IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

137
IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013) SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 Sutan Sorik 130200204 Departemen Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara

Transcript of IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Page 1: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH

KONSTITUSI (STUDI KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013)

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

Sutan Sorik 130200204

Departemen Hukum Tata Negara

Universitas Sumatera Utara

Page 2: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Universitas Sumatera Utara

Page 3: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Yang

Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas nikmat Iman, Islam dan ridho-Nya

Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam kepada Nabi

Besar Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan untuk sekalian alam.

Skripsi ini berjudul “Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

(Studi Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor

01/MKMK/X/2013)” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh Gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dan kekurangan

dalam penulisan skripsi ini, semoga kedepannya penulis dapat lebih memperbaiki

karya ilmiah penulis, baik dari segi substansi maupun metodologi penulisan.

Alhamdulillah, Penulis mendapat banyak doa, semangat, motivasi, saran, dan

dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu

pada kesempatan ini, izinkan penulis menyebutkan beberapa nama, dengan setulus

hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak. Prof. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

Universitas Sumatera Utara

Page 4: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Faisal Akbar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen

Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Yusrin, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I

penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam

memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini;

8. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., MA. selaku Dosen Pembimbing II penulis

yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memberikan

bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini;

9. Seluruh Dosen Departemen Hukum Tata Negara yang telah memberikan

banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik kepribadian penulis;

10. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan

mendidik kepribadian penulis;

11. Teristimewa kedua orang tua penulis, Ayahanda Hasim Muda Hasibuan

dan Ibunda Elvi Nur Nasution yang telah membesarkan, mendidik, dan

mencurahkan kasih sayang serta doa agar penulis menjadi manusia yang

bermanfaat bagi agama, keluarga, negara, dan sesama manusia lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

12. Saudara laki-laki dan perempuan penulis sekaligus sahabat berjuang dalam

hidup, Aliun, Raja, Zai, Sultan, Nur Hapidah Hasibuan S.Sos, Ruspa

Hasibuan, S.Pd., Norma Wahani, Suaibah dan juga seluruh keluarga besar

penulis, terimakasih atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.

13. Sahabat seperjuangan di Hijau Hitam kader 2013, Muhammad Fazli

Lubis, Ahmad Fadli Hasibuan, Nur Liza Br Angkat, Galuh Eka,

Rayyanda, Bagus Salam Siregar, Siti Rizki Midana, Wahyuzi, Syifa, Siti

Madina, Dina Afriana, Sofyan, Bahrin, Ghazali, Ilkham, dan sahabat-

sahabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

14. Semua pengurus periode 2013-2014, Abangda Hary Azhar, Ihsan, Yusuf,

Kakanda Izma, Nurul, pengurus periode 2015-2016 Angda Fairuz, Kaya,

Rizki, Kakanda Rafika, Nanda, Suci, beserta kakanda, senioren dan alumni

Himpunan Mahasiswa Islam yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Bahagia HMI, Jayalah Kohati (Yakusa !!!)

15. Semua pengurus Pemerintahan Mahasiswa FH USU periode 2014-2015

kabinet Pekerja, terkhusus jajaran bidang eksternal.

16. GSku dalam suka dan duka yang telah menjadi teman diskusiku selama

kuliah di FH USU, Fazli, Liza, Una, Dara, Eci, Ica, Bunga, Denny,

Yohana.

17. Semua pengurus PERMATA periode 2016-2017 yang telah memberikan

banyak pelajaran nilai-nilai kehidupan dan bertukar pemikiran-pemikiran

kepada penulis.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

18. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang tak bisa penulis

sebutkan satu-persatu terutama stambuk 2013 Grup B FH USU, baik

dalam organisasi-organisasi kemahasiswaaan maupun di kelas yang telah

memberikan banyak pelajaran nilai-nilai kehidupan dan bertukar

pemikiran- pemikiran kepada penulis.

19. Seluruh Dosen dan sahabat-sahabat penulis di bumi Airlangga (Excellent

With Morality).

20. Seluruh senior-senior dan alumni mahasiswa yang tak bisa penulis

sebutkan satu persatu yang telah banyak menurunkan ilmu akademik dan

non akademik kepada penulis;

21. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

22. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Indonesia yang pernah berjumpa dengan

penulis untuk dapat bertukar pemikiran dan pengalaman melalui Lomba

Karya Tulis Ilmiah, Debat dan Konferensi Nasional.

Medan, 03 Januari 2017

Penulis

Sutan Sorik

NIM. 130200204

Universitas Sumatera Utara

Page 7: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I : PENDAHULUAN ………………….………………..…………….... 1

A. Latar Belakang ………………………………………..…………… 1

B. Perumusan Masalah ………………………...…...……………….. 15

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan …………………………………... 16

D. Keaslian Penulisan …………………………………….……...….. 17

E. Tinjauan Kepustakaan ………………………………….………… 18

F. Metode Penelitian ……………………………………………...… 21

G. Metode Pengumpulan Data ………………………….…………… 28

H. Sistematika Penulisan………………………………….….……… 29

BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI ………………………..…………… 31

A. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Mahkamah

Konstitusi ……...………………………………………..……...... 31

1. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Mahkamah

Konstitusi di Dunia ………..…..……...………….……………. 31 2. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Mahkamah

Konstitusi di Indonesia ..……..……..…………………………. 33

B. Kedudukan dan Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia …...… 38

Universitas Sumatera Utara

Page 8: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……….........… 38

2. Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……………...…….. 39

C. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi

di Indonesia ……………..………………………..…………….… 41

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……….....….. 41

2. Kewajiban Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……………..… 53

D. Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi

di Indonesia ……………….………………………………...…… 54

1. Pengangkatan Hakim Konstitusi …………..…….…………..… 54

2. Pemberhentian Hakim Konstitusi ……………..…………….… 56

BAB III : MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI ….... 58

A. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi …………………..…… 58

B. Dewan Etik Hakim Konstitusi ……………………………...……. 67

A. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Sebagai

Alat Penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi …..…….. 72

BAB IV : IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI

TERHADAP KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013 …… 87

A. Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi Dalam Memeriksa dan Mengambil Keputusan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

Nomor 01/MKMK/X/2013………………………………..……… 89

B. Analisa Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 ………………………..….. 91

BAB V : PENUTUP …………………………………………………............ 116

A. Kesimpulan………………………………………………….…... 116

B. Saran ……………………………………………….…………… 120

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…… 121

Universitas Sumatera Utara

Page 10: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH

KONSTITUSI (STUDI KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013)

ABSTRAK

Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum.1

Drs. Nazaruddin, S.H., M.A.

2

Sutan Sorik

3

1Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara

Sebagai negara demokrasi praktek penegakan hukum haruslah fair, jelas dan tegas. Idealnya dalam demokrasi seluruh hakim harus tunduk pada prinsip persamaan (kedudukan yang setara), termasuk dalam aspek pengawasan hakimnya. Sejak dibentuk pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki permasalahan dalam aspek pengawasan hakimnya. Terbukti dengan tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi aktif oleh komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 2 Oktober tahun 2013 dengan dugaan tindak pidana korupsi.

Skripsi ini membahas tentang implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan menganalisis keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yaitu Keputusan Nomor 01/MKMK/X/2013 atas nama Hakim terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.,. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penerapan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dianalisis dengan Keputusan Nomor 01/MKMK/X/2013 untuk menemukan jawaban secara komperhensif dan kongkret terhadap permasalahan pada skripsi ini. Dari analisis tersebut salah satu yang dapat disimpulkan adalah kebebasan hakim untuk menjalankan fungsi, kewenangan, serta kewajibannya merupakan hal yang mutlak harus dimiliki, akan tetapi demi manjamin kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi, sebagai syarat yang harus dipenuhi Hakim Konstitusi sebelum terpilih menjadi Hakim Konstitusi, yaitu: memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, serta negarawan tetap terjaga, sehingga kebebasan tersebut tidak disalahgunakan menjadi tameng hukum oleh Hakim Konstitusi maka harus ada mekanisme mempertanggungjawabkan setiap perbuatan Hakim Konstitusi melalui pengawasan.

Penetapan PMK Nomor 2 Tahun 2014 memberikan kepastian hukum dan tidak terjadi kekosongan hukum, dan serta memberikan kejelasan lembaga pengawas perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehingga kedepannya pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tidak terjadi lagi, serta anggapan tirani yudisial, dan tirani kekuasaan kehakiman yang dijalankan Mahkamah Konstitusi secara monopolistik tidak benar-benar terjadi di Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk

selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945, menegaskan bahwa kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.4 Selain

itu UUD NRI 1945 juga menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara

hukum.5

Dalam negara hukum yang pokoknya adalah adanya pembatasan kekuasaan

oleh hukum,

6 sebagaimana slogan yang disampaikan Mochtar Kusumaatmadja

yang dikutip Ellydar Chaidiri dalam bukunya yang berjudul Hukum dan konstitusi

“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah

kelaliman”7, dan sebagaimana juga dalil termasyhur Lord Action yang

menyatakan bahwa, “power tends to corrupt, but absolute power corrupts

absolutely”. Pemerintah selalu diselenggarakan oleh manusia dan pada manusia

itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan, untuk itu perlu membatasi

kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan dalam negara haruslah dipisah dan

dibagi8

4Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. 5Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. 6Fatkhurohman, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. h.7 7Ellydar Chaidiri, Hukum dan Konstitusi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, h.

46.

kedalam kekuasaan tertentu. Pembatasan kekuasaan pemerintah juga harus

8Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa prinsip anutan paham pemisahan atau pembagian kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan negara secara keseluruhan,Mterutama dalam hubungannya dengan penerapan prinsip Checks and balances antara lembaga-lembaga tinggi negara termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 12: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

tunduk pada kehendak rakyat dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum

pada tingkat tertinggi yang disebut konstitusi9

Menurut tafsiran kuno, konstitusi diartikan sebagai nama bagi ketentuan-

ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang

tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, atau suatu badan tertentu.

Misalnya di masa-masa pemerintahan kerajaan absolute “konstitusi” itu diartikan

sebagai kekuasaan perorangan yang tak terbatas dari sang Raja.

.

10 Sedangkan

menurut tafsiran yang baru yaitu dimulai sejak tahun 1776 berdasarkan dokumen

konstitusi pertama di dunia dalam bentuk Virginia Bill of Rights, kemudian

disusul oleh Konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787.11

Dalam perkembangan pemahaman tentang konstitusi, lahirlah berbagai

teori-teori tentang konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman

tentang pengertian paham “konstitusionalisme”

12 yang intinya memiliki arti

membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggara

kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, demi menjamin hak-hak warga

negara terlindungi.13

fungsi kekuasaan kehakiman. Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011. h. 19.

9Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Sekretariat Jenderal MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, April 2013. h. 117.

10M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 2008. h. 29. 11Ibid, h. 30.

12Konstitusionalisme Menurut Carl J. Friedrich adalah sebuah gagasan yang menganggap pemerintah sebagai suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk pada pembatasan-pembatasan Konstitusional sebagai jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintah tersebut tidak disalah gunakan oleh mereka yang mendapat tugas dari pemerintah. Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. h.88

13Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi Ed.Revisi-6, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 19.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Menurut teori klasik mengenal istilah pemisahan kekuasaan (separation of

power) yang dikenal dengan sebutan Trias Politika dari Montesquieu. Inti dari

teori Trias Politika adalah menjelaskan bahwa kekuasaan negara dipisahkan

menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan

Eksekutif, dan Kekuasaan Yudikatif.14 Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif

harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut dianggapnya sangat penting.

Pemikirannya tersebut dikarenakan pengalamannya sebagai hakim, di mana

kekuasaan yudikatif menurutnya sangat berbeda dengan kekuasaan ekskutif.15

14Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. h. 7.

15Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta , 2009, h. 12.

Keberadaan kekuasaan yudikatif atau biasa disebut kekuasaan kehakiman dalam

suatu negara hukum merupakan suatu keharusan untuk dapat mewujudkan

penegakan hukum itu sendiri.

Di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 teori pemisahan kekuasaan

sebagaimana yang dikemukakan Montesquieu tidak dianut secara mutlak dalam

UUD NRI 1945. Hal ini dapat dilihat dari pembagian kekuasaan yang ada dalam

UUD NRI 1945. Dalam UUD NRI 1945 terlihat jelas bahwa selain menganut

pembagian kekuasaan akan tetapi juga menekankan adanya check and balance

antara lembaga tinggi negara misalnya dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) yaitu

Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat. Lembaga-lembaga negara mempunyai tugas dan kewenangan

konstitusioal masing-masing, sesuai dengan yang telah diatur dalam UUD NRI

1945.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Namun walaupun setelah perubahan UUD NRI 1945 tidak mengenal

pembagian kekuasaan secara mutlak, berdasarkan kekuasaan dan kewenangannya

lembaga-lembaga tinggi negara masih dapat digolongkan menjadi tiga golongan

besar yaitu kekuasaan dibidang Legislatif, Kekasaan Eksekutif, dan Kekuasaan

Yudikatif.

Salah satu materi muatan UUD NRI 1945 setelah perubahan ketiga yang

paling mendasar adalah dibidang kekuasaan yudikatif. UUD NRI 1945 membagi

kekuasaan dibidang yudikatif dalam dua kamar (bicameral) yaitu; Mahkamah

Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 24

ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Kemudian pada ayat (2) diperjelas lagi bahwa Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah “Mahkamah Agung” dan peradilan yang berada

dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah “Mahkamah Konstitusi”.

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman disamping Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

ayat (1) dan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut dan Mahkamah Konstitusi

juga terikat dengan prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

merdeka tanpa campur tangan dan pengaruh dari pihak manapun untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. hal ini

sejalan dengan pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, yang menyatakan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

bahwa tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan

bermartabat.16

Pada hakikatnya, fungsi utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah

untuk mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of

constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of

constitutions).

Berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI 1945 Mahkamah

Konstitusi harus dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003.

Sebelum tanggal 17 Agustus Tahun 2003, tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2003,

Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi disahkan yaitu Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4316) untuk selanjutnya dalam penulisan skripsi ini

disebut dengan UU No. 24 Tahun 2003. Waktu pengesahan UU No. 24 Tahun

2003 inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi.

17

16

Dalam Konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi

dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi

menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua,

Mahkamah Konstitusi mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan

dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung

jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah

Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan

http://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/422-putusan-mahkamah-konstitusi-no-005puu-iv2006-isi-implikasi-dan-masa-depan-komisi-yudisial.html. Diakses tanggal 4 September 2016, pukul 20:30 WIB.

17Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., h. 221-222

Universitas Sumatera Utara

Page 16: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

mewarnai keberlangsungan hidup bernegara dan bermasyarakat. Dengan fungsi

dan kewenangan tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting

dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena

segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur

dalam hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kemudian pada ayat (2) disebutkan juga bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki

satu kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), untuk selanjutnya dalam

penulisan skripsi ini disebut dengan UU No. 8 Tahun 2011, menjelaskan bahwa

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi

langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya

hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi

dalam Undang-Undang ini mencakup pula hukum mengikat (final and binding).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim yang

ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh

Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 3

(tiga) orang oleh Presiden.18 Walaupun cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan

Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga tersebut diatas yaitu MA,

DPR, dan Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 24

Tahun 2003, namun pencalonannya harus dilaksanakan secara transparan dan

partisipatif, serta pemilihannya harus dilaksanakan secara objektif dan

akuntabel.19

Kesembilan Hakim Konstitusi merupakan pejabat negara, serta mempunyai

masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu

kali masa jabatan berikutnya.

20 Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan

ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.21

Sebagai Negara demokrasi praktek penegakan hukum haruslah fair, jelas

dan tegas. Idealnya dalam demokrasi seluruh hakim harus tunduk pada prinsip

persamaan (kedudukan yang setara), termasuk dalam aspek pengawasan

hakimnya, yang bertujuan untuk dapat memelihara kehormatan dan keluhuran

martabat seorang hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. Maka

menurut Ahmad Fadlil harus dibentuk Kode Etik dan Perilaku Hakim yang

merupakan instrumen dan sekaligus tolok ukur yang harus terimplementasikan di

18Ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 19Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 20Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 21Ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945

Universitas Sumatera Utara

Page 18: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

dalam pelaksanaan tugas yudisialnya maupun diluar itu.22

Walaupun sudah terbentuk Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, akan

tetapi menurut Nietzsche sebagaimana dikutip Ansyahrul dalam bukunya

Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum

Acara, manusia itu merupakan mahkluk yang kontradiktoris dan kompleks. Secara

emosional mampu melakukan kejahatan-kejahatan justru karena mampu hidup

dalam keadaan yang persis berlawanan dengan kejahatan tersebut, yakni

keutamaan (virtue). Keutamaan menjadi tidak nyata seandainya ia tidak memiliki

alternatif yang berlawanan yaitu kejahatan (evil), ketika manusia memasukan

konsep moralitas pada dirinya, maka akan ada kemungkinan juga kecenderungan

untuk bertindak immoral.

Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi inilah yang harus dapat dibentuk dan dipertahankan untuk

selalu memiliki karakter ideal seorang Hakim Konstitusi. Oleh karenanya pada

tahun 2006 Kode Etik Hakim Konstitusi telah dibentuk dan termuat dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006. Selanjutnya disebut

dengan PMK No. 09/PMK/2006.

23

Dengan demikian sebagai seorang manusia normal, maka Hakim Konstitusi

memiliki kemungkinan untuk melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim tersebut.

Oleh karenanya, kekuasaan kehakiman mutlak harus diawasi karena menyangkut

pertaruhan atas kehormatan dan independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.

Akan tetapi penerapan konsep pengawasan kekuasaan kehakiman tidak boleh

22Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Setara Press, Jakarta Timur, 2001, h. 217.

23Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, h. 213

Universitas Sumatera Utara

Page 19: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

absolut alias harus diletakkan dalam konteks tidak bebas mutlak, tetapi harus

tetap dipertanggungjawabkan.

Untuk mencapai hasil yang ideal, maka dalam melakukan pengawasan

tidak dapat hanya mengandalkan pada orang, tetapi harus dibentuk suatu sistem

pengawasan yang jelas dan tegas, dan sistem pengawasannya tetap harus dalam

koridor konsep yang menjaga independency of judiciary (kekuasaan kehakiman

yang merdeka/mandiri).

Ada sejumlah alasan yang mendasari pentingnya penegasan gagasan untuk

menerapkan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman baik Hakim Mahkamah

Agung maupun Hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu24

a) Ada realitas sosial berupa situasi hukum dan penegakan hukum yang telah melahirkan ketidakpercayaan masyarakat secara luas (social distrust) terhadap kinerja penegakan hukum terutama oleh hakim melalui putusan-putusannya yang “janggal” atau bernuansa ketidak adilan.

:

b) Khusus pentingnya pengawasan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi, adalah dilatarbelakangi oleh dimilikinya kekuasaan kehakiman oleh mereka secara absolute konstitusional (dalam arti putusannya bersifat pertama dan terakhir). Padahal setiap manusia termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak obyektif dan tidak professional.

c) Untuk meletakkan kehormatan dan martabat hakim Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi.

Pengawasan terhadap pelaksanaan dari Kode Etik dan Perilaku dari Hakim

Konstitusi inilah yang dapat menjamin agar Hakim Konstitusi menggunakan

kekuasaanya sebagaimana idealnya.

Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi pertama kali diawasi oleh Komisi

Yudisial, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 tahun

24 Universitas Islam Indonesia, “Sistem Pengawasan & Kode Etik Hakim Konstitusi”, http://pascasarjanahukum.uii.ac.id/content/view/43/50/, dikunjungi terakhir kali pada tanggal 06 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

2004 tentang Komisi Yudisial juncto Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Komisi

Yudisial berwenang melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam

rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku

Hakim. Namun kewenangan Komisi Yudisal dalam mengawasi Hakim Konstitusi

dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

Inkonstitusionalitas pengawasan Komisi Yusidial menurut Mahkamah Konstitusi

dalam putusannya didasarkan pada dua legal reasioning utama, yaitu

problematika interpretasi pembentuk konstitusi (original intent) dan sistematis,

yang keduanya menurut mahkamah terjadi inskonsistensi antara penormaan Pasal

24B ayat (1) UUD NRI 1945 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman terkait pelaksanaan wewenang lain dalam rangka menjaga

dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sehingga

pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi dikualifikasikan

bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Untuk selanjutnya guna menghindari kekosongan hukum dan lembaga

pengawas perilaku Hakim Konstitusi, setelah perubahan UU No. 24 Tahun 2003

dibuatlah penormaan untuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, yaitu

berdasarkan Pasal 27A ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:

Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis kehormatan Konstitusi yang beranggotakan terdiri atas: a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang Komisi Yudisial c. 1 (satu) orang dari unsur DPR

Universitas Sumatera Utara

Page 21: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

d. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum; dan d. 1 (satu) orang hakim agung.

Akan tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-

IX/2011 pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Mahkamah berpendapat adanya unsur DPR, unsur pemerintah, dan hakim agung

berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR, Pemerintah dan

Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang berperkara di

Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-1X/2011

tersebut pengawasan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tidak ada lagi.

Maka secara internal, Mahkamah Konstitusi membentuk Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun

2013, untuk selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disebut PMK No. 1 Tahun

2013, beranggotakan lima orang, terdiri dari unsur Hakim Konstitusi, komisioner

Komisi Yudisial, mantan pimpinan lembaga negara, mantan Hakim

Konstitusi/Hakim Agung dan Guru Besar Senior Ilmu Hukum. Berdasarkan pasal

12 PMK No. 1 Tahun 2013 ini, Majelis Kehormatan ini dibentuk apabila ada

permintaan hakim terlapor, dan laporan informasi dari masyarakat.

Pada tanggal 2 Oktober 2013 terjadi peristiwa yang mengejutkan banyak

rakyat Indonesia, yaitu tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi aktif

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan tindak pidana korupsi. Atas

peristiwa tersebut seakan mementahkan legal reasioning Putusan Makamah

Universitas Sumatera Utara

Page 22: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, serta memberikan jawab atas dugaan tidak

efektifnya lembaga pengawas internal dalam lembaga peradilan.25

Berbeda dengan spirit Perppu No. 1 Tahun 2013 yang mendorong

keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan,

Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas keterlibatan Komisi Yudisial

ditandai dengan dibentuknya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun

2013 tentang Dewan Etik, untuk selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disebut

dengan PMK No. 2 Tahun 2013, Pada saat Pembentukan PMK No. 2 Tahun 2013

tersebut, membuat masyarakat mempertanyakan keberadaan Dewan Etik

dikarenakan mengenai waktu pembentukan Dewan Etik. Kenapa Dewan Etik

baru dibentuk pada tahun 2013 padahal Mahkamah Konstitusi sudah terbentuk

dari tahun 2003, siapa yang menjadi penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi beberapa tahun belakangan. Jika tidak ada, maka tidaklah

mengherankan ketika Ketua Mahkamah Konstitusi pada saat itu kena operasi

Dengan kejadian tersebut oleh Presiden Republik Indonesia menganggap

peristiwa tersebut merupakan kondisi yang memenuhi kaidah hal ikhwal

kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD NRI

1945. Demi menyelamatkan lembaga Mahkamah Konstitusi Presiden mengambil

langkah konstitusional dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut

dengan Perppu No. 1 Tahun 2013.

25Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, Jakarta: Leip-MA, 2003, h. 93

Universitas Sumatera Utara

Page 23: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Tahun 2013 yang

diduga melakukan tindak pidana korupsi. Karena memang pada selama ini tidak

ada institusi yang secara permanen melakukan pengawasan Hakim Konstitusi

untuk menegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Permasalahan selanjutnya adalah munculnya berbagai anggapan negatif di

masyarakat yang berpandangan pembentukan Dewan Etik merupakan reaksi

terhadap dibentuknya Perppu No. 1 Tahun 2013, yang mengatur perbaikan sistem

pengawasan Hakim Konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi

yang dipermanenkan.

Hal yang lebih mengejutkan publik lagi hanya berselang dalam jangka

waktu kurang dari satu bulan setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493), untuk selanjutnya dalam

penulisan skripsi ini disebut dengan UU No. 4 Tahun 2014, Mahkamah Konstitusi

pada hari Kamis, 13 Februari 2014 mengabulkan permohonan pengujian UU No.

4 Tahun 2014 dengan Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian UU

No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan bahwa UU

No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD NRI 1945, tidak mempunyai

Universitas Sumatera Utara

Page 24: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kekuatan hukum mengikat serta memberlakukan kembali UU No. 24 Tahun 2003

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.26

Konsekuensi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 1-2/PUU-XII/2014

tersebut adalah keberadaan lembaga rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi atau

panel ahli, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi , dan syarat-syarat lain

yang diatur dalam Perppu tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

mengikat. Dengan demikian, penghapusan kembali lembaga pengawas perilaku

Hakim Konstitusi dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum di Mahkamah

Konstitusi, yang memungkinkan dapat menyuburkan “tirani yudisial”, dan “tirani

kekuasaan kehakiman”, yang dijalankan Mahkamah Konstitusi.

27

Oleh karena itu penulis tertarik membahas masalah ini dengan mengangkat

judul “Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014

Namun untuk menjaga kepastian hukum, agar tidak terjadi kekosongan

hukum dan lembaga pengawas Hakim Mahkamah Konstitusi, Mahkamah

Konstitusi mengeluarkan kembali peraturan mengenai Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi, yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun

2014 Tentang Kehormatan Mahkamah Konstitusi, untuk selanjutnya dalam

penulisan skripsi ini disebut dengan PMK No. 2 Tahun 2014. Dalam peraturan

tersebut, tepatnya pada BAB XVII Pasal 78 menyatakan bahwa PMK No. 1 tahun

2013 dan PMK No. 2 Tahun 2013 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

26Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014. h. 121-122 27Muhtadi, Politik Hukum Pengawasan Hakim Konstitusi, Fakultas Hukum,

Universitas Lampung, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 3, Juli-September 2015. h. 321

Universitas Sumatera Utara

Page 25: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013).

Penulis mencoba membahas lebih lanjut bagaimana sebenarnya penerapan

PMK No. 2 Tahun 2014. Dengan menganalisa keputusan yang telah pernah

dikeluarkan oleh Majelis Mahkamah Konstitusi terhadap dugaan laporan dan

informasi yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Dimana kasus dan keputusan

tersebut sepengetahuan penulis sampai saat ini merupakan satu-satunya kasus

pelanggaran berat yang dilakukan Hakim Konstitusi sejak berdirinya Mahkamah

Konstitusi pada tahun 2013, dan satu-satunya keputusan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi, baik sebelum maupun sesudah ditetapkannya PMK No. 2

Tahun 2014 tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis hendak mengangkat masalah ini

menjadi fokus dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis membatasi hanya

membahas dengan terperinci implementasi peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 2 Tahun 2014 terhadap keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 agar permasalahan yang akan dibahas

tidak terlalu melebar. Setelah mengulas beberapa pokok pikiran diatas, maka perlu

kiranya penulis mengajukan beberapa pokok permasalahan sebagai kerangka

acuan dalam skripsi ini sehingga diharapkan alur pemikiran serta kesimpulan yang

diperoleh pada akhir penulisan dapat dengan mudah dipahami.

Adapun beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini

adalah :

Universitas Sumatera Utara

Page 26: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

1. Bagaimana Sejarah, Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Kewajiban

Mahkamah Konstitusi, Serta Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim

Konstitusi Sebagai Salah Satu Bagian Dari Kekuasaan Kehakiman

Menurut UUD NRI 1945 ?

2. Bagaimana Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi, Dewan Etik Dan

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Dalam Menjaga Dan

Menegakkan Kehormatan, Keleluhuran Martabat, Serta Kode Etik Hakim

Konstitusi Sebagai Lembaga Penegak Kode Etik Dan Perilaku Hakim

Konstitusi ?

3. Bagaimana Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2

Tahun 2014 Terhadap Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :

a) Mengetahui kedudukan, fungsi, wewenang, serta kewajiban Mahkamah

Konstitusi, serta Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi

sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman menurut UUD

NRI 1945.

b) Mengetahui tugas dan wewenang Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi sebagai alat penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

c) Mengetahui implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2

Tahun 2014 Terhadap Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah

konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013

2. Manfaat Penulisan

Adapun Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang

penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

a) Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep pemikiran yang pada

gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu

Hukum Tata Negara, khususnya yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dan kiranya tulisan ini nantinya dapat

menjadi sebagai bahan referensi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan Departemen Hukum Tata Negara.

b) Manfaat praktis

1) Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi

Pemerintah dan kalangan masyarakat luas.

2) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam bidang

Mahkamah Konstitusi.

3) Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan

Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

serta pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara.

4) Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah

wawasan dalam bidang Ilmu Hukum Tata Negara, khususnya yang

Universitas Sumatera Utara

Page 28: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi serta pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang penulis ketahui melalui penelusuran skripsi di Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi meyangkut

Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013) sampai saat ini belum ada.

Oleh karena itu, penulis memberanikan diri untuk menulis suatu karya

ilmiah yang membahas mengenai Penerapan PMK No. 2 Tahun 2014 dengan

menganalisa suatu Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang

pernah ada yaitu Keputusan Nomor 01/MKMK/X/2013. Ide pokok penulisan

skripsi ini berasal dari pemikiran penulis sendiri, sebab keberadaan PMK No. 2

Tahun 2014 ini masih sangatlah baru sehingga penulis merasa tertarik ingin

membahasnya lebih dalam. Oleh karena itu penulis menuangkan dalam suatu

karya ilmiah, skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Mahkamah Konstitusi

Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi

mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden,

yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga)

orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.

Kemudian dalam Pasal 24C ayat (5) ditegaskan bahwa ke 9 (sembilan) orang

Universitas Sumatera Utara

Page 29: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

anggota hakim Mahkamah Konstitusi tersebut harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan

ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

Untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan

negarawan, dibentuklah suatu Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang

berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan

tugasnya. Dengan tujuan agar Hakim Konstitusi tidak ada yang diberhentikan

secara tidak hormat. Hal ini diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode

Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Meskipun telah dibentuk Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi, sebagai seorang manusia normal maka Hakim Konstitusi memiliki

kemungkinan untuk melanggar Kode Etik dan Perilakun Hakim tersebut. Dengan

demikian Hakim Konstitusi mutlak harus diawasi, untuk mencapai hasil yang

ideal, maka dalam melakukan pengawasan tidak dapat hanya mengandalkan pada

orang, tetapi harus dibentuk suatu lembaga pengawasan yang jelas dan tegas.

2. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pertama kali disebutkan pada

Pasal 23 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003, yaitu: “Permintaan pemberhentian

dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf

d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah yang bersangkutan diberi

kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah

Universitas Sumatera Utara

Page 30: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Konstitusi. Namun Majelis Keormatan Mahkamah Konstitusi baru didefinisikan

dan diatur lebih spesifik setelah ditetapkan UU No. 8 Tahun 2011.

Pasal 1 angka 4 UU No. 8 Tahun 2011 memberikan definisi, yang

menyatakan bahwa: “Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi adalah perangkat

yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan

merekomendasikan tindakan terhadap Hakim konstitusi, yang diduga melanggar

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.

Kemudian pada Bab IVA Pasal 27A ayat (2) menyatakan bahwa: untuk

menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi maka dibentuk

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang anggotanya terdiri dari:

a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang dari unsur DPR; d. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum; dan e. 1 (satu) orang hakim agung.

Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

49/PUU/IX/2011 pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD

RI 1945.

Pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi kemudian secara

spesifik dibentuk pada tanggal 21 Maret 2013 melalui PMK No. 1 Tahun 2013.

Namun Peraturan tentang Majelis Kehormatan ini tidak berlaku lama, hanya

berlaku berlaku sekitar kurang dari satu tahun. Pengaturan Majelis Kehormatan

kemudian diatur dalam PMK No. 2 tahun 2014.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PMK No. Tahun 2014 menyatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

Page 31: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh

Mahkamah konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keleluhuran

martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan mengenai

dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim

Terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik.

3. Implementasi

Kata “Implementasi” disadur dari bahasa Inggris yaitu “Implementation”

yang artinya adalah “Pelaksaaan” sebagai kata bendanya, dan “Implement” yang

artinya “melaksanakan” sebagai kata kerjanya.28

Metode adalah cara kerja untuk memahami atau mawas objek yang menjadi

Dalam skripsi ini implementasi

didefinisikan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan dari suatu kewenangan

yang ada dalam suatu lembaga negara, dalam hal ini adalah pelaksanaan

kewenangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang

diberikan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 yang

menegaskan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk

untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan Kode Etik

Hakim Konstitusi terkait dengan dugaaan pelanggaran berat yang dilakukan

Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, terkhusus terhadap Keputusan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 yang menjadi

pembahasan penulis.

F. Metode Penelitian

28Jhon M Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Jakarta, 1996. h. 313.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

sasaran ilmu yang bersangkutan.29 Menurut Peter R. Senn,30 sebagaimana dikutip

Bambang Sunggono dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Hukum

“metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki

langkah-langkah yang sistematis”, untuk lebih memahami mengenai metode

dapat dilihat dari peranan metode dalam penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan sebagai berikut31

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap;

:

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner;

4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal yang mengkaji hukum

yang dikonsepkan sebagai kaidah perundang-undangan menurut doktrin

Positivisme,32 atau penelitian normative. Menurut Johny Ibrahim,33

29M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 21.

30Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, h. 46.

31Soerjono Soekanto (a), Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, h. 7. 32Soetadyo Wigjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,

HUMA, Jakarta, 2002, h. 147-160. 33Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia

Publishing, 2005, h. 47.

“Penelitian

Hukum Normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.”

Sedangkan, ilmu hukum (normatif) sendiri bertujuan mengubah keadaan atau

Universitas Sumatera Utara

Page 33: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

menawarkan penyelesaian terhadap masalah kongkret.34

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan

hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma, dan berhenti pada lingkup

konsepsi hukum, asas hukum, dan kaidah peraturan atau substansi hukum,

35

karena merupakan penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan taraf

sinkronisasi horizontal36 berbagai peraturan perundang-undangan terkait

Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Penelitian

ini bersifat deskriftif analitis karena mendeskripsikan dan memberikan data seteliti

mungkin37

Dalam pembahasan skripsi ini akan digunakan beberapa pendekatan,

dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari pelbagai

mengenai Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi, dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait kemudian

menganalisa data tersebut dalam rangka mengkaji Implementasi Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi terhadap keputusan yang pernah dikeluarkan terkait

pelanggaran berat yang dilakukan hakim konstitusi yaitu Keputusan Nomor

01/MKMK/X/2013.

2. Pendekatan Masalah

34Ibid. h. 53. 35Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, Cetakan 1, PT.

Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, 2010, h. 28. 36Soerjono Soekanto (b), Pengantar Pelitian Hukum, Cetakan 3, UI Press, Jakarta,

1986, h. 50-51. 37Ibid, h. 9-10.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya,38

antara lain39

a) Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach)

:

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akadmis, penliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut sehingga peneliti mampu menangkap kandungan filosofi yang terdapat dalam undang- undang itu dan dapat menyimpukan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.

b) Pendekatan Kasus (Case Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus- kasus yang berkaitan dengan isu yang telah mempunyai kekuatan tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

c) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum terhadap isu yang dihadapi.

3. Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder, pada

penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu

penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Adapun data sekunder memiliki

ciri-ciri umum sebagai berikut40

a) Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made);

:

b) Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh

38Peter Mahmud Marzuki, Penelitain Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h. 93.

39Ibid. hlm. 95. 40Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 1995, hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

peneliti- peneliti terdahulu; dan c) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu

dan tempat.

Jenis data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian hukum normatif

ini adalah terdiri dari41

a) Bahan Hukum Primer

:

Bahan hukum primer merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang

bersifat normative seperti peraturan perundang-undangan, keputusan maupun

ketetapan dari lembaga yang berwenang. Dalam penulisan skripsi ini

menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan

regulasi yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan

Konstitusi , yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316) sebagaimana telah

dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara

Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358) Telah Dicabut dan

41Soerjono Soekanto (b), Op.Cit., h. 52.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang

Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4415) sebagaimana telah

dirubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial ( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5250).

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi

Undang-Undang. (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 5,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 5493).

6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Kode Etik Dan Perilaku

Hakim Konstitusi.

8. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

2012 Tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi.

9. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2013 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

10. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2013 Tentang Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.

11. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

12. Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

7 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi.

13. Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

8 Tahun 2013 Tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi.

14. Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014

Tentang Mekanisme Kerja Dan Tatacara Pemeriksaan Laporan Dan

Informasi

15. Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:

01/MKMK/X/2013.

16. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

Universitas Sumatera Utara

Page 38: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

17. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011

18. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder didapatkan dari penelahaan pendapat-

pendapat hukum yang terkait dengan masalah yang akan dibahas serta karya-

karya ilmiah, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Bahan-

bahan hukum tersebut berupa buku-buku hukum, kamus, majalah, makalah,

website, Koran, ataupun karya ilmiah yang tidak dipublikasikan yaitu diambil dari

jurnal hukum, bahan ajar, skripsi, tesis, disertasi, dan makalah dari suatu seminar

ilmiah.

G. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan

pustaka (library research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data

tertulis dengan menggunakan content analysis, yakni teknik untuk membuat

kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik tertentu dari sebuah pesan

secara objektif dan sistematis.42

42Ibid., h. 21-22

Metode analisis data dikumpulkan dan dianalisis

dengan metode normatif kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk uraian.

Sedangkan cara untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah dengan mengunjungi berbagai perpustakaan, terutama

perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

Perpustakaan pusat Universitas Sumatera Utara, toko buku, dan website.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini yang dibicarakan adalah dasar-dasar pemikiran

penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta

berisi hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian

skripsi ini, dimulai dengan mengemukakan latar belakang,

Pemilihan Judul, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode

Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.

BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI

Pada bab ini, penulis mencoba memaparkan lebih spesifik

mengenai sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai

bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia, Kedudukan dan

Fungsi, tugas dan wewenang dari Mahkamah Konstitusi, serta

Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi berdasarkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah

dirubah dengan UU No. 8 Tahun 2011, serta Peraturan

Mahkamah Konstitusi.

BAB III : MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pada bab ini, penulis berusaha memaparkan mengenai Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak

Universitas Sumatera Utara

Page 40: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kode etik dan perilaku hakim konstitusi baik Kedudukan,

Keanggotaan, Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi, Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,

serta Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.

BAB IV :IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS

KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP

KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013

Pada bab ini, merupakan pokok utama dari kajian penelitian

skripsi penulis, yaitu implementasi PMK No. 2 Tahun 2014

dengan menganalisa keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013. Menangani Kasus Laporan

Dugaan Pelanggaran Berat yang dilakukan Hakim Konstitusi.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan

pembahasan Pada Bab I, II, III, dan IV Serta saran yang penulis

ajukan berdasarkan pemikiran penulis.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

BAB II

MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi

1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Dunia

Mahkamah konstitusi sebagai special tribunal berdiri secara terpisah dari

Mahkamah Agung, yang memiliki tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat

ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern national state),

yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan

norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah Modern judicial review, yang merupakan

ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat oleh Mahkamah

Agung yang mengalami perkembangan selama 250 tahun, mulai dari tidak

diterima sampai dengan peneriman yang luas.43

Momentum utama munculnya judicial review adalah pada keputusan

Mahkamah Agung Amerika serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada tahun

1803. Dalam kasus tersebut Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan

ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi

Amerika Serikat. Walaupun pada saat itu tidak ada dalam konstitusi maupun

undang-undang ketentuan yang memberikan wewenang judicial review kepada

Mahkamah Agung, para hakim agung Amerika Serikat dimana ketuanya adalah

43Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 3

Universitas Sumatera Utara

Page 42: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

John Marshal berpendapat hal ini adalah kewajiban konstitusional mereka yang

telah bersumpah menjungjung tinggi dan menjaga konstitusi.44

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat itu memicu perdebatan tentang

judicial review hingga ke Eropa yang pada masa itu didominasi pandangan bahwa

hukum adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang menghendaki supremasi

parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.

45 Perkembangan selanjutnya, ahli

hukum George Jellinek (Austria) mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19

agar kepada Mahkamah Agung Austria ditambahkan kewenangan melakukan

judicial review seperti diperaktikkan oleh John Marshall.46 Mahkamah Agung

Austria memang pada saat itu sudah mempunyai kewenangan untuk mengadili

sengketa antara warga negara dengan pemerintah terkait dengan perlindungan hak

politik, bahkan pengadilan negeri bagian telah memiliki wewenang memutus

keberatan konstitusioal yang diajukan warga negara atas tindakan negara.47

Revolusi Prancis dan konsep separation of power dari Rosseau dan

Montesqieu merupakan bibit pengembangan judicial review, setelah keberhasilan

awal tentara Napoleon serta pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya

Prancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar ke seluruh Eropa dengan

sistem hukumnya yang berbeda. Akan tetapi pemikiran Amerika Serikat tentang

judicial review setelah kasus Marbury vs. Madison (1803) dan kemudian kasus

Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1957, menyebabkan tokoh pemikir di

44Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010. h. 1

45 Ibid., h. 2 46Jimly, Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 24 47Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., h. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

benua Eropa mulai berpendapat bahwa Mahkamah semacam itu mungkin berguna

juga di Eropa.48

Hans Kelsen seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad

ke-20, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria, salah

satu gagasan dari Hans Kelsen adalah pemebentukan peradilan tersendiri di luar

Mahkamah Agung untuk menangani perkara Judicial Riview. Gagasan tersebut

diterima dan menjadi bagian dalam konstitusi Austria pada tahun 1920 yang di

dalamnya dibentuk Mahkamah konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Sejak saat

itulah dikenal dan berkembang Mahkamah Konstitusi yang berada diluar

Mahkamah Agung yang secara khusus menangani judicial Riview dan perkara

konstitusioal lainnya.

49

2. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia

Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan judicial

riview menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi

secara terpisah dari Mahkamah Agung. Sampai sekarang sudah 78 negara yang

mengadopsi sistem Mahkamah konstitusi yang didirikan terpisah dari Mahkamah

Agungnya.

Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah

Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena negara

modern abad ke-20. Mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga peradilan

48Maruarar Siahaan, Op.Cit., h. 3 49Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., h. 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung

(MA) di bentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945.

Ide pembentukan Mahkamah konstitusi di Indonesia muncul dan menguat

di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun

demikian dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan

UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Mahammad

Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi

kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun Prof. Soepomo

menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa UUD yang sedang disusun

pada saat itu tidak menganut paham trias politika dan kondisi pada saat itu belum

banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman judiacial review.50

Pada masa berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat, judicial

review pernah menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Agung, akan tetapi

hanya untuk menguji Undang-Undang Negara bagian terhadap konstitusi.

51

50Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Ibid,. h. 5, dikutip dari Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959, h. 341-342.

51Sri Soemantri, Hak Menguji Materil di Indonesia, Alumni, Bandung. 1986. h. 25.

Pada

masa di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II MPRS yaitu pada

tahun 1966-1967 yang merekomendasikan diberikannya kewenangan terhadap

Mahkamah Agung untuk menguji material Undang-Undang, namun rekomendasi

tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa hanya Majelis

Permusyawaratan Rakyatlah yang mempunyai kewenangan untuk mengawal

konstitusi. Ide perlunya judicial review kembali muncul pada saat pembahasan

Rancangan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan

Universitas Sumatera Utara

Page 45: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman . pada waktu itu Ikatan Hakim Indonesia mengusulkan pendapat agar

diberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar. Karena materi muatan tersebut dipandang materi

muatan Konstitusi sedangkan UUD 195 tidak ada mengatur tentang itu, akhirya

usulan tersebut tidak diterima. Pada tahun 1973 Mahkamah Agung ditetapkan

mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah

Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dengan ketentuan harus dalam

pemeriksaan kasasi, ketentuan ini termaktub dalam Tap MPR Nomor

VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978. Pada tahun 1992 perdebatan

mengenai judicial review kembali muncul, ketika Ketua Mahkamah Agung Ali

Said berpendapat memberikan hak uji kepada Mahkamah Agung adalah

proporsional karena Mahkamah Agung adalah salah satu dari pilar demokrasi.

Jika Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membuat

dan menetapkan Undang-Undang, maka Mahkamah Agung bertugas untuk

menguji. Gagasan tersebut didasarkan pada prinsip checks and balances.52

52Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.Cit. h. 5-6

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan sebelum

dibentukya Mahkamah konstitusi wewenang menguji Undang-Undang Terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 dipegang oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat.

Namun pengujian ini tidak dapat disebut sebagai judicial review, Karena Majelis

Pemusyawaratan Rakyat bukan merupakan lembaga peradilan.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi

kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, atau

Mahkamah Konstitusi. Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar akhirnya diberikan kepada lembaga tersendiri, yaitu

Mahkmah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, dengan

pertimbangan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan wakil organisasi dan

kelompok kepentingan politik bukan merupakan kumpulan ahli hukum dan

konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung sendiri sudah terlalu banyak beban

tugasnya dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi kewenangannya.53

Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dipahami

dari dua sisi , yaitu sisi hukum dan dari sisi politik, dari sisi hukum keberadaan

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi dari supremasi Majelis

Permusyawaratan Rakyat menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara keastuan,

prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan,

keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan

pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden. Dalam praktik pada masa itu sudah muncul sengketa antara lembaga

negara yang memerlukan forum hukum untuk menyelesaikannya. Kelembagaan

yang paling sesuai adalah Mahkamah Konstitusi.

54

Pembentukan Mahkamah Konstitusi juga merupakan penegasan terhadap

prinsip Negara Hukum dan perlindungan Hak Asasi (Hak Konstitusional) yang

53Ibid., h. 7 54Ibid.,

Universitas Sumatera Utara

Page 47: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

telah dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi

dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam

praktik ketatanegaraaan yang sebelumnya tidak ditentukan.55 Keberadaan dari

Mahkamah Konstitusi juga memberikan harapan baru bagi para pencari keadilan

di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada institusi

peradilan.56

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 pembentukan Mahkamah Konstitusi

segera dilakukan melalui rekrutmen Hakim Konstitusi oleh tiga lembaga negara,

yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Mahkmah Agung. Setelah melalui

tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga,

akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung menetapkan

masing-masing tiga calon Hakim Konstitusi, yang selanjutnya ditetapkan oleh

Dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, tidak dengan sendirinya

Mahkamah Konstitusi sebagai organisasi telah terbentuk walaupun dari sisi

hukum kelembagaan itu sudah ada. Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945

menyatakan untuk dibentuknya Mahkamah Konstitusi paling lambat 17 Agustus

2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk segala kewenangannya dilakukan

oleh Mahkamah Agung.

Pada tanggal 13 Agustus 2003 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

disahkan yaitu UU No. 24 Tahun 2003. Waktu pengesahan UU No. 24 Tahun

2003 inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi.

55Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, h. 4.

56Ibid. h. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Presiden sebagai Hakim Konstitusi. Sembilan Hakim Konstitusi pertama

ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor

147/M Tahun 2003. Pengucapan sumpah jabatan dilakukan di istana Negara pada

tanggal 16 Agustus 2003, dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19

Agustus 2003.

B. Kedudukan dan Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia

1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 2 UU No. 24

Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaaan kehakiman, kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menagakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan

kehakiman diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang ada

dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian

kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasan

kehakiman, di samping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga

peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup

dan wewenang yang dimilikinya, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai

pelaku kekuasaaan kehakiman sejajar dengan kekuasaan kehakiman lain, seperti

Mahkamah Agung, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang

kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi

dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga negara lainnya meliputi

Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Universitas Sumatera Utara

Page 49: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Perwakilan Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Setiap lembaga negara

menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat

berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.57

2. Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki

oleh Mahkamah Konstitusi adalah Fungsi peradilan untuk mengakkan hukum dan

keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik seperti halnya fungsi

yang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat

ditelusuri dari latar belakang pembentukaannya, yaitu untuk menegakkan

supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang

ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri,

yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan

juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi antara lain prinsip negara hukum dan

demokrasi, prinsip perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak

konstitusional warga negara.

Berdasarkan penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 fungsi mahkamah

Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi atau

perkara konstitusional tertentu dalam menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara

bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain

itu keberadaan Mahkamah konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya

pemerintahan negara yang stabil , dan juga merupakan koreksi terhadap

57Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op. Cit. h. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

pengalaman kehidupan ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas

konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi, Mahkamah

konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi.58

Berdasarkan uraian diatas setidaknya ada 5 (lima) fungsi yang melekat pada

keberadaan Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya,

yaitu

59

1. Visi Mahkamah Konstitusi

: sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir

final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi

manusia (the protector of human rights), pelindung hak konstitusiol warga negara

(the protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the

protector democracy).

Atas dasar fungsi Mahkamah konstitusi tersebut, maka visi dan misi

Mahkamah Konstitusi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan negara hukum dan

demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang

bermartabat.60

2. Misi Mahkamah Konstitusi

a. Mewejudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan

kehakiman yang terpercaya

b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar

berkonstitusi.61

58A.Mukhtie Fadjar, Hukum konstitusi dan Mahkamah konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006. h. 119

59Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op. Cit,. 60A.Mukhtie Fadjar, Op.Cit.,

Universitas Sumatera Utara

Page 51: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Dengan visi dan misi dalam melaksanakan tugasnya, Mahkamah Konstitusi

diharapkan dapat melaksanakan kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD NRI

1945.

C. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi di Indonesia

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Sebagaimana yang telah jelaskan pada pembahasan sebelumnya, ide pertama

pembentukan Mahkamah Kontitusi adalah untuk melaksanakan judicial riview,

namun dalam perkembangannya menurut Hamdan Zoelva62

a) menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

:

Konsep dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip-prinsip dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh berbagai negara yang menganut prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances, prinsip demokrasi dan jaminan perlindungan hak asasi manusia serta pengalaman politik masing-masing negara.

Dari berbagai ide pembentukan Mahkmahah Konstitusi yang ada, di

Indonesia sendiri telah merumuskan kewenangan Mahkamah konstitusi sesuai

kebutuhan perkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi Indonesia mempunyai kewenangan menangani

perkara-perkara ketatanegaraan tertentu, secara limitatif kewenangan Mahkamah

Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945

juncto Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003, yaitu :

b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

61Ibid,. 62Hamdan Zoelva, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”

<http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/07/mahkamah-konstitusi-dalam-sistem- ketatanegaraan-ri/>. Diakses pada tanggal 5 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut Abdul Rasyid63

a) Menguji Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar

, wewenang a dan b merupakan wewenang utama,

sedangkan wewenang c dan d adalah wewenang tambahan (accessoir). Untuk

pelaksaan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dengan Hukum Acara

Mahkamah konstitusi yang terdiri dari hukum acara umum untuk kewenangan

Mahkamah konstitusi dan hukum acara khusus. Pelaksanaan kewenangan

Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut:

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a

UU No. 24 Tahun 2003, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji Undang-Undang terhadap UUD, kemudian dalam penjelasan Pasal 10

ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan

Putusan Mahkmah Konstitusi yang bersifat final, yakni putusan Mahkamah

Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak di ucakpan dan

tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan dalam

putusan Mahkamah Konstitusi mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final

and binding).

63Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 223.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah konstitusi.64

1) Pengujian Formal (Formele Toetsingrecht)

Secara teoritis maupun dalam praktek dikenal ada dua macam judicial review: 1)

Pengujian Formal, 2) Pengujian Materiil, yaitu sebagai berikut:

Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu

produk hukum legislative dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak, serta apakah

suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Ketentuan Pasal

51 ayat (3) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 juncto Pasal 51A ayat (3) dan (4) UU

No. 8 Tahun 2011 merupakan dasar hukum yang mengatur tentang pengujian

formil. Dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa apabila permohonan

berupa permohonan pengujian formal, pemeriksaan dan putusan didasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Sri Soemantri dan Harun Alrasid dalam Buku Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi mendefiniskan pengujian formal

sebagaimana yang dikemukakan dalam UU No. 24 Tahun 2003 juncto UU No. 8

Tahun 2011. Menurut sri Soemantri yang dimaksud dengan hak menguji formal

adalah wewenang untuk menilai, apakah sutau produk legislatif, seperti undang-

undang misalnya, terjelma melalui cara-cara sebagaimna telah ditentukan/diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan Harun

64 Maruarar Siahaan, Op.Cit. h. 14

Universitas Sumatera Utara

Page 54: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji formal adalah mengenai prosedur

pembuatan Undang-Undang. Namun menurut Jimly Asshiddiqie dalam Buku

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

secara umum yang dapat disebut dengan pengujian formil tidak hanya mencakup

proses pembentukan Undang-undang secara sempit, tetapi juga mencakup

pengajuan mengenai aspek bentuk Undang-Undang, dan pemberlakuan Undang-

Undang. Kemudian dijelaskan juga bahwa pengujian formal biasanya terkait soal-

soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang

membuatnya.65

a. Mengabulkan permohonan pemohon

Dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011 menegaskan

bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pengambilan keputusan berupa permohonan

pengajian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata

cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam ketentuan

ayat (4) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf c PMK Nomor 06/PMK/2005 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, dijelaskan juga

bahwa apabila ingin mengajukan permohonan pengajuan berupa permohonan

formil hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan Judicial Review

adalah:

b. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan Pembentukan UU berdasarkan UUD NRI 1945

c. Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

65Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op. Cit. h. 92

Universitas Sumatera Utara

Page 55: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

2) Pengujian Materiil (Materiele Toetsingrecht)

Ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 juncto Pasal

51A ayat (5) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah konstitusi merupakan

dasar hukum yang mengatur tentang pengujian materiil. Dimana dalam ketentuan

tersebut diatur bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi

muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap

bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Mengenai pengujian materiil diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2)

Peraturan Mahkmah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

dalam Perkara pengujian Undang-Undang, dalam ketentuan tersebut menyatakan

bahwa pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan

materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap

bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Maruar Siahaan menjelaskan bahwa pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar tidak hanya dilakukan terhadap Pasal tertentu saja akan

tetapi UUD harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari Pembukaan

dan Batang Tubuh.66

Jika dilihat lebih detail lagi dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No. 24

Tahun 2003 diatur mengenai pengujian materiil pada ayat, pasal, dan/atau bagian

Undang-Undang, kemudian dalam Pasal 51A ayat (5) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf

d PMK Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara

Pengujian Undang-Undang diatur dalam hal permohonan pengujian berupa

66 Maruarar Siahaan, Op,Cit., h. 29

Universitas Sumatera Utara

Page 56: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam

permohonan meliputi:

a. Mengabulkan permohonan pemohon; b. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari

undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

c. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian dalam Pasal 57 UU No. 24 Tahun 20013 juga diatur bahwa

putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tentang ayat, pasal, dan/atau bagian

undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, akan tetapi dalam hal

salah satu pasal atau pasal-pasal tertentu tersebut menyebabkan Undang-Undang

tersebut tidak dapat dilaksanakan karenanya, maka tidak hanya ayat, pasal,

dan/atau bagian undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, akan

tetapi keseluruhan Undang-Undang tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan

UUD NRI 1945.

b). Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Sebelum adanya Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dalam sejarah

ketatanegaraan Indonesia belum ada aturan mengenai mekanisme aturan

penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Barulah

setelah adanya Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, yang mengadopsi pembentukan

lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah

memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, sistem ketatanegaran Indonesia

Universitas Sumatera Utara

Page 57: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

memiliki mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa konstitusional lembaga

negara.67

Secara definitif yang dimaksud dengan sengketa kewenangan antara

lembaga negara perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antara

lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain mengenai

kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Dengan

demikian yang menjadi objek sengketa adalah persengketaan (dispute) mengenai

kewenangan konstitusioanal antar lembaga negara.

Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 2 , Pasal 61 sampai dengan

67 UU No. 24 Tahun 2003 adalah dasar konstitusional kewenangan Mahkamah

Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Salah satu

kewenangan konkritnya adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.

68

Lembaga-lembaga negara dapat bersengketa dikarenakan dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang diadopsi sesudah perubahan UUD 1945,

mekanisme hubungan antara lembaga negara bersifat horizontal, tidak lagi bersifat

vertikal. Jika sebelum perubahan UUD NRI 1945 mengenal adanya lembaga

tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, maka setelah perubahan UUD 1945

tidak ada lagi lembaga tinggi negara. Hubungan antara satu lembaga dengan

lembaga negara lainnya saling diikat dengan prinsip chek and balances. Dalam

67Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta, Konstitusi Press, 2005, hal. 2.

68Ibid., h. 30.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

prinsip tersebut, lembaga-lembaga tinggi negara itu diakui sederajat, dan saling

mengimbangi satu sama lain.69

Partai politik merupakan salah satu ciri utama negara demokrasi modern.

Bahkan, partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi modern, yaitu

demokrasi perwakilan. Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat

Sebagai akibat adanya mekanisme chek and balances, timbul kemungkinan

dalam pelaksannan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam

tafsiran amanat UUD NRI 1945. Jika timbul persengketaan semacam itu, maka

diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu.

Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsi dalam UUD NRI 1945,

mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui

proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui

Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, Perkara sengketa

kewenangan konstitusional lembaga negara merupakan perkara yang pemohon

adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945 yang

mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan,

dan dalam ayat (2) pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam

permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan

kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga

negara yang jadi termohon.

c). Memutus Pembubaran Partai Politik

69Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op.cit. h. 150

Universitas Sumatera Utara

Page 59: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

diperlukan adanya partai politik. Peranan partai politik adalah menata aspirasi

rakyat yang berbeda-beda, dijadikan pendapat umum sehingga dapat menjadi

bahan pembuatan keputusan yang teratur.70

Keberadaan partai politik memang merupakan manifestasi dari hak atas

kebebasan berserikat dan berkumpul serta hak menyatakan pendapat, namun

demikian, hak dan kebebasan tersebut dapat dibatasi dengan melakukan

pengaturan, termasuk pembubaran partai politik. Namun agar tidak memberangus

kebebasan berserikat, pembatasan harus dilakukan secara ketat, dimana menurut

doktrin militant democracy meliputi: (1) pembatasn harus diatur dalam aturan

hukum; (2) dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat

demokratis dan (3) memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional

sesuai dengan kebutuhan sosial.

71

Di Indonesia dengan adanya perubahan UUD 1945 kewenangan

pembubaran partai politik menjadi bagian dari wewenang Mahkamah Konstitusi.

Pemberian wewenang itu menerut Pataniari Siahaan karena perkara pembubaran

partai politik menyangkut masalah politik sehingga dipandang lebih tepat menjadi

wewenang Mahkamah Konstitusi.

72

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai

politik secara jelas diatur dalam Pasal 68 sampai dengan pasal 73 UU No. 24

tahun 2003. dalam ketentuan pasal 68 ayat (1) Pemohon adalah pemerintah.

Dalam penjelasan Pasal 68 ayat (1) dijelaskan juga bahwa yang dimaksud dengan

70Ibid., h. 194 71Ibid, h. 195 72Risalah Sidang Rapat pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29

Mei 2001. Yang dikutip dari buku Hukum Acara Mahkmah Konstitusi yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. h. 201.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

pemerintah adalah pemerintah pusat. Karena pemerintah dipimpin oleh Presiden,

maka departemen pemerintahan yang mewakili pemerintah untuk mengajukan

permohonan untuk membubarkan partai politik wajib dengan persetujuan Presiden

atau didasarkan pada surat kuasa.

Dalam permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah konstitusi

harus disebutkan dengan tegas partai politik yang dimohon untuk dibubarkan.

Dengan demikian partai politik yang dimohonkan secara tegas kedudukannya

sebagai pihak termohon. Adapun alasan permohonan yang harus dijabarkan dalam

permohonan, sebagaimana diatur dalam pasal 68 ayat (2) adalah ideologi, asas,

tujuan, program, dan kegiatan parpol yang bersangkutan yang dianggap

bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Menurut Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12/PMK/2008 tentang aturan

hukum acara tentang pembubaran partai politik, mengatakan bahwa akibat hukum

Putusan MK tentang Pembubaran Partai Politik adalah:

1) Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di seluruh Indonesia;

2) Pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;

3) Pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan kegiatan politik;

4) Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.

d). Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum

Negara yang direpresentasikan kepada pemerintahan dibentuk dengan

harapan mampu menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat. Pemerintahan yang

mengupayakan kebaikan bagi rakyatnya itulah yang menjadi impian rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Sehingga adagium tokoh demokrasi terkenal dunia Abraham Lincol yang

mengatakan bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat, benar-benar wujud. Rakyat memang membutuhkan pemerintahan yang

memiliki kehendak untuk menyejahterakan rakyatnya.73

Namun menurut Stephen A. Siegel yang dikutip dalam buku Sekretariat

Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi permasalahan dalam

pelaksanaan pemilu adalah permasalahn penghitungan suara, dimana permasalah

tersebut menurut beliau adalah permasalah pemilu yang paling tua dalam sebuah

negara bangsa diantara pelbagai permasalahn-permasalahn palig tua lainnya

dalam hukum tata negara.

Kebutuhan akan pemerintahan tersebut membutuhkan mekanisme

pemilihan khusus agar pemerintahan yang terpilih dapat menjalankan harapan dari

pemilihnya. Dalam perkembangan teori demokrasi dan mekanisme pemilihan

pemerintahan yang mewakili rakyat itu lahirlah konsep pemilihan umum (pemilu).

74

73Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraaan Mahkamah Konstitusi. Op.Cit. h. 215 74Ibid., h. 216

Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang

menangani khusus penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilu.

Di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 lembaga yang berwenang

memutus perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi. hal ini diatur

dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 juncto Pasal 10, Pasal 74 sampai dengan Pasal

79 UU No. 24 Tahun 2003.

Berdasarkan ketentuan pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 pemohon

dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum adalah :

Universitas Sumatera Utara

Page 62: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

1) perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;

2) pasangan calon presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan

3) partai politik peserta pemilihan umum.

Sedangkan objek permohonan dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan

umum adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU

yang mempengaruhi75

1) terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;

:

2) penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

3) perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

Jangka waktu paling lama megajukan permohoan sengketa perselisihan

hasil pemilihan umum lama 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan

hasil pemilu secara nasional. Hal-Hal Yang Wajib Diuraikan Pemohon yaitu:

1) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan

hasil penghitungan yang benar menurut pemohon

2) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang

diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara

yang benar menurut pemohon

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam rangka kewenangan Mahkamah

Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum ini, Mahkamah

Konstitusi juga dapat dikatakan sebagai pengawal proses demokratisasi dengan

cara menyediakan saran dan jalan hukum untuk menyelesaikan perbedaan

75Ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

pendapat diantara penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu yang dapat

memicu konflik politik dan bahkan konflik sosial di tengah masyarakat.76

2. Kewajiban Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Mahkamah Konstitusi mempunyai satu kewajiban sebagaimna tercantum

dalam Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa: Mahkamah

Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut

Undang-Undang Dasar.

Ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD NRI 1945. Pemberhentian

diatur secara khusus untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan istilah “dapat

diberhentikan dalam masa jabatannya” yang merupakan salah satu instrument

mewujudkan pemerintahan presidensial.77

Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU No. 24

Tahun 2003. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat

Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

76Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , 2006, hlm. 153.

77Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op. Cit., h. 256

Universitas Sumatera Utara

Page 64: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

diberhentikan sebelum masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih

langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before

law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum

sebagaimana yang ditentukan dalam UUD NRI 1945. Tetapi proses

pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang

presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud

dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi.78

D. Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi Di Indonesia

Dalam hal ini hanya Dewan Perwakilan Rakyat yang dapat mengajukan ke

Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat

semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan

Rakyat yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota Dewan

Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-

kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.

1. Pengangkatan Hakim Konstitusi

Pembicaraan mengenai hukum selalu berkaitan erat dengan masalah

penegakkan hukum dan keadilan, dan lebih kongkret diarahkan lagi kepada aparat

penegak hukum, dan yang paling dominan adalah hakim. Hakim inilah yang pada

akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara atas dasar hukum dan

keadilan sesuai dengan hati nuraninya. Hakim adalah konkritisasi hukum dan

78http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11768#.V-NPCE197IU. Diakses pada tanggal 15 September 2016, pukul 19.20.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

keadilan yang bersifat abstrak. Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai

wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.79

Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat yaitu memiliki integritas, dan

kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan

ketata negaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

Demikian pula dalam Mahkamah Konstitusi, Hakim Konstitusi memegang

peranan yang sangat penting dalam rangka menjamin terwujudnya peradilan

konstitusi yang independen. Oleh karena itu diperlukan adanya persyaratan-

persyaratan dalam pemilihan hakim konstitusi. Proses pemilihan hakim konstitusi,

secara khusus diatur dalam Undang-Undang, dengan persyaratan-persyaratan

yang mendukung tercapainya tujuan kemandirian tersebut.

80 Pengangkatan

hakim konstitusi dilakukan dengan harus memenuhi syarat, yaitu sebagai

berikut81

a) warga negara Indonesia

:

b) berijazah doktor dan magister dengan sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum

c) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia d) berusia paling rendah empat puluh tujuh tahun dan paling tinggi

enam puluh lima tahun pada saat pengangkatan e) mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan

kewajiban f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan h) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit lima

belas tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.

79https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/12/22/independensi-mahkamah-konstitusi-dalam-memutus-perkara/. Diakses pada tanggal 09 Agustus Tahun 2016, Pukul 14.40.

80Ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945 Jo. Pasal 15 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011.

81Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Ketentuan syarat-syarat tersebut dimaksudkan untuk memperoleh

komposisi dan kualitas hakim konstitusi yang diharapkan dapat benar-benar

mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang bersifat netral dan independen.

2. Pemberhentian Hakim Konstitusi

Hakim dapat diangkat dan dapat diberhentikan dalam masa tugasnya.

Hakim Konstitusi dapat diberhentikan dengan dua cara yaitu : 1) Pemberhentian

dengan hormat, 2) pemberhentian dengan tidak hormat.

Sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (6) yang menyatakan bahwa

pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan

lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Pengaturan

pemberhentian hakim konstitusi diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 8 Tahun 2011,

sebagaimana disebutkan pada ayat (1) hakim konstitusi diberhentikan dengan

hormat dengan alasan :

a) meninggal dunia; b) mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c) telah berusia tujuh puluh tahun; d) telah berakhir masa jabatannya; e) sakit jasmanai atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan

sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Sedangkan pada ayat (2) menerangkan bahwa Hakim Konstitusi dapat

diberhentikan tidak dengan hormat apabila: a) dijatuhi pidana penjara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; b) melakukan

perbuatan tercela, c) tidak meghadiri persidangan yang menjadi tugas dan

Universitas Sumatera Utara

Page 67: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kewajiban selama lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d) melanggar

sumpah atau janji jabatan; e) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi

memberi putusan dalam waktu yang telah ditentukan Pasal 7B ayat (4) UUD NRI

1945; f) melanggar larangan rangkap jabatan; g) tidak lagi memenihi syarat

sebagai hakim konstitusi; h) melangggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Konstitusi.

Pemberhentian tidak hormat hakim konstitusi apabila melanggar ketentuan

haruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan h dilakukan setelah hakim

konstitusi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan

Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

Untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan

negarawan, dibentuklah suatu Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang

berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan

tugasnya. Dengan tujuan agar Hakim Konstitusi tidak ada yang diberhentikan

secara tidak hormat. Hal ini diatur dalam peraturan Mahkmah Konstitusi Republik

Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan

Perilaku Hakim Konstitusi. Namun walaupun demikan sebagai manusia biasa,

pasti ada kalanya kadang bersifat khilaf dan salah sehingga ada kemungkinan

Hakim konstitusi akan melanggar Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi yang

telah ditetapkan. Demi untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim Konstitusi apabila ada pelanggaran yang dilakukan Hakim Konstitusi

dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Sehingga integritas,

kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan Hakim Konstitusi tetap terjaga.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

BAB III

MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945 juncto Pasal 15 ayat (1) UU No. 8

Tahun 2011 menyatakan bahwa Hakim konstitusi sebagai pejabat yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan kepribadian

yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan

ketatanegaraan, dalam mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi

kehidupan kehidupan kebangsaan yang kenegaraan yang bermartabat.

Citra peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman

yang merdeka, sebagai benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan

keadilan, sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kompetensi, serta perilaku para

hakim konstitusi dalam melaksanakan amanah untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara yang diajukan kepadanya Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk menegakkan integritas dan kepribadian hakim konstitusi yang adil

dan tidak tercela, maka ditetapkanlah Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi.82

82Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia disebut dengan Sapta Karsa Hutama.

Sebagai pedoman bagi hakim konstitusi dan tolok ukur menilai

perilaku hakim konstitusi secara terukur dan terus menerus, dan untuk membantu

masyarakat pada umumnya termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan

lain, agar lebih memiliki pengertian terhadap fungsi Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang kode etik dan perilaku hakim

konstitusi ditetapkan pertama kali pada tanggal 18 Oktober 2005, Nomor

07/PMK/2005. Namun peraturan ini tidak berlaku lagi setelah ditetapkannya

Peraturan Mahkamah Konstitusi yang baru tentang dekralasi kode etik dan

perilaku hakim konstitusi yaitu Nomor 09/PMK/2006.83

“The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi

(independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan

dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan

(competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik

hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur

dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran,

amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras,

Untuk selanjutnya dalam

penulisan skripsi ini disebut dengan PMK No. 09/PMK/2016.

Dalam pembukaan Dekralasi Kode Etik tersebut disebutkan bahwa

penyusunan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi merujuk kepada “The

Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh

negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”,

disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan

berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang

Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku.

83Ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 09/PMK/2006

Universitas Sumatera Utara

Page 70: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai

hakim konstitusi.84

1. Hakim konstitusi harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.

Prinsip yang termuat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

dimaksud untuk melengkapi dan bukan untuk mengurangi ketentuan hukum dan

perilaku yang sudah ada, yang mengikat hakim konstitusi.

Adapun prinsip-prinsip kode etik dan perilaku hakim konstitsi serta

penerapannya berdasarkan PMK No. 09/PMK/2006 adalah sebagai berikut:

PERTAMA PRINSIP INDEPENDENSI

Independensi hakim konstitusi merupakan Prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. penerapan:

2.Hakim konstitusi harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.

84Pembukaan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

3.Hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislative, dan lembaga-lembaga negara lainnya.

4.Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim konstitusi harus independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.

5.Hakim konstitusi harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun kelembagaan.

6.Hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah.

KEDUA PRINSIP KETAKBERPIHAKAN

Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antara kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahap proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa

prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong kepada salah satu pihak.

2.Hakim konstitusi harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun diluar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim konstitusi dan Mahkamah.

3.Hakim konstitusi harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim konstitusi tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara.

4.Hakim konstitusi dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim konstitusi lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjels putusan.

5.Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara

Page 72: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau

b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan;

KETIGA PRINSIP INTEGRITAS

Integritas merupakan sikap batin yang tercermin keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniayah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya. Penerapan: 1.Hakim konstitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut

pandang pengamatan yang layak. 2.Tindak tanduk dan perilaku hakim konstitusi harus memperkuat

kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa Mahkamah. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga tampak dilaksanakan.

3.Hakim konstitusi dilarang meminta atau menerima atau harus menjamin bahwa anggota keluarganya tidak meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat atau janji untuk menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat dari pihak yang berperkara atau pihak lain yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksa yang dapat memengaruhi hakim dalam menjalankan tugasnya.

4.Hakim konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan pegawai Mahkamah atau pihak lain yang berada di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangannya untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman atau imbalan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim konstitusi berkenaan dengan pelaksanaan tugas Mahkamah.

KEEMPAT

PRINSIP KEPANTASAN DAN KESOPANAN

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan

Universitas Sumatera Utara

Page 73: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antara pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesame hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak

pantas dalam segala kegiatan. 2.Sebagai abdi hukum yang terus menjadi pusat perhatian masyarakat,

hakim konstitusi harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hari serta bertingkahlaku sejalan dengan martabat Mahkamah.

3.Dalam hubungan pribadi dengan angota-anggota profesi hukum lainnya yang beracara di Mahkamah, hakim konstitusi harus menghindari keadaan yang menurut penalaran yang wajar dapat menimbulkan kecurigaan dan memperlihatkan sikap berpihak.

4.Hakim konstitusi tidak akan mengizinkan tempat tinggalnya untuk digunakan oleh anggota suatu profesi hukum lain sebagai tempat untuk menerima klien atau menerima angota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.

5.Sebagaimana warga negara pada umumnya , hakim konstitusi berhak atas kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan berkumpul, sepanjang dalam menggunakan hak-hak tersebut, hakim konstitusi selalu menjaga martabat Mahkamah, prinsip ketakberpihakan dan independensi Mahkamah.

6.Hakim konstitusi harus menginformasikan secara terbuka tentang keadaan kekayaan pribadi dan keluarganya atas kesadaran sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7.Hakim konstitusi dilarang mengizinkan anggota keluarganya dan/atau relasi sosial lainnya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara.

8.Hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga. Demikian pula hakim kosntitusi dilarang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunai kedudukan khusus yang dapat memengaruhi hakim konstitusi dalam pelaksanaan tugasnya.

9.Keterangan rahasia yang diperoleh hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya dilarang dipegunakan atau diungkapkan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan tugas Mahkamah.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

10. Dengan tetap mengutamakan dak terikat pada aturan-aturan tentang tugas-tugasnya di bidang peadilan serta dengan tetap mempertahankan prinsip independensi dan ketakberpihakan, hakim konstitusi boleh:

a. Menulis, member kuliah, mengajar, dan turut serta dalam kegitan-kegitan ilmiah di bidang hukum dan peradilan atau hal-hal terkait dengannya;

b. Atas persetujuan pimpinan, tampil dalam forum dengar pendapat umum di hadapan suatu lembaga resmi berkenaan dengan hal-hal yang terkait dengan hukum dan peradilan atau hal-hal yang terkait dengan hukum dan peradilan atau hal-hal yang terkait dengannya;

c. Atas persetujuan pimpinan, berperan sebagai penasihat pemerintah, atau dalam suatu kepanitiaan, komite, atau komisi tidak tetap lainnya; atau

d. Melakukan kegiatan lain sepanjang tidak mengurangi martabat Mahkamah atau mengganggu pelaksanaan tugas Mahkamah.

11. Hakim konstitusi dapat ikut serta dalam perkumpulan sosial atau professional yang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai hakim konstitusi.

KELIMA PRINSIP KESETARAAN

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus menyadari dan memahami kemajemukan

dalam masyarakat serta perbedaan-perbedaan yang timbul berdasarkan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, dan keyakinan politik.

2.Dalam melaksanakan tugasnya, baik dengan perkataan maupun tindakannya, hakim konstitusi dilarang berpurba sangka atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasanan-alasan yang tidak relevan.

3.Dalam melaksnakan tugasnya, hakim konstitusi harus memperhatikan dengan selayaknya semua orang yang berhubungan dengan Mahkamah, seperti para pihak, saksi, ahli, advokat atau kuasa hukum,

Universitas Sumatera Utara

Page 75: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

staf Mahkamah atau rekan sejawat hakim konstitusi, dengan tidak membeda-bedakan tanpa alasan yang relevan.

4.Hakim konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan staf Mahkamah atau pihak-pihak lain yang berada di bawah pengaruh, petunjuk atau pengawasannya untuk membeda-bedakan para pihak yang terkait dengan perkara yang diadili oleh hakim konstitusi atas alasan yang tidak relevan.

5.Hakim konstitusi harus mewajibkan para advokat atau kuasa hukum dalam persidangan untuk tidak memperlihatkan purbasangka atau bias, baik dengan perkataan maupun perbuatan, tanpa alasan yang relevan.

KEENAM PRINSIP KECAKAPAN DAN KESEKSAMAAN

Kecakapan dan keseksamaan hakim konstitusi merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan professional hakim konstitusi yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dan pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim konstitusi yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan. Penerapan: 1.Hakim konstitusi mengutamakan tugas Mahkamah di atas segala

kegiatan lainnya. 2.Hakim konstitusi harus mendedikasikan diri untuk pelaksanaan tugas-

tugasnya, baik dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab Mahkamah maupun tugas-tugas lain yang berhubungan dengan hal itu.

3.Hakim konstitusi harus senantiasa meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan pribadi lainnya melalui berbagai saranan dan media yang tersedia yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Mahkamah yang baik.

4.Hakim konstitusi harus senantiasa mengikuti perkembangan hukum nasional dan internasional yang relevan, termasuk konvensi-konvensi dan perangkat-perangkat hukum lainnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

5.Hakim konstitusi harus menjamin penyelesaian perkara secara efesien, baik dan tepat waktu, termasuk pengucapan dan penyampaian putusan kepada pihak-pihak.

KETUJUH PRINSIP KEARIFAN DAN KEBIJAKSANAAN

Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada

Universitas Sumatera Utara

Page 76: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

saat itu serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar tetapi tegas dab lugas. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus menjaga tata tertib persidangan, santun, dan

menghargai semua pihak dalam persidangan, sebagaimana para pihak menghormati hakim kosntitusi sesuai dengan tata tertib persidangan.

2.Hakim konstitusi harus mendengar keterangan para pihak dengan sabar.

3.Hakim konstitusi harus menjawab dengan sikap penuh pengertian (Empathy).

4.Hakim konstitusi harus bersikap tenang (sober) dalam memeriksa dan memutus setiap perkara.

5.Hakim konstitusi harus bersikap penuh wibawa dan bermartabat (dignity).

Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi pada dasarnya telah mengatur sedemikian rinci bagaimana kode

etik dan perilaku hakim konstitusi dalam menjalanakan tugas dan

kewenangannya. Bahkan dalam peraturan Mahkamah Konstitusi telah mengatur

bagaimana pedoman Hakim Konstitusi terhadap keluarga agar berupaya menjaga

keluarga dari perbuatan menurut norma hukum dan kesusilaan.

Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU No. 8

Tahun 2011. Dalam pasal tersebut mengatur tentang pemberhentian dengan tidak

hormat terhadap hakim konstitusi. Dimana salah satu ketentuan, hakim konstitusi

diberhentikan dengan tidak hormat adalah melakukan perbuatan tercela dan/atau

melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.85

85Lidya Suryani Widayati, “Pemberhentian Hakim Konstitusi Tidak Dengan Hormat”, Jurnal Hukum, Vol. V, No.21/I/P3DI/November/2013.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

B. Dewan Etik Hakim Konstitusi

Tertangkap tangannya salah seorang Hakim konstitusi pada hari Rabu, 8

Oktober 2013 dengan dugaan penyuapan, membuat Mahkamah Konstitusi

mengevaluasi struktur pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Akhirnya

Mahkamah Konstitusi membentuk komponen dari Mahkamah Konstitusi yang

baru yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi melalui PMK No. 2 Tahun 2013.

Namun PMK No. 2 Tahun 2013 yang ditetapkan pada tanggal 29 Oktober

2013 tersebut tidak berlaku lama, pada tanggal 18 Maret 2014 Peraturan tersebut

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Kemudian pengaturan tentang Dewan

Etik diatur pada PMK No. 2 Tahun 2014. Dengan berdasar pada PMK No. 2

Tahun 2014 tersebut maka Dewan Etik menetapkan Peraturan Dewan Etik Hakim

Konstitusi Nomor 1 tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja Dan Tata Cara

Pemeriksaan Laporan dan Informasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (5) PMK No. 2 Tahun 2014 juncto

Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dewan Etik Nomor 1 Tahun

2014 memberikan definisi, “Dewan Etik Hakim Konstitusi merupakan perangkat

yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, serta Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama), terkait dengan

laporan dan informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim

Terlapor dan Hakim Terduga86

86Hakim terlapor adalah hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan laporan yang diperoleh Dewan Etik dari masyarakat secara tertulis, sedangkan yang dimaksud dengan Hakim terduga adalah hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan informasi yang diperoleh Dewan Etik melalui pemberitaan media massa, baik cetak

yang disampaikan oleh masyarakat”.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Dewan Etik “besifat tetap” dan berkantor di Mahkamah Konstitusi.87

Dewan etik terdiri dari seorang Ketua dan merangkap anggota dan dua orang

anggota, Ketua dewan etik dipilih dari dan oleh anggota Dewan Etik secara

musyawarah dan mufakat, jika mufakat tidak tercapai, pemilihan Ketua dilakukan

dengan suara terbanyak. Dewan etik juga mempunyai sekretariat yang dipimpin

oleh Sekretaris Dewan Etik yang diangkat dan diberhentikan oleh Sekretaris

Jenderal Mahkamah Konstitusi.88

Dengan masa jabatan tiga tahun dan tidak dapat dipilih lagi.

Dewan Etik mempunyai struktur keanggotaan sebagaimana diatur dalam

Pasal 15 ayat (1) PMK No. 2 Tahun 2014, yaitu terdiri atas:

a. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; b. 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; dan c. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.

89 Anggota

Dewan Etik harus memenuhi syarat untuk diangkat menjadai Dewan Etik, adapun

persyaratan, tersebut terdiri atas90

a. jujur, adil, dan tidak memihak;

:

b. berusia paling rentah 60 (enam puluh)tahun; c. berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

Pada ketentuan Pasal 20 PMK Nomor 2 Tahun 2014 mengatur bahwa

Dewan Etik akan dipilih oleh Panitia Seleksi yang bersifat independen, Panitia

maupun elektonik, dan dari masyarakat luas. . Lihat Pasal 1 angka 6 dan 7 PMK No. 2 Tahun 2014.

87Ketentuan Pasal 14 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2014 Juncto Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014.

88Ketentuan Pasal 3 Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014. 89Ketentuan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2014 90Ketentuan Pasal 19 PMK No. 2 Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara

Page 79: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Seksi ini terdiri atas tiga orang anggota yang dipilih dalam Rapat Pleno Hakim

yang bersifat tertutup. Panitia Seleksi ini terdiri atas:

a. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; b. 1 (satu) orang akademisi; dan c. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.

Dewan Etik mempunyai tugas yang diatur pada Pasal 21 PMK No. 2 Tahun

2014 juncto Pasal 4 Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014. Pasal 4 Peraturan

Dewan Etik Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan sebagai berikut:

a. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, supaya Hakim tidak melakukan pelanggaran berupa: a) melakukan perbuatan tercela; b) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan

kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c) melanggar sumpah janji atau jabatan; d) dengan sengaja menghambat Mahkamah member putusan dalam

waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana di maksud dalam Pasal 7B ayat (4) UUD NRI 1945;

e) melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi; f) melanggar larangan sebagai Hakim Untuk:

1) merangkap jabatan sebagaimana pejabat-pejabat negara lainnya, anggota-anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri;

2) Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung mapun tidak langsung;

3) Mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan;

g) tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim untuk: 1) Menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya; 2) Memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil,

tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan 3) Menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta

dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. b. Melakukan pengumpulan, pengelolaan, dan penelaahan laporan dan

informasi tentang perilaku Hakim; c. Memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan

pelanggaran sebagaimanadimaksud Pasal 4 huruf a;

Universitas Sumatera Utara

Page 80: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

d. Mengusulkan kepada Mahkamah untuk membentuk Majelis Kehormatan dan membebas tugaskan sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagai Hakim Konstitusi apabila Dewan Etik menyimpulkan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah melakukan pelanggaran berat;

e. Menyampaikan laporan dan informasi yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditelaah tentang perilkau Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran beratn dalam sidang Majelis Kehormatan;

f. Menyampaikan laporan peelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi.

Untuk melaksanakan tugasnya Dewan Etik mempunyai wewenang yang

diatur pada Pasal 22 PMK No. 2 Tahun 2014 Juncto Pasal 5 Peraturan Dewan

Etik No. 1 Tahun 2014, yaitu sebagai berikut:

a. Memberikan pendapat secara tertulis atas pernyataan Hakim mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;

b. Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, Pelapor, serta pihak lain yang berkaitan;

c. Memberikan teguran lisan kepada Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;

d. Mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggran berat atau Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;

e. Mengusulkan kepada Mahkamah untuk membebastugaskan sementara sebagai Hakim Konstitusi terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggran berat.

Sejak Mahkamah Konstitusi mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19

Agustus 2003, Dewan Etik baru dibentuk pada tahun 2013. Sebagaimana pada

tanggal 12 Desember 2013, Hamdan Zoelva menyampaikan keanggotaan Panitia

Seleksi Dewan Etik Hakim Konstitusi yang terdiri dari:

a. Laica Marzuki sebagai koordinator; b. Slamet Effendy Yusuf sebagai anggota; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 81: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

c. Aswanto sebagai anggota

Panitia Seleksi Dewan Etik Hakim Konstitusi yang telah terbentuk ini

memilih tiga dari 37 calon yang mendaftarkan diri maupun diusulkan oleh

masyarakat. Dewan Etik Hakim Konstitusi yang yang dipilih oleh Panitia Seleksi

untuk periode 2013-2016, yaitu terdiri atas91

:

a. Abdul Mukthie Fadjar dari unsur mantan Hakim Konstitusi; b. Zaidun dari unsur akademisi; dan c. A. Malik Madani dari unsur tokoh masyarakat.

Dewan Etik dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 18 PMK No.

2 Tahun 2014 akan dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris

Jenderal Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya

Dewan Etik mempunyai kaitan yang erat dengan salah satu lembaga yang

dibentuk Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan PMK No. 2 Tahun 2014 juga,

yaitu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana ketentuan Pasal 22 PMK No. 2 Tahun 2014, yang

menyatakan bahwa salah satu wewenang Dewan Etik adalah mengusulkan

pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan

terhadap Hakim Terduga yang diduga telah telah melakukan pelanggaran berat

dan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau

Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan dan/atau tulisan sebanyak

tiga kali.

91Mahkamah Konstitusi, “Dewan Etik MK Resmi Bekerja” <http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=9731>. Diakses pada tanggal 11 September 2016, Pukul 20.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

C. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Penegak

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

Pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah

ada sejak ditetapkannya UU No. 24 Tahun 2003, yaitu pada Pasal 23 ayat (3),

yang menyatakan bahwa; “Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g

dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri

dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.” Kemudian pada tahun

2006 Mahkamah Konstitusi membentuk Peraturan tentang Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi yaitu peraturan Nomor 10/PMK/2006. Pada perubahan UU

No. 24 Tahun 2003 Majelis Kehormatan baru didefinisikan yaitu setelah

ditetapkannya UU No. 8 Tahun 2011.

Pada Pasal 1 angka 4 UU No. 8 Tahun 2011 memberikan defenisi, yang

menyatakan bahwa: “Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi adalah perangkat

yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan

merekomendasikan tindakan terhadap Hakim konstitusi, yang diduga melanggar

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.

Kemudian lebih lanjut pada Bab IVA Pasal 27A ayat (2) menyatakan

bahwa: untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi

maka dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang anggotanya

terdiri dari:

a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan

pemerintah di bidang hukum; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 83: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

d. 1 (satu) orang hakim agung.

Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

49/PUU/IX/2011, Pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD

NRI 1945 dengan pendapat Mahkamah pada halaman putusan tersebut

sebagai berikut:

Adanya unsur DPR, unsur Pemerintah, dan hakim agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 beralasan menurut hukum. Oleh karena Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 8/2011 saling memiliki keterkaitan satu sama lain dengan Pasal 27A ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 8/2011 maka pasal a quo juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara spesifik baru

dibentuk pada tanggal 21 Maret 2013 melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi

No. 1 Tahun 2013. Namun Peraturan tentang Majelis Kehormatan ini hanya tidak

berlaku lam yaitu hanya berlaku berlaku sekitar kurang dari satu tahun. Seperti

halnya Pengaturan Mahkamah konstitusi No. 2 Tahun 2013, pada tanggal 18

Maret PMK No. 1 Tahun 2013 ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pengaturan Majelis Kehormatan kemudian diatur dalam PMK No. 2 Tahun 2014.

Adapun pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam Peraturan

Mahkamah nomor 2 Tahun 2014 tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Kedudukan dan Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkmah Konstitusi

Universitas Sumatera Utara

Page 84: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Untuk menegakkan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi dibentuk

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi merupakan perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan kode etik hakim

konstitusi terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang

dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh

Dewan Etik.92 Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dibentuk oleh

Mahkamah Konstitusi atas usulan Dewan Etik.93 Berdasarkan ketentuan Pasal 3

PMK No. 2 tahun 2014 menyatakan bahwa usulan pembentukan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi disampaikan secara tertulis disertai dengan

usul pembebas tugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Kemudian dalam

jangka waktu palig lama tujuh hari kerja sejak diterimanya usulan Dewan Etik

Mahkamah Konstitusi harus sudah membentuk Majelis Kehormatan dan

membebas tugaskan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.94

Dalam melaksanakan tugasnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

berpedoman kepada: a) Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; b)

tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; c) norma

dan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan

Majelis Kehormatan dan pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga

kemudian ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.

95

92Ketentuan Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 2 ayat (1) PMK No. 2 Tahun 2014 93Ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK No. 2 Tahun 2014 94Ketentuan Pasal 3 PMK No. 2 Tahun 2014 95Ketentuan Pasal 27A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

Page 85: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini bersifat ad hoc, sehingga

Majelis Kehormatan Hakim konstitusi hanya akan dibentuk oleh Mahkamah

Konstitusi apabila ada usulan dari Dewan Etik.

2. Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Sebagaimana telah penulis jelaskan bahwa ketentuan keanggotaan Majelis

Kehormatan berdasarkan Pasal 27A ayat 2 telah dinyatakan bertentangan dengan

UUD NRI 1945. Sehingga stuktur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi saat ini merujuk pada PMK No. 2 Tahun 2014, Pasal 5 PMK No. 2

Tahun 2014 menyatakan bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah

terdiri atas unsur:

a. 1 (satu) orang Hakim Konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; d. 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; e. 1 (satu) orang tokoh masyarakat

Calon anggota Majelis Kehormatan dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang

bersifat tertutup. Untuk yang berasal dari Komisi Yudisial akan ditugaskan oleh

Komisi Yudisial sesuai sengan permintaan Mahkamah Konstitusi. Kemudiaan

setelah terpilih akan ditetapkan menjadi Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.96

3. Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

96Ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 7 PMK No. 2 tahun 2014

Universitas Sumatera Utara

Page 86: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Susunan Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi sesuai PMK No. 2

Tahun 2014 Pasal 8 ayat (1) terdiri atas:

a. 1 (satu) orang Ketua Merangkap anggota; b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota; dan c. 3 (tiga) orang anggota.

Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini ditetapkan dengan

Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam melaksanakan tugasnya

berdasarkan Pasal 10 PMK No. 2 Tahun 2014, Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal

Mahkamah Konstitusi.

4. Syarat Keanggotaan Majelis Kehormatan

Untuk mendapatkan anggota Majelis Kehormatan yang sesuai dengan

ketentuan peraturan yang berlaku maka perlu dibuat ketentuan beberapa syarat

untuk bisa menjadi anggota Majelis Kehormatan, Pasal 11 PMK No. 2 Tahun

2014 Untuk menjadi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi harus

memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:

a. jujur, adil, dan tidak memihak; b. berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun untuk anggota Majelis

Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, huruf d, dan huruf e;

c. berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

5. Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Dalam menegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi sudah seyogyanya mendapatkan tugas dan

Universitas Sumatera Utara

Page 87: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kewenangan. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 PMK No. 2 Tahun Tahun

2014, tugas Majelis Kehormatan adalah sebagai berikut:

a. melakukan pengelolaan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;

b. menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.

Untuk menunjang pelaksanaan tugasnya, berdasarkan Pasal 13 PMK No. 2

Tahun 2014 Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang,

yaitu sebagai berikut:

a. memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diajukan oleh Dewan Etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;

b. memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk diminta keterangan, termasuk untuk meminta dokumen atau alat bukti lain; dan

c. menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah pernah dibentuk pada

pada tanggal 3 Oktober 2014,97 yang terdiri dari98

1. Dr. Harjono, S.H., M.C.L., yang berasal dari Hakim Konstitusi

:

2. Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H., yang berasal dari Wakil Ketua Komisi Yudisial

3. Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., yang berasal dari mantan Ketua Mahkamah Agung

4. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., yang berasal dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi

97Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

98Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 8 Tahun 2013 tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 88: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

5. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., yang berasal dari Guru Besar Senior Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Pembentukan Majelis kehormatan tersebut untuk memeriksa dan mengadili

mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang diduga melakukan tindak pidana

korupsi.

6. Persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dugaan

pelanggaran berat yang dilakukan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang

diajukan oleh Dewan Etik akan melakukan persidangan. Berdasarkan ketentuan

Pasal 33 PMK No. 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa Persidangan Majelis

Kehormatan terdiri atas: sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang pemeriksaan

lanjutan, dan rapat pleno majelis kehormatan. Untuk lebih lanjut megenai

persidangan Majelis Kehormatan, yaitu sebagai berikut:

a) Sidang Pemeriksaan Pendahuluan

Sidang pemeriksaan pendahuluan sesuai dengan Pasal 34 PMK No. 2

Tahun 2014 dilaksanakan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap

Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran berat.

Sidang pemeriksaan pendahuluan ini bersifat tertutup untuk umum, namun setelah

mendapatkan keputusan hasil pemeriksaan, Keputusan tersebut harus disampaikan

Majelis Kehormatan yang terbuka untuk khalayak umum. Berdasarkan Pasal 36

PMK No. 2 Tahun 2014 Pemeriksaan pendahuluan meliputi:

a. Mendengarkan keterangan Dewan Etik; b. Mendengarkan keterangan pelapor; c. Memeriksa alat bukti; dan/atau

Universitas Sumatera Utara

Page 89: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

d. Mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga

Sidang pemeriksaan pendahuluan ini berdasarkan ketentuan Pasal 37 (1)

PMK No. 2 Tahun 2014 dilaksanakan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja

sejak ditetapkannya Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi tentang pembentukan

Majelis Kehormatan, kemudian lebih lanjut pada ayat (2) mengatakan Sidang

Pemeriksaan Pendahuluan harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 15

(lima belas) hari kerja.

Setelah selesai mendengarkan penjelasan dari para pihak berdasarkan

sidang pemeriksaan pendahuluan akan menghasilkan kesimpulan Majelis

Kehormatan yang menyatakan bahwa99

a. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan

pelanggaran

:

Apabila Hakim Terduga atau Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan

pelanggaran maka Majelis Kehormatan harus mengambil keputusan bahwa Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan

merehabilitasi yang bersangkutan. Rehabilitasi akan ditetapkan dengan keputusan

Ketua Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja sejak

diterimanya Keputusan Majelis Kehormatan.

b. Hakim Terlapor atau Terduga Terbukti Melakukan Pelanggaran

Ringan

99Ketentuan Pasal 40 PMK Nomor 2 Tahun 201

Universitas Sumatera Utara

Page 90: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Dalam hal sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan Majelis

Kehormatan harus mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim

Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan Majelis Kehormatan dalam

keputusannya harus memuat penjatuhan sanksi terhadap Hakim Terlapor atau

Hakim Terduga berupa tuguran lisan.

c. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga Diduga Melakukan Pelanggaran

Berat

Jika Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran berat, maka Majelis

Kehormatan mengambil keputusan melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga dalam Sidang Pemeriksaan Lanjutan, disertai

dengan pemberhentian sementara.

b) Sidang Pemeriksaan Lanjutan

Sidang pemeriksaan lanjutan ini sesuai ketentuan Pasal 44 PMK No. 2

Tahun 2014 dilaksanakan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran berat dan

melakukan pemeriksaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah

mendapatkan teguran lisan sebanyak tiga kali, serta membacakan Keputusan

Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 91: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Sidang pemeriksaan lanjutan dilakukan dengan beberapa tahap, dimana

setiap tahap pemeriksaan lanjutan harus dihadiri oleh Dewan Etik, adapun tahap-

tahapnya yaitu sebagai berikut100

a. Mendengarkan keterangan Dewan Etik;

:

b. Mendengarkan keterangan pelapor; c. Memeriksa alat bukti; d. Menjelaskan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim

Terduga; Setelah selesai mendengarkan dan memeriksa alat bukti dari para pihak

sidang pemeriksaaan lanjutan sesuai dengan Pasal 50 PMK No. 2 Tahun 2014,

akan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang menyatakan bahwa:

a. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan

pelanggaran

Apabila dalam pemeriksaan lanjutan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga

menyimpulkan tidak terbukti melakukan pelanggaran, Maka Majelis Kehormatan

juga akan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Terduga tidak

terbukti melakukan pelanggaran dan memeberikan usulan merehabilitasi yang

bersangkutan yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan

Mahkamah Konstitusi.

b. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga Terbukti Melakukan

Pelanggaran Ringan

Apabila pada tahap sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, maka

100Ketentuan Pasal 44 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara

Page 92: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Majelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim

Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan dalam keputusan Majelis

Kehormatan harus memuat penjatuhan sanksi berupa teguran lisan.

c. Hakim Terlapor Atau Hakim Terduga Terbukti Melakukan

Pelanggaran Berat

Dalam hal sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor

atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, maka dalam

keputusan Majelis Hakim harus memuat penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis

atau pemberhentian tidak dengan hormat.

Jika keputusan Majelis Kehormatan memuat penjatuhan sanksi berupa

pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, Maka

Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan

hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden dalam jangka waktu

paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanaya keputusan Majelis Kehormatan

oleh Mahkamah Konstitusi.

c) Rapat Pleno Majelis Kehormatan

Berdasarkan Pasal 54 PMK No. 2 Tahun 2014 Rapat pleno Majelis

kehormatan dilakukan secara tertutup untuk umum, Rapat ini dilaksanakan untuk

mengambil keputusan Majelis Kehormatan mengenai dugaan pelanggaran yang

dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.

Universitas Sumatera Utara

Page 93: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

7. Prinsip Sifat Dasar dan Muatan Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi Sebagai Alat Penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mempunyai hubungan yang erat

dalam pelaksanakaan tugas dan wewenangnya masing-masing. Dewan Etik dan

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi merupakan dua lembaga yang

berperan dalam menegakkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Dimana

salah satu wewenang Dewan Etik adalah mengusulkan pembentukan Majelis

Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim

Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran berat dan

untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim

Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan dan/atau tertulis sebanyak tiga kali,

sedangkan salah satu tugas Majelis Kehormatan adalah melakukan pengelolaan

dan penelahaan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik Tersebut. Pada

saat Majelis Kehormatan melaksanakan persidangan, baik sidang pemeriksaan

pendahuluan, maupun sidang pemeriksaan lanjutan harus dihadiri oleh Dewan

Etik.

Bahkan pengaturan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan diatur pada

Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sama yaitu Peraturan Mahkmah Konstitusi

Nomor 2 Tahun 2014, dan bahkan Pada Bab VIII Dan Bab XIII pengaturan

tentang prinsip-prinsip pelaksanaan tugas dan wewenang serta tentang sifat, dasar,

dan mutan keputusan, serta pengambilan keputusan Dewan etik dan Majelis

Kehormatan diatur pada Bab yang sama juga.

Universitas Sumatera Utara

Page 94: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa Dewan

Etik dan Majelis Kehormatan merupakan lembaga yang dibentuk untuk

menegakkan Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi, agar persyaratan integritas

dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan tetap terjaga, selama Hakim

Konstitusi melaksanakan wewenang dan kewajibannya sebagaimana yang telah

ditentukan dalam UUD NRI 1945.

Namun walaupun demikian dalam Dewan Etik dan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi sebagai alat penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi juga harus mematuhi prinsip-prinsip pelaksanaan tugas dan

wewenangnya, adapun prinsip-prinsip yang dimaksud diatur dalam Pasal 55 PMK

No. 2 Tahun 2014 yaitu sebagai berikut:

a. Prinsip Independensi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang sedang ditangani;

b. Prinsip Objektifitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus menggunakan kriteria, parameter, data, informasi, dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan;

c. Prinsip Imparsialitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksnakan tugas dan wewenangnya tidak memihak kepada siapapun dan kepentingan apapun;

d. Prinsip Penghormatan Kepada Profesi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib menjaga kehormatan dan keleluhuran martabat Hakim Konstitusi;

e. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, yaitu Hakim Terduga atau Terlapor dianggap tidak bersalah sampai dengan dibuktikannya sebaliknya berdasarkan Keputusan Dewan Etik atau Keputusan Majelis Kehormatan;

f. Prinsip Transparansi, yaitu masyarakat dapat mengakses data, informasi, Keputusan Dewan Etik dan Keputusan Majelis Kehormatan, kecuali hal-hal yang ditentukan lain dalam Peraturan ini; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 95: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

g. Prinsip Akuntabilitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang.

Dalam keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi sebagai alat Penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

memiliki sifat, dasar, dan muatan, yaitu sebagai berikut:

a) Sifat Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan

Pasal 69 PMK No. 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa Keputusan Dewan

Etik dan Majelis Kehormatan bersifat final dan mengikat.

b) Dasar Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan

Pasal 70 PMK No. 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa dalam mengambil

keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mendasarkan pada:

a) asas kepatutan, moral, dan etik; b) fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat; c) Kode Etik Hakim Konstitusi; dan d) keyakinan anggota Dewan Etik dan anggota Majelis Kehormatan.

c) Muatan Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan

Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan sesuai dengan pasal 71

PMK No. 2 Tahun 2014, harus memuat:

a) identitas Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; b) uraian singkat laporan atau informasi mengenai dugaaan pelanggaran

oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; c) fakta-fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat; d) pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; e) pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat

serta pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;

Universitas Sumatera Utara

Page 96: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

f) dasar hukum dan etika dalam pengambilan keputusan; g) amar keputusan; h) hari, tanggal, bulan, dan tahun keputusan; dan i) nama tanda tangan Ketua dan Anggota Dewan Etik dalam hal

keputusan Dewan Etik serta nama dan tanda tangan Ketua dan Anggota Majelis Kehormatan dalam hal keputusan Majelis Kehormatan.

Dalam pengambilan keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan

berdasarkan Pasal 72 PMK No. 2 Tahun 2014 dilakukan dengan secara

musyawarah mufakat dalam rapat tertutup untuk umum. Ketika tidak mencapai

mufakat, maka keputusan akan diambil berdasarkan suara terbanyak, apabila

keputusan tidak bisa diambil berdasarkan suara terbanyak, suara terakhir yang

menentukan keputusan adalah Ketua Rapat Dewan Etik dan Majelis Kehormatan.

Kemudian Pasal 73 PMK No. 2 Tahun 2014 Rapat wajib dihadiri oleh seluruh

anggota Dewan Etik dan Majelis Kehormatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

BAB IV

IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2

TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH

KONSTITUSI TERHADAP KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013

Hakim adalah konkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak.

Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Bagir Manan menyatakan bahwa kekuasaan

kehakiman yang merdeka, yang berwujud kebebasan hakim dalam memutus

perkara tidaklah tanpa resiko. Sangat besar kemungkinan terjadi untuk

menyalahgunakan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang atas nama

kebebasan hakim. Sehingga perlu dibuat batasan-batasan tertentu tanpa

mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman,

pembatasan tersebut diantaranya101

1. Hakim memutus menurut hukum.

:

2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan.

3. Dalam melakukan penafsiran konstruksi atau penemuan hukum, hakim

harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general

principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of

nature justice).

101Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995, h. 12-13.

Universitas Sumatera Utara

Page 98: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim

yang sewenang-wenang untuk menyalahgunakan kebebasannya.

Berhubungan dengan pendapat mengenai pembatasan keempat, Bagir

Manan menjelaskan tindakan yang dimaksud bukan mengenai fungsi yustisialnya.

Karena tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusannya

dianggap kurang adil. Akan tetapi tindakan terhadap hakim atas perilaku

pribadinya yang merugikan negara atau menurunkan martabat kekuasaan

kehakiman.102

102Ibid., h. 13.

Pendapat yang dijabarkan oleh Bagir Manan terbukti dalam tataran praktis.

yaitu, Pada tanggal 2 Oktober 2013 tertangkap tangannya Ketua Mahkamah

Konstitusi aktif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan tindak

pidana korupsi.

Berdasarkan pembahasan pada Bab sebelumya mengenai PMK No. 2

Tahun 2014 yang mengatur tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan

mengenai dugaan “pelanggaran berat” yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi.

Untuk dapat menilai sejauh mana pelaksanaan Peraturan Mahkamah Konstitusi

tersebut Maka akan dikaji dengan menganalisa Keputusan Majelis Kohormatan

Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 Dengan Hakim Terlapor Dr.

H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H.

Universitas Sumatera Utara

Page 99: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

A. Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Dalam

Memeriksa dan Mengambil Keputusan Pelanggaran Kode Etik dan

Perilaku Hakim Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini debentuk secara ad hoc, yang dibentuk

hanya ketika ada dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor

atau Hakim Terduga atas usulan Dewan Etik, yang kemudian akan ditetapkan

dalam keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Untuk memeriksa dan mengambil

keputusan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Nomor

01/MKMK/X/2013 dibentuk bedasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi

Nomor 7 Tahun 2013 juncto Nomor 8 Tahun 2013.

Dalam Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2013 pada

bagian menimbangnya mengatakan:

a. bahwa untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Konstitusi Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Rapat Pleno Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 3 Oktober 2013 menyepakati untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;

b. bahwa untuk maksud sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu menetapkan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi tentang Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Kemudian Berdasarkan pertimbangan Rapat Pleno Hakim Konstitusi pada

hari Kamis, tanggal tanggal 3 Oktober 2013 tersebut menetapkan Keputusan

Ketua Mahkamah Konstitusi Tentang Pembentukan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan 5 (lima) orang yang terdiri atas:

a. 1 (satu) orang Hakim Konstitusi b. 1 (satu) orang pimpinan Komisi Yudisial

Universitas Sumatera Utara

Page 100: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

c. 1 (satu) orang mantan pimpinan lembaga negara; d. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi atau mantan Hakim Agung,

dan e. 1 (satu) orang guru besar senior dalam ilmu hukum.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tersebut berwenang memeriksa

dan mengambil keputusan terhadap Hakim Konstitusi Dr. H.M. Akil Mochtar,

S.H., M.H. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam melaksankan

tugasnya Majelis Kehormatan dibantu oleh Sekretariat yang ditetapkan oleh

Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang telah dibentuk tersebut

dalam melaksanakan tugasnya memiliki jangka waktu paling lambat 60 (enam

puluh) hari kerja sejak tanggal ditetapkan dibentuk, dan dapat diperpanjang paling

lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Setelah nantinya majelis Kehormatan telah

mempunyai keputusan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh

Hakim Konstitusi Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H., maka Keputusan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus disampaikan kepada Mahkamah

Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak ditetapkan.

Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2013

tersebut maka dalam menetapkan nama-nama keanggotaan Majelis Kehormatan

untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Konstitusi Dr. H.M.

Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ketua

Mahkamah Konstitusi kemudian mengelurkan lagi Keputusan Nomor 8 Tahun

2013.

Dalam keputusan Nomor 8 Tahun 2013 tersebut menetapkan nama-nama

anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 101: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

1. Dr. Harjono, S.H., M.C.L., yang berasal dari Hakim Konstitusi 2. Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H., yang berasal dari Wakil Ketua

Komisi Yudisial 3. Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., yang berasal dari mantan

Ketua Mahkamah Agung 4. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., yang berasal dari Mantan Ketua

Mahkamah Konstitusi 5. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., yang berasal dari

Guru Besar Senior Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

B. Analisa Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor

01/MKMK/X/2013

Sebagaimana telah penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa

dalam Keputusan Majelis kehormatan, harus memuat antara lain:

1. identitas Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;

2. uraian singkat laporan atau informasi mengenai dugaaan pelanggaran oleh

Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;

3. fakta-fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat;

4. pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;

5. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat serta

pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;

6. dasar hukum dan etika dalam pengambilan keputusan;

7. amar keputusan;

Oleh karena itu, dalam menganalisa Keputusan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 ini, penulis akan

menguraikannya satu persatu, yaitu sebagai berikut:

1. Identitas Hakim Terlapor

Universitas Sumatera Utara

Page 102: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Jika dilihat ketentuan dari Pasal 71 PMK No. 2 Tahun 2014, tidak ada

menjelaskan hal-hal apa saja yang harus di uraikan Majelis Kehormatan mengenai

identitas Hakim Terlapor, Dalam ketentuan pasal 71 hanya menyatakan dalam

Keputusan Majelis Kehormatan harus memuat identitas Hakim Terlapor atau

Hakim Terduga. Dalam Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 01/MKMK/2013, memuat identitas Hakim Terlapor, yaitu:

1. Nama : Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.

2. Tempat/Tanggal Lahir : Putussibau. 18 Oktober 1960

3. Jabatan : Hakim Konstitusi

4. Alamat : Jl. Widya Chandra III No. 7 Jakarta Selatan.

2. Ringkasan Informasi Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Hakim Terlapor

Ketentuan Pasal 71 PMK No. 2 Tahun 2014 tentang muatan keputusan

Majelis Kehormatan mengenai uraian singkat laporan atau Informasi mengenai

dugaan pelanggaran oleh Hakim Terlapor. Dalam Keputusan Majelis Kehormatan

Nomor: 01/MKMK/X/2013, Informasi mengenai dugaan pelanggaran oleh Hakim

Terlapor, penulis mengkategorisasikannya dalam beberapa poin penting, yaitu

sebagai berikut:

a) Bepergian Tanpa Pemberitahuan Kepada Sekretariat Jenderal Mahkamah

Konstitusi

Hakim Terlapor diduga bepergian pada tanggal 21 September 2013 ke

Singapura bersama ajudan-KSN dan Sopir-DYN, Menurut dokumen yang

Universitas Sumatera Utara

Page 103: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

diperoleh oleh Majelis Kehormatan diketahui Hakim Terlapor ke Singapura dan

kenegara lainnya tanpa ada pemberitahuan kepada Sekretariat Jenderal.

b) Pelanggaran Hukum Atas Kepemilikan Barang Harta Kekayaan

Hakim terlapor diduga melakukan pelanggaran hukum mengenai hak atas

harta kepemilikannya, diantaranya; Hakim Terlapor diduga memiliki mobil

Toyota Crown Athlete yang tidak didaftarkan ke Ditlantas Polda Metro Jaya dan

diduga memilki mobil Sedan Mercedes Benz yang diatas namakan Sopir Hakim

Terlapor-DYN.

c) Penyalahgunaan Kewenangan

Hakim terlapor diduga melakukan penyalahgunaan kewenagan jabatannya,

dimana ketika Hakim Terlapor masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah

Konstitusi pernah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk

mengeluarkan surat terkait pelaksanaan Putusan Perkara Perselisihan Hasil

pemilkukada Banyuasin, dan Hakim Terlapor juga diduga mengeluarkan surat

yang menegaskan kebenaran surat yang dikirimkanm Panitera adalah atas perintah

Hakim Terlapor.

Selain itu Hakim terlapor diduga mengadakan pertemuan dengan Anggota

DPR yang berinisial CHN di ruang kerja Hakim Terlapor pada tanggal 9 Juli

2013. Selain itu, Hakim Terlapor dan Anggota DPR yang berinisial CHN berada

ditempat yang sama pada saat keduanya ditangkap KPK di Rumah Jabatan Hakim

Terlapor yaitu pada tanggal 2 Oktober 2013 karena dugaan penyuapan.

Universitas Sumatera Utara

Page 104: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Hakim Terlapor juga diduga menggunakan Kewenangannya sebagai Ketua

Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan pembagian penanganan perkara pada

Panel-nya lebih banyak daripada Panel lainnya.

d) Transaksi Keuangan Yang Tidak Wajar

Hakim Terlapor diduga mempunyai dana yang tersimpan di 15 rekening

bank dan isti Hakim terlapor juga mempunyai dana yang tersimpan di 5 rekening

bang dengan jumlah dan lalu lintas transaksi yang tidak wajar, serta adanya

informasi bahwa tansaksi keuangan direkening Hakim Terlapor dan istrinya

dilakukan oleh baik Sekretarisnya yang berinisial YS, maupun Sopirnya yang

berinisial DYN.

Dalam rekening Hakim Terlapor juga diduga adanya transaksi keuangan

yang dilakukan oleh STA yang meruppakan kuasa hukum para pihak yang

berperkara, dan pihak-pihak lain yang berperkara di Mahkamah Konstitusi

melalui setoran tunai dan transfer antara bank.

e) Pemakain dan Penyimpanan Barang Terlarang

Hakim terlapor diduga menyimpan barang berupa Narkotika dan obat-obat

terlarang seperti: 3 linting ganja dalam keadaan utuh dan 1 (satu) linting ganja

dalam keadaan bekas pakai, dan 2 (dua) buah pil inex berwarna ungu dan hijau di

raung kerja Ketua Mahkamah Konstitusi.

3. Fakta Yang Terungkap Dalam Sidang Majelis Kehormatan

Ketentuan Pasal 71 PMK No. 2 Tahun 2014 tentang muatan keputusan

Majelis Kehormatan mengenai fakta-fakta yang terungkap. Dalam Keputusan

Universitas Sumatera Utara

Page 105: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Majelis Kehormatan Nomor: 01/MKMK/X/2013 telah memeriksa dan/atau

meminta keterangan sejumlah saksi-saksi dan dokumen-dokumen, dan/atau

sumber informasi sebagai alat bukti. Saksi-saksi dibawah sumpah sebanyak 14

(empat belas) orang, diantaranya sebagai berikut:

a) Saksi Yuanna Sisilia

Saksi Yuanna Sisilia merupakan Sekretaris Ketua Mahkamah Konstitusi,

saksi Yuanna Sisilia pada pokoknya menerangkan bahwa:

1) Hakim Terlapor sering pergi keluar negeri bersama keluarga, Sopir

Hakim Terlapor, dan ajudanya, dimana dalam frekuensi waktu setahun

Hakim Terlapor bepergian ke Singapura 2 sampai 3 kali. Saksi pernah

menerima oleh-oleh dari Hakim Terlapor berupa tas, jam tangan, dan

parfum dari luar negeri;

2) Saksi juga pernah diminta melakukan penyetoran uang tunai ke

Rekenig Hakim Terlapor pada saat Hakim Terlapor menjadi Ketua

Mahkamah Konstitusi dalam jumalah bervariasi: Rp 10 juta, 50 juta,

100 juta, dan 200 juta yang dilakukan beberapa kali dalam satu bulan,

dan pernah sekali melakukan penyetoran sejumlah Rp 500 juta;

3) Saksi sering diminta Hakim Terlapor melakukan transaksi keuangan

melalui ATM atas nama Hakim terlapor dan memberikan PIN ATM

Hakim Terlapor kepada saksi.

4) Serta Hakim terlapor kadang-kadang menerima tamu pribadi tanpa

mengisi formulir penerimaan tamu pimpinan.

Universitas Sumatera Utara

Page 106: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

b) Saksi Sutarman

Saksi Sutarman merupakan Office Boy/Cleaningbservice Lantai 15 Gedung

Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya pada pokoknya menerangkan bahwa

Hakim Terlapor selama saksi menjalankan tugasnya Office Boy/Cleaningbservice

yang pekerjaannya membersihkan ruang kerja Hakim Terlapor tidak pernah

melihat Hakim Terlapor merokok, tidak pernah menemukan abu rokok, tidak

pernah barang mencurugakan seperti Narkoba, tidak pernah meliaht mesin

penyedot asap, bahkan ada asbak rokok tetapi fungsinya sebagai tempat alat tulis.

c) Saksi Ardiansyah Salim

Saksi Ardiansyah Salim merupakan Kepala Subbagian Protokol Mahkamah

Konstitusi, dalam persidangan saksi menerangkan bahwa: Saksi menyaksikan

penggeledahan di ruangannya dan rungan Ketua Mahkmah Konstitusi, pada saat

Tim KPK menemukan barang yang diduga Narkoba, Saksi dipanggil oleh Tim

KPK untuk ikut menyaksikannya, namun barang tersebut sudah berpindah tempat,

dari keterangan saksi Hakim Terlapor sudah berhenti merokok.

d) Saksi Teguh Wahyudi

Saksi Teguh Wahyudi merupakan Kepala Bagian Protokol dan TU

Pimpinan Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya dia menerangkan bawa:

Saksi dipanggil oleh KPK untuk menyaksikan ada temuan barang yang diduga

narkoba diruang kerja Hakim Terlapor.

Pada tanggal 7 Oktober 2013 ada tamu yang menemui Hakim Terlapor di

raung kerjanya kurang lebi 30 menit yang bernama Chairunissa yang dan

merupakan anngota DPR.

Universitas Sumatera Utara

Page 107: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

e) Saksi Sarmili

Saksi Sarmili merupakan Staf Subbagian Protokol Mahkamah Konstitusi,

dalam kesaksiannya pada pokoknya menerangkan bahwa: pernah menerima uang

tips dari Hakim Terlapor sebesar Rp 2 Juta, pada saat kunjungan dinas ke daerah,

Hakim Terlapor sering menerima tamu dari Federasi Panjat Tebing.

f) Saksi Kombes (Pol) Slamet Pribadi

Saksi merupakan Ketua Penyidik Narkotika Nasional, dalam kesaksiannya

pada pokoknya menerangkan bahwa dari hasil uji laboratorium, dinyatakan urine

dan rambut Hakim terlapor negatif. Namun saksi menerangkan bahwa Badan

Narkotika Nasional akan melakukan tes lanjutan yaitu test DNA untuk

mengetahui siapa pemilik dari barng tersebut.

g) Saksi dr. Amrita

Saksi merupakan Ketua Tim Pengambil Sampel urine dan Rambut

Badan dan Narkotika Nasional, dalam kesaksiannya menerangkan dari uji tes kit

dan uji laboratorium, Hakim Terlapor negative menggunakan Narkoba.

h) Saksi IPDA Kasno

Saksi merupakan Ajudan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya

menjelaskan tentang kronologi tertangkapnya Hakim Terlapor yaitu: Hakim

Terlapor tertangkap pada hari Rabu, tanggal 2 Oktober 2013 Sekitar Pukul 20.15

WIB, Hakim Terlapor pulang dari kantor menuju rumah jabatan. Sewaktu perjalan

menuju rumah jabatan Hakim Terlapor berjalan seperti biasanya yakni dengan

rangkaian pengawal berinisial BM di posisi paling depan, Mobil Toyota Crown RI

9 yang didalamnya terdapat Hakim Terlapor, dan mobil patwal Nissan X-Trail.

Universitas Sumatera Utara

Page 108: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Pada saat tiba di kediaman Hakim Terlapor di kompleks Widya Chandra Sikitar

Pukul 20.30 WIB, pintu gerbang dibuka petugas, baik dari security maupun dari

polisi kemudian mobil masuk, saksi membukakan pintu mobil Hakim Terlapor

kemudian Hakim Terlapor masuk ke dalam rumah kediaman. Saksi kemudian

berganti pakaian di pos jaga kemudian makan malam bersama dengan rekan-rekan

security dan polisi di dapu.

Setelah makan, sekitar Pukul 21.00 WIB, dating dua orang tamu, satu laki-

laki satu perempuan. Setelah dibukakan pintu gerbang oleh petugas jaga, perugas

melaporkan ke dalam rumah bahwa ada tamu dating. Setelah petugas melaporkan

ke dalam rumah, kedua tamu tersebut dipersilahkan menunggu teras. Selang

beberapa waktu kemudian, petugas KPK dating ke kediaman Hakim Terlapor dan

langsung menghampiri tamu tersebut. Tidak lama kemudian Hakim Terlapor

kemudian keluar dari dalm rumah.

Kemudian saksi menyatakan bahwa pada saat itu posisinya tidak

berdekatan dengan Hakim Terlapor karena berada di depan pos jaga bersama

rekan-rekan security dan polisi lainnya setelah sebelumnya dikumpulkan oleh

petugas KPK dan tidak diperkenankan membuat gerakan atau aktifitas. Setelah

itu, saksi melihat Hakim Terlapor dibawa petugas KPK ke dalam mobil.

Berselang 2 jam kemudian Petugas KPK datang kembali, saksi melihat

petugas KPK mengambil tas kerja Hakim Terlapor di ruang pribadi istri Hakim

Terlapor. Tas tersebut dimaksukkan ke dalam mobil Toyota Crown RI 9 tanpa

terlebih dahulu memeriksa dan memperlihatkan isi tas tersebut. Setelah itu saksi

melihat mobil Toyota Crown RI 9 disegel oleh petugas KPK.

Universitas Sumatera Utara

Page 109: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

i) Saksi Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.,

Saksi merupakan Hakim Konstitusi, dalam kesaksiannya pada pokoknya

menerangkan bahwa: saksi merupakan Hakim Konstitusi yang satu Panel Hakim

Terlapor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil

pemilihan umum (PHPU) kepala daerah. Saksi menerangkan bahwa selama proses

penagan dua perkara PHPU Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak, mulai

dari sidang pertama sampai terakhir dilakukan sesuai dengan hukum acara yang

berlaku. Menurut saksi tidak ada hal yang aneh dan mencurigakan.

Namun saksi membenarkan bahwa Panel Hakim Terlapor banyak

menangani perkara PHPU Kepala Daerah. Akan tetapi, sak si tidak mengetahui

jumlah perkaranya, apakah jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan panel

hakim lain.

j) Saksi Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.,

Saksi merupakan Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya

menerangkan bahwa : saksi merupakan Hakim Konstitusi yang satu Panel Hakim

Terlapor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil

pemilihan umum (PHPU) kepala daerah. Saksi menerangkan bahwa tidak pernah

merasa terpengaruh, baik oleh pemberitaan media massa maupun Hakim Panel

lainnya, kemudian saksi juga menerangkan bahwa saksi tidak ada tekanan dlam

pengambilan keputusan, baik pengambilan keputusan perkara PHPUD Kabupaten

Gunung Mas maupun Kabupaten Lebak. Dalam pengambilan Putusan PHPUD

Kabupaten Gunung Mas maupun Kabupaten Lebak seluruh anggota Panel

Universitas Sumatera Utara

Page 110: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

memutuskan secara bulat tanpa ada anggota panel yang mengaukan dissenting

opinion.

k) Saksi Kasianur Sidauruk

Dalam kesaksiannya, saksi Kasianur Sidauruk pada pokoknya menerangkan

bahwa:

1) Jumlah perkara PHPUD yang masuk di MK sebanyak 141 perkara yang

dibagi ke dalam tiga panel;

2) Distribusi penanganan perkara masing-masing panel diupayakan merata.

Namun mengingat banyaknya perkara yang masuk maka Panel Hakim

Terlapor sedikit lebih banyak dari pada Panel lainnya dengan alasan

Hakim Terlapor merasa bertanggungjawab untuk memperioritaskan

penyelesaian perkara yang ada di Mahkamah Konstitusi;

3) Hakim terlapor menangani hampir semua PHPU kepala daerah di daerah

Kalimantan;

4) Selain menerangkan PHPUD Kabupaten Gunung Mas dan Lebak, Saksi

Juga menerangkan mengenai PHPUD kepala daerah Kabupaten Banyuasin

yang telah diputus 10 Juli 2013;

5) Saksi mengatakan pada tanggal 18 Juli 2013, sekitar pukul 14.00 WIB,

saksi dipanggil Hakim Terlapor ke ruangan kerja Hakim Terlapor. Dalam

ruangan tersebut, saksi diminta untuk membuat surat yang ditujukan

kepada Menteri Dalam Negeri terkait PHPU kepala daerah Kabupaten

Banyuasin yang pada pokoknya berisikan penundaan pengesahan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 111: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

pengangkatan pasangan calon Bupati terpilih sampai pemasalahan dalam

penyelenggaraan Pemilukada diselesaikan;

6) Terhadap perintah tersebut, Saksi mengatakan bahwa perkara Banyuasin

sudah final dan mengikat sejak 10 Juli 2013, namun Hakim Terlapor tetap

memerintahkan pembuatan surat tersebut dan berjanji akan menyampaikan

perihal tersebut ke Rapat Permusyawaratan Hakim;

Selain keterangan sejumlah saksi-saksi dan/atau sumber informasi dibawah

sumpah Majelis Kehormatan juga memeriksa dan mempelajari dokumen-

dokumen sebagai alat bukti yang sah yang terkait dengan dugaan pelanggaran

Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi yang dilakukan Hakim terlapor,

diantaranya yaitu sebagai berikur:

1) Surat Komisi Pemberantasn Korupsi Nomor B-2832/01-23/10/2013,

tanggal 9 Oktober 2013, perihal pemberitahuan penahanan tersangka atas

nama Hakim Terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. dalam perkara

dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait dengan

penangan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Provinsi BANTEN Tahun

2013 di Mahkamah Konstitusi.

2) Berita Acara penemuan Barang diduga Narkotika dan obat-obatan

terlarang, tertanggal 3 oktober 2013 dari KPK.

3) Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris dari Badan Narkotika Nasional

Nomor SS20J/X/2013 tetanggal 6 oktober 2013.

Universitas Sumatera Utara

Page 112: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

4) Berita acara Pemeriksaan Laboratoris dari Badan Narkotika Nasional

Nomor 909/X/2013/UPT.LAB UJI NARKOBA tertanggal 7 Oktober 2013

yang menerangkan urine dan rambut Hakim Terlapor adalah benar

negative, tidak mengandung golongan Narkotika

5) Surat Direktorat Lalu Lintas Polda Metrojaya Nomor B/2999/X/2013 Dit

Lantas tertanggal 10 oktober 2013, yang pada pokoknya menerangkan

bahwa mobil sedan Marcedes Benz s-350 L/2013 warna hitam metalikatas

nama DYN yang beralamatdi Jalan Pancoran Indah III/8 RT 9/2 Pancoran,

Jakarta Selatan. Sedangkan mobil sedan Toyota Crown Athlete dengan

nomor B 161 SCZ, belum terdaftar di Ditlantas Polda Metro Jaya.

6) Dokumen dari lembaga yang mempunyai otoritas menerangkan adannya

transaksi yang tidak wajar di rekening Hakim Terlapor dan Istri Terlapor.

7) Surat pengunduran diri sebagai Hakim Konstitusi atas nama Dr. H. M.

Akil Mochtar, S.H., M.H., tertanggal 3 Oktober 2013.

8) Berita Acara Pemeriksaan Hakim terlapor oleh Majelis Kehormatan, yang

berisi pernyataan Hakim Terlapor tidak bersedia memberikan keterangan

dan menggunkan hak pembelaan diri.

9) Surat Badan Narkotika Nasional Nomor R/12-NAL/X/2013/BNN yang

menyatakan bahwa barang bukti : BB/01/X/2013/BNN identik dengan

Profil DNA Hakim Terlapor.

Selama proses pemeriksaan Hakim Terlapor dalam persidangan untuk

menemukan fakta-fakta mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku

Hakim Terlapor baik melalui saksi maupun alat bukti surat yang berupa dokumen

Universitas Sumatera Utara

Page 113: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Majelis kehormatan juga telah membaca dan mempelajari Surat Hakim Terlapor

yang ditujukan kepada Mahkamah konstitusi, dimasa salah satu isinya adalah

pernyataan pengunduran diri Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi.

Jika dikaitkan dengan pengaturan alat bukti pada PMK No. 2 Tahun

2014 mengenai pemeriksaan alat bukti, yag diatur diatur dalam BAB XI tentang

Pemeriksaan Alat Bukti, yaitu sebagai berikut:

Pasal 61 (1) Dewan Etik, Pelapor, dan/atau Hakim Terlapor atau Hakim Terduga

atau Hakim dapat mengajukan alat bukti. (2) Dewan Etik atau Majelis Kehormatan dapat meminta alat bukti

kepada pihak lain. Pasal 62

(1) Alat bukti yang digunakan dalam rapat Dewan Etik, Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan Sidang Pemeriksaan Lanjutan meliputi:

a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli;

d.alat bukti lain berupa data dan/atau informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan

e. petunjuk. (2) Dewan Etik atau Majelis Kehormatan menentukan sah atau tidak

sahnya alat bukti dalam Rapat Dewan Etik, Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan Sidang Pemeriksaan Lanjutan.

Dapat dilihat bahwa Pasal 62 tersebut alat bukti yang digunakan dalam

persidangan Majelis Kehormatan dalam pengambilan Keputusan Nomor:

01/MKMK/X/2013 adalah alat bukti surat atau tulisan dan keterangan saksi. Akan

tetapi pengaturan tentang alat bukti ini, menurut penulis kurang spesifik. Apalagi

pengaturan alat bukti yang dipakai sama saja dengan alat bukti yang digunakan

oleh Dewan Etik. Padahal sebelumnya sudah diperiksa oleh Dewan Etik. Hanya

Universitas Sumatera Utara

Page 114: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

saja karena Dewan Etik tidak punya kewenangan untuk memutuskan Hakim

Terlapor diberhentikan dengan tidak hormat. Sebagaimana juga sebutkan dalam

Pasal 36 ayat (2) setiap sidang pemeriksaan pendahuluan dihadiri oleh Dewan

Etik, kemudian ketentuan Pasal 44 ayat (3) juga menyebutkan setiap sidang

pemeriksaan lanjutan dihadiri oleh Dewan Etik, jadi dapat disimpulkan disetiap

sidang Majelis Kehormatan selalu dihadiri oleh Dewan Etik yang sudah terlebih

dahulu diperiksa oleh Dewan Etik.

4. Pembelaan Hakim Terlapor

Dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:

01/MKMK/X/2013, Menjelaskan bahwa:

Majelis kehormatan telah mendatangi Hakim Terlapor di Gedung Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk meminta keterangan hakim terlapor sekaligus

memberikan kesempatan kepada Hakim Terlapor untuk menyampaikan

pembelaan diri dalam sidang Majelis Kehormatan akan tetapi Hakim Terlapor

menolak menyampaikan pembelaan diri dengan alasan Hakim Terlapor telah

mengundurkan diri sebagai Hakim konstitusi sejak tanggal 3 Oktober 2013 dan

pemberian keterangan dan pembelaan diri Hakim Terlapor dilakukan dalam

sidang Majelis Kehormatan yang bersifat tertutup untuk umum.

Selain itu hakim terlapor juga mempersilahkan Majelis Kehormatan untuk

mengambil keputusan tanpa mendengarkan keterangan dan pembelaan diri Hakim

Terlapor, serta apabila dipandang perlu Majelis Kehormatan dapat menggunakan

Universitas Sumatera Utara

Page 115: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

keterangan Hakim Terlapor sebagaimana tercantum dalam surat pengunduran diri

Hakim Terlapor sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.

Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 68 PMK No. 2 Tahun 2014, dimana

bunyi pasalnya, menyatakan bahwa:

1) hakim Terlapor atau Hakim Terduga berhak megajukan klarifikasi dan/atau pembelaan dalam Rapat Dewan Etik, sidang pemeriksaan Pendahuluan, dan Sidang Pemeriksaan Lanjutan,

2) klarifikasi dan/atau pembelaan sebagaimna dimaksud pada yat (1) disampaikan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada pihak lain.

3) dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak menggunakan haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Etik atau Majelis Kehormatan melanjutkan rapat atau sidang untuk mengambil keputusan tanpa klarifikasi dan/atau pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.

Dengan ketentuan pasal tersebut menurut hemat penulis Hakim Terlapor

secara tidak langsung tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan

terhadap dugaan pelanggaran yang telah diperbuatnya. Padahal sebagai Hakim

Konstitusi, jika melakukan pelanggaran haruslah berani bertanggung jawab atas

perbuatan yang telah diperbuatnya.

5. Pertimbangan Terhadap Fakta Yang Terungkap Dalam Sidang Majelis

Kehormatan Dan Pembelaan Hakim Terlapor

Dalam pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan

Majelis Kehormatan dan pembelaan Hakim Terlapor, Majelis Kehormatan

Berpendapat antara lain yaitu sebagai berikut:

a) Mengenai Hakim Terlapor sering bepergian keluar negeri bersama

keluarga, Ajudan, dan/atau DYN (Sopir), dari dokumen yang diperoleh

Universitas Sumatera Utara

Page 116: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Majelis Kehormatan, diketahui bahwa bepergian Hakim Terlapor sering

tanpa pemberitahuan kepada secretariat Jenderal.

b) Mengenai Surat Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Nomor

B/2999/X/2013Dit Lantas, mobil Toyota Crown Athlete milik Hakim

Terlapor tidak di daftarkan ke Ditlantas polda Metro Jaya. Majelis

Kehormatan berpendapat bahwa hal yyang demikian memberi kesan

adanya kepemilikan mobil secara tidak sah, bahkan mobil tersebut dapat

dikesankan sebagai mobil gelap.

c) Mengenai keterangan saksi, dalam kurun waktu tiga bulan, Hakim

Terlapor memiliki dua mobil mewah baru yaitu Sedan Mercedes Benz S-

350 dan Sedan Toyota Crown Athlete. Atas kepemilikan mobil mewah

terebut, saksi merasa ngeri dan takut mengingat kepemilikannya dalam

jangka waktu yang relative dekat.

d) Mengenai Surat dari Ditlantas Polda Metro Jaya Nomor

B/2999/X/2013Dit Lantas diketahui bahwa mobil sedan Mercedes Benz

milik Hakim terlapor ternyata diatas namakan orang lain yaitu atas nama

supi Hakim Terlapor-DYN. Maka Majelis kehormatan berpendapat

perbuatan Hakim Terlapor tersebut patut diduga sebagai upaya untuk

menyamarkan hara kekayaaan yang dimiliki Hakim Terlapor. Padahal

sebagai pejabat negara, apalagi sebagai Ketua Mahkamah Kontitusi,

seharusnya Hakim Terlaporbersifat jujur dengan tidak mengatas namakan

harta kekayaan yang dimilikinya atas nama orang lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

e) Mengenai keterangan saksi yang mengatakan bahwa Hakim Terlapor ada

pertemuan dengan Anggota DPR yang berinisial CHN di ruang kerjanya.

Selain itu, juga ada peristiwa hukum bahwa Anggota DPR yang berinisial

CHN berada di tempat yang sama dengan Hakim Terlapor pada saat

keduanya di tangkap oleh KPK di Rumah Jabatan Hakim Terlapor karena

dugaan penyuapan.

f) Mengenai keterangan saksi yang mengatakan bahwa Hakim Terlapor

menggunakan kewenangannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi

untuk menetapkan pembagaian penanganan perkara pada Panel-nya lebih

banyak dari pada Panel yang lainnya. Majelis Hakim berpendapat

seharusnya jumlah perkara Pemilukada didistribusikan kepada ketiga

Panel Hakim secara proporsioanal, atau seyognyanya Panel Hakim

Terlapor menanagani jumlah perkara yang lebih sedikit dibandingkan

dengan Panel Hakim lainnya mengingat dalam kedudukannya sebagai

Ketua Mahkamah Konstitusi, Hakim terlapor memiliki tugas-tugas

kenegaraan lainnya.

g) Mengenai informasi yang diperoleh Majelis Kehormatan dari lembaga

yang mempunyai otoritas, Hakim Terlapor mempunyai 15 rekening dan

istrinya juga mempunyai dana yang tersimpana di 5 rekening bank dengan

jumlah lalu lintas transaksi keunagan yang tidak wajar. Juga diperoleh

informasi bahwa transaksi keunagan di rekening Hakim Terlapor dan

istrinya dilakukan oleh, baik Sekretaris Hakim Terlapor berinisial YS,

maupun Sopir Hakim Terlapor berinisial DYN. Selain itu juga

Universitas Sumatera Utara

Page 118: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

berdasarkan informasi yang diperoleh Majelis Kehormatan dalam

rekening Hakim Terlapor terlacak adanya transaksi keungan yang

dilakukan oleh yang berinisial STA yang merupakan kuasa hukum para

pihak yang berperkara, serta pihak-pihak lain yang berperkara di

Mahkamah Konstitusi melalui setoran tunai dan transfer antar-bank.

h) Mengenai hasil penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi yang

tertuang dalam Berita Acara Penemuan Barang yang Diduga Obat-Obotan

Terlarang, telah ditemukan barang yang di duga Narkotika dan obat-

obatan terlarang dalm sebuah amplop coklat berukuran 23,5 cm x 10,5 cm

yang bersisi: satu buah bungkus kotak rokok merek Sampoerna Menthol

berisi tiga linting yang diduga ganja dalam keadaan utuh dan satu buah

linting yang didiga dalam keadaaan bekas pakai, dan dua buah pil

berwarna pil berwarnaungu hijau yang diduga inex. Berdasarkan uji

laboratorium dan dipastikan dengan hasil analisa bahwa benar itu

merupakan obat-obatan terlarang. Lebih lanjut lagi menurut Badan

Narkotika Nasional melalui Surat Nomor R/12-NAL/X/2013/BNN

Perihal Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan DNA yang menerangkan

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan analisa terhadap seluruh profil

DNA dari sampel barang bukti, maka telah dapat dibuktikan secara

alamiah dan tidak terbantahkan secara genetik bahwa sebagain profil

DNA pada linting ke 1 kertas putih bekas pakai yang berisikan

bahan/daun nomor register barang bukti: BB/01/X/2013/BNN identik

denga profil DNA Hakim Terlapor.

Universitas Sumatera Utara

Page 119: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

i) Mengenai Hakim Terlapor menolak memberikan keterangan dan menolak

menyampaikan pembelaan diri dengan alasan: sudah mengundurkan diri

sebagai Hakim Konstitusi dan pemberian keterangan dan pembelaan diri

Hakim Terlapor dilakukan dalam Sidang Majelis Kehormatan yang

bersifat tertutup untuk umum, kemudian Hakim Terlapor mempersilahkan

Majelis Kehormatan untuk mengambil keputusan tanpa mendengarkan

keterangan dan pembelaan diri Hakim Terlapor, dan jika dipandang perlu,

Hakim TERLAPOR MEMPERSILAHKAN Majelis Kehormatan

menggunakan keterangan Hakim Terlapor sebagaimna tercantum dalam

surat pengunduran Hakim Terlapor sebagai dasar dalam mengambil

Keputusan.

j) Mengenai surat dari kuasa hukum Hakim Terlapor kepada Majelis yang

intinya menghendaki agar Majelis KEHORMATAN MELAKAUKAN

PENUNDAAN ATAU PENANGGUHAN Keputusan Majelis

Kehormatan sampai dengan diberikannya kesempatan kepada Hakim

Terlapor untuk didengar keterangannya dalam Sidang Majelis

Kehormatan yang terbuka untuk umum.

6. Pertimbangan Hukum Dan Etika Yang Menjadi Dasar Pengambilan

Keputusan Oleh Majelis Hakim

Dari ringkasan informasi dugaaan pelanggaran oleh hakim terlapor, fakta

yang terungkap dalam sidang, pembelaan Hakim Terlapor, pertimbangan terhadap

fakta yang terungkap dalam sidang Majelis Kehormatan dan pembelaan Hakim

Universitas Sumatera Utara

Page 120: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Terlapor, maka selanjutnya adalah pertimbangan hukum dan etika yang menjadi

dasar pengembilan keputusan.

Adapun pertimbanagan hukum dan etika yang menjadi dasar pengambilan

keputusan Majelis Kehormatan adalah sebagai berikut:

a) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang bepergian ke Singapura,

termasuk bepergian Hakim Terlapor ke beberapa negara lain tanpa

pemberitahuan kepada Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi

merupakan perilaku yang melanggar etika. Menurut Majelis

Kehormatan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran Kode

Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, yaitu Prinsip keempat: Prinsip

Kepantasan dan Kesopanan, yaitu pada penerapan angka 2.

b) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang tidak mendaftarkan mobil

Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda Metro Jaya.

Mencermikan perilaku yang tidak jujur. Terhadap perilaku hakim

tersebut Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim Terlapor

melakukan pelanggaran prinsip ketiga yaitu prinsip Integritas,

Penerapan Angka ke 1. Selain itu juga Majelis Kehormatan berpendapat

bahwa Hakim Terlapor juga terbukti melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan Pasal 23 huruf b UU No. 24 Tahun sebagaimna telah dirubah

dengan UU No. 8 Tahun 2011 yang menyatakan Hakim Konstitusi

diberhentikan tidak dengan hormata apabila melakukan perbuatan

tercela.

Universitas Sumatera Utara

Page 121: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

c) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang menyamarkan kepemilikan

mobil sedan Mercedes Benz S-350 dengan mengatas namakan Sopir

Hakim Terlapor yang berinisial DYN. Majelis Kehormatan berpendapat

bahwa Hakim Terlapor telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip

Keempat: Prinsip kepantasan dan kesopanan, penerapan angka enam.

d) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang saat itu menjabat sebagai

Ketua Mahkmah Konstitusi memerintahkan secara langsung Panitera

Mahkamah Konstitusi untuk berkirim Surat Nomor

137/PAN.MK/7/2013 dan mengeluarkan surat nomor

1760/AP.00.03/07/2013, yag isinya memerintahkan penundaan

pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap adalah

perbuatan yang melampaui kewenanagn karena tanpa dimusyawarahkan

dengan para Hakim Konstitusi melalui rapat yang sah terlebih lagi

isinya bertentangan dengan Pasal 24C UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) UU

MK yang menentukan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Final dan

mengikat. Terhadap perilaku tersebut Majelis Kehormatan berpendapat

Hakim Terlapor terbukti melakukaan pelanggaran Kode Etik dan

Perilaku Hakim Konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip tentang

Integritas Penerapan Angka 1.

e) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang mengadakan pertemuan

dengan Anggota DPR yang berinisial-CHN di ruang kerja Hakim

Terlapor di hubungkan dengan peristiwa penangkapan Anggota DPR

yang berinisial CHN yang berada di tempat yang sama dengan Hakim

Universitas Sumatera Utara

Page 122: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Terlapor karena dugaan penyuapan. Majelis Kehormatan berkeyakinan

bahwa pertemuan tersebut berhubungan denga perkara yang sedang

ditangani oleh Hakim Terlapor. Terhadap perilaku Hakim Terlapor

tersebut Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim Terlapor

terbukti melanggar Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi yaitu

prinsip Pertama, Prinsip Independensi, Penerapan Angka 1.

f) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang menggunakan kewenangannya

sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dalam menentukan pendistribusian

perkara Pemilukada kepada masing-masing Panel Hakim, telah

menetapkan ppembagian penanganan perkara Pemilukada yang

jumlahnya lebih banyak kepada Panel Hakim Terlapor daripada Panel

Hakim yang lainnya. Terhadap perilaku Hakim Terlapor tersebut,

Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim Terlapor terbukti

melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yaitu

Prinsip Ketiga, Prinsip Integritas Penerapan angka 1 dan angka 3.

g) Terhadap perilaku Hakim terlapor memerintahkan Sekretarisnya yang

berinisial YS dan Sopirnya yang berinisial DYN melakukan transaksi

keunagan ke rekening Hakim Terlapor. Terhadap perilaku Hakim

Terlapor tersebut Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran

Kode Etik dan Perilaku Hakim konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip

Integritas penerapan angka 4.

h) Berdasarkan informasi dari lembaga yang mempunyai otoritas terkait

dengan transaksi keuangan, Hakim terlapor terbukti menerima sejumlah

Universitas Sumatera Utara

Page 123: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

dana dari orang yang berinisial STA yang merupkan Kuasa Hukum para

pihak yang berperkara, dan dari sumber-sumber lain yang ada kaitan

denga perkara di Mahkamah Konstitusi. Terhadap perilaku Hakim

Terlapor tersebut Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim

Terlapor terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip Tentang Integritas,

Penerapan Angka 3.

i) berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasional

terkait temuannya oleh penyidik KPK berupa barang Narkotika dan

obat-obatan terlarang di ruang kerja Ketua Mahkmah Konstitusi,

terbukti bahwa terdapat kesesuaian antara samel dengan DNA Hakim

Terlapor dengan DNA yang terdapat pada linting ganja bekas pakai.

Maka terhadap perilaku Hakim Terlapor tersebut Majelis Kehormatan

berpendapat bahwa Hakim Terlapor terbukti melanggar Kode Etik dan

Perilaku Hakim Konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip Integritas,

Peneapan Angka 1.

j) Meskipun Hakim Terlapor menolak memberikan keterangan dan

menolak menyampaikan pembelaan diri. Majelis kehormatan tetap

melanjutkan sidang dan mengambil keputusan.

k) Terhadap penundaan/penangguhan putusan Majelis Kehormatan yang

disampaikan oleh Kuasa Hukum Terlapor dan mengenai Surat Kuasa

Khusus, Majelis Kehormatan berpendapat bahwa permohonan tersebut

tidak dapat dikabulkan, karena Majelis Kehormatan telah memberikan

Universitas Sumatera Utara

Page 124: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kesempatan kepada Hakim Terlapor untuk membela diri, tetapi Hakim

Terlapor menyatakan secara langsung dan tertulis tidak bersedia untuk

menggunakan hak pembelaan diri dihadapan Sidang Majelis

Kehormatan dan Surat Kuasa Khusus yang disampaikan oleh Kuasa

Hukum Hakim Terlapor tidak dapat dijadikan dasar hukum mewakili

Hakim Terlapor dalam Sidang Majelis Kehormatan.

7. Amar Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Dalam Amar Keputusan Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:

01/MKMK/X/2013 dengan Hakim Terlapor Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H.,

menyatakan:

1. Hakim Terlapor Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi;

2. Menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat kepada Hakim Terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.

Keputusan ini ditetapkan berdasarkan Sidang Majelis Kehormatan dengan

lima anggota Majelis Kehormatan, yaitu Dr. Harjono, S.H.,M.C.L., selaku Ketua

merangkap Anggota, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., selaku

Sekretaris merangkap Anggota, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Prof. Dr.

Moh. Mahfud MD, S.H., Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H., masing-masing sebagai

Anggota, pada hari kamis tanggal tiga puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu

tiga belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Majelis Kehormatan yang terbuka

untuk umum pada hari Jumat tanggal satu bulan November tahun duaribu tiga

belas.

Universitas Sumatera Utara

Page 125: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Jika dilihat dari Pasal 53 ayat (2) PMK No. 2 tahun 2014, yang menyatakan

bahwa dalam hal keputusan Majelis Kehormatan menyatakan Hakim Terlapor

atau hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, Keputusan Majelis

Kehormatanm memuat penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis atau

pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.

Kemudian dalam jangka waktu paling lama dua hari kerja harus disampaikan

kepada Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut pada ayat (4) menjelaskan bahwa

dalam hal keputusan Majelis Kehormatan memuat penjatuhan sanksi berupa

pemberhentian dengan tidak hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga,

Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan

hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden dalam jangka waktu

paling lama tiga hari kerja. Keputusan Majelis Kehormatan ini berdasarkan Pasal

69 PMK No. 2 tahun 2014 adalah bersifat final dan mengikat, jadi tidak ada lagi

upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.

Universitas Sumatera Utara

Page 126: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Momentum utama munculnya judicial review di dunia adalah pada

keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs.

Madison pada tahun 1803. Setelah perang dunia kedua, gagasan

Mahkamah Konstitusi dengan judicial review menyebar keseluruh Eropa,

dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah

Agung. Di Indonesia pada tanggal 13 Agustus 2003, UU No. 24 Tahun

2003 di undangkan, waktu pengesahan inilah ditetapkan sebagai hari

lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Indonesia merupakan negara

ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi di Dunia. Kedudukan

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman. Fungsi Mahkamah Konstitusi ada lima

yaitu: a) sebagai pengawal konstitusi, b) penafsir final konstitusi, c)

pelindung hak asasi manusia, d) pelindung hak konstitusiol warga negara,

e) pelindung demokrasi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu: a)

menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, b) memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, c) memutus pembubaran partai politik, d)

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewajiban

Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan

Universitas Sumatera Utara

Page 127: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pengangkatan hakim

konstitusi dilakukan dengan harus memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:

a) warga negara Indonesia, b)berijazah doktor dan magister dengan sarjana

yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, c) bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, d) berusia paling rendah

empat puluh tujuh tahun dan paling tinggi enam puluh lima tahun pada

saat pengangkatan, e) mampu secara jasmani dan rohani dalam

menjalankan tugas dan kewajiban, f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, h)

mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit lima belas

tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara. Pemberhentian Hakim

Hakim Konstitusi, yaitu: 1) diberhentikan dengan hormat dengan alasan:

a) meninggal dunia; b) mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c) telah

berusia tujuh puluh tahun; d) telah berakhir masa jabatannya; e) sakit

jasmanai atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan sehingga

tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat

keterangan dokter. 2) Hakim Konstitusi dapat diberhentikan tidak dengan

hormat apabila: a) dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara; b) melakukan perbuatan

tercela, c) tidak meghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajiban

Universitas Sumatera Utara

Page 128: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

selama lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d) melanggar

sumpah atau janji jabatan; e) dengan sengaja menghambat Mahkamah

Konstitusi memberi putusan dalam waktu yang telah ditentukan Pasal 7B

ayat (4) UUD NRI 1945; f) melanggar larangan rangkap jabatan; g) tidak

lagi memenihi syarat sebagai hakim konstitusi; h) melangggar Kode Etik

dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.

2. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ditetapkan untuk menegakkan

integritas dan kepribadian hakim konstitusi yang adil dan tidak tercela,

yang diatur dalam PMK No. 09/PMK/2016, adapun prinsip-prinsip kode

etik dan perilaku hakim konstitsi berdasarkan PMK No. 09/PMK/2006

adalah sebagai berikut: a) prinsip independensi, b) prinsip

ketakberpihakan, c) prinsip integritas, d) prinsip kepantasan dan

kesopanan, e) prinsip kesetaraan, f) prinsip kecakapan dan keseksamaan,

g) prinsip kearifan dan kebijaksanaan. Dewan Etik dan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 2 Tahun 2014, dalam bentuk lembaga permanen Hakim Konstitusi

diawasi oleh Dewan Etik, namun Dewan Etik ini hanya mempunyai tugas

dan kewenangan terhadap pelanggaran ringan Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi. Selanjutnya apabila Dewan Etik dalam keputusannya,

menyatakan ada dugaan Hakim Terlapor/Hakim Terduga melakukan

pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

maka dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis

Universitas Sumatera Utara

Page 129: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini bersifat ad hoc, hanya dibentuk

apabila ada rekomendasi dari Dewan Etik.

3. Meskipun Penetapan PMK Nomor 2 Tahun 2014 memberikan kepastian

hukum dan tidak terjadi kekosongan hukum, serta memberikan kejelasan

lembaga pengawas perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi, serta anggapan

tirani yudisial, dan tirani kekuasaan kehakiman yang dijalankan

Mahkamah Konstitusi secara monopolistik tidak benar-benar terjadi di

Mahkamah Konstitusi. Penerapan Tugas dan Kewenangan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan PMK No. 2 Tahun 2014

terhadap dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Dr. H.M. Akil

Mochtar, S.H., M.H. yang dianalisa berdasarkan Keputusan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK/X/2013 dapat

diterapkan. Dimana Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam

amar putusannya menyatakan Hakim terlapor tersebut Terbukti Melakukan

Pelanggaran Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi, dan Menjatuhkan

Sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kepada Hakim Terlapor.

Akan tetapi masih banyak kekurangan-kekurangan dalam PMK No. 2

Tahun 2014 tersebut, karena mulai dari pengaturan alat bukti, prinsip-

prinsip pelaksanaan tugas dan wewenang, sifat, dasar, dan muatan

keputusan, serta pengambilan keputusan Dewan Etik dan Majelis

Kehormatan sama saja, tanpa ada perbedaan yang signifikan.

Perbedaannya hanya sebatas Dewan Etik berwenang dalam menangani

pelanggaran ringan dan Majelis Kehormatan menangani pelanggaran berat

Universitas Sumatera Utara

Page 130: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

terhadap Hakim Terduga atau Hakim Terlapor yang diduga melakukan

pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

B. Saran

1. Pengaturan mengenai pengawasan terhadap Hakim Konstitusi kedepannya

harus diupayakan untuk terus dievaluasi agar menciptakan sistem

pengawasan yang efektif dan efesien.

2. Pengaturan lembaga pengawas dan penegak Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi, yang terdapat dalam PMK No. 2 Tahun 2014 ini

jangan hanya sekedar aturan normatif belaka, akan tetapi harus diterapkan

secara konsisten, sehingga kedepannya tidak ada lagi Hakim Konstitusi

yang melakukan pelanggaran berat, ataupun ringan terhadap Kode Etik

dan Perilaku Hakim Konstitusi.

3. Pengaturan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan seharusnya dibuat dalam

Peraturan yang berbeda. Agar lebih spesifik lagi pengaturan tentang

lembaga pengawas Hakim Mahkamah Konstitusi, atau dipilih salah satu

lembaga pengawas saja, apakah Dewan Etik ataukah Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 131: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ansyahrul, 2008, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim,

Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Sengketa kewenangan antar lembaga negara, Jakarta,

konstitusi press.

.........., 2006 (a), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara

Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

.........., 2006 (b), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepanitraaan Mahkamah Konstitusi RI.

.........., 2010 (c), Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,

Jakarta: Sinar Grafika.

Chaidiri, Ellydar, 2007, Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Echols, Jhon M, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gremadia Jakarta.

Fadjar, A.Mukhtie, 2006. Hukum konstitusi dan Mahkamah konstitusi, Sekretariat,

Jakarta: Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.

Fatkhurohman, dkk, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di

Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Ghoffar, Abdul, 2009, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah

Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana.

Universitas Sumatera Utara

Page 132: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Ibrahim, Johny, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing.

Indonesia, Mahkamah Agung, 2003, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung

RI, Jakarta: Leip-MA.

.........., Mahkamah Konstitusi, 2004, Cetak Biru membangun Mahkamah

Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan

Terpercaya, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

.........., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010,

Hukum acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

.........., Sekretariat Jenderal MPR RI, 2013, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa

dan Bernegara, Jakarta.

Lubis , M. Solly, 1994, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar

Maju.

.........., 2008, Hukum Tata Negara, Bandung: CV. Mandar Maju.

Manan, Bagir, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM

Universitas Islam Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, PenelitainHukum, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

ND, Mukti Fajar, Yulianto Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum, Cetakan 1,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Siahaan, Maruarar, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika.

Universitas Sumatera Utara

Page 133: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Soekanto, Soerjono, 1986 (a), Pengantar Pelitian Hukum, Cetakan 3, Jakarta: UI

Press.

.........., 2010 (b), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

.........., Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo

Persada

Soemantri, Sri, 1986, Hak Menguji Materil di Indonesia, Bandung: Alumni.

Sunggono, Bambang, 1998, Metode Peneitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Sumadi, Ahmad Fadlil, 2001, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta

Timur: Setara Press.

Thaib, Dahlan., dkk. 2006, Teori dan Hukum Konstitusi Ed.Revisi-6, , Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada

Thalib, Abdul Rasyid, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti.

Wigjosoebroto, Soetadyo, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya, HUMA, Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Universitas Sumatera Utara

Page 134: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4316) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran

Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4358) Telah Dicabut Dan Diganti Dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi

Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4415) sebagaimana telah dirubah Dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Universitas Sumatera Utara

Page 135: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang. (Lembaran

Negara Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5493).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006

Tentang Pemberlakuan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012

Tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013

Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013

Tentang Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013

Tentang Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013

Tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Mekanisme Kerja Dan Tatacara Pemeriksaan Laporan Dan Informasi

Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:

01/MKMK/X/2013.

Universitas Sumatera Utara

Page 136: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014.

Jurnal:

Lidya Suryani Widayati, ‘Pemberhentian Hakim Konstitusi Tidak Dengan Hormat’,

Jurnal Hukum, Vol. V, No.21/I/P3DI/November/2013.

Muhtadi, Politik Hukum Pengawasan Hakim Konstitusi, Fakultas Hukum,

Universitas Lampung, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 3,

Juli-September 2015.

Internet:

Hamdan Zoelva, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”

<http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/07/mahkamah-konstitusi-

dalam-sistem- ketatanegaraan-ri/>. Diakses pada tanggal 5 September 2016.

http://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/422-

putusan-mahkamah-konstitusi-no-005puu-iv2006-isi-implikasi-dan-masa-

depan-komisi-yudisial.html. Diakses tanggal 4 September 2016, pukul 20:30

WIB.

https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/12/22/independensi-mahkamah-

konstitusi-dalam-memutus-perkara/. Diakses pada tanggal 09 Agustus

Tahun 2016, Pukul 14.40.

Universitas Sumatera Utara

Page 137: IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11768#.V

-NPCE197IU. Diakses pada tanggal 15 September 2016, pukul 19.20.

Universitas Islam Indonesia, “Sistem Pengawasan & Kode Etik Hakim

Konstitusi”,http://pascasarjanahukum.uii.ac.id/content/view/43/50/,

dikunjungi terakhir kali pada tanggal 06 September 2016.

Universitas Sumatera Utara