IMPERIALISME EROPA

8
IMPERIALISME EROPA Benar bahwa orang Perancis menjajah Aljazair, tapi begitu juga Arab dan Turki sebelumnya. Benar bahwa mereka mengkolonisasi negeri itu dan mencamplok banyak tanah negeri itu, tapi begitu juga dengan Arab dan Turki sebelumnya. Perancis tak pelak lagi bersalah, tapi apa kesalahan mereka lebih besar dari bangsa penjajah sebelumnya? Saat Perancis berkuasa terdapat kemiskinan dan penganiayaan, tapi apakah Aljazair di jaman Corsair ataukah Aljazair yang terbentuk tahun 1962, menjadi contoh bagi kebebasan, kemakmuran dan keadilan? Berapa banyak orang Aljazair sekarang malah rela berada dijaman kekuasaan Perancis lagi, seperti dulu. Kedouri, Times Literary Supplement, 10 Juli 1992 Aljazair sebelum datangnya Perancis tahun 1830 jelas masih ‘tidak beradab’ dipandang dalam definisi apapun. Hugh Thomas[24] Tidak ada orang India yang berpendidikan dan menghargai kebenaran sejarah akan menyangkal bahwa penjajahan Inggris, dengan segala kekurangannya, telah membawa kesejahteraan dan kebahagiaan pada penduduk India. Nirad Chaudhuri[25] Pemahaman mendalam tentang sejarah akan membawa kita kpd periode imperialisme Eropa. Mari kita lihat INDIA. Setelah hari pertama kemerdekaan di tahun 1947, sejarawan India menggelontorkan sejarah2 ‘nasionalis’ yang tidak mendapat tebusan dari pihak inggris. Belakangan, setiap derita, setiap kegagalan, setiap kekurangan dari negara baru ini di tahun 1960 dan 1970 selalu ditelusuri mundur dan mendapat kambing hitam pada periode ‘setan’ dari kehadiran Inggris, eksploitasi bangsa Inggris. Hampir 50 tahun kemudian, penilaian yang lebih ‘dewasa’ memberikan gambaran yang seimbang akan keuntungan2 yang inggris hadirkan juga di India. Dibawah ini adalah pendapat seorang humanis radikal, Tarkunde [26] yang merangkum kontribusi Inggris: Ada sebuah mitos yang dikarang oleh kaum nasionalis India, bahwa sebelum penjajahan Inggris, India adalah sebuah negeri yang sangat maju secara

Transcript of IMPERIALISME EROPA

Page 1: IMPERIALISME EROPA

IMPERIALISME EROPA

Benar bahwa orang Perancis menjajah Aljazair, tapi begitu juga Arab dan Turki sebelumnya. Benar bahwa mereka mengkolonisasi negeri itu dan mencamplok banyak tanah negeri itu, tapi begitu juga dengan Arab dan Turki sebelumnya. Perancis tak pelak lagi bersalah, tapi apa kesalahan mereka lebih besar dari bangsa penjajah sebelumnya? Saat Perancis berkuasa terdapat kemiskinan dan penganiayaan, tapi apakah Aljazair di jaman Corsair ataukah Aljazair yang terbentuk tahun 1962, menjadi contoh bagi kebebasan, kemakmuran dan keadilan? Berapa banyak orang Aljazair sekarang malah rela berada dijaman kekuasaan Perancis lagi, seperti dulu. Kedouri, Times Literary Supplement, 10 Juli 1992

Aljazair sebelum datangnya Perancis tahun 1830 jelas masih ‘tidak beradab’ dipandang dalam definisi apapun.Hugh Thomas[24]

Tidak ada orang India yang berpendidikan dan menghargai kebenaran sejarah akan menyangkal bahwa penjajahan Inggris, dengan segala kekurangannya, telah membawa kesejahteraan dan kebahagiaan pada penduduk India.Nirad Chaudhuri[25]

Pemahaman mendalam tentang sejarah akan membawa kita kpd periode imperialisme Eropa. Mari kita lihat INDIA. Setelah hari pertama kemerdekaan di tahun 1947, sejarawan India menggelontorkan sejarah2 ‘nasionalis’ yang tidak mendapat tebusan dari pihak inggris. Belakangan, setiap derita, setiap kegagalan, setiap kekurangan dari negara baru ini di tahun 1960 dan 1970 selalu ditelusuri mundur dan mendapat kambing hitam pada periode ‘setan’ dari kehadiran Inggris, eksploitasi bangsa Inggris. Hampir 50 tahun kemudian, penilaian yang lebih ‘dewasa’ memberikan gambaran yang seimbang akan keuntungan2 yang inggris hadirkan juga di India. Dibawah ini adalah pendapat seorang humanis radikal, Tarkunde [26] yang merangkum kontribusi Inggris:

Ada sebuah mitos yang dikarang oleh kaum nasionalis India, bahwa sebelum penjajahan Inggris, India adalah sebuah negeri yang sangat maju secara budaya dan ekonomi dan bahwa degradasi moral dan materi disebabkan karena dominasi asing ini. Bahkan dengan melihat sekilas sejarah India saja orang akan mengerti bahwa tuduhan ini tidak punya dasar. Jika India dulunya sungguh negara maju, maka tidaklah akan mudah ditaklukan oleh segelintir pedagang yang datang dari jarak 9.000 km jauhnya dgn memakai kapal laut. India dulu adalah sebuah negeri diktator, tak ada keadilan dan berada diambang anarki, shg sebagian besar rakyat menyambut hukum dan disiplin yg ditegakkan pemerintah Inggris. Meski pemerintahan Inggris di India mulai tidak punya potensial yang progresif sekitar awal abad ini (abad 20), tapi pengaruh awalnya pada negeri ini sangatlah menguntungkan. Dgn memperkenalkan semangat kebebasan, rasionalisme dan harga diri oleh cara pemikiran liberal Inggris, sebuah Renaissance (kebangunan kembali) yang meski muncul terlambat mulai berkembang di India dan mengambil bentuk sebuah pergerakan

Page 2: IMPERIALISME EROPA

melawan takhyul2 religius dan menimbulkan akibat2 sosial seperti dihilangkannya tradisi Sati, legalisasi bagi janda utk menikah kembali, promosi pendidikan bagi wanita, pencegahan pernikahan anak-anak dan perlawanan terhadap tradisi kaum yg sebelumnya tidak bisa disentuh (kaum sudra/the untouchables).

Demokrasi parlementer, the rule of law dan sifat rule of law tsb adalah warisan dari Inggris. SEMENTARA orang2 Arab tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali pada sejarah dan budaya dari penduduk yang mereka jajah. Orang Inggris di India, secara perbandingan, mengembalikan pada seluruh orang india – baik itu muslim, Hindu, Sikh, Jain, Buddhis – budaya mereka sendiri dalam serangkaian karya2 intelektual yang monumental dan berdedikasi, karya2 yang menjadi penggerak kesaksian, intelektual, daya tarik sains, karya2 yang dalam banyak hal tidak pernah lolos dari riset modern. Imperialis seperti Lord Curzon menyelamatkan banyak monumen2 arsitektur India, termasuk Taj Mahal, dari kehancuran.

Saya mengambil India sebagai contoh, tapi seperti yg ditunjukkan Kedourie dll, kekuasaan imperial Eropa secara umum, dengan segala kekurangannya, pada akhirnya menguntungkan yang dijajah maupun sang penjajah. Meski ada beberapa kejadian yang tidak mengenakkan, kekuatan2 Eropa itu bertindak, secara keseluruhan, dgn cukup manusiawi.

Tentu saja, banyak penjajahan Eropa dicapai dengan mengalahkan Islam. Sifat dogma Muslim ini tidak sanggup mempersiapkan mereka akan kekalahan:

Sukses politik membenarkan Islam dan jejak sejarah dunia membuktikan kenyataan akan agama ini. Muslim berperang utk menyebarkan Islam dan menundukkan kafir; peperangan ini dianggap suci dan pahalanya bagi mereka yang mati adalah ‘bahagia abadi di surga’. Kepercayaan demikian, yang 100% didukung oleh sejarah islam sendiri, mengilhami para Muslim agar percaya diri, merasa kuat dan superior. Karenanya, serangkaian kekalahan panjang ditangan orang Kristen Eropa mengurangi ‘harga diri’ Muslim dan menghasilkan krisis moral dan intelektual yang lebih parah. Karena kekalahan militer bukan hanya berarti kalah dalam pengertian duniawi belaka tapi juga bisa berarti menyeret mereka kedalam keraguan akan kebenaran wahyunya yaitu Quran.[27]

Dalam konteks ini; tidak heran bahwa para intelektual Muslim, dengan satu atau dua orang perkecualian, telah menanamkan dihati banyak Muslim perasaan benci akan Barat, yang dalam jangka panjang akan berujung pada penghambatan penerimaan terhadap Barat ketika muncul kebutuhan utk reformasi, utk berubah, utk mengadopsi HAM, utk aturan perundangan – pendeknya, utk semua gagasan dan ide yang berasal dari Barat dan yang dianggap sebagai ciri2 dari Barat.

Sangat menyedihkan bahwa selama Perang Teluk hampir setiap cendekiawan Muslim & Arab bersimpati pada Saddam Hussein, hanya karena dia “berani berdiri tegak melawan Barat.” Ini mencerminkan kegagalan Islam dan perasaan ‘lebih rendah’ jika berhadapan dengan Barat. Dunia Muslim mestilah berada dalam keadaan sangat parah

Page 3: IMPERIALISME EROPA

jika mereka menaruh harapan kpd seorang tiran seperti Saddam yang telah membunuh ribuan orang, bahkan bangsa mereka sendiri – Arab, Kurdi, Sunni, Shi'ah, Muslim dan Yahudi. Kaum intelektual Muslim itu2 juga sepertinya tidak mampu mengkritik diri dan masih saja membagi dunia kedalam ‘mereka’ dan ‘kita’, mengulang2 peristiwa Perang Salib berkali2. Setiap penderitaan, setiap kegagalan dalam dunia Muslim mestilah disalahkan kpd Barat, Israel atau konspirasi Zionis. Seperti ditunjukkan Kanan Makiya[28] dengan berani,

Kebiasaan lama memang susah mati. Kebiasaan2 yang paling susah mati terdpt diantara orang2 yang merasa wajib utk berbangga diri dan dgn identitas kolektif menyalahkan segala penderitaan mereka pada ‘orang lain’ – agen asing atau ‘budaya asing’ yang jauh lebih maju dan jauh lebih kuat dan dinamis. Hal paling menyedihkan adalah teriakan tak kenal lelah oleh kaum intellegentsia Arab yang berusaha utk menyalahkan setiap penderitaan Muslim kpd orang Barat atau Israel. Cara bicara mereka ini menjadi semakin jauh dari kenyataan, histeris dan berbalik memukul diri sendiri seiring dengan semakin menurunnya pengaruh dunia Arab secara politis dan kultural dijaman modern ini.

Cendekiawan Arab modern mempengaruhi orang2 Arab utk menegaskan diri mereka secara negatif: “Seseorang menjadi ‘orang’ karena siapa yang dia benci, bukan karena siapa yang dia cintai atau dengan siapa ia solider.” Tak pelak lagi, cendekiawan Arab dan pendengarnya yang mudah dipengaruhi mengagung-agungkan masa lalu mereka yang cuma mitos, kpd Jaman Keemasan ketika ‘seorang muslim bisa mengalahkan 100 kafir.’ ‘Bangsanya akan berjaya, negaranya akan berkuasa kalau tidak dihalangi mesin2 imperialis (atau Setan Besar, yang berarti kurang lebih sama).” Seperti dikatakan Kanan Makiya, kenapa tidak mencoba mengkritik diri sendiri sekali-kali, sebuah pendapat yang juga disampaikan oleh Fuad Zakariya: “Tugas budaya kita pada tahap ini adalah menyingkirkan keterbelakangan dan mengkritik diri sendiri sebelum kita mengkritik gambaran ttg diri kita oleh orang lain.”[29]

NASIONALISME BERBER

Masyarakat berbahasa Berber telah tinggal di Afrika Utara sejak jaman pra-sejarah. “Proto-Berber” tinggal di Afrika Utara sejak 7.000 SM. Berber sering kontak dengan kaum Carthage, tapi secara keseluruhan menjalankan hidup tanpa ketergantungan kpd pihak lain tapi terpecah2 kedalam persaingan antar suku. Kadang muncul pemimpin jenius yg berhasil menyatukan suku2 ini kedalam satu kerajaan yang mengagumkan. Masinissa (238 SM – 148 SM), putera Gaia, raja Numidian Timur--Massyles-- dibesarkan di Carthage dan bertempur dipihak mereka (Carthaginian) melawan Romawi. Tapi kemudian dia bergabung dengan pihak Romawi dan pasukannya menjadi penentu dalam kemenangan Romawi yang terkenal di Zama (202 SM). Masinissa setelah itu mampu membentuk sebuah kerajaan yang terdiri dari seluruh kaum Numidia, menyatukan semua suku berbahasa Berber.

Tujuan saya bukanlah memberikan kuliah ttg sejarah kaum Berber, tapi hanya utk

Page 4: IMPERIALISME EROPA

menggambarkan adanya sebuah peradaban yang kaya dan kompleks, yang punya bahasa, tulisan dan sejarah sendiri sebelum kedatangan bangsa Arab. Penggambaran ini menunukkan adanya kaum intelektual Berber modern yang menolak Imperialisme Arab dan islam.

Setelah Masinissa, penerus kerajaan Romawi--Vandals dan Byzantine-- sama-sama tidak mampu menjinakkan kebebasan kaum Berber. Tidak juga ketika datang bangsa Arab utk pertama kali yg dengan segala cara mencoba menguasai bangsa ini. Okba b. Nafi, Jendral Muslim, mencoba dengan sia-sia utk menaklukkan suku2 hebat ini. Malah, salah satu pemimpin Berber, Kusaila, mampu mengejutkan mereka dan membunuh Okba berserta 300 pasukannya di Tahuda tahun 683. TAPI karena banyaknya suku2 Arab, kaum Berber secara perlahan2 memeluk Islam, bukan karena keyakinan religius yang dalam tapi hanya karena alasan materi belaka, dengan harapan bisa mendapatkan HARTA JARAHAN. Dengan pertolongan kaum Berber sajalah, yang beberapa diantaranya secara ironis dianggap sebagai “Pahlawan Arab” – seperti Tariq Ibn Zaid, bangsa Arab mulai menaklukkan Spanyol – dan Jendral2 Arab bisa sepenuhnya menaklukan Afrika Utara.

Tapi, seperti juga dengan Muslim non-Arab di Persia dan Syria, kaum Berber merasa tersinggung diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh orang Arab dan mengeluh bahwa mereka tidak mendapat harta jarahan yang sama. Tak pelak lagi, mereka berontak melawan orang Arab, yang tentu saja menderita kekalahan luar biasa. Abad 11 dan 12 bisa dilihat sebagai kebangkitan dua dinasti kaum Berber, Almoravid (1056-1147) dan Almohad (1130-1269), bahkan yang muncul belakangan, yaitu Marinid, juga masih keturunan dari kaum Berber.

Berber termasuk kedalam keluarga bahasa Afro-Asiatic (atau Semit-Hamitic). Saat ini, sekitar 200 sampai 300 dialek Berber dipakai oleh sekitar 12 juta orang di Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Chad, Burkina Faso, Nigeria, Mali dan Mauritania. Pemakaian dialek utamanya di Aljazair adalah Kabyle dan Shawia; Shluh, Tamazight dan Riff di Maroko; Tamahaq (Tamashek) atau Tuareg di beberapa negara Sahara. Prasasti tertua dalam bahasa Berber bertanggal sekitar 200 SM dan ditulis dalam dialek Tifinag, yang masih dipakai sekarang oleh orang2 Tamahaq.

Penolakan Kaum Berber modern atas Imperialisme Arab

Kateb Yacine (1929-1989), penulis Aljazair, adalah akademisi paling terkenal yang menolak imperialisme budaya dari Islam dan Arab, dan yang paling gigih membela pemakaian bahasa nenek moyangnya, Berber. Dia ragu akan Islam sejak mula; “Aku sekolah di sekolah Quran, tapi tidak suka agama islam, malah, aku jadi benci padanya,” kenang Yacine, “khususnya ketika mereka mulai memukul telapak kaki kami dgn penggaris utk memaksa kami megnhafal Quran, tanpa mengerti isinya. Di sekolah Perancis, guru kami malah seperti ibu kedua saya, saya punya guru yang begitu luarbiasa, yang tahu bagaimana menarik minat diri kami, dia membuat saya selalu ingin ke sekolah.” (Le Monde, 31 Okt 1989).

Page 5: IMPERIALISME EROPA

Dalam sebuah wawancara (sekarang wawancara ini jadi terkenal) dg radio Beur (radio khusus bagi keturunan Perancis Aljazair), Yacine membuat heboh dengan mengatakan bahwa dia bukan islam ataupun Arab, tapi orang Aljazair. Lalu tahun 1987, dalam sebuah wawancara utk journal harian ‘Awal’, Yacine mengungkapkan kebenciannya pada Islam:

“Orang Aljazair yang beragama islam arab adalah orang Aljazair yang melawan dirinya sendiri, yang asing bagi dirinya sendiri. Orang Aljazair yang dipaksa oleh senjata, karena Islam tidak disebarkan memakai gula-gula dan bunga-bunga, tapi dengan airmata dan darah. Islam berkembang dengan menghancurkan, dengan kekerasan, dengan kebencian, dengan cara mempermalukan orang dgn cara yg paling buruk. Kita bisa melihat hasilnya” [Le Monde, 20 Mei 1994, hal. 5].

Dia mengungkapkan harapan ‘Aljazair’ suatu hari akan disebut dengan nama sejatinya, Tamezgha, negeri dimana bahasa Berber (Tamazight) dipakai.

Terhadap ketiga agama monoteis, pandangannya semua diucapkan Yacine dg nada keras, menurutnya ketiga agama itu hanya menciptakan ketidakbahagiaan didunia: “Agama2 ini hanya menghasilkan kejahatan dan ketidakbahagiaan bagi bangsa kami. Sengsara Aljazair bermula dari sana. Kami telah bicara dengan orang Romawi dan Kristen. Sekarang mari kita bicara tentang hubungan Islam-Arab: sebuah perjuangan yang paling sulit, paling keras dan paling lama.”

Tepat sebelum meninggal tahun 1989, Yacine menulis sebuah kata pengantar utk sebuah buku lagu oleh penyanyi Berber, Ait Menguelet. Yacine memulai pengantarnya dengan sebuah referensi tentang Larangan konferensi tahun 1980 di Aljazair, konferensi mengenai syair2 Kabyle Kuno, sebuah larangan yang berujung pada kerusuhan karena Berber membela bahasa nenek moyang mereka. Kateb Yacine terus menulis keluhan bahwa seperti ketika mereka dipaksa belajar bahasa Perancis dengan harapan utk menciptakan Perancis-Aljazair, orang2 Aljazair juga dipaksa utk belajar bahasa Arab dan dilarang utk bicara memakai bahasa ibu mereka, Tamazight atau Berber: “Aljazair adalah sebuah negeri yang ditaklukkan oleh mitos bangsa Arab, karena dengan alasan Arabisasi sajalah bahasa Tamazight dianiaya. Di Aljazair dan diseluruh dunia, banyak orang percaya bahwa bahasa asli Aljazair adalah bahasa Arab.” Tapi Bahasa Tamazight-lah sebenarnya bahasa asli Aljazair, dan bahasa ini masih ada meski berabad-abad ditekan dan didominasi bahasa Arab.

Perjuangan bersenjata kami adalah utk mengakhiri mitos Perancis-Aljazair, tapi kami terbenam dalam kekuatan yang bahkan lebih menghancurkan lagi yaitu mitos Aljazair-Islam-Arab. Aljazair Perancis berakhir selama 104 tahun. Aljazair-Islam-Arab telah terjadi selama 13 abad ! Kami tidak lagi percaya bahwa kami keturunan Perancis tapi kita malah menganggap diri sbg bangsa Arab. Tidak ada ras Arab dan bangsa Arab. Ada bahasa keramat yang dipakai Quran yg dipakai oleh para penguasa utk mencegah orang menemukan identitas mereka sendiri.

Page 6: IMPERIALISME EROPA

Banyak orang Aljazair percaya mereka adalah orang Arab, menyangkal asal usul mereka dan menganggap Penyair Besar mereka, Ait Menguellet, yang menulis dalam bahasa Berber sbg orang asing [Le Monde, 3 Nov 1989].

Identitas Berber di Aljazair, 1994

Bulan April 1994, dilakukan serangkaian pawai utk memperingati “Musim Semi Berber” tahun 1980 ketika kaum Berber melakukan kerusuhan membela bahasa mereka. Mereka diorganisasi oleh sejumlah kelompok budaya Berber yang berkeras ingin menunjukkan identitas Berber mereka: “Kami menuntut,” kata salah seorang pendiri Rassemblement pour la culture et la democratie (RCD), “diakuinya bahasa nasional kedua yaitu Berber dan sebuah identitas yang berbeda dari Islam-Arab dan menuntut pluralisme. Ini adalah Gerakan Budaya Berber yang merupakan sumber dari Liga HAM dan Demokrasi pertama di Aljazair.”

Orang2 Berber yang berpikiran reformis ini melihat tidak ada kesamaan konsep antara Islam dgn Demokrasi serta HAM. Kaum Berber percaya sudah menjadi ‘kewajiban mereka menentang segala bentuk fasisme,” mereka tidak ingin melihat negara mereka tenggelam kedalam “Barbarisme.” (Information, 20 April 1994).