II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi,...

33
11 II. Tinjauan Pustaka 2.1 Logam Berat. Logam berat secara umum didefinisikan sebagai unsur logam yang mempunyai densitas lebih tinggi dari 5 g mL -1 , sebagai contoh, Fe, Cu, Pb, Cd, Hg, Ni, Zn, dan Mn. Kira-kira 53 dari 90 unsur alami yang termasuk dalam kategori logam berat (Mamboya 2007). Banyak dari unsur-unsur tersebut seperti: Cu, Mn, Fe, dan Zn, bersifat mikrohara yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup, namun dapat berubah menjadi toksik ketika konsentrasinya lebih tinggi dari yang diperlukan pertumbuhan secara normal (Frtstner and Whittmann 1983). Keberadaan logam berat seperti: Cd, Hg, dan Pb, sejauh ini mempunyai fungsi yang belum diketahui di dalam organisme hidup, dan umumnya bersifat toksik pada konsentrasi yang sangat rendah. Banyaknya jenis logam yang tergolong sangat toksik dan potensinya untuk menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia dan organisme hidup lainnya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan guna mengukur konsentrasi maupun akumulasinya dari sampel lingkungan (misalnya: air, tanah, sedimen dan sebagainya) dan jaringan makhluk hidup lainnya. Namun penelitian logam berat di lingkungan atau iklim tropis umumnya masih minim atau jarang dilakukan (Mamboya 2007). Sumber kontaminasi logam di sedimen sangat bervariasi yakni dari sumber alami, antropogenik, point dan nonpoint sources, maupun dari tumpahan (Chapman et al. 1998). Beberapa aktivitas antropogenik umumnya dapat meningkatkan kontaminasi logam di ekosistem akuatik misalnya: penambangan, industri, domestik, pertanian, dan pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan unsur logam secara alami juga dapat meningkatkan konsentrasi logam di lingkungan terutama bersumber dari hasil pelapukan batuan, dekomposisi jaringan tanaman dan hewan, maupun dari aktivitas vulkanik (Frtstner and Whittmann 1983). Tabel 1 merupakan sumber dari elemen renik dari logam berat yang banyak digunakan guna kepentingan aktivitas antropogenik (Manahan 2005).

Transcript of II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi,...

Page 1: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

11

II. Tinjauan Pustaka

2.1 Logam Berat.

Logam berat secara umum didefinisikan sebagai unsur logam yang

mempunyai densitas lebih tinggi dari 5 g mL-1, sebagai contoh, Fe, Cu, Pb, Cd, Hg,

Ni, Zn, dan Mn. Kira-kira 53 dari 90 unsur alami yang termasuk dalam kategori

logam berat (Mamboya 2007). Banyak dari unsur-unsur tersebut seperti: Cu, Mn, Fe,

dan Zn, bersifat mikrohara yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan

makhluk hidup, namun dapat berubah menjadi toksik ketika konsentrasinya lebih

tinggi dari yang diperlukan pertumbuhan secara normal (Fὅrtstner and Whittmann

1983). Keberadaan logam berat seperti: Cd, Hg, dan Pb, sejauh ini mempunyai fungsi

yang belum diketahui di dalam organisme hidup, dan umumnya bersifat toksik pada

konsentrasi yang sangat rendah. Banyaknya jenis logam yang tergolong sangat toksik

dan potensinya untuk menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia dan organisme

hidup lainnya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan guna mengukur

konsentrasi maupun akumulasinya dari sampel lingkungan (misalnya: air, tanah,

sedimen dan sebagainya) dan jaringan makhluk hidup lainnya. Namun penelitian

logam berat di lingkungan atau iklim tropis umumnya masih minim atau jarang

dilakukan (Mamboya 2007).

Sumber kontaminasi logam di sedimen sangat bervariasi yakni dari sumber

alami, antropogenik, point dan nonpoint sources, maupun dari tumpahan (Chapman

et al. 1998). Beberapa aktivitas antropogenik umumnya dapat meningkatkan

kontaminasi logam di ekosistem akuatik misalnya: penambangan, industri, domestik,

pertanian, dan pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan unsur logam secara alami

juga dapat meningkatkan konsentrasi logam di lingkungan terutama bersumber dari

hasil pelapukan batuan, dekomposisi jaringan tanaman dan hewan, maupun dari

aktivitas vulkanik (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Tabel 1 merupakan sumber dari

elemen renik dari logam berat yang banyak digunakan guna kepentingan aktivitas

antropogenik (Manahan 2005).

Page 2: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

12

Tabel 1. Elemen renik penting dalam perairan alami.

Elemen Sumber Pengaruh dan Signifikansi Arsenic Berylium Boron Chromium Copper Fluorine Iodine Iron Lead Manganese Mercury Molybdenum Selenium Zinc

Pertambangan, limbah kimia Batubara, limbah industri Batubara, deterjen, limbah Penyepuhan/pelapisan logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari mikroba Limbah industri, penambangan, bahan bakar Limbah industri, air masam tambang, aksi dari mikroba Limbah industri, penambangan, batubara Limbah industri, sumber alami Sumber alami, batubara Limbah industri, pelapisan logam, plumbing

Toksik, kemungkinan karsinogenik Toksik Toksik Esensial sebagai Cr (III) dan toksik sebagai Cr (VI) Esensial elemen renik, toksik pada konsentrasi tinggi. Mencegah pembusukan gigi pada kisaran 1 mg/l, toksik pada tingkat yang lebih tinggi. Mencegah penyakit gondok. Nutrien esensial, perusakan adanya pelapisan. Toksik, membayakan bagi hewan liar. Toksik pada tanaman, perusakan dengan adanya pelapisan. Toksik, dapat termobilisasi sebagai metilmerkuri oleh bakteri anaerob Esensial terhadap tanaman, toksik pada hewan. Esensial pada konsentrasi rendah, toksik pada kons. tinggi. Elemen esensial, toksik pada tanaman pada konsentrasi yang tinggi

Di dalam lingkungan perairan, logam mungkin berbentuk sebagai: ion logam

bebas yang terlarut atau sebagai ion kompleks, khelat dengan ligan yang tidak

tersusun secara teratur misalnya dengan: Cl-, OH-, CO3-, dan NO3

- , dan kompleks

dengan ligan organik seperti: asam fulvik, amina, asam humik, dan protein.

Disamping itu, logam di perairan mungkin terikat dengan bahan partikulat dalam

bentuk koloid atau agregat, endapan sebagai lapisan logam pada partikel,

penggabungan ke dalam bahan organik misalnya algae, dan tersimpan dalam partikel

crystalline detritus. Bentuk fisik dan kimia dari logam di perairan diatur oleh variabel

lingkungan seperti: salinitas, temperatur, pH, potensial redoks, bahan partikulat

Page 3: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

13

organik, dan aktivitas biologi (Chapman et al. 1998; Maher et al. 1999). Disamping

itu, adsorpsi dari kontaminan tersebut sangat dipengaruhi oleh kimia dari air

permukaan sedimen (overlying), pH, salinitas, dan kimia permukaan partikel itu

sendiri (Maher et al. 1999).

2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailability dan Toksisitas Logam di

Ekosistem Akuatik.

Konsentrasi logam berat di ekosistem akuatik sebagian besar diatur oleh

proses biologi dan karakteristik fisik-kimia air yang melingkupinya (Novotny and

Olem 1994; Chapman et al. 1998). Sebagai contoh: tanaman bayam air tawar

Ipomoea aquatica akumulasi logamnya secara negatif dipengaruhi oleh peningkatan

konsentrasi nutrien. Pengambilan/ uptake logam Hg, Cd dan Pb akan menurun ketika

konsentrasi nutrien ditingkatkan. Namun studi dengan menggunakan fitoplankton

menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu pengkayaan nutrien akan meningkatkan

konsentrasi dari pengambilan Cd dan Zn. Di lingkungan dengan tingginya konsentrasi

nutrien, umumnya pengambilan logam akan terganggu, karena terjadi pembentukan

kompleksasi antara nutrien dengan ion logam (Mamboya 2007).

Parameter pH dan potensial redoks dapat mempengaruhi bioavailability

logam dalam bentuk terlarut (Chapman et al. 1998). Pada pH yang tinggi (alkaline)

unsur logam cenderung membentuk endapan yang tidak larut dari hidroksida, oksida,

karbonat, atau fosfat. Namun pada pH yang rendah umumnya logam dalam bentuk

kation bebas, sehingga bioavailability logam akan semakin meningkat. Novotny and

Olem (1994) menyebutkan pH > 7 sebagian besar dari logam akan mengadakan

kompleksasi, sedangkan pada pH yang < 5 konsentrasi logam dalam bentuk bebas

akan miningkat secara dramastis. Substansi humik di dalam lingkungan akuatik

mungkin mempengaruhi bioavailability ion logam. Bioavailability dan toksisitas

logam akan berkurang melalui pembentukan kompleks bahan organik terlarut

(DOM), karena akan mengurangi konsentrasi ion logam bebas di lingkungan akuatik

(Fὅrtstner dan Whittmann 1983). DOM mungkin akan menghalangi akumulasi

Page 4: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

14

beberapa logam dengan cara memblock tempat pengikatan (reseptor) dari permukaan

alga. Temperatur juga dapat mempengaruhi laju metabolisme dari organisme, dan

oleh karena itu pengambilan logam biasanya akan meningkat ketika temperatur

dinaikkan (Cairns et al. 1975).

Toksisitas logam di ekosistem akuatik sebagian besar dipengaruhi oleh status

bioavailability logam berat yang bersangkutan (Luoma 1995; Chapman et al.1998).

Toksisitas logam biasanya akan berkurang ketika fraksi dari ion logam pada kolom

air teradsorbsi oleh bahan organik yang tersuspensi. Dengan demikian pengukuran

dari konsentrasi logam berat total di dalam kolom air mungkin tidak selalu

berhubungan atau mencerminkan kejadian toksisitas yang sebenarnya (Novotny and

Olem 1994; Allen 1993).

Ketika logam toksik dilepaskan ke perairan alami, maka umumnya logam

tersebut akan mengadakan kompleksasi dengan ligan. Bentuk dari ligan ini bisa

bervariasi yaitu organik atau anorganik yang mengadakan penggabungan dengan

logam membentuk strutur kimia yang lebih komplek. Novotny and Olem (1994) telah

merinci beberapa penyebab utama adanya pengendapan dan kompleksasi dari logam

sebagai berikut:

1). Oksidasi dari bentuk tereduksi dari besi, mangan, dan sulfida.

2). Reduksi dari logam yang bervalensi tinggi dengan interaksi bahan organik seperti

pada logam selenium dan perak.

3). Reduksi sulfat ke bentuk sulfida (logam besi, tembaga, perak, seng, merkuri,

nikel, arsen, dan selenium yang akan mengendap sebagai logam sulfida/MeS).

4). Adanya reaksi dengan alkalin akibat adanya peningkatan pH misalnya logam

stronsium, mangan, besi, seng, dan kadmium.

5). Adsorpsi dan kopresipitasi dari ion logam dengan besi dan mangan oksida, clay,

dan bahan partikulat organik.

6). Reaksi pertukaran ion khususnya dengan clay.

Page 5: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

15

2.3 Penerapan Uji Bioassai.

Uji toksisitas/ bioassai merupakan suatu pendekatan yang bersifat eksperimen

guna menguji respon dari suatu organisme hidup terhadap suatu bahan polutan

tertentu. Beraneka macam respon biologi yang ditimbulkan oleh biota uji sebagai

respon terpaparkan oleh bahan polutan spesifik, mulai dari perubahan fisiologi hingga

berujung pada kematian (toksisitas akut). Bahan toksik/ toksikan umumnya

dipaparkan ke biota uji dalam bentuk terlarut maupun campuran misalnya dalam

bentuk sedimen. Bioassai pada umumnya dirancang untuk: menentukan konsentrasi

dari suatu bahan kimia spesifik yang diduga bersifat toksik, menentukan toksisitas

dari suatu air atau sedimen alami (bioassay ambient), dan memahami proses yang

mengatur kejadian toksisitas. Evaluasi toksisitas dengan menggunakan bioassai lebih

mengutamakan unsur ketepatan, kepraktisan, standardisasi, dan kemampuan

pengulangan dalam menggambarkan respon spesifik dari biota uji terhadap bahan

toksikan tertentu. Disamping itu bioassai juga dapat diterima dalam menunjukkan

permasalahan yang terjadi dari interaksi antar bahan kimia yang ditunjukkan dalam

respon biologi tunggal dalam suatu sistim percobaan. Bioavailability bisa lebih

mudah diintepretasi, jika bioassai digabungkan dengan studi kimia pada suatu

ekosistem. Para penganjur teknik bioassai umunya berpendapat bahwa kesederhanaan

merupakan suatu kebutuhan dan keuntungan dari metode bioassai. Disamping itu

bioassai relatif lebih murah dan lebih mudah di standardisasi dibandingkan dengan

studi yang dilakukan di lapangan. Respon yang ditimbulkan oleh toksisitas maupun

defesiensi dari logam dapat ditunjukan dengan menggunakan bioassai. Bioassai

dengan menggunakan fitoplankton menunjukkan bagaimana aktivitas logam terlarut

seringkali mempengaruhi efek biologisnya. Sedangkan bioassai dengan menggunakan

organisme bentik makroavertebrata menunjukkan bagaimana proses geokimia dari

sedimen berpengaruh terhadap bioavailability logam pada hewan deposit feeder

(Luoma 1995).

Page 6: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

16

2.4 Beberapa Pertimbangan Dalam Melakukan Studi Bioassai Setiap studi bioassai biasanya melibatkan pemilihan tentang tingkatan

organisasi yang dipaparkan, lamanya waktu pemaparan, konsentrasi yang dipaparkan,

rute pemaparan, dan keterwakilan dari spesies yang digunakan. Pengaruh konsentrasi

dan waktu pemaparan saling terkait. Dalam uji bioassai umumnya konsentrasi logam

secara progresif akan lebih rendah ketika waktu pemaparan semakin meningkat.

Semakin singkat waktu pemaparan, maka diperlukan konsentrasi lebih tinggi untuk

bisa menimbulkan suatu respon. Pemaparan kronis secara alami dapat tetap bertahan

dari satu generasi ke generasi lainnya dari suatu spesies yang relatif menetap/ tinggal

disitu. Sehingga bioassai kronis dapat mencerminkan secara kasar pemaparan lebih

dari satu siklus hidup. Walaupun sekarang ini tidak selalu dalam uji toksisitas kronis,

pemaparan melibatkan satu siklus hidup secara penuh (Luoma 1995).

Studi yang dilakukan guna mengembangkan guideline kualitas sedimen

biasanya menggunakan waktu pemaparan yang relatif singkat yaitu 96 jam dari suatu

organisme dengan waktu generasi tahunan. Sebagai contohnya adalah uji toksisitas

sedimen 96 jam yang menggunakan hewan Moluska dengan masa hidup hingga 10

tahun. Meskipun penggunaan hewan tersebut banyak mendapakan kritik karena

relatif tidak sensitif terhadap toksisitas sedimen. Baru-baru ini pengembangan uji

bioassai kronis sedimen dengan menggunakan hewan Amphipoda dengan waktu

pemaparan 10 hingga 28 hari. Hewan tersebut secara alami tinggal di dalam sedimen

dalam kurun waktu hingga ±1 tahun (Luoma 1995).

Penggunaan prosedur bioassai dari sedimen yang terstandardisasi

menunjukkan hasil yang relatif sensitif dan dapat dilakukan pengulangan. Hal-hal

yang patut dipertimbangkan dalam melakukan uji bioassai sedimen adalah

bioavailability logam diantara sedimen pada perbedaan karakter geokimia, pengaruh

manipulasi pada geokimia sedimen, dan keterbatasan geokimia sedimen selama

digunakan dalam uji bioassai air pori-pori dan elutriates (Bernhard 2000). Adapun

organime yang telah umum digunakan dalam uji bioassai sedimen air tawar antara

lain: 1) Bakteri, 2). Algae, 3). Tumbuhan makrofit, 4). Amphipoda, 5). Insekta air

misalnya larva Chironomid dan Ephemeroptera. 6). Cladocera, 7). Cacing

Page 7: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

17

Oligochaeta dan 8). Ikan (Burton and Ingersoll 1994; Giesy and Hoke 1991).

Bioassai sedimen dengan menggunakan bentik makroavertebrata dapat digunakan

untuk mengevaluasi toksisitas dan bioakumulasi dari kontaminan persisten yang

berguna untuk memprediksi bioavailability logam pada lingkungan sedimen yang

berbeda (Besser et al. 1995). Pemilihan biota uji umumnya didasarkan pada pengaruh

utamanya pada keterkaitan ekologi dari biota yang bersangkutan dan intepretasi dari

respon yang ditimbulkan dari adanya pemaparan bahan polutan. Sebagian besar

guideline dari uji bioassai sedimen dari ASTM E 1525 maupun US-EPA dalam

pemilihan biota uji yang digunakan didasarkan pada pertimbangan:

1. Data base toksisitas yang ada untuk mengevaluasi sensitifitas relatif dari

suatu organisme terhadap pemaparan suatu bahan polutan.

2. Organisme yang hidup pada sedimen.

3. Organisme yang dapat dibiakkan di laboratorium

4. Organisme yang dapat dipelihara; dipertahankan di dalam laboratorium

selama percobaan berlangsung.

5. Identifikasi/taksonomi dari biota uji yang digunakan tidak ada masalah.

6. Organisme tersebut secara ekologi penting.

7. Distribusi dari organisme sebagai biota uji ada di dalam lokasi atau area

dimana uji bioassai tersebut dilakukan.

8. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi

fisiko-kimia dari sedimen secara alami.

9. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi

kualitas air.

10. Uji dengan menggunakan hewan tersebut telah melalui rekomendasi dari

beberapa peer review.

11. Uji dengan menggunakan organisme tersebut di lapangan dapat

dilakukan validasi (Burton and Ingersoll 1994).

Page 8: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

18

2.5 Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam.

Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang

merugikan. Untuk tujuan praktis, satu tingkat organisasi biologi biasanya dipilih

dalam mempelajari sebuah efek/ pengaruh. Toksisitas logam di alam dapat

berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga populasi).

Toksisitas melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan interaksi dari suatu

mekanisme yang lebih komplek dibandingkan dengan suatu efek merugikan secara

sederhana. Pada Gambar 3 merupakan urutan pengaruh dari toksisitas logam terhadap

seluruh tingkatan organisasi biologi dari yang paling rendah(seluler) hingga tingkat

yang paling tinggi (populasi). Dari gambar tersebut menunjukkan proses detoksifikasi

dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek

merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi

berlebih pada pengaruh sekunder. Dalam kasus yang sederhana semakin besar

pemaparan logam, maka semakin panjang reaksi ke bagian bawah bagan yang akan

diproses. Biasanya reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi

pada tingkatan yang paling rendah organisasi biologinya. Penumpukan kompleksitas

terjadi dari mulai bagian atas hingga bagian bawah dari bagan. Sehingga dalam

mendefinisikan pengaruh sebab-akibat dari kontaminasi logam pada tingkatan

organisasi biologi, kompleksitas mulai muncul dari tingkatan yang lebih rendah

hingga tingkat yang lebih tinggi (Luoma 1995).  

Rute pemaparan uji bioassai mungkin akan berpengaruh pada hasil

intepretasinya. Keberadaan toksikan dalam bentuk terlarut umumnya pendekatan

metode bioassai lama yang paling sering digunakan. Kontrol konsentrasi logam

selama bioassai, geokimia, dan kondisi reduksi/oksidasi (redoks) akan lebih mudah,

ketika eksperimen tersebut dilakukan dalam bentuk fase cair saja. Bioassai sedimen

melibatkan suatu sistim yang lebih rumit guna menguji toksisitas terhadap hewan

bentik makroavertebrata. Konsentrasi logam disajikan dalam suatu campuran dalam

bentuk teradsorbsi maupun terlarut. Satu keuntungan dengan menggunakan metode

ini adalah jalur pemaparan mungkin lebih mirip dengan kebiasaan hidup dari biota uji

Page 9: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

19

untuk hidup secara alami. Kerugiannya adalah hilangnya kontrol geokimia dari sistim

pengujian, wujud/ bentuk dari logam yang dipaparkan, dan rute pemaparannya.

Toksisitas pada sedimen juga diuji dengan cara memisahkan air pori-pori sedimen

atau pengenceran sedimen dengan air (elutriates) dengan perbandingan tertentu yang

mempresentasikan logam di dalam wujud terlarut. Di dalam cara ini, pengaruh faktor

sedimen secara alami (seperti ukuran butir) dapat diabaikan (Chapman et al 1998 ;

Luoma 1995).

Beberapa peneliti tetap mempertahankan pemaparan polutan melalui jalur air

sebagai kesesuaian simulasi pengujian secara alami. Mereka menyarankan air atau air

pori-pori sedimen adalah rute yang paling eksklusif dari pemaparan zat pencemar di

alam atau keseluruhan pemaparan sebanding dengan bioavailability logam dalam

bentuk terlarut. Studi bioassai dengan cara spiked pada sedimen menunjukkan

pengambilan logam Cd oleh hewan Amphipoda berkorelasi dengan aktivitas Cd

dalam air pori-pori sedimen. Baru-baru ini, suatu korelasi yang kuat ditunjukkan

antara konsentrasi ion Cd bebas di atas permukaan sedimen (overlying) dengan

konsentrasi Cd di remis dari 37 danau di Quebec dan Ontario, Canada (Luoma 1995).

Page 10: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

20

Tingkat organisasi biologi Pengaruh sekunder Pengaruh primer Molekuler/biokimia Detoksifikasi Bioakumulasi - Lisosom - Metallothionin Detoksifikasi berlebih Merubah atau mengganggu proses biokimia Fisiologi Detoksifikasi - Aklimatisasi - Adaptasi siklus reproduksi Kompensasi berlebih Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress Organisme Detoksifikasi - Kelulushidupan pada dewasa Kompensasi berlebih Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi Populasi Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi - Struktur umur Kompensasi berlebih Hilangnya spesies Gambar 3. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi

biologi.

Page 11: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

21

2.6 Respon Komunitas Bentik Makroavertebrata terhadap Pemaparan Logam.

Organisme bentik makroavertebrata merupakan salah satu komponen biotik

perairan yang hidup di dasar perairan, yang seringkali digunakan dalam memprediksi

tingkat gangguan pada ekosistem akuatik akibat kontaminasi bahan polutan maupun

adanya perubahan habitat (Norris 1999). Adanya kontaminasi tersebut di perairan

dapat dengan mudah terakumulasi dan berpengaruh secara langsung ke organisme

bentik makroavertebrata dan menjadi bioavailable ketiaka adanya resuspensi atau

lindih dari sedimen (Giezy and Hoke 1989). Kiffney and Clements (1993) telah

merinci alasan penggunaan komunitas bentik makroavertebrata dalam mencerminkan

adanya bioavailability logam di perairan antara lain: 1) Hewan tersebut dapat dengan

mudah mengakumulasi logam dan dapat dipercaya sebagai indikator dalam

menampakkan adanya gangguan dari bioavailability logam. 2). Organisme tersebut

biasanya sering digunakan dalam kegiatan pemantauan lingkungan karena sifatnya

yang relatif sessil, mempunyai waktu siklus hidup yang relatif panjang, dapat

mewakili dari sebuah niche ekologi perairan, dan dapat mengakumulasi logam pada

konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasi ambientnya (Luoma 1995).

Distribusi spesies dari organisme bentik makroinvertebrata dipengaruhi oleh

faktor biotik dan abiotik. Kelimpahan dari organisme tersebut dapat tinggi atau

rendah tergantung pada kesesuaian interaksi kondisi biotik dan abiotik pada masing-

masing habitat. Ketika faktor tersebut optimal, populasi dari spesies dalam sebuah

habitat juga akan optimal. Spesies spesifik dalam hubungannya dengan toleransi

terhadap kontaminasi logam merupakan sebuah fungsi dari proses biokimia dan

fisiologi dalam sebuah populasi. Toleransi sebuah spesies terhadap kontaminasi

logam di beberapa tempat/ lokasi juga sebuah fungsi dari intensitas stressor alami,

misalnya bagaimana optimal hubungannya sebuah spesies dalam lingkungan yang

telah terkontaminasi logam (Luoma and Carter 1991).

Komponen biota akuatik dalam ekosistem perairan mempunyai struktur dan

fungsi tertentu dalam rantai makanan. Metode untuk mengetahui respon kontaminan

terhadap sistem akuatik seringkali diduga dengan mengetahui adanya perubahan

Page 12: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

22

struktur dan fungsi dari komponen biota akuatik yang telah terpaparkan dengan bahan

kontaminan tersebut. Perubahan dalam struktur komunitas dapat diketahui dengan

perubahan pada komposisi, jumlah, dan kelimpahan taksanya. Sedangkan perubahan

fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada produktivitas sekunder, laju

dekomposisi dan sebagainya. Adanya kontaminasi logam dapat mengakibatkan

perubahan pada keduanya (struktur dan fungsionalnya) yang kadangkala diantara

parameter struktur dan fungsionalnya ada hubungan interrelasinya. Sampai saat ini

belum ada satu parameterpun dari struktur dan fungsional yang paling efektif dalam

mendeteksi pengaruh kontaminasi dari logam spesifik. Disamping itu pengukuran

status fungsional dari komponen biota akuatik seringkali lebih sulit intepretasinya,

karena kompleksitasnya dalam mencerminkan pengaruh dari sebuah polusi. Oleh

sebab itu pengukuran parameter struktural yang paling banyak dipakai dalam

bioassessment atau pemantauan dari adanya kontaminasi bahan polutan di perairan

(Luoma and Carter 1991).

Beberapa indek atau metrik biologi dalam mendeteksi adanya gangguan

akibat polusi telah menggunakan data kelimpahan dan biomasa dari organisme bentik

makroavertebrata. Namun banyak pula indek yang telah dikembangkan sudah tidak

menggunakan kedua metrik biologi di atas karena kedua metrik di atas sangat sulit

intepretasinya dan variabilitas datanya sangat tinggi. Sebuah model dari

kelimpahan/biomasa yang mengadakan respon dari toksisitas sedimen didasarkan

pada satu asumsi dari empat kondisi yaitu 1). Kondisi non toksik yang mendukung

kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, 2). Kondisi toksik ringan yang mungkin

mendukung tidak biasanya tinggi dari kelimpahan/biomasa, 3). Toksisitas sedang

dapat menyebabkan kembalinya kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, dan 4).

Toksisitas berat kondisinya hanya mendukung rendahnya kelimpahan/biomasa

(Sorensen et al. 2007).

Respon komunitas terhadap logam sebagai stressor seringkali sulit untuk

diprediksi. Sebagian respon tergantung pada sejarah dari komunitas, yang

menentukan apakah spesies yang menetap/ ada dihasilkan dari tidak adanya

kontaminasi. Jika spesies yang toleran logam menggantikan spesies yang hilang yang

Page 13: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

23

disebabkan oleh toksisitas logam, maka bentuk respon komunitasnya akan berbeda

dengan spesies yang toleran logam juga hilang. Sensitifitas masing-masing hewan

terhadap kontaminasi jenis-jenis logam adalah penting untuk diketahui. Sebagai

contohnya adalah sensitifitas larva Trichoptera Hydropsychidae yang relatif toleran

terhadap kontaminasi logam Cu, Cd dan Pb (Luoma 1995). Respon komunitas yang

paling mudah untuk dilihat adalah dengan adanya pengurangan keseluruhan dari

jumlah jenis yang ditemukan. Namun perubahan dalam spesies yang berpengaruh

pada komposisi spesies relatif lebih sulit untuk dilihat. Seringkali didapati komposisi

dari komunitas yang bersifat oportunis mendominasi dan menggantikan keberadaan

spesies yang lain. Kondisi tersebut masih belum cukup meyakinkan keterkaitan antara

dinamika komunitas terhadap adanya pencemaran logam. Ini disebabkan

kompleksitas dari bahan toksikan lainnya yang turut mengatur perubahan dalam

struktur komunitas yang kadangkala sulit untuk dipahami (Canfield et al.1994).

Giezy and Hoke (1989) menyebutkan meskipun seluruh parameter fisik dan kimia

selain daripada toksikan, dan sumber kolonisasi individu dari bentik

makroavertebrata tersebut identik, maka masih sulit menunjukkan adanya perbedaan

dalam populasi dari organisme tersebut disebabkan oleh substansi toksik di sedimen.

Perubahan yang singkat dari stressor kimia dan fisik seperti: chlorin, pH, dan

temperatur dapat menghilangkan populasi dari bentik makroavertebrata tanpa

meninggalkan residu di dalam sedimen. Hilangnya makroavertebrata pada sedimen

belum tentu melibatkan adanya toksisitas pada sedimen sebagai faktor penyebab dan

bukan indikasi potensi toksisitas pada sedimen yang lebih dalam. Oleh sebab itu, ada

atau hilangnya dari bentik makroavertebrata mungkin belum cukup bukti dalam

mengungkap adanya toksisitas sedimen (Luoma 1995).

Biasanya untuk memprediksi dampak kontaminasi logam terhadap perubahan

pada struktur komunitas yaitu dengan terlebih dahulu menetapkan daerah yang

dianggap sebagai reference site dengan ketiadaan atau minimalnya kontaminasi

logam (Luoma 1995). Lokasi reference tersebut kemudian dibandingkan dengan

daerah yang akan kita uji yang berfungsi sebagai test site. Adanya perubahan atau

penyimpangan terhadap komunitas dari reference site dapat diketahui dan

Page 14: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

24

dihubungkan dengan besarnya kontaminasi logam yang terjadi pada test site (Norris

and Thoms 1999). Dalam hubungannya dengan reference site yang berfungsi sebagai

kontrol dari daerah yang akan kita uji atau sebagai test site, maka Long and Wilson

(1997) mengeluarkan kriteria daerah yang dapat digunakan sebagai reference yaitu

1. Seluruh konsentrasi dari masing-masing bahan kimia di bawah nilai dari

guideline effect range median (ERM) dan probable effect low (PEL).

2. Relatif rendahnya nilai rata-rata pembagian ERM (misalnya < dari 0,30;

nilai rata-rata pembagian ERM yang dihitung dari jumlah pembagian

konsentrasi kimia dengan nilai dari masing-masing ERM dibagi dengan

jumlah kimia yang ada). Pengujian tingkat kelulushidupan hewan

Amphipoda menunjukkan toksisitas < 20 % ketika nilai rata-rata

pembagian ERM < 0,3 dan toksisitas > 70% ketika nilai rata-rata

pembagian ERM > 1.

3. Konsentrasi amonia dan hidrogen sulfida pada air pori-pori di bawah

ambang batas toksisitas dari pengujian organisme di laboratorium.

4. Tingkat kelulushidupan dari Amphipoda di dalam uji laboratorium tidak

berbeda secara nyata dengan kontrol (uji T, p>0,05) dan lebih dari 80%

dibandingkan dengan hewan yang hidup di kontrol.

5. Organisme bentik makroavertebrata memiliki kelimpahan total spesies

yang tinggi, terdapatnya hewan Amphipoda dan Crustacea, dan tidak ada

atau sedikit spesies indikator yang bersifat negatif (toleran) dan di

dominasi oleh spesies indikator positif (sensitif).

Manipulasi sistem dari sungai guna mempelajari respon komunitas terhadap

toksikan mempunyai sejarah yang panjang. Kebayakan dari studi tersebut

menunjukkan hilangnya spesies yang sensitif adalah respon pertama dari suatu

komunitas terhadap logam. Perubahan jumlah taksa yang terjadi pada pemaparan

konsentrasi logam yang lebih tinggi. Sebagai contohnya adalah penghilangan spesies

dari serangga nympha Ephemoptera adalah respon yang paling sensitif dari adanya

kontaminasi logam, dan hampir dapat ditemukan pada semua studi (Luoma 1995).

Studi yang dilakukan Clements et al. (1993) dalam Luoma (1996) di laboratorium

Page 15: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

25

menunjukkan pada konsentrasi logam Cu dari 230-492 nmol L-1 selama 96 jam,

nympha serangga dari Ephemeroptera (mayfly) menghilang, namun jenis larva

serangga Chironomidae lainnya (Diptera) dan detritus feeder Trichoptera meningkat

dalam kelimpahannya. Hasil yang serupa ketika konsentrasi logam Cu yang rendah

yaitu 004-008 µmol L-1 pada air lunak yang dipaparkan selama 1 tahun. Konsistensi

dari hasil penelitian tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa penurunan spesies dari

serangga Ephemoptera yang relatif sensitif dan meningkatnya dominansi dari bentik

makroavertebrata dari beberapa jenis famili Chironomidae dan Hydropsychidae

merupakan sinyal awal dari peningkatan kontaminasi logam (Canfield et al.1994;

Luoma 1996; Winner et al. 1980). Disamping adanya peningkatan kelimpahan dari

larva Chironomidae juga diikuti dengan peningkatan komposisi taksa yang

berkorelasi positif dengan peningkatan konsentrasi logam di sedimen pada Sungai

Clark Fork di Montana akibat dari aktivitas penambangan. Populasi cacing

Oligochaeta juga menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kontaminasi logam di

sedimen. Beberapa genus dari famili Naididae (misalnya Dero digitata dan

Ophidonais serpentina) dan sebagain besar dari famili Tubificidae (misalnya Tubifex

sp., Limnodrilus hoffmeisteri) lebih toleran pada konsentrasi bahan organik yang

tinggi dan polusi logam berat (Canfield et al. 1994). Besser et al. (1996b) yang

melakukan penelitian di Sungai Detroit Michigan USA menunjukkan cacing

Oligochaeta relatif toleran terhadap toksisitas sedimen yang tinggi dan mendominasi

hingga 95% organisme bentik makroavertebrata yang ada.

Perubahan komposisi spesies dalam suatu komunitas, atau bahkan hilangnya

suatu spesies dapat berpotensi menyebabkan perubahan secara tidak langsung melalui

jaring-jaring makanan. Hilangnya suatu predator dapat mempunyai pengaruh penting

terutama pada jaring-jaring makanan. Amphipoda, Pontoporeia affinis, dan Ostracoda

adalah hewan yang relatif sensitif dalam pengujian dengan logam Cd. Cacing

Nematoda yang merupakan mangsa dari P.affinis akan meningkat ketika terjadi

pengkayaan logam Cd pada pemaparan 265 hari. Hasil-hasil yang serupa ditemukan

ketika spesies yang toleran terhadap Cd (Cacing pipih Turbellarians dan

Page 16: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

26

Monothalmous foraminifera) juga meningkat selama pemaparan logam di dalam

ketidakhadiran predator dan kompetisi (Luoma 1995).

2.7 Penggunaan Spesies tunggal dalam Bioassai.

Bioassai dengan menggunakan spesies tunggal telah secara luas digunakan

dalam studi ekotoksikologi yang mungkin disebabkan adanya keseimbangan antara

keuntungan dan kerugiannya. Beberapa keuntungan dengan bioassai tersebut adalah

relatif mudah untuk diatur/ dikontrol dan dapat dilakukan standarisasi. Respon yang

dihasilkan merupakan gambaran dari relevansi ekologinya. Standarisasi dari

metodologi memungkinkan untuk memberikan hasil yang dapat

dipertanggungjawabkan, dapat dilakukan pengulangan, dan pengumpulan data relatif

cepat. Bermacam-macam spesies telah digunakan dalam bioassai jenis yang tunggal.

Metodologi yang telah terstandardisasi telah memungkinkan penggunaan jumlah

spesies yang lebih kecil. Bioassai dengan spesies tunggal telah dirancang dengan baik

sehingga dapat secara jelas menguji suatu hipotesis yang akan digunakan untuk

mencari penyebab toksisitas dari suatu bahan yang dicurigai (Luoma 1995).

Idealnya, bioassai dapat digunakan untuk memprediksi kualitas dari

lingkungan yang diperlukan bagi manajemen pencemaran logam. Penggunaan teknik

bioassai dapat dikatakan paling rumit guna memprediksi toksisitas suatu bahan

polutan tertentu pada sebuah komunitas atau digunakan untuk melindungi komunitas

biota tertentu. Seluruh prediksi yang dibuat dari hasil bioassai dapat melindungi

ekosistem, jika spesies yang digunakan dalam bioassai lebih sensitif dibandingkan

konsentrasi logam dimana komunitas tersebut berada. Tetapi kondisi tersebut hampir

dipastikan sulit untuk tercapai, dikarenakan sensitifitas dari masing-masing populasi

dalam sebuah komunitas sangat bervariasi dan masih belum banyak diketahui

(Luoma 1995).

Page 17: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

27

2.8 Beberapa Alasan Pentingnya Kajian di Sedimen.

Sedimen adalah matrik heterogen yang tersusun dari detritus, bahan organik,

dan anorganik. Komposisi matrik sedimen mungkin berupa batuan, serpihan dari

cangkang, mineral, detritus tanaman, ekskresi hewan, dan substansi lainnya yang

dihasilkan dari aktivitas antropogenik (Power and Chapman 1992; Maher et al.

1999). Kandungan air interstial atau air pori-pori sedimen dapat menyusun hingga 32

% dari volume sedimen itu sendiri. Berdasarkan ukuran, partikel sedimen terdiri atas

lumpur (silt) hingga pasir (< 63 µm) dan partikel batuan (> 1mm). Umumnya fraksi

partikel sedimen yang lebih halus dihasilkan dari proses erosi pada sistem aliran

sungai dan akan tersuspensi di sebagian besar badan air yang hanyut terbawa hingga

konsentrasinya mencapai hampir 1 mg/l. Partikel halus tersebut mempunyai

kemampuan untuk mengadsorpsi logam terlarut dan kontaminan organik dari badan

air untuk kemudian diendapkan di dasar perairan. Fraksi lumpur dan lempung (clay)

mempunyai area permukaan spesifik yang sering dilapisi oleh besi dan mangan

oksida, dan organik yang mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi kontaminan

organik dan logam berat. Adapun kemampuan adsorpsi dari partikel halus tersebut

sangat dipengaruhi oleh pH, salinitas, dan kimia permukaan dari partikel itu sendiri

(Maher et al. 1999).

Secara ekologi keberadaan sedimen merupakan komponen penting penyusun

habitat akuatik dan berfungsi sebagai reservoir alami dari berbagai macam

kontaminasi (Louma and Ho 1993). Sedimen dapat menyediakan tempat sebagai

sumber untuk mendapatkan makanan dan perlindungan bagi sebagian biota akuatik

(Maher et al. 1999). Disamping itu Novotny and Olem (1994) menyebutkan sedimen

mempunyai kapasitas alami untuk menurunkan toksisitas dari kontaminasi logam

berat melalui mekanisme pembentukan ligan pada air interstitial, adsorpsi, dan

presipitasi. Kontaminan organik yang kurang polar dan elemen renik yang toksik

akan berikatan kuat dengan bahan partikulat dan terakumulasi di sedimen pada

umumnya akan memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dalam fase

terlarutnya. Oleh sebab itu kontaminan dapat tertahan dan terakumulasi dalam

Page 18: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

28

sedimen dalam jangka waktu yang lama yang dapat berfungsi sebagai sumber

kontaminasi sekunder ke kolom air maupun air interstitial melalui proses

kesetimbangan selama reaksi penyerapan maupun pelepasan kembali. Berbagai

macam biota akuatik dapat dengan mudah terpapar secara langsung maupun tidak

oleh kontaminan di sedimen. Hewan yang terpapar mungkin berasal dari proses

mencerna partikel detritus sedimen sebagai makanannya atau kontak langsung selama

pencarian makanannya. Hewan predator yang memiliki tingkatan trophic lebih tinggi

secara tidak langsung juga terpapar oleh kontaminasi polutan dari sedimen (Louma

and Ho 1993; Novotny and Olem 1994).

2.9 Bioassai Sedimen

Sejak diketahuinya buangan dari limbah toksik ke air permukaan

menimbulkan pengaruh merugikan terlebih dahulu dan mudah terlihat secara akut,

maka perhatian kontaminan yang ada di kolom air lebih banyak mendapat perhatian

dibandingkan dengan pengaruh kontaminasi di sedimen. Umumnya penelitian

mengenai toksisitas sedimen hanya sebatas kajian kompleksitas antara antara kolom

air dengan sedimen dan interaksi dari biota yang mengadakan kontak dengan sedimen

(Giezy and Hoke 1989). Sejalan dengan perkembangan jaman, maka pengetahuan

mengenai toksikologi sedimen mulai mendapat banyak perhatian, ketika mulai

adanya aktivitas pengerukan dan dampaknya terhadap terhadap makhluk hidup

lainnya (Burton and Ingersoll 1994).

Pengertian toksisitas sedimen secara luas dapat didefinisikan sebagai adanya

perubahan ekologi maupun biologi yang disebabkan oleh kontaminasi sedimen.

Secara operasional, toksisitas sedimen didefinisikan sebagai respon yang merugikan

yang dapat diamati pada biota uji yang dipaparkan oleh sedimen yang

terkontaminasi. Pengaruh merugikan ini dapat dilihat pada hewan uji ketika

dimasukkan dalam sedimen yang relatif belum terkontaminasi, pada penambahan

kontaminan tertentu pada sedimen (spiked), atau ketika organisme bentik tersebut

dipaparkan oleh bahan kontaminan yang berkonsentrasi tinggi di sedimen secara

Page 19: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

29

alami (mesocosm) (Luoma and Ho 1993). Giezy and Hoke (1989) menambahkan ada

3 faktor yang diperlukan untuk penilaian kontaminasi polutan di sedimen yaitu 1).

Bahan kontaminan apa saja yang ada di sedimen, 2). Seberapa besar tingkat

kontaminasi dari bahan polutan tersebut, dan 3). Apakah kontaminan tersebut

berpotensi membahayakan bagi kehidupan biota akuatik atau tidak.

Bioassai/ uji toksisitas sedimen adalah suatu pendekatan yang relatif baru

dikembangkan untuk memprediksi besarnya resiko ekologi dari tingginya bahan

toksik yang terakumulasi pada sedimen. Pengujian sedimen dikembangkan oleh

karena adanya perhatian pada awal tahun 1970-an dari aktivitas pengerukan lumpur

guna dibuang pada perairan terbuka yang dilakukan oleh USEPA-USACOE pada

tahun 1977. Uji bioassai dengan menggunakan sedimenpun berkembang secara pesat

pada masa 5 hingga 10 tahunan setelah adanya aktivitas pengerukan tersebut. Adanya

modifikasi dari uji bioassai air yang telah dikembangkan terlebih dahulu, maka

banyak agensi lingkungan turut berpatisipasi dalam pengembangan guideline uji

bioassai dengan sedimen hingga sekarang ini. Hal ini didasari pada pemahaman

tentang kompleksitas dari bahan polutan yang terikat pada sedimen yang saling

berinteraksi guna menghasilkan informasi tentang potensi toksisitas bahan polutan

tersebut ke biota akuatik. Karena bioavailability dari masing-masing polutan yang

terikat pada sedimen belum dipahami secara baik, maka perlu pengujian toksisitas

dan bioakumulasi secara terkontrol dalam laboratorium. Sasaran dari suatu uji

toksisitas sedimen adalah untuk menentukan apakah sedimen yang ada berpotensi/

membahayakan kepada organisma akuatik maupun manusia yang berhubungan/

kontak secara langsung dengan sedimen atau tidak. Dari penjelasan di atas dapat

diketahui beberapa manfaat dari uji toksisitas sedimen yaitu 1). Untuk menentukan

hubungan antara efek toksisitas dan bioavailability dari suatu bahan polutan tertentu

atau spesifik (misalnya uji spiked sedimen), 2). Untuk mengkaji adanya interaksi dari

beberapa zat polutan, 3) Pengkajian atau evaluasi resiko dari material sedimen yang

telah dilakukan pengerukan, 4). Rangking area/ tempat yang diperlukan untuk

tindakan clean up, dan 5). Pemantauan efektivitas dari tindakan remediasi dan

menejemen yang telah dilakukan (Burton and Ingersoll 1994).

Page 20: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

30

Dalam uji bioassai sedimen, pengkategorian sampel sedimen itu dinyatakan

toksik atau nontoksik dapat secara umum dapat dilihat di Long et al. (1998). Menurut

Long et al. (1998) yang didasarkan pada tingkat kelulushidupan (survival) dari biota

uji Amphipoda menunjukkan kategori non toksik ketika rata-rata tingkat

kelulushidupannya 96-96,5%, toksisitas ringan dengan rata-rata tingkat kelulus-

hidupannya 76,5-83%, toksik sedang dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya

<76%, dan sangat toksik ketika rata-rata tingkat kelulushidupannya < 20%. Namun

Swartz et al. 1995 dalam Long et al. (1998) menambahkan kategori non toksik di

sedimen ketika biota uji Amphipoda mortalitasnya <13%, meragukan jika

mortalitasnya 13-24%, dan toksik ketika mortalitasnya >24%.

2.10 Bioavailability Logam di Sedimen

Bioavailability dari kation logam penting untuk diketahui guna

pengembangan kriteria kualitas sedimen dan manajemen kontaminasi sedimen

(Besser et al. 1995). Mekanisme dari geokimia yang berpengaruh pada

bioavailability logam di sedimen masih belum dapat dipahami dengan baik sebagai

pengaruh spesiasi logam dalam bentuk terlarut. Kemajuan dalam teknik analisis

masih mengandung beberapa kelemahan dalam memprediksi bioavailability logam di

sedimen (Luoma and Jenne 1976). Studi bioassai dari ketersediaan logam di sedimen

biasanya diprediksi dari hewan yang dipaparkan dengan sedimen secara langsung

maupun dari aktivitas mencerna partikel sedimen itu sendiri (Besser et al. 1995).

Dari studi yang dilakukan di lapangan menunjukkan toksisitas dan

bioakumulasi logam dipengaruhi oleh faktor geokimia di sedimen. Konsentrasi logam

di hewan bentik umumnya berkorelasi baik dengan konsentrasi logam yang ada di

sedimen. Sebagai contoh, normalisasi konsentrasi Fe pada sedimen oksik

mengijinkan prediksi dari bioavailability logam Pb dan As pada remis di muara

Sungai Clark Fork (Luoma 1995). Tessier et al. (1976) dalam Luoma (1995), baru-

baru ini menunjukkan suatu mekanisme yang bisa menjelaskan hasil tersebut.

Aktivitas logam Cd di dalam air dapat diperkirakan dengan memodelkan partisi Cd

Page 21: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

31

dari Fe oksida dan bahan organik dalam sedimen oksik (mengandung oksigen).

Bioakumulasi Cd oleh filter feeder air tawar berkorelasi baik dengan penghitungan

aktivitas ion Cd bebas.

Peran fraksi yang dapat dipertukarkan (exchangeable) dari besi monosulfida

(FeS) dan mangan monosulfida (MnS) dalam penentuan bioavailability dari logam di

sedimen anaerob telah dipelajari secara intesif. Bentuk reduksi dari sulfat secara

langsung dihasilkan oleh bakteri pereduksi dan tidak langsung dari aseptor elektron di

dalam bakteri pengoksidasi bahan organik, merupakan pembentuk utama dari sulfida

di sedimen dalam bentuk FeS (amorphous FeS, mackinawite, greigite, pyrhotite, atau

troitolite), MnS, FeS2(pyrite), atau organik sulfida. Diantara senyawa tersebut FeS

dan MnS merupakan fraksi yang paling labil dan secara operasional didefinisikan

sebagai AVS (acid volatile sulfide). Karena FeS dan MnS mempunyai produk

kelarutan yang tinggi (Ksp) daripada logam sulfida lainnya (MeS), maka logam yang

bersangkutan dapat menggantikan posisi Fe dan Mn untuk membentuk MeS yang

tidak larut sesuai dengan reaksi di bawah ini:

Me2+ +FeS(s) MeS(s) + Fe2+

Me2+ +MnS(s) MeS(s) + Mn2+

Bentuk MeS ini dapat berupa fase MeS murni atau dalam sebuah padatan terlarut

membentuk copresipitasi dengan adsorpsi FeS. Sebagai konsekuensi dari reaksi di

atas, ketika konsentrasi dari AVS berlebih, maka logam yang bersangkutan

nampaknya tidak akan toksik (Chapman et al. 1998).

Kondisi dasar perairan yang anaerob dengan konsentrasi asam sulfida yang

tinggi, umumnya acid volatile sulphide/ AVS berfungsi sebagai normalisasi ikatan

antara logam berat dengan MnS dan FeS dalam bentuk tidak larut (MeS). Beberapa

proses dilepaskannya logam berat dari dasar sedimen ke kolom air seperti yang

dilaporkan oleh Chapman et al. (1998), DiToro et al. (1990), dan Ankley et al. (1996)

mengakibatkan hilangnya kekuatan ikatan antara kation logam berat dengan

kompleks besi atau mangan sulfide. Bentuk AVS ini bersifat tidak stabil dari adanya

pengaruh fisik, kimia, maupun biologi, khususnya adanya peningkatan atau

perubahan dalam potensial redoks (Eh) atau oksidasi. Konsentrasi AVS pada

Page 22: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

32

permukaan sedimen secara spatial dan temporal sangat berfluktuasi dalam

mencerminkan perbedaan kondisi redoks, temperatur, input bahan organik. Perubahan

musim pada AVS yang dapat mecapai dua kali lipat perbedaannya pada sedimen air

tawar (Besser et al. 1995). Beberapa contoh proses yang dapat menyebabkan

peningkatan potensial redoks atau oksidasi di perairan antara lain: 1). Perubahan laju

pengendapan partikel dan reduksi sulfat oleh mikroba secara spasial dan temporal. 2).

Bioturbasi dan bioirigasi yang berasal dari sarang persembunyian organisme bentik

makroavertebrata yang dihasilkan dari aktivitas ekskresi, respirasi, maupun

pergerakan dari biota air itu sendiri. 3). Resuspensi sedimen yang disebabkan oleh

banjir, badai, pergantian pasang surut, arus air, maupun aktivitas pengerukan. Adanya

proses tersebut di atas dapat menyebabkan AVS akan mudah teroksidasi dan bersifat

volatile/ mudah menguap (Chapman et al. 1998). Oksidasi dari sulfida dapat

menghasilkan kemampuan melarutkan dan meningkatkan bioavailability dari logam

toksik (Besser et al. 1995). Sehingga kation logam divalen (Me2+, Me (H2O)x2+

(Chapman et al. 1998), atau Me(OH)+ (Allen 1993) akan mudah dilepaskan ke dalam

air pori-pori dan kolom air sehingga bersifat toksik ke sebagian besar biota akuatik.

Geokimia pada sedimen dapat mempengaruhi hasil uji bioakumulasi dan

toksisitas logam di sedimen. Konsentrasi rasio molar dari logam yang terekstrak

secara simultan dengan HCl 0,1 N atau yang disebut sebagai SEM dengan AVS,

sering digunakan untuk memprediksi toksisitas logam dalam sedimen air tawar

(Besser et al. 1995). Sebagai contohnya adalah adanya toksisitas dari logam Cd dan

Ni pada Amphipoda di dalam sedimen yang dapat didekati dengan

perbandingan/rasio SEM dan AVS. Ketika konsentrasi SEM:AVS <l, toksisitas dari

sedimen akan berkurang, begitu juga konsentrasi logam pada air pori-pori sedimen.

Adapun sebaliknya ketika SEM:AVS > l, maka toksisitas semakin meningkat

(Ankley et al. 1996; DiToro et al. 1990). Sayangnya konsentrasi AVS ini sangat

mudah berubah ketika sampling sedimen dilakukan dan dapat menghasilkan bias

dalam intepretasinya (Chapman et al. 1998; Luoma 1995). Disamping itu tidak selalu

dari konsentrasi SEM:AVS > 1 dapat menyebabkan peningkatan toksisitas, karena

banyaknya fase pengikatan logam yang terjadi di dalam sedimen. Logam yang

Page 23: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

33

berhubungan dengan AVS mungkin dilepaskan dari sedimen ketika adanya banjir,

aktivitas pengerukan, oksidasi dan sebagainya (Prica et al. 2007)

Partikulat karbon organik (POC) mempunyai afinitas pengikatan yang kuat

dengan logam. Kontribusi dari POC ini akan kuat, ketika sedimen dalam kondisi

aerob, atau tidak ada/ sedikit AVS, atau konsentrasi dari logam lebih besar dari AVS.

Dalam sedimen aerob, besi dan mangan oksihidroksida (FeOOH dan MnOOH) dan

POC adalah fase pengikat dominan logam di sedimen. Ikatan antara besi atau

mangan oksihidroksida dengan logam dapat dilihat pada reaksi di bawah ini:

FeOOH + Me 2+ = FeOOMe+ + H+

{Me2+} = FeOOMe+) (H+) eψfirt

Dimana ψ adalah potensial permukaan (volts), F adalah konstanta faraday, R adalah

konstanta gas molar (8,314 jmol-1.K-1) dan T adalah temperatur absolut (Kelvin).

Karena substansi non humik (misalnya: karbohidrat, protein, as. amino, dan lemak)

mempunyai waktu tinggal yang relatif singkat (mudah terdekomposisi oleh mikroba),

maka komponen utama dari POC adalah substansi humik. Ikatan logam dengan

substansi humik dapat terjadi pada disosiasi proton monodentat atau bidentat dari

substansi humik yang dapat digambarkan dengan reaksi di bawah ini:

RAHz + Me 2+ RAMe z+1 + H+

{Me2+}= ( RAMe z+1) (H+)e4wz

Z adalah muatan molekul dari asam humik, w adalah faktor interaksi elektrostatis

yang berhubungan dengan kekuatan ion, dan (i) adalah konsentrasi dari spesies i.

Disamping itu selain dari substansi humik, POC sendiri juga dapat berikatan dengan

logam seperti pada reaksi di bawah ini:

Me2++ POC = POC-Me

(POC-Me) = (POC-Me)0

Dimana (POC-Me) adalah normalisasi karbon organik pada ikatan konsentrasi logam

dengan POC di sedimen. Sedangkan (POC-Me)0 adalah kapasitas penyerapan

(Chapman et al. 1998).

Page 24: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

34

2.11 Geokimia Sedimen

Geokimia mempengaruhi pemaparan biologi dari kontaminan elemen renik

(trace element) melalui pengaruhnya pada bioavailability. Pengaruh logam dalam

larutan ditentukan dengan konsentrasi logam total dan spesiasi dari logam. Keduanya

berbeda dalam waktu dan ruang di dalam lingkungan akuatik. Konsentrasi logam

dalam bentuk terlarut berbeda besarnya diantara danau, sungai, laut terbuka/samudra,

pesisir pantai, dan muara. Kontribusi dari aktivitas anthropogenik akan meningkatkan

perbedaan kontaminasi logam dari ekosistem alaminya (Chapman et al. 1998).

Sejumlah penelitian telah dilakukan guna melihat pentingnya pengaruh

spesiasi terhadap pengambilan logam oleh organisme atau toksisitasnya. Kondisi

geokimia yang menentukan spesiasi logam dapat bervariasi secara alami. Beberapa

bentuk atau spesies dari unsur logam tidak dapat diprediksi dengan baik toksisitas

maupun pengambilannya oleh organisma akuatik. Sebagai contoh adalah bentuk

oksida dari Se (VI), kompleks dari Cu seperti Cu-EDTA, dan Cd-chloro-compleks.

Bentuk spesies logam lainnya yang sangat bioavailable umumnya sebanding dengan

proporsi ion logam bebas/ kation dalam bentuk terlarut. Bentuk ion logam bebas

tersebut biasanya mengatur banyaknya logam yang bisa diambil oleh organisme

maupun toksisitasnya (Luoma 1995).

Hasil dari bioassai sedimen dipengaruhi oleh manipulasi sedimen selama

tahap pengambilan, penyimpanan, dan percobaan. Standardisasi prosedur penanganan

untuk sedimen telah tersedia dalam ASTM, tetapi faktor geokimia dapat

mempengaruhi hasil dari bioassai sedimen walaupun prosedur dalam buku metode

standar tersebut telah diikuti (Luoma 1995).

Sedimen secara alami adalah sesuatu yang terbuka, dinamis, dan sistem

biogeokimia yang terstruktur. Suatu endapan sedimen yang alami terdiri atas bagian

oksik pada lapisan atasnya dan anoksik pada bagaian bawahnya. Dalamnya lapisan

oksik ditentukan oleh suatu keseimbangan antara sedimentasi bahan organik yang

reaktif, konsumsi oksigen oleh mikroba selama proses pembusukan materi organik,

dan kemampuan penetrasi oksigen ke dalam sedimen. Secara vertikal kedalaman zone

oksik sedimen bervariasi dari beberapa milimeter di dalam tingginya material organik

Page 25: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

35

di sedimen, hingga sepuluh meter di beberapa lingkungan yang berpasir atau

oligotrofik. Pada kedalaman sedimen dimana kebutuhan akan oksigen mulai melebihi

dari oksigen yang tersedia, maka pada tempat tersebut terjadi suatu batas kondisi dari

status teroksidasi menjadi tereduksi. Zonasi dari batas tersebut ditentukan oleh proses

perombakan bahan organik oleh mikroba (Chapman et al. 1998).

Perbedaan antara sedimen dalam bentuk teroksidasi dan tereduksi

berpengaruh terhadap kimia dari logam telah diketahui lebih baik. Di dalam sedimen

yang teroksidasi, oksida dari Fe dan Mn membentuk padatan yang pada bagian

permukaannya bersifat reaktif dengan banyak unsur logam berat. Logam umumnya

berikatan dengan padatan dari oksida Fe dan Mn dan ligan organik. Di dalam kondisi

sedimen yang anoksik akan melarutkan bentuk tereduksi dari Fe dan Mn ke dalam air

pori-pori sedimen. Sebagai gantinya adalah sulfida yang dominan yang akan

berikatan dengan logam membentuk (MeS) yang tidak larut.

Secara alami, sedimen oksik penting untuk mendukung kehidupan

makrofauna dan meiofauna, walaupun zone oksik hanyalah suatu lapisan tipis. Secara

umum makro dan meiofauna membutuhkan oksigen untuk metabolisme mereka.

Spesies yang tergolong infaunal dan epifaunal mempunyai strategi khusus dalam

pemenuhan oksigennya di dalam sedimen. Banyak organisme yang secara konsisten

kontak dengan permukaan zona oksik dari sedimen. Hewan yang lainnya mengangkut

air yang telah teroksigenasi masuk ke dalam sedimen untuk menciptakan miniatur

zone oksik dengan zonasi redoks pada skala milimeter (Luoma 1995).

Pengumpulan sedimen dan memindahkannya pada suatu ruang uji bioassai

memerlukan manipulasi dari sistim sedimen. Sedimen yang tereduksi bisa tercampur

dengan sedimen yang oksik selama koleksi. Proporsi keduanya mungkin berbeda

diantara contoh/cuplikan, jika koleksi dari suatu kedalaman yang telah ditetapkan.

Sedimen yang semula oksik di dalam ekosistem. mungkin akan berubah menjadi

tereduksi selama penyimpanan. Juga sebaliknya, pada zona tereduksi pada sedimen

dapat menjadi teroksidasi selama tahap manipulasi. Kondisi ini merupakan suatu

kejadian yang umum, karena bioassai dilakukan di bawah kondisi yang teroksidasi,

Page 26: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

36

karena suatu persyaratan umum dari makrofauna untuk membutuhkan oksigen selama

pengujian berlangsung (Luoma 1995) .

Standard penanganan sedimen untuk bioassai, umumnya tidak terlalu

mementingkan status kondisi sedimen apakah dalam bentuk tereduksi atau

teroksidasi. Studi yang realistis yang membandingkan respon toksisitas pada sampel

sedimen dengan perbedaan prosedur atau perbedaan kondisi redoks, merupakan suatu

kebutuhan segera di dalam toksikologi sedimen. Apapun pilihan dalam sampling dan

manipulasi sedimen, reaksi kimia yang akan terjadi tergantung pada bagian awal dari

komponen reaktan, ketersediaan oksidan (termasuk O2), dan waktu. Produk baru

(seperti Fe atau Mn oksida) dapat dengan cepat terbentuk dan produk yang ada dapat

berubah. Jika bentuk dari logam berubah, hasil bioassai mungkin akan terpengaruh.

Simulasi bioassai sedimen secara alami meniru karakteristik geokimia dari suatu

mikrohabitat, dimana sebuah spesies kontak dengan sedimen. Sayangnya

karakteristik dari mikrohabitat dari banyak spesies penting masih belum diketahui

dengan baik (Luoma 1995).

2.12 Penyimpanan Sedimen

Penyimpanan sedimen merupakan salah satu potensi sumber penting dari bias.

Umumnya para peneliti menyetujui bahwa waktu simpan dapat mengubah status

toksisitas sedimen. Malueg et al, 1986 dalam Luoma (1995) menunjukkan sedimen

air tawar yang ditambah dengan logam Cu dan toksisitasnya di pantau selama 25 hari

dengan biota uji Daphnia magna menghasilkan adanya peningkatan toksisitas pada

minggu pertama dan toksisitasnya bervariasi hingga akhir dari 25 hari. Peneliti

tersebut juga melaporkan suatu pengurangan yang besar dari toksisitas Cu dalam

sedimen. Namun studi yang lain yang dilakukan oleh Carr et al. (1989) dalam Luoma

(1995) melaporkan tidak ada perubahan toksisitas pada hewan Polychaeta ketika

sedimen tersebut dibekukan yang kemudian dicairkan dengan sedimen yang masih

segar/ baru. Udara kering mungkin mengakibatkan oksidasi parsial dari logam-

sulfida, menurunkan pH, dan mengubah komposisi bersifat ion di air pori sedimen.

Penyimpanan yang direkomendasikan adalah lima hingga tujuh hari direfrigerator.

Page 27: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

37

2.13 Air Pori-pori sedimen dan Elutriate

Banyak bioassai sedimen memaparkan logam kepada organisma dalam bentuk

terlarut. Umumnya uji sedimen dalam bentuk fraksi terlarut digunakan untuk

identifikasi kemungkinan toksikan yang menyebabkan gejala toksisitas melalui

serangkaian percobaan dari prosedur evaluasi identifikasi toksisitas/ TIE (Ankley et

al. 1991). Hewan yang digunakan dalam bioassai umumnya menggunakan stadium

awal dari organisme bentik makroavertebrata. Keuntungan dengan bioassai ini adalah

pertimbangan pada bagian yang paling sensitif dari suatu siklus hidup hewan yang

dipaparkan pada jangka waktu tertentu dan relatif realistis secara alaminya.

Logam dipisahkan dari sedimen dalam bentuk terlarut dengan cara ekstraksi

air pori-pori atau elutriate sedimen dengan air. Masalah dari pengaruh alami sedimen

dari cara tersebut di atas adalah ukuran butir sedimen yang tidak mempengaruhi

bioassai ketika kontaminan tersebut dipisahkan dari sedimen. Metode pemisahan air

pori-pori sedimen umumnya diakukan dengan cara sentrifugasi, penekanan, filtrasi,

atau kombinasi dari cara tersebut yang semuanya digunakan untuk memperoleh air

pori-pori. Alat insitu dialisis sampler adalah yang paling sedikit memberikan

gangguan pada sedimen dan gradients redoksnya, tetapi volume yang harus

dikumpulkan untuk uji biasanya menjadi masalah untuk metode ini. Untuk air

elutriate umumnya disajikan dengan cara perbandingan antara sedimen dan air (1:4)

yang dihomogenisasi dan setelah itu dibiarkan agar terjadi pengendapan selama 1

jam. Air elutriate tersebut kemudian dituang untuk disaring atau sedimen tersebut

tidak ikut dipindahkan (Ankley et al. 1991).

Perubahan kimia dari logam renik akan terjadi selama pemisahan air dari

sedimen, terutama jika sampel sedimen berisi campuran dari sedimen dalam bentuk

tereduksi dan terdioksidasi. Jika air pori-porinya yang anoksik berisi Fe dan Mn di

dalam larutan yang terpapar O2 selama pemisahan dari sedimen, atau selama uji

bioassai, maka akan terjadi endapan dari Fe oksida secara cepat. Beberapa elemen

renik yang dapat mengadakan co-presipitasi dengan Fe oksida yang secara langsung

dapat mempengaruhi Toksisitas. Hasil yang sama diperoleh ketika menyaring air

Page 28: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

38

pori-pori, hilangnya toksisitas logam mungkin terjadi ketika logam berinteraksi

dengan partikel koloid atau endapan partikulat pada saat pemisahan (Luoma 1995).

Pekanya air pori yang anoksik yang berpengaruh pada perubahan geokimia

akan menciptakan adanya perselisihan yang serius antara kebutuhan biologi dan

geokimia dalam persyaratan uji bioassai dengan menggunakan air pori-pori.

Makrofauna memerlukan O2 untuk kesesuaian hidup dari suatu lingkungan uji, tetapi

gambaran dari reaksi di atas dapat mengakibatkan perubahan sifat alami dari air pori-

pori ketika mereka teroksidasi. Karakteristik redoks dari sampel sedimen yang asli

dapat menghasilkan pengaruh yang berbeda hasilnya dari bioassai air pori-pori.

Bioassai dari sedimen dalam bentuk tereduksi kemungkinan dapat melemahkan

potensi toksisitas logam. Permasalahan lainnya yang berkenaan dengan air pori-pori

yang harus dipelajari antara lain: pengaruh filtrasi pada keseimbangan koloid,

pengaruh aerasi pada air pori-pori terhadap logam sulfida. Tingginya konsentrasi dari

metabolit toksik seperti amonia yang dapat terakumulasi pada air pori-pori sedimen

dalam kurun waktu 24 jam, jika sedimen tersebut disimpan sebelum air pori-pori

tersebut dipisahkan (Luoma 1995).

Prosedur elutriasi yang mencampur sedimen dalam bentuk tereduksi dengan

air yang teroksidasi memiliki permasalahan serupa dengan air pori-pori. Selama

elutriasi, logam bisa mengendap dengan sulfida yang reaktif dari air pori-pori,

kemudian mengalami remobiliisasi sebagai sulfida yang teroksidasi. Logam yang

teremobilisasi akan mengendap dengan bentuk baru Fe oksida jika air yang tertinggal

masih dalam status teroksidasi. Elutriasi mungkin mensimulasikan pembuangan dari

hasil pengerukan, tetapi tidak menggambarkan pemaparan terhadap organisme dari

adanya kontaminasi yang ada di dalam sedimen alami. Umumnya elutriasi yang

paling sedikit diinginkan dari pendekatan bioassai (Luoma 1995). Perbandingan hasil

uji bioassai dari metode ekstraksi air pori-pori sedimen dan elutriate pada ikan

fathead minnow (Pimephales promelas), Cladocera (Ceriodaphnia dubia),

Amphipoda (Hyalela azteca), dan cacing Oligochaeta (Lumbriculus variegatus)

menunjukkan bahwa air pori-pori sedimen lebih toksik dibandingkan dengan air

elutriate (Ankley et al. 1991).

Page 29: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

39

2.14 Intepretasi Data Kualitas Sedimen Triad (SQT)

  Kontaminasi logam di lingkungan akuatik biasanya terjadi sebagai hasil dari

tingginya aktivitas antropogenik yang berada di daerah tangkapan air tersebut. Suatu

prosedur yang umum digunakan untuk evaluasi kerusakan akibat pencemaran seperti

itu, biasanya melibatkan tiga komponen studi/kegiatan yaitu analisis kimia, studi

ekologi yang biasanya dihubungkan dengan perubahan pada struktur komunitas biota

akuatik, dan uji toksisitas (Canfield et al. 1994; Berhard 2000; Long and Chapman

1985). Studi dengan menggunakan analisis kimia hanya menunjukkan adanya

kontaminasi logam di air, sedimen, dan biota dari banyak ekosistem, tetapi studi

tersebut masih belum cukup membuktikan efek yang merugikan sedang terjadi akibat

adanya kontaminasi tersebut. Besarnya konsentrasi, spesiasi geokimia, dan proses

biologi yang berpengaruh terhadap bioavailability logam kadang-kadang melalui

mekanisme tertentu yang tidak secara penuh dipahami. Meskipun proses

bioavailability dari suatu logam berat telah diketahui dengan baik, prediksi dari

adanya pengaruh merugikan dapat menjadi sangat komplek. Beberapa studi yang

telah dilakukan di lapangan menunjukkan adanya hubungan antara besarnya

kontaminasi logam terhadap perubahan ekologi perairan. Namun sering kali,

kesimpulan yang dibuat masih mengandung unsur ketidakpastian bahwa hanya

logamlah yang menyebabkan gangguan ekologis,dikarenakan kompleksitas dari efek

yang ditimbulkan oleh bahan toksikan lainnya. Oleh sebab itu dalam menejemen dan

penilaian toksisitas dari unsur logam renik biasanya diperlukan pendekatan studi

yang terintegrasi, baik yang dilakukan dilapangan maupun di laboratorium yang

saling mendukung (Luoma 1995). 

  Kualitas sedimen triad merupakan satu pendekatan yang terintegrasi dari

analisis kimia, observasi biologi (struktur komunitas), dan eksperimem biologi (uji

bioassai) guna menentukan perusakan lingkungan akibat polusi. Analisis kimia di

sedimen digunakan untuk mengukur besarnya kontaminasi yang terjadi di lapangan,

uji bioassai digunakan untuk mengukur pengaruh yang ditimbulkan dari suatu polutan

dalam kondisi yang terkontrol/ terstandarisasi, dan penilaian perubahan dari biota

yang residen (diwakili oleh komunitas bentik makroavertebrata) digunakan untuk

Page 30: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

40

pengukuran kondisi riil di lapangan (melalui observasi). Intepretasi hasil dari

penggabungan komponen triad tergantung pada masing-masing bobot bukti (weight

of evidence) yang sering didefinisikan sebagai gambaran kesimpulan didasarkan pada

keseluruhan informasi yang tersedia dan hubungan/interelasi didalamnya. Adanya

bukti tersebut harus dievaluasi, diorganisir dalam beberapa mode yang saling

berkaitan dan dapat dijelaskan, sehingga evaluasi dari keseluruhan bobot bukti

tersebut dapat dibuat. Intepretasi hasil dari bobot bukti tersebut di atas dapat

berbentuk rangkuman indek yang digambarkan dalam bentuk diagram radar, matrik

keputusan tabulasi, dan analisis multivariat. Intepretasi dengan menggunakan

rangkuman indek biasanya memerlukan sebuah tahap normalisasi dari ketiga

komponen triad dari sebuah nilai referensi (rasio terhadap reference site) guna

menyamakan bobot bukti untuk dapat digambarkan pada sebuah grafik radar. Adanya

perbedaan ukuran dan bentuk mengindikasikan adanya perbedaan kesimpulan yang

dapat disederhanakan ke dalam matrik tabulasi seperti pada Tabel 2 (Chapman 1996).

Masalah utama dari pendekatan rangkuman indek ini adalah: 1). Hilangnya

substansi dari informasi yang ada selama konversi dari data multivariat ke dalam satu

indek secara proporsional, termasuk informasi yang berhubungan secara spatial, 2).

Signifikansi dari pengaruh secara spatial tidak dapat ditentukan secara statistik.

Adapun keuntungan dengan penyajian data dengan menggunakan metode tersebut

adalah keserdehanaan dalam intepretasi dan secara visual dapat dengan mudah

dipahami oleh para pengambil kebijakan yang bukan berlatar belakang peneliti

(Chapman 1996).

Page 31: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

41

Tabel 2. Intepretasi data bioavailability sedimen dengan menggunakan konsep Triad dalam bentuk matrik tabulasi (Chapman 1996).

Kontaminasi Toksisitas Perubahan Komunitas Kemungkinan Kesimpulan Kemungkinan Aksi/

Keputusan + -

+ - -

+

+ - -

+ -

+

+ - - -

+ -

Kuatnya petunjuk degradasi yang disebabkan oleh polusi Kuatnya bukti berlawanan dengan degradasi yang disebabkan polusi Adanya kontaminasi tidak bioavailable Kontaminasi tidak terukur atau kondisi berpotensi untuk menyebabkan degradasi Perubahan komunitas tidak disebabkan dari kontaminan toksik Kontaminan toksik bersifat bioavailable tetapi pengaruh insitu tidak dapat ditunjukkan.

Remediasi tergantung pada tingkat kerusakan dan substansi kimia yang bertanggung jawab. Identifikasi toksisitas sedimen (TIE) dapat digunakan untuk identifikasi kontaminan yang dipentingkan. Aksi tidak diperlukan Aksi tidak diperlukan 1). Chek kembali analisis kimia, ferivikasi hasil tes toksisitas, pastikan tidak disebabkan oleh modifikasi faltor lainnya mis: pengaruh ukuran butir sedimen 2). Lakukan tindakan lebih lanjut ,fokuskan pada studi TIE. Aksi tidak diperlukan disebabkan oleh kimia toksik. Aksi yang lain mungkin diperlukan untuk alasan lainnya misalnya perubahan fisik dari habitat. 1). Cek kembali hasil dari analisis bentik, pertimbangkan untuk tambahan pada analisis data. 2). Jika cek kembali mengindikasikan adanya perubahan, perlakuan/ remediasi masih

Page 32: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

42

-

+

+ -

+

+

Kontaminan toksik tidak dapat terukur yang menyebabkan degradasi Kontaminan tidak bioavailable, atau perubahan komunitas tidak disebabkan oleh kimia toksik

memungkinkan. 3). Jika cek kembali menunjukkan tidak adanya perubahan, minimisasi atau menurunkan input untuk mencegah perubahan dimasa yang akan datang. 1). Cek kembali analisis kimia, pertimbangkan analisis tambahan dan/ atau TIE; pastikan toksisitas dan perubahan tidak disebabkan oleh modifikasi faktor lainnya (misalnya: pengaruh ukuran butir). 2). Beberapa aksi tergantung pada di atas. 1). Konfirmasi / verifikasi hilangnya toksisitas, teliti alasan adanya perubahan. 2). Beberapa aksi tergantung di atas.

Penggunaan konsep triad sebagai bahan rujukan dalam remediasi sedimen

dari suatu tipe badan air yang telah terkontaminasi oleh polutan telah dijelaskan oleh

Long and Wilson (1997). Jika salah satu unsur dari komponen di bawah ini terpenuhi,

maka sedimen tersebut perlu mendapat perhatian khusus dalam menetapkan prioritas

tempat yang akan dilakukan remediasi. Komponen penilaian sedimen tersebut secara

rinci dapat dilihat di bawah ini:

1. Satu atau lebih dari individu kimia telah melebihi nilai ERM dan PEL atau

beberapa guideline kualitas sedimen yang telah tersedia.

2. Relatif tingginya dari nilai rata-rata pembagian dari ERM (misalnya > 1)

3. Tingkat kelulushidupan dari hewan Amphipoda lebih kecil dibandingkan

dengan yang ada di bagian kontrol dan umumnya kurang dari 80%

dibandingkan kontrol.

Page 33: II. Tinjauan Pustaka logam Pelapisan logam, penambangan, limbah industri Batuan/ sumber geologi, limbah Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari

43

4. Relatif rendahnya kekayaan spesies dan keberadaan hewan Amphipoda

dan Crustacea jarang atau tidak ada.

5. Adanya bioakumulasi dari toksikan pada ikan yang memiliki mobilitas

yang rendah (resident) atau pada hewan Moluska yang diamati pada suatu

area yang terpilih.