IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG ...... · implementasi undang – undang...
Transcript of IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG ...... · implementasi undang – undang...
IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NO. 21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKKAN SYARIAH DENGAN POLA PEMBIAYAAN
MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA
CABANG SURAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Ekonomi Syariah
Disusun oleh :
SUMINGAN A PRABOWO UTOMO
S.340908022
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah atau bank Islam1
seperti halnya bank konvensional juga berfungsi sebagai lembaga intermediasi
yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana
tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas
pembiayaan. Bedanya hanyalah bank syariah melakukan kegiatan usahanya
tidak berdasarkan bunga (interest fee), tetapi berdasar prinsip syariah, yaitu
prinsip pembagian keuntungan dan kerugian ( profit and loss sharing principle
atau PLS principle ).
Menurut Warkum Sumitro, Bank Islam atau Bank Syariah adalah bank
yang tata cara operasinya didasarkan pada tatacara bermuamalat secara hukum
Islam yakni yang mengacu pada ketentuan Al Qur’an dan Hadist.2 Dalam
perkembangan, pelaksanaan lembaga perbankkan yang berdasarkan prinsip
syariah ini mengacu pada Undang-undang No. 7 tahun 1992 ( Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3472 ), yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1998, tentang perbankkan ( Lembaran Negara Republik Indonesia No.
1 Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005, hlm. 1 2 Warkum Sumitro, Asas-as Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 5
3
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3790 ), dan lebih
lanjut diatur pada Undang – undang No. 21 Tahun 2008, tentang Perbankkan
Syariah, yang diundangka di Jakarta pada tnggal 16 Juli 2008, Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4867 ), Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992, tentang Bank
berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan sekarang sebagai aturan pelaksana
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004, tentang Bank Umum Yang
Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah ( Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 4434) yang telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.
7/35/PBI/2005 ( Lembaran Negara Republik Indonesia No. 90, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4536 ), serta Peraturan Republik
Indonesia No. 7/46/PBI/2005, tentang akad perhimpunan dan penyaluran
dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
( Lembaran Negara Republik Indonesia No. 124, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 4563 ), yang telah dicabut dengan Peraturan Bank
Indonesia No. 9/19/PBI/2007, tentang pelaksanaan prinip syariah dalam
kegiatan perhimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank
syariah ( Lembaran Negara Republik Indonesia No. 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4793 ).
Bank syariah sebagaimana disebutkan pada pasal 1 angka ( 7 ) Undang
– Undang No. 21 tahun 2008, tentang perbankkan syariah, yang menyatakan
bahwa :
4
”Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Perinsip Syariah atau bagi Hasil sebagaimana pada Pasal 1 angka (13)
Undang – Undang No. 10 Tahun 1998, tentang Perbankkan yang menyatakan
bahwa :
“ Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara Bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan
usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain
: pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil ( mudharabah ), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyerataan modal ( musyakarah ), atau pembiayaan
barang modal dengan prinsip sewa murni tanpa pilihan ( ijarah ) atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari ipihak
bank oleh pihak lain ( ijarah wa iqtina ).”
Prinsip syariah sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 1 angka (12)
Undang-undang No. 21 Tahun 2008, tentang Perbankkan Syariah yang
menyatakan bahwa :
“Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankkan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah.”
5
Perbankkan syariah dengan prinsip bagi hasilnya telah membuktikan
dirinya sebagai bank yang tangguh dalam melewati krisis ekonomi di
Indonesia. Saat badai krisis moneter melumpuhkan pertengahan tahun 1997
lalu, puluhan bank konvensional terpaksa dilikuidasi, dibekukan dan sebagian
terpaksa direstrukturisasi di Badan Penyehatan Perbankkan Nasional
(BPPN).3 Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) ketika itu menjadi satu – satunya
Bank Syariah, seakan – akan tidak terpengaruh bahkan Bank Muamalat
Indonesia berhasil meningkatkan dana pihak ketiganya. Disaat bank – bank
sibuk dengan program rekapitulasi ( yaitu program yang dilaksanakan dalam
rangka memperkuat struktur permodalan bank umum melalui penyertaan
modal oleh pemegang saham / pemilik maupun oleh investasi baru dan
penyertaan modal Negara ) dan bingung menghadapi negative spread, bank
Muamalat tetap terus beroperasi tanpa harus ikut program rekapitulasi dan
satu – satunya bank yang mengalami positive spread.4 Bank Syariah dengan
kebijakan tanpa bunga tapi dengan prinsip bagi hasilnya membuat terbebas
dari negative spread yaitu kondisi dimana suku bunga yang diberikan kepada
penabung jauh lebih besar dibanding suku bunga yang diberikan pada
peminjam akibatnya bank harus menanggung selisih bunga.5
Ide pendirian Bank Muamalat Indonesia berasal dari MUI pada
lokakarya “bunga bank dan perbankkan”, pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990,
kemudian dipertegas lagi dengan MUNAS VI MUI di Hotel Sahid tanggal 22
3 Yovi Indra, Pelaksanaan Pembiayaan Musyakarah Sebagai Penyertaan Modal dengan Prinsip Bagi Hasil pada Perbankan Syariah ( studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Surakarta ), Fakultas Hukum UNAND, 2006, hlm. 3 4 Ibid, hlm. 2 5 Ibid, hlm. 30
6
– 25 Agustus 1990, dari sinilah berawal dimulainya langkah untuk mendirikan
Bank Islam, Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) merupakan hasil kerja tim
perbankkan MUI yang akte pendiriannya ditandatangani pada tanggal 01
Nopember 1991, dan Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi pada tanggal
01 Mei 1992, dengan memberikan layanan perbankkan Islam kepada para
nasabah, berdasarkan izin prinsip, Surat Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 1223/MK.013/1991, tanggal 05 Nopember 1991 dan izin Usaha
Keputuan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 430/KMK : 013/1992,
tanggal 24 April 1992.6
Produk – produk yang ditawarkan bank syariah tidak jauh berbeda
dengan bank konvensional yaitu produk penyimpanan dana dan produk
penyaluran dana. Salah satu bentuk penyaluran dana yang dikembangkan pada
bank syariah khususnya Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta adalah
produk pembiayaan murabahah yaitu jasa pembiayaan dengan mengambil
bentuk transaksi jual beli dengan cicilan.
Pada perjanjian murabahah atau mark-up ( laba ), bank membiayai
pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan
membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada
nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up yang akan menjadi
imbalan bagi bank, dirundingkan dan ditentukan di muka oleh bank dan
nasabah yang bersangkutan.7
6 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafei’I Antoni, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Jogjakarta, 1992, hlm. 84-85 7 Sutan Remy Sjahdeini,Op cit. hlm. 64
7
Keseluruhan harga barang dibayar oleh pembeli ( nasabah ) secara
angsuran. Pemilikan ( ownership ) dari asset tersebut dialihkan kepada
pembeli ( nasabah ) secara proporsional sesuai dengan cicilan – cicilan yang
telah dibayar. Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan
sampai seluruh biaya dilunasi. Bank diperkenankan pula meminta agunan
tambahan dari nasabah yang bersangkutan.8
M Umer Chapra, mengemukakan transaksi yang sah menurut
ketentuan syarat apabila resiko transaksi tersebut menjadi tanggung jawab
pemodal sampai penguasaan atas barang telah dialihkan kepada nasabah.9
Dalam prakteknya, murabahah pada bank syariah mendapat kecaman
atau penilaian masyarakat terhadap praktek bank syariah yang tidak jauh
berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga bank. Kalangan
awam atau masyarakat umum menilai bahwa bank syariah dalam mengambil
keuntungan lebih besar bila dibandingkan dengan bank konvensional. Karena
kalangan awam menilai yang namanya lembaga syariah selalu identik dengan
harga murah, sehingga jika terjadi penjualan barang oleh bank syariah dengan
harga lebih tinggi disbanding harga jual barang bank konvensional, maka bank
syariah dinilai lebih tidak Islami.
Disamping itu banyak bank syariah yang melakukan transaksi
murabahah dengan menyerahkan uang kepada nasabah ( bukan barang )
dengan alas an bank syariah memberi kuasa kepada nasabah untuk membeli
barangnya sendiri dan akad murabahah dilaksanakan sebelum barang menjadi
8 Sutan Remy Sjahdeini,Op cit. hlm. 65 9 Sutan Remy Sjahdeini,Op Cit.
8
milik penjual ( bank ). Hal ini juga merupakan alasan masyarakat yang
mengatakan bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional.
Karena sesuai dengan pengertian murabahah itu sendiri adalah akad jual beli
barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati
oleh penjual dan pembeli.
Apabila diperhatikan ketentuan fatwa DSN No : 4/DSN-MUI/IV/2000,
tentang Murabahah, ketentuan pertama butir 9 menyebutkan :” Jika bank
hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang di beli.”. Jadi secara
prinsip telah menjadi milik bank, jadi harus ada barangnya dahulu baru
dilakukan akad murabahah. Tidak diperkenankan untuk melakukan akad
murabahah jika tidak ada barangnya.
Dalam pembiayaan murabahah, perjanjian antara bank dengan nasabah
dikenal dengan “akad” yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban
berprestasi pada salah satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut
dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi.10
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
10 Abdul Ghofur Anshori, Pokok – pokok Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Jogyakarta, 2008, hlm. 21
9
1. Apakah Implementasi pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat
Indonesia (BMI) Cabang Surakarta telah sesuai dengan peraturan yang
berlaku ?
2. Kendala apa yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
hingga tidak dapat melaksanakan pembiayaan murabahah dan
bagaimana solusinya.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah Pelaksanan pembiayaan murabahah pada
Bank Muamalat Syariah Cabang Surakarta telah sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
2. Untuk mengetahui apa saja kendala yang dihadapi Bank Muamalat
Indonesia Cabang Surakarta pada pembiayaan murabahah dan solusi
yang dilakukan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu pengetahuan khususnya
dalam bidang Perbankkan syariah tentang pelaksanaan pembayaran
murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
10
2. Dapat memberikan pengetahuan kepada penulis khususnya dan
masyarakat pada umumnya tentang pelaksanaan pembiayaan murabahah
pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta, apakah telah efektif
dan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu fatwa DSN No.
4/DSN-MUI/IV/2000, tentang Murabahah
11
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH
1. Pengertian dan Dasar Hukum Bank Syariah
Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak
mengandalkan pada pada bunga. Bank Islam atau bisaa disebut dengan
bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/ perbankkan usaha
pokoknya memberikan pembiayaan operasional dan produknya
dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadist. Antonio dan
Perwaatamadja membedaan menajadi 2 pengertian : yaitu Bank Islam
dan bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip – prinsip syariah
Islam.11
Bank Syariah adalah (1) Bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip – prinsip syariah Islam Islam, (2) adalah bank yang tata cara
beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan
Hadist. Sementara bank yang beroperasinya itu mengikuti ketentuan-
ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara
bermuamalat secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi
praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur – unsur Riba
11 Karnaen Perwaatmadja dan M. Syafe’I Antonio, Op Cit, hlm. 1
12
untuk diisi dengan kegiatan – kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan
pembiayaan perdagangan.12
Bank di tanah air mendapat pijakan yang tokoh setelah adanya
deregulasi sektor perbankkan pada tahun 1983, hal ini karena sejak saat
itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol
persen ( atau peniadaan bunga sekaligus ). Hal ini berlangsung sampai
tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan Pakto 88 yang
memperkenankan berdirinya bank – bank baru. Kemudian posisi bank
syariah semakin pasti setelah disahkan Undang – undang perbankkan
No. 07 Tahun 1992 yang telah diubah Undang-undang No. 10 Tahun
1998, dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis
imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun
keuntungan – keuntungan bagi hasil.13
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992
tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa
“bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak
berasaskan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang
kegiatan usahanya tidak berasaskan prinsip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil”(pasal 6). Dengan disahkannya Undang-undang No. 10 tahun
1998, tentang perbankkan yang membuka kesempatan bagi siapa saja
12 Karnaen Perwaatmadja dan M. Syafe’I Antonio, Op Cit, hlm. 2 13 Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2004, hlm. 4
13
yang akan mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi
dari sistem konvensional menjadi bank syariah.14
Dengan berlakunya undang – undang ini, sekaligus menghapus
pasal 6 pada PP No. 72 tahun 1992 yang melarang dual sistem. Dengan
tegas pasal 6 UU No. 10 Tahun 1998, membolehkan bank umum yang
melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan
usaha dengan berdasarkan prinsip syariah melalui :
a. Pendirian kantor cabang atau dibawah kantor cabang baru, atau
b. Pengubahan kantor cabang atau dibawah kantor cabang yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang
melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah.15
2. Tujuan, Ciri dan Perbedaan Bank Syariah dengan Bank
Konvensional
a. Tujuan dan Ciri Bank Syariah
Tujuan bank – bank Islam atau sering disebut dengan bank
syariah antara lain sebagai berikut :
a. Mengarahkan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islam
agar terhindar dari praktek – praktek Riba atau jenis-jenis usaha
atau perdagangan lain yang mengandung yang mengandung
unsure gharar ( tipuan), dimana jenis usaha tersebut bersifat
14 Muhammad, Op Cit, hlm. 5 15 Undang – Undang No. 10 tahun 1998
14
haram, dimana jenis – jenis usaha tersebut selain bersifat haram
juga menimbulkan dampak negative terhadap kehidupan umat.
b. Untuk menciptakan suatu keadilan dibidang ekonomi, dengan
jalan meratakan pendapatan melaui kegiatan investasi, agar
tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal
dengan pihak yang membutuhkan dana.
c. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat, dengan jalan
membuka peluang usaha yang lebih besar bagi kelompok
miskin yang diarahkan pada kegiatan yang bersifat produktif.
d. Untuk membantu program pengentsaan kemiskinan dengan
pembinaan nasabah yang lebih menonjolkan sifat kebersamaan
dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan
pengusaha produsen, pembinaan perdagangan perantara,
pembinaan konsumen, dan pengembangan usaha bersama.
e. Untuk membantu stabilitas ekonomi/ moneter pemerintah,
dengan menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga,
menghindarkan persaingan yang tidak sehat antara lembaga
keuangan.
f. Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Bank non
Islam ( Konvensional ) yang menyebabkan umat Islam berada
dibawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa
melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama
dibidang bisnis dan perekonomiannya.
15
Bank Syariah sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prinsip –
prinsip syariah menurut ketentuan Al Qur’an dan hadist, memiliki
ciri – ciri antara lain sebagai berikut :
a) Biaya disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya tidak
kaku, serta dapat ditawar dalam batas – batas yang wajar.
b) Pengggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindarkan, karena presentase bersifat
melekat pada sisa hutang walaupun batas waktu perjanjian telah
berakhir.
c) Pembagian jumlah laba sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan usaha nasabah.
d) Adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi
operasional bank dari sudut syariah dan produk – produknya
selalu menggunakan istilah arab.
b. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Perbedaan pokok antara bank syariah dengan perbankkan
konvensional adalah adanya larangan Riba’ ( bunga ), bagi
perbankkan syariah Riba dilarang sedangkan jual beli dihalalkan.
The function of money as a store of value is not recognized because
it was considered. 16
16 http//Islamic economic, business, and finance
16
Dengan demikian membayar dan menerima bunga pada uang
yang dipinjam dan yang dipinjamkan dilarang.17
Secara garis besar, Riba dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1). Riba utang piutang / pinjam meminjam
a) Riba Qard, yaitu Riba yang terjadi karena dalam akad
yang bersangkutan , pihak yang meminjamkan menuntut
pengembalian lebih kepada pihak yang dipinjami yang
dituangkan dalam akad.
b) Riba Jahiliyyah, yaitu Riba yang terjadi apabila ada
permintaan dari pihak yang meminjamkan untuk
melebihkan pengembalian, karena adanya keterlambatan
dalam pengembalian hutang.
2). Riba jual beli
a) Riba Fadhl, yaitu Riba yang terjadi dalam tukar menukar
barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas
maupun waktu penyerahannya
b) Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atas
penerimaan jenis barang Ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis barang Ribawi lainnya.
Riba dalam nasi’ah muncul karena ada perbedaan,
perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dan yang diterima kemudian.
17 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah ( Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek ), Alvabet, Jakarta, 1999, hlm. 28
17
Pada dasarnya terdapat perbedaan – perbedaan yang
substantif antara perbankkan Islam dengan perbankkan
konvensional, yaitu :18
Bank Syariah Bank Konvensional
Melakukan investasi yang
halal saja
Melakukan investasi yang halal
dan haram
Berdasarkan prinsip bagi hasil,
jual beli dan sewa
Memakai perangkat bunga
Profit dan falah oriented Profit oriented
Hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan
kemitraan
Hubungan dengan nasabah
dalam hubunga debitur –
kreditur
Penghimpunan dana dan
penyalurannya harus sesuai
dengan fatwa DPS
Tidak terdapat DPS
c. Bentuk – bentuk Usaha Bank Syariah
Peraturan sehubungan dengan kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh Bank Islam, baik bank umum syariah maupun bank
perkreditan rakyat syariah telah diatur oleh Bank Indonesia melalui
Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004, tentang bank
umum yang melaksanakann usaha berdasarkan prinsip syariah.
18 Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, Hal. 53
18
Dimana kegiatan – kegiatan yang dimaksud antara lain sebagai
berikut:
1). Penghimpunan Dana
1) Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
Giro adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat
diambil sewaktu – waktu dengan mengggunakan cek atau
alat pengambilan yang lainnya.
Wadi’ah merupakan akad titipan yang tidak memberikan
wewenang kepada penerima titipan untuk menggunakan
titipan tersebut dan berhak mendapatkan upah untuk itu.
Titipan yang seperti ini disebut dengan wadi’ah yad al-
amanah.
Dalam hal bank dapat mengggunakan dana milik nasabah
dengan menjamin, bank akan mengembalikan dana itu
secara utuh serta memiliki tanggung jawab atas segala
resiko yang terjadi pada dana tersebut. Titipan yang seperti
ini disebut dengan wadi’ah yad adh-dhamanah. Disini bank
tidak memperoleh upah dari nasabah atas jasa titipannya,
tetapi ia berhak mendapatkan semua keuntungan yang
diperoleh dari penggunaan dana nasabah tersebut.19
19 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm 159
19
2) Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau
Mudharabah
Tabungan adalah simpanan dana nasabah di bank yang
dapat diambil sewaktu – waktu oleh nasabah dengan
menggunakan buku tabungan atau alat pengambilan yang
lainnya. Prinsip wadi’ah pada tabungan digunakan sama
halnya dengan giro diatas.
Sedangkan prinsip Mudharabah pada tabungan
adalah antara nasabah dengan bank mengadakan akad
Mudharabah, yaitu nasabah menyimpan sejumlah dana
kepada bank untuk dikelola oleh bank, dan hasil yang
diperoleh dari pengelolaan dananya akan dibagikan kepada
nasabah sebagai pemilik dana dan bank sebagai pengelola
dana. Besar bagi hasil tersebut telah disepakati di awal
akad.
3) Deposito berjangka berdasrkan prinsip Mudharabah
Deposito berjangka merupakan penyimpanan dana oleh
nasabah kepada bank dengan ketentuan waktu penarikan
dana adalah jangka waktu tertentu sejak penyetoran
dananya.
20
2). Penyaluran Dana
a) Prinsip Jual Beli
(1) Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhu yang berarti
keuntungan adalah transaksi jual beli dimana pihak
bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank
bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai
pembeli.20 Harga jual adalah harga beli bank dari
pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu
pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika
telah disepakati tidak dapat dirubah selama
berlakunya akad. Dalam perbankkan Murabahah
lazimnya dilakukan dengan pembayaran cicilan
(bitsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan
segera setelah akad dilakukan, sedangkan pebayaran
dilakukan secara angsur setiap bulan sebagaimana
diperjanjikan.
The majority of Islamic financial transactions do not
involve a share of profit but incorporate a locked-in
20 Abdul Manan H, Hukum Perbankkan Syariah Mahkamah Agung RI 2008, hal. 24
21
return. “mark-up”. Structures such as Murabaha
which has the lion’s share of such transactions. 21
(2) Istisna
Istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi proyek
pembangunan berdasarkan prinsip bai’ al istishna. Di
dalam perjanjian, nasabah produk istishna selaku
pembeli atau pemesan memesan barang kepada bank
selaku penjual. Bank akan menjanjikan akan
mengirim pesanan pada waktu dan tempat yang
ditentukan di masa yang akan datang. Kemudian bank
akan memberikan pesanan tersebut ( re order ) kepada
pihak lain. Bank akan mengambil keuntungan dari
selisih antara harga bank kepada nasabah dengan
harga penjual murni dari pihak lain.22
(3) Salam
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang –
barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena
itu barang diserahkan secara tangguh, sedangkan
pembayaran dilakukan secara tunai. Bank bertindak
sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai
21 file://I:\journal\Ijara (Islamic Leasing) in the contex of Islamic Finance.htm 22 Abdul Manan H, Ibid Hal. 28
22
penjual.23 Dalam praktek perbankkan, ketika barang
sudah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada
nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan.
Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli
bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal
bank menjualnya secara tunai biasanya disebut
pembiayaan talangan.
Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan,
kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. harga jual dicantumkan dalam
akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat
berubah selama berlakunya akad.
b) Prinsip Bagi Hasil
(1) Mudharabah
Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama
antara pemilik modal dengan seseorang yang pakar
dalam berdagang.24 Serta merupakan salah satu upaya
untuk membiayai usaha kerjasama antara bank dengan
nasabah. Pada awal akad, keduanya telah disepakati
23 Abdul Manan H, Ibid Hal. 27 24 Abdurrahman, H Hukum Persyarikatan Syariah, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, Surakarta, 2008
23
nisbah yang akan dibagikan dari hasil keuntungan
yang diperleh dari usaha yang akan dilakukan.
(2) Musyarakah
Merupakan kerjasama antara bank dengan nasabah
yang masing- masing pihak memberikan kontribusi
dan resiko yang terjadi akan ditanggung bersama.25
c) Prinsip Sewa Menyewa
(1) Ijarah
Adalah perikatan sewa menyewa ysng memberikan
hak kepada yang menyewakan menerima upah dari
penyewa atas manfaat yang diperolehnya
(2) Ijarah muntahiyah bittamlik
Bank memberikan opsi kepada nasabah untuk
menjadi pemilik setelah masa sewa berakhir.
d) Prinsip Pinjam meminjam berdasarkan akad qardh
Qardh merupakan pemberian pinjaman oleh bank
kepada nasabah tanpa adanya imbalan. Perikatan jenis ini
dengan tujuan menolong, bukan perikatan yang menvari
keuntungan atau komersial.
25 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005. hlm. 159
24
3). Jasa Pelayanan
a) Wakalah
Yaitu sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa
untuk melakukan sesuatu . dalam hal ini bank akan
mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya
tersebut.
b) Hawalah
Pengalihan utang atau hawalah dapat juga dilakukan oleh
bank syariah.Dalam prakteknya, perikatan ini biasanya
dilakukan pada produk perbankkan seperti berikut :26
(1) Factoring
Dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada
pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank,
bank lalu membayar piutang tersebut dan bank
menagihnya dari pihak ketiga.
(2) Post date Chek
Dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
(3) Bill Discounting
Secara prinsip serupa dengan hawalah hanya saja
nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan
fee tidak didapati dalam kontrak hawalah. 26 Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001 hlm. 127
25
c) Kafalah
Adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu
pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan
bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu utang
yang menjadi hak penerima jaminan. Dalam hal ini bank
berkedudukan sebagai penjamin atas nasabahnya,
kemudian nasabah akan memberikan upah atas jasanya
tersebut selain harus mengembalikan dana yang telah
dikeluarkan oleh bank kepada penerima jaminan27
d) Rahn
Merupakan perikatan pemberian jaminan yang diberikan
oleh nasabah atas peminjamannya dari bank. Dalam Bank
Syariah, rahn dapat digunakan sebagai produk pelengkap
dan produk sendiri. Produk pelengkap yaitu pada saat
nasabah melakukan perikatan dalam bentuk lain ( seperti
Mudharabah, Murabahah, dan lainnya), maka bank dapat
meminta nasabah untuk meminta jaminan.
Sebagai produk tersendiri, yaitu sering kali dikenal
dengan istilah gadai. Nasabah yang membutuhkan biaya
dapat menggadaikan barang miliknya. Barang ini
kemudian akan dinilai harganya, sehingga bank dapat
27 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005. Hlm 165
26
memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan
nilai barang gadai tersebut.
Dalam hal ini, bank akan memperoleh keuntungan berupa
biaya penitipan dan pemeliharaan atas barang gadai
tersebut. Apabila pinjaman telah lunas, maka barang
gadai akan dikembalikan kepada nasabah.28
B. TINJAUAN UMUM AKAD MENURUT HUKUM ISLAM
1. Pengertian, Klasifikasi dan Asas – asas Akad
a. Pengertian Akad
Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi
akad sebagai : "pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh
syara' yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. Sebagai
suatu istilah hukum Islam , ada beberapa definisi yang diberikan
kepada akad (Perjanjian)29
1) Menurut pasal 262 Mursyid al Hairan, akad merupakan pertemuan
ijab yang diajukan oleh satu pihak dengan Kabul dari pihal lain
yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.
2) Menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan Kabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk
melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya.
28 Ibid, hlm. 166 29 Syamsul Anwar, Hukum perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 68
27
b. Klasifikasi Akad
Akad dapat dibedakan menjadi berbagai golongan dilihat dari
beberapa sudut pandang, antara lain :30
1) Akad bernama dan Akad Tidak bernama ( Dilihat dari segi
ditentukan dan tidak ditentukan namanya )
Akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh
Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan – ketentuan
khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad
yang lain.
Akad tak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus
dalam kitab-kitab fikih dibawah satu nama tertentu atau akad yang
tidak ditentukan oleh Pembuat Hukum namanya yang khusus serta
tidak ada pengaturan tersendiri mengenai terhadapnya berlaku
ketentuan-ketentuan umum akad. Akad jenis ini dibuat dan
ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan
mereka. Akad ini timbul selaras dengan kepentingan para pihak
dan merupakan akibat kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang.
2) Akad Pokok dan Akad Assesoir ( Dilihat dari Kedudukannya )
Akad pokok adalah akad yang bediri sendiri yang keberadaannya
tidak tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis
30 Ibid, hlm. 72 - 83
28
ini adalah semua akad yang keberadaannya karena dirinya sendiri,
seperti akad jual.
Akad assesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri
sendiri melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar
ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut.
Termasuk ke dalam kategori ini adalah akad penanguhan dan akad
gadai.
3) Akad Masyru’ dan Akad Terlarang ( Dilihat dari segi dilarang
atau tidak oleh syariah )
Akad masyru' adalah akad yang dibenarkan oleh syarak untuk
dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupinya.
Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syarak untuk
dibuat seperti akad jual janin, akad donasi harta anak dibawah
umur, akad yang bertentanngan dengan akhlak Islam.
4) Akad Shahih dan Akad Tidak Shahih ( Dilihat dari segi sah dan
tidaknya )
Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat –
syarat sebagaimana telah ditetapkan oleh syarak.
Akad tidak shahih adalah akad yang tidak memenuhi rukun dan
syarat – syarat yang telah ditentukan oleh syara’.
29
5) Akad Mengikat dan Akad Tidak Mengikat
Akad mengikat adalah akad dimana. apabila seluruh rukun dan
syaratnya telah terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh
dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya. tanpa
persetujuan pihak lain.
Akad tidak mengikat adalah akad pada masing – masing pihak
dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuam pihak yang
lainnya.
6) Akad Tanggungan, Akad Kepercayaan dan Akad Bersifat Ganda
Akad tanggungan adalah akad yang mengalihkan tanggungan
resiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan
sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut sehingga
kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut
berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan
memaksa.
Akad kepercayaan adalah akad dimana barang yang dialihkan
melalui akad tersebut merupakanmanah ditangan penerima barang
tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas
barang 'tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan
melawan hukum.
Akad bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupakan akad
tanggungan, tetapi di sisi lain merupakan akad alamiah
(kepercayaan).
30
7) Akad Muawadah, Akad Tabaru’ dan Akad Muawadah dan
Tabaru’ sekaligus
Akad atas beban atau akad muawadah adalah akad di mana
terdapat prestasi yang timbal balik sehingga masing-masing pihak
menerima sesuatu sebagai imbalan prestasi yang diberikannya.
Akad Cuma - cuma atau Akad Tabaru' adalah akad di mana
prestasi hanya dari salah satu pihak, seperti akad hibah dan pinjam
pakai.
Akad atas beban dan Cuma - cuma adalah akad yang pada
mulanya merupakan akad cuma-cuma, namun pada akhirnya
menjadi akad atas beban.
c. Pengertian dan Klasifikasi Asas
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan
pondasi. Secara terminology, asas adalah dasar atau sesuatu yang
menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Istilah lain yang
memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar
atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan
sebagainya. Namun ada asas utama yang mendasari setiap
perbuatan manusia, termasuk perbuatan muamalat yaitu :
1) Asas Illahi
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput
dari ketentuan Allah Swt. Kegiatan muamalat termasuk
31
kegiatan perikatan tidak akan pernah lepas dari nilai – nilai
ketauhidan.
Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab akan hal
itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab
kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan
tanggung jawab kepada Allah Swt. Akibatnya, manusia tidak
akan berbuat semaunya sendiri, karena perbuatannya akan
mendapatkan balasan dari Allah Swt.
2) Asas Kebebasan
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut
ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan
isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang
menyepakatinya. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah
Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.
3) Asas Persamaan atau Kesetaraan
Suatu perbuatan muamalat merupakan salah satu jalan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bahwa diantara sesame
manusia masing – masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Untuk itu, antara manusia satu dengan manusia yang lainnya
hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari
kelebihan yang dimilikinya.
32
Oleh sebab itu setiap manusia memiliki kesempatan yang sama
untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan
tersebut, para pihak menentukan hak dan kewajiban masing –
masing berdasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini.
4) Asas Keadilan
Keadilan adalah keseimbangan antara berbagi potensi individu,
baik moril, ataupun materiil, antara individu dan masyarakat,
dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan
pada syariah Islam.31
Dalam asas ini para pihak yang melakukan perikatan dituntut
untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan
keadaan memenuhi perjanjian yang telah mereka buat untuk
memenuhi semua kewajiban.
5) Asas Kerelaan
Segala transaksi yang dilakukan atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing – masing pihak, tidak boleh ada
tekanan, paksaan dan penipuan. Jika hal ini tidak terpenuhi,
maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara batil.
Dalam melakukan suatu perdagangan, hendaknya dilakukan
atas dasar suka sama suka tau suka rela.
6) Asas Kejujuran
31 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonmian Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997, hlm. 396
33
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan leh
manusia dalam segala bidang kehidupan termasuk dalam
pelaksanaan muamalat. Perbuatan muamalat dapat dikatakan
benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang
melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan
lingkungannya.
7) Asas Tertulis
Dalam QS Al Baqarah ayat 282, disebutkan bahwa Allah Swt
menganjurkan kepada manusia, hendaknya suatu perikatan
dilakukan secara tertulis, dihadiri leh saksi – saksi, dan
dberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan
dan yang menjadi saksi.
Selain itu dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan
dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu
benda sebagai jaminannya.
2. Rukun dan Syarat Akad
a. Rukun Akad
Secara bahasa rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi
untuk sahnya sebuah pekerjaan32, sedangkan syarat adalah ketentuan
yang harus diindahkan dan dilakukan.33 Dalam syariah, rukun dan
32 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 966 33 Ibid, hlm. 1114
34
syarat sama – sama menentukan sah dan tidaknya suatu transaksi.
Suatu perikatan yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi
beberapa rukun dan syarat tertentu agar perikatan yang dibuat
tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya.
Abdul Mannan mengemukakan bahwa suatu perikatan harus
memenuhi empat rukun, yaitu ijab qabul, mahallul ‘aqd, al ‘aqidain,
dan maudhu’ul ‘aqd.34
1) Ijab dan Qabul
Ijab qabul merupakan rukun pertama dan utama dalam suatu
perikatan. Ijab qabul merupakan entitas yang melandasai
perikatan yang dibuat oleh para pihak dan menjadi pedoman
dalam pelaksanaan kegiatan usaha, baik secara individu maupun
secara berkelompok. Pelaksanaan ijab qabul dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu secara lisan (dengan ucapan),
tulisan, juga dengan isyarat tertentu bagi pihak yang tidak dapat
berbicara atau menulis.
Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa ada tiga syarat yang
harus dipenuhi agar suatu ijab qabul dipandang sah dan memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak. Pertama, jala’ul ma’na,
yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab qabul itu
jelas sehingga dapat dipahami dengan mudah mengenai jenis
perikatan yang dikehendaki. Kedua, tawâfuq, yaitu adanya
34 Terdapat di http://achypozesif.blogspot.com/2009/05/akad-perikatan-dalam-hukum-islam.html
35
kesesuaian antara ijab dan qabul. Ketiga, jazmul iradataini, yaitu
antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara
pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di bawah
tekanan pihak lain dan melaksanakannya dengan sepenuh hati
dan tanpa paksaan.
2) Mahallul ‘aqd (objek perikatan)
Objek perikatan dalam konteks muamalah sangat luas dan bentuk
serta sifatnya tergantung dari jenis perikatan yang dibuat. Para
ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek perikatan harus
memenuhi beberapa syarat.
Pertama, perikatan harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak
dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan
datang.
Kedua, dibenarkan oleh syara’; sesuatu yang tidak dapat
menerima hukum perikatan tidak dapat menjadi objek perikatan.
Ketiga, objek perikatan harus dapat diserahkan pada saat terjadi
akad atau dapat diserahkan pada waktu yang telah ditentukan
dalam akad.
Keempat, objek perikatan harus jelas atau dapat ditentukan dan
harus diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat perikatan.
Apabila tidak ada kejelasan tentang objek perikatan, maka hal
tersebut dapat menimbulkan masalah bagi para pihak yang terikat
di dalamnya.
36
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas harus dipahami dan
diaplikasikan oleh para pihak dalam membuat perikatan.
3) Al ‘aqidain (pihak yang melaksanakan perikatan)
Pihak-pihak yang melaksanakan perikatan merupakan subjek
hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum
dimaksud dapat berupa perorangan, kelompok, dan atau badan
hukum tertentu yang mengikatkan diri pada suatu perikatan.
Pihak yang melaksanakan perikatan harus cakap secara hukum,
sehingga perikatan tersebut sah secara hukum.
Islam telah mengamanahkan bahwa orang-orang yang tidak sehat
akalnya atau berada dalam pengampuan tidak boleh
melaksanakan perikatan, karena yang bersangkutan tidak
memahami substansi perikatan tersebut. Orang-orang demikian
tidak boleh melaksanakan perikatan secara individual, melainkan
harus didampingi oleh orang lain sebagai kuasa yang sah secara
hukum.
4) Maudhu’ul ‘aqd (tujuan perikatan)
Dalam suatu perikatan, tujuan menjadi sangat penting bagi pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan dari suatu perikatan
sangat menentukan akibat hukum bagi para pihak, terutama
dalam konteks keperdataan. Dengan demikian, para pihak harus
37
mengetahui dan memahami secara massif tujuan dan akibat
hukum dari perikatan yang dibuatnya.
b. Syarat – syarat Akad
Syarat – syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad
dipandang sah dan mempunyai akibat hokum, yaitu sebagai
berikut:35
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
pihak – pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya
pelaksanaan akad
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’
3. Akad – Akad dalam Bank Syariah
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad.
Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya,
sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya
mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban
untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji
tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya.
Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara
rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak
35Ahmad Azhar Basyir, Asas – asas Hukum Muamalat ( Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 68 - 71
38
dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih
merupakan sanksi moral
Selanjutnya, dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih
muamalat membagi lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad Tabarru’
dan akad tIjarah/mu’awadah.36
a. Akad Tabarru’
Akad Tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi
nirlaba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis
untuk mencari keuntungan komersil. Akad Tabarru’ dilakukan
dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan
Dalam akad Tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak
berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya.
Imbalan dari akad Tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari
manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut
boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi
biaya ( cover the cost ) yang dikeluarkannya untuk dapat
melakukan akad Tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun
mengambil laba dari akad Tabarru’ itu. Contoh akad-akad
Tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah,
hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll
36 Ada dalam : http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_syariah
39
Pada dasarnya, akad Tabarru’ adalah memberikan sesuatu atau
meminjamkan sesuatu. Dengan demikian ada tiga bentuk umum
akad Tabarru’, yaitu :
1) Meminjamkan Uang
Akad meminjam uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya.
Setidaknya ada 3 ( tiga ) jenis, sebagai berkiut
a). Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun,
selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka
waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti
ini disebut dengan qard.
b). Jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman
mensyaratkan suatu jaminan dalam bentyk atau jumlah
tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini
disebut dengan rahn.
c). Dalam bentuk pemberian pinjaman uang, dimana
tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak
lain. Bentuk pemberian pinjaman uang dengan maksud
seperti ini disebut hiwalah.
2) Meminjam Jasa
Akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 ( tiga ) jenis.
Bila kita meminjamkan diri kita ( yakni jasa keahlian /
ketrampilan dan sebagainya ) untuk melakukan sesuatu atas
nama orang lain, maka hal ini disebut dengan wakalah. Karena
40
kita melakukan sesuatu atas nama oaring yang kita bantu
tersebut, sebenarnya kita menjadi wakil orang itu.
3) Memberikan Sesuatu
Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad – akad
sebagai berikut : hibah, waqf, shadaqah, hadiah.
Bila penggunanya untuk kepentingan umum dan agama
akadnya dinamakan waqf. Obyek waqf ini tidak boleh
diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai asset waqf.
Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara
sukarela kepada orang lain.
Begitu akad Tabarru’ sudah disepakati, maka akad tersebut
tidak boleh diubah menjadi akad tijarah, kecuali ada kesepakatan
dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam akad tijarah
tersebut. Sebaliknya, jika akad tijarah sudah disepakati, akad
tersebut boleh diuabh menjadi akad Tabarru’ bila pihak yang
tertahan dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
Fungsi akad Tabarru’ ini adalah akad-akad untuk mencari
keuntungan akhirat, karena ini bukan merupakan akad bisnis. Bank
syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk
mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad-akad Tabarru’
untuk mendapatkan laba. Bila tujuan kita adalah mendapat laba,
41
gunakanlah akad – akad yang bersifat komersial yakni akad
tijarah.
b. Akad Tijarah
Akad tIjarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-
akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu
bersifat komersil.
C. TINJAUAN TENTANG JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah suatu persetujuan yang mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk mengerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan begitu jual beli
merupakan suatu bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual,
dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual37.
Selain itu, harta yang diperjual belikan juga harus bermanfaat
bagi manusia.38. sedangkan jual beli menurut Islam adalah suatu
persetujuan timbal balik antara pihak yang satu selaku penjual yang
berjanji untuk menyerahkan suatu barang kepada pihak lain selaku
pembeli, dan pembeli membayar sejumlah harga yang telah disepakati.39
37 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 7 38 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (fiqh Muamalat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 113-114 39 M. Arie Mooduto, Islamic Bank, Tazkia Institute, Jakarta, 2002, hlm. 55
42
Muraba (accurate transliteration murabaha, Arabic) is defined as
a particular kind of sale, compliant with shariah, where the seller
expressly mentions the cost he has incurred on the commodities to be
sold and sells it to another person by adding some profit or mark-up
thereon which is known to the buyer. As the requirement includes an
‘honest declaration of cost’, murabaha is one of three types of bayu-al-
amanah (‘fiduciary sale) [Other two types of bayu-al-amanah are
tawliyah) (sale at cost) and Wadiah (sale at specified loss)] 40
Commodity Murabaha is based on the concept of Tawarruq, that
is, receiving cash for a debt of a higher amount. The structure attracted
considerable attention when, in 2003, the OIC Islamic Fiqh Academy
likened commodity Murabahah to “organized” Tawarruq which it
deemed a synthetic and fictitious transaction and therefore impermissible
under Shariah. 41
2. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual-beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah
apabila telah memenuhi rukun dan syarat jual-beli. Dalam menetapkan
rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi perberbedaan pendapat.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara suka sama suka atau sukarela,
40 http//Wikipedia, the free encyclopedia. Muraba. 41 www.islamicfinanceasia.com Commodity Murabahah: Concerns, Challenges and Market Appetite
43
baik dengan ucapan maupun perbuatan. Rukun jual beli ada 4 (empat)
yaitu:42
a). Adanya pihak penjual
b). Pihak pembeli (al-musyfari)
c). Barang yang diperjual belikan (al-mabi’)
d). Transaksi
Sedangkan syarat sah jual beli43 antara lain :
a). Syarat –syarat umum
Yaitu segala sesuatu yang harus ada pada setiap macam jual beli,
sehingga dapat dianggap sah secara syara’. Secara umum agar
dianggap sah, akad jual beli harus terhindar dari 6 ( enam ) aib,
yaitu :
1) Ketidakjelasan Tentang Keadaan Barang
Ketidak jelasan keadaan barang dapat menyebabkan
terjadinya perselisihan yang sulut terselesaikan, karena
argumentasi dari kedua belah pihak sama – sama disandarkan
pada ketidakjelasan
2) Adanya pemaksaan, yaitu memaksa seseorang untuk berbuat
sesuatu yang tidak dikehendakinya
42 http://santiemelow.blog.friendster.com/2009/02/17/rukun-syarat-jual-beli/ 43 Wiroso, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 23-25
44
3) Pemberian batas waktu, yaitu jual beli yang diberi jangka
waktu tertentu, maka jual belinya rusak karena pemilikan
barang yang terlihat tidak bisa diberi batasan jangka waktu.
4) Adanya penipuan, yaitu penipuan tentang sifat suatu barang
Misalnya menjual sapi dengan menyebutkan susunya bisa
diperas sekian liter, namun ternyata dugaan saja, bisa jadi
susu perasaannya bisa kurang dari itu.
5) Adanya bahaya, yaitu suatu akad yang penyerahan barangnya
hanya dilakukan dengan menyebabkan adanya suatu bahaya
pada harta si penjual, diluar barang yang dijual.
6) Syarat – syarat yang merusak, yaitu setiap syarat yeng
memberi manfaat hanya bagi salah satu pihak yang
melakukan transaksi jual beli. Padahal manfaat sepihak
tersebut tidak disebutkan dalam tuntutan syariah, atau tidak
berlaku dalam adapt kebiasaan masyarakat, atau tidak
dituntut dalam akad itu sendiri, atau tidak sesuai dengan apa
yang dikehendaki.
b). Syarat – syarat khusus
Yaitu syarat yang khusus pada sebagian jual beli dan bukan pada
bagian jual beli yang lain. Syarat – syarat khusus untuk beberapa
jenis jual beli adalah sebagai berikut :
45
1) Menahan barang pada transaksi jual beli barang yang mudah
dipindah
2) Mengetahui harga pertama bila jual belinya berbentuk
Murabahah, tawliyah, syarikah.
3) Saling menahan dua barang pengganti sebelum berpisah bila
jual beli bentuk sharf ( pertukaran mata uang ).
4) Terpenuhinya syarat salam pada jual beli yang berbentuk
salam
5) Adanya persesuaian pada dua barang pengganti bila
barangnya bersifat Riba’ dan terhindar dari syubhat Riba’
6) menahan hutang – hutang yang tetap dalam tanggungan.
3. Ketentuan Jual Beli Murabahah
Ketentuan atau peraturan yang perlu diperhatikan dalam
melakukan transaksi Murabahah yaitu ketentuan dalam fatwa Dewan
Syariah Nasional dan Ketentuan Bank Indonesia yang tercantum dalam
Peratuaran Bank Indonesia maupun Pedoman Akuntasni Perbankan
Syariah Indonesia.
Fatwa – fatwa Dewan Syariah yang terkait dengan transaksi
Murabahah antara lain44 :
a. Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 01 April 2000, transaksi
Murabahah
44 Wiroso, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005 hlm. 45
46
b. Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000, tanggal 16 September 2000,
tentang uang muka dalam Murabahah
c. Nomor 16/DSN-MUI/IX/2000, tanggal 16 September 2000 tentang
Diskon dalam Murabahah
d. Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000, tanggal 16 September 2000 tentang
sanksi atas nasabah mampu yang menunda - nunda pembayaran
e. Nomor 23/DSN-MUI/III/2002, tanggal 28 Maret 2002 tentang
potongan pelunasan dalam Murabahah.
Adapun ketentuan umum Murabahah menurut ketentuan fatwa DSN
Nomor : 4/DSN-MUI/IV/2000 adalah sebagai berikut :
a. Bank dan nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas
Riba
b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas Riba
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah dengan
harga jual senilai dengan harga beli ditambah dengan keuntungan.
Dalam hal ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
47
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut
pada jangka waktu trtentu yang telah disepakati
h. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli Murabahah harus
dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
D. TINJAUAN PEMBIAYAAN MURABAHAH MENURUT HUKUM
ISLAM
1. Pengertian Pembiayaan
Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan selain melakukan
kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat. Ia juga menyalurkan
dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.45
Menurut sifat pengggunaanya, pembiayaan dapat dibagi
menjadi 2 yaitu :
a). Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan yang ditujukan atau digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif yang akan habis untuk memenhi kebutuhan.
b). Pembiayaan Produktif
Pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi
dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha maupun investasi.
45 Abdul Ghofur, Perbankkan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 98
48
Pengertian pembiayaan menurut Undang – undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankkan Syariah, adalah sebagai berikut :
Pembiayaan adalah penyedia dana atau tagihan atau yang
dipersamakan dengan itu berupa :
a). Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyakarah
b). Transaksi sewa – menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa beli
dalam bentuk Ijarah muntahiya bitamlik
c). Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, salam dam
istisna
d). Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh
e). Transaksi sewa – menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk
transaksi multi jasa
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
disebutkan adalah Pasal 1 angka (12) Undang – undang nomor 10
tahun 1998, tentang Perbankkan yang menyatakan bahwa :
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyedia uang atau
tagihan yang dipersamakan untuk itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil.”
49
Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui unsur – unsur
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah :
a). Adanya persetujuan atau kesepakatan (akad) antara bank dengan
pihak yang dibiayai yang dinamakan akad pembiayaan.
b). Adanya para pihak yaitu pihak bank yang memberikan pinjaman
baik berupa uang atau barang atau jasa dan pihak yang dibiayai
yang merupakan pihak yang membutuhkan uang/barang/jasa.
c). Adanya unsur kepercayaan dari pihak bank bahwa pihak yang
dibiayai mampu untuk mengembalikan uang atau membayar
tagihan.
d). Adanya kesanggupan dan janji mengembalikan uang atau tagihan
dari yang dibiayai.
e). Adanya kesepakatan pemberian imbalan atau bagi hasil antara
pihak bank dengan pihak yang dibiayai.
f). Adanya perbedaan waktu antara pemberian pembiayaan dengan
pengembalian pembiayaan
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2
(dua) hal, sebagai berikut :
a). Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu
jumlah hasil produksi maupun secara kualitatif, yaitu
peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi dan untuk
50
keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari
suatu barang.
b). Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang –
barang modal serta fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Ada beberapa jenis pembiayaan yang dikembangkan oleh perbankkan
syariah, antara lain :
a). Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil ( Mudharabah )
Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana kepada
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi ( Profit
and loss sharing ) berdasarkan nisabah yang telah disepakati
sebelumnya.46
b). Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyakarah)
Musyakarah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing – masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama, sesuai dengan
kesepakatan.
c). Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli ( Murabahah )
Pembiayaan dari bank syariah yang didasarkan pada akad jual
beli ini terdiri dari Murabahah, salam istishna. Murabahah
46 Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, 2001, Tzakia Cendekia, Jakarta, Hlm. 95
51
diartikan sebagai akad jual beli barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.
Salam dapat diartikan jual beli barang dengan cara pemesanan
dengan syarat – syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih
dahulu secara penuh.
Istishna dapat diartikan sebagai jual beli barang dalam bentuk
pemesanan dengan criteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
d). Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa menyewa ( Ijarah )
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti peindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri
2. Rukun, Syarat dan Ketentuan Umum Murabahah
Rukun Murabahah, yakni :
a). Penjual dan pembeli
b). Barang yang akan dijual belikan
c). Hargajual beli
d). Pernyataan serah terima (ijab dan kabul)
52
Syarat Murabahah, yaitu :
a) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah
b) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang diterakan
c) Kontrak bebas dari Riba
d) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas
barang sesudah pembelian.
e) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya pembelian secara utang.
3. Akad Murabahah dan Pembiayaan Perbankan Syariah
Murabahah didefinisikan oleh para fuqaha sebagai penjalan
baeang seharga biaya / harga pokok barang tersebut ditambah mark-up
atau margin keuntugan yang disepakati.
Bentuk – bentuk akad Murabahah antara lain :
a. Murabahah sederhana adalah bentuk akad Murabahah ketika
penjual memasarkan barangnya kepada pembeli dengan harga
perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang diinginkan.
Contoh :
Andi ingin membeli sepeda motor Yamaha Jupiter seharga Rp.
14.000.000,- Andi kemudian mengajukan fasilitas Murabahah
pada Bank Muamalat Indonesia.
b. Murabahah kepada pemesan, bentuk murabah ini melibatkan tiga
pihak, yaitu pemesan, pembeli dan penjual. Bentuk murabah ini
53
juga melibatkan pembeli sebagai perantara karena keahliannya atau
karena kebutuhan pemesan atau pembiayaan.
Contoh :
PT. TERUS MAJU perusahaan yang bergerak di bidang
Percetakan memerlukan Mesin Cetak seharga Rp. 100.000.000,-.
PT TERUS MAJU memiliki langganan supplier mesin yaitu PT.
TRAKANTA. PT TERUS MAJU mengajukan fasilitas
MURABAHAH kepada Bank Muamalat Indonesia. Setelah Account
Manager Bank Muamalat mereview neraca dan laporan keuangan
serta sumber pengembalian dari PT TERUS MAJU, maka telah
disetujui permohonan Fasilitas Murabahah sebagai berikut:
· Harga Beli Barang dari Supplier Rp. 100.000.000,-
· Margin Bank Muamalat (Margin setara 20% pa. effektif)
sebesar Rp. 22.149.950,-
· Harga Jual pada PT TERUS MAJU (Harga Jual = Harga
Beli + Margin) sebesar Rp. 122.149.950,-
· Biaya Administrasi Rp. 1.000.000,-
· Supplier yang ditunjuk PT. TRAKANTA
· Jangka Waktu Pelunasan 24 bulan
· Angsuran/Bulan Rp. 5.089.580,-/bulan
Karakteristik Murabahah adalah bahwa penjual harus memberi
tahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah
keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
54
Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Murabahah adalah menjual suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.47
Dalam pembiayaan Murabahah juga dimungkinkan terjadinya
penundaan pembayaran oleh nasabah, hal ini dapat dilihat ketentuan
fatwa DSN Nomor : 17/DSN-MUI/IX/2000, bahwa seorang nasabah
mempunyai kemampuan ekonomis terkadang – kadang menunda
kewajiban pembayaran, baik dalam akad jual beli maupun dalam akad
yang lain pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan
diantara kedua belah pihak, yakni :
a. Di dalam fatwa tersebut terdapat sanksi, yaitu sanksi yang
dikenakan lembaga keuangan syariah kepada nasabah yang mampu
membiayai, tetapi menunda – nunda pembayaran dengan sengaja.
b. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayardisebabkan
keadaan diluar kemampuan nasabah tidak boleh dikenakan sanksi.
c. Nasabah mampu, yang menunda – nunda pembayaran dan / atau
tidak mempunyai kemauan dan I’tikad baik untuk membayar
hutangnya boleh dikenakan sanksi.
d. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah
lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
47 Wiroso, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 13-14
55
e. Sanksi dapat berupa denda sejunlah uang yang besarnya ditentukan
berdasarkan kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatanganinya.
f. Dana yang berasal dari denda dipergunakan untuk dana sosial dan
bukan sebagai pendapatan dari lembaga syariah tersebut.
Pengakuan angsuran dapat dihitung dengan menggunakan 4 (empat)
metode, yaitu :48
a. Metode Margin Keuntungan Menurun ( Sliding ), adalah perhitungan
keuntungan yang semakin menurun sesuai dengan menurunnya harga
pokok sebagai akibat adanya cicilan / angsuran harga pokok, jumlah
angsuran yang dibayar nasabah setiap bulan semakin menurun.
Contoh :Pinjaman sebesar Rp. 10.000.000,-, Angsuran 12 bulan
maka :
Angsuran Ke AP CR Margin Angsuran Sisa Saldo
10.000.000
1. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 9.166.666.67
2. 833.333.33 83.333.33 275.000 1.191.666.67 8.333.333.33
3. 833.333.33 83.333.33 250.000 1.166.666.67 7.500.000.00
4. 833.333.33 83.333.33 225.000 1.141.666.67 6.666.666.67
5. 833.333.33 83.333.33 200.000 1.116.666.67 5.833.333.33
6. 833.333.33 83.333.33 175.000 1.091.666.67 5.000.000,00
7. 833.333.33 83.333.33 150.000 1.066.666.67 4.166.666.67
8. 833.333.33 83.333.33 125.000 1.041.666.67 3.333.333.33
9. 833.333.33 83.333.33 100.000 1.016.666.67 2.500.000,00
10. 833.333.33 83.333.33 75.000 991.666.67 1.666.666.67
11. 833.333.33 83.333.33 50.000 966.666.67 833.333.33
12. 833.333.33 83.333.33 25.000 941.666.67 -
10.000.000.00 1.000.000.00 1.950.000.00 12.950.000.00
48 Adiwarman A. Karim, Op Cit, hlm. 281 - 282
56
b. Margin Keuntungan Rata – rata, adalah margin keuntungan menurun
yang perhitungannya secara tetap dari jumlah angsuran ( Harga
pokok dan margin keuntungan ) dibayar nasabah tetap setiap bulan.
c. Margin Keuntungan Flat, adalah margin keuntungan terhadap nilai
harga pokok pembiayaan secara tetap dari suatu period eke periode
lainnya, walaupun debetnya menurun sebagai akibat dari adanya
angsuran harga pokok.
Contoh :Pinjaman sebesar Rp. 10.000.000,-, Angsuran 12 bulan
maka :
Angsuran
Ke AP CR Margin Angsuran Sisa Saldo
10.000.000
1. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 9.166.666.67
2. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 8.333.333.33
3. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 7.500.000.00
4. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 6.666.666.67
5. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 5.833.333.33
6. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 5.000.000,00
7. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 4.166.666.67
8. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 3.333.333.33
9. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 2.500.000,00
10. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 1.666.666.67
11. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 833.333.33
12. 833.333.33 83.333.33 300.000 1.216.666.67 -
10.000.000.00 1.000.000.00 3.600.000 14.600.000.00
d. Margin angsuran Annuitas, adalah margin keuntungan yang
diperoleh dari perhitungan secara annuitas. Perhitungan annuitas
adalah suatu cara pengembalian pembiayaan dengan pembayaran
57
angsuran harga pokok dan margin keuntungan secara tetap.
Perhitungan ini akan menghasilkan pola angsuran harga pokok yang
semakin membesar dan margin keuntungan yang semakin menurun.
Contoh : Pinjaman 10.000.000,- Angsuran 4 Bulan,
Margin 3% X Pokok = ( 3% X 10.000.000,- ) = 300.000,-
Keuntungan selama 4 Bulan 4 x 300.000= 1.200.000,-
E. Karangka Berpikir
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk pembiayaan murabahah dan bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat.
UU No. 7 Th 1992 jo. UU No. 10 Th 1998 UU Perbankan
UU No. 21 Th 2008 UU Perbankan Syariah
Menghimpun Dana
Menyalurkan Dana
Giro Tabungan Deposito Jual Beli Bagi Hasil Jasa
Murabahah Istisna Salam
Kendala Solusi
58
BAB III
METODE PENELITIAN
3. Jenis Penelitian
Metode menurut Setiono49 adalah suatu alat untuk mencari jawaban
dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus jelas
terlebih dahulu apa yang akan dicari. Ada lima konsep hukum yaitu.
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal;
2. Hukum adalah norma-norma positif didalam system perundang-
undangan hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan
tersismatisasi sebagai judge made law;
4. Hukum adalah pola-pola perilaku social yang terlembaga eksis
sebagai variable empiric;
5. Hukum adalah manisfestasi makna-makna simbolik pada perilaku
social sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. 50
Penelitian ini mendasarkan hukum yang dilakukan dengan
pendekatan non doktrinal atau pendekatan sosiologis. Hal ini disebabkan
karena di dalam penelitian ini, hukum tidak hanya diartikan atau
49 Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad), Pascasarjana UNS Surakarta 50 Ibid. hlm 23
59
dikonsepkan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga dan proses yang mewujudkan berlakunya. Jadi
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan socio
legal, yaitu yang memandang hukum bukan saja sebagai seperangkat
kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks Undang-
Undang (law in books), akan tetapi juga melihat bagaimana hukum
berinteraksi dengan masyarakat (law in action).
Berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan, maka penulis
memakai konsep hukum yang ke 5 (lima) yaitu hukum merupakan
manisfetasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak
dalam-dalam interaksi antar mereka.
Dengan adanya metode penelitian maka diharapkan peneliti dapat
memperoleh hasil yang berbobot dan bernilai sehingga dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini metode diartikan suatu cara
untuk memecahkan suatu masalah yang ada dengan mengumpulkan,
menyusun, mengklarifikasikan dan menginterprestasikan data.
Penelitian merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian
mengenai implementasi pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat
Indonesia Cabang Surakarta ini, yang berada dari sudut penerapan
pembiayaan murabahah berdasarkan peraturan tentang murabahah
60
merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris atau penelitian
hukum sosiologis (socio-legal research), yaitu penelitian yang dilakukan
untuik mendapatkan data primer yang berkenaan dengan hal – hal yang ada
dilapangan, serta bahan – bahan yang menyangkut materi – materi yang
berhubungan dengan topik penelitian sebagai data sekunder.
4. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian yang dipilih oleh penulis adalah di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta beralamat di Jl. Slamet Riyadi Surakarta karena Bank Muamalat Indonesia merupakan salah satu bank syariah yang pertama melakukan kegiatan usahanya dengan prinsip syariah dalam penyaluran dananya melalui pembiayaan murabahah.
5. Subyek Penelitian
a. Responden
Responden adalah pihak yang terkait langsung dengan masalah yang
diteliti. Dalam hal ini para pihak yang terlibat atau mengetahui proses
pembiayaan murabahah secara syariah, yakni :
a) Koordinator Account Manager Bank Muamalat Indonesia Cabang
Surakarta
b) Bagian Legal dan Administrasi Bank Muamalat Indonesia Cabang
Surakarta.
61
b. Narasumber
Untuk melengkapi data yaitu ahli dan praktisi syariah, dalam hal ini
dilakukan terhadap :
i. Operating manager Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
6. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Penentuan sample dilaksaakan dengan memakai teknikpurposive
sampling yaitu pengambilan subyek bukan didasarkan atas strata,
random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.51
Sehingga subyek penelitian dipilih berdasarkan keterlibatan mereka
dalam proses pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia
Cabang Surakarta. Penelitian tersebut dilakukan terhadap responden,
yakni pihak – pihak yang terkait langsung dengan masalah yang diteliti.
Data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui wawancara,
dokumentasi, maupun observasi yang diperoleh dari dari semua pihak
yang terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi obyek
penelitian, 1). Kepala Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta; 2).
Kepala Bagian Murabahah; 3). Karayawan ; 4). Tokoh Agama; 5).
Nasabah Murabahah
51 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rhineka Perkasa, Jakarta 2002, hlm. 109
62
2. Sumber Data Sekunder
Yaitu sumber data yang berasal dari bahan bahan pustaka, yang
meliputi dokumen tertulis, yang bersumber dari peraturan perundang -
undangan, maupun Al Qur'an, Hadist, termasuk didalamnya berbagai
keputusan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi kemasyarakatan
Islam baik yang berskala Lokal, Nasional, maupun internasional, hasil
hasil penelitian, artikel artikel ilmiah, buku buku (literatur), dokumen-
dokumen resmi, arsip-arsip dan data statistik tentang perkembangan
pembiayaan bagi hasil perbankan syariah.
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier52 .
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari:
a. bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang
mengikat53, seperti:
1) Al Qur'an, Assunah, Ijma' dan Qiyas sebagai sumber
hukum islam.
2) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Pcrubahan
Atas Undang undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
3) Undang undang No 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.
4) Undang-undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. hal 13 53 Soerjono Soekanto, Penngantar Penelitian hukum, Ul Press, 1986. ha152
63
5) Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang
perbankkan syariah.
6) Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 01 April 2000, transaksi
murabahah
7) Dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia.
b. bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum
primer54, yaitu buku-buku hukum seperti Hukum
perbankan, hukum perbankan syariah, hukum ekonomi,
hasil penelitian, jurnal ilmiah dan artikel artikel.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang
memberikan informasi tetang bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder55
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian
ini adalah dengan metode observasi (pengamatan), Interview (Wawancara)
serta studi pustaka.
54 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian tlulnim dan Jurimetri, Ghalia Indonesia Jakarta, 1994. hal 12 55 Ibid. hal 12
64
a. Observasi
Merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung dari obyek
penelitian. Penulis melakukan penelitian di Bank Muamalat Indonesia
Cabang Surakarta kemudian mencatat dan mencocokan dengan teori
agar tercapai sasaran penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk menjaga
kemungkinan adanya beberapa hal yang tidak sempat peneliti tanyakan
ataupun tidak terjawabnya pertanyaan pada saat wawancara dilakukan,
sehingga peneliti bisa mendapatkan data yang lengkap.
b. Wawancara
Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan wawancara
yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan
keterangan secara lisan dari sorang responden dengan bercakap – cakap
secara langsung. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat mereka. Secara
teknik ada dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terpimpin
(terstruktur) dan wawancara dengan teknik tidak bebas (tidak terstruktur)
yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing).
Metode wawancara yang dilakukan oleh penulis ini adalah metode
campuran dengan menggabungkan metode terpimpin dengan metode
bebas ( tidak terstruktur) dengan cara penulis membuat pedoman
wawancara yang nantinya akan dikembangkan secara bebas sesuai
dengan kebutuhan data yang ingin penulis peroleh.
65
Untuk mendapatkan data yang penulis perlukan, antara lain penulis
melakukan wawancara dengan Bapak Amin selaku Marketing Manager,
Bapak Hanang Sudibyo sebagai Customer Service.
c. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca,
memahami dan mengumpulkan bahan – bahan hukum yang akan diteliti,
yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat
informasi atau data dari bahan – bahan hukum yang diteliti yang
berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
A. GAMBARAN UMUM BANK MUAMALAT INDONESIA CABANG
SURAKARTA
1. Sejarah Bank Muamalat Indonesia
Bank Muamalat Indonesia merupakan bank syariah pertama di
Indonesia yang menggunakan prinsip bagi hasil. Selain berdasarkan
prinsip bagi hasil, dalam operasionalnya juga berdasarkan akidah dan
moral Islam, sehingga akan tercapai keselamatan dan kesejahteraan di
dunia dan akhirat.
Eksistensi perbankan syariah di Indonesia lebih tegas terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yang merupakan
amandemen Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Perbankkan syariah dengan prinsip bagi hasilnya telah
membuktikan dirinya sebagai bank yang tangguh dalam melewati krisis
ekonomi di Indonesia. Saat badai krisis moneter melumpuhkan
pertengahan tahun 1997 lalu, puluhan bank konvensional terpaksa
67
dilikuidasi, dibekukan dan sebagian terpaksa direstrukturisasi di Badan
Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN).56 Bank Muamalat Indonesia (
BMI ) ketika itu menjadi satu – satunya Bank Syariah, seakan – akan tidak
terpengaruh bahkan Bank Muamalat Indonesia berhasil meningkatkan
dana pihak ketiganya. Disaat bank – bank sibuk dengan program
rekapitulasi ( yaitu program yang dilaksanakan dalam rangka memperkuat
struktur permodalan bank umum melalui penyertaan modal oleh pemegang
saham / pemilik maupun oleh investasi baru dan penyertaan modal Negara
) dan bingung menghadapi negative spread, bank Muamalat tetap terus
beroperasi tanpa harus ikut program rekapitulasi dan satu – satunya bank
yang mengalami positive spread.57 Bank Syariah dengan kebijakan tanpa
bunga tapi dengan prinsip bagi hasilnya membuat terbebas dari negative
spread yaitu kondisi dimana suku bunga yang diberikan kepada penabung
jauh lebih besar dibanding suku bunga yang diberikan pada peminjam
akibatnya bank harus menanggung selisih bunga.58
Ide pendirian Bank Muamalat Indonesia berasal dari MUI pada
lokakarya “bunga bank dan perbankkan”, pada tanggal 18 – 20 Agustus
1990 di Cisarua Bogor, Jawa Barat. Kemudian dipertegas lagi dengan
MUNAS VI MUI di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22 – 25 Agustus
1990, dari sinilah berawal dimulainya langkah untuk mendirikan Bank
Islam, Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) merupakan hasil kerja tim
56 Yovi Indra, Pelaksanaan Pembiayaan Musyakarah Sebagai Penyertaan Modal dengan Prinsip Bagi Hasil pada Perbankan Syariah ( studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Surakarta ), Fakultas Hukum UNAND, 2006, hlm. 3 57 Ibid, hlm. 2 58 Ibid, hlm. 30
68
perbankkan MUI yang akte pendiriannya ditandatangani pada tanggal 01
Nopember 1991, dan Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi pada
tanggal 01 Mei 1992, dengan memberikan layanan perbankkan Islam
kepada para nasabah, berdasarkan izin prinsip, Surat Menteri Keuangan
Republik Indonesia No. 1223/MK.013/1991, tanggal 05 Nopember 1991
dan izin Usaha Keputuan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
430/KMK : 013/1992, tanggal 24 April 1992.59
Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini mendapat dukungan dari
berbagai kalangan, baik pemerintah, pengusaha, maupun Cendekiawan
Muslim Indonesia ( ICMI ) yang tergabung dalam 227 pemegang saham
pendiri. Dukungan ICMI adalah dengan membentuk Tim Pendanaan, Tim
Hukum, dan Tim Anggaran Dasar.
Setelah ranampungnya berbagai syarat pendirian, maka dilakukan
penandatanganan akte pendirian dihadapan notaris Yudo Paripurna, SH,
dengan akte No. 01 tanggal 01 Nopember 1991 dengan izin menteri
kehakiman RI Nomor :C2.2413.HT.01.01, tanggal 21 Maret 1992, Berita
Negara RI Nomor : 34 tanggal 18 April 1992.
Bank Muamalat Indonesia secara resmi beroperasi tanggal 01 Mei
1992 dengan modal awl sebesar Rp. 106.126.382.000,- beserta SK Menteri
Keuangan RI Nomor 1223/MK.013/1991, tertanggal 05 Nopember 1991
dan Izin Usaha Bank SK Menteri Keuangan Nomor : 430/KMK.013/1992
tertanggal 24 April 1992.
59 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafei’I Antoni, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Jogjakarta, 1992, hlm. 84-85
69
Dalam upaya memperkuat permodalan Bank Muamalat Indonesia
mencari pemodal yang potensial dan ditanggapi secara positif oleh Islamic
Development Bank ( IDB ) yang berkedudukan di Jedah, Arab Saudi pada
Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS )tanggal 21 Juni 1999. IDB secara
resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat Indonesia.
2. Visi dan Misi
Bank Muamalat Indonesia mempunyai visi menjadi Bank Syariah Utama
di Indonesia, dominan di pasar spiritual dan dikagumi di pasar regional.
Sedangkan misi Bank Muamalat Indonesia menjadi Role Model Lembaga
Keuangan Syariah di dunia dengan penekanan pada semangat
kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang
inovatif untuk memaksimalkan nilai stakeholder.60
3. Sejarah Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
Perkembangan Bank Muamalat Indonesia hingga saat ini sangat
menggembirakan. Hal ini menunjukkan Bank Syariah dengan konsep bagi
hasil mampu bersaing dengan bank konvensional. Salah satu moment
penting yang tidak dapat dilupakan adalah krisis moneter yang melanda
Indonesia khususnya sector ekonomi, akan tetapi dengan keyakinan
menjalankan roda perbankan syariah dengan hukum Allah, Bank
Muamalat tetap eksis dalam menghadapi krisis tersebut.
60 Wawancara dengan Dian Safriana Hikmi, SE Sekretaris BMI Cabang Surakarta,
70
Dengan keyakinan penuh untuk membangun perekonomian umat, Bank
Muamalat Indonesia terus melakukan dakwah. Pembukaan kantor cabang
baru menjadi prioritas utama di tahun 2003. Pada tahun 2003 sebagai
tahun layanan dan jaringan telah membuka 23 kantor cabang bau di
seluruh Indonesia, suatu angka fantastis yang belum pernah dicapai
sebelumnya dalam kurun waktu 11 tahun. Salah satu yang menjadi
prioritas Bank Muamalat adalah kota Surakarta yang juga dikenal dengan
sebutan Kota Solo. Pilihan terhadap kota Solo dilakukan dengan
pertimbangan antara lain :
a. Letak
b. Potensi Funding dan Lending
c. Komitmen Masyarakat terhadap Syariah Islam
Awal pendirian Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
dimulai dengan mendirikan Muamalat Business Centre (MBC) pada awal
tahun 2002 sebagai sarana untuk memperkenalkan Bank Muamalat kepada
masyarakat Solo dan sekitarnya. MBC ini berkantor di PT. Telkom Jalan
Mayor Kusmanto No. 01 Solo. Kegiatan MBC diantaranya silaturahmi
dengan masyarakat Solo dan sekitarnya untuk memperkenalkan konsep
syariah dan produk – produk Bank Muamalat baik dari segi pendanaan
maupun pembiayaan.
Alhamdulillah, kegiatan sosialisasi ini mendapat tanggapan positif
dari masyarakat Solo dan sekitarnya. Kegiatan dan program MBC ini
71
akhirnya membuahkan hasil, yaitu dengan menetapkan bahwa di Eks
Karesidenan Surakarta segera dibuka Cabang Bank Muamalat Indonesia
Pada tanggal 8 September 2003 Bank Muamalat Indonesia Cabang
Solo memulai kegiatan operasional yang ditandai dengan peresmian
Kantor Cabang Solo yang berkantor di Jl. Kapten Mulyadi No, 87F Ruko
Lojiwetan Pasar Kliwon, Solo yang diresmika oleh Walikota Solo pada
saat itu Bapak Slamet Suryanto. Untuk mengakomodir kebutuhan nasabah
atas layanan yang prima dan kantor yang lebih besar, maka pada tanggal
13 Nopember 2006 kantor cabang utama direlokasi ke Jl. Slamet Riyadi
No. 314 Solo ( Depan Stadion Sriwedari ) dan kantor lama berubah status
menjadi kantor kas. Pada tanggal 31 Agustus 2007, BMI membuka kantor
Layanan di RS PKU Muhammadiyah Surakarta di Jl. Ronggowarsito No.
130 Surakarta. Dan pada bulan Juni 2008 BMI membuka unit Pelayanan
Syariah Klaten yang beralamat di Jl. Pemuda No. 295 Klaten. Pada tanggal
17 Desember 2009 BMI Cabang Solo juga membuka 3 kantor cabang
pembantu, yaitu Kartasura, Boyolali, dan Wonogiri. Dimana BMI KCP
Kartasura berlokasi di Jl. Raya Kartasura Blok A No. 10 Sukoharjo.
Sedangkan untuk BMI KCP Boyolali beralamat di Jl. Kates Ruko VII
Boyolali. Dan untuk BMI KCP Wonogiri menempati alamat Jl. Jend.
Sudirman No. 21 Wonogiri.61
61 Wawancara dengan Ir. Chairil Noor Kepala Cabang BMI Cabang Surakarta
72
4. Struktur Organisasi Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
a. Branch Manager : bertanggung jawab semuanya
Bertanggung jawab terhadap semua operasional di kantor Cabang.
b. Operating Manager
Sebagai pimpinan dan penanggung jawab organisasi utama dicabang
yang bersangkutan, bertanggung jawab dalam arti seluas – luasnya
untuk supervise aktifitas – aktifitas cabang, termasuk memastikan
tercapainya operasi cabang yang dapat memberikan keuntungan
kepada cabang, ataupun Bank Muamalat Indonesia secara
keseluruhan.
c. Resident Auditor
Merupakan pihak yang didatangkan dari luar dan merupakan auditor
keuangan yang akan mengaudit kinerja keuangan Bank Muamalat
Indonesia
d. Account Manager
73
1) Founding
Funding atau penanaman dana mempunyai tugas pokok yaitu
melakukan langkah – langkah pemasaran atas produk – produk
simpanan, melakukan pembinaan dan pelayanan atas account –
account simpanan yang berada di bawah supervise yang
bertanggung jawab atas pengelolaan dan petumbuhan dan pihak
ketiga.
2) Financing
Financing atau penyaluran dana mempunyai tugas pokok antara
lain sebagai berikut :
· Melakukan sosialisasi atas prospek nasabah yang telah
ditetapkan dalam target pembiayaan
· Melakukan collection terhadap data – data nasabah untuk
melakukan analisa pembiayaan.
· Mengadministrasikan pendropingan atas usulan pembiayaan
yang telah disetujui oleh komite pembiayaan.
· Melakukan pembiayaan atas account – account pembiayaan
yang berada di bawah supervisinya.
e. Back Office
1) Seksi Operasi
Berfungsi mengkoordinasi, melaksanakan seluruh tugas dan
pekerjaan unit operasi, khususnya abagian giro dan tabungan sera
operasi pembiayaan dengan baik.
74
2) Staff Kliring
Mengkoordinir, melaksanakan seluruh tugas dan pekerjaan unit
kliring serta mewakili bank dalam melaksanakan perhitungan
kliring di lembaga Kliring Bank Indonesia
f. General Affairs
Berfunfsi sebagai bagian yang ditugaskan untuk mensupport semua
kegiatan operasional bank, yang mempunyai tugas : melaksanakan
dan mengendalikan saldo kas kecil sehingga diharapkan tetap
dibawah limit, memonitor pembebanan dari kantor pusat.
g. Teler
Sebagai petugas font office utuk menangani seluruh setoran,
penarikan tunai dari dank e bank
h. Customer Service
(1) Melayani dan membantu nasabah yang ingin membuka rekening,
dan memberikan informasi yang lengkap mengenai persyaratan
dan ketentuan – ketentuan tabungan, deposito dan rekening
Koran.
(2) Memeriksa dan mengadministrasikan semua permohonan dan
kartu ATM yang masuk, dan mendistribusikannya ke nasabah
(3) Menangani dan mencari jalan pemecahan atas keluhan – keluhan
nasabah dengan berkonsultasi pada atasan langsung atau pejabat
yang berkompeten.
i. Credit Support / USPD Officer ( Unit Support Penyaluran Dana )
75
USPD Officer ini mempunyai bagian yang disebut dengan support
penyaluran dana yang mempunyai tugas pokok sebagai berikut :
(1) Mempersiapkan proses pencairan pembiayaan
(2) Mempersiapkan proses pelepasan jaminan, baik pelepasan
jaminan seluruhnya, sebagian, sementara, maupun penukaran
jaminan.
(3) Melakukan penutupan asuransi, membantu klaim asuransi
(4) Melakukan penyimpanan dokumen atau data yang berhubungan
dengan pembiayaan
B. IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NO. 21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKKAN SYARIAH DENGAN POLA
PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT
INDONESIA CABANG SURAKARTA
1. Hasil Penelitian
a. Prinsip jual beli Murabahah dan Pengadaan Barang diwakilkan kepada
Nasabah
Murabahah dalam fiqih Islam berarti suatu bentuk jual beli
tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi
harga barang dan biaya – biaya lainnya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang tersebut dan tingkat keuntungan ( margin ) yang
diinginkan.
76
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun
demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan
syariah dengan beberapa konsep lain menjadi bentuk pembiayaan.
Dalam akad saat ini belum ada keseragaman bentuk transaksi
jual beli murabahah yang dilakukan oleh bank satu dengan bank
syariah lain. Satu pihak bank syariah dalam melakukan akad transaksi
jual beli murabahah masih mengacu pada pembiayaan nasabah, tetapi
ada bank syariah yang mengkaji dan menyesuaikan dengan prinsip –
prinsip jual beli.
Pada pelaksanaannya Bank Muamalat Indonesia Cabang
Surakarta dalam melakukan pembiayaan murabahah masih mengacu
pada pembiayaan nasabah atau konsumen, yakni dengan menyerahkan
dana kepada nasabah untuk membeli barang kebutuhannya tersebut,
dan hal ini merupakan salah satu alas an masyarakat yang mengatakan
bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional, karena
masyarakat mengetahui konsep jual beli yang ada merupakan konsep
jual beli dalam perdagangan, dimana barang yang akan diperjual
belikan merupakan milik dari pada penjual atau barang tersebut benar
– benar berasal dari bank. Konsep jual beli menurut ulama Hanafiyah,
merupakan tukar menukar sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu
yang bermanfaat. Yang dimaksud dengan cara tertentu disini adalah
77
dengan ijab dan Kabul, atau juga bisa melalui saling memberikan
barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli.
Proses transaksi jual beli murabahah dilakukan oleh Bank
Syariah dengan nasabah berdasarkan aturan yang berlaku adalah
dengan tahap – tahap sebagai berikut :
1. Nasabah melakukan proses negosiasi atau tawar menawar
keuntungan dan menentukan syarat pembayaran dan barang
sudah berada ditangan bank syariah. Dalam negosiasi ini, bank
syariah sebagi penjual harus memberitahukan dengan jujur
perolehan barang yang diperjual belikan beserta keadaan
barangnya.
2. Apabila kedua belah pihak sepakat, tahap selanjutnya dilakukan
akad untuk transaksi jual beli murabahah tersebut.
3. Tahap selanjutnya, Bank Syariah menyerahkan barang yang
diperjual belikan. Dalam penyerahan barang ini, hendaknya
diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya sampai tempat
pembeli atau sampai tempat penjual saja. Hal ini akan
mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya akan
mempengaruhi harga perolehan barang.
4. Setelah penyerahan barang, nasabah melakukan pembayaran
harga jual beli barang dan dapat dilakukan secara tunai atau
dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual,
78
yang meliputi harga pokok ditambah dengan keuntungan yang
disepakati dan dikurangi dengan uang muka jika ada.
Adapun tahap – tahap murabahah yang dilaksanakan oleh Bank
Muamalat Indonesia Cabang Surakarta adalah :
1. Permohonan Pembiayaan
2. Pemeriksaan syarat – syarat permohonan
3. Persetujuan pembiayaan
4. Pelaksanaan akad
5. Penyelesaian pembayaran
Dalam Akad Murabahah antara Bank dengan nasabah yang
dituangkan dalam kontrak pembiayaan murabahah minimal harus
memuat hal – hal sebagai berikut :
1. Identitas nasabah dan bank
2. Pembiayaan dan penggunaannya
3. pembayaran dan jangka waktu pembiayaan
4. realisasi pembiayaan
5. pengutamaan pembayaran
6. biaya dan pengeluaran
7. Syarat – syarat penarikan pembiayaan
Untuk melaksanakan murabahah secara sempurna tidaklah
mudah dipraktekkan oleh BMI Cabang Surakarta, semua ini diperlukan
ketaqwaan dan keimanan dari para pelaku trasaksi jual beli murabahah
baik bank syariah itu sendiri maupun para nasabahnya. Dalam
79
melakukan transaksi jual beli murabahah yang sempurna sangat
dituntut mengutamakan aspek- aspek syariah. Karena saat ini masih
ada prinsip – prinsip syariah yang diabaikan para pelaku hendaknya
memahami dan melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh
regulator, baik melalui fatwa Dewan Syariah Nasional, Peraturan Bank
Indonesia maupun dari Undang – Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang perbankan syariah.
Pembiayaan murabahah dengan akad jual beli yang ideal pada
BMI cabang Surakarta belum dapat dilaksanakan secara syariah. Hal
ini disebabkan karena bank belum bisa mejalankan konsep jual beli
perdagangan umumnya yaitu menyediakan barang – barang yang
dibutuhkan oleh nasabah dalam bentuk stock. Dan apabila bank
melakukan hal tersebut, maka bank akan menanggung kerugian akibat
adanya barang yang tidak terjual. Maka untuk mengatasi hal tersebut,
bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
kebutuhannya dari pihak ketiga.
Dalam praktiknya, bank memang lebih sering mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, yang disebut
dengan wakalah. Karena dalam alikasi dilapangan bank memiliki
beberapa kendala diantaranya nasabah sangat banyak, sehingga bank
tidak mungkin setiap saat mengontrol kondisi dan jarak yang tidak
memungkinkan karena nasabah menyebar dibanyak tempat. Dalam hal
ini wakalah yang dilakukan oleh bank disini tidak fee kepada nasabah,
80
karena tidak adanya aturan yang mengharuskan memberikan fee dalam
wakalah.
Nasabah sebagai wakil dari bank betindak secara lepas dalam
arti kata bank tidak harus mengetahui ataupun berhubungan dengan
pemasok. Disini bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk
melakukan pembelian terhadap barangnya tesebut. Kuasa yang
diberikan kepada BMI Cabang Surakarta tersebut dalam bentuk tertulis
dan ditandatangani sebelum pencairan dana atau tepatnya pada saat
akad. Kuasa ini merupakan satu keasatuan dari Surat Permohonan
Rencana Pencairan ( SPRP ) yang akan ditanda tangani oleh nasabah.
Dan sebagai bukti dari pembelian barang tersebut nasabah
menyerahkan faktur atau bukti pembelian baramg kepada pihak bank.
Namun transaksi murabahah tersebut sah karena telah sesuai
dengan prinsip syariah, sebagai berikut :
1. Transaksi tidak mengandung unsur kezaliman
2. Bukan Riba
3. Tidak membahayakan pihak sendiri atau pihak lain
4. Tidak ada penipuan
5. Tidak mengandung materi – materi yang diharamkan
6. Tidak mengandung unsur judi
Ketentuan mengenai akad murabahah sebagai produk
penyaluran dana dalam perbankan Syariah juga harus berpedoman
81
pada pasal 19 ayat 1d, Undang – Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankkan Syariah yang mengatakan sebagai berikut :
“Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad
salam, akad istishna, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah”.
Sesuai pengertian prinsip syariah menurut undang – undang
tersebut adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Jika ditelaah lebih lanjut pengertian murabahah adalah menjual
suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba.
Bank Syariah harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang
tersebut dan tambahan atas besarnya biaya yang dikeluarkan. Dalam
jual beli murabahah pada prinsipnya penyerahan barang dilakukan
pada saat transaksi jual beli ( Akad ) dan pembayarannya dapat
dilakukan secara tunai atau angsuran.
Dengan demikian ada ketentuan umum mengenai akad
murabahah berdasarkan prinsip jual beli yang tidak terpenuhi dalam
pelaksanaannya oleh bank. Adapun ketentuan yang tidak terpenuhi
tersebut antara lain : mengadakan akad jual beli sebelum barang dibeli
oleh nasabah sebagai wakil dan barang secara prinsip belum menjadi
milik bank, sehingga belum dapat mewujudkan transaksi jual beli
murabahah secara sempurna.
82
b. Penentuan Keuntungan Murabahah
Bank Syariah menerapkan margin keuntungan terhadap produk
– produk pembiayaan berbasis Natural Certainty Contract ( NCC ),
yakni akad bisnis yang memberikan kepastian pembiayaan, baik dari
segi jumlah maupun waktu. Pada BMI Cabang Surakarta besarnya
margin keuntungan yang diterapkan dalam pembiayaan murabahah ini
ditentukan oleh kantor pusat. Besarnya margin keuntungan ini dapat
berubah setiap saat sesuai ketentuan ALCO ( Assets and Liability
Committee ). ALCO merupakan dewan khusus atau tim yang
mengelola manajemen dana, tim ini melakukan kegiatan secara rutin
mengadakan pertemuan yang juga diatur secara rutin.
Berdasarkan hasil wawancara di BMI Cabang Surakarta tanggal 7 dan 8 Januari narasumber Dian Safriana Hikmi, SE bagian marketing. Berkaitan masalah margin keuntungan, lama jangka waktu pembiayaan murabahah besarnya margin keuntungan yang diterapkan oleh BMI cabang Surakarta.
Semakin panjang jangka waktu pembiayaan, maka semakin besar pula margin keuntungan yang diperoleh Bank. Pada BMI Cabang Surakarta lamanya jangka waktu yang diberikan pada pembiayaan murabahah adalah 1 – 5 tahun dengan besarnya margin keuntungan antara 14% - 16%. Margin keuntungan yang diterapkan oleh BMI Cabang Surakarta adalah margin keuntungan efektif ( menurun ), adalah perhitungan keuntungan yang semakin menurun sesuai dengan menurunnya harga pokok sebagai akibat adanya cicilan harga pokok, jumlah angsuran ( harga pokok dan margin keuntungan ) yang dibayar nasabah setiap bulan semakin menurun. 62
Dalam praktik yang dijalankan oleh BMI, dalam penentuan
keuntungan murabahah didasrakan perhitungan base lending rate
(yang dinyatakan dalam bentuk presentase) yang dipergunakan oleh
62 Wawancara Dian Safriana Hikmi, SE BMI Solo 63. Wawancara dengan nasabah Bayu Khrisnanto
83
bank konvensional walaupun telah diperoleh perhitungan terhadap
angka yang akan digunakan sebagai dasar menetukan besarnya
keuntungan, namun dalam penerapannya tetap memperhatikan bunga
pasar. Bank syariah belum mempunyai keberanian dalam menentukan
suatu jumlah tertetu dalam menghitung keuntungan murabahah yang
seharusnya berbeda dengan bank konvensional.
Sedangkan hasil wawancara dengan nasabah Bayu Khrisnanto Nomor KTP 33.7201.040387.0001 memiliki alamat Jalan Palem nomor 20 Cemani Turi Baru Grogol Sukoharjo setelah terjadi kesepakatan dengan Bank melalui penandatanganan Akad Murabahah dimana telah terjadi kesepakatan dan pengertian dari kedua belah pihak Bank dan Nasabah, namun Pihak Nasabah merasa keberatan dengan margin sebesar 16%, dimana margin tersebut tidak bisa diturunkan oleh Pihak Bank. 63
Ada faktor lain yang merupakan besarnya keuntungan
terselubung yang dibungkus dengan nama lain dan perlu dikaji yaitu
biaya administrasi yang dikenakan kepada nasabah, dimana besarnya
dalam bentuk presentase dari transaksi yang dilakukan atau dalam
jumlah nominal yang setara dengan itu.
C. KENDALA YANG DIHADAPI DAN SOLUSINYA
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual
secara eksplisit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya
dan menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat keuntungan
yang diinginkan.
63 Dian Safriana Hikmi, SE
84
Murabahah merupakan produk yang paling banyak digunakan dalam
perbankkan syariah, karena dirasa jual beli dengan system margin keuntungan
ini tidak terlalu memberatkan jika dibandingkan dengan system bunga yang
diterapkan pada perbankkan konvensional.
Berdasarkan hasil wawancara di BMI Cabang Surakarta tanggal 20 dan 22 Januari 2010 nara sumber M. Nur Amin, SE, Akt bagian marketing dan Hanang Sudibyo bagian Customer Service64. Yang berkaitan kendala atau hambatan yang dihadapi di BMI Cabang Surakarta dan solusinya :
Kendala atau hambatan tersebut dapat terjadi dari pihak bank sendiri maupun dari pihak nasabah.
Hambatan dari pihak bank dapat berupa :
1 Rendahnya kemampuan bank dalam melakukan analisa dalam menentukan seberapa besar jumlah jaminan yang ditanggungkan oleh nasabah. Hal ini dapat berakibat jumlah jaminan tersebut akan mengalami penyusutan dalam harga.
2 Pengikatan jaminan murabahah yang kurang sempurna. 3 Lemahnya system informasi murabah serta pengawasan dan
administrasi pembiayaan bank. 4 Overlapping wewenang para pengurus / pemegang saham / komite
pemutusan pembiayaan dalam proses analisa. Sedangkan dari pihak nasabah sendiri berupa pembayaran yang tidak
sesuai dengan akad yang telah dibuat. Atau dapat dikatakan dengan adanya unprestasi dari nasabah itu sendiri. Tidak sesuai disini dapat diartikan dengan lambat membayar atau tidak mampu membayar karena adanya alasan – alasan tertentu.
Dalam kehidupan sehari – hari, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan salah satu dari apa yang diperjanjikannya atau pihak nasabah alpa, lalai, dan ingkar janji, maka pihak debitur / nasabah melakukan wanprestasi. Criteria nasabah yang melakukan wanprestasi apabila :
1 Debitur atau nasbah sama sekali tidak berprestasi Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu disebabkan karena memang debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang kreditu objektif tidak mungkin berprestasi lagi, atau secara subyektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.
2 Debitur / nasabah keliru dalam berprestasi Disini debitur memang dalam fikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima debitur lain dari pada yang diperjanjikan
64 M. Nur Amin, SE, Akt dan Hanang Sudibyo
85
Jadi, dalam kelompok ini ( tidak berprestasi ) termasuk “Penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya” dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
3 Debitur atau nasabah terlambat berprestasi Di sini debitur berprestasi, obyek prestasinya betul tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai.65 Sedangkan Bank Muamalat Indonesia mempunyai Kriteria tersendiri
mengenai seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Kriteria tersebut
dapat berupa :
1 Wanprestasi pada waktu pembiayaan berjalan
Wanprestasi pada waktu berjalan ini yang dimaksud adalah tidak
dipenuhinya kewajiban – kewajiban yang telah diperjanjikan yang
terutang dalam akad murabahah oleh nasabah.
Jika nasabah seharusnya membayar angsuran sebulan sekali, namun
karena suatu hal yang tidak memungkinkan nasabah membayar sesuai
dengan akad maka nasabah tersebut dapat mengajukan suatu
permohonan untuk meminta tenggang waktu kepada pihak bank.
Atau bisa juga antara nasabah dengan pihak bank melakukan
perjanjian baru sesuai dengan kemampuan nasabah. Misalnya, nasabah
yang tiap bulan harus mengangsur Rp. 1.000.000,- bulan selama 3
tahun karena nasbah merasa keberatan maka dapat diganti menjadi Rp.
750.000,- / bulan selama 5 tahun. Atau jika tidak, untuk itu semua
Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta dapat mengambil
kebijaksanaan diantaranya :
65 M. Nur Amin, SE, Akt Marketing, Hanang Sudibyo, SE
86
a. Langsung memotong dana yang tersedia pada rekening nasabah,
apabila nasabah tersebut mempunyai rekening di Bank Muamalat
Indonesia Cabang Surakarta
b. Bagi yang tidak mempunyai rekening di Bank Muamalat
Indonesia Cabang Surakarta, maka apabila terjadi nasabah
tersebut terlambat membayarnya nasabah berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk membayar biaya administrasi kepada
bank sebesar 0,00069 x nominal Angsuran ( per hari 0 untuk tiap
– tiap keterlambatan, terhitung sejak saat kewajiban pembayaran
tersebut jatuh tempo sampai dengan tanggal dilaksanakannya
pembayaran kembali. Besarnya angka 0,00069 ini merupakan
ketetapan mutlak dari seluruh perbankkan yang ada. Tetapi
besarnya ini tergantung kebijakan bank itui sendiri.
Dalam bank Muamalat Indonesia cabang Surakarta
keterlambatan pembayaran dalam waktu berjalan dapat
diselesaikan dengan baik dan lancar. Hal ini dapat menjaga
kestabilan operasional Bank Muamalat Indonesia Cabang
Surakarta.
2 Wanprestasi karena telah lewat waktu
Wanprestasi karena telah lewat waktu yang dimaksud adalah pada saat
jangka waktu maksimum pembayaran cicilan terakhir, nasabah belum
mampu melakukan pelunasan pembayaran hutang - hutangnya.
87
Jadi apabila jangka waktu berakhirnya akad adalah 3 tahun, tetapi
setelah lewat jangka waktu 3 tahun tersebut nasabah belum melunasi
pinjamannya kepada pihak bank.
Bank memberikan peringatan kepada nasabah agar segera melunasi
hutangnya tersebut. Peringatan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali.
Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan oleh nasabah, maka
sampai batas waktu yang telah diberikan, jaminan yang telah diberikan
kepada bank dapat dilelang untuk melunasi hutang – hutangnya.
Jika dari hasil lelangnya itu terdapat suatu kelebihan dari hutang yanbg
seharusnya dibayara, maka sisa hasil pelelangan tersebut dapat
dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan.
Bank dalam mengatasi adanya wanprestasi mengadakan pendekatan
secara kekeluargaan kepada nasabah yang bersangkutan melalui analisa
pembiayaannya yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kelancaran
suatu pembiayaan yang diberikan dan mengadakan pembinaan - pembinaan
terhadap nasabah agar perjanjian berjalan lancar, yaitu dengan mengetahui
sebab – sebab wan prestasi serta membantu kesulitan – kesulitan yang
dihadapi oleh nasabah dalam memenuhi kewajibannya sehingga dapat
memenuhi kewajibanya pada bank dalam hal ini Bank Mualamat Indonesia
Cabang Surakarta.
Pendekatan yang dilakukan oleh pihak bank ini merupakan hal yang
sangat penting, sebab dari sini dapat diketahui sebab – sebab terjadinya
wanprestasinya secara mendalam, sehingga pihak bank dapat menentukan
88
lebih lanjut langkah – langkah yang cepat dan tepat untuk dilaksanakan dalam
menghadapai wanprestasi tersebut. Ada dua sifat nasabah yaitu :
1 Nasabah yang mempunyai itikad baik
2 Nasabah yang tidak mempunyai itikad baik
Dalam menghadapi nasabah yang wanprestasi, Bank Mumalat
Indonesia Cabang Surakarta menggunakan langkah – langkah sebagai upaya
penyelesaian antara lain :
1). Terhadap Nasabah yang beritikad baik
a) Mengadakan pendekatan kekeluargaan
Hal ini dilakukan dengan jalan memberikan pengertian kepada
nasabah bahwa ia telah melakukan wanprestasi maka akan merusak
nama baik nasabah itu sendiri, selain itu akan menghambat
operasional bank dalam memberikan pelayanan kepada nasabah
yang memasukkan dananya kepada bank untuk system
pembiayaan.
b) Memberikan kesempatan dalam pengangsuran kewajiban
tunggakan
Disini diberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakuakn
pembayarannya dengan cara dicicil sampai pinjaman itu lunas
c) Memberikan kesempatan untuk mencarikan pembeli terhadap
barang jaminan
Maksudnya pihak bank bersedia untuk menjualkan barang jaminan
milik nasabah dengan harga umum. Namun biasanya nasabah
89
menjual barang jaminannya sendiri. Karena apabila dijualkan oleh
pihak bank, maka sekiranya jaminan tersebut sudah mencukupi
kekurangan pinjamannya, akan dilepas begitu saja tanpa
mempertimbangkan keuntungan bagi nasabah.
Jika dijual oleh nasabah sendiri maka ia dapat memperoleh
keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu rat – rata nasabah
Bank Mumalat Indonesia Cabang Surakarta lebih memilih menjual
barang jaminanya sendiri.
2). Terhadap nasabah yang tidak beritikad baik
Langkah pertama yang diambil oleh pihak bank adalah mengusahakan
tindakan yang dilakukan terhadap nasabah yang beritikad baik. Akan
tetapi apabila langkah tersebut tidak bisa terselesaikan, maka pihak bank
mengambil langkah – langkah selanjutnya sesuai dengan prosedur yang
berlaku terhadap semua bentuk penyimpangan atas fasilitas / produk
pembiayaan di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta yaitu :
a) Perdamaian
Perdamaian adalah langkah yang sering ditempuh oleh bank, tidak
terkecuali bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta, karena
hakekatnya yaitu bahwa nasabah yang baik selalu menjaga nama
baiknya serta tidak mau kehilangan barang yang menjadi
jaminannya pada bank.
90
Dalam hal ini pihak bank mengembalikan posisi pembiayaan dari
yang bermasalah menjadi lancar, sehingga dicapai pelunasan
pembiayaan terhadap bank.
b) Penjadwalan kembali pembayaran
Upaya ini merupakan lanjutan apabila cara perdamaian di atas
tiodak dapat dilaksanakan dengan baik. Upaya penjadwalan
kembali dilakukan oleh pihak bank jika nasabah pengguna fasilitas
pembiayaan dengan prinsip syariah selalu mengalami
keterlambatan dalam memenuhi kewajibannya yaitu pembayaran
angusran pokok, angsuran bagi hasil, atau pokok sekaligus
marginnya.
Penjadwalan ulang ini perlu dilakukan pihak bank dengan harapan
supaya pembayaran yang menjadi tanggungjawab nasabah dapat
terpenuhi dengan baik dan lancar.
c) Penataan kembali syarat pembiayaan (Reconditioning )
Upaya reconditioning dilakukan jika terjadi penyimpangan –
penyimpangan yang dilakukan nasabah terhadap syarat – syarat
yang harus disertakan dalam permohonan pembiayaan semua
fasilitas pembiayaan, serta perlu dilakukan penataan kembali
terhadap syarat – syarat pembiayaan yang benar dan sesuai dengan
aturan supaya tidak terjadi pembiayaan bermasalah.
d) Reorganisasi dan rekapitalisasi
91
Upaya ini dilakukan terhadap nasabah berbentuk badan usaha yang
dalam proses pembiayaan fasilitas. Fasilitas yang diberikan oleh
pihak bank merupakan penyimpangan terhadap informasi badan
usaha dan laporan keuangan dari badan usaha tersebut sebagai
syarat pembiayaan, serta tidak jelasnya pihak yang harus
bertanggungjawab atas pembiayaan yang dilakukan. Sehingga
perlu dilakukan reorganisasi untuk menentukan pihak yang paling
bertanggungjawab atas suatru fasilitas pembiayaan, sekaligus perlu
dilakukan rekapitalisasi terhadap laporan keuangan yang
sesungguhnya dari badan usaha tersebut, apabila badan usaha
tersebut tetap menghendaki pembiayaan tersebut
Sedangkan pengertian prinsip syariah menurut Undang – undang No.
21 Tahun 2008 adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa di bidang syariah.
Dalam suatu aturan yang telah ditetapkan apabila tidak bisa
dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka terhadap perbuatan tersebut akan
dikenakan sanksi.
Menurut Pasal 32 Undang – undang No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah, Dewan Pengawas Syariah adalah :
1. Dewan Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS
92
2. Dewan Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat oleh
Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan
Bank Indonesia.
Menurut Undang – undang No. 21 tahun 2008 pasal 56 Bank Indonesia
menetapkan Sanksi administrative kepada Bank Syariah atau UUS, anggota
dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, Direksi, dan atau
pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS,
yang menghalangi dan atau tidak melaksanakan prinsip syariah dalam
menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam undang – undang ini.
Sedangkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam undang
– undang ini adalah dapat berupa :
1. Denda uang
2. Teguran tertulis
3. Penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS
4. Pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring
93
5. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhannya.
6. Pemberhentian pengurus Bank syariah dan Bank umum konvensional
yang memiliki UUS dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
7. Pencatuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank
Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam
daftar orang terela di bidang perbankkan; dan atau
8. Pencabutan izin usaha
94
BAB V
PENUTUP
F. KESIMPULAN
Pada BMI Cabang Surakarta Implementasi akad pembiayaan murabahah
sebagai prinsip jual beli, dilakukan sebelum barang secara prinsip
menjadi milik bank atau akad dilaksanakan pada saat barang belum
dibeli oleh nasabah selaku wakil (wakalah) belum sesuai Undang-
Undang. Dengan demikian ketentuan fatwa Dewan syariah Nasional
Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000, tentang Murabahah, sebagai pedoman
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan Murabahah dengan prinsip
jual belinya belum bisa terpenuhi, karena adanya ketentuan dari fatwa
yang belum bisa terpenuhi, yakni : “Jika bank hendak mewakili kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli
murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik
bank”. Dalam pelaksanaan pembiayaan Murabahah Bank Muamalat
Indonesia Cabang Surakarta sudah sesuai dengan fatwa Dewan syariah
Nasional Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000.
Kendala dan Solusi
Kendala yang terjadi dalam praktek perjanjian murabahah antara lain :
Pihak bank Sendiri
Rendahnya kemampuan analisis pembiayaan
95
Pengikatan jaminan yang kurang sempurna
Lemahnya system pengawasan dan administrasi
Berlebihannya wewenang pengurus
Pihak Nasabah, meliputi
Wanprestasi pada waktu pembiayaan berjalan
Nasabah wanprestasi ketika pembiayaan berjalan, cara
penyelesaian yang ditempuh bank adalah dengan cara
langsung memtong dana nasabah yang mempunyai
rekening di Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta
atau dengan cara mewajibkan nasabah untuk membayar
biaya administrasi sebesar 0,00069 x nominal angsuran tiap
hari keterlambatan
Wanprestasi karena telah lewat waktu
Nasabah yang beritikad baik
Cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
Pendekatan kekeluargaan
Memberi kesempatan pengangsuran tunggakan
Memberi kesempatan untuk menjual barang
jaminannya
Nasabah yang tidak beritikad baik
Cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
Perdamaian
96
Penjadwalan kembali pembayaran
Penataan kembali syarat pembiayaan
Reorganisasi dan rekapitalisasi
Solusi dalam menghadapi hambatan dalam praktek perjanjian
murabahah antara lain :
Dari pihak bank
Meningkatkan kemampuan analisis
Meningkatkan jaminan yang kurang sempurna
Meningkatkan system pengawasan dalam mencegah
wanprestasi
Dari pihak nasabah
Mengadakan pendekatan kekeluargaan/perdamaian
Penjadwalan kembali pembayaran
Penetaan kembali syarat pembiayaan
Reorganisasi dan rekapitulasi
IMPLIKASI
Pelaksanaan akad Murabahah dengan prinsip syariah berkesan cukup
prosedural, dikarenakan Lembaga keuangan Syariah harus tunduk pada
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Fatwa MUI,
dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Serta
mengharapkan semua Lembaga Keuangan Syariah dapat menerapkan
prinsip-prinsip perbankan syariah termasuk Akad Murabahah, yang
97
diatur dalam Fatwa No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000
perihal Transaksi Murabahah.
Dengan adanya implikasi akad murabahah di harapkan Bank Muamalat
Indonesia Cabang Surakarta untuk lebih mengembangkan
Ekonomi/Investasi sesuai prinsip perbankan syariah yang tidak
mengandung unsur Riba
SARAN
Untuk dapat terlaksananya akad murabahah berdasarkan prinsip jual beli,
hendaknya bank syariah umumnya dan Bank Muamalat Indonesia
Cabang Surakarta khususnya dapat menerapkan atau memenuhi
ketentuan – ketentuan yang telah ditetapkan untuk itu. Sehingga konsep
jual beli yang selama ini belum bisa terpenuhi seutuhnya dapat
dilaksanakan dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Karena dalam
prakteknya bank syariah memberikan fasilitas pembiayaan, bukan
menjual suatu barang. Akad jual beli hanyalah prinsip yang
mendasarinya. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logisnya dalam surat
perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah selayaknya
tidak menggunakan istilah perjanjian jual beli, melainkan perjanjian
pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah.
Bentuk sanksi yang dapat dikenakan pada bank syariah yang tidak
memenuhi ketentuan – ketentuan tentang murabahah hanya berupa
sanksi administrasi saja. Untuk dapat terlaksananya pembiayaan
98
murabahah dengan prinsip jual beli yang ideal maka dibutuhkan juga
sanksi yang mengikat, seperti pidana dan denda terhadap bank yang
tidak memenuhi prinsip syariah dalam praktik pembiayaannya. Dan
diharapkan kepada pejabat yang berwenang dan juga pemerintah untuk
dapat mengefektifkan sanksi yang terdapat pada Undang – undang No 21
Tahun 2008, sehingga keberadaan pembiayaan murabahah sebagai
produk unggulan syariah dengan prinsip jual beli seutuhnya benar –
benar dapat dirasakan kelebihan dan kemudahannya leh umat Islam dan
masyarakat dunia
99
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Asas – asas Hukum Muamalat ( Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2000
Abdul Manan H, Hukum Perbankkan Syariah Mahkamah Agung RI 2008
Abdul Ghofur, Perbankkan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafei’I Antoni, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Jogjakarta, 1992
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (fiqh Muamalat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
M. Arie Mooduto, Islamic Bank, Tazkia Institute, Jakarta, 2002
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2004
Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Prabawati Reni, Praktek Perjanjian Murabahah pada Bank Mandiri Syariah Cabang Solo, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2004
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian tlulnim dan Jurimetri, Ghalia Indonesia Jakarta, 1994
Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS Surakarta
Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005,
100
Syamsul Anwar, Hukum perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Soerjono Soekanto, Penngantar Penelitian hukum, Ul Press, 1986
Warkum Sumitro, Asas-as Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Wiroso, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005
Yovi Indra, Pelaksanaan Pembiayaan Musyakarah Sebagai Penyertaan Modal dengan Prinsip Bagi Hasil pada Perbankan Syariah ( studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Surakarta ), Fakultas Hukum UNAND, 2006
http://achypozesif.blogspot.com/2009/05/akad-perikatan-dalam-hukum-islam.html
http://santiemelow.blog.friendster.com/2009/02/17/rukun-syarat-jual-beli/
http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_syariah
file:/ I:/journal /Ijara (Islamic Leasing 0 in the contex of Islamic Finance.htm
http / Islamic Economic, Business and Finance