II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Afkir 1. Definisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5274/3/BAB...

30
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Afkir 1. Definisi Ayam Ras Petelur Afkir Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan telur dan merupakan produk akhir ayam ras (Sudaryani dan Santosa, 2000). Berdasarkan fase pemeliharaannya, ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari-6 minggu), fase grower (umur 6-18 minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu-afkir) (Sudarmono, 2003). Gambar 1. Ayam Ras Petelur Sumber : Anonim, 2017 Menurut Gellespie dan Flanders (2010), Ayam petelur afkir adalah ayam betina petelur dengan produksi telur rendah sekitar 20 sampai 25% dari produksi, berumur sekitar 96 minggu dan siap untuk dikeluarkan dari kandang. 2. Karakteristik Daging Ayam Ras Petelur Afkir Ayam petelur afkir memiliki potensi untuk menjadi produk olahan daging karena mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Kandungan gizi dalam daging ayam petelur afkir adalah sebagai berikut:

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Afkir 1. Definisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5274/3/BAB...

��

���

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam Petelur Afkir

1. Definisi Ayam Ras Petelur Afkir

Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk

menghasilkan telur dan merupakan produk akhir ayam ras (Sudaryani dan

Santosa, 2000). Berdasarkan fase pemeliharaannya, ayam petelur dibagi menjadi

tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari-6 minggu), fase grower (umur 6-18

minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu-afkir) (Sudarmono, 2003).

Gambar 1. Ayam Ras Petelur Sumber : Anonim, 2017

Menurut Gellespie dan Flanders (2010), Ayam petelur afkir adalah ayam

betina petelur dengan produksi telur rendah sekitar 20 sampai 25% dari produksi,

berumur sekitar 96 minggu dan siap untuk dikeluarkan dari kandang.

2. Karakteristik Daging Ayam Ras Petelur Afkir

Ayam petelur afkir memiliki potensi untuk menjadi produk olahan daging

karena mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Kandungan gizi dalam

daging ayam petelur afkir adalah sebagai berikut:

���

��

Tabel 1. Kandungan Gizi Pada Daging Ayam Petelur Afkir

Kandungan Gizi Jumlah (%)

Air 56

Protein 25,4

Lemak 1,3-7,3

Sumber : Mountney dan Parkhurst, 1995

Kandungan gizi daging ayam petelur afkir tidak jauh berbeda dengan daging

ayam broiler, namun demikian ayam petelur afkir memiliki kelemahan yaitu

dagingnya keras dan liat dikarenakan umur yang tua (Mountney dan Parkhurst,

1995). Kebanyakan masyarakat yang mayoritas peternak ayam petelur menjual

ayam petelur afkir tersebut dengan harga murah, dikarenakan kualitas dari

dagingnya tersebut sudah menurun. Menurut Rasyaf (2010), Ayam petelur afkir

kurang dimanfaatkan sebagai ayam konsumsi karena mempunyai bau spesifik

(bau anyir/amis/langu) dan teksturnya alot, tetapi merupakan sumber penghasilan

tambahan bagi peternak jika harga jual tinggi. Menurut Purnamasari (2012),

daging ayam petelur afkir mempunyai kualitas yang rendah karena pemotongan

dilakukan pada umur yang relatif tua sehingga teksturnya lebih alot/keras dan juga

kurang disukai oleh masyarakat. Daging ayam petelur afkir terdiri atas otot merah

dan otot putih dengan persentasi 51,51% dan 48,39% (Kala dkk., 2007). Daging

ayam afkir yang termasuk dalam otot merah pada daging ayam adalah daging

paha, sedangkan otot putih adalah daging dada (Rose Anggraeni, 2005). Tingkat

kealotan daging dipengaruhi oleh kolagen yang merupakan protein struktural

pokok dalam jaringan ikat. Jumlah dan kekuatan kolagen dapat meningkat sesuai

���

��

dengan umur, oleh karena itu ternak yang lebih tua akan menghasilkan daging

yang cenderung lebih alot daripada ternak yang lebih muda pada bagian karkas

ayam yang sama (Soeparno, 2005). Ayam boiler dipotong pada usia yang relatif

muda 5-6 minggu (Rose Anggraeni, 2005), sedangkan ayam petelur afkir

memiliki usia sekitar 70 hingga 96 minggu.

B. Bakso

Bakso adalah produk olahan daging yang dibuat dari daging hewan ternak

yang dicampur dengan pati dan bumbu-bumbu, dengan atau tanpa penambahan

bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang

berbentuk bulat atau bentuk lainnya dan dimatangkan (SNI 3818:2014). Menurut

Soekarto (1990), bakso diperkirakan berasal dari Cina yang dibawa oleh perantau

Cina ke Indonesia. Menurut Astawan (2004), kualitas bakso sangat ditentukan

oleh kualitas daging, jenis tepung yang digunakan, perbandingan banyaknya

daging dan tepung yang digunakan untuk membuat adonan, dan pemakaian jenis

bahan tambahan yang digunakan, misalnya garam dan bumbu-bumbu juga

berpengaruh terhadap kualitas bakso segar. Penggunaan daging yang berkualitas

tinggi dan tepung yang baik disertai dengan perbandingan tepung yang benar dan

penggunaan bahan tambahan makanan yang aman serta cara pengolahan yang

benar akan dihasilkan produk bakso yang berkualitas baik. Bakso yang berkualitas

baik dapat dilihat dari tekstur, warna dan rasa. Teksturnya yang halus, kompak,

kenyal dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam dan serat

dagingnya tidak tampak.

���

��

Tabel 2. Syarat Mutu Bakso Daging Berdasarkan SNI 01-3818-2014

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Bakso Daging Bakso Daging

Kombinasi 1 Keadaan

1.1 Bau - Normal, khas

daging Normal, khas

daging

1.2 Rasa - Normal, khas bakso

Normal, khas bakso

1.3 Warna - Normal Normal

1.4 Tekstur - Kenyal Kenyal

2 Kadar Air (% b/b) maks. 70,0 maks. 70,0

3 Kadar Abu (% b/b) maks. 3,0 maks. 3,0

4 Kadar Protein (Nx6,25) (% b/b) min. 11,0 min. 8,0

5 Kadar Lemak (% b/b) maks.10 maks. 10

6 Cemaran Logam

6.1 Cadmium (Cd) mg/kg maks. 0,3 maks. 0,3

6.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0 maks. 1,0

6.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0

6.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,03 maks. 0,03

7 Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,5 maks. 0,5

8 Cemaran Mikrobia

8.1 Angka Lempeng Total koloni/g maks. 1x105 maks. 1x105

8.2 Koliform APM/g maks. 10 maks. 10

8.3 Escherichia coli APM/g < 3 < 3

8.4 Salmonella sp. - negative/25 g negative/25 g

8.5 Staphylococcus aureus koloni/g maks. 1x102 maks. 1x102

8.6 Clostridium perfringens koloni/g maks. 1x102 maks. 1x102

Sumber : SNI 01-3818-2014

���

��

Pada penelitian ini dilakukan percobaan pembuatan bakso menggunakan

daging ayam ras petelur afkir. Adapun bahan-bahan lain yang digunakan untuk

pembuatan bakso antara lain :

1. Tepung Tapioka

Tapioka sering digunakan pada pengolahan produk daging seperti halnya

pada pengolahan bakso, untuk proses pembentukan gel (Oakenfull, 1987 dalam

Yuliasari, 1994). Jumlah tapioka yang digunakan sebaiknya paling banyak 15%

dari berat daging. Idealnya, tapioka yang ditambahkan sebaiknya 10% dari

berat daging (Singgih, 2000). Protein yang terdapat dalam daging dapat

membentuk kompleks dengan pati terutama dengan fraksi amilopektin pati,

sedangkan amilosa tidak dapat membentuk kompleks dengan protein. Protein

fibrous lebih efektif membentuk kompleks dengan protein daripada protein

globular (Whistler, 1984 dalam Widiastuti, 1990). Penambahan tapioka

bertujuan meningkatkan kekenyalan pada produk olahan daging. Tapioka dapat

dipandang sebagai bahan pengisi (filler) ataupun sebagai bahan pengikat gel

protein yang sederhana, tapioka tidak berinteraksi langsung dengan matriks

protein maupun mempengaruhi formasi protein tersebut (Fitrial, 1999).

Sebagai bahan pengikat, pati mampu menyerap atau mengikat kelebihan air

(Schut, 1976 dalam Widiastuti, 1990). Dengan terikatnya molekul air oleh pati

maka ketika suspensi pati-air dipanaskan terjadi gelatinisasi. Proses gelatinisasi

tersebut terjadi karena air yang sebelumnya berada di luar granula pati dan

bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, setelah dipanaskan sebagian air

berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas karena terikat oleh

���

��

gugus hidroksil dalam molekul pati, sehingga menyebabkan rongga-rongga pati

merapat. Selanjutnya granula-granula pati tersebut dapat membengkak secara

berlebihan dan bersifat irreversibel. Proses gelatinisasi ini yang menyebabkan

tekstur pada bakso menjadi kenyal (Haryanto dkk., 1994).

2. Bumbu-bumbu

Bumbu yang ditambahkan pada pembuatan bakso terdiri dari bawang putih,

garam dapur, dan merica. Bawang putih mengandung senyawa allicin

penyebab timbulnya bau yang sangat tajam (Wirakusumah, 2000). Bawang

putih yang digunakan sebagai bumbu merupakan salah satu rempah yang biasa

digunakan sebagai pemberi rasa dan aroma makanan, bawang putih terutama

ditujukan untuk menambah flavor sehingga produk akhir mempunyai flavor

yang menarik. Bahan aktif dalam bawang putih adalah minyak atsiri dan bahan

yang mengandung belerang. Menurut Meyer (1979) dalam Tonny (2000),

aroma yang khas dari bawang putih adalah disebabkan karena senyawa-

senyawa yang mudah menguap, senyawa-senyawa tersebut allyl disulfida dan

allyl polisulfida. Di samping itu, bawang putih juga dapat berfungsi sebagai

antioksidan alami dalam bahan pangan.

Garam dapur pada umumnya dipakai untuk memberikan rasa asin pada

pengolahan makanan. Garam juga berfungsi untuk menambah citarasa (flavor)

dan sebagai pengawet. Menurut Tamino (1988) penambahan garam pada

pembuatan bakso daging instant sebesar 2,5% menghasilkan produk yang

disukai panelis. Sementara itu merica digunakan untuk menambah citarasa

bakso. Lada / merica adalah tumbuhan penghasil rempah-rempah yang berasal

��

��

dari bijinya, digunakan untuk memberikan rasa pedas dan segar pada masakan.

Rempah adalah bahan aromatik yang digunakan untuk memasak dan berasal

dari tumbuhan dan pada umumnya dalam keadaan kering (Nurani, 2015).

3. Sodium Tripolifosfat (STPP)

Menurut Soeparno (1992), Sodium Tripolifosfat (STPP) berfungsi untuk

meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan

daging, menghambat ketengikan oksidatif bersama-sama asam askorbat dan

dapat memperbaiki tekstur produk. Elviera (1988) menyatakan, bahwa STPP

berfungsi juga sebagai pengembang dan dapat meningkatkan rendemen,

kekerasan, kekompakan dan kekenyalan bakso yang dibuat.

Penambahan STTP merupakan salah satu cara untuk mencegah pewarnaan

daging, memperbaiki tekstur, membantu dalam proses dan penanganan dan

mencegah meningkatnya off-flavor (Sofos, 1986 dalam Yuliasari, 1994).

Senyawa polifosfat merupakan salah satu bahan tambahan makanan yang

umumnya digunakan pada produk daging, minyak, serta roti. Polifosfat

merupakan komponen kimia yang dapat berfungsi sebagai penyangga, pengikat

ion logam, dan dapat meningkatkan kadar fosfat 0,5% yang dikombinasi

dengan 0,1 M garam dapat meningkatkan pH dan kemampuan mengikat air.

Telah dipelajari oleh Trout dan Schmidt (1984) dalam Widiastuti (1990), yang

dikutip oleh Sofos (1986) yang menunjukkan bahwa tetrasodium pirofosfat dan

sodium tripolifosfat paling efektif dalam meningkatkan Water Holding

Capacity (WHC) pada produk olahan daging. Pembentukan gel juga

dipengaruhi oleh penambahan bahan pengenyal, seperti sodium tripolifosfat

��

��

(STPP). Adanya STPP yang ditambahkan dalam bakso akan bereaksi dengan

pati membentuk struktur yang kompak membentuk matriks pati-STPP yang

kokoh sehingga tekstur bakso yang terbentuk menjadi kenyal (Whistler, 1964

dalam Widiastuti, 1990).

4. Es Batu (Air Es)

Bahan tambahan lain dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Bahan

ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu pembentukan

tekstur bakso (Singgih, 2000). Air merupakan salah satu komponen yang

berperan besar pada pembuatan bakso, dan juga merupakan salah satu faktor

yang menentukan tekstur bakso, bila air yang digunakan terlalu bnyak maka

keempukannya juga meningkat. Air yang ditambahkan pada pembuatan bakso

berfungsi untuk memudahkan pencampuran dan menurunkan viskositas adonan

(Naruki dan Kanoni, 1992). Penambahan air mengakibatkan adonan bakso

menjadi lebih encer sehingga lebih mudah dicampur dengan komponen-

komponen yang lain dan memudahkan dalam penghalusan (Aurand dan

Woods, 1973). Air yang ditambahkan adalah air es karena dengan

menggunakan air es kenaikan suhu adonan berjalan lambat, sehingga proses

gelatinisasi awal dapat dihindari, selain itu penambahan dalam bentuk air es

juga dimaksudkan untuk mempertahankan suhu adonan kurang dari 22�C

supaya tidak terjadi denaturasi protein pada daging yang akan menyebabkan

rusaknya tekstur protein sehingga berakibat pada tekstur bakso (Gillespie, 1990

dalam Tonny, 2000).

���

��

Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1)

penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan.

pPEEDED

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso Sumber : Astawan, 2008

1. Penggilingan

Penghancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling

(grinding), atau mencincang sampai halus/lumat (chopping). Penggilingan daging

biasanya dilakukan dengan mesin penggiling, namun dapat juga menggunakan

alat lain seperti food processor dan blender. Pada proses penggilingan, daging

perlu ditambah es, tujuannya adalah untuk mempertahankan suhu akibat gesekan

mesin giling serta untuk menghasilkan emulsi yang baik (Astawan, 2008).

Daging

Air

Tepung Tapioka, Bumbu-bumbu,

STTP, Air es

Penggilingan

Pencampuran dan Penggilingan

Pencetakan

Perebusan 80�C, 15 menit

Bakso

���

��

2. Pencampuran

Menurut Astawan (2008), Proses pembentukan adonan dilakukan dengan

mencampur seluruh bahan kemudian menghancurkannya (mixing and chopping).

Dapat juga dengan cara menghancurkan daging, kemudian mencampurkannya

dengan seluruh bahan lainnya (mincing, grinding and mixing). Bintoro (2008)

menambahkan bahwa pembuatan adonan dilakukan dengan cara mencampurkan

semua bahan yang terdiri dari daging giling, tepung tapioka serta bumbu-bumbu

sambil diaduk sampai tercampur rata sehingga bahan tersebut menjadi adonan

yang kental.

3. Pencetakan

Pencetakan bakso dilakukan dengan menggunakan alat pencetak bakso atau

dengan tangan (Astawan, 2008). Cara pencetakan bakso dengan tangan adalah

sebagai berikut: adonan diambil dengan menggunakan tangan kiri, kemudian

tangan kiri tersebut menggenggam dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk

lingkaran sebesar bakso yang diinginkan, lalu tiga jari yang lain mengeratkan

genggaman sehingga adonan keluar melalui lubang yang terbentuk antara jari

telunjuk dan ibu jari tersebut. Kemudian tangan kanan dengan menggunakan

sendok memotong adonan yang keluar tersebut (Bintoro, 2008).

4. Perebusan

Astawan (2008) menyatakan bahwa perebusan bakso dilakukan pada suhu 70-

80�C selama 15 menit. Bakso yang matang akan mengapung ke permukaan.

Bintoro (2008) menambahkan perebusan dihentikan bila bakso yang tadinya

tenggelam itu muncul di atas permukaan.

���

��

C. Oksidasi Lemak

Kerusakan lemak yang utama ada 2 tipe, yaitu ketengikan dan hidrolisa.

Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa atau bau tengik yang mudah menguap

terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak tidak jenuh. Sedangkan

hidrolisa lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang juga dapat

mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan

oleh adanya air dalam lemak atau karena kegiatan enzim (Buckle dkk., 1987).

Secara umum diketahui bahwa lemak dan minyak dapat memburuk selama

penyimpanan dalam suasana oksidasi, yang dikenal sebagai oksidasi lemak.

Oksidasi lemak adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi umur

simpan bahan. Hidroperoksida dihasilkan oleh oksidasi lemak dapat terurai

menjadi berbagai molekul yang lebih kecil seperti aldehida, keton, alkohol, dan

asam karboksilat. Oksidasi lemak tidak hanya menghasilkan rasa tengik, tapi bisa

juga menurunkan nilai gizi makanan dengan formasi produk oksidasi, yang

mungkin memainkan peran dalam perkembangan penyakit dan dapat berbahaya

bagi kesehatan manusia (Rohman dkk., 2011).

Penerimaan produk pangan tergantung pada sejauh mana kerusakan yang telah

terjadi. Ketengikan oksidatif adalah penyebab utama dari kerusakan makanan.

Ketengikan merupakan penyebab utama penurunan kualitas gizi serta

mengkhawatirkan untuk keamanan pangan. Lemak yang teroksidasi dalam dosis

yang sangat tinggi telah terbukti memiliki efek toksik. Parameter sensorik seperti

warna, rasa, tekstur, dan penerimaan keseluruhan dari setiap produk makanan juga

���

��

tergantung pada tingkat oksidasi lemak dalam makanan karena pembentukan

peroksida, aldehid dan keton (Gulla dkk., 2012).

1. Mekanisme Oksidasi Lemak

Proses oksidasi lipida terjadi melalui mekanisme radikal bebas, reaksi ini

diawali dengan pelepasan sebuah atom H yang labil pada lemak dan menghasilkan

radikal-radikal bebas lainnya. Reaksi ini dapat disebut sebagai reaksi autooksidasi.

Menurut Kochhar (1996), mekanisme autooksidasi lemak terdiri dari tiga tahap

yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi terjadi pada atom C yang

berdekatan dengan ikatan rangkap. Pada tahapan ini akan terbentuk radikal bebas

(R*) apabila lipid atau asam lemak tidak jenuh (RH) terkena panas, cahaya atau

logam dan terjadi pelepasan atom H. Tahapan selanjutnya yaitu tahap propagasi,

radikal bebas (R*) yang terbentuk pada tahap inisiasi bereaksi dengan oksigen

membentuk radikal peroksi (ROO*) dengan sangat cepat. Radikal peroksi

menarik ion H dari asam lemak tidak jenuh yang lain membentuk hidroperoksida

(ROOH) dengan sangat lambat dan radikal alkoksi (RO*) akan bereaksi dengan

asam lemak tidak jenuh membentuk aldehid. Hidroperoksida yang terbentuk akan

bereaksi lagi dengan inisiator secara terus menerus membentuk radikal-radikal

bebas. Tahapan terakhir yaitu tahap terminasi. Pada tahap ini terjadi reaksi antara

radikal-radikal membentuk senyawa tidak radikal. Tahapan terminasi ini terjadi

ketika konsentrasi oksigen pada permukaan lipid rendah. Adapun tahap-tahap

reaksi oksidasi adalah sebagai berikut :

Inisiasi : RH R* + H

Propagasi : R* + O2 ROO*

���

��

ROO* + RH ROOH + R*

RO* + RH ROH + R*

Terminasi : R* + R* 2R

R* + ROO* ROOR

ROO* + ROO* ROOR + O2

Gambar 3. Mekanisme Oksidasi Lemak Sumber : Jadhave dkk., 1996

Oksidasi komponen bahan pangan akan menyebabkan kerusakan vitamin,

pigmen, flavor, dan aroma, serta protein menjadi tidak larut (Kochhar, 1993).

Menurut Hustiany (2001), faktor yang dapat mempercepat oksidasi lemak yaitu

jumlah asam lemak tidak jenuh, logam, dan panas. Pada suhu kamar sampai

dengan suhu 100�C, setiap ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi 2 atom oksigen,

sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang bersifat labil. Auto-oksidasi

dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-

faktor yang dapat mempercepat reaksi (prooksidan) seperti panas, cahaya,

peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, Mn,

logam porifin seperti hematin, hemoglobin, mioklobin, klorofil, dan enzim-enzim

lipoksidase (Wintirani dkk., 2013). Faktor yang dapat menghambat oksidasi lipid

antara lain adalah antioksidan. Ada empat kemungkinan mekanisme

penghambatan tersebut yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c)

penambahan lipida pada cincin aromatik antioksidan, dan (d) pembentukan

kompleks antara lipida dan cincin aromatik antioksidan.

���

��

Asam Lemak atau Lipid pada Bahan Pangan

Oksigen Cahaya, panas, pro - oksidan Enzim (seperti lipoksigenase)

Hidroperoksida Pemecahan

Polimerisasi (warna gelap) yang menghasilkan senyawa toksik

Gambar 4. Oksidasi Lemak pada Bahan Pangan Sumber : Kochhar, 1996

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Oksidasi Lemak

Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan untuk pembuatan produk

bakso adalah daging unggas yaitu daging ayam ras petelur afkir. Adapun faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi oksidasi lemak dalam daging unggas antara lain:

a. Komposisi asam lemak dalam daging

Asam lemak dalam daging terdiri atas asam lemak jenuh dan asam lemak tidak

jenuh. Asam lemak tidak jenuh lebih reaktif dibandingkan asam lemak jenuh dan

akan bertambah reaktif dengan bertambah banyaknya ikatan rangkap pada asam

lemak. Sebagai contoh, kecepatan relatif oksidasi asam arakhidonat 40 kali lebih

cepat dibandingkan asam oleat dan 4 kali lebih cepat dibandingkan asam linoleat

serta 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan asam linolenat (Kochhar, 1996).

Produk sekunder dan tersier seperti aldehid, keton, lakton, furan, asam, alkohol, dan hidrokarbon yang dapat menyebakan off-flavor dan off odor, kerusakan asam lemak esensial, pencoklatan

Oksidasi komponen bahan pangan yang akan membawa kepada kerusakan vitamin, pigmen, flavor dan aroma serta protein menjadi tidak larut

���

��

Pada daging unggas ternyata kandungan PUFA lebih besar dibandingkan pada

daging babi, sapi dan domba, sehingga lebih mudah terjadi oksidasi lemak

dibandingkan jenis daging lainnya (Lillard, 1987). Pada berbagai daging unggas

sepeti daging broiler, kalkun, itik, angsa ditemukan kandungan PUFA yang

berbeda. Misalnya, pada daging putih ayam broiler mentah dengan kulit,

konsentrasi PUFA adalah 24% (3,96 g/100 g daging), daging tanpa kulit sebesar

30,8% (0,37 g/100 g daging). Pada daging putih kalkun mentah dengan kulit,

kandungan PUFA sebesar 26,5% (1,73 g/100 g daging), sedangkan pada daging

tanpa kulit sebesar 35,3% (0,42 g/100 g daging) . Komposisi asam lemak tersebut

berbeda pula pada daging gelap ayam broiler yaitu daging dengan kulit sebesar

23,4% (2,34 g/100 g daging) dan tanpa kulit sebesar 30,5% (1,07 g/100 g daging).

Pada daging kalkun gelap dengan kulit, kandungan PUFA sebesar 29,0% (2,28

g/100 g daging) dan daging kalkun gelap tanpa kulit sebesar 34,7% (1,31 g/100 g

daging) (Decker dan Cantor, 1992). Sebagai tambahan, Rabot dkk. (1996)

menemukan bahwa kandungan lipid akan menurun dengan meningkatnya umur

ayam. Dilihat dari data kandungan PUFA di atas yang berbeda pada setiap spesies

unggas, bisa dimungkinkan reaksi oksidasi lemak yang terjadi akan berbeda pula.

Selain itu, kandungan asam lemak pada berbagai unggas tersebut dapat

dipengaruhi oleh pakan hewan dan temperatur lingkungan (Lawrie, 1991).

Laporan yang lain (Lillard, 1987) menyebutkan bahwa kandungan PUFA pada

bagian tubuh unggas juga berbeda, misalnya pada bagian dada ayam mengandung

41,45% dari total asam lemak yang ada dan bagian kaki ayam sebesar 43,5% dari

total asam lemak. Perbedaan ini memungkinkan bahwa potongan daging dari

���

��

bagian karkas yang berbeda mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda

sehingga dapat menyebabkan variasi oksidasi lemak yang tejadi. Sebagai

tambahan, Salih (1987) melaporkan bahwa daging paha kalkun lebih cepat

teroksidasi daripada daging bagian dada.

b. Prooksidan

Jaringan otot juga mengandung katalis yang dapat mempercepat proses oksidsi

lemak yaitu berupa senyawa-senyawa hematin seperti senyawa haem (Fez+) dan

hemmin (Fe3+) yang ada dalam hemoglobin, myoglobin dan sitokrom yang

merupakan prooksidan yang sangat kuat. Senyawa haematin mengkatalisa

dekomposisi hidroperoksida dengan membentuk kompleks dengan

hidroperoksida. Kompleks ini kemudian terpecah menjadi dua radikal bebas, salah

satunya dapat menginisiasi reaksi berantai radikal bebas. Radikal haematin dan

radikal alkil yang akan masuk ke proses reaksi berantai (Kochhar, 1996). Radikal-

radikal tersebut berkontribusi terhadap pembentukan senyawa-senyawa off-

flavor/off-odor pada daging. Prooksidan logam yang lain yaitu logam yang

umumnya mempunyai valensi 2 atau lebih dengan potensial redoks yang sesuai

dapat meningkatkan laju oksidasi lemak (Kochhar, 1996). Salih (1987) meneliti

pengaruh pemberian garam dan logam (Fe, Cu, Mg) dan antioksidan terhadap

oksidasi lemak dan off-flavor daging dada dan paha kalkun mentah dan masak

selama pendinginan dan penyimpanan beku. Ditemukan bahwa nilai TBA pada

perlakuan Fe3+ lebih besar daripada Cuz+ sedangkan perlakuan garam

menghasilkan nilai TBA yang lebih rendah. Lillard (1987) menyebutkan bahwa di

dalam daging ternyata senyawa hemoprotein merupakan sumber non-heme iron

���

��

dan selama proses pemanasan non-heme iron dilepas dan merupakan katalis

utama oksidasi lemak dalam daging masak.

c. Antioksidan

Kandungan tokoferol dalam daging selama penyimpanan dapat mempengaruhi

laju oksidasi lemak yang terjadi. Konsentrasi tokoferol dalam daging unggas ini

lebih tergantung pada pakan unggas tersebut (Lillard, 1987). Sheldon (1983)

melaporkan pengaruh kensentrasi d,l-α-tokoferol asetat terhadap stabilitas

oksidasi lemak karkas kalkun. Di sini disimpulkan bahwa peningkatan tokoferol

dalan pakan akan menghasilkan peningkatan deposit tokoferol pada dada dan paha

kalkun tetapi tidak pada kulit dan lemak. Daging paha ternyata mempunyai

deposit tokoferol lebih tinggi dibandingkan daging dada, kulit dan lemak.

Disamping itu, Lillard (1987) melaporkan bahwa pada daging yang mengandung

tokoferol lebih tinggi dan disimpan beku selama 3 bulan, laju oksidasi lemak yang

terjadi lebih lambat. Pada unggas daging putih yaitu kalkun dan ayam ternyata

ditemukan bahwa pada daging kalkun, oksidasi lemak berkembang lebih cepat

dibandingkan daging ayam (Lillard, 1987). Disebutkan juga bahwa pakan kalkun

yang sudah diberi α-tokoferol (200 mg/kg) atau injeksi tokoferol 1-2 hari sebelum

penyembelihan ternyata dapat mengurangi intensitas flavor fishy pada daging

kalkun.

d. Panas (Suhu tinggi)

Secara umum, laju autooksidasi akan meningkat dengan meningkatnya suhu,

walaupun oksigen terlarut dalam lemak akan menurun dengan meningkatnya suhu

(Kochhar, 1996). Selain itu, Lillard (1987) juga menjelaskan bahwa oksidasi

���

��

lemak lebih lanjut dalam daging unggas yang dimasak akan berhubungan dengan

perlakuan panas. Dilaporkan juga bahwa daging yang mengalami pemasakan yang

lama mempunyai peningkatan nilai TBA yang terbesar, sehingga terjadi korelasi

antara lama pemasakan dan nilai TBA. Lillard (1987) melaporkan bahwa

pengukuran oksidasi pada daging yang dimasak dengan berbagai tingkat

temperatur menunjukkan oksidasi lemak terjadi sangat cepat pada daging yang

dimasak pada suhu 70�C selama 1 jam. Nilai TBA akan menurun saat temperatur

pemanasan di atas 80�C. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang dipanaskan

dengan suhu 70�C selama 1 jam mempunyai laju oksidasi yang tercepat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Derlean (2009) menyatakan bahwa semakin

tinggi suhu pengolahan (pemanasan) membuat angka peroksida produk juga

semakin tinggi. Peningkatan oksidasi lemak selama pemanasan berhubungan

dengan denaturasi protein haem dan membentuk katalis yang lebih aktif yang

dapat mengawai terjadinya oksidasi lemak.

3. Pembentukan Off-Flavor

Oksidasi lemak dalam daging menyebabkan perubahan kimia yang bisa

menyebabkan off-flavor pada daging. Off-flavor yang disebabkan karena

terjadinya perubahan kimia dalam bahan pangan antara lain disebabkan 4 jenis

reaksi yaitu reaksi oksidasi lipid, reaksi kecoklatan non-enzimatik, reaksi

enzimatik dan reaksi yang diinduksi oleh cahaya. Reaksi oksidasi lipid merupakan

reaksi paling umum penyebab penyimpangan flavor dalam bahan pangan. Reaksi

ini terutama terjadi pada bahan-bahan kering yang diakibatkan adanya asam

����

��

lemak tidak jenuh dalam bahan pangan yang bereaksi dengan oksigen. Reaksi ini

sangat tergantung pada suhu dan adanya antioksidan yang tersedia.

Lemak daging terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh

tunggal (mono) maupun banyak (poli), seperti asam palmitat (C16:0), asam stearat

(C18:0), asam oleat (C18;1), asam linoleat (C18:2) dan asam-asam lemak lainnya.

Dalam daging banyak asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan

rangkap yang disebut dengan polyunsaturated fatty acid (PUFA), seperti asam

linoleat, asam linolenat, asam arakhidonat, asam eikosapentanoat, adalah asam

lemak esensial yang harus ada dalam makanan. Akan tetapi jenis asam ini sangat

mudah mengalami oksidasi dengan adanya oksigen. Proses autooksidasi tersebut

menyebabkan berkembangnya bau dan flavor yang tidak enak, yang biasa disebut

tengik (Konchhar, 1996).

Kandungan myoglobin dan hemoglobin dalam daging juga dapat mempercepat

laju oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan dan off-flavor selama

penyimpanan daging. Banyaknya myoglobin ini bervariasi menurut spesies

ternak, umur,jenis kelamin dan aktivitas fisik ternak (Lawrie, 1991). Kandungan

asam lemak yang berbeda pada setiap spesies unggas akan menghasilkan flavor

yang berbeda pula. Sebagai contoh, daging ayam broiler yang mempunyai

kandungan asam lemak lebih banyak dibandingkan ayam kampung akan

mempunyai flavor dan off-flavor yang berbeda pula (Apriyantono dan Indrawaty,

1998). Daging ayam broiler mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan off-

flavor yang lebih besar, seperti bau tengik, karena daging tersebut mengandung

asam lemak tidak jenuh yang lebih besar yang mudah teroksidasi.

����

��

4. Pencegahan Off-Flavor Pada Daging Unggas

Off-flavor yang terjadi pada daging unggas jelas berakibat pada menurunnya

tingkat penerimaan konsumen terhadap daging dan produk daging unggas.

Disamping itu, akibat yang bersamaan dari off-flavor juga dikhawatirkan

pengaruhnya yang buruk terhadap kesehatan manusia. Sehingga, diperlukan cara-

cara untuk melakukan pencegahan timbulnya off-flavor pada daging tersebut.

Cara-cara yang dilakukan ini tergantung pada penyebab timbulnya off-flavor pada

daging unggas tersebut. Off-flavor daging unggas yang disebabkan karena umur

bisa sangat mudah dikendalikan. Kita hanya memotong unggas pada umur tertentu

dimana secara sensori daging tersebut masih bisa diterima konsumen. Sebagai

contoh, Prabhakara (1990) yang mendapatkan bahwa pemotongan itik umur 3

bulan adalah tepat karena daging yang dihasilkan mempunyai nilai skor yang

tinggi dalam hal tendernes, juiciness, dan flavour. Kim dkk. (1999) juga

melaporkan bahwa ayam jenis Arbor Acre dan ayam jenis ash Korea hanya dapat

diterima secara sensori (aroma, flavour, juicyness dan tenderness) pada umur 8,

10, 12, 14, dan 16 minggu. Demikian juga dengan off-flavor akibat perbedaaan

jenis kelamin, seperti pada itik muscovy betina ternyata mempunyai intensitas

yang lebih tinggi daripada itik jantan (Baeza dkk., 1998).

Pada kejadian off-flavor daging unggas yang disebabkan pakan, sudah banyak

dilakukan penelitian untuk memperbaiki mutu pakan unggas khususnya terhadap

off-flavor yang mungkin ditimbulkan. Peterson dkk. (1975) menambahkan

vitamin E dengan dosis 200 mg/kg pakan sebelum penyembelihan kalkun ternyata

juga dapat mengurangi intensitas off-flavor daging kalkun. Untuk mengurangi bau

����

��

fishy pada daging ayam, bisa dilakukan penambahan minyak jagung dengan

metionin atau kolin (Wessels dkk., 1979). Penelitian Huang dkk. (1999)

menunjukan bahwa pemberian α-tokoferol pada pakan broiler selama 6 minggu

ternyata menghasilkan daging paha ayam dengan nilai TBA lebih rendah dari

pada kontrol. Jumlah α-tokoferol pada paha ayam tersebut akan menurun pada

penyimpanan beku selama 40 hari.

Pencegahan off-flavor daging unggas yang disebabkan oksidasi lemak bisa

dilakukan dengan penambahan antioksidan alami maupun sintetik. Hayse (1974)

menemukan bahwa penambahan 100 IU DL-α-tokoferol asetat selama 8 minggu

dapat mengurangi nilai TBA pada daging kalkun mentah dan matang. Pikul dkk.

(1983) melaporkan bahwa penambahaan antioksidan (BHA, BHT, Santoquin)

pada daging ungas tanpa tulang yang disimpan beku selama 23 minggu pada suhu

-18�C dapat menghambat oksidasi lemak yang terjadi. Mielnik (1997) melakukan

penelitian mengenai penambahan antioksida alami dari bawang putih segar dan

kering pada daging ayam tanpa tulang yang disimpan beku pada suhu -20�C

selama 2 bulan. Nilai TBA yang dihasilkan lebih rendah dari pada kontrol,

sehingga bawang putih juga akhirnya dapat menurunkan ketengikan daging ayam

selama penyimpanan beku. Bawang putih segar ternyata lebih bisa menekan nilai

TBA daripada bawang putih kering selama penyimpanan beku, dan hanya sedikit

perbedaan sifat sensori yang ditimbulkan. Pada penelitian ini dilakukan

pencegahan off-flavor dengan cara penghambatan oksidasi lemak dalam produk

bakso ayam petelur afkir selama pengolahan dengan cara penambahan antioksidan

alami ekstrak kunyit.

����

��

D. Kunyit (Curcuma domestica Val.)

1. Kunyit (Curcuma domestica Val.)

Kunyit adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan sebagai

bumbu dalam berbagai jenis masakan. Kunyit memiliki nama latin Curcuma

domestica yang menggantikan nama sebelumnya yaitu Curcuma longa. Nama

latin Curcuma domestica untuk kunyit diperkenalkan oleh Valeton pada tahun

1918. Menurut Winarto (2003), dalam taksonomi tanaman kunyit dikelompokkan

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Class : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Family : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Species : Curcuma domestica Val

Tanaman kunyit termasuk jenis tanaman herba yaitu tanaman tahunan.

Tanaman kunyit tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang merupakan

batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang dengan warna kekuningan dan

tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur (lanset)

memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan

warna hijau pucat. Gambar 4 menunjukkan penampakan tanaman kunyit.

����

��

Gambar 5. Tanaman kunyit (Curcuma domestica) Sumber : Anonim, 2006

Tanaman kunyit dapat tumbuh dimana saja, baik dataran rendah maupun

dataran tinggi. Menurut Sinaga (2006), pada dataran tinggi tanaman kunyit dapat

tumbuh di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya

didukung oleh tanah yang tata pengairannya baik, curah hujan 2.000-4.000 mm

per tahun, dan di tempat yang sedikit terlindung (Sumiati dan Adnyana, 2004). Di

Indonesia tanaman kunyit mudah tumbuh hampir di seluruh wilayah, di pulau

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, lrian, dan lain-lain. Selain di

Indonesia, kunyit juga banyak ditanam di Malaysia, Thailand, Cina, India, dan

Vietnam.

Kunyit biasanya dipanen pada umur berkisar 7-9 bulan setelah penanaman,

yang ditandai dengan batang tumbuhan mulai layu atau mengering. Kunyit yang

baru dipanen biasanya memiliki kadar air sekitar 90% (Sumangat dkk., 1994) atau

81.4-81.5% (Jusuf, 1980). Kunyit memiliki umbi utama yang terletak di dasar

batang, berbentuk elipsoidal, dan berukuran 5x2.5 cm. Umbi utama membentuk

rimpang yang sangat banyak jumlahnya pada sisi-sisinya. Rimpang-rimpang

����

��

tersebut berbentuk pendek, tebal, dan lurus atau melengkung (Sastrapraja, 1977).

Bagian luar rimpang berwarna jingga kecoklatan, sedangkan di bagian dalamnya

berwarna jingga terang atau kuning. Rimpang memiliki rasa yang agak getir dan

berbau khas (Sinaga, 2006). Gambar 5 menunjukkan penampakan rimpang kunyit.

Gambar 6. Rimpang kunyit (Curcuma domestica) Sumber : Anonim, 2006

2. Kunyit Sebagai Antioksidan Alami

Berdasarkan asalnya, antioksidan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu

kelompok antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik dibuat

dan disintesa oleh manusia. Antioksidan ini banyak sekali jenisnya. Namun tidak

semua antioksidan sintetik dianjurkan untuk makanan. Ada lima antioksidan yang

penggunaannya meluas dan menyebar ke seluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi

Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propel galat, Tert-Butil Hidroksi

Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan

alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991).

BHA larut dalam lemak dan tidak larut dalam air, berbentuk padatan putih dan

dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatile sehingga berguna untuk

����

��

aditif sebagai materi pengemas (Buck, 1991). Sementara itu, BHT hampir sama

dengan BHA dan akan bermanfaat sinergis bila digunakan bersama-sama dengan

BHA, bentuknya kristal padat berwarna putih dan dapat digunakan secara luas

karena murah. Profil galat mempunyai karakteristik sensitive terhadap panas,

terdekomposisi pada titik cairnya yaitu 148°C, dapat membentuk komplek warna

dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu profil

galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut dalam lemak

tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck, 1991).

TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak,

khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik

pada penggorengan tapi rendah pada pembakaran. Tokoferol merupakan

antioksidan alami yang dapat dibuat juga secara sintesik. Tokoferol memiliki

karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipida karena memiliki

rantai C yang panjang (Belitz dan Grosch, 1978). Seiring dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, akhir-akhir ini banyak dikembangkan antioksidan

sintetis. Meski demikian, penelitian Ford dkk. (1980) menunjukkan bahwa

antioksidan sintetik ternyata dapat meracuni binatang percobaan dan juga bersifat

karsinogenik. Beberapa penelitian terakhir juga mengindikasikan bahwa

pemakaian antioksidan sintetik dapat menimbulkan aktivitas sel-sel tumor dan

senyawa karsinogenik (Imaida dkk., 1984; Ito dkk., 1983; Witschi, 1997). Oleh

karena itu penggunaan antioksidan sintetik saat ini juga mulai dibatasi. Sebagai

tindak lanjutnya, industri makanan dan obat kemudian beralih mengembangkan

antioksidan alami seperti vitamin E, vitamin C, polifenol, kurkuminoid, dan

����

��

karotenoid. Antioksidan alami, menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan

diisolasi dari bahan dasar alami seperti dari tumbuhan. Senyawa antioksidan dari

tumbuhan bersifat senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan

flavanoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik

polifungsional (Pratt, 1992). Golongan flavanoid yang memiliki aktifitas

antioksidan meliputi flavon, flavanol, isoflavon, katekin, flavonol, dan kalkon.

Selain itu, juga ada senyawa yang relatif banyak, namun belum dimanfaatkan

yaitu golongan pigmen. Pigmen merupakan senyawa yang memberikan warna,

kuning sampai merah dan karotenoid, hijau biru dari klorofil, kuning dari

kurkuminoid, dan merah sampai ungu dari antosianin. Senyawa tersebut sangat

banyak jumlahnya dan dapat terlihat oleh mata sehingga akan lebih mudah untuk

mengisolasinya. Salah satunya adalah kunyit (Curcuma domestica Val).

Khasiat kunyit diantaranya sebagai antioksidan, anti karsinogen, anti alzeimer

dan juga anti kanker (Depkes RI, 1995). Kunyit bermanfaat sebagai antioksidan

dan antibakteri, yang dapat mengobati kolesterol dan trigeserol, menyembuhkan

radang lambung akut dan kronis, mengatasi rematik dan encok, mengobati

diabetes melitus dan mencegah kanker usus serta mencegah sekaligus mengobati

katarak dan berbagai penyakit lainnya (Purba dan Martosupono, 2009). Kunyit

mengandung minyak atsiri yang dapat memberi efek anti mikroba dan kurkumin

sebagai anti inflamasi, meningkatkan kerja organ pencernaan (Hadi dan Sidik,

1992). Rostiana dkk. (1989) menyatakan bahwa kunyit mengandung kurkuminoid

dan minyak atsiri, sedangkan menurut Sidik (1988), aktifitas biologis kunyit

berspektrum luas diantaranya antioksidan, antibakteri dan hipokolesteremik,

���

��

mempunyai sifat kolagogum (peluruh empedu), sehingga dapat meningkatkan

penyerapan vitamin A, D, E dan K (Sangat dan Rumantyo, 1989). Kunyit yang

mengandung senyawa kurkumin sebagai antioksidan sedang marak diteliti karena

banyak kegunaannya terutama untuk kesehatan tubuh kita terutama dalam

menangkal radikal bebas.

3. Mekanisme Antioksidasi Kurkumin

Kurkuminoid adalah senyawa yang berpartisipasi dalam pembentukan warna

pada kunyit. Menurut Srinivasan (1953), kurkuminoid merupakan campuran

analog antara kurkumin, desmetoksi kurkumin, dan bis-desmetoksi kurkumin

pada kunyit, dimana kurkumin merupakan komponen yang paling dominan.

Gambar 6 menunjukkan struktur kimia kurkumin pada kunyit.

Gambar 7. Struktur Kimia Kurkumin Sumber : Cancer Chemoprevention Research Center UGM

http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=345 diakses 11 Februari 2019

Kurkumin merupakan senyawa berbentuk kristal bubuk dan berwarna kuning

(Anonim, 1976). Nama trivial kurkumin adalah 1.7-bis-(hidroksi-3-metoksi-

fenil)-1.6-heptadiena-3.5 dione, atau di(4-hidroksi-3-metoksi sinamoil) metana.

Kurkumin memiliki rumus dan bobot molekul masing-masing adalah C21H20O6

dan 368.37. Titik lebur kurkumin berkisar 183°C. Kurkumin tidak larut dalam air

dan eter, tetapi larut dalam etanol dan asam asetat glasial. Jacob (1944)

���

��

menyatakan bahwa kurkumin sedikit larut dalam air panas. Kurkumin tidak stabil

terhadap cahaya dan kondisi alkali, tetapi tahan terhadap perlakuan panas.

Menurut Krisnamurthy dkk. (1976), kunyit mengandung 2.5-6% pigmen

kurkumin. Sedangkan berdasarkan penelitian Jusuf (1980), diperoleh gambaran

bahwa kandungan kurkumin kunyit dari Jawa adalah 0.63-0.76% (w/w) dengan

menggunakan analisa spektrofotometri terhadap ekstrak kasar kunyit.

Menurut penelitian Trully dan Timotius (2007), kurkumin memiliki

kemampuan sebagai antioksidan untuk menghambat radikal bebas stabil DPPH

(1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl). Konsentrasi kurkumin yang digunakan

2,0729x10-5 M menghasilkan penghambatan sebesar 87,1045%. Namun

penambahan asam memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap aktifitas

antioksidan kurkumin. Penambahan HCl dengan konsentrasi 0,01 M dan 0,03 M

membuat aktifitas antioksidan kurkumin menurun menjadi 22,5312% dan

11,6781%. Kurkumin mempunyai mekanisme antioksidan hampir sama dengan

antosianin karena kedua senyawa tersebut mempunyai gugus fenolik yang

merupakan gugus penting sebagai zat antioksidan.

Menurut Purba dan Martosupono (2009), mekanisme antioksidasi kurkumin

utamanya adalah dalam pemberian atom hidrogen. Senyawa antioksidan (AH)

dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROD*) atau

mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*)

tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida.

R* + AH RH + A*

(Radikal Lipida)

����

��

ROO* + AH ROH + A*

Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif

stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul

lipida lain membentuk radikal lipida baru lagi. Radikal-radikal antioksidan dapat

saling bereaksi membentuk produk non radikal. Apabila penambahan konsentrasi

antioksidan besar, maka akan berpengaruh pada laju oksidasi, konsentrasi yang

lebih tinggi tersebut dapat menyebabkan aktifitas antioksidasi untuk golongan

fenolik lenyap, bahkan dapat berubah menjadi pro-oksidan. Mekanisme dari

keterangan ini adalah sebagai berikut :

AH + O2 A* + HOO*

AH + ROOH RO* + H2O + A*

Menurut Sukardi (2001), semua antioksidan hampir sama strukturnya yaitu

memiliki struktur cincin aromatik tak jenuh dengan gugus hidroksil atau gugus

amina. Mekanisme antioksidasinya dapat berfungsi sebagai :

1. Berperan sebagai donor atom hidrogen pada radikal bebas untuk membentuk

kembali molekul lemak sehingga mencegah terjadinya autooksidasi.

2. Berperan sebagai donor atom hidrogen pada radikal bebas untuk membentuk

hidroperoksida dan sebuah radikal bebas antioksidan. Radikal bebas

antioksidan ini stabil daripada radikal bebas lemak karena struktur resonansi

elektron dalam cincin aromatik antioksidan. Dengan demikian antioksidan

dapat menghentikan reaksi oksidasi berantai.

����

��

E. Hipotesis

Pada penelitian ini terdapat 3 hipotesis yaitu:

1. Penambahan ekstrak kunyit pada bakso ayam petelur afkir dapat meningkatkan

nilai kesukaan panelis.

2. Penambahan ekstrak kunyit pada bakso ayam petelur afkir dapat

mempengaruhi sifat kimia bakso ayam petelur afkir.

3. Penambahan ekstrak kunyit sebagai antioksidan dapat meningkatkan aktivitas

antioksidasi bakso ayam petelur afkir sehingga dapat menurunkan angka

peroksida.