksi dalam kadar umur yang setara. Menurutnya saling
mengoreksi antara sesame akan menanamkan pengetahuan yang lebih lama
dibandingkan dengan dikoreksi oleh orang yang lebih dewasa (dalam artian di
sini adalah guru). Ferris dalam Reza Hajimohammadi, “Impact of Self-
Correction on Extrovert and Introvert Students in EFL Writing Progress”,
Journal of English Language Teaching Canadian Center of Science and
Education, Vol. 4, No. 2; June 2011, 162.
58
bahasa pertama disebut juga dengan bahasa ibu. Hal ini disebabkan
karena ibulah yang pertama kali mengajarkan kita berbicara. Dari
pemaparan di atas maka dalam angket tentang latar belakang
bahasa santri item no 3 menjelaskan tentang pemahaman ibu
dalam bahasa Arab. Apakah ibu memahami bahasa Arab sehingga
ketika ia memahami bahasa Arab bisa menjadi cikal anaknya punya
pemahaman tentang bahasa Arab terlepas digunakan atau tidaknya
bahasa Arab itu untuk berkomunikasi. Dari hasil angket didapat
data sebanyak 4 santri mengatakan bahwa ibunya memahami
bahasa Arab. 15 santri tidak paham dan 7 santri mengisi terkadang
dengan maksud bahwa ibu mereka sedikit mengerti tentang bahasa
Arab.
Gambar 5. Pemahaman Ibu tentang Penggunaan Bahasa Arab
Dari 26 sampel yang mengisi angket tentang pemahaman
ibu terhadap bahasa Arab sebanyak 4 santri mengatakan bahwa ibu
mereka memahami bahasa Arab. 4 santri dari 26 santri yang
dijadikan sampel mengatakan bahwa ibu mereka memahami bahasa
Arab dengan alasan, ibu mereka adalah lulusan dari pondok
pesantren modern dan pernah belajar bahasa Arab. Sehingga ibu
mereka memahami bahasa Arab.16
16
Hasil wawancara dengan salah seorang santri yang mengisi kolom
paham pada angket tentang pemahaman ibu tentang bahasa Arab. Pada tanggal
15%
58%
27%
Pemahaman Ibu tentang Bahasa Arab
Memahami Bahasa Arab
Tidak Memahami Bahasa Arab
Sedikit Memahami Bahasa Arab
59
Tidak hanya pemahaman seorang ibu yang dituangkan
dalam angket akan tetapi pemahaman ayah terhadap bahasa Arab
pun tidak luput dari pernyataan dalam angket. Hal ini ditujukan
untuk melihat apakah ketika ayah dan ibu memiliki pemahaman
tentang bahasa Arab kemudian digunakan untuk berkomunikasi
sehari-hari di rumah akan membawa pengaruh terhadap bahasa
pertama anak dan menjadi faktor pendukung dalam memperoleh
bahasa Arab sebagai bahasa kedua.
Hasil temuan tentang pemahaman ayah terhadap bahasa
Arab bahwa sebanyak 2 santri mengisi kolom paham, 16 lainnya
mengisi kolom tidak paham, sebanyak 7 santri mengisi kolom
kadang-kadang dan 1 tidak mengisi kolom paham, tidak paham
ataupun kadang-kadang. Presentasi dari pemahaman ayah tentang
bahasa Arab dapat dilihat dari grafik di bawah ini:17
Gambar 6. Pemahaman Ayah Tentang Penggunaan Bahasa
Arab
Dari gambar 5 dan 6 di atas menjelaskan tentang
pemahaman ibu dan ayah tentang bahasa Arab. Kemudian peneliti
16 April 2014. Ia mengatakan bahwa ibunya sering sekali mengajari beberapa
kosa-kata dalam bahasa Arab sebelum ia masuk ke pesantren. 17
Hasil Angket Poin Latar Belakang Bahasa Santri Item ke-4 tentang
pemahaman seorang ayah terhadap penggunaan bahasa Arab.
8%
61%
27%
4%
Pemahaman Ayah tentang Bahasa Arab
Paham
Tidak Paham
Kurang Paham
Tidak Mengisi
60
tinjau ada salah seorang santri yang ayah dan ibunya memahami
bahasa Arab sehingga kolom pernyataan terakhir tentang latar
belakang bahasa santri mengisi dengan pernyataan bahwa kedua
orang tuanya sering menggunakan bahasa Arab untuk
berkomunikasi sehari-hari. Ia menjelaskan bahwa kedua orang
tuanya adalah alumni dari salah satu pondok pesantren modern di
pulau Jawa dan saat ini kedua orang tuanya menjadi pengajar di
Pondok Pesantren Modern Assa‟adah tempat peneliti melakukan
penelitian ini. Ia menjelaskan dari kecil ia sudah hidup di
lingkungan pesantren dan kedua orang tuanya pun sering
menggunakan bahasa Arab untuk berkomunikasi walaupun masih
dikombinasikan dengna bahasa Indonesia.18
Dari pemaparan dan temuan-temuan yang peneliti dapat
mengenai bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi di rumah
baik dengan keluarga ataupun dengan teman-teman di lingkungan
rumah, dominan menggunakan bahasa Indonesia. Ditambah dengan
santri yang menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah
secara bersamaan dalam berkomunikasi. Hal tersebut yang
akhirnya mempengaruhi terhadap pembelajaran bahasa kedua/Arab
terutama dalam pemerolehan bahasa Kedua/Arab.19
Keberagaman bahasa yang melatarbelakangi para santri
sebenarnya bukan merupakan masalah untuk pengembangan
bahasa asing di Pondok Pesantren Modern Assa‟adah Pasirmanggu
Cikeusal Serang. Pembelajaran yang berbasis langsung atau disebut
18
Hasil analisis angket poin latar belakang bahasa santri poin ke-5
tentang penggunaan bahasa Arab sebagai alat komunikasi oleh kedua orang tua.
Dan dilakukan wawancara pada tanggal 16 April 2014 kepada santri yang
bersangkutan yang kedua orang tunya adalah salah seorang pengajar di Pondok
Pesantren Modern Assa‟adah. Dan ia sudah tinggal di lingkungan pondok
pesantren sejak ia umur 5 tahun. 19
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, 126. Ellis
menambahkan bahwa bahasa pertama dipandang sebagai faktor yang
berpengaruh atau faktor pendukung terhadap perkembangan bahasa kedua. Hal
ini disebabkan karena proses pembelajaran bahasa itu terjdi, ditambah dengan
kecakapan pelajar pun mengalami perkembangan terus. Ellis, Understanding
Second Language Acquisition (Oxford: Oxford University Press, 1987), 19-40.
61
direct learning20
dinilai sebagai model pembelajaran yang akurat
untuk membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa asing, bahasa Arab maupun bahasa Inggris.21
Model pembelajaran yang diterapkan terkait dengan latar belakang
bahasa yang berbeda-beda yaitu menggunakan pendekatan learning
by doing. Pemberian kosa-kata setiap pagi dari mulai kosa-kata
yang mudah, kemudian membuat kalimat dari setiap kosa-kata
yang telah diberikan.22
Pembelajaran secara langsung yang diterapkan di Pondok
Pesantren Modern Assa‟adah Pasirmanggu Cikeusal Serang, bukan
tidak menemukan kendala. Salah satu kendala yang ditemui dalam
menerapkan pembelajaran model ini adalah tingkat kesadaran baik
dari para santri atau pun para ustadz untuk benar-benar
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa keseharian, seperti
halnya yang disampaikan oleh salah seorang ustadz. Ia menjelaskan
bahwa pengembangan bahasa Arab di pondok ini menemukan
kebuntuan. Di satu sisi sebagian menggunakan bahasa Arab dalam
berkomunikasi sehari-hari akan tetapi di sisi yang lain sebagian lagi
20
Direct learning atau dikenal dengan istilah al-T{ari>qah al-
Muba>sharah, cara belajar model ini atau pembelajaran dengan menggunakan
metode ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran bahasa
dengan metode gramatika terjemah dikaitkan dengan tuntutan kebutuhan nyata di
masyarakat. Metode ini dikembangkan atas dasar asumsi bahwa proses belajar
bahasa kedua/Arab sama dengan belajar bahasa ibu, yaitu dengan penggunaan
bahasa secara langsung dan intensif dalam berkomunikasi. Pembelajaran dengan
menggunakan metode ini lebih menekankan dua keterampilan berbahasa yaitu
menyimak dan berbicara sedangkan mengarang dan membaca dikembangkan
kemudian. Lihat Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab
(Malang: Misykat, 2005), 35. 21
Hasil wawancara dengan salah seorang ustadz bagian pengembangan
bahasa, khususnya bahasa Arab. Hari Rabu pada tanggal 12 Maret 2014 pukul
21.30. 22
Observasi yang dilakukan peneliti dalam mengikuti kegiatan
pemberian kosa-kata setiap pagi setelah melaksanakan shalat subuh berjam‟ah
dan tadarus. Hal ini dilakukan untuk menambah pembendaharaan kosa-kata yang
dimiliki oleh para santri untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari dan juga
termasuk kedalam proses pengembangan bahasa terlebih pemerolehan bahasa
asing/Arab ataupun bahasa Inggris.
62
tidak menggunakan bahasa Arab untuk berkomunikasi. Hal ini
yang akhirnya menjadi tugas bersama untuk terus meningkatkan
kedisiplinan dalam berbahasa. Oleh karena itu dengan berbagai
karakter latar belakang bahasa Ibu yang berbeda-beda diharapkan
tetap dapat mengembangkan bahasa kedua sehingga mudah untuk
mempelajari dan memperolehnya.23
2. Interaksi Edukatif Dalam Pemerolehan Bahasa Arab
Pada dasarnya pemerolehan bahasa merupakan sebuah
proses yang terjadi di alam bawah sadar. Seorang pembelajar
bahasa akan memperoleh bahasa tidak selalu dalam keadaan sadar
akan kenyataan bahwa ia memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Begitu juga dalam memperoleh bahasa kedua sama seperti halnya
pada proses pemerolehan bahasa pertama/ibu yaitu di alam bawah
sadar. Akan tetapi dalam menggunakan bahasa kedua ada yang
disebut dengan kompetensi berbahasa. Untuk mengembangkan
kompetensi dalam bahasa kedua dibutuh kan sebuah proses yang
disebut dengan belajar24
(belajar bahasa). Mengembangkan
23
Wawancara dengan salah seorang ustadz yang mengajar materi
kebahasaan. Hari Rabu Pada tanaggal 12 Maret 2014. Hal ini pun dibenarkan
oleh salah seorang ustadzah yang menjabat sebagai kepala sekolah SMP Plus
Assa‟adah. Ia mengatakan bahwa kekurangan dari pembelajaran bahasa Arab di
Pondok ini adalah kurangnya kesadaran dari pribadi masing-masing untuk ikut
mengembangkan bahasa di Pondok ini. Namun hal itu dikatakan bukan
meruapakn sebuah kendala yang harus terus dipikirkan tanpa diberikan
solusinya. Inovasi-inovasi yang dilakukan di pondok ini untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa santri khususnya bahasa Arab terus dilakukan salah
satunya adalah dengan mengadakan id{a>fah yaitu pembelajaran bahasa di luar
kelas dengan mendidik santri kibar untuk menjadi pengajar bahasa atau
membimbing santri s}ighar dalam belajar bahasa Arab. Wawancara dengan
kepala sekolah SMP Plus Assa‟adah. Hari Kamis Pada Tanggal 10 April 2014. 24
Chomsky menjelaskan bahwa bahasa-bahasa sesungguhnya memiliki
perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan ini terletak
pada bunyi-bunyi, dan makna-makna atau disebut dengan tata bahasa. Hal ini lah
yang menjadi perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dengan
pemerolehan bahasa kedua. Dengan perbedaan tata bahasa tersebut dibutuhkan
proses belajar. Lihat Noam Chomsky, New Horizon in the Study of Language
and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 11.
63
kompetensi bahasa kedua dengan proses belajar bahasa berarti
melakukan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam keadaan
sadar atau menggunakan alam sadarnya. Seperti dalam mempelajari
kaidah-kaidah kebahasaan, mengetahui dan menyadari kaidah-
kaidah tersebut dan juga mampu untuk berbicara mengenai kaidah-
kaidah bahasa tersebut.25
pada penelitian ini bahasa Arab merupakan bahasa kedua
yang dipelajari oleh santri Pondok Pesantren Modern Assa‟adah
Pasirmanggu Cikeusal Serang. Tentu bahasa Arab dipelajari untuk
dijadikan sebagai alat komunikasi sehari-hari di pesantren. Dalam
mempelajari bahasa Arab ada materi-materi yang terkait dengan
materi bahasa secara global. Adapun materi-materi bahasa Arab
yang diajarkan di Pondok Pesantren Modern Assa‟adah seperti
yang terlihat dalam daftar pelajaran kepondokan di Assa‟adah.
No Mata Pelajaran TingkatanKelas Ket
MMI 1 دروس اللغت العربيت .1
MMI 6-2 علم النحو .2
MMI 5-2 علم الصرف .3
MMI 5-1 المحفوظاث .4
MMI 6-1 المطالعت .5
MMI 6-4 علم البالغت .6
MMI 6-2 إنشاء .7
MMI 6 فتح القاموس .8
MMI 6-1 قراءة الكتب التراث .9
المحاضرة والمحادثت واإلضافت .10
اللغويت
1-5 MMI
25
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, 144.
64
Materi-materi di atas, diajarkan dengan pendekatan
Naz}ariyah al-Furu>’26
bukan dengan pendekatan All in One
System27
, sehingga pembelajaran bahasa Arab di Assa‟adah
berbasis cabang ilmu/terpisah. Bahasa Arab tidak diajarkan secara
sendiri akan akan tetapi cabang-cabang ilmu bahasa Arab diajarkan
terpisah dan memiliki porsi jam belajar yang beragam pula.
Proses belajar bahasa dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat komunikasi, memiliki hubungan erat dengan proses
pembelajaran bahasa Arab di Assa‟adah. Hal itu yang disebut
dengan interaksi yaitu adanya keterlibatan santri sebagai
pembelajar bahasa dan ustadz/guru sebagai fasilitator yang
mengajari bahasa Arab untuk melakukan sebuah interaksi dalam
belajar bahasa Arab. Dengan pembelajaran bahasa berbasis
terpisah, santri akan mengalami pengalaman interaksi lebih banyak
dibandingkan dengan santri dengan system terpadu. Tentunya
interaksi ini dilakukan untuk menstimulus pembelajaran bahasa
Arab sampai dengan santri memperoleh bahasa Arab.
Interaksi28
yang berlangsung dalam proses belajar-mengajar
dikenal dengan istilah interkasi edukatif. Kemudian bagaimana
26
Sistem ini juga dikenal dengan istilah system terpisah-pisah atau
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Separated System. Dalam system ini
bahasa Arab dibagi ke dalam beberapa mata pelajaran atau dipecah menjadi
beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Lihat Ahmad Fuad Effendy, Metodologi
Pengajaran Bahasa Arab, 79. 27
All in One System ini dikenal dengan system terpadu. System terpadu
ini digunakan melihat dari sudut pandang psikologi dimana tabiat atau cara kerja
otak dalam memandang sesuatu bersifat dari global ke bagian-bagian serta jika
dilihat dari sudut pandang kebahasaan system terpadu ini sejalan dengan tabiat
bahasa sebagai sebuah system, dan sesuai dengan realitas penggunaan bahasa
yang memadukan berbagai unsur dan keterampilan berbahasa secara utuh. Lihat
Ahmad Fuad Effendy, Metodlogi Pengajaran Bahasa Arab, 79-80. 28
Interaksi merupakan sebuah teori dalam peran bahasa pertama
terhadap pemerolehan bahasa kedua, teori ini biasa disebut dengan teori
fungsional atau teori interaksi. Teori ini menjelaskan tentang beberapa faktor
dalam pemerolehan bahasa antara lain adalah faktor bawaan dan faktor
lingkungan yang dimaksudkan untuk menjelaskan proses pemerolehan dan
pembelajaran bahasa. Lihat MA Bingjun, “What is the Role of L1 in L2
Acquisition?”, 32.
65
interaksi edukatif ini menjadi salah satu faktor penting dalam
mempengaruhi pemerolehan bahasa Arab. Dalam sebuah lembaga
pendidikan lebih kecil lagi dalam sebuah kelas, tentunya terdiri dari
beberapa siswa yang memiliki perbedaan individual salah satunya
perbedaan kepribadian dari masing-masing siswa. Hal ini lah yang
perlu menjadi perhatian penuh dari seorang guru sehubungan
dengan pengelolaan pengajaran agar dapat berjalan secara
kondusif, sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan.29
Perbedaan kepribadian tentunya terjadi di dalam setiap
kelas. Masalah ini disadari oleh guru sebagai suatu masalah yang
perlu diperhatikan lebih. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
pengajar di Assa‟adah bahwa yang paling sulit dalam mengajarkan
sebuah materi adalah menemukan model pembelajaran yang dapat
diterima oleh masing-masing siswa dengan karakter kepribadian
yang berbeda.30
Dalam teori MBTI31
bahwa manusia terbagi ke dalam 16
tipe kepribadian yang terdiri dari 4 dimensi32
yang sudah
ditentukan. Keempat dimensi tersebut yang menjadi
karakter/kepribadian yang dibawa oleh setiap individu. Walau pun
pada perkembangannya kepribadian tersebut mampu dipengaruhi
oleh lingkungan sekitar. Karakter kepribadian anak didik menjadi
faktor keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Dari keempat
dimensi tersebut hanya satu dimensi yang menjadi kajian dalam
pebelitian ini yaitu kepribadian ekstrovert-introvert.
29
Syaiful Bahri Djamarah,Guru dan Murid dalam Interaksi Edukatif
Suatu Pendekatan Teoritis Psikologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 55. 30
Hasil wawancara dengan pengajar bahasa Arab kelas 1 MMI setara
dengan kelas 7 SMP pada hari rabu tanggal 12 Maret 2014. 31
diunduh dari http://www.yaminsetiawan.com/cgi-bin/test05.pl tgl 9
September 2013 13.39 WIB. 32
Adapun keempat dimensi yang terdiri dari 16 karakter kepribadian
antara lain adalah ekstravert-introvert, sensing-intuition, thinking-feeling, dan
judging-perceiving.
66
Kepribadian ekstrovert-introvert sudah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa, ekstrovert lebih cenderung terbuka dengan arti
individu ini memiliki ciri sociable, ia lebih pandai bergaul dan
lebih supel. Sedangkan introvert cenderung lebih tertutup. Ia lebih
nyaman dalam keadaan sunyi atau sendiri. Individu dengan
kepribadian ini lebih banyak diam dalam melakukan sesuatu.
Begitu pula dalam mempelajari bahasa kedua/Arab.
Interaksi yang dilakukan oleh guru dan murid menjadi
solusi dalam membantu proses pembelajaran bahasa kedua/Arab.
Pada dasarnya guru menjadi figur utama dalam proses
pembelajaran. Perbedaan kepribadian siswa tidaklah menjadi
sebuah masalah ketika guru menjadi figur yang mampu
menciptakan suasana pembelajaran yang menarik. Tentunya
pembelajaran yang menarik bukan hanya untuk sebagian siswa
saja, akan tetapi seluruh siswa merasakan kesenangan dalam proses
pembelajaran. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik
dengan peranan yang arif dan bijak, sehingga bagaimanapun
kepribadian siswa mereka akan merasa nyaman belajar, berdiskusi,
berinteraksi bersama seorang guru.33
Guru yang memandang siswa sebagai pribadi yang berbeda
dengan siswa lainnya tentu akan berbeda dengan guru memandang
siswa sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam
segala hal. Maka penting meluruskan pandangan yang keliru dalam
menilai seorang siswa. Sebaiknya guru memandang siswa sebagai
makhluk individual dengan segala perbedaannya, sehingga mudah
melakukan pendekatan dalam pengajaran.34
3. Lingkungan Sosial Santri
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Karena itu mutlak diperlukan. Anak yang baru lahir pun
33
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Murid dalam Interaksi Edukatif, 5. 34
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Murid dalam Interaksi Edukatif,
5-6.
67
memerlukan pendidikan, bahkan sejak ia dalam kandungan ibunya.
Pada umumnya sikap dan kepribadian siswa ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan, yang dilalui sejak
masih kecil. Pendidikan merupakan kebutuhan hidup dan ketentuan
jiwa. Begitu pula dalam mempelajari sebuah bahasa. Seorang anak
akan memperoleh bahasa pertamanya secara tidak sadar. Ia melalui
tahapan-tahapan pertumbuhan baik dari segi fisik ataupun dari segi
bahasa mereka. Anak yang lahir akan membawa sifat-sifat
keturunan, sehingga ia sudah memiliki pembawaan sejak lahir.
Pembawaan ini yang anak tumbuh dan berkembang. Adapun
lingkungan menjadi stimulan dari proses pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak.35
Lingkungan merupakan faktor eksternal yang
mempengaruhi proses belajar siswa. Lebih sempitnya lagi
lingkungan kelas merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian
penuh dan diciptakan dalam pembelajaran.36
Begitu pula dalam
pembelajaran bahasa Arab, perlu diciptakannya lingkungan
berbahasa Arab agar siswa mampu memperoleh bahasa.37
35
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Murid dalam Interaksi Edukatif,
53. Syaiful menjelaskan bahwa anak yang baru lahir belum ammpu menghadapi
kehidupan, akan tetapi ia tergantung pada lingkungan. Anak dengan sifat
pembawaannya akan bergantung pada lingkungan sekitarnya. Ia berpendapat
bahwa bakat tidak mampu tumbuh dan berkembang pada situasi yangtidka
sesuai. 36
Hazmida Kahar, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab
(Jakarta: Beringin Mulia, 2008), 61. Disertasi di Universitas Negeri Jakarta;
Judul Asli „Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah Assyafiiyah
Jatiwaringin Jakarta, Suatu Kajian Etnografi‟. 37
Maya Hickman dalam Paul Fletcher dan Micahel Garman
menjelaskan tentang pemerolehan bahasa terjadi secara aktif. Ketika seorang
anak memperoleh bahasa, mereka memperoleh system lambang yang sangat
berhubungan dengan dua hal yaitu aspek kognitif dan sosial dari kehidupan
mereka. Isu ini terbentuk dalam penilaian hubungan di antara sosial, bahasa, dan
proses kognitif yang berkembang di dalam diri siswa, tetapi tidak dibentuk
secara berlebihan. Jika kita melihat status suatu bahasa dalam dua teori
pengembangan bahasa anak, seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan
Vygotsky, dalam hubungannya dengan proses interaksi sosial dan kognitif, maka
kebanyakan dari teori itu terjadi dalam satu bentuk atau lainnya, yaitu bagaimana
68
Beverly Eisele mengusulkan elemen-elemen38
yang perlu
ditemukan dalam kelas-kelas bahasa dengan memberikan ciri-ciri
umum kelas bahasa yang baik antara lain sebagai berikut:
1. Siswa-siswa di dalam kelas-kelas bahasa dapat meningkat
melalui pengembangan tahap-tahap yang sesuai yaitu
dilibatkan dalam interaksi sosial sepanjang pembelajaran
dilakukan, membagikan tanggung jawab untuk proses
belajarnya, merasa senang dalam melakuka uji coba dan
pelatihan membaca dan menulis mereka tanpa merasa ragu
mendapatkan kritikan, dan mengevaluasi kemajuan mereka
sebagai bagian yang alamiah bagi seluruh pengalaman
belajarnya.
2. Guru-guru di dalam kelas-kelas bahasa sebaiknya
memandang siswa-siswinya sebagai sosok yang memiliki
kemampuan untuk belajar, menjadi pengamat dan pembantu
pelajar pada saat berinteraksi dengan siswa-siswanya,
mendemonstrasikan dan menciptakan model membaca dan
menulis, melayani sebagai seorang fasilitator bagi siswa
yang sedang melakukan belajar dan memberikan umpan
balik positif dan spesifik kepada para siswa.
3. Pembelajaran di dalam kelas-kelas bahasa dapat dalam
bentuk para guru membaca dan menulis yang otentik, guru
mengasumsikan bahwa isi dan proses belajar merupakan hal
sama-sama pentingnya, mengimplementasikan kegiatan-
kegiatan kelas yang mengarah pada pusat belajar dan
bermakna, membentuk integrasi proses bahasa melalui
bidang-bidang isi pembelajaran, menyediakan
bahasa, pikiran, dan interaksi sosial itu saling berhubungan dalam kehidupan
anak tersebut. Lihat Paul Fletcher dan Michael Garman, Language Acquisition
(London: Cambridge University Press, 1986), 3rd
Edition, 9. Seperti yang dikutip
oleh Hazmida Kahar, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab, 60-61. 38
Syaiful Bahri Djamarah, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa
Arab, 62-63. Mengutip dari buku Beverly Eisele, Managing the Whole Language
Classroom: A Complete Teaching Resources Guide for K-6 Teachers (Cypress:
Creative Teaching Press, 1991), 4.
69
literatur/bahan bacaan yang berkualitas untuk membantu
pengembangan baca-tulis, dan menjadikan pemberdayaan
siswa sebagai tujuan melalui proses pemilikan dan
pemilihan.
Menciptakan lingkungan bahasa39
disadari sebagai hal yang
penting. Seperti yang diutarakan oleh salah seorang ustadz Pondok
Pesantren Modern Assa‟adah bahwa penerapan disiplin berbahasa
sebagai peraturan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh santri
dengan tujuan membentuk lingkungan berbahasa di pondok
tersebut.40
Penegakan disiplin berbahasa yang diterapkan oleh pondok
pesantren modern Assa‟adah pastinya terdapat berbagai macam
respon dari para santri. Begitu pula penciptaan lingkungan
berbahasa melalui kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan
berbahasa seperti Muh}a>dathah, Muh}a>d}arah, al-Id}a>fah al-
Lugha>wiyah, dan kegiatan pengembangan bahasa lainnya. Di
bawah ini bagan presentasi perbandingan respon siswa ekstrovert
dan introvert terhadap penciptaan lingkungan berbahasa melalui
kegiatan-kegiatan pengembangan bahasa.
39
Effendy menjelaskan bahwa lingkungan bahasa adalah segala sesuatu
yang didengar dan dilihat oleh pembelajar berkaitan dengan bahasa targetyang
sedang dipelajari. Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, 165. 40
Hasil wawancara dengan salah seorang ustadz bagian pengembangan
bahasa pada tanggal 12 Maret 2014.
70
Gambar 7. Respon Siswa Terhadap Penciptaan Lingkungan
Berbahasa
Dari data di atas dapat dilihat perbandingan antara respon
siswa dengan kepribadian ekstrovert dan respon siswa dengan
kepribadian introvert terhadap penciptaan lingkungan berbahasa di
Pondok Pesantren Modern Assa‟adah.
Pada unsur pertama siswa ekstrovert lebih banyak setuju
dibandingkan siswa introvert. Mereka siswa ekstrovert menilai
penciptaan lingkungan berbahasa dengan membuat madding yang
berisikan kosakata dalam bahasa Arab sangatlah membantu mereka
dalam meningkatkan kemampuan mereka dalam berbahasa Arab.
Berbeda dengan siswa introvert mereka menilai penciptaan
lingkungan berbahasa dengan membuat madding yang berisikan
kosakata dalam bahasa Arab hanya pada tingkatan cukup
membantu bukan sangat membantu. Hal ini dibuktikan dari respon
yang mereka isi sebanyak dua orang dari tiga belas siswa
responden dengan kepribadian introvert mengisi kolom netral. Jika
Unsur 1 Unsur 2 Unsur 3 Unsur 4 Unsur 5
Kepribadian Ekstrovert
6 2 2 7 1
Kepribadian Introvert
5 1 2 10 1
0
2
4
6
8
10
12
Respon Siswa Terhadap Penciptaan Lingkungan Berbahasa antara Siswa Ekstrovert dan Introvert
71
dipresntasikan sekitar 15,38% dari 13 siswa introvert menyatakan
netral.41
Respon Siswa Ekstrovert terhadap Penciptaan Lingkungan
Berbahasa
Gambar 8. Respon Siswa Ekstrovert
Dari grafik di atas, pada unsur pertama tentang pamasangan
kosakata bahasa Arab di madding bahwa sebanyak 46%
menyatakan sangat setuju, 54% menyatakan setuju, sedangkan
yang menyatakan netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju
sebanyak 0%. Pada unsur kedua tentang metode pemberian
kosakata baru melalui Koran, majalah atau media cetak lain bahwa
sebanyak 15% menyatakan sangat setuju, 77% menyatakan setuju,
8% menyatakan netral, sedangkan yang menyatakan tidak setuju
dan sangat tidak setuju sebanyak 0%. Pada unsur ketiga tentang
pemutaran media audio berbahasa Arab dalam meningkatkan
pemahaman terhadap bahasa Arab bahwa sebanyak 15%
menyatakan sangat setuju, 46% menyatakan setuju, 31%
menyatakan netral, 8% menyatakan tidak setuju, sedangkan yang
41
Hasil angket item lingkungan bahasa di pesantren unsur pertama yang
menyatakan bahwa madding yang memuat kosakata dalam bahasa Arab sangat
membantu dalam mengembangkan keterampilan berbahasa Arab.
0
2
4
6
8
10
12
Sangat Setuju
Setuju Netral Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Unsur 1
Unsur 2
Unsur 3
Unsur 4
Unsur 5
72
menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 0%. Pada unsur keempat
tentang pemberian sangsi atau hukuman kepada santri yang
melanggar peraturan atau disiplin berbahasa bahwa sebanyak 54%
menyatakan sangat setuju, 38% menyatakan setuju, 8%
menyatakan netral, sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan
sangat tidak setuju sebanyak 0%. Pada unsur kelima tentang
kegiatan yang menunjang pengembangan kompetensi berbicara
bahasa Arab bahwa sebanyak 8% menyatakan sangat setuju, 23%
menyatakan setuju, 23% menyatakan netral, 38% menyatakan tidak
setuju, dan 8% menyatakan sangat tidak setuju.42
Respon Siswa Introvert terhadap Penciptaan Lingkungan
Berbahasa
Gambar 9. Respon Siswa Introvert
Dari grafik di atas, pada unsur pertama tentang pamasangan
kosakata bahasa Arab di madding bahwa sebanyak 38%
menyatakan sangat setuju, 46% menyatakan setuju, 16%
menyatakan netral, sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan
sangat tidak setuju sebanyak 0%. Pada unsur kedua tentang metode
pemberian kosakata baru melalui Koran, majalah atau media cetak
lain bahwa sebanyak 8% menyatakan sangat setuju, 38%
42
Hasil ini didapat dari analisis angket item lingkungan bahasa di
pesantren, kepada 13 siswa ekstrovert sebagai responden.
0
2
4
6
8
10
12
Sangat Setuju
Setuju Netral Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Unsur 1
Unsur 2
Unsur 3
Unsur 4
Unsur 5
73
menyatakan setuju, 38% menyatakan netral, 16% menyatakan tidak
setuju dan sangat tidak setuju sebanyak 0%. Pada unsur ketiga
tentang pemutaran media audio berbahasa Arab dalam
meningkatkan pemahaman terhadap bahasa Arab bahwa sebanyak
16% menyatakan sangat setuju, 23% menyatakan setuju, 38%
menyatakan netral, 23% menyatakan tidak setuju, sedangkan yang
menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 0%. Pada unsur keempat
tentang pemberian sangsi atau hukuman kepada santri yang
melanggar peraturan atau disiplin berbahasa bahwa sebanyak 77%
menyatakan sangat setuju, 8% menyatakan setuju, 8% menyatakan
netral, 0% menyatakan tidak setuju dan 8% menyatakan sangat
tidak setuju. Pada unsur kelima tentang kegiatan yang menunjang
pengembangan kompetensi berbicara bahasa Arab bahwa sebanyak
8% menyatakan sangat setuju, 8% menyatakan setuju, 54%
menyatakan netral, 15% menyatakan tidak setuju, dan 15% juga
menyatakan sangat tidak setuju.43
Dari pemaparan dan temuan-temuan yang dianalisis tentang
aspek-aspek pemerolehan bahasa kedua/Arab bahwa pemerolehan
bahasa pertama ataupun kedua diperoleh di alam bawah sadar.
Perbedaan yang mendasar tentang pemerolehan bahasa kedua
adalah adanya stimulan-stimulan dari luar diri pembelajar bahasa
yang mendorong system pembawaan manusia menjadi berkembang
dari proses ke proses. Latar belakang bahasa atau bisa disebut
bahasa pertama/bahasa ibu memiliki pengaruh atau ikut
berkontribusi dalam pemerolehan bahasa kedua. Hal ini karena
dalam pemerolehan bahasa kedua terdapat kompetensi berbahasa
yang hanya didapat dengan proses pembelajaran. Proses
pembelajaran inilah yang menstimulan piranti bawaan atau yang
disebut LAD (Language Acquisition Device) dalam memperoleh
bahasa kedua. Interaksi edukatif menjadi solusi terkait perbedaan
individu dari setiap siswa. Guru yang bertindak sebagai fasilitator
43
Hasil ini didapat dari analisis angket item lingkungan bahasa di
pesantren, kepada 13 siswa introvert sebagai responden.
74
anak dalam belajar bahasa harus mampu melihat perbedaan dari
masing-masing siswa. Sedangkan lingkungan bahasa santri di
pesantren merupakan penciptaan suasana belajar langsung dalam
bahasa target yaitu menggunakan bahasa kedua/Arab sebagai
bahasa pengantar atau bahasa komunikasi sehari-hari.
B. Kepribadian Ekstrovert-Introvert dan Pemerolehan Bahasa
Arab
Ketika seorang guru berhadapan dengan muridnya di dalam
kelas, maka ia akan menemukan muridnya dengan berbagai
karakter. Perbedaan individual di setiap individu siswa menjadi
corak yang menarik dalam proses pembelajaran bahasa Arab.
Adapun dalam penelitian ini keunikan yang diamati dari setiap
individu adalah perbedaan kepribadian siswa.
Dalam teori MBTI yang sudah dijelaskan pada bab 2 bahwa
dari keempat dimensi kepribadian yang terdiri dari 16 tipe
kepribadian yang menjadi banyak ketertarikan untuk diteliti adalah
kepribadian ekstrovert dan introvert. Di mana kedua kepribadian
ini mewakili keempat belas tipe kepribadian yang lain. Karena pada
dasarnya keempat belas tipe kepribadian ini terdapat dalam 2
kepribadian ini ekstrovert-introvert.44
Bitchener, Young, dan Cameron menyatakan bahwa
kepribadian merupakan salah satu dari perbedaan individu
(Individual Differences) yang secara luas dibentuk untuk memiliki
hasil yang baik dalam melakukan sebuah pembelajaran pada
umumnya, lebih khusus lagi dalam pemerolehan bahasa kedua.
Berarti kepribadian memiliki hasil yang berbeda-beda sebagai
pembelajar bahasa yang mempelajari sebuah bahasa. Selain itu,
banyak sekali penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa
kontribusi saling bekerjasama antar siswa baik dengan kepribadian
44
Tommy, dkk, “Perbedaan Minat dalam Penggunaan Fungsi Internet
Berdasarkan Tipe Kepribadian”, Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005,
95.
75
ekstrovert ataupun introvert menuai hasil yang positif terhadap
pembelajaran dan pemerolehan bahasa.45
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Reza tentang
pengaruh Self-Correction pada siswa ekstrovert-introvert terhadap
peningkatan kemampuan menulis mereka. Ia menyimpulkan bahwa
ada perbedaan yang signifikan antara koreksi kesalahan menulis
oleh diri sendiri dengan koreksi kesalahan menulis oleh guru.
Koreksi sendiri memiliki efek yang lebih tinggi dibandingkan
koreksi yang dilakukan oleh guru dalam mengingkatkan
kemampuan menulis. Sedangkan tidak adanya keterkaitan baik itu
siswa kepribadian ekstrovert atau pun introvert dalam
meningkatkan kemampuan menulis siswa.46
Perbedaan kepribadian dari masing-masing siswa disadari
oleh para guru untuk dijadikan tolak ukur dalam menentukan
sebuah pembelajaran. Bagaimana ia mampu mengelola sebuah
kelas, ketika individu yang ada dalam kelas tersebut berbeda. Mulai
dari menentukan pendekatan yang akan digunakan, metode yang
akan dipakai hingga teknik apa yang baik untuk pembelajaran
berbasis perbedaan individu. Seorang ustadz yang mengajar bahasa
Arab di tingkat 1 MMI (setara kelas VII SMP) mengatakan bahwa
mengajarkan bahasa Arab tidak hanya memberikan materi bahasa
Arab kepada siswa. Akan tetapi bagaimana materi yang
disampaikan dapat diterima oleh setiap individu. Yang menjadi
kesulitan baginya adalah membuat model pembelajaran yang sesuai
dengan perbedaan kepribadian tersebut. Karena terkadang ada
sebagian siswa yang tidak merasa nyaman dengan pembelajaran
45
Reza Hajimohammadi, “Impact of Self-Correction on Extrovert and
Introvert Students in EFL Writing Progress”, Journal of English Language
Teaching Vol. 4, No. 2, June 2011, 162. 46
Reza Hajimohammadi, “Impact of Self-Correction on Extrovert and
Introvert Students in EFL Writing Progress”, Journal of English Language
Teaching Vol. 4, No. 2, June 2011, 166.
76
yang lakukan olehnya. Ia menilai bahwa santri yang lebih terlihat
ramai47
yang tanggap terhadap pembelajaran apapun.48
Pengetahuan tentang kepribadian merupakan hal yang
penting. Terutama di dalam lingkungan pembelajaran. Kepribadian
merupakan unsur yang menentukan keakraban hubungan antara
guru dengan anak didiknya. Memahami kepribadian siswa tentu
harus bercermin kepada kepribadian diri sendiri. Kepribadian
sejatinya adalah hal yang abstrak yang tidak dapat dilihat hanya
penampilan atau bekasnya saja yang dapat dilihat dari segala aspek
kehidupan. 49
Alexander Meikeljohn mengatakan bahwa tidak seorang
pun yang dapat menjadi seorang guru yang sejati kecuali bila dia
menjadikan dirinya sebagai bagian dari anak didik yang berusaha
untuk memahami semua anak didik dan kata-katanya. Guru yang
dapat memahami tentang kesulitan anak didik dalam hal belajar
dan kesulitan lainnya di luar masalah belajar, yang bisa
menghambat aktivitas belajar anak didik, maka guru tersebut akan
disenangi anak didiknya.50
Pada penelitian yang dilakukan oleh Reza menjelaskan
bahwa tidak adanya pengaruh antara kepribadian seseorang
terhadap peningkatan kemampuan menulis bahasa Inggris. Baik
kepribadian ekstrovert ataupun kepribadian introvert tidak
memberikan efek terkait peningkatan kemampuan berbahasa.
Kepribadian seseorang merupakan bawaan yang bukan merupakan
faktor yang mempengaruhi progress kemampuan berbahasa
47
Ramai yang dimaksud adalah santri-santri yang cenderung aktif, lebih
terbuk, yang mencirikan dari santri dengan kepriabadian ekstrovert yaitu
kepribadian yang lebih sociable, terbuka dan aktif. 48
Hasil wawancara dengan ustadzh pengajar mata pelajaran bahasa
Arab (Duru>s al-Lughah al-‘Arabiyah) kelas 1 MMI (setara dengan kelas VII
SMP), pada tanggal 3 April 2014 pukul 13.30 WIB. 49
Syaiful B Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
40-41. 50
Syaiful B Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
41.
77
seseorang. Kepribadian hanya menjadi faktor penentu terhadap
faktor-faktor lain dalam meningkatkan kemampuan berbahasa
seperti faktor lingkungan, faktor pembelajaran dan lain
sebagainya.51
Teori pemerolehan bahasa yang dipelopori oleh Chomsky
bersifat natural (alamiah) yaitu manusia memiliki piranti bahasa
dalam dirinya yang sudha dibawa sejak manusia itu dilahirkan di
muka bumi. Piranti bahasa tersebutlah yang menjadi dasar manusia
memiliki bakat untuk berbahasa. Dalam penelitian ini tipologi
kepribadian pembelajar akan dibagi berdasarkan struktur
kepribadian Carl Gustav Jung dengan menggunakan tes psikologi
Myers Briggs Tupe Indikator (MBTI). Dijeaslkan sebelumnya
bahwa ada 4 dimensi kepribadian, namun hanya 1 dimensi yang
akan digunakan dalam penelitian ini yaitu kepribadian ekstrovert-
introvert.
Dalam penelitian ini pemerolehan bahasa kedua dikaitakan
dengan kepribadian dari pemeroleh bahasa. Dari hasil tes
kepribadian dengan menggunakan tes MBTI didapat sebanyak 26
santri dengan kadar ekstrovert-introvert dominan. Dari 26 santri
yang dijadikan responden 13 santri dengan kepribadian ekstrovert
dominan dan 13 santri dengan kepribadian introvert dominan.
Pengambilan sampel ini didasari dengan teknik sampling seperti
yang sudah dijelaskan pada bab I.
Ada perbedaan yang cukup signifikan dalam penentuan
kepribadian ekstrovert dengan menggunakan tes MBTI tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari grafik perbandingan dibawah ini:
51
Reza Hajimohammadi, “Impact of Self-Correction on Extrovert and
Introvert Students in EFL Writing Progress”, Journal of English Language
Teaching Vol. 4, No. 2, June 2011, 166. Dalam melakukan penelitian ini Reza
menyusun tiga rumusan masalah sebagai landasan untuk menganalisis hasil dari
temuan yang ia dapat. Adapun dua dari tiga rumusan tersebut adalah apakah ada
hubungan antara kepribadian ekstrovert dengan kemapuan menulis siswa, dan
apakah ada hubungan antara kepribadian introvert dengan kemampuan menulis
siswa.
78
Gambar 10. Grafik Test MBTI
Grafik di atas menggambarkan tentang perbedaan poin dari
tes MBTI terkait pengklasifikasian kepribadian menjadi
kepribadian ekstrovert dan introvert. Digambarkan pada grafik
tersebut pemerolehan poin yang cukup tinggi terjadi di kepribadian
ekstrovert. Kepribadian ekstrovert yang dominan rata-rata memiliki
14 poin bahkan tertinggi 15 poin dari 15 item pernyataan tes MBTI.
Sedangkan pada kepribadian introvert dominan cenderung hanya
mendapat poin 8-12 poin saja dari 15 item pernyataan tes MBTI.52
Pada penelitian-penelitian sebelumnya kepribadian
ekstrovert dinyatakan sebagai kepribadian yang baik selaku
pembelajar bahasa. Seperti yang diutarakan oleh Pritchard (1952)
and Pimsleur, Sunland, and Meintyre bahwa pembelajar ekstrovert
merupakan stereotype yang unggul sebagai pembelajar yang baik.
Begitupula dalam penelitian Reza, beberapa guru membenarkan
prinsip tersebut dengan mengatakan bahwa siswa ekstrovert lebih
memiliki jiwa sosial yang tinggi, lebih berani untuk mengambil
resiko, lebih konsekuen, mereka akan cenderung untuk belajar
52
Grafik perbandingan kepribadian ekstrovert-introvert dari hasil tes
MBTI yang disebar keseluruh santri kelas 1 MMI (setara dengan kelas VII SMP)
sebanyak 137 santri dan didapat 13 santri dengan nilai dominan kepribadian
ekstrovert dan 13 santri dengan nilai dominan kepribadian introvert.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13
Ekstrovert
Introvert
79
lebih cepat, dan lebih baik dibandingkan dengan mitra mereka yaitu
introvert.53
Ada perbedaan yang mencolok antara kepribadian
ekstrovert dan introvert dalam mempelajari bahasa Arab sampai
tahap pemerolehan bahasa. Dari hasil pengamatan di pondok
pesantren modern Assa‟adah pada santri kelas 1 MMI terhadap dua
tipe kepribadian tersebut bahwa santri ekstrovert cenderung
antusias dalam mengikuti kegiatan Id}a>fah54
. Mereka memanfaatkan
kegiatan tersebut sebagai waktu untuk mempelajari bahasa Arab di
luar waktu jam pelajaran dengan artian di luar jam kelas.
Santri dengan kepribadian ekstrovert lebih banyak bertanya
dan lebih cepat mengerti tentang materi-materi bahasa Arab yang
disampaikan. Mereka cenderung lebih berani mengambil resiko
dibandingkan dengan santri berkepribadian introvert. Hal ini
dibuktikan dengan santri ekstrovert cenderung menggunakan
bahasa Arab walau pun tata bahasa dan struktur yang mereka
gunakan salah. Hal yang terpenting bagi mereka adalah
53
Reza Hajimohammadi, “Impact of Self-Correction on Extrovert and
Introvert Students in EFL Writing Progress”, Journal of English Language
Teaching Vol. 4, No. 2, June 2011, 162. Hal ini juga serupa dengan yang
diutarakan oleh pengajar bahasa Arab kelas 1 MMI, ia mengatakan bahwa lebih
sulit mengajarkan santri yang cenderung pendiam kurang suka bergaul
dibandingkan dengan mengajarkan santri yang cenderung aktif, banyak bertanya,
pandai bergaul. Mengajarkan santri dengan pribadi yang diam perlu pendekatan
yang lebih dan cenderung lebih tertutup tidak ingin belajar dengna kondisi ramai
atau pun bising. Mereka lebih suka bertatap langsung dengan guru bertemu di
luar jam kelas untuk bertanya pertanyaan yang tidak mereka pahami
dibandingkan dengan bertanya langsung pada saat pelajaran berlangsung. Hasil
wawancara dengan ustadz pengajar mata pelajaran bahasa Arab kelas 1 MMI,
pada tanggal 3 April 2014 pukul 13.30 WIB. 54
Kegiatan ini merupakan salah satu dari kegiatan yang dibuat oleh
pesantren sebagai cara untuk mengoptimalkan pengembangan bahasa. Adapun
jadwal kegiatan ini dibagi menjadi tiga waktu, yaitu kegiatan untuk
mengembangkan Tila>wah al-Qura<n dilaksanakan setiap malam minggu, kegiatan
untuk pengembangan bahasa Inggris dilaksanakan setiap malam selasa, dan
sedangkan kegiatan untuk mengembangkan bahasa Arab dilaksanakan setiap
malam kamis. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan pengalaman belajar
yang lebih bagi para santri khususnya untuk mengembangkan kompetensi
mereka dalam berbahasa asing.
80
menggunakan bahasa Arab dan tidak melanggar disiplin berbahasa.
Berbeda dengan mitra mereka, santri dengan kepribadian introvert
cenderung lebih diam dan sedikit bicara dibandingkan harus
berbicara dengan tata bahasa dan struktur yang salah. Dengan
mereka diam, tentunya mereka tidak akan masuk dalam kategori
yang melanggar disiplin berbahasa, karena mereka tidak berbicara
dan tidak menggunakan bahasa yang salah. Santri introvert sedikit
berbicara sehingga ia mampu merangkai kata terlebih dahulu untuk
berbicara dengan bahasa Arab. Berbeda dengan santri ekstrovert
mereka lebih spontan menggunakan baahsa untuk berkomunikasi
walaupun bahasa yang mereka gunakan jauh dari harapan atau
tidak menggunakan struktur bahasa yang baik.55
Para guru bahasa kedua harus mengidentifikasi dan
memahami perbedaan karakteristik yang signifikan di antara para
pembelajar sehingga dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan
kegiatan edukatif di kelas yang berdampak pada pemerolehan
bahasa kedua. Hal ini akan memberikan pengajaran yang efektif
dan sensitive.56
Sebab adanya perbedaan karakteristik pembelajar
dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, dan
55
Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap santri ekstrovert-
introvert setiap mengikuti kegiatan pengembangan baasa Arab yaitu
dilaksanakan setiap malam kamis. Dari minggu ke minggu pengamatan yang
peneliti lakukan mendapatkan temuan bahwa santri ekstrovert memang lebih
sering menggunakan bahasa Arab untuk berkomunikasi dalam kegiatan tersebut
walau pun bahasa mereka terkesan dipaksakan. Bahasa Arab yang mereka
gunakan masih diimbuhi dengan tambahan-tambahan bahasa Indonesia seperti
geh, lah, sih dan lain sebagainya. Salah satu contoh adalah ketika salah seorang
santri ingin meminjam pulpen atau buku bahasa Arab yang benar seharusnya
seperti ini Asta’irru Minka Qalaman akan tetapi bahasa Arab yang mereka
ucapkan adalah Asta’ir Qalam sih, 56
M.E. Ehrman, “Personality, Language Learning Aptitude and
Program Structure”, Makalah, 1995b dan Oxford & M.E. Ehrman, “Second
Language Research on Individual Differences”, Annual Review of Applied
Linguistic, 4, 65-94, 1993 dalam Patricia L Carrel, at all, “Personality Type and
Language Learning in EFL Context”, Language Learning, 46, No. 1 March
1996, 76. Seperti yang dikutip oleh Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis
Tugas, Kepribadian Ekstrovert, dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab”, Tesis
di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, 102.
81
pendekatan dalam pembelajaran.57
Lebih lanjut Moody mengatakan
bahwa kebanyak kepribadian seseorang ditentukan oleh genetika,
perkiraannya antara 50%-80%. Kebiasaan-kebiasaan seseorang
mungkin berubah, akan tetapi dasar-dasar kepribadiannya tidak
berubah.58
C. Framework Model Pemerolehan Bahasa Arab Bagi
Kepribadian Esktrovert-Introvert
Seseorang dengan kepribadian ekstrovert memang
cenderung lebih mudah bergaul dibandingkan dengan seseorang
dengan kepribadian introvert. Hal ini seperti yang sudh
disampaikan oleh Pritchard (1952) and Pimsleur, Sunland, and
Meintyre bahwa pembelajar ekstrovert merupakan stereotype yang
unggul sebagai pembelajar yang baik. Begitupula dalam penelitian
Reza, beberapa guru membenarkan prinsip tersebut dengan
mengatakan bahwa siswa ekstrovert lebih memiliki jiwa sosial
yang tinggi, lebih berani untuk mengambil resiko, lebih konsekuen,
57
McCaulley & Frank Natter, Psychology (Myers-Briggs) Type
differences in Education, Gainesville, FL: Centre for Aplication of
Psychologycal Type, 1980 dalam Raymond Moody, “Personality Preferences
and Foreign Language Learning”, The Modern Language Journal, 72 No. 4
Winter 1988, 389. Seperti yang dikutip oleh Yuan Martina Dinata, “Pendekatan
Berbasis Tugas, Kepribadian Ekstrovert, dan Keterampilan Berbicara Bahasa
Arab”, Tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008,
102.
Lihat juga “Konsep Pendidikan Ilmu Maskawaih tentang peserta dan
Pembelajar Didik”, dalam Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. III, 2003), 17. Menurut Ibnu Maskawaih tentang konsep peserta didik,
menurutnya peserta didik meupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan
perlu mendapatkan perhatian. Perbedaan individual pembelajar dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan sebagainya,
sehingga dalam memilih metode mengajar tertentu guru perlu memperhatikan
aspek perbedaan individual pembelajar tersebut. Dikutip oleh Yuan Martina
DInata, “Pendekatan Berbasis Tugas, Kepribadian Ekstrovert, dan Keterampilan
Berbicara Bahasa Arab”, Tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008, 102. 58
Raymond Moody, “Personality Preferences and Foreign Language
Learning”, 389.
82
mereka akan cenderung untuk belajar lebih cepat, dan lebih baik
dibandingkan dengan mitra mereka yaitu introvert.59
Begitu pula dalam memilih lingkungan belajar, siswa
dengan kepribadian ekstrovert cenderung lebih memilih lingkungan
belajar face-to face, sehingga mereka dapat berhubungan dengan
orang lain. Sedangkan siswa dengan kepribadian introvert
cenderung lebih memilih lingkungan belajar secara tertutup dari
pada lingkunga face-to face, karena dengan lingkungan tertutup
dapat memberikan waktu untuknya merefleksikan inner world-
nya.60
Dampak dari dua kepribadian tersebut adalah kekurangan
yang dimiliki oleh kepribadian introvert. Mereka tidak akan
sesukses kepribadian ekstrovert dalam mempelajari bahasa
kedua/Arab. Dengan perbandingan cara dan gaya belajar antara dua
kepribadian tersebut, jelas akan menimbulkan hasil yang berbeda
pula. Dengan dikatakan bahwa pembelajar ekstrovert akan lebih
sukses karena pembelajar dengan kepribadian ini cenderung lebih
mudah bergaul dan tidak takut untuk mengambil resiko terhadap
apa yang akan ia lakukan.
Adapun model pemerolehan bahasa Arab bagi kepribadian
ekstrovert dan introvert sebenarnya adalah pendekatan apa yang
digunakan oleh guru untuk memberikan pembelajaran kepada
mereka, sesuai dengan tipe kepribadian tersebut. Seyogyanya guru
perlu memperhatikan kepribadian anak didiknya. Agar metode,
pendekatan yang digunakan lebih bervariatif. Walaupun pada
59
Reza Hajimohammadi, “Impact of Self-Correction on Extrovert and
Introvert Students in EFL Writing Progress”,….162, 60
Russel menemukan dalam penelitiannya bahwa pembelajar ekstrovert
lebih cenderung memilih lingkungan belajar yang terbuka (face-to face). Ia pun
menemukan bahwa pembelajar introvert cenderung memilih lingkungan belajar
yang tertutup karena hal ini dapat memberikan watu untuknya merefleksikan
inner world-nya. Dikutip oleh Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis
Tugas, Kepribadian Ekstrovert, dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab, ….
127 dari Russel, Russel, A. “MBTI® Personality Preferences and Diverse Online
Learning Experiences, School Libraries Worldwide, 8(1), 25-40. 2002.
83
kenyataan lebih banyak pembelajar dengan kepribadian ekstrovert
dibandingkan dengan pembelajar berkepribadian introvert.
Raymodn Moody61
memberikan saran gaya belajar/metode
pembelajaran yang disesuaikan dengan tipe kepribadian dengan tes
MBTI untuk dimensi ekstrovert-introvert sebagai berikut:
a. Ekstrovert: 1) mereka belajar dengan fakta-fakta yang
spesifik, 2) melalui aksi spontan, 3) dimulai dengan contoh
dahulu (induktif), 4) berbicara, diskusi dengan kelompok, 5)
interaksi sosial, 6) tes lisan, 7) aplikasi secara praktek dan
aktivitas-aktivitas psikomotor
b. Introvert: 1) belajar mengenai ide-ide, hubungan-hubungan,
2) berfikir yang membutuhkan konsentrasi tinggi, 3) belajar
dimulai dari aturan-aturan (deduktif), 4) membaca/alasan
verbal, 5) belajar/bekerja sendiri, 6) tes tertulis, 7) belajar
konsep.
Jika dalam pembelajaran bahasa kedua/Arab lebih dominan
ekstrovert maka metode yang digunakan oleh guru sesuai dengan
metode yang cocok dengan ekstrovert. Akan tetapi sebaiknya guru
lebih menggunakan beberapa metode dalam mengajar tujuannya
adalah agar lebih variatif pembelajaran bahasa kedua/Arab.
61
Raymond Moody, “Personality Preferences and Foreign Language
Learning”, 391. Dikutip oleh Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis Tugas,
Kepribadian Ekstrovert, dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab”, 128.
84
85
BAB IV
IMPLEMENTASI PEMEROLEHAN BAHASA ARAB DI
PONDOK PESANTREN PADA SANTRI EKSTROVERT
Pada bab III sudah dibahas mengenai temuan-temuan
terkait proses pemerolehan bahasa Arab berbasis kepribadian
ekstrovert. Santri dengan kepribadian ekstrovert lebih dipengaruhi
oleh dunia yang objektif. Pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa ada pengaruh lingkungan sosial terhadap
kepribadian ekstrovert dalam memperoleh bahasa kedua/Arab. Hal
ini disebabkan oleh pikiran, perasaan, dan tindakannya yang lebih
banyak ditentukan oleh lingkungan di luar dirinya, baik itu
lingkungan sosial atau pun lingkungan non sosial.
Pada bab IV ini membahas tentang analisis hasil temuan-
temuan terkait proses pemerolehan bahasa kedua/Arab yaitu
mengenai implementasi pemerolehan bahasa Arab pada santri
dengan kepribadian ekstrovert. Dalam bab ini pula dibahas
mengenai bagaimana ciri-ciri khusus pada santri ekstrovert dalam
memperoleh bahasa kedua/Arab, kemudian implementasi
keterampilan berbicara pada santri ektrovert dapat membantunya
mengembangkan bakat berbahasa, serta program pemerolehan dan
pembelajaran bahasa Arab.
A. Pemerolehan Bahasa Arab pada Santri Ekstrovert
Pemerolehan bahasa1 atau biasa disebut dengan akuisisi
bahasa terjadi melalui proses yang tidak disadari oleh seseorang.
Tatkala anak kecil mulai berlatih bicara tentu dengan proses
pembelajaran terus menerus baik dengan cara meniru atau apa pun
1 Krashen membedakan istilah pemerolehan bahasa dan pembelajaran
bahasa. Pemerolehan bahasa merupakan terbentuknya kreativitas berbahasa
dalam berkomunikasi yang dilakukan secara tidak sadar, sedangkan
pembelajaran bahasa adalah proses mencari tahu kaidah-kaidah bahasa melalui
jalur pembelajaran secara sadar. Lihat Stephen D Krashen, Second Language
Acquisition and Second Language Teaching (Oxford: Pergamon Press, 1983),
16.
86
tanpa mereka sadari hingga mereka mampu berbicara. Kemudian
dengan semakin mereka mengalami pertumbuhan juga terhadap
fungsi indra bicaranya mereka semakin lancar melafalkan kata
demi kata, dan semakin jelas huruf-huruf yang mereka lafalkan.2
Pemerolehan bahasa kedua yang terjadi pada santri
ekstrovert, didominasi oleh ciri-ciri khusus yang melekat dalam
kepribadian ekstrovert antara lain adalah Risk-Taking, Motivatonal,
dan Sociable. Berikut di bawah ini analisis hasil temuan tentang
ketiga ciri khusus pada santri ekstrovert dalam mempelajari dan
memperoleh bahasa Arab di pondok pesantren modern.
1. Risk-Taking
Risk-Taking kerap diidentikkan dengan seseorang dengan
kepribadian ekstrovert. Brown3 menyatakan bahwa banyak sekali
orang di dunia ini tidak berani atau tidak sanggup untuk mengambil
risiko khususnya dalam konteks pembelajaran. Sebaliknya mereka
justru cenderung mendorong ke arah yang benar dengan maksud
tidak mengambil risiko, mereka lebih memilih jawaban yang tepat,
atau tanpa usaha untuk menebak terkecuali sampai salah satu dari
pernyataan itu sudah pasti benar.
Risk-Taking disebut sebagai suatu sifat dalam diri manusia
yang mendorong untuk melakukan sesuatu tanpa harus takut untuk
2 Pandangan seperti tersebut didasarkan pada temuan-temuan hasil
penelitian dari para peneliti terkemuka dalam bidang pemerolehan bahasa
pertama. Seperti halnya Lois Bloom (1975) mengemukakan bahwa apa yang
diketahui oleh sang anak mengenai dunia menentukan apa yang dipelajarinya
mengenai bahasa, mengacu kepada karyanya sendiri (1973) dan juga pada karya-
karya Macnamara (1972), Sinclair (1970), dan Slobin (1973). Slobin (1973)
mengemukakan serta mengusulkan prinsip operasi yang akan diterapkan pada
upaya belajar atau mempelajari suatu bahasa hal ini didasari atas data dari telaah-
telaah perkembangan sejumlah bahasa. Beliau mempostulasikan bahwa
mempelajari semantic akan bergantung pada perkembangan kognitif, dan bahwa
anak-anak akan berbicara mengenai apa yang telah mereka ketahui, dengan atau
tanpa memiliki struktur formal untuk berbuat seperti itu. Lihat Henry Guntur
Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa (Bandung: Angkasa, 2011), 99. 3 H. Douglas Brown, Teaching by Principles: An Interactive Approach
to Language Pedagogy (New York: Addition Welsey: Longman, Inc, 2001), 63.
87
membuat kesalahan. Sehingga dalam konteks pembelajaran dapat
diartikan sebagai suatu tindakan tidak takut salah untuk memulai
sebuah pembelajaran.4
Dalam sebuah studi dikatakan bahwa risk-taking sebagai
sebuah ciri dari kepribadian seseorang. Doernyei (1990), Ehrman
(1996), Gardner (1980), Maclntyre dan Charos (1996), telah
melakukan sebuah penelitian tentang aspek-aspek keberhasilan
pembelajaran bahasa serta kegagalannya. Mereka menetapkan
adanya tujuh aspek sebagai faktor afektif seseorang dalam
keberhasilan pembelajaran dan kegagalannya antara lain akulturasi,
ego, kepribadian, emosi, kepercayaan, sikap, dan motivasi.
Sedangkan risk-taking seperti yang disebutkan di atas merupakan
sebuah ciri dari kepribadian.5
Risk-taking merupakan salah satu bagian dari sebuah
kepribadian. Risk-taking erat hubungannya dengan kepribadian
seseorang dalam mempelajari sebuah bahasa, terutama dalam
memperoleh bahasa kedua atau bahasa asing. Sikap berani untuk
melakukan kesalahan merupakan kunci sukses dalam sebuah proses
pembelajaran. Begitu pula dalam proses pembelajaran bahasa
kedua atau pun bahasa Asing, sikap tersebut sangat dibutuhkan
agar pembelajar mempunyai keinginan untuk memulai walau pun
banyak kesalahan yang diucapkan dalam proses pembelajaran
bahasa kedua.6 Risk-taking banyak didefinisikan sebagai suatu
keadaan di mana seorang individu harus membuat keputusan yang
melibatkan pilihan antara alternatif-alternatif dari keinginan yang
4 Elham Dehbozorgi, “Effects of Attitude towards Language Learning
and Risk-taking on EFL Student’s Proficiency”, International Journal of English
Linguistics, Vol. 2, No. 2, April 2012, 42. 5 Elham Dehbozorgi, “Effects of Attitude towards Language Learning
and Risk-Taking on EFL Students’s Proficiency”, 41. 6 Zafar Shahila and Meenakshi K., “A Study on the Relationship
Between Extroversion-Introversion and Risk-Taking in the Context of Second
Language Acquisition”, International Journal of Research Studies in Language
Learning, Vol. 1, Number. 1, 2012, 36.
88
berbeda; hasil pilihan yang dipilih menjadi tidak pasti; dan ada
kemungkinan menemukan kegagalan.7
Menurut Brown8 sebuah interaksi
9 membutuhkan risiko
gagal untuk menghasilkan makna atau tujuan yang dimaksudkan,
kemudian gagal untuk menangkap atau menafsirkan makna yang
dimaksud, begitu juga membutuhkan risiko untuk ditertawakan,
dijauhi atau pun ditolak. Akan tetapi tentu saja buah atau imbalan
dari risiko tersebut pastinya sepadan dengan risiko yang diterima.
Hal ini juga berlaku pada proses pembelajaran bahasa. Mempelajari
sebuah bahasa, terutama bahasa kedua/Arab yang bukan
merupakan bahasa ibu yang sudah dikenal sejak lahir, tentunya
akan menemukan kesulitan-kesulitan dalam mempelajari bahasa
kedua/arab tersebut. Sikap berani mengambil risiko dari setiap
kesulitan yang ditemui dalam prose pembelajaran justru akan
menerima imbalan dari menghadapi kesulitankesulitan tersebut.
Salah satu contoh saja bahwa seorang santri pondok pesantren
modern tidak akan pernah mampu untuk berbahasa asing ketika ia
tidak mau melalui proses yang namanya belajar. Kemudian dalam
menjalani proses pembelajaran khususnya dalam pembelajaran
bahasa kedua/Arab tentu menemui kesulitan-kesulitan seperti takut
untuk menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari
disebabkan takut salah ucap. Maka santri tersebut selamanya tidak
akan mampu untuk berbicara dengan menggunakan bahasa asing.
Oleh karena itu, sikap berani mengambil risiko merupakan sikap
yang ditujukan atas pilihan-pilihan yang didapat dalam menjalani
sebuah proses pembelajaran bahasa kedua/Arab.
7 Beebe dalam Zafar Shahila and Meenakshi K., “A Study on the
Relationship Between Extroversion-Introversion and Risk-Taking in the Context
of Second Language Acquisition”, 36. 8 H. Douglas Brown, Principles of Language Learning and Teaching
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1994), 66. 9 Interaksi dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran
bahasa kedua/Arab.
89
Data-data atau temuan terkait sikap berani mengambil
risiko dalam pembelajaran bahasa kedua/Arab di pondok pesantren
modern Assa’adah adalah responden yang tergolong dalam satnri
dengan kepribadian ekstrovert ketika mengikuti kegiatan
muh}a>d}arah. Sebagian mereka menjelaskan bahwa kegiatan ini
memang wajib diikuti oleh setiap santri di pondok modern.
Kegiatan ini menjadi salah satu penilaian untuk kenaikan kelas
yaitu masuk dalam kategori ekstrakulikuler wajib. Mereka juga
menjelaskan bahwa ketika mereka ditunjuk sebagai pembicara
(speaker) maka mereka mempersiapkan teks terlebih dahulu untuk
menjadi bahan bicara nanti.10
Brown11
juga menjelaskan bahwa kunci untuk memiliki
sikap berani mengambil risiko sebagai sebuah strategi
pembelajaran adalah bukan hanya dalam mengambil risiko saja
yang diutamakan akan tetapi bagaimana kita mampu mengambil
pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat.
Dalam kajian linguistik, sikap berani mengambil risiko atau
risk-taking didefinisikan sebagai kemampuan yang sangat antusias
untuk mencoba informasi atau hal yang baru dengan cara yang
bijak dan cerdas tanpa mempertimbangkan rasa malu.12
Risk-taking
tidak hanya menjadi salah satu dari sebagian area afektif dalam
10
Hasil pengamatan dalam penelitian dan wawancara dengan sebagian
responden dengan kepribadian ektrovert. Mereka menjelaskan dalam kegiatan ini
ada yang disebut dengan intisari yaitu menunjuk santri secara langsung dan
memberikan intisari dari teman-teman yang sudah berbicara menjadi speaker.
Walau tanpa persiapan, mereka lebih memilih untuk maju dan memberikan
intisari walau pun secara struktur bahasa disebut salah. Bagi mereka yang
terpenting adalah proses belajar dan berani mengambil risiko dibandingkan
dengan tidak mencoba untuk berani maju memberikan intisari dan akan
mendapatkan punishment. 11
H. Douglas Brown, Teaching by Principles: An Interactive Approach
to Language Pedagogy, 63. Brown menjelaskan bahwa ketika seseorang berisiko
untuk menggunakan teknik baru dalam suatu kelas, maka cobalah untuk
menggunakan pendekatan baru bagi siswa yang sulit, akan tetapi anda harus siap
untuk menerima kemungkinan gagal dalam usaha anda. 12
Fatemeh Shojaee and Rahman Sahragard, “The Effect of Risk-Taking
on Translation Quality of English Translation Student”, 2.
90
sebuah faktor kepribadian akan tetapi juga merupakan satu dari
semua hal yang penting dalam pembelajaran bahasa kedua dan juga
dalam penelitian ini yaitu dalam pemerolehan bahasa kedua/Arab
yang terjadi di pondok pesantren modern.
Memiliki niat yang kuat untuk mencapai keberhasilan
belajar bahasa, harus diiringi dengan kesediaan pembelajar bahasa
untuk menyerap pengetahuan-pengetahuan yang baru dari guru
mereka. Dalam pembelajaran bahasa kedua/Arab para pelajar harus
memiliki keinginan untuk mendapatkan strategi serta mencoba
metode-metode yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang baik.
Hal ini tidak dapat tercapai terkecuali adanya interaksi antara para
pelajar13
dengan guru mereka serta untuk konsultasi. Hal ini dapat
terwujud jika adanya faktor risk-taking dalam diri masing-masing
individu santri. Sikap ini justru lebih diidentikkan dengan
kepribadian ekstrovert yang lebih terbuka dan cenderung berani
mengambil risiko.14
Elham Dehbozorgi (1985) telah melakukan sebuah studi
tentang Effects of Attitude towards Language Learning and Risk-
Taking on EFL Student’s Proficiency (Pengaruh Sikap terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Pengambilan Risiko pada Kemampuan
EFL Siswa) menyimpulkan bahwa ketika pembelajar memiliki
pemikiran yang negatif dalam mempelajari bahasa Inggris, maka
pengajaran terhadap materi tersebut akan menemukan kesulitan.
Oleh karena itu sikap positif menjadi hal yang sangat penting
dalam memasuki lingkungan baru yaitu mempelajari bahasa
baru/kedua.15
13
Dalam konteks ini adalah interaksi antara santri dengan usta>dh dan
usta>dhah mereka terutama bagian pengembangan bahasa. 14
Fatemeh Shojaee and Rahman Sahragard, “The Effect of Risk-Taking
on Translation Quality of English Translation Student”, 2. 15
Elham Dehbozorgi, “Effects of Attitude towards Language Learning
and Risk-Taking on EFL Student’s Proficiency”, International Journal of
English linguistics, Vol. 2., No. 2., 2012, 45.
91
Akan tetapi dalam sebuah proses pembelajaran atau dalam
kacamata psikologis maka keberadaan siswa dengan kepribadian
introvert pun menjadi sangat penting. Dua kepribadian yaitu
ekstrovert dan introvert dalam sebuah proses pembelajaran bahasa
kedua/Arab memiliki porsi yang sama di dalam kelas. Hanya saja
salah satu di antara mereka berfikir untung akan tetapi salah satu
lainnya lebih berfikir tentang kerugian. Brown menjelaskan bahwa
seorang siswa yang diam16
di dalam kelas merupakan salah satu
dari sekian siswa yang tidak mau terlihat bodoh ketika melakukan
sebuah kesalahan.17
Dengan demikian bahwa sikap berani
mengambil risiko (risk-taking) merupakan bagian dari sikap yang
memiliki keunggulan dalam proses pembelajaran bahasa
kedua/Arab terutama dalam proses memperoleh bahasa
kedua/Arab. Risk-taking yang cenderung ada pada santri dengan
kepribadian ekstrovert membantu mereka untuk mampu
mengembangkan kreatifitas mereka dalam menggunakan bahasa
kedua/Arab mereka dalam percakapan atau pun untuk
berkomunikasi sehari-hari. Dan risk-taking menjadi sikap yang
dimiliki oleh kepribadian ekstrovert yang menjadikan mereka
unggul dalam mempelajari bahasa kedua/Arab dan
mengaplikasikannya sebagai alat untuk berkomunikasi sehari-hari.
Juga sebagai bekal untuk mengembangkan diri dalam jangka
panjang.
2. Motivational
Pada bab sebelumnya sudah dibahas mengenai interaksi
edukatif dalam pemerolehan bahasa Arab. Dalam berinteraksi
tentunya timbul motivasi dalam proses berinteraksi. Motivasi
dalam pembelajaran menjadi sebuah stimulan untuk mendorong
16
Sikap diam cenderung diidentikkan pada seseorang dengan
kepribadian introvert. 17
Shahila Zafar and Meenakshi, “A Study on the Relationship between
Extroversion-Introversion and Risk-Taking in the Context of Second Language
Acquisition”, 38.
92
keaktifan siswa dalam mempelajari bahasa kedua/Arab. Mc.
Donald mendefiniskan motivasi sebagai sebuah perubahan enerfi
dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling”
dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.18
Ngalim Purwanto19
menjelaskan bahwa pada umumnya
motivasi merupakan suatu pernyataan yang kompleks dalam suatu
organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan
(goal) atau perangsang. Sehingga seorang santri dalam
menjalankan proses pembelajaran dan pemerolehan bahasa
kedua/Arab akan mengalami perubahan tingkah laku yang
signifikan ketika adanya dorongan atau motivasi sebagai
rangsangan agar suatu tujuan dapat lebih cepat tercapai.
Memiliki kemampuan bahasa asing baik bahasa Inggris atau
pun bahasa Arab tidak lagi menjadi sebuah tuntutan di zaman
sekarang, akan tetapi sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap
individu. Begitu pula bagi santri pondok pesantren modern, salah
satu tujuan dari pembelajaran bahasa Arab serta peraturan
penggunaan bahasa Arab dalam komunikasi sehari-hari adalah
membekali para santri dengan penguasaan bahasa asing terutama
bahasa Arab dengan baik. Sehingga bahasa Arab bagi para santri
pondok pesantren modern bukan hanya menjadi sebuah materi
pelajaran atau pun peraturan yang harus dilaksanakan, akan tetapi
18
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2003), 73. 19
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan Cet. 16 (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), 61. Dalam bukunya Purwanto menjelaskan bahwa
kajian mengenai motivasi tidak terlepas dari kajian tentang kebutuhan (need). Ia
menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan sesuatu, sedikit-banyaknya
didasari atas kebutuhan di dalam dirinya atau adanya sesuatu yang ingin dicapai.
Pembelajaran bahasa kedua/Arab di pondok pesantren modern adalah proses di
mana memiliki harapan agar para santri mampu menguasai bahasa asing dan
dapat digunakan untuk mengembangkan potensi diri. Oleh karena itu, bahasa
menjadi sebuah kebutuhan bagi santri untuk mempelajarinya. Kebutuhan
tersebut harus diimbangi dengan adanya pemberian stimulant dalam hal ini
adalah motivasi agar kebutuhan yang ingin dicapai dapat terwujud.
93
bahasa Arab menjadi sebuah kebutuhan yang tidak hanya bersifat
fisiologis tetapi juga bersifat psikis.20
Kemudian kaitannya antara motivasi dengan kepribadian
seseorang baik kepribadian ekstrovert atau pun kepribadian
introvert dalam mempelajari dan memperoleh bahasa kedua/Arab,
adalah sebagai dorongan dan juga stimulan untuk kedua
kepribadian tersebut. Seseorang dengan kepribadian ekstrovert
lebih cenderung terbuka untuk menerima motivasi dibandingkan
dengan seseorang dengan kepribadian introvert. Motivasi bagi
sebagian individu terutama indiviu dengan kepribadian ekstrovert
menjadi hal penting karena mengandung tiga unsur antara lain
motivasi berarti menggerakkan21
, motivasi berarti mengarahkan22
,
dan motivasi berarti menopang23
dari tingkah laku manusia.24
Terkait dengan motivasi yang terjadi pada kepribadian
ekstrovert dan kepribadian introvert, di bawah ini temuan hasil data
20
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan Cet. 16, 61. 21
Menggerakkan berarti menimbulkan kekuatan pada individu;
memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu, misalnya kekuatan
dalam mengingat kosakata-kosakata yang sudah dipelajari dan untuk
diaplikasikan ke dalam percakapan sehari-hari. Respon-respon efektif serta
kecenderungan mendapat kesenangan ketika seseorang sudah mampu berbahasa
Arab (dalam konteks penelitian ini). Lihat Ngalim Purwanto, Psikologi
Pendidikan,… 22
Mengarahkan berarti menyalurkan tingkah laku individu terhadap
sesuatu. Seseorang mempelajari bahasa kedua/Arab akan diarahkan kepada
pemerolehan bahasa kedua/Arab tersebut sehingga tujuannya adalah perubahan
tingkah laku pada individu tersebut yang semula tidak bisa berbahasa Arab
menjadi mampu untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa kedua/Arab.
Lihat Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan,… 23
Menopang berarti menjaga tingkah laku. Motivasi bagi seseorang
yang mempelajari sebuah bahasa dapat berupa topangan untuk dorongan-
dorongan atau kekuatan-kekuatan yang berlebih. Sehingga individu yang sedang
mempelajari bahasa kedua/Arab harus diberikan motivasi untuk menopang
intensitas dari dorongan-dorongan yang berlebih. Misalnya adalah peran
lingkungan dalam pembelajaran dan pemerolehan bahasa dapat dijadikan sebagai
motivasi untuk para pembelajar bahasa (language learner) dalam menguasai
keterampilan berbahasa. Lihat Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan,… 24
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan Cet. 16, 72.
94
angket prihal motivasi santri ekstrovert-introvert terhadap
pembelajaran bahasa Arab.
Tabel. 3. Motivasi Santri dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Pernyataan Jawaban Responden
Menghubu
ngi guru
Bertanya pada
saat akan ujian Bersikap
biasa saja
Jika saya menemukan
masalah terutama
dalam mempelajari
bahasa Arab maka saya
akan
Kepribadian Ekstrovert
85% 15% 0%
Kepribadian Introvert
54% 15% 31%
Pada tabel di atas motivasi santri terhadap pembelajaran
bahasa Arab menunjukkan bahwa 85% responden dengan
kepribadian ekstrovert lebih memilih menghubungi guru langsung
ketika menemukan masalah atau kesulitan dalam memahami materi
bahasa Arab. sebanyak 15 % dari responden ekstrovert memilih
jawaban bertanya pada saat ujian saja, dan sebanyak 0% memilih
bersikap biasa saja. Hal ini menunjukkan bahwa antusias yang
cukup tinggi dari responden ekstrovert terhadap pembelajaran
bahasa Arab.
Berbeda dengan responden dengan kepribadian introvert
sebanyak 54% memilih bertanya langsung pada saat menemukan
kesulitan, sebanyak 15% responden introvert lebih memilih
bertanya pada saat akan ujian saja dan 31% memilih bersikap biasa
saja. Hal ini menunjukkan kurang antusias dari responden introvert
terhadap pembelajaran bahasa Arab.25
25
Kurang antusias terhadap pembelajaran bahasa Arab disebabkan oleh
beberapa faktor. Dari hasil data yang ditemukan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan kurang termotivasinya para santri terhadap pembelajaran bahasa
Arab antara lain mereka lebih menyukai belajar bahasa Inggris dibandingkan
dengan bahasa Arab, bahasa Arab dinilai sulit karena harus menguasai berbagai
95
Tabel. 4. Motivasi Santri dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Pernyataan
Jawaban Responden Mengerjakan
dengan senang Mengerjakan jika
ditunjuk saja
Tidak mau
mengerjakan
walau ditunjuk Jika guru meminta
salah seorang murid
mengerjakan soal maka
saya akan
Kepribadian Ekstrovert
38% 62% 0%
Kepribadian Introvert
46% 54% 0%
Pada tabel di atas juga menjelaskan tentang motivasi santri
terhadap pembelajaran bahasa Arab. perbandingan antara
responden ekstrovert dan introvert dalam prihal ini menunjukkan
bahwa responden introvert cenderung lebih antusias dibandingkan
dengan responden ekstrovert. Sebanyak 46% responden introvert
lebih memilih jawaban mengerjakan dengan senang hati jika
diminta oleh guru untuk mengerjakan soal. Presentasi ini lebih
besar dibandingkan dengan responden ekstrovert dengan jumlah
38%.
Tabel. 5. Motivasi Santri dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Pernyataan
Jawaban Responden
Berdiskusi
dengan
teman
Segera
menghubungi
guru piket
Senang
karena tidak
belajar
Jika guru berhalangan
hadir pada saat
pelajaran maka saya
akan
Kepribadian Ekstrovert
58% 26% 16%
Kepribadian Introvert
23% 31% 46%
macam kaidah antara Nah}wu, S}arf, ‘Ilmu al-Bala>ghah dan lain sebagainya. Hasil
pengamatan yang dilakukan peneliti pada saat penelitian.
96
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 58%
responden dengan kepribadian ekstrovert lebih memilih berdiskusi
dengan teman sekelas jika guru berhalangan hadir pada saat
pelajaran berlangsung. Sebanyak 26% responden memilih untuk
menghubungi guru piket sebagai pengganti guru yang berhalangan
hadir, dan sebanyak 16% merasa senang ketika guru berhalangan
hadir. Hal tersebut menjelaskan bahwa responden dengan
kepribadian ekstrovert cenderung menyukai hal yang
bersinggungan dengan keramaian. Dengan berdiskusi maka mereka
akan saling berinteraksi secara aktif dan bersosialisasi satu sama
lain.
Namun berbeda dengan responden introvert mereka lebih
cenderung tertutup. Berdiskusi tidak menjadi hal yang menarik
bagi mereka dibandingkan membaca buku sendiri. Sebanyak 23%
lebih memilih berdiskusi dengan teman, sebanyak 31% responden
introvert memilih memanggil guru piket, dan sebanyak 46%
memilih senang ketika guru berhalangan hadir dalam artian mereka
leluasa untuk membaca buku sendiri dibandingkan harus
melakukan diskusi dengan teman sekelas tanpa adanya dampingan
dari seorang guru.
Tabel. 6. Motivasi Santri dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Pernyataan
Jawaban Responden Mendengar
kata-kata
mudah
Mendengar
dengan penuh
perhatian
Tidak akan
mendengar
Ketika saya mendengar
lagu-lagu Arab di
media elektronik maka
saya akan
Kepribadian Ekstrovert
31% 54% 15%
Kepribadian Introvert
31% 61% 8%
Pada tabel di atas angket motivasi terhadap pembelajaran
bahasa Arab poin 4 menunjukkan bahwa ketika para santri
97
mendengar lagu-lagu bahasa Arab di media elektronik maka
sebanyak 31% responden dengan kepribadian ekstrovert dan
introvert memilih mendengarkan kata-kata yang mudah saja, akan
tetapi terlihat berbeda antara responden ekstrovert dengan
responden introvert bahwa sebanyak 61% responden introvert
memilih mendengarkan lagu tersebut dengan penuh perhatian
sedangkan hanya sebanyak 54% responden ekstrovert yang
mendengarkan dengan penuh perhatian. Karena kepribadian
ekstrovert lebih cenderung kepada hal yang menunjukkan dirinya
lebih terbuka.
Tabel. 7. Motivasi Santri dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Pernyataan Jawaban Responden
Membaca
Sekilas
Membaca dan
Memahami Isinya Membiarkan
saja
Dalam proses
pembelajaran bahasa
Arab pondok pesantren
modern menyediakan
majalah/Koran
berbahasa Arab
Kepribadian Ekstrovert
31% 69% 0%
Kepribadian Introvert
54% 46% 0%
Pada tabel di atas terlihat bahwa pada santri dengan
kepribadian ekstrovert, 31% responden membaca sekilas
majalah/Koran berbahasa Arab yang disediakan di pondok
pesantren modern dalam proses pembelajaran bahasa Arab sebagai
sarana peningkatan kemampuan bahasa Arab santri. Angka ini jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan santri dengan kepribadian
introvert yang mencapai angka 54% responden yang menyatakan
bahwa ketika pondok pesantren modern memfasilitasi dalam
pembelajaran bahasa Arab berupa majalah/Koran berbahasa Arab
hanya untuk dibaca sekilas.
Sebanyak 69% responden dari santri dengan kepribadian
ekstrovert menyatakan bahwa mereka membaca kemudian
mencoba untuk memahami isi dari bacaan tersebut berupa
98
Koran/majalah berbahasa Arab, sedangkan pada santri dengan
kepribadian introvert yang menyatakan bahwa mereka membaca
dan mencoba untuk memahami dari Koran/majalah berbahasa Arab
yang difasilitasi oleh pondok pesantren sebanyak 46% responden,
angka yang lebih kecil dibandingkan dengan responden/santri
dengan kepribadian ekstrovert. Sedangkan responden yang
menjawab dengan membiarkan saja ketika difasilitasi
Koran/majalah berbahasa Arab sebagai media pembelajaran bahasa
Arab sebanyak 0% responden baik dari santri dengan kepribadian
ekstrovert atau pun santri dengan kepribadian introvert yang
dijadikan sebagai responden.
Dengan demikian motivasi terhadap pembelajaran
bahasa Arab pada santri dengan kepribadian ekstrovert cenderung
mengarah kepada hal-hal yang menunjukkan diri mereka di depan.
Kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran bahasa Arab yang lebih
bersifat terbuka, menyenangkan, ramai, kreatif mampu
menumbuhkan motivasi bagi santri ekstrovert terutama untuk
memperoleh bahasa kedua/Arab mereka.
3. Sociable
Pada pembahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa salah satu
dari kecenderungan kepribadian ekstrovert adalah sociable yaitu
supel, ramah, suka bergaul dan lain sebagainya. Kecenderungan
kepribadian ekstrovert dengan tingkah laku yang sociable memiliki
hubungan dengan pembelajaran serta pemerolehan bahasa
kedua/Arab secara langsung. Di atas juga dijelaskan bagaimana
kepribadian ekstrovert cenderung menjadi taker of risk yaitu
senang mengambil risiko, juga motivasi dalam aktifitas bahasa.
Kepribadian ekstrovert merupakan salah satu dari
kepribadian yang dimiliki oleh individu yang sedang belajar bahasa
kedua/Asing serta untuk memperolehnya. Kecenderungan
kepribadian ekstrovert terhadap sifat mudah/suka bergaul
(sociable) menjadikan individu dengan kepribadian ekstrovert
99
memiliki banyak cara serta masukan tentang bahasa kedua yang
sedang dipelajari dan untuk diperolehnya. Dalam sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Wakamoto (2000) didapat kesimpulan dari
penelitian tersebut bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert
lebih bersifat natural yang diberkahi dengan lebih banyak
kesempatan untuk mengembangkan interlanguage26
mereka. Hal
ini disebabkan mereka lebih cenderung sering bertanya untuk
meminta penjelasan dibandingkan dengan introverts.27
Sebuah studi terbaru menyatakan bahwa kunci kebahagiaan
terletak pada kepribadian seseorang, terlepas dari kebudayaan yang
berlaku di suatu wilayah. Para peneliti menyimpulkan bahwa orang
yang memiliki kepribadian ekstrovert di dalam kesehariannya,
lebih bahagia dibandingkan dengan kepribadian introvert, seperti
dilansir di laman Medical Daily.28
26
Interlanguage atau disebut dengan bahasa-antara adalah
bahasa/ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahasa kedua pada
satu tahap tertentu, sebelum dia belum dapat menguasai dengan baik dan
sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki cirri bahasa pertama dan
cirri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik
tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahassa kedua.
tampaknya semacam perpindahan dari bahasa pertama ke bahasa kedua. Bahasa
pertama ini bisa dikatakan sebagai produk dari strategi seseorang dalam belajar
bahasa kedua. artinya, bahasa ini merupakan kumpulan atau akumulasi yang
terus menerus dari suatu proses pembentukan penguasaan bahasa. Abdul Chaer,
Psikolinguistik Kajian Teoretik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 250. 27
Nasiim Golaghaei, “Extroversion/Introversion and Breadth of
Vocabulary Knowledge”, Modern Journal of Language Teaching Methods, Vol.
1, Issue. 3, 2011, 75. Brown memasukkan ekstrovert ke dalam indivdu yang
lebih focus terhadap pemaknaan daripada bentuk. Santri ekstrovert akan lebih
banyak bertanya dibandingkan dengan santri introvert, hal ini karena mereka
lebih butuh banyak penjelasan untuk menangkap makna-makna atau maksud dari
apa yang mereka pelajari. Sedangkan introverts cenderung lebih melihat bentuk
sehingga dengan melihat bentuk mereka mampu memahami makna yang
terkandung di dalamnya. 28
www.antaranews.com/pribadi-ekstrovert Media online Indonesia,
One Click Away!, dimuat tanggal 21 April 2014. Diunduh pada tanggal 14 Juli
2014. Dalam penelitian ini, ekstrovert digambarkan sebagai makhluk yang suka
berbicara keras dan lugas, dan menjadi pusat perhatian. Mereka suka mengambil
risiko, dan memiliki kemampuan melakukan menipulasi dan menghargai orang
lain (dalam hal ini karena mereka pandai bergaul, serta ramah). Secara
100
Bahasa diidentikan sebagai sebuah alat untuk
berkomunikasi. Sikap yang senang bergaul pada kepribadian
ekstrovert menuntut mereka untuk memiliki bahasa lebih dari satu
bahasa. Hal ini memungkinkan kepribadian ekstrovert dapat
memiliki ruang pergaulan yang cukup luas. Oleh karena itu,
individu dengan kepribadian ekstrovert perlu penguasaan
kompetensi berbahasa. Salah satu tujuan dari pembelajaran bahasa
Arab di pondok pesantren modern adalah agar para santri memiliki
kompetensi berbahasa. Dan pada dasarnya tujuan utama dari
pembelajaran bahasa adalah untuk memiliki kompetensi berbahasa.
Sehingga seseorang yang menggunakan bahasa tersebut mampu
memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya. Pada prinsipnya
bahasa apapun merupakan alat untuk bersosialisasi bagi manusia
sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itu, keberhasilan membangun
sosial dan komunikasi antar sesama manusia selalu disebabkan dan
dipengaruhi oleh faktor bahasa.29
Oleh karena manusia sebagai
makhluk sosial, tentunya ada perbedaan antara kepribadian
ekstrovert dan kepribadian introvert. Ekstrovert jelas lebih
memiliki sifat sociable dibanding kepribadian introvert. Sehingga
kebutuhan untuk memiliki kompetensi berbahasa sangatlah
penting.
Individu dengan kepribadian ekstrovert cenderung lebuh
senang bersosialisasi. Mereka tergolong dalam pribadi orang yang
senang berinteraksi. Oleh karena tuntutan dalam diri individu
dengan kepribadian ekstrovert, maka mereka akan mampu
berinteraksi kepada berbagai level struktur masyarakat yang ada
disekitarnya ketika penguasaan kompetensi berbahasanya pun baik.
keseluruhan kepribadian ekstrovert memiliki kesempatan untuk memperoleh
keinginan mereka melalui kepribadian mendominasi, termasuk juga dalam hal
memperoleh bahasa kedua/Arab. mereka lebih memiliki kesempatan untuk
memperoleh kemampuan berbahasa lebih cepat dibandingkan dengna
kepribadian introvert. 29
‘Abd al-‘A<lim Ibra>him, Muwajjih al-Fanny li Mudarrisi al-Lughah
al-‘Arabiyah (Kairo: Da>r al-Ma’arrif), 48.
101
Terlebih dalam memperluas pergaulan sebagai tujuan untuk
mengembangkan potensi diri, maka penguasaan kompetensi
berbahasa sangat diperlukan.
B. Implementasi Keterampilan Berbicara pada Santri
Ekstrovert dalam Membentuk Bakat Berbahasa
Keterampilan berbicara bukanlah merupakan keterampilan
yang sederhana yang dapat dikuasai dalam jangka waktu yang
singkat. Dengan kata lain, menurut Brown keterampilan berbicara
merupakan keterampilan yang komplek yang berkaitan dengan
keterampilan mikro antara lain adalah sebagai berikut: (1)
keterampilan menghasilkan ujaran-ujaran yang bervariasi; (2)
menghasilkan fonem-fonem dan varian-varian alofhon lisan yang
berbeda dalam bahasa; (3) menghasilkan pola tekanan, kata-kata
yang mendapat dan yang tidak mendapat tekanan, struktur ritmis
dan intonasi; (4) menghasilkan bentuk-bentuk kata dan frase yang
diperpendek; (5) menggunakan sejumlah kata yang tepat untuk
mencapai tujuan-tujuan pragmatis; (6) menghasilkan pembicaraan
yang fasih dalam berbagai kecepatan yang berbeda; (7) mengamati
bahasa lisan yang dihasilkan dan menggunakan berbagai strategi
yang bervariasi, meliputi pemberhentian sementara, pengoreksian
sendiri, pengulangan untuk kejelasan pesan; (8) menggunakan
kelas kata (kata benda, kata kerja, dan lain-lain), system (tenses,
agreement, dan jamak/plural, pengurutan kata, pola-pola aturan-
aturan dan bentuk ellipsis; (9) menghasilkan pembicaraan yang
menggunakan elemen-elemen alami dalam frase, stop, nafas, dan
kalimat yang tepat; (10) mengekspresikan makna tertentu dalam
bentuk-bentuk gramatika yang berbeda; (11) menggunakan bentuk-
bentuk kohesif dalam diskursus lisan; (12) menyelesaikan fungsi-
fungsi komunikasi dengan tepat menurut situasi, partisipan dan
tujuan; (13) menggunakan register, implikatur, aturan-aturan
pragmatik dan fitur-fitur sosiolinguistik yang tepat dalam
komunikasi langsung; (14) menunjukkan hubungan antara kejadian
102
dan mengkomunikasikan hubungan-hubungan antara ide utama, ide
pendukung, informasi lama, informasi baru, generalisasi, dan
contoh; (15) menggunakan bahasa wajah, kinetic, bahasa tubuh dan
bahasa-bahasa nonverbal lainnya yang bersamaan dengan bahasa
verbal untuk menyampaikan makna dan; (16) mengembangkan dan
menggunakan berbagai strategi berbicara memberikan tekanan
pada kata kunci paraphrase, menyediakan pertolongan dan secara
cepat menilai seberapa baik interlocutor memahami apa yang akan
dikatakan.30
Robert Lado menyebutkan beberapa prinsip-prinsip
pengajaran bahasa, di antaranya prinsip berbicara sebelum menulis,
belajar melalui praktik. Melihat dari fungsi bahasa sebagai alat
untuk berkomunikasi maka tujuan pembelajaran utama pun adalah
agar siswa memiliki kompetensi berbahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi antar sesama.31
Oleh karena itu pemerolehan
keterampilan berbicara menjadi yang utama dalam pembelajaran
bahasa kedua/Arab di pondok pesantren modern.
Di bawah ini adalah berbagai kegiatan yang
diselenggarakan di pondok pesantren modern pada umumnya
terkait dengan keterampilan berbicara dalam membentuk bakat
berbahasa:
No Nama Kegiatan Keterangan
1. Al-Muh}a>dathah al-
S}aba>h}iyah
Kegiatan ini dilaksanakan
setelah kegiatan shalat subuh
berjama’ah. Kegiatan ini
30
Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis Tugas, Kepribadian
Ekstrovert dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab”, Tesis di SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009. 22-23. Seperti yang dikutip oleh Dewa Putu
Ramendra, dan AA Sri Batustyawati, “Meningkatkan Kemampuan Berbicara
Mahapembelajar dalam Perkuliahan Speaking 2 dengan Task-Based Activity
Berbentuk Audio Video Recording (AVR)”.
www.freewebs.com/santyasa/lemlit/PDF. 31
Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis Tugas, Kepribadian
Ekstrovert dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab”, .23.
103
biasanya dilaksanakan dua kali
dalam satu minggu. Tujuan dari
kegiatan ini adalah melihat
sejauh mana penguasaan
kosakata untuk digunakan
dalam percakapan sehari-hari.
Kegiatan ini juga disebut
dengan Micro Conversation
karena pada dasarnya praktek
yang sebenarnya dalam
penguasaan kosakata adalah
percakapan sehari-hari dengan
menggunakan bahasa
2. Al-Muh}a>d}arah Kegiatan ini merupakan salah
satu kegiatan yang dijadikan
sebagai latihan mental selain
dari untuk melatih berbicara di
muka umum dengan
menggunakan tiga bahasa pada
umumnya yaitu bahasa Arab,
bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Tujuan dari kegiatan
ini adalah santri lancar dalam
menjelaskan suatu hal dengan
menggunakan bahasa asing.
3. Al-Musa>baqah al-
Minba>riyah
Kegiatan ini merupakan
evaluasi dari kegiatan pada no
1 dan 2. Evaluasi dalam
penguasaan keterampilan
berbicara dan bakat berbahasa
dilakukan dengan cara
menyelenggarakan lomba
pidato (pada umumnya lomba
pidato tiga bahasa). Kegiatan
ini dilakukan dimaksudkan agar
dapat dilihat sejauh mana
penguasaan santri dalam
keterampilan berbicara dengan
104
menggunakan bahasa asing
sehingga mampu
menumbuhkan bakat berbahasa
di kalangan para santri pondok
pesantren modern.
Santri yang mempelajari sebuah bahasa bukanlah seperti
benda yang pasif yang hanya menerima materi dari gurunya dan ia
diam saja bagaikan gelas yang dipenuhi air. Pembelajaran bahasa di
pondok pesantren modern akan lebih berhasil jika para santri juga
dilibatkan aktif dalam proses pembelajaran tidak hanya duduk
manis di kursinya sementara guru menjelaskan materi.32
Hal ini
mungkin jarang terjadi di pondok pesantren modern, yang hanya
melibatkan keaktifan guru untuk menyampaikan materi
pembelajaran di dalam kelas. Hal ini disebabkan karena pondok
pesantren modern di kenal sebagai lembaga pendidikan 24 jam.
Salah satu contoh keaktifan santri atau partisipasi aktif santri dalam
proses pembelajaran bahasa adalah dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan di atas. Guru posisinya hanya sebagai fasilitator atau yang
membina sedangkan kegiatan tersebut lebih dodiminasi oleh para
santri.
C. Program Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa Arab di
Pondok Pesantren Modern
Stephen D Krashen33
(1983) menjelaskan tentang perbedaan
antara pembelajaran dan pemerolehan bahasa. Pembelajaran bahasa
atau kaidah-kaidah kebahasaan diperoleh melalui pemikiran di
32
Yuan Martina Dinata, “Pendekatan Berbasis Tugas, Kepribadian
Ekstrovert dan Keterampilan Berbicara Bahasa Arab”, 23. 33
Stephen D Krashen, Second Language Acquisition and Second
Language Teaching, 16. Dikutip juga oleh Ghina Fathonah, menjelaskan bahwa
pembelajaran kaidah atau aturan-aturan bahasa diperoleh melalui jalur
“pembelajaran/secara sadar”, sedangkan kreativitas berbahasa seseorang atau
kecakapan berbahasa dan berkomunikasi dalam bahasa target diperoleh melalui
“proses pemerolehan/secara tidak sadar”. Ghina Fathonah, “Akuisisi Bahasa
Kedua”, Tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 109.
105
alam sadar, sedangkan pemerolehan bahasa diperoleh melalui
pemikiran di alam bawah sadar.
Gagne, Briggs, dan Wager menyatakan bahwa
pembelajaran sebagai suatu rangkaian kegiatan (events) yang
mempengaruhi pelajar34
sedemikain rupa sehingga proses
belajarnya dapat berlangsung dengan mudah.35
Dengan demikain
pembelajaran bahasa kedua/Arab merupakan keseluruhan proses
yang melibatkan baik guru maupun siswa. Sedangkan dalam
pemerolehan bahasa kedua/Arab merupakan hasil dari kreativitas
yang dikembangkan oleh diri pelajar sendiri.
Sedangkan Dick dan Carey menyatakan ada lima komponen
pembelajaran, yaitu: (1) kegiatan pra pembelajaran; (2) presentasi
informasi; (3) partisipasi siswa; (4) pengujuan; dan (5) kegiatan
lanjutan.36
Terkait dengan program pemerolehan dan pembelajaran
bahasa kedua/asing Krashen juga menjelaskan tentang implikasi
pemerolehan dan pembelajaran bahasa dalam sebuah bagan di
bawah ini:
34
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pelajar adalah santri
pondok pesantren modern. 35
Robert M. Giggs, Leslir J. Briggs, dan Walter W. Wager, Princeples
of Instructional Design (New York: Harcourt Brace Jovanovich College
Publishers, 1992), 3. 36
Toeti Sukamto, Perancangan dan Pengembangan Sistem
Instruksional (Jakarta: Inter Media, 1993), 38.
106
Program
Acquisition
Intake (Obligatiry)
Meaningfull/ communicative exercises
Extensive Reading
Natural Methode
Intercambio
Total Physical responses
Fluency
Communicative strategies routines/ patterns
Role playing/ Games, etc
writing
Learning
Rules of Thumb (Learnable Rules
for Editing)
Structure of the Language (Optional)
(Language Appreciation)
Gambar 11. Program Pembelajaran Bahasa Kedua37
Krashen menjelaskan dari bagan di atas bahwa pemerolehan
bahasa kedua tidak bisa terlepas dengan proses pembelajaran
bahasa atau dengan kata lain antara pembelajaran dan pemerolehan
bahasa selalu beriringan.38
37
Stephen D Krashen, The Natural Approach: Language Acquisition in
the Classroom (New York: Pergamon Press, 1985), 29. 38
Krashen dalam MA Bingjun, “What is the Role of L1 in L2
Acquisition?” CSCanada Studies in Literature and language, Vol. 7, No. 2,
2013, 31-32. Pemerolehan bahasa kedua didasarkan pada parameter dari bahasa
yang sudah ada (bahasa pertama) untuk memperoleh bahasa lain (bahasa kedua).
Teori monitor yang dipelopori oleh Krashen merupakan salah satu dari teori
pemerolehan bahasa yang komprehensif. Teori ini menjelaskan bahwa
pemerolehan bahasa secara natural merupakan proses berfikir di alam bawah
107
Selain bagan di atas Krashen39
juga menjelaskan perbedaan
antara pemerolehan dan pembelajaran bahasa dalam kolom di
bawah ini:
Tabel 8. Perbedaan antara Pemerolehan dan
Pembelajaran Bahasa Kedua
Pemerolehan Bahasa Pembelajaran Bahasa
Serupa dengan akuisisi
bahasa pertama anak
Memungut bahasa
Terjadi di alam bawah sadar
Pengetahuan yang didapat
tersirat
Pengetahuan kebahasaan
secara formal
Mengetahui bahasa
Terjadi dalam alam sadar
Pengetahuan yang didapat
tersurat
Terkait dengan hal perbedaan antara pembelajaran dan
pemerolehan bahasa di pondok pesantren modern, penulis
membedakan antara tujuan dari pembelajaran dan pemerolehan
bahasa di sana terutama yang terjadi pada santri ekstrovert. Pada
hakikatnya bahwa tujuan pembelajaran bahasa kedua/asing adalah
agar siswa memperoleh bahasa kedua/asing tersebut. Hal ini
berdasarkan pada tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok
pesantren modern yang berhasil diamati dan digali dari hasil proses
pembelajaran bahasa Arab baik secara formal atau pun informal
antara lain sebagai berikut:
sadar, sedangkan pembelajaran bahasa dialukan secara sadar yaitu mempelajari
kaidah dari aturan-aturan sebuah bahasa. 39
Stephen D. Krashen, The Natural Approach: Language Acquisition in
the Classroom, 182.
108
Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab secara Umum
di Pondok Pesantren Modern40
Santri dapat:
1. Mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab
2. Mampu membaca dan memahami buku-buku yang berbahasa
Arab dengan baik (hal ini dikuatkan dengan materi
kepondokan menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab)
3. Mampu menulis (membuat Ins}a>’) menggunakan bahasa Arab
4. Memperoleh bekal untuk kelanjutan studi
5. Mampu mengembangkan diri melalui bahasa Arab
Terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok
pesantren modern dapat direfleksikan dengan pemerolehan bahasa
kedua/Arab, bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab agar siswa
mampu berkomunikasi dengna menggunakan bahasa Arab terlihat
dari usaha guru dalam melakukan proses pembelajaran, guru
senantiasa menggunakan bahasa Arab sebanyak mungkin dalam
mentransfer materi pelajaran terutama dalam berkomunikasi
dengan santri baik ketika di dalam jam pelajaran atau pun di luar
jam pelajaran atau di lingkungan pondok.41
Selain dari usaha guru untuk menggunakan bahasa Arab
dalam setiap kegiatan di dalam kelas atau pun di luar kelas, adanya
proses interaksi edukatif yang terjadi antara guru dan santri dalam
keseharian berkomunikasi dengan bahasa Arab. Sehingga hal ini
mampu memacu para santri untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa Arab. Interkasi yang berlangsung bertujuan agar santri
mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab, sehingga guru mampu
melihat sejauh mana santri menggunakan bahasa Arab dalam
percakapan sehari-hari. Guru yang senantiasa berinteraksi dengan
40
Hasil wawancara dengan bagian pengembangan bahasa di pondok
pesantren modern tanggal 14 Juni 2014. Lihat juga Hazmida Kahar, Studi
Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab (Jakarta: Beringin Mulia, 2008),
96. 41
Hazmida Kahar, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab,
96.
109
santri akan mampu melihat kekurangan-kekurangan yang terdapat
dalam santri dalam penguasaan bahasa Arab.
Untuk tujuan agar santri mampu membaca dan memahami
buku-buku yang berbahasa Arab dengan baik, pondok pesantren
modern mengimplikasikan hal tersebut dalam materi pelajaran
dengan menggunakan kitab-kitab bahasa Arab langsung. Buku-
buku yang digunakan dalam materi pelajaran kepondokan
menggunakan buku-buku yang berbahasa Arab. hal ini menuntut
para santri untuk membaca dan memahami buku berbahasa Arab
secara langsung.42
Tujuan dari pembelajaran bahasa Arab agar santri mampu
membaca sekaligus memahami buku-buku berbahasa Arab seperti
yang tertera dalam tabel di bawah ini:
Tabel. 9. Motivasi Santri dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Pernyataan Jawaban Responden
Membaca
Sekilas
Membaca dan
Memahami Isinya Membiarkan
saja
Dalam proses
pembelajaran bahasa
Arab pondok pesantren
modern menyediakan
majalah/Koran
berbahasa Arab
Kepribadian Ekstrovert
31% 69% 0%
Kepribadian Introvert
54% 46% 0%
42
Hazmida Kahar, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab,
97. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hazmida Kahar menjelaskan bahwa
tujuan pembelajaran bahasa Arab agar siswa mampu membaca dan memahami
buku yang tertulis dalam bahasa Arab, diimplikasikan oleh guru dalam bentuk
kegiatan membaca dan menerjemahkan materi pelajaran yang diambil dari buku-
buku berbahasa Arab pada saat proses belajar-mengajar berlangsung. Selain itu,
guru juga berupaya agar semua siswa dapat melakukan proses pelatihan
menerjemahkan materi pelajaran yang ditugaskan untuk dikerjakan di rumah
yang diambil dalam buku-buku berbahasa Arab. Menurutnya hal ini merupakan
hal yang sangat baik sekali karena akan selalu memacu siswa dalam belajar
bahasa Arab secara aktif.
110
Pada tabel di atas terlihat bahwa pada santri dengan
kepribadian ekstrovert, 31% responden membaca sekilas
majalah/Koran berbahasa Arab yang disediakan di pondok
pesantren modern dalam proses pembelajaran bahasa Arab sebagai
sarana peningkatan kemampuan bahasa Arab santri. Angka ini jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan santri dengan kepribadian
introvert yang mencapai angka 54% responden yang menyatakan
bahwa ketika pondok pesantren modern memfasilitasi dalam
pembelajaran bahasa Arab berupa majalah/Koran berbahasa Arab
hanya untuk dibaca sekilas.
Sebanyak 69% responden dari santri dengan kepribadian
ekstrovert menyatakan bahwa mereka membaca kemudian
mencoba untuk memahami isi dari bacaan tersebut berupa
Koran/majalah berbahasa Arab, sedangkan pada santri dengan
kepribadian introvert yang menyatakan bahwa mereka membaca
dan mencoba untuk memahami dari Koran/majalah berbahasa Arab
yang difasilitasi oleh pondok pesantren sebanyak 46% responden,
angka yang lebih kecil dibandingkan dengan responden/santri
dengan kepribadian ekstrovert. Sedangkan responden yang
menjawab dengan membiarkan saja ketika difasilitasi
Koran/majalah berbahasa Arab sebagai media pembelajaran bahasa
Arab sebanyak 0% responden baik dari santri dengan kepribadian
ekstrovert atau pun santri dengan kepribadian introvert yang
dijadikan sebagai responden.
Untuk tujuan menyangkut santri mampu menulis43
dengan
menggunakan bahasa Arab, diimplikasikan oleh guru dengan
memberikan kosakata-kosakata sesuai dengan tingkatan kelas
43
Yang dimaksud dengan menulis dalam kajian ini adalah bukan hanya
mampu menguasai kaidah khat dan qawa>’id al-Imla>’ saja akan tetapi mampu
membuat sebuah karangan atau teks berbahasa Arab. di pondok pesantren
modern santri sudah dibiasakan untuk melatih dirinya menulis bahasa Arab,
salah satu contoh adalah meletakkan setiap kosakata yang diberikan setiap
selesai shalat subuh ke dalam sebuah kalimat sederhana untuk kemudian ditulis
dalam buku khusus kegiatan pembagian kosakata.
111
kemudian santri diminta untuk meletakkan kosakata tersebut ke
dalam sebuah kalimat sederhana. Tentu kegiatan berupa pemberian
kosakata dan membuat contoh kalimat dari kosakata yang diberikan
ditujukan untuk melatih santri agar terbiasa membuat kalimat-
kalimat yang sederhana sebelum meningkat pada tingkatan
selanjutnya yaitu membuat sebuah karangan dengan menggunakan
bahasa Arab. Tujuan pembelajaran bahasa Arab sebagai cara untuk
meningkatkan kemampuan menulis santri dengan menggunakan
bahasa Arab yaitu diimplikasikan dalam kegiatan latihan
menerjemahkan di luar jam kelas, baik itu membuat cerita pendek
dengan bahasa Arab atau pun menerjemahkan teks pidato bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Arab.
Kegiatan-kegiatan yang diterapkan oleh pondok pesantren
modern agar para santri terlatih dengan menggunakan bahasa Arab,
harapan yang lebih panjang adalah santri mampu menulis karya-
karya baik fiksi atau pun ilmiah dengan menggunakan bahasa
Arab.44
perbedaan tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok
pesantren modern sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan
menulis santri mungkin berbeda dengan tujuan pembelajaran
bahasa Arab bagi siswa non-pesantren modern, bahwa tujuan
pembelajaran bahasa Arab agar siswa mampu menulis dalam
bahasa Arab dan diharapkan tercipta keterampilan menulis kaligrafi
tulisan bahasa Arab yang indah dan menyenangkan bagi siswa. Hal
ini diimplikasikan oleh guru melalui kegiatan menjawab soal-soal
bahasa Arab secara tertulis dan kegiatan menerjemahkan langsung
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab.45
Untuk dua tujuan terakhir merupakan tujuan jangka panjang
dari proses pembelajaran bahasa Arab di pondok pesantren modern
yaitu agar santri memperoleh bekal untuk melanjutkan studi baik
44
Kamus Tematik Bahasa Arab merupakan salah satu karya dari salah
satu ustadz yang mengajar di pondok pesantren modern Assa’adah dan beliau
merupakan alumni dari pondok pesantren modern tersebut. 45
Hazmida Kahar, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab,
97.
112
dari tingkat sekolah menengah pertama (SMP) ke tingkat sekolah
menengah atas (SMA), atau pun dari tingkat sekolah menengah
atas (SMA) ke tingkat perguruan tinggi dan juga untuk
mengembangkan potensi diri dari pembelajaran dan pemerolehan
bahasa Arab. Penguasaan bahasa asing menjadi hal yang penting
dalam mengembangkan potensi diri. Seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hazmida Kahar dalam studi etnografi pembelajaran
bahasa Arab. Hazmida menjelaskan bahwa untuk tujuan siswa
dapat menjadi bekal atas kelanjutan studinya, diaktifkan oleh guru
dalam bentuk kegiatan-kegiatan pengembangan diri, misalnya
siswa diberikan kegiatan mengaplikasikan hasil belajarnya dalam
melakukan dakwah Islamiah yang menjadi sumbangsihnya
terhadap masyarakat. Hal ini direfleksikan guru sebagai himbauan
kepada semua siswa agar berani berbahasa Arab dengan baik di
tengah-tengah masyarakat. Dengan cara seperti tersebut di atas
diharapkan bahwa dalam jangka waktu yang panjang siswa tidak
hanya mampu menguasai bahasa Arab sebagai materi pelajaran,
akan tetapi juga siswa mampu memperoleh keterampilan berbahasa
Arab sehingga dapat dijadikan sebagai bekal kehidupan para siswa
di masa yang akan datang.46
Dari tujuan-tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok
pesantren modern, berhasil diamati dan digali dari program-
program pembelajaran dan pemerolehan bahasa Arab. Di antara
program-program pembelajaran bahasa Arab selain di dalam kelas,
ada beberapa program pembelajaran bahasa Arab di pondok
pesantren modern Assa’adah yang sama seperti kebanyakan
pondok pesantren modern yang ada di Indonesia yaitu antara lain:
(1) Muh}a>d}arah47
; (2) I’t}a>i’ al-Mufrada>t48
; (3) al-Muh}a>dathah49
; (4)
al-Id}a>fah50
.
46
Hazmida Kahar, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa Arab,
97. 47
Kegiatan ini merupakan kegiatan latihan berpidato. Dalam kegiatan
ini santri tidak hanya dilatih untuk memiliki mental untuk berbicara di muka
umum baik dengan menggunakan bahasa Indonesia atau pun menggunakan
113
Dari program pembelajaran bahasa Arab yang
diprogramkan di pondok pesantren modern Assa’adah, al-Id}a>fah
merupakan program yang baru dilaksanakan tahun ini. Program ini
dirancang bertujuan untuk meningkatkan kembali kualitas
berbahasa santri pondok pesantren modern Assa’adah. Pada
bahasa asing/Arab dan Inggris, akan tetapi para santri dilatih agar mampu
menulis teks pidato yang akan disampaikan terutama dalam membuat teks pidato
ke dalam bahasa Arab. Sehingga kegiatan ini diharapkan mampu membantu para
santri dalam mempelajari bahasa Arab dan juga meningkatkan kreatifitas dalam
keterampilan berbahasa Arab sampai dengan terwujudnya pemerolehan bahasa
kedua/Arab. di pondok pesantren modern Assa’adah kegiatan ini dilaksanakan
sebanyak 2x dalam satu minggu yaitu pada malam jum’at untuk pidato bahasa
Indonesia dan bahasa Arab, dan pada malam senin untuk pidato bahasa Inggris.
Selain kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap minggunya, kegiatan ini pun
menjadi ajang perlombaan para santri pada akhir tahun yang disebut dengan
kegiatan al-Musa>baqah al-Mimba>riyah bi thala>thah lugha>t (lomba pidato tiga
bahasa). 48
Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan pemberian kosakata. Di
pondok pesantren modern Assa’adah, kegiatan ini berlangsung setiap selesai
melaksanakan shalat subuh. Sistem dalam pemberian kosakata ini adalah One
Day Two Vocabulary yaitu satu hari dua kosakata. Pemberian kosakata ini
dimaksudkan untuk agar para santri memiliki pembendaharaan kosakata masing-
masing. Kemudian santri dilatih untuk meletakkan dari setiap kosakata yang
diberikan ke dalam sebuah kalimat sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk
melatih para santri membuat sebuah karangan dalam bahasa Arab. 49
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang diksanakan sebagai bentuk
penyegaran dari kegiatan pemberian mufrodat. Sama seperti kegiatan pemberian
mufrodat, kegiatan ini dilaksanakan setelah shalat subuh, akan tetapi kegiatan ini
hanya dilaksanakan 2x dalam satu minggu yaitu pada hari senin dan hari jum’at.
Kegiatan ini bertujuan agar para santri mampu mengimplementasikan kosakata
yang sudah didapat dalam percakapan sederhana yang dibuat. 50
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dikembangkan oleh bagian
pengembangan bahasa pondok pesantren modern Assa’adah yang diinovasikan
menjadi salah satu kegiatan untuk meningkatkan kemampuan santri dalam
berbahasa asing khususnya bahasa Arab. Kegiatan ini merupakan kegiatan
inovasi yang dilaksanakan sebagai bentuk evaluasi dari kondisi bahasa santri.
Pada bab awal disampaikan oleh penulis bahwa terjadi kemerosotan dalam
berbahasa asing di pondok pesantren modern yang dirasa oleh bapak pimpinan
pondok pesantren modern beserta para dewan guru bagian pengembangan bahasa
sehingga harus dibuat sebuah kegiatan untuk mendongkrak dan “menyelamatkan
kembali” kondisi bahasa asing baik bahasa Arab atau pun bahasa Inggris sebagai
Ta>jun al-Ma’had (Mahkota Pondok). Oleh karena itu kegiatan ini merupakan
program pembelajaran dan pemerolahan bahasa asing/Arab.
114
penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa adanya
penurunan kualitas berbahasa santri pondok pesantren modern
Assa’adah.51
Di bawah ini adalah beberapa alasan dibuatnya program
yang bernama al-Id}a>fah sebagai program pembelajaran dan
peningkatan bahasa asing, antara lain sebagai berikut:
1. Menilai dan mengevaluasi kemampuan bahasa asing santri
baik bahasa Arab atau pun bahasa Inggris sebagai dampak
menurunnya kemampuan berbahasa asing pada santri
2. Sebagai program unggulan bagian pengembangan bahasa
asing dalam rangka peningkatan kemampuan berbahasa
asing santri
3. Ketidaksiapan santri kelas akhir dalam mengikuti kegiatan
‘Amaliyah at-Tadri>s yang disebabkan oleh penguasaan
bahasa asing yang rendah
4. Pemerataan kemampuan berbahasa asing santri
5. Memberikan sarana pembelajaran dengan model
cooperative learning agar program belajar malam hari dapat
mudah dikontrol.52
Di bawah ini teknis pelaksanaan program pembelajaran al-
Id}a>fah di pondok pesantren modern Assa’adah:
51
Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 29
Agustus 2013. Di mana ditemukan kesalahan penulisan pada laopran kepanitian
suatu kegiatan. Penulisan Tie (dasi) ditulis seperti ini Tai. Temuan yang
diperoleh peneliti juga pada kegiatan al-Id}a>fah dengan materi bahasa Arab yang
dilaksanakan setiap hari rabu malam kamis, materi yang disampaikan pada kelas
V MMI (setara dengan kelas II SLTA) pada saat peneliti ikut serta dalam
menyampaikan materi, materi yang disuguhkan kepada santri ternyata materi-
mater/kosakata yang disampaikan untuk tingkatan kelas I MMI setara dengan
kelas I SMP. Kosakata yang waktu itu penulis sampaikan antara lain Miqwah
(Setrika), Miknasah Kahruba>iyah (Sapu Listrik/Vacum Cleaner), Thalla>jah
(kulkas) dan lain sebagainya. 52
Hasil musyawarah yang dilakukan oleh Bapak Pimpinan pondok
pesantren modern, bagian pengasuhan santri, bagian pengembangan bahasa dan
keikutsertaan peneliti dalam musyawarah program al-Id}a>fah.
115
1. Santri yang mengikuti program pembelajaran al-Id}a>fah
adalah santri dari tingkatan kelas I MMI s/d V MMI.
Sedangkan kelas VI MMI tidak diikutsertakan karena
difokuskan pada program-program kelas akhir.
2. Santri kelas V MMI ditunjuk untuk mengisi kegiatan al-
Id}a>fah di tingkatan kelas I MMI s/d IV MMI. Sebelum
mengisi kegiatan tersebut, santri kelas V MMI dibimbing
oleh bagian pengembangan bahasa untuk mempersiapkan
materi yang akan disampaikan pada saat pelaksanaan
program tersebut berlangsung. Mereka diminta untuk
membuat semacam I’da>d al-Tadri>s sebelum mereka masuk
kelas dan memberikan materi al-Id}a>fah.
3. Untuk santri kelas V MMI yang tidak mendapat jadwal
untuk mengisi kegiatan al-Id}a>fah dikarantina dan dibimbing
langsung oleh bagian pengembangan bahasa, terutama
dalam pembendaharaan kosakata.53
Dalam proses pelakasanaan program pembelajaran bahasa
al-Id}a>fah tentunya menemui beberapa kendalam dalam
pelaksanaannya. Ada pun kendala yang ditemui dalam
melaksanakan program pembelajaran bahasa al-Id}a>fah adalah
belum adanya kurikulum untuk program ini serta minimnya
partisipasi dari dewan guru yang lain karena hanya bagian
pengembangan bahasa saja yang berpartisipasi secara aktif dalam
program pembelajaran bahasa al-Id}a>fah. Terlebih belum adanya
strategi pembelajaran dan pemerolehan bahasa yang tepat untuk
program ini. Dalam hal program pembelajaran dan pemerolehan
bahasa kedua, Krashen54
telah menggagas program yang berkaitan
dengan dua hal tersebut yaitu pembelajaran dan pemerolehan
53
Teknis pelaksanaan kegiatan program pembelajaran bahasa al-Id}a>fah
merupakan temuan yang peneliti lihat dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Peneliti mengamati proses pembelajaran bahasa al-Id}a>fah khususnya pada materi
bahasa Arab. 54
Stephen D. Krashen, The Natural Approach: Language Acquisition in
the Classroom, 130.
116
bahasa kedua sebagaimana tergambar pada Gambar 11 di atas.
Proses untuk mendapatkan pengetahuan tentang struktur bahasa,
pembelajar akan memperoleh dari pengalaman belajarnya. Struktur
tersebut berfungsi sebagai monitor yang akan mengedit kesalahan
berbahasa seseorang. Sementara menurut Ellis bahwa strategi
pemerolehan bahasa adalah menyangkut bagaimana pembelajar
mendapat input data, menganalisasikannya, memproduksi dan
kemudian mengkomunikasikannya.55
Adapun implikasi santri dengan kepribadian ekstrovert
dalam program pembelajaran ini seperti yang tergambar dalam
bagan nilai ujian program pembelajaran al-Id}a>fah dan nilai-nilai di
bawah ini adalah perbandingan antara nilai yang didapat oleh
responden dengan kepribadian ekstrovert dan nilai yang didapat
oleh responden dengan kepribadian introvert serta analisis terkait
nilai yang didapat.
Tabel 10. Nilai Santri Ekstrovert-Introvert dalam Program
Pembelajaran Bahasa al-Id}a>fah56
No No Responden Kepribadian
Ekstrovert Introvert
1. 1 98 97
2. 2 89 97
3. 3 75 97
4. 4 85 55
5. 5 65 65
6. 6 94 80
7. 7 94 86
8. 8 94 94
9. 9 100 77
10. 10 95 75
55
Rod Ellis, Understanding Second Language Acquisition (Oxford:
Oxford University Press, 1986), 166. 56
Sumber dari nilai raport program pembelajaran bahasa al-Id}a>fah kelas
I MMI Pondok Pesantren Modern Assa’adah.
117
11. 11 82 70
12. 12 85 94
13. 13 93 95
Rata-rata 88,38 83,23
Dari tabel nilai di atas dapat dilihat bahwa rata-rata nilai
yang diperoleh santri dengan kepribadian ekstrovert adalah 88,38
sedangkan rata-rata nilai yang diperoleh santri dengan kepribadian
introvert adalah 83,23.
Dari temuan nilai hasil ujian program pembelajaran al-
Id}a>fah bahwa santri dengan kepribadian ekstrovert mendapat nilai
rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan santri dengan
kepribadian introvert. Santri dengan kepribadian ekstrovert dinilai
sebagai pembelajar yang baik dan berperan aktif dalam program
pembelajaran bahasa asing/Arab. seperti halnya yang tergambar
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 11. Respon Santri Ekstrovert-Introvert dalam Kegiatan
Muh}a>d}arah
Pernyataan Jawaban Responden
SS S N TS STS
Pondok pesantren modern
memiliki program latihan
pidato yaitu Muh}a>d}arah, bagi
saya program itu sangat
membosankan
Kepribadian Ekstrovert
8% 0% 23% 38% 31%
Kepribadian Introvert
15% 8% 54% 15% 8%
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa respon santri dengan
kepribadian ekstrovert sebanyak 8% menyatakan sangat setuju
bahwa program di atas sangat membosankan, akan tetapi angka ini
lebih kecil dibandingkan dengan santri introvert sebanyak 15%
menyatakan sangat setuju program ini sangat membosankan
ditambah lagi dengan yang menyatakan setuju sebesar 8%
responden. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan santri
118
ekstrovert yang menyatakan setuju bahwa program ini sangat
membosankan sebesar 0%.
Sedangkan responden yang manyatakan sangat tidak setuju
terhadap pernyataan bahwa program Muh}a>d}arah sangat
membosankan sebesar 31% responden dari santri ekstrovert yang
mana angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan respon santri
introvert yang hanya sebesar 8% responden. Temuan ini
menjelaskan bahwa santri dengan kepribadian ekstrovert lebih
merespon terhadap program pembelajaran bahasa Muh}a>d}arah
dibandingkan dengan santri introvert. Hal ini mungkin disebabkan
karena introvert cenderung tertutup dan diam. namun temuan-
temuan mengenai kepribadian ekstrovert lebih unggul
dibandingkan dengan kepribadian introvert dalam pembelajaran
bahasa kedua/Arab belum menentukan keberhasilan dalam
pemerolehan bahasa kedua/Arab.
Dengan demikian untuk mendapatkan hasil yang maksimal
dari proses pemerolehan bahasa kedua/Arab adalah keaktifan dan
kreativitas dari masing-masing individu dalam mempelajari bahasa
kedua/Arab. Hal ini penting untuk mengenali bahwa keberhasilan
dan kegagalan dalam sebuah proses pembelajaran merupakan hal
yang ditentukan secara subjektif, tidak ditentukan secara objektif.
Kahnemann, Slovic, dan Tversky (1982) menentukan bahwa situasi
objektif yang sama dapat disampaikan kepada subjek baik sebagai
sebuah keberhasilan ataupun kegagalan.57
Kecenderungan
kepribadian ekstrovert dalam penelitian ini lebih kepada
kemampuan mereka dalam berkomunikasi. Santri dengan
kepribadian ekstrovert lebih unggul dalam proses pemerolehan
bahasa Arab, terutama terhadap kemampuan atau keterampilan
berbicara dibandingkan santri dengan kepribadian introvert. Hal
tersebut disebabkan dengan kecenderungan santri introvert yang
57
Shahila Zafar and Meenakshi, “A Study on the Relationship between
Extroversion-Introversion and Risk-Taking in the Context of Second Language
Acquisition”, 38.
119
lebih diam, lebih kritis dan tidak banyak berbicara. Penulis melihat
bahwa santri introvert dengan bawaan yang lebih tertutup
memungkinkan untuk lebih unggul dalam pemerolehan
kemampuan menulis.
120
121
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian dalam penelitian ini membuktikan bahwa
kepribadian ekstrovert berimplikasi terhadap pemerolehan bahasa
kedua/Arab di pondok pesantren modern Assa’adah terutama
terhadap pemerolehan kemampuan berbicara. Hal ini disebabkan
karena kepribadian ekstrovert merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pembelajaran yang berdampak pada
pemerolehan bahasa Arab di pondok pesantren modern Assa’adah.
Kepribadian ekstrovert ini yang merupakan sifat bawaan yang
dibawa oleh manusia sejak lahir. Kepribadian ekstrovert inilah
yang mempengaruhi proses pembelajaran bahasa Arab dan
peningkatan kreatifitas dalam menggunakan bahasa dalam
percakapan sehari-hari sehingga terwujudnya proses pemerolehan
bahasa Arab khususnya terhadap kemampuan berbicara.
Kepribadian ekstrovert yang dominan juga merupakan faktor
keberhasilan pembelajaran dan pemerolehan bahasa Arab. Semakin
ekstrovert seseorang maka semakin rendah tingkat kesukaran
dalam mempelajari bahasa Arab dengan kata lain akan semakin
mudah ia memperoleh bahasa Arab terutama terhadap pemerolehan
kemampuan berbicara.
Selanjutnya tesis ini juga membuktikan bahwa proses
pemerolehan bahasa kedua yang terjadi pada pembelajar pada
umumnya bersifat nature (alamiah) dengan didasarkan pada
perangkat pemerolehan bahasa yang dimiliki oleh setiap individu.
Perangkat pemerolehan bahasa atau yang disebut LAD (Language
Acquisition Device) ini lah yang memungkinkan manusia memiliki
kemampuan untuk berbahasa dan memperoleh bahasa kedua
mereka. Seperti yang terjadi pada santri di pondok pesantren
modern terungkap data bahwa proses mempelajari kaidah-kaidah
bahasa asing merupakan bagian dari pembelajaran sedangkan
122
proses kreatif menggunakan bahasa dalam keseharian adalah
bagian dari pemerolehan bahasa kedua.
Sebagaimana yang terjadi pada santri ekstrovert di pondok
pesantren modern Assa’adah bahwa kecenderungan pada pribadi
mereka menentukan terhadap proses pembelajaran dan
pemerolehan bahasa Arab mereka terutama pada pemerolehan
kemampuan berbicara. Santri ekstrovert memanfaatkan sifat
bawaan mereka yang lebih terbuka untuk mempelajari bahasa Arab
dan menggunakan bahasa Arab tersebut dalam percakapan sehari-
hari dan terwujudnya proses pemerolehan bahasa Arab.
Temuan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa proses
pemerolehan bahasa Arab terhadap kemampuan berbicara pada
santri dengan kepribadian ekstrovert lebih terlihat. Hal ini
dibuktikan dengan penggunaan bahasa Arab oleh mereka dalam
percakapan sehari-hari dibandingkan dengan santri introvert yang
cenderung tertutup. Santri dengan kepribadian ekstrovert lebih
memilih menggunakan bahasa Arab mereka dibandingkan tidak
menggunakan bahasa Arab, walau pun secara struktur kebahasaan
salah akan tetapi kepribadian ekstrovert cenderung risk-taking
(berani mengambil risiko).
Teori pemerolehan bahasa nativisme yang dipelopori oleh
Avram Noam Chomsky (1928-sekarang) bahwa bahasa adalah
sebuah mekanisme yang bersifat bawaan manusia sejak ia lahir.
Sifat bawaan ini disebut dalam teorinya dengan sebutan LAD
(Language Acquisition Device) atau disebut perangkat pemerolehan
bahasa. Kepribadian ekstrovert yang merupakan sifat bawaan
manusia sejak lahir yang melekat pada pribadi seseorang
merupakan salah satu perangkat yang dimaksud oleh Chomsky.
Adapun sifat-sifat yang melekat dalam kepribadian ekstrovert
dalam mempelajari dan memperoleh bahasa kedua/Arab di pondok
pesantren modern antara lain: (1) Risk-Taking (sifat tidak takut
mengambil risiko); (2) Motivasi Tinggi (kepribadian ekstrovert
cenderung memiliki motivasi tinggi walau pun dalam pelaksanaan
123
belum mencapai tujuan sepenuhnya); (3) Sociable (cenderung lebih
terbuka dan pandai bergaul. Sifat-sifat bawaan tersebut yang dirasa
mampu mempengaruhi terhadap pemerolehan bahasa kedua/Arab.
B. Saran
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
kecenderung seseorang terhadap kepribadian ekstrovert dominan
dapat memberikan andil yang sangat besar terhadap proses
kreatifitas pembelajar dalam memperoleh bahasa Arab terutama
terhadap pemerolehan kemampuan berbicara serta dapat membantu
mereka dalam mengembangkan potensi diri secara maksimal. Di
samping itu kecenderungan pada kepribadian ekstrovert dalam
mempelajari bahasa Arab mampu meningkatkan kreatifitas
seseorang dalam mengembangkan keterampilan berbahasa
khususnya dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Arab secara
aktif.
Karena keterbatasan waktu, penelitian ini baru mengkaji
teori-teori serta sifat-sifat bawaan yang melekat pada kepribadian
ekstrovert yang memiliki implikasi dalam pemerolehan bahasa
Arab dan juga mempengaruhi proses pembelajaran dan
pemerolehan bahasa Arab khususnya terhadap kemampuan
berbicara. Penelitian ini belum sampai pada tahap eksperimen
langsung terkait model pemerolehan bahasa kedua serta strategi
yang cocok bagi kepribadian ekstrovert dalam mempelajari dan
memperoleh bahasa Arab. Oleh karena itu kepada peneliti
selanjutnya yang berminat melanjutkan penelitian ini agar meneliti
terkait model dan strategi pemerolehan bahasa bagi kepribadian
ekstrovert sehingga dapat diimplementasikan secara langsung
dalam pembelajaran dan pemerolehan bahasa kedua.
124
125
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ainin, Moch, Metodologi Penelitian Bahasa Arab, Malang: Hilal
Pustaka, 2007.
al-‘Ani>z Yu>suf wa al-A<kharu>n, Mana>hiju al-Tarbawi>y bayna al-
Naz{riyah wa al-Tat{bi>q, Daulah Kuwait, 1999.
Al-‘Araby ‘Abdu al-Maji>d, Ta’allum al-Lugha>t al-H{ayah wa
Ta’li>muha> bayna al-Naz}riyah wa al-Tat}bi>q, Bayru>t:
Maktabah Libna>n, 1981.
Alwasilah, A. Chaedar., Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2008.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006.
Barry, Anita K.., Linguistics Perspectives and Language
Education., USA: Pearson Education, 2008.
Birdsong, David, Second Language Acquisition and The Critical
Periode Hypothesis, London: Lawrence Erlbaum
Associates, 1999.
Boeree, C. George, B.F. Skinner Personality Theories.
Bowerman, Melissa and Stephen C. Levinson, Language
Acquisition and Conceptual Development, United
Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2001.
Brown, H. Douglas., Principle of Language Learning and
Language Teaching, Pearson Education, 2006.
________, Teaching by Principles An Interactive Approach to
Language Pedagogy, United States: Pearson Education,
2007.
126
________, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, United
States: Pearson Education Company, 2007.
Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta: Rineka
Cipta, 2009.
Chomsky, Noam, Language and Mind, Cambridge: Cambridge
University Press, 3rd
Edition, 2006.
_______, New Horizons in the Study of Language and Mind,
Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
Clellen, Vera Gutierrez, et. al, “Predictors of Second Language
Acquisition in Latino Children with Specific Language
Impairment”, AJSLP American Journal of Speech-
Language Pathology, Volume 21, 2012.
Cloninger, Susan, Theories of Personality Understanding Persons-
Fourth Edition, Pearson Prentice Hall, 2004.
Collinge, N.E., An Encyclopaedia of Language, London and New
York: Routledge Taylor and Francis Group, 2006.
Cook, Vivian, Effect of The Second Language on The First,
Introduction: The Changing L1 in The L2 User’s Mind,
Cromwell Press Ltd, 2003.
________, Second Language Learning and Language Teaching,
Fourth Edition, London: Hodder Education, 2008.
Creswell, John W., Educational Research: Planning, Conducting,
and Evaluating Quantitative and Qualitative Research,
Pearson Prentice Hall, 2005.
Croft, William and D. Alan Cruse.,Cognitive Linguistics., USA:
Cambridge University Press, 2010.
Debora, Irene, Kepribadian Ekstrovert dan Introvert dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris, Pasca Sarjana Linguistik
- Penagajaran Bahasa Universitas Indonesia.
127
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edikatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2010.
Dornyei, Zoltan, The Psychology of The Language Learner
Individual Differences in Second Language Acquisition,
London: Lawrance Erlbaum Associates, 2005.
Doughty, Catherine, and Micahel H. Long, The Handbook of
Second Language Acquisition, Backwell Press, 2007.
Fathanah, Ghina, “Akuisisi Bahasa Kedua, Studi Pada Pondok
Pesantren Modern di Kabupaten Bandung”, Tesis di
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2009.
Ellis, Rod, The Study of Second Language Acquisition, Oxford:
Oxford University Press, 2008.
Feist, Jess, Gregory J. Feist, Theories of Personality-Sixth Edition,
New York: Mc Graw Hill, 2006.
Fletcher, Paul and Michael Garman, Language Acquisition Studies
in First Language Acquisition, New York: Cambridge
University Press, 2nd
Edition, 1997.
Giggs, Robert M., Leslir J. Briggs, dan Walter W. Wager,
Princeples of Instructional Design, New York:
Harcourt Brace Jovanovich College Publishers, 1992.
Gleason, Jean Berko, Nan Bernstein Ratner., The Development
Language., USA: Pearson Education, 2009.
Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologis, Jakarta: Gramedia,
1990.
Guasti, Maria T., Language Acquisition The Growth of Grammar,
London: A Bradford Book The MIT Press Cambridge,
2002.
128
Hahn, Sara Leigh Anne, “Developing The English Language
Vocabulary of Native Korean Speaking Students
Throught Guided Language Acquisition Design”, A
Dissertation of The Department of Educational
Leadership and The Graduate School of University of
Oregon in Partial Fulfillment of The Requirements for
The Degree of Doctor of Education, 2009.
Hall, Lindzey, Theories of Personality-4th
Edition, Hohn Wiley &
Sons, CN, 1998.
Hardinata, Vanda, Dasar-dasar Psikolinguistik, 10. E-Book.
Accesed:
http://vanda.lecture.ub.ac.id/files/2013/05/psikolinguisti
k-vandaUB.pdf pada tanggal 9 September 2013 12.48
WIB.
Henton, Wendow W., Iver H. Iversen, Classical Conditioning and
Operant Conditioning A Response Pattern Analysis,
New York: Springer-Verlag, 1978.
Hermawan, Acep, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Ibra>hi>m ‘Abdu al-‘Ali>m, Muwajjih al-Fanny li Mudarrisi al-
Lughah al-‘Arabiyah, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, tt.
Iskandarwassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Johnson, Marysia, A Philosophy of Second Language Acquisition,
London: Yale University Press, 2004.
Jordan, Geoff, Theory Construction in Second Language
Acquisition, Amsterdam: John Benjamins, 2004.
Jos Daniel Parera, Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif
dan Tipologi Struktural, Jakarta: Erlangga, 1991.
129
Jung, Carl G., Psychological Types, accesed at www.Abika.com
pada tanggal 11 Februari 2014, 13.45.
________, Psychology and Religion, London: Yale University
Press, 1966.
Kahar, Hazmida, Studi Etnografi dalam Pembelajaran Bahasa
Arab, Jakarta: Beringin Mulya, 2008.
Krashen, Stephen D., Second Language Acquisition and Second
Language Learning, Pergamon Press Inc, 1981.
________, Principle and Practice in Second Language Acquisition,
Pergamon Press Inc, 2009.
Kristian, Denhan, Anne Lobeck., Linguistics at School Language
Awareness in Primary and Secondary Education.,
USA: Cambridge University Press, 2010.
Larsen, Diane., Techniques and Principles in Language Teaching.,
New York: Oxford University Press, 2000.
Lieberson, Stanley, Language Diversity and Language Contact,
California: Standford University, 1981.
Lier, Leo Van, The Ecology and Semiotics of Language Learning a
Sociocultural Perspective, Boston: Kluwer Academic
Publisher, 2004.
Leonard Bloomfield, Language, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1990.
Markee, Numa, Conversation Analysis Second Language
Acquisition Research, Lawrence Erlbaum Associates,
Inc, 2000.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000.
Mujib, Fathul, Rekonstruksi Pendidikan Bahasa Arab, Yogyakarta:
PT Bintang Pustaka Abadi, 2010.
130
Muttaqin, Pentingnya Belajar Bahasa dalam Majalah Gontor.
Diunduh: http://www.majalahgontor.net, tanggal 09
September 2013 12.56 WIB.
Myers-Briggs Type Indicator, Interpretive Report, Report Prepared
For Jane Sample, Oktober 2009.
Parera, Jos Daniel., Linguistik Edukasional Metodologi
Pembelajaran Bahasa Analisis Konstrastif
Antarbahasa Analisis Keslahan Berbahasa, Jakarta:
Erlangga, 1997.
Parera, J.D., Dasar-Dasar Analisis Linguistik, Jakarta: Erlangga,
2009.
Pervin, Lawrence A., The Science of Personality, New York:
Oxford University Press, 2003.
Purwanto M. Ngalim, Psikologi Pendidikan (edisi ke-16),
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Quenk, Naomi L., Essentials of MBTI Assessment (2nd
Edt), John
Wiley & Sons, Inc., 2009.
Radford, Andrew, et.al., Linguistics An Introduction., USA:
Cambridge University Press, 2010.
Richards, Jack C., Ricahrd Schmidt, Longman Dictionary of
Language Teaching & Applied Linguistics-Fourth
Edition, Pearson Education Limited, 2010.
Royce A., Singleton, Jr. and Bruce C. Straits, Approaches to Social
Research third edition, New York: Oxford University
Press, 1999.
Ryckman, Ricahrd M., Theories of Personality-Ninth Edition,
Thomson Higher Education, 2008.
Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta:
Rajawali Press, 2010.
131
Singleton, D.M., The Age Factor in Second Language Acquisition:
A Critical Look at the Critical Periode Hypothesis
Multilingual Matters, Cromwell Press, 1995.
Singleton, David, et. al. Silence in Second Language Learning a
Psychoanalytic Reading, Cromwell Ltd Press, 2004.
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia, Edisi Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Sukamto, Toeti, Perancangan dan Pengembangan Sistem
Instruksional, Jakarta: Inter Media, 1993.
Suryadimulya, Agus Suherman, Analisis Teori Monitor Dalam
Akuisisi Bahasa Kedua, Lembaga Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Padjadjaran, 2008
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Pemerolehan Bahasa,
Bandung: Angkasa, 2011 Edisi Revisi.
_________, Psikolinguistik, Edisi Revisi, Bandung: Angkasa,
2009.
T{u’aymah Rushdi Ah{mad, Ta’limu al-‘Arabiyah li Ghairi an-
Na>t{iqi>na Biha>, Mana>hijuhu wa Asa>li>buhu, Ribat 1989.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Diunduh
http://www.slideshare.net/dipa_234/uu-sisdiknas tgl 9
September 2013 13.19 WIB.
http://www.yaminsetiawan.com/cgi-bin/test05.pl tgl 9 September
2013 13.39 WIB, beserta instrument test MBTI.
www.antaranews.com/pribadi-ekstrovert Media online Indonesia,
One Click Away!, dimuat tanggal 21 April 2014.
Diunduh pada tanggal 14 Juli 2014.
132
Jurnal Ilmiah
Bingjun, MA, “What is the Role of L1 in L2 Acquisition?”
CSCanada Studies in Literature and language, Vol. 7,
No. 2, 2013.
Campbell, Lyle, The History of Linguistics, The Handbook of
Linguistics, Blackwell Publishers,
www.blackwellpublishers.co.uk
Cazden, Courtney B., The Language of Teaching and Learning,
Harvard Graduate School of Education,
http://orange.schoolwires.com
DeGroot, Timothy and Janaki Gooty, “Can Nonverbal Cues be
Used to Make Meaningful Personality Attributions in
Employment Interviews?”, Journal of Business and
Psychology, Vol. 24, No. 2, June, 2009.
Dehbozorgi, Elham, “Effects of Attitude towards Language
Learning and Risk-taking on EFL Student’s
Proficiency”, International Journal of English
Linguistics, Vol. 2, No. 2, April 2012,
DeKeyser, Robert., “Implicit and Explicit Learning of L2
Grammar: A Pilot Study,” TESOL QUARTERLY,
Volume 28, No. 1, 1994.
Erton, Ismail, “Relations Between Personality Traits, Language
Learning Styles and Succes in Foreign Language
Achievment”, H.U Journal of Education, Volume 38,
2010.
Farghaly, Ali, Khaled Shaalan, Arabic Natural Language
Processing: Challenges And Solutions, acmtransactions
on asian language information processing, vol. 8, no.
4, article 14, pub. Date: december 2009.
133
Forney, Michael, “Introverts and Extrovert: Close Encounters with
Communicators of a Different Kind”. Article was accessed
in http://www.austincc.edu/colangelo/1318/Introverts-
Extroverts.htm 6 September 2013 10:02 WIB.
Frost, Peter, Sarah Sparrow and Jennifer Barry, “Personality
Characteristics Associated with Susceptibility to False
Memories”, The American Journal of Psychology, Vol.
119, No.2, Summer, 2006.
Gan, Shengdong, “Extroversion and Group Oral Performance: A
Mixed Quantitative and Discourse Analysis Approach”,
Journal of The Hong Kong Institute of Education,
Volume 23, Number 3, 2008.
Ghani, Kamarulzaman Abdul, et.all., “Relationship between the
Usage of Language Learning Strategies and the Level
of Proficiency in Learning Arabic Ab Initio”, Asian
Social Science, Vol. 10, No. 9, 2014.
Genc, Bilal and Erdogan Bada, Culture In Language Learning And
Teaching, The Reading Matrix, Vol. 5, No. 1, April
2005.
Gholami, Reza, Reza Vaseghi, Hamed Barjasteh, Noreen Nordin,
“Extroversion is not a Benefit in a Task-Based
Language Classroom”, Singapore: IACSIT Press,
International Conference on Languages, Literature and
Linguistics IPEDR vol.26, 2011.
Golaghaei, Nassim, “Extroversion/Introversion and Breadth of
Vocabulary Knowledge”, Modern Journal of Language
Teaching Methods (MJLTM), vol. 1 Issue 3 Dec. 2001.
Hajimohammadi, Reza, “Impact of Self-Correction on Extrovert
and Introvert Students in EFL Writing Progress”,
Journal of English Language Teaching, vol. 4, no. 2;
June 2011.
134
Krashen, Stephen D., Second Language “Standards For Succes”
Out of Touch With Language Acquisition, IJFLT The
International Journal of Foreign Language Teaching,
Volume 1, Number 2, Spring 2005.
Kickul, Jill and George Neuman, “Emergent Leadership Behaviors:
The Function of Personality and Cognitive Ability ini
Determining Teamwork Performance and Ksas”,
Journal of Business and Psychology, Vol. 15, No.1,
September, 2000.
Lincoln, Karen D., “Personality, Negative Interactions, and Mental
Health”, Social Service Review, Vol. 82, No.2, June,
2008.
Mahamod, Zamri., Mohamed Amin Embi, Penggunaan Strategi
Pembelajaran Bahasa untuk Menguasai Kemahiran
Membaca, Jurnal Teknologi, 42 (E) Jun. 2005 (diakses
12 Maret 2014).
Mobbs, Dean, et.all., “Personality Predicts Activity in Reward and
Emotional Regions Associated with Humor”,
Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America, Vol. 102, No.45, November.
8, 2005.
Mondak, Jeffery J. and Karen D. Halperin, “A Framework for the
Study of Personality and Political Behaviour”, British
Journal of Political Sciences, Vol. 38, No.2, April
2008.
Mueller, Gerrit and Erik Plug, “Estimating the Effect of Personality
on male and Female Earning”, Industrial and Labor
Relations Review, Vol. 60, No.1 October, 2006.
Nurjamin, Asep, “Pembelajaran Keterampilan Berbahasa”,
jurnal.stkipgarut.ac.id (diakses 07 April 2014).
135
Nussbaum, E. Michael, “How Introverts Versus Extroverts
Approach Small-Group Argumantative Discussions”,
The Elementary School Journal, Vol. 102, No. 3,
January, 2002.
Revelle, William, Phyllis Amaral and Susan Turriff,
“Introversion/Extroversion, Time Stress, and Caffeine:
Effect on Verbal Performance”, Science, New Series,
Vol. 192, No. 4235, April. 9, 1976.
Saffran, Jenny R., et. al. “The Acquisition of Language by
Children”, PNAS, Volume 98, Number 23, 2001
(accessed September 6, 2013).
Schredl, Michael and Joelle Alexandra Schawinski, “Frequency of
Dream Sharing: the Effect of Gender and Personnality”,
The American Journal of Psychology, Vol. 123, No. 1,
Spring, 2010.
Shaalan, Khaled, “Rule-Based Approach in Arabic Natural
Language Processing,” International Journal on
Information and Communication Technologies, Vol. 3,
No. 3, June 2010. (accessed July 14, 2013)
Shahila, Zafar and Meenakshi, K., “A Study on The Relationship
between Extroversion-Introversion and Risk-Taking in
The Context of Second Language Acquisition”,
International Journal of Research Studies in Language
Learning, 2012, Volume 1 Number 1.
Sharp, Alastair, “Pesonality and Second Language Learning”,
Journal of Asian Social Science, Volume 4, Number
11, 2008.
Shojaee, Fatemeh and Rahman Sahragard, “The Effect of Risk-
Taking on Translation Quality of English Translation
Student”, accessed at 11th
July 2014.
136
Wawancara:
Wawancara dengan Pimpinan Pondok Pesantren Modern
Assa’adah Pasirmanggu Cikeusal Serang Banten, (5
Maret 2014) .
Wawancara dengan seorang santri pondok pesantren modern
Assa’adah, (6 April 2014).
Wawancara dengan Bpk. Najmudin, salah seorang ustadz bagian
pengembangan bahasa, khususnya bahasa Arab, (12
Maret 2014).
Wawancara dengan Bpk. Abdurrahman, Ustadz mata pelajaran
bahasa Arab kelas I MMI. (12 Maret 2014).
Wawancara dengan Bpk. Tino, salah seorang ustadz bagian
pengembangan bahasa pada, (12 Maret 2014).
Wawancara dengan Bpk. Abdurrahman, Ustadz mata pelajaran
bahasa Arab kelas I MMI, (3 April 2014).
Wawancara dengan Ibu. Rahmawati, kepala sekolah SMP Plus
Assa’adah pondok pesantren modern Assa’adah, (10
April 2014).
Wawancara dengan bagian pengembangan bahasa di pondok
pesantren modern Assa’adah (14 Juni 2014).
137
GLOSSARY
Akuisisi : Akuisisi secara etimologi adalah pemerolehan
Akuisisi Bahasa : Akuisisi bahasa berarti pemerolehan bahasa yaitu
proses manusia mendapatkan kemampuan untuk
menangkap, menghasilkan, dan menggunakan
kata untuk pemahaman dan komunikasi.
Implikasi : Implikasi dalam KBBI berarti keterlibatan atau
keadaan terlibat
Kepribadian : Keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan
berinteraksi dengan individu lain.
Kepribadian
Ekstrovert
: Kepribadian dengan tipe terbuka, cenderung
sociable (suka bergaul), senang berinteraksi
dengan banyak orang, penyuka pesta, sangat
membutuhkan kegembiraan, dan biasanya bekerja
pada situasi mendadak
Kepribadian
Introvert
: Kepribadian dengan tipe tertutup, cenderung
pendiam, lebih suka menyendiri dan membaca
buku dibandingkan dengan berinteraksi dengan
orang banyak, cenderung mengarahkan
pandangannya pada diri sendiri
Psikolinguistik : Merupakan gabungan dari dua kata yaitu
psikologi dan linguistik. Psikolinguistik
mempelajari faktor-faktor psikologis dan
neurobiologist yang memungkinkan menusia
mendapatkan, menggunakan, dan memahami
bahasa
Sosiolinguistik : Merupakan gabungan dari dua kata yaitu sosiologi
dan linguistik. Sosiolinguistik adalah kajian
interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya
terhadap cara suatu bahasa digunakan
Linguistik : Merupakan kajian ilmu bahasa
Bahasa Asing : Bahasa yang tidak digunakan oleh seseorang atau
sekelompok yang tinggal di sebuah tempat
tertentu
138
Bahasa Ibu : Bahasa pertama yang pertama kali manusia
pelajari sewaktu lahir
Bahasa Kedua : Bahasa yang didapat setelah bahasa pertama atau
bahasa ibu
Interlanguage : Didefiniskan sebagai bahasa antara yaitu
kemampuan bahasa yang didapat pada proses
pemerolehan bahasa dari bahasa pertama ke
bahasa kedua
Pembiasaan
Operan
: Disebut juga operant conditioning yaitu adanya
penekanan pada hubungan dua kesatuan tingkah
laku
Kompetensi
Linguistik
: Kompetensi yang berkaitan dengan penguasaan
yang baik terhadap kosa-kata, pelafalan, makna,
dan tata bahasa dengan baik
Interaksi
Edukatif : Interaksi yang berlangsung dalam suatu ikatan
untuk tujuan pendidikan dan pengajaran. Pada
dasarnya interaksi edukatif adalah komunikasi
timbal balik antara pihak yang satu dengan pihak
yang lain dengan maksud untuk mencapai tujuan
tertentu yaitu tujuan dari kegiatan belajar
mengajar
Fonetik : Fonetik adalah ilmu yang mengkaji bunyi bahasa
dari sudut ucapan (parole)
Semantik : Ilmu tentang makna kata dan kalimat;
pengetahuan mengenai seluk-beluk dan
pergeseran arti kata
Sintaksis : Pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau
dengan satuan lain yang lebih besar atau disebut
ilmu tata kalimat
Leksikologi : Cabang linguistic yang menyilidiki kosakata dan
maknanya
Santri : Orang yang mempelajari atau mendalami ilmu
agama islam atau orang yang belajar di pesantren
Pesantren : Asrama tempat santri atau tempat murid-murid
belajar mengaji
Nativisme : Sikap atau paham suatu Negara atau masyarakat
139
terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan yang
menolak pengaruh, gagasan atau kaum pendatang
Akulturasi : Percampuran dua kebudayaan atau lebih yang
saling bertemu dan saling mempengaruhi
Progresif : Suatu hal yang condong ke arah kemajuan atau
bersifat ke masa depan atau maju
140
141
INDEKS ISTILAH DAN TOKOH
A
Aitchison, 27
Akuisisi, 1, 2, 3, 7, 15, 25, 26, 29,
30, 34, 36, 38, 39, 45, 104
Akuisisi Bahasa, 1, 2, 3, 7, 15, 25,
26, 29, 30, 34, 36, 39, 45, 104
Akulturasi, 7
Analisis, 1, 7, 21
B
Bahasa, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 11, 14, 15,
17, 18, 19, 23, 25, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 33, 34, 36, 39, 45, 49,
50, 52, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 62,
63, 64, 67, 68, 69, 74, 80, 81, 82,
83, 85, 86, 90, 93, 94, 95, 96, 97,
99, 100, 102, 104, 106, 107, 108,
109, 111, 112, 116
Bahasa Arab, 1, 2, 4, 11, 14, 17, 18,
23, 49, 58, 59, 61, 62, 64, 67, 68,
69, 74, 80, 81, 82, 83, 85, 93, 94,
95, 96, 97, 102, 104, 107, 108,
109, 111, 112
Bahasa Inggris, 8, 15
Bahasa Kedua, 1, 2, 3, 7, 15, 23, 26,
29, 30, 31, 32, 34, 36, 39, 45, 50,
104, 106, 107
Bakat, 101
Barlow, 3
Behaviorisme, 4, 31
Belajar, 3, 29, 32, 51, 92
Berbicara, 14, 26, 49, 80, 81, 82,
83, 101, 102, 104
Bitchener, 74
Brady, 32
C
Chomsky, 4, 6, 22, 27, 28, 33, 34,
35, 36, 52, 62, 77, 122
Avram Noam, 127
Conrad, 32
Crow, 41, 43
E
Ekstrovert, 8, 14, 15, 23, 42, 44, 49,
50, 55, 71, 74, 80, 81, 82, 83, 85,
94, 95, 96, 97, 100, 101, 102,
104, 109, 116, 117
Eysenck, 14, 37, 39, 40, 42, 44, 49
F
Fillmore, 13
G
Gagne, 104
Guru, 20, 65, 66, 67, 68, 73, 76,
104, 108
I
Implementasi, 101
Individu, 41, 42, 43, 44, 66, 100
Interaksi, 10, 23, 51, 62, 64, 65, 66,
67, 73, 76, 88, 92
Interaksi Edukatif, 23, 62, 65, 66,
67, 76
Interlanguage, 99
Introvert, 8, 14, 15, 23, 40, 55, 57,
72, 74, 75, 77, 79, 81, 82, 83, 94,
95, 96, 97, 109, 116, 117
142
J
Jung, 21, 39, 41, 45, 46, 77
K
Kebudayaan, 36
Kelas, 17
Kemampuan, 21, 90, 102
Kepribadian, 6, 8, 14, 15, 21, 23,
36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,
45, 49, 66, 74, 76, 78, 80, 81, 82,
83, 94, 95, 96, 97, 98, 102, 104,
109, 116, 117, 121, 122
Keterampilan, 14, 49, 80, 81, 82,
83, 101, 102, 104
Keterampilan Berbicara, 14, 49, 80,
81, 82, 83, 101, 102, 104
Kompetensi, 25, 32
Kompetensi Linguistik, 25, 32
Komunikasi, 36
Kosakata, 114
L
Language Acquisition, 4, 6, 13, 25,
26, 27, 28, 33, 35, 36, 38, 41, 44,
49, 53, 54, 60, 68, 73, 85, 87, 88,
91, 104, 106, 107, 115, 116, 118,
121, 122
Language Acquisition Device, 27,
28, 53, 73, 121, 122
Learning, 6, 26, 27, 32, 35, 41, 44,
80, 81, 82, 83, 87, 88, 90
Lindzey, 40, 42, 43
Lingkungan, 23, 56, 66, 67, 70, 71,
72
Lingkungan Sosial, 23, 66
Linguistik, 8, 15, 25, 32
M
Mc. Donald, 91
Metode, 10, 18, 61
Model, 23, 61, 81
Modern, 2, 4, 5, 9, 11, 12, 15, 16,
17, 20, 22, 23, 26, 39, 40, 49, 52,
53, 56, 60, 61, 63, 69, 70, 81, 99,
104, 108, 116
Motivasi, 51, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
97, 109, 122
Myers, 21, 45, 46, 77, 81
N
Native Speaker, 49
Nativisme, 9
O
Observasi, 19, 61
P
Pavlov, 33
Pembelajaran, 1, 4, 14, 60, 61, 67,
68, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97,
104, 106, 107, 108, 109, 111,
112, 116
Pembiasaan Operan, 25, 28
Pemerolehan, 3, 7, 8, 14, 19, 23, 50,
51, 52, 56, 60, 62, 63, 74, 81, 85,
86, 104, 106, 107
Pemerolehan Bahasa, 7, 8, 14, 19,
23, 50, 52, 56, 60, 62, 63, 74, 81,
85, 86, 107
Personality, 14, 31, 37, 38, 41, 43,
49, 80, 81, 82, 83
Pesantren, 2, 4, 5, 9, 11, 12, 15, 16,
17, 20, 22, 23, 26, 39, 49, 52, 53,
56, 60, 61, 63, 69, 70, 104, 108,
116
Pondok, 2, 4, 5, 9, 11, 12, 15, 16,
17, 20, 22, 23, 26, 39, 49, 52, 53,
143
56, 60, 61, 62, 63, 69, 70, 104,
108, 113, 116, 117
Psikolinguistik, 1, 6, 9, 26, 27, 28,
29, 30, 32, 33, 34, 35, 99
Psikologi, 36, 37, 38, 39, 40, 41,
42, 43, 44, 65, 74, 92, 93
R
Responden, 94, 95, 96, 97, 109,
116, 117
Risiko, 90
Risk-Taking, 6, 13, 41, 44, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 118, 122
Rossier, 14, 49
S
Sampel, 17, 18
Santri, 23, 52, 53, 55, 59, 66, 79,
85, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 101,
104, 108, 109, 114, 115, 116,
117, 118, 122
Saussure, 1
Second Language Acquisition, 6,
13, 25, 26, 27, 35, 36, 38, 41, 44,
49, 54, 60, 85, 87, 88, 91, 104,
116, 118
Skinner, 3, 4, 22, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34
Sociable, 86, 98, 122
Sosial, 23, 66
Speaker, 49
T
Teori, 1, 7, 29, 64, 77, 106, 122
V
Verbal, 19
W
Wager, 104, 105
Wakamoto, 13, 98
Weinreich, 7
Z
Zoltan, 38
144
BIOGRAFI PENULIS
Ahmad Habibi Syahid, S.Pd.I dilahirkan di Serang Banten,
29 Januari 1990. Putera kedua dari pasangan H.A.Hidayat dan Hj.
Nur’aidah. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD
Negeri 21 Serang dan lulus tahun 2001, melanjutkan ke pondok
pesantren modern dan menempuh pendidikan selama 6 tahun
jenjang Mts dan SMA di Pondok Pesantren Modern Assa’adah.
Selama masa kuliah S1 penulis mengabdikan diri di Pondok
Pesantren Modern Al-Islam Cipocok jaya Serang dari tahun 2007
s/d 2012.
Penulis menamatkan pendidikan S1 di IAIN SMH Banten
masuk tahun 2007 dan lulus tahun 2011. Kemudian penulis
melanjutkan ke jenjang S2 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tepatnya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.