eprints.unm.ac.ideprints.unm.ac.id/5301/2/bab I,II,III.docx · Web viewSeminar internasional...

22
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah yang diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan dalam melakukan penelitian sebagai suatu sistem berpikir ilmiah. Sehubungan dengan itu, maka penulis membahas beberapa pendapat yang berkaitan dengan teori yang dianggap relevan dengan pengkajian. Pada bagian ini dikemukakn tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai landasan teori dalam penelitian ini antara lain : 1. Problematik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2005), problematik adalah hal yang masih meimbulkan masalah yang belum dapat dipecahkan. Masalah inilah yang menjadi penghambat dalam pencapaian suatu tujuan yang telah direncanakan. 7

Transcript of eprints.unm.ac.ideprints.unm.ac.id/5301/2/bab I,II,III.docx · Web viewSeminar internasional...

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah yang

diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan dalam

melakukan penelitian sebagai suatu sistem berpikir ilmiah. Sehubungan dengan

itu, maka penulis membahas beberapa pendapat yang berkaitan dengan teori yang

dianggap relevan dengan pengkajian.

Pada bagian ini dikemukakn tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai

landasan teori dalam penelitian ini antara lain :

1. Problematik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2005), problematik

adalah hal yang masih meimbulkan masalah yang belum dapat dipecahkan.

Masalah inilah yang menjadi penghambat dalam pencapaian suatu tujuan yang

telah direncanakan.

Belajar di kelas yang sukses atau berhasil, tidak efektif atau tidak mencapai

tujuan, gejala ini sering disebut kondisi yang menyebabkan tidak terlaksananya

dengan maksimal suatu kegiatan yang diinginkan.

Belajar dikatakan sebagai suatu proses interaksi antara diri-individu dengan

lingkungannya yang dapat berwujud pribadi, fakta, konsep, atau teori. Dengan

kata lain, belajar pada hakikatnya merupakan proses internalisasi dari seorang

pembelajaran yang dilakukan secara aktif dengan segenap potensi fisik (anggota

7

8

badan dan panca indra) maupun psikis (jiwa, emosi, dan sikap hati). Proses

internalisasi itu harus dilanjutkan pada proses sosialisai sebagai follow up-nya,

berupa aktiaktivitas mengomunikasikan kepada orang lain.

Masalah tujuan belajar memilki cukup banyak ragam dan variasi. Secara

umum, Jamaluddin (2003: 54) Tujuan belajar adalah untuk menuju kedewasaan

pribadi dalam rangka memasuki kehidupan sosial yang lebih luas. Jadi, konsep

kedewasaan dalam konteks ini mencakup berbagai bentuk kematangan, baik

secara emosional intelektual, sosial, moral, maupun spiritual, di samping

kematangan secara fisik. Jika dikategorikan secara garis besar, kegiatan belajar

terutama dilakukan untuk (1) mendapatkan pengetahuan, (2) memperoleh

keterampilan, dan (3) menuju kematangan sikap. Secara khusus, tujuan belajar

mengacu pada konsep instructional effect yang secara eksplisit dinyatakan dalam

bentuk “jangkauan kemampuan” (level of competense), sebagaimana terinci dalam

beberapa taksonomi tujuan pembelajaran.

Jadi, problematik pembelajaran sastra adalah suatu masalah yang menjadi

penghambat dalam pencapian tujuan pembelajaran sastra. Problematik

pembelajaran sastra dapat dilihat dalam komponen pembelajaran yang bersifat

fungsional dan saling berkaitan (integral). Enam komponen utama pembelajaran

yang terdiri dari (1) tujuan pembelajaran, (2) bahan atau materi pelajaran, (3)

kegiatan atau proses pembelajaran, (4) metode dan pendekatan, (5) media dan

sumber bahan, serta (6) evaluasi pembelajaran. Semua komponen tersebut sudah

tentu tidak bisa lepas dari kurikulum yang berlaku serta keterlibatan guru dan

9

siswa. Semua komponen tersebut harus dapat difungsikan secara maksimal dalam

upaya mencapai tujuan pembelajaran.

Problematik atau “rangkaian masalah” akan selalu ada dalam setiap kegiatan

pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Hal ini berkaitan

erat dengan masalah faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar-mengajar,

pembahasan tentang problematik pembelajaran bahasa dan sastra akan secara

langsung difokuskan pada aspek-aspek dominan yang sering mengemukakan

sebagai suatu rangkaian masalah. Aspek-aspek tersebut berhubungan dengan

faktor guru dan siswa, cara pandang masyarakat, sarna dan prasarana,

pembelajaran, metode dan pendekatan yang digunakan sistem evaluasi, serta

dialektika seputar muatan dan pesan kurikulum yang berlaku.

2. Pembelajaran sastra

Dosen Universitas Singapore, Dr. Azhar Ibrahim Alwee (dalam makalah

Deni Ardian, dkk. 2011) mengatakan, pembelajaran sastra sangat penting dalam

pembangunan karena akan mendorong masyarakat bisa bersikap lebih kritis.

Pembelajaran sastra akan mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis, sehingga

pembangunan akan menjadi terarah, kata Azhar, saat menjadi pembicara dalam

seminar internasional, di Palembang.

Seminar internasional bahasa, sastra dan budaya digelar di Palembang, 1-2

Juni 2010 dilaksanakan Forkibastra Balai Bahasa Sumsel. Menurut Azhar, makna

dari sastra dapat mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat

orang menjadi tegas, tetapi juga mampu menghadapi tantangan di masa

10

mendatang. Identitas manusia harus tegas dan bebas dari ketergantungan, dan itu

bisa dapat dalam pelajaran sastra, ujarnya.

Menurut Lazar (dalam artikel Ian_Mandiri, 2011), beberapa manfaat yang

dapat diperoleh dari pembelajaran sastra, antara lain yaitu:

1) Memberikan motivasi kepada siswa

Apabila materi pembelajaran sastra dipilih secara cermat dan hati-hati, siswa

akan merasakan bahwa apa yang mereka pelajari adalah sesuatu yang relevan dan

bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam konteks ini, sastra mampu menunjukkan

kepada siswa tema-tema yang kompleks tetapi segar dan menggambarkan

penggunaan bahasa yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.

2) Memberi akses pada latar belakang budaya

Sastra dapat membantu siswa memahami budaya masyarakat yang menjadi

latar dalam teks sastra yang sedang dipelajari. Namun hal ini cukup rumit,

mengingat dalam memahami hubungan antar budaya, sastra tidak

menyampaikannya dengan sederhana, karena beberapa karya sastra seperti novel,

cerpen, atau puisi dapat diklaim sebagai dokumentasi yang murni dari budaya

masyarakat. Sementara, kebenaran dalam sastra itu sesungguhnya tidaklah mutlak.

3) Memberi akses pada pemerolehan bahasa

Sastra menyediakan sebuah cara yang tepat untuk pemerolehan bahasa,

seperti menyediakan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam proses

penginterpretasian bahasa baru. Melalui sastra, siswa dapat meningkatkan

kemampuan berbahasanya, melakukan proses pembelajaran sastra dan bahasa,

sehingga keduanya dapat saling memberikan manfaat.

11

4) Memperluas perhatian siswa terhadap bahasa

Dalam konteks ini sebuah novel atau cerpen dapat membantu siswa dalam

memahami dan menginterpretasikan berbagai tema dengan lebih mudah. Melalui

kegiatannya dalam memahami makna sebuah teks sastra, siswa dapat melatih

kepekaannya dalam menggunakan bahasa.

5) Mengembangkan kemampuan interpretatif siswa

Sastra adalah sumber yang bagus untuk mengembangkan kemampuan siswa

dalam memahami makna dan membuat interpretasi. Sastra, dapat membuat

pembacanya hanyut dalam asumsi teks ketika berusaha untuk memahami

maknanya. Sastra menyediakan kesempatan yang baik kepada siswa untuk

memahmi maknanya. Sastra menyediakan kesempatan yang baik kepada siswa

untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan pendapat mereka sendiri.

Berdasarkan fakta yang terdapat dalam teks. Bila siswa berinteraksi dengan

berbagai macam ambiguitas dalam teks sastra, guru dapat membantu siswa

mengembangkan keseluruhan kapasitasnya dalam memahami makna.

Kemampuan tersebut sangat bermanfaat bagi siswa ketika siswa harus

membuat interpretasi berdasarkan fakta-fakta yang dinyatakan secara tidak

langsung dalam kehidupan nyata.

6) Mendidik siswa secara keseluruhan

Sastra memliki berbagai macam fungsi edukasi. Pembelajaran sastra di

dalam kelas, dapat membantu siswa menstimulasikan imajinasi, mengembangkan

kemampuan kritis dan meningkatkan perhatian emosionalnya. Apabila siswa

diminta untuk memberikan respon secara personal terhadap teks sastra yang

12

dibaca, siswa akan menjadi lebih percaya diri dalam mengekspresikan ide mereka,

dan mengekspresikan emosinya. Selain itu, siswa termotivasi untuk meningkatkan

kemampuannya dalam menguasai teks sastra dan memahami bahasa, serta dalam

menghubungkan teks sastra yang dibaca tersebut dengan nilai-nilai dan tradisi dari

masyarakatnya.

Dalam proses pembelajaran hendaknya harus mencapai sebuah tujuan

pengajaran. Tujuan pengajaran ini bisa dilihat dari perubahan dari siswa setelah

proses pembelajaran. Perubahan seperti mencakup aspek tingkah laku, ilmunya

yang bertambah, kecakapannya berkembang, intinya perubahan yang ke arah

positif. Apabila hal ini sudah tampak pada siswa, maka tujuan pengajaran

tercapai. Untuk menilai tercapai atau tidaknya tujuan ini, guru bisa mengadakan

evaluasi.

Guru dalam proses pembelajaran mempunyai peran yang penting.

Bagaimanapun hebatnya proses pembelajaran. Teknologi yang hebat sekalipun

yang dihadirkan melalui media pembelajaran, tetap tidak akan mampu

menggantikan peran seorang guru. Untuk itu Fathurrohman dan Sutikno (2010:

21-32) membahas tentang cara mengoptimalkan peran guru dalam proses

pembelajaran. Ia menyatakan peran guru sebagai sumber belajar yang menguasai

materi pelajaran, sebagai fasilitator yang memudahkan siswa dalam kegiatan

proses pembelajaran, sebagai pengelola yang menciptakan iklim belajar yang

memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman, sebagai demonstrator yang

mampu menunjukkan sikap terpuji dan bagaimana caranya agar setiap materi

pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh siswa, sebagai pembimbing yang

13

selalu membimbing siswanya menemukan berbagai potensi yang dimiliki sebagai

bekal hidup mereka untuk mencapai tujuan yang menjadi harapan bagi orang tua

dan masyarakat, sebagai motivator yang selalu memotivasi siswanya, dan juga

sebagai evaluator yang menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan juga

menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah

diprogramkan.

3. Pengertian Elong Ogiq

Elong Ogiq sebagai bagian dari kebudayaan, memanifestasikan hasrat, jiwa,

dan kehendak yang terkandung dalam diri orang Bugis, Namun, Elong Ogiq tidak

diketahui kapan diciptakan dan siapa yang menciptakannya. Dengan tidak

dicantumkan nama penciptanya serta kapan diciptakan elong tersebut, maka hal

ini menandakan bahwa masyarakat pada waktu itu tidak mengenal sifat

individual. Elong itu dianggap sebagai milik bersama, tiap-tiap anggota

masyarakat berhak mempergunakan elong tersebut sebagai tulisan perasaannya

yang sejalan dengan isi elong yang hendak diciptakannya. Ambo Enre (1985: 3)

mengatakan bahwa Elong Ogiq diciptakan oleh beberapa orang atau seorang saja,

tetapi dalam peredarannya ia diubah, disempurnakan oleh anggota masyarakat

yang juga merasa sebagai pemiliknya yang sesuai dengan selera, dan semangat

mereka. Materinya adalah apa-apa yang hidup di tengah masyarakat berupa

kesukaan, kebanggaan, kebencian, dan harapan mereka. Bunyinya merdu, nada

dan isinya sederhana dan alamiah, jenisnya juga bermacam-macam.

Elong Ogiq dapat menjadi sumber pendidikan bagi masyarakat, terutama

masyarakat tradisional, karena mengandung nasihat, hiburan, serta menjadi

14

sumber pengetahuan informasi bagi seorang anak secara khusus dan bagi

masyarakat Bugis secara umum. Elong Ogiq mempunyai sifat-sifat dilihat,

didengar, dan dirasakan secara imajinatif, serta mempunyai makna. Untuk

memahami maka Elong Ogiq diperlukan pengetahuan khusus, karena elong ogiq

mempunyai sifat-sifat tertentu sebagaimana halnya sifat-sifat puisi Indonesia.

Hooykaas (dalam Ambo Enre, 1985: 14) menyebutkan mantra, peribahasa

adat, dan pantun, yang imbalannya dalam bahasa Bugis dikenal dengan nama

pangissengeng, warekkada, dan elong.

Selanjutnya Ambo Enre (1985: 48) mengemukan bahwa puisi lisan Bugis

yang berkedudukan sebagai pengungkapan diri dan berfungsi menyatakan

keyakinan, sikap dan pandangan hidup, semangat juang, cita-cita dan harapan

serta cinta kasih dan kebencian.

Puisi atau dalam masyarakat Bugis disebut dengan elong dapat didefinisikan

dengan sejenis bahasa yang menyapaikan pesannya dengan lebih padat daripada

pemakaian bahasa biasa. Untuk memahami perlu dikenal apa yang dikatakan

sebuah puisi.

Penyajian Elong Ogiq diambil masalah pokok sebagai dasar dengan

memperhatikan penekanan isi dan situasi penyampaian setiap elong, karena batas

yang tegas antara satu jenis elong dengan elong yang lain biasa mengakhiri

kekaburan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa unsur nasihat/pendidikan mungkin

saja terdapat pada elong kepahlawanan atau kegembiraan.

Elong sesungguhnya merupakan sejenis bahasa yang multidimensi bahasa

sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyampaikan informasi, hanyalah

15

bahasa yang lazim dipakai untuk mengomunikasikan pengalaman, paling tidak

mempunyai dimensi, yaitu dimensi intelektual, dimensi merasa, dimensi

emosional, dan dimensi imajinatif.

Bahasa elong juga bersifat asosiatif, artinya setiap kata mampu

membangkitkan pikiran dan perasaan yang merembet, tetapi masih berkisar

makna konvensionalnya atau makna simbolik yang lazim.

Kegandaan tafsir pada elong terutama disebabkan oleh bahasa elong yang

penuh simbol dan perkembangan. Dalam puisi elong yang demikian, masalah

makna kata konvensional terdesak dan penyair memilih kata yang paling dekat

dengan rasa dan intuisi yang dialaminya. Hal ini terutama disebabkan oleh

peresapan nilai-nilai pribadi, perasaan pribadi, dan terutama pribadi ke dalam

bahasa puisi. Konotasi yang dibentuk dan diciptakan penyairnya berdasarkan

perenungan terhadap sesuatu perasaan pribadi tertentu atau pengalaman tertentu

dalam suatu momen tertentu pula. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila

sering terjadi salah tafsir yang dilakukan seseorang terhadap sebuah puisi.

Elong Ogiq merupakan karya sastra dalam bentuk puisi jika diperhatikan

strukturnya serta peranannya dalam masyarakat dapat dikatakan bahwa Elong

Ogiq dapat disejajarkan dengan puisi lama. Misalnya pantun, syair, pepatah, dan

bahasa berirama. Elong Ogiq adalah suatu karya sastra orang Bugis yang sudah

memasyarakatkan dan merupakan pancaran masyarakat Bugis pada zamannya.

4. Jenis Elong Ogiq

Ada beberapa jenis Elong Ogiq yang terdapat dalam masyarakat Bugis. Jenis

Elong tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

16

a. Elong Asimellereng

Elong Asimellereng berisikan ucapan-ucapan mappuji (memuji), elong

maccacca (tak suka). Beberapa contoh di bawah ini sebagai berikut:

1) Elong Mappuji (memuji)

Elong ini merupakan elong sibali (berbalasan) yang biasa dibawakan oleh

dua orang muda-mudi yang dalam bentuk dialog antara individu dengan individu,

untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan menggunakan suara indah.

Misalnya, seorang pemuda tertarik pada seorang gadis biasanya ia memakai

berbagai cara untuk menyampaikan perasaan hatinya. Hal tersebut dapat dilihat

pada kutipan elong di bawah ini:

“Upappadako camminnge “Umpamakan engkau

kutimpa baja-baja tekku cermin kubuka setiap hari

bokoremmu”(M. Salim, 143) tak membelakangimu”

2) Elong Maccacca (tak suka)

Cinta tak selamanya bersatu. Kata-kata itu biasa didengar, terutama

dikalangan muda-mudi. Kenyataannya memang demikian mereka yang saling

cinta kadang-kadang patah di tengah jalan, bahkan ada diantaranya cinta berubah

menjadi kebencian. Elong ini biasanya dibawakan oleh dua orang (laki-laki dan

perempuan), diiringi alat pada pesta perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada

kutipan elong di bawah ini:

“Rekko idikiro mutajeng “Kalau kami kau tunggu

Muparinawa-nawa malape kau simpan dam hati

dokomu” (M. Salim 141) lama penyakitmu”

17

b. Elong Assiwolompolonngeng

Elong assiwolompolonngeng ini merupakn elong hubungan antara keluarga

atapun suami istri yang berisikan nasihat tentang kehidupan berumah tangga. Hal

ini dapat dilihat pada contoh elong di bawah ini:

“Minnyak arega napake “Minyak apa dipakai

Pedek malaleng penni makin larut malam

Napade mabello. (M. Salim 157) semakin bersolek”

c. Elong Pangajaq

Pangajaq artinya nasihat adalah suatu petunjuk atau peringatan serta

pelajaran yang baik. Jadi elong pangajaq adalah elong yang berisikan nasihat

yang mengarah ke jalan yang benar. Elong pangajaq biasanya didengar dari orang

dahulu yang memberikan nasihat atau petunjuk yang benar, dan tujuannya tiada

lain hanya mengarahkan ke jalan yang benar, agar nantinya tidak terjerumus ke

dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan agama dan adat yang berlaku. Hal tersebut

dapat dilihat pada kutipan elong di bawah ini:

“Tudanngak ri pesonaku, “Kududuk bertawakkal,

senre kak ri totoku, bersandar pada nasib,

kutajeng pammase”, kunantikan berkah”

d. Elong Aruk

Elong Aruk adalah elong penghasut semangat yang bersifat perorangan,

biasanya ducapkan oleh seorang panglima perang di hadapan raja sebagai

pernyataan dukugan dan tanda kesetiaan kepada raja. Untuk kejelasannya dapat

dilhat contoh elong di bawah ini :

18

“Malik si parappe “Hanyut saling mendapatkan

rebba si patokkong jatuh saling menegakkan

malilu di pakaingek” lupa saling mengingatkan”

e. Elong Ogiq Maliung Bettuanna

Elong Ogiq Maliung Bettuanna adalah elong yang dalam artinya, sehingga

memerlukan analisis tentang kata-katanya secara tepat dan mendalam. Jadi, untuk

mengerti maksud dan tujuan elong itu, terlebih dahulu dianalisis, terhadap sebuah

frase atau kalimat itu dicari pada kata lain yang mirip ucapannya dengan kata

yang dijadikan sangkutan ide itu. Untuk jelasnya dapat dilihat contoh elong

dibawah ini.

“Lise ampello watakku “Isi kelopak diriku

paccora cappak jari penghias ujung tangan

atikku ri laleng”.(Mahmud 33) hatiku di dalam”

Dari beberapa jenis elong yang penulis kemukakan di atas, tidak semuanya

akan dianalisis problematik dalam pembelajaran elong, penulis hanya menganalisi

pembelajaran jenis Elong Ogiq Maliung Bettuanna.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang problematik pembelajaran bahasa dan sastra memang

sudah banyak. Namun demikian, penelitian tersebut mempunyai aspek dan

pendekatan yang berbeda, hasil penelitian problematik sastra dapat dilihat pada

skripsi Muhammad Nurdin (1999) tentang Problematia Membaca Aksara Murid

Kelas II SLTP 2 Liliriaja, menyatakan bahwa salah satu problematik membaca

aksara murid kurang menguasai baik abjak dan bahasanya.

19

Selanjutnya dalam penelitian Rosmawati (2004) yang berjudul Nilai

Pendidikan Elong Malliung dalam sastra Bugis, objek kajian yang diangkat sama

yaitu Elong Malliung, namun Rosmawati mengkaji tentang nilai-nlai yang

terkandung dalang Elong Malliung. Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan

oleh Nurdahlia (2008) yang berjudul Problematik Pembelajaran Sastra Indonesia

di Kelas VIII SMP Negeri 3 Baranti Kabupaten Sidrap. Objek kajian yang

diangkat penelitian ini yaitu sastra Indonesia.

Pada skripsi Anna Satria Ridwan (2013) yang berjudul Etos Kerja dalam

Elong Ogiq di Kabupaten Barru: Tinjauan Sosiologi sastra, mengkaji tentang

ekspresi etos kerja dalam Elong Ogiq di Kabupaten Barru, dan skripsi Andi

Sandra Rahmi (2013) yang berjudul Problematik Pembelajaran Bahasa Bugis

sebagai Muatan Lokal di Sekolah Dasar Kecamatan Bua Kabupaten Luwu,

problematik yang dihadapi yaitu pembelajaran bahasa Bugis di sekolah dasar di

daerah Luwu yang mayoritas siswa berbahasa Tae’.

Dari hasil penelitian yang ada, dibandingkan dengan masalah yang dikaji

oleh setiap penulis tidaklah sama, karena masing-masing memecahkan masalah

dari sudut pandang yang berbeda pula. Namun dari sekian banyak penelitian yang

ada, penulis mendapatkan bahan perbandingan yang berkaitan dengan masalah

yang penulis kaji.

Elong Ogiq Maliung Bettuanna

Guru

Problematik

Pembelajaran Sastra

Siswa

PUISI

20

C. Kerangka Berpikir

Pembelajaran bahasa dan sastra daerah di sekolah belum tentu tercapai

dengan baik. Oleh karena itu, perlu diteliti tentang problematik dalam

pembelajaran sastra khususnya pembelajaran Elong Ogiq Maliung Bettuanna

yang dilokasikan di MTsN Mangempang Kabupaten Barru.

Untuk melihat atau mengetahui problematik dalam pembelajaran bahasa dan

sastra daerah, khususnya problematik yang dihadapi oleh guru dan problematik

yang dihadapi oleh siswa.

Bagan Kerangka Pikir