Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan...

24
1 Implikasi Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Hubungan Keuangan Pusat – Daerah Suryanto Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Pendahuluan Salah satu wacana menarik yang menjadi perhatian publik setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 adalah perihal penataan hubungan Pusat – Daerah. Dikatakan demikian karena implikasi implementasi undang-undang sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, yakni Undang- Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, menunjukkan maraknya konflik hubungan ABSTRAK Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004. Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut yakni desentralisasi administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal (pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat Daerah, yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat Daerah.

description

ABSTRAK Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004. Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut – yakni desentralisasi administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal (pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat – Daerah, yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat – Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat – Daerah.

Transcript of Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan...

Page 1: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

1

Implikasi Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap

Hubungan Keuangan Pusat – Daerah

Suryanto Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara

Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara

Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia

Pendahuluan

Salah satu wacana menarik yang menjadi perhatian publik setelah terbitnya

Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 adalah perihal penataan hubungan

Pusat – Daerah. Dikatakan demikian karena implikasi implementasi undang-undang

sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, yakni Undang-

Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, menunjukkan maraknya konflik hubungan

ABSTRAK

Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak

kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25

Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.

Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak

sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi

fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut – yakni desentralisasi

administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal

(pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan

sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi

dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat – Daerah,

yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa

depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat –

Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan

mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat –

Daerah.

Page 2: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

2

Pusat – Daerah dalam konteks penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah. Problematika konflik Pusat – Daerah tersebut mencakup berbagai

aspek penyelenggaraan kepemerintahan daerah, baik kewenangan, kelembagaan,

keuangan, sumber daya aparatur, dan sebagainya.

Fenomena disharmoni hubungan Pusat – Daerah semakin bertambah parah

sebagai akibat ketidakmampuan aparatur pemerintah daerah menafsirkan

substansi undang-undang dan peraturan pelaksana undang-undang yang berlaku.

Kendatipun demikian kita sepakat bahwa mis-intepretasi tersebut bukanlah

kesalahan aparatur pemerintah daerah semata, tetapi juga karena ketidakjelasan

hal-hal yang diatur (substansi) peraturan peundangan itu sendiri.

Menurut Bagir Banan, salah satu sumber dari kesemrawutan pengaturan

otonomi daerah adalah peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Pasal

18 UUD 1945 (sebelum diamandemen tahun 2000) yang terlalu umum serta fungsi

Penjelasan UUD 1945 tidak jelas dasar hukumnya, karena biasanya UUD satu negara

tidak mencantumkan penjelasan. Karenanya, amendemen UUD 1945 merupakan

langkah yang ”revolusioner dan dianggap perlu dalam menata sistem pemerintahan

Indonesia di era globalisasi dan modernisasi pranata-pranata politik di Indonesia.

Substansi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 telah disesuaikan dengan

hasil amandemen UUD 1945, baik amandemen I, II, III dan IV, sehingga diharapkan

dapat mengarahkan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

secara lebih baik.

Desentralisasi dan Struktur Pemerintahan Masa Depan

Perubahan-perubahan yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai negara

menyangkut bentuk reformasi hubungan Pusat – Daerah mulai dari yang bersifat

sentralisasi, regionalisasi, provinsionalisasi dan lokalisasi. Meskipun demikian pada

dasarnya kecenderungan perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan

pemerintahan di banyak negara adalah mengarah pada desentralisasi dan otonomi

daerah (Shah, 1998 dalam Alisyahbana, 1999: 2). Implikasi dan kecenderungan

perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi pada akhir-akhir ini adalah

Page 3: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

3

adanya pergeseran dari yeng sentralistik ke pemerintahan yang desentralistik, dan

pada saat yang bersamaan juga dipengaruhi oleh globalisasi.

Peran Pemerintah Pusat dalam hal ini akan berubah dari sistem yang bersifat

managerial authority ke peran kepemimpinan (leadership role) dalam pemerintahan

yang terdiri dari berbagai pemerintahan daeah. Budaya pemerintahan juga akan

mengalami perubahan dengan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut

(Shah, 1998 dalam Alisyahbana, 1999: 2):

Dari birokratik ke model pemerintahan yang melibatkan partisipasi

masyarakat;

Dari command and control ke yang mementingkan akuntabilitas terhadap

hasil-hasil yang dicapai;

Dari yang secara internal dituntut menjadi kompetitif dan inovatif;

Dari yang bersifat tertutup menjadi terbuka;

Dari yang tidak mentolerir resiko menjadi terbuka terhadap resiki

keberhasilan/kegagalan.

Struktur pemerintahan masa mendatang yang sesuai visi abad ke-21 jika

dibandingkan dengan yang ada dan berlaku saat ini adalah sebagaimana tabel

berikut:

Tabel 1 Perbandingan Struktur Pemerintahan abad ke-20 dan abad ke-21

Abad ke-20 Abad ke-21

Unitary Centralized Center manages Bureaucratic Command and control Internally depends Closed and show Intolerance of risk

Federal/cofederal (decentralized)

Globalized and localized Center leads Participatory Responsive and accountable Competitive Open and quick Freedom to fail/succeed

Sumber: Shah, 1998: 2

Page 4: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

4

Pilihan atas reformasi pengaturan hubungan Pusat – Daerah dapat sangat

bervariasi dan tergantung pada karakteristik pemerintahan daerah di berbagai

negara. Bentuk desentralisasi sangat dipengaruhi oleh: ukuran negara, tingkat

perbedaan antar daerah (etnis, geografis, budaya), ideologi politik, tradisi-tradisi

daerah serta pengaruh asing. Bentuk-bentuk sistem desentralisasi antara lain:

Sistem Federal, dimana negara-negara bagian memiliki hak dan

kekuasaan yang dijamin oleh konstitusi, seperti di Amerika Serikat.

Sistem Kesatuan, dengan otonomi terbatas maupun dengan otonomi luas

dimana pemerintah daerah merupakan hasil ciptaan pemerintah pusat.

Sistem Paralel, yaitu sistem pemerintahan daerah yang paralel dengan

administrasi dekonsentrasi.

Sistem Integrasi antara Dekonsentrasi dan Desentralisasi, dimana Kepala

Daerah juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang

bersangkutan.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut sistem-sistem

desentralisasi di atas dijumpai kerancuan wewenang di antara tingkat

pemerintahan. Sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berubah-ubah

sesuai dengan kebijakan dan kebutuhan masing-masing negara. Reformasi

hubungan Pusat – Daerah yang ahir-akhir ini menjadi kecenderungan di banyak

negara, termasuk Indonesia, adalah desentralisasi politik, administrasi dan fiskal

dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.

Desentralisasi politik

Desentralisasi politik (demokrasi) berasumsi bahwa sistem-sistem yang

secara politik terdesentralisasi melembagakan proporsi fungsi politik yang besar

pada level daerah dari pada pusat. Pada konteks ini, Crook dan Sverrisson (2001: 2)

mencatat bahwa desentralisasi sesungguhnya mengenai distribusi kekuasaan dan

resources baik pada level yang berbeda dan teritorial dari suatu negara dan di

antara kepentingan yang berbeda dalam hubungan mereka kepada elit yang

berkuasa. Manor (1997: 8) juga berpendapat bahwa desentralisasi politik disusun

sebagai alat untuk mempertajam demokrasi atau membuka sistem yang tertutup,

untuk memberikan ruang gerak bagi kelompok-kelompok kepentingan guna

Page 5: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

5

mengorganisasi, berkompetisi dan membuka diri mereka sendiri. Desentralisasi

politik atau demokrasi adalah penting unutk membawa pemerintah dekat dengan

masyarakat. Bank Dunia (1995: 2) menyatakan bahwa desentralisasi sumber-

sumber dan kewajiban tanpa reformasi di bidang politik/demokrasi akan tidak

lengkap atau tidak kondusif bagi hasil-hasil sosial yang efektif.

Karakteristik desentralisasi politik atau demokrasi bervariasi. Litvack dkk

(2000: 6, dikutip dari Schneider 2003:13) menegaskan bahwa cara yang paling baik

untuk menyimpulkan fungsi-fungsi politik mungkin dalam hal representasi yang

merefer kepada cara institusi politik memetakan kepentingan rakyat yang

bervariasi ke dalam keputusan politik. Sama halnya Berger (1983, dikutip dari

Schneider, 2003) menyatakan bahwa untuk mempunyai dampak kepada kebijakan,

kepentingan dalam masyarakat harus dimobilisasi, diorganisir dan diartikulasikan

melalui institusi yang membawa kepentingan tersebut kepada negara. Secara lebih

luas, Manor (1997: 8) mempertahankan bahwa bentuk-bentuk dari desentralisasi

politik termasuk kasus-kasus dimana orang-orang di dalam insitusi atau otoritas

tertentu dipilih melalui pemilu. Hal ini termasuk juga kesepakatan yang tidak

konvesional dimana LSM (Lembaga swadaya masyarakat) secara resmi diberikan

kekuasan menentukan kekuasan di DPR. Manor (1997: 8) menegaskan bahwa

desentralisasi politik juga meliputi usaha dimana masyarakat pada level lokal

mempunyai beberapa pengaruh melalui pembentukan komite-komite lokal yang

ditujukan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat.

Bukti-bukti empirik dari praktek desentralisasi politik menunjukan bahwa

proses demokrasi dapat memicu responsitas yang lebih besar dari pemerintah

pusat untuk medesentralisasikan kekuasaan dengan berbagai macam cara (Scott,

1996: 12, dikutip dari Asia Research Centre, 2001). Sebagai contoh, Padila (1993,

diambil dari Asia Research Centre, 2001) menyatakan bahwa kode pemerintahan

Philipina tahun 1992, menyediakan devolusi yang luas dari kekuasaan yang tidak

akan mungkin dibawah regime Marcos. Pemerintah Hongkong mengadopsi piagam

rakyat di Inggris (Cooray, 1993, dikutip dari Asia Research Centre, 2001). Sebagai

bentuk desentralisasi politik, Singapura meningkatkan prosedur dan mekanisme

komplain. Di Indonesia, tema keterbukaan dan pembuatan kotak pos 5000 (fasilitas

Page 6: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

6

tanpa nama dimana rakyat dapat memasukan komplain terhadap aparat

pemerintah pada aspek administrasi) pada tahun 1990 dapat di pandang sebagai

akibat tekanan yang sama.

Desentralisasi administrasi

Rondinelli dan Nellis (1986: 5, dikutip dari UNDP, 1999: 9) mendefinisikan

desentralisasi administratif sebagai “transfer tanggung jawab untuk merencanakan,

memanajemen, menaikan dan mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah

pusat dan agennya, kepada subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom,

perusahaan, otoritas regional atau fungstional, NGO atau organisasi-organisasi

volunter. Menurut Litvack dan Seddon, desentralisasi administratif mencari dan

mendistribusikan kembali, tanggung jawab dan urusan finansial untuk penyediaan

pelayanan publik diantara tingkatan pemerintahan yang berbeda. Tipe

desentralisasi pertama ini banyak diungkapkan dalam berbagai literatur

desentralisasi. Asumsi dasarnya adalah sistem yang secara administratif

terdesentralisasi menempatkan proporsi otonomi administrasi yang lebih luas di

tingkat daerah dibandingkan di tingkat pusat (Schneider, 2003: 11). Schneider

terlebih mencatat bahwa jumlah desentralisasi administratif bervariasi secara

berlanjut di lintas sistem dari sistem yang secara lebih kecil memberikan otonomi

kepada mereka yang lebih memberikan kewenangan yang besar secara

administartif.

Desentralisasi fiskal

Desentralsasi Fiskal adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab

finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, expansi

pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi unutk meminjam dan

memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman

(Litvac dan Seddon, 1998: 3). Pada dasarnya desentralsasi Fiskal, menurut Smoke

(2001: 4) berawal dari sebuah teori fiscal federal yang menyatakan bahwa

desentralisasi memfokuskan pada memaksimalkan kesejahteraan sosial yang

digambarkan dari kombinasi stabilitas ekonomi, alokasi yang efisien dan distribusi

yang sama (Musgrave, 1958: 132. dikutip dari Schneider 2003: 10).

Page 7: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

7

Selanjutnya, desentralisasi Fiskal yang memfokuskan pada stabilitas

ekonomi berasumsi bahwa organisasi non sentralistik mengeluarkan dan menyerap

proporsi resources yang lebih besar yang akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi

(Schneider, 2003: 10). Argumen alokasi ini menyatakan bahwa kesejahteraan dapat

diraih melalui desentralisasi sebab masyarakat yang berbeda daerah yuridiksi dapat

memilih pelayanan publik dan pajak yang sangat cocok dengan preferensi mereka

(Smoke, 2001: 6). Secara umum framework desentralisasi Fiskal dibangun atas

dasar asumsi bahwa sistem yang secara Fiskal terdesentralisasi menempatkan

proporsi sumber-sumber keuangan yang lebih besar pada level lokal dibandingkan

pada level pusat (Schneider 2003: 10). Sumber-sumber utama lain dari pendapatan

local di negara-negara berkembang adalah transfer keuangan antar daerah

Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah serta Pengaturan Hubungan Keuangan Pusat – Daerah Pokok-Pokok Penyelenggaraan Kebijakan Otonomi Daerah

Reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah serta pengaturan

hubungan keuangan pusat – daerah telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor

32 dan 33 Tahun 2004. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang didasarkan

pada prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab menurut kedua

UU tersebut pada dasarnya diletakkan pada kabupaten dan kota. Satu hal yang

paling esensial dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ialah

pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah (Presiden) dan pemerintahan

daerah. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan

pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan

pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai

urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah.

Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup

bangsa dan negara secara keseluruhan.

Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi

urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

Page 8: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

8

kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi

dan tugas pembantuan.

Sesuai isi pasal 10 ayat (3) UU No. 32/2004, urusan pemerintahan yang tidak

menjadi urusan pemerintahan daerah adalah : (a) politik luar negeri, (2)

pertahanan, (3) keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiskal nasional, dan (6)

agama. Ini berarti bidang-bidang lain diluar 6 bidang diatas menjadi urusan

pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata.

Dalam rangka merealisasi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung

jawab ini menuntut pemerintahan daerah yang tanggap, mampu dan mempunyai

kinerja yang tahan uji, yang menyangkut pemerintah daerah dan DPRD. Pembagian

urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah memasuki

horison baru dalam tata pemerintahan daerah di Indonesia. Hal itu menyangkut

kewenangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang sepintas lalu lebih luas

dibanding dengan kewenangan Pemerintah (Pusat). Tetapi bila dikaji lebih dalam,

sebagai konsekuensi negara kesatuan, meskipun secara deklatoris hanya mengurus

6 (enam) urusan seperti tersebut di atas, bukan berarti Pemerintah melepaskan

atau mendelegasikan sepenuhnya urusan lainnya kepada pemerintahan daerah.

Pemerintah (Pusat) masih memegang kendali kewenangan tersebut, khususnya di

bidang pengawasan dan pengendalian serta pendanaan.

Seperti isi rumusan Pasal 10 ayat (5) UU No. 32 tahun 2004 bahwa dalam

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan

sebagaimana dirumuskan pada ayat (3), pemerintah dapat :

1. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

2. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

pemerintah; atau

3. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau

pemerintahan desa berdasarkan azas tugas pembantuan.

Sama seperti semangat UU 22/1999, juga UU No. 32/2004, titik berat

otonomi berada pada kabupaten dan kota. Daerah kabupaten dan kota menerima

kewenangan terbesar, sedangkan provinsi menerima kewenangan yang lebih

Page 9: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

9

bersifat koordinatif, pengawasan dan pembinaan. Satu hal yang baru dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria :

1. Eksternalitas, yaitu penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan

berdasarkan luas, besaran dan jangkauan dampak yang timbul akibat

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;

2. Akuntabilitas, penanggung jawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan

ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran dan jangkauan

dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.

3. Efisiensi, penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan

perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang diperoleh.

Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah

daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas, terdiri atas urusan wajib

dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai

dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian

sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.

Menurut Pasal 14 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan urusan yang ada

dalam skala kabupaten/kota meliputi: a) perencanaan dan pengendalian

pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata

ruang, c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, d)

penyediaan sarana dan prasarana umum, e) penanganan bidang kesehatan, f)

penyelenggaraan pendidikan, g) penanggulangan masalah sosial, h) pelayanan

bidang ketenagakerjaan, i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan

menengah, j) pengendalian lingkungan hidup, k) pelayanan pertanahan, l)

pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, m) pelayanan administrasi umum

pemerintahan, n) pelayanan administrasi penanaman modal, o) penyelenggaraan

pelayanan dasar lainnya, dan p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh

peraturan perundang-undangan.

Dalam menyelenggarakan kepemerintahan daerah, pemerintahan daerah

menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya dalam

menyelenggarakan pemerintahan daerah, daerah mempunyai hak dan kewajiban

Page 10: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

10

daerah yang sekaligus merupakan pedoman yang harus dijalankan oleh setiap

penyelenggara pemerintahan daerah – yakni Pemerintah Daerah dan DPRD. Hak-

hak daerah antara lain: a) mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya, b) memilih pimpinan daerah, c) mengelola aparatur daerah, d)

mengelola kekayaan daerah, e) memungut pajak daerah dan retribusi daerah, f)

mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber data

lainnya yang berada di daerah, g) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain

yang sah, dan h) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan (Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004).

Dalam menyelenggarakan otonomi kepada daerah juga diberi rambu-rambu

kewajiban untuk mengimbangi hak seperti tersebut di atas. Rambu-rambu ini

dimaksudkan untuk mengurangi ekses seperti yang timbal pada pelaksanaan hak

daerah otonom, dalam hal ini DPRD dan Pemerintah Daerah pada kurun waktu

1999-2004 yang lalu. Kewajiban daerah antara lain meliputi: a) melindungi

masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia, b) meningkatkan kualitas kehidupan

masyarakat, c) mengembangkan kehidupan demokrasi, d) mewujudkan keadilan

dan pemerataan, e) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, f) menyediakan

fasilitas pelayanan kesehatan, g) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum

yang layak, h) mengembangkan sistem jaminan sosial, i) menyusun perencanaan

dan tata ruang daerah, j) mengembangkan sumber daya produktif di daerah, k)

melestarikan lingkungan hidup, l) mengelola administrasi kependudukan, m)

melestarikan nilai sosial budaza, n) membentuk dan menerapkan peraturan

perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 21 UU No. 32 Tahun

2004).

Hak dan kewajiban daerah sebagaimana tersebut di atas dimaksudkan untuk

diwujudkan dalam rencana kerja pemerintah daerah dan dijabarkan dalam bentuk

APBD yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan

secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada

peraturan perundang-undangan seperti dimaksudkan dalam prinsip “good

governance”.

Page 11: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

11

Pokok-Pokok Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

UU ini mengatur suatu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah yang berdasarkan hubungan fungsi, yaitu berupa sistem

keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan

tanggung jawab antar tingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU

tentang Pemerintahan Daerah. UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Daerah meliputi ruang lingkup pengaturan dari: prinsip-prinsip pembiayaan

fungsi pemerintahan di Daerah, sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tanggung

jawab Daerah, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, dan sistem

informasi keuangan daerah.

1. Prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di Daerah

Dasar-dasar pembiayaan pemerintahan daerah dilakukan menurut

hubungan fungsi berdasarkan pembagian urusan pemerintahan, tugas dan

tanggung jawab antar tingkat pemerintahan. Penyelenggaraan tugas Daerah

dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi menjadi beban APBD, sedangkan

tugas Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah Propinsi dalam rangka

pelaksanaan asas dekonsentrasi dibiayai dari APBN.

Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber

pembiayaan yang merupakan peenrimaan daerah, antara lain sisa lebih

perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan dan obligasi serta penerimaan

dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang

merupakan pengeluaran, antara lain pembayaran hutang pokok. Struktur APBD

menurut PP 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah

sebagaimana terdapat pada tabel berikut:

Tabel 2

Struktur APBD

Pendapatan daerah

Meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah

Page 12: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

12

Belanja daerah Meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah

Pembiayaan daerah

Meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Sumber: Pasal 20 PP No 58 Tahun 2005

2. Sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tanggung jawab Daerah.

Sumber-sumber penerimaan Daerah untuk melaksanakan asas

desentralisasi terdiri dari: a) Pendapatan Asli Daerah, b) Dana Perimbangan, c)

Pinjaman Daerah, dan d) Lain-lain penerimaan yang sah. Sumber-sumber PAD

terdiri dari: hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik

daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dana perimbangan terdiri dari:

bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam,

Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam,

dana alokasi umum serta dana alokasi khusus merupakan bagian penerimaan

daerah yang masuk ke dalam APBD untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintahan daerah dalam rangka asas desentralisasi.

Kesepakatan yang dicapai tetang bagian daerah dari penerimaan sumber

daya alam, Pajak Bumi dan Bangunan, dana reboisasi dan bagi hasil Hak

Perolehan Atas Tanah dan Bangunan adalah sebagaimana tabel 3 berikut:

Tabel 3 Dana Bagi Hasil

No. Penerimaan Negara Daerah Pusat

Page 13: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

13

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 90% 10% 2. Bea Perolehan atas Tanah dan

Bangunan 80% 20%

3. Pajak Penghasilan (PPh) 20% 80% 4. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) 80% 20% 5. Dana Reboisasi 40% 60% 6. Petambangan Umum 80% 20% 7. Pertambangan Minyak Bumi 15,5% 84,5%* 8. Pertambangan Gas Bumi 69,5% 30,5%* 9. Pertambangan Panas Bumi 80% 20% 10. Perikanan 80% 20%

*) setelah dikurangi komponen pajak. Sumber: Marbun, BN, 2005: 175

Adapun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sebesar 90% dibagi

sebagai berikut:

a. 16,2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening

Kas-kas daerah propinsi;

b. 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke

rekening kas daerah kabupaten/kota, dan

c. 9% untuk biaya pemungutan.

Dari contoh di atas terlihat dengan jelas perincian pembagian atau dana bagi

hasil antara Pemerintah dan Daerah. Sepintas lalu angka-angka dana bagi hasil

tersebut agak jelas, namun dalam praktik akan sangat ’jlimet’ rumit, ketika

dikaitkan dengan sistem komunikasi dan informasi serta dikaitkan dengan

disiplin pembukuan keuangan.

Sementara itu, dana alokasi umum berfungsi sebagai pemerataan antar

Daerah dengan tujuan agar semua Daerah memiliki kemampuan yang relative

sama untuk membiayai pengeluaannya dalam pelaksanaan asas desentralisasi.

Dana alokasi umum dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan

unsure potensi penerimaan Daerah dan kebutuhan obyektif pengeluaran

Daerah, dan dengan memperhatikan kesediaan dana APBN. Jumlah dana alokasi

Page 14: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

14

umum ditetapkan minima 26% dari penerimaan dalam negeri netto yang

ditetapkan APBN; PNS Daerah.

Selanjutnya pada pasal 28 diatur sebagai berikut: 1) kebutuhan fiskal

daerah merupakan kebutuhan pendanaan untuk melaksanakan fungsi layanan

dasar umum, 2) setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks

Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks

Pembangunan Manusia, dan 3) kapasitas fiskal daerah merupakan sumber

pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.

Dalam memperhitungkan dana alokasi umum untuk propinsi dan

kabupaten/kota telah digunakan kriteria potensi daerah dan kebutuhan obyektif

daerah. Kriteria daerah diceminkan oleh Pendapatan Asli Daerah dan Bagian

Daerah dari PBB, BPHTB, dan penerimaan sumber daya alam atau tingkat

pendapatan masyarakat. Kebutuhan obyektif pengeluaran daerah dicerminkan

oleh luas daerah, keadaan geografi dan jumlah penduduk.

Dari cuplikan perincian Dana Alokasi Umum di atas, dapat dilihat

bagaimana kompleksnya rumus dan formula DAU yang bagi rata-rata orang sulit

memahami atau mempraktikkannya. Maka adalah cukup beralasan kalau untuk

menangani seluk-beluk keuangan daerah ini memerlukan tim yang kapabel dan

berani “ngotot” dengan birokrasi di Pusat (Jakarta).

Dana perimbangan yang berasal dari dana alokasi khusus berasal dari

dana APBN diberikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan

khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana APBN. Pembiayaan

kebutuhan khusus disyaratkan dana pendamping dari APBD. Kebutuhan khusus

yang dimaksud disini adalah:

Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus,

antara lain kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan

kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi,

kebutuhan beberapa jenis barang investasi/prasarana baru seperti

pembangunan jalan di kawasa terpencil, saluran irigasi primer, dan atau

Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Page 15: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

15

Disamping dana APBD dan perimbangan keuangan, Daerah dapat

melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri atau luar negeri melalui Pusat

untuk membiayai sebagian anggarannya yang pengaturannya dilakukan lebih

lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Daerah dapat juga memperoleh Dana

Darurat, yaitu dana yang dialokasikan dari APBN kepada Daerah tersebut untuk

keperluan mendesak, misalnya jika terjadi bencana alam dan sebagainya.

3. Pembiayaan pelaksanaan asas dekonsentrasi

Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsenrasi dilakukan melalui

Departemen/LPND yang bersangkutan. Pelaksanaan asas dekonsentrasi

dilakukan oleh perangkat daerah Propinsi, sedangkan pertanggungjawaban atas

pembiayaan pelaksanaan tersebut dilakukan oleh perangkat Daerah Propinsi

langsung kepada Departemen/LPND yang bersangkutan. Demikian juga dengan

administrasi keuangan, pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan terpisah dari

administrasi keuangan pelaksanaan asas desentralisasi. Pemeriksaan

pembiayaan asas dekonsentrasi dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan

negara.

4. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah

Ada beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan

keuangan daerah, yakni: a) keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan

manfaat untuk masyarakat, dan b) pengelolaan keuangan daerah

dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam

APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 4 PP

58/2005). Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang

kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah

dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan (Pasal 5 ayat 1 PP

58/2005). Pada ayat selanjutnya dinyatakan, ”kekuasaan pengelolaan keuangan

daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: a) kepala

satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku PPKD, dan b) kepala SKPD

selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah (Pasal 5 ayat 3 PP 58/2005).

Page 16: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

16

Pertanggungjawaban keuangan daerah pada dasarnya adalah

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dalam hal ini dilakukan oleh

kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah

tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan

keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling

lambat 6 (enam) bukan setelah tahun anggaran berakhir. Dalam mengelola

keuangan daerah, pemerintah daerah wajib menyusun sistem akuntansi

pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi peemrintahan.

5. Sistem informasi keuangan daerah

Dalam rangka akuntabilitas publik Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu

sistem informasi keuangan daerah yang bisa diakses dan diketahui oleh

masyarakat secara terbuka. Data yang dipakai untuk membuat sistem informasi

keuangan daerah tersebut berasal dari laporan APBD dari seluruh daerah di

Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi

keuangan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Tahapan Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

secara konseptual dapat dikaji dari tahapan-tahapan sebagaimana terlihat pada

tabel 4 berikut.

Tabel 4

Tahapan Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

What, why and where

Design of decentralization Service delivery

Potential impacts Political Fiscal Administrat

ive 1. differ

ent forms of decentraliza-tion;

2. rationale for decentraliza-tion.

1. constituti-onal, legal and regulatory framework;

2. participa-tion/civil society

1. expenditure assignment;

2. revenue assignment;

3. transfer design

1. civil sevice 2. informatio

n and monitoring

3. technical and managerial local capacity

4. accountabi

1. educaton

2. health 3. infrastru

c-ture 4. social

safety needs

5. irrigation, water supply,

1. equity 2. macro-

economic stability

3. growth

Page 17: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

17

4. borrowing.

lity, transparency

sanitation

6. natural resources manage-ment and environment

Sumber: Shah, 1998: 12

Tahapan desentralisasi dan otonomi daerah diawali dari pilihan atas bentuk

desentralisasi dan adanya kecenderungan struktur pemerintahan di berbagai

negara akhir-akhir ini mengarah pada pemerintahan yang berorientasi lokal.

Desentralisasi yang dianut Indonesia mengandalkan pada sistem Negara Kesatuan

dengan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Desentralisasi dan otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk

mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan

publik. Pemerintah suatu negara pada dasarnya mengemban tiga fungsi utama,

yaitu fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang

dan jasa, fungsi distribusi yang meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat,

pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilitasi yang meliputi pertahanan-

keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan stabilitasi pada umumnya

lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi pada

umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah pada

umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat.

Kewenangan (: urusan pemerintahan) fungsi alokasi yang akan lebih banyak

diberikan kepada pemerintah daerah meliputi urusan pemerintahan, kecuali

urusan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, yustisi,

moneter dan fiskal serta agama. Urusan pemerintahan yang bersifat kebijakan

nasional atau lintas sektoral serta pengendaliannya tetap dipegang Pusat, di tingkat

regional dan yang bersifat lintas kabupaten/kota dipegang oleh Propinsi. Implikasi

pengaturan ini adalah pada penyediaan jasa layanan publik untuk: bidang

Page 18: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

18

pendidikan, kesehatan, infrastruktur, jaring pengaman sosial, irigasi, sanitasi dan air

bersih serta manajemen sumber daya alam dan lingkungan.

Implikasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Pola Hubungan Keuangan Pusat – Daerah

Berdasarkan gambaran di atas, paling tidak terdapat 2 (dua) implikasi

penting dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap

pola hubungan keuangan Pusat – Daerah, yakni implikasi yang bersifat internal dan

eksternal. Secara internal, implikasi dimaksud adalah lebih pada kesiapan

kelembagaan, SDM dan sistem pengelolaan keuangan daerah itu dilakukan di daerah

dalam mewujudkan dayaguna dan hasilguna sebesar-besarnya.

Dalam aspek kelembagaan, pengelolaan keuangan di daerah dilakukan oleh

satuan kerja (SATKER) yang bertugas merencanakan, melaksanakan dan

melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan. Satker-satker tersebut berada di

bawah pengguna anggaran (PA); satker dipimpin oleh kuasa pengguna anggaran

dan dibantu oleh pejabat pengeluaran anggaran belanja (PPAB), pejabat verifikasi,

dan anggota PPAB lainnya seperti staf ahli PPAB dan penanggung jawab uang muka

kerja (UMK). Selain itu, implikasi lainnya adalah adanya perubahan sistem dan

mekanisme pengajuan anggaran baik di dalam instansi maupun ke luar instansi

(misalnya pengajuan kepada KPPN, dahulu KPKN).

Kesemuanya ini merupakan suatu hal yang dapat dikatakan baru, sehingga

perlu mendapatkan perhatian serius agar pengelolaan keuangan di daerah dapat

berjalan lancar. Lebih jauh, pola ini juga akan berpengaruh pada pola hubungan

keuangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.

Adapun implikasi eksternal adalah bagaimana pola hubungan keuangan

Pusat – Daerah tersebut mampu menciptakan kemandirian ekonomi daerah dan

mampu memberikan kesempatan berusaha bagi kalangan dunia usaha lokal

(temuan KPPOD menyatakan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi

Page 19: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

19

daerah justeru menyebabkan high cost economy yang pada akhirnya memberatkan

para pelaku uasha di daerah).

Desentralisasi dan kemandirian ekonomi daerah

Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah terkait erat dengan

bagaimana masing-masing daerah dapat mengelola perekonomian daerah menjadi

lebih makmur dan mandiri. Pengertian mandiri disini adalah daerah tidak

tergantung pada Pusat, sehingga Daerah dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan

yang didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing daerah. Prinsip ini

mengandung arti bahwa perekonomian daerah dilaksanakan atas prinsip efisiensi

dan economics of scale. Hubungan interdependensi antar daerah menjadi semakin

erat, karena akan terjadi saling ketergantungan antar daerah. Masing-masing daerah

akan memproduksi barang dan jasa sesuai potensi ekonomi dan keunggulan

komparatif yang dimiliki masing-masing daerah.

Kemandirian ekonomi daerah juga harus dilihat dari aspek kemampuan dan

keleluasaan daerah dalam melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan implementasi desentralisasi yang berkaitan dengan UU No 32 dan 33

Tahun 2004, adalah:

aspek demokratisasi daerah sebagai prasyarat pelaksanaan transparansi

akuntabilitas publik agar proses alokasi sumber-sumber daya dilakukan

berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi;

aspek kemandirian pembiayaan pembangunan daerah dikaitkan dengan

pengaturan perimbangan keuangan Pusat – Daerah. Kelemahan utama dari

pengaturan perimbangan keuangan Pusat – Daerah adalah bahwa sistem ini

tidak mengandung unsur insentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan

kinerja perekonmiannya, kecuali untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan

dengan eksploitasi sumber daya alam;

aspek sumber daya manusia yang belum siap di sebagian besar Daerah

Kabupaten/Kota, sementara fokus ekonomi diletakkan pada daerah-daerah

tersebut. Hal ini dapat diatasi jika daerah-daerah yang kekurangan SDM terampil

Page 20: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

20

dapat menciptakan struktur insentif yang menarik minat SDM yang handal dan

terampil tersebut

Desentralisasi dan kesempatan dunia usaha

Desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah yang sekarang

mempunyai wewenang lebih besar untuk dapat menentukan dengan lebih baik

bidang-bidang usaha yang mempunyai skala prioritas dalam rangka

mensejahterakan rakyat di daerah. Sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat

dengan masyarakat, pemerintah daerah lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk

penyediaan sarana-prasarana publik dapat diarahkan pada sektor-sektor yang

memang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat di daerah. Di lain pihak,

pemberian berbagai insentif bagi dunia usaha dapat diberikan pada sektor-sektor

atau kegiatan usaha yang menjadi prioritas daerah sesuai dengan potensi dan

karakteristik ekonomi daerah. Hal ini pada akhirnya akan mendorong teradinya

alokasi sumber daya yang lebih optimal.

Bertambahnya wewenang pemerintah daerah juga memungkinkan semakin

melebarnya cakupan kerjasama yang dapat dijalin antara dunia usaha dan

pemerintah daerah. Dalam hal ini desentralisasi dapat menjalankan fungsinya

dalam meredistribusi kesempatan berusaha pada kalangan dunia usaha di daerah.

Selama ini dalam sistem pemerintahan yang terpusat, kesempatan beusaha dalam

berbagai kasus hanya dinikmai oleh sebagian kecil pelaku ekonomi yang dekat

dengan pusat kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi, para pelaku ekonomi di

daerah dapat memperoleh kesempatan yang lebih baik dalam berusaha dan

menggerakkan roda perekonomian. Dengan kata lain telah terjadi transfer

kesempatan berusaha dari Pusat ke Daeah.

Cakupan bidang pembangunan yang lebih luas namun dengan wilayah

yuridiksi yang lebih sempit akibat desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah

melibatkan para pelaku ekonomi skala menengah dan kecil. Kegiatan-kegiatan

ekonomi berskala lokal memungkinkan para pelaku usaha kelas menengah yang

selama ini kurang berperan, dapat berpartisipasi lebih besar. Dengan demikian,

Page 21: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

21

desentralisasi juga memungkinkan terjadinya transfer kesempatan berusaha dari

pelaku ekonomi skala besar kepada pelaku usaha skala menengah dan kecil.

Pelayanan publik dalam hal perijinan investasi yang didesentralisasikan

kepada pemerintah daerah juga memungkinkan proses penanaman modal menjadi

lebih cepat sehingga iklim dunia usaha menjadi jauh lebih efisien dan dinamis.

Potensi dan karakteristik ekonomi masing-masing daerah dapat dimanfaatkan

secara optimal oleh masing-masing pemerintah daerah untuk menarik minat

investor domestik dan investor asing.

Penutup

Reformasi hubungan Pusat – Daerah yang mendasarkan pada otonomi

daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya

dilihat secara menyeluruh sebagai implikasi dari otonomi dan desentralisasi fiskal.

Reformasi hubungan Pusat – Daerah disamping bertujuan untuk mengubah sistem

dan mekanisme hubungan Pusat – Daerah, juga harus diakui dengan peningkatan

kemampuan manajemen pemerintahan daerah yang didukung oleh perubahan-

perubahan mendasar dari aspek kelembagaan, kerangka hukum, dan manajemen

sumber daya manusia di setiap tingkatan pemerintahan.

Perubahan kelembagaan yang dimaksud disini adalah kelembagaan

pengelolaan keuangan daerah, karena saat ini dikenal beberapa terminologi baru

seperti satuan kerja (Satker), pengguna anggaran (PA), kuasa pengguna anggaran

(KPA), pejabat pengeluaran anggaran belanja (PPAB) dan sebagainya. Dalam hal

peningkatan kemampuan SDM ini nampaknya sangat penting karena pengelolaan

keuangan daerah memerlukan kejelian dan ketelitian yang luar biasa agar tidak

terjadi kekeliruan dalam pembukuan. Selain itu, tuntutan diberlakukannya sistem

akuntansi pemerintahan daerah juga memerlukan dukungan SDM yang memadai.

Yang juga tak kalah pentingnya adalah kemauan dan kemampuan Daerah

membangun sistem informasi keuangan daerah, karena hal ini benar-benar

diperlukan dalam rangka menjalin hubungan keuangan dengan Pemerintah Pusat.

Disamping itu, implementasi desentralisasi dan otonomi daerah

menjanjikan segi positif dalam hal kemandirian ekonomi daerah, prospek ekonomi

Page 22: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

22

daerah dan kesempatan usaha yang lebih sesuai dengan potensi dan karakteristik

yang ada di setiap daerah. Pemberian kewenangan pengelolaan anggaran daerah

yang lebih besar diharapkan dapat menciptakan kemandirian ekonomi daerah dan

kesempatan berusaha bagi kalangan dunia usaha.

Page 23: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

23

DAFTAR BACAAN

Alisjahbana, Armida S., ”Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Platform untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia, Bandung, 1999.

_____________________., ”Krisis Ekonomi serta Implikasi Fiskal Hubungan Keuangan Pusat

Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Upaya Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia, Bandung, 1999

Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum

(PSH) FH UII, Yogyakarta, 2004

Dillinger, William and Steven B. Webb, “Decentralization and Fiscal Management in Columbia”, World Bank Staff Paper

Hoessein, Bhenyamin dkk., Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan

Pemerintah Pusat dan Daerah, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi

Daerah dan Kota, FISIP UI, Jakarta, 2005

Litvack, Jennie, Junaid Ahmad, Richard Bird, Rethinking Decentralization in Developing Countries, The World Bank, Wshington D.C., 1998

Marbun, BN, Otonomi Daerah 1999-2005 : Proses dan Realita, Sinar harapan, Jakarta,

2005 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002

Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005

Rondinelli, Denis A., dan John R. Nellis, Assesing Decentralization Policies in

Developing Countries: The Case For Cautious Optimism, dalam, Development Policy Review, Vol 4 No. 1, 1986

Shah, Anwar, “Balance, Accountability, and Responsiveness: Lessons About Decentralization”, dalam Picciotto, Robert and Eduardo Wiesner, eds. In Evaluation and Development: The Institutional Dimension, New Brunswick, USA and London, UK Transaction Publishers, 1998

____________, “The Reforms of Intergovernmental Fiscal Relations In Developping and

Emerging Market Economics”, World Bank, Washington DC, 1998 ____________, “Perspective on the Design of Intergovernmental Fiscal Relations”, Country

Economics, World Bank, Washington DC, 1991

Page 24: Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pemerintah pusat dan daerah, suryanto

24

World Bank Report, 1995

UNDP Annual Report, 1999

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen I-IV)

Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan

Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah