IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP...

68
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa : “…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi.

Transcript of IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP...

Page 1: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah

menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat

disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam

pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia

atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya

ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut

antara lain dikemukakan bahwa : “…oleh karena negara Indonesia itu suatu

“eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam

lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam

daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck

dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,

semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam

amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan.

Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas,

memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi

atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal

18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas - luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang - undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945). Secara

etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri

dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti

mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan

untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi

Page 2: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

2

“pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau

perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu

juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara

itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa

otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi

kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-

daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk

menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang

merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem

material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang

nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Dalam sistem residu, secara umum telah

ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat,

sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama

terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat

dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa

menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan

kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak

sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang

dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang

kemampuannya terbatas. Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah

daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah

ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini

kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus

dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya,

memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang

nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak

diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan

dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

Page 3: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

3

dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah

diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi

tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh

peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam sistem

otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah

didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan

kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta

wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka

kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang

selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada

pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk

diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah,

pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada

pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah . Prinsip otonomi yang nyata,

dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah

satu variasi dari sistem otonomi riil. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan

sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan

pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian,

pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula

standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,

pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan

fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada

daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan

efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi logis dari

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen

pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Penyesuaian

dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk

perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,

yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara

ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan

pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun

Page 4: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

4

implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa

dengan era otonomi daerah : ”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah,

madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang

terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi,

rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan

paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut

diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di

tingkat satuan pendidikan. Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud,

kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan.

Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat

mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius. Fiske (1996)

menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang

yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi

memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,

ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang

partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan

akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas

pendidikan oleh masyarakat. Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon,

merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan

pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid

dalam tulisannya ”Pendidikan Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat, 2006),

bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum komprehensifnya

pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan, katanya,

hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga sering

terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga terjadi,

seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa ”pembuatan

implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para

eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam,

misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak

realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan

manipulatif – koruptif”. Berdasarkan masalah yang ada maka peneliti akan

Page 5: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

5

melaksanakan satu penelitian tentang : IMPLEMENTASI PELAKSANAAN

OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI

PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI

KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

1.2 Fokus penelitian

Sebagai patokan dalam penelitian ini maka penulis membatasi permasalahan

pada penelitian ini hanya terfokus pada Implementasi Pelaksanaan Otonomi

Daerah Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Terhadap Perencanaan

Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Konteks Desentralisasi

Pembangunan Terhadap Perencanaan Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan

Sangihe ?

1.4 Tujuan Penelitian

Agar penelitian ini dapat memberikan arah yang baik, maka penelitian

dilaksanakan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomisasi daerah dalam konteks

desentralisasi pembangunan.

2. Untuk mengetahui perencanaan pendidikan diera otonomi daerah

3. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomisasi daerah dalam konteks

desentralisasi pembangunan terhadap perencanaan pendidikan

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan, khususnya ilmu manajenen

pendidikan. Hal ini disebabkan karena penelitian ini menganalisis mengenai

kebijakan pemerintah dibidang pendidikan diera otonomi daerah dalam kaitannya

dengan perencanaan pendidikan.

Page 6: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

6

2. Manfaat praktis

1. Bermanfaat bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemerintah

dibidang pendidikan.

2. Bermanfaat bagi penyelenggara pendidikan, lebih khusus dinas

pendidikan nasional dalam perencanaan pendidikan.

Page 7: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

7

BAB II

ACUAN TEORITIK

2.1 Otonomi Daerah

A. Konsep Otonomi Daerah

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang

diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat

untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan

dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan

daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,

juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan

cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan

bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali

sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Otonomi Daerah

adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang

melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan

otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi.

Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan

meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang

dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti

1. Hubungan luar negeri

2. Pengadilan

3. Moneter dan keuangan

4. Pertahanan dan keamanan

B. Dasar Pelaksanaan Otonomi

Page 8: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

8

Terselenggaranya Otonomisasi Daerah ternyata didasari oleh beberapa hal

berikut ini :

1. Bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menganut paham sentralisme,

tetapi membagi daerah Indonesia ke dalam katagori daerah besar dan kecil

yang akan diatur dengan undang‐undang.;

2. Pengaturan dalam UU tersebut harus berlandaskan g pada permusyawaratan

dalam sistem pemerintahan negara, dan mempertimbangkan hak‐hak, asal‐

usul dalam daerah‐daerah yang bersifat istimewa.;

3. Daerah besar dan kecil bukan merupakan ‘negara bagian’, melainkan daerah

yang tidak terpisahkan dan dibentuk dalam kerangka yang tidak terpisahkan,

serta dalam kerangka “negara kesatuan” (eenheidstaat);

4. Corak daerah besar dan kecil itu ada yang bersifat ‘otonom’ (streek en locale

rechtsgemeenschappen),dan ada yang bersifat daerah administrasi belaka.;

5. Sebagai konsekuensi daerah yang bersifat otonom, akan dibentuk Badan

Perwakilan Daerah (BPD) karena di daerah pun pemerintahan akan

bersendikan atas azas permusyawaratan;

6. Daerah yang hak‐hak asal‐usul yang bersifat istimewa adalah ‘swapraja’

(zelfbesturende landschappen), dan ‘desa’ atau nama lain semacam itu yang

disebut volksgemeenchappen;

7. Negara Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah‐daerah

yang mempunyai hak‐hak asal‐usul yang bersifat istimewa;

8. Batas‐batas, isi dan luas otonomi yang diberikan kepada daerah, kebijakan

dasarnya merujuk kepada prinsip‐prinsip yang terkandung dalam alinea

pertama penjelasan pasal 18 kitab UUD/1945.

C. Prinsip Otonomi Daerah

Pelaksanaan Otonomi daerah dapatberjalan dengan baik harus sesuai dengan

prinsip – prinsip Otonomisasi Daerah, yaitu :

1. Otonomi seluas‐luasnya. Daerah diberikan kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan

pemerintah. Di samping itu, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan

Page 9: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

9

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat;

2. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata dalam arti prinsip untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang

dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,

hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar‐benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada

dasarnya memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat;

3. Keserasian hubungan. Bahwa otonomi yang dilaksanakan harus mampu

membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan

bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Di samping itu, keserasian

hubungan antar daerah tersebut harus serasi pula dengan Pemerintah dalam

memelihara dan menjaga keutuhan wilayah NKRI;

4. Pemerintah wajib memberikan pembinaan yang berupa pemberian pedoman

seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan,

melalu penetapan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,

pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Karena itu, Pemerintah

wajib pula memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan,

bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi

dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang‐

undangan.

2.2 Konsep Desentralisasi Pendidikan

Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat

mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah

otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi,

ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin

“de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan

Page 10: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

10

melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab

I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan

menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia Indrawati Sari,2000:iii)

desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional dispersal of

governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow

multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”. Lain

halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai

“delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels” .

Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan

menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa

desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal.

Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya

pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar

masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara

pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber

daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal

sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal.

Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading Change”, menyatakan bahwa

lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1)

lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan

kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4)

menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih

produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216)

menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat

yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.

Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas

pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih

cepat, lebih luwes dan konstruktif. Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU

tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan

segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang

Page 11: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

11

pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi

pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah

kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala

tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada

serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen &

Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the

devolution of authority from a higher level of government, such as a departement

of education or local education authority, to a lower organizational level, such as

individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi

pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan

pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai

pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk

memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan

budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal

sekalipun. Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah

otoritas yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya

dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari

pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis

(political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative

decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat

kewenangan yang dilimpahkan. Pada desentralisasi politik, kewenangan yang

dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan

tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk menentukan

segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal

itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan,

pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-

kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan

yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di

daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi

pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi

pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang

kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah

Page 12: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

12

daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur,

menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya. Mengapa

bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat

dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan

desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu : (a) the improvement of

schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a

democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality,

fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan

studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya

ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk

pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas

dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah,

sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk

menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk

memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis,

seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji

guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar

mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya

tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.

Sementara itu, Kacung Marijan (Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan

desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan

pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit

(2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai “jalan

keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan

pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari

asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal

atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian

sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap

pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi

Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi

SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga

kultural. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses

Page 13: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

13

pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah,

untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus

menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat,

dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid.

Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada

rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga

pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang

akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.

2.2.1 Paradigma Baru Pendidikan.

Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah

paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai

aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi

desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, (3)

dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4)

dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat

secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non

sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren,

maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5). Agak berbeda dengan hal tersebut,

dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala

Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke

desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down

approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) sebagaimana

yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru

pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari

“Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open

Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar

menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi

tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).

Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran

paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut :

A. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan

Page 14: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

14

Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh

kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari

Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud

Kabupaten/Kota, bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat

terhadap kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-

petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan

merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh

Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi,

kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah. Dalam era reformasi, paradigma

sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan

sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan

Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan

juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan

kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.

Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah,

Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat

Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.

Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat

Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom,

dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang

yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan.

Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap

sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy)

masing-masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan

berbasis masyarakat” Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan

pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan

mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas

Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Desentralisasi manajemen pendidikan

tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses

distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan

pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan

berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di

Page 15: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

15

sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar. Dari kebijakan yang top down

ke kebijakan yang bottom up; Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan

pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke

bawah” (top down approach) Berbagai kebijakan pengembangan/ pembinaan

pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus

di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di

Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh

seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah. Lain halnya

dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan

dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach).

Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level

instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara

pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi

kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi

oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung

jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab

Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas. Oleh karenanya, tidak heran

bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa” para guru, siswa, orang tua

siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak

sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya

diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindak lanjuti.

B. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan

yang holistik

Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya,

pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,

menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5).

Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual,

emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno,

2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam

pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur

pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be

Page 16: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

16

(menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang

mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan hidupnya

sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-

pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak

ada kaitan dengan pelajaran lain. Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi

pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan

kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai

moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran

hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan

holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah

keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).

Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu

bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya.

Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu

dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam

beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non

linier (Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur

dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa

yang lain. Ada saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa

dengan siswa lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain. Interrelasi

dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur yang

satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan

yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik

lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi

sebagai manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan,

ikut andil dalam sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan

berkembang bila terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa

tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang

tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah

menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala

macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik.

Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak

Page 17: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

17

dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu

hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur

yang tidak dapat ditentukan sebelumnya. Prinsip keutuhan menyatakan bahwa

keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip

keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan

dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh.

Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat

porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga

mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan

banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan

unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan

inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara integral.

Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus

berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur

partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan

kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus dan

selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip

kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk

mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan

tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami

sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa

dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja

atau pengisi lowongan kerja.

C. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta

masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.

Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek

dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat,

sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3).

Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat,

malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan

pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada

pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk

Page 18: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

18

mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan

masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang terpenting,

telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta

didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar,

1999:113)

Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam

pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk

mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan

Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan

komite sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang

panduan pembentukan komite sekolah. Menurut panduan, pembentukan komite

sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan

berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh

masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses

sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon

anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil

pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite

sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya

maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa

dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah

mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.

D. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi

masyarakat.

Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era

otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di

dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi

penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap,

kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan

bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti

pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan

partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi

pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian

Page 19: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

19

yang terpadu dari pendidikan nasional. Demikian juga, ada upaya peningkatan

partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena

sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab

dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi

kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu

menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan

anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan

sebagainya). Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan

pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal

dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan

(continuous enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative

policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).

E. Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.

Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur

dan dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-

aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh

Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian

sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang

demikian, tidak jarang ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari

sebagian pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam

pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini telah mematikan

prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah. Dalam era reformasi,

terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam

penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar

”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme

dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam

desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam arti

”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan

kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders)

untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan

kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.

Page 20: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

20

F. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management

terbuka” (open management).

Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga

tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan

pendidikan. Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan

”manajemen terbuka” dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai

pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan

dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh

kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima

kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

G. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab

pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang

tua siswa dan masyarakat (stakeholders)

Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar

menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung

jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Dalam era reformasi,

pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji

honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan

lain-lain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang

tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat

Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan

masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-

proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal

kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.

2.2.2 Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan diera Otonomi

Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem

perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak

sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah,

sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani

A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan

Page 21: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

21

di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan,

kewenangan pengambilan keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.

Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada

tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk

kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat

berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam

pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun

2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen,

Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana Strategis

(Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan program

pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan

Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program

pembangunan tahunan yang disingkat Propeta yang dituangkan dalam Keputusan

Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-masing. Selain itu,

pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa,

serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan

masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah

Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah

yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang

makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya

daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas

daerah. Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian

atau fotokopi dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi

merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam,

walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional. Dari

segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma

dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit

sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi,

sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara

sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD

yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh

Page 22: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

22

sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana

bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan

asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan

sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang

menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor. Dari

segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang

sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di

bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program,

jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era

otonomi Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas,

jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan

Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain

dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan. Sementara dari

segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan

pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan

pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk Dalam UU

tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah

satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-

rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang

dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat

dan Daerah. Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan partisipatif disebut

hanya sebagai salah satu dari lima pendekatan dalam Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah pendekatan politik,

teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up). Perencanaan

dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang

berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah

untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki perencanaan

pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan

pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program,

sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan

pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan

secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak

Page 23: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

23

bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program

strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

2.3 Perencanaan Pendidikan

2.3.1 Konsep Perencanaan Pendidikan

Adapun defenisi Perencanaan Pendidikan menurut para ahli atau para pakar

manajemen adalah antara lain :

a. Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch Perencanaan Pendidikan, merupakan suatu

proses yang yang mempersiapkan seperangkat alternative keputusan bagi

kegiatan masa depan yang diarahkan kepadanpencapaian tujuan dengan usaha

yang optimal dan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di

bidang ekonomi, sosial budaya serta menyeluruh suatu Negara.

b. Beeby, C.E. Perencanaan Pendidikan merupakan suatu usaha melihat ke masa

depan ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan prioritas, dan

biaya pendidikan yang mempertimbangkan kenyataan kegiatan yang ada

dalam bidang ekonomi, social, dan politik untuk mengembangkan potensi

system pendidikan nasioanal memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik

yang dilayani oleh system tersebut.

c. Menurut Guruge (1972), Perencanaan Pendidikan merupakan proses

mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan

pendidikan.

d. Menurut Albert Waterson (Don Adam 1975) Perencanaan Pendidikan adalah

investasi pendidikan yang dapat dijalankan oleh kegiatan-kegiatan

pembangunan lain yang di dasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya

serta keuntungan sosial.

e. Menurut Coombs (1982), Perencanaan pendidikan suatu penerapan yang

rasional dianalisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan

agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien dan efisien serta sesuai dengan

kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat.

f. Menurut Y. Dror (1975), Perencanaan Pendidikan merupakan suatu proses

mempersiapkan seperangkat keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa

depan yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara-cara

Page 24: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

24

optimal untuk pembangunan ekonomi dan social secara menyeluruh dari suatu

Negara.

Jadi, definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa

pendapat tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam

menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan

yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat asas) internal yang berhubungan

secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu

sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada

batas waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan

mendahului dan didahului oleh kegiatan lain.

Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan

oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam

hal ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun

komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :

1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan dalam

rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam

bidang pendidikan.

2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara

operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan

pendidikan.

Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan. Dalam penentuan

kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan pendidikan ada beberapa hal

yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang

menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam

pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang kekuasaan sebagai

sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian, misalnya mengenai

system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system manajemennya,

bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas yang terkandung

dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot untuk jaminan dapat terlaksananya

perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau hasil system

Page 25: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

25

dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen rencana

pendidikan.

Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi

bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu

konsep keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian,

perencanaan pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara

cepat, tapi memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau

bidang pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan

nasional.

A. Tujuan Perencanaan

Pada dasarnya tujuan perencanaan adalah sebagai pedoman untuk mencapai

sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai suatu alat ukur di dalam membandingkan

antara hasil yang dicapai dengan harapan. Dilihat dari pengambilan keputusan

tujuan perencanaan adalah :

1. Penyajian rancangan keputusan-keputusan atasan untuk disetujui pejabat

tingkat nasional yang berwenang.

2. Menyediakan pola kegiatan-kegiatan secara matang bagi berbagai

bidang/satuan kerja yang bertanggung jawab untuk melakukan kebijaksanaan.

B. Fungsi Perencanaan

Fungsi perencanaan adalah sebagai pedoman pelaksanaan dan pengendalian,

sebagai alat bagi pengembangan quality assurance, menghindari pemborosan

sumber daya, menghindari pemborosan sumber daya, dan sebagai upaya untuk

memenuhi accountability kelembagaan. Jadi yang terpenting di dalam menyusun

suatu rencana, adalah berhubungan dengan masa depan, seperangkat kegiatan,

proses yang sistematis, dan hasil serta tujuan tertentu.

C. Proses Perencanaan

Perencanaan merupakan siklus tertentu dan dan melalui siklus tersebut suatu

perencanaan bias dievaluasi sejak awal persiapan sampai pelaksanaan dan

penyelesaian perencanaan. Dan secara umum, ada beberapa langkah penting yang

perlu diperhatikan di dalam perencanaan yang baik, yaitu :

Page 26: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

26

1. Perencanaan yang efektif dimulai dengan tujuan secara lengkap dan jelas.

2. Adanya rumusan kebijaksanaan, yaitu memperhatikan dan menyesuaikan

tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan factor-faktor lingkungan

apabila tujuan itu tercapai.

3. Analisis dan penetapan cara dan sarana untuk mencapai tujuan dalam

kerangka kebijaksanaan yang telah dirumuskan.

4. Penunjukan orang - orang yang akan menerima tanggung jawab pelaksanaan

(pimpinan) termasuk juga orang yang akan mengadakan pengawasan.

5. Penentuan system pengendalian yang memungkinkan pengukuran dan

pembandingan apa yang harus dicapai, dengan apa ya ng telah tercapai,

berdasarkan criteria yang telah ditetapkan.

2.3.2 Isu-Isu Perencanaan Pendidikan

A. Perencanaan Pendidikan itu baik yang buruk adalah implementasinya.

Sebelum kita bahas masalah tersebut, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu

pengertian atau definisi dari perencanaan tersebut, ada beberapa pengertian atau

definisi dari perencanaan yaitu : Seperangkat tindakan untuk memecahkan

berbagai permasalahan, khususnya masalah sosial dan ekonomi pada satu periode

rencana, yang berorientasi pada horison waktu ‘yang akan datang’, pada jenis dan

tingkatan perencanaan tertentu, di masa yang akan datang (Alden, 1974: 1-2),

Cara berpikir tentang masalah-masalah sosial dan ekonomi, yang berorientasi

pada waktu yang akan datang, terkonsentrasi pada suatu tujuan dan keputusan

bersama, serta berusaha untuk mewujudkan program dan keputusan bersama

(Friedmann,1964) • Sebuah proses untuk menentukan tindakan-tindakan bagi

masa depan yang diinginkan melalui serangkaian pilihan-pilihan yang logis

(Davidoff,1962 in Faludi, 1983: 11) Sebuah proses untuk mengarahkan aktivitas

manusia dan kekuatan alam dengan mengacu pada kondisi masa depan yang

diinginkan (Branch, 1998: 2) Suatu lingkaran proses yang berulang dari

serangkaian tahapan-tahapan yang logis (Meise and Volwahsen, 1980: 3-5) Dari

sekian banyak definisi atau pengertian tentang perencanaan, dapat disarikan

sebagai berikut : Perancanaan adalah seperangkat prosedur untuk memecahkan

permasalahan fisik, sosial, dan ekonomi, yang harus meliputi prinsip-prinsip

Page 27: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

27

sebagai berikut:– Seperangkat tindakan – Upaya untuk memecahkan masalah –

Memiliki dimensi waktu dan berorientasi ke masa yang akan datang – Suatu

proses berputar dengan adanya umpan balik – Melibatkan beberapa alternatif

untuk mencari pemecahan.

Dari definisi atau pengertian tentang perencanaan tersebut, maka dapat kita

simpulkan bahwa perencanaan tersebut disusun agar dapat menuju kearah yang

lebih baik, walaupun demikian tidak semua perencanaan tersebut berjalan sesuai

rencana, terkadang sesuatu yang telah kita perhitungkan dengan matang, tapi pada

kenyataanya kadang kala terdapat masalah yang diluar perkiraan kita, oleh karena

itulah perencanaan tersebut akan terus dievaluasi dalam kurun waktu tertentu agar

tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud dan terlaksana dengan baik.

Berkaitan dengan isu-isu atau pendapat tentang perencanaan pendidikan yang

dikatakan baik, tapi buruk dalam implementasinya, mungkin ada benarnya

pendapat tersebut jika dilihat dari hasil yang terjadi yang berkaitan dengan

perencanaan pendidikan tersebut, salah satu diantara perencanaan pendidikan

yang implementasinya tidak sesuai dengan perencanaan adalah Program Wajib

Belajar 9 tahun misalnya, dimana pada Program Wajib Belajar 9 tahun ini,

pemerintah pusat dalam hal ini Departeman Pendidikan Nasional, untuk

menuntaskan progam wajar 9 tahun ini, pemerintah pusat memberikan bantuan

pendidikan kepada siswa yang dikenal dengan BOS (Bantuan Operasional

Sekolah), harapan dari Pemerintah Pusat dengan adannya program ini, maka

seluruh anak bangsa yang ada diseluruh pelosok negeri ini dapat

menikmati/mengenyam pendidikan minimal pendidikan dasar 9 tahun, tapi

kenyataannya program BOS tersebut, belum menunjukkan hasil yang sangat

signifikan, karena masih banyak siswa-siswa usia sekolah yang belum dapat

menikmati pendidikan sampai 9 tahun tersebut, hal ini mungkin disebabkan oleh

belum mencukupinya biaya BOS yang digunakan buat siswa dalam melaksanakan

pendidikannya, sehingga siswa masih dibebani biaya lagi untuk menutupi

kekurangan dari dana BOS tersebut, akibatnya banyak siswa-siswa yang putus

sekolah karena tidak sanggup menanggung biaya tambahan tersebut. Mungkin

pemerintah harus memikirkan kembali besaran dana BOS tersebut, hingga dana

Page 28: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

28

tersebut benar-benar dapat digunakan untuk mencukupi siswa dalam

melaksanakan pendidikan dasar 9 tahun itu.

B. Mutu Pendidikan rendah karena kebijakan yang berganti-ganti.

Kebijakan yang sering berganti-ganti bukanlah satu-satunya penyebab

rendahnya mutu pendidikan saat ini, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi

rendahnya mutu pendidikan, diantara faktor-faktor tersebut misalnya adalah

rendahnya kualitas/profesionalisme guru selaku tenaga pendidik, kurangnya

sarana prasarana pendidikan, kurangnya perhatian orang tua/partisipasi

masyarakat juga dapat menyebabkan rendahnya mutu pendidikan.

Rendahnya kualitas/profesionalisme guru dapat disebabkan karena banyak

sekali guru yang tidak fokus kepada profesinya dikarenakan rendahnya income

yang diperoleh guru tersebut, hingga mereka mengajar hanya untuk memenuhi

kewajiban saja, mereka tidak mempunyai beban moral atau tanggung jawab untuk

mencerdaskan anak didik mereka, karena yang terpenting bagi mereka adalah

bagaimana mereka dapat mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari.

Kurangnya sarana prasarana juga menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, hal ini disebabkan terbatasnya

anggaran pendidikan, hingga saat ini pemerintah belum sanggup untuk

merealisasikan anggaran pendidikan sebesar minimal 20% dari APBN

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang, hingga banyak sekali program-

program yang tidak dapat direalisasikan karena terbatasnya anggaran pendidikan

tersebut.Mungkin salah satu penyebab dari kebijakan pemerintah yang sering

berganti-ganti, hingga menyebabkan rendahnya mutu pendidikan adalah adannya

kebijakan dalam hal kurikulum yang selalu berubah-ubah hingga menyebabkan

ketidakpastian/kebingunan dalam melaksanakan kurikulum tersebut, seringkali

guru menjadi bingung dengan adanya kurikulum yang berubah-ubah tersebut,

karena dengan pergantian kurikulum tersebut, secara otomatis guru tersebut harus

menyesuaikan kembali dengan kurikulum yang baru itu, proses penyesuaian ini

memerlukan waktu yang cukup lama, karena guru-guru tersebut harus memahami

isi dari kurikulum tersebut, agar dapat di implementasikan dalam kegiatan belajar

Page 29: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

29

mengajar. Karena itulah perubahan kebijakan yang dilakukan ditengah jalan

sebaiknya seminimal mungkin kalau bisa dihindarkan, hingga tidak menjadikan

salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan.

C. Visi Diknas : Insan Cerdas dan Kompetitif

Sesuai dengan Renstra Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009,

bahwa Depdiknas memiliki Visi yaitu : Terwujudnya Sistem Pendidikan Nasional

sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua

warga negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga

mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah-ubah.

Dalam pembangunan jangka panjang tahun 2025 telah dicanangkan visi yang

lebih spesifik yaitu : Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif. Yang dimaksud

dengan Insan Indonesia Cerdas adalah insan yang cerdas secara komprehensif

yang meliputi :

a. Cerdas Spiritual, yang dapat diaktualisasikan melalui hati untuk

menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia termasuk

didalamnya budi pekerti yang luhur.

b. Cerdas Emosional, yang dapat diaktualisasikan melalui rasa untuk

meningkatkan sensitivitas dan apresiatif akan keindahan seni.

c. Cerdas Sosial, dapat diaktualisasikan melalui interaksi sosial untuk membina

dan memupuk hubungan timbal balik, simpatik, demokratis dan lain-lain.

d. Cerdas Intelektual, dapat diaktualisasikan melalui olah pikir supaya menjadi

insan kreatif, berpengetahuan dan mempunyai daya imajinatif.

e. Cerdas Kinetis, dapat diaktualisasikan melalui olahraga untuk

memuwujudkan insan yang sehat, bugar dan berdaya tahan.

Sedangkan makna Kompetitif adalah :

a. Berkepribadian unggul.

b. Bersemangat tinggi.

c. Mandiri.

d. Pantang Menyerah.

e. Membangun dan membina jejaring.

Page 30: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

30

f. Bersahabat dengan perubahan.

g. Inovatif dan menjadi agen perubahan.

h. Produktif dan sadar mutu.

i. Berorientasi global.

j. Pembelajaran sepanjang hayat.

Pada dasarnya visi Depdiknas tersebut menekankan pada pendidikan yang

dapat mentransformasikan dari masyarakat yang sedang berkembang menuju ke

masyarakat madani, pendidikan harus terus menerus dilakukan dengan mengikuti

perkembangan dan perubahan jaman.Untuk mewujudkan visinya Departemen

Pendidikan Nasional memiliki 3 pilar pembangunan pendidikan yaitu :1).

Pemerataan dan perluasan akses. 2). Peningkatan mutu dan relevansi serta daya

saing keluaran pendidikan. 3). Peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra

publik pengelolaan pendidikan.

Pendidikan yang berkualitas dapat diwujudkan jika ditopang oleh beberapa

faktor yaitu :1). Kurikulum yang berkelanjutan. 2). Kualitas guru yang memadai.

3). Prasarana dan sarana terbangun terjaga dan berkembang terus 4). Manajemen

pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel sehingga menimbulkan

pencitraan publik yang positif.

Dengan adannya visi dari Depdiknas tentang Insan Cerdas yang Kompetitif,

saya setuju dengan visi tersebut jika dapat dilaksanakan dan di implementasikan

dengan baik, karena visi itu dapat mengarahkan bangsa Indonesia kearah yang

lebih dan memiliki daya saing yang tinggi dengan bangsa lain.

Page 31: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan yang digunakan

Fokus penelitian ini adalah untuk mengungkap sejauh mana Implementasi

Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan

Terhadap Perencanaan Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Oleh karena itu untuk mendapatkan data yang lengkap, mendalam dan

memberi jawaban yang tepat terhadap masalah yang akan diteliti digunakan

penelitian kualitatif. Gambaran karakteristik yang dijelaskan tersebut sesuai

dengan maksud dari penelitian ini, karena yang diamati adalah Implementasi

Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan

Terhadap Perencanaan Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Hal ini apabila menggunakan pendekatan kuantitatif kurang sesuai karena

penelitian ini bersifat independent, tidak berintegrasi langsung dengan subyek

sehingga akan sangat sulit sekali diungkapkan proses kegiatan yang berlangsung.

Nasution (1992) mengemukakan bahwa “ Pada hakekatnya penelitian kualitatif

mengamati orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka dan berusaha

memahami bahasa serta tafsiran mereka sendiri tentang dunia yang ada

disekitarnya. Dengan menggunakan metode kulitatif, dapat ditemukan data yang

tidak teramati dan terukur secara kuantitatif, seperti nilai, sikap mental, kebiasaan,

keyakinan dan budaya yang dianut oleh seseorang atau kelompok dalam

lingkungan tertentu. Demikian pula Mc. Cracken ( 1988 ) dalam Julia Brannen

( 1997 ) mengemukakan bahwa : “ Di dalam penelirtian kualitatif konsep dan

kategorilah yang dipersoalkan bukan kejadian atau frekuensinya. Dengan kata lain

penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong, tetapi ia menggalinya.

Dalam hal ini peneliti akan mengumpulkan data dalam situasi yang wajar,

langsung apa adanya tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur lain dari luar

lingkungan. Untuk itu peneliti berhubungan langsung dengan situasi dan sumber

data yang akan diselidiki. Peneliti tidak menggunakan angka-angka, tetapi

mengumpulkan data deskriptif dalam bentuk laporan dan uraian untuk mencari

makna, walaupun tidak menolak angka-angka sebagai penunjang penelitian.

Page 32: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

32

Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan analisis induktif dengan

mengesampingkan hipotesis awal penelitian, tetapi mencari pola , bentuk dan

tema-tema untuk dapat mengungkapkan data secara sistematis.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kantor dinas DIKPORA Kabupaten Kepulauan

Sangihe yang teletek dikelurahan Tona 2 kecamatan Tahuna Timur Kabupaten

Kepulauan Sangihe dengan alasan perencanaan pendidikan di Kabupaten

kepulauan sangihe seluruhnya terpusat dikantor yang dimaksud dengan demikian

peneliti dapat melakukan analisis kebijakan pemerintah dibidang pendidikan

dalam kaitan perencanaan pendidikan yang dilakukan kantor dinas DIKPORA

Kabupaten kepulauan Sangihe.

Penelitian ini akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan Januari 2012

sampai bulan Juni 2012. Peneliti mengawali penelitian ini dengan observasi

langsung dilokasi penelitian kantor dinas DIKPORA Kabupaten kepulauan

Sangihe. Waktu penelitiansampai dengan penulisan laporan dilaksanakan selama

lima bulan dengan tidak mengganggu keja pegawai dikantor dinas DIKPORA

Kabupaten kepulauan Sangihe.

3.3 Data dan Sumber data

Informan atau subjek penelitian ada kepala dinas DIKPORA Kabupaten

kepulauan Sangihe, sekretaris dinas DIKPORA Kabupaten kepulauan Sangihe,

dan kepala bidang perencanaan dinas DIKPORA Kabupaten kepulauan Sangihe.

Penelitiakan berusaha mencermati para informan dengan teliti dengan cara

berupaya menemukan informasi dari informan yang paling mengetahui pokok

masalah yang akan diteliti.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif adalah

wawancara dan observasi. Kemampuan melakukan wawancara dan observasi

merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh peneliti kualitatif. Dasar

ketrampilan wawancara dan observasi berperan besar dalam pelaksanaan

Page 33: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

33

metodemetode yang lebih praktis (Poerwandari, 2001, h. 64). Di dalam penelitian

ini, akan digunakan empat macam metode pengumpulan data, yaitu: wawancara,

observasi, materi audiovisual, dan dokumen. Berikut ini adalah penjelasan dari

masing-masing metode yang akan digunakan dalam penelitian ini.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud

untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami

individu berkaitan dengan topik yang diteliti (Poerwandari, 2001, h. 75).

Wawancara pada dasarnya dibagi menjadi tiga, yaitu: wawancara terstruktur,

semi-terstruktur, dan tidak terstruktur. Di dalam penelitian ini, akan digunakan

wawancara dengan bentuk semi-terstruktur. Wawancara untuk penelitian ini akan

dilakukan dengan cara berhadapan langsung dengan subjek penelitian. Di dalam

proses wawancara ada pedoman wawancara yang sangat umum, dengan

mencantumkan hal-hal penting yang harus ditanyakan tanpa menentukan urutan

pertanyaan. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan mengenai

aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek aspek relevan

yang perlu dibahas atau ditanyakan (Patton dikutip dalam Poerwandari, 2001, h.

76). Guba dan Lincoln (dikutip dalam Moleong, 2002, h. 137) menyatakan bahwa

untuk penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka. Wawancara

terbuka maksudnya adalah subjek mengetahui bahwa mereka sedang

diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara tersebut. Di dalam

penelitian ini akan digunakan jenis wawancara tersebut. Menurut Smith et al

(dikutip dalam Poerwandari, 2001, h. 77) di dalam menyusun pertanyaan untuk

wawancara, harus diperhatikan beberapa aspek, antara lain: pewawancara harus

bersifat netral, tidak diwarnai nilai-nilai tertentu, dan tidak mengarahkan.

Kemudian juga perlu dihindari penggunaan istilah-istilah yang canggih, resmi,

ataupun tinggi, serta perlunya menggunakan pertanyaan terbuka, bukan

pertanyaan tertutup. Pertanyaan perlu diformulasikan secara jelas, sederhana,

singkat, dan tidak mengandung beberapa pesan pertanyaan sekaligus. Di dalam

pelaksanaan wawancara, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan, yaitu:

menyiapkan diri menjadi penerima informasi yang baik; menghindari banyak

Page 34: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

34

bicara; mencoba untuk melakukan probe, yaitu teknik tersamar untuk memancing

subjek berbicara, probe ini harus bersifat netral atau tidak mengarahkan jawaban

subjek, peneliti juga perlu untuk bersikap peka dalam menghadapi subjek. Di

dalam pengambilan data nantinya, perlu menjalin rapport (hubungan baik) dengan

orang yang akan diwawancarai sekaligus menjaga netralitas data.

2. Observasi

Observasi dikaitkan dengan kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat

fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam

fenomena tersebut (Poerwandari, 2001, h. 70). Observasi sering dianggap mudah

oleh para peneliti, padahal sebenarnya dibutuhkan latihan agar bisa mahir dalam

observasi. Alat perekam pun tidak sepenuhnya sempurna, karena kadang-kadang

ada proses yang tidak terekam kamera atau tape recorder. Kesulitan ini bisa

diatasi dengan menyediakan lembaran - lembaran khusus untuk dicatat di

lapangan. Memori peneliti sangat terbatas dan mudah terganggu dengan

banyaknya informasi dari luar sehingga perlu untuk dilakukan pencatatan

langsung setelah observasi. Buford Junker (dikutip dalam Moleong, 2002, h. 127)

membagi peran pengamat dalam sebuah observasi penelitian menjadi tiga. Peran

yang akan digunakan adalah peran yang ketiga, yaitu subjek mengetahui bahwa

dirinya sedang diobservasi untuk sebuah penelitian. Oleh karena itu, diharapkan

subjek tetap bisa berlaku seperti adanya dan memberikan informasi yang

diperlukan oleh pengamat sekaligus peneliti. Catatan observasi akan dilaporkan

secara faktual, deskriptif dan akurat. Hasil observasi dicatat pada catatan lapangan

dengan menuliskan pula tanggal dan waktu pencatatan.

3. Materi audiovisual

Materi audiovisual adalah salah satu metode penunjang wawancara dan

observasi yang sangat penting yang digunakan untuk menyimpan apa yang dilihat

dan didengarkan agar lebih awet dan bisa diulang kapan saja. Peralatan

audiovisual yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah recorder dan

kamera. Recorder akan digunakan untuk merekam wawancara dengan subjek

maupun dengan narasumber secara audio, sedangkan kamera akan digunakan

Page 35: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

35

untuk mengambil beberapa foto subjek. Satu hal yang penting dalam penyiapan

alat audiovisual adalah dengan benar-benar memeriksa dan menguji coba alat

tersebut terlebih dahulu agar nantinya dalam pelaksanaan wawancara dan

observasi tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan merugikan peneliti sendiri.

4. Dokumen

Metode pengumpulan data yang keempat adalah penggunaan dokumen.

Dokumen yang akan digunakan adalah dokumen publik yang sifatnya resmi,

seperti SK pengangkatan CPNS, SK pengangkatan PNS, SK kenaikan pangkat

dan golongan, dan juga ijazah tanda lulus kuliah. Penggunaan dokumen bisa

digunakan untuk bukti keberadaan subjek dan analisis data (Poerwandari, 2001, h.

69).

3.5 Analisis Data

Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, melainkan narasi,

deskripsi,cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis, ataupun bentuk-bentuk data

nonangka lainnya. Ketika wawancara dan observasi, maka akan didapatkan data

mentah yang harus dianalisis. Analisis data ini akan tergantung pada pengetahuan

yang dimiliki oleh masing-masing peneliti. Pengetahuan kita nantinya akan

menunjuk pada empat arah, yaitu: pengetahuan teoretis, pengalaman di lapangan,

pengetahuan akan konteks, dan pengetahuan teknik analisis data (Moleong, 2002,

h. 190). Di dalam analisis data, ada urutan-urutan yang bisa dilakukan untuk

menganalisis data. Urutan-urutan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Membuat dan mengatur data yang sudah dikumpulkan

Pengolahan atau analisis data dimulai dengan mengorganisasikan atau

mengatur data. Pengaturan data yang sistematis akan menguntungkan karena akan

diperoleh kualitas data yang baik. Proses selanjutnya adalah mendokumentasikan

analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam

penyelesaian penelitian. Hasil wawancara danobservasi akan ditranskripsikan dan

dalam transkrip hasil wawancara dituliskan dengan teratur. Pengaturan data inilah

yang bisa membantu dalam analisis data berikutnya.

Page 36: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

36

2. Membaca dengan teliti data yang sudah diatur

Transkrip yang telah disusun dibaca dan diperiksa kembali. Proses ini

umumnya disebut koding. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan

mensistemasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat

memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Oleh karena itu, akan

didapatkan insight tentang tema-tema penting dalam pernyataan subjek. Semua

peneliti kualitatif menganggap bahwa koding ini sebagai tahap yang penting,

karena dengan demikian bisa didapatkan makna dari data yang dikumpulkannya.

3. Deskripsi pengalaman peneliti di lapangan

Pada bagian awal analisis, akan dideskripsikan pengalaman peneliti di

lapangan. Deskripsi pengalaman ini dimaksudkan untuk menggambarkan situasi

penelitian dan konteks yang dapat membantu dalam memahami pernyataan-

pernyataan subjek.

4. Horisonalisasi

Langkah yang berikutnya dilakukan adalah dengan memeriksa kembali

transkrip wawancara yang telah dibuat. Pemeriksaan ini dilakukan untuk

mengidentifikasikan ucapan-ucapan yang relevan dan tidak relevan bagi

penelitian ini. Salah satu cara yang nantinya akan digunakan adalah dengan

menebalkan ucapan-ucapan subjek yang sesuai dengan penelitian ini. Hasil

identifikasi ini nantinya akan ditulis terpisah dalam kolom yang lain.

5. Unit-unit makna

Unit-unit makna akan terus ditentukan dengan terus melakukan dan merevisi

hasil koding. Berdasarkan keseluruhan transkrip, diharapkan bisa ditemukan

beberapa unit makna.

6. Deskripsi tekstural

Unit-unit makna yang telah ditemukan, nantinya akan dideskripsikan.

Deskripsi pertama yang akan dilakukan adalah deskripsi tekstural, yaitu deskripsi

Page 37: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

37

yang didasarkan pada ucapan subjek yang asli/orisinil/harfiah/verbatim. Ucapan-

ucapan subjek ini bisa didapatkan dari horisonalisasi.

7. Deskripsi struktural

Deskripsi struktural adalah deskripsi kedua yang harus dilakukan dalam

melakukan analisis data penelitian kualitatif. Deskripsi struktural nantinya akan

berisi interpretasi atau penafsiran peneliti terhadap ucapan/perkataan subjek yang

verbatim. Oleh karena itu, deskripsi struktural ini bisa juga ditulis sesudah ucapan

verbatim subjek.

8. Makna/esensi

Pada bagian ini, yang akan dilakukan adalah mencari inti atau makna atau

esensi dari pengalaman subjek. Pemberian makna atau inti ini didapatkan

darikeseluruhan unit-unit makna, deskripsi tekstural, dan deskripsi struktural.

Dengan demikian, diri pengalaman subjek dapat dipahami sebenar-benarnya.

3.6 Verifikasi Data

Verifikasi mempunyai makna yang hampir sama dengan konsep validitas dan

reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Verifikasi merupakan upaya untuk

menunjukkan bahwa penelitian ini sudah berjalan dengan benar. Verifikasi

disebut juga trustworthiness (kelayakan data) atau keabsahan data. Lincoln dan

Guba (Moleong, 2002, h. 173) mengemukakan empat macam standar verifikasi,

yaitu: kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmbilitas. Dalam tiap

standar itu, ada beberapa teknik yang digunakan untuk menunjangnya. Berikut ini

adalah teknik yang akan digunakan peneliti dalam verifikasi data.

1. Kredibilitas

Kredibilitas disebut juga sebagai taraf kepercayaan. Kredibilitas ini digunakan

untuk melihat apakah penelitian yang dilakukan sudah berjalan dengan benar atau

belum. Ada beberapa hal akan dilakukan untuk menunjang kredibilitas, yaitu:

Page 38: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

38

a. Keterlibatan dan pengalaman berkesinambungan

Pada bagian ini, ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi

kredibilitas. Kegiatan tersebut antara lain:

1) Survai dan terlibat langsung di lapangan untuk membangun rapport dengan

subjek penelitiannya.

2) Mempelajari lingkungan sosial dan budaya di lingkungan subjek.

3) Merasa yakin pada diri sendiri bahwa penelitian yang akan dilakukan benar-

benar bisa dilanjutkan.

b. Triangulasi

Triangulasi berarti bahwa peneliti berusaha mencari sumber dari berbagai

sudut pandang. Hal ini diperlukan untuk melakukan pengecekan mengenai

kebenaran penelitian yang dilakukan. Berbagai macam sudut pandang ini akan

diperoleh dari: buku-buku, para tokoh/pakar yang berkompeten, peneliti-peneliti

lain, dan keluarga subjek.

c. Peer debriefing atau p eer review

Peer sering diartikan sebagai teman sejawat atau teman sebaya, maka peer

debriefing atau peer review dapat diartikan sebagai pengecekan hasil penelitian

oleh teman sebaya. Teman sebaya yang diharapkan adalah teman yang bisa

memeriksa persepsi, insight, dan analisis yang dibuat oleh peneliti. Oleh karena

itu, akan dibutuhkan teman yang mempunyai pandangan atau pemahaman umum

akan penelitian ini.

d. Cek anggota ( m ember check )

Cek anggota dilakukan dengan cara peneliti kembali datang menemui

responden atau subjek penelitiannya untuk memeriksa kebenaran data dan

interpretasi yang dilakukan oleh peneliti. Cara ini diperlukan agar tidak terjadi

kekeliruan peneliti dalam mengartikan dunia pengalaman subjek. Kekeliruan

penafsiran ini terjadi karena ketidaksesuaian peneliti dalam mengartikan dunia

pengalaman subjek dengan kejadian atau apa yang benar-benar dialami oleh

subjek.

Page 39: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

39

2. Transferabilitas

Transferabilitas disebut juga daya transfer atau kemampuan hasil penelitian

untuk ditransfer pada situasi lain. Manfaat dari transferabilitas ini adalah peneliti

dapat membantu pembaca untuk melihat kemungkinannya menerapkannya dalam

situasi lain yang mirip. Oleh karena itu, tranferabilitas sering disebut

generalisabilitas, yaitu kemampuan hasil penelitian untuk digeneralisasikan pada

subjek lain yang mirip. Ada beberapa cara yang akan dilakukan peneliti untuk

menunjang transferabilitas, yaitu:

a. Deskripsi yang tebal

Penelitian kualitatif membutuhkan deskripsi yang mendetail, oleh karena itu

laporannya biasanya lebih tebal. Deskripsi yang mendetail ini akan memberi lebih

banyak kesempatan pada hasil penelitian kita untuk ditransfer pada situasi lain

yang mirip.

b. Sampling purposif dengan karakteristik subjek yang jelas

Jika karakteristik subjek dibuat dengan jelas, maka hasil penelitian kita akan

semakin mungkin ditransfer atau digeneralisasikan pada subjek lain yang

mempunyai karakteristik yang hampir sama.

3. Dependabilitas

Dependabilitas adalah daya konsistensi dari hasil penelitian kita. Standar ini

penting karena digunakan untuk menyakinkan pembaca bahwa penelitian kita

konsisten. Dependabilitas diartikan bahwa penelitian kita dapat diulang pada

subjek yang sama/mirip dalam konteks yang sama/mirip dan dengan hasil yang

sama/mirip pula. Ada satu hal yang penting untuk dilakukan untuk menunjang

dependabilitas, yaitu audit eksternal. Audit eksternal dilakukan dengan cara

menemui konsultan atau auditor, yang memahami metode penelitian kualitatif,

untuk memeriksa proses dan hasil penelitian kita agar penelitian ini tidak

dianggap subjektif. Audit eksternal yang akan dilakukan adalah dengan dosen

pembimbing.

Page 40: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

40

4. Konfirmabilitas

Konfirmabilitas disebut juga daya kenetralan. Konsep konfirmabilitas

diusulkan untuk mengganti konsep tradisional tentang objektivitas (Poerwandari,

2002, h. 174). Secara sederhana, konfirmabilitas dapat diartikan sebagai

kemampuan hasil penelitian untuk disetujui atau dinyatakan tidak bias. Ada

beberapa penunjang konfirmabilitas agar penelitian ini dikatakan tidak bias, yaitu:

a. Data mentah hasil wawancara yang meliputi hasil rekaman dan catatan –

catatan di lapangan. Data mentah ini digunakan sebagai bukti yang akan

ditunjukkan pada dosen pembimbing.

b. Proses analisis yang benar dari horisonalisasi sampai makna/esensi.

c. Pembahasan yang benar dalam Bab 5, untuk menghadapkan hasil analisis

penelitian ini pada teori atau penelitian lain. Hasil analisis dari penelitian ini,

bisa menguatkan atau bahkan melemahkan hasil penelitian lain.

d. Pemeriksaan materi audiovisual yang berkaitan dengan proses wawancara dan

observasi.

e. Pemeriksaan asumsi pribadi, yaitu dosen pembimbing melihat apakah peneliti

telah berhasil melakukan bracketing atau belum. Ada satu cara yang bisa

digunakan untuk memeriksa asumsi pribadi itu, yaitu dengan analisis kasus

negatif. Analisis kasus negatif dilakukan dengan mencari - cari kelemahan

dari hasil pekerjaan peneliti sendiri.

Page 41: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

41

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan.

Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218.

Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38.

Arbi Sanit. Et al. (2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.

Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.

________. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).

________. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.

________. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.

Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES.

Djaenuri. 2003. Hubungan Pusat dan Daerah, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka : Jakarta.

Engkoswara, H., & Komariah, A. 2010. Administrasi Pendidikan. Alfabeta : Bandung.

Fattah, Nanang (2000), Manajemen Berbasis Sekolah : Strategi Pemberdayaan Sekolah dalam Rangka Peningkatan Mutu dan Kemandirian Sekolah. Bandung : CV Andira

_____________ 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Page 42: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

42

_____________ (2000) Manajemen Berbasis Sekolah : Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung : Rosda Karya

____________. (2004) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

____________. (2006) Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosda Karya

George R. Terry & Leslie W. Rue (1999), Dasar-Dasar Manajemen, Alih Bahasa G. A. Ticoalu. Jakarta : Bumi Aksara

Hasbullah (2006). Otonomi Pendidikan : Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Rajawali

Hadi, Sutrisno. 1991. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hadiyanto. (2004), Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Hasibuan, Malayu S.P. 1989. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Haji Masagung.

Himpunan Peraturan Perundang – undangan. 2008. Standar Nasional Pendidikan. Fokusmedia : Bandung

Himpunan Peraturan Perundang – undangan. 2000. UU Otonomi Daerah 1999. Citra Umbara : Bandung.

Husaini, Usman. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Ihsan, F. 2010. Dasar – dasar Kependidikan komponen MKDK. Rineka Cipta : Jakarta.

.............. 2010. Filsafat Ilmu. Rineka Cipta : Jakarta.

Kambey, D. 2010. Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Ganesha Nusantara : Jakarta

Katono, K. 1997. Tinjauan Politik mengenai Sistem Pendidikan Nasional, Pradnya Paramita : Jakarta

Ranupandojo. H, 1987.Teori dan konsep Manajemen.UPP AMPYKPN : Yogyakarta

Page 43: IMPLEMENTASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PEMBANGUNAN TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE.

43

Rifa'i, M. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern, Ar-RUZZMEDIA : Yogyakarta

Rohman, A. 2009. Politik Ideologi Pendidikan. Laksbang Mediatama : Yogyakarta

Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis, Kencana

Tirtarahardja, U., dan La Sulo L. 2008. Pengantar Pendidikan. Rineka Cipta : Jakarta.

Widjaya. 1995. Administrasi Kepegawaian. Rajawali Pers : Jakarta.

Wiiliams, Gareth. 1977. Towards Lifelong Education: A New Role for Higher Education Institutions. Paris : UNESCO