II. TINJUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filePergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan...
Transcript of II. TINJUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filePergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan...
10
II. TINJUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan
Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, sebagian besar
terdapat di perdesaan termasuk wilayah pesisir dan pantai. Berdasarkan data
statistik bahwa 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir dan pantai
Dari 60% tersebut, 80%nya merupakan masyarakat miskin dan sebagian besar
memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan. Pengertian tentang
kemiskinan secara umum dapat dikatakan pada sebuah kondisi yang serba
kekurangan yang bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif atau
dirasakan pada perbandingan dengan orang lain (Subri, 2005). Secara
kuantitatif, kemiskinan ditandai dengan masih adanya kerentanan,
ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk mencapai aspirasi
bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan baik, pada
gilirannya akan mengakibatkan antara lain:rendahnya kualitas dan produktivitas
sumberdaya manusia, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, kemungkinan
merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudoyono, 2004).
Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah adanya pembangunan.
Pembangunan dapat dilakukan pada bidang ekonomi, manusia atau
pembangunan wilayah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan
suatu wilayah, diperlukan pendekatan berbeda-beda mengingat wilayahnya yang
luas dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi masyarakat yang beragam. Salah
satu pendekatan pembangunan yang sering dipakai oleh ekonom adalah
pendekatan pusat-pusat pertumbuhan dan pendekatan sektoral. Pendekatan yang
disebut pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota atau
tempat-tempat strategis yang diharapkan akan menarik daerah pinggiran di
sekitarnya, sedangkan pembangunan sektoral adalah pembangunan melalui
pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu, dengan kata lain pembangunan
wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada stakeholder. Dengan cara
demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang
bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi,
11
sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah (Mubyarto,
2000).
Pergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan ekonomi ke arah
pembangunan yang berwawasan lingkungan memberikan indikasi ke pemerataan
dan keadilan. Pemerataan pembangunan adalah dalam upaya pengentasan
kemiskinan melalui pembangunan perdesaan yang jauh tertinggal khususnya
ketersediaan prasarana dibandingkan dengan perkotaan (Mubiyarto, 2000).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan dengan cara memberdayakan
masyarakat akan menjamin pembangunan berkelanjutan karena masyarakat pada
gilirannya akan meningkatkan kemandirian yaitu rasa percaya diri yang besar
tanpa perlu menggantungkan diri pada pihak-pihak luar, baik dengan pasokan
sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil-hasil produksinya. Keadilan
yang dimaksud adalah keadilan untuk generasi sekarang dan tidak mengurangi
keadilan untuk generasi yang akan datang. Namun dalam pembangunan
perdesaan tersebut dipengaruhi juga oleh sikap-sikap hidup masyarakat.
Sebenarnya sikap-sikap hidup dalam masyarakat bukan suatu yang statis, tetapi
selalu ada kemungkinan untuk mengalami perubahan yang disebabkan oleh
pengaruh lingkungan dari dalam masyarakat itu baik yang berupa keinginan
individu maupun kelompok masyarakat. Keinginan berubah yang berasal dari
dalam masyarakat yang muncul karena pengaruh dari luar nilai-nilai tradisional
seperti program pembangunan, masuknya nilai-nilai budaya baru yang datang
dari luar daerah atau dibawa oleh masyarakat pendatang, juga dapat merubah
sikap hidup masyarakat setempat. Informasi yang masuk melalui media
informasi seperti, media masa, elektronik (televisi, radio). Kemungkinan
perubahan ini tidak semuanya menimbulkan dampak negatif tetapi juga ada yang
berdampak posisitf atau membangun walaupun perubahan ini memerlukan waktu
yang cukup lama karena nilai-nilai yang sudah ada memberikan tatanan yang
cukup kokoh pada masyarakat tersebut.
Dengan adanya agenda 21 global merupakan salah satu upaya terbesar dan
terpenting yang disepakati bersama pada saat Earth Summit di Rio de Janeiro
tahun 1992 untuk memperbaiki konsep pembangunan yang dulunya cenderung
hanya memperhatikan peningkatan pada sisi ekonomi saja dan mengorbankan
12
sisi lingkungan. Konsep inilah kemudian dikenal dengan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara substansi
pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan penuh pada implikasinya
terhadap lingkungan, antara lain:dampaknya pada masa depan, keseimbangan isu
pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial. Pembangunan berkelanjutan pada
Agenda 21, mewujudkan tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi, lingkungan dan
sosial yang di dalamnya berisikan antara lain:pengentasan kemiskinan dalam
konteks pembangunan berkelanjutan, degradasi lingkungan, pengambilan
keputusan dalam pembangunan berkelanjutan, pembangunan wilayah perdesaan
dan pertanian yang berkelanjutan, perlindungan laut dan kelautan, alih teknologi
yang ramah lingkungan, penguatan terhadap peran kelompok-kelompok utama
yang berkaitan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pada bidang
kelautan dan perikanan dalam agenda 21 dan deklarasi Summit Johannersburg
tahun 2002 yang dapat di adopsi adalah melaksanakan pembangunan kelautan
dan perikanan di wilayah pesisir dan lautan Indonesia.
Menurut Dahuri (2000), pembangunan wilayah pesisir dan lautan diarahkan
pada 4 (empat) aspek utama, yaitu:
(1) . Aspek teknis dan ekologis
Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan pembangunan dan
pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus
memperhatikan keharmonisan spasial (ruang), kapasitas assimilasi (daya
dukung perairan), dan pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan.
(2). Aspek sosial, ekonomi dan budaya
Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan
sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus
mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut.
(3). Aspek sosial politik
Kegiatan pembangunan berkesinambungan khususnya di wilayah pesisir dan
lautan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang
demokratis dan transparan.
13
(4). Aspek hukum dan kelembagaan
Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi
kebijakan nasional.
Pemanfaatan sumberdaya ikan di dunia saat ini sudah menjadi sebuah sektor
industri pangan yang telah berkembang secara dinamis yang digerakan oleh
pasar dan negara pantai yang sudah berusaha keras mengambil manfaat dari
peluang baru yang diperoleh yaitu dengan cara menanamkan modal dalam
armada penangkapan dan pabrik pengolahan moderen sebagai tanggapan
terhadap permintaan internasional. Begitu juga di perairan Indonesia, dengan
semakin besarnya permintaan pasar lokal dan internasional dalam rangka
pemenuhan kebutuhan akan protein hewani dari ikan serta dipicu dengan
peningkatan pendapatan devisa negara dari sumberdaya ikan maka upaya
pemanfataan atas sumberdaya ini selalu meningkat sehingga dapat mengancam
kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan.
Berdasarkan kajian Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional
(KOMNASJISKAN) DKP, (2001) bahwa potensi lestari sumberdaya ikan
sebesar 6,4 juta ton per tahun yang meliputi 9 (sembilan) wilayah pengelolaan
perikanan di Indonesia dengan menggolongkan ikan pelagis kecil, pelagis besar,
ikan demersal, ikan karang, udang, crustacea, cumi-cumi, saat itu beberapa di
wilayah pengelolaan perikanan tersebut dengan kelompok ikan tertentu sudah
ada yang berstatus fully ekploited dan over fishing. Dilanjutkan dengan hasil
kajian KOMNASJISKAN, DKP ( 2005) bahwa keadaan sumberdaya ikan
semakin menghawatirkan yang ditandai dengan indikator biologis dan
lingkungan sehingga peningkatan dan penambahan status stok beberapa jenis
ikan pada berbagai wilayah pengelolaan perikanan dari status moderat menjadi
fully eksploited dan fully exploited menjadi over exploited. Oleh karena itu
penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada pengelolaan
sumberdaya perikanan dengan prinsip hati-hati harus ditingkatkan agar
sumberdaya ikan berkelanjutan.
14
2.2 Rumpon
Nelayan skala kecil yang mendominasi usaha perikanan tangkap di
Indonesia pada umumnya melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan
berbagai keterbatasan, antara lain: modal, ilmu pengetahuan, sarana dan ruang
gerak. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil tangkapan mereka yang
berimbas pada pendapatan yang rendah. Untuk nelayan skala besar saat ini juga
mengalami keterbatasan ruang gerak penangkapan yang disebabkan oleh
semakin meningkatnya biaya operasional dan isu stok sumberdaya ikan
ekonomis penting yang mulai menurun sehingga pendapatannya juga menurun.
Salah satu alternatif untuk menyelesaikan keterbatasan tersebut telah
dikembangkan penangkapan ikan berbasis rumpon.
Fish Aggregating Device (FADs) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan rumpon
adalah suatu konstruksi bangunan yang dipasang di dalam air dengan tujuan untuk
memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan penangkapan ikan
tersebut (Monintja, 1995). Rumpon sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penangkapan ikan dan berfungsi sebagai tujuan daerah penangkapan yang
memudahkan nelayan dalam mencari ikan. Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP
(2007), keuntungan rumpon dalam usaha penangkapan ikan di laut adalah : (a)
menghemat bahan bakar untuk mencari daerah penangkapan, (b) mempersingkat hari
operasi penangkapan (fishing trip), (c) mempunyai kepastian daerah operasi
penangkapan, dan (d) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan.
Selain untuk kegiatan penangkapan ikan, rumpon juga dapat difungsikan untuk
pengembangan jasa lingkungan. Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih
memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional adalah kegiatan wisata
menangkap ikan di sekitar rumpon seperti di Australia. Sebagai negara bahari
ternyata pangsa pasar wisata itu cukup baik terutama bila rumpon berada di
sekitar kepulauan sehingga dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan
penangkapan. Hasil penelitian Merta dan Suhendarata (1991) menyatakan bahwa
penangkapan ikan cakalang di sekitar rumpon lebih menarik dari kegiatan lomba
konsumsi ikan cakalang. Hal ini mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya
kelautan secara berkelanjutan, dimana kegiatan pariwisata, pelayaran, dan
menyaksikan nelayan menangkap ikan pada suatu fishing ground tertentu lebih
mengasyikkan. Rumpon juga sangat bermanfaat untuk membantu nelayan dalam
15
pencarian lokasi penangkapan ikan yang tepat sekaligus mengurangi
kepadapatan penangkapan di sekitar perairan pantai yang cenderung
menimbulkan banyak konflik. Hal ini tentu dengan memperhatikan jalur
pelayaran sehingga rumpon sebagai alat pengumpul ikan tidak terganggu
(Budiono, 2006).
Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun negara-negara lain
seperti Philipina dan negara Pasifik Barat. Semula penggunaan rumpon
ditujukan untuk ikan pelagis kecil, namun dengan ditemukannya bentuk
konstruksi rumpon laut dalam yang disebut payaos, maka tujuan utama lebih
ditekankan untuk penangkapan ikan pelagis besar terutama tuna, cakalang dan
sejenisnya. Penggunaan payaos diperkenalkan oleh Philipina pada tahun 1978
yang merupakan pembaharuan teknologi dala perkembangan konstruksi
rumpon. Keberhasilan penggunaan payaous ini di Philipina, segera diikuti oleh
negara-negara yang merasa memiliki Samudera Hindia dan Pasifik seperti
Jepang. Di Indonesia penggunaan payaous baru diperkenalkan pada tahun
1988. Menurut Subani (1988), nelayan Sulawesi (Teluk Mandar, Mamuju,
Teluk Tomini, Teluk Bone) telah mengenal rumpon laut dalam jauh sebelum
perang dunia II dan menyebutnya dengan nama rompong mandar atau rompong
lompo. Penggunaan rumpon telah berkembang dengan pesat terutama rumpon
laut dangkal di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa dengan alat tangkap purse
seine mini. Rumpon laut dalam telah berkembang di daerah Bagian Timur
seperti di Sorong, Fak-fak, Maluku Utara, Teluk Tomini Laut Sulawesi,
Sulawesi Tenggara , Sulawesi Selatan, Laut Pasifik Barat dan Nusa Tenggara
Timur serta saat ini berkembang di Samudera Hindia khususnya Barat Sumatera
(DKP, 2007). Berdasarkan penempatannya, di Indonesia dikenal 3 (tiga) jenis
rumpon yaitu rumpon laut dangkal, laut dalam dan dasar. Rumpon laut dangkal
yaitu alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan
laut dengan kedalaman sampai 200 meter dan biasanya dipergunakan untuk
menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan rumpon laut dalam yaitu alat bantu
penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan laut dengan
kedalaman lebih besar dari 200 meter untuk penangkapan ikan tuna dan
cakalang di samping pelagis kecil. Rumpon laut dasar yaitu rumpon yang
16
dipasang di dasar perairan dan umumnya menangkap ikan-ikan dasar dan ikan-
ikan karang (Departemen Pertanian, 1997). Namun rumpon perairan dasar
lebih banyak diarahkan sebagai upaya perbaikan habitat kehidupan ikan yang
dapat membantu ikan mendapatkan ”rumahnya” (terumbu buatan) dengan kata
lain untuk konservasi ekosistem (DKP, 2007).
Hasil penelitian Arifin (2008) menyarankan, bahwa perlu pengaturan
kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi
wilayah, karakterisik lingkungan perairan, dan kebutuhan ekonomis masyarakat
sekitar serta teknologi rumpon dan alat tangkap yang digunakan. Dengan
demikian kepadatan rumpon di suatu wilayah penting dipertimbangkan. Hasil
penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil tangkapan terus
meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit dan penambahan jumlah
rumpon akan meningkatkan hasil tangkapan dan sampai suatu ketika akan
mencapai suatu kondisi maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh
penambahan rumpon tidak lagi diikuti dengan penambahan jumlah hasil
tangkapan melainkan dengan penurunan yang cukup signifikan sehingga secara
ekonomis akan tidak menguntungkan lagi. Penggunaan awal rumpon laut dalam
di Sorong tahun 1986, ternyata hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar
105% dari hasil tangkapan per satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan
pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak
untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar
50% (Naamin, 1987). Namun saat ini dengan bertambahnya penggunaan
rumpon di perairan Sorong terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan
per satuan upaya (CPUE).
Selanjutnya hasil penelitian Yusfiandayani (2004), jumlah rumpon di
perairan sekitar Pasauran Selat Sunda telah melebihi kapasitas sehingga
memberikan dampak secara langsung pada hasil tangkapan nelayan semakin
menurun dan ukuran ikan semakin kecil, sehingga diperlukan rasionalisasi
dengan penurunan jumlah rumpon. Dampak pengurangan jumlah rumpon yang
akan dipasang akan berpengaruh terhadap nelayan payang Bugis, oleh karena itu
diperlukan pengelolaan bersama penggunaan satu rumpon yang akan
dimanfaatkan oleh beberapa nelayan Bugis sehingga pendapatan taraf hidup
17
nelayan dapat meningkat. Menurut Preston (1982), bahwa penempatan rumpon
laut dalam harus disesuaikan dengan kondisi perairan setempat dengan
memperhatikan beberapa faktor sebelum memasang rumpon di suatu perairan
yaitu:
a. Lokasi perairan di lewati ruaya ikan cakalang dan tuna,
b. Dasar perairan yang rata,
c. Kekuatan arus dan angin yang tidak terlalu besar.
Lebih lanjut menurut Jusuf (1999), beberapa kondisi lingkungan perairan yang
diperlukan dalam pemasangan rumpon, antara lain :
a. Perairan yang akan ditempatkan rumpon merupakan daerah/habitat
kelompok ikan cakalang dan tuna di lokasi tersebut.
b. Perairan kaya dengan unsur hara atau nutrien
c. Kekuatan arus dan angin tidak terlalu besar.
d. Diutamakan merupakan lokasi pertemua arus panas dan arus dingin
Teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat
tangkap ikan yang mempunyai keragaman yang baik ditinjau dari aspek biologi,
teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk
dikembangkan. Menurut Haluan dan Nuraini (1993), untuk pengembangan
teknologi penangkapan ikan, ada aspek-aspek yang harus dipenuhi yaitu:
a. Tidak merusak biologi dan kelestarian sumberdaya,
b. Secara teknis efektif digunakan,
c. Secara sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan,
d. Secara ekonomi dapat menguntungkan,
e. Memperoleh izin dari pemerintah.
Teknologi tambatan rumpon biasanya diberi pelepah daun kelapa, bambu dan
lainnya yang memudahkan algae tumbuh subur di permukaan. Adanya algae dan
sejenisnya menarik minat ikan kecil ke rumpon, dan adanya ikan kecil menarik
minat ikan besar ke rumpon. Prinsip umum komponen utama kontruksi
bangunan rumpon sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah yaitu terdiri dari
rakit, pelampung (buoy), jangkar (anchor/singkers), tali jangkar (rope) dan
pemikat ikan (antraktor), bendera atau tanda pemilik rumpon. Selain berdasarkan
penempatannya, berdasarkan konstruksinya rumpon dikelompokkan menjadi
18
rumpon tradisional dan rumpon moderen. Kontruksi teknologi rumpon
tradisional meliputi :
a. Pelampung (buoy), terbuat dan rakit bambu.
b. Tali jangkar (rope), setiap daerah memiliki perbedaan, seperti; nelayan Jawa
dan Madura menggunkan bahan ijuk dan Sulawesi menggunakan rotan.
c. Pemikat ikan (atractor) terbuat dari pelepah daun kelapa, lontar, bambu dan
sebagainya.
d. Jangkar/Pemberat (anchor) terbut dari beberapa batu yang dirangkai menjadi
satu dan jangkar yang dibuat dari bahan kayu.
Jenis rumpon tradisional ini telah lama digunakan oleh nelayan di daerah Jawa,
Madura, Sumatera, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Rumpon nelayan daerah Jawa dan Madura dipasang pada perairan dangkal
(continental shelf) pada kedalaman sekitar 40 – 60 meter. Sedangkan nelayan
daerah Sulawesi memasang rumpon pada kedalaman 500 – 2.000 meter. Target
tangkapan umumnya kelompok ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat
tangkap pukat cincin (purse seine) atau payang dari nelayan Jawa dan Madura.
Sedangkan nelayan Sulawesi menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line)
dengan target tangkapan ikan tuna atau sejenisnya. Adapun rumpon tradisional
diperlihatkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Rumpon Tradisional(Sumber : South Pacific Commission, 1996)
19
Rumpon Moderen (Gambar 2.2), biasanya dipasang hingga kedalaman
2.000 m dilengkapi dengan radar dan penyerap energi matahari. Bahan
rumpon dari baja, alumunium dan fibreglass. Beberapa rumpon dirancang
tahan terhadap gangguan cuaca, seperti penggunaan tali sintetic yang mampu
bertahan dalam kondisi cuaca terburuk dan mampu bertahan hingga 5 tahun.
Gambar 2.2 Rumpon Moderen(Sumber : South Pacific Commission, 1996)
Perilaku hidup ikan sasaran juga harus diperhatikan dalam pemasangan
rumpon. Bila rumpon diarahkan untuk menangkap ikan cakalang sebagai hasil
tangkapan utama, maka rumpon harus dipasang pada perairan dengan suhu 10 –
30 oC, mempunyai salinitas 33 per mil, penyebaran secara vertikal dari
permukaan 260 m, merupakan daerah pertemuan arus, lebih disukai lokasi
tersebut terjadi pertemuan antara air panas dan air dingin, secara geografis
berada pada daerah lintang sedang (tidak terlalu ke lintang selatan maupun ke
lintang utara), tersedia cukup bahan makanan untuk ikan cakalang yang biasanya
bergerombol besar (Martosubroto dan Malik, 1989).
Sebenarnya prinsip suatu penangkapan ikan dengan rumpon adalah sebagai
alat untuk mengumpulkan ikan agar kawanan (schooling) ikan tersebut mudah
ditangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki karena rumpon tempat
berlindung dan mencari makanan (Subani, 1986). Adanya ikan di sekitar
rumpon menciptakan arena makan dan dimakan yang diawali dengan tumbuhnya
20
bakteri dan mikroalga saat rumpon dipasang. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian Yusfiandayani (2004), bahwa mekanisme berkumpulnya ikan pelagis
kecil di sekitar rumpon cenderung disebabkan oleh proses rantai makanan yang
diawali dengan tahapan terbentuknya kolonisasi mikroorganisme yang menempel
di sekitar bahan atraktor rumpon, berkumpulnya pemangsa mikroorganisme di
sekitar rumpon, berkumpulnya ikan-ikan penyaring (ikan herbivora) serta
berkumpulnya ikan-ikan predator (karnivora dan omnivora). Lebih lanjut
menurut Nybakken (1992), bahwa spesies dalam komunitas tidak terisolasi,
tetapi antar spesies saling terjadi interaksi dalam daerah yang sama sehingga
akan terjadi proses makan dan dimakan dalam komunitas tersebut.
Untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar rumpon, dapat
digunakan pancing hand line, pole and line, dan mini purse seine. Pengoperasian
hand line dan pole and line hampir sama dan cukup sederhana, sedangkan mini
purse seine sedikit lebih rumit. Namun secara umum, pengoperasian pancing
hand line, pole and line, dan mini purse seine dapat mengacu kepada Imron dan
Baskoro dalam DKP (2007) adalah :
(a) Persiapan, meliputi persiapan perbekalan dan umpan.
(b) Pemancingan, pemancingan mengunakan hand line dilakukan di depan
rumpon, yaitu pada lokasi arus datang menuju rumpon. Ikan-ikan cakalang
mempunyai kecenderungan untuk berenang di depan rumpon. Pada
pemancingan menggunakan pole and line, apabila kapal sudah berada di
lokasi rumpon, maka boy-boy segera berusaha untuk menarik gerombolan
tuna/cakalang untuk mendekat ke perahu, dan umpan langsung dilempar.
Pada saat ikan telah memberikan respon terhadp umpan, maka pancing
harus sudah siap dan diulurkan sehingga kail masuk antara 0 – 10 cm ke
dalam permukaan laut. Pelemparan umpan terus dilakukan dan pada saat
yang sama dilakukan penyemprotan air melalui water sprayer yang ada di
lambung kapal.
Pada penangkapan menggunakan mini purse seine, setelah kapal tiba di
sekitar rumpon, maka alat tangkap segera diturunkan untuk melingkari
gerombolan ikan. Penurunan alat tangkap dilakukan dengan memperhatikan
arah angin, arus, arah gerombolan ikan dan arah datangnya sinar matahari.
21
Penangkapan ikan menggunakan mini purse seine dapat dilakukan pada siang
hari maupun malam hari, sedangkan penangkapan pada malam hari
menggunakan alat bantu yang dipasang pada rakit di sekitar rumpon (Muchtar,
1999).
Untuk menjaga agar rumpon memiliki umur teknis yang tinggi, maka
pemeliharaan dan perawatan terhadap rumpon harus senantiasa dilakukan.
Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP (2007), pemeliharaan dan perawatan
terhadap rumpon meliputi :
a. Penggantian dan perbaikan bambu setiap tiga bulan
b. Penggantian pelepah daun kelapa setiap satu bulan
c. Pengecekan secara rutin tali jangkar pada rumpon
d. Pengawasan posisi rumpon terhadap lalu lintas pelayaran
Oleh karena itu selain aspek teknologi rumpon, pengelolaan rumpon yang
berkelanjutan yang sesuai dengan tujuan dan fungsinya harus memperhatikan
aspek ekologi, biologi ikan, alat penangkapan ikan, sosial budaya dan ekonomi,
aspek legal yang meliputi lokasi pemasangan, jumlah pemanfaatan dan izin
pemasangan serta lingkungan sosial sehingga rumpon sebagai alternatif alat
bantu penangkapan ikan di laut berbasis rumpon dapat berlanjut (Baskoro, 2005).
2.3 Tingkah Laku Ikan Pelagis yang Berasosiasi dengan Rumpon
Peran rumpon sebagai wahana pengumpul ikan di perairan Indonesia
sejak lama telah banyak dimanfaatkan oleh nelayan karena adanya
kecenderungan ikan-ikan pelagis untuk bergerombol di sekitar rumpon. Subani
(1972) mengemukaan, bahwa ikan-ikan lemah (seperti cakalang kecil) yang
berada di sekitar rumpon berenang pada sisi sebelah atas rumpon. Kadang-
kadang bergerak ke kiri dan kekanan, tetapi selalu kembali ke tempat semula dan
umumnya berenang menentang arus. Ikan berenang menghadang arus dan
berada di depan rumpon. Ikan yang berukuran sedang biasanga ditemui di
bawah gerombolan ikan ukuran kecil dengan gerakan yang sama dengan
gerakan yang sama juga dengan ukuran kecil tersebut. Pada umumnya ikan yang
bergerombol mempunyai ukuran yang sama (umur, panjang, berat), dan akan
memudahkan dalam menangkap mangsanya (Djatikusumo), 1977). Hochachka
22
(1979) dalam Longhurst dan Pauly (1987) mengemukakan, tingginya aktivitas
jenis tuna didukung tidak hanya oleh tingginya kompleksitas dan keragaman
biokimia otot tetapi juga oleh kemampuan penyimpanan panas pada ototnya
yang dapat menimbulkan penambahan metabolisme aerobik dan aerobik
sehingga dapat beruaya jauh. Namun dalam perjalanan beruaya tersebut isyarat
visual sangat sedikit, navigasi untuk beruaya tidak perlu terlalu akurat tetapi
dapat menentukan arah secara umum sesuai dengan musim dan masa air. Namun
adanya daya tarik universal ikan pada benda terapung seperti potongan kayu
kecil tulang jenis sotong untuk dapat menarik ikan kecil bertahan pada kurun
waktu yang lama dan jenis tunapun tidak terkecuali secara teratur berasosiasi
dengan benda-benda terapung tersebut. Hal ini diperkuat 1/5 hasil tangkapan
armada purse seine di perairan tropis pasifik Timur pada tahun 1970 melakukan
kegiatan penangkapan ikan di sekitar benda terapung.
Tingkah laku ikan pada daerah penangkapan ikan mempunyai
hubungan dengan berbagai faktor lingkungan dan ekologi sehingga dapat
diketahui cara yang dapat meningkatkan efisiensi serta penggunaan alat tangkap
untuk meningkatkan hasil tangkapan. (Gunarso, 1985). Pergerakan horizontal
pada jenis cakalang (K.pelamis) dapat mencapai pergerakan sekitar 2 mil dari
rumpon dengan kecepatan renang 1,2 – 2,4 knot. Sedangkan ikan madidihang
(T.albacores) memperlihatkan pergerakan horizontal sejauh 1 mil kemudian
menghilang tetapi akhirnya ditemukan pada rumpon lain dalam satu perairan
dan esok harinya ikan tersebut kembali lagi ke rumpon semula (Cayre, 1991).
Hasil pengamatan vertikal menunjukkan bahwa kedalaman renang ikan
cakalang menunjukkan pada malam hari cenderung berada di perairan yang
lebih dalam (100-150 m) sedangkan pada sing hari berada pada kedalaman 0-20
m. Ikan madidihang pada siang hari mencapai kedalaman antara 70-100 m
dengan suhu 25-27C dan pada malam hari 40-70 m dengan suhu >27C. Pada
umumnya ikan madidihang berenang mendekati permukaan pada malam hari
dan cenderung mulai berenang semakin dalam pada pagi hari sesudah matahari
terbit. Nilai tengah kedalaman ikan madidihang yang berasosiasi dengan
rumpon sekitar 5,3 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 85,2 meter.
23
Ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon umunya berenang
ke permukaan pada pagi hari dan mulai berenang ke dalam pada tengah hari,
kemudian kembali lagi mendekati permukaan sesudah matahari terbenam.
Kedalam ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon pada siang hari
antara 50-60 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 230 meter.
Selanjutnya menurut hasil penelitian Nugroho (2000) bahwa, dominasi
ikan yang masih belum matang gonad (juwana) adalah fenomena umum pada
perikanan dengan penggunaan alat bantu rumpon. Selain itu dominasi baby
tuna dalam hasil tangkapan dengan menggunakan rumpon di perairan Teluk
Tomini berkaitan dengan tingkah laku ikan yang berada pada lapisan permukaan
perairan pada saat ikan tersebut muda.
Hasil penelitian Yusfiandayani (2006) menyatakan bahwa rumpon akan
menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan.
Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain
mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi
ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut.
Untuk perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia, rumpon sudah dapat
dipasang pada kedalaman 25 – 50 m, dan bisa lebih jauh dan dalam tergantung
ukuran rumpon dan armada nelayan yang menangkap ikan serta ikan target di
sekitar rumpo tersebut. Hal ini ditunjang hasil penelitian Soedharma (1994)
tentang perilaku ikan membentuk komunitas menunjukkan bahwa ikan
berkumpul atau membentuk komunitas di sekitar rumpon berdasarkan
kelengkapan rantai makanan yang tersedia. Ikan kelompok besar akan datang
bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga
halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-ikan tersebut akan datang dan pergi
secara berkelompok dengan periode dan lama menetap tergantung jumlah
makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut.
Suhu, salinitas dan arus merupakan faktor oseanografis yang secara
langsung mempengaruhi migrasi dan penyebaran tuna dan cakalang di suatu
perairan. Menurut Batubara (1981), bahwa kisaran suhu optimum dari jenis
ikan tuna mata besar adalah 17 - 23°C pada kedalaman 50 – 400 meter,
madidihang adalah 14 - 22ºC pada kedalaman 200 – 300 meter. Selanjutnya
24
disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada umumnya menghuni
perairan dengan salinitas 18 - 38‰
Menurut Budiono (2006) laju pergerakan ikan dari yang berasosiasi
dengan rumpon ke arah yang tidak berasosiasi dengan rumpon (l) dapat menjadi
petunjuk bagi nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai efektif di
sekitar rumpon. Hal ini dapat mengurangi konflik yang disebabkan oleh proses
dan teknologi produksi. Dengan mempelajari pergerakan tersebut, maka nelayan
dapat membagi wilayah penangkapan di antara mereka sehingga hasil tangkap
optimal bisa dinikmati bersama.
Bila pengaturan penangkapan berdasarkan pola migrasi dan asosiasi
tersebut dapat di atur, maka menurut hasil penelitianYusfiandayani (2006) di
Pasauran, standing stock sumberdaya ikan yang berada di bawah pengaruh suatu
rumpon dan bila tidak ditangkap untuk jangka waktu 1 tahun (angka perkiraan)
akan berkembang menjadi sebesar 30 ton (Z). Dalam keadaan seimbang, laju
susut populasi ikan di suatu rumpon, yakni (l + m) Z akan sama dengan laju
rekrutmen terhadap rumpon atau pB. Dengan menggunakan nilai 196.18 ton
sebagai potensi biomassa yang belum ditangkap maka biomassa ikan pelagis
yang tidak berasosiasi dengan rumpon menjadi 1,70 ton/km2. Pemanfaatan
sumberdaya ikan seperti ini, tentu sangat mendukung kebelanjutan pemanfaatan
di kemudian dan pengelolaan rumpon sebagai pengumpul ikan sekaligus
pembentuk ekosistem baru termasuk berhasil dan sangat dipertahankan. Hasil
tangkapan akan mencapai optimum (154.4 ton per tahun) jika jumlah rumpon di
Pasauran hanya 4 unit, dan dengan pengelolaan tersebut akan memberikan
keuntungan optimum (Rp 38.2 juta per tahun). Jumlah rumpon 4 unit pada
perairan Pasauran seluas 115.4 km2 ini menunjukkan bahwa setiap luasan
pengaruh / area perairan sekitar 23 km2 atau setiap jarak 5 km (3 mil laut) hanya
terdapat 1 rumpon. Data ini didapat berdasarkan existing condition 45 buah
rumpon yang berhasil dideteksi di perairan dan mencakup luasan pengaruh 2.6
km2 atau rata-rata jarak antar rumpon sekitar 1.6 km (0.9 mil laut). Bila
kepadatan rumpon ini diubah dai 1,6 km2 per rumpon menjadi 5 km2 per
rumpon, maka pengelolaan rumpon yang menjadi ketersediaan sumberdaya ikan
secara lestari dan keuntungan optimum bagi nelayan dapat selalu terjaga.
25
Beberapa hipotesis tentang fungsi dari benda terapung di lautyang
merupakan teori pemasangan rumpon telah dikemukakan oleh peneliti yang
kemudian dihimpun oleh Gooding dan Magnusson (1967) yaitu:
1. Ikan mencari tempat berlindung dari predator
2. Ikan besar memangsa ikan kecil
3. Ikan memakan algae atau dedaunan yang terdekomposisi
4. ikan mencari perlindungan di bawah benda apung
5. Ikan menggunakan benda terapung sebagai substrat meletakkan telurnya
6. Bayangan benda membuat zooplankton lebih terlihat bagi ikan
7. Benda terapung merupakan ”cleaning station” dimana ikan pelagis
melepaskan parasitnya melalui asosiasi dengan ikan lain.
Dari ketujuh hipotesis tersebut baru dapat dibuktikan kebenaranya bahwa benda
terapung berfungsi sebagai:
1. Perlindungan dari predator
2. Pengumpul sediaan makanan
3. Cleaning station bagi pada parasit yang menempel
2.4 Jenis-Jenis Ikan Yang Berasosiasi di Rumpon
Informasi jenis ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon penting untuk
mengetahui potensi ekonomi dan keberhasilan penangkapan di sekitar rumpon.
Secara umum, jenis ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon terdiri dari
kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil. Menurut Subani
(1958), kelompok ikan pelagis besar yang berasosiasi di sekitar rumpon dapat
berupa cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (Thunnus albacores),
tuna albakor (Thunnus allalunga), tuna sirip biru (Thunnus obesus), dan
tongkol(Euthynnus affinis dan Auxix spp.). Sedangkan ikan pelagis kecil yang
berasosiasi di sekitar rumpon dapat berupa layang (Decapterus ruselli,
Decapterus macrosoma, Decapterus kurroidea), siro (Sardinella sirm), lemuru
(Sardinella lemuru), tembang (Sardinella fimbriata, Sardinella brachiosoma,
26
Sardinella gibbosa), bentong (Selar crumenopthalmus), dan selar (Selaroide
leptolepis).
Beberapa hasil pengamatan tentang rumpon menunjukkan bahwa
jenis hasil tangkapan utama dengan alat pancing dan payang adalah layang
(Decapterus spp), pisang-pisang (Caesio spp.), bentong (Selar
crumenopthalmus), tenggiri (Scomberomorus spp.), dan sunglir (Elagatis
bipinnulatus). Selain kelompok ikan pelagis, hasil tangkapan rumpon,
khususnya pada laut dangkal juga terdapat ikan demersal. Hasil pengamatan
rumpon dengan alat tangkap bagan apung terdiri dari pepetek (Leioghnathus
splendens), selar kuning (Selaroides leptolepis), teira batfish (Platax teira),
kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), unicorn leatherjacket (Alutrus monoceros)
(Lintang dan Anung, 1994). Selanjutnya, jenis-jenis ikan yang berasosiasi positif
dengan rumpon adalah pepetek (Leiognathus splendens), selar kuning
(Selaroides leptolepis), kerapu lumpu ( Epinephhelus tauvani), teira batfish
(Platax teira), dan unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros). Lebih lanjut
Arifin (2008) di Selat Lembah menyebutkan bahwa jenis ikan pelagis yang
tertangkap pada ekosistem lengkap termasuk ekosistem rumpon dapat terdiri dari
selar hijau (Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolepis), kembung lelaki
(Rastrelliger kanagurta), layang panjang (Decapterus russelli), layang gilik
(Decapterus macrosoma), tongkol (Auxis thazard), selar bentong (Selar
crumenophthalmus), tetengkek (Megalaspis cordyla) dan ikan sunglir (Elagatis
bipinnulatus). Ikan yang selalu ada sepanjang tahun dan selalu tertangkap
dengan menggunakan payang bugis adalah ikan selar hijau (Atule mate).
Ikan pelagis besar menyebar di perairan yang relatif dalam, bersalinitas
tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya lebih kosmopolitan yang dapat hidup
di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas lebih rendah (Martosubroto dan
Malik, 1989). Ikan pelagis besar dari jenis cakalang dan tuna banyak terdapat di
perairan lepas pantai termasuk zona ekonomi ekslusif. Sebaran ikan cakalang
(K. Pelamis) terutama di perairan Indonesia Bagian Timur, perairan barat-timur
Sumatera, peraiarn selatan Jawa, dan perairan selatan Pulau Timor. Daerah
sebaran cakalang yang paling luas dan padat terdapat di sekitar perairan Kepala
27
Burung, Papua Barat, perairan utara Papua, perairan Maluku Utara, perairan
Teluk Tomini, dan perairan Nusa Tenggara (Barus, 1982).
Ikan madidihang (T. Albacores) banyak terdapat di perairan Indonesia
Bagian Timur, perairan pantai Selatan Jawa, dan perairan Barat Sumatera.
Sedangkan tuna jenis albakor (T. Allalunga) terdapat di perairan selatan Jawa,
Bali, dan perairan Nusa Tenggara. Ikan tuna mata besar (T. Obesus) banyak
terdapat di semua perairan Indonesia walaupun pada beberapa daerah, potensinya
tidak begitu besar. Tuna sirip biru (T. Maccoyii) terdapat di perairan selatan
Jawa sampai periaran selatan Pulau Timor. Tuna abu-abu (T. Tonggol),
penyebarannya lebih mendekati periaran yang berkadar garam relatif rendah (laut
Jawa dan laut Cina Selatan) sehingga sering dikelompokkan sebagai jenis tuna
pantai (Martosubroto dan Malik, 1989).
Sebaran ikan pelagis kecil umumnya ditemukan di daerah paparan
dengan komunitas yang bergerombol dan menyukai daerah permukaan. Hampir
semua jenis ikan pelagis kecil ditemukan di seluruh perairan Indonesia, kecuali
lemuru (S. Lemuru) yang hanya terdapat di selat Bali. Musim penangkapan ikan
pelagis kecil di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada peralihan musim
timur ke musim barat, yaitu sekitar bulan Agustus sampai Desember (Lintang
dan Anung. 1994). Di perairan Jawa, daerah penangkapan ikan pelagis kecil
pada musim timur (Juli – Agustus) terpusat di sekitar perairan Pulau Bawean
sampai perairan selat Makassar, sedangkan pada bulan September sampai
November, penangkapan umumnya hampir merata di seluruh parairan pantai
utara Jawa. Pada musim barat (Desember – Pebruari), daerah penangkapan
umumnya di sekitar perairan pulau Masalembo dan Matasiri untuk ikan layang,
perairan Kepulauan Karimun sampai Bawean untuk ikan banyar, dan perairan
sekitar Bawean untuk ikan siro (Mann dan Lazier, 1991).
Daerah penangkapan pada musim barat sebenarnya bisa lebih luas,
namun terkadang cuaca kurang mendukung untuk operasi penangkapan ikan
menggunakan kapal-kapal kecil yang kebanyakan dimiliki nelayan. Di perairan
selat Bali, pola musim ikan lemuru biasanya antara bulan Oktober sampai Maret,
dan ini biasanya tidak berubah dari tahun ke tahun (Merta, 1991). Pemasangan
28
dan pemanfaatan rumpon di laut juga memperhatikan daerah penyebaran ikan
pelagis kecil dan besar sebagai ikan target tang akan ditangkap.
2.5 Potensi Perikanan Laut
Potensi perikanan laut sesungguhnya merupakan asset yang sangat besar
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun asset ini belum dimanfaatkan
secara maksimal. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya
laut, dan industri bioteknologi kelautan. Menurut Dahuri (2001) potensi
perikanan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5.2 juta ton atau 80% dari MSY
(Maximum Sustainable Yield). Hingga saat ini jumlah tangkapan mencapai 4,7
juta ton (DKP, 2008). Pertumbuhan penduduk dunia semakin pesat maka
kebutuhan akan pangan termasuk ikan juga meningkat sehingga permintaan
terhadap ikan terus meningkat. Menurut laporan Food and Agriculture
Organization (FAO) (2005) bahwa sekitar 3 % sumberdaya perikanan dunia
pada tingkat eksploitasi optimum, 23 % pada tingkat eksploitasi moderat, 52 %
pada tingkat eksploitasi penuh, 16 % sudah pada tingkat melampaui batas
optimum produksi, 5% pada tingkat penurunan produksi secara terus menerus
(status deplesi) dan hanya 1% pada tingkat dalam proses pemulihan melalui
program konservasi. Dengan kata lain bahwa sumberdaya perikanan yang masih
dapat dimanfaatkan di bawah tingkat optimum hanya sebesar 26 %, dan sisanya
74 % sudah dimanfaatkan secara berlebihan. Secara regional, jenis ikan-ikan
yang mempunyai ekonomis penting seperti bigeye tuna (Thunnus obesus) ,
yellowfin tuna (Thunnus albacores) dan swordfish (Xiphias gladius) sudah
berstatus fully exploited yang mengarah pada overexlpoited sejak tahun 2005.
Hal ini diperkuat dengan hasil the 10Th session of the Scientific Committee of
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) (FAO, 2007) yang merekomendasikan
untuk menurunkan hasil tangkapan jenis ikan-ikan tersebut sampai pada hasil
tangkapan sebelum tahun 2003 di Samudera Hindia dan mengkaji kembali
pemasangan rumpon bagi nelayan tradisional Indonesia di Samudera Hindia.
Indonesia, sekitar 65 % dari ikan-ikan potensial seperti pelagis kecil di Laut
Jawa, pelagis besar di Samudera Hindia dan Sulawesi dan Pasifik, udang dan
ikan-ikan dasar di Arafura sudah diekploitasi secara penuh sejak tahun 2000-an.
29
Kemudian usaha perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh usaha skala
kecil dengan ruang gerak tidak jauh dari pantai telah mengakibatkan tekanan
sumberdaya ikan di pesisir. Dalang rangka pembinaan nelayan, agar dapat
meningkatkan produktivitas penangkapan ikan di laut maka program
rumponisasi dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun
keberlanjutan rumpon perlu di kaji sehingga kebijakan pengelolaan rumpon akan
memberikan manfaat secara ekonomi bagi nelayan tanpa mengurangi kelestarian
lingkungannya.
2.6 Analitical Hierarchy Process
Analitical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu alat analisis
manajemen strategik dengan pendekatan sistem. Suatu totalitas sistem seperti
lingkungan, ekonomi, pemerintahan dan organisasi tidak bisa dianalisis pada
bagian-bagiannya tetapi harus dipahami sebagai satu kesatuan. Dengan
pendekatan AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun suatu skala
pengukuran dalam bentuk indek, skoring atau nilai numerik tertentu. Karena itu
untuk menyelesaikan persoalan dengan AHP perlu dipahami prinsip-prinsip
dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas, dan konsistensi logika.
(1) Dekomposisi, merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi
unsur-unsur yang tidak mungkin dipecahkan lagi. Melalui dekomposisi
akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara
terstruktur sebagai suatu hirarki.
(2) Perbandingan Berpasangan, merupakan langkah untuk memberi penilaian
tingkat kepentingan relatif dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat
diatasnya. Penilaian ini merupakan prinsip penting dari AHP didalam
memposisikan peubah keputusan pada setiap tingkat hirarki keputusan.
(3) Sintesis dan prioritas, merupakan langkah untuk menentukan nilai eigen
vector pada setiap matriks pair waise comparison untuk mendapatkan nilai
kegiatan yang menjadi prioritas lokal. Dengan demikian untuk
memperoleh global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority
tersebut. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki.
30
Pengurutan elemen sesuai dengan kepentingan relatif dengan cara sintesa
ini dikenal sebagai priority setting.
(4) Konsistensi, mempunyai dua makna, pertama merupakan kumpulan objek
yang sama sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut
hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan.
Jika penilaian tidak konsisten maka penilaian harus diulang untuk
memperoleh penilaian yang lebih tepat.
Terdapat banyak variasi bentuk hirarki, perbedaan ini menyebabkan
perbedaan dalam melakukan sintesa. Komparatif judgment merupakan inti dari
AHP, perbedaan orang yang memberi judgment mungkin menyebabkan
perbedaan prioritas. Karena metoda ini berpijak pada konsistensi maka
selanjutnya dapat dikembangkan rumusan matematis untuk menjelaskan
konsistensi tersebut. Rumusan itu dapat ditransformasi dengan pendekatan
matrik untuk memperoleh eigen value dalam mencari vektor prioritas.
Dengan pendekatan AHP, beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
1. Mendefenisikan masalah Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi
permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan
2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif
pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang
setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan “judgment”dari pengambil
keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan
dengan elemen lainnya
4. Menghitung matriks pendapat individu
5. Menghitung pendapat gabungan
6. Pengolahan horizontal
7. Pengolahan vertikal
8. Revisi pendapat
31
2.7 Penelitian Terdahulu Tentang Rumpon
Penggunaan awal rumpon laut dalam di Sorong tahun 1986, ternyata
hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar 105% dari hasil tangkapan per
satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan nelayan pemilik rumpon sebesar
367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak untuk kapal sebesar 64,3%
serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar 50% (Naamin, 1987).
Hasil penelitian Yusfiandayani et al (2006) menyatakan bahwa rumpon
akan menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di
perairan. Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab
antara lain mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference
point bagi ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan
tersebut. Hasil penelitian Yusfiandayani et al (2006) di Pasauran banten, bahwa
dengan luas penelitian 115 km2 , untuk mendapatkan keuntungan yang optimal
dan kelestarian sumberdaya ikan maka jarak antara satu rumpon dengan rumpon
yang lain mempunyai pengaruh sebesar 23 km2.
Penelitian Soedharma (1994) tentang perilaku ikan membentuk
komunitas menunjukkan bahwa ikan berkumpul atau membentuk komunitas di
sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanana yang tersedia. Ikan
kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi
mangsanya di lokasi, begitu juga halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-
ikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan
lama menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut.
Hasil penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil
tangkapan terus meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit. Hasil
tangkapan bertambah terus sampai suatu ketika akan mencapai sutau kondisi
maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh penambahan rumpon tidak lagi
diikuti dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan
yang cukup signifikan. Antiklimaks dari kondisi ini akan terjadi terus, jika
jumlah rumpon terus ditambah pada area yang sama tanpa ada perlakuan khusus
yang dapat menarik ikan dalam jumlah besar ke lokasi. Kepadatan rumpon perlu
diatur sehingga hasil tangkapan setiap rumpon tetap maksimal.
32
Hasil penelitian Monintja, Baskoro, Purbayanto (1989) bahwa
pemanfaatan FAD untuk penangkapan ikan madidihang dengan pancing ulur di
perairan Pelabuhanratu, dinilai meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha
penangkapan bagi nelayan. semua aspek atau dimensi yang berinetraksi
terakomodir secara wajar.
Menurut Wudianto (1990), bahwa dengan menggunakan teknik taging
terhadap ikan Cakalang dan Tuna di Laut Sulawesi dan sekitarnya, diketahui
bahwa keberadaan rumpon akan mempengaruhi pola migrasinya dan ikan
tersebut akan lebih lama di sekitar rumpon dan kembali lagi.
Hasil penelitian Zulkarnain (2002) tentang penggunaan rumpon pada
bagan apung di teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat, bahwa ikan yang tertangkap
dengan alat tangkap bagan disekitar rumpon jumlahnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan bagan apung tanpau rumpon. Ikan-ikan yang tertangkap
merupakan ikan-ikan yang berasosiasi dengan rumpon yaitu ikan pelagis kecil.
Berdasarkan hasil penelitian Susanna (2004), bahwa daun kelapa
merupakan atraktor yang terbanyak menghadirkan perifiton dan ikan-ikan yang
mengindikasikan adanya pemanfaatan rumpon sebagai tempat mencari ikan dan
lebih lanjut ikan-ikan yang ditemukan di rumpon adalah banyak ikan yang
matang gonad.
Berdasarkan hasil penelitian Nahib (2007) tentang analisis dinamik
pengelolaan sumberdaya perikanan tuna kecil di perairan Pelabuhanratu, bahwa
keberadaan rumpon akan menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan ikan
sebesar 1,5-5,6%, peningkatan kemampuan daya tangkap sebesar 7-10%,
peningkatan produksi sebesar 22% , serta penurunan kapasitas daya dukung 3-
10%. Hasil penelitian Arifin (2008) dapat menjadi acuan dalam pengaturan
kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi
wilayah, karakterisik lingkungan peraiaran, dan kebutuhan ekonomis masyarakat
sekitar. Lebih lanjut hasil penelitian Arifin (2008) di Selat Lembah
menunjukkan bahwa jenis ikan pelagis yang tertangkap pada ekosistem lengkap
termasuk ekosistem rumpon dapat terdiri dari selar hijau (Atule mate), selar
kuning (Selaroides leptolepis), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), layang
panjang (Decapterus russelli), layang gilik (Decapterus macrosoma), tongkol