implementasi mediasi dalam sengketa medik

181
1 IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN TESIS DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENYELESAIKAN PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KAJIAN HUKUM KESEHATAN Oleh : Lalu M. Guntur Payasan WP, S.Kep. NPM: 190910140501

Transcript of implementasi mediasi dalam sengketa medik

Page 1: implementasi mediasi dalam sengketa medik

1

IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN

TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN

TESIS

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENYELESAIKAN

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KAJIAN HUKUM KESEHATAN

Oleh :Lalu M. Guntur Payasan WP, S.Kep.

NPM: 190910140501

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG

2011

Page 2: implementasi mediasi dalam sengketa medik

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan suatu modal seseorang untuk mencapai

kehidupan yang optimal, hak asasi, dan salah satu unsur kesejahteraan yang

harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu

kesehatan masyarakat merupakan hal yang mutlak harus dijaga, diupayakan,

dan dipenuhi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.1

Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan

berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam

rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan

ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.

Pemeliharaan kesehatan individu merupakan suatu pelayanan di

bidang kedokteran yang melibatkan dokter dan pasien. Layaknya hubungan

antar manusia, maka di dalam hubungan pelayanan kedokteran selalu terdapat

kekurangan dan kelebihan, dalam arti ada keuntungan dan kerugian yang

timbul pada saat pelaksanaan dari pelayanan kedokteran tersebut. Apalagi

hubungan ini berkaitan dengan proses penyembuhan penyakit bahkan sampai

menyelamatkan nyawa manusia, sehingga hubungan itu sifatnya sangat unik

karena ada ketergantungan pasien kepada dokter yang dalam hal ini adalah

1 Pasal 28 H Undang-undang Dasar 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.

1

Page 3: implementasi mediasi dalam sengketa medik

3

“menyerahkan kepercayaan terhadap proses penyembuhan atau

penyelamatan”.

Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,

sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan

batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut

tertuang dalam prinsip moral profesi, dimana prinsip utamanya adalah

autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada

kebaikan pasien), nonmaleficence (tidak mencelakakan pasien), dan justice

(keadilan/meniadakan diskriminasi). sedangkan prinsip turunannya adalah

veracity (kebenaran), truhtfull (kepercayaan), information, fidality (kesetiaan),

privacy (kerahasian), dan confidentiality (menjaga kerahasiaan).2

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau

satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang

atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan

terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsure atau nilai

pengobatan. Secara yuridis perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara

dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk

melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien

berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.3

Oleh karena praktik kedokteran merupakan pelayanan yang bersifat pemberian

pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter

2 Safitri Hariyani, 2005. Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara dokter dan pasien, Diadit Media, Jakarta. hal. 33 Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed consent dalam perjanjian terapeutik, Citra Aditya Bakti, cet. II Bandung, hal. 1

Page 4: implementasi mediasi dalam sengketa medik

4

dan bukan merupakan hubungan bisnis semata yang berorientasi pada

keuntungan sepenuhnya.

Prestasi dari perjanjian terapeutik bukanlah hasil yang akan dicapai

(resultaatverbintenis), melainkan suatu upaya yang sungguh-sungguh

(inspanningverbintenis). Hubungan perjanjian semacam ini berikut dengan

tindakan medik yang tercakup didalamnya sudah merupakan bagian dari

hukum, maka harus dipertahankan melalui peraturan perundang-undangan dan

mengacu pada standar-standar tertentu yang sudah ditetapkan oleh lembaga

profesi.

Beberapa tahun belakangan profesi dokter banyak menghadapi

tuntutan hukum, tercatat 405 laporan masalah medis dari berbagai belahan

Indonesia yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan.

Sebanyak 73 kasus di antaranya dilaporkan ke kepolisian.4 Selama periode

1994-2004, kasus sengketa medis yang diadukan ke Majelis Kehormatan Etika

Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah

tercatat 68 kasus, dengan kisaran 2-13 kasus per tahun dan rata-rata 6 kasus

per tahun serta 3 dokter yang diadukan per 1000 dokter yang ada di Jawa

Tengah.5

Beberapa konflik tersebut melibatkan sarana kesehatan baik itu

Puskesmas, Balai pengobatan, Klinik, dan Rumah Sakit. Kasus-kasus seperti

ini banyak sekali, namun kemunculan di media itu sedikit karena memang

4 Kompas, 9 Januari 2007, hal. 85 Hariadi R. 2005, Dasar-dasar etik kedokteran. Dalam : Darmadipura MS (editor). Kajian bioetik. Airlangga University Press, Surabaya. Hal. 15

Page 5: implementasi mediasi dalam sengketa medik

5

kasus-kasus seperti ini tidak selalu terpublikasi dan sebenarnya dapat

diselesaikan melalui mediasi.

Sengketa dalam hubungan dokter dan pasien adalah suatu kondisi

dimana tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien mengenai

kerugian dalam pengobatan. Sengketa ini terjadi di bidang kedokteran, yang

secara umum berkaitan dengan kesehatan. Kerugian biasanya diderita pasien,

berupa cacat/luka bahkan meninggal dunia. Pada kenyataannya, upaya

penyelesaian sengketa yang dilakukan umumnya sering menjadi momok yang

menakutkan bagi kalangan dokter sedangkan kalangan pasien sering merasa

tidak dapat terwakili jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan milik

profesi kedokteran (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

ataupun Majelis Etik Kedokteran). Oleh karena itu diperlukan metode

penyelesaian sengketa yang ideal bagi kedua belah pihak dalam hal ini

“mediasi” pihak ketiga dapat menjadikan solusi yang tepat dalam menangani

sengketa baik itu oleh badan mediasi maupun oleh hakim di Pengadilan.6

Arifin Tumpa mengatakan bahwa “Penyelesaian sengketa medik tidak

melulu harus masuk dalam kategori tindak pidana. Namun hendaknya

diselesaikan dengan mediasi atau pemberian ganti rugi yang layak kepada si

korban”.7 Untuk itu mediasi merupakan alasan yang tepat dalam penyelesaian

sengketa medik antara dokter dan pasien.

6 Pasal 29 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.7 Arifin Tumpa, 2010, Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian sengketa medis di peradilan pidana, avaliable from: http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1618 opened: 20/12/2010

Page 6: implementasi mediasi dalam sengketa medik

6

Menurut teori ada beberapa definisi mengenai mediasi, tapi secara

umum mediasi sebenarnya merupakan bentuk dari proses alternative dispute

resulotion (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa.8 Pasal 1 ayat 7

PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memuat

definisi mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

mediator.

Mediasi menggunakan Pendekatan win-win solution dengan proses

dan cara yang lebih sederhana dalam rangka memberikan akses keadilan yang

lebih memuaskan kepada kedua belah pihak dalam upaya menemukan

penyelesaian sengketa yang terbaik bagi kedua belah pihak.9

Kesepakatan perdamaian akan menjadi penyelesaian yang tuntas

karena hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose. Kesepakatan

yang telah dikeluarkan menjadi “akta perdamaian” merupakan suatu

penyelesaian yang mengikat dan final. Mengikat karena setiap butir-butir yang

disepakati dalam akta perdamaian dapat dilaksanakan melalui proses eksekusi

(executable) jika salah satu pihak mengingkari. Sedangkan final berarti bahwa

dengan dikuatkannya kesepakatan dalam bentuk akta perdamaian telah

menutup segala upaya hukum yang tersedia bagi para pihak.10

8 Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa, avaliable at: http://www.pemantauperadilan.com opened: 25/12/20109 Yuti Witanto Darmono, 2010. Beberapa masalah dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan, Varia Peradilan, Jakarta. hal. 6810 Pasal 1 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2008 Tentang Mediasi yang berbunyi akta perdamaian adalah akta yang memuat isi perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut tidak tunduk pada upaya hukum biasa atau luar biasa.

Page 7: implementasi mediasi dalam sengketa medik

7

Sebenarnya mediasi juga diatur dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg yang

berbunyi “pada hari yang ditentukan, apabila kedua belah pihak menghadap ke

Pengadilan dengan perantara keduanya maka hakim mencoba mendamaikan,”

artinya sebelum perkara diperiksa, maka hakim menganjurkan supaya para

pihak menempuh proses perdamaian terlebih dahulu. Namun dengan syarat

perkara tersebut telah terdaftar dipengadilan sebagai gugatan.

Contoh Putusan Nomor 57/Pdt.G/2000/PN.Jak.SelPutusan mengenai gugatan Yang Young Joan terhadap Direksi Rumah Sakit Pondok Indah dan dr. Harry Purwanto, Sp.AKasus PosisiPenggugat membawa anak laki-lakinya yang berumur 1 tahun. Yan Won Ha, berobat ke RS Pondok Indah dan ditangani oleh dr. Harry P. Menurut dokter, pasien mengalami diare dan dehidrasi sehingga perlu dirawat di RS. Menurut catatan medik, ketika dibawa ke rumah sakit, suhu badannya 37ºC dan tidak dalam keadaan kritis. Setelah pasien menjalani rawat inap, jam 13.15 WIB suhu badan pasien naik menjadi 39ºC, kenaikan suhu badan tersebut sudah diperkirakan oleh dokter sehingga perawat diberikan instruksi apabila suhu badan pasien meningkat diatas 39ºC perawat harus memberikan suntikan iv, Novalgin 05 CC, Ceftum 5 mg dan Stesolid rectal 5 mg dengan catatan kalau perlu. Namun instruksi tersebut diberikan pertelpon. Pada suhu badan pasien 39.2ºC, perawat memberikan suntikan-suntikan sesuai perintah dokter tetapi setelah itu pasien mengalami keadaan kritis dan baru diketahui perawat setalh 3,5 jam setelah pemberian suntikan. Dalam keadaan sesak nafas dan kritis, perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada dokter sekaligus meminta petunjuk, dokter akhirnya memerintahkan agar pasien dimasukkan ke ruang ICU melalui telpon. Selama di ruang ICU dokternya tidak datang, padahal di ruang ICU tidak ada dokter anak sehingga pasien meninggal dunia jam 20.50 WIB. Oleh karena itu Penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian terapeutik yaitu tidak memenuhi standar profesi dokter dan standar perawatan RS yang mengakibatkan matinya pasien. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan para pihak akhirnya sepakat mengakhiri sengketa antara mereka dengan jalan damai dan membuat perjanjian damai.11

Secara yuridis formal mediasi diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan, UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Albitrase dan Alternatif

11 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 65

Page 8: implementasi mediasi dalam sengketa medik

8

Penyelesaian Sengketa, Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement

Buitengewesten (Rbg), UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, UUNo. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,

Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan

Nasional, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang

Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi, namun dalam

pelaksanaannya mediasi belum banyak dilakukan dalam penyelesaian

sengketa medik, padahal mediasi merupakan cara yang sangat ampuh dan

cepat dalam penyelesaian sengketa medik. Sebagai perbandingan di bidang

perbankan dikenal Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) yang menjalankan

peran mediasi untuk sengketa-sengketa tertentu di bidang perbankan, LMP

tidak tunduk kepada Bank Indonesia, sedangkan di bidang kesehatan lembaga

mediasi ini belum ada.

Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengambil judul

penelitian “IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN

TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN”.

B. Pembatasan Masalah

Page 9: implementasi mediasi dalam sengketa medik

9

Pelayanan kesehatan sarat teknologi, sarat sumber daya, sarat profesi,

sarat sarana prasarana, sehingga rawan terjadinya permasalahan yang akan

berlarut-larut jika melalui pengadilan dan lebih efektif melalui mediasi.

Penelitian ini dibatasi tentang sumber daya dan profesi dalam hal ini sumber

daya dan profesi tersebut adalah dokter.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dikemukakan

tiga rumusan masalah yang akan dijadikan pokok penelitian di dalam tesis ini,

yaitu :

1. Bagaimana implementasi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?

2. Bagaimana pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien di RSI Siti

Hajar, RSUD Praya dan PN Praya?

3. Bagaimanakah hambatan-hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam

pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam

perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?

D. Tujuan Penelitian

Page 10: implementasi mediasi dalam sengketa medik

10

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi mediasi sebagai

alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara

dokter dan pasien.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan mediasi sebagai

alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara

dokter dan pasien di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dan solusinya dalam

pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam

perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis, yaitu

a. Menambah wawasan pengetahuan dan ilmu hukum bidang kesehatan

khususnya tentang mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien

b. Menjadi bahan penelitian hukum kesehatan berikutnya.

2. Manfaat praktis, yaitu :

a. Memberikan data informasi kepada berbagai pihak yang

berkepentingan, lembaga kesehatan, tenaga kesehatan, praktisi hukum

dan masyarakat, tentang hukum kesehatan khususnya mengenai

Page 11: implementasi mediasi dalam sengketa medik

11

mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan

pasien

b. Memberikan bahan masukan untuk pembuatan peraturan perundang-

undangan di bidang kesehatan;

F. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

secara umum sudah banyak yang meneliti, akan tetapi penelitian ini memiliki

kekhususan dimana dalam penelitian ini akan meninjau tentang implementasi

mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian

terapeutik antara dokter dan pasien, hal ini belum ada yang meneliti. Oleh

karena itu penelitian ini dapat dipercaya keasliannya.

Page 12: implementasi mediasi dalam sengketa medik

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hubungan Dokter dan Pasien

1. Dokter

a. Definisi

Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin

sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan,

khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut

hukum dalam pelayanan kesehatan.12

Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter

gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau

kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh

Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.13

b. Hak dan kewajiban dokter

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai hak:14

1) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

12 Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal 1713 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 1 ayat (2)14 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51

11

Page 13: implementasi mediasi dalam sengketa medik

13

2) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar

prosedur operasional;

3) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarganya; dan

4) menerima imbalan jasa.

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai kewajiban :15

1) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

2) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

3) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

4) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya; dan

5) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

2. Pasien

15 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 52

Page 14: implementasi mediasi dalam sengketa medik

14

a. Definisi

Pasal 1 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran menjelaskan definisi pasien adalah setiap orang yang

melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun

tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

b. Hak dan kewajiban pasien

Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 52

Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,

adalah :

1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;

2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

4) Menolak tindakan medis; dan

5) Mendapatkan isi rekam medis.

Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang

No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini adalah:

1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatanya

2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi

3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan

dan

4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

Page 15: implementasi mediasi dalam sengketa medik

15

3. Hubungan dokter dengan pasien

Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter) dengan

penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang

bertolak pada hubungan paternalisme (father knows best). Hubungan

vertikal tersebut adalah hubungan antara dokter dan pasien tidak lagi

sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum inspaning verbintenis

antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan hukum ini tidak

menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari hubungan

hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati-

hati dan cermat sesuai dengan standar pelayanan medis berdasarkan ilmu

pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.16

Tanpa disadari keadaan seperti di atas membawa perubahan pola

pikir sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal

menuju kearah pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya,

dimana kedudukan antar dokter dan pasien sama sederajat walau pun

peranan dokter lebih penting dari pada pasien. Bila antara dua pihak telah

disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah yang berupaya secara

optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak tercapai

karena dokter tidak cermat dalam prosedur yang ditempuh melalui proses

komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat melakukan

upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut dilegalkan oleh

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagai salah satu

16 Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang, hal. 29

Page 16: implementasi mediasi dalam sengketa medik

16

upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul

(fisik / non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah dilaksanakan oleh

dokter.

Hubungan dokter pasien ini biasa disebut perjanjian terapeutik.

Hubungan terapeutik dalam dunia kedokteran merupakan hubungan yang

dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai kekeluargaan. Sofwan

Dahlan mengatakan, bahwa hubungan demikian telah ada sejak zaman

Priestly Medicine dan telah mapan. Hubungan yang mapan, ternyata

merupakan konsep yang tidak jelas, sehingga tidak memiliki sarana

sebagai upaya penyelesaian terhadap kasus yang muncul, termasuk

keputusannya tidak atau kurang memiliki kekuatan mengikat para pihak

(binding force).17

Upaya penyelesaian kasus atau konflik oleh lembaga profesi lebih

mencerminkan gambaran keterpihakan pada lembaga daripada pasien.

Kondisi seperti itu membuat para pihak yang merasa kurang diuntungkan,

menempuh hukum sebagai upaya penyelesaian kasus yang terjadi.18 Untuk

itu perlu ada upaya alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan

pihak ketiga yang netral.

4. Aspek hukum hubungan dokter dan pasien

17 Soponyono, Edi, 2008. Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadilan), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 4918 Ibid, hal. 43

Page 17: implementasi mediasi dalam sengketa medik

17

Aspek hukum hubungan dokter dan pasien ini diatur dalam

beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya:19

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat,

dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung

jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian,

yang dilandaskan teori-teori kesalahan dalam hukum pidana.

Tanggung jawab disini bila kelalaian tersebut dapat dibuktikan adanya

kesalahan professional, misalnya dalam cara-cara pengobatan, maupun

diagnosa yang berdampak pada pasien.

Di Indonesia masalah pertanggungjawaban pidana seorang

dokter diatur dalam KUHP yang mencakup tanggung jawab hukum

yang ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/ kelalaian. Pasal-

pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUHP mencakup

kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan. Sedangkan dasar

kealpaan/ kelalaian pasal 267 KUHP.20

b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Tanggung jawab hukum dokter dalam persektif hukum perdata

karena adanya perjanjian yang terjadi. Ketentuan umum mengenai

bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata

19 Soetrisno, 2010, Malpraktek Medis dan Mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 720 ibid hal. 23

Page 18: implementasi mediasi dalam sengketa medik

18

sedangkan syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320

KUH Perdata.21

Soetrisno menyatakan dalam proses perdata yang menyangkut

gugatan seorang pasien terhadap dokter yang menanganinya, hampir

semua, kalau tidak dikatakan semuanya, adalah menyangkut ganti rugi.

Dasar hukum pertanggung jawaban medis adalah:22

1) Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)

Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak

memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian

atau kontrak.23

Contoh : Dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) Pasal 1243 KUHPerdata.

2) Perbuatan melanggar hukum (onrecht matigedaad)

Tuntutan kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan

hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian. Hal ini berarti

untuk menuntut ganti rugi harus dipenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:24

a) Ada perbuatan melawan hukum

b) Ada kerugian

c) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan

kerugian

21 Titik Triwulan T & Shita Febriani, 2010, Perlindungan hukum bagi pasien, Jakarta; Prestasi Pustaka, hal. 2222 Soetrisno, 2010, op.cit hal. 823 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 4324 Ibid, hal 44

Page 19: implementasi mediasi dalam sengketa medik

19

d) Ada kesalahan

Contoh : Dokter telah melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan daripada dalam pergaulan dengan warga masyarakat (tanggung jawab berdasarkan Undang-undang).

3) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal

1366 KUHPerdata)25

Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan

melanggar hukum, dapat pula dituntut atas dasar lalai sehingga

menyebabkan kerugian.

4) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat

(3) KUHPerdata) 26

Sebagai penganggung jawab dalam Pasal 1367 KUHPerdata dokter

harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pasien baik

itu olehnya maupun oleh orang lain yang bekerja pada dokter

tersebut dan ikut melakukan tindakan, misalnya perawat/ bidan.

5) Zaakwarneming27

Dalam hal dokter menolong seseorang secara sukarela maka ia

harus melaksanakannya sampai selesai atau sampai pasien mampu

mengurus kepentingannya sendiri atau ada keluarga yang

mengambil alih urusan tersebut

25 ibid hal 4326 ibid hal 4327 Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan, UNTAG, Semarang. Tidak dipublikasikan

Page 20: implementasi mediasi dalam sengketa medik

20

Jika dokter meninggalkan begitu saja dan mengakibatkan pasien

menderita kerugian maka ia dapat digugat berdasarkan pasal 1356

KUHPerdata

c. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Demikian pula bagi dokter sebagai pengemban profesi, maka ia

memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut.

Dalam perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan

kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang- undang Nomor

36 tahun 2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan :

1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan

hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban

untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

d. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam perspektif ini dokter dianggap sebagai pelaku usaha,

untuk itu menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yang

berbunyi sebagai berikut:

1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.

Page 21: implementasi mediasi dalam sengketa medik

21

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

4) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku

5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan

6) Memberi konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan

7) Memberikan konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima dan dimamfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian

e. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Kewajiban dokter diatur dalam Pasal 51 Undang-undang

Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu ;

1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan

3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya ; dan

5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Page 22: implementasi mediasi dalam sengketa medik

22

Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan

Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar

Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu :

1) Standar ketrampilan

2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk

berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita

3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan

pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku

dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya

dengan dokter lainnya

4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat

catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita ,

alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang

menimbulkan alergi terhadap pasien.

B. Sengketa Umum dan Sengketa Medik

Safitri Hariyani membagi sengketa menjadi 2 diantaranya:28

1. Sengketa umum

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”

dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya

perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi

keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia yakni “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan

28 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 7

Page 23: implementasi mediasi dalam sengketa medik

23

arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih

dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari

sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam

perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik berkembang atau

berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan

telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara

langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau

pihak lain.29 Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.

Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.

2. Sengketa medik

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang

terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau

dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU

Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau

kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam

menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada

Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan

demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara

pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini

pasien dengan dokter.

Oleh Safitri Hariani kata medik diambilnya dari kamus Inggris-

Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily yaitu medical yang

29 Ibid hal. 7

Page 24: implementasi mediasi dalam sengketa medik

24

secara umum berarti berhubungan dengan pengobatan. Hermin Hadiati

Koeswadji, mengartikan “medik” sebagai “kedokteran”. Hukum

kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “Medical Law”,

jadi menurut beliau arti medik itu adalah kedokteran.

Mengacu pada arti medik d iatas, definisi dari sengketa medik

adalah suatu kondisi dimana terjadi perselisihan dalam praktek kedokteran.

3. Dasar hukum sengketa medik

Sengketa medik tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-

undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut

mengatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan. Pasal 58 Undang-undang No. 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan, menyatakan: (1) Setiap orang berhak menuntut ganti

rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara

kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian

dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan

yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan

seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara

pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 29

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengamanatkan

penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan mediasi.

Page 25: implementasi mediasi dalam sengketa medik

25

C. Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

1. Pengertian Mediasi

Pasal 1 ayat (7) Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan menyatakan “mediasi adalah cara penyelesaian

sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan

antara pihak dengan bantuan seorang mediator.

Literatur hukum, misalnya Black’s Law Dictionary dikatakan

bahwa mediasi dan mediator adalah:

Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to inpose a decision on the parties.

2. Karakteristik dan keunggulan mediasi

Menurut Soetrisno karakteristik dan keunggulan mediasi yaitu:30

a. Voluntary/ sukarela

b. Informal/ fleksibel

c. Interest based (dasar kepentingan)

d. Future looking (memandang kedepan)

e. Parties oriented

f. Parties control

Penyelesaian perdamaian melalui mediasi mengandung beberapa

keuntungan, diantaranya:31

a. Penyelesaian bersifat informal

b. Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri

30 Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 5131 M. Yahya Harahap, 2005, hal. 36

Page 26: implementasi mediasi dalam sengketa medik

26

c. Jangka waktu pemelihan pendek

d. Biaya ringan

e. Aturan pembuktian tidak perlu

f. Proses penyelesaian bersifat konfodensial

g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif

h. Komunikasi dan focus penyelesaian

i. Hasil yang ditinjau sama menang

j. Bebas emosi dan dendam

3. Jenis mediasi

Ada 2 jenis mediasi menurut tempatnya, yaitu:32

a. Di Pengadilan

Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat

dilakukan di pengadilan. Adapun prosedur penyelesaian sengketa

melalui mediasi peradilan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang

Prosedur Mediasi dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu tahap

pramediasi dan tahap mediasi.33

Tahap pramediasi dimulai dari saat hari pertama sidang yang

dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk

menempuh mediasi. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak

menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau

langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan

langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak

32 Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, op. cit 33 ibid, hal. 53

Page 27: implementasi mediasi dalam sengketa medik

27

berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau

aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menunda proses persidangan

perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh

proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam

Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.34

Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan

berikut: Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang

bersangkutan; Advokat atau akademisi hukum; Profesi bukan hukum

yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok

sengketa; Hakim majelis pemeriksa perkara; Gabungan antara

mediator yang disebut di atas. Jika dalam sebuah proses mediasi

terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator

ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.35

Sebelum tahap mediasi dilaksanakan, terlebih dahulu diatur

mengenai batas waktu yakni; Setelah para pihak hadir pada hari sidang

pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling

lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih

mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan

penggunaan mediator bukan hakim. Para pihak segera menyampaikan

mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. Ketua majelis

hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan

34 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 735 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 8

Page 28: implementasi mediasi dalam sengketa medik

28

tugas. Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat

(1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator

yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan

mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah

menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih

mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan

pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang

sama untuk menjalankan fungsi mediator. Jika pada pengadilan yang

sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat,

maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat

yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi

mediator.36

Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak

menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat

menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada

mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para

pihak gagal memilih mediator, masing~masing pihak dapat

menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.

Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja

sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis

hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat

diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir

36 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 11

Page 29: implementasi mediasi dalam sengketa medik

29

masa 40 (empat puluh) hari. Jangka waktu proses mediasi tidak

termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika diperlukan dan atas

dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak

jauh dengan menggunakan alat komunikasi.37

Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika

salah satu· pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali

berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal

pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-

turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah

dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator

memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan

aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan

dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga

pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak

dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para

pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak

layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.38

Memperhatikan ketentuan di atas, ada dua kemungkinan dalam

proses mediasi yaitu berhasil mencapai kesepakatan atau gagal

mencapai kesepakatan.39

37 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 1338 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 1439 Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 56

Page 30: implementasi mediasi dalam sengketa medik

30

1) Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian para pihak

dengan bantuan mediator, maka mediator wajib merumuskan

secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh

para pihak dan mediator. Jika dalam mediasi para pihak diwakili

oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis

persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

2) Apabila setelah batas waktu maksimal empat puluh hari kerja

sebagaimana atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam

Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses

mediasi telah gagal dan memberitahukan kepada hakim. Segera

setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan

pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.

b. Di luar Pengadilan

Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa

Peraturan Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan

penyelesaian sengketa. PERMA No. 1 Tahun 2008 juga memuat

ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di luar

pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2), dan

(3) PERMA No.1 Tahun 2008 mengatur sebuah prosedur hukum untuk

akta perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan

perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara

mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen

kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau dibantu oleh

Page 31: implementasi mediasi dalam sengketa medik

31

mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak yang

dalam sengketa itu mengalami kerugian.40

4. Dasar hukum mediasi

Mediasi sebenarnya terdapat pada banyak peraturan perundang-

undangan, diantaranya:

a. HIR dan Rbg

Mediasi di pengadilan telah lama dipraktekkan sejak lama

melalui lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg).

Dimana hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang

berperkara sebelum perkaranya diperiksa.41

b. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Mediasi pada Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan dimuat dalam Pasal 29, yaitu: “dalam hal tenaga kesehatan

diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian

tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.

c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Mediasi diatur pada Pasal 23 UU ini, yang bunyinya sebagai

berikut:

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

40 Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Raja Gravindo Persada, Jakarta. hal. 19341 Soetrisno, 2010, malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 52

Page 32: implementasi mediasi dalam sengketa medik

32

Pasal 23 tersebut terdapat dua hal penting:42

1) Bahwa UU Perlindungan Konsumen memberikan alternatif

penyelesaian sengketa melalui badan di luar sistem peradilan yang

disebut BPSK.

2) Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan

pelaku usaha (dokter) bukanlah pilihan ekslusif, yang tidak dapat

tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK

adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa

melalui badan pengadilan.

d. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian sengketa

Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam

ketentuan pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat

(3) UU No. 30 Tahun 1999 merupakan suatu proses kegiatan sebagai

kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh pihak menurut

ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan

dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para

pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan

seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.43

42 Widjaja Gunawan, 2001, op.cit hal 7343 Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada hal. 90

Page 33: implementasi mediasi dalam sengketa medik

33

Namun UU ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian

dari mediasi secara jelas dan tegas.

e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara

penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat

dalam dua pasal yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-undang

No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM.44 Namun tidak ada

aturan tegas semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi

oleh Komnas HAM.

f. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang ini mengatur penggunaan mediasi sebagai cara

penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pada Pasal 83 ayat (3)

dinyatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar

pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk

menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.45 Dengan demikian

Undang-undang No. 32 Tahun 2009mengatur secara garis besar

penggunaan tiga cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu

negosisasi, mediasi dan arbitrase.

g. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

44 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit hal. 6145 Ibid, hal. 57

Page 34: implementasi mediasi dalam sengketa medik

34

Disamping HIR/Rbg, Pengaturan mediasi di pengadilan

terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi

di Pengadilan.

h. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi

Perbankan

Dalam dunia perbankan, mediasi diatur dalam Peraturan Bank

Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi

perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan

bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah

oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.46

Apabila disinkronisasikan ke dunia kesehatan, sengketa antara

nasabah dan bank memiliki kemiripan dengan sengketa antara pasien

dengan dokter.

D. Perjanjian terapeutik

1. Pengertian

Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa Perjanjian atau

kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji

kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu

saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karenanya, perjanjian

itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling

mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara

46 Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pustaka Yustisia, Jakarta. Hal. 25

Page 35: implementasi mediasi dalam sengketa medik

35

dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian

itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan

atau ditulis.

Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien

yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan

memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan

keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam Mukadimah Kode

Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan

RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik

Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan

tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut :

“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”

2. Jenis Perjanjian

Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian, yaitu :47

47 Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 62

Page 36: implementasi mediasi dalam sengketa medik

36

a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah

pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal

untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.

b. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan

resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Perjanjian terapeutik atau perjanjian terapeutik termasuk dalam

inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin

menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah

melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan

pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan

penuh kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan

keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar

profesi.

Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima

pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan

kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien,

maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien

yang tidak kooperatif merupakan bentuk contributory negligence yang

tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh dokter.

Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya

perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak,

baik pihak dokter ataupun pihak pasien.

Page 37: implementasi mediasi dalam sengketa medik

37

Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan

dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut:48

1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.

Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional yang

pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan.

Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang

membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi dan

kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang medik yang

berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien,

sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan

kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban

membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah

diberikan dokter tersebut.

2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik profesional yang bercirikan

pemberian pertolongan.

3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan

kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan

penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), untuk

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

3. Sifat perjanjian terapeutik

48 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 145.

Page 38: implementasi mediasi dalam sengketa medik

38

Sifat atau ciri khas dari perjanjian terapeutik sebagaimana

disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah :

a. Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan

pasien.

b. Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam

suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya

kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter

juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling

mejaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk

kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatan kepadanya,

dan pasienpun harus memberikan keterangan yang jelas tentang

penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas

dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai

kesembuhan yang diharapkannya.

c. Harapan ini juga dinyatakan sebagai “senantiasa diliputi oleh segala

emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”. Mengingat kondisi

pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien

penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran

terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan

harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang

bersifat khusus yang membedakan perjanjian terapeutik ini berbeda

dengan perjanjian lain pada umumnya.

4. Dasar hukum perjanjian terapeutik

Page 39: implementasi mediasi dalam sengketa medik

39

Perjanjian terapeutik diatur dalam beberapa peraturan perundang-

undangan diantaranya:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Perjanjian terapeutik diatur secara tegas pada Pasal 1320, Pasal

1338 dan Pasal 1339 KHUPerdata yang mengatur tentang syarat

sahnya perjanjian terapeutik.49

b. Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang Praktek Dokter dan Dokter

Gigi

Perjanjian terapeutik secara jelas terdapat juga dalam Pasal 13

yang berbunyi sebagai berikut:

1) Dokter atau Dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan upaya maksimal dalam rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan.

BAB III

METODE PENELITIAN

49 Liliana Tedjosaputro, 2010. Op.cit

Page 40: implementasi mediasi dalam sengketa medik

40

A. Metode Pendekatan

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan

masalah di dalam penelitian ini dengan melakukan analisis terhadap data

sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan menganalisis

terhadap data dilapangan.50

Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini yakni menganalisis

mediasi sebagai altrnatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian

terapeutik antara dokter dan pasien.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang

bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik

mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha

menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata

bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji

hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.51

Data sekunder yang diperoleh tersebut akan dijadikan dasar di dalam

memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai bagaimana mediasi

sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik

antara dokter dan pasien. Atas dasar itulah, maka akan dilakukan analisis

secara sistematis, kritis dan konstruktif untuk membangun sebuah konsep baru

50 Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.51 Azwar Saifuddin, 2004. Metode penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 23

39

Page 41: implementasi mediasi dalam sengketa medik

41

di dalam upaya memberikan solusi penyelesaian sengketa perdata antara

dokter dan pasien.

C. Sumber Data

Jenis dan sumber data yang akan menjadi dasar analisis di dalam

penelitian yuridis normatif ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah

data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini

terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu:52

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan mediasi, di antaranya UU No.

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 23 c Peraturan Presiden RI No.

10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional, KUH Perdata, HIR/Rbg,

PERMA No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan

peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

52 Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 13

Page 42: implementasi mediasi dalam sengketa medik

42

Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yang berasal dari beberapa literatur dan tulisan

ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan terhadap permasalahan penelitian

ini antara lain : Buku ilmiah, jurnal ilmiah, hasil seminar, disertasi, dll.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan

maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang dapat berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan

sebagainya.

D. Metode Pengumpulan Data

Untuk dapat menghimpun beberapa data sekunder secara utuh dan

mendalam di atas, maka di dalam penelitian ini digunakan dua metode

pengumpulan data, yaitu :

1. Penelitian Kepustakaan dan Dokumenter (library and documentation

research). Dalam penelitian Kepustakaan dan Dokumentasi ini

dimaksudkan untuk menghimpun, mengidentifikasi dan menganalisa

terhadap berbagai sumber data sekunder, yang berasal dari beberapa

tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan maupun berbagai dokumen

lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan (field research). Dalam metode pengumpulan data

melalui penelitian lapangan ini dipergunakan teknik wawancara yang

Page 43: implementasi mediasi dalam sengketa medik

43

dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fakta di lapangan sebagai

tambahan dan penunjang dari data sekunder.

E. Metode Penyajian Data

Data penelitian yang telah terkumpul di olah dan disusun serta

disajikan secara menyeluruh. Data dari penelitian ini akan disajikan dalam

bentuk deskripsi yang berupa uraian secara mendalam mengenai permasalahan

yang dibahas. Penyajian data dapat pula dalam bentuk tabel yang tersusun

secara sistematis. Data penelitian ini akan disajikan dalam bentuk : matrik,

tabel-tabel, dan uraian peristiwa.

F. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara normatif kualitatif.

Dalam analisa normatif diperlukan penyiapan data sekunder sebagai data

utama. Analisa ini cukup dengan melakukan interpretasi atas data sekunder

dengan cara mengupas data yang ada menurut teori, azas, sistem, doktrin,

dalil, dan konsepsi hukum yang terkandung dalam tinjauan pustaka. 53

Analisa Normatif Kualitatif

53 Aman Santoso, Metode penelitian hukum normatif dan sosiologis dengan analisa kualitatif,

Semarang : FH UNTAG, halaman 41.

Tinjauan PustakaData Sekunder

Page 44: implementasi mediasi dalam sengketa medik

44

Analisis dengan interprestasi/pemaknaan data, tanpa perhitungan

statistik

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik

Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien

Page 45: implementasi mediasi dalam sengketa medik

45

1. Hubungan dokter pasien dalam perjanjian terapeutik dan sengketa medik

a. Hubungan dokter pasien

Zaman dahulu, dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan

dianggap tahu segalanya (father know best) oleh pasien. Sehingga

melahirkan hubungan paternalistik. Pola hubungan ini identik dengan

pola hubungan vertikal dimana kedudukan antara pemeberi jasa

(dokter) dan penerima jasa (pasien) tidak sederajat. Oleh karena itu,

pasien menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter.54

Berkembang pesatnya sarana informasi melalui media,

kerahasian profesi dokter mulai terbuka dengan bertambahnya

pengetahuan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan, sehingga

berdampak pada bergesernya paradigma yang semula hubunan vertikal

menjadi hubungan horizontal.

Dewasa ini perubahan pola hubungan antara dokter dan pasien

disebabkan oleh tiga faktor dominan, yaitu:55

1) Meningkatnya jumlah permintaan pelayanan kesehatan

2) Berubahnya pola penyakit

3) Teknologi medik

Bila ditarik persamaan antara pola hubungan vertikal

paternalistik dan horizontal kontraktual adalah : sama-sama

menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.

54 Asfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 8955 Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum kedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter sebagai salah satu pihak). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 43

Page 46: implementasi mediasi dalam sengketa medik

46

Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin perjanjian

terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak

yaitu pihak pemberi layanan (medical providers) dan pihak penerima

layanan (medical recivers) dan ini harus dihormati para pihak. Tim

dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk

melakukan diagnosis, pengobatan dan tindakan medik terbaik menurut

pengetahuan, jalan pikiran dan pertimbangannya, sedangkan pasien

atau keluarganya sebagai medical recivers mempunyai hak untuk

menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan

terhadap dirinya.

Hubungan hukum yang dilahirkan dari hubungan layanan

hukum antara dokter dan pasien telah melahirkan aspek hukum

dibidang perdata : gugatan perdata disebabkan 3 (tiga) hal yaitu

wanprestasi, onrecht matige daad dan karena mengakibatkan kurang

hati-hati dan cermat dalam proses mengupayakan kesembuhan.

Hubungan ini akan melahirkan hak dan kewajiban bagi dokter

maupun pasien. Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur

dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, yang dalam Pasal 52 adalah :

1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;

2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

4) Menolak tindakan medis; dan

Page 47: implementasi mediasi dalam sengketa medik

47

5) Mendapatkan isi rekam medis.

Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini adalah :

1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatanya

2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi

3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan

dan

4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

Demikian juga dokter sebagai pengemban profesi, memiliki hak

dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut. Dalam

perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban

sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 36 tahun

2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan :

1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan

hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban

untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dalam Pereturan Pemerintah.

Secara khusus hak – hak dokter dalam menjalankan praktik

kedokteran diatur dalam Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004

Page 48: implementasi mediasi dalam sengketa medik

48

tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 yang mengatur bahwa seorang

dokter mempunyai hak :

1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

2) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarga ; dan

3) Menerima ibalan jasa.

Sedangkan kewajiban dokter diatur lebih lanjut dalam Pasal 51

Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

yaitu ;

1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar

profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis

pasien ;

2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan ;

3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya ; dan

5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

Page 49: implementasi mediasi dalam sengketa medik

49

Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan

Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar

Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu :

1) Standar ketrampilan

a) Ketrampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil

oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan

sarana yang sesuai dengan standar ditempat prakteknya.

Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderita

perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.

b) Ketrampilan umum meliputi penanggulangan terhadap

penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan

dokter Indonesia.

2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk

berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita dan pada

dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :

a) Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.

b) Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang

diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.

3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan

pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku

dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya

dengan dokter lainnya, yaitu :

a) Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.

Page 50: implementasi mediasi dalam sengketa medik

50

b) Semua pasien diperlakukan sama.

c) Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara

menyeluruh.

d) Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara

menyeluruh.

e) Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.

f) Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak

memberatkan pasien.

g) Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.

h) Untuk pemeriksaan pasienwanita sebaiknya agar keluarganya

disuruh masuk kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh

perawat, kecuali bila dokternya wanita.

i) Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang

praktek , melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme.

4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat

catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita ,

alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang

menimbulkan alergi terhadap pasien.

b. Perjanjian terapeutik

Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan

pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan

kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan

keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam

Page 51: implementasi mediasi dalam sengketa medik

51

Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983

tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter

di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai

berikut :

“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”

Dari hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik tersebut

timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik bagi pihak

pasien maupun pihak dokter. Suatu perjanjian dikatakan sah bila

memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321

KUHPerdata yang berbunyi :

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Sesuai pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara

yuridis keabsahan suatu perjanjian ditentukan oleh kesepakatan para

pihak yang mengikatkan dirinya, dengan tanpa adanya kekhilafan,

paksaan ataupun penipuan. Sepakat ini merupakan persetujuan yang

dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak

mempunyai persesuaian kehendak yang dalam perjanjian terapeutik

sebagai pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokterpun

setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut

hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak

Page 52: implementasi mediasi dalam sengketa medik

52

ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada

paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan

didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya Informed Consent atau

yang juga dikenal dengan istilah “Persetujuan Tindakan Medik”.

Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat

perikatan/perjanjian, diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dan 1330

KUHPerdata sebagai berikut :

Pasal 1329 KUHPerdata: Setiap orang adalah cakap untuk membuat

perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak

cakap.

Pasal 1330 KUHPerdata: Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh didalam pengampuan;

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian

tertentu.

Berdasarkan bunyi Pasal 1329 KUHPerdata di atas, maka secara

yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan

adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak

dilarang oleh undang-undang.

Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik

dapat meliputi berbagai macam golongan umur, dan berbagai jenis

Page 53: implementasi mediasi dalam sengketa medik

53

pasien, yang terdiri dari yang cakap bertindak maupun yang tidak

cakap bertindak. Hal ini harus disadari oleh dokter sebagai salah satu

pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian terapeutik, agar

tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.

Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk

bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang

dibuat bisa dianggap tidak sah) antara lain :56

1) Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang

gila, pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari

pengampunya (yang boleh membuat perikatan dengan dokter

adalah pengampunya).

2) Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau

orangtuanya. Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 8

tentang persetujuan tindakan kedokteran ayat (2) adalah telah

berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang

berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian

terapeutik harus ditandatangani oleh orangtuanya atau walinya

yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, obyek yang diperjanjikan

terdiri dari mengenai ‘suatu hal tertentu’ dan harus ‘suatu sebab yang

halal atau diperbolehkan untuk diperjanjikan’. Dalam perjanjian

terapeutik, mengenai hal tertentu yang diperjanjikan atau sebagai

56 Anny Isfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 61.

Page 54: implementasi mediasi dalam sengketa medik

54

obyek perjanjian adalah upaya penyembuhan terhadap penyakit yang

tidak dilarang undang-undang.

Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian,

yaitu :57

1) Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah

pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal

untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.

2) Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan

resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang

diperjanjikan.

Perjanjian terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis

atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin menjanjikan

kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah melakukan

pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien.

Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh

kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan

keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar

profesi.

Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima

pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk

mewujudkan kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan.

Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil

yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif merupakan bentuk

57Ibid.,hal. 62.

Page 55: implementasi mediasi dalam sengketa medik

55

contributory negligence yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh

dokter.

Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya

perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para

pihak, baik pihak dokter ataupun pihak pasien.

Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan

dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut :58

1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.

Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional

yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian

pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik

yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi

dan kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang

medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang

dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak

mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang

dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter

atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.

2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik professional yang

bercirikan pemberian pertolongan.

3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan

58 Veronica Komalawati, 1999. Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 145.

Page 56: implementasi mediasi dalam sengketa medik

56

kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan

(rehabilitatif), untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Perjanjian terapeutik mempunyai ciri khas atau sifat yang berbeda

dengan perjanjian secara umum. Sifat atau ciri khas dari perjanjian

terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik

Kedokteran Indonesia adalah :

1) Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter

dengan pasien.

2) Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan

dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien

harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga

sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu

dalam rangka saling menjaga kepercayaan ini, dokter juga harus

berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah

mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasienpun harus

memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada

dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi

perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang

diharapkannya.

3) Harapan ini juga dinyatakan sebagai ‘senantiasa diliputi oleh segala

emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani’. Mengingat

kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis

Page 57: implementasi mediasi dalam sengketa medik

57

atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional,

kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya

disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan

hubungan yang bersifat khusus yang membedakan perjanjian

terapeutik ini berbeda dengan perjanjian lain pada umumnya.

Di samping mempunyai sifat yang berbeda, perjanjian terapeutik

merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam

perjanjian terapeutikpun berlaku beberapa azas hukum yang

mendasari, yang menurut Veronica Komalawati disimpulkan sebagai

berikut :59

1) Azas Legalitas

Azas ini tersirat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan

bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan

sesuai dengan keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan

yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya

dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan

telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan, antara lain telah memiliki Surat

Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik.

2) Azas Keseimbangan

Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus

diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan

59 Ibid., hal 126.

Page 58: implementasi mediasi dalam sengketa medik

58

masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual.

Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan

sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang

ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.

3) Azas Tepat Waktu

Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam

menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan

bahkan bias mengancam nyawa pasien itu sendiri.

4) Azas Itikad Baik

Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu

diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien.

Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan

pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh

kepada standar profesi.

5) Azas Kejujuran

Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian

informasi yang benar, baik oleh pasien maupun dokter dalam

berkomunikasi, Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan

sangat membantu dalam dalam kesembuhan pasien. Kebenaran

informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk

mengetahui kebenaran.

6) Azas Kehati-hatian

Page 59: implementasi mediasi dalam sengketa medik

59

Sebagai seorang professional di bidang medik, tindakan dokter

harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan

tanggung jawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat

berakibat terancamnya jiwa pasien.

7) Azas keterbukaan

Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasilguna hanya dapat

tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara

dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap

ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara

dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau

informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.

c. Sengketa medik

Sengketa medik muncul dari adanya ketidakpuasan pasien

sebagai penerima jasa layanan kesehatan atas palayanan yang

diberikan oleh dokter. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa

medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien

dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan

praktiknya. Pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi: “setiap orang yang

mengetahui atau kepentingannyadirugikan atas tindakan dokter atau

dokter gigi dalam menjalankan praktiknya dapat mengadu secara

Page 60: implementasi mediasi dalam sengketa medik

60

tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia.

Seiring perkembangan zaman, penyelesaian sengketa melalui

lembaga profesi tidak lagi begitu diminati pasien karena pada

prinsipnya pasien kurang percaya terhadap penyelesaian melalui

lembaga profesi, baik itu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia maupun Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.

Untuk itu perlu adanya suatu lembaga khusus untuk menangani

masalah ini.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat

dijadikan acuan sebagai badan yang mungkin masih ada kaitannya

dengan pelayanan kesehatan walaupun badan ini memiliki tugas yang

relatif luas. Sengketa konsumen diatur dalam Undang-undang No. 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya:

1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen

dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan

berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana

sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih

Page 61: implementasi mediasi dalam sengketa medik

61

upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan

melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak

yang bersengketa.

2) Gugatan atas Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat

dilakukan oleh:

a) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan;

b) kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,

yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas

bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk

kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan

kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau

jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan

kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d

diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan lebih lanjut mengenai

kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit

Page 62: implementasi mediasi dalam sengketa medik

62

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Selain mengatur tentang sengketa konsumen, Undang-undang

ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen di luar

Pengadilan. Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat

dijumpai pada Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “penyelesaian sengketa

konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau

mengenai tindakan untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau

tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”.

Kesepakatan dalam pasal di atas diselesaikan melalui suatu

badan yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen yakni Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) yang dapat menjalankan tugas-tugasnya diatur

dalam Pasal 52 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen. Tugas dan wewenang BPSK meliputi:

1) melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

2) memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

3) melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam Undangundang ini;

Page 63: implementasi mediasi dalam sengketa medik

63

5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari

konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan

konsumen;

6) melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen;

7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap

orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-

undang ini;

9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,

saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada

huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan

badan penyelesaian sengketa konsumen;

10) mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat

bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

11) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di

pihak konsumen;

12) memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

13) menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Page 64: implementasi mediasi dalam sengketa medik

64

Penyelesaian sengketa medik menurut regulasi di Indoensia

dibagi menjadi dua jalan yakni: melalui lembaga profesi, dan hukum.

Penyelesaian sengketa medik melalui lembaga profesi di jalankan oleh

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), kedua badan

tersebut dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Adapun sanksi

jika terbukti dokter tersebut melakukan pelanggaran yaitu kewajiban

mengikuti pendidikan dan pencabutan ijin praktek baik untuk

sementara maupun untuk selamanya.

Penyelesaian sengketa dalam ranah hukum diantarannya:

peradilan umum, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

dan melalui mediasi di luar pengadilan. Penyelesaian melalui peradilan

umum sengketa medik dapat dikategorikan menjadi peradilan pidana

dan perdata. Peradilan pidana maupun perdata mengharuskan salah

satu pihak melalukan tuntutan maupun gugatan ke pengadilan dan

keputusannya berupa penjara/ kurungan serta ganti rugi. Disamping itu

dalam ranah perdata terdapat mediasi para pihak yang mewajibkan

hakim untuk menawarkan mediasi dalam penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) pada prnsipnya sudah dituangkan dalam Undang-

undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

konsumen yang merasa dirugikan untuk mengajukan tuntutan kepada

BPSK dan keputusan berupa ganti rugi.

Page 65: implementasi mediasi dalam sengketa medik

65

Cara yang lain untuk menyelesaiakan sengketa medik ini juga

dapat dberupa mediasi di luar pengadilan yang dapat dilakukan oleh

suatu badan mediasi seperti Pusat Mediasi Nasional (PMN), Badan

mediasi Indonesia (BaMI) dan Indonesian Institute for Conflict

Transformation (IICT) serta mediator individual. dalam hal ini Putusan

akhir dari mediasi ini bersifat win-win solution. Hal tersebut seperti

gambar dibawah ini:

Page 66: implementasi mediasi dalam sengketa medik

66

2. Pilihan alternatif penyelesaian sengketa

Setelah terjadinya sengketa medik, ada beberapa pilihan yang dapat

digunakan sebagai penyelesaian, diantaranya adalah litigasi dan non

litigasi. Penyelesaian dengan litigasi memakan waktu lama dan biaya,

untuk itu dipakai non litigasi untuk menyelesaiakn sengketa medik.

Adapun penyelesaian dengan non litigasi dibedakan menjadi 5 (lima) cara

yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan albitrase.

Page 67: implementasi mediasi dalam sengketa medik

67

Alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Undang-undang

No. 30 Tahun 1999 Tentang alternatif penyelesaian sengketa. Salah satu

contoh alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan untuk

menyelesaiakan sengketa medik adalah mediasi.

a. Pengertian mediasi

Beberapa pengertian mediasi adalah sebagai berikut:

1) Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008

Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, berbunyi: “ mediasi

adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan dengan bantuan seorang mediator.

2) Takdir Rahmadi mendefinisikan mediasi adalah suatu proses

penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak atau lebih melalui

perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang

tidak mempunyai kewenangan memutus.60

3) Garry Goodpaster, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan

masalah dimana pihak-pihak yang tidak memihak (impartial) dan

netral, bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa untuk

memperoleh kesepakatan yang memuaskan.61

4) Christoper W. Moore menyatakan bahwa mediasi adalah intervensi

terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang

dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai

kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para

60 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 1261 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 6

Page 68: implementasi mediasi dalam sengketa medik

68

pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara

sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.62

5) Julien Riekert, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian

masalah melalui negosiasi dengan pihak ke tiga (mediator) yang

netral.63

6) Menurut peneliti mediasi adalah salah satu bentuk alternatif

penyelesaian sengketa, dimana dipergunakan negosiasi para pihak

dengaan bantuan mediator dan merupakan alternatif penyelesaian

sengketa yang dapat digunakan baik didalam maupun diluar

pengadilan.

b. Keuntungan dan kelemahan mediasi

Yahya Harahap mengutarakan keuntungan substansial dan

psikologis mediasi yakni:

1) Penyelesaian bersifat informal

Pendekatan melalui nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua

belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal

term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral.

Menjauhkam doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan

persepsi yang saling menguntungkan.

2) Yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri

Penyelesaian tidak diarahkan kepada kemauan dan kehendak

hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri

62 Christoper W. Moore, 2003. The mediation process. Jossey-Bass A Wiley Imprint 3rd, hal. 1563 Julien Riekert, 2003. ADR in Australia Commercial Dispute: Quo Vadis, Kutipan dari bahan Alternative Dispute Resolution Training, FHUI-LRP-AUS Aid.

Page 69: implementasi mediasi dalam sengketa medik

69

sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu

hal yang sebenarnya atas sengketa yang dipermasalahkan.

3) Jangka waktu penyelesaian pendek

Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua

minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan

kerendahan hati dari para pihak, itu sebabnya disebut bersifat

speedy.

4) Biaya ringan

Boleh dikatakan tidak perlu biaya. Meskipun ada, sangat murah

atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan

atau arbitrase yang membutuhkan biaya mahal.

5) Tidak perlu aturan pembuktian

Tidak ada pertarungan yang sengit antar para pihak untuk saling

membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan

prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat

menjemukan seperti halnya proses arbitrase dan pengadilan.

6) Proses penyelesaian bersifat konfidensial

Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian

benar-benar bersifat rahasia, penyelesaian tertutup untuk umum

yang tahu hanya mediator. Dengan demikian tetap terjaga nama

baik para pihak dalam pergaulan bermasyarakat.64 Jika dikaitkan

dengan masalah medik maka dokter sebagai salah satu pihak sudah

64 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 22

Page 70: implementasi mediasi dalam sengketa medik

70

tentu nama baik merupakan hal yang paling utama mengingat

dokter menjual jasa pelayanan.

7) Hubungan para pihak bersifat kooperatif

Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani,

terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama. Masing-masing pihak

menjauhkan dendam dan permusuhan.

8) Komunikasi dan fokus penyelesaian

Dalam mediasi terwujud komunikasi aktif para pihak. Komunikasi

tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan baik antara para pihak.

9) Hasil dituju sama-sama menang

Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam mediasi dapat

dikatakan sangat luhur yakni sama-sama menang (win-win

solution), dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah.

10) Bebas emosi dan dendam

Penyelesaian sengketa melalui mediasi meredam sikap emosional

kearah suasana bebas emosi selama berlangsungnya mediasi,

dengan kata lain mediasi menghendaki rasa kekeluargaan dan

persaudaraan.

Adapun kelemahan mediasi menurut Takdir Rahmadi sebagai

berikut:65

65 Ibid, hal. 27

Page 71: implementasi mediasi dalam sengketa medik

71

1) Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak

memiliki kemauan untuk menyelesaikan sengketa secara

konsensus.

2) Pihak yang tidak beriktikad baik dapat memamfaatkan proses

mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian

sengketa.

3) Beberapa jenis mediasi mungkin tidak dapat dimediasi, terutama

kasus yang berkaitan dengan ideologis, dan nilai dasar yang tidak

memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi.

4) Mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok

dalam sebuah sengketa adalah penentuan hak karena soal

penentuan hak haruslah diputuskan oleh hakim, sedangkan mediasi

lebih tepat digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait

kepentingan.

5) Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan

dalam lapangan hukum privat tidak dalam lapangan hukum pidana.

Sebagai contoh dalam Pasal 85 ayat 2 Undang-undang No. 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup menyatakan bahwa mediasi tidak dapat diterapkan untuk

penyelesaian tindak pidana lingkungan hidup. Larangan ini

didasarkan pada pembedaan kategoris hukum privat dengan hukum

pidana.

Page 72: implementasi mediasi dalam sengketa medik

72

Hukum Pidana terdapat konsep mediasi penal atau dalam istilah

Inggris disebut “mediation in criminal cases”atau “mediation in

penal matters”. Kasus pidana pada prinsipnya tidak dapat

diselesaikan di luar pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu.

Namun dalam prakteknya, sering juga kasus pidana diselesaikan di

luar pengadilan melalui berbagai “diskresi” aparat atau melalui

mekanisme perdamaian atau lembaga pemaafan yang ada di

masyarakat.66 Praktek penyelesaian pidana dalam hal ini tidak ada

landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus

yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun

melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke

pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Menurut Barda Nawawi, ADR hanya mungkin dilakukan dalam

perkara perdata, namun dalam KUHP terdapat pasal 14c dan pasal

82 yang mengatur denda damai hanya untuk pelanggaran, sebagai

contoh yakni pelanggaran lalu lintas. Di samping itu dalam

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM

menyatakan bahwa Komnas HAM dapat melakukan mediasi dalam

kasus pelanggaran HAM. Pasal 1 ayat (7) berbunyi: “Komisi Hak

Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah

lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan

lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,

66 Barda Nawawi A, 2007. Mediasi penal dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, disampaikan dalam Seminar Nasional: Pertanggungjawaban Hukum dalam Kontek Good Corporate Goverance, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta.

Page 73: implementasi mediasi dalam sengketa medik

73

penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi

manusia”. pengaturan tentang mediasi terdapat juga dalam Pasal 76

ayat (1) menyatakan Untuk mencapai tujuannya Komnas HAM

melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan,

pemantauan, dan mediasi tentang hakasasi manusia. Sebagai

tambahan pengaturan mediasi dalam Undang-undang ini juga

terdapat dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 96.

c. Model proses mediasi

Karena kesulitan mendefinisikan mediasi, Boulle membagi model

proses mediasi menjadi empat model, diantaranya ialah settlement

mediation, fasilitatif mediation, therapeutik mediation dan evaluative

mediation.67

Jepang menggunakan mediasi evaluatif dan fasilitatif dalam praktik

mediasi yang dijalankan hakim yang disebut wakai. Model evaluatif

disebut dengan model yang terpusat pada opini hakim, fasilitatif

disebut dengan model yang terpusat pada negosiasi.68 Menurut Yoshiro

Kusano karena kedua model tersebut mempunyai kelemahan maka

keduanya digabung. Model gabungan ini, proses dialog para pihak

dibangun untuk mencari usulan-usulan penyelesaian sengketa dan

membahasnya. Tetapi hakim sebagai mediator juga dapat memberikan

penilaian atas usulan tersebut agar tidak menyimpang dengan hukum.

Model mediasi menurut Boulle sebagai berikut:

67 Laurence Boulle, 1996. Mediation: principles, process, and practice. Butterworths Australian, Hal 39-3068 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 37

Page 74: implementasi mediasi dalam sengketa medik

74

Page 75: implementasi mediasi dalam sengketa medik

75

Page 76: implementasi mediasi dalam sengketa medik

76

1) Perbedaan antara mediasi dengan litigasi

Ada beberapa prinsip yang berlawanan antara litigasi dan mediasi,

yaitu:69

Litigasi Mediasi

Penegakan hak Akomodasi kepentingan

Mengklaim nilai Menciptakan nilai

Memaksa dan mengikat Sukarela dan kesepakatan

Akibat proses hukum Prosedur yang flesibel

Formal Informal

69 Ibid, hal.35

Page 77: implementasi mediasi dalam sengketa medik

Concern about other’s outcomes

Problem solving

(win-win)

Yielding(lose-win)

Contending (win-lose)

Inaction(no win)

Compromise(win a bit-lose a bit)

Concern about own outcomes

77

Fokus saat ini Fokus kedepan

Permusuhan Bekerja sama

Umum dan akuntabel Khusus dan rahasia

Profesional Berbasis rekan

Berdasarkan fakta Berdasarkan hubungan

Berpusat pada tindakan Berpusat pada orang

Konsisten dan presidential Situasional dan individual

Menerapkan norma/ hukum Menciptakan norma/ hukum

Sumber: Laurence Boulle dalam Mediation: principles, process, practice.

2) Pendekatan negosiasi dalam mediasi

Boulle mendesain pendekatan negosiasi dalam proses mediasi:70

Gambar 2: pendekatan negosiasi dalam mediasi

70 Ibib, hal 47

Page 78: implementasi mediasi dalam sengketa medik

Preliminaries, Mediator’s opening, Party presentations, Identifying areas of egreement, Defining and ordering issues

Negotiation an decision-making, separate meetings, final decisions, recording decisions, closing statement, termination

Preparatory matters

Post mediation activities

Problem-defining stages

Problem-solving stages

78

3. The mediation triangels71

Gambar 3: the mediation triangels

4. Mediasi dalam sistem hukum Indonesia

Di Indonesia pengaturan dan penggunaan mediasi sebagai salah

satu bentuk atau cara penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam

beberapa peraturan perundang-undangan (dalam konteks sengketa). Pada

bagian berikut akan diuraikan pengaturan dan penggunaan mediasi dalam

konteks sengketa, diantaranya:72

71 Ibid, hal. 9872 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 54

Page 79: implementasi mediasi dalam sengketa medik

79

a. Mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan sumber

daya alam

Mediasi diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengaturan

tersebut terdapat pada Pasal 85 ayat (3) menyatakan “dalam

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat

digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk membantu

menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup”. Dengan demikian

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara garis besar

penggunaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan

mediasi dalam hal ini bersifat sukarela.

b. Mediasi untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan produsen

Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen mengatur penggunaan mediasi sebagai salah satu diantara

beberapa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, hal ini

tercermin dalam rumusan Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen yang antara lain mengatakan

“penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi

dan tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali

kerugian yang diderita konsumen”. Fungsi mediasi dijalankan melalui

Page 80: implementasi mediasi dalam sengketa medik

80

Badan Penyelesaian Sengketa Komsumen (BPSK). Jenis mediasi

dalam Undang-undang ini adalah sukarela.

c. Mediasi untuk penyelesaian sengketa hak azasi manusia

Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa

pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia selain

berada dalam wilayah hukum pidana, juga mengandung aspek

keperdataan sehingga Undang-undang ini memungkinkan menempuh

perdamaian. Namun tidak ada satupun pasal dalam Undang-undang

No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mewajibkan para

pihak untuk menempuh mediasi. pendekatan mediasi diatur pada Pasal

76 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (4) point a, bunyinya sebagai berikut:

Pasal 76 ayat (1) : untuk mencapai tujuannya Komnas HAM

melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,

dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Pasal 89 ayat (4) : untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam

mediasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Komnas

HAM bertugas dan berwenang melakukan:

a) Perdamaian kedua belah pihak

d. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa hubungan industrial

Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan

Hubungan Industrial juga mengatur penggunaan mediasi sebagai salah

satu cara penyelesaian sengketa hubungan industrial. Mediasi diatur

dalam Pasal 1 butir 11, Pasal 1 butir 12, dan Pasal 4 ayat (4) Undang-

Page 81: implementasi mediasi dalam sengketa medik

81

undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial.

Pasal 1 butir 11 berbunyi “Mediasi Hubungan Industrial yang

selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau

lebih mediator yang netral”. Pasal 1 butir 12 berbunyi “Mediator

Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah

pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang

ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan

mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak

yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”.

Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) mengatakan “Dalam hal para pihak tidak

menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase

dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab

di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan

kepada mediator”. Dari rumusan pasal tersebut diatas mediasi bersifat

wajib.

e. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis

Page 82: implementasi mediasi dalam sengketa medik

82

Mediasi dalam bidang bisnis diatur dalam Undang-undang

No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Pengaturannya terdapat dalam pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan

ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (3) merupakan suatu

proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang

dilakukan oleh pihak menurut Pasal 6 ayat (2). Menurut rumusan dari

pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan para pihak

sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau

lebih penasehat ahli maupun seorang mediator. Namun Undang-

undang ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian mediasi

secara tegas dan jelas.

f. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa perbankan

Penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa perbankan

tidak didasarkan pada Undang-undang namun didasarkan atas

kebijakan Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank

Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi

perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan

bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah

oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.

g. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa pertanahan

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 c Peraturan Presiden Republik

Indonesia No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional

Page 83: implementasi mediasi dalam sengketa medik

83

yang antara lain mengatakan bahwa Deputi Pengkajian dan

Penanganan Sengketa dan Konflik pada BPN menyelenggarakan

fungsi pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa, masalah dan

konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya.

Ketentuan Pasal 23 c ini memperlihatkan kebijakan pemerintah untuk

menggunakan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa

pertanahan.

h. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa klaim asuransi

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi

Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Sosial Indonesia (AASI)

telah menyepakati untuk menggunakan mediasi sebagai upaya pertama

penyelesaian sengketa kalim asuransi antara perusahaan asuransi

dengan tertanggung atau pemegang polis. Penggunaan mediasi untuk

sengketa klaim asuransi juga tidak didasarkan pada ketentuan undang-

undang, tetapi didasarkan pada kebijakan asosiasi-asosiasi asurandi di

Indonesia. Penggunaan mediasi dalam hal ini bersifat sukarela atau

kesepakatn para pihak.

i. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa medik

Dalam konteks sengketa medik, mediasi diatur dalam Pasal 29

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang

menyatakan “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian

dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan

Page 84: implementasi mediasi dalam sengketa medik

84

terlebih dahulu melalui mediasi”. jika dicermati Undang-undang ini

masih belum jelas karena belum ada jabaran atau penjelasan yang

menyebutkan kriteria kelalaian yang dapat diselesaikan dengan

mediasi (privat atau pidana).

5. Penyelesaian formal dan kekuatan hukum mediasi

a. Klasifikasi mediator, Syarat mediator dan Tipe mediator

1) Klasifikasi mediator

Klasifikasi mediator diatur dalam Pasal 1 butir 2 dan Pasal

5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung, yang terdiri atas:73

a) Mediator dalam lingkup pengadilan

Menurut Pasal 1 butir 2, dilingkungan pengadilan

terdapat mediator yang disebut mediator di lingkungan sebuah

pengadilan. Oleh karena itu, disetiap pengadilan diharuskan

ada daftar mediator yang dituangkan dalam penetapan ketua

pengadilan. Dengan demikina, daftar mediator berisi panel

anggota mediator dalam penyelesaian sengketa. Selanjutnya

Pasal 5 mengatur tentang sertifikasi mediator.

Yang dapat ditetapkan sebagai mediator, menurut Pasal

8 ayat (1) “yang dapat dicantumkan sebagai mediator dalam

daftar mediator di pengadilan yaitu berasal dari kalangan

hakim, boleh juga dari kalangan yang bukan hakim, syarat

telah memiliki sertifika sebagai mediator”. Namun dalam Pasal

9 ayat (3) menyatakan jika dalam wilayah pengadilan yang

73 M. Yahya Harahap, 2009. Hukum Acara perdata. Sinar Grafika. Jakarta hal. 245

Page 85: implementasi mediasi dalam sengketa medik

85

bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua

hakim pada pengadilan tersebut dapat ditempatkan dalam

daftar mediator. Jumlah mediator di setiap pengadilan juga

diatur dalam pasal 9 ayat (1), bahwa pada setiap pengadilan

memiliki sekurang-kurangnya lima orang mediator. Selain

mencantumkan nama mediator dalam daftar harus disertai

riwayat dan pengalaman kerja. Hal ini penting sebagai bahan

informasi bagi para pihak pada saat memilih mediator.

b) Mediator dalam lingkup di luar pengadilan

Selain mediator dalam lingkup pengadilan, PERMA

mengakui eksistensi mediator di luar lingkungan pengadilan.

Menurut pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (4), para pihak dapat

dan bebas menyepakati mediator, oleh karena itu tidak mutlak

harus memakain mediator di lingkungan pengadilan.

2) Syarat mediator

Syarat atau kualifikasi yang dianggap kompeten bertindak

melaksanakan fungsi mediator diatur dalam Pasal 1 butir 6, Pasal 1

butir 11dan Pasal 5 PERMA No.1 Tahun 2008 yakni mediator

harus mempunyai sertifikasi yang terakrediatsi Mahkamah Agung.

3) Tipe mediator

Moore membagi mediator dalam 3 (tiga) tipologi yaitu:

a) Social network mediator yaitu mereka yang dipercayai oleh

pihak yang bertikai, untuk mempertahankan keserasian atau

Page 86: implementasi mediasi dalam sengketa medik

86

hubunganbaik dalam komunitas dimana para pihak menjadi

bagian didalamnya.

b) Authoritatif mediator, yaitu dimana mediator mempunyai

posisi kuat, berpengaruh dan berpotensi untuk mempengaruhi

hasil akhir proses mediasi.

c) Independent mediator, yaitu mediator yang menjaga jarak

terhadap masalah maupun pihak yang bersengketa.

Dari ketiga tipe mediator tersebut diatas maka tipe

independent mediator adalah tipe mediator yang baik karena pada

dasarnya sifat mediator sendiri adalah netral.

b. Tahapan-tahapan dalam mediasi

Dalam proses mediasi, mediator akan melalui tahapan yang

sudah tentu akan mengikuti situasi dan kondisi pada keinginan klien,

penyelesaian yang dicapai, kepribadian mediator dan masalah yang

dihadapi. Di dalam praktik terdapat aktivitas khusus/ tahapan yang

berkaitan dengan proses mediasi, yaitu:

1) Soetrisno merincikan tahapan-tahapan mediasi sebagai berikut:74

a) Penciptaan forum

Pada awal mediasi, tahap penciptaam forum, mediator

memberitahukan kepada para pihak tentang sifat dan proses,

menetapkan aturan-aturan dasar, mengembangkan hubungan

baik dengan para pihak netral dan merundingkan kewenangan.

74 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 71

Page 87: implementasi mediasi dalam sengketa medik

87

b) Merundingkan peran dan kewenangan

Terdapat banyak alasan mengapa para pihak tidak mampu

memperoleh kesepakatan. Hal lazim adalah para pihak

mengutamakn kepentingan sendiri. Jika pihak meminta bantuan

mediator, para pihak harus mengakui mediator dan tidak

mengintervensinya.

c) Rapat bersama dan pernyataan pendahuluan

Mediator pada umumnya membuka sidang mediasi dengan

memperkenalkan dirinya dan para pihak, kemudian membuat

pernyataan pendahuluan, menjelaskan proses mediasi,

perannya sebagai penengah, serta aturan-aturan bagi interaksi

para pihak.

d) Tahap informasi

Pada tahap ini, para pihak membagikan informasi baik antara

para pihak maupun dengan mediator dalam sidang bersama,

dan secara pribadi membagikan informasi kepada mediator

dalam sidang pribadi. Seandainya para pihak sepakat untuk

bermediasi, lalu mediator meminta masing-masing pihak untuk

mengemukakan fakta dan posisinya dalam sengketa.

e) Pertemuan (caucus)

Caucus dapat diartikan sebagai pertemuan terpisah para pihak

dengan mediator. Pertemuan ini betujuan untuk berunding,

memungkinkan komunikasi antar tim, untuk mengembangkan

Page 88: implementasi mediasi dalam sengketa medik

88

informasi, menilai kembali posisi, meneliti pilihan-pilihan dan

memperoleh kesepakatan.

f) Pengendalian interaksi dan komunikasi para pihak

Perlu dicatat bahwa mediator mempertahankan kenetralan dan

keahliannya dalam menyelesaikan sengketa. Melalui tingkah

lakunya, mediator secara efektif menuntut hak untuk bertindak

sebagai pemimpin kegiatan, wasit prosedur, pelatih bagi para

pihak dan kadang-kadang sebagai pemain bebas yang sewaktu-

waktu bersekutu dengan salah satu pihak atua pihak lain demi

kepentingan semua.

g) Perumusan ulang sengketa

Tahap ini mediator mengungkapkan kembali informasi-

informasi tentang sengketa agar memungkinkan sengketa

tersebut dapat ditawar.

h) Tahap pemecahan sengketa

Tahap pemecahan masalah, mediator bekerja sama dengan para

pihak secara terpisah maupun bersama guna membantu mereka

menjelaskan isu atau persoalan, menyusun agenda untuk

mengidentifikasi masalah dan memikirkan serta mengevaluasi

pemecahan.

i) Identifikasi isu dan pemecahan

Page 89: implementasi mediasi dalam sengketa medik

89

Tahap ini mediator menggunakan negosiasi sebagai panduan

yang bertujuan untuk bisa memberikan tawar-menawar

pemecahan, namun sebelumnya mediator menjelaskan masalah

umumnya kepada para pihak.

j) Pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan, mediator bekerja sama dengan para

pihak untuk membantu mereka memilih penyelesaian yang

sama-sama dapat disetujui atau sekurang-kurangnya dapat

diterima terhadap masalah yang telah teridentifikasi.

2) Christoper W. Moore mengidentifikasi tahap-tahap proses mediasi

sebagai berikut:75

a) Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa

b) Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi

c) Mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang

sengketa

d) Menyusun rencana mediasi

e) Membangun kepercayaan dan kerjasama para pihak

f) Memulai proses mediasi

g) Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak

h) Merumuskan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa

i) Menganalisa pilihan-pilihan penyelesaian sengketa

j) Proses tawar menawar

k) Mencapai kesepakatan formal

75 Christoper W. Moore, 2003. Op.cit, hal. 85

Page 90: implementasi mediasi dalam sengketa medik

90

3) Laurence Boulle

Laurence Boulle membagi tiga langkah/ tahapan dalam praktik

mediasi sebagai berikut:76

a) The present scenario, aktivitas dalam tahap ini antara lain

adalah menceritakan masalah, memusatkan dan perspektif baru.

b) The preferred scenario, aktivitas dalam tahap ini antara lain

adalah skenario baru, kritik, pendapat dan komitmen

c) Helping client act, aktivitas dalam tahap ini antara lain adalah

musyawarah dan memformulasikan penyelesaiannya.

4) Tahapan menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008

Tentang Mediasi di Pengadilan

Tahapan mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No. 1

Tahun 2008, tahap dalam PERMA ini dibagi menjadi tahap

pramediasi dan mediasi:

a) Tahap pramediasi

Tahap pramediasi diatur dalam pasal 7 sampai pasal 12

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang

Mediasi di Pengadilan, tahapan tersebut sebagai berikut:

(1) Kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum

Pada hari sidang yang telah. ditentukan yang

dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak

untuk menempuh mediasi. Ketidakhadiran pihak turut

tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim,

76 Laurence Boulle, 1996. Op.cit hal. 69

Page 91: implementasi mediasi dalam sengketa medik

91

melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,

mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif

dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak

berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan

langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib

menunda proses persidangan perkara untuk memberikan

kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma

ini kepada para pihak yang bersengketa (Pasal 7)..

(2) Hak Para Pihak Memilih Mediator

Para pihak berhak memilih mediator di antara

pilihan-pilihan berikut:

(a) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang

bersangkutan;

(b) Advokat atau akademisi hukum;

(c) Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak

menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

(d) Hakim majelis pemeriksa perkara;

(e) Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a

dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir

c dan d.

Page 92: implementasi mediasi dalam sengketa medik

92

Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari

satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan

dan disepakati oleh para mediator sendiri (Pasal 8).

(3) Daftar Mediator

Untuk memudahkan para pihak memilih mediator,

Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang

memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan

disertai dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman

para mediator. Ketua pengadilan menempatkan nama-nama

hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator.

Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada

mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan

yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar

mediator. Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat

mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar

namanya ditempatkan dalam daftar ,mediator pada

pengadilan yang bersangkutan. Setelah memeriksa dan

memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan

menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator. Ketua

Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui

daftar mediator. Ketua Pengadilan berwenang

mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator

berdasarkan alasanalasan objektif, antara lain, karena

Page 93: implementasi mediasi dalam sengketa medik

93

mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah

penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku (Pasal

9).

(4) Honorarium mediator

Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut

biaya. Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung

bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para

pihak (Pasal 10).

(5) Batas waktu pemilihan mediator

Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama,

hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling

lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna

memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul

akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Para

pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka

kepada ketua majelis hakim. Ketua majelis hakim segera

memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.

Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud

ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat

memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib

menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator

kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima

pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih

Page 94: implementasi mediasi dalam sengketa medik

94

mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim

bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada

pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.

Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan

pemeriksa perkara yang bersertifikat,maka hakim

pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang

ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan

fungsi mediator (Pasal 11).

(6) Menempuh mediasi dengan iktikad baik

Para pihakwajib menempuh proses mediasi dengan

iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur

dari prqses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi

dengan iktikad tidak baik (Pasal 12).

b) Tahap mediasi

Tahap mediasi diatur dalam Pasal 13 sampai dengan

Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008

Tentang Mediasi di Pengadilan.

Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah

para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing

pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama

Page 95: implementasi mediasi dalam sengketa medik

95

lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima)

hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator,

masing~masing pihak dapat menyerahkan resume perkara

kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi

berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak

mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua

majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5)

dan (6). Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu

mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari

kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana

dimaksud dalam ayat 3: Jangka waktu proses mediasi tidak

termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika diperlukan

dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan

secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal

13).

Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal

jika salah satu· pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya

telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan

mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati

atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan

mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah

proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam

sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta

Page 96: implementasi mediasi dalam sengketa medik

96

kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan

pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga

pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu

pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan

kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang

bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para

pihak tidak lengkap (Pasal 14).

Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal

pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan

disepakati. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara

langsung berperan dalam proses mediasi. Apabila dianggap

perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Mediator wajib

mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali

kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian

yang terbaik bagi para pihak (Pasal 15).

Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum,

mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam

bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau

pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan

pendapat di antara para pihak. Para pihak harus lebih dahulu

mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak

mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli.

Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam

Page 97: implementasi mediasi dalam sengketa medik

97

proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan

kesepakatan (Pasal 16).

Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian,

para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara

tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para

pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak

diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan

secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator

memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari

ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang

tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik,

Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari

sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan

kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan

kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam

bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki

kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta

perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula

pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan

perkara telah selesai (Pasal 17).

Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh)

hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para

Page 98: implementasi mediasi dalam sengketa medik

98

pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena

sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib

menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal

dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah

menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan

pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang

berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim

pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau

mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan

putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat

(3) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak

hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada

hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 18).

Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan

dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat

digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara

yang bersangkutan atau perkara lain. Catatan mediator wajib

dimusnahkan. Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi

dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. Mediator

tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun

perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi

(Pasal 19).

Page 99: implementasi mediasi dalam sengketa medik

99

5) Tahapan mediasi dalam Peraturan Bank Indonesia No

10/1/PBI/2008

Peraturan Bank Indonesia No 10/1/PBI/2008 tentang

Mediasi Perbankan juga mengatur tentang tahapan-tahapan

mediasi, yaitu pada Pasal 7 sampai Pasal 13 Peraturan Bank

Indonesia No 10/1/PBI/2008, antara tahapannya sebagai berikut:

Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi

perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau

Perwakilan Nasabah. Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah

mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank

wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia (Pasal 7).

Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai

berikut: diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen

pendukung yang memadai; pernah diajukan upaya penyelesaiannya

oleh Nasabah kepada Bank; Sengketa yang diajukan tidak sedang

dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase

atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi

oleh lembaga Mediasi lainnya; Sengketa yang diajukan merupakan

Sengketa keperdataan; Sengketa yang diajukan belum pernah

diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank

Indonesia; dan pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60

Page 100: implementasi mediasi dalam sengketa medik

100

(enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian

Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah (Pasal 8).

Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau

Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi

(agreement to mediate) yang memuat:

a) Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif

penyelesaian Sengketa; dan

b) persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah

ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank

(Pasal 9).

Nasabah dan Bank dapat memberikan kuasa kepada pihak

lain dalam proses Mediasi. Pemberian kuasa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat kuasa khusus yang

paling sedikit mencantumkan kewenangan penerima kuasa untuk

mengambil keputusan (Pasal 10).

Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan

ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah atau

Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi

(agreement to mediate) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat

(1). Jangka waktu proses Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat

Page 101: implementasi mediasi dalam sengketa medik

101

(1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja

berikutnya berdasarkan Kesepakatan Nasabah atau Perwakilan

Nasabah dan Bank (Pasal 11).

Kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah

dengan Bank yang dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan

dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah atau

Perwakilan Nasabah dan Bank (Pasal 12).

Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa

perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan

dituangkan dalam Akta Kesepakatan (Pasal 13).

c. Syarat formil putusan perdamaian

Syarat formil putusan perdamaian tidak hanya merujuk pada ketentuan

Pasal 130 dan 131 HIR, tetapi juga ketentuan lain terutama yang diatur

dalam BAB XVIII, Buku ketiga KUH Perdata (Pasal 1851-1864),

sehubungan dengan itu akan dibahas hal-hal sebagai berikut:77

1) Persetujuan perdamaian mengakhiri perkara

Syarat pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara

secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal.

Perdamaian harus membawa pihak terlepas dari sengketa.

2) Persetujuan perdamaian berbentuk tertulis

Syarat formil kedua yang digariskan Pasal 1851 KUH

Perdata, yakni mengenai bentuk persetujuan:

77 M. Yahya Harahap, 2009. Op.cit, hal. 275

Page 102: implementasi mediasi dalam sengketa medik

102

a) Harus berbentuk akta tertulis, boleh dibawah tangan (ditanda

tangani para pihak) dan dapat juga berbentuk akta autentik.

b) Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan

c) Setiap persetujuan yang tidak tertulis dinyatakan tidak sah

3) Pihak yang membuat persetujuan perdamaian adalah orang yang

mempunyai kekuasaan

Syarat ini berkaitan dengan ketentuan perjanjian yang

diatur dalam Pasal 1320 ke-2 jo Pasal 1330 KUH Perdata.

Meskipun Pasal 1320 KUH Perdata mempergunakan istilah tidak

cakap dan Pasal 1852 istilah tidak mempunyai kewenangan, yang

termasuk didalamnya tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas

sebagai personal standi in judicio.

4) Seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan

perdamaian

Syarat formil lain yang ikut terlibat dalam persetujuan tidak boleh

kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang

tidak bertindak sebagai penggugat dan tergugat , mesti seluruhnya

ikut ambil bagian sebagai pihak dalam pihak perdamaian.

d. Kekuatan hukum putusan mediasi

Kesepakatan mediasi di sini diartikan sebagai kesepakatan yang

dicapai para pihak dengan bantuan mediator. Jikan ditelusuri aturan

perundangan yang mengatur mediasi tidak ditemukan ketentuan yang

mengatakan bahwa mediasi tidak memiliki kekuatan eksekutorial

Page 103: implementasi mediasi dalam sengketa medik

103

seperti halnya putusan arbitrase.78 Sedangkan Soetrisno mengatakan

bahwa mediasi akan berkekuatan hukum tetap dan mengikat setelah

kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk akta perdamaian

(penyelesaian sengketa di luar pengadilan) dan dibuat putusan hakim.

Kesepakatan dengan akta perdamaian dibuat oleh notaris dan

merupakan akte autentik yakni akte yang mempunyai kekuatan

sempurna sehingga apabila ternyata salah satu pihak ingkar/

wanprestasi, maka pihak yang lainnya dapat meminta apa yang telah

diperjanjikan.79

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kekuatan hukum yang

melekat pada mediasi mempunyai kekuatan hukum tetap apabila sudah

ada akta perdamaian. Kekuatan ini disamakan dengan putusan tetap,

mempunyai kekuatan eksekutorial dan tidak dapat mengikat.80

B. Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik

Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien di RSI Siti

Hajar, RSUD Praya dan Pengadilan Negeri Praya

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.81 Rumah sakit

merupakan tempat bertemunya dokter dan pasien atau merupakan tempat

78 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal.7679 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 6680 M. Yahya Harahap, 2009. Op.cit, hal. 27981 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Page 104: implementasi mediasi dalam sengketa medik

104

perjanjian terapeutik dilaksanakan. Hubungan terapeutik antara dokter dan

pasien kadang kala tidak dapat memuaskan salah satu pihak terutama pasien,

hal ini akan menyebabkan adanya tuntutan/ sengketa medik. Akhir-akhir ini

ramai mencuat adanya sengketa medik dan penyelesaiannya kadang kala tidak

memuaskan para pihak seperti penyelesaian melalui lemabaga peradilan.

Penyelesaian sengketa di peradilan memakan waktu lama dan biaya mahal,

sehingga hampir sudah pasti pasien sebagai salah satu pihak merasa tidak

nyaman dan akan mengeluarkan biaya yang banyak sedangkan sengketa

medik menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan dokter karena sedikit

tidak mempengaruhi nama baik dan nama baik bagi dokter merupakan hal

yang sangat penting mengingat dokter menjual jasa layanan kesehatan. Untuk

itu diperlukan alternatif penyelesaian sengketa yang ideal, sama-sama

menguntungkan para pihak, dalam hal ini mediasi dapat menjadi salah satu

solusi penyelesaian yang ampuh.

Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik di

RSI Siti Hajar Mataram, RSUD Praya dan Pengadilan Negeri Praya di

Kabupaten Lombok Tengah. Peneliti telah mendapatkan data dari 3 (tiga)

sampel dari RSI Siti Hajar dan RSUD Praya diantaranya adalah direktur

rumah sakit, dokter spesialis bedah dan dokter spesialis kandungan sedangkan

di Pengadilan Negeri Praya Praya peneliti mengambil sampel pada seorang

hakim mediator. Data tersebut dapat disajikan sebagai berikut:

1. RSI Siti Hajar Mataram

Tabel 3.a. Peristiwa Sengketa Medik di RSI Siti Hajar Mataram

Page 105: implementasi mediasi dalam sengketa medik

105

No. Sengketa medik Jumlah %1. Pernah 2 66,72. Tidak pernah 1 33,3

JUMLAH 3 100Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 orang dokter spesialis di RSI Siti Hajar Mataram, data diolah tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa pernah terjadi sengketa medik sebanyak

2 kali di RSI Siti Hajar Mataram.

Tabel 3.b Penyelesaian Peristiwa Sengketa Medik di RSI Siti Hajar Mataram

No. Penyelesaian Sengketa medik Jumlah %1. Negosiasi 1 502. Mediasi - -3. Lembaga Profesi - -4. Litigasi 1 50

JUMLAH 2 100Sumber: wawancara dengan dengan direktur rumah sakit dan 2 orang dokter spesialis di RSI Siti Hajar Mataram, data diolah tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa medik di RSI Siti

Hajar Mataram diselesaikan melalui negosiasi dan litigasi.

Tabel 3.c Penyelesaian Sengketa Medik dengan mediasi No. Sengketa medik Jumlah %1. Setuju 3 1002. Tidak Setuju 0 0

JUMLAH 3 100Sumber: wawancara dengan dengan direktur rumah sakit dan 2 orang dokter spesialis di RSI Siti Hajar Mataram, data diolah tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa semua responden setuju penyelesaian

sengketa medik dengan mediasi.

2. RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah

Tabel 3.d. Peristiwa Sengketa Medik di RSUD PrayaNo. Sengketa medik Jumlah %1. Pernah 2 100

Page 106: implementasi mediasi dalam sengketa medik

106

2. Tidak pernah 1 0JUMLAH 3 100

Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 dokter spesialis di RSUD Praya, data diolah tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa telah terjadi sengketa medik sebanyak 2

kali di RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah..

Tabel 3.e. Penyelesaian Peristiwa Sengketa Medik di RSI Siti Hajar Mataram

No. Penyelesaian Sengketa medik Jumlah %1. Negosiasi 2 1002. Mediasi - -3. Lembaga Profesi - -4. Litigasi - -

JUMLAH 2 100Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 dokter spesialis di RSUD Praya, data diolah tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa medik di RSUD

Praya Kabupaten Lombok Tengah diselesaikan melalui negosiasi.

Tabel 3.f. Penyelesaian Sengketa Medik dengan mediasai

No. Sengketa medik Jumlah %1. Setuju 3 1002. Tidak Setuju 0 0

JUMLAH 3 100Sumber: wawancara dengan direktur rumah sakit dan 2 dokter spesialis di RSUD Praya, data diolah tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden setuju penyelesaian sengketa

medik dengan mediasi.

3. Pengadilan Negeri Praya Kabupaten Lombok Tengah

Hasil wawancara dengan seorang hakim mediator di Pengadilan

Negeri Praya didapatkan bahwa Pengadilan Negeri Praya Kabupaten

Page 107: implementasi mediasi dalam sengketa medik

107

Lombok Tengah belum pernah menangani sengketa medik. Hakim

mediator tersebut setuju dilakukan mediasi dalam sengketa medik

sepanjang sengketa tersebut termasuk didalam ranah hukum perdata,

seandainya termasuk dalam ranah pidana responden belum berani

memberikan argumen karena masih abu-abunya regulasi yang mengatur

mediasi penal maupun tentang bunyi Pasal 29 Undang-undang No.36

tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun mengenai kasus tindakan tipirin

(tindak pidana ringan) dan delik aduan responden menyetujui

dilakukannya mediasi.

C. Kendala-kendala dan Solusi dalam Pelaksanaan Mediasi Sebagai

Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik

Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik

bila memperhatikan peraturan perundang-undangan yang secara khusus yakni

Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang

menyebutkan “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu

melalui mediasi”. Di bawah ini akan dibahas mengenai kendala dan solusi

dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik

dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, antara laian:

Page 108: implementasi mediasi dalam sengketa medik

108

1. Kendala-kendala dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif

penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan

pasien dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Kurangnya regulasi

Regulasi dalam pelaksanaan mediasi sebagai penyelesaian

sengketa medik kurang, hal tersebut ditunjukkan dengan belum

dilaksanakan mediasi. Belum dapat dilaksanakan karena dalam pasal

tersebut masih ada ketidakjelasan mengenai istilah “kelalaian” yang

dapat diselesaikan melalui mediasi, hukum acara dan siapa yang

berhak melakukan peran mediatornya.

b. Sengketa yang dilandasi konflik emosional

Sengketa yang dilandasi konflik emosional sehingga

menimbulkan lemahnya semangat dan antusias para pihak untuk

membentuk forum komunikasi, bahkan ada diantaranya secara terang-

terangan menyatakan tidak bersedia untuk menempuh perdamaian dan

memaksa untuk langsung menyelesaikan melalui proses di

pengadilan.82

c. Mediator bersertifikat masih kurang

Seuai dengan amanat PERMA No. 1 Tahun 2008 yang

menyatakan bahwa setiap Pengadilan harus memiliki sekurang-

kurangnya 5 (lima) mediator bersertifikat terakreditasi Mahkamah

Agung di wilayah Pengadilan yang bersangkutan. Hal ini ditunjang

82 Darmoko Yuti, 2010. Op.cit, hal.69

Page 109: implementasi mediasi dalam sengketa medik

109

dengan hasil penelitian di Pengadilan Praya yang baru memiliki 2

(dua) orang hakim yang bersertifikat terakreditasi Mahkamah Agung.

d. Mediasi merupakan hal yang baru

Mediasi merupakan hal yang bisa dikatakan baru walaupun

sebenarnya pengaturan mediasi sudah diatur terlebih dahulu pada Pasal

130 HIR atau Pasal 154 Rbg namun pelaksanaan mediasi ini efektif

setelah terbitnya PERMA No. 2 Tahun 2003. Hal ini menyebabkan

kurang efektifnya proses mediasi yang menghasilkan perdamaian para

pihak, apalagi dalam lingkup hukum kesehatan mediasi merupakan

sebuah wacana yang mungkin belum akan maksimal. Hal ini didukung

hasil penelitian di PN Praya Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa

Tenggara Barat yang tidak pernah menangani perkara mediasi dalam

sengketa medik sedangkan penelitian di RSI Siti Hajar Mataram dan

RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah juga belum menerapkan

penyelesaian sengketa medik dengan mediasi, namun di kedua rumah

sakit tersebut pernah mengalami sengketa medik dan penyelesaiannya

dengan negosiasi.

e. Kendala lain yang peneliti temukan di PN Praya dalam pelaksanaan

mediasi secara umum ialah sulitnya mediator untuk memberikan

pengertian dan pemahaman kepada pihak yang bersengketa untuk

menemukan titik temu/ solusi dalam permasalahan para pihak.

2. Solusi dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien

Page 110: implementasi mediasi dalam sengketa medik

110

Dari beberapa kendala diatas tentang pelaksanaan mediasi dalam

sengketa medik diperlukan solusi agar dalam pelaksanaan mediasi sebagai

alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara

dokter dan pasien dapat segera dilakukan demi menjalankan amanat Pasal

29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, solusi tersebut

dijabarkan sebagai berikut:

a. Kurangnya regulasi

Kurangnya regulasi dalam pernyelesaian sengketa medik

dengan mediasi dapat diatasi dengan penerbitan aturan turunan dari

Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Aturan turunan ini dapat berbentuk Peraturan pemerintah, peraturan

menteri dan sebagainya, yang memuat tentang kejelasan jenis

“kelalaian” yang dimaksud, hukum acara mediasi medik dan siapa

yang berhak menjadi mediator atau dengan pembentukan Badan

Penyelesaian Sengketa Tenaga Kesehatan.

b. Sengketa yang dilandasi konflik emosional

Dalam hal ini mediator dituntut sebagai katalisator atau pencair

suasana, mediator harus mampu menciptakan suasana yang kondusif,

mampu menjadi leader dalam sidang mediasi. apabila tidak bisa berarti

perlu ada aturan yang tegas misalnya PERMA tersebut di ganti dengan

undang-undang yang kedudukannya lebih kuat.

c. Mediator bersertifikat masih kurang

Page 111: implementasi mediasi dalam sengketa medik

111

Dalam melaksanakan suatu mediasi sudah sepantasnya diikuti

dengan penambahan mediator bersertifikat terakreditasi Mahkamah

Agung. Untuk itu Mahkamah Agung selaku leader dalam

pelaksaksanaan mediasi mengadakan suatu pelatihan-pelatihan kepada

setiap hakim untuk menambah mediator bersertifikasi di lingkungan

Pengadilan.

d. Mediasi merupakan hal yang baru

Untuk mengatasi hal ini, semua pihak diharapkan dapat

mensosialisasikan penggunaan mediasi dalam sengketa medik baik itu

oleh Kementerian Kesehatan dan Mahkamah Agung.

e. Sedangkan untuk mengatasi kendala mengenai kemampuan mediator

dalam memfasilitasi para pihak untuk berdamai adalah setiap mediator

dituntut peran aktifnya dengan bekal kemampuan dan keahliannya

sehingga dapat mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para

pihak mencapai suatu kesepakatan.

Page 112: implementasi mediasi dalam sengketa medik

112

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam

perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien belum banyak dilaksanakan

baik itu di pengadilan maupun di luar pengadilan;

Page 113: implementasi mediasi dalam sengketa medik

112

113

2. Pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam

perjanjian terapeutik di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya

Kabupaten Lombok Tengah belum terlaksana;

3. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif

penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan

pasien antara lain: kurangnya regulasi yang mengatur mediasi medik,

konflik yang sering terjadi sering merupakan konflik emosional, mediator

bersertifikasi masih kurang, mediasi masih merupakan hal baru dalam

dunia kesehatan dan kurangnya kemampuan mediator dalam penanganan

sengketa. Sedangkan solusinya antara lain ialah pemerintah diharapkan

membentuk aturan turunan terkait mediasi medik baik itu jenis kelalaian,

hukum acara dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Tenaga

Kesehatan, penambahan kemampuan mediator dengan mengadakan

pelatihan-pelatihan baik oleh Mahkamah Agung maupun lembaga mediasi

untuk memperoleh keahlian dan kemampuan menuntun para

pihak untuk mencapai kesepakatan, menambah mediator

bersertifikat dan sosialisasi penggunaan mediasi sebagai alternatif

penyelesaian sengketa medik baik oleh Kementerian Kesehatan dan

Mahkamah Agung.

B. Saran

Page 114: implementasi mediasi dalam sengketa medik

114

1. Perlu dibentuk suatu Badan atau Lembaga Penyelesaian Sengketa

Kesehatan sebagai turunan dari Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan;

2. Demi kepastian hukum tentang mediasi di bidang medis, maka sebaiknya

pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 dikeluarkan aturan turunan dari undang-

undang tersebut, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri

Kesehatan yang berisi tentang mediasi medik, sanksi dan hukum acaranya;

3. Dalam hal tindak pidana mediasi penal dapat dilakukan dengan maksud

dan tujuan khusus, misalnya: penjara tidak penuh.

DAFTAR PUSTAKA

Aman Santoso, 2010. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis Dengan Analisa Kualitatif, FH UNTAG, Semarang .

Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Christoper W. Moore, 2003. The mediation process, third edition. Jossey Bass. United State of America.

Page 115: implementasi mediasi dalam sengketa medik

115

Darmoko Yuti, 2010. Beberapa permasalahan dalam PERMA No. 1 tahun 2008 tentang mediasi di pengadilan. Varia Peradilan. Jakarta.

Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hariyani, Safitri, 2005, Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara dokter dan pasien, Diadit Media, Jakarta.

Hermien Hadijati Koeswadji,1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.

Laurence Boulle, 1996. Mediation principles, process, practice. Butterworths. Australia

Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan, UNTAG, Semarang. Tidak dipublikasikan

Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang,

M. Yahya Harahap, 2009. Hukum acara perdata, Sinar Grafika. Jakarta.

Soetrisno, 2010, Malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,

Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,

Soponyono, Edi, 2008, Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadila), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Raja Gravindo Persada, Jakarta

Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed consent dalam perjanjian terapeutik, Citra Aditya Bakti, cet. II Bandung.

Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Yuti Witanto Darmono, 2010, Beberapa masalah dalam perma nomor 1 tahun 2008 tentang mediasi dipengadilan, Varia Peradilan, Jakarta

Page 116: implementasi mediasi dalam sengketa medik

116

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement Buitengewesten (Rbg)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144144

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Albitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153 144

Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6

Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan

Permenkes 512/MENKES/PER/IV/2007 Tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medik

Page 117: implementasi mediasi dalam sengketa medik

117

Kamus/ Inseklopedia:

Black’s Law Dictionary, 7ed. St. Paul, Minnesota: West Publishing Company, 1999.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Internet:

Arifin Tumpa, 2010, Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian sengketa medis di peradilan pidana, avaliable from: http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1618 at: 20/12/2010

Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa, avaliable at: http://www.pemantauperadilan.com opened: 25/12/2010