II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Lingkungan sebagai ... · Kawasan permukiman didefinisikan...

25
10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Lingkungan sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Kawasan permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, merupakan kawasan perkotaan atau perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 26 /2008). Berdasarkan definisi tersebut, kawasan permukiman adalah bagian dari kawasan budidaya, yaitu kawasan budidaya non pertanian. Sebagai kawasan budidaya non pertanian, kawasan permukiman tidak hanya sekedar tempat tinggal seperti perumahan, akan tetapi juga merupakan tempat melakukan kegiatan usaha sehingga dapat merupakan perkotaan maupun perdesaan. Oleh karena itu, pada kawasan permukiman selain terdapat perumahan dan sarana-prasarananya, juga terdapat kawasan untuk kegiatan ekonomi (perdagangan, jasa, rekreasi, industri kecil) dan kegiatan sosial. Dalam istilah lain kawasan permukiman sering disebut sebagai kawasan terbangun. Pengembangan kawasan permukiman membutuhkan sumberdaya alam seperti lahan dalam jumlah yang besar. Dalam rangka pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan, pengembangan permukiman harus mengacu pada konsep keseimbangan antara kemampuan ekosistem dalam menyediakan lahan untuk permukiman dibandingkan dengan kebutuhan lahan permukiman. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan diperlukan pengaturan terhadap pengembangan permukiman, sehingga tidak melampaui luas lahan yang sesuai bagi permukiman. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditujukan untuk keharmonisan lingkungan akan tetapi juga keberlanjutan jangka panjang dengan berbasis sumber daya alam (Khanna et al. 1999). Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan adalah dimensi lingkungan, dimensi sosial dan dimensi ekonomi. Ketiga pilar tersebut oleh berbagai pihak dikembangkan sesuai kebutuhan.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Lingkungan sebagai ... · Kawasan permukiman didefinisikan...

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daya Dukung Lingkungan sebagai Dasar Pengelolaan KawasanPermukiman Berkelanjutan

Kawasan permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup

di luar kawasan lindung, merupakan kawasan perkotaan atau perdesaan yang

berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 26 /2008).

Berdasarkan definisi tersebut, kawasan permukiman adalah bagian dari kawasan

budidaya, yaitu kawasan budidaya non pertanian. Sebagai kawasan budidaya non

pertanian, kawasan permukiman tidak hanya sekedar tempat tinggal seperti

perumahan, akan tetapi juga merupakan tempat melakukan kegiatan usaha

sehingga dapat merupakan perkotaan maupun perdesaan. Oleh karena itu, pada

kawasan permukiman selain terdapat perumahan dan sarana-prasarananya, juga

terdapat kawasan untuk kegiatan ekonomi (perdagangan, jasa, rekreasi, industri

kecil) dan kegiatan sosial. Dalam istilah lain kawasan permukiman sering disebut

sebagai kawasan terbangun.

Pengembangan kawasan permukiman membutuhkan sumberdaya alam

seperti lahan dalam jumlah yang besar. Dalam rangka pengelolaan kawasan

permukiman berkelanjutan, pengembangan permukiman harus mengacu pada

konsep keseimbangan antara kemampuan ekosistem dalam menyediakan lahan

untuk permukiman dibandingkan dengan kebutuhan lahan permukiman. Oleh

karena itu, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan

diperlukan pengaturan terhadap pengembangan permukiman, sehingga tidak

melampaui luas lahan yang sesuai bagi permukiman.

Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditujukan untuk

keharmonisan lingkungan akan tetapi juga keberlanjutan jangka panjang dengan

berbasis sumber daya alam (Khanna et al. 1999). Tiga pilar utama pembangunan

berkelanjutan adalah dimensi lingkungan, dimensi sosial dan dimensi ekonomi.

Ketiga pilar tersebut oleh berbagai pihak dikembangkan sesuai kebutuhan.

11

Moffat et al. (2001) menambahkan pilar ke 4 yaitu etika dalam pembangunan

berkelanjutan. Menurut Moffat et al. (2001), pembangunan berkelanjutan bukan

hanya perlu didefinisikan tetapi perlu dideklarasikan sebagai prinsip-prinsip etika.

Sejalan dengan Moffat et al. (2001), The United Nation Commission on

Sustainable Development (UNCSD) memasukan prinsip etika dalam dimensi

kelembagaan sebagai pilar ke 4 pembangunan berkelanjutan (UNCSD 2001).

Price dan Messerli (2002) memasukan dimensi budaya dan jender (culture and

gender), dimensi kebijakan dan legislasi (policies and legislation), serta risiko

bencana (risk). Fisheries Centre UBC selain memasukkan etika sebagai pilar ke

4, juga memasukan dimensi teknologi sebagai pilar ke 5 (UBC 2006).

Operasionalisasi dari konsep pembangunan berkelanjutan dilakukan melalui

konsep daya dukung (carrying capacity) (Wackernagel 1994; Rees 1996; Khanna

et al. 1999; Richard 2002). Operasionalisasi konsep daya dukung lingkungan

mencakup 3 hal (Khanna et al. 1999) yaitu : perkiraan kapasitas pendukung;

perkiraan kapasitas asimilasi; alokasi optimal dari sumberdaya. Perkiraan

kapasitas pendukung (Rees 1996; Khanna et al. 1999) terdiri atas: regenerasi;

ketahanan dan titik kritis. Perkiraan kapasitas asimilasi adalah perkiraan

kemampuan ekosistem menyerap sesuatu (limbah, atau beban pencemar) yang

dimasukan tanpa menimbulkan dampak pada ekosistem (Rees 1996; Khanna et al.

1999) .

Daya dukung lingkungan dapat berbentuk daya dukung lingkungan untuk

biologi dan daya dukung lingkungan untuk penduduk (Khanna et al.1999). Daya

dukung lingkungan biologi didefinisikan sebagai tingkat konsumsi sumberdaya

dan pembuangan limbah maksimum yang masih dapat dipertahankan tanpa batas

waktu dan secara progresif tidak mengganggu bioproduktivitas dan integritas

ekologi suatu kawasan (Khanna et al. 1999). Daya dukung lingkungan untuk

penduduk diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung penduduk

(manusia) pada kondisi berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, UUPPLH No

32/2009 mendefinisikan daya dukung lingkungan sebagai kemampuan lingkungan

hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.

12

Untuk memperkirakan daya dukung dilakukan seleksi terhadap satu atau

beberapa sumberdaya yang secara inheren terbatas seperti air, lahan, energi dan

biota, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk memperkirakan seberapa besar

sumberdaya tersebut harus disediakan (Richard 2002). Perhitungan daya dukung

selain dapat dilakukan melalui perhitungan konsumsi energi atau makanan, juga

dapat dilakukan melalui kebutuhan lahan (Rees 1996; Richard 2002). Wackernagel

(1994), menginterpretasikan konsep daya dukung sebagai lahan per penduduk

yang dibutuhkan individu untuk hidup secara berkelanjutan. Perhitungan melalui

kebutuhan lahan dilakukan dengan dua cara yaitu

a) Cara sederhana adalah melalui pendugaan kepadatan penduduk pada areal

tertentu, selanjutnya dihitung jumlah penduduk yang masih dapat didukung

oleh areal tersebut (Richard 2002). Menurut Meadows (1995) dalam Murai

(1996), salah satu kriteria pembangunan berkelanjutan ditunjukkan oleh

kepadatan penduduk yang tidak melebihi 50 orang per ha. Kondisi

keberlanjutan dikatakan kritis apabila kepadatan penduduk berada antara 100

– 150 orang per ha, sedangkan lebih dari 200 orang per ha maka kepadatan

penduduk tidak lagi mengarah pada keberlanjutan tapi cenderung merusak

(destructive).

b) Cara yang lebih kompleks adalah menggunakan konsep Ecological

footprint. Konsep Ecological footprint menghitung seberapa luas lahan yang

dibutuhkan per kapita untuk menghasilkan secara eksklusif barang dan jasa

serta mengasimilasi limbah yang dihasilkan tanpa perlu pengelolaan

(Wackernagel 1994). Dalam hal ini lahan digunakan sebagai ukuran untuk

kombinasi berbagai faktor (kebutuhan makanan, energi, air dan sumberdaya

lainnya). Selanjutnya dihitung kebutuhan luas lahan untuk mendukung

setiap populasi (Wackernagel 1994; Rees 1996; Richard 2002). Penelitian

yang dilakukan Rees dan Wackernagel tahun 1996 di beberapa tempat di

dunia, menyimpulkan bahwa ecological footprint rata-rata dunia adalah 1,8

ha per orang (Moffat et al. 2001). Ecological footprint negara-negara Asia

berkisar antara 0,4 ha/kapita (India) sampai 3 ha/kapita (Jepang)(Moffat et

13

al. 2001; Rees 1996). Negara dengan ecological footprint 3-4 ha/orang di

Eropa adalah Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Belanda, dan

Switzerland, serta negara dengan ecological footprint 4-5 ha/orang adalah

Canada dan USA (Rees 1996; Moffat et al. 2001).

Berdasarkan konsep daya dukung lingkungan tersebut, maka daya dukung

fisik kawasan permukiman dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk

mendukung kegiatan permukiman. Kemampuan lingkungan untuk mendukung

kegiatan permukiman secara berkelanjutan ditentukan oleh kapasitas pendukung,

kapasitas asimilasi, dan alokasi optimal dari sumberdaya. Kapasitas pendukung

permukiman berkelanjutan dalam implementasinya dijabarkan menjadi status

keberlanjutan permukiman. Kapasitas asimilasi kawasan permukiman dijabarkan

menjadi kemampuan kawasan permukiman untuk menampung penduduk. Alokasi

optimal dari sumberdaya dalam implementasinya dijabarkan sebagai alokasi lahan

yang sesuai untuk dijadikan permukiman.

Pada dekade mendatang terdapat indikasi bahwa kebutuhan manusia

terhadap ekosistem akan terus meningkat, kondisi tersebut dipicu oleh naiknya

jumlah penduduk. United Nations Population Fund's (UNPF) memperkirakan

penduduk dunia akan mencapai 9,3 milyar pada tahun 2050 (Richard 2002),

sehingga permintaan dan konsumsi akan sumberdaya biologi (biota) dan

sumberdaya fisik seperti lahan dan air akan bertambah pesat pula. Hal tersebut

sekaligus akan meningkatkan dampak terhadap ekosistem. Dampak terhadap

ekosistem terjadi karena perkembangan jumlah penduduk dan kegiatan sosial

ekonomi penduduk, meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman.

Peningkatan kebutuhan lahan akan memicu perubahan ekosistem. Perubahan

ekosistem dipicu oleh faktor penggerak (driven factor) yang bersifat langsung dan

tidak langsung. Faktor penggerak perubahan yang langsung adalah suatu faktor

yang dapat merubah suatu aspek dari ekosistem tertentu secara langsung, faktor

tersebut antara lain adalah perubahan pada tataguna lahan dan penutupan lahan

setempat (MA Board 2001).

14

2.2 Evaluasi Kawasan Permukiman

Timbulnya masalah degradasi fungsi DAS sebagai penyedia jasa ekosistem

diduga berkaitan dengan semakin besarnya kawasan di dalam DAS yang kedap air

(impervious area). Kawasan permukiman merupakan kawasan terbangun sehingga

perubahan tutupan lahan dari lahan hutan atau pertanian menjadi permukiman,

menyebabkan permukaan tanah menjadi kedap air (Mustafa et al. 2005). Dampak

yang ditimbulkan dari pembangunan permukiman yang tidak terkendali adalah

menurunnya kemampuan DAS dalam mengatur keseimbangan tata air, seperti

diperlihatkan oleh terjadinya kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim

hujan. Beberapa hasil penelitian di DAS Ciliwung (Irianto 2000; Tim IPB 2002;

Kadar 2003; Lukman 2006), menunjukkan adanya korelasi antara peningkatan

debit sungai Ciliwung pada musim hujan dengan perubahan penggunaan lahan

DAS Ciliwung, terutama perubahan penggunaan lahan dari kawasan tidak

terbangun seperti kawasan hutan dan pertanian menjadi kawasan permukiman.

Konsep daya dukung sebagai operasionalisasi konsep pembangunan

berkelanjutan, selain memperhitungkan seberapa besar populasi yang dapat

didukung oleh suatu sumberdaya, juga memperhitungkan dimana mereka akan

dialokasikan (Khanna et al. 1999), dengan demikian akan terjadi kompetisi

diantara berbagai keinginan penggunaan pada sebidang lahan yang sama.

Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan seleksi terhadap

kesesuaian lahan (Saroinsong et al. 2006). Seleksi dilakukan dengan cara

mengevaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman.

Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman akan melibatkan berbagai

faktor sebagai kriteria. Menurut Van der Zee (1986), pemilihan lahan untuk

permukiman ditentukan oleh faktor relif, iklim, tanah, vegetasi dan akses terhadap

air. Selanjutnya Van der Zee (1990) menyatakan evaluasi lahan untuk permukiman

menghasilkan kesesuaian lahan (land suitability) permukiman, yang dikelompokan

menjadi 4 yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (kurang sesuai) dan N (tidak

sesuai).

15

Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman juga harus berpedoman pada

ketentuan perundangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan perundangan yaitu:

PP No 26/2008 tentang RTRWN; Perpres N0 54/2008 tentang penataan ruang

Jabodetabekpunjur; Perda Provinsi Jawa Barat No 2/2003 tentang RTRW Provinsi

Jawa Barat; Perda Provinsi Jawa Barat No 2/2006 tentang Kawasan Lindung dan;

Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor, ketentuan

kawasan permukiman adalah: tidak berada di kawasan lindung, tidak berada di

kawasan resapan air dan bukan daerah rawan bencana alam maupun buatan

manusia.

Berdasarkan persyaratan kesesuaian lahan dan ketentuan perundangan yang

berlaku bagi kawasan permukiman, maka kriteria untuk menilai kawasan

permukiman adalah: a) berlokasi di kawasan budidaya; b) aman dari bencana alam

dan; c) kualitas tapak permukiman (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria dan Faktor Kesesuaian Kawasan Permukiman

Kriteria Parameter Variabel UkuranKemiringan lereng . <40%ketinggian tempat. <2000 m dpl.Erosi tanah. Tidak-agak peka.Intensitas curah hujan. <27 mm/hari.Jarak sempadan sungai .

1. Bukan kawasanresapan air danbukan kawasanlindung.

Relief, iklim, tanah,geologi, sempadansungai, danau.

Jarak sempadan danau.30 m kiri kanan .200 m tepi danau.

2. Aman dari bencanaalam .

Longsor, gerakan tanah,bahaya gunung api.

Tingkat keamananbencana.

Aman terhadapbencana.

Relief tanah. Kemiringan lereng. <15%

3.Kualitas tapakpermukiman:

a. Fisik tapakKetinggian tempat ≤1000 m

b. Ketersediaan air Sumber air . Ketersediaan. jarak <100 mc. Aksesibilitas Jaringan jalan. Ketersediaan. Dilalui jaringan

jalanSumber: PP No 26/2008; Perpres No 54/2008; Keppres No 32/1990; Perda Prov Jawa Barat No 2/2003; Perda Prov JawaBarat No 2/2006; Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 ; SK Menteri PU No 20/KPTS/1986, Bappeda Kabupaten Bogor(2001), Van der Zee (1986), dan Van der Zee (1990)

Salah satu alat yang sering dipakai untuk mengevaluasi kesesuaian lahan

kawasan permukiman adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ligtenberg et al.

2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006). Kelebihan SIG adalah

kemampuannya menangani kompleksitas dan volume basis data yang besar secara

16

efisien, serta mampu memvisualisasikan hasil secara efektif sehingga mudah

dimengerti oleh pengguna (Shasko dan Keller 1989; Mustafa et al. 2005).

Kelebihan SIG lainnya adalah SIG merupakan teknologi yang terintegrasi karena

dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yaitu Global Positioning System

(GPS); dan Computer Aided Design (CAD). Dengan kemampuannya itu, SIG

dapat dipakai untuk mengevaluasi kesesuaian kawasan permukiman yang

membutuhkan data yang relatif besar dan kompleks secara efisien dan efektif.

Selain SIG, untuk mengevaluasi kesesuaian kawasan permukiman,

dibutuhkan Remote sensing untuk menganalisis jenis penutupan lahan yang

dihasilkan dari citra satelit. Remote sensing dengan klasifikasi spektral, sangat

efektif dari segi biaya, sangat efisien dari segi waktu dan sumber data yang handal

untuk keperluan mendeteksi tutupan lahan, secara spasial dan temporal, bagi skala

wilayah yang luas (Weng 2002; Mustafa et al. 2005). Hasil analisis terhadap citra

satelit menggunakan remote sensing selanjutnya diproses dengan SIG.

2.3. Kelembagaan dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman di DaerahAliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan

yang merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi

menampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya

melalui sungai dan anak-anak sungai ke danau atau ke laut secara alami. Batas di

darat berupa pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan perairan yang

yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Kelembagaan diartikan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara

anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan

bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi. Kelembagaan diwadahi

dalam suatu organisasi atau jaringan. Pada kelembagaan terdapat faktor-faktor

pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal

untuk pengendalian prilaku sosial, dan insentif untuk bekerjasama dalam mencapai

tujuan bersama (Djogo et al. 2003).

17

Kelembagaan selalu menjadi issu penting dalam pengelolaan sumberdaya

alam dan pembangunan pada umumnya. Berbagai macam penyebab kerusakan

sumberdaya dan degradasi lingkungan tidak hanya disebabkan masalah ekonomi

namun lebih pada masalah kelembagaan (Rustiadi dan Viprijanti 2006). Kegagalan

pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam

membuat, mengimplementasikan kebijakan secara benar, serta mengabaikan

pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses

pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan

sumberdaya alam (Djogo et al. 2003). Dampak kelembagaan pada degradasi

sumberdaya sangat jelas terlihat pada sumberdaya yang memiliki karakteristik

milik bersama (common) seperti DAS, karena ketiadaan penguasaan yang bersifat

privat (privat property).

Sumberdaya seperti air tanah, lahan, hutan, sungai, dan danau yang

merupakan bagian DAS adalah barang spesifik yang bermanfaat bagi semua orang

atau anggota komunitas tertentu, disebut sebagai barang kompetitif (rivalness)

yang tidak dapat dijadikan sesuatu yang eksklusif (non excludability) karena milik

masyarakat. Sterner (2003) menyebut barang dengan sifat rivalness dan non

excludability sebagai Common Pool Resources (CPRs). Common Pool Resources

(CPRs) selain memiliki ciri rivalness dan non excludability juga memiliki ciri

terbatas, sehingga harus ada biaya yang dikeluarkan untuk membatasi akses pada

sumberdaya bagi pihak-pihak yang jadi pemanfaat (Rustiadi dan Viprijanti 2006).

Penggunaan yang berlebihan dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki

sebuah DAS, dan adanya free riders, menyebabkan CPRs seperti DAS cenderung

mengalami kerusakan.

Untuk mencegah pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan diperlukan

perangkat kebijakan (policy instrument). Instrumen kebijakan dapat berupa carrot

sebagai simbol insentif ekonomi, stick sebagai simbol instrumen hukum/regulasi,

dan sermont sebagai simbol instrumen informasi (Sterner 2003). Instrumen

kebijakan merupakan intervensi negara yang dirancang untuk mencapai tujuan

serta untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan kebijakan (Djogo et al. 2003).

18

Oleh karena itu, instrumen kebijakan yang akan diterapkan sangat tergantung pada

pemerintah. Instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan

sumberdaya alam dapat berbentuk pajak, biaya, ongkos, provisi, regulasi, zoning,

pembatasan (bans), izin, liability bonds, labeling, information disclosure,

pelibatan publik dan international treaties (Sterner 2003).

Salah satu instrumen kebijakan yang dapat digunakan pemerintah untuk

meningkatkan dan memperbaiki daya dukung lingkungan DAS adalah Information

disclosure dalam bentuk sosialisasi perencanaan tata ruang dan permukiman serta

peraturan perundang-undangan pada masyarakat. Sosialisasi mengenai peraturan-

peraturan yang berkaitan dengan penataan permukiman adalah hal yang penting,

agar masyarakat dapat terlibat secara intensif. Sosialisasi ini dilakukan secara

simultan dan komprehensif dan ditujukan agar masyarakat dapat terlibat aktif

mematuhi aturan tata ruang dan permukiman yang dibuat. Sosialiasi tidak hanya

sekedar memasang papan pengumuman, tetapi mengajak masyarakat untuk

memahami esensi perundang-undangan dengan cara dialogis dan berkelanjutan,

memberikan ganjaran dan imbalan simbolik untuk berbagai jenis perilaku positif

bagi penataan permukiman.

Selain sosialisasi, kebijakan pengelolaan sumberdaya dapat menggunakan

instrumen pelibatan publik. Pelibatan publik dalam bentuk partisipasi masyarakat

secara formal telah tertuang dalam UUPR No 26/2007, UUPPLH No 32/2009 ;

UUPP No 4 /1992, dan PP no 69/1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban

serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Partisipasi

masyarakat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat, karena persepsi sebagai

komponen kognitif dari sikap mendasari secara relatif totalitas sikap seseorang (Sueca

et al. 2001). Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap fungsi ekologi DAS

Ciliwung hulu berperan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam

membangun permukiman di kawasan yang sesuai untuk permukiman.

Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tiga macam kekuatan (power) yaitu

coercive (pemaksaan), remunerative (imbalan keuntungan) dan normatif (Etzioni

1961). Ketiga kekuatan tersebut bekerja berdasarkan alat pengontrolnya yang

19

berupa sanksi fisik, materi dan simbol, menghasilkan tipe partisipasi alienative,

calculative dan moral (Etzioni 1961). Tipe partisipasi tersebut dipengaruhi oleh

faktor pendidikan, pekerjaan dan penghasilan (Soedjono 1990; Dewi 1997; Sabri

2004). Ketiga faktor sosial ekonomi tersebut secara tidak langsung menunjukkan

tingkat kualitas kehidupan masyarakat. Salah satu ukuran tingkat kualitas

kehidupan masyarakat dari perspektif pembangunan manusia adalah Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Empat komponen IPM adalah angka harapan

hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli

masyarakat. Berdasarkan komponen pembentuk IPM tersebut, maka IPM dapat

menjadi langkah awal untuk memperkirakan kecenderungan partisipasi

masyarakat.

Secara kelembagaan pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) dalam

pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah pemerintah daerah

Kabupaten/kota Bogor, pemerintah pusat, para akademisi, LSM, serta kalangan

masyarakat dan pengusaha yang melakukan kegiatan di DAS Ciliwung hulu.

Stakeholders dibagi menjadi primary stakeholders dan secondary stakeholders

(ODA 1995). Primary stakeholders adalah mereka yang terpengaruh secara

positif (bermanfaat) atau negatif (tidak sengaja diatur) seperti masyarakat.

Secondary stakeholders adalah para intermediari dalam proses penyampaian

program kegiatan atau para pemberi pemahaman pada primary stakeholders,

mereka terdiri dari funding, implementing, monitoring, organisasi advokasi,

pemerintah, LSM, dan organisasi sektor swasta. Berdasarkan hal tersebut maka

masyarakat yang bertempat tinggal atau yang melakukan kegiatan di DAS

Ciliwung hulu dikatakan sebagai primary stakeholders, sedangkan kalangan

pemerintah baik pusat maupun daerah, para akademisi, dan LSM yang berkaitan

atau peduli dengan DAS Ciliwung hulu adalah secondary stakeholders.

Menurut Kartodihardjo (2006), semakin tidak jelas hubungan kerjasama

antara pemerintah dengan masyarakat terhadap sumberdaya, maka keduanya akan

saling mengandalkan, dan pada taraf tertentu kondisi tersebut akan menjadikan

DAS sebagai barang tanpa pemilik (open access). Tragedi open access terhadap

20

sumberdaya dipicu oleh kevakuman kelembagaan yang tercipta oleh suatu proses

desentralisasi yang tidak komplit (Kartodihardjo 2006). Berdasarkan fenomena

yang terjadi di DAS Ciliwung hulu saat ini, diperkirakan, kelembagaan yang

mengatur tata ruang DAS tidak berfungsi, sehingga terjadi tragedi open access

dimana alih fungsi lahan terjadi tanpa kendali.

Pada era otonomi daerah, keinginan untuk meningkatkan pendapatan asli

daerah (PAD) dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menjalankan fungsi-

fungsi pemerintahan telah mendorong pemerintah daerah mengeksploitasi

sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Menurut Dharmawan (2005), DAS

sebagai suatu sumberdaya yang bersifat CPRs, tidak lagi dijaga secara bersama-

sama akibatnya derajat susceptibility (kerawanan) DAS terhadap terjadinya

“tragedy of the commons” meningkat tajam, sedangkan pada ranah struktural,

otonomi daerah menghadapi persoalan kekosongan ruang kelembagaan.

Dharmawan (2005) menggambarkan persoalan kekosongan ruang kelembagaan

sebagai institutional krisis, sebagai berikut :

a. Ruang-ruang dialog dan ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya

koordinasi antar pemegang otoritas administratif dalam merumuskan kebijakan

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara partisipatif, tidak

terbentuk.

b. Terbatasnya ruang untuk mengkomunikasikan kebijakan menyebabkan tidak

terbangunnya komunikasi partisipatif tentang seberapa dalam derajat

pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah administratif masing-masing

harus dicapai.

c. Ketidakhadiran ruang komunikasi, menyebabkan ketidakcukupan informasi

bagi pemangku otoritas kebijakan lingkungan untuk mengambil keputusan

seberapa dalam derajat eksploitasi sumberdaya alam wilayah masing-masing

dapat ditoleransi.

d. Ketiadaan ruang komunikasi mencapai taraf yang secara ekologis

membahayakan manakala setiap pihak tidak lagi menghiraukan dan tidak ingin

21

mempedulikan kebijakan lingkungan di wilayah administratif tetangganya. Hal

ini akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi tidak terkontrol.

e. Dampak dari kekosongan ruang kelembagaan adalah terjadi kesulitan dalam

mengembangkan proses-proses koordinasi dan komunikasi antar pemerintah

daerah, antar sektor, serta antar beragam kepentingan lainnya

2.4. Metode Interpretative Structural Modelling (ISM)

Interpretative Structural Modelling (ISM) adalah proses analisis

menggunakan komputer yang memungkinkan individu-individu atau kelompok

mengembangkan peta hubungan yang kompleks diantara banyak elemen yang

terlibat dalam situasi yang kompleks. Metode ISM sering digunakan untuk

memberikan pemahaman dasar pada situasi yang kompleks, serta menyusun

tindakan untuk memecahkan masalah. Metode ISM yang dikembangkan oleh

Saxena tahun 1992 (Eriyatno 1999; Marimin 2004), merupakan teknik

permodelan yang memberikan basis analisis program, dimana informasi yang

dihasilkan sangat berguna bagi formulasi kebijakan serta perencanaan strategis

(Eriyatno 1999).

Metode ISM dibagi dalam dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan

klasifikasi sub elemen (Eriyatno dan Sofyar 2006). Metode ISM menganalisis

elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan

langsung antar elemen dan tingkat hierarki (Marimin 2004). Penyusunan tingkat

hierarki berdasarkan pada lima kriteria (Eriyatno 1999) yaitu:

a) Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam dan antar kelompok/tingkat;

b) Frekuensi relatif dari osilasi (guncangan), dimana tingkat yang lebih

rendah lebih mudah terguncang dibandingkan dengan tingkat yang lebih

tinggi;

c) Konteks, dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu

yang lebih lambat;

d) Liputan (containment) dimana liputan yang lebih tinggi mencakup pula

tingkat yang lebih rendah;

22

e) Hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah

lambat yang mempengaruhi peubah cepat di tingkat bawahnya.

Struktur dari sistem hierarki dibutuhkan untuk menjelaskan pemahaman

terhadap perihal yang dikaji. Menurut Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999)

program terdiri dari sembilan elemen yaitu (a)sektor masyarakat yang terpengaruh

program; (b) kebutuhan dari program; (c) kendala utama program; (d) perubahan

yang dimungkinkan; (e) tujuan dari program; (f) tolok ukur untuk menilai setiap

tujuan program; (g) aktivitas yang dibutuhkan untuk perencanaan tindakan; (h)

ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas program;

dan (i) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya setiap

elemen dari program yang dikaji diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen, dan

ditetapkan hubungan kontekstual antar sub-elemen tersebut.

2.5. Model Sistem Dinamik dan Analisis Kebijakan

Penataan kawasan permukiman pada DAS bersifat kompleks dan dinamis.

Untuk itu proses analisisnya harus menyeluruh (holistic) dan berkembang sesuai

dengan waktu. Pendekatan kesisteman merupakan pendekatan untuk

menyelesaikan masalah yang kompleks, dinamis dan probabilistik (Eriyatno 1999)

dan didasarkan pada Cybernetic, holistic dan effectiveness (Kholil 2005).

Pendekatan kesisteman merupakan penerapan sistem ilmiah dalam manajemen,

yang dapat memberikan dasar untuk memahami adanya penyebab ganda dari suatu

masalah dalam kerangka sistem. Melalui pendekatan kesisteman dapat diketahui

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi

(Marimin 2004).

Perilaku sistem dikelompokan menjadi empat (Muhamadi et al. 2001) yaitu :

a. Pembelajaran : perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas kemampuan

sistem untuk menciptakan keluaran berdasarkan proses sebelumnya.

b. Emerjensi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas pemunculan

realitas baru yang tidak terduga dalam sistem.

23

c. Ko-evolusi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas perilaku mikro

mempengaruhi perilaku makro.

d. Non Linieritas: proses perubahan tidak berbanding lurus, non linieritas

merupakan perilaku hasil dari terjadinya kombinasi antara simpal positif dan

simpal negatif, dimana simpal negatif mengalami waktu tunda. Bentuk lain

dari non linieritas adalah random.

Untuk menganalisis berbagai masalah yang bersifat sistemik, rumit, berubah

cepat dan mengandung ketidakpastian dapat dipakai pendekatan kesisteman

menggunakan model dinamik (Muhamadi et al. 2001). Hal tersebut karena sistem

dinamik merupakan proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu

menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari objek

yang menjadi perhatian (Muhamadi et al. 2001). Selain itu, sistem dinamik dapat

digunakan untuk menganalisis struktur sistem fisik, biologi, dan sosial serta dapat

memperlihatkan perilaku dari sistem tersebut; dan menganalisis perubahan

struktur yang terjadi pada salah satu bagian dari sistem yang akan memberikan

efek pada perilaku sistem secara keseluruhan (Martin 1997).

Hasil pengkajian empiris yang dilakukan para pakar terhadap pola perilaku

dinamik, telah teridentifikasi 8 pola dasar perilaku dinamik (Kim dan Anderson

1998; Muhammadi et al. 2001), yaitu :

a) Batas Keberhasilan (Limits to Success): Pada batas keberhasilan, kegiatan

pertumbuhan pada awalnya membawa keberhasilan yang semakin meningkat,

dengan bertambahnya waktu keberhasilan tersebut menyebabkan sistem mencapai

batas sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat. Keberhasilan memicu

munculnya mekanisme pembatasan dan menyebabkan keberhasilan tersebut

menurun. Kecenderungan yang ditunjukkan ditentukan oleh kegiatan pertumbuhan

awal (Gambar 3).

24

Gambar 3. Struktur dan Perilaku Model Batas Keberhasilan (Limits to Success)

b) Perbaikan yang Gagal (Fixes that Fail): Perbaikan yang gagal berawal dari

terjadinya suatu gejala, kemudian dilakukan tindakan cepat, tetapi tanpa

disadari setelah beberapa waktu ternyata menyebabkan gejala tersebut timbul

kembali atau timbul akibat lain yang makin memperburuk gejala tersebut.

Adanya waktu tunda menyebabkan pengaruh dari akibat yang tidak disengaja

tidak disadari, sehingga cara perbaikan yang sama dilakukan secara berulang-

ulang. Kadang-kadang pengaruh negatif dari akibat yang tidak disengaja

bersifat tidak terpulihkan, sehingga pada saat struktur sistem telah mengakar

kuat sulit untuk dipulihkan atau diputar-arahkan (Gambar 4).

Gambar 4. Struktur dan Perilaku Model Perbaikan yang Gagal (Fixes that Fail)

c) Pemindahan Beban (Shifting the Burden) merupakan tindakan pemecahan

masalah secara cepat yang sifatnya sementara, tanpa disadari menimbulkan

efek samping yang dapat memperburuk pemecahan gejala masalah dari pada

Sasaran

NilaiProduktivitas

RB

B

R

25

memecahkan gejala yang sebenarnya. Pemecahan masalah mendasar akan

mencegah gejala masalah muncul kembali (simpal negatif). Akan tetapi setiap

kali diterapkan pemecahan gejala masalah, efek samping semakin menguat dan

kemampuan memecahkan masalah mendasar semakin menurun. Struktur

model baku ini mirip dengan perbaikan yang gagal (Gambar 5).

Gambar 5. Struktur dan Perilaku Model Pemindahan Beban

d) Sasaran yang Berubah (Drifting Goals) adalah suatu keadaan dimana terdapat

perbedaan antara unjuk kerja yang ditargetkan dengan yang dicapai yang

selanjutnya dilakukan tindakan perbaikan (koreksi). Pengaruh dari tindakan

koreksi akan membutuhkan waktu untuk diketahui hasilnya dan tidak selalu

berhasil mencapai target. Model baku sasaran yang berubah mempunyai

beberapa kemugkinan pola perilaku menurut waktu (Gambar 6).

Gambar 6. Struktur dan Perilaku Model Sasaran Yang Berubah

B

B

26

c) Kemajuan dan Kekurangan Modal (Growth and Underinvestment) adalah

keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan

dengan kapasitas pertambahan modal untuk memenuhi kebutuhan. Struktur

model ini bercirikan grafik fungsi waktunya terdiri dari empat variabel yaitu

kebutuhan (jumlahnya), kapasitas (kemampuan menyediakan), pemenuhan

kebutuhan (kebutuhan nyata berdasarkan standar kinerja) dan kapasitas untuk

pemenuhan kebutuhan. Perbedaan antara kebutuhan dan kapasitas saat ini

akan mempengaruhi kebutuhan berikutnya( Gambar 7).

Gambar 7. Struktur dan Perilaku Model Kemajuan dan Kekurangan Modal

d) Sukses bagi yang Berhasil (Success to the Successful adalah keadaan

persaingan untuk meraih sukses. Kondisi awal dimana salah satu pihak

mendapat alokasi sumberdaya lebih banyak dibandingkan pihak lain akan

memberikan lebih banyak keuntungan dan kemungkinan keberhasilan yang

lebih besar. Selanjutnya bagi yang berhasil, terjadi kecenderungan

penempatan sumber daya yang lebih besar, dibandingkan saingannya, agar

dapat terus meningkatkan produksinya. Hal tersebut dapat merebut alternatif

sumberdaya dan kesempatan pihak lain dalam membangun keberhasilan. Tiga

kondisi yang membentuk dinamika model ini yaitu: Kondisi pertama, zero-

sum game dimana satu atau dua alternatif sumberdaya berkompetisi, artinya

kapanpun satu pihak mendapatkan lebih banyak sumberdaya, maka pihak lain

akan mendapat lebih sedikit. Kondisi kedua, penyimpan sumberdaya lebih

banyak maka pihak tersebut akan mempunyai peluang untuk lebih sukses.

Kondisi ketiga, dengan mengurangi alokasi sumberdaya pada salah satu pihak,

27

maka peluang pihak tersebut untuk mencapai keberhasilan akan berkurang

(Gambar 8).

Gambar 8. Struktur dan Perilaku Model Sukses Bagi yang Berhasil.

e) Eskalasi ( Escalation): Ekskalasi adalah kondisi dimana ada dua pihak yang

terlibat dalam suatu persaingan, dimana masing-masing saling bereaksi

terhadap pihak yang lain. Tindakan yang dilakukan satu pihak (A) untuk

menanggulangi ancaman yang muncul, akan dirasakan pihak yang lain (B)

sebagai ancaman baginya karena menyebabkan ketidakseimbangan dalam

sistemnya. Pihak lain (B) akan bereaksi dengan bertindak mengurangi

ancaman tersebut dengan mengurangi kesenjangan, yang berdampak pada

terjadinya ketidakseimbangan di pihak A. Selanjutnya pihak A akan kembali

bertindak mengurangi kesenjangan, dan berdampak kembali pada pihak B.

Kejadian tersebut akan terus berulang. Situasi ini dapat berakhir baik apabila

kedua pihak berkompetisi untuk mendapatkan hasil terbaik, atau menjadi

buruk bagi keduanya apabila keadaan tersebut makin meningkatkan tekanan

pada kedua belah pihak (Gambar 9).

Gambar 9. Struktur dan Perilaku Model Eskalasi

28

f) Kesulitan Bersama (Tragedy of the Commons) adalah kondisi dimana terdapat

dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama menggunakan sumberdaya

yang terbatas, untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi-masing-

masing, yang berakhir dengan kesulitan bersama. Model ini didasarkan pada

struktur batas keberhasilan. Masing-masing pihak yang terlibat berpikir

mereka dapat mengeksploitasi sumberdaya untuk kepentingan dan keuntungan

masing-masing. Model ini mempunyai tiga pola perilaku kecenderungan

terhadap waktu. Perilaku pertama, mewakili variabel aktivitas total. Perilaku

kedua mewakili variabel sumberdaya alam (SDA). Perilaku ketiga mewakili

variabel pendapatan per aktivitas. Pembentukan model melalui tiga fase yaitu:

fase stabil, dimana peningkatan aktivitas tidak menimbulkan penurunan SDA

dan pendapatan; fase penurunan SDA dan pendapatan sedikit secara bertahap;

fase penurunan SDA secara cepat akibat masing-masing pihak berlomba

mengkonsumsi sumberdaya dalam jumlah besar. Pada awalnya keuntungan

per aktivitas individu meningkat, namun pada saat sumberdaya mengalami

penurunan maka keuntungan tersebut mengalami penurunan hingga mencapai

titik terendah (Gambar 10).

Gambar 10. Struktur dan Perilaku Model Kesulitan Bersama

Perilaku dinamis dari model dapat dikenali dari hasil simulasi model.

Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan

untuk memahami, membuat analisis, meramalkan gejala atau proses dimasa depan

(Muhamadi et al. 2001). Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan

yaitu pengembangan kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif.

29

Pengembangan kebijakan dilakukan dengan cara model tetap atau model di ubah.

Model diubah dengan dua cara yaitu melalui perubahan unsur, dan melalui

perubahan struktur (Muhammadi et al. 2001). Tahap-tahap yang dilakukan pada

simulasi adalah (Muhamadi et al. 2001):

(a) Tahap penyusunan konsep: pada tahap ini gejala atau proses yang akan

ditiru harus dipahami dengan cara menentukan unsur-unsur yang berperan

dalam gejala atau proses tersebut;

(b) Tahap pembuatan model: pada tahap ini model merupakan suatu bentuk

yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses.

(c) Tahap simulasi: pada tahap ini dilakukan simulasi pada model yang

dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukan

data kedalam model, untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.

(d) Tahap validasi hasil simulasi: pada tahap ini dilakukan validasi untuk

mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses

yang ditirukan. Model dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan

hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan, kecil.

2.6 Validasi Model Kebijakan

Validasi model merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menilai

kesesuaian antara keluaran dari model matematik dengan keluaran dari sistem

nyata atau untuk memeriksa kesesuaian antara perilaku model matematik dengan

perilaku sistem yang diwakili (Eryatno dan Sofyar 2007). Teknik validasi yang

dapat digunakan untuk memvalidasi model kebijakan, secara objektif dan subjektif

adalah (Eryatno dan Sofyar 2007): (a) animasi, (b) membandingkan dengan

metoda lain, (c) degenerate tesis, (d) validitas peristiwa, (e) test untuk kondisi

yang ekstrem, (f) validitas muka, (g) nilai tetap, (h) validasi sejarah dari data, (i)

metode sejarah ,(j) validitas internal, (k)validasi bertingkat, (l)grafik operasional,

(m) variabilitas parameter, (n) analisis sensitivitas, (o) validasi perkiraan, (p)

traces, (q) turing test.

30

Validasi produk kebijakan dapat dilakukan melalui uji pendapat pakar atau

studi banding terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan

(Eryatno dan Sofyar. 2007). Menurut Vennix (1997) Semakin banyak variasi tes

validitas yang digunakan, hasilnya akan semakin baik, akan tetapi yang pertama

harus dilakukan adalah mengecek kekonsistenan penggunaan satuan (dimensi),

dan yang terpenting sebelum model digunakan sebaiknya didiskusikan dengan

pengguna untuk mengecek seberapa besar respon mereka terhadap proses

konstruksi model.

Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan cara membandingkan output

model dengan data empiris. Selain itu juga digunakan face validity untuk menguji

output model yang sulit dibandingkan dengan data empiris karena bersifat

prediksi ke masa depan, contohnya partisipasi masyarakat di masa yang akan

datang.

2.7 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan di DAS Ciliwung hulu, maupun

hasil penelitian yang relevan terkait dengan DAS, permukiman dan kawasan

resapan air secara garis besar dapat dikelompokan menjadi :

a. Penelitian yang bertujuan mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan

terhadap kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu menggunakan berbagai

model yaitu : HEC-1, Answers, Regresi, dan Indeks konservasi,

b. Penelitian yang bertujuan mengelola kawasan di DAS Ciliwung hulu yaitu

mengelola kawasan rekreasi alam dengan konsep daya dukung DAS.

c. Penelitian yang bertujuan mengkaji kesesuaian pemanfaatan lahan DAS

Ciliwung hulu dengan berbagai kriteria yaitu: kriteria kesesuaian lahan

untuk komoditi pertanian dan kriteria kesesuaian kawasan untuk kawasan

lindung, menggunakan Sistem informasi geografis (SIG) dan remote

sensing; Automatic land evaluation system (ALES), Multi criteria dimention

model (MCDM).

31

d. Penelitian yang bertujuan mengkaji posisi, peran dan pengembangan

kelembagaan di DAS Ciliwung.

e. Penelitian yang bertujuan mengkaji pemanfaatan ruang terhadap rencana

tata ruang menggunakan metode SIG, Location quotient dan shift and share

serta model dinamik di wilayah Jabotabek.

f. Penelitian yang bertujuan mengkaji aspek hukum dari pembangunan

perumahan di kawasan resapan air.

Berdasarkan penelusuran pada hasil-hasil penelitian tersebut, belum

ditemukan penelitian yang bertujuan mengelola kawasan permukiman

berkelanjutan di DAS Ciliwung hulu dengan menggunakan model sistem dinamik

yang menggabungkan hard system (GIS) dengan soft system (ISM dan MDS)

menjadi model dinamik. Keluaran hasil penelitian berupa alokasi dan distribusi

permukiman secara spatial dilengkapi dengan skenario kebijakan penataan

permukiman. Selanjutnya ringkasan hasil peneltian terdahulu tersebut disajikan

pada Tabel 2.

32

Tabel 2 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Peneliti , Tahun dan Judul Konsep dan Metoda Hasil

1. Singgih Irianto tahun 2000: Kajian HidrologiDAS Ciliwung

Menggunakan model HEC-1 untukmembuat simulasi perubahanpenggunaan lahan.

Hasil simulasi menunjukkan terjadi peningkatan kontribusi DAS Ciliwunghulu terhadap banjir Jakarta dari 43,2%(1981) menjadi 50,7%(1999).Penelitian ini tidak menghitung alokasi optimal pemanfaatan lahan danlokasi penyebarannya.

2. .Sugiharto tahun 2001: ArahanPemanfaatan Lahan Untuk KegiatanPermukiman Berdasarkan AnalisisKesesuaian Lahan dan Penilaian KualitasSub Daerah Aliran Sungai (Sub-Das). Studikasus: Sub DAS Cileunyi, kabupatenBandung).

Metode analisis kualitatifmenggunakan kriteria kesesuaianlahan dan analisis kuantitatif melaluiukuran fluktuasi debit aliran dantingkat erosi tanah.

Hasil analisis mengindikasikan bahwa tidak seluruh kawasan di sub DASCileunyi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan permukiman sehinggaarahan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pemukiman di kawasan inidilakukan dengan prioritas. Penelitian ini tidak merancang modelpengelolaan.

3. Bappeda Prov DKI Jakarta dan LP-IPB tahun2002 : Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek

Alat yang digunakan untuk analisisadalah GIS, Location Quotient, shiftand share.

Di Jabodetabek telah terjadi alih fungsi lahan, serta pemanfaatan lahanbelum optimal karena banyak yang belum sesuai RTRW. Penelitian initidak membuat alokasi optimal permukiman, khususnya di KabupatenBogor sebagai wilayah resapan air.

4. Isman Kadar tahun 2003 : Pengaruh RTRWKab Bogor Terhadap Konservasi Air danPenerimaan Daerah

Alat yang digunakan untukmenganalisis adalah model dinamisdengan menggunakan software Stella

Apabila pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor sesuai RTRW, maka akanterjadi peningkatan debit puncak aliran permukaan di DAS Ciliwung dankenaikan penerimaan daerah. Studi ini hanya menghitung komposisioptimal penggunaan lahan, tanpa melihat bagaimana alokasi danpengendaliannya.

5 Nana M. Arifjaya dan Lilik B Prasetyo tahun2004 : .Dampak Perubahan Lahan TerhadapPerubahan Aliran Permukaan di SetiapKecamatan di DAS Ciliwung Hulu

Metoda analisis yang digunakanadalah GIS

Perlu perbaikan daerah hulu Sungai Ciliwung, untuk menanggulangibanjir. Penelitian hanya menunjukkan indikasi rusaknya DAS hulu tidakmembuat lokasi dan alokasi pemanfaatan ruangnya.

6. Laela Qodariah, Nana Mulyana Arifjaya, IbnuMaryanto, 2004 : Analisis Curah hujan, Erosidan sedimentasi Akibat Perubahan Tata GunaLahanDi Sub DAS Ciliwung HuluMenggunakan Simulasi Answers

Metoda Answers Simulasi menghasilkan beberapa skenario penggunaan lahan padakejadian hujan maksimum. Hasil simulasi menunjukan skenario dengankomposisi pengunaan lahan optimal adalah hutan 54,1 %, Teh seluas23 %, tanaman semusim 12,8 %, permukiman 9,7 %. Komposisipenggunaan lahan seperti itu mampu menurunkan laju erosi sebesar64,3 % ,sedimen menurun 59% dan debit puncak 2,04 mm/detik dan

33

Peneliti , Tahun dan Judul Konsep dan Metoda Hasil

jumlah aliran permukaan sebesar 8,2 mm.. Penelitian ini hanyamembahas alokasi pemanfaatan ruang tidak membahas penyebarannyasecara ruang.

7. Qodarian Pramukanto tahun 2004 : StrategiPengelolaan Rekreasi Alam BerdasarkanDaya Dukung Kawasan: Studi Kasus DaerahTangkapan Air Cisampay Sub DAS Ciliwunghulu

Menggunakan konsep daya dukungdan daya tampung lingkungan

Kajian membahas lokasi dan alokasi kawasan rekreasi alamberdasarkan kapasitas rancangan potensialnya dan menghitung dayatampungnya.

8. Arwin Sabar tahun 2004 : Kajian AspekHidrologi, Tata Guna Lahan dan KonservasiSumberdaya Air di Kawasan Bopunjur

Menggunakan Konsep konservasisumberdaya air yaitu IndeksKonsevasi Alami(Ika)

Beban limpasan air akbat konversi lahan di kawasan Bopunjur menjadipermukiman dapat dikendalikan dengan mengembalikan fungsi hidrologikawasan sesuai dengan azas konservasi air dimana indeks konservasiaktual > indeks konservasi alami dihitung berdasarkan daya dukunglingkungan setempat. Pelestarian air tanah dikawasan permukiman dapatdilakukan dengan membuat bidang resapan, sumur resapan dan wadukresapan.

9. Chendy Tafakresnanto dan Wahyu Widionotahun 2004 : Kajian Pemanfaatan Lahan DASCiliwung dan Cisadane

Menggunakan kriteria kesesuaianlahan untuk komoditi pertanian denganperangkat lunak ALES.

Kajian menghasilkan rincian arahan fungsi pemanfaatan lahan di DASCiliwung hulu untuk kegiatan pertanian.

10 Muhajirin tahun 2004 : Kebijakan PemdaKabupaten Dalam PengendalianPembangunan Perumahan Di kawasanResapan Air Bandung Utara

Metoda pendekatan yang digunakanadalah analisis komparasi terhadapperaturan perundangan dan analisisdeskriptif

Penelitian menunjukkan faktor pendorong yang berpengaruh terhadappembangunan perumahan : pertumbuhan penduduk, nilai lahan,konsistensi penerapan kebijakan/peraturan perundangan, kelembaga an,dan daya beli masyarakat. Faktor pembatas perkembangan permukiman:kondisi fisik (jenis tanah, kelerengan, bencana alam). Penelitian ini hanyamengevaluasi kebijakan perijinan pembangun, tidak membuat strategipengendalian tata ruang.

11. Sabri tahun 2004 : Analisis Alih FungsiLahan Menggunakan Penginderaan Jauhdan Kesediaan Membayar di Sub DASCiliwung Hulu Jawa Barat

Metoda pendekatan :ContingentValuation Method , analisis kesediaanmembayar dan analisis persepsi. Alatyang digunakan adalah GIS, remotesensing, skala likert, dan SPSS.

Penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan luas kawasan terbangundan menurunnya luas kawasan yang berfungsi sebagai resapan, cukupbesarnya kesediaan masyarakat membayar iuran konservasi dan luaskawasan terbangun yang dikenai iuran konservasi. Penelitian ini tidakmenata kawasan terbangun/ permukiman maupun membuat modelkelembagaan.

34

Peneliti , Tahun dan Judul Konsep dan Metoda Hasil

12. Apik Karyana tahun 2005 : Analisis Posisi,Peran Kelembagaan dan PengembanganKelembagaan DAS: Studi Kasus Di DASCiliwung)

Metoda Pendekatan: KonsepParticipatory Rural Appraisal (PRA),Metoda Importance PerformanceAnlysis(IPA), dan LearningOrganization(LO)

Penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi masih lemah,yang berakibat pada lemahnya law enforcement, dan berdampak padapenataan ruang DAS Ciliwung. Penelitian yang dilakukan tidak membuatoptimasi penataan ruang permukiman. Model institusi yang disarankanadalah untuk pengelolaan DAS Ciliwung yang disebut Badan LayananUmum Pengelola DAS Ciliwung..

13 Hikmat Lukman tahun 2006 : KajianHidrologi DAS Ciliwung Hulu

Menggunakan metoda regresi linieruntuk menghitung debit limpasan sertabase flow

Selama 1993 sampai 2002 trend debit aliran limpasan cenderung naik ,sedangkan trend base flow menurun, hal tersebut menunjukkanterjadinya kerusakan lahan di DAS. Penelitian haanya membahas kondisihidrologi DAS tidak membahas pemanfaatan ruang .

14. Syartinilia, HS. Arifin, LB Prasetyo, S.Tsuyuki tahun 2006 Identification ofPotensial Protection Area Using GIS andRemote Sensing, A Case Study in The UpperStream of Ciliwung Watershed of West Java,Indonesia

Alat analisis yang digunakan adalahMulti Citeria Decision Making (MCDM)dan GIS

Meneliti wilayah yang perlu dilindungi dengan menggunakan kriteriakawasan lindung untuk Rencana Tata Ruang Bopunjur. Hasil analisisdiperbandingkan dengan RTRW Kabupaten Bogor. Penelitian yangdilakukan tidak membuat optimasi pemanfaatan lahan untukpermukiman, hanya menyediakan informasi dasar bagi perencanaanpenggunaan lahan.