implikasi hadis

27
Dalam studi periwayatan hadis, persolan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadis. 1.Periwayatan Hadis dengan Lafadz. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak periwayatan hadis dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al- Razy dan Raja’ ibn Hayuh.[28] Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadis kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan

description

hadits dan implikasinya

Transcript of implikasi hadis

Page 1: implikasi hadis

Dalam studi periwayatan hadis, persolan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.

1.Periwayatan Hadis dengan Lafadz. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.

Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak periwayatan hadis dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn Hayuh.[28] Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadis kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[29] Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam

Page 2: implikasi hadis

Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.[30]

2.Periwayatan Hadis dengan Makna. Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadis dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir[31] ataupun sifat nabi.[32] Dan periwayatan hadis bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadis qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi saw.

Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadis bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu : Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[33] Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang

Page 3: implikasi hadis

dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya.[34] Ketiga, lafazh hadis itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-Kalim)[35]; dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[36]

Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadis-hadis Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadis dengan makna tak dapat dihindari.[37] Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.[38]

Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadis dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadis oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat

Page 4: implikasi hadis

mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat.[39] Jadi mereka menginginkan periwayatan hadis dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.

E.SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADIS

Menurut bahasa sanad adalah thariqah (jalan) atau sandaran. Sedangkan menurut istilah sanad berarti jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.[40] Atau dengan ungkapan lain sanad hadits sama dengan susunan mata rantai periwayatan hadits.

Masalah sanad/ Isnad hadis menjadi perdebatan dan persolan polemis. Dan perdebatab tersebut berputar pada sekitar kapan pemakaian isnad/ sanad dalam hadis. Pedebatan tersebut menjadi isu yang sangat controversial. Bagi kalangan yang skeptis berpandanagn bahwa pemakaian isnad dalam hadis jauh belekangan dan merupakan buatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian mereka menolak keberadaan hadis Nabi sebagai kenyataan sejarah. Dalam

Page 5: implikasi hadis

konteks ini ada beberapa teori yang menyatakan asal-mula sanad hadis

Pertama, Teori skeptis yang dikemukakan oleh orientalis, seperti: Joseph Scacth, Juinboll, Caetani, Sprenger dan lai-lain. Menurut Caetani, orang pertama yang menghimpun hadits nabi adalah Urwah (w. 94 H), meskipun ia belum menggunakan metode sanad, dan juga tidak menyebutkan sumber-sumbernya. Hal ini terlihat jelas dalam kitab Tarikh ath-Thabari yang banyak mengambil sumber dari Urwah. Selanjutnya, Caetani juga mengatakan bahwa pada masa Abdul Malik (sekitar 70-80 H), yakni enam puluh tahun lebih setelah mwninggalnya nabi, penggunaan sanad adalam periwayatan hadits juga belum dikenal. Dari sini Caetani berkesimpulan bahwa pemakaian sanad baru dimulai pada antara Urwah dan Ibn Ishaq (w. 151 H). Oleh karena itu, sebagaian sanad-sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadits adalah bikinan ahli-ahli hadits abad ke dua, bahkan abad ketiga. Sprenger juga berpendapat sama, di mana ia berkata bahwa tulisan-tulisan Urwah yang dikirimkan kepada Abdul Malik

Page 6: implikasi hadis

tidak menggunakan sanad. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa Urwah pernah menggunakan sanad adalah pendapat orang-orang belakangan.[41]

Kedua, teori yang dikemukakan olehHorovits yang tidak sepakat dengan pendapat Caetani dan Sprengar. Menurutnya, orang-orang yang mengatakan bahwa Urwah tidak memakai sanad adalah karena mereka belum mempelajarai kitab-kitab Urwah berikut sanad-sanadnya. Horovits menunjuk adanya perbedaan dalam sistem penulisan, antara tulisan yang menjadi jawaban atas suatu pertanyaan, dengan tulisan yang memang sejak semula disuguhkan kepada orang-orang yang terpelajar. Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pemakaian sanad dalam periwayatan hadits sudah dimulai sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijri.[42]

Ketiga, teori yang dikemukanan oleh Musthafa al-Sibai, yang menyatakan periwayatan pada era sahabat, dilakukan dengan tidak mempersoalkan otentisitas dan kredibilitas as-sunnah. Dan keadaan ini berubah dengan adanya fitnah dan tampilnya seorang Yahudi celaka Abdullah Ibn Saba’ yang melancarkan dakwah jahat yang dibangun atas dasar paham Syi’ah ekstrem, yang berpandangan baghwa Ali adalah Tuhan. Semenjak saat itu, para

Page 7: implikasi hadis

ulama dari kalangan Sahabat dan tabi’in membangun sifat kehati-hatian dalam penuturan dan penerimaan hadis. Dan kehati-hatian tersebut diformulasikan dalam system isnad.[43] Ibn Sirin dalam penuturanya yang dibuat oleh Imam Muslim dalam pendahuluan Kitab Sahihnya menyatakan” Para sahabat itu tidak pernah bertanya tentang isnad (mata rantai periwayat), setelah fitnah terjadi mereka berkata; ‘Sebutkan untuk kami tokoh-tokohmu’.[44] Karena pentingnya isnad hadis sampai al-Zuhri menyatakan bahwa” Isnad adalah bagian dari keagamaan kalau tidak ada isnad maka siapapun akan dapat berkata tentang apapun”.[45]

Kempat, teori yang dikemukakan oleh M.Musthafa al-Azami, yang menyatakan bahwa sebelum Islam datang, tampaknya sudah ada suatu metode yang mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak jelas sejauh mana metode itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam kitab Yahudi, Mishna. Begitu pula dalam penukilan syair-syair Jahiliah, metode sanad sudah dipakai. Namun urgensi metode sanad ini baru tampak ketika digunakan dalam periwayatan hadits.[46]

Ketika nabi masih hidup para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan hadits kepada kepada

Page 8: implikasi hadis

sahabat lain yang kebetulan tidak hadir dalam majelis pengajian nabi. Pada waktu menuturkan hal-hal yang mereka dengar dari nabi, atau hal-hal yang mereka lihat nabi mengerjakan sesuatau, mereka selalau menisbahkannya kepada nabi. Bahkan nabi sendiri terkadang menyebutkan bahwa sumber sabdanyaitu adalah Jibril as. Dan, para sahabat juga menuturkan sumber-sumber berita yang diterimanya, baik dari nabi maupun dari sahabat yang lain. Apabila yang meriwayatkan hadits itu tidak melihat sendiri kejadiannyadan tidak mendengarnya langsung dari nabi maka dengan sendirinya ia akan menyebutkan sumber hadits di mana ia menerima. Inilah yang disebut pemakaian sanad. Dan, metede yang digunakan oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits itulah yang kemudian melahirkan isnad atau metode pemakaian sanad. Tentu saja pada masa nabi sistem isnad masih sangat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama hijri, ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkembang.[47]

Dari penjelasan dan pemaparan keempat teori tersebut nampak bahwa argumen yang dikemukankan oleh M. Musthafa al-Azami lebih bisa diterima. Karena orang-orang arab sebelum islam sudah terbiasa dengan periwayatan syair, silisilah dan sebagainya

Page 9: implikasi hadis

yang hal itu tidak berkonotasi relegiousitas. Dengan demikian periwayatan hadis yang merupakan symbol keagamaan penting islam, lebih dimungkinkan untuk menjaganya dengan memakai system isnad.

Page 10: implikasi hadis

Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz

yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis

dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat

menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis

sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka.

Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan

maknawi[9].

Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat

berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah

hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama

dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.

Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang

jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan

periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan

redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah

melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena

didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW[10].

Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:

من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم

Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti  yang ia

dengar, maka ia telah selamat”[11]

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki

redaksi sebagai berikut:

(Saya mendengar)  سمعت                                                                      

Contoh:

Page 11: implikasi hadis

عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صل�ى الله عليه وسل�م يقول:' *و(أ *ب *ت 'ي - ف*ل *ع*م.دا *ي( م/ت *ذ*ب* ع*ل *ح*د3 ف*م*ن' ك *ذ4ب3 ع*ل*ى أ *ك 'س* ك *ي *ي( ل - ع*ل *ذ4با 4ن( ك إ

(ار4 )رواه مسلم وغيره( م*ق'ع*د*ه/ م4ن* الن

Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya

dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas

namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.”

(HR. Muslim dan lain-lainnya)

(ia menceritakan kepadaku )  حد�ثنى                                                                      

Contoh:

4ى *ب ح'م*ن4 ع*ن' ا 'د4 الر( 'ن4 ع*ب 'د4ب ه*اب3 ع*ن' ح/م*ي 'ن4 ش4 4كB ع*ن4 اب 4ى م*ال *ن ح*د(ت

'ه/ ض4ي* الله/ ع*ن ة* ر* 'ر* ي : م*ن' ه/ر* (م* ق*ال* ل 'ه4 و*س* *ي و'ل/ الله4 ص*ل(ى الله/ ع*ل س/ *ن( ر* ا

*ه/ -ا غ/ف4ر* ل اب 4س* ت -ا و*اح' 'م*ان 4ي م*ض*ان* ا ق*ام* ر*

4ه4 'ب *ق*د(م* م4ن' ذ*ن م*ا ت

Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari

Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam

Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”

(Ia memberitakan kepadaku)  أخبرنى                                                                      

(Saya melihat)  رأيت                                                                      

Contoh:

�ل �اس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخط�اب رضي الله عنه يقب عن عب

ع/ *QQف' *ن * ت رS و*ال /QQض* *ت (ك* ح*ج*رB ال *ن *م/ أ *ء* ع'ل .ى ال 4ن الحجر “يعنى األسود” ويقول إ

ك* /QQت' (ل ا ق*ب *QQك* م /QQل. /ق*ب (م* ي ل *QQه4 و*س' *ي و'ل* الله4 ص*ل(ى الله/ ع*ل س/ 'ت/ ر* *ي أ .ى ر* *ن * أ *و'ال و*ل

)رواه البخارى ومسلم(

Page 12: implikasi hadis

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar

Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah

batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku

tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR.

Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para

sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu

para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak

ada khilaf.

D.    Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan

kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang

meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami

maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi

mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang

kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama,

sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah

tidak diingatnya lagi.

Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa

akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna[12].

Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah proses

penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud

yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu[13].

Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika

hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan

dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya

dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Page 13: implikasi hadis

Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan

makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis.

Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang

dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena

tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14].

Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna,

seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M),

Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32  H/652 M), Abu Hurairah

(wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi

yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah

bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam[15].

Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:

a.       Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak

adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis

taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah

secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

b.      Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat

harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari

nabi tentang kebolehan menulis hadis

c.       Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu

yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya[16].

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:

*ه/ ه*ال *ف'س* *ه4ب* ن *ن' ت اد* ا *ر* (م* و*ا ل 'ه4 و*س* *ي 4ي. ص*ل(ى الله/ ع*ل (ب 4ل*ى الن *ةB ا أ 4م'ر* *ت' ا ائ ج*

ر4 'QQم*ه' ه/ م4ن* ال *QQن' م*ع/ *ك *م' ي ا و*ل *QQه' 4ي ن 'ك4ح' *ن و'ل* اللQQه4 ا س/ *ار* : ي *ل* ج/لB ف*قا *ق*د(م* ر* ف*ت

ا *QQ4م *ه*ا ب /ك ت *ح' 'ك *ن (م* ا ل 'ه4 و*س* *ي 4يS ص*ل(ى الله/ ع*ل (ب *ه/ الن *ل* ل آن4 ف*قا 'ق/ر' *ع'ض4 ال 'ر* ب غ*ي

آن4 ر' /QQق' ك* م4ن* ال *QQا م*ع *QQ4م ا ب *QQه* /ك ت و(ج' د' ز* *QQة, قQQآن4 وفىرواي ر' /QQق' ك* م4ن* ال *QQم*ع

ا *Q4م ا ب *Qه* /ك 'ت *ك رآن4 وفىروايQة, م*ل /Qق' ك* م4ن* ال *Qا ع*ل*ى م*ع *Qه* /ك ت و(ج' وفىروايQة, ز*

'ق/رآن4 )الحديث( م*ع*ك* م4ن* ال

Page 14: implikasi hadis

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya

(untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,

nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki

sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran.

Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita

tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan)

ayat-ayat Alquran.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan)

ayat-ayat Alquran.”

Dan dalam riwayat lain disebutkan:

“Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-

ayat Alquran.” (Al-Hadis)

E.     Hukum Periwayatan Hadis secara Makna

Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan

hadis secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan

setelah pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh

adanya periwayatan hadis secara makna[17].

Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara

makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi

meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis

dengan maknanya sekali-kali.

Page 15: implikasi hadis

Sedangkan jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan

hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan

bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah[18].

Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau

meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang

yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan

luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian

sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum

dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya.

Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang

yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal

bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui

hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang

menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan

makna.

Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui

hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia

memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis

secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada

yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia

meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.

Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang

memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak

ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya.

Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa

lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang

menyembunyikan hadis.

Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja

dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode

sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian

Page 16: implikasi hadis

dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis

harus memakai kata-kata كما قال dan شبهه serta yang serupa dengannya.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan

maknanya itu sebagai berikut:

1.    Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin.

2.    Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.

3.     Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak

menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hads itu dapat

mencakup dan tidak menyalahi.

4.    Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau

masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.

5.    Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud

kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan

mengganti lafaz dengan murodif-nya.

6.    Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis

mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:

a.       Hanya pada periode sahabat

b.      Bukan hadis yang sudah didewankan atau di bukukan

c.       Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.

F.      Syarat–syarat  Periwayatan  Secara Makna

Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di

kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain

sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna.

Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya

tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua,

sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.

Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat

diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus

dipenuhi, yaitu :

Page 17: implikasi hadis

1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan

terhindar dari kekeliruan.

2.      Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan

secara lafaz atau harfiah.

3.      Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya

ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk

jawami al kalim.

4.      Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang

diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قالatau او نحو هداatau yang semakna

dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.

5.      Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum

dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis,

periwayatan hadis harus secara lafaz.

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal

persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis

secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak

sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap

terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.

Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan

makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu

nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik

segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul

mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu

harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar

dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.

Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu

tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis

dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh

meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.

Page 18: implikasi hadis

G.    Kesimpulan

Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :

1.    Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan

tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan

hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama

sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.

2.    Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa)

disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara

makna.

3.    Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara

kemurnian dan keotentikan hadis.

4.    Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,     namun

menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih

diprioritaskan dan diutamakan.

5.    Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang

benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi

sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga

supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau

merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.

6.         Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan

melakukan periwayatan secara makna.

Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan

sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.

Page 19: implikasi hadis

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, 2001, Jakarta: Gaya

Media Pratama

Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-Wa’I, 1984. Beirut: Dar al-Fikri.

Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang

Itir,  Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Dar el Fikri

Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil Ma’na, Kuwait: Jami’ah Kuwait

Ma’luf, Luwis, al-Munjid  fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar  al-Masyriq

Munawwir, A.W, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia Terlengkap, 1997. Surabaya: