IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

24
IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK TERHADAP SEKTOR PERKAYUAN SKALA KECIL ( ) Cost and Benefit Implications of SVLK Implementation to Small- Scale Timber Sector Satria Astana , Krystof Obidzinski , Wahyu Fathurrahman Riva , Gladi Hardiyanto , Heru Komarudin & Sukanda Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia, e-mail: [email protected]. CIFOR, Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor (Barat) 16115, Indonesia, e-mail: [email protected]., [email protected]. IDEAS, Taman yasmin, Jl. Wijaya Kusuma Raya, Cilendek Timur No 99, Bogor, Indonesia, e-mail: wahyuriva@ideas_consultant. Kemitraan, Jl. Wolter Monginsidi No 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Indonesia, e-mail: [email protected]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia, e-mail: [email protected] iterima 12 Maret 2014, direvisi 30 Juni 2014, disetujui 7 Juli 2014 Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia menetapkan kewajiban pemenuhan standar SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) atas produk kayu bagi usaha perkayuan untuk menjamin legalitas penuh produk kayu. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghapuskan keraguan terhadap legalitas kayu Indonesia yang diperdagangkan di pasar internasional. SVLK juga dirancang sebagai dasar kesepakatan sukarela (VPA) antara Uni Eropa dengan Indonesia. Pada September 2013, VPA ditandatangi dan SVLK secara resmi menjadi landasan perdagangan produk kayu bagi kedua belah pihak. Namun dalam pelaksanaanya, terdapat masalah serius. Bagi pelaku usaha di sektor perkayuan skala besar, memenuhi ketentuan standar SLVK mungkin tidak menjadi masalah, namun bagi pelaku usaha di sektor perkayuan skala kecil, banyak pertanyaan muncul terkait kemampuannya mengadopsi standar tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengkaji implementasi SVLK dan implikasi biaya dan manfaatnya terhadap sektor perkayuan skala kecil. Sebagai studi kasus, data biaya dan manfaat diperoleh melalui wawancara dan observasi lapangan. Hasil studi menyimpulkan pelaksanaan SVLK menimbulkan tambahan biaya yang signifikan bagi sektor perkayuan skala kecil, namun sektor perkayuan skala kecil tidak memperoleh manfaat, baik dalam hal akses pasar maupun premium harga. Hasil studi merekomendasikan Kementerian Kehutanan dan instansi lain terkait perlu menyederhanakan ketentuan-ketentuan SVLK dan mengantisipasi potensi penurunan daya saing ekspor sektor perkayuan skala kecil akibat tambahan biaya SVLK SVLK, legalitas kayu, biaya, manfaat, sektor perkayuan. 1 2 3 4 2 5 1 2 3 4 5 D . Kata kunci: ABSTRACT In 2009, Indonesia decided to make the implementation of the Timber Legality Verification System (SVLK) mandatory for all timber enterprises in order to ensure full legality compliance of Indonesia timber. This decision was intended to remove any doubts about the legality of the Indonesian timber traded internationally. SVLK was also designed to become the basis for the Voluntary Partnership Agreement (VPA) between the European Union and Indonesia. In September 2013, VPA was finalized and SVLK officially became its cornerstone. However, there are serious problems with implementing SVLK system. In the large-scale timber sector, achieving SVLK compliance may not be a big problem. However, small-scale timber enterprises face numerous challanges. This study examines the obstacles preventing the progress with SVLK in the small-scale sector, particularly the cost and benefit implications. The necessary data were collected through stakeholder interviews and field observation in timber business units. The study concludes that SVLK certification carries significant additional costs for small-scale timber sectors with little improvement of benefits. We recommend the Ministry of Forestry and other relevant institutions should simplify SVLK implementation requirements for small scale timber enterprises and guard against a potential drop in competitiveness of the small-scale timber exports due to additional costs. SVLK, timber legality, cost, benefit, timber sector. Keywords: ABSTRAK 175 Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana ) et al.

Transcript of IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Page 1: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK TERHADAPSEKTOR PERKAYUAN SKALA KECIL

()

Cost and Benefit Implications of SVLK Implementation to Small-Scale Timber Sector

Satria Astana , Krystof Obidzinski , Wahyu Fathurrahman Riva , Gladi Hardiyanto ,Heru Komarudin & Sukanda

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia, e-mail: [email protected].

CIFOR, Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor (Barat) 16115, Indonesia,e-mail: [email protected]., [email protected].

IDEAS, Taman yasmin, Jl. Wijaya Kusuma Raya, Cilendek Timur No 99, Bogor, Indonesia,e-mail: wahyuriva@ideas_consultant.

Kemitraan, Jl. Wolter Monginsidi No 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Indonesia,e-mail: [email protected].

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan,Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia, e-mail: [email protected]

iterima 12 Maret 2014, direvisi 30 Juni 2014, disetujui 7 Juli 2014

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia menetapkan kewajiban pemenuhan standar SVLK (Sistem VerifikasiLegalitas Kayu) atas produk kayu bagi usaha perkayuan untuk menjamin legalitas penuh produk kayu. Ketentuantersebut dimaksudkan untuk menghapuskan keraguan terhadap legalitas kayu Indonesia yang diperdagangkan dipasar internasional. SVLK juga dirancang sebagai dasar kesepakatan sukarela (VPA) antara Uni Eropa denganIndonesia. Pada September 2013, VPA ditandatangi dan SVLK secara resmi menjadi landasan perdagangan produkkayu bagi kedua belah pihak. Namun dalam pelaksanaanya, terdapat masalah serius. Bagi pelaku usaha di sektorperkayuan skala besar, memenuhi ketentuan standar SLVK mungkin tidak menjadi masalah, namun bagi pelakuusaha di sektor perkayuan skala kecil, banyak pertanyaan muncul terkait kemampuannya mengadopsi standartersebut. Studi ini bertujuan untuk mengkaji implementasi SVLK dan implikasi biaya dan manfaatnya terhadapsektor perkayuan skala kecil. Sebagai studi kasus, data biaya dan manfaat diperoleh melalui wawancara dan observasilapangan. Hasil studi menyimpulkan pelaksanaan SVLK menimbulkan tambahan biaya yang signifikan bagi sektorperkayuan skala kecil, namun sektor perkayuan skala kecil tidak memperoleh manfaat, baik dalam hal akses pasarmaupun premium harga. Hasil studi merekomendasikan Kementerian Kehutanan dan instansi lain terkait perlumenyederhanakan ketentuan-ketentuan SVLK dan mengantisipasi potensi penurunan daya saing ekspor sektorperkayuan skala kecil akibat tambahan biaya SVLK

SVLK, legalitas kayu, biaya, manfaat, sektor perkayuan.

1 2 3 4

2 5

1

2

3

4

5

D

.

Kata kunci:

ABSTRACT

In 2009, Indonesia decided to make the implementation of the Timber Legality Verification System (SVLK) mandatory for alltimber enterprises in order to ensure full legality compliance of Indonesia timber. This decision was intended to remove any doubts about thelegality of the Indonesian timber traded internationally. SVLK was also designed to become the basis for the Voluntary PartnershipAgreement (VPA) between the European Union and Indonesia. In September 2013, VPA was finalized and SVLK officially becameits cornerstone. However, there are serious problems with implementing SVLK system. In the large-scale timber sector, achieving SVLKcompliance may not be a big problem. However, small-scale timber enterprises face numerous challanges. This study examines the obstaclespreventing the progress with SVLK in the small-scale sector, particularly the cost and benefit implications. The necessary data werecollected through stakeholder interviews and field observation in timber business units. The study concludes that SVLK certification carriessignificant additional costs for small-scale timber sectors with little improvement of benefits. We recommend the Ministry of Forestry andother relevant institutions should simplify SVLK implementation requirements for small scale timber enterprises and guard against apotential drop in competitiveness of the small-scale timber exports due to additional costs.

SVLK, timber legality, cost, benefit, timber sector.Keywords:

ABSTRAK

175Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 2: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

176JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

I. PENDAHULUAN

Setelah melalui proses panjang negosiasi selamaenam tahun sejak tahun 2007 akhirnya padaSeptember 2013 lalu Pemerintah Indonesia dan UniEropa menandatangani Kesepakatan KemitraanSukarela tentang Tata Kelola Penegakan Hukumdan Perdagangan Produk Hutan (

), yangdimaksudkan untuk memberantas perdaganganproduk kayu ilegal dan menjamin hanya produkkayu yang telah diverifikasi legal yang dapat masukke pasar negara-negara Eropa (2013). Setelah perjanjian politik penandatanganantersebut nantinya diikuti dengan ratifikasi olehkedua belah pihak dan VPA berketetapan hukum,maka kayu-kayu yang telah memenuhi standarSistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) akansecara langsung memenuhi ketentuan tentangRegulasi Kayu Uni Eropa (EUTR) yang sudahberlaku sejak Maret 2013.

Kewajiban memenuhi standar SVLK atasproduk-produk kayu telah dimulai sejak keluarnyaPeraturan Menteri Kehutanan tentang standar danpedoman penilaian kinerja pengelolaan hutanproduksi lestari dan verifikasi legalitas kayu padatahun 2009 (Kementerian Kehutanan, 2009). Ke-tentuan tersebut mewajibkan pemegang izin usahapemanfaatan dan industri kayu untuk memenuhistandar, kriteria dan indikator pengelolaan hutanproduksi lestari dan legalitas kayu. Aturan tersebutberlaku tidak hanya bagi pemegang izin usaha pe-manfaatan dan industri hasil hutan kayu skala besar,tetapi juga usaha kehutanan skala kecil ataumasyarakat. Yang menarik adalah berdasarkanPeraturan Menteri Kehutanan No. P.45/Menhut-II/2012 Pasal 18 Ayat (5) para pemegang izinpengusahaan hutan skala kecil wajib memenuhi ke-tentuan verifikasi legalitas atas produk-produk kayumereka selambat-lambatnya tanggal 31 Desember2013, sebuah tenggat waktu yang sangat dekat.

Bagi sebagian besar pelaku usaha kehutananskala besar, memenuhi ketentuan standar SLVKmungkin tidak terlalu menjadi masalah, namundemikian bagi pelaku usaha kehutanan skala kecildan menengah, banyak pertanyaan yang munculapakah mereka mampu mengadopsi standar veri-fikasi dan memenuhi tenggat waktu tersebut?Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan danBadan Revitalisasi Industri Kehutanan, ada sekitar

VoluntaryPartnership Agreement on Forest Law EnforcementGovernance and Trade, FLEGT-VPA

The Jakarta Post,

4.000 usaha kayu skala kecil yang terdaftar sebagaieksportir. Namun demikian, diketahui juga lebihdari ribuan usaha kecil yang tidak terdaftar danmengekspor produk mereka melalui eksportirterdaftar dengan membayar sejumlah uang (BRIK,komunikasi personal). Adams & Asycarya (2012)menaksir lebih dari 10.000 usaha penggergajiankayu dan mebel skala kecil di Indonesia denganmengkonsumsi kayu sampai 10 jutaan m setiaptahunnya (Klassen, 2010).

Sektor perkayuan skala kecil yang menjadibahan analisis dalam tulisan ini adalah hutan rakyatdan industri pengolahan kayu skala kecil. Unitusaha pengelolaan hutan rakyat yang menjadiobyek penelitian adalah usaha yang telah memiliki:1) sertifikat legalitas kayu (S-LK) berdasarkanSVLK; 2) sertifikat pengelolaan hutan produksilestari standar LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia)dan/atau 3) sertifikat standar FSC (

), khususnya untuk hutan-hutanskala kecil yang dikelola dengan intensitas rendah( , SLIMF).

Industri pengolahan kayu skala kecil yangdianalisis dibedakan antara industri mebel yang

3

Penelitian ini bertujuan untuk mengkajiimplementasi SVLK dan implikasi biaya danmanfaatnya terhadap sektor perkayuan skala kecil,berdasarkan studi kasus unit usaha yang telahmemperoleh sertifikat standar SVLK dan juga unitusaha yang telah memperoleh sertifikat legalitasdan pengelolaan produksi lestari standar LEI danFSC sebagai bahan pelajaran pembanding. Bagiankedua menguraikan metode dan data yangdikumpulkan dalam studi ini. Bagian ketigamenyajikan hasil dan pembahasan yang mencakupketentuan-ketentuan peraturan perundangantentang SVLK yang relevan dengan usaha kecil danmenengah dan menguraikan kontribusi perkayuanskala kecil terhadap perdagangan kayu di Indonesiadan kaitannya dengan perkembangan sertifikasipengelolaan hutan produksi lestari serta implikasibiaya dan manfaat SVLK terhadap sektorperkayuan skala kecil. Tulisan ini ditutup denganbagian keempat yakni kesimpulan dan reko-mendasi.

II. METODE PENELITIAN

A. Kerangka Analisis

ForestStewardship Council

small and low intensity managed forests

Page 3: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

hal ini, yang adamempengaruhi apakah adanya penambahan biayasertifikasi secara signifikan mempengaruhi hargakayu yang dijual. Selain tingkat efisiensi produksi,

juga dapat mempengaruhi biayaproduksi. Hal ini menyarankan bahwa penam-bahan biaya sertifikasi dapat mempengaruhivolume dan nilai penjualan secara tidak signifikanketika tingkat efisiensi produksi dapat dinaikkan,dan distorsi pasar dihapuskan melalui suatukebijakan, atau menerima harga premium.

Data yang dikumpulkan terdiri dari: 1) biayasertifikasi; 2) volume dan harga produk. Biayasertifikasi meliputi: 1) biaya pemenuhan standar;2) biaya pelaksanaan audit dan 3) biaya penilikan.Data volume dan harga produk yang dikumpulkanadalah data volume dan harga produk kayu hutanrakyat dan industri. Sumber data berasal dariberbagai publikasi, termasuk statistik pemerintahprovinsi dan kabupaten, selain hasil wawancara danobservasi lapangan. Wawancara dilakukan denganperwakilan dari unit usaha atau organisasi yangmengelola hutan rakyat dan industri serta instansipemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, yangberwenang di bidang kehutanan dan bidang lainyang terkait. Wawancara juga dilakukan denganperwakilan dari lembaga swadaya masyarakat.

Data yang dikumpulkan terkait dengan lokasidan studi kasus terpilih, yang terbagi ke dalam duakelompok. Pertama adalah lokasi studi kasuspelaksanaan SVLK, sertifikasi standar LEI danFSC oleh pengelola hutan rakyat. Kedua adalahlokasi studi kasus pelaksanaan SVLK, sertifikasistandar LEI dan FSC oleh industri. Untukmemenuhi dua hal tersebut, dipilih Provinsi JawaTimur dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagailokasi studi kasus, dengan pertimbangan di kedualokasi terdapat hutan rakyat dan industri yang telahmelaksanakan SVLK dan sertifikasi standar LEIdan FSC. Unit Pengelolaan Hutan yang menjadikasus adalah Koperasi Wana Manunggal Lestari diDesa Dengok Kabupaten Gunung Kidul,Koperasi Enggal Mulyo di Desa MrayanKabupaten Ponorogo, Koperasi Alas Makmur diDesa Tiris Kabupaten Probolinggo, Koperasi AlasMandiri di Desa Kertosuko, KabupatenProbolinggo, dan Koperasi Wana Lestari Menorehdi Banjararum Kabupaten Kulon Progo.

tingkat efisiensi produksi

faktor distorsi pasar

B. Data Penelitian

tidak terintegrasi dengan industri penggergajiandan industri mebel dan penggergajian yangterintegrasi. Industri mebel yang tidak terintegrasidengan penggergajian yang dianalisis merupakanindustri yang memiliki S-LK, sertifikat lacak balak(S-LB) standar LEI dan S-LB standar FSC.Sebaliknya industri integrasi mebel danpenggergajian yang dianalisis merupakan industriyang belum memiliki S-LK, S-LB standar LEI danS-LB standar FSC.

Biaya SVLK diklasifikasikan ke dalam tigakelompok, yaitu: 1) biaya pemenuhan standar; 2)biaya penilaian sertifikasi (audit) dan 3) biayapenilikan ( ). Biaya pemenuhan standarsulit dirinci per komponen kegiatan, karenamerupakan proses pembelajaran sampai unitmanajemen siap untuk disertifikasi. Jenis kegiatanyang umumnya dilakukan antara lain: sosialisasipara pihak, penilaian status dan luas kepemilikanlahan, pelatihan dan inventarisasi hutan. Biayapelatihan mencakup biaya-biaya yang dikeluarkanuntuk pelatihan kelembagaan dan pembentukanorganisasi hutan rakyat; pengembangan kapasitas,ter-masuk penyusunan prosedur operasionalstandar kegiatan-kegiatan hutan rakyat; danpengembangan jaringan para pihak, termasukdengan dinas-dinas sektoral yang terkait.

Biaya audit dan penilikan mencakup lembagasertifikasi/ , biaya transportasi danakomodasi. Biaya yang dikeluarkan untukpemenuhan standar telah memadaiuntuk membentuk dan melaksanakan suatu standaryang kredibel. Biaya dinyatakan dalam satuan USDper m . Manfaat suatu skema sertifikasi (SVLK,LEI, FSC) sebagai sistem verifikasi legalitas kayudinilai dengan peubah , danjika tersedia, harga premium.

Gambar 1 menjelaskan implikasi biaya danmanfaat suatu skema sertifikasi (SVLK, LEI, FSC)sebagai sistem verifikasi legalitas kayu terhadapsektor perkayuan skala kecil. Pada Gambar 1dihipotesiskan bahwa adanya penambahan biayasertifikasi yang signifikan dapat mempengaruhibiaya produksi kayu dan karenanya dapat menu-runkan daya saing harganya, dan pada gilirannyadapat menurunkan volume dan nilai penjualansektor perkayuan skala kecil. Sebaliknya,penambahan biaya sertifikasi yang tidak signifikandapat diharapkan tidak mempengaruhi volume dannilai penjualan sektor perkayuan skala kecil. Dalam

surveillance

feeassessor/auditor

diasumsikan

volume dan nilai penjualan

3

177Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 4: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

keduanya ada yang memiliki kapasitas di atas 6.000m per tahun.

Sistem SVLK ditetapkan sebagai peraturanyang mengikat dalam bentuk Peraturan MenteriKehutanan No. P.38/2009 tentang Standar danPedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan HutanProduksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayupada Pemegang Izin atau Hutan Hak. Selain bagipemegang izin usaha pemanfaatan hasil hu-tankayu skala besar IUPHHK-HA (hutan alam) danIUPHHK-HT (hutan tanaman), ketentuan-ketentuan verifikasi legalitas kayu yang tertuangdalam Permenhut tersebut juga wajib berlaku bagipemegang izin Usaha Pemanfaatan Hasil HutanKayu pada hutan desa (UPHHK-HD), hutan ke-masyarakatan (UPHHK-HKm) dan hutan hak(UPHHK-HH) atau salah satu bentuk yang dikenal

3

A. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu bagiSektor Perkayuan Skala Kecil dan Per-kembangan Hutan Rakyat dan IndustriPengolahan Kayu

1. Ketentuan-ketentuan terkait dengan UsahaKayu Skala Kecil

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sektor perkayuan skala kecil mencakup usahapengelolaan hutan produksi dan usaha industripengolahan kayu, baik primer maupun sekunder.Batasan sektor perkayuan skala kecil yangdigunakan didasaran pada peraturan perundanganyang berlaku. Untuk sektor hulu (Peraturan MenteriKehutanan No. P.51/Menhut-II/2006, P.62/Menhut-II/2006, P.33/Menhut-II/ 2006; yangsekarang berlaku Permenhut No. P.30/Menhut-II/2012), yang termasuk dalam usaha skala keciladalah usaha pegelolaan hutan tanaman rakyat,hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutanberbasis masyarakat. Usaha pengelolaan hutan skalakecil yang menjadi kajian adalah hutan rakyat.

Untuk sektor industri, dari tiga kategoriindustri dengan kapasitas produksi: 1) di atas 6.000m ; 2) antara 2.000-6.000 m ; dan 3) di bawah 2.000m per tahun, yang termasuk ke dalam industripengolahan kayu skala kecil adalah industri dengankapasitas produksi 6.000 m per tahun dan dibawahnya. Jenis industri pengolahan kayu yangmasuk dalam kategori skala kecil adalah industrikayu gergajian dan industri mebel, meskipun

3 3

3

3

178

Sistem verifikasi

legalitas kayu

SVLK

Sistem dan standar

pengelolaan hutan produksi

lestari & lacak balak LEI

Sistem dan standar

pengelolaan hutan produksi

lestari & lacak balak FSC

Biaya sertifikasi

Terpengaruh

Tidak terpengaruh

Biaya produksiEfisiensi produksi Distorsi harga

pasar input

Distorsi harga

pasar output

Volume dan nilai penjualan

sektor perkayuan skala kecil

Gambar 1. Kerangka analisis implikasi biaya dan manfaat skema SVLK, S-PHPL standar LEI dan FSCsebagai sistem verifikasi legalitas/sertifikasi kayu terhadap sektor perkayuan skala kecil.

Figure 1. Analysis framework of cost and benefit implications of implementation of SVLK and LEI and FSCschemes as a system of timber legality certification/certification on small-scale timber sector.

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

Page 5: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

179

di Jawa adalah hutan rakyat yang menjadi fokusdalam tulisan ini. Di sektor hilir, perusahaan-perusahaan pengolahan hasil hutan kayu denganproduk mebel, misalnya, juga terkena kewajibanuntuk mendapatkan sertifikat legalitas kayu (S-LK)

Pada akhir Desember 2011, Menteri Kehutananmenyempurnakan aturan tersebut melaluiPeraturan Menteri Kehutanan No. P.68/2011, yangsalah satunya memperluas cakupan izin, yaknimemasukkan Tanda Daftar Industri (TDI) atau izinusaha industri pengolahan kayu lanjutan yangmemilliki nilai investasi perusahaan di bawah Rp200 juta, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor. Para pelaku usahaskala kecil tersebut wajib mendapatkan S-LK.Sementara pemilik IUI atau TDI yang telahmemiliki sertifikat lacak balak skema sukarela tetapwajib mendapatkan S-LK, para pemilik hutan hakyang telah memiliki sertifikat pengelolaan hutanlestari skema sukarela wajib mendapatkan S-LK.

Verifikasi atas pemegang izin, pemegang hakpengelolaan atau pemilik hutan hak dilakukan olehLembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yangberbadan hukum Indonesia. Verifikasi dilakukanberdasarkan standar verifikasi legalitas kayu yangsecara rinci tertuang dalam Peraturan DirekturJenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2011 tentang Standar dan PedomanPelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan HutanProduksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.Legalitas kayu yang berasal dari hutan yang dikelolaoleh masyarakat didasarkan pada terpenuhinyaprinsip-prinsip kepastian areal, sistem dan prosedurpenebangan yang sah dan aspek lingkungan dansosial. Pemegang izin wajib mempunyai izin yangsah dan bukti pemenuhan kewajiban membayariuran dan PSDH serta mempunyai rencana kerjayang telah disetujui pejabat berwenang.

Untuk menyesuaikan dengan Peraturan MenteriPerdagangan No. 64/2012 tentang KetentuanEkspor Produk Industri Kehutanan, padaDesember 2012, Menteri Kehutanan kembalimelakukan revisi dengan mengeluarkan PeraturanMenteri No. P.45/2012 yang salah satunyamenambahkan pelaku usaha tempat penampunganterdaftar (TPT) yang wajib mendapatkan S-LK.TPT merupakan tempat pengumpulan kayu bulatdan/atau kayu olahan yang berasal dari satu ataubeberapa sumber, milik badan usaha atauperorangan.

tidak

.

Pelaku usaha kecil diperbolehkan untukmengajukan verifikasi legalitas kayu secara kolektif,dan mendapatkan bantuan pembiayaan pen-dampingan dan verifikasi untuk periode pertamadari anggaran Kementerian Kehutanan. Pelakuusaha kecil yang ingin mengajukan verifikasilegalitas kayu secara kolektif harus memiliki aktenotaris pembentukan kelompok, baik dalambentuk koperasi, CV, atau kelompok usaha lainnya.Selain itu juga, mereka harus memiliki kepe-ngurusan kelompok dan aturan untuk mengenda-likan anggotanya, antara lain terkait tanggungjawab anggota, persyaratan menjadi anggota,aturan pencabutan/pembekuan sebagai anggota,aturan transaksi, sistem pengawasan internal dankontrol terhadap anggota. Dalam hal verifikasidilakukan secara kolektif, maka verifikasi dilakukansecara terhadap anggota kelompokdengan jumlah sampel sebanyak √ (akar dua) darijumlah seluruh anggota. Ketentuan verifikasi ko-lektif berlaku untuk pemegang izin pengelolaanhutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanamanrakyat, pengolahan hasil hutan kayu dengankapasitas sampai 2.000 m dan TDI, IUI denganmodal investasi sampai Rp 500 juta.

Dalam peraturan tersebut juga diatur lamaberlakunya sertifikat. Salah satunya adalah S-LKyang dimiliki pemegang hutan hak berlaku selama10 tahun dengan penilikan sekurang-kurangnyasatu tahun sekali. Yang menarik untuk dicatatadalah bahwa lama berlakunya sertifikat LK, baikbagi pemegang usaha kehutanan skala besar dankecil (kecuali hutan hak) adalah sama, yakni tigatahun dengan penilikan setahun sekali. S-LK bagiIUI dengan investasi di bawah Rp 500 juta, TDIdan industri rumah tangga/pengrajin berlakuselama enam tahun dengan penilikan sekurang-kurangnya dua tahun sekali.

Pada Desember 2012, Menteri Kehutanankemudian mengeluarkan Peraturan Menteri No.P.45/2012 yang isinya antara lain menegaskantenggat waktu yang harus dipenuhi para pemegangizin pengusahaan hutan skala kecil seperti hutankemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyatdan perusahaan pemegang izin industri peng-olahan hasil hutan kayu hilir, pemegang tandadaftar industri, industri rumah tangga/pengrajindan pedagang ekspor serta pemegang tempatpenampungan terdaftar. Dalam peraturan tersebutpemegang izin wajib memiliki sertifikat legalitas

sample random

3

Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 6: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

180

kayu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember2013. Peraturan Menteri No. P.42/Menhut-II/2013yang merevisi peraturan menteri sebelumnyamempertegas berlakunya ketentuan-ketentuan yangdiuraikan sebelumnya bagi pemilik hutan hak.

Sampai dengan Februari 2013, standar biayaverifikasi legalitas kayu yang menjadi acuan bagipara pemegang izin adalah yang tertuang padaPermenhut No. P. 31/Menhut-II/2010. PadaFebruari 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkanperaturan baru melalui Permenhut No. P.13/Menhut-II/2013 yang mengatur standar biayaverifikasi legalitas kayu secara berkelompok diantaranya bagi pemegang IUPHHK-Hkm,IUPHHK-HD, industri rumah tangga/pengrajin,TDI, pemegang IUI, tempat penampunganterdaftar, pemilik hutan hak dan pemilik IUPHHK-HTR, baik perorangan maupun koperasi. Standarbiaya tersebut menjadi pedoman pembiayaan(sebagai batas tertinggi) kegiatan verifikasi legalitaskayu periode pertama yang anggarannya dibeban-kan kepada Kementerian Kehutanan. Standar biayajuga bisa menjadi acuan pelaksanaan verifikasidengan sumber pendanaan sendiri dari pemegangizin.

Standar biaya verifikasi legalitas kayu secaraberkelompok bagi usaha kehutanan skala kecildibedakan menjadi biaya langsung personil danbiaya langsung non personil. Beban upah personildiperuntukkan bagi pengambil keputusan,

dan yang besarnya tergantung padajumlah sampel yang diambil, kurang dari tiga unitsampel, tiga sampai lima, dan lebih dari lima unit.Biaya langsung non personil mencakup biaya untukpengumpulan data dan informasi, pemeriksaaanlapangan, rapat pembahasan, dan

, pengambilan keputusan dan biaya pelapor-an.

Di luar biaya transportasi dari Jakarta ke ibukotaprovinsi, besarnya total biaya verifikasi secaraberkelompok untuk pemegang IUPHHK-Hkmdan IUPHHK-HD adalah antara Rp 19,9 juta (unitsampel kurang dari tiga unit) sampai Rp 43,5 juta(sampel lebih dari lima unit). Bagi pemilik hutanhak, biaya verifikasi secara berkelompok berkisarantara Rp 15,9 juta (unit sampel kurang dari 25orang) sampai Rp 27,4 juta (sampel lebih dari 50orang). Biaya verifikasi tersebut lebih rendah

2. Standar Biaya Verifikasi SVLK bagi UsahaPerkayuan Skala Kecil

leadauditor auditor

opening closingmeeting

dibandingkan dengan standar biaya verifikasi yangberlaku sebelumnya - berdasarkan PermenhutNo.P. 31/Menhut-II/2010 - yang belummempertimbangkan sertifikasi kelompok. Dalamperaturan tersebut, standar biaya verifikasi legalitaskayu bagi pemegang izin IUPHHK-Hkm danhutan hak berkisar antara Rp 63,8 juta di provinsiyang termasuk dalam Rayon I sampai Rp 71,3 jutauntuk Rayon III.

Di bagian hilir, biaya verifikasi secara ber-kelompok yang saat ini berlaku bagi pelaku usahaindustri rumah tangga/pengrajin berkisar antaraRp 12,6 juta (dengan unit sampel kurang dari lima)sampai Rp 26,4 juta (sampel lebih dari 10 unit).Biaya yang lebih rendah dibandingkan denganpemegang IUPHHK-Hkm dan IUPHHK-HDadalah karena jumlah personil yang lebih sedikityang dibutuhkan untuk verifikasi usaha industrirumah tangga/pengrajin. Biaya verifikasi legalitaskayu secara berkelompok untuk pemegang TDI,IUI dengan modal investasi di bawah Rp 500 jutadan pemegang izin pengolahan kayu dengankapasitas produksi sampai 2.000 m /tahun adalahberkisar antara Rp 15,2 juta (unit sampel kurangdari lima) sampai Rp 28,9 juta (sampel lebih dari10 unit).

Bagi pemegang izin industri pengolahan hasilhutan kayu dengan kapasitas di atas 2.000 msampai 6.000 m , standar biaya verifikasi adalah Rp40 juta atau Rp 10 juta lebih rendah dibandingkandengan standar biaya untuk industri dengan kapasi-tas di atas 6.000 m .

Berkembangnya hutan rakyat didorong olehprogram penghijauan yang digalakkan olehpemerintah sejak tahun 1975/1976, terutama didaerah-daerah aliran sungai (DAS) yang dianggapkritis, meliputi hutan yang rusak, belukar, padangalang-alang, tanah kosong dan tanah terlantar sertategalan (BPKH, 2009). Sejak tahun 1980-an, hutanrakyat di Jawa mulai memperoleh perhatian darimasyarakat luas dan hasilnya (kayu) telah dirasakanmanfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahanpenghasilan (BPKH, 2009). Permintaan kayuhutan rakyat yang meningkat disebabkan olehberkembangnya pertumbuhan ekonomi di Jawayang pesat dalam kurun waktu tahun 1970-anhingga sekarang (tahun 2000-an). Industripengolahan kayu, termasuk kayu gergajian,

, dan mebel memanfaatkan kayu dari hutan

3

3

3

3

3. Hutan Rakyat

moulding

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

Page 7: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

181

rakyat, karena pasokan kayu hutan alam dari luarJawa serta pasokan kayu dari Perum Perhutani tidakmencukupi permintaan yang terus meningkat. Padatahun yang sama, hutan rakyat atau hutan berbasismasyarakat di luar Jawa sebaliknya kurang ber-kembang. Hal ini karena selain sektor ekonomi non-hutan lebih menguntungkan dibanding sektorhutan, industri di luar Jawa menggantungkan padapasokan kayu dari hutan alam. Hingga kini,perkembangan hutan berbasis masyarakat di luarJawa lebih lamban dibanding di Jawa.

Selama lima tahun terakhir pertumbuhan luashutan rakyat di Jawa cenderung meningkat. Padatahun 2007, luas hutan rakyat di Jawa Baratmencapai 233.304 ha, Jawa Tengah 375.211 ha danJawa Timur 321.948 ha, tetapi pada tahun 2011 me-ningkat berturut-turut menjadi 246.854 ha,569.634 ha dan 659.414 ha. Rata-rata pertumbuhanluas hutan rakyat per tahun berturut-turutmencapai 2%, 11% dan 20,9% (Tabel 1).Produksinya cenderung meningkat kecuali JawaTengah. Pada tahun 2007, produksi kayu hutan

rakyat Jawa Tengah adalah 1.530.995 m dan padatahun 2011 menurun menjadi 812.213 m denganpertumbuhan rataan per tahun -13,7%(Tabel 2). Produksi kayu hutan rakyat Jawa Baratmeningkat dari 1.153.886 m tahun 2007 menjadi2.375.769 m tahun 2011 dengan pertumbuhanrataan per tahun sebesar 23,2%. Produksi kayuhutan rakyat Jawa Timur juga meningkat dari839.443 m tahun 2007 menjadi 2.282.319 m tahun2011 dengan pertumbuhan rataan per tahunsebesar 28,6% (Tabel 2).

Dari total luas hutan rakyat di Jawa tahun 2011sebesar 2.475.902 ha, sekitar 7.242 ha atau 0,49%di antaranya telah lulus verifikasi legalitas kayu(VLK) atau telah mendapatkan S-LK. Jumlahhutan rakyat yang telah memiliki S-LK tersebutlebih kecil dibanding hutan rakyat yang telah me-miliki S-PHPL (Sertifikat Pengelolaan HutanProduksi Lestari) standar LEI, namun lebih besardibanding luas hutan rakyat yang memiliki standarFSC. Luas hutan rakyat yang telah memiliki S-PHPL standar LEI adalah 1,80%, dan yang

3

3

3

3

3 3

sebesar

Tabel 1. Perkembangan luas hutan berbasis masyarakat di Jawa, 2000-2011.Table 1. Development of community based-forest area in Java, 2000-2011.

Tahun (Year)

Luas hutan berbasis masyarakat (Community-based forest area)

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

ha % ha % ha %2007 233.304 375.211 321.9482008 261.077 11,9 412.981 10,1 452.346 40,52009 290.857 11,4 469.195 13,6 612.022 35,32010 283.853 -2,4 506.501 8,0 636.199 4,02011 246.854 -13,0 569.634* 12,5 659.414 3,6

Rata-rata (Average) 2,0 11,0 20,9Sumber ( ): Dinas Kehutanan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.Keterangan ( ): % pertumbuhan ( ); *estimasi ( ).

SourceRemarks growth estimate

Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Sumber ( ): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.Keterangan ( ): % pertumbuhan ( ); *estimasi ( ).

SourceRemarks growth estimate

Tahun (Year)Produksi kayu bulat (Log production)

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timurm3 % m3 % m3 %

2007 1.153.886 1.530.995 839.4432008 1.856.305 60,9 1.248.140 -18,5 977.107 16,42009 1.480.380 -20,3 1.244.641 -0,3 1.317.371 34,82010 1.732.064 17,0 846.897 -32,0 1.739.897 32,12011 2.375.769 37,2 812.213 -4,1 2.282.319 31,2

Rata-rata (Average) 1.719.681 23,2 1.136.577 -13,7 1.431.227 28,6

Tabel 2. Perkembangan produksi kayu hutan berbasis masyarakat di Jawa, 2000-2011.Table 2. Development of log production of community based-forest in Java, 2000-2011.

Page 8: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

182

Tabel 3. Perkembangan koperasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang memegang sertifikatlegalitas kayu dan sertifikat PHPL standar LEI dan FSC tahun 2012.mandatory

Table 3. Development of community based-forest managment co-operative holding mandatory timber legality certificateand sustainable forest management certificate of LEI and FSC standards, year 2012.

Tahun (Year)

Jumlah koperasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang memegang sertifikat(Number of community based-forest management co-operative holding certificate)

S-LK (Mandatory timber legalitycertificate)

S-PHPL (Sustainable forest managment certificate)Standar LEI (LEI standard) Standar FSC (FSC standard)

(unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha)2004 2 8102005 - -2006 1 8152007 2 3.5712008 1 9.453 1 1.0052009 2 2.004 1 1412010 4 8.385 1 7672011 5 3.100 1 570 1 4182012 7 4.142 2 979 1 95

Jumlah (Total) 12 7.242 15 26.587 5 2.426

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012a), LEI (2013) dan FSC (2013).Source

Tabel 4. Sumbangan pasokan kayu bulat dari hutan berbasis masyarakat terhadap pasokan kayu bulatnasional, 2007-2011.

Table 4. Share of log supply from community based-forest in national log supply, 2007-2011.

Tahun (Year)Jumlah

(juta m3)

Hutan alam (Natural forest) Hutan tanaman (Plantation forest)UPHHK-HA IPK/ILS UPHHK-HT Perhutani HBM*

(%) (%) (%) (%) (%)2007 32.197.046 20,0 13,6 64,0 0,1 10,92008 32.000.786 14,5 8,6 69,7 0,3 12,82009 34.320.536 14,2 19,3 55,2 0,3 11,82010 42.114.770 12,5 34,4 44,1 0,2 10,32011 47.429.335 10,7 1,3 41,8 0,2 11,5

Rata-rata (Average) 37.612.495 14,4 15,4 55,0 0,2 11,5

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012b).Keterangan ( ):%: persentase terhadap total; sumber lain tidak dicantumkan dan telah masuk ke dalam total produksi kayu bulat nasional; *totalproduksi kayu bulat hutan rakyat di Jawa.

SourceRemark

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

memiliki S-PHPL standar FSC adalah 0,16% (Tabel 3).Bahkan di antara yang telah memiliki S-LK, terdapathutan rakyat yang telah memiliki S-PHPL standarLEI dan FSC, sehingga luas hutan rakyat yang telahmemiliki S-LK sebenarnya kurang dari 0,49%.

Pembiayaan pelaksanaan SVLK pada hutan rakyatdibantu oleh MFP ( ),pemerintah pusat dan kabupaten, sedangkanpelaksanaan sertifikasi standar LEI dibantu olehlembaga swadaya masyarakat, pemerintah pusat,pemerintah provinsi dan kabupaten. Pelaksanaansertifikasi standar FSC dibantu oleh lembagainternasional, lembaga swadaya masyarakat, danpembeli kayu hutan rakyat di pasar dalam negeri.

Multistakeholder Forest Program

Produk kayu yang dihasilkan hutan rakyatmerupakan salah satu dari lima sumber bahan bakukayu nasional bagi industri pengolahan kayu, selaindari hutan alam (UPHHK-HA), hutan tanaman(UPHHK-HT), IPK atau ILS (Izin Sah Lainnya)dan Perhutani. Dari statistik diketahui bahwa pe-ranan hutan rakyat dalam pemenuhan kebutuhankayu nasional cukup signifikan, meskipun di-kategorikan sebagai sumber lain. Selama limatahun terakhir, pasokan kayu bulat hutan rakyatdalam pemenuhan bahan baku nasional rata-rataper tahun mencapai 11,5% dari total produksikayu bulat nasional. Seperti disajikan pada Tabel 4,pasokan kayu bulat hutan rakyat kurang lebih

Page 9: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

183

Tabel 5. Perkembangan pemegang izin UPHHK-HA yang memegang sertifikat legalitas kayu dansertifikat PHPL skema wajib, LEI dan FSC tahun 2012.

Table 5. Development of UPHHK-HA license holder holding mandatory timber legality certificate and sus-tainable forestmanagement certificate of government, LEI and FSC standards year 2012.

Tahun (Year)

Jumlah pemegang izin UPHHK-HA yang memegang sertifikat (Number of UPHHK-HA license holderholding certificate)

S-LK (Mandatorytimber legality

certificate)

S-PHPL (Sustainable forest managment certificate)Standar pemerintah(Government standard)

Standar LEI (LEIstandard)

Standar FSC (FSCstandard)

(unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha)2008 1 216.58020092010 17 2.045.075 1 184.2062011 4 223.410 20 2.627.738 1 195.110 4 520.4162012 9 1.442.375 5 592.640Jumlah (Total) 4 223.410 46 6.115.188 2 411.690 10 1.297.262

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012a), LEI (2013) dan FSC (2013).Source

Tabel 6. Perkembangan pemegang izin UPHHK-HT yang memegang sertifikat legalitas kayudan sertifikat PHPL standar pemerintah, LEI dan FSC tahun 2012.

Table 6.

mandatory

Development of UPHHK mandatory timber legality certificate and sustainable forestmanagment certificate of government, LEI and FSC standards year 2012.

-HT license holder holding

Tahun (Year)

Jumlah pemegang izin UPHHK-HT yang memegang sertifikat (Number of UPHHK-HT license holderholding certificate)

S-LK (Mandatorytimber legality

certificate)

S-PHPLStandar pemerintah(Governmentstandard)

Standar LEI (LEIstandard)

Standar FSC (FSCstandard)

(unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha) (unit) (ha)2008 1 246.4822009 1 47.3302010 4 436.657 4 362.8462011 1 28.890 3 576.378 3 314.154 2 38.1292012 3 93.090 5 660.092 1 77.702 4 110.401Jumlah (Total) 4 121.980 12 1.673.127 10 1.048.514 6 148.530

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012a), LEI (2013) dan FSC (2013)Source

Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

mendekati pasokan kayu bulat yang berasal dariUPHHK-HA yang mencapai 14,4% atau kayuIPK/ILS yang mencapai 15,4%, dan lebih tinggidari pasokan kayu bulat dari Perhutani yang hanyamencapai 0,2%.

Pasokan kayu bulat dari hutan alam sebagianberasal dari hutan alam yang telah mendapatkan S-LK. Dari total luas hutan alam yang dikelolaberdasarkan izin UPHHK-HA (23,2 juta ha),223.410 ha (1%) merupakan hutan alam yangdikelola oleh pemegang izin yang telah memiliki S-LK, 6.115.188 ha (26,4%) telah memiliki S-PHPLwajib, 411.690 ha (1,8%) S-PHPL standar LEI,1.297.262 ha (5,6%) S-PHPL standar FSC (Tabel 5).

Pasokan kayu dari hutan tanaman yang di-kelola berdasarkan pemegang izin UPHHK-HTsebagian hutannya juga merupakan hutan yangdikelola oleh pemegang izin UPHHK-HT yangtelah memiliki S-LK. Dari total luas hutantanaman (9,6 juta ha), 121.980 ha (1,3%) dikelolaoleh pemegang izin UPHHK-HT yang telahmemiliki S-LK, 1.673.127 ha (17,5%) telahmemiliki S-PHPL wajib, 1.048.514 ha (11,0%)memiliki S-PHPL standar LEI dan 148.530 ha(1,6%) standar FSC (Tabel 6). Beberapa pe-megang izin memiliki sertifikat lebih dari satu,sehingga dalam praktiknya luas hutan yang telahdisertifikasi lebih kecil.

Page 10: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 7. Sumbangan nilai ekspor kayu gergajian ke pasar Uni Eropa dan Asia serta Amerika Serikatterhadap total nilai ekspor kayu gergajian Indonesia tahun 2011.

Table 7. Share of sawntimber export value to European Union, Asia and US markets in total value of Indonesia'ssawntimber export year 2011.

EU-9Share*

(%)Asia-8

Share*(%)

Amerika Utara (NorthAmerica)

Share*(%)

Belanda 3,8 Jepang 41,3 Amerika Serikat 4,2Inggris 2,1 Cina 21,1 Subtotal 4,2Jerman 0,6 Malaysia 10,2Perancis 0,6 Korea 4,9Italia 0,6 Vietnam 1,9Polandia 0,5 Singapura 1,2Spanyol 0,3 Taiwan 0,9Belgia 0,1 Hongkong 0,7Finlandia 0,1 Subtotal 82,3Subtotal 8,8

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012b).Keterangan ( ):* terhadap total nilai ekspor kayu gergajian Indonesia yang mencapai USD 41,6 juta tahun (

) 2011.

SourceRemark

to total value of Indonesia's sawntimberexport of USD 41,6 milillion year

184JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

4. Industri Perkayuan

Kapasitas industri pengolahan kayu nasionalpada tahun 2011 mencapai 65,7 juta m per tahun,yang terdiri dari 35,6 juta m per tahun kapasitasindustri tidak terintegrasi dan 30 juta m per tahunindustri terintegrasi (Ditjen Bina Usaha Kehutanan2012b). Pada tahun 2011, produksi kayu lapismencapai 3,3 juta m , 0,8 juta m , kayugergajian 0,9 juta m , kayu serpih 1,8 juta m dan6,2 juta ton (Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2012b).Dari total nilai ekspor tahun 2011 yang mencapaiUSD 3,6 miliar, nilai ekspor kayu lapismenyumbang 53,8%, kemudian disusul oleh nilaiekspor yang menyumbang 42,8% dan nilaiekspor papan serat yang menyumbang 1,2%. Nilaiekspor kayu gergajian, dan papan partikelberturut-turut menyumbang 1,1%; 0,9% dan 0,1%(Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2012b).

Pelaksanaan SVLK sebagai instrumen kebijakanpengendalian peredaran kayu, khususnya ke pasarUni Eropa, menghadapi tantangan pangsa pasar,yakni bahwa tidak seluruh produk kayu Indonesiadiekspor ke Uni Eropa. Untuk kayu gergajian, daristatistik kehutanan diketahui bahwa tujuan pasarekspornya bukan hanya ke pasar Uni Eropa,melainkan juga ke Cina, Jepang dan AmerikaSerikat. Seperti yang disajikan pada Tabel 7, daritotal nilai ekspor kayu gergajian tahun 2011 yang

3

3

3

3 3

3 3

veneer

pulp

pulp

veneer

mencapai USD 41,6 juta, 82,3% disumbang olehnilai ekspor ke pasar delapan negara Asia. Jepang(41,1%), Cina (21,1%) dan Malaysia (10,2%)menjadi tiga negara teratas penyumbang ekspor.Sementara pasar Amerika Serikat sendirimenyumbang 4,2%. Pangsa pasar Uni Eropa yangterdiri dari sembilan negara hanya menyumbang8,8%, di mana Belanda dan Inggris menjadi duanegara teratas penyumbang ekspor.

Hal yang sama juga berlaku untuk produk kayulapis. Dari statistik kehutanan diketahui bahwatujuan pasar ekspor kayu lapis yang dominan bukanke pasar Uni Eropa, melainkan ke pasar non UniEropa seperti Cina, Jepang dan Amerika Serikat.Dari total nilai ekspor kayu lapis tahun 2011 yangmencapai USD 1,95 miliar, 66,2% disumbang olehnilai ekspor ke pasar tujuh negara Asia. Sepertiyang disajikan pada Tabel 8, Jepang, Cina danMalaysia menjadi tiga negara penyumbang eksporterbesar disusul oleh negara-negara Asia lainnya.Sementara pasar Amerika Serikat sendirianmenyumbang 5,5% dan Timur Tengah 12,5%.Pangsa pasar tujuh negara Uni Eropa hanyamenyumbang 8,7%, em-pat di antaranya adalahJerman (2,9%), Inggris (2,1%), Belgia (1,6%) danBelanda (1,2%). Penyumbang terkecil adalahPolandia (0,2%), kemudian disusul oleh Italia(0,3%) dan Perancis (0,4%) (Tabel 8).

Page 11: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 8. Sumbangan nilai ekspor kayu lapis ke pasar Uni Eropa dan Asia serta Timur Tengah dan AmerikaSerikat terhadap total nilai ekspor kayu lapis Indonesia tahun 2011.

Table 8. Share of plywood export value to European Union, Asia, Middle East and US markets in total value ofIndonesia's plywood export year 2011.

EU-7Share*

(%)Asia-7

Share*(%)

Amerika Utara(North America)

Share*(%)

Timur Tengah(Middle East)

Share*(%)

Jerman 2,9 Jepang 41,9 Amerika Serikat 5,5 Timur Tengah 12,5Inggris 2,1 Cina 10,6 SubtotalBelgia 1,6 Taiwan 5,4Belanda 1,2 Korea 4,3Perancis 0,4 Singapura 1,8Italia 0,3 Malaysia 1,7Polandia 0,2 Hongkong 0,4Subtotal 8,7 Subtotal 66,2

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012b).Keterangan ( ):* terhadap total nilai ekspor kayu lapis Indonesia yang mencapai USD 1,95 miliar tahun (

) 2011.

SourceRemark

to total value of Indonesia's plywood export ofUSD 1,95 billion year

185Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Dengan sebagian besar produk kayu Indonesiadiekspor ke pasar non Uni Eropa, pelaksanaanSVLK yang bersifat wajib, ditantang untuk dapatmembuktikan adanya manfaat ekonomi yangmelekat pada produk kayu yang disertifikasi.Pengalaman yang dialami oleh sertifikasi yangbersifat sukarela membuktikan bahwa pengelolahutan dan/atau industri bersedia terlibat dalamsertifikasi hutan dan/atau lacak balak, karenapercaya adanya manfaat, terutama manfaatekonomi yang melekat pada sertifikasi. Hal inikarena pelaksanaan sertifikasi menimbulkan bebanbiaya dan setiap pengeluaran biaya harus adamanfaat yang dapat mengembalikan biaya yangtelah di-keluarkan. Hasil observasi lapangan mene-mukan bukti bahwa suatu perusahaan, khususnyayang terlibat dalam industri pengolahan kayu dantelah memiliki sertifikat sukarela lebih memandangmanfaat sertifikasi, salah satunya adalah sebagaistrategi pemasaran karena realitasnya ketersediaanbahan baku kayu yang bersertifikat terbatas.Dengan kata lain, pelaksanaan sertifikasi menuntutadanya manfaat yang dapat mengembalikan biayayang dikeluarkan.

Jumlah industri pengolahan kayu di Indonesiayang berkapasitas di atas 6.000 m per tahunberjumlah 340 unit (Ditjen Bina Usaha Kehutanan2012b), sementara jumlah industri yang telahmendapatkan S-LK adalah 130 unit (Tabel 9).Jumlah ini lebih rendah dibanding jumlah industriyang telah memperoleh sertifikat lacak ba-lakstandar FSC yang bersifat sukarela, yang pada tahun

3

2012 mencapai 224 unit (Tabel 9). Hasil observasilapangan menunjukkan bahwa industri yang telahmemperoleh S-LK sebagian telah memilikisertifikat lacak balak standar FSC dan/atau LEI.Hal ini mengindikasikan bahwa penambahanjumlah industri yang sebelumnya tidak terlibat dankemudian terlibat dalam pelaksanaan sertifikasilebih kecil dari yang diharapkan. Dengan kata lain,industri yang melaksanakan SVLK cenderungindustri yang telah memiliki sertifikat sukarela,yang didorong oleh permintaan pasar (akses pasar).Konsekuensinya, industri yang bersangkutanmenanggung beban biaya yang lebih tinggi karenamemiliki lebih dari satu sertifikat, termasuk S-LK.

Industri berkapasitas kurang dari 6.000 m diIndonesia berjumlah lebih dari angka 1.000, karenadi Jawa Timur saja industri yang berkapasitas antara2.000-6.000 m per tahun berjumlah 128 unit danyang berkapasitas kurang dari 2.000 m per tahunmencapai 349 unit (Tabel 10). Di Yogyakartaindustri yang berkapasitas kurang dari 2.000 m pertahun yang berizin berjumlah 25 unit (Tabel 11).Dalam kasus di Jawa Timur, instansi pemerintahsetempat menyatakan bahwa jumlah industri skalakecil yang disampaikan merupakan industri yangtelah memiliki izin industri namun yang belummemiliki izin tidak disampaikan karena tidakteridentifikasi dan diperkirakan jumlahnya bisalebih dari yang memiliki izin. Dalam kasus di DIYogyakarta ditemukan bahwa jumlah industri yangberizin lebih kecil dari jumlah industri yang tidak

3

3

3

3

Page 12: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 9. Perkembangan pemegang Izin Usaha Industri Pengolahan Kayu Primer dan Lanjutan yangmemegang sertifikat legalitas kayu dan lacak balak standar LEI dan FSC tahun 2012.

Table 9. Development of primary and secondary industry license holders holding mandatory timber legality certificate andchain of custody certificate of LEI and FSC standards year 2012.

Tahun (Year)

Jumlah pemegang Izin Usaha Industri Pengolahan Kayu Primer dan Lanjutan yang memegangsertifikat (Number of primary and secondary industry license holders holding certificate)

S-LK (Mandatory timber legality certificate) Lacak balak (Chain of custody)IUI (Primary

industry)< 6.000

IUI (Primaryindustry)> 6.000

IUILanjutan

(Secondary industry)

Standar(Standard) LEI

Standar (Standard)FSC*

2007 82008 1 242009 5 342010 5 35 3 412011 47 48 19 652012 19 47 8 52Jumlah (Total) 71 130 30 6 224

Sumber ( ): Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2012a), LEI (2013) dan FSC (2013).Keterangan ( ): *termasuk lacak balak pada unit pengelolaan hutan ( ) (10 unit).

SourceRemark including CoC on forest managment unit

Tabel 10. Jumlah dan kapasitas industri pengolahan kayu di Jawa Timur, 2012.Table 10. Number and capacity of wood processing industries in Jawa Timur, 2012.

Kelompok industri (Industry group)Jumlah (Number)

(unit)Total kapasitas produksi (Total

production capacity) (m3)Kapasitas produksi (Production capacity) < 2.000 m3/th (m3/year) 349 417.845Kapasitas produksi (Production capacity) < 2.000-6.000 m3/th (m3/year) 128 607.118Kapasitas produksi (Production capacity) > 6.000 m3/th (m3/year) 88 2.870.700Sumber ( ): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (2012).Source

Tabel 11. Jumlah industri pengolahan kayu berkapasitas kurang dari 2.000 m per tahun me-nurutkabupaten/kota di Yogyakarta tahun 2011.

3

Table 11. Number of wood processing industries with production capacity less than 2,000 m per year by regency/city inYogyakarta year 2011.

3

Kabupaten/kota(Regency/city)

Jumlah industri berkapasitas produksi (Number of wood processing industries with productioncapacity)< 2.000 m3 per tahun (per year)

Berizin (Holding license) (unit) Tidak berizin (No license) (unit)Bantul 12 13Sleman 4 17Gunung Kidul 4 28Kulon Progo 2 12Yogyakarta 3 1Jumlah (Total) 25 71

Sumber ( ): Dinas Kehutanan Provinsi DI Yogyakarta (2012).Source

186JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

berizin (Tabel 11). Di sisi lain, total industri berkapasitas kurang dari 6.000 m per tahun yang telahmemiliki S-LK hanya berjumlah71 unit dan industrilanjutan yang jumlahnya juga ribuan hanya 30 unityang bersertifikat (Tabel 9). Fakta ini menyarankanpersoalannya bukanlah pada isu apakah industrisudah siap atau belum melaksanakan SVLK

-

3

sebagaimana yang sering disampaikan olehpembuat kebijakan, melainkan pada isu benarkahbiaya pelaksanaan SVLK dapat dikembalikandengan memiliki S-LK? Isu siap atau tidak siapmelaksanakan SVLK merupakan masalah dantantangan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah,bukan oleh pelaku ekonomi.

Page 13: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

187Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

B. Implikasi Biaya dan Manfaat SVLK

1. Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang menjadi fokus dalam tulisanini dikelola melalui kelembagaan koperasi. Tigakasus dengan skema sertifikasi yang berbeda dikajibiaya dan manfaatnya, yaitu SVLK, LEI dan FSC.Untuk skema SVLK dilakukan kajian terhadap duakoperasi, yaitu: 1) Koperasi Enggal Mulyo yangberlokasi di Desa Mrayan, Kecamatan Gruyan,Kabupaten Ponorogo dan 2) Koperasi WanaManunggal Lestari yang berlokasi di Desa Dengok,Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul.Untuk skema LEI dikaji dua koperasi, yaitu: 1)Koperasi Alas Makmur yang berlokasi di Desa Tiris,Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo dan 2)Koperasi Wana Manunggal Lestari yang berlokasi diDesa Dengok, Kecamatan Playen, KabupatenGunung Kidul. Untuk skema FSC juga dikaji duakoperasi, yaitu: 1) Koperasi Alas Mandiri di DesaKertosuko, Kecamatan Krucil, KabupatenProbolinggo dan 2) Koperasi Wana LestariMenoreh di Banjararum, Kecamatan Kalibawang,Kabupaten Kulon Progo.

Informasi biaya diperoleh berdasarkan hasilwawancara dengan berbagai pihak yang terlibatdalam proses sertifikasi hutan rakyat, tidak hanyadengan pengelola hutan rakyat yang menjadi obyekstudi. Hal ini karena pihak pengelola hutan rakyattidak mengetahui secara persis berapa biaya yangtelah dikeluarkan, karena pelaksanaan sertifikasidibantu oleh lembaga donor, pemerintah pusat,pemerintah provinsi dan kabupaten atau lembagaswadaya masyarakat. Biaya pelaksanaan sertifikasi dimasing-masing daerah umumnya berbeda. Hasilwawancara dengan penggiat hutan rakyat diperolehinformasi bahwa pada daerah di manamasyarakatnya cenderung mudah berasosiasidengan pihak luar dan pemerintah daerahnya cukupresponsif terhadap kegiatan-kegiatan yangdilakukaan bersama-sama masyarakat, maka teknispelaksanaan sertifikasi menjadi lebih mudah, yangpada gilirannya dapat menurunkan biayapelaksanaan sertifikasi di daerah yang ber-sangkutan.

Hasil wawancara dengan penggiat hutan rakyatjuga diperoleh informasi bahwa pada awal proyek-proyek sertifikasi dilaksanakan di Indonesia biaya-nya cukup mahal karena adanya proses pembelajar-an. Dengan semakin lengkapnya informasilapangan yang diperoleh, biaya sertifikasi, terutama

biaya persiapan pemenuhan standar menjadi lebihrendah. Biaya pelaksanaan sertifikasi yang disajikantelah diverifikasi dengan pihak-pihak yang terlibatdalam sertifikasi, termasuk kalangan pemerintahpusat, pemerintah provinsi dan kabupaten sertalembaga swadaya masyarakat. Biaya tersebutadalah biaya pelaksanaan sertifikasi kasus masing-masing standar: SVLK, LEI dan FSC yang pernahdilakukan di wilayah Jawa.

Koperasi Wana Manunggal Lestari memper-oleh S-LK pada 10 Oktober 2011 sementaraKoperasi Enggal Mulyo memperolehnya pada 15Maret 2012. Masa berlakunya S-LK adalah tigatahun dan penilikan dilakukan setiap tahun. Hasilwawancara dengan Ketua Koperasi Enggal Mulyadiperoleh informasi bahwa sejak merekamemperoleh S-LK atas kayu pinus ( )yang mereka produksi dan jual, diakui belumpernah menerima permintaan kayu yang ber-sertifikat SVLK dan memperoleh harga premium.Hal yang sama juga diakui oleh pengelola KoperasiWana Manunggal Lestari. Namun masing-masingketua koperasi mengakui bahwa dengan ter-bentuknya lembaga koperasi, mereka memperolehbantuan dari pemerintah. Anggota KoperasiEnggal Mulyo, misalnya, memperoleh bantuanbibit tanaman pinus dari Bidang Kehutanan DinasPertanian setempat dan peralatan pertukangan daripemerintah provinsi. Anggota Koperasi WanaManunggal Lestari memperoleh bantuan bibittanaman jati dari Dinas Kehutanan danPerkebunan dan peralatan pertukangan dari DinasPerindustrian, Perdagangan dan Koperasisetempat.

Biaya pelaksanaan SVLK untuk kedua koperasitersebut mencakup biaya persiapan pemenuhanstandar, biaya audit dan biaya penilikan. Biayapersiapan pemenuhan standar SVLK untuk tahunpertama adalah USD 6.250, biaya audit USD 3.646juta dan biaya penilikan USD 2.604, total biaya pe-laksanaan SVLK adalah USD 12.500 atau setara Rp120 juta (USD 1 = Rp 9.600) (Tabel 12). UntukKoperasi Enggal Mulya, biaya-biaya tersebutdigunakan untuk membiayai pelaksanaansertifikasi hingga tahun pertama pada areal hutanseluas 1.093 ha dengan jenis kayu dominan pinus.Untuk Koperasi Wana Manunggal Lestari, luasareal hutan yang disertifikasi adalah 515 ha denganjenis dominan jati ( ). Dengan luas

a. Kasus Skema SVLK

Pinus merkusii

Tectona grandis

Page 14: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 12. Biaya pelaksanaan verifikasi legalitas kayu pada hutan rakyat yang dikelola Koperasi EnggalMulya dan Koperasi Wana Manunggal Lestari.

Table 12. Implementation costs of timber legality verification on community-based forest managed by cooperatives ofEnggal Mulya and Wana Manunggal Lestari.

Komponen biaya (Cost component)Koperasi pengelola hutan rakyat (Co-operative of community-based forest)Enggal Mulyo (1.093 ha) Wana Manunggal Lestari (515 ha)USD USD/ha USD USD/ha

Persiapan pemenuhan standar(Preparation of standar complience)

6.250 5,7 6.250 12,1

Audit (Audit) 3.646 3,3 3.646 7,1Penilikan (Surveilance) 2.604 2,4 2.604 5,1Jumlah (Total) 12.500 11,4 12.500 24,3

Keterangan ( ): USD 1 = Rp 9.600Remark .

188JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

areal hutan yang lebih kecil, beban biaya per satuanluas pelaksanaan sertifikasi yang ditanggung olehKoperasi Wana Manunggal Lestari lebih tinggi(USD 24,3/ha) dibanding Koperasi Enggal Mulyo(USD 11,4/ha).

Biaya persiapan pemenuhan standar di antaranyaadalah biaya untuk penguatan kelembagaan danpeningkatan kapasitas petani. Penguatan ke-lembagaan meliputi kegiatan penyusunan danpengembangan aturan internal kelompok/koperasi. Kegiatan peningkatan kapasitas petanimeliputi pelatihan pendokumentasian legalitas kayuatau Surat Keterangan Asal Usul (SKAU), pem-buatan peta lahan dan inventarisasi kepemilikanlahan. Biaya audit dan penilikan bergantung padapenawaran dan kebijakan masing-masing lembagaverifikasi. Masing-masing lembaga verifikasimempunyai standar yang berbeda dalammenawarkan biaya audit SVLK. Dalam praktik,biaya akomodasi dan transportasi umumnyaditanggung oleh pihak unit manajemen.

Sumber pembiayaan pelaksanaan SVLK untukhutan rakyat berasal dari pemerintah pusat,pemerintah provinsi dan kabupaten serta lembagainternasional seperti DFID dan Uni Eropa.Ketergantungan pembiayaan menyebabkanketergantungan kelanggengan masa berlakunya S-LK pada pihak pemberi bantuan, terutama terkaitdengan pelaksanaan penilikan. Ketidakjelasanadanya harga premium atas produk kayubersertifikat SVLK dan ketergantungan pembiaya-an pada pihak pemberi bantuan menyebabkanketidakpastian keberlanjutan sertifikat SVLK,setidaknya setelah tiga tahun kemudian.

Ketika memberikan bantuan, pihak pemberibantuan, baik itu pemerintah atau lembaga donor

internasional, nampaknya mengasumsikan bahwasetelah memperoleh S-LK, koperasi akan mampumembiayai kegiatan penilikan dengan dana iuranyang dikumpulkan dari anggota dan anggotadiasumsikan bersedia membayar iuran karenaadanya peningkatan permintaan dan harga kayu.Pada kenyataannya, sejak memiliki sertifikatSVLK, koperasi atau anggota koperasi belummenerima permintaan kayu yang memiliki S-LK.

Tidak adanya biaya untuk penilikan - yang sesuaiaturan harus dilakukan setiap tahun setelah S-LKdiperoleh (Ketentuan ini sesuai dengan PeraturanMenteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009;pelaksanaan penilikan untuk hutan rakyat diubahdalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.38/Menhut-II/2009 jo. No. P.45/ Menhut-II/2012 menjadi dua tahun sekali) - ternyataberakibat pada pembekuan sertifikat seperti yangdialami Koperasi Wana Manunggal Lestari. KetuaKoperasi Wana Manunggal Lestari menyatakanbahwa me-reka memperoleh peringatan dari pihaklembaga verifikasi terkait dengan keterlambatanmelaksanakan penilikan, sesuai dengan SuratPembekuan S-LK No. 4589/ SICS-X/VLK/2012.Sejak 10 Oktober 2012, atau satu tahun setelahkeluarnya sertifikat, sertifikat Koperasi WanaManunggal Lestari telah dibekukan selama tiga bu-lan. Dalam surat peringatan disebutkan bahwa biladalam rentang waktu tiga bulan tersebut merekatidak mampu melaksanakan penilikan, makasertifikat akan dicabut. Kasus pembekuan S-LKjuga menimpa empat unit manajemen hutan rakyatlainnya, yaitu Koperasi Comlog Giri Mukti WanaTirta di Provinsi Lampung, Koperasi Hutan JayaLestari di Kabupaten Konawe Selatan, SulawesiTenggara, Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat di

Page 15: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 13. Biaya pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan lestari standar LEI pada hutan rakyat yangdikelola Koperasi Alas Makmur dan Koperasi Wana Manunggal Lestari.

Table 13. Implementation costs of sustainable forest management certification on community-based forest ma-naged by co-operatives of Alas Makmur and Wana Manunggal Lestari.

Komponen biaya (Cost component)

Koperasi pengelola hutan rakyat (Community-based forest co-operative)Alas Makmur1

(955 ha)Wana Manunggal Lestari2

(815 ha)USD USD/ha USD USD/ha

Persiapan pemenuhan standar (Preparationof standar complience)

15.625,0 16,4 21.875,0 26,8

Audit (Audit) 3.645,8 3,8 7.812,5 9,6Penilikan (Surveilance) 2.604,2 2,7 4.166,7 5,1Jumlah (Total) 21.875,0 22,9 33.854,2 41,5

Keterangan ( ): USD 1 = Rp 9.600; Standar LEI skema II; Standar LEI skema Ic.Remark1 2

189Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Kabupaten Wonosobo dan Gapoktanhut JatiMustika di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Ketentuan verifikasi legalitas kayu yangmengatur berlakunya S-LK selama tiga tahundengan pelaksanaan penilikan setiap tahun tidakmemberikan kesempatan bagi pihak koperasi untukmampu membiayai sendiri. Agar mampu mem-biayai sendiri, pada Koperasi Wana ManunggalLestari perlu ada aturan yakni setiap anggotakoperasi menanam satu pohon jati sebagai asetkoperasi. Dengan jumlah anggota koperasisebanyak 661 orang, diperkirakan koperasi akanmemiliki aset sebanyak 661 pohon atau sekitar110,2 m (1 pohon = 0,17 m ). Dengan harga kayujati per m sebesar Rp 2.500.000, maka koperasiakan memiliki aset sebesar Rp 275.416.673. Na-mun, perlu waktu lama untuk membentuk asettersebut, mengingat pohon jati membutuhkanjangka waktu lama untuk tumbuh dan menghasilkankayu siap jual, yakni setelah berumur 15 tahun.Konsekuensinya, selama pembentukan asetkoperasi belum terwujud, keberlangsunganberlakunya S-LK masih perlu disubsidi. Untukmenghindarkan beban subsidi yang terlalu panjangdan agar terbentuk aset koperasi secara lebih cepat,diberlakukan aturan agar setiap anggota koperasimenanam satu pohon jenis kayu yang berumurlebih pendek, misalnya jenis sengon (

) atau jabon ( ). Halyang sama juga berlaku bagi Koperasi EnggalMulya. Pembentukan aset koperasi dapat dilakukandengan aturan setiap anggota menanam satu pohondan aset dikelola oleh koperasi. Pada saatnya,sebagian aset dapat digunakan untuk membiayaireverifikasi atau penilikan.

3 3

3

Paraserianthesfalcataria Antocephalus cadamba

b. Kasus Skema LEI

Hasil wawancara dengan ketua Koperasi WanaManunggal Lestari diperoleh informasi bahwa daripenjualan kayu sonokeling ( ),koperasi memperoleh harga premium sebesar 10-20%, tergantung pada kesepakatan dan kualitas ka-yu yang dijual. Harga kayu sonokeling di gerbangpetani untuk panjang satu meter dan diameter 20-29 cm adalah Rp 3.500.000, diameter 30-39 cm Rp5.550.000 dan diameter di atas 40 cm Rp 6.500.000( ). Perolehan harga premium juga dialamioleh Koperasi Alas Makmur di Probolinggo ataspenjualan kayu sengon dengan kisaran antara Rp40.000 sampai Rp 50.000. Harga kayu sengondengan panjang 130 cm di pasar Probolinggo ber-kisar antara Rp 400.000 sampai Rp 800.000 per m ,tergantung pada diameter dan kua-litas kayu.Namun pengertian harga premium yang diperolehtersebut perlu dikaji lebih dalam, apakahmerupakan harga lebih yang sengaja dibayarkanoleh pembeli dalam rangka menghargai praktik-praktik pengelolaan hutan rakyat yang lebih baikatau karena kondisi permintaan kayu yang me-ningkat sementara pasokan kayu terbatas.

Biaya persiapan pemenuhan standar LEI adalahUSD 21,875 untuk skema Ic, yang diterapkan padahutan rakyat yang dikelola Koperasi WanaManunggal Lestari dan USD 15,625 untuk skemaII yang diterapkan pada hutan rakyat yang dikelolaKoperasi Alas Makmur. Biaya audit pada skema Icadalah USD 7.812,5 sementara pada skema IIadalah USD 3.645,8. Biaya penilikan pada skemaIc adalah USD 4.166,7 dan pada skema II adalahUSD 2.604,2 (Tabel 13). Perbedaan luas danstandar sertifikasi yang digunakan menyebabkan

Dalbergia latifolia

core wood

3

Page 16: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

190JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

perbedaan biaya sertifikasi per ha. Dalam kasus ini,Koperasi Wana Manunggal Lestari menanggungbeban biaya yang lebih tinggi (USD 41,5/ha)dibanding beban biaya yang ditanggung olehKoperasi Alas Makmur (USD 22,9/ha) (Tabel 13).Luas areal hutan rakyat dikelola oleh Koperasi WanaManunggal Lestari adalah 815 ha dengan jenis kayudominan jati dan maksimum produksi lestarisebesar 3.375 m per tahun. Luas areal hutan rakyatKoperasi Alas Makmur adalah 955 ha dengan jeniskayu dominan adalah sengon dengan maksimumproduksi lestari sebesar 5.514 m per tahun.

Biaya persiapan pemenuhan standar bergantungpada besarnya (kesenjangan) antara kondisilapangan (hutan) dengan standar LEI. Semakintinggi gap, semakin tinggi biaya yang dikeluarkanuntuk persiapan pemenuhan standar. Penerapanskema II mengindikasikan bahwa kondisi hutanrakyat relatif sudah baik, sehingga terdapat lembagaswadaya masyarakat yang berani memberi jaminansebagai persyaratan agar skema II dapat digunakan.Biaya persiapan pemenuhan standar LEI diantaranya mencakup biaya penguatan kelembagaankelompok/koperasi, peningkatan kapasitas petani,termasuk inventarisasi potensi hutan lestari, danbiaya peningkatan kapasitas pendamping. Biayaaudit dan penilikan tergantung pada penawaranlembaga verifikasi dan kebijakan pengeluaran biayamasing-masing lembaga verif ikas i yangbersangkutan untuk kegiatan audit dan penilikan.Masing-masing lembaga verifikasi mempunyaistandar yang berbeda dalam menawarkan biayaaudit SVLK. Dalam praktik, biaya akomodasi dantransportasi seperti pada kasus SVLK umumnyaditanggung oleh pihak unit manajemen.

Sumber pembiayaan pelaksanaan sertifikasipengelolaan hutan lestari (S-PHPL) standar LEIberasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsidan kabupaten serta lembaga internasional sepertiFord Foundation, GTZ, Uni Eropa, WWF danDFID. Ketergantungan pembiayaan menyebabkanketergantungan kelanggengan sertifikasi LEI padapihak pemberi bantuan, terutama terkait denganpelaksanaan penilikan. Namun standar LEI telahmengantisipasi beban biaya, yakni dengan masaberlaku sertifikat yang lebih lama yakni selama 15tahun dengan penilikan yang dilakukan setiap limatahun. Masa berlaku yang lama tersebut memberipeluang bagi pengelola hutan untuk mengumpul-kan dana sendiri misalnya dengan menetapkan satu

3

3

gap

pohon sebagai aset koperasi. Adanya kejelasan me-ngenai harga premium setelah memperoleh ser-tifikat LEI dan jangka waktu penilikan yang lebihlama menjamin kepastian keberlanjutan S-PHPLstandar LEI. Asumsi pihak pemberi bantuan, baikpemerintah maupun lembaga donor internasional,bahwa koperasi akan mampu membiayai kegiatanpenilikan dan resertifikasi dengan dana aset sendiri,berpeluang dapat dipenuhi.

Dalam jangka pendek, koperasi pengelola hutanrakyat tidak dibebani biaya penilikan, namun dalamjangka panjang yakni setelah lima tahun, koperasiharus menyediakan biaya sendiri untuk penilikan.Dalam kasus Koperasi Alas Makmur dengan jenishasil kayu dominan sengon, pembiayaan sendiridapat dilakukan dengan aturan setiap anggotamenanam dan memelihara satu pohon sebagai asetbersama yang dikelola koperasi. Dengan jumlahanggota sebanyak 1.524 orang, maka koperasi akanmemiliki aset sebanyak 1.524 pohon. Denganvolume tebang 0,4 m per pohon, aset yang ter-kumpul sebanyak 609,6 m dan dengan harga kayusengon Rp 400.000 per m (harga terendah) di ger-bang petani, maka aset yang dihasilkan adalah Rp243.840.000, yang lebih dari cukup untuk mem-biayai pelaksanaan penilikan. Menanam satupohon bukan merupakan beban biaya yang beratdan dapat dilakukan sejauh terdapat modal sosial diantara anggota untuk membangun koperasidengan tujuan kemakmuran bersama. Hal yang sa-ma juga berlaku dalam kasus Koperasi WanaManunggal Lestari yang memiliki anggota seba-nyak 661 orang. Pembentukan aset pada koperasitersebut membutuhkan waktu yang lebih lama,karena pohon jati baru bisa dipanen paling cepatsetelah 15 tahun. Dengan demikian, diperlukanbantuan untuk membiayai kegiatan penilikan,setidaknya untuk tiga kali tahapan.

Biaya pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutanlestari berdasarkan standar FSC untuk tahun per-tama adalah USD 65.104,2, yang terdiri darikomponen biaya persiapan pemenuhan standarUSD 41.666,7, biaya audit USD 15.625,0 dan biayapenilikan USD 7.812,5 (Tabel 14). Seperti dalamske-ma LEI, biaya persiapan pemenuhan standarbergantung pada besarnya (kesenjangan) antarakondisi lapangan (hutan) dengan standar FSC.Biaya persiapan pemenuhan standar FSC di antara-nya mencakup biaya penguatan kelembagaan

3

3

3

c. Kasus Skema FSC

gap

Page 17: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 14. Biaya pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan lestari standar FSC pada hutan rak-yat yangdikelola oleh Koperasi Alas Mandiri dan Koperasi Wana Lestari Menoreh.

Alas Mandiri Wana Lestari Menoreh.Table 14. Implementation costs of sustainable forest management certification on community-based forest managed by co

operatives of and

Komponen biaya (Cost component)

Koperasi pengelola hutan rakyat (Community-based forest cooperative)Alas Mandiri

(1.005 ha)Wana Lestari Menoreh (129 ha)

USD USD/ha USD USD/haPersiapan pemenuhan standar(Preparation of standar complience)

41.666,7 41,5 41.666,7 323,0

Audit (Audit) 15.625,0 15,5 15.625,0 121,1Penilikan (Surveilance) 7.812,5 7,8 7.812,5 60,6Jumlah (Total) 65.104,2 64,8 65.104,2 504,7

Keterangan ( ): USD 1 = Rp 9.600.Remark

kelompok/koperasi, peningkatan kapasitas petani,termasuk inventarisasi luas lahan dan potensi hutanlestari, dan studi dampak sosial ekonomi sertaidentifikasi areal dengan nilai konservasi tinggi,HCV ( ). Luas areal hutanrakyat yang dike-lola Koperasi Alas Mandiri diProbolinggo yang disertifikasi adalah 1.005 hadengan jenis kayu dominan adalah sengon denganjumlah kayu maksimal yang diproduksi secara lestarimencapai 11.621 m per tahun.

Luas areal hutan rakyat yang dikelola KoperasiWana Manunggal Lestari adalah 129 ha yang di-dominasi tanaman jati dan jumlah maksimumproduksi kayunya 336 m per tahun. Dalam me-menuhi standar FSC, dengan luas yang lebih kecil,Koperasi Wana Manunggal Lestari menanggungbeban biaya yang lebih tinggi, yakni mencapai USD504,7/ha, dibanding biaya yang ditanggung olehKoperasi Alas Mandiri yang hanya USD 64,8/ha.

Atas penjualan kayu sengon pada tahun 2012,Koperasi Alas Mandiri memperoleh harga pre-mium sebesar Rp 30.000 untuk setiap m . Berdasar-kan perhitungan kubikasi tabel lokal, harga kayusengon di tingkat petani pada tahun tersebut, untukpanjang 130 cm dengan diameter 10-15 cm adalahRp 280.000/m ; 16-19 cm Rp 350.000/m ; 20-29cm Rp 490.000 m dan lebih dari 30 cm Rp510.000/m . Kayu sengon untuk ukuran panjangyang sama di pasar Probolinggo, berdasarkanperhitungan kubikasi tabel standar, harganyaberkisar antara Rp 400.000 sampai Rp 800.000/m ,tergantung pada diameter danSementara itu, atas penjualan hasil kayunya,Koperasi Wana Manunggal Lestari memperolehharga premium sebesar 30% dari harga kayu jati

High Conservation Value

3

3

3

3 3

3

3

3

kualitas kayu.

yang di tingkat petani di Kulon Progo berkisarantara Rp 2.500.000 sampai Rp 3.000.000/m .

Sumber pembiayaan pelaksanaan sertifikasiskema FSC untuk Koperasi Alas Mandiri berasaldari pembeli yakni PT. KTI (Kutai TimberIndonesia), sementara untuk Koperasi WanaManunggal Lestari berasal dari Samdhana, Telapakdan HIVOS. Ketergantungan pembiayaan me-nyebabkan kelanggengan sertifikasi FSC sangattergantung pada pihak pemberi bantuan. StandarFSC-SLIMF yang hanya berlaku selama lima tahun- lebih cepat dari sertifikat LEI - tentunya akanmenjadi beban bagi pemilik sertifikat untukmencari sumber biaya khususnya untukpelaksanaan penilikan yang harus dilakukan setiaptahun. Penilikan setiap tahun merupakankeharusan berdasarkan standar FSC, sekalipundokumenyang dipublikasikan FSC pada November 2013menyatakan bahwa penilaian pada tahap penilikanbisa didasarkan pada pemeriksaan dokumen dantidak selalu harus disertai kunjungan lapangan.

Jangka waktu penilikan yang hanya satu tahun,sekalipun dengan adanya jaminan memperolehharga premium, tetap akan memunculkan per-tanyaan apakah sektor perkayuan skala kecilmampu menyediakan dana untuk mempertahan-kan sertifikat. Pada kasus Koperasi Alas Mandiri,yang telah mengalami tiga tahap penilikan yaknipada tahun 2010, 2011 dan 2012, tampaknya biayatidak terlalu menjadi masalah mengingat sumberpemberi bantuan adalah sekaligus juga pembelihasil kayu. Pada kasus lain, di mana pihak pemberibantuan bukan sebagai pembeli, maka asumsipihak pemberi bantuan bahwa koperasi akanmampu membiayai penilikan dengan cara

3

SLIMF streamlined certification procedures

191Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 18: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

mengumpulkan iuran anggota, akan sulit terpenuhi.Hal ini mengingat besarnya biaya yang harusdikeluarkan, meskipun permintaan dan harga kayumeningkat.

Dalam jangka panjang asumsi tersebut bukanmustahil untuk dipenuhi. Koperasi Alas Mandiridengan anggota sebanyak 1.524 orang, yang jikasetiap anggotanya menanam satu pohon sengonsebagai aset bersama, maka pada tahun kelimaakan didapatkan 1.524 pohon sebagai aset koperasi.Dengan perkiraan harga satu pohon sengonumur lima tahun adalah Rp 200.000 (volume 0,4m ), maka koperasi akan memiliki aset Rp304.800.000. Jumlah ini sudah lebih dari cukupuntuk membiayai kegiatan penilikan dan/atauresertifikasi. Syarat utama inisiatif tersebut bisaberjalan baik adalah adanya kelembagaan koperasiyang baik dan terpercaya, kolektivitas anggota, danberjalannya modal sosial di masyarakat.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada KoperasiWana Manunggal Lestari yang memiliki anggotasebanyak 1.014 anggota dengan jenis tanamandominan kayu jati. Namun, pembangunan asetperlu waktu lebih lama mengingat tanaman jati barumenghasilkan setelah 15 tahun.

Industri pengolahan kayu skala kecil yangdikaji adalah industri mebel dengan tujuan hanyapasar ekspor ke Uni Eropa (khususnya Jerman danPerancis), yang selanjutnya disebut industriMebel Pasar Ekspor (MPE), dan industri mebeldengan tujuan hanya pasar dalam negeri, yangselanjutnya disebut industri Mebel Pasar DalamNegeri (MPD). Industri MPE mengambil kasusindustri mebel yang tidak terintegrasi denganindustri penggergajian, sehingga bahan baku yangdigunakan adalah bahan baku dalam bentuk kayuolahan yang berasal dari industri pengolahankayu yang lain. Industri MPE yang dijadikancontoh kajian adalah industri MPE yang berlokasidi Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sedangkanindustri MPD mengambil kasus industri mebelyang terintegrasi dengan industri penggergajian,sehingga bahan baku yang digunakan adalahbahan baku dalam bentuk kayu bulat yangberasal dari hutan rakyat dan Perhutani. IndustriMPD yang dijadikan contoh kajian adalah industriMPD yang berlokasi di Kabupaten Jombang,Jawa Timur.

3

2 Industri Perkayuan Skala Kecil.

a. Kasus Industri MPE

Seperti biaya pelaksanaan verifikasi legalitasatau sertifikasi pada hutan, biaya pelaksanaanverifikasi atau sertifikasi pada industri hilirmencakup biaya persiapan pemenuhan standar,biaya audit dan biaya penilikan. Besarnya biayapelaksanaan SVLK, sertifikasi lacak balak (S-LB)standar LEI dan standar FSC pada industripengolahan kayu tidak jauh berbeda, seperti yangdisajikan pada Tabel 15.

Biaya pemenuhan standar bervariasi tergantungpada kondisi manajemen perusahaan, komplek-sitas alur produksi dan kapasitas produksi.Kondisi perusahaan yang memiliki alur produksiyang kompleks dan kapasitas produksi yang besarseperti industri dan kertas dapat dikenakanbiaya sertifikasi yang cukup tinggi namun bia-yasertifikasi per satuan dapat lebih rendah.Sebaliknya kondisi industri dengan alur produksiyang sederhana dan kapasitas produksi yang tidakterlalu besar dapat dikenakan biaya yang lebihrendah namun biaya sertifikasi per satuandapat lebih tinggi. Biaya audit dan penilikan biasa-nya tidak berbeda jauh. Besarnya biaya audit danpenilikan tergantung pada kebijakan masing-masing lembaga sertifikasi yang melaksanakan.

Dalam pelaksanaan SVLK, biaya pemenuhanstandar umumnya lebih digunakan untukmembiayai kegiatan penyiapan pemenuhandokumen legalitas perusahaan (akta pendirian,TDP, NPWP, IUI) dan dokumen kayu (SKAU,SKSKB, FAKB, FAKO dan dokumen ekspor).Kegiatan penyiapan ini dilakukan oleh lembagaswa-daya masyarakat setempat atau oleh industrisendiri dalam rentang waktu sekitar tiga bulan.Dalam pelaksanaan sertifikasi lacak balak standarLEI, biaya pemenuhan standar bukan hanyadiperlukan untuk pemenuhan dokumen legalitasperusahaan, tetapi juga diperlukan untukpenguatan kelembagaan dan kapasitas pekerjamelalui pelatihan, dokumen lacak balak, dokumenprosedur standar operasi dan instruksi kerja.Dalam pelaksanaan sertifikasi lacak balak standarFSC, biaya pemenuhan standarnya tidak jauhberbeda dengan biaya pemenuhan standar LEI,yakni untuk pemenuhan dokumen legalitasperusahaan, penguatan kelembagaan dan kapasitaspekerja melalui pelatihan, dokumen lacak balakdalam industri, dokumen prosedur standar operasidan instruksi kerja.

pulp

output

output

192JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

Page 19: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 15. Biaya pelaksanaan SVLK dan lacak balak standar LEI dan FSC pada industri perkayuan kapasitas2.000 m per tahun.

3

Table 15. Implementation costs of SVLK and CoC standards of LEI and FSC on wood processing industry with capacityof 2,000 m per year.

3

Komponen biaya(Cost components)

Biaya (Cost)S-LK S-LB LEI S-LB FSC

USD USD/m3 USD USD/m3 USD USD/m3

Persiapan pemenuhan standar(Preparation of standar complience)

6.250 7,8 6.250 7,8 7.813 9,8

Audit (Audit) 3.125 3,9 3.125 3,9 2.604 3,3Penilikan (Surveilance) 3.125 3,9 2.500 3,1 2.604 3,3

Jumlah (Total) 12.500 15,6 11.875 14,8 13.021 16,3

Tabel 16. Biaya pelaksanaan SVLK dan lacak balak standar LEI dan FSC pada industri perkayuankapasitas 6.000 m /tahun.

3

Table 16. Implementation costs of SVLK and CoC with LEI and FSC standards on wood processing industry with

capacity of 6,000 m per year.3

Komponen biaya (Costcomponents)

Biaya (Cost)S-LK S-LB LEI S-LB FSC

USD USD/m3 USD USD/m3 USD USD/m3

Persiapan pemenuhan standar(Preparation of standar complience)

6.250 2,6 6.250 2,6 7.813 3,3

Audit (Audit) 3.125 1,3 3.125 1,3 2.604 1,1Penilikan (Surveilance) 3.125 1,3 2.500 1,0 2.604 1,1

Jumlah (Total) 12.500 5,2 11.875 4,9 13.021 5,4

Industri yang berkapasitas lebih rendah memilikibiaya per satuan yang lebih tinggi dibanding industriyang berkapasitas lebih tinggi. Biaya per satuanpelaksanaan SVLK pada industri yang berkapasitas2.000 m /tahun adalah USD 15,6/m , yang meliputibiaya persiapan pemenuhan standar sebesar USD7,8/m , serta biaya audit dan penilikan masing-masing sebesar USD 3,9/m (Tabel 15). Padaindustri yang berkapasitas 6.000 m /tahun, biayaper satuan pelaksanaan SVLK adalah USD 5,2/m ,yang meliputi biaya persiapan pemenuhan standarsebesar USD 2,6/m , dan biaya audit dan penilikanmasing-masing sebesar USD 1,3/m (Tabel 16).Hal yang sama juga berlaku pada S-LB standar LEIdan FSC, yang besarnya tidak berbeda jauh de-ngan biaya pelaksanaan SVLK.

Biaya pelaksanaan SVLK dan S-LB standar LEIdan FSC pada industri kecil di Indonesia berkisarantara USD 4,9 sampai USD 5,4/m , sementarabiaya S-LB di Malaysia untuk industri penggergajian

3

3

3

3

3

3

3

3

3

seperti dilaporkan Suryani (2011) berkisar an-tara USD 0,1 sampai USD 6,13 dan rataan sebesarUSD 2,0/m . Hal ini mengindikasikan bahwa biayapelaksanaan SVLK pada industri skala kecil diIndonesia lebih mahal dibanding pelaksanaansertifikasi lacak balak di Malaysia. Implikasinya,keberlanjutan S-LK bagi industri MPE akan ter-ganggu jika pelaksanaan SVLK tidak memberikanmanfaat langsung kepada industri, misalnya dalambentuk naiknya permintaan dan harga mebel yangdiekspor. Dalam kasus MPE yang dikaji adalahkenaikan permintaan dan harga premium yangdiper-oleh dari hasil olahan kayu yang bersertifikatFSC, sehingga kenaikan permintaan dan hargayang terjadi dapat membantu menopang biayapelaksanaan SVLK, meskipun akhirnya ber-gantung pada daya saing mebel yang dihasilkan dipasar Eropa.

Industri MPE yang dikaji telah memiliki tigasertifikat sekaligus, yaitu S-LK, S-LB standar LEI

et al.

3

193Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 20: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

dan S-LB standar FSC. Sertifikat yang pertamadiperoleh adalah S-LB standar LEI, kemudian S-LBstandar FSC dan yang terakhir adalah S-LK yangsifatnya wajib. Perolehan sertifikat lacak balakstandar LEI dan FSC dibiayai sendiri oleh industriMPE, sedangkan S-LK dibiayai oleh pihak donor,yakni MFP-DFID. Kemampuan industri MPEmembiayai sendiri sertifikasi skema sukarela me-nyarankan bahwa pemberian bantuan pembiayaandalam pelaksanaan SVLK bagi industri MPE dinilaitidak efisien dan tidak efektif. Hal ini menyanggahpandangan Indrawan (2012) bahwa untuk men-dorong industri mebel segera mendapatkan S-LK,insentif berupa bantuan biaya dapat diberikankepada perusahaan yang termasuk ke dalamkategori usaha mikro, kecil dan menengah.

Sebagai industri mebel yang berorientasi pasarekspor, permintaan bahan baku industri MPEtergantung pada permintaan ekspor. Hasilpenelitian Setiadi (2006) menyimpulkan bahwakesediaan industri mebel menggunakan bahan bakukayu ekolabel lebih disebabkan oleh persyaratanpasar dan harga jual produk yang lebih tinggi. Hasilpenelitiannya juga menyimpulkan bahwa dalammemutuskan pembelian bahan baku kayu, industrimebel lebih memperhatikan faktor harga beli bahanbaku dibanding faktor-faktor lain, seperti keleng-kapan dokumen bahan baku, asal-usul bahan baku,dan sertifikat ekolabel. Faktor lain sepertikelengkapan dokumen bahan baku, asal-usul bahanbaku serta adanya sertifikat ekolabel belum menjadifaktor penting dalam memutuskan pembelian ba-han baku kayu. Hal ini mengindikasikan bahwapermintaan bahan baku kayu antara yang tidak danyang bersertifikat S-LK menjadi tidak berbeda.

Industri pengolahan kayu dengan kapasitas dibawah 2.000 m per tahun di Kabupaten Jombangdapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1)industri penggergajian dan 2) industri integrasimebel dan penggergajian. Industri skala kecil yangmenjadi obyek kajian adalah industri integrasimebel dan penggergajian dengan tujuan hanyapasar dalam negeri (MPD). Menurut PeraturanMenteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2008 danaturan perubahan yang ter tuang dalamP.9/Menhut-II/2009 tentang Izin Usaha IndustriPrimer Hasil Hutan, industri penggergajian kayudengan kapasitas produksi sampai 2.000 m per

b. Kasus Industri MPD

3

3

tahun diharuskan untuk melengkapi per-syaratan seperti pertimbangan teknis dari Bupati/Walikota, dokumen Upaya Pengelolaan dan Pe-mantauan Lingkungan (UKL dan UPL), izingangguan dan laporan kelayakan investasi pemba-ngunan industri. Industri MPD yang beroperasi diJombang belum seluruhnya memiliki izin sebagaipersyaratan legalitas seperti izin gangguan atau HO( ), SIUP (Surat Izin Usaha Perda-gangan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan) danIMP (Izin Membangun Prasarana). Umumnya,karena keterbatasan hasil usahanya, industri MPDtidak memiliki kemampuan untuk menguruspersyaratan legalitas yang dipersyaratkan.

Dengan diwajibkan setiap industri memilikisertifikat S-LK, pada tahun 2011 Bupati Jombangmemfasilitasi proses penyelesaian izin industriMPD sebanyak 27 unit, sehingga jumlah industriMPD yang memiliki izin meningkat dari sembilanunit pada tahun 2010 menjadi 36 unit pada tahun2012 (Tabel 17).

Ketua Asosiasi Pengusaha Industri KayuJombang (APIKJ) yang menaungi industri MPD diKabupaten Jombang, menyatakan bahwa dari 36unit anggotanya, sebanyak 10 unit industrimenyatakan telah siap untuk melaksanakan SVLK,sementara sisanya 26 unit menyatakan belum siap.Mereka belum melaksanakan SVLK mengingatbelum terpenuhinya jumlah anggota yang siapberpartisipasi dalam sertifikasi kolektif, yaknisesuai ketentuan persyaratan SVLK minimalsebanyak 25.

Menurut Kepala Dinas Perkebunan danKehutanan Jombang, industri MPD di Jombangdapat melaksanakan SVLK jika mendapatkanbantuan pembiayaan. Sedangkan Ketua APIKJmenyatakan bahwa anggotanya bersediamelaksanakan SVLK jika S-LK memberikanmanfaat langsung, misalnya kemudahan dalampembelian bahan baku kayu dan kenaikanpermintaan serta harga produk.

Menurut Ketua APIKJ, sejauh ini industri yangmemiliki S-LK tidak berbeda dengan industri yangtidak memiliki S-LK. Dalam praktik, industri yangtidak memiliki izin industri dan S-LK bahkan tidakdikenakan sanksi dan tetap dibiarkan beroperasi.Menurut Kepala Dinas Perkebunan danKehutanan Jombang, ketiadaan sanksi bagiindustri yang tidak melaksanakan SVLKmenyebabkan isu diskriminasi pelaksanaan SVLK.

tidak

Hinder- ordonnantie

194JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

Page 21: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Tabel 17. Jumlah industri perkayuan skala kecil (kapasitas terpasang di bawah 2.000 m per ta-hun) diKabupaten Jombang, 2010 dan 2012.

3

Table 17. Number of small scale wood processing industries (installed capacity under 2,000 m per year) in JombangRegency, 2010 and 2012.

3

No. Kecamatan (District)Industri penggergajian

(Sawntimber industry)Industri integrasi mebel dan penggergajian(Integrated sawntimber and furniture industry)

2010 2012 2010 20121. Mojoagung 2 2 0 12. Ploso 0 0 1 13. Kabuh 0 0 1 34. Jombang 1 1 3 55. Mojowarno 1 2 2 216. Perak 0 0 1 27. Peterongan 1 1 1 28. Ngoro 0 0 0 1

Jumlah (Total) 5 6 9 36Sumber ( ): Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jombang (2012).Source

Sebaliknya, menurut Ketua APIKJ, jika sanksidikenakan bagi yang tidak berizin maka akanberkesan menghambat masyarakat untuk melaku-kan usaha, terutama yang tidak mampu memper-oleh S-LK. Di sisi lain, pemberian bantuan pe-laksanaan SVLK yang terbatas pada biayapemenuhan standar dan pelaksanaan audit menye-babkan ketidakberlangsungan S-LK, terutamakarena industri MPD umumnya tidak mampumembiayai penilikan. Ketua APIKJ menyatakanbiaya pelaksanaan SVLK, termasuk penilikan harusditang-gung pemerintah, jika S-LK tidak membe-rikan manfaat langsung bagi industri.

Dalam pelaksanaan SVLK, biaya pemenuhanstandar dan audit umumnya dibiayai oleh peme-rintah dan/atau lembaga donor internasional. Pe-merintah dan lembaga donor internasional ber-asumsi bahwa industri MPD mampu membiayaisendiri pelaksanaan penilikan. Kemampuan indus-tri MPD untuk membiayai penilikan sangattergantung pada harga dan volume penjualan. Biayapenilikan dalam pelaksanaan SVLK pada industriyang berkapasitas 2.000 m per tahun adalah USD3,9/m (Tabel 15). Dengan sertifikasi kelompokyang beranggotakan 25 unit industri, maka masing-masing anggota harus menanggung beban biayapenilikan sebesar USD 0,16/ m . Biaya penilikansebesar USD 0,16/m tersebut tergolong kecil,namun penambahan biaya bagi industri merupakanaspek manajemen yang dihindarkan selama tam-bahan biaya tersebut tidak memberikan pe-ngembalian.

3

3

3

3

Kenaikan biaya produksi yang ditimbulkan olehkegiatan penilikan yang relatif kecil dapat ditutupijika terdapat kemudahan dalam pengurusan izinserta kenaikan permintaan dan harga produksecara signifikan. Namun kemudahan dalampengurusan izin seperti yang dilakukan oleh BupatiJombang belum mampu mendorong industri MPDmelaksanakan SVLK. Hal ini dapat dipahamikarena penurunan biaya pengurusan izin hanyadikeluarkan sekali selama industri MPD ber-operasi, sehingga sangat kecil atau tidak signifikandibanding biaya penilikan yang harus dibayarkansetiap tahun. Konsekuensinya, industri MPD dapatmenutupi biaya penilikan setiap tahun hanya jikaterdapat kenaikan permintaan dan harga produkyang dihasilkan. Dengan demikian, asumsi pihakpemberi bantuan dalam pelaksanaan SVLK dapatdipenuhi, yaitu industri MPD mampu membiayaisendiri pelaksanaan penilikan hanya jika terdapatmanfaat langsung dari S-LK, yaitu kenaikanpermintaan dan harga produk secara signifikan.Kesediaan industri MPD melaksanakan SVLKdengan bantuan pembiayaan untuk pemenuhanstandar dan audit tidak menjamin industri MPDakan mampu membiayai penilikan. Dengan katalain, keberlanjutan S-LK bagi industri MPD tidakakan terjamin selama permintaan dan hargaproduk yang dihasilkan tidak mengalami kenaikansecara signifikan.

Pentingnya peranan kenaikan harga sebagaimanfaat sertifikasi misalkan juga dilaporkan olehRatnasingam (2008) di mana sekitar tigaet al.

195Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 22: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

perempat industri mebel di Malaysia tidakmengadopsi sertifikasi lacak balak, karena merekatidak menerima harga premium dan biayapelaksanaan yang terlalu mahal.

Pelaksanaan SVLK menimbulkan tambahanbiaya bagi sektor perkayuan skala kecil, namunsektor perkayuan skala kecil tidak memperolehmanfaat dari sertifikasi legalitas kayu tersebut, baikdalam hal akses pasar maupun premium harga. Bagisektor perkayuan skala kecil, pelaksanaan SVLKdipandang sebagai kegiatan yang pembiaya-annyaberada di luar kemampuannya untuk mengusaha-kan, termasuk biaya penilikan yang dilakukan setiaptahun. Beberapa pemegang S-LK yang tidakmampu memenuhi biaya penilikan telah dibekukandan terancam dicabut sertifikatnya. Upaya pe-merintah mengurangi beban biaya pelaksanaanSVLK, terutama bagi industri pengolahan kayuskala kecil yang berorientasi pada pasar dalamnegeri melalui pemberian S-LK kelompok, tidakmendapatkan respon positif.

Meskipun biaya pelaksanaan SVLK secaraberkelompok telah relatif kecil, pelaku usahaperkayuan skala kecil tidak melihat adanya manfaatyang dapat mengembalikan biaya. Industripengolahan kayu skala kecil yang berorientasi padapasar dalam negeri bersedia melaksanakan SVLKapabila seluruh kegiatan, termasuk penilikan setiaptahunnya dibiayai oleh pemerintah.

Bagi sektor perkayuan skala kecil, skemasertifikasi sukarela dipandang lebih memberikanmanfaat akses pasar dan premium harga dibandingskema SVLK. Skema SVLK yang sifatnya wajibbagi industri pengolahan kayu skala kecil yangberorientasi pada pasar ekspor telah menimbulkantambahan beban biaya yang dapat menurunkandaya saing ekspor produk.

Isu utama yang muncul akibat pelaksanaankebijakan SVLK sebagai sebuah skema sertifikasiwajib bukan soal kesiapan pelaku ekonomi dalamsektor perkayuan untuk melaksanakan skemasertifikasi tersebut, melainkan soal kesiapan dan ke-

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

mampuan pemerintah untuk mengatasi permas-alahan yang timbul. Besarnya sumbangan produksikayu bulat dari hutan berbasis masyarakat terhadappasokan kayu nasional yang terus meningkat dalamkurun waktu lima tahun terakhir, yakni mencapairata-rata 11,5%, menjadi salah satu alasan mengapaupaya mengatasi masalah yang dihadapi sektorperkayuan skala kecil perlu menjadi prioritas.Berdasarkan studi ini, ada beberapa rekomendasiyang perlu ditindaklanjuti.

terkait dengan ketidakmampuanpengelola hutan berbasis masyarakat, termasukhutan rakyat, untuk membiayai pelaksanaan SVLKtermasuk biaya penilikan, pemerintah perlu segeramemberikan bantuan finansial, terutama bagikoperasi pengelola hutan rakyat yang S-LKnya su-dah dibekukan dan terancam dicabut. Pemerintahjuga perlu meninjau ulang ketentuan-ketentuanSVLK yang diberlakukan bagi pengelola hutanberbasis masyarakat, terutama terkait soal biayadan pelaksanaan sertifikasi berkelompok. Diha-rapkan bahwa persoalan biaya dapat diatasidan/atau koperasi hutan berbasis masyarakat akanlebih terdorong untuk dapat membiayai sendiri( ) sehingga mengurangi ketergantungan sumber pembiayaan, termasuk dari pemerintah.

, pelaku usaha industri skala kecil ber-orientasi pasar dalam negeri yang sudah memilikisertifikat tidak melihat adanya manfaat S-LK untukmengembalikan biaya pelaksanaan SVLK.Sementara itu, industri yang tidak memiliki S-LKdan bahkan belum memiliki izin industri yangjumlahnya jauh lebih besar dibiarkan beroperasi.Oleh karena itu pemerintah perlu segera mener-tibkan industri-industri yang belum memiliki izindan/atau menjalankan skema pembiayaan bagipelaksanaan SVLK, menciptakan manfaat S-LKmelalui instrumen kebijakan yang dimiliki, danmendorong asosiasi-asosiasi industri skala kecilagar mampu membiayai sendiri ( se-hingga akan berkurang ketergantungan pada sum-ber pembiayaan dari luar, termasuk pemerintah.

, tambahan beban biaya karena pelaksanaan sertifikasi, baik yang sifatnya wajib maupunsukarela, yang cenderung semakin tinggi bagiindustri skala kecil telah mengurangi daya saingharga ekspornya di pasar internasional, termasukUni Eropa. Oleh karena itu, pemerintah perlumembuat instrumen kebijakan yang dapat men-ciptakan manfaat SVLK yang bisa memberikan

Pertama,

self-financing -

Kedua

self-financing)

Ketiga -

196JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198

Page 23: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

kompensasi pengeluaran biaya pelaksanaannyasebagai antisipasi terhadap penurunan daya saingekspor industri skala kecil.

, sementara permasalahan yangmenghadang sektor perkayuan skala kecil belumdapat diatasi, pelaksanaan SVLK bagi sektorperkayuan skala besar menghadapi beberapatantangan. Lebih dari 60% ekspor kayu lapis danlebih dari 80% ekspor kayu gergajian adalah untuktujuan pasar non Uni Eropa. Dari 23,1 juta ha hutanalam yang dikelola oleh pemegang izin UPHHK-HA, baru 1% yang memiliki S-LK dan 26,4% yangmemiliki S-PHPL wajib. Dari 9,6 juta ha hutantanaman yang dikelola oleh pemegang izinUPHHK-HT, baru 1,3% yang memiliki S-LK dan17,5% S-PHPL wajib. Dari 340 unit industri skalabesar, baru 130 unit yang memiliki S-LK. Olehkarena itu, pemerintah perlu mengevaluasi apakahpermasalahan dan tantangan yang dihadapi akandapat diatasi, selain perlu memikirkan alternatifkebijakan yang lebih efektif untuk mengendalikandan mencegah peredaran kayu ilegal.

Adams, M., & Asycarya, D. (2012).. (Report for the

European Commission). Jakarta: EuropeanCommission.

BPKH. (2009).Kerjasama

BPKH XI dengan MFP II. Yogyakarta.

Dinas Kehutanan Provinsi DI Yogyakarta. (2012).

Yogyakarta: Dinas Kehutanan Provinsi DIYogyakarta.

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. (2012).

. Surabaya: DinasKehutanan Provinsi Jawa Timur.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jombang. (2012).

. Jombang:Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jombang.

Keempat

Timber industrystakeholder's mapping

Potensi kayu dan karbon hutan rakyat diPulau Jawa tahun 1990-2008.

Jumlah industri pengolahan kayu berkapasitas

kurang dari 2.000 m per tahun menurutkabupaten/kota di Yogyakarta tahun 2011.

Jumlah dan kapasitas industri pengolahan kayu diJawa Timur tahun 2012

Jumlah industri perkayuan skala kecil (kapasitas

terpasang di bawah 2.000 m per tahun) diKabupaten Jombang, 2010 dan 2012

DAFTAR PUSTAKA

3

3

Ditjen Bina Usaha Kehutanan. (2012a).

(Laporan Kinerja PHPL). Jakarta:Ditjen Bina Usaha Kehutanan.

Ditjen Bina Usaha Kehutanan. (2012b).Jakar ta :

Kementerian Kehutanan.

FSC. (2013).Retrieved from https://ic.fsc.org/preview.facts-and-figures-december-2013.a-2834.pdf December 23, 2013).

Indrawan. (2012).

(Tesis). Program StudiMagister Manajemen Agribisnis, SekolahPascasarjana, Institut Pertanian Bogor,Bogor.

LEI. (2013).Retrieved from

h t t p : / / w w w . l e i . o r . i d / f i l e s/FMU%20&%20Manufacture%20certified%20LEI_July%202013.pdf. (July 20, 2013).

Peraturan Direktur Jenderal Bina UsahaKehutanan No.P.8/VI-BPPHH/ 2011tentang standar dan pedoman pelaksanaanpenilaian kinerja pengelolaan hutanproduksi lestari dan verifikasi legalitas kayu.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/ Menhut-II/2013 tentang standar biaya penilaiankinerja pengelolaan hutan produksi lestaridan verifikasi legalitas kayu.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/ Menhut-II/2010 tentang standar biaya penilaiankinerja pengelolaan hutan produksi lestari(PHPL) dan verifikasi legalitas kayu ataspemegang izin atau pemegang hutan hak.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.42/ Menhut-II/2013 tentang perubahan ketiga atasPeraturan Menteri Kehutanan P.38/Men-hut-II/2009 tentang standar dan pedomanpenilaian kinerja pengelolaan hutanproduksi lestari dan verifikasi legalitas kayupada pemegang izin atau pada hutan hak.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.45/Menhut-II/2012 tentang perubahan kedua atas

HPH/IUPHHK hutan alam yang me-laksanakan PHPL skema P38/Menhut-II/2009

StatistikKehutanan Indones ia 2011.

Global FSC certificate: Type and figure.

Strategi implementasi SistemVerifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada industrifurnitur di Indonesia

FMU and manufacture LEI cer-tifiedupdated July 2013.

. (

197Implikasi Biaya dan Manfaat Pelaksanaan SVLK terhadap Sektor Perkayuan Skala Kecil (Satria Astana )et al.

Page 24: IMPLIKASI BIAYA DAN MANFAAT PELAKSANAAN SVLK ...

Peraturan Menteri Kehutanan No P.38/Menhut-II/2009 tentang standar danpedoman penilaian kinerja pengelolaan hutanproduksi lestari dan verifikasi legalitas kayupada pemegang izin atau pada hutan hak.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.51/Menhut-II/2006 tentang penggunaan surat asal usul(SKAU) untuk pengangkutan hasil hutankayu yang berasal dari hutan hak.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2011 tentang perubahan atas PeraturanMenteri Kehutanan No P.38/Menhut-II/2009 tentang standar dan pedomanpenilaian kinerja pengelolaan hutan produksilestari dan verifikasi legalitas kayu padapemegang izin atau pada hutan hak.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.9/ Menhut-II/2009 tentang perubahan PeraturanMenteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2008 tentang izin usaha industri primerhasil hutan.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/ 2012tentang ketentuan ekspor produk industrikehutanan.

The Jakarta Post. (2013, September 30).Diunduh dari

RI, EU signagreement on legal timber trade.

http://www.thejakartapost.com/news/2013/09/30/ri-eu-sign-agreement-legal-timber-trade. html.

Klassen, A.W. (2010). Domestic demand: Theblack hole in Indonesia's forest policy. In M.Witt & J.V. Dam (Eds.),

(pp. 15-22)Wageningen, Netherlands: TropenbosInternational.

Ratnasingam, J., Macpherson, T.H., Ioras, F., &Abrudan, I.V. (2008). Chain of custodycerti-fication among Malaysian woodenfurniture manufacturers: status andchallenges. - (1),23-28.

Setiadi, W.T. (2006).

(Tesis). Program StudiMagister Manajemen Agribisnis, SekolahPascasarjana, Institut Pertanian Bogor,Bogor.

Suryani, A.G.N., Shahwahid, H.O.M., Fau-zi, P.A.,Alias, R., & Vlosky, R.P. (2011). Assessmentof chain of custody certification costs forsawnwood manufacturers in PeninsularMalaysia.

(2), 159-165.

Chainsaw milling:Supplier to local markets .

Inter national Forestry Review, 10

Analisis strategi pengembanganpenggunaan bahan baku kayu bersertifikatekolabel di Indonesia

Journal of Tropical Forest Science,23

198JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 175 - 198