BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Tanah II.1.1. Pengertian Tanah ...
ii
-
Upload
yylfordt-granz -
Category
Documents
-
view
248 -
download
5
Transcript of ii
BAB I
PENDAHULUAN
Disfungsi mekanis jantung memiliki spektrum luas yang berkisar dari
gagal jantung ringan terkompensasi sampai syok kardiogenik. Istilah ini juga
mempunyai arti terhadap ”gagal jantung” yang cukup membingungkankan; di satu
pihak gagal jantung mudah dimengerti sebagai suatu sindrom klinik tetapi di lain
pihak; gagal jantung merupakan keadaan patofisiologis yang sangat bervariasi dan
komples. Kompleks ini beramsumsi bahwa banyak sekali yang penyakit yang
dapat menyebabkan gagal jantung.1
Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun
pada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil
Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan
ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit
di Indonesia.Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang
dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki.2
Penyakit ginjal kronik (CKD) merupakan salah satu masalah
kesehatan di dunia yang sangat berhubungan erat dengan resiko
penyakit jantung dan gagal ginjal kronik (CRF).3
Di Amerika, dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan
jumlah penderita Penyakit ginjal kronik dengan prognosis yang
buruk dan biaya perawatan yang tinggi. Dan penyakit ginjal
1
merupakan penyakit ke-sembilan penyebab kematian tertinggi di
Amerika. Berdasarkan USRDS, terjadi peningkatan yang
signifikans sebesar 104% penderita gagal ginjal kronik (CRF)
antara tahun 1990-2001. Berdasarakan Survey dari NationL
Health and Nutrition, didapatkan kesimpulan kurang lebih 6,2
juta orang di dunia dengan umur diatas 12 tahun mempunyai
serum kreatinin diatas 1,5 mg/dL; dengan kurang lebih 8 juta
orang telah mengalami penurunan GFR (kurang dari 60 mL/min),
dengan jumlah kurang lebih 5,9 juta orang merupakan orang
dewasa.3
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai Gagal Jantung (Heart
Failure) dan Insufisiensi Renal didiagnosa pada seorang laki-laki berusia 61 tahun
yang menjalani perawatan di Ruang Flamboyan (Penyakit Dalam Pria) RSUD
Ulin Banjarmasin.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Nama : Tn. Arsyad
Umur : 61 tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Banjar
Agama : Islam
Alamat : Gambut Km. 14 Kab. Banjar
MRS : 10 januari 2011
No. RMK : 91 66 46
3
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Lemah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien terlihat lemah. Pasien
mengalami penurunan kesadaran dan kemudian pasien dibawa ke rumah sakit
Ulin. Setelah dirawat 7 hari, pasien dirujuk ke Rumah Sakit Ulin Banjarmasin.
Pasien juga mengalami batuk berdahak sepanjang malam dan mudah merasa lelah
bila beraktivitas, dan nafsu makan menurun. BAK dalam sehari hanya 2-4 kali,
sebanyak setengah gelas sekali BAK. BAB normal seperti biasa, tetapi 2 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien tidak BAB hingga di rawat di rumah sakit.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya (2009) penderita pernah sakit pinggang hilang timbul dan
didiagnosis oleh dokter PUSKESMAS menderita penyakit batu ginjal. 6 bulan
sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami sakit pinggang menetap disertai
panas, dan didiagnosis dokter umum menderita radang ginjal. Tidak ada riwayat
sakit kuning, maupun asma.
Riwayat Penyakit Keluarga :
4
Tidak didapatkan keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan penderita.
Tidak ada keluarga yang menderita kencing manis, tekanan darah tinggi, sakit
jantung dan asma.
Riwayat Kebiasaan :
Keluarga mengaku pasien kurang dalam mengkonsumsi air putih dan lebih suka
meminum teh. Tidak ada riwayat meminum jamu-jamuan, ataupun suplemen.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Komposmentis (GCS 4-5-6)
Gizi : Cukup
Tanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/mnt
Respirasi : 25 x/mnt
Suhu : 37,3 oC
Kulit : Warna sawo matang.
Kepala dan Leher
5
- Kepala : Bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas, rambut
hitam, tidak jarang serta tidak mudah dicabut, wajah tidak
edema
- Mata : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, refleks cahaya (+/+),
edema palpebrae tidak ada, penglihatan dalam batas
normal
- Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas. Sekret tidak
ada, serumen minimal, tidak ada gangguan pendengaran
- Hidung : Bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas. Pernapasan
cuping hidung tidak ada, tidak ada deviasi septum, tidak
ada epistaksis
- Mulut : Bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas. Bibir
tampak kering, gigi dan gusi tidak ada kelainan, pharing
tidak hiperemesis dan tonsil tidak ada membran
- Leher : Terdapat peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), tidak
ada pembesaran getah bening, tidak ada massa, tidak ada
kaku kuduk.
Thorax
- Paru
Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan napas simetris
6
Palpasi : Fremitus raba simetris, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor, tidak ada nyeri ketuk
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronki (+/+), wheezing tidak ada
- Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V Linea Aksilaris Anterior
sinistra
Perkusi : Batas kanan pada ICS II-V Linea Mid Klavikula dekstra
Batas kiri pada ICS II-V Linea Aksilaris Anterior sinistra
Auskultasi : S1S2 ≠ tunggal, S3 gallop (+)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, cembung
Palpasi : Tonus normal, hepatomegali (-), nyeri tekan (-), splenomegali
(-), massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)
Inguinal
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran kelenjar inguinal, tidak
ada nyeri maupun pembengkakkan kelenjar regio inguinal.
Ektremitas
7
Atas : Refleks Fisiologi (+), refleks patologis (-), persendian tidak
kaku, tidak ada tremor, akral hangat, edema (-), parese (-)
Bawah : Refleks Fisiologi (+), refleks patologis (-), persendian tidak
kaku, tidak ada tremor, akral hangat, edema (+/+), parese (-)
Tulang Belakang
Tidak ada scoliosis, tidak ada kifosis, nyeri tekan maupun ketuk (-)
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto thorax (10 januari 2011)
8
Cardiomegali (CTR = 61,3%), hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri.
Pemeriksaan Laboratorium Darah (10 Januari 2011)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,5 14,0-18,0 g/dl
Lekosit 15,3 4,0-10,5 ribu/ul
Eritrosit 5,37 4,5-6,0 juta/ul
Hematokrit 35 40-50 vol%
Trombosit 146 150-450 ribu/ul
RDW-CV 15,8 11,5-14,7 %
MCV 64,9 80-97 fl
MCH 23,3 27-32 pg
MCHC 35,8 32-38 %
HITUNG JENIS
Neutrofil% 83,6 50-70 %
Limfosit% 14,0 25-40 %
MID% 2,4 4-11 %
Neutrofil# 12,80 2,5-7 ribu/ul
Limfosit# 2,1 1,25-4 ribu/ul
MID# 0,4 - ribu/ul
GINJAL
9
Ureum 32 10-45 mg/dL
Creatinin 2,1 0,5-1,7 mg/dL
Pemeriksaan Laboratorium Darah (17 Januari 2011)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,4 14,0-18,0 g/dl
Lekosit 9,4 4,0-10,5 ribu/ul
Eritrosit 5,37 4,5-6,0 juta/ul
Hematokrit 36 40-50 vol%
Trombosit 282 150-450 ribu/ul
RDW-CV 13,9 11,5-14,7 %
MCV 66,1 80-97 fl
MCH 24,6 27-32 pg
MCHC 35,8 32-38 %
HITUNG JENIS
Neutrofil% 83,6 50-70 %
Limfosit% 14,0 25-40 %
MID% 2,4 4-11 %
Neutrofil# 12,80 2,5-7 ribu/ul
Limfosit# 2,1 1,25-4 ribu/ul
MID# 0,4 - ribu/ul
GINJAL
10
Ureum 32 10-45 mg/dL
Creatinin 2,1 0,5-1,7 mg/dL
Elektrokardiografi (11 Januari 2011)
11
Irama : sinus reguler
Heart rate : 83 kali/menit
Gelombang P Normal
Axis jantung deviasi kiri (lead I dan aVF) dengan posisi vektor intermediet
dengan aksis kurang lebih +300 (aVL dan aVF)
R pada V5 ditambah S pada V1, 40 kotak kecil (Left Ventrikel Hipertrofi)
2.5 DIAGNOSA KERJA
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
penderita didiagnosis CHF dan Insufisiensi Renal.
2.6 PROGNOSA
Dubia ad malam
12
2.7 PENATALAKSANAAN
Lihat lembar Follow up
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Jantung (Heart Failure)
Definisi
Gagal jantung (Heart Failure) merupakan suatu kumpulan sindrom klinik
pada pasien berupa:4
1. Gejala-gejala pada gagal jantung yang meliputi sesak ketika istirahat atau
bekerja atau latihan, fatigue, mudah lelah, bengkak pada kaki.
2. Temuan pada pemeriksaan fisik yang meliputi takikardi, takipneu,
kongesti paru, efusi pleural, peningkatan vena jugular, edema perifer,
hepatomegali.
3. Bukti adanya perubahan abnormal struktur dan fungsi jantung meliputi
kardiomegali, S3-gallop, murmur, abnormalitas EKG, maupun
peningkatan pada konsentrasi Natriurit Peptide.
13
Epidemiologi
Kurang lebih 3-20 orang per 1000 orang pada populasi mengalami gagal
jantung, dan prevalensinya meningkat seiring lebih dengan pertambahan usia (100
orang pada usia di atas 65 tahun), dan angka ini akan meningkat karena
peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setalah infark miokard
akut. Di Inggris sekitar 100.000 orang pasien dirawat di rumah sakit untuk gagal
jantung, mempresentasikan 5% dari semua perawatan medis, dan menghabiskan
lebih dari 1% dana perawatan kesehatan nasional.5
Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun
pada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil
Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan
ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit
di Indonesia.Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang
dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki.2
Etiologi
Gagal jantung bukan merupakan suatu diagnosis tapi merupakan suatu
keadaan klinis, sehingga seorang klinis perlu untuk menacri penyebab dari adanya
keadaan ini.4
Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard
seperti pada infark miokard, peningkatan resitensi vaskuler dengan hipertensi,
14
atau miokardiopati. Namun, pada kondisi tertentu, bahkan miokard dengan
kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik ke
seluruh tubuh untuk memnuhi kebutuhan metaboliknya, misalnya pada kelainan
mekanis seperti pada regurgitasi katup berat, dan lebih jarang pada fistula
arteriovena, defisiensi tiamin (penyakit beri-beri), dan anemia berat.1,4,5
Tabel 1. Penyebab utama Gagal Jantung Berdasarkan Penyakit pada Miokard.4
Penyakit Arteri
Koroner
Manifestasi banyak sekali
Hipertensi Berhubungan dengan hipertropi ventrikel kiri dan peningkatan
faksi ejeksi
Kardiomiopati Familial/genetik or non genetik (khususnya didapat misalnya
myocarditis)
HCM, DCM, RCM, ARCV, unclassified
Obat-obatan Β-Blocker, calcium antagonis, antiaritmia, agen sitotoksik
Toxins Alcohol, medication, cocaine, trace element (mercury cobalt,
arsenic)
Endokirn Diabetes Mellitus, hipo/hipertiroid, sindrome Cushing,
Insufisiensi Adrenal, Kelebihan GH, feokromositoma
Nutrisi Defisiensi tiamin, Selenium, Carnitine, Obesitas, Kaheksia
Infiltratif Sarcoidosis, Amyloidosis, Haemochromasistosis, Penyakit
jaringan lunak
15
Lain-Lain Chagas, HIV, kardiomiopati paripartum, PGK
Patofisiologi Gagal jantung
Kerja jantung disebut juga dengan Cardiac Output yaitu Stroke Volume
(volume darah sekali pompa) dikalikan dengan Heart Rate (HR= jumlah denyut
jantung per menit).1,6,7
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja jantung adalah:1,6
1. Ventricular preload (aliran darah balik ke ventrikel)
2. Ventricular afterload (kemampuan ventrikel memompa darah)
3. Myocardial contractility (kontraktilitas otot jantung)
Secara normal kerja otot jantung memenuhi Hukum Frank-Starling.
Hukum Frank-Starling berbunyi: “Dalam batas fisiologis, jantung akan
memompakan semua darah dari vena menuju aorta tanpa ada bendungan” dengan
kata lain preload adalah sebanding dengan afterload. Namun pada gagal jantung
hukum ini sudah tidak berlaku lagi.6
16
Gambar 1. Kurva Frank-Starling.6
Berbagai penyakit etiologi di atas dapat menurunkan kerja jantung
sehingga Hukum Frank-Starling tidak berlaku lagi. Mekanisme penurunan kerja
jantung karena penyakit-penyakit di atas dapat diterangkan melalui gambar di
bawah ini
Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Gagal Jantung Oleh Berbagai Penyakit Etiologi.7
Pada keadaan terkompensasi, jantung akan mempercepat denyutnya (HR)
untuk mendapatkan Cardiac Output yang optimal sesuai rumus: CO = HR × SV.
17
Tetapi pada keadaan otot jantung yang hipertropi (penebalan otot jantung) dan
dilatasi (pelebaran jantung), terjadilah keadaan dekompensasi sehingga berapa
pun HR yang ditimbulkan, CO tidak akan memenuhi perfusi (aliran darah)
jaringan perifer. Keadaan ini dinamakan gagal jantung (decompensatio
cordis).1,6,7,8
Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah turunnya perfusi jaringan
menimbulkan keadaan hormonal sistemik yang memperparah gagal jantung itu
sendiri sehingga terjadilah circulus vitreosus (lingkaran setan).6
Keadaan hormonal sistemik tersebut adalah peningkatan ADH
(antidiuretic hormone), peningkatan rennin-angiotensin system dan peningkatan
system simpatis. Ini semua memperparah gagal jantung.8
Gambar3. Hipoperfusi Organ Menyebabkan Peningkatan Hormonal Yang Akan Memperparah Gagal Jantung6
Gejala Klinis
Manifestasi klinis dari gagal jantung harus dipertimbangkan relative
terhadap derajat fisik yang menimbulkan gejala. Pada awalnya, secara khas gejla
hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal
18
jantung, toleransi terhadap latihan fisik dangat menurun dan gejala-gejala fisik
muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan.5
Dispneu, merupakan manifestasi paling umum pada gagal jantung.
Dispneu pada gagal jantung disebabkan peningkatan kerja pernafasan akibat
kongesti paru yang mengurangi kelenturan paru. Dispneu pada gagal jantung
dapat berupa dispnue ketika beraktivitas, ortopnea, dispnue nokturna paroksimal1
Batuk non produktif, merupakan salah satu manifestasi dari adanya
kongesti paru akibat gagal jantung. Kadang dapat juga ditemui pada beberapa
pasien dengan gagal jantung, terjadi hemoptisis. Hemoptisis ini dapat disebabkan
oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena.1
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan ruang interstitial. Edema
ini dapat berupa asites, atau edema anasarka, ataupun kedua-duanya. Penyebab
utama adanya edema pada pasien gagal jantung adalah adanya retensi cairan
sistemik akibat dari penurunan perfusi pada ginjal akibat adanya penurunan
afterload.1
19
Gambar 4. Seseorang Dengan Gagal Jantung Kongestif6
Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarakan anamnesis, pemeriksaan
jasmani, EKG, foto toraks, ekokardiografi-doppler dan kateterisasi. Kriteria
Framingham dapat juga dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif:4
1. Kriteria major
PND
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
20
Edem paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
2. Kriteria minor
Edem ekstremitas
Batuk malam hari
Dispne d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital1/3 norma
Takikardi (.120/menit)
3. Major dan minor
Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis dapat ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor. Berdasarkan ESC guidelines, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan
jika 1 kelainan dari hal-hal berikut:4
1. Gejala-gejala pada gagal jantung yang meliputi sesak ketika
istirahat atau bekerja atau latihan, fatigue, mudah lelah, bengkak
pada kaki.
2. Temuan pada pemeriksaan fisik yang meliputi takikardi, takipneu,
kongesti paru, efusi pleural, peningkatan vena jugular, edema
perifer, hepatomegali.
21
3. Bukti adanya perubahan abnormal struktur dan fungsi jantung
meliputi kardiomegali, S3-gallop, murmur, abnormalitas EKG,
maupun peningkatan pada konsentrasi Natriurit Peptide
Tabel 2. Klasifikasi yang digunakan adalah menurut New York Heart Association (NYHA)6
Pemeriksaan penunjang
1. EKG: pada setiap penderita gagal jantung terjadi perubahan pola gambar
kardiogram sesuai dengan penyakit yang mendasari.1
2. Ekokardiografi: pemeriksaan non invasif yang dapat digunakan untuk
menemukan penyebab dasara dari gagal jantung.1
3. Foto Thorax: salah bagian paling esensial untuk mendiagnosis adanya
kardiomegali (2 posisi) dan juga adanya komplikasi berupa edem paru.4,8,9
4. Biomarker Brain Natriuretic Peptides : merupakan marker biokimia
berupa hormon yang dihasilkan oleh atrium yang berfungsi mengatur salah
satu kinerja ginjal dalam retensi cairan. Natriuretic Peptides ini dapat
digunakan sebagai diagnosis, dan pemantauan pengobatan pada gagal
jantung.4,11
22
5. Serum kreatinin, serum elektrolit, elevasi kadar troponin, fungsi tiroid
abnormal, CRP, urinalisa: uji laboratorium sederhana yang dapat
dilakukan pada gagal jantung.1,4,11
Konsep Pengobatan Gagal jantung
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban
kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama fungsi
miokardium, baik secara sendir-sendiri maupun gabungan dari:1,5,8,10
1. Beban awal
2. Kontraktilitas
3. Beban Akhir
Penanganan biasanya dilakukan jika timbul gejala saat beraktivitas biasa
(NYHA kelas fungsional II). Regimen penanganan secara progresif ditingkatkan
sampai mencapai respon klinis yang diinginkan. Eksaserbasi akut dari gagal
jantung atau perkembangan menuju gagal jantung berat dapat menjadi alasan
untuk perawatan di rumah sakit dan penangan lebih agresif.4
Obat-Obatan Untuk Gagal Jantung
1. Diuretik4,10
Cara kerja utama dari diuretik ini adalah menurunkan retensi garam dan
air, sehingga menurunkan preload ventrikular. Penurunan preload ini
memiliki dua efek yang bermanfaat berupa penurunan edema dan
23
gejalanya, dan menurunkan ukuran jantung yang dapat membawa pada
perbaikan dari efisiensi dari fungsi pompa.
2. ACE inhibitor,4,10
Obat golongan ini mempunyai efek positif pada perjalanan penyakit
berupa penurunan afterload dan membantu juga dalam menurunkan retensi
air dan garam. Penurunan retensi air dan garam tersebut secra otomatis
juga membantu penurunan preload.
3. Vasodilator4,10
Vasodilator efektif pada penyakit gagal jantung akut karena mereka
menyebabkan penurunan pada preload (melalui venodilatasi), atau
penurunan pada afterload (melalui dilatasi arterioler), atau keduanya.
Beberapa bukti menimbulkan dugaan bahwa penggunaan jangka panjang
hydralazine dan isorsobide dinitrat dapat pula menurunkan kerusakan
pada remodeling pada jantung.
4. Glikosida jantung4,10
Pada gagal jantung, glikosida mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
Efek terapeutik dari glikosida jantung dapat berupa fungsi mekanis
berupa meningkatkan intensitas interaksi filamne aktin dan miosin
dari sarkomer jantung.
Berupa efek-efek langsung pada membran sel-sel jantung mengikuti
suatu progresi yang telah didefinisakan dengan baik, perpanjangan
singkat dari potensial aksi dini, diikuti oleh suatu periode
pemendekan yang diperpanjang.
24
5. Obat inotropik lain10
Mempunyai manfaat untuk inotropik positif pada gagal jantung melalui
inaktivasi cAMP dan cGMP.
6. Stimulasi Adrenoreseptor –Beta10
Agonis selektif Beta yang paling luas digunakan pada pasien dengan gagal
jantung adalah dobutamine. Obat tersebut menyebabkan suatu peningkatan
pada curah jantung bersama dengan suatu penurunan pada tekanan
pengisian ventrikular.
B. Penyakit Ginjal kronik (Insufisensi Renal)
Definisi
Penyakit ginjal kronik (CKD) merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia yang sangat berhubungan erat dengan resiko penyakit jantung dan gagal
ginjal kronik (CRF).3
Menurut National kidney Foundation (NKF), penyakit ginjal kronik adalah
terjadinya penurunan GFR kurang dari 60 mL/min/1.73m2 dalam 3 bulan atau
lebih. Penurunan GFR tersebut, disebabkan oleh kerusakan pada nefron (sklerosis
ireversibel) dan atau struktur dari ginjal oleh sebab apapun. Pada February 2002,
The Kidney Disease outcomes Quality Initiative (K/DOQI), membagi penyakit
ginjal kronik menjadi 5 stage, sebagai berikut:3
Stage 1: kerusakan ginjal dengan normal atau peningkatan GFR (>90
mL/min/1.73 m2)
Stage 2: penurunan ringan dengan GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
25
Stage 3: penurunan sedang dengan GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Stage 4: penurunan berat dengan GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Stage 5: gagal ginjal(GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau terapi pengganti)
Epidemiologi
Di Amerika, dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan
jumlah penderita Penyakit ginjal kronik dengan prognosis yang
buruk dan biaya perawatan yang tinggi. Dan penyakit ginjal
merupakan penyakit ke-sembilan penyebab kematian tertinggi di
Amerika. Berdasarkan USRDS, terjadi peningkatan yang
signifikans sebesar 104% penderita gagal ginjal kronik (CRF)
antara tahun 1990-2001. Berdasarakan Survey dari NationL
Health and Nutrition, didapatkan kesimpulan kurang lebih 6,2
juta orang di dunia dengan umur diatas 12 tahun mempunyai
serum kreatinin diatas 1,5 mg/dL; dengan kurang lebih 8 juta
orang telah mengalami penurunan GFR (kurang dari 60 mL/min),
dengan jumlah kurang lebih 5,9 juta orang merupakan orang
dewasa.3
Etiologi
Secara tidak langsung, penyakit ginjal kronik dapat penyebabnya dapat
dibagi menjadi 3, yaitu:1,7
1. Pre renal (sistemik)
2. Renal
3. Post renal
26
Dari ketiga penyebab tersebut dapat, digolongkan lagi menjadi 8 penyebab
tersering penyakit ginjal kronik:
Tabel 3. Penyebab Tersering Penyakit Ginjal Kronik1
Klasifikasi penyakit PenyakitInfeksi tubulointersitial Pielonefritis kronik atau refluks
nefropatiPeradangan GlomerulonefritisVaskular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis malignaStenosis arteria renalis
Gangguan jaringan ikat Lupus eritematous sistemikPoliarteristis nodosaSklerosis sistemik progresif
Kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistikAsidosis tubulus ginjal
Metabolik Diabetes MellitusGoutHiperparatiroidAmiloidosis
Nefropati Toksik Penyalahgunaan obatTimah
Nefropati Obstruktif Traktus bagian atas: batu, neoplasma, fibrosis retroperitonealTraktus bagian bawah: BPH, striktur uretra, anomaly kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
Patofisiologi
Terdapat 2 pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan
gangguan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Sudut pandang tradisional
menyatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit bamun dalam
stadium yang berbeda-beda dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan
fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya
27
lesi organikpada medulla akan merusak susunan anatomik pada lengkung henle
dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars asendens lengkung henle yang akan
menganggu proses aliran balik aliran balik pemekat dan aliran balik penukar.
Pendekatan kedua dengan nama hipotesis Bricker, atau hipotesis nefron yang utuh
yang berpendapat bahwa nefron yang terserang penyakit maka unitnya akan
hancur, namun sisanya yang utuh akan tetap bekerja secara normal dan melakukan
kompensasi (hipotesis hiperfiltrasi). Nefron yang utuh ini pada akhirnya akan
cedera karena kenaikan aliran plasma dan GFR serta kenaikan tekanan hidrostatik
intrakapiler glomerulus.1
Gambaran klinik
Pada penyakit ginjal kronik stage 1-3 (GFR . 30 mL/menit), hampir seluruh
pasien ditemukan tanpa keluhan (asimtomatik). Sehingga banyak sekali pasien
ditemukan dengan dalam keadaan kebetulan pada saat general check up. Hal ini
berbeda sekali dengan penyakit ginjal kronik stage 4-5 (GFR < 30 mL/min),
dimana telah ditemukan gejala yang nyata mulai perubahan keseimbangan
elektrolit maupun akumulasi toksin.3
Rangkaian perubahan yang terjadi akibat menurunnya GFR pada penyakit
ginjal ini menyebabkan suatu keadaan yang disebut sindrom uremik. Sindrom
uremik adalah suatu kompleks gejala yang terjadi akibat atau berkaitan dengan
retensi metabolit nitrogen karena gagal ginjal.1,3
Secara garis besar gejala klinik akibat dari sindrom uremia dapat dibagi
menjadi 2 kelompk besar, pertama, merupakan gejala paling nyata terdiri dari
28
gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi, kelainan volume cairan dan elektrolit,
ketidak seimbangan asam dan basa, retensi metabolit nitrogen, anemia yang
disebabkan defisiensi sekresi ginjal. Kelompok kedua, merupakan gambaran
klinis dari gabungan kelainan kardiovaskular, neuromuskular, saluran cerna dan
kelainan lainnya.3
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria yang menunjukkan penyakit
glomerular atau tubulointersitial. Sedangkan pada sedimen urine jika ditemukan
RBCs, RBC cast menunjukkan adanya glomerulonephritis proliferative. Pyuria
dan atau WBC cast dapat menuukkan adanya nephiritis interstitial (jika ditemukan
eosinophiluria) atau infeksi saluran kemih.1,8,11,12
Darah
Serum elektrolit, ureum dan kreatinin akan meningkat pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik. Hiperkalemia dan penurunan bicarbonat mungkin dapat
juga ditemui pada pasien dengan pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Perubahan
pada serum kalsium, fosfat, vitamin D, dan juga hormon paratiroid (PTH) terjadi
pada komplikasi penyakit ginjal kronik ini pada tulang (Renal bone disease),
Anemia normokromik normositik dan atau anemia mikrositik normokromik
merupakan salah satu manifestasi penyakit ginjal kronik.1,8,11,12
Pemeriksaan radiologi
29
Foto polos abdomen, sangat berguna untuk melihat batu radiopak pada
pasien nephrolithiasis, ureterolitiasis, maupun nefrocalsinosis.1,8,9,12
IVP, di negara maju pemeriksaan ini telah ditinggalkan karena adanya
bahaya kontras yang bersifat toksik pada ginjal. Tetapi di negara
berkembang pemeriksaan ini masih dipertahankan, dan dapat digunakan
pada pasein dengan kadar kreatini serum kurang dari 2. IVP sangat
berguna untuk mendiagnosis batu sebagai penyebab penyakit guinjal
kronik.9,12
USG. Sanagt bermanfaat untuk digunakana melihat dan membedakan
antara tumor dan kista pada ginjal. Penilaian ultrasonografi tidak
bergantung pada fungsi ginjal sehingga dapat digunakan pada pasien yang
tidak dapat dilakukan IVP. Ukuran ginjal dapat ditentukan dengan tepat
dan adanya obstruksi dapat ditentukan dengan tepat. Kegunaan lain adalah
penilaian ginjal untuk unilateral yang tidak dapat dilihat (hidronefroris). 9.12
CT scan. Ct scan sangat berguna untuk mengetahui massa pada ginjal
ataupun kista yang tidak dapat dilihat pada USG. CT scan sangat sensitif
untuk identifikasi batu pada ginjal maupun salurannya.9
Penatalaksanaan
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya.
Waktu yang paling tepat untuk terapi ini dilakukan sebelum terjadi
penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Tetapi
jika telah terjadi penurunan LFG 20-30% maka penyakit dasar sudah tidak
bermanfaat.12
30
Pencegahan dan terapi terhadap faktor komorbid.12
Mengetahui penurunan LFG, sangat penting untuk mencegah keadaan
yang dapat memperburuk fungsi ginjal pasien, seperti: gangguan
keseimbangan, hipertensi, ISK, obstruksi traktus urinarius, obat0obatan
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau pemyakit aktivitas dasarnya.
Memperlambat perburukan fungsi ginjal.12
Cara untuk mengurangi perburukan fungsi ginjal ini adalah dengan
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara terpentingnya adalah
dengan pembatasan asupan protein maupu terapi farmakologis (pemberian
obat antihipertensi misalnya ACE inhibitor).
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
Ini merupakan hal penting , karena kurang lebih 40-50% kematian pada
penyakit ginjal kronik disebabkan komplikasi pada kardiovaskular.12
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan beberapa komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal. Komplikasi
tersebut diantaranya:12,13
1. Anemia
Pemberian EPO merupakan hal yang dianjurkan.
Transfusi
Dengan sasaran berdasarakan uji klinik adalah 10-11 mg/dL.
Tetapi tranfusi perlu perhatian yang cermat karena dapat
31
menyebabkan kelebihan cairan tubuh, hyperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal.
2. Osteodistrofi ginjal
Pembatasan asupan fosfat
Pembatasan fosfat hingga 600-800mg/hari
Pemberian obat pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium,
aluminium hidroksida, garam magnesium
Garam ini diberikan secara oral untuk mengurangi absorbsi
fosfat dari makanan
Pemberian Kalsitriol
Edema12,13
Pembatasan cairan dan elektrolit dapat mengurangi komplikasi dari
penyakit ginjal kronik ini. Terutama pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengurangi komplikasi ini.
Terapi penggantu berupa dialisis dan transplatasi ginjal12,13
Terapi ini dilakukan hanya untuk penyakit gagal ginjal stage 5 (LFG < 15
ml/min)> terapi tersebut dapat berupa hemodialisa, peritoneal dialisis,
maupun transplantasi ginjal.
32
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien Tn. Arsad adalah seorang laki-laki berusia 60 tahun. Pada laporan
kasus kali ini pasien didiagnosa menderita gagal jantung (Heart Failure) dan
insufiensi renal. Diagnosa ini dapat ditegakkan melalui keruntutan yang sistematis
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
33
Dari aloanamnesis ditemukan bahwa pasien datang dengan keluhan utama
lemah. Pasien terlihat lemah sejak 1 hari dan mengalami penurunan kesadaran
sebelum dibawa ke rumah sakit. Sebelumnya (2009), pasien ada riwayat
mengalami sakit pinggang hilang timbul dan didiagnosis dokter PUSKESMAS
menderita batu ginjal. Selain itu, (± 6 bulan SMRS), pasien juga didiagnosis
dokter umum menderita radang ginjal.
Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan kadar kreatinin 2,1
mg/dL. Kadar SGOT dan SGPT 87 U/I dan 110 U/I. Pada pemeriksaan foto
thorax, dapat ditemui cardiomegali (CTR > 60% pada foto AP). Pada pemeriksaan
EKG didapatkan hasil, aksis bergeser ke kiri (dilihat dari sadapan 1), dan adanya
gambaran ektrasistole (sadapan aVR dan aVF), dan terlihat peninggian gelombang
QRS (sadapan V4-V6)
Berdasarkan data laboratorium kreatinin (2,1) didapatkan hasil LFG 42.
Nilai ini masuk dalam kategori penyakit ginjal kronik stage 3. Dan jika dilihat dari
hasil tingginya SGOT atau SGPT, terdapat kemungkinan adanya hepatitis akut.
Berdasarkan pembacaan foto thorax dan EKG didapatkan hasil bahwa terjadi
cardiomegali, dimana pada foto thorax terlihat CTR sebesar 62% (AP > 60 %
dinyatakan cardiomegali) dan dari EKG didapatkan aksis yang bergeser lebih ke
kiri (lead I dan aVF) dan QRS yang tinggi pada sadapan V4-V6.
Penyakit ginjal kronik, sering diikuti gejala asimtomatik terutama jika
LFG > dari 30 ml/min (stage 1-3). Pasien lebih sering datang ke rumah sakit atau
berobat ke dokter jika telah ada komplikasi. Pada Tn arsyad, hal ini juga terjadi,
pasien baru dibawa ke rumah sakit ketika terjadi komplikasi pada penyakit
34
ginjalnya berupa penurunan kesadaran dan setelah difoto roentgen ternyata
terdapat juga komplikasi cardiomegali.
CHF pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh adanya retensi natrium
dan cairan sehingga terjadi peningkatan preload. Peningkatan preload ini
menyebabkan jantung harus bekerja ekstra dengan meningkatkan
kontraktilitasnya. Peningkatan kontraktilitas dari jantung ini menyebabkan
remodeling jantung berupa hipertofi maupun dilatasi.
Peningkatan SGOT/SGPT (curiga hepatitis akut, ini hal yang sangat lazim
pada penyakit CHF. Patofisiologi terjadinya peningkatan tersebut sebagai berikut;
hati merupakan organ parenkim terbesar dan tempat metabolik tubuh yang utama.
Hati diperdarahi oleh 2 pembuluh darah penting, yaitu vena porta hepatika
(saluran cerna dan limpa) dan arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk
ke dalam hati berasal dari arteri hepatika yang kaya oksigen dan dua pertiga
sisanya darah vena dari vena porta yang miskin oksigen. Maka dapat disimpulkan
bahwa hati merupakan organ yang berkerja dalam keadaan dengan jumlah oksigen
yang rendah dibandingkan organ-organ lain yang ada dalam tubuh, sehingga
terjadi sedikit perubahan aliran darah kaya oksigen (misalnya syok, hipotensi
arteri ataupun hipoksia) dapat mempengaruhi fungsi dari hati tersebut.
Pada pasien ini, stroke volume dari jantung akan menurun dengan drastis.
Hal inilah yang mendasari kerusakan hati sehingga timbul gejala-gejala ikterik
pada pasien. Penurunan jumlah stroke volume, akan menyebabkan penurunan
jumlah darah yang didistribusikan untuk perifer termasuk hati. Mengingat hati
tidak dapat mengalami penurunan jumlah perfusi, maka dengan perlahan-perlahan
35
sel-sel hati (hepatosit) akan mengalami kerusakan dan nekrosis. Nekrosis ini akan
terus berlanjut dan akan semakin parah seiring dengan turunnya jumlah aliran
darah pada hati dari jantung. Nekrosisnya hepatosit akan menurunkan aktivitas
hati terhadap bilirubin sehingga pasien mengalami ikterus. Dari rasio deritis
(SGOT/SGPT > 1,5) maka dapat diambil kesimpulan bahwa pasien mengalami
kolestasis intrahepatik yang disebabkan nekrosis hepatosit sebgai komplikasi
kelainan dari jantung.
Pada pasien diberikan terapi gastridin, bio curlif, hp pro, lasix/furosemid,
dan ceftriaksone. Gastridin diberikan pada pasien dengan indikasi untuk
melindungi lambung dari asam lambung berlebih mengingat kondisi pasien lemah
dan sedikit dalam mengonsumsi makananketika dirawat. Biocurliv merupakan
obat yang berfungsi untuk menjaga kesehatan hati, karena pada pasien ditemukan
peningkatan enzim transaminase yang menandakan terjadinya cedera pada hati.
Hp pro merupakan salah satu obat pilihan yang digunakan untuk mengobati
penyakit hati baik akut dan kronik, diberikan pada pasien dengan indikasi yang
sama dengan bio curliv.
Furosemid/lasix merupakan diuretik loop biasanya diberikan secara oral
maupun injeksi digunakan untuk menurunkan retensi garam dan air, sehingga
menurunkan preload ventrikular. Penurunan preload ini memiliki dua efek yang
bermanfaat berupa penurunan edema dan gejalanya, dan menurunkan ukuran
jantung yang dapat membawa pada perbaikan dari efisiensi dari fungsi pompa.
Obat ini diberikan secara intravena pada pasien dengan edema paru akibat gagal
36
ventrikel akut. Mekanisme utama yang terpenting dalam Diuretik loop juga
efektif pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Ceftriaxone sendiri memiliki efek bakterisida yang dihasilkan akibat
penghambatan sintesis dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang
tinggi terhadap beta-laktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase
yang dihasilkan oleh kuman gram-negatif, gram-positif. Pada pasien diberikan
atas indikasi adanya riwayat penyakit radang ginjal 6 bulan SMRS, yang tidak
diketahui apakah pada pasien benar-benar sembuh karena ada kecurigaan bahwa
pasien mengalami radang ginjal kronik.
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus gagal jantung (Heart Failure) dan
insufisiensi renal pada seorang laki-laki berusia 61 tahun yang dirawat di Ruang
Penyakit Dalam Pria (Flamboyan) Rumah Sakit Umum daerah Ulin Banjarmasin.
37
Diagnosis gagal jantung (Heart Failure) dan insufisiensi renal berdasarkan
anamnesis yang dilakukan yaitu lemah, batuk berdahak sepanjang malam, mudah
lelah jika beraktivitas, nafsu makan menurun, serta terdapat riwayat batu ginjal
dan radang ginjal. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan sclera, peningkatan JVP,
serta S3 gallop. Pada pemeriksaan laboratorium rutin ditemukan punurunan kadar
HB, leukositosis, peningkatan ureum dan kreatinin, serta peningkatan kadar
SGOT dan SGPT, penurunan albumin hati dan peningkatan albumin urin. Pada
pemeriksaan foto ditemukan Cardiomegali (CTR 62%). Selama perawatan
penderita mendapatkan terapi berupa cairan parenteral, gastridin (inj) , bio curlif
(tab), hp pro (caps), lasix (inj)/furosemid (tab), dan ceftriaksone (inj).
DAFTAR PUSTAKA
1. Silvia A.P, Lorraine M.W. Patofisiologi: Konsep – konsep Klinis Proses Penyakit, Edisi VI, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
2. Mariyono, Harbanu H, Santoso Anwar. Gagal jantung. J Peny Dalam (2007): 8 (3): 85-93
38
3. Aorora, Pradep. Chronic Kidney Disease. Emedicine, 23 November 2010 (http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview, diakses 22 januari 2011).
4. Dickstein, Kenneth, Solal, Alain Cohel, Flippatos, Gerasimos, Mc Murray, John J.V, Ponikowski, Piotr, Wilson, Philip Alexander Poole, et al. ESC Guidelines for The diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure. European Heart Journal (2008): 29: 2388-2442.
5. Gray, Huoh H, Keith D. Dawkins, Morhans, John M, Simpson, Iain A. Lecture Notes: Cardiology. Fourth edition. Blackwell Science Ltd, 2002.
6. Sulaifi, M. Faiq. Gagal Jantung dan Penganannya. http://Sulaifi.wordpress.com., diakses 22 januari 2011.
7. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna: Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2006.
8. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. 17th edition. Mc-GrayHill, 2008.
9. Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai FK UI, 2005.
10. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology. Eigth Edition. Mc-Graw-Hill Companies Inc, 2001.
11. Sacher, Ronald A, McPherson, Richard A. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2003.
12. Pradep Arora. Chronic Kidney Disease: Follow Up and Treatment. Emedicine (http://emedicine.medscape.com/article/238798-treatment) diakses 22 januari 2011).
13. Sudaryo, Aru W et al. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Buku Ajar FK UI, 2006.
14. Hostetter, Thomas H. Chronic Kidney Disease Predicts Cardiovascular Disease. NEJM 351:13: 1344-1346
39
40