II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patirepository.ub.ac.id/3498/3/BAB 2.pdf · sukrosa dan selulosa. Dari...

15
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pati Pati merupakan polisakarida alami yang melimpah, yang jumlahnya menandingi selulosa di muka bumi. Pati ditemukan pada daun tanaman dan buah-buahan, serta pada batang, akar, dan umbi kebanyakan tanaman. Pati merupakan produk akhir fotosintesis dan berperan sebagai bentuk penyimpanan kimiawi energi matahari di bumi. Persentase energi yang tinggi tersedia untuk organisme non-fotosintesis berasal dari pati, yaitu yang ditemukan pada tanaman pangan utama dunia, seperti gandum, kentang, beras, jagung, barley, gandum hitam, kacang-kacangan, kacang polong, sorgum, singkong, nanas, pisang, dan sebagainya (Robyt, 2008). Pati merupakan satu dari tiga bahan biorenewable utama yang ditemukan di Bumi, selain sukrosa dan selulosa. Dari ketiganya, pati saat ini adalah komponen yang paling penting karena sangat berlimpah dan mudah diisolasi dalam bentuk yang sangat murni, serta relatif mudah dilarutkan dan dihidrolisis secara enzimatik menjadi glukosa dan/atau produk maltodekstrin yang berbeda, atau dimodifikasi secara kimia. Oleh karena itu, pati adalah produk alami yang dapat digunakan secara biorenen, yang banyak digunakan di industri, seperti pembentukan sirup glukosa, sirop fruktosa tinggi, maltodekstrin, siklomaltodekstrin, D-glukitol (D-sorbitol), pembentukan etanol, asam asetat, asam D-laktat, dan senyawa organik lainnya dengan fermentasi (Robyt, 2008). Pati tersusun atas amilosa dan amilopektin. Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16 buah, yang terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Herawati, 2011). Granula pati memiliki inti biologis di sekitar granul yang biasa disebut hilum. Hilum dapat berbentuk konsentris atau eksentris, tergantung pada sumber tanamannya (Dziedzic dan Kearsley, 2012). Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6000 unit glukosa, bergantung pada sumbernya (Herawati). Amilosa terdapat pada daerah amorf pati. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa amilosa merupakan polimer glukosa lantai lurus dengan struktur heliks, walaupun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa mungkin saja terdapat percabangan dengan jumlah yang sangat kecil (Dziedzic dan Kearsley, 2012). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula pati letaknya tidak pada satu tempat, tetapi bergantung pada jenis pati. Umumnya amilosa

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patirepository.ub.ac.id/3498/3/BAB 2.pdf · sukrosa dan selulosa. Dari...

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pati

Pati merupakan polisakarida alami yang melimpah, yang jumlahnya menandingi selulosa

di muka bumi. Pati ditemukan pada daun tanaman dan buah-buahan, serta pada batang, akar,

dan umbi kebanyakan tanaman. Pati merupakan produk akhir fotosintesis dan berperan sebagai

bentuk penyimpanan kimiawi energi matahari di bumi. Persentase energi yang tinggi tersedia

untuk organisme non-fotosintesis berasal dari pati, yaitu yang ditemukan pada tanaman pangan

utama dunia, seperti gandum, kentang, beras, jagung, barley, gandum hitam, kacang-kacangan,

kacang polong, sorgum, singkong, nanas, pisang, dan sebagainya (Robyt, 2008).

Pati merupakan satu dari tiga bahan biorenewable utama yang ditemukan di Bumi, selain

sukrosa dan selulosa. Dari ketiganya, pati saat ini adalah komponen yang paling penting karena

sangat berlimpah dan mudah diisolasi dalam bentuk yang sangat murni, serta relatif mudah

dilarutkan dan dihidrolisis secara enzimatik menjadi glukosa dan/atau produk maltodekstrin yang

berbeda, atau dimodifikasi secara kimia. Oleh karena itu, pati adalah produk alami yang dapat

digunakan secara biorenen, yang banyak digunakan di industri, seperti pembentukan sirup

glukosa, sirop fruktosa tinggi, maltodekstrin, siklomaltodekstrin, D-glukitol (D-sorbitol),

pembentukan etanol, asam asetat, asam D-laktat, dan senyawa organik lainnya dengan

fermentasi (Robyt, 2008).

Pati tersusun atas amilosa dan amilopektin. Pada struktur granula pati, amilosa dan

amilopektin tersusun dalam suatu cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16

buah, yang terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Herawati, 2011).

Granula pati memiliki inti biologis di sekitar granul yang biasa disebut hilum. Hilum dapat

berbentuk konsentris atau eksentris, tergantung pada sumber tanamannya (Dziedzic dan

Kearsley, 2012).

Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Derajat

polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6000 unit glukosa, bergantung pada sumbernya

(Herawati). Amilosa terdapat pada daerah amorf pati. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa

amilosa merupakan polimer glukosa lantai lurus dengan struktur heliks, walaupun ada pendapat

lain yang mengatakan bahwa mungkin saja terdapat percabangan dengan jumlah yang sangat

kecil (Dziedzic dan Kearsley, 2012). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula

pati letaknya tidak pada satu tempat, tetapi bergantung pada jenis pati. Umumnya amilosa

5

terletak di antara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling di antara

daerah amorf dan kristal (Herawati, 2011). Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Sruktur amilosa (Dziedzic dan Kearsley, 2012)

Amilopektin merupakan polimer dengan ikatan α-1,4 glikosidik dan rantai samping α-1,6

glikosidik. Dalam suatu molekul pati, ikatan α-1,6 glikosidik ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar

antara 4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat

banyak dengan derajat polimerisasi 105 − 3x106 unit glukosa (Herawati, 2011). Rantai samping

dari rantai utama memiliki panjang 20 – 30 unit glukosa. Amilopektin memiliki struktur yang tidak

seragam, daerah percabangan tinggi dan keteraturan yang relatif. Granula pati memiliki daerah

kristalin dan amorf dimana amilopektin terdapat pada kedua daerah tersebut (Dziedzic dan

Kearsley, 2012).

Ketika dipanaskan dalam air, amilopektin akan membentuk lapisan yang transparan, yaitu

larutan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Pada

amilopektin cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada

konsentrasi tinggi (Herawati, 2011). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur amilopektin (Dziedzic dan Kearsley, 2012)

Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan secara luas juga

dipergunakan dalam industri seperti kertas, lem, tekstil, lumpur pemboran, permen, glukosa,

dekstrosa, sirup fruktosa, dan lain-lain (Indra dan Galih, 2010). Akan tetapi pati alami memiliki

banyak kelemahan, yaitu dapat menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan

6

membentuk gel yang tidak seragam (konsisten), tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, tidak

tahan pada kondisi asam, tidak tahan proses mekanis, dan kelarutannya terbatas di dalam air.

Hal tersebut menyebabkan penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai, baik

selama proses maupun penyimpanan. Pada pembuatan saus, jika digunakan pati alami sebagai

pengental maka akan terjadi penurunan kekentalan saus selama penyimpanan yang disebabkan

oleh hidrolisis pati (Kusnandar, 2010).

2.2 Garut

Garut (Marantha arundinacea) merupakan jenis umbi komoditas lokal Indonesia. Tanaman

ini tumbuh khususnya pada bagian rimpang yang dimanfaatkan untuk produksi tepung dan pati.

Garut merupakan sumber pati yang sangat baik (>85%) yang akhir-akhir ini dimanfaatkan pada

industri makanan untuk pembuatan biskuit dan pengental dan/atau stabilizer. Selain itu garut juga

diaplikasikan pada industri perekat tekstil (Arranz et al., 2015).

Garut merupakan tanaman herba berbatang lunak tegak dengan tinggi mencapai 40 – 100

cm, berbatang tipis, biasanya bercabang banyak 6oroner ujung, berdaun keras dan bercabang.

Tanaman ini memiliki rimpang berdaging, berbentuk silinder, berwarna putih atau kemerahan

(Hidayat dan Rodame, 2015). Garut secara turun-temurun telah dikonsumsi oleh masyarakat di

beberapa daerah di Indonesia, namun pengolahannya menjadi pangan fungsional masih

terbatas. Padahal dengan kadar serat pangan yang cukup tinggi (9,78%), umbi ini mempunyai

potensi mencegah beberapa penyakit 6oroner6tive, termasuk penyakit jantung 6oroner, melalui

mekanisme penurunan kolesterol dalam darah (Faridah et al., 2014).

Gambar 2.3 Tanaman garut (Reddy, 2015)

7

Garut telah lama diketahui sebagai tanaman penghasil rimpang yang dapat dijadikan

panganan seperti halnya singkong dan ubi jalar. Umbi garut telah dicanangkan pemerintah

sebagai salah satu komoditas bahan pangan yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan

atau dibudidayakan karena memiliki potensi sebagai pengganti tepung terigu. Aplikasi teknologi

yang sederhana dapat meningkatkan nilai tambah dari umbi garut (Kusmiyati, 2013).

Isyanti (2013) menyebutkan tingkatan takson tanaman garut adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingerbales

Marga : Maranta

Jenis : Maranta arundinacea Linn

Umbi garut merupakan sumber karbohidrat yang sebagian besar karbohidrat penyusunnya

adalah pati. Kandungan karbohidrat tepung garut per 100 gram bahan diketahui lebih tinggi

(85,2%) daripada tepung beras giling (78,99%) dan tepung terigu (77,3%). Umbi garut memiliki

kandungan protein dan lemak yang relatif lebih rendah (Isyanti, 2013). Komposisi komponen

kimia tepung garut menurut Faridah et al. (2014) ditunjukkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.1 Komponen kimia pati garut

Komponen Kadar (%)

Air 11,84 Abu 0,34 Protein 0,24 Lemak 0,68 Karbohidrat 98,74

Sumber: (Faridah et al., 2014)

Tabel 2.2 Komposisi dan karakteristik fungsional pati garut

Parameter Kadar (%)

Daya cerna pati 84,35 Pati 98,10 Amilosa 24,64 Amilopektin 73,46 Pati resisten 2,12 Gula pereduksi 4,96

Sumber: (Faridah et al., 2014)

Pati garut merupakan polimer karbohidrat yang disusun dalam tanaman garut oleh interaksi

antarmolekul protein pembentuk gluten, yaitu dengan ikatan hidrogen dan ikatan sulfida maupun

ionik. Pati garut mudah dicerna, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau

8

makanan bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga dapat dijadikan

sebagai makanan bagi anak yang menyandang penyakit autis dan makanan diet abgi orang tua

lanjut usia dan pasien yang dalam masa penyembuhan. Disamping bahan pangan, pati garut juga

digunakan sebagai bahan baku non-pangan, seperti digunakan di Industri kosmetik, lem, alkohol,

dan tablet yang diinginkan bersifat mudah larut. Pati garut memiliki granula yang berbentuk oval

dan memiliki profil gelatinisasi tipe A. Suhu awal gelatinisasi pati garut berada pada 76,3 ºC

(Faridah et al., 2014).

9

2.3 Modifikasi Pati

Dalam dunia perdagangan dikenal dua macam pati yaitu pati yang belum dimodifikasi dan

pati yang telah dimodifikasi. Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah

lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan merubah struktur

asalnya. Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik

untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya maupun

sifat-sifat lain yang diinginkan. Sifat-sifat penting yang diinginkan dari pati termodifikasi (yang

tidak dimiliki oleh pati alami) diantaranya yaitu kecerahannya lebih tinggi (pati lebih putih),

retrogradasi yang rendah, kekentalannya lebih rendah, gel yang terbentuk lebih jernih, tekstur gel

yang dibentuk lebih lembek, kekuatan regang yang rendah, granula pati lebih mudah pecah,

waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah

lebih rendah (Koswara, 2009). Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali,

zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau

perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan tiga

cara, yaitu secara fisika, kimia, dan enzimatis. Setiap metode modifikasi pati menghasilkan pati

termodifikasi dengan sifat yang berbeda-beda. Pemilihan metode modifikasi pati disesuaikan

dengan sifat akhir pati yang dikehendaki (Pudjihastuti dan Siswo, 2014).

2.3.1 Metode Fisika

Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor antara lain suhu, tekanan,

pemotongan dan kadar air pada pati. Granula pati dapat di ubah secara parsial maupun total.

Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan (Herawati, 2011). Untuk metode

tanpa pemanasan, dapat diterapkan teknologi pulsed electric field (PEF). Pada metode ini

destruksi dan perancangan ulang molekul pati diamati seiring penurunan sifat gelatinisasi,

viskositas, dan kristalinitas (Kaur et al., 2012). Modifikasi pati secara fisik tidak melibatkan

penggunaan bahan kimia sehingga pati yang dihasilkan lebih aman dan proses modifikasi relatif

lebih mudah (Collado et al., 2001). Modifikasi pati metode fisika meliputi perlakuan tekanan

osmosis, deep freezing, dry heating, multiple deep freezing and thawing, dan superheated (Kaur

et al., 2012).

2.3.2 Metode Kimia

Modifikasi Pati secara kimia melibatkan sejumlah bahan kimia ke dalam pati. Bahan kimia

yang ditambahkan dapat berupa asam, basa, garam, maupun unsur halogen. Modifikasi pati

10

secara kimia yang sering dilakukan antara lain hidrolisis asam, ikatan silang, substitusi, atau

kombinasi ikatan silang dan substitusi.

a. Hidrolisis asam

Pati dapat dikonversi dengan cara menghidrolisis suspensi pati secara terkendali dengan

menggunakan asam dan pemanasan. Beberapa bagian dari ikatan glikosidik pati akan

mengalami pemutusan dengan perlakuan asam sehingga dapat dihasilkan molekul pati yang

lebih pendek. Hal ini mengakibatkan sifat kemampuan gelatinisasi pati menurun sehingga akan

dihasilkan pati dengan viskositas yang lebih rendah pada saat pemasakan. Dengan demikian,

konsentrasi pati yang dapat digunakan dalam proses pengolahan dapat lebih besar. Pati akan

lebih larut dengan viskositas yang lebih rendah tetapi dapat menghasilkan struktur gel yang lebih

kuat. Pati yang dimodifikasi dengan hidrolisis asam terutama digunakan apabila diinginkan

konsentrasi pati yang tinggi dan membentuk gel yang baik tetapi tidak diinginkan pati mengalami

pengentalan yang berlebihan. Pati jenis ini dapat digunakan dalam proses pembuatan permen

sebagai pengganti gum arab (Kusnandar, 2010).

b. Cross-linking

Metode modifikasi pati ini dilakukan dengan mereaksikan pati dengan reagen bi- atau

polifungsional seperti sodium trimetafosfat, fosforus oksiklorida, atau epikloridin sehingga dapat

membentuk ikatan silang pada molekul pati. Karakteristik dari pati ikatan silang adalah suhu

gelatinisasi pati menjadi meningkat, pati tahan pada pH rendah dan pengadukan (Indra dan Galih,

2010).

Metode ikatan silang bertujuan menghasilkan pati yang tahan tekanan mekanis, tahan

asam dan mencegah penurunan viskositas pati selama pemasakan (Indra dan Galih, 2010). Pada

modifikasi pati metode ikatan silang, gugus OH- pada pati diganti dengan gugus eter, gugus ester,

atau gugus fosfat. Contoh reagen ikatan silang yaitu monosodium fosfat (MSP), sodium

trimetafosfat (STMP), sodium tripolifosfat (STPP), epichlorohydrine, phosphoryl chloride, dan

glutaraldehida (Teja et al., 2008).

Gambar 2.4 Reaksi ikatan silang pati (Teja, 2008)

Pada modifikasi ikatan silang, rantai lurus atau bercabang pada pati saling berikatan secara

kovalen membentuk ikatan silang. Reagen yang digunakan membentuk ikatan eter atau ester

11

dengan grup hidroksil pada molekul pati. Modifikasi ini meningkatkan rigiditas polimer dengan

membentuk jaringan tiga dimensi. Ikatan silang pada pati meningkatkan derajat polimerisasi berat

molekul dan kelarutan. Modifikasi ini juga menjadikan pati larut pada pelarut organik (Alay dan

Maria, 2015).

Menurut Alay dan Maria (2015) sumber pati serta metode dan parameter yang digunakan

pada modifikasi ikatan silang memiliki pengaruh penting pada sifat akhir produk. Karakteristik pati

yang dipengaruhi oleh modifikasi ikatan silang yaitu kejernihan pasta dan kapasitas

pengembangan. Keduanya memiliki keterkaitan dimana penurunan pengembangan

menyebabkan penurunan kejernihan pasta. Derajat ikatan silang juga menurunkan kadar air,

lipid, dan protein.

Pati ikatan silang dari fosfat digunakan untuk beberapa aplikasi, seperti pengental makanan

dan agen pembentuk gel, stabilizer makanan, dan bahan tambahan makanan lainnya (Horton,

2004).

Aplikasi utama pati ikatan silang, terutama pati terfosforilasi, yaitu untuk digunakan sebagai

modifier makanan. Fungsi lainnya yaitu sebagai enkapsulator untuk flavor dan aroma makanan.

Pati monosodium fosfat (MSP) dilaporkan sesuai untuk diaplikasikan pada makanan dengan

mempertimbangkan kenampakan, higroskopisitas, transparansi larutan, pengembangan,

emulgasi, dan kecenderungan retrogradasi. Dari sekian banyak pati fosfat, pati yang berasal dari

tapioka merupakan yang paling stabil. Karakteristik pengentalan dari pati MSP dapat dimodifikasi

melalui interaksi dengan lipid yang dapat memproduksi gel yang sangat kaku (Horton, 2004).

c. Substitusi

Modifikasi pati dapat dilakukan dengan mensubstitusi beberapa gugus -OH pada molekul

amilosa atau amilopektin dengan senyawa pensubstitusi sehingga dihasilkan ester pati. Di antara

senyawa yang dapat digunakan adalah senyawa asetat, suksinat, fosfat, hidroksipropil, dan

oktenil suksinat. Tujuan utama dari modifikasi dengan substitusi adalah untuk menghambat laju

retrogradasi pati yang disebabkan oleh terhambatnya pembentukan ikatan hidrogen dari molekul

amilosa dan amilopektin oleh gugus ester yang terbentuk (kusnandar, 2010).

Gambar 2.5 Reaksi asetilasi (substitusi) pati (Teja, 2008)

12

Pati yang dimodifikasi dengan substitusi juga mengalami penurunan suhu gelatinisasi,

peningkatan viskositas, memiliki kemampuan mengikat air lebih tinggi dan menghasilkan pasta

yang lebih jernih. Dibandingkan dengan pati ikatan silang, pati substitusi masih mengalami

penurunan viskositas selama proses pemanasan (tidak stabil oleh pemanasan) dan kurang tahan

oleh kondisi asam. Pati ini dapat digunakan untuk produk-produk pangan yang dibekukan yang

menggunakan bahan pembentuk gel atau pengisi (Kusnandar, 2010).

Pada modifikasi substitusi menggunakan asetat, gugus asetil menurunkan resistensi ikatan

antar molekul pati. Gugus asetil akan bereaksi dengan gugus hidroksil yang terdapat pada rantai

bercabang pada polimer pati untuk menghasilkan ester spesifik. Modifikasi ini dilakukan dengan

menambahkan senyawa asetat seperti asam asetat atau vinyl asetat (Alay dan Maria, 2015).

Pati asetat meningkatkan kapasitas pengembangan dan kelarutan dibanding pati alami.

Keberadaan ikatan hidrogen pada pati asetat terbatas dikarenakan gaya tolak elektrostatis pada

molekul pati. Pati asetat dengan derajat substitusi rendah (0,01-0,2) memiliki manfaat untuk

diaplikasikan sebagai pembentuk film, pengental, stabilizer, dan gen enkapsulasi. Modifikasi

dengan asetat ini menyebabkan modifikasi pada granula pati, menurunkan kecenderungan

retrogradasi, serta meningkatkan kapasitas pengembangan, kelarutan, dan kejernihan pasta

(Alay dan Maria, 2015).

d. Kombinasi ikatan silang dan substitusi

Untuk mengoptimalkan sifat dan karakteristik pati yang dihasilkan, dapat dilakukan

modifikasi pati dengan metode ganda, yaitu ikatan silang dan substitusi. Pati ikatan silang dapat

menghasilkan pati yang tahan terhadap suhu tinggi, pengadukan dan pengasaman, tetapi tidak

mampu menghambat laju retrogradasi. Sedangkan pati substitusi hanya mampu menghambat

laju retrogradasi. Untuk menghasilkan pati dengan sifat-sifat yang diinginkan tersebut, maka

dapat dilakukan modifikasi ganda ikatan silang dan substitusi. Proses modifikasi dilakukan

dengan modifikasi pati substitusi gugus -OH pada molekul pati, kemudian dilanjutkan dengan

reaksi ikatan silang dengan senyawa polifosfat. Pati yang dimodifikasi dengan metode ganda

ikatan silang dan substitusi tersebut telah tersedia secara komersial, di antaranya dapat

diaplikasikan pada produk saus (Wattanachant et al, 2003). Pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Maulani et al. (2012) berjudul Sifat Fungsional Pati Garut Hasil Modifikasi

Hidroksipropilasi dan Taut Silang, pati garut dimodifikasi menggunakan propilen oksida dan

garam fosfat yang terdiri dari STMP dan STPP. Hasil dari penelitian tersebut masih harus

dikembangkan lebih lanjut untuk diujicobakan sebagai bahan baku pangan yang tahan terhadap

kondisi pengolahan (suhu tinggi, asam, dan pengadukan), seperti pada pembuatan saus cabai.

13

2.3.3 Metode Enzimatis

Modifikasi pati secara enzimatis sebagian besar menggunakan enzim hidrolase yang

menghasilkan produk berupa sirup, seperti sirup glukosa atau sirup jagung tinggi fruktosa.

Penelitian menghasilkan banyak enzim yang teridentifikasi untuk digunakan pada modifikasi pat

(Kaur et al., 2012). Teknologi enzim modern telah diadopsi untuk modifikasi pati secara in vitro.

Banyak penelitian terkini dikembangkan pada pemanfaatan enzim karbohidrat untuk perbaikan

tekstur, sifat fungsional, dan kualitas nutrisi pada pati. Hal tersebut dapat dicapai dengan

memodifikasi pati pada panjang rantai, formasi poin cabang, substitusi fosfat, pemutusan cabang,

dan disproporsionasi.

Pada industri makanan sebagian besar modifikasi pati dilakukan dengan perlakuan asam

atau enzim untuk menghasilkan produk hidrolisis. Metode enzimatis merupakan salah satu

proses yang menjanjikan untuk modfikasi pati. Metode ini dapat dilakukan menggunakan enzim-

enzim aktif karbohidrat dari mikroorganisme, tanaman, dan hewan (Park et al., 2008). Enzim-

enzim yang digunakan pada modifikasi pati harus bebas dari komponen enzimatis yang dapat

menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan pada molekul pati (Kaur et al., 2012).

Kaur et al. (2012) mengatakan selama proses modifikasi berat molekul rata-rata,

kemampuan reduksi, dan persentase percabangan tidak berubah, tetapi terdapat kemungkinan

kecil terjadinya retrogradasi. Pati termodifikasi yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada bahan

makanan, kosmetik, produk farmasi, dan deterjen.

2.4 Pengental

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang

Bahan Tambahan Pangan, pengental (thickener) merupakan bahan tambahan pangan yang

digunakan untuk meningkatkan viskositas pangan. Blekas (2016) mengatakan bahwa bahan

tambahan makanan yang biasa digunakan sebagai pengental antara lain gliserol, polietilen glikol,

polivinil alkohol, gum dan pullulan. Level penggunaan maksimum pengental pada makanan

bervariasi antara 0,01% sampai 4% per berat. Pati yang berasal dari umbi-umbian dapat dijadikan

sebagai bahan pengental dalam pembuatan saus karena pati di dalam air panas dapat

membentuk gel yang bersifat kental.

Li dan Nie (2015) mengatakan bahwa pati merupakan bahan paling umum yang digunakan

sebagai pengental makanan. Hal ini dikarenakan keberadaan pati sangat berlimpah, harganya

murah, dan kemungkinan tidak mempengaruhi rasa jika ditambahkan dengan konsentrasi rendah

sekitar 2%-5%. Akan tetapi secara umum pati alami memiliki kelarutan yang terbatas pada air

14

dan pada penggunaan skala industri. Oleh karena itu pati modifikasi dapat digunakan untuk

memperbaiki sifat fungsional pati dengan hasil akhir spesifik yang sesuai dengan kondisi

pengolahan produk. Suspensi pati dimasak perlahan-lahan hingga mencapai suhu pemasakan

tertentu, kelarutan pati akan meningkat yang diikuti dengan meningkatnya kekentalan. Proses

meningkatnya kelarutan dan pengentalan suspensi pati akibat dari pemanasan disebut dengan

proses gelatinisasi. Suspensi pati yang telah mengalami gelatinisasi akan mengalami proses

pembentukan gel ketika didinginkan.

2.5 Saus Cabai

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI-01-2891-1992), saus cabai didefinisikan sebagai

saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabai (Capsicum sp) yang telah matang dan

bermutu baik, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta digunakan sebagai

penyedap makanan. Selain cabai, bahan yang diperlukan dalam pembuatan saus cabai antara

lain air, gula, garam, cuka, bawang putih dan pengental (tepung). Kadang-kadang juga

ditambahkan zat pewarna, penyedap, dan pengawet makanan. Zat pewarna tekstil dan pengawet

nonpangan tentu tidak boleh digunakan. Saus dibuat dalam bentuk pasta yang terdiri atas

campuran cabai untuk menambah rasa pedas serta bumbu atau bahan lainnya.

Koswara (2009) mengatakan di Indonesia sendiri, penggunaan saus cabai sebagai

penyedap rasa dan bahan pendamping makanan sangat digemari karena dapat menggugah

selera makan konsumennya. Aneka sambal dan olahannya, seperti saus cabai, saat ini

mendominasi pasaran karena paling banyak diproduksi dan dipasarkan. Hal ini dikarenakan lidah

orang Indonesia yang cenderung menyukai makanan pedas.

Tabel 2.3 Kandungan gizi saus sambal ABC (100 ml)

Komponen Kadar (g)

Lemak total 0,6 Karbohidrat 52,7 Protein 1,2 Natrium 2,1 Serat 1,2

Sumber: (http://www.fatsecret.com/)

2.5.1 Bahan

a. Cabai

Cabai merupakan bahan baku utama pada pembuatan saus cabai. Untuk mendapatkan

hasil yang optimal, bahan baku cabai yang digunakan dalam pengolahan harus benar-benar

bagus dan prima agar saus yang dihasilkan bermutu baik dan memiliki daya simpan yang lama

15

(Suyanti, 2008). Selain memberikan rasa pedas, cabai berpengaruh pada warna merah produk

saus yang dihasilkan.

Tabel 2.4 Komposisi kimia buah cabai

Komponen Kadar (%)

Air 90 Protein 0,5 Lemak 0,3 Karbohidrat 7,8 Serat 1,6 Abu 0,5

Sumber: (Ashari, 2006)

b. Bawang putih

Bawang putih merupakan bumbu dapur yang tidak pernah ketinggalan pada masakan

nusantara. Bawang putih memberikan aroma wangi yang khas. Pada pembuatan saus cabai

bawang putih digunakan sebagai penambah rasa. Bawang putih yang digunakan berbentuk

bubuk yang merupakan sari bawang putih (Yulia dan Astuti, 2008).

c. Gula pasir

Gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah dikristalkan, sari tebu akan mengalami

kristalisasi dan berubah menjadi butiran gula berwarna putih bersih atau putih agak kecoklatan

(raw sugar) (Darwin, 2013). Gula pasir pada pembuatan saus cabai berfungsi sebagai pemberi

rasa manis dan pengawet. Gula dapat berikatan dengan air bebas pada produk sehingga dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Suyanti, 2008).

d. Garam

Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang

merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar natrium klorida (>80%) serta senyawa

lainnya seperti magnesium klorida, magnesium sulfat, kalsium klorida, dan lain-lain. Garam

natrium klorida untuk keperluan memasak biasanya diperkaya dengan unsur iodin (dengan

menambahkan 5 g NaI per kg NaCl), berupa padatan kristal berwarna putih, berasa asin, tidak

higroskopis, dan higroskopis (Putri, 2011).

Garam pada pembuatan saus cabai berfungsi sebagai pemberi rasa asin dan pengawet.

Garam dapat berikatan dengan air bebas pada produk sehingga dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Suyanti, 2008).

e. Kecap inggris

Kecap Inggris merupakan saus encer berwarna gelap dengan rasa sedikit asin dan aroma

harum. Kecap Inggris dibuat dari cuka, molase, gula jagung, air, cabai, kecap asin, lada hitam,

16

asam jawa, anchovy, bawang Bombay, bawang merah, cengkih, dan bawang putih. Kecap Inggris

pada pembuatan saus cabai digunakan sebagai penambah rasa (Tim Dapur De Media, 2010).

f. Minyak wijen

Minyak wijen berfungsi sebagai penyedap untuk berbagai masakan seperti masakan China.

Minyak ini berasal dari ekstraksi biji wijen. Ada dua jenis minyak wijen, yaitu minyak wijen yang

berasal dari ekstraksi biji wijen yang telah disangrai dan minyak dari biji wijen mentah (Tim Dapur

De Media, 2010).

g. Cuka

Bahan pengasam seperti asam cuka juga ditambahkan dalam pembuatan saus. Fungsi

pengatur keasaman pada makanan adalah untuk membuat makanan menjadi lebih asam, lebih

basa, atau menetralkan makanan. Pengasam digunakan untuk mengasamkan atau untuk

menurunkan pH saus menjadi 3,8-4,4. Pada pH rendah pertumbuhan kebanyakan bakteri akan

tertekan dan sel genaratif serta spora bakteri sangat sensitif terhadap panas. Dengan demikian

proses sterilisasi bahan yang ber-pH rendah dapat dilakukan dengan suhu mendidih (100oC) dan

tidak perlu dengan suhu tinggi (121oC) (Hasibuan, 2015).

h. Antioksidan (asam askorbat)

Antioksidan digunakan untuk menghambat reaksi oksidasi pada saus sehingga dapat

menghambat kerusakan saus cabai. Antioksidan yang dapat digunakan yaitu asam askorbat atau

potassium metabisulfit dengan batas maksimum penggunaan 1000 ppm atau 1 g/kg (Suyanti,

2008).

2.5.2 Cara pembuatan

Berikut ini adalah tahapan-tahapan pembuatan saus cabai meliputi:

a. Sortasi dan pencucian

Sebelum cabai diolah perlu dilakukan penyortiran terhadap cabai yang benar-benar layak

untuk diolah. Bahan baku yang tidak baik menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki kualitas

yang kurang baik. Setelah disortasi, cabai yang akan diolah dihilangkan terlebih dahulu

tangkainya, kemudian dicuci bersih untuk menghilangkan segala kotoran yang melekat di

permukaan kulit cabai. Selain untuk menghilangkan kotoran, pencucian juga dilakukan untuk

menghilangkan insektisida yang masih menempel pada permukaan kulit cabai. Bahan baku yang

tidak bersih akan menyebabkan produk yang diolah tidak awet atau daya simpannya rendah

(Suyanti, 2008).

17

Air yang digunakan untuk mencuci pun harus bersih. Pencucian sebaiknya dilakukan

berulang kali sampai tidak ada kotoran yang melekat. Hal ini ditandai dengan air cucian yang

bersih dan jernih. Selain bahan baku, bahan campuran yang digunakan juga harus dicuci dahulu

sebelum diolah (Suyanti, 2008).

b. Blansing

Blansing adalah pemanasan yang dilakukan pada bahan baku cabai ataupun bahan

tambahan lainnya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kontaminasi mikroba yang terdapat

pada bahan. Blansing juga dilakukan untuk menghambat terjadinya warna cokelat akibat reaksi

enzimatis selama penyimpanan. Blansing dilakukan dengan menggunakan metode steam berupa

pengukusan (Suyanti, 2008). Astuti (2006) mengatakan bahwa blansing adalah perlakuan panas

pada bahan dengan cara merendam bahan dalam air panas atau memberikan uap panas.

Blansing bertujuan untuk menonaktifkan enzim terutama katalase dan peroksidase,

melembekkan bahan, dan menghilangkan gas-gas yang ada dalam sel serta jaringan sehingga

kualitas akhir bahan meningkat. Blansing juga menyebabkan bahan menjadi bersih, mengurangi

populasi bakteri, serta mempertajam aroma dan warna. Biasanya aroma bahan yang tidak disukai

dapat dihilangkan dan warna asli bahan dan sayuran akan tampak lebih tajam.

c. Penggilingan

Setelah dilakukan blansing, bahan cabai kemudian digiling menjadi bubur cabai halus.

Dalam jumlah kecil, penggilingan dapat menggunakan blender, sedangkan untuk jumlah yang

lebih besar (>10kg) penggilingan dilakukan menggunakan alat penggilingan cabai (Suyanti,

2008).

d. Pemasakan

Pemasakan dilakukan dengan cara memanaskan bahan-bahan yang akan diolah.

Pemasakan bertujuan agar bahan-bahan tercampur merata dan untuk mengurangi kandungan

air agar produk olahan menjadi kental. Pemasakan dilakukan diatas kompor menggunakan

wadah stainless steel. Pada pemasakan saus, dilakukan pengadukan terus-menerus untuk

mencegah kegosongan. Lamanya pemasakan tergantung jumlah bahan yang dimasak. Saus

yang telah maksimal kekentalannya ditandai dengan lambatnya adonan yang jatuh bila pengaduk

diangkat (Suyanti, 2008).

18

e. Pengemasan

Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan

salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang

umur simpan bahan. Pengemas adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu

mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas /

dibungkusnya (Julianti dan Mimi, 2006).

Pada produk saus, pengemasan berfungsi untuk melindungi produk olahan dari kerusakan,

baik yang disebabkan oleh jamur maupun serangga. Selain itu, tujuan pengemasan adalah untuk

memudahkan dalam pendistribusian produk (pengangkutan) dan penyimpanan. Kemasan untuk

produk olahan cabai harus merupakan wadah yang steril. wadah dapat berupa botol gelas, botol

plastik, maupun plastik PE (Suyanti, 2008).

2.5.3 Standar mutu saus cabai

Berikut persyaratan mutu saus cabai berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-

2976-2006):

Tabel 2.5 Standar mutu saus cabai

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan:

Bau - normal

Rasa - normal

2 Jumlah padatan terlarut % b/b min 20

3 Mikroskopis - cabe positip

4 pH - maks. 4

5 Bahan tambahan pangan:

Pewarna

- sesuai peraturan di bidang pangan yang

berlaku Pengawet

Pemanis buatan

6 Cemaran logam:

Timbal (Pb) mg/kg maks. 2,0

Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5,0

Seng (Zn) mg/kg maks. 40,0

Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0/250,0*

Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03

7 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 1,0

8 Cemaran mikroba:

Angka lempeng total koloni/g maks. 1 x 104

Bakteri koliform APM/g <3

Kapang koloni/g maks 50

* untuk yang dikemas dalam kaleng

Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2976-2006)