II. TINJUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filePergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan...

24
10 II. TINJUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, sebagian besar terdapat di perdesaan termasuk wilayah pesisir dan pantai. Berdasarkan data statistik bahwa 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir dan pantai Dari 60% tersebut, 80%nya merupakan masyarakat miskin dan sebagian besar memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan. Pengertian tentang kemiskinan secara umum dapat dikatakan pada sebuah kondisi yang serba kekurangan yang bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif atau dirasakan pada perbandingan dengan orang lain (Subri, 2005). Secara kuantitatif, kemiskinan ditandai dengan masih adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk mencapai aspirasi bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan baik, pada gilirannya akan mengakibatkan antara lain:rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudoyono, 2004). Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah adanya pembangunan. Pembangunan dapat dilakukan pada bidang ekonomi, manusia atau pembangunan wilayah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan suatu wilayah, diperlukan pendekatan berbeda-beda mengingat wilayahnya yang luas dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi masyarakat yang beragam. Salah satu pendekatan pembangunan yang sering dipakai oleh ekonom adalah pendekatan pusat-pusat pertumbuhan dan pendekatan sektoral. Pendekatan yang disebut pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota atau tempat-tempat strategis yang diharapkan akan menarik daerah pinggiran di sekitarnya, sedangkan pembangunan sektoral adalah pembangunan melalui pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu, dengan kata lain pembangunan wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada stakeholder. Dengan cara demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi,

Transcript of II. TINJUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filePergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan...

10

II. TINJUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan

Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, sebagian besar

terdapat di perdesaan termasuk wilayah pesisir dan pantai. Berdasarkan data

statistik bahwa 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir dan pantai

Dari 60% tersebut, 80%nya merupakan masyarakat miskin dan sebagian besar

memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan. Pengertian tentang

kemiskinan secara umum dapat dikatakan pada sebuah kondisi yang serba

kekurangan yang bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif atau

dirasakan pada perbandingan dengan orang lain (Subri, 2005). Secara

kuantitatif, kemiskinan ditandai dengan masih adanya kerentanan,

ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk mencapai aspirasi

bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan baik, pada

gilirannya akan mengakibatkan antara lain:rendahnya kualitas dan produktivitas

sumberdaya manusia, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, kemungkinan

merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudoyono, 2004).

Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah adanya pembangunan.

Pembangunan dapat dilakukan pada bidang ekonomi, manusia atau

pembangunan wilayah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan

suatu wilayah, diperlukan pendekatan berbeda-beda mengingat wilayahnya yang

luas dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi masyarakat yang beragam. Salah

satu pendekatan pembangunan yang sering dipakai oleh ekonom adalah

pendekatan pusat-pusat pertumbuhan dan pendekatan sektoral. Pendekatan yang

disebut pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota atau

tempat-tempat strategis yang diharapkan akan menarik daerah pinggiran di

sekitarnya, sedangkan pembangunan sektoral adalah pembangunan melalui

pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu, dengan kata lain pembangunan

wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada stakeholder. Dengan cara

demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang

bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi,

11

sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah (Mubyarto,

2000).

Pergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan ekonomi ke arah

pembangunan yang berwawasan lingkungan memberikan indikasi ke pemerataan

dan keadilan. Pemerataan pembangunan adalah dalam upaya pengentasan

kemiskinan melalui pembangunan perdesaan yang jauh tertinggal khususnya

ketersediaan prasarana dibandingkan dengan perkotaan (Mubiyarto, 2000).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan dengan cara memberdayakan

masyarakat akan menjamin pembangunan berkelanjutan karena masyarakat pada

gilirannya akan meningkatkan kemandirian yaitu rasa percaya diri yang besar

tanpa perlu menggantungkan diri pada pihak-pihak luar, baik dengan pasokan

sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil-hasil produksinya. Keadilan

yang dimaksud adalah keadilan untuk generasi sekarang dan tidak mengurangi

keadilan untuk generasi yang akan datang. Namun dalam pembangunan

perdesaan tersebut dipengaruhi juga oleh sikap-sikap hidup masyarakat.

Sebenarnya sikap-sikap hidup dalam masyarakat bukan suatu yang statis, tetapi

selalu ada kemungkinan untuk mengalami perubahan yang disebabkan oleh

pengaruh lingkungan dari dalam masyarakat itu baik yang berupa keinginan

individu maupun kelompok masyarakat. Keinginan berubah yang berasal dari

dalam masyarakat yang muncul karena pengaruh dari luar nilai-nilai tradisional

seperti program pembangunan, masuknya nilai-nilai budaya baru yang datang

dari luar daerah atau dibawa oleh masyarakat pendatang, juga dapat merubah

sikap hidup masyarakat setempat. Informasi yang masuk melalui media

informasi seperti, media masa, elektronik (televisi, radio). Kemungkinan

perubahan ini tidak semuanya menimbulkan dampak negatif tetapi juga ada yang

berdampak posisitf atau membangun walaupun perubahan ini memerlukan waktu

yang cukup lama karena nilai-nilai yang sudah ada memberikan tatanan yang

cukup kokoh pada masyarakat tersebut.

Dengan adanya agenda 21 global merupakan salah satu upaya terbesar dan

terpenting yang disepakati bersama pada saat Earth Summit di Rio de Janeiro

tahun 1992 untuk memperbaiki konsep pembangunan yang dulunya cenderung

hanya memperhatikan peningkatan pada sisi ekonomi saja dan mengorbankan

12

sisi lingkungan. Konsep inilah kemudian dikenal dengan konsep pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara substansi

pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan penuh pada implikasinya

terhadap lingkungan, antara lain:dampaknya pada masa depan, keseimbangan isu

pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial. Pembangunan berkelanjutan pada

Agenda 21, mewujudkan tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi, lingkungan dan

sosial yang di dalamnya berisikan antara lain:pengentasan kemiskinan dalam

konteks pembangunan berkelanjutan, degradasi lingkungan, pengambilan

keputusan dalam pembangunan berkelanjutan, pembangunan wilayah perdesaan

dan pertanian yang berkelanjutan, perlindungan laut dan kelautan, alih teknologi

yang ramah lingkungan, penguatan terhadap peran kelompok-kelompok utama

yang berkaitan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pada bidang

kelautan dan perikanan dalam agenda 21 dan deklarasi Summit Johannersburg

tahun 2002 yang dapat di adopsi adalah melaksanakan pembangunan kelautan

dan perikanan di wilayah pesisir dan lautan Indonesia.

Menurut Dahuri (2000), pembangunan wilayah pesisir dan lautan diarahkan

pada 4 (empat) aspek utama, yaitu:

(1) . Aspek teknis dan ekologis

Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan pembangunan dan

pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus

memperhatikan keharmonisan spasial (ruang), kapasitas assimilasi (daya

dukung perairan), dan pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan.

(2). Aspek sosial, ekonomi dan budaya

Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan

sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus

mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut.

(3). Aspek sosial politik

Kegiatan pembangunan berkesinambungan khususnya di wilayah pesisir dan

lautan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang

demokratis dan transparan.

13

(4). Aspek hukum dan kelembagaan

Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya

pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi

kebijakan nasional.

Pemanfaatan sumberdaya ikan di dunia saat ini sudah menjadi sebuah sektor

industri pangan yang telah berkembang secara dinamis yang digerakan oleh

pasar dan negara pantai yang sudah berusaha keras mengambil manfaat dari

peluang baru yang diperoleh yaitu dengan cara menanamkan modal dalam

armada penangkapan dan pabrik pengolahan moderen sebagai tanggapan

terhadap permintaan internasional. Begitu juga di perairan Indonesia, dengan

semakin besarnya permintaan pasar lokal dan internasional dalam rangka

pemenuhan kebutuhan akan protein hewani dari ikan serta dipicu dengan

peningkatan pendapatan devisa negara dari sumberdaya ikan maka upaya

pemanfataan atas sumberdaya ini selalu meningkat sehingga dapat mengancam

kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan.

Berdasarkan kajian Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional

(KOMNASJISKAN) DKP, (2001) bahwa potensi lestari sumberdaya ikan

sebesar 6,4 juta ton per tahun yang meliputi 9 (sembilan) wilayah pengelolaan

perikanan di Indonesia dengan menggolongkan ikan pelagis kecil, pelagis besar,

ikan demersal, ikan karang, udang, crustacea, cumi-cumi, saat itu beberapa di

wilayah pengelolaan perikanan tersebut dengan kelompok ikan tertentu sudah

ada yang berstatus fully ekploited dan over fishing. Dilanjutkan dengan hasil

kajian KOMNASJISKAN, DKP ( 2005) bahwa keadaan sumberdaya ikan

semakin menghawatirkan yang ditandai dengan indikator biologis dan

lingkungan sehingga peningkatan dan penambahan status stok beberapa jenis

ikan pada berbagai wilayah pengelolaan perikanan dari status moderat menjadi

fully eksploited dan fully exploited menjadi over exploited. Oleh karena itu

penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada pengelolaan

sumberdaya perikanan dengan prinsip hati-hati harus ditingkatkan agar

sumberdaya ikan berkelanjutan.

14

2.2 Rumpon

Nelayan skala kecil yang mendominasi usaha perikanan tangkap di

Indonesia pada umumnya melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan

berbagai keterbatasan, antara lain: modal, ilmu pengetahuan, sarana dan ruang

gerak. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil tangkapan mereka yang

berimbas pada pendapatan yang rendah. Untuk nelayan skala besar saat ini juga

mengalami keterbatasan ruang gerak penangkapan yang disebabkan oleh

semakin meningkatnya biaya operasional dan isu stok sumberdaya ikan

ekonomis penting yang mulai menurun sehingga pendapatannya juga menurun.

Salah satu alternatif untuk menyelesaikan keterbatasan tersebut telah

dikembangkan penangkapan ikan berbasis rumpon.

Fish Aggregating Device (FADs) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan rumpon

adalah suatu konstruksi bangunan yang dipasang di dalam air dengan tujuan untuk

memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan penangkapan ikan

tersebut (Monintja, 1995). Rumpon sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas penangkapan ikan dan berfungsi sebagai tujuan daerah penangkapan yang

memudahkan nelayan dalam mencari ikan. Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP

(2007), keuntungan rumpon dalam usaha penangkapan ikan di laut adalah : (a)

menghemat bahan bakar untuk mencari daerah penangkapan, (b) mempersingkat hari

operasi penangkapan (fishing trip), (c) mempunyai kepastian daerah operasi

penangkapan, dan (d) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan.

Selain untuk kegiatan penangkapan ikan, rumpon juga dapat difungsikan untuk

pengembangan jasa lingkungan. Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih

memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional adalah kegiatan wisata

menangkap ikan di sekitar rumpon seperti di Australia. Sebagai negara bahari

ternyata pangsa pasar wisata itu cukup baik terutama bila rumpon berada di

sekitar kepulauan sehingga dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan

penangkapan. Hasil penelitian Merta dan Suhendarata (1991) menyatakan bahwa

penangkapan ikan cakalang di sekitar rumpon lebih menarik dari kegiatan lomba

konsumsi ikan cakalang. Hal ini mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya

kelautan secara berkelanjutan, dimana kegiatan pariwisata, pelayaran, dan

menyaksikan nelayan menangkap ikan pada suatu fishing ground tertentu lebih

mengasyikkan. Rumpon juga sangat bermanfaat untuk membantu nelayan dalam

15

pencarian lokasi penangkapan ikan yang tepat sekaligus mengurangi

kepadapatan penangkapan di sekitar perairan pantai yang cenderung

menimbulkan banyak konflik. Hal ini tentu dengan memperhatikan jalur

pelayaran sehingga rumpon sebagai alat pengumpul ikan tidak terganggu

(Budiono, 2006).

Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun negara-negara lain

seperti Philipina dan negara Pasifik Barat. Semula penggunaan rumpon

ditujukan untuk ikan pelagis kecil, namun dengan ditemukannya bentuk

konstruksi rumpon laut dalam yang disebut payaos, maka tujuan utama lebih

ditekankan untuk penangkapan ikan pelagis besar terutama tuna, cakalang dan

sejenisnya. Penggunaan payaos diperkenalkan oleh Philipina pada tahun 1978

yang merupakan pembaharuan teknologi dala perkembangan konstruksi

rumpon. Keberhasilan penggunaan payaous ini di Philipina, segera diikuti oleh

negara-negara yang merasa memiliki Samudera Hindia dan Pasifik seperti

Jepang. Di Indonesia penggunaan payaous baru diperkenalkan pada tahun

1988. Menurut Subani (1988), nelayan Sulawesi (Teluk Mandar, Mamuju,

Teluk Tomini, Teluk Bone) telah mengenal rumpon laut dalam jauh sebelum

perang dunia II dan menyebutnya dengan nama rompong mandar atau rompong

lompo. Penggunaan rumpon telah berkembang dengan pesat terutama rumpon

laut dangkal di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa dengan alat tangkap purse

seine mini. Rumpon laut dalam telah berkembang di daerah Bagian Timur

seperti di Sorong, Fak-fak, Maluku Utara, Teluk Tomini Laut Sulawesi,

Sulawesi Tenggara , Sulawesi Selatan, Laut Pasifik Barat dan Nusa Tenggara

Timur serta saat ini berkembang di Samudera Hindia khususnya Barat Sumatera

(DKP, 2007). Berdasarkan penempatannya, di Indonesia dikenal 3 (tiga) jenis

rumpon yaitu rumpon laut dangkal, laut dalam dan dasar. Rumpon laut dangkal

yaitu alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan

laut dengan kedalaman sampai 200 meter dan biasanya dipergunakan untuk

menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan rumpon laut dalam yaitu alat bantu

penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan laut dengan

kedalaman lebih besar dari 200 meter untuk penangkapan ikan tuna dan

cakalang di samping pelagis kecil. Rumpon laut dasar yaitu rumpon yang

16

dipasang di dasar perairan dan umumnya menangkap ikan-ikan dasar dan ikan-

ikan karang (Departemen Pertanian, 1997). Namun rumpon perairan dasar

lebih banyak diarahkan sebagai upaya perbaikan habitat kehidupan ikan yang

dapat membantu ikan mendapatkan ”rumahnya” (terumbu buatan) dengan kata

lain untuk konservasi ekosistem (DKP, 2007).

Hasil penelitian Arifin (2008) menyarankan, bahwa perlu pengaturan

kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi

wilayah, karakterisik lingkungan perairan, dan kebutuhan ekonomis masyarakat

sekitar serta teknologi rumpon dan alat tangkap yang digunakan. Dengan

demikian kepadatan rumpon di suatu wilayah penting dipertimbangkan. Hasil

penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil tangkapan terus

meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit dan penambahan jumlah

rumpon akan meningkatkan hasil tangkapan dan sampai suatu ketika akan

mencapai suatu kondisi maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh

penambahan rumpon tidak lagi diikuti dengan penambahan jumlah hasil

tangkapan melainkan dengan penurunan yang cukup signifikan sehingga secara

ekonomis akan tidak menguntungkan lagi. Penggunaan awal rumpon laut dalam

di Sorong tahun 1986, ternyata hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar

105% dari hasil tangkapan per satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan

pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak

untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar

50% (Naamin, 1987). Namun saat ini dengan bertambahnya penggunaan

rumpon di perairan Sorong terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan

per satuan upaya (CPUE).

Selanjutnya hasil penelitian Yusfiandayani (2004), jumlah rumpon di

perairan sekitar Pasauran Selat Sunda telah melebihi kapasitas sehingga

memberikan dampak secara langsung pada hasil tangkapan nelayan semakin

menurun dan ukuran ikan semakin kecil, sehingga diperlukan rasionalisasi

dengan penurunan jumlah rumpon. Dampak pengurangan jumlah rumpon yang

akan dipasang akan berpengaruh terhadap nelayan payang Bugis, oleh karena itu

diperlukan pengelolaan bersama penggunaan satu rumpon yang akan

dimanfaatkan oleh beberapa nelayan Bugis sehingga pendapatan taraf hidup

17

nelayan dapat meningkat. Menurut Preston (1982), bahwa penempatan rumpon

laut dalam harus disesuaikan dengan kondisi perairan setempat dengan

memperhatikan beberapa faktor sebelum memasang rumpon di suatu perairan

yaitu:

a. Lokasi perairan di lewati ruaya ikan cakalang dan tuna,

b. Dasar perairan yang rata,

c. Kekuatan arus dan angin yang tidak terlalu besar.

Lebih lanjut menurut Jusuf (1999), beberapa kondisi lingkungan perairan yang

diperlukan dalam pemasangan rumpon, antara lain :

a. Perairan yang akan ditempatkan rumpon merupakan daerah/habitat

kelompok ikan cakalang dan tuna di lokasi tersebut.

b. Perairan kaya dengan unsur hara atau nutrien

c. Kekuatan arus dan angin tidak terlalu besar.

d. Diutamakan merupakan lokasi pertemua arus panas dan arus dingin

Teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat

tangkap ikan yang mempunyai keragaman yang baik ditinjau dari aspek biologi,

teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk

dikembangkan. Menurut Haluan dan Nuraini (1993), untuk pengembangan

teknologi penangkapan ikan, ada aspek-aspek yang harus dipenuhi yaitu:

a. Tidak merusak biologi dan kelestarian sumberdaya,

b. Secara teknis efektif digunakan,

c. Secara sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan,

d. Secara ekonomi dapat menguntungkan,

e. Memperoleh izin dari pemerintah.

Teknologi tambatan rumpon biasanya diberi pelepah daun kelapa, bambu dan

lainnya yang memudahkan algae tumbuh subur di permukaan. Adanya algae dan

sejenisnya menarik minat ikan kecil ke rumpon, dan adanya ikan kecil menarik

minat ikan besar ke rumpon. Prinsip umum komponen utama kontruksi

bangunan rumpon sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah yaitu terdiri dari

rakit, pelampung (buoy), jangkar (anchor/singkers), tali jangkar (rope) dan

pemikat ikan (antraktor), bendera atau tanda pemilik rumpon. Selain berdasarkan

penempatannya, berdasarkan konstruksinya rumpon dikelompokkan menjadi

18

rumpon tradisional dan rumpon moderen. Kontruksi teknologi rumpon

tradisional meliputi :

a. Pelampung (buoy), terbuat dan rakit bambu.

b. Tali jangkar (rope), setiap daerah memiliki perbedaan, seperti; nelayan Jawa

dan Madura menggunkan bahan ijuk dan Sulawesi menggunakan rotan.

c. Pemikat ikan (atractor) terbuat dari pelepah daun kelapa, lontar, bambu dan

sebagainya.

d. Jangkar/Pemberat (anchor) terbut dari beberapa batu yang dirangkai menjadi

satu dan jangkar yang dibuat dari bahan kayu.

Jenis rumpon tradisional ini telah lama digunakan oleh nelayan di daerah Jawa,

Madura, Sumatera, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Rumpon nelayan daerah Jawa dan Madura dipasang pada perairan dangkal

(continental shelf) pada kedalaman sekitar 40 – 60 meter. Sedangkan nelayan

daerah Sulawesi memasang rumpon pada kedalaman 500 – 2.000 meter. Target

tangkapan umumnya kelompok ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat

tangkap pukat cincin (purse seine) atau payang dari nelayan Jawa dan Madura.

Sedangkan nelayan Sulawesi menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line)

dengan target tangkapan ikan tuna atau sejenisnya. Adapun rumpon tradisional

diperlihatkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumpon Tradisional(Sumber : South Pacific Commission, 1996)

19

Rumpon Moderen (Gambar 2.2), biasanya dipasang hingga kedalaman

2.000 m dilengkapi dengan radar dan penyerap energi matahari. Bahan

rumpon dari baja, alumunium dan fibreglass. Beberapa rumpon dirancang

tahan terhadap gangguan cuaca, seperti penggunaan tali sintetic yang mampu

bertahan dalam kondisi cuaca terburuk dan mampu bertahan hingga 5 tahun.

Gambar 2.2 Rumpon Moderen(Sumber : South Pacific Commission, 1996)

Perilaku hidup ikan sasaran juga harus diperhatikan dalam pemasangan

rumpon. Bila rumpon diarahkan untuk menangkap ikan cakalang sebagai hasil

tangkapan utama, maka rumpon harus dipasang pada perairan dengan suhu 10 –

30 oC, mempunyai salinitas 33 per mil, penyebaran secara vertikal dari

permukaan 260 m, merupakan daerah pertemuan arus, lebih disukai lokasi

tersebut terjadi pertemuan antara air panas dan air dingin, secara geografis

berada pada daerah lintang sedang (tidak terlalu ke lintang selatan maupun ke

lintang utara), tersedia cukup bahan makanan untuk ikan cakalang yang biasanya

bergerombol besar (Martosubroto dan Malik, 1989).

Sebenarnya prinsip suatu penangkapan ikan dengan rumpon adalah sebagai

alat untuk mengumpulkan ikan agar kawanan (schooling) ikan tersebut mudah

ditangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki karena rumpon tempat

berlindung dan mencari makanan (Subani, 1986). Adanya ikan di sekitar

rumpon menciptakan arena makan dan dimakan yang diawali dengan tumbuhnya

20

bakteri dan mikroalga saat rumpon dipasang. Hal ini diperkuat dengan hasil

penelitian Yusfiandayani (2004), bahwa mekanisme berkumpulnya ikan pelagis

kecil di sekitar rumpon cenderung disebabkan oleh proses rantai makanan yang

diawali dengan tahapan terbentuknya kolonisasi mikroorganisme yang menempel

di sekitar bahan atraktor rumpon, berkumpulnya pemangsa mikroorganisme di

sekitar rumpon, berkumpulnya ikan-ikan penyaring (ikan herbivora) serta

berkumpulnya ikan-ikan predator (karnivora dan omnivora). Lebih lanjut

menurut Nybakken (1992), bahwa spesies dalam komunitas tidak terisolasi,

tetapi antar spesies saling terjadi interaksi dalam daerah yang sama sehingga

akan terjadi proses makan dan dimakan dalam komunitas tersebut.

Untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar rumpon, dapat

digunakan pancing hand line, pole and line, dan mini purse seine. Pengoperasian

hand line dan pole and line hampir sama dan cukup sederhana, sedangkan mini

purse seine sedikit lebih rumit. Namun secara umum, pengoperasian pancing

hand line, pole and line, dan mini purse seine dapat mengacu kepada Imron dan

Baskoro dalam DKP (2007) adalah :

(a) Persiapan, meliputi persiapan perbekalan dan umpan.

(b) Pemancingan, pemancingan mengunakan hand line dilakukan di depan

rumpon, yaitu pada lokasi arus datang menuju rumpon. Ikan-ikan cakalang

mempunyai kecenderungan untuk berenang di depan rumpon. Pada

pemancingan menggunakan pole and line, apabila kapal sudah berada di

lokasi rumpon, maka boy-boy segera berusaha untuk menarik gerombolan

tuna/cakalang untuk mendekat ke perahu, dan umpan langsung dilempar.

Pada saat ikan telah memberikan respon terhadp umpan, maka pancing

harus sudah siap dan diulurkan sehingga kail masuk antara 0 – 10 cm ke

dalam permukaan laut. Pelemparan umpan terus dilakukan dan pada saat

yang sama dilakukan penyemprotan air melalui water sprayer yang ada di

lambung kapal.

Pada penangkapan menggunakan mini purse seine, setelah kapal tiba di

sekitar rumpon, maka alat tangkap segera diturunkan untuk melingkari

gerombolan ikan. Penurunan alat tangkap dilakukan dengan memperhatikan

arah angin, arus, arah gerombolan ikan dan arah datangnya sinar matahari.

21

Penangkapan ikan menggunakan mini purse seine dapat dilakukan pada siang

hari maupun malam hari, sedangkan penangkapan pada malam hari

menggunakan alat bantu yang dipasang pada rakit di sekitar rumpon (Muchtar,

1999).

Untuk menjaga agar rumpon memiliki umur teknis yang tinggi, maka

pemeliharaan dan perawatan terhadap rumpon harus senantiasa dilakukan.

Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP (2007), pemeliharaan dan perawatan

terhadap rumpon meliputi :

a. Penggantian dan perbaikan bambu setiap tiga bulan

b. Penggantian pelepah daun kelapa setiap satu bulan

c. Pengecekan secara rutin tali jangkar pada rumpon

d. Pengawasan posisi rumpon terhadap lalu lintas pelayaran

Oleh karena itu selain aspek teknologi rumpon, pengelolaan rumpon yang

berkelanjutan yang sesuai dengan tujuan dan fungsinya harus memperhatikan

aspek ekologi, biologi ikan, alat penangkapan ikan, sosial budaya dan ekonomi,

aspek legal yang meliputi lokasi pemasangan, jumlah pemanfaatan dan izin

pemasangan serta lingkungan sosial sehingga rumpon sebagai alternatif alat

bantu penangkapan ikan di laut berbasis rumpon dapat berlanjut (Baskoro, 2005).

2.3 Tingkah Laku Ikan Pelagis yang Berasosiasi dengan Rumpon

Peran rumpon sebagai wahana pengumpul ikan di perairan Indonesia

sejak lama telah banyak dimanfaatkan oleh nelayan karena adanya

kecenderungan ikan-ikan pelagis untuk bergerombol di sekitar rumpon. Subani

(1972) mengemukaan, bahwa ikan-ikan lemah (seperti cakalang kecil) yang

berada di sekitar rumpon berenang pada sisi sebelah atas rumpon. Kadang-

kadang bergerak ke kiri dan kekanan, tetapi selalu kembali ke tempat semula dan

umumnya berenang menentang arus. Ikan berenang menghadang arus dan

berada di depan rumpon. Ikan yang berukuran sedang biasanga ditemui di

bawah gerombolan ikan ukuran kecil dengan gerakan yang sama dengan

gerakan yang sama juga dengan ukuran kecil tersebut. Pada umumnya ikan yang

bergerombol mempunyai ukuran yang sama (umur, panjang, berat), dan akan

memudahkan dalam menangkap mangsanya (Djatikusumo), 1977). Hochachka

22

(1979) dalam Longhurst dan Pauly (1987) mengemukakan, tingginya aktivitas

jenis tuna didukung tidak hanya oleh tingginya kompleksitas dan keragaman

biokimia otot tetapi juga oleh kemampuan penyimpanan panas pada ototnya

yang dapat menimbulkan penambahan metabolisme aerobik dan aerobik

sehingga dapat beruaya jauh. Namun dalam perjalanan beruaya tersebut isyarat

visual sangat sedikit, navigasi untuk beruaya tidak perlu terlalu akurat tetapi

dapat menentukan arah secara umum sesuai dengan musim dan masa air. Namun

adanya daya tarik universal ikan pada benda terapung seperti potongan kayu

kecil tulang jenis sotong untuk dapat menarik ikan kecil bertahan pada kurun

waktu yang lama dan jenis tunapun tidak terkecuali secara teratur berasosiasi

dengan benda-benda terapung tersebut. Hal ini diperkuat 1/5 hasil tangkapan

armada purse seine di perairan tropis pasifik Timur pada tahun 1970 melakukan

kegiatan penangkapan ikan di sekitar benda terapung.

Tingkah laku ikan pada daerah penangkapan ikan mempunyai

hubungan dengan berbagai faktor lingkungan dan ekologi sehingga dapat

diketahui cara yang dapat meningkatkan efisiensi serta penggunaan alat tangkap

untuk meningkatkan hasil tangkapan. (Gunarso, 1985). Pergerakan horizontal

pada jenis cakalang (K.pelamis) dapat mencapai pergerakan sekitar 2 mil dari

rumpon dengan kecepatan renang 1,2 – 2,4 knot. Sedangkan ikan madidihang

(T.albacores) memperlihatkan pergerakan horizontal sejauh 1 mil kemudian

menghilang tetapi akhirnya ditemukan pada rumpon lain dalam satu perairan

dan esok harinya ikan tersebut kembali lagi ke rumpon semula (Cayre, 1991).

Hasil pengamatan vertikal menunjukkan bahwa kedalaman renang ikan

cakalang menunjukkan pada malam hari cenderung berada di perairan yang

lebih dalam (100-150 m) sedangkan pada sing hari berada pada kedalaman 0-20

m. Ikan madidihang pada siang hari mencapai kedalaman antara 70-100 m

dengan suhu 25-27C dan pada malam hari 40-70 m dengan suhu >27C. Pada

umumnya ikan madidihang berenang mendekati permukaan pada malam hari

dan cenderung mulai berenang semakin dalam pada pagi hari sesudah matahari

terbit. Nilai tengah kedalaman ikan madidihang yang berasosiasi dengan

rumpon sekitar 5,3 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 85,2 meter.

23

Ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon umunya berenang

ke permukaan pada pagi hari dan mulai berenang ke dalam pada tengah hari,

kemudian kembali lagi mendekati permukaan sesudah matahari terbenam.

Kedalam ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon pada siang hari

antara 50-60 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 230 meter.

Selanjutnya menurut hasil penelitian Nugroho (2000) bahwa, dominasi

ikan yang masih belum matang gonad (juwana) adalah fenomena umum pada

perikanan dengan penggunaan alat bantu rumpon. Selain itu dominasi baby

tuna dalam hasil tangkapan dengan menggunakan rumpon di perairan Teluk

Tomini berkaitan dengan tingkah laku ikan yang berada pada lapisan permukaan

perairan pada saat ikan tersebut muda.

Hasil penelitian Yusfiandayani (2006) menyatakan bahwa rumpon akan

menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan.

Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain

mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi

ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut.

Untuk perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia, rumpon sudah dapat

dipasang pada kedalaman 25 – 50 m, dan bisa lebih jauh dan dalam tergantung

ukuran rumpon dan armada nelayan yang menangkap ikan serta ikan target di

sekitar rumpo tersebut. Hal ini ditunjang hasil penelitian Soedharma (1994)

tentang perilaku ikan membentuk komunitas menunjukkan bahwa ikan

berkumpul atau membentuk komunitas di sekitar rumpon berdasarkan

kelengkapan rantai makanan yang tersedia. Ikan kelompok besar akan datang

bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga

halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-ikan tersebut akan datang dan pergi

secara berkelompok dengan periode dan lama menetap tergantung jumlah

makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut.

Suhu, salinitas dan arus merupakan faktor oseanografis yang secara

langsung mempengaruhi migrasi dan penyebaran tuna dan cakalang di suatu

perairan. Menurut Batubara (1981), bahwa kisaran suhu optimum dari jenis

ikan tuna mata besar adalah 17 - 23°C pada kedalaman 50 – 400 meter,

madidihang adalah 14 - 22ºC pada kedalaman 200 – 300 meter. Selanjutnya

24

disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada umumnya menghuni

perairan dengan salinitas 18 - 38‰

Menurut Budiono (2006) laju pergerakan ikan dari yang berasosiasi

dengan rumpon ke arah yang tidak berasosiasi dengan rumpon (l) dapat menjadi

petunjuk bagi nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai efektif di

sekitar rumpon. Hal ini dapat mengurangi konflik yang disebabkan oleh proses

dan teknologi produksi. Dengan mempelajari pergerakan tersebut, maka nelayan

dapat membagi wilayah penangkapan di antara mereka sehingga hasil tangkap

optimal bisa dinikmati bersama.

Bila pengaturan penangkapan berdasarkan pola migrasi dan asosiasi

tersebut dapat di atur, maka menurut hasil penelitianYusfiandayani (2006) di

Pasauran, standing stock sumberdaya ikan yang berada di bawah pengaruh suatu

rumpon dan bila tidak ditangkap untuk jangka waktu 1 tahun (angka perkiraan)

akan berkembang menjadi sebesar 30 ton (Z). Dalam keadaan seimbang, laju

susut populasi ikan di suatu rumpon, yakni (l + m) Z akan sama dengan laju

rekrutmen terhadap rumpon atau pB. Dengan menggunakan nilai 196.18 ton

sebagai potensi biomassa yang belum ditangkap maka biomassa ikan pelagis

yang tidak berasosiasi dengan rumpon menjadi 1,70 ton/km2. Pemanfaatan

sumberdaya ikan seperti ini, tentu sangat mendukung kebelanjutan pemanfaatan

di kemudian dan pengelolaan rumpon sebagai pengumpul ikan sekaligus

pembentuk ekosistem baru termasuk berhasil dan sangat dipertahankan. Hasil

tangkapan akan mencapai optimum (154.4 ton per tahun) jika jumlah rumpon di

Pasauran hanya 4 unit, dan dengan pengelolaan tersebut akan memberikan

keuntungan optimum (Rp 38.2 juta per tahun). Jumlah rumpon 4 unit pada

perairan Pasauran seluas 115.4 km2 ini menunjukkan bahwa setiap luasan

pengaruh / area perairan sekitar 23 km2 atau setiap jarak 5 km (3 mil laut) hanya

terdapat 1 rumpon. Data ini didapat berdasarkan existing condition 45 buah

rumpon yang berhasil dideteksi di perairan dan mencakup luasan pengaruh 2.6

km2 atau rata-rata jarak antar rumpon sekitar 1.6 km (0.9 mil laut). Bila

kepadatan rumpon ini diubah dai 1,6 km2 per rumpon menjadi 5 km2 per

rumpon, maka pengelolaan rumpon yang menjadi ketersediaan sumberdaya ikan

secara lestari dan keuntungan optimum bagi nelayan dapat selalu terjaga.

25

Beberapa hipotesis tentang fungsi dari benda terapung di lautyang

merupakan teori pemasangan rumpon telah dikemukakan oleh peneliti yang

kemudian dihimpun oleh Gooding dan Magnusson (1967) yaitu:

1. Ikan mencari tempat berlindung dari predator

2. Ikan besar memangsa ikan kecil

3. Ikan memakan algae atau dedaunan yang terdekomposisi

4. ikan mencari perlindungan di bawah benda apung

5. Ikan menggunakan benda terapung sebagai substrat meletakkan telurnya

6. Bayangan benda membuat zooplankton lebih terlihat bagi ikan

7. Benda terapung merupakan ”cleaning station” dimana ikan pelagis

melepaskan parasitnya melalui asosiasi dengan ikan lain.

Dari ketujuh hipotesis tersebut baru dapat dibuktikan kebenaranya bahwa benda

terapung berfungsi sebagai:

1. Perlindungan dari predator

2. Pengumpul sediaan makanan

3. Cleaning station bagi pada parasit yang menempel

2.4 Jenis-Jenis Ikan Yang Berasosiasi di Rumpon

Informasi jenis ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon penting untuk

mengetahui potensi ekonomi dan keberhasilan penangkapan di sekitar rumpon.

Secara umum, jenis ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon terdiri dari

kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil. Menurut Subani

(1958), kelompok ikan pelagis besar yang berasosiasi di sekitar rumpon dapat

berupa cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (Thunnus albacores),

tuna albakor (Thunnus allalunga), tuna sirip biru (Thunnus obesus), dan

tongkol(Euthynnus affinis dan Auxix spp.). Sedangkan ikan pelagis kecil yang

berasosiasi di sekitar rumpon dapat berupa layang (Decapterus ruselli,

Decapterus macrosoma, Decapterus kurroidea), siro (Sardinella sirm), lemuru

(Sardinella lemuru), tembang (Sardinella fimbriata, Sardinella brachiosoma,

26

Sardinella gibbosa), bentong (Selar crumenopthalmus), dan selar (Selaroide

leptolepis).

Beberapa hasil pengamatan tentang rumpon menunjukkan bahwa

jenis hasil tangkapan utama dengan alat pancing dan payang adalah layang

(Decapterus spp), pisang-pisang (Caesio spp.), bentong (Selar

crumenopthalmus), tenggiri (Scomberomorus spp.), dan sunglir (Elagatis

bipinnulatus). Selain kelompok ikan pelagis, hasil tangkapan rumpon,

khususnya pada laut dangkal juga terdapat ikan demersal. Hasil pengamatan

rumpon dengan alat tangkap bagan apung terdiri dari pepetek (Leioghnathus

splendens), selar kuning (Selaroides leptolepis), teira batfish (Platax teira),

kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), unicorn leatherjacket (Alutrus monoceros)

(Lintang dan Anung, 1994). Selanjutnya, jenis-jenis ikan yang berasosiasi positif

dengan rumpon adalah pepetek (Leiognathus splendens), selar kuning

(Selaroides leptolepis), kerapu lumpu ( Epinephhelus tauvani), teira batfish

(Platax teira), dan unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros). Lebih lanjut

Arifin (2008) di Selat Lembah menyebutkan bahwa jenis ikan pelagis yang

tertangkap pada ekosistem lengkap termasuk ekosistem rumpon dapat terdiri dari

selar hijau (Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolepis), kembung lelaki

(Rastrelliger kanagurta), layang panjang (Decapterus russelli), layang gilik

(Decapterus macrosoma), tongkol (Auxis thazard), selar bentong (Selar

crumenophthalmus), tetengkek (Megalaspis cordyla) dan ikan sunglir (Elagatis

bipinnulatus). Ikan yang selalu ada sepanjang tahun dan selalu tertangkap

dengan menggunakan payang bugis adalah ikan selar hijau (Atule mate).

Ikan pelagis besar menyebar di perairan yang relatif dalam, bersalinitas

tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya lebih kosmopolitan yang dapat hidup

di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas lebih rendah (Martosubroto dan

Malik, 1989). Ikan pelagis besar dari jenis cakalang dan tuna banyak terdapat di

perairan lepas pantai termasuk zona ekonomi ekslusif. Sebaran ikan cakalang

(K. Pelamis) terutama di perairan Indonesia Bagian Timur, perairan barat-timur

Sumatera, peraiarn selatan Jawa, dan perairan selatan Pulau Timor. Daerah

sebaran cakalang yang paling luas dan padat terdapat di sekitar perairan Kepala

27

Burung, Papua Barat, perairan utara Papua, perairan Maluku Utara, perairan

Teluk Tomini, dan perairan Nusa Tenggara (Barus, 1982).

Ikan madidihang (T. Albacores) banyak terdapat di perairan Indonesia

Bagian Timur, perairan pantai Selatan Jawa, dan perairan Barat Sumatera.

Sedangkan tuna jenis albakor (T. Allalunga) terdapat di perairan selatan Jawa,

Bali, dan perairan Nusa Tenggara. Ikan tuna mata besar (T. Obesus) banyak

terdapat di semua perairan Indonesia walaupun pada beberapa daerah, potensinya

tidak begitu besar. Tuna sirip biru (T. Maccoyii) terdapat di perairan selatan

Jawa sampai periaran selatan Pulau Timor. Tuna abu-abu (T. Tonggol),

penyebarannya lebih mendekati periaran yang berkadar garam relatif rendah (laut

Jawa dan laut Cina Selatan) sehingga sering dikelompokkan sebagai jenis tuna

pantai (Martosubroto dan Malik, 1989).

Sebaran ikan pelagis kecil umumnya ditemukan di daerah paparan

dengan komunitas yang bergerombol dan menyukai daerah permukaan. Hampir

semua jenis ikan pelagis kecil ditemukan di seluruh perairan Indonesia, kecuali

lemuru (S. Lemuru) yang hanya terdapat di selat Bali. Musim penangkapan ikan

pelagis kecil di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada peralihan musim

timur ke musim barat, yaitu sekitar bulan Agustus sampai Desember (Lintang

dan Anung. 1994). Di perairan Jawa, daerah penangkapan ikan pelagis kecil

pada musim timur (Juli – Agustus) terpusat di sekitar perairan Pulau Bawean

sampai perairan selat Makassar, sedangkan pada bulan September sampai

November, penangkapan umumnya hampir merata di seluruh parairan pantai

utara Jawa. Pada musim barat (Desember – Pebruari), daerah penangkapan

umumnya di sekitar perairan pulau Masalembo dan Matasiri untuk ikan layang,

perairan Kepulauan Karimun sampai Bawean untuk ikan banyar, dan perairan

sekitar Bawean untuk ikan siro (Mann dan Lazier, 1991).

Daerah penangkapan pada musim barat sebenarnya bisa lebih luas,

namun terkadang cuaca kurang mendukung untuk operasi penangkapan ikan

menggunakan kapal-kapal kecil yang kebanyakan dimiliki nelayan. Di perairan

selat Bali, pola musim ikan lemuru biasanya antara bulan Oktober sampai Maret,

dan ini biasanya tidak berubah dari tahun ke tahun (Merta, 1991). Pemasangan

28

dan pemanfaatan rumpon di laut juga memperhatikan daerah penyebaran ikan

pelagis kecil dan besar sebagai ikan target tang akan ditangkap.

2.5 Potensi Perikanan Laut

Potensi perikanan laut sesungguhnya merupakan asset yang sangat besar

bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun asset ini belum dimanfaatkan

secara maksimal. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya

laut, dan industri bioteknologi kelautan. Menurut Dahuri (2001) potensi

perikanan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah

tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5.2 juta ton atau 80% dari MSY

(Maximum Sustainable Yield). Hingga saat ini jumlah tangkapan mencapai 4,7

juta ton (DKP, 2008). Pertumbuhan penduduk dunia semakin pesat maka

kebutuhan akan pangan termasuk ikan juga meningkat sehingga permintaan

terhadap ikan terus meningkat. Menurut laporan Food and Agriculture

Organization (FAO) (2005) bahwa sekitar 3 % sumberdaya perikanan dunia

pada tingkat eksploitasi optimum, 23 % pada tingkat eksploitasi moderat, 52 %

pada tingkat eksploitasi penuh, 16 % sudah pada tingkat melampaui batas

optimum produksi, 5% pada tingkat penurunan produksi secara terus menerus

(status deplesi) dan hanya 1% pada tingkat dalam proses pemulihan melalui

program konservasi. Dengan kata lain bahwa sumberdaya perikanan yang masih

dapat dimanfaatkan di bawah tingkat optimum hanya sebesar 26 %, dan sisanya

74 % sudah dimanfaatkan secara berlebihan. Secara regional, jenis ikan-ikan

yang mempunyai ekonomis penting seperti bigeye tuna (Thunnus obesus) ,

yellowfin tuna (Thunnus albacores) dan swordfish (Xiphias gladius) sudah

berstatus fully exploited yang mengarah pada overexlpoited sejak tahun 2005.

Hal ini diperkuat dengan hasil the 10Th session of the Scientific Committee of

Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) (FAO, 2007) yang merekomendasikan

untuk menurunkan hasil tangkapan jenis ikan-ikan tersebut sampai pada hasil

tangkapan sebelum tahun 2003 di Samudera Hindia dan mengkaji kembali

pemasangan rumpon bagi nelayan tradisional Indonesia di Samudera Hindia.

Indonesia, sekitar 65 % dari ikan-ikan potensial seperti pelagis kecil di Laut

Jawa, pelagis besar di Samudera Hindia dan Sulawesi dan Pasifik, udang dan

ikan-ikan dasar di Arafura sudah diekploitasi secara penuh sejak tahun 2000-an.

29

Kemudian usaha perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh usaha skala

kecil dengan ruang gerak tidak jauh dari pantai telah mengakibatkan tekanan

sumberdaya ikan di pesisir. Dalang rangka pembinaan nelayan, agar dapat

meningkatkan produktivitas penangkapan ikan di laut maka program

rumponisasi dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun

keberlanjutan rumpon perlu di kaji sehingga kebijakan pengelolaan rumpon akan

memberikan manfaat secara ekonomi bagi nelayan tanpa mengurangi kelestarian

lingkungannya.

2.6 Analitical Hierarchy Process

Analitical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu alat analisis

manajemen strategik dengan pendekatan sistem. Suatu totalitas sistem seperti

lingkungan, ekonomi, pemerintahan dan organisasi tidak bisa dianalisis pada

bagian-bagiannya tetapi harus dipahami sebagai satu kesatuan. Dengan

pendekatan AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun suatu skala

pengukuran dalam bentuk indek, skoring atau nilai numerik tertentu. Karena itu

untuk menyelesaikan persoalan dengan AHP perlu dipahami prinsip-prinsip

dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas, dan konsistensi logika.

(1) Dekomposisi, merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi

unsur-unsur yang tidak mungkin dipecahkan lagi. Melalui dekomposisi

akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara

terstruktur sebagai suatu hirarki.

(2) Perbandingan Berpasangan, merupakan langkah untuk memberi penilaian

tingkat kepentingan relatif dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat

diatasnya. Penilaian ini merupakan prinsip penting dari AHP didalam

memposisikan peubah keputusan pada setiap tingkat hirarki keputusan.

(3) Sintesis dan prioritas, merupakan langkah untuk menentukan nilai eigen

vector pada setiap matriks pair waise comparison untuk mendapatkan nilai

kegiatan yang menjadi prioritas lokal. Dengan demikian untuk

memperoleh global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority

tersebut. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki.

30

Pengurutan elemen sesuai dengan kepentingan relatif dengan cara sintesa

ini dikenal sebagai priority setting.

(4) Konsistensi, mempunyai dua makna, pertama merupakan kumpulan objek

yang sama sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut

hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan.

Jika penilaian tidak konsisten maka penilaian harus diulang untuk

memperoleh penilaian yang lebih tepat.

Terdapat banyak variasi bentuk hirarki, perbedaan ini menyebabkan

perbedaan dalam melakukan sintesa. Komparatif judgment merupakan inti dari

AHP, perbedaan orang yang memberi judgment mungkin menyebabkan

perbedaan prioritas. Karena metoda ini berpijak pada konsistensi maka

selanjutnya dapat dikembangkan rumusan matematis untuk menjelaskan

konsistensi tersebut. Rumusan itu dapat ditransformasi dengan pendekatan

matrik untuk memperoleh eigen value dalam mencari vektor prioritas.

Dengan pendekatan AHP, beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu:

1. Mendefenisikan masalah Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi

permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan

2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan

dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif

pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh

relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang

setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan “judgment”dari pengambil

keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan

dengan elemen lainnya

4. Menghitung matriks pendapat individu

5. Menghitung pendapat gabungan

6. Pengolahan horizontal

7. Pengolahan vertikal

8. Revisi pendapat

31

2.7 Penelitian Terdahulu Tentang Rumpon

Penggunaan awal rumpon laut dalam di Sorong tahun 1986, ternyata

hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar 105% dari hasil tangkapan per

satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan nelayan pemilik rumpon sebesar

367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak untuk kapal sebesar 64,3%

serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar 50% (Naamin, 1987).

Hasil penelitian Yusfiandayani et al (2006) menyatakan bahwa rumpon

akan menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di

perairan. Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab

antara lain mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference

point bagi ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan

tersebut. Hasil penelitian Yusfiandayani et al (2006) di Pasauran banten, bahwa

dengan luas penelitian 115 km2 , untuk mendapatkan keuntungan yang optimal

dan kelestarian sumberdaya ikan maka jarak antara satu rumpon dengan rumpon

yang lain mempunyai pengaruh sebesar 23 km2.

Penelitian Soedharma (1994) tentang perilaku ikan membentuk

komunitas menunjukkan bahwa ikan berkumpul atau membentuk komunitas di

sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanana yang tersedia. Ikan

kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi

mangsanya di lokasi, begitu juga halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-

ikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan

lama menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut.

Hasil penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil

tangkapan terus meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit. Hasil

tangkapan bertambah terus sampai suatu ketika akan mencapai sutau kondisi

maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh penambahan rumpon tidak lagi

diikuti dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan

yang cukup signifikan. Antiklimaks dari kondisi ini akan terjadi terus, jika

jumlah rumpon terus ditambah pada area yang sama tanpa ada perlakuan khusus

yang dapat menarik ikan dalam jumlah besar ke lokasi. Kepadatan rumpon perlu

diatur sehingga hasil tangkapan setiap rumpon tetap maksimal.

32

Hasil penelitian Monintja, Baskoro, Purbayanto (1989) bahwa

pemanfaatan FAD untuk penangkapan ikan madidihang dengan pancing ulur di

perairan Pelabuhanratu, dinilai meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha

penangkapan bagi nelayan. semua aspek atau dimensi yang berinetraksi

terakomodir secara wajar.

Menurut Wudianto (1990), bahwa dengan menggunakan teknik taging

terhadap ikan Cakalang dan Tuna di Laut Sulawesi dan sekitarnya, diketahui

bahwa keberadaan rumpon akan mempengaruhi pola migrasinya dan ikan

tersebut akan lebih lama di sekitar rumpon dan kembali lagi.

Hasil penelitian Zulkarnain (2002) tentang penggunaan rumpon pada

bagan apung di teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat, bahwa ikan yang tertangkap

dengan alat tangkap bagan disekitar rumpon jumlahnya jauh lebih besar

dibandingkan dengan bagan apung tanpau rumpon. Ikan-ikan yang tertangkap

merupakan ikan-ikan yang berasosiasi dengan rumpon yaitu ikan pelagis kecil.

Berdasarkan hasil penelitian Susanna (2004), bahwa daun kelapa

merupakan atraktor yang terbanyak menghadirkan perifiton dan ikan-ikan yang

mengindikasikan adanya pemanfaatan rumpon sebagai tempat mencari ikan dan

lebih lanjut ikan-ikan yang ditemukan di rumpon adalah banyak ikan yang

matang gonad.

Berdasarkan hasil penelitian Nahib (2007) tentang analisis dinamik

pengelolaan sumberdaya perikanan tuna kecil di perairan Pelabuhanratu, bahwa

keberadaan rumpon akan menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan ikan

sebesar 1,5-5,6%, peningkatan kemampuan daya tangkap sebesar 7-10%,

peningkatan produksi sebesar 22% , serta penurunan kapasitas daya dukung 3-

10%. Hasil penelitian Arifin (2008) dapat menjadi acuan dalam pengaturan

kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi

wilayah, karakterisik lingkungan peraiaran, dan kebutuhan ekonomis masyarakat

sekitar. Lebih lanjut hasil penelitian Arifin (2008) di Selat Lembah

menunjukkan bahwa jenis ikan pelagis yang tertangkap pada ekosistem lengkap

termasuk ekosistem rumpon dapat terdiri dari selar hijau (Atule mate), selar

kuning (Selaroides leptolepis), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), layang

panjang (Decapterus russelli), layang gilik (Decapterus macrosoma), tongkol

33

(Auxis thazard), selar bentong (Selar crumenophthalmus), tetengkek (Megalaspis

cordyla) dan ikan sunglir (Elagatis bipinnulatus). Ikan yang selalu ada

sepanjang tahun dan selalu tertangkap dengan menggunakan payang bugis

adalah ikan selar hijau (Atule mate).