ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini...

176

Transcript of ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini...

Page 1: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in
Page 2: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

ii

Page 3: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

iii

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUSJAWA TENGAH - INDONESIA

ADDINMedia Dialektika Ilmu Islam

Page 4: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

iv

PELINDUNG

PENANGGUNG JAWAB

PEMIMPIN UMUM

PEMIMPIN REDAKSI

SEKRETARIS REDAKSI

DEWAN REDAKSI

PENYUNTING AHLI

TATA USAHA

Jurnal

ADDINMedia Dialektika Ilmu Islam

. 4, . ,

Page 5: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

vv

PENGANTAR REDAKTUR

Bismillahirrahmanirrahim

Mentradisikan bersyukur menjadi ajaran Islam yang perlukita uri-uri, sebagai bentuk penghambaan hamba kepada Tuhandengan ucapan hamdalah. Tidak bedanya, sebagai umat yangmenghormati junjungan-Nya, kita bersalawat kepada Nabi SAWsemoga mendapat syafaat di hari pembalasan.

Pada edisi Juli-Desember 201 Jurnal addin STAINKudus yang memuat artikel atau naskah khususnya bernuansakeagamaan berbagai topik, sebagai bentuk kepedulian ilmuandalam mewacanakan ide yang dibakukan dalam jurnal selaluditunggu redaktur pada edsi J - 201 .

Berbagai topik tersusun dalam edsi ini dengan harapanmenambah khasanah keilmuan bagi pembaca. Hanya berbekalsemangat juang di bidang keilmuan, naskah edisi ini perludisongsong dengan ide segar, dikhususkan lagi dalam membidikhal-hal yang kontroversial agar tebaran persoalan dalamkehidupan dapat terurai, meskipun sebatas ide yang terwacanakandalam terpublikasikan.

Jurnal ini terbit setiap enam bulan sekali, edisi Januari - Junidan Juli - Desember. Redaktur menunggu dan mengharap kepadapembaca untuk berkiprah lebih optimal lagi melalui ide segarnya.Hal tersebut dapat dilakukan dengan silaturahim ke PusatPenelitian dan Pengebdian kepada Masyarakat (P3M) SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Jalan Conge-Ngembalrejo, Kudus atau berdunia maya dengan alamate-mail: [email protected].

Page 6: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

vivi

Demikian Pengantar redaksi, naskah yang tertera dalamjurnal ini menggugah kita untuk semangat kembali mengkajirealitas yang menyimpan problematika, semoga bermanfaat untukkita semua. Nuwun, maturnuwun.

Billahitaufiq wal hidayahIhdinassyirotol Mustaqim

Page 7: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

vii

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ~ v-viDaftar Isi ~ vii-viii

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN:Membangun Kesadaran Keberagamaan yang Inklusif

Oleh: Abdurrahman Kasdi ~ 211 - 221

MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS: Upaya Membangun Budaya dalam Masyarakat Multikulturalisme

Oleh: Dr. Ahmad Ali Riyadi ~ 223 - 242

PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS

Oleh: Ma’mun Mu’min ~ 243 - 265

REVISITASI MULTIKULTURALISME DALAM PENANGANANAN TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN INDONESIA

Oleh: Muh. Khamdan ~ 267 - 286

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM Oleh: Muhamad Mustaqim ~ 287 - 299

MEMPERTANYAKAN MULTIKULTURALISASI PENDIDIKAN Dua Kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia Oleh: Nur Rosyid ~ 301 - 314

Page 8: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

viii

MENGUAK MULTIKULTURALISME DI PESANTREN (Telaah Atas Pengembangan Kurikulum)

Oleh: Rini Dwi Susanti ~ 315 - 328

GLOBALISASI, BUDAYA LOKAL, DAN AGENDA MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Oleh: Siti Malaiha Dewi ~ 329 - 338

MENGENAL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN MODEL INKLUSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Sulthon ~ 339 - 362

MENGEMBANGKAN NALAR PLURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA BERBASIS MASYARAKAT PLURALISTIK-MULTIKULTURAL

Oleh: Ulya ~ 363 - 375

Pedoman Penulisan ~ 376 - 378

Page 9: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Multikultural di Pesantren (Abdurrraman Kasdi) 211

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN:Membangun Kesadaran Keberagamaan

yang Inklusif

Abdurrahman KasdiDosen STAIN Kudus

email:

ABSTRAK

Di era sekarang ini, pesantren dihadapkan pada beberapa fenomena perubahan sosial dan multikulturalisme yang tak terelakkan. Multikulturalisme yang merupakan titik temu berbagai budaya meniscayakan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya. Dalam konteks inilah pesantren dituntut untuk proaktif merespon isu-isu global yang berkembang. Pesantren harus menjadi garda depan dalam memerangi fanatisme madzhab, karena imam madzhab sendiri melarang pengikutnya bertaklid kepadanya. Tanpa strategi seperti ini, pesantren hanya akan berfungsi sebagai counter-culture yang justru kontra produktif dan seringkali memiliki nilai serta norma yang berbeda dengan kultur lain. Pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat. Tertanamnya kesadaran multikultural dan pluralitas kepada masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan pesantren ke dalam paradigma yang toleran dan humanis. Karena paradigma pendidikan pesantren yang ekslusif dan intoleran jelas-jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi-etnik dan agama. Dengan demikian, filosofi pendidikan pesantren yang ekslusif tidak relevan lagi di zaman multikultural. Sebab, jika cara pandangnya bersifat ekslusif dan intoleran, maka

Page 10: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

212 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

teologi yang diterima adalah teologi ekslusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap menghargai kebenaran agama lain.

Kata Kunci: Multikulturalisme, Pesantren dan Keberagamaan Inklusif

Pendahuluan

Dalam konteks pendidikan, pesantren merupakan sebuah lembaga yang hidup dan dinamis. Banyak ruang yang dapat diperbincangkan, karena ia selalu menarik, segar dan aktual. Dinamika pesantren dan interaksinya dengan masyarakat yang dimainkan oleh santri, kiai dan alumni pesantren semakin memperteguh kembali bahwa pesantren merupakan bagian dari infrastruktur masyarakat. Secara mikro maupun makro, pesantren telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk berpegang pada idealisme, mengembangkan kemampuan intelektual, dan perilaku mulia untuk menata serta membangun karakter bangsa yang makmur dan berperadaban.

Dilihat dari eksistensinya, pesantren mempunyai banyak dimensi yang terkait, karakter plural, tidak seragam, dan tidak memiliki wajah tunggal. Pesantren kelihatan berpola seragam, tapi beragam; tampak konservatif, tetapi secara diam-diam atau terang-tarangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ia merupakan suatu lembaga pendidikan klasik dan mungkin paling tradisional, akan tetapi justru semakin survive, dan bahkan dianggap sebagai lembaga pendidikan alternatif dalam era globalisasi dan modernisasi dunia seperti sekarang ini.

Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, pesantren dihadapkan pada beberapa fenomena perubahan sosial dan multikulturalisme yang tak terelakkan. Kemajuan teknologi informasi, dinamika sosial-politik, belum lagi sejumlah perubahan yang terbingkai dalam dinamika masyarakat. Semuanya berujung pada pertanyaan tentang resistensi, responsibilitas, kapasitas dan kecanggihan pesantren dalam menghadapi perubahan besar itu; sejauhmana peran pesantren dalam merespon multikulturalisme yang berkembang di masyarakat?

Multikulturalisme yang merupakan titik temu berbagai

Page 11: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Multikultural di Pesantren (Abdurrraman Kasdi) 213

budaya meniscayakan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya. Dalam konteks ini pesantren dituntut untuk proaktif, merespon dengan: pertama, tampil secara kreatif berdialog dengan budaya lokal dan budaya luar, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan nilai-nilai agama. Kedua, mengembangkan budaya toleransi sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat. Pesantren harus menjadi garda depan dalam memerangi fanatisme madzhab, karena imam madzhab sendiri melarang pengikutnya bertaklid kepadanya. Tanpa strategi seperti ini, pesantren hanya akan berfungsi sebagai counter-culture yang justru kontra produktif dan seringkali memiliki nilai serta norma yang berbeda dengan kultur lain.

Di sinilah, urgensi pemberdayaan pesantren di era multikulturalisme. Melalui simbiosis mutualisme antara pesantren dengan institusi, lembaga dan komponen masyarakat yang mampu memberikan kontribusi serta menciptakan nuansa transformatif dan dialogis terhadap budaya lain. Pola kerjasama ini juga dapat dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang semakin kompleks.

Pesantren di Era Multikultural

Dalam ilmu sosiologi, pesantren merupakan subkultur yang memiliki keunikannya tersendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati.1 Kesemuanya ini dimiliki sepenuhnya oleh pesantren, yang memiliki pola dan mekanisme tersendiri dalam tata nilai, perilaku, dan bahkan model pendidikannya. Sehingga, Abdurrahman Wahid berani mengambil kesimpulan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur dalam masyarakat.

Walau demikian, gambaran subkultur pesantren hanya mampu menjelaskan dunia pesantren yang unik dan belum bersentuhan dengan elemen-elemen dari luar dirinya; seperti

1Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Dawam Rahardo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 43.

Page 12: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

214 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

organisasi, manajemen sumber daya manusia, dana, fisik, informasi, ilmu pengetahuan dan tekonologi. Itu sebabnya, Hadimulyo menggunakan istilah “institusi kultural” yang mengandung konotasi lebih longgar daripada subkultur. Dengan demikian, pesantren akan dilihat dalam pengertian “budaya pesantren” yang dalam realitas empiris lebih tampak sebagai counter culture yang seringkali memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan kultur yang dianggap dominan.2

Di tengah perdebatan itu semua, kini di zaman global yang sudah meniscayakan pluralitas budaya sebagai kenyataan sosial, pesantren menghadapi tantangan dalam merespons identitas kultural masyarakat (budaya lokal) dan budaya luar dengan segala keanekaragamannya. Pesantren yang berkembang dari identitas sejatinya belakangan ini sedang bergulat secara intens dengan budaya lokal dan budaya lain yang saling mempengaruhi. Tak pelak lagi, era multikulturalisme adalah tantangan tersendiri bagi pesantren; apakah pesantren mampu menjawab tantangan paradigma kehidupan di bawah payung multikulturalisme yang mengandaikan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya.

Hal ini dikemukakan untuk melihat apakah pesantren sudah berani keluar dari kebenaran absolutnya (absolutly truth) yang kerapkali meminggirkan identitas kultural yang sudah diyakini oleh masyarakat. Atau dengan kata lain, budaya lokal (local wisdom) sebagai entitas yang telah lama hidup bersama masyarakat menjadi terpinggirkan akibat doktrin agama yang diyakini pesantren. Desakan pesantren ini praktis memposisikan budaya lokal berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan subordinat. Apalagi, pesantren bisa menjadi kekuatan yang ampuh untuk menghilangkan atau paling tidak memperdaya budaya lokal.

Pesantren dan Kearifan Budaya Lokal (Local Wisdom)

Pada dasarnya, watak dan karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang damai, ramah dan toleran. Karena watak pesantren yang demikian ini,

2Hadimulyo, “Pesantren, Dua Wajah Budaya”, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 99.

Page 13: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Multikultural di Pesantren (Abdurrraman Kasdi) 215

tidak menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure) untuk mendialogkan pesantren dengan kebudayaan lokal. Hal ini diambil dari kenyataan historis penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan pesantren memunculkan konsekuansi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Nikii Keddie (1987), pengamat Timur Tengah, justru memandang karakter inilah yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia Tenggara.3

Sehingga, Islam sebagai agama yang dianut dan pesantren sebagai media dakwah Islam yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Pesantren yang mayoritas berdiri di pedesaan harus berhadapan dengan sekian banyak tradisi budaya asli masyarakat agraris. Namun karena semangat keagamaan yang membumi, pesantren lebih mampu bersikap ajur-ajer serta menyerap budaya setempat. Pesantren terbukti mampu berdialog dengan adat setempat secara produktif dan tidak saling menafikan antara yang satu dengan lainnya.4

Misalnya, terhadap tradisi sedekah bumi, nyadran, nyatus, nyewu, miwiti, dan sebagainya pesantren menanggapinya dengan pendekatan memberi dan menerima. Pihak pesantren mengambil bentuk tradisi budaya tersebut sambil memberikan isi yang baru. Cara pendekatan ini terbukti bisa diterima kedua pihak dengan baik. Maka sekarang terdapat banyak upacara adat, seperti sedekah bumi, yang semula diselenggarakan untuk memuja dewa atau roh-roh yang mbaurekso desa, kini berganti isi menjadi ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah berkenan untuk memberi kemakmuran. Adat miwiti (mulai menuai padi) yang semula diadakan untuk memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen.

3Nikki R. Keddie, «Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative Reflections», dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987, hlm. 34-.

4Ahmad Tohari, Membangun Dialog Produktif Pesantren-Budaya Lokal, Makalah tidak diterbitkan.

Page 14: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

216 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Juga, doa-doa yang dibaca adalah doa yang biasa dibaca di pesantren dan doa-doa yang berasal dari petunjuk Nabi Saw.5

Mendialogkan Islam dan budaya memang sejak awal dilakukan Sunan Kalijaga yang berhasil mengisi spirit Islam ke dalam budaya lokal; seperti tradisi sekaten, mitung dino, nyatus, nyewu yang diisi dengan tahlil. Begitu juga wayang sebagai tradisi kesenian yang banyak disukai masyarakat, sudah dimodifikasi dengan spirit Islam. Tak heran, jika sekarang ini di Pesantren Kajen, Pati ada tradisi tahunan yang mementaskan wayang, yang banyak dinikmati oleh masyarakat sekitarnya. Kesemuanya ini menunjukkan betapa pesantren mampu berdialog dengan budaya dan kearifan lokal (local wisdom).

Namun demikian, tidak selamanya dialog antara pesantren dengan budaya lokal bisa berjalan baik. Hal ini disebabkan pihak pesantren menganggap secara prinsip beberapa unsur tradisi budaya setempat tidak bisa mereka terima. Misalnya, kebiasaan berjudi, sabung ayam, tunggon (kumpul kebo), minum arak, dan sebagainya. Dan dalam hal tidak terjadi persaingan budaya antara pesantren dan tradisi lokal, maka sering muncul ungkapan sinis terutama dari pihak adat. Sering kita dengar ungkapan “semantri-santri” (sok santri) yang ditujukan kepada mereka yang tidak bisa menerima kebiasa berjudi dan lain sebagainya.6

Multikulturalisme dan Tantangan Pesantren

Belakangan ini multikulturalisme memang menjadi isu sentral dalam konteks hubungan antaragama dan antarbudaya. Multikulturalisme telah menjadi kenyataan faktual di dalam masyarakat global. Karena itu, multikulturalisme adalah sebuah tantangan bagi pengembangan budaya toleran dan pluralis di kalangan masyarakat.

Dalam perspektif ilmu politik, --mengikuti pemikiran Robushka dan Shepsle-- masyarakat multikultural didefinisikan dengan parameter: (1) keragaman kultural, (2) aliansi etnik dan (3) terorganisasi secara politik. Dalam konteks ini, secara alamiah masyarakat mempunyai karakteristik yang beragam (majemuk), yang ditandai oleh berbagai keragaman suku, agama, ras dan

5Ibid.6Ibid.

Page 15: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Multikultural di Pesantren (Abdurrraman Kasdi) 217

golongan (SARA) yang ada di dalamnya.Masyarakat yang multikultural seperti ini sebenarnya

merupakan potensi dalam membangun demokrasi modern. Namun, masyarakat multikultural juga memendam potensi yang rawan terhadap konflik sosial yang bisa mengakibatkan pudarnya keutuhan jalinan harmoni sosial masyarakat. Dengan kata lain, berbeda-bedanya suku, agama, dan budaya adalah suatu modal sosial, meminjam istilah Robert W. Hefner, yang apabila dirusak akan menimbulkan malapetaka bagi harmoni sosial yang mengarah pada konflik sosial. Sebab, ada tiga kecenderungan yang sering dihadapi dalam masyarakat multikultural. Yakni, (1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-hubungan antar kelompok. (2) Pelaku konflik melihat sebagai all out war. (3) Proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain.

Dalam konteks inilah, paradigma multikultural mengandaikan pengembangan teologi inklusif dan pluralis yang riil. Pada aras ini, toleransi etnik, budaya dan agama di Indonesia menjadi agenda penting sejak maraknya kekerasan etnik dan agama yang meledak seiring dengan pergeseran politik mutakhir. Itu sebabnya, pesantren sebagai entitas sosial memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan teologi multikultural sehingga memberikan pencerahan kepada umat akan arti pentingnya kehadiran etnik, budaya dan agama di dalam komunitas sosial. Tanpa ini semua, pesantren akan kehilangan peran strategis di zaman multikultural seperti sekarang ini yang menghadirkan banyak konflik; entah yang berbau agama maupun etnik.

Memadukan Islam dan Kultur dalam Pesantren

Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha. Bahkan, perpindahan masyarakat Melayu Indonesia dari sistem kegamaan dan budaya Hindu-Budha kepada Islam disamakan Najib al-Attas dengan perubahan pandangan Dunia Barat yang semula dipengaruhi mitologi Yunani kepada dunia nalar dan pencerahan.

Inilah yang dilakukan Sunan Kalijaga di Jawa ketika menyebarkan Islam dengan menggunakan budaya Jawa sebagai

Page 16: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

218 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

sarana dakwah Islam ke masyarakat Jawa. Islam disebarkan oleh Sunan Kalijaga dengan cara yang damai, tidak membasmi budaya lokal setempat, tetapi membuatnya tampil interaktif dan dialogis. Pada gilirannya, Islam di Jawa adalah Islam yang sudah berbaur dengan budaya lokal setempat. Dalam studi Clifford Geertz (Religion of Java) Islam merupakan faktor signifikan dalam pandangan dan perilaku keagamaan masyarakat Jawa. Perpaduan Islam-Jawa ini memberikan corak yang apresiatif terhadap kearifan budaya lokal.

Hal ini juga terjadi di daerah lain, seperti di Sumatera. Edwin E. Leob (1972) meneliti Islam di Sumatera (Mingkabau) yang percaya kepada tukang sihir dan dukun yang mempunyai kekuatan kodrati (supranatural), percaya pada takhayul (superstitious) yang sebenarnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Tapi sayangnya, setelah adanya gerakan Paderi, budaya lokal setempat dibasmi habis karena dianggap bertentangan dengan Islam. Penghancuran budaya lokal atas nama agama adalah bukti ketidakmampuan dakwah Islam berdialog dengan budaya lokal.

Di sinilah, Islam dan budaya lokal mesti ditempatkan dalam posisinya yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat, yang berakibat pada sikap saling melemahkan. Karena itu, yang diperlukan adalah perpaduan antara Islam dengan budaya lokal. Perpaduan antara Islam dengan budaya lokal ini adalah sebuah tafsir agama yang membebaskan agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Timur Tengah, tetapi Islam mesti berdialog dengan budaya lokal setempat.

Tradisi besar Islam (normatif) adalah sebuah ajaran yang paling fundamental, tetapi ajaran ini tidak bisa menafikan begitu saja tradisi kecil (budaya lokal) yang menyebar di mana-mana sebagai realitas. Karena itulah, Islam mesti melakukan dialog dengan budaya lokal demi menemukan substansi Islam yang ada di mana-mana.

Hassan Hanafi pernah mengemukakan, “Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu. Di satu sisi, legitimasi teritorial, identitas budaya, nasionalisme, dan khasanah warisan. Di sisi lain, legitimasi modernitas yang ditandai dengan ketrbukaan,

Page 17: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Multikultural di Pesantren (Abdurrraman Kasdi) 219

kebebasan, keadilan, supremasi hukum dan lain-lain.” Dengan dua perpaduan antara Islam normatif dengan Islam

historis, maka jalan tengah bagi Islam sebagai agama yang absolut tidak akan kehilangan identitas absolutnya di tengah perubahan zaman. Sebaliknya, budaya sebagai entitas yang otonom di dalam masyarakat tidak ditempatkan di dalam posisi yang subordinat-terpinggirkan ketika agama masuk ke dalam wilayahnya. Pada aras inilah, agama dan budaya mengalami proses pembauran yang konstruktif. Dengan kata lain, agama dan identitas kultural masyarakat setempat mengalami proses yang sama untuk secara bersama-sama membangun peradaban baru yang tidak saling mengalahkan, melainkan peradaban baru yang khas dialami masyarakat setempat. Dengan demikian, secara lebih luas, agama dan identitas kultural tidak akan mengalami ketegangan (konflik), yang akan merusak harmonisasi masyarakat di tengah pluralitas agama dan budaya.

Kesimpulan

Bertrand Russel pernah mengatakan, “Sejauh pendidikan dipengaruhi oleh agama, maka pendidikan dipengaruhi oleh agama institusional yang memiliki arti politik yang besar”.7 Karena itu, pendidikan agama yang dilakukan pesantren memiliki peran politik yang besar dalam mengembangkan teologi multikultural. Meminjam filosofi pendidikan yang telah diformulasikan Paulo Freire, bahwa pendidikan untuk pembebasan bukanlah untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.

Karena itulah, tantangan pesantren tidak lagi berkutat pada pemberdayaan sumber daya manusia, dengan membuat program, seperti kursus-kursus kerajinan dengan perkakas, peralatan, dan

7Bertrand Russel, Education and Social Order, 1993.

Page 18: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

220 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

mesin-mesin, menjahit, pertukangan kayu, perabot rumah, tani dan kebun, las dan teknik elektro.8 Atau misalnya, program kerjasama dengan LSM seperti yang pernah dilakukan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) di Jakarta dalam program produktivitas (pertanian, pemeliharaan ternak dan unggas, pemeliharaan ikan, industri rumah tangga, dan perdaganan eceran), program kesehatan, lingkungan hidup (penghijauan, perbaikan perumahan, dan usaha perkebunan holtikultura dan pemanfaatannya).9 Pesantren kini dihadapkan pada tantangan multikulturalisme yang telah menjadi kenyataan sosial.

Dalam konteks inilah, pendidikan pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat. Tertanamnya kesadaran multikultural dan pluralitas kepada masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan pesantren ke dalam paradigma yang toleran dan humanis. Karena paradigma pendidikan pesantren yang ekslusif dan intoleran jelas-jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi-etnik dan agama. Dengan demikian, filosofi pendidikan pesantren yang ekslusif tidak relevan lagi di zaman multikultural. Sebab, jika cara pandangnya bersifat ekslusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi ekslusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap menghargai kebenaran agama lain.

Seperti dikemukkan Philip Yampolsky, “Melintasi batas adalah sangat penting untuk negara multikultural seperti Indonesia. Tantangan negara multikultural adalah bagaimana membangun toleransi dan pengertian antar kelompok, supaya semuanya bisa hidup dengan damai.”10 Di sinilah signifikansi kita

8Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 209.

9Ibid., hlm. 211-223.10Philip Yampolsky, «Kesenian dan Pluralisme”, Makalah tidak

diterbitkan.

Page 19: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Multikultural di Pesantren (Abdurrraman Kasdi) 221

mendekonstruksi paradigma pesantren ekslusif, yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap dan pola pikir yang bersahaja untuk menghargai dan menghormati agama-agama dan budaya tanpa konflik di tengah-tengah masyarakat multikultural ini.

Page 20: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

222 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Keddie, Nikki R., Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative Reflections, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987.

Rafiq, Ahmad, NU/Pesantren dan Tradisi Pluralisme dalam Konteks Negara-Bangsa, dalam

Rahardo, Dawam (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1974.

Rahardo, Dawam (ed.), Pergulatan Dunia pesantren: Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta, 1985.

Suaedy, Ahmad (Ed), Pergulatan Pesantren dan Demokraatisasi, LKiS, Yogyakarta, Cet. I, 2000.

Tohari, Ahmad, Membangun Dialog Produktif Pesantren-Budaya Lokal, Makalah tidak diterbitkan.

Wahid, Marzuki Dkk (Ed), Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Pustaka Hidayah, Jakarta, Cet. I, 1999.

Yaqin, M. Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, Cet. I, 2005.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1986.

Page 21: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 223

MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS: Upaya Membangun Budaya dalam Masyarakat

Multikulturalisme

Dr. Ahmad Ali Riyadi Dosen ...

Email:

Abstraksi

Tulisan berikut menjelaskan tentang perlunya rekonstruksi filosofis pendidikan Islam dalam kancah masyarakat multikulturalisme. Ada keengganan tersendiri untuk mengatakan pendidikan Islam telah gagal membentuk masyarakat majemuk. Ada paradoks pada satu sisi pendidikan berperan sebagai pengelola pengembangan sumber daya manusia akan tetapi di sisi yang lain pendidikan Islam telah menghasilkan lulusannya menjadi mesin pembunuh yang sangat mengerikan. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam, pertama, kesadaran magis (magical consciousness), kedua, kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness) Kata-kata kunci: Pendidikan Islam, Humanis, budaya dan

multikulturalisme

Pendahuluan

Sudah kadung menjadi komitmen bersama bahwa pendidikan mempunyai peran yang luhur dan agung. Sifat yang agung ini dutunjukkan dari peran pendidikan yang dipahami sebagai pemberian bekal peserta didik unuk menghadapi masa depannya, juga peran pendidikan dipahami sebagai sarana untuk pencerdasan seseorang. Sehingga pendidikan dapat menjadi peran

Page 22: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

224 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

untuk meramalkan nasib seseorang.di masa depannya karena dalam pendidikan orang diajarkan ilmu tertentu yang menjadi keahlian seseorang. Jika orang belajar kedokteran maka dipastikan ia akan menjadi dokter, jika orang belajar di keguruan maka dapat diramalkan ia akan menjadi guru, dan sebagainya. Sebegitu mulianya peran pendidikan sehingga orang tidak pernah merasa curiga terhadap makhluk yang bernama pendidikan.

Akan tetapi jika peran teoritis pendidikan tersebut dicek dalam kancah realitas, maka tentu akan menjadi pertanyaan. Banyak kasus menunjukkan terjadinya keganjalan-kejanggalan pendidikan. Secara intelektual, pendidikan menjadi ajang kritik dari para pengguna jasa pendidikan, di antaranya adalah Paulo Freire dan Ivan Illich. Orang tercengang dengan kritik yang dilakukan kedua pakar tersebut. Bagi Paulo Freire, pendidikan tidak ubahnya membuat seseorang terasing (culture of silence) dengan dunia luarnya, sedang Ivan Illih menyerukan dengan bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah (deschooling society) (Paulo Freire, 2002, Ivan Illich, 2000) Mereka tidak sepakat dan tidak puas dengan adanya lembaga pendidikan formal yang selama ini berlangsung.

Secara realitas, munculnya kekerasan atas nama agama akibat keyakinan seseorang menjadi bukti kegagalan pendidikan. Kekerasan FPI (Fron Pembela Islam) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB), kerusuhan Poso, kerusun Ambon dan lainnya menjadi bukti bahwa pendidikan, dalam hal ini pendidikan agama, telah menjadi mesin perang yang ampuh dan sangat mengerikan. Ada paradoks, pada satu sisi pendidikan yang mengajarkan pada kedamaian akan tetapi kenyataannya telah mencetak teror dan kerusuhan. Ada apa dengan pendidikan? Apakah pendidikan tidak mampu lagi menyuguhkan penghargaan di tengah masyarakat pluralisme? Tulisan singkat ini akan memaparkan secara singkat beberapa persoalan paradoks yang terjadi dalam pendidikan.

Pendidikan Sebagai Rekayasa Budaya

Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendidikan adalah sebagai sebuah gagasan atau rekayasa yang menimbulkan budaya.(Paulo Freire, dkk., 2002). Rekayasa budaya atau disebut dengan invasi kultural merupakan penyerbuan

Page 23: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 225

dengan bantuan sarana budaya terhadap kebudayaan lain, sehingga terjadi penaklukan budaya yang pada akhirnya mengalami proses pemalsuan kultural atau keterasingan terhadap budayanya sendiri.

Dari sini dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan merupakan sarana yang paling ampuh untuk pembentukan karakter pribadi seseorang serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap penting bagi penggagas. Setahap demi setahap orang akan mengalami penyerbuan kultural dengan mengoper budaya asing yang menyergap dirinya. Dengan demikian, seseorang tersebut tidak akan dapat menghayati budayanya sendiri. Tentu hal ini akan membawa akibat buruk dari rekayasa pendidikan, yakni; pertama, menjauhkan seseorang dari tradisi dan nilai-nilai budayanya sendiri, kedua, memunculkan rasa keterasingan terhadap hakekat diri sendiri, serta kondisi sisio budaya sendri dan proses tidak mengenali jati dirinya sendiri, yang kemudian timbul rasa malu terhadap kekayaan budaya sendiri sebab dianggap inferior (ndesani). (Kartini Kartono, 1997)

Pendidikan menjadi sarana rekayasa yang dapat mengarahkan seseorang untuk mengikuti dan menyakini kebenaran yang didapatkan lewat kerangka berpikir keilmuan yang dihasilkan. Kerangka ini menjadikan seseorang tidak mampu keluar dari jeratan pemahaman ilmu yang didapatkan dari lembaga pendidikan. Indoktrinasi lebih mendominasi dan memaksakan kemauan ide-ide edukatif tanpa memperhatikan kebutuhan, harapan dan aspirasi pengguna jasa pendidikan. Penggagas ingin membentuk pribadi pengguna jasa pendidikan sesuai dengan citra penggagas. Karena itu pengguna jasa pendidikan dirampsa dari kata-kata, pikiran, bahasa, pengalaman hidup dan kebudayaannya, agar mudah diserbu dan diisi dengan nilai-nilai dan benda-benda asing yang cocok dengan kepentinggan penggagas.

Oleh karena itu, lambat laun orang-orang yang ditaklukkan akan mengoper lalu mengasyiki semua peristiwa di sekililingnya tidak lagi dengan mata dan hati nurani sendiri akan tetapi menghayati semua kejadian di sekitarnya dengan keinginginan penggagas. Semakin patuh dan makin otomatis orang-orang yangdiserbu itu menirukan pola tingkah laku para penyerbunya, maka akan dianggap semakin prima dan semakin sukseslah proses

Page 24: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

226 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

pendidikan. Oleh karena itu, proses pembudayaan disebut berhasil apabila orang tunduk secara mutlak dan pasif menerima semua perintah yang diberikan oleh para penggagas.

Dalam realitas sejarah, peranan pendidikan sebagai sarana budaya ini dapat dicermati dari munculnya berbagai lembaga-lembaga pendidikan yang dibentuk oleh kekuatan ormas-ormas maupun kekuatan politik kekuasaan. Misalkan munculnya berbagai lembaga-lembaga pendidikan yang disokong oleh penggagas yang beraliansi pada kepentingan kebijakan politik tertentu. Sebagai bentuk eksperimen untuk mendukung argumen ini, misalkan dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi di bidang demokrasi dengan menjunjung tinggi hak-hak individu, maka tentunya tersusunlah sistem pendidikan yang memperhatikan dan mengembangkan penghargaan terhadap hak-hak individu. Akan tetapi sebaliknya, di negara totaliter dengan pemerintahan yang menguasai segala-galanya lewat kekuasaan absolut, pemerintah membatasi kebebasan individu dengan memberikan pendidikan yang uniform bagi semua obyek didik. Sistem pendidikannya cuman satu yakni mencerminkan ide-ide politik para politisi yang berkuasa. Obyek didik harus bersikap otokratis dan mutlak sebab dengan sepenuhnya obyek didik harus melaksanakan semua perintah para penguasa politik yang bersifat otoriter. Bagi negara otoriter, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominir rakyat. Oleh sebab itu, pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan. (Kartini Kartono, 1997) Begitu juga dalam bentuk negara yang menganut ideologi otokratis dengan pemimpin seorang raja, kekuatan politik mempunyai kekuatan yang sangat besar bahkan sangat absolut tidak terbatas dalam mempengaruhi praktek pendidikan. Negara mempunyai wewenang untuk memilih dan menentukan sistem pendidikan untuk subyek-obyek didik. Keduanya harus patuh dan tunduk mengikuti segala keputusan pemerintah. Pada negara yang menganut sistem oligarkis yang diperintah oleh beberapa penguasa yang terpilih dan mahakuasa juga mengembangkan sistem pendidikan yang monolinier seperti negara otokratis. Sistem pendidikannya mengutamakan pendidikan bagi kelompok-kelompok tertentu yang dipersiapkan akan menjadi penerus penguasa. Sedangkan rakyat banyak dibiarkan tidak terdidik dan dalam keadaan terbelakang sebagai abdi penguasa.

Page 25: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 227

Hal yang sama juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem ideologi kapitalisme dan komunisme. Di negara kapitalis, politik dan negara dikuasai oleh sekelompok pemodal. Lembaga pendidikan umumnya dikuasai oleh pemodal sehingga pada umumnya lembaga pendidikan dikembangkan atas dasar investasi. Konsekuensinya lembaga pendidikan dibangun atas dasar bisnis dan keuntungan ada pada pemilik modal. Di negara komunis yang menerapkan diktator proletariat menerapkan pendidikan sebagai fungsi negara. Pendidikan merupakan senjata strategis untuk menguasai rakyat yakni memacu rakyat menjadi manusia yang uniform. Politik adalah sinonim dengan pengendalian secara ketat terhadap negara dan rakyat. Karena itu sistem pendidikannya erat sekali berkaitan dengan sistem politik dan ambisi-ambisi politik negara tercerminkan pada kerangka filosofis dan praksis pendidikan. (Kartini Kartono, 1997)

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dalam sejarah Islam hubungan antara pendidikan dan kebijakan politik dapat dilacak sejak masa-masa awal pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar tahun 1064 M oleh Wazir Dinasti Saljuk Nizam al-Mulk sebagai pendukung mazhab Sunni (Syafi’i). Lembaga ini merupakan lembaga tandingan Madrasah al-Azhar di Mesir yang pada awalnya didirikan Dinasti Fatimiyah untuk mendukung dan menyebarkan mazhab Syi’ah.(W. Montgomery Watt 1976). Untuk lembaga al-Azhar dapat dicermati lewat karyanya Bayard Dodge, al-Azhar: a Millenium of Muslim Learning (Washington D.C: The Mindle East Institute, 1961)

Fenomena tersebut, bahwa signifikansi dan implikasi politik dan pengembangan madrasah --pendidikan Islam-- pada umumnya bagi penguasa Muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa Muslim, yakni untuk mendukung, menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang-orang yang mempunyai kesalehan dan kepedulian kepada kepentingan umat dan lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam.Hal

Page 26: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

228 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

ini pada gilirannya akan memperkuat legitimasi penguasa vis a vis rakyat. (Azyumardi Azra, 2002)

Kepentingan terselenggaranya pendidikan telah membawa dampak rekayasa kebudayaan demi eksistensi kebudayaan penggagas itu sendiri. Kadangkala lembaga-lembaga pendidikan itu menjadi sarana yang ampuh sebagai mesin perang yang sangat mengerikan. Sebagai contoh pertarungan antara kelompok sunni dan kelompok si’ah di negara-negara muslim menjadi kesalahan sejarah yang fatal akibat rekayasa pendidikan. Pertarungan ideologi-ideologi besar dunia, komunis, fasis, sosialis dan Islam, menjadi bukti lain yang mengantarkan pada pembasmian etnis.

Peran Pendidikan Islam

Berdasarkan landasan berpikir tersebut perlu upaya reorientasi pendidikan Islam di tengah masyarakat yang multikultural. Hal ini perlu dilakukan untuk mendapatkan formula pendidikan yang bebas dari kepentingan penggagas. Sebab pendidikan akan menjadi ajang pendoktrinan jika tidak dibarengi dengan prinsip yang netral terhadap penggagas. Bagaimana mungkin pendidikan akan menjadi humanis jika lembaga pendidikan itu digembok dengan berbagai kepentingan-kepentingan. Berikut beberapa hal prinsip yang perlu dipertimbangkan;

Pertama, fungsi menumbuhkan kesadaran magis (magical consciousness). Kesadaran ini dikembangkan dengan suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Seringkali terjadi dalam dunia pendidikan bahwa alumni sebuah lembaga pendidikan tidak mampu berkreasi dan berkarya serta selalu tetap berada di pinggiran arus pembangunan yang berjalan begitu cepat. Akibatnya, jumlah pengangguran justru banyak diisi oleh kelas menengah terpelajar. Ketidakberdayaan kelas terpelajar ini sebenarnya diakibatkan oleh sistem sebagai struktur pembelajaran yang telah menjerembabkannya ke dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Disebut menjerembabkan karena lembaga pendidikan telah membawa dampak pada alienasi (keterasingan) peserta didik terhadap dunia luar. (Ivan Illich, 2000) Alienasi, dalam kerangka tradisional, dipahami bahwa peserta didik telah mempunyai persepsi bahwa sekolah atau lembaga pendidikan telah dianggap

Page 27: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 229

dapat menjanjikan kerja langsung, pada hal perkembangan dalam dunia kerja begitu cepat melebihi nalar keilmuan yang diajarkan di lembaga sekolah. Peserta didik telah dialienasikan oleh sekolah yang mengisolasi mereka ketika mereka bermaksud menjadi produsen dan konsumen dari pengetahuan mereka sendiri. Kenapa demikian? Karena begitu peserta didik belajar dan diajar di lembaga sekolahan maka orang akan kehilangan inisiatif untuk tumbuh mandiri dan menutup diri terhadap hal-hal yang berkembang di luar pelajaran yang diajarkan di sekolah. Kreatifitas dan kemampuan diukur dari nilai-nilai yang diatur lembaga pendidikan dan kesusksesan seseorang juga ditentukan oleh seberapa tinggi nilai evaluasi yang didapatkannya dan seberapa tinggi gelar kesarjanaan yang diperolehnya. Lembaga pendidikan telah menjadi nilai konsumtif pasar kerja yang berkembang dengan memberikan janji-janji pengembangan potensi kerja yang menggiurkan. Sehingga lembaga pendidikan telah menjadi lembaga rekayasa sosial yang paling ampuh untuk membuat orang teralienasi.

Salah satu problem pendidikan Islam yang mengarah kepada alienasi adalah pengembangan kurikulum nalar klasik. Nalar klasik dipahami sebagai pandangan yang berkembang dan terbentuk pada masa lampau akan tetapi keberadaannya selalu diulang-ulang pada masa sekarang tanpa adanya upaya tranformasi pemikiran untuk diderkonstruksi dan dekonstruksi sesuai dengan kondis zaman.

Meminjam istilah yang dikemukakan al-Jabiri, bahwa nalar yang dikembangkan agama zaman sekarang adalah dunia nalar yang berkembang dalam dunia Arab Islam klasik. Oleh al-Jabiri menyebutnya dengan sebutan Nalar Arab. Nalar Arab dipahami sebagai sejumlah prinsip dan kaidah yang dikemukakan oleh kultur Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Himpunan pengetahuan itu secara tidak sadar telah menjadi episteme bagi kebudayaan Arab Islam yang lahir dari kumpulan tradisi pemikiran yang diwariskan dari peradaban Islam pada abad pertengahan. Masa kemunculan kebudayaan itu, oleh al-Jabiri, disebut dengan masa kodifikasi (‘ashr tadwin), yaitu masa di mana berlangsun proyek konstruksii budaya secara massif dalam pengalaman sejarah peradaban Islam, antara pertengahan abad 2 H dan pertengahan abad 4 H. Yang pada akhirnya peradaban ini membentuk sebuah kerangka rujukan bagi pemikiran Arab Islam

Page 28: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

230 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

dengan segenap disiplin keilmuannya yang beragam. Tentunya, masa kodifikasi ini bukanlah sekedar proses pembakuan dan pembukuan berbagai disiplin keilmuan akan tetapi harus dipahami pula sebagai rekonstruksi kebudayaan secaara menyeluruh dengan segenap persoalan yang dikandung oleh peroses pembukuan, baik yang berupa eliminasi, suplemasi, dominasi, pembungkaman, manipulasi dan penafsiran yang kesemuanya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologis dan faktor-faktor sosio kultural yang beragam, yang secara tidak sadar telah diikuti secara “paksa” tanpa ada pengkritisan oleh pengikut-pengikut peradaban Arab Islam. (Muhammad Abid al-Jabiri, 1991)

Nalar Arab ini kemudian menjadi sejumlah prinsip dan kaidah yang dikemukakan oleh kebudayaan Arab Islam bagi penganutnya sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dan menharuskan mereka untuk menjadikannya sebagai srana memperoleh pengetahuan dan mengharuskan mereka untuk menjadikannya sebagai sistem pengetahuan, yaitu sebagai kumpulan dari konsep-konsep dan prosedur-prosedur yang memberikan pengetahuan secara tidak sadar sebagai episteme kultur Arab, yang pada akhirnya mengkristal mengisi sebuah peradaban yang statis dan absolut.

Ilmu pengetahuan Arab Islam yang muncul di dunia Arab yang semula diajarkan dengan nalar universal kemudian dibakukan melalui penafsiran tertentu yang diresmikan oleh lembaga umat sebagai sesuatu yang sudah selesai dan diajarkan secara terus menerus. Akibatnya umat Islam sekarang lebih mengenal produk pemahaman aama dari pada metode kemunculan produk, sehingga kreativitas berpikir menjadi statis. Pola prikir statis ini muncul sebagai akibat ketidakkmampuan umat Islam dalam mendialogkan ilmu keislaman dengan fakta historis kealaman, sehingga menimbulkan alienasi dengan fakta.

Kedua, membangun kesadaran naif (naival consciousness). Lembaga pendidikan sebagai sebuah keadaan kesadaran yang melihat keterbelakangan oleh faktor individu dari orang lain. Dalam kesadaran ini masalah, etika, kreativitas, need for achivement dianggap sebagai perubahan sosial.

Pendidikan membangun individu yang mempunyai watak negative and diagnostic dan positive and remedial. Yang pertama, adalah membentuk manusia yang anti terhadap otoritarisme

Page 29: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 231

dan absolutisme terhadap segala bentuk yang meliputi semua bidang kehidupan baik agama, moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan. Yang kedua, adalah pendidikan berdasarkan pada suatu kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subyek yang memiliki potensi-potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan mempertahankan diri untuk menghadapi dan mengatasi semua problem kehidupannya.

Pendidikan memberikan keyakinan baru akan pentingnya transformasi sosial sebagai bentuk kesadaran sesorang atas teori normatif pendidikan. Segala bentuk teori ilmu yang diajarkan hendaknya dapat membebaskan perilaku sehingga dapat membentuk kesalehan sosial, dalam bahasa agama disebut akhlaq karimah (saleh ritual dan saleh sosial sekaligus). Pendidikan yang awalnya untuk mengatur dan membekali potensi manusia harus dipahami secara produktif, namun kenyataannya justru menjadi sesuatu yang menakutkan dengan pemahaman yang dogmatik dan kaku. Hal ini dinyatakan dengan pemahaman out put pendidikan yang diukur dengan nilai serba hitam merah. Nilai hitam jika peserta didik mendapatkan nilai yang tinggi dalam proses belajarnya begitu juga sebaliknya mendapat nilai merah jika peserta didik tidak mampu mendapatkan nilai standar yang telah ditentukan. Hal ini sangat berkonotasi pragmatisme.

Model penilaian salah benar dalam mengukur kelulusan pendidikan tersebut lebih mengarah nalar pragmatis. Nalar pragmatisme dalam dunia pendidikan lebih diakibatkan oleh paradigma budaya konsumerisme kapitalis. Sifat dasar dari paradigma ini adalah demi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Sifat dasar pembangunan telah membentuk karakter yang mendasari terselenggaranya pembangunan secara pragmatis. Sikap pragmatisme ini merupakan sebuah sikap cara berpikir demi efisiensi dan efektivitas.

Ada argumen sederhana bagi kemunculan dampak negatif pembangunan yakni sikap pembangunan yang bersifat pragmatis lebih banyak tidak mengindahkan unsur kemanusiaan sebagai bagian dari proses pembangunan itu sendiri. Sebab yang ada dalam benak para penggagas pembangunan hanyalah bagaimana cara membangun sarana secara efektif dan efisien denan secepat mungkin hingga hasilnya dapat dinikmati. Pada hal kehendak yang

Page 30: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

232 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

demikian, sebenarnya serupa dengan motif yang ada pada ilmu ekonomi klasik, yakni kapitalisme, yaitu dogma yang mengajarkan pada individu agar mampu mendapatkan hasil semaksimal mungkin dengan pengorbanan seminimal mungkin. Dari sinilah pembangunan kemudian membawa dampak negatif dengan munculnya hegemoni kultural dan politik dalam developmentalisme.

Sebagai bentuk dari hegemoni kultural dapat dicermati dengan munculnya modernisasi sebagai salah satu jargon pembangunan. Dengan modernisasi, pembangunan telah menciptakan ideologi baru dan dengan pengaruh kultural dan politik melalui penciptaan diskursus sistemik dan terstruktur serta propaganda dan yang sistematis untuk mengganti ideologi, budaya dan politik rakyat yang subordinat. Agama, pendidikan dan lembaga-lembaga lainnya digunakan aparat pembangunan untuk mengaburkan hubungan kekuasaan dan menyebabkan orang kehilangan nilai-nilai humanitas. Sebagai hegemoni, jargon modernisasi menciptakan konsep realitas pada seluruh masyarakat dalam semua kelembagaan dan dimanifestasikan secara seseorang sehingga mempengaruhi citra rasa, moralitas, adat istiadat, keagamaan dan politik maupun hubungan sosial.

Sebagai dampaknya tentu seluruh aspek humanitas manusia telah terhegemoni pada budaya konsumerisme atau kebudayaan benda. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercerabut dan digantikan dengan nilai-nilai kebendaan. Keakuan manusia tidak lagi difokuskan pada kesucian jiwa akan tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumerisme materi. Kehidupan telah berubah menjadi corak hedonistik, yakni kesuksesan dirumuskan sebagai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan fisikal. Padahal kenikmatan fisikal seringkali menjerumuskan pada penghancuran kehidupan.

Dalam konteks pendidikan, sebagai salah satu sasaran propaganda pembangunan, tidak bisa lepas dari bidikan pragmatisme sebagai ekses pembangunan bermazhab kapitalisme. Sebab realitas yang terjadi adalah kecenderungan menempatkan manusia sebagai pelaku atau robot pembangunan dan bukan manusia sebagai jiwa yang memiliki kompleksitas persoalan. Kritik ini diarahkan pada sistem pendidikan agama yanghanya sekedar membentuk manusia yang bermental dan berorientasi pada pembangunan dengan jargon profesinalisme. Karena bagaimanapun

Page 31: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 233

pembangunan membutuhkan keterlibatan pendidikan dalam rangka mensosialisasikan arti pentingnya pembangunan. Paradigma yang digunakan adalah pradigma sumber daya mananusia dari teoriekonomi klasik. Teori ini menmpatkan manusia sebagai bagian penting dari faktor produksi. Dengan mengasumsikan manusia sebagai faktor produksi, maka paradigma ini tentu saja mereduksi manusia pekerja menjadi obyek. Sementara subyeknya adalah kapitalisme. Maka dari itu, pendidikan merupakan jalur strategis untuk mewujudkan sumber daya manusia yang produktif. Tampaknya hanya dengan pendidikan yang diformalkan manusia akan dapat bekerja secara produktif. Pendidikan diformat semata-mata sebagai sertifikat yang harus dimiliki setiap orang ntuk dapat bekerja. Jelasnya, adalah manusia dalam menempuh pendidikan hanya dipahami sebagai kerangka pragmatis mencarikerja. Ukuran sukses tidaknya seseorang dalam menempuh pendidikan ditentukan oleh kesuksesan seseorang dalam bekerja sesuai dengan bidang studi dalam pendidikan. Pendidikan tidak dipahami sebagai pengembangan keilmuan akan tetapi pendidikan dipahami sebagai pencarian pekerjaan yang bersifat praktis. Kenyataan bahwa pendidikan hanya sekedar diarahkan untuk memenuhi panggilan pembangunan dapat dibuktikan semakin melemahnya kesadran manusia bahwa kehidupan itu diciptakan secara sosial.

Pendidikan, pasar dan politik pada akhirnya menjadi saling terkait dan merupakan lingkaran dalam sebuah sistem yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Konsep link and macth yang dipakai seringkali mengehendaki manusia diarahkan hanya sekedar untuk menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi saja. Sistem pendidikan yang semacam inilah yang cenderung menciptakan manuisa pragmatis pembangunan yang hanya mampu menuruti aktor kekuasaan. Manusia kemudian menjadi tidak hanya imajinasi sosiologis untuk mengekspresikan realitas yang berada di luar sistem. Keseluruhan mekanisme dan tindakan pembangunan harus sesuai dengan kesepakatan yang berada dalam sistem yang diajarkan oleh sistem pendidikan. Dari sinilah yang dimaksud pendidikan telah membatasi manusia yang terkungkung dalam nalar pragmatis.

Ketiga, membangun kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran ini memandang sebab masalah dilihat dari sistem alam

Page 32: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

234 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

atau struktur sebagai sumber masalah. Kesadaran ini memberikan ruang bagi masyarakat agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam struktur yang ada dan mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur lembaga.

Strukur dipahami sebagai realitas yang dilihat sebagaimana adanya yang diletakkan sebagai sebuah sistem. Dalam hal ini lembaga pendidikan merupakan bagian dari struktur realitas. Oleh karenanya, pendidikan seharusnya dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat melihat sistem yang menjadi sasarannya untuk membuka sistem yang membelenggu dirinya. Sebagai contoh munculnya keterasingan karena diskriminasi peran kelompok minoritas dalam kelompok mayoritas masyarakat atau munculnya keterasingan seseorang karena kemiskinan dilihat karena adanya sistem realitas yang mengitarinya tidak memungkinkan seseorang untuk dapat keluar dari gubangan sistem yang membelenggu. Biasanya dalam diskriminasi menandakan adanya penindasan, peminggiran dan ketidakadilan sosial. Karena adanya unsur superioritas kelompok atau sistem terhadap kelompok lainnya. Ada banyak faktor mengapa pendidikan sering ditampilkan dalam corak diskriminatif. Salah satunya adalah adanya klaim kebenaran yang tidak disertai dengan adanya pemahaman kemajemukan.

Faktor ini dapat dicermati dari pelaksanaan pendidikan agama dengan nalar eksklusif. Secara harfiyah eksklusif berarti sendirian, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Secara sosial pengertian ini dipahami sebagai sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip diri sendirilah yang paling benar. Sementara keyakinan pandanan, pemikiran dan prinsip yangdianut orang lain adalah sesat, salah dan harus dijauhi. Tentunya, pendapat seperti ini akan berdampak pada peminggiran saran dan pemikiran yangberasal dari kelompok lainnya.

Eksklusifisme pendidikan agama ini terhadi karena beberapa hal, pertama, pendidikan agama yang dikembangkan telah terbakukan melalui penafsiran-penafsiran tertentu yang diresmikan oleh lembaga-lembaga keagamaan tertentu, kemudian diajarkan kepada masyarakat. Sebagai dampak penafsiran ini agama yang semula memesankan pada pembebasan pada akhirnya

Page 33: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 235

kehilangan pesan kemanusiaan sebagai agama pembebas dan ideologisasi yang berakibat pada dehumanisasi.

Ketika agama mengalami proses pelembagaan yang berlebihan maka yang terjadi adalah pembungkaman kekayaan penafsiran, di luar tafsir resmi yang diakui oleh lembaga berwenang mustahil ada tafsir lain yang diakui kebenarannya. Kitab suci agama yang semula terbuka kepada tafsir dibungkam suaranya menjadi hanya berbunyi satu tafsir. Masyarakat agama yang di luar daerah tafsir resmi tersebut akan dicap murtad atau bid’ah. Proses dialogis pada tataran ini dimumkinkan tidak lagi terdapat tempat yang selayaknya.

Suasana seperti ini dapat dicermati pada kasus lembaga pendidikan agama di Indonesia, umumnya juga terjadi di lembaga pendidikan agama seluruh dunia Islam. Di Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan agama banyak didirikan oleh lembaga-lembaga sosial keagamaan tertentu, misalkan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Ahmadiyah dan lembaga sosial keagamaan lainnya, adalah merupakan contoh sebuah pengkaderan paham atas tafsir agama tertentu. Walaupun model seperti ini dibenarkan menurut ilmu sosiologi, namun pengkotak-kotakkan ini pada akhirnya menimbulkan mazhab dari kelompok tertentu yang secara tidak sadar telah menimbulkan fanatisme mazhab dari kelompok tertentu pula, jika proses pembelajaran agama tidak dibarengi dengan pemahaman multitafsir. Corak seperti ini tentunya tidak menguntungkan bagi pengembangan nalar kritis pluralis di tengah masyarakat yang multi etnis.

Kedua, adanya keterasingan manusia sebagai peserta didik atas lingkungan sekitarnya. Konsep ini berangkat dari hakekat manusia yang pada intinya adalah bebas dan merdeka. Pendidikan agama seharusnya bertolak dari pengenalan dirinya sendiri dan realitas lingkungan manusia. Seringkali, pendidikan dianggap sebagai investasi material untuk meneruskan tradisi dan kekayaan intelektual dari generasi kepada generasi selanjutnya. Model ini disebut dengan sistem pendidikan bank (banking education system). Disebut demikian karena dalam prakteknya pendidikan hanyalah proses pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge). Dari sini dipahami atau tidak proses seperti ini akan menimbulkan nalar eksklusif karena pada dasarnya sistem pendidikan yang

Page 34: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

236 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

dikembangkan menganut sistem searah dan tidak menampilkan sistem dialogis.

Dalam konteks edukasi selama tidak ada kesadaran dialogis yang mengarah kepada kualitas kesadaran dan pengetahuan yang memadai, peserta didik akan terus bungkam meskipun berada di bawah tekanan struktural atau sistem sosial. Akibatnya, peserta didik tidak mengkreasi sejarah dan budayanya sendiri. Situasi terbungkam inilah yang menimbulkan kebudayaan bisu (culture of silence). Secara filosofis, dalam pandangan yang sama tapi dalam bahasa yang berbeda, bahwa pendidikan agama yang dikembangkan masih berkutat pada dataran normativitas teks agama kurang memperhatikan aspek historisitas kekinian teks. Ajaran agama yang bersifat normaif telah diklaim sebagai yang bersumber dari Tuhan yang suci, bersifat samawi, bersifat sakral, bersifat menjadi agama yang mempunyai keunikan ciri yang spesifik sekaligus membedakannya dari jenis pengalaman budaya dan sosial keagamaan. Jika klaim kebenaran berbenturan dengan historisitas teks agama yang bergulat dengan faktor kepentingan, baik kepentingan kelompok, golongan, etnis, birokrasi, maka akan muncullah ketegangan antar penafsiran atas historisitas teks agama. Penafsiran agama yang diklaim sebagai agama itulah yang kemudian rentan akan memunculkan konflik. Karena konflik diidentifikasikan sebagai penafsiran tunggal yang diklaim sebagai sebuah kebenaran agama secara absolut yang mengesampingkan terhadap kebenaran agama lain.

Persoalan ini terjadi karena muatan pendidikan agama yang dikembangkan telah terbakukan melalui penafsiran-penafsiran tertentu yang diresmikan oleh lembaga-lembaga keagamaan yang dibentuk lembaga sosial tertentu untuk kemudian diajarkan kepada peserta didik atau masyarakat. Agama yang semula memesankan pada pembebasan, pada akhirnya agama kehilangan pesan profetisnya sebagai agama pembebas dan ideologisasi yangg berakibat pada dehumanisasi. Ketika agama mengalami proses pelembagaan yang berlebihan maka yang terjadi adalah pembungkaman kekayaan tafsir, di luar tafsir resmi yang diakui oleh lembaga lain mustahil ada tafsir yang diakui kebenarannya. Kitab suci yang semula terbuka kepada semua tafsir dibungkam suaranya menjadi hanya berbunyi satu tafsir. Masyarakat agama yang berada

Page 35: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 237

di luar daerah tafsir resmi akan dicap mrtad atau bid’ah. Hal ini jelas akan mennghilangkan rasa kemanuisaan antar sesama.

Seringkali dijumpai dalam doktrin agama selalu menggunakan sistem pemahaman pengajaran agama dengan menggagas pendekatan konflik yang tanpa disadari telah megarahkan pada eksklusivitas pluralisme agama. Wacana iman versus kafir, muslim versus non muslim, sorga versus neraka menjadi bahan kurikulum yang dogmatik. Pelajaran teologi seperti itu memang tidak dapat dihindari namun pengajaran itu hanya diajarkan sekedar memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dan perlunya transformasi sosial ajaran agama. Akibatnya, tentulah sangat fatal yakni paradigma eksklusif doktrinal yang menciptakan kesadaran umat agama untuk memandang umat agama lain secara antagonistis. Oleh karenanya, pendidikan agama harus melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membenuk kesadaran peserta didik berwajah inklusif tanpa harus menghilangkan kesadaran akan keyakinannya.

Persoalan lain yang tidak kalah menariknya adalah pembentukan nalar jender dalam dunia pendidikan sebagai akibat sistem struktur yang telah terbentuk secara tidak disengaja. Istilah gender seringkali dirancukan dengan seks. Kedua istilah ini berbeda, jika lebih digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya. Sementara sex lebih digunakan untuk megidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Istilah seks lebih banya berkonotasi kepada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan anatomi fisik, hormon dalam tubuh, reproduksi dan karakteristik biologisnya lain. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya.

Secara konseptual tidaklah menimbulkan perbedaan. Namun dalam realitas sosial perbedaan gender telah menimbulkan perdebatan. Perdebatan muncul karena disinyalir telah menimbulkan ketidakadilan peran antara laki-laki dan wanita dalam realitas sosial. Ketidakadilan itu muncul karena adanya kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Pemutarbaikan ini sebagai bentuk peneguhan

Page 36: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

238 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

pemahaman yangtidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yangsesungguhnya gender, karena adanya konstruksi sosial, maka justru dianggap sebagai kodrati yang berarti ketentuan biologis atau ketentutan Tuhan. Misalkan peran perempuan dalam bidang domistik sering dianggap sebagai kodrat wanita. Pada hal dalam kenyataannya peran tersebut merupakan konstruksi peran kultural dalam masyarakat. Boleh jadi urusan tersebut akan dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karean jenis pekerjaan itu dapat dipertukarkan apa yang sering disebut kodrat wanita atau taqdirTuhan atas wanita dalam kasus ini adalah peran gender.

Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menimbulkan persalan selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Munculnya ketidakadilan merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki maupun wanita menajdi korban dari adanya sistem tersebut. Untuk melihat ketidakadilan jender dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tetap langgenggnya budaya gender. Di antaranya adalah pendidikan di samping sebagai faktor lain, semisal, tafsri agama, budaya, etnis dan kebijakan kekuasaan. Faktor-faktor ini berperan dalam menghambat perjuangan kaum feminis sekaligus langgengnya bias gender.

Pendidikan agama dapat pula menjadi faktor kelanggengan bias gender. Beberapa indikasi yang dapat dijadikan patokan adalah pada ajaran agama sebagai materi pendidikan agama itu sendiri. Agama yang diyakini sebagai pegangan hidup memiliki pengaruh fungsional terhadap struktur sosial masyarakat. Berkat adanya penafsiran agama oleh pemeluknya agama telah berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap struktur sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat termasuk salah satuna struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Di sinilah ajaran agama yang ditafsirkan telah bedampak pada pelanggengan bias gender.

Adanya bias gender dalam sejarah peradaban Ilam sudah muncul sejak Islam ada di jazirah Arab. Dalam kehidupan masyarakat Arab bias gender terjadi karena berkembangnya corak ideologi patiarki yang memberikan otoritas dan dominasi kepada kaum laki-laki dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Kaum laki-laki pada umumnya memperoleh kesempatan yang lebih besar

Page 37: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 239

dari pada perempuan untuk memperoleh prestasi dan prestise kehidupan sosial kemasyarakatan.

Budaya patiarki ini dalam sejarah kemajuan intelektal Islam telah menjadi peradaban. Sehingga penafsiran agama Isam dengan nuansa patiarki ini sudah menjadi sistem nilai. Sistem nilai merupakan unsur kebudayaan yang paling sulit berubah, sekaligus berpengaruh cukup kuat pada sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karenanya, penafsiran agama dengan bias gender tersebut tetap bertahan meskipun gerakan feminisme terus berjuang untuk mendobraknya. Tetap saja, penafsiran agama menjadi benteng yang cukup kuat dalam melanggengkan bias gender dalam masyarakat.

Corak nalar tafsir agama sudah terlanjur secara turun temurun dianut tanpa kritik. Secara antropologi keilmuan Islam, nalar yang dikembangkan merupakan hasil produk penafsiran dari dunia Arab Islam pada masa pembukuan (kodifikasi) atau pencatatan sampai sekarang ini, maka adalah merupakan fakta yang dinamika internalnya tidak mampu lagi mengekspresikan dirinya dalam menghasilkan pengetahuan baru kecuali hanya daam bentuk reproduksi pengetahuan lama. Pengetahuan-pengetahuan ini kemudian diimpor oleh ulam-ulama Indonesia melalui jaringan ulama, sehingga keberadaan tafsir agama tidak jauh berbeda dengan apa yang dipelajari di dunia Arab Islam abad pertengahan.

Dari paparan tersebut bahwa rujukan proses pengajaran materi agama yang diajarkan di lembaga-lembaga agama tidaklah berbeda dengan wacana intelektual Islam masa lalu. Nalar gender yangberujung pada pelestarian bias gender tetap menjadi nuansa yang sangat mengkhawatirkan.

Ilmu-ilmu agama yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan agama yang bernuansa pemikiran klasik, misalkan fiqh, hadist dan tafsir tanda disadari seringkali ditafsirkan dengan nuansa patriarki. Sehingga nuansa ketidakadilan gender sangat mencolok. Sebagai ilustrasi banyak kajian-kajian fiqh yang diajarkan di lembaga agama yang tanpa disadari menimbulkan bias gender jika tanpa dibarengi dengan nalar kritis. Salah satu kasus ajaran fiqh misalkan, yang mengatur keududkan perempuan dalam perkawinan, dalam pembagian warisan, sebagai saksi, sebagai pemimpin dan lain sebagainya, seringkali menempatkan

Page 38: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

240 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

perempuan sebagai pihak kedua. Dalam perkawinan perempuan diempatkan sebagai obyek sedangkan laki-laki sebagai subyek. Dalam pengertian, bahwa perempuan ditempatkan sebagai pihak yang diatur sedangkan laki-laki ditempatkan sebagai pihak yang mengatur.

Dalam bidang tafsir penafisran al-Qur’an juga seringkali dikemukakan oleh para mufassir yang mengarah kepada ketidakadilan gender. Walaupun sebenarnya al-Qur’an lebih mengarahkan kepada persamaan derajat laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, penafsiran yang bernuansa bias gender terjadi yang dalam kenyataannya penafsiran al-Qur’an lebih banyak mendukung peranan laki-laki dari pada wanita. Bias gender dalam penafsiran ini sebenarnya lebih didukung oleh peranan laki-laki sebagai penafsir atas perempuan yang mengarah pada sifat-sifat feminim dan maskulin penafsir. Pemilahan sifat dan peran tersebut mengakibatkan terjadinya dominasi dan subordinasi penafsiran teks. Karena sifat penafsir yang maskulin muncullah dominasi gagasan laki-laki yanag maskulin terhadap teks atas perempuan yang kemudian terealisasikan dengnan baik dalam kehidupan. Penutup

Beberapa antisipasi pengembangan pengembangan lembaga pendidikan Islam seperti yang didikusikan tersebut merupakan antisipasi di masa depan dalam upaya menghadapi perkembangan akan kebutuhan pendidikan di tengah masyarakat multkultural. Masyarakat multikultural sangat membutuhkan tenaga profesional yang digembleng di lembaga pendidikan. Oleh karenanya, terdapat tantangan lembaga pendidikan Islam antara idealisme dakwah Islam dan tuntutan praktis. Apakah lembaga pendidikan Islam tetap pada idealismenya ataukah hanyut dalam dunia pragmatisme. Jawaban dari pertanyaan ini dibutuhkan analisis yang komprehensif supaya idealisme pendidikan Islam tidak luntur, begitu juga pendidikan Islam tidak ketinggalan dengan kemajuan masyarakat industri yang kompleks begitu cepat. Perkembangan ini tentu menimbulkan kepentingan masyarakat yangg berbeda-beda dan lebih rumit, maka diperlukan desain lembaga pendidikan yang humanis.

Page 39: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menggagas Pendidikan Islam Humanis (Ahmad Ali Riyadi) 241

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.

Amin Abdullah,”Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama,’ dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 11 tahun 2001.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta; Logos, 2002.

Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerj. A. Sonny Keraf, Jakarta: Yayasan Obor, 2000.

Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerj. Sony Keraf, Jakarta; Yayasan Obor, 2000.

Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: Pradya Paramita, 1997.

Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik Dan Sugesti, Jakarta; Pradya Paramita, 1997.

Keterangan tentang madrasah Nizamiyah dapat dilihat lebih lanjut lewat karyanya W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, London; Sidgwick & Jackson, 1976. Bayard Dodge, al-Azhar: a Millenium of Muslim Learning, Washington D.C: The Mindle East Institute, 1961.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996.

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Muhammad Abid al-Jabiri, at-Turast wa al-Hadastah: Dirasah wa Munaqasat, Beirut: al-Markaz as-Siqafi al-‘Arabi, 1991.

Page 40: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

242 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Media Cita, 2000.

Paulo Freire, dkk., Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal dan Anarkis, penerj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Page 41: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 243

PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURALDALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS

Oleh: Ma’mun Mu’min

PendahuluanUnderstanding of multiculturalism sebagai suatu pandangan

yang berusaha mengakses eksistensi pluralitas agama, budaya, bahasa, etnis, sistem sosial, dan keanekaragaman lainnya. Pandangan ini muncul sebagai kanter terhadap perilaku diskriminasi dan bentuk ketidakadilan lainnya, apakah dalam bentuk diskriminasi individual, yakni bersikap tidak adil kepada orang lain hanya karena alasan pribadi, atau diskriminasi institusional, yakni perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari golongan tertentu, terutama dari kelompok minoritas di dalam institusi atau organisasi pemerintahan maupun swasta. Walaupun diskriminasi institusional dilakukan oleh sekelompok orang, mengingat dia sebagai mayoritas dalam institusi itu, maka seekan-akan, institusi itu yang melakukan praktek diskriminasi.1

Paradigma pendidikan multikultural (multicultural educational paradigm), merupakan tindaklanjut dari strategi penididikan multukultural dan pengembangan dari studi

1 Mengenai bentuk-bentuk diskriminasi lihat juga dalam David and Honor Woods, Working with People with Learning Disabilities, (New York: Jessica Kingsley Publisher, 1998), hal. 15-17.

Page 42: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

244 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

interkultural dan multikulturalisme yang sejak lama sudah berkembang di Amerika, Eropa, dan negara-negara maju lainnya,2 yang berusaha mengeliminasi berbagai perilaku diskriminasi. Dalam perkembangan selanjutnya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural, yang bertujuan untuk membangun sikap toleran, pluralis, dan humanis terhadap masing-masing entitas masyarakat. Bagi penguasa, paradigma ini juga terkadang mempunyai standar ganda dengan tujuan politis sebagai alat kontrol sosial terhadap warganya, agar kondisi negara tetap aman dan stabil.3 Barang kali inilah yang terjadi pada dunia pendidikan kita di era Orde Baru yang cenderung sangat politis-struktural. Hampir semua kebijakan pengusa pada bidang pendidikan, kala itu, bermotivkan politik, apakah dalam bentuk stabilitas atau lainnya.

Namun dalam perkembangannya, penyimpangan tujuan pendidikan multikultural pada aspek politis, lambat laun namun pasti, akhirnya menghilang seiring semakin jelasnya “ruh” dan “nafas” educational of multicultural, yakni demokratisasi, humanisme, dan pluralisme yang justeru kontra terhadap adanya kontrol dan tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia. Selanjutnya, pendidikan multikultural ini justeru menjadi motor penggerak dalam menegakkan demokratisasi, humanisme, dan pluralisme yang dikakukan melalui sekolah, kampus, dan institusi-institusi pendidikan lainnya.4

Di era global seperti sekarang ini, dimana wacana demokratisasi, humanisme, dan pluralisme, beserta derifasinya, semakin gencar diperbincangkan sebagai issu sentral-global, maka

2 Lihat H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2004), hal. 122-125.

3 Upaya penyimpangan tujuan pendidikan multikultural secara politis, misalnya disampaikan oleh Neil Postman, The End of Education: Redifining The Value of School, (1995) dan Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, (London: MacMillan Press, 2000).

4 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hal. 24. Lihat juga Christine Sleeter and Peter McLaren, Multicultural Education: Critical Pedagogy and the Politics of Difference, (New York: University of New York, 1995).

Page 43: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 245

kajian yang mengangkat tema pendidikan multikultural dalam perspektif manapun juga, filosofis, sosiologis, psikologis, politis, antropologis, dan setersunya, menjadi sangat menarik dan urgen dipertanyakan. Paling tidak ada empat alasan kenapa masalah ini menjadi begitu menarik diperbincangkan, yaitu: Pertama, tren global yang telah melahirkan budaya posmo cenderung memunculkan pola pikir, pandangan, sikap dan perilaku yang tidak mau dikendalikan oleh satu sistem nilai tertentu, tetapi setiap orang akan mencari dan mengkombinasikan sistem nilai yang menurutnya sesuai dengan harapan. Kedua, sebagian besar orang sudah jenuh dengan perselisihan dan konflik yang terjadi dewasa ini, sebagai akibat dari sikap primordialisme, status quo, otoritarianisme, eksklusifisme, dan kesombongan lainnya, masyarakat dewasa ini begitu mendambakan ketenangan, kebersamaan, kesehajaan, dan humanis. Ketiga, realitas sosial, budaya, agama, ras, suku, bahasa, dan seterusnya yang demikian plural, mustahil untuk dikesampingkan. Keempat, kemajuan teknologi yang supercanggih.

Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara mengakses perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar mengajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka,5 dengan tidak melupakan nilai-nilai religiusitas.6

Berkenaan dengan masalah tersebut di atas, makalah ini berusaha mengangkat tema pendidikan Islam multikultural dalam perspektif filosofis. Walaupun secara praktis upaya dikotomisasi pendidikan agama dengan pendidikan umum sudah tidak tepat lagi, namun atas dasar tuntutan metodologis, dengan terpaksa,

5 Lihat James L. Derman-Sparks, Multicultural Curriculum, (Washington: NAEYC, 1992). A. Banks and C. Banks, Multicultural Education and Perspectives, (Boston: Allyn and Bacon, 1993). M. Donna Gollnick and Philip Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society, (New York: Prentice Hall, 1998).

6 Banyak pakar yang memperbincangkan masalah demokratisasi, pluralistas, dan humanisme dengan ajaran agama, seperti Fazlur Rahman, Mamadiou Dia, ‘Ali Shari’ati, Sadek J. Sulaeman, dan lainnya. Lihat Charles Kurzman, Liberal Islam, (New York: Oxford University, 1998).

Page 44: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

246 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

dalam makalah ini masih tetap mengedepankan pendidikan Islam multikultural.

Kegelisahan Kaum Intelektual

Pluktuasi sejarah umat manusia, dengan aneka ragam pernik-pernik yang menyertainya, apakah yang dialami bangsa Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika begitu berpengaruh bagi kemunculan paradigma pendidikan multikultural. Para pakar pendidikan dan praktisi pendidikan berupaya menggulirkan wacana ini dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir.7 Tujuan awal pendidikan multikultural adalah membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan, dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan dan umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokratis secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya, tetapi secara konseptual mereka juga paham betul dengan paradigma pendidikan multikultural.

Sementara tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah agar peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga diharapkan para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam setiap segi kehidupannya, baik ketika di lemebaga sekolah, di rumah, dan di tengah-tengah masyarakat.

Untuk mewujudkan kedua tujuan tersebut, tidak sedikit para pakar dan pemerhati pendidikan yang berusaha mewacanakan dan membangun pendidikan multikultural dalam perspektif yang beragam. Di sini dapat disebutkan diantara para pemikir Islam yang banyak mengusung issu multikultural,8 seperti Fazlur Rahman, ‘Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mohammed Arkoun, Muhammad

7 Untuk lebih jelas lihat dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hal. 25.

8 Untuk lebih jelas mengenai pemikiran tokoh-tokoh tersebut lihat dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, (New York: Oxford University, 1998).

Page 45: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 247

Shahrour, Humayun Kabir, ‘Ali Shari’ati, Mamadiou Dia, dan yang lainnya. Dari para pemikir pendidikan dari Barat dapat disebutkan, seperti L. Derman-Sparks menulis buku Multicultural Curriculum (1992), James A. Banks and C. Banks menulis buku Multicultural Education and Perspectives (1993), Dawn Gill menulis buku Racism and Education: Stractures and Strategies (1995), Geneva Gay menulis buku Multicultural Education (1995). Christine Sleeter and Peter McLaren menyusun buku Multicultural Education: Critical Pedagogy and the Politics of Difference (1995), M. Donna Gollnick and Philip Chinn menyusun buku Multicultural Education in a Pluralistic Society (1998), Will Kymlica menulis buku Multicultural Citizenship (2000), G. Shin and P. Gorski menulis buku Multicultural Resource Series: Professional Development for Educators (2000).

Sementara dari tanah air yang banyak dan begitu concern memperbincangkan pendidikan multikultural, diantaranya Mansour Fakih menulis buku Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (2001), dan H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan (2004), serta M. Amin Abdullah telah banyak mengusung tema-tema pluralitas dan pendidikan multikulturalisme di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) negeri maupun swasta, dan masih banyak lagi yang tidak sempat disebutkan di sini.

Kerangka Berpikir

Sebagamana telah dijelaskan di muka bahwa untuk sampai pada paradigma pendidikan multikultural seperti sekarang ini, wacana pendidikan telah mengalami pasang-surut dan telah melewati rentang waktu yang begitu panjang. Paling tidak ada tiga zaman yang sudah dilaluinya, yaitu wacana pendidikan di era klasik, era kolonialisme, dan era poskolonialisme.9 Sementara wacana pendidikan, dengan segala permasalahannya, sekarang ini sedang berada di era postmodern, yaitu suatu era dimana hilangnnya

9 Professor Harun Nasution berusaha memetakan perkembangan peradaban Islam menjadi tiga periode, yaitu peradaban Islam periode klasik (650-1250), peradaban Islam periode kemunduran (1250-1800), dan peradaban Islam periode modern-kebangkitan kembali (1800-sekarang). Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 13-15.

Page 46: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

248 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

batasan-batasan yang selama ini membelenggu umat manusia, baik batasan berupa geografis, ideologis, sistem nilai sosial, bahkan agama sekalipun.

Untuk mengkritisi dan memahami proses pergeseran paradigma pendidikan (shifting paradigm of education) yang demikian panjang, Penulis meminjam tipologi telaah kritis-akademis terhadap realitas budaya dan peradaban umat manusia sebagaimana digagas Farid Esack dalam bukunya Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Opperession (1997) dan diformulasikan secara sistematis oleh M. Amin Abdullah dalam bukunya Islamic Studies: Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (2006).

Jika dicermati secara seksama, dalam pandangan Esack dan Amin, telaah kritis terhadap realitas budaya dan peradaban Islam khususnya, telah melewati tiga tahapan paradigma, yaitu: Paradigma filologis-orientalistik, paradigma fungsionalis-modernisme, dan paradigma hermeneutis-interpretatif.10 Ketiga model paradigma ini digunakan dalam rangka menganalisis dan mengkritisi tiga model paradigma pendidikan yang selama ini berkembang di Barat, sebagaimana dijelaskan Henry Giroux dan Aronowitz, yaitu: Paradigma pendidikan konservatif, paradigma pendidikan liberal, dan paradigma pendidikan kritis.11

Walaupun tidak persis sama, ketiga tahapan paradigma filologis-orientalistik, paradigma fungsionalis-modernisme, dan paradigma hermeneutis-interpretatif dalam tradisi peradaban dan budaya Islam, hampir identik dengan karakteristik yang ada pada ketiga paradigma pendidikan konservatif, paradigma pendidikan liberal, dan peradigma pendidikan kritis. Semisal, paradigma filologis-orientalistik dan paradigma pendidikan konservatif sama-sama rigid-kaku-dan tidak toleran, paradigma fungsionalis-modernis dan paradigma pendidikan liberal sama-sama mengusung

10 Lihat lebih jelas di Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Opperession, (Oxford: Oneworld Publication, 1997) dan M. Amin Abdullah, Islamic Studies: Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 348-360.

11 Lihat William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2002), hal. xiii-xxi.

Page 47: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 249

kebebasan serta dipengaruhi oleh paham individualisme Barat dan filsafat positivistik yang berakar-urat pada hukum ilmiah yang universal, paradigma hermeneutis-interpretatif dan paradigma pendidikan kritis sama-sama mengedepankan sikap skritis terhadap segala realitas, apakah terhadap realitas ideologis, sosial, ekonomis, politis, antropogis, dan tentunya termasuk realitas pendidikan.

Pergeseran Paradigma Pendidikan (Shifting Paradigm of Education)

Para praktisi pendidikan seperti guru dan dosen (teacher and lecturer) di lembaga pendidikan formal, pelatih dan pemandu pelatih (trainer and fasilitator) di tempat kursus dan berbagai arena pendidikan non formal, pendidikan rakyat (popular education) di kalangan buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang sangat mulya, menyodorkan berbagai kebijaksanaan (wisdom), dan senantiasa membangun peradaban berwawasan plural.12 Tetapi dunia pendidikan terhentak, ketika setiap usaha pendidikan yang demikian agung dan sakral itu, di era tahun 1970-an, mendapat keritikan yang demikian tajam dari Paulo Freire dan Ivan Illich.13 Keduanya menyadarkan banyak orang bahwa tidak setiap usaha pendidikan menawarkan kebijaksanaan yang agung, sebab tidak sedikit pendidikan justeru mengandung penindasan, intimidasi, dan membentuk prilaku bangsa primordial-sektarian yang dapat menyesatkan.14

12 Mansour Fakih, “Ideologi dalam Pendidikan,” dalam William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2002), hal. x.

13 Lebih jelas lihat Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (New York: Praeger; 1986), dan Paulo Freire, Education for Critical Consciousness,(New York: Continum, 1981), dan Poulo Freire and I. Shor, A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming Education, (South Hadley: Bergin and Garvey, 1986).

14 Hadirnya perguruan tinggi negeri atau swasta yang mensyaratkan dana pendidikan yang supermahal, sistem pendidikan yang memberikan peluang munculnya tindakan semena-mena Senior kepada Uniornya, dan model pendidikan yang berbasis agama dan hanya memberikan salah satu materi

Page 48: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

250 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Gelombang kritik juga datang dari Samuel Bowels, ia melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan. Baginya, paling tidak di Amerima Serikat, pendidikan merupakan reproduksi terhadap sistem kapitalisme belaka. Apa yang ditengarai Bowels, nampaknya akhirnya-akhir ini juga sudah menggejala di Indonesia. Munculnya sekolah-sekolah yang supermahal dan menawarkan paket yang superkomplit, dengan balutan “sekolah unggulan,” boleh jadi merupakan salah satu bentuk pergeseran model pendidikan berparadigma sosial ke model pendidikan berparadigma kapitalistik.

Kritik yang disampaikan Freire, Illich, dan Bowels tidak seluruhnya benar dan juga tidak seluruhnya salah, memang fakta di lapangan ada praktek-praktek pendidikan seperti yang dituduhkan mereka itu. Tetapi di tengah-tengah masyarakat juga banyak ditemukan praktek pendidikan yang masih mengedepankan idealisme pendidikan sebagai profesi yang agung dan memiliki nilai sosial yang demikian tinggi. Kritik-kritik tersebut akan lebih mengena bila sasarannya diarahkan pada, meminjam istilah O’neil, perilaku anarkisme pendidikan.15 Berkenaan dengan hal tersebut, akan sangat menarik jika masalah ini disoroti dengan melihat secara lebih jauh proses perkembangan paradigma pendidikan yang selama ini telah dan sedang terjadi di dunia pendidikan.

Mewacanakan paradigma pendidikan (Paradigm of Education), sesungguhnya bukan masalah baru dan sudah banyak pakar yang berusaha memetakan pendidikan sebagai konsekuensi adanya perubahan pola pengelolaan sistem pendidikan, seperti William F. O’neil, Henry Giroux dan Aronowitz. O’neil berusaha memetakan pergeseran paradigma pendidikan menjadi enam macam, yaitu: paradigma fundamentalisme, paradigma

ormas keagamaan, menjadi bukti bahwa telah terjadi penyimpangan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, lembaga pendidikan seharusnya menjadi sokoguru terciptanya kebijaksanaan dan sikap-sikap toleransi dan pluralis.

15 Anarkisme pendidikan adalah sudut pandang yang membela ppemusnahan seluruh kekangan kelembagaan terhadap kebebasan umat manusia, termasuk ekkangan nilai-nilai religiusitas, sebagai jalan untuk mewujudkan sepenuh-penuhnya potensi-potensi manusia yang telah dibebaskan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dan/atau pendidikan secara maksimal. Lihat William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2002), hal. 488-490.

Page 49: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 251

intelektualisme, paradigma konservatisme, paradigma liberalisme, liberasionalisme, dan anarkisme.16 Sementara Giroux dan Aronowitz hanya membagi paradigma pendidikan menjadi tiga aliran saja, yakni paradigma konservatisme, liberalisme, dan kritis.

Sebagai bahan perbandingan, dalam makalah ini akan meminjam pemetaan paradigma pendidikan yang lebih sederhana menurut Giroux dan Aronowitz, sebagaimana dikutif Mansour Fakih, sebagai berikut:17

(1) Paradigma konservatif. Bagi mereka ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik, paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna di balik itu semua.

Dalam perkembangan selanjutnya, paradigma konservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagia kaum konservatif, mereka yang menderita, yaitu orang-orang miskin, buta hurup, kaum tertindas, dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sukses. Banyak orang belajar ke sekolah dan perguruan tinggi untuk berperilaku baik dan oleh karenanya dia selamat dan tidak dipenjara. Kaum miskin harus sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat mementingkan harmoni, menghindari konflik, dan kontradiksi dalam masyarakat.

16 William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2002), hal. 526.

17 Lihat Mansour Fakih, “Ideologi dalam Pendidikan,” dalam William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2002), hal. xiii-xvii.

Page 50: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

252 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

(2) Paradigma liberal. Paradigma ini berangka dari suatu keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tugas pendidikan juga tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam dunia pendidikan dengan usaha reformasi “kosmetik”. Pada umumnya yang dilakukan seperti: perlunya penambahan kelas, menambah fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah (laboratorium dan computer), penyehatan rasio jumlah murid dan guru, menyusun metodologi pengajaran yang epektif dan efisien, dan seterusnya. Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi budaya, dan represi politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Baik kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik dan exelence haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda, mereka samasekali tidak mengkalkulasi adanya kaitan antara pendidikan dengan struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta bias gender di masyarakat luas. Bahkan salah satu aliran liberal, structural functionalism, memandang pendidikan justeru dimaksudkan sebagai sarana untuk menstabilkan, mensosialisasikan, dan mereproduksi peran dan fungsi norma dan nilai-nilai sosial secara maksimal.

Paradigma liberal ini banyak berpengaruh di lembaga pendidikan formal dan non formal. Konsepsi pendidikan liberal berakar-urat pada paham individualisme yang berkembang di Barat dan berkait-erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat beberapa komponen berikut: (a) Komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni manusia Amerika dan Eropa, manusia rasional-liberal-individualis, (b) Pengaruh filsafat positivisme sebagai suatu paradigma sosial yang dominan. Aliran positivisme

Page 51: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 253

beranggapan bahwa penjelasan tunggal suatu realitas dianggap appropriate untuk semua fenomena, riset sosial, pendidikan, dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah yakni objektif dan bebas nilai, pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang universal, prosedur dikuantifisir dan diverifikasi dengan scientific method.

(3) Paradigma kritis. Idiologi ini berpandangan bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik, yang menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam sisoal, ekonomi, politik, dan budaya dimana pendidikan berada. Pendidikan melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah tranformasi sosial, bersikap kritis terhadap sistem dan struktur ketiadakadilan, melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi akibat sistem dan struktur yang tiran.

Bila dicermati lebih dalam, paradigma pendidikan Giroux ini sejalan dengan analisis Freire (1970) tentang tipologi kesadaran ideologi masyarakat atau manusia, yaitu: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naive consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran magis memandang bahwa penyebab utama ketidakberdayaan manusia berada di luar manusia, natural maupun supra natural. Kesadaran naïf memandang yang menjadi sumber masalah di dunia ini adalah karena manusianya sendiri yang tidak bisa merubah keadaan, dan Kesadaran kritis memandang yang menjadi sumber masalah keterpurukan dan kehancuran umat manusia adalah karena aspek sistem dan struktur yang tidak adil. Untuk itu, tugas utama pendidikan adalah merubah sistem dan struktur ketidakadilan tersebut.18

Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Filosofi

Di dalam berbagai analisis mengenai trend kehidupan dalam millenium ketiga, termasuk pula trend di dalam pengembangan sistem pendidikan. Kehidupan umat manusia dalam millenium yang baru mempunyai dimensi bukan hanya dimensi domestik, regional,

18 Untuk lebih jelas lihat W.A. Smith, The Meaning of Conscietacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy, (Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976).

Page 52: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

254 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

nasional, tetapi global. Kita hidup di dalam dunia yang demikian terbuka, dunia tanpa batas, oleh sebab itu kehidupan global bukan hanya merupakan tantangan tetapi juga membuka peluang-peluang baru di dalam usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa Indonesia. Sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan dan peluang kehidupan global.19

Berkenaan dengan hal tersebut, munculnya paradigma pendidikan multikultural sebagai upaya menjawab tantangan global dari sebuah sistem pendidikan patut kita wujudkan secepat mungkin. Namun untuk sampai ke arah sana, khususnya dalam pendidikan Islam, dalam perpsektif filosofis perlu adanya pemahaman baru terhadap wilayah keilmuan agama Islam. Dalam hal ini, Amin Abdullah, berusaha memetakan tiga wilayah keilmuan agama Islam dimaksud, yaitu: (1) Wilayah praktik keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, para ahli, dan masyarakat pada umumnya. Pada wilayah ini biasanya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan, yang dipentingkan adalah pengamalan, sehingga perbedaan antara agama dan tradisi, agama dan budaya, antara belief dan habits of mind sulit dipisahkan; (2) Wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan dan para ulama sesuai bidang kajian masing-masing. Yang ada pada wilayah ini pada dasarnya adalah teori-teori keilmuan agama Islam yang diabstraksikan baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu maupun secara iduktif dari praktek keberagamaan masyarakat muslim, dan (3) Wilayah telaah kritis (meta discourse) terhadap sejarah jatuh-bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan para ulama pada lapis kedua,20 tidak terkecuali muncul dan tenggelamnya berbagai konsep dan teori-teori pendidikan Islam.

Lapis ketiga, wilayah telaah kritis (termasuk telaah kritis terhadap teori-teori pendidikan Islam di era klasik, era pertengahan,

19 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 1, 2000), hal. 15.

20 Untuk lebih jelas lihat M. Amin Abdullah, Islamic Studies: Di Perguruan Tinggi Pe3ndekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 70-743.

Page 53: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 255

era kolonialisme, dan di era pos kolonialisme, misalnya), yang demikian kompleks dan sophisticated menjadi bidangn kajian filsafat ilmu-ilmu keislaman,21 dari hari kehari semakin dirasakan wilayah telaah kritis perlu untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam karena beberapa faktor berikut, yaitu: Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup, agama Islam bukan satu-satunya agama yang hidup (living religion) pada saat sekarang, dan semakin dekatnya hubungan kontak individu maupun sosial akibat kemajuan teknologi, tranformasi, komunikasi, dan informasi yang super canggih sehinggal semakin memperpendek jarak dan tapal batas ruang waktu yang biasa diimajinasikan oleh umat beragama pada abad-abad sebelumnya.22

Untuk mendukung tercapainya wilayah telaah kritis, maka pola pemikiran keagamaan Islam, termasuk pendidikan Islam, yang perlu dikedepankan adalah bukan pola pikir yang bercorak absolutely absolute atau absolutely relative, tetapi pemikiran yang bercorak relatively absolute. Pola pikir, cara pandang, dan model berpikir yang terbungkus dalam selimut kepercayaan dan keimanan yang bersifat absolutely absolute atau dalam bahasa agama disebut ta’abbudy dalam era global seperti sekarang ini, baik secara internal dalam lingkup pemeluk agama Islam maupun eksternal dalam lingkup lintas agama, sudah tidak cocok untuk dipertahankan. Sebab pola pikir yang demikian hanya akan melahirkan claim of salvation dan truth claim yang demikian kaku dan rigit, sehingga objektivitas yang dianut adalah objektivitas semu dan sikap right or wrong is my country. Pandangan dan cara pikir ini akan sulit berkomunikasi dengan orang lain dan berujung pada terpupuknya jiwa curiga (distrust of moral), sehingga hidup beragama menjadi tidak tenang dan penuh kekhawatiran (discalm and full anxiety). Perilaku yang mengakibatkan terbunuhnya banyak jiwa, seperti bom di Bali, Jakarta, Medan, Sulawesi, Ambon, dan seterusnya menurut cara pandang absolutely absolute, boleh jadi, menjadi “halal.”

21 Para penulis muslim kontemporer dalam Islamic Studies yang menekuni wilayah ini dapat disebutkan diantaranya Muhammed Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiry, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, M. Amin Abdullah, dan Mulyadi Kartanegara.

22 Lihat M. Amin Abdullah, Op. Cit., hal. 74-75.

Page 54: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

256 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Sementara pola pikir dan carapandang kedua yakni absolutely relative atau dalam bahasa agama disebut ta’aqquly juga mengandung kecenderungan-kecenderungan ke arah terbentuknya sikap dan pandangan “nihilisme” dan “sekularisme”, yang mengarah pada perilaku immoral dan inhuman dalam bentuk yang beragam. Pola pikir ini juga tidak apresiatif terhadap hidup dan kehidupan umat manusia, karena kehidupan manusia selamanya membutuhkan pedoman hidup, aturan, dan sistem nilai sosial yang disepakati dan dianut bersama, baik sistem nilai yang bersumberkan pada ajaran agama, perundang-undangan, atau adat-istiadat yang dianut masyarakat setempat.

Dalam pandangan Amin Abdullah,23 kedua model pola pikir absolutely absolute dan absolutely relative, bukanlah pilihan terbaik dalam menata kehidupan beragama umat manusia, baik internal seagama maupun eksternal antar lintas agama, pada era modern dan postmodern seperti sekarang ini. Menurutnya, dalam memasuki millenium baru, diperlukan sikap-cara pandang dan pola pikir keagamaan Islam yang baru dalam menghadapi realitas kehidupan yang demikian plural. Sikap dan cara pandang keagamaan Islam yang baru ini, sekaligus akan mempunyai dampak yang positif terhadap pola hubungan antara etnis, ras, suku, golongan, dan sebagainya di tanah air. Sikap dan cara pandangan keagamaan Islam dimaksud adalah cara pandang dan pola pikir relatively absolute.

Cara pandang ketiga ini pada dasarnya merupakan kombinasi dari cara pandang pertama dan kedua dan melahirkan cara pandang ketiga yang dalam bahasa agama diistilahkan dengan Ta’abbudy absolute dan ta’aqquly relative yang menyatu dalam perilaku keberagamaan umat manusia. Pola pikir ini dipandang akan mampu memberikan angina segar yang dapat menghantarkan pada jenis pemahaman yang lebih bersifat inklusif (hanif) dan terbuka (open ended) terhadap realitas keberagamaan manusia yang sangat majemuk. Pandangan ini lebih bersifat fundamental-kritis-inklusif yang mampu mengkritisi dan membedah bercampur-aduknya doktrinal-teologis dengan kepentingan kulturtal-sosiologis dalam kehidupan umat beragama pada umumnya.24 Sehingga tampilan

23 Lebih lanjut lihat dalam M. Amin Abdullah, Op. Cit., hal. 86-90. 24 Lihat M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam

Masyarakat Multikultiral dan Multireligius,” dalam Ahmad Baidowi dkk., (peny.),

Page 55: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 257

dalam kehidupan sehari lebih bersahabat, inklusif, humanis, dan pluralis.

Urgensinitas Pendidikan Multikultural

Di era globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan multikultural merupakan suatu keniscayaan. Ia merupakan ideologi, paradigma, dan metode yang dipandang tepat untuk menggali potensi keragaman pluralitas bangsa, baik etnik, bahasa, budaya, agama, dan pluralitas sosial lainnya. Pendidikan multikultural merupakan kearifan dalam merespon dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang memaksa homogenisasi dan menghegemoni pola dan gaya hidup umat manusia. Ia juga jembatan yang menghubungkan dunia multipolar dan multikultural yang mencoba direduksi isme dunia tunggal ke dalam dua kutub saling berbenturan (clash) antara Barat-Timur dan Utara-Selatan.25

Keberhasilan penguasa Orde Baru dalam membalut pluralitas budaya bangsa selama kurang lebih tiga dekade lamanya, mendapat penghargaan terbaik pengamat dalam dan luar negeri di kala itu. Pancasila sebagai ideologi juga dipandang ampuh dan berhasil menjadi sarana pemersatu negara bangsa (nation state).26 Strategi represif (top-down strategy) ini baru menemukan kegagalannya bersamaan dengan kejatuhan rezim Orde Baru, dengan ditandai semaraknya skala aksi kekerasan, kerusuhan, konflik antar agama, etnik, kelompok masyarakat, dan konflik politik terjadi di mana-mana. Mulai dari Aceh, Medan, Jakarta, Jawa Barat, Solo, Situbondo, Sampit Madura, Sanggau Ledo, Maluku, Poso, dan seterusnya.

Berbagai kerusuhan dan konflik antara anak bangsa ini merupakan indikator nyata terabaikannya hak-hak dan eksistensi kebudayaan lokal, selama kurang lebih tiga dekade, dihegemoni

Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, (Yogyakarta: SUKA Press dan LPKM Instrospektif IAIN Suka, 2003), hal. 23.

25 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 17.

26 Lihat misalnya bagaimana Tarmizi Taher mengulas persoalan ini dan harapannya agar ideologi Pancasila dan kepemimpinannya menuju abad 21 untuk perluasan kehidupan harmoni umat beragama, dalam karyanya Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in Indonesia (Jakarta: Censis, 1997), khususnya halaman 13-20. Namun sayang harapannya itu kandas karena rezim yang menjadi cantolannya jatuh oleh Orde Reformasi.

Page 56: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

258 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

oleh budaya jawaisme yang serba seragam. Belum lagi adanya kebijakan yang otoriter dalam pemanfatan sumberdaya ekonomi dan politik, telah melahirkan kecemburuan dan kesenjangan sosial yang cukup lebar antara pusat dengan daerah.

Pendidikan nasional juga sedikit menyentuh persoalan bagaimana menghargai pluralitas keagamaan dan keragaman kultural yang sangat kaya. Ada kecenderungan homogenisasi yang diintrodusir secara sistematis melalui dunia pendidikan di bawah payung kebudayaan nasional. Proses homogenisasi, hegemoni, dan pemiskinan budaya itu diajarkan dalam Civic Education, seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa, Kewiraan, Penataran P4, dan bahkan untuk beberapa kasus juga terjadi pada Pendidikan Agama (religious education). Model pendidikan seperti ini pada umumnya menggambarkan problem civic education dan religious education yang tidak dimodifikasi oleh pluralisme dan multikulturalisme. Ia menyembunyikan secara sistemik nilai saling menghargai (mutual respect) dan mengabaikan kontribusi masyarakat terhadap pembangunan kebudayaan bangsa Indonesia.

Multikulturalisme pada dasarnya suatu gerakan sosial-intelektual yang mendorong tumbuhnya nilai-nilai keberagaman (diversity) sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok budaya diperlukan setara dan sama-sama dihormati. Wacana multikulturalisme semakin semarak dan begitu signifikan menjadi tema pembicaraan dalam berbagai pertemuan ilmiah seiring munculnya kesadaran akan arti-penting kehidupan yang pluralis-harmonis, guna merajut kembali persatuan dan kebersamaan bangsa yang sempat terkoyak-koyak.

Setidaknya ada lima alasan utama mengapa multikulturalisme begitu penting diakomodir dalam sistem pendidikan agama khususnya dan pendidikan nasional pada umumnya, yaitu:

1. Munculnya Era Globalisasi dan Budaya PosmodernMemperbincangkan pendidikan dengan sentuhan

multikulturalisme pada era global seperti sekarang ini, meminjam istilah Anthony Giddens (1998), menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Belum lagi seperti yang disinyalir Mahathir Mohamad (2002) bahwa globalisasi telah memunculkan berbagai

Page 57: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 259

realitas baru yang harus direspon, salah satunya adalah terjadinya pergeseran pola budaya masyarakat dari modern ke postmodern.27 Hampir pada setiap segi kehidupan umat manusia dewasa ini sedang mengalami krisis modernitas, mulai dari masalah pada dataran teoritis-filosofis sampai pada masalah-masalah praktis-empiris.

Tidak hanya sampai di situ, dengan globalisasi eksistensi negara bangsa (state nation), keampuhan nasionalisme sebagai perekat bangsa, sekat-sekat primordialisme yang selama ini dipandang cukup epektif untuk mempersatukan elemen bangsa, juga menjadi morat-marit dan porak-poranda diterjang ganasnya glogalisasi. Dunia yang sebelumnya demikian luas, dengan hadirnya teknologi informasi yang supercanggih, menciut menjadi kecil, sehingga kejadian apapun yang terjadi di belahan dunia sana dengan cepat bisa diketahui oleh masyarakat dunia.28

Dalam kondisi demikian, dimana setiap kita tidak dapat menseterilkan diri dari sistem nilai yang sudah mendunia dan masing-masing kita begitu saling mempengaruhi satu sama lain, maka sistem, model, paradigma, atau ideologi pendidikan yang dianggap pas diusung ke depan adalah pendidikan multikultural, yaitu pendidikan yang berusaha mensinergikan semua sistem nilai yang positif dalam rangka membangun tatanan dunia baru yang lebih harmonis, humanis, dan plural.

2. Realitas Pluralitas Bangsa Indonesia Sebagai sebuah negara, Indonesia adalah salah satu negara

multikultural dan multireligius terbesar di dunia. Betapa tidak, hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator baik secara sosio-kultural maupun geografis yang begitu plural dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di negeri kita sekitar 13.000 buah pulau besar dan kecil. Populasi pendduknya berjumlah lebih

27 Untuk lebih jelas lihat Mahathir Mohamad, Globalisation ang the New Realities, (Malaysia: Darul Ehsan, 2002).

28 Banyak buku yang memperbincangkan betapa “massipnya” akibat globalisasi, misalnya lihat Dimitri Mahayana, Menjemput Masa Depan: Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, (Bandung: Rosdakarya, 1999). James Goldsmith, Perangkap, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996) dan Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).

Page 58: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

260 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

kurang 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku dan menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam, seperti Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai macam aliran kepercayaan.29

Pluralitas bangsa yang demikian beragam, disadari maupun tidak, bisa jadi akan menimbulkan berbagai persoalan ketegangan dan disintegrasi bangsa. Krisis multi dimensional yang melanda bangsa dewasa ini, yang kemudian berujung pada gejolak pisik dan konflik, boleh jadi, karena ketidaksiapan berbagai elemen bangsa menghadapi realitas yang demikian plural. Tindakan anarkis dengan mengatasnamakan reformasi pada 1998, perang Islam-Kristen di Maluku Utara pada 1999-2003, perang etnis antara suku Dayak dengan Madura pada 2000, dan rangkaian kekerasan lainnya, baik yang terjadi di Jawa maupun di luar Jawa, memperkuat tesis tersebut.

Sudah barang tentu siapapun tidak menghendaki semua kejadian yang demikian memilukan itu terulang kembali dengan dalih apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Telaah kritis terhadap realitas tersebut ditinjau dalam berbagai perpsektif, seperti ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan menjadi sangat penting. Berkaitan dengan ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai demokratis, humanis, dan pluralitas.

Berikutnya yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana komitmen dari para guru, dosen, dan tenaga pendidik lainnya untuk menguasai setiap aspek yang ada pada paradigma pendidikan multukultural dan mampu mentransformasikan kepada peserta didik melalui mata pelajaran dan mata kuliah yang disampaikan. Ujung akhirnya adalah terbentuknya pribadi-pribadi yang memiliki karakter, pola pikir, dan sikap demokratis, humanis, dan pluralis.

3. Pengaruh Pluralitas Budaya Terhadap Perkembangan Masyarakat Indonesia

Pluralitas budaya yang demikian beragamam, bagi kalangan tertentu bisa dijadikan sebagai modal dasar untuk membangun

29 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), hal. 3-4.

Page 59: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 261

sebuah identitas budaya bangsa yang lebih harmonis, pluralis, dan universal. Tetapi tidak sedikit elemen masyarakat yang justeru menjadikan pluralitas budaya begitu mubadzir dan kontra produktif bagi pembentukan identitas budaya bangsa dan lebih naifnya lagi justeru dijadikan sebagai bahan justifikasi memecah-belah bangsa dan negara karena motif ideologi, ekonomi, politik, budaya, golongan tertentu, dan seterusnya.

Sulit dibantah, bahwa berbagai ketegangan dan konflik yang terjadi di negeri kita selama ini banyak dilatarbelakangi oleh masalah-masalah ekonomi, politik, pluralitas budaya dan agama. Padahal seharusnya tidak demikian, namun sistem pendidikan teologi dari masing-masing agama yang bersifat eksklusif akan melahirkan sikap antipati dari para pemeluk agama terhadap realitas agama yang berbeda dan bahkan akan menimbulkan perilaku konflik. Boleh jadi, dalam pengertian seperti inilah apa yang disinyalir oleh seorang sosiolog, George Simmel, dalam bukunya Conflict: The Web of Grouf Affiliations memandang bahwa “agama selain menjadi alat pemersatu sosial, juga dapat menjadi sumber konflik”. Atau dalam istilah Haryatmoko,30 agama memiliki dua wajah, yakni di satu sisi agama merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh. Tetapi di sisi lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan dan intimidasi.

Jelas sekali, bila ditelaah secara lebih dalam, kedua pendapat tersebut, Simmel dan Romo Haryatmoko, tidak bermaksud menyudutkan atau memposisikan agama sebagai kambing hitam atas segala bentuk ketegangan dan konflik yang selama ini terjadi, tetapi kekeliruan lebih terletak pada aspek pendekatan dan metode pemahaman terhadap teks-teks agama oleh masing-masing pemeluk agama serta mengabaikan aspek empirisitas perkembangan budaya bangsa dewasa ini. Sehingga yang muncul adalah tindakan semena-mena terhadap individu, kelompok, atau pemeluk agama lain dengan dalih melaksanakan ajaran agama.

4. Terjadi Benturan Kebudayaan GlobalPasca perang dingin, dengan runtuhnya kekuatan Blok

30 Untuk lebih jelas lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, cet. 1, 2003), hal. 62-63.

Page 60: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

262 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Timur, hancurnya Uni Sovyet pada decade 90-an, dan runtuhnya Tembok Berlin di Jerman Timur, muncul tesis baru yang dikembangkan oleh seorang politisi dari Harvard Universuty, Samuel P. Huntington, dalam esainya The Clash of Civilization31 pada sebuah jurnal Foreign Affairs tahun 1993 dan mendapat tanggapan para pakar dari berbagai negara di dunia. Huntington berpendapat bahwa sumber konflik dunia baru bukan lagi bersifat ideologis atau ekonomis. Pemisahan terbesar antara umat manusia dan sumber konflik utama berasal dari kebudayaan atau peradaban. Meskipun Negara-negara akan menjadi actor kuat, tetapi konflik utama dalam politik global akan terjadi antar bangsa dan kelompok kebudayaan yang berbeda-beda. Huntington menyebutkan gesekan itu terjadi antara Barat dan Islam, Islam dan Hindu, Islam dan Kaum Ortodoks di Rusia, Cina dan Jepang. Pendapat ini didasarkan pada suatu hipotesa bahwa setelah berakhir ketegangan antara dua kekuatan adikuasa, AS dan Sovyet, orang akan cenderung mengindetifikasi diri mereka dengan kelompok yang lebih besar. Kecenderungan semacam ini terjadi di seluruh dunia.

Dalam formulasi yang lebih halus, Benyamin R. Berber, mengemukakan tesis yang hampir sama tentang dua prinsip utama yang berlaku di era kontemporer sekarang ini, yaitu tribalisme dan globalisme.32 Dua prinsip mutakhir ini meletakkan dua kemungkinan politik di masa depan. Yang pertama adalah proses “sukuisasi” umat manusia melalui perang dan pertumpahan darah. Suatu macam “libanonisasi” Negara-negara bangsa di mana budaya melawan budaya, bangsa melawan bangsa, dan suku melawan suku. Sementara yang keduadilahirkan oleh kekuatan ekonomi dan ekologis yang menuntut integrasi dan keseragaman. Penekanan bangsa-bangsa dalam satu jaringan global yang homogen, yakni sati McWorld yang diikat bersama oleh teknologi, ekologi, komunikasi, dan tentunya profit.

Dua kecenderungan di atas, sekarang ini, sudah terjadi

31 Esai ini kemudian oleh Huntington dikembangkan menjadi sebuah buku dengan judul The Clash of Civilization and the Remarking of World Order, (New York: Simon and Schuster, 1996).

32 Untuk lebih jelas lihat dalam Benyamin R. Berber, Jihad Versus McWorld: How Globalism and Tribalism are Reshaping The World, (New York: Ballantine Book, 1995).

Page 61: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 263

berbagai nagara termasuk di Indonesia dengan munculnya berbagai konflik yang terjadi di Jawa dan luar Jawa, dan sekaligus mengalami fragmentasi karena agama dan etnik. Kecenderungan Jihad dan McWorld bergerak dengan kekuatan sama dalam arah yang berlawanan. Jihad dikendalikan oleh kebencian parokial dan menciptakan batasan-batasan subnasional dan etnik dari dalam, sementara McWorld dikendalikan oleh universalisasi pasar dan menciptakan poros ikatan-ikatan nasional dari luar. Tetapi kedua-duanya sama-sama tidak memberikan harapan masa depan yang lebih baik dalam sebuah tatanan dunia yang harmonis, pluralis, dan demokratis.33

Apa yang disinyalir Huntington dan Berber tentang benturan antar kebudayaan dan globalisme-tribalisme, mendapat penguatan dari Thomas L. Friedman dalam The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization. Ia mensinyalir bahwa pasca Perang Dingin dunia tetap akan terbelah menjadi dua bagian, satu kutub dihuni oleh negara-negara maju dengan membuat satu polar Lexus yang disertai simbol-simbol teknologi super canggih dan kemewahan, sementara kutub yang lain dihuni oleh negara-negara miskin yang masih berjuang memprebutkan identitas tradisional.34

Proses globalisasi, integrasi pasar dunia, munculnya negara-negara maju, dan ditemukannya berbagai parian teknologi super canggih, telah memungkinkan individu, korporasi, dan negara-negara maju menjangkau pelosok dunia yang lebih jauh dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan biaya lebih murah, serta mampu membayar tiket globalisasi. Sementara individu, kelompok tertentu, dan negara-negara miskin yang tidak mampu melunasi “tiket globalisasi” akan tertinggal jauh dan semakin jauh. Di samping itu, permasalahan yang diperbincangkan kelompok negara-negara maju adalah masalaha-masalah universal, global, dan makrokosmos, sementara kelompok negara-negara miskin masih tetap berkutat dan mempermasalahkan identitas tradisional berupa eksistensi akar budaya, asal-usul keluarga, suku, ras, bangsa, agama, dan seterusnya. Bila kondisi ini terus dibiarkan seperti ini,

33Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 27.

34 Untuk lebih jelas lihat dalam Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, (New York: Straus and Giroux, 1999).

Page 62: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

264 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

terkadang memang sengaja diciptakan demikian seperti agresi yang dilakukan Israel terhadap Palestina dan Libanon belum lama ini, jelas dikotomisasi negara Utara dan Selatan akan tetap lestari dan benturan antar keduanya akibat globalisasi akan semakin kuat.

5. Pergeseran Paradigma Pendidikan Uniform ke Pendidikan Multikultural

Paradigma pendidikan uniform sebagaimana ditempuh penguasa Orde Baru, dengan berbagai tujuan dan harapannya, telah mempertaruhkan masa depan bangsa Indonesia pada dilema keterpurukan yang begitu mencengangkan. Betapa tidak, bila di era 1970-an bangsa Indonesia patut bangga karena selalu menjadi rujukan, bahkan tidak sedikit mengatakan sebagai guru, bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara, tetapi di tahun 2000-an sekarang ini kita telah jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Uniform paradigm telah terbukti bukan solusi terbaik untuk membangun bangsa yang demikian plural di era modern seperti sekarang ini.

Pluralitas agama, budaya, etnik, dan seterusnya tidak dapat dimanfaatkan secara baik oleh penguasa yang menentukan kebijakan disektor pendidikan, yang sering terjadi justeru munculnya budaya dominan “jawanisasi” yang menghegemoni. Pada saat yang sama, pendidikan agama (religious education), pendidikan kebangsaan (civic education) yang diharapkan mampu memberikan pencerahan nurani dan akal (tanwir al-qulub wa al-‘uqul), menanamkan nilai-nilai toleransi, meminimalisir klaim keselamatan (salvation claim) dan klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya unsich, mutual respect, mutual undertsnading, keterbukaan dalam keragaman agama, budaya, etnik, dan seterusnya juga mengalami kegagalan serupa.35

Menyadari akan kegagalan dan kekeliruan tersebut, seiring dengan bergulirnya era reformasi politik akibat keterpurukan ekonomi, juga telah terjadi pergeseran paradigma pendidikan yang demikian subtansial, yaitu paradigma pendidikan multikultural.

35 Sebagai parameter adanya kegagalan tersebut pendidikan agama ternyata tidak mampu membangun karakter bangsa yang harmonis dan pluralis. Demikian juga civic education tidak dapat merekatkan bangsa yang demikian heterogen, fenomena menunjukkan telah terjadi pertentangan dan konflik antara elemen bangsa yang berkepanjangan.

Page 63: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Pendidikan Islam Multikultural dalam ... (Ma’mun Mu’min) 265

Salah satu premis pendidikan multikultural menyatakan bahwa belajar-mengajar merupakan proses kultural yang terjadi dalam konteks sosial. Agar belajar-mengajar lebih dapat diakses dan adil bagi para siswa yang demikian beragam, kebudayaan-kebudayaan para siswa perlu lebih dipahami secara jelas. Pemahaman semacam ini dapat dicapai dengan menganalisis pendidikan dari berbagai perspektif budaya dan dengan cara ini dapat menghilangkan kebutaan terhadap pendidikan yang didominasi oleh pengalaman budaya dominan.36

Penutup

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut: (1) Pluralitas agama, politik, sosial, budaya, etnis, suku, dan seterusnya merupakan realitas yang tidak bias dipungkiri; (2) Masyarakat dunia dewasa ini telah memasuki era baru yang sama sekali berbeda dengan era sebelumnya, yakni era globalisasi. Era global yang mendapat dukungan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang super canggih, telah membuat dunia menjadi semakin menciut, dunia menjadi sebesar daun kelor; (3) Era globalisasi telah melahirkan pola budaya baru yakni budaya posmodern yang berbeda dengan budaya modern. Bila di era modern umat manusia cenderung anut dan patuh terhadap sistem nilai tertentu, maka pada era postmodern kepatuhan tersebut menjadi naïf.

Umat manusia, siapa pun dia, yang tidak siap dengan realitas pluralistik, hadirnya era global, dan adanya pergeseran pola budaya manusia ke budaya posmo, maka dia akan mengalami sock dan tidak akan siap menerima berbagai kenyataan tersebut. Dalam kondisi demikian, maka yang muncul ke permukaan selanjutnya adalah perilaku pemberontakan dalam bentuk ketegangan dan konflik. Untuk meredam berbagai ketegangan dan konflik yang diakibatkan oleh perilaku manusia yang gamang tersebut, dibutuhkan suatu paradigma baru atau konsep baru yang dipandang mampu mengeliminir kesemuanya itu, jawabannya adalah mengedepankan pendidikan multikultural.

36 Zakiyuddin Baidhawy, Op. Cit., hal. 30-31.

Page 64: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

266 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Page 65: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 267

REVISITASI MULTIKULTURALISME DALAM PENANGANANAN TERORISME

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN INDONESIA

Muh. [email protected]

ABSTRAKSI

Setiap manusia terlahirkan dalam keadaan yang suci. Keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan potensi menjadi buruk. Hal demikian tentu menjadi momentum narapidana teroris untuk membuat pengaruh terhadap penghuni lainnya dengan tampilan keberagamaan yang serius dan janji-janji surga atasnama jihad. Menggelandang terorisme seringkali membawa risiko pembinaan yang serius, baik sesama narapidana maupun petugas penjara. Resiko yang muncul bisa bervariasi dari pengaruh dogma keagamaan yang menggiurkan surga terhadap penghuni sehingga dimungkinkan terjadinya sel jaringan teroris baru, hingga ancaman teror karena adanya jaringan yang belum teridentifikasi di luar penjara. Jadi pembinaan menjadi sulit karena pemahaman keagamaan aparat penjara bisa didistorsi oleh narapidana teroris yang memiliki retorika buaian surga. Narapidana teroris adalah orang yang sudah terdoktrin dengan dogma keagamaan yang kuat salah tafsirnya sehingga sangat membutuhkan peran agamawan yang memiliki penguasaan agama baik. Terapi psikologis melalui penguatan nilai-nilai moral etik keagamaan dengan spirit multikulturalisme menjadi lebih penting daripada sekadar pengamanan yang berlapis.

Kata Kunci: Narapidana, terorisme, pembinaan, multikulturalisme.

Page 66: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

268 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pendahuluan

Konflik dengan kekerasan merupakan suatu gejala sosial yang akan selalu tumbuh di tengah masyarakat dan akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Akumulasi dari konflik tersebut juga akan memunculkan varian kekerasan yang tersistematiskan sehingga menjadi sebuah tampilan kejahatan baru yang membutuhkan upaya-upaya penanggulangan secara umum, baik pada aspek pencegahan, pengurangan, maupun pengendalian karena kekerasan yang berujung pada kejahatan baru memang tidak mungkin bisa diberantas tetapi hanya bisa diminimalisir.1

Fakta tersebut menyadarkan bahwa kekerasan sebagai tampilan konflik bisa muncul berdasarkan tipe-tipe situasi yang berbeda, yaitu konflik di dalam diri individu sendiri, konflik antar-pribadi, konflik antar-kelompok, dan konflik antar-organisasi jika situasi benar-benar menekan.2 Oleh karena itu adanya konflik dalam tingkatan tertentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian karena dari situasi yang satu akan mempengaruhi situasi yang lainnya.

Kesadaran atas kondisi demikian menjadikan aparatur pemenjaraan nasional (Lembaga Pemasyarakatan) sebagai penanggungjawab pembinaan pelaku tindak kriminal segera bertindak membaca momentum dengan selalu mengembangkan strategi pembinaan, terutama menghadapi narapidana terorisme. Hal demikian dipengaruhi adanya narapidana terorisme selama berada di Lembaga Pemasyarakatan, beberapa di antara mereka memungkinkan untuk mempengaruhi para tahanan dan narapidana kriminal biasa agar dapat bergabung ke dalam aksi teror setelah bebas.3

1 Sebagaimana diterangkan bahwa awal penciptaan manusia diwarnai protes Malaikat karena manusia diberi sifat bawaan untuk berkonflik bahkan saling menumpahkan darah. Al Qur’an, surat al-Baqarah Ayat 30, Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn ‘Abd al Aziz al Saud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1421H, h. 11.

2 Jhon E. Conklin, Criminology (New York: Mac Millian Publishing Co. Inc, 1983), h. 200

3 Dalam teori atribusi misalkan, seseorang akan dapat mudah mempengaruhi orang lain jika dapat selalu menonjolkan pada pokok-pokok fikiran yang sangat rasional dan logis untuk menyederhanakan pemrosesan

Page 67: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 269

Kenyataan itu mendapatkan korelasi tinggi seiring dengan adanya perubahan-perubahan tekanan psikologis yang dihadapi narapidana biasa di dalam penjara. Perubahan drastis yang menjadikan lingkungan semakin menekan bagi narapidana, seperti kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kelayakan hidup normal, kehilangan komunikasi keluarga, hilangnya stimulasi hidup, dan terpaan gangguan psikologis akan menuntut mereka untuk mencari kebermaknaan hidup,4 dan para narapidana teroris tentu dapat memanfaatkan kondisi tersebut karena situasi ketertekanan tentu akan membangun frustasi agresif akibat tidak mampunya menghadapi unsur di luarnya.5

Sebagaimana dikemukakan oleh Clive R. Hollin bahwa perubahan situasional lingkungan akan mempengaruhi perubahan perilaku seseorang.6 Proses ini terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan dan proses pemahaman individu terhadap situasi lingkungan sekitarnya, kemudian pemahaman itu akan melahirkan suatu sikap yang melahirkan perilaku tertentu dalam menghadapi perubahan dan situasi lingkungannya. Proses demikian menjadi suatu siklus yang akan terjadi secara terus menerus dalam kehidupan seseorang sehingga melahirkan persepsi tertentu.

Wacana penjara khusus teroris7 pada akhirnya belum dapat terealisasi karena muncul kekhawatiran justru akan memperkuat struktur perilaku terorisme itu sendiri. Pengetahuan individu bahwa ia memiliki kelompok sosial tertentu yang disertai signifikansi emosi dan nilai terhadapnya, jelas akan melahirkan kenyataan adanya penguatan kelompok dan perlawanan bersama.8

kognitif dengan memberi.reaksi yang sangat banyak kepada stimuli yang menonjol. David O. Sears, Psikologi Sosial (Jakarta: Erlangga, 1994), h. 115.

4 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence) (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 143.

5 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali, 2001), h. 156 Clive R. Hollin, Criminal Behaviour: A Psychological Approach to

Explanation and Prevention, (London: The Falmers Press, 1992), h. 71.7 Wacana penjara khusus teroris pernah dikemukakan oleh Menkumham

periode 2009-2011, Patrialis Akbar, guna menyesuaikan klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan yang ada sekarang ini, yaitu LP Anak, LP Pemuda, LP Wanita, LP Pria, LP Umum, LP Narkotika, LP Terbuka, dan usaha mengembangkan LP Sukamiskin Bandung sebagai LP khusus koruptor.

8 Jim Sidanius dan Felicia Pratto, Social Dominance (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), h.19.

Page 68: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

270 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Hal demikian karena adanya pelahiran nilai dan sikap yang dianut telah membentuk berbagai prasangka sehingga saling berbenturan kepentingan. Oleh karenanya, kenyataan keberagaman masyarakat dan pemahaman individu perlu mendapatkan penguatan untuk mengeliminasi tindakan agresivitas narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana Terorisme Dalam Konflik Sosial

Para tersangka atau narapidana terorisme bukanlah individu yang memiliki tipe kepribadian khusus atau menyandang kelainan jiwa. Kalangan ini justru menampilkan karakteristik kepribadian yang normal, bukan psikopat ataupun psikotik.9 Hal ini menjelaskan bahwa narapidana teroris merupakan individu yang sadar dan mampu mempertanggungjawabkan tindakannya. Oleh karena itu tingkat radikalisme narapidana terorisme sangat terkait dengan persepsi atas keyakinan atau ideologinya,10 sehingga memiliki peluang untuk dapat dikurangi atau diminimalisasi secara perlahan melalui perlakuan yang manusiawi, yaitu memenuhi hak-haknya,11 memperhatikan harga dirinya, sekaligus menjaga keluarganya.12 Berbagai perlakuan dengan kekerasan hanya akan

9 Hal ini setidaknya sebagaimana memahami cara pandang para pelaku tindak terorisme seperti dalam bukunya Imam Samudera, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004).

10Persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang diterima sehingga memberikan makna pada lingkungannya. Stephen P. Robbins, Organizational Behavior (New Jersey: Prentice-Hall Internasional, 2001), h. 88.

11Hak-hak narapidana pada dasarnya dikategorikan pada hak penempatan dan pemindahan, hak pencegahan penyiksaan, hak keamanan dan pembinaan, hak perawatan kesehatan, dan hak berhubungan dengan dunia luar. Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana (Kudus: Parist, 2011), h. 82-116.

12Penghargaan atas hak-hak asasi sesungguhnya merupakan maslahat yang sangat dijaga sebagaimana dalam konsepsi Imam Syatibi disebut maqāsid syarīah. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwāfaqat fī Usūl al-Syarī’ah (Beirut: Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tth), juz 1, hal. 11. Dalam konteks Yusuf Qaradawi konsepsi hak dimasukkan adanya pemeliharan kehormatan diri (hifz al-ird), setelah kelima prinsip dasar yang terdiri dari memelihara agama (hifz al-dīn), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan keturunan harta kekayaan (hifz al-māl). Yusuf Qaradawi, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 26-28.

Page 69: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 271

menguatkan identitas sosial tertentu yang akan membuat dendam semakin bertambah.13 Terlebih mendefinisikan terorisme saja masih menjadi perdebatan dan tarik ulur kepentingan internasional. 14

Terorisme adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengintimidasi, membuat kepanikan, dan kehancuran dalam suatu masyarakat, yang bisa dilakukan baik secara personal atau kelompok dengan tujuan melawan pemerintah.15 Beberapa term yang ada keterkaitannya dengan terorisme dalam Islam antara lain al-irhāb (irhābiyah), al-hirābah (perampokan), qati’u al-tāriq atau qutta’u al-tāriq (pembegal), al-baghyu (pemberontakan), al-‘unf (lawan dari lemah lembut).16 Oleh karena itu, teror sebagai kata dasar dari terorisme, bersifat sangat subjektif. Artinya, setiap orang memiliki batas ambang ketakutannya sendiri, dan secara subjektif menentukan apakah suatu peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa.17

Dalam konteks itu, sistem pembinaan narapidana terorisme melalui penguatan nilai-nilai kemanusiaan dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (Community Based Corrections) atau reintegrasi sosial menjadi pilihan yang efektif, dan tentunya dapat didukung dengan terjalinnya skema kerjasama dengan berbagai pihak guna menjaga tetap terjaganya penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam program pembinaan pemasyarakatan.

Maka menarik apa yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dengan adanya Pesantren At-Tawwabin yang

13 Michael A. Hogg dan Dominic Abrams, Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Roudlege, 1988), h. 8.

14 Tarik ulur kepentingan sebagaimana sikap double standard dalam menangani masalah-masalah kekerasan internasional yang mengancam perdamaian dunia. Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 84.

15 Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia (London: Routledge, 1996), h. 872

16 Abī al-Fadl Jamāluddīn Muhammad ibn Mukrim ibn Manshur al-Fāriqī al-Misrī, Lisān al-Ārāb (Beirut: Dār sadir, 1410 H/ 1990 M), h. 97.

17 Paul Wilkinson, Terrorism and the Liberal State (London: The Macmillan Press Ltd., 1977), sebagaimana dikutip oleh F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi (Jakarta: Imparsial, 2005), h. 5.

Page 70: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

272 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

memberikan pendekatan kolektif beragama. Demikian juga di Lembaga Pemasyarakatan Paledang Kota Bogor dengan Pesantren Al Hidayah, Pesantren Taubatul Mudznibin di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kabupaten Garut, dan Pesantren Daarut Taubah di Rutan kelas I Bandung.18 Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara strategi pembinaan dengan karakter pesantren yang mempertahankan tradisi Islam keIndonesiaan yang mengedepankan perdamaian. 19

Tindakan Densus 88 Mabes Polri yang terlalu bertumpu pendekatan legal formal dan bersifat represif, juga perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak akan mampu mengatasi masalah terorisme, tetapi justru dapat meningkatkan tindakan kekerasan sebagai aksi pembalasan dari partisipan aktif maupun partisipan pasif.20 Kenyataan ini setidaknya telah menjadikan International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR) bersama National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) berpusat di Universitas Maryland melakukan penelitian terhadap 15 negara berdasarkan pola perlakuan terhadap pelaku tindak terorisme. 21

Penelitian ICSR yang dipublikasikan pada 2010, setidaknya mendasarkan pada 4 karakteristik obyek penelitian. Pertama, dilihat dari keberadaan penjara rezim untuk teroris, terdiri dari Perancis, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat. Kedua, dilihat dari kebijakan radikalisasi penjara yang terdiri dari Afghanistan, Perancis, Belanda, Pakistan, Philipina, Spanyol, Inggris, dan

18 Muh. Khamdan, Pesantren di Dalam Penjara, h. 82-95.19 Nilai pokok yang berkembang di dalam komunitas itu adalah bahwa

seluruh kehidupan ini dipandang sebagai ibadah. Bachtiar Effendy, ”Nilai-nilai Kaum Santri” dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985), h. 49.

20 Pembalasan dari partisipan aktif maupun pasif tergantung pada trend rekruitmen dan keanggotaan gerakan, baik dari unsur usia, jenis kelamin, pendidiikan, status ekonomi, sosialisasi kekerasan, keterpnggiran sistem, dan persepsi fanatisme agama. Cindy C. Combs, Terrorism in the Twenty-First Century ( New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2006), h. 65-72.

21 International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR) dan National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START), Prisons and Terrorism Radicalisation and De-radicalisation in 15 Countries (London: ICSR, 2010).

Page 71: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 273

Amerika Serikat. Ketiga, dilihat dari pemisahan nalar radikal secara kolektif dalam proses deradikalisasi yang terdiri dari Algeria, Mesir, dan Israel. Keempat, dilihat dari pemisahan nalar radikal secara individu dalam proses deradikalisasi yang terdiri dari Afghanistan, Indonesia, Philipina, Arab Saudi, Singapura, dan Yaman.

Tabel 1. Karakter Penjara Untuk Teroris22

No Karakteristik Negara

1 Penjara untuk rezim teroris Perancis, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat

2 Radikalisasi penjaraAfghanistan, Perancis, Belanda, Pakistan, Philipina, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat

3 Pemisahan nalar radikal secara kolektif dalam proses deradikalisasi Algeria, Mesir, dan Israel

4 Pemisahan nalar radikal secara individu dalam proses deradikalisasi

Afghanistan, Indonesia, Philipina, Arab Saudi, Singapura, dan Yaman

Dalam proses deradikalisasi dan upaya pemisahan nalar radikal dari dalam penjara sebagaimana yang dijelaskan dalam laporan penelitian ICSR-START setidaknya sesuai dengan tujuan pemasyarakatan Indonesia.23 Tujuan pemasyarakatan adalah resosialisasi atau reintegrasi sosial yang mengandung implikasi perubahan dan kesadaran kelompok sehingga membentuk kembali sikap dan tingkah laku (attitude) sosial narapidana yang sangat erat hubungannya dengan uaya-upaya mengadakan perubahan atas pola budaya kelompok narapidana. Sistem pemasyarakatan merupakan sarana untuk membina para pelaku kejahatan agar tidak lagi mengulangi perbuatan jahatnya. Langkah demikian dapat

22 International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR) dan National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START), Prisons and Terrorism Radicalisation and De-radicalisation in 15 Countries, h. 10.

23 Sistem pemasyarakatan merupakan pengganti dari sistem pemenjaraan, dicetuskan oleh Sahardjo, SH, (Menteri Kehakiman pada 1963), yang secara resmi berjalan mulai 27 Juli 1964. Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana, h. 41

Page 72: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

274 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

didukung dengan penyadaran tentang multikulturalisme dalam perspektif Islam untuk dapat menerima perbedaan.

Islam dan Spirit Multikulturalisme Islam

Keberagamaan dalam ruang publik sosial setidaknya akan memunculkan varian bentuk dalam tiga ragam, yaitu agama sebagai tujuan akhir (religion as end), agama sebagai alat rekayasa, dan agama sebagai dinamisator problem kehidupan. Dari ketiga ragam tersebut, lahirlah varian organisasi yang memiliki paradigma syari’ah masing-masing, terutama menyangkut formalisasi syariat di Indonesia.

Ragam pertama, diwakili oleh kalangan islam fundamentalis yang senantiasa menyerukan perlawanan atas negara-negara non-muslim. Kalangan (konservatif) ini melihat Islam selalu dari aspek historisnya, sehingga mengedepankan dalil bahwa “kaum non-muslim akan selalu berupaya menyerang kaum muslim, sampai berhasil memurtadkannya”. Realitas itu secara kasat mata bisa dilihat dari semangat gerakan regenerasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk tetap memperjuangkan Negara Islam Indonesia yang melahirkan faksi DI Fillah dan DI Fisabilillah dengan varian faksi, seperti Jamaah Muslimin (Jamus) bentukan militer-PNI yang dipimpin Wali al-Fatah, kelompok Abdullah Sungkar yang berubah menjadi Jamaah Islamiyah, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didirikan oleh Abdul Qadir Baraja, Kelompok KW 9 Abu Toto dan Ma’had Al-Zaytun, kelompok Helmy Aminuddin menjadi PKS.24 Kalangan tersebut tidak mempunyai ruang yang cukup untuk memahami agama dengan relasi budaya, yang memungkinkan adanya bergaining discourse antara ajaran keagamaan dan budaya.

Untuk ragam kedua, dapat dilihat dari sekelompok yang selalu menyuarakan formalisasi syariat Islam dalam regulasi nasional, atau menyerukan terwujudnya Negara Islam Indonesia. Setidaknya kalangan itu terwakili oleh kalangan yang bersemangat dengan gerakan wahabisme. Kalangan (konservatif) ini melihat syariat Islam selalu dari aspek literalnya, yaitu kembali pada apa yang tertuang dalam Qur’an dan Hadis. Akhirnya, maraklah

24 Nur Khaliq Ridwan Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 110-155.

Page 73: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 275

tuduhan bid’ah atau (secara sarkasme) kafir kepada umat yang tidak seideologi dengan mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh Front Pembela Islam (FPI) atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ada beberapa ciri cukup menonjol yang penting diketahui dari gerakan wahabisasi itu. Pertama, menggugat dasar negara yang telah berbasis sekulerisme, yakni Pancasila. Semboyannya, hanya dengan mengubah dasar negara, dari Pancasila ke Islam, Indonesia akan terbebas dari murka Allah. Kedua, menolak demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai sistem kafir. Ketiga, berusaha menegakkan syari’ah partikular daripada syari’at universal. Keempat, intensif menggelorakan semangat penyangkalan atas syari’ah berbau tradisi sehingga muncul kekerasan atas kelompok tertentu. Setidaknya, yang dilakukan oleh kelompok Islam tersebut sudah menggiring agama dalam hubungannya antara pengetahuan dan kekuasaan (power and knowledge), dengan mewacanakan hukum Tuhan (ahkamullah) harus terimplementasikan dalam kehidupan manusia, sehingga ingin menyatukan agama-negara.

Pada kelompok terakhir, Islam diposisikan sebagai solusi atas problem sosial yang diintegrasikan pada budaya dan konteks kekinian dan menghargai adanya perbedaan kebenaran karena relativitas pemikiran manusia atas teks tertulis dengan fenomena yang terjadi. Dan inilah yang kerap disebut dengan Islam liberal dengan produk syariah liberal. Karakteristik yang paling tampak dari liberal Islam itu adalah model pemahamannya yang eksegesis. Kelompok ini ingin meletakkan Al Quran dalam pemahaman utuh, sekaligus menyikapinya dalam interpretasi yang bersifat historis. Hal ini menuntut adanya rekonstruksi keberagamaan yang tidak bisa sampai pada kebenaran absolut, sesuai kehendak Tuhan. Hal itu karena proses interpretasi manusia selalu berinteraksi dengan lokal budaya dan subjektivitas tertentu dari manusia. Paradigma liberal ini akan menghindarkan upaya reduksi atas agama untuk kepentingan tertentu atau politisasi agama. Pola keberagamaan semacam itu juga akan menumbuhkan pluralisme.

Pemahaman atas tiga varian beragama inilah yang harus didukung dengan keterbukaan komunikasi dan ruang bagi dialog antar-budaya dan pemahaman multidisipliner. Bassam Tibi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkinkan manusia untuk melakukan dialog antar kebudayaan sehingga akan menghasilkan

Page 74: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

276 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

“international morality”, suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan oleh gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.

Pemahaman semacam itu, penting dikembangkan untuk mengangkat Islam dari keterpurukan dan penindasan sepihak dari kalangan yang (sementara) memegang otoritas keagamaan secara formal dalam negara. Islam harus dilihat secara integral dengan realitas sejarah dan realitas peradaban kemanusiaan secara keseluruhan. Sejak awal, Rasulullah pernah menerangkan bahwa umat Islam akan terpecah dalam beberapa firqoh (sekte). Persoalan tidak berhenti di sini, ketika perbedaan sudah mencolok sebagai realitas keberagamaan yang tidak bisa terpisah dari kehidupan manusia, umat Islam dituntut untuk mampu menunjukkan rasa penghargaan dan kerjasama, sebagaimana sebuah sistem bangunan. Itulah realitas yang mendorong semangat pluralisme dengan multikulturalismenya semakin berkembang. Tidak disangkal lagi, inklusivisme, humanisme, toleransi, dan demokrasi adalah sikap yang harus dikedepankan dalam masyarakat beragama di era posmodernisme.

Salah satu model peletakan pondasi multikulturalisme dapat dengan mengkaji proses pembentukan masyarakat Madinah yang memiliki piagam kesepakatan bersama berwujud Piagam Madinah. Sebelum konstitusi Madinah (Piagam Madinah) disepakati, Nabi Muhammad mulai menjajaki komposisi demografis agama dan sosial penduduk Madinah, sehingga menemukan bahwa penduduk Madinah berjumlah 10.000 orang, dengan komposisi 1500 orang penduduk muslim, 4000 orang Yahudi, dan 4500 orang Musyrik Arab.25 Langkah ini untuk menemukan kesamaan misi membangun “negara kota” yang baru bersama orang-orang yang berasal dari geografis, suku, dan latar belakang budaya berbeda.

Tiga golongan besar tersebut dijabarkan sebagai golongan muslim yang terdiri dari urban Makkah (muhajirin) dan kelompok (anshor) yaitu golongan suku Auz dan Khazraj. Golongan Yahudi tediri dari tiga bani besar, yaitu Nadhir, Quraidhoh, dan Qoinuqo’.26 Dan Musyrikin Arab terdiri dari bani Auf, bani Amr bin Auf, bani

25 Charles Kurzman (Ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 266.

26 Ahmad Tsulby, At- Tarikh al Islamy wal Hadlorot al Islamiyah (Cairo: Daar el Ulum, 1978), h. 244.

Page 75: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 277

al-Harits, bani Saidah, bani Jusyam, bani al-Najjar, bani al Nabit, dan bani al Aus.27 Kompleksitas komposisi masyarakat Madinah semakin bertambah dengan masuknya Salman al Farisy dari Persia, Bilal bin Rabbah dari Habsyi (Ethiopia), Shuhaib bin Sinan dari Irak, dan Ammar bin Yasir dari Yaman ke dalam struktur kelompok masyarakat Madinah.

Di Arab pra-Islam, suku adalah kesucian yang tidak dapat ditinggalkan atau dilebur dengan suku lain karena dianggap suatu kesalahan.28 Untuk menghapus tradisi lama ini, Rasulullah mengumpulkan tiga kelompok sosial utama madinah, supaya keberagaman komposisi masyarakat yang ada mampu disatukan atas penghargaan kesamaan dan kesederajatan. Terwujudlah Piagam Madinah yang mempunyai empat prinsip, yaitu: a) sesama anggota kesepakatan tidak boleh saling mengganggu dan harus patuh. b) adanya kemerdekaan dalam pelaksanaan kehidupan beragama. c) daerah Yatsrib sebagai wilayah terlindungi, jika ada gangguan berarti menjadi tanggung jawab bersama. d) Rasulullah sebagai pemimpin atas komunitas Madinah. Ada dua dasar yang tertuang dari empat prinsip itu, yaitu; pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al musawwah wal ‘adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan.

Menurut Brian O’Connell mengenai masyarakat Madinah yang lebih disoroti pada konsep kewarganegaraan, mendapatkan kesimpulan bahwa ada aspek-aspek yang menunjukkan masyarakat Madinah sudah dalam kebudayaan modern dengan adanya: 1) freedom of religion, speech, and assembly, 2) protection of our safety and property, 3) the right of association.29

Model masyarakat madani multikultural yang telah diperankan Rasulullah di Madinah dengan Piagam Madinah setidaknya mencerminkan sistem pemerintahan yang tidak baku (kaku), tetapi menampilkan sejumlah prinsip kemanusiaan dan keadilan secara universal, meliputi semangat pluralisme, multikulturalisme, dan demokrasi.

27 Charles Kurzman (Ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, h. 268.

28 Karen Amstrong, ISLAM: Sejarah Singkat (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), h. 18.

29 Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 126.

Page 76: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

278 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pluralisme memiliki penekanan pada perbedaan dalam hati, hubungannya dengan kehidupan berbangsa. Perbedaan itu sangat tidak jelas, karena berbentuk keyakinan yang menjadi hak dasar semua manusia, yang dapat diilustrasikan seperti gerbong-gerbong kereta yang tetap berjalan. Meski tersekat dalam perbedaan yang jelas tidak tampak secara kasat mata. Penggunaan istilah universalisme secara esensi untuk memperkenalkan misi kenabian Muhammad dengan kasih sayang untuk semesta alam, baik antropos maupun kosmos. Sedangkan multikulturalisme cenderung digunakan untuk menyandingkan pemahaman dalam konteks regulasi kekuasaan.

Istilah itu memberikan maksud ajaran untuk menebarkan kasih sayang, persaudaraan, saling menghargai, menghormati, bekerjasama, dan upaya saling mengenal dalam menuju jalan ketaqwaan. Dalam hubungan interaksi, Islam diposisikan secara universal yang memanyungi semua entitas kehidupan. Dalam dimensi pluralisme, Islam harus memberikan posisi tentang relativisme kebenaran agama dan faham esoteris, karena manusia yang tidak memiliki persepsi ”tidak adanya kebenaran” juga termasuk sebuah kebenaran itu sendiri. Sedangkan multikulturalisme menghendaki nunasa kerjasama dalam keberbedaan pada interaksi sosialnya.

Permasalahannya sekarang, Piagam Madinah selalu digunakan sebagai rujukan untuk menetapkan asas-asas keagamaan dalam formula-formula pembentukan hukum positif negara secara baku dan formal. Akhirnya, hubungan komunikasi manusia dengan Tuhan lebih bersifat formal-impersonal yang terlembaga. Maka dibutuhkan cara pandang baru yang mengadopsi wacana posmodernisme untuk menafsirkan kembali tentang masyarakat madani dan konteks piagam madinah kekinian.

Masyarakat madani merupakan konsep tentang keberadaan suatu masyarakat yang ingin mewujudkan diri sendiri melalui kemandirian tanpa adanya debirokratisasi keagamaan ataupun yang lain, yaitu tanpa pelembagaan sistem keagamaan yang diintervensi negara. Dengan demikian, kunci dari negara tersebut adalah penghargaan kebebasan manusia, seraya tetap bertujuan untuk kesejahteraan umum dan atas nama kepentingan masyarakat. Itulah tujuan mulia dari gagasan multikulturalisme, yang dalam konteks Islam tersimbolkan dalam masyarakat Madinah.

Page 77: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 279

Spirit Multikulturalisme Dalam Deradikalisasi Terorisme

Apresisasi dunia Internasional terhadap bangsa Indonesia dalam melakukan deradikalisasi dari dalam penjara menjadikan suatu keharusan untuk terus diperlukan adanya pemikiran alternatif dan penggunaan pendekatan yang sesuai dengan budaya dan karakter lokal bangsa Indonesia sendiri, di luar pendekatan legal formal dan represif. Setidaknya pemikiran alternatif tersebut dapat mempertegas paparan Ronald Crelinsten tentang pola counterterrorism dalam lima model, 30 yaitu bersifat memaksa, proaktif, persuasif, defensif, dan jangka panjang.

Counterterrorism yang dikemukakan Ronald Crelinsten juga sama halnya dengan Ho-Won Jeong dalam memetakan sumber konflik sosial beserta pendekatan solusi penanganannya. Konflik yang termasuk di dalamnya adalah kasus terorisme, pada dasarnya dipengaruhi adanya naluri alamiah manusia atas kekerasan, adanya frustasi dan serangan dari orang lain, adanya pencabutan hubungan tertentu, adanya identitas formal yang mengganggu, dan adanya dinamika pembagian sosial yang tidak adil. 31

Keharusan untuk terus melahirkan pemikiran alternatif dalam proses pembinaan narapidana teroris karena dalam sisi lainnya, penanggulangan terorisme oleh Densus 88 masih mengundang tanda tanya bagi masyarakat luas karena banyaknya tersangka yang justru tewas di tempat selama operasi dilaksanakan sehingga ada unsur ketidakadilan dan pengingkaran praduga tak bersalah dalam proses hukum.32 Oleh karenanya perlu adanya penguatan dalam mendukung program reintegrasi sosial.

30 Ronald Crelinsten, Counterterrorism (Cambridge: Polity Press, 2009), h. 1-16.

31 Ho-Won Jeong, Peace and Conflict Studies an Introduction (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2006), h. 65.

32 Operasi yang dilakukan oleh Densus 88 sehingga terkesan sadis seperti pengepungan Dr. Azahari di Batu Malang, pengepungan Noordin M. Top di Temanggung, di Pamulang Tangerang.

Page 78: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

280 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Tabel 2. Program Pendukung Reintegrasi Sosial Atas Terorisme

No Program Langkah / Tindak Lanjut

1 Penyediaan payung hukum- UU Nomor 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme- Perpres 46/2010 tentang BNPT

2 Investigasi jaringan Revitalisasi Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda)

3 Kerjasama internasional dan lokal- Deradikalisasi bersama masyarakat- UN Global Counter Terrorisme Strategy

(UNGCTS) melalui resolusi no. 60/288.

4 Konsolidasi pengamanan

- Pembentukan Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88)

- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

5 Pembangunan opini publik sosialisasi dan penerbitan buku

Tentu semua orang berharap Polri bisa membekuk para tokoh utama pelaku terorisme dan menghentikan tumbuhnya sel jaringan baru. Namun, penanganan terorisme tetap harus mempertimbangkan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak-hak asasi yang dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak-hak asasi yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun) seperti hak hidup. Ketentuan non-derogable rights ini sudah dijamin dalam Konstitusi UUD 1945 (Pasal 28 I), Kovenan Hak-Hak Sipil Politik (Pasal 4) yang sudah diratifikasi Indonesia, 33 dan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian.

Memerangi terorisme tidaklah akan berhasil dengan tindakan kekerasan serupa, proses kegagalan tersebut dapat dilihat dari kenyataan yang telah dilakukan Amerika Serikat terhadap Afghanistan, Iraq, dan Pakistan. Aksi militer yang dilakukan secara bersama-sama antara AS, Inggris, Australia, dan beberapa negara

33 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang ditetapkan pada 16 Desember 1966 oleh PBB, dan diatur oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional hak sipil dan politik. Substansi hak sipil yang diakui adalah hak hidup, hak kebebasan dan keamanan pribadi, hak dalam administrasi peradilan, hak memeluk agama dan kepercayaan, hak kewarganegaraan. Sedangkan substansi hak politik terdiri dari hak berekspresi berserikat dan hak atas kepemilikan harta benda.

Page 79: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 281

lainnya justru semakin menguras anggaran dan menimbulkan kejatuhan korban tiap hari.34

Sebuah realitas yang tidak menggembirakan adalah bahwa kebijakan-kebijakan beberapa negara Barat tertentu dinilai banyak masyarakat Internasional sebagai penyebab terorisme itu sendiri. Sementara yang terjadi di Indonesia, tindak terorisme setidaknya diakibatkan adanya perasaan terasing dan termarginalkan dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang tidak terakomodir. Hal ini terjadi secara sistemik dan bersifat struktural yang dimanifestasikan pada kebijakan pemerintah yang tidak akomodatif. Dengan aksi kekerasan, teroris berusaha keras untuk memberikan tekanan pada rakyat dan pemerintah agar menyetujui tujuan yang diinginkannya karena sesungguhnya pola “mujahidin” terorisme sering terasing secara sosial dan spiritual. 35

Afiliasi dan komitmen kelompok teroris yang terbangun cenderung berlangsung dari proses pertemanan, kekerabatan, dan pemuridan. Penguatan keyakinan secara terus-menerus yang pada akhirnya menyebabkan penerimaan ideologi kekerasan sampai masuk pada jaringan terorisme. Dukungan sosial, dukungan emosional, dan pengembangan identitas bersama masyarakat menjadi kunci keberhasilan proses penghadangan regenerasi ideology kekerasan. Cairnya relasi hubungan sosial pada dasarnya mampu memecahkan kebekuan dogmatis literal, kekakuan ideologis, dan tidak menganggap dunia secara utopis.

Feshbein dan Ajzen 36 mengemukakan bahwa kombinasi antara sikap dan norma atau aturan tertentu akan menimbulkan intensitas untuk berperilaku tertentu dalam keadaan, waktu, dan tempat tertentu. Dengan demikian, perilaku kekerasan atau radikal yang dilakukan oleh pelaku tindak terorisme pada dasarnya dapat diubah jika diberikan perlakuan tertentu melalui program intervensi sosial. Program intervensi sosial sebagaimana telah diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah rangkaian program reintegrasi sosial bagi narapidana agar dapat

34 Robert A. Pape, “The Strategic Logic of Suicide Terrorism”, American Political Science Review APSR, July 14, 2003, h. 13-14.

35 Adjie S, Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 39.36 M. Fishbein dan I. Ajzen, Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An

Introduction to Theory and Research (New York: Addison Wesley, 1975)

Page 80: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

282 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

merubah atau dirubah cara berfikirnya terhadap perilaku yang telah dilakukan di masyarakat sebelumnya.

Tabel 3. Model Perlakuan Pelaku Pidana Terorisme

No Model Pembinaan Langkah / Tindak Lanjut

1 Pembinaan Kepribadian

1. Pembinaan Kesadaran Beragama

Usaha ini diperlukan agar dapat dikuatkan iman dan ketaqwaannya, terutama pemahaman narapidana dapat menyadari perbuatan yang benar dan salah

2. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara

Usaha ini dilaksanakan melalui model pendekatan P4 (Pedoman Pengamalan dan Pelaksanaan Pancasila) agar menjadi warga negara yang baik

3. Pembinaan IntelektualUsaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berfikir narapidana semakin meningkat selama pembinaan

4. Pembinaan Kesadaran Hukum

Pembinaan kesadaran hukum dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum yang baik sehingga mampu menyadari hak dan kewajiban dalam menegakkan hukum dan HAM

5. Pembinaan Integrasi dengan Masyarakat

Pembinaan ini disebut juga pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan yang bertujuan agar narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat

2 Pembinaan Kemandirian

Pendekatan-pendekatan yang ada tersebut pada dasarnya merupakan implementasi atas psikologi hubungan antarkelompok yang sering disebut intergroup behaviour, yaitu penghargaan atas rasa kefrustasian, kepribadian, nilai konflik, maupun kognisi masyarakat yang berbasiskan sosiologi serta struktur sosial. 37

Dengan telah berdirinya pesantren di beberapa Lapas dan Rutan namun belum jelas arah pembinaannya karena masih sekadar kegiatan-kegiatan insidental, maka menjadi momentum bagi kalangan pesantren asli untuk segera berperan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu basis pemberdayaan masyarakat. Kegiatan keagamaan pola penjara ini dapat dibuat format sesuai

37 Jim Sidanius dan Felicia Pratto, Social Dominance (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 19.

Page 81: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 283

dengan gaya pesantren dengan penyesuaian-penyesuaian agenda penjara itu sendiri.

Hubungan pesantren dan Lembaga Pemasyarakatan tersebut diformalisasikan dengan penggunaan isnad, yakni mata rantai guru-murid secara berkesinambungan. Artinya, seorang dari kalangan pesantren yang memiliki kemampuan dan kualifikasi keagamaan yang direkomendsaikan oleh pengasuh pesantren membawahi narapidana tertentu dalam proses pembinaannya. Hal ini untuk lebih memahami lingkungan sosial dan lingkungan keluarga narapidana sebagai bagian dari proses pembinaan dan persiapan kembali di masyarakat, sehingga pesantren sebagai bagian dari civil society akan memiliki penguatan visi transformasi bagi kalangan narapidana.

Fenomena demikian tentu sangat mendesak karena ketika narapidana terorisme mengalami pembinaan yang tidak efektif, justru akan berperan sebagai sosok yang menyebarkan ideologi kejahatan dengan buaian surga. Narapidana teroris adalah orang yang sudah terdoktrin dengan dogma keagamaan yang salah tafsir dan multi-interpretasi sehingga sangat membutuhkan peran agamawan yang memiliki penguasaan agama baik untuk mengajak dialog atau berdebat guna pencapaian kesadaran yang benar. Bukan untuk menyederhanakan pemahaman petugas, karena semua hal itu pada dasarnya punya ahlinya masing-masing, sehingga sangat dikhawatirkan alih-alih memberikan pembinaan justru petugas penjara terpengaruh oleh pemahaman narapidana teroris.

Penutup

Tentu sangat sulit membayangkan, dari latar belakang jeruji penjara yang penuh penjagaan dan prosedur keamanan, langkah mengorganisir sel-sel teroris ternyata masih dapat terjadi. Sangat difahami juga bahwa kasus terorisme memang sulit terendus karena melibatkan sindikasi yang rumit, namun akan lebih sulit lagi jika ternyata mendapatkan back-up dari struktur kekuasaan dan itu melalui aparat di penjara karena narapidana teroris pintar bermain peran sedangkan petugas pemasyarakatan terllu tkut untuk berinteraksi dengan narapidana teroris.

Terbongkarnya jaringan terorisme dari balik jeruji penjara sebagaimana diperankan Aman Abdurrahman, tentu berimplikasi

Page 82: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

284 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

pada pembangunan persepsi bahwa kalangan teroris memang sosok yang cerdas membaca momentum serta peluang. Persepsi ini tentu membawa perubahan paradigma kalau terorisme adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat muncul tanpa dapat diperkirakan. Hal ini akan memiliki pembenaran bahwa terdapat korelasi yang erat antara kriminalitas dan lingkungan fisik yang buruk karena menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan hidup yang dirasakan.

Page 83: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Revitalisasi Multikulturalisme dalam Penenganan teroris ... (Muh. Khamdan) 285

DAFTAR PUSTAKA

Adjie S. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2005Al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwāfaqat fī Usūl al-Syarī’ah (Beirut: Dārul

Kutub Al-‘Ilmiyyah. tthAmstrong, Karen. ISLAM: Sejarah Singkat. Yogyakarta: Penerbit

Jendela. 2002Azizy, Qodri. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004Azra, Azyumardi. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi,

Radikalisme, dan Pluralitas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002

Combs, Cindy C. Terrorism in the Twenty-First Century. New Jersey: Pearson Prentice Hall. 2006

Conklin, Jhon E. Criminology. New York: Mac Millian Publishing Co. Inc. 1983.

Crelinsten, Ronald. Counterterrorism. Cambridge: Polity Press. 2009

Hardiman, F. Budi. Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2005.

Hogg dan Dominic Abrams, Michael A. Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. London: Roudlege. 1988

Hollin, Clive R. Criminal Behaviour: A Psychological Approach to Explanation and Prevention. London: The Falmers Press. 1992

International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR) dan National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START). Prisons and Terrorism Radicalisation and De-radicalisation in 15 Countries. London: ICSR. 2010

J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali. 2001Jamāluddīn Muhammad ibn Mukrim ibn Manshur al-Fāriqī al-

Misrī, Abī al-Fadl. Lisān al-Ārāb. Beirut: Dār sadir. 1410 H/ 1990 M

Page 84: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

286 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Jeong, Ho-Won. Peace and Conflict Studies an Introduction. Burlington: Ashgate Publishing Company. 2006

Khaliq Ridwan, Nur. Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia. Jakarta: Erlangga. 2008

Khamdan, Muh. HAM Bagi Narapidana. Kudus: Parist. 2011Kuper dan Jessica Kuper, Adam. The Social Science Encyclopedia.

London: Routledge. 1996Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam

Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta: Paramadina. 2003

M. Fishbein dan I. Ajzen. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. New York: Addison Wesley. 1975

Qaradawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2007

Rahardjo, M. Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M. 1985

Robbins, Stephen P. Organizational Behavior. New Jersey: Prentice-Hall Internasional. 2001

Samudera, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazeera. 2004Sears, David O. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. 1994Sidanius dan Felicia Pratto, Jim. Social Dominance. Cambridge:

Cambridge University Press. 2001Sidanius dan Felicia Pratto, Jim. Social Dominance. Cambridge:

Cambridge University Press. 2001Tasmara, Toto. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence).

Jakarta: Gema Insani Press. 2001Tsulby, Ahmad. At- Tarikh al Islamy wal Hadlorot al Islamiyah. Cairo:

Daar el Ulum. 1978Wilkinson, Paul. Terrorism and the Liberal State. London: The

Macmillan Press Ltd. 1977

Page 85: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 287

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM

Muhamad Mustaqim

Abstrak

Keragaman adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Namun sejarah telah mencatat bahwa berbagai konflik sosial antar umat manusia seringkali muncul atas dasar perbedaan tersebut. Pendidikan adalah wahana untuk mampu membekali manusia menjadi manusia yang beradab dan sempurna. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan akan mampu membekali manusia untuk bersikap inklusif dan toleran. Sadar bahwa perbedaan adalah anugrah dan hazanah keragaman yang menuntut kita untuk saling menghargai dan menghormati. Sehingga misi risalah islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan dapat terwujud.

Kata kunci: pendidikan, multikultural, Islam

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, bahasa, agama, ras, etnis, yang kemudian dikenal sebagai negara plural. Keberagaman ini mengantarkan bangsa Indonesia kepada kekayaan budaya yang besar. Multikultural adalah kata lain untuk menggambarkan keberagaman dan kemajemukan tersebut. Di sini, multikultural seakan dua mata pisau, satu sisi menjadikan bangsa kita kaya akan hasanah kebudayaan, tapi di sisi lain, rentan menimbulkan benturan, perselisihan dan

Page 86: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

288 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

konflik.(Baidhawy, 2005:21). Benturan sangat berpeluang terjadi, mengingat perbedaan sering kali mengantarkan manusia pada sebuah konflik dan pada akhirnya sampai pada tindakan anarkis.

Berbagai fenomena riil yang sampai sekarang masih menggejala di masyarakat kita yang multikultural ini sudah sering kita saksikan. Konflik Ambon, Poso, Banyuwangi, pembantaian etnis Tiong Hoa, pembakaran gereja dan masjid adalah bagian kecil dari deretan konflik – yang disinyalir - akibat perbedaan. Sejarah kemanusian telah membuktikan bahwa hilangnya ribuan nyawa sering kali disebabkan oleh perbedaan dan keragaman. Di Indonesia, fenomena pembunuhan massal telah menghiasi lembaran-lembaran kelam sejarah bangsa. Pembantaian besar-besaran pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada tahun 1998, konflik antara Kristen dan Islam di Maluku Utara pada tahun 1999-2003, serta masih banyak lagi benturan lainnya yang terjadi di bangsa yang multikulktural ini.(Ainul Yaqin, 2005:4).

Dalam kancah sejarah duniapun, berbagai kekerasan yang dilatar belakangi oleh perbedaan menghiasi sejarah kelam peradaban manusia. Sampai saat ini, tidak kurang dari 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat tinggal mereka, dan yang lebih mengerikan, 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah Sehingga hal ini patut untuk kita sayangkan dan menjadi pehatian kita bersama.

Kalau kita telisik, konflik dan benturan yang terjadi selama ini, lebih di sebabkan kurangnya kesadaran akan multikulturalisme yang ada. Masyarakat sering tidak bisa memahami akan kemajemukan makhluk hidup yang ada di dunia ini. Ditambah dengan pola pikir primordial, yang senantiasa menganggap bahwa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar. Kebenaran dipahami sebagai apa yang ada pada nilai “parsial” diri mereka. Sedangkan kebenaran yang bersifat universal seakan-akan tidak ada. Tidak berhenti sampai situ saja, eksklusifitas tersebut masih ditambah dengan prasangka dan stereotip bahwa orang lain di luar mereka adalah salah.

Di sisi lain, pendidikan merupakan wahana untuk menjadikan manusia memiliki kedewasaan sikap dan prilaku. Pendidikan diharapkan mampu menjadi “pembina” manusia

Page 87: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 289

menjadi manusia sejati, yang bertugas melestarikan alam raya ini. Pendidikan dituntut untuk mampu mewujudkan manusia yang beradab, yang mampu merespon segala yang ada di alam ini. Tidak hanya itu saja, pendidikan juga harus mampu mewujudkan kedamaian dan ketentraman dunia.

Namun, kenyataan yang ada, berkata lain. Pendidikan yang idealnya melahirkan manusia-manusia yang berwawasan luas, inklusif dan mampu menjadi agen perdamaian, ternyata tidak seperti yang diinginkan. Pendidikan hanya melahirkan manusia-manusia yang berfikir, bekerja dan bertindak untuk dirinya sendiri.

Dalam kacamata Islam, pendidikan menurut agama Islam yang kemudian kita sebut sebagai pendidikan Islam mempunyai arti sebagai suatu sistem yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologoi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32) Jika hal ini disepakati, maka hakekat pendidikikan Islam tidak lain adalah untuk membangun muslim yang Islami.

Untuk bisa mencapai semua itu, pendidikan dalam hal ini mempunyai posisi yang cukup signifikan. Melalui pendidikan, multikultural nantinya tidak lagi sebagai ancaman perpecahan dan gesekan-gesekan. Lebih dari itu, multikultural akan menjadikan manusia saling menghargai dan hidup bersama dengan damai. Pendidikan multikultural sampai sini kemudian perlu menjadi perhatian kita bersama, mengingat kecenderungan perpecahan yang berakar dari multikulturalisme dan perbedaan sudah banyak memakan korban.

Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural merupakan istilah yang terdiri dari dua kata, pendidikan dan multikultural. Untuk dapat memahami definisi dari pendidikan multikultural secara komprehensif, terlebih dahulu harus mengetahui pengertian pendidikan dan multikultural itu sendiri. Dari dua definisi istilah ini, akan diketahui pengertian pendidikan multikultural.

1. Pengertian Pendidikan

Sebagaimana yang telah di ketahu bersama, bahwa definisi dari suatu istilah itu bersifat subyektif. Perbedaan sudut pandang dan paradigma mempengaruhi dan menentukan hasil definisi

Page 88: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

290 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

seseorang. Demikian juga dengan istilah pendidikan, mekipun istilah ini sudah sangat tua, bahkan sudah ada mulai manusia diciptakan, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan bulat tentang definisi pendidikan. Hal ini tampaknya wajar, mengingat perbedaan persepektif para pemikir, serta perkembangan pemikiran pendidikan yang kian waktu kian berkembang pesat. Sehingga dari waktu ke waktu muncul para pemikir pendidikan, yang berimplikasi pada munculnya definisi pendidikan juga.

Dari sini, penulis mencoba menampilkan definisi pendidikan oleh para pemikir pendidikan yang sering di jadikan referensi dalam hasanah pendidikan. Para tokoh yang sering menjadi kiblat referensi pendidikan antara lain: a. H.A.R. Tilaar Pendidikan menurut Tilaar adalah proses pembudayan. Artinya

pendidikan bertujuan membentuk manusia yang berbudaya, yakni berkembangnya kepribadian seseorang yang demokratis. (Tilaar, 2000:56)

b. Mansour Fakih Menurut pandangan Mansour, pendidikan pada dasarnya adalah

proses mengembalikan kembali manusia pada konsep fitrahnya. Pendidikan tidak lain adalah proses refleksi kritis terhadp ideologi dominan menuju transformasi sosial. (Mansour Fakih, 1999:22)

c. Azyumardi Azra Menurut Azyumardi pendidikan adalah suatu proses dimana

suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu dengan kesadaran suatu bangsa atau negara dapat mewariskan kekayaan budaya atau pemikiran kepada generasi berikutnya sehingga menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap aspek kehidupan. ( Azumardi Azra,1998:3)

d. Paulo Freire Pendidikan menurut Freire adalah proses pembebasan dengan

jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesdaran akan kemandirian atau memberi kekuasan kepadanya untuk menjadi individu. (Wiliam A. Smith, 2003:53) Freire juga berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses memanusiakan kembali

Page 89: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 291

manusia yang mengalami dehumanisasi yang diakibatkan oleh sistem yang hegemonik.

e. Sistem Pendidikan Nasional Dalam Undang Undang sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)

tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk wAtak serta peadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manuisia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu , cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2. Pengertian Multikultural

Multikultural secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata, multi dan kultural. Multi berarti banyak, ragam dan aneka. Sedangkan Kultural berarti kebudayaan, kesopanan dan pemeliharaan. Sedangkan secara terminologi, banyak ilmuan mendefinisikan term multikultural secara beragam.

Agar dapat diambil kesimpulan tentang pemahamanan definisi pendidikan multikultural yang beragam, maka sebelumnya akan dijelaskan tentang beberapa difinisi multikultural terlebih dahulu, adapun beberapa definisi tersebut adalah :

Tilaar secara sederhana mengartikan multikultural sebagai pengakuan atas pluralisme budaya (Tilaar, 2004:179). Di sini pluralisme budaya bukanlah sesuatu yang “given”, takdir dari Tuhan. Tetapi merupakan proses internalisasi nilai dalam suatu masyarakat. Pengakuan terhadap keragaman budaya ini akan membawa masyarakat pada kedamaian dan keadilan.

Zakiyuddin Baidhawy menilai bahwa multikultural merupakan kenyataan pluralitas kultural yang hidup di masyarakat, bentuk pemerintahan, sistem ekonomi, sistem keagamaanatau intelektual, atau bahkan kebudayaan (Baidhawy, 2005:2). Multikultural adalah sebuah fakta sosial dalam berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang etnis dan bangsa.

Dalam pandangan Ahmat Baso, seorang intelektual NU, Multikultural merupakan jalan untuk mengedepankan semua kontribusi yang dimiliki masyarakat yang telah hidup dalam

Page 90: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

292 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

keragaman dan perbedaan. Disini, Multikulturalisme merupakan titik pertemuan dari beberapa identitas budaya, agaman, kelompok etnis, dan ras yang telah menghasilkan hak-hak budaya masyarakat untuk membangun lingkungan dan kedamaian di antara titik pertemuan identitas yang beragam. Sehingga antar keragaman tersebut dapat hidup secara harmonis.

Sementara itu, Bikhu Parekh, Professor Teori politik di Universitas Hull, sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda mendefinisikan multikultural sebagai suatu perspektif atau cara pandang dalam melihat kehidupan manusia, yang di bangun berdasar tiga wawasan penting. Tiga wawasan itu adalah, pertama, bahwa manusia pada dasarnya tertanam secara kultural. Kedua, perbedaan budaya merepresentasikan keragaman sistem makna, dan visi tentang “good life”. Dan ketiga, secara internal dan konstitusif, setiap budaya itu bersifat plural dan meefleksidan dialog antar tradisi yang berbeda.

Dari sini, pendidikan multikultural secara umum dapat di artikan sebagai sebagai upaya perubahan perilaku manusia melalui pengajaran yang menekankan pada keberanekaragaman budaya yang ada. Proses perubahan prilaku tersebut di tujukan untuk membentuk prilaku manusia yang sadar akan keragaman. Sehingga prilaku–prilaku negatif yang bermula dari keragaman tersebut, seperti diskriminasi, prejudise (prasangka) dan stereotype dapat mampu dieliminir.

Dari paparan diatas, para ahli tampaknya sepakat bahwa multikulturalisme masyarakat adalh sebuah fakta sosial dan keniscayan. Untuk mampu memahami keniscayan sosial tersebut, diperlukan kesadaran dan pengakuan akan keragaman. Dan pendidikan multikultural adalah proses untuk mewujudkan hal tersebut, dalam kerangka dasar terciptanya masyarakat yang damai, aman dan sejahtera.

Aspek Multikultural

Sesuai dengan makna dasarnya, multikultural mempunyai arti keragaman kebudayaan ( Ainurrofiq Dawam, 2003: 101). Hal ini berarti bahwa ada beranekaragam kebudayaan atau kultur yang ada pada masyarakat. Keragaman tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek kultural.

Page 91: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 293

Ainul Yakin membagi keragaman tersebut menjadi beberapa aspek, yakni agama, bahasa, gender, status sosial, etnis, kemampuan dan usia. (Ainul Yaqin, 2005:33) Di sini penulis mencoba untuk menjelaskan aspek-aspek tersebut.

1. Keragaman Agama

Sudah menjadi pemahaman bersama bahwasanya di dunia ini ada berbagai macam agama. Di Indonesia ada enam agama besar yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha dan Khonghucu. Meskipun tidak bisa di ingkari masih banyak agama lain yang ada.

2. Keragaman Bahasa

Unsur lain dari keragaman kultur adalah bahasa. Di dunia ini terdiri dari berbagai ragam komunitas dengan bahasa yang berbeda. Sebagaimana yang dianalisa oleh antropolog, Michael Krouss, bahwa 10.000 tahun yang lalu diperkirakan ada sekitar 15.000 macam bahasa di seluruh dunia. Namun sekarang sudah berkurang jumlahnya mejadi sekitar 6000 macam bahasa. Diperkirakan dalam seratus tahun lagi, 90% dari bahasa-bahasa ini akan hilang , karena sedikit masyarakat yang menggunakannya.

Di Indonesia sendiri terdiri dari sekitar 250 macam bahasa. Bahkan bisa jadi lebih bila dihitung sekaligus aksen dan dialeknya. Konsekuensi dari hal ini dapat memancing adanya salah paham dan diskriminasi terhadap kelompok yang menggunakan bahasa tertentu.

3. Keragaman Gender

Tuhan telah menciptakan manusia dari kalangan laki-laki dan perempuan, supaya terjadi komunikasi dan kecenderungan (rasa cinta dan sayang) untuk hidup bersama secara tenang. Sudah menjadi keniscayaan bahwa di dunia ini ada laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini bukan semata-mata untuk meninggikan derajat antara yang satu dengan yang lain. Lebih dari itu, supaya manusia mencapai ketentraman dalam kehidupan. Namun perbedaan ini seringkali disalah pahami, dan menimbulkan diskriminasi.

Page 92: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

294 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

4. Keragaman Status sosial

Sepertinya sudah menjadi keniscayaan hidup, bahwa manusi diciptakan berbeda status sosialnya. Ada yang miskin, kaya, pejabat, jelata, presiden, buruh dan seterusnya. Di sini, status sosial seringkali melahirkan dominasi dan eksploitasi antara status yang satu kepada status yang lain. Sehingga kesadaran akan keragaman status sosial harus di bangun semenjak dini.

5. Keragman Etnis

Keragaaman etnis merupakan kenyatan yang harus diterima umat manusia. Adanya pluralitas etnis tersebut seharusnya tidak harus menimbulkan perpecahan dan saling memusuhi. Namun dalam perjalanan sejarah, keanekaragaman tersebut sering kali menyisakan noda kelabu yang memilkukan, akibat dari pertentangan antar etnis.

Jumlah etnis di dunia ini sangatlah besar. Diperkirakan dalam 184 negara merdeka, terdapat 5000 kelompok etnis. Keragaman ini merupakan sebuah potensi terjadinya konflik, bila tidak di kelola dengan baik. Sehingga pembangunan kesadaran akan keragaman etnis menjadi tanggung jawab kita bersama.

6. Keragaman Kemampuan

Manusia diciptakan di di dunia ini dengan keterbatasan-keterbatasan yang relatif. Keterbatasan pada seseorang, belum tentu dimiliki oleh orang lain, dan sebaliknya. Di sini manusia diciptakan dengan perbedaan kemampuan yang di milikinya. Perbedaan kemampuan atau diffable bukan suatu alasan bagi kita untuk membeda-bedakan antar sesama manuasia, meskipun pada orang yang mempunyai perbedaan kemampun.

7. Keragaman Umur

Perbedan umur adalah sebuah konsekuensi dari kemajemukan manusia. Karena manusia huidup , tumbuh dan berkembang memerlukan proses dan durasi waktu. Akumulasi dari proses sampai kurun waktu tertentu inilah yang kemudian disebut umur.

Perbedaan umur melahirkan keragaman pengalaman, yang berdampak perbedaan dalam pemahaman, sikap dan prilakunya. Perbedaan ini tak jarang menimbulkan kesalah pahaman, yang

Page 93: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 295

sering berakhir dengan konflik. Kedangkalan kesadaran akan keragaman umur di sisi lain juga berpotensi menimbulkan diskriminasi. Disinilah urgensi dari kesadaran multikultural dalam aspek umur atau usia.

Tujuan Pendidikan Multikultural

Untuk mampu memahami tujuan Pendidikan Multikultural secara komprehensif, terlebih dahulu penulis paparkan beberapa pendapat tentang tujuan Pendidikan multikulural.

Menurut Ainurrofiq Dawam, pendidikan multikultural setidaknya mempunyai enam tujuan (Ainurrofiq Dawam,2003:104), yaitu orientasi kemanusiaan, orientasi kebersamaan, orientasi kesejahteraan, orientasi proporsional, orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas dan orientasi anti hegemoni dan anti dominasi.

Sedangkan menurut Prof.Bennett dalam H.A.R. Tilaar (Tilaar, 2003:171), menyebutkan bahwa tujuan pendidikan multikultural yaitu:1. Mengembangkan perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang

beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. 2. Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.3. Memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya

yang hidup di masyarakat.4. Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka

(prejudice )5. Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi.6. Mengembangkan ketrampilan aksi sosial (social actio)

Dari keenam point tersebut secara jelas sudah dapat dipahami dan harus mulai ditanamkan kepada masyarakat Indonesia berkenaan dengan kesadaraan atas keberagaman yang sudah menjadi kenyataan sejarah hidup yang tidak bisa dihindari atau diseragamkan, melainkan sebaliknya harus ada aksi-aksi untuk mengembangkan potensi-potensi keanekaragaman tersebut dengan memberikan jaminan untuk berekspresi, berkreasi, dan berinovasi tanpa melupakan prinsip-prinsip toleransi.

Ainul Yaqin dalam bukunya “Pendidikan Multikultural”, menyatakan Pendidikan Multikultural mempunyai dua tujuan. Yakni tujuan awal dan tujuan akhir (Ainul Yaqin, 2005:26). Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan

Page 94: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

296 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa.

Harapannya adalah ketika mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik, maka mereka tidak hanya mampu membangun kecakapan dann keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan, tetapi juga mampu menjadi transformator pendidikan multikultural yang menanamkan nilai-nili pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.

Sedangkan tujuan akhirnya adalah bahwa peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran, tapi yang lebih penting, peseta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap dan berprilaku humanis, pluralis dan demokratis. Hingga akhirnya apa yang menjadi cita-cita bersama, yakni kehidupan bersama secara damai dan toleran akan mampu terwujud.

Muhammad Ali (Kompas, 2002)menjelaskan bahwa pendidikan multikultural mempunyai tujuan untuk melalukan proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, sehingga mampu melakukan upaya yang komperhensif untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan multikultural ini adalah adanya toleransi.

Dasar Pendidikan Multikultural

Islam pada dasarnya adalah agama yang toleran. Lewat beberapa teks nya Islam menagandaikan tatanan sosial masyarakat yang damai dan berkeadilan, dalam kerangka keragaman dan perbedaan. Dalam konteks pendidikan, Islam memberikan semangat untuk belajar kapan saja , dimana saja dan dari mana saja. Pendidikan multikultural bagi islam adalah bagian kecil dari konsep pendidikan yang ada. Toh begitu, Islam memandang bahwa segala ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah sangat penting.

Sebagai bagian dari pendidikan iaslam, pendidikan multikultural mempunyai dasar yang kuat, baik secar tekstual, kontekstual maupun institusional. Berikut ini beberapa dasar tentang pendidikan multikultural :

Page 95: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 297

1. Al-Qur’an dan Al-Hadits

Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). a. Surat Al-Maidah ayat 8

Bahwa pendidikan harus memperlakukan semua anak didik secara adil, tidak ada semacam pilih kasih. Ketidak seimbangan pendidik terhadap anak didik tidak boleh menghambat untuk berlaku adil.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( Al-Maidah ayat 8).

b. Surat Al-Hujurat ayat 13Bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar supaya dapat saling mengenal, dan diharapkan dari hal itu dapat terjalin interaksi yang baik, dan dapat menjadi prasyarat untuk dapat saling menghormati dan menghargai orang lain.

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mengenal” (Al-Hujurat ayat 13).

c. Hadis tentang wajib menuntut ilmu.Artinya: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, laki-laki dan perempuan”.(H.R. Abdil Darr)

Hadis tersebut mencerminkan bahwa di dalam Islam terdapat prinsip bahwa pendidikan harus disebarluaskan ke segenap lapisan masyarakat secara adil dan merata sesuai dengan disparitas yang ada atau sesuai dengan kondisi jumlah penduduk yang harus dilayani.

Page 96: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

298 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

2. Dasar pendidikan multikultural dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Pendidikan multikultural di Indonesia bertujuan untuk membina pribadi-pribadi Indonesia yang mempunyai kebudayaan sukunya masing-masing, memelihara dan mengembangkannya serta sekaligus membangun bangsa Indonesia dengan kebudayaan bangsa Indonesia sebagaimana yang di amanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945.a. Pasal 31 UUD 1945, ayat 1 Ayat (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

pengajaranb. Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional

yang menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

c. UU No. 2 Tahun 1989. Pasal (5); Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan. Pasal (7); Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam

suatu satuan pendidikan di selenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.

F. PenutupPendidikan multikultural diupayakan untuk membangun

sikap multikulturalime bagi peserta didik. Kesadaran akan perbedaan akan melahirkan sikap toleran, saling menghargai dan tolong menolong. Perbedaan antar individu bukan lagi menjadi alasan perpecahan dan konflik. Sehingga dunia yang damai dan ramah akan mampu terbangun bersama, dan disinilah misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan mampu terwujud.

Page 97: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Konsep Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam (Muh. Khamdan) 299

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah, Inspeal, Yogyakarta, 2003Azumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan

Islam, Logos, Jakarta, 1998.Bikhu Parekh Dan Pendidikan Multikultural dalam www.india-

seminar.comH.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, IndonesiaTera,

Magelang, 2003___________, Multikulturalisme, PT Grasindo , Jakarta, 2004.___________, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta ,

Jakarta, 2000.Jalaluddin Abdurrahman, Jami’us Saghir, Bina Ilmu, Surabaya,

1995Lihat www. MSPI.onlineM. Ainul Yaqin, Pendidikan multikultural : Cross-cultural

Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.

Mansour Fakih et, al, Pendidikan popular, Read book, Yogyakarta, 1999.

Muhaimin El Ma’hadi, “ Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural” dalam http: // www.artikel.us/muhaimin6-04.html

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,Ciputat Pers, Jakarta, 2002.

Wiliam A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire,Terj. Agung Prihantoro., Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta, 2005.

Page 98: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

300 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Page 99: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 301

MEMPERTANYAKAN MULTIKULTURALISASI PENDIDIKAN

Dua Kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia

QUESTIONING THE MULTICULTURALIZATION OF EDUCATION

Two trends of Multiculturalism Education in Indonesia

Nur RosyidUGM

Email : [email protected]

Abstraksi

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas secara kritis isu multikulturalisme yang menjamur dalam kajian pendidikan di Indonesia. Saya ingin mengkajinya lewat teks-teks bacaan, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa proses pengenalan multikulturalisme di dunia pendidikan lebih banyak dituntun lewat buku panduan. Obyek kajian yang digunakan di sini adalah teks LKS (Lembar Kerja Siswa) kelas X MA dan SMA di kabupaten Boyolali. Dua buah teks ini akan diperbandingkan salah satu babnya dan kemudian dianalisis. Perbandingan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana teks multikulturalisme diwacanakan di dua institusi yang berbeda. Dari hasil tinjauan ini terlihat ada perbedaan wacana dan orientasi pendidikan multikultural di dua institusi pendidikan tersebut. Kemudian hasil kajian ini direfleksikan kembali ke dalam pendidikan islam.

Kata-kunci: multikulturalisme, kewarganegaraan, per-bandingan teks, Refleksi

Page 100: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

302 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Abstract

This paper is aimed to critically review the issue of multiculturalism that began to spread in the study of education in Indonesia. I want to study it through reading texts, particularly Civic Education. It is based on the assumption that the introduction of multiculturalism in education is guided by more guidebooks. The object of study used here is the text of LKS (Student Worksheet) class X MA and SMA in Boyolali district. Two texts will be compared one of the chapter and later in analysis. This comparison is intended to see how the discourse of multiculturalism text in two different institutions. From the results of this review appears there was a difference discourse orientation and multicultural education at two educational institutions. Then the results of this study are reflected back into the Islamic education.

Keyword: Multiculturalism, Civic education, Comparison study, Reflection

Isu Pendidikan Multikulturalisme

Perkembangan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia belakangan ini selalu diwarnai oleh hiruk-pikuk konflik yang dilatarbelakangi motif primordialistik, perebutan kepentingan antar kelompok, dan sebagainya. Selama tahun 2012 ada beberapa kasus pertikaian mewarnai media massa kita. Ada sebuah situs memberitakan peristiwa tawuran telah terjadi antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan Bulungan pada Senin (24/9). Tawuran ini menyebabkan seorang siswa SMA 6 kelas X berusia 15 tahun, tewas akibat kena bacok di bagian dada1. Berita lain mengabarkan Hari Minggu (26/8), konflik bernuansa SARA, antara kelompok Islam Suni dengan Islam Syiah terjadi di Sampang, Madura. Akibatnya, dua warga Syiah meninggal dunia dan sejumlah rumah hangus terbakar2. Tidak hanya itu saja, konflik politik di Senayan maupun demonstrasi di jalanan ikut meramaikan ketegangan ini.

1 Diambil dari http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswa-sma-6-antarkan-jenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. Pada tanggal 26 September 2012 pukul 09:48 WIB

2 Diambil dari “Laporan harian monitoring isu publik”, Kementrian Komunikasi dan Informasi http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d1b160d44afd.pdf pada tanggal 26 September 2012 pukul 10:13 WIB

Page 101: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 303

Pertentangan atau ketegangan-ketegangan ini kalau kita selami betul akan menimbulkan kesadaran bersama, “ada sesuatu yang ‘beda’ di antara kita”. Dalam arti luas, Indonesia ternyata negara yang penuh dengan perbedaan-perbedaan kultural maupun politik-ekonomi. Isu multikulturalisme kemudian menjadi wacana utama dalam beberapa tahun terakhir yang dipelopori beberapa perguruan tinggi, khususnya ilmu Humaniora. Multikulturalisme dipandang akan mampu meredam konflik, pertikaian atau pertentangan-pertentangan itu.

Multikulturalisme, sebagaimana dijelaskan Bikhu Parekh, setidaknya mengandung tiga kompenen pokok, yakni: (1) berhubungan dengan budaya (2) merujuk pada pluralitas budaya, dan (3) cara khusus yang dipakai untuk merespon3. Selanjutnya, multikulturalisme dipandang sebagai sebentuk ‘isme’ diharapakan akan bekerja dalam pikiran seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita tahu, sebagai kalangan fenomenolog, segala perilaku manusia dibimbing oleh pengetahuan dan pengalamannya. Hal ini menandakan pendidikan dapat menjadi arena pemasukan ide-ide multikultur, sebagaimana pengenalan nilai-nilai kehidupan sosial lainnya. Nilai inilah yang selanjutnya akan menentukan arah tindakan dan perilaku siswa-siswi.

Lantas bagaimana sebenarnya praktik multikulturalisasi4 itu akan dijalankan. Lono Lastoro, telah memberikan keterangannya panjang dalam bagaimana menyikapi atau mengekspresikan beragamnya kultur tersebut dengan mengenalkan konsep etnisitas dalam prespektif relasional dari Eriksen (1993) dan Barker (2000). Menurutnya,

“Sumbangan yang diberikan prespektif ini berupa pandangan bahwa kelompok etnik merupakan salah satu bentuk pengorganisasian sosial, yang senantiasa melibatkan tindak ekslusi dan inklusi yang didasarkan pada konsep kesamaan dan perbedaan. Tindak pembedaan dan atau penyamaan menuntut kehadiran dua atau lebih entitas sosial yang saling berinteraksi”5.

3 Dalam Kamanto Sunarto dkk. Introduction. Dalam “Multicultural education in Indonesia and SouthEast Asia: Stepping Into the Unfamiliar”. Jurnal Antropologi Indonesia. 2004: 1

4 Multikulturalisasi yang saya maksudkan di sini adalah suatu proses penyebaran atau pengenalan multikulturalisme.

5 Lono Lastoro. “Dari Perbedaan dan Kesamaan, Menuju Pembedaan dan Penyamaan” dalam Ahimsa-Putra (ed) “Esai-Esai Antropologi: Teori, Metodologi & Etnografi” Jurusan Antropologi Budaya UGM dan Kepel Press. 2006:78

Page 102: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

304 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Jadi tindakan pengenalan multikulturalisme, pada intinya merupakan tindak pembedaan dan penyamaan atas banyak entitas sosial. Dengan demikian, pendidikan di sini menjadi arena yang tepat untuk mengajak siswa untuk mengenali pluralitas Indonesia melalui tindak pembedaan dan penyamaan. Sebagaimana yang dijelaskan Lono Lastoro, “Sekolah sebagai salah satu lembaga pengemban pendewasaan anak-anak pun tidak luput dari proses penanaman tindak pembedaan dan penyamaan”6. Dan selanjutnya, “Penyamaan dan pembedaan itu tidak hanya berlangsung dalam bidang etnik atau ras, tetapi bahkan bisa saja didahului atau berbarengan dengan identifikasi gender, agama, kelas sosial.”7.

Lebih lanjut lagi, Sugeng Wahyono telah mengidentifikasi setidaknya ada dua hambatan besar yang harus dihadapi di dalam menerapkan pendidikan multikultural, yaitu “menguatnya politik identitas dan makin kentalnya etnititas” (2005: 17-18). Kedua hal ini, menurutnya telah dimanipulasi oleh negara dan agama, untuk menonjolkan perbedaan dan klaim mutlak-mutlakan. Sehingga memacetkan komunikasi antar budaya yang seharusnya berada dalam relasi kesetaraaan dan ketersalingan. Saya sendiri tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat ini. Menurut saya, hambatan itu justru berada di ranah pendidikan, sebab pewacanaan tentang dunia sosial dan sebagainya, bermula dari sana. Hal ini bisa diketahui lewat bagaimana institusi pendidikan mewacanakannya ke dalam teks-teks pengantar di kelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tilaar, “Pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai semua mata pelajaran di lembaga pendidikan formal dan non formal” (2004 dalam Pramono. 2005:29). Charris Zubair mengemukakan hal senada. Menurutnya, ada dua agenda mendesak yang harus diselesaikan bagi terbangunnya kesadaran multikulturalisme. Pertama, mendekonstruksi wacana-wacana dominan yang memproklamirkan ke-aku-annya di atas belantara keragaman dan perbedaan. Kedua, mempersiapkan secara dewasa komunitas maupun kelompok sosial untuk menghadapi klaim kebenaran yang dipancangkan kelompok etnisitas lain8.

6 Dalam Y Sari Jatmiko dan Ferry Indriatno. “Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta. 2006. hal:75

7 Lono Lastoro,74.8 Dalam Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”.

Dalam Kalimatun Sawa’. Vol. 01, No. 02 (2004). Hal 6-7

Page 103: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 305

Berdasarkan literatur di atas, saya berasumsi untuk melihat sejauh mana institusi pendidikan sudah mewacanakan gerakan ke arah multikulturalisme, telaah teks Kewarganegaraan SLTA sangat relevan. Pendidikan Kewarganegaraan kelas X SLTA. Kajian teks ini menjadi penting untuk ditinjau kembali karena teks yang menuntun tindakan peserta didik dan arah pembelajaran. Sugeng Wahyono, seorang dosen UNY, sudah memberikan saran mengenai implementasi pendidikan multikultural. Salah satu pendapat dari seorang Dosen UNY ini, “segera perlu mengimplementasikan pendidikan multikultural ke sekolah-sekolah yang didukung kebijakan pemerintah untuk pengadaan guru, materi pengajaran, dan pengadaan buku-buku pelajaran”. Saran tersebut tentu saja patut kita tinjau sekarang pada teks yang pernah di susun oleh pemerintah maupun tenaga kependidikan.

Kewarganegaraan dan Sumber yang Berbeda

Pendidikan Kewarganegaraan di sini saya pilih sebagai titik fokus kajian karena ternyata pelajaran ini telah menyita perhatian beberapa ilmuwan sosial dan kritikus. Salah satunya, seorang Indonesianis Niels Mulder (dalam Salim. 2005: 46). Ia menunjukkan,

“Pelajaran Kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang. Ideologi itu adalah suatu ketundukan total individu pada kolektivitas. Tenggang rasa dan toleransi yang ditekankan di sana lebih dimaksudkan untuk menekan perbedaan dalam rangka menciptakan harmoni”.

Selain itu ada juga ulasan dari Wahyono, Pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari Humaniora “harusnya mampu menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis lainnya, sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial” (2005:15).

Dengan demikian, saya tertarik untuk memperdalam kajian ini atas materi kewarganegaraan dari dua institusi yang berbeda, yakni: SMA di bawah lindungan DIKNAS dan MA (Madrasah Aliyah) di bawah lindungan DEPAG. Jadi saya mencoba membandingkan antara pendidikan ‘umum’ dengan ‘islami’9 untuk melihat apakah

9 Istilah ‘umum’ dan ‘islami’ ini berawal dari anggapan masyarakat

Page 104: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

306 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

kekhawatiran Wahyono tersebut memang terjadi? Apakah pelajaran ini memang telah menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis tertentu?

Saya mengawali analisis ini dengan mengidentifikasi teks terlebih dahulu. Buku ajar ini berupa LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berisi rangkuman materi dan soal-soal ujian. Untuk MA, saya menggunakan LKS MODUL buatan MGMP10 PKn Eks Karesidenan Surakarta tahun 2010. Sedangkan untuk SMA saya menggunakan LKS KREATIF terbitan VIVA Pakarindo Klaten11.

Mengalisis Bahasan LKS

Telaah selanjutnya, saya hendak menyodorkan beberapa kutipan dari bab pertama kedua LKS mengenai “Hakekat Bangsa dan Negara”. Tema ini pada saya pilih karena ada kesesuaian dengan apa yang tengah dibicarakan di sini. Akan tetapi sebelum masuk ke materi, kita kaji dahulu standar kompetensi apa yang hendak dibekalkan kepada siswa melalui tema tersebut.

Mari kita buka kedua LKS ini bersama-sama. Di halaman pertama LKS MA, dalam kolom Standar Kompetensi berbunyi: ”Kemampuan menganalisis hakekat bangsa dan negara serta menentukan sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dari satu poin kompetensi ini, terdapat dua hal menarik menurut saya. Pertama, kemampuan “menganalisis” di sini, kalau kita pahami berarti kemampuan yang diharapkan dari peserta didik di bidang kognitifnya. Siswa diajak untuk berpikir lebih jauh tentang bangsa dan negara, bahkan sampai ke hakekatnya. Kedua, setelah siswa diajak untuk berpikir, selanjutnya diajak untuk menentukan sikap, untuk bertindak positif. Inilah aspek afektif yang diharapkan nantinya bisa berkembang di dalam pribadi

bahwa SMA itu ‘umum’ karena memberi pelajaran-pelajaran yang umum. Begitu juga dengan MA, dianggap ‘islami’ karena pelajaran dan kegiatan akademik non-akademik lebih banyak berbau agama islam.

10 MGMP merupakan sebuah organisasi pra guru mata pelajaran tertentu dalam suatu wilayah pendidikan, misalnya wilayah kabupaten atau karesidenan seperti pembuat LKS ini.

11 Pemilihan LKS ini didasarkan kebetulan pada semester pertama, masing-masing sekolah menggunakan LKS yang dimaksud dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraannya. Jadi pertanyaan mengapa menggunakan LKS yang berbeda itu merupakan kebijakan guru PKn masing-masing.

Page 105: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 307

siswa. Dengan demikian, terdapat dua kompetensi yang hendak dikembangkan kepada siswa MA.

Pada halaman yang sama dari standar kompetensi LKS SMA, terpampang sebuah kalimat “Memahami hakekat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kompetensi ini diawali dengan “memahami” saja, tidak seperti kompetensi sebelumnya. Ini artinya, pengembangan siswa SMA lebih ditekankan pada aspek kognitif saja. Jika memang demikian, pertanyaan selanjutnya mengapa pada siswa SMA tidak ada aspek afektifnya? Padahal tadi di atas kita mendapati saran dari teoretikus, bahwa multikulturalisme menyangkut “tindak” pembedaan dan penyamaan. Tentu saja tidak segampang ini. mari kita lanjutkan membaca lagi.

Paragraf awal LKS MA dimulai dengan penegasan posisi manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Perhatikan paragraf berikut,

“Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung untuk berkelompok untuk membentuk masyarakat. Adapun yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat, antara lain: (1) hasrat untuk melanjutkan keterunannya, (2) ikatan pertalian darah, (3) hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum, (4) hasrat untuk membela diri, (5) perasaan senasib sepenanggungan, (6) persamaan agama dan kepercayaan, (7) persamaan ideologi, (8) persamaan cita-cita, budaya serta bahasa, (9) kesadaran mempunyai tempat tinggal yang sama” (penekanan dari saya, hal:3-4).

Penjelasan ini saya kira cukup fatal. Siswa diberi pemahaman, apa yang menjadi dunia sosialnya, dibatasi oleh Sembilan kriteria. Menariknya lagi, kelima kriteria itu didasarkan pada “kesamaan”, entah kesamaan agama, kesamaan ideologi, cita-cita, bahasa, dan wilayah tempat tinggal. Apakah dunia sosial yang kita diami sekarang terbentuk dari kesamaan-kesamaan entitas seperti itu? Dengan demikian, siswa diajak untuk memahami dirinya sebagai makhluk sosial karena kesamaan-kesamaan itu, bukan oleh perbedaan. Penjelasan yang berbeda kita temukan di dalam LKS SMA. Di sana disebutkan, “manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan peran, bantuan, serta keberadaan manusia lain dalam hidupnya” (hal:3). Penjelasan ini kalau kita salami, mengandaikan dunia sosial manusia itu terkonstuksi melalui kekurangan, perbedaan, dan disitulah rasa saling membutuhkan akhirnya tumbuh.

Page 106: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

308 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Selanjutnya, konsep “bangsa” dikenalkan terlebih dahulu dengan mengambilkan beberapa pandangan para ahli. Kebetulan saya menemukan, kedua LKS itu merujuk pada satu tokoh yang sama, yakni Ernest Renan, seorang ahli kenegaraan asal Prancis itu. LKS MA berbunyi, “Bangsa terbentuk adanya keinginan untuk hidup bersama/hasrat bersatu dengan perasaan kesetiakawanan yang agung.”(hal:4). Deskripsi WJS Purwadarminto, penulis KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) juga tertuang dalam materi tersebut. Konsep bangsa didefinisikan sebagai “kesatuan dari orang-orang yang sama atau bersama asal keturunan, bahasa, adat, dan sejarahnya, yang di bawah pemerintahan sendiri, misalnya Bangsa Indonesia”(hal:4). Kutipan-kutipan cetak miring tersebut, menginformasikan satu pandangan bagi penyusun LKS MA, yakni MGMP. Mereka memahami bangsa dibangun melalui kesamaan keturunan, bahasa, adat, dan sejarahnya.

LKS SMA justru lain bunyinya. Di sana disebutkan, “bangsa adalah sekelompok manusia yang dipersatukan karena persamaan nasib, latar belakang sejarah, dan cita-cita yang sama”. Sebagai tambahan, “pemersatu bangsa bukanlah kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapainya lagi di masa depan” (hal 3). Saya bertanya, mengapa tulisan yang merujuk pada satu tokoh, bisa menjadi berbeda ketika dituangkan ke dalam teks sekolah di dua macam institusi?

Tidak dihadirkannya perbedaan di dalam pengertian bangsa, lagi-lagi kita dapatkan dari kalimat selanjutnya di LKS MA. Arti bangsa secara sosiologis/antropologis dideskripsikan sebagai suatu “kelompok paguyuban yang secara kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan di dalam suatu negara”. Hanya sesederhana ini saja deskrisinya mengenai bangsa secara antropologis. Penjelasan mendetail justru kita temui di dalam LKS SMA. Bangsa dalam perspektif yang sama, dimaknai sebagai “persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut, terikat oleh kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Ikatan tersebut dinamakan ikatan primordial.” Selanjutnya, “dapat disimpulkan bahwa dalam satu negara terdapat dua bangsa, yaitu bangsa dalam arti politis misalnya bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya

Page 107: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 309

(sosiologis-antropologis) seperti bangsa Batak, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Dan untuk mempermudah pembedaan tersebut, maka bangsa dalam arti sosiologis-antropologis dinamakan suku, etnis, atau suku-bangsa”. Dari kutipan-kutipan ini dapatlah dikatakan, kebermaknaan bangsa Indonesia dihadirkan di dalam bahasan SMA melalui kesatuan berbagai entitas etnik, agama, dan adat-istiadat. Bukan menyederhanakannya sebagai suatu kelompok yang ditakdirkan karena senasib dan seperjuangan.

Kita lanjutkan lagi pada halaman berikutnya mengenai “Unsur-unsur pembentuk bangsa”. LKS MA menyebutkan bangsa, dengan mengutip Hans Kohn, dibentuk karena faktor-faktor obyektif tertentu yang membedakan dari bangsa lain, yakni “kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan agama”. Kalau mengacu pada kutipan ini, kita mendapati kesimpulan, bangsa akan “identik” dengan agama, kebudayaan, politik, atau sebaliknya.

Pendapat Ernest Renan justru diambil lagi didalam bahasa LKS SMA, bangsa terbentuk karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam suku, budaya, dan agama namun kehendak unutk bersatu menjadikan satu kekuatan terbentuknya bangsa.” Kesamaan yang diangkat dalam kutipan ini adalah kesamaan jiwa dan kehendak untuk bersatu. Perbedaan-perbedaan entitas sosial seperti suku-bangsa, agama, dan budaya lainnya tidak menjadi masalah dalam proses integrasi nasional. Pemahaman ini terlihat lebih jelas pada penjelasan selanjutnya,

“berdasarkan pada pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur terbentuknya bangsa meliputi sebagai berikut: (a) ada sekelompok manusia yang mempunyai kemauan untuk bersatu, (b) berada dalam suatu wilayah tertentu, (c) ada kehendak untuk membentuk atau berada di bawah pemerintahan yang dibuatnya sendiri, (d) secara psikologis merasa senasib, sepenanggungan, setujuan, dan secita-cita, dan (e) ada kesamaan karakter, identitas, budaya, bahasa, dan lain-lain sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain”.

Kata atau frase yang saya cetak miring di atas, merupakan bentuk penekanan tentang adanya wacana “kesamaan” dan “perbedaan” dalam struktur sebuah bangsa. Sebagai contoh, kalimat terakhir terdapat kalimat “kesamaan karakter, identitas, budaya, bahasa, dan lain-lain, sehingga dapat dibedakan dengan

Page 108: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

310 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

bangsa lain”. Kalimat ini kalau kita pahami, mengandung makna praktikal dari multikulturalisme sebagaimana yang dijelaskan Lono Lastoro. Secara kognitif, siswa SMA telah diajak melakukan tindak “penyamaan dan pembedaan” yang merupakan dari esensi multikulturalisme. Tindak penyamaan dan pembedaan ternyata masih terus dilanjutkan dengan forum diskusional. Forum ini hanya saya temukan di LKS SMA saja, sedangkan LKS MA seusai bahasan langsung diarahkan pada soal-soal pengayaan.

Melalui forum diskusi ini, siswa SMA diajak untuk merenungkan lebih lanjut urgensi pluralitas Indonesia atau Indonesia yang multikultur. Diskusi ini terdiri empat pertanyaan yang ditarik dari gagasan para tokoh pluralis12 sebagai berikut:

“(1) bagaimana seharusnya kita memahami nilai-nilai kebangsaan dalam konteks kekinian? (2) apakah anda sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sultan HB X, mengenai moto Bhineka Tunggal Ika sebagai strategi integrasi? (3) apakah anda sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Masdar F Mas’udi bahwa dalam melihat agama harus ditempatkan sebagai moralitas transeden dalam wawasan kebangsaan? (4) bagaimana pula pendapat anda mengenai apa yang disampaikan Frans Magnis-Suseno dalam seminar tersebut?”

Pertanyaan-pertanyaan dalam forum diskusi ini secara garis besar dapat ditangkap sebagai bentuk reapresiasi dari materi sebelumnya. Kata kunci yang saya cetak miring, semuanya merupakan bentuk-bentuk pemahaman. Jadi tindak “penyamaan” dan “pembedaan” yang hendak ditanamkan anak SMA berada pada tataran kognitif.

Pengenalan Sebuah ‘Bangsa’: Dua kecenderungan

Konstuksi teks pengetahuan mengenai ‘Bangsa’ dalam bahan ajar di atas, mengindikasikan bentuk-bentuk kecenderungan tertentu. Seusai pembacaan kritis ini, pada LKS MA kita belum menemukan dua macam kompetensi secara penuh. LKS ini hanya menonjolkan aspek kognitifnya saja. Saya belum tahu apakah di luar teks guru Kewarganegaraan akan mengimprovisasi aspek efektif di kelas. Secara tekstual, saya hanya menemukan aspek pertama saja, aspek kognitif. Belum adanya pengembangan afektif ini dapat

12 Gagasan para tokoh pluralis ini diambilkan dari artikel Kompas , Senin 13 Oktober 2008.

Page 109: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 311

dilihat dari tidak adanya referensi atau acuan baku ke arah mana siswa akan “menentukan sikap positif terhadap Negara”.

Dengan mengikuti arahan dari Lono Lastoro di atas, siswa MA belum diajak melakukan tindak penyamaan dan pembedaan. Kata “persamaan, kesamaan (sama)” selalu muncul di dalam deskripsi bahan ajar LKS MA. Kita tidak mendapatkan satu pun kata oposisinya, “perbedaan (beda)”. Terbentuknya bangsa masih tertulis karena adanya “kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan agama”. Padahal faktanya bangsa tidak dibentuk karena kesamaan-kesamaan di atas. Sebagai contoh, suku-bangsa jawa tidak identik dengan Islam atau suku-bangsa Dayak tidak identik dengan Katolik. Isu-isu faktual mengenai perbedaan semacam ini belum ditampilkan secara tekstual di LKS MA. Dengan demikian, secara kognitif siswa MA masih berada dalam taraf tindak penyamaan saja.

Pada LKS SMA kita mendapati capaian-capaian yang berbeda. SMA secara sadar mengembangkan aspek kognitif saja. Dalam konteks multikulturalisme ini, saya rasa kompetensi yang ditanamkan pada siswa sudah cukup, meskipun data-data faktual “kebangsaan” masih belum maksimal. Paling tidak, upaya membangun pemahaman untuk tindak penyamaan dan pembedaan sudah ada. Sebagai contoh, bangsa terbentuk karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam suku, budaya, dan agama namun kehendak untuk bersatu menjadikan satu kekuatan terbentuknya bangsa. Kalimat ini mengindikasikan satu kesatuan tindak multikulturalisme. Siswa pertama kali diajak melihat kesamaan jiwa sebagai kesamaan anggota suatu bangsa. Melalui kata “walaupun”, tindak negasi dari pernyataan pertama secara langsung ditampilkan. Sehingga untuk menjadi anggota suku-bangsa Jawa misalnya, yang dibutuhkan adalah menyamakan jiwanya dengan jiwa orang Jawa pada umumnya. Arti tindak pembedaan di sini adalah memberi pemahaman baru bahwa identitas agama atau budaya tidak menghalangi penyatuan itu. Dengan demikian siswa SMA bisa dikatakan cukup dalam pendidikan multikulturalismenya secara praksis. Mereka sudah dikenalkan dengan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya direfleksikan kembali untuk melakukan pembedaan dan penyamaan sebagaimana yang tertuang

Page 110: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

312 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

di dalam pertanyaan-pertanyaan diskusional sesudah bahasan habis.

Ada satu hal yang perlu kita dalami lagi. Di antara kutipan-kutipan di atas, frasa “persamaan agama” hanya muncul pada kolom LKS MA dan tidak muncul di kolom LKS SMA. Mengapa? Bukankah hal ini nampak aneh? Hasil telaah teks menunjukkan, pendidikan di MA belum mampu menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis lainnya, sehingga belum bisa mengatasi pandangan sempit primordial.

Refleksi Pendidikan Multikulturalisme

Pendidikan multikulturalisme, secara praksis sebagaimana yang diharapkan Lono Lastoro, merupakan tindak penyamaan dan pembedaan. Hal ini bisa dilakukan setelah dikenalkan suatu persamaan dan perbedaan antara entitas sosial yang satu dengan yang lainnya. Di dalam studi perbandingan teks ini, ternyata boleh dikatakan pendidikan multikulturalisme belum sepenuhnya dilakukan di berbagai institusi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dalam tingkatan kelas yang sama dan mata pelajaran yang sama, yakni Pendidikan Kewarganegaraan kelas X.

Dari hasil analisis perbandingan yang dilakukan, ditemukan dua kecenderungan pendidikan SLTA di Indonesia dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tersebut. Saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, arah kecenderungan pendidikan di MA kurang apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan kultural. Mereka masih terjebak di dalam sistem pendidikan Kewarganegaraan yang “ lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang. Dengan mengacu pada Mulder, ideologi di sini maksudnya “suatu ketundukan total individu pada kolektivitas”. Siswa tidak dikenalkan pemahaman bahwa suatu bangsa terdapat kelas-kelas sosial yang bisa tidak senasib dan sepenanggungan, berbeda ideologi, berbeda agama. Intinya, mereka belum diajak untuk melakukan pembedaan, hanya tindak penyamaan saja yang dibangun.

Kedua, pendidikan di SMA saya kira telah melaksanakan strategi pendidikan multikultural sebagaimana yang disarankan oleh Lono Lastoro, melalui konstruksi materi. Guru secara tidak langsung “alih-alih mengajari/mendikte tentang perbedaan dan

Page 111: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan ... (Nur Rasyid) 313

persamaan pada siswa, tumbuhkan kepekaan siswa tentang tindak membedakan dan menyamakan”. Melalui upaya ini, para siswa akan peka terhadap hal-hal yang berbeda dari dirinya.

Dengan melihat kondisi pendidikan kewarganegaraan di salah satu semester kelas X ini, maka kekhawatiran Wahyono di atas boleh dikatakan masih ada. Melalui teks di atas, upaya membangun kembali masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh relasi sosial yang saling berkelindan dan saling apresiatif belum maksimal. Akan tetapi justru disitulah letak persoalannya, prospek pendidikan multikultural di Indonesia menjadi suram karena terbentur pada semakin menguatnya politik identitas…”13.

Secara tekstual, wajah Kewarganegaraan di MA belum mampu untuk menghadirkan perbedaan. Memang pendidikan di MA lebih diarahkan ke pengembangan iman dan taqwa, tetapi apakah caranya memang demikian. Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya merupakan media pengenalan dan pembelajaran mengenai negara Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Musa Asy’arie, bahwa pendidikan kewarganegaraan diadakan sebagai bagian dari proses usaha membangun multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Setidaknya, format pendidikan Kewarganegaraan di MA lebih diarahkan untuk memberi perhatian pada toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Hal ini menurut saya sangat penting. Sikap toleran dan terbuka, bagaimanapun juga merupakan bagian dari ubudiyah islam sebagai penguatan civil society di Indonesia.

Satu hal lagi, LKS MA yang sedemikian cacatnya ini disusun melalui MGMP. Ini artinya, sewilayah karesidenan telah mendapati bentuk pengajaran yang serupa. Sehubungan dengan tema besar kita, pendidikan islam mendapati masalah besar. Menurut saya, pendidikan islam justru harus bergulat dengan tantangan baru mengenai penyusunan kembali konsep pendidikan multikulturalismenya. Dengan demikian, pendidikan islam ke depan nanti diharapkan harus apresiatif terhadap persoalan ini.

13 Sugeng Bayu Wahyono. Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia. Dalam Jatmiko dan Indriyatno. Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar dan MISEREOR. 2005: 16

Page 112: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

314 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Jatmiko, Sari dan Ferry Indriatno (edt). 2006. “Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan MISEREOR

Kisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana dan Praktik untuk Toleransi Budaya. Surakarta: PSBPS UMS

Lono Lastoro. Dari Perbedaan dan Persamaan, Menuju Pembedaan dan Penyamaan. Dalam Ahimsa-Putra (ed). 2006. “Esai-Esai Antropologi: Teori, Metodologi & Etnografi”. Yogyakarta: Jurusan Antropologi Budaya UGM dan Kepel Press.

Niels, Mulder. 2000. Indonesian Images: The Culture of Public World. Yogyakarta: Kanisius

Sunarto, Kamanto. Russel HKH, dan Achmad Fedyani S. 2004. Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar. Depok: Jurusan Antropologi UI bekerjasama dengan TIFA Foundation

LKS KREATIF. Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA kelas Xa. Semester Gasal. Klaten: VIVA Pakarindo

LKS Modul.. Pendidikan Kewarganegaraan. Untuk kalangan sendiri MAN/MAS. Semester 1. MGMP Eks Karesidenan Surakarta

Sumber JurnalFajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”.

Kalimatun Sawa’. Vol. 01, No. 02 (2004). Hal 4-8Sumber WebsiteAnonym, “Ratusan Siswa SMA 6 Antarkan Jenazah Alawy ke

Liang Lahat”. http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswa-sma-6-antarkan-jenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. (diakses tanggal 26 September 2012 pukul 09:48 WIB)

Kementrian Komunikasi dan Informasi, “Laporan harian monitoring isu publik”, http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d1b160d44afd.pdf (diakses tanggal 26 September 2012 pukul 10:13 WIB)

Page 113: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 315

MENGUAK MULTIKULTURALISME DI PESANTREN(Telaah Atas Pengembangan Kurikulum)

Rini Dwi Susanti

Abstrak

Wacana tentang multikultural secara substantive dalam konteks keindonesiaan bukan suatu hal baru. Karena sangat disadari bahwa Indonesia memiliki keragaman-budaya, etnis, ras, dan agama- yang sangat banyak. Sehingga, secara sederhana bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural, ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.Pendidikan multikultural menjadi sangat penting untuk memahami perbedaan yang ada dalam masyarakat sebagai upaya untuk mengeliminir munculnya konflik sosial sebagai akibat ketidakpahaman terhadap kemajemukan dan heterogenitas tersebut. Pendidikan-apapun bentuknya tidak boleh kehilangan demensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Pendidikan agama yang dimaksud salah satunya adalah “pesantren” yang di dalamnya tercipta heterogenitas. Pesantren dipandang sebagai sebuah lembaga pendidikan agama –Islam- yang sejak awal pemunculannya mampu beradaptasi dengan lingkungannya, dan sampai sekarang pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tetap survive di tengah arus perkembagan zaman.Maka sudah selayaknya pesantren sebagai subkultur harus mampu mengeliminir pemahaman ajaran agama yang salah., ia harus tetap mengedepankan toleransi dan menghormati orang lain atau lingkungan sekitarnya. Pengayaan kurikulum yang tepat di pesantren menjadi suatu hal yang

Page 114: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

316 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

urgen, sehingga –paling tidak- mampu mencegah terjadinya munccul kesalahpahaman ajaran agama, yang akhirnya memunculkan konflik sosial. Pesantren harus mampu bersikap netral terhadap kondisi di sekitarnya bahkan bisa menjadi pengayom.

Kata kunci: Multikultural, Kurikulum, Pesantren, Heterogenitas

Pendahuluan

Wacana multikultural dan multikulturalisme menjadi isu penting bahkan utama. Seiring munculnya berbagai konflik sosial, eynik, dan agama di masyarakat. Pemahaman akan suatu yang “beda” menjadi sebuah keniscayaan dalam penelusuran makna mendalam yang sangat urgen. Pada hakikatnya manusia dan realitas kehidupan yang melingkupinya lahir dari keberbedaan dan multidimensional.

Pandangan dunia tentang multikultural secara substantive dalam konteks keindonesiaan bukan suatu hal yang baru. Karena sangat disadari, bahwa Indonesia memiliki keragaman budaya, etnis, ras, dan agama yang sangat banyak. Sehinggga, secara sederhan bangsa Indonesia bangsa yang multikultural. Ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Multikulturalisme dalam makna sederhana dipahami sebagai sebuah pengakuan, bahwa sebuah negara, atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Dan ini adalah sunnatullah yang tidak dapat ditolak. Dapat pula dipahami, bahwa multikulturalisme adalah sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman (Azyumardi, Zakiyyuddin: 2005: VII). Hal inilah yang menjadi titik tolak dan pondasi bagi waga negara yang beradab.

Pendidikan multikultural menjadi sangat penting untuk memahami “keberbedaan” yang ada dalam masyarakat sebgai upaya untuk mengeliminir munculnya konflik sosial sebagai akibat ketidakpahaman kemajemukan dan keberbedaan tersebut.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua dengan segala kekhasannya di Indonesia. Di sinilah heterogenitas muncul, tapi sikap toleransi dan meghormati antar sesame dalam masyarakat pesantren tetap dijunjung tinggi. Nili-

Page 115: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 317

nilai multikultural tetap terjaga. Walhasil, untuk tetap survive pesantren harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, di luar masyarakat pesantren.

Tulisan ini mencoba untuk menelaah lebih lanjut tentang keterkaitan antara multikulturalisme dan pendidikan multikultural di pesantren dengan mencoba membenahi kurikulumyan ada di dalamnya agar tidak tercerabut dari akar “keberbedaan” multikultural.

Menelisik Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

Ketika memahami multikulturalisme orang akan terjebak kepada pemaknaan bahwa kata kunci yang dipakai adalah “kebudayaan”. Namun tampaknya ada kesepakatan bahwa untuk melihat kebudayaan sebagai bahasa, sejarah, kepercayaan, nilai-nilai moral, asal-usul geografis dan segala sesuatu yang dibagi (sharedI) dan digunakan sebagai rasa menjadi bagian sebuah kelompok yang khas. Inilah tampaknya yang ada dalam pikiran orang ketika berbicara tentang multikulturalisme.

Multikulturalisme merujuk pada tiga hal, Pertama, multikulturalisme yang berkenaan dengan kebudayaan, kedua, merujuk pada keberagaman budaya, dan ketiga, berkenaan dengan tindakan spesifik pada respons atas keberagamaan tersebut. (Parekh: 1997)

Dalam konteks negara, multikulturalisme seakan harus kehilangan keberagamaannya tatkala bersentuhan dengan otoritas pemerintah dan politik identitas. Pemerintah memiliki otoritas yang dominan sebagai pengatur budaya. Akhirnya yang muncul adalah monokultural, inilah yang pernah terjadi di Indonesia era Orde Baru. Dengan adanya otonomi daerah multikulturalisme menjadi sangat kuat karena lebih mengedepankan kepentingan dan keberagaman lokal.

Berpijak dari makna multikulturalisme di atas, maka pendidikan multikultural menjadi solusi terbaik untuk menangani keberagaman budaya dan menumbuhkan penghargaaan terhadap budaya lain. Pendidikan multikultural di pandang sebagai sebuah dimensi praktis multikulturalisme dan proses belajar alternative yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan lokal. Dalam hal

Page 116: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

318 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

ini serangkaian konsep, petunjuk tingkah laku, dan arena yang secara resmi diformulasikan melalui kurikulum, regulasi, metode pembelajaran, kemampuan guru, hubungan antar sekolah dan masyarakat dalam istilah multikulturalisme.

Pendidikan multikultural adalah proses cara hidup menghormati, tulus, toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal sarat dengan kemajemukan , maka pendidikan multikultural adalah strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif.

Dalam wacana multikulturalisme pendidikan multikultural didasarkan pada konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada setiap orang dan masyarakat. Gagasan ini didasarkan pada asumsi tiap manusia memiliki identitas, sejarah dan pengalaman hidup yang unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia dari pada kesamaannya.

Pendidikan multikultural mengandaikan sekolah dan kelas sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik disaat guru dan seluruh tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan penyalaman hidup unik, sehingga dapat tumbuh pengalaman dan kesadaran kolektif setiap warga dan peserta didik.

Peran guru dalam pendidikan multikultural juga amat penting dan signifikan. Guru harus mengatur dan mengorganisasi isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultur, dimana tiap peserta didik dari berbagai suku, ras dan gender, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu. Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain: 1) mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Dan 2) mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apapun ternyata menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan peserta didik di kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu. (Paul Suparno: 20003).

Dalam proses pembelajran bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi

Page 117: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 319

bagaimana peserta didik mengalami proses berilmu dan hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah. Guru bukan actor tunggal, yang menguasai dan tahu semuanya . Guru yang produktif adalah yang dapat menciptakan situasi sehingga peserta didik belajar dengan sendiri dan unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur indentitas personal, tetapi ruang untuk mengaktualisasikan kedirian masing-masing. Kegiatan pembelajaran bukan sebagai alat untuk sosialisasi atau indoktrinasi guru, tapi wahana dialog dan belajar bersama peserta didik sebagai mitra dialog untuk menciptakan situasi ber “IPTEK” dan bersosial. (Abdul Munir Mulkhan: 2004) Jadi terjadi sinergitas antara sekolah sebagai sebuah lembaga dan lingkungan yang mendukung keberadaan sekolah tersebut.

Nuansa Multikulturan dan Pendidikan Multikultural di Pesantren

Pendidikan, apapun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. ( Musa: 2003). Pendidikan agama yang dimaksud salah satunya adalah “pesantren” yang di dalamnya tercipta heterogenitas. Pesantren dipandang sebgai sebuah lembaga pendidikan agama –Islam- yang sejak awal pemunculannya mampu beradaptasi dengan lingkungannya, dan sampai sekarang pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tetap survive di tengah arus perkembangan zaman.

Pesantren adalah satu bentuk budaya asli Indonesia (indigenous culture) dan juiga merupakan bentuk pendidikan asli tertua di Indonesia. Istilah pesantren sangat beragam, tergantung wilayah atau lokasi di mana pesantren itu lahir. (Azyumardi: 1999). Ada yang mengistilahkan dengan sebutan pesantren atau pondok atau pondok pesantren (Zamakhsyari:1990; 18, Mukti Al: 1978: 15)

Sosok pesantren merupakan sebuah totalitas lingkungan pendidikan di mana makna dan nuasannya secara menyeluruh. Dalam berbagai variasinya dunia pesantren merupakan pusat persemaian, pengalaman, dan sekaligus penyebaran ilmu-ilmu Islam. (Amin Abdullah: 1995: 13)

Page 118: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

320 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pesantren merupakan sebuah masyarakay kecil yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang besar. Maka tidaklah mengherankan jika interaksi sosial yang dibangun dalam lingkungan pesantren tidak jauh berbeda dengan interaksi sosial yang ada dalam masyrakat pada umumnya. Dalam masyarakat pesantren telah terbangun suatu karekteristik yang khas. Ada lima elemen dasar yang menjadikan pesantren sebagagi sebuah lembaga yang khsa: pondok (asrama), masjid, santri (peserta didik), pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai yang menjadi tradisi peasantren, (Zamakhsyari, 1990: 13). Namun seiring dengan perkembangan zaman kelima elemen tersebut tidak menjadi mutlak, bahkan ada beberapa pembenahan-pembenahan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.

Sejak awal pemunculannya, pesantren mempunyai karakteristik tersendiri disbanding lembaga pendidikan mapan lainnya di Indonesia. Karakteristik yang menonjol adalah “ memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik”, teknik pembelajaran dengan metode sorogan, bandongan dan weton dan adanya hafalan serta halaqoh. Inilah yang disebut dengan pesantren tradisional atau salaf. (Ismail, 2002: 25) . Namun karekteristik itu tidak baku selamanya, tatkala pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang keberadaannya sangat diperhitungkan untuk ikutr memajukan kecerdasan bangsa, maka pesantren yang salafi sedikit demi sedikit mengalami pergeseran menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan zaman. Terutama dalam hal sarana prasarana dan system pembelajara. Pembaharuan inilah menjadikan pesantren menjadi pesantren modern.

Pengembangan metode pembelajaran menjadi satu tuntutan keniscayaan dengan perimbangan animo santri dan heterogenitas latar belakang mereka sebelum, mereka memasuki pesantren. Ada stressing yang penting untuk dicermati, pesantren secara definitive, sebagai suatu system artinya sebagai sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Islam tradisional pesantren telah menjadi sub kultur yang secara sosio antropologis bisa dikatakan sebgai masyarakat pesantren.

Keragaman yang ada di lingkungan pesantren menjadi sebuah cirri multikultural. Lingkungan yang dibentuk adalah benar-benar heterogen ditinjau dari aspek input, santri yang datang dari

Page 119: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 321

berbagai ras, bukan homogenitas, degan system pembelajaran dan nilai-nilai religiusitas yang dibangun. Di mana nilai-nilai agama Islam yang diajarkan tetap mengedepankan toleransi, tolong menolong, saling menghormati antar sesame menjadi modal dasar bagi kelangsungan hidup dilingkungan pesantren. Keberadaan pesantren secara makro diharapkan dapat berperan aktif dan memberi kontribusi yang berbobot dalam sosial engenering (rekayasa sosial) dan transformasi sosio cultural, maka ia harus memiliki cirri pembeharuan, yaitu adanya dimensi cultural, edukatif, dan sosial. (Ismail, 2002). Dimensi cultural memberikan cirri bahwa pesantren mampu menanamkan watak sendiri, solidaritas dan sederhana. Dimensi edukatif, di mana pesantren mampu melahirkan generasi religious skill full people, religious community dan religious intellectual. Dimensi sosial, di mana pesantren bisa dikembangkan sebagai communitu learning center yang berfungsi membantu melayani masyarakat baik bidang sosial maupun keagamaan dan masyarakat dapat berfungsi sebagai laboratorium sosial. Jadi ada semacam simbiosis mutualisme antara pesantren dan masyarakat.

Pada dataran empiris, jika dicermati secara detail pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah (umum) kita pada umumnya tidak mau menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial seringkali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Kenyataannya bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan menafikan hak hidup agama yang lain. Keagamaan telah kehilangan aktualitas multikulturalnya, dan pada gilirannya akan memperkeras konflik sosial yang ada, karena itu pendidikan multikultural harus direvitaliasai dan direaktualisasi secara kreatif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya (Ismail, 2002).

Maka sudah selayaknya pesantren sebagai sub kultur harus mampu mengeliminir pemahaman ajaran agama yang sah, ia harus tetap mengedepankan toleransi dan menghormati orang lain atau lingkungan sekitarnya. Paling tidak harus mampu mencegah terjadinya munculnya kesalah pahaman ajaran agama yang pada akhirnya memunculkan konflik sosial. Pesantren harus mampu bersikap netral terhadap kondisi sekitarnya, bahkan dapat menjadi pengayom.

Page 120: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

322 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pesantren dan Pengembangan Kurikulum Multikultural

Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya (seperti dinyatakan dalam motto “Bhineka Tunggal Ika”= Berbeda-beda tetapi tetap satu) . Oleh karena itu apabila kebudayaan adalah salah satu landasan yang kuat dalam pengembangan kurikulum, maka proses pengembangannya di Indonesia adalah suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan lagi. Proses pengembangan kurikulum haruslah meliputi tiga dimensi kurikulum, yaitu kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai preoses yang dilaksanakan dengan berbagai kebijakan.

Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan peran guru harus dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak deskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh-sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.

Pengembangan ide berkenaan dengan penentuan folosofi kurikulum, model kurikulum yang digunakan, pendekatan dan teori belajar yang digunakan, pendekatan/model evaluasi hasil belajar. Pengembangan kurikulum sebagai dokumen berkenaan dengan keputusan tentang informasi dan jenis dokumen yang dihasilkan bentuk/format GBPP dan komponen kurikulum yang harus dikembangkan.

Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan atau sekolah. Pengembangan ini harus didahului dengan sosialisasi agar pengembang (guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana belajar/satuan pelajaran, proses belajar di kelas dan ecaluasi sesuai dengan prinsip multikultural kurikulum. Yang harus diperhatikan dalam pengembanagan kurikulum multikultural adalah ketiadaan keseragaman. Kurikulum harus secara tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk kepentingan mata pelajaran, tetapi mata pelajaran adalah medium untuk mengembangkan kepribadian siswa. Dalam pengembagan kepribadian ini pendekatan kurikulum menghendaki kurikulum yang mampu menjadi media pengembang budaya nasional.

Pengembangan kurikulum sebagai dokumen menyangkut pengembangan berbagai komponen kurikulum seperti; tujuan,

Page 121: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 323

konten, pengalaman belajar,dan evaluasi. Tujuan adalah kualitas yang diharapkan dimiliki peserta didik yang belajar berdasarkan kurikulum tersebut. Sumber kualitas yang dinyatakan dalam kurikulum tidak pula terbatas pada kualitas yang ditentukan oleh didiplin ilmu semata. Kualitas manusia yang dimaksud adalah kreativitas, disiplin kerja keras, kemampuan kerja sama, toleransi, berfikir kritis manusia yang relejius dan sebagainya harus dapat ditonjolkan sebagai tujuan kurikulum. Kurikulum multikultural harus dapat menekankan fungsi pendidikan sama atau lebih penting dibandingkan fungsi pengajaran.

Masyarakat sebagai sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai sumber konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi dan cultural traits harus dapat diakomodir sebagai konten kurikulum. Konten kurikulum bersifat society and cultural based dan open to problems yang hidup dalam masyarakat.Konten kurikulum harus menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang tidak berkaitan dengan masyarakat tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial yang hidup dan berkembang di masyarkat dan dapt mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik. Yang termasuk konten kurikulum yang dapat menun jang pengembangan kemanusiaan peserta didik adalah agama, kesusastraan, bahasa, olah raga dan kesenian.

Pengembangan kurikulum sebagai dokumen menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam belajar, maka peserta didik yang belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar (termasuk masyarakat) dan guru bertindak sebagagi pemberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Dalam pendidikan multikultural, pendekatan siswa sebagai subjek dalam belajar member arti bahwa metode adalah alat guru dalam membantu siswa belajar, bukan siswa belajar karena metode guru, metode guru ditentukan oleh cara belajar peserta didik.

Pengembangan kurikulum sebagai proses sangat ditentukan oleh guru baik dalam konteks sentralisasi atau pun konteks otonomi. Peran guru adalah sebagai pengembang kurikulum pada tataran empiric yang langsung berkaitan dengan peserta didik, oleh karena itu jika kurikulum yang dikembangkan, tidak sesuai apa yang ditentukan oleh kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen, maka kurikulum sebagai proses bukan lanjutan dari

Page 122: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

324 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

keduanya. Pengetahuan, pemahaman dan sikap serta kemauan guru terhadap kurikulum multikultural yang akan sangat keberhasilan kurikulum sebagai proses. Empat hal yang diperhatikan guru dalam pengembangan kurikulum sebagai proses yaitu; 1) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, 2)cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya, 3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entri behavior cultural siswa, 4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar ( Hamid, 2003)

Dalam perkembangannya, pesantren mengalami perubahan yang pesat bahkan cenderung menunjukkan tren. Kurikulum merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan.

Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non formal hanya mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, menengah, dan lanjutan.

Namun karakteristik kurikulum dalam pendidikan modern pun mulai diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan yang setara sekolah-sekolah Islam lainnya (di bawah Departemen Agama), tapi pesantren masih tetap mempunyai cirri khas tersendiri dengan mengembangkan kurikulum lokal pesantren.

Fenomena pesantren yang mengadopsi pengetahuan umum untuk santri tetapi tetap mempertahankan ilmu-ilmu Islam klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon-calon ulama yang setia pada Islam tradisional, dan untuk tetap mempertahankan kehasan dari “ peantren” tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, maka pesantren mencoba untuk ,melakukan pembenahan aspek kurikulumnya. Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara system pesantren salaf dan system persekolahan umum dengan harapan mampu memunculkan out put yang berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif,progesif dan ortodok.

Dalam pendidikan pesantren salaf proses pembelajarannya masih mengikuti pola tradisional yaitu model sorogan, dan

Page 123: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 325

bandongan. Model seperti ini hanya menekankan kiai aktif dan santri pasif. Secara teknis model sorogan bersifat individual, yakni santri menghadap guru secara individual (sendiri) dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sedangkan model bandongan lebihy bersifat pengajaran klasikal yaitu santri mengikuti palajaran degan duduk di sekeliling kiai yang menerankan pelajaran.

Metode pembelajaran di atas tidaklah selalu bisa dikatakan stagnan, atau bahkan tidak relevan kondisi zaman,tapi bisa di pertahankan dengan menambah inovasi. Karena jika cermati,kedua metode tersebut sebenernya memberikan konsekwensi layanan individual kepada santri. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.(Suyoto: 1988)

Metode sorogan memberikan peluang antara kiai dan santri untuk berinteraksi dan mengenal dengan dekat sehingga terjadi hubungan dialogis. Maka metode nelajar sorogan tidak perlu dihilangkan tetapi dimutakhirkan agar sesuai dengan situasi dan kondisi.

Sistem penilaian yang dikembangkan di pesantren (salaf) sangat sederhana. Seseorang santri dikatakan sukses bukan dilihat dari hasil pendidikan yang ditentukan oleh angka-angka yang diberikan guru, tapi ditentukan oleh kemampuannya mengajar kitab-kitab atau ilmu-ilmu yang diperoleh dari orang lain. Jadi potensi lulusan pesantren yang demikian lansung ditentukan oleh masyarakat konsumen. (mastuhu, 1998).

Kurikulum yang menggunakan pendekatan pengembangan multikultural haruslah didasarkan pada prinsip ; keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat, teori, model, dan hubungan sekolah dan lingkungan sosial-budaya setempat. Keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti, tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa.

Kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan budaya daerah dan budaya nasional. Dan kehidupan pesantren dalam era perkembangannya telah berusaha menuju dan menjunjung nilai-nilai multikultural dalam pengembangan kurikulumnya.

Page 124: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

326 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pengembangan kurikulum masa depan yang didasarkan pendekatan multikultural: (Hamid, 2004)a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang seragam ke filosofi

yang lebih sesuai dengan tujuan, misi dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan untuk tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif (esensialisme dan perenialisme) diubah ke filosofi yang menekankan pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai kelompok masyarakat seperti kurikulum progresif; humanism, progresivisme, dan rekonstruksi sosial.

b. Teori curriculum content harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantive yang berisi fakta, teori dan generalisasi kepada pengertian yang cukup pula nilai moral, prosedur, proses dan keterampilan.

c. Teori yang di gunakan harus memperhatikan keragaman sosial,budaya, ekonomi dan politik dan tidak hanya berdasarkan teori psikologi belajar yang bersifat individualistic, siswa dalam kondisi value free,tapi harus berdasarkan teori belajar yang menmpatkan peserta didik sebagai mahkluk sosial,budaya, politik, dan hidup aktif sebagai anggota masyarakat.

d. Poses belajar yang harus di dasarkan pada proses yang memiliki tingkat isomorphis yang tinggi dengan kenyataan sosial,artinya preoses belajar deengan cara belajar kelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasdi positif. Sehingga peserta didik terbiasa hidup dengan dengan berbagai keragaman budaya, sosial, dan intelektualitas, ekonomi dan aspirasi politik.

e Evaluasi haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan, alat evaluasi seperti pengguna alternative assessment (portofolio, catatan observasi, wawancara)

Pembenahan swistem pendidikan di pesantren telah membawa kea rah suatu pembaharuan, menjadikan pesantren yang modern dan tetap survive dalam masyarakat. Pesantren selalu merespon perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Dalam menghadapi berbagai perubahan itu para ekponenpesantren tidak tergesa gesa dalam mentraformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modernisalam sepenuhnya. Tetapi

Page 125: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Menguak Multikulturalisme di Pesantren ... (Rini Dwi Susanti) 327

ada kecenderungan sebaliknya, yaitu mempertahankan kebijakan sehari hari tetapi juga menerima perubahan (modernesasi) pendidikan islam namu survive.Ada dua cara untuk merespon perubahan, : merevisi kurikulum dan membuka kelembagaan dan fasilitas fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum (Ridlwan Abahwida : 2002 : 93) bahkan tradisi tradisi keagamaan yang di miliki pesantren sebenarnya merupakan cirri khusus yang harus di pertahankan, karena di sinilah letak kelebihan nya (NurkholisMaaaaajid 199:5)untuk memainkan peranan yang besar dan menentukan dalam lingkup nasional’ Pesantren pesantgen kitra tidak perlu kehilangan kepridaaaainnya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan’.

Page 126: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

328 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Falsafah kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 1995.

Abawihda, Ridwan, “Kurikulum Pesantren dan Tantangan Perubahan Global”, dalam Ismail Sm, dkk (ed), Dinamika pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka pelajar: 2002)

Ali, Mukti, beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Rajawali Press, 1987.

Asy’arie, Musa, OPINI, “ Pendidikan Multikultural dan Konfflik Bangsa,” Jum’at 03 September 2004.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisis dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bhaidhawi, Zakiyddin, Pendidikan Berwawasan Multikultural, Jakarta: penerbit Erlangga, 2005.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1990.

Hasan, S. Hamid, “Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam OPINI, 2003.

Ismail Sm, “Pengembangan Pesantren” Tradisional: Sebuah Hipotesa Mengantisipasi Perubahan Sosial” dalam Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2002.

Majid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren sebah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Mastuhu, Prinsip-Pendidikan Pesantren, dalam Manfred Open dan Wifgang Karcher, Dinamika Pesantren: Dampak Pesantren dalam Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, Jakarta: P3M, 1998.

Mulkhan, Abdul Munir, Monokultural Versus Multikultural dalam Politik, Kompas, 28/9/04.

Suparno, Paul, “Pendidikan Multikultural”, dalam Kompas, 17 Januari 2003.

Sunyoto, “Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1988

Page 127: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Globalisasi, Budaya Lokal dan Agenda Masyarakat ... (Siti Malaiha Dewi) 329

GLOBALISASI, BUDAYA LOKAL,DAN AGENDA MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Siti Malaiha Dewi

Abstrak

Globalisasi merupakan tantangan berat bagi semua bangsa yang belum tertata rapi kondisi ekonomi, politik maupun kondisi sosial lainnya. Terutama bagi negara yang berlatar belakang plural, multi etnis dan agama, akan dengan mudah terancam disintegrasi yang dengan segera menjadikan permasalahan rumit bagi bangsa itu sendiri. Sebagaimana Indonesia, sebagai bangsa yang terdiri dari ribuan pulau dan berbagai macam agama maupun etnis yang berada di bawah naungnya. Anthony Giddens memberikan tiga point bagaimana Globalisasi berhasil merombak dunia, yakni push away, pull down dan squeeze side away. Dan yang perlu menjadi catatan penting berkenaan dengan tulisan ini adalah ketika Globalisasi melakukan push down (daya tekan ke bawah) yang memperluas jaringan komunikasi hingga menggerus budaya lokal dan menghilangkan identitas lokal menjadi satu budaya yaitu budaya global. Selain hujaman globalisasi tersebut, homogenisasi budaya juga dilakukan oleh Orde Baru melalui kebijakan formalisasi budaya dengan falsafah Taman Mini-nya. Walhasil, ada dikotomi “pusat - pinggiran”. Akibat proses dikotomi tersebut, masyarakat tidak terkonstruks menjadi dewasa akan perbedaan, dan konflik menjadi jalan penyelesaian atas persoalan. Maka sudah menjadi keharusan bagi warganya untuk memiliki pemahaman multikultural, pemahaman bahwa Indonesia adalah sebuah negeri dengan banyak bangsa dan kesadaran bahwa ada “yang lain” di luar kita.

Kata Kunci : Globalisasi, Budaya Lokal, Multikultural

Page 128: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

330 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pendahuluan

Kalender 2006, sebentar lagi usai. Januari, Februari sampai Desember, berbagai perayaan dilakukan. Setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, tiba–tiba disusul Tahun Baru Hijriah, Tahun Baru Imlek dan seterusnya. Kesemuanya datang silih berganti seperti karnaval arak-arakan berurutan. Demikianlah kebudayaan manusia, masing–masing mempunyai “ketersendirian” yang selalu saja melekat dan memerlukan ruang beraktualisasi (Thohari, 2005). Jika tidak, kemungkinan besar akan menjadi masalah besar bagi manusia secara individual ataupun secara kolektif. Ibarat kelenjar saliva, akan menjadi gondok jika tidak dikeluarkan sebagai ludah.

Ritual–ritual kebudayaan tersebut, tentu saja bukanlah fenomena provan saja. Karena bila kita tilik lebih dalam, ritual tersebut merupakan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat dengan kondisi banyak nilai, termasuk nilai agama, yang bersatu dan menelusup dalam aktivitas keseharian. Maksudnya, ruh keagamaan melekat erat dengan kebudayaan, kemudian mengalir alamiah sehingga sulit kiranya memisahkan dengan tepat antara kebudayaan dan agama (Sunyoto Usman, 2005).

Sebagai contoh, Tahun Baru Hijriah (bulan Syuro), merupakan peristiwa yang sangat agung terutama bagi umat Islam. Di bulan pertama inilah peristiwa–peristiwa besar terjadi. Hampir semua peringatan haul (Baca : Peringatan Wafat, Arab) para wali–wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara dilaksanakan di bulan ini. Di bulan ini, acara seperti penyucian keris dan benda–benda pusaka dilakukan. Orang–orang yang hendak menjalani tirakat demi mendapatkan leluwih dimulai. Singkatnya, di bulan ini segala klenik dan ritual yang menunjukkan perpaduan antara Islam, Hindu dan Budha akan bermunculan dalam bentuk ritual–ritual. Bisa dipastikan hampir di setiap daerah yang membentang di nusantara ini memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dalam merayakan ulang tahun baru Hijriah ini.

Membincangkan kebudayaan tentu saja mendesak kita untuk mengaitkannya dengan Globalisasi. Globalisasi sebagaimana dituturkan Anthony Giddens, memiliki daya renggut (pull away), daya tekan ke bawah (push down) dan daya desak ke samping (squeeze side away). Pertama, globalisasi merenggut dan memperlemah peran nation-state. Kedua, daya tekan ke bawah dimaksudkan

Page 129: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Globalisasi, Budaya Lokal dan Agenda Masyarakat ... (Siti Malaiha Dewi) 331

bahwa globalisasi dapat memperluas jaringan komunikasi dan pada akhirnya memperluas cakrawala dan kesadaran setiap warga Negara di manapun untuk memperkuat dan menggerakkan tumbuhnya kembali identitas–identitas lokal. Konsekuensinya, akan muncul banyak tuntutan otonomi (baik politik, ekonomi maupun kultural) dari lapisan bawah. Yang demikian, bagian dari respon struktural, karena Globalisasi bisa saja menggugurkan dan berlahan melucuti kebudayaan lokal. Ketiga, daya desak ke samping dimaksudkan bahwa globalisasi cenderung mendobrak batas–batas yuridiksi politik sehingga memperlebar dan memperluas tumbuhnya wilayah–wilayah ekonomi dan kultural melintasi negara. (Giddens, 1998:31-2)

Yang terpenting dalam tulisan ini bahwa globalisasi memiliki daya tekan ke bawah yang memperluas jaringan komunikasi. Penggerusan budaya lokal bisa dimulai lewat perkembangan alat komunikasi. Aneka tingkah laku, yang terkadang tidak bersesuaian bisa masuk ke berbagai lipatan hingga paling pelosok sekalipun. Peniruan (resemblance), baik itu pada tingkatan gaya hidup hingga pola pikir akan dengan mudah dilakukan oleh masyarakat. Hasilnya bisa kita saksikan di sekeliling kita, orang-orang mulai tidak mengenal tradisi. Acara nonton Wayang Golek dan Wayang Kulit hanyalah dinikmati sebagian kalangan tua saja. Mode-mode pakaian, jenis rambut, hingga cara berpikir yang disebarkan lewat media menuju pada homogenisasi kebudayaan, mengarahkan masyarakat pada ‘manusia satu dimensi’, satu gaya hidup, satu gaya berpikir dan satu kebudayaan seperti yang dikatakan oleh John Naisbit (1998) dalam Global Paradox bahwa “dunia akan menjadi satu warna”. Maka menarik untuk diurai tentang globalisasi, cara kerjanya, dan implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain hujaman globalisasi, kebudayan lokal juga dihadapkan pada tingkat kebijakan formalisasi yang selama ini dilakukan oleh Negara. Sebagaimana telah dilakukan oleh Orde Baru, budaya bangsa berdiri berada di bawah naungan falsafah “ Taman Mini”. Artinya, budaya Jawa cukup discover dengan Jogja, budaya Sulawesi cukup dengan Toraja, Papua dengan suku Asmat-nya, dan lain-lain. Dengan begitu budaya Jawa seperti logat ngapak ala Banyumas, seolah-olah tak punya hak untuk menikmati ruang

Page 130: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

332 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

ekspresi, begitu pula orang-orang Kijang, orang-orang di luar suku Asmat dan lain sebagainya. Mereka hanya ditempatkan sebagai kebudayaan pinggiran yang hanya bermain di lingkaran pinggir. Terlebih lagi semangat Orde Baru mengandalkan “semangat sapu lidi”. Memang, sapu lidi bila disatukan akan kuat, akan tetapi betapa sakitnya proses penetrasi untuk persatuan tersebut, sebagaimana tali yang menjerat lidi-lidi (Thohari, 2005). Akibat formalisasi kebudayaan tersebut, maka yang terjadi adalah adanya pembagian dan pembedaan kebudayaan. Ada kebudayaan ‘formal’ dan ada yang ‘tidak formal’, ada kebudayaan ‘pusat’ (central) dan ‘pinggiran’ (pheripery). Ada yang merasa “Superior” dan ada yang dianggap “Inferior”.

Kalau yang terjadi adalah tipologi yang demikian, sudah dapat dipastikan mereka yang berada dalam lingkaran pinggiran akan merasa teraliensi, dan ter-anak-tirikan. Kondisi demikian tentu saja rentan akan suburnya rasa curiga, iri dan gerakan perlawanan. Karena secara otomatis, mereka yang merasa sebagai kebudayaan legal, akan jumawa dan mempertahankan posisinya yang “agung”. Bisa kita saksikan bagaimana di zaman Orde Baru, Warga Negara Indonesia yang kebetulan bergaris keturunan warga Cina, diberi tanda khusus dalam kartu identitas mereka. Istilah seperti umbele Cino, Cina totok, Singkek menjadi kata-kata yang menyengat, dan bahan lelucon sekaligus amunisi untuk mengungkapkan rasa kejengkelan bagi etnis Cina.

Akibat proses dikotomi tersebut, Masyarakat tidak terkonstruks menjadi dewasa akan perbedaan, mereka tidak bisa menjadi lebih arif terhadap sesuatu yang sebenarnya hanyalah permasalahan biasa. Sebaliknya masyarakat cenderung ‘acuh’ dan ‘tidak mau tahu’ tentang sesuatu di luar dirinya.

Hilangnya penghargaan terhadap pluralitas yang dimiliki bangsa tersebut memang sangat berpeluang sekali menjadi masalah besar, termasuk masalah krisis identitas, dan krisis kebangsaan. Oleh karena itu, mau tidak mau kita mesti sadar bahawa ada “yang lain” di luar kita, yang mempunyai hak yang sama untuk menikmati ruang-ruang di negeri ini. Jika ini tidak dimiliki, maka pertikaian baik yang berdimensi suku, agama, sosial, ekonomi, maupun politik, seperti yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah (1999) antara Suku Dayak dan Madura, di Ambon (1999 – 2002) antara

Page 131: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Globalisasi, Budaya Lokal dan Agenda Masyarakat ... (Siti Malaiha Dewi) 333

Muslim dan Kristen, dan di Poso, akan terulang kembali dan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan adanya pemahaman multikultural, pemahaman bahwa negeri ini memiliki dan dimiliki oleh banyak bangsa.

Globalisasi : Pengertian, Cara Kerja, dan Implikasinya

Kata “globalisasi” diambil dari kata “global”, yang maknanya ialah universal. Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang.

Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Cina, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.

Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Protugis, Inggris dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa dunia. Berbagai tekhnologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan tekhnologi saat ini, seperti komputer

Page 132: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

334 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.

Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.

Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapatkan momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara-negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan tekhnologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur. Kaburnya sekat-sekat antar Negara membuat dunia seragam. Dan penyeragaman jelas akan menghapus identitas dan jati diri kebudayaan lokal, ditelan oleh kekuatan budaya global.

Adapun latar belakang kemunculan globalisasi, apakah ia hasil rekaan, kesepakatan atau paksaan, yang pasti telah memunculkan ketakutan dan menghantui pemikiran, karena kekhawatiran akibat yang akan ditimbulkannya.

Membentuk Kewargaan Multikultural : Agenda Tak Terelakan

Dalam catatan sejarah, setidaknya Indonesia mengalami tiga hal yang menjadikannya sebagai bangsa yang cenderung beriklim (budaya) plural dan menciptakan seluk beluk yang rumit baik dalam budaya politik, ekonomi, maupun budaya lainnya. Tiga hal tersebut yakini ”western-isasi”, “asianisasi” dan “indianisasi” (Lombard : 2000).

Western-isasi atau pembaratan adalah pengaruh kebudayaan yang berupa proses asimilasi dan interaksi dengan masyarakat Eropa. Nilai positif dari masa ini adalah perkenalan dengan nalar modern yang menghasilkan nalar kritis bangsa Indonesia, berupa

Page 133: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Globalisasi, Budaya Lokal dan Agenda Masyarakat ... (Siti Malaiha Dewi) 335

kebangkitan intelektual muda yang mengenyam pendidikan barat. Di sisi lain, format susunan masyarakat yang dibentuk oleh kolonial sangat patriarki dan feodal. Contohnya lapisan masyarakat Indonesia bertingkat dengan berbagai lapisan dan meletakkan pribumi pada posisi yang paling bawah. Hal ini kemudian terinternalisasi dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang di-marginal-kan.

Sebagai western-isasi, terjadi proses “asianisasi”, yakni bagaimana bangsa ini bersinggungan dengan suku Tiongkok. Selama berinteraksi dua kebudayaan antara Cina dan Islam Indonesia banyak mengalami persinggungan, namun keduanya tetap utuh dan pada tahap berikutnya terjadi proses pribumisasi, Cina Islam dan tradisi ke-Indonesiaan. Hubungan baik ini kemudian diobrak-abrik oleh kolonial yang menetapkan lapisan masyarakat dalam tiga kelompok. Pertama, untuk warga Eropa (Belanda), Kedua, Cina dan Arab, dan terakhir, lapisan yang paling bawah ditempati oleh pribumi Indonesia.

“Indianisasi”, proses asianisasi tentunya tidak hanya berinteraksi dengan Cina belaka akan tetapi Indonesia menjalin hubungan dengan India sehingga kita bisa menyebut fase ini sebagai fase Indianisasi. Pengaruh India sangat dominan dan kental, terutama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui masyarakat India saat itu sangat berlapis-lapis. Kondisi ini mungkin merupakan ekspresi dari pengaruh agama Hindu dan Budha yang menjadi daya dorong yang sangat dominan dalam kehidupan yang tersalur dalam formasi Feodal.

Demikianlah pembentukan bangsa Indonesia secara sekilas. Kondisi geografis bangsa Indonesia yang berupa kepulauan yang terpisah dan persimpangan antar kebudayaan besar, menghasilkan bangsa ini sangat kaya sekali akan bahasa, kepercayaan dan kebudayaan lokal yang biasanya disebut sebagai local wisdom.

Melihat setting social dan mind set yang demikian beragam, maka diperlukan adanya sebuah culture yang oleh Nur Cholis Madjid disebut sebagai kesadaran akan pluralisme. Kesadaran ini tidak sekedar pengakuan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi juga tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Kesadaran akan pluralitas ini amat penting dimiliki oleh kita semua yang memang sangat beragam dari sisi etnis, bahasa, budaya dan juga agama (Azyumardi Azra, 2003). Jika

Page 134: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

336 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

bentuk kesadaran ini sudah dimiliki maka akan terwujudlah sebuah tatanan masyarakat yang “multikultural”, dalam pengertian “sebuah persekutuan dimana berbagai ruang-ruang dan wilayah; akses; ekspresi; terbagi secara merata di antara berbagai individu maupun kelompok sosial dan culture, dalam segi ekonomi, aktualisasi diri dan dasar-dasar yang menjadi prinsip-prinsip hak asasi manusia”. (Kymlicka, 1995)

Demikian adalah hak asasi manusia untuk menikmati ruang publik, sebagai medan ekspresi diri manusia. Apakah itu dalam wujud ekspresi kebudayaan, pilihan kepercayaan, gaya hidup, dan lain-lainya. Tentu saja dengan batas-batas kompromi sosial dan tidak merugikan atau mengganggu orang lain dan sesuai dengan alur hokum formal yang ada.

Kalau lah memang Globalisasi menjadi tantangan besar bagi bangsa, sudah barang tentu cukup beralasan bila kebudayaan bukan sekedar melakukan perayaan belaka, tetapi lebih jauh melangkah dengan diiringi semangat membuka ruang bagi kebudayaan lokal untuk berbicara. Dengan harapan akan tercipta suatu persekutuan di mana ruang-ruang, ekspresi akses dan kemungkinan pemanfaatnya terbagi secara adil dan merata di antara berbagai individu maupun kelompok sosial dan kultur, bukannya dengan praktek simbolik yang berbentuk kebijakan formalisasi, yang berakibat kondisi yang diskriminatif.

Pelbagai budaya positif dari lokal mesti diformat ulang untuk disandingkan dengan nilai-nilai modernitas yang relevan. Nilai-nilai budaya tersebut perlu diapresiasi untuk disejajarkan dengan nilai-nilai modernitas, sekaligus ditransformasikan secara lebih kontekstual, namun tak lepas dari nilai substansinya (Abd A’la : 2002). Dengan kata lain banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh, sehingga terbuang begitu saja bila dibenturkan dengan zaman mesti kita pahami lebih kontekstual dan arif. Begitu pula dengan agama dan kepercayaan lokal yang seringkali kita anggap tidak rasional perlu dibelai dan dipandang dengan lebih hormat. Dan kemudian mencoba dipahami secara lebih mendalam dan holistik, kemudian dikontekskan dengan nilai-nilai kemajuan zaman.

Di tengah keyakinan akan bersatunya budaya dunia pasca globalisasi dengan instrument media komunikasinya, mungkin

Page 135: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Globalisasi, Budaya Lokal dan Agenda Masyarakat ... (Siti Malaiha Dewi) 337

masih ada optimisme untuk berpijak pada budaya lokal. Seperti halnya yang ditekankan oleh Ahmad Baso (2002 : 135), hal pertama yang dilakukan guna menyelamatkan budaya lokal adalah inventarisasi pengetahuan di berbagai bidang pada setiap kearifan lokal, misalnya saja ramuan-ramuan Jawa, batik, masakan padang, dan lain-lain. Kedua, membantu proses akan kemajuan dan pemberdayaan pengetahuan tentang kearifan lokal, sebab bila kita sadari mungkin hanya beberapa gelintir orang yang mengerti akan hal ini. Jika dua hal ini dilaksanakan, maka kepungan arus globalisasi yang menghadirkan budaya-budaya barat tidak lantas mempercundangi budaya bangsa sebagai agen kepanjangan tangannya.

Pembukaan ruang untuk berekspresi dan beraktualisasi tentu saja bukan hanya pada level budaya, akan tetapi melebar hingga ke semua lipatan baik itu ekonomi, politik dan perlindungan. Kesemuanya mesti disejajarkan, tidak dipilah, atau dibeda-bedakan. Terlebih lagi bangsa Indonesia kini tengah berada dalam pusaran globalisasi, yang sangat rentan sekali dengan gerakan revitalisasi kedaerahan, kesukuan, dan kepercayaan. Kalau terjadi penyumbatan atau tekanan terhadap aspek-aspek kehidupan manusia ini, maka sudah dapat dipastikan reaksi balik pun akan muncul. Sebagaimana bola basket bila dibenturkan dengan keras maka loncatan yang dihasilkan akan semakin tinggi, Semoga tidak !!!.

Marilah kita belajar dari runtuhnya Yugoslavia dan komunisme Soviet. Suatu politik yang ingin melancarkan homogenisasi atas keragaman sosial kultural di bawah penindasan sebuah ideology dan kekerasan politis, yang justru “menabung” dendam Kultural. Mampukah kita? Semoga bisa.

Page 136: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

338 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Baso, Ahmad, 2002, Plesetan Lokal : Politik Pribumisasi Islam, Jakarta : Desantara.

Cavallaro, Dani , 2004, Critical and Cultural Theory : Teori Kritis dan Teori Budaya, Yogyakarta : Niagara

Fakih, Mansour, 2003, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Insist Perss

Jay, David dan Julia Jary, 1991, “Multiculturalism” dalam Dictionary of Sociology, (New York : Harp)

Kyimlica, Will, 1995, Multicultural Citizenship : A Liberal Theory of Minorities, (Oxford : Celerenden Press)

Suparlan, Parsudi, 2005, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam www.pikiran-rakyat.com.

Page 137: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 339

MENGENAL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN MODEL

INKLUSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Sulthon

Abstrak

Pendidikan adalah hak semua warga Negara tanpa memandang setatus social, ras , etnis, suku, bangsa termasuk anak yang menyandang kecacatan. Dengan demikian anak berkelaianan juga memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya dalam kesempatan berpendidikan yang layak, sesuai dan bermartabat. Semua yang menyangkut aturan undang-undang sudah jelas dan terakomodir keberadaannya, namun dari segi pelaksanaannya masih banyak yang menyimpang dari aturan yang sesungguhnya. Pada kenyataanya anak berkelainan belum bisa mengikuti pendidikan yang leluasa karena tidak semua sekolah yang ada bisa melayaninya karena alasan-alasan klasik yang merugikan anak berkelainan.Sekolah yang memberikan pendidikan bagi anak ini masih bersifat apresiatif dan ironis sehingga perlu perjuangan yang berat menuju pendidikan yang benar-benar demokratis. Secara ideal dengan pendidikan yang terintegrasi berarti anak berkelainan dapat dilayani disekolah manapun mereka inginkan, termasuk memilih sekolah di madrasah. Karena madrasah akan menjadi pilihan bagi mereka karena baik orang tua maupun siswa anak berkelainan ini membutuhkan sentuhan-sentuhan yang berkenaan dengan penyadaran, keimanan, dan keikhasan. Pendekatan keagamaan secara fitrah menjadi bagian yang sangat berpengaruh dalam setiap kondisi dan situasi yang dihadapi manusia, karena pada hakekatnya manusia itu akan

Page 138: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

340 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

selalu menyatu dengan Tuhannya melalui pengembangan spiritualitasnya. Berbagai problem yang dihadapi anak berkelainan dan juga orang tuanya akibat kecacatan yang dideritanya menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah yang mengirinya termasuk kesulitan belajar, bersosialisasi, dan kesulitan lain yang berkaitan dengan problem psikologis, yang kesemuanya dibutuhkan kekuatan dalam menghadapinya.

Kata Kunci : Pendidikan, Multikultural, Inklusi, dan Islam

Pendahuluan

Pendidikan segregasi bagi anak berkebutuhan khusus sampai saat ini belum menunjukkan titik terang dalam memberikan layanan bagi mereka. Dalam kenyataanya terdapat banyak hal yanmg masih menyimpan permasalahan. Pertama, berkaitan dengan pemerataan. Sebagian besar pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus berada di kota-kota besar, sehingga tidak menjangkau mereka yang berada di daerah. Hal ini menyebabkan lebih dari 40 % jumlah penyandang cacat belum tertampung dalam pendidikan. Kedua, pendidikan segregasi mengandung nilai filosofis yang kurang menguntungkan karena dengan pendidikan yang terpisah semakin membatasai anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya yang normal. Akibatnya sekat perbedaan akan semakin jauh, sehingga akan mengalami kecanggungan dikemudian hari ketika harus kembali dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ketiga, Biaya pendidikan semakin tinggi karena banyaksarana prasarana yang harus dipersiapkan dan harganya cukup mahal.

Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebagai representasi dari pendidikan segregasi tertua di Indonesia sebenarnya diselenggarakan oleh pemerintah dan swadaya masyarakat dalam rangka memberikan layanan khusus karena pada saat itu terdapat pemahaman bahwa layanan pendidikan bagi anak tersebut yang paling sesuai adalah sekolah segregasi.

Dalam pasal 32 (UUSPN NO. 20 Tahun 2003 Bab IV) disebutkan bahwa pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan

Page 139: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 341

fisik, emosional, mental, social, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Berdasarkan pasal 32 UUSPN, maka dalam layanan pendidikanya terspesifikasi sesuai jenis kecacatan siswa, yaitu SLB khusus anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, tuna ganda, serta anak berbakat yang masing-masing terpisah satu sama lain. Secara statistic di Jawa Tengah terdapat 27 sekolah khusus anak tuna netra, 69 sekolah untuk anak tuna rungu, 78 sekolah untuk anak tuna grahita, 14 sekolah untuk anak tuna daksa, dan 2 sekolah bagi anak tuna laras. Meskipun secara kuantitatif terlihat bertambah jumlahnya sekolah segregasi tiap tahunnya, namun pertumbuhan tersebut tetap tidak mengimbangi jumlah anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan pendidikan. Adanya kebijakan pemerintah dengan mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Inpres Tahun 1980, yaitu di setiap kabupaten didirikan satu SDLB itu hanya sebatas pemberian apresiasi yang tentunya belum sampai pada pemerataan pendidikan yang sesungguhnya bagi anak berkelainan. Masih langkanya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini karena memang sekolah ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan dalam realitasnya pemerintah kurang menaruh perhatian yang serius. Ini terbukti 190 jumlah sekolah segregasi sebagian besar adalah sekolah yang dikelola swasta.

Bagi anak berkebutuhan khusus, amanat UUD 1945 terutama pasal 31 belum dapat menjamin haknya sebagai warga Negara dalam berkesempatan memperoleh pendidikan. Ini menunjukkan bahwa layanan pendidikan segregasi dengan berbagai kelemahannya perlu pemikiran dan upaya alternatif sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Kebijakan pemerinyah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun perlu memperhatikan seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO tahun 2000, yaitu penuntasan wajib belajar 9 tahun bagi anak berkebutuhan khusus kiranya sulit dicapai bila tetap melanggengkan pendidikan segregasi. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah seruan UNESCO yang dalam praksisnya dapat berbentuk pendidikan inklusi. Pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus adalah mutlak, karena dilandasi oleh pasal 31 UUD 1945 dan pernyataan

Page 140: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

342 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Salamanca tahun 1994 yang merupakan perluasan tujuan EFA dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan pendidikan inklusi. Melalui pendidikan inklusi diharapkan sekolah-sekolah regular dapat melayani semua anak ini. Di Indonesia melalui SK Mendiknas No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah regular yang melayani penuntasan wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus.

Dengan pendidikan model inklusi lebih menjangkau bagi seluruh anak berkebutuhan khusus yang tersebar di seluruh negeri ini untuk memperoleh kesempatan berpendidikan, karena mereka dapat ditampung di sekolah-sekolah regular dimana mereka tinggal. Dengan demikian pemerataan pendidikan bagi anak kategori ini akan mudah tercapai. Selain dari itu pendidikan inklusi juga akan memberikan kesempatan yang besar bagi anak berkebutuhan khusus untuk berkembang potensinya tanpa dibedakan dengan teman sebayanya. Mereka dapat bersosialisasi, partisipasi, dan berekspresi dalam proses pembelajaran yang bermakna. Dengan memberikan kebebasan mereka untuk duduk bersama, belajar dan bermain bersama secara psikologis akan memperkecil jurang pemisah dengan teman lainnya, sehingga kepercayaan dirinya akan terbangun dengan baik. Kepercayaan diri bagi anak berkebutuhan khusus sangat menentukan dalam kehidupanya kelak. Mereka akan dapat hidup secara normal dan menyatu dengan masyarakat manakala dalam diriya terbentuk kompetensi social melalui belajar bersama di sekolah yang integrasi.

Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal mengikuti prinsip dasar sebagai berikut : “ selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”. (Pernyataan Salamanca Konferensi Dunia tentang Pendidikan Anak Berkelainan, 1994).

Model pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.

Page 141: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 343

Secara filosofis model segregasi sebenarnya tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berinteraksi dengan masyarakat normal, tapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.

Pendidikan segregasi dilihat dari segi pengelolaan memang menguntungkan bagi guru dan administrator, namun dari sudut pandang peserta didik sungguh merugikan. Karena tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa (Reynolds dan Brich, 1988).

Berdasarkan fakta empiris, pendidikan segregasi hanya melanggengkan kebijakan yang bersifat pragmatis tanpa diimbangi dengan berbagai pertimbangan untung ruginya bagi kepentingan peserta didik. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan layanan pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensinya tanpa sekat-sekat social yang mempertajam dirinya dengan masyarakat selama mereka berada terpisah dalam pendidikan, maka selama itu pula mereka akan tetap jadi manusia yang lain, berbeda dan hanya merasa punya satu komunitas yang sama dengan dirinya. Dengan kata lain, pendidikan baginya belum berarti memberikan kebebasan untuk berkembangnya seluruh potensi peserta didik.

Pendidikan inklusi sebagai alternatif pendidikan integrasi bagianak berkebutuhan khusus memiliki empat karakter makna, yaitu: 1) Pendidkan inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak; 2) Pendidikan inklusi berarti memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar; 3) Pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak kecil yang hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; dan 4) Pendidikan inklusi diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar (Direktorat PLB, 2004).

Dalam konteks pendidikan, pendekatan inklusi dalam prakteknya lebih memberikan peluang bagi anak berkebutuhan khusus untuk memahami, menyadari diri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan penuh kebebasan dan kreativitas dalam atmosfir pendidikan biasa. Sebenarnya inilah titik

Page 142: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

344 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

awal penyelenggaraan pendidikan yang demokratis bagi anak berkelainan.

Memandang hakekat pendidikan inklusi yang lebih mengutamakan keragaman, hambatan dalam belajar, proses dan hasil serta kebutuhan layanan pendidikan bagi anak berkelainan, maka sebuah pendidikan yang lebih tepat dan memiliki nilai lebih dalam menerima dan menyadarkan anak tersebut, yaitu melalui pendidikan Islam. Mengapa Pendidikan Islam? Ada argumen yang bisa diketengahkan disini; Pertama, Pendidikan Islam bersumber pada ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dimana dalam seluruh ajarannya tak pernah membedakan kategori manusia dari segi fisik, namun yang paling mulia di sisi Allah hanyalah prestasi ibadah (taqwanya). Hal ini akan membawa penyadaran yang hakiki terutama bagi anak cacat untuk tidak putus asa atau menyalahkan Tuhannya. Tapi sebaliknya, justru akan membangkitkan semangat hidup dan berkarya secara baik. Kedua, keberadaan orang cacat diakui oleh Islam sebagaimana termaktub dalam surat An-Nur ayat 61.

Ayat di atas mengukuhkan keberadaan orang tuna netra sebagai salah satu jenis kecacatan yang diakui dalam ajaran Islam. Ketiga, pendekatan religius pada hakekatnya setiap manusia memiliki potensi religius untuk bertauhid kepada Allah, dengan mengembangkan potensi ini secara maksimal, mereka akan bertambah keyakinannya sehingga keadaan yang kurang pada dirinya tidak akan menjadi alasan untuk frustasi, meratapi diri dan selalu minder, tapi secara berangsur-angsur motivasi dalam dirinya akan bertambah seiring dengan bertambahnya kompetensi keimanan dalam dirinya. Keempat, Islam sangat menghargai perbedaan individu, segala perbuatan manusia pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan secara individu kepada Tuhannya, sebagaimana firman-Nya yang artinya : “ …tiap-tiap orang bertanggung jawab terhadap segala yang diperbuatnya” (QS. Al-Mudatsir:38)

Implikasi ayat di atas bahwa Islam sangat menghargai keragaman atau deferensisai hakekat manusia yang tidak boleh dibedakan hanya berdasarkan atas ras, jenis kelamin, kecacatan dan seterusnya. Karena semua urusan akan dibebankan pada masing-masing individu. Dengan demikian membelajarkan anak

Page 143: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 345

berkebutuhan khusus dalam pendidikan Islam memiliki landasan yang kuat dan lebih sesuai dengan karakteristik permasalahan yang mereka hadapi.

Pendidikan Segregasi

1. Pengertian pendidikan segregasi

Pendidikan segregasi adalah pendidikan yang dilakukan secara terpisah baik dari segi kurikulum, penyelenggaraan dan tenaga pendidiknya, pendidikan segregasi dalam praksisnya berbentuk sekolah luar biasa dan sekolah dasar luar biasa dan sekolah terpadu (Direktorat PLB,2004).Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang khusus memberikan layanan pendidikan pada satu jenis kecacatan tertentu seperti SLB-A untuk anak tuna netra, SLB-B khusus anak tuna rungu dan sebagainya.sedang Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) adalah sekolah yang didirikan pemerintah dalam rangka penuntasan wajib belajar bagi anak usia 7-12 tahun berada di tiap kabupaten untuk menangani beberapa kecacatan. Jadi SDLB dapat menangani anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa dan tuna laras dalam satu satu sekolah. Sekolah terpadu adalah sekolah umum yang menerima anak berkelainan dengan kurikulum sama dengan anak normal seperti anak tuna netra bersekolah di SMU umum.

Menyebut pendidikan segregasi dalam prakteknya berbentuk pendidikan luar biasa atau pendidikan anak berkebutuhan khusus. Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 pada pasal 32 disebutkan bahwa pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social dan atau memiliki potensi kecerdsan dan bakat istimewa (UUSPN No.20 tahun 2003 Bab IV Pasal 32). Lasikun Notoatmodjo menyatakan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diberikan kepada anak-anak luar biasa yang meliputi anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras dan tuna ganda agar mereka dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan jenis dan taraf kelainannya (1984).

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki tingkat kelainan fisik ( tuna netra,

Page 144: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

346 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

tuna rungu, tuna daksa), emosional (tuna laras), mental ( tuna grahita),kecerdasan dan bakat istimewa agar mereka dapat menikmati kehidupan yang layak. Sedang anak didik luar biasa adalah anak yang menyandang kelainan fisik, intelektual psikologis maupun kelainan social atau emosi atau tingkah laku (Tien Supartinah, 1995). Terkait dengan pengertian anak luar biasa, maka yang menjadi ukuran dalam pendidikan bagi mereka adalah sejauh mana kesulitan yang dihadapi dalam mengikuti pembelajaran, sehingga anak tidak dapat diperlakukan sama dalam suatu pendidikan bersama dengan anak pada umumnya.

2. Anak Berkelaianan dan Permasalahannya

Kelainan yang dialami masing-masing anak memiliki karakteristik khusus karena secara langsung ataupun tidak langsung akan berakibat sebagai berikut :1) Tuna netra, yaitu anak yang mengalami gangguan daya

penglihatannya berupa kebutaan menyeluruh atau setengah (buta sebagian). Sedang masalah yang dihadapi adalah komunikasi visual, oleh karena itu mereka umumnya memiliki pengertian yang bersifat abstrak, terbatas mobilitasnya, sulit memahami konsep secara keseluruhan, perkembangan pribadi dan sosialnya, mereka memiliki gejala antara lain kurang mandiri, konsep diri negatif, kurang percaya diri, peka terhadap orang lain disekitarnya, penyesuaian social terlambat. Perkembangan pendidikan mereka mengalami hambatan komunikasi karena harus mengenal tulisan Braille. Kemampuan comprehension juga terganggu karena kesulitan mengintegrasikan informasi yang diterimanya.

2) Tuna rungu, yaitu anak yang kehilangan sebagian atau seluruh daya pendengaranya, sehingga anak tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Masalah yang dihadapi adalah dalam hal bahasa, sulit memahami bahasa orang lain, waktu bicara nafasnya pendek agak tersendat-sendat. Dilihat dari perkembangan pribadi dan social, mereka memiliki rasa rendah diri, gangguan bicara dan bahasa, cenderung lebih suka berkelompok dengan sesama tuna rungu, kurang peka terhadap orang lain. Dari segi pendidikan, anak tuna rungu mengalami masalah pada bahasa dan komunikasi, perhatian mereka sulit dialihkan,

Page 145: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 347

lebih memperhatikan yang kongkrit dan sulit memahami yang abstrak.

3) Tuna grahita, yaitu anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan mental disertai ketidakmampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan khusus. Masalah mendasar bagi anak tuna grahita adalah rendahnya kemampuan berpikir. Perhatian dan ingatannya lemah, perhatiannya mudah dipengaruhi, untuk memahami kemampuan berpikir dan inteligensinya dapat dilihat klasifikasi yang sudah umum digunakan dalam pendidkan bagi mereka, yaitu : (1) Debil IQ-nya 50-70 (2) Embisil IQ antara 25-49; (3) Idiot memiliki IQ antara 24 kebawah (Lasikun, 1984). Dilihat dari perkembangan social dan emosinya, anak tuna grahita dan kepribadianya, mereka lebih agresif, banyak tingkah laku yang bersifat menyerang, merusak dan kurang terkontrol.

4) Tuna daksa, yaitu anak yang memiliki kelainan yang menetap pada alat gerak seperti: tulang, sendi, sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagian besar keadaan anak tuna daksa tidak langsung menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan inteligensi, hanya kelainan pada anak cerebral palcy. Dilihat dari segi perkembangan dan emosianal tuna daksa, tidak ada sesuatu yang spesifik. Hal ini tergantung banyak factor, antara lain tingkat kesulitan akibat kecacatan, kapan cacat itu terjadi, bagaimana keadaan keluarga dan dorongan social serta status social dalam kelompok, serta sikap terhadap anak.

5) Tuna laras (tuna sosial), yaitu anak yang mengalami hambatan dalam hal penyesuaian diri terhadap lingkungan social dan bertingkah laku kurang wajar atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Hambatan yang dimiliki anak tuna laras adalah sukar mengadakan hubungan dengan orang lain dan tidak baik kehidupan emosinya, cenderung berbuat menyimpang dari norma social, bersifat apatis terhadap lingkungannya. Bratanata mengklasifikasikan anak tuna laras meliputi : (1) anak berperilaku buruk tanpa gangguan emosi; (2) anak berperilaku buruk disertai gangguan emosi; dan (3) anak terganggu emosi tetapi tidak berperilaku buruk (1976). Secara umum penyebab gangguan tingkah laku adalah ; pertama, lingkungan yang buruk,

Page 146: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

348 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

kedua, keterbelakangan mental; ketiga, penyakit tertentu seperti epilepsy, neurosis; keempat, kelainan kepribadian seperti psikopat. Dilihat dari bentuknya, kelainan kepribadian anak tuna social dimasukkan dalam psikopat yaitu gangguan tingkah laku yang menyusahkan orang lain. Anak tipe ini mengalami kesukaran dalam mengatur dirinya sendiri. Tujuan pendidikan bagi anak tipe psikopat dikelompokkan menjadi hipertim dan histeris. Anak hipertim penyimpangan terletak pada kehidupan suasana hati, ia cenderung dalam suasana gembira dan riang. Hal ini dimanifestasikan dalam tingkah laku yang sibuk, banyak gerak, suka tertawa dan banyak bicara serta suka menghiraukan larangan atau norma-norma. Anak histeris memiliki kelainan kepribadian, memiliki egosentris yang kuat, keinginan untuk menguasai dan kepalsuan dalam menyatakan perasaan. Anak tipe ini suka bersandiwara, mampu menyatakan yang tidak sebenarnya secara baik.

3. Layanan Khusus Bagi Anak Berkelainan di sekolah Inklusi

1). Layanan Khusus Anak Tuna NetraPendidikan bagi anak tuna netra yang perlu

difasilitasi berkaitan dengan kesulitan yang dihadapinya yaitu dengan memberikan latihan orientasi dan mobilitas. Latihan ini untuk membiasakan mereka agar memiliki kecakapan dan kecekatan yang memungkinkan anak tuna netra mencapai gerak yang efisien dan luwes, bagaimana ia dapat mengarahkan dirinya dengan baik, dan juga latihan membaca dan menulis dengan huruf Braille serta latihan menggunakan tongkat putih secara benar.

2). Layanan Khusus Anak Tuna RunguKarena terdapat hambatan pendengaran, maka anak

ini mengalami masalah dalam komunikasi dengan orang lain melalui bahasa lisan. Mereka harus dilatih membaca bibir, yaitu latihan menangkap pikiran orang lain melaui gerak bibir lawan bicaranya. Kemudian latihan bina wicara, latihan ini lebih menekankan pada pengembangan bicara melalui pembentukan suara, artikulasi, intonasi dan melatih kelancaran bicara. Juga perlu latihan mendengar. Latihan ini diberikan agar mereka dapat memanfaatkan sisa pendengaran

Page 147: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 349

yang masih dimiliki melalui latihan bina persepsi bunyi dan irama (BPBI). Terakhir latihan komunikasi total, yaitu latihan komunikasi dengan memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimilikinya dengan menggunakan isyarat, berbicara mengeja jari dan membaca ujaran. Semua komponen ini bertujuan untuk memperjelas maksud dalam komunikasi.

3) Layanan Khusus Anak Tuna Grahita.Layanan yang diberikan yaitu melatih koordinasi

motorik. Latihan ini bertujuan agar mereka mampu menggunakan anggota badan serta panca inderanya nya secara teratur, lalu dilatih mengurus diri sendiri (activity of daily living). Latihan ini bertujuan agar mereka dapat membantu mengatasi dirinya sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan mengurus kebutuhan hidupnya sehari-hari.

4) Layanan Khusus Anak Tuna Daksa Latihan yang harus diberikan pada anak tuna daksa

antara lain latihan koordinasi motorik. Latihan ini bertujuan agar mereka mampu menggerakkan bagian-bagian badan, kemudian latihan fisioterapi, okupasional terapi dan vocational terapi serta latihan memakai alat protese.

5) Layanan Khusus Anak Tuna LarasLatihan yang bisa diberikan pada anak ini menyangkut

sosialisasi, mengingat kelainan ini anak lebih tidak memiliki kemampuan penyesuaian dengan lingkungan sekitar akibat kelainan emosi. Latihan ini bertujuan agar anak memiliki semangat gotong royong, rasa tanggung jawab, seperti ikut dalam kegiatan lingkungan, ikut perlombaan di sekolah, di RT/RW, kerja bakti, kegiatan pembinaan kejujuran, kemudian latihan bina pribadi, semisal menyadari perbuatannya dan mau minta maaf atas kesalahan yang diperbuat, latihan menahan amarah, latihan bertingkah laku, sopan dan sebagainya. Semua itu berguna sebagai dasar keterampilan bersosialisasi dengan masyarakat. Semua latihan khusus di atas dimaksudkan untuk membekali anak berkelainan agar memiliki kesiapan untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah inklusi.

Page 148: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

350 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Pendidikan Inklusi

1. Pengertian Pendidika inklusi

Menurut Sapon-shevin (Oneil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dapat dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Sedang Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Setiap murid mendapatkan bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu denagn guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi. Definisi sejenis dikemukakan Staub dan Pack (1995) yang menyebutkan pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas biasa.

Dari tiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang melayani anak berkelainan di sekolah-sekolah regular terdekat, bersama dengan teman seusianya pada kelas yang sama dengan program pendidikan yang layak, menantang sesuai kemampuan dan kebutuhan setiap murid. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dapat dididik bersama anak lainnya yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freigberg, 1995).

2. Landasan Pendidikan Inklusi

1) Landasan FilosofisLandasan filosofis penerapan pendidikan inklusi

di Indonesia adalah pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdurrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan

Page 149: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 351

financial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedang kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, dan sebagainya.

Bertolak dari filosofi bhineka tunggal ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebinekaan. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sehingga kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan yang lainya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, agama, dan sebagainya. Hal ini selayaknya diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi.

2) Landasan YuridisLandasan yuridis dalam pelaksanaan pendidikan

inklusi adalah Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusi atau berupa sekolah khusus. Sedang secara internasional, penerapan pendidkan inklusi mengikuti Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan yang ada.

3) Landasan PedagogisPasal 3 UUSPN No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa

tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi WNI yang demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan ini mustahil dapat tercapai jika sejak semula mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.

4) Landasan EmpirisPenelitian tentang pendidikan inklusi telah banyak

dilakukan di Negara-negara Barat. Hasilnya menunjukkan

Page 150: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

352 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregasi hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzmam, dan Meesick, 1982). Hasil penelitian yang dilakukan Calberg dan Cavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1986) terhadap 11 buah penelitian, Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun social anak berkelainan dan teman sebayanya.

3. Profil Pembelajaran Model Inklusi

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsip terhadap kebutuhan individu siswa. Sebagai ilustrasi dikemukakan Sopon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) ada lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu : 1) Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas

kelas yang hangat, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.

Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana social kelas dan mengajarkan serta menjadi model perilaku yang menghargai perbedaan. Anak yang tahu bahwa ada temannya yang terpaksa menggunakan communication board karena tidak dapat berbicara akan menyadari bahwa anak-anak mempunyai kecepatan membaca yang berbeda-beda dan bahwa di kelas ini tidak semua merayakan Idul Fitri karena agamanya berbeda-beda.

2) Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.

Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar, guru di sini secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, berpikir kritis, pemecahan masalah dan asesmen secara

Page 151: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 353

autentik. Misalnya: guru kelas IV merencanakan pembelajaran dengan tema Jakarta. Dengan menggunakan peta DKI sebagai titik tolak materi pembelajaran dikembangkan untuk membaca, menulis, pemecahan masalah kreatif, ilmu pengetahuan social, dan sebagainya. Kegiatan belajar mengajar dapat berupa bermain peran, investigasi kelompok secara kooperatif dan sebagainya. Kegiatan yang direncanakan bersifat multimodalitas, interaktif, berpusat pada anak, partisipatif dan menyenangkan.

3) Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif

Perubahan kurikulum berkaitan dengan perubahan metode pembelajaran. Model tradisional, dimana seorang guru secara sendiri berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model murid-murid bekerja sama, saling mengajar dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidkan teman-temannya. Antara pembelajaran kooperatif dan kelas inklusi semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling belajar dari yang lain.

4) Inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

Meskipun guru selalu dikelilingi oleh orang, pekerjaan dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari inklusi meliputi pengajaran dengan tim kolaborasi dan konsultasi dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan para professional, ahli bina wicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerja sama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.

5) Inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.

Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada masukan orang tua pada pendidikan anaknya. Misalnya

Page 152: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

354 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

keterlibatan mereka dalam penyusunan program-program pengajaran individual.

Dari profil pemmbelajaran dengan konsep inklusi menampung anak yang heterogen, ditangani oleh lembaga dari berbagai profesi, sebagai satu tim sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi. Guru biasa perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dasar dalam menangani kelas yang heterogen, perlu dikembangkan kerjasama tim dari berbagai tenaga professional, dan sekolah perlu dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan semua anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah tersebut.

4. Model Pendidikan Inklusi

Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusi dapat dilakukan berbagai cara sebagai berikut :1) Inklusi penuh (kelas regular), yaitu anak berkelainan belajar

bersama anak lainya (normal) sepanjang hari di kelas regular dengan kurikulum yang sama.

2) Kelas regular dengan cluster, yaitu anak berkelainan belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus.

3) Kelas regular dengan pull out, yaitu anak berkelainan belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, yaitu anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular.

5) Kelas khusus penuh, yaitu anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

Setiap sekolah inklusi dapat memilih model-model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada: (1) jumlah anak berkelainan yang akan dilayani; (2) jenis kelainan masing-masing anak; (3) gradasi (tingkat) kelainan anak; (4) ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan; (5) sarana dan prasarana yang tersedia.

Page 153: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 355

Jika mutu lulusan pendidikan dipengaruhi oleh mutu atau kualitas proses pembelajaran, maka berbagai factor yang menentukan dalam proses pembelajaran yang sebenarnya saling terkait seperti; input siswa, kurikulum, (bahan ajar), tenaga kependidikan, sarana prasarana, dana, manajemen dan lingkungan (sekolah, masyarakat dan keluarga), juga perlu diperhatikan.

Komponen tersebut merupakan subsistem dalam system pendidikan (sistem pembelajaran), jika ada perubahan pada salah satu subsistem, maka menuntut perubahan atau penyesuaian komponen lainya. Ini dapat dijelaskan dalam konstalasi sebagai berikut:

Dalam hal ini, bila dalam suatu pembelajaran di kelas terdapat perubahan pada input siswa dalam pendidikan inklusi, maka menuntut adanya penyesuaian (modifikasi) kurikulum (bahan ajar), peran serta guru, sarana prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan, serta kegiatan belajar mengajar.

Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Zuhairini menjelaskan pendidikan Islam adalah usaha-usaha lebih sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam (1983). Sedang Murni Djamal (1982) mengatakan pendidikan Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikannya dapat memahami apa yang terkandung

KurikulumManajemen

TenagaPendidik

SaranaPrasarana

Lingkungan

Proses BelajarMengajar

Dana

InputSiswa

OutputSiswa

Page 154: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

356 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

dalam ajaran Islam secara keseluruhan, mengamalkan makna dan maksud serta tujuan yang akhirnya dapat mengamalkan serta dapat menjadikan ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, dapat mendatangkan keselamatan di dunia dan akhirat kelak. Pendapat lain disampaikan Zarkowi Suyuti (dalam A. Malik Fajar, 1998), pengertian pendidikan Islam meliputi tiga hal; pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh keinginan dan semangat cita-cita luhur untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Di sini kata Islam dijadikan sebagai sumber nilai yang akan diimplementasikan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Disini kata Islam ditempatkan sebagai sebuah disiplin ilmu dan dikaji serta diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu lainya. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Disini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang mengilhami serta tujuan yang hendak dicapai dalam keseluruhan proses pendidikan sekaligus juga sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakan.

Dari tiga pengertian pendidikan Islam di atas adalah jenis pendidikan yang diadakan sebagi usaha yang sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik melalui bimbingan dan asuhan agar nantinya dapat memahami apa yang terkandung dalam ajaran Islam, mampu hidup sesuai ajaran-Nya dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya.

Berbicara pendidikan Islam, maka tersirat di dalamnya ada madrasah, pesantren dan pendidikan agama Islam di sekolah umum. Dalam hal ini yang menjadi focus tulisan ini adalah madrasah.

2. Model-Model Pendidikan Islam

Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadis, cukup memperoleh bimbingan dan arahan. Dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut, makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan modern. Al-Qur’an sebagai sumber pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa

Page 155: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 357

depan hidup manusia dengan rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi yang canggih (Fadhil al-Djamaly, 1977).

Pendidikan Islam sejak awal perkembangannya senantiasa meletakkan pandangan filosofisnya kepada sasaran sentralnya, yaitu peserta didik, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki potensi dasar fitrah dimana religiusitas Islam menjadi intinya, yang dikembangkan secara vertical dan horizontal menuju kehidupan lahir batin yang bahagia. Oleh karena itu, berbagai model pendidikan Islam yang berorientasi ke masa depan merupakan jawaban yang tepat.

Model-model pendidikan Islam yang tidak berorientasi pada masa depan yaitu:1) Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir

bahwa nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelombang zaman. Orientasi demikian tentu kurang dapat diandalkan oleh umat untuk menjawab tantangan zaman.

2) Pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pikir bahwa nilai-nilai Islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik, niali-nilai yang tahan lama diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik, sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaharuan ditinggalkan.

3) Pendidikan Islam lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak indiviualistik, dimana potensi yang bersifat mengubah dan membangun masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu pada kebutuhan sosiokultural.

4) Pendidikan Islam yang berorientasi pada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, dimana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaharuan kehidupan social, maka pendidikan Islam yang bercorak teknologis, dimana nilai-nilai pragmatic-realivistik-kultural.

Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia, maka model pendidikan Islam seharusnya berorientasi pada pandangan falsafah sebagai berikut:

Page 156: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

358 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

1) Filofofis, yaitu memandang peserta didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis dan sosio-religius serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Maha Pencipta.

2) Emotiologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengtahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid yang basyariyah-dharuriyah manusia muslim sejati berderajat mulia.

3) Pedagogis adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses berkembangnya didasari nilai-nilai Islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan social, cenderung pada pola hidup yang harmonis anter kepentingan duniawi dan ukhrowi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekholifahan dimuka bumi.

Sedangkan secara praksis pembelajaran model-model tersebut didesain menjadi :1) Content, lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa

ini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan, materi pelajaran yang menantang anak untuk melakukan evaluasi dan memecahkan problem-problem kehidupan nyata.

2) Pendidik, bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang diologis interdependen dan terpercaya. Ia menyadari bahwa pengetahuan dan pengalamannya lebih dewasa, menjadikan anak didik sebagai subyek belajar yang harus difasilitasi dalam proses belajarnya.

3) Anak didik dalam proses belajar mengjar melakukan hubungan diologis dengan yang lain (guru, teman sebaya, orang dewasa, serta alam sekitar), belajar secara independent dan bersama-sama menghayati persepsi terhadap realitas kehidupan dan memperhatikan persepsi orang lain.

3. Madrasah dan Nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam Sekolah Inklusi

Madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam (Muhaimin, 2003). Ciri khas itu berbentuk : (1) Mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan Agama

Page 157: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 359

Islam, yaitu Al-Qur’an-Hadist, Aqidah-Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab; (2) Suasana keagamaannya, yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia.

Pendidikan madrasah sebenarnya hendak memenuhi kepentingan utama yaitu sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup Islami, memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan system sekolah dan berusaha merespon tuntutan masa depan.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, madrasah dalam proses pembelajarannya selalu berusaha mengembangkan: (1) Potensi dan memperkokoh akidah siswa; (2) sikap kebangsaan yang ber-Bhinika Tunggal Ika; (3) Motivasi untuk rajin, pintar, kreatif, kritis dan inovatif; (4) Etika social yakni keterpaduan antara personal religiusity dengan social religiosity, artinya seseorang tetap bersikap dan berprilaku sesui dengan agama dimana saja dan kapan saja; (5) Sikap tanggung jawab dan kemandirian dalam kehidupannya. Kelima sasaran yang dikembangkan dalam dunia madrasah jika diterapkan dalam pendidikan inklusi akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan disekolah biasa. Artinya, kelebihan yang dimiliki pada lembaga pendidikan Islam (madrasah) adalah pendekatan keagamaan melalui internalisasi nilai-nilai ajaran agama sebagai pengejawantahan dari sikap hidup seorang muslim. Sebagai contoh nilai keberagamaan pribadi dan social sebagaimana yang dikembangkan dalam pendidikan madrasah memiliki relevansi dengan semangat yang dikembangkan dalam pendidikan inklusi. Sikap hidup yang dilandasi dengan ajaran agama tidak memiliki batas dan sekat-sekat social yang melekat pada individu. Hal ini akan berdampak pada tidak adanya deskriminasi antara anak yang normal dengan anak yang berkelainan. Penyadaran akan hakekat manusia yang tidak harus dibedakan karena fisik sudah menjadi bagian dalam pesan moral pendidikan Islam. Dengan demikian, pendidikan inklusi sangat tepat bila diterapkan dalam pendidikan Islam. Ada beberapa argumen yang bisa dikemukakan disini antarnya : Pertama, segi peserta didik, anak berkelainan akan merasa aman dan nyaman ketika belajar dimadrasah karena disamping

Page 158: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

360 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

lingkungan yang religius dilandasi oleh keyakinan bahwa dihadapan Tuhan hanya takwanya yang dipertimbangkan sehingga perbedaan dari segi fisik tidak masalah dalam hubungan social termasuk hubungan dalam belajar bersama. Kedua, dari sisi pendidik, guru di madrsah secara agama dan pengetahuan memeiliki keterbukaan akibat penyadaran agama pada dirinya untuk mampu berbuat kebajikan (jihad) demi mendapatkan keridloan Allah, sehingga memperlakukan anak berkelainan dilandasi dengan hati yang tulus Lillahi ta’ala. Ketiga, dalam segi muatan pendidikan, madrasah lebih kaya dengan penanaman ajaran agama yang mantap, sehingga salah satu dari penekanannya adalah segi kesadaran manusia. Landasan keagamaan akan mendorong anak berkelainan dapat menerima kekurangan yang ada pada dirinya, karena semua yang menyangkut permasalahan manusia sebenarnya bersumber dari Yang Maha Pencipta yang tidak boleh disesali ataupun menjadi beban. Namun sebaliknya, semua yang terjadi dalam dunia ini harus diterima dan dihadapi dengan hati yang ikhlas.

Penutup

Selama ini layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional yang dalam prakteknya selalu mengalami berbagai hambatan baik yang menyangkut pemerataan pendidikan maupun yang terkait dengan pola pelaksanaan. Dalam hal pemerataan pendidikan, masih sangat terbatas jumlahnya sehingga belum tertampung semua anak berkelainan ini dalam pendidikan karena alasan tidak terjangkaunya sekolah bagi mereka karena jauh letaknya, sedang dalam pola pelaksanaan sekolah bagi anak berkelainan ini masih mengandung dilema permasalahan antara segregasi ataupun inklusi.

Praktek pendidikan segregasi selalu berdampak pada melebarnya jurang pemisah antara anak berkelainan dengan anak normal yang secara psikologis merugikan anak berkelaianan karena mereka akan merasa terkucilkan dari teman sebayanya dan semakin menyadarkan mereka tentang perbedaan dirinya sehingga mereka menjadi minoritas yang lain. Hal ini akan menjadikan anak berkelainan miskin akan keterampilan dan penyesuaian social.

Terkait dengan pendidikan inklusi, yang memberikan

Page 159: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengenal Pendidikan Multikultural Bagi Anak ... (Sulthon) 361

kesempatan bagi anak berkelainan belajar bersama dengan anak normal juga masih banyak kendala baik menyangkut guru-gurunya yang belum memahami benar tentang pendidikan inklusi juga sulitnya merubah image masyarakat yang kurang baik tentang anak berkelaian. Hal ini akan menghambat pelaksanaan sekolah inklusi di sekolah umum.

Memandang makna yang lebih dalam tentang hak-hak untuk memperoleh pendidikan, dalam tulisan ini menyoroti bahwa anak berkelaianan juga memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan di madrasah sebagaimana anak yang lainya. Madrasah sebagai sekolah yang mengedepankan nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup dan penyadaran akan keberadaannya, maka akan lebih cocok jika model pendidikan inklusi diterapkan di madrasah. Madrasah memilik nilai-nilai yang lebih karena semua pengabdian dan perjuangan dalam pendidikan lebih didasarkan pada keikhlasan karena Allah.

Page 160: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

362 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Baker, ET. Et. All, ( 1995)The Effects of Inclusion on Learning,Education Leadership

Bratanata (1976) Pendidikan Anak Berkelainan, Jakarta: Depdikbud.

Carlberg. C & Cavale. K (1980) The Effect of Special Class Vs Reguler Class Placement for Exceptional Children: a Meta Analysis, The Journal of Special Education

Direktorat PLB (2004) Mengenal Pendidikan Terpadu, Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Depdiknas.

Lasikun Notoadmojo (1995) Dasar-Dasar Pendidikan Luar Biasa , Yogyakarta. Depdikbud.

Muhaimin (2003) Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa

Mulyono Abdurrahman ( 2002) Landasan Pendidikan Inklusi dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan LPTK, Makalah dalam Pelatihan Buku jar bagi Dosen Jurusan PLB, Yogyakarta: 26 Agustus, 2002.

Murni Djamal (1982) Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: P3TA IAIN, Ditjen Bimbaga Islam, Depag.

Sopan-Shevin M (1995) Why Gifted students Belong in the Inclusive Schools, Educational Leadership.

Stoub D & Peck C.a (1995) What are the outcame for non disable Student?, educational leadership.

Sunardi (2002) Pelayanan Pendidikan Medis dan Sosial Bagi Semua Penyandamng Cacat Secara Terpadu, Surakarta: Lembaga Penelitian UNS, UNS Press.

Tien Supartinah (1995) Psikologi Anak Luar Biasa , Surakarta: UNS Press.

Zuhairini (1983) Metode Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional.

Page 161: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 363

MENGEMBANGKAN NALAR PLURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA BERBASIS MASYARAKAT

PLURALISTIK-MULTIKULTURAL

Ulya

Abstraksi

Satu sisi, kondisi plural merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan sejak diciptakannya manusia dan dunia seisinya. Manusia dan dunia sendiri berhubungan secara fungsional. Manusia membutuhkan dunia sebagai wahana untuk mengaktualisasikan dirinya. Persentuhan manusia dengan dunia inilah yang kemudian kondisi plural yang niscaya inheren dengan sifat multicultural (beragam budaya). Berhadapan dengan kondisi plural-multikultural, karakter manusia bias dipetakan menjadi 4(empat), yaitu : eksklusif, inklusif, plural, dan interpenetrasi. Pada sisi yang lain, pendidikan agama adalah sebuah aktivitas dalam rangka membangun perilaku manusia dalam mengaktualisasikan diri di dunia, baik sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, dan makhluk social, sehingga mereka mau dan mampu berbuat sesuai dengan nilai-nilai agama (religius) dan nilai-nilai kemanusiaan (humanis), termasuk dalam kehidupan yang niscaya plural dan multicultural. Disinilah pendidikan agama memikul beban dan tanggung jawab yang tak ringan. Pendidikan agama yang selama ini hanya “berorientasi dan selalu melihat diri sendiri” sehingga bernalar eksklusif serasa tidak kompatibel tatkala harus berhadapan dengan kondisi plural multicultural. Dari pemikiran ini maka pendidikan agama harus disempurnakan orientasinya, yang tidak hanya “melihat diri sendiri” tetapi juga harus “melihat orang lain”. Mengembangkan nalar plural dalam pendidikan agama

Page 162: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

364 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

yang berbasis masyarakat pluralistic-multikultual patut dipertimbangkan.

Key words: Nalar plural, pendidikan agama, pluralistic, multicultural.

Pluralistik dan Multikultural Sebuah Keniscayaan: Sebuah Pendahuluan

Pluralitas adalah fitrah yang telah ditetapkan oleh Tuhan sejak pengalaman historisitas keduniaan ini dimulai. Sesungguhnya realitas pluralitas tidaklah hanya timbul dan menjadi karakter khas dunia masa ini, tetapi juga menjadi watak dunia masa lampau dan bahkan sepanjang masa. Dengan demikian penghadapan manusia atas pluralistik adalah sesuatu yang tak dapat ditolak dan dilawan.

Masyarakat Indonesia sendiri identik dengan masyarakat pluralistik. Ada banyak keragaman di dalamnya, mulai dari bentuk fisik, seperti warna kulit. Ada keragaman ras dan etnik, keragaman budaya, keragaman bahasa, keragaman agama dan keyakinan, dan seterusnya, yang kemudian kondisi pluralistik pasti inheren dengan kondisi multikultural (keanekaragaman budaya).

Berhadapan dengan kondisi pluralistik-multikultural, secara natural, tak menjadi persoalan apabila di dalamnya tidak tercemari oleh berbagai kepentingan ideologi, agama, politik, sosial, dan lain-lain. Akan tetapi kenyataannya hal itu tak kan mungkin terjadi sebab life is identical with human interest, sehingga pluralitas yang semula alami berubah menjadi sangat problematik.

Tampaknya masyarakat Indonesia belum siap menghadapi realitas tersebut, kalau tidak mau disebut gagal. Telah terbukti dengan deretan panjang peristiwa mulai dari kasus Poso, kasus Sampit, kasus eksistensi Ahmadiyah, kasus politik antara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) di Jepara, dan seterusnya.

Sekarang masalahnya hidup di tengah masyarakat pluralistik-multikultural. Menolak pluralistik-multikultural sangat tidak mungkin karena itu berarti menolak kuasa Tuhan. Kalau harus menerima, sikap yang bagaimana yang paling compatible untuk dikembangkan sehingga kondisi pluralistik dan multikultural tidak menjadi hambatan menuju kedamaian, tetapi justru akan menjadi potensi dan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya.

Page 163: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 365

Perlu dipahami bahwa etnik, ras, suku seseorang bukanlah ditentukan oleh pilihannya, tetapi ditentukan oleh keturunannya. Apakah adil dan bermoral jika kita membenci dan memusuhi seseorang atau kelompok yang beda kultur , termasuk agama dan keyakinan yang dianut seseorang karena sebagian besar orang menganut agama juga karena warisan dari orang tuanya, yang kemudian mendapat dukungan dari keluarga, famili, sampai lingkungan masyarakatnya.

Empat Tipologi Sikap Menghadapi Pluralistik-Multikultural

Raimundo Panikkar, seorang pendeta Katolik Roma yang juga professor studi-agama-agama dari Universitas Santa Barbara California, membedakan 4 (empat) tipologi sikap berhadapan dengan masyarakat pluralistik-mutikultural, yaitu : eksklusifisme, inklusifisme, paralelisme, dan interpenetrasi. (Gary E. Kessler (ed.),1999:530-535)

Eksklusifisme merupakan naluri khas yang dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini sangat wajar sebab setiap manusia mempunyai tradisi, sistem sosial budaya tersendiri yang akan mempengaruhi pandangan mereka terhadap orientasi terdalam tentang hidup. Biasanya bagi paham ini, pemberi orientasi terdalam ini pastilah satu dan berlaku universal. Keyakinan atas pemikiran ini akan mempengaruhi nalarnya secara keseluruhan, di antaranya : bahwa segala apa yang ada dalam dirinya adalah benar dan baik, Di luar itu sama sekali tiada kebenaran, keselamatan, dan kebaikan.

Secara epistemologis, sikap ini akan menghadirkan logika antikritik yang merupakan akar dari segala tindak kekerasan. Secara praksis, sikap semacam ini apabila dihadapkan dan diaktualisasikan dalam realitas pluralistik-multikultural akan cenderung melahirkan masyarakat yang destruktif, intoleran, bahkan akan muncul benturan dan konflik. Hal ini karena watak yang dimunculkan dari eksklusifisme adalah sikap arogansi, merasa paling segalanya, termasuk sikap truth claim dan salvation claim.

Kemudian sikap inklusifisme, yang mana sikap ini muncul karena keinginan untuk merelativisir dan memoderasi kekakuan eksklusifisme yang tak jarang berujung konflik dan kekerasan. Para inklusifistik mengakui bahwa bermacam kultur dan keyakinan yang ada adalah benar dan baik. Begitu pula kultur dan keyakinan yang

Page 164: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

366 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

dimiliki orang lain. Meskipun demikian di antara banyak kultur dan keyakinan pastilah ada kebenaran terdalam dan kebaikan tertinggi, yakni kebenaran dan kebaikan yang ada pada dirinya.

Jika dibandingkan dengan eksklusifisme, sikap ini selangkah lebih maju karena sudah mulai lenturnya cara memandang pihak lain. Hanya saja dengan tetap diterapkannya double standart yaitu menerapkan kualifikasi yang tak sama atas beragam kultur dan keyakinan, sikap ini hanya akan melahirkan bentuk toleransi yang semu (pseudo tolerant). Sedangkan ditinjau dari sisi epistemologisnya sikap ini justru dipandang tidak logis karena ada kontradiksi internal di tingkat teori dan praksis.

Selanjutnya adalah sikap paralelisme. Sikap ini sudah benar-benar memandang sama benar dan baik segala kultur dan keyakinan yang dimiliki orang lain.Tiada graduasi struktur kebenaran dan kebaikan. Asumsinya adalah bahwa semua kultur dan keyakinan bermula dari yang satu. Keanekaragaman muncul sekedar akibat perbedaan cara pandang terhadap yang satu tersebut. Dalam kontek ini John H. Hick, pakar filsafat agama, mengatakan seperti dikutip oleh Evans :

Hick suggest ,however, that differences may be merely apparent. His basic idea ia that God “in Himself” is an infinite reality, “and as such transcends the grasp of human mind”. Perhaps the apparently conflicting views the various religions have developed about God are like apparently conflicting descriptions of an elephant produced by a group of blind people. The various religions all present images of the devine, each expressing some aspect or range of aspects and yet none by itself fully and exhaustively corresponding to the differing interpretations humans have placed on their experience of the divine, which are due to the different cultural historical circumstances which have conditioned the experiences. (C. Stephen Evans,1982 :181-182)

Paralelisme mempunyai banyak sisi positif dalam upaya memberdayakan pluralitas-multikultural, karena sikap ini tulus mengembangkan toleransi, watak egaliter, solidaritas, saling menghormati dan menghargai perbedaan serta keunikan masing-masing kultur dan keyakinan. Sikap paralelisme ini sangat acceptable terhadap keberadaan pihak lain yang berkultur dan berkeyakinan beda.

Page 165: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 367

Meski demikian sikap ini juga mengandung sisi negatif. Di tingkat logika akan memunculkan judgment kebenaran itu relatif. Sedangkan di tingkat realitas kondisi demikian jelas tidak mungkin karena setiap bertemu pihak lain pastilah akan terjadi interaksi dan komunikasi.

Terakhir adalah sikap interpenetrasi. Mereka yang mengembangkan sikap ini akan selalu mencoba untuk memahami kebenaran dan kebaikan tradisi dan keyakinan lain dengan mengadakan apresiasi dan interpretasi yang bersifat mutualistik, dengan tanpa menghilangkan kekhususan atau aspek-aspek tertentu dari masing-masing tradisi dan keyakinan (a sui generic perichoresis or circumcessio). Istilah passing over atau crossing over relevan dengan sikap ini, yaitu keluar dari diri untuk berapresiasi pada tradisi atau keyakinan yang lain, untuk kemudian kembali pada tradisi dan keyakinan sendiri lagi dengan apresiasi dan pemahaman yang lebih kaya.

Sikap ini akan menghadirkan toleransi tingkat tinggi, yang tidak hanya mengakui keberadaan yang lain (koeksistensi) tetapi masing-masing penganut tradisi dan keyakinan saling berdialog dan berdiskusi mencari inspirasi dalam rangka memperkaya tradisi atau keyakinannnya sendiri (proeksistensi). Namun jika hal ini dilaksanakan tanpa berpegang pada prinsip maka justru akan sangat dikhawatirkan terjadi distorsi pemahaman dan menghilangkan jati diri masing-masing tradisi dan keyakinan.

Pendidikan Agama Tulang Punggung Menghadapi Realitas Pluralistik-Multikultural

Akhir dekade ini pendidikan agama di sekolah banyak mendapatkan sorotan tidak baik. Pendidikan agama banyak menuai kritik. Kritik yang paling menonjol adalah bahwa dirasakan pendidikan agama kurang berdampak pada kehidupan yang lebih baik dari para siswa tersebut setelah mengalami proses pendidikan. Secara ekstrim ada yang mengungkapkan bahwa meski diberi banyak waktu untuk pendidikan agama ternyata siswa-siswa tetap tawuran, tak menghargai pendapat dan orang lain, melakukan kekerasan, kecurangan, dan tindakan amoral lainnya.

Padahal lewat pendidikan, idealnya dicapai 2 (dua) keutamaan. Menurut aristoteles dalam Ethica Nicomachea, bahwa

Page 166: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

368 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

2 (dua) keutamaan tersebut adalah keutamaan intelektual, seperti dengan didapatkannya ilmu dan teknologi, dan keutamaan moral sehingga manusia bersikap jujur, adil, bertanggung jawab, dan lain-lain dalam praksis dari pada teori (dikutip oleh F.Budi Hardiman, 2001:67)

Terlebih pendidikan agama di Indonesia ini sudah jelas arahnya, yaitu membentuk siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia (UU Sistem Pendidikan Nasional, No.20 Tahun 2003).

Peran pendidikan agama di sekolah semakin penting karena orang tua sekarang ini sudah terlalu percaya penuh kepada sekolah. Orang tua menyerahkan peran dan fungsi pendidikan ke sekolah karena mereka merasa tak mempunyai waktu dan kemampuan untuk meyelesaikan pendidikan di rumah secara efisien dan efektif. Kenyataan ini mengakibatkan hampir seluruh tugas kependidikan dialihkan ke sekolah termasuk soal transfer pengetahuan agama dan pembinaan moral keagamaan. Di sinilah urgensi dari eksistensi sekolah yang kemudian diharapkan menjadi wahana religiusasi dan humanisasi.

Apakah pendidikan agama di sekolah sanggup memikul beban berat tersebut. Menjawab kegelisahan tersebut tampaknya memang harus kembali napak tilas ke belakang, mencermati pelaksanaan pendidikan agama itu sendiri yang selama ini diberlakukan. Paling tidak melihatnya dari beberapa sisi paradigma dan visi-misinya, kurikulumnya, para pelaku pendidikan, dan seterusnya.

Visi dan misi pendidikan agama di sekolah sekarang ini tampak sekali masih diwarnai dan didominasi oleh paradigma dakwah yang berpandangan eksklusif, sehingga aktivitas memang lebih banyak menyeru dan mengajak manusia dengan target mengislamkan, mengkristenkan, dan lain-lain. Sedangkan menurut Amin Abdullah asumsi dasar yang mendasari visi-misi adalah paradigma klasik – scholastik yang terlalu menggarisbawahi keyakinan dan anggapan bahwa keselamatan sosial amat ditentukan oleh keselamatan individu (Amin Abdullah,2001:253). Artinya apabila individu-individu dalam masyarakat bertingkah laku baik dan bermoral maka masyarakat juga akan baik.

Yang demikian itu sangatlah menyederhanakan persoalan

Page 167: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 369

karena untuk yang pertama beragama apa adalah privacy dan hak dasar yang dimiliki oleh manusia yang tak bisa diganggu gugat siapapun (la ikraha fi al-din). Sedangkan berkaitan dengan yang kedua bahwa logika, psikologi, kepentingan, komitmen individu tidaklah bias disamakan dengan logika, psikologi, kepentingan, dan komitmen kelompok.

Starting point bagi dilaksanakannya pendidikan agama sebagaimana di atas telah membawa implikasi pada struktur kurikulumnya. Secara umum pemberian pendidikan agama di sekolah sekarang ini telah mengalami reduksi menjadi pengajaran agama. Materi yang diberikan kepada siswa, porsinya tak seimbang. Materi doktrin ajaran (faith) dan ibadah (rituality) dalam kenyataannya lebih banyak daripada materi yang mengurai tentang sikap hidup dan tata nilai (morality).

Pemberian materi tentang sikap hidup dan tata nilai kepada siswa sekarang ini juga harus ditinjau ulang karena lebih berfokus dan sibuk mengurusi urusan ‘dalam negeri’ sendiri dalam bentuk moralitas individual (ahwal al-syahsiyah) sedangkan yang berkaitan dengan moralitas publik (ahwal al-‘ammah) kurang dipedulikan. Hal ini membawa pada simpulan bahwa materi pendidikan agama saat ini sama sekali tak pernah mengajari siswa tata hidup arif dalam masyarakat yang majemuk, beda kultur bahkan beda agama.

Sedangkan model pembelajarannya menekankan pada hafalan fakta, pada lapis kognitif dan disampaikan secara indoktrinasi. Yang pertama akan mengakibatkan bahwa siswa akan mengetahui fakta itu tetapi hanya dengan pengetahuan tidaklah akan menjamin tingkat paralelitas dan linearitas bagi munculnya tingkah laku mereka sesuai dngan pengetahuan yang telah didapatkannya. Yang kedua, dengan indoktrinasi hanya akan menghasilkan kerja pembelajaran yang monolog. Karena dalam kontek ini guru dianggap sebagai pihak yang paling tahu. Siswa hanya menerima penjelasan dan tidak diajak terlibat dalam menemukan tata nilainya sendiri. Jika kejadiannya demikian maka internalisasi nilai agama yang didapatkan siswa sulit terendap sehingga sulit juga tereksternalisasi dalam tingkah lakunya.

Ditinjau dari sisi evaluasi, maka penilaian pendidikan agama lebih mengacu pada nilai ulangan yang bisa dijawab dengan menghafal secara serius. Karena inilah maka meskipun siswa

Page 168: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

370 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

mendapatkan nilai tes yang baik belum bias ditentukan bahwa siswa tersebut juga mempunyai tingkah laku yang baik . (Paul Suparno, 2003:32)

Dari sisi guru sebagai tulang punggung keberhasilan proses pembelajaran, secara umum, juga nyaris tak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus seputar isu pluralisme-multikulturalisme selama hampir 30 tahun terakhir. Selama itu mereka juga tak pernah dilibatkan dan diajak mengikuti forum-forum dialog antar umat beragama, yang tampaknya hanya milik tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, para intelektual, mahasiswa, da para elite lainnya.

Sekurang-kurangnya dengan menganalisis sisi-sisi implementasi pendidikan agama seperti di atas maka tampaknya memang harus ada konstruksi ulang pendidikan agama yang pada akhirnya diharapkan tercapai tujuan di atas: religiusasi dan humanisasi. Religiusasi berarti proses bagaimana membangun masyarakat yang religius, beriman dan bertakwa. Sedangkan beriman dan bertakwa tak bisa dilepaskan dari upaya-upaya bagaimana memanusiakan manusia. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Jadi apa dasarnya manusia menindas manusia yang lain.

Pendidikan Agama Berbasis Pluralistik-Multikultural

Pendidikan Agama (Islam) menemukan sumber utamanya dalam al-Qur’an. Berkaitan dengan realitas pluralistik-multikultural banyak kita temukan di dalamnya. Allah telah menciptakan manusia, ada laki-laki dan perempuan, lalu menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (Qs. Al-Hujarat, 49:3). Di antara mereka mempunyai perbedaan bahasa dan warna kulit (Qs. al-Rum, 30:22), perbedaan agama (Qs. al-Baqarah, 2:62), dan seterusnya.

Terhadap kondisi kemajemukan yang demikian, Islam tak pernah memandangnya sebagai ancaman dan hambatan, namun justru hal itu adalah sebagai sarana yang akan menjadikan tantangan upaya pemberdayaan manusia itu sendiri. Allah menghendaki adanya keanekaragaman agama, kultur membuat manusia termotivasi untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan (Qs. al-Maidah, 5:48), tidak boleh saling menghina, saling mencela, saling berprasangka dan saling mencari kesalahan (Qs. al-Hujurat, 49:11-

Page 169: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 371

12), tidak boleh saling memerangi, apalagi mengusir kecuali salah satu ada yang berbuat dhalim kepada yang lain (Qs. al-Mumtahanah, 60:8-9). Allah memerintahkan supaya manusia saling berdialog dan berdiskusi dengan cara yang baik (Qs. al-Ankabut : 29:46) untuk mendapatkan common vision atau kalimah sawa’ (Qs.Ali Imran :3:64). Kalaupun common vision itu belum dapat terfomulasikan maka minimal sikap menerima dan setuju dalam perbedaan adalah lebih baik (Qs. al-Kafirun, 7).

Berangkat dari penjelasan tersebut maka harus dicermati sesungguhnya Islam, dalam tataran kehidupan sosial tidaklah menganjurkan bersikap eksklusif tetapi justru mendorong sikap koeksistensi dengan yang lain, bahkan kalau dimungkinkan berprokonsistensi dengan yang lain, dengan cara dialog dan diskusi.

Sikap ini menjadi basis nilai ideal yang harus dikembangkan dalam masyarakat bercorak pluralistik-multikultural. Transferisasi tata nilai ideal ini dapat diturunkan dari generasi ke generasi melalui cara yang paling efektif, yakni lewat pendidikan, khususnya pendidikan agama. Ketika sekarang ini orang tua memercayakan pendidikan, termasuk pendidikan agama, anaknya pada sekolah maka tugas berat ini menjadi beban pihak sekolah , yakni pendidikan agama di sekolah.

Oleh karena itu setelah mencermati titik-titik kekurangan dan kelemahan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah sebagaimana bahasan sebelumnya maka sayogyanya dilakukan upaya revitalisasi pendidikan agama yang relevan menghadapi tantangan pluralistik-multikultural, harus sungguh-sungguh dipersiapkan.

Pertama sekali yang paling penting dan harus diperhatikan adalah mengubah paradigma (shifting paradigm) visi-misi pendidikan agama itu sendiri, dari basis eksklusifisme ke pluralisme, yakni sikap menerima kemajemukan, yang tidak hanya berhenti pada sikap setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), tetapi basisnya adalah sikap kerjasama (cooperation) dan kontrak sosial (social contract).

Sikap setuju dalam perbedaan memang aman dan tak bermasalah sebagai sikap individu, tetapi jika diaplikasikan sebagai sikap sosial maka menjadi tidak aman dan tetap bermasalah karena seringkali sikap “setuju” justru tertindih oleh sikap

Page 170: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

372 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

“ketidaksetujuan”. Sedangkan dengan berbasis pada paradigma kerjasama dan kontrak sosial maka pendidikan agama sejak awal memang sudah harus berasumsi manusia sejak semula memang sudah berbeda dalam banyak hal, lebih lebih dalam bidang akidah, iman, credo. Tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan hidup bersama, maka mau tidak mau manusia harus rela untuk menjalin kerjasama dalam bentuk kontrak sosial dengan siapapun yang mempunyai bentuk perbedaan apapun. (Amin Abdullah, 2001:255)

Berkaitan dengan materi pendidikan agama di era pluralistik-multikultural, maka sudah waktunya siswa diberi pemahaman dan wawasan tentang agama-agama lain. Hal ini bukan sebagai sarana untuk menunjukkan perbedaan atau bahkan kesalahan agama lain dari sisi doktrinnya sehingga berujung pada kafir-mengkafirkan, tetapi sebisa mungkin ditunjukkan persamaan di tingkat moralitasnya. Pembinaan moralitas agama di tengah masyarakat yang beraneka ragam kultur dan keyakinan perlu ditekankan.

Selanjutnya di sisi metode pembelajaran pendidikan agama harus mulai beranjak bukan sekedar indoktrinasi tetapi relevansi (J.Ribereu, 2001:190). Artinya agar pendidikan agama menjadi fungsional maka materi tidak hanya diceramahkan oleh guru dan dihafalkan oleh siswa, tetapi bagaimana pengetahuan akan dapat membantu siswa untuk menanggapi, menilai dan menentukan sikap dalam hidup.

Demikian itu maka pendidikan agama sebaiknya bertiik tolak dari dan dikaitkan dengan situasi hidup konkret sehari-hari. Penyajiannya bias dilakukan secara induktif, yakni dimulai dengan melihat tantangan-tantangan di kehidupan sekitar kemudian mengajak siswa bias menjawab dengan baik dari perspektif moral agama-agama. Dari sini guru bias meyakinkan pada siswa bahwa agama dari dulu sampai kapanpun tetap menjadi sumber nilai dan sumber inspirasi menghadapi bermacam-macam tantangan. Bukanlah agama itu hudan li al-nas.

Mengingat aktivitas pendidikan adalah aktivitas pengubahan perilaku dari tidak baik menjadi baik, atau secara rinci bagaimana membuat siswa cerdas di bidang pengetahuan (to know), cerdas melaksanakan ( to do), cerdas untuk menempatkan

Page 171: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 373

diri di tengah masyarakat (to live together) sehingga siswa bisa mengaktualisasikan diri (to be), maka evaluasi pembelajaran pendidikan agama juga tidak ideal jika hanya mementingkan evaluasi kognitif tetapi harus masuk pada relung-relung evaluasi afektif dan psikomotorik.

Dan yang paling akhir harus diperhatikan adalah pelaku pendidikan atau guru. Sesunggunhnya apapun sudah idealnya paradigma dan visi-misi pendidikan agama, kurikulum, dan seterusnya, tetapi jika pelaku pendidikan diloloskan begitu saja maka tidak akan ada artinya segala apa yang telah diupayakan.

Selama ini guru-guru agama dipandang sebelah mata, dianggap tidak penting, tidak kelasnya untuk diajak duduk bersama dan berdiskusi yang memperbincangkan betapa peliknnya menghadapi kehidupan yang bercorak plural dan multikultural, ini jelas anggapan yang sangat keliru.

Dalam masalah ini, guru justru berada dalam barisan terdepan dan sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan agama. Mereka tetap berposisi dan masih cukup berwibawa untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang kondusif untuk mencegah meluasnya konflik dan kerusuhan antar kultur, antar agama sejak siswa di bangku sekolah. Di sinilah mereka perlu mendapatkan perhatian dengan cara mensinergikan pemikiran (mindset) mereka agar mereka siap dan terpanggil untuk mengajarkan nilai-nilai agama upaya menghadapi pluralistik-multikultur. Mereka harus mendapatkan akses input informasi yang cukup akurat dan tepat tentang segala hal yang berkait dengan permasalahan tersebut, termasuk jika dimungkinkan mereka sangat perlu dilibatkan dalam diskusi-diskusi antar umat beragama.

Jika mereka memperoleh akses, input informasi yang cukup akurat dan tepat tentang pelik serta kompleksnya kehidupan beragama dalam era pluralitas dan cara memberikan alternasi-alternasi pemecahan yang menyejukkan, lebih-lebih jika mereka mampu mengemas ulang pesan pesan dan nilai-nilai agama yang mereka peluk di era pluralitas, maka siswa dari sejak dini sudah dapat diantarkan untuk dapat memahami, bukan menegasikan perbedaan dan menolaknya, tetapi menghargai dan menghormati berbagai kultur dan agama yang dianut atau dipeluk orang-orang lain. bukan membenci dan memusuhinya.

Page 172: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

374 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012

Dengan upaya-upaya di atas maka pada saatnya nanti diharapkan generasi baru Indonesia dapat mengambil sikap dalam menghadapi realitas pluralitas agama, budaya, ras, suku dan golongan secara lebih arif, santun, matang dan dewasa. Tidak hanya mengakui keberadaan adanya pihak lain tetapi bersedia berdialog, bekerja sama dengan mereka.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa poin sebagai kesimpulan dapat penulis garisbawahi bahwa :1. Realitas kemajemukan (pluralistik) dan keanekaragaman

budaya (multikultural) adalah realitas yang natural dan tak bias dihindari

2. Pendidikan agama sebagai pendidikan yang mengajarkan pengetahuan agama dan membina moral keagamaaan siswa haruslah berjalan parallel dan linier dengan realitas di atas sehingga pendidikan agama tidak teralienasi di tengah masyarakat tetapi justru relevan dan bias memecahkan permasalahan di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pendidikan agama yang adekuat untuk menghadapi realitas tersebut.

3. Memenuhi arah pendidikan agama yang demikian maka harus ada sinar dan semangat baru bagi pelaksanakan pendidikan agama menggeser hegemoni pendidikan agama masa lalu yang sudah out of date (al mukhafadhatu ala al-qadim al shalih wa al-jadid al aslah)

Akhirnya., selamat tinggal nalar eksklusif, selamat datang nalar plural.

Page 173: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

Mengembangkan Nalar Plural dalam Pendidikan Agama ... (Ulya) 375

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-KarimAmin Abdullah, “Pengajaran Kalam dan Teologidalam Era

Kemajemukan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode”, dalam Th.Sumartana (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Interfidei, 2001

C. Stephen Evans, Philosophy of Religion : Thinking About Faith, USA : InterVarsity Press, 1982

F. Budi Hardiman, “Pendidikan Moral Sebagai Pendidikan Keadilan”, dalam Sindhunata (ed.), Pendidikan :Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kaniius, 2001

Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion, California : Wadsworth, 1999

J. Ribereu, “Pendidikan Agama dan Tata Nilai”, Sindhunata (ed.), Pendidikan :Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kaniius, 2001

Paul Suparno, “Pendidikan Agama di Seklah Mdel KBK” dalam Basis, No.07-08, tahun ke-52, Juli-Agustus 2003

UU Sistem Pendidikan Nasional, No.20 tahun 2003

Page 174: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ADDINSTAIN KUDUS

1. Naskah adalah karya orisinal (tidak mengandung unsur plagiasi maupun fabrikasi data), belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah atau dalam bentuk buku, dan tidak sedang diajukan ke berkala lain. (dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai)

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia baku dengan ketentuan jumlah halaman antara 15-25; diketik dalam format Microsoft Word, kertas ukuran A4 (21 cm x 29,7 cm), margin 4-3-4-3, spasi 1.5, dengan font Time New Roman ukuran 12 untuk body text dan 10 untuk footnote.

3. Naskah yang dikirim harus memuat: Judul, Nama Penulis (tanpa gelar), Institusi tempat penelitian dilakukan, Email, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Isi dan Pembahasan, Penutup, dan Daftar Pustaka. Pembaban tulisan menggunakan pola numbering A.B.C. dan seterusnya, tanpa mengeksplisitkan sub-bahasan dalam pendahuluan, hasil dan pembahasan, yang biasa dijumpai dalam skripsi/tesis/disertasi atau laporan penelitian.

4. Abstrak ditulis antara 150-200 kata, sementara kata kunci/keywords 4-6 kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris (atau Arab).

5. Transliterasi untuk penulisan kata/istilah dan nama tokoh (minus tempat) berbahasa Arab merujuk pada pedoman trasliterasi Arab-Latin keputusan bersama Menteri Agama Nomor 158 th 1987 dan Menteri P dan K Nomor 0543/u/1987.

6. Penulisan ungkapan dan doa di belakang Allah, nabi secara umum, Muhammad, dan nama shahabat ditulis kecil diiringi titik: swt., sa., saw., ra.

7. Perujukan dalam tulisan menggunakan sistem catatan kaki (footnote) dengan pola penulisan sebagai contoh berikut:a. Kitab Suci: QS. Al-Baqarah (2): 156; Perjanjian Baru, Kel. 30: 51.i.b. Buku/Kitab: Nurkholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan

(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1989), h. 25.c. Buku Terjemah: Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia:

Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 237.

d. Kitab Klasik Hasil Tahqiq: Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an, tahqiq Dr. Syaikh Rasyid Ridha al-Qubbani, (Beirut:Dar Ihya’ al-‘Ulum, 1990), h. 25.

e. Skripsi, Tesis, dan Disertasi : Mukhlis, Corak Pemikiran Hamka tentang Pluralitas Agama (Rekonstruksi dari Tafsir Al-Azhar), Tesis (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), 25.

Page 175: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

f. Artikel dalam Buku: Asnawi, “Islam dan Visi Kebangsaan di NTB”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung: Mizan dan Yayasan Festifal Islam, 2006), h. 300.

g. Artikel dalam Ensiklopedi: Hartmurt Bozin, “Translation of the Qur’an” dalam Jane Dammen McAuliffe (ed), Encyclopaedia of the Qur’an, (Leiden: EJ Brill, 2006), p. 209.

h. Artikel dalam Jurnal : David Sagiv, “Judge Ashmawi and Militan Islam in Egypt”, Middle Eastern Studies, Vol. 28, No. 3 (July, 1992), h. 86.

i. Artikel dalam Media Massa : M. Luqman Hakim, “Tasawuf dan Proses Demokratisasi,” KOMPAS, 30 Maret 2001, h. 4.

j. Artikel dalam Intern et: Azyumardi Azra, “Agama dan Orientisitas Islam”, Republika, 25 Oktober 2002: http://www.republika.co.id/kolomactail.asp? id=101205dikit id:16. (Diakses tanggal 23 Juni 2003).

k. Makalah Seminar/prosiding : Habiburrahman, “Sosialisasi Publik RUU Hukum Terapan Peradilan Agama”, Makalah dalam Seminar Nasional Apresiasi terhadap Draft UU RI tentang HTPA Bidang Perkawinan, Hotel Saphir Yogyakarta, Kamis 23 Nopember 2006, h. 3.

l. Tulisan, berita, atau laporan tanpa nama pengarang:Ø “Jiplak-Menjiplak Tafsir Qur’an” Tempo, 12 Januari 1974.,Ø “Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia No. 11/MUNAS

VII/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah”, http://www.mui.or.id/mui in/fatwa. php?id=131 (Diakses tanggal 26 Mei 2008).

Ø “Laporan Dokumen-dokumen Resmi dan Keputusan Konferensi Islam Internasional tentang Ahmadiyyah”, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1981), h. 3.

8. Ketentuan lain mengenai pengutipan:a Bila mengutip ulang referensi yang sama secara berurut, maka

cukup tulis: Ibid. Jika berbeda halamannya: Ibid., h. 14. Sementara jika diselingi satu atau lebih referensi yang berbeda, maka tulis last name pengarang berikut satu atau dua kata awal judul dari referensi dimaksud (bukan op.cit maupun loc. cit); misalnya: Abu Zahrah, Usul, h. 35.

b Jika referensi yang dirujuk lebih dari satu jilid/juz/volume, maka harus disebutkan nomor urutnya dalam rangka romawi dan nomor halaman dengan dipisah garis miring, contoh: Muhyidin an-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV/77; atau Muhyidin an-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h./77 jika yang dijadikan rujukan hanya satu jilid tersebut.

c Jika referensi yang dikutip bukan cetakan pertama, maka harus disebut nomor urut cetakannya sebelum data publikasi.

Page 176: ii - P3M - STAIN KUDUSp3m.stainkudus.ac.id/files/addin jul-des 2012.pdf · memuja Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. 3. Nikki R. Keddie, «Islam and Society in

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan pola seperti penulisan catatan kaki minus keterangan halaman, dengan sedikit perubahan: Nama pengarang ditulis terbalik dengan mendahulukan nama belakang dan tanda kurung pada data publikasi dihilangkan. Selanjutnya, daftar pustaka disusun secara alfabetis berdasarkan abjad dengan mengesampingkan “al-” pada nama-nama pengarang arab.

10. Setiap naskah yang masuk akan diseleksi pendahuluan oleh Tim Redaksi (meliputi pemeriksaan kelengkapan persyaratan hukum, keselarasan denga tema kajian, dan kesesuaian gaya selingkuh), kemudian yang lolos akan ditelaah secara anonym oleh mitra bebestari (meliputi aspek metodologi, substansi, dan teknis penulisan). Hasil seleksi administratif, nota telaah mitra bebestari, dan keputusan dimuat tidaknya tulisan akan diberitahukan kepada penulis dalam waktu sesingkat-singkatnya.

11. Dalam hal jika tulisan dinyatakan layak muat dengan revisi, maka penulis harus bersedia melakukan perbaikan tulisan sesuai catatan yang diberikan dalam batas waktu yang ditentukan.

12. Penulis yang dimuat tulisannya mendapatkan 6 eksemplar jurnal beserta cetak lepas.