Ike Pramastuti

50
7/23/2019 Ike Pramastuti http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 1/50 1 HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DENGAN KADAR ENZIM TRANSAMINASE PADA PASIEN TUBERKULOSIS KASUS BARU DI RSUD TEMANGGUNG SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Ike Pramastuti G0008107 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

Transcript of Ike Pramastuti

Page 1: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 1/50

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

DENGAN KADAR ENZIM TRANSAMINASE PADA PASIEN

TUBERKULOSIS KASUS BARU DI RSUD TEMANGGUNG

SKRIPSI

Untuk Memenuhi PersyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Ike Pramastuti

G0008107

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARETSurakarta

2011

Page 2: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 2/50

ii 

Page 3: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 3/50

iii 

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 22 Desember 2011

Ike pramastuti

 NIM : G0008107

Page 4: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 4/50

iv 

ABSTRAK

Ike Pramastuti, G0008107, 2011. Hubungan antara Pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dengan Kadar Enzim Transaminase pada PasienTuberkulosis Kasus Baru di RSUD Temanggung

Tujuan Penelitian:  Untuk mengetahui hubungan antara pemberian Obat AntiTuberkulosis (OAT) dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosiskasus baru di RSUD Temanggung.

Metode Penelitian:  Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental kuasi one

group before and after intervention design atau one group pre and post test design.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Oktober 2011. Jumlah sampelyang dipakai pada penelitian ini sebanyak 27 orang yang diambil dengan cara

 purposive sampling. Pemeriksaan kadar transaminase dilakukan sebelum pasienmendapat terapi dan 4 minggu setelah terapi dimulai. Data transaminase diolahdengan uji t menggunakan SPSS 17.0  for Windows. Signifikansi yang digunakan

adalah p < 0,05.

Hasil Penelitian: Rata-rata kadar transaminase pada pasien meningkat setelahdiberikan terapi dibanding sebelum diberi terapi. Jumlah pasien yang mengalami peningkatan SGOT adalah 20 dari 27 pasien dengan p = 0,008, dan pasien yang

mengalami peningkatan SGPT sebesar 22 dari 27 pasien dengan p = 0,000.

Simpulan Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang diberi ObatAnti Tuberkulosis (OAT) mengalami peningkatan dibandingkan sebelum diberi obat

anti tuberkulosis. Peningkatan tersebut signifikan secara statistik.

Kata kunci: Obat Anti Tuberkulosis (OAT), kadar transaminase, tuberkulosis 

Page 5: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 5/50

ABSTRACT

Ike Pramastuti, G0008107, 2011. Correlation between Anti Tuberculosis (ATT)

Drugs Therapy and Transaminase Level in New Case Tuberculosis Patients inLocal General Hospital of Temanggung

Objective:  To study the Correlation between Anti Tuberculosis (ATT) DrugsTherapy and Transaminase Level in New Case Tuberculosis Patients in Local

General Hospital of  Temanggung.

Methods: This is a quasi-experiment study, one group before and after interventiondesign or one group pre and post test design. This study was carried out from April toOctober 2011. A total of 27 new case tuberculosis patients aged 18 years or greater

selected through purposive sampling. Serum transaminase was measured before4 weeks after therapy started. Transaminase data was proceed with

 paired sample t test using SPSS 17.0 for Windows. Significance was set at p < 0,05.

Results: T 4 weeks after Anti tuberculosis therapystart increase compared before therapy . Elevation of SGOT was found in 20 from 27 patients with p = 0,008, while elevation of SGPT was found in 22 from 27 patientswith p = 0,000.

Conclusions: The study showed that there was an elevation in transaminase level of patients given Anti tuberculosis therapy. This elevation was statistically significant.

Keyword: Anti Tuberculosis Therapy (ATT), transaminase level, tuberculosis 

Page 6: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 6/50

vi 

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang

Hubungan antara Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Kadar

Enzim Transaminase pada Pasien Tuberkulosis Kasus Baru di RSUD Temanggung

Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik atas bantuan,

 bimbingan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih kepada :1.  Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.  Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim skripsi Fakultas Kedokteran

Unversitas Sebelas Maret Surakarta.

3.  Yusup Subagyo Sutanto, dr., Sp.P (K), selaku pembimbing utama

4.  Harsini, dr., Sp.P, selaku pembimbing pendamping

5.  Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P, selaku penguji utama

6.  Supriyanto Kartodarsono, dr., Sp.PD, selaku penguji pendamping

7.  Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Surakarta, Mbak Eny dan Mas Nardi

8. 

Artiyono, dr., M.Kes, selaku direktur RSUD Temanggung9.  Budi Rahardjo Sardjoeni, dr., Sp.PD-FINASIM, selaku Dokter Spesialis Dalam

RSUD Temanggung

10. Seluruh staf rekam medik dan laboratorium RSUD Temanggung

11. Ayah dan Ibu yang telah memberi dukungan baik moral maupun material

12. Gilar Rizki yang selalu memberi dorongan

13. Segenap pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi dunia kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya.

Surakarta, 22 Desember 2011

Ike Pramastuti

Page 7: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 7/50

vii 

DAFTAR ISI

PRAKATA ............................................................................................................ vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ . ix

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A.  Latar Belakang ................................................................................. 1

B.  Rumusan Masalah ............................................................................ 3

C.  Tujuan Penelitian ............................................................................. 3

D.  Manfaat Penelitian ........................................................................... 4

BAB II. LANDASAN TEORI............................................................................. 5

A.  Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5

1.  Tuberkulosis ............................................................................... 5

2.  Pengobatan Tuberkulosis ............................................................ 7

3.  Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ................................................... 9

4.  Anatomi dan Fisiologi Hepar ...................................................... 13

5.  Transaminase ............................................................................. 16

6.  Hepatotoksisitas ......................................................................... 17

7.  Hubungan Pemberian OAT dengan Peningkatan Ezim

Transaminase ............................................................................. 20

Page 8: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 8/50

viii 

B.  Kerangka Pemikiran ......................................................................... 22

C.  Hipotesis .......................................................................................... 23

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 24

A.  Jenis Penelitian................................................................................. 24

B.  Lokasi Penelitian .............................................................................. 24

C. 

Subjek Penelitian.............................................................................. 24

D.  Teknik Sampling dan Jumlah Sampel ............................................... 25

E.  Identifikasi Variabel Penelitian......................................................... 26

F.  Skala Variabel Penelitian.................................................................. 26

G.  Definisi Operasional Variabel .......................................................... 26

H.  Rancangan Penelitian ....................................................................... 30

I. 

Instrumentasi dan Bahan Penelitian .................................................. 30

J.  Teknik Analisis Data ........................................................................ 31

BAB IV. HASIL PENELITIAN ............................................................................ 32

BAB V. PEMBAHASAN .................................................................................... 36

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 41

LAMPIRAN .......................................................................................................... 44

Page 9: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 9/50

ix 

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dosis OAT yang Digunakan Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

(PDPI) 

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Tuberkulosis

Tabel 2. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Jenis Kelamin 

Tabel 3. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Jenis Kelamin 

Tabel 4. Distribusi Usia Pasien Tuberkulosis 

Tabel 5. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Usia 

Tabel 6. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Usia 

Tabel 7. Perbedaan Mean SGOT dan SGPT Sebelum dan Sesudah Pemberian OAT

Page 10: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 10/50

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.  Kadar Transaminase Pasien Tuberkulosis Kasus Baru Sebelum dan

Sesudah Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Lampiran 2.  Hasil Uji Analisis Kadar SGOT dan SGPT

Page 11: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 11/50

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

 Mycobacterium tuberculosis (Price, 2006). Tuberkulosis merupakan masalah

kesehatan yang penting di Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan

 prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China, Korea,

dan India. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total

 jumlah pasien tuberkulosis di dunia. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat

528.000 kasus tuberkulosis baru, dengan angka kematian sekitar 91.000 orang.

Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100/100.000

 penduduk dan 70 % diantaranya merupakan pasien dalam usia produktif (WHO,

2010).

Sejak tahun 1995, Indonesia menerapkan strategi pengobatan yang

direkomendasikan WHO, yaitu strategi  Directly Observed Treatment

Shortcourse  (DOTS). Implementasi strategi DOTS ini terbukti dapat menurunkan

angka kematian tuberkulosis (Depkes, 2010). Meskipun pengobatan tuberkulosis

yang efektif sudah tersedia, namun kasus tuberkulosis masih menjadi fokus

 perhatian dunia, ditunjukkan dengan dideklarasikannya tuberkulosis sebagai

Global Health Emergency.

Page 12: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 12/50

2

Dalam terapi tuberkulosis, ada dua prinsip dasar, yaitu :

1. Terapi tuberkulosis memerlukan dua macam obat dimana basil tuberkulosis

 peka terhadap obat tersebut, dan salah satu obat harus memiliki sifat

 bakterisid.

2. 

Perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang

 persisten (Amin dan Bahar, 2006).

Dengan adanya prinsip tersebut, terapi tuberkulosis pada umumnya

adalah dengan metode multidrug. Namun, Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

mempunyai efek samping terhadap hepar, kulit, saraf, dan dapat menyebabkan

kelainan gastrointestinal. Efek serius yang menjadi fokus saat ini adalah efek

obat anti tuberkulosis terhadap hepar, yaitu menyebabkan hepatotoksisitas, yang

dikenal dengan istilah  Antituberculosis Drug-induced Hepatotoxicity (ATDH)

(Tostmann et al., 2008).

Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada

dalam pengobatan. Hal itu dikarenakan fungsi hati sebagai pusat disposisi

metabolik dari semua obat dan zat asing dalam tubuh. Dalam hepatosit, obat

diubah menjadi lebih hidrofilik, sehingga dapat larut air dan dapat diekskresikan

ke dalam urin atau empedu. Jejas hepar yang ditimbulkan karena obat anti

tuberkulosis merupakan reaksi hepatoseluler yang mempunyai efek langsung,

yaitu dengan produksi kompleks enzim-obat. Kompleks ini kemudian akan

Page 13: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 13/50

3

menyebabkan disfungsi sel, disfungsi membran, dan respon sitotoksik sel T

(Bayupurnama, 2006).

Tes yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi hepar terkait

hepatotoksisitas antara lain pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase

hepar yang

mengarah pada perlukaan hepatoseluler atau inflamasi adalah pemeriksaan kadar

transaminase (Amirudin, 2006). Peningkatan kadar transaminase tanpa gejala

merupakan hal yang umum pada pemakaian obat anti tuberkulosis, namun efek

ini dapat menjadi fatal jika tidak dikenali lebih awal (Tostmann et al., 2008).

B.  Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD

Temanggung?

C.  Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah ada hubungan antara pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis

kasus baru di RSUD Temanggung

Page 14: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 14/50

4

D.  Manfaat penelitian

1.  Aspek Teoritis

Dapat memberikan informasi bahwa pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dapat meningkatkan kadar enzim transaminase pada

 pasien tuberkulosis kasus baru.

2. 

Aspek Aplikatif

a.  Dengan dipantaunya kadar enzim transaminase secara rutin, maka

 pengobatan tuberkulosis dapat lebih efektif.

 b. Dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengobatan tuberkulosis di

waktu yang akan datang.

Page 15: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 15/50

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A.  Tinjauan Pustaka

1. Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh  Mycobacterium tuberculosis.  Mycobacterium tuberculosis  berbentuk

 batang dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 µm dan

 panjang 1-4 µm. Penyusun utama dinding sel bakteri ini adalah asam mikolat,

lilin kompleks, trehalosa dimikolat, dan mycobacterial sulfolipid (Aditama,

2006).

Tuberkulosis paru ditularkan melalui inhalasi droplet yang

mengandung basil tuberkel dari seorang pasien terinfeksi. Gumpalan basil

tuberkel yang terinhalasi tersebut masuk ke dalam ruang alveolus, kemudian

membangkitkan reaksi dari leukosit polimorfonuklear. Leukosit tersebut

memfagosit bakteri, namun tidak menghancurkannya, dan dalam beberapa

hari akan digantikan oleh makrofag (Price, 2006).

Sel strain tuberkulosis paru mampu masuk ke dalam makrofag. Di

dalam makrofag, bakteri ini memanipulasi endosom dengan cara mengubah

 pH dan menghentikan pematangan endosom. Dengan berubahnya pH maka

 pembentukan fagolisosom yang efektif akan terganggu, sehingga bakteri ini

dapat berproliferasi tidak terkendali (Kumar, 2007).

Page 16: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 16/50

6

Basil tuberkel yang telah hidup dan berkembang biak dalam

sitoplasma makrofag dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sedangkan

kuman yang tetap berada di jaringan paru, akan membentuk fokus primer

yang disebut fokus ghon (Amin dan Bahar, 2006).

Klasifikasi tuberkulosis paru menurut tipe pasiennya adalah sebagai

 berikut :

a.  Kasus baru, yaitu pasien tuberkulosis yang belum pernah mendapat terapi

OAT sebelumnya, atau pernah mendapat pengobatan kurang dari satu

 bulan.

 b. Kasus kambuh / relaps, yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat terapi OAT dan dinyatakan sembuh, kemudian kembali

didiagnosis tuberkulosis.

c.  Kasus drop-out, yaitu pasie  1

 bulan dan berhenti minum obat selama 2 bulan atau lebih sebelum masa

 pengobatan selesai.

d. Kasus gagal, yaitu pasien dengan BTA positif atau kembali menjadi positif

 pada bulan ke-5 pengobatan atau akhir pengobatan.

e. 

Kasus kronik, yaitu pasien dengan pemeriksaan BTA masih positif setelah

selesai pengobatan ulang.

Page 17: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 17/50

7

f.  Kasus bekas tuberkulosis, yaitu :

1) Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA negatif, foto toraks menunjukkan

lesi tuberkulosis tidak aktif, dan ada riwayat pengobatan dengan anti

tuberkulosis.

2)  Pasien dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

 pengobatan anti tuberkulosis 2 bulan, serta foto toraks ulang tidak ada

 perubahan (Adhitama, 2006).

2. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase intensif (2-3

 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Obat utama (lini 1) yang diberikan dalam

 pengobatan tuberkulosis paru adalah isoniazid (H), rifampicin (R),

 pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomicin (S). Sedangkan obat

tambahan (lini 2) yang diberikan antara lain kuinolon, kanamicin, dan

amikasin (Amin dan Bahar, 2006).

Pengobatan tuberkulosis paru dibagi menjadi :

a.  Tuberkulosis kasus baru diberikan terapi 2 RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE

atau 2RHZE/4R3H3.

Panduan pengobatan tersebut dianjurkan untuk :

1) Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (+)

2) Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi lesi

luas

Page 18: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 18/50

8

 b. Tuberkulosis paru kasus baru, BTA negatif, gambaran radiologi lesi

minimal diberikan terapi 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3.

c.  Tuberkulosis paru kasus kambuh diberikan terapi 2RHZES/1RHZE jika

 belum dilakukan uji resistensi. Bila t idak ada uji resistensi dapat diberikan

5RHE.

d. 

Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan diberikan terapi lini 2 sebelum

ada uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan 5RHE.

e.  Tuberkulosis paru kasus putus berobat

Pengobatan akan dimulai kembali sesuai dengan kriteria berikut :

1) 

a) Jika BTA negatif, klinis dan radiologi tidak aktif, maka pengobatan

dihentikan

 b) Jika BTA negatif, klinis dan radiologi aktif, maka pengobatan

dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka

lebih lama

c) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan

obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama

2) 

Berobat 4 bulan

a) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan

obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama

Page 19: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 19/50

9

 b) Jika BTA negatif, maka gambaran foto toraks positif : pengobatan

diteruskan

f.  Tuberkulosis paru kasus kronik diberikan RHZES apabila belum ada uji

resistensi. Jika telah dilakukan uji resistensi, maka diberikan obat sesuai

dengan uji resistensi ditambah dengan obat lini 2, minimal 18 bulan. Jika

tidak mampu, dapat diberikan INH seumur hidup (Aditama, 2006).

3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

a.  Isoniazid

Isoniazid merupakan obat utama pada kemoterapi tuberkulosis paru.

Semua pasien dengan penyakit yang disebabkan karena infeksi galur basil

tuberkulosis harus diberi obat ini jika mereka dapat menoleransinya

(Gilman, 2008). Isoniazid secara in vitro  bersifat tuberkulostatik dan

tuberkulosid. Efeknya menghambat pembelahan bakteri, terutama untuk

 bakteri yang sedang aktif membelah. Mekanisme kerja isoniazid belum

diketahui secara pasti, namun ada pendapat bahwa isoniazid bekerja

dengan menghambat biosintesis asam mikolat, yaitu unsur penting

 penyusun dinding sel bakteri. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam

dari bakteri dan menurunkan kadar lemak terekstraksi methanol yang

dihasilkan oleh bakteri (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Isoniazid segera diabsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi

 puncak plasma dicapai dalam 1-2 jam dengan pemberian dosis biasa yaitu

5 mg/kg/hari (Jawetz, 2004). Isoniazid mudah berdifusi ke seluruh cairan di

Page 20: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 20/50

10

sel tubuh. Konsentrasi terbesar obat ini adalah di dalam pleura dan ascites.

Mula-mula konsentrasi isoniazid lebih tinggi dalam plasma dan jaringan

otot daripada di jaringan yang terinfeksi, namun jaringan yang terinfeksi

mampu menahan obat ini lebih lama dalam jumlah yang dibutuhkan untuk

 bakteriostatis. Sebagian besar metabolit isoniazid dieksresi dalam urin

dalam waktu 24 jam (Gilman, 2008).

Efek samping isoniazid bergantung pada lama dan dosis pemberian.

Reaksi alergi terhadap isoniazid yang sering terjadi adalah demam dan kulit

kemerahan. Sedangkan efek toksik yang paling sering terjadi pada sistem

saraf pusat dan perifer berkaitan dengan defisisensi piridoksin. Isoniazid

 juga berkaitan dengan hepatotoksisitas. Pada pasien diketahui dapat

menyebabkan uji fungsi hepar abnormal, penyakit kuning, dan nekrosis

multilobular (Jawetz, 2004).

 b. Rifampicin

Rifampicin secara in vitro  menghambat pertumbuhan

 Mycobacterium tuberculosis. Mekanisme kerja rifampicin adalah

menghambat  DNA-dependent RNA polymerase  dari bakteri. Sama halnya

seperti isoniazid, rifampicin aktif pada bakteri yang sedang aktif membelah

(Istiantoro dan Setibudy, 2007). Bila rifampicin diberikan bersama dengan

isoniazid, rifampicin bersifat bakterisidal dan mensterilisasi jaringan yang

terinfeksi, rongga, dan sputum (Jawetz, 2004).

Page 21: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 21/50

11

Rifampicin diabsorbsi baik dengan pemberian oral dan

diekskresikan melalui hepar ke dalam empedu selanjutnya obat ini akan

mengalami sirkulasi enterohepatik (Jawetz, 2004). Selama sirkulasi

tersebut, rifampicin mengalami deasetilasi secara progresif, sehingga

setelah 6 jam hampir semua antibiotik di empedu ditemukan dalam bentuk

terdeasetilasi. Ekskresi terbesar obat ini adalah melalui feses, yaitu sebesar

60 % (Gilman, 2008).

Efek samping rifampicin yang sering terjadi adalah ruam kulit,

demam, mual, muntah, dan ikterus. Hepatitis jarang terjadi pada pasien

dengan fungsi hepar normal. Pada pasien dengan penyakit hepar kronik dan

alkoholisme, risiko terkena ikterus meningkat. Efek samping yang

 berhubungan dengan sistem saraf antara lain rasa lelah, mengantuk , sakit

kepala, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan

kelemahan otot. Selain itu terdapat efek samping lain yang kaitannya

dengan reaksi hipersensitifitas diantaranya demam, pruritus, urtikaria, dan

eosinofilia (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

c.  Etambutol

Etambutol menekan pertumbuhan kuman yang telah resisten

terhadap isoniazid dan streptomicin. Mekanisme kerja etambutol adalah

menghambat pembentukan metabolit sel yang menyebabkan kematian sel

(Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Page 22: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 22/50

12

Sekitar 75-80 % dosis etambutol yang diberikan secara oral diserap

dengan baik dari saluran gastrointestinal. Kadar maksimum dalam plasma

dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah obat diminum, sedangkan waktu

 paruh etambutol adalah 3-4 jam. Tiga perempat dosis etambutol akan

dieksresi dalam urin dengan bentuk yang utuh dalam waktu 24 jam

(Gilman, 2008).

Penurunan ketajaman penglihatan, neuritis optik, dan rusaknya

retina merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemakaian

etambutol. Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat terapi etambutol

selama beberapa bulan, perlu dilakukan tes tajam penglihatan secara

 berkala. Efek tersebut bisa membaik jika pemakaian obat dihentikan

(Jawetz, 2004).

d.  Pirazinamid

Pirazinamid memiliki efek tuberkulostatik dengan mekanisme

hidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat. Efek

tuberkulostatik pirazinamid hanya bekerja efektif pada media yang asam

(Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Pirazinamid diabsorbsi dengan baik di saluran gastrointestinal dan

didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini menembus cairan serebrosipnal

dengan baik. Waktu paruh pirazinamid pada orang dengan ginjal normal

adalah 9-10 jam. Obat ini dieksresi terutama melalui glomerulus ginjal.

Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian pirazinamid

Page 23: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 23/50

13

adalah cedera hepar. Pada pemberian oral 40-50 mg/kg, sekitar 15 %

 pasein akan menunjukkan tanda-tanda cedera hepar. Efek lain dari

 pirazinamid adalah terhambatnya ekskresi garam urat, pirai, mual, muntah,

anoreksia, disuria, lesu, dan demam (Gilman, 2008).

e.  Streptomicin

Secara in vitro, streptomicin bersifat bakteriostatik dan bakterisid

terhadap kuman tuberkulosis. Sedangkan secara in vivo, streptomicin

 berfungsi sebagai supresi. Hal ini dibuktikan dengan adanya

mikroorganisme yang hidup dalam abses dan kelenjar limfe regional serta

hilangnya efek obat setelah beberapa bulan pengobatan (Istiantoro dan

Setibudy, 2007).

Karena telah tersedia obat lain yang lebih efektif, maka

streptomicin jarang digunakan untuk terapi tuberkulosis. Streptomicin

dikombinasikan dengan obat lain pada pengobatan bentuk-bentuk

tuberkulosis yang telah menyebar atau meningitis. Efek samping yang

ditimbulkan karena pemakaian streptomicin antara lain ruam, gangguan

fungsi pendengaran, dan gangguan fungsi vestibular pada saraf kranial

kedelapan (Gilman, 2008).

4. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata

1,5 kg pada orang dewasa. Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus, yang

 berbentuk silindris. Lobulus terbentuk dari banyak lempeng sel hepar. Hepar

Page 24: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 24/50

14

mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus, dimana setiap lobulus

dipisahkan oleh septum fibrosa. Lobulus terbentuk mengelilingi vena

sentralis, yang mengalirkan darah ke vena hepatica kemudian ke vena cava

(Guyton, 2007).

Tiap-tiap sel hepar berdekatan dengan beberapa kanalikuli biliaris

yang akan bermuara pada duktus biliaris. Kanalikuli biliaris merupakan

saluran dimana empedu yang dihasilkan hepatosit diekskresikan. Beberapa

duktus biliaris akan bergabung melalui duktus interlobulus untuk membentuk

duktus hepatikus kanan dan kiri. Selanjutnya, kedua duktus hepatikus tersebut

 bergabung di luar hepar membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus

hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus menjadi duktus

koledokus yang akan bermuara di duodenum. Duktus sistikus bermuara dalam

kantung empedu (Ganong, 2003).

Fungsi utama dari hepar adalah mengekskresikan empedu. Setiap hari

hepar mengekskresi empedu sebanyak satu liter ke dalam usus halus. Selain

itu, hepar juga menyimpan hasil metabolisme monosakarida dalam bentuk

glikogen. Proses ini disebut dengan glikogenesis. Glikogen yang telah

tersimpan dalam hepar, akan diubah menjadi glukosa dan disuplai ke dalam

darah secara konstan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Proses ini disebut

dengan glikogenolisis. Fungsi hepar yang lain adalah sebagai tempat

metabolisme protein dan lemak. Hepar menghasilkan protein plasma berupa

albumin, protrombin, fibrinogen dan faktor pembekuan lain. Fungsi hepar

Page 25: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 25/50

15

dalam metabolisme lemak adalah sebagai penghasil lipoprotein, kolesterol,

fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2006).

Selain fungsi metabolisme lemak dan protein, hepar juga merupakan

tempat metabolisme obat. Dalam empedu yang dihasilkan hepatosit, terdapat

enzim yang berguna dalam metabolisme obat. Beberapa obat bersifat larut

lemak dan dipengaruhi oleh garam empedu dalam usus (Fox, 2004).

Untuk mengetahui fungsi normal hepar, dapat dilakukan beberapa tes,

antara lain adalah :

a.  Bilirubin total digunakan untuk menilai ikterus.

 b. Bilirubin tak terkonjugasi digunakan untuk menilai hemolisis.

c.  Alkalin fosfatase digunakan untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit

infiltratif.

d. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) atau Aminotransferase

 Aspartat  (AST) digunakan untuk mengetahui gangguan hepatoseluler.

e.  Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), atau  Aminotransferase

 Alanin (ALT)  dibandingkan dengan hasil SGOT untuk menilai fungsi

hepar.

f. 

Albumin digunakan untuk menilai tingkat jejas hepar.

g. Gamma globulin untuk mengetahui hepatitis autoimun, atau kenaikan yang

khas terjadi pada pasien sirosis.

h. Prothrombin time after vitamin K  digunakan untuk menilai derajat penyakit

hepar.

Page 26: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 26/50

16

i.  Antimitokondrial antibodi digunakan untuk diagnosis utama sirosis biliaris

(Mehta, 2010).

5. Transaminase

a.  Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) 

Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), atau sering disebut

 Aminotransferase Alanin (ALT) merupakan enzim yang ditemukan dalam

hepar dan spesifik ditemukan pada kasus perlukaan hepar. Selain itu SGPT

 juga ditemukan dalam jumlah sedikit di jantung, ginjal, dan otot rangka.

Pada penentuan diagnosis, hasil SGPT sering dibandingkan dengan hasil

SGOT. Peningkatan kadar SGPT khas terjadi pada nekrosis hepar,

sedangkan peningkatan SGOT khas terjadi pada nekrosis miokard. Kadar

normal SGPT pada orang dewasa adalah sebesar 4-36 U/I (Kee, 2008).

 b. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) 

Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase  (SGOT) atau

 Aminotransferase Aspartat   (AST) dapat ditemukan dalam jumlah besar di

dalam jantung. Jika terjadi serangan infark miokard kadarnya akan naik

dalam waktu 24 jam, kemudian akan turun secara bertahap dalam waktu 4-

6 hari jika tidak terjadi infark susulan. Dalam kadar sedang, SGOT juga

dapat ditemukan di dalam ginjal, otot rangka, dan pankreas. Nilai normal

SGOT adalah 8-38 U/l (Kee, 2008).

Page 27: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 27/50

17

6. Hepatotoksisitas

Hepatotoksisitas didefinisikan sebagai perlukaan hepar karena

 pemakaian obat. Kejadian hepatotoksisitas ini terhintung jarang, yaitu 1 tiap

10.000 penduduk. Namun demikian, bila tidak terdeteksi secara dini, angka

tersebut akan meningkat. Tidak ada pengobatan tertentu yang efektif untuk

hepatotoksisitas kecuali menghentikan pengobatan. Berdasarkan konfrensi

FDA (Food and Drug Association)  tahun 2001, kenaikan transaminase lebih

dari 3 kali nilai normal dan kenaikan bilirubin lebih dari 2 kali nilai normal,

dapat menjadi acuan adanya abnormalitas fungsi hepar terkait

hepatotoksisitas. Gejala dan tanda hepatotoksisitas yang mendukung temuan

laboratorium antara lain kelelahan, anoreksia, mual, urin yang berwarna lebih

gelap, dan rasa ketidaknyamanan pada perut kuadran kanan atas (Navarro,

2006).

Faktor risiko terjadinya hepatotoksisitas antara lain :

a.  Ras : terkait dengan enzim P-450 yang mengontrol

metabolisme, dimana tiap ras dapat mengalami

 perbedaan

 b. 

Umur : pada orang tua risikonya lebih tinggi karena turunnya

fungsi hepar dan aliran daran ke hepar, serta interaksi

antar obat yang satu dengan yang lain

c.  Jenis kelamin : dengan sebab belum diketahui, hepatotoksisitas lebih

sering ditemukan pada wanita daripada pria

Page 28: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 28/50

18

d. Alkohol : alkohol menyebabkan seseorang rentan terhadap

hepatotoksisitas karena penipisan gluthatione  yang

 bersifat hepatoprotektif

e.  Penyakit hepar : penyakit kronik hepar meningkatkan risiko terjadinya

hepatotoksisitas

f. 

Faktor genetik : dikaitkan dengan gen yang mengkode protein P-450

g. Faktor komorbiditas :  misalnya pada penyakit AIDS penyimpanan

gluthation sedikit

h. Sifat obat : obat dengan sifat long-acting  lebih berisiko

meyebabkan hepatotoksisitas daripada obat yang

 bersifat short-acting (Mehta, 2010)

Mekanisme hepatotoksisitas imbas obat tidak bisa ditinjau hanya dari

satu sisi. Terdapat beberapa mekanisme penyebab hepatotoksisitas, yaitu

sebagai berikut :

a.  Ikatan kovalen antara enzim P-450 dan obat dikenali oleh sistem imun

sebagai antigen, sehingga timbul reaksi imun berupa pengaktifan sel T

sitolitik. Akibat reaksi tersebut terjadilah kematian sel.

 b. 

Karena ikatan kovalen obat dengan protein intraseluler , kadar ATP akan

turun dan menyebabkan gagguan pada aktin. Kerusakan pada fibrin aktin

mengakibatkan membran sel ruptur.

c.  Metabolit obat yang toksik akan merusak epitel saluran empedu, sehingga

 pengeluaran empedu terganggu.

Page 29: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 29/50

19

d. Produksi energi beta-oxidasi dan penghambatan sintesis nicotinamide

adenine dinucleotide  serta  flavin adenine dinukleotide menyebabkan

 penurunan produksi ATP. Penurunan ATP tersebut dapat menggaggu

fungsi mitokondrial.

e.  Obat yang mempengaruhi transport protein pada kanalikuli dapat

menyebabkan terganggunya aliran empedu (Navarro, 2006).

Hepatotoksisitas akibat pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

terjadi melalui berbagai mekanisme. Di dalam hepar, isoniazid diasetilasi

menjadi acetylisoniazid , kemudian dihidrolisis menjadi acetylhydrazine dan

dihidrolisis kembali membentuk hydrazine.  Diketahui bahwa hydrazine 

merupakan metabolit toksik isoniazid yang mempunyai efek merusak sel

hepar.  Hydrazine  mengaktivasi sitokrom P450 sehingga terbentuk ikatan

kovalen enzim-obat. Ikatan ini dikenal sebagai antigen oleh sel T sitolitik dan

 berakibat kematian sel (Tostmann et al., 2007).

Mekanisme hepatotoksisitas rifampicin belum diketahui secara pasti.

 Namun beberapa berpendapat bahwa mekanisme hepatotoksisitas terjadi

melalui pengaktifan sitokrom P450. Begitu pula mekanisme hepatotoksisitas

 pirazinamid sampai saat ini belum diketahui. Pirazinamid diketahui

menyebabkan iskemik sel hepar (Tostmann et al., 2007).

Page 30: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 30/50

20

7. Hubungan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan

Peningkatan Enzim Transaminase

Hepar merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan zat

yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, perlukaan hepar karena obat

sangat mungkin terjadi. Tidak terkecuali pada pemakaian obat anti

tuberkulosis, yaitu isoniazid, pirazinamid, dan rifampicin (Bayupurnama,

2006).

Pemakaian isoniazid untuk terapi tuberkulosis paru dapat

menyebabkan kerusakan hepar karena terjadi nekrosis multilobular. Gangguan

fungsi hepar diperlihatkan oleh peningkatan enzim transaminase yang terjadi

 pada 4-8 minggu pengobatan. Peningkatan enzim transaminase hingga 4 kali

nilai normal terjadi pada 10-20 % pasien. Peningkatan kadar enzim ini juga

dipengaruhi oleh umur penderita, dimana semakin tua penderita, maka risiko

 peningkatan ini semakin besar. Kerusakan fungsi hepar jarang terjadi pada

usia di bawah 35 tahun (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Dari studi kasus baik pada hewan maupun manusia, ditunjukkan

 bahwa hepatotoksisitas akibat isoniazid bermanifestasi steatosis  hepatoseluler

dan nekrosis. Metabolit isoniazid berikatan kovalen dengan makromolekul sel.

 Hydrazine  merupakan metabolit toksik dari isoniazid yang dalam penelitian

terbukti menyebabkan steatosis, vakuolasi hepatosit dan deplesi glutathione 

(Tostmann et al., 2007).

Page 31: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 31/50

21

Rifampicin dapat menyebabkan perubahan hepatoseluler, nekrosis

sentrilobuler, dan terkait dengan kolestasis (Tostmann et al., 2007). Dengan

 pemakaian rifampicin intermiten, dapat terjadi kenaikan kadar enzim

transaminase, namun kejadian hepatitis karena pemakaian rifampicin jarang

ditemukan (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Efek samping dari pirazinamid yang paling serius adalah kerusakan

hepar. Bila pirazinamid diberikan 3 g/hari, maka kelainan hepar yang muncul

adalah sebesar 3 % (Istiantoro dan Setibudy, 2007). Peningkatan kadar

transaminase dalam plasma merupakan abnormalitas awal yang diakibatkan

oleh pemberian pirazinamid (Gilman, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, dari 339 pasien yang

diberi pengobatan dengan antituberkulosis, 67 pasien mengalami kenaikan

SGOT dan SGPT. Dari 67 pasien tersebut, 38 pasien mengalami peningkatan

kadar SGOT 3-5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 10-15 kali batas

normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal. Sedangkan

 pada kadar SGPT sebanyak 38 pasien meningkat 2-5 kali batas normal, 15

 pasien meningkat 5-10 kali batas normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari

10 kali batas normal (Mahmood et al., 2007)

Page 32: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 32/50

22

B.  Kerangka Pemikiran

Pasien

Tuberkulosis

Obat Anti

Tuberkulosis

Isoniazid Rifampicin Pirazinamid Streptomicin Etambutol

Pyrazinoic

acid

Ikatan kovalen enzym-obat

Kematian sel hepar

acetylisoniazid

acetylhydrazine

Hydrazine

Aktivasi sitokrom P450

Aktivasi sel T sitolitik

asetilase

Hidrolisis

Hidrolisis

Desacetyl-

rifampicin

3-formylrifampicin

5-hydroxy pirazinoic

Iskemik

dan

hipoksia

sel hepar

Tidak hepatotoksik

Tes fungsi hati (SGOT dan SGPT)

 Nekrosis

sel hepar

Page 33: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 33/50

23

C.  Hipotesis

Ada hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD

Temanggung. Hubungan tersebut berupa peningkatan kadar enzim transaminase.

Page 34: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 34/50

  24

BAB III

METODE PENELITIAN

A.  Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental kuasi model one group

before and after intervention design atau one group pre and post test design.

Dalam penelitian ini digunakan satu kelompok yang akan diamati sebelum dan

sesudah pemberian intervensi (Taufiqurrohman, 2004).

B.  Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Temanggung

C.  Subjek Penelitian

1. 

Populasi target : Pasien tuberkulosis kasus baru di kabupaten Temanggung

2. Populasi aktual : Pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD Temanggung

3. Kriteria Inklusi:

a.  Pasien tuberkulosis kasus baru

 b.  Pasien tuberkulosis berusia dewasa

saat pengambilan sampel)

c. 

Pasien direncanakan akan menjalani pengobatan dengan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) selama lebih dari 4 minggu

d.  Pemeriksaan enzim Transaminase sebelum pemberian obat

antituberkulosis dalam batas normal

Page 35: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 35/50

25

4. Kriteria Eksklusi :

a.  Pengguna alkohol

 b.  Menderita penyakit Immunocompromise 

c.  Memiliki riwayat penyakit hepar

D.  Teknik Sampling dan Jumlah Sampel

Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling. Dari penelitian

sebelumnya diketahui bahwa simpang baku kadar transaminase adalah sebesar 8

U/I. perbedaan > 5 U/I ditetapkan sebagai perbedaan yang bermakna secara

klinis. Bila diambil nilai %, maka jumlah

sampel yang dibutuhkan adalah sesuai perhitungan berikut:

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 27 sampel.

Page 36: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 36/50

26

E.  Identifikasi Variabel Penelitian

1.  Variabel Bebas : Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

2.  Variabel Terikat : Kadar enzim transaminase

3. Variabel luar

a.  Variabel luar yang dapat dikendalikan :

Umur pasien, jenis kelamin

 b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan :

Kadar albumin

F.  Skala Variabel

1. Pemberian Obat Anti Tuberkulosis : Nominal

2. Kadar enzim transaminase : Rasio

G. 

Definisi Operasional Variabel

1.  Variabel Bebas

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

a.  Definisi

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan kombinasi obat yang digunakan

untuk penderita tuberkulosis. Obat yang digunakan untuk pengobatan

 pasien tuberkulosis kasus baru adalah :

1)  Isoniazid (H)

2)  Rifampicin (R)

3)  Pirazinamid (Z)

4)  Streptomicin (S)

Page 37: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 37/50

27

5)  Etambutol (E)

Regimen pengobatan tuberkulosis paru kasus baru adalah sebagai berikut:

1) 2 RHZE/4RH, atau

2) 2RHZE/6HE, atau

3) 2RHZE/4R3H3

Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 1. Dosis OAT yang Digunakan Menurut Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (PDPI)

Obat

Dosis

(mg/kg

BB/hr)

Dosis yang

dianjurkan

Dosis

maks.Dosis (mg) / BB (kg)

Harian Intermiten 40 40-60 60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai

BB

750 1000

(Adhitama, 2006)

 b. 

Skala Pengukuran : Nominal

c.  Metode Pengukuran : Anamnesis dan Rekam medik

Page 38: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 38/50

28

2.  Variabel Terikat

Enzim transaminase

a.  Definisi

Enzim transaminase merupakan enzim yang dilepaskan di aliran

darah karena adanya proses kerusakan hepar, jantung, pankreas, otot, dan

ginjal. Enzim transaminase terdiri dari Serum Glutamic Pyruvic

Transaminase  (SGPT)  dan Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase 

(SGOT). Nilai normal dari SGPT adalah 4-36 U/I, sedangkan nilai normal

SGOT adalah 8-38 U/I.

 b.  Skala Pengukuran : Rasio

c.  Metode Pengukuran

Pemeriksaan enzim transaminase dilakukan dengan cara

mengambil darah vena dari pasien kemudian diperiksa dengan

spektrofotometer.

3.  Variabel Luar

a.  Pasien tuberkulosis kasus baru

1)  Definisi

Pasien tuberkulosis kasus baru yaitu pasien yang didiagnosis

oleh dokter penyakit dalam RSUD Temanggung sebagai pasien

tuberkulosis yang belum pernah mendapat pengobatan tuberkulosis

sebelumnya.

Page 39: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 39/50

29

2)  Skala Pengukuran : Nominal

3)  Metode Pengukuran

Penegakan diagnosis tuberkulosis paru kasus baru dilakukan

oleh dokter spesialis penyakit dalam RSUD Temanggung.

 b.  Usia

1) 

Definisi :

Usia adalah selisih tahun wawancara dengan tahun kelahiran

(Mulyono et al., 2003).

2)  Skala Pengukuran : Rasio

3)  Metode Pengukuran : Anamnesis

c.  Pengguna alkohol

1) 

Definisi

Seseorang yang mengkonsumsi alkohol selama minimal 6 bulan.

Dikatakan bukan pengguna alkohol jika sama sekali belum pernah

mengkonsumsi alkohol atau sudah berhenti menggunakan alkohol

1 bulan (Ismail et al., 2008).

2)  Skala Pengukuran : Nominal

3) 

Metode Pengukuran : Anamnesis

d.   Immunocompromise

1)  Definisi

Status dimana sistem pertahanan tubuh seseorang melemah, bahkan

tidak ada.

Page 40: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 40/50

30

2)  Skala Pengukuran : Nominal

3)  Metode Pengukuran : Anamnesis dan Rekam Medis

H.  Rancangan Penelitian

One group before and after intervention

O1 = Pengamatan sebelum pemberian Obat Anti Tuberkulosis

O2 = Pengamatan setelah nti Tuberkulosis

X = Pemberian Obat Anti Tuberkulosis

I.  Instrumentasi dan Bahan Penelitian

Alat yang dipakai untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah hasil

 pemeriksaan laboratorium SGOT dan SGPT pasien tuberkulosis kasus baru di

RSUD Temanggung

O1 

Bandingkan

dengan uji

 paired sample

t test

O2 X

Page 41: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 41/50

31

J.  Teknik Analisis Data

Data dianalisis secara statistik dengan uji  paired sample t test, yaitu uji t

= 0,05. Uji t

Page 42: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 42/50

  32

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru

dilakukan di RSUD Temanggung dengan jumlah sampel sebanyak 27 pasien. Data

diambil dari bulan April 2011 sampai Oktober 2011 dengan metode  purposive

sampling. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Tuberkulosis

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Presentase (%)

Laki-laki 11 40,74

Perempuan 16 59,26

Jumlah 27 100

Tabel 2. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Meningkat Menurun Jumlah

Laki-laki 7 (63,64 %) 4 (36,36 %) 11

Perempuan 13 (81,25 %) 3 (18,75 %) 16

Page 43: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 43/50

33

Tabel 3. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Meningkat Menurun Jumlah

Laki-laki 9 (81,82 %) 2 (18,18 %) 11

Perempuan 13 (81,25 %) 3 (18,75 %) 16

Tabel 4. Distribusi Usia Pasien Tuberkulosis

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

19-29 11 40,74

30-39 6 22,22

40-49 6 22,22

50-59 4 14,82

Jumlah 27 100

Tabel 5. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Usia

Umur (tahun) Meningkat Menurun Jumlah (orang)

19-29 7 (63,64 %) 4 (36,36 %) 11

30-39 5 (83,33 %) 1 (16,67 %) 6

40-49 5 (83,33 %) 1 (16,67 %) 6

50-59 3 (75 %) 1 (25 %) 4

Jumlah 20 7 27

Page 44: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 44/50

34

Tabel 6. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Usia

Umur (tahun) Meningkat Menurun Jumlah (orang)

19-29 8 (72,73 %) 3 (27,27 %) 11

30-39 5 (83,33 %) 1 (16,67 %) 6

40-49 5 (83,33 %) 1 (16,67 %) 6

50-59 4 (100 %) 0 (0 %) 4

Jumlah 22 5 27

Tabel 7. Perbedaan mean SGOT dan SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT

Transaminase Sebelum pemberian OAT Setelah pemberian OAT

SGOT 24,89 ± 6,1 28,06 ± 6,2

SGPT 19,29 ± 7,08 23,50 ± 6,7

Tampak adanya perbedaan rata-rata kadar enzim transaminase pada pasien

sebelum dan sesudah pemberian obat anti tuberkulosis yang ditunjukkan pada tabel 7.

Kadar transaminase pasien yang diberi obat anti tuberkulosis mengalami peningkatan

yang secara statistik signifikan dibandingkan sebelum diberi obat anti tuberkulosis.

Untuk mengetahui kemaknaan perbedaan kadar transaminase tersebut,

dilakukan analisis statistik dengan menggunakan SPSS 17.0 ,  dengan metode  paired

sample t test . Syarat utama untuk menggunakan  paired sample t-test   sebagai uji

hipotesis adalah data yang diolah harus memiliki sebaran normal dan homogen.

Untuk mengetahui sebaran data, maka digunkan  Normality Test , sedangkan untuk

Page 45: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 45/50

35

mengetahui homogenitas data, digunakan  Homogenity Test. Dari kedua uji tersebut,

data SGOT dan SGPT baik sebelum maupun sesudah pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) memiliki sebaran data yang normal dan homogen. Sehingga

kedua syarat untuk melakukan paired sample t test  terpenuhi.

Dari uji hipotesis yang dilakukan, didapatkan nilai signifikansi untuk SGOT

sebesar p = 0,008 (p < 0,05). Artinya, probabilitas dalam menarik simpulan salah,

yaitu tidak ada peningkatan kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT,

adalah 8 kesalahan dari 1000 kesempatan. Sedangkan nilai signifikansi untuk SGPT

adalah sebesar p = 0,000 (p < 0,05). Dengan demikian, probabilitas dalam menarik

simpulan salah, yaitu tidak ada peningkatan kadar SGPT sebelum dan sesudah

 pemberian OAT, adalah 0 kesalahan dari 1000 kesempatan.

Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima,

yaitu ada peningkatan kadar enzim transaminase sebelum dan sesudah pemberian

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD

Temanggung. 

Page 46: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 46/50

  36

BAB V

PEMBAHASAN

Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 27 pasien didapatkan jumlah pasien

laki-laki adalah 11 orang yaitu sebesar 40,74 % dan perempuan 16 orang yaitu

sebesar 59,26 %. Peningkatan SGOT pada pasien laki-laki adalah 63,64 % dan

 perempuan 81,25 %, sedangkan untuk peningkatan SGPT pasien laki-laki adalah

81,82 % dan pasien perempuan 81,25 %. Dari penelitian yang dilakukan oleh Anand

et al. (2006) dan Niazi et al. (2010), insidensi peningkatan transaminase tidak

dipengaruhi oleh jenis kelamin.

Ditinjau dari usia, dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang menjalani

 pengobatan Obat Anti Tuberkulosis paling banyak adalah usia 19-29 tahun.

Walaupun jumlah pasien dalam kelompok umur 50-59 tahun tidak banyak, namun

 persentase peningkatan SGOT dan SGPT relatif besar. Pada penelitian lain yang

dilakukan oleh Khadka et al.  (2009) ditunjukkan bahwa persentase terbesar

 peningkatan SGOT dan SGPT adalah pada kelompok usia 41-60 tahun, dengan

 persentase 45,1 %, sedangkan untuk kelompk 21-40 tahun sebesar 31,1 %. Selain itu,

 penelitian yang dilakukan oleh Niazi et al. (2010) menunjukkan bahwa peningkatan

transaminase lebih besar pada kelompok pasien usia tua yaitu 9,57 % daripada usia

muda yaitu 2,56 %.

Page 47: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 47/50

37

Pada tabel 7 ditunjukkan bahwa rata-rata SGOT dan SGPT mengalami

 peningkatan. Jumlah pasien yang mengalami peningkatan SGOT sebesar 20 dari 27

orang, dan pasien yang mengalami peningkatan SGPT sebesar 22 dari 27 orang.

Peningkatan SGOT dan SGPT pada semua pasien dalam penelitian ini masih dalam

 batas normal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Khadka et al. (2009), dari 114

 pasien, 96 (84 %) pasien mengalami peningkatan SGOT yang masih dalam batas

normal dan 18 (16 %) pasien mengalami peningkatan di atas batas normal ( > 35

IU/L). Sedangkan untuk SGPT, 92 (81 %) pasien mengalami peningkatan SGOT

yang masih dalam batas normal, dan 22 (19 %) mengalami peningkatan di atas batas

normal ( > 40 IU/L). Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang

dilakukan oleh Sudarmadi (2009), yaitu didapatkan hasil peningkatan kadar SGOT

 pada 12 orang dari 30 orang sampel, sedangkan peningkatan SGPT dijumpai pada 15

orang dari 30 orang.

Mekanisme naiknya kadar transaminase tersebut belum diketahui secara pasti,

namun diduga berasal dari metabolit toksik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang

menyebabkan jejas hepatoseluler. Metabolit toksik isoniazid yang telah diketahui

dapat menyebabkan kerusakan hati irreversibel adalah  Hydrazine. Isoniazid

mengalami metabolisme berupa asetilasi menjadi asetilisoniazid, kemudian

dihidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam nikotinik. Asetilhidrazin kemudian

dihidrolisis menjadi hydrazine  dan diasetilasi menjadi diasetilhidrazin. Sedangkan

sebagian kecil dari isoniazid langsung mengalami metabolisme menjadi asam

nkikotinik dan hydrazine. Hydrazine  mempengaruhi aktivitas sitokrom CYP2E1,

Page 48: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 48/50

38

yaitu sitokrom yang diduga mempengaruhi hepatotoksisitas imbas obat. Sehingga

dengan terinduksinya sitokrom tersebut, produksi hepatotoksin meningkat. Di

samping itu, isoniazid juga menghambat aktivitas dari sitokrom CYP1A2 yang

 berperan dalam detoksifikasi isoniazid. Mekanisme toksisitas dari isoniazid terjadi

akibat salah satu atau kedua proses inhibisi ataupun induksi tersebut (Tostmann et al.,

2008).

Metabolisme rifampicin dimulai dari deasetilasi rifampicin menjadi

deasetilrifampicin, kemudian dihidrolisis menjadi 3-formyl rifampicin. Namun tidak

ada bukti bahwa mekanisme hepatotoksik oleh rifampicin berasal dari metabolitnya.

Walaupun demikian, pemakaian rifampicin menginduksi aktivitas CYP450.

Penggunaan rifampicin bersama isoniazid dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas

(Khadka et al, 2009).

Mekanisme pirazinamid dalam menyebabkan toksisitas belum diketahui

secara jelas. Berdasarkan uji yang dilakukan pada mencit, pirazinamid menghambat

CYP450, khususnya CYP2B, CYP2C, CYP2E1, dan CYP3A. Sedangan untuk

etambutol dan sterptomicin diketahui tidak menyebabkan hepatotoksisitas (Tostmann

et al., 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hepatotoksisitas menurut

Tostmann, et al. (2008) adalah ras, umur, penggunaan alkohol, faktor komorbid

seperti HIV, penyakit hepar, dan status asetilator obat. Dalam penelitian ini, semua

kemungkinan faktor perancu yang mempengaruhi peningkatan SGOT dan SGPT

telah dikendalikan dengan kriteria restriksi. Dengan demikian, peningkatan rata-rata

Page 49: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 49/50

39

kadar transaminase pada pasien kemungkinan besar adalah karena terapi Obat Anti

Tuberkulosis (OAT).

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, didapatkan hasil peningkatan rata-

rata SGOT dan SGPT yang signifikan. Nilai signifikansi untuk SGOT sebesar p =

0,008 (p < 0,05). Artinya, probabilitas dalam menarik simpulan salah, yaitu tidak ada

 peningkatan kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT, adalah 8 kesalahan

dari 1000 kesempatan. Sedangkan nilai signifikansi untuk SGPT adalah sebesar p =

0,000 (p < 0,05). Dengan demikian, probabilitas dalam menarik simpulan salah, yaitu

tidak ada peningkatan kadar SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT, adalah 8

kesalahan dari 1000 kesempatan.

Dengan hasil uji hipotesis tersebut, maka hipotesis kerja (H1) yang berbunyi

ada peningkatan kadar enzim transaminase sebelum dan sesudah pemberian Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) diterima, dan hipotesis nol (H0) yang berbunyi tidak ada

 peningkatan kadar enzim transaminase sebelum dan sesudah pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) ditolak.

Page 50: Ike Pramastuti

7/23/2019 Ike Pramastuti

http://slidepdf.com/reader/full/ike-pramastuti 50/50

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.  SIMPULAN

Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kadar

SGOT dan SGPT pada pasien yang diberi terapi Obat Anti Tuberkulosis

(OAT). Peningkatan kadar SGOT dan SGPT telah diuji secara statistik dengan

hasil peningkatan kadar SGOT dan SGPT tersebut signifikan, maka ada

hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar

enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD

Temanggung. 

B.  SARAN

1.  Perlunya pemeriksaan kadar enzim transaminase secara berkala, baik

sebelum, saat, maupun sesudah pemberian terapi Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) dengan atau tanpa indikasi, untuk pengobatan yang lebih efektif.

2.  Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan jumlah sampel

yang lebih besar.