II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patirepository.ub.ac.id/3498/3/BAB 2.pdf · sukrosa dan selulosa. Dari...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patirepository.ub.ac.id/3498/3/BAB 2.pdf · sukrosa dan selulosa. Dari...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pati
Pati merupakan polisakarida alami yang melimpah, yang jumlahnya menandingi selulosa
di muka bumi. Pati ditemukan pada daun tanaman dan buah-buahan, serta pada batang, akar,
dan umbi kebanyakan tanaman. Pati merupakan produk akhir fotosintesis dan berperan sebagai
bentuk penyimpanan kimiawi energi matahari di bumi. Persentase energi yang tinggi tersedia
untuk organisme non-fotosintesis berasal dari pati, yaitu yang ditemukan pada tanaman pangan
utama dunia, seperti gandum, kentang, beras, jagung, barley, gandum hitam, kacang-kacangan,
kacang polong, sorgum, singkong, nanas, pisang, dan sebagainya (Robyt, 2008).
Pati merupakan satu dari tiga bahan biorenewable utama yang ditemukan di Bumi, selain
sukrosa dan selulosa. Dari ketiganya, pati saat ini adalah komponen yang paling penting karena
sangat berlimpah dan mudah diisolasi dalam bentuk yang sangat murni, serta relatif mudah
dilarutkan dan dihidrolisis secara enzimatik menjadi glukosa dan/atau produk maltodekstrin yang
berbeda, atau dimodifikasi secara kimia. Oleh karena itu, pati adalah produk alami yang dapat
digunakan secara biorenen, yang banyak digunakan di industri, seperti pembentukan sirup
glukosa, sirop fruktosa tinggi, maltodekstrin, siklomaltodekstrin, D-glukitol (D-sorbitol),
pembentukan etanol, asam asetat, asam D-laktat, dan senyawa organik lainnya dengan
fermentasi (Robyt, 2008).
Pati tersusun atas amilosa dan amilopektin. Pada struktur granula pati, amilosa dan
amilopektin tersusun dalam suatu cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16
buah, yang terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Herawati, 2011).
Granula pati memiliki inti biologis di sekitar granul yang biasa disebut hilum. Hilum dapat
berbentuk konsentris atau eksentris, tergantung pada sumber tanamannya (Dziedzic dan
Kearsley, 2012).
Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Derajat
polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6000 unit glukosa, bergantung pada sumbernya
(Herawati). Amilosa terdapat pada daerah amorf pati. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
amilosa merupakan polimer glukosa lantai lurus dengan struktur heliks, walaupun ada pendapat
lain yang mengatakan bahwa mungkin saja terdapat percabangan dengan jumlah yang sangat
kecil (Dziedzic dan Kearsley, 2012). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula
pati letaknya tidak pada satu tempat, tetapi bergantung pada jenis pati. Umumnya amilosa
5
terletak di antara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling di antara
daerah amorf dan kristal (Herawati, 2011). Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Sruktur amilosa (Dziedzic dan Kearsley, 2012)
Amilopektin merupakan polimer dengan ikatan α-1,4 glikosidik dan rantai samping α-1,6
glikosidik. Dalam suatu molekul pati, ikatan α-1,6 glikosidik ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar
antara 4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat
banyak dengan derajat polimerisasi 105 − 3x106 unit glukosa (Herawati, 2011). Rantai samping
dari rantai utama memiliki panjang 20 – 30 unit glukosa. Amilopektin memiliki struktur yang tidak
seragam, daerah percabangan tinggi dan keteraturan yang relatif. Granula pati memiliki daerah
kristalin dan amorf dimana amilopektin terdapat pada kedua daerah tersebut (Dziedzic dan
Kearsley, 2012).
Ketika dipanaskan dalam air, amilopektin akan membentuk lapisan yang transparan, yaitu
larutan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Pada
amilopektin cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada
konsentrasi tinggi (Herawati, 2011). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur amilopektin (Dziedzic dan Kearsley, 2012)
Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan secara luas juga
dipergunakan dalam industri seperti kertas, lem, tekstil, lumpur pemboran, permen, glukosa,
dekstrosa, sirup fruktosa, dan lain-lain (Indra dan Galih, 2010). Akan tetapi pati alami memiliki
banyak kelemahan, yaitu dapat menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan
6
membentuk gel yang tidak seragam (konsisten), tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, tidak
tahan pada kondisi asam, tidak tahan proses mekanis, dan kelarutannya terbatas di dalam air.
Hal tersebut menyebabkan penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai, baik
selama proses maupun penyimpanan. Pada pembuatan saus, jika digunakan pati alami sebagai
pengental maka akan terjadi penurunan kekentalan saus selama penyimpanan yang disebabkan
oleh hidrolisis pati (Kusnandar, 2010).
2.2 Garut
Garut (Marantha arundinacea) merupakan jenis umbi komoditas lokal Indonesia. Tanaman
ini tumbuh khususnya pada bagian rimpang yang dimanfaatkan untuk produksi tepung dan pati.
Garut merupakan sumber pati yang sangat baik (>85%) yang akhir-akhir ini dimanfaatkan pada
industri makanan untuk pembuatan biskuit dan pengental dan/atau stabilizer. Selain itu garut juga
diaplikasikan pada industri perekat tekstil (Arranz et al., 2015).
Garut merupakan tanaman herba berbatang lunak tegak dengan tinggi mencapai 40 – 100
cm, berbatang tipis, biasanya bercabang banyak 6oroner ujung, berdaun keras dan bercabang.
Tanaman ini memiliki rimpang berdaging, berbentuk silinder, berwarna putih atau kemerahan
(Hidayat dan Rodame, 2015). Garut secara turun-temurun telah dikonsumsi oleh masyarakat di
beberapa daerah di Indonesia, namun pengolahannya menjadi pangan fungsional masih
terbatas. Padahal dengan kadar serat pangan yang cukup tinggi (9,78%), umbi ini mempunyai
potensi mencegah beberapa penyakit 6oroner6tive, termasuk penyakit jantung 6oroner, melalui
mekanisme penurunan kolesterol dalam darah (Faridah et al., 2014).
Gambar 2.3 Tanaman garut (Reddy, 2015)
7
Garut telah lama diketahui sebagai tanaman penghasil rimpang yang dapat dijadikan
panganan seperti halnya singkong dan ubi jalar. Umbi garut telah dicanangkan pemerintah
sebagai salah satu komoditas bahan pangan yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan
atau dibudidayakan karena memiliki potensi sebagai pengganti tepung terigu. Aplikasi teknologi
yang sederhana dapat meningkatkan nilai tambah dari umbi garut (Kusmiyati, 2013).
Isyanti (2013) menyebutkan tingkatan takson tanaman garut adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingerbales
Marga : Maranta
Jenis : Maranta arundinacea Linn
Umbi garut merupakan sumber karbohidrat yang sebagian besar karbohidrat penyusunnya
adalah pati. Kandungan karbohidrat tepung garut per 100 gram bahan diketahui lebih tinggi
(85,2%) daripada tepung beras giling (78,99%) dan tepung terigu (77,3%). Umbi garut memiliki
kandungan protein dan lemak yang relatif lebih rendah (Isyanti, 2013). Komposisi komponen
kimia tepung garut menurut Faridah et al. (2014) ditunjukkan pada Tabel 2.3
Tabel 2.1 Komponen kimia pati garut
Komponen Kadar (%)
Air 11,84 Abu 0,34 Protein 0,24 Lemak 0,68 Karbohidrat 98,74
Sumber: (Faridah et al., 2014)
Tabel 2.2 Komposisi dan karakteristik fungsional pati garut
Parameter Kadar (%)
Daya cerna pati 84,35 Pati 98,10 Amilosa 24,64 Amilopektin 73,46 Pati resisten 2,12 Gula pereduksi 4,96
Sumber: (Faridah et al., 2014)
Pati garut merupakan polimer karbohidrat yang disusun dalam tanaman garut oleh interaksi
antarmolekul protein pembentuk gluten, yaitu dengan ikatan hidrogen dan ikatan sulfida maupun
ionik. Pati garut mudah dicerna, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau
8
makanan bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga dapat dijadikan
sebagai makanan bagi anak yang menyandang penyakit autis dan makanan diet abgi orang tua
lanjut usia dan pasien yang dalam masa penyembuhan. Disamping bahan pangan, pati garut juga
digunakan sebagai bahan baku non-pangan, seperti digunakan di Industri kosmetik, lem, alkohol,
dan tablet yang diinginkan bersifat mudah larut. Pati garut memiliki granula yang berbentuk oval
dan memiliki profil gelatinisasi tipe A. Suhu awal gelatinisasi pati garut berada pada 76,3 ºC
(Faridah et al., 2014).
9
2.3 Modifikasi Pati
Dalam dunia perdagangan dikenal dua macam pati yaitu pati yang belum dimodifikasi dan
pati yang telah dimodifikasi. Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah
lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan merubah struktur
asalnya. Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik
untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya maupun
sifat-sifat lain yang diinginkan. Sifat-sifat penting yang diinginkan dari pati termodifikasi (yang
tidak dimiliki oleh pati alami) diantaranya yaitu kecerahannya lebih tinggi (pati lebih putih),
retrogradasi yang rendah, kekentalannya lebih rendah, gel yang terbentuk lebih jernih, tekstur gel
yang dibentuk lebih lembek, kekuatan regang yang rendah, granula pati lebih mudah pecah,
waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah
lebih rendah (Koswara, 2009). Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali,
zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau
perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan tiga
cara, yaitu secara fisika, kimia, dan enzimatis. Setiap metode modifikasi pati menghasilkan pati
termodifikasi dengan sifat yang berbeda-beda. Pemilihan metode modifikasi pati disesuaikan
dengan sifat akhir pati yang dikehendaki (Pudjihastuti dan Siswo, 2014).
2.3.1 Metode Fisika
Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor antara lain suhu, tekanan,
pemotongan dan kadar air pada pati. Granula pati dapat di ubah secara parsial maupun total.
Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan (Herawati, 2011). Untuk metode
tanpa pemanasan, dapat diterapkan teknologi pulsed electric field (PEF). Pada metode ini
destruksi dan perancangan ulang molekul pati diamati seiring penurunan sifat gelatinisasi,
viskositas, dan kristalinitas (Kaur et al., 2012). Modifikasi pati secara fisik tidak melibatkan
penggunaan bahan kimia sehingga pati yang dihasilkan lebih aman dan proses modifikasi relatif
lebih mudah (Collado et al., 2001). Modifikasi pati metode fisika meliputi perlakuan tekanan
osmosis, deep freezing, dry heating, multiple deep freezing and thawing, dan superheated (Kaur
et al., 2012).
2.3.2 Metode Kimia
Modifikasi Pati secara kimia melibatkan sejumlah bahan kimia ke dalam pati. Bahan kimia
yang ditambahkan dapat berupa asam, basa, garam, maupun unsur halogen. Modifikasi pati
10
secara kimia yang sering dilakukan antara lain hidrolisis asam, ikatan silang, substitusi, atau
kombinasi ikatan silang dan substitusi.
a. Hidrolisis asam
Pati dapat dikonversi dengan cara menghidrolisis suspensi pati secara terkendali dengan
menggunakan asam dan pemanasan. Beberapa bagian dari ikatan glikosidik pati akan
mengalami pemutusan dengan perlakuan asam sehingga dapat dihasilkan molekul pati yang
lebih pendek. Hal ini mengakibatkan sifat kemampuan gelatinisasi pati menurun sehingga akan
dihasilkan pati dengan viskositas yang lebih rendah pada saat pemasakan. Dengan demikian,
konsentrasi pati yang dapat digunakan dalam proses pengolahan dapat lebih besar. Pati akan
lebih larut dengan viskositas yang lebih rendah tetapi dapat menghasilkan struktur gel yang lebih
kuat. Pati yang dimodifikasi dengan hidrolisis asam terutama digunakan apabila diinginkan
konsentrasi pati yang tinggi dan membentuk gel yang baik tetapi tidak diinginkan pati mengalami
pengentalan yang berlebihan. Pati jenis ini dapat digunakan dalam proses pembuatan permen
sebagai pengganti gum arab (Kusnandar, 2010).
b. Cross-linking
Metode modifikasi pati ini dilakukan dengan mereaksikan pati dengan reagen bi- atau
polifungsional seperti sodium trimetafosfat, fosforus oksiklorida, atau epikloridin sehingga dapat
membentuk ikatan silang pada molekul pati. Karakteristik dari pati ikatan silang adalah suhu
gelatinisasi pati menjadi meningkat, pati tahan pada pH rendah dan pengadukan (Indra dan Galih,
2010).
Metode ikatan silang bertujuan menghasilkan pati yang tahan tekanan mekanis, tahan
asam dan mencegah penurunan viskositas pati selama pemasakan (Indra dan Galih, 2010). Pada
modifikasi pati metode ikatan silang, gugus OH- pada pati diganti dengan gugus eter, gugus ester,
atau gugus fosfat. Contoh reagen ikatan silang yaitu monosodium fosfat (MSP), sodium
trimetafosfat (STMP), sodium tripolifosfat (STPP), epichlorohydrine, phosphoryl chloride, dan
glutaraldehida (Teja et al., 2008).
Gambar 2.4 Reaksi ikatan silang pati (Teja, 2008)
Pada modifikasi ikatan silang, rantai lurus atau bercabang pada pati saling berikatan secara
kovalen membentuk ikatan silang. Reagen yang digunakan membentuk ikatan eter atau ester
11
dengan grup hidroksil pada molekul pati. Modifikasi ini meningkatkan rigiditas polimer dengan
membentuk jaringan tiga dimensi. Ikatan silang pada pati meningkatkan derajat polimerisasi berat
molekul dan kelarutan. Modifikasi ini juga menjadikan pati larut pada pelarut organik (Alay dan
Maria, 2015).
Menurut Alay dan Maria (2015) sumber pati serta metode dan parameter yang digunakan
pada modifikasi ikatan silang memiliki pengaruh penting pada sifat akhir produk. Karakteristik pati
yang dipengaruhi oleh modifikasi ikatan silang yaitu kejernihan pasta dan kapasitas
pengembangan. Keduanya memiliki keterkaitan dimana penurunan pengembangan
menyebabkan penurunan kejernihan pasta. Derajat ikatan silang juga menurunkan kadar air,
lipid, dan protein.
Pati ikatan silang dari fosfat digunakan untuk beberapa aplikasi, seperti pengental makanan
dan agen pembentuk gel, stabilizer makanan, dan bahan tambahan makanan lainnya (Horton,
2004).
Aplikasi utama pati ikatan silang, terutama pati terfosforilasi, yaitu untuk digunakan sebagai
modifier makanan. Fungsi lainnya yaitu sebagai enkapsulator untuk flavor dan aroma makanan.
Pati monosodium fosfat (MSP) dilaporkan sesuai untuk diaplikasikan pada makanan dengan
mempertimbangkan kenampakan, higroskopisitas, transparansi larutan, pengembangan,
emulgasi, dan kecenderungan retrogradasi. Dari sekian banyak pati fosfat, pati yang berasal dari
tapioka merupakan yang paling stabil. Karakteristik pengentalan dari pati MSP dapat dimodifikasi
melalui interaksi dengan lipid yang dapat memproduksi gel yang sangat kaku (Horton, 2004).
c. Substitusi
Modifikasi pati dapat dilakukan dengan mensubstitusi beberapa gugus -OH pada molekul
amilosa atau amilopektin dengan senyawa pensubstitusi sehingga dihasilkan ester pati. Di antara
senyawa yang dapat digunakan adalah senyawa asetat, suksinat, fosfat, hidroksipropil, dan
oktenil suksinat. Tujuan utama dari modifikasi dengan substitusi adalah untuk menghambat laju
retrogradasi pati yang disebabkan oleh terhambatnya pembentukan ikatan hidrogen dari molekul
amilosa dan amilopektin oleh gugus ester yang terbentuk (kusnandar, 2010).
Gambar 2.5 Reaksi asetilasi (substitusi) pati (Teja, 2008)
12
Pati yang dimodifikasi dengan substitusi juga mengalami penurunan suhu gelatinisasi,
peningkatan viskositas, memiliki kemampuan mengikat air lebih tinggi dan menghasilkan pasta
yang lebih jernih. Dibandingkan dengan pati ikatan silang, pati substitusi masih mengalami
penurunan viskositas selama proses pemanasan (tidak stabil oleh pemanasan) dan kurang tahan
oleh kondisi asam. Pati ini dapat digunakan untuk produk-produk pangan yang dibekukan yang
menggunakan bahan pembentuk gel atau pengisi (Kusnandar, 2010).
Pada modifikasi substitusi menggunakan asetat, gugus asetil menurunkan resistensi ikatan
antar molekul pati. Gugus asetil akan bereaksi dengan gugus hidroksil yang terdapat pada rantai
bercabang pada polimer pati untuk menghasilkan ester spesifik. Modifikasi ini dilakukan dengan
menambahkan senyawa asetat seperti asam asetat atau vinyl asetat (Alay dan Maria, 2015).
Pati asetat meningkatkan kapasitas pengembangan dan kelarutan dibanding pati alami.
Keberadaan ikatan hidrogen pada pati asetat terbatas dikarenakan gaya tolak elektrostatis pada
molekul pati. Pati asetat dengan derajat substitusi rendah (0,01-0,2) memiliki manfaat untuk
diaplikasikan sebagai pembentuk film, pengental, stabilizer, dan gen enkapsulasi. Modifikasi
dengan asetat ini menyebabkan modifikasi pada granula pati, menurunkan kecenderungan
retrogradasi, serta meningkatkan kapasitas pengembangan, kelarutan, dan kejernihan pasta
(Alay dan Maria, 2015).
d. Kombinasi ikatan silang dan substitusi
Untuk mengoptimalkan sifat dan karakteristik pati yang dihasilkan, dapat dilakukan
modifikasi pati dengan metode ganda, yaitu ikatan silang dan substitusi. Pati ikatan silang dapat
menghasilkan pati yang tahan terhadap suhu tinggi, pengadukan dan pengasaman, tetapi tidak
mampu menghambat laju retrogradasi. Sedangkan pati substitusi hanya mampu menghambat
laju retrogradasi. Untuk menghasilkan pati dengan sifat-sifat yang diinginkan tersebut, maka
dapat dilakukan modifikasi ganda ikatan silang dan substitusi. Proses modifikasi dilakukan
dengan modifikasi pati substitusi gugus -OH pada molekul pati, kemudian dilanjutkan dengan
reaksi ikatan silang dengan senyawa polifosfat. Pati yang dimodifikasi dengan metode ganda
ikatan silang dan substitusi tersebut telah tersedia secara komersial, di antaranya dapat
diaplikasikan pada produk saus (Wattanachant et al, 2003). Pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Maulani et al. (2012) berjudul Sifat Fungsional Pati Garut Hasil Modifikasi
Hidroksipropilasi dan Taut Silang, pati garut dimodifikasi menggunakan propilen oksida dan
garam fosfat yang terdiri dari STMP dan STPP. Hasil dari penelitian tersebut masih harus
dikembangkan lebih lanjut untuk diujicobakan sebagai bahan baku pangan yang tahan terhadap
kondisi pengolahan (suhu tinggi, asam, dan pengadukan), seperti pada pembuatan saus cabai.
13
2.3.3 Metode Enzimatis
Modifikasi pati secara enzimatis sebagian besar menggunakan enzim hidrolase yang
menghasilkan produk berupa sirup, seperti sirup glukosa atau sirup jagung tinggi fruktosa.
Penelitian menghasilkan banyak enzim yang teridentifikasi untuk digunakan pada modifikasi pat
(Kaur et al., 2012). Teknologi enzim modern telah diadopsi untuk modifikasi pati secara in vitro.
Banyak penelitian terkini dikembangkan pada pemanfaatan enzim karbohidrat untuk perbaikan
tekstur, sifat fungsional, dan kualitas nutrisi pada pati. Hal tersebut dapat dicapai dengan
memodifikasi pati pada panjang rantai, formasi poin cabang, substitusi fosfat, pemutusan cabang,
dan disproporsionasi.
Pada industri makanan sebagian besar modifikasi pati dilakukan dengan perlakuan asam
atau enzim untuk menghasilkan produk hidrolisis. Metode enzimatis merupakan salah satu
proses yang menjanjikan untuk modfikasi pati. Metode ini dapat dilakukan menggunakan enzim-
enzim aktif karbohidrat dari mikroorganisme, tanaman, dan hewan (Park et al., 2008). Enzim-
enzim yang digunakan pada modifikasi pati harus bebas dari komponen enzimatis yang dapat
menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan pada molekul pati (Kaur et al., 2012).
Kaur et al. (2012) mengatakan selama proses modifikasi berat molekul rata-rata,
kemampuan reduksi, dan persentase percabangan tidak berubah, tetapi terdapat kemungkinan
kecil terjadinya retrogradasi. Pati termodifikasi yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada bahan
makanan, kosmetik, produk farmasi, dan deterjen.
2.4 Pengental
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang
Bahan Tambahan Pangan, pengental (thickener) merupakan bahan tambahan pangan yang
digunakan untuk meningkatkan viskositas pangan. Blekas (2016) mengatakan bahwa bahan
tambahan makanan yang biasa digunakan sebagai pengental antara lain gliserol, polietilen glikol,
polivinil alkohol, gum dan pullulan. Level penggunaan maksimum pengental pada makanan
bervariasi antara 0,01% sampai 4% per berat. Pati yang berasal dari umbi-umbian dapat dijadikan
sebagai bahan pengental dalam pembuatan saus karena pati di dalam air panas dapat
membentuk gel yang bersifat kental.
Li dan Nie (2015) mengatakan bahwa pati merupakan bahan paling umum yang digunakan
sebagai pengental makanan. Hal ini dikarenakan keberadaan pati sangat berlimpah, harganya
murah, dan kemungkinan tidak mempengaruhi rasa jika ditambahkan dengan konsentrasi rendah
sekitar 2%-5%. Akan tetapi secara umum pati alami memiliki kelarutan yang terbatas pada air
14
dan pada penggunaan skala industri. Oleh karena itu pati modifikasi dapat digunakan untuk
memperbaiki sifat fungsional pati dengan hasil akhir spesifik yang sesuai dengan kondisi
pengolahan produk. Suspensi pati dimasak perlahan-lahan hingga mencapai suhu pemasakan
tertentu, kelarutan pati akan meningkat yang diikuti dengan meningkatnya kekentalan. Proses
meningkatnya kelarutan dan pengentalan suspensi pati akibat dari pemanasan disebut dengan
proses gelatinisasi. Suspensi pati yang telah mengalami gelatinisasi akan mengalami proses
pembentukan gel ketika didinginkan.
2.5 Saus Cabai
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI-01-2891-1992), saus cabai didefinisikan sebagai
saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabai (Capsicum sp) yang telah matang dan
bermutu baik, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta digunakan sebagai
penyedap makanan. Selain cabai, bahan yang diperlukan dalam pembuatan saus cabai antara
lain air, gula, garam, cuka, bawang putih dan pengental (tepung). Kadang-kadang juga
ditambahkan zat pewarna, penyedap, dan pengawet makanan. Zat pewarna tekstil dan pengawet
nonpangan tentu tidak boleh digunakan. Saus dibuat dalam bentuk pasta yang terdiri atas
campuran cabai untuk menambah rasa pedas serta bumbu atau bahan lainnya.
Koswara (2009) mengatakan di Indonesia sendiri, penggunaan saus cabai sebagai
penyedap rasa dan bahan pendamping makanan sangat digemari karena dapat menggugah
selera makan konsumennya. Aneka sambal dan olahannya, seperti saus cabai, saat ini
mendominasi pasaran karena paling banyak diproduksi dan dipasarkan. Hal ini dikarenakan lidah
orang Indonesia yang cenderung menyukai makanan pedas.
Tabel 2.3 Kandungan gizi saus sambal ABC (100 ml)
Komponen Kadar (g)
Lemak total 0,6 Karbohidrat 52,7 Protein 1,2 Natrium 2,1 Serat 1,2
Sumber: (http://www.fatsecret.com/)
2.5.1 Bahan
a. Cabai
Cabai merupakan bahan baku utama pada pembuatan saus cabai. Untuk mendapatkan
hasil yang optimal, bahan baku cabai yang digunakan dalam pengolahan harus benar-benar
bagus dan prima agar saus yang dihasilkan bermutu baik dan memiliki daya simpan yang lama
15
(Suyanti, 2008). Selain memberikan rasa pedas, cabai berpengaruh pada warna merah produk
saus yang dihasilkan.
Tabel 2.4 Komposisi kimia buah cabai
Komponen Kadar (%)
Air 90 Protein 0,5 Lemak 0,3 Karbohidrat 7,8 Serat 1,6 Abu 0,5
Sumber: (Ashari, 2006)
b. Bawang putih
Bawang putih merupakan bumbu dapur yang tidak pernah ketinggalan pada masakan
nusantara. Bawang putih memberikan aroma wangi yang khas. Pada pembuatan saus cabai
bawang putih digunakan sebagai penambah rasa. Bawang putih yang digunakan berbentuk
bubuk yang merupakan sari bawang putih (Yulia dan Astuti, 2008).
c. Gula pasir
Gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah dikristalkan, sari tebu akan mengalami
kristalisasi dan berubah menjadi butiran gula berwarna putih bersih atau putih agak kecoklatan
(raw sugar) (Darwin, 2013). Gula pasir pada pembuatan saus cabai berfungsi sebagai pemberi
rasa manis dan pengawet. Gula dapat berikatan dengan air bebas pada produk sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Suyanti, 2008).
d. Garam
Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang
merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar natrium klorida (>80%) serta senyawa
lainnya seperti magnesium klorida, magnesium sulfat, kalsium klorida, dan lain-lain. Garam
natrium klorida untuk keperluan memasak biasanya diperkaya dengan unsur iodin (dengan
menambahkan 5 g NaI per kg NaCl), berupa padatan kristal berwarna putih, berasa asin, tidak
higroskopis, dan higroskopis (Putri, 2011).
Garam pada pembuatan saus cabai berfungsi sebagai pemberi rasa asin dan pengawet.
Garam dapat berikatan dengan air bebas pada produk sehingga dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Suyanti, 2008).
e. Kecap inggris
Kecap Inggris merupakan saus encer berwarna gelap dengan rasa sedikit asin dan aroma
harum. Kecap Inggris dibuat dari cuka, molase, gula jagung, air, cabai, kecap asin, lada hitam,
16
asam jawa, anchovy, bawang Bombay, bawang merah, cengkih, dan bawang putih. Kecap Inggris
pada pembuatan saus cabai digunakan sebagai penambah rasa (Tim Dapur De Media, 2010).
f. Minyak wijen
Minyak wijen berfungsi sebagai penyedap untuk berbagai masakan seperti masakan China.
Minyak ini berasal dari ekstraksi biji wijen. Ada dua jenis minyak wijen, yaitu minyak wijen yang
berasal dari ekstraksi biji wijen yang telah disangrai dan minyak dari biji wijen mentah (Tim Dapur
De Media, 2010).
g. Cuka
Bahan pengasam seperti asam cuka juga ditambahkan dalam pembuatan saus. Fungsi
pengatur keasaman pada makanan adalah untuk membuat makanan menjadi lebih asam, lebih
basa, atau menetralkan makanan. Pengasam digunakan untuk mengasamkan atau untuk
menurunkan pH saus menjadi 3,8-4,4. Pada pH rendah pertumbuhan kebanyakan bakteri akan
tertekan dan sel genaratif serta spora bakteri sangat sensitif terhadap panas. Dengan demikian
proses sterilisasi bahan yang ber-pH rendah dapat dilakukan dengan suhu mendidih (100oC) dan
tidak perlu dengan suhu tinggi (121oC) (Hasibuan, 2015).
h. Antioksidan (asam askorbat)
Antioksidan digunakan untuk menghambat reaksi oksidasi pada saus sehingga dapat
menghambat kerusakan saus cabai. Antioksidan yang dapat digunakan yaitu asam askorbat atau
potassium metabisulfit dengan batas maksimum penggunaan 1000 ppm atau 1 g/kg (Suyanti,
2008).
2.5.2 Cara pembuatan
Berikut ini adalah tahapan-tahapan pembuatan saus cabai meliputi:
a. Sortasi dan pencucian
Sebelum cabai diolah perlu dilakukan penyortiran terhadap cabai yang benar-benar layak
untuk diolah. Bahan baku yang tidak baik menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki kualitas
yang kurang baik. Setelah disortasi, cabai yang akan diolah dihilangkan terlebih dahulu
tangkainya, kemudian dicuci bersih untuk menghilangkan segala kotoran yang melekat di
permukaan kulit cabai. Selain untuk menghilangkan kotoran, pencucian juga dilakukan untuk
menghilangkan insektisida yang masih menempel pada permukaan kulit cabai. Bahan baku yang
tidak bersih akan menyebabkan produk yang diolah tidak awet atau daya simpannya rendah
(Suyanti, 2008).
17
Air yang digunakan untuk mencuci pun harus bersih. Pencucian sebaiknya dilakukan
berulang kali sampai tidak ada kotoran yang melekat. Hal ini ditandai dengan air cucian yang
bersih dan jernih. Selain bahan baku, bahan campuran yang digunakan juga harus dicuci dahulu
sebelum diolah (Suyanti, 2008).
b. Blansing
Blansing adalah pemanasan yang dilakukan pada bahan baku cabai ataupun bahan
tambahan lainnya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kontaminasi mikroba yang terdapat
pada bahan. Blansing juga dilakukan untuk menghambat terjadinya warna cokelat akibat reaksi
enzimatis selama penyimpanan. Blansing dilakukan dengan menggunakan metode steam berupa
pengukusan (Suyanti, 2008). Astuti (2006) mengatakan bahwa blansing adalah perlakuan panas
pada bahan dengan cara merendam bahan dalam air panas atau memberikan uap panas.
Blansing bertujuan untuk menonaktifkan enzim terutama katalase dan peroksidase,
melembekkan bahan, dan menghilangkan gas-gas yang ada dalam sel serta jaringan sehingga
kualitas akhir bahan meningkat. Blansing juga menyebabkan bahan menjadi bersih, mengurangi
populasi bakteri, serta mempertajam aroma dan warna. Biasanya aroma bahan yang tidak disukai
dapat dihilangkan dan warna asli bahan dan sayuran akan tampak lebih tajam.
c. Penggilingan
Setelah dilakukan blansing, bahan cabai kemudian digiling menjadi bubur cabai halus.
Dalam jumlah kecil, penggilingan dapat menggunakan blender, sedangkan untuk jumlah yang
lebih besar (>10kg) penggilingan dilakukan menggunakan alat penggilingan cabai (Suyanti,
2008).
d. Pemasakan
Pemasakan dilakukan dengan cara memanaskan bahan-bahan yang akan diolah.
Pemasakan bertujuan agar bahan-bahan tercampur merata dan untuk mengurangi kandungan
air agar produk olahan menjadi kental. Pemasakan dilakukan diatas kompor menggunakan
wadah stainless steel. Pada pemasakan saus, dilakukan pengadukan terus-menerus untuk
mencegah kegosongan. Lamanya pemasakan tergantung jumlah bahan yang dimasak. Saus
yang telah maksimal kekentalannya ditandai dengan lambatnya adonan yang jatuh bila pengaduk
diangkat (Suyanti, 2008).
18
e. Pengemasan
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan
salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang
umur simpan bahan. Pengemas adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu
mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas /
dibungkusnya (Julianti dan Mimi, 2006).
Pada produk saus, pengemasan berfungsi untuk melindungi produk olahan dari kerusakan,
baik yang disebabkan oleh jamur maupun serangga. Selain itu, tujuan pengemasan adalah untuk
memudahkan dalam pendistribusian produk (pengangkutan) dan penyimpanan. Kemasan untuk
produk olahan cabai harus merupakan wadah yang steril. wadah dapat berupa botol gelas, botol
plastik, maupun plastik PE (Suyanti, 2008).
2.5.3 Standar mutu saus cabai
Berikut persyaratan mutu saus cabai berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-
2976-2006):
Tabel 2.5 Standar mutu saus cabai
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan:
Bau - normal
Rasa - normal
2 Jumlah padatan terlarut % b/b min 20
3 Mikroskopis - cabe positip
4 pH - maks. 4
5 Bahan tambahan pangan:
Pewarna
- sesuai peraturan di bidang pangan yang
berlaku Pengawet
Pemanis buatan
6 Cemaran logam:
Timbal (Pb) mg/kg maks. 2,0
Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5,0
Seng (Zn) mg/kg maks. 40,0
Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0/250,0*
Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03
7 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 1,0
8 Cemaran mikroba:
Angka lempeng total koloni/g maks. 1 x 104
Bakteri koliform APM/g <3
Kapang koloni/g maks 50
* untuk yang dikemas dalam kaleng
Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2976-2006)