Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana...

16
Nama : Tita Novitasari (11140460000046) Kelas : C Muamalat, Syariah dan Hukum Semester : III (Tiga) Jawaban: 1. Perumusan sanksi pidana dalam aturan pidana umum dan aturan pidana administratif Sanksi atau sanction menurut Black’s Law Dictionary Seventh Edition adalah a penalty of coercive measurre that result from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse). 1 Di Indonesia, secara umum dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu: 1. sanksi hukum pidana 2. sanksi hukum perdata 3. sanksi hukum administratif Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Sedangkan sanksi administratif adalah sanski yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang- 1 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West Publishing 2004).

Transcript of Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana...

Page 1: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

Nama : Tita Novitasari (11140460000046)

Kelas : C Muamalat, Syariah dan Hukum

Semester : III (Tiga)

Jawaban:

1. Perumusan sanksi pidana dalam aturan pidana umum dan aturan pidana

administratif

Sanksi atau sanction menurut Black’s Law Dictionary Seventh Edition adalah a penalty of

coercive measurre that result from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction

for discovery abuse).1 Di Indonesia, secara umum dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis

sanksi hukum yaitu:

1. sanksi hukum pidana

2. sanksi hukum perdata

3. sanksi hukum administratif

Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo hukuman

adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis

kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.

Sedangkan sanksi administratif adalah sanski yang dikenakan terhadap pelanggaran

administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif.2 Dalam Black’s

Law Dictionary kata administrative crime atau pidana administratif berarti an offense

consisting of a violation of an administrative rule or regulation that carries with a criminal

sanction.3 Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana,

pidana administratif merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana

1 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West Publishing 2004). 2m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan-administratif) Tangal. 9 Desember 2015 3 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West Publishing, 2004), hal. 399

Page 2: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

sebagai sarana untuk menegakan atau melaksanakan hukum administrasi.4 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia administrasi adalah kegiatan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemerintah.

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana umum dituliskan atau dirangkai di bagian

ketentuan umum. Sedangkan dalam hukum/aturan administratif, ketentuan mengenai sanksi

pidana administratif dirumuskan di BAB V dan perumusannya bergantung pada ketentuan

umum. Jika ketentuan umum dalam aturan administratif menghendaki adanya ketentuan

pidana sehingga ketentuan pidana dalam aturan administratif tersebut diperlukan maka

ketentuan pidana tersebut bisa dirumuskan terpisah dari ketentuan umum yakni di BAB V

tentang Ketentuan Pidana. Sanksi pidana dalam hukum administratif juga bersifat

ringan/sedang.

Pada umumnya sanksi administratif berupa:5

- Denda, misalnya diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008

- Pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin, misalnya yang diatur dalam

Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan) No. KM 26 Tahun 2009

- Perhentian sementara layanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi,

misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun

2008

tindak pidana dalam hukum administratif hanya sebatas pelanggaran bukan kejahatan.

Berikut aturan mengenai hal ini:

BAB V

KETENTUAN PIDANA

Pasal 33

4 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakrie, 2003), hal. 15.5 m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan-administratif) Tangal. 9 Desember 2015

Page 3: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan

paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00.

2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

2. Penjelasan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sudah tepatkah menurut Ilmu Perundang-undangan?

BAB II

TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) di atas merupakan orang perseorangan (individu) dan

korporasi (Pasal satu ayat (3)). Berdasarkan ketentuan KUHP korporasi tidak dapat

melakukan tindak pidana, namun terdapat pengecualian untuk tindak pidana korupsi yang

diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999, dalam UU tersebut disebutkan bahwa korporasi pun

termasuk ke dalam “setiap orang” sehingga dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 2

ayat (1). Hal ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena dalam

UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-

perorangan atau oleh korporasi. Lebih jauh lagi, dalam UU tersebut ditentukan bahwa

pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:

a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;

Page 4: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang

bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau

c. kedua-duanya

Sanksi dalam Pasal 2 dan 3

Dalam KUHP menentukan jika suatu perbuatan dilakukan karena jabatan dan menyalahi

wewenang maka diberlakukan pemberatan pidana yakni sanksinya mesti lebih berat,

sementara dalam pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang merupakan perbuatan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 tetapi dilakukan dengan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,

ancaman/sanksinya malah lebih ringan dibandingkan pada Pasal 2.6

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

Yang digaris bawahi merupakan sanksi yang mestinya lebih berat ketimbang sanksi

yang tercantum dalam Pasal 2 namun ternyata lebih ringan. Maka dapat dipastikan

bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHP.

Maka berdasarkan uraian di atas, menurut Haryadi dalam Jurnalnya yang berjudul Tinjauan

Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif

Tujuan Pemidanaan (Maret 2014) rumusan Pasal 3 terhadap Pasal 2 UU No. 31 Tahun

6 Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan, Jurnal Ilmu Hukum, Maret 2014.

Page 5: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

1999 perlu ditinjau ulang. Usulan penguatan Pasal-Pasal tersebut dapat disoroti dari

berbagai aspek dalam Hukum pidana yaitu:

1. Aspek Orang atau pelaku tindak pidana: dari aspek pelaku perumusan usulan Pasal ini

tidak ada perubahan dari rumusan Pasal sebenarnya yaitu setiap orang yang secara

melawan hukum dan pada Pasal 3 aspek pelakunya adalah setiap orang memangku

jabatan.

2. Dalam merumuskan kualifikasi suatu Pasal harus betul-betul diperhatikan dengan

cermat kualifikasi yuridisnya karena penentuan kualifikasi yuridis ini akan

menentukan konsekwensi yuridisnya.

3. Aspek Perumusan Sanksi: Dalam merumuskan suatu sanksi pidana dalam suatu

perundang-undangan harus tetap memperhatikan kaedah-kaedah umum. Setiap

perumusan ketentuan pidana dalam UU di luar KUHP harus tetap berada dalam

koridor sistem hukum pidana materiel (sistem pemidanaan substantif) yang berlaku

saat ini. Sistem hukum pidana materiel terdiri dari keseluruhan sistem peraturan

perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP (sebagai induk aturan

umum) dan UU khusus diluar KUHP.

3. Pembentukan Peraturan Perundang undangan

Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan ini, semuanya sudah diatur dalam

UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam

UU tersebut yakni dalam BAB V Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tahapan

pertama ialah persiapan terlebih dahulu. Bagian kesatu BAB V tersebut terdiri dari Pasal 17

sampai Pasal 23. Dalam Pasal 17 dijelaskan mengenai ketentuan bahwa rancangan undang-

undang mesti berdasarkan pada prolegnas (Program Legislasi Nasional), jadi pihak yang

berwenang dalam legislasi (DPR, Presiden, dan DPD) tidak bisa semena-mena langsung

membuat suatu peraturan perundang-undangan melainkan mesti berdasarkan pada program

legislasi nasional yang sudah disusun sebelumnya. Namun dalan keadaan tertentu, lembaga

legislasi juga dapat membuat peraturan perundang-undangan di luar prolegnas.

Pada intinya, persiapan yang dilakukan oleh lembaga legislasi itu meliputi:

Page 6: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

apa yang sudah dijelaskan mengenai Pasal 17 di atas;

pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari Presiden (Pemerintah) yang

dalam hal ini ialah menteri (Pasal 18);

pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari DPR dan DPD (Pasal 19);

pengajuan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh Presiden kepada

pimpinan DPR dengan surat Presiden (Pasal 20);

penyampaian rancangan undang-undang yang dilakukan DPR kepada Presiden

dengan surat pimpinan DPR, presiden menugasi menteri yang bertugas dan

bertanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan untuk mewakilinya

dalam pembahasan rancangan undang-undang (Pasal 21);

pihak yang menyebarluaskan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR

yang dalam hal ini ialah Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat dan instansi

Pemrakarsa untuk rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden (Pasal 22);

penyampaian materi dalam rancangan undang-undang yang jika materi yang

disampaikan oleh DPR dan Presiden sama maka yang dibahas ialah rancangan

undang-undang yang disampaikan oleh DPR sedangkan untuk rancangan undang-

undang yang disampaikan oleh Presiden hanya digunakan sebagai bahan untuk

dipersandingkan (Pasal 23).

Untuk persiapan pembentukan rancangan undang-undang ini Presiden menetapkan

Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden tersebut menyatakan bahwa dalam penyusunan

Rancangan Undang-Undang, Pemrakrasa membentuk Panitia Antardepartemen. Lebih

lanjut dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa keanggotaan Panitia

Antardepartemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Departemen dan

Lembaga Pemerintahan nondepartemen yang terkait dengan substansi rancangan undang-

Page 7: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

undang, serta wakil dari departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang

peraturan perundang-undangan.7

Sedangkan untuk pihak yang menjadi Panitia Antardepartemen (PAD) diatur dalam Pasal 7

ayat (3) Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005. Pada intinya, pihak yang menjadi Panitia

Antardepartemen adalah yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi

rancangan undang-undang yang akan dibentuk. PAD tersebut ditunjuk oleh

Menteri/pimpinan Lembaga berdasarkan permintaan dari Menteri/pimpinan Lembaga yang

memprakarsai penyusunan peraturan perundang-undangan.

Tahap selanjutnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembahasan

rancangan undang-undang. Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2004:

Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau Menteri yang sudah ditugasi.

Kemudian untuk keikutsertaan DPD dalam pembahasan undang-undang diatur dalam Pasal

65 UU No. 12 Tahun 2011:

1) Pembahasan Rancangan Undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden

atau menteri yang ditugasi.

2) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

berkaitan dengan (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c)

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan (e) perimbangan pusat dan daerah,

dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.

3) Keikutsertaan DPD dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana

dimaksud pada ayat 2 dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat satu.

4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana

dimaksud dalam ayat 2 dan 3 diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi

materi muatan Rancangan Undang-undang yang dibahas.

7 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, 2009), hal. 13-14

Page 8: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang

tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Tahap selanjutnya dalam pembentukan Undang-undang adalah Pengesahan RUU.

Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut:

Pasal 37

2) Rancangan undang-undang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat

dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada

Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

3) Penyampaian Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1

dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) terhitung sejak persetujuan

bersama.

Pasal 38

1) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 disahkan oleh

Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30

hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden

2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-

undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

maka kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah

berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Page 9: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus

dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah

Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden No.1 Tahun 2007 dinyatakan bahwa naskah RUU

disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara untuk ditanda tangani oleh Presiden, penomoran

dan tahun juga dilakukan oleh Mensekneg setelah Presiden mensahkannya, dan terakhir

Mensekneg akan menyampaikan RUU yang baru disahkan tersebut untuk diundangkan.

Tahap selanjutnya ialah Pengundangan dan penyebarluasan. Ketentuan UU No.12 Tahun

2011, Pasal 81: Agar setiap orang mengetahuinya maka setiap undang-undang harus

diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran-lembaran resmi Negara, yaitu (a)

Lembaran Negara Republik Indonesia dan (b) Tambahan Lembaran Negara Repubilk

Indonesia.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundang-

undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pengundangan ini dilakukan oleh menteri yang bertugas menyelenggarakan urusan

pemerintah di bidang hukum. Setiap peraturan yang sudah diundangkan dalam lembaran

negara bersifat mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam UU

yang bersangkutan.

Dalam UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa agar setiap orang mengetahuinya,

Peraturan Perundangan-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran

Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 45).

Tahap penyebarluasan meliputi penyebarluasan UU dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia melalui media elektronik, koran, dan lain

sebagainya. Contohnya penyebarluasan UU yang dilakukan oleh media hukumonline.com.

Page 10: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

Kesimpulan: Tahapan pembentukan UU berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (pada

umumnya) ialah 1). Persiapan Pembentukan Undang-undang; 2). Pembahasan Rancangan

Undang-undang; 3). Pengesahan Rancangan Undang-undang; 4). Pengundangan; 5).

Penyebarluasan.

Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas

Dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2004 ayat (3) dinyatakan; Dalam keadaan tertentu,

Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di

luar Program Legislasi Nasional. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang

menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun rancangan

undang-undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin

prakarsa kepada Presiden, dengan sisertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan

rancangan undang-undang yang meliputi:

a. urgensi dan tujuan penyusunan;

b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang ingin diatur; dan

d. jangkauan serta arah pengaturan;

adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah:

e. menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi undang-

undang;

f. melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi

g. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;

h. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu

rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi

Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri.

Agar rancangan undang-undang yang disampaikan Pemrakarsa tidak berbenturan dengan

rancangan undang-undang yang berdasarkan Prolegnas maka Pemrakarsa wajib

Page 11: Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana dalam Aturan Pidana Umum dan Administratif

mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri

Hukum. Kemudian Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri Hukum mengoordinasikan

pembahasan konsepsi rancangan undang-undang dengan pejabat yang berwenang

mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari

lembaga Pemrakarsa dan departemen/lembaga terkait lainnya. Selain itu apabila dipandang

perlu, koordinasi dapat dilakukan pula dengan melibatkan perguruan tinggi dan/atau

organisasi. Jika konsepsi tersebut sudah dibahas oleh para pihak tersebut serta sudah

diperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan maka Pemrakarsa menyampaikan

konsepsi rancangan undang-undang kepada Presiden untuk disetujui. Setelah disetujui oleh

Presiden, selanjutnya Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen.8

8 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, 2009), hal. 14-16