simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang...

468

Transcript of simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang...

Page 1: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan
Page 2: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

i

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SASTRA DAN BUDAYA III

MENGKAJI SASTRA DAN BUDAYA

MEMBANGUN DEMOKRASI YANG SEHAT

Penyunting Ahli

Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum

Penyunting Pelaksana

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum

DENPASAR, 28 – 29 MARET 2018

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2018

Page 3: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

ii

KATA PENGANTAR

Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan

pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan pada

28 – 29 Maret 2018 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Seminar tahun

ini mengangkat tema Mengkaji Sastra dan Budaya Membangun Demokrasi yang

Sehat. SNSB III menghadirkan pembicara kunci Prof. Dr. Suwardi Endraswara,

M.Hum., dari Universitas Negeri Yogyakarta. Selain pembicara kunci, pada SNSB

III juga menghadirkan pemakalah utama Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum.,

dari Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

dan Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. dari Program Studi Sejarah, Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Udayana. Pemakalah pendamping pada SNSB III berasal

dari Universitas Sumatera Utara, IKIP Saraswati, UNIKOM, Universitas

Mulawarman, IKIP PGRI Bali, Balai Bahasa Bali, dan tentunya dari Universitas

Udayana.

Prosiding ini disusun untuk memudahkan para peserta seminar atau

siapapun yang tertarik kepada masalah sastra dan budaya untuk memperoleh

informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Besar harapan kami bahwa SNSB

III dapat berkontribusi terhadap kegiatan akademik yang dirancang oleh Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

Panitia

Page 4: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

iii

SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan

Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka Buku Kumpulan

Abstrak untuk Seminar Nasional Sastra dan Budaya III (SNSB III) yang mengusung

tema ‘Mengkaji Sastra dan Budaya Membangun Demokrasi yang Sehat' dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Tema ini menjadi sangat penting karena kita

dapat memahami hubungan yang sangat erat antara Sastra dan Budaya sehingga

Sastra dan Budaya. merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Melalui karya

sastra yang penulisnya memiliki latar belakang budaya berbeda akan mampu

memperindah karya-karya sastra yang dihasilkan baik kebutuhan sebagai bahan ajar

maupun untuk dihayati.

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu-ilmu

Sastra dan Budaya. Dengan mengungkap hasil karya sastra yang berisikan

kandungan budaya diharapkan dapat membangun karakter masyarakat dan bangsa

Indonesia dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dapat terwujud

dengan baik. SNSB III dilaksanakan untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan

hubungan yang begitu erat antara Sastra dan Budaya sehingga muncul pemahaman,

dan apresiasi terhadap keanekaragaman dan persamaan budaya untuk mewujudkan

multikulturalisme. Multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan

mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu maupun

budaya. Perbedaan dan persamaan Sastra dan Budaya dipandang sebagai landasan

dalam multikulturalisme, yaitu peradaban manusia melalui rentang waktu dan

tempat untuk ikut berkontribusi dalam membangun demokrasi yang sehat.

Berkaitan dengan hal ini, perlu diperhatikan hubungan Sastra dan Budaya untuk

pendidikan multikulturalisme yang terdiri atas:

1. Menginterpretasikan perbedaan Sastra dan budaya berdasarkan persamaan;

2. Membuat hubungan dan perbandingan secara lintas budaya (cross Cultural

Connections and Comparisons);

3. Menunjukkan konteksnya; dan

4. Menyeimbangkan antara konteks (ecology) dan komparasi (cross-culture)

dalam Sastra dan Budaya.

Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

Page 5: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

iv

1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga SNSB III bisa

dilaksanakan secara berkesinambungan.

2. Bapak Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dari Universitas Negeri

Yogyakarta sebagai pembicara kunci, pemakalah utama, dan para

pemakalah pendamping lainnya yang terdiri atas dosen bahasa,

pengamat sastra, budayawan, dll.

3. Peserta SNSB III, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang

terdiri atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, guru,

mahasiswa, pekerja dan pengamat media, sastra dan budaya, yang

terlalu panjang bila disebutkan semuanya.

4. Panitia SNSB III Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang telah

bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan

penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya.

Semoga SNSB III yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program

Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dapat memberikan

pencerahan tentang hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Sastra dan

Budaya, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya,

Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang

berlandaskan kebudayaan.

Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

pelaksanaan SNSB III, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan imbalan

yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak lupa

mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dan semoga Buku ini

bermanfaat untuk kita semua.

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dekan, Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.

Page 6: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

SAMBUTAN .................................................................................................................. iii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... v

PEMAKALAH KUNCI

MENGKAJI SASTRA DAN BUDAYA MEMBANGUN DEMOKRASI YANG SEHAT

Suwardi Endraswara .......................................................................................................... 1

PEMAKALAH UTAMA

MEMAKNAI DEMOKRASI SPIRITUAL DALAM TAHUN POLITIK 2018 ............ 22

I Ketut Ardhana

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN DALAM SASTRA TUTUR BAGAWAN

KAMANDAKA: ANALISIS PERCAKAPAN .............................................................. 37

I Nyoman Suarka

PEMAKALAH PENDAMPING

PRAKTEK SEJARAH LISAN SEBAGAI PENGALAMAN PRIBADI ....................... 47

Anak Agung Inten Asmariati

PUBLIC STIGMA DAN SELF STIGMA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA .. 53

Bambang Dharwiyanto Putro

BUDAYA DUAN LOLAT DI TENGAH ARUS JAMAN IBU KOTA JAKARTA ....... 63

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo

RENDAH HATI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL ORANG BALI MELALUI

PUPUH ............................................................................................................................ 71

I Gede Budiasa

KESEMESTAAN BAHASA: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK ....................................... 78

I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa

MULTIKULTURAL DALAM MEDIA KAMPANYE CAGUB BALI KAJIAN

WACANA ....................................................................................................................... 84

I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri

Page 7: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

vi

MAKNA BAHASA FIGURATIF PADA LIRIK LAGU KISS FROM A ROSE OLEH

SEAL ............................................................................................................................... 90

I Gusti Ayu Agung Nila Wijayanti

BAHASA KIAS DAN PENGGUNAANNYA DALAM TUTURAN RESMI .............. 95

I Ketut Darma Laksana

RESI WISWAMITRA MENGUJI KEBIJAKAN SANG DASARARTHA SEBAGAI

PEMIMPIN ................................................................................................................... 103

I Ketut Jirnaya

KALIMAT DIREKTIF DALAM KARANGAN ILMIAH SISWA SMA SURYA

WISATA KEDIRI, KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN ................ 111

I Ketut Nama

IKONISITAS SEKSUAL DALAM KUMPULAN CERPEN CALONARANG KARYA

MADE SUARSA .......................................................................................................... 118

I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika, Luh Putu Puspawati

BEBERAPA FENOMENA FONOLOGIS PADA TATARAN SINTAKSIS DI

DALAM BAHASA BALI ............................................................................................ 128

I Made Madia

“BERAGAM” DAN “SERAGAM” DALAM CERPEN MEONG-MEONG KARYA

MADE SANGGRA ...................................................................................................... 141

I Made Suarsa

KURSI PEMILU: SASTRA DAN BUDAYA DEMOKRASI PRA REFORMASI ..... 148

I Nyoman Suaka

ESTETIKA SEBAGAI YOGA SANG KAWI DALAM KAKAWIN SUTASOMA .. 157

I Nyoman Sukartha

KEKOHESIFAN DALAM WACANA NARATIF BAHASA MELAYU BALI ........ 164

I Nyoman Suparwa

WACANA “KERAJAAN MAJAPAHIT BALI”: DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER............................................... 172

I Putu Gede Suwitha

MAKNA KOLOFON GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN MARGARANA ....... 180

I Wayan Cika

GANESHA: DEWA BERKEPALA GAJAH, SEBUAH TARINGNYA PATAH ...... 187

I Wayan Redig, Kadek Dedy Prawirajaya R

Page 8: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

vii

EKSISTENSI UANG KEPENG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT

BALI .............................................................................................................................. 195

I Wayan Srijaya dan Kadek Dedy Prawirajaya R

BUDAYA DEMOKRASI DALAM SENI MAGEGITAN INTERAKTIF DI RADIO

DAN TV ........................................................................................................................ 204

I Wayan Suardiana

WACANA PULUNG (JABATAN) DALAM KONTEKS PEMILIHAN PEMIMPIN

BERKARISMA ............................................................................................................. 211

I Wayan Suwena

PENGGUNAAN BAHASA DI RUANG PUBLIK: KAJIAN PEMAKAIAN BAHASA

DI KAWASAN HERITAGE KOTA DENPASAR ....................................................... 217

I Wayan Teguh, I Wayan Simpen

DINAMIKA PENGGUNAAN RAGAM BAHASA DIALEK JAWA BARAT:

ANTARA POLITIK DAN DEMOKRASI ................................................................... 224

Juanda

PENGARUH PILKADA SERENTAK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA

BERDEMOKRASI DI INDONESIA: REFLEKSI KASUS PILKADA DI BALI ....... 229

Ketut Darmana

NILAI DEMOKRASI DALAM CERPEN “SUKRENI DI LOVINA” KARYA I.B.W WIDIASA KENITEN ................................................................................................... 238

Ketut Yarsama

KEINDAHAN YANG TERPANTUL DALAM KIDUNG TANTRI RAGA WINASA

SEBUAH KAJIAN EKOSEMIOTIK ........................................................................... 250

Komang Paramartha, I Nyoman Sukartha

GEGURITAN ARJUNA WIWAHA: ANALISIS STRUKTUR DAN KARAKTER

TOKOHNYA ................................................................................................................ 257

Luh Putu Puspawati, Made Suastika

MEMORI BUDAYA DAN PENULISAN KARYA SASTRA DALAM

PEMBERDAYAAN BAHASA IBU ............................................................................ 264

Maria Matilidis Banda

TUTURAN BERSIPUNG SUKU PASER PEMATANG KABUPATEN PASER

KALIMANTAN TIMUR DITINJAU DARI ASPEK PUISI LAMA DAN NILAI

BUDAYA ...................................................................................................................... 271

Mursalim

Page 9: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

viii

NILAI-NILAI KARAKTERISTIK DALAM TEKS SASTRA THE HISTORY OF THE

LIFE OF AJAMILA ....................................................................................................... 279

Ni Ketut Dewi Yulianti

IMPLEMENTASI BAHASA JAWA KUNA PADA NAMA-NAMA ORGANISASI

KEPEMUDAAN DI KOTA DENPASAR ................................................................... 287

Ni Ketut Ratna Erawati, I Made Wijaya, Komang Paramartha, I Ketut Nuarca

ASPEK BUDAYA POPULER JEPANG DALAM NOVEL TEENLIT INDONESIA:

KAJIAN TERHADAP NOVEL WINTER IN TOKYO KARYA ILANA TAN ........... 297

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi

IDEOLOGI MULTIKULTURALISME SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN YANG

HARMONIS ANTARA ORANG BALI DAN CINA DI DESA PAKRAMAN DI

BALI ............................................................................................................................. 303

Ni Luh Sutjiati Beratha

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA JEPANG DALAM MERESPON

PUJIAN ......................................................................................................................... 314

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti

DAKSINA: SALAH SATU UPAKARA PENTING PADA MASA BALI KUNO YANG

DIPERJUALBELIKAN PADA MASA SEKARANG (STUDI KASUS DI DESA

BUDUK) ....................................................................................................................... 325

Ni Made Rustini, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi

KECANTIKAN PEREMPUAN BALI: SUATU SIMBOLISASI ............................... 336

Ni Made Wiasti

OMOTENASHI, SPIRIT KERAMAHAN MASYARAKAT JEPANG MENYAMBUT

TOKYO OLYMPIC 2020 ............................................................................................... 351

Ni Putu Luhur Wedayanti

NEGASI DALAM KUMPULAN CERPEN 1 PEREMPUAN 14 LAKI-LAKI KARYA

DJENAR MAESA AYU ............................................................................................... 357

Ni Putu N Widarsini

CAMPUR KODE PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA OLEH PENGGUNA

LAYANAN INTERNET INDOSAT OOREDOO ....................................................... 365

Ni Wayan Arnati

TEKS LAGU POP BALI BILINGUAL: ANALISIS LINGUISTIK SISTEMIK

FUNGSIONAL ............................................................................................................. 373

Putu Sutama, Tjokorda Istri Agung Mulyawati, I Nyoman Darsana

Page 10: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

ix

“NA LI YOU TAI YANG, NA LI JIU YOU ZHONG GUO REN”: ORANG CINA DI

BUMI MOA-CIAPPAH-I ............................................................................................. 388

Rochtri Agung Bawono

LAGU, KAUM MUDA DAN BUDAYA DEMOKRASI ............................................ 399

Roma Ayuni A Loebis

ALIH BAHASA FIGURATIF PADA TERJEMAHAN KARYA SASTRA PUISI .... 406

Sang Ayu Intan Maharani, I Nyoman Tri Ediwan

TAHAP PERANCANGAN METODE PEMBELAJARAN BLENDED LEARNING

PADA MATA KULIAH SHOKYUU HYOUKI DI PROGRAM STUDI SASTRA

JEPANG UNIVERSITAS UDAYANA ........................................................................ 414

Silvia Damayanti, Ni Luh Putu Ari Sulatri

ALIH WAHANA NOVEL PADA SEBUAH KAPAL KARYA NH DINI KE DALAM

PUISI “PADA SEBUAH KAPAL” KARYA MARIA MATILIDIS BANDA ............ 421

Sri Jumadiah

PENGADANG-NGADANG PADA RUMAH TUSUK SATE SUATU KAJIAN

BENTUK DAN FUNGSI .............................................................................................. 427

Tjok Istri Agung Mulyawati R

DIMENSI POLITIS DALAM SASTRA LISAN PADA MASYARAKAT MELAYU

DI BANJARAN SUNGAI TANAH DELI ................................................................... 435

Wan Syaifuddin

MITOS NAWASANAK: SEMBILAN BOCAH PENJAGA “DUNIA PIDADA” ...... 445

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada

Page 11: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan
Page 12: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 1 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MENGKAJI SASTRA DAN BUDAYA MEMBANGUN DEMOKRASI

YANG SEHAT

Oleh

Suwardi Endraswara

Ketua Umum HISKI Pusat

A. Sastra Perut, Bawah Perut, dan Atas Perut

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar

kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan

yang pandai” (Pramoedya Ananta Toer).

Sastra dan budaya itu bersentuhan dengan manusia. Sebuah quote penting

dari sang maestro sastra. Dia yang melahirkan Bumi dan Manusia, Arok Dedes, dan

lain-lain. Namun harus diingat, kalau sudah urusan tiga hal, yaitu (1) perut, (2)

bawah perut, dan (3) atas perut sastra dan budaya menjadi heboh. Saat ide ide-ide

mengalir. Ketiga urusan ini membangun ideology berbeda. Semua manusia, tak

terkecuali demokrasi, akan terkait tiga hal itu. Pram dikenal dengan sebutan

ideology “kiri” oleh ihak penguasa. Urusan Pram lebih banyak menyentuh urusan

ideology atas perut.

Sastra dan budaya itu secara pragmatic akan membangkitkan berbagai

kebutuhan manusia. Kebutuhan ideology akan terbantu oleh karya sastra. Bila

ideologinya masih perut, bawah perut, dan atas perut tentu berbeda. Tanggal 26

Agustus 2016 saya pernah bicara tentang sastra dan ideologi di Untidar Magelang.

Ternyata, ideology itu urusannya banyak di atas perut. Ideologi juga mendasari

demokrasi. Sastra ideology sering memancing politikus yang berdemokrasi. Saat

itulah para penguasa banyak mengurus perut. Bila sastra kurang bernuansa dengan

urusan perut (gastrologi), akan dibabat habis. Sastra menjadi pemanis kebutuhan

dasar manusia, bila berkiblat dari E. M. Forster dalam bukunya Aspect of the Novel

(1956). Mausia memang butuh rasa cinta, aman, damai, dan makan minum.

Tanjung Perak Tanjung Perak topi laut

Siapa suka boleh ikut

Ini rambut ini janggut ini perut

Bawah perut

Page 13: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

2 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Lagu itu puisi. Puisi andragogi, artinya sastra dewasa. Para penguasa

demokrasi itu orang dewasa, karena itu dalam konteks sastra andragogi, artinya

sastra yag mendidik kedewasaan, sering berbalut dengan sastra bawah perut.

Banyak penguasa yang kurang dewasa. Mereka selain mengurus perut, atas perut,

banyak dililit bawah perut. Bila para penguasa membaca tanpa andragogi, terjadilah

selisih paham. Akibatnya ada sastrawan yang kena “pukul.” Banyak penyair yang

dibungkam karena kata-katanya dianggap melukai demokrasi.

Sastra andragogi itu dari sisi pragmatic, akan mendewasakan manusia.

Sastra akan memberikan acuan, dalam urusan atas perut, perut, dan bawah perut.

Merriam (2001:5) menyatakan ada lima asumsi penting dalam konteks sastra

andragogi, yaitu: (1) has an independent self-concept and who can direct his or her

own learning, (2) has accumulated a reservoir of life experiences that is a rich

resource for learning, (3) has learning needs closely related to changing social

roles. (4) is problem-centered and interested in immediate application of

knowledge, and (5) is motivated to learn by internal rather than external factors.

Dari konteks ini, seringkali para penguasa mengikuti sastra andragogi yang

salah tafsir. Kadang-kadang urusan perut, ditafsir atas perut, dan bawah perut,

sehingga memunculkan friksi. Negatif thinking sering muncul dalam benak para

penguasa. Sebab mereka belajar sepotong-potong dengan pembacaan dewasa,

akibatnya ada penyair dan pengarang yang terdepak, dianggap merongrong

pemerintah. Sastra itu harus mendewasakan, membangun peradaban. Bukan

sebaliknya membiadabkan manusia. Yang menarik asumsi sastra andragogi yang

(2), bahwa karya sastra akan mengubah peran seseorang. Peran social, budaya, dan

politik sering berkelindan dengan sastra. Kunci belajar sastra, memang ada

perubahan. Sayangnya bila penguasa demokrasi membaca sastra andragogi sering

berat sebelah. Akibatnya pernah Wiji Thukul terkena getah puisinya sendiri.

Peringatan Jika rakyat pergi Ketika penguasa pidato Kita harus hati-hati Barangkali mereka putus asa Kalau rakyat bersembunyi Dan berbisik-bisik Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Page 14: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 3

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh Itu artinya sudah gawat Dan bila omongan penguasa Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam Apabila usul ditolak tanpa ditimbang Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: lawan!. (Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, 2004)

Lewat puisi itu, dapat dijadikan kacamata bahwa demokrasi memang sakit

keras. Pembacaan sastra andragogi oleh penguasa, telah “mengusir” pengarang

yang satu ini dari kancah estetis. Ketika rekan-rekan senimannya masih diliputi

kegamangan untuk terlibat dalam perjuangan politik, Thukul lantang berseru bahwa

seniman adalah korban dari sistem antidemokrasi dan wajib merebut

kemerdekaannya sendiri. Menurut dia, kita belum merdeka. Demokrasi sedang

sakit, butuh obat. Tak sedikit yang menyayangkan bergabungnya Thukul dalam

politik praktis, termasuk guru Thukul di Teater Jagat. Menurut sang guru, seniman

tak seharusnya terlibat politik praktis karena karena dengan begitu akan

membahayakan keselamatan diri Thukul sendiri. Lawu, sang guru berpesan pada

Thukul: Thukul, hati-hati memilih kalau sudah di politik praktis. Ada kemungkinan

kamu ditangkap, dibunuh, dibuang, dan dikejar-kejar. Ternyata, terbukti realitas

itu. Kita belum demokratis.

Orang berdemokrasi, sering latah untuk urusan bawah perut, perut, dan atas

perut. Atas perut untuk melanggengkan kekuasaan, bawah perut untuk bumbu

kekuasaan, dan perut untuk menjaga kekuasaan. Saya pernah membahas hal senada

bahwa sastra itu terkait darma, artha, dan kama (Endraswara, 2016:2). Dari getaran

puisi tersebut, Thukul sudah siap menanggung segala risikonya, harus terkena getah

artha. Baginya, sastra merupakan salah satu alat perjuangan. Sastra menjadi pilihan.

Meski tubuhnya kurus kerempeng, keberanian Thukul bisa diumpamakan dengan

keberanian seekor singa. Ia menjadi penggerak demokrasi besar di Kedungomba,

Sritex. Selalu berada di garda barisan terdepan, Thukul menjadi serangan aparat

yang secara membabi-buta menyerbu para demonstran. Thukul dipukuli, disiksa

Page 15: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

4 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

hingga tuli dan nyaris buta, meninggalkan cacat di mata kanannya. Semenjak saat

itu, Thukul dicurigai sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dianggap sebagai

penggerak rakyat kecil menyuarakan protes mereka. Ia pun menjadi salah satu

aktivis yang paling diincar saat itu. Itulah derap demokrasi yang belum dewasa.

Sastra andragogi belum dipahami secara arif.

Puncak kerusuhan terjadi pada 27 Juli 1996. PRD yang juga didirikan

Thukul dibubarkan secara paksa dan anggotanya menjadi buronan. Demi

menyelamatkan diri, Thukul pun harus rela meninggalkan anak serta istri dengan

berpindah dari satu kota ke kota lain, dan dari satu persembunyian ke

persembunyian lain. Dalam persembunyiannya, Thukul masih sempat menulis Aku

Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa! Namun, ketika akhirnya pemerintahan

Soeharto berhasil dilengserkan, ia tak juga keluar dari persembunyiannya dan

hingga kini tak tentu di mana rimbanya.

Puisi Wiji Thukul, oleh kalangan intelek seringkali dianggap mendobrak

nilai-nilai sastra. Akan tetapi ketika seni diartikan sebagai suatu hal yang indah, ia

memberikan penafsiran yang berbeda. Puisi terkait dengan ihwal “wadah dan isi”,

antara bentuk (form) dan isi (meaning), yang kadang-kadang mengundang tafsir

berbeda (Endraswara, 2016:3). Itulah sebabnya pemahaman meaning oleh

penguasa sering berbeda dengan gagasan sastrawan. Akibat prbedaan tafsir itu yang

mendorong terjadinya kekacauan demokrasi.

Penyair yang mengkritik urusan atas perut saja sudah ditampar, apalagi

kalau sampai berani ihwal perut dan bawah perut. Pemerintah non demokratis tentu

tidak mau mawas diri. Berbeda ketika demokrasi sehat, tentu bersuara apa saja

penyair merdeka. Memang sastra itu tugas menjadi penyeimbang. Penguasa

melindungi sastra. Sastra local biasanya yang kurang mendapat angin penguasa.

B. Sastra di Tengah Demokrasi Sakit Gigi

Demokrasi kita memang sedang sakit gigi. Sakit gigi itu sakit. Namun sering

diremehkan, tidak ada orang bezuk. Jika tidak segera diobati, tentu akan gagal.

Cerpen berjudul Horn karya Krisna Mihardja, berkisah tentang tokoh bernama Pak

De Markasi meninggal. Nama tokoh ini merupakan ironi pada perjuangan

demokrasi. Maksudnya De Makarsi menjadi Demokrasi, telah habis. Demokrasi

Page 16: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 5

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kita sudah atau sedang sekarat. Cerpen ini sebenarnya memiliki daya pragmatic

untuk menyembuhkan demokrasi yang sudah oleng, seperti pesawat akan jatuh.

Sastrawan adalah pengamat jitu pada perkembangan demokrasi. Menurut

Trotsky (2005:22) budaya tidak akan berkembang tanpa campur tangan manusia.

Budaya butuh perjuangan. Budaya demokrasi tanpa perjuangan dan pengembangan

akan menjadi “buaya demokrasi”. Gagasan ini, juga mewarnai demokrasi kita.Bila

sastrawan tidak berjuang, budaya demokrasi akan mati. Yang akan langgeng

budaya otokrasi, bila demokrasi sakit-sakitan. Hal ini dapat saya saksikan pada

kisah wayang. Kisahnya, Arjuna pernah sakit, begitulah kisah sastra wayang. Saya

menyaksikan itu ketika tetangga mempunyai hajatan “nadzar” dengan lakon Arjuna

Sakit. Sastra ternyata memiliki pragmatika khusus, yang bersifat gaib. Tetangga

yang sakit keras, hampir meninggal, sehingga orang tuanya berjanji. Bila sembuh

akan menanggap wayang kulit. Benar.

Otokrasi Arjuna, dalam wayang bisa “disanggit” (kreasi) menjadi

demokrasi, manakala ada campur tangan manusia yang kreatif. Wayang itu sastra

drama. Drama tradisional. Secara pragmatic wayang memiliki nilai (1) tontonan

(hiburan), (2) tuntunan (mendidik), (3) selamatan (doa, harapan). Yang terakhir ini

sebagai pragmatic luar biasa. Buktinya lakon Arjuna Sakit itu, menggugah

demokratisasi. Semula Arjuna itu otoriter, semena-mena pada abdinya bernama

Semar. Setelah dicoba sakit oleh Hyang Widhi, Arjuna baru sadar kosmis.

Kesadaran kosmis itu menunjukkan perjuangan hidup.

Wayang tersebut sastra drama yang memberi petunjuk bahwa demokrasi

sedang sakit gigi. Orang sakit gigi itu sengsara. Saya menjadi ingat kisah Mukidi,

ada cowok yang sakit gigi, dituntut pacarnya. Kemarahan yang akan muncul paa

saat orang sedang sakit gigi. Sepertinya, demokrasi kita sedang sakit gigi. Sakit

keras. Bahkan Emha Ainun Nadjib menyebut sedang “ngengleng nasional.” Maka

sastra mulai geram. Sastra mulai berbisik, lewat kata. Inilah budi baik sastra.

Keyakinan kita memang teguh bahwa bentuk pemerintahan demokrasi itu mimpi

indah. Sastra pun dunia mimpi. Yang diinginkan agar bentuk pemerintahan yang

diimpikan akan membawa keberhasilan dalam pemerintahannya. Maka kalau

membaca Kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa dan Arjuna Mencari Cinta

dari Yudistira, di sana ada tawaran harga demokratisasi.

Page 17: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

6 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dewa pun melakukan demokrasi ketika harus mencari jago, yang dapat

membasmi musuh Kahyangan. Demokrasi diawali dengan musyawarah. Hingga

akhirnya tawaran dewa ketika Arjuna sedang bertapa, digodda tujuh bidadari, dan

ketika menang menjadi jago dewa, mampu mengalahkan Niwatakawaca, sungguh

awal demokrasi. Berikut kutipan Kakawin Arjunawiwaha yang memukau itu.

Ambek sang paramārthapaṇḍita

huwus limpad sakèng ūnyatā,

Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kehampaan

Tan sangkèng wiṣaya

prayojñananira lwir sanggrahèng

lokika,

Bukanlah terdorong nafsu indria tujuannya, seolah-olah saja menyambut yang duniawi,

Siddhāning ya awīrya donira sukhāning rāt kininkinira,

Sempurnanya jasa dan kebajikan tujuannya. Kebahagiaan alam semesta diperihatinkannya.

santoṣâheletan kelir sira sakèng

sang hyang Jagatkāraṇa.

Damai bahagia, selagi tersekat layar pewayangan dia dari Sang Penjadi Dunia.

Sang Arjuna termasuk sukses dalam bertapa. Yang dimaksud berhasil,

adalah bila pemerintahan tidak terjebak ke otokrasi dan monokrasi. Bentuk

demokrasi yang dimana kekuasaan tertinggi berada pada rakyat dan dipilih wakil

rakyat untuk memimpin pemerintahan negara tersebut. Kalau otokrasi sering

diputuskan satu orang, yang kadang-kadang adda baik dan jeleknya. Monokrasi

adalah pemerintahan dipimpin oleh rakyat. Namun rakyat tidak tahu apa-apa

tentang pemerintahan. Sastra pernah jaya di era otokrasi.

Di era otokrasi, Serat Mahabarata dan Serat Ramayana jaya. Otokrasi juga

tidak selalu jelek. Penyalinan dan penggubahan sampai ke pakem wayang, baik bali

maupun Jawa menglami kejayaan. Waktu itu raja tinggal memerintahkan pada

pujangga, sastra sudah berkembang. Dahulu di istana pujangga “digaji” biarpun

tidak banyak, ternyata cukup. Kapitalis waktu itu raja. Sekarang di era yang dikenal

demokrasi, justru sastra semakin terabaikan. Sastra baru mendapat tempat di lomba-

lomba, bukan menjadi sebuah tradisi bergengsi.

Kalau membaca Adiparwa (Juyinboll, 1906) akan terlintas sebuah adegan

menarik. Menurut hemat saya berikut ini merupakan sebuah jalan menuju

demokrasi yang perlu dipertimbangkan. Setidaknya apa dan bagaimana ketika

Page 18: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 7

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

seseorang hendak berkuasa. Untuk menguasai 3 dunia, memang tidak mudah.

Berikut kisahnya.

Pada suatu ketika ada dua asura bersaudara bernama Sunda dan Upasunda yang saling menyayangi satu sama lain. Mereka mempunyai hasrat yang kuat sebagai penguasa tiga dunia. Mereka melakukan tapa yoga yang keras. Brahma akhirnya datang dan mengabulkan permintaan mereka. Mereka ingin menjadi yang paling kuat di tiga dunia dan tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh diri mereka sendiri. “Power tends to

corrupts”, sifat keserakahan asura telah mendarah daging bagi mereka, sehingga mereka berperang untuk menguasai tiga dunia yang membuat kekacauan tak habis-habisnya.

Perang disebabkan oleh keserakahan. Selama manusia masih serakah, perang tidak dapat dihindari. Anda boleh saja bicara tentang kedamaian. Anda boleh saja mengukuhkan undang-undang untuk kerukunan antar kelompok, tetapi selama keserakahan masih ada, persaingan akan selalu ada. Selama itu pula perang dan kerusuhan tidak dapat dihindari. (Krishna, Anand, (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang

Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) Brahma berpikir bagaimana caranya agar mereka saling berkelahi satu sama lain, sehingga akhirnya Brahma menciptakan bidadari Tilottamma yang sangat cantik yang merupakan akumulasi dari semua kecantikan di seluruh dunia. Kemudian Brahma berencana memanggil Kamadeva dan memberikan instruksi bagaimana caranya memanahkan anak panah asmaranya kepada Sunda dan Upasunda agar mereka berkelahi memperebutkan Tilottama.

Kamadeva, dewa muda tampan dengan senjata andalan panah asmara, mempunyai keinginan untuk mencoba keampuhan senjatanya. Pada saat datang ke tempat Brahma dia melihat Brahma sedang berdua dengan Tilottama. Kamadeva kemudian memanahkan anak panah dengan lima bunganya kepada Brahma. Brahma terpengaruh panah asmara dan mengejar Tilottama. Tilottama lari dan mengubah dirinya sebagai rusa dan Brahma tetap mengejarnya dengan mengubah wujudnya sebagai rusa jantan. Para dewa geger melihat kejadian itu.

Shiva kemudian mendatangi Brahma dalam wujud pemburu. Brahma dalam wujud rusa jantan sangat takut kepada Shiva dan tidak lagi mengejar Tilottama. Cinta sang rusa jantan kepada hidupnya melebihi cinta terhadap lawan jenis impiannya. Dan masalah pun terselesaikan, Brahma minta maaf dan para dewa tenang kembali. Tilottama kemudian diminta mendatangi asura Sunda dan Upasunda serta Kamadeva mendampinginya. Dengan panah asmara akhirnya Sunda dan Upasunda berkelahi memperebutkan Tilottama sampai kedua-duanya mati. Tilottama kemudian diangkat menjadi bidadari di Surga.

Dari cerita itu, konteks kekuasaan berupaya untuk menakhlukkan orang

lain. Kekuasaan Brahma bisa memiliki strategi pada dua raksasa, Sunda dan

Upasunda. Sayangnya keduanya menjadi tergoda dengan wanita. Sastra itu urusan

Page 19: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

8 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

keindahan dan kebermaknaan. Sastra itu seni. Sastra itu bagian ekspresi budaya.

Lewat sastra dapat membangun budaya yang humanis. Yang humanis itu kuncinya

damai. Nah, kalau sastra sering melirik kekuasaan itu karena ingin

menghumaniskan kekuasaan. Jika sastra menengok demokrasi dan otokrasi bangsa,

itu karena ada niat baik. Sastra ingin berbaik hati, agar demokrasi kita tidak sakit.

Menurut hemat saya, buaya demokrasi kita sedang sakit. Sakit keras.

Mungkin “sakit gula”, hingga merembet ke mana-mana. Pada titikini sastra ingin

mengambilperan, mengobati. Sastra ingin berbaik hati menjadi “kapsul” penawar

sakit. Kita masih sering terjebak ke demokrasi semu (palsu). Berikut adalah puisi

yang kritik keadaan serba palsu, termasuk demokrasi.

Sajak Palsu; Agus R Sarjana

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah

dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar

sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah

mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka

yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah

mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru

untuk menyerahkan amplop berisi perhatian

dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu

dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru

dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu

untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan

nilai-nilai palsu yang baru.

Demokrasi palsu, berarti memang sedang sakit. Demokrasi sakit gigi.

Hingga penyair senior kita mas Taufiq Ismail sering mempertanyakan ihwal

demokrasi ini melalui puisi sebagai berikut.

Puisi Kembalikan Indonesia Padaku (Taufik Ismail)

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,

yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam

dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

Kembalikan

Indonesia

padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam

dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,

Page 20: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 9

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam

lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di

atasnya,

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,

sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang

sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam

dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

Kembalikan

Indonesia

padaku

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam

dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Kembalikan

Indonesia

padaku

Paris, 1971

Dari puisi itu, tampak bahwa realitas Indonesia, termasuk demokrasi

semakin memprihatinkan. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana

hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga

negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab

kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. Ini sudah betul. Sudah

iddealis.Namun, demokrasi kita di mata sastra belum sepenuhnya ideal. Dalam

pandangan Soyinka (1988:27) demokrasi partisan itu sering mewarnai hidup

manusia. Demokrasi pastisan ideologinya sering hanya milik kelompok tertentu.

Hanya terbatas pada segmen tertentu saja. Namun ideology partisan itu tetap bisa

menjamur.

Dari prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan (equality), kebebasan

(freedom), dan kemajemukan (pluralisme) di Indonesia terkesan gagal dan

implementasi yang belum dimaksimalkan demi terciptanya demokrasi yang

diharapkan bangsa ini. Disebut gagal, karena seang sakit. Demokrasi menjadi

semu,karena wakil-wakil rakyat belum sepenuhnya menjadi negarawan sejati. Tiak

sedikit keputusan yang iambil untuk kepentingan iri dan kelompok atau partainya.

Biarpun hal itu sah-sah saja, namun ini jelas menoai demokrasi.

Page 21: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

10 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

C. Budaya Demokrasi Topeng

Sadar atau tidak, kini bangsa ini sedang memasuki demokrasi topeng.

Artinya, yang nampak di luar (wajah) demokrsi, belum tentu sma dengan dibatin.

Topeng penguasa, selalu ingin kaya sendiri,sehinggal mental korupsi terjadi. Maka

Wapres Jusuf Kalla (Sabriah, 2014:495-496), menyarankan agar pembelajaran di

sekolah bisa mengubah mental, yang disebut revolusi mental. Cerita Kancil yang

licik, perlu diganti cerita lain, yang mampu merevolusi mental bangsa. Revolusi

mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa, yaitu

berkarakter, santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong dan dapat

membuat rakyat sejahtera.

Realitas memang sulit dihindari, kalau bangsa ini gemar menggunakan

topeng. Topeng raksasa, sebagian besar. Ciri raksasa, tangan mengepal,

menggenggam, seperti bayi ketika lahir.

Topeng Karya Sapardi Djoko Damono

untuk Danarto

/1/

Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya

wajahnya sendiri satu demi satu

dan digantungkannya di dinding. “Aku ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan,

ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-

topeng yang mendesah, yang berteriak,

yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

/2/

“Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah

pipi, dan bedak berceceran di mana-mana;

dan tak ada topeng. “Di mana topengku?” tanyanya. Tegangan listrik yang rendah,

sarang laba-laba di langit-langit,

dan obat penenang di telapak tangan. Tak ada

topeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri.

Page 22: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 11

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

/3/

Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;

ia, tentu saja, hafal sabda raja

dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata

dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara,

tak menerima upah, dan digantung saja di dinding

jika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggung

yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.

(Hujan Bulan Juni, 1994)

Begitulah puisi topeng. Wajah demokrasi kita tampaknya sedang bertopeng.

Anusia sedang bingung, ingin menemukan topeng mana yang cocok, seperti dalam

puisi itu. Stefanovici (2016:143-144) menyatakan bahwa budaya dalam karya sastra

tiak akan terpahami utuh, tanpa mengkaitkan dengan konteks dan pemikiran

holistik. Budaya itu juga bukan fenomena pasif, melainkan dinamik, untuk

melukiskan pengalaman dunia. Pernyataan ini juga seirama dengan demokrasi

topeng, dalam puisi di atas. Demokrasi topeng biasanya serba fantastis, penuh

kepura-puraan.

Bahkan sahabatku seorang cerpenis pernah memenangkan lomba penulisan

cerpen. Judul cerpen itu Patine Sura Topeng karya Turiyo Ragilputra, artinya

meninggalnya tokoh Sura yang bertopeng. Ini merupakan kisah kepahitan di orde

baru. Ternyata, topeng-topeng itu masih ada hingga era reformasi ini. Reformasi

demokrasi masih gagal. Kalau tidak diamputasi, tetap merembet ke mana-mana.

Saya sebut demokrasi topeng. Banyak pelaku demokrasi yang bertopeng.

Maka karya-karya sastra ingin membuka topeng itu. Budaya topeng memang idah,

tetapi berbahaya. Topeng itu semu. Sastra dan budaya sering bertegur sapa. Sastra

dan politik sering berhadap-hadapan. Dengan budaya, local wisdom, penulis dapat

mempercantik sastra. Sastra menjadi semakin indah, penuh makna, karena geliat

budaya. Ketika membaca Bhagawad Gita, sastra ikut menerangi politik dan

kekuasaan.

2.33 Akan tetapi, apabila engkau tidak melaksanakan kewajiban dharmamu, yaitu bertempur, engkau pasti menerima dosa akibat melalaikan kewajibanmu, dan dengan demikian kemasyuranmu sebagai kesatria akan hilang. Bhagavad-gita 2.34

Page 23: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

12 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2.34 Orang akan selalu membicarakan engkau sebagai orang yang hina, dan bagi orang yang terhormat; penghinaan lebih buruk daripada kematian. 2.47 Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tidak berhak atas hasil perbuatan. Jangan menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat pada kebiasaan tidak melakukan kewajibanmu. Bhagavad-gita 2.48 2.48 Wahai Arjuna, lakukanlah kewajibanmu dengan sikap seimbang, lepaskanlah segala ikatan terhadap sukses maupun kegagalan. Sikap seimbang seperti itu disebut yoga.

Di situ ada demokrasi dan otokrasi seorang tokoh Kresna kepada Arjuna.

Percaturan demokrasi alam sastra wayang, sering berbaur dengan otokrasi. Saya

memandang otokrasi tidak jelek amat. Sebaliknya demokrasi juga tidak terlalu

bagus. Sebab, sastra kadang lebih hidup, banyak menawarkan nilai yang top di era

otokrasi. Di era demokrasi sastra sering gagal mengejar embun jernih kekuasaan.

Penyair KH. Mustofa Bisri melukiskan keadaan Indonesia, termasuk demokrasi

tentunya, penuh teka-teki. Meskipun penyair ini tidak menyebut topeng, namun

demokrasi ini sedang berwajah topeng.

“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” Kau ini bagaimana

Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya

Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir Aku harus bagaimana

Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai

Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai Kau ini bagaimana

Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku

kaku

Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan Aku harus bagaimana

Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku

Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku Kau ini bagaimana

Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa

Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Page 24: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 13

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Aku harus bagaimana

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya

Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain Kau ini bagaimana

Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya

dengan pengeras suara setiap saat

Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai Aku harus bagaimana

Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya

Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya Kau ini bagaimana

Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah

Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya

dengan tanah Aku harus bagaimana

Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi

Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu

A’lam Bisshowab Kau ini bagaimana

Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku

Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku Aku harus bagaimana

Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak

sendiri semaumu

Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu Kau ini bagaimana

Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis

Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis Aku harus bagaimana

Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah

Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan

mendikte saja

Kau ini bagaimana

Aku bilang terserah kau, kau tidak mau

Aku bilang terserah kita, kau tak suka

Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana

Atau aku harus bagaimana

Page 25: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

14 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

-1987-

Realitas demokrasi memang sering membingungkan. Oleh karena di jagad

demokrasi kita semakin membingungkan. Saya menjadi ingat buku tebal Cliffod

Geetz berjudul Negara Teater, yang berkisah tentang Bali. Negara teater mirip

dengan banyaknya topeng sndiwara. Agaknya, sakitnya demokrasi karena ada gaya

okhlokrasi. Yakni pemerintahan dipegang oleh rakyat demi kepentingan sebagian

orang. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh

seorang raja atau kaisar. Ada dua jenis bentuk pemerintahan monarki yaitu monarki

absolut, monarki konstitusional, dan monarki parlementer. Monarki absolut adalah

bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh raja, syah, ratu atau kaisar. Kekuasaan

penguasa tidak terbatas. Ada beberapa contoh negara yang menganut sistem ini

yaitu Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan Swaziland. Monarki konstitusional

adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja, tapi kekuasaannya

dibatasi oleh UUD atau konstitusi tertentu. Contoh negara yang pernah menganut

sistem ini adalah Jepang, Spanyol dan Denmark. Yang terakhir, monarki parlmenter

adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja, tapi kekuasaan

tertinggi ada di tangan parlemen. Contoh negara yang pernah menganut sistem ini

adalah Belanda dan Inggris.

Indonesia mencanangkan negara demokrasi. Namun sering sakit-sakitan.

Di era ini, sebut saja orde baru, sastra sering menjadi subyek yang dicemooh

sekaligus ditakuti. Pada masa Orde Baru, rezim Suharto sangat sering melakukan

pelarangan dan penarikan buku-buku karya sastra yang dianggap mendiskreditkan

pemerintah. Di Jawa ada penyair Wiji Tukul yang raib hingga sekrang. Emha

pernah dicekal. Tidak mengherankan apabila pada masa itu mustahil bagi orang

awam membaca dengan bebas karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan para

penulis ‘kiri’ lain. Karya Jawa berjudul Serat Darmagandhul dan Suluk Gatholoco

pernah dicekal, tidak boleh beredar. Yang terakhir ini, dilarang karena dianggap

berseberangan dengan religi tertentu.

Setuju atau tidak, sastra itu sebuh mata air jernih. Mata air yang

menyehatkan demokrasi. Oleh sebab itu, tidak tepat bila semua kegiatan

berkesusastraan yang dianggap tidak sejalan dengan selera, sikap dan ideologi

penguasa kemudian “dipasifkan” secara sistematis dengan cara “dimarjinalkan,

Page 26: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 15

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dilarang, dibredel, dihantam, dilibas, dihancurkan, dipenjarakan, di-PKI-kan dan

kalau perlu dihabisi. Sastra adalah tambang emas demokrasi yang sehat. Kalau

dibungkam di era demokrasi yang sudah carut marut ini,akan muncul Semar Gugat

karya dramawan N Riantiarno dan Semar Gugat karya Sidhunata. Bahkan

Sindhunata juga menciptkan penembak celeng, yang terispirasi dari lukisan Joko

Pekik.

Di era orde baru pernah muncul “sastra yang membebaskan”. Pelopornya

mas Ariel Heryanta. Dengan gegap gempita saat itu, menganggp sastra itu masih

tertindas. Waktu itu, sudah disebut era demokrasi,namun semu. Banyak konteks

“mohon petunjuk” dalam tokoh-tokoh yang raib bila mengkritik pemerintah. Di era

reformasi ini, sastra masih belum mencapai demokrasi yang sehat. Sekarang isu

multikulturalisme justru sering “digoreng” untuk menghangatkan suasana.

Multikultural sastra pun sebenarnya ada,namun belum memenuhi harapan.

D. Memahami “Signal” dan “Sinyal” Demokrasi Dalam sastra dan budaya memang butuh pemahaman (verstehen). Kunci

paham dalam padangan Weber (Geertz, 1989) adalah tafsir. Tafsir itu cair. Konsep

tafsir itu mengajari budaya “demokrasi” dalam pemaknaan. Makna tidak selamanya

tunggal, itu hakikat proses tafsir sastra dan budaya. Hal ini mengingat fenomena

sastra dan budaya itu penuh dengan “signal” dan “sinyal”.

Sastra memang penuh signal dan sinyal. Hanya orang cerdas yang mampu

memahami. Renungkan sejenak coba di kisah Adiparwa (Juyinboll, 1906) ini,

sepertinya ada demokrasi yang berkelinan dengan otokrasi. Kisahnya, sang Arunika

diuji dengan cara bersawah, sebelum diberi anugerah ilmu Dharma. Ketika biji yang

ditanamnya sedang tumbuh, hujan turun tiada henti lalu datanglah air bah yang

dapat menghancurkan pematang sawah. Arunika khawatir padinya tergenang air.

Diupayakannya berbagai cara untuk menahan air, tetapi berkali-kali jebol kembali.

Akhirnya dia menggunakan tubuhnya untuk menahan air. Direbahkannya tubuhnya

untuk menahan air, siang malam tidak bergerak dari tempatnya. Upaya kerasnya

membuahkan hasil. Dia dianugerahi kebahagiaan dan segala perkataan serta

kehendaknya akan terlaksana.

Page 27: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

16 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kekuasaan dewa, di era masa lalu memang otokrasi. Tanpa ada tawar-

menawar dengan bawahan (siswa). Namun, ternyata Arunika lolos ddari ujian itu.

Konteks ini merupakan sebuah signal dan sinyal penting. Signal itu tanda penting,

sinyal sebagai petunjuk makna. Sinyal itu ruang makna. Dari sini dapat dipetik

sinyal, antara lain: (1) orang akan ditingkatkan derajatnya perlu diuji, (2) ujian

kadang-kaang tidak bersifat demokratis, (3) usaha itu perlu, tidak harus menyerah.

Ada lagi kisah yang tiak kalah menarik alam Adiparwa (Juyinboll, 1906),

pada episode Utamanyu dan Domya. Dalam konteks ini ada hal penting yang terkait

dengan demokrasi. Coba perhatikan sebagai berikut.

Sang Utamanyu diuji oleh sang guru dengan cara menggembalakan lembu. Utamanyu menggembalakan lembu dengan sangat hati-hati. Dia menderita lapar selama menggembala, karena itu ia meminta-minta. Hasil pintaannya tidak diserahkan kepada B Domya tetapi dimakan sendiri. Domya menegur dan mengatakan bahwa tindakan itu tidak patut. Murid yang baik dan berbakti seharusnya akan menyerahkan seluruh hasil memintanya kepada gurunya, karena tidak patut menjadi makanannya. Utamanyu meminta maaf lalu keesokan harinya hasil meminta-minta diserahkan kepada sang guru. Dia meminta-minta lagi untuk makan. Domya menegurnya karena tindakan itu dianggap loba (meminta-minta sebanyak dua kali).

Keesokan harinya Utamanyu tidak meminta-minta lagi. Dia meminum sisa air susu induk lembu yang tengah menyusui anaknya. Tindakan itu juga tidak dibenarkan oleh Domya karena air susu tersebut (meskipun hanya sisa-sisa) merupakan milik sang guru. Tidak patut seorang murid mengambil milik gurunya. Utamanyu lalu hanya mengambil buih air susu yang keluar dari mulut anak lembu saat menyusu. Itu juga dianggap tidak patut menjadi makanan. Namun, anak-anak lembu itu merasa kasihan sehingga dengan sengaja memuntahkan air susu yang sudah diminumnya. Itu akan menyebabkan anak-anak lembu menjadi kurus.

Utamanyu akhirnya tidak memakan apa pun. Untuk mengatasi rasa laparnya dia menghisap getah daun waduri yang panas hingga menembus matanya. Akibatnya, dia menjadi buta. Karena buta, dia tidak dapat melihat lembu yang digembalakannya. Dia mencari-cari hingga akhirnya terjerumus ke dalam sumur mati. Pada sore hari lembu-lembu yang digembalakannya kembali tanpa Utamanyu. Domya ribut mencari muridnya hingga keesokan harinya Utamanyu ditemukan di dalam sumur mati. Utamanyu menceritakan penyebab dia terjerumus ke dalam sumur. Domya merasa kasihan sehingga Utamanyu dianugerahi mantra dewa Açwino, yaitu dokter para dewa. Mantra yang diucapkan dapat menyembuhkan kebutaan Utamanyu. Utamanyu lalu dihadiahi ilmu yang sempurna, tambahan lagi Utamanyu dianugerahi tidak akan mengalami tua.

Page 28: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 17

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kisah di atas, menurut saya sang guru menggunakan kekuasaan otokrasi.

Siswa tiak boleh menawar apa saja. Guru lebih banyak menyalahkan, biarpun itu

sebuah ujian. Pragmatika dari kisah ini memang mengngiring untuk mendidik

karakter siswa harus: (1) berbakti pada guru dan (2) berusaha keras. Di era

sekarang, tentu akan dikritik apabila demokrasi buntu. Yang menarik, tentu otokrasi

itu belum tentu jelek. Sastra mewujudkan sebuah komunikasi estetis untuk

membangkitkan kemauan manusia agar lebih beradab. Guru yang memiliki otoritas

sering member signal-signal dan sinyal tergantung kemampuan siswa menebaknya.

Jika siswa suah patah semangat, tentu akan gagal.

Belajar dari Leach (1976:23) budaya itu sebuah komunikasi, begitu juga

sastra. Komunikasi dibangun dengan menyajikan signal-signal dan sinyal. Signal

itu tanda yang otomatis membawa pesan. Signal membutuhkan sinyal (petunjuk)

untuk memaknainya. Di negeri ini, lagu Balonku masih terdengar. Lagu ini, dapat

ditafsirkkan bebas, itu signal demokratis. Makna bukan monopoli segelintir orang.

Sinyal pada puisi anak-anak itu ada sejumlah warna, ternyata itu juga dapat

ditafsirkan secara politik. Dalam puisi anak-anak itu, terbersit budaya demokrasi

juga. Sebagai sastra hiburan, lagu ini ternyata menarik. Di jagad demokrasi,

ternyata banyak memanfaatkan lagu ini. Konteks warna selalu menjadi andalan bagi

pemegang kekuasaan.

Belum lagi puisi Menanam Jagung, pernah menjadi sastra politik sejenak di

era 1998. Saat itu ada demo besar-besaran. Lagu ini yang dijadikan mascot demo

yang penuh signal, yaitu tanda-tanda untuk pelengseran rezim. Lalu di era reformasi

ketika banyak politikus yang berpakaian orange, lagu itu mencuat kembali. Koteks

signal “jagung” bisa diubah (diaransemen), diresepsi, dan ditafsirkan.Dalam istilah

Leach (1976:25) komunikasi budaya itu mengalami transformasi. Transformasi

melahirkan sinyal-sinyal baru, seperti halnya sinyalsebuah HP.

Sastra dan lagu sering hadir di negera ini. Sastra yang memperhalus

demokrasi dengan cara kritis,memang banyak dianggap membahayakan. Di banyak

negara, khususnya Uni Sovyet pernah terjadi pelarangan karya-karya sastra karena

berseberangan dengan kepentingan dan kebijakan pemerintah. Namun demikian

pasca kematian Stalin, Uni Sovyet melahirkan penulis yang dianugerahi Nobel pada

tahun 1958, Boris Pasternak. Pada awalnya karya Pasternak berjudul Doctor

Page 29: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

18 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Zhivago dapat dengan leluasa dibaca namun kemudian dilarang karena ia

mengkritik pemerintah dengan tajam. Hal ini menandai bahwa signal dan sinyal

antara sastra, budaya, dan pemerintah belum sejalan. Pemerintah sebagai penguasa,

sering berbeda tafsir, sehingga bisa “melarang” sastra beraksi lewat kata. Hal senaa

jelas sudah terjadi ddi Indonesia, di masa orde baru. Di era reformasi, pelarangan

hampir belum terdengar, kecuali bila bersentuhan dengan agama tertentu.

Signal memang kadang pelik, butuh sinyal. Signal itu tanda-tanda yang

sudah secara otomatik, misalnya lalu lintas ditandai dengan “lurus jalan terus.”

Sinyal itu petunjuk beraksi. Sinyal itu suasana yang mengijinkan. Bila memang

sinyal lengang, biarpun ada signal tanda berhenti, kadang orang mengendarai motor

jalan terus. Ada juga lampu merah, bukan lampu hijau dan lampu kuning yang

banyak dikenal. Yang sering dimaknai berbeda satu dengan yang lain.

Mari kita ingat pada kisah Mahabarata, khususnya Adiparwa (Juyinboll,

1906) ketika guru Drona, adalah guru yang khusus mengajar untuk putra-putra

Kuru. Di dalamnya ada signal dan sinyal yang perlu diserap dan ditindaklanjuti oleh

tokoh. Suatu ketika, datanglah seorang pemuda bernama Ekalavya. Pemuda

tersebut memohon agar Drona menerimanya sebagai murid. Karena Ekalavya

berasal dari golongan Nishada, golongan yang dianggap rendah, maka Drona pun

menolak menerimanya sebagai murid. Lagipula, Drona memang mengkhususkan

diri untuk mengajari ilmu perang dan persenjataan kepada para pangeran dinasti

Kuru saja. Di sinilah otokrasi yang bermain. Guru menentukan segalanya.

Merasa kecewa, sang pemuda pulang ke dalam sebuah hutan. Dibuatnyalah

patung yang menyerupai Drona dan menganggap patung itu sebagai gurunya dalam

berlatih ilmu panah memanah. Penghargaannya yang begitu tinggi kepada ilmu

panah memanah dan latihan yang tak pernah henti membuat dia menjadi seorang

pemanah yang sangat mumpuni, tiada banding. Signal yang dapat dipetik dari sini

ada dua hal, yaitu (1) belajar tidak kenal menyerah, (2) belajar mandiri itu penting,

(3) belajar memanah butuh suri tauladan. Ekalwya, adalah signal siswa yang tekun,

biarpun menghaapi otokrasi guru, tetap tidak mau menyerah. Ternyata ada hikmah

di balik sinyal-sinyal itu.

Kalau menyimak gagasan Anadon (1989:1-2) yang menyatakan bahwa

karya sastra itu merupakan pantuan kekuasaan (power), kisah Drona dan Ekalawya

Page 30: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 19

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ini juga demikian. Menurut dia, karya sastra sering mengkombinasikan berbagai

unsure, antara lain fantasi, sejarah, politik, social, dan mitos. Menurut hemat saya,

gagasan ini ada benarnya. Dalam kisah Drona ini, bercampur antara realitas

imajinatif dengan mitos serta kekuasaan. Kisah lanjutannya, suatu ketika, Drona

mengajak para muridnya ke hutan untuk berburu. Ketika sedang asyik berburu,

seekor anjing datang ke mereka dengan mulut yang tertusuk beberapa anak panah

sehingga dia tidak bisa menggonggong. Melihat kejadian itu, semua orang termasuk

Drona sangat terkejut. Menurut Drona, hal itu adalah sesuatu yang sangat jarang

dijumpai dalam ketrampilan memanah. Karena biasanya ketika memanah binatang

yang dijadikan sasaran adalah bagian jantungnya, tapi yang dijumpai kali ini seekor

anjing dikunci moncongnya dengan beberapa anak panah tanpa dibunuh.

Akhirnya, mereka mengikuti jejak anjing tersebut berasal, dan sampailah

mereka berjumpa dengan Ekalavya yang sedang belajar memanah. Arjuna adalah

orang yang paling kecewa melihat kenyataan bahwa ilmu memanah yang

dimilikinya telah dikalahkan oleh seseorang yang tidak pernah dilatih oleh Guru

yang mumpuni seperti Drona. Impiannya sebagai seorang pemanah paling handal

di kolong langit tampaknya masih jauh dari harapan. Dia menyadari bahwa

ketrampilan panah Ekalavya sangat jauh di atasnya. Resepsi estetis tokoh Arjuna

ini memang dihantui rasa iri. Rasa itu menghaddirkan kekuasaan, yang apabila

meluncur dapat berupa otokrasi dan demokrasi.

Drona kemudian mendatangi Ekalavya dan menanyakan bagaimana

caranya Ekalavya berlatih memanah sampai begitu hebat. Ekalavya yang

menyadari bahwa Drona sendiri yang datang kepadanya, menaruh hormat dengan

menyentuh kaki Drona dan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya bertemu

dengan Guru yang dikaguminya itu. Dengan senang hati, Ekalavya menceritakan

bagaimana dia berlatih keras di hadapan patung Guru Drona dan kembali meminta

Drona untuk menerima dirinya sebagai murid. Permintaan ini merujuk pada signal

“hormat” dan “kagum” pada guru, biarpun gurunya otokratis. Memang kalau

menganut

Guru Drona melihat kesungguhan hati Ekalavya tetap tidak bergeming,

bahkan dia mulai mengatur siasat kepada Ekalavya karena dia menyadari selama

masih ada Ekalavya, dia tidak bisa memenuhi janjinya kepada Arjuna untuk

Page 31: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

20 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

menjadikannya seorang ahli panah paling handal sejagad raya. Maka, Drona pun

berpura-pura mau menjadi Guru bagi Ekalavya. Sebagai syaratnya Drona akan

mengisyaratkan Guru Dakshina-nya (semacam pemberian wajib kepada Guru

sebelum pengajaran dimulai atau sebelum pengajaran diakhiri), yang harus

diberikan oleh Ekalavya kepadanya. Ekalavya yang memang mengidolakan Guru

Drona segera menyanggupi permintaan tersebut tanpa bertanya terlebih dahulu apa

yang harus diberikan kepada Guru Drona. Bahkan Ekalavya mendesak Guru Drona

agar cepat menjatuhkan titah permintaan apa yang harus diberikan olehnya kepada

Guru Drona.

Drona meminta Ekalavya memberikan jempol kanannya. Ekalavya, tanpa

berpikir panjang segera memotong jempol kanannya. Padahal hal ini

mengakibatkan Ekalavya kehilangan kemampuan memanahnya. Setelah Ekalavya

memberikan jempol kanan, Guru Drona dan murid-muridnya kembali ke tenda

mereka.

Demokrasi seorang guru rona memang pantas dipertanyakan. Mungkin

lebih tepat disebut otokrasi. Ideologi guru Drona memang unik. Dia ingin menguji,

mencelakakan, dan atau guru yang berat sebelah. Dalam konteks disiplin ilmu,

ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra. Dalam kamus A Glossary

of Literary Term (1999) yang ditulis oleh M.H Abrams, tidak terdapat tema

“ideologi” dan hanya menjadi bagian dari penjelasan definisi istilah sastra. Wacana

ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan

kekuasaan. Pertemuan antara sastra dan ideologi terjadi pada saat ilmu lain masuk

dalam analisis sastra dan konsekuensinya banyak istilah nonsastra yang diadopsi,

salah satunya adalah kata ideologi.

Menangkap makna karya sastra memang boleh beragam. Begitu juga

demokrasi dan otokrasi, sering tergantung wawasan masing-masing. Karya sastra

adalah sebuah ruang yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas”

kemanusiaan penulis. Ruang itu sendiri bukan alat dan akan berubah menjadi alat

ketika terjadi pemaknaan sedangkan pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan

penulis melainkan pembaca, entah itu pembaca secara individu, kelompok maupun

penguasa. Bila pembaca arif menyikapi makna, tentu demokrasi akan sehat. Bila

demokrasi sehat, tidak batuk, dan masuk angin, tentu negara semakin sehat.

Page 32: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 21

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anadón, José. 1989. “Power” In Literature and Society The “Double” in Gabriel García Márquez’s The Autumn of the Patriarch”. Amerika: Paper di The Helen Kellogg Institute for International Studies.

Damono, Sapardi Djoko. 1994. “Topeng” dalam Hujan Bulan Juni. Jakarta:

Grasindo Endraswara, Suwardi. 2016. “Ideologi, Cinta, Andragogi, dan Ekologi Sastra.”

Magelang: Makalah Seminar Nasional, 27 Agustus di Untidar. Forster, E.M. 1956. Aspect of the Novel. Jakarta: Balai Pustaka. Leach, Edmund. 1976. Culture and Communication. London dan New York

Melbourne: Cambridge University Press. Merriam, Sharan B. 2001. Andragogy and Self-Directed Learning: Pillars of Adult

Learning Theory. Spring 2001 Jossey-Boss. A Publishing tnit of John Wiley & Sons, Inc

Sabriah. 2014. “Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental” (Literature Work as

Mental Revolution Media). Sawerigading, jurnal Ilmiah Balai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat.

Soyinka, Wole. 1988. “Ethics, Ideology and the Critic” Edited by with an lin

"Coductory essay by Kii-sten B-olst Peitersen Per W&stbei- Afrika: Scandinavian Institute of African Studies, Uppsala.

Stefanovici, Smaranda. 2016. “Literature and Cultural Anthropology”. Rumania:

University of Tirgu Mures. Thukul, Wiji.2004. “Peringatan” dalam antologi Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang:

Tera. Trotsky, Lion. Literature and Revolution. Edited by William Keach. Translated by

Rose Strunsky. New York: Haymarketbooks.

Page 33: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 22 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MEMAKNAI DEMOKRASI SPIRITUAL DALAM TAHUN POLITIK

20181

I Ketut Ardhana2

Program Studi Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Udayana

Abstrak

Setiap kebudayaan dari masyarakat memiliki caranya sendiri dalam mengatur tatanan kehidupannya. Ini artinya setiap masyarakat sudah memiliki kemampuannya berdasarkan kearifan lokalnya dalam mengelola persoalan yang berkaitan dengan masalah harmoni maupun konflik yang ada di sekitarnya. Dalam kaitan ini masyarakat yang sudah memiliki nilai-nilai kehidupannya dapat dikatakan sebagai sebuah suku bangsa atau bangsa (nation). Akan tetapi, ketika pengaruh Barat mulai menyentuh dunia Timur, dengan berbagai pahamnya tampaknya dunia Timur mengadopsi pengaruh Barat itu yang bersamaan dengan timbulnya negara (state) yang kemudian mengambil alih peran suku bangsa yang dilakukan oleh negara modern itu. Namun demikian, bukan berarti permasalahannya selesai, karena ketika negara modern itu menjadi pilihan, maka tidak semua komunitas masyarakat dapat mencapai apa yang diinginkan dalam konteks kehidupan masyarakat yang demokratis. Pertanyaan utama yang diajukan dalam makalah ini adalah pertama, bagaimana mereka memandang kehidupan yang demokratis ini? Pilihan-pilihan interpretasi apa yang dikedepankan, ketika berhadapan dengan masalah riak-riak sosial, konflik, dan masalah disintegrasi bangsa? Ketiga pelajaran apa yang dapat dipetik dalam upaya memahami dinamika masyarakat di era modern dan postmodern ini? Inilah beberapa pertanyaan yang dibahas dalam makalah ini, dalam upaya untuk memahami secara lebih baik tentang kehidupan multikulturalisme dalam sastra dan budaya demokrasi masyarakat. Kata kunci: multikulturalisme, bangunan negara-bangsa, sastra, budaya, dan

demokrasi

I. Pendahuluan

Kata sastra pada umumnya sering dikaitkan dengan sebuah teks atau tulisan.

Namun, di era postmodern sekarang ini, kata sastra tidak selalu pada teks atau

tulisan itu, dimana di masa lalu banyak teks tersebut terdapat pada prasasti

(inscription), dimana dapat ditemui di semua lembaga penyimpanan kekayaan

peninggalan masa lalu seperti pada kesempatan untuk meninjau pada peninggaan

situs-situs masa lalu. Jadi nilai-nilai yang ada sangat inherent dengan kekayaan

pusaka budaya itu. Akan tetapi, karena perkembangan zaman, tampaknya tidak

Page 34: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 23

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

banyak masyarakat memiliki lagi nilai-nilai yang dianggap sebagai kekayaan local

genius-nya. Karena adanya perkembangan zaman modern yang sudah dimulai

tahun 1500 yang bersamaan dengan perkembangan westernisasi, modernisasi,

Islamisasi, dan Kristenisasi dan sebagainya yang telah berdampak luas pada

kehidupan masyarakat yang sudah memiliki nilai-nilai atau tatanan kehidupan yang

terbentuk pada masa sebelumnya.

Akan tetapi, tampaknya karena dinamika kehidupan baru masyarakat yang

dipengaruhi oleh modernisasi, dan bahkan westernisasi, tampak seolah-olah nilai-

nilai apa yang ada sebelumnya itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah

kuna (out of date), yang seringkali tidak dianggap sesuai dengan perkembangan

zaman (tijdgeest atau tijdgeist). Tidak dapat dipungkiri, bahwa masalah-masalah

perdebatan ini sangat berkaitan dengan persoalan politisasi agama misalnya,

sehingga masyarakat dihadapi pada kebingungan-kebingunan untuk memilih,

sementara pada saat itu, tidak banyak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi

akibat ketertinggalan dalam masalah pendidikan, tentang apa yang di dunia Barat

dikatakan sebagai nilai-nilai demokrasi.

Dalam kaitan ini, tampak apa yang dikatakan sebagai nilai-nilai adiluhung

ketimuran (Asian values), dibenturkan dengan nilai-nilai Barat (Western values)

yang belum tentu lebih baik dari apa yang diharapkan oleh masyarakat lokal, karena

mereka sendiri sudah memiliki pola panutan yang sudah dimilikinya secara turun

temurun (Eriksen, 2002: 9). Nilai-nilai ketimuran yang sering dianggap sebagai

local genius sebenarnya merupakan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang dimiliki

oleh masyarakat atau komunitas Indonesia. Akan tetapi, dengan datangnya nilai-

nilai baru atau dari luar tampaknya perlu diantisipasi dengan baik karena di satu

__________________________

1Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Sastra dan Budaya III tentang “Mengkaji Sastra dan Budaya Membangun Demokrasi yang Sehat”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana pada tanggal 28 sampai dengan tanggal 29 Maret 2018. 2 Guru Besar Sejarah Asia pada Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Udayana Denpasar.

pihak, ada yang menguntungkan, dan di pihak yang lainnya ada yang merugikan.

Ini dapat dilihat bagaimana dengan masuknya semua agama yang “diimpor” masuk

Page 35: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

24 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ke Indonesia dalam konteks dinamika sejarah Indonesia di masa lalu dan masa kini.

Perkembangan ini dibawa sekelompok masyarakat tertentu atau etnis tertentu yang

kemudian memasuki relasi yang kompetitif dalam dinamika politik dan pasaran

kerja (Ardhana, 2010: 160—163, lihat juga: Eriksen, 2002: 9). Dengan kata lain,

tidak ada satu pun agama yang dianut dan dipeluk oleh masyarakat di Asia

Tenggara pada umumnya, dan di Indonesia pada umumnya berasal dari daerah asli

Indonesia pada khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya. Ini misalnya

dapat dilihat mulai dari agama Hindu, Islam, Katholik dan Protestan, tampak

diserap dan disesuaikan dengan kondisi tanah air dan budaya Indonesia. Tidaklah

mengherankan jika, Presiden Indonesia yang pertama Indonesia Soekarno pada saat

itu mengatakan, bahwa kalau menjadi Hindu di Indonesia jangan menjadi orang

India, kalau menjadi Muslim di Indonesia, janganlah menjadi orang Arab, atau

menjadi Kristen di Indonesia tidak menjadi orang Barat di Indonesia. Ungkapan

yang dikatakan oleh Soekarno itu, tampaknya memberi semangat akan arti

pentingnya menjadi orang Indonesia.

Dalam teori terbentuknya bangsa dikatakan, bahwa sebuah bangsa atau

negara bangsa muncul ketika kesadaran tertinggi individunya diserahkan kepada

paham kebangsaan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah memang ada jaminan,

bahwa ketika negara-bangsa terbentuk, nilai-nilai individu mereka dapat dijamin

kebertahannya atau tidak? Di sinilah muncul masalah akan kekhawatiran akan

peran negara-bangsa (nation-state building), karena berdasarkan pengalaman

ketika berkecamuknya Perang Dunia II, tampak konsep negara-bangsa tidak

menjamin hak-hak individu seseorang yang telah dikebiri oleh kekuasaan otoriter

negara sebagaimana yang telah terjadi di Perancis pada masa kekuasaan Napoleon

Bonaparte, di Italia dengan Muzzolininya, dan di Jerman dengan Hitlernya.

Kebijakan pemimpin besar dari negara-bangsa itu menjurus kepada keditaktoran

absolut, yang membawa masyarakatnya ke jurang penderitaan yang telah berbekas

dalam konteks perkembangan demokrasi di negara-negara Barat yang lebih

menekankan aspe-aspek chauvinismenya.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, sangatlah perlu mengontrol dan

mengantisipasi jalannya sebuah pemerintahan agar sesuai dengan rel atau bangunan

negara demokratis, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan pemimpin masa lalu

Page 36: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 25

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang “abuse of power”, yang tidak hanya menyengsarakan kelompok

pemimpinnya, tetapi juga pada akhirnya kehidupan masyarakat di akar rumput

(grass roots). Bagaimana misalnya dalam historiografi nasional Indonesia yang

masih berkiblat pada Javwanisme yaitu banyaknya generasi muda yang belajar ke

Jawa, dan banyak pula guru-guru Jawa yang mengajar di luar Jawa, sehingga

sejarah misalnya semakin sulit terlepas dari perspektif Jawanisme misalnya

(Kurniawan, 2017: 209—210).

Dengan demikian, pertanyaannya adalah adakah masih nilai-nilai

demokrasi yang sudah berakar di masa lalu pada masyarakat asli kita atau memang

sudah lapuk atau usang dimakan zaman, sehingga masyarakat kita kehilangan

fondasi peradaban dan kebudayaannya. Berbicara tentang keaslian nilai-nilai

(genuine), seringkali pula kurang laku di mata orang awam, dengan pengertian,

apakah ketika kita berbicara tentang nilai-nilai keaslian ini, hanya berkaitan dengan

aspek sosial budaya, atau tidak bersinggungan dengan masalah nilai-nilai yang

fundamental dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu tampaknya

tidak, karena di samping masalah sosial budaya, tampak aspek kehidupan

demokrasi yang lebih dikenal dengan “spiritual democracy” yang diharapkan akan

mampu merekat komunitas atau masyarakat yang telah menjadi terbelah-belah

sebagai akibat dampak westernisasi dan globalisasi. Oleh karena itu, Stiglitz (2007:

171) berpendapat: “with full global economic integration, the world will become

like a single country, and the wages of unskilled workers will be the same

everywhere in the world, no matter where they live. Namun demikian yang perlu

dicermati sebagai dampak adalah jika tidak diantisipasi secara cerdas, maka di satu

pihak dapat mengintegrasikan kepentingan global, namun di pihak yang lainnya,

ternyata menyebabkan terkikisnya fondasi kebudayaan dan peradaban masyarakat

di Nusantara ini. Di sinilah signifikannya makna pendidikan bagi generasi muda

sebagai generasi penerus bangsa dalam memelihara dan mempertahankan

bangunan negara-bangsa yang sudah terbentuk itu (Sulistyani, 2011, 77-103).

II. Kosmologi, Lokal Genius, dan Nilai-nilai Demokrasi

Aspek sosial budaya dan politik masyarakat di Nusantara pada khususnya

dan bahkan di belahan dunia yang lain yang disebut memiliki masing-masing

Page 37: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

26 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

“ancient culture”-nya sejak masa prasejarah (prehistoric time), tampaknya

memiliki aspek kesamaan dalam pengertian bagaimana mereka

menginterpretasikan tentang adanya nilai-nilai demokrasi yang paling awal yang

sudah berakar di masyararakatnya. Simbul tentang matahari yang dianggap sebagai

Dewa Surya atau setelah masuknya agama Hindu disebut dengan Sanghyang Surya

dianggap memiliki nilai-nilai yang dapat memberikan rasa keadilan kepada umat

manusia. Makna yang terkandung di dalamnya adalah rasa kesamaan atau keadilan,

dimana Sang Surya menyinari semua yang ada di bumi tanpa pengecualian, baik

terhadap yang kaya dan miskin, dan sebagainya.

Bahkan, ketika menyebarnya kebudayaan Hindu dari daratan India di Asia

Selatan, seperti di Jepang yang dikenal sebagai “Negeri Matahari Terbit”,

dikaitkanlah bagaimana nama etnis Sinto yang dikaitkan dengan adanya pengaruh

dari aspek budaya India yaitu dengan kata “Sinta”. Nama Sinta pada kata Dewi

Sinta yang berpasangan pada tokoh Rama sebagaimana diketahui adalah nama

tokoh penting dalam cerita epik India yang dikarang oleh Valmiki yaitu, Ramayana

yang menjadi cerita epos penting selain karya Bagawan Wyasa, Mahabharata.

Menurut catatan kesejarahan disebutkan, bahwa Ramayana lebih tua dibandingkan

dengan Mahabharata (1400 SM sampai 1000 SM) yang kedua epos tersebut

mengandung uraian tentang adat istiadat kebiasaan masyarakat dan pemerintahan,

peradaban dan kebudayaan manusia di masa lalu (Pendit, 1965: xi). Nilai-nilai

keunggulan tersebut tampak banyak berpengaruh pada tatanan politik dan

kemasyarakatan di Indonesia.

Konsep kosmologi dan kosmogoni tampaknya sudah mengakar kuat dalam

kehidupan masyarakat yang sudah dipengaruhi oleh budaya Hindu atau India ini,

dimana berdasarkan konsep ruang tidak hanya ruang dikelompokkan menjadi

tempat para dewa, tetapi juga ruang juga diberikan kepada mahluk-mahluk yang

berada di dunia bawah. Dalam kaitan ini adanya konsep gunung-laut (sacred and

unsacred places), dimana gunung tempat bersemayamnya para dewa dan di laut

tempat mahluk yang dianggap sebagai oposisi dari peranan yang dimainkan oleh

para dewa. Di sini dapat dilihat adanya pemberian rasa kesamaan dan keadilan

dalam kaitannya dengan kosmologi ini. Dalam masa-masa selanjutnya konsep ini

yang kemudian dikenal dengan rwabhineda seperti utara-selatan, baik-buruk, skala

Page 38: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 27

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dan niskala, dan sebagainya. Di sini tampak adanya perkembangan kepercayaan

masa tradisi prasejarah dengan adanya pengaruh agama Hindu sebagaimana yang

terjadi pada masa selanjutnya.

Dalam kaitan ini penting melihat selain aspek kosmologi dan kosmogoni

yang ada dengan melihat pada aspek mitos yang berkembang di masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa mitos itu bersifat nyata dan tidak nyata atau skala

dan niskala (real dan unreal). Artinya ada mitos yang tidak dipercayai makanya

disebut sebagaitahayul, sementara ada mitos yang bersifat nyata (real), dimana

masyarakat meyakini akan kebenarannya. Untuk itu nilai-nilai demokrasi yang

dikaitkan dengan lokal genius atau kearifan lokal dapat dilihat pada cerita tentang

Men Brayut, yang memiliki 18 anak, dimana Men Brayut dapat berlaku adil

terhadap anak-anaknya. Di siini ditekankan nilai-nilai keadilan yang hendaknya

dapat dicermati oleh masyarakat dimana patung tentang Men Brayut itu dipuja

terutama di kawasan Kabupaten Gianyar. Ini artinya masyarakat Bali, jauh sebelum

masuknya nilai-nilai Barat tentang demokrasi, konsep tentang nilai-nilai keadilan

sudah ada di Bali yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai lokal dengan ajaran

agama Budha yang berkaitan dengan kepercayaan pada pemujaan kepada Dewi

Hariti. Di sini tampak adanya perpaduan antara kepercayaan lokal antara

kepercayaan masa tradisi prasejarah dengan adanya pengaruh agama Budha.

Di sini dapat dilihat, bahwa tradisi kepercayaan kepada Sang Surya yang

hampir terdapat di sebagian besar belahan dunia menjadi sebuah kekayaan atau

kearifan lokal (local genius) yang tampaknya berkembang dari dahulu hingga

sekarang. Demikianlah dari contoh-contoh di atas dapat dilihat adanya nilai-nilai

demokrasi itu yang tersurat dalam berbagai peninggalan pusaka budaya masyarakat

Indonesia sebagaimana yang terdapat pada lontar-lontar yang berkaitan dengan

filsafat kehidupan yang memberikan penjelasan tentang makna matahari atau dewa

surya, cerita Men Brayut sebagaimana masih dapat dilihat pada patung-patung Men

Brayut di kawasan cagar budaya dan sebagainya. Pertanyaannya adalah bagaimana

peran negara dapat berkontribusi terhadap nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya

sudah ada di komunitas lokal tersebut?

Bagaimana pula dapat memanfaatkan situs-situs yang sarat dengan kesucian

sebuah agama tertentu – yang secara dikategorikan sebagai sebuah situs cara

Page 39: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

28 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

budaya atau (cultural heritage sites) -- untuk dapat dikembangkan dan

dimanfaatkan. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh umat agama tertentu seperti

penganut agama Hindu yang berada di luar Bali seperti di Jawa misalnya, untuk

megharapak kepada pemerintah daerah dan pengusaha agar memikirkan

keefektifan terhadap penanganan masalah-masalah keagamaan untuk tidak

menimbulkan “social and political tension” di kalangan masyarakat.

III. Kearifan Lokal dalam Konteks Bangunan Negara-Bangsa

Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, bahwa sejak kedatangan pengaruh

luar ke wilayah Nusantara seperti perkembangan agama-agama, pengaruh Barat

melalui kolonialisme dan imperialisme tampaknya telah membawa pengaruh pada

perkembangan komunitas lokal di Indonesia. Terjadinya pergeseran atau cara

pandang tentang kehidupan (way of life) dari masyarakat, karena dinamika sosial

budaya, politik dan ekonomi yang terjadi. Masyarakat lokal diberikan alternatif atau

pilihan-pilihan yang di satu pihak, tampaknya mengintegrasikan dengan tradisi dan

budaya lokal, namun di pihak yang lainnya, komunitas lokal mulai dipengaruhi

yang secara sadar atau tidak telah berpengaruh terhadap prilaku dan nilai-nilai

kearifan yang sebenarnya sudah dimilikinya sejak lama. Dalam hal ini termasuk

tatanan atau nilai demokrasi yang dimiliki sejak dahulu tampaknya mulai

dilupakan.

Terdapat ruang bagi pengaruh Barat untuk mengisi dan mempengaruhi

dinamika yang ada di masyarakat lokal. Dalam ruang yang terbuka inilah terjadinya

proses pengikisan nilai-nilai budaya atau demokrasi yang pernah ada di masyarakat,

sehingga secara sadar atau tidak masyarakat mulai melupakan secara perlahan-

lahan kearifan yang dimilikinya itu, dan mulai menerima pengaruh-pengaruh

budaya dan nilai-nilai demokrasi dari luar.

Diskursus yang berkembang bahwa sejak era kolonial secara intrinsik

masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat yang damai. Bahkan,

gambaran Belanda mengenai orang Jawa sebagai “manusia yang paling lembut di

muka bumi” (het zachste volk ter aarde) yang dianggap ada pada akbad ke-18,

padahal penuh bersimbah darah akibat peperangan, dan juga masyarakat Bali

sebagaimana dituangkan dalam lukisan-lukisan yang berkaitan dengan masalah

Page 40: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 29

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kepariwisataan yang mengesankan bahwa kekerasan dan konflik dapat terjadi di

Indonesia hanya sebagai akibat intervensi dari luar (Cribb, 2005: 47).

Inilah yang digambarkan oleh Henk Schulte Nordholt terhadap

perkembangan Bali yang dianggapnya sebagai sebuah “benteng yang terbuka”. Di

sini tampak, masyarakat lokal sulit mengendalikan pngaruh-pengaruh luar yang

dianggapnya sebagai pengaruh global yang membawa polusi kebudayaan (Picard,

1999: 15, cf. Sulanjari dan Ardhana, 2017a), sementara di pihak yang lainnya, yaitu

peran negara tampak belum secara maksimal memainkan perannya. Sejak

dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945, memang

masyarakat secara teoretis menurut konsep nasionalisme negara-bangsa sudah

menyerahkan sebagian besar kesadaran tertingginya kepada negara. Negara seolah-

olah memiliki kekuasaan autonomi tentang masalah demokrasi sejak

dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia itu, dan tampaknya masyarakat tidak

sepenuhnya menyadari akan hak-hak yang pernah dimilikinya itu. Padahal menurut

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terdapat beberapa pasal di antaranya pasal 27

yang menyangkut masalah hak-hak kewargangaraan itu.

Akan tetapi, hal berkaitan dengan kewarganegaraan ini tampaknya tidak

berjalan mulus, karena sejak kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun (1968—1998)

yang dimulai dengan era reformasi tampaknya kekuasaan otonomi yang ada itu

melekat di pemerintah pusat, sementara masyarakat di pinggiran seperti di wilayah

perbatasan (remote and underdeveloped region) yang jauh dari pusat perkotaan,

merasa terabaikan oleh kebijakan pemerintah pusat. Ketika begitu kuatnya

pemerintah pusat yang berorientasi pada stabilitas, pembangunan, dan modernisasi

(Wiener, 1999: 62), pertanyaannya adalah bagaimana dengan kehidupan

masyarakat di daerah yang terpinggirkan, terisolasi dan termiskinkan itu? Di sinilah

pentingnya memahami tentang bagaimana sastra itu tidak dimaksudkan hanya

berkaitan dengan masalah-masalah budaya tulis (written sources), tetapi juga

berkaitan dengan masalah budaya lisan atau tradisi lisan (oral tradition atau

unwritten sources) yang masih hidup dan melekat di kalangan masyarakat

pendukungnya. Contoh menarik yang perlu diungkapkan di sini adalah dengan

melihat tentang apa yang terjadi di masyarakat perbatasan, dimana lokasinya yang

jauh letaknya dari perkotaan dan hingar-bingarnya kehidupan masyarakat

Page 41: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

30 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

perkotaan yaitu pada kehidupan masyarakat lokal di kawasan Long Pasia di

perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur di Pulau Kalimantan. Ketika ada

riak-riak atau konflik di wilayah perbatasan Indonesia di Pulau Sipadan, Pulau

Ligitan dan Blok Ambalat tampak hubungan Indonesia dan Malaysia yang terjadi

di akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, menjadi tidak harmonis. Ini terjadi

karena berbeda halnya dengan wilayah yang dijajah oleh pemerintah Inggris untuk

pulau-pulau yang menjadi daerah koloninya dibangun sebuah mercusuar.

Sementara bagi Belanda untuk daerah koloninya tidak dibangun mercusuar

sehingga ketika ada gejolak perbatasan seperti ini, Indonesia memiliki kelemahan

karena tidak adanya bukti bangunan mercusuar tersebut. Akan tetapi, apa akibatnya

kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan yang sudah ribuan tahun sejak masa

prasejarah, sejarah klasik, hingga sejarah modern menjadi tercerai-berai akibat

persoalan-persoalan antar negara yang mau tidak mau menyentuh kehidupan

masyarakat lokal di wilayah perbatasan?

Dari gambaran tersebut di atas dapat dicermati, bahwa meskipun terjadi

persoalan di tingkat negara antara dua negara Malaysia dan Indonesia, akan tetapi

kehidupan masyarakat di akar rumput tampaknya harmonis. Di Long Pasia yang

berada di wilayah perbatasan sangat percaya akan adanya kekuatan spiritual yang

berada pada sebuah batu peninggalan situs purbakala yang berada di wilayah

pegunungan. Batu besar yang ada di wilayah perbatasan itu, diyakini memiliki

kekuatan sehingga banyak penduduk datang mengadakan acara ritual yang

dikunjungi tidak hanya oleh komunitas yang tinggal di wilayah perbatasan

Indonesia, tetapi juga dari mereka yang berasal dari perbatasan Indonesia. Batu ini

bukan merupakan “teks”, akan tetapi di kalangan Ilmu Kajian Budaya (Cultural

Studies), batu ini yang dianggap sebagai teks yang memiliki atau menyimpan pesan

yang dapat disejajarkan dengan sebuah teks. Batu itu merepresentasikan sebuah

pesan yang memiliki makna adiluhung bagi masyarakat sekitarnya, dimana mampu

mengintegrasikan rasa persatuan di antara komunitas yang ada. Dengan adanya

indikator budaya yang merupakan asset perekat (social cohesion) di antara mereka,

sangat memungkinkan mereka hidup merasa aman, jauh dari pertikaian antara dua

negara yang berkaitan dengan masalah perbatasan, di antaranya illegal logging,

Page 42: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 31

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

penguatan persoalan hukum, hubungan bilateral, persoalan-persoalan sosial politik

(Pongtuluran, 2013: 544).

Bagaimana misalnya mereka dalam sebuah acara adat saling kunjung

mengunjungi, menjadi pemersatu dalam setiap kegiatan merupakan sebuah

kekuatan yang menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mempertahankan dan

melakukan aktifitas keidupannya secara berkelanjutan. Pertanyaannya mengapa

demikian? Ini terjadi karena tampaknya masyarakat di perbatasan sudah memiliki

relasi sosial yang kuat yang berbasis pada landasan kehidupan yang sudah terbentuk

pada masa prasejarah, sejarah klasik, hingga sejarah modern yang berdasarkan

kearifan lokal yang sudah mengakar sejak masa nenek moyangnya.

Dengan adanya relasi sosial dan masyarakat menganggap, bahwa dengan

sebuah batu besar yang ada di sekitar mereka antara dua wilayah yang memiliki

batas negara yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia (Ardhana, 2017). Dengan

pemahaman ini maka dapat dikatakan, bahwa batu yang bukan merupakan teks,

namun dapat dianggap sebagai teks yang mampu menyatukan di antara kedua etnis

yang berbeda maka ini merupakan suatu yang perlu dipertahankan dalam konteks

pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable development).

Dari pengalaman ini dapat dikatakan, bahwa masyarakat atau komunitas

setempat tidaklah terlalu masalah dengan berbagai riak-riak politik yang terjadi di

tataran kehidupan bernegara (state building). Akan tetapi, apa yang dilakukan

kelompok komunitas dengan adanya pembuatan representasi hal-hal yang dapat

menyatukan mereka dalam konteks bangunan suku bangsa (nation building),

meskipun mereka berbeda warga kenegaraan, tampaknya memiliki makna yang

penting yang melampaui batas-batas wilayah negara (border linkage).

Dengan demikian, betapa perlunya penguatan budaya dan identitas lokal

yang dimiliki oleh penduduk yang menghuni wilayah perbatasan Indonesia yang

berada di sepanjang perbatasan dengan negara-negara di Asia Tenggara, terutama

dalam kaitannya dengan bangunan negara-bangsa (nation-state building). Ini

dimaksudkan dengan melihat sitem nilai yang dijadikan pedoman, pola-pola

hubungan antar etnis, bentuk ketergantungan satu dengan yang lainnya, sehingga

apabila terjadi beberapa riak kecil di perbatasan akan dapat diantisipasi dengan

baik, dan dapat diberikan alternatif penyelesain permasalahannya.

Page 43: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

32 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

IV. Kearifan Lokal, Demokrasi Spiritual di Kawasan Regional ASEAN

Pemikiran ke arah menemukan nilai-nilai demokrasi spiritual tampaknya

sangat signifikan dalam keberlanjutan komunitas di Indonesia, mengingat akhir-

akhir ini karena berkembangnya arus modernisasi dan globalisasi tampaknya

berpengaruh kuat dalam konteks penguatan jati diri suku bangsa di Indonesia.

Banyak daerah yang mulai sadar untuk menemukan kembali jati diri mereka setelah

cukup lama kehilangan arah dalam keberlanjutan kehidupan mereka. Ini menjadi

masalah karena hampir sebagian masyarakat Indonesia pada khususnya, dan

masyarakat Asia Tenggara pada umumnya yang memiliki budaya multikultur. Ini

menunjukkan bahwa meskipun ada upaya mengarah pada pembangunan

masyarakat yang monokultur, akan tetapi kenyataan sejarah berbicara lain.

Inilh sebabnya pula mengapa dalam konteks hubungan negara dengan

negara mengantispasi persoalan yang berkaitan dengan monokulturalisme dan

berusaha mengembangkan kehidupan yang multikultur. Namun demikian,

pemahaman tentang multikultur ini hendaknya jangan di masyarakat bawah saja,

tetapi penguasa dalam hal ini pemerintahan hendaknya memahami makna dari

kehidupan yang multikultur itu. Dalam hal ini, hendaknya dipahami dan diberi

ruang gerak bagi keberagaman atau kebhinekaan dalam konteks kehidupan

berbangsa dan bernegara. Apabila ruang ini tidak tersedia, bagaimana pun baiknya

sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dibuat, maka gangguan-gangguan

stabilitas dalam bentuk resistensi akan muncul.

Tidak hanya di tingkat nasional, bahkan di tingkat regional, keinginan atau

desakan membuat kerjasama regional dalam kaitannya dengan keberagaman, hak

azasi manusia telah dikedepankan. Seperti organisasi di tingkat regional ASEAN

(Association of Southeast Asian Nations) misalnya yang dibentuk pada tahun 1967,

tampaknya ketika didirikan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan-

permasalahan sosial budaya, ekonomi, dan politik yang belum memberikan

jawaban yang optimal terkait berbagai dinamika yang terjadi di tingkat kawasan

regional. Sementara itu, berbagai permasalahan berkaitan dengan kasus-kasus

intoleransi banyak terjadi sebagaimana yang terjadi dengan masalah pengungsi

Page 44: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 33

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Rohingya akhir-akhir ini. Bagaimanapun juga ASEAN harus memainkan perannya

dalam mencarikan solusi sebagaimana yang terjadi itu.

Di sinilah pentingnya pemahaman akan upaya menyatukan persepsi tentang

bagaimana kita memaknai keberagaman masyarakat di kawasan ASEAN.

Seringkali terjadi pertemuan antar negara tingkat pemerintahan, namun

pembahasan yang dilakukan oleh kelompok ahli, ilmuwan, akademisi seringkali

jarang dilakukan dibandingkan dengan apa yang dibahas di tingkat pemerintahan

antar negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, perlu melibatkan secara optimal,

tidak hanya hubungan antara pemerintah dengan pemerintah atau government to

government (G to G) saja, apabila pertemuan di tingkat ASEAN itu dilsanakan,

akan tetapi, peran komunitas dengan komunitas (community to community) yang

lain dalam kaitannya dengan masalah keberagaman di kawasan ASEAN perlu

dimantapkan. Sebagaimana dinyatakan pada awal berdirinya ASEAN (Dewi

Fortuna Anwar, 1994: 45):

“Indonesia has also had to refurbish its image abroad and convince the West that the new government was really worth supporting. Participation in

regional co-operation was, therefore, also intended by the New Order leaders

to convince the Western countries that their assistance to Indonesia would not

be wasted. Indonesia’s involvement in a regional association was intended to show that the country would no longer be a source of conflict in the region and

a threat to neighbouring countries. Regional co-operation could be seen as a

further proof that the Indonesian Government would devote its energies and

resources to internal development rather than to the pursuit of an adventurous

foreign policy.”

Hingga saat ini, hubungan komunitas dengan komunitas apakah itu

komunitas di bidang keilmuan tertentu dilakukan oleh komunitas itu sendiri yang

bersifat lintas negara atau wilayah. Misalkan dalam kaitannya dengan masalah

pembahasan kebudayaan kuno (ancient culture), hak azasi manusia, gender,

kearifan lokal dan sebagainya. Ini penting untuk dicermati, bahwa sebelum

masuknya agama-agama besar ke sebuah wilayah di dunia, penduduk lokal sudah

memiliki pola pengelolaan sumber alam mereka seperti bagaimana mereka

menghargai sinar matahari, air, api, sebagai sesuatu yang melekat dengan

kehidupan keseharian mereka (cf. Hezri, 2016: 65—71, Ardhana, 2016). Berbagai

kegiatan yang menghormati kekayaan alam semesta ini perlu dilakukan, sehingga

mereka memahami bagaimana sebenarnya memiliki kesamaan-kesamaan dalam

Page 45: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

34 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

menjaga kelestarian alam secara berkelanjutan (cf. Ardhana et al., 2017b; Falyey,

2015: 121—137). Pembahasan-pembahasan masalah ini sering ditangani oleh

komunitas di bidang tersebut. Akan tetapi, apa yang dilakukan itu sering tidak

korelatif dengan apa yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah antar

negara di tingkat ASEAN.

Contoh yang lain misalnya pembahasan masalah demokrasi spiritual (spiritual

democracy) yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan demokrasi politik juga tidak

banyak dilakukan. Padahal pembahasan demokrasi spiritual jauh lebih penting,

ketimbang membahas demokrasi politik. Apakah yang dimaksudkan dengan

demokrasi spiritual itu? Demokrasi spiritual adalah dirumuskan sebagai berikut:

“Grounded in the reality that we all inhabit a living conscious Universe, we

can all take the journey to find inner knowledge, attain the goal of that

knowledge, come back and transform ourselves, and then take action for the

benefit of our own lives, the life of our species, and the life of the Earth.” https://www.planetaryphilosophy.com/wp-content/uploads/2017/05/

SPIRITUAL-DEMOCRACY.pdf. Diakses 11 Februari 2018, pkl 16.42.

Demokrasi spiritual didasari pada pemahaman, bahwa kita hidup di bumi

yang sama memiliki kesadaran akan pentingnya hidup bersahabat dengan alam dan

semua mahluk yang ada di sekitarnya. Untuk itu, sesuai dengan tujuan dari ilmu

pengetahuan itu sendiri adalah hendaknya kita mampu mentransformasikan diri kita

dan mengambil tindakan untuk kepentingan kehidupan semua mahluk dan

keberlanjutan kehidupan di planet bumi ini.

Dalam konteks pelaksanaan pemilihan kepala daerah (PILKADA)

sebagaimana terjadi di tahun 2018 yang dianggap sebagai “Tahun Politik”,

tampaknya kaitan antara demokrasi politik tidak terlepas dari demokrasi spiritual.

Untuk itu, betapa pentingnya para figur politik yang bertarung di tahun politik ini

tidak hanya mengedepankan demokrai politiknya semata, tetapi lebih memberikan

apresiasi pada bagaimana demokrasi spiritual hendaknya diaplikasikan.

Kearifan-kearifan lokal masyarakat yang bersifat universal perlu

dikedepankan, sehingga di tahun politik ini riak-rial social politik, dengan berbagai

dinamikanya hendaknya dapat diantisipasi dengan baik. Terlebih-lebih dalam

kehidupan masyarakat yang sangat kental dengan ideologi primordialismenya

tampaknya pemahaman dan pembahasan masalah demokrasi spiritual agar

Page 46: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 35

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dilakukan lebih komprehensif dan komparatif. Ini tentu perlu disesuaikan dengan

etika politik yang berkembang di masyarakat kita (Suseno, 2003; 12).

V. Simpulan

Dengan pembahasan ini diharapkan, bahwa pelaksanaan kegiatan pesta

demokrasi di tahun politik ini, hendaknya menekankan pula bagaimana demokrasi

spiritual hendaknya dapat dilaksanakan dengan baik. Ini sangat penting dalam

konteks mengingatkan masyarakat atau komunitas tertentu tentang arti pentingnya

keberagaman, adanya konektifitas atau relasi sosial yang sudah terjalin di masa lalu,

sekarang, dan masa yang akan datang.

Berbagai potensi budaya lokal merupakan modal sosial dan modal budaya

yang sama pentingnya dengan modal politik, dimana masyarakat harus mampu

secara cerdas dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi. Dengan bekal

kualitas pemahaman yang dimilikinya, diharapkan bahwa kita hendaknya mampu

mengurangi riak-riak di akar rumput masyarakat dalam konteks pelaksanaan

PILKADA yang sehat, bersih, dan transparan menuju pembangunan masyarakat

yang harmonis dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut. 2018. “The Feminism Deities in the Balinese Society: Local Genious, Indian Influences, and Its Worship. Makalah dipresentasikan pada Konferensi Internasional tentang Exploring Devinity through the Feminine in

Ancient Cultures, Mumbai-India, January 31th to February 4. Ardhana, I Ketut. 2017a. “Border Area between Nunukan Regency and Tawau-Sabah”, Makalah dipresentasikan pada Konvension Internasional ke-10, The Tenth International Convention of Asia Scholars, July 20-23, Chiang Mai University, Thailand.

Ardhana, I Ketut. Sulanjari, I Ketut Setiawan, A.A. Rai Wahyuni. 2017b. Pura

Besakih, Candi Sukuh, dan Candi Cetho: Persamaan, Perbedaan Arsitektur, dan

Indigenisasi Budaya di Bali dan Jawa Tengah. Denpasar: Universitas Udayana.

Ardhana, I Ketut. 2016. “Religious Teachings on Sustainability in the Context of Hinduism in Bali”, paper presented at the Asian Conference, A Call to Dialogue on the Sustainabilty of Life in the Asian Context, held by the JCAP (Jesuit Conference of Asia Pasific) at the University Sanata Dharma Yogyakarta, from August 8 to 10.

Page 47: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

36 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ardhana, I Ketut dan Yekti Maunati (et al.). 2010. Kontestasi Identitas dan

Diaspora Bugis di Wilayah Perbatasan Kalimantan Timur-Sabah. Jakarta: LIPI Press.

Cribb, Robert. 2005. “Pluralisme Hukum, Desentralisasi, dan Akar Kekerasan di Indonesia”, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith dan Roger tol (eds.). Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan

Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: LIPI, LASEMA CNRS, KITLV.

Dewi Fortuna Anwar, 1994. Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism. New York dan Singapore: St. Martin’s Press and Institute of Southeast Asian Studies.

Falyey, Lindsay. 2015. Understanding Southeast Asia: Syncretism in

Commonalities. Thailand: Thaksin University Press.

Pongtuluran, Yonathan. 2013. “Developing Economy in the Border of East Kalimantan”, dalam Academic Research International, Volume: 4, Number: 4, July 2013.

Eriksen, Thomas Hylland. 2002. Ethnicity and Nationalism: Anthropological

Perspectives. London: Pluto Press. Hezri, Adnan A. 2016. The Sustainability Shift: Refashioning Malaysia’s Future. Kuala Lumpur-Malaysia: Institute of Strategic and International Studies. https://www.planetaryphilosophy.com/wp-content/uploads/2017/05/SPIRITUAL-

DEMOCRACY.pdf. Diakses 11 Februari 2018, pkl 16.42.

Page 48: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 37 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN DALAM SASTRA TUTUR

BAGAWAN KAMANDAKA: ANALISIS PERCAKAPAN

Oleh

I Nyoman Suarka

Program Studi Sastra Jawa Kuna, FIB, Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penulisan artikel ini bertujuan mengangkat topik pemimpin dan kepemimpinan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka sebagai sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya dalam memilih calon pemimpin, baik dalam Pilkada serentak kabupaten/kota dan provinsi 2018 maupun Pilres dan Pileg 2019. Artikel ini menggunakan sumber data berupa teks tutur Bagawan Kamandaka. Karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode simak, yakni dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam teks tutur Bagawan Kamandaka. Penerapan metode simak dalam upaya pengumpulan data dibantu dengan teknik sadap dan teknik catat. Penerapan teknik sadap dilengkapi dengan teknik catat, yakni data yang telah terkumpul dicatat dalam kartu data agar mudah diklasifikasi dan tidak hilang. Analisis data menggunakan metode deskriptif-analitik berlandaskan teori analisis percakapan (AP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks tutur Bagawan Kamandaka merupakan wacana percakapan yang terdiri atas unsur-unsur pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan giliran, pengaturan topik, serta penerimaan informasi. Topik pemimpin dan kepemimpinan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka layak dijadikan sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat dalam memilih calon pemimpin. Kata kunci: pemimpin, kepemimpinan, analisis percakapan

Pendahuluan

Prihěn těměn dharma dhumāranang sarāt, sarāga sang sādhu sireka tūtana, tan-artha tan kāma pidonya tan ya a, ya akti sang sajjana dharma rāksaka

Sakā nikang rāt kita yan wěnang manūt, manûpade a prihatah rumāksa ya, ksayā nikang pāpa nahan prayojana, janânurāgâdi tuwin kapangguha

(Kakawin Rāmâyana, Sargah ke-40, Wirāma Wang asta)

Page 49: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

38 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Terjemahannya: Usahakanlah kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dalam memimpin pemerintahan, Orang berbudi luhur pantas dijadikan tauladan, Bukan harta, bukan nafsu menjadi tujuannya, bukan pula mengejar jasa, Kekuatan seorang cendekiawan karena memegang teguh prinsip kebenaran. Kau akan menjadi saka dunia jika mampu menuruti ajaran Manu yang wajib diusahakan untuk menjaganya, mengenyahkan penderitaan rakyat itulah menjadi tujuan, menjadi tauladan utama masyarakat, itulah sejatinya kau aktualkan.

Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik bagi bangsa dan Negara

Indonesia. Pilkada serentak dilakukan di sejumlah daerah kabupaten/kota dan

provinsi di Indonesia. Pada tahun 2019 bangsa Indonesia melakukan Pilpres dan

Pileg. Rakyat Indonesia dituntut memilih pemimpinnya yang mampu membawa

rakyat kepada kehidupan yang lebih baik. Para kandidat pun ramai-ramai unjuk gigi

berkampanye, menarik simpati rakyat dengan berbagai cara. Bahkan adakalanya

dengan menghalalkan segala cara (kasus ijazah palsu, politik uang, menebar ujaran

kebencian, berita bohong, dan bentuk-bentuk kampanye hitam lainnya).

Bait-bait Kakawin Rāmâyana di atas yang kerapkali dilantunkan para Sekaa

Pasantian manakala melakukan mabebasan, pantas dijadikan sumber inspirasi bagi

rakyat Indonesia dalam memilih seorang pemimpin. Jika diresitasikan, alunan

Wirama Wangsasta/Swandewi itu akan memberikan vibrasi dan inspirasi bagi para

penikmatnya. Seorang pemimpin ideal diharapkan mampu memegang teguh prinsip

dharma. Dharma memiliki arti, antara lain kebenaran, keadilan, kebajikan, sopan

santun, norma, hukum (Zoetmulder dkk., 1995:197). Dharma merupakan harga

mati bagi seorang pemimpin ideal. Lebih jauh, seorang pemimpin yang baik tidak

perlu merasa sungkan meneladani sikap dan perilaku orang sadhu dan bahkan wajib

menjadikan dirinya sebagai orang sadhu. Orang sadhu adalah orang yang memiliki

budi luhur dan berpikiran suci (Zoetmulder dkk., 1995:974). Keluhuran budi dan

kesucian hati menjadi landasan mulia bagi seorang pemimpin sehingga harta, nafsu

asmara, ataupun jasa bukan menjadi tujuannya. Sekali lagi ditegaskan bahwa

seorang pemimpin akan memiliki kekuatan dan kompetensi kepemimpinan jika

memegang teguh prinsip dharma. Meminimalisasi kemiskinan dan penderitaan

Page 50: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 39

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

rakyat (ksayā nikang pāpa nahan prayojana) itulah menjadi tujuan utama seorang

pemimpin, bukan memperkaya diri (tan artha), bukan mengumbar nafsu asmara,

bermain wanita (tan kāma), bukan mengejar jasa berkedok bantuan hibah (tan

ya a). Sungguh mulia dan amat menginspirasi pesan-pesan kepemimpinan yang

diamanatkan Kakawin Rāmâyana. Jika pesan itu benar-benar dapat diejawantahkan

dalam praktik kepemimpinan di Indonesia, maka bangsa dan Negara Indonesia ini

akan menjadi contoh negara madani yang akan diteladani dunia (janânurāgâdi

tuwin kapangguha).

Di samping Kakawin Rāmâyana, dalam khazanah sastra tradisional masih

bertebaran sastra bernuansa ajaran kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang

pantas digali dan dijadikan sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat

Indonesia dalam melakukan pesta demokrasi. Salah satu di antaranya adalah sastra

tutur Bagawan Kamandaka. Konsep pemimpin dan kepemimpinan yang dimuat

dalam sastra tutur Bagawan Kamandaka masih luput dari perhatian masyarakat luas

ataupun para peneliti yang memokuskan perhatian pada persoalan pemimpin dan

kepemimpinan tradisional. Karya sastra yang seringkali diangkat para peneliti

terdahulu (Mahendra, 2001; Darma, 2017) berkisar di antara Kakawin Ramayana,

Geguritan Rajasasana /Rajanithi, dan Nitisastra/Nitisara. Karena itu, pada artikel

ini sastra tutur Bagawan Kamandaka dipandang layak dijadikan bahan diskusi dan

sumber informasi berkelindan persoalan memilih pemimpin dan kepemimpinan

ideal dalam rangka menyambut Pilkada serentak ataupun Pilpres dan Pileg

mendatang.

Permasalahan analisis percakapan teks tutur Bagawan Kamandaka dalam

artikel ini dibatasi pada masalah pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan

giliran, pengaturan topik, serta penerimaan informasi (setuju atau tidak setuju).

Metodologi

Data yang digunakan dalam penulisan artikel ini bersumber pada teks tutur

Bagawan Kamandaka, sebuah karya sastra Jawa Kuna. Data dikumpulkan melalui

metode simak dibantu teknik sadap dan teknik catat. Teknik sadap maksudnya

penyadapan penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92), yakni bahasa Jawa Kuna

secara tertulis dalam tutur Bagawan Kamandaka sebagai media penyampaian

Page 51: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

40 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pesan/isi pemimpin dan kepemimpinan. Penerapan teknik sadap dilengkapi dengan

teknik catat, yakni data yang telah terkumpul dicatat dalam kartu data agar mudah

diklasifikasi dan tidak hilang. Analisis data menggunakan metode deskriptif-

analitik, yakni mendeskripsikan data dan menginterpretasi data dilandasi teori

analisis percakapan. Analisis percakapan (AP) menitikberatkan problem aturan

sosial dan bagaimana bahasa mampu menciptakan dan diciptakan oleh konteks

sosial. Analisis percakapan mementingkan pengetahuan manusia dan berkeyakinan

bahwa tidak ada detail percakapan ataupun interaksi yang dapat diabaikan secara

apriori sebagai hal yang tidak penting. Meskipun analisis percakapan merupakan

sebuah ancangan pada wacana yang menekankan konteks, akan tetapi relevansi

konteks tetap berdasarkan teks. Lagi pula, analisis percakapan menghindari

penempatan beberapa katagori (baik sosial maupun linguistik) yang memiliki

relevansi terhadap partisipan sendiri yang tidak ditunjukkan dalam pembicaraan

nyata (Schiffrin, 2007:337—343), dalam hal ini teks tutur Bagawan Kamandaka.

Pembahasan

Teks tutur Bagawan Kamandaka merupakan karya sastra Jawa Kuna yang

bentuk bahasanya tidak terikat oleh kaidah tertentu, seperti kaidah metrum dalam

sastra kakawin. Karena itu, sastra tutur Bagawan Kamandaka dapat dikatagorikan

ke dalam genre prosa. Konsep pemimpin dan kepemimpinan dalam sastra tutur

Bagawan Kamandaka disampaikan dalam bentuk dialog antartokoh cerita, yakni

dialog tokoh Bagawan Kamandaka kepada murid-muridnya (Bhagawan

Kamandaka sira mawarah ring sisyanira kabeh).

Setiap cerita memiliki struktur narasi (Eriyanto, 2015:48). Demikian

halnya, teks tutur Bagawan Kamandaka memiliki struktur narasi terdiri atas bagian

pembukaan, batang tubuh, dan epilog. Bagian pembukaan teks tutur Bagawan

Kamandaka, pertama, memperkenalkan seorang tokoh bernama Bagawan

Kamandaka. Tokoh Bagawan Kamandaka melakukan percakapan dengan

(Bhagawan Kamandaka sira mawarah ring sisya nira kabeh). Kedua,

memperkenalkan sebuah ajaran kepemimpinan yang dinamakan Sanghyang Aji

Rajaniti. Ajaran Sanghyang Aji Rajaniti juga disebut Aji Kamandaka. Ajaran inilah

yang diperbincangkan Bagawan Kamandaka bersama murid-muridnya (sanghyang

Page 52: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 41

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

aji rajaniti pawarahani nghulun i ri kita). Di India, dikenal seorang tokoh bernama

Kamandaki sebagai penulis Nitisara (Shastri dalam Darmayasa, 1995:xiv). Istilah

Nitisara kerapkali dikaburkan dengan Rajaniti akibat interpretasi arti kata niti

mengalami perkembangan makna. Pada awalnya, kata niti berarti membimbing,

mendidik, menuntun orang dari jalan yang tidak benar ke jalan yang benar, dan

akhirnya juga diartikan sebagai ilmu politik (Darmayasa, 1995:xx). Sementara itu,

teks tutur Bagawan Kamandaka justru menjelaskan bahwa Aji Kamandaka sama

dengan Aji Rajaniti, yakni ajaran tentang niti dalam arti ilmu politik. Ajaran

pemimpin dan kepemimpinan merupakan bagian dari niti.

Bagian batah tubuh teks tutur Bagawan Kamandaka memuat struktur ajaran

Aji Rajaniti atau Aji Kamandaka, terdiri atas satuan-satuan naratif berupa (1)

hakikat seorang pemimpin ideal; (2) cara dan strategi seorang pemimpin dalam

menjalankan pemerintahan; serta (3) mereka yang layak dijadikan mitra untuk

diajak bekerja sama dalam menjalankan pemerintahan dan siapa saja yang perlu

dijauhi oleh seorang pemimpin.

Pembukaan pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka

teridentifikasi melalui penggunaan bentuk-bentuk bahasa Jawa Kuna, antara lain

“ling nira” ‘katanya’; “pawarah ni nghulun i ri kita” ‘pemberitahuanku kepadamu’;

“pajarakna ni nghulun ri kita” ‘pembelajaranku kepadamu’; “nihan waneh

pawarahani nghulun ri rahadyan sanghulun” ‘ada lagi pembelajaranku kepadamu’;

“muwah pajarakni nghulun” ‘dan lagi pembelajaranku’; “inajarakěn mami” ‘yang

aku ajarkan’. Penutup pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka

teridentifikasi melalui penggunaan bentuk-bentuk bahasa Jawa Kuna, seperti

“nahan lwiring” ‘demikian berbagai jenis’, “nahan tang upaya” ‘adalah upaya, dan

“mangkana ta” ‘demikianlah’.

Pengambilan giliran pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka

menggunakan bentuk tanya seperti “mapa” ‘mengapa’, “mapa ta” ‘bagaimanakah’,

“mapa kari” ‘bagaimanakah’, “ndya ta” ‘bagaimana mungkin’, dan “aparan ta” ‘di

manakah’.

Penerimaan informasi lebih menunjukkan persetujuan yang dapat

diidentifikasi melalui penggunaan bentuk-bentuk “sajña pukulun” ‘benar tuanku’;

“tuhu-tuhu sojar rahadyan sang hulun” ‘benar kata tuanku’.

Page 53: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

42 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengaturan topik pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka

dilakukan dengan menggunakan bentuk-bentuk “nihan waneh” ‘dan lagi’, “nihan

kang ratu” ‘demikian pemimpin itu’; “nihan kalah ning ratu” ‘demikian kelemahan

pemimpin’; “nihan kadiwya ning wwang dharma” ‘ demikian keutamaan orang

yang memegang kebenaran’; “nihan ta muwah” ‘dan ada lagi’; serta “telas ika”

‘setelah itu’. Pokok pembicaraan yang diperincangkan adalah persoalan pemimpin

dan kepemimpinan. Teks tutur Bagawan Kamandaka menyatakan bahwa seorang

pemimpin ideal adalah pemimpin yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan.

Seorang pemimpin harus mengedepankan pemujaan kepada Tuhan (hyang stutin

rumuhun denta) agar mampu meraih kebahagiaan dalam kepemimpinannya

(narapwan kitâmanggih suka wirya). Kepercayaan kepada Tuhan itu dilandasi

keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan manifestasi

Tuhan (lumrā prabhāwa nira ring rāt). Sementara itu, pemimpin diyakini sebagai

perwujudan Tuhan (hyang pinaka mūrti sang prabhu). Tentu saja, keyakinan akan

pemimpin merupakan perwujudan Tuhan harus dimaknai bahwa seorang pemimpin

wajib mengikuti dan menjalankan perintah Tuhan (ajaran agama), bukan

sebaliknya, pemimpin yang mengaku-aku diri sebagai perwujudan Tuhan, lalu

dapat bertindak arogan ataupun sewenang-wenang. Seorang pemimpin wajib

mengejawantahkan sifat-sifat mulia Tuhan dalam melindungi rakyat. Keutamaan

seorang pemimpin adalah pertama, merupakan jiwa atau daya hidup rakyatnya (yan

mawa a pramana ning rāt). Rakyat akan hidup menderita dan tidak mampu

menjaga dirinya dari serangan, ancaman, gangguan ataupun hambatan (hana kari

duhka ning rāt yan tan paratu, yatanyan tan wěnang ikang rāt rumaksâwaknya).

Kedua, seorang pemimpin bertugas menciptakan kemakmuran bagi seluruh

rakyatnya (apan sira gumawayakěn ri kawrěddhya ning jagat). Ketiga, seorang

pemimpin harus mampu menciptakan kebahagiaan rakyat (sira wenang

gumawayaken anglokahita). Keempat, seorang pemimpin wajib mengedepankan

dan memegang teguh prinsip dharma (sang ratu mahyun ing dharma). Kelima,

seorang pemimpin harus mampu melindungi negara dan rakyatnya dari serangan

musuh ( akti rinaksa ning bhuwana, sira wěnang umalahakěnang sarwa atru).

Cara-cara ataupun langkah-langkah yang patut dilakukan seorang

pemimpin ideal dalam menjalankan kepemimpinan antara lain:

Page 54: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 43

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(1) melakukan penegakan hukum guna menegakkan keadilan bagi rakyat. Jika ada

yang bersalah harus diberi hukuman sesuai dengan kesalahannya (ri

sěděnganyan dosa danda ri kadur ilanya);

(2) membentuk dewan penasihat, terdiri atas para rohaniwan, cendekiawan, serta

pakar berbudi luhur (mangonakěna sira purohita, brāhmana dang acarya

kuněng, sang dewa paraga, ikang wang wihikan ing dharma satwika);

(3) menjalin kerjasama atau membangun persekutuan (kuněng deya sang prabhu,

magawe ya sira mitra). Adapun mitra yang baik bagi seorang pemimpin adalah

sekutu yang memiliki keunggulan dan kekuatan (mitra wisesa), terdiri atas (a)

satya: orang yang benar-benar menunjukkan kesetiaan dan kejujuran. Orang

yang satya tidak suka berbohong; (b) ārya: orang-orang yang berperilaku sopan

dan berbudi luhur. Orang yang ārya tidak suka berdusta; (c) dharma: orang-

orang yang berpegang teguh pada kebenaran dan cinta kedamaian. Orang yang

dharma akan bertindak tegas dan selalu melindungi jika terjadi ancaman; (d)

ānārya: orang-orang anti kedustaan atau anti kebohongan. Orang yang ānārya

tidak suka pada kedustaan atau kebohongan, tidak suka kepada ujaran

kebencian; (e) bratha sanggata: orang-orang yang memiliki banyak kerabat

atau sekutunya. Orang yang bratha sanggata memiliki banyak kerabat sehingga

musuh takut menyerangnya; (f) bali: orang-orang yang memiliki kekuatan

unggul. Orang yang bali memiliki kekuatan yang mampu menaklukkan musuh

tanpa bantuan pihak lain; serta (g) aneka yudha wijaya: orang-orang yang

memiliki kewaspadaan dan ketelitian. Orang yang aneka yudha wijaya tidak

suka bertindak sembarangan ataupun ceroboh sehingga layak dijadikan mitra

oleh seorang pemimpin. Sebaliknya, pemimpin yang tidak layak dijadikan mitra

adalah (a) wala: pemimpin yang berusia muda tidak layak dijadikan sekutu

karena rakyatnya tidak tanggap perang, kurang ditakuti rakyat, serta sikap dan

perilakunya kekanak-kanakan; (b) wrědha: pemimpin berusia lanjut dan kurang

mendapat kepercayaan rakyat, perintahnya tidak dipedulikan oleh rakyat; (c)

dirgha rohi: pemimpin yang mengidap penyakit menahun; (d) jña tiba i krěti:

pemimpin yang acuh tak acuh dan kejam kepada kerabat; (e) nirukah: pemimpin

pengecut; (f) nirujaba: pemimpin takut istri; (g) samalona lubda jaba:

pemimpin rakus; (h) wirakta prakrěti: pemimpin yang dibenci rakyat; (i)

Page 55: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

44 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

wisaye wanti aktiman: pemimpin yang suka mengumbar nafsu indria; (j)

ānekā citta mātra cah: pemimpin yang suka melecehkan Tuhan dan tidak

mampu mengendalikan diri; (k) dewopakatakā cewa: pemimpin yang terkena

kutukan dewata; (l) dewa citta tahewaccha: pemimpin yang suka mengingkari

sabda dewata; (m) dūrbhiksa nopetā: pemimpin yang suka mengandu domba

rakyat; (n) balāwyāsana sangkulah: pemimpin yang suka berbohong kepada

rakyat, suka melakukan kebohongan publik; (o) ādestakā: pemimpin yang suka

bepergian meninggalkan wilayahnya tanpa mengenal waktu; (p) bawuripuh:

pemimpin yang memiliki banyak musuh; (q) lokeyukta kaleya sca: pemimpin

yang tidak mengindahkan suara atau pendapat rakyat; (r)

satyâdharmâbhyapeta ca: pemimpin yang tidak memegang teguh kesetiaan

dan kurang pengendalian diri;

(4) membangun strategi yang mampu menalukkan lawan, melalui (a) membaca

kelemahan musuh (ikang musuh kawruhakna wisayanya), seperti ada lawan

yang memiliki kelemahan suka pada perempuan; ada yang doyan makanan enak

dan minuman keras; ada yang suka binatang buruan atau hewan piaraan; ada

yang suka berjudi. Kelemahan lawan itu dapat dijadikan senjata menaklukan

lawan; (b) melakukan provokasi terhadap lawan yang sedang bermusuhan dan

berupaya menarik simpatinya (upaya dwenadibhawa); (c) membangun koalisi

dan mencari sekutu (pasang raya) bersama komunitas yang memiliki visi dan

misi yang sejalan; (d) menerapkan strategi jitu, terdiri atas sandi (bermitra);

wigraha (berperang); sthana (memilih tempat yang tepat); dwibhawa (mengadu

domba musuh); yana (mendatangi musuh); serta sangsraya (bersekutu dengan

pemimpin yang memiliki kekuatan unggul); serta (e) membentuk utusan dan

intelijen yang bertugas mengintai keberadaan lawan (magawaya ta sang prabhu

dutha mwang ciri);

(5) menunjukkan kasih sayang, bersikap bijak, ramah, dan simpati kepada rakyat

dengan cara mengadopsi pikiran dan harapan rakyat, berlaku adil, disertai

dengan pemberian bantuan kemanusiaan secara merata;

(6) senantiasa tampil dengan kecerdasan dan kepandaian (widagdha), baik

kecerdasan yang dibawa dari kelahiran (prawrěti), kecerdasan yang diperoleh

dari hasil belajar (sastra camutcawah), kecerdasan yang diperoleh dari

Page 56: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 45

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pergaulan dengan orang-orang pandai (sang sagini), maupun kecerdasan yang

diperoleh dari pertumbuhan batin (parinamiti). Seorang pemimpin ideal tidak

boleh menunjukkan kebodohannya di depan umum (haywa dina citta).

Pesan/isi wacana sebagai pokok permasalahan (Darma, 2014:7) atau aspek

pembicaraan teks tutur Bagawan Kamandaka adalah persoalan pemimpin dan

kepemimpinan ideal. Sebagaimana dideskripsikan di atas, persoalan pemimpin dan

kepemimpinan ideal dituangkan dalam struktur kalimat bahasa Jawa Kuna dan

relevan terhadap pengelolaan percakapan yang sedang terjadi. Partisipan (Bagawan

Kamandaka dan murid-muridnya) dalam pembicaraan tersebut membangun solusi

sistematis pada masalah organisasional secara teratur, melalui penggunaan bentuk-

bentuk pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan giliran, pengaturan topik,

serta penerimaan informasi (cf. Schiffrin, 2007:342). Wacana terjadi dalam konteks

makro (wacana pemimpin dan kepemimpinan) dan dalam konteks mikro wacana

terjadi dalam bentuk percakapan dengan partisipan Bagawan Kamandaka bersama

murid-muridnya pada waktu tertentu dan di tempat tertentu (cf. Titscher dkk.,

2009:45).

Simpulan

Teks tutur Bagawan Kamandaka merupakan wacana percakapan berbahasa

Jawa Kuna yang menyimpan pesan pemimpin dan kepemimpinan ideal. Pesan

pemimpin dan kepemimpinan itu disampaikan melalui konstruksi linguistik yang

mengidentifikasikan adanya bentuk pembuka dan penutup pembicaraan,

pengambilan giliran, pengaturan topik, dan penerimaan informasi.

Persoalan pemimpin dan kepemimpinan ideal yang dijadikan topik

pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka layak dijadikan sumber

inspirasi dan informasi bagi masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia

umumnya dalam memilih calon pemimpin pada pesta demokrasi Pilkada serentak

2018 ataupun Pilres dan Pileg 2019.

DAFTAR PUSTAKA Darma, I Wayan. 2017. “Teologi Wiku dan Nātha pada Kakawin Rāmāyana serta

Implementasinya di Kabupaten Karangasem”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana, IHDN Denpasar.

Page 57: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

46 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung:

Refika Aditama. Eriyanto. 2015. Analisis Naratif Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis

Teks Berita Media. Jakarta: Prenadamedia Group. Mahendra, Oka. 2001. Ajaran Hindu tentang Kepemimpinan, Konsep Negara dan

Wiweka. Denpasar: Manikgeni. Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shastri, Satya Vrat. 1991. Canakya Nitisastra. Diterjemahkan oleh I Made

Darmayasa. Denpasar: Yayasan Dharma Narada. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I, II.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 58: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 47 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PRAKTEK SEJARAH LISAN SEBAGAI PENGALAMAN PRIBADI

Oleh:

Anak Agung Inten Asmariati

Abstrak

Sulit untuk dibantah, bahwa sejarah dalam pengertian sebagaimana ia terjadi adalah suatu peristiwa unik, sekali terjadi dan takkan pernah berulang kembali. Untuk mendapatkan gambaran utuh dari peristiwa itu atau sejarah sebagaimana dikisahkan hanyalah dapat dilacak dengan mempergunakan bahan dokumen . Pada masa sekarang ini dalam penulisan sejarah kontemporer kita tidak hanya dihadapkan pada tantangan harus bergelut dengan sumber-sumber tulisan yang ada di perpustakaan atau museum juga diperlukan sumber lain yang harus digali pada sejumlah tokoh yang masih hidup. Peristiwa yang masih tersimpan dalam pengalaman masa lalu dari tokoh tersebut. Pengungkapan sumber tersebut hanya bisa dibantu dengan menggunakan metode sejarah lisan yang diperoleh melalui teknik wawancara. Dalam tulisan ini penulis ingin berbagi pengalaman terkait dengan penggunaan metode sejarah lisan, pada waktu penulis menyelesaikan pendidikan S2. Diharapkan dengan menambahkan sumber lisan dalam tulisan keakuratan penulisan lebih terjamin dan mampu mendekat tulisan yang seobjektif mungkin.

Keyword : metode, sejarah lisan, obyektif.

I. Pendahuluan

Pada dasarnya metode sejarah lisan bukan suatu metode yang baru. Penulis-

penulis sejarah di masa lampau pun telah menggunakan pengumpulan data melalui

jalan lisan. Misalnya hetodotus, sejarawan yunani yang pertama, telah melakukan

kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat yang jauh untuk mengumpulkan secara

lisan bahan-bahan sejarahnya. Begitu pula penulis-penulis hikayat dan sejarah

tradisional telah menggunakan metode lisan untuk memperoleh data (A.B. Lapian,

1979:18).

Metode “oral history” lahir di Amerika Serikat di kalangan para sejarawan

yang mulai sadar bahwa orang-orang tua yang pernah mengalami jaman “pioneer”

semakin berkurang. Sedangkan di antara orang yang masih hidup tidak dapat

diharapkan bahwa mereka akan mencatat pengalaman mereka secara tertulis,

seperti dalam bentuk memoirs atau autobiografi. Di lain pihak, banyak di antara

Page 59: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

48 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

mereka yang masih hidup itu bersedia mengisahkan pengalaman-pengalaman

mereka secara lisan. Pertimbangan lain yang menyebabkan lahirnya “oral history”

ialah bahwa dalam dunia modern banyak hal yang penting lolos dari pencatatan

tertulis, misalnya keputusan-keputusan atau instruksi-instruksi penting yang

diberikan melalui telpon saja sehingga tidak dapat diketemukan dalam suatu

dokumen.

Teknik komunikasi yang semakin maju pada waktu sekarang

memungkinkan orang saling bertemu sehingga surat menyurat semakin berkurang.

Dengan demikian semakin banyak data yang diperlukan tidak lagi dapat

diketemukan dalam bentuk tertulis. Di samping itu, perhatian sejarah pada waktu

ini tidak hanya ditujukan kepada suatu kelompok tertentu saja, yaitu kelompok

pemimpin dan penguasa. Sekarang ini perhatian sejarawan semakin bertambah

terhadap kelompok-kelompok lain dari pada masyarakat, termasuk pula golongan

yang buta huruf dan golongan yang tidak pernah meninggalkan bahan-bahan

tertulis (AB Lapian, 1979 : 20).

Jelaslah dari uraian diatas ini bahwa metode “oral history” seperti yang

diperkembangkan di Amerika Serikat, dapat diharapkan pula di sini mengingat

sebagian besar dari masyarakat kita tidak pernah dan tidak akan meninggalkan

bekas-bekasnya dalam bentuk karya tulis.

Melalui tulisan ini penulis ingin berbagi pengalaman dalam menerapkan

metode sejarah tulisan dalam praktek penelitian.

2.1 Persiapan dan Wawancara dalam Sejarah Lisan

Persiapan memang alat utama bagi penulis untuk melaksanakan wawancara

dengan baik dan berhasil. Oleh karena itu selain penulis menyiapkan persiapan

teknis seperti kaset, alat perekam untuk merekam suara pengkisah, yang tak kalah

pentingnya adalah mempersiapkan diri untuk mengetahui gambaran umum dari

topik yang akan dipelajari, seperti mengetahui latar belakang pengkisah dari

berbagai sumber. Supaya wawancara teratur dan sistematis, maka perlu dibagi

beberapa tingkatan dari kegiatan pengkisah yang agak menonjol atau mana dari

kegiatan yang harus lebih diperdalam.

Page 60: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 49

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Selain mengetahui gambaran umum dan kemudian memperinci kegiatan

pengkisah, maka perlu juga mencari informasi sikap/pribadi pengkisah dari orang-

orang yang mengenalnya atau dari teman-teman dekat yang sudah diwawancarai,

apa sedang formil atau tidak. Pengetahuan tentang sikap dan gaya si pengkisah bisa

diperkirakan ketika kontak diadakan melalui telpon, apakah kontak itu hanya boleh

lewat asisten pribadi atau kita dapat langsung berbicara dengan pengkisah. Saat

inilah melalui pembicaraan, nada suara, kalimat-kalimat yang diucapkan, penulis

dapat membayangkan cara pendekatan yang akan dipakai ketika pertemuan untuk

pertama kali akan diadakan. Dalam hal ini bagi penulis perlu menguasai teknik-

teknik yang bisa menghidupkan suasana senang bagi pengkisah, sehingga sikap

formal akan dapat mencair seketika.

Dengan berbekal pengetahuan tentang pengkisah dan punya imajinasi

bagaimana sikap dan ciri khas pengkisah, perlu segera menanyakan kapan

kesediaannya untuk diwawancarai. Ini sangat perlu membuat perjanjian yang tepat,

mengingat tokoh-tokoh yang penulis temui sampai kini rata-rata pengusaha dan

jarang ada di rumah karena keperluan bisnis.

Selama wawancara berlangsung ada beberapa hal yang perlu penulis

sampaikan:

1) Tujuan wawancara, sebelum wawancara dimulai penulis perlu menjelaskan

tujuan wawancara diadakan. Hal ini disebabkan karena pengkisah merasa tak

perlu diwawancarai lagi berhubung biografinya sudah ada atau banyak tulisan

tentang kehidupannya sudah terbit diberbagai media massa.

2) Waktu, lamanya wawancara sebenarnya tak dapat ditetapkan secara mutlak,

karena hal ini tergantung pada kemampuan, kesediaan, dan personality tiap-

tiap pengkisah. Rata-rata kapasitas maksimal pengkisah untuk memberikan

informasi data berkisar selama 2 ½ jam, jadi melebihi taraf biasanya yaitu 1 ½

jam. Berdasarkan pengalaman penulis, terjadi pula pemborosan waktu dalam

wawancara yang lebih kurang memakan waktu 3 jam namun hanya m

menghabiskan 1 ½ kaset. Hal ini disebabkan di sela-sela ceritanya pengkisah

merasa perlu memperlihatkan beberapa foto dokumentasi di selengi lagi

dengan istirahat dan cerita-cerita nostalgia pengkisah yang harus mendapat

saluran.

Page 61: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

50 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3) Profesi, profesi pengkisah sangat berpengaruh terhadap kelancaran wawancara.

Sebagian besar narasumber penulis seorang pengusaha sehingga penulis

merasa perlu terus membuntutinya dengan pertanyaan-pertanyaan. Harus

disadari profesi individu akan tercermin pula dalam tingkah laku tertentu.

Dalam hal ini juga sering terjadi pencampur adukan kegiatan pengkisah masa

kini dengan pengalaman masa lalunya, sehingga bagi penulis perlu membuat

catatan tertulis.

4) Outline, sangat penting sebagai persiapan penulis dalam mewawancarai

pengkisah. Mengingat pengkisah sangat sulit ditemui sehingga melalui outline

ini bisa memaksimalkan tujuan penelitian penulis di dalam mencari sumber

lisan dari pengkisah sendiri.

2.2 Praktek Sejarah Lisan sebagai Pengalaman Pribadi

Pada saat penulis mengerjakan tesis guna menyelesaikan studi magister

dengan mengambil tema “komodifikasi puri dalam perkembangan pariwisata di

Bali” dengan study kasus diangkatnya Puri Ubud sebagai topik utama penelitian.

Sesuai dengan uraian diatas segala persiapan sudah dipersiapkan penulis.

Sebagaimana kegiatan penelitian sebelumnya setelah menemukan rumusan

masalah terkait dengan topik yang sudah ditentukan, penulisan lalu melakukan

langkah pertama dengan melakukan observasi ke lapangan. Melalui observasi ini

penulis juga melakukan pencarian sumber lisan yang akan diwawancarai. Dalam

penentuan sumber penulis menggunakan teknik mengkrucut untuk mencari sumber

kunci.

Teknik ini diterapkan penulis untuk mendapat hasil yang maksimal sesuai

dengan sumber pustaka yang sudah penulis milik selain itu melaui teknik ini tulisan

akan menjadi lebih akurat. Bahkan mungkin akan mendapat tambahan yang tidak

terungkap dalam sumber pustaka.

Setelah wawancara sumber pendukung puncak pencarian sumber lisan ini

dengan mewawancarai key informan. Dalam menentukan key informan dilakukan

dengan cara menentukan keluarga dari Puri Ubud yang kompeten seperti Putra dari

Cokorde Gde Agung yaitu: Cokorda Gde Putra yang merupakan putra pertama

dari Cokorda Gde Agung dan adiknya Cokorda Gde Oka Ardhana Sukawati yang

Page 62: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 51

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

lebih di kenal dengan sebutan Cok Ace. Keinginan penulis untuk bertemu dengan

Putra-Putri dari Cokorde Raka Sukawati tidak terpenuhi karena mereka sebagian

besar tinggal di luar Bali. Seperti diketahui Cokorde Raka Sukawati adalah

Pemrakarsa membuka Ubud sebagai daerah wisata dan mengalami perkembangan

yang pesat seperti sekarang ini.

Dan beliau adalah tokoh utama dalam mengenalkan Bali menjadi daerah

periwisata. Cokorde Gde Putra sebagai Key informan penulisan merupakan seorang

pengusaha, sehingga waktu bagi beliau sangat berarti. Melalui janji pertemuan

dengan beliau untuk sedianya diwawancarai maka pada saat itu penulis benar-benar

memanfaatkan waktu tersebut. Sehingga bagi penulis dengan membuat outline

yaitu berupa daftar pertanyaan sangat penting dalam menerapkan metode sejarah

lisan. Walaupun nantinya pasti akan menjadi berkembang mewawancarainya dari

apa yang sudah dipersiapkan.

Pada saat kemudian penulis tidak hanya mewawancarai Cokorda Putra saja

juga mewawancarai saudara beliau yaitu Cok Ace. Diwaktu tersebut Cok Ace

menjabat sebagai Bupati Gianyar. Kesulitan yang penulis alami yaitu meminta

waktu beliau untuk dapat diwawancarai. Dengan kesabaran yang penulis miliki

maka berhasil mewanwancarai beliau. Berbekal data yang diberikan oleh putra-

putra Cokorda Gde Agung maka data tersebut digunakan sebagai penyempurnaan

dari penelitian penulis.

3. Penutup

Metode sejarah lisan mengingatkan kita sebagai sejarawan daripada

kemurnian sejarah itu sendiri dan fungsi kita sebagai sejarawan dalam mengarahkan

menjadi sesuatu yang obyektif untuk dinikmati setiap khalayak.

Bersyukurlah kita telah mengalami kemajuan tradisi lisan dapat kita

teruskan dengan lebih mudah karena adanya alat yang disebut tape recorder dengan

kaset atau CD sebagai penyimpannya, sehingga dalam penilaian kita akan lebih

kritis lagi dalam menelaah fakta. Tugas kita sebagai sejarawan telah dipermudah

dengan adanya kemampuan kita untuk menulis sejarah dengan seobjektif mungkin.

Page 63: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

52 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Budiawan {ed.}, 2013. Sejarah dan memori. Titik Simpang dan Titik Temu. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Kate and Paula Hamilton {ed.}, 1994. Memory and History in Twientieth-Century Australia Oxford University Press. P. Lim Pui Huen, dkk (ed.), 2000. Sejarah Lisan di Asia Tenggara. Teori dan Metode. LP3ES. Paul Thompson. The Voice of The Past Oral History. Oxford University Press.

Page 64: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 53

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PUBLIC STIGMA DAN SELF STIGMA ORANG DENGAN GANGGUAN

JIWA

(Sebuah Praktik Realitas Kebuntuan Hak Asasi Manusia)

Oleh:

Dr. Bambang Dharwiyanto Putro

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Undang-Undang Kesehatan Jiwa dimaksudkan untuk menjamin setiap orang mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa; memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa berdasarkan hak asasi manusia; memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa; dan memberikan kesempatan untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia.

Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari UU. No. 3 Tahun 1966, UU. No. 36 Tahun 2009, UU No. 12 tahun 2014, dan yang terbaru UU No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum banyak membantu dalam peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Stigma masih melekat erat pada orang dengan gangguan jiwa dan seringkali menjadi korban dari ketidakadilan serta perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya juga berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi.

Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan, bentuk-bentuk stigma penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan merupakan bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dan sekaligus kebuntuan praktik HAM, dapat disebutkan adanya dua hal, yakni public

stigma (stigma dari masyarakat) dan self stigma (stigma dari penderita dan keluarganya). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara lain penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan. Kata Kunci: Undang-Undang Kesehatan Jiwa, HAM, Public Stigma dan Self

Stigma

Page 65: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

54 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

I. Pendahuluan

Masalah kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan

“Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”

(Depkes RI. KMK No. 406, 2009: 1).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin

setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan

kesehatan dengan penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Untuk mencapai

tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan termasuk Upaya

Kesehatan Jiwa dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Upaya Kesehatan Jiwa harus diselenggarakan secara terintegrasi, komprehensif,

dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa dimaksudkan untuk menjamin

setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan

kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat

mengganggu kesehatan jiwa; dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa

berdasarkan hak asasi manusia (Undang-Undang No 18, 2014: 43).

Studi yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 1995 di beberapa negara

menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life

Years (DALY's) yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa sebesar 8,1%. Angka

ini jauh lebih tinggi dari pada dampak yang disebabkan penyakit tuberculosis

(7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Tingginya

angka tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan jika

dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat. Hasil

Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 2007 menunjukkan pula

adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di

Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga menyebutkan,

Page 66: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 55

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per

1.000 penduduk, sedangkan pada rentang usia 5-14 tahun ditemukan 104 kasus per

1.000 penduduk (Depkes RI, 2009, 1-2).

Sementara itu lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan

jiwa. Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai

50% hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun

karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan terhadap

peningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Sementara itu Data Riset

Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia

mencapai 1,7 per mil, artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia

mengalami gangguan jiwa berat (Riskedas, 2013: XI dan Depkes RI, 2010:2).

Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu

noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia, karena itu

masyarakat menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap menghindar.

Oleh sikap yang keliru tersebut berimplikasi pada program yang umumnya belum

mengenai sasaran kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya serta belum

mendapatkan tanggapan yang baik. Para penderita sendiri banyak yang takut dan

tidak suka menjalani pemeriksaan oleh dokter atau seorang psikiater dan psikolog.

Mereka menjadi marah, sangat tersinggung jika diperiksa atau menganggap bahwa

dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya (Kartono, 1989: 25).

Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh

pemerintah mulai dari UU. No. 3 Tahun 1966, UU. No. 36 Tahun 2009, UU No. 12

tahun 2014, dan yang terbaru UU No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa hingga

peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya

kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang

berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan

upaya layanan kesehatan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan

dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi yang merupakan cermin praktik

kebuntuan HAM akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidaktahuan

publik. Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara

dini menjadi terlambat. Data tahun 2014 sekitar 1.274 kasus pasung dilaporkan di

21 Provinsi (http://kemsos.go.id/).

Page 67: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

56 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Demikian juga yang terjadi di Bali, dari data Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013, Provinsi Bali masuk dalam daftar 5 besar

gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia, yang masing-masing antara lain terdiri

dari: D.I. Yogyakarta (2,7%), D.I Aceh (2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%).

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali sebagai satu-satunya rumah sakit jiwa di Bali yang

berlokasi di Kabupaten Bangli, sudah menangani lebih dari 38 pasien penderita

gangguan jiwa yang dipasung. Jumlah itu kemungkinan besar masih akan terus

meningkat seiring dengan masih tingginya stigma buruk terhadap penderita

gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat (http://www.halocities.com/7948).

Stigma telah menjadi penanda untuk pengalaman buruk penderita. Stigma

berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya,

stigma akan menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam

struktur masyarakat, dan juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur

kehidupan sehari-hari yang mengakibatkan terjadinya penolakan social yang

dihadapi penderita gangguan jiwa (Irmansyah, 2009: 45-46).

II. Pengaturan Dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa

Kesehatan Jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat

berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut

menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara

produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Sementara itu

gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang

mempengaruhi emosi, pikiran atau tingkahlaku mereka, diluar kepercayaan budaya

dan kepribadian mereka, dan menimbulkan efek yang negative bagi kehidupan

mereka atau kehidupan keluarga mereka (Maramis, 2005: 3).

Undang-Undang Kesehatan jiwa dibentuk berdasarkan beberapa

pertimbangan. Pertama, negara menjamin setiap orang hidup sejahtera lahir dan

batin serta memperoleh pelayanan kesehatan yang merupakan amanat Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, pelayanan

kesehatan jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak Orang Dengan Gangguan Jiwa

belum dapat diwujudkan secara optimal; ketiga, bahwa belum optimalnya

pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan belum terjaminnya hak orang

Page 68: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 57

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dengan gangguan jiwa mengakibatkan rendahnya produktivitas sumber daya

manusia.

Upaya Kesehatan Jiwa berasaskan keadilan; perikemanusiaan; manfaat;

transparansi; akuntabilitas; komprehensif; pelindungan; dan nondiskriminasi.

Undang- Undang Kesehatan Jiwa juga ditujukan untuk menjamin setiap orang agar

dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang

sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu

kesehatan jiwa; menjamin setiap orang agar dapat mengembangkan potensi

kecerdasan, memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa

bagi orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa berdasarkan

hak asasi manusia; serta memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi

dan berkesinambungan.

III. Masalah Kesehatan Jiwa Di Indonesia dalam Balutan Praktik Kebuntuan

HAM

Pelayanan Kesehatan Jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak orang dengan

masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa, belum dapat diwujudkan

secara optimal. Hak mereka sering terabaikan, baik secara sosial maupun hukum.

Secara sosial masih terdapat stigma di masyarakat sehingga keluarga

menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Hal

ini menyebabkan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan. Sedangkan secara

hukum, peraturan perundang-undangan yang ada belum komprehensif sehingga

menghambat pemenuhan hak-hak mereka.

Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh

dari seluruh jajaran Pemerintahan dan juga seluruh masyarakat. Stigmatisasi dan

diskriminasi yang masih sering dialami oleh orang dengan gangguan jiwa, antara

lain dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, ditelantarkan oleh

keluarga bahkan dipasung. Stigma beroperasi layaknya penjara. Bukan penjara

dalam pengertian fisik yang mengurung narapidana, melainkan penjara dalam relasi

sosial. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan

Page 69: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

58 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang

dibangun oleh aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.

Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan,

bentuk-bentuk stigma pada penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan secara

tidak langsung merupakan bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun

2014 tentang kesehatan jiwa dapat di lihat dalam dua hal, yakni public stigma

(stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan

keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara lain

penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma antara lain

prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan.

IV. Bentuk Praktik Kebuntuan HAM: Public Stigma Pada Orang Dengan

Gangguan Jiwa

Penolakan. Penilaian yang negatif terhadap para penderita gangguan jiwa

akan mengarah pada penolakan, sehingga individu maupun masyarakat akan

cenderung mengembangkan perasaan tidak suka. Disamping itu pula

individu/masyarakat akan mengembangkan rasa tidak percaya ketika harus terlibat

dalam aktivitas sosial ataupun dalam melakukan hubungan interaksi dengan yang

ditolak tersebut. Penolakan ini bisa atau dapat memicu munculnya sikap agresif dan

perilaku negatif terhadap orang dengan masalah kejiwaan tersebut. Ruang-ruang

gerak orang dengan masalah kejiwaan sangat terbatas, ini terlihat dari sikap

masyarakat/lingkungan sekitar yang terkesan “memusuhi” dengan cara melalukan

penolakan secara halus dengan tidak melibatkan mereka (secara sengaja) dalam

proses interaksi.

Sikap penolakan terhadap penderita gangguan jiwa juga terlihat dari adanya

kecenderungan keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai

tempat pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga

tidak pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab

petugas Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan

pasien. Konsekuensinya, ditemukan adanya pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah

menjadi warga disana lebih dari lima sampai sepuluh tahun tanpa pernah diketahui

dimana alamat dan siapa keluarganya. Keluarga bahkan masyarakat menilai Rumah

Page 70: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 59

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sakit Jiwa memiliki reputasi buruk di masyarakat. Stereotip sebagai tempat

pembuangan, pengumpul, dan kurungan bagi pasien gangguan jiwa melekat

padanya. Akibatnya label sakit dan status identitas pasien berpengaruh kuat dalam

stigmatisasi di masyarakat.

Terlihat bahwasannya golongan yang berkuasa (dalam hal ini Rumah Sakit

Jiwa dan masyarakat) cenderung memberi label kepada golongan yang lemah

(penderita gangguan jiwa) sebagai yang menyimpang (deviant). Pelabelan

mempunyai akibat positif bagi pihak yang memberikan label, yaitu memperkuat

tata sosial dan stabilitas sosial. Hal tersebut benar hanya terbatas pada dua alasan,

yaitu (a) karena pihak yang mencap ada pada posisi yang kuat sedang yang dicap

pada posisi yang lemah, (b) dengan menghukum yang lemah maka pihak yang kuat

tidak akan melakukan deviasi seperti pihak yang lemah. Tetapi hal itu tidak berarti

bahwa pihak yang berkuasa tidak akan melakukan deviasi. Mereka melakukan

deviasi yang lebih canggih dan tersamar. Hal ini disebabkan karena perhatian

masyarakat tertuju kepada deviasi dari golongan yang lemah (penderita gangguan

jiwa).

Pengucilan. Stigma terhadap gangguan jiwa tidak hanya menimbulkan

konsekuensi negatif terhadap penderitanya, tetapi juga anggota keluarganya. Beban

stigma gangguan jiwa membuat penderita dan keluarganya memilih untuk

menyembunyikan kondisinya daripada mencari pertolongan bahkan stigma

membuat pihak keluarga juga tak memahami karakter anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa. Anggota keluarga yang distigmatisasi seperti halnya

individu yang menderita masalah gangguan jiwa itu sendiri, sering memiliki

pengalaman bertambahnya tekanan emosional dan pengucilan sosial. Pengucilan

sosial pada orang yang memiliki masalah gangguan jiwa memberi dampak bagi

perilaku, kesembuhan dan partisipasi dalam masyarakat. Mereka juga memiliki

pengalaman isolasi sosial yang berakibat pada semua jenis hubungan, baik dengan

teman atau keluarga. Pengucilan ini menyebabkan juga mereka tidak mendapatkan

keseimbangan akses informasi, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan peluang

sosial lainnya.

Kekerasan. Minimnya pengetahuan keluarga dan masyarakat dalam

penanganan masalah gangguan jiwa, terlebih stigma yang masih melekat kuat

Page 71: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

60 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dalam ranah masyarakat, menyebabkan para penderita gangguan jiwa yang tidak

mendapatkan akses pelayanan kesehatan mendapatkan perlakuan yang tidak

semestinya, seperti selalu harus berdiam diri di dalam kamar yang terkunci, tidak

boleh keluar rumah, tangan atau kaki yang dirantai, bahkan dilakukan

“pembalokan” di sepasang kakinya dengan alasan pembenaran supaya tidak

mencederai dirinya ataupun menyakiti/melukai orang lain di sekitarnya.

Implikasinya terhadap kondisi penderita justru semakin memperparah penyakitnya.

Kondisi penderita korban pemasungan dalam situasi yang benar-benar

memprihatinkan. Keluarga ataupun masyarakat yang secara sengaja ataupun tidak

secara sengaja melakukan tindakan ini dianggap telah melakukan pembiaran atas

apa yang terjadi pada korban kekerasan ini.

V. Bentuk Praktik Kebuntuan HAM: Self Stigma Pada Orang Dengan

Gangguan Jiwa

Prasangka Buruk. Adanya pandangan bahwa gangguan jiwa tidak

mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa

berfungsi secara normal di masyarakat menimbulkan kerumitan karena para

penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut

dihakimi dan dihinakan, implikasinya menyebabkan penderita tidak mau mencari

pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan.

Terlihat juga bagaimana munculnya stigma pada diri penderita yakni antara

lain berupa pertama, prasangka negatif yakni anggapan negatif terhadap dirinya

sendiri karena dianggap dirinya inkompeten dan mempunyai karakter yang lemah;

kedua, pada aspek emosi yang ditimbulkan antara lain merasa tidak percaya diri

atau menganggap dirinya tidak mampu; dan ketiga, aspek diskriminasi yang terjadi

dimana terlihat dari gagalnya melanjutkan pekerjaan dan terhambatnya program

pengobatan.

Merasa Bersalah. Keluarga mengalami krisis dan tekanan saat mendapati

bahwa salah satu atau lebih anggota keluarganya menderita gangguan jiwa.

Tekanan ini akan menjadi sumber stres bagi para anggota dalam keluarga tersebut.

Sementara itu, bagi keluarga yang rentan terhadap stres, tentunya akan mengganggu

peran mereka sebagai system support yang berujung pada semakin tidak stabilnya

Page 72: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 61

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

penderita gangguan jiwa dalam proses penyembuhan. Salah satu beban psikologis

yang berat bagi keluarga penderita gangguan jiwa adalah stigmatisasi. Dampak

merugikan dari stigmatisasi termasuk salah satunya perasaan merasa bersalah dari

pihak keluarga yang akhirnya menyebabkan perilaku pencarian bantuan terhadap

penderita menjadi tertunda. Dengan adanya anggota keluarga yang menderita

gangguan jiwa membuat keluarga seolah‐olah memiliki bibit yang buruk, sehingga

keluarga merasa bersalah, merasa malu secara sosial dan kehilangan harga diri.

Keluarga dalam hal ini sering menyalahkan diri sendiri atas sakit yang diderita

anggota keluarganya.

Ketakutan dan Kemarahan. Stigma terhadap gangguan jiwa semakin

memperparah keadaan penderita gangguan jiwa. Hal ini tentu saja menimbulkan

kerumitan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau

terbuka karena takut dihakimi dan terhina. Hal yang sangat menyakitkan bagi

kondisi kejiwaan pasien adalah ketika bayangan ketakutan akan dihakimi, dihina

dan dikucilkan secara sosial menyebabkan penderita tidak mau mencari

pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan. Stigma yang

bersifat internal ini sangat merugikan kondisi kejiwaan para penderita. Selain itu

penderita juga cenderung menganggap bahwa dirinya memang tidak berharga, tidak

mampu, tidak mau bersosialisasi dan mengalami rasa rendah diri yang sangat parah.

Masalah lain yang sering muncul pada penderita gangguan jiwa khususnya

dengan kasus pada penderita gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan salah

satunya adalah rasa marah/kemarahan yang berlebihan. Pengungkapan amarah atau

kemarahan penderita gangguan jiwa merupakan suatu luapan perasaan emosi yang

timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan penderita

sebagai ancaman, sekaligus dapat membuat perasaan lega.

VI. Kesimpulan

Dalam implementasinya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga

saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan

kesehatan jiwa. Stigma masih melekat erat pada penderita gangguan jiwa dan

seringkali menjadi korban ketidakadilan serta perlakuan yang semena-mena oleh

masyarakat. Mesin tubuh sosial masyarakatpun mengembangkan stigma sosialnya

(public stigma) yang terdiri atas penolakan, pengucilan, serta kekerasan dan kuasa

Page 73: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

62 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

disiplin tubuhpun atas stigma membayangi penderita (self stigma) yang terdiri atas

prasangka buruk, merasa bersalah, dan ketakutan serta kemarahan, yang semuanya

melanggengkan proses reproduksi gangguan jiwa (kegilaan) yang merupakan

konsekuensi berlakunya strategi kuasa dan regulasi sosial di masyarakat. Dalam hal

ini pemberdayaan keberlanjutan menjadi hal yang sangat penting bagi para

penderita gangguan jiwa saat sudah dinyatakan sembuh secara klinis oleh dokter,

dengan tujuan agar dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah

masyarakat, bebas dari stigma (destigmatisasi), diskriminasi atau rasa takut, malu

serta ragu-ragu. Semua daya upaya ini sangat ditentukan oleh sikap kepedulian

anggota keluarga, masyarakat, pihak swasta (LSM), dan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 406, 2009. Tentang Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010.

Tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Irmansyah, 2009. “Pemberdayaan Masyarakat Berperan Penting Dalam Pemulihan

Penderita Skizofrenia”, dalam Jiwa, Indonesian Psychiatric Quarterly. Tahun XLII No. 1. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.

Kartono, Kartini, 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:

Penerbit Mandar Maju. Maramis, w.f., 2005. Catatan Ilmu Kdokteran Jiwa. Edisi IX, Penerbit Airlangga

Press. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72 tahun 2012 Tentang Sistem

Kesehatan Nasional. Riskedas, 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI Sheewangisaw, Z., 2012. Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patient

with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital. Congress on

Public Health, 1(1). Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014. Tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Republik

Indonesia.

Page 74: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 63 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

BUDAYA DUAN LOLAT DI TENGAH ARUS JAMAN IBU

KOTA JAKARTA

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, [email protected]

Abstrak

Ibu Kota Jakarta adalah salah satu tempat yang ingin dikunjungi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia termasuk masyarakat asal Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Tidak sedikit migran asal Maluku Tenggara Barat yang tinggal di Jakarta ketika pulang ke kampung halamannya mengajak kerabatnya untuk mengadu nasib di Ibu kota Jakarta. Mereka datang untuk menetap dengan tetap melestarikan adat dan budaya dari masyarakat Maluku Tenggara Barat atau yang lebih dikenal dengan Kepulauan Tanimbar. Salah satunya adalah nilai kekerabatan yang disebut dengan Duan Lolat. Duan dan Lolat merupakan status sosial yang berasal dari hubungan perkawinan, dan perkawinan merupakan dasar untuk menentukan status sosial Duan dan Lolat. Dalam perkawinan, pihak yang memberikan anak perempuan pada gilirannya akan menjadi Duan, sedangkan pihak yang menerima anak perempuan akan menjadi Lolat. Setelah menikah pihak keluarga perempuan menjadi Duan sedangkan pihak keluarga laki-laki, yaitu keturunan dari pasangan yang menikah menjadi Lolat dari pihak keluarga perempuan. Pelembagaan nilai Duan Lolat terjadi pada sepanjang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, perkawinan, pembangunan rumah, sampai pada kematian.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengungkap tentang budaya Duan

Lolat yang masih dilestarikan oleh masyarakat migran asal kepulauan Tanimbar meskipun mereka telah merantau ke Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode sejarah. Sumber-sumber yang digunakan yaitu sumber tertulis seperti studi pustaka, dokumen dan melakukan wawancara dengan tokoh adat dan masyarakat Tanimbar yang ada di Jakarta. Kata Kunci : Budaya, Duan Lolat, Migran.

PENDAHULUAN

Kedatangan masyarakat dari kepulauan Tanimbar ke Jakarta pada tahun

1950 di awali oleh seorang penduduk dari salah satu desa yang ada di Kepulauan

Tanimbar yang bernama Yosias Naflalia dan Abe Dulanlebit dari Desa Romean.

Desa Romean berada di Kecamatan Yaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat,

Provinsi Maluku. (Drabbe, P, 1989 :2). Kedatangan Yosias Naflalia pada awalnya

ingin merantau keluar dari desa Romean untuk bekerja sebagai buruh pelabuhan di

Page 75: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

64 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kota Ambon pada tahun 1950 kemudian karena kapal yang ia tumpangi hanya

singgah sebentar di Kota Ambon maka ia mencoba mencari peruntungan untuk

mengikuti kapal ke Surabaya. Sulitnya mencari pekerjaan disana membuat Yosias

melanjutkan perjalanannya ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pelabuhan, lalu

pada tahun 1952 dibuka kantor DEPERLLA yang saat ini namanya adalah Kesatuan

Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) sebagai Opsir dan pegawai.( Mathias, wawancara,

14 Januari 2018)

Pada tahun 1952 kehidupannya mulai berubah karena mendapatkan fasilitas

Gaji bulanan serta Perumahan Pegawai di Asrama DEPERLLA Kota Pelabuhan

Tajung Priuk . Di tahun tersebut mulai banyak orang dari Desa Romean yang

mendengar keberhasilan ia mendapatkan pekerjaan sehingga mulailah gelombang

kedatangan orang Romean yang ingin merantau dari Desa Romean ke Jakarta.

Karena mereka tidak punya tempat tinggal maka tinggalah mereka di rumah bapak

Yosias Naflalia di daerah Tanjung Priok Jakarta. Dengan adanya tujuan dan tempat

tinggal di perantauan maka mulailah berdatangan masyarakat romean yang ingin

merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dengan kedatangan sebagian

masyarakat romean yang merantau di Jakarta lambat laun menimbulkan kerinduan

bagi sebagian keluarga untuk berkumpul mengadakan pertemuan seperti doa

bersama dan natalan bersama untuk bersilahturahmi dengan sesama keluarga dari

romean. Keinginan untuk berkumpul bersama merupakan cikal bakal terbentuknya

perkumpulan anak - anak Romean di Jakarta.(Mathias, wawancara, 12 Februari

2018) Dengan demikian budaya yang ada di Romeanpun terbawa dan tetap

dilestarikan oleh masyarakat romean di Jakarta. Salah satunya adalah budaya Duan

Lolat. Budaya Duan Lolat tetap dilestarikan di Jakarta karena budaya ini

mempererat tali persaudaraan meskipun mereka telah merantau dan menetap di

ibukota Jakarta.

1.2. Permasalahan

Makalah ini dibatasi dengan scope temporal dari tahun 1950 sampai dengan

tahun 2017. Mengapa diawali tahun 1950 karena pada tahun itu seorang putra asal

Desa Romean tiba di Jakarta untuk merantau dan mencari nafkah, dan diakhiri

tahun 2017 karena penulis telah melihat perkembangan budaya duan lolat yang

Page 76: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 65

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tetap dilestarikan oleh penduduk migran asal Kepulauan Tanimbar meskipun telah

marantau dan menetap di Ibukota Jakarta. Skope spasial dibatasi di daerah Jakarta

dan sekitarnya termasuk Bekasi, Bogor, dan Depok, karena sebagian besar

masyarakat dari Kepulauan Tanimbar tinggal di sana.

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan

antara lain: 1.Apa itu budaya duan lolat, 2. Mengapa budaya duan lolat tetap

dipertahankan oleh masyarakat migran asal Kepulauan Tanimbar di Jakarta, 3.

Bagaimana melestarikan budaya duan lolat sehingga dapat terus bertahan di tengah

arus jaman di Ibu kota Jakarta.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,

wawancara, dan penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa

pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila

berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode kualitatif menyajikan secara

langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih

peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh

bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi ( Koentjaraningrat. 1997:12).

Melalui penelitian kualitatif budaya ini, memungkinkan peneliti untuk

menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu,

melalui penelitian kualitatif ini akan membimbing peneliti untuk memperoleh

temuan-temuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis

baru.

PEMBAHASAN

3.1 Budaya Duan Lolat

Budaya Duan Lolat dalam masyarakat Tanimbar dapat diartikan duan

berarti tuan atau pemilik suatu barang. Tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai

pelindung terhadap barang itu. Sementara itu kata lolat berarti penerima suatu

barang. Pelembagaan nilai duan lolat terjadi pada proses perkawinan adat, dimana

duan merupakan predikat yang diberikan kepada kelompok keluarga yang

bertindak sebagai pemberi perempuan, sedangkan lolat adalah predikat bagi

Page 77: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

66 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kelompok keluarga yang bertindak sebagai penerima perempuan. Hubungan

kekerabatan duan lolat di atas tersimbol dalam berbagai bentuk barang pemberian,

baik dari pihak duan maupun dari pihak lolat, yang berlangsung secara makanik

dalam setiap peristiwa kehidupan masyarakat Tanimbar.( Koritelu, Paulus, 2009:

20)

Budaya adat istiadat di desa Romean yang berasal dari kepulauan Tanimbar

sangat di pegang teguh oleh tiap anak-anak desa romean yang hidup dalam

perantauan. Sehingga dalam setiap kegiatan pernikahan atau acara lamaran dalam

keluarga besar masyarakat Romean atau dengan masyarakat adat istiadat lainnya

tetap dijalankan sebagai suatu tradisi atau kearifan lokal tersendiri dan dalam

rangka juga menghormati adat istiadat dari daerah lain. Dalam setiap penyelesaian

perselisihan keluarga besar antar Soa dan keluarga juga tetap berdasarkan atas adat

Duan Lolat. Budaya duan lolat perlu dilakukan dalam setiap kegiatan karena disitu

juga diundang Tua-tua adat untuk sebagai resminya adat tersebut dijalankan.(

Lerebulan, Aloysius, 2011:25)

Dalam setiap menjalankan adat Duan Lolat ada berbagai macam persembahan

atau barang yang dipergunakan sebagai penghormatan atau pemberian dibedakan

menurut acaranya seperti :

1. Acara lamaran atau masuk minta untuk pernikahan pada masyarakat Desa

Romean biasanya membawa atau memberikan kain Tenun khas Tanimbar (Bakan),

Sopi atau sejenis minuman beralkohol dengan disumbat atau ditutup sejumlah uang

, uang tersebut biasanya digunakan sebagai persembahan untuk Gereja atau sebagai

balas air susu ibu, dan Loran (mas kawin) khas Tanimbar yang berasal dari nenek

moyang dan sudah dipergunakan secara turun -temurun. Serta dilakukan prosesi

adat masuk minta dengan juru bicara adat meminta kepada Tuan rumah mempelai

untuk dilakukan peresmian acara pernikahan. Kemudian diakhiri dengan minum

bersama atau makan bersama.

2. Pada saat penyelesaian perselisihan keluarga baik keluarga besar atau

keluarga antar Soa biasanya dipergunakan Sopi atau sejenis minuman beralkohol

dengan disumbat atau ditutup sejumlah uang. Uang tersebut biasanya digunakan

sebagai persembahan untuk gereja dan didoakan sebagai Natsar agar perselisihan

tersebut dapat selesai sejalan dengan keinginan Tuhan.

Page 78: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 67

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pada saat acara kematian biasanya keluarga besar memberikan kain tenun

khas Tanimbar di kaki jenazah sebagai tanda berkabung dan penghormatan

keluarga besar.

4. Pada saat penyambutan tamu atau keluarga dari adat daerah lain biasanya

diberikan segelas kecil minuman sopi dan pengalungan kain tenun khas Tanimbar

atau bakan (Naflalia, Wawancara, 14 Januari 2018).

Pada dasarnya adat istiadat duan lolat dilaksanakan untuk penghormatan

terhadap masyarakat Desa Romean itu sendiri apabila tidak dilaksanakan akan

membawa dampak positif dan negatif bagi masyarakat Romean itu sendiri. Dampak

positif adalah nenek moyang masyarakat Romean mempunyai alasan tersendiri

untuk membuat adat Duan Lolat di lain pihak sebagai alat perekat antar Soa atau

keluarga besar dan di sisi lain adalah penghormatan atas asal usul dan penghargaan

atas pemberian dari Tuhan. Dampak negatifnya adalah apabila masyarakat Romean

tidak menjalankan budaya duan lolat maka anak anak Romean di perantauan

seakan-akan tidak punya adat dan terasa akan kehilangan arah dan identitas mereka

apalagi dalam pernikahan sesama masyarakat Desa Romean. Disamping itu mereka

akan dikucilkan bahkan akan tetap menjadi janji atau hutang keluarga sehingga

mereka akan berat mengarungi hidup berkeluarga. Beda halnya dengan perkawinan

campur biasanya hanya sebagai simbol untuk penghormatan terhadap adat istiadat

mempelainya. Juga ada sangsi apabila dalam perselisihan keluarga besar tersebut

tidak dilakukan sesuai adat maka dianggap Tuhan tidak akan menyelesaikan

masalah tersebut dan masalah tersebut tetap berkepanjangan bahkan dapat dibawa

sampai ke anak dan cucu (Naflalia,Wawancara, 14 Januari 2018).

3.2 Tetap Memegang Teguh Budaya Duan Lolat di Tengah Arus Jaman di

Ibukota

Dalam kurun waktu 1955 – 1960 begitu banyak masyarakat Desa Romean

yang mendengar keberhasilan Yosias Naflalia di Jakarta dari mulut kemulut maka

berdatanganlah masyarakat dari Desa Romean yang ingin merantau dan mencari

kerja di Jakarta. Mereka datang ada yang mencoba bekerja sebagai buruh

pelabuhan, buruh kapal, bahkan sampai tukang bangunan di Jakarta. Untuk

mempererat rasa solidaritas dan persaudaraan serta rasa ingin membangun

Page 79: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

68 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kampung halaman maka di bentuklah perkumpulan “Kerukunan Anak – Anak

Romean Sejawa” di Jakarta. Kerukunan ini terdiri atas empat soa /Marga Besar.

Empat soa besar yang ada di Desa Romean yaitu Soa Arun Roal, Soa Selaru,Soa

Ivnur dan Soa Rahan Ra yang ada di Desa Romean. Secara filosofis dan harafiah

artinya mereka hidup di Jakarta bagaikan berada di dalam perahu yang membawa

4 Soa yang ada di Desa Romean agar hidup selalu dalam kerukunan dan

kebersamaan.(Cundraat, Wawancara, 14 Januari 2018)

Yosias Naflalialah yang memprakarsai untuk membentuk kerukunan anak-

anak Romean di Jakarta dalam nama” Kerukunan Anak-anak Romean Sejawa”.

Atas dasar untuk mempererat rasa persaudaraan dan kebersamaan serta atas dasar

rasa ingin membangun negeri atau kampung halaman. Perkumpulan kerukunan

anak-anak Romean beranggotakan seluruh masyarakat Desa Romean yang ada di

perantauan bahkan istri serta anak – anak mereka di perantauan.Mereka masuk

tanpa syarat apapun dan dapat diterima sesuai dengan darimana Soa mereka berasal

dan tentunya memang berasal dari Desa Romean.

Kegiatan yang mereka lakukan antara lain adalah antara lain beribadah

kerukunan atau kebaktian setiap satu bulan sekali dengan memberikan

persembahan berupa uang untuk kemudian dikumpulkan agar dapat membiayai

perkumpulan dan membangun kampung halaman. Acara arisan keluarga tiap-tiap

Soa setiap 1 bulan sekali agar mempererat hubungan sesama Soa. Selain itu acara

kebaktian Natal kerukunan setiap satu tahun sekali. Serta membentuk dana

kedukaan untuk adanya rasa saling membantu pada saat anggota kerukunan

tertimpa kedukaan atau musibah.(Cundraat, wawancara, 12 Februari 2018)

Sejak Kerukunan Anak- anak Romean di bentuk sampai saat ini sudah lebih

300 KK yang berasal dari Desa Romean yang tergabung dalam perkumpulan

kerukunan anak – anak romean yang tersebar di JABODETABEK. Mereka saat ini

bekerja di berbagai bidang sebagai karyawan atau buruh perusahaan swasta.

Sebagai pegawai negeri sipil atau Guru, di bidang jasa pengamanan atau security,

berwiraswasta dan lain sebagainya. Jumlah Orang Romean yang tinggal di

Jabodetabek sampai tahun 2017 sekitar 600 orang. (Mathias, Wawancara, 13

Februari 2018)

Page 80: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 69

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dengan aktifitas yang rutin dari kerukunan anak- anak Romean di Jakarta

ini maka budaya Duan lolat masih tetap terpelihara sampai sekarang. Hubungan

kekerabatan meskipun telah merantau sampai ke Ibukota masih tetap dilaksanakan

mengingat begitu banyaknya jumlah migran asal Kepulauan Tanimbar yang tinggal

di Ibukota.

SIMPULAN

Budaya Duan Lolat di Ibukota Jakarta sampai saat ini tetap dapat terpelihara

dengan baik, meskipun telah mengalami pergeseran karena penduduk telah

bermigrasi di kota Jakarta. Mereka tetap menjalankan budayanya meskipun telah

banyak terjadi pernikahan campur dengan etnis lain seperti Jawa, Bali, Sunda,

Batak ataupun Menado.

Menjalankan budaya duan lolat merupakan suatu kehormatan bagi

penganutnya. Mereka tidak mudah melupakan asal usul nenek moyangnya, karean

bagaimanapun mereka akan pulang kekampung halamannya dan akan berjumpa

dengan sanak saudaranya disana. Kekerabatan orang Tanimbar tetap terjaga dengan

baik dengan adanya perkumpulan Kerukunan Anak-anak Romean . Apapun nama

perkumpulan yang mereka dirikan semata-mata tujuannya untuk mempersatukan

masyarakat dari kepulauan Tanimbar yang merantau di ibukota Jakarta dan

sekitarnya. Dengan harapan tetap dapat melestarikan adat dan budaya leluhurnya

sehingga tidak punah di tengah arus jaman yang mulai bersifat individualistis.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1997.Metode- Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia

De Jonge, Nico dan Toos van Dijk. 2011. Kepulauan yang Terlupakan di

Indonesia: Seni dan Budaya Maluku Tenggara, diterjemahkan oleh Marlon Ririmasse. Ambon: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Maluku Utara.

Drabbe, P. 1989. Etnografi Tanimbar, diterjemahkan dan disunting oleh Karel Mouw.

Page 81: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

70 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Koritelu, Paulus. 2009. “Perubahan Hubungan Sosial Duan dan Lolat di Olilit, Tanimbar, MTB, dalam Kurun Waktu 1995-2004”. Disertasi pada Program Studi Sosiologi, Universitas Indonesia (Tidak dipublikasikan).

Lerebulan, Aloysius. 2011. Tanimbar, Maluku Tenggara Barat: antara Tradisi dan

Kehidupan Modern. Yogyakarta: Kanisius. INTERNET https://www.kompasiana.com/npreressy/duan-lolat-sebuah-kearifan

lokal_54f7cc00a333112a1f8b4a2d https://stpakambon.wordpress.com/2009/09/04/pengaruh-budaya-duan-dan-lolat-

dalam-kehidupan-masyarakat-tanimbar/ https://klasistanut.wordpress.com/2015/02/06/duan-lolat-eklesiologi-berbasis-budaya-lokal-tanimbar/

Page 82: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 71 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

RENDAH HATI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL ORANG BALI MELALUI

PUPUH

I Gede Budiasa

Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB)

Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Kearifan lokal menurut Keraf (2002) merupakan nilai yang dianggap baik dan benar secara turun temurun dan kini digunakan sebagai pendekatan strategis yang telah dikedepankan dalam pembangunan fisik dan mental spritual di Bali. Dalam pembangunan fisik proses penyelengaraan penataan ruang mengedepankan keseimbangan antara alam, manusia dan penciptanya sebagai wujud konsep tri angga dengan roh filsafat keseimbangan Tri Hita Karana tiga penyebab kebahagian dalam upaya merajut hubungan yang serasi selaras dan seimbang secara vertikal antara manusia dengan Tuhan (Pahrayangan) dan horizontal antara manusia dengan lingukungannya (Palemahan) dan dengan sesama (Pawongan). Dalam pembangunan mental spiritual diharapkan pengembangan tipe kepribadian flegmatis yakni seseorang yang mempunyai sifat alamiah pendamai tidak suka kekerasan termasuk rendah hati dan mudah bersyukur (http/app.facebook.com/kuistemperamen 2018). Kerendahan hati dan rasa syukur tercermin dalam beberapa Pupuh baik macepat maupun kidung dalam Pamurrwa atau bagian pendahuluan yang menjadi korpus data makalah ini melalui pemakaian paribasa Bali berupa Sesawangan (Perumpamaan). Paribase ini mengumpamakan budi pekerti, gerakan, keadaan anggota badan dsb yang biasanya diwali dengan kata-kata seperti buka, kadi, tan pendah, waluya dan yang sejenisnya seperti dalam kalimat kadi telaga tanpa warih 'bagaikan kolam tak berair' saksat lembu tanpa tanduk 'seperti sapi tak bertanduk'; tan pamantra tan pasuguh 'tanpa mantra tanpa sasaji' ; Mogi tan kacakrabawa 'Semoga Amba tidak lancang'. Korpus data ini dikumpulkan melalui studi pustaka dari Gaguritan Jaya Prana dan Kidung Yadnya tersebar dalam berbagai pupuh yakni Pupuh Sinom, Ginada, Bremara Ngisep Sari dan Megatruh. Kata kunci: kearifan lokal, pupuh, flegmatis.

PENDAHULUAN

Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian

dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat

itu sendiri yang biasanya diwariskan secara turun tumurun dan biasanya terdapat

Page 83: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

72 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu dan permainan rakyat. Kearifan lokal

mempunyai kemampuan mengendalikan dan memberi arah perkembangan budaya.

Selain itu kearifan lokal tercermin dalam karakter yang merupakan nilai-nilai

perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,

sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,

perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata

krama, budaya dan adat istiadat (internet).

Budaya ekspresif merupakan identitas Budaya Bali dan termanifestasikan

secara konfiguratif melalui nilai-nilai dasar yang dominan, seperti nilai religius,

nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmonis, dan nilai keseimbangan (Geriya

2000). Inilah yang mejadi latar belakang makalh ini untuk mengupas kerendahan

hati dan rasa syukur yang tercermin dalam beberapa Pupuh baik macepat maupun

kidung. Salah satu Pupuh Ginada, yaitu ” Ede Ngaden Awak Bisa”, yang tumbuh

dan berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Bali yang banyak mengandung

spirit moral untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat Hindu (Bali). Pupuh

tersebut banyak mengandung makna yang dalam serta ajaran-ajaran keagamaan,

seperti makna pencegahan ”nyapa kadi aku”; dan malajahang raga untuk mencari

kesempurnaan hidup tiada batasnya long life education atau life long education.

(Suwardani 2015)

KONSEP DASAR

1. Kearifan Lokal

Kearifan Lokal menurut beberapa ahli adalah segala bentuk kebijaksanaan

yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa

dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama (secara turun

tumurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang

menjadi tempat tinggal mereka. Jadi kearifan lokal adalah sesuatu yang telah

melekat pada masyarakat dan telah menjadi ciri khas di daerah tertentu secara turun

tumurun dan telah diakui oleh masyarakat luas. Hal ini terwujud dalam beberapa

bentuk antara lain i. Pola pikir masyarakat yang berbudi pekerti baik; ii. Perangai

atau tabiat masyarakat kebanyakan pada daerah tertentu yang akan tetap melekat

dan iii. Filosofi hidup masyarakat tertentu yang mendarah daging dan berfungsi

Page 84: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 73

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

salah satunya sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. Di Indonesia

sebagai contoh kearifan lokal adalah Tradisi Bau Nyale di Lombok NTB,

merupakan upacara perburuan cacing laut untuk menyambut Pasola dan di Bali

Tradisi Penduduk Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli yang disebut

Mepasah. (simak Keraf 2002, Sartini 2004, Soenaryo, et al 2003 dalam

(http://www.pengertianmenurut)

2. Tipe Kepribadian Orang Flegmatis.

Menurut tayangan video yang diproduksi oleh Yudha (2018) tipe

kepribadian flegmatis merupakan salah satu dari empat) tipe kepribadian orang

yaitu i. Sanguinis (Populer, Pembicara) ii. Melankolis (Sempurna, Pemikir) iii.

Koleris (Kuat, Pelaku) iv. Flegmatis (Damai, Pengamat). Felegmatis memiliki sifat

alamiah, pendamai tidak suka kekerasan, mudah diajak bergaul, ramah, dan

menyenangkan, rendah hati, tenang dan sabar, simpatik, pendiam, mampu

mengendalikan emosi, mudah bersyukur, mudah bahagia, menghindari konflik,

kuat dalam tekanan, berhat-hati, tidak suka menyinggung orang lain, pendengar yg

baik punya banyak teman, mudah bergaul, menyenangkan dan rileks.

3. Rendah hati

Rendah hati merupakan karakter yang mengakui bahwa pencapaian

merupakan berkat dari Tuhan bukan atas usaha sendiri. Banyak orang yang

mengangap jika seseorang rendah hati maka orang itu akan mudah dikalahkan. Tapi

rendah hati merupakan permulaan dari kesuksesan. Akan tetapi bangga dan

sombong merupakan suatu hal yg berbeda . Bangga berarti mensyukuri apa yang

sudah diberikan dalam hidup kita. Tetapi sombong berarti menganggap bahwa yang

kita miliki merupakan jerih payah sendiri sehingga patut untuk dipamerkan.

Berubahlah sebelum terlambat jangan sampai karena sombong hidup kita menjadi

hancur (video play 2018).

4. Pupuh dan Kidung

Pupuh dan Kidung termasuk Kesusastraan Bali Purwa berupa Puisi (sastra

tembang) yang merupakan bagian dari keempat wangun tembang di Bali yaitu

Sekar Rare (Tembang Rare), Sekar Alit (Gaguritan), Sekar Madia (Kidung) dan

Sekar Agung (Kakawin atau Wirama). Sekar Alit sering disebut juga geguritan,

Page 85: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

74 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pupuh atau tembang. Isinya mengandung pengetahuan, kesusilaan, kerohanian,

ataupun yang bersifat romantis. Sekar Alit dapat dibedakan atas beberapa bentuk,

seperti Pupuh Ginada, Pupuh Sinom , Pupuh Durma. Akan tetapi Sekar Madya

disebut juga tembang tengahan atau kidung (jumlah dan jenis-jenisnya sangat

banyak), adalah lagu-lagu yang dipakai untuk mengiringi upacara agama, isi lagu

sesuai dengan acara pelaksanaan upacara agama Hindu (simak Admob by Google

dalam Dharma Gita Beserta Jenis dan Dampaknya).

5. Sasawangan dan Papindan

Sasawangan dan Papindan merupakan Paribase Bali atau gaya tuturan

yang terdapat pada setiap individu dan tidak ada perjanjian pemakaian paribasa

tersebut antara pemakainya (simak Widiana, 2000:17).

Sesawangan (Perumpamaan) berasal dari kata sawang 'mirip' kemudian

didwipurwakan serta mendapatakhiran {-an}sehingga menjadi sesawangan.

Paribase ini merupakan perumpamaan yang mengumpamakan budi pekerti,

gerakan, keadaan anggota badan dsb yang biasanya diwali dengan kata-kata seperti

buka, kadi, tan pendah, kadi, waluya dan yang sejenisnya seperti contoh Alisne

nyurarit kadi don intaran 'Alisnya melengkung seperti daun intaran'; Buka bulane

kalemahan 'Seperti bulan kesiangan'; Seledetanne kadi tatit 'lirikan matanya seperti

kilat atau tajam'.

Akan tetapi Pepindan merupakan perumpamaan implisit atau Metaphor

yang berbeda dengan Sesawangan (perumpamaan eksplisit). Perbedaannya terletak

pada pemakaian kata-kata seperti buka, kadi, tan pendah, kadi, waluya pada awal

Sesawangan sedangkan Papindan tidak diawali oleh kata-kata tersebut tetapi

mendapat 'anusuara' atau bunyi nasal sebelum kata yang dipakai perumpamaan

seperti contoh 'Bulane nglemahang'Seperti bulan kesiangan'; Alisne madon intaran

'Alisnya seperti daun intaran' Cecingakane natit 'lirikan matanya tajam'

METODOLOGI

Data bersumber dari studi pustaka melaui dunia maya atau internet

sejumlah teks Pupuh dan Kidung dikumpulkan secara acak dan dipakai sebagai

objek kajian dengan judul Gaguritan Jaya Prana Pupuh Sinom, Ginada, “De

Ngaden Awak Bise”, dan dua kidung yakni Bremare Ngisep Sari dan Megatruh.

Page 86: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 75

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan metode pengamatan

(observasi) yakni mengamati secara langsung objek kajian berupa teks lirik Pupuh

dan Kidung yang terdapat di dunia maya melalui internet dan metode dokumentasi

dengan cara mendengar secara intensif. Data yang diperoleh ditabulasikan

kemudian dianalisis serta disajikan dengan menggunakan analisis deskriptif

kualitatif.

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan perilaku rendah hati orang Bali sebagai kearifan lokal

sesuai tipe kepribadian flegmatis memiliki sifat alamiah, pendamai tidak suka

kekerasan, mudah diajak bergaul, menyenangkan, rendah hati, tenang dan sabar

tercermin dalam Paribasa Bali berbentuk Sasawangan dan Pepindan serta

ungkapan lain yang mengungkapkan kerendahan hati dan rasa besyukur kepada

Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa melaui Gaguritan dan Kidung dalam

Pamurwa (Pangaksama) atau bagian pendahuluan.

Sesawangan (Perumpamaan) diawali dengan kata kadi, maka atau satmaka,

saksat ditemukan sebagai pengungkap kerendahan hati orang Bali melalui Pangaksama

"Gaguritan Jaya Prana" dalam Pupuh Sinom seperti Kadi telaga tanpa warih 'Sperti

kolam tanpa air', Maka pedang tan parai 'Bagaikan pedang tanpa mata (pisau)' Saksat

lembu tanpa tanduk 'Seperti banteng tanpa tanduk'. Bentuk Pepindan terungkap sebagai

perumpamaan secara implisit diawali oleh kata-kata yang mendapat 'anusuara' atau

bunyi nasal sebelum kata yang dipakai perumpamaan dalam Pupuh Ginada seperti I

Bongkok manyujuh langit 'Si Bongkok mencapai langit', Awak buta mabet kedat 'Diri

buta layaknya bisa melihat'.

Ungkapan rendah hati lainnya juga ditemukan dalam Gaguritan Jaya Prana

seperti Titiang wantah tanpa dasar 'Saya hanyalah orang tak berilmu' Merune tinggal

lawangan 'Merunya tersisa hanya pintunya', Para sisya lintang jugul 'Para pangabdi

sangat bodoh'.

Tan pamantra tan pasuguh 'Tanpa mantra tanpa sasaji (Kidung Pupuh Megatruh),

Titiang I katunan sami 'Hamba orang nestapa' Nista kaya wak lan manah 'Kurang dalam

hal bertindak, berbicara dan berpikir' (Kidung Pupuh Bremara Ngisep Sari). Ungkapan

Page 87: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

76 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Rasa Syukur ditemukan dalam Kidung Pupuh Bremara Ngisep Sari seperti Mogi tan

kacakra bhawa 'Semoga tidak kena tulah pamidi, Langgeng ngulami Hyang Widhi 'Tak

henti-hentinya bersujud kepada Hyang Widhi. Ajaran pesan etik-moral-spiritual

sebagai petuah agar jangan nyapa kadi aku dan merupakan konsep malajahang raga

atau long life education terdapat dalam Pupuh Ginada, yaitu” Ede Ngaden Awak Bisa”.

Pupuh ini tumbuh dan berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Bali yang banyak

mengandung spirit moral untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat Hindu (Bali).

Adapun kalimat-kalimat yang mencerminkan proposisi ini sebagai berikut De ngaden

awak bisa 'Jangan merasa diri sudah pintar' yang menyiratkan pesan normatif, bahwa

manusia hendaknya jangan menganggap diri paling pintar di atas langit masih ada langit

dan kalimat terakhir Yadin ririh enu liu palajahin 'Meski pintar masih banyak yang

perlu dipelajari' yang mengandung pesan moral jangan henti-hentinya malajahang raga

sebagai konsep life long education.

SIMPULAN

Kerendahan hati merupan kearifan lokal orang Bali tercermin dalam Budaya

ekspresif sebagai identitas Budaya Bali dan termanifestasikan secara konfiguratif

melalui Gaguritan dan Kidung dirajut dalam Paribasa Bali berbentuk Sesawangan dan

Pepindan atau perumpamaan secara eksplisit dan implisit yang mengungkapkan

perilaku rendah hati dan rasa syukur serta pesan etik-moral-spiritual agar jangan

jumbawan jadi orang dan terus belajar selama hayat dikandung badan.

DAFTAR PUSTAKA

Geriya. I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Perusahaan Daerah Propinsi Bali, Unit Percetakan Bali.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat:

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Soenaryo dan Yoshi. L 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem

Agroforestri Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Suwardani, Ni Putu 2015. Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untukMemproteksi

Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. JURNAL KAJIAN

Page 88: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 77

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

BALI Volume 05, Nomor 02, Oktober 2015. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

Yudha (http/app.facebook.com/kuistemperamen 2018) Widiana, I Made. 2000 Fungsi Paribasa Bali. Denpasar: Fakultas Sastra

Universitas Udayana

Page 89: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 78 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

KESEMESTAAN BAHASA: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa

Prodi Sastra Indonesia, FIB Unud

Abstrak

Tiap-tiap bahasa di dunia memiliki ciri-ciri kesemestaan (universal) tertentu. Kesemestaan bahasa itu mencakup tiga hal: (1) kesemestaan dalam bentuk dan makna, (20) tiap-tiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil, yaitu fonem dan morfem, dan (3)tiap-tiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti orang, dan kata bilangan. Selanjutnya, bahasa juga bersifat universal. Hal ini berhubungan dengan (1) manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal dengan istilah “Language Acquisition Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2) bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya, dan (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam proses pemerolehan bahasa.

Kata kunci: kesemestaan, psikolinguistik

PENDAHULUAN

Manusia di dalam hidupnya senantiasa mendambakan komunikasi.

Komunikasi ini terjadi, baik antarsesamanya maupun dengan makhluk lain.

Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sifatnya komunikatif.

Artinya, antara seseorang sebagai pemberi informasi dengan orang lain sebagai

penerima informasi tadi dapat saling mengerti. Akibatnya, di antara orang tadi dapat

terjadi saling memberi respons yang bisa berupa tindakan.

Salah satu alat yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa. Bahasa

itu sendiri adalah sistem lambang bunyi yang arbiterer yang digunakan oleh para

anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi

diri (Kridalaksana,1982:2).

Tiap-tiap bahasa di dunia memiliki ciri-ciri kesemestaan (universal)

tertentu. Kesemestaan bahasa itu mencakup tiga hal: (1) kesemestaan dalam bentuk

dan makna, (20) tiap-tiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil,

yaitu fonem dan morfem, dan (3) tiap-tiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas

kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti orang, dan kata

Page 90: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 79

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bilangan. Pemerolehan bahasa bersifat universal. Hal ini berhubungan dengan (1)

manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal dengan istilah “Language

Acquisition Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa

mana pun, (2) bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia

bisa menguasainya, dan (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam proses

pemerolehan bahasa.

METODOLOGI

Sumber data penelitian ini adalah bahasa tulis yang diambil dari pustaka

yang relevan dengan objek penelitian. Oleh karena itu, metode yang digunakan

dalam pengumpulan data adalah metode pengamatan terhadap pustaka (studi

pustaka) yang ada hubungannya dengan topik penelitian ini. Selanjutnya, dalam

pengoperasiannya metode tersebut dibantu dengan teknik catat. Kemudian, dalam

analisis data dan penyajiannya digunakan metode informal dan metode formal.

Metode informal digunakan dalam menyajikan analisis berupa uraian dengan kata-

kata biasa (naratif). Lebih lanjut, dalam penelitian ini juga digunakan metode

formal (yakni pemakaian tabel).

PEMBAHASAN

1. Kesemestaan Bahasa

Kesemestaan bahasa (language universal) merupakan konsep

kontroversial, baik di kalangan bahasawan maupun filosof. Penganut aliran

rasionalis beranggapan bahwa bahasa-bahasa di dunia ini pada dasarnya sama

(Chomsky, 1965;1976;1981), sedangkan kaum behavioris menyatakan bahwa

bahasa berbeda satu sama lain tanpa batas dan cara-cara yang teramalkan (Joos,

1958:96). Perbedaan ini memang berakar pada pandangan filosofis yang sangat

mendasar, tetapi sebenarnya kedua kubu ini tidak jauh berbeda satu sama lain,

bahkan kedua-duanya mau mangakui bahwa pada kenyataannya mereka berbicara

mengenai satu hal yang sama, tetapi dari dari titik tolak yang berlainan.

Golongan behavioris bertitik tolak dari pandangan bahwa bahasa itu hanya

mempunyai satu macam struktur, yang oleh golongan rasionalis dinamakan

“struktur lahir”. Sebaliknya, golongan rasionalis menganggap bahasa terdiri atas

Page 91: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

80 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dua struktur yang berbeda, yakni “struktur lahir” dan “struktur batin”. Dengan

demikian, maka konsep kesemestaan adalah konsep yang berkaitan dengan struktur

batin dan yang hakiki pada manusia, sedangkan keanekaragaman berhubungan

dengan struktur lahir yang kita lihat atau dengar sehari-hari. Bahwa bahasa berbeda

satu sama lain tidaklah dapat dibantah, tetapi perbedaan ini terletak pada

manifestasi lahiriah saja. Apakah suatu istrumen dapat befungsi sebagai pelaku

pebuatan dalam suatu kalimat atau tidak, misalnya ditentukan oleh masing-masing

bahasa.

Konsep kesemestaan bahasa ini pada umumnya dinyatakan dalam dua bentuk,

yaitu (1) kesemestaan substantif dan (2) kesemestaan formal (Chomsky, 1965:27).

Kesemestaan substantif merujuk pada kenyataan bahwa elemen-elemen dalam

suatu bahasa diambil dari suatu kelompok elemen yang jumlahnya terbatas,

sedangkan kesemestaan formal merujuk pada adanya kaidah pengaturan elemen-

elemen tersebut.

Dalam bidang fonologi ada sejumlah fitur distingtif yang pasti ada pada

bahasa manusia (Jakobson, Fant, dan Halle, 1973). Namun, suatu bahasa tertentu

“memilih” sebagian saja dari jumlah ini, sedangkan suatu bahasa yang lain memilih

sejumlah yang lain pula sehingga kedua bahasa ini menjadi berbeda. Tentu saja

terjadi tumpang tindih tetapi pasti tidak penuh.

Pada bahasa mana pun jumlah fonem tidak akan kurang dari sepuluh dan

tidak lebih dari tujuh puluh, dan pada tiap-tiap bahasa paling tidak ada dua vokal.

Demikian juga, bahasa di dunia ini tidak ada memiliki bunyi apiko-uvular karena

secara fisiologis bunyi ini tidak mungkin dapat dibuat oleh manusia.

2. Kesemestaan dalam Pemerolehan Bahasa

Kesemestaan bahasa tampaknya berkaitan pula dengan pemerolehan

bahasa. Dari kehidupan sehari-hari dapat diketahui bahwa seorang anak yang baru

saja lahir akan dapat menguasai bahasa mana pun yang disuguhkan kepadanya

dengan keakuratan seperti penutur asli. “Keajaiban” seperti ini bertalian dengan

berbagai aspek filosofis kebahasaan yang menyatakan, yaitu bahwa (1) manusia

dilahirkan dengan apa yang kini dikenal istilah “Language Acquisition Device”

(LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2) bahasa

Page 92: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 81

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

memiliki unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya, dan (3)

lingkungan ikut memberikan andil dalam proses pemerolehan bahasa ini.

Ketiga syarat di atas membawa kita dalam kenyataan bahwa pemerolehan

bahasa ini sendiri bersifat universal. Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan

orang (Lenneberg, 1976; Brown, 1973; Ingram, 1979) tampak bahwa anak di mana

pun memperoleh bahasanya melalui langkah-langkah yang sama dan elemen-

elemen bahasa yang dikuasainya pun tidak berbeda dari satu anak ke anak yang

lain. Di samping landasan kesemestaan, kesamaan ini dilandasi pula oleh kesamaan

biologis dan neurologis pada manusia yang membimbing anak untuk melewati

tahapan-tahapan tertentu pada jadwal biologis yang sifatnya kodrati.

Pada saat gerak motoris mencapai taraf tertentu, pada saat itu pulalah

muncul kemampuan berbahasa tertentu pula. Kemampuan ini bermula pada saat

indeks kematangan fisik telah mencapai 65% dari nilai kedewasaan. Jadwal

perkembangan ini berjalan secara berurutan sehingga seorang anak tidak dapat

dipaksa untukk berbuat lain kecuali mengikuti jadwal ini secara patuh. Tabel

berikut ini menunjukkan tahapan-tahapan kebahasaan sesuai dengan gerak motoris

dan umur seorang anak (Lenneberg, 1967; 1969).

TABEL KORELASI GERAK MOTORIS DAN PERKEMBANGAN BAHASA (LENNEBERG, 1969) Umur Gerak Motoris Kemampuan Kebahasaan 0.5 Duduk ditopang tangan

“keranggehan” Bunyi menjadi ocehan konsonantal

1.0 Berdiri; jalan dipapah satu tangan Reduplikasi silabik; tanda-tanda mengerti kata; pemakaian bunyi untuk orang atau barang

1.5 Genggam-lepas jadi kuat; cara berjalan seperti robot; turun terap mundur

Pengertian 3-50 kata secara non-frasa; deret bunyi dan pola intonasi

2.0 Lari-jatuh; naik terap satu kaki di muka

Mengerti 50 kata lebih; frasa dua kata; banyak omong; tidak ngoceh lagi

2.5 Loncat dengan dua kaki berdiri dengan satu kaki; membuat tumpukan enam dadu

Tambahan kata tiap hari; ujaran tiga kata; mengerti hampir semua; masih banyak salah gramatikal

3.0 Jingkat tiga meter; naik terap bergantian kaki; loncat 0.9 meter

Kosa kata sekitar 100; tata bahasa dekat dewasa; kesalahan sintaksis

Page 93: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

82 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

berkurang, sistematik, dan dapat diduga

4.5 Loncat tali; loncat satu kaki; dapat berjalan di garis

Bahasa terbentuk; anomali gramatikal terbatas ada yang tak-lumrah

Dari tabel tersebut tampak adanya korelasi positif antara perkembangan

motoris seorang anak dan kemampuannya berbahasa. Pada saat baru mulai dapat

menggenggam dengan baik, dia tidak akan dapat memakai bentuk bahasa yang

berupa frasa. Sebaliknya, pada saat dia sudah dapat naik terap dengan kaki silih

berganti, dia sudah pasti tidak ngoceh lagi dan seterusnya.

Perlu kiranya dicatat bahwa yang menjadi tolok ukur di sini bukalah umur

anak, tetapi kemampuan gerak fisiknya. Umur hanyalah merupakan ancar-ancar

kapan gerak motoris itu umumnya muncul, dan dalam hal ini pun tidak seratus

persen mutlak.

PENUTUP

Konsep bahasa ini pada umumnya dinyatakan dalam dua bentuk, yaitu (1)

kesemestaan substantif dan (2 kesemestaan formal. Dalam bidang fonologi ada

sejumlah fitur distingtif yang pasti ada pada bahasa manusia. Pada bahasa mana pun

jumlah fonem tidak kurang dari sepuluh dan tidak akan lebih dari tujuh puluh,

pada tiap-tiap bahasa paling tidak pasti ada dua vokal, dan bahasa di dunia ini tidak

ada memiliki bunyi apiko-uvular karena secara fisiologis bunyi iu tidak mungkin

dapat dibuat oleh manusia.

Pemerolehan bahasa bersifat universal. Hal ini berhubungan dengan (1)

manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal dengan “Language Acquisition

Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2)

bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa

menguasainya, (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam prose pemerolehan

bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Chauchard, Paul. 1983. Bahasa dan Pikiran. Terjamahan A. Widyamartaya.

Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Page 94: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 83

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dardjowidjojo, Soenjono (Penyuntingan). 1991. Linguistik Neologi. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1982. “Apakah Bahasa Itu” dalam Dasar-Dasar

Linguistik Umum. Djoko Kentjono (Ed.). Jakarta: FS UI. Lyons, John. 1981. Language and Linguistics an Introduction. London, New York,

New Rochelle, Melbourn, Sydney: Cambridge University Press. Parera, Jos. DAnil. 1987. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga. Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Page 95: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 84 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MULTIKULTURAL DALAM MEDIA KAMPANYE CAGUB BALI:

KAJIAN WACANA

I Gusti Ngurah Parthama

Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[email protected]

Ni Luh Kade Yuliani Giri

Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Abstrak

Paper ini bertujuan untuk membahas multikulturalisme dalam media

kampanye calon gubernur (cagub) Bali 2018. Tahun ini Bali memasuki tahun politik dengan pelaksanaan pemilihan gubernur. Dalam upaya menyampaikan informasi kepada para calon pemilih, kandidat calon gubernur menggunakan berbagai media kampanye. Salah satunya adalah media kampanye luar ruang. Media kampanye luar ruang umumnya ditempatkan di ruang – ruang publik yang mudah dilihat oleh para pengguna jalan maupun masyarakat umum. Bagian yang menarik dari media kampanye tersebut adalah penggunaan teks verbal dan teks visual yang bervariasi antar kandidat. Adapun sumber data yang digunakan adalah media kampanye luar ruang yaitu baliho para kandidat cagub. Metode pengumpulan data berupa metode observasi dengan teknik perekaman, pencatatan, dan pemilahan. Sedangkan metode analisa data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan analisa pada pendekatan teks verbal maupun teks visual. Simpulan yang diperoleh adalah model multikulturalisme terdapat pada media kampanye para cagub Bali. Model multikultural itu dapat diperhatikan pada teks – teks verbal yang mengkombinasikan teks berbahasa Bali dan berbahasa Indonesia. Sedangkan teks visual lebih cenderung memunculkan budaya Bali dengan penekanan pada penggunaan pakaian adat Bali dan pewarnaan pada media baliho. Kata kunci: multikultural, media kampanye, teks tulis, teks visual

PENDAHULUAN

Tahun 2018 merupakan tahun politik bagi masyarakat Bali. Pada tahun

tersebut mereka akan memilih pemimpin daerah atau gubernur. Seperti halnya

pemilihan – pemilihan kepala daerah maupun anggota legislatif sebelumnya, pada

pemilihan gubernur kali ini juga menggunakan sistem pemilihan langsung yang

dilakukan oleh masyarakat Bali. Tentunya untuk memperoleh kepercayaan yang

selanjutnya menjadi pilihan tidak mudah. Apalagi mengelola sejumlah pemilih

Page 96: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 85

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang tersebar di delapan kabupaten/kota di Bali. Sehingga menjadi menarik saat

mendeskripsikan analisa terhadap teks – teks baik verbal maupun visual yang

digunakan oleh tim kampanye untuk menyampaikan informasi, gagasan, maupun

ajakan kepada para pemilih.

Penggunaan teks pada media kampanye sesungguhnya merupakan hal yang

paling lumrah dilakukan. Hal tersebut merupakan bagian dari bentuk promosi.

Yang membedakan hanyalah pada sesuatu yang dipromosikan. Jika pada media

promosi, umumnya yang dipromosikan adalah barang maupun jasa. Namun, pada

media kampanye yang menjadi titik fokus promosi adalah orang atau kandidat

tertentu. Dalam hal ini seseorang dapat mempromosikan dirinya sebagai calon

kepala negara, kepala daerah, kepala desa, anggota legislatif, maupun lainnya. Pada

titik promosi seperti itulah teks verbal dan teks visual menjadi media yang

menjembatani kandidat dengan para pemilihnya.

Dalam kaitannya sebagai media promosi, media kampanye luar ruang

menjadi efektif saat penyampaiannya menggabungkan dua teks, teks verbal dan

teks visual. Hal tersebut mempunyai keterikatan yang erat dengan intensitas waktu.

Harus dimaklumi bahwa media kampanye luar ruang merupakan media yang

ditempatkan atau diposisikan pada ruang – ruang publik. Ruang – ruang publik itu

seperti jalan, perempatan jalan, lokasi strategis tertentu, maupun lokasi – lokasi lain

yang dianggap efektif untuk menempatkan media – media tersebut. Selain

penempatan pada ruang publik, yang turut menjadi pertimbangan adalah waktu.

Seorang pembaca hanya memiliki waktu yang sangat terbatas ketika memperoleh

informasi dari media kampanye luar ruang. Seorang pembaca hanya sekilas

memperhatikan gambar serta kata – kata tertentu. Hal itu tentunya berkaitan dengan

kapasitas mereka sebagai pengendara atau seseorang yang kebetulan melewati

tempat tertentu.

Untuk itulah secara verbal dalam media kampanye luar ruang para cagub di

Bali dapat dilihat melalui mekanisme kajian tindak tutur. Dengan kajian tindak tutur

yang sesuai maka dapat diperoleh penafsiran yang sesuai dan memadai terhadap

bahasa verbal yang ada. Searle (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 20) membagi

kajian tindak tutur menjadi tiga yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak

perlokusi.

Page 97: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

86 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Secara lebih mendetail, Searle (dalam Leech, 1983: 327) membagi daya

atau efek (illocutionary force) suatu tindak tutur ilokusi. Tindak ilokusi tidak hanya

semata – mata sebagai tindak tutur yang memiliki daya atau efek pada

pendengarnya. Namun tindak tutur ilokusi justru memiliki daya atau efek yang

bervariasi terhadap penutur lainnya. Terdapat lima kategori dalam hal tindak tutur

ilokusi menurut Searle yaitu representatif atau asertif, direktif, ekspresif, komisif,

dan deklaratif.

Representatif atau asertif lebih menekankan pada kebenaran yang

disampaikan melalui suatu tindak tutur yang mengikat penuturnya dan hal itu

tercermin dari penggunaan kata – kata seperti menyatakan, melaporkan,

menunjukkan, dan menyebutkan. Sedangkan direktif lebih mengkhusus pada tindak

tutur yang berhubungan dengan tindakan dan kata – kata yang mewakilinya antara

lain menyuruh, memohon, menyarankan, dan menantang. Ekspresif adalah bentuk

tindak tutur evaluatif terhadap hal – hal disebutkan dalam ujaran dan bentuk

evaluatif tersebut tercermin melalui kata – kata memuji, mengkritik, dan

mengeluhkan. Sementara kategori komisif lebih memfokuskan pada pelaksanaan

terhadap apa yang telah disebutkan dalam suatu ujaran dan hal itu terwakili melalui

kata – kata mengancam, berjanji, dan bersumpah. Kategori berikutnya adalah

deklaratif yang cenderung menekankan pada penciptaan sesuatu yang baru melalui

tuturannya dan tuturan deklaratif tercermin melalui kata – kata memutuskan,

membatalkan, dan mengizinkan.

Sedangkan secara bahasa nonverbal atau visual, Dyer (1993: 97)

memaparkan tiga elemen penting untuk mengkajinya. Ketiga elemen tersebut

adalah tampilan (appearance), sikap (manner), dan aktivitas atau kegiatan

(activity). Lebih lanjut Dyer membagi ketiga elemen itu ke dalam faktor – faktor

yang lebih rinci. Perincian tersebut untuk mengkaji secara lebih mendalam dan

mendetail bahasa nonverbal atau visual suatu media iklan. Elemen tampilan

(appearance) dibagi lagi menjadi faktor – faktor detail seperti usia (age),

gender, kewarganegaraan dan etnis (nationality and racial), rambut (hair), tubuh

(body), ukuran (size), dan penampilan (looks).

METODELOGI

Page 98: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 87

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sumber data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah media

kampanye luar ruang selama masa kampanye pemilihan gubernur (pilgub) Bali.

Media kampanye luar ruang yang akan digunakan adalah baliho. Metode yang akan

digunakan pada pengumpulan data penelitian ini adalah metode dokumentasi.

Metode dokumentasi nantinya akan ditunjang dengan sejumlah teknik untuk

memperoleh data yang komprehensif. Adapun teknik – teknik yang akan

diaplikasikan antara lain teknik perekaman data berupa pemotretan media

kampanye luar ruang. Metode yang akan digunakan pada analisa data adalah

metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang

memaparkan atau mendeskripsikan suatu data secara kualitatif berdasarkan teori –

teori terkait. Dalam hal ini, penelitian ini akan mengaplikasikan analisa deskriptif

kualitatif terhadap data berdasarkan konsep teori daya (force) pada teks verbal dan

konsep teori yang berhubungan dengan teks visual.

PEMBAHASAN

Pada bagian ini dibahas dua model baliho sebagai media kampanye luar

ruang dari para calon gubernur (cagub) Bali 2018. Kedua data ditampilkan sebagai

representasi multikulturalisme atau perpaduan budaya. Kedua baliho tersebut

merupakan media kampanye yang digunakan oleh masing – masing kandidat di

seluruh wilayah Bali. Dalam hal ini, kedua baliho adalah media kampanye luar

ruang yang resmi. Masing – masing dari baliho tersebut dapat dilihat sebagai

berikut:

Page 99: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

88 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Secara umum, kedua baliho lebih banyak mencirikan budaya Bali. Hal itu

dapat dilihat pada penampilan setiap kandidat. Secara visual, setiap kandidat

menunjukkan ciri khas Bali dengan menggunakan pakaian adat Bali. Dalam hal ini

yang menjadi perhatian adalah penggunaan udeng (penghias kepala) yang menjadi

ciri pakaian adat Bali. Secara visual juga, baliho sebelah kiri menunjukkan warna

pakaian Bali yang berkombinasi antara putih dan hitam. Sedangkan baliho sebelah

kanan memperlihatkan warna putih. Pemaknaan putih dan hitam sesungguhnya

lebih dekat dengan konsep dua hal yang selalu berbeda dalam budaya Bali atau

yang dikenal dengan rwa bhineda. Dalam kehidupan segalanya mempunyai dua hal

atau sisi seperti hidup dan mati, baik dan buruk, sehat dan sakit, serta lainnya.

Sedangkan pemilihan warna putih mempunyai kecenderungan refleksi kesucian.

Apalagi warna putih selama ini memang identik dengan arti suci. Sementara itu,

dominasi warna kedua baliho hampir sama. Pada baliho kiri, warna merah dan putih

hampir seimbang dengan identitas serupa bendera merah putih di bagian atas

baliho. Baliho kanan lebih dominan warna putih yang memenuhi hampir ¾ ruang

baliho dengan merah lebih dominan di sisi bawah.

Secara verbal atau teks tertulis dapat disimak model akulturasi pada teks

masing – masing. Kombinasi teks berbahasa Indonesia dan berbahasa Bali terdapat

pada baliho sebelah kiri. Bagian penting yang berisikan ajakan untuk memilih

kandidat justru dimunculkan dengan bahasa Bali bertuliskan ngiring sareng sami

coblos no 1. Pada kandidat yang lain lebih mengutamakan penggunaan bahasa

Indonesia dengan bertuliskan pilihan rakyat Bali. Dari kedua hal itu dapat dilihat

jika penekanan yang diberikan oleh masing – masing kandidat berbeda. Pemakaian

bahasa Bali dan bahasa Indonesia sesungguhnya merupakan upaya untuk

mendekatkan para kandidat kepada para pemilihnya. Mengingat pelaksanaan

pemilhan gubernur (pilgub) kali ini di wilayah Bali, penggunaan bahasa Bali

menjadi pertimbangan kedekatan kandidat dan para pemilihnya. Pemakaian bahasa

Indonesia tentu saja mengingat pengguna bahasa nasional di Bali juga sangat

signifikan. Sehingga penggunaannya dapat menjangkau komunikasi dengan

masyarakat dengan latar belakang bahasa yang beragam.

Selain itu, baliho sebelah kiri juga memunculkan semboyan dalam bahasa

Bali dengan ekspresi nangun sat kerthi loka Bali dengan sejumlah penjelasan dalam

Page 100: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 89

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bahasa Indonesia. Setidaknya kandidat tersebut memberikan pemahaman dasar

tentang semboyan berbahasa Bali yang mereka gunakan. Sedangkan pada baliho

sebelah kanan justru lebih sederhana. Slogan yang digunakan berbunyi

Nawacandra terwujudnya Bali Shanti dan Jagadhita. Slogan tersebut sangat

singkat dan sudah memiliki tujuan yang pasti. Penggunaan Nawacandra lebih

mengacu pada program pemerintah pusat yang mendeklarasikan program

pembangunan yang dikenal dengan Nawacita. Secara umum, program pemerintah

pusat Nawacita adalah program untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju

yang berdaulat, mandiri, dan berbudaya. Hal itu juga yang menjadi pertimbangan

kandidat nomor 2 mengambil model pembangunan serupa dengan penggunaan

istilah Nawacandra.

SIMPULAN

Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa model multikultural

terdapat pada media kampanye luar ruang para calon gubernur (cagub) Bali.

Multikultural yang paling mudah diperhatikan tentunya dapat disimak pada

penggunaan informasi tertulis atau teks verbal. Penggunaan teks berbahasa Bali

menjadi pilihan selain juga teks berbahasa Indonesia. Dalam hal ini penggunaan

teks berbahasa Bali memiliki kedekatan dengan para pemilih yaitu masyarakat Bali.

Sedangkan teks berbahasa Indonesia lebih banyak memberikan keleluasaan

pemahaman terhadap masyarakat dengan latar belakang bahasa berbeda.

Multikultural pada teks visual lebih banyak menekankan pada budaya Bali dengan

konsep pemaknaan tentang dua hal berbeda dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Dyer, Gillian. 1993. Advertising as Communication. New York: Routledge. Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman. Nunan, David. 1993. Discourse Analysis. London: Penguin English. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik

Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Page 101: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 90 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MAKNA BAHASA FIGURATIF PADA LIRIK LAGU KISS FROM A

ROSE OLEH SEAL

I Gusti Ayu Nila Wijayanti

[email protected]

Sekolah Tinggi Desain Bali

Abstract

Figurative language is language that uses words or expressions with a meaning that is different from literal interpretation. When a writer uses literal language, he or she is simply stating the facts as they are. Figurative language is very common in poetry, but is also used in prose and non fiction writing. The aims of this research are to find out the figurative language used in Kiss From a Rose song which is very popular in the era 90’s and sang by Seal and to analyze the contextual meaning of figurative language used in that song. This research used descriptive qualitative research method. The theory used in this research is theory figurative language.

Keywords: figurative language, types of figurative language, lyrics, contextual

meaning.

I. PENDAHULUAN

Dalam mempelajari dan memahami bahasa, manusia tidak hanya

mempelajari bentuk bahasanya saja namun harus juga dapat mengerti makna dari

bahasa tersebut. Banyak cara yang dilakukan manusia untuk menyampaikan pesan

dan ide kepada orang lain sehingga memudahkan orang lain untuk memahami

maksud dan tujuan yang disampaikan. Dalam perkembangan bahasa, manusia juga

menggunakan lagu sebagai media untuk menyampaikan pesan, perasaan, kritik

sosial dan lain sebagainya kepada khalayak pendengar dan penikmat lagu tersebut.

Hingga saat ini, lagu banyak digunakan sebagai alat untuk mengekpresikan rasa dan

dituliskan dengan tema yang berbeda – beda mengacu kepada siapa pesan tersebut

hendak disampaikan, sehingga tidak jarang sebuah lagu bisa dianggap sebagai

propaganda untuk tujuan politik tertentu.

II. PEMBAHASAN

Page 102: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 91

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sejauh yang kita ketahui, lagu merupakan salah satu bagian dari karya

sastra. Terkadang banyak orang gagal mengerti dan susah untuk memahami arti dari

lirik yang diciptakan para pengarang lagu karena seorang pengarang lagu tentu

menyampaikan isi hatinya tidak dengan cara konvensional melainkan kata kata

yang digunakan sebagai syair lagu terkadang tersembunyi secara implisit dan

menggunakan perumpamaan perumpamaan.

Sebuah lagu juga merupakan bagian dari karya sastra. Hatch (1995)

berpendapat bahwa bahasa figuratif terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu;

simile, metafora, hiperbola, personifikasi dan lain sebagainya. Simile digunakan

untuk memberi perbandingan sesuatu hal dengan hal lainnya dengan menggunakan

kata penghubung contohnya seperti, bagaikan, bak, layaknya, laksana, dll. Metafora

didefinisikan sebagai pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang

sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau

perbandingan. Personifikasi adalah majas yang membandingkan sesuatu dari benda

mati seolah-olah menjadi benda hidup. Hiperbola adalah majas perbandingan yang

melukiskan sesuatu dengan kata kata yang lebih hebat. Kemudian yang terakhir

yaitu paradoks, yaitu gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata

dengan fakta yang ada. Berdasarkan uraian diatas maka, penulis ingin memaparkan

tentang tipe bahasa figuratif dan makna kontekstual apakah yang digunakan pada

lagu tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Menurut

Nyoman (2009;47-48) bagian terpenting dari pendekatan kualitatif adalah sebagai

berikut:

1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat

objek, yaitu sebagai studi cultural.

2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga

makna selalu berub.

3. Tidak ada jarak antara subjek penelitian dengan objek penelitian, subjek

penelitiian sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung di

antaranya.

4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat

terbuka.

Page 103: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

92 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-

masing.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode catat

dan simak. Selanjutnya peneliti akan mencari kata yang mengandung makna kiasan

dalam lagu tersebut. Kemudian data dianalisis untuk menentukan tipe bahasa

figuratif yang digunakan seperti misalnya hiperbola, sinekdok, repetisi, simile dan

sebagainya.

Lagu Kiss From a Rose oleh Seal 1. There used to be a graying tower alone on the sea, You

became the light on the dark side of me

personifikasi

2. Love remained a drug that’s the high and not the pill metafora

3. But did you know, that when it snows

My eyes became large and the light that you shine can

be seen

hiperbola

4. Baby, i compare you to a kiss from a rose on the gray simile

5. Ooh, the more i get of you the stranger it feels, yeah paradoks

6.

And now that your rose is in bloom,

A light hits the gloom on the gray

personifikasi

7. There is so much a man can tell you, so much he can say

You remain my power, my pleasure, my pain, baby

metafora

8.

To me you’re like growing addiction that i can’t deny,

Won’t you tell me is that healthy, baby?

simile

Urutan lirik pada tabel diatas menjelaskan klasifikasi bahasa figuratif yang

digunakan pada lagu Kiss from a rose. Terdapat 2 lirik menggunakan personifikasi,

2 lirik menggunakan metafora, 2 lirik menggunakan simile, 1 lirik menggunakan

paradoks, dan 1 lirik menggunakan hiperbola. Analisis makna sangat diperlukan

untuk memudahkan pendengar memahami isi dari lagu tersebut.

Lirik 1, there used to be a graying tower alone on the sea, you became

the light on the dark side of me yang bisa diartikan bahwa dahulu ada menara

kelabu sendiri di lautan, kau menjadi cahaya di dalam sisi gelapku. Pencipta lagu

Page 104: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 93

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

mengandaikan dirinya sebagai menara yang terapung ditengah lautan artinya

seseorang yang kesepian kemudian hadir seseorang yang menjadi cahaya dalam

hidupya, jadi sangat jelas bahwa penulis menggunakan personifasi pada lirik

pertama tersebut.

Kemudian di lirik 2 berbunyi, love remained a drug that’s the high and

not the pill. Dalam lirik kedua ini bisa diartikan bahwa cinta merupakan satu-

satunya candu yang bisa membuat orang sakit menjadi sehat, bukan hanya obat

yang bisa menyembuhkan, karena cinta memiliki dosis penyembuh yang sangat

tinggi. Pada lirik kedua majas yang digunakan adalah majas metafora.

Di lirik 3, berbunyi but did you know, that when it snows, my eyes

become a large and the light that you shine can be seen. Arti dari lirik ini adalah,

tahukah kamu saat turun salju, mataku terbuka lebar dan cahaya yang kau

pancarkan bisa terlihat. Pengertian dari lagu ini bahwa di saat sulit pun cinta bisa

membuat si penulis lagu tersebut merasakan hangat dihatinya dan cinta membuat

dia menjadi semangat dalam menjalani setiap kesulitan yang dialami, dan tampak

jelas penggunaan majas hiperbola pada lirik ketiga ini.

Pada lirik ke 4 berbunyi, baby, i compare you to a kiss from a rose on the

gray, artinya: kasih, aku mengumpamakanmu bagaikan kecupan dari mawar

pengusir duka lara. Sangat jelas disana bahwa majas yang digunakan adalah majas

simile karena ada penggunaan kata “compare” atau membandingkan sesuatu. Jadi

makna lirik ke empat ini berarti kecupanmu bagaikan mawar yang bisa

menghilangkan rasa duka lara. Karena mawar adalah bunga dari segala bunga dan

bisa mewakilkan rasa bahagia.

Yang terakhir adalah lirik ke 7, yang berbunyi; there is so much a man can

tell you, so much he can say. You remain my power, my pleasure, my pain. Arti

dari lirik ini adalah, banyak yang bisa dikatakan seorang pria padamu, begitu

banyak. Kau tetap kekuatanku, kebahagiaanku, dan sakitku. Metafora berarti

ungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis. Jadi makna yang

bukan menggunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan.

Dalam lirik ini dijelaskan bahwa cinta diibaratkan sebagai sumber kekuatan, bisa

Page 105: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

94 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

juga sebagai sumber kebahagiaan namun juga bisa menjadi sumber malapetaka atau

kesedihan bisa disebabkan oleh cinta itu sendiri.

III. KESIMPULAN

Dari semua penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu yang

terdapat pada lagu Kiss From a Rose mengandung bahasa figuratif. Lirik yang

dibahas juga sangat terbatas karena tidak semua dapat diuraikan mengingat

keterbatasan halaman. Terdapat beberapa penggunaan majas personifikasi, simile,

hiperbola, paradoks, metafora. Makna kontekstual lirik lagu tersebut telah diuraikan

pada pembahasan dan dapat juga disimpulkan bahwa banyak makna yang tidak

mudah untuk dimengerti oleh para pendengar karena rumitnya kalimat kalimat yang

digunakan pada lirik lagu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Imro’atul Husna. 2014. An Analysis on Figurative Language in Michael Jackson’s Song Lyric Heal the World. Banyuwangi: Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

Arifah, Khadijah. 2016. Thesis: Figurative Language Analysis in Five John

Legend’s Song. Malang: Maulana Malik Ibrahim State University. Hatch, Evelyn. M/ 1995. Vocabulary, Semantic and Language Education.

Cambridge: University Press. Kutha Ratna, Nyoman. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. https://www.azlyrics.com/lyric/seal/kissfromarose.html

Page 106: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 95 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

BAHASA KIAS DAN PENGGUNAANNYA DALAM TUTURAN RESMI

I Ketut Darma Laksana

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Penggunaan kiasan dalam sejumlah budaya di Indonesia dapat ditelusuri pada budaya suku bangsa Melayu yang tetap hidup hingga sekarang. Perhatikan misalnya adat-kebiasaan masyarakat Minang atau masyarakat Betawi (Jakarta) dalam acara peminangan mempelai perempuan selalu ditampilkan kiasan yang berupa pantun. Penggunaan bahasa kias memang menarik dan menghibur khalayak karena fungsinya yang dapat mengurangi ketegangan dan mengandung kesantunan. Dewasa ini, penggunaan kiasan ternyata telah merambah pada tuturan resmi yang berkonteks akademik ataupun non-akademik. Penggunaan kiasan pada konteks akademik ataupun nonakademik tidak terlepas dari unsur humoris penutur. Jadi, tidak setiap penutur akan menyelipkan kiasan dalam tuturannya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada upacara pembukaan dan/atau penutupan sebuah acara resmi atau event lainnya. Ada penutur yang bersikap lugu, tanpa “basa-basi”—jadi tampak serius--, namun ada yang selalu menampilkan sifat humorisnya.Untuk menyingkap ihwal penggunaan kiasan dalam tuturan resmi tersebut digunakan metode penelitian lapangan, penyimakan atas beberapa narasumber yang berhasil diwawancarai. Kemudian, analisis data dilakukan dengan memperbandingkan frekuensi kemunculan kiasan pada beberapa narasumber, bentuk kiasan yang digunakan, serta alasan penggunaannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui/mengukur “kepribadian” (personality) narasumber yang berasal dari budaya yang berbeda. Kata kunci: kiasan, budaya, kepribadian

1. PENDAHULUAN

Penggunaan bahasa kias ibarat peribahasa “Tak lekang oleh panas, dan tak

lapuk oleh hujan”. Artinya, tetap tak berubah selamanya bahwa hampir sepanjang

sejarah kehidupan manusia kiasan selalu menghiasi pertuturan. Lihat misalnya

kehidupan masyarakat Minangkabau ataupun masyarakat Betawi (Jakarta), dalam

perhelatan budaya masyarakatnya, seperti dalam acara peminangan/pernikahan,

kiasan selalu mengiringi pelaksanaannya. Sesungguhnya, dalam budaya

Page 107: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

96 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

masyarakat lainnya pun kiasan tampak diberdayakan karena fungsinya untuk

mengurangi “ketegangan” suasana pertuturan.

Dalam budaya Bali dikenal istilah sesenggakan yang juga hidup sampai

sekarang. Pertanyaan yang sulit dijawab ialah mana yang memengaruhi penutur

dalam penggunaan kiasan: bahasa daerah ataukah bahasa Indonesia. Jawaban atas

pertanyaan ini harus dihubungkan, terutama, dengan dasar bahasa Indonesia, yakni

bahasa Melayu. Seperti diketahui, peran Poejangga Baroe dan Balai Poestaka di

masyarakat dan di bidang pendidikan ataupun persuratkabaran sangat memengaruhi

penggunaan bahasa Indonesia (Masinambow dan Haenan, ed., 2002:34). Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa kiasan yang berasal dari pengarang (sastrawan)

ataupun wartawan dari daerah asal mereka, yakni Minangkabau, Sumatra Barat,

memengaruhi penggunaan kiasan dalam bahasa Indonesia.

Sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam bidang kebahasaan, yaitu Politik

Bahasa Nasional, khususnya dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa

Negara, kegiatan resmi, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik harus

menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, dalam pertuturan resmi, kiasan

yang muncul adalah kiasan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa

Melayu (Sumatra Barat) itu, yang sudah disesuaikan dengan perkembangannya

menjadi bahasa Indonesia modern.

1.1 Konsep Kiasan

Kiasan atau disebut juga majas (figure of speech) adalah bentuk bahasa

yang digunakan sebagai alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata

untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau mengasosiasikan

dua hal (Kridalaksana, 1982:85). Dalam pertuturan, penggunaan kiasan (majas)

mampu mengimbau indra pembaca karena sering lebih konkret daripada ungkapan

yang harfiah (literal). Selain itu, kiasan (majas) sering lebih ringkas daripada

padanannya yang terungkap dalam kata biasa (Moelono, 1989:175).

Kiasan dalam makalah ini dibatasi bentuknya seperti peribahasa, pantun, dan

ungkapan (idiom). Pembatasan ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman

konsepsinya, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, Cetakan Ketiga,

Page 108: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 97

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Edisi IV, 2012), konsep “peribahasa”, “pantun”, dan “kiasan” memperlihatkan

ketumpangtindihan dengan konsep “kiasan” yang diterapkan dalam makalah ini.

1.1.1 Peribahasa

Peribahasa adalah sejenis kalimat yang tetap susunannya, biasanya

mengiaskan maksud tertentu. Dalam KBBI tersebut di atas, contoh peribahasa

diikuti oleh label singkatan pr. Sementara itu, contoh kiasan diikuti oleh label ki.

Bandingkan kedua contoh di bawah ini:

(1) Pucuk dicinta ulam tiba, pr. Artinya, ‘mendapat sesuatu yang lebih banyak daripada apa yang diharapkan’.

(2) Sebagai bumi dan langit, ki. Artinya, ‘banyak sekali bedanya’.

1.1.2 Pantun

Pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap baris biasanya terdiri

atas empat baris yang bersajak a-b-a-b, tiap larik biasanya terdiri atas empat kata,

baris pertama dan baris kedua biasanya untuk sampiran dan baris ketiga dan

keempat merupakan isi, seperti contoh berikut:

(3) Jika ada sumur di ladang Bolehlah kita menumpang mandi Jika ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi

Selain pantun yang terdiri atas empat baris, ada pula pantun kilat yang

terdiri atas dua baris, bersajak a-a, masing-masing merupakan sampiran dan isi.

Bahkan, ada pantun yang hanya satu baris. Bandingkan contoh kedua jenis pantun

di bawah ini:

(a) Pantun kilat (4) Di mana bumi dipijak

Di sana langit dijunjung Artinya: ‘harus menyesuaikan diri dengan adat dan keadaan tempat tinggal’

(b) Pantun satu baris (5) Lain padang lain belalang

Artinya: ‘Tiap-tiap negeri berlainan aturan dan adatnya’

1.1.3 Ungkapan (Idiom)

Page 109: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

98 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ungkapan adalah kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan

makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur). Perhatikan

contoh berikut:

(6) Bumiku, istanaku Artinya: ‘tanah tumpah darah’

(7) Lempar handuk Artinya: ‘menyerah’

1.2 Konsep Mitigasi

Bahasa kias yang terkandung dalam peribahasa, pantun, ataupun ungkapan

berfungsi untuk menunjukkan kerendahan hati. Penggunaannya dapat

meringankan/mengurangi ketegangan dalam situasi pertuturan. Dengan demikian,

bahasa kias atau kiasan mengandung konsep mitigasi, fungsinya penting lebih-lebih

dalam kegiatan yang “mengancam” pertemuan tatap muka. Selain itu, kiasan juga

mengandung konsep “kesantunan” (lihat juga Gyasi-Obeng, 1996).

2. METODOLOGI

2.1 Pendekatan Pragmatik

Penelitian ini membahas bahasa dengan maknanya yang tidak literal

(figuratif). Sehubungan dengan itu, pemahaman atas tuturan yang muncul

didasarkan atas “pendekatan pragmatik”. Kiasan yang digunakan oleh penutur

sesungguhnya harus dipahami bahwa kata-kata di dalamnya mengandung makna

yang “menyimpang” dari makna harfiah. Oleh karena itu, unsur bahasa dalam

kiasan dikatakan sebagai “improper collocation of lexical item”. Misalnya, dalam

bahasa Inggris ada kiasan yang berbunyi “Green ideas sleep furiously”, dikiaskan

kepada seseorang yang memiliki ide cemerlang tetapi tidak diekspos (Levin,

1979:4).

Secara semantis, kata, kelompok kata, atau kalimat yang bermakna literal

(harfiah) mengandung “nilai kebenaran” (truth value). Sementara itu, secara

pragmatis, kata, kelompok kata, atau kalimat mengandung makna yang tidak

bernilai kebenaran. Dengan demikian, pragmatik dapat diartikan sebagai “Semantik

minus Nilai Kebenaran” (Soemarmo, 1987:9). Karena pemaknaan pragmatik

seperti itu, para ahli pragmatik menyebutnya sebagai sebuah kajian bahasa dalam

konteks.

Page 110: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 99

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Selanjutnya, pemahaman karakter dan/atau kepribadian para penutur yang

menggunakan kiasan dapat diukur dari kesamaan dan/atau perbedaan

pandangan/alasan penutur. Caranya ialah dengan melihat kesamaan atau perbedaan

apakah penutur sama-sama memiliki “struktur dasar kepribadian” (basic structure

of personality). Jika ya, maka terwujud apa yang dinamakan “karakter”. Jika

karakter penutur itu lingkupnya luas, misalnya bangsa, maka lahirlah “karakter

nasional”.

2.2. Data

Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara menyimak tuturan yang

mengandung kiasan yang disampaikan oleh penutur pada saat acara resmi, seperti

acara pembukaan atau penutupan seminar, acara penerimaan mahasiswa baru

(terutama mahasiswa pascasarjana yang berasal dari luar Bali), acara wisuda, dan

sejenisnya. Selain itu, data penelitian juga diperoleh dari tulisan berupa buku,

terutama dalam bagian pengantarnya.

3. PEMBAHASAN

Kiasan yang ditemukan dalam penelitian ini berturut-turut dapat disajikn

dibawah ini.

3.1 Bentuk, Makna, dan Fungsi Kiasan

3.1.1 Peribahasa

(8) Tak ada gading yang tak retak Artinya: ‘Tak ada sesuatu yang tidak ada cacatnya’

Melalui peribahasa di atas penutur/penulis berharap ada masukan dari para

pendengar/pembaca dalam upaya perbaikan dan penyempurnaan apa telah

dikerjakan saat ini. Harapan penutur/penulis ialah bahwa pada masa yang akan

datang dapat diperoleh hasil yang lebih baik.

(9) Tak lekang disengat panas, dan tak lapuk dimakan hujan (Catatan: pilihan kata peribahasa ini hasil bentukan penutur/penulis

yang berbeda dari peribahasa yang ada di buku/kamus).

Penutur/penulis ingin menyampaikan tentang kandungan sebuah kitab suci

(Alquran) yang tidak akan pernah pudar atau ketinggalan zaman. Oleh karena itu,

generasi muda (muslim) harus peka akan perubahan zaman.

Page 111: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

100 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.1.2 Pantun

3.1.2.1 Pantun Empat Baris

Pantun empat baris yang ditemukan adalah sebagai berikut:

(10) Jika ada jarum yang patah Jangan disimpan di dalam peti Jika ada kata-kata yang salah Jangan disimpan di dalam hati (11) Jika ada sumur di ladang Bolehlah kita menumpang mandi Jika ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi Pantun (10) di atas penuh dengan makna merendah atas kemungkinan

kesalahan yang diperbuat. Pendengar merasa terangkat/tersanjung akan kesantunan

yang ditunjukkan oleh pembicara. Sementara itu, pantun (11) penutur dengan penuh

harapan dapat berjumpa lagi pada kesempatan lain.

3.1.2.2 Pantun Dua Baris

Pantun dua baris juga dituturkan oleh seseorang, seperti contoh di bawah

ini.

(12) Lain ladang lain belalang Lain lubuk lain ikannya Artinya: ‘Tiap-tiap negeri ada adat istiadatnya sendiri’ Pantun dua baris di atas dimaksudkan oleh penutur untuk menyampaikan

pesan bahwa bangsa kita, Indonesia, bersifat bineka. Oleh karena itu, masing-

masing warga bangsa harus saling untuk menjaga kebinekaan itu.

3.1.2.3 Pantun Satu Baris

Selain kedua jenis pantun tersebut di atas ditemukan pula jenis pantun satu

baris seperti contoh di bawah ini.

(13) Lain padang lain belalang Artinya: ‘Tiap-tiap negeri berlainan aturan dan adatnya’

Pantun satu baris ini maknanya sama dengan pantun dua baris tersebut di atas.

3.1.3 Ungkapan (Idiom)

Ungkapan yang ditemukan dalam tuturan resmi adalah sebagai berikut:

(14) Sebagai bumi dan langit Artinya; ‘Banyak sekali bedanya’

Page 112: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 101

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(15) gigit jari Artinya: ‘kecewa’ (karena yang diharapkan tidak dapat)’

Ungkapan (14) dituturkan untuk maksud membandingkan dua hal yang

banyak sekali bedanya’, sedangkan ungkapan (15) dituturkan untuk maksud

kekecewaan yang dialami karena tidak berhasil dalam suatu usaha.

Hal lain yang perlu diungkap di sini ialah perkembangan kiasan yang

mengambil/meniru bunyi iklan seperti di bawah ini.

(16) Apa pun makannya minumnya …

Ungkapan ini dituturkan oleh pengamat politik pada acara debat tentang

Pilpres 2019 (Kompas Tv, medio Maret, 2018). Ungkapan ini dikaitkan dengan

pilihan seseorang pada tokoh idolanya. Dampak dari ungkapan tersebut benar-benar

“memecah” suasana yang tegang dalam diskusi. Inilah bukti bahwa kiasan

berfungsi untuk mengurangi ketegangan yang terjadi di antara penutur.

3.2 Karakter Penutur

Para penutur yang menyelipkan kiasan (peribahasa, pantun, dan kiasan)

dalam tuturannya memperlihatkan kesamaan struktur kepribadian dasar.

Berdasarkan data yang terkumpul yang berasal dari berbagai profesi, seperti dosen,

ahli hukum, ahli politik, dan tokoh agama, semuanya mempunyai alasan yang sama,

yakni suasana tegang/serius perlu diselingi dengan “humor”agar terjadi

keimbangan antara hati dan perkataan.

Sehubungan dengan itu, dapat ditarik pemahaman bahwa orang Indonesia

memperlihatkan karakter yang sama, yaitu karakter nasional/bangsa, yang tetap

menjaga hubungan sosial yang harmonis. Banyak hal yang digunakan dalam upaya

menjaga karakter bangsa itu, salah satu di antaranya adalah penggunaan kiasan.

4. SIMPULAN

Kiasan tidak saja berfungsi mitigasi, mengurangi ketegangan dalam

pertuturan, tetapi juga mengandung fungsi kesantunan. Fungsi penggunaan kiasan

seperti itu berkaitan dengan kesepakatan bersama penutur agar persaudaraan yang

terbentuk dari kebinekaan bangsa tetap terjaga.

Page 113: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

102 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Edisi IV. Jakarta: PT Gamedia.

Gyasi-Obeng, S. 1996. “The Proverb as a Mitigating and Politeness Strategy in

Akan Discourse”. Anthropological Linguistics, Vol. 38, No. 3. Bloomington-Indiana: American Indian Studies Research Institute, Departement of Anthropology.

Hanafi, Muchlis M. 2012. “Kata Pengantar Ketua Tim Penyusun Tafsir Tematik

Kementerian Agama RI”. Pelestarian Lingkungan Hidup: Tafsir Al-Quran

Tematik. Seri 4. Jakarta: Lajnah Pentastihan Mushaf Al-Quran, hlm. xix—xxviii.

Harris, M. 1991. Cultural Anthropology. Edisi Ketiga. New York: Harfer Collins

Publisher. Kridalaksana, H. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Levin, Samuel R. 1979. The Semantics of Metaphor. Baltimore dan London: The

John Hopkins University Press. Moeliono, A.M. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta:

PT Gramedia. Soemarno, Marmo. 1987. “Pragmatik dan Perkembangan Mutahirnya”. Pertemuan

Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. PELBA I 1-2 September. Wallace, A.F.C. 1970. Culture and Personality. New York: Random House.

Page 114: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 103 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

RESI WISWAMITRA MENGUJI KEBIJAKAN SANG DASARARTHA

SEBAGAI PEMIMPIN

Oleh: I Ketut Jirnaya

Program Studi Sastra Jawa Kuno

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kakawin Ramayana merupakan salah satu karya sastra Jawa Kuno yang terkenal karena kisahnya panjang, penuh keindahan, dan padat nilai filofi. Bannyak sarjana telah mengkajinya untuk mengungkap nilai yang dikandungnya. Walaupun demikian, masih banyak ruang untuk mengkajinya kembali. Salah satu masalah yang belum pernah dikaji, yaitu dialog antara raja Dasaratha dengan Resi Wiswamitra. Apa isi dialognya, kenapa terjadi dialog, bagaimana raja Dasaratha bersikap? Hal ini akan dikaji dengan memakai teori estetika resepsi. Data yang dikaji diperoleh dari bacaan teks kemudian dipilih bait-bait yang mendukung untuk dikaji. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa walaupun raja Dasaratha terkenal bijak, namun masih kurang sempurna. Kesempurnaannya diperoleh berkat penyadaran dari Resi Wiswamitra.

Kata kunci: pemimpin, bijak, demokratis, terbuka.

1. Pendahuluan

Kisah Rama (Ramayana) merupakan kisah dua tokoh dalam epos besar

Ramayana, yakni Rama dan Dewi Sita. Perjalanan cinta dua sejoli itu penuh liku-

liku, suka dan duka, yang kemudian berakhir pilu. Dewi Sita disangsikan

kesuciannya setelah dibekap oleh Rahwana, akhirnya Dewi Sita dijemput oleh Ibu

Pertiwi dengan masuk ke perut bumi selamanya. Kisah ini sudah dikenal ribuan

tahun dan sampai saat ini masih eksis, disenangi, dan digali terus nilai-nilai humanis

yang terdapat di dalamnya.

Para sarjana sastra di berbagai belahan dunia tidak pernah bosan mengkaji

bait-demi bait kisah Rama secara ilmiah dari sudut pandang ilmu sastra tentunya.

Walaupun demikian, masih banyak celah yang dapat dikaji untuk menemukan nilai

Page 115: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

104 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang terkandung di dalamnya dan diaplikasikan di dalam kehidupan. Pada

kesempatan ini akan dikaji episode pertemuan yang sarat dengan dialog antara Sang

Dasaratha dengan Resi Wiswamitra. Ada sejumlah masalah yang akan dikaji, yaitu:

bagaimana dialog kedua tokoh tersebut? Kenapa Resi Wiswamitra ngotot dan

berani kepada Sang Dasaratha, sedangkan Sang Dasaratha diketahui sebagai raja

diraja? Bagaimana Sikap Sang Dasaratha menghadapi Resi Wiswamitra? Semua

permasalahan itu akan dikompilasi secara deskriptif, artinya tidak dimunculkan

sebagai masalah tersebdiri yang berupa bab, seperti penelitian yang cakupannya

luas untuk memperoleh hasil yang maksimal, kajian ini akan memakai teori estetika

resepsi (Fokkema, 1977; Jauss, 1983;Teeuw, 1984; Isser, 1987). Pengadaan data

yang dikaji diperoleh dengan membaca teks berulang-ulang secara cermat. Semakin

dalam teks dibaca semakin muncul makna yang ada dalam teks tersebut (Riffaterre,

1978).

2. Pembahasan

Kakawin Ramayana (setelah diadaptif) di Indonesia merupakan karya sastra

Jawa Kuno dalam bentuk kakawin yang paling tua, panjang, dan populer. Hooykaas

(1955, 1957) mengakui kakawin Ramayana sebagai “adikakawin” ‘kakawin

pertama dan teladan’. Di hati penikmat sastra tradisional selalu menduduki tempat

terhormat (Zoetmulder, 1983: 277). Jika dilihat dari persepsi masyarakat,

khususnya di Bali, kakawin Ramayana telah mengalami penulisan kembali

berulang-ulang dengan media yang bermacam-macam pula. Penyalinan kakawin

Ramayana dengan media daun lontar jumlahnya ratusan buah naskah. Demikian

pula penyalinan dengan media kertas atau buku, juga jumlahnya ratusan buku,

seperti yang diterbitkan Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah tingkat I Bali

(1986). Terakhir terbitan Perpustakaan Nasional RI (2010).

Walau telah menarik minat para peneliti sastra tradisional, dalam estetika

resepsi Jauss (1983) bahwa kakawin Ramayana tidak ubahnya bagaikan orchestra

yang selalu menyuarakan suara terbaru kepada pembacanya setiap periode dari

generasi ke generasi untuk member tanggapan dan pemaknaan.

Page 116: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 105

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sang Dasaratha terkenal sebagai seorang raja yang bijak (divya). Beliau

tidak gegabah mengambil keputusan ketika ada hal penting harus diputuskan.

Beliau harus mendalami persoalan dengan seksama. Hal ini ditunjukkan ketika ada

seorang Pendeta (Resi) bernama Resi Wiswamitra datang untuk meminta

pertolongan agar Pasraman tempat beliau bertapa dijaga dari gangguan para

raksasa.

Patapan nira ya manaņa, Dening rakṣasa krura karma, Mahyun ta sira rinakṣa, Patapan nira de nirang Rāma. (KRY, I. 39).

Terjemahannya:

Pertapaan beliau ya dibencanai, Oleh raksasa yang buas dan jahat, Berkeinginanlah beliau dijaga, Pertapaan beliau oleh beliau sang Rama. Naratha sang Da aratha, Sira pinaran de nirang mahṛsi wara, Ghorawa sang prabhu pinaran,

Pranatha manĕmbah sirānungsung. (KRY, I. 40)

Terjemahannya:

Sang prabu Dasaratha, Beliau didatangi dan dipilh oleh sang Pendeta, Sangat hormat sang prabu dihadap, Tunduk dan menyembah beliau menyongsong.

Di dalam hubungan hirarki, seorang pendeta termasuk rakyat atau bawahan

raja, namun mendapat tugas dalam pengembangan agama di dalam sebuah

kerajaan. Sang Dasaratha sadar yang datang menghadap adalah tamu lebih-lebih

lagi di-tuakan. Itu sebabnya beliau sang Dasaratha sangat hormat sampai menunduk

menyongsong tamu suci yang datang menghadap. Tidak ada sifat arogansi sebagai

penguasa terhadap bawahannya. Sifat dan sikap ini perlu ditauladani di dalam

kehidupan nyata.

Page 117: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

106 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Apa don i sang mahaṛsi, Kita jaya ring mantra, siddha sakahyun,

Tattwa linolyan ta lana,

Yatita mulya ri ṛsi kadi kita. (KRY, I. 41)

Terjemahannya: Apa tujuan sang pendeta, Engkau ahli dalam mantra, berhasil apa yang diinginkan, Filsapat selalu menjadi kesenangan, Itu yang mulia bagi pendeta sepertimu.

Demikian sang raja Dasaratha mengawali dialog dengan

menanyakan tujuan kedatangan pendeta tersebut. Di samping

itu, sang raja memuji sang pendeta. Sang Resi Wiswamitra lalu

menyampaikan tujuan kedatangannya.

He natha sang Da aratha, Mojarku rĕngönta yatna pituhunya, Yan tan yogya kṣama ya, Jatining aswi maminta kāsih. (KRY, I. 46)

Terjemahannya:

He raja sang Dasaratha, Dengarkan kataku dan percaya akan kebenarannya, Jika tidak benar maafkan itu, Sesungguhnya dengan memaksa meminta kasih.

Resi Wiswamitra sebagai tamu yang dihormati dan merasa posisi sebagai

orang tua berkata dengan bijak. Walaupun sesungguhnya dengan memaksa

memohon kasih, tetapi tetap merendah. Selanjutnya Resi Wiswamitra

mengutarakan kebijakan seorang raja yang salah satunya harus melindungi semua

rakyatnya. Bagi Resi Wiswamitra belum merasakan keadilan dari raja Dasaratha.

Beliau tidak sungkan-sungkan menyampaikan hal itu pada raja. Artinya ketika

rakyat memiliki masalah, wajib menyampaikan kepada raja atau pemimpin.

Nya dharmaning kadi kita,

Pinaka araṇa de nirang tapaswi kabeh, Salwiraning katakuta,

Kita tang rakṣa ri duhka kabeh. (KRY, I. 47)

Page 118: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 107

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Terjemahannya:

Inilah kewajiban bagi tuanku, Dipakai sarana oleh para pertapa semua, Segala hal yang ditakutkan, Engkaulah yang patut menjaga dari semua kedukaan. Nya dharmaning kadi mami,

Mawaraha kita ring sinanggwan dharma,

Punya lawan papa kunang,

Kami mawaraha kadi kiteng yukti.

(KRY, I. 48)

Terjemahannya: Inilah kewajiban kami, Memberitahu tuan yang hal yang wajib, Hal yang baik maupun yang buruk, Kami menyampaikan dengan sebenarnya.

Pada bait di atas dengan jelas Resi Wiswamitra menjelaskan kewajiban raja

sebagai pelindung dan kewajiban rakyat menyampaikan masalah yang menimpa,

namun didasari atas kejujuran.

Brahmana Kṣatryan madulur, Jatinya parasparopasarpanaya,

Wiku tanpa natha ya ilang,

Tanpa wiku kunang ratwa irṇa. (KRY, I. 49)

Terjemahannya: Brahmana dan Ksatria beriringan, Sesungguhnya saling isi dan melengkapi, Pendeta tanpa adanya raja sama dengan hilang, Raja tanpa pendeta konon kerajaan itu punah.

Penjelasan Resi Wiswamitra terkait hubungan hirarki raja dengan pendeta

maupun Ksatria. Di dalam kepercayaan Hindu ada yang disebut dengan Catur

Warna, yaitu empat golongan yang memiliki fungsi masing-masing.

1. Brahmana, bertugas mensejahterakan rakyat melalui ilmu pengetahuan

rohani dan mengembangkan agama;

2. Ksatria, bertugas menjalankan pemerintahan;

3. Wesya, bertugas menjalankan perekonomian;

Page 119: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

108 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

4. Kawula (Sudra?) sebagai rakyat kebanyakan bertugas pada semua

bidang dalam wujud kerjasama untuk membina kesejahteraan

masyarakat, Negara, dan umat manusia (Upadesa, 1968: 55).

Hal ini ditegaskan kembali oleh Resi Wiswamitra terutama posisi pendeta

di dalam kerajaan. Pendeta merupakan pendamping raja yang akan bertugas

membangun mental spiritual negara sehingga tercipta kedamaian dan

kesejahteraan. Bukan seorang pendeta dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk

mengacaukan negara demi uang dan kedudukan.

Kedatangan Resi Wiswamitra sesungguhnya meminta putra raja Dasaratha,

yakni sang Rama untuk menjaga pertapaan dan memerangi raksasa jahat tersebut.

Pendeta Wiswamitra mendengar kesaktian dan kemampuan sang Rama walau

beliau sang Rama masih tergolong anak-anak. Alangkah terkejutnya raja Dasaratha

ketika Resi Wiswamitra menyampaikan hal itu karena raja Dasaratha masih sangat

sayang kepada putra beliau yang masih anak-anak.

Na ling mahaṛsi mojar, Humĕnĕng atah narendra mangĕn-angĕn, Dolaya manacitta,

Kepwan sira tar wĕnang sumahur. (KRY, I. 52)

Terjemahannya: Demikian sang pendeta berkata, Diam membisu sang raja berpikir-pikir, Diam dan bersedih hatinya, Beliau bingung tidak kuasa menjawab.

Di dalam kebisuan sang raja Dasaratha, terbersit pikiran tentang putranya

yang masih anak-anak akan menanggung resiko amat besar, yakni berperang

melawan raksasa buas dan jahat. Tentu keselamatan putra beliau yang sangat

dikhawatirkan.

Ndan lakweki sirāma

Lumage musuh mahaṛsi ring patapan, Pĕjah hawas ya kĕsambya, Apan rare tan wruhing bisama.

(KRY, I. 53). Terjemahannya:

Page 120: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 109

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Jika sang Rama jadi berangkat, Memerangi musuh pendeta di pertapaan, Tentu putraku akan mati tersambit, Karena masih anak-anak tidak tahu akan bahaya. Tuhu yan wĕruh ya ri āstra, Ndatan tahu manglage musuh bisama,

Rakṣasa maya ya kabeh, Lawan para cidra yan paprang.

(KRY, I. 54)

Terjemahannya: Sungguh dia tahu dengan ilmu senjata, Tetapi belum tahu memerangi musuh yang berbahaya, Musuhnya semua raksasa siluman (bisa tampak dan bisa tidak), Lagi pula curang di dalam peperangan.

Demikian alur aliran pikiran raja Dasartha. Di satu sisi berat hati melepas

putranya karena masih sangat saying. Pada sisi lain takut jika tidak mengindahkan

permintaan sang pendeta. Beliau Resi Wiswamitra dikhawatirkan akan marah

krodha siran salahasan ‘marah salah terima”. Tentu beliau akan mengutuk kita

semua byakta kami kabeh cinapa nira . Akhirnya diputuskan oleh raja Dasaratha

mengijinkan putranya dipakai pelindung oleh para pendeta pertapa. Dadi tusta sang

maharsi ‘Jadi senanglah sang pendeta’.

3. Simpulan

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:

1. Raja Dasaratha terkenal sakti dan bijak, terbuka untuk rakyatnya ketika

ingin menyampaikan sesuatu atau berdialog.

2. Kesempurnaan seorang raja Dasaratha setelah diisi oleh Resi Wiswamitra

tentang kewajiban seorang pemimpin dan mau mendengarkan dan

menerimanya.

3. Seorang raja atau pemimpin harus mengedepankan keselamatan rakyat dan

bukan mengedepankan kebahagiaan keluarga.

Page 121: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

110 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1968. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Parisada Hindu Dharma.

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Tweentieth Century , Structuralism, Marxism, Aesthetics of Reception,

Semiotics. London: C. Hurst & Company. Hooykaas. C. 1955. “The Old Javanese Ramayana Kakawin”. VKI 15. Isser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading, a theory of Aesthetic Response.

Baltimore and London: The Jhons Hopkins University Press. Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis:

University of Minnesota Press. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 2010. Ramayana Djawa Kuna Teks dan Terjemahan.

Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana

University Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teory Sastra. Jakarta: Pustaka

Jaya. Warna, I Wayan. dkk. 1986. Ramayana I. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar

Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.

Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.

Page 122: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 111 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

KALIMAT EFEKTIF DALAM KARANGAN ILMIAH SISWA SMA

SURYA WISATA KEDIRI, KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN

TABANAN

Oleh:

I Ketut Nama

[email protected]

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

Abstrak

Kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat efektif lebih mengutamakan keefektifan kalimat tersebut sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin (Arifin dan Amran Tasai, 1987:114). Dalam menyusun karangan ilmiah, wajib hukumnya bagi penulis untuk menyusunnya dengan kalimat efektif selain menerapkan kaidah tata tulis ilmiah lainnya, seperti tata bahasa, kosakata, dan ejaan. Dalam tulisan ini akan dianalisis pemakaian kalimat efektif dalam karangan ilmiah siswa SMA Surya Wisata Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah field research, yakni terjun langsung ke lapangan, ke SMA Surya Wisata Kediri dengan menugaskan para siswa, khususnya para siswa yang memilih kegiatan ekstrakurikuler penulisan karya ilmiah, untuk menyusun karangan ilmiah yang berupa karangan deskripsi. Setelah data terkumpul, dilakukan identifikasi dan klasifikasi, kemudian ditentukan korelasinya sesuai dengan maksud penelitian. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa secara umum para siswa sudah mampu menyusun kalimat efektif. Namun dalam beberapa hal, masih ditemukan adanya kekurangan atau kesalahan, yakni di antaranya : a) kalimat yang tidak sepadan, b) kalimat yang tidak padu, c) kalimat yang tidak hemat, dan d) kalimat yang tidak logis. Kata kunci: karangan ilmiah, karangan deskripsi, kalimat efektif

1. Pendahuluan

Karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta

dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar. Karangan ilmiah

harus ditulis secara jujur dan akurat berdasarkan kebenaran tanpa mengingat

Page 123: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

112 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

akibatnya (Brotowijoyo dalam Arifin, 1987:1). Kebenaran dalam sebuah karya

ilmiah bukan merupakan kebenaran normatif, melainkan kebenaran objektif dan

positif sesuai dengan data dan fakta di lapangan. Karangan (karya tulis) ilmiah

merupakan karangan yang berisi gagasan yang disajikan dengan menggunakan

bentuk dan bahasa ilmiah.

Selain karangan ilmiah (nonfiksi), ada pula karangan fiksi (nonilmiah).

Kedua jenis tulisan ini dibedakan oleh sistematika dan pemakaian bahasanya.

Tulisan nonilmiah (fiksi) cenderung menggunakan bahasa nonbaku karena lebih

mementingkan “kebebasan” dalam menuangkan ide. Sedangkan tulisan ilmiah

tidak hanya mementingkan kekomunikatifan, tetapi juga kebenarannya. Tulisan

jenis ini berlaku di kalangan ilmuwan yang menjunjung tinggi nilai dan kaidah yang

baku dan tulisan jenis ini harus menggunakan bahasa Indonesia baku (standar)

(Sukartha dkk., 2017:83).

Beranjak dari pemaparan di atas dapat disebutkan bahwa dalam tulisan

(karangan) ilmiah tersebut wajib diterapkan kaidah penulisan yang baku, di

antaranya kosakata yang baku, tata bahasa, dan tata kalimat, termasuk pembentukan

kalimat efektif.

Dalam tulisan singkat ini akan dianalisis pemakaian kalimat efektif dalam

karangan ilmiah siswa SMA Surya Wisata Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten

Tabanan, khususnya dalam karangan ilmiah yang bersifat deskriptif. Dipilihnya

karangan siswa SMA Surya Wisata Kediri dijadikan sebagai objek penelitian

adalah karena siswa tersebut mendapat pendidikan plus di bidang pariwisata.

Pelajaran tentang memandu wisata terkait erat dengan cara-cara mendeskripsikan

tentang suatu objek wisata dan hal ini gayut dengan karangan deskripsi. Apakah

mereka sudah bisa menerapkan kaidah kalimat efektif dalam karangannya? Hal

inilah yang akan dikaji dalam tulisan ini.

Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah field research, yakni

terjun langsung ke lapangan, ke SMA Surya Wisata Kediri dengan menugaskan

para siswa, khususnya para siswa yang memilih kegiatan ekstrakurikuler di bidang

penulisan ilmiah, untuk menyusun karangan ilmiah yang berupa karangan

deskripsi. Setelah data terkumpul, dilakukan identifikasi dan klasifikasi, kemudian

ditentukan korelasinya sesuai dengan maksud penelitian.

Page 124: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 113

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2. Pembahasan

Sebelum menganalisis pemakaian kalimat efektif dalam karangan deskriptif

siswa SMA Surya Wisata, akan dipaparkan tentang konsep kalimat efektif. Keraf

(1989:35) menyebutkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki

kemampuan atau tenaga untuk menimbukan kembali gagasan-gagasan pada pikiran

pendengar atau pembaca identik dengan apa yang dipikirkan pembicara atau

penulis. Sejalan dengan Keraf, Arifin dan Amran Tasai (1987:11) mengungkapkan

bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk

menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca

seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat efektif lebih

mengutamakan keefektifan kalimat tersebut sehingga kejelasan kalimat itu dapat

terjamin.

Terkait dengan pemakaian kalimat efektif dalam bahasa tulis, Suparno dan

Muhamad Yunus (2007:2.1) menyebutkan sebagai berikut.

Dalam penggunaan bahasa tulis, kalimat efektif menjadi unsur pengungkap gagasan yang penting dan strategis. Kalimat efektif menjadi unsur yang berguna untuk menghindari kesalahan pemahaman pembaca. Kesalahan pemahaman itu tidak dapat dikendalikan karena pembaca tidak berhadapan dengan penulis. Pembaca hanya dihadapkan dengan teks tulis. Kehadiran pembaca hanya diwakili oleh teks tulis itu. Hal ini sangat berbeda dengan penggunaan bahasa lisan. Dalam penggunaan bahasa lisan, kesalahan pemahaman pendengar dapat dikendalikan karena sangat mungkin pembicara mengetahui segera adanya kesalahan itu. Dengan demikian, pembicara dapat memberikan koreksi kesalahan pemahaman itu dengan mengungkapkan kembali gagasannya dengan kalimat yang lebih jelas, atau dengan memberikan penjelasan tambahan.

Agar kalimat yang dibuat dapat memberi informasi kepada pembaca secara

tepat seperti yang diharapkan oleh penulis (efektif) perlu diperhatikan beberapa

persyaratan, di antaranya: (1) kesatuan gagasan (kesepadanan); (2) kepaduan; (3)

keparalelan (kesejajaran); (4) ketegasan; (5) kehematan; (6) penekanan; dan (7)

kelogisan.

Sehubungan dengan persyaratan kalimat efektif seperti di atas, dalam

karangan deskripsi para siswa SMA Surya Wisata Kediri ditemukan beberapa

ketidaksesuaian dengan persyaratan di atas, di antaranya : (1) kalimat yang tidak

Page 125: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

114 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sepadan; (2) kalimat yang tidak padu; (3) kalimat yang tidak hemat; dan (4) kalimat

yang tidak logis. Hal ini akan dianalisis di bawah ini.

Kalimat tidak sepadan dijumpai pada karangan siswa yang berjudul “Taman

Ayun”. Pada paragraf I, kalimat ke-3 tertulis sebagai berikut.

1. Di pura ini merupakan tempat untuk memuja roh-roh leluhur raja-raja Mengwi.

Yang dimaksud dengan kesepanan adalah keseimbangan antara pikiran

(gagasan) dengan struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan suatu kalimat

dicirikan oleh kehadiran subjek dan predikat secara jelas. Kejelasan subjek dan

predikat suatu kalimat antara lain dapat dilakukan dengan menghindarkan

pemakaian kata depan di, dalam, bagi, untuk, dan sebagainya di depan subjek

(Arifin dan Amran Tasai, 1987: 114). Kalimat (1) di atas tidak menunjukkan

kejelasan hubungan antara subjek dan predikat. Kalimat tersebut dapat diperbaiki

menjadi kalimat efektif yang menunjukkan unsur kesepadanan dengan

menghilangkan kata depan di di depan subjek, sehingga kalimat tersebut menjadi

kalimat seperti di bawah ini.

1a. Pura ini merupakan tempat untuk memuja roh-roh leluhur raja-raja Mengwi.

Atau diubah bentuknya menjadi kalimat pasif, seperti 1b di bawah ini.

1b. Di pura ini dipuja roh-roh leluhur raja-raja Mengwi.

Berikutnya, pemakaian kalimat yang tidak padu dijumpai pada karangan

siswa yang berjudul “Pantai Pandawa”. Pada awal paragraf ketiga (terkhir) tertulis

kalimat sebagai berikut.

2. Selain itu tujuan wisata dan olahraga air, pantai ini juga dimanfaatkan untuk

budidaya rumput laut….

Yang dimaksud dengan kepaduan pada kalimat efektif adalah hubungan

timbal balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata atau kelompok kata) yang

membentuk kalimat itu. Bagaimana hubungan antara subjek dan predikat,

hubungan antara predikat dan objek, serta keterangan-keterangan lain yang

menjelaskan tiap-tiap unsur tersebut (Keraf, 1989:38). Lebih lanjut disebutkan

bahwa yang dapat merusak koherensi (kepaduan) kalimat antara lain adalah

pemakaian kata, baik karena merangkaikan dua kata yang maknanya tidak tumpang

tindih, atau hakikatnya mengandung kontradiksi.

Page 126: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 115

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada kalimat 2 di atas terdapat pemakaian kata itu yang maknanya tumpang

tindih dengan keterangan tujuan wisata dan olah raga air. Dengan demikian,

kalimat tersebut dapat diubah atau diperbaiki menjadi kalimat 2a atau 2b di bawah

ini.

2a. Selain tujuan wisata dan olahraga air, pantai ini juga dimanfaatkan untuk

budidaya rumput laut…

2b. Selain itu, pantai ini juga dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut….

Kalimat tidak hemat dijumpai pada karangan siswa yang berjudul “Alas

Kedaton” dan “ Berlibur ke Pantai”. Adapun kalimat tersebut adalah sebagai

berikut.

3. Tetapi, meskipun monyetnya ramah, mereka terlihat sangat galak….

4. Setelah aku sampai di Pantai Kedungu, akupun langsung berenang di pantai….

5. Sebelum masuk ke daerah pura atau hutan kera, pengunjung akan melihat

banyak pedagang-pedagang yang menjual souvenir atau cendera mata.

Kehematan dalam kalimat efektif ialah hemat mempergunakan kata, frasa,

atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu. Kehematan tidak berarti harus

menghilangkan kata-kata yang dapat menambah kejelasan kalimat. Penghematan

yang dimaksud adalah penghematan terhadap kata yang tidak diperlukan, sejauh

tidak menyalahi kaidah tata bahasa (Arifin dan Amran Tasai, 1987: 118). Lebih

lanjut disebutkan bahwa beberapa kriteria yang dapat dilakukan, antara lain dengan

cara menghilangkan pengulangan subjek dan tidak menjamakkan kata-kata yang

berbentuk jamak.

Pada kalimat 3 dan 4 karangan siswa di atas terdapat pengulangan subjek.

Ada ketentuan bahwa pada kalimat majemuk bertingkat, apabila subjek anak

kalimat sama dengan subjek induk kalimat, maka subjek pada anak kalimat bisa

dilesapkan atau tidak dimunculkan agar tidak terjadi pengulangan subjek. Kalimat

3 dan 4 tersebut akan menjadi efektif atau perbaikannya menjadi kalimat 3a dan 4a

di bawah ini.

3a. Tetapi meskipun ramah, mereka terlihat sangat galak…. 4a. Setelah sampai di Pantai Kedungu, aku pun langsung berenang di pantai ….

Page 127: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

116 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kalimat 5 di atas dapat dihemat dengan tidak menggunakan bentuk ulang

pada kata pedagang-pedagang sebab sudah didahului oleh kata banyak, sehingga

perbaikannya menjadi kalimat 5a di bawah ini.

5a. Sebelum masuk ke daerah pura atau hutan kera, pengunjung akan melihat

banyak pedagang yang menjual souvenir atau cendera mata.

Selanjutnya, kalimat tidak logis dijumpai pada karangan siswa yang

berjudul “SMA Surya Wisata”. Kalimatnya seperti berikut ini.

6. SMA Surya Wisata adalah sekolah swasta dan satu-satunya SMA yang memiliki

pelajaran pariwisata selain itu di sini juga mendapat dua ijazah yaitu ijazah

umum dan sertifikat pariwisata.

Yang dimaksud kelogisan ialah ide kalimat tersebut dapat diterima oleh

akal. Kalimat 6 di atas kurang logis dan dapat diperbaiki seperti di bawah ini.

6a. SMA Surya Wisata adalah sekolah swasta dan satu-satunya sekolah yang

memberikan pelajaran plus di bidang pariwisata. Selain itu, tamatannya

mendapat dua ijazah, yaitu ijazah umum dan sertifikat pariwisata.

3. Penutup

Beranjak dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa pada karangan

ilmiah siswa SMA Surya Wisata yang bersifat deskripsi tersebut sebagian besar

sudah sesuai dengan kaidah penulisan karangan ilmiah. Akan tetapi, dalam

beberapa hal masih dijumpai pemakaian kaidah yang kurang benar, misalnya

pemakaian ejaannya, pilihan kata, dan penerapan kaidah kalimat efektif. Adapun

kekurangan dalam menerapkan kaidah kalimat efektif, di antaranya masih

dijumpai: (1) kalimat yang tidak sepadan, (2) kalimat yang tidak padu, (3) kalimat

yang tidak hemat, dan (4) kalimat yang tidak logis.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E. Zaenal. 1987. Penulisan Karangan Ilmiah dengan Bahasa Indonesia

yang Benar: Pedoman Praktis untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Melton Putra.

Arifin,E. Zaenal dan Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia untuk

Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Melton Putra. Bawa, I Wayan. 1989. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Surabaya: Himsa

Jaya. Keraf, Gorys. 1989. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa (Cet. VIII).

Ende Flores: Nusa Indah.

Page 128: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 117

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sukartha, I Nengah dkk..2017. Bahasa Indonesia Akademik untuk Perguruan

Tinggi.Denpasar: Udayana University Press. Suparno dan Mohamad Yunus. 2007. Keterampilan Dasar Menulis (Cet. XIV).

Jakarta: Universitas Terbuka.

Page 129: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 118 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

IKONISITAS SEKSUAL DALAM KUMPULAN CERPEN CAONARANG

KARYA MADE SUARSA

Oleh

I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika, Luh Putu Puspawati

Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kumpulan cerpen Calonarang merupakan salah satu kumpulan cerpen berbahasa Bali yang berisikan enam belas buah cerpen. Keenam belas cerpen itu semuanya menggunakan judul Calonarang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kekhasan cerpen tersebut dari segi bahasa dengan cara pengungkapan yang khas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan kemiripan bentuk fonologis sebagai diksi yang khas, estetis literer sehingga makna teks dapat dipahami secara komprehensif. Ada tiga tahapan yang dilakukan, yakni penyediaan data, analisis data, dan hasil penyajian hasil analisis data. Adapun teori yang digunakan adalah teori semiotika yang memadang bahasa sebagai simbol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen Calonarang banyak sekali digunakan bentuk-bentuk bahasa yang mirip untuk mengungkapkan aspek seks terutama aspek bunyi yang bertujuan menunjukkan atau menambah kesan estetis. Seks dimaknai sebagai sesuatu yang realistis, yang dibutuhkan dan hadir di tengah kehidupan masyarakat sebagai suatu kebutuhan biologis. Kata kunci: ikonisitas, seks, calonarang, khas, estetis

1. Pendahuluan

Nurgiyantoro (1995:10) menyatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita

yang tidak dapat diukur panjang atau pendeknya. Para kritikus sastra dan pengarang

juga tidak satu pendapat mengenai hal tersebut, tidak ada aturan pasti mengenai ha

itu. Nurgiyantoro (1995:10) setuju dengan pendapat Poe yang mengatakan bahwa

cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira

berkisar antara setengah jam sampai dua jam. Cerpen dapat diartikan sebagai

kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang

dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh di satu situasi (KBBI 2005: 210).

Cerpen merupakan bentuk prosa rekaan yang pendek bukan asal sedikit halaman

Page 130: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 119

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

melainkan masih mempersyaratkan adanya keutuhan cerita serta permasalahan

yang digarap tidak begitu rumit (Siswanto, 2008: 142).

Putra (2000: 15-16) mengatakan bahwa perkembangan kesusastraan Bali

modern diperkirakan muncul sekitar tahun 1910-an dan 1920-an dengan sejumlah

cerpen-cerpen Bali moderen hasil karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro yang

terbit saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kesusastraan Bali modern

sudah ada dan tumbuh jauh sebelum roman Nemoe Karma (Ketemu Jodoh) karya I

Wayan Gobyah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1931. Dengan demikian,

penelitian Putra mematahkan anggapan Agastia (1988: 6) dan Bagus dan Ginarsa

(ed.) (1978; ii-iii) yang mengatakan bahwa awal munculnya perkembangan

kesusastraan Bali modern saat lahirnya sebuah roman Nemoe Karma karya I Wayan

Gobyah tahun 1931 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Jadi, kelahiran sastra Bali

modern ditandai oleh munculnya cerpen dan bukan puisi atau pun roman (novel).

Sejak kemunculannya sampai saat ini belum bisa dipastikan jumlah cerpen

yang berhasil diterbitkan. Beberapa pengarang muda seperti Gita Purnama,

Citrawati, dan yang lainnya telah menerbitkan kumpulan cerpennya. Tak kalah

produktif, penulis senior I Made Suarsa juga menerbitkan karya-karyanya, salah

satu di antaranya kumpulan cerpen berbahasa Bali yang berjudul Calonarang

(2015). Disebut cerpen bahasa Bali karena dari sudut bahasa menggunakan bahasa

Bali dan dari sudut setting juga kesusastraan Bali (cerita Bali klasik). Ada enam

belas buah cerpen yang disajikan dengan bahasa (Bali) yang dengan bahasa Bali

yang khas, estetis, stilistis, dan pengungkapan simbolik yang khas. Berdasarkan

kekhasan Kumpulan Cerpen Calonarang tersebut, maka dalam kesempatan ini akan

dikaji bentuk-bentuk ikonik tentang seksualitas serta makna/pesan umum ekspresi

seksualitas sebagai sarana estetis literer.

2. Metodologi

Beberapa penelitian yang gayut dengan tulisan ini dapat dideskripsikan

sebagai berikut.

(1) Yogi (2014) yang berjudul “A Semiotic Analysis upon Advertisement Entitled

‘Save Our Generation From Free Sex”. Teori yang digunakannya adalah

teori Semiotika dari Peirce. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa makna

Page 131: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

120 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

iklan saling terkait dengan aspek verbal yang berupa kata hingga kalimat dan

aspek nonverbal yakni dari sisi warna latar belakang serta duah buah

silhouette tangan yang menggenggam lambang laki-laki dan perempuan.

(2) Hardiningtyas (2015) yang berjudul “Dinamika Sosial Budaya Masyarakat

Bali dalam Kumpulan Cerpen Mandi Api: Antara Tradisi dan Modernisasi”.

Teori yang digunakannya adalah teori sosilogi sastra. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa cerpen Mandi Api merepresentasikan stratifikasi sosial

vertikal dan horizontalnya yang didasarkan pada catur wangsa. Selain itu,

sistem kemasyarakatan terlihat pada dinamika sosial budaya dengan hadirnya

relasi gender yang didominasi oleh kekuatan patriarkat, perempuan masih

ditempatkan pada posisi yang inferior, objek dari kekuatan laki-laki dan

tradisi.

(3) Sulibra (2016) dengan judul “Ikonisitas Lingual Novel-Novel Berbahasa Bali

DjelantikSantha: Aspek Estetis Stilistis”. Hasil penelitiannya menunjukkan

bawa ikonisitas satuan lingual dapat dilihat dari sudut fonologis, baik

permainan vokal maupun konsonan. Ikonisitas satuan lingual itu sengaja

dilakukan secara terstruktur dan juga dilakukan dalam bentuk pengulangan

kata/leksem. Ikonisitas juga terjadi dalam penggunaan bentuk-bentuk

sepadan, baik dari segi bentuk atau pun dari segi makna (terutama aspek

sosiolinguistik). Ikonisitas dalam karya sastra seringkali digunakan untuk

menambah daya estetis sekaligus gaya dari seorang pengarang.

Ada dua teori yang digunakan dalam tulisan ini, yakni teori teks dan

semiotika. Untuk teori teks ada tiga konsep yang patut dipahami, yakni teks,

konteks, dan koteks. Untuk ketiga istilah ini akan dikutipkan dari rangkuman

(dalam Sulibra, 2017, 53-56) sebagai berikut. Brown dan Yule berpendapat bahwa

sebuah wacana adalah teks, baik lisan maupun tulis. Oleh sebab itu, Schiffrin

(2007: 570) memberikan pengertian teks sebagai isi linguistik dari tuturan-tuturan;

arti semantik tetapnya pada kata-kata, ekspresi dan kalimat, tetapi bukan inferensi

(pemahamannya) yang tersedia pada mitra tutur yang bergantung pada konteks

tempat kata-kata, eskpresi, dan kalimat digunakan. Sebuah teks haruslah bermakna

Page 132: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 121

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

atau memiliki fungsi (Halliday dan Hasan, 1994: 13), yakni ungkapan linearitas

bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu yang dapat diwujudkan dalam

berbagai bentuk atau sarana. Sebuah teks tampak seakan-akan terdiri dari kata-kata

dan kalimat-kalimat, namun sesungguhnya terdiri dari makna-makna. Salah satu

cara untuk memerikan teks adalah dengan penafsiran yang terinci atau explication

de text (Halliday dan Hasan, 199: 14).

Konteks menurut Brown dan Yule (1996: 25) mengacu pada ‘lingkungan’,

‘keadaan’. Menurut mereka, ada beberapa hal yang yang perlu diperhatikan dalam

analisis, yakni (i) referensi (reference), praanggapan (ii) presupposition, (iii)

inferens atau penarikan kesimpulan (inference), (iv) implikatur (implicature).

Selain konteks berkaitan dengan ‘situasi’seperti tersebut di atas, konteks berperan

untuk memperkecil distorsi dalam menafsirkan jarak perbedaan makna-makna.

Menurut Aaron Cicourel (dalam Titscher, dkk., 2009: 45) bahwa ada dua jenis

konteks, yaitu konteks luas dan konteks lokal. Konteks luas untuk konteks tataran

makro sebaliknya konteks lokal untuk tataran mikro. Kedua konteks ini harus

dipersatukan untuk memperoleh deskripsi yang lengkap berikut dengan berbagai

kompleksitasnya. Secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa konteks adalah

benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi

penggunaan bahasa (Darma, 2014: 65). Dengan demikian, konteks adalah hal-hal

yang bukan unsur bahasa. Penggunaan bahasa atau teks selalu bersama-sama

dengan konteks, tidak dapat dipisahkan.

Ko-teks adalah teks yang berhubungan dengan teks lain. Koteks dapat pula

berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam bisa berupa

kalimat, paragraf, wacana, bahkan seperti ideologi. Brown dan Yule (1996: 49)

makin banyak adanya koteks pada umumnya tafsirannya makin kuat. Teks

menciptakan koteksnya sendiri.

Pengguunaan teori semiotika digunakan trikotomi dari Peirce, yakni ikon,

indeks, dan simbol. Bahasa sebagai sistem tanda (sebagian besar bersifat simbol) di

dalamnya juga tersembunyi sifat ikonis. Selain itu, ada pula perkembangan dalam

bahasa.Oleh Zoest (1990: 8) dikatakan bahwa jika ada sesuatu yang berlaku satu

kali saja, ada pergeseran dari ikonisitas ke simbolitas. Akan tetapi, dalam simbolitas

Page 133: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

122 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

juga memungkinkan adanya nuansa perubahan karena “simbol” memiliki derajat

kecanggihan paling tinggi dibandingkan dengan tanda ikonis yang bersifat

sederhana (mendasar, primitif).

Mengutip pendapat Nöth (1990 dalam Erfiani, 2015: 104-105) bahwa

sistem tanda dapat ditafsirkan dengan tiga cara yang berbeda, tergantung pada

hubungannya dengan objek yang diwakilinya. Pertama, penafsir berasumsi bahwa

tanda tidak memiliki hubungan fisik dengan objek yang diacunya, tanda seperti ini

disebut dengan simbol yang hanya dapat dipahami dengan mengaitkan maknanya.

Kedua, penafsir dapat menempatkan tanda sebagai indeks, dalam beberapa hal

secara fisik terhubung dengan objek yang diwakilinya. Ketiga, penafsir dapat

percaya bahwa tanda adalah ikon dari objek yang digambarkan. Ikon hampir

sepenuhnya mewakili sifat objek yang diwakilinya.

Secara metodologis, ada tiga tahapan dilakukan, yakni mulai dari

penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Pengumpulan data

dilakukan dengan observasi lapangan dengan mencari naskah-naskah cerpen

berbahasa Bali di berbagai pusat toko buku, perpustakaan, atau pun milik pribadi.

Selain itu juga digunakan metode simak karena berkaitan dengan penggunaan

bahasa teks. Penyadapan penggunaan bahasa terjadi karena teks cerpen berbahasa

Bali yang bersifat naratif (Mahsun, 2005: 90-93).Metode ini juga dilengkapi dengan

teknik klasifikasi, catat, dan terjemahan. Metode analisis data dilakukan dengan

metode hermeneutik dan kualitatif. Metode hermeneutik dilakukan untuk

menafsirkan atau menginterpretasikan teks cerpen yang telah disimak. Metode ini

digunakan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk semiotik dalam cerpen. Metode

kualitatif digunakan karena bukan angka-angka atau perhitungan matematis.

Metode-metode ini dibantu dengan teknik deskriptif analitik, yakni

mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci dan jelas (Ratna, 2011: 49).

Hasil analisis data disajikan dengan metode formal dan informal. Metode formal

dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal

dengan menggunakan rangkaian kata-kata biasa. Metode ini dibantu dengan teknik

berpikir deduktif dan induktif atau sebaliknya (Mahsun, 2005: 116).

Page 134: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 123

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pembahasan

Kumpulan cerpen Calonarang berisi enam belas buah cerpen, yang

semuanya menggunakan judul Calonarang (Calonarang 1-Calonarang 16). Setiap

judul dilengkapi dengan lukisan Calonarang dan musuhnya Taskara Maguna.

Demikian juga untuk setiap judul selalu menampilkan adegan pertemuan

Calonarang dengan Taskara Maguna. Kalau dalam cerita Calonarang

sebagaimana yang ada dalam teks lama (tradisional) dan dalam pementasan terjadi

pertarungan sengit untuk saling mengalahkan dan saling membunuh, maka tidak

demikian halnya dalam cerpennya. Pertarungan yang dimaksudkan dalam cerpen

adalah bukan pertarungan sungguhan melainkan terjadinya hubungan seksual

antara laki-laki dengan perempuan. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa

karya Made Suarsa adalah khas khususnya pilihan kata yang menunjukkan bentuk-

bentuk yang mirip untuk menggambarkan situasi keerotisan terjadinya hubungan

seksual itu yang diibaratkan pertarungan Ni Calonarang dengan Taskara Maguna.

Berikut ini disajikan beberapa cuplikan adegan (dengan terjemahan harfiah

disesuaikan) yang dikutip dari Calonarang 3.

“Ngatonang Luh Ratna kadi Rangdaning Dirah ngereh masuang layah

nyelép ka tangkah ancang anadah, Komang ‘Taskara Maguna’ Madri gelis ngunus keris besi wayah, nincapang riin tutuknyanve ring tanah,

ngurek nebek ipah Mpu Bradah saking tangkah tedun ka sombah

mapageh samah”

“Ni Rangda sayan mamungkah Ki Patih sayan jengah. Ni Calonarang

rumasa karecah kacacah, Ki Taskara Maguna sayan pangkah ngrereh

selah. Rangda mulisah, Patih gresuah, Calonarang nadah, Patih

nampah. Pirang molah kunang galah, “yudane’ nepék agrah, sad rasa

nyusup kantos ka akah, arah-arah punyah. Yudane ngawit dangsah,

rah maliah-liah Calonarange muputang pakem nelasang abah, sapih

samplah, tan wénten menang kalah, mapuara Rangda Pandung tusta

lila awijah-wijah kantos lemah” (Calonarang 3: 18).

‘Melihat Luh Ratna seperti Rangda Dirah menjulurkan lidah hingga ke dada hendak memangsa, Komang Madri (Taskara Maguna) segera mengeluarkan keris, (sebelumnya) menusukkannya ke tanah, (akan) menusuk Rangda Dirah (ipar Mpu Bradah) mulai dari dada sampai ke lubang berumput tebal”

‘Rangda Dirah semakin membuka (dan) Ki Patih Taskara semakin bernafsu. Calonarang (Rangda Dirah) merasa dibelah, Ki Taskara mencari celah. Si Rangda bergoyang si patih semakin bernafsu, Calonarang memangsa patih membelah. Entah beberapa lama ‘pertarungan’ sengit terjadi, rasa nikmat menyusup sampai ke tulang sumsum, berkata tidak karuan.

Page 135: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

124 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pertarungan yang mulanya biasa, sampai berdarah-darah semua posisi sudah dilakukan, keduanya seri, tidak ada menang kalah, akhirnya Rangda (Dirah) dan Pandung (Taskara) sangat puas sampai subuh’

Kutipan teks Calonarang 3 di atas menunjukkan adanya kemiripan bentuk,

yakni dominasi penggunaan bunyi /h/ atau /ah/ pada akhir kata. Semua bunyi /h/

atau /ah/ digunakan dipasangkan sedemikian rupa sehingga semakin menambah

daya estetis teks. Selain itu, pengulangan/pemakaian bunyi /h/ atau /ah/ tersebut

justru semakin memperkuat makna teks. Selain mengambil kata-kata dari Bahasa

Bali, juga diperkaya dengan ambilan kosa kata Jawa Kuna (Kawi), bahkan ada juga

kosa kata bahasa Indonesia (seperti dalam contoh kutipan di bawah). Kata-kata

yang digunakan dalam teks tersebut di atas bersifat konotatif. Diksi yang digunakan

untuk mendeskripsikan situasi perang yang tidak sesungguhnya, melainkan

deskripsi atau adegan dua insan yang sedang melakukan persetubuhan. Luh Ratna

(perempuan) diibaratkan Rangdeng Dirah sedangkan prianya Komang Madri

diibaratkan Taskara Maguna. Kedahsyatan persetubuhan itu diibaratkan sedahsyat

perang antara Rangda Dirah dengan Taskara Maguna, saling serang dan ingin saling

mengalahkan atau saling membunuh.

Tidak jauh berbeda kedahsyatan pertarungan antara lelaki dengan

perempuan dalam hal seksualitas, berikut disajikan cuplikan dari Calonarang 12.

“Ring taksu Calonarang sareng kaih mabongbong, ngadu katong, ngadu

brondong, ngadu jempong, ngadu bokong, kong kali kong. Wong katemu

song, singkong katemu bolong, canglong katemu coblong, panyong

katemu gorong. Rangda ngulayak kadi legong, patih ngragas kadi

songgokong. Tuwung terong nyrongcong, madia léngkang-léngkong

tunggak kenceng kayu sotong, ngranjing ring rong tiing santong. Saling

pondong, saling gosong, saling dorong, munyi ngacuh tidong-tidong,

ngongnyong senengé tan sandang omong, tan sida engsap kantos dadi

dadong” (Calonarang 12: 93)

‘Di Taksu Calonarang berdua bertarung, beradu kekuatan, beradu kemudaan, beradu jambul, beradu bokong, kong kali kong (setali tiga uang). Jamur ketemu gua, singkong ketemu lubang, cangklong ketemu coblong, pancong ketemu gorong. Rangda menengadah seperti legong, patih memanjat seperti Sun Go Kong.Terong menyembul, pinggang bergoyang potongan kayu jambu biji, masuk ke dalam lubang bambu. Saling pikul, saling angkat, saling dorong, suara tidak karuan, senang tak terkatakan, tidak akan lupa sampai menjadi nenek’.

Page 136: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 125

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kutipan teks Calonarang 12 di atas menunjukkan adanya kemiripan bentuk

yang menggunakan bunyi /o/ atau /ong/. Sama dengan teks Calonarang 3 di atas,

penggunaan bunyi o/ atau /ong/ pada akhir suku kata sangat mendukung makna

teks. Oleh pengarang, kata-kata yang mengandung bunyi /o/ atau /ong/ saling

mendukung baik dengan kata yang sebelumnya maupun dengan kata di

belakangnya, makna teks saling mendukung antarfrasa sampai pada teks secara

keseluruhan. Hubungan sintagmatik teks sedemikian rupa, sangat rapat sehingga

kohesivitas teks terjalin dengan baik. Pasangan biner disajikan dengan akurat:

mabongbong ‘bertarung’ dengan katong ‘kekuatan’; ngadu brondong dalam

konteks muda penuh semangat, ngadu bokong ‘pinggul’; ngadu jambul dalam

konteks kemaluan laki-laki dan perempuan; jamur dengan song ‘gua’; cangklong

(rokok ) dengan coblong ‘asbak’, pancong dengan gorong; dan sebagainya.

Penggunaan kemiripan bentuk-bentuk kata secara fonologis tersebut di atas

ditujukan dalam konteks situasi intimitas dua orang dewasa berbeda jenis, laki-laki

dengan perempuan. Sebagaimana diakui oleh pengarang bahwa istilah atau kata

‘calonarang’ merujuk pada hubungan intimitas tadi. Intinya adalah adanya

kesamaan antara ‘calonarang’ pertunjukan dengan ‘calonarang’ hubungan

seksualitas, yakni membutuhkan suatu tempat sebagai arena pertarungan. Jika

dalam ‘calonarang’ pementasan terjadi adegan ketika Patih Taskara Maguna

berkali-kali ingin membunuh Rangda Dirah dengan sebilah keris, maka

‘calonarang’ cerpen diinterpretasikan terjdinya hubungan intimitas itu. Keris

menunjukan lambang laki-laki dan sombah mapageh samah ‘lorong berpagar tebal’

memiliki konotasi lambang perempuan. Demikian juga terhadap kepasrahan

Rangda Dirah karena kesaktiannya, keyakinannya dengan kesaktiannya, dengan

kekuatannya yang tak terkalahkan malah menantang Taskara Maguna untuk datang

dan minta untuk segera menusukkan kerisnya. Hal itu pun dilakukan Taskara

Maguna, tetapi karena kekuatan Rangda Dirah akhirnya Taskara Maguna tidak

berdaya, tidak ada yang memenangkan. Agresivitas Rangda Dirah (sebagai

repesentasi perempuan) tidak mampu ditandingi oleh keperkasaan seorang Patih

Taskara Maguna (sebagai representasi laki-laki). Dengan kata lain pesan yang mau

disampaikan pengarang adalah bahwa dalam hal intimitas seksual sesungguhnya

perempuan memiliki daya tahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-

Page 137: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

126 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

laki dan pihak perempuan tidak perlu ragu dalam hal agresivitas, saling memberi

dan menerima karena tujuan akhirnya adalah kebahagiaan kebersamaan.

4. Simpulan

Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa simpulan sebagai berikut.

(1) Cerita Calonarang telah memberi inspirasi kepada pengarang untuk disajikan

dalam bentuk yang berbeda.

(2) Penggunaan diksi atau pilihan kata yang mengandung kemiripan fonologis

(ikonisitas) memberi kesan lebih pada aspek estetik literer sehingga teks

menjadi lebih menarik untuk dibaca khususnya dalam eksplorasi seksual.

(3) Diksi ikonisitas bersifat konotatif interpretatif.

(4) Dalam hal intimitas seksual saling meminta dan memberi bagi kedua belah

pihak bukanlah hal tabu karena muaranya adalah kebahagiaan bersama.

5. Saran

Penelitian ini terlaksana atas bantuan dari Fakultas Ilmu Budaya Unud dan

kerja sama tim peneliti. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sedalamnya-dalamnya

kepada Dekan FIB beserta jajaranya. Penyajian penelitian ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu saran konstruktif sangat diperlukan demi penyempurnaan

selanjutnya. Masih banyak yang perlu digali dari kumpulan cerpen ini khususnya

dari perspektif makna sebuah hubungan, positif maupun negatifnya, baik bagi yang

sudah berkeluarga, lebih-lebih bagi bujangan.

DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.

Semarang: CV IKIP Semarang Press. Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak. Christomy, T dan Untung Yuwono (ed). 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat

Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Edi Subroto, D, Sumarlam, Soenardji, Slamet Raharjo. 1999. Telaah Stilistisa

Novel Berbahasa Jawa tahun 1980-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Page 138: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 127

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Erfiani, Ni Made Diana. (Editor). 2015. Ragam Wacana: Bahasa, Sastra, dan

Budaya.(Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr Nyoman Kutha Ratna). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya.Jakarta: Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok. Jorgensen, Marianne W dan Louise J Philips. (Editor: Abdul Syukur Ibrahim).

Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Putra, I Nyoman Darma.2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern.Yogyakarta: Duta

Wacana University Press. Sudaryanto. 1986. “Ikonisitas, Bentuk Ikonis, dan Pemanfaatannya”. (Makalah

dalam Seminar Bahasa, Sastra, dan Budaya Malaysia-Indonesia yang diselenggarakan di UGM 17-18 November 1996).

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Sulibra, I Ketut Ngurah. 2016. “Ikonisitas Lingual Novel-Novel Berbahasa Bali

Djelantik Santha:Aspek Estetis Stilistis”. (Prosiding Seminar Nasional bahasa Ibu, Februari 2016 di Denpasar).

Titscher, Stefan, dkk. 2009. (Editor: Abdul Syukur Ibrahim). Metode Analisis Teks

dan Wacana.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yogi, I Made. 2014. “A Semiotic Analysis uupon Advertisement Entitled ‘Save

Our Generation From Free Sex” dalam Cahaya Bahasa. Denpasar: Swastanulus.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang

Kita Lakukan Dengannya (edisi terjemahan oleh Toeti Heraty Noerhadi). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Page 139: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 128 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

BEBERAPA FENOMENA FONOLOGIS PADA TATARAN SINTAKSIS DI

DALAM BAHASA BALI

I Made Madia

[email protected]

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Abstrak

Pembahasan fenomena fonologis pada tataran morfologi seperti pelesapan, penyisipan, penggantian, penyesuaian (asimilasi), pemanjangan, atau pemendekan sudah jamak dilakukan pemerhati atau peneliti bahasa. Pembahasan fenomena fonologis pada tataran sintaksis belum banyak mengusik perhatian para ahli bahasa. Pembahasan fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali terinspirasi dari tulisan Inbelas (1990 ed.), The Phonology-Syntax Connection, yang memelopori pembahasan fenomena fonologis pada tataran sintaksis. Di dalam bahasa Bali ternyata fenomena fonologis pada tataran sintaksis (frasa) juga ditemukan. Di dalam bahasa Bali ditemukan fenomena fonologis pada tataran sintaksis yang berupa perangkapan konsonan/geminasi, ligatur, pemendekan vokal, penggantian konsonan, dan penghilangan kata. Kata kunci: perangkapan konsonan/geminasi, ligatur, pemendekan vokal,

penggantian konsonan, dan penghilangan kata.

1. Pendahuluan

Fenomena fonologis merupakan proses perubahan bunyi yang dapat berupa

pelesapan, penyisipan, penggantian, penyesuaian (asimilasi), pemanjangan, atau

pemendekan. Berbagai fenomena itu dapat terjadi pada tataran morfem, kata, frasa,

atau klausa. Fenomena fonologis pada dua tataran pertama sudah jamak dilakukan

oleh peneliti bahasa. Oleh karena itu, tulisan ini berkonsentrasi pada beberapa

fenomena fonologis pada dua tataran sintaksis, khususnya frasa.

Mengapa bahasa Bali? Alasan pemilihan bahasa Bali sebagai objek material

studi adalah pertimbangan praktis. Artinya, bahasa Bali adalah bahasa ibu penulis

sehingga data yang dikemukakan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Mengapa frasa? Alasan pemilihan tataran frasa dalam kajian (awal) ini adalah

karena potensi keberadaan data terdapat pada tataran frasa. Kajian ini terinspirasi

dari munculnya buku yang bertajuk The Phonology-Syntax Connection yang ditulis

Inbelas (1990 ed.). Di dalam buku itu ditunjukkan kekayaan fenomena fonologis

Page 140: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 129

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pada tataran sintaksis seperti yang terdapat pada bahasa Korea, bahasa Yunani, dan

bahasa Italia.

Berdasarkan uraian singkat di atas, ada beberapa hal yang menjadi fokus

pembahasan di dalam artikel ini.

(1) Menunjukkan bukti-bukti adanya fonomena fonologis pada tataran

sintaksis pada bahasa Bali.

(2) Mengidentifikasi berbagai fenomena fonologis pada tataran sintaksis di

dalam bahasa Bali.

2. Studi Pustaka dan Kerangka Teoretis

Tulisan yang membicarakan fenomena fonologis pada tataran morfem dan

kata di dalam bahasa Bali cukup berlimpah adanya. Hampir setiap tulisan atau buku

yang berhubungan dengan tata bahasa Bali tidak pernah meluputkan pembahasan

berbagai fenomena fonologis pada tataran morfem dan kata. Rumusan kaidah

morfofonemik (alomorf), selain perubahan bunyi karena posisi bunyi pada

lingkungan bunyi tertentu (alofon), pada bahasa Bali merupakan bahasan yang

cukup mengesankan bagi para peneliti bahasa. Hal serupa juga sering dilakukan

pada kajian bahasa-bahasa di kawasan nusantara.

Tulisan yang membicarakan fenomena fonologis pada tataran sintaksis,

khususnya frasa di dalam bahasa Bali relatif sedikit. Tulisan tentang fenomena

fonologis pada tataran sintaksis pada bahasa Bali dikemukakan Pastika (2004b) di

dalam makalahnya yang bertajuk “Proses Perubahan Bunyi Bahasa-Bahasa

Austronesia”. Di dalam tulisan ini hanya dikemukakan munculnya bunyi nasal [n]

di antara konstruksi posesif bahasa Bali yang berfungsi sebagai perangkai antarkata

atau ligatur (2004b:8--9) seperti dicontohkan kelompok data (1) berikut ini.

(1)[batu] ‘biji’ + [pOh] ‘mangga’ → [batUn pOh] ‘biji mangga’ [meme] ‘ibu’ + [icaŋ] ‘saya’ → [memεn icaŋ] ‘ibu saya’ [selә] ‘ketela’ + [caine] ‘kamu’ → [selan caine] ‘ketelamu’ [umә] ‘sawah’ + [iane] ‘dia’ → [uman iane] ‘sawahnya’

Walaupun tidak berkaitan langsung dengan contoh dalam bahasa Bali, dua

tulisan Pastika juga layak disebutkan karena berkaitan dengan pembicaraan

fenomena fonologis pada tataran sintaksis: (1) “Proses Fonologis Melampaui Batas

Leksikon” (2004a) dan (2) “Sinfonologi: Interaksi Sintaksis dan Fonologi” (2004c).

Page 141: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

130 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada tulisan pertama diberikan beberapa contoh proses fonologis pada tataran frasa

di dalam bahasa Inggris dan beberapa contoh proses fonologis pada tataran klausa

di dalam bahasa Kolana di Pulau Alor (penyelarasan vokal), di dalam bahasa

Dawan di Pulau Timor (pelesapan vokal), dan di dalam bahasa Mauta dan Kolana

di Pulau Alor (perangkapan bunyi/geminasi). Pada tulisan kedua dibicarakan

kerangka teoretis interaksi sintaksis dan fonologi yang dikutip dari tulisan Vogel &

Kenesei (1999:340). Dengan kerangka teoretis ini, Pastika (2004c) mencoba

membahas interaksi tak langsung unsur supresegmental yang menyangkut tekanan

kata dalam konstruksi frasa atau klausa di dalam bahasa Bali.

Menurut Vogel & Kenesei (1999: 340), hubungan antara fonologi dan

sintaksis memunculkan tiga pertanyaan: (a) terdapat interaksi apa saja; (b) jika ada

interaksi, apakah bersifat langsung atau tak langsung; (c) jika ada interaksi, apakah

bersifat dua arah atau hanya satu komponen memengaruhi yang lain.

Vogel & Kenesei (1999: 340), sebagaimana tiga pertanyaan yang dikemukakan di

atas, memformulasikan keterkaitan fonologi dan sintaksis sebagai berikut (lihat

juga Pastika, 2004: 53).

keterkaitan fonologi – sintaksis

arah : sintaksis fonologi fonologi sintaksis

keterkaitan: langsung tak langsung a b

langsung tak langsung c d

Interaksi dari sintaksis ke fonologi akan menyebabkan perubahan bunyi

yang dibawa oleh frasa atau klausa fonologis. Sebaliknya, interaksi dari fonologi

ke sintaksis, kondisi fonologis menyebabkan adanya perubahan pada sturktur kata,

frasa, atau klausa. Arah interaksi dari sintaksis ke fonologi atau dari fonologi ke

sintaksis dapat bersifat langsung dan tak langsung. Di dalam penemuan Kaisse

(1985) hanya dicontohkan keterkaitan yang bersifat langsung dan tak langsung

dengan arah interaksi dari sintaksis ke fonologi dalam bahasa Italia. Interaksi

langsung dalam bahasa Italia ditunjukkan dengan dua contoh berikut.

(2)

Page 142: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 131

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(3)

Contoh (2) memperlihatkan fenomena pemanjangan bunyi [g] pertama

menjadi [g:] pada gru dan gallegianti karena mengikuti bunyi vokal bertekanan [e]

pada akhir kata sebelumnya. Atau tre melakukan c-command pada kata gru dan

gallegianti karena kedua kata itu merupakan unsur langsung (satu cabang) dari tre.

Contoh (3) menunjukkan bahwa gru menyisip di antara dua kata berurutan (grandi

dan gallegianti) dan diblok (/) di antara gru dan gallegianti sehingga tidak terjadi

pemanjangan [g] pada kedua kata itu walaupun kata sebelumnya diakhiri vokal

bertekanan. Pemanjangan [g] menjadi [g:] hanya terjadi pada kata grandi karena

posisinya di-c-command oleh kata bilangan tre yang diakhiri oleh vokal bertekanan.

Interaksi tak langsung dari sintaksis ke fonologi terjadi karena kata-kata berada

dalam posisi berdampingan. Dalam posisi berdampingan itu batas antarkata secara

leksikal tidak jelas lagi karena menjadi satu kesatuan fonologis. Kondisi seperti itu

menimbulkan perubahan bunyi pada kata-kata yang tampak berbeda kalau kata-kata

Page 143: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

132 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

itu diucapkan tersendiri. Contoh interaksi tak langsung ini dikemukanan dengan

contoh konteks liaison dalam bahasa Perancis: les][#animaux ‘binatang’ dan un

petit][#animal ‘binatang kecil’. Di dalam struktur sintaksis setiap kata

sesungguhnya memiliki batas kata (#). Konfigurasi dasar batas antarkata adalah

...P#][#Q.... Konfiguirasi dasar itu akan berubah menjadi ...P][#Q... (liaison) seperti

tampak pada kedua contoh di atas.

Pastika (2004: 56--60) menunjukkan contoh interaksi tak langsung dalam

bahasa Inggris dan bahasa Bali. Contoh dalam bahasa Inggris dikutip dari data

Ladefoged (2001: CD ROM). Contoh dalam bahasa Bali merupakan karya

eksperimen yang dilakukannya sendiri untuk membuktikan adanya interaksi

(suprasegmental) dari sintaksis ke fonologi di dalam bahasa Bali.

Contoh dalam bahasa Inggris berikut memperlihatkan bagaimana kata-kata

yang tersendiri di dalam bahasa Inggris diucapkan dan bagaimana pengucapan kata-

kata di dalam klausa fonologis.

No. Pengucapan Kata Tersendiri (lihat Collins Cobuild English Language Dictionary, 1987)

Pengucapan Kata dalam Klausa Fonologis (Ladefoged, 2001)

(4) what [wāt] are [ā:] you [ju:] doing [duiŋ]

What are you doing? →[`wādz`duiŋ]

(5) can [kæn] inquire [inŋ`kwaiә] can inquire → [kŋ:kwaiә] (6) don’t [dount] believe [bi`li:v] him

[him] don’t believe him →

[doombe`livim]

Eksperimen Pastika (2004c) menunjukkan bahwa di dalam bahasa Bali,

klausa fonologis dapat berupa ”kata suku”, yakni suku yang berfungsi sebagai kata.

Suku yang berfungsi sebagai kata itu berasal dari suku yang bertekanan keras di

dalam kata lengkap. Misalnya, kata bersuku satu joh ‘jauh’ dalam klausa fonologis

tetap menjadi joh ‘jauh’ (bertekanan keras) dan kata bersuku dua jemak ‘ambil’

dalam klausa fonologis menjadi mak ‘ambil’ karena suku itu bertekanan keras.

Asumsi Pastika bahwa tekanan kata suku di dalam klausa fonologis akan mengikuti

pola tekanan suku kata lengkap ternyata tidak terbukti. Artinya, pola tekanan pada

kata suku tetap atau tidak berubah, yakni tetap bertekanan keras. Contoh berikut

memperlihatkan hasil eksperimen Pastika (2004c) itu.

Page 144: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 133

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

No. Data Informan (Kata Suku)

Transkripsi Kata Lengkap

Pola Tekanan Kata Suku yang Ditolak

(7) lih si dik 1 1 1

makan nasi sedikit ‘Saya mau makan.’

ŋalih nasi bәdik 2 1 2 1 2 1 makan nasi sedikit

‘Saya mau makan.’

*lihsidik 3 2 1

makan nasi sedikit ‘Saya mau makan.’

3. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-induktif dan eksplanatif. Kajian ini

berusaha mengidentifikasi objek kajian (deskriptif), dalam hal ini fenomena

fonologis pada tataran sintaksis bahasa Bali, yang bermula dari pemahaman data

(induktif) dan dilanjutkan dengan penjelasan berdasarkan kerangka teoretis yang

relevan (eksplanatif) (periksa Keraf, 1981: 94 dan Singarimbun, 1989: 24).

Secara operasional data dikumpulkan dengan metode simak-partisipatif

dengan teknik catat. Pada tahapan analisis diterapkan metode padan intralingual.

Metode ini bekerja dengan membandingkan data bahasa Bali yang mengandung

fenomena fonologis dan yang tidak mengandung fenomena fonologis pada tataran

sintaksis. Hasil pembandingan ini dijadikan dasar rumusan munculnya fenomena

fonologis pada tataran sintaksis bahasa Bali. Dalam penyajian hasil analisis

digunakan metode formal dan informal. Pemakaian tanda-tanda atau lambang-

lambang teknis fonologis (metode formal) dan ekspresi verbal (metode informal)

digunakan sesuai dengan kebutuhan (periksa Mashun, 2005: 90--117).

4. Hasil dan Pembahasan

Ada lima fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali:

(1) perangkapan konsonan/geminasi, (2) ligatur, (3) pemendekan vokal, (4)

penggantian konsonan, dan (5) penghilangan kata. Kelima fenomena ini akan

didiskusikan lebih lanjut dengan contoh pendukung seperlunya.

4.1 Perangkapan Konsonan/Geminasi

Di dalam bahasa Bali terjadi perangkapan konsonan/geminasi dengan

kondisi apabila unsur frasa yang pertama diakhiri konsonan dan unsur frasa yang

kedua berawal dengan vokal. Setelah terjadi perangkapan konsonan, ada

kecenderungan juga terjadinya pelemahan tekanan pada konsonan pertama dan

Page 145: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

134 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

penguatan tekanan pada konsonan kedua apabila unsur frasa yang kedua terdiri atas

dua suku kata. Apabila unsur frasa yang kedua terdiri atas lebih dari dua suku kata,

perbedaan tekanan tidak terjadi pada perangkapan konsonan. Hal ini dapat

dipahami karena tekanan kata di dalam bahasa Bali sebagaimana juga di dalam

bahasa Indonesia, jatuh pada suku kata sebelum yang terakhir (penultima) (Alwi

dkk., 1993: 87). Ini berarti bahwa pola tekanan frasa di dalam bahasa Bali mengikuti

pola tekanan kata.

Perangkapan konsonan pada tataran frasa di dalam bahasa Bali dapat

diformulasikan dengan kaidah umum sebagai berikut.

K → KK _______ #V

Contoh perangkapan konsonan dengan unsur frasa yang kedua terdiri atas

dua suku kata ditunjukkan oleh kelompok data (8) berikut.

(8) /dagaŋ/ ‘penjual’ + /andUk/ ‘handuk’ → /dagaŋŋandUk/ ‘penjual handuk’ /rab/ ‘atap’ + /umah/ ‘rumah → /rabbumah/ ‘atap rumah’ /bOk/ ‘rambut’ + /uban/ ‘uban’ → /bOkkuban/ ‘rambut ubanan’ /kain/ ‘kain’ + /udәŋ/ ‘destar’ → /kainnudәŋ/ ‘kain/bahan destar’ /dOn/ ‘daun’ + /ubi/ ‘ubi’ → /dOnnubi/ ‘daun ubi’ /nunas/ ‘mohon’ + /icә/ ‘doa’ → /nunassicә/ ‘berdoa’

Contoh perangkapan konsonan dengan unsur frasa yang kedua terdiri atas

lebih dari dua suku kata ditunjukkan oleh kelompok data (9) berikut.

(9) /tutUr/ ‘ajaran’ + /agamә/ ‘agama’ → /tutUrragamә/ ‘ajaran agama’

/catUr/ ‘empat’ + /asrama/ ‘tahapan hidup’ → /catUrrasrama/ ‘empat tahapan hidup’

/rIŋ/ ‘di’ + /indrakila/ ‘indrakila (nama) → /rIŋŋindrakila/ ‘di (Gunung) Indrakila’

/nunas/ ‘minta’ + /ampurә/ ‘maaf’ → /nunassampurә/ ‘minta maaf’

4.2 Ligatur

Ligatur adalah munculnya bunyi tertentu yang berfungsi sebagai perangkai

antarkata. Sebagaimana telah dikemukan Pastika (2004b:9), ligatur di dalam bahasa

Bali berupa munculnya bunyi nasal-dental [n] di dalam konstruksi posesif. Bunyi

nasal itu muncul di antara kata benda termilik (possesed noun) yang berakhir

dengan vokal dan kata benda pemilik (possesor) seperti tampak pada beberapa data

Page 146: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 135

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kelompok (10). Jika kata benda termilik berakhir dengan konsonan, bunyi nasal-

dental itu tidak muncul seperti tampak pada beberapa data kelompok (11).

Walaupun kata pertama berakhir dengan vokal dalam konstruksi frasa, tetapi bukan

konstruksi posesif, ligatur [n] juga tidak muncul seperti tampak pada beberapa data

kelompok (12).

(10) A. /inә/ ‘ibu’ + /batis/ ‘jari → /inan batis/ ’ibu jari’ /matә/ ‘mata’ + /be/ ikan’ → /matan be/ ’mata ikan’ B. /bo/ ‘bau’ + /awak/ ‘badan’ → /bOnnawak/ ‘bau badan’ /roko/ ‘rokok’ + /icaŋ/ ‘saya’ → /rokOnnicaŋ/ ‘rokok saya’ C. /matә/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /matannai/ ‘matahari’ /basә/ ‘bumbu’ + /urutan/ ‘sosis’ → /basannurutan/ ‘bumbu sosis’ D. /muñi/ ‘suara’ + /kәdIs/ ‘burung’ → /muñIn kәdIs/ ‘suara burung’ /tai/ ‘kotoran’ + /sampi/ ‘sapi’ → /taIn sampi/ ‘kotoran sapi’ /kuku/ ‘kuku’ + /jaran/ ‘kuda’ → /kukUn jaran/ ‘kuku kuda’ /bulu/ ‘bulu’ + /siap/ ‘ayam’ → /bulUn siap/ ‘bulu ayam’ /sate/ ‘sate’ + /bantәn/ ‘upakara’ → /satEn bantәn/ ‘sate untuk upakara’ /be/ ‘daging’ + /bantәn/ ‘upakara’ → /bEn bantәn/ ‘daging untuk upakara’

(11) /buŋut/ ‘paruh’ + /kәdis/ ‘burung’ → /buŋut kәdis/ ‘paruh burung’ /tәŋgәk/ ‘kepala’ + /celeŋ/ ‘babi’ → /tәŋgәk celEŋ/ ‘kepala babi’

(12) /batis/ ‘kaki’ + /kambiŋ/ ‘kambing’ → /batis kambiŋ/ ‘kaki kambing’ /tai/ ‘tai’ + /bәŋu/ ‘busuk’ → /tai bәŋu/ ‘tai busuk’ /kuku/ ‘kuku’ + /lantaŋ/ ‘panjang’ → /kuku lantaŋ/ ‘kuku yang panjang’ /sate/ ‘sate’ + /jaәn/ ‘enak’ → /sate jaәn/ ‘sate enak’ /roko/ ‘rokok’ + /maәl/ ‘mahal’ → /roko maәl/ ‘rokok mahal’

Dua contoh konstruksi posesif pada data kelompok (10A), selain

memperlihatkan fenomena munculnya ligatur [n], juga memperlihatkan

perubahanan /ә/ menjadi /a/. Dua contoh konstruksi posesif pada data kelompok

(10B), selain memperlihatkan fenomena munculnya ligatur [n], juga

memperlihatkan fenomena perangkapan ligatur. Dua contoh konstruksi posesif

pada data kelompok (10C), selain memperlihatkan fenomena munculnya ligatur

[n], juga memperlihatkan perubahanan /ә/ menjadi /a/ dan fenomena perangkapan

ligatur. Sementara contoh yang lain (data kelompok 10D), selain memperlihatkan

fenomena munculnya ligatur [n] juga memperlihatkan perubahan dari vokal yang

lebih tinggi menjadi lebih rendah. Perubahan dari tinggi ke rendah bukan karena

faktor konstruksi posesif, tetapi karena vokal itu berada pada suku terbuka (tinggi)

dan suku tertutup (rendah).

Page 147: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

136 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Perlu dicermati lebih lanjut apa yang mendasari perubahan /ә/ menjadi /a/.

Cukup banyak bukti /ә/ pada suku tertutup (khususnya suku yang berakhir dengan

-әn) tidak berubah menjadi /a/ seperti diperlihatkan beberapa data kelompok (13)

berikut.

(13) /bantәn/ ‘upakara’ → */bantan/ /taәn/ ‘tekan’ → */taan/ /kәbәn/ ‘bakul bertutup’ → */kәban/

Jika yang mendasari perubahan /ә/ menjadi /a/ adalah konstruksi posesif,

perlu dicarikan rumusan yang tepat. Asumsi penulis, konstruksi posesif itulah yang

memicu perubahan /ә/ menjadi /a/ karena secara historis /a/-lah yang lebih dasariah

daripada /ә/. Artinya, konstruksi posesif itu mengembalikan /ә/ terlebih dahulu

kepada bentuk aslinya /a/, barulah terjadi penambahan ligatur [n]. Dengan

demikian, pada dua contoh konstruksi posesif kelompok (10A) terjadi kaidah

berurutan sebagai berikut (dengan mengambil satu contoh kasus).

I. /matә/ ‘mata’ + /be/ ‘ikan’ → /mata/ + /be/ ’mata ikan’ II. /mata/ ‘mata’ + /be/ ‘ikan’ → /matan be/ ’mata ikan’

Fenomena munculnya ligatur dan perangkapan ligatur pada contoh (10B)

kaidah berurutannya dapat dijelaskan sebagai berikut.

I. /bo/ ‘bau’ + /awak/ ‘badan’ → /bOn/ + /awak/ ‘bau badan’ II. /bOn/ ‘bau’ + /awak/ ‘badan’ → /bOnnawak/ ‘bau badan’

Fenomena munculnya ligatur, perubahanan /ә/ menjadi /a/, dan

perangkapan ligatur pada contoh (1C) kaidah berurutannya dapat dijelaskan sebagai

berikut.

I. /matә/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /mata/ +/ai/ ‘matahari’ II. /mata/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /matan/ + /ai/ ‘matahari’

III. /matan/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /matannai/ ‘matahari’

Tampaknya fenomena ligatur di dalam bahasa Bali tidak hanya muncul di

dalam konstruksi posesif seperti yang diutarakan di atas. Fenomena ligatur juga

muncul di dalam konstruksi yang menyatakan arah. Satu-satunya jenis contoh yang

memunculkan ligatur pada konstruksi ini apabila kata pertama frasa adalah kata

/dajә/ ‘di (sebelah) utara’ seperti tampak pada beberapa data kelompok (14) berikut.

Page 148: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 137

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Fenomena perubahan /ә/ menjadi /a/ pada kelompok ini juga muncul seperti data

kelompok (10A).

(14) /dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /tukad/ ‘sungai’ → /dajan tukad/ ‘di (sebelah) utara sungai’

/dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /tembok/ ‘tembok’ → /dajan tembok/ ‘di (sebelah) utara tembok’

/dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /carik/ ‘sawah’ → /dajan carik/ ‘di (sebelah) utara sawah’

4.3 Pemendekan Vokal

Fenomena fonologis berupa pemendekan vokal terjadi apabila sebuah kata

yang mengandung vokal panjang dan vokal panjang itu akan menujukkan

kecenderungan berubah menjadi vokal pendek apabila bergabung dengan kata lain

menjadi konstruksi frasa. Beberapa data kelompok (15) berikut memperlihatkan

fenomena pemendekan vokal itu.

(15) /ba:s/ ‘beras’ + /barak/ ‘merah’ → /bas barak/ ‘beras merah’ /ŋa:d/ ‘sembilu’ + /maŋan/ ‘tajam’ → /ŋad maŋan/ ‘sembilu yang tajam’ /ŋәma:ŋ/ ‘memberi’ + /ŋamah/ ‘makan’ → /ŋәmaŋ ŋamah/ ‘memberi makan’ /tusiŋ/ ‘tidak’ + /ŋә:h/ ‘memperhatikan’ → /tusiŋ ŋәh/ ‘tidak memperhatikan’ /ñә:h/ ‘takut’ + /sajan/ ‘sekali’ → /ñәh sajan/ ‘takut sekali’ /pi:s/ ‘uang’ + /boloŋ/ ‘berlubang’ → /pis boloŋ/ ‘uang kepeng’ /ji:t/ ‘alas’ + /payuk/ ‘periuk’ → /jit payuk/ ‘alas periuk’ /bәte:n/ ‘di bawah’ + /umah/ ‘balai’ → /bәten umah/ ‘di bawah kolong’ /be:l/ ‘bel’ + /montor/ ‘mobil’ → /bel montor/ ‘bel mobil’ /de:l/ ‘lambat’ + /pәsan/ ‘sekali’ → /del pәsan/ ‘lambat sekali’ /pa:s/ ‘tepat’ + /sajan/ ‘sekali’ → /pas sajan/ ‘tepat sekali’ /do:n/ ‘daun’ + /biyu/ ‘pisang’ → /don biyu/ ‘daun pisang’ /ra:b/ ‘atap’ + /se:ŋ/ ‘seng’ → /rab seŋ/ ‘atap seng’ /bo:k/ ‘rambut’ + /raŋdә/ ‘rangda’ → /bok raŋdә/ ‘rambut rangda’

4.4 Penggantian Konsonan

Fenomena fonologis yang berupa penggantian konsonan pada tataran

sintaksis di dalam bahasa Bali merupakan fenomena khusus karena berhubungan

dengan sejumlah kata yang menyatakan arah mata angin (data kelompok (16)) dan

tempat berada yang berhubungan dengan mata angin (data kelompok (17)).

(16) /kajә/ ‘utara’ /kaŋin/ ‘timur’

/kәlod/ ‘selatan’

/kauh/ ‘barat’ (17) /bә/ ‘di (sebelah)’ + /kajә/ ‘utara’ → /bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’

Page 149: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

138 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

/bә/ ‘di (sebelah)’ + /kaŋin/ ‘timur’ → /bә daŋin/ ‘di (sebelah) timur’ /bә/ ‘di (sebelah)’ + /kәlod/ ‘selatan’ → /bә dәlod / ‘di (sebelah) selatan’ /bә/ ‘di (sebelah)’ + /kauh/ ‘barat’ → /bә dauh/ ‘di (sebelah) barat’

Preposisi /bә/ ‘di’ pada data kelompok (17) beralternasi pemakaiannya

dengan preposisi /mә/ ‘di’ di beberapa daerah pemakaian di Bali. Hal ini tidak

menjadi pokok diskusi lebih lanjut karena /mә/ ‘di’ tidak terdaftar sebagai preposisi

di dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Bali (1996: 285) dan Kamus Bali-

Indonesia (2008).

Dengan mencermati data pada kelompok (16) dan (17), tampak terjadi

penggantian konsonan /k/ dengan konsonan /d/ setelah kata yang menyatakan arah

bergabung dengan preposisi /bә/ ‘di’. Walaupun fenomena penggantian ini tidak

dapat dijadikan kaidah umum, perubahan konsonan /k/ menjadi konsonan /d/

tampaknya cukup beralasan karena konsonan /d/ [bersuara, dental] memiliki

kedekatan dengan konsonan /b/ [bersuara, bilabial] pada preposisi dibandingkan

dengan konsonan /k/ [takbersuara, velar] pada bentuk dasar.

4.5 Penghilangan Kata

Fenomena penghilangan kata (preposisi) /bә/ berkenaan dengan data

kelompok (17) di atas. Fenomena ini terjadi apabila konstruksi frasa itu mendapat

unsur penjelas seperti tampak pada data kelompok (18) berikut ini.

(18) /bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’

+ /tembOk/ ‘tembok’

→ /dajan tembOk/ ‘di (sebelah) utara tembok’

/bә daŋin/ ‘di (sebelah) timur’

+ /gunUŋ/

‘gunung’ → /daŋin gunUŋ/

‘di (sebelah) timur gunung’ /bә dәlod/

‘di (sebelah) selatan’

+ /rurUŋ/ ‘gang’

→ /dәlod rurUŋ/ ‘di (sebelah) selatan gang’

/bә dauh/ ‘di (sebelah) barat’

+ /tukad/ ‘sungai’

→ /dauh tukad/ ‘di (sebelah) barat sungai’

5. Temuan

Ditemukan lima fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa

Bali:

(i) perangkapan konsonan/geminasi:

/dagaŋ/ ‘penjual’ + /andUk/ ‘handuk’ → /dagaŋŋandUk/ ‘penjual handuk’

Page 150: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 139

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(ii) ligatur:

/matә/ ‘mata’ + /be/ ‘ikan’ → /matan be/ ’mata ikan’

(iii) pemendekan vokal:

/ba:s/ ‘beras’ + /barak/ ‘merah’ → /bas barak/ ‘beras merah’

(iv) penggantian konsonan:

/bә/ ‘di (sebelah) + /kajә/ ‘utara’ → /bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’

(v) penghilangan kata:

/bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /tembOk/ ‘tembok’ → /dajan tembOk/ ‘di (sebelah)

utara tembok’

6. Penutup

Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, ada beberapa hal yang perlu

ditegaskan kembali sebagai catatan penting atau kesimpulan tulisan ini.

(1) Fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali merupakan

interaksi tak langsung dari sintaksis ke fonologi.

(2) Fenomena fonologis yang terjadi pada tataran sintaksis di dalam bahasa

Bali hanya terjadi pada tataran frasa.

(3) Dua catatan penting di atas belumlah bersifat final karena masih

memungkinkan dilakukan pencermatan lebih lanjut untuk mengetahui

kemungkinan adanya fenomena lain atau fenomena yang terjadi pada

tataran klausa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Guesmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Inbelas, Sharon dan Draga Zec (ed.). 1990. The Phonology-Syntax Connection. Chicago & London: The University of Chicago Press. Keraf, Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Ende-Flores: Nusa Indah. Mashun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: PT Raja Greasindo Persada.

Page 151: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

140 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pastika, I Wayan. 2004a. “Proses Fonologis Melampaui Batas Leksikon”. Dalam Linguistika Vol. II, No. 20. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3) Linguistik, Universitas Udayana. Pastika, I Wayan. 2004b. “Proses Perubahan Bunyi Bahasa-Bahasa Austronesia”. Makalah pada Simposium Internasional Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya. Denpasar. Pastika, I Wayan. 2004c. “Sinfonologi: Interaksi Sintaksis dan Fonologi”. Dalam Wibawa Bahasa. Denpasar: Bali Mangsi. Ruddyanto, Caesarius dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Yayasan Pustaka Nusatama dan Balai Bahasa Denpasar. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi ed. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Spencer, Andrew. 1992. Morphologycal Theory: an Introduction to Word Structure

in Generative Grammar. Oxford & Cambridge, USA: Blackwell. Sulaga, I Nyoman dkk. (Penyunting). 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Singkatan dan Lambang

#V = kata berwal dengan vokal A = adjektiva Det = determinator dkk. = dan kawan-kawan ed. = editor K = konsonan N = nomina V = vokal → = menjadi + = ditambah/digabung /.../ = tanda pengapit bunyi fonemis [...] = tanda pengapit bunyi fonetis * = bentuk tidak berterima

Page 152: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 141 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

“BERAGAM” DAN “SERAGAM” DALAM CERPEN MÉONG-MÉONG

KARYA MADÉ SANGGRA

Oleh

I Made Suarsa

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

E-mail: [email protected]

Abstrak

Masyarakat Bali yang dibangun dari unsur catur warna (brahmana, ksatria,

wesia, dan sudra) melahirkan struktur masyarakat yang “beragam” sekaligus “seragam”. “Beragam”, karena ada sekat-sekat yang membatasi keempat unsur tadi. “Seragam”, karena keberagaman masyarakat Bali itu, pada hakikatnya adalah salah satu unsur dari struktur yang lebih besar, masyarakat Indonesia yang multikultur.

Keberagaman dan keseragaman itu banyak mengilhami Made Sanggra dalam proses kreatifnya. Salah satu di antaranya terdapat dalam cerita pendeknya Méong-Méong. Dalam Méong-Méong diceritakan tokoh nenek Da Niang, memilih hidup sederhana menyendiri di sebuah rumah terpencil, dibandingkan hidup dalam kemewahan bersama anak dan menantunya yang terjun dalam bisnis pariwisata. Di dalam kesendiriannya itu Da Niang hanya ditemani seekor kucing (méong) bernama Ni Manis. Kucing betina itulah satu-satunya hiburan Da Niang ketika teringat kepahitan masa lalunya.

Dengan analisis unsur penokohan terlihat keberagaman itu. Da Niang yang masa mudanya bernama Désak Nyoman, sering dipanggil Sak Oman, hampir pernah menjadi istri ketiga Jero Mekel di Désa Pupuan ketika mengikuti ibunya bekerja sebagai buruh di desa itu. Pada akhirnya Sak Oman juga menjadi istri seorang Pembantu Polisi NICA, Ida Bagus Nyitadana dari Geria Sunia Giri Tampaksiring. Karena selalu mengalami KDRT, akhirnya Sak Oman memilih bercerai, dan hidup menyendiri sebagai seorang nenek. Desak, Jero Mekel, Ida Bagus adalah salah satu ciri keberagaman itu. Kata Kunci: beragam, seragam, multikultur

1. Pendahuluan

Méong-Méong adalah salah satu dari sepuluh cerpen dan tujuh puisi dalam

Pupulan Cerpén lan Puisi Bali Anyar “Bir Bali”, diterbitkan oleh Yayasan Dharma

Budhaya Sukawati Gianyar (2017), karya Madé Sanggra. Madé Sanggra lahir 1926

di Banjar Gelulung, Desa dan Kecamatan Sukawati, Gianyar. Salah seorang pelopor

Sastra Bali Modern ini, meninggal pada Rabu Pon Sungsang 20 Juni 2007.

Sebagian terbesar masa hidup (71 tahun) peraih Penghargaan Nasional Rancagé

Page 153: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

142 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

1998 ini, dihabiskan untuk berjuang dan bersastra. Berjuang dalam bersastra, dan

bersastra dalam berjuang.

Jasanya besar. Banyak yang pantas dikagumi dan diteladani dari sastrawan

rendah hati ini. Made Sanggra adalah sastrawan serba bisa. Selain menulis sastra

Bali tradisional seperti geguritan, dia juga menulis sastra Bali modern seperti puisi

dan cerita pendek. Tahun 1950-an, dia malah pernah menulis sejumlah puisi dalam

bahasa Indonesia (Putra, 2010:146, Suarsa, 2017:99).

Kepiawaian Madé Sanggra nyastra (bersastra) mendapat titisan darah dari

ayahandanya, seorang pegiat Sastra Bali Klasik (geguritan, kidung, dan kekawin).

Madé Sanggra berhasil memadukan jiwa kejuangannya/kesetiaannya terhadap

NKRI dengan jiwa kesastraannya, sehingga berhasil melahirkan karya-karya, baik

berbahasa Bali maupun Indonesia, bernuansa kesetiaaan kepada NKRI yang

multikultur dan menganut motto Bhineka Tunggal Ika, seperti yang tersirat dan

tersurat dalam cerpen Méong-Méong.

Méong-Méong dijadikan objek kajian dalam penelitian ini, di samping

posisinya pada urutan pertama Bir Bali, juga mengisahkan kamajemukan atau

keberagaman yang terjadi dalam struktur masyarakat Bali dengan konsep catur

warna. Keberagaman itu sendiri pada hakikatnya sekaligus merupakan

keseragaman (masyarakat Bali) sebagai salah satu unsur yang membangun mozaik

keberagaman/multikultur dari struktur masyarakat yang lebih besar, masyarakat

Indonesia, bahkan masyarakat global.

Tarik-menarik antara keberagaman-keseragaman-keberagaman dalam

cerpen Méong-Méong inilah yang diangkat sebagai permasalahan yang dicoba

dicari jawabannya dalam penelitian ini.

2. Metodologi

Metodologi penelitian ini terdiri atas tiga tahapan yakni: metode dan teknik

pengumpulan data, metode dan teknik pengolahan data, dan metode dan teknik

penyajian hasil pengolahan data.

Pada tahapan pengumpulan data digunakan metode kepustakaan, didukung

teknik baca dan catat. Menurut Ratna (2004:39), metode kepustakaan adalah

dengan mengandalkan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian.

Page 154: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 143

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Teknik baca adalah membaca dengan cermat, dan teknik catat sebagai kelanjutan

teknik baca dengan mencatat dalam catatan khusus, data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini.

Pada tahapan pengolahan atau analisis data digunakan metode deskriptif

analitik, dengan mendeskripsikan fakta-fakta disusul dengan analisis (Ratna,

2004:53). Pada tahapan ini didukung teknik simak (sebagai kelanjutan teknik baca)

dan teknik catat.

Pada tahapan penyajian hasil pengolahan data, digunakan metode formal.

Menurut Ratna (2004:49), metode formal dalam konteks penyajian hasil

pengolahan data, pada hakikatnya adalah menyajikan kaidah-kaidah sebagai hasil

dari proses pengolahan data dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa

Indonesia ragam ilmiah.

Tentang konsep “beragam” dan “seragam” yang ditekankan dalam

penelitian ini adalah sebagai pengejawantahan konsep multikultural sebagaimana

dikemukakan Taufiq (Beranda, Malang:2017) dalam bukunya Sastra

Multikultural: Konstruksi Identitas dan Praktik Diskursif Negara dalam

perkembangan Sastra Indonesia.

Menurut Taufiq (2017:10), sastra kuktural merupakan hasil konstruksi atas

gambaran realitas kuktural yang beragam. Muktikultural itu muncul dan

berkembang sejak dimulainya proses migrasi manusia ke daerah lain, yang

kemudian mengakibatkan terjadinya interaksi sosiokultural. Interaksi itulah yang

kemudian melahirkan hubungan multikultural antara dua atau lebih entitas

masyarakat yang memiliki kebiasaan yang berbeda-beda yang terrepresentasikan

dalam teks sastra. Lebih lanjut Ratna dalam Taufiq (2017:11) mengungkapkan

bahwa,

Indonesia merupakan kenyataan bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat-istiadat dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang beragam; maka karya sastra yang mencerminkan keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah karya sastra multikultural. Oleh karena itu, sastra warna lokal sebagai bagian dari sastra multikultural jelas memegang peranan penting dalam memperkenalkan khazanah kebudayaan.

Pada akhirnya Taufiq (2017:13) menyimpulkan bahwa, multikultural

Indonesia dapat diposisikan dalam tiga hal yakni : (1) multikultural diposisikan

Page 155: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

144 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sebagai ruang budaya yang dinamis dan beragam, (2) multikultural sebagai ruas

horizontal/kelompok kultural yang ada saling berhubungan, dan (3) multikultural

secara vertikal/negara sebagai puncak nalar dari sebuah bangunan struktural.

Fenomena-fenomena seperti point-point pandangan Taufiq itulah yang

muncul dalam struktur Méong-Méong.

3. Pembahasan

Sub ini diawali dengan sinopsis singkat cerpen Méong-Méong, dilanjutkan

dengan mendata fenomena struktur masyarakat Bali yang majemuk/multikuktur

dengan mengambil tolok ukur konsep catur warna. Selanjutnya melihat hubungan

sosiokuktural antarwarna yang terdapat dalam Méong-Méong dengan berbagai

akibat yang ditimbulkan, kemudian menekankan bahwa kamajemukan/mutikultur

itu sendiri pada hakikatnya merupakan salah satu unsur dari struktur yang lebih

besar, yakni masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat global.

Da Niang (Ida Niang), tokoh utama dalam Méong-Méong hidup menyendiri

dalam sebuah pondok, tidak mau lagi tinggal bersama anak satu-satunya dan

menantunya karena terlibat konflik. Da Niang hanya ditemani oleh seekor kucing

atau méong dalam bahasa Bali. Da Niang menjadi marah kalau kucing yang

dinamakan Ni Manis itu tidak mau menuruti kata-katanya. Sebaliknya orang tua itu

menjadi senang, kalau Ni Manis mau menuruti kata-katanya.

Keberadaan Ni Manis itu menjadi satu-satunya hiburan Da Niang. Orang

tua ketika masih remaja itu bernama Désak Nyoman dan sering dipanggil Sak

Oman, teringat kembali masa-masa silamnya yang kelam. Dua kali menikah,

keduanya berakhir dengan perceraian. Keberadaan tokoh Da Niang dalam tatanan

masyarajat Hindu termasuk golongan Tri Wangsa dalam struktur Catur Warna.

Catur Warna adalah empat golongan masyarakat Hindu sesuai dengan

fungsi-fungsinya yakni: Brahmana (golongan yang bertugas memberikan

pendidikan dan penerangan serta memimpin upacara agama); Ksatrya (golongan

yang bertugas membela negara dan menjadi pemimpin; Wesya (golongan yang

mengatur masalah perekonomian); dan Sudra (golongan yang membantu ketiga

golongan di atas sebagai pekerja (Bali Aga, 2006:47). Tiga golongan teratas yakni:

Brahmana, Ksatrya, dan Wesya, disebut Tri Wangsa.

Page 156: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 145

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ke-tri wangsa-an Da Niang, sesungguhnya sudah melekat pada kata “Da”

itu, yang merupakan singkatan dari kata “Ida” yang dalam Kamus Bali-Indonesia

(Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali, 1990:259) yang dimaknai “beliau”

atau “nama gelar bangsawan”. Kutipan berikut mempertegas kebangsawanan Da

Niang.

Ping kuda-kuda oka lan mantun idané sané maka kalih makaria ring hotel “Nusa Dua” ngajakin budal, mangda wénten ngijengin jroné, Da Niang nénten kayun. Kocap ida lek tan kayun ngidih ring mantu, yadiapin mantu sametonan. Da Niang kari rumasa kereng tur bajang (Sanggra, 2017:1).

Kata-kata oka, budal, mangda, makaria, nénten, ring sebagaimana tertera

dalam kutipan di atas, adalah sebutan atau acuan untuk seorang tri wangsa di Bali,

seperti tokoh Da Niang, yang berarti anak, pulang, agar, bekerja, tidak, dan di.

Demikian juga kata-kata seperti telas, taler, bénjang, raris, ical, punika,

gelis, makaon, manawita, duka, magenah, sampun, santukan, akemur, masanekan,

sinambi, mirengang, pinih, ngrereh, ngaturang, nanging, yang terdapat dalam

Méong-Méong yang berarti habis, juga, besok, lalu, hilang, itu, cepat, pergi,

mungkin, marah, bertempat, sudah, karena, berkumur, mengaso, sambil,

mendengarkan, paling, mencari, memberikan, tetapi.

Ada juga golongan lain dalam Méong-Méong di luar tri wangsa, ditandai

dengan kosa kata yang digunakan di dalam membangun bahasa di dalam

berkomunikasi seperti kutipan di bawah ini.

“Béh…, yén monto té suba tua ruyud, rambut, kumis, jénggot, suba putih cara kapuk, nyidaang ngantén ajak anak bajang cenik?” Sapunika pakaengan pengangoné ring tegalé.

“Wih, nyén oraang cai kéto?” pitakén pengangoné kelihan sada acreng. “Nyén koné…, lénan tekén Mekelé Gedé men nyén biin?” pengangoné

cerikan nyaurin sada kenyem guyu. “Ah…, eda ja mokak cai, awaké bani-bani nyambat Mekelé Gedé, yén

uning dané sengkala cai!” “Suung ja dini, sing ada nyén”. “Apin suung…, Mekelé Gedé nak sakti, bétél tingal tur bisa maya-maya,

tawang nani?” “Kéné…” “Kéné kénkén?” (hlm.6).

Tokoh dua orang pengangon (pengembala sapi) dalam kutipan dialog di atas

adalah simbul dari golongan masyarakat di luar tri wangsa. Sementara itu, isitilah-

Page 157: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

146 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

istilah seperti Ida Niang (hlm.1), Désak Nyoman (hlm.5), Mekelé Gedé (hlm.7), Ida

Bagus Nyitadana (hlm.8), Geria Sunia Giri (hlm.8), Déwagung (hlm.8), jelas

menunjukkan golongan tri wangsa.

Adanya golongan di luar tri wangsa sebagaimana terlihat dalam dialog

dalam kutipan di atas, dan golongan tri wangsa seperti dikemukakan dalam data di

atas, jelas mencerminkan kemajemukan/multikulktur tatanan masyarakat Hindu di

Bali dalam Méong-Méong yang menunjukkan sesuatau yang beragam.

Keberagaman tatanan masyarakat Hindu di Bali itu, sekaligus merupakan

keseragaman, ketika tatanan masyarakat itu menjadi salah satu unsur dari

keberagaman yang lebih besar, yaitu tatanan masyarakat global antarbangsa

sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.

Daweg ngawit Révolusi Perang Kemerdékaan tahun 1945 dumun, jagaté ngeb, riyet. Toko-toko Cina sami matutup. Ring pasar suung tan wénten anak madolan. Dagangé mengkeb-mengkeb ring rurung-rurungé, utawi madolan ring umahnyané padidi. (hlm.8)

Yadiapin asapunika, jagaté kantun taler kabaos genting, santukan Pemuda Pejuang sané kabaos PRI katah berjuang ninggal désa, nénten mawali budal. Nyabran dina wénten patrol Polisi NICA rauh saking Gianyar. Wénten HP mapeséngan Ida Bagus Nyitadana saking Tampaksiring, ida kasub kasumbung gemes tur ames nigtig tahanan,… (hlm.8)

Cina, sebagaimana tertera dalam kutipan di atas, jelas merupakan kelompok

atau golongan masyarakat lain di luar masyarakat Hindu di Bali. Jadi masyarakat

Hindu di Bali itu adalah beragam, dan menjadi seragam ketika menjadi bagian dari

masyarakat Indonesia. Kembali menjadi seragam, ketika menjadi bagian dari

masyarakat lain di luar Indonesia, seperti Cina misalnya.

Demikian juga dengan munculnya istilah PRI (Pemuda Republik

Indonesia), NICA (Netherland Indisch Civiel Administration), dan HP (Halp

Politie/Pembantu Polisi), menjadikan tatanan masyarakat Bali dalam Méong-

Méong ini yang semula beragam, menjadi seragam ketika menjadi bagian dari

keberagaman masyarakat Indonesia. Keberagaman sebagai masyarakat Indonesia

ini, kembali menjadi seragam dalam keberagaman masyarakat global (yang

ditandai dengan Cina dan Netherland dalam kutipan di atas).

Page 158: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 147

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

4. Simpulan

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan telah terjadi tarik-menarik

antara keberagaman-keseragaman-keberagaman dalam cerpen Méong-Méong.

Artinya, ketika ada sebuah keberagaman dalam sebuah komunitas, keberagaman itu

menjadi sebuah keseragaman dalam keberagaman komunitas yang lebih besar.

Keberagaman yang lebih besar itu tadi, kemudian juga menjadi keseragaman dalam

keberagaman komunitas yang jauh lebih besar lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Bali Aga. 2006. Ragam Istilah Hindu. Denpasar Dinas Pendidikan Dasar Prop.Bali. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar. Putra, I Nyoman Darma. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar:

Pustaka Larasan. Sanggra, Made. 2017. Bir Bali (Pupulan Cerpen lan Puisi Bali Anyar). Sukawati: Gianyar. Yayasan Dharmam Budhaya. Suarsa, I Made. 2016. Trauma Kekuasaan dalam Cerpen-Cerpen Terakhir Made Sanggra dalam Prosiding SNSB FIB Universitas Udayana. Denpasar. Taufiq, Akhmad. 2017. Sastra Multikultural. Malang : Beranda.

Page 159: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 148 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

KURSI PEMILU: SASTRA DAN BUDAYA DEMOKRASI PRA

REFORMASI

I Nyoman Suaka

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FPBS IKIP Saraswati

E-mail: [email protected]

Nomor Handphone: 081337231805

Abstrak

Tulisan ini membahas novel Kursi Pemilu (1982) karya Sinansari Ecip,

yang berlatar politik tentang pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Waktu itu tahun 1970-an, politik negara berlangsung dalam pengaruh kekuasaan Orde Baru. Pemasalahannya adalah bagaimana pelaksanaan pilkades sebagai perwujudan demokrasi di tingkat bawah, dan bagaimana kekuasaan politik itu dijalankan sebagai realitas politik pada zamannya? Teori yang digunakan adalah teori hegemoni dari Antonio Gramsci dengan menggunakan pendekatan hermeneutika (interpretatif) untuk mengungkapkan kekuatan teks sastra. Hasil analisis menunjukkan bahwa kekuasaan politik orde baru sangat kuat mengakar di masyarakat. Kontestan Pemilu yang dilukiskan dalam novel Kursi Pemilu seperti Goljo, Golning, dan Golrah tiada lain adalah akronim dari Golongan hijau (Goljo), Golongan kuning (Golning), dan Golongan merah (Golrah). Goljo identik dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golning serupa dengan Golkar dan Golrah adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tafsir itu semakin akurat kalau dihubungkan dengan basis pendukung masing-masing golongan. Goljo dalam novel itu didukung oleh alim ulama, pesantren, dan golongan tua yang taat beribadah. Golning tiada lain adalah barisan aparat pemerintah dari tingkat desa, camat, bupati, dan seterusnya. Golrah mendapat simpati dari sebagian besar generasi muda yang sangat mendambakan perubahan dan antikemapanan. Menjelang reformasi kondisi ini banyak digugat karena model demokrasi seperti itu lebih bersifat sentralistik untuk melanggengkaan kekuasaan golongan tertentu.

Kata Kunci: novel, demokrasi, pemilu.

1. Pendahuluan

Sebuah novel yang secara utuh mengambil latar tentang Pemilu adalah

karya Sinansari Ecip yang berjudul Kursi Pemilu. Novel ini diterbitkan tahun 1982,

mengisahkan pergolakan masyarakat di sebuah desa saat menghadapi Pemilihan

Kepala Desa (Pilkades). Alur ceritanya mengisahkan suasana masyarakat Desa

Gondomayi, dekat kota Malang, Jawa Timur dalam menentukan aspirasi politiknya

Page 160: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 149

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

memilih kepala desa baru. Suasana kasak-kusuk, kecurangan Pilkades,

ketidakjujuran penghitungan suara, serta pemilu susulan dilukiskan oleh pengarang.

Pemilu tingkat desa dalam novel itu tidak kalah serunya dengan pemililhan

bupati, gubernur dan presiden yang dialami langsung oleh masyarakat era

reformasi. Terlebih lagi suasana desa saat kampanye penuh dengan desas-desus dan

intimidasi. Tiga orang yang mewakili tiga dusun di Desa Gondomayi bersaing

dalam merebutkan kursi kepala desa. Jabatan Kades merupakan jabatan terhormat

di desa-desa di Jawa, baik dan segi pribadi, keluarga, kekuasaan, maupun material

sebab seorang kades secara otomatis berhak mengelola tanah bengkok seluas empat

puluh hektar. Hasil sekali panen saja sudah bisa membeli satu mobil mewah,

demikian pandangan masyarakat. Pengarang Sinansari Ecip mampu mengangkat

realitas pemilihan kades pada zamannya. Cerita novel ini mampu menjadi

nosatalgia politik kalau dikaitkan dengan budaya politik sebagai bentuk hegemoni

dari pemerintah yang berkuasa saat itu.

Konsep hegemoni memainkan peranan penting dalam perkembangan kajian

budaya dan merupakan salah satu konsep kunci yang paling ramai diperdebatkan

selama tahun 1970 dan 1980-an. Kajian budaya mengambil dan mengembangkan

konsep hegemoni dari Antonio Gramsci. Menurut teori ini, ada seikat makna dalam

budaya manapun yang bisa disebut sebagai makna-makna yang memerintah

(governing). Proses membuat, menjaga dan mempertahankan serta memproduksi

seperangkat makna. Ideologi dan paktek yang bersifat otoritatif inilah yang disebut

hegemoni (Barker, 2015 : 119)

Bagi Gramsci (2015:119), hegemoni mengimplikasikan sebuah situasi

dimana “block historis” dari kelas yang berkuasa melakukan otoritas sosial dan

kepemimpinannya terhadap kelas-kelas yang berada di bawahnya (sub ordinat)

lewat sebuah kombinasi kekuatan, dan lebih penting lagi persetujuan. Sebagai

akibatnya, Gramsci membuat perjuangan dan konflik ideologis dalam masyarakat

sipil sebagai arena sentral politik budaya, dimana analisis yang menyingkap

hegemoni sebagai cara melihat kekuatan relevan.

Istilah hegemoni terkait budaya politik berkembang luas di Indonesai.

Melalui bahasa yang sederhana, Gaffar (1983:81) menyebutkan kebudayaan politik

mengatur siapa yang berbicara dengan siapa, dan siapa yang mempengaruhi.

Page 161: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

150 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kebudayaan politik juga menentukan apa yang dibicarakan dalam hubungan

politik, dan bagaimana pengaruh-pengaruh hubungan itu. Tetapi peru diingat,

kebudayaan politik juga menata mekanisme lembaga-lembaga formal yang ada.

2. Metode

Teks sastra tidak bisa berdiri sendiri. Makna teks ditentukan oleh

konteksnya yang menyangkut situasi dan kondisi jaman. Sebuah novel tidak bisa

memberikan makna secara maksimal kalau dibaca teksnya saja. Novel sebagai

karya sastra perlu ditafsirkan maknanya. Dalam kajian ilmiah, analisis teks dapat

menggunakan metode interpretative (hermeneutika). Menurut antropolog Geertz

(1999), pendekatan interpretative adalah menyahihkan diri, atau sebagai sesuatu

yang disahkan dengan kepekaan-kepekaan yang dianggap maju dari orang lain yang

menjelaskannya.

Interpretasi sangat penting dilakukan dalam analisis novel sebab metode itu

memberikan pemahaman antara khayalan pengarang dengan realitas yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat. Seberapa jauh karya itu berfungsi sebagai cermin

masyarakat dan sebaliknya seberapa jauh unsur-unsur masyarakat diserap ke dalam

karya sastra. Pendekatan interpretative ini sering disebut dengan istilah

hermeneutic. Pada dasarnya hermeneutic berhubungan dengan bahasa. Oleh karena

itu, metode interpretative sangat membantu, memahami novel lebih mendalam

karena novel menggunakan media bahasa sebagai alat pengungkapannya

Isu sentral bagi hermeneutika adalah terciptanya makna dan sejauhmana

makna ini memang terdapat dalam teks atau/ dan diciptakan oleh pembaca

(penafsir). Menurut Bekker (2003:121) dalam hermeneutika kontemporer,

pemahaman dan makna diwujudkan oleh pembaca actual dalam sebuah proses

penafsiran teks yang tergantung pada gugus makna yang memang tersurat dalam

teks sekaligus aktivitas pembaca itu sendiri. Mengacu pada pendapat Bakker

tersebut maka dilakukan pembacaan teks terlebih dahulu, novel Kursi Pemilu,

kemudian dipahami dan ditafsirkan makna teks ke dalam konteksnya.

2. Pembahasan

2.1 Ringkasan Cerita

Page 162: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 151

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kisah Kursi Pemilu bermain di Desa Gondomayi, sebuah wilayah kecil di

dataran tinggi yang subur dekat Kota Malang. Kepala desa (kades) yang populer

disebut Pak Petinggi itu diceritakan sudah tua dan sakit-sakitan. Desa ini didukung

oleh tiga dusun/dukuh, yakni dusun Grinhil, Kramtung, dan Gondomayi. Kades,

seperti layaknya struktur pemerintahan desa, didampingi seorang sekretaris desa

(Pak Carik) yang merangkap sebagai bendahara desa. Dalam soal pemerintahan.

Pak Carik tampak lebih mampu, lincah, dan cekatan dibandingkan dengan Pak

Kades. Walaupun demikian, setiap keputusan selalu ada di tangan Kades.

Tiba-tiba Pak Kades meninggal. Masyarakat kaget sebab siang harinya Pak

Kades masih sempat ke kantor. Hal itu dimanfaatkan oleh Pak Carik untuk

menyusun strategi agar dapat menggantikan posisi Pak Petinggi. Meninggalnya Pak

Kades segera dilaporkan ke Pak Camat. Sebagai sekretaris desa, Pak Camat

menunjuk Pak Carik menjadi panitia pemilihan kades sarnpai tugas-tugasnya

selesai dan kades definitif dilantik.

Dalam bursa pencalonan kades, terdaftar tiga orang calon yang siap

bertarung dalam Pemilu Desa Gondomayi. Mereka adalah Kamituwo Grinhil wakil

Goljo, Pak Carik dari Golning, dan Kamituwo Kramtung dari dusun Kramtung

mewakili Golrah. Peta kekuatan masing-masing calon itu berbeda dan memiliki

pendukung fanatik. Goljo didukung oleh alim ulama, pesantren dan masyarakat

yang taat beribadah. Golning didukung oleh aparat desa dan tokoh-tokoh

masyarakat, sedangkan Golrah memiliki basis anak muda dan generasi muda

lainnya yang memperjuangka perubahan.

Ketiga calon itu berusaha sekuat tenaga memengaruhi massa, termasuk

mendekati calon pemilih yang jelas-jelas berseberangan dengan dirinya. Caranya,

dengan trik-trik politik, permainan uang dan rayuan, serla intimidasi untuk

menjatuhkan kepribadian lawan poiitiknya. Pernah suatu ketika. Pak Carik calon

dari Golning memanfaatkan kemolekan seorang janda di Desa Gondomayi untuk

menjatuhkan calon Goljo. Janda yang cantik dan pintar merayu itu. menyelinap di

malam hari masuk ke kamar Kamituwo Grinhil (Goljo). Saat itu seperti biasanya,

calon kades itu tidur terpisah dengan istrinya sehingga mereka berdua leluasa

mengisi malam itu.

Page 163: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

152 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Keesokan harinya masyarakat Gondomayi ribut, penuh dengan gosip

membicarakan Kamituwo dengan janda tadi. Maka tidak bisa dibendung lagi,

istrinya marah-marah dan mengadukan permasalahannya kepada istri-istri pejabat

desa. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan Pak Carik karena pendukungnya kian

bertambah. Posisi Pak Carik semakin kuat. Saat kampanye, ia berjanji kepada

masyarakat Grinhil akan segera membangun mesjid dan gereja di dusun itu yang

diklaim sebagai terbesar di Asia Tenggara. Segala keperluan upacara keagamaan

akan ditanggung oleh desa melalui kas desa. Tentu saja janji-janji kampanye itu

disambut dengan gembira. Di Dusun Kramtung, Pak Carik berjanji akan

membangun balai pertemuan yang megah dengan kaca jendela tembus pandang

untuk menampung kegiatan kesenian dan olah raga bagi generasi muda. Selain itu

juga dibuka kursus kecantikan, jalan becek akan diaspal dengan beton. Demikian

kampanye Pak Carik yang mendapat sambutan meriah karena visi dan misinya itu

sesuai dengan keinginan generasi muda di Dusun Kramtung.

Pada hari pencoblosoan, dukungan yang tampak lebih besar justru kepada

Goljo dan Golrah. Masyarakat banyak menilai, wakil dari Goljo akan

memenangkan Pemilu Kades itu, menyusul Golrah dan Golning. Argumentasi itu

terlihat dari suara yang dimasukkan ke kotak Goljo. Pemungutan suara

menggunakan besi paku, setiap pemilih memasukkan satu besi paku. Di sisi lain,

sekitar seratus orang pemilih jelas-jelas menyatakan diri Golput, tidak memilih

karena tidak percaya dengan kemampuan dan komitmen para calon. Anehnya azas

Pemilu Desa Gondomayi tidak menggunakan azas luber, tetapi Lubetira yaitu

kependekan dari langsung, umum, bebas, dan tidak rahasia.

Berdasarkan hasil perhitungan suara, Calon Goljo yang dipastikan menang

mutlak, ternyata dikalahkan oleh Pak Carik dari Golning dengan suara tipis.

Perolehan suara Pak Carik 2367 suara, Goljo 2364 suara, dan Golrah 611 suara.

Hasil itu diprotes oleh massa Goljo yang menilai Pemilu curang, tidak jujur, dan

penuh rekayasa. Protes itu ditujukan kepada Golning karena Pak Carik selain

sebagai calon Golning juga sebagai sekretaris dan merangkap panitia pemilihan

Kades. Suasana berubah menjadi unjuk rasa karena pendukung Goljo tidak puas.

Tiba-tiba Pak Camat yang menyaksikan langsung pemilihan itu berusaha

mengendalikan emosi massa. Untuk meredam suasana panas, Pak Camat mengajak

Page 164: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 153

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

massa untuk menyanyikan lagu kebangsaan Desa Gondomayi yaitu "Satu Desa Satu

Sungai".

Pemilu Kades tidak sah, beberapa hari lagi akan diadakan Pemilu ulang. Pak

Carik kembali menghubungi Pak Camat dan istrinya agar dapat mcmbantu

menyukseskan dirinya supaya tetap terpilih sebagai kades. Secara moral, Pak

Camat juga harus menyukseskan Pak Carik sebab kalau tidak demikian, jabatan

sebagai camat akan dicopot. Intervensi seperti itu sangat dirasakan oleh masyarakat.

Terlebih lagi Pemilu itu bukan lagi ditentukan oleh jumlah suara terbesar, tetapi

keputusan tertinggi ada di tangan wedana atau bupati. Bisa saja suara yang

jumlahnya lebih kecil dilantik menjadi kades, asal sehaluan dan segolongan dengan

bupati. Hal ini dibenarkau oleh Pak Camat. Mendengar hal itu, salah seorang massa

berteriak, tidak ada gunanya Pemilu. Pak Camat disuruh mengirim saja ketiga calon

tanpa jumlah suara. Toh bupati yang akan memilihnya. Massa Goljo mendesak agar

Pemilu diganti dengan Pemibu yaitu pemilihan oleh bupati.

Hasil Pemilu kedua juga dimenangkan oleh Pak Carik, namun tidak berhasil

disahkan. Tiba-tiba wakil dari Goljo angkat bicara tentang kematian Pak Petinggi,

ternyata pelakunya adalah Pak Carik. Calon yang ambisius itu, sengaja membubuhi

arcenicum, suatu zat yang mematikan, ke dalam minuman kopi yang diminum Pak

Petinggi. Saksi mata dan pembuktiannya diperkuat oleh anggota Pagarpraja

(Hansip desa) dan seorang cucu Pak Petinggi. Pimpinan Golrah memperkuat protes

Goljo tentang kematian Pak Petinggi. Pak Carik tersentak, segala usahanya tidak

menghasilkan. Jabatan sebagai penguasa tunggal di desa Gondomayi dan harapan

menguasai tanah bengkok lenyap dari tangannya.

Bupati segera mengumumkan keadaan desa melalui radio setempat. Bupati

mengatakan telah terjadi penyelewengan jumlah paku sebagai tanda suara. Kedua

peristiwa itu berhubungan erat. Untuk itu, Pak Carik ditangkap dan diadili. Sebagai

Kades baru Desa Gondomayi, ditunjuk Pak Wedana untuk menjaga stabilitas desa.

Wedana adalah pejabat lebih tinggi dari camat, lebih rendah dari bupati.

2.2 Sastra dan Citra Demokrasi

Pengarang Sinansari Ecip dalam Kursi Pemilu, tampaknya berusaha secara

maksimal mengangkat realitas masyarakat sekitar tahun 1970-1980. Waktu itu,

Page 165: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

154 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dalam politik negara, pengaruh kekuasaan Orde Baru sangat kuat mengakar di

masyarakat. Kontestan Pemilu yang dilukiskan dalam novel seperti Goljo, Golning,

dan Golrah tiada lain merupakan akronim dari Golongan hijau (Goljo), Golongan

kuning (Golning), dan Golongan merah (Golrah). Goljo identik dengan Partai

Pcrsatuan Pembangunan (PPP), Golning serupa dengan Golkar dan Golrah adalah

Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga golongan ini dalam masa Orde Baru

sebagai kontestan Pemilu.

Penafsiran itu semakin jelas lagi kalau dihubungkan dengan basis

pendukung masing-masing golongan. Goljo dalam novel itu didukung oleh alim

ulama, pesantren, dan golongan tua yang taat beribadah. Golning tiada lain adalah

barisan aparat pemerintah dari tingkat bawah. desa, camat, bupati, PNS dan

seterusnya. Golrah dapat simpati dari sebagian besar generasi muda yang sangat

mendambakan perubahan. Dengan cermat, pengarang Sinansari Ecip juga

mengungkapkan tentang Golput (golongan putih). Jumlahnya mencapai ratusan

orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Suatu jumlah cukup besar untuk

Pemilu tingkat desa. Secara realitas. istilah Golput itu juga populer di tahun 1980-

an karena mereka tidak puas dengan tiga partai tadi. Dua partai lain, yaitu PPP dan

PDI yang semestinya lebih berani mengoreksi pemerintah yang berkuasa saat itu,

ternyata lebih sering menyelarnatkan diri untuk bergabung dengan Golkar dalam

setiap keputusan politik.

Pengaruh Pak Camat dan Bupati seperti dikisahkan pengarang Sinansari

Ecip sangat kuat dalam menentukan arah kebijakan di desa. Bahkan sejarah

mencatat, sering kali terjadi dalam pemilihan kades di tanah air, calon yang

memperoleh jumlah suara terbanyak belum jaminan dilantik sebagai kades.

Diperlukan penelitian ulang yang distilahkan dengan litsus (penelitian khusus).

Hasil litsus ini dapat menggagalkan calon yang hampir jadi. Calon lain, asal

sehaluan dan segolongan serta seideologi dengan penguasa akhimya dilantik

dengan tanpa menghadapi kendala. Situasi seperti itu berhasil direkam oleh

pengarang Sinansari Ecip yang nama sebenamya adalah Sutiono, pengarang

kelahiran Malang.

Politik demokrasi dalam Kursi Pemilu mencerminkan peta perpolitikan

nasional di tahun 1970-an. Ketika itu pemilu dilaksanakan berdasarkan Undang-

Page 166: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 155

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, di mana dilakukan

fusi partai-partai politik menjadi hanya dua partai (Partai Persatuan Pembangunan

dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Pesta demokrasi ketika

itu sebagian besar dimenangkan oleh Golongan Karya. Pada saat itu meskipun

pemilu terlaksana secara teratur setiap lima tahun, tetapi demokrasi belum berjalan

sepenuhnya. Pemilu justru dipenuhi oleh kecurangan dan bersifat seolah-olah hanya

sebagai formalitas dan sebagai informasi kepada dunia luar bahwa Indonesia telah

melaksanakan pemilu dan praktik demokrasi dengan benar.

Kejayaan Orde Baru mengalami puncaknya saat pemilu tahun 1997 yang

ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar. Golkar satu-satunya peserta pemilu

yang didukung secara finansial maupun secara politik oleh pemerintah untuk

memenangkan pemilu dengan meraih suara terbanyak. Secara nasonal, berbagai

cara dilakukan Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya dengan

memenangkan Golkar dalam setiap pemilu, salah satunya dengan cara intimidasi.

Lembaga-lembaga penyelenggaraan pemilu didominasi oleh pemerintah dan

Golkar. Pegawai Negeri Sipil diharuskan memilih Golkar dengan cara

menempatkan tempat pemungutan suara di kantor-kantor pemerintah

(http://kompasiana.com). Menjelang reformasi kondisi ini banyak digugat karena

budaya demokrasi seperti itu hanya untuk melanggengkaan kekuasaan golongan

tertentu.

Kini hampir tidak ada lagi ciri-ciri politik otoriter seperti yang terjadi pada

masa Orde Baru. Setelah Pemilu 1999 praktik demokrasi sudah mulai berjalan

sebagaimana mestinya. Pemilu dilakukan dengan azas langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil). Indonesia sudah memasuki era Reformasi,

politiknya berbeda secara struktural dengan politik Orde Baru. Proses politik

pemerintah sudah memasuki rezim demokratis dengan partisipasi rakyatnya secara

aktif untuk menentukan pilihan. Pemerintah tidak lagi sebagai penyelenggara

Pemilu yang rawan dengan kecurangan, tetapi telah ditangani oleh lembaaga

independen yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu).

Page 167: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

156 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Simpulan

Proses Pilkades dalam Kursi Pemilu merupakan cermin kondisi masyarakat

yang telah dihegemoni oleh kekuasaan Orde Baru. Di sisi lain masyarakat

menginginkan kebebasan dalam menemukan pemimpinnya sesuai dengan hati

nurani. Akan tetapi, keputusan terakhir ada di tangan birokrasi pemerintah. Dalam

novel dikisahkan terjadi kecurangan Pemilu yang menyebabkan desa dalam

keadaan tidak aman sebagai bentuk resistensi masyarakat, yang tidak puas dengan

pelaksaaan demokrasi Orde Baru Pengarang Sinansari Ecip berhasil menggarap

novel itu dengan meramu fakta ke dalam dunia fiksi. Kursi Pemilu memberikan

makna mencari kedudukan atau kekuasaan, sebab kata ‘kursi’ disini tidak terbatas

berarti tempat duduk tetapi sebuah tahta jabatan/kedudukan. Walaupun berkisah di

tingkat desa, akan tetapi novel ini identik dengan peta perpolitikan nasional pra

reformasi. dengan dua partai (PPP, PDI) dan Golongan Karya (Golkar).

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2003. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London : Sage Publication Ltd

Encip, Sinansari. 1982. Kursi Pemilu. Jakarta : Sinar Harapan. http:/kompasiana.com. “Budaya Demokrasi dan Partiipasi Politik Indonesia Pada

Masa Orde Baru,” Diunduh 14 Maret 2018.

https://guruppkn.com/demokras-era reformasi. Diunduh 15 Maret 2018. Fuller, Andy. 20011. Sastra dan Politik Membaca Karya-karya Seno Gumira

Ajidarma. Yogajakarta : Insist Press. Gaffar, Affan. 1983. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Jakarta : Rajawali. Geertz, Clifford. 1999. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Budi Hermawan).

Yogjakarta : Kanisius. Suaka, I.N. 2013. “Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dalam Novel: Refleksi

Budaya Politik Era Orde Baru.” Makalah dalam Seminar KKL di Universitas Muhamadyah Malang, 19 Juni.

Page 168: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 157 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ESTETIKA SEBAGAI YOGA SANG KAWI DALAM KAKAWIN

SUTASOMA

Oleh: I Nyoman Sukartha

Prodi Sastra Jawa Kuno FIB UNUD

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kakawin Sutasoma merupakan karya dari Mpu Tantular. Karya itu mengisahkan perjalanan hidup seorang putra raja Mahaketu di kerajaan Hastinapura. Sebagai putra raja beliau tidak mau hidup begelimang harta. Beliau ke luar dari istananya untuk mencari jati diri. Dalam pencaharian itu berbagai rintangan dihadapinya. Namun beliau tetap teguh memegang keyakinannya. Godaan demi godaan, derita demi derita, dan berbagai ancaman mara bahaya mampu beliau lalui. Metode pencarian beliau adalah yoga/ hubungan atau penyatuan diri dengan sang Khalik. Setidaknya ada enam tahapan yoga dalam Kakawin Sutasoma. Keenam tahapan itu disebut Saḍanggayoga. Demensi ruang dan waktu mampu dilewatinya. Itulah estetika yang merupakan wujud yoga sang kawi. Manunggal dalam kebinekaan sebagai ciri khusus kakawin menarik untuk diteliti. Namun, tulisan tentang estetika dalam kakawin tersebut belum ada. Pentingnya makna dan manfaat uraian estetika seperti yoga sang kawi perlu diungkap untuk bisa dijadikan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Yoga berarti penyatuan, kebersatuan dari keberanekaan.

Kata Kunci: Bhineka, Yoga, dan estetika.

1. Pendahuluan

Kata estetika yang dikenal di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan

harafiah dari bahasa Inggris aesthetics (Echols dan Hassan Shadily, 1989: 15). Kata

ini berasal dari bahasaYunani aesthesis yang berarti ‘perasaan’. Kata ini pertama

kali digunakan oleh filsuf Jerman Baumgarten (1714-1762) untuk menyebut ilmu

yang berhubungan dengan filsafat keindahan.

Sebelum kemunculan filsuf Baumgarten, sebenarnya masalah seni dan

keindahan telah digunakan oleh filsuf lain walaupun dengan sebutan yang berbeda.

Aristoteles misalnya, seorang filsuf Yunani yang hidup antara tahun 384-322 SM,

menyebut masalah yang berhubungan dengan seni (keindahan) dengan istilah

poetika. Istilah poetika sebenarnya adalah judul sebuah buku yang ditulis

Page 169: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

158 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Aristoteles sekitar tahun 340 SM di Athena. Buku ini memuat sejumlah teori

mengenai jenis-jenis tertentu wacana sastra dalam ruang lingkup yang cukup luas,

seperti sastra jenis puisi, tragedy serta cerita kepahlawanan seperti epos. Teori-teori

yang dikemukakan Aristoteles sangat penting dan berpengaruh sangat besar di

kalangan dunia Barat serta pada umumnya diterima dan menjadi dasar estetika dan

filsafat seni dalam sejarah kebudayaan Barat (Susanto,2014:222).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata estetika diartikan: (1) cabang

filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan

masyarakat terhadapnya; (2) kepekaan terhadap seni dan keindahan ( Moeliono

dkk, 2008: 382) Filsafat adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji semua

gejala yang ada dari segi sebab akibat dengan menggunakan akal budi.

Penelitian tentang Kakawin Sutasoma telah banyak dilakukan. Namun,

estetika dalam Kakawin Sutasoma belum pernah dibahas sebagai karya tulis. Untuk

itu dicoba mengungkapnya.

2. Metodologi.

Tulisan ini bersifat kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode

deskripsi kritis dengan pola berpikir induktif. Metode yang digunakan metode

kepustakaan, pengumpulan data, analisis data dan metode penyajian hasil analisis

data. Semiotika merupakan teori yang melandasinya.

3. Estetika dan Seni

Estetika dan seni masing-masing memiliki makna yang berdekatan dan

berkait dengan sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra (Panuti Sudjiman, 1984) estetika

diartikan sebagai telaah emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan rasa

keindahan dalam sastra. Estetika berurusan dengan konsep-konsep tentang

keindahan. Sastra diartikan karya, baik lisan maupun tertulis yang memiliki

berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan

ungkapannya.

Dalam menelaah masalah yang berkait dengan keindahan, estetika tidak

membatasi diri pada masalah keindahan sebagaimana yang terlihat secara konkret

(lahiriah) pada karya-karya seni, misalnya pada karya-karya lukisan, patung dan

Page 170: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 159

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

lain-lain, tetapi ingin melihat dan membahas apa yang tersembunyi di balik gejala

tersebut. Mutu sebuah karya sastra tidak dapat hanya dilihat dari aspek verbal

melalui penggunaan bahasa yang indah, seperti dalam sistem persajakan atau

pilihan kata, tetapi ia perlu dilihat secara menyeluruh, misalnya tema atau amanat

serta struktur pada tataran sistem sastra secara menyeluruh termasuk di dalamnya

aspek nilai (value).

Masalah keindahan (estetika) tidak dapat dilepaskan dari masalah seni (arts)

karena keduanya berkait. Secara umum, kata seni berpadanan dengan kata indah

walaupun pada batas-batas tetentu apabila dilakukan pengkajian secara lebih jauh

kedua istilah itu berbeda. Pandangan masyarakat umum cenderung mengatakan

bahwa seorang seniman (artist) adalah penghasil karya seni yang indah. Di dalam

kenyataannya, tidak selamanya karya seni yang dihasilkan seniman mendapat

tanggapan luas dari masyarakat akibat karya seni yang dihasilkannya kurang

menyentuh batin atau perasaan masyarakat. Jadi, karya seni itu berhubungan

dengan kepekaan ”rasa” seseorang. Anggapan masyarakat bahwa setiap karya seni

yang dihasilkan para seniman itu indah merupakan akibat dari pengertian yang

ditanamkan pada istilah seni: bahwa ciri seni adalah keidahan.

Di dalam karya sastra tradisional, seperti dalam sastra Jawa Kuna jenis

kakawin, para pujangga zaman dahulu (sang kawi) sering menggunakan isitilah

lango atau kalangwan untuk mengacu pada makna keindahan setiap karya kakawin

yang digubahnya. Dalam beberapa karya kakawin sang kawi secara sadar menyebut

tujuan penggubahan kakawin untuk mengejar keindahan (lango). Untuk mencapai

tujuan dimaksud sang kawi melakukan perjalanan ke segara wukir, melakukan

aktivitas-aktivitas ritual tertentu yang berkait dengan perbuatan keagamaan (yoga

dan semadhi). Dalam aktivitas inilah sang kawi berharap agar dewata yang dipuja

(istadewata) berkenan turun memberikan inspirasi agar berhasil menggubah karya

kakawin. Selama perjalanan sang kawi ke segara wukir berbagai hal telah dialami

dan semua menjadi ”pengalaman estetik” yang berharga bagi sang kawi dalam

rangka mewujudkan karya yang digubahnya agar dapat menjadi karya yang

susastra.

Menurut pengakuan Zoetmulder (1983) kata kalangwan atau lango dalam

bahasa Jawa Kuna sulit dicarikan padanannya dalam bahasa-bahasa nusantara

Page 171: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

160 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terutama dalam hal konsep yang dikandungnya untuk mengungkapkan pengalaman

estetik bagi seorang kawi selama proses perjalanannya menggubah kakawin sampai

berujud karya yang disebutnya sebagai ”candi pustaka”. Zoetmulder secara lebih

jauh mengatakan bahwa tidak ada satu bahasa pun yang dapat menyamai kekayaan

akan istilah-istilah yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pengalaman

estetik seperti dalam bahasa Jawa Kuna. Pengalaman estetik serta keindahan di

kalangan para penyair (Jawa Kuna) dianggap sesuatu yang berasal dari ”surga”

yang disambut dengan rasa religius. Menggubah suatu karya kakawin dianggap

sebagai suatu perbuatan keagamaan (Dick Hartoko, 1990: 16). Oleh karena itu, bagi

masyarakat : membaca, mempelajari, apalagi mengaktualisasikan nilai-nilai yang

dikandung pada karya-karya sastra kakawin dapat diartikan sudah mengikuti

perbuatan para kawi jaman dahulu. Hal inilah yang perlu dipahamai masyarakat.

Dalam ilmu sastra hal-hal yang berkait dengan masalah seni atau keindahan serta

bagaimana tanggapan masyarakat terhadapnya dikenal dengan istilah estetika

resepsi atau estetika tanggapan, yaitu estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan

pada tanggapan-tanggapan atau penerimaan masyarakat atau pembaca terhadap

sebuah karya sastra.

4. Kaidah Estetik Karya Sastra

Nilai estetik dalam karya sastra tradisional/klasik terutama jenis kakawin

menurut Zoetmulder (l983: 204-217) erat kaitannya dengan perbuatan yoga.

Mengarang kakawin dapat dianggap sebagai perbuatan yoga atau melakukan

latihan-latihan rohani tertentu. Dalam konteks ini, puisi bagi seorang penyair

kakawin (kawi) adalah semacam ”yoga”, sedangkan sang kawi adalah seorang

”yogi”. Maksudnya, orang yang melakukan latihan rohani tertentu (melakukan

hubungan dengan Tuhan atau manunggaling kawula dengan Gusti). Dalam

pandangan agama Hindu konsep yoga mengacu kepada; suatu usaha setiap orang

untuk mencapai kesatuan dengan sang pencipta (sang Chalik). Dengan cara seperti

itu, setiap orang yang melakukannya akan dapat mencapai kelepasan, bebas dari

rantai ikatan reinkarnasi yang disamakan dengan ”moksa” (suka tan pawali duhka).

Bagi pujangga klasik (sang kawi) puisilah yang mejadi sarana utama untuk

mencapai tujuan akhir. Puisi adalah agamanya. Sang Dewa yang ingin

Page 172: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 161

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ditemukannya menjelma selaku dewa keindahan. Dewa yang selalu diharapkan

hadir melalui yoga yang dilakukannya agar sang kawi berhasil dalam mengerjakan

karya yang digubahnya.

Bagi sang kawi persatuan dengan dewa keindahan sekaligus menjadi jalan

atau sarana dan tujuan. Maksudnya, jalan untuk mencipta karya keindahan, yaitu

kakawin-nya dalam rangka mencapai kebebasan ikatan kehidupan. Kakawin juga

merupakan wadah bagi diciptakannya kaidah-kaidah estetika. Wadah yang dengan

kata atau bahasa menjelmakan keindahan agar dapat menjadi wadah bagi Sang

Dewa dan sekaligus sebagai objek pemusatan pikiran, baik bagi sang penciptanya

maupun untuk orang yang membaca atau mendengar kakawin tersebut. Dengan

mencipta suatu karya kakawin serta menikmatinya, orang larut di dalam pesona

keindahan yang disebut lango. Kaidah-kaidah estetik seperti ini dalam karya jenis

kakawin dinyatakan di dalam bait-bait pembuka (manggala).

Bagi seorang pujangga kakawin (sang kawi) menggubah karya kakawin

merupakan petunjuk tentang proses pembacaan serta pemahaman nilai-nilai budaya

termasuk pemahaman pada kaidah-kaidah estetiknya. Demikian pula dengan

membaca teks kakawin dapat telah mengikuti serta mengulangi usaha sang kawi

dalam rangka menyatukan pikiran dengan alam semesta (skala) ke alam niskala

untuk mencapai kesatuan dengan dewa.

Dalam Kakawin Sutasomapengarang mengetengahkan konsep yoga yang

diperkenalkan dengan istilah Saḍanggayoga. Sad berarti ’enam’, sedang yoga

diartikan sebagai ’hubungan’. Jadi, Saḍanggayoga berarti ’enam tahapan yoga

(Zoutmulder, 2006: 972) atau enam jalan dalam melakukan penyatuan dengan

Tuhan’. Keenam yoga yang dimaksud adalah: Prathyȃhȃra (penyaluran atau

pengendalian panca indra), Pranayama (penguasaan nafas), Tarka (pengheningan

pikiran), Dharana (pemusatan pikiran), Dhyana (kontemplasi), Samadhi (keadaan

supra sadar). Dharana, Dhyana, dan Yoga Samadhi diistilahkan dengan Samyama

(ko-konsiliasiatau penyelarasan) (bandingkan: Soegriwa, tt ;26-37 dan Polak, 1996:

146-257).

Konsep yoga dalam Kakawin Sutasoma mengajarkan penyatuan dalam

keberbinekaan; penyatuan antara buana alit dengan buana agung (manunggaling

kawula gusti) dengan dilandasi cinta kasih dalam arti luas. Pengarang melalui tokoh

Page 173: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

162 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sutasoma menganjurkan konsep yoga dengan kepasrahan dan kesadaran yang

sejati/ hakiki. Apapun jalan (paham, agama) yang digunakan, hal itu mengacu

kepada tujuan yang sama. Sebab semua hanyalah cara yoga atau cara

menghubungkan diri dengan Tuhan. Bencana, godaan, derita, hingga ancaman

pada nyawa bukan merupakan rintangan dalam melaksanakan yoga.Tindak (Kriya

Yogaatau yoga permulaan) dan batin (Jnyana Yoga) hanyalah cara atau jalan untuk

pencapaian kebahagiaan atau moksa. Sutasoma menolak hadiah kesaktian yang

diberikan oleh dewa kuburan sebab kesaktian hanyalah akan membuat manusia

sombong, jumawa dan lupa diri.Kesaktian semacam itu tidaklah penting bagi

penekun yoga.

Pada kesempatan lain, Sutasoma menyerahkan diri ketika macan lapar mau

memangsa anaknya yang masih kecil. Sutasoma melarang si indiuk macan

memangsa anaknya. Sebagai gantinya, ia rela menyerahkan diri untuk dimangsa.

Akhirnya si macan memangsanya. Namun, akhirnya Sutasoma dihidupkan kembali

oleh dewa junjungannya dan si macan menyesali diri. Si Macan akhirnya menjadi

murid Sutasoma.

Sutasoma juga pasrah ketika Gajah Waktra mau membunuhnya. Tiada

ketakutan sedikitpun dalam diri Sutasoma. Namun, kembali Gajah Waktra harus

menyerah dan menjadi muridnya.

Pada bagian akhir cerita, Sutasoma tidak melawan ketika Raksasa

Porusadha mau menangkap Sutasoma untuk diserahkan kepada Dewa Kala.

Sutasoma pasrah diri ketika diserahkan kepada Dewa Kala. Dewa Kala berubah

wujud menjadi seekor naga besar (Ngagendra). Sutasoma dimasukkan ke dalam

mulut si naga, namun sang naga atau Dewa Kala tidak mampu menelannya. Hal itu

terjadi berkat keteguhan yoga Sutasoma, berkat pasrah dirinya, atau Samyama

Sutasoma yang mampu mengatasi indriya (Porusadha), demensi”ruang” (ular,

macan dan Gajah Waktra) dan mengatasi demensi ”waktu” (Sang Kala dalam

perwujudan ular naga). Akhirnya, Sutasoma memperoleh pencerahan (moksa) atau

suka tan pawali duka (kebahagiaan abadi). Itulah konsep yoga yang indah bagi

Sang Kawi yang diuntai dalam balutan ceritera Kakawin Sutasoma.

Page 174: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 163

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

5. Kesimpulan

Estetika dalam Kakawin Sutasoma adalah yoga sang Kawi. Yoga adalah

penyatuan diri/ moksa/ suka tan pawali duhka.

DAFTAR PUSTAKA

Echols dan Hassan Shadily, 1989: Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta’ Jambatan. Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen

Pendidikan Nasional. Polak, Maijor. J.B.A.F (Penerjemah).1996.Pȃtaňjali Rȃja Yoga.Surabaya;

Paramita. Soegriwa, I GustiBagus. 1959. “Kakawin Sutasoma Jilid VI”. Denpasar; Pustaka

Balimas. Sukartha, I Nyoman. 2015. “Kelisanan Dalam Mabebasan Di Bali” (Disertasi).

Denpasar; Program Pasca Sarjana Linguistik (S3) Universitas Udayana. Sukartha, I Nyoman. 2016. “Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si

Tetani, dan Si Katak”, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.

Sukartha.I Nyoman. 2017. “Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa

Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker”dalam Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2017. “Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana”

dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya.

Sukartha I Nyoman dkk. 2017. “Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka

Prakarana”. Denpasar. Program Studi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Zoutmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.

Terjemahan Dick. Hartoko. Jakarta. Jambatan.

Page 175: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 164 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

KEKOHESIFAN DALAM WACANA NARATIF BAHASA MELAYU BALI

Oleh

I Nyoman Suparwa

Prodi Sastra Indonesia FIB Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kekohesifan dalam wacana merupakan hal penting dalam pemakaian bahasa karena menyangkut kepaduan bentuk yang secara struktural menghasilkan ikatan sintaktikal. Sementara itu, wacana itu sendiri adalah satuan kebahasaan yang berada pada posisi tertinggi dan merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Dalam ceritra naratif, kekohesifan wacana akan menjamin keapikan dan kerapian susunan kalimat dalam paragraf/wacana/dialog, sehingga tercipta rangkaian ceritra yang serasi dan mudah dipahami serta menarik. Dalam kajian ini dibahas, “Bagaimana kekohesifan dalam wacana naratif bahasa Melayu Bali?” Bahasa ini dipakai oleh masyarakat Melayu di Desa Loloan, Negara, Kabupaten Jembrana, Bali yang dominan digunakan secara lisan. Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah Teori Wacana, khususnya teori Kohesi yang dikembangkan oleh Halliday dan Hassan (1976) dengan metode penelitian deskriptif yang gayut. Hasil analisis menunjukkan bahwa wacana naratif bahasa Melayu Bali dominan ditemukan tanpa alat kohesi dalam pembentukan kekohesifan wacana tersebut. Hal itu bisa terjadi karena wacana yang ada dominan berbentuk dari dialog yang cenderung tidak secara eksplisit dengan alat kebahasaan dalam membangun kekohesifannya. Pemakaian alat kohesi yang ditemukan dapat berupa repetisi, kata ganti, dan pemakaian konjungsi. Kata kunci: kekohesifan, wacana naratif, bahasa Melayu Bali

PENDAHULUAN

Kekohesifan dalam wacana merupakan hal penting dalam pemakaian

bahasa karena menyangkut kepaduan bentuk yang secara struktural menghasilkan

ikatan sintaktikal. Kohesi merupakan hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana,

baik melalui strata gramatikal maupun leksikal (Gutwinsky, 1976:26). Sementara

itu, wacana itu sendiri adalah satuan kebahasaan yang berada pada posisi tertinggi

dan merupakan unsure kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling

lengkap. Wacana yang utuh dibangun oleh dua unsur, yaitu kohesi dan koherensi

(Mulyana, 2005:26). Kohesi termasuk hubungan bentuk dan keherensi termasuk

Page 176: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 165

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

hubungan semantik/makna, sehingga kedua hubungan tersebut dapat membentuk

satu kesatuan pemakaian bahasa yang utuh.

Wacana naratif adalah bentuk wacana yang digunakan untuk menceritrakan

suatu kisah (Mulyana, 2005:48). Uraian wacana jenis ini cenderung ringkas;

bagian-bagian yang dianggap penting sering diberikan tekanan atau diulang.

Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri

dengan alinea penutup. Wacana jenis ini banyak dijumpai dalam pemakaian bahasa

yang terkait dengan tradisi berceritra dalam masyarakat tertentu, baik ceritra lisan.

Wacana naratif dalam masyarakat Melayu Bali ditemukan dalam bentuk

lisan. Ceritra ini disampaikan dari “mulut ke mulut” oleh penuturnya karena bahasa

ini belum memiliki tradisi tulis. Ceritra jenis ini disebut juga ceritra lisan atau ceritra

rakyat yang masih hidup dan dipelihara oleh masyarakatnya karena merupakan

tradisi turun- temurun dan dipandang sebagai kekayaan budaya yang harus

dipelihara dan dikembangkan. Tradisi lisan ini disampaikan dalam bahasa Melayu

yang mereka sebut bahasa Melayu Loloan atau bahasa Melayu Loloan Bali atau

bisa juga disebut bahasa Melayu Bali karena bahasa Melayu ini hanya ditemukan

di daerah Desa Loloan (Loloan Timur dan Loloan Barat), Kecamatan Negara,

Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Walaupun belakangan penutur bahasa ini

berpindah tempat tinggal, seperti karena perkawinan atau pekerjaan, Desa Loloan

tetap dipandang sebagai daerah pakai bahasa Melayu tersebut.

Secara historis dasar atau asal bahasa Indonesia yang pada 28 Oktober 1928

ditetapkan sebagai bahasa Nasional dan tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan

sebagai bahasa Negara (Indonesia) adalah bahasa Melayu (Arifin dan Amran

Tansai, 1987:3—4). Bukti historis yang mendukung kehidupan bahasa Melayu

pada zaman lampau di Indonesia adalah bukti tertulis dan bukti lisan. Bukti tertulis

adalah berberapa prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu, seperti Prasasti

Kedukan Bukit (683 M), Prasasti Talang Tuo (684 M), dan Prasasti Kota Kapur

(686 M) di daerah Sumatra. Sementara itu, bukti lisan adalah berbagai dialek bahasa

Melayu dan tersebar di seluruh Nusantara, seperti dialek Melayu Jakarta, Melayu

Menado, dan Melayu Loloan Bali (Suparwa, 2006).

Bahasa Melayu Loloan Bali memilki kekhasan kebahasaan (mikrolinguistik)

dan luar bahasa (makolinguistik). Fenomena kebahasaan yang menonjol dalam

Page 177: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

166 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bahasa tersebut terkait dengan kewacanaan terlihat pada contoh wacana tuturan

(dialog) berikut ini.

Kate Sang Kue: “Sang Darek, mintak le aku.” ‘Sang Darek (kera) minta (lah) aku’ Sang Darek : ”manjet le kau”. ‘Memanjat (lah) kau’ Sang Kue : “Aku dak bise manjet, mintak le aku dami-daminye!”. ‘Aku

tidak bisa memanjat. Minta(lah) aku dami-daminya’

Ilustrasi di atas memperlihatkan kekhasan bahasa Melayu Bali jika dilihat

dari perbandingan dengan bahasa Indonesia yang merupakan perkembangannya.

Perbandingan mikrolinguistik memperlihatkan adanya kekhasan fonologis berupa

bunyi monoftong pada kata kalo, juga dilafalkan kalok, yang dalam bahasa

Indonesia diftong kalau. Selain itu, dalam bidang morfologi diperlihatkan dengan

kemunculan prefiks nasal ny- seperti pada kata manjet dan mintak yang dalam

bahasa Indonesia prefiks meng- seperti memanjat dan meminta. Dalam bidang

sintaksis, terlihat kekhasan dalam pemakaian penanda kalimat seperti le yang tidak

memiliki arti leksikal, tetapi berfungsi secara sintaksis. Fenomena tersebut perlu

dikaji dan ditelaah lebih lanjut secara linguistik, termasuk kajian kewacanaan.

Pada Masyarakat Loloan, terutama generasi muda, gerakan pelestarian dan

pengembangan tradisi budaya, termasuk bahasa, terus digalakkan. Perkumpulan

pemuda Loloan yang menamakan diri sebagai komunitas Pemuda Loloan

menginisiasi gerakan 30M di Rumah Baca (Bali Post, 2018:10). Gerakan itu berupa

kegiatan membaca selama 30 menit setiap hari. Hal itu dilakukan guna

meningkatkan budaya baca (literasi) masyarakat Loloan karena ditengarai akhir-

akhir ini kegiatan membaca generasi muda mulai tergerus oleh derasnya pengaruh

memainkan gadget, gosipin orang, atau yang sejenis lainnnya. Dengan literasi

mereka bisa mencari informasi dan pengetahuan yang dapat

dipertanggungjawabkan. Untuk itu, kajian wacana naratif bahasa Melayu (Loloan)

Bali menjadi penting karena terkait juga dengan budaya leterasi tersebut yang

dalam hal ini dapat menambah khazanah kajian ceritra rakyat Melayu Bali.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, terlihat bahwa masalah yang

dibahas dalam kajian ini adalah wacana naratif dalam bahasa Melayu Bali. Dalam

kaitan ini, tidak semua maslah yang berhubungan dengan kewacanaan dibicarakan;

kajian difokuskan pada kajian kohesinya saja karena kajian ini lebih menekankan

pada kepaduan wanaca dalam hal bentuk satuan lingual kebahasaan. Untuk itu,

Page 178: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 167

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

masalah yang dikaji adalah “Bagaimana pemakaian kebahasaan dalam membangun

kekohesifat wacana naratif bahasa Melayu Bali?” Dalam hal ini, masalah terkait

dengan hal itu, terutama kekoherensian tidak dibahas karena hal itu terkait dengan

keterhubungan makna/arti. Selain itu, seperti disebut di depan bahwa objek kajian

penelitian ini adalah bahasa lisan sehingga menjadi penting untuk dikaji unsur

kebahasaan dalam membangun keterhubungan satuan bahasa dalam membangun

keutuhan wacana.

Teori yang digunakan dalam kajian bentuk kohesi tersebut adalah teori

wacana, khususnya yang terkait langsung dengan kekohesifan dalam satuan

wacana. Teori tersebut adalah teori Kohesi yang dikembangkan oleh Halliday dan

Hassan dalam bukunya Cohesion in English (1976). Dalam kaitan itu, kohesi

diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara structural membentuk ikatan

sintaktikal. Gutwinsky (1976:26) memperjelasnya dengan menyebutkan bahwa

kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata

gramatikal maupun leksikal. Kohesi wacana terbagi atas dua aspek, yaitu kohesi

leksikal dan kohesi gramatikal. Kohesi leksikal meliputi sinonim, antonym, repetisi,

kolokasi, dan ekuivalensi, sedangkan kohesi gramatikal meliputi referensi,

substitusi, ellipsis, dan konjungsi (halliday, 1976:21).

METODOLOGI

Sumber data kajian ini adalah wacana naratif berupa dongeng berbahasa

Melayu (Loloan) Bali. Dongeng tersebut umumnya menceritrakan kisah tentang

binatang dengan judul masing-masing (1) Sang Darek ajak Sang Kue, (2) Empat

Ekor Sampi (3) Pesen Mak, (4) Alkisah (Cerita Nenek Rate), (5) Kancil Nyuri

Ketemun, (6) Kerbo yang Belog, (7) Tekos ajak Singe, dan (8) Kancil jak Bekecot.

Cerita tersebut dikaji dengan metode pengumpulan data adalah metode simak untuk

menemukan sistem kekohesifan wacana; kemudian, metode analisisnya berupa

deskriptif eksplanatori, yaitu berupa penggambaran dengan kata-kata dan disertai

penjelasannya.

KEKOHESIFAN WACANA NARATIF BAHASA MELAYU BALI

Page 179: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

168 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ceritra naratif adalah sebuah teks. Halliday dan R. Hassan (1976:6)

mengatakan bahwa teks adalah pemakian bahasa, baik lisan maupun tulisan, baik

dalam bentuk prosa, puisi, dialog, maupun monolog, yang membentuk satu

kesatuan gagasan. Teks tersebutlah yang disebut dengan wacana. Kohesi muncul

apabila penafsiran tertentu di dalam sebuah teks bergantung kepada penafsiran

unsur lain yang ada di dalam teks yang sama.

Kekohesifan dalam ceritra naratif bahasa Melayu Bali diperlihatkan oleh

adanya kesinambungan ceritra dan dapat dipahami dengan baik oleh lawan

bicaranya. Dalam realisainya, kekohesifan tersebut dicapai dengan alat kohesi

dan/atau tanpa alat kohesi. Contoh berikut ini memperlihatkan kekohesifan yang

dicapai dengan tanpa alat kohesi.

(1) Sang Kue : “Sang Darek, mintak le aku” ‘Sang Darek (kera) minta (lah) aku’

Sang Darek : “Manjet le kau!” ‘Memanjat (lah) kamu!’ Sang Kue : “Aku dak bise manjet, mintak le aku dami-daminye!”

‘Aku tidak bisa memanjat, minta (lah) aku dami-daminya!’

Dialog di atas memperlihatkan bahwa antara kalimat (1) dengan kalimat (2)

tidak memperlihatkan secara tersurat (tertulis) kekohesifannya. Komunikasi itu bisa

berlangsung karena adanya saling pemahaman antara pembicara dan pendengar

tentang topik yang dibicarakan bahwa Sang Kue meminta buah pisang di dekat

Sang Darek di pohon pisang (di atas). Dalam hal ini, Sang Kue berada di bawah,

sehingga Sang Darek meminta Sang Kue untuk naik (memanjat). Umumnya,

wacana yang ditemukan dalam ceritra naratif bahasa Melayu Bali berupa dialog

yang tidak secara eksplisit menggunakan alat kohesi walaupun semua wacananya

tergolong kohesif karena tertata apik dan dapat dipahami oleh pendengarnya.

Hal yang berbeda terdapat pada wacana yang lain seperti di bawah ini.

(2) “Aku tetep di sini, kau pasti pangenan kalok nemui singe.” Kate sampi ketiga

‘aku tetap di sini, kamu pasti menyesal jika bertemu dengan singa; kata sapi ketiga’

“Aku dak takut jak singe,” kate sampi keempat’ ‘aku tidak takut dengan singa, kata sapi keempat’

Wacana (2) itu memperlihatkan pemakaian alat kohesi dalam

menghubungkan kalimat (1) dengan (2). Alat kohesi yang dimaksud adalah

Page 180: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 169

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pengulangan kata singe ‘singa’. Pemakaian alat kohesi seperti itu disebut dengan istilah pengulangan kata kunci.

Alat kohesi lain adalah pemakaian kata ganti. Kata ganti ada bermacam-

macam, seperti kata ganti orang (Orang I, Orang II, Orang III) atau kata ganti

tunjuk, seperti ini dan itu. Dalam wacana naratif bahasa Melayu Bali, pemakaian

alat kohesi berupa kata ganti ditemukan pada wacana berikut ini.

(3) Ade seorang pemude bername Abdul, di Dusun Kombading. Die mekerje mancing ikan di sunge/nyale.

‘Ada seorang pemuda bernama Abdul, di Dusun Kombading. Dia bekerja memancing ikan di sungai/nyale’

Dalam wacana (3) ditemukan kata die ‘dia’ pada kalimat (2) yang berfungsi

menghubungkan kalimat (1) dengan kalimat (2). Kata ganti die ‘dia’ merupakan

pengganti orang yang bernama Abdul pada kalimat (1). Selain kata ganti dia, dalam

wacana naratif bahasa Melayu Bali ditemukan juga pemakaian kata ganti nye ‘nya’,

seperti pada wacana berikut ini.

(4) Tibe-tibe muncul anak dare dengel. Rambutnye ikel mayang, idungnye mancung, kulitnye kuning langsat.

‘Tiba-tiba muncul anak gadis cantik. Rambutnya ikal mayang, hidungnya mancung, Kulitnya kuning langsat’

Alat kohesi berupa konjungsi ditemukan pada wacana berikut ini.

(4) Abis lari jauh, si kancil berenti, die lempe, teros die manggil bekecot; “bekecooooot!”

“Iye, aku di sini,” bekecot mesaut. Begitu teros sampek si kancil dak kuat lari kerane

lempe. Akhirnye, si kancil nyerah. ‘Sehabis lari jauh, si kancil berhenti, dia lelah, lalu dia memanggil

bekecot; “bekecooot!” “Iya aku di sini” bekecot menjawab. Begitu seterusnya

sampai si kancil tidak kuat berlari karena lelah. Akhirnya, si kancil menyerah’

Pemakaian konjungsi pada wacana di atas terlihat dalam kalimat (1) dan

kalimat terakhir. Pada kalimat (1) ditemukan pemakaian konjungsi teros ‘terus’ dan

pada kalimat terakhir ditemukan pemakaian konjungsi akhirnye ‘akhirnya’.

Konjungsi teros ‘terus’ dipakai untuk menghubungkan pernyataan yang berupa

lanjutan; dalam bahasa Indonesia biasanya dipakai konjungsi lalu, kemudia, terus,

Page 181: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

170 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dan yang sejenisnya. Konjungsi akhirnye ‘akhirnya’ dipakai untuk menghubungkan

pernyataan yang berupa penyelesaian peristiwa.

Dalam beberapa wacana, tidak selalu pemakaian alat kohesi tunggal, seperti

dipaparkan di atas, yaitu repetisi, kata ganti, atau konjungsi. Alat kohesi juga

ditemukan dalam pemakaian campuran di dalam sebuah wacana. Artinya, dalam

wacana tersebut ditemukan beberapa alat kohesi yang dipakai secara bersamaan.

Berikut ini adalah wacana yang memakai alat kohesi yang ganda.

(5) Tak lame, die nemui lobang di bawah pager, tempat si kancil masuk kebonan dia. Pak Tani lekes nyoncong lobang yang same di sampeng lobang yang buatnye jak kancil.

Tapi lobang tu totopinye ajak kayu-kayu kecik jak daun-daunan. ‘Tidak lama, dia menemukan lubang di bawah pagar, tempat si kancil

masuk kebun dia. Pak Tani cepat-cepat menggali lubang yang sama di samping lubang

yang dibuat oleh Kancil. Akan tetapi, lubang itu ditutupnye dengan kayu-kayu kecil dan

daun-daunan.’

Alat kohesi campuran ditemukan pada kalimat terakhir, yaitu konjungsi tapi

‘akan tetapi’, kata ganti tunjuk tu ‘itu’, dan –nye ‘nya’ mengganti kata Pak Tani.

Dengan demikian, alat kohesi konjungsi bisa dicampur penggunaannya dengan alat

kohesi yang lain, yaitu kata ganti tunjuk dan kata ganti orang. Umumnya, alat

kohesi konjungsi ditemukan dominan dalam wacana monolog, sedangkan alat

kohesi kata ganti dominan ditemukan dalam wacana monolog.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa wacana naratif bahasa

Melayu Bali dominan ditemukan tanpa alat kohesi dalam pembentukan

kekohesifannya. Hal itu bisa terjadi karena wacana yang ada dominan berbentuk

dari dialog yang cenderung tidak secara eksplisit dengan alat kebahasaan dalam

membangun kekohesifannya. Pemakaian alat kohesi yang ditemukan dapat berupa

repetisi, seperti kata singe ‘singa’; pemakaian kata ganti, seperti die ‘dia’ atau kata

ganti tunjuk, seperti tu ‘itu’, dan pemakaian konjungsi, seperti teros ‘terus’ atau

akhirnye ‘akhirnya, serta pemakaian alat kohesi campuran/ganda, seperti

Page 182: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 171

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pemakaian konjungsi tapi ‘tetapi’ digabung dengan pemakaian kata ganti tunjuk tu

‘itu’ dan kata ganti orang ketiga –nye ‘nya’.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E Zaenal dan Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: MSP.

Bali Post. 2018. “Bangkitkan Budaya Literasi Pemuda Loloan Inisiasi Gerakan30MB di Rumah Baca”. Denpasar.

Bradan, Arifin. 1995. Loloan: Sejumlah Potret Ummat Islam di Bali. Jakarta: Yyasan Festival Istiqlal II.

Brown, Gillian dan Yule, George. 1983. Discourse Analysis. New York: Cambridge University Press.

Eggins S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. Pinter Publishers: London.

Halliday, M.A.K. 1975. Language as Social Semiotic. New York: Routledge, Chapman and Hall, Inc.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya, Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspect

of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press.

Suparwa, I Nyoman. 2007. “Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal”. Disertasi Program Doktor Linguistik Unud. Denpasar: PPs Unud

Page 183: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 172 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

WACANA “KERAJAAN MAJAPAHIT BALI” : DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER

I Putu Gede Suwitha

Jurusan Sejarah Universitas Udayana

E-mail: [email protected]

Abstrak

Studi ini akan membahas perubahan identitas masyarakat Bali Kontemporer, khususnya dinamika Puri dalam pusaran politik dengan mengikuti perkembangan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Wacana ini dapat diamati lewat media pers di Bali khususnya Koran Bali Post, Koran Tokoh, majalah Bali Post, dan beberapa koran lainnya. Wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, sesungguhnya mengambil kerajaan Majapahit sebagai inspirasi untuk pencitraan. Metode bersifat historis-kualitatif dengan mengumpulkan data kepustakaan khususnya koran. Dalam analisis data dipergunakan analisis sejarah. Semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif-kualitatif. Hasil studi didapat bahwa munculnya wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, merupakan wacana yang dilemparkan oleh tokoh sentralnya Aryawedakarna untuk kepentingan politik. Wedakarna dengan cerdas mengambil kerajaan Majapahit dan kebangkitan Hindu sebagai inspirasi dalam membangun citra diri sebagai tokoh puri. Wedakarna sesungguhnya melakukan politik identitas dan berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan dukungan suara kurang lebih 200.000 suara dalam pemili 2014. Kata kunci: Politik Identitas, Dinamika Puri, Politik Pencitraan.

I. Pendahuluan

Masyarakat Bali bergerak dinamis jika dilihat dari perjalanan sejarahnya.

Pada mulanya Bali mengalami ketertinggalan dibandingkan daerah tetangganya –

Jawa. Pada 1908 di Jawa berdiri Budi Utomo, sedangkan di Bali masih terjadi

Perang Puputan. Tahun 1965, masyarakat Bali saling bunuh karena perbedaan

partai. Pada permulaan Orde Baru, 1971, terjadi Golkarisasi, banyak rumah dari

pendukung PNI dibakar (Suryawan, 1988).

Pada awal abad 20, perkembangan masyarakat Bali berubah secara drastic

akibat berkembangnya pariwisata. Raja Ubud, Cokorda Sukawati tampil sebagai

pelopor pariwisata, pada tahun 1934 mengundang tamu-tamu asing untuk datang

Page 184: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 173

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ke Puri Ubud. Puri Ubud dijadikan tempat peristirahatan dan kemudian menjadi

cakal-bakal berdirinya akomodasi pariwisata (Darma Putra, 2012)

Berbagai wacana muncul pada awal abad 20 seperti Balinesering (1934) dan

Wacana Negara Federal (1945-1946 yang dipelopori oleh Ida Anak Agung Gde

Agung, putra Raja Gianyar). Setelah Reformasi muncul pula wacana “Bali

Merdeka”, menyusul “Ajeg Bali” (Bali Post, 1989). Kemudian menyusul wacana

“Kerajaan Majapahit Bali”, disertai dengan kebangkitan puri-puri di Bali yang

mendapat momentum dari peristiwa lahirnya Persatuan Raja-raja Nusantara.

II. Metodologi

Metode penelitian dan penulisan ini bersifat historis-kualitatif, dengan

teknik pengumpulan data mempergunakan metode kepustakaan. Oleh karena studi

wacana, bertumpu pada wacana yang muncul pada koran-koran lokal Bali,

khususnya koran Bali Post Group, seperti Bali Post, Majalah Bali Post, Majalah

Tokoh, dan koran-koran lainnya yang terbit antara 2009-2016.

III. Pembahasan

1. Kebangkitan Puri Di Bali

Puri (Istana, Keraton), berasal dari kata Pur, yang artinya benteng

pertahanan. Berdirinya sebuah kota biasanya diawali dengan Puri sebagai pusat

kerajaan sekaligus sebagai pusat pemerintahan (Sartono, 1977). Keberadaan Puri di

Bali bermula dari ekspedisi Majapahit pada tahun 1343. Setelah Bali dikuasai oleh

Majapahit, diangkatlah penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan yang berkedudukan

di Puri Samprangan, dekat Gianyar sekarang. Dipilihnya Samprangan menjadi

pusat pemerintahan yang baru karena Samprangan bekas markas tentara Gajah

Mada ketika menaklukkan Bali (Mirsha, 1986:123., Rai Putra, 1991: 14).

Pada masa pemerintahan raja III, Dalem Ketut Ngelesir, Puri Samprangan

pindah ke Gelgel pada tahun 1383. Puri baru di Gelgel disebut Swecapura atau

Lingarsapura (Munandar, 2005 : 138). Selanjutnya Puri Gelgel berperan sentral

sebagai penguasa tunggal di Bali. Namun sejak 1686 terjadi kemelut di Puri Gelgel

karena pemberontakan I Gusti Agung Maruti. Hampir 12 tahun Maruti menjadi

Raja Gelgel. Raja dan para bangsawan tinggi kerajaan sebelumnya mengungsi ke

Page 185: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

174 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

luar Gelgel. Oleh karena pemberontakan Maruti, Bali kemudian terpecah menjadi

beberapa kerajaan. Muncul Puri-puri dan Kerajaan baru yang lepas dari Gelgel

seperti, Karangasem, Buleleng, Sidemen, Badung, Tabanan, Taman Bali,

Payangan, dan Singarsa (Gianyar) (Munandar, 2005: 140).

Secara umum pendirian Puri-puri baru ini didasari oleh sejarah yang sama

yaitu mempertahankan kesinambungan pengaruh Majapahit. Bahkan pembangunan

Puri-puri selalu merujuk pada Keraton Majapahit. Puri Agung Klungkung adalah

Puri yang tertua dibangun sesuai dengan apa yang diuraikan dalam Kitab Nagara

Kertagama. Dari aspek sosial, Puri merupakan tempat tinggal raja yang berkuasa

atas seluruh wilayah, sedangkan dari aspek politik, Puri adalah pusat pemerintahan

dan simbol kekuasaan politik raja. Kehidupan sosial-politik dengan ikon Puri

(Istana), rupanya gejala yang umum di Asia Tenggara pada jaman itu (Gelderen,

1982: 29-30)

Setelah desintegrasi Gelgel, sering disebut zaman raja-raja dan seterusnya

sampai abad 20, Puri makin berkembang dengan sistem piodalisme sebagai

ikutannya. Kerajaan Bali bersifat sentrifugal, raja mempunyai kekuasaan sendiri

(independen). Hellen Creese (1993: 30), menyebut struktur Pemerintahan Galaksi

(Galatic Polity). Klungkung sebagai pusat, dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan lain.

Klungkung dianggap sebagai kerjaan yang secara simbolis sebagai pemersatu

karena keturunan langsung dari Majapahit.

2. Wacana “Kerajaan Majapahit Bali”

Kerajaan Majapahit memang sudah tidak ada lagi sejak ratusan tahun yang

lalu, tepatnya sejak tahun 1478. Namun semangat kebangkitan dan identitas

Majapahit masih ada dan gejala ini adalah bagian dari politik identitas kontemporer

Bali, yang menandai era baru dan kebangkitan baru. Politik identitas adalah politik

dengan memanfaatkan identitas-identitas primordial dan membangun citra lewat

aktivitas-aktivitas artificial untuk memperoleh kekuasaan. Era baru ini dipelopori

oleh seorang anak muda terpelajar dan cerdas yang sudah bergelar doctor dalam

usia muda (27 tahun) yang bernama Dr. Arya Wedakarna, M.Si.. Wedakarna

berhasil “membius” masyarakat Bali dengan simbol-simbol agama dan identitas

yang beragam seperti sebagai tokoh Hindu dengan mendirikan The Hindu Center,

Page 186: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 175

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tokok nasionalis dengan mendirikan The Soekarno Center dan ketua PNI

Marhaenisme Bali. Identitas yang lain adalah tokoh Puri dan “Raja Majapahit Bali”

dengan gelar: Abhiseka Raja Majapahit Bali-Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna

Kepakisan XIX. Istana raja bernama Istana Mancawarna yang terletak di Tampak

Siring.

Keberhasilan Wedakarna sebagai “Raja Majapahit Bali” merupakan sejarah

berulang yaitu melaui legitemasi penguasa Majapahit seperti yang diperoleh Dalem

dan para Arya 500 yang silam ketika Gajah Mada menempatkan Kresna Kepakisan

sebagai Raja Bali di bawah Majapahit. Legitemasi sebagai warisan Majapahit

sebenarnya tidak asing dalam sejarah Indonesia. Raden Fatah dari Demak, juga

Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram masih memposisikan dirinya sebagai

pewaris Kerajaan Majapahit (Supomo, 1983). Pada zaman pergerakan, inspirasi

Majapahit muncul dalam gagasan-gagasan nasionalis Jawa yang sesungguhnya

mengingatkan kecemerlangan zaman Majapahit. Gagasan ini kemudian

mengilhami para elite modern Indonesia untuk lebih percaya diri melawan penjajah

Belanda.

Dr. Wedakarna adalah sosok anak muda yang menjadi anggota DPD periode

2014-2019, dari daerah pemilihan Bali. Dengan ketokohannya Wedakarna

mendapat suara terbanyak pada pemilu legislatif tahun 2014 yang lalu dengan

perolehan suara hamper 200.000. Ia berhasil memanfaatkan kepopulerannya

sebagai identitas tokoh Puri keturunan Majapahit maupun sebagai tokoh Hindu

Indonesia. Wedakarna sangat memahami konsepsi kepemimpinan Hindu yang

disebut Rajarsi. Menurut konsepsi Rajarsi sesungguhnya tugas seorang kesatria

adalah mulia. Oleh karena seorang kesatria dapat memimpin dan dapat menentukan

hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, kekuasaan itu sesungguhnya mulia,

sehingga harus direbut untuk dapat mengelola nasib masyarakat.

Kebanyakan tokoh puri di Bali sengaja mengkotak-kotakkan diri dan

bersifat eksklusif. Hal ini pengaruh dari jaman lampau, dimana sampai abad ke 19

di Bali masih terjadi perang antar Puri. Pada masa sekarang pun pengaruh politik

pilkada langsung dimana tokoh-tokoh Puri sering bersaing dan berebut kekuasaan.

Wedakarna dengan ketokohannya berhasil menghilangkan sekat-sekat perbedaan

antarpuri.

Page 187: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

176 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Wedakarna terus menggalang solidaritas antar warih (keturunan) kstrya

sejumlah Puri di Bali. Peran Puri sebagai pusat kebudayaan agar tetap didukung

dan dipelihara. Sebelum Indonesia merdeka, Puri-puri sudah ada berjuang

menegakkan Hindu. Puri adalah benteng Hindu dan benteng kebudayaan.

Wedakarna menggalang Puri-puri di Bali untuk solidaritas kebangsaan. Puri juga

membantu masyarakat dalam melaksanakan upacara yadnya. Peran Puri bukan

untuk mengembalikan piodalisme, tetapi simbol kebangkitan agama, dan juga

budaya. Masyarakat memberikan penghormatan kepada Gusti (Manunggaling

Kawulo Gusti), karena sudah membantu masyarakat dan menjalankan konsep

ajaran Hindu yang disebut Karma Wasana (Bali Post, 19-11-2015).

Aktivitas Wedakarna bukan hanya mempersatukan Puri-puri, tetapi juga

berbagai golongan dan elemen di masyarakat. Hal ini terekam dari padatnya acara

permintaan dari berbagai soroh dan treh di Bali yang mengharapkan kehadiran

Wedakarna untuk memberikan semangat bagi umat Hindu. Undangan datang dari

golongan Brahmana, Pasek, Kebayan, Bujangga, Mahagotra, Arya Kenceng, dan

yang lainnya (Majalah Bali Post, Juni-Juli 2015: 37).

Keraton (Puri) di Bali memang dibangun dengan tata letak seperti di

Majapahit. Silsilah raja-raja Bali dicarikan asal-usulnya di Majapahit dan Jawa.

Asal-usul Brahmana juga berasal dari Jawa. Apabila kita lacak lebih kebelakang,

memang terjadi perpindahan dalam proses yang panjang dari Jawa ke Bali antara

abad ke-9 sampai ke-11. Dengan demikian sejarah kebesaran Majapahit selalu

menjadi rujukan, referensi, dan bahkan impian yang dibanggakan sebagai identitas

baru.

3. Identitas Hindu

Wedakarna ditetapkan sebagai raja “Majapahit Bali” pada tanggal 31

Desember 2009 dan dilantik di Pura Besakit oleh beberapa pendeta Hindu. Usianya

pada waktu dilantik 29 tahun dan sudah bergelar doctor (Bali Post, 29-07-2015).

Wilayah perjuangan Wedakarna adalah seluruh Nusantara, bukan hanya

Bali saja. Majapahit menurut senator termuda ini harus bangkit dan yang bisa

membangkitkan adalah warihnya yang masih setia beragama Hindu. Sulit mencari

Page 188: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 177

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tokoh Bali yang sepantaran dengan Wedakarna. Ini yang disebut dengan wahyu

keprabon dalam filosofi Jawa.

Untuk mewujudkan cita-citanya menegakkan Majapahit dan Hindu di

Nusantara, Wedakarna berupaya untuk berkomunikasi dan berusaha

mempersatukan Puri-puri yang tersebar di Bali. Puri yang jumlahnya ratusan

dikontak dengan cara yang santun, salah satunya memberikan hadiah cindramata

yang berupa lampu kristal yang merupakan simbol sinar atau cahaya. Puri adalah

benteng budaya Bali, Hindu, jika Puri hancur maka Hindu akan hancur. Dalam

konsep Hindu, Istana harus terang-benderang sebagai simbol kemakmuran dan

cahaya Dewi Sri (Laksmi).

Menurut Wedakarna ciri-ciri kebangkitan Hindu-Nusantara sesuai dengan

ramalan Sabdo Palon Nayogenggong, adalah dengan menyucikan sejarah leluhur.

Pada tahun 2012, Wedakarna menyucikan atma leluhur Majapahit di Trowulan.

Pada tahun 2013 Wedakarna juga menyucikan leluhur Pajajaran di Candi

Cangkung-Jawa Barat. Pada tahun 2014, diadakan upacara atma wedana leluhur

Mataram di Keraton Mangku Negaran-Solo. Pada tahun 2015, tepatnya 4 Agustus,

dilakukan upacara sedekah bumi dan entas-entas (Pitra Yadnya) untuk menyucikan

arwah leluhur di kerajaan Sriwijaya di Candi Bumi Ayu-Sumatera Selatan. Di

Sumatera bermunculan candi-candi Hindu seperti, Candi Bahal di Sumatera Utara,

Candi Muara Takus di Riau, dan Candi Muaro Jambi di Jambi (Bali Post, 5-8-2015).

Wedakarna dapat memanfaatkan jaringan Puri-puri Nusantara. Berbagai

kalangan kelompok datang menemui Wedakarna menyampaikan harapan terutama

bagaimana Puri menjadi simbol persatuan umat Hindu. Oleh karena itu secara rutin

Wedakarna mendatangi Puri-puri di Bali dan kelompok-kelompok lainnya.

Sebelum terbentuknya Parisadha, Puri-puri di Bali memang sudah berfungsi

sebagai pengayom umat Hindu. Fungsi pengayom umat Hindu kemudian kembali

digaungkan oleh Wedakarna.

IV. Simpulan

Kerajaan Majapahit yang berbasis agama Hindu telah lama runtuh. Namun

kejayaan Majapahit memberikan kebanggaan, inspirasi, dan simbol perjuangan

untuk menegakkan kebangkitan Hindu-Nusantara. Kebangkitan identitas

Page 189: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

178 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pembangunan citra Hindu sudah ada sejak keruntuhan Majapahit. Beberapa

pejuang seperti Trunojoyo (abad ke-17) mengumandangkan keagungan Majapahit.

Peran Majapahit sebagai inspirasi juga berlangsung pada zaman Pergerakan

Nasional awal abad 20.

Wacana “Kerajaan Majapahit Bali” dan kebangkitan Puri-puri tidak terlepas

dari inspirasi yang digaungkan oleh tokoh Bali, Arya Wedakarna. Wedakarna tidak

saja menjadikan Majapahit dan kebangkitan Hindu sebagai inspirasi, tetapi juga

melakukan politik identitas dan membangun citra diri untuk memperoleh

kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA

Darma Putra, Nyoman. 2012. Ida Bagus Kompyang - A.A. Mirah Astuti, Pasangan Pioner Pariwisata Bali. Denpasar: Jagat Press.

Munandar, Agus Aris. 2009. Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri di Bali Abad 14-19. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sartono Kartodirdjo. 1977. Masyarakat Kuno. Jakarta: Bhratara.

Slamet Mulyana. 1979. Nagara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bhratara.

Suryawan, I Ngurah. 1988. Kesaksian Air Mata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Supomo R.. 1983. “Citra Majapahit dalam Tulisan Jawa dan Indonesia Kemudian” dalam A. Reid dan D. Marr ed. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Press.

Bali Post 5 Juni 2015.

Bali Post 1 Juli 2015.

Bali Post 27 Juli 2015.

Bali Post 5 Agustus 2015.

Bali Post 19 November 2015.

Bali Post 31 Desember 2015.

Bali Post 11 Juli 2016.

Bali Post 22 Juli 2016.

Bali Post 25 Juli 2017.

Page 190: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 179

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bali Post 31 Desember 2017.

Bali Post 19 Maret 2018.

Majalah Bali Post, Juni-Juli 2015.

Majalah Bali Post, 21-27 Agustus 2017.

Koran Tokoh 14-20 November 2016.

Page 191: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 180 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MAKNA KOLOFON GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN

MARGARANA

Oleh

I Wayan Cika

Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM) adalah salah satu karya sastra geguritan yang cukup menarik. Selain isinya yang memuat tentang sastra dan sejarah, juga kolofonnya sangat penting. Kolofon geguritan itu terletak diawal sebagai manggala dan terletak di bagian akhir sebagai epilog. Jumlah bait yang digunakan pun cukup banyak, tidak seperti geguritan pada umumnya. Itulah sebabnya, kolofon GWCPM cukup unik dan menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, masalah yang ingin dipecahkan adalah apa makna kolofon tersebut. Untuk memecahkan masalah tersseut, digunakan teori struktural-semiotik, ditunjang metode kualitatif hermeneutik. Tujuannya adalah untuk mengungkap makna yang tersirat dan tersurat dalam kolofon GWCPM. Hasil analisis menunjukkan bahwa di bagian awal kolofon geguritan itu diungkapkan tentang puja puji atas keagungan dan kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa (Dewi Saraswati), ungkapan kerendahan hati, dan permohonan maaf. Bagian akhir kolofon, menguraikan tentang tempat, waktu terjadinya peristiwa sejarah puputan Margarana, dan pesan-pesan moral yang ditujukan kepada generasi muda penerus bangsa. Kata kunci: makna, kolofon, geguritan, manggala, epilog.

1. PENDAHULUAN

Genre sastra geguritan sungguh berlimpah ruah dan tersebar luas di

kalangan masyarakat Bali. Genre sastra itu tidak hanya disimpan oleh perseorangan

sebagai koleksi pribadi, tetapi juga disimpan di tempat-tempat formal oleh lembaga

pemerintah dan suasta. Selain itu, kualitas isinya pun beraneka ragam, mulai dari

geguritan yang berisi nilai sastra rendah sampai dengan geguritan yang bernilai

sastra tinggi, yang berisi ajaran agama yang berupa tuntunan-tuntunan yang dapat

mengangkat harkat dan martabat manusia. Atmazaki, (1990:24) mengatakan,

bahwa sastra dapat memberi peluang kepada manusia untuk mempermasalahkan

kehidupan sehingga dapat memunculkan gagasan yang bermakna dan dapat

memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi. Itulah sebabnya, sampai saat ini

Page 192: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 181

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

genre sastra geguritan masih tetap eksis dan berkembang terus di tengah-tengah

kehidupan masyarakat meskipun selalu dibayang-bayangi oleh arus sejagat yang

sangat deras. Dalam tulisan kecil ini, tidak mngkin semuanya itu dapat dibicarakan.

Namun, dalam tulisan ini akan difokuskan kepada salah satu aspek yaitu aspek

kolofon Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (selanjutnya disingkat

GWCPM). Aspek kolofon geguritan itu sangat menarik itu dikaji karena memiliki

keunikan tersendiri, yakni dilukiskan secara lengkap dan agak panjang, baik di

bagian awal (pembuka atau dalam sastra kakawin disebut manggala) maupun di

bagian akhir cerita yang disebut epilog (bagian penutup Oleh karena itu, kolofon

GWCPM mengandung makna yang cukup penting untuk dikaji.

Alasan mengangkat aspek kolofon GWCPM dalam tulisan adalah sebagai

berikut. (1) Kolofon dilukiskan secara lengkap, baik di bagian awal (pembuka,

manggala) maupun di bagian akhir (penutup, epilog). (2) Kolofon ini tidak hanya

menguraikan puja puji kepada Tuhan, tetapi juga menguraikan angka tahun, tempat

ditulisnya cerita, nama pengarang, dan amanat (pesan-pesan khusus) pengarang

kepada generasi penerus bangsa.

2. METODOLOGI

Teori yang digunakan untuk memahami makna yang tersirat dalam kolofon

GWCPM adalah teori struktural-semiotik, ditunjang metode kualitatif dan

hemeneutik. Teks kolofon dibaca berulang-ulang untuk mengetahui

maknanya.Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui apa makna kolofon

tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Deskrisi Naskah

Seperti telah disinggung di atas, bahwa naskah yang digunakan dalam

tulisan ini adalah naskah GWCPM. GWCPM ini disusun oleh I Wayan Narji dan

diterbitkan oleh Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Daerah

Tingkat II Tabanan.Bagian depan naskah (sampul naskah) berisi gambar candi

Margarana dan di bawah gambar candi adat ulisan berbunyi “Geguritan Wiracarita

Page 193: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

182 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Puputan Margarana. Di bawahnya lagi bertuliskan “Diterbitkan oleh Markas

Cabang Legiun Veteran RI Daerah Tk. II Tabanan”.

Selanjutnya, pada halaman Romawi kecil i ada “Kata Pengantar”, halaman

Romawi kecil iii berisi sambutan Bupati Kepala Daerah Selaku Komandan/Ketua

Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Tabanan”. Pada halaman

Romawi kecil vii berisi “Pendahuluan”.Selanjutnya, halaman 1 sampai dengan

halaman 50 berisi bait-bait pupuh. Pengarang menggunakan sembilan jenis pupuh,

yaitu pupuh Durma, Sinom, Pangkur, Semarandana, Ginada, Pucung,

Maskumambang, Ginanti, dan Dandang Gula, dengan 16 kali pergantian.

Kesembilan jenis pupuh, keenam belas kali pergantian pupuh serta jumlah bait yang

digunakan dalam GWCPM dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

No. Nama Pupuh Prekuensi Pemakaian Pupuh Jmlh. Bait 1 Sinom Dipakai tiga kali: pada pupuh II, V, dan X 20

2 Durma Dipakai dua kali: pada pupuh I dan IV 13

3 Pangkur Dipakai dua kali pada pupuh III dan XII 14

4 Semarandana Dipakai dua kali pada VI dan XIV 20

5 Ginada Dipakai dua kali pada pupuh VII, XI dan XIII 21

6 Pucung Dipakai hanya satu kali pada pupuh VIII 12

7 Maskumambang Dipakai hanya satu kali pada pupuh IX 3

8 Ginanti Dipakai hanya satu kali pada pupuh XV 8

9 Dandang Gula Dipakai hanya satu kali pada pupuh XVI 5

J u m l a h b a i t s e l u r u h n y a: 127

3.2 Kolofon Pembuka (Manggala)

Kolofon sebagai aspek pembuka (manggala) dalam GWCPM disampaikan

pengarang dengan cukup panjang yaitu melalui pupuh I dan sebagian pupuh II.

Aspek pembuka (manggala) pada pupuh II pengarang menyampaikan puja puji

kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati, menyatakan

kerendahan hatinya, mohon petunjuk agar bisa menyelesaikan geguritan yang

disusunnya itu, dan menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Mahakuasa

agar tidak terkena kutuk atas kedurhakaannya berani menulis dan menyebut-nyebut

nama para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa dan sekarang sudah

sebagai bhatara-bhatari. Hal itu terlukis jelas dalam kutipan berikut.

Om Sang Hyang Jagat Karana (ya Tuhan Yang Mahakuasa), Hyang Rumaga Saraswati, (dalammanisfestasi sebagai Dewi Saraswati),

Page 194: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 183

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

cingak sembahnya inista (lihatlah sembahku si dungu), alpa gunatan pahbudi (yang bodoh tak berilmu), mughi sredha maweh trepti,( semoga dikau memberikan keselamatan), lantur ledang ica nuntun (lanjutberkenan memberikan tuntunan), mangda sidhi nyurat (agar hamba mampu menyelesaikan sebuah nyanyian), nartayang Pahlawan gumi (menceritakan hal hikwal para pahlawan bangsa), kala dan,gu (pada zaman yang lampau) duk nindih kamahardhikan (ketika membela kemerdekaan (Bangsa dan Negara) (II. 1) Lantur ring ida bhatara, (Selanjutnya kehadapan paduka Bhatara), sane rumaga licin, (yang telah berbadan gaib) wus pahlawan wangsa, (telah maskur disebut pahlawan bangsa). singgih bhatara bhatari, (ya bhatara bhatari semua), mugi ledang ngampurain, (semoga berkenan mengampuni), raja panulah tan pangguh, (tidak terkena kutukan darimu), wetning titian jagi langah (karena hamba sungguh durhaka), nyabat ngojahRatu sam (berani menyebut-nyebut namamu), ica nerus (sekali lagi) tan amaweh upadrawa (hamba mohon ampun dari segala dosa) (II. 2).

Selain puja puji kepada Tuhan dan permohonan maaf kepada para pahlawan

yang sudah menjadi bhatara bhatari, pengarang juga mengingatkan kepada para

generasi muda untuk mendengarkan, menghayati, dan menghargai para pahlawan

yang telah gugur sebagai kusuma bangsa mempertahankan kemerdekaan Republik

Indonesia khususnya di daerah Bali.

Pada pupuh I pengarang melukiskan tentang rasa hormatnya kepada para

pujangga zaman dulu yang berhasil membuahkan karya-karya agung tentang

kepahlawanan. Kewajiban (swadarma) para ksatria yang gagah perkasa melakukan

korban suci di medan perang karena setia membela Negara (pupuh I bait 1).

Keberanian para pejuang kemerdekaan amat luar biasa. Jiwa dan raganya

diumpamakan sebagai daksina(tempat bersemayam para dewa), semboyan tidak

kenal menyerah diumpamakan sebagai genta,tetesan darahmusuh yang gugur di

medan perang yang ditorehkan sebagai sebuah titik di tengag-tengah dahinya

diumpamakan sebagai bhasma, kerelaan hati berkorban dan tidak kenal mundur

dalam peperangan diumpamakan sebagai dupa dan api suci. Hal itu terlihat dalam

kutipan berikut.

Page 195: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

184 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ikang jiwa lawan sarira daksina (jiwa dan raganya sebagai daksina), gentan ika waksutindi, (genta itu adalah semboyan tak kenal menyerah), paka Bhasma ika (sebagai bhasmanya itu), aswanitaning sastru brasta (adalah darah musuh yang binasa), dhupa lawan dhipa suci (dupa dan api sucinya), nirmalang manah (ialah kerelaan hati berkorban), tan surud ring rane bumi (yang tak mengenal mundur dalam pertempuran) (I. 2)

Pengarang juga menjelaskan bahwa para pahlawan bangsa yang telah gugur

di medan perang seperti disebutkan di atas akan mendapatkan pahala berupa

kesenangan duniawi dan di dunia maya, roh dan jiwanya akan mencapai moksa

(nirwana) dan mendapatkan kebahagiaan yang abadi (I. 4).

Selanjutnya, pada bait terakhir (5) pupuh I, pengarang melukiskan angka

tahun ditulisnya GWCPM, yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat.

Untuk angka tahun, pengarang menggunakan tahun candrasangkala. Untuk

jelasnya perhatikan kutipan di bawah ini.

Bhuda kliwon wara Pahang saka-kala (Pada hari rabu kliwon wuku Pahang tahun saka), kuda muka liman bhumi (1897 (1975 M), pake doning gita (nyanyian ini ditulis), sahaning putra-potrake (tujuannya ialah hanya sebagai cermin bagi generasi muda), pinipil de moha budhi (disusun oleh orang yang berhati sombong), wesman ika (rumahnya atau tempat tinggalnya ring tuduh desa pinuji di Desa Tuduh (Tunjuk) (I. 5).

3.3 Epilog (penutup)

Epilog atau bagian penutup GWCPM dilukiskan pada pupuh XVI sebanyak

5 bait. Isinya menceritakan tentang tempat dan waktu terjadinya pertempuran

dahsyat, yaitu di Desa Umakahang pada tanggal 20 November 1946. Di situlah para

pahlawan bangsa gugur, membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa.

Bagian ini juga berisi amanat pengarang, bahwa peristiwa bersejarah itu dapat

dijadikan cermin dan seri tauladan oleh para putra-putri yang merupakan generasi

penerus bangsa dan negara ini. Uraian epilog itu terlihat jelas dalam kutipan berikut.

Puput yudha sangang dasa nem diri (Selesailah pertempuran, 96 orang), kweh pasukan lina ringpayudhan (jumlah pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam pertempuran), tanggal rong dasa nemonin (tanggal 20 bertepatan),

Page 196: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 185

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Nopember bulanya tuhu (bulan November ),

petang dasa nemeng warsi (1946) yudhane ring umakahang pertempuran di subak Umakahang (Marga), pahlawan wangsane mantuk (di situlah para pahlawan bangsa gugur), mintenang susrameng laga (membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa, weh darsana tiniraning putra-putri (sebagai cermin yang harus dipakai seri tauladan oleh para putra-putri), satyeng wangsa lan negara (yang merupakan generasi penerus yang setia kepadabangsa dan negara (XVI. 1)

Selain itu, dalam epilog juga dijelaskan jumlah pahlawan yang gugur, yaitu

sebanyak 1.371 orang yang diabadikan dalam bentuk tugu. Rinciannya adalah 11

orang bekas tentara Jepang, 64 orang ALARI, 644 orang pejuang taruna, 652 orang

pejuang yang telah berkeluarga. Terakhir, berisi penjelasan tentang tinggi bangunan

candi 17 meter, sebagai lambang tanggal 17, bertingkat 8 sebagai lambang bulan

Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap

sudut terpancang lukisan padi kapas, rantai, bintang, kepala banteng, pohon

beringin sebagai lambang Pancasila (XVI. 2 - 3). Tugu candi pahlawan Margarana

yang menggambarkan hal tersebut adalah sebagai berikut.

Bait terakhir dari epilog itu berisi permakluman kepada pemuda dan pemudi

tentang kegagahperkasaan para pahlawan pejuang kemerdekaan membela Nusa dan

Bangsa. Selain itu, pengarang juga menyarankan kepada kita agar giat bekerja

membangun Negara, mengisi kemerdekaan dan melanjutkan cita-cita kejayaan

bangsa dan Negara.(XVI. 5).

Foto Tugu Candi Pahlawan Margarana: tinggi tugu 17 meter, sebagai lambang

tanggal 17, bertingkat 8 sebagai lambang bulan Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap sudut terpancang lukisan

padi kapas, rantai, bintang, kepala banteng, pohon beringin sebagai lambang Pancasila

Page 197: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

186 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

4. SIMPULAN

Kolofon GWCM Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM)

adalah salah satu karya sastra geguritan yang cukup menarik. Selain isinya yang

memuat tentang sastra dan sejarah, juga kolofonnya sangat bermakna. Kolofon

geguritan itu terletak diawal sebagai manggala juga terletak di akhir bagian sebagai

epilog. Jumlah bait yang digunakan pun juga cukup banyak, tidak seperti geguritan

pada umumnya. Itulah sebabnya, kolofon GWCPM cukup unik sehingga menarik

untuk dibahas. Oleh karena itu, masalah yang ingin dipecahkan adalah apa makna

kolofon tersebut. Teori yang paling tepat digunakan untuk memecahkan masalah

itu adalah teori struktural-semiotik, ditunjang metode kualitatif hermeneutik.

Tujuannya adalah untuk mengungkap makna yang tersirat dan tersurat dalam

kolofon GWCPM. Hasil analisis menunjukkan bahwa bagian awal kolofon

geguritan itu mengungkapkan tentang puja puji atas keagungan dan kekuasaan

Tuhan Yang Mahakuasa (Dewi Saraswati), mengungkapkan kerendahan hati,

permohonan maaf. Bagian akhir kolofon, menguraikan tentang tempat, waktu

terjadinya peristiwa sejarah puputan Margarana, dan pesan-pesan moral yang

ditujukan kepada generasi muda penerus bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. Narji, I Wayan. 1975. Geguritan Wira Carita Puputan Margarana. Diterbitkan

oleh Markas Cabang Legiun Veteran Daerah Tingkat II Tabanan.

Page 198: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 187 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

GANESHA: DEWA BERKEPALA GAJAH, SEBUAH TARINGNYA

PATAH

Oleh: I Wayan Redig, Kadek Dedy Prawirajaya R.

Abstrak

Ganesha berkepala gajah, satu gadingnya patah. Demikian salah satu dewa Hinduisme diwujudkan dalam bentuk arca dan juga bentuk verbal dalam mitologinya. Persoalannya, ada apa dengan kepalah gajah dan megapa satu gadingnya patah? Inilah permasalahan, dicari pemecahannya dalam artikel ini Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Karena itu penelitian sederhana ini dirancang dengan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan studi pustaka. Artinya penulis mencatat secara sistematis, informasi yang diperoleh dari pustaka yang dikaji. Hasil analisis menyimpulkan bahwa Ganesha adalah awalnya Dewa Non-Arya. Statusnya berubah menjadi dewa kaum Brahmana (golongan Arya) diinisiasi dengan sebuah ritual. Kepalanya dipotong dan diganti dengan kepala gajah adalah Simbolisasi dari ritual tersebut. Gadingnya patah adalah simbolisasi sebagai dewa kebijaksanaan. Kata Kunci: Ritual, gajah, Ganesha

1. Pendahuluan

Ganesha, salah satu Dewa Hinduisme, berkepala gajah, Siwa sebagai

ayahnya dan Parwati sebagai ibunya. Keberadaannya diceritakan dalam banyak

kitab. Kitab Brahmanda Purana, Matsya Purana, Amsumabhedagama,

Utarakamigama, Suprabhedagama, Rupamandana (Banerjea, 1985), kitab

Saradatila Kagama Tantra (Bhattasali, 1972), banyak bercerita nama julukan dan

karakteristik dewa Ganesha. Beberapa diantaranya, bercerita tentang geneologi atau

kelahirannya. Semua kitab tersebut berasal dari India, negeri asal Ganesha

mendapat pemujaan. Dalam perkembangannya, dia juga mendapat pemujaan di

negeri Asia lainnya termasuk Indonesia. Kehadiran Ganesh di negeri ini juga

mendapat dalam kitab-kitab yang berasal dari negeri tersebut. Kitab-kitab yang

dimaksud antara lain Semaradahana, Semanasantaka, Bhomakawya,

Bharatayuddha, Arjuna wijaya, Siwaratrikalpa, Tantupanggelaran dan

Page 199: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

188 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Korawasrama (Sedyawati, 1985). Kebanyakan kitab dari Indonesia ini kecuali

Samaradahana bercerita sekilas karakteristik Ganesha.

Kitab Samaradahana bercerita agak panjang disekitar keberadaan Ganesha.

Diceritakan asal-usul kelahirannya sampai akhirnya menjadi pahlawan perang yang

dapat menghancurkan raksasa sakti, Nilarudraka, musuh para dewa. Mengamati

asal-usul kelahiran atau keberadaan Ganesha, kitab-kitab India, yang satu dengan

yang lain, menampilkan versi berbeda-beda. Sedangkan kitab-kitab Indonesia,

khusus tentang kelahiran Ganesha, karena hanya ada dalam kitab Samaradahana,

maka di Indonesia hanya ada satu versi kelahiran Ganesha, yaitu Ganesha berkepala

gajah telah terjadi pada saat dalam kandungan Parwati, walaupun pada saat berupa

embrio, ia berkepala gajah tetapi karena suatu hal kepalanya berubah berbentuk

kepala gajah. Berbeda dengan versi India, walaupun versinya bermacam-macam,

tetapi Ganesha berkepala gajah setelah dilahirkan. Apapun versinya, yang pasti

Ganesha ditakdirkan sebagai dewa berkepala gajah, baik bentuknya secara

ikonografis maupun penggambarannya secara verbal dalam mitos. Menarik untuk

dipertanyakan: ada apa dengan gajah, kepalanya dipakai model untuk kepala

Ganesha. Lebih menarik lagi, salah satu gading atau taringnya patah. Ini juga

menimbulkan pertanyaan: mengapa sesosok dewa berkepala gajah? mengapa

gadingnya patah? Ada simbolisasi apa dari fenomena ini? Jawabannya bisa

didapatkan dalam artikel ini.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif dengan melakukan studi

pustaka. Artinya dalam pengumpulan data peneliti secara sistematis mencatat

secara deskriptif, kemudian memilah-milah informasi-informasi yang diperoleh

dari pustaka yang dikaji. Kajiannya tentunnya berkenaan dengan permasalah yang

akan dijawab. Adapun variabel yang menjadi satuan pengamatan adalah berkenaan

dengan arti penting binatang gajah bagi manusia, arti sebuah gading yang patah,

dan aspek kemanusiaan sebagai penyembah Ganesha. Berkenaan dengan studi

pustaka, ada satu artikel sebagai salah satanya, penulis perlu sampaikan, yang

sangat erat kaitannya dengan judul penelitian ini. Artikel yang dimaksud berjudul

“Mengapa Ganesha Berkepala Gajah” oleh I Wayan Redig. Artikel tersebut

Page 200: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 189

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

disampaikan dalam seminar PPIS, VI tanggal 13-14 Januari 1986 di di Fakultas

Sastra (sekarang: FIB) Unud. Dilihat dari segi judul ada kemiripan tetapi isinnya

berbeda dengan artikel yang ditulis sekarang. Memang banyak informasi yang

dikutip dari artikel tersebut tetapi dalam artikel yang ditulis sekarang ada informasi

lain yang berasal dari sumber lain yang lebih luas dan valid. Karena itu

kesimpulannya berbeda, artikel sekarang menyempurnakan artikel yang terdahulu.

3. Pembahasan

3.1 Simbolisasi Kepala Gajah

Gajah tanpa kepala pasti mati. Gajah mati tidak bermakna bagi manusia.

Makna gajah bagi manusia, terungkap dalam sebuah artikel, sudah disinggung

sebelumnya, berjudul Mengapa Ganesha Berkepala Gajah? Dengan mengutip

informasi dari sebuah kitab Encyclopedia Americana (Sanderson, 1977),

disebutkan dalam artikel tersebut dikemukakan bahwa keberadaan gajah sangat

unik. Sekalipun ia memiliki tubuh yang tinggi dan besar, tak dapat diduga ia dapat

berjalan dengan cepat tanpa kedengaran gerak langkahnya. Dengan jalan biasa ia

dapat menempuh 64 km per jam. Dan bila perlu 40 km dapat ditembuh dalam satu

jam.

Juga unik gajah yang tinggi dan besar sanggup berenang menyeberangi

sungai yang lebar dan dalam, terutama bila ia memerlukan atau mencari tempat

tinggal yang baru bila tempatnya yang lama tidak lagi menyediakan makanan.

Dalam hal pemeliharaan anaknya, ia pelihara anak-anaknya sampai betul-betul

dewasa, sehingga diperlukan waktu lebih lama dibanding dengan binatang lainnya.

Lima atau enam tahun lamanya ia memelihara anaknya, baru kemudian disapih

(berpisah dengan induknya). Dengan demikian cukup lama induk gajah dapat

menurunkan pengetahuan naluriah kepada anak-anaknya dari aspek ini, gajah

diaanggap binatang berkarakter bijaksana. Karakteristik lainnya, gajah tidak pernah

berbuat sewenang-wenang kepada binatang-binatang lainnya. Ia tidak buas bila

tidak merasa terganggu. Binatang-binatang lain yang ketakutan karena terancam,

gajah berusaha memberi perlindungan yang baik.

Gajah juga dianggap sebagai binatang yang cerdik dan emosional. Ia sedih,

menangis bahkan frustasi bila diantara kawannya mendapat musibah. Ada yang

Page 201: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

190 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sakit misalnya, akan dibawa ketempat yang aman, yang bebas dari gangguan, baik

gangguan alam maupun binatang lain dan manusia. Dengan kecerdasannya ini,

gajah disebut sebagi binatang yang bertingkah laku seperti manusia, berbuat

berdasarkan perhitungan akal. Ada cerita unik, gajah sebagai binatang tunggangan

dalam peperangan. Bila para penunggannya terbunuh dalam peperangan, diantara

mereka, walaupun berupa sesosok binatang, bisa membagi tugas: yang satu

bertugas mengubur yang lain menjaga yang belum terkubur.

Karena karakternya mencengangkan, menyebabkan gajah dipakai lambing

keperkasaan, kecerdikan dan kebijaksanaan. Berbagai mitos bermunculan yang

mengangkat martabat gajah sebagai binatang yang bersifat kedewataan. Demikian

asumsi yang mengemuka sebagai terungkap dalam artikel terdahulu (Redig, 1986).

Selanjutnya dengan mengutip pendapat Zimmer (1946), dikemukakan lebih lanjut

bahwa gajah yang ada di dunia ini adalah keturuanan gajah-gajah kedewataan yang

ada di sorga, yang diciptakan oleh Brahma. Airawata, nama gajah tunggangan dewa

Indra, adalah gajah pertama kali ciptaan Brahma. Ciptaan yang pertama ini adalah

gajah jantan dan ciptaan yang kedua berupa betina. Gajah-gajah lainnya, terutama

gajah-gajah sorgawi sebagai penjaga istana para dewa di sorga, adalah keturunan

bersama gajah pertama dan kedua. Gajah-gajah sorgawi ini jumlahnya delapan

pasang (jantan dan betina). Delapan pasang gajah sorgawi ini menjadi penjaga arah

mata angina. Namanya secara kolektif disebut Dig-Gajas “gajah-gajah penjaga

penjuru mata angina” mereka dianggap nenek moyang gajah-gajah yang ada di

dunia kasat mata. Demikianlah binatang gajah ini diriwayatkan dalam artikel

terdahulu. Bagian kesimpulan artikel tersebut dinyatakan bahwa binatang gajah

adalah perlambang keperkasaan dan kebijaksanaan. Perlambang yang agung ini

perlu dihormati, dipuja dan disembah. Sementara itu, seekor binatang tidak

selazimnya mendapat penghormatan dan pemujaan. Lebih-lebih, ada anggapan

kedudukan binatang lebih rendah dari manusia. Para dewalah lazimnya mendapat

penghormatan dan penyembahan. Oleh karenannya terwujudlah dewa berkepala

gajah (Ganesha) sebagai simbolisasi kebijaksanaan.

Bertahun-tahun setelah artikel tersebut dipresentasikan dalam sebuah

seminar, penulis mendapat tugas belajar dan berkesempatan membaca tulisan

seorang pakar namanya: Yadawa. Ia menyatakan bahwa ‘the worship of elephant

Page 202: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 191

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

paved the way to the rise of Ganesha’ (Redig, 1996:6). Jadi kesimpulan artikel

terdahulu mendapat pembenaran oleh Yadawa. Namun demmikian simpulan

tersebut perlu disempurnakan setelah membaca lagi tulisan para pakar lainnya.

Seperti Sivaramamurti dan Sampurnanan misalnya, mereka mengatakan “many

scholars believe that Ganesha was originally a non arya deity. His origin must have

been associated with the elephant cult, for his apparence has much in common with

an elephant. The rope for binding an elephant, I.e pasa, and the instrument for

goading the animal, i.e angkusa, which are usually held by Ganesha, are also related

to elephants and their controlers” (Redig, 1996: 6).

Ganesha pada mulanya bukan dewa orang arya. Asal-usulnya berawal dari

adanya pemujaan terhadap gajah, demikian kurang lebih dinyatakan dalam kutipan

diatas. Rupanya dahulu di India ada kelompok suku orang India non-Arya, disebut

Dravida, pemuja binatang gajah yang nampak angker. Mereka biasanya penganut

tradisi totemisme, yang menganggap bahwa binatang adalah asal-usul

keturunannya. Kalau demikian halnya, memang betul dewa mereka bukan dewa

orang Arya. Namun demikian, dalam kitab-kitab weda yang tertulis jauh jaman

kemudian, nama Ganesha muncul bahkan harus dipuja terlebih dahulu sebelum

memuja dewa-dewa lain. Bagaimana mungkin, dewa non-Arya bisa mendominasi

dewa Arya. Berkenaan dengan masalah ini Courtright menghubungkan dengan

mitos-mitos kelahiran Ganesha. Sebagai sudah disinggung didepan, pada mulanya

Ganesha lahir normal seperti biasa, namun kemudian kepalanya dipenggal diganti

dengan kepala gajah. Pemenggalan kepala Ganesha, menurut Courtright, adalah

sebuah proses ritual untuk menjadikan Ganesha, yang non-Arya menjadi orangnya

dewa Arya. Courtright menyatakan sebagai berikut “The beheading represents a

Significant ritual so that Ganesha who was originally non-Arya deity, aequires his

devine status, or attains his admission to the Brahmanical pantheon” (Redig, 1996:

8). Jadi Ganesha berkepala gajah adalah simbolisasi proses ritual untuk menjadikan

Ganesha mendapat pengakuan sebagai Dewa Arya (kaum Brahmana).

3.2 Makna Simbolik Taring Patah

Ada paling tidak dua cerita dengan versinya masing-masing mengapa salah

satu gading Ganesha patah. Inia da satu cerita, Ganesha dan Skanda sedang bertugas

Page 203: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

192 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

menjaga istana Siwa. Mereka berjaga-jaga didepan pintu istana bersama dengan

Skanda. Saat itu muncul Parasurama di depan mereka, menyatakan keinginannya

masuk istana untuk memberi penghormatan kepada Siwa. Karena Siwa sedang

tidur, Ganesha tidak mengijinkan. Parasurama bersikeras agar diijinkan masuk.

Ganesha tetap tidak mengijinkan. Diawali dengan perang kata-kata, kemudian

saling dorong. Skanda berusaha melerai tetapi tidak mempan. Karena sangat marah,

Parasurama mengangkat senjatanya berupa kapak untuk dilemparkan kepada

Ganesha. Senjata kapak itu adalah hadiah yang diberikan oleh Siwa kepada

Parasurama. Merasa kasian kapak tersebut tidak mengenai sasaran, Ganesha

menyerahkan taringnya untuk dikenai lemparan kapak sang ayah. Hancurlah satu

taring Ganesha berkeping-keping jatuh ke tanah. Sejak itu, Ganesha hanya memiliki

satu taring. Ini salah satu versi cerita, termuat dalam kitab Brahmanda dan

Brahmavaivarta. Berikut versi yang lain, sebagai terungkap dalam kitab Garuda

Purana diceritakan ada raksasa sakti bernama Gajamukha. Karena melakukan

semadi yang sangat ketat, raksasa ini mendapat hadiah dari Brahma berupa bahwa

ia tidak bisa mati terbunuh oleh makhluk apapun, kecuali makhluk aneh setengah

manusia setengah binatang. Makhluk aneh ini adalah Ganesha. Dalam satu

peperangan, Ganesha mematahkan taringnya untuk ditusukkan kepada tubuh

Gajamukha. Dengan demikian, raksasa tersebut mati terbunuh (Redig, 1996: 28-

29).

Cerita patah taring juga terjadi pada Dewa Kala. Diceritakan dewa Siwa

bersama Dewi Uma sedang menyebrangi samudra. Angin laut yang begitu kencang

menyingkap kain bawah Dewi Umah. Terlihat paha dewi Umah putih mulus

menyebabkan nafsu dewa Siwa begejolak. Jatuh spermanya ke laut, tertelan oleh

seekor ikan besar. Ikan itu bunting, kemudian lahir Bhatara Kala. Sangat ingin

mengetahui ayahnya, Bhatara pergi tanpa arah melanglang buana untuk menjumpai

ayah. Dalam perantauannya bertemu dengan Indra. Dalam pertemuan tersebut,

Bhatara Kala mendapat penjelasan bahwa ayahnya berada di sorga. Untuk bisa

masuk ke sorga, ia diharuskan mematahkan taringnya (Swastika, 2014: 59-60).

Taring sebagai tersebut dalam cerita di atas, dapat dimaknai sebagai

simbolis sifat-sifat manusia yang tidak baik seperti egois, serakah, takabur dan

Page 204: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 193

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sebagainya. Memasuki alam sorga tidak bisa disertai sifat-sifat tidak baik. Alam

neraka adalah tempatnya sifat-sifat yang tidak baik.

Dalam Hinduisme ada enam sifat tidak baik manusia:

(1) Kama/ Raga, hanya mencari kesenangan saja;

(2) Lobha, merasa kekurangan saja;

(3) Moha, ingin mendapat penghormatan hingga menjadi bingung;

(4) Murkha, pemarah, cepat benci;

(5) Matsarya/ issya, iri hati;

Sifat-sifat tersebut musuh dalam diri manusia harus dilenyapkan. Bagi

orang-orang bijaksana musuh-musuh tersebut tidak ada lagi dalam dirinya. Upacara

potong gigi di Bali adalah simbolisasi ritual melenyapkan keenam musuh tersebut

(Kusuma, 2009: 38-39). Dalam konteks Ganesha taringnya patah dapat dimaknai

sebagai simbolisasi dewa kebijaksanaan, dewa pengetahuan yang memberi

pencerahan.

4. Simpulan

Ganesha, pada mulanya dewa non-Arya, disembah oleh kelompok suku

kuna di India, penganut tradisi totemisme. Tradisi ini beranggapan, binatang adalah

asal-usul leluhurnya. Untuk mendapat tempat dikalangan kaum Brahmana

(kelompok Arya), dewa pujaan non-Arya ini dinisiasi dengan sebuah ritual.

Pemotongan kepala Ganesha, diganti dengan kepala gajah, adalah simbolisasi ritual

tersebut. Gading Ganesha patah adalah simbolisasi kebijaksanaan, atau ia yang

sudah dapat melenyapkan Sad-ripu: enam sifat tidak baik manusia. Dengan

demikian jadilah Ganesha dewa kebijaksanaan, dewa yang dapat melenyapkan

segala halangan yang dihadapi manusia (vignavinasana).

DAFTAR PUSTAKA

Banerjea, Jitendra Nath. 1985(rpt). The Development of Hindu Iconography. New Delhi.

Battsali, Nalini Kanta. 1972 (rpt). Iconography of the Buddhist and Brahmanical

Sculpture in the Deccan Museum Delhi.

Page 205: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

194 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sanderson, I Van T. 1977. “Elephant” Encyclopedia Americana Vol 10 pp 210-213. New York: Americana Corporation.

Sedyawati, Edi. 1985. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari: Sebuah

Tinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi. Universitas Indonesia. Swastika, Drs. Ketut Pasek. 2014. Sangging, Tatah-Pati-Undagi. Surabaya:

Paramita. Redig, I Wayan. 1986. “Mengapa Ganesa Berkepala Gajah”makalah disampaikan

dalam seminar PPIS, tanggal 13-14 Januari 1986 di Fakulatas Sastra Unud. ____________. 1996. Ganesa Images from India and Indonesia. Delhi: Sundeep

Prakashan. Kusuma, Sri Reshi Ananda. 2009. AUM Upacara Manusa Yadnya. Tabanan: CV

Kayumas Agung. Zimmer, H. 1946. Myths and Symbols in Indian Art and Civilization. Edited by

Yoseph Cambell, New York.

Page 206: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 195 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

EKSISTENSI UANG KEPENG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

MASYARAKAT BALI

Oleh: I Wayan Srijaya dan Kadek Dedy Prawirajaya R

E-mail: [email protected]

Abstrak

Uang kepeng merupakan salah satu artefak arkeologi yang sering ditemukan dalam suatu ekskavasi maupun kegiatan survey. Mendengar kata uang, orang hanya akan mengasosiasikan dengan benda yang berfungsi sebagai alat tukar atau alat pembayaran. Namun demikian sebagai bukti arkeologis, uang kepeng dapat memberikan banyak informasi tentang kehidupan manusia masa lalu yang meliputi aspek social, ekonomi, dan aspek relegi. Oleh karena banyaknya temuan uang kepeng dalam kegiatan penelitian sehingga member peluang untuk dapat menelusuri keberadaannya baik mengenai asalnya, kapan dibuat, atau dari dinasti apa serta apa bahannya.

Dengan penemuan uang kepeng dalam berbagai kegiatan penelitian memberikan ruang untuk dapat menjelaskan hubungan politik satu pusat kekuasaan dengan kerajaan lainnya. Itulah sebabnya setiap kali mendapatkan temuan yang berbentuk uang kepeng dapat membantu pekerjaan arkeolog dalam upaya mengungkap sejarah politik masa lalu. Peranan itu sama pentingnya dengan penemuan artefak keramik karena keduanya dapat mengungkap berbagai aspek kehidupan masyarakat dimasa lalu.

Kata kunci: uang kepeng, alat tukar, bukti arkeologi

1. PENDAHULUAN

Dalam kegiatan penelitian arkeologis, baik yang berbentuk survey maupun

ekskavasi sering peneliti menemukan artefak yang berbentuk uang kepeng.

Penemuan uang kepeng biasanya bersama-sama dengan artefak lainnya. Disamping

melalui kegiatan survey dan ekskavasi, uang kepeng juga diperoleh dari warga yang

menyerahkannya kepada pihak yang berwenang. Kehadiran uang kepeng di

Indonesia di duga sudah berllangsung sejak abad VII M, bersamaan dengan

munculnya pusat kekuasaan di Nusantara. Oleh karena itu, penemuan uang kepeng

ini akan member kesempatan untuk membuka aspek-aspek politik, ekonomi, sosial

dan budaya termasuk relegi. Semua aspek ini akan dapat dijelaskan oleh penemuan

uang kepeng disamping sumber-sumber lainnya.

Page 207: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

196 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengetahuan masyarakat tentang uang kepeng terbatas pada uang kepeng

yang bersal dari satu pusat kekuasaan yang dalam hal ini adalah para dinasti yang

pernah berkuasa di daratan Cina. Padahal dari hasil analisis yang dilakukan

terhadap penemuan uang kepeng ini diketahui tidak saja dari negeri Cina, tapi ada

pula dari Vietnam, Tailand, Korea, Jepang, Eropa, bahkan tidak jarang kerajaan-

kerajaan yang berkembang di Nusantara pun membuat uang kepeng. Tapi dalam

ingatan masyarakat, yang diketahui adalah uang kepeng yang berasal dari Cina

tanpa memperhatikan kebenarrannya.

Di Bali yang sebagian besar masyarakatnya sebagai penganut agama Hindu,

memiliki suatu keyakinan yang begitu kuat terhadap uang kepeng ini untuk

kelengkapan sarana uapacara keagamaan. Begitu banyaknya permintaan uang

kepeng untuk keperluan upacara adat mendorong pemerintah bersama-sama dengan

suasta untuk membuat uang kepeng yahg diproduksi sendiri. Untuk membuat uang

kepeng dengan label lokal ini, haruslah mendapat masukan dari banyak pihak

diantaranya sulinggih, pemuka agama parisada danlain sebagainya. Melalui kajian

yang mendalam untuk dapat memenuhi tuntutan umat sebagai sarana upacara

diantaranya harus memuat lima unsure logam (emas, perak, tembaga, perunggu,

dan besi).Setelah itu semua mendapat pengakuan kemudian dilakukan peruses

produksi. Kerajinan uang kepeng yang diproduksi oleh UD Kamasan yang terletak

di desa Kamasan Klungkung ini sudah merambah keberbagai wilayah di Nusantara

terutama daerah-daerah tranmigrasi yang adaumat Hindunya. Pada umumnya

mereka sangat membutuhkan uang kepeng untuk kelengkapan sarana upacara yang

tidak dapt diperoleh di desanya. Dengan uraian di atas, masalah yang ingin dibahas

pada kesempatan ini adalah mengapa masyarakat masih menganggap uang kepeng

Cina sebagai sarana upacara yang penting di Bali?

2. TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini bertujuan untuk memahami kehadiran uang kepeng di

nusantara umumnya dan Bali khususnya. Kehadirannya tentu tidak dapat

dipisahkan dengan hubungan yang dijalin oleh pra penguasa di Nusantara dengan

para dinasti yang ada di negeri Cina ataupun ditempat lainnya. Di Bali, uang kepeng

Page 208: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 197

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tidak saja berfungsi sebagai alat tukar tetapi sekaligus menjadi sarana upacara

keagaan. Oleh karena itu dalam upacara tertentu seperti upacara ngaben uang

kepeng yang dalam pandangan masyarakt menyebut sebagai uang kepeng asli ini

harus ada.Sedangkan uang kepeng yang diproduksi di Bali dapat digunakan untuk

kelengkapan lainnya. Ini sebuah fenomena yang masih ada disejumlah desa di Bali

khususnya di dusun Pesangkan Desa Duda Karangasem.

3. METODOLOGI

Untuk mendapatkan informasi tentang uang kepeng yang pernah ditemukan

di Bali , penulis berusaha menelusuri melalui studi pustaka. Penggunaan cara ini

didasari oleh pertimbangan bahwa uang kepeng ini sudah cukup banyak

diinventarisasi oleh instansi terkait baik yang ditemukan dalam kegiatan ekskavasi

maupun survey. Itu artinya, bahwa uang kepeng yang menjadi kajian dalam

kesempatan ini merupakan koleksi yang kini tersimpan dibeberapa instansi

pemerintah seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Balai Arkeologi Denpasar,

maupun koleksi Museum Bali. Selain itu, untuk melengkapi informasi yang

diperlukan terkait dengan industry kreatif Uang kepeng yang ada di desa Kamasan

Klungkung penulis juga mencoba menggali informasi dengan mendatangi pemilik

usaha tersebut untuk melakukan wawancara. Setelah semuan data yang diperlukan

terkumpul, kemudian dilakukan analisis. Analisis yang diterapkan dalam penulisan

ini adalah analisis kualitatif.

4. KEDUDUKAN DAN FUNGSI UANG KEPENG DI BALI

Sebelum membicarakan tentang riwayat kehadiran uang kepeng dalam

kehidupan masyarakat di Bali, kiranya perlu diberikan penjelasan mengenai

kedudukan uang sebagai alat tukar. Sejak masa lampau sekurang-kurangnya setelah

masyarakat kita mengenal peradaban Hindu dan Budha yang dibawa oleh para

pedagang India mengindikasikan pentingnya uang sebagai alat tukar. Dalam hal ini,

uang memiliki fungsi utama sebagai alat tukar dengan standar nilai terhadap suatu

benda/barang. Itu berarti bahwa keberadaan mata uang disuatu tempat dapat

mengindikasikan adanya kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi muncul sebagai

Page 209: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

198 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

akibat hukum pasar yaitu hukum permintaan dan penawaran.Hukum ini berlaku

pada setiap tingkatan masyarakat yang sudah mengenal kegiatan

perdagangan.Adanya permintaan atas benda tertentu oleh suatu kelompok

masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya penawaran oleh kelompok yang

lain. Setelah ditemukan kesepakatan harga maka terjadilah transaksi yang

menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Bukti-bukti arkeologis yang berupa uang

kepeng atau disebut pis bolong oleh masyarakat Bali, membuktikan bahwa

kehadiran uang kepeng tidak bisa dipisahkan dengan terjalinnya hubungan kerajaan

Bali Kuno dengan penguasa-penguasa di Cina.

Bila dikaji secara mendalam diketahui bahwa ada yang berasal dari

berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Cina seperti Dinasti Han (Kaisar Han

tahun 118 SM)namun temuannya tidak signifikan. Adapula dari periode Dinasti

T”ANG (621 M), kemudian disusul temuan dari masa Dinasti Song Utara, lalu dari

Dinasti Chin/Jin. Selanjutnya dari Dinasti Yuan, disusl Dinasti Ming, dan yang

paling banyak uang kepeng yang sudah menjadi koleksi instansi pemerintah adalah

dari masa Dinasti Ching (Wardi dkk, 2009 : 125-126). Namun demikian uang

kepeng (pis bolong) sesungguhnya bukan menjadi monopoli para dinasti di Cina,

tetapi bukti-bukti arkeologi juga menunjukkan bahwa uang kepeng (pis bolong) ada

yang berasal dari para dinasti yang ada di Vietnam dengan karakteristik berbeda.

Foto 4.1 Uang Kepeng Dinasti Song (1101 M)

Disamping itu, uang kepeng juga dibuat dan digunakan oleh beberapa

kerajaan yang pernah berkembang di Nusantara seperti kerajaan Majapahit. Mata

uang dari Majapahit ini disebut ‘GOBOG” Majapahit; Kemudian Kesultanan

Banten juga mengeluarkan mata uang yang oleh masyarakat disebut “gobog

Banten”. Uang kepeng masa Majapahit maupun Banten, memiliki karakteristik

Page 210: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 199

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang berbeda dengan uang kepeng Cina, Vietnam, Jepang, maupun Korea. Dilihat

dari ukurannya, uang Gobog dibuat cukup besar sehingga dapat dikatakan bahwa

uang itu mempunyai makna tertentu. Oleh sebab itu, uang jenis ini kemungkinan

tidak banyak dicetak oleh penguasa-penguasa dari kerajaan Majapahit dan Banten.

Walaupun Bali pernah ditaklukkan oleh Majapahit, tetapi bukti-bukti arkeologi

yang berbentuk uang kepeng belum pernah ditemukan dalam kegiatan ekskavasi,

kecuali yang sudah menjadi milik para kolektor.

Menurut Polanyi sebagaimana dikutif oleh Wardi dkk (2009), menyebutkan

perdagangan jarak jauh (long distance trade) sebagai pertukaran eksternal

bertanggungjawab bagi munculnya uang. Ditegaskan bahwa munculnya pembagian

kerja antar kelompok masyarakat dianggap stimulant munculnya pertukaran dengan

pihak luar dan pada akhirnya uang kemudian mulai diperkenalkan.

Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ditemukan di Bali, bahwa kondisi

social masyarakat Bali Kuno yang berkembang abad VIII-XIV M. menunjukkan

adanya aktifitas perdagangan. Hal itu ditandai dengan adanya penyebutan hari-hari

pasaran dalam beberapa prasasti seperti hari pasaran Wijayamanggala,

Wijayakranta, dan Wijayapura yang dalam kehidupan masyarakat Bali di dasarkan

pada perhitungan triwara yaitu pasah, beteng, dan kajeng. Penyebutan hari-hari

pasaran ini mengindikasinya kegiatan perdagangan dalam bentuk yang sederhana

sudah dijalankan oleh masyarakat. Terlebih lagi dalam prasasti Bebetin AI (896M),

menyebut tentang para banyaga (saudagar dari seberang laut) yang merapat

dipelabuhan Julah, Manasa atau tempat lainnya. Dalam prasasti Bebetin AI lembar

IIb disebutkan “…anada tua banyaga turun ditu…paniken dihyangapi…” artinya:

jika ada para saudagar (seberang pulau) yang baru datang disana (kota pelabuhan

Julah) didaftar dan dikenakan kewajiban (pajak) untuk bangunan suci Hyang Api.

Agar para banyaga ini dapat memenuhi hak dan kewajibannya, kemudian

pemerintah kerajaan menunjuk petugas yang khusus mengurusi para pedagang

asing yang disebut Juru Wanyaga atau Juru Banyaga sebagaibana disebutkan

dalam prasasti Pengotan AI (924 M) (Goris, 1954:67).Kemudian dalam prasasti

Sembiran B (955M) menyebut nama banigrama yang artinya saudagar atau

pedagang timah (Ardika dkk, 2013:213).Kehadiran para pedagang asing pada masa

Page 211: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

200 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bali Kuono, tersurat dalam prasasti Sembiran AIV(1065M) lembar IXb.1 sebagai

berikut :”…mangkana yan hana banyaga sakeng sabrang jong, bahitra, camunduk

I manasa hatpani katkananya, wanyanga ikanang karaman patrakasihana,wlyana

hatep mulyan ma1 anglipahana sargha mahajana…”. Artinya “… jika ada ada

saudagar dari seberang laut datang merapat dengan perahu dan bahitra di

pelabuhan, agar warga sekiatar memberikan belas kasih kepadanya,biaya merapat

maksimal 1 masaka, dan harganya dilebihkan bagi orang terkemuka terpandang,

tidak dikenai sumbangan pengawasan (pacaksu) dan tidak ada pemaksaan…”

(Ardika dkk: 213).Penyebutan banyaga ini memperkuat dugaan bahwa aktivas

perdagangan tidak hanya berlangsung diantara masyarakat lokal, melainkan

terdapat pula para pedagang yang datang dari tempat yang jauh.

Sumber-sumber prasasti yang ditemukan di Bali,selain memberikan

informasi tentang hari-hari pasaran, juga menyebut mengenai pemakaian mata uang

serta standar nilai tukar mata uang tersebut. Prasasti Sukawana AI Caka 818 atau

886M menyebutkan jenis mata uang yang digunakan yaitu mas dengan satuan

suarna (su), masaka (ma), dan kupang (ku) (Goris, 1954:53-54).Walaupun dalam

prasasti-prasasasti Bali sudah disebutkan mengenai penggunaan mata uang mas

dengan satuan nilainya, tetapi belum pernah secara eksplisit menyebut uang

kepeng. Belum disebutnya uang kepeng sebagai alat tukar saat itu mungkin para

penguasa dan masyarakat sudah terbiasa dengan alat tukar mas dengan standar nilai

yang sudah ditentukan. Ketika hubungan politik, ekonomi, social, dan budaya

terjalin baik dengan penguasa-penguasa negeri Cina, barulah kemudian

diperkenalkan uang kepeng tersebut.

Uang kepeng atau pis bolong, yang pada awalnya merupakan alat transaksi

(uang kartal) yang sah, tapi sejak dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor

20 tahun 1951 yang menetapkan berkakunya uang ORI (Oeang Republik Indonesia)

dan uang RIS (Republik Indinesia Serikat) Serta menarik semua jenis uang dari

peredarannya berimplikasi luas terhadap penggunaan uang kepeng sebagai alat

tukar resmi. Sejak itu uang kepeng yangberedar luas di Republik ini tidak dapat lagi

memenuhi fungsinya sebagai alat tukar (uang kartal) yang sah. Demikian pula

keberadaan uang kepeng yang banyak beredar dikalangan masyarakat di Bali, tidak

Page 212: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 201

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

lagi dapat digunakan sebagai alat transaksi. Walaupun demikian, uang kepeng

masih benda budaya yang masih berkembang sampai kini. Sidemen (2002)

mengidentifikasi perubahan fungsi uang kepeng ini sebagai barang komoditi,benda

budaya (alat judi dan jimat), sebagai sarana upakara (sesari, praraga, dan dekorasi).

Foto 4.2 Uang Kepeng Dinasti Ming (1408 M)

Sebagai barang komoditas banyak pedagang yang menjajakan dagangan

berupa uang kepeng (pis bolong) ini di pasar-pasar tradisonal yang menjadi buruan

para pengepul uang kepeng. Uang kepeng asli ini menjadi begitu penting pada saat-

saat upakara. Upakara yang banyak memerlukan uang ini adalah upakara pitra

yadnya (ngaben) terutama saat ngaben masa atau ngerit (Sidemen,2002:93). Uang

kepeng yang digunakan sebagai alat judi misalnya dalam bentuk pinceran atau

tokekan, kelesan ataukobokan,matogtog,matembng,materi, macontok dan

malekenting. Sementara uang kepeng yang digunakan sebagai jimat misalnya pis

pratima,pis paica,pis rerajahan.

Foto 4.3 Uang Kepeng Majapahit

Uang kepeng yang digunakan sebagai sarana upakara misalnya sesari.

Sesari dalam bentuk singgel ada yang dapat diganti dengan uang kartal tapi singgel

dalam kaitannya dengan upakara uang kepeng ini tidak dapat diganti. Sesari dalam

Page 213: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

202 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bentuk singgel terdiri pis bolong berjumlah satak (200 biji) atau samas (400 biji)

yang diikat dengan benang tukelan. Fungsi singgel baik yang satak maupun samas

atau yang penuh sebagai sesari dan karenanya dapat diganti dengan uang kartal

yang sedang berlaku, tetapi ada pula yang penuh sebagai upakara karenanya tudak

dapat diganti.Misalnya singgel yang digunakan oleh sangging saat metatah (potong

gigi) lebih berfungsi sebagai upakara sehingga tidak bisa diganti(Sidemen,

2002:152).Demikian pula singgel yang terbuat dari pohon dadap saat pertunjukan

wayang lemah maka uang kepeng satak ataupun samasan tidak dapat digantikan.

Kemudian sebagai praraga, banyak uang kepeng diubah wujudnya menjadi wujud

orang-orangan misalnya patung rambut sedana; sementara sebagai dekorasi dalam

diubah menjadi lamak, salang cili,tamiyang,dan payung pagut. Banyaknya

kebutuhan uang kepeng asli untuk keperluan upakara, belakangan menyebabkan

uang kepeng mempunayai nilai ekonomis yang sangat tinggi.

5. SIMPULAN

Uang kepeng telah hadir di bumi Nusantara dan Bali khususnya sejak abad

VI M, sebagaimana dibuktikan oleh banyaknya temuan uang kepeng. Dilihat dari

asalnya sebagian besar uang kepeng yang ditemuakn di Bali berasal dari negeri

Cina. Namun demikian harus diakui bahwa selain uang kepeng Cina, terdapat juga

uang kepeng Vietnam, Jepang, Korea, walaupun jumlahnya tidak signifikan.Fungsi

uang kepeng saat awal kehadirannya, diyakini sebagai alat tukar yang mempunyai

nilai standar tertentu.Namun sejak keluarnya UUDarurat No.20 tahun 1951, semua

jenis alat tukar yang ada tidak lagi dapat digunakan sebagai alat tukar dan

digantikan oleh Oeang Republik Indonesia. Sejak itu pula uang kepeng mengalami

perubahan fungsi dari uang kartal menjadi barang komoditi, bendata budaya, dan

sarana upakara.

DAFTAR PUSTAKA

Adika, I Wayan, I Gde Paramartha, dan A.A.Bagus Wirawan, 12013, Sejarah Bali

dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana Press; Goris, R.1954, Prasasti Bali Bandung:nv Masa Baru.

Page 214: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 203

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sidemen, Ida Bagus, 2002 Nilai Historis Uang Kepeng.Yogyakarta: Larasan-Sejarah.

Wardi, I Nyoman, I Dewa Nyoman Hartawan, I Wayan Srijaya, dan I Gusti Made

Suarbhawa, 2009: Identifikasi dan Inventarisasi Pis Bolong (Uang

Kepeng).Denpasar:Dinas Kebudayaan Prov.Bali.

Page 215: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 204 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

BUDAYA DEMOKRASI DALAM SENI MAGEGITAN INTERAKTIF DI

RADIO DAN TV1

Oleh: I Wayan Suardiana2

Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya-Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Demokrasi sangatlah dibutuhkan dalam negara yang multi entis, ras, suku, lingual, pulau dan agama, seperti Indonesia ini. Agar itu dapat terwujud, budaya berdemokrasi mesti dilakukan dalam setiap langkah kehidupan manusia di Republik Indonesia agar bangsa yang besar ini dapat bertahan lama. Salah satu budaya demokrasi yang dilakukan masyarakat Bali dalam menopang masifnya kehidupan berdemokrasi adalah berdemokrasi dalam dunia seni tarik suara tradisi yang dikenal dengan nama magegitan. Dalam pelaksanaannya, seni magegitan ini umumnya melibatkan banyak peserta sehingga agar seluruh peserta dapat giliran untuk melantunkan tembang maka diaturlah waktu dan urutannya sesuai kesepakatan dan kesepahaman di antara pelibat dalam acara magegitan dimaksud. Hal yang sama juga dilakukan dalam menyanyi di ranah modern, seperti ketika interaktif di radio maupun TV. Data penelitian ini merupakan data kualitatif yang diperoleh dari studi lapangan dengan merekam setiap acara magegitan interaktif baik di radio maupun TV.

Kata kunci: Budaya demokrasi, magegitan, dan interaktif.

1. Pendahuluan

Budaya demokrasi adalah pola pikir, dan sikap warga masyarakat

berdasarkan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan, dan persaudaran antar manusia

dengan kerjasama, saling percaya, toleransi, dan kompromi. Budaya demokrasi

merupakan bentuk penerapan atau aplikasi nilai-nilai dalam prinsip demokrasi

(https://www.slideshare.net/lusianadiyan03/pengertian-budaya-demokrasi).

Pentingnya demokrasi dalam menata kehidupan di muka bumi ini, lebih-

lebih bagi bangsa Indonesia yang majemuk adalah untuk menjaga keutuhan bangsa

__________________________

Paper dibawakan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya III FIB Unud, 28-29 Maret 2018

Page 216: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 205

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2 Dosen Prodi Sastra Bali, FIB Unud.

di tengah-tengah gempuran arus global. Sudah banyak contoh di dunia yang

menunjukkan kehancuran sebuah negara bahkan peradaban ketika anak bangsa

yang bermukim di wilayah negara bersangkutan kurang atau bahkan tidak

mengindahkan budaya hidup berdemokrasi. Sebagai salah satu contoh konflik yang

berkepanjangan di Timur Tengah, misalnya adalah cukup bukti bahwa susahnya

mereka menerapkan kehidupan berdemokrasi. Dilar Dirik dalam artikelnya yang

berjudul, “Building Democracy without the State” misalnya, mengungkapkan

bagaimana masyarakat Rojava di Timur Tengah sana mengatur kehidupannya atas

kehendaknya sendiri-sendiri (http://anarkis.org/membangun-demokrasi-tanpa-

negara/). Akibatnya, tentu kita sudah dapat saksikan bersama, kehancuran hidup

bernegara.

Bali, sebagai salah satu pulau kecil di Nusantara ini memiliki beragam

tradisi yang menunjukkan nilai-nilai demokratis. Salah satu bentuk seni tradisi yang

memiliki nilai demokratis dalam pelaksanaanya adalah seni magegitan. Sebagai

seni komunal, ia dilantunkan oleh lebih dari seorang bahkan sampai berpuluh-puluh

orang tergantung besar kecilnya anggota yang dimiliki. Agar pelaksanaan seni

bernyanyi ini dapat berjalan dengan baik maka personel yang akan terlibat perlu

diatur dalam penampilannya.

2. Metodologi

Data artikel ini merupakan data kualitatif. Dalam menjaring data, artikel ini

diawali dengan melakukan wawancara terhadap penyiar yang mengasuh acara

magegitan interaktif di TV maupun radio. Selanjutnya dilakukan pengamatan

langsung lewat mendengarkan siaran TV maupun radio yang melakukan acara

magegitan interaktif dimaksud. Data dicatat, dan beberapa acara siaran itu juga

direkam seperlunya untuk memperkuat argumentasi. Teori hermeneutik diterapkan

dalam menginterpretasikan data-data yang tersedia. Hasil interpretasi disajikan

dengan metode deskriptik-analitik dengan teknik deduktif-induktif.

*) Data ini diperoleh dari pengakuan salah seorang penggemar acara Dagang Gantal RRI

yang bernama Kak Gus Kok dari Jl. Gunung Agung, Denpasar. Beliau merupakan penggemar setia acara itu dari awal hingga saat ini. Pengakuan ini disampaikannya dalam acara Dagang Gantal Kamis, 3 Februari 2011.

Page 217: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

206 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pembahasan

3.1 Seni Magegitan di Bali

Magegitan (bernyanyi tradisi dengan menggunakan teks geguritan atau

parikan sebagai acuan saat melantunkannya. Teks ini umumnya memakai bahasa

Bali kapara/lumrah. Dalam hubungannya dengan upacara yadnya di Bali,

magegitan juga dimaknai sebagai seni melantunkan tembang untuk mengiringi

upacara dengan memakai aneka ragam genre tembang (pupuh, kidung, wirama).

Sedangkan dalam konteks ini hanya dipakai genre tembang yang digolongkan ke

dalam pupuh saja. Magegitan, dalam pembahasan ini ditujukan pada seni

menembang Bali tradisional di ranah tradisi maupun modern. Dalam ranah tradisi,

dimaksudkan menelisik model pelaksanaan nilai-nilai demokrasi yang ditampilkan

dalam menyanyi saat "sekaa shanti" melaksanakan tugasnya sebagai penghibur

maupun sebagai pengiring upacara. Sedangkan pada seni magegitan secara

interaktif di radio maupun TV di Bali dilacak model penyiar dalam mengatur

peserta yang terlibat dalam menembang agar memperoleh kesempatan yang sama

mengingat terbatasnya waktu dan banyaknya jumlah penggemar.

Acara interaktif di stasiun radio muncul pertama kali pada stasiun RRI

Denpasar pada tanggal 14 Agustus 1991*) dengan nama mata siaran Dagang

Gantal. Acara ini berlangsung setiap hari, kecuali hari Minggu*), selama satu jam

pkl. 11.00 -- 12.00 Wita, dengan mata acara pembacaan surat, penyajian tembang

(gegitaan) dan interpretasinya baik oleh penyiar atau pun pendengar secara

interaktif lewat telepon dengan menggunakan bahasa Bali (Darma Putra, 1998: 20).

Acara ini identik dengan kegiatan nyastra atau mabebasan (apresiasi sastra Bali

tradisional). Bedanya, hanya dilakukan lewat media elektronik (radio) memakai

saluran telepon kabel maupun HP, tidak dilakukan di rumah secara tradisional

untuk hiburan atau pengiring ritual. Pendengar yang ingin berpartisipasi bisa datang

ke studio atau menghubungi studio melalui pesawat telepon, seperti dalam acara

talk show pada media TV.

Sampai saat ini, penggemar acara Dagang Gantal hampir seantero Bali,

Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan, bahkan hingga ke Lombok dan Sumbawa.

Dengan demikian, pendengar acara ini diperkirakan mencapai ratusan ribu.

Page 218: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 207

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Wilayah jangkaun siaran acara Dagang Gantal itu kemudian disingkat oleh

penyiarnya dengan akronim: “Batan Sinar Bagi Rasa rauh ke Lomba Plecing”,

yang artinya: Badung, Tabanan, Singaraja, Negara, Bangli, Gianyar, Amlapura

(Karangasem), Semarapura (Klungkung), Lombok, Sumbawa, Nusa Penida,

Lembongan, dan Ceningan.

Penggemar acara Dagang Gantal telah bergabung dalam suatu ikatan yang

disebut dengan Pasuwitran Dagang Gantal (persaudaraan Dagang Gantal alias

PDG). Anggota PDG berasal dari golongan petani, karyawan pemerintah dan

swasta (industri pariwisata), serta pengusaha. Sebagian besar mereka memiliki

telepon, karena untuk mengikuti acara dan berpartisipasi secara interaktif mereka

harus menelepon. Ketika telepon umum masih ada di Bali, bagi peminat yang belum

memiliki telepon, mereka bisa mengontak RRI melalui telepon umum.

Selain RRI Denpasar, acara magegitan secara interaktif juga dilakukan oleh

Radio Global dan Radio Meganada di Tabanan. Radio Global menyebutkan acara

itu dengan nama Dharmagita (nyanyian tentang keagamaan) dengan mengambil

motto “Magending sambilang Malajah, Malajah sambilang Magending”

‘Bernyanyi sambil belajar, Belajar sambil Bernyanyi’. Acara ini dilaksanakan

setiap hari dari hari Senin sampai Sabtu pada pkl. 18.10 -- 19.00 Wita dan hari

Minggu ditiadakan. Acara yang disponsori oleh usahawan terkenal di Tabanan,

“Toko Nyoman” ini mendapat perhatian yang luas pula dari penggemarnya. Karena

keterbatasan frekwensi, penggemarnya kebanyakan dari daerah Tabanan sendiri,

Badung, Kodya dan Gianyar. Bahkan, kadang-kadang ada yang nimbrung dari

Kintamani (Bangli), Nusa Penida (Klungkung), dan Karangasem (Suardiana, 2012:

6).

Acara kidung interaktif pada Radio Meganada dilaksanakan mulai dari hari

Senin sampai Jumat pada pkl. 17.30 -- 19.00 Wita. Sama seperti acara di Radio

Global, acara kidung interaktif pada Radio Meganada juga diikuti oleh penggemar

dari kalangan terbatas seperti Tabanan, Badung, dan Kodya. Yang menarik dari

kedua stasiun radio yang disebutkan belakangan bahwa penggemar baru hampir

pasti tiap bulan ada yang masuk mengikuti acara bertembang secara interaktif.

Selain itu, di Gianyar, Karangasem, dan Singaraja juga ada radio-radio yang

melakukan interaktif pada seni magegitan ini.

Page 219: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

208 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.2. Budaya Demokrasi dalam Seni Magegitan Interaktif di Radio dan TV

Sumbangan Bali terhadap kehidupan berdemokrasi layak untuk diapresiasi,

khususnya yang ditunjukkan dalam seni magegitan baik dalam acara biasa maupun

di TV dan radio. Kelompok seni magegitan yang disebut "sekaa shanti" ini dalam

mengapresiasi teks-teks yang dilantunkan penembang dan penerjemah atau

pengapresiasi dilakukan secara bergiliran, tanpa ada rasa di kedepankan atau di

kebelakangkan. Mereka secara tertib melantunkan tembang-tembang yang

dinyanyikan sesuai dengan kemampuannya. Dalam menembangkan teks-teks yang

dipilih itu pada dasarnya tidak menyimpang dari tema pokok yang telah ditentukan

oleh kelompok mereka sendiri. Namun, kadang-kadang karena keterbatasan

kemampuan seorang peserta dalam menguasai pupuh-pupuh yang dilagukan, ada

kemungkinan yang memiliki lebih banyak kemampuan menguasai pupuh tersebut

lebih banyak dapat bagian menembang. Jadi, di sini tidak ada rasa malu bagi mereka

yang kemampuan menembangkan pupuh lebih sedikit dari pada yang banyak

menguasai pupuh. Demikian pula sebaliknya, bagi yang kemampuan

menembangnya di atas teman-temannya, tidak akan merasa jumawa. Mereka secara

bersahaja saling isi-mengisi dalam menembangkan pupuh-pupuh yang ada seperti

sinom, semarandana, pangkur, ginada, ginanti, durma, dangdang, mijil, dll.

Dalam seni magegitan di panggung elektronik, khususnya yang dilakukan

oleh RRI Denpasar, mengingat banyaknya penggemar, untuk mencegah kroditnya

sambungan telepon, pengasuh acara menjadwalkan hari tertentu untuk daerah

tertentu, seperti hari Senin (untuk penggemar Tabanan dan Singaraja). Selasa

(Badung), Rabu (Gianyar, Klungkung, dan Karangasem). Kamis (Kodya dan

Telepon Umum), Sabtu (rebutan). Penggemar baru dipersilakan ikut menelepon

kapan saja, namun hanya sekadar memperkenalkan diri. Apabila mereka ingin

menyanyi (matembang) dipersilakan hari lain sesuai jadwal daerahnya.

Melihat jadwal yang demikian ketat untuk masing-masing daerah seperti

itu, umumnya penyiar tidak akan memberikan para peserta yang ikut interaktif yang

bukan pada giliran waktu sesuai hari yang telah ditentukan. Seperti peserta yang

ingin ikut interaktif hari Kamis. Mengingat untuk hari Kamis, giliran peserta dari

wilayah Kota Madya Denpasar dan yang menggunakan telepon umum maka peserta

Page 220: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 209

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang dari luar Kodya tidak dibolehkan untuk ikut interaktif dengan alasan apa pun.

Interaktif di TV biasanya tidak ada pembatasan peserta atas dasar wilayah

sebagaimana yang dilakukan oleh RRI Denpasar. Para penggemar umumnya

'tarung bebas' dalam mengikuti acara interaktif di TV tergantung kejelian mereka

dalam memencet telepon di rumah masing-masing.

4. Simpulan

Budaya demokrasi dalam seni magegitan di Bali sesungguhnya telah

dimulai ketika seni menembang tradisi itu ada di Bali. Selanjutnya, dalam ranah

modern, ketika interaktif di radio dan TV di Bali, agar terjadi keadilan antar peserta

yang ingin menembang maka diaturlah jadwal peserta yang mau tampil

berinteraktif. Dalam ranah tradisi, menembang dengan model magegitan yang

melibatkan kelompok, yang dikenal dengan nama "sekaa shanti” itu umumnya

pesertanya lebih dari dua bahkan sampai puluhan. Agar semua anggota kelompok

itu dapat bernyanyi maka diaturlah sesuai dengan kemampuan peserta dalam

menguasai pakem-pakem tembang atau pupuh yang akan dilagukan. Dengan

demikian, minat para peserta untuk menguasai pakem-pakem tembang selain yang

dikuasainya akan bertumbuh dengan teknik saling mendengarkan seperti itu.

Sedangkan dalam ranah modern, khususnya dengan media radio, mengingat

antusiasme masyarakat untuk ikut menembang maka penyiar mengaturnya per

wilayah kabupaten/kota di seluruh Bali. Sedangkan berinteraktif lewat media TV,

tidak ada pembatasan peserta interaktif berdasarkan wilayah sebagaimana yang

diberlakukan pada radio RRI Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

Darma Putra, Nyoman. 1998. “Kesenian Bali di Panggung Elektronik: Perbandingan Acara Apresiasi Budaya RRI dan TVRI Denpasar” Dimuat dalam Mudra No.6 Tahun VI Maret 1998.

Suardiana, I Wayan. 2012. "“Kidung Interaktif” sebagai Salah Satu Media

Pemertahanan Bahasa Bali lewat Ranah Modern." Paper dibawakan dalam Seminar Internasional ”Bali Global in Asia: Between Modernization and Heritage Formation”, 16-18 Juli 2012 di Universitas Udayana.

Page 221: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

210 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

https://www.slideshare.net/lusianadiyan03/pengertian-budaya-demokrasi (diunduh tanggal 11 Maret 2018 pukul 08.04 Wita).

http://anarkis.org/membangun-demokrasi-tanpa-negara/ (diunduh tanggal 11 Maret 2018 pukul 08.22 Wita).

Page 222: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 211 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

WACANA PULUNG (JABATAN) DALAM KONTEKS PEMILIHAN

PEMIMPIN BERKARISMA

Oleh

I Wayan Suwena

Prodi Antropologi FIB Unud

[email protected]

Abstrak

Masyarakat Kecamatan Karangmojo di sebuah kabupaten di Jawa mewarisi suatu tradisi yang berkaitan dengan ritual dalam proses pemilihan pemimpin. Dalam konteks ini, tiga hari menjelang akan diadakannya pemilihan kepala desa secara langsung, warga masyarakat dan tim suksesnya berkunjung ke rumah jago (calon kepala desa) yang didukungnya. Pada masing-masing jago biasanya mengundang paranormal untuk meng-adakan tirakatan serta memimpin doa agar si jago tersebut ketiban (kejatuhan) pulung. Sehari menjelang hari “H” pemilihan kepala desa, sejak siang harinya tampak tim suksesnya dan warga setempat berkunjung ke rumah-rumah jago-nya. Pada malam harinya, warga terlebih dahulu berkunjung ke rumah jago yang didukungnya. Menjelang pukul 24.00 (WIB) sebagian warga dan tim suksesnya menuju ke tempat-tempat yang strategis untuk melihat penampakan pulung. Sementara itu, paranormal tersebut tetap berada di rumah jago mengadakan tirakatan dan berdoa agar pulung yang diharapkan kehadirannya masuk ke rumah jago yang didukungnya. Menurut wacana, pulung ter-sebut biasanya muncul setelah pukul 24.00 (WIB). Pulung ini, bentuknya seperti bintang besar berwarna putih terang, biru, atau kuning keemasan yang biasanya muncul dari rumah pemimpin lama, yaitu meluncur sedemikian rupa ke udara secara tiba-tiba. Keberadaan pulung ini, menurut kesaksian warga diwacanakan melayang-layang di udara dan berpindah-pindah menuju tempat-tempat kediaman jago yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Di sinilah peranan paranormal supaya pulung tersebut turun dan masuk ke rumah jago-nya dan tidak pindah ke rumah jago yang lain. Menurut ke-percayaan warga, jago yang mendapat ketiban (kejatuhan) pulung akan terpilih menjadi pemimpin berkarisma. Kata kunci: wacana, pulung, ketiban, dan jago.

I. PENDAHULUAN

Sistem pemilihan pemimpin formal di era modern ini di Indonesia yang

menganut Demokasi Pancasila ditetapkan dalam suatu perundang-undangan, baik

pemilihan pemimpin di level pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun

desa. Berdasarkan atas kenyataan, ujung tombak kepemimpinan yang terbawah

Page 223: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

212 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terletak di pundak kepala desa. Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya diban-

tu oleh seperangkat desa, antara lain sekretaris desa; kaur. keuangan; kaur. umum;

kasi. pemerintahan; kasi. kesejahteraan; kasi. perencanaan; dan kepala dusun.

Kepala desa sebagai pimpinan formal di tingkat desa secara struktural

berada di bawah pemerintahan kecamatan, memegang peranan penting untuk

memajukan perkembangan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat desa. Peranan kepala desa menjadi bagian integral dalam berbagai

aspek pembangunan di desa. Dalam hal inilah kepala desa berperan meng-

integrasikan antara kepribadian dan kebutuhan masyarakat dengan struktur dan

sasaran pemerintahan desa, sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkannya.

Dengan demikian, warga masyarakat menjadi hati-hati memilih calon

pemimpin yang diharapkan nantinya menjadi pemimpin yang mampu menangkap

aspirasinya. Seorang pemimpin yang berkarisma dipercayai akan mampu merea-

lisasikan aspirasi yang bersumber dari masyarakat dalam konteks mempercepat

pencapaian derajat kehidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya, warga desa di

lingkungan Kecamatan Karangmojo di Gunungkidul mengharapkan agar mereka

berhasil memilih pemimpin secara langsung untuk menjabat kepala desa yang

berkarismatik. Masyarakat masih mempercayai, bagi jago (calon kepala desa) yang

mendapat ketiban (kejatuhan) pulung akan menjadi pemimpin berkarisma. Oleh

karena itu, muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut. Pertama, bagai-manakah

wacana yang berembus berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala desa?

Kedua, bagaimanakah ritual yang dilaksanakan oleh jago agar terpilih menjadi

kepala desa berkarisma? Kedua pertanyaan tersebut menjadi rumusan masalah

penelitian ini yang dijawab melalui penelitian lapangan dan dibahas de-ngan

menggunakan teori interpretif (lihat Geertz, 1973). Dalam hubungan ini, ritual

pemilihan kepala desa dipandang sebagai teks, mempunyai konteks pada pulung

sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual (lihat Ahimsa-Putra,

1999: 413--413). Dalam hal ini, suatu kajian mengenai pulung dalam konteks

pemilihan pemimpin menjadi penting dan unik.

Page 224: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 213

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif menggunakan serangkaian teknik

pengumpulan data. Teknik pengumpulan data utama yang dimaksud, antara lain

observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Dalam proses pemilihan informan, pada awalnya dipilih informan pang-kal

(basic informant) (Koentjaraningrat, 2012). Selanjutnya, dari dirinya terpilih

sejumlah informan kunci (key informant) yang diwawancarai secara mendalam.

Implikasi metodologi penelitian yang bersifat kualitatif ini, instrumen

penelitian utamanya adalah peneliti sendiri (Moleong, 2012: 9). Selain itu,

ditunjang dengan penggunaan pedoman wawancara, voice recorder, dan alat tulis.

III. PEMBAHASAN

3.1 Pengetahuan Beberapa Jenis Cahaya

Berdasarkan atas pengalaman subjektif warga masyarakat yang mengakui

pernah melihat penampakan beberapa cahaya di udara, ada yang menyebut cahaya

itu dengan nama bintang kemukus, pulung, ndaru, dan teluh brojo. Warga

masyarakat memandang kemunculan atau penampakan bintang kemukus, pulung,

ndaru, dan teluh brojo itu merupakan suatu fenomena yang mempunyai kekuatan

supranatural sehingga penampakannya tidak setiap saat atau hari dapat diamati.

Setiap penampakannya ditafsirkan oleh warga sebagai tanda akan terjadi sesuatu di

masyarakat.

Secara garis besarnya, warga di Kecamatan Karangmojo membedakan

karakter pulung itu berdasarkan atas wujud dan warna cahaya yang dipancarkan-

nya menjadi dua jenis, yaitu pulung pembawa musibah (pageblug) yang bernama

pulung gantung, dan pulung pembawa kemuliaan atau keberuntungan. Menurut

pengetahuan warga, pulung yang dikategorikan pembawa musibah, bentuknya

menyerupai bola api pijar berekor relatif panjang memancarkan cahaya merah.

Itulah sebabnya, istilah pulung sangat populer di daerah ini. Mereka lebih sering

bercerita tentang pulung daripada bintang kemukus, teluh brojo, dan benda-benda

angkasa lainnya yang bercahaya pada malam hari.

Dalam percakapan sehari-hari, pulung yang membawa berkah (kemuliaan

atau keberuntungan) ini lebih populer disebut dengan nama pulung wahyu. Pulung

Page 225: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

214 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

wahyu ini sering pula disebut pulung (tanpa ada kata yang disisipkan, baik di

belakang maupun di depannya). Pulung (pembawa berkah) ini berwujud bintang,

cahayanya berwarna putih terang, biru, atau kuning keemasan sehingga ada yang

menganalogikan bentuknya seperti bintang kejora. Apabila pulung (pembawa

berkah) ini sedang berjalan, wujudnya menyerupai sinar laser.

3.2 Wacana Penampakan Pulung

Pada umumnya warga di sini mengharapkan mendapat pulung yang

membawa keberuntungan, kemuliaan, atau rejeki. Oleh karena itu, bila ada orang

berhasil menjalani usahanya atau bisnisnya seringkali pula dijuluki orang yang

bersangkutan ketiban (kejatuhan) pulung. Menurut Sumodiningrat dan Wulandari

(2014: 207), ketiban pulung ini lebih kurang sama artinya dengan ketiban ndaru,

yaitu seseorang yang mendapatkan kebahagiaan sangat besar.

Dalam konteks ini, ada suatu momen di mana warga secara sengaja ingin

melihat atau menyaksikan secara langsung kemunculan dan penampakan pulung di

udara sebagai tanda bagi orang yang ketiban pulung tersebut akan mendapat

kemuliaan atau berkah. Kemunculan pulung ini yang disebut-sebut bernama pulung

jabatan ditunggu-tunggu warga dan tim suksesnya menjelang akan dilak-sanakan

pemilihan pemimpin. Sementara itu, kemunculan dan penampakan pulung jabatan

yang ditunggu-tunggu warga dan tim suksesnya dalam pelak-sanaan pemilihan

kepala desa, sangat populer disebut dengan nama pulung lurah.

Menjelang dua atau tiga hari akan diselenggarakan pemilihan kepala desa,

warga sudah mulai membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pulung. Mereka

pada umumnya ingin mengamati kemunculan dan penampakan pulung. Menurut

wacana yang berkembang, pulung itu biasanya muncul dari rumah pemimpin yang

lama menjelang dua atau tiga hari akan dilakukan pemilihan pemimpin. Namun,

orang baru beramai-ramai menunggu penampakan pulung itu pada waktu dini hari

“H” pemilihan pemimpin. Pulung itu biasanya muncul pada waktu dini hari, yaitu

sekitar pukul 00.00—03.00 (WIB). Ketika berada di udara, posisi atau

keberadaannya berpindah-pindah di sekitar wilayah rumah jago yang akan dipilih

secara langsung oleh warga pada hari “H”. Bagi jago yang rumahnya memang

betul-betul mendapat ketiban pulung, diyakini akan terpilih menjadi pemimpin.

Page 226: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 215

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.3 Pelaksanaan Ritual Agar Ketiban Pulung

Pelaksanaan ritual ini berkaitan erat dengan proses pemilihan kepala desa

secara langsung yang melibatkan warga masyarakat desa setempat, biasanya para

jago (calon kepala desa) mengundang kiyai atau dukun untuk mengadakan

tirakatan (begadang semalam suntuk) di rumah jago-nya. Kiyai atau dukun ini

bertugas untuk memimpin doa dan memohon supaya pulung yang “ditunggu-

tunggu” segera datang dan jatuh di rumah jago-nya, serta tidak pindah lagi dari

rumahnya sampai pagi hari. Dengan demikian, pada dini hari “H” akan di-

selenggarakan pemilihan kepala desa, warga akan keluar rumah dan berada di

tempat-tempat yang strategis untuk mengamati kemunculan dan penampakan

pulung, serta siapa yang akan kejatuhan (ketiban) pulung tersebut. Bagi jago yang

rumahnya ketiban pulung, diyakininya akan terpilih menjadi kepala desa dan akan

mempunyai kewibawaan dan kesuksesan memimpin rakyatnya.

Demikian pula, calon pemimpin (jago) secara individu mengadakan suatu

ritual sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh kiyai atau dukun yang ber-

sangkutan. Misalnya, berpuasa beberapa hari. Menurut informasi dari beberapa

mantan jago, sehari menjelang hari pemilihan pemimpin secara langsung, si jago

berada di dalam kamar rumah dan membuka beberapa genting atap rumahnya.

Tujuannya membuka genting adalah supaya pulung yang “diundang” dapat masuk

ke dalam kamar rumahnya. Menurut wacana, apabila pulung jatuh di rumah jago

tersebut, tugas kiyai atau dukun yang berusaha menahan pulung itu agar tidak pergi

dan pindah ke rumah jago yang lain.

Berdasarkan atas kesaksian warga yang pernah menyaksikan kemunculan

pulung menjelang pemilihan kepala desa menjelaskan, antara lain (1) pulung yang

ditunggu-tunggu itu berbentuk bulat seperti bintang, tetapi tidak berekor atau

berasap, dan wujudnya lebih besar daripada bintang biasa, berwarna putih terang,

biru, atau kuning keemasan; (2) kemunculannya kadang-kadang dari rumah

pemimpin yang lama, meluncur sedemikian rupa ke atas, dan setelah keberada-

annya di udara, kemudian posisinya berpindah-pindah di sekitar rumah-rumah jago;

dan (3) menjelang pagi harinya pulung itu biasanya jatuh di rumah salah satu jago

yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Jago yang terpilih di mana rumahnya

Page 227: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

216 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ketiban pulung diyakininya akan terpilih menjadi kepala desa yang ber-karismatik

sebagaimana yang didambakan oleh warga masyarakat.

Calon pemimpin (jago) yang mendapat ketiban pulung dan terpilih men-

jadi pemimpin berarti mendapat wahyu keprabon, yang dimaknainya mendapat

restu dari keraton. Konon, pada zaman dahulu jabatan bupati, lurah, dan kepala

dukuh di wilayah ini dianugrahi oleh keraton. Oleh karena itu, istilah dan wacana

pulung tetap populer di kalangan masyarakat setempat sampai di era modern ini.

IV. SIMPULAN

Ritual yang dilaksanakan oleh calon kepala desa (jago) menjelang akan

dilaksanakan pemilihan kepala desa secara langsung merupakan suatu tindakan

simbolik dari suatu proses komunikasi. Si jago menghendaki supaya warga mera-

sa mantap memilih dirinya pada hari “H” pemilihan kepala desa. Melalui pelaksa-

naan ritual itu diwacanakan kehadiran dan keberadaan pulung jabatan. Oleh karena

itu, untuk lebih meyakinkannya, si jago mengundang kiyai atau dukun untuk

mengadakan tirakatan dan berdoa di rumahnya. Atas peran kiyai atau dukun itu, si

jago mengajak warga dan tim suksesnya memanjatkan doa supaya ia berhasil

memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala desa secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA Ahinsa-Putra, Heddy Shri. 1999. “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya”, da-

lam Ketika Orang Jawa Nyeni. Pengantar Sjafri Sairin. Yogyakarta: Galang Printika.

Geert, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc,

Publisbers. Koentjaraningrat. 2009. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia-

Pustaka. Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung:

Remaja Rosdakarya. Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari. 2014. Pitutur Luhur Budaya Jawa.

Yogyakarta: Narasi.

Page 228: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 217 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PENGGUNAAN BAHASA DI RUANG PUBLIK: KAJIAN PEMAKAIAN

BAHASA DI KAWASAN HERITAGE KOTA DENPASAR

I Wayan Teguh

I Wayan Simpen

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

E-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan bahasa di ruang publik, khususnya di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Masalah yang dianalisis adalah kondisi riil pemakaian bahasa di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar, bahasa-bahasa yang digunakan di kawasan tersebut, dan langkah-langkah yang perlu dilakukan agar penggunaan bahasa di kawasan itu mencerminkan tinggalan budaya. Data dikumpulkan dengan metode observasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Metode observasi dibantu dengan teknik catat dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Di samping itu, data dipilah dan dipilih sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab setiap permasalahan. Hasil analisis data lebih banyak disajikan dengan metode informal, yaitu deskripsi dalam bentuk satuan verbal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi riil di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar digunakan beberapa bahasa. Adapun bahasa-bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bahasa Bali (dalam hal ini aksara Bali), dan bahasa asing (Inggris). Langkah-langkah yang perlu dilakukan, misalnya diadakan penataan penggunaan bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing di kawasan publik, termasuk di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Kata kunci: penggunaan bahasa, ruang publik, tinggalan budaya

1. Pendahuluan

Penggunaan bahasa di Indonesia diatur dalam satu kebijakan nasional yang

disebut Politik Bahasa Nasional. Kebijakan ini memuat aturan tentang fungsi dan

kedudukan bahasa nasional, fungsi dan kedudukan bahasa daerah, serta fungsi dan

kedudukan bahasa asing. Berdasarkan kebijakan itu, pemakaian bahasa di seluruh

wilayah negara kesatuan Republik Indonesia semestinya sesuai dengan aturan

tersebut. Dalam hal ini pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus

menjadi tuan di negeri sendiri. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa pemakaian

Page 229: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

218 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bahasa lain (baik bahasa daerah maupun bahasa asing) tidak boleh sama sekali.

Artinya, pemakaian bahasa tersebut harus tetap terkendali. Menurut pasal 36—39

Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara,

dan lagu kebangsaan Indonesia, menjaga, merawat, dan memartabatkan bahasa

negara, yaitu bahasa Indonesia merupakan suatu kewajiban dan amanat. Sesuai

dengan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia wajib digunakan di ruang publik

dan fasilitas pelayanan umum. Pada pasal 36—39 disebutkan bahwa nama

bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks

perdagangan, merek dagang (kecuali merek dagang internasional yang sudah

dipatenkan), lembaga usaha, lembaga pendidikan, produk barang atau jasa produksi

dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, rambu umum, penunjuk

jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan

umum wajib menggunakan bahasa Indonesia.

Kota Denpasar memiliki kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan

tinggalan budaya nasional (national heritage city) dengan sejarah yang kaya nilai

budaya. Di samping itu, juga tidak terlepas dari warisan budaya tak benda yang

masih lestari, seperti seni tari, adat istiadat, kearifan lokal, dan kerajinan tangan

(Pos Bali Online, 4/5/2016). Dengan ditetapkannya hal tersebut, dimungkinkan

masuknya bahasa selain bahasa Indonesia di ruang publik sangat besar, seperti

bahasa Bali yang diangkat sebagai warisan budaya, bahasa asing yang

dicantumkan, bahkan mengganti bahasa Indonesia di ruang publik untuk

memudahkan wisatawan mancanegara.

2. Metodologi

Populasi penelitian ini adalah seluruh penggunaan bahasa di ruang publik

kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Faktor di luar linguistik bisa

memperkuat fakta bahwa adanya pengaruh di luar sejarah kebudayaan dapat

mengaburkan makna yang seharusnya dirujuk. Pengambilan sampel dilakukan

dengan sistem purposif area sampel sesuai dengan permasalahan dalam penelitian

ini (Hadi, 183:83). Dalam pengumpulan data digunakan metode observasi, yaitu

diadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Metode observasi dibantu

dengan teknik catat dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan

Page 230: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 219

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

metode deskriptif kualitatif. Hasil analisis lebih banyak disajikan dengan metode

informal, yaitu deskripsi dalam bentuk satuan verbal. Penyajian hasil analisis

dijabarkan dengan pola penalaran secara induktif dan deduktif. Artinya, di satu sisi

analisis dimulai dengan penyodoran fakta dilanjutkan dengan generalisasi. Di sisi

lain, penyajian diawali dengan generalisasi dan selanjutnya dibuktikan dengan

fakta.

3. Pembahasan

Diketahui bahwa kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar telah ditetapkan

menjadi kawasan tinggalan budaya. Hal itu sejalan dengan visi misi Kota Denpasar,

yaitu menjadi kota yang berwawasan budaya. Penetapan tersebut menjadi

pencapaian yang berharga dan terus dilestarikan, seperti memelihara

lingkungannya. Dalam hal ini menjaga agar tetap bersih dan indah, parkir

kendaraan dikhususkan untuk mengurangi kemacetan, menambahkan tanda seperti

batu yang bertuliskan kawasan heritage sebagai penanda. Satu hal yang memiliki

daya tarik sehingga topik ini diangkat menjadi sebuah penelitian adalah

penggunaan bahasa di sepanjang kawasan heritage tersebut mengingat kawasan

tersebut sudah ditetapkan menjadi kawasan tinggalan budaya. Di samping itu, juga

banyak dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara karena menjadi

salah satu tujuan wisata di Kota Denpasar.

Pembahasan pertama tentang kondisi riil penggunaan bahasa di kawasan

tinggalan budaya di Kota Denpasar dijelaskan dengan bantuan beberapa foto dan

mencakup pembahasan kedua tentang macam bahasa yang digunakan di sepanjang

kawasan tersebut. Adapun uraiannya adalah seperti berikut.

Gambar 1

Page 231: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

220 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada gambar 1 terlihat batu bertuliskan “kawasan Heritage Jalan Gajah

Mada Denpasar” sebagai penanda wilayah tersebut dan seputarnya merupakan

kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris. Fungsinya sebagai penanda sudah sesuai, tetapi kata

heritage dalam tulisan tersebut dianggap tidak sesuai karena kata tersebut dalam

bahasa Inggris pada pernyataan bahasa Indonesia. Pengamatan atas kondisi riil

melalui gambar yang diambil, menunjukkan bahwa kawasan ini sangat istimewa

sehingga dibuatkan tempat khusus dengan pemilihan batu dan desain yang

mewakili keistimewaannya. Akan tetapi, penggunaan bahasa pada batu tersebut

kurang tepat karena menggunakan kata heritage dibandingkan dengan

menggunakan padanan kata tersebut dalam bahasa Indonesia seperti tinggalan

budaya atau warisan budaya.

Menurut Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,

dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia, menjaga, merawat, dan

memartabatkan bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia merupakan suatu kewajiban

dan amanat. Sesuai dengan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia wajib

digunakan di ruang publik dan fasilitas pelayanan umum. Pasal 36—39

menyebutkan bahwa nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau

permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang (kecuali merek

dagang internasional yang sudah dipatenkan), lembaga usaha, lembaga pendidikan,

produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di

Indonesia, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat

informasi lain yang merupakan pelayanan umum wajib menggunakan bahasa

Indonesia. Oleh sebab itu, hal tersebut penting dikaji kembali walaupun hanya satu

kata bahasa Inggris heritage. Hal tersebut penting karena dapat memengaruhi

aspek penting lainnya seperti terwakilkan atau tidaknya suatu kawasan budaya

dilihat dari nama kawasannya.

Page 232: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 221

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Gambar 2

Pada gambar 2 terlihat dalam foto terpasang nama toko dengan aksara Bali

dan bahasa Indonesia dalam satu tempat di sepanjang kawasan tinggalan budaya

Jalan Gajah Mada Denpasar. Hal ini patut diapresiasi karena ada upaya Pemerintah

Kota Denpasar mengangkat kearifan lokal berupa aksara Bali dan

memperkenalkannya pada wisatawan sehingga nilai budayanya juga tercermin

selain keindahan yang dimunculkan aksara itu sendiri. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 24, Tahun 2009 pasal 36—39 yang mengatur penggunaan bahasa

Indonesia di ruang publik termasuk nama toko, pada gambar terlihat nama-nama

toko sudah berbahasa Indonesia. Dengan begitu diketahui penamaan toko sudah

sesuai dengan undang-undang sekaligus mengangkat budaya melalui aksara Bali

yang dicantumkan pada papan nama toko yang terpasang apik dengan pemilihan

tiang yang tidak kalah etnik secara fisik.

Gambar 3

Berbeda dengan gambar sebelumnya yang memperlihatkan keseragaman

nama toko berbahasa Indonesia, ada beberapa toko seperti toko “Bhineka Djaja”

Page 233: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

222 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(Gambar 3) yang berbahasa Indonesia, tetapi dengan ejaan lama (ejaan van

Ophuijsen). Toko kopi ini sudah dikenal sejak 1935 dan diminati sampai sekarang.

Nama tersebut sudah dipatenkan sehingga upaya penyeragaman tidak dapat

dilakukan secara maksimal. Apabila diseragamkan, ditakutkan terjadi pengurangan

minat pembeli karena dianggap toko yang berbeda dengan yang dikunjungi

sebelumnya.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menambah cerminan kota

budaya pada kawasan ini. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain (1) menata

dan mengatur pemakaian bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing di

kawasan tinggalan budaya kota Denpasar; (2) menertibkan pemakaian bahasa yang

tidak mencerminkan bahwa kota Denpasar adalah kota budaya; (3) menambahkan

dan melengkapi istilah/ungkapan serta semboyan di kawasan ini sehingga

mencerminkan kota budaya; dan (4) memberikan pemahaman dan pengertian

semua pihak yang berkepentingan di kawasan ini tentang pentingnya pemakaian

bahasa yang tepat.

4. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa-bahasa

yang digunakan di kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar bukan hanya

bahasa Indonesia, melainkan juga bahasa Bali dalam hal ini aksara Bali dan bahasa

Inggris pada papan nama toko. Selain ejaan baku bahasa Indonesia, penggunaan

ejaan lama (ejaan van Ophuijsen) untuk nama toko masih ditemukan. Hal itu terjadi

karena sudah dipatenkan atau nama itu sudah digunakan sejak lama sehingga tidak

diubah untuk menghindari kebingungan pelanggan. Dari data dan pembahasan juga

diperoleh simpulan bahwa undang-undang penggunaan bahasa di ruang publik yang

bertujuan memartabatkan bahasa Indonesia juga tidak terimplementasi dengan baik

dan benar di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Di kawasan itu ditemukan

penamaan kawasan tinggalan budaya yang menggunakan kata heritage pada

“Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar”.

Page 234: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 223

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Dazuki, Sholeh dkk. 2015. “Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Ruang Publik di Kota Surakarta”.ISSN: 2477‐636X.

Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi Research I. Yogyakarta: UGM Press. Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

Page 235: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 224 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DINAMIKA PENGGUNAAN RAGAM BAHASA DIALEK JAWA BARAT:

ANTARA POLITIK DAN DEMOKRASI

Juanda

Fakultas Sastra Unikom

E-mail: [email protected]

Abstrak

Bahasa Sunda merupakan bahasa dialek yang ada di Jawa Barat. Bahasa Sunda saat ini masih digunakan oleh para penuturnya untuk komunikasi sehari-hari, Namun, dalam penggunaannya, bahasa Sunda di perkotaan sudah mulai tergeser oleh bahasa asing atau bahasa Indonesia walaupun sebenarnya pemerintah sudah ada upaya memasukkan mata pelajaran bahasa Sunda pada pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai tingkat menengah. Program pemerintah ini nampaknya belum begitu memberikan hasil yang menggembirakan dalam peningkatan kompetensi berkomunikasi dalam bahasa Sunda. Salah satu hal yang menjadi fenomena dalam penggunaan bahasa Sunda adalah penerapan ”undak usuk basa”. Faktor penyebab semakin menurunnya kemampuan penggunaan ragam bahasa ini adalah tidak pernah dibiasakannya penggunaan ragam bahasa tersebut baik di lingkungan formal maupun di lingkungan nonformal seperti lingkungan keluarga atau masyarakat Beberapa kosakata yang mulai tidak dikenali masyarakat terutama kalangan pelajar atau mahasiswa seperti penggunaan kata astana,

pasarean, pajaratan. Kata ini memiliki arti yang sama artinya makam. Namun, Kata ini sering diganti dengan kata makam atau kuburan dalam komunikasi sehari-hari, seharusnya kata tersebut digunakan sesuai dengan ragamnya. Astana untuk loma , pasarean untuk bahasa halus buat diri sendiri, sedangkan pajaratan bahasa halus untuk orang lain. Contoh :“Luhureun pasir eta teh aya astana”, “Pasarean pun adi teh tacan ditembok da taneuhna tacan padet”, “pajaratan pun aki mah dicirian ku hanjuang beureum”. Tulisan ini mencoba mengangkat beberapa kosakata bahasa Sunda yang masih dirasakan asing oleh penutur aslinya dan belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, Tujuannya untuk lebih memperkenalkan lagi atau mengingatkan lagi bentuk-bentuk kosakata yang seharusnya dipilih. Dari sudut pandang politik berbahasa bahwa penerapan ragam bahasa atau undak-usuk bahasa ini merupakan bagian berbudaya bahasa lokal yang harus dilestarikan sementara sisi demokrasi bahwa setiap penutur memiliki kebabasan untuk menggunakan ataupun tidak. Kata kunci: dialek, ragam bahasa, bahasa halus, bahasa loma

1. PENDAHULUAN

Ragam bahasa atau dikenal dengan undak-usuk basa dalam bahasa Sunda

merupakan sebuah penerapan penggunaan bahasa atau pragmatik yang di dalamnya

Page 236: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 225

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terdapat tatakrama berbahasa. Tatakrama bahasa merupakan sebuah cara

berkomunikasi untuk menghargai orang lain oleh perbedaan struktur sosial, yang

hakikatnya merupakan sebuah bentuk penghargaan pada diri sendiri. Munculnya

ragam hormat dan loma salah satunya disebabkan adanya struktur sosial (Yudibrata,

1990: 43). Tujuan diterapkannya undak usuk basa bukan untuk membeda-bedakan

strata sosial tertentu melainkan untuk saling menghargai di antara penutur. Seperti

halnya seorang mahasiswa ketika berkomunikasi dengan dosen akan berbeda undak

usuknya ketika berkomunikasi dengan teman sekelasnya.

Kalau kita melihat sejarah munculnya undak usuk basa sebetulnya sudah

ada sejak Zaman Kerajaan Mataram (Faturohman, 1982: 49). Ketika masyarakat

tatar Sunda datang ke Mataram untuk membayar upeti, mereka mempelajari budaya

salah satunya bahasa yang ada tingkatan berbahasanya, Saat kembali ke tatar Sunda

penggunaaan undak-usuk berbahasa tersebut diterapkan dalam bahasa Sunda. Oleh

karena itu muncullah yang disebut dengan undak-usuk basa tersebut yang sekarang

dikenal dengan ragam bahasa yakni ragam hormat dan ragam loma. Ragam hormat

dibagi dua yakni, ragam hormat untuk diri sendiri dan orang lain (Hadi, 1991:12).

Sementara masyarakat

Filosofi ragam bahasa sebenarnya berbeda saat dulu dan sekarang. Zaman

dulu lebih cenderung untuk membedakan strata sosial, tetapi saat ini paradigmanya

sudah ke arah bentuk sebuah penghormatan kepada diri sendiri dengan cara

menghormati orang lain. Kita bisa membandingkan kalimat-kalimat berikut:

Bapak sasuran palay dipanggaleuhkeub raksukan.

Abdi nyarios hoyong dipangmeserkeun anggoan.

Kuring nyarita hayang dipangmeserkeun pakean. (Yudibrata, 1990: 42)

Kalimat-kalimat di atas menunjukkan sebuah penerapan ragam bahasa

hormat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Bentuk yang satunya lagi

merupakan bahasa loma.

Masyarakat di perkotaan Jawa Barat saaat ini sterutama kalangan remaja

atau usia sekolah sudah mulai kurang memahami penerapan ragam bahasa hal ini

terlihat dalam obrolan sehari-hari ketika mereka berada di rumah makan, di

terminal, atau di tempat-tempat umum. Bahasa Sunda yang mereka gunakan

cenderung bahasa Sunda kasar. Terkait dengan fenomena ini pemerintah pun

Page 237: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

226 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

melakukan upaya salah satunya memasukkan mata pelajaran bahasa Sunda bagi

siswa tingkat pendidikan dasar dan selanjutnya pada tingkat menengah. Hal ini

merupakan sebuah alternatif untuk mempertahankan bahasa daerah yang

merupakan sebagai pemerkaya bahasa nasional.

2. METODOLOGI

a. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswa Sastra Inggris Unikom semester I tahun

akademik 2017/2018 sejumlah 25 mahasiswa dan beberapa masyarakat Kota

Bandung secara random sedangkan objek peneliian adalah penggunaan ragam

bahasa Sunda.

b. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif

melalui survei lapangan dan kuesioner. Survei dengan cara dengar dan catat yang

dilakukan di lokasi-lokasi perbelanjaan, tempat-tempat mangkal seperti

cafe/rumah makan, dan beberapa kuesionar yang berkaitan dengan ragam bahasa

Sunda.

c. Instrumen Penelitian

Pendokumentasian data-data yang diperoleh disimpan dalam bank data

ragam bahasa.

e. Metode Analisis Data

Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan cara

menggambarkan dan mendeskripsikan data temuan ragam bahasa Sunda dengan

cara mengaitkan teori dan hasil temuan.

3. PEMBAHASAN

Penggunaan ragam bahasa masyarakat Kota Bandung baik di kalangan

mahasiswa maupun di kalangan masyarakat umum pada umumnya belum

sepenuhnya digunakan secara menyeluruh. Banyak sekali pilihan kata yang tidak

sesuai dengan ragam bahasa. Hasil temuan di antaranya penggunaan:

No. Loma Lemes Buat Lemes Buat Orang Lain

Page 238: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 227

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sendiri 1 asup lebet lebet 2 keur kangge haturan

3 alus sae sae

4 pamit permios permios

5 anggeus rengse parantos

6 arang Awis-awis Awis-awis

7 arek bade bade

8 asal kawit kawit 9 ngaso ngaso leleson

10 maca maca maos

11 bangga sesah sesah

12 bawa bantun candak

13 kuru begang langsip

14 mere masihan ngahaturkeun

15 meuli meser ngagaleuh

Berdasarkan hasil kuesionar terhadap mahasiswa ditemukan 85%

mahasiswa menggunakan kosakata yang penerapannya masih belum tepat. Hampir

90 % mahasiswa kesulitan menggunakan bahasa halus untuk orang lain. Mayoritas

mahasiswa hampir tidak mengenal kosakata leleson dan langsip. Kata-kata tersebut

seolah-olah merupakan kosakata terbaru bagi mereka yang belum sama sekali

mereka kenal.

Permasalahan yang muncul bagaimana sebuah politik bahasa dapat

menyokong kelestarian bahasa. Politik bahasa (language politics) merupakan

sebuah keadaan baik persamaan maupun perbedaan bahasa dituangkan dalam

ungkapan kebahasaan, sedangkan bahasa politik merupakan kecenderungan bahasa

partisipan politik yang menentukan orientasi dan kecenderungan politik

masyarakat. Pada saat Ridwan Kamil menjadi Walikota Bandung banyak istilah-

istilah Sunda dipajankan seperti di taman-taman atau trotoar-totoar. Ini berarti

keberadaan bahasa Sunda diperpolitikkan oleh warga dalam bentuk ungkapan atau

idiom. Ketika kehadiran bahasa Sunda sebagai objek maka bahasa sunda termasuk

pada politik kehadiran berbahasa yang akan mendukung politik bahasa nasional.

Page 239: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

228 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Politik bahasa cenderung berurusan dan penanganan persoalan kehadiran bahasa

dan ranah penggunaan bahasa. Dengan munculnya politik bahasa bisa terkait

dengan perencanaan, pembakuan dan pembinaan.

Sisi positif peran sebuah politik bahasa untuk menentukan sebuah kebijakan

perencanaan, pembakuan, maupun pembinaan dirasakan perlu kehadirannya, tetapi

sisi lain sebuah demokrasi kebebasan berbahasa merupakan sebuah tatatanan yang

tidak bersifat baku dan kaku yang jadi tolok ukur pegangan masyarakat.

4. SIMPULAN

Politik bahasa dan demokrasi berbahasa merupakan dua sudut pandang yang

masing-masing memiliki proyeksi tersendiri. Keduanya bisa berjalan

berdampingan, bisa juga masing-masing memiliki alur tersendiri. Setiap negara

memiliki politik berbahasa untuk mempertahankan bahasa tersebut dari kepunahan

dan politik bahasa itu bisa dijadikan sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi

bahasa tersebut. Namun demikian, sisi lain dalam demokrasi berbahasa kita tidak

bisa menghakimi bahwa seseorang itu salah dalam berbahasa apalagi dalam bahasa

nonformal. Demokrasi berbahasa dapat terjadi karena alasan latar belakang

pendidikan, latar belakang sosial, atau latar belakang yang lainnya.

Dalam demokrasi berbahasa tentu saja akan tercermin sebuah keragaman

sebuah tingkat atau tataran kemampuan penerapan sebuah bahasa. Setiap kelompok

masyarakat akan terlihat bagaimana mereka mengekplorasi sebuah bahasa tanpa

adanya norma-norma yang terlalu mengikat penggunaan bahasa masyarakat bahasa

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Faturohman, Taufik. 1992. Tatabasa Sunda. Bandung: Djatnika. Hadi, Ahmad. 1991. Peperenian. Bandung: Geger Sunten. Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan.Bandung: Diponegoro. Sumarsono, Tatang. 1984. Pedaran Sastra Sunda. Bandung: Medal Agung. Yudibrata, Karna, Agus Suriamihara, Iskandarwassid. 1990. Bagbagan Makena

Basa Sunda. Bandung: Rahmat Cijulang.

Page 240: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 229 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PENGARUH PILKADA SERENTAK DALAM PENGEMBANGAN

BUDAYA BERDEMOKRASI DI INDONESIA: REFLEKSI KASUS

PILKADA DI BALI1

Oleh:

Ketut Darmana2

E-mail: [email protected]

Nomor Handphone: 081328781144

Abstrak

Pilkada serentak 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah di tanah air untuk

memilih gubernur dan bupati/walikota. Konsekuensi Pilkada serentak 2018 ini

sebagai penghelatan demokrasi yang dilangsungkan secara periodik setiap 5 tahun

sekali. Rakyat maupun masyarakat yang mempunyai hak suara dapat menentukan

pilihannya untuk memilih pimpinannya sebagai gubernur dan bupati/walikota

dengan cara demokratis. Artinya memilih pemimpin yang visi dan misinya

beripihak kepada rakyat yang mewujudkan kesejahteraan pada berbagai aspek

kehidupan masyarakat. Dalam konstitusi dasar negera RI berlandaskan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas diamanatkan terciptanya

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penghelatan pesta demokrasi di Bali pada tahun 2018, adalah Pemilihan

Gubernur (PILGUB) Provinsi Bali, dan Pemilihan Bupati (PILBUP) Tabanan,

Gianyar, dan Klungkung. Dalam mendulang suara sebanyak-banyak masing-

masing Paslon mendapat dukungan partai politik yang mengusung Paslon tersebut.

Kemudian partai pengusung ini, berkualisi dengan mesin politik partai dari tingkat

pusat sampai tingkat desa saling bahu-membahu untuk memenangkan jagonya

sebagai pucuk pimpinan daerah untuk berkuasa nantinya setelah menang dalam

pertarungan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka beberapa pokok

permasalahan yang ingin digali lebih mendalam adalah sebagai berikut: (1)

Mengapa praktik pilkada serentak di Bali melahirkan bentuk-bentuk politik

kebudayaan yang kurang selaras dengan praktik budaya berdemokrasi khusus di

Bali? (2) Apakah faktor-faktor budaya yang berpengaruh terhadap munculnya

praktik berdemokrasi yang kurang selaras dan (3) Bagaimana bentuk strategi politik __________________________ 1Disampaikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya, Unud,28--29 Maret 2018.

*) Hari Minggu diisi dengan siaran arja, program yang berlanjut sejak lebih dari empat

dekade.

Page 241: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

230 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2Staf Pengajar Program Studi Antrologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar-Bali. kebudayaan yang dibutuhkan untuk mewujudkan bentuk demokrasi yang relevan

budaya berdemokrasi di Bali. Selanjutnya, untuk membedah masalah tersebut,

dengan menggunakan kerangka teori wacana yang dikembangkan Foucoult

berdasarkan analisis data kualitatif yang bersumber dari data lapangan. Metode

yang digunakan adalah pengamatan (observasi) dan studi pustaka atau dokumen.

Kata kunci: Pilkada, Budaya Politik, dan Budaya Demokrasi.

I. PENDAHULUAN

Pilkada serentak 2018 adalah memilih Gubernur dan Bupati secara

demokratis sesuai dengan kehendak keinginan masyarakat. Rakyat yang

mempunyai hak memilih untuk dapat menjatuhkan pilihannya melalui pencoblosan

kertas suara pada saat pemungutan suara itu dilakukan oleh panitia pemungutan

suara (PPS) masing-masing desa atau banjar dijadikan sebagai tempat pemungatan

suara (TPS). Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu No.: Tahun

2017, maka PPS sebagai ujung tombak pelaksana yang paling depan yang

ditugaskan dalam pemungutan suara bagi warga masyarakatnya menggunakan hak

suara untuk memilih kandidat pasangan calon (paslon) yang diusung oleh partai

politik atan gabungan partai politik (koalisi). Kemudian, secara organisatoris

struktural, PPS pada tingkat desa Dalam konteks budaya politik pada kehidupan

sosio-kultural masayarakat di Bali, tidak berbeda jauh dengan kondisi kultur budaya

politik di daerah lain di seluruh nusantara. Selalu masing-masing partai politik dan

gabungan partai politik yang diejawantahkan dalam pola kualisi berusaha untuk

memenangkan pasangan calon (Paslon) yang diusung dalam pertarungan terseebut.

Oleh karena itu, pasangan calon Gubernur dan pasangan calon Bupati yang sah

dinyatakan menang dalam pertarungan, bila mendulang suara sebanyak-banyaknya

atau minimal 50 persen plus 1.

Agar suara rakyat dapat didulang setinggi-tinggi mungkin, maka strategi

yang diupayakan dengan beberapa cara, diantaranya sebagai berikut: (1) Mesin

partai harus bergerak mulain dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Di tingkat

pusat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) berkedudukan di Jakarta. Berikutnya, di

tingkat provinsi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi, di tingkat kabupaten

Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kabupaten Kabupaten. Selanjutnya, disusul oleh

Page 242: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 231

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengurus Anak Cabang (PAC) yang berkedudukan pada tingkat kecamatan. Begitu

pula, pembentukan pengurus ditingkat desa, bahkan sampai ke tingkat

dusun/banjar/kampong/RT yang tersebar diberbagai daerah di Bali. Bilamana

mesin partai dapat digerakkan secara efektif dan efesien, maka mobilitas mesin

politik untuk terwujudnya kemungkinan pemenangan dalam meraup suara

terbanyak tersebut, (2) Pasangan calon (PASLON) yang diusung oleh partai politik

atau gabungan partai politik (koalisi) memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan

kepercayaan publik yang ditunjukkan dari hasil survy dari lembaga independen.

Selain itu, menunjukkan treckrecord yang baik dari hasil beberapa kajian yang

dilihat dari sudut karier politiknya yang pernah dijabat pada masa itu, dan memiliki

ketaksuan dalam menejerial sebagai seorang pimpinan kepala dearah (Gubernur

dan Bupati), serta bebas korupsi sepanjang kariernya sebagai pejabat publik, dan

(3) Seleksi bakal calon kepala daerah (Gubernur dan Bupati) dilakukan sangat ketat

oleh pengurus partai mulai dari DPC, DPD, dan DPP. Namun, keputusan bagi

pasangan calon (PASLON) tetap berada ditangan DPP sebagai bentuk keputusan

final. Bagi pasangan calon (PASLON) yang mendapat restu, maka langkah

berikutnya tugas dan tanggung jawabnya memenangkan kebijakan tersebut dalam

Pemilukada yang berlangsung nanti.

Dalam makalah ini hanya mengeksplorasi “Bagaimana Pengaruh Pilkada

Serentah dalam Pengembangan Budaya Berdemokrasi di Indosena: Sebuah

Refleksi Kasus Pilkada di Bali”. Pendekatan yang digunakan untuk menelaah

masalah tersebut, dengan teori wacana (diskursus). Relevansi pengimplementasian

teori wacana dalam Pilkada ini kerena dikemas oleh aroma nuansa politik bagi

kaum elit politik untuk memenangkan jago yang diusung dalam Pilkada tersebut.

Oleh karena itu, slogan yang selalu didengungkan setiap penghelatan demokrasi

(Pilkada maupun Pilpres) adalah tidak kawan dan lawan yang abadi, namun

sesungguhnya yang abadi itu adalah kepentingan politik untuk merebut kekuasaan.

Adapun metode yang digunakan untuk mengalisa data tersebut, lebih menekankan

pada pengamatan (observasi) berdasarkan peristiwa realitas empiris di lapangan. Di

samping itu, kajian makalah lebih banyak ditunjang pada studi pustaka maupun

harian koran lokal yang terbit di Bali.

Page 243: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

232 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

II. PENGARUH PILKADA SERENTAK DALAM PENGEMBANGAN

BUDAYA BERDEMOKRASI DI INDONESIA: REFLEKSI KASUS

PILKADA DI BALI

Permasalahan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Bali ini sangat terkait

dengan budaya politik masyarakat. Begitu pula, budaya politik tersebut sangat

berhubungan dengan keadaan pendidikan politik masyarakat. Oleh sebab itu,

budaya politik juga sangat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan pollitik yang

dimiliki oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam

menghadapi event dan agenda peristiwa perpolitikan yang terjadi di masa yang lalu

pernah dialami. Hal ini menjadi memori (ingatan) untuk menyongsong penghelatan

demokrasi yang datang setiap 5 tahun sekali. Kepercayaan politik itu, sering juga

dikatakan nilai-nilai yang melekat pada diri individu maupun masyarakat. Rakyat

sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia, maka dalam

menentukan pilihannya, nilai dan kepercayaan ini memberikan pengaruh signifikan

untuk melakukan pencoblosan terhadap aspirasi yang diinginkan (Suka Arjawa,

2018).

Budaya politik lokal pada masyarakat pedesaan yang kehidupannya sektor

agraris yang didominasi oleh orang tua sekarang ini sudah memasuki lanjut usia

(lansia) rupanya masih menggeluti pekerjaan ini. Laporan dari statistik penduduk

menyatakan bahwa pelikada pada periode tahun 2018 ini hampir 40% dari

penduduk usia muda. Lebih popular dengan sebutan generasi milineal atau generasi

now. Kondisi ini secara signifikan berdampak pada kontelasi politik dalam

pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan pada tahun ini, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Generasi muda sebagai pendatang baru atau

pemilih pemula memilih calon pemimpinnya lebih cerdas dan lebih cermat dalam

menentukan pilihannya. Pengaruh mass media, baik elektronik maupun surat kabar,

serta pemasangan baliho (iklan) berukuran besar dan kecil diberbagai sudut kota,

bahkan sampai ke lorong-lorong kecil di daerah pedesaan. Sebagai salah satu

bentuk kampanye terbuka sekaligus sosialisasi memperkenalkan kandidat calon

pemimpin kepada masyarakat dalam menjatuhkan pilihan diwaktu melakukan

pemungutan suara.

Page 244: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 233

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berkaitan dengan pengaruh Pilkada Serentah dalam Pengembangan Budaya

Berdemokrasi di Indosena: Sebuah Refleksi Kasus Pilkada di Bali, adapun pokok-

pokok bahasan dalam makalah ini lebih difokuskan hanya pada aspek-aspek

sebegai berikut.

2.1. Pilkada Serentak dan Bentuk Politik Kebudayaan.

Pilkada serentak sudah dilaksanak pada periode I, beberapa tahun yang

lalu, kali ini sudah memasuki periode II, tepatnya Pilkada tahun 2018. Pada tahun

ini penghelatan pesta demokrasi di daerah memilih Gubernur/Wakil Gubernur Bali,

dan memilih Bupati/ Wakil Bupati Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung.

Apa dampak terhadap Pilkada serentak tersebut, antara lain sebagai berikut: (1)

Aspek pengelolaan daripada penyelenggaraan Pilkade lebih efektif dan efesien

yang berkaitan dengan biaya, tenaga, waktu, (2) Aspek pengawasan lebih mudah

dikontrol, karena steakholder yang terlibat dalam kegiatan ini dari berbagai pihak

institusi/lembaga. Walaupun ujung tombak berada di Komisi Pemilihan Umum

(KPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang. KPU sebagi lembaga pelaksana

penyelenggara pemilihan umum bersifat independen, netral, kredibel, akuntabel,

dan mampu melaksanakan pemilihan umum secara bebas, umum, dan rahasia. Di

samping KPU, juga dibentuk Badan Pengawan Pemilu (BAPILU) di tingkat pusat,

dan Panitia Pengawas Pemilu pada tingkat daerah. Tugas yang diemban oleh

masing-masing lembaga ini untuk mensukseskan pemilu dari tahap awal sampai

dilatiknya kepada daerah yang legimit dari hasil pemilu tersebut, dan (3) Aspek

pemilih hanya datang sekali saja ke TPS bisa mencoblos paslon Gubernur atau

Bupati sekaligus.

Bentuk politik budaya yang dapat ditanamkan kepada masyarakat untuk

menumbuhkan kesadaran perpolitikan itu sendiri. Keterlibatan masyarakat dalam

area kancah politik perlu dibangun dan dibangkitkan, sehingga berpartisipasi dalam

menentukan pilihannya karena hal ini berpengaruh langsung terhadap pemimpin

yang berkuasa nanti dalam menentukan nasib rakyat 5 tahun ke depan (Ari

Dwipayana, 2004).

Page 245: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

234 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2.2. Politik Kebudayaan dan Budaya Berdemokrasi.

Politik berbudaya dan budaya berdemokrasi, dalam realitas empiris di

lapangan, sesungguhnya bagaikan dua sisi mata uang sangat sulit dipisahkan satu

sama lainnya. Begitu pula halnya politik berbudaya dan budaya berdemokrasi dapat

saling melengkapi dari masing-masing kekurangan atau kelemahan tataran ideologi

maupun implementasi praktik penerapannya di lapangan. Kadang-kadang antara

teori di atas kerta sangat berbeda jauh dalam praktiknya di kalangan grassroot.

Bagaimanapun baiknya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh

Pemerintah dan DPR, sepanjang masih ada celah maka hal itu tetap dimanfaatkan

dengan berbagai argumentasi yang masuk akal. Sebagai contoh: politik budaya

mahar ini sangat mencederai budaya berdemokrasi dalam mencari peminpin yang

jujur, kredibel, dan akuntabel pada ujungnya nanti meligitimasi pemimpin yang

korup. Namun, bukan memperjuangkan keadilan sosial bagi rakyat untuk

mensejahterakan kehidupan masyarakatnya (Geertz, 1992).

2.3. Strategi Budaya dalam Politik Kebudayaan

a. Strategi yang dibutuhkan dalam berdemokrasi berlandaskan budaya Bali.

Pengejawantahan dimensi nilai-nilai dalam pendidikan politik masih

menghadapi berbagai kendala dan tantangan bila dikaitkan dengan situasi dan

kondisi budaya politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat yang

terbentuk dari beranekaragam suku, agama, ras, dan aliran (SARA) mudah

tersegmentasi dari akar integritas kerena timbul kepentingan politik secara internal

yang bersifat temporer untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan yang sudah

pernah dinikmati saat ini. Oleh karena itu, perlu mengedepankan nilai-nilai

demokrasi dalam pendidikan dan budaya politik, bahwa demokrasi sebagai pilihan

politik bagi rakyat Indonesia dalam kerangka menegakkan kedaulatan rakyat guna

mewujudkan keadilan soasial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di bumi pertiwi

ini. Begitu pula, strategi pengembangan demokrasi berlandaskan budaya Bali yang

basisnya budaya petani dan agama Hindu. Perpaduan yang bersifat integratif antara

adat-istiadat dengan agama Hindu perlu disenirgikan untuk memperkokoh kedua

lembaga tersebut. Sekaligus sebagi filter masuknya anasir-anasir politik yang

berkamuplase negatif dapat terhindarkan. Slogan seguluk-segilik sebayangtake

Page 246: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 235

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

merupakan ekspresi dalam hidup kebersamaan dalam kultur masyarakat Bali

(Sudibawa, 2018).

b. Strategi yang dibutuhkan untuk pembenahan praktik berdemokrasi

Partai politik sebagai pilar utama dalam demokrasi di negara dunia manapun

termasuk Negara Indonesia. Partai politik dalam pembentukan pendiriannya harus

memiliki flatform visi, misi, dan tujuannya harus jelas. Di samping itu, dasar

ideologi politiknya juga jelas, apakah berorientasi nasionalis, agama, kedaerahan

(local) dan lain sebagainya. Partai politik, selain memiliki landasan ideologi politik,

juga dalam pengamalan praktik tindakan kehidupan politik sehari harus dibingkai

oleh Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Keanekaragaman (Masyarakat

majemuk/plural) bangsa Indonesia. Partai politik sabagai satu tugas negara ikut

bersama-sama menjaga keutuhan dan integritas kesatuan-persatuan dari berbagai

rorongan internal maupun eksternal.

Partai politik dalam pendiriannya maupun dalam menjalankan kiprah

perpolitikannya juga berpedoman yang diatur dalam Undang-undang Partai Politik

(UU Parpol). Semua aktivitas politik yang dijalankan itu harus mengikuti rambu-

rambu yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, rekrutmen menjadi anggota

partai politik, termasuk pembinaan melalui pendidikan politik merupakan aspek

penting dalam rangka pengkader karier politik bagi setiap warga negara. Hal ini

kewajiban bagi partai politik menumbuhkembangkan potensi kemimpinan secara

vertikal maupun horisontal mulai dari level lokal (daerah) sampai ke jenjang tingkat

pusat. Seorang yang dikatakan sebagai tokoh pemimpin bangsa di masa depan

rekam jejak (treak record) sudah diketahui dan dikenal secara umum oleh publik.

Ini sebagai salah satu pembernahan budaya berdemokrasi untuk mencari dan

menemukan pemimpin akan datang sebagai harapan kita bersama

(Koentjaraningrat, 1985).

III. PENUTUP

Berdasarkan uraian pemaparan tersebut di atas, dalam makalah ini

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Demokrasi Pancasila sebagai suatu ideologi yang paling cocok diterapkan di

negara Republik Indonesia, hanya itu masih merupakan gagasan ideal pada

Page 247: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

236 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tataran teori saja. Namun, praktiknya dalam realitas politik dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, ternyata masih perlu pembenahan pada sistem

perpolitikan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Di samping itu, alam

demokrasi di Indonesia hanya baru berjalan puluhan, karena mengawali

gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998, ternyata banyak tantangan dan

permasalahan yang dihadapi. Justru hal ini terjadi dikalangan elit partai itu

sendiri (Berger, 1986).

2. Marwah demokrasi hanya bisa dijaga dengan penegakan hukum. Partai politik

sebagai pilar demokrasi yang merepresentasikan aspirasi masyarakat, dan

sekaligus rakyat memegang kedaulatan tertinggi. Oleh karena itu, partai politik

yang diberi mandat oleh konsituennya untuk memperjuangkan aspirasinya

tersebut harus berkomitmen mengedepankan budaya politik dalam budaya

berdemokrasi itu menjunjung nilai-nilai kesantunan, arif-bijaksana, jujur,

transparan, kredibel, akuntabel dan lain sebagainya. Bila hal ini dapat

diwujudkan oleh semua partai politik termasuk elit didalam, niscaya setiap

penghelatan demokrasi berkaitan Pilkada, Pilpres, dan pemilihan DPR/DPRD

serta DPD dipastikan berjalan damai.

DAFTAR PUSTAKA Ari Dwipayana, AAGN., 2004. “Genealogi Politik: Desa Adat Bali dan Ruang

Demokrasi” dalam Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif (Darma Putra, I N, Editor). Denpasar: Bali Post.

Berger, Peter L., 1986. “Demokrasi Dunia Dewasa Ini” dalam Ideologi,

Pembangunan, dan Demokrasi (Suasta, Putu Editor). Denpasar: : Kelompok Diskusi Merah Putih.

Geertz, Clifford. 1992. Politik kebudayaan. Yogjakarta: Kanisius. --------------------2000. Negara teater. Yogjakarta: Bentang Jones, Tod., 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya

Selama Abad ke-20 Hingga Era reformasi. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

Page 248: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 237

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sariasa, I W., 2018. “Demokrasiku Sedang Mati Suri” dalam Bali Post, No.: 185,

Tahun Ke-70, Hal. 6, Kolom 2—5. Denpasar: Bali Post. Sudibawa, I P., 2018. “Menghadirkan Nilai Demokrasi dalam Pendidikan”, dalam

Bali Post, No. 184, Tahun Ke-70, Hal. 4, Kolom 1—5. Denpasar: Bali Post. Suka Arjawa, GPB., 2018. “Poros Ketiga dan Budaya Politik Indonesia” dalam Bali

Post, No. 193, Tahun Ke-70, Hal. 6, Kolom 2—5. Denpasar: Bali Post.

Page 249: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 238 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

NILAI DEMOKRASI DALAM CERPEN “SUKRENI DI LOVINA” KARYA I.B.W WIDIASA KENITEN

Oleh

Ketut Yarsama

FPBS, IKIP PGRI Bali

E-mail: [email protected]

Abstrak

Cerpen yang berjudul Sukreni di Lovina mengandung nilai pendidikan yang sangat urgen dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai – nilai demokratis yang terkandung dalam cerpen “ Sukreni di Lovina”. Sumber data penelitian ini adalah cerpen yang berjudul Sukreni di Lovina Karya I.B.W. Widiasa Keniten yang diterbitkan Denpost. Data dikumpulkan dengan metode Kepustakaan.Data dianalisis dengan metode hermeneutik. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai demokratis yang terkandung dalam cerpen “Sukreni di Lovina ”, yaitu kebebasan individu dalam menyalurkan hak, menjamin tegaknya keadilan, kehidupan masyarakat yang damai dan religius. Kata kunci: Nilai demokrasi, Cerpen

Abstract

The short story entitled Sukreni in Lovina contains a very urgent value of

education understood, lived, and practiced in the life of society. The purpose of this

study is to analyze the democratic values contained in the short story "Sukreni in

Lovina". Sources of research data is a short story entitled Sukreni in Lovina Karya

I.B.W. Widiasa Keniten published by Denpost. Data collected by bibliography

method. Data were analyzed by hermeneutic method. The results show that the

democratic values contained in the short story "Sukreni in Lovina", namely the

freedom of individuals in channeling rights, ensuring the upright of justice, the

peaceful and religious life of society.

Keywords: Value of democracy, Short story

I. PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan karya imajinatif pengarang dalam

mengekspresikan gagasan atau ide yang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman

yang ada dalam masyarakat. Karya sastra merupakan refleksi kehidupan

Page 250: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 239

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

masyarakat yang didasari daya kreasi dan imajinasi pengarang.Karya sastra itu

tidak lahir dari kekosongan. Karya sastra mengandung nilai-nilai edukasi yang bias

mengubah perilaku manusia .Karya sastra mampu membentuk dan membina

karakter anak bangsa.

Karmini (2011: 102) mengemukan bahwa cerpen adalah suatu cerita yang

menggambarkan sebagaian kecil dari keadaan, peristiwa kejiwaan, dan

kehidupannya.Cerita yang disajikan tidak menggambarkan secara komprehensif

dari suatu keadaan atau peristiwa dialami oleh tokoh.

Nurgiyantoro (2007: 165) mengatakan bahwa tokoh adalah orang-oang

yang ditampilkan dalam suatu cerita yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Oleh karena itu, cerpen memiliki

nilai-nilai kehidupan yang bermakna sehingga sangat urgen untuk diapresiasi nilai-

nilai pendidikan yang terkandung dalam cerpen dapat memengaruhi karakter

anak.Dengan membaca karya sastra berupa cerpen diharapkan karakter anak

semakin berkualitas (Yarsama, 2017: 5).Hal ini berarti semakin intensif dan

apresiatif seseorang membaca karya sastra berupa cerpen maka semakin

bermartabatlah perilaku orang itu.

Cerpen pada hakikatnya dibentuk dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan

ekstrinsik.Kedua unsur tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Esten

(1989:21) membagi unsur-unsur intrinsik cerpen menjadi dua, yaitu isi dan

struktur. Isi yang dimaksud termasuk tema dan amanat, sedangkan struktur

termasuk di dalamnya, yakni : alur, latar, pusat pengisahan, penokohan, dan gaya

bahasa.

Tahun 2018 dikenal dengan tahun poltik.Pada tahun ini, beberapa daerah

menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.Provinsi Bali sebagai salah satu

provinsi di Indonesia juga menyelenggarakan, pemilhan gubernur.Pada pemilihan

gubernur, masayarakat Bali memiliki hak untuk menyalurkan, aspirasi ketika

memilih pemimpin.Hak demokrasi masyarakat Bali dijamin Undang-Undang

dalam memilih gubernur.Gubernur yang terpilih adalah sosok pemimpin yang jujur,

kerja keras, bertanggung jawab, dan mampu mensejahterakan kehidupan

masyarakat Bali.

Page 251: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

240 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Penulis berharap ketika masyarakat Bali menyalurkan hak pilihnya bisa

berjalan lancar dan damai.Dengan demikian pemimpin yang dipilih adalah

pemimpin yang berkulitas pemimpin yang mampu membuat masyrakatnya hidup

tenang, aman, sejahtera, dan damai.Jadikan pesta demokrasi ini kegiatan yang

menyenangkan, bagi masayarakat, bukan masyarakat dibuat resah, tertekan, dan

takut dalam pesta demokrasi ini.

Salah satu karya sastra yang perlu diapresiasi pembaca adalah cerpen.

Cerpen merupakan karya imajinasi pengarang yang diinspirasi dari kenyataan yang

terjadi di masyarakat. Cerpen mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat urgen

diapresiasi.Salah satu cerpen yang memiliki kualitas sastra yang baik adalah

Sukreni di Lovina.Cerpen ini diciptakan I.B.W. Keniten sebagai wujud kepedulian

atau partisipasi dalam merayakan ulang tahun Kota Singaraja.Keniten termasuk

pengarang yang produktif dalam menciptakan karya sastra.Di samping sebagai

sastrawan, Keniten juga sebagai pendidik.Karen itu, karya sastra yang diproduksi

tidak bisa lepas dari masalah-masalah kependidikan.

Cerpen “Sukreni di Lovina” karya I.B.W. Keniten mengandung nilai

demokrasi yang layak dikaji.Nilai demokrasi yang digambarkan dalam cerpen

tersebut bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan di masyarakat. Di samping nilai

demokrasi, ada juga nilai edukasi yang lain yang terkandung dalam cerpen tersebut.

Nilai demokrasi apa saja yang direfleksikan dalam cerpen, “Sukreni di Lovina?”

Untuk memecahkan masalah tersebut perlu dikaji lewat penelitian ini.

Menurut Abraham Lincoln dalam Artikelsiana (2018) demokarsi adalah

dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Demokrasi berperanan sangat penting

dalam keikutsertaan rakyat yang disebabkan rakyat memiliki hak ikut serta dalam

jalannya pemerintahan, karena pada nilai-nilai demokrasi sangat terlihat jelas

bahwa demokrasi merupakan bagian dari rakyat yang sangat dominan. Demokarsi

merupakan bentuk pemerintahan yang seluruh warga negara atau rakyat memiliki

hak-hak dalam jalannya pemerintahan serta memiliki hak dalam mengambil

keputusan dalam mengubah hidupnya sendiri.Paham demokarsi sangat disukai oleh

masyarakt, karena rakyar diberikan hak-hak yang dijaga yang sering disebut

kedaulatan rakyat.

Page 252: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 241

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Nilai-nilai demokrasi, yaitu (1) menjamin tegaknya keadilan, (2) menekan

penggunaan kebebasan seminimal mungkin, (3) menyelenggarakan pergantian

kepemimpinan secara teratur, (4) menyelesaikan perselisihan dengan damai dan

secara melembaga, (5) menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat

secara damai/ tanpa gejolak, dan (6) mengakui dan menganggap wajar adanya

keanekaragaman. Keenam nilai demokrasi tersebut sangat cocok diterapkan di

negara Indonesia yang sangat majemuk ini. Jika nilai-nilai demokrasi mampu

diterapkan secara konsisten dan objektif maka negara Indonesia bisa menajadi

negera yang maju, adil, dan makmur.

II. METODE PENELITIAN

Adapun metode-metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah 1) jenis

penelitian, 2) sumber data penelitian, 3) metode dan teknik pengumpulan data, 4)

instrument penelitian, 5) metode analisis data, 6) metode penyajian analisis data.

(1) Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif adalah

metode penelitian yang bersifat naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada

kondisi yang alamiah atau natural setting (Sugiyono, 2015:14). Digunakannya jenis

penelitian kualitatif karena data yang dikumpilkan dalam penelitian ini berupa kata-

kata bukan angka-angka dan disajikan apa adanya tanpa ada perlakuan terhadap

objek yang diteliti.

(2) Sumber data penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah cerpen

dengan judul Sukreni di Lovina. Cerpen tersebut terbit pada hari Minggu,11

Februari 2018 yang dimuat pada koran Denpost.

(3) Metode dan teknik pengumpulan data

Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk

keperluan penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur

yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan.Metode dan teknik

pegumpulan data merupakan salah satu langkah utama dalam penelitian, karena

tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data. Metode pengumpulan data

Page 253: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

242 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dan wawancara.

Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah teknik pengkartuan dan pencatatan.

(4) Instrument

Instrumen penelitian merupakan sarana atau alat yang digunakan dalam

penelitian. Penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan sehingga

peneliti berperan dalam menentukan keseluruhan skenario penelitian (Moleong,

2014:163). Kedudukan peneliti dalam penelitian cukup rumit. Ia sekaligus

merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, dan pada

akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitian. Peneliti termasuk dalam instrumen

utama penelitian karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian.

(5) Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan

cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit dan

membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh peneliti atau orang lain

(Sugiyono, 2015:335).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data dengan analisis

heuristik dan hermeneutik.Analisis heuristik merupakan karya sastra pada sistem

semiotik tingkat pertama.Metode ini berupa pemahaman makna sebagaimana yang

dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan (Nurgiantoro. 2015:46).Sedangkan

analisis hermeneutik diartikan sebagai penafsiran atau interprestasi (Bungin,

2014:189).

Metode analisis data ini diawali dengan langkah-langkah dalam

menganalisis adalah sebagai berikut.

1) Membaca secara heuristik, yakni pembacaan cerpen dari awal sampai akhir

cerita secara berurutan.

2) Membaca secara hermeneutik, yakni pembacaan ulang setelah pembacaan

heuristik. Dengan langkah sebagai berikut.

a. Memberian kode pada kartu data nilai demokarsi yang terdapat dalam

cerpen terbitan Denpost pada tanggal 11 Februari 2018.

b. Mencatat nilai-nilai demokrasi dalam kartu data.

Page 254: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 243

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c. Memaparkan nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam cerpen tersebut.

3) Menarik kesimpulan

(6) Metode Penyajian Analisis Data

Metode pemyajian hasil analisis data ada dua macam,yaitu metode formal

dan informal. Menurut Sudaryanto (dalam Muhammad 2014:288) metode formal

adalah penyajian data dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang berupa tabel

atau grafik sedangkan metode informal adalah cara penyajian melalui kata-kata

biasa yang memudahkan untuk dipahami. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode informal,karena data disajikan dalam bentuk kata-kata.

III. PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengkajian secara mendalam cerpen,”Sukreni di Lovina”

yang selanjutnya disingkat SL ditemukan nilai-nilai demokrasi baik secara tersirat

maupun tersurat yang terkandung dalam cerpen tersebut. Pembahasan hasil

penelitian ini didasarkan pada teori nilai-nilai demokrasi yang sudah diuraikan pada

pendahuluan. Nilai demokrasi yang ditemukan pada cerpen tersebut sebagai berikut

Nilai menjamin tegaknya keadilan dilukiskan dalam cerpen SL yakni Pandji

Tisna dikisahkan sebagai putra dari Kerajaan Buleleng rela pergi ke Lovina untuk

mendekatkan diri dengan rakyat jelata. Beliau sangat dekat dengan masyarakat.

Nama Lovina yang sampai saat ini terkenal sebagai destinasi pariwisata di Singaraja

diberikan oleh Pandji Tisna. Beliau menetap di Lovina yang menyatu dengan

kehidupan para nelayan. Pandji Tisna memilih profesi sebagai sastrawan. Beliau

menciptakan karya sastra yang sangat terkenal seperti Sukreni Gadis Bali.

Kehidupan Pandji Tisna yang sangat dekat dengan rakyat khususnya para nelayan

dilukiskan dalam kutipan di bawah ini.

“Aku lihat luasnya laut. Kuliat para nelayan mencari penghidupan.Mata pencahariannya memetik kehidupan di dasar laut.Sempat aku dekati seorang nelayan.” (SL, 2018;6)

Raja Buleleng digambarkan sosok seorang raja yang sangat

demokratis.Beliau menghormati keinginan putranya. Pandji Tisna ingin hidup

mandiri dan ingin mencari jati dirinya sendiri, seperti yang terungkap pada kutipan

di bawah ini.

Page 255: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

244 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

….Aku merasakan ketegaran jiwanya untuk memilih jalan hidupnya.Aku berpikir jika sekarang jabatan dan kekuasaan nomor 1, tapi Pandji Tisna memilih jalan sepinya sendiri.Menyepi mengurati kata, mengurai kehidupan dalam kalimat-kalimat, dalam paragraf-paragraf menyatukannya dalam sebuah novel.Betapa bahagianya orang yang bisa menentukan sebuah jalan hidup (SL, 2018;6).

Kutipan itu mengandung makna bahwa manusia dalam kehidupannya perlu

hidup mandiri dan mampu mencari dan menemukan jati diri kita masing-masing

dengan mengenal dan menemukan jati diri maka kita lebih merasa bersyukur

apapun karunia dari Sang Pencipta. Manusi perlu mawas diri, introspeksi diri

sehingga dalam berperilaku selalu sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat.

Kutipan itu mengandung makna bahwa jabatan itu adalah amanah dari

Tuhan Yang Maha Pengasih. Karena itu, ketika sesorang mempunyai jabatan maka

pergunakanlah jabatan itu sebaik-baiknya. Jangan salah menggunakan kekuasaan,

karena kekuasan itu hanya titipan Tuhan. Oleh karena itu, ketika kita berkuasa

pergunkanlah kekuasaan itu dengan bijaksana dan konsisten menjunjung tinggi

norma-norma kebenaran.

Nilai menekan penggunaan kebebasan seminimal mungkin dalam

demokrasi tampak juga dalam cerpen SL. Dalam cerpen tersebut digambarkan

tokoh Aku ingin menyaksikan dolpin di laut.Ia minta kepada tokoh Bapa yang

berprofesi sebagai nelayan untuk mengantar ke laut melihat dolpin. Tokoh Bapa

pun menyanggupi permintaan tokoh Aku. Pada hari yang cerah dan gelombang

laut tidak membahayakan maka tokoh Aku menagih janji kepada Bapauntuk

mengantarkan melihat dolpin. Hal ini tampak dalam kutipan sebagai berikut.

….Janji harus ditepati jika tidak nitya wacana namanya.Pantang bagi Bapa mengingkari janji.Iya sudah, gimana sudah siap? Oh. Sudah.Kami pun disuruh memakai jaket pelampung sebagai penjaga jika terjadi sesuatu.Aku pun berdoa pada Dewa Laut agar bisa melihat dolpin (SL, 2018;6). Kutipan di atas mengandung makna bahwa tokoh Bapa Gede walaupun

kehidupan ekonominya sederhana tetapi tidak berpikir hanya mengejar keuntungan

dari pekerjaanya mencari ikan di laut.Bapa Gede terikat dengan janjinya

mengantrakan tokoh Aku melihat dolpin.Bapa Gede adalah sosok tokoh yang

Page 256: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 245

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dilukiskan satya wacana yang sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu Tri Kaya

Parisudha. Jika ajaran Tri Kaya Parisudha ini diamalkan dengan harmonis di

masyarakat maka penulis yakin kehidupan manusia akan tentram, aman, bahagia,

dan damai. Tokoh aku dilukiskan sebagai sosok tokoh yang relegius.Dia tidak lupa

berdoa dan memohon kepada Tuhan agar cita-citanya melihat dolpin

dikabulkan.Kutipan tersebut juga mengandung amanat bahwa kemanapun kita

pergi seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya dengan lengkap.Sikap hati-hati

dan waspada dalam suatu pekerjaan sangat perlu dilaksanakan.Dengan demikian

pekerjaan yang dilakukan bisa berhasil dengan baik.Hal ini tersurat dalam

percakapan tokoh Bapa Gede dengan tokoh Aku agar menggunakan jaket

pelampung ketika di laut.

Nilai menyelesaikan permasalahan secara damai sebagai salah satu nilai

demokrasi ternyata tampak dalam cerpen SL. Dalam cerpen tersebut diceritakan

tokoh Bapa Gede pada awalnya menolak diajak ke laut oleh tokoh Aku, karena

pada saat itu muatan cuaca lagi tidak bersahabat.Bapa Gede menawarkan hari lain

agar cuacanya cerah dan bersabat. Tokoh Aku pun setuju dengan usul yang

disampaikan Bapa Gede.Begitu cuaca cerah dan gelombang laut sudah bersahabat

barulah mereka bersepakat untuk berlayar ke laut nelihat dolpin.Ternyata

permasalahan yang diselesaikan dengan damai membawa hasil yang

maksimal.Tokoh Aku akhirnya bisa menyaksikan dolpin dengan baik dan

mengabadikan dolpin dengan beragam ukuran melompat-lompat di depan mereka.

Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut.

Kecerahan pagi itu membuka hati kami. Semburat merah memancar di timur. Jukung Bapa Gede menerobos gelombang yang bersahabat hari itu. Bapa Gede turut mengajak kami ke tengah laut…. Keberuntungan berpihak pada kami. Dolpin dengan beragam ukuran melompat-lompat di depan kami. Aku dan temanku mengabadikannya. Aku ingat dolpin memberi kasih pada manusia. Ia dikenal sebagai binatang laut yang memberi pertolongan pada manusia (SL, 2018;6).

Kutipan di atas mengandung makna bahwa pekerjaan apapun yang

dilakukan harus mencari waktu yang tepat. Ketidaktepatan dalam menentukan

waktu bisa membahayakan kehidupan kita.Kedisiplinan memanfaatkan waktu

sangat penting dalam melaksanakan pekerjaan.Manfaatkan waktu dengan sebaik-

Page 257: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

246 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

baiknya sehingga berguna dalam kehidupan di masyarakat.Manusia bukan hanya

membutuhkan kehidupan jasmani, tetapi juga rohani.Kedua kebutuhan itu harus

harmonis. Apabila kedua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan baik, maka

manusia akan hidup sehat jasmani dan rohani.

Nilai menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara

damai ditemukan dalam cerpen SL. Di dalam cerpen tersebut dituliskan kehidupan

masyarakat yang masih tradisional.Karena penduduknya sebagian besar sebagai

nelayan.Hal ini disebabkan wilayah Lovina sangat dekat dengan laut.Mata

pencaharian penduduk di Lovina awalnya sebagain besar mencari ikan.Dengan

berkembangnya dunia pariwisata wilayah Lovina sekarang berubah menjadi daerah

pariwisata. Oleh karena itu, di wilayah Lovina banyak berdiri bangunan hotel,

restoran, bar, kafe, vila, dsb. Mata pencaharian penduduk di Lovina bukan lagi

mengandalkan hasil laut, tetapi ada juga yang memilih profesi sebagai pemandu

wisata, pegawai hotel, restoran, dan yang lainnya.Kehidupan masyarakat di Lovina

sudah berubah dari awalnya sebagai daerah agraris berubah menjadi daerah

pariwisata.Perubahan tersebut ternyata tidak menimbulkan gejolak. Dengan kata

lain perubahan yang terjadi di wilyah Lovina berjalan dengan damai.

Hatiku terus saja ingin ke rumah Bapa Gede.Iakatakan tidak terlalu jauh dari tempat menginap kami. Aku mengajak temanku.Ia menunjukkan keceriannya. Ia ingin melihat kehidupan masyarakat Bali….Kurasakan vibarsi kedamaian memancar di rumah Bapa

Gede (SL, 2018: 6).

Kutipan di atas menunjukkan adanya kedamaian di rumah Bapa Gede yang

ada di Lovina.Keadaan rumah Bapa Gede yang sederhana ternyata mampu

menggugah rasa nyaman dan damai para tamu yang singgah ke rumah

tersebut.Suasana yang damai itu ditunjukkan juga dengan sikap dan perilaku Bapa

Gede dan anaknya, yang bernama Sukreni sangat ramah dan sopan santun

menerima tamu. Sikap sopan santun yang ditunjukkan Bapa Gede dan Sukreni

ketika menerima tamu dapat dibuktikan pada kutipan berikut

“Om Swastiastu”, sapaku. “Om Swastiastu.”Bapa mempersilakan kami duduk di balai daja rumahnya….Anak gadisnya membawakan kami kopi hangat dengan ubi rebus.“Silakan!”“Terima kasih” (SL, 2018: 6)

Page 258: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 247

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Tokoh aku dan tamu dari Swis sangat prihatin dengan keadaan Bapa

Gede.Kehidupan Bapa Gede ternyata tidak didampingi istri. Istrinya Bapa Gede

sudah meninggal dunia.Bapa Gede dikaruniai seorang anak perempuan bernama

Sukreni. Nama anak Bapa Gede ternyata diambil dari nama tokoh novel yang

dikarang Pandji Tisna dengan judul “Sukreni Gadis Bali.” Hal ini dibuktikan

dengan kutipan.

“Inilah tempat tinggal kami.Ini anakku satu-satunya.Ibunya terlalu lama meninggalkan kami.“Semoga damai di alam keabadian, Pa.”“Terima kasih.”Terus siapa nama anak Bapa?”“Sukreni”, “Sukreni?” Kok sama dengan nama novel Pandji Tisna? (SL, 2018: 6).

Kutipan di atas mengandung makna bahwa kehidupan tokoh Bapa Gede dan

putrinya Sukreni sangat bahagia. Bapa Gede sangat bangga memiliki anak yang

sangat cantik dan berprilaku mulia. Bapa Gede memberikan nama anaknya

Sukreni, karena ingin mengabadikan jasa Pandji Tisna yang menamai wilayah ini

dengan Lovina. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:

“Benar!Bapa ingin mengabadikannya lewat nama anak Bapa, karena berkat Pandji Tisnalah Lovina ini dikenal”.Aku hanya berdecak kagum.Ternyata masih ada yang menuliskan namanya pada seorang gadis cantik (SL, 2018: 6).

Lovina sebagai salah satu destinasi pariwisata yang ada di Kabupaten

Buleleng sampai saat ini masih banyak dikunjungi para tamu domistik maupun luar

negeri.Para tamu sangat kagum dengan panorama pantai yang indah dan kehidupan

masyarakat damai, para tamu yang berkunjung ke Singaraja tidak merasa lengkap,

apabila belum mengunjungi Lovina. Oleh karena itu, nama Lovina sangat terkenal

di Singaraja sebagai objek wiasata.

Nilai mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman ditemukan

juga dalam cerpen SL. Di dalam cerpen tersebut dilukiskan tokoh aku sangat akrab

bersahabat dengan tokoh dari Swis.Tokoh dari Swis sangat tertarik dengan objek

wisata Lovina.Tokoh aku dengan tulus ikhlas menolong tokoh dari Swis untuk

pergi ke Lovina.Hal ini ditemukan dalam kutipan sebagai berikut.

….Aku bersam temanku dari Swis.Ia jatuh hati pada Lovina. Ia dengar di Lovina, dolpin bisa dinikmati keindahannya. “Tiang, mau ke Lovina, apa bias dibantu?” Oh, kebetulan tiang bisa antar ke

Page 259: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

248 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Lovina. Ini mobil bungalo bias ditumpangi.“Baiklah!”Kamipun diantar ileh teman baru kami. (SL. 2018:6).

Kutipan tersebut mengandung makna bahwa tokoh Aku sangat ramah dan

sopan santun terhadap tokoh dari Swis, walaupun tokoh dari Swis itu baru saja

dikenalnya, tokoh Aku digambarkan sebagai sosok seorang tokoh yang

menghormati dan menghargai keberagaman. Tokoh aku dimaknai seorang tokoh

yang beragama Hindu ternyata menjalin persahabatan yang sangat baik dengan

tokoh dari Swis yang beragama Kristen.Perbedaan keyakinan dan warna kulit

ternyata tidak menjadi penghambat dalamkehidupan masyarakat yang damai dan

indah.Fakta di lapangan membuktikan bahwa di wilayah Lovina dihuni oleh

penduduk yang beranekaragam.Adapenduduk yang beragama Hindu, Islam,

Budha, Kristen, dan Katolik.Kelima agama itu sampai saat ini hidup rukun dan

damai.Tidak ada gesekan atau tidak ada gejolak dalam kehidupan dalam kehidupan

beragama di Lovina. Semoga keadaan yang kondusif sekarang ini tetap bertahan

dan lebih baik lagi pada kehidupan yang akandatang. Dalam menghadapi era

disrupsi atau era revolusi industri 4.0 maka diperlukan sikap persatuan,

persaudaraan, kerjasama, toleransi, persahabatan yang baik dengan semua bangsa

di dunia.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang diuraikan dalam pembahasan dapat

disimpulkan bahwa ditemukan lima nilai demokrasi yang terkandung dalam cerpen

SL, yaitu nilai menjamin tegaknya keadilan, nilai menekan penggunaan kebebasan

seminimal mungkin, nilai menyelesaikan permasalahan secara damai, nilai

mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan nilai menjamin

terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara damai. Di samping itu,

ditemukan juga nilai pendidikan karakter yang meliputi nilai religius, nilai etika,

nilai toleransi, dan kesetiakawanan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.

Page 260: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 249

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bungin, Burham. 2014. Penelitian Kualitatif. Jakarta :Prenada Media Group. Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama.Denpasar :

Pustaka Larsan. Keniten, I.B.W. 2018. “Sukreni di Lovina.” dalam harian Denpost, Minggu, 11

Februari 2018 Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor

Indonesia. Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya. Muhammad, Djorin. 2014. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurgiyantoro, Burham. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Tindakan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R&D. Bandung : Alfabeta. Yarsama, Ketut. 2017. Konflik Batin Tokoh Utama dalam Cerpen Harian Bali Post

Tahun 2015 dan Relevansinya pada Pembelajaran Sastra di SMA. Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni Stilistetika Tahun VI Volume 11, November 2017 dengan ISSN 2089-8460.

Page 261: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 250 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

KEINDAHAN YANG TERPANTUL DALAM KIDUNG TANTRI RĂGA

W NAṠA SEBUAH KAJIAN EKOSEMIOTIK

Oleh:

Komang Paramartha. E-mail: [email protected]

I Nyoman Sukartha. E-mail: [email protected]

Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udyana

Abstrak

Ekosimiotik merupakan studi dalam bidang semiotik yang membicarakan tentang hubungan antara alam dengan lingkungan atau kebudayaan. Studi itu mempersoalkan tentang manfaat dan makna alam dalam kehidupan manusia. Hal yang utama adalah cara berkomunikaso antara manusia dengan alam. Ekosemiotik sering disamakan dengan ekologi sastra.

Dalam Kidung Rȃga Wĭnaṡa, ekosemiotik terkandung dalam bait-bait yang ada di dalamnya dan membangun estetika. Estetika seperti itu belum pernah diteliti, karenanya akan dicoba diungkap sebagai penelitian.

Penelitian ini akan bersandar kepada teori ekosemiotik dengan bantuan metode kepustakaan dan deskreptip kritis. Hasilnya berupa uraian tentang kandungan estetika dan keindahan alam yang terpantul di dalam kidung tersebut. Kidung tersebut banyak mengungkap tentang estetika atau keindahan alam yang tentunya berkaitan erat dengan budaya atau pun manusia.

Kata kunci: ekosemiotik, estetika dan kidung.

1. Pendahuluan

Karya sastra adalah suatu bentuk komunikasi yang menggunakan

sarana bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia

(Sudjiman 1993: 6-7). Karya sastra, khususnya fiksi, sering disebut sebagai

dunia dalam kemungkinan dan dunia dalam kata. "Dunia" yang diciptakan

pengarang dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan ditafsirkan melalui

bahasa. Bahasa menjadi alat bagi pengarang untuk mengungkapkan perasaan,

gagasan; dan angan-angannya (Nurgiyantoro 1995: 272).

Karya sastra sebagai sebuah bentuk komunikas, merupakan bentuk

komunikasi yang khas karena "pesapa" dapat hadir, tetapi dapat juga tidak

hadir. Pada karya sastra tulis, karya sastra dapat dibaca pada waktu dan

tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya (Sudjiman

Page 262: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 251

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

1993: 7). Begitu pula halnya dengan karya sastra klasik yang berbahasa Jawa

Kuna atau bahasa Kawi atau berbahasa Bali seperti kakawin, kidung, dan karya

geguritan.

Karya sastra klasik seperti karya sastra kidung, dewasa ini boleh

dibilang sangat sedikit mendapat perhatian dari para peneliti. Pada hal sastra

kidung tidak kalah jauh dari kakawin bila dilihat dari nilai pendidikan yang

terkandung di dalamnya, serta kandungan makna dan keindahan bahasanya.

Dalam dua tahun belakangan ini (2016-2017) penelitian yang mengambil objek

sastra kalsik seperti sastra kidung boleh dibilang ”bak kerakap tumbuh di batu,

mati segan hidup takmau”. Buktinya hanya 5 tulisan yang dijumpai dan tulisan

itu pun oleh satu orang saja yaitu olehI Nyoman Sukartha yang meneliti tentang

kidung Tantri Rȃga Wĭnasa atau Kidung Manduka Prakarana. Penelitiannya

itu antara lain:

”Pendidikan Karakter Dalam Kidung Manduka Prakarana” (2016); ”Epilog Kidung Rȃga Wĭnasa Atau Tantri Manduka Prakarana” (2016); ”Kepengarangan Kidung Manduka Prakarana”; ”Nilai Moralitas Dalam

Kidung Rȃga Wĭnasa” (2017); penelitian bersama); ”Pendidikan Kharakter Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa Episode Si Lutung dan Si Keker” (2016); ”Pendidikan Karakter Kidung Raga Wĭnasa Episode Si Katak dan Si Tetani” (2017); dan ”Epilog Kidung Rȃga Wĭnasa” (2017).

Semua penelitian yang disebut di atas mengungkap makna, nilai

pendidikan moral. Hal itu tidaklah mengherankan karena dalam sastra kidung

tersebut, nilai pendidikan moral yang dikandungnya sangat dominan. Namun,

belum ditemukan uraian mengenai faktor intrinksiknya seperti keindahan

bahasa dan keindahan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk itu dalam

uraian ini akan dibahas mengenai stilistika yang terkandung dalam Kidung

Rȃga Wĭnasa.

2. Stilistika

Stilistika berarti ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di

dalam karya sastra (Moliono, 2008; 1340). Pembahasan gaya bahasa pada tulisan

ini berdasarkan pilihan leksikal dan pilihan wacana (ujaran dan kiasan).

Pandangan lain menyebuttkan bahwa; stilistika adalah ilmu yang menyelidiki

bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispliner antara linguistik

Page 263: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

252 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dan kesusastraan; penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (Hasanuddin,

2014;901). Stilistika digunakan dalam suatu karya sastra tidak bisa dilepaskan

dari tujuan untuk menciptakan atau menambah keindahan/estetika dalam karya

tersebut.

Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa banyak ditemukan unsur keindahan seperti

yang disebutkan di atas. Untuk itu akan dicoba untuk menjelaskannya.

2.1 Stilistika yang Berkaitan Dengan Kata/Frasa

Diksi atau pilihan leksikal dan pilihan frasa sangat menentukan dalam

penyampaian makna suatu karya sastra. Pilihan leksikal yang dilakukan dengan

baik dapat menimbulkan efek tertentu bagi pembaca seperti menggugah simpati

pembaca, menonjolkan Kidung Rȃga Wĭnasa juga menimbulkan kesan yang kuat

pada kata atau pasangan kata, memberikan gambaran yang kongkrit, dan

memudahkan pemahaman pembacanya. Pilihan leksikal yang akan dibahas di

bagian ini adalah pemanfaatan kata-kata yang berkaitan dengan alam.

Kata-kata yang berkaitan dengan alam seperti mrega taru artinya

’harimau pohon’ yang maksudnya adalah ’lutung’, tuban, wirada maksudnya

’perdu tumbuhan racun tikus’. wirada artinya ”bambu yang lebat’, ”wana”

artinya ’hutan’,lila artinya ’senang/gembira’, ’kidul”artinya ”selatan”, warsa

mandala artinya ’daerah selatan’, ” dan botrawi”artinya ’pancuran air’. Kata-

kata tersebut tidak hanya dikaitkan dengan fenomena alam, tetapi juga dengan

pikiran dan perasaan untuk mendapatkan kesan indah. Perhatikan kutipan di

bawah ini:

a) Hênêngakêna iriki wuwusên punang mrêga taru sāh saking tuban wirada adoh denya lumaris līla tan angrasa durgati ring agamya wana among swecchāning kāpti pintên lawasing amanggih ayu,

b) Baryan amilih bhukti salwaning wana kāhasan amrih karaśmining wwah-wwahan padha rāmyȃmukti lêpas lakune angidul kāmpir i warṣa maṇdhala dadya pun amênangi botrawi ri sam paning gunung

(KRW, episode Bacin Lembu Dadi Anggo Ubad Tatu, bait 11 a dan b)

Terjemahan:

a) Sampai disini ceritanya dihentikan. Kini dikisahkan si Lutung yang sedang meninggalkan rumpun bambu. Ia sudah berjalan jauh. Senang tiada merasa kesulitan walau di dalam hutan lebat. Ia menikmati kegembiraan rasa hatinya yang lama menimati kebahagiaan.

Page 264: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 253

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

b) Senantiasa makan makanan yang terpilih. Menyusup di dalam hutan belantara yang luas. Memilih buah-buahan yang baik. Hanya yang segar-segar saja yang dimakannya. Kini ia perjalanannya telah lewat di sebelah selatan, sampai di daerah Warsa, lalu ia menjumpai telaga di lereng gunung.

Menurut Kamus bahasa Jawa Kuna , mrêga taru berasal dari kata dasar

mrega yang berarti ‘macan’ dan kata taru yang berarti ‘pohon’. Dalam wacana

Kidung Rȃga Wĭnasa kata tersebut digabungkan menjadi kata majemuk yaitu

mrega taru. Kata itu diartikan dengan ’binatang kera hitam atau lutung’. Dalam

bahasa Jawa Kuna kata tersebut bersinonim dengan kata plawanggi, lutung,

dan wre.

Frasa tuban wirada berasal dari kata Tuban, berupa kada dasar tub

(lebat) yang mendapat sufik –an, menjadi kata tuban. Kata wirada artinya

’bambu’. Frasa tuban wirada berarti ’rumpun bambu’. Wana berupa kata dasar

yang berarti ’hutan’. Lila berupa kata sifat yang artinya ’senang’. Kidul berupa

keterangan tepat yang artinya ’selatan’. Warsa mandala berupa kata ganti

nama yaitu nama wilayah/daerah/kerajaan Warsa. Sedangkan kata botrawi

berupa gabungan kata yang berarti pancuran air.

Melihat uraian di atas, terdapat pemilihan kata atau frasa yang dirangkai

berupa kalimat untuk menciptakan keindahan. Pengarang mencoba merangkai

kata-kata tersebut agar karyanya menjadi indah. Rangkaian kata tersebut

digunakan untuk menceritakan keindahan alam oleh pengarang. Si Lutung

yang mewakili si pengarang merasakan keindahan alam yang membuatnya

terpesona dan kagum akan keindahan alam di sepanjang jalan di dalam hutan

belantara. Hal itu mengakibatkan ia tidak sadar bahwa dirinya sudah berada

sangat jauh dari rumpun bambu (tempat si Macan yang terbunuh oleh tipu daya

si Lelasan) hinga sampai di wilayah kerajaan Warsa.

2.2 Keindahan Alam Yang Terpantul Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa

Keindahan alam yang terpantul di dalam Kidung Rȃga Wĭnasa yang

dimaksud adalah untaian kata/frasa/kalimat yang digunakan untuk

mengungkap/menceritakan keindahan alam di dalam kidung tersebut dan

Page 265: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

254 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

mampu menimbulkan kesan indah atau estetik. Hal itu dapat dilihat pada

kutipan di bawah ini.

1) Hênêngakêna iriki wuwusên punang mrêga taru sāh saking tuban wirada adoh denya lumaris līla tan angrasa durgati ring agamya wana among swecchāning kāpti pintên lawasing amanggih ayu,

2) Baryan amilih bhukti salwaning wana kāhasan amrih kara mining wwah-wwahan padha rāmyȃmukti lêpas lakune angidul kāmpir i warṣa

maṇdhala dadya pun amênangi botrawi ri samī panang gunung (KRW, episode Bacin Lembu Dadi Anggo Ubad Tatu, bait 11 a dan b)

3) Kweh tuñjungnya aneka sāri uddha nīla rakta lumrā haneng bañu

ganggêng awrā sêlutdara awor irim-irim mīnanyāliwêran mijah angijinging bañu sawanyāpupul-pupul lyan amaranting lumut sing

grong-sing grong awwad rantuning matsya silurup,

4) Sêk tang sarwa sari têpinyātantunan rāmyȃsêhên santun ri padūnya anêmbur – makarȃ uci sama kasongan wyāla puṣpa bhramitang

kumbang angrubung darpāngisêp sêkar rurū anibeng warih bangun rāmyaning hyang sura wadhū sukā sibwana ing raṇu.

5) Wasāna mangun rawit pañjrah aṣana sêdhêng rūm sabhūṣaṇa mās tatur apipiting pring gadhing hatur madhya kesisan wastranyāneng posiking sêkar yaya angure weṇi sanggȃka a mur yȃngol ing bañu,

6) Pudhak anawang wêtising dyah añar winingkisan rupiting payodhara

kataṇdhês ing sêpêt gadhing mêmbat ing asta anawung – larisning

sinwaming a oka molah lung ning ikari angalaya sapangluking gulū.

7) Imbanyāngrakêting alis alungid ra mining wadanānuju pañjahing padmārūm nīlotpala angayon tan seng ñêñêring nayana rājasa mêmbang anusup ing gisi-gisi akusābhramarāngisêp sȃri bangun waja raṇdhi anūkṣmeng wuwusnya ri pangliking cucur,

8) Langö tan pasiring hatur tāladwaja rāmyȃngdani syuh ewuh twasing kawy anglangut kapêgan mārkepon kerangan atinggal karas wa ānikêl tanah garu lêng-lêng kapênêtan twasing wānara angakṣi yaya tan

asalah tinghal tan wikan ri têkaning wiyung.

Terjemahan

1. Sampai disini ceritanya dihentikan. Kini dikisahkan si Lutung yang sedang meninggalkan rumpun bambu yang subur. Ia sudah jauh berjalan. Lega tiada merasa kesulitan walau di dalam hutan yang lebat. Menikmati kegembiraan rasa hatinya yang telah lama menimati kebahagiaan.

Senantiasa makan makanan yang terpilih. Menyusup di dalam hutan belantara yang luas. Memilih buah-buahan yang baik. Hanya yang segar-

Page 266: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 255

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

segar saja yang dimakannya. Kini ia perjalanannya telah lewat di sebelah selatan, sampai di daerah Warsa, lalu ia menjumpai telaga di lereng gunung.

2. Banyak bunga tunjung yang beraneka ragam. Ada yang berwarna putih, biru, dan merah, bertebaran di atas air. Tumbuhan ganggang dan lumut banyak merambah, bercampur dengan pohon biah-biah. Ikan-ikannya dengan gesit berseliweran di dalam air. Ada yang lain yang bergerombol-gerombol. Ada juga yang bersembunyi pada lumut di lubang yang ada di sela-sela akar pohon, Sebagai tempat persembunyian ikan-ikan. Penuh bunga-bunga di tepi jalan berderet-deret. Indah, sedang berbunga mekar dan lebat. Di pojoknya terdapat air mengucur jernih ke luar daripancurannya. Semua itu dinaungi oleh bunga nagasari yang dikelilingi dan dirubung kumbang yang dengan rajin menghisap sari bunga. Bunganya layu lalu jatuh menimpa air. Bagai keindahan para dewa dan bidadari yang senang mandi di air.

3. Kemudian menciptakan keindahan, yang dipenuhi oleh kembang angsana yang sedang mekar. Segala perhiasannya bagai disepuh, yang diapit bambu gading. Bagaikan pinggang gadis yang kainnya tersingkap. Begitu keindahan bunganya manakala bergoyang. Bagai mennebar rambut keadaan batang pohon sanggalangit menjulur-julur meraih air. Batang bunga pudak bagai betis seorang gadis yang kainnya baru terbuka. Keindahan payudaranya mengalahkan keindahan kelapa gading. Gemulai tangannya bagai melawan goyangan daun muda pohon angsoka. Goyangan si bunga gadung yang membelit bagai liku-liku lehernya.

4. Bagai daun mimba tempelan alis nan lancip meruncing. Kecantikan wajahnya bagai melawan si bunga teratai yang sedang mekar. Keharuman si bunga tunjung biru yang indah bagai tatapan matanya. Si kembang rijasa merasuk pada bibir. Kumbang-kumbang menempel menghisap madu bagai giginya memerah. Dengung suaranya hilang oleh suara si burung kedasih.

5. Mempesona tanpa ada yang menyamai keindahan dagunya dewa Kama dan Ratih. Indah membikin hati hancur kebingungan pikiran si pujangga yang kasmaran. Terpana, lunglai, dan bingung. Malu menaruh karas (batu tulis) lalu mematahkan anak batu tulisnya. Terpana dan terpesona perasaan si Lutung melihatnya, bagai tidak akan mengubah pandangan sehingga ia tidak sadar akan kedatangan si Katak.

Dalam petikan bait-bait kidung di atas sangat jelas terkandung adanya

ungkapan keindahan alam beserta isinya. Ungkapan seperti itu masih banyak bisa

ditemukan dalam Kidung Rȃga Wĭnasa. Namun kutipan di atas dirasa sudah

cukup mewakilinya. Untuk itu, dalam tulisan ini tidak dicantumkan lagi.

Page 267: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

256 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Kesimpulan.

Untaian tentang keindahan alam banyak terdapat dalam Kidung Rȃga

Wĭnasa. Hal itu menandakan bahwa Kidung Rȃga Wĭnasa kaya akan

kandungan keindahan alam.

DAFTAR PUSTAKA

Hasanuddin, W.S. dkk. 2014. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Ujungberung Bandung; Titian Ilmu Bandung

Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Istilah Linguistik. Jakarta: Gramedia. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra. Metode Kritik, dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjiman, Panuti. 1983. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia. Sudiana,T.Made.2013. Kidung Rȃga Winȃṡa (beraksara Bali). Denpasar;

Percetakan Bali. Sukartha, I Nyoman. 2016. “Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si

Tetani, dan Si Katak”, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.

Sukartha. I Nyoman. 2017. “Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa

Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker”dalam Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2017. “Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana”

dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya.

Sukartha I Nyoman dkk. 2017. “Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka

Prakarana”. Denpasar. Program Stodi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka

Pelajar.Zoutmulder.P.J dan S.O. Robson. 2008. Kamus Jawa Kuna-

Indonesia. (Terjemahan Daru Suprapta dan Sumantri Suprayitna). Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Page 268: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 257 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

GEGURITAN ARJUNA WIWAHA: ANALISIS STRUKTUR DAN

KARAKTER TOKOHNYA

Luh Putu Puspawati

Made Suastika

FIB Unud

Abstrak

Teks Geguritan Arjuna Wiwaha adalah teks pem-Balian dari sumbernya Kakawin Wiwaha. Meskipun judulnya sama, namun secara mendasar terdapat perbedaan, yaitu Geguritan Arjuna Wiwaha berbentuk kakawin berbahasa Jawa Kuno dan Geguritan Arjuna Wiwaha berbentuk tembang macepat dan menggunakan bahasa Bali. Secara alur ada persamaan, yaitu teks dimulai dari Sang Arjuna bertapa di Gunung Indrakila sampai pergi ke sorga. Sorga minta bantuan Arjuna untuk membunuh raksasa Niwatakwaca yang ingin menguasai sorga. Secara jelas akan diuraikan struktur teks dan karakter tokohnya pada makalah ini. Kata kunci: kakawin, Arjuna Wiwaha, Geguritan, Karakter, Niwatakwaca

I. Pendahuluan

Geguritan Arjuna Wiwaha perkawinan Arjuna adalah sebuah teks sastra

geguritan yang merupakan proses pem-Balian. Pem-Balian adalah sebuah teks

yang disadur dari sumberya yang telah ada sebelumnya disesuaikan dengan dunia

Bali. Di sini terjadi perubahan dari objek sastra, bahasa dan budaya dari teks

sumbernya. Adanya proses pem-Balian bertujuan untuk memudahkan pemahaman

karya sastra yang ada sebelumnya yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha, kemudian

disadur ke dalam bahasa Bali, berbentuk geguritan dan diberi nama yang sama yatu

Geguritan Arjuna Wiwaha, namun bentuknya berbeda.

Tampak adanya kemiripan dari alur cerita, mengisahkan perkawinan Arjuna

dengan para bidadari. Sorga merasa khawatir atas ulah raksasa sakti Niwatakwaca

karena menyerbu sorga. Akhirya para dewa minta bantuan tokoh Arjuna untuk

mengalahkan Niwatakwaca, para dewa tahu Arjua akan dapat mengalahka rahasia

raksasasa itu, dengan hadiah para bidadari menjadi istrinya.

Dari segi bahasa, kedua teks itu terjadi perubahan yaitu bahasa dalam

Kakawin Arjuna Wiwaha adalah bahasa Jawa Kuna dan Geguritan Arjuna Wiwaha

Page 269: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

258 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

digunakan Bahasa Bali, meskipun tampak jawa kuna masih ada mewarnai teks yang

muncul dari Geguritan Arjuna Wiwaha. Dari segi budaya masih ada kesejajaran

dalam konteks kebudayaan Bali seperti teks Kakawin Arjuna Wiwaha adalah salah

satu kakawin yang sangat populer dan digemari dalam masyarakat Bali, disamping

teks kakawin Ramayana, Kakawin Bharatayudha, Kakawin Nitisastra. Teks itu

dibacaan dalam seni mebebasan.

Teks Geguritan Arjuna Wiwaha merupakan teks pem-Balian (saduran) atau

transpormasi dari teks sumberya (babonnya) Kakawin Arjuna Wiwaha. Hal itu

dapat dijelaskan dengan kutipan pengantar teks sebagai berikut:

“wenten sane kedeh ngaturang ayah antuk mageguritan ngangge sekar alit medaging pupuh macepat, napi malih rikala megending wenten sane negesin, lan kaenter tur kairigang tabuh geguntangan. Ring nagingin pengarsane puniki, sane mangkin titiang ngaturag “Geguritan Arjuna

Wiwaha” sane kaketus saking daging kakawin indik caritane”

Dari kutipan di atas penulis Ni Made Sri Arwati telah menyusun (disusun

olih) teks Geguritan Arjuna Wiwaha yang bersumber dari sebuah kakawin, yang

dimaksudkan di sini adalah Kakawin Arjuna Wiwaha. Dalam Geguritan Arjuna

Wiwaha penulispun menyebutkan sebagai berikut:

1. Gung Ampura hatur titiang

Majeng ring Ida Rakawi

Kakawin Arjuna Wiwaha

Lungsur kanggen pupuh hatur

Mlarapan antuk ginada

Kanggen gending

Dasar hatur pengaksama

2. Mabuat pisan manah titiang

Ngripta dagingnye puniki

Mlarapan dar pinunas

Para ummat mgama Hindu

Side pacang kaanggeang

Sareng ngiring

Maring galah pesantian

3. Hatur sukmaning manah

Saking titiyang ring rakawi

Sampun mapica tuntunan

Nika anggen titiang suluh

Kirang langkungne

druweyang

Mrupa gending

Kaanggen dasar mayadnya

Terjemahannya 1. Mohon maaf saya sampaikan Kehadapan para rakawi (Mpu Kanwa) Kakawin Arjuna Wiwaha Mohon dijadikan tembang

dipersembahkan Dengan tembang Ginada Sebagai awal permakluman. 2. Terpenuhi pikiran saya Menyusun isinya seperti ini Berdasarkan dasar mohon Kepada para umat Hindu Agar dapat dipakai Bersama-sama ikut Ke tempat pesantian 3. Ucapan terima kasih dalam pikiran Dari saya kepada para rakawi Sudah memberikan tuntunan Itu saya pakai penerang (suluh)

Lebih kurang milikilah Berupa nyanyian Dipakai dasar berkorban (menyadnya)

Page 270: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 259

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan kutipan teks diatas, bahwa pengarang mohon/minta ijin kepada

pengawi Kakawin Arjuna Wiwaha, yaitu Mpu Kanwa untuk digunakan sebagai

dasar membuat Geguritan Arjuna Wiwaha. Di samping itu, tujuan lain adalah

sebagai persembahkan kepada masyarakat Umat Hindu untuk dapat memahami isi

teks dalam aktivitas pesantian, yaitu dibacakan dan diartikan disertai iringan

geguntangan, juga persembahan teks geguritan ini sebagai suluh penerangan dan

digunakan sebagai dasar meyadnya (korban atas persembahan tulus).

II. Metode

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data terdiri

atas primer dan skunder, data primer adalah teks Geguritan Arjuna Wiwaha

dilanjutkan dengan translitrasi dan terjemahan. Data skunder terdiri atas wawancara

dan kepustakaan. Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode non formal

(uraian).

III. Geguritan Arjuna Wiwaha

3.1 Alur Geguritan Arjuna Wiwaha

Alur Geguritan Arjuna Wiwaha dapat disampaikan menurut adegan cerita

sebagai berikut:

1. Berisikan pengantar pengarang kepada para rakawi dan mohon izin

menyadur

2. Berisi kebesaran Raja Erlangga ketika memerintah, karena memuja Siwa

3. Betara Indra menerka bahwa Sang Arjuna tidak kuat bertapa dengan

melakukan godaan/ujian dalam tapanya oleh para bidadari

4. Bidadari kalah

5. Tempat sang Arjuna bertapa di gua dan sangat indah

6. Rupa (kecantikan) bidadari menggoda

7. Bidadari mencari tempat sang Arjuna bertapa

8. Para bidadari tidak berhasil menggoda

9. Pendeta sebagai perwujudan (siluman) Dewa Indra

10. Nasihat pendeta kepada sang Arjuna

Page 271: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

260 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

11. Sang Arjuna melanjutkan semadi/tapa

12. Kedatangan celeng/babi menggoda sang Arjuna

13. Betara Siwa berubah wujud menjadi pemburu

14. Perebutan babi antara sang Arjuan dan pemburu

15. Kepandaian (kewisesaan) sama dengan mayuda (berperang)

16. Lanjutan berperang

17. Sang Arjuna menyembah kepada Batara Siwa

18. Sang Arjuna dianugerahi panah pasupati, batara Siwa kembali ke Sorga

19. Sang Hyang Sakra minta tolong sang Arjuna

20. Sang Arjuna ke sorga

21. Sang Arjuna disambut oleh para bidadari

22. Sang Arjuna menghadap Sang Sakra

23. Pesan Bhagawan Wrehspati kepada Sang Arjuna

24. Kepergian Sang Arjuna dan Supraba

25. Tempat yang tidak dilewati dalam perjalanan

26. Keduanya (sang Arjuna) dan Supraba dalam perjalanan

27. Dewi Supraba jejeh (takut)

28. Sang Arjuna menasihati Dewi Supraba agar mendengar Niwatakwaca

29. Keduanya tiba di taman

30. Dewi Supraba akan menyerahkan diri (kepada Niwatakwaca)

31. Dewi Supraba bertemu Niwatakwaca

32. Permintaan Dewi Supraba kepada Niwatakwaca

33. Rakyat siaga akan menyerang/berperang

34. Tata cara dalam peperangan

35. Perjalanan raksasa pengikut Niwatakwaca

36. Rapat dalam mengahdapi perang

37. Pergi berperang

38. Perjalanan menuju peperangan

39. Keadaan peperangan

40. Kelanjutan peperangan

41. Sang Arjuna melawan Niwatakwaca

42. Para bidadari bingung mengganggu sang Arjuna

Page 272: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 261

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

43. Rapat menerima sang Arjuna setelah Niwatakwaca mati

44. Kesenangan sang Arjuna dilanjutkan dengan penglila cita dengan bidadari

Supraba

45. Sang Arjuna bersenang-senang

46. Pesan sang Arjuna kepada istrinya (Supraba)

47. Sang Arjuna minta diri pulang

48. Tentang gosip para bidadari (ingin mengikuti sang Arjuna)

3.2 Struktur Cerita

Struktur Cerita Geguritan Arjuna Wiwaha adalah dibentuk dengan alur

lurus karena peristiwa atau adegan berurutan dan berkesinambungan hingga air

cerita. Awalnya Arjuna bertapa di gunung Indrakila, kemudian datang pemburu dan

serangan babi, akhirnya babi diperebutkan antara Betara Siwa (pemburu) dan

Arjuna dihadiahi panah pasupati.

Terjadi dialog yang panjang tujuan Arjuna bertapa apakah ia menjadi wiku

utama, atau mencari kesaktian karena dalam bertapa lengkap membawa senjata.

Akhirnya terjawab bahwa Arjuna menginginkan kesaktian agar dirinya dapat

membebaskan diri dari saudaranya dari pihak musuh, khususnya pihak korawa.

Sorga tahu Arjuna manusia sakti harus dimintai bantuan atas kedatangan

raksasa Niwatakwaca yang ingin menguasai sorga. Dewa Sakra mengundang

Arjuna ke Sorga, lalu disambut oleh para bidadari dan disampaikan tujuan

mengundang Arjuna ke sorga.

Arjuna dengan pesan para dewa, agar berangkat menemui raksasa itu,

upacara dilakukan bidadari Supraba pura-pura mau menerima Niwatakwaca.

Akhirnya Niwatakwaca mau membuka rahasia kesaktiannya berada di ujung lidah,

akhirnya ketika ia berteriak karena senangnya, ketika itu Arjuna memanahnya.

Niwatakwaca mati, Arjuna dan bidadari Supraba menjalin cinta kasih dan pada

akhirnya Arjuna kembali ke dunia.

Tempat kejadian peristiwa di hutan/Gunung Indrakila, sorga, di sungai dan

tempat perjalanan Arjuna dan Bidadari Supraba. Tokoh cerita meliputi Arjuna, para

dewa, para bidadari, raksasa Niwatakwaca dan raksasa lainnya.

Page 273: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

262 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.3 Karakter Para Tokoh

Tokoh dalam Geguritan Arjuna Wiwaha berdasarkan nama pelakunya dapat

disampaikan sebagai berikut :

1. Tokoh ksatria, meliputi tokoh Arjuna sebagai tokoh Pandawa yang pada saat

itu sedang bertapa di Gunung Indrakila dengan tujuan mencari kesatian agar

dapat mengalahkan musuhnya ketika berperang dengan korawa nanti.

Dalam bertapa, dewa Siwa khawatir apakah sebenarnya yang dicari apakah

kedyatmikan (keluhuran budi) atau kesatian sebagai seorang ksatria.

Akhirnya Betara Siwa berubah menjadi pemburu dan berebut babi dalam

waktu yang bersamaan memanahnya. Akhirnya, ketahuan tujuan Arjuna

bertapa adalah mencari kesaktian. Arjuna dianugerahi panah Pasupati,

Arjuna akhirya diundang ke sorga untuk membantu mengalahkan raksasa

Niwatakwaca, hanya Arjunalah yang dapat membunuh raksasa sakti itu.

Diawali dengan tujuan bidadari Supraba agar mau mengalahkan kelemahan

di ujung lidah, ketika ia berteriak maka dipanah oleh Arjuna yang pada saat

itu sedang mengintip dari kejauhan.

2. Tokoh sorga, meliputi Dewa Siwa, Indra, Dewa Sakra. Tokoh ini semuanya

tokoh supranatural dan tokoh penghuni sorga.

3. Tokoh para bidadari, yaitu Suprabra, Tilotama yang memiliki paras cantik

untuk menggoda raksasa Niwatakwaca, akhirnya para Bidadari, khususnya

Supraba menjadi istri Sang Arjuna dapat membunuh raksasa Niwatakwaca.

4. Raksasa Niwatakwaca tokoh raksasa sakti dan jahat, menyerbu sorga serta

menginginkan bidadari di sorga

5. Tokoh pemburu sebagai penjelmaan (siluman) Dewa Siwa ketika berperang

dengan Arjuna memperebutkan seekor babi.

4. Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Teks Geguritan Arjuna Wiwaha sebagai saduran (transformasi) teks

Kakawin Arjuna Wiwaha

2. Alur cerita masih mengikuti adegan cerita kakawin Arjuna Wiwaha sebagai

sumbernya, termasuk pula nama tokoh-tokoh Arjuna, dewa-dewa, bidadari

dan pemburu.

Page 274: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 263

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Karakter tokoh Arjuna sebagai tokoh kesatria yang menginginkan kesaktian

untuk mengalahkan musuhnya. Tokoh dewa sebagai tokoh sorga, para

bidadari adalah tokoh sorga yang berparas cantik dapat menggoda hati

Niwatakwaca. Tokoh raksasa memiliki watak jahat seperti Niwatakwaca

ingin menguasai sorga.

DAFTAR PUSTAKA

Arwati, Ni Made Sri, 2011, Geguritan Arjuna Wiwaha. Puspawati, Luh Putu, 2017, Geguritan Kecake : Analisis Struktur Translitrasi dan

Terjemahan, Fakultas Ilmu Budaya; Jurusan Sastra Bali Suastika, I Made Jirnaya, Ketut, Sukersa, Wayan, Puspawati, Luh Putu, 2017,

Proses Pem-Balian Geguritan Kapiparwa yang Bersumber pada Kakawin Ramayana” Penelitian Hibah Grup Riset Udayana.

Teeuw, A, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta; Pustaka Jaya

Page 275: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 264 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MEMORI BUDAYA DAN PENULISAN KARYA SASTRA DALAM

PEMBERDAYAAN BAHASA IBU

Oleh

Maria Matilidis Banda

FIB Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Pemberdayaan bahasa ibu berkaitan dengan sikap bahasa. Bahasa bukan hanya sebuah sistem tanda tetapi juga sebagai penampakan hakikat "ada" pada manusia (Gadamer). Hakikat "ada" tampak dalam bahasa sebagai bagian dari pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Bahasa sebagai kehidupan itu sendiri dengan segenap pemahaman dan penghayatan.

Tujuan penulisan makalah ini untuk mendapatkan pemahaman tentang memori budaya dan penulisan karya sastra dalam pemberdayaan hakikat "ada" pada manusia dalam bahasa tulis maupun lisan. Memori budaya (Liliweri, 2005) adalah sebuah sistem dalam diri manusia (cultural memory system) yang memiliki kemampuan menyimpan dan mentransmisikan.

Metode yang digunakan adalah metode desktiptif analitik dengan pemahaman teori fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat untuk bekerja sama dalam suatu kelompok sosial (Simpen, 2011). Hasilnya menjelaskan bahwa kosa kata dan diksi yang termuat dalam memori budaya adalah bagian integral dalam penulisan karya sastra pragmatik yang penting untuk pemberdayaan bahasa ibu. Kata Kunci: Memori Budaya, Penulisan Karya Sastra, dan Pemberdayaan Bahasa.

I. Pendahuluan

Makalah ini ditulis setelah mengikuti International Conference on Local

Language (ICLL) I yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas

Udayana bekerja sama dengan Asosiasi Pemerhati Bahasa Lokal (APBL), 23 - 24

Februari 2018. ICLL diselenggarakan dengan tema "empowerment and

preservation of local language "(pemberdayaan dan pelestarian bahasa lokal).

Tema tersebut mengisyaratkan pentingnya pemberdayaan dan pelestarian

bahasa lokal dan (bahasa ibu) yang disinyalir mengalami "ancaman kepunahan"

dari aspek eksternal dan internal. Pertumbuhan ekonomi, pasar bebas, dan

perkembangan teknologi komunikasi secara eksternal mengancam keberadaan

bahasa ibu. Sementara itu keberadaan bahasa ibu secara internal belum (atau tidak)

Page 276: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 265

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dapat menyaingi derasnya arus pertumbuhan teknologi komunikasi. Kedua aspek

ini berpengaruh pada menurunnya tingkat penguasaan dan penggunaan

(pemberdayaan) bahasa ibu, terutama pada anak-anak dan generasi muda (Purnama,

2018).

Pemberdayaan bahasa ibu berkaitan dengan sikap bahasa yaitu posisi mental

terhadap bahasa sendiri atau bahasa yang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sikap

mental - salah satunya- berhubungan dengan memori budaya dan fungsi bahasa

dalam komunikasi lisan maupun tertulis. Tingkat penguasaan kosa kata bahasa ibu

yang ada dalam memori seorang anak hanya 20% misalnya, jika tidak digunakan,

maka selanjutnya berkurang dan cenderung menjadi hilang. Akan tetapi apabila

kosa kata dalam memori digunakan secara aktif, jumlah kosa kata dalam memori

akan cenderung bertambah secara jernih, aktif, dan kreatif.

Makalah ini akan menjelaskan bagaimana memori budaya dan penulisan karya

sastra berkaitan dengan pemberdayaan bahasa. Tujuannya untuk mendapatkan

gambaran tentang memori budaya serta pemberdayaan bahasa ibu dalam penulisan

karya sastra. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Teorinya

adalah teori fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat untuk bekerja sama

dalam suatu kelompok sosial (Simpen, 2011:7).

II. Pembahasan

Memori Budaya dan Penulisan Karya Sastra

Teks tentang bahasa ibu mesti direncanakan untuk menjadi bagian dari

proses belajar dan proses komunikasi. Sebagaimana dijelaskan oleh I Putu Sutama

(2018) dalam satu teks pelajaran bahasa pada level yang sama di tingkat Sekolah

Dasar, masing-masing kosa kata untuk Bahasa Bali (bahasa ibu) 300, Bahasa

Indonesia 1.500, dan Bahasa Inggris 2.500. Kondisi ini menjelaskan bahwa pada

level-level berikutnya bahasa ibu kurang memiliki ruang untuk bertumbuh sebab

posisinya "kalah bersaing" dangan bahasa lain.

Berkurangnya dan bahkan kepunahan kosa kata dapat terjadi lebih cepat jika

rangsangan dari luar (aspek eksternal) lebih memiliki kekuatan untuk memberi

pengaruh. Dengan demikian langkah-langkah praktis dan akademis mesti dilakukan

Page 277: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

266 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

agar memori tentang kosa kata (klausa, frase, dan kalimat) bahasa ibu tetap

tersimpan, bertambah, dan diberdayakan.

Manusia adalah pemberdaya kata yang hebat dalam memori dan dalam

kreasi. Sastrawan yang menulis dengan bahasa ibu memiliki peluang lebih besar

dalam menyimpan memori secara tertulis dan peluang untuk mentransmisikan

secara lisan. Artinya, bahasa itu hidup kalau digunakan secara aktif dan terekam

secara pasti dalam memory budaya seseorang dengan kepastian transmisi (Banda,

2018).

Memori budaya adalah sebuah sistem dalam diri manusia (cultural memory

system) yang memiliki kemampuan menyimpan dan mentransmisikan. Sistem

tersebut berguna untuk mengelaborasi rangsangan (termasuk pola dan prilaku

budaya) dari luar melalui pola-pola budaya. (Liliweri, 2005:374). Rangsangan

tersebut memiliki potensi menggerakkan dan membangkitkan imajinasi yang

dipelajari melalui pola-pola budaya tertentu dan diwujudkan dalam bentuk karya

sastra. I Gede Gita Purnama A.P (2018) melakukannya melalui alih wahana cerita

rakyat Bali ke dalam cerita bergambar (komik) Bali. Sebuah upaya pemberdayaan

bahasa dimana rangsangan, gerakkan, dan imajinasi dalam kosa kata dan gambar

yang dihasilkan lahir dari memorinya akan bahasa dan cerita rakyat Bali.

Kemampuan membawa, menerima, dan menyimpan rangsangan dari cerita

rakyat dan bagaimana proses transmisinya menjadi cerita bergambar (komik)

dengan kosa kata dan diksi bahasa ibunya menjelaskan bagaimana efektifitas pola-

pola budaya ditransmisi (Liliweri, 2005:374). Proses transmisi (secara lisan

maupun tertulis) itu didukung oleh: 1) kerja samanya dengan Made Taro (penulis

cerita rakyat Bali) memberdayakan penggunaan unsur-unsur bahasa seperti kosa

kata, klausa, frase, dan kalimat secara aktif dalam teks sastra (cerita rakyat); 2)

Komunitas Dasa Studio yaitu seniman muda yang memiliki perhatian pada usaha-

usaha pengembangan dan pelestarian bahasa Bali (Purnama, 2018).

Penulisan karya sastra -termasuk di dalamnya cerita rakyat bergambar

(komik)- adalah salah satu jalan yang ditempuh untuk itu. Dalam hal ini fungsi

bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat kerja sama

sebagaimana dijelaskan Simpen (2011) untuk memperkaya ke"ada"an manusia.

Fungsi dan hakikat bahasa bukan hanya sebagai sebuah sistem tanda tetapi juga

Page 278: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 267

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sebagai penampakan hakikat "ada" pada manusia (Gadamer, melalui Kaelan,

2017:210-211). "Ada" sebagai manusia artinya bahasa adalah bagian dari pikiran,

perasaan, perkataan, bahkan perbuatan.

"Ada" sebagai manusia artinya bahasa adalah kehidupan sastrawan (sebagai

penulis kreatif) dan memiliki potensi untuk menulis dalam bahasa ibu dengan

segenap pemahamannya tentang estetika sastra prosa (alur, latar, dan perwatakan

tokoh), diksi (pilihan kata), dialog dan konflik (penggerak serta penguat alur dan

karakter), kosa kata, diksi, dan lain-lain. Pemahaman tentang "ada" manusia dalam

bahasa penting baik dari sudut pandang sastra sebagai dokumen sosial budaya

(mimetik), pembaca (resepsi), karya (obyektif), maupun pengarang (ekspresif) yang

tersimpan dalam memori budaya dan ditransmisi melalui karya sastra.

Pemberdayaan Bahasa Ibu

Pemahaman tentang bahasa sebagai hakikat dari "ada" manusia ini

berpangkal dari asal mula bahasa yang pertama adalah bahasa sebagai bahasa tutur

(lisan). Ada pun bahasa tulis adalah sebagai yang datang kemudian demi efektivitas

dan kelestarian bahasa tutur (lisan). Oleh karena itu diwujudkannya bahasa menjadi

bahasa tulis terdapat berbagai kelemahan, antara lain bahasa terlepas dari konteks

peristiwa kebahasaannya, kehilangan daya ekspresif sehingga bahasa akan menjadi

lemah (Kaelan, 2017:210). Kondisi ini mesti disadari oleh penulis karya sastra dan

pemerhati bahasa pada umumnya. Langkah-langkah strategis perlu diambil agar

daya ekspresif bahasa dapat dipertahankan dalam karya sastra, diapresiasi oleh

pembaca, dan selanjutnya pemertahanan bahasa dilakukan dengan

mengimplementasikannya.

Pemertahanan bahasa ibu pada prinsipnya lebih mudah dilakukan apabila

tradisi sastranya diberdayakan. Karena bahasa ibu memiliki "daya tahan" tersendiri

yang disebut sistem formula (Lord, 1976: 34) yaitu unsur-unsur bahasa yang

tersedia (stock in trade), disiapkan untuk tersimpan dalam memori budaya dan

digunakan secara aktif.

Penulis melalui karya-karya sastra berupaya semaksimal mungkin untuk

mengungkapkan daya ekspresif dan pragmatik bahasa. Dengan demikian pembaca

dalam memahami karya sastra sebenarnya, terjadi proses pembacaan, pemahaman,

Page 279: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

268 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dan penghayatan makna karya sastra tersebut (Poespoprojo, 1987:10 melalui

Kaelan, 2017:210). Penghayatan akan mempengaruhi proses implementasi dan

transmisi dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis yang menjelaskan "ada" nya

manusia. Karenanya langah-langkah strategis dilakukan melalui penulisan karya

sasta yang -menurut Horace- indah (dulce) dan berguna (utile) dengan bahasa ibu

(bahasa lokal) sebagai media. Beberapa contoh di antaranya sebagai berikut.

1. Penulisan karya sastra modern (cerpen, puisi, novel, drama, dll) dalam

bahasa ibu seluruhnya. Misalnya kumpulan cerpen Gedeh Ombak Gedeh

Angin tahun 2007, Calon Arang tahun 2015, dan Luh Luh tahun 2016 (I

Made Suarsa); kumpulan puisi Pukeng Moe Lamalera (Bruno Dasion, )

dalam bahasa Lamaholot dan bahasa Indonesia.

2. Penulisan karya sastra modern (sastra etnografi, sastra antropologi, sastra

ekologi, dll) dengan menggunakan kosa kata bahasa lokal sesuai latar.

Misalnya novel Liontin Sakura Patah tahun 2000 dengan latar daerah

Bajawa, Ngadha Flores dan Suara Samudra tahun 2017 dengan latar daerah

Lamalera Lembata (Maria Matildis Banda).

3. Penulisan cerita rakyat Bali dengan model alih wahana dari cerita rakyat ke

cerita bergambar (komik) yang dilakukan Purnama bersama Komunitas

Dasa Studio. Misalnya I Durma, Ni Ketimun Mas, I Lutung, dan Siap Selem.

Ketiga contoh tersebut adalah sebagian kecil dari banyak hal yang sudah

dilakukan sebagai upaya pemberdayaan bahasa ibu (dan bahasa lokal lainnya).

Kosa kata, tradisi sastra, serta tradisi budaya pada umumnya mesti ada dan terjaga

dalam memori budaya, untuk diberdayakan melalui penulisan karya sastra.

II. Penutup

Demikianlah makalah "Memori budaya dan Penulisan Kreatif dalam

Perdayaan Bahasa Ibu." Beberapa catatan penting yang dapat disimpulkan adalah

sebagai berikut.

Memori budaya ada dalam diri setiap manusia. Kosa kata dalam memori

budaya seseorang perlu diberdayakan karena pada prinsipnya bahasa bukan hanya

sebuah sistem tanda, tetapi juga sebagai penampakan hakikat "ada" pada manusia

(Gadamer). Tradisi sastra dan penulisan karya sastra adalah ruang untuk

Page 280: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 269

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

penampakan "ada" dengan menggarisbawahi daya ekspresif dan pragmatik bahasa.

Dengan demikian kosa kata yang tersimpan dalam memori budaya seseorang akan

bertambah dan tidak terlupakan (atau hilang) jika diimplementasikan secara

terstruktur dalam komunikasi lisan maupun tertulis.

Langkah-langkah praktis yang perlu dilakukan adalah penulisan karya

sastra dengan menggunakan bahasa ibu (atau bahasa lokal lainnya), kosa kata

bahasa lokal dalam karya sastra berbahasa Indonesia dengan latar tertentu.

Demikian pula alih wahana (misalnya dari cerita rakyat ke komik) dengan

memperhatikan perkembangan teknologi komunikasi dan kemampuan adaptif dari

bahasa dalam menghadapi tantangan eksternal maupun internal.

DAFTAR PUSTAKA

Banda, Maria Matildis. 2018. "Cultural Memory in Su'i Uvi Substainability at Ngadha Flores," dalam Prosiding ICLL. Denpasar: FIB Universitas Udayana.

Banda, Maria Matildis. 2017. "Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi

Lisan Sa Ngaza." dalam Jurnal Mozaik Humaniora (Vol. 17 No. 1 Januari - Juni 2017). Surabaya: Universtitas Airlangga.

Dillistone, F.W. 2002. The Power of Simbol. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya

Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS (Lembaga Pengkajian Islam dan Sosial).

Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. Harvard University Press. Kaelan, M.S. 2017. Filsafat Bahasa Hakikat dan Realitas Bahasa.Yogyakarta:

Penerbit Paradigma Purnama, I Gede Gita. 2018. "Balinese Comics: an Effort to Sustain and Enforce

the Balinese Language among Children in Bali"dalam Prosiding ICLL. Denpasar: FIB Universitas Udayana.

Simpen, I Wayan. 2011. "Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat"

Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Sastra Unud.Denpasar:

Unud. Sutama, I Putu. 2018. "Sthrengthening and Developing Local Language Literation

Page 281: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

270 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Through Local Content Curriculum of Primary School: Systemic-Functional

Linguistic Perspective" dalam Prosiding ICLL. Denpasar: FIB Universitas Udayana.

Wiyatmi, dkk.2016. Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra.Yogyakarta: Jurusan

PBSI Fakultas Bahasa dan Seni UNS.

________________________________ Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S. Dosen Prodi Sasindo dan Program S2 dan S3 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud. Penulis novel Suara Samudara

Catatan dari Lamalera (2017).

Page 282: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 271 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

TUTURAN BESIPUNG SUKU PASER PEMATANG KABUPATEN PASER

KALIMANTAN TIMUR DITINJAU DARI ASPEK PUISI LAMA DAN

NILAI BUDAYA

Oleh

Mursalim

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Mulawarman

Jalan Pulau Flores 1 Samarinda 75112

E-mail: [email protected]

Abstrak

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu ditandai dengan kehidupan sosial budaya yang khas dari setiap suku. Kekhasan inilah yang meliputi semua aspek kehidupan latar belakang kebudayaan. Seperti suku bangsa lainnya di daerah Paser juga memiliki kekayaan budaya adat istiadat, dan seni. Namun, kekayaan yang dimiliki oleh suku Paser tersebut tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas, sehingga dikuatirkan akan tergeserkan dengan budaya modern, terutama upacara budaya pengobatan besipung. Itulah sebabnya peneliti mencoba meneliti penelitian yang berjudul “Tuturan Besipung Suku Paser Pematang Kabupaten Paser Kalimantan Timur Ditinjau dari Aspek Puisi Lama dan Nilai Budaya. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembaca mengenai tuturan besipung Suku Paser ditinjau dari aspek puisi lama dan nilai budaya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu mendeskripsikan dan mendokumentasikan upacara besipung suku Paser ditinjau dari aspek puisi lama dan nilai budaya. Selanjutnya aspek-aspek materi yang akan dipaparkan dari hasil penelitian dalam penulisan makalah ini adalah seperti berikut: (1) pendahuluan, (2) pembahasan dan uraian yang meliputi; bentuk tuturan Besipung Suku Paser ditinjau dari aspek puisi lama; hubungan upacara Besipung Suku Paser dengan nilai-nilai budaya, (3) penutup. Kata Kunci: Tuturan Besipung, Suku Paser, Puisi Lama, Nilai Budaya

A. PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang terdiri dari

berbagai suku dan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman

itu ditandai dengan kehidupan sosial budaya yang khas setiap suku. Kekhasan inilah

Page 283: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

272 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang meliputi semua aspek kehidupan latar belakang kebudayaan, seperti suku

bangsa lainnya, di daerah juga memiliki kebudayaan, budaya adat istiadat, dan seni.

Selanjutnya, Dananjaya,(1986;2) menjelaskan bahwa,”Tuturan adalah

sebagian kebudayaan yang kolektif terbesar dan diwariskan secara turun-temurun,

di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi berbeda, baik

dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat

bantu pengingat.

Sastra lisan dianggap sebagai bentuk sastra pertama, hal ini tidak hanya

diakui oleh ahli kesusastraan Indonesia saja tapi juga di dunia. Karya sastra telah

tercipta jauh sebelum nenek moyang kita mengenal aksara untuk menuliskan

kembali apa yang telah mereka ceritakan, sehingga penyebarannya dilakukan

secara lisan atau oral.

Kemudian, ditambahkan oleh Koentjaraningrat (1984:3) bahwa suatu

sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran

sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap

sangat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya

berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan

manusia yang tingkatnya lebih konkret seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan

nilai budaya tersebut.

Satra lisan jika dikaitkan dengan puisi lama, maka dalam puisi lama terdapat

beberapa jenis seperti pantun, talibun, gurindam, syair, seloka, dan mantra.

Selanjutnya, dilihat dari segi ciri-cirinya tuturan Besipung dapat dikategorikan

dalam puisi lama jenis mantra. Mantra merupakan puisi yang berupa gubahan

bahasa yang diresapi oleh kepercayaan akan dunia gaib. Irama bahasa sangatlah

dipentingkan dengan maksud menciptakan nuansa magis. Mantra timbul dari hasil

imajinasi atas dasar kepercayaan animisme. Untuk mempetajam pemahaman

perihal mantra, Danandjaya dalam Lisana,(2015:22) menambahkan bahwa ciri-ciri

mantra, (1) terdiri dari beberapa rangkaian kata berirama, (2) bersifat lisan, (3) lebih

bebas dibandingkan dengan puisi rakyat lainnya dalam hal suku kata, baris, dan

persajakan, (4) mantra diamalkan dengan memiliki tujuan tetentu, yaitu untuk

mendapatkan kekuatan dari dewa, Tuhan (bagi yang beragama), dan makhluk

lainnya, serta untuk membujuk atau mengusir roh jahat dan mengobati orang sakit.

Page 284: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 273

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Upacara Besipung adalah bentuk upacara dan budaya Suku Paser

Kalimantan Timur khususnya Suku Paser Pematang untuk menyembuhkan

penyakit berat seperti orang sakit yang dikirim melalui makhluk halus, dan

mengusir roh-roh jahat. Besipung juga termasuk pengobatan tradisional yang sudah

jarang digunakan yang mungkin terhadap penyakit-penyakit fatal. Upacara

Besipung ini dilakukan pada malam hari dan hanya dilaksanakan pada malam hari

saja.

Dengan mengacu kepada makna uraian tersebut, maka peneliti

melaksanakan penelitian yang berjudul, “Tuturan Besipung Suku Paser Pematang

Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Ditinjau dari Aspek Puisi Lama dan Nilai

Budaya.

Kemudian, mengenai aspek materi yang akan diuraikan dalam makalah ini

adalah (1) pendahuluan, (2) metodologi, (3) pembahasan, yang meliputi; bentuk

tuturan Besipung ditinjau dari aspek puisi lama, dan hubungan Upacara Besipung

dengan nilai-nilai budaya, (3) simpulan.

B. METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi

tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan, serta proses-

proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Selanjutnya,

penelitian ini juga termasuk jenis penelitian diskriptif yaitu mendeskripsikan dan

mendokumentasikan upacara Besipung Suku Paser, ditinjau dari bentuk puisi lama

dan nilai-nilai budaya. Selanjutnya, teknik pengumpulan data, yaitu mengumpulkan

data upacara Besipung melalui observasi, wawancara, rekaman, dan foto

pendokumentasian.

C. TEMUAN PENELITIAN / PEMBASAHAN

A. Bentuk Tuturan Besipung Ditinjau dari Aspek Puisi Lama

1. Tuturan upacara Besipung terdiri rangkaian kata yang berirama dan memiliki

tujuan tertentu. Jumlah bait dalam tuturan tersebut memang tidak terbatas dan

Page 285: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

274 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tidak terikat seperti puisi rakyat lainnya. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada

contoh seperti berikut.

Jum kemikun na kun setana Ingat-ingat saudara siku-siku Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Sumber: Iswahyudi

Dalam kutipan tuturan tersebut, menunjukkan satu bait terdiri 6 baris, dalam

setiap baris berirama akhir yang sama seperti berikut.

Baris pertama berakhiran |a| setana Baris kedua berirama |u| siku-siku Baris ketiga berirama |a| setana Baris keempat berirama |u| siku-siku Baris kelima berirama |a| setana Baris keenam berirama |u| siku-siku

Dari beberapa baris dalam satu bait dalam tuturan di atas mengalami

perulangan pada baris pertama akan diulang pada baris ketiga, kelima, sedangkan

pada baris kedua akan diulang pada baris keempat dan baris keenam. Semuanya

berirama sama yaitu a-u-a-u-a-u. Selanjutnya, pada tuturan lain ada yang terdiri dari

tiga baris.

Contoh :

Siru muli kesisik daring dayang Ruko langa nyolis diang Bulan sayang Sumber: Iswahyudi

Tuturan di atas menunjukkan satu bait terdiri dari tiga baris, dan berirama

akhir sama seperti berikut.

Baris pertama berakhiran |ang| (dayang) Baris kedua berakhiran |ang| (diyang) Baris ketiga berakhiran |ang| (sayang)

Dari beberapa baris dalam satu bait tuturan di atas semuanya berirama ang-

ang-ang.

2. Tuturan Besipung Bersifat Lisan

Page 286: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 275

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Tuturan atau mantra umumnya bersifat lisan. Begitu juga tuturan upacara

Besipung bersifat lisan karena diucapkan atau dituturkan secara langsung oleh datu

atau dukun pada saat upacara Besipung. Selanjutnya, tuturan Besipung yang

dilisankan oleh datu dituturkan secara turun-temurun hingga sekarang sebagai

warisan milik bersama yang harus dijaga dan dilestarikan.

Berikut contoh mantra Besipung yang sifatnya diturunkan oleh datu atau

dukun.

Tuturan Pertama Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Sumber: Iswahyudi Makna tuturan di atas: Penyakit seperti saudara Bagaimana saudara tidak Saling mengganggu Datang tak diundang dan Pulang tak diantar Tuturan Kedua Siru muli karisik daring dayang Ruko langa nyolis diang Bulau saying Sumber: Iswahyudi

Makna tuturan tersebut adalah orang yang tidak mengganggu kembali jika

masih seperti emas karena aku seperti emas.

Selain makna tuturan tersebut juga memiliki tujuan yaitu agar makhluk gaib

tersebut tidak mengganggu makhluk hidup seperti manusia. Jadi, jika ditinjau dari

aspek fungsi tuturan Besipung adalah untuk mengobati orang sakit sekaligus

mengusir roh-roh jahat yang mengganggu makhluk hidup seperti manusia.

3. Upacara Besipung sebagai Sarana Tolong Menolong

Sebagai tujuan utama pelaksanaan upacara Tuturan Besipung adalah untuk

memberikan pertolongan kepada orang yang ingin berobat. Upacara Besipung

Page 287: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

276 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dapat terlaksana jika segala sesuatu yang menjadi syarat dalam upacara tersebut

sudah dapat terpenuhi. Syarat-syarat upacara Tuturan Besipung Paser Pematang

disebut soyong dan berupa tuturan yang diciptakan oleh masyarakat Suku Paser

dengan menggunakan Bahasa Paser. Selanjutnya, bahan-bahan sesajen yang

digunakan seperti bahan makanan yang berupa benda-benda seperti daun sirih,

kapur, kelapa, gula merah, benang, jarum, gambir, dan tembakau, serta

menggunakan dupa yang disebut karembulu. Karembulu berasal dari kayu keras

yang mengeluarkan aroma wangi-wangian tajam. Jika tidak terpenuhi hal-hal

tersebut di atas, tidak jadilah upacara dan tidak tercapailah tujuan upacara tersebut,

dan jika upacara Besipung diadakan, maka dilaksanakan di ruangan tanpa sedikit

pun cahaya.

B. Nilai-nilai Budaya pada Upacara Besipung

Nilai budaya dalam hubungan manusia dalam masyarakat adalah nilai-nilai

yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat. Ada pun nilai-

nilai budaya yang dapat diperoleh pada pelaksanaan upacara Tuturan Besipung

Suku Paser adalah nilai budaya yang mengacu kepada nilai moralitas seperti

berikut.

a. Kerukunan

Masyarakat Suku Paser terdapat berbagai macam etnis, salah satunya

suku Paser Pematang. Upacara Besipung adalah kebiasaan yang melekat

pada jiwa masyarakat Suku Paser Pematang, sehingga mereka akan saling

membantu satu sama lain pada saat keluarga ataupun tetangga yang terkena

penyakit nonmedis akan disembuhkan oleh upacara Besipung yang akan

dipimpin oleh datu. Di situlah mereka menjalin erat tali persaudaraan dan

menambah kerukunan untuk sesama lainnya.

b. Kepatuhan

Upacara Besipung diyakini oleh Suku Paser Pematang sejak zaman

nenek moyang mereka terdahulu. Mereka mematuhi apa yang telah

diperintahkan oleh adat dan budaya baik dalam diri maupun dalam

lingkungan mereka.

c. Menghormati Sesama

Page 288: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 277

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Upacara Besipung adalah upacara yang dilaksanakan oleh banyak orang

dan berfungsi sebagai pengobatan. Diketahui bahwa seseorang yang

melakukan upacara Besipung, mereka saling menghormati kepada sesama

yang mempunyai hajat. Dengan adanya kebiasaan, mereka saling

menghormati kepada siapapun di sekeliling mereka.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan/pembahasan pada makalah ini, maka hal yang

dapat disimpulkan adalah sebagai berikut.

1. Upacara Besipung hanya dapat dilaksanakan oleh datu yang memang berprofesi

sebagai pembawa upacara Besipung.

2. Pola Tuturan Upacara Besipung terdapat penggunaan kata terdiri dari 3 - 15

kata, dan kata-kata yang terdapat dalam upacara Besipung adalah kata yang

menasehati, tidak mengganggu manusia atau pasien.

3. Isi Tuturan Upacara Besipung dapat berupa bentuk mantra, dan didukung

berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan bersifat lisan serta bertujuan

tertentu yang berhubungan dengan kekuatan gaib.

4. Fungsi Upacara Besipung untuk mengobati orang sakit, mengusir roh jahat,

dalam penyembuhan masyarakat setempat.

5. Nilai budaya pada upacara Besipung adalah bernilai moralitas yang meliputi

menghormati sesama, kepatuhan, dan kerukunan.

DAFTAR PUSTAKA Alfan, (Editor). 1985. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia Bakry, Y. Sastri. 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung : Penerbit Titian

Ilmu. Danandjaja, James. 1991. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta:

Intermasa. Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama Esten, Mursal. 1999. Kajian Transfirmasi Budaya. Bandung: Angkasa.

Page 289: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

278 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT. Publishing.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Metodologi Research Sosial. Yogyakarta:

Media Pressindo. Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV. Vyrama

Widya. Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Rizal, Yoce. 2010. Apresiasi Puisi dan Sastra Indonesia. Jakarta: Grafika Mulia. Soermardjan, Selo. 1984. Budaya Sastra Indonesia. Jakarta: CV Rajawali. Teeuw, A. 1995. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka

Jaya.

Page 290: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 279 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

NILAI-NILAI KARAKTERISTIK DALAM TEKS SASTRA THE HISTORY

OF THE LIFE OF AJAMILA

Ni Ketut Dewi Yulianti

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar

E-mail: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini mengulas tentang teks sastra yang berjudul The History of The

Life of Ajamiladengan fokus analisis pada nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya. Tulisan ini dapat menjadi referensi bagi anak didik dan tenaga pengajar baik di tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.

Selain nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks, dibahas pula hubungan nilai-nilai karakter tersebut dengan pendidikan nasional. Hal ini sangat signifikan dan perlu untuk diteliti, mengingat saat ini banyak terjadi kemerosotan karakter anak bangsa dan juga permasalahan kebangsaan, seperti bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekalipun telah ditetapkan bahwa pendidikan karakter adalah bagian utama dari pendidikan nasional.

Dengan analisis nilai-nilai karakter dalam teks tersebut serta hubungannya dengan pendidikan nasional, maka nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan dapat ditingkatkan, karena nilai-nilai karakter yang ada dalam teks tersebut dapat dengan mudah dijelaskan dan dipahami.

Secara teoritis, tulisan ini dapat memberikan pemahaman tentang teks sastra yang bertema religi, terutama mengenai amanat yang terkandung di dalamnya. Secara praktis, tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan sehingga dapat membantu dalam meningkatkan keberhasilan pendidikan nasional, mengingat pendidikan karakter sudah menjadi bagian dari pendidikan nasional di Indonesia. Kata kunci: Nilai-nilai karakter, pendidikan nasional,teks religi

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang sangat signifikan dewasa

ini mengingat pendidikan karakter merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila

dan pembukaan UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh realita permasalahan

kebangsaan saat ini, seperti bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Hal ini sangat relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional,

seperti yang dijabarkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003. Di sini disebutkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional/UUSPN

Page 291: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

280 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab (cf. Dewi Yulianti, 2016:6).

Teks sastra The History of The Life of Ajamila terdapat dalam kitab Srimad

Bhagavatam skanda 6 Bab 1. Teks ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran

dalam pendidikan karakter, karena teks ini mengandung nilai-nilai moral yang

dapat dijadikan pedoman dalam pendidikan karakter. Dengan analisis nilai-nilai

karakter dalam teks tersebut serta hubungannya dengan pendidikan nasional, maka

nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan dapat ditingkatkan,

karena nilai-nilai karakter yang ada dalam teks tersebut dapat dengan mudah

dijelaskan dan dipahami.

Berdasarkan uraian di atas, ada dua pokok bahasan yang diulas dalam paper

ini, yaitu (a) nila-nilai karakter apakah yang terdapat dalam teks The History of The

Life of Ajamila dan (b) bagaimanakah hubungan nilai-nilai karakter tersebut dengan

pendidikan nasional.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang

mencakuptiga tahapan, yakni (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis data,

dan (3) tahap penyajian hasil analisis.Objek penelitian ini berupa teksberbahasa

Inggris “The History of the Life of Ajamila”.Data yang berupa nilai-nilai karakter

baik positif dan negatif dalam teks dikumpulkan dan dianalisis untuk menentukan

hubungannya dengan pendidikan nasional.

Hasil analisis disajikan secara deskriptif. Penelitian ini lebih menekankan

pada kegiatan mengumpulkan dan mendeskripsikan data kualitatif, sehingga

penelitian ini dapat disebut penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif yang

menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan analisis

kualitatifnya (Sutopo, 2004:48).

PEMBAHASAN

Page 292: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 281

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Nilai-Nilai Karakter dalam Teks The History of The Life of Ajamila

Teks sastra The History of The Life of Ajamilaterdapat dalam kitab Srimad

Bhagavatam skanda 6Bab 1. Teks ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran

dalam pendidikan karakter. Sebelum mengulas nilai-nilai karakter yang terdapat di

dalamnya, maka perlu dijelaskan alur cerita dari teks tersebut. Adapun alur cerita

dari teks tersebut adalah sebagai berikut.

Teks ini menceritakan tentang Ajamila seorang laki-laki yang dilahirkan

disebuah kota yang dikenal sebagai Kanyakubja dan menikah dengan seorang

prostitusi sehingga dia kehilangan sifat-sifat kebrahmanaannya karena

pergaulannya dengan wanita tersebut. Ajamila selalu membuat masalah dengan

orang lain. Merampok, menipu dan mencuri milik mereka. Dengan cara demikian

dia menghidupi dan memelihara anak-anak dan istrinya. Walaupun Ajamila lahir

dari ayah seorang brahmana yang sangat ketat mengikuti prinsip-prinsip darma

seperti tidak makan daging (daya), tidak melakukan hubungan sex yang

menyimpang (saucam), tidak mabuk-mabukan (tapa), dan tidak berjudi (satya),

namun demikian dia jatuh cinta dengan seorang prostitusi, sehingga dia kehilangan

kualitas yang baik dalam dirinya. Tatkala seseorang meninggalkan prinsip-prinsip

yang sesuai dengan kitab suci, dia akan menyibukkan dirinya dalam kegiatan yang

penuh dosa.

Prinsip-prinsip aturan kitab suci menempatkan seseorang dalam standar

kehidupan manusia yang sesungguhnya. Tetapi, jika prinsip-prinsip aturan tersebut

ditinggalkan, maka manusia akan jatuh kedalam kehidupan yang penuh dengan

hayalan atau maya. Jika ingin maju dalam kehidupan spiritual, manusia harus

mengikuti prinsip-prinsip aturan dan membebaskan diri dari kesalahan kehidupan

masa lampau dan masa sekarang. Hanya orang yang bebas dari segala jenis reaksi

kegiatan yang berdosa dan menyibukkan dirinya dalam kegiatan yang saleh akan

sepenuhnya bisa mengerti tentang Tuhan. Mereka yang bertindak dalam kegiatan

yang penuh dosa dan begitu terikat akan kenyamanan secara badan tidak akan bisa

berada dalam keinsafan diri yang rohani.

Kesalahan dari hubungan yang tidak benar dengan lingkungan akan

menghancurkan kualitas dari sifat-sifat baik dalam diri seseorang. Ajamila

meninggalkan segala jenis prinsip-prinsip aturan akibat pergaulannya dengan

Page 293: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

282 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

seorang prostitusi. Dia menjadi seorang penipu dan pencuri. Seseorang yang

bertidak tanpa dilandasi dengan kejujuran akan mendapat hukuman. Dia boleh lepas

dari hukum raja atau pemerintah, tapi dia tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Kitab

suci menyatakan bahwa orang yang seperti itu sedang menipu kebahagiaannya

sendiri.

Ajamila menjadi orang yang sangat berdosa dalam hidupnya. Dia

menghidupi keluarganya dengan cara yang penuh dosa. Ajamila memiliki sepuluh

anak dan anak yang paling kecil diberi nama Narayana (nama lain Sri Wisnu).Dia

sangat menyayangi putra bungsunya dan bahkan sangat terikat dengannya. Dia

tidak bisa berpisah sesaatpun dari anaknya yang paling kecil ini. Pada saat

kematiaan menjemputnya dia selalu memanggil nama Narayana sehingga para

Wisnu-duta yang cemerlang datang menjemputnya. Semestinya orang yang dalam

hidup yang penuh dosa selalu ditangani oleh para Yama-duta yang sangat

menyeramkan dan menakutkan. Karena Ajamila selalu memanggil nama Narayana,

yang datang menjemputnya adalah para Wisnu-duta. Itulah kekuatan pengucapan

nama suci Tuhan, yang bisa membebaskan orang yang sangat berdosa sekalipun

dari kehidupan neraka

Nilai-nilai karakter

Nilai-nilai karakter yang ditemukan dalam teks The History of the Life of

Ajamila yaitu adalah sebagai berikut.

Pergaulan

Pergaulan sangat penting dalam membentuk karakter mental yang

baiksehingga dengan mental yang baik seseorang akan berpikir, berkata dan

bertindak dengan baik. Jika seseorang mendapatkan pergaulan yang buruk dia akan

kehilangan kualitas baik dalam dirinya dan mewujudkan tindakan yang buruk,

karena dalam diri seseorang selalu ada sifat baik dan sifat buruk.

Disiplin

Berdisiplin diri sangat penting dalam kehidupan untuk bisa belajar tunduk

hati dalam mematuhi dan menghormati aturan dan peraturan.Mematuhi aturan dan

peraturan yang ada dalam kitab suci sangat penting agar dapat terhindar untuk

Page 294: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 283

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bertindak dalam kegiatan yang berdosa, karena kitab suci merupakan sumber

kebenaran dari hukum Tuhan.

Kejujuran (satya)

Kejujuran sangat diperlukan untuk menuju sifat-sifat kebaikan dalam

kehidupan ini. Tanpa ada kejujuran, manusia selalu menjauh dari sifat-sifat

kebaikan, dan dekat dengan sifat-sifat menipu, mencuri, merampok, korupsi dan

dengan menghalalkan segala cara diluar etika dan moral.

Kasih sayang (daya)

Kasih sayang sangat diperlukan dalam menuju sifat yang harmonis.Tanpa

ada kasih sayang tidak akan ada kesimbangan. Karena dengan adanya kasih sayang

seseorang tidak akan mengeluarkan kata-kata kebencian, fitnah dan penghinaan,

tidak akan ada pembunuhan dan menyakiti mahluk lain sehingga terwujud dalam

bentuk tri hita karana, yaitu hubungan harmonis dengan mahluk hidup, dengan

lingkungan dan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Karena dengan kasih sayang

keserasian dan keharmonisan akan terwujud.

Kesederhanaan(tapa)

Kesederhanaan sangat diperlukan untuk mencapai kedamaian dalam hidup,

karena tanpa kesederhanaan seseorang akan selalu mengejar keinginannya yang

tidak ada batasnya. Karena pengertian kesederhanaan(tapa) adalah kita membatasi

keinginan didalam mencapai kenikmatan indria-indria material.

Kesucian (saucam)

Segala tindakan dan kegiatan yang dilandasi oleh aturan kitab suci disebut

kesucian. Bertindak untuk mengejar kenikmatan material sudah tidak dilandasi

dengan aturan kitab suci, sehingga mengejar kenikmatan material tanpa batas.

Dalam kitab SrimadBhagavatam dijelaskan bahwa kenikmatan tertinggi dalam

kehidupan material adalah hubungan sexual. Dan hubungan sexual yang tidak sah

(ellicit sex) akan menghancurkan nilai kesucian tersebut.

Pelayanan Bhakti

Sebelum diuraikan mengenai bakti, perlu dipahami tentang keinsafan

diri.Keinsafan diri artinya memahami bahwa kita bukanlah badan material ini, kita

adalah jiwa kehidupan (spirit soul) dan kita adalah bagian dan percikan dari Tuhan

yang bersifat kekal, yang mana kedudukan dasar kita adalah pelayan Tuhan yang

Page 295: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

284 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kekal. Jadi hubungan antara Tuhan dan jiwa ini disebut dengan bakti. Karena kita

tahu bahwa kita adalah jiwa yang merupakan bagian dan percikan dari Tuhan,

kedudukan dasar kita yang sesungguhnya adalah pelayan Tuhan yang kekal,

sehingga tujuan hidup kita yang sesungguhnya adalah kembali kepada Tuhan.

Setiap orang seharusnya memiliki kewajiban untuk bertindak melayani dan

mencintai Tuhan, dengan demikian akan mencapai kedamaian hidup yang akan

bermuara dalam kebahagiaan. Karena tidak mungkin orang mencapai kebahagiaan

tanpa ada kedamaian dalam hidupnya.

Hubungan Nilai-Nilai Karakter dalam Teks dengan Pendidikan Nasional

Dengan memberikan pergaulan atau pengajaran yang baik terhadap anak

didik maka akan terwujud sifat-sifat baik dalam diri mereka. Untuk bisa

mengembangkan kualitas yang baik, sehingga tidak ada kesempatan sifat-sifat

buruk tumbuh dan berkembang dalam diri mereka, merupakan hal yang sejalan

dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan dan membentuk watak

dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa.

Berdisiplin diri adalah sangat penting bagi seseorang karena mulai belajar

untuk mencintai dirinya, karena jika sesorang mulai disiplin dalam hidupnya berarti

dia mulai mencintai dirinya. Karena dari mulai mencintai dirinya seseorang akan

mengembangkan cintanya terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan

Tuhan. Wujud cinta terhadap masyarakat, bangsa, negara dan Tuhan adalah dengan

menghormati dan mentaati aturan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh negara

dan kitab suci. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk

watak yang mulia.

Kejujuran (satya), kasih sayang (daya), kesederhanaan (tapa) dan kesucian

(saucam) mewujudkan seseorang dalam sifat-sifat rohani sehingga bisa

membangun hubungan menuju pelayanan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal

ini sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi

anak didik yang menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa.

Page 296: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 285

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pelayanan bakti merupakan hubungan antara Tuhan dengan jiwa yang

dilandasi dengan cinta kasih, karena hubungan ini tidak terkontaminasi oleh sifat-

sifat alam material dan kedudukannya murni, sehingga dapat mewujudkan

kebahagiaan yang rohani.

Fondasi dari pendidikan karakter yang sesungguhnya adalah self-realization

(keinsafan diri). Apabila seseorang tidak memiliki self-realization (keinsafan diri),

ia akan berada dalam keinsafan material yang artinya bahwa ia menganggap dirinya

adalah badan material, yang sepenuhnya berada di bawah kendali sifat keakuan

palsu (false ego). Sifat keakuan palsu ini cendrung mengarahkan seseorang menuju

pada kepuasan indria material, yang mana dirinya akan dikuasai oleh sifat-sifat

nafsu, loba, dan kemarahan dan menjauhkannya dari sifat rendah hati. Hal ini

merupakan pemicu awal kemerosotan moral, yang akan menjauhkannya dari sifat

kejujuran dan rasa tunduk hati, sehingga tidak akan bisa mengembangkan karakter

yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Dewi Yulianti & Putra

Yadnya, 2016:354).

Pendidikan nasional dimaksudkan untuk mengembangkan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.Hubungan nilai-nilai karakter yang

terdapat dalam teks dengan pendidikan nasional adalah sangat erat, bahwa nilai-

nilai karakter yang dimiliki Ajamilayang karena pergaulan dengan karakter kurang

baik, membuat sifat-sifat buruk menguasainya. Namun, walaupun telah terlanjur

dipengaruhi oleh sifat buruk, ketika Ajamila menyerukan nama Tuhan (Narayana),

Tuhan mengampuninya, dan memberikan kesempatan kedua untuk kembali

menjadi karakter mulia yang sesuai dengan ajaran Tuhan.

SIMPULAN

Dari uraian pada bagian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-

hal sebagai berikut.

Page 297: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

286 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(1) Nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks The History of The Life of

Ajamilabahwa pergaulan adalah sangat penting untuk diperhatikan karena untuk

bisa mengembangkan karakter yang baik maka diperlukan pergaulan yang baik.

Berdisiplin diri akan membentuk keyakinan diri sehingga kita bisa

menghormati aturan dan peraturan kitab suci, untuk dapat mengembangkan sikap-

sikap yang tidak melanggar norma-norma sehingga terhindar dari prilaku yang

berdosa.

Kejujuran, kasih sayang, kesederhanaan dan kesucian adalah sifat-sifat

mulia yang mewujudkan seseorang dalam keinsafan diri, sehingga dapat mengenali

siapa dirinya, siapa Tuhan dan bagaimana hubungan antara jiwa dengan Tuhan, dan

bagaimana seharusnya bertindak menurut kedudukannya.

Pelayanan bakti merupakan hubungan cinta kasih dengan Tuhan Yang

Maha Esa yang tidak dipengaruhi oleh sifat-sifat alam material seperti satvam,

rajas dan tamas

(3) Hubungan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks dengan pendidikan

nasional sangatlah erat, karena semua karakter dalam teks seperti pergaulan yang

baik, disiplin diri, kejujuran, kasih sayang, kesederhanaan, kesucian dan pelayanan

bakti semuanya sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi Yulianti, N.K.& Putra Yadnya, IB. 2016. Self-Realization sebagai Fondasi Pendidikan Nasional.Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar: 29-30 Juli.

Dewi Yulianti, N.K.2016. “Aspek Stilistika dalam Teks Srimad Bhagavatam:

Kajian Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Kemendiknas. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Jakarta. Prabhupada, A.C.1993. Srimad Bhagavatam. Sixth Canto(English). Los Angeles:

The Baktivedanta Book Trust. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya

dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Page 298: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 287 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

IMPLEMENTASI BAHASA JAWA KUNA PADA NAMA-NAMA

ORGANISASI KEPEMUDAAN DI KOTA DENPASAR

Oleh:

Ni Ketut Ratna Erawati, I Made Wijaya, Komang Paramartha, I Ketut Nuarca

Program Studi Sastra Jawa Kuno

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

E-mail: [email protected]

Abstrak

Secara historis, bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa yang umum digunakan selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa Kuna diperkirakan berkembang dari abad IX-XV. Kedatangan agama Islam memecahkan kesatuan kultural itu menjadi dua bagian yang berbeda dan tercermin dalam bidang linguistik. Sejak saat itu bahasa Jawa Kuna mengalami divergensi, di satu pihak menumbuhkan bahasa Jawa Pertengahan dan di pihak lain menumbuhkan bahasa Jawa Modern.

Ekspedisi Majapahit melawan Bali menyebabkan keraton-keraton di Bali mengalami proses “jawanisasi” yang sistematis. Di satu sisi proses “balinisasi” semakin meningkat di kalangan keraton-keraton itu sendiri. Terbaurnya dua aliran yang sama-sama berkembang, yakni “jawanisasi dan balinisasi” menyebabkan kontak bahasa di antara masyarakatnya tidak terhindarkan. Akulturasi budaya dan bahasa tersebut didukung oleh sikap bahasa masyarakat Bali waktu itu. Masyarakat Bali yang memiliki sifat permisif sangat menghargai bahasa pendatang saat itu. Perkembangan bahasa Bali yang begitu cepat tidak semata-mata bahasa yang lama akan tergerus begitu saja. Namun, masyarakat Bali masih menggunakan bahasa Jawa Kuna hingga saat ini dalam ranah terbatas.

Secara kasat mata, leksikon bahasa Jawa Kuna banyak ditemukan dalam penamaan organisai sosial, misalnya, kelompok pesantian, sekaa taruna-taruni, dan sebagainya. Hasil yang didapatkan, yaitu bentuk dan struktur bahasa Jawa Kuna dalam penamaan organisasi kepemudaan, yaitu berpola utuh bahasa Jawa Kuna dan berpola campuran. Kata Kunci: implementasi, warisan, leksikon, struktur

PENDAHULUAN

Bahasa Jawa Kuna (selanjutnya disingkat BJK) termasuk salah satu bahasa-

bahasa Nusantara dan merupakan suatu subbagian dari kelompok bahasa

Austronesia. Zoetmulder (1985) mengatakan bahwa BJK menduduki tempat

teristimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad IX dan X jika

Page 299: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

288 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dibandingkan dengan karya sastra Melayu yang tertulis dan tertua sekitar tahun

1600. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa titik awal BJK adalah abad IX dan

melampaui suatu perkembangan berabad-abad serta memperlihatkan segala sifat

pokok yang merupakan ciri khas bagi BJK sampai abad XV. Berdasarkan hasil

karya sastra tersebut, BJK diperkirakan berkembang dari abad IX--XV. Pada saat

itu BJK digunakan sebagai alat komunikasi secara aktif oleh masyarakat Jawa dan

dipakai sebagai bahasa pengantar dalam bidang administrasi negara. Uhlenbeck

(1964: 108) mengatakan bahwa BJK berkembang pesat sebelum masuknya agama

Islam.

Secara historis, BJK merupakan bahasa yang umum digunakan selama

periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Kedatangan agama

Islam memecahkan kesatuan kultural itu menjadi dua bagian yang berbeda dan

tercermin dalam bidang linguistik. Sejak saat itu BJK mengalami divergensi, di satu

pihak menumbuhkan bahasa Jawa Pertengahan dan di pihak lain menumbuhkan

bahasa Jawa Modern. Secara geografis, kedua bahasa itu terpisah dan hanya di

sana-sini terikat satu sama lain, masing-masing dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

berbeda pula. Divergensi tersebut semakin jelas karena terdapat suatu perbedaan

khas dalam iklim religius dan kultural, yaitu (1) antara dunia Jawa-Bali dengan

pengaruh India yang tetap terasa dan bidang religius di Jawa sendiri, khususnya di

Jawa Tengah, sebagai tempat agama/orang-orang Islam memperkenalkan ide-ide

yang baru, dan (2) gejala ini sering terungkapkan dalam istilah-istilah yang

dipinjam dari suatu bahasa baru. Pada saat itu bahasa Arab menggantikan

kedudukan bahasa Sanskerta sebagai pengaruh utama terhadap bahasa pribumi

(Zoetmulder, 1985: 35).

Berdasarkan ekspedisi Majapahit melawan Bali pada tahun 1343

menyebabkan kekalahan raja utama di Bali, sehingga kerajaan itu harus tunduk

kepada Majapahit. Sejak pemerintahan Raja Erlangga, Bali semakin dipengaruhi

dan menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Suatu wangsa Jawa mendirikan

keratonnya di Samprangan di wilayah Bali Selatan bagian tengah. Keraton tersebut

kemudian dipindahkan ke Gelgel dan keluarga-keluarga berikutnya memerintah di

kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Mereka membanggakan diri bahwa mereka adalah

bangsawan-bangsawan Jawa yang turut dalam ekspedisi itu. Sejak itulah keraton-

Page 300: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 289

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

keraton di Bali mengalami proses “jawanisasi” yang sistematis. Demikian pula

sebagian masyarakat Bali berhubungan dengan kehidupan di keraton-keraton itu.

Di sisi lain proses “balinisasi” semakin meningkat di kalangan keraton-keraton itu

sendiri. Ketika keadaan di Jawa sendiri berubah dan pengaruh Jawa semakin pudar

dan terputus pula, Terputus dan pudarnya pengaruh Jawa melahirkan keanekaan

bentuk kebudayaan yang meriah seperti yang diwarisi hingga kini (Zoetmulder,

1985: 23-24).

Terbaurnya dua aliran yang sama-sama berkembang, yakni “jawanisasi dan

balinisasi” menyebabkan kontak bahasa di antara masyarakatnya tidak

terhindarkan. Bahasa yang diwarisi saat ini hanyalah bahasa karya sastra, yaitu

karya sastra Jawa Kuna. Karya sastra itu dipelajari dan dipahami oleh masyarakat

Bali. Dengan pelajaran dan pemahaman bahasa Jawa Kuna, bahasa tersebut

digunakan oleh masyarakat Bali saat ini. Beberapa pakar seni dan budaya

mengatakan bahwa BJK ini masih digunakan secara aktif pada ranah seni

pertunjukan, ranah agama, ranah formal, seperti rapat adat di masyarakat, dan lain

sebagainya (lihat juga Dibia, 2012; Duija, 2012). Akulturasi dua budaya dan bahasa

tersebut sangat didukung oleh sikap bahasa masyarakat waktu itu. Sikap bahasa

adalah keadaan jiwa perasaan seseorang terhadap bahasanya sendiri atau bahasa

orang lain. Masyarakat Bali yang memiliki sifat permisif sangat menghargaai

bahasa pendatang saat itu.

Perkembangan bahasa Bali yang begitu cepat tidak semata-mata bahasa

yang lama akan tergerus begitu saja. Namun, masyarakat Bali masih menghargai

dan menggunakan bahasa Jawa Kuna hingga saat ini. Secara kasat mata, leksikon

bahasa Jawa Kuna dapat di amati penggunaannya di masyarakat Bali dalam ranah-

ranah tertentu. Salah satu ranah penggunaan BJK tampak dalam penggunaan

kelompok organisasi sosial di masyarakat Bali. Oleh karena itu, sangat penting

dibahas leksikon-leksikon BJK yang digunakan sebagai nama-nama organisasi

kepemudaan di Kota Denpasar. Uraian di atas mengindikasikan bahwa ada masalah

yang perlu mendapat klarifikasinya. Masalah yang dibahas diformulasikan dalam

bentuk pertanyaan yaitu; Bagaimanakah struktur dan makna leksikon BJK dalam

nama-nama oragnisasi kepemudaan di Kota Denpasar?

Page 301: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

290 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan,

yaitu: Mendeskripsikan struktur dan makna leksikon-leksikon BJK pada

organisasi kepemudaan di Kota Denpasar. Selanjutnya, manfaat penelitian ini

secara umum adalah untuk menata, mengembangkan, dan melestarikan warisan

budaya yang direalisasikan dalam bentuk-bentuk BJK yang digunakan oleh

masyarakat Bali saat ini. Sementara, manfaat khusus penelitian ini adalah

merestorasi warisan BJK menjadi milik masyarakat Bali.

Penulisan makalah ini didukung oleh beberapa artikel yang mengkaji

tentang bahasa Jawa Kuna di Bali. Artikel yang dimaksudkan, yaitu: (1) Bandana

(2012) dalam tulisannya berjudul ‘Bahasa Jawa Kuna dan Saskerta dalam Wacana

pembakaran dan Penguburan Jenazah di Bali’(2012). (2) Budiasa (2012) dalam

artikelnya ‘Kalangwan Ungkapan bahasa Jawa Kuna dalam Lakon Wayang Kulit

Bali’ (2012). (3) Erawati (2012) dalam artikelnya ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Karya

sastra Bali Klasik: Sekadar Contoh dalam Parikan Bubuksah Gagangaking. (2012).

(4) Erawati (2015) menulis artikel pada jurnal nasional terakreditasi Pusat Kajian

Bali (UNUD) yang berjudul “Eksistensi dan Dinamika Kosa Kata Bahasa Jawa

Kuna pada Masyarakat Bali Masa Kini”. (5) Mastuti (2012) dalam artikel berjudul

‘Bahasa Jawa Kuna dalam Diplomasi Kebudayaan Pra-Indonesia’ (2012).

Penulisan artikel ini didukung oleh konsep-konsep, yaitu: leksikal, warisan

dan pelestarian budaya. Istilah leksikal berkaitan dengan leksem, kata-kata, dan

leksikon. Leksem merupakan satuan leksikal dasar yang abstark yang mendasari

pelbagai bentuk inflektif suatu kata. Kata-kata atau frasa merupakan satu kesatuan

bermakna. Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi

tentang makna dan pemakaiakan kata dalam bahasa; perbendaharaan kata yang

dimiliki seorang pembicara; daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan

penjelasan yang singkat dan khusus (Kridalaksana, 1984). Warisan dan pelestarian

budaya adalah benda atau atribut tak berbenda yang merupakan jati diri suatu

masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya, yang

dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang. Warisan budaya dapat

berupa benda, seperti monumen, artefak, dan kawasan, atau tak benda. Warisan

budaya Bali masih banyak yang belum mendapat perhatian, salah satunya adalah

warisan budaya yang berupa naskah dari daun lontar. Seperti yang diungkapkan

Page 302: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 291

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan, dan

Kebudayaan atau UNESCO. Warisan budaya yang telah diwariskan oleh generasi

tertua kita merupakan warisan yang tak ternilai. Oleh karena itu, pelestarian

budaya sangatlah penting khususnya budaya lokal. Warisan yang telah kita miliki

tetap diupayakan untuk dilestarikan agar nilai-nilai yang sudah tertanam pada

masyarakat sejak lama dipergunakan sebagai pembelajaran generasi berikutnya.

Dengan pelestarian budaya warisan budaya tersebut tetap ada ditengah era zaman

modern.

METODOLOGI

Metode penelitian merupakan cara dan proses melakukan penelitian. Di

dalamnya tercakup bahan atau materi penelitian, variabel, dan data yang harus

disediakan sebagai bahan analisis. Untuk itu, secara operasional pelaksanaan

penelitian ini dibagi menjadi subbab, yaitu sumber data, metode penyediaan data,

metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis. Sumber data merupakan

tempat di mana data-data penelitian dapat diperolehnya. Dengan demikian, sumber

data dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sumber data lisan dan tulis. Sumber

data tertulis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber

data sekunder. Data primer merupakan data yang secara langsung diambil dari

sumber asli atau teks (Nazir, 1988:111; Sarwono, 2006: 129). Sebaliknya, data

sekunder diambil dari penelitian-penelitian yang telah ada dan hanya digunakan

sebagai tambahan variasi sehingga dapat menunjang sempurnanya penelitian ini.

Terkait dengan penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer.

Di dalam penyediaan data digunakan metode simak. Metode simak

diartikan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak di sini berkaitan dengan

penggunaan bahasa secara tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud

teknik sadap (Mahsun, 2005: 90--93). Metode tersebut dibantu dengan teknik

catat,teknik pengartuan, transkripsi, sehingga didapatkan data yang sahih

(Sudaryanto, 1993, Mahsun, 1995; 2005). Sarwono (2006); Creswell (2009)

menyebutnya dengan istilah koleksi data.

Metode yang digunakan dalam analisis data, yakni metode padan

intralingual. Konsep padan mengandung makna adanya keterhubungan, sebagai

Page 303: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

292 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

hal menghubung-bandingkan sedangkan intralingual mengacu pada unsur-unsur

yang berada dalam bahasa (bersifat lingual). Dengan demikian, metode padan

intralingual merupakan cara analisis yang diterapkan dengan menghubung-

bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa

maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Metode tersebut dibantu dengan

teknik, HBS, HBB, dan teknik hubung-banding menyamakan hal pokok (Mahsun,

2005: 111--113; bandingkan dengan Djajasudarma (1993); Sudaryanto (1993).

Teknik lainnya, yaitu permutasi, substitusi, delisi, ekspansi. Penggunaan teknik-

teknik ini bertujuan untuk mengetes kegramatikalan suatu konstruksi.

Hasil analisis disajikan dalam dua cara, yaitu (a) perumusan dengan kata-

kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis dan (b)

perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang tertentu.

Kedua cara itu disebut dengan metode informal dan metode formal (Mahsun, 2005:

116, lihat juga Sudaryanto, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Contoh Penggunaan BJK pada organisasi Kepemudaan

Data 1

Page 304: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 293

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Data 2

Kedua contoh di atas menampilkan kata dharma ‘kebenaran, kebajikan’.

Kata dharma merupakan leksikon asli BJK. Dalam pembentukan istilah kata-kata

itu sering digabungkan sehingga membentuk kelompok kata, baik yang berupa kata

majemuk, aneksi, atau pun sebuah frasa. Misalnya, yowana dharma laksana

‘remaja berperilaku baik’, dharma puspita ‘berkembang baik’. Bentuk-bentuk

tersebut adalah frasa-frasa bahasa Jawa Kuna. Jadi leksikon-leksikon tersebut

digunakan secara utuh dalam pembentukan suatu nama organisasi kepemudaan.

Dalam kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali, kata dharma tidak diserap

secara utuh, melainkan diserap dengan penyesuaian ejaan bahasa Bali, yaitu darma.

Seperti, darma wacana, darmatula, darmaputra, darmagita, dan sebagainya.

Data 3

Data 3 di atas menunjukkan kelompok kata yowana kajana loka ‘remaja

termasyur’. Kelompok kata tersebut adalah kelompok kata berpa frasa. Kata

Page 305: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

294 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yowana ’remaja’, jana ‘orang/manusia’, loka ‘bumi/dunia’. Sesungguhnya, kata

kajanaloka dalam kamus Jawa Kuna-Indonesia tidak ditemukan. Artinya, secara

morfologis bentuk kajanaloka tidak gramatikal. Bentuk yang gramatikal dalam

bahasa Jawa Kuna adalah kata kajanalokan ‘perihal orang-orang dunia’, yang

dibentuk oleh konfiks ka-an + jana loka, Prefiks ka- dalam BJK adalah pasif

impersonal yang hanya dapat berdistribusi dengan kata-kata verbal. Sementara,

dalam bahasa Bali kata janaloka ‘orang dunia/orang banyak’ dibubuhkan bentuk

ka- sehingga terbentuk kajanaloka ‘terkenal’. Kalau ditelusuri kata kajanaloka,

sesungguhnya mengandung makna lokatif (menuju orang-orang dunia/masyarakat

luas). Orang yang sering bertemu masyarakat luas niscaya akan menjadi dikenali

oleh orang-orang/masyarakat. Dengan demikian, kata kajanaloka merupakan

bentuk trasposisi dari nomina menjadi kategori verba, yaitu verba pasif impersonal

dalam masyarakat penutur bahasa Bali dan mengandung makna terkenal atau

termasyur.

Data 4

Contoh selanjutnya pada data 4, nama organisasi kepemudaan Wirasantana.

Secara bentuk linguistik, bentuk wirasantana terdiri atas bentuk wira ‘lelaki yang

bernai, pahlawan, pejuang, prajurit yang gagah berani’ dan santana ‘keturunan’.

Kedua bentuk itu memiliki kepaduan yang sangat rapat, sehingga bentuk tersebut

tidak bisa dipertukarkan. Bentuk tersebut adalah sebuah aneksi. Jadi bentuk

wirasantana bermakna generasi pemberani. Dalam penggunaan oleh masyarakat

Bali, kata-kata/leksikon bahasa Jawa kuna tersebut digunakan secara utuh, baik

Page 306: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 295

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bentuk maupun maknanya. Berdasarkan wawancara beberapa pemuda di kota

Denpasar dikatakannya bahwa penggunaan kata-kata tersebut lebih berkharisma,

enak didengar dan dilihat karena mengandung nilai kesantunan jika dibandingkan

dengan kata-kata yang lainnya.

Contoh lainya, yaitu: ST. Yowana Werdhi ‘generasi penerus’ Br. Batan

Buah; ST. Dharma Bakti Yowana ‘remaja taat kebenaran’ Br. Kertalangu; ST.

Yowana Dharma Putra ‘Remaja putra yang baik’ Br. Kertagraha; ST. Putra

Kencana ‘anak emas’ Br. Dauh Tangluk; ST. Yowana Dharma ‘kewajiban remaja’

Br. Buaji Anyar; ST. Dharma Sattwika ‘ kebaikan(yang) unggul’ Br. Kebonkuri;

ST. Dharma Kanti ‘teman baik’ Br. Kebonkuri Kelod; ST. Dharma Shanti ‘benar

(itu) damai’ Br. Biaung; ST. Yowana Dharma Kertih ‘remaja yang terpuji’ Br.

Biaung Asri.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan BJK

pada pembentukan nama-nama organisasi kepemudaan /sekaa Teruna di Denpasar

sangat banyak, baik dalam bentuk utuh mau pun bentuk yang mengalami proses

gramatik pada bahasa Bali. Kata-kata BJK yang paling sering muncul adalah kata

yowana dan dharma. Hal tersebut menandakan bahwa BJK masih dihormati dan

dihargai oleh masyarakat Bali dan terbukti dalam penggunaannya walaupun dalam

ranah yang terbatas. Dengan demikian, dalam bahasa Bali banyak terdapat exo-

glossia.

Tulisan kecil ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik,

saran, dan masukkan sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Sebagai

akhir kata penulis diharapkan makalah kecil ini dapat bermanfaat bagi pencinta

bahasa Jawa Kuna dan masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Bandana, I Gede Wayan Soken.2012. ‘Bahasa Jawa Kuna dan Sanskerta dalam Wacana Pembakaran dan Penguburan Jenazah: Kajian Struktur dan makna’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke

Depan. Denpasar: Cakra Press.

Page 307: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

296 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Budiasa, I Made. 2012. ‘Kalangwan Ungkapan Bahasa Jawa Kuna dalam Lakon Wayang Kulit Bali’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan

Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press. Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: SAGE.

Duija, I Nengah. 2012. ‘Prestise Bahasa Jawa Kuna dalam Adat dan Agama Hindu

di Bali’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke

Depan. Denpasar: Cakra Press. Erawati, Ni Ketut Ratna. 2012. ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Karya Sastra Bali Klasik:

Sekadar Contoh dalam Parikan Bubuksah Gagangaking’ dalam Sastra

Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

Erawati, Ni Ketut Ratna. 2015. “Eksistensi dan Dinamika Kosa Kata bahasa Jawa

Kuna pada Masyarakat Bali Masa Kini. Denpasar: Jurnal terakreditasi Pusat Kajian Bali Universitas Udayana.

Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada. Mastuti, Dwi Woro R. 2012. ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Diplomasi Kebudayaan

Pra-Indonesia’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan

Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press. Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java. Vol. I. Lieden: The Hague. Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Page 308: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 297 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ASPEK BUDAYA POPULER JEPANG DALAM NOVEL TEENLIT

INDONESIA: KAJIAN TERHADAP NOVEL WINTER IN TOKYO KARYA

ILANA TAN

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

Abstrak

Dewasa ini teenlit (teenager literature) sebagai salah satu genre dalam

novel populer mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Tema yang diangkat dalam novel teenlit di Indonesia semakin beragam, termasuk novel teenlit yang mengangkat aspek budaya asing, salah satunya budaya Jepang. Hingga saat ini telah banyak diterbitkan novel teenlit yang mengangkat aspek budaya Jepang yang ditulis pengarang Indonesia, salah satunya novel Winter in Tokyo (2008) karya Ilana Tan. Penelitian ini membahas mengenai aspek budaya populer Jepang dalam novel teenlit Winter in Tokyo. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan metode studi pustaka dan untuk metode analisis data digunakan metode analisis tekstual. Selanjutnya hasil penelitian akan disajikan dalam metode informal. Hasil penelitian menunjukan aspek budaya populer yang terkandung dalam novel Winter in Tokyo adalah 1) Tokyo sebagai aspek budaya populer Jepang; 2) makanan sebagai aspek budaya populer Jepang; 3) karaoke sebagai aspek budaya populer Jepang; dan 4) onsen sebagai aspek budaya populer Jepang. Kata Kunci: budaya populer, novel populer, teenlit, budaya Jepang

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2000-an, teenlit sebagai salah satu genre dalam novel populer

mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Secara etimologi, teenlit berasal dari

akronim bahasa Inggris, yaitu teenager ‘remaja’ dan literature ‘kesusastraan’. Jadi

dapat dikatakan bahwa teenlit merupakan bahan bacaan yang diperuntukan bagi

remaja. Dengan segmen pasar remaja, novel teenlit menyajikan struktur cerita yang

sederhana sehingga tidak membutuhkan perenungan yang mendalam ketika

membaca (Dewojati, 2010:12).

Salah satu tonggak awal kesuksesan dan berkembangnya novel teenlit di

Indonesia adalah novel Dealova (2004) karya Dyan Nuranindya yang diterbitkan

oleh Penerbit Gramedia. Menyusul kesuksesan Dealova, genre dan tema yang

Page 309: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

298 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

diangkat dalam novel teenlit di Indonesia semakin beragam, termasuk novel teenlit

yang mengangkat aspek budaya asing, salah satunya budaya Jepang. Hingga saat

ini telah banyak diterbitkan novel teenlit yang mengangkat aspek budaya Jepang

yang ditulis pengarang Indonesia, salah satunya novel berjudul Winter in Tokyo

karya Ilana Tan.

Novel Winter in Tokyo sesuai dengan judulnya berlatarkan Tokyo dan

distrik di sekitarnya pada musim dingin dengan mengisahkan pencarian cinta gadis

bernama Ishida Keiko yang memiliki darah Indonesia dari kakek pihak Ibu.

Meskipun novel ini ditulis oleh pengarang Indonesia namun di dalamnya memuat

banyak unsur budaya Jepang, khususnya budaya populer Jepang. Budaya populer

sendiri mengacu kepada objek yang disukai oleh banyak orang. Oleh karena itu,

budaya populer disebut juga sebagai mass culture atau budaya massa (Edensor,

2002:13). Di dalam penelitian ini akan dibahas secara lebih mendalam aspek

budaya populer Jepang yang ditampilkan Ilana Tan dalam novel teenlit Winter in

Tokyo.

METODOLOGI

Dalam penelitian ini, metode yang diterapkan pada tahap pengumpulan data

adalah metode kajian pustaka. Metode ini diterapkan untuk mengumpulkan data

dari berbagai bahan cetak, termasuk novel yang menjadi sumber data dalam

penelitian ini. Pada tahap analisis data metodei yang diterapkan adalah analisis

tekstual. Metode ini digunakan untuk menganalisis teks yang didalamnya terdapat

tanda-tanda yang mempunyai makna sehingga akan menghasilkan interpretasi (Ida,

2014:64-71). Untuk penyajian hasil analisis data dilaksanakan dengan metode

informal. Metode informal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan

menggunakan kata-kata yang dibahasakan dengan kata-kata sendiri (Ratna,

2004:50).

PEMBAHASAN

1. Sinopsis Novel Winter in Tokyo

Novel Winter in Tokyo pertama kali diterbitkan pada tahun 2008 dan hingga

November 2017 telah dicetak ulang sebanyak tiga puluh satu kali oleh P.T.

Page 310: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 299

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Gramedia Pustaka Utama. Novel setebal 320 halaman ini juga telah

dialihwahanakan menjadi film dengan judul yang sama, Winter in Tokyo, dan dirilis

pada 11 Agustus 2016. Seperti halnya novel dengan genre teenlit lainnya, Winter

in Tokyo juga mengangkat kisah cinta yang romantis dengan alur cerita yang

sederhana.

Novel ini menceritakan kisah pencarian cinta seorang gadis bernama Ishida

Keiko yang berprofesi sebagai pegawai perpustakaan. Ishida Keiko merupakan

gadis Jepang yang memiliki darah keturunan Indonesia dari kakek pihak Ibu. Di

dalam novel diceritakan bahwa Ishida Keiko sangat ingin untuk dapat bertemu

kembali dengan cinta pertama yang ditemuinya saat Sekolah Dasar, yaitu Kitano

Akira. Akan tetapi, ketika akhirnya dapat bertemu dan menjalin kedekatan dengan

cinta pertamanya, Ishida Keiko justru menyadari bahwa dia lebih mencintai laki-

laki lain, yaitu Nishimura Kazuto.

2. Aspek Budaya Populer Jepang dalam Novel Winter in Tokyo

Berikut akan dibahas mengenai aspek budaya populer Jepang yang

ditampilkan dalam novel Winter in Tokyo sebagai berikut.

a. Tokyo Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang

Novel Winter in Tokyo sebagian besar mengambil latar di Tokyo serta

distrik di sekitarnya. Tokyo yang secara harfiah bermakna ibu kota yang terletak di

timur selain merupakan pusat ekonomi dan politik juga menjadi pusat

perkembangan budaya, termasuk budaya populer Jepang. Beberapa distrik yang

berada di Tokyo, seperti Shinjuku dan Shibuya menjadi ikon budaya populer

Jepang. Berikut akan ditampilkan data dalam novel Winter in Tokyo yang

menunjukan Tokyo dan wilayah di sekitarnya sebagai latar tempat utama dalam

novel ini.

(1) Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di Shinjuku dan ia sangat menyukai pekerjaannya (Winter in Tokyo, 2017:10).

(2) Sato Haruka berumur 28 tahun – tiga tahun lebih tua daripada Keiko –

dan bekerja sebagai piñata rambut di Harajuku (Winter in Tokyo, 2017:11).

(3) “Kenapa kau kembali ke Jepang?” Tanya Keiko ketika mereka berdiri dalam kerumuman pejalan kaki di pinggir persimpangan Shibuya yang

Page 311: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

300 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terkenal ramai, menunggu lampu lalu lintas berubah warna (Winter in

Tokyo, 2017:47).

Data (1) menunjukan latar tempat, yaitu Shinjuku, sebagai salah satu distrik

di Tokyo. Shinjuku menjadi lokasi tempat perpustakaan tokoh Ishida Keiko

bekerja. Shinjuku merupakan pusat hiburan, bisnis, dan area perbelanjaan. Daerah

hiburan malam yang terkenal di Jepang, yaitu Kabukicho, juga berlokasi di

Shinjuku.

Daerah lain di Tokyo yang menjadi latar dalam novel ini adalah Harajuku,

data (2). Harajuku mengacu kepada area di sekitar stasiun Harajuku. Area ini

menjadi pusat budaya populer karena memiliki banyak toko-toko pakaian dengan

gaya khas Jepang, bahkan menimbulkan istilah gaya berpakaian Harajuku style.

Pada data (3) ditampilkan distrik lainnya di Tokyo, yaitu Shibuya. Shibuya

merupakan pusat perbelanjaan yang memiliki banyak department store besar serta

beragam restoran dan pusat wisata kuliner. Shibuya juga merupakan pusat mode

dan budaya anak muda Jepang yang identik dengan budaya populer Jepang. Salah

satu landmark yang menonjol dari Shibuya adalah persimpangan besar yang

ditampilan dalam data (3). Persimpangan ini dihiasi oleh iklan neon dan layar video

raksasa dan dibanjiri oleh pejalan kaki .

b. Makanan Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang

Makanan Jepang dewasa ini semakin memperoleh popularitas di berbagai

belahan dunia, termasuk di Indonesia. Meskipun ditulis oleh pengarang yang

merupakan orang Indonesia, dalam novel Winter in Tokyo juga menampilkan

beragam produk makanan Jepang, seperti data berikut.

(4) “Hari ini kita tidak jadi makan gado-gado”, kata Keiko sambil berputar kea rah Kazuto. Tanpa menunggu jawaban ia melanjutkan, “Tadi aku ketemu nenek Ozawa di bawah. Beliau masak shabushabu dan kita disuruh ikut makan bersama. Dan ngomong-ngomong, kau punya sake? Persediaan sake kakek sudah habis. Aku disuruh minta padamu, makanya langsung kesini begitu pulang (Winter in Tokyo, 2017:76).

(5) “Kurasa udon nya yang paling terkenal di sini”, sahut Akira, lalu

mengulurkan tangan ke seberang meja untuk menunjuk salah satu jenis udon yang tertulis di menu Keiko (Winter in Tokyo, 2017:213).

Page 312: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 301

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Salah satu makanan Jepang yang ditampilkan adalah shabushabu, data (4).

Shabushabu merupakan irisan daging sapi yang sangat tipis yang dicelupkan ke

dalam kuah panas selama tiga hingga empat menit hingga warna daging berubah

dan dimakan dengan saus yang disebut gomadare (Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K.

2008: 127). Selain shabushabu pada data (5) menampilkan makanan Jepang

lainnya, yaitu udon. Udon merupakan jenis mie yang terbuat dari tepung gandum

dan pada mulanya populer di Jepang bagian barat, termasuk Kyoto dan Osaka

(Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K. 2008: 124). Selain makanan, minuman beralkohol

Jepang yang dibuat dari fermentasi beras, yaitu sake juga ditampilkan pada data (4).

c. Karaoke Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang

Karaoke merupakan salah satu produk budaya populer Jepang yang dewasa

ini tidak hanya populer di Jepang tetapi telah menyebar ke berbagai belahan dunia.

Karaoke pada mulanya bentuk hiburan yang populer di kalangan salarymen

‘karyawan perusahaan di Jepang’. Bernyanyi sambil memegang microphone

memberikan fantasi bernyanyi layaknya penyanyi profesional di atas panggung

(Sugimoto, 2004:252). Karaoke sebagai aspek budaya populer Jepang juga

ditampilkan dalam novel Winter in Tokyo sebagai berikut.

(6) “Malam ini tidak bisa”, kata Keiko setelah berpikir sesaat. “Seorang rekan kerjaku berulang tahun dan dia mengajak kami pergi makan dan karaoke. Aku sudah janji akan ikut” (Winter in Tokyo, 2017:24)

Data (6) menunjukan bahwa karaoke menjadi aktifitas hiburan yang populer

di kalangan para pekerja di Jepang selepas mereka bekerja maupun untuk

merayakan suatu hal.

d. Onsen Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang

Onsen merupakan pemandian air panas yang menjadi salah satu bentuk

hiburan dan relaksasi yang populer dalam budaya Jepang. Dewasa ini onsen dengan

lokasi yang terpencil dan berlokasi di tempat yang memiliki pemandangan alam

yang indah menjadi hal yang sangat populer di Jepang (Sugiura, Y. dan Gillespie,

J.K. 2008: 220). Onsen sebagai salah satu aspek budaya populer Jepang juga

ditampilkan dalam novel Winter in Tokyo, sebagai berikut.

Page 313: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

302 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(7) “ Akhir pekan ini kami akan pergi ke resor ski. Sudah lama aku tidak

main ski dan mereka juga bilang mau pergi ke onsen.” Suara Yuri yang riang terdengar dari pengeras suara di ponsel Kazuto. (Winter in Tokyo, 2017: 207).

SIMPULAN

Novel teenlit Indonesia yang berjudul Winter in Tokyo karya Ilana Tan yang

berlatarkan budaya Jepang menampilkan aspek budaya populer Jepang, diantaranya

adalah Tokyo sebagai latar utama dalam novel ini merupakan representasi dari

budaya populer Jepang karena Tokyo dan distrik di sekitarnya menjadi pusat dan

ikon perkembangan budaya populer Jepang. Selain itu, dalam novel ini juga

menampilkan aspek budaya populer Jepang lainnya, yaitu makanan, karaoke, dan

onsen.

DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer

Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Edensor, Tim. 2002. National Identity, Popular Culture, and Everyday Life. Oxford: Berg.

Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada Media Group.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari

Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugimoto, Yoshio. 2003. An Introduction to Japanese Society. Cambridge: Cambridge University Press.

Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K. 2008. A Bilingual Handbook of Japanese Culture. Tokyo: Natsume Sha

Page 314: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 303 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

IDEOLOGI MULTIKULTURALISME SEBAGAI LANDASAN

HUBUNGAN YANG HARMONIS ANTARA ORANG BALI DAN CINA DI

DESA PAKRAMAN DI BALI

Ni Luh Sutjiati Beratha

Email: [email protected]

Abstrak

Indonesia sebagai negara yang berazaskan Bhinneka Tunggal Ika telah memberlakukan hukum yang menempatkan semua warga negara pada posisi yang sejajar. Dengan demikian, di negeri ini semestinya dapat diwujudkan kehidupan masyarakat yang multikultural dengan baik berdasarkan ideologi multikulturalisme. Hubungan orang Bali dengan orang Cina di Bali telah lama berlangsung tanpa persoalan (konplik), atau menunjukkan hubungan yang relatif harmonis. Perkawinan campuran antara mereka telah terjadi, orang Cina di Bali yang menjadi anggota Desa Pakraman. Di berbagai daerah di Indonesia orang Cina sering menjadi sasaran berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang bukan Cina. Makalah ini akan menguraikan tentang kebersamaan orang Bali dan Cina di Bali di Desa Pakraman.

Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode kualitatif, karena metode ini memberikan penekanan pada aspek pemahaman. Penerapan metode ini diwujudkan melalui penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, penentuan teknik pengumpulan data, dan penentuan model analisis data.

Kebersamaan orang Bali dan Cina di Desa Pakraman dilatari oleh orang Bali di satu pihak berkepentingan untuk memperoleh dukungan dari orang Cina untuk menguatkan Desa Pakraman sebagai modal budaya sekaligus simbol identitas mereka. Di pihak lain, orang Cina ingin memperoleh dukungan dari orang Bali untuk memperoleh rasa aman serta lahan untuk tempat tinggal, pemakaman, dan tempat ibadah sebagai modal budaya sekaligus sebagai simbol identitas mereka. Dalam konteks ini, tampak orang Bali memaknai Desa Pakraman sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari orang Cina, sedangkan orang Cina memaknainya sebagai modal sosial sekaligus modal budaya yang hendak diperoleh dengan menggunakan modal ekonomi berupa uang dan barang yang disumbangkan kepada Desa Pakraman. Kata Kunci: multikulturalisme, orang, Desa Pakraman

1. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara yang berazaskan bhinneka tunggal ika telah

memberlakukan hukum yang menempatkan semua warga negara pada posisi yang

sejajar. Dengan demikian, di negeri ini semestinya dapat diwujudkan kehidupan

Page 315: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

304 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

masyarakat yang multikultural dengan baik berdasarkan ideologi

multikulturalisme. Namun sebagaimana dikemukakan Suryadinata (dalam

Poerwanto, 2005 : 1) orang Cina di Indonesia belum dapat sepenuhnya diterima

sebagai warga bangsa meskipun mereka telah menjadi warga Negara Indonesia

serta meninggalkan identitas dan mengidentifikasi diri mereka sebagai golongan

peranakan. Sejalan dengan itu, di berbagai daerah di Indonesia orang Cina sering

menjadi sasaran berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang bukan

Cina (Habib, 2006; Suparlan, 2006, Lestariana, 2006).

Sebaliknya, hubungan orang Bali dengan orang Cina di Bali telah lama

berlangsung tanpa persoalan, bahkan menunjukkan hubungan yang relatif

harmonis. Selain terjadi perkawinan campuran antara mereka, banyak juga orang

Cina yang menjadi anggota Desa Pakraman (Wirata, 2000; Ardika, 2006). Desa

Pakraman dikenal sebagai simbol identitas orang Bali, sedangkan orang Cina tentu

memiliki kebudayaan tersendiri sebagai simbol identitasnya. Dengan demikian

kebersamaan orang Cina di Bali serta mereka di Desa Pakraman akan dibahas pada

makalah ini.

Kebersamaan orang Bali dan orang Cina di Desa Pakraman menunjukkan

pluralitas masyarakat Indonesia, di satu sisi sering dibanggakan, namun di sisi lain

juga memprihatinkan. Dibanggakan karena pluralitas masyarakat Indonesia

melahirkan mozaik kebudayaan yang sangat indah, yakni beragam kebudayaan

suku-suku bangsa dari Sabang sampai Meraoke. Sebaliknya diprihatinkan bukan

hanya karena berpotensi menimbulkan beragam masalah yang mengganggu upaya

pencapaian integrasi nasional secara optimal. Oleh karena itu perlu adanya usaha

terus menerus untuk mempersatukan suku-suku bangsa yang beragam itu agar ada

rasa bersatu, dan rasa nasionalisme.

Khusus dalam konteks masuknya orang Cina sebagai anggota Desa

Pakraman, merupakan hubungan warga masyarakat dengan kelompok sosial.

Menurut Susanto (1985:37-38), suatu kelompok terbentuk karena adanya harapan

pada setiap anggotanya, dan salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan

psikologi untuk mempunyai dan digolongkan pada suatu kelompok, tempat mereka

‘berlindung’ dan merasa aman. Menurut Anderson dan Parker sebagaimana dibahas

oleh Susanto (1985:52), suatu kelompok merupakan kesatuan ekologi (ecological

Page 316: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 305

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

entities) yang terbentuk karena melalui penghimpunan orang-orang yang

menempati suatu daerah tertentu, untuk jangka waktu yang cukup lama, dan

kerenanya mengalami integrasi sebagai akibat dari adanya hubungan ekonomi dan

sosial.

Warga negara Indonesia yang berasal dari golongan yang berbeda, bisa

hidup bersama dengan sikap saling bertoleransi yang timbul secara spontan atau

tanpa paksaan, saling menghormati menunjukkan bahwa mereka telah memahami

ideologi multikulturalisme. Ideologi ini sebagai landasan hubungan yang harmonis

atas keberadaan orang Cina sebagai anggota Desa Pakraman di Bali tampak sangat

penting untuk dibahas pada makalah ini. Sebab pengambilan keputusan untuk

menjadi anggota Desa Pakraman biasanya dilakukan atas kehendak para

pelakunya yang tentu saja memiliki pandangan tertentu tentang sikap dan perilaku

para pihak terkait.

2. Metodologi

Metode yang digunakan untuk memperoleh data makalah ini adalah metode

kualitatif, karena sebagaimana dikemukakan oleh Atmadja (2005), metode

kualitatif paling tepat digunakan karena memberi penekanan pada aspek

pemahaman. Penerapan metode ini diwujudkan melalui penentuan informan yang

berasal dari Desa Carang Sari, Kabupaten Badung. Informan yang dipilih sebagai

narasumber atau pemberi informasi meliputi kaum laki-laki dan perempuan, baik

dari kalangan orang Cina maupun orang Bali. Keberagaman ini dimaksudkan,

selain untuk memperoleh data dan fakta yang banyak dan bermutu, juga agar

diperoleh informasi penting untuk dianalisis. Pemilihan informan dilakukan dengan

teknik purposif, yakni dengan memilih para Kepala Desa Dinas dan Kepala Desa

Pakraman. Selanjutnya, dengan memposisikan para tokoh desa tersebut sebagai

informan kunci maka dilakukan teknik menggelinding (snowball). Teknik

wawancara dan observasi telah digunakan, selanjutnya analisis data/informasi

dilakukan dengan analisis interpretatif. Proses analisis ini sejalan dengan proses

wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan

wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu.

3. Pembahasan

Page 317: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

306 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.1 Keberagaman

Orang Cina di Bali pada umumnya, dan khususnya di Desa Carangsari

menganut agama Budha. Agama Budha adalah salah satu agama yang dianut oleh

orang Cina di Indonesia. Ajaran ini adalah agama ardhi yang disebarkan oleh

Sidharta Gautama (Suryananda, 1995:39). Ajaran Budha sangat menekankan

hubungan yang harmonis sesama manusia. Nilai yang ada pada ajaran Budha juga

ada dalam agama Hindu, yaitu kepercayaan yang dianut oleh orang Bali, yaitu Tat

Twam Asi (yang artinya saya adalah kamu, kamu adalah saya). Filsafat yang

terkandung dari ungkapan ini adalah baik dari Budha maupun Hindu adalah

membina persahabatan sesama manusia. Ajaran Budha juga mengandung filosofi

bahwa semua alam adalah satu dan nirwana ada di mana-mana. Hindu juga

memiliki filosofi seperti ini, yaitu Wiapi Wiyapaka (Tuhan ada di mana-mana), dan

percaya terhadap pemujaan kepada leluhur.

Budha merupakan kepercayaan orang Cina karena mereka tidak mau

tercabut dari akar budayanya. Di rumah orang Cina di Carangsari selalu ada

bangunan suci untuk kepercayaan Hindu dan sekaligus Budha. Mereka merasa

sangat aman dan nyaman dengan keadaan seperti ini, walaupun dari faktor ekonomi

tampak pengeluaran menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan jika menganut

satu kepercayaan. Semua orang Cina di desa ini mengikuti semua kegiatan upacara

agama Hindu, seperti upacara di pura Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem), serta

kegiatan yang terkait dengan upacara keagamaan lainnya. Orang Cina di Desa

Carangsari mengikuti upacara Hindu seperti upacara tiga bulanan, otonan, dan lain-

lain untuk anak-anaknya, dan bahkan anak perempuan orang Cina sebelum menikah

harus mengikuti upacara potong gigi seperti halnya orang Hindu. Hal ini bertujuan

untuk menghilangkan sifat keduniawiannya. Prosesi yang wajib dilakukan oleh

anak perempuan dari orang Cina adalah mohon diri ke luar dari keluarga (mapamit)

di Sanggah Kemulan sebelum menikah, baik untuk mereka yang akan menikah

dengan sesama orang Cina maupun dengan orang lain (etnis lain). Orang Cina dan

Bali selalu hidup berdampingan dan rukun dalam semua aktivitas keagamaan.

Di mata orang Bali, kumunitas Cina dianggap sangat fleksibel dan toleran

dalam kehidupan beragama. Hasil wawancara dengan sejumlah informan dan

pengamatan langsung di Desa Carangsari menunjukkan bahwa orang Cina secara

Page 318: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 307

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

keseluruhan menghormati agama Hindu dan melaksanakan dengan taat agama yang

dianut oleh nenek moyang/leluhurnya. Hampir di setiap rumah komunitas Cina di

tiga lokasi penelitian memiliki dua jenis bangunan suci yaitu sanggah kamulan

(pura/bangunan suci untuk keluarga Hindu) dan konco atau bangunan suci untuk

setiap keluarga orang Cina. Kedua jenis bangunan suci tersebut kadang-kadang

letaknya terpisah atau dibangunan dalam satu bangunan dan hanya dipisahkan oleh

dinding atau tembok penyekat saja.

Komunitas Cina di Desa Carangsari menjadi anggota pamaksan Pura

Dalem di desa setempat Komunitas Cina di Desa Carangsari mempunyai hak dan

kewajiban yang sama dengan masyarakat Hindu Bali di desa tersebut. Hak dan

kewajiban yang sama bagi komunitas Cina dan etnik Bali di Desa Carangsari

karena masing-masing memiliki kuburan yang berasal dari lahan milik Desa

Pakraman Carangsari. Masyarakat Hindu Bali di Desa Carangsari menilai

komunitas Cina di desa tersebut sangat toleran. Komunitas Cina senantiasa

memberikan sumbangan yang lebih besar dibandingkan dengan warga Hindu Bali,

terutama dalam pembangunan sarana publik seperti bale banjar, wantilan dan pura

ataupun sarana peribadatan lainnya.

3.2 Sikap Dasar

Manusia dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari lingkungan sekitarnya.

Dalam interaksi sosial, dua orang atau lebih akan hidup berdampingan dalam suatu

masyarakat. Di Desa Carangsari misalnya, orang Cina, Bali, dan lainnya hidup

saling berdapingan dan keharmonisan hubungan antarorang berjalan dengan lancar.

Ini yang menjadi sikap dasar dari orang Cina bahwa tidak ada suatu budaya yang

tidak dipengaruhi oleh budaya lain. Mereka menyadari sebagai kelompok minoritas

akan mendapat pengaruh dari yang mayoritas sehingga terjadi kontak, pembauran,

dan pertukaran informasi hingga proses sosial.

Dari proses ini, ditemukan hubungan sosial yang mantap, karena adanya

baik penyatuan ataupun pemisahan sehingga perbedaan dapat dipertahankan.

Hubungan sosial dalam suatu masyarakat yang begitu lama dan berjalan sedemikian

rupa pada masyarakat yang multietnik seperti Bali, umum disebabkan oleh adanya

status orang. Masing-masing kelompok etnis yang berbeda akan memiliki sistem

sosial dalam masyarakat untuk pengembangan dan penyesuaian diri dalam

Page 319: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

308 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

masyarakat. Misalnya, etinis Cina di tiga desa penelitian ini memiliki asosiasi yang

disebut dengan ’Paguyuban Orang Cina’. Ini yang menjadi ciri kelompok orang

tersebut yang bertujuan untuk menjalin komunikasi, dan interaksi di antara mereka.

Sikap dasar yang dimiliki oleh orang Cina adalah sanggup beradaptasi

(dengan mudah dapat menyesuaikan diri) dan berkembang dengan masyarakat

setempat. Sikap ini muncul karena latar belakang budaya (khususnya ideologi:

agama) yang dianut oleh orang Cina. Seperti diuraikan di atas bahwa agama Bhuda

menanamkan kebaikan, kemurahan, dan ketulusan hati melalui kesadaran diri

kepada sesama. Ajaran ini bertujuan agar sistem kekerabatan di antara umat

manusia tetap terjalin baik. Orang Cina selalu mengutamakan keseimbangan,

kelayakan, dan kebaikan hati untuk sesama. Ajaran Bhuda selalu mengingatkan

agar setiap individu berbuat benar (menjalankan dharmanya). Di samping itu,

ajaran ini juga melihat hubungan manusia dengan keluarga, seperti hubungan antara

ayah dengan anak. Dalam budaya Cina, anak laki-laki memiliki peran yang sangat

penting untuk meneruskan keturunan, dan sebagai sumber materi. Seorang ayah

adalah tulang punggung keluarga, anak-anak harus menghormati dan patuh kepada

orang tua. Seorang ayah juga harus menjadi ayah yang baik di samping juga

sebagai suami yang memiliki sifat-sifat yang baik dan terpuji, demikian juga halnya

untuk seorang isteri harus menghormati suami, patuh, dan selalu setia kepada

suami.

Kehidupan keagamaan orang Cina terlihat setiap: tanggal 1 dan 15 bulan

lunar Cina, ketika mereka mengadakan sembahyang ke Vihara. Di samping itu,

pada setiap hari Raya Imlek mereka mengadakan persembahyangan baik siang

maupun malam. Sebagaimana halnya orang Cina di Bali dan Indonesia pada

umumnya, orang Cina telah hidup dan berkembang ratusan tahun, atau mungkin

ribuan tahun. Mereka keturunan Cina dan semua keluarganya tersebar di seluruh

kepulauan di Indonesia. Identitas mereka adalah sebagai orang Indonesia. Ini

tercermin dari bahasa yang digunakan apabila mereka berkomunikasi dengan orang

lain selain orang Cina, yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia, atau bahasa

daerah. Di samping itu, mereka menggunakan dan memiliki nama nasional dalam

Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mereka juga memiliki nama Cina (nama yang

diberikan oleh keluarga mereka dan mencantumkan nama marga pada akhir nama

Page 320: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 309

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

mereka). Identitas lokal tercermin dari gaya bahasa atau dialek yang mereka pakai,

dan berprilaku budaya lokal (mengadopsi budaya lokal). Identitas nasional dan

lokal merupakan suatu identitas yang disandang oleh orang Cina dengan tujuan agar

mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat setempat. Oleh

sebab itu, orang Cina tidak mengalami kendala dalam menjalani kehidupan di

masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh dipatuhinya semua norma atau

ketentuan-ketentuan yang berlaku di masyarakat, sehingga mereka dapat hidup

nyaman dalam budaya daerah yang majemuk. Orang Cina di Desa Carangsari

memiliki identitas ganda, yaitu lokal (sekaligus nasional Indonesia) dan identitas

budaya mereka.

Ikatan dan jaringan antarorang Cina bertujuan untuk membentuk

persahabatan dan dapat membina hubungan di antara mereka. Mereka sangat

menjaga azas kebersamaan dan sikap saling tolong menolong, mereka biasanya

dengan sukarela melakukan apa yang diwajibkan oleh masyarakat setempat.

Contoh, di Desa Carangsari pernah dibangun balai desa, karena keterbatasan dana

yang dimilki, anggota masyarakat dihimbau dan diminta untuk menyumbang secara

suka rela. Orang Cina di desa ini dengan tidak tanggung-tanggung menyumbang

keseluruhan atap untuk gedung itu. Solidaritas sosial dari orang Cina patut dipuji

dan ditiru. Sikap membantu dan memberi, solider terhadap sesama identik dengan

orang Cina.

Ideologi multikulturalisme telah melekat pada diri orang Bali dan Cina,

menurut Leliweri (2005: 70) multikulturalisme “bertautan dengan ideologi atau

‘isme’ tentang penyadaran individu atau kelompok atas keragaman kebudayaan,

yang pada gilirannya mempunyai kemampuan untuk mendorong lahirnya sikap

toleransi, dialog, kerja sama di antara beragam etnik dan ras”. Multikulturalisme

merupakan ideologi yang mempromosikan keberagaman antaretnik maupun

antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai,

egaliter, toleran, saling menghargai, dan saling menghormati.

Khusus dalam konteks masuknya orang Cina ke dalam keanggotaan Desa

Pakraman, fenomena ini jelas merupakan hubungan warga masyarakat dengan

kelompok sosial. Berkenaan dengan fenomena kelompok sosial, Susanto (1985: 37-

38), mengatakan bahwa suatu kelompok terbentuk karena adanya harapan pada

Page 321: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

310 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

setiap anggotanya; dan salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan psikologik

untuk mempunyai dan digolongkan pada suatu kelompok, tempat ia ‘berlindung’

dan merasa aman. Menurut Anderson dan Parker (dalam Susanto, 1985:52), suatu

kelompok merupakan kesatuan ekologi (ecological entities) yang terbentuk karena

melalui penghimpunan orang-orang yang menempati suatu daerah tertentu, untuk

jangka waktu yang cukup lama, dan kerenanya mengalami integrasi sebagai akibat

dari adanya hubungan ekonomi dan sosial. Berpegang pada teori tentang kelompok

sosial, maka ada tiga asumsi yang menarik untuk dibuktikan kebenarannya melalui

makalah ini. Ketiga asumsi tersebut adalah 1) bahwa terjadi perkawinan campuran

antara orang Bali dan orang Cina karena orang Bali memiliki pandangan tertentu

mengenai orang Cina, dan begitu juga orang Cina memiliki pandangan tertentu

mengenai orang Bali, 2) kebersamaan mereka dalam Desa Pakraman karena sama-

sama memiliki kepentingan atau kebutuhan tertentu yang hendak dipenuhi melalui

bekersamaannya dalam Desa Pakraman, dan 3) kebersamaan mereka dalam Desa

Pakraman berimplikasi tertentu, baik dalam kehidupan orang Bali maupun orang

Cina bersangkutan.

Berpegang pada ke tiga hal tersebut, maka terjadinya kebersamaan orang

Bali dengan orang Cina dalam Desa Pakraman dapat diduga bahwa orang Cina

dan orang Bali sama-sama memiliki kepentingan yang hendak dipenuhi melalui

kelompok sosial, yakni Desa Pakraman. Tanpa itu, sulit dibayangkan orang Cina

mau menjadi anggota Desa Pakraman, karena tentu saja mereka mendapat

kewajiban sebagai anggota, termasuk kewajiban memberikan sumbangan, baik

berupa materi (uang dan barang) maupun tenaga untuk Desa Pakraman. Begitu

juga sebaliknya bahwa sulit dibayangkan orang Bali mau mengajak orang Cina

menjadi anggota Desa Pakraman jika mereka tidak mempunyai harapan-harapan

tertentu kepada orang Cina.

4. Simpulan

Kebersamaan orang Bali dengan orang Cina dalam Desa Pakraman dilatari

oleh keinginan dari keduabelah pihak untuk melestarikan tradisi para leluhur

mereka yang sudah sejak dahulu telah melakukan perkawinan campuran dan

kebersamaan dalam Desa Pakraman. Namun selain itu masing-masing pihak juga

Page 322: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 311

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

memiliki kepentingan. Orang Bali di satu pihak berkepentingan untuk memperoleh

dukungan dari orang Cina untuk menguatkan Desa Pakraman sebagai modal

budaya sekaligus simbol identitas mereka. Di pihak lain, orang Cina ingin

memperoleh dukungan dari orang Bali untuk memperoleh rasa aman serta lahan

untuk tempat tinggal, pemakaman, dan tempat ibadah sebagai modal budaya

sekaligus sebagai simbol identitas mereka. Dalam hal dukung-mendukung itu,

tampak orang Bali memaknai Desa Pakraman sebagai alat untuk memperoleh

dukungan dari orang Cina, sedangkan orang Cina memaknainya sebagai modal

sosial sekaligus modal budaya yang hendak diperoleh dengan menggunakan modal

ekonomi berupa uang dan barang yang disumbangkan kepada Desa Pakraman.

DAFTAR PUSTAKA

Aliffiati dan I Nyoman Dhana. 2008. Studi tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Desa batungsel, Kecamatan Pupuan, Tasbanan, Bali. Laporan Penelitian Universitas Udayana.

Ardika, I Wayan. 2006. ‘Komunitas Tionghoa dalam Konteks Multikulturalisme di

Bali’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Sinologi, diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Muhamadiya, Malang, 3-4 Maret 2006.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif.

Makalah pada Penataran Dosen Muda Pola 90 Jam. Diselenggarakan oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri, Singaraja, 22 Agustus-5 September 2005.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005a. Bali pada Ewra Globalisaiisi Pulau Seribu Pura

Tidak Seindah Penampilannya. Singaraja. Atmadja, Nengah Bawa. 2008. “Identitas Agama, Etnik, dan Nasional dalam

Perspektif Pendidikan Multikultural”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya

Poestaka. Denpasar : Yayasan Widya Guna, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Halaman 16-33.

Bennett, MJ,1990. “Mengatasi Kaedah Emas : Simpati dan Empati”, dalam Deddy

Mulyana dan Jalaluddin Rachamat, ed.), Komunikasi Antarbudaya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Halaman 76-100.

Beratha, Ni Luh Sutjiati, I Wayan Ardika, I Nyoman Dhana. Dari Tatapan Mata

ke Pelaminan sampai di Desa Pakraman: Studi tentang Hubungan Orang

Bali dengan Orang Cina. Denpasar: Udayana University Press.

Page 323: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

312 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berry, J.W. (ed.). Psikologi Lintas Budaya. : Riset dan Aplikasi (Edi Suharsono, penerjemah). Jhakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Dayakisni, T. dan S. Yuniardi, 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang : Universitas

Muhamaddiyah Press. Brian Fay ,2002. Filsafat Ilmu SosialKontemporer. Yogyakarta, Penerbit Jendela. Budianta, M., 2003. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural : Sebuah

Gambaran Umum”, dalam Burhanuddin (ed.) Mencari Akar Kultural Sivil

Society di Indonesia. Jakarta : INVIS. Halaman 88-101. Burhanuddin, 2003. “Pendahuluan”, dalam Burhanuddin (ed.), Mencari Akar

Kultural Sivil Society di Indonesia. Jakarta : INVIS. Halaman 85-87. Dayakisni, T. dan S. Yuniardi, 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang : Universitas

Muhamaddiyah Press. Fukuyama, F. 2002. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran.

(Ruslani, penerjemah). Yogyakarta : CV Qalam. Hadi, dkk, 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik, dan Dinamika

Lokal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Leliweri, A. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. Yogyakarta : LkiS.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern : Dari

Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.

Mandowen, W. 2006. “Papua Barat dan Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri :

Sebuah Tantangan Hak Asasi Manusia”, dalam Theodore Ratgeber (ed.), Hak-hak Sosia, Ekonomi, dan Budaya di Papua Kerangka Hukum dan Politik untuk Dialog. Jakarta Pustaka Sinar Harapan.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman, 1992. Analisis data Kualitatif Buku Sumber

tentang metode-metode Baru (Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok : Komunitas

Bambu. Popper, KR. 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya (Usair Pausan,

penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Pringle, R. 2004. A Short History of Bali. Crows Nest : Allen and Unwin.

Page 324: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 313

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Shastri, S.Y dan Y.S. Shastri. 2005. ”Ahimsa dan Kesatuan Segala Sesuatu Pandangan Hindu tentang Antikekerasan”. Dalam D.L Smith-Christopher (ed.) Lebih Tajam dari Pedang Refleksi Agama-Agama tentang Paradoks

Kekerasan. Diterjermahkan oleh A Widyamartaya. Yogyakarta : Kanisius. Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Orang Migrasi Swakarsa Orang

Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta : ISAI. Suparlan, Parsudi. 2006.Perspektif Baru Masyarakat Multikultural dan Posisi

Warga Keturunan Cina di Indonesia. Makalah dalam Seminar Nasional Sinologi, diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Muhamadiyah Malang, 3-4 Maret 2006.

Susanto, Astrid S.1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta :

Binacipta. Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi : Pengantar kajian Konsep Ideologi dari

Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta : Jalasutra. Taylor, Steven dan Bogdan Robet, 1984.Introduction to Qualitative Research

Methods. New York, John Wiley & Sons. Thompson, John B. 2007. Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-Ideologi

Dunia. (Haqqul Yaqin, penerjemah). Yogyakarta : IRCiSoD. Vasanty, Puspa. 1984. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia”, dalam

Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indoinesia. Jakartas : Penerbit Djambatan. Halaman 346-366.

Wirata, I Ketut, 2000. Integrasi Orang Tionghoa di Desa Adat Carangsari,

Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Tesis Magister (S2) Program Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Zolner, S. 2006. “Budaya Papua dalam Transisi : Ancaman Akibat Modernisasi-

Jawanisasi dan Diskriminasi”, dalam, T. Rathgeber (ed.), Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua barat. Jakarta : Sinar Harapan.

Page 325: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 314 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA JEPANG DALAM MERESPON

PUJIAN

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

Abstrak

Pujian merupakan salah satu bagian dari komunikasi sehari-hari yang

digunakan untuk mempererat hubungan antar anggota masyarakat di Indonesia maupun Jepang. Hubungan antar individu maupun kelompok tersebut sangat penting untuk menjaga keakraban itu sendiri. Respon terhadap pujian merupakan salah satu topik dalam bidang pragmatik dan sosiolinguistik yang cukup menarik untuk diteliti. Dalam memberikan respon terhadap pujian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti: konteks tuturan, usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan status sosial. Di samping itu pula, latar belakang pembelajaran bahasa asing juga sangat mempengaruhi sikap-sikap penutur dalam merespon pujian. Berdasarkan fenomena tersebut, maka diadakan penelitian mengenai strategi merespon pujian dan pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa Jepang pada mahasiswa program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, mahasiswa non pembelajar bahasa Jepang (penutur asli bahasa Indonesia), dan mahasiswa penutur asli bahasa Jepang.

Kata kunci: pujian, respon terhadap pujian, lintas budaya

PENDAHULUAN

Jepang merupakan salah satu negara yang masyarakatnya masih

menjunjung nilai-nilai budaya dan sosial yang cukup kuat. Salah satunya adalah

nilai-nilai sosial untuk menjaga hubungan dengan sesama anggota masyarakatnya

itu sendiri. Mulai dari komunitas terkecil seperti keluarga atau tetangga, hingga

komunitas lebih besar seperti teman satu universitas atau teman satu perusahaan.

Untuk memelihara hubungan baik antara anggota masyarakat tersebut maka

diciptakan berbagai upaya kontak sosial yang dapat diterima dalam nilai budaya

dan sosial masyarakat Jepang. Salah satunya adalah penggunaan pujian.

Pujian merupakan suatu ujaran yang diucapkan seseorang mengenai

kelebihan atau keistimewaan lawan tuturnya (Homma &Yukawa, 2008:16).

Page 326: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 315

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Namun, pujian tersebut pada akhirnya tidak hanya terbatas pada kelebihan ataupun

keistimewaan lawan tutur saja, melainkan juga mengenai barang-barang atau

apapun yang dimiliki oleh lawan tutur. Homma dan Yukawa juga menyatakan

bahwa pujian diperlukan untuk meningkatkan motivasi seseorang, selain juga untuk

menjaga hubungan baik. Yang dimaksudkan dengan menjaga hubungan baik adalah

lawan tutur yang menerima pujian akan senang mendengarnya dan penutur

dianggap mengakui keberadaan lawan tuturnya. Melalui situasi tersebut, secara

otomatis hubungan antara penutur dan lawan tutur akan tetap terjaga.

Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jepang yang berupa pujian dalam

bahasa Jepang cukup bervariasi adanya. Beberapa diantaranya merupakan pujian

dalam bentuk salam seperti: arigatou ‘terima kasih’, otsukaresamadeshita ‘terima

kasih atas kerja kerasmu’ dan lain sebagainya. Contoh lain yang dapat disebut

sebagai ungkapan pujian adalah kyou mo kirei desu ne ‘hari ini pun kamu cantik ya’

dengan konteks situasi bahwa penutur memandang lawan tutur selalu tampil cantik

setiap harinya.

Ungkapan-ungkapan pujian ini juga akan menimbulkan berbagai respon

pujian dari lawan tutur. Respon pujian pun beragam adanya, seperti misalnya

berupa respon penerimaan, penolakan, penghindaran, pujian terbalik, dan lain

sebagainya. Beragamnya respon pujian yang dapat muncul dalam tuturan seseorang

menarik untuk dikaji lebih lanjut. Strategi dan pengaruh penggunaan respon pujian

tertentu dapat diteliti pula dari latar belakang peserta tutur. Latar belakang peserta

tutur yang dimaksud adalah diantaranya jarak kedekatan hubungan antar peserta

tutur, posisi peserta tutur, gender, dan usia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dirancang untuk

menganalisis strategi yang digunakan mahasiswa pembelajar bahasa Jepang dalam

merespon pujian dibandingkan dengan mahasiswa bukan pembelajar bahasa Jepang

dan mahasiswa penutur asli bahasa Jepang. Selain itu, penelitian ini juga membahas

pengaruh pembelajaran bahasa dan budaya Jepang terhadap penggunaan respon

pujian oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jepang.

Page 327: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

316 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

METODOLOGI

Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa program

studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, mahasiswa bukan

pembelajar bahasa Jepang (penutur asli bahasa Indonesia), dan mahasiswa penutur

asli bahasa Jepang.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan taksonomi Herbert (1990)

mengenai respon pujian, serta teori fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Leech

(1997:51-52). Leech mengklasifikasikan fungsi bahasa dalam lima kelompok yaitu:

fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetis dan fatik. Fungsi fatik berorientasi

untuk memelihara hubungan yang baik dalam kelompok masyarakat atau sosial.

Penggunaan pujian merupakan salah satu bagian dari fungsi fatik tersebut.

PEMBAHASAN

Strategi yang Digunakan Mahasiswa Pembelajar Bahasa Jepang dalam

Merespon Pujian

Klasifikasi mengenai respon pujian diklasifikasikan oleh Herbert (1990)

diuraikan sebagai berikut.

(1) Appreciation Token merupakan kategori respon yang menunjukkan

penerimaan atas pujian yang diberikan. Respon pujian tersebut dapat

berupa respon verbal maupun nonverbal.

(2) Comment Acceptance merupakan kategori respon yang ditunjukkan

penutur dengan menerima pujian yang diberikan serta memberikan

komentar akan pujian tersebut.

(3) Praise Upgrade merupakan kategori respon yang ditunjukkan penutur

dengan menyetujui respon pujian yang diterima serta menambahkan

komentar bahwa pujian yang ditujukan terhadap penutur memang

sewajarnya diterima.

(4) Common History merupakan respon pujian yang digunakan penutur untuk

mengalihkan pujian terhadap sesuatu dengan menceritakan kisah dari

sesuatu yang dipuji tersebut.

Page 328: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 317

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(5) Re-assigment merupakan respon pujian yang diterima oleh penutur, namun

kemudian dialihkan pada orang ketiga untuk menghindari pujian lebih

lanjut.

(6) Return merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara

menerima pujian yang diterima, lalu balik memuji lawan tuturnya dengan

cara memuji yang sama.

(7) Scale down merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara

menolak pujian yang diterima disertai komentar untuk merendahkan diri

(bahwa tidak pantas menerima pujian).

(8) Question merupakan respon pujian dengan cara mengkonfirmasi kembali

kebenaran pujian yang diterima.

(9) Disagreement merupakan respon pujian yang diterima dengan cara

menolak pujian disertai dengan komentar yang menunjukkan bahwa

pujian tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

(10) Qualification merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan

cara menolak pujian dengan menggunakan pengecualian.

(11) Non-acknowlegment (silence) merupakan respon pujian yang digunakan

penutur dengan cara diam tanpa memberikan respon baik secara verbal

maupun nonverbal.

(12) Request interpretation merupakan respon pujian yang digunakan penutur

dengan cara menganggap bentuk pujian yang diterima merupakan sebuah

permintaan.

Berikut merupakan delapan pertanyaan yang diajukan kepada responden

untuk memperoleh strategi respon pujian yang digunakan.

Tabel 1 Pertanyaan dalam Kuesioner Respon Pujian

Pembelajar Non Bahasa Jepang

Respon Pujian Pembelajar

Bahasa Jepang

Respon Pujian

Penutur Asli

Bahasa Jepang

Page 329: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

318 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Anda menggunakan tas baru. Kemudian, Anda bertemu dengan teman sekelas dan memuji tas baru yang Anda kenakan serta berkata, “Wuih, tas baru ya? Branded lagi! Wow!”.

Yupss! Ya iyalah! Keren, kan? Ah, enggak juga! Hadiah kok! Mana bisa kubeli?

Ah, enggak kok! Udah lama, kok! Gak branded!

Iya, iya!

Arigatou!

Demo

daibu mae

katta yo!

Kekko furui

yo!

Setelah melakukan presentasi dalam sebuah mata kuliah, teman sekelas Anda mengomentari penampilan Anda dengan berkata, “Hebat, presentasimu!”

Makasi, tapi masih berantakan! Aku gugup banget! Gak mungkin sebagus kamu! Ya, lumayanlah!

Ah, enggak biasa saja! Aduh, aku kurang persiapan! Aku gak belajar kemarin! Bagusan kamu lagi!

Sou demo

nai yo!

Chigau,

chigau!

Sonna koto

nai yo!

Iya, iya!

Motto

benkyou

shinai to ne!

Iya, iya

arigatou!

Hontou?

Iya, demo

sore wa

Nihongo

Indonesiago

dakara yo!

Seorang teman mengomentari penampilan baru Anda yang mengenakan kacamata minus dengan berkata,”Kacamatamu baru, ya? Tambah cantik! Kayak dokter!”.

Makasi! Masa sih? Yang bener?

Kamu ada-ada aja! Ngejek ya? Mumpung ada diskon lho di toko X...

Sou demo

nai yo!

Chigau,

chigau!

Sonna koto

nai yo!

Joudan

desho!

Setelah beberapa lama tidak bertemu dengan teman sekelas karena liburan kampus, seorang teman mengomentari penampilan Anda yang berbeda dan berkata,”Kamu tambah langsing! Tambah cantik! Kamu diet ya?”

Bener ? Udah kelihatan (hasilnya) ya? Makasi! Perlu 2 bulanan untuk ini!

Enggak, lagi stres mau ujian nih! Langsingan kamu deh! Kamu juga! Berapa kilo turunnya?

Iya, iya!

Futtoteru

yo,

aikawarazu!

Page 330: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 319

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Seorang teman memberikan ucapan selamat karena Anda berhasil lulus dalam ujian kemampuan berbahasa Jepang level 2 yang sebenarnya cukup sulit untuk dicapai. Teman Anda berkata,”Selamat ya! Kamu hebat sekali bisa lulus level 2! Gimana caranya belajar? Bagi-bagi ilmu, dong?”. (Untuk pembelajar bahasa Jepang) Seorang teman memberikan ucapan selamat karena Anda berhasil lulus dalam ujian kemampuan berbahasa Inggris yang sebenarnya cukup sulit untuk dicapai. Teman Anda berkata,”Selamat ya! Kamu hebat sekali bisa lulus level advanced! Gimana caranya belajar? Bagi-bagi ilmu, dong?”. (Untuk pembelajar non bahasa Jepang dan penutur asli bahasa Jepang)

Gak nyangka sih! Kamu juga bisa kok! Nilainya masih pas-pasan!

Ah, enggak! Kebetulan aja! Lagi beruntung aja! Gak nyangka juga sih!

Chigau,

chigau!

Sonna koto

nai yo!

Iya, iya!

Giri giri

datta yo!

Dalam mata kuliah menulis (hyouki), Anda dipuji oleh seorang teman karena melihat aksara kanji Anda lebih baik darinya. Teman Anda berkata,”Kanjimu bagus banget! Keren!”

Mau kuajarin? Iya dong! Keren kan?

Lama banget aku nulisnya! Banyak kali aku ngulang nulisnya! Biasa saja kali! Lebay banget sih kamu!

Sou demo

nai yo!

Sonna koto

nai yo!

Iya, iya!

Pada awal semester, setelah lama tidak berjumpa dengan teman-teman sekelas, Anda berpenampilan rambut baru. Seorang teman Anda mengomentari gaya rambut baru Anda dan berkata,”Rambutmu bagus! Potong di mana?”

Makasi ya! Cocok kan? Masa sih? Bener ya?

Makasi! Ah, biasa aja! Lagi nyoba salon baru! Kapan-kapan kuajak deh kamu ke sana Bohong ah!

Arigatou!

Sou demo

nai yo!

Chigau,

chigau!

Sonna koto

nai yo!

Iya, iya!

Anda berhasil lulus dalam seleksi ujian bergengsi. Anda dipuji oleh teman sekelas Anda seperti ini,”Kamu hebat banget, bisa lulus beasiswa itu! Selamat ya!”.

Makasi ya! Kamu juga nanti pasti bisa! Memang perlu kerja keras

Makasi! Tapi, ke depannya gimana, aku juga jadi gugup! Kebetulan saja!

Arigatou!

Sou demo

nai yo!

Chigau,

chigau!

Sonna koto

nai yo!

Iya, iya!

Page 331: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

320 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Strategi respon pujian yang digunakan oleh pembelajar non bahasa Jepang

memenuhi klasifikasi Herbert pada jenis respon agreement (appreciation token,

comment acceptance, praise upgrade, re-assigment, return), nonagreement (scale

down, question, qualification) maupun other (request interpretation). Akan tetapi,

pembelajar bahasa Jepang dan penutur asli bahasa Jepang merespon pujian dengan

menggunakan jenis respon nonagreement (scale down & question) dan agreement

(appreciation token, comment acceptance, re-assigment, return) dan other (request

interpretation).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa strategi respon pujian yang

digunakan pembelajar non bahasa Jepang lebih bervariasi dibandingkan respon

pujian yang digunakan pembelajar bahasa Jepang maupun penutur asli bahasa

Jepang. Hal ini terjadi karena salah satu konsep budaya Jepang uchi dan soto

mempengaruhi pembelajar bahasa Jepang, sehingga sebagian besar tidak menerima

pujian yang diterima, melainkan cenderung menolak pujian tersebut antara lain

melalui strategi scale down dan question. Selain itu, mereka juga tidak

menggunakan strategi prise upgrade untuk merespon pujian.

Konsep uchi soto ini berkaitan dengan pembagian anggota kelompok baik

dalam komunitas besar maupun kecil. Jika dalam satu komunitas (uchi), penutur

asli Jepang cenderung akan lebih mampu mengekspresikan perasaannya termasuk

melalui respon pujian. Akan tetapi, apabila dalam komunitas yang berbeda (soto),

penutur asli Jepang cenderung lebih menutup diri terhadap lawan tutur yang bukan

dalam komunitasnya. Pembedaan komunitas inilah yang melatarbelakangi para

penutur asli bahasa Jepang tidak memilih strategi praise upgrade dalam merespon

pujian.

Pembelajaran bahasa dan budaya Jepang terhadap penggunaan respon

pujian oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jepang diyakini sangat berpengaruh. Hal

ini disebabkan karena secara sadar maupun tidak sadar, secara langsung ataupun

tidak langsung, pembelajaran bahasa dan budaya Jepang diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan kampus maupun luar kampus. Akan

tetapi, sebagian kecil responden menyatakan bahwa pembelajar bahasa dan budaya

Jepang tidak berpengaruh dalam merespon pujian. Hal ini dikarenakan responden

Page 332: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 321

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

menganggap budaya Jepang dan Indonesia memiliki kemiripan dalam memuji

maupun merespon pujian.

Tabel 2

No Jenis Respon Strategi Respon Penutur 1 AGREEMENT Acceptance Appreciation Token Pembelajar Non Bahasa

Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Penutur Asli Jepang

Comment Acceptance

Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang

Praise Upgrade Pembelajar Non Bahasa Jepang

Common History - Transfer Re-assigment Pembelajar Non Bahasa

Jepang Pembelajar Bahasa Jepang

Return Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang

2 NONAGREEMENT Scale down Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Penutur Asli Jepang

Question Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Penutur Asli Jepang

Nonacceptance Disagreement - Qualification Pembelajar Non Bahasa

Jepang Non-acknowlegment (silence)

-

3 Other Request interpretation

Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang

Pengaruh Pembelajaran Bahasa dan Budaya Jepang terhadap Penggunaan

Respon Pujian oleh Mahasiswa Pembelajar Bahasa Jepang

Dalam kuesioner yang disebarkan maupun wawancara yang telah

dilakukan, diketahui bahwa pembelajaran bahasa dan budaya Jepang sangat

berpengaruh terhadap respon pujian oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jepang. Hal

ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

Page 333: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

322 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dalam mata kuliah kaiwa (percakapan) ada beberapa bab yang

menyebabkan penutur berbicara sesuai dengan cara orang Jepang bertutur

Terbiasa menyaksikan orang Jepang bersikap merendah dan kembali

memuji lawan tutur ketika menerima pujian

Budaya Jepang sangat kental akan sopan santun dan rendah hati. Cenderung

tidak berbangga secara berlebihan tentang pencapaian diri sendiri kepada

orang lain, kecuali orang-orang terdekat.

Di luar sadar responden menerapkan bahasa dan budaya Jepang dalam

kehidupan sehari-hari

Responden juga menyatakan bahwa pujian merupakan salah satu cara untuk

mengekspresikan kepedulian terhadap orang lain. Tingkat pujian dipengaruhi oleh

faktor usia, sehingga semakin tua atau tinggi usia orang yang kita puji maka

pemilihan bahasa ketika mengungkapkan pujian pun semakin halus. Oleh karena

itu, respon terhadap pujian pun perlu dipertimbangkan sesuai dengan situasi.

Respon pujian yang dipengaruhi pembelajaran bahasa dan budaya Jepang ini, dapat

mempengaruhi dan mengubah cara pandang serta cara berkomunikasi. Misalnya,

merespon pujian dengan keinginan lebih untuk merendahkan diri dihadapan mitra

tutur serta selalu memperhatikan posisi dan perasaan lawan bicara.

Sebagian kecil responden, menyatakan bahwa pembelajaran bahasa dan

budaya Jepang ternyata tidak berpengaruh pada respon pujian. Responden

menganggap bahwa pada dasarnya budaya Jepang dan Indonesia memiliki

kemiripan dalam merespon pujian.

SIMPULAN

Strategi yang digunakan mahasiswa bukan pembelajar bahasa Jepang dalam

merespon pujian memiliki variasi yang lebih banyak dalam memenuhi klasifikasi

Herbert (1990), dibandingkan dengan mahasiswa pembelajar bahasa Jepang dan

mahasiswa penutur asli bahasa Jepang. Hal ini terjadi karena adanya konsep uchi

soto dalam budaya Jepang yang masih dianut dan diterapkan dalam masyarakat

Jepang dan memengaruhi sikap berbahasa pembelajar bahasa Indonesia.

Konsep uchi soto tersebut juga memberikan pengaruh yang cukup besar

pada responden pembelajar bahasa Jepang dalam memberikan respon pujian. Hal

Page 334: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 323

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ini dikarenakan, unsur budaya melalui materi kuliah mereka pahami dalam

perkuliahan serta pergaulan dengan penutur asli bahasa Jepang.

DAFTAR PUSTAKA Djadjasudarma,F. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco. Daniel, Long dan Ohashi, Rie.2013.Nihongo kara Tadoru Bunka.Hosho Daigaku

Kyoiku Shinkokai:Tokyo. Hendry, Joy.1987.Understanding Japanese Society.Routledge:London and New

York. Homma, Masato&Yukawa, Kyoko.2008.Home hotoba waakubukku.PHP:Tokyo. Homma, Masato&Yukawa, Kyoko.2013.(Keiteipan) Home hotoba waakubukku.

PHP:Tokyo. Imai, Tomoko.2009. Keigo Sura Sura Benri Cho. Tokyo: Nihon Noritsu Kyokai

Manejimento Senta. Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. Mizutani, Osamu & Nobuko. 1987. How To Be Polite In Japanese. Tokyo: The

Japan Times. Mahsun,M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers. Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.

Jakarta: Erlangga. Ratna, Nyoman Kutha.2010.Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu

Sosial Humaniora pada Umumnya.Pustaka Pelajar:Yogyakarta. Sudaryanto. 1993.Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jakarta: Duta

Wacana University Press. Sibarani, Robert.2004.Antropolinguistik:Antropolinguistik.Penerbit Poda: Medan. Suzuki, Takao.2013.Kotoba to Bunka.Iwanami:Tokyo. Taniguchi, Yoshiko.2010.Homekata ruuru.Asuka:Tokyo. Toda, Kumi. 2012. Zero Kara Oshiete : Sekkyaku-Setsuguu. Tokyo: Kanki

Shuppan. Yoshioka, Yasuo.2011. Komyunikeeshon no Shakai Gengogaku.Taishukan:Tokyo.

Page 335: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

324 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

WEBSITE

Limei, Huang dan Kawamoto, Nobuyoshi. 1997.” Comparative Study on the

Difference between Chinese and Japanese Greetings-In View of the

Education of Japanese Language in the People’s Republic of China” dalam jurnal Nihon Taiiku Daigaku Volume 26 Nomor 2.

Ikeda, Makiko. 2008. ほめ に関する研究―日本語学習者のほめの返答―dalam jurnal Studies in Language and Culture Volume 17 halaman 1-15.

Veinberg, Nadezhda. 2016. Compliments in Japanese Bussines Communication-

From Japanese-Russian Point of View- dalam jurnal 日本語・日本学研究第6号.

Page 336: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 325 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAKSINA: SALAH SATU UPAKARA PENTING PADA MASA BALI

KUNO YANG DIPERJUALBELIKAN PADA MASA SEKARANG (STUDI

KASUS DI DESA BUDUK)

Ni Made Rustini (Manajemen)

[email protected]

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi (Arkeologi)

[email protected]

Abstrak

Daksina merupakan salah satu unsur penting dalam upakara atau bebantenan baik dalam tingkatan yang sederhana hingga yang rumit. Prasasti Bwahan E (1103 aka /1181 Masehi) dikeluarkan oleh Raja Jayapangus merupakan salah satu prasasti yang menyebut banten Daksina. Persembahan (banten) di kalangan masyarakat Hindu Bali pada masa lampau adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga bahan-bahan harus dibuat sendiri oleh kaum ibu atau anggota keluarga. Tradisi itu mulai hilang, karena tidak sedikit masyarakat Hindu Bali yang membeli daksina disebabkan oleh aktivitas masyarakat sehari-hari dalam bidang bisnis maupun perkantoran meningkat, sehingga tidak ada waktu untuk membuat daksina. Penelitian ini mengkaji fenomena perdagangan daksina khususnya di pasar Buduk, Kec Mengwi, Kabupaten Badung. Masyarakat cenderung membeli daksina yang banyak di jual di pasar, dengan alasan lebih praktis, lebih irit biaya, dan lebih hemat waktu. Fenomena ini dimanfaatkan oleh para pedagang daksina

untuk meraup rejeki karena adanya prospek menjanjikan dan dapat menambah penghasilan keluarga. Kata Kunci: Daksina, Jual-beli, Masa Bali Kuno, Masa Sekarang

I. Pendahuluan

Secara simbolis daksina adalah sthana/linggih (tempat duduk) Ida Sang

Hyang Widhi. Daksina merupakan salah satu unsur penting dalam setiap upakara

atau bebantenan baik dalam tingkatan yang paling sederhana hingga yang paling

rumit. Daksina terdiri dari: (1) satu buah pangi yang berwarna hitam sebagai

lambang petala yaitu dunia bawah yang dikuasai oleh Dewa Wisnu dan juga simbol

air; (2) satu buah kelapa yang melambangkan janapada yaitu dunia tengah yang

dikuasai oleh Dewa Brahma dan juga simbol api; (3) sebutir telor yang berwarna

Page 337: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

326 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

putih lambang swah loka dibawah kekuasaan Iswara.; (4) sejumput beras (bija)

yang merupakan lambang kemakmuran.

Simbol-simbol atau pratima melambangkan manifestasi Ida Sang Hyang

Widhi dalam wujud yang dibayangkan sendiri, serta dapat membawa pikiran

manusia pada persatuan dengan Hyang Widhi. Oleh karena itu, maka simbol-

simbol itu adalah penolong menuju ke arah penyatuan pikiran kepada Ida Sang

Hyang Widhi. Simbol-simbol tersebut memiliki makna yakni tirtha (air suci) adalah

alat untuk membersihkan jiwa, api (pedupaan) merupakan saksi serta pengantar

persembahan, bunga serta banten-banten lainnya adalah simbol dari sarinya bumi

yang kita persembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi untuk menyampaikan

kecintaan dan kebahagiaan hati serta terima kasih yang tulus dan suci. Ungkapan-

ungkapan rasa bakti kepada Tuhan dan segala manifestasinya serta para leluhur

pada masyarakat Bali Kuno abad IX-XIV Masehi telah melahirkan berbagai bentuk

persembahan atau bebantenan sebagai wujud rasa bakti.

Bebantenan merupakan bentuk jamak dari kata banten yaitu salah satu

bentuk yantra (simbol-simbol yang penuh arti). Di dalam prasasti-prasasti Bali

Kuno disebut dengan istilah mahabanten (saji-sajian besar) terutama pada masa

pemerintahan Raja Jayapangus. Banten memiliki arti yang demikian dalam dan

universal namun di sisi lain wujud banten sangat lokal. Ada beberapa nama banten

yang ditemukan dalam prasasti-prasasti masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi salah

satunya adalah Daksina.

Daksina di kalangan masyarakat Hindu Bali pada masa lampau adalah

sesuatu yang sangat sakral, sehingga bahan-bahan harus dibuat sendiri oleh kaum

ibu atau anggota keluarga. Tradisi itu mulai hilang, karena tidak sedikit masyarakat

Hindu Bali yang membeli daksina disebabkan oleh aktivitas masyarakat sehari-hari

dalam bidang bisnis maupun perkantoran meningkat, sehingga tidak ada waktu

untuk membuat daksina. Penelitian ini mengkaji tentang awal mula keberadaan

banten daksina di desa Buduk dan fenomena perdagangan daksina khususnya di

pasar Buduk, Kec Mengwi, Kabupaten Badung.

Page 338: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 327

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

II. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data primer bersumber dari

prasasti disamping diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan

interview terhadap responden. Prasasti yang dimaksud adalah prasasti Dalung yang

dikeluarkan oleh Raja Jayapangus Arkaja Cihna. Responden adalah wanita

pedagang daksina di pasar Buduk. Teknik wawancara menggunakan kuesioner

terstruktur yang memuat daftar pertanyaan sesuai dengan data yang diinginkan.

Objek penelitian ini antara lain aktivitas ekonomi dan karakteristik

pedagang daksina di pasar Buduk, kelayakan tingkat pendapatan pedagang daksina

di pasar Buduk, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang daksina di

pasar Buduk, dan kontribusi pedagang daksina dalam perekonomian rumah tangga

mereka. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a) variabel karakteristik pedagang daksina di pasar Buduk, meliputi daerah asal,

umur, tingkat pendidikan, status, jumlah anggota keluarga di rumah, jumlah

saudara lain yang tinggal satu rumah, jarak rumah dengan pasar Buduk,

pekerjaan suami/istri.

b) variabel aktivitas pedagang daksina di pasar Buduk, meliputi lama berjualan,

mulai berjualan, pembatasan waktu dan tempat berjualan, biaya lokasi berjualan,

aturan dan tata tertib berjualan, tingkat kebersihan, model berjualan, proses

pembuatan daksina, bahan baku membuat daksina ketika hari biasa/hari

rerahinan/hari raya, penentuan harga, cara berjualan daksina.

c) variabel tingkat kelayakan pendapatan pedagang daksina yang meliputi modal

awal ketika hari biasa / hari rerahinan / hari raya, pendapatan berdagang daksina,

jumlah daksina yang dibuat, harga satu soroh daksina, jumlah daksina yang laku

terjual, laba penjualan daksina, pendapatan keseluruhan anggota keluarga,

kerugian yang ditanggung, yang dilakukan untuk menutup kerugian.

d) variabel faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang daksina di Pasar

Buduk meliputi lokasi berjualan strategis, tingkat keamanan tinggi, aturan dan

tata tertib jelas, tegas, peluang usaha besar, ketegasan pengelola pasar, dekat

dengan tempat tinggal, meneruskan usaha keluarga, mengikuti teman, tidak ada

pilihan pekerjaan lain, laba penjualan besar, modal usaha sedikit, minimnya

Page 339: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

328 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pungutan liar, penataan lokasi berjualan adil, mencukupi kebutuhan ekonomi

keluarga.

e) variabel kontribusi pendapatan berdagang daksina meliputi ada/tidaknya

perbedaan laba berjualan daksina pada hari biasa dibandingkan hari rahinan/hari

raya, kecukupan laba dari berjualan untuk konsumsi rumah tangga, tingkat

konsumsi rata-rata keluarga per bulan, kepemilikan tabungan dari hasil berjualan

daksina, jangka waktu peminjaman uang, intensitas peminjaman uang, aktivitas

lain untuk memenuhi pendapatan.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis prasasti di samping teknik analisis statistik deskriptif, yaitu salah satu

bentuk analisis kegiatan dengan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang

besar sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Mengelompokkan atau memisahkan

komponen atau bagian yang relevan dari keseluruhan data. Pengaturan, pengurutan,

sehingga memberikan informasi deskriptif yang akan menjawab pertanyaan-

pertanyaan dalam definisi masalah (Kuncoro, 2003:172).

III. Pembahasan

Keterangan mengenai persembahan (lebih dikenal dengan istilah banten

oleh masyarakat Bali pada masa sekarang) yang paling sederhana ditemukan di

dalam Kitab Bhagawadgita, dengan kutipan sebagai berikut. “patram pushpam

phalam toyam yo me bhaktya prayacchatitadaham bhakty upahritam ashnami

prayatatmanah “ (Bhagawadgita IX 26). Artinya: siapapun yang sujud kepadaku

dengan mempersembahkan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan,

atau seteguk air, akan aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati

suci. Berdasarkan kutipan tersebut, maka ketulusan hatilah yang menjadi sumber

keberhasilan suatu persembahan atau yadnya (korban suci). Demikian juga di dalam

Kitab Manu Smerti diperoleh kutip sebagai berikut, ”nasyanti hawwyah kawyani

naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhih”

(Manawa Dharmasastra III.97). Artinya : persembahan kepada Dewa dan leluhur

yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peraturannya adalah sia-sia, kalau

memberi karena kebodohannya memberikan bagiannya kepada brahmana,

persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.

Page 340: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 329

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan kutipan sloka tersebut dinyatakan bahwa seseorang yang

hendak membuat suatu yadnya ataupun persembahan, maka tujuan dan maknanya

wajib diketahui. Jika tidak diketahui, maka yadnya tersebut menjadi sia-sia dan

tentunya tanpa pahala. Di dalam lontar Yadnya Prakerti “banten” disebutkan

sebagai bahasa agama dalam bentuk simbol. Kutipannya sebagai berikut.

“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning ida bhatara, pinaka andha buwana,…sekare pinaka kasucian katulusan kayunta mayadnya,

reringgitan tatuwasan pinaka kelanggengan kayunta mayadnya, raka-raka pinaka

widyadhara widyadhari”

Artinya :

‘semua banten lambang diri kita (manusia), lambang kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta’…‘bunga-bungaan lambang kesucian dan ketulusan melakukan yadnya, reringgitan tetuasan (ukir-ukiran pada banten) lambang kesungguhan pikiran melakukan yadnya, raka-raka (buah dan berbagai jajan perlengkapan banten) lambang para ilmuwan-ilmuwan sorga’.

Penggunaan buah dan jenis-jenis makanan yang dijadikan rakan banten,

disebut dalam lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang widyadhara widyadari.

Kata widya berarti ilmu pengetahuan dan dhara artinya merangkul, sehingga

widyadhara artinya mereka yang mampu menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu

pengetahuan diwujudkan dalam perbuatan nyata, artinya buah-buahan dan berbagai

jenis jajan dihasilkan sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya buah

hasil kebun sendiri atau hasil kreasi sendiri. Itulah yang paling baik untuk dijadikan

rakan banten. Banten bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan, tetapi merupakan

simbol yang mona (diam) sama dengan aksara.

2.1 Daksina Sebagai Salah Satu Upakara Penting Pada Masa Bali Kuno

Prasasti Dalung (1103 aka/1181 Masehi) merupakan salah satu prasasti

yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus menyebut Daksina, seperti tertulis pada

lempeng IVb baris 1-2 sebagai berikut.

”mangkana yan hana wastwasambhawotpata ti thāninya, kna ya carwa praya citta nekadewasa rahina wengi dakṣina ma 1,” (Machi Suhadi,1979:137)

Artinya:

Page 341: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

330 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hendaknya apabila ada waswasambhawotpata di desanya, mereka dikenakan upakara caru prayascitta (upacara/saji-sajian penyucian) sehari penuh yaitu siang-malam, daksina (seharga) 1 masaka.

Keterangan tentang upakara daksina juga ditemukan di dalam prasasti-

prasasti lain yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus salah satunya prasasti Bwahan

E (1103 aka /1181 Masehi) seperti yang tertulis pada lempeng IVb baris 4-5

sebagai berikut.

”lāwan yan hana wastwasambhawotpata ti thāninya maweha ya patikêl tanah mā 1 yan ahala puharanya, manghanakna ya caru praya citta ekadiwa a rahina wngi, tan kna dakṣina mwang matan hyang, tan kna sakwaih sajisaji saprakara” (Callenfels,1926:40)

Artinya: Dan apabila ada waswasambhawotpata di desanya, supaya mereka memberikan patikel tanah 1 masaka, apabila buruk akibatnya, supaya mereka mengadakan caru

prayascitta (upacara/saji-sajian penyucian) sehari penuh yaitu siang-malam, tidak kena daksina dan matan hyang, tidak kena segala saji-sajian selengkapnya.

Keterangan di dalam prasasti tersebut menunjukan bahwa daksina adalah

salah satu bentuk persembahan atau banten pada masyarakat Bali Kuno khususnya

abad IX-XIV Masehi selain banten caru dan praya citta. Desa Buduk merupakan

salah satu desa dari puluhan hunian kuno yang terdapat di Bumi Banten (Bali). Pada

tahun Saka 1103 (1181 Masehi) Raja Jayapangus menetapkan desa Buduk dan

Munggu menjadi satu karaman (desa pakraman). Pada waktu itu. Sebagian besar

wilayah desa pakraman Buduk diduga tertutup hutan terutama dari jenis hutan enau

(hduk) dan berada di bawah pengawasan hulu kayu dan caksu hduk.

2.2 Aktivitas Jual Beli Daksina di Pasar Buduk Pada Masa Sekarang

Aktivitas jual beli daksina di pasar Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten

Badung sangat sulit ditelusuri awal mula nya. Walaupun demikian berdasarkan

hasil analisis karakteristik pedagang daksina di pasar Buduk pada masa sekarang,

maka dapat diketahui hal-hal sebagai berikut. Berdasarkan pada 30 responden yang

hingga sekarang berjualan daksina di pasar Buduk, maka dapat diketahui bahwa

daerah asal pedagang daksina tersebut 25 orang berasal dari Desa Buduk dan 5

orang berasal dari luar desa Buduk. Menurut jenis kelamin perempuan sebanyak 28

responden dan laki-laki 2 responden. Menurut umur, pedagang yang memiliki usia

Page 342: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 331

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

antara 15-35 tahun sebanyak 10 responden dan lebih dari 35 tahun sebanyak 20

responden. Menurut tingkat pendidikan tidak tamat SD sebanyak 5 responden,

tamat SMP sebanyak 17 responden, tamat SMU sebanyak 8 responden. Menurut

status perkawinan belum menikah sebanyak 2 responden, menikah sebanyak 28

responden. Menurut jumlah anggota keluarga kurang dari 5 orang sebanyak 15

responden, jumlah anggota keluarga 5 – 10 orang sebanyak 15 responden.

Menurut jarak tempuh ke lokasi berjualan ke pasar Buduk kurang dari 500 meter

sebanyak 10 orang, jarak tempuh ke lokasi berjualan ke pasar Buduk kurang dari

1000 meter sebanyak 12 orang, jarak tempuh ke lokasi berjualan ke pasar Buduk

lebih dari 1000 meter sebanyak 8 orang. Menurut pasangan yang bekerja,

responden sebanyak 25 orang mengatakan pasangan hidupnya bekerja sedangkan 5

responden mengatakan tidak bekerja.

Hasil analisis aktivitas ekonomi pedagang daksina di pasar Buduk

berdasarkan 30 responden, menurut lama berjualan menunjukkan bahwa responden

sebanyak 15 orang mengatakan berjualan kurang dari 5 tahun, responden sebanyak

10 orang mengatakan berjualan selama 5-10 tahun dan responden sebanyak 5 orang

mengatakan berjualan selama lebih dari 10 tahun. Menurut waktu mulainya

berjualan, responden sebanyak 30 orang mengatakan berjualan hanya di pagi hari.

Menurut dikenakannya biaya lokasi berjualan sebanyak 30 orang responden

mengatakan dikenakan biaya selama berjualan daksina. Menurut aturan dan tata

tertib berjualan di pasar Buduk sebanyak 30 orang responden mengatakan ada

aturan dan tata tertib. Menurut lokasi berjualan, responden sebanyak 30 orang

mengatakan lokasi berjualan diatur oleh petugas. Menurut tingkat kebersihan

lokasi berjualan sebanyak 30 orang responden mengatakan menjaga kebersihan.

Menurut tipe berjualan sebanyak 10 orang responden mengatakan tipe berjualan

dengan cara sendiri, 7 orang responden mengatakan tipe berjualan ditemani

suami/istri, 13 orang responden mengatakan tipe berjualan ditemani anak kandung.

Menurut proses pembuatan daksina, 16 orang responden mengatakan proses

pembuatan daksina membuat sendiri, 14 orang responden mengatakan proses

pembuatan daksina membuat sendiri serta dibantu oleh orang lain. Menurut bahan

baku membuat daksina pada hari biasa sebanyak 30 orang responden mengatakan

ketersediaan bahan baku untuk membuat daksina jumlahnya sedikit. Pada hari

Page 343: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

332 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

rerahinan sebanyak 30 orang responden mengatakan ketersediaan bahan baku

untuk membuat daksina jumlahnya banyak, dan pada hari raya sebanyak 30 orang

responden mengatakan ketersediaan bahan baku untuk membuat daksina pada hari

raya jumlahnya banyak. Menurut tipe berjualan daksina, sebanyak 16 orang

responden mengatakan tidak memiliki langganan saat menjual daksina dan 14

orang responden mengatakan memiliki langganan saat menjual daksina.

Menurut penentuan harga jual daksina, sebanyak 14 orang responden

mengatakan penentuan harga jual daksina ditentukan dan 16 orang responden

mengatakan penentuan harga jual daksina menentukan sendiri. Menurut biaya

berjualan daksina sebanyak 17 orang responden mengatakan biaya mereka

berjualan daksina kurang dari Rp 20.000,- dan 13 orang responden mengatakan

biaya berjualan daksina antara Rp20.000,- sampai dengan Rp25.000,-

Hasil analisis kelayakan tingkat pendapatan pedagang daksina. Menurut

modal awal yang dikeluarkan pedagang daksina untuk berjualan di pasar Buduk

pada hari biasa sebanyak 20 orang responden mengatakan Rp100.000, sebanyak 10

orang responden mengatakan antara Rp100.000,-Rp150.000,. Pada hari rerahinan,

sebanyak 15 orang responden mengatakan modal awal antara Rp100.000,-

Rp300.000, dan 15 orang responden mengatakan antara Rp250.000,-Rp500.000,-

Pada hari raya 25 orang responden mengatakan antara Rp250.000,-Rp500.000, dan

5 orang responden mengatakan lebih dari Rp500.000,-. Pendapatan responden

ketika berjualan daksina pada hari raya sebanyak 12 orang responden mengatakan

berkisar antara Rp100.000,- sampai Rp500.000,- dan 18 orang responden

mengatakan lebih dari Rp500.000,-.Jumlah daksina yang dijual oleh responden

pada hari biasa sebanyak 10 orang responden mengatakan 10 dan 20 orang

responden mengatakan lebih dari 10. Jumlah daksina yang dijual oleh responden

pada hari rahinan sebanyak 12 orang responden mengatakan kurang dari 30

daksina, 18 orang responden mengatakan jumlah daksina yang dijual pada hari

rerahinan berkisar antara 30-50 daksina dan 12 orang responden mengatakan lebih

dari 50 daksina. Jumlah daksina yang dijual pada hari raya sebanyak 10 orang

responden mengatakan kurang dari 50 daksina, 16 orang responden mengatakan

menjual daksina pada hari raya berkisar antara 50-75 daksina dan 4 orang

responden mengatakan menjual daksina pada hari raya lebih dari 75 daksina.

Page 344: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 333

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Harga daksina yang dijual 30 orang responden pada hari biasa Rp 30.000,-

pada hari rerahinan sebanyak 30 orang responden mengatakan Rp40.000,- pada

hari raya sebanyak 30 orang responden mengatakan antara Rp40.000,- – Rp50.000,-

. Laba penjualan yang diterima 30 responden ketika hari biasa kurang dari

Rp50.000,-, ketika hari rerahinan Rp kurang dari Rp100.000,- dan ketika hari raya

antara Rp100.000,- Rp500.000,-

Hasil analisis perangkingan alasan pedagang daksina memilih berjualan di

pasar Buduk secara berurutan yaitu lokasi berjualan strategis, modal usaha sedikit,

tidak ada pilihan pekerjaan lain, tingkat keamanan tinggi, meneruskan usaha

keluarga, ketegasan pengelola pasar, dekat dengan tempat tinggal, aturan dan tata

tertib jelas, mengikuti teman. Laba berjualan daksina untuk konsumsi sebanyak 18

orang responden mengatakan cukup, 12 orang responden mengatakan kurang.

Tingkat konsumsi rata-rata yang dikeluarkan responden sebanyak 8 orang

mengatakan tinggi, 12 orang responden mengatakan sedang dan 10 orang

responden mengatakan rendah. Persentase pendapatan untuk kebutuhan sebanyak

10 orang responden mengatakan kurang dari 50%, 12 orang responden mengatakan

50% dan 8 orang responden mengatakan lebih dari 50%. Kepemilikan tabungan

dari pendapatan berjualan daksina sebanyak 6 orang responden mengatakan tidak

terpenuhi, 13 orang responden mengatakan terpenuhi dan 11 orang responden

mengatakan kurang terpenuhi. Alternatif memenuhi kebutuhan sebanyak 7 orang

responden meminjam dari keluarga, 11 orang responden mengatakan pinjam teman,

12 orang responden mengatakan pinjam koperasi.

IV. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Istilah daksina sebagai salah satu upakara/banten penting pada masa Bali Kuno

khususnya oleh masyarakat Buduk telah diketahui sejak tahun 1103 aka (1181

Masehi) berdasarkan keterangan yang termuat di dalam Prasasti Dalung yang

dikeluarkan oleh Raja Jayapangus.

2. Hasil analisis karakteristik responden menunjukan bahwa daerah asal pedagang

daksina mayoritas dari Desa Buduk, jenis kelamin mayoritas perempuan, umur

pedagang antara 15-35 tahun, tingkat pendidikan tamat SMP, status menikah,

Page 345: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

334 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

jumlah anggota keluarga kurang dari 5 orang. Jarak tempuh ke lokasi berjualan

di pasar Buduk lebih dari 1000 meter, mayoritas pedagang daksina memiliki

pasangan yang bekerja.

3. Hasil analisis aktivitas ekonomi pedagang daksina di pasar Buduk berjualan

kurang dari 5 tahun, waktu berjualan pada pagi hari, dikenakan biaya, ada aturan

dan tata tertib berjualan, proses pembuatan daksina dengan cara membuat

sendiri, harga daksina yang mereka jual di pasar Buduk ditentukan, cara

berjulaan daksina dengan cara sendiri.

4. Hasil analisis kelayakan tingkat pendapatan pedagang daksina: modal awal

antara Rp 100.000,- - Rp500.000,-, dengan jumlah daksina 50-75 daksina

pendapatan kurang dari Rp 100.000,- pada hari biasa sedangkan pada hari

rerahinan dan hari raya bisa diperoleh pendapatan antara Rp100.000,- -

Rp500.000,-, konsumsi kebutuhan pokok rata-rata keluarga per bulan antara

Rp250.000,- sampai dengan lebih dari Rp500.000,-, laba penjualan pada hari

biasa Rp50.000,-, pada hari rerahinan dan hari raya lebih dari Rp50.000,-, laba

rata-rata berdagang daksina mulai dari Rp100.000,- sampai dengan lebih dari

Rp500.000,-, pendapatan seluruh anggota keluarga mulai dari Rp300.000,-

sampai dengan lebih dari Rp500.000,-, kerugian yang ditanggung pedagang

daksina pada hari biasa dan hari rerahinan kurang dari Rp50.000,-, pada hari

raya kadang tidak mengalami kerugian namun kadang kurang dari Rp50.000,-,

cara menutup kerugian dengan mengurangi jumlah daksina yang dijual.

5. Hasil analisis perangkingan alasan pedagang daksina memilih berjualan di

pasar Buduk paling utama adalah lokasi berjualan strategis dan dekat dari

rumah.

6. Hasil analisis kontribusi pedagang daksina dalam perekonomian rumah tangga

mengatakan bahwa tidak ada perbedaan laba dari berjualan daksina pada hari

biasa jika dibandingkan dengan pada hari rerahinan/hari raya, laba yang

diperoleh cukup untuk konsumsi rumah tangga dengan tingkat konsumsi rata-

rata sedang, sebesar 50% mengatakan pendapatan berjualan daksina untuk

menopang kebutuhan ekonomi keluarga namun demikian para pedagang

daksina di Pasar Buduk bisa memiliki tabungan.

Page 346: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 335

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

7. Masyarakat cenderung membeli daksina yang banyak di jual di pasar, dengan

alasan lebih praktis, lebih irit biaya dan lebih hemat waktu. Fenomena ini

dimanfaatkan para pedagang daksina untuk meraup rejeki karena adanya

prospek menjanjikan dan dapat menambah penghasilan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA Callenfels, P.V. van Stein. 1926. “Epigraphia Balica I”. VBG. LXVI Dirde Stuk, G.

Kolff & Co. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2004. Himpunan Prasasti-Prasasti Bali Masa

Pemerintahan Raja Jayapangus. Denpasar. Dwiyanto, Djoko. 1993 “Metode Penelitian Epigrafi dalam Arkeologi” Artefak No.

13 Yogyakarta : Bulletin Himpunan Mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada.

Mankiw, N.G. (2001) Pengantar Ekonomi, Jilid 2, Erlangga Jakarta Meydianawathi, L.G. (2009) Analisis Tingkat Pendapatan Buruh Junjung

Perempuan Di Pasar Badung Denpasar, Laporan Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Nilakusmawati, D.P.E. (2007) “Berdagang Canang Sari (Sebagai Alternatif Usaha

Di Sektor Informal Dalam Mengatasi Keterdesakan Ekonomi Rumah Tangga)”, Piramida Jurnal Kependudukan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Volume 3 Nomor 2 Desember 2007, Universitas Udayana

Sardiana, I.K. (2004) “Studi Penggunaan Tanaman Dalam Ritual (Upakara) Umat

Hindu Di Bali”, Dinamika Kebudayaan Volume VI Nomor 2 2004, Universitas Udayana

Suatini, I.A. dan Kompiang Oka, S.A.A. (2007) ”Sistem Informasi Bebantenan

Ditinjau Dari Jenis-Jenis Banten dan Perlengkapannya”, Jurnal Teknologi Elektro Universitas Udayana, Vol. 6 No. 3, Juli-Desember 2007

Page 347: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 336 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

KECANTIKAN PEREMPUAN BALI: SUATU SIMBOLISASI

Ni Made Wiasti

Abstrak

Citra kecantikan seringkali dibangun dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan dengan meminjam citra kebendaan alam yang telah dimuliakan dalam bentuk mitos-mitos dan bahasa. Kondisi semacam ini tampaknya merupakan ciri umum dari masyarakat Indonesia, termasuk budaya Bali yang memiliki kebiasaan berfikir secara simbolis. Pada budaya Bali, konsep tentang kecantikan tubuh perempuan banyak ditemukan pada ungkapan-ungkapan sastra, lonta-lontar, dan ceritera-ceritera rakyat yang hidup dalam tradisi lisan. Dalam ritual atau upacara keagamaan, terutama pada upacara lingkaran hidup (life cycle), sangat banyak ditemukan penggunaan simbol-simbol yang mengacu kepada definisi tubuh dan kecantikan. Pada rangkaian upacara Nyiramang Layon (memandikan mayat) misalnya, terdapat prosesi yang menggunakan material atau bahan-bahan dan mantera-mantera, atau upacara potong gigi (metatah), yang secara simbolik merupakan bentuk dan harapan supaya arwah yang meninggal saat reinkarnasi nanti memiliki organ tubuh yang lengkap dan sempurna.

Sumber-sumber lain seperti ceritera-ceritera rakyat (mitos), juga berperan dalam pembentukan kesan melalui karakter tokoh utama perempuan yang mempunyai citra cantik. Ceritera Ramayana dalam versi Bali misalnya, sangat mengagungkan kesempurnaan kecantikan Dewi Sita, ceritera Arjuna Wiwaha begitu menjunjung kecantikan Dewi Supraba, demikian pula ceritera Rajapala sangat menonjolkan kecantikan seorang bidadari yang bernama Ken Sulasih. Begitu juga dalam drama tari Arja, yang selalu mengoposisikan nilai baik dan buruk, dengan tokoh putri (perempuan) sebagai salah satu tokoh sentral selalu memberikan kesan bahwa putri yang baik adalah puteri yang cantik dan berkarakter atau berkepribadian baik, sebaliknya tokoh perempuan yang berwatak jahat dicitrakan berwajah buruk. Dalam drama tari Arja ini selalu mengambil pengibaratan pada mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai simbol kecantikan tokoh puteri. Kecantikan perempuan, sebagai bagian dari system budaya Bali, sarat dengan nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya nilai estetika yang mengandung unsur etika dan logika. Kata Kunci: kecantikan, perempuan Bali, dan simbolisasi

I. Latar Belakang

Keragaman yang ada dalam suatu budaya, seperti mata pencaharian, pola

hidup dan aspek-aspek budaya lainnya, termasuk budaya fisik sampai pada ideologi

masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor alam atau lingkungan. Ada pendapat

yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah strategi manusia di dalam melakukan

Page 348: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 337

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

adaptasi terhadap lingkungan mereka. Dengan kondisi akam yang berbeda-beda,

maka sangat potensial bagi terbentuknya keanekaragaman budaya masyarakat yang

menempatinya. Karenyanya, menurut Poerwanto (2000), kebudayaan suatu

masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat komunitas

masyarakat itu berada. Keadaan geografis, iklim, potensi alam dan tantangan-

tantangan alam sangat menentukan wujud kebudayaan.

Konsep-konsep tentang keindahan yang dianut, menjadi berbeda antara satu

masyarakat yang mendiami suatu daerah dengan masyarakat lain yang berada di

daerah lain. Termasuk juga tentang kecantikan perempuan yang sering

dianalogikan dengan sesuatu yang ada pada alam. Citra kecantikan itu seringkali

dibangun dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan dengan meminjam citra

kebendaan alam yang telah dimuliakan dalam bentuk mitos-mitos dan bahasa.

Kondisi semacam ini tampaknya merupakan ciri umum dari masyarakat Indonesia,

termasuk budaya Bali yang memiliki kebiasaan berfikir secara simbolis. Mereka

selalu memakai benda-benda alamiah sebagai tanda atau symbol untuk

mengungkapkan suatu maksud atau konsep tertentu (Fernandes, 1990: !08).

Ketersediaan benda-benda alam sebagai materi simbolisasi pada daerah yang

berbeda kondisi geografis dan geologisnya, memang cukup potensial menimbulkan

variasi simbolisasi terhadap hal-hal yang serupa pada komunitas budaya yang

berbeda.

Ungkapan tentang kesempurnaan ukuran-ukuran tubuh seorang perempuan

dari budaya yang berbeda tentu akan banyak juga memiliki perbedaan. Ungkapan

untuk keindahan salah satu organ tubuh perempuan disebabkan oleh adanya

gagasan tentang bentuk organ tubuh yang diidealkan. Selain itu tidak jarang pula

kecantikan seorang perempuan dikonstruksi oleh status sosialnya di dalam

masyarakat. Di dalam tradisi suku bangsa Dayak misalnya, seorang perempuan

dianggapam semakin cantik, apabila dia memiliki lobang tindik yang besar di

telinganya. Oleh karena lobang besar di telinga merupakan petanda bahwa subang

yangdigunakan oleh perempuan tersebut cukup berat, dan hal itu menunjukkan

bahwa dia memiliki status social yang tinggi. Berbeda dengan suku Naga yang

hidup di pedalaman Thailand. Ukuran cantik bagi suku Naga ini adalah leher

panjang yang diisi dengan gelang leher. Semakin banyak gelang yang bisa masuk

Page 349: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

338 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

di dalam lehernya, maka semakin cantiklah perempuan tersebut (Sudiarta, 2006: 2).

Sedangkan di China, kaum perempuan tidak dianggap cantik jika berkaki lebar,

karena itu kaki mereka ditekan erat-erat dengan sepatu kayu berukuran sempit

(Abdullah, 2006:1).

Sedangkan di dalam budaya Bali, konsep tentang kecantikan tubuh

perempuan banyak ditemukan pada ungkapan-ungkapan sastra, lonta-lontar atau

ceritera-ceritera rakyat yang hidup dalam tradisi lisan. Misalnya, untuk

mengungkapkan bentuk alis yang sempurna (ideal) diumpamakan seperti daun

intaran, susu atau payudara yang bagus diumpamakan seperti nyuh gading kembar

atau kelapa gading kembar.

Dalam ritual atau upacara keagamaan, terutama pada upacara lingkaran

hidup (life cycle) sangat banyak ditemukan penggunaan simbol-simbol yang

mengacu kepada definisi tubuh dan kecantikan. Pada rangkaian upacara Nyiramang

Layon (memandikan mayat) misalnya, terdapat prosesi yang menggunakan

material atau bahan-bahan dan mantera-mantera, atau upacara potong gigi

(metatah), yang secara simbolik merupakan bentuk dan harapan supaya arwah

yang meninggal saat reinkarnasi nanti memiliki organ tubuh yang lengkap dan

sempurna.

Sumber-sumber lain seperti ceritera-ceritera rakyat (mitos), juga berperan

dalam pembentukan kesan melalui karkter tokoh utama perempuan yang

mempunyai citra cantik. Alur ceritera yang dibuat seringkali menimbulkan

interpretasi tentang citra perempuan yang ditokohkan dalam ceritera tersebut. Teks-

teks dalam ceritera juga secara eksplisit memuja kecantikan tokoh utama

perempuan. Ceritera Ramayana dalam versi Bali misalnya, sangat mengagungkan

kesempurnaan kecantikan Dewi Sita, ceritera Arjuna Wiwaha begitu menjunjung

kecantikan Dewi Supraba, demikian pula ceritera Rajapala sangat menonjolkan

kecantikan seorang bidadari yang bernama Ken Sulasih. Begitu juga dalam drama

tari Arja, yang selalu mengoposisikan nilai baik dan buruk, dengan tokoh putri

(perempuan) sebagai salah satu tokoh sentral selalu memberikan kesan bahwa putri

yang baik adalah puteri yang cantik dan berkarakter atau berkepribadian baik,

sebaliknya tokoh perempuan yang berwatak jahat dicitrakan berwajah buruk.

Page 350: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 339

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dalam drama tari Arja ini selalu mengambil pengibaratan pada mitos Dewi Ratih

atau Dewi Bulan sebagai simbol kecantikan tokoh puteri.

Tulisan ini memfocuskan pada permasalahan bagaimana makna symbol

Dewi Ratih atau Dewi Bulan pada kecantikan perempuan pada budaya Bali.

Pembahasan akan di bagi ke dalam tiga bidang pembahasan. Pertama, akan diawali

dengan pembahasan tentang pengertian estetika dan kecantikan. Hal ini berisi

tentang konsep-konsep estetika dan kaitannya dengan kecantikan . Kedua, akan

diceriterakan mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai symbol kecantikan yang

sangat populer dan menjadi sumber inspirasi bagi kecantikan perempuan Bali.

Dalam hal ini juga berisi pembahasan tentang symbol-simbol yang terkandung

dalam mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan, seerta makna nya dalam kehidupan

masyarakat Bali. Ketiga, akan diakhiri dengan uraian yang berisi kesimpulan atau

rangkuman.

II. Metodologi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan

studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang dilakukan

melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan informan,

pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami dokumen trkait.

Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis interpretatif, secara emik dan

juga secara etik.

III Pembahasan

3.1 Estetika dan Kecantikan

Pandangan umum mengartikan estetika sebagai suatu cabang filsafat yang

memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni.

Secara etimologi estetika (aesthetic) berasal dari kata aesthesis dalam bahasa

Yunani (Dickie, 1076), yang diartikan sebagai rasa nikmat, indah yang timbul

melalui pencerapan pancaindra (Djelantik, 1995: 5; Dibia, 2003: 94-95). Senada

dengan hal tersebut, Hartoko (1983: 15), menyebutkan bahwa estetika berarti

kemampuan melihat lewat penginderaan atau pencerapan, pesepsi perasaan,

Page 351: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

340 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pengalaman, dan pemandangan. Selanjutnya, konsep estetika tidak saja

dihubungkan dengan pengertian seni yang sempit, tetapi harus dimaknai sebagai

keindahan yang dapat merangsang dan mendorong manusia untuk berkreasi dan

bersikap dinamis untuk mencapai kepuasan batin dan mempertajam intuisinya

(Mantra, 2002: 23; Dibia, 2003: 95). Oleh karena estetika berarti perasaan atau

sensitivitas, maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan, atau apa

yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris.

Estetika timbul tatkala pikiran filusuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai

keterpesonaan rasa. Estetika bersamaan dengan etika dan logika membentuk satu

kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filasafat. Dikatakan oleh

Hegel bahwa filsafat seni membentuk bagian yang terpenting, di dalam ilmu ini

sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan

keindahan (Wadjiz, 1985: 10; Sony Kartika, 2004: 16). Keindahan tidak hnya

disamakan arinya dengan nilai estetika pada umumnya, melainkan juga dipakai

untuk menyebut satu macam nilai estetika. Konsep keindahan bisa juga digunakan

unuk menyebut sesuatu yang lebih terperinci, sperti: beautiful (indah), pretty

(cantik), charming (jelita), atrtactif (menarik) dan graceful (lemah gemulai).

Dalam arti yang lebih sempit, keindahan biasanya dapat digunakan untuk menunjuk

suatu nilai yang derajatnya tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan sifat estetis

mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini

merupakan salah satu katagori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetika

tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.

Sebenarnya masih banyak definisi-definisi lainnya yang dapat

dikemukakan dalam konteks ini. Tetapi pada dasarnya semua pakar mendefinisikan

estetika mengarah kepada satu diskursus yang menyangkut rasa keindahan yang

membuat kita senang, masgul, terkesima, terpesona, bergairah, dan bersemangat

(Dibia, 2003: 95).

Jika dikaitkan dengan masalah kebutuhan manusia, maka estetika atau

keindahan termasuk dalam katagori kebutuhan dasar (basic needs), seperti halnya

sandang, pangan, papan dan yang lainnya. Oleh karena itulah maka dalam

kehidupannya, manusia disadari atau tidak, mereka selalu menata kehidupannya

agar bisa merasakan keindahan. Kebutuhan akan keindahan atau estetika inibersifat

Page 352: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 341

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

universal dan terjadi pada masyarakat sangat sederhana sampai pada masyarakat

modern, bahkan posmoderen sekali pun. Di dalam mengekspresikan keindahannya,

manusia memilih cara-cara yang berbeda, misalnya melalui bentuk-bentuk kesenian

(seni pertunjukan, seni lukis, seni patung, seni kerajinan). Mereka juga mengatur

atau menata lingkungannya supaya kelihatan asri, rapi dengan cara membuat

taman, menciptakan pola menetap, mengatur tata letak bangunan tempat tinggal,

bahkan sampai mengatur atau membentuk tubuhnya supaya kelihtan estetis atau

indah, dan mereka katagorikan sebagai tubuh yang cantik. Di dalam menghadirkan

keindahan ini manusia atau masyarakat mempunyai dua cara yaitu dengan sengaja

membuat/menciptakan karya-karya seninya untuk dinikmati keindahnnya, dan

tidak sedikit yang semula untuk barang/benda pakai baru kemudian dijadikan benda

seni. Menutut Jacgues, seorang Antropolog, bahwa tiap-tiap obyek keindahan

memang bertujuan untuk art by destination dan art bay metamorphosis (1986:18;

Dibia, 2003: 96).

Memberi pengertian tentang kecantikan bukanlah perkara mudah, karena

dia bersifat komulatif, mencakup ukuran-ukuran tubuh tertentu yang ideal,

misalnya kulit putih, rambut hitam, badan kurus, pinggang ramping, dan

sebagainya. Semua ini mencerminkan bahwa kecantikan adalah total, mencakup

ukuran-ukuran tubuh (fisik), dan mental atau kepribadian dengan ukuran standar

pula (inner beauty), sehingga secara keseluruhan melahirkan kecantikan sejati

(Ashad Kusuma Djaya, 2007: X). Kondisi ini sudah menyangkut estetika yang

mengandung unsur obyektif dan subyektif. Kecantikan juga merupakan bagian

dari system budaya yang direpresentasikan melalui symbol. Simbol dalam tubuh

adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka

dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body),

kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).

3.2 Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai Simbol Kecantikan Perempuan Bali

3.2.1 Simbol Keindahan atau Kecantikan

Pada umumnya ceritera rakyat mengandung unsur dualisme atau rwa

bhineda yakni nilai baik dan dan buruk atau jahat. Di dalam berbagai bentuk

kesenian, terutama kesenian drama tari arja misalnya, selalu ditampilkan tokoh

Page 353: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

342 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sentral seorang puteri (perempuan) yang berwajah cantik, baik hati dan

berkepribadian menarik. Sebaliknya tokoh perempuan yang berwatak jahat

dicitrakan dengan wajah buruk. Di dalam drama tari ini tampaknya masalah

keindahan atau kecantikan memang mendapat penekanan yang begitu besar,

sehingga dia muncul dalam berbagai dialog, seperti yang diulas oleh Sudiarta

(2006) berikut.

Dialog 1. “…yening buat keliayuan idane nenten menten nyamen pade … wantah

sekadi Sanghyang Ratih nyalantara driki ring jagate .… artinya, … kecantikan beliau sungguh tak tertandingi …laksana Sanghyang Ratih/Dewi Ratih turun ke bumi…”.

Dialog 2. “…angob titiyang nyantenang plungguh I Ratu…ritatkala mesanding

sareng I Rake, tang bina sekadi Sanghyang Semara lan Dewi Ratih… artinya,… kagum saya menyaksikan Tuan Putri saat hadir bersama Kakanda, tak ubahnya seperti Sanghyang Semara dan Dewi Ratih …”.

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa Dewi Ratih atau Dewi Bulan adalah

tokoh yang paling populer dan banyak digunakan di dalam menganalogikan

kecantikan perempuan pada budaya Bali. Dewi Ratih merupakan salah satu

mitologi dari masyarakat Hindu Bali yang digambarkan dalam berbagai aktivitas.

Salah satunya digambarkan sebagai perempuan cantik yang sedang ngantih atau

memutar jantra (alat pemintal benang), duduk bersimpuh di tengan bulan purnama.

Citra Dewi Ratih dan bulan purnama (bulan penuh) yang tampak bulat bersinar di

langit yang cerah, yang kemudian disebut Dewi Bulan, di dalam kenyatannya

dijadikan dua symbol atau ikon yang mempunyai kesamaan dan kesatuan bahkan

keduanya dianggap sama atau identik. Kedua Dewi ini adalah symbol kecantikan

perempuan yang ideal dan sempurna secara fisik dan kepribadian/watak (inner

beauty). Visualisasi seperti ini banyak dimunculkan oleh para seniman dan seniwati

dalam berbagai bentuk seni, seperti lukisan tradisional gaya Ubud, dan lukisan gaya

Kamasan.

Selain itu, visualisasi ini juga dapat dijumpai dalam ceritera Ramayana

dalam bentuk seni pertunjukan wayang kulit yang mengungkapkan kecantikan

dengan menggunakan bulan purnama sebagai perumpamaan terdapat saat adegan

di dalam hutan beberapa asaat setelah Dewi Sita istri Sri Rama berhasil diculik oleh

Prabu Rahwana. Rasa duka yang amat dalam di hati Sri Rama akibat kehilangan

Page 354: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 343

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

istri tercinta yang membuatnya selalu berhalusianasi. Dialog pada penggalan kisah

ini diceriterakan Sri Rama selalu teringat kepada wajah istrinya manakala Sri Rama

menatap kearah bulan yang sedang bersinar.

Penggunaan simbol Dewi Bulan dan Dewi Ratih, pada kondisi tertentu

mengalami persamaan, tetapi tidak jarang pula terjadi perbedaan. Misalnya, ketika

penggunaan kata bulan sebagai perumpamaan kecantikan, cenderung lebih bersifat

bersifat fisik semata, sedangkan penggunaan gambaran Dewi Ratih memiliki

dimensi yang melebihi sekedar fisik, karena Dewi Ratih dicitrakan sebagai seorang

Dewi yang merupakan pasangan Dewa yang hidup dalam mitologi Hindu Bali.

Dewi Ratih digambarkan seperti manusia dengan keutamaan-keutamaan seorang

Dewa yang dipuja oleh umat Hindu di Bali. Dewi Ratih merupakan gambaran utuh

satu tubuh dengan idealisasi sifat dan wataknya.

Ada berbagai umgkapan yang dijumpai pada masyarakat Bali untuk

menyebutkan keindahan wajah seorang perempuan. Salah satu di antaranya, adalah

“preraine sekadi bulan purnama” (wajahnya seperti bulan purnama). Ungkapan ini

menunjukkan bahwa keindahan bulan purnama hanya digunakan untuk

menunjukkan wajah yang cantik, wajah seorang perempuan yang bentuknya

cenderung bulat dan memancarkan wibawa (aura) yang menimbulkan rasa senang,

kagum dan terpesona pada orang yang memandangnya. Pesona kecantikan yang

menimbulkan rasa senang, tenteram, teduh, relax, sebagaimana bulan purnama

yang selalu menjadi momentum penting spiritualitas masyarakat Hindu Bali.

Sebenarnya ungkapan kecantikan wajah perempuan dengan menggunakan

bulan sebagai anasirnya hanyalah sebuah analogi atau methapora saja, karena

kanyataannya kulit wajah perempuan Bali tidak ada yang mencapai kualitas seperti

cahaya putih rembulan purnama sekalipun mereka berasal dari kalangan

bangsawan. Bahkan perumpamaan bagi kulit yang mulus dan putih menggunakan

benda alam yang berwarna “nyuh gading” atau “ampel gading” atau “langsat”.

Bahkan bedak sebagai benda untuk mempercantik diri dalam kecantikan tradisional

dan jamu lulur yang digunakan perempuan Bali untuk merawat kulit wajah dan kulit

tubuhnya, hanya mampu memberi efek bersih dan warna kekuning-kuningan pada

kulit.

Page 355: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

344 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Perlu dijelaskan bahwa, pengibaratan wajah perempuan Bali dengan bulan

bukan dalam hal warna karena kulit wajah perempuan Bali yang tidak mencapai

kualitas warna putih seperti bulan purnama. Tidak pula dalam bentuk yang bulat

karena wajah bulat pada umumnya dimiliki oleh orang yang gemuk. Badan gemuk

dengan wajah bulat bukan merupakan idealisasi kecantikan perempuan masyarakat

Bali tentang bentuk tubuh dan yang bagus. Yang membuat bulan sering dijadikan

perumpamaan bagi wajah cantik karena kualitas estetika bulan purnama baik

sebagai sebuah benda yang berdiri sendiri atau sebuah benda dalam hubungan

kesatuannya dengan alam. Perumpaman semacama ini juga bisa dijumpai dalam

ceritera-ceritera karya sastra yang menghadirkan bulan sebagai suatu entitas

keindahan.

3.2.2 Simbol Kebaikan dan Kelembutan

Bagi umat Hindu, bulan adalah symbol dari ketua Dewatanya pikiran

(candrama manaso jatah)., yang memungkinkan hati dan pikiran manusia mampu

menyamai sifat-sifat kedewataan. Di India misalnya, bulan purnama diperingati

sebagai hari Guru Purnima, yang perayaannya dimaksudkan untuk menghormati

seorang guru rohani yang membimbing umat manusia dari kegelapan menuju

pencerahan. Upacara pada hari purnama ditujukan sebagai syukur kepada semua

guru dan guru utama yaitu veda vyasa (Raras, 3004: 12-13; Sudiarta, 2006: 56).

Ada keyakinan pada umat Hindu di Bali bahwa pada hari bulan purnama

adalah dauh (saat, waktu) untuk para Dewa. Saat ini dikatakan para Dewa

berkumpul bersama di Kahyangan, sehingga leluasa dapat menyaksikan aktifitas

manusia di bumi. Oleh karena itu, setiap bulan purnama masyarakat selalu

melakukan ritual di tempat-tempat suci mulai dari tempat suci di tingkat keluarga

(pemerajan), sampai di tempat suci yang lebih besar (pura), dengan membawa

banten persembahan khusus. Sedangkan untuk upacara Manusa Yadnya, terutama

upacara perkawinan, bagi sebagian orang, saat bulan purnama sangat dihindari

karena diyakini akan mengalami banyak hambatan, sehingga perkawinan menjadi

tidak langgeng. Saat bulan purnama juga banyak dimanfaatkan untuk melaksanakan

upacara yadnya, terutama yang berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya atau

meayu-ayu.

Page 356: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 345

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dahulu sebelum alat penerangn listrik ditemukan, saat bulan purnama tiba

adalah waktu yang dinanti-nanti oleh anak-anak kecil, karena saat itu mereka bisa

bermain sampai larut malam. Begitu senangnya gembiranya anak-anak menyambut

datangnya bulan purnama, sampai-sampai mereka membuat lagu-lagu, yang

syairnya seperti berikut.

“galang bulan mangentak-entak, terompong selonding saron, rebab dadua

suling papat, kempur gonge mecandetan, endih-endih api tulukin saang

gedebong, sedih-sedih api nepukin anak moglong” .

Begitulah cara anak-anak mengekspresikan kegembiraannya sambil mereka

berlari-lari, berteriak, saling kejar-kejaran. Malam hari yang penuh gelak tawa dan

sesekali juga menangis karena terjatuh atau berbenturan, tetapi segera bangkit

kembali, membuat suasana seperti saat siang hari. Ceritera ini mengilusterasikan

begitu istimewanya memontum bulan purnama bagi masyarakat Bali.

Kehadiran bulan purnama pada malam hari ketika orang-orang sudah

beristirahat dari kerja, membuat alam menjadi tenang, bebas dari suasana bising

dari aktivitas keseharian. Bulan purnama yang memancarkan cahaya keperakan di

puncak pohon dan atap rumah maemberikan keindahan dan kedamaian bagi setiap

hati manusia, dan seolah-olah mereka bersatu dengan alam. Cahaya bulan purnama

yang terang, tetapi tidak menyilaukan dan tidak menyebabkan cuaca menjadi panas

sebagaimana efek yang ditimbulakan oleh matahari. sering menjadi inspirasi bagi

para sastrawan saat menggambarkan suasana malam yang romantis, temaram dan

indah.

3.2.3 Simbol Kekuatan

Filosofi Hindu mengidentikkan bulan sebagai symbol perdana dan matahari

sebagai unsur purusha. Purusha dan predana merupakan konsep yang mengandung

filisofi mendalam dan sangat prinsipil dalam budaya Bali. Konsep ini bersifat

oposisi binier (berbeda atau bertentangan), dan selanjutnya dimaknai sebagai unsur

laki-laki dan perempuan, melahirkan kekuatan positif dan negatif, dan jika bertemu

akan menimbulkan kehidupan. Konsep purusa predana yang sering juga disebut

rwa-bhineda inilah akhirnya yang mengkonstruksi secara sosial budaya tentang

laki-laki dan perempuan (gender) dalam budaya Bali. Laki-laki diberi fungsi dan

Page 357: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

346 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

peran yang berbeda dengan perempuan, berdasarkan kepantasan-kepantasan yang

dibentuk oleh masyarakat, sehingga melahirkan hak dan kewajiban yang berbeda

pula.

Simbol Dewi Ratih, di samping memiliki kecantikan fisik, dia juga

digambarkan sebagai Dewi atau saktinya Dewa yang yang hidup dalam mitologi

Hindu. Dewi Ratih digambarkan seperti manusia yang mempunyai keutamaan-

keutamaan seperti seorang Dewa yang dipuja oleh umat Hindu di Bali. Dewi Ratih

merupakan sosok atau gambaran utuh suatu tubuh dengan idealisasi sifat dan

wataknya. Gambaran viasualnya kecantikannya ada pada lukisan-lukisan yang

bertemakan pewayangan. Sedangkan pencitraan sifat dan wataknya digambarkan

di dalam ceritera, terutama dalam kisah tetang “Pemutaran Mandara Giri” , di mana

Dewi Ratih diceriterakan mempunyai peran sangat besar untuk menyelamatkan

dunia dan kahyangan dengan jalan membongkar penyamaran seorang raksasa yang

hampir memperoleh keabadian karena berhasil meminum Tirta Amerta yang

sebenarnya hanya diperuntukkan bagi para Dewa. Inti dari ceritera ini, bahwa

perempuan dengan fisik dan kecerdasan yang dimilikinya mempunyai kekuatan

atau kemampuan yang besar untuk menjadi seorang pemimpin.

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan masalah kepemimpinan, menurut ajaran

Agama Hindu, kepimpinan yang baik harus berpedoman kepada Astha Bratha.

Salah satu unsurnya adalah yang disebut Chandra Bratha, yang mengajarkan

bahwa seorang pemimpin hendaknya selalu berusaha untuk menyenangkan hati

masyarakat yang dipimpinnya dengan jalan memberikan rasa senang, rasa damai,

sebagaimana bulan purnama yang kehadirannya di langit pada malam hari selalu

menimbulkan rasa senang, kesejukan di hati setiap insan yang menatapnya dengan

penuh perasaan damai.

Ajaran Asta Bratha sebagai pengetahuan, bagi kalangan intelektual

tradisional Bali merupakan sesuatu yang sangat kental pada pribadi orang Bali.

Sedangkan Candra Bratha adalah salah satu ajaran kepemimpinan yang

mengajaran agar pemimpin mampu menghibur perasaan rakyatnya, mengupayakan

kesenangan dan menenangkan hati pada saat sesuatu yang mengkhawatirkan

sedang dialami. Pemahaman ini menjadikan bulan sebagai salah satu patron yang

identik dengan keindahan, kesenangan atau sesuatu yang menghibur. Keindahan

Page 358: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 347

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

atau sesuatu yang dianggap indah bagi masyarakat Bali mengandung konsep

harmoni atau kesesuaian antar unsur-unsur penyusunnya..Sesuatu yang indah bagi

masyarakat Bali, biasanya diungkapkan dengan pujian berupa kata-kata , seperti:

cocok/sesuai (pangus), serasi (adung), tidak janggal (pangid), bagus (luung),

mempesona (ngelangenin), dan istilah-istilah lainnya, termasuk juga di dalam

mengungkapkan kecantikan perempuan. Pada dasarnya pernyataan-pernyataan

pujian tersebut memperlihatkan suatu kondisi yang harmoni dan selaras. Sesuatu

yang mengandung kondisi sebagai suatu tampilan atau penampakan yang di

dalamnya terkandung unsur yang kontras dari sesuatu yang dianggap ideal atau

diedialisasikan oleh pandangan estetika tradisional. Terhadap kondisi disharmonis

ini sering disebut dengan istilah (soleh).

Begitu kompleks dan mendalamnya simbol Dewi Ratih dan Dewi Bulan

dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan Bali, akhirnya melahirkan definisi

kecantikan yang tidak hanya menyangkut fisik, tetapi juga keperibadian (inner

beauty. Selain ukuran-ukuran tubuh yang ideal, juga harus diikuti oleh solah

(perilaku) yang baik. Dalam budaya Bali dikenal pula istilah-istilah tertentu untuk

menyebut perempuan cantik secara fisik sekaligus mempunyai sifat watak yang

baik. Misalnya untuk menyebut perempuan yang cantik, baik hati, tidak emosional

dan tidak suka berkata kasar disebut dengan istilah Dewi Sampad, sebaliknya

perempuan yang berwatak tidak baik, disebut Asuri Sampad. Istilah-istilah ini

akhirnya melahirkan konsep yang lebih luas dan kompleks yang menyangkut

tentang perempuan, yaitu yang disebut luh luih (perempuan baik), dan luh luu

(perempuan tidak baik) (Wiasti, 1998: 148). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa

di dalam kecantikan, terkandung nilai estetika yang bersifat sebagai obyektivtas dan

sekaligus pula sebagai subyektivitas. Di dalam kenyataan, kecantikan perempuan

dihadirkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya dalam melakukan

kegiatan adat dan agama, yang termasuk dalam art by destination, yaitu untuk

mengiringi ritual.

VI Penutup

Kecantikan perempuan, sebagai bagian dari sistem budaya Bali, sarat

dengan nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya nilai estetika yang mengandung

Page 359: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

348 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

unsur etika dan logika. Mitilogi tentang Dewi Ratih atau Dewi Bulan misalnya,

sangat besar perannya dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan Bali. Tokoh

ini menjadi inspirasi besar bagi para seniman untuk memvisualisasikan kecantikan

perempuan Bali yang ideal ke dalam berbagai bentuk kesenian.

Seperti diuraikan di atas bahwa kecantikan perempuan Bali yang ideal

adalah yang mengandung simbol-simbol seperti yang dimililki oleh Dewi Ratih

atau Dewi Bulan. Dijelaskan bahwa ada tiga symbol penting yang harus dimiliki

oleh perempuan Bali. Pertama, symbol keindahan atau estetika, yang lebih

menekankan kepada keindahan fisik, termasuk ukuran-ukuran tubuh, seperti bentuk

muka yang tidak bulat warna kulit seperi cahaya bulan, bukan putih, tetapi bersih

dan kekuning-kuningan, dan sebagainya. Kedua, simbol kebaikan karena dia

mampu menciptakan suasana tenang, damai, seperti cahaya bulan purnama yang

terang tetapi tetap menyejukkan. Cahaya bulan juga mampu memunculkan pikiran-

pikiran positif yang memungkinkan manusia mampu mangikuti cara berfikirnya

para Dewa. Ketiga, simbol kekuatan, meski memiliki fisik yang dikatakan lebih

lemah daripada laki-laki, tetapi tetap harus memiliki kekuatan atau kemampuan

untuk menguasai suatu kondisi tertentu. Dalam hal ini diharapkan perempuan

memiliki kecerdasan akal dan pikiran untuk membuat strategi-strategi tertentu,

sehingga memungkinkan mereka menjadi seorang pemimpin, seperti ajaran

kepemimpinan yang bersifat candra bratha. Simbol-simbol inilah yang harus

dimiliki oleh perempuan Bali, apabila dia ingin memiliki kecantikan yang ideal,

yang dikonstruksi oleh nilai-nilai budaya Bali.

Simbolisasi kecantikan perempuan Bali dalam Dewi Bulan atau Dewi Ratih

tampaknya bukan hanya ada di tataran ideal saja tetapi juga terimplementasi di

dalam realitas kehidupan. Akan tetapi di tataran praksis hal ini banyak dipengaruhi

oleh berbagai ideologi. Di era globalisasi ini bagi perempuan Bali kecantikan

adalah subyektif dan demokratis, di mana kecantikan dianggap sebagai suatu

pilihan yang pada akhirnya melahirkan beragam bentuk kecantikan sesuai dengan

kepentingan.

Page 360: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 349

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 2006. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif

Antropologi. Yogyakarta: Tici Press. Dibia, I Wayan, 2003. “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam

Estetika Hindu Dan Pembangunan, I.B.G Triguna (Ed.). Denpasar: Program magister Ilu Agama dan Kebudayaan UNHI Bekerja sama dengan Penerbit Widya Dharma.

____________, 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung:

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia – Art Line. Fernandes, Sthepanus Ozias, 1990. Citra Manusia Budaya Barat dan Timur. Flores,

NTT: Nusa Indah. Foucault, Michel, 2000. Seks dan Kekuasaan (Sejarah Seksualitas). Bandung: Pt.

Gramedia Pustaka Utama. Haviland, William A., 1993. Anthropologi Jilid 2. Jakarta: penerbit Erlangga. Liang Gie, The, 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta:

Fakultas Filsafat UGM. Mertami, Made, 2003. Tata Rias Pengantin Bali. Denpasar: Upada Sastra. Nala, Ngurah, 2001. Upacara Nyiramang Layon. Surabaya: Penerbit Paramita.

Poerwanto, Hari, 200. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.

Yogyakarta: Pustaka pelajar. Raras, Niken Tambang, 2004. Purnama Tilem: Kasih Rwa Bhineda. Surabaya:

Penerbit Paramita. Sudiarta, I Wayan, 2006. Rekonstruksi Visual Konsep-konsep Kecantikan

Tradisional Wanita Bali dan Manifestasinya di dalam Kehidupan Masyarakat Bali Masa Kini. Tesis S-2, Kajian Budaya, Universitas Udayana. Tidak Diterbitkan.

Wiasti, Ni Made, 1998. Konstruksi Gender pada Masyarakat Balai: Kasus Wanita

Pekerja Kerajinan Bambu di Desa Blahbatuh, Gianyar. Tesis S-2, Program Studi Antropologi UniversitasGadjah Mada. Tidak Diterbitkan.

Wiasti, Ni Made, 2010. Konstruksi Kecantikan Perempuan Bali Yang Berkarir di

Kota Denpasar, Bali. Desertasi, Kajian Budaya, Universitas Udayana. Tidak Diterbitkan.

Page 361: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

350 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Titib, I Made, 1998. Citra Wanita dalam Kekawin Ramayana: Cermin Masyarakat

Hindu tentang Wanita. Surabaya: Penerbit Paramita.

Page 362: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 351 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

OMOTENASHI, SPIRIT KERAMAHAN MASYARAKAT JEPANG

MENYAMBUT TOKYO OLYMPIC 2020

Ni Putu Luhur Wedayanti

Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana

Alamat surel: [email protected]

Abstrak

Dewasa ini dengan berbagai kemajuan teknologi informasi, memicu arus migrasi semakin deras. Hal ini menyadarkan masyarakat Jepang untuk lebih membuka diri terhadap budaya asing. Hal tersebut juga dikarenakan harapan yang besar terhadap perhelatan akbar olimpiade 2020 di Tokyo mampu memberi tambahan devisa negara Jepang secara signifikan. Jepang yang sebelumnya dikenal sebagai masyarakat dengan karakter umum pekerja keras, dingin dan sulit didekati, mulai mempropagandakan diri sebagai masyarakat yang paham cara melayani konsumen dengan tulus (omotenashi). Revitalisasi spirit omotenashi ini telah meluas di sebagian besar bisnis jasa di Jepang sebagai bentuk dukungan mensukseskan Olimpiade Tokyo 2020. Kata kunci: Omotenashi, pelayanan jasa

PENDAHULUAN

Jepang akan menyambut Tokyo Olympic pada tahun 2020 mendatang.

Segenap warganya tengah sibuk mempersiapkan diri memperlihatkan sisi terbaik

dari negara mereka, bahkan stiker-stiker yang bertuliskan slogan penyemangat

tertempel di banyak tempat umum di Jepang. Bagi orang yang pernah berkunjung

ke Jepang, berbagai kesan tertinggal dalam benak mereka sesuai dengan

pengalaman yang mereka dapat dalam kunjungan mereka di negara tersebut.

Pengunjung ataupun wisatawan yang memperoleh kesan baik, mengapresiasi

negara Jepang sebagai negara yang indah dan penuh keramahatamahan. Hanya saja,

bagi mereka yang kebetulan memperoleh pengalaman yang tidak sesuai harapan,

kemungkinan akan meninggalkan kesan yang kurang baik, yang secara tidak

langsung dikawatirkan dapat membuat pengaruh buruk terhadap bisnis jasa di

Jepang.

Page 363: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

352 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Jepang sebagai sebuah negara telah diteliti oleh banyak antropolog dan telah

ditulis dalam banyak buku mengenai karakter masyarakatnya secara umum. Jika

dicoba untuk dicari istilah mengenai Japanologi di mesin pencari google, dalam

sekian detik belasan ribu entri mengenai hal tersebut akan muncul di hasil

pencarian. Hal tersebut membuktikan kajian mengenai Jepang telah diteliti dengan

mendetail dan dalam kuantitas yang berlebih. Hal tersebut membawa banyak

dampak, baik positif maupun negatif. Bagi mereka yang berkepentingan melakukan

studi mengenai negara Jepang, banyaknya referensi sangat membantu dalam hal

mencapai tujuan yang diharapkan. Hanya saja, sayangnya beberapa kalangan kerap

hanya membaca satu atau dua referensi tetapi telah menilai negara tersebut dengan

begitu kaku, sehingga menghalanginya untuk melihat Jepang dengan lebih objektif.

Salah satu hal, dari sekian banyak penjelasan mengenai karakter orang Jepang

secara umum adalah istilah Honne dan Tatemae.

Terminologi mengenai honne dan tatemae memberikan stereotipe bagi

masyarakat Jepang bahwa mereka tidak tulus. Hal tersebut kurang menyenangkan

bagi orang Jepang karena bagi orang yang telah memiliki pedapat mengenai orang

Jepang, komunikasi akan sulit dilakukan karena kedua belah pihak telah menaruh

prasangka sebelumnya. Istilah honne dan tatemae sendiri merupakan istilah yang

mengacu pada sikap orang Jepang yang berbeda di depan dan di belakang.

Maksudnya adalah, orang Jepang dikatakan bahwa apa yang dihati mereka berbeda

dengan apa yang mereka ucapkan ataupun tunjukkan di depan orang lain. Sikap ini

sebenarnya didasari pada ketidaksukaan orang Jepang untuk berkonfrontasi secara

langsung jika terjadi konflik, sehingga untuk menghindari hal tersebut mereka

memilih untuk memperlihatkan (menunjukkan) hal yang baik di depan kawan

bicara. Yang menjadi permasalahan adalah terkadang apa yang ada di hati yaitu

honne (apa yang dimaksudkan atau diinginkan sesungguhnya) berbeda dengan apa

yang disampaikan atau ditunjukkan sebagai tatemae (Davis dan Ikeno, 2002).

Perbedaan ini tidak menimbulkan masalah yang rumit antara orang Jepang karena

mereka tumbuh besar dengan terbiasa mengenai pandangan tersebut. Hanya saja,

perihal ini menyebabkan banyak orang asing yang ragu untuk menjalin

persahabatan dengan orang Jepang. Mereka sulit untuk mempercayai bahwa

Page 364: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 353

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

keramahan yang orang Jepang berikan adalah tulus tanpa maksud apapun di

baliknya.

Ketika Tokyo disetujui sebagai tuan rumah pada olimpiade tahun 2020 dua

tahun mendatang, masyarakat Jepang secara umum bersemangat untuk memberikan

kesan yang terbaik bagi para pengunjung yang akan datang ke Jepang. Christel

Takigawa sebagai bid ambassador yang mempresentasikan mengenai omotenashi

sebagai keramahan orang Jepang yang tulus tanpa pretensi apapun, sebagai daya

tarik baru pariwisata Jepang.

Olimpiade Tokyo 2020 Sebagai Potensi Ekonomi

Gempita euforia mengenai Olimpiade Tokyo seakan tiada habisnya menjadi

topik di Jepang. Tidak hanya menjadi bahan berita di media massa, perihal tersebut

juga kerap menjadi perbincangan dikalangan masyarakat sendiri, baik mengenai

pro maupun kontra. 2Olimpiade Tokyo sendiri dikatakan menjadi harapan

perbaikan ekonomi Jepang kedepannya dengan prediksi membawa sebanyak 180

ribu pekerjaan baru dalam event tersebut. Pekerjaan tersebut bukan hanya berpusat

di Tokyo, akan tetapi juga setengahnya dikatakan akan tersebar ke daerah lain di

Jepang. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat Jepang bersemangat untuk

meninggalkan kesan yang baik bagi masyarakat asing sehingga mereka juga

berkeinginan untuk memperlihatkan negara mereka yang mengejutkan kepada

dunia asing.

Kunjungan wisatawan asing ke Jepang untuk perhelatan akbar tersebut

mulai menunjukkan kenaikan yang signifikan sejak awal Tokyo diputuskan sebagai

tuan rumah olimpiade di tahun 2013. Meskipun kunjungan wisatawan turun drastis

di tahun 2011 saat terjadi bencana tsunami, akan tetapi kedatangan wisatawan asing

dikatakan naik dua kali lipat di tahun 2013, dan terus meningkat hingga mencapai

24 juta wisatawan di tahun 2016. Grafik ini meningkatkan optimisme pemerintah

untuk mencanangkan target kunjugan mencapai 40 juta di tahun 2020

(Kankouhakusho dalam Williams, 2017).

Target tersebut tentu memancing banyak pendapat di kalangan masyarakat

Jepang, baik akademisi maupun praktisi bisnis jasa yang terkait. Banyak pihak yang

2https://www.insidethegames.biz/articles/17217/a-tokyo-win-qwould-create-more-than-150000-jobsq-says-new-research

Page 365: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

354 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

menyangsikan kesiapan Jepang untuk menerima serbuan wisatawan asing karena

sarana dan prasarana yang tersedia di Jepang mengalami stagnansi. Kritik tersebut

dijawab oleh pemerintah dan panitia olimpiade dan praktisi bisnis jasa terkait

dengan bergegas melakukan perbaikan maupun penambahan fasilitas umum yang

dapat digunakan mendukung target kunjungan wisatawan asing yang dicanangkan

pemerintah Jepang. Hanya saja, masalah tidak berhenti di sana. Masyarakat Jepang

yang dikatakan sulit membuka diri terhadap pihak asing, diragukan mampu

memberikan kesan yang positif dalam layanan mereka. Pemikiran ini kemudian

merevitalisasi nilai omotenashi tersebut sebagai motivasi keramahan masyarakat

Jepang dalam memberikan jasa mereka kepada konsumen.

Omotenashi Sebagai Spirit Keramahan yang Tulus

Seperti yang telah disampaikan di awal makalah, istilah omotenashi

mengemuka kembali saat Jepang mempromosikan negaranya dalam upaya menjadi

tuan rumah olimpiade di tahun 2020 di Buenos Aires, Brasil. Jepang menyampaikan

bahwa masyarakat Jepang memiliki karakter yang mampu melayani para turis asing

secara maksimal yang berorientasi kepada kepuasan konsumen. Salah satu bentuk

keramahan omotenashi dapat ditemui di penginapan-penginapan tradisional Jepang

atau yang disebut ryokan. Para staf ryokan tersebut jarang bertanya mengenai

kebutuhan konsumen, akan tetapi mereka berusaha memenuhi keinginan konsumen

dengan mendetail. Konsumen benar-benar dilayani seperti raja dan dimanjakan

seperti anak kecil yang tidak perlu melakukan apapun.

Omotenashi merupakan kata yang berasal dari kata motenasu ‘melayani’,

penambahan prefiks {o-} diawal kata sebagai penanda honorifik dalam bahasa

Jepang, sehingga verba motenasu yang berganti menjadi nomina yaitu motenashi

mendapat prefiks {o-} menjadi omotenashi. Kata ini sering digunakan pada frase

hito wo motenasu yang berarti ‘melayani atau menyambut seseorang’. Kata

motenasu ini juga sering dimaknai sebagai ‘tidak membawa (memiliki) apapun’

oleh masyarakat Jepang. Nakao dan Umeshitsu (dalam Terasaka dan Inaba, 2014)

menyebutkan bahwa omotenashi ini berarti menyenangkan kawan bicara dengan

memilih mengambil sudut pandang kawan bicara tersebut, sehingga mampu

memahami kebutuhan ataupun kondisi orang tersebut. Dengan melakukan hal

Page 366: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 355

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tersebut, orang pertama mampu memenuhi kebutuhan kawan bicara tanpa perlu

bertanya terlebih dahulu.Orientasi dari omotenashi ini adalah kesempurnaan dalam

pelayanan, usaha yang dilakukan sangat mendetail dan tanpa cela. Bahkan

dikatakan bahwa tidak ada permintaan yang tidak dapat dikabulkan, kesempurnaan

pelayanan yang diberikan bahkan diusahakan agar diluar ekspektasi konsumen

(Terasaka dan Inaba, 2014).

Keraguan mengenai propaganda omotenashi sebagai salah satu jurus jitu

menarik wisatawan dikarenakan adanya kesadaran perbedaan kebutuhan wisatawan

dari negara yang berbeda dengan Jepang. Pelayanan omotenashi yang

mengusahakan kepuasan konsumen didasarkan pada penilaian kebutuhan

masyarakat Jepang. Hal ini yang menjadi kekhawatiran bahwa keramahan yang

tulus dan menyeluruh tidak selalu tepat disasar kepada siapapun. Tidak semua

wisatawan kemungkinan nyaman dilayani dengan dimanjakan secara berlebihan.

Hal tersebut yang menyebabkan perihal omotenashi sebagai spirit jasa di Jepang

diharapkan untuk dikoreksi kembali.

Akan tetapi, pengembangan sikap hospitaliti yang berasaskan omotenashi

merupakan turunan dari kebutuhan pelaku bisnis jasa untuk menarik konsumen.

Pemahaman akan istilah tersebut pun tergantung dari tujuan yang ingin dicapai oleh

masing-masing individu. Hanya saja, pada dasarnya pemahaman awal mengenai

hal ini berdasar pada semangat untuk menujukkan ketulusan karena omotenashi

pada dasarnya bermakna ‘tidak membawa (maksud) apapun; tidak ada apa-apa’.

Jadi, apa yang disampaikan di depan, itulah juga yang ada di hati. Jika itu berupa

keramahan ataupun wajah yang bahagia saat melayani konsumen, itu pula lah yang

ada di hati para staf tersebut. Sehingga konsumen akan merasa nyaman dilayani

dari hati.

SIMPULAN

Omotenashi pada dasarnya istilah yang tidak baru di Jepang, hanya saja dalam

upaya mempropagandakan negaranya untuk menjadi tuan rumah Olimpiade di

tahun 2020, Jepang menyatakan bahwa karakter umum masyarakat Jepang adalah

omotenashi atau ’tulus tidak menyimpan maksud apapun’. Sikap tulus ini

diharapkan mempermudah para wisatawan atau siapapun pihak asing yang akan

Page 367: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

356 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

berkunjung ke Jepang ataupun memulai komunikasi dengan orang Jepang, karena

mereka (orang Jepang) tidak memiliki maksud apapun saat menunjukkan

keramahan mereka selain apa yang memang mereka tunjukkan. Keramahan

tersebut juga merupakan keramahan yang merupakan budaya Jepang turun temurun

dengan mengambil sudut pandang konsumen, sehingga pelayanan dapat dilakukan

semaksimal mungkin berdasarkan kebutuhan konsumen tersebut Dengan

penerimaan yang hangat seperti itu, perhelatan olimpiade di Tokyo sebagai ajang

perlombaan tingkat dunia dapat meningkatkan potensi ekonomi Jepang secara

berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Davis, Roger J. Dan Ikeno, Osamu. (Ed.) 2002. The Japanese Mind :

Understanding Contemporary Culture. Tuttle Publishing, Japan. Terasaka, Kiyoko dan Inaba, Yuuyuki. 2014. Hospitaliti to omotenashi, sabisu no

hikaku bunseki. The Journal of Social Science, pp. 85-120 Williams, David. 2017. Tokyo 2020: a Legacy or lethargy for

tourism. https://www.jiu.ac.jp/files/user/education/books/pdf/839-45.pdf. (diakses 13 Februari 2018)

https://www.insidethegames.biz/articles/17217/a-tokyo-win-qwould-create-more-

than-150000-jobsq-says-new-research (diakses 21 Maret 2018)

Page 368: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 357 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

NEGASI DALAM KUMPULAN CERPEN 1 PEREMPUAN 14 LAKI-LAKI

KARYA DJENAR MAESA AYU

Ni Putu N. Widarsini

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk negasi dan fungsi / kegunaannya dalam buku kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki karya Djenar Maesa Ayu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dibantu dengan teknik catat ; analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif ; dan hasil analisis disajikan dengan metode informal. Selanjutnya, berdasarkan pandangan Chaer dan Ramlan tentang negasi, hasil yang didapatkan adalah pada kumpulan cerpen tersebut ditemukan bentuk-bentuk negasi berupa jangan, bukan, tanpa, tiada, belum, gak, dan nggak. Kata-kata negasi yang ditemukan itu berfungsi untuk menyangkal kategori yang didampinginya. Kata kunci: negasi, kata, fungsi negasi

1. PENDAHULUAN

Sesuai dengan topik Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 2018, tulisan

ini ingin mengungkapkan topik sastra, khususnya karya sastra. Melalui karya sastra,

penulis dapat memanfaatkan bahasa untuk menuangkan idenya ke dalam bentuk

tulisan. Sudah tentu bahasa yang digunakan penulis karya sastra satu dengan yang

lainnya memiliki perbedaan. Dengan kata lain, setiap penulis karya sastra memiliki

cara tertentu untuk mengemas idenya dalam karya yang dihasilkannya walaupun

ditulis dalam bahasa yang sama.

Sebagai guru bahasa perlu tidak hanya mempelajari rahasia dan teknik

profesi, tetapi juga mesti menjadi peneliti pemakaian bahasa dalam situasi sehari-

hari. Demikian tulis Anderson (1996:323). Penulis sendiri seorang pengajar bahasa

Indonesia . Oleh karena itu , Anderson menginspirasi penulis untuk melakukan

penelitian pemakaian bahasa dalam karya sastra saat ini. Karena karya sastra itu

banyak jenisnya, pada kesempatan ini penulis hanya mengambil salah satu jenis

karya sastra itu. Adapun jenisnya adalah cerpen.

Page 369: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

358 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Cerpen yang diambil adalah sebuah kumpulan cerpen yang ditulis oleh

Djenar Maesa Ayu yang terbit tahun 2011 dengan judul 1 Perempuan 14 Laki-Laki.

Sesuai dengan judul kumpulan cerpen tersebut, dalam kumpulan cerpen itu Djenar

Maesa Ayu sebagai seorang perempuan menulis 14 cerpen berkolaborasi dengan

14 orang laki-laki. Keempat belas judul cerpen itu adalah sebagai berikut.

1. Kunang-Kunang dalam Bir (KKDB) ditulis bersama Agus Noor.

2. Cat Hitam Berjari Enam (CHBE) ditulis bersama Enrico Soekarno.

3. Menyeruput Kopi di Wajah Tampan (MKWT) ditulis bersama Indra Herlambang

4. Ramaraib (RR) ditulis bersama Sardono W. Kusumo.

5. Kupunyakupa (KPK) ditulis bersama Totot Indrarto.

6. Kulkas.dari.Langit (KDL) ditulis bersama JRX.

7. Matahari di Klab Malam (MDKM) ditulis bersama Arya Yudistira Syuman.

8. Rembulan Ungu Kuru Setra (RUKS) ditulis bersama Sujiwo Rejo.

9. Napas dalam Balon Karet (NDBK) ditulis bersama Richard Oh.

10. Bukumuka (BM) ditulis bersama Nugoroho Suksmanto.

11. Ra Kuadrat (RK) ditulas bersama Lukman Sardi.

12. Dijerat Saklar (DS) ditulis bersama Robertus Robet.

13. Polos (PL) ditulis bersama Mudji Sutrisno, Sj.

14. Balsem Lavender (BL) ditulis bersama Butet Kartaredjasa.

Buku kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu ini dipilih atas dasar bahwa yang

bersangkutan adalah seorang sastrawan yang telah banyak menciptakan cerpen dan

juga novel. Untuk karya sastra Djenar MaesaAyu yang berupa buku kumpulan

cerpen dimasukkan dalam kategori sepuluh buku terbaik Kathulistiwa Literary

Award 2003. Buku kumpulan cerpennya itu adalah buku pertama dengan judul

Mereka Bilang, Saya Monyet ! Bukunya itu sudah dicetak ulang sebanyak delapan

kali ( lih. Octarini, 2017:1). Akan tetapi, penulis kini hanya memilih buku

kumpulan cerpen yang diterbitkan setelah Djenar Maesa Ayu mendapatkan

penghargaan.

Dalam karya sastra cerpen ada banyak hal yang dapat dibahas. Namun pada

kesempatan ini, penulis hanya membahas segi pemakaian bahasa dalam karya

sastra. Pemakaian bahasa dalam karya sastra juga meliputi banyak hal. Pada tulisan

ini tidak memungkinkan untuk mebahas banyak hal itu. Oleh karena itu, tulisan ini

Page 370: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 359

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

hanya membahas salah satu segi dari pembahasan yang banyak bisa dilakukan.

Adapun masalah yang ingin diungkapkan pada tulisan ini adalah apa sajakah

bentuk-bentuk negasi dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki karya

Djenar Maesa Ayu?

Berdasarkan kedua masalah yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan

penulisan saat ini adalah yang pertama untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk

negasi dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki. Kedua, untuk

mendeskripsikan fungsi/kegunaan bentuk-bentuk negasi dalam kumpulan cerpen 1

Perempuan 14 Laki-Laki.

Sumber data tulisan ini adalah buku kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-

Laki, cetakan keempat 2011 yang memuat 14 buah cerpen. Metode yang digunakan

dalam pengumpulan data adalah metode simak. Penyimakan dilakukan pada

sumber data dimulai dari halaman depan sampai halaman belakang tentang bentuk-

bentuk negasi yang ada dan dilanjutkan dengan teknik mencatat. Setelah data

terkumpul dilakukan pemilahan. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif

kualitatif. Selanjutnya, hasil analisis disajikan dengan metode informal.

2. PEMBAHASAN

Sebelum menyajikan bentuk-bentuk negasi dan fungsi/kegunaan negasi

dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki terlebih dahulu dijelaskan

pengertian negasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua

cetakan keempat (1995:686), negasi memiliki pengertian penyangkalan;

peniadaan; kata sangkalan (msl kata tidak, bukan). Selain KBBI, beberapa ahli

Indonesia juga memberikan pengertian negasi seperti dipaparkan di bawah ini.

Ramlan menyatakan negasi dengan negatif sebagai dasar penggolongan

klausa dengan menegatifkan predikatnya. Berdasarkan hal itu, Ramlan

menggolongkan ada klausa negatif, yaitu klausa yang memiliki kata-kata negatif

yang secara gramatik menegatifkan predikat. Kata-kata negatif itu ialah tidak, tak,

tiada, bukan, belum, dan jangan (1981:109).

Chaer (2015:206) juga menyatakan negasi dengan negatif sebagai dasar

penggolongan kalimat. Dinyatakannya bahwa kalimat negatif dibentuk kalimat

(klausa) positif dengan cara menambahkan kata-kata negasi atau kata sangkalan ke

Page 371: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

360 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dalam klausa (kalimat) dasar. Kata-kata sangkalan itu adalah kata tidak atau tak,

bukan, tiada, dan tanpa.

Secara garis besarnya ketiga pengertian negasi di atas memiliki kesamaan,

tetapi Ramlan memakai istilah negatif dan Chaer menggunakan istilah negasi dan

negatif. Juga ada perbedaan dalam hal kata-kata negasi. Pada tulisan ini digunakan

kata-kata negasi dari ketiganya yang telah disebutkan di atas sebagai referensi.

Berikut ini adalah bentuk negasi yang ditemukan dalam kumpulan cerpen 1

Perempuan 14 Laki-Laki karya Djenar Maesa Ayu.

1) Kata Negasi tak

Kata negasi tak ini ditemukan sangat banyak mulai dari halaman depan

sampai halaman belakang. Perhatikan data berikut.

1. Ia tahu segalanya tak pernah lagi sama (KKDB)

2. Aku tetap tak berani mengangkat wajah (RR).

3. Saya diliputi rasa yang tak pernah bisa diterjemahkan (KPK)

4. Saya tak ingin dibohongi . . . (MDKM).

2) Kata negasi tidak

Kata negasi tidak ditemukan pada data berikut.

1. Dia tidak tahu . . . (CHBE).

2. Ketika itu saya tidak menjawab (MKWT).

3. Aku tidak punya pilihan (RR).

4. Gitar tidak pernah bertanya (RUKS).

3) Kata negasi jangan

Kata negasi jangan ditemukan pada data berikut.

1. Jangan hubungi aku (KKDB).

2. Jangan berbohonglah kamu (RUKS).

4) Kata negasi bukan

Kata negasi bukan ditemukan pada data berikut.

1. Bila ia bukan pelanggan . . ., pasti pelayan itu sudah mengusirnya (KKDB).

2. Walaupun bukan merah darah warnanya, . . .(CHBE).

5) Kata negasi tanpa

Page 372: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 361

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kata negasi tanpa ditemukan pada data berikut.

1. Ia terlihat bingung . . . tanpa hilang senyum (MKWT).

2. Beginikah selesainya? Tanpa penjelasan. Tanpa pertukaran kata (NDBK).

6) Kata negasi tiada

Kata negasi tiada ditemukan pada data berikut.

1. Dia ingat betul kampungnya yang sudah tiada (CHBE).

2. Bagaimana mencari rasa, jika satu-satunya hati yang ia punya telah tiada

(NDBK).

7) Kata negasi belum

Kata negasi belum hanya ditemukan pada satu data berikut.

1. Mah, kamu belum tidur? (RK).

8) Kata negasi gak

Kata negasi gak ini ditemukan bervariasi dengan kata negasi nggak. Perhatikan

pada data berikut.

1. Aku hari ini gak bawa balsem (BL)

2. Sama sekali nggak masuk akal (RUKS).

Berdasarkan penemuan bentuk-bentuk negasi di atas, fungsi/kegunaannya

dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki ini dapatlah diketahui bahwa

bentuk-bentuk negasi tersebut berfungsi/berguna untuk menyangkal kategori yang

didampinginya. Di bawah ini dipaparkan secara terperinci.

1. Fungsi kata negasi tak, tidak, dan gak/nggak. Kata negasi tak merupakan bentuk

singkat kata negasi tidak dan kata negasi gak yang bervariasi dengan nggak

merupakan variasi dari sudut ragam bahasa dari kata negasi tidak juga. Keempat

bentuk kata negasi tersebut berfungsi untuk menyangkal sesuatu baik berupa

tindakan atau perbuatan maupun kejadian. Untuk menyatakan fungsi tersebut,

keempat bentuk kata negasi itu berada pada tempat sebelum kategori verba atau

adjektiva. Lihat data berikut.

1. Aku tetap tak berani mengangkat wajah (RR).

2. Gelas birnya sudah tidak berbusa (KKDB).

3. Aku hari ini gak bawa balsem (BL).

4. Sama sekali nggak masuk akal (RUKS).

Page 373: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

362 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada data 1 di atas tempat kata negasi tak sebelum kategori adjektiva berfungsi

untuk menyangkal keadaan. Pada data 2 tempat kata negasi tidak sebelum kategori

verba berfungsi untuk menyangkal keadaan. Pada data 3 tempat kata negasi gak

juga sebelum kategori verba berfungsi untuk menyangkal perbuatan dan pada data

4 kata negasi nggak berposisi sebelum kategori verba juga dengan fungsi untuk

menyangkal keadaan.

2. Fungsi kata negasi jangan

Kata negasi jangan berfungsi untuk menyangkal perbuatan. Adapun

tempatnya adalah sebelum kategori verba atau adjektiva seperti pada data 1 dan 2

di bawah ini.

1. Jangan hubungi aku (KKDB).

2. Jangan bohonglah kamu (RUKS).

3. Fungsi kata negasi bukan

Kata negasi bukan berfungsi untuk menyangkal keberadaan nomina. Untuk

mencapai fungsi itu, kata negasi tersebut ditempatkan sebelum kategori nomina

seperti pada data di bawah.

1. Wajah di depan saya bukan lelaki tampan . . . (MKWT).

4. Fungsi kata negasi tanpa

Kata negasi tanpa berfungsi sama halnya dengan kata negasi bukan,

yakni berfungsi untuk menyangkal nomina juga. Kata negasi tanpa juga berfungsi

untuk menyangkal tindakan atau perbuatan. Untuk hal itu, kata negasi tanpa

ditempatkan sebelum kategori nomina dan verba. Perhatikan data 1 (sebelum

kategori nomina) dan data 2 (sebelum kategori verba) berikut ini.

1. Mata-mata tanpa bola mata hitam . . . (CHBE)

2. Ia terlihat bingung . . . tanpa hilang senyum (MKWT).

5. Fungsi kata negasi tiada

Kata negasi tiada berfungsi untuk menyangkal sesuatu dengan

menempatkannya di akhir kalimat. Kata negasi tiada ini bermakna ‘tidak ada’. Oleh

karena itu, Djenar Maesa Ayu mengemas idenya yang bermakna ‘tidak ada’ dalam

Page 374: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 363

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kalimat negatif dengan kontsruksi menaruhnya di akhir kalimat. Perhatikan data di

bawah ini.

1. Bagaiman mencari rasa, jika satu-satunya hati yang ia punya telah tiada?

(NDBK).

2. Dia ingat betul kampungnya yang sudah tiada (CHBE).

6. Kata negasi belum

Kata negasi belum sudah disebutkan sebelumnya hanya ditemukan pada

satu data. Fungsinya untuk menyangkal perbuatan ; sama dengan kata negasi tidak.

Akan tetapi, ada perbedaanya. Penggunaan kata negasi belum menyatakan sesuatu

akan dilakukan. Lihat satu data berikut.

1. Mah, kamu belum tidur? (RK).

3. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bentuk-

bentuk negasi yang ditemukan pada kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki

berupa kata-kata negasi yang berfungsi untuk menyangkal kategori yang

didampinginya. Kata-kata negasi yang ditemukan itu adalah kata negasi tak, tidak,

jangan, bukan, tanpa, tiada, belum, gak, dan nggak. Kata negasi tak merupakan

bentuk singkat kata negasi tidak dan kata negasi gak yang bervariasi dengan nggak

merupakan variasi berdasarkan ragam bahasa dari kata negasi tidak juga. Untuk

mencapai fungsi penyangkalan kata-kata negasi itu, Djenar Maesa Ayu

menempatkannya sebelum kategori yang didampinginya kecuali kata negasi tiada

yang bermakna ‘tidak ada’. Kata negasi tiada ditempatkannya di posisi akhir

kalimat.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Djenar Maesa. 2011. 1 Perempuan 14 Laki-laki. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anderson, Edmund A. 1996. “Pengetahuan Linnguistik dan Proses Belajar-

Mengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing Beberapa Masalah Masa Kini” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing . 1996. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Page 375: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

364 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Chaer, Abdul . 2015. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.

Octarini, Eighty Risa. 2017. “Proses Pembentukan Kata dalam Kumpulan Cerpen

1 Perempuan 14 Laki-laki Karya Djenar Maesa Ayu. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar.

Ramlan, Prof. Drs. M. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis Yogyakarta:

UP.Karyono. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995.

KamusBesar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Cetakan keempat. Jakarta: Balai Pustaka.

Page 376: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 365 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

CAMPUR KODE PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA OLEH

PENGGUNA LAYANAN INTERNET INDOSAT OOREDOO

Oleh

Ni Wayan Arnati

Abstrak

Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan dan fungsi penting dalam masyarakat, seperti, baik untuk penggunaan dan pengguna layanan internet Indosat Ooredoo. Indosat Ooredoo sebagai salah satu pelayanan telekomunikasi digital dengan menggunakan bahasa Indonesia mempunyai jaringan di Indonesia dari tahun berdiri 1967 sampai sekarang. Dalam usia setengah abad (51 tahun) pelayanan telekomunikasi tersebut belum memadai sesuai keinginan pengguna layanan, sehingga pengguna layanan tersebut melontarkan komunikasi dengan memakai campur kode dalam situasi tidak resmi.

Campur kode sebagai media komunikasi yang digunakan oleh pengguna layanan internet dengan motif-motif (tujuan) tertentu. Di sisi lain juga sebagai kreativitas berbahasa bagi para pengguna layanan internet. Tujuan kajian ini untuk mengangkat data dan keterangan tentang jenis-jenis, kelas kata, dan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada pemakai bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet. Di samping itu, memberikan sumbangan terhadap ilmu bahasa khususnya di bidang sosiolinguistik.

Dalam kajian ini, penulis menggunakan metode dan teknik perolehan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik menyajikan hasil analisis. Teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan campur kode yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1972). Hasil kajian diperoleh berupa jenis-jenis campur kode ke dalam dan campur kode ke luar, kelas kata benda, kata kerja, dan kata sifat, serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode (faktor penutur, faktor bahasa, dan tujuan pembicaraan).

1. Pendahuluan

Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia

memiliki peranan (kedudukan) dan fungsi penting dalam kehidupan masyarakat

Indonesia di masyarakat. Kehidupan manusia sehari-hari dalam masyarakat

memang selalu berkaitan dengan masalah bahasa, karena bahasa sebagai alat

ekspresi, alat komunikasi, baik untuk mengadakan integrasi maupun adaptasi

sosial, dan untuk mengadakan kontrol sosial dalam masyarakat (Keraf,1984: 3).

Fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang

diberikan kepadanya (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Page 377: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

366 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pendidikan dan Kebudayaan, 1980: 21). Sedangkan, kedudukan bahasa adalah

status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas

dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan (Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1980: 21). Dalam kedudukan dan fungsi penting yang dimiliki bahasa Indonesia,

layanan internet Indosat Ooredoo memilih menggunakan bahasa Indonesia.

Peranan (kedudukan) dan fungsi penting bahasa Indonesia itu tercantum,

baik berkedudukan sebagai bahasa nasional maupun bahasa negara. Berkedudukan

sebagai bahasa nasional (28 Oktober 1928) yang salah satu fungsinya adalah sebgai

alat (media) prhubungan antardaerah dan antarbudaya. Demikian pula, salah satu

fungsi bahasa Indonesia dalam berkedudukan sebagai bahasa negara (UUD 1945,

Bab XV, Pasal 36) adalah sebagi alat pengembangan kebudayaan, ilmu

pengetahuan dan teknologi modern. Kedua fungsi bahasa Indonesia tersebut

digunakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi digital di

Indonesia. Salah satu perusahaan pelayanan telekomunikasi digital di Indonesia

adalah Indosat Ooredoo.

Indosat sebagai salah satu pelayanan telekomunikasi digital dengan

menggunakan Bahasa Indonesia mempunyai jaringan di Indonesia yang mulai

berdiri tahun 1967. Indosat didirikan sebagai perusahaan penanaman modal asing

pertama di Indonesia yang menjadikan layanan telekomunikasi internasional

melalui satelit internasional. Indosat berkembang pada tahun 1980 menjadi

perusahaan telekomunikasi pertama dibeli dan dimiliki 100% oleh pemerintah

Indonesia. Dalam perkembangannya tahun 1994 Indosat menjadi perusahaan

publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia di New York Stock Exchange,

pemerintah dan publik masing-masing memiliki 65% dan 35% saham. Pada tahun

2008 Indosat dimiliki oleh Qatar Tekcom dengan kepemilikan saham

(65%)pemerintah Indonesia (14,29%), dan publik (20,71%). Kemudian tahun 2014

Indosat resmi berganti nama menjadi Indosat Ooredoo.

Dalam usia setengah abad lebih (51 tahun) pelayanan telekomunikasi digital

Indosat Ooredoo belum memadai sesuai keinginan pengguna layanan, sehingga

pengguna layanan tersebut melontarkan komunikasi dengan pemakaian campur

kode. Pemakaian campur kode dalam berkomunikasi digunakan oleh pengguna

Page 378: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 367

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

layanan kepada perusahaan Indosat Ooredoo dalam situasi tidak resmi.

Penggunaan campur kode dalam pemakaian bahasa tersebut sebagai salah satu

kreativitas berbahasa dengan motif-motif tertentu. Campur kode pemakaian

Bahasa oleh pengguna layanan internet itu sebagai media komunikasi. Menurut

Webster New Collegiate Dictionary (1981) komunikasi adalah suatu proses yakni

informasi antarindividual ditukarkan melalui sistem simbol, tanda atau tingkah laku

umum (Al Wasilah, 1985: 9).

Berdasarkan latar belakang di atas,masalah yang dibahas dalam kajian ini

adalah sebagai berikut. 1) Jenis campur kode yang terdapat dalam pemakaian

bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo, jika dilihat dari

asal usul serapan bahasa. 2) Kelas kata apa saja yang ada (dominan) dalam campur

kode. 3) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya campur kode.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan sumbangan

terhadap perbendaharaan penelitian ilmu bahasa, dan sebagai pedoman (petunjuk)

bagi penulis yang ingin mengkaji tentang sosiolinguistik yang berguna bagi

perkembangan kelinguistikan. Di sisi lain, pengkajian ini untuk mengetahui jenis

campur kode dan untuk mengetahui kelas kata, serta faktor-faktor penyebab

terjadinya campur kode pada pemakaian bahasa Indonesia oleh pengguna layanan

internet Indosat Ooredoo.

Pengkajian masalah ini bermanfaat sebagai acuan dalam pengkajian

berikutnya dan memberikan sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Metode

dan teknik digunakan dalam tulisan ini mencakup metode dan teknik perolehan

data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil

pengkajian.

Metode perolehan data menggunakan metode observasi secara tidak

langsung karena data diperoleh melalui bahasa tulis yang telah direkam dalam

internet dengan menggunakan teknik catat (Sudaryanto, 1986: 33). Analisis data

secara deskriptif sinkronik menggunakan metode padan. Metode padan yaitu

metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian bahasa

bersangkutan. Metode padan dalam penelitian ini menggunakan alat penentu

pengawet bahasa, yaitu bahasa tulis (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik yang digunakan

Page 379: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

368 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dalam menganalisis penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu. Teknik ini

dipakai untuk menentukan kelas kata-kata yang mengalami campur kode.

Penyajian hasil analisis menggunakan metode informal dengan teknik

penyajian induktif. Populasi penelitian ini mencakup keseluruhan pemakaian

campur kode yang digunakan oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo.

Sampel penelitian adalah beberapa pemakaian bahasa yang ada campur kode

selama tahun 2017.

Campur kode merupakan percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam

bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi kebahasaan yang

menuntut percampuran bahasa itu (Nababan, 1984: 32). B.B.Kachru memberikan

definisi campur kode yaitu pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling

memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara

konsisten. Batasan campur kode oleh Fasold (1984) diberikan lebih sempit hanya

pada tataran kata dan frasa karena jika hingga klausa sudah termasuk alih kode

(Suwito, 1983: 76).

Kajian ini menggunakan teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Dell

Hymes (1972) bahwa bahasa berhubungan pula dengan gejala sosial (Nababan,

1984). Setiap gejala sosial yang berbeda akan menghasilkan ragam bahasa yang

berbeda dalam komunikasinya. Teori tersebut menjelaskan mengenai unsur-unsur

yang mempengaruhi suatu tindak bahasa. Unsur-unsur tersebut ditulis dalam

bentuk singkatan SPEAKING (setting dan scene, participant, ends, actsequencis,

key, instrumentalities, norms, dan genres) (Jendra, 2007: 68).

2. Pembahasan

Masalah yang dibahas dalam kajian ini menyangkut tiga hal yaitu 1) jenis

campur kode ke dalam dan campur kode ke luar, 2) kelas kata dalam campur kode,

3) faktor-faktor yang menyebabkan terjadi campur kode pengguna layanan internet

Indosat Ooredoo. Uraian ndan kajian lebih jelas dijabarkan seperti berikut.

2.1 Jenis Campur Kode ke Dalam dan Campur Kode ke Luar

Campur kode seperti dijelaskan di atas bahwa percampuran dua (lebih)

bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam

situasi kebahasaan itu yang menuntut percampuran bahasa itu (Nababan, 1984: 32).

Page 380: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 369

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada peristiwa campur kode, ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya

hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Fungsi kebahasaan

merupakan kehendak yang ingin dicapai oleh penutur dalam tuturannya bercampur

kode. Sedangkan, peranan adalah penutur yang menggunakan bahasa tersebut

(Suwito, 1983: 75).

Campur kode berdasarkan jenis dibedakan menjadi dua yaitu campur kode

ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam adalah percampuran

bahasa (kode) terjadi dalam berkomunikasi yang berasal dari bahasa serumpun.

Begitu pula, campur kode ke luar adalah campur kode terjadi dengan menyerap

unsur-unsur bahasa asing. Berkut dijabarkan campur kode ke dalam dan campur

kode ke luar dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet

Indosat Ooredoo.

A. Campur kode ke dalam

1) Telkomsel, Indosat, 3 registrasi kartu baru bikin ribet.

2) @ indosatcare min udh dpt sms dr indosat tpi tetap aja blm bisa akses internet

masih GSM jaringannya.

3) Min Indosat di tempatku biasa bermasalah … lemot banget.

Berdasarkan data di atas, penggunaan bahasa Indonesia oleh pengguna

layanan internet Indosat Ooredoo terjadi penyusupan bahasa daerah dan bahasa

gaul. Hal ini dapat dilihat pada data (1) bikin ribet yang berarti “membuat rumit”.

Data (2) … Indosatcare min udh dpt sms dr indosat tpi tetap aja blm …

menggunakan singkatan kata yang artinya: min (administrasi) pelayanan Indosat

sudah dapat sms dari Indosat tetapi tetap saja belum bisa akses …. Data (3)

lemot banget “lambat sekali”. Kelompok kata (bikin ribet, lemot banget) yang

dipakai itu adalah variasi bahasa gaul.

B. Campur kode ke luar

(4) @ Indosatcare, kenapa sekarang Indosat sulit banget buat nelpon sering

trouble. Malah sekarang trouble gak selesai-selesai.

(5) @ Indosatcare ok tq admin semoga kualitas signal Indosat di desa-desa lebih

bagus dr yang sekarang, sukses selalu Indosat.

Page 381: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

370 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan data (4) Indosatcare berarti ”pelayanan Indosat” … trouble berarti

bermasalah. Pada data (5) ok tq dan dr adalah singkatan kata (kelompok kata)

bahasa asing (Inggris) yaitu okey dan thank you dan dari. Kesemua data campur

kode ini merupakan campur kode ke luar.

2.2 Kelas Kata dalam Campur Kode

Kata merupakan satuan bahasa yang paling kecil atau dengan kata lain

setiap satuan bebas (dalam bahasa) merupakan kata (Ramlan, 1987:33).

Penggolongan kata menurut Keraf (1969) dalam bahasa Indonesia dibedakan

menjadi empat jenis yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata tugas

berdasarkan kesamaan morfem-morfem yang membentuk kata (Kridalaksana,

1986: 25). Berikut disajikan dan dikaji data campur kode berdasarkan kelas kata.

A. Campur kode kata benda

(6) @ Indosat Ooredoo halo min, apakah indosat ooredoo bersedia menjadi

sponsorship di acara sekolah?

(7) … trus lampu indikator lossnya nyala, kenapa tuh min?

(8) Bener banget di rumah gua indosat lelet banget.

Berdasarkan data (6) kata sponsorship berarti “penyokong” , pada data (7)

kata min berarti “administrasi”, dan pada data (8) kata gua berarti “saya”. Ketiga

data di atas (sponsorship, min, dan gua) sebagai kata benda.

B. Campur kode kata kerja

(9) @ Indosatcare yups bener itu iklan cipika bukanya dari Indosat itu nganggu

banget.

(10) Asyik bisa menangin dari Indosat.

(11) Kok tiba-tiba ilang signal, sdh 2x restart.

Berdasarkan data (9), (10), dan (11) (nganggu, menangin, restart) yang

berarti “mengganggu”, “memenangkan”, “menghidupkan ulang” adalah campur

kode kata kerja dari bahasa daerah dan bahasa asing.

C. Campur kode kata sifat

(12) Terima kasih aja deh buat Indosat Ooredoo pemberitahuanmu kami terima,

feeling sad.

Page 382: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 371

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(13) @Indosatcare ada apa ini signal internet jelek banget.

Berdasarkan data (12) dan (13) yakni feeling sad berarti “perasaan sedih”

dan jelek banget adalah kelompok kata dalam campur kode kata sifat.

2.3 Faktor-faktor Penyebab Campur Kode

Faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada pengguna layanan

internet Indosat Ooredoo adalah peserta bicara (penyedia internet dan pemakai

internet), media bahasa yang digunakan, dan tujuan pembicaraan.

Penyedia internet Indosat Ooredoo memberikan pelayanan kurang memadai

kepada para pengguna sehingga para pengguna memakai bahasa campur atau

campur kode. Media bahasa yang digunakan oleh pengguna layanan internet

beragam karena mereka menguasai khasanah kosa kata bahasa Indonesia, bahasa

daerah dan bahasa asing (bahasa Inggris), serta ragam bahasa gaul.

Pembicaraan pengguna layanan internet Indosat Ooredoo menggunakan

campur kode. Tujuan penggunaan campur kode agar perusahaan tersebut cepat

tersentuh oleh informasi yang disampaikan dan cepat tanggap terhadap

pelayanannya.

3. Simpulan

Berdasarkan uraian dan kajian masalah di atas dapat disimpulkan bahwa

ditemukan campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Ditemukan juga kelas

kata (kata benda, kata kerja, dan kata sifat) dalam campur kode, dan faktor-faktor

yang menyebabkan campur kode. Penggunaan bahasa campur (campur kode)

ditemukan dalam bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, bahasa Inggris, dan

ragam bahasa gaul.

DAFTAR PUSTAKA Bloomfield, Leonard. 1939. Linguistics Aspects of Science, International

Encyclopedia of Unifield Science. Chicago: The University. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Page 383: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

372 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981a. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981b. Politik Bahasa Nasional.

Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka. Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Balckwell. Jendra, I Wayan. 2007. Ssosiolinguistik, Teori dn Penerapannya.: Yogyakarta:

SABDA. Keraf, Gorys. 1994. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia. Nababan, PWJ. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. Nababan, PWJ. Dan Sri Utari Subyakto. 1992. Sosiolinguitik: Suatu Pengantar.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: ke Arah Memahami Metode Linguistik.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Duta WacanaUniversity Press. Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik, Cetakan II. Yogyakarta:

SABDA. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta:

Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Weinrich, U. 1979. Language in Contact Findings and Problem. The Ha: Mouton

Publisher.

Page 384: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 373 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

TEKS LAGU POP BALI BILINGUAL: ANALISIS LINGUISTIK

SISTEMIK FUNGSIONAL

Oleh:

Putu Sutama

Tjokorda Istri Agung Mulyawati

I Nyoman Darsana

PRODI SASTRA BALI, FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

E-mail: [email protected]

Abstrak

Bahasa Bali adalah bahasa ibu bagi masyarakat etnis Bali. Kedudukan dan fungsi bahasa Bali sangat penting dalam kehidupan social budaya. Salah satu fungsi bahasa bali adalah dalam ranah seni. Salah satu seni yang dimaksud adalah seni tarik suara, khususnya seni dalam lagu pop bali. Lagu pop Bali umumnya menggunakan bahasa Bali secara utuh. Namun demikian, dalam perkembangan muncul istilah lagu pop Bali Modern atau disebut juga lagu pop Bali Bilingual. Pada lagu pop Bali bilingual ini ternyata lirik-liriknya menggunakan dua bahasa atau lebih. Lagu pop Bali Bilingual secara tekmatis bernuansa budaya Bali padahal bahasa yang digunakan baik pada judul maupun isinya menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa Asing.

Kata Kunci: bilingual, leksikogramatikal, sistemik fungsional.

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa Bali untuk selanjutnya disingkat dengan BB, adalah bahasa ibu bagi

masyarakat suku Bali. BB memiliki keduudkan dan fungsi yang sangat penting

dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali, seperti dalam bidang Adat-

istiadat, Agama dan kesenian. Dalam bidang Adat-istiadat, BB digunakan sebagai

media komunikasi secara utuh dan murni namun demikian, dalam bidang Agama,

BB terlihat digunakan dalam bentuknya yang sudah mengalami akulturasi dengan

bahasa Jawa Kuna maupun bahasa Sanskerta; terutama dalam teks Saa, Kidung,

dan Mantra. Pada teks Saa dan Kidung, bentuk bahasanya disebut sebagai bahasa

Page 385: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

374 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bali-Kawi, sedangkan pada teks Mantra, bentuk bahasanya berupa campuran antara

BB dengan bahasa Sanskerta.

Fenomena yang menarik tentang penggunaan BB juga terjadi pada bidang

Kesenian. Pada seni Pedalangan (wayang) misalnya, penggunaan bahasa dalam

pementasannya menggunakan dua bahasa atau lebih yaitu bahasa Kawi (Jawa

Kuna), BB, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Pada kesenian lainnya, seperti

Drama Gong, selain BB sebagai media utama, juga digunakan bahasa campuran;

terutama dalam dialog lawakan oleh para punakawan. Dan pada bidang seni suara

khususnya seni lagu Pop Bali, muncul fenomena yang sama yaitu adanya

penggunaan bahasa campuran antara BB dengan bahasa lainnya.

Fakta adanya dinamika dan varian penggunaan BB bercampur dengan

bahasa lain terutama pada teks lagu Pop Bali, sangat menarik untuk dicermati. Bila

secara tradisi, penulisan teks lagu Pop Bali tradisional sepenuhnya menggunakan

BB murni, kini pada teks lagu Pop Bali modern sudah mulai menggunakan BB yang

tidak murni atau tidak utuh, karena sudah dicampur dengan bahasa lain, terutama

bahasa Indonesia.

Secara turn-temurun, lagu Pop Bali tradisional sangat disenangi oleh

masyarakat Bali, selain karena bahasanya murni BB, juga karena iringan musiknya

mayoritas menggunakan iringan musik selendro atau keroncong. Namun seiring

dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, kini muncul istilah lagu Pop Bali

modern dengan berbagai genre serta menggunakan media BB bercampur dengan

bahasa lain (multibahasa).

Lagu Pop Bali dengan bahasa campuran disebut juga sebagai lagu Pop Bali

Bilingual atau menggunakan dua bahasa atua lebih, lagu Pop Bali jenis ini, juga

sangat diminati oleh berbagai kalangan usia, baik internal suku Bali dan juga

digemari oleh suku lainnya (Meita Sari, 2016).

Berdasarkan uraian di atas, fenomena dan fakta adanya lagu Pop Bali

Bilingual ini snagat menarik untuk diteliti. Terutama dari sudut pandang Ilmu

Bahasa Bali. Hasil penelitian ini akan mampu menjelaskan berbagai latar belakang,

Page 386: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 375

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

alasan, serta faktor-faktor sosial budaya yang menyebabkan terjadinya fakta

tersebut. Oleh sebab itu penelitian ini snagat penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dari dimensi ilmu teks

(tekstologi), ada sejumlah masalah yang perlu dikaji. Namun demikian, pada

rencana penelitian ini, difokuskan 3 buah masalah dengan rumusan pertanyaan

sebagai berikut:

1) Bagaimanakah bentuk teks lagu Pop Bali Bilingual?

2) Bagaimanakah struktur teks lagu Pop Bali Bilingual?

3) Bagaimanakah komposisi leksiko-gramatikal teks lagu Pop Bali Bilingual.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui fenomena dan kecenderungan

adanya perubahan secara sosio-budaya tentang penggunaan bahasa campuran pada

teks lagu Pop Bali modern. Fenomena tersebut melahirkan fakta adanya lagu Pop

Bali Bilingual yang menggunakan BB dan bahasa Indonesia serta bahasa lainnya.

Adanya fakta tersebut perlu dikaji dengan dijelaskan secara linguistik. Kajian

secara lebih spesifik bertujuan memahami teks lagu Pop Bali Bilingual, sesuai

permasalahan-permasalahan yang diajukan pada rumusan masalah di atas.

1.4 Urgensi Penelitian

Penelitian ini sangat penting untuk pengembangan Ilmu Bahasa, khususnya

dalam bidang ilmu tekstologi. Teks lagu sebagai bentuk penggunaan BB

merefleksikan cara berpikir penuturnya serta sebagai wujud sikap bahasa berkaitan

dengan pemertahanan bahasa atau disebut sebagai loyalitas berbahasa atau dalam

dimensi lain, kehadiran bahasa lain dalam satu teks lagu hanya semata-mata

tuntutan estetika ataukah stilistika. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan

adanya informasi yang terukur berkaitan dengan lagu Pop Bali Bilingual.

Secara praktis, penelitian ini akan bermanfaat bagi penutur BB, karena hasil

penelitian ini menyajikan deskripsi objektif tentang penggunaan BB yang tidak

utuh lagi. Bagi pengarang lagu dan penyaji lagu Pop Bali, juga akan disadarkan

tentang apresiasi penggunaan bahasa mereka secara realistis, dan hasil penelitian

Page 387: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

376 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ini dapat dijadikan pengetahuan berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana

caranya menajdi loyal dan cinta terhadap bahasa ibu orang Bali yaitu BB, sehingga

BB tetap tumbuh, berkembang dan lestari.

II. METODOLOGI

2.1 Sumber Data

Data penelitian ini adalah teks lagu bilingual yang dinyanyikan oleh Kiss

Band, Leeyong Sinatra, Mercy Band, Nanoe Biru, XXX Band, dan Raja Band.

Adapun korpus data dari penelitian ini adalah 2 lagu yang berjudul : Suba Peteng

Yang (Kiss Band) dan Penghianat Cinta (Mercy Band).

2.2 Teori Acuan

Kajian pustaka sangat penting manfaatnya dalam suatu penelitian.

Kedudukan serta relevansi penelitian menjadi lebih terukur dan dapat diketahui

oleh peneliti lain dari dimensi keilmuan (Chaer, 2007). Penelitian mengenai lagu

Pop Bali sudah banyak dilakuakn sebelumnya. Berikut ini disajikan tema penelitian

yang telah ada.

1. Antari (2004) meneliti lagu Pop Bali dengan judul “Kajian Bentuk, Fungsi dan

Makna Teks Lagu Pop Bali”. Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa lagu

Pop Bali berbentuk puisi, yang dimusikalisasi dengan paduan nada pentatonik

dan diatonik, dengan paduan komposisi laras pelog dan selendro yang

harmonis. Penyelipan bentuk-bentuk majas tradisional (seperti wewangsalan,

sesonggan, tetingkesan, parikan, sesimbung dan sesenggakan) cukup efektif

untuk menajamkan kekhasan citra budaya Bali dan juga realitas sosial

masyarakat Bali.

Sedangkan dari segi fungsi, secara umum sebagai sarana hiburan sehari-

hari dalam masyarakat dan dari segi maknanya, lagu Pop Bali mengandung

makna denotatif, konotatif, makna budaya dan makna spiritual. Penelitian ini

menggunakan pendekatan dari sudut pandang kajian Budaya.

2. Manuaba (2011) meneliti lagu Pop Bali dengan judul “Campur Kode

Pemakaian Bahasa Bali Pada Teks Lagu Pop Bali”. Hasil penelitian ini

mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk campur kode yang ada, meliputi ciri-

ciri campur kode, komposisi cmapur kode, asal bahasa campur kode, wujud

Page 388: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 377

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

campur kode, dan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode. Penelitian

ini menggunakan landasan teori Sosiolinguistik.

3. Meita Sari (2016) melakukan penelitian lagu Pop Bali dengan judul “Alih Kode

Pada TeksLagu Pop Bali Bilingual”, dengan landasan teori Sosiolinguistik.

Hasil penelitian mendeskripsikan tentang macam dan ciri alih kode, bentuk alih

kode dan arah alih kode, serta faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode.

Ketiga penelitian di atas memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu

mengambil objek yang sama atau mirip yaitu lagu Pop Bali atau Teks Lagu Pop

Bali Bilingual. Sedangkan perbedaannya terletak pada dimensi teoritis yaitu,

penelitian sebelumnya mengkaji objek dengan teori sosiolinguistik dan pendekatan

kajian Budaya, sedangkan penelitian ini berlandaskan teori Linguistik Sistemik

Fungsional.

Dengan sudut pandang Teori Linguistik Sistemik, hasil penelitian ini akan

memberikan kontribusi terhadap model kajian bahasa pada tataran teks secara

linguistik. Penelitian ini akan melengkapi penelitian sebelumnya yang bertemakan

dimensi budaya, dan sosial dalam konteks ancaman dan kemerosotannya. Penelitian

ini merupakan upaya berkelanjutan untuk mengevaluasi terjadinya degradasi BB

dalam berbagai ranah kehidupan penutur BB.

2.2.1 Konsep

Konsep merupakan penegasan tentang definisi sehingga tidak menjadi bias

dan tidak keliru menempatkannya pada konteks tematis. Konsep dapat berupa

generalisasi yang spesifik sehingga dapat diukur dan dimaknai (Efendi, 1995,

Mardalis, 1995). Pada penelitian ini, konsep yang perlu ditegaskan adalah:

2.2.2 Teks

Teks merupakan rekaman penggunaan bahasa. Kata teks berasal dari bahasa

lain “textus” yang berarti sesuatu yang dijalin secara bersamaan (Hodge dan Kress,

1988). Teks adalah bahasa yang berfungsi dalam konteks tertentu (Halliday dan

Hasan, 1976, 1992). Teks dapat berbentuk lisan, tulisan, dan juga berupa prosa,

sajak, dialog dan monolog. Teks lagu berarti penggunaan bahasa untuk menuliskan

syair lagu.

Page 389: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

378 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2.2.3 Lagu Pop Bali

Lagu Pop bali adalah lagu berbahasa Bali dengan genre pop yang

menggunakan iringan musik dengan paduan nada pentatonik dan diatonik, dengan

komposisi laras-pelog dan selendro (band. Antari, 2004). Lagu Pop Bali dijumpai

dalam bentuk teks tertulis, ada yang menggunakan BB murni, dan ada juga

menggunakan BB bercampur dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bhasa

Jepang dan Bhasa Jawa (Meita Sari, 2016).

2.2.4 Lagu Pop Bali Bilingual

Bilingual artinya dua bahasa. Kata Bilingual berkaitan dengan istilah

bilingualisme (bilingualism). Dalam Sosiolinguistik bermakna kedwibahasaan

yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian (Fishman, 1975, Mackey,

1972). Lagu Pop Bali Bilingual berarti teks tulis lagu Pop Bali yang menggunakan

dua bahasa. Bahasa yang digunakan dapat berupa komposisi BB sebagai urutan

pertama, kemudian diikuti penggunaan bahasa lainnya. Dapat juga terjadi bahasa

Indonesia atau bahasa Inggris sebagai posisi pertama, kemudian diikuti dengan BB.

Atau dapat juga saling bertukar urutan posisi secara bergantian.

2.2.5 Landasan Teori

Kajian ini menggunakan acuan teori Linguistik Seistemik

Fungsional (LSF) yang dikembangkan oleh Hallday tahun 1925 (Hallday, 1985).

Ada 4 gagasan utama teori ini yaitu unit, sistem, struktur dan kelas. Setiap

pemakaian bahasa yang fungsional dapat dipahami dari sudut pandang LSF

(Saragih, 2002, Alwassilah, 1985). LSF memfokuskan kajian terhadap bahasa

dalam unit teks. Teks merupakan wujud bahasa yaitu sebagai realitas, sebagai

realitas sosial dan juga sebagai realitas semiotik. Hallday dan Hasan (1992)

menjelaskan teks sebagai bahasa yang berfungsi. Dalam teks ada konteks sosial dan

budaya (Martin, 1992, Saragih, 2003). LSF juga menaruh perhatian dalam

pembelajaran bahasa dengan fokus pada kompetensi berbahasa atau kompetensi

komunikasi dan juga disebut sebagai kompetensi memproduksi teks (Sutama,

2012).

Page 390: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 379

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

III. PEMBAHASAN

3.1 Teks Lagu Pop Bilingual

Linguistik sistemik fungsional memfokuskan diri pada kajian teks dalam

konteks sosial. Teks dipahami sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks

tertentu (Halliday, 1994, Dijk, 1986, Hodge an Kress, 1998). Bahasa yang

fungsional memberikan makna bagi penggunanya. Itulah sebabnya teks dapat

mengikat pemakai bahasa secara alamiah. Teks memiliki fungsi tertentu, seperti:

1) Fungsi informasi

2) Fungsi peringatan

3) Fungsi petunjuk

Teks Lagu Pop Bali Bilingual, juga seperti konsep diatas. Selain terikat

konteks juga memiliki fungsi-fungsi seperti diatas. Dan secara keseluruhan

bermakna bagi pendengarnya. Ada ciri khusus tentang teks ini yaitu (a) berbentuk

lagu, yakni syair yang dinyanyikan secara berirama, (b) berjenis pop atau populer,

diperuntukkan bagi orang banyak, (c) Bali yang bermakna daerah yang mengacu

kepada budaya Bali, dan (d) Bilingual yaitu menggunakan dua bahasa atau lebih

(Yasin, 1997. Meita Sari, 2016).

3.2 Bentuk Teks

Teks Lagu Pop Bali Bilingual, dilihat dari bentuk susunan penyajiannya

adalah berbentuk puitif yaitu seperti susunan karya sastra puisi secara umum. Syair-

syairnya merupakan kombinasi yakni ada yang seperti susunan pantun yaitu setiap

bait terdiri atas empat baris, dan ada juga yang merupakan bentuk puisi yang bait-

baitnya terdiri atas susunan delapan baris, tujuh baris, dua baris, lima baris, enam

baris, sembilan baris, sepuluh baris, dan juga lebih dari sepuluh baris. Dengan kata

lain, bentuk teks lagu pop Bali Bilingual, tidak memiliki aturan yang pasti atau ketat

terkait dengan jumlah bait maupun jumlah barisnya, suku kata setiap baris, maupun

ikatan lainnya. Di bawah ini disajikan teks lagu pop Bali Bilingual.

1) Judul lagu ‘Suba Peteng Yang’. Artis : Kiss Band

Suba Peteng Yang Suba Peteng Yang mulih mih Cukup untuk hari ini

Page 391: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

380 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Baby you have got to bilieve me Suba Peteng Yang balik mih Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani Cukup untuk hari ini Cukup untuk hari ini Suba Peteng Yang cabut mih Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani Baby you have got to believe me Baby you have got to believe me Baby you have got to believe me 2) Judul lagu ‘Penghianat Cinta’

Artis : Mercy Band

Penghianat Cinta Beli mula tusing enu majalan jak iluh Beli mula tusing enu buin percaya jak iluh Feeling Beline merasakan, Adi suba sing jujur jak beli Feeling Beline merasakan Adi menyimpan sesuatu jak beli Nanging sing makelo majalan Curiga beli dadi mabukti Ternyata adi suba bani bermain api di belakang beli Semua ini baru kusadari Ternyata janji adi imitasi Tusing peduli dengan harga diri Dimata adi tuah materi Reff: Kamu wanita memang penghianat Kamu wanita memang licik pintar berdusta Kamu wanita memang penghianat Cinta Kamu wanita pintar bersandiwara

Teks Lagu Pop Bali bilingual ini memiliki fungsi yang sangat lengkap

sehingga keberadaannya setara dengan teks lagu pop Bali yang monolingual. Dalam

pandangan linguistik sistemik, kedudukan lagu Pop Bali ini, dengan berbagai aliran

musik yang ada adalah sama yaitu sebagai penggunaan bahasa yang fungsional;

berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja segmen pasarnya mungkin

Page 392: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 381

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang membedakan. Seperti mislanya kelompok umur, latar belakang budaya dan

lingkungan sosialnya.

Apabila teks Lagu Pop Bali monolingual berciri khas ‘sangat kedaerahan’

seperti: idiom musiknya visi-misi, nada khasnya yaitu pelog-selendro, pada teks

Lagu Pop Bali Bilingual, ciri khasnya sudah agak dinamis yaitu syairnya atau

liriknya menggunakan bahasa campuran dan nadanya pun sudah agak nasionalis.

Sepintas secara samar-samar mirip dengan nada musik pop Indonesia.

Pada teks (1), dilihat dari judul lagu, menggunakan kalimat judul bahasa

Bali: Suba Peteng Yang. Syair lagu terdiri atas 2 bait yaitu bait I terdiri atas 6 baris

dan bait II terdiri atas 9 baris.

Pada bait I, kalimat baris no. 1 menggunakan BB. Kalimat no.2 bahasa

Indonesia dan kaliamt no.3 bahasa Inggris. Dua baris berikutnya menggunakan BB

dan baris terakhir adalah Bahasa Inggris. Bait II juga mirip. Bedanya hanya pada

baris terakhir, kalimatnya yang menggunakan Bahasa Inggris diulang lagi tiga kali

dengan bentuk kalimat yang persis sama. Syair teks lagu ini tidak ada tanda Reff

sebagai puncak lagu.

Selanjutnya pada teks (2), judul lagu menggunakan Bahasa Indonesia:

‘Penghianat Cinta’. Teks lagu ini terdiri atas 3 bait, dengan urutan, bait I terdiri atas

4 baris, bait II 7 baris dan bait III 4 baris. Komposisi bahasa teks lagu ini adalah:

keempat baris syair lagu pada bait I semuanya kalimat BB, kemudian pada bait II,

komposisi bahasanya sudah mulai bercampur antara BB dan Bahasa Indonesia.

Sedangkan bait III, syairnya semua menggunakan kalimat Bahasa Indonesia. Untuk

teks lagu ini, bait III adalah puncak lagu atau Reff.

Kedua contoh bentuk teks lagu Pop Bali Bilingual ini merupakan proto-tipe

dasar bagi teks lagu Pop Bilingual yang ada. Bentuk-bentuk teks lainnya merupakan

varian dan dinamikanya. Adapun ciri bentuk yang ada meliputi:

1) Judul Lagu

Judul lagu memiliki bentuk alternatif:

a. Bahasa Bali

b. Bahasa Bali bercampur Bahasa Indonesia atau Inggris

Page 393: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

382 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c. Bahasa Indonesia

d. Bahasa Inggris

e. Singkatan

f. Simbol angka

2) Bentuk lingual judul lagu

a. Kalimat lengkap (S-P-O/S-P-O-Ket)

b. Kalimat tidak lengkap (S-P/P-O/SP-Ket).

c. Frase

d. Kata

e. Kalimat slogan

3) Komposisi Lingual

Secara keseluruhan, syair teks Lgu Pop Bali Bilingual terdiri atas gabungan

antara BB dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Komposisi antar ketiga

bahasa tersebut, dapat berbentuk campur kode yaitu pencampuran antar bentuk-

bentuk tataran kata dan frase, dan bentuk alih kode yaitu pada tataran klausa dan

kalimat.

3.3 Struktur Teks

Teks Lagu Pop Bali Bilingual sebagai suatu entitas dapat dilihat dari

berbagai perspektif. Dari dimensi Linguistik, teks merupakan suatu pola atau

rangkaian unsur-unsur bahasa secara sintagmatik. Dari dimensi horizontal, teks

merupakan deretan sintaksis yang diatur secara berkesinambungan sehingga

membentuk rangkaian gramatika. Selanjutnya, ketika rangkaian gramatika tersebut

telah tersusun rapi, maka dari dimensi vertikal, teks dapat dipahami sebagai satu

kesatuan makna. Hubungan antar satu makana dan makna berikutnya membangun

sebuah tekstur, sehingga secara keseluruhan merupakan pola bermakna

(Kridalaksana, 1984).

Setiap penggunaan bahasa dalam konsep baik dan indah yang identik

dengan ‘susastra’ atau karangan yang baik, yang dikategorikan sebagai bentuk (a)

naratif, (b) puitif dan (c) drama. Ketiganya memiliki pola-pola yang bersifat estetik.

Walaupun sepintas tampak berbeda, namun secara struktural setiap unsur yang

membangun teks tersebut memiliki hubungan yang bersifat kohesif dan kohere.

Page 394: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 383

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.3.1 Struktur Teks Lagu Pop Bali Bilingual

Analisis struktur Teks Lagu Pop Bali Bilingual ini mengacu pada model

yang diterapkan oleh (Halliday dan Hasan, 1992, dan Martin, 1997). Teks menurut

ketiga ahli tersebut, memiliki tiga unsur struktur yaitu unsur awal, tengah, dan

akhir. Teks sebagai suatu genre, memiliki dua tipe struktur yaitu orbital dan serial

dengan susunan:mcidut interpretation-coda.

Dengan kata lain, struktur teks dapat diinterpretasikan secara vertikal,

horizontal, dan orbital. Untuk teks Lagu Pop Bali Bilingual ini, strukturnya bersifat

vertikal atau dinamakan struktur segmentatif, setiap segmen disusun bait per-bait.

Teks (1) dengan judul “Suba Petneg Yank”. Teks ini secara segmentatif terdiri atas

2 bait, masing-masing berisi 6 baris dan 9 baris kalimat. Namun secara semantik

terdiri atas 5 bait, masing-masing 3 kalimat, dengan makna yang sama atau mirip.

Untuk memahami struktur tersebut, tahap analisis pertama adalah melihat struktur

Makro yaitu Medan teks (Fields), pelibat teks (tennor) dan sarana teks (mode).

Medan teks untuk teks (1) adalah: Suba Peteng Yang. Nama lain untuk

medan teks adalah struktur tematik; yang menggambarkan konteks situasi tertentu.

Selanjutnya, ada pelibat teks (tennor) yang terdiri atas 2 pelibat yaitu Yang atau

Baby dan Me. Teks ini disampaikan dengan mode tertentu yakni kalimat deklaratif

secara keseluruhan dengan kata kunci pilihan sinonimi yaitu mulih, balik, dan

cabut. Secara skematik, ke-5 bait teks disusun dengan urutan: pernyataan dan

penegasan. Kemudian teks dituutp dengan bait terkahir yang terdiri atas satu baris

kalimat yang diulang 3 kali.

Teks (1) ini memiliki struktur makro yang lengkap yaitu ada medan teks,

pelibat teks dan mode teks. Tetapi secara skematik atau super struktur, tidak ada

rumus pembuka atau bagian pendahuluan. Tampaknya, bagian pendahuluan

(opening) diisi oleh bait musik sebagai awal masuknya, atau pembukaan. Berikut

disajikan gambaran struktur Teks Lagu Pop Bali Bilingual no (1).

Page 395: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

384 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Judul/Medan Teks Suba Peteng Yang

Segmen Musikal

Suba Peteng Yang mulih mih

Cukup untuk hari ini

Baby you have got to bilieve me

Suba Peteng Yang balik mih

Apang tusing kenyel buin mani

Apang tusing kenyel buin mani

Apang tusing kenyel buin mani

Cukup untuk hari ini

Cukup untuk hari ini

Suba Peteng Yang cabut mih

Apang tusing kenyel buin mani

Apang tusing kenyel buin mani

Baby you have got to bilive me

Baby you have got to bilive me

Baby you have got to bilive me

Teks (2) adalah teks dengan judul: “Penghianat Cinta”. Struktur makro teks

terdiri atas Medan teks, pelibat teks 2 partisipan (beli dan iluh atau adi, atau kamu).

Mode teks disampaikan dengan kalimat deklaratif. Struktur skematik teks (2) ini

terdiri atas bagian judul, bagian pembuka (diisi oleh iringan musik), dan bagian isi

terdiri atas orientasi dan puncak lagu (Reff). Orientasi berupa pernytaan tentang

tema dan bagian Reff merupakan penegasan tentang tema teks. Teks ini tidak

dilengkapi oleh bagian penutup berupa teks (bait) tetapi diisi oleh bait musik

penutup,berikut gambaran struktur teks no (2).

Isi (Body)

Penutup (closing)

Pembukaan (Opening)

Page 396: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 385

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Judul/Medan Teks Penghianat Cinta

Pembuka(opening) segmen musikal

Beli mula tusing enu majalan jak iluh

Beli mula tusing enu buin percaya jak iluh

Feeling Beline merasakan, Adi suba sing jujur jak

beli

Feeling Beline merasakan Adi menyimpan sesuatu

jak beli

Nanging sing makelo majalan

Curiga beli dadi mabukti

Ternyata adi suba bani bermain api di belakang beli

Semua ini baru kusadari

Ternyata janji adi imitasi

Tusing peduli dengan harga diri

Dimata adi tuah materi

Reff

Kamu wanita memang penghianat

Kamu wanita memang licik pintar berdusta

Kamu wanita memang penghianat Cinta

Kamu wanita pintar bersandiwara

Penutup (Clossing) Segmen Musik

IV. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut.

1) Teks Lagu Pop Bali Bilingual adalah teks lagu Pop Bali yang menggunakan dua

bahasa atau lebih yaitu BB, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Isi (Body)

Page 397: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

386 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2) Bentuk teks lagu Pop Bali Bilingual bersfat puitif. Tersusun secara segmentattif

yaitu ada judul lagu dan bait isi. Setiap bait dibentuk oleh baris kalimat dengan

jumlah kalimat yang bervariasi. Jumlah bait dan baris kalimatnya tidak memiliki

standar.

3) Pada setiap bagian teks, dapat menggunakan bahasa yang berbeda sebagai satu

kesatuan teks.

4) Judul teks dapat berbentuk kalimat lengkap, kalimat tidak lengkap, frase, kata

atau kalimat slogan.

5) Struktur teks terdiri atas struktur makro: Medan, pelibat dan Mode. Struktur

skematik terdiri atas: Tema, bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup.

4.2 Saran

Penelitian ini adalah penelitian awal berdasarkan pendekatan linguistik

sistemik fungsional. Pada penelitian awal ini terungkap bahwa ada banyak

persoalan yang perlu dikaji secara linguistik dalam berbagai aspek tentang teks.

Ternyata banyak sekali Group Band yang melahirkan teks Lagu Pop Bali Bilingual

seperti Kiss BAND, Leeyong Sinatra, Mercy Band, Nanoe Biroe, XXX Band, Raja

Band dan masih ada lagi yang belum terobservasi. Oleh sebab itu penelitian tentang

teks Lagu Pop Bali Bilingual masih perlu diteruskan dalam konteks dinamika dan

kebudayaan Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Alwassilah, A. Chaedar, 1985. Beberapa Mazhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung:Angkasa.

Antari, Ni Made Suwari. 2004. “Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Teks Lagu Pop

Bali” (Tesis Program Magister Linguistik, Universitas Udayana). Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi; Ekonomi;

Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Fishman, Joshua. A. (Editor). 1982. Sociolinguistic Selected Reading. England:

Pinguin Books, Ltd.

Page 398: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 387

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London. Wing King Tong Co. Ltd.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hassan. 1992. Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-

Aspek dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hassan. 1976. Cohession In English. England:

Longman Group, Ltd. Hodge, Robert dan Gunter Kress. 1988. Social Semiotics. Cambridge: Polity Press. Manuaba, Ida Ayu Swasrina. 2011. “Campur Kode Pemakaian Bahasa Bali Pada

Teks Lagu Pop Bali” (Skripsi Jurusan Sastra Bali, Universitas Udayana). Martin. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Benjamin

Publishing Company. Meita Sari, Ni Putu Diah. 2016. “Alih Kode Pada Teks Lagu Pop Bali Bilingual”

(Skripsi Jurusan Sastra Bali, Universitas Bali) Saragih, Amrin. 2002. Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik

Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Sutama, Putu. 2012. “Linguistik Sistemik: Aplikasinya dalam Pengajaran Bahasa”

Bahasa,Sastra, dan Pengajarannya. Singaraja: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha.

Page 399: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 388 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

“NA LI YOU TAI YANG, NA LI JIU YOU ZHONG GUO REN2”: ORANG

CINA DI BUMI MOA-CIA-PAH-I3

Rochtri Agung Bawono

Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Keberadaan Kerajaan Majapahit sebagai imperium Nusantara pada masa lalu didukung oleh kekuatan keluarga raja dan kerajaan-kerajaan vassalnya. Kedatangan utusan kerajaan-kerajaan sahabat juga memperkokoh posisinya dalam politik Asia Tenggara. Kekuatan dan kemajuan ini menjadikan Kerajaan Majapahit sebagai magnet dalam dunia perekonomian sehingga banyak suku bangsa yang bermigrasi dan menetap di Tanah Jawa, salah satunya yaitu orang-orang Cina.

Keberadaan orang Cina di Kerajaan Majapahit banyak disinggung dalam catatan Ma Huan pada sejarah pelayaran ke Nusantara bersama Cheng Ho, baik yang membentuk komunitas di pelabuhan Lasem, Tuban, Cecun, Jiao-tung, Surabaya, dan Zhang-gu serta ibukota Majapahit. Sebagian besar orang Cina di Majapahit adalah muslim. Bukti keberadaan makam Islam kuno di Troloyo (berangka 1319 hingga 1611 M) memperkuat dugaan adanya komunitas Cina Muslim yang dijelaskan oleh Ma Huan. Komunitas Cina di Majapahit inilah yang akhirnya mendirikan Kesultanan Demak di Bintoro.

Kata Kunci: Orang Cina, Majapahit, Makam Islam, Demak.

1. Pendahuluan

Kelahiran Kerajaan Majapahit bermula atas tragedi berdarah peperangan

segitiga antara Jayakatwang (Raja Gelang-gelang penakluk Daha-Kediri), pasukan

Tartar (dipimpin oleh Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing,) dan Nararya

Sanggramawijaya (Raden Wijaya yang dibantu oleh Arya Wiraraja). Berdasarkan

berita Cina, pasukan Tartar sampai di Majapahit pada 1 Maret 1293 dan meminta

Raden Wijaya untuk mengakui Kekaisaran Kubilai Khan. Raden Wijaya memohon

bantuan pasukan Tartar untuk menyerang Raja Jayakatwang karena telah

menghancurkan Singhasari di bawah kekuasaan Raja Kertanegara. Setelah pasukan

Tartar berhasil membantu menghancurkan Kerajaan Daha-Kediri, Raden Wijaya

bersiasat menyerang balik pasukan Tartar sehingga mereka banyak yang terbunuh,

Page 400: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 389

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sebagian melarikan diri, dan sebagian lainnya menuju kapal dan berlayar kembali

pada 24 April 1293 (Muljana, 2006; Groeneveldt, 2009; Boechari, 2012).

Akhirnya Kerajaan Majapahit diresmikan berdiri oleh Raden Wijaya pada

tahun 12943 dengan nama abhiseka Kertarajasa Jayawardhana. Semenjak

diresmikan sebagai kerajaan penerus Kerajaan Singasari, Kerajaan Majapahit

semakin besar dan berkembang sehingga menjadi kerajaan yang disegani di

Nusantara.

Berdasarkan data arkeologi dan cakupan pengaruhnya, Kerajaan Majapahit

merupakan kerajaan terbesar di Nusantara. Berdasarkan Kitab Negarakrtagama

(Desawarnnana) wilayah kekuasaan Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk

(1350-1389) dicatat hingga Lemuri (Aceh) hingga Wanin (Papua), termasuk

Buruneng (Brunei), Hujung Medini, Pahang, Kelantan, Trengganu, Johor, Kedah

(Malaya), Tumasik (Singapura), dan Uda (Mindanau-Philipina) (Muljana, 2006;

Riana, 2009). Data susastra lain yang mendukung pernyataan tersebut antara lain

Kitab Pararaton, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Kidung Sunda, Silsilah

Kutei, Hikayat Banjar, dan Babad Tanah Jawi.

Kebesaran dan kemegahan Majapahit sangat mungkin didukung oleh

eksistensi keluarga inti (keluarga raja) yang menguasai Tanah Jawa meliputi Daha,

Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Paguhan, Kahuripan, Singasari, Mataram,

Wirabhumi, dan Pawanuhan (Muljana, 2006). Selain faktor dukungan keluarga,

faktor dukungan pihak luar juga menjadikan kebesarannya jauh melebihi wilayah

sesungguhnya yang dikuasai oleh Majapahit. Kerajaan-kerajaan vassal (bawahan)

di Nusantara juga mengakui dan tunduk kepada Majapahit dibuktikan dengan

penarikan upeti setiap tahun ke daerah seberang. Demikian juga dalam

Negarakrtagama Pupuh 83 disebutkan bahwa kemasyuran Majapahit juga didukung

oleh kehadiran perwakilan kerajaan sahabat yang datang pada bulan Palguna setiap

tahun antara lain Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa, Kamataka, Goda

3 Berdasarkan Kitab Negarakrtagama Pupuh 45/1 dan Prasasti Kudadu, tetapi berdasarkan Kidung Harsa Wijaya penobatannya bertepatan dengan “purneng kartikamasa panca dasi sukleng catur” atau tanggal 15 bulan Kartika (Oktober-November) 1293 Masehi. Catatan penulis: Majapahit berdiri sebelum tahun 1293 sebagai sebuah desa yang dibuka bersama Arya Wiraraja dan ditetapkan sebagai kerajaan merdeka pada tahun 1294 sesuai Kitab Negarakrtagama dan Prasasti Kudadu.

Page 401: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

390 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dan Siam. Prasasti Balawi (1305 M) yang ditemukan di Trowulan juga

menyebutkan orang asing di Majapahit antara lain Keling, Arya, Singhala,

Karnnataka, Bahlara, Cina, Campa, Mandikara, Renin, Khmer, Bebel, dan Mamban

(Priswanto, 2012).

Keberadaan kaum minoritas khususnya orang asing dari negara-negara

sahabat menjadikan Majapahit dikenal luas dan semakin berkembang pesat,

sehingga sejak dahulu Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang multikultur dengan

penduduk heterogen dari berbagai suku dan bangsa. Salah satu suku bangsa asing

yang memiliki peranan dalam kemajuan Kerajaan Majapahit ialah Cina yang

disebutkan dalam beberapa catatan dan terdapat bukti artefaktual, sehingga tulisan

ini berusaha menjelaskan keberadaan orang-orang Cina di Kerajaan Majapahit.

2. Metodologi

Keberadaan individu atau kaum lain dalam sebuah masyarakat turut

menentukan kedudukan dan keberadaan kelompok mayoritas atau penguasa.

Konsep “Sang Lain” (the Other) yang diusung oleh G.W.F. Hegel menjelaskan

bahwa kesadaran manusia tidak sanggup memahami dirinya sendiri tanpa

pengenalan dengan Sang Lain. Julia Kristeva lebih menjelaskan pemahaman

tentang alteritas secara tidak langsung menyatakan pemahaman tentang konsep

perbedaan. Keberadaan Sang Lain bukanlah sebagai ancaman atau subjek ketakutan

sehingga tidak mudah terjerumus dalam kebencian. Namun menyatukan Sang Lain

dalam struktur budaya dominan akan mengingkari perbedaan itu sendiri. Kristeva

bermaksud merayakan dan menghargai perbedaan Sang Lain (Cavallaro, 2004).

Dalam definisi susastra dan artefak, banyak pengelompokan yang disebut

“sesuatu yang berbeda” dalam sebuah ruang pameran yang sudah terhegemoni oleh

seni/keberadaan penguasa. Keberadaan orang Cina di Kerajaan Majapahit yang

mayoritas Jawa menjadikannya sebagai Sang Lain. Seluruh data tersebut ditelusuri

melalui kajian susastra dan data artefaktual yang ditemukan melalui studi pustaka

dan observasi.

Page 402: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 391

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pembahasan

Cina sebagai bangsa dengan penduduk yang besar dan menjadi imperium di

Asia Tengah telah menjalin hubungan dagang melalui Jalur Sutra dengan dunia luar

jauh sebelum Masehi dengan silih ganti penguasa yang memerintahnya. Sebagai

akibat hubungan tersebut, maka sebagian masyarakat Cina banyak tersebar di

berbagai daerah. Demikian juga pergantian kekuasaan yang menimbulkan konflik

sosial maka banyak penguasa yang kalah atau penduduknya melarikan diri ke luar

Cina untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan ketenangan.

Wilayah Samudra Selatan merupakan istilah yang digunakan penguasa dan

penulis catatan dari Cina untuk menyebut wilayah Asia Tenggara atau Nusantara.

Hal ini diketahui dari catatan-catatan Cina dari berbagai dinasti terkait utusan-

utusan yang datang membawa upeti ke Negeri Cina. Catatan tertua tentang orang

Cina di Jawa4 terekam dalam catatan perjalanan seorang bhiksu bernama Faxian

yang mengunjungi Jawa pada 414 M dalam perjalanannya dari Sri Langka menuju

Cina mendapat musibah badai (Groeneveldt, 2009).

Catatan kedatangan orang Cina pertama yang mencapai Majapahit5

berdasarkan buku Sejarah Dinasti Yuan (buku 210) dalam catatan Shi Bi (buku

162), catatan Gao Xing (buku 162), dan catatan Ike Mese (buku 131) yaitu Gao

Xing6 bersama Shi Bi dan Iki Mese7 beserta pasukannya melakukan perjalanan

darat dari Tuban menuju Majapahit untuk menghancurkan pasukan dan istana Raja

Jayakatwang di Daha bersama pasukan Raden Wijaya yang sudah menyatakan

4 Disebut dengan nama Ya-va-di kemungkinan penyebutan Yava Dwipa, sama halnya Ptolemaeus

menyebutnya Jabadiu. Bhiksu Faxian diperkirakan tinggal di Jawa selama 5 bulan untuk

menunggu perubahan musim (arah angin). 5 Hari ke-8 Bulan ke-3 tahun 1293 membantu Raden Wijaya di Majapahit karena diserang pasukan

Raja Kalang (Raja Gelang-gelang-Jayakatwang). Raden Wijaya menengok Desa Majapahit

(daerah hutan Tarik) pertama kali pada hari Mertamasa tahun 1214 Saka (1292). 6 Memiliki alias Gongqi, berasal dari Caizhou (nama lain Distrik Xincia Provinsi Henan). Sebagian

besar hidupnya dihabiskan sebagai prajurit militer hingga mencapai jabatan komandan pasukan

yang dikirim ke Jawa untuk menghancurkan Raja Kertanegara karena telah melukai utusan

bernama Meng Qi. 7 Shi Bi berasal dari Lizhou Provinsi Hebei tengah, Iki Mese bersal dari Wei-wu-er kawasan Uighur-

Xinjiang. Keduanya tokoh ini juga diidentifikasi sebagai seorang muslim. Ike Mese datang

bersama 3 pejabat Xuan wei si atau Xuan fu si (agen luar negeri) sering diartikan Kantor urusan

Penghiburan untuk kerajaan-kerajaan asing.

Page 403: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

392 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tunduk dan memohon bantuan. Pada 24 April 1293 menuju kapal dan berlayar

kembali ke Cina karena Raden Wijaya menggempur sisa-sisa pasukan yang sudah

membantunya. Tartar kehilangan 3.000 prajurit8 (Mulyana, 2006; Groeneveldt,

2009).

Dalam buku Yingya Shenglan9 dan Xingcha Shenglan10 dijelaskan bahwa

kedua penulis catatan tersebut pernah mengunjungi Majapahit dalam perjalanan

bersama Panglima Cheng Ho. Pada 1416 Ma Huan telah mendarat di Tuban, Cecun

(Gresik) dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan akhirnya berlabuh di

Majapahit. Daerah Tuban dan Cecun banyak orang Cina dari Guangdong dan

Zhangzhou yang sudah menetap. Tuban oleh perantau Cina disebut sebagai Xin Cun

(Kampung Baru) karena perantau tersebut membentuk perkampungan baru. Bahkan

awalnya Cecun merupakan pantai kosong dan pendatang Cina yang pertama

menetap hingga menjadi desa perdagangan dengan barang dagangan utama emas,

batu mulia, rempah-rempah, dan barang-barang impor (porselin dan kain sutra).

Pemimpin Desa Cecun adalah seorang perantau Cina dari Guangdong. Orang-orang

Cecun yang kaya berasal dari Guangdong. Daerah Surabaya juga ditemukan banyak

orang Cina kaya yang sudah menetap. Ma Huan mencapai Ibukota Majapahit

setelah melakukan perjalanan darat selama satu setengah dari dari Zhang-gu

(Canggu) dan mencatat terdapat 3 golongan penduduk yaitu

a) orang muslim Huihui11 yang datang dari barat dan menetap, berpakaian dan

makanan bersih dan layak,

b) orang Cina dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan

diri dari daerah asalnya dan menetap. Mereka banyak yang muslim dan

menjalankan ajarannya, pakaian dan makanan mereka sangat layak dan

bagus, dan

8 Sebagian prajurit tidak kembali ke Cina dan memilih menetap di Jawa, sehingga saat catatan

ekspedisi Cheng Ho, di Jawa telah banyak ditemukan kelompok Cina MUslimketurunan etnis

Huihui 9 Catata U u Pa tai-pa tai Sa udra dibuat oleh Ma Hua seora g Ci a Musli , pe gawal

Laksamana Zheng He/Cheng Ho) pada 1416 M. 10 Catata U u Perjala a U u di Lauta dibuat oleh Fei Xi seora g Ci a Musli pada

1436 yang selama 20 tahun mengikuti Cheng Ho dalam 4 kali pelayaran. 11 Huihui Ren merupakan muslim dari Cina bagian barat. Beberapa penulis menulis/

menterjemahkan sebagai Ta Shih yang berarti Arab, padahal keduanya memiliki aksara dan

pengertian yang berbeda.

Page 404: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 393

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c) penduduk pribumi. Masyarakatnya kotor dan memakan makanan yang tidak

layak. Banyak pribumi kaya yang menyukai porselin dari Cina (Lombard,

2000; Widodo: 2007; Kong, 2007; Qurtuby: 2007; Groeneveldt, 2009;

Perkasa, 2012).

Hal ini disinggung juga dalam Catatan Tahunan Melayu12 bahwa antara

tahun 1411-1416 dibentuk Komunitas Cina Muslim Hanafi di Lasem, Tuban,

Cecun, Jiao-tung, dan Zhang-gu. Setiap daerah tersebut diperkirakan komunitas

Cina sudah membentuk pemukiman sendiri/pecinan. Dijelaskan juga bahwa utusan-

utusan Cina dari dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit beragama

Islam (de Draff, dkk, 2004).

Desa-desa pelabuhan tersebut dalam perkembangannya menjadi pelabuhan

penting Masa Majapahit dan masa-masa sesudahnya baik Kerajaan Demak, Pajang,

Mataram Islam, hingga masa VOC. Terbentuk jaringan bisnis dan perkawinan

antara orang kaya/pedagang Cina dengan keluarga raja (istana) sehingga banyak

yang menjadi syahbandar dan pemilik lahan perkebunan di pedalaman Jawa Timur.

Pada akhir abad XV hampir seluruh penguasa pelabuhan tersebut telah memeluk

Islam dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit (Muljana, 2005; Winarni, 2009;

Tjandrasasmita, 2009).

Keberadaan komunitas muslim Cina di Majapahit dibuktikan adanya

makam Putri Campa yang nisannya berangka tahun 1370 Saka (1448 M). Dalam

Catatan Tahunan Melayu, Putri Campa meninggal pada 1449 M merupakan istri

Ma Hong Fu (putra Panglima Yunnan dan menantu Bong Tak Keng) seorang Duta

Besar Tiongkok Dinasti Ming (pejabat Xuan wei si?) di Majapahit. Versi Serat

Kanda dan Babad Tanah Jawi, Putri Campa bergelar Puteri Dwarawati merupakan

istri Raja Brawijaya Penguasa Majapahit (de Graff dan Pigeaud, 2003; de Graff

dkk, 2004; Muljana, 2006). Jaringan Jawa dan Campa sudah terjalin sebelum

12 Catatan ini diinfokan berasal dari klenteng Cina di Semarang dan Talang Cirebon tetapi hanya

diperoleh translitasinya saja oleh M.O. Parlindungan dari Resident Poortman. Teks aslinya tidak

ditemukan.

Page 405: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

394 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Zaman Majapahit13 bahkan menjadi poros pelayaran dengan pantai Selatan Cina.

Hal tersebut dibuktikan adanya temuan nisan Fatimah binti Maemun bin Hibadullah

bergaya kufi di Leran yang meninggal pada 475 H (1082 M) yang memiliki

kesamaan dengan nisan Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu Arradah Rahdar berangka

431 H (1039 M) di Phanrang Campa14 (Dharma, 1999; Lombard, 2000; Guillot dan

Kalus, 2008; Tjandrasasmita, 2009). Putri Campa tersebut hidup pada pemerintahan

Majapahit Ratu Suhita (1406-1447 M) atau tepatnya pada masa penggantinya yaitu

Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya alias Wijayaparakramawardhana (1447-1451 M)

(Munandar, dkk, 2014).

Bukti lain adanya komunitas Islam di ibukota Majapahit yaitu kompleks

Makam Troloyo15 yang berkembang sejak awal pemerintahan Jayanegara hingga

abad XVII. Ada indikasi beberapa nisan Troloyo yang memiliki kesalahan tulis dan

kesamaan dimensi memiliki kesamaan dengan nisan di Brunei dan Quanzhou

sehingga kemungkinan perajinnya adalah Cina Muslim yang bermazhab Hanafi

(Perkasa, 2012; Chawari, 2012; Masyudio, 2012; Bawono, 2013; 2017).

Keberadaan makam Islam di Trowulan dan Troloyo perlu diteliti lebih lanjut terkait

dengan hubungannya dengan komunitas muslim Cina di Majapahit.

Lebih mengejutkan dalam Catatan Tahunan Melayu disebutkan bahwa

tahun 1430 M, Laksamana Cheng Ho merebut daerah Tu-ma-pan (Tumapel) dan

diserahkan kepada Raja Su-king-ta (Suhita) sehingga Gan Eng Wan diangkat

menjadi Gubernur Tu-ma-pan sebagai bawahan Kerajaan Majapahit. Gan Eng Wan

disebut sebagai bupati beragama Islam pertama di Kerajaan Majapahit. Saudara

Gan Eng Wan yaitu Gan Eng Cu disebutkan telah datang lebih dulu ke Majapahit

tepatnya Tuban pada 1423 sebagai konsulat jendral dari Dinasti Ming yang

menangani Cina Muslim Hanafi di Jawa, Kukang dan Sambas, sekaligus sebagai

13 Hubungan ini sudah ada sejak abad VII – IX M baik peperangan atau persahabatan (Dharma,

1999) 14 Guillot dan Kalus (2008) menduga nisan itu bukan sebagai makam, tetapi lebih pemberat kapal. 15 Terdapat lebih dari 30 nisan tua dan yang berangka tahun berjumlah 21 buah, nisan tertua

berangka tahun 1241 saka (1319 M) dan yang termuda 1533 Saka (1611 M), terdapat juga batu

berangka 1204 Saka (1282 M) tetapi diragukan sebagai nisan yang dibuat tahun tersebut.

Beberapa nisan menggunakan hiasan surya Majapahit mengindikasikan bahwa mereka berasal

dari keluarga istana atau pejabat kerajaan.

Page 406: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 395

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kapten Cina Muslim di Tuban. Raja Su-King-Ta memberikan gelar “a-lu-ya”

(arya?). Tahun 1445 muncul tokoh bernama Bong Swi Hoo yang ditunjuk sebagai

Kapten Cina Muslim setelah menikahi putri Gan Eng Cu. Tahun 1451 Bong Swi

Hoo bersama muslim Jawa menetap dan membentuk komunitas di Ngampel

sehingga dikenal sebagai Sunan Ngampel (atau Raden Rahmat)16. Pada akhir

pemerintahan Majapahit muncul tokoh bernama Jin Bun17 seorang Cina peranakan

yang diberi kekuasaan atas daerah Bintoro dan melakukan penyerangan terhadap

Keraton Majapahit pada tahun 1478 dan 1517. Kedudukan Giri-Gresik yang yang

dipimpin oleh Sunan Giri (Prabu Satmata) juga penting yaitu sebagai wilayah

swatantra dan Demak selalu meminta restu kepada sunan sebagai “raja-pandita”.

Masa Sultan Trenggana, Keraton Majapahit kembali diserang dan dikuasai pada

1527 (Qurtuby, 2003; de Graff,dkk, 2004). Kebenaran catatan ini perlu diteliti lebih

lanjut karena banyak ahli yang meragukannya.

Pada akhir kemunduran Kerajaan Majapahit bersumber pada catatan Dinasti

Ming disebutkan bahwa terjadi perang saudara antara penguasa Barat

(Wikramawarddhana) dan penguasa Timur (Wirabhumi). Pada tahun 1406 atau

setahun setelah Cheng Ho mengunjungi Jawa, Raja Majapahit Barat berhasil

menyerbu dan mengelahkan Raja Majapahit Timur tetapi terdapat 170 tentara

utusan Cina menjadi korban penyerangan juga sehingga Kaisar Cina memberikan

sanksi membayar 60.000 tahil (380 kg) emas. Pada 1408 Cheng Ho kembali

berlayar dan Raja Majapahit Barat menyerahkan 10.000 tahil emas, Kaisar

mengembalikan denda dan menghapus seluruh sanksi (Groeneveldt, 2006; Perkasa,

2012).

Bukti artefaktual adanya pemukim Cina di Majapahit antara lain:

16 Raden Rahmat diduga berasal dari Cempa. Hikayat Hasanuddin disebut bahwa ia diangkat

sebagai pecat tandha di Terung oleh penguasa Majapahit. 17 Jin Bun disebut Raden Patah sebagai pendiri Kerajaan/Kesultanan Demak yang sebelumnya

sebagai penguasa lokal di Bintoro sebagai vassal Majapahit. Pada 1478 Jin Bun menyerbu Kraton

Majapahit dan berhasil menawan Raja Kung-ta-bu-mi, sehingga Kerajaan Majapahit menjadi

vassal Kesultanan Demak. Dalam Sejarah Banten disebut sebagai Raja Patih Cina (tanpa

menyebut nama). Tradisi Mataram Jawa Timur disebutkan bahwa Raden Patah adalah seorang

putra Raja Majapahit yang berasal dari selir seorang Putri Cina.

Page 407: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

396 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

a. Arca Siwamahadewa (abad XIII-XIV)18 memiliki bentuk muka cina,

wajah persegi, rahang lebar, alis tipis, dagu persegi, bermata sipit, sudut

mata luar lebih tinggi, dan bentuk tulang pipi meninggi.

b. arca terakota menggambarkan tokoh pria dan wanita Cina yang banyak

ditemukan di Trowulan, Ibukota Majapahit. Sebagian besar dikoleksi

oleh Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan) dan kolektor-

kolektor lainnya. Arca terakota tersebut antara lain arca prajurit Tartar,

arca bocah, dan arca bertopi. Ciri utamanya bermata sipit atau

menggunakan atribut pendukung, kumis dan jenggot ditata rapi,

mengggunakan pakaian dengan bagian leher tertutup disebut

Cheongsam (Priswanto, 2012)

Banyaknya pemukim Cina juga mempengaruhi seni hias dan arsitektur yang

berkembang di Majapahit. Salah satu seni hias yang diadaptasi yaitu sulur meander

atau pita Majapahit merupakan adopsi dari meander Cina/Patra Mesir yang sangat

banyak berkembang di Cina (Bawono dan Zuraidah, 2016).

4. Simpulan

Orang Cina di Desa Majapahit diawali oleh kedatangan Shibi, Ike Mese,

dan Gao Xing pada 1 Maret 1293 saat Majapahit masih berupa desa di bawah

pemerintahan Jayakatwang dari Daha-Kediri. Orang Cina juga membentuk

pemukiman di Tuban, Gresik, dan Surabaya sebagai pelabuhan penting di

Majapahit. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Majapahit maka komunitas

Cina banyak yang menetap di ibukota Majapahit. Sebagian besar orang Cina di

Majapahit beragama Islam. Peran orang Cina di Kerajaan Majapahit antara lain

prajurit, pedagang, pejabat pemerintah, duta kerajaan, dan ulama/penyebar agama.

DAFTAR PUSTAKA

Bawono, RA dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit” disampaikan dalam Seminar Nasional Seri Bahasa,

18 Dua arca Siwamahadewa (no.5621 dan no.38) Gaya berdiri, dan terdapat praba dibelakang arca

tersebut. Koleksi museum Nasional yang ditemukan di Rejoagung-Kediri dan Trowulan-

Mojokerto. Satu arca di bagian stelanya terdapat praba mengelilingi tubuh.

Page 408: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 397

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sastra, dan Budaya di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana pada tanggal Senin, 29 Februari 2016.

Bawono, Rochtri Agung. 2013. “Sejarah Situs dan Riwayat Penelitian di

Trowulan”. Presentasi Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu (PATI) II

pada 16 Maret 2013 di Trowulan Mojokerto-BPCB Jawa Timur. Bawono, Rochtri Agung. 2017. “Makam Troloyo: Bukti Komunitas Muslim dalam

Kerajaan Majapahit” dalam Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya

II. Denpasar, 26-27 Mei 2017. Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Penerbit

Niagara. Chawari, M. 2012. “Fenomena Islam pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit”

dalam Majapahit, Batas dan Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

de Graff, H.J dan Th. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan

Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

de Graff, H.J, dkk. 2004. Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: antara

Historisitas dan Mitos. Terjemahan: Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centures: The Cetakan ke-2. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Dharma, Po. 1999. “Kepulauan Indonesia dan Campa”, dalam Panggung sejarah

Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Groeneveldt, W.P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas

Bambu. Guillot, Claude dan Ludvik Kalus. 2008. Inskripsi Islam Tertua di Indonesia.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Kong Yuangzhi. 2007. Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah

di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya. Buku 2: Jaringan Asia. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama. Masyudio.. 2012. “Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit” dalam

Majapahit, Batas dan Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Page 409: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

398 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnyanegara-

negara Islam di Nusantara. Jakarta: LKiS Yogyakarta. Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Jakarta: LKiS

Yogyakarta. Munandar, Agus Aris, dkk. 2014. Air dan Kosmologi di Situs Majapahit. Jakarta:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Perkasa, Adrian. 2012. Orang-orang Tionghoa & Islam di Majapahit. Yogyakarta:

Penerbit Ombak. Priswanto, Hery. 2012. “Orang-orang Asing di Majapahit” dalam Majapahit, Batas

Kota dan Jejak-jejak Kejayaan. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Qurtuby, Sumanto Al. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas

Peranan Tionghoa dalam Penyebaran agama Islam di Nusantara Abad XV

& XVI. Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press. Qurtuby, Sumanto Al. 2007. “Sino-Javanese Muslim Cultures, Menelusuri Jejak

Cheng Ho di Indonesia” dalam Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama, Masa

Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas. Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia (KPG). Wang, Andri. 2016. The Ancient Chinese Wisdom. Jakarta: PT. Gramedia. Widodo, Johannes. 2007. “Admiral Cheng Ho dan Kota-Kota Pesisir di Asia

Tenggara” dalam Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Winarni, Retno. 2009. Cina Pesisir, Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir

Utara jawa Timur Sekitar abad XVIII. Denpasar: Pustaka Larasan.

Page 410: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 399 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

LAGU, KAUM MUDA DAN BUDAYA DEMOKRASI

Dra. Roma Ayuni A. Loebis, M.A*

Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

[email protected]

Abstrak

Lagu (nyanyian) merupakan hasil karya seni yang terbangun dari bahasa, sastra, dan musik serta penyanyi. Setiap lirik lagu mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengar/khalayaknya. Kaum muda umumnya akrab dengan lagu dikarenakan lagu merupakan salah satu sarana hiburan ataupun menyalurkan hobi menyanyi, sekaligus dapat mewarnai karakter. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah lagu dapat dijadikan sarana dalam penyampaian tentang buadaya demokrasi. Tujuan penelitian, melihat peran lagu sebagai sarana dalam memberikan pengajaran tentang budaya demokrasi. Penelitian menggunakan metode analisis konten dan menggunakan pendekatan pragmatik, yakni pemakaian bahasa dalam komunikasi. Penelitian menunjukkan lagu memiliki peran dalam memahamkan budaya demokrasi kepada kaum muda dan membentuk cara fikir dalam berpolitik bagi pemilih pemula. Pendidikan politik kepada pemilih pemula adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, teks bahasa dan sastra pada lagu yang dinyanyikan oleh para pemuda dapat memainkan peranannya sebagai pendidikan politik dan membentuk budaya demokrasi. Kata kunci: Lagu, kaum muda, demokrasi

PENDAHULUAN

Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan

bentuk ungkapan pengarang atas kehidupan yang terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat. Berdasarkan bentuk atau wujudnya karya sastra terdiri dari aspek

isi dan aspek bentuk. Aspek isi merupakan pengalaman tentang hidup manusia.

Aspek bentuk merupakan hal-hal yang terkait cara pemakaian, cara pengarang

memanfaatkan bahasa untuk mewadahi isi dari karya sastra tersebut. Dari dari

aspek bentuk atau wujudnya, sastra dapat disampaikan secara lisan dan tulisan.

Penyampaian sastra secara lisan, langsung diungkapkan dari mulut ke mulut

sedangkan penyampaian sastra secara tulisan diungkapkan melalui bahasa tulis.

Sastra lisan merupakan bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah

Page 411: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

400 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

masyarakat. Sastra lisan lebih dominan merupakan milik bersama, bersifat anonim

pada suatu daerah tertentu. Sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan yang

terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum terpelajar. Ragamnya pun

sangat banyak dan masing-masing ragam mempunyai variasi yang banyak pula.

Isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan

masyarakat pemilik sastra tersebut (Finnegan, 1998).

Kehidupan sastra lisan di masyarakat mengalami perubahan sesuai

dinamika kehidupan masyarakat pemiliknya. Ada sebagian sastra lisan di Indonesia

yang telah hilang sebab tidak sempat didokumentasikan. Sastra lisan yang masih

ada, baik yang diselamatkan melalui penelitian masa dahulu dan masa kini maupun

yang belum diteliti, ada yang masih bertahan tetapi ada pula yang mengalami

perubahan. Ada contoh bentuk sastra lisan yang masih dipertahankan terus tanpa

perubahan, tetapi tidak kurang contoh yang membuktikan bahwa sastra lisan yang

telah berubah karena pengaruh sastra asing (Teeuw, 1984:330). Telah dikatakan

pula bahwa di Indonesia sastra lisan pun dari dahulu terus berubah walaupun

beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Perubahan itu bisa terjadi karena

pengaruh perkembangan masyarakat dalam berbagai segi seperti pendidikan,

ekonomi, politik, soial, dan kepercayaan. Keberadaan sastra lisan perlu

dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan dan

agama, serta semua aspek kebudayaan lain (Finnegan,1998 ).

Sastra lisan merupakan salah satu bentuk kreativitas masyarakat. Berbagai

nilai kehidupan seperti nilai kemanusiaan, keindahan, moral, budaya, pendidikan,

sejarah, ekonomi, dan politik dapat diungkapkan melalui sastra lisan sehingga

penting untuk dilakukan penelitian yang terkait dengan sastra lisan tersebut. Teks

pada sastra lisan umumnya disalin dengan tujuan tertentu. Proses penyalinan naskah

atau teks adalah merupakan rangkaian turun- temurun yang disalin karena beberapa

alasan, yaitu: a) ingin memiliki naskah; b) karena teks asli sudah rusak; c) karena

kekhawatiran akan terjadi sesuatu terhadap naskah. Rangkaian penurunan yang

dilewati oleh suatu teks yang turun-temurun disebut tradisi. Naskah diperbanyak

karena orang ingin memiliki sendiri naskah itu, mungkin karena naskah asli sudah

rusak dimakan zaman; atau karena kekhawatiran terjadi sesuatu dengan naskah asli,

misalnya hilang, terbakar, ketumpahan benda cair; karena perang, atau hanya

Page 412: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 401

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

karena terlantar saja. Mungkin pula naskah disalin dengan tujuan magis; dengan

menyalin suatu naskah tertentu orang merasa mendapat kekuatan magis dari yang

disalinnya itu. Naskah yang dianggap penting disalin dengan berbagai tujuan,

misalnya tujuan politik, agama, pendidikan, dan sebagainya (Baried, 1985:59).

Lagu

Lagu merupakan salah satu karya sastra yang berbentuk lisan. Lagu terdiri

dari rangkaian kata-kata yang disebut lirik. Menurut Muliono (Ed) (2007: 678) lirik

mempunyai dua pengertian yaitu (1) karya sastra (puisi) yang berisi curahan

perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian. Dalam menggunakan lirik seorang

penyair/pencipta lagu itu harus benar-benar pandai dalam mengolah kata. Menurut

Noor (2004: 24) lirik adalah ungkapan perasaan pengarang. Lirik inilah yang

sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi

(curahan) perasaan pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya.

Sedangkan kesenian, khususnya lagu, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui

lagu, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang

merepresentasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu,

melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai

pergulatanzaman bersangkutan.

Lagu (nyanyian) merupakan hasil karya seni hubungan dari seni suara dan

seni bahasa, sebagai karya seni suara melibatkan melodi dan warna suara penyanyi.

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu merupakan ekspresi

seorang penyair dari dalam batinnya tentang sesuatu yang sudah dilihat, didengar

maupun dialami. Lirik lagu mempunyai kesamaan dengan sajak hanya saja dalam

lirik lagu juga mempunyai kekhususan tersendiri karena penuangan ide lewat lirik

lagu diperkuat dengan melodi dan jenis irama yang disesuaikan dengan lirik lagu

dan warna suara penyanyinya. Tidak hanya mementingkan melodi dan suara vokal,

lirik lagu ini juga sarat dengan makna. Setiap lirik lagu mempunyai tujuan tertentu

yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya. Seperti tujuan

lirik lagu pada umumnya, beberapa lagu ada yang bertujuan memahamkan budaya

demokrasi.

Demokrasi merupakan salah satu bentuk politik. Salah satu bentuk

demokrasi tergambar dalam ajang pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara

Page 413: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

402 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

langsung. Dalam media massa, ajang pemilihan ini kerap diberitakan keadaan

daerah yang menghangat dari biasanya, pendukung para konstituen menjalankan

berbagai strategi agar calon yang di dukungnya dapat memenangkan pemilihan.

Para calon pun mulai menunjukkan aksinya dalam usaha mendapatkan jabatan

sebagai Kepala Daerah. Dari aksi positif, seperti menyatakan program-program

yang pro rakyat , mengumbar janji-janji politik yang selalu kedengaran ‘manis’

dalam beberapa acara debat. Tetapi tak urung juga terkadang terdengar aksi negatif,

seperti mencari-cari kesalahan dan kelemahan lawan. Maka, tak heran jika ajang

ini terkadang menuai aksi saling hujat, saling serang sehingga masyarakat mulai

kerap dengan kata-kata negatif seperti hina, nista, marah, hoax (berita bohong),

propaganda, bahkan fitnah.

Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami

perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional,

sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia, baik saat ini maupun nanti

yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO

menyebut sebagai” young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia

10-19 tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. International Youth Year yang

diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai

kelompok pemuda. Pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan

bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil.

Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Sedangkan menurut

UU Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun.

Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa perkembangan secara biologis

dan psikologis. Oleh karenanya pemuda selalu memiliki aspirasi yang berbeda

dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam makna yang positif aspirasi yang

berbeda ini disebut dengan semangat pembaharu. Pemuda juga dikenal dengan

sebutan generasi muda dan kaum muda. Dalam ranah Pilkada, keberadaan pemuda

ini kerap disebut swing voters (pemilih mengambang). Massa pemilih pemula yang

belum menentukan pilihannya adalah sebuah keniscayaan. Kelompok pemilih ini

belum memiliki pilihan atau preferensi terhadap kandidat tertentu.

Budaya Demokrasi adalah pola pikir, pola sikap, dan pola tindak warga

masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan dan

Page 414: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 403

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

persaudaraan antar manusia yang berintikan kerjasama, saling percaya, menghargai

keanekaragaman, toleransi, kesamaderajatan, dan kompromi. Unsur-unsur budaya

demokrasi antara lain: Kebebasan, adalah keleluasaan untuk membuat pilihan

terhadap beragam pilihan atau melakukan sesuatu yang bermamfaat untuk

kepentingan bersama atas kehendak sendiri tanpa tekanan dari pihak manapun.

Bukan kebebasan untuk melakukan hal tanpa batas. Kebebasan harus digunakan

untukhal yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan cara tidak melanggar aturan

yang berlaku. Persamaan, adalah Tuhan menciptakan manusia dengan harkat dan

martabat yang sama. Di dalam masyarakat manusia memiliki kedudukan yang sama

di depan hukum,politik, mengembangkan kepribadiannya masing-masing, sama

haknya untuk menduduki jabatan pemerintahan. Solidaritas, adalah kesediaan

untuk memperhatikan kepentingan dan bekerjasama dengan orang lain. Solidaritas

sebagai perekat bagi pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke dalam perpecahan.

Toleransi, adalah sikap atau sifat toleran. Toleran artinya bersikap menenggang

(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,

kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dll) yang bertentangan atau berbeda dengan

pendirian sendiri. Menghormati Kejujuran, adalah keterbukaan untuk menyatakan

kebenaran, agar hubungan antar pihak berjalan baik dan tidak menimbulkan benih-

benih konflik di masa depan. Menghormati penalaran, adalah penjelasan mengapa

seseorang memiliki pandangan tertentu, membela tindakan tertentu, dan menuntut

hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberi penalaran akan menumbuhkan

kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi dan ada banyak cara untuk

mencapai tujuan. Keadaban, adalah ketinggian tingkat kecerdasan lahir-batin atau

kebaikan budi pekerti. Perilaku yang beradab adalah perilaku yang mencerminkan

penghormatan terhadap dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain yang

tercermin dalam sopan santun, dan beradab.

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian content analysis (analisis konten).

Analisis konten merupakan teori yang dikemukakan Harold D. Lasswell dengan 5

unsur komunikasi yakni who (siapa), says what (mengatakan apa), to whom (kepada

siapa), in what channel (melalui apa), with what effect (apa akibatnya). Dengan

Page 415: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

404 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pendekatan pragmatik, yakni penggunaan bahasa dalam komunikasi. Konten yang

dilihat dalam penelitian ini adalah lirik lagu yang mengajarkan budaya demokrasi.

PEMBAHASAN

Pembahasan realitas sosial memusatkan pikiran pada pandangan Durkheim

(dalam Bungin, 2007: 85) tentang fakta sosial atau struktur dan institusi berskala

luas. Paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial

ini, tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Kaum

muda merupakan kaum yang akrab dengan lagu. Lagu yang bertema demokrasi

seperti lagu Bongkar (Iwan Fals), 135 juta Rhoma Irama, Solidaritas (Slank),

Bersabar (Sykoji).

Berbagai upaya yang bisa dilakukan melalui pembelajaran sastra yang

disertakan pula pendidikan budaya demokrasi didalam penyampaiannya, baik puisi,

lagu, cerpen, novel, drama, dan cerita rakyat.

Iwan Fals- Bongkar: /Kalau cinta sudah di buangJangan harap keadilan akan dating. Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang di perbudak jabatan/ /Penindasan serta kesewenang-wenangan/Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan/Hoi hentikan/Hentikan jangan di teruskan./Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan/. /O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar/ 135 juta-Rhoma Irama /Janganlah saling menghina/. Satu suku-bangsa dengan lainnya/ /Karena kita satu bangsa/./Dan satu bahasa Indonesia/ Bhinneka Tunggal Ika lambang Negara kita Indonesia/. /Walaupun bermacam-macam aliran tetapi satu tujuan/ Solidaritas- Slank /Mengapa nggak setiap hari berbuat seperti ini/ /aku menangis lihat hari ini/ .../tapi tersenyum tatap masa depan/ ..../apa harus tunggu bencana ?/ baru dunia bisa bersatu !!/ Bersabar-Sykoji /Aku hormati toleransi tenggang rasa serasa ikut dalam semaraknya puasa dimana nafsu kalah, iman berkuasa hari kemenangan akan indah aku rasa/

Penggalan lirik ke empat lagu diatas mengajak pendengarnya untuk

mengamalkan sikap toleransi, solidaritas, kebersamaa dan keadaban. Sikap yang

sejatinya melekat dalam diri kaum muda. Apalagi kaum muda akrab dengan lagu

Page 416: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 405

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

atau nyanyian. Oleh sebab itu lirik yang dinyanyikan oleh penyanyi (apalagi

penyanyi tersebut merupakan penyanyi favorit si pendengar ) yang mengandung

pengajaran demokrasi akan mudah sampai dan diresapi oleh kaum muda sehingga

dapat diaplikasikan dalam bermasyarakat.

SIMPULAN

Lagu merupakan sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan tertentu

kepada pendengarnya. Lagu yang penyanyinya disenangi para kaum muda juga

dapat menjadi sarana dalam mengajarkan budaya demokrasi. Kaum muda yang

masih Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami

perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional,

sehingga perlu adanya arahan dan pengajaran bagi mereka untuk faham akan

perilaku yang beradab. Maka lagu dapat dijadikan salah satu sarana dalam

pengajaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Dali Gulo. 1982. Kamus Psikologi. Bandung:Penerbit Tonis Kartono, Kartini. 1996. Politik- Studi dan Pengajaran. Bandung: Mandar Maju Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. United States of America:

Bantam Books Ruth, Finnegan. Literacy and Orality. 1998. USA: Callender Press Suyanto. 2009. Strategi Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Gema Insani

Press Wan Syaifuddin. Pemikiran Kreatif dan Sastra Melayu Tradisi. 2016. Yogyakarta:

Penerbit Gading

Page 417: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 406 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ALIH BAHASA FIGURATIF PADA TERJEMAHAN KARYA SASTRA

PUISI

Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan

Program Studi Sastra Inggris

[email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi”. Penerjemahan puisi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding teks terjemahan pada umumnya. Penerjemah biasanya menghadapi masalah dalam menerjemahkan bahasa kiasan oleh karena penting untuk menghasilkan kesepadanan dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) terutama dari aspek sosio budaya. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi bahasa figuratif serta pergeseran pada terjemahan karya sastra puisi.

Penelitian ini menggunakan sumber data yaitu antalogi puisi yang berjudul ‘Serpihan Sajak Dari Australia’. Sumber data yang ditelaah adalah puisi berbahasa Inggris (BSu) ‘The Death of the Bird’ dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia (BSa) ‘Ajal si Burung Betina’. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode dokumentasi dengan teknik simak dan catat. Analisa mencakup bahasa figuratif dan juga pergeseran terjemahan pada karya sastra puisi tersebut. Adapun pendekatan atau teori yang diaplikasikan untuk penelitian ini adalah teori terjemahan (Larson), teori pergeseran penerjemahan (Catford dan Simatupang)

Hasil penelitian menunjukkan Terjemahan Estetik Puitis pada puisi ‘The

Death of The Bird_Ajal Si Burung Betina’ menemukan berbagai jenis bahasa figuratif; diantaranya adalah metafora, personifikasi, hiperbola, imajeri, simbolisme dan oxymoron. Pergeseran terjemahan yang dapat ditemukan pada data puisi di atas, diantaranya adalah pergeseran kategori dalam tataran struktur dan kelas kata, juga pergeseran pada tataran semantik yang memiliki perbedaan sudut pandang. Kata kunci: alih bahasa, bahasa figuratif, pergeseran, strategi, karya sastra puisi

I. PENDAHULUAN

Alih Bahasa atau yang lebih dikenal dengan istilah terjemahan merupakan

bagian ilmu linguistik terapan yang kebermanfaatannya diperlukan pada berbagai

ranah; dalam berbagai disiplin ilmu untuk menjembatani informasi yang belum

ditransfer pada bahasa sasaran atau bahasa target. Terjemahan pada era global

merupakan keniscayaan sebagai salah satu bentuk komunikasi dunia. Terjemahan

Page 418: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 407

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bisa mengacu pada ‘Proses’ dan juga bisa juga dimaknai sebagai ‘Produk’. Acuan

‘Proses’ adalah kegiatan berlangsungnya penerjemahan dari bahasa sumber (BSu)

menjadi bahasa sasaran (BSa) oleh seorang penerjemah. Sedangkan ‘Produk’

mengacu pada hasil karya terjemahan seorang penerjemah. Secara etimologi

terjemahan didefinisikan sebagai perubahan bentuk dari satu ke bentuk yang

lainnya, dari bahasa yang satu atau ke bahasa lainnya (Kamus Merriam Webster,

1974). Terjemahan juga dimaknai sebagai kegiatan mempelajari leksikon, struktur

gramatika, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber,

menganalisanya untuk kemudian menentukan maknanya, lalu merekonstruksinya

pada makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatika yang

sesuai pada bahasa sasaran dan juga konteks budayanya (Larson, 1984:3) Berangkat

dari uraian sederhana mengenai terjemahan di atas maka menerjemahkan buku atau

karya tulis baik fiksi ataupun nonfiksi dari satu bahasa ke bahasa lainnya adalah

suatu pekerjaan yang tidak hanya sekedar mengalihbahasakan suatu karya saja.

Namun, lebih dari itu, penerjemah juga dituntut untuk menyalurkan gagasan penulis

ke pembaca dalam bahasa sasaran. (Pustaloka Kompas, Mei 2003).

Jenis karya terjemahan beragam, disampaikan dari linguis yang berbeda.

Menurut Larson (1984:15) terjemahan dibagi atas dua jenis yaitu terjemahan

berbasis bentuk (form based translation) dan terjemahan berbasis makna (meaning

based translation). Sedangkan Catford (1978:21) menyebutkan pembagian

terjemahan berdasarkan eksten yaitu terjemahan penuh (full translation) dan

terjemahan yang tidak penuh (partial translation). Dalam tataran level, jenis

terjemahan terdiri atas terjemahan total (total translation) dan restricted translation.

Dalam tataran ranking, terjemahan dibagi atas rank-bound translation dan

unbounded translation. Lain halnya dengah Jacobson (2000) yang membagi jenis

terjemahan menjadi terjemahan intralingual, interlingual dan intersemiotik.

Selanjutnya, jenis terjemahan yang disampaikan menurut Brislin di Choliludin

(2007:26-30) adalah berdasarkan tujuan terjemahannya yaitu Terjemahan

Pragmatis, terjemahan Estetik Puitis, terjemahan Etnografi, dan terjemahan

Lingustik. Terjemahan Pragmatis mengacu pada terjemahan dari pesan yang

berkepentingan dengan keakuratan informasi yang dimaksudkan untuk

disampaikan dalam bentuk dalam aspek-aspek lain dari versi bahasa aslinya.

Page 419: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

408 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Terjemahan Estetik memperhitungkan pengaruh, emosi dan perasaan versi asli serta

informasi dalam pesan. Terjemahan Etnografi tujuannya adalah untuk menjelaskan

konteks budaya bahasa sumber dan versi bahasa target. Sedangkan terjemahan

Linguistik berfokus pada kesetaraan makna dengan morfem konstituen dari bahasa

sumber dan bentuk gramatikal.

Penelitian ini akan membahas lebih detail mengenai jenis terjemahan yang

disampaikan oleh Brislin yaitu terjemahan Estetik Puitis. Jenis terjemahan ini

merupakan bagian dari jenis terjemahan karya sastra. Terjemahan karya sastra

terdiri atas dua yaitu terjemahan karya sastra kreatif seperti novel, cerpen, puisi dan

drama. Terjemahan karya sastra deskriptif, seperti essay, karya sastra ilmiah, teori

sastra dan kritik sastra. (Arin Purwo dkk, 2012). Terjemahan Estetik Puitis

merupakan terjemahan dengan tingkat kesulitan yang tinggi; berbeda dengan jenis

terjemahan lainnya. Menerjemahkan karya sastra khususnya puisi membutuhkan

strategi ataupun ketrampilan khusus; penerjemah harus mahir dengan bahasa

sumber dan sasaran serta setidaknya memiliki pemahaman tentang stilistika, karya

sastra dan budaya. Tingkat kesulitannya ada pada kemampuan penerjemah untuk

bisa memahami serta mengapresiasikan suatu karya sastra melalui proses

kreatifnya. Untuk menghasilkan terjemahan puisi yang berterima dalam BSa

tentunya bisa terjadi pergeseran dalam proses menerjemahkan tersebut. Pergeseran

yang terjadi bisa berupa pergeseran bentuk ataupun pergeseran makna oleh karena

puisi mengandung banyak bahasa figuratif. Berangkat dari uraian latar belakang di

atas maka penelitian ini merumuskan dua masalah untuk di analisa, yaitu:

(1) Apa saja bahasa figuratif yang ditemukan pada puisi ‘The Death of the

Bird’ dan juga terjemahannya ‘Ajal si Burung Betina’?

(2) Bagaimana pergeseran yang terjadi pada puisi The Death of the Bird’

dan juga terjemahannya ‘Ajal si Burung Betina’?

II. METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam melaksanakan penelitian

merupakan alat prosedur dan teknik yang digunakan dalam melaksanakan

penelitian (Djajasudarma, 1993:3). Sumber Data penelitian ini dipilih secara acak

dari antologi puisi yang berjudul MENDORONG JACK KUNTIKUNTI Serpihan

Page 420: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 409

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sajak dari Australia. Edisi Bilingual Inggris-Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh

Yayasan Obor Indonesia di Jakarta tahun 1991. Buku ini dipilih oleh karena buku

ini merangkum puisi-puisi dari penyair-penyair terbaik yang dimiliki oleh

Australia. Sumber data dipilih secara acak dan merupakan puisi terjemahan dari

Bahasa Inggris (BSu) ke Bahasa Indonesia (BSa). Puisi yang digunakan untuk

penelitian ini berjudul ‘The Death of the Birth’ karya A.D Hope dengan versi

terjemahannya ‘Ajal si Burung Betina’

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, yaitu menyimak

(membaca) secara teliti semua baris-baris dari bait-bait yang ada dalam puisi

tersebut. Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah teknik catat. Setiap

baris dari sumber data dituliskan beserta terjemahannya, kemudian ditelaah. Hasil

terjemahan kemudian dianalisa untuk mengidentifikasikan bahasa figuratifnya dan

juga pergeseran terjemahan

Metode dan teknik analisa data yaitu deskriptif kualitatif. Metode ini

menerapkan teknik deskripsi pada saat dilakukan analisa mengenai bahasa figuratif

dan pergeseran terjemahan. Hasil analisa data diuraikan dengan kalimat-kalimat,

namun dibatasi hanya dua data yang diuraikan mengingat keterbatasan halaman

yang disyarakatkan.

III. PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

3.1 Bahasa Figuratif

Pada bagian ini diuraikan hasil identifikasi dari bahasa figuratif yang dapat

ditemui pada sumber data penelitian ini. Bahasa figuratif yang ditemukan diuraikan

secara berturut turut dalam bahasa Inggris-bahasa Indonesia

Bahasa Figuratif yang ditemukan dalam puisi ‘THE DEATH OF THE

BIRD’ –‘AJAL SI BURUNG BETINA’ diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Metafora

For every bird there is this last migration

Bagi setiap burung ada perjalanan penghabisan

b. Hiperbola

By a whole hemisphere, summons her to come

Terpisah oleh belahan bumi, mengundangnya datang

Page 421: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

410 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c. Personifikasi

And the winds buffet her with their hungry breath

Dan angin memukulnya dengan hembusan dahaga

d. Simbolisme

The invisible thread is broken as she flies

Benang gaib itu putus ketika ia terbang

e. Imajeri

The sands are green with a mirage of valleys

Pasir hijau pada lembah khayalan

f. Oximoron

The delicate voice, more urgent with despair

Suara lembut itu yang seperti mendesak oleh putus asa

3.2 Pergeseran Terjemahan Pada Bahasa Figuratif

Melalui identifikasi beberapa bahasa figuratif yang ditemukan pada uraian

di atas maka berikut akan dianalisa secara acak mengenai pergeseran terjemahan

yang terjadi pada bahasa figuratif terjemahan puisi tersebut.

Data 1 Metafora: For every bird there is this last migration (BSu)

Bagi setiap burung ada perjalanan penghabisan (Bsa)

Metafora merupakan salah satu bahasa figuratif yang mengungkapkan

ungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis. Makna yang

terkandung dalam jenis bahasa ini adalah peletakan kedua dari makna asalnya, yaitu

makna yang bukan menggunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai

kiasan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.

Data di atas dapat dikategorikan sebagai metafora karena mengacu pada

kata ‘last migration’ yang jika secara literal dapa diterjemahkan menjadi ‘migrasi

terakhir’. Ketika pembaca membaca judul puisi yang bercerita tentang ‘burung’

maka secara tidak langsung pikiran pembaca akan dibawa pada asumsi tentang

‘migrasi’ yang sedianya dilakukan oleh kawanan burung.

Kata ‘last migration’ yang diterjemahkan menjadi ‘perjalanan penghabisan’

mengalami pergeseran terjemahan pada tataran semantik, yaitu perbedaan sudut

pandang budaya.

Page 422: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 411

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Last migration (Bsu) Perjalanan penghabisan (Bsa) For every bird there is this last migration (Bsu) Bagi setiap burung ada perjalanan penghabisan (Bsa)

Jika ditinjau secara lebih spesifik dan literal maka dapat kita temui adanya

penghilangan kata ‘this’ yang berarti ‘disini’ pada terjemahan bahasa sasaran.

Selain itu pada bahasa figuratif Bsu kita bisa mengkategorikan kalimat tersebut

menjadi metafora sedangkan pada bahasa figuratif Bsa kalimat tersebut dapat

dikategorikan menjadi bahasa figuratif hiperbola. Hal ini bisa terjadi oleh karena

kata ‘last migration’ diterjemahkan secara berlebihan menjadi ‘perjalanan

penghabisan’. Kata ‘last’ berarti terakhir. Pada terjemahan Bsa kata ‘last’

diterjemahkan menjadi ‘penghabisan’, padahal yang kita pahami tidak ada

penghabisan dari sebuah migrasi; itulah sebabnya hasil terjemahan Bsa pada data

di atas menjadi bahasa figuratif hiperbola.

Data 2 Hiperbola: By a whole hemisphere, summons her to come (Bsu) Terpisah oleh belahan bumi, mengundangnya datang (Bsa)

Data BSu di atas dapat dikategorikan menjadi bahasa figuratif mengacu

pada kata ‘by a whole hemisphere’ yang secara literal berarti ‘oleh seluruh lapisan

bumi’. Secara lebih spesifik kata ‘whole’ yang berarti ‘seluruh’ memberikan kesan

berlebihan pada kalimat yang dibentuknya. Akan tetapi sebaliknya, dalam Bsa kata

‘seluruh’ justru tidak muncul; digantikan oleh kata ‘terpisah’. Ini menunjukkan

bahwa bahasa figuratif yang diciptakan pada Bsu belum tentu memiliki

kesepadanan bahasa figuratif yang sama pada Bsa.

Pergeseran yang terjadi pada terjemahan data di atas adalah terjemahan pada

tataran kategori yaitu pada tataran struktur dan kelas kata. Seperti diuraikan lebih

detail berikut:

Divided by a whole hemisphere (Bsu) terpisah oleh belahan bumi (Bsa) Kata kerja + kata hubung + pemarkah+kata benda+kata kerja+kata hubung+kata benda

Secara struktur Bsu memulai kalimatnya dengan kata kerja yaitu ‘divided’,

diikuti oleh kata hubung ‘by’ sedangkan pada Bsa kata ‘oleh’ didahului dengan kata

kerja intransitif ‘terpisah’. Pergeseran dimaksud adalah untuk memberikan nilai

bahasa puitis yang elok tanpa mengurangi makna yang ingin disampaikan.

Page 423: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

412 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Demikian halnya dengan pergeseran kelas kata, baris puisi di atas memiliki kelas

kata yang berbeda oleh karena terjemahan baris pada Bsa tidak diterjemahkan

secara literal. Secara semantik, baris puisi di atas juga mengalami pergeseran makna

yang dapat ditemui pada kata ‘by a whole’ yang diterjemahkan menjadi ‘terpisah’

By a whole……(Bsu) terpisah……(Bsa) Kata keterangan Kata kerja intransitif

IV. KESIMPULAN

Alih Bahasa yang lebih dikenal dengan istilah terjemahan merupakan

sebuah aktifitas bahasa yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat sebagai

wujud aktualisasi dunia global. Terdapat berbagai jenis terjemahan yang dapat

ditemui dalam berbagai jenis teks atau genre. Salah satu jenis terjemahan yang

dapat ditemukan pada karya sastra adalah terjemahan estetik puitis; terjemahahan

ini adalah terjemahan yang memperhitungkan pengaruh, emosi dan perasaan versi

asli serta informasi dalam pesan.

Terjemahan Estetik Puitis pada puisi ‘The Death of The Bird_Ajal Si

Burung Betina’ menemukan berbagai jenis bahasa figuratif; diantaranya adalah

metafora, personifikasi, hiperbola, simbolisme, oxymoron serta asosiasi.

Pergeseran terjemahan yang dapat ditemukan pada data puisi di atas, diantaranya

adalah pergeseran kategori dalam tataran struktur dan kelas kata, juga pergeseran

pada tataran semantik yang memiliki perbedaan sudut pandang.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Mona (ed). 2000. Routledge Encyclopedia of Translation Studies. London: Routledge

Basnett, S. 2002. Translation Studies. 3rd.ed. New York: Routledge Chiaro, Delia. 1992. The Language of Jokes: Analyzing verbal play. London:

Routledge Delabatista, D. 1993. There’s a Double Tongue: An Investigation into the

translation of Shakespeare’s wordplay with special reference to Hamlet. Amsterdam: Rodopi

Firmin, M. 2008. Data Collection. In L.M Given (eds). The Sage Encyclopedia of

Qualitative Reasearch Methods. California: Sage

Page 424: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 413

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hatim, B & Munday, J.2004. Translation : An Advanced Resource Book. New

York: Routledge Larson, M. 1998. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language

Equivalence. 2nd.ed. New York: University Press of America Nida. E.A. 1975. Language Structure and Translation. Standford: Standford Univ

Press

Page 425: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 414 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

TAHAP PERANCANGAN METODE PEMBELAJARAN BLENDED

LEARNING PADA MATA KULIAH SHOKYUU HYOUKI DI PROGRAM

STUDI SASTRA JEPANG UNIVERSITAS UDAYANA

Silvia Damayanti, Ni Luh Putu Ari Sulatri

Program Studi Sastra Jepang, Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

Abstrak

Artikel ini dipaparkan tahap perencangan metode blended learning pada Mata Kuliah Shokyuu Hyouki Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana yang dilaksanakan pada semester ganjil 2017/2018. Model pembelajaran Blended Learning dirancang berdasarkan model disain sistem pembelajaran PEDATI oleh Chaeruman (2017). Artikel ini diharapkan dapat membantu para pengajar bahasa asing, khususnya bahasa Jepang dalam mengembangkan metode pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi Informasi. Kata kunci: blended learning, shokyuu hyouki, kanji

PENDAHULUAN

Mata kuliah “Shoukyuu Hyoki” adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa

Program Studi Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan

program studi sejenis yang ada di Indonesia. Mata kuliah “Shokyuu Hyoki” (2 SKS)

merupakan mata kuliah pengantar bagi mahasiswa semester satu dalam

mempelajari Huruf Jepang di tingkat dasar. Pada tahun ajaran ganjil 2017/2018

mata kuliah “Shokyuu Hyouki” ini menggunakan metode pembelajaran blanded

learning. Suatu keniiscayaan bila kita merancang atau mendisain suatu model atau

posedur kerja karena tanpa perecanaan yang baik bila tidak ada tindakan yang

berhasil optimal. Oleh sebab itu, artikel ini membahas perancangan model

pembelajaran blended learning pada mata kuliah Shokyuu Hyouki agar capaian

pembelajaran mata kuliah dapat diraih dengan baik.

Penelitian sejenis pernah dilakukan sebelumnya oleh Amin (2017) dalam

jurnal berjudul “Kajian Konseptual Model Pembelajaran Blended Learning

berbasis Web untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Motivasi Belajar” mengkaji

Page 426: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 415

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

konsep-konsep pembelajaran dan model pembelajaran blended learning berbasis

web.

Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat dan membantu para pengajar

bahasa asing, khususnya bahasa Jepang dalam mengembangkan metode

pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi Informasi.

METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode

kepustakaan dan metode deskritif analitik. Cara kerja metode deskriptif analisis

tidak semata menggambarkan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan

secukupnya (Ratna, 2009:53). Teori yang digunakan dalam penyusunan model

pembelajaran Blended Learning Shokyuu Hyouki dirancang berdasarkan model

disain sistem pembelajaran PEDATI oleh Chaeruman (2017).

PEMBAHASAN

Pembelajaran blended learning dalam konteks SPADA Indonesia, yaitu

suatu bentuk sistem pembelajaran yang mengkombinasikan sedemikian rupa antara

strategi pembelajaran sinkron dan asinkron dalam rangka menciptakan pengalaman

belajar untuk mencapai capaian pembelajaran yang telah ditentukan secara optimal

(Chaeruman, 2017:12). Model desain pembelajaran blended yang dihasilkan

diberinama PEDATI. PEDATI adalah kependekan dari Pembelajaran Daring

Pendidikan Tinggi dapat pula merupakan akronim dari PElajari-DAlami-Terapkan,

dan evaluasi).

Sesuai dengan model disain PEDATI pembelajaran blended learning

Chaeruman (2017) di atas maka tahap perancangan Mata Kuliah Shokyuu Hyouki,

dibagi ke dalam lima tahapan sebagai berikut:

1. Merumuskan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Shokyuu Hyouki

Langkah awal dalam merancang sistem pembelajaran blended adalah

merumuskan capaian pembelajaran (learning outcome). Capaian pembelajaran

yang dimakasud adalah capaian pembelajaran mata kuliah. Capaian

pembelajaran mata kuliah harus disusun dengan baik sesuai dengan kreteria

yang baik dan benar. Dalam konteks PEDATI, kreteria capaian pembelajaran

Page 427: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

416 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang dianjurkan adalah memenuhi unsure A (audience), B (Nehavior),

C(Condition), dan D (Degree) (Chaeruman, 2017:20-22).

Capaian pembelajaran mata kuliah Shokyuu Hyouki adalah mahasiswa

mampu menguasai cara baca tulis huruf Jepang (huruf Hiragana, Katakana, dan

Kanji) dan memahami makna dan penggunaan 250 Kanji dasar dalam kalimat

sederhana degan baik. Untuk mencapai capaian pembelajaran tersebut

kemudian dirinci ke dalam sub-sub capaian pembelajaran.

2. Memetakan dan Mengorganisasikan Materi Pembelajaran Mata Kuliah

Shokyuu Hyouki

Langkah selanjutnya adalah memetakan dan mengorganisasikan materi

pembelajaran sebagai upaya untuk menentukan dan mengelompokkan materi

pebelajaran ke dalam pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan pokok materi

sesuai dengan capaian pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan cara seperti

itu pengorganisasian materi akan lebih mengacu kepada kompetensi, bukan

kepada materi, selain itu pemenggalan materi pembelajaran ke dalam beberapa

pokok materi yang sangat relevan sangat penting sebab dalam konteks

pendidikan blended, khususnya belajar mandiri dalam aktivitas pembelajaran

asinkron setiap materi harus dibahas, dijelaskan, dan disajikan dengan tuntas

dan mendalam.

Untuk mencapai capaian pembelajaran yang ditetapkan maka pada mata

kuliah Shokyuu Hyouki terdapat tiga pokok bahasan utama yaitu: Huruf hiragana,

Huruf Katakana, dan Huruf Kanji. Ketiga pokok bahasan tersebut dibagi ke dalam

16 kali pertemuan. Berikut contoh salah satu pokok bahasan Huruf Hiragana, sub

pokok materi, dan pokok materi yang disusun berdasarkan capaian pembelajaran.

Pokok Bahasan

Subpokok Bahasan Pokok-pokok Materi

Huruf Hiragana

1. Sejarah Huruf Kana dan Kanji

2. Fungsi Huruf Hiragana

3. Huruf Hiragana

1.1 Menjelaskan Sejarah huruf Kana 1.2 Menjelaskan Fungsi Huruf Hiragana 1.3 Menjelaskan dan memberikan contoh

cara menulis, membaca dan Hiragana: 1.3.1 50 Onjun 1.3.2 Dakuon & Handakuon 1.3.3 Youon 1.3.4 Chouon 1.3.5 Zokuon (っ) 1.3.6 Joshi

Page 428: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 417

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Memilih dan Menentukan Strategi Pembelajaran Asinkron dan Sinkron Mata

Kuliah Shokyuu Hyouki

Langkah ketiga adalah memilih dan menentukan setting belajar Mata

Kuliah Shokyuu Hyouki untuk menentukan apakah capaian dan pokok atau

subpokok bahasan tertentu dapat dicapai melalui ativitas pembelajaran asinkron

atau sinkron. Berikut pertimbangan yang dilakukan dalam menentukan materi

mata kuliah Shokyuu Hyouki ke dalam sinkron atau asinkron.

a. Untuk mencapai capaian pembelajaran dan pokok atau sub pokok bahasan

yang telah disusun bila memerlukan penerapan dan praktek langsung maka

pembelajaran tersebut dapat dicapai dengan aktivitas pembelajaran sinkron

langsung atau tatap muka.

b. Untuk mencapai capaian pebelajaran atau sub pokok bahasan yang telah

disusun bila diperlukan partisipasi aktif, mencoba demonstrasi dan

memainkan peran maka pembelajaran tersebut dapat dicapai dengan

aktivitas sinkron langsung.

c. Apabila mahasiswa cukup membaca, mendengar, melihat, memperhatikan,

menyaksikan, dan berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran tertentu

maka pembelajaran dapat dicapai melalui aktivitas pembelajatan asinkron.

4. Menyusun Aktivitas Pembelajaran Asinkron Mata Kuliah Shokyuu Hyouki

Merancang aktivitas pembelajaran asinkron terdiri atas dua langkah, yaitu:

a. Menyusun rancangan pembalajaran asinkron sebagai garis besar rancangan

untuk merancang aktivitas pembelajaran asinkron dalam mata kuliah

Shokyuu Hyouki maka perlu memahami alur pembelajaran daring, objek

belajar, kriteria pemilihan media yang relevan, asesmen dalam

pembelajaran asinkron.

Dalam mata kuliah Shokyuu Hyouki digunakan model pembelajaran

PEDATI. Alur pembelajaran asinkron PEDATI terdiri atas empat siklus,

yaitu: 1) pelajari (learning); 2) dalami (deepening); 3) terapkan (applaying);

dan evaluasi (measuring). Pada mata kuliah Shokyuu Hyouki proses 1)

pelajari dan 3) evaluasi termasuk dalam asinkron mandiri mahasiswa dapat

belajar sendiri dimana saja dan kapan saja, sedangkan 2) dalami dan 3)

Page 429: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

418 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terapkan termasuk dalam asinkron kolaboratif yang dapat dipelajari

mahasiswa bersama-sama secara aktif kapan dan dimana saja.

Kriteria pemilihan media digital pada Mata kuliah Shokyuu Hyouki

mengacu pada ragam pengetahuan Merril (1998) dan Smaldino (1999)

ragam dan media yang digunakan. Misalnya, untuk agar lebih memahami

prinsip pemaknaan kanji dari bushu (bagian dari kanji) maka dipilihlah

video yang didalamnya terdapat teks dan audio dibandingkan hanya

menggunakan teks atau audio saja.

Asesmen atau evaluasi yang digunakan untuk mengatehui tingkat

capaian pembelajaran mahasiswa dalam pembelajaran asinkron pada Mata

kuliah Shokyuu Hyouki digunakan dua jenis instrumen yaitu, tes non

objektif dan tes objektif. Tes non-objektif yang dilakukan melalui forum

diskusi (discussion forum) dan penugasan daring (assignment), sedangkan

tes objektif dilakukan melalui pilihan ganda.

b. Meragkai alur pembelajaran asinkron sebagai alur pembelajaran yang lebih

rinci untuk setiap pokok materi sebagai objek belajar. Setelah ditemukan

rancangan pembalajaran asinkron yang baik maka tahap selanjutnya adalah

merangkainya ke dalam sebuah alur pembelajaran. Alur pembelajaran

asinkron dalam mata kuliah Shokyuu Hyouki dirancang perpeggalan materi

(sub pokok bahasan) yang didalamnya meliputi intruksi (arahan belajar),

deskripsi (penjelasan), serangkaian aktivitas asinkron mandiri (media

digital dan kuis/tes), dan serangkaian aktivitas asinkron kolaboratif (forum

diskusi dan tugas daring) baik disajikan secara induktif, maupun secara

deduktif.

5. Merancang aktivitas Pembelajaran Sinkron

Aktivitas pembelajaran sinkron terdiri atas sinkron langsung dan sinkron

maya. Sinkron langsung adalah pembelajaran yang terjadi dalam situasi antara

yang belajar dan pembelajar berada di ruang dan waktu yang sama, sedangkan

pada sinkron maya antara yang belajar dan pembelajar di waktu yang sama

berada di ruang yang berbeda. Sinkron langsung sama persis dengan tatap

muka. Unsur-unsur pembelajaran meliputi capaian pembelajaran, pokok

Page 430: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 419

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bahasan. Sub pokok bahasan, pokok materi, dan strategi pembelajaran yang

meliputu metode, media, watu, referensi, dan asasmen.

Pada mata kuliah Shokyuu Hyouki aktivitas sinkron langsung digunakan

untuk praktek membaca dan menulis baik huruf Hiragana, Katakana, maupun

Kanji. Oleh sebab itu, pada rancangan pada pembelajaran sinkron langsung

dititikberatkan pada aktivitas dengan metode demonstrasi dan praktek bak

membaca dan menulis, media yang sering digunakan adalah silde, dan asesmen

menggunakan tes non objektif.

Pembelajaran sinkron maya dimediasi oleh teknologi komunikasi yang

dikenal sebagai konfernsi jarak jauh. Bentuk konfrensi jarak jauh dapat

dilakukan melalui audio-confernece atau audio- conference. Pada dasarnya

rancangan pembelajaran sinkron maya sama dengan rancangan pembelajaran

sinkron langsung, namun yang berbeda adalah tempatnya. Pada mata kuliah

Shokyuu Hyouki sinkron maya dirancang dengan metode talkshow dan tanya

jawab menggunakan narasumber dan assesmen menggunakan tes-non objektif

dan keaktivan.

SIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap persiapan

metode pembelajaran blended learning pada mata Kuliah Shokyuu Hyouki di

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya dengan menggunakan model

PEDATI (Pelajari, Dalami, Terapkan, dan Evaluasi) dilakukan dengan lima

tahapan, yaitu merumuskan capaian pembelajaran, memetakan dan

mengorganisasikan materi pembelajaran, memilih dan menentukan strategi

pembelajaran asinkron dan sinkron, menyusun aktivitas pembelajaran asinkron dan

merangkai alur pembelajaran menjadi suatu objek pembelajaran, dan merancang

aktivitas pembelajaran sinkron. Model PEDATI sangat memudahkan dan cocok

digunakan dalam pembuatan disain metode pembelajaran blended learning mata

Kuliah Shokyuu Hyouki di Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya

yang terorganisir.

Page 431: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

420 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad Kholiqul. 2017. “Kajian Konseptual Model Pembelajaran Blended

Learning berbasis Web untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Motivasi Belajar”. Jurnal Pendidikan Edutama, Vol 4, No2 Juli 2017 (halaman 51-54).

Chaeuman, Uwes Anis. 2017. PEDATI Model, Desain Sistem Pembelajaran

Blended: Panduan Merancang Mata Kuliah Daring SPADA Indonesia.

Jakarta: Direktorat Pembelajaran, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Srukturslisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.

Yogkarta: Pustaka Pelajar

Page 432: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 421 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ALIH WAHANA

NOVEL PADA SEBUAH KAPAL KARYA NH. DINI KE DALAM PUISI

“PADA SEBUAH KAPAL” KARYA MARIA MATILIDIS BANDA

Oleh Sri Jumadiah

FIB UNUD Denpasar Bali

Abstrak

Alih Wahana berkaitan dengan hubungan antarmedia: media sebagai tempat dan media sebagai alat. Makalah ini membahas alih wahana dari novel Pada Sebuah

Kapal ke puisi "Pada Sebuah Kapal". Bentuk novel dan puisi adalah tempat yang dimanfaatkan, sedangkan isinya adalah alat yang dipakai untuk menjelaskan makna novel dan makna puisi setelah proses alih wahana.

Fokus makalah ini adalah pada "Pada Sebuah Kapal" dalam versi puisi karya Maria Matildis Banda (MMB) yang termuat dalam Ratapan Laut Sawu Antologi

Puisi Penyair NTT (2014). Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekspresif untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban MMB mengalihkan novel tersebut dari sisi alur, penokohan, dan diksi.

Hasil kajian menjelaskan bahwa dalam proses alih wahana puisi "Pada Sebuah Kapal" berlangsung secara serius. Puisi mengungkapkan isi novel Pada Sebuah

Kapal secara padat dengan penggunaan kata-kata antara penari dan pelaut yang mendominasi perkembangan alur dalam novel dan diksi dalam puisi.

Kata Kunci: Alih Wahana, Pada Sebuah Kapal, Novel, dan Puisi.

Pendahuluan

"Pada Sebuah Kapal" (2010) adalah salah satu puisi Maria Matildis Banda

(MMB) yang diadaptasi dari novel terbaik dengan judul Pada Sebuah Kapal karya

NH. Dini. Novel ini berkisah tentang penari dan pelaut dalam dua sudut pandang

yaitu sudut pandang penari dan sudut pandang pelaut. Penari mengungkapkan

segenap isi hatinya kepada pelaut. Pelaut pun demikian, mengekspresikan segenap

kedalaman perasaannya terhadap penari dari sudut pandang dirinya sebagai laki-

laki pelaut. Hubungan pelaut dan penari ini terjadi pada sebuah kapal.

Bagaimana MMB mengadaptasikan novel ini menjadi puisi? Apa saja

kekuatan yang diungkapkan MMB dalam puisi tersebut? Apakah sama maknanya

dengan novel? Bagaimana perbedaannya serta tanggung jawab untuk menjadikan

puisi memiliki kekuatan yang sama dengan novel? Bagaimana proses adaptasi itu

Page 433: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

422 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terjadi. Pertanyaan tersebut akan dijelaskan melalui berturut-turut dalam: 1) alih

wahana novel Pada Sebuah Kapal ke dalam puisi "Pada Sebuah Kapal"; 2)

bagaimana pertanggungjawaban MMB dalam proses alih wahana. Jawabannya

dijelaskan bersamaan pada bagian hasil dan pembahasan. Penjelasan dilakukan

berdasarkan dua pertanyaan estetika novel yang berpusat pada alur, latar, dan

perwatakan; serta estetika puisi yang berpusat pada diksi atau pilihan kata. Metode

yang digunakan adalah metode deskriptif analitik berdasarkan data pustaka dan data

wawancana.

Hasil dan Pembahasan

Dalam tulisan dan presentasinya tentang "Alih Wahana dari Cerpen ke

Drama Panggung refleksi dari Lomba Drama Modern Bali" yang disampaikan

dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB, 2016), MMB menjelaskan

bahwa secara keseluruhan alih wahana cerpen ke drama memberi harapan masa

depan kajian alih wahana sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Ada ruang kreatif yang disediakan khusus sebagai media pembelajaran sekaligus pencapaian hasil optimal bagi seni drama modern di Bali. LDM ini juga membuktikan kreativitas seni menembus batas eksklusivitas cerpen, drama, musik, dan lainnya di dalam rumah masing-masing. Alihwahana telah membuka pintu dan jendela bagi berbagai jenis kesenian untuk bertukar tempat, bertemu, berdiskusi, syering, dalam kajian alih wahana yang multi disiplin maupun interdisiplin (Banda, 2016).

Alih wahana pada hakikatnya dapat terjadi sama panjang waktunya dengan

keberadaan karya sastra. Sesuatu yang dapat dialihkan bisa berwujud gagasan,

amanat, perasaan, atau ‘sekadar’ suasana (Djoko Damono, 2014:13). Novel Pada

Sebuah Kapal dialihkan ke dalam puisi "Pada Sebuah Kapal". Novel

menggarisbawahi alur (jalan cerita), karakter tokoh-tokoh terutama tokoh Pelaut

dan Penari yang dilukiskan dalam latar sebuah kapal. Apa yang dilukiskan dalam

novel dapat diungkapkan melalui puisi. Meskipun karakter tokoh dilukiskan dengan

jelas dalam novel, namun dapat dikatakan aspek gagasan, amanat, perasaan tampak

dilukiskan secara padat dalam puisi. Perhatikan puisi "Pada Sebuah Kapal" karya

MMB berikut ini.

Pada Sebuah Kapal

Page 434: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 423

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(diadaptasi dari Novel Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini) Penari... Kudengar suaramu mendesah melalui lekuk tubuhmu Kulihat resahmu menetes lewat lirikan matamu Kurasakan duka hatimu dalam denting gamelan menyapa Kukecap jeritan derita dalam hentakan kaki dan irama Kucium bau tubuhmu ketika lentur gerakanmu Menyentuh tanya Wahai, Penari... Adakah duka yang membuatmu luka? Pelaut... Kucium bau tubuhmu angin aroma samudra Dimana kebebasan menggelora bagai debur pantai selatan Kukecap setiap lekuk jangkar yang membuatmu bertahan Di mana getar sukmamu menyusup ke dalam dada Kurasakan rindumu pada camar di puncak bahtera Di mana tujuan memberi tanda cinta Kulihat duka hatimu melalui debar air di belah haluan Di mana cahya mercusuar memencar menggapai panggilan Wahai, Pelaut... Adakah duka membuatmu luka? Wahai Penari... Kapal berlayar jauh Angin berhembus kencang mendendangkan sunyi Di tengah samudra denting gamelan menggapai Tarianmu menggetarkan kalbu yang sedang mencari Tarianmu menyusupkan suka yang hendak berhenti Tarianmu membekaskan rindu bagi sukma yang merintih Tarianmu menggetarkan kalbu yang selalu merindu Wahai, Penari... Kepada siapakah cintamu menuju? Wahai Pelaut... Kapal berlayar jauh Angin berhembus kencang mendendangkan sunyi Di tengah samudra debar jantungku menikmati sepi Jangkarmu menggetarkan kalbu yang sedang mencari Jangkarmu menyusupkan suka yang hendak berhenti Jangkarmu membekaskan rindu bagi sukma yang merintih Wahai Pelaut... Kepada siapakah cintamu menuju? Wahai Pelaut... Engkaulah gelora samudra yang menghempas Kapal kita menembus cakrawala

Page 435: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

424 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Betapa nyaman bertekuk dalam dekapmu Wahai Penari... Engkaulah lekuk liku tarian yang gemulai Dentang denting musik pengiring mendesah Betapa lelap tanganku membekap tubuhmu

(Maria Matildis Banda, 2014 dalam Ratapan laut Sawu Antologi Puisi

Penyair NTT).

Puisi di atas melukiskan gelora asmara yang terjadi antara Penari (Sri) dan

Pelaut (Michel Dubanton). Dalam novel kisah 'percintaan' yang dilakukan Sri (istri

orang lain) dan Michel (suami orang lain) dijelaskan lebih rinci dibandingkan

dengan kisah hidup Sri dan suaminya (Diplomat Prancis) yang kasar Charles

Vincent. Setting cerita yang sebagian besar terjadi di atas kapal serta hubungan

asmara antara Sri dan Michel menunjukkan bahwa alih wahana "perasaan dan

amanat" adalah tema yang menonjol dalam puisi.

Dalam bagian ini dapat dikatakan bahwa: 1) alih wahana tampaknya dapat

diwujudkan dengan bebas; 2) tidak perlu sama antara novel dan puisi karena

keduanya memiliki estetikanya masing-masing. MMB hanya mengambil bagian

asmara antara Sri selaku tokoh utama yang berprofesi sebagai penari, dan Michel

salah satu tokoh dalam cerita yang berprofesi sebagai pelaut. Sementara itu bagian

lainnya seperti keseharian hidup Sri, kematian calon suaminya, perjalanannya

ketika mencari pekerjaan sebagai pramugari tetapi gagal, pekerjaannya sebagai

penyiar radio, kehidupannya sebagai istri seorang diplomat, perjalanan di

Semarang, Jakarta, Jepang, dan Prancis, tidak dijelaskan. Menurut penjelasan

MMB, dirinya memilih fokus Pelaut dan Penari dengan alasan sebagai berikut.

Kekuatan novel Pada Sebuah Kapal ada pada sosok Sri sebagai Penari dan Michel sebagai Pelaut. Novel ini jusru memiliki isi yang memikat dan mengikat imajinasi karena sosok dua insan manusia. Perselingkuhan yang "manis" seakan-akan mendobrak 'kemapanan' hidup suami-istri yang terlihat rukun, terpuji, tampak nyata kesejoliannya, kelihatan saling mencintai dan rela berkorban satu sama lain, namun kenyataannya justru terbalik. Hidup bersama karena harus begitu, penuh kemunafikan, kepura-puraan, keterpaksaan, dan upaya menyembunyikan berbagai kegagalan hubungan yang sudah terjadi. Ekspresi dari kegagalan keluarga Sri dan suaminya Charles Vincent berbanding terbalik dengan begitu intens dan dalamnya hubungan Sri dan Michel (yang juga memiliki problem ketidakcocokan dengan istrinya). Sri dan Michel bagai sumbu bertemu api

Page 436: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 425

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang membakar gelora asmara yang terpendam dan mencari jalan untuk pemenuhannya. Hal itu terungkap dalam puisi "Pada Sebuah Kapal" (wawancara dengan Maria Matildis Banda, 01 Maret 2018).

Penjelasan MMB di atas menunjukkan bahwa alih wahana tidak harus sama

antara teks sebelumnya sebagai sumber, dan teks sesudahnya sebagai hasil. MMB

menulis puisi tersebut untuk keperluan Dramatisasi Puisi yang dipentaskan di

Fakultas Sastra tahun 2010, oleh mahasiswa/i Jurusan Sastra Indonesia. Pada waktu

itu NH. Dini sebagai penulis novel Pada Sebuah Kapal juga hadir dan menikmati

jalannya pementasan dramatisasi puisi tersebut. "Saya memang berniat

menyampaikan kepada NH. Dini dengan segenap rasa terima kasih. Pada Sebuah

Kapal itu menggetarkan justru pada proses hubungan yang berlangsung sampai

kepada moment percintaan antara Sri dan Michel. Simbolisme apa sebetulnya yang

ada di baliknya? Mudah-mudahan ada waktu untuk menulisnya" (wawancara

dengan MMB, 01 Maret 2018).

Apa yang dijelaskan MMB dapat ditemukan dalam ungkapan perasaan

Penari kepada Pelaut dan sebaliknya. Seluruhnya secara lengkap dalam dua bait

terakhir: "Wahai Pelaut/Engkaulah gelora samudra yang menghempas/Kapal kita

menembus cakrawala/Betapa nyaman bertekuk dalam dekapmu," yang diucapkan

Penari kepada Pelaut, dan sebaliknya "Wahai Penari.../Engkaulah lekuk liku tarian

yang gemulai/Dentang denting musik pengiring menyesah/Betapa lelap tanganku

membekap tubuhmu."

MMB menjelaskan bahwa sebagai penulis puisi (MMB tidak bersedia

disebutkan sebagai penyair karena lebih banyak menulis novel) itu dirinya

berterima kasih kepada NH. Dini. Ucapan terima kasih juga ditampilkan melalui

puisi yang ditulisnya dan ditampilkan pada waktu Dramatisasi Puisi berlangsung.

Puisi berjudul "Pada Sebuah Kapal Kita Bertemu: untuk NH Dini."

Puisi dan Novel adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi dapat dikatakan

bahwa puisi dan novel memiliki makna yang sama. Yang penting disadari adalah

novel memiliki estetika yang berbeda dengan puisi.

Page 437: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

426 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Penutup

Alih wahana adalah sebuah lahan kerja yang baik untuk dikembangkan

lebih lanjut. Hal ini dikatakan setelah mencermati bagaimana alih wahana dari

novel Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini menjadi puisi "Pada Sebuah Kapal"

karya Maria Matildis Banda.

Mengadaptasi salah satu karya sastra menjadi karya sastra yang lain (alih

wahana) akan mengalami kegagalan jika karya baru tidak dapat mensejajarkan

dirinya dengan karya asli yang dijadikan sumber alih wahana.

Puisi "Pada Sebuah Kapal" karya MMB ini menurut pandangan penulis,

sebagaimana sudah dijelaskan di atas, mempunyai kekuatan diksi atau pilihan

kata,yang menjadikan puisi tersebut dapat menjelaskan bagian terdalam dari novel

Pada Sebuah Kapal. Dalam hal ini proses alih wahana berhasil dilakukan MMB;

untuk memenuhi semangat apreasiasi dalam pentas Dramatisasi Puisi "Pada Sebuah

Kapal."

DAFTAR PUSTAKA

Banda, Maria Matildis. 2014. "Pada Sebuah Kapal" dalam Ratapan Laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Banda, Maria Matildis. 2016. "Alih Wahana Cerpen ke Drama Modern: Refleksi

Lomba Drama Modern Bali" Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra dan Budaya Unud..

Djoko Damono, Sapardi. 2014. Alih Wahana. Jakarta: Editum. Dini, NH. 1974. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yapi Taum, Joseph (ed). 2014. Ratapan laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Page 438: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 427 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PENGADANG-NGADANG PADA RUMAH TUSUK SATE SUATU

KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI

Oleh

Tjok Istri Agung Mulyawati R.

Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan tentang pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate dari sudut bentuk dan fungsinya.

Dalam penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan data/informasi dari informan dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung kerumah-rumah yang memiliki posisi tusuk sate/ di lajur T. Teknik yang dipakai adalah dengan mencatat, merekam dan memotret.

Setelah data terkumpul barulah dianalisis dengan metode deskriptis analisis. Hasil analisis disajikan dengan metode informal. Dari hasil kajian, rumah tusuk sate tersebut merupakan rumah yang posisinya berada tepat di tengah lajur T, rumah yang memotong lajur pertigaan sehingga jalan tersebut menjadi buntu. Rumah yang berada pada posisi inilah disebut rumah tusuk sate, yang di Bali biasa disebut dengan rumah numbak jalan. Rumah tusuk sate ini sebenarnya bukan nama rumah melainkan tentang keadaan posisi rumahnya. Rumah tusuk sate ini oleh masyarakat Bali dipercayai akan banyak menimbulkan masalah atau musibah bagi pemiliknya. Maka itu dibuatlah pengadang-ngadang yang bentuknya bisa berupa pelinggih, pohon besar atau batu besar, yang diletakkan/ dibangun di depan rumah yang berhadapan langsung dengan lajur jalan.

Fungsi dari pengadang-ngadang ini secara niskala dipercayai dapat menetralisir dan menolak hal-hal yang berpengaruh negatif. Secara sekala dapat berfungsi sebagai tameng, agar rumah itu terhindar dari kecelakaan atau ditabrak oleh kendaraan yang melaju cepat dari arah depan rumah. Kata kunci: pengadang-ngadang, pelinggih, rumah tusuk sate

1 Pendahuluan

Di dalam suatu budaya tradisional suatu daerah pasti terdapat sebuah

folklor yang berkembang dan diyakini oleh masyarakat penganutnya.

Folklor ialah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun,

Page 439: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

428 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerakan

isyarat di dalam suatu masyarakat yang berbeda (Danandjaja, 1984:1).

Folklor memiliki empat bentuk, yakni folklor berbentuk lisan, yang

terdiri dari bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional,

sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat,dan nyanyian rakyat. Yang kedua

ialah folklor sebagian lisan, yang terdiri dari kepercayaan rakyat dan

permainan rakyat. Ketiga ialah folklor bukan lisan (material), contohnya

arsitektur, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan adat, masakan

dan minuman rakyat serta obat-obatan yang biasa disebut usada. Dan yang

terakhir ialah folklor bukan lisan (bukan material), yang terdiri dari gerak

(isyarat tradisional), bunyi (isyarat komunikasi untuk rakyat) dan musik

rakyat.

Di Bali berkembang berbagai folklor baik yang lisan, sebagian lisan,

maupun yang bukan lisan. Folklore yang berkembang di dalam masyarakat

Bali sangat beraneka ragam. Berbagai folklor ini telah menjadi suatu

kebudayaan yang sudah mendarah daging di dalam masyarakat Bali. Seper ti

berbagai kepercayaan rakyat yang tak lepas dengan hal-hal yang bersifat

niskala. Yakni segala hal yang berhubungan dengan upacara keagamaan.

yang berbentuk yadnya.

Kepercayaan rakyat pada masyarakat Bali sangat menarik untuk

diteliti lebih lanjut, seperti contohnya kepercayaan yang berkembang di

masyarakat Bali khususnya mengenai pelinggih yang didirikan oleh

masyarakat Bali pada setiap pertigaan maupun perempatan juga pada rumah

tusuk sate. Hal ini membuat sebagian orang tertarik untuk mengetahui

mengapa pelinggih pada rumah tusuk sate tersebut dibangun oleh

masyarakat Bali. Maka dari itu kepercayaan rakyat yang di teliti pada

kesempatan ini ialah mengenai bentuk dan fungsi pengadang-ngadang yang

didirikan pada rumah tusuk sate.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang muncul ialah

1. Bagaimanakah bentuk dari pengadang-ngadang yang didirikan/dibangun

pada rumah tusuk sate di dalam masyarakat?

2. Bagaimanakah fungsi Pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate?

Page 440: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 429

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Tujuan umum dari penelitian ini ialah ingin memperkaya khasanah

dalam bidang budaya terutama mengenai folklor, serta memberikan sedikit

pengetahuan mengenai folklor kepada pembaca. Tujuan khusus dari

penelitian ini ialah untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari Pengadang-

ngadang yang khususnya berbentuk pelinggih yang didirikan di rumah sate

di dalam lingkungan masyarakat.

Dengan mengetahui fungsi pengadang-ngadang ini di dalam

masyarakat, maka kita juga dapat mengetahui bahwa pengadang-ngadang

tersebut memiliki manfaat yang besar dan memegang peranan penting

dalam lingkungan masyarakat Bali.

Kepercayaan rakyat merupakan salah satu bagian dari folklor yang

berbentuk sebagian lisan. Teori yang digunakan dalam pembuatan paper ini

ialah teori Fungsi oleh Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa, ada

hubungan antara sesuatu hal dengan tujuan tertentu (Koentjaraningrat,

1980:87).

2 Metodologi

Metode yang digunakan pada saat pengumpulan data ialah metode

wawancara. Dengan mencari seorang narasumber yang mengetahui

mengenai kepercaaan rakyat ini. Serta menggunakan buku dan artikel

penunjang yang dapat membantu kelancaran pembuatan makalah ini. Teknik

yang digunakan ialah dengan mencatat, merekam dan memotret beberapa

pelinggih yang merupakan pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate.

Dalam proses pengolahan data ini digunakan metode deskriptif -analitik,

yakni dengan mendeskripsikan atau memaparkan data-data tersebut

kemudian disertai dengan interpretasi.

Hasil yang diperoleh dari basil penelitian tersebut , akan disajikan

dengan menggunakan metode informal. Yakni akan dideskriptifkan atau

dipaparkan dalam bentuk kata-kata.

Page 441: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

430 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. PEMBAHASAN

3.1 Rumah Tusuk Sate

Rumah tusuk sate yang dimaksud bukanlah nama rumah, melainkan

posisi dari rumah tersebut. Rumah yang disebut dengan rumah tusuk sate

adalah rumah yang letaknya berhadapan langsung denga lajur jalan atau

gang atau rumah yang posisinya tepat di tengah lajur T, rumah yang

memotong lajur pertigaan sehingga jalan tersebut menjadi buntu. Rumah

yang berada pada posisi inilah disebut rumah tusuk sate yang di Bali biasa

disebut rumah numbak jalan atau numbak rurung. Jadi letaknya pada

pertigaan jalan. Rumah yang posisinya seperti ini seperti ditusuk jalan ,

makanya disebut rumah tusuk sate. Posisi rumah tusuk sate bisa dilihat

seperti gambar di bawah ini :

3.2 Pengadang-ngadang

Pengadang-ngadang di sini maksudnya suatu media yang dipakai

sebagai pembatas atau penghalang antara lajur jalan dengan rumah tusuk

sate.

3.3 Bentuk Pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate

Kepercayaan masyarakat Bali tentang keberadaan rumah tusuk sate

yang dinyatakan akan banyak menimbulkan masalah atau musibah bagi

pemilik atau penghuninya maka dibuatlah pengadang-ngadang yaitu sarana

pembatas antara rumah tusuk sate dengan lajur jalan.

Bentuk pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate yang dimiliki oleh

masyarakat Bali yang beragama Hindu biasanya berbentuk pelinggih yaitu

suatu bangunan suci menyerupai candi yang tidak beratap. Bangunan

pelinggih ini bisa terbuat dari batu bata, batu paras, batu karang, beton, dan

sebagainya.

jala

n

jala

n

jala

n

jalan

Rumah tusuk sate

Page 442: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 431

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Contoh bentuk pelinggih pada rumah tusuk sate dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

3.4 Fungsi Pengadang-ngadang Pada Rumah Tusuk Sate

Bali merupakan suatu pulau yang kuat akan nuansa religinya. Kepercayaan

rakyat terhadap Sang Pencipta, berbagai manifestasi Tuhan serta terhadap

makhluk halus yang dikenal dengan Bhuta Kala, sangat dipercaya keberadaannya

oleh masyarakat Bali. Berbagai upacara keagamaan digelar dan berbagai benda

jala

n

jalan

Rumah tusuk sate

Pelinggih

Page 443: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

432 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

disakralkan, inilah suatu kebudayaan masyarakat Bali yang juga menjadi suatu

kepercayaan masyarakat yang dianggap memberi efek tertentu kerhadap

kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan Dinamisme masih berkembang dan dilestarikan di pulau Bali

ini. Seperti pohon bringin yang dianggap suci dan dibanteni (diberi ses ajen) setiap

harinya. Selain pohon bringin, batu besar juga terkadang dianggap sakral oleh

masyarakat. Kini banyak pelinggih yang juga disakralkan.

Dalam menjalani kehidupan, masyarakat Bali menerapkan konsep Tri Hita

Karana, yakni mengenai parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan),

pawongan (hubungan manusia dengan manusia), dan palemahan (hubungan

manusia dengan lingkungan). Untuk melakukan hubungan dengan Tuhan, manusia

memerlukan suatu prasarana. Sehingga dibangunlah pelinggih sebagai tempat

pemujaan. Yang menarik bagi penulis adalah pelinggih ini juga dibangun di

pertigaan rumah warga, yang disebut rumah tusuk sate tersebut.

Dengan lokasi rumah tusuk sate, biasanya pelinggih dibangun di samping

atau di depan rumah tersebut atau ditanam pohon besar seperti pohon beringin di

depan rumah tersebut. Pelinggih yang dibangun di lokasi ini biasanya disebut

pengadang-ngandang atau penumbangrurung. Menurut pendapat seorang

pemangku yang saya tanya, beliau mengutarakan bahwa, pengadang-ngadang

memegang peranan yang penting, terhadap keadaan rumah yang menjadi rumah

tusuk sate tersebut. Yakni sebagai penetralisir hal -hal negatif yang datang dari

ketiga arah tersebut, terutama yang datang dari arah depan rumah. Hal -hal negatif

yang dimaksud disini ialah hal-hal yang bersifat magis. Konon katanya, rumah

tusuk sate ini merupakan rumah yang sangat strategis untuk dijadikan tempat

tinggal oleh makhluk halus. Rumah tusuk sate sering dikatakan rumah angker,

karena rumah pada lokasi tersebut sangat disenangi oleh para makhl uk halus,

sehingga pemilik atau penghuni rumah tusuk sate tersebut bisa mendapat musibah.

Maka dari itu untuk mencegah bersarangnya makhluk halus di dalam rumah itu,

dibangunlah pengadang-ngadang berbentuk pelinggih yang berfungsi sebagai

penangkal bahaya penetralisir secara niskala atau tidak nyata. dan yang dipuja

pada pelinggih ini adalah Sanghyang Indra Belaka. Sanghyang Indra Belaka ini

dipercayai sebagai Dewa penolak bala dan penetralisir energi negatif.

Selain dibangun pelinggih, bisa juga menggunakan pohon besar sebagai

penumbangrurung atau batu besar. Pelinggih, pohon ataupun batu besar memiliki

fungsi yang sama, yakni sebagai penolak bahaya dan sebagai penetralisir

Page 444: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 433

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

lingkungan. Jadi dengan adanya bangunan pelinggih pengadang-ngadang ini,

keharmonisan dalam lingkungan sekitarnya akan tetap terjaga. Oleh masyarakat

Bali, pengadang-ngadang ini sangat dipercaya dapat menolak bahaya dan sebagai

penetralisir, sehingga kehidupan manusia dapat berjalan dengan aman dan tentram

tanpa terusik oleh mahkluk halus yang berniat jahat. Maka karena itulah di Bali

khususnya masyarakat Bali yang beragama Hindu yang tinggal di rumah tusuk

sate sering dibangun pelinggih sebagai pengadang-ngadang baik pada setiap

pertigaan jalan atau pertigaan di gang-gang rumah warga.

Jika di atas dijelaskan mengenai fungsi pengadang-ngadang di rumah tusuk

sate secara niskala. Secara sekala, pelinggih, pohon besar maupun batu besar yang

ada di depan rumah tusuk sate tersebut berfungsi sebagai tameng bagi rumah itu,

agar rumah tersebut terhindar dari ancaman kendaraan yang melaju kencang dari

arah depan rumah itu sehinga penghuni rumah menjadi aman. Agar tidak silau

dengan sinar lampu dari arah depan rumah, bisa juga ditanam pohon besar di depan

rumah itu.

Selain masyarakat Bali kepercayaan terhadap rumah tusuk sate itu

juga ada antara lain Adat Jawa, Fengshui, juga pada Islam.

4. Simpulan dan Saran

4.1 Simpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah

pengadang-ngadang yang dibangun dilokasi rumah tusuk sate memiliki

fungsi yang besar, yang dapat memberikan pengaruh terhadap rumah,

pemilik ataupun penghuni rumah tusuk sate tersebut. Pengadang-ngadang

yang dibangun oleh masyarakat Bali yang memiliki rumah dengan posisi

tusuk sate adalah berupa pelinggih. Pengadang-ngadang ini merupakan

salah satu kepercayaan yang dipercaya oleh masyarakat Bali berfungsi

sebagai penetralisir dan penolak hal-hal yang bersifat negatif, yang dapat

mencelakai penghuni rumah tusuk sate tersebut. Karena sebagian orang

percaya secara niskala (tidak nyata) bahwa rumah tusuk sate merupakan

rumah angker yang disenangi oleh para makhluk halus. Pengadang-ngadang

ini juga sering disebut dengan penumbagrurung. Selain pelingggih, pohon

besar atau batu besar juga dapat digunakan sebagai pengadang-ngadang.

Secara sekala, penumbagrurung ini berfungsi sebagai tameng, agar rumah

Page 445: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

434 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

itu terhindar dari kecelakaan atau tabrakan dari kendaraan yang melaju

kencang dari arah depan rumah.

4.2 Saran

Untuk menambah pengetahuan mengenai fungsi-fungsi folklor,

khususnya mengenai kepercayaan rakyat, dan untuk menambah

kesempurnaan makalah ini maka diperlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Danandjaya.1984. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dal lain-lain.

Jakarta:Grafitipress

Kuncaraningrat.1980. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :

PT Gramedia. Artikel di Internet: “ Rumah Tusuk Sate Menurut Adat Jawa, Islam dan Fengshui

http:/www.masrukhan.net” Ika Septi. “ Ada Apa dengan Rumah Tusuk Sate” 26 Oktober 2017. http:/www.compasiana.com

Page 446: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 435 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DIMENSI POLITIS DALAM SASTRA LISAN PADA MASYARAKAT

MELAYU DI BANJARAN SUNGAI TANAH DELI

Oleh

Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D.

(Progran Doktor (S-3) Linguistik, Konsentrasi Sastra FIB USU,

Ketua HISKI Sumatera Utara)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Orientasi ruang orang Melayu, pada dasarnya merujuk pada kawasan perairan [sungai dan laut]. Oleh karena itu, masyarakat Melayu dalam studi-studi sosial, selalu disebut sebagai masyarakat aquatik. Peranan buana sungai sebagai konsep kreatif sastra lisan menjadi sendi dalam kehidupan. Nilai dan norma pada karya-karya sastra lisan masyarakat Melayu di banjaran sungai di Tanah Deli Sumatera Utara menjangkau hingga dimensi politis di Tanah Deli, Sumatra Utara memimpin masyarakat yang berbilang etnik. Masalah penelitian ini mengungkapkan bukti keistimewaan dan keagungan peradaban masyarakat dan kesultanannya di Tanah Deli melalui dimensi politis pada sastra lisan masyarakatnya. Tujuan penelitian agar nilai dan norma-norma pada dimensi politis sastra lisan Melayu melekat erat dalam diri dan perilaku masyarakat. Penelitian menggunakan metode kualitatif-diskriptif dengan pendekatan sosio dan resepsi sastra. Penelitian menunjukkan bahwa nilai dan norma dimensi politis yang terkandung dalam sastra lisan pada masyarakat mempunyai hubungan erat dengan perilaku karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap adat dan istiadat serta keyakinan masyarakat terhadap Islam. Nilai dan normanya, terlibat dalam pencegahan konflik penguasa dengan masyarakat dan sesama masyarakat. Kata kunci : Sastra lisan, Dimensi Politis, dan Demokrasi

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemikiran

Bila dicermati sungai besar yang mengalir di tanah Deli Sumatera Timur

berawal dari belahan Barat, yaitu sungai Tamiang, Sungai Wampu, Sungai Deli,

Sungai Denai, Sungai Belumai, Sungai Ular, Sungai Padang, Sungai Asahan, dan

sungai Billah serta sungai Berombang. Dataran rendah dan tinggi yang merangkai

antara masing-masing sungai adalah kawasan rawa, berbukit rendah dan di hulu

Page 447: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

436 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

berbatasan dengan Bukit Barisan. Dataran rendah dan berbukit tempat mengalir

sungai-sungai ini dibungkus oleh hutan yang luas dengan sifat ekosistemik.

Dilihat dari keragaman hayati kandungan hutan-hutan diantara lembah-

lembah sungai ini, amat kaya dan beragam. Yusmar ( Syaifuddin, 2017)

menyatakan bahwa menempatkannya sebagai satu entitas budaya dengan gemuruh

gerakan kebudayaan Melayu di satu sisi, dan eksploitasi bumi berbasis hutan di sisi

yang lain telah membuat perubahan- perubahan geo-morfologis kosmos pada

buana sungai. Ia juga menyatakan bahwa hutan dan penyusutan perilaku terhadap

ekologinya berdampak pada penyusutan pemahaman makna petuah adat dan

istiadat Melayu yang dirupa berbagai genre sastra serta konsep kreatif yang

menjadikannya tercitra dalam kearifan-kearifan lokal yang menjadi peneraju hidup

dan penuntun berperilaku, sekaligus petuah dalam ikhtiar bagi masyarakatnya.

Sesungguhnya buana sungai menjadi kawasan orientasi ruang, karena di

kawasan perairan tersedia ragam fungsi; komunikasi, transportasi, hiburan,

pencaharian, sistem pasar, lalu lintas peradaban, dan gerbang untuk berkenalan

dengan dunia asing yang jauh. Maka, orang Melayu memiliki tabiat dasar

membangun perkampungan dan kota, termasuk wilayah pusat kekuasaan dalam

pola pemukiman yang mengikut garis tebing sungai. Begitu pula halnya dengan

kawasan ladang dan huma merujuk pada garis sungai. Musim ikan banyak di laut

dan sungai pun merujuk pada peradaran bulan dalam sistem galaksi air.

Umpamanya; bulan ‘kecil’gelap, penanda ikan sedang banyak, karena biota laut

termasuk makhluk nocturnal. Sebaliknya, pada masa bulan ‘besar’, ikan di laut

amat langka.

Sejatinya, petuah yang menjadi sandaran dan sendi ikhtiar kehidupan bagi

orang Melayu sangat tergantung dari ekosistem buana sungai yang terawat dan

terpelihara. Sebaliknya, gerak pembangunan yang tidak linier, sungai-sungai di

Sumatera Timur-tanah Deli menjalani masa eksploitasi yang menjenuhkan.

Walaupun, kelelahan yang menerpa buana sungai-sungai ini, bakal ikut menggerus

mutu atau kualitas petuah dan ikhtiar yang merujuk kepada istiadat serta makna

sastra lisan Melayu. Hukum adat dan karya sastra yang selama ini terekam dan

tersimpan secara lisan, juga akan mengalami penyusutan makna dan konteksnya.

Page 448: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 437

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Makalah ini akan mengutarakan tentang nilai dimensi politis dari sastra

lisan yang wujud pada masyarakat di banjaran sungai di Tanah Deli, Sumatera

Timur. Secara umum, menurut Setiadi dan Kolip (2013 : 4) berdasarkan upaya

penggabungan antar berbagai difinisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang

dikenal dalam ilmu politik bahwa politik dapat dipahami sebagai proses

pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat antara lain berwujud

proses pembuatan keputusan. Dapat juga ia dipahami sebagai proses interaksi

antara pihak pihak penguasa dan pihak yang dikuasai, yaitu masyarakat. Manakala

perihal nilai dimensi politis, secara khusus Suseno (2016 :17) berpandangan bahwa

dalam dimensi-dimensi kesosialan manusia, dimensi politis mencakup lingkaran

kelembagaan hukum dan negara serta sistem–sistem nilai dan ideologi-ideologi

yang sekaligus memberikan legitimasi kepadanya. Apa yang menjadi ciri khas

dimensi politis manusia itu ?. Dimensi politis manusia, adalah dimensi masyarakat

sebagai keseluruhan.

Masalah

Berdasarkan huraian di atas yang bermuara pada kepiawaian local dan

bersumber dari ketersediaan segala bentuk plasma nutfah buana sungai di dalam

sebuah ruang ekologi sungai yang prinsipnya menjadi alat penuntun, tata nilai, dan

penyelamat hidup, sekaligus penyelamat lingkungan itu sendiri. Maka, masalah

penelitian ini mengungkapkan bagaimanakah nilai dimensi politis dalam sastra

lisan masyarakat pada banjaran sungai di Tanah Deli agar kehidupan itu berakal

menghadapinya ?.

METODE DAN PENDEKATAN

Metode

Pada penelitian ini, peneliti bertindak sebagai penganalisis, sekaligus

pengamat pada apa yang terjadi pada objek yang diteliti. Kemudian memaparkan

nilai dan norma apa yang ada pada teks karya sastra lisan yang melingkupi dimensi

politis, sedangkan pada tahap kemudian dipaparkan realitasnya. Oleh karena itu

penelitian bersifat diskriftif kualitatif. Data penelitian ini dibatasi pada teks lisan

berupa ungkapan atau petuah adat yang digolongkan dalam puisi tradisi Melayu.

Page 449: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

438 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kemudian, peneliti sebagai instrumen penelitian adalah melakukan inventarisasi

terhadap teks lisan dan penafsiran nilai-nilai dimensi politis.

Pendekatan

Adelbert von Chamissio (1781-1838) meyatakan bahwa kajian-kajian

mengenai petuah-petuah adat yang terkemas, seperti berupa ungkapan atau petuah

adat serta genre lain, selain memperlihat cerminan akal budi manusia Melayu juga

merupakan ekspresi dari kemantapan daya kreativitas dan pemikiran orang-orang

Melayu. Francois-Rene Daillie ( Yusmar : 2010) juga menyatakan bahwa sejak

pertama kali mengenal puisi tradisi Melayu yang berkonsep kreatif buana sungai

dan hutan, telah menunjukkan minat yang mendalam tentang keindahannya. Oleh

karena, ia menjadi salah satu cara penyampai dan pewarisan nilai dan pengetahuan

orang Melayu kepada generasinya. Sejatinya tradisi ekspresif itu, seperti bidal,

pepatah, ungkapan adat, gurindam, dan syair yang memiliki kekuatan

mencerminkan dan membentuk hukum-hukum komunal yang menjadi acuan

berperilaku. Sesungguhnya, buana sungai menjadi elemen utama bagi keberadaan

Melayu dan adatnya. Tradisi yang meletakkan kearifan pada sungai yang membuat

hukum-hukum petuah Melayu selalu merujuk pada ikhtiar menjaga keseimbangan

lingkungan.

Suseno (2016 :17) berpandangan bahwa Apa yang menjadi ciri khas

dimensi politis manusia itu dalam karya sastra, khususnya sastra lisan?. Dimensi

politis manusia, adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi

ciri khas suatu pendekatan yang disebut politis adalah bahwa pendekatan itu terjadi

dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

Kemudian sebuah keputusan yang politis pun, apabila diambil dengan

memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan, sedangkan suatu

tindakan atau kebijakan disebut juga politis, apabila menyangkut masyarakat

sebagai keseluruhan. Berdasarkan masing-masing uraian tersebut

penafsiran/pemaknaan teks sastra lisan dilakukan.

Page 450: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 439

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PEMBAHASAN

bila duduk, duduk berguru; bila tegak, tegak bertanya; bila merantau

mencari ilmu; bila berjalan mencari teladan," bila berkayuh mencari contoh; bila

ke darat mencari ibarat; bila ke laut mencari yang patut‘; bila ke tengah mencari

yang semenggah; bila ke tepi mencari yang berbudi, bila ke hulu mencari yang tahu

”. Masing –masing karya sastra lisan yang berbentuk ungkapan atau petuah adat

yang digolongkan dalam puisi tradisi Melayu di atas, hidup dan berkembang secara

lisan di masyarakat yang berada pada banjaran sungai di Tanah Deli Sumatera

Timur. Ia juga kerap dikaitkan oleh masyarakat terhadap pembicaraan tentang

kekuasaan dan siasyah dalam masyarakat.

Dimensi Awal yang Estetis

Memahami ungkapan atau petuah-petuah adat tersebut menunjukkan bahwa

makna yang menjadi bagian dari tradisi ekspresif Masyarakat Melayu itu,

membentuk hukum keseimbangan alam dan keseimbangan hidup antara sesama

manusia, masyarakat, dan penguasa. Ihwal konvensi sosial di dalam komunitas

Melayu, sebagaimana tercermin dari bagian buana sungai adalah yang memiliki

faedah untuk pengendali atau peneraju dalam kehidupan yang ia tersedia di hutan

rimba buana sungai-sungai Melayu. Konsep petuah dari ungkapan itu dalam

seluruh alam atau sebagai buana sungai Melayu ternyata luas, mencakup segala

aspek kehidupan kepercayaan, hubungan sosial, perundangan, dan bernegara serta

berbangsa.

Oleh karena itu, melalui pilihan kata-katanya pun menunjukkan bahwa

fungsi makna dari petuah adat atau ungkapan dalam kehidupan adalah seperangkat

prinsip dasar yang diperlukan untuk mengatur kehidupan demi menuju pada sebuah

kerukunan dan keserasian hidup. Untuk itu, maknanya diharapkan agar setiap

anggota masyarakat mematuhi segala bentuk aturan bersama yang selanjutnya

dikenal sebagai konvensi yang berasal dari sistem nilai yang diatur dalam adat

untuk masyarakatnya. Termasuk perilaku yang arif dari masyarakat dalam

membangun dan aktivitasnya. , “bila berkayuh mencari contoh; bila ke darat

mencari ibarat; bila ke laut mencari yang patut‘

Maka, secara khusus guna menjaga keasrian, keaslian dan merawat segala

jenis ekosistem buana sungai, sesungguhnya melibatkan tokoh-tokoh yang terkait

Page 451: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

440 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dengan adat. Sejalan dengan pentingnya posisi para tokoh itu di kalangan

masyarakat, ia telah membentuk pola perilaku dan konvensi yang harus juga

menjaga keselarasan alam dan lingkungannya. Umpamanya dalam membangun,

seperti pembangunan perumahan atau rumah kediaman juga untuk komersial harus

bertumpu dan berpaksi pada kaidah petuah adat yang menekankan pentingnya

keseimbangan dan tidak memusnah hutan dan tanah dengan makhluk yang hidup

didalamnya, ia menjadi pertimbangan utama. Ia manifestasi cara pandang: “adat

berumah tak merusak tanah dan sungai ”.

Dimensi Konflik dan Politis

Secara umum masing masing ungkapan yang bercerita tentang keberadaan,

wujudnya potensi dan keberagaman masyarakat di Tanah Deli Sumatera Timur

yang teksnya dikemas sedemikian rupa dengan memahami pemikiran Baumgarten

(Kartini, 2009) tentang estetika/filsafat keindahan, isi teks lisan ungkapan tidak

tidak hanya melingkupi ranah estetika sastra dan budaya, tetapi menjangkau hingga

dimensi politik masyarakat Melayu. Oleh karena itu, maknanya mengurai beberapa

siasat dan ikhtiar masyarakatnya dan penguasa Melayu di Tanah Deli, dalam

berhadapan dengan masyarakatnya yang berbilang etnik.

Hal ini menunjukkan sejalan dengan pandangan Setiadi dan Kolip yang

menyatakan bahwa dalam karya-karya sastra, konflik dan integrasi dipahami

sebagai gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik

bersifat inheren. Artinya, konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan

waktu. Mereka juga menyatakan bahwa dalam karya dimana saja dan kapan saja

selama kehidupan sosial masih ada, maka konflik dan integrasi akan selalu

menyertainya. Oleh karena itu, dalam padangan ilmu sosial pun, masyarakat dilihat

sebagai arena konfik (pertentangan) dan arena integrasi yang akan senantiasa ada

sejalan dengan perjalanan kehidupan sosial itu sendiri. Sementara itu, hal – hal yang

mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan

perbedaan kepentingan sosial. Bahkan dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu

pun manusia yang memiliki unsur-unsur kesamaan keinginan, tujuan hidup,

ideologi, dan pandangan satu sama lainnya.

Page 452: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 441

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Persamaan dan perbedaan tersebut tercermin dalam bentuk deferensiasi

antar kelompok yang di dasarkan pada unsur etnis, kepentingan, juga beberapa

kemauan, kehendak, dan tujuan. Dari setiap konflik tersebut ada beberapa

diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga beberapa diantaranya

yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan aksi kekerasan. Kekerasan

merupakan gejala dimana gejala yang menyebabkan timbulnya konflik tidak dapat

teratasi sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil

hingga peperangan.

Hadiluwih (2008) dalam penelitiannya tentang Konflik Etnik di Indonesia:

Satu Kajian Kes di Bandaranya Medan/ Tanah Deli juga menemukan bahwa

masyarakat di Tanah Deli terdiri dari keturunan, bangsa, etnik, ras maupun agama

serta golongan yang berbeda- beda. Perbedaan di Tanah Deli Sumatera Timur ini

sesungguhnya tidak senantiasa terjadinya konflik, namun perbedaan bisa menjadi

sumber laten bagi cultural politik yang besar kemungkinan awal pada

pertembungan antar etnik.

Lebih jauh Sumanindio (2008) menyatakan pada umumnya yang mungkin

menjadi sumber konflik di Tanah Deli ada dua macam. Pertama, sumber konflik

yang bersifat vertikal, sedangkan yang kedua bersifat horizontal. Secara sosio-

politik kedua – dua sumber konflik tersebut bisa digunakan sebagai alat analisis

untuk melihat kekerasan dan pertelingkahan atau konflik. Manakala konflik

horizontal merentang bermacam alasan yang bisa memicunya. Mulai dari tindak

kekerasan, ketaksamarataan, kekejaman, bahkan pembersihan melalui pengabaian

hak-hak suatu etnik.

Menganalisis satu demi satu makna petuah adat atau ungkapan tersebut,

menunjukkan bahwa makna isi teksnya adalah hasil kristalisasi yang berakar pada

fenomena yang ada pada sosial masyarakat dan adat-istiadatnya, bahkan syariat

Islam yang di Tanah Deli Sumatera Timur. Mencerminkan bahwa makna dan

petuah adat itu tumbuh sebagai pohon rindang yang mengayomi masyarakat

Melayu di Tanah Deli. Keadaan ini mengikut filsafat Comte (Tabrani, 1986),

makna teks ungkapan dan manusia Melayu adalah suatu keakraban yang hidup

sepanjang zaman. Sementara nilai-nilai di dalam teksnya membangun kreatifitas

sehingga ia bukan merupakan suatu karya kreatif-dogmatis. Dalam Teks ungkapan

Page 453: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

442 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

diungkapkan; “bila ke tepi mencari yang berbudi, bila ke hulu mencari yang tahu

”.

Walaupun masing-masing teks petuah atau ungkapan adat itu tidak dikemas,

dalam peristiwa peperangan dan perjuangan hidup, seperti fiksi, namun bila

disimak secara cermat dan teliti, ia dapat ditafsirkan, diantaranya mengungkap

pandangan dan anggapan yang dilontarkan kepada masyarakatnya di tanah Deli

agar menjaga keserasian antar sesama masyarakat walaupun berbeda-beda demi

keharmonisan. Daud (2005) menyatakan; rangka isi petuah adat Melayu ada

kesamaan dengan isi buku Fenomena Melayu (Mahatir Mohammad, 1985), hanya

saja ihktiar dalam teksnya diutarakan lebih bersifat imajinatif. Dalam

penyampaiannya ia dibingkai dengan genre yang akrab dengan masyarakat Melayu,

yaitu petuah adat atau ungkapan.

Selain itu, berdasarkan uraian keberadaan makna teks ungkapan dan konflik

di atas menunjukkan wujud dimensi bahwa manusia dan masyarakat yang

berbudaya dan terdidik serta berbudi pekerti dalam teksnya. Oleh karena, pada

hakikatnya manusia yang berbudaya, terdidik, dan berbudi pekerti merupakan bekal

dirinya untuk menatap kehidupan pada masa hadapan. Maka, isi teks petuah atau

ungkapan adat dapat dikatakan sebagai impian kolektif – masyarakatnya, tentu

dapat pula ia sebagai pelerai konflik masyarakat di Tanah Deli.

PENITUP

Berdasarkan pemahaman makna teks itu, menunjukkan bahwa penglaman

masyarakat Melayu, khusus yang berada pada banjaran sungai di Tanah Deli

Sumatera Timur berinteraksi dengan puak/etnik dan bangsa yang beragam. Dalam

berinteraksi masyarakat Melayu di Tanah Deli telah mendapat tantangan, bahkan

tekanan-tekanan dari keadaan itu, tetapi karena keteguhan jiwa masyarakat Melayu

kepada budaya dan adat-istiadatnya sehingga mampu diatasi.

Kemudian dari sisi manfaatnya bagi masyarakat dan penguasa Melayu pula,

menunjukkan bahwa masyarakat untuk bersiasat dan berikhtiar. Bahkan, menjadi

kearifan dalam menerima dan mengatur keberagaman di masyarakatnya, sekaligus

menjadi kearifan bagi masyarakat/penguasanya. Kesemuanya ini, tentu demi

memperkukuh kewibawaan marwah dan martabat masyarakat. Tidak hanya itu saja,

Page 454: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 443

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang lebih penting siasat dan ikhtiar ini menjadikan masyarakat dan sistem

kekuasaan tradisi Melayu di Tanah Deli Sumatera Timur lebih agung daripada yang

lain. Keadaan inilah dalam pandangan Alexander Gottlieb Baumgarten dapat

dikatakan sebagai kekuatan dimensi politis estetika teks atau sastra lisan berupa

ungkapan dalam masyarakat Melayu di wilyah banjaran sungai.

Akhirnya membaca dan memahami serta memaknai makna petuah adat atau

ungkapan sebagai estetika teksnya sebagaimana dihuraikan di atas, dapat dimaknai

bahwa khalayaknya diarahkan untuk mencari faedah dari pesan-pesannya. Dalam

konteks kekinian, apalagi menjelang pesta demokrasi dapat menghayati dan

mengapresiasi estetika Melayu, khususnya perihal kebertautan dan rasa

sepenanggungan sesama masyarakat Melayu. Walaupun pandangan, anggapan, dan

siasat ini dikemas bersifat sastra, namun pada konteks pendekatan esetetika sastra,

setiap peristiwa mempunyai kebajikan bagi kehidupan dimana dan kapan saja.

Kiranya, jiwa manusia Melayu di Tanah Deli Sumatera Timur yang ekspresif akan

lebih subur, apabila mampu melogikan perasaannya baik di ranah budaya maupun

politik.

DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,

Yogyakarta : Kreasi Wacana. Barthes, Roland. 2010, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Semiotika atau

Sosiologi Tanda, Simbol, dan Refresentasi. Yogyakarta: Jalasutra

Budiarjo, Prof.Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Kompas

Gramedia. Dahlan, Ahmad. 2015. Sejarah Melayu. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Endraswara, Suwardi. 2009. Metode Penelitian Psikologi sastra,Teori, Langkah,

dan Penerapannya. Yogyakarta: Fak. Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Haji Salleh, Muhammad. 2000. Puitika Sastra Melayu. Kuala Lumpur : Dewan

Bahasa Dan Pustaka Hadilewih, Sumandiyo, 2008. Konflik Etnik di Indonesia Satu Kajian Kes di

Bandaraya Medan/Tanah Deli. Medan: USU Press.

Page 455: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

444 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hasan, Muhammad Yusof 2004, Pembinaan Paradigma Pemikiran Peradaban

Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Pendidikan Sultan Idris. Kartini, Parmono, 2009. Horizon Estetika. Yogyakarta : Badan Penerbit Filsafat

UGM & Lima. Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra Dari

Strukturalisme hingga Postrukturalime Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Rahyono, FX, 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata, Jakarta: Wedatama Widta

Sastra. Setiadi, Elly M. Dan Kolip Usman. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:

Kharisma Putera Utama. Syaifuddin, Wan. 2016. Pemikiran Kreatif dan Sastra Melayu Tradisi. Yogyakarta

: Penerbit Gading. Syaifuddin, Wan, Dkk. 2008. Taat Ajar dan Taat Hukum Orang Melayu. Medan:

USU Press. Suseno, Franz Magnis. 2016. Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Moral

Kenegaraan Modern. Jakarta : Pustaka Gramedia.

Page 456: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 445 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

MITOS NAWASANAK: SEMBILAN BOCAH PENJAGA “DUNIA PIDADA”

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar

[email protected]

Abstrak

Mitos berkaitan dengan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat tradisional (Segal, 2004: 61). Berbagai jenis ritual yang praktekkan oleh masyarakat berkaitan dengan mitos tertentu, diceritakan dari mulut ke mulut dalam kurun waktu yang panjang. Sesuai pandangan itu, di balik mitos yang berkaitan dengan ritual itu terdapat suatu penjelasan untuk menjelaskan ritual itu sendiri (Graf, 1993: 40). Di Kota Amlapura, tepatnya pada sebuah tempat yang disebut Griya Pidada, terdapat mitos yang berkaitan dengan suatu ritual. Mitos yang disebut nawasanak tersebut menceritakan adanya sembilan bocah yang menjaga Griya Pidada. Keterkaitan mitos nawasanak ini dengan suatu ritual dipraktekkan oleh keluarga besar yang tinggal di Griya Pidada maupun oleh masyarakat sekitarnya dengan tujuan memperoleh keselamatan dan karunia yang melimpah. Keterkaitan mitos nawasanak dengan ritual yang dilaksanakan tersebut menjelaskan mengapa ritual itu dilakukan. Di dalam hal ini, ritual yang dilaksanakan selain ada hubungannya dengan mitos nawasanak juga mengenang kejadian yang pernah terjadi pada masa lalu pada lingkungan tempat ritual itu diselenggarakan secara rutin dari waktu ke waktu. Analisis ini bertumpu pada teori yang menghubungkan mitos dengan ritual yang awalnya dikembangkan oleh Robertson Smith (1846-1894), seorang pendeta kristen ahli bahasa Semit, teolog, dan ahli agama-agama timur (oriental) berkebangsaan Skotlandia dan Antropolog James Frazer yang juga berkebangsaan Skotlandia. Keduanya meyakini bahwa ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat tradisional berhubungan dengan mitos yang diceritakan dari satu generasi ke generasi berikutnya untuk mengukuhkan bahwa ritual yang dilaksanakan sesungguhnya untuk mengenang kejadian pada masa lalu. Kata Kunci: mitos, ritual

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesusastraan lisan merupakan bentuk kesusastraan purba yang selalu hidup

sepanjang waktu di seluruh dunia. Bentuk kesusastraan lisan menjadi bentuk formal

karena tradisi kesusastraan lisan dilembagakan dalam bentuk-bentuk bercerita yang

Page 457: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

446 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

beragam. Ada yang yang disampaikan dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk

prosa. Kesusastraan lisan dalam bentuk puisi maupun prosa ada yang dilantunkan

sebagai nyanyian rakyat (folksong), seringkali diiringi dengan alat musik. Di

samping itu, ada juga kesusastraan lisan yang disampaikan untuk mengiringi

sendratari.

Sebagai bentuk seni, kesusastraan lisan merupakan seni verbal, seni yang

diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut (by mouth to mouth) (Propp, 1984: 5).

Sebagai bentuk kesenian, kesusastraan dengan sendirinya merupakan aktifitas

kebudayaan (cultural activities) (lihat Wissler, 1923: 256; Kluchon, 1953: 507--

523; Linton, 1964: 387-389). Oleh karena itu, kesusastraan lisan merupakan bentuk

aktifitas kebudayaan yang merefleksikan kehidupan kebudayaan masyarakat itu

sendiri. Kesusastraan lisan dengan sendirinya juga mengandung unsur-unsur

kebudayaan sistem mata pencarian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan

perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem

pengetahuan, dan sistem relegi.

Salah satu bentuk kesusastraan lisan yang populer sebagai media yang

merefleksikan aktifitas kebudayaan tersebut ada yang disebut mitos. Menurut

William Robertson Smith (1846-1894), seorang pendeta kristen ahli bahasa Semit,

teolog, dan ahli agama-agama timur (oriental) berkebangsaan Skotlandia, pada saat

masyarakat mulai melaksanakan suatu ritual, sesungguhnya tidak berhubungan

langsung dengan mitos. Namun demikian, setelah melupakan alasan sebenarnya

untuk melaksanakan suatu ritual, mereka (masyarakat) mencoba melestarikannya

dengan menciptakan suatu mitos. Tujuannya ialah untuk melegitimasi

(mengukuhkan) bahwa ritual yang dilaksanakan sesungguhnya untuk mengenang

kejadian yang diceritakan melalui mitos tersebut (Meletinsky, 2000: 19-20). Seiring

pandangan Smith, antropolog Skotlandia James Frazer (1922: 711), berpendapat

bahwa masyarakat primitif mempercayai hukum-hukum gaib. Kemudian, pada saat

mulai kehilangan keyakinannya mengenai sihir, mitos tentang dewa-dewa

diciptakan dan mengklaim bahwa ritual magis kuna adalah ritual yang dilakukan

untuk menyenangkan hati para dewa.

Seiring pandangan tersebut di atas, Roland Barthes menyatakan bahwa

dalam konteks mitologi lama, mitos bertalian dengan sejarah bentukan masyarakat

Page 458: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 447

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

itu sendiri pada masanya sebagai bentuk pesan kepada generasi berikutnya. Bentuk

pesan atau tuturan kepada generasi berikutnya yang disampaikan harus diyakini

kebenarannya walaupun tidak dapat dibuktikan (1972).

Berdasarkan perspektif tersebut, analisis ini dilakukan terhadap sebuah

mitos yang dituturkan oleh masyarakat Kota Amlapura Kabupaten Karangasem

Bali. Mitos tersebut lazim disebut nawasanak. Latar cerita kisah nawasanak ialah

sebuah rumah adat Bali (balinesse compound) yang disebut Griya Pidada

Karangasem.

Kisah nawasanak, tidak saja diceritakan oleh keluarga besar penghuni

Griya Pidada Karangasem, tetapi juga oleh masyarakat Kota Amlapura Kabupaten

Karangasem Bali. Sebagai suatu pesan, mitos nawasanak tidak saja mengandung

pesan bagi penghuni latar ceritanya, tetapi juga merupakan pesan bagi masyarakat

secara keseluruhan. Oleh karena bentuk mitos yang digunakan sebagai sarana

mengirim pesan itu berupa teks kesusastraan, maka untuk mengetahuinya perlu

diselenggarakan analisis yang komprehensif atas teks mitos nawasanak.

1.2 Masalah

Sesuai latar belakang analisis ini, maka masalahnya dapat dirinci sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah teks mitos nawasanak yang terdapat di Kota Amlapura

Kabupaten Karangasem Bali?

2. Apakah pesan yang disampaikan oleh teks mitos nawasanak?

II METODOLOGI

Penelitian ini Metodologi

2.1 Rancangan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah terdahulu, permasalahan mitos nawasanak

yang hendak dieksplanasi pada penelitian ini terlebih dahulu diinventarisasi dari

informan. Upaya tersebut bersifat deskriptif dan eksploratif (penjajagan)

(Singarimbun, 1995: 4).

Pengkajian yang komprehensif mengenai permasalahan tersebut secara

ilmiah menggunakan pendekatan kualitatif karena menyangkut objek nilai yang

parameternya tidak nyata, namun dapat diketahui jejaknya melalui eksplanasi

Page 459: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

448 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang bersifat menguraikan

atau pendekatan yang tidak memberikan pengukuran berupa angka-angka (Mely G.

Tan, 1977: 6). Secara operasional, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan

yang mencocokan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan metode

deskriptif (Moleong, 2004: 131). Oleh karena itu, penelitian ini dirancang sebagai

penelitian kualitatif dengan metode deskriptif dan eksploratif yang digerakkan

dengan pendekatan keilmuan perspektif ilmu sastra.

2.2 Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini diusahakan menggali jenis data kualitatif dengan sumber data

yang berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil

penggalian terhadap teks yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara, informasi

yang terdapat di perpustakaan formal maupun perpustakaan pribadi. Teks yang

mengandung data primer tersebut ditemukan melalui wawancara langsung dengan

beberapa tokoh dan masyarakat yang mengetahui keberadaan mitos Nawasanak.

Teks mitos nawasanak ini diperoleh dari informan dengan cara teknik

sampling bola salju (snow ball sampling). Artinya, teks yang diperoleh itu pada

mulanya berasal dari satu orang informan kunci, dan jika teks itu belum cukup,

maka diwawancarai informan yang lain, yang ditunjuk oleh informan sebelumnya;

sehingga teks mitos nawasanak yang diperlukan akan berkembang pada saat

penelitian dilakukan di lapangan (bdk. Sudikan, 2001: 107—112). Data sekunder

digali dari sumber literatur, hasil penelitian, dan referensi-referensi lainnya yang

terkait dengan masalah yang dibahas.

III PEMBAHASAN

3.1 Teks Mitos Nawasanak

Ada cerita tentang sembilan anak kecil, penunggu Griya Pidada. Suatu

kompleks rumah di Kota Amlapura tempat tinggal para pendeta beserta

keluarganya yang secara turun-temurun menjadi Bagawanta (pendeta kerajaan)

kerajaan Karangasem. Tugas pendeta kerajaan sangatlah tinggi, selain sebagai

penasihat raja dalam menjalankan pemerintahannya, pendeta kerajaan diberikan

kewenangan untuk menetapkan hukuman bagi warga masyarakat kerajaan yang

Page 460: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 449

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

ditetapkan bersalah atas suatu perbuatan oleh lembaga pengadilan (raad van

kertha). Keputusan akhir penetapan hukuman bagi orang yang ditetapkan bersalah

karena perbuatannya ditetapkan oleh bhagawanta karena dipandang mengetahui

aturan kehidupan di dunia nyata maupun di dunia akhirat.

Sembilan anak kecil yang disebut dengan nama Nawasanak. Masing-

masing bernama I Jangitan yang selalu berpakaian serba putih setiap hari.

Bersemayam di sebelah timur dari bagian Griya Pidada. Bila pagi hari matahari

terbit, ia selalu melaksanakan puja surya sewana setelah melakukan yoga

namaskara. Setiap hari membawa senjata bajra (genta) yang siap digunakan untuk

menaklukkan roh jahat maupun manusia yang hendak berbuat jahat di lingkungan

Griya Pidada. Apabila terdengar seperti ada gajah lewat sehingga menimbulkan

suara jejak kaki besar menimpa tanah, itu tandanya I Jangitan sedang mengelilingi

halaman Griya Pidada menaiki Gajah kesayangannya. Akibatnya sering kali terasa

ada gempa kecil maupun besar di Griya Pidada.

Anak yang kedua bernama I Langkir yang bersemayam di selatan halaman

rumah Griya Pidada. Ia berpakaian serba merah dengan menghunus senjata gada

(penggada) setiap hari. Siap memukul orang yang berniat jahat memasuki halaman

rumah Griya Pidada. Banyak bebek putih yang dipeliharanya, yang terbesar seekor

angsa selalu menemaninya kemapun ia pergi. Apabila ada suara bebek dan angsa

terdengar di siang hari maupun malam hari, itu tandanya I Langkir sedang berjalan-

jalan mengelilingi halaman Griya Pidada sambil mengawasi keadaan. Ditengah

suara riuh bunyi bebek, kadang-kadang ada suara "kir...kir...kir...", itu tandanya I

Langkir sedang memanggil bebek piaraannya.

I Lembu Kanya namanya, anak yang ketiga. Ia bersemayam di sebelah barat

halaman rumah Griya Pidada. Entah apa sebabnya disebut kanya, padahal sebutan

itu untuk perempuan dewasa yang belum kawin. Pada sisi lainnya ia juga disebut

'lembu' yang asosiasinya bertubuh besar. Mungkin ia laki-laki yang perilakunya

keperempuan-perempuanan (kedi). Sehari-hari I Lembu Kanya berpakaian serba

kuning. Sekali-kali ia mengambil bebek milik I Langkir untuk diberikan kepada

ular piaraannya. Salah satu ular piaraanya cukup besar, dihiasi mahkota dan anting-

anting sehingga seperti seekor naga. Kalau sedang memeriksa keadaan Griya

Page 461: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

450 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pidada, I Lembu Kanya membawa senjata yang disebut nagapasa. Semua binatang

tidak ada yang berani mendekat kalau I Lembu Kanya sedang melintas.

Sekarang diceritakan tentang I Taruna yang menghuni bagian utara Griya

Pidada. I Taruna, berpakaian serba hitam, setiap hari membawa senjata cakra yang

siap digunakan apabila ada orang jahat memasuki pekarangan Griya Pidada. Tiada

satupun yang lolos dari senjatanya apabila bermaksud berbuat jahat di Griya

Pidada, entah mau mencuri, merampok, ataupun berniat melakukan kejahatan

lainnya. I Taruna gemar sekali memelihara burung. Itulah sebabnya, berbagai jenis

burung bersarang di pohon yang ada di lingkungan Griya Pidada sampai sekarang.

Dari burung pipit yang kecil-kecil sampai burung Garuda bertengger di pohon-

pohon yang ada di halaman Griya Pidada. Terutama di pohon bunga soka yang

besar dan rimbun daunnya. Pada tempatnya bersemayam di bagian utara Griya

Pidada, banyak sekali sarang burung Manyar ditemukan bergelantungan di pohon

Belingbing sampai sekarang.

Setelah I Taruna yang gemar memelihara burung diceritakan, sekarang satu

lagi nawasanak berperawakan gemuk bernama I Tiga Sakti diceritakan juga. I Tiga

Sakti setiap hari duduk bersila di tengah-tengah halaman rumah Griya Pidada.

Selalu berpakaian warna-warni (lima warna) setiap hari. Tidak pernah pergi jauh

dari tempatnya duduk. Hanya sekali-sekali pergi menaiki lembu piaraanya yang

selalu menyerahkan pundaknya sebagai tempat duduk dari I Tiga Sakti. Ia adalah

nawasanak yang paling sakti dan berwibawa di antara saudara-saudara yang lain.

Walaupun jarang bepergian ke tempat lain, I Tiga Sakti selalu lebih dahulu

mengetahui apa yang terjadi di Griya Pidada dibandingkan saudaranya yang lain.

Semua saudaranya menghormati I Tiga Sakti yang bersenjatakan padma anglayang

karena paling pintar, sakti, dan berwibawa di antara yang lainnya.

Ada lagi yang diceritakan seorang bocah bernama I Pelung atau Si Biru

yang berdiam di sebelah timur laut dari halaman rumah Griya Pidada. Diberi nama

I Pelung atau Si Biru karena selalu berpakaian serba biru. Ia bertubuh tinggi besar

dan bersenjatakan trisula atau senjata dengan tiga mata pisau yang tajam. Oleh

karena wajahnya menyeramkan seperti raksasa, apabila memperlihatkan diri, orang

akan ketakutan dan lari tunggang langgang. Pernah ada seorang pencuri yang lari

tunggang langgang sambil ketakutan mengelilingi halaman rumah Griya Pidada

Page 462: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 451

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

sampai pagi hari sehingga kentara hendak berbuat jahat. Apabila ada suara babi

mendengus didengar, itu tandanya I Pelung sedang ada disekitar suara babi

piaraanya. Demikian juga apabila ada sesuatu yang hilang tanpa ada yang

mengambilnya, sebagai pertanda I Pelung ada disekitar perkakas yang hilang tiba-

tiba itu. Konon katanya, sesungguhnya perkakas (sapu, pisau, piring, sendok

makan, dan lain-lain) yang hilang tiba-tiba itu sesungguhnya diambil oleh raksasa

dan jin yang menjadi sahabat I Pelung.

Nawasanak selanjutnya bernama I Dadu yang berpakaian serba merah muda

yang berwajah tampan. Ia membawa senjata berbentuk wadah dupa menyala.

Seperti nawasanak lainnya, I Dadu mengabdikan dirinya untuk menjaga

lingkungan Griya Pidada dan melindungi orang-orang yang menghuninya. Ia

berdiam di arah tenggara halaman rumah Griya Pidada. Selalu ditemani oleh seekor

harimau yang setia menjaganya. Kadang-kadang dari arah tenggara halaman rumah

Griya Pidada terdengar auman seekor harimau yang menandakan keberadaan I

Dadu.

Diceritakan sekarang nawasanak berwujud seorang bocah yang selalu

berdiam di sebelah barat daya dari halaman rumah Griya Pidada. Ia bernama I

Jingga yang selalu berpakaian berwarna jingga. Bocah kecil yang lincah bernama I

Jingga itu selalu membawa senjata unik yang disebut Moksala. I Jingga memiliki

seekor sapi jinak yang ditungganginya kalau bepergian ke mana ia mau. Kalau ada

suara kalung sapi yang disebut gronongan, itu tandanya I Jingga sedang bepergian.

Di mana suara geronongan itu terdengar, di sanalah ia berada. I Jingga sangat

kejam kepada orang yang berbuat jahat, tetapi baik hati kepada orang yang baik. Ia

suka memberikaan mainan dan perhiasan kepada anak-anak yang sedang

bermainan.

Nawasanak yang termuda bernama I Gadang yang selalu berpakaian serba

hijau. Sehari-hari membawa senjata yang disebut angkus berupa sejenis panah yang

bisa mengejar sasaran yang bergerak. Banyak kucing dipelihara oleh I Jingga

sehingga setiap malam suara kucing itu terdengar gaduh. Selain itu, I Jingga juga

memiliki seekor Singa yang selalu menemaninya kemanapun bepergian. Oleh

karena itu, apabila ada terdengar auman Singa atau suara kucing yang sedang

bertengkar, maka di sekitar itulah I Jingga berada. Seperti bocah lainnya, I Jingga

Page 463: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

452 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

begitu taat menjaga lingkungan dan penghuni Griya Pidada. Itulah sebabnya, Griya

Pidada selalu dalam keadaan aman setiap hari, baik siang maupun malam hari.

Keberadaan bocah kecil yang menjaga lingkungan dan penghuni Griya Pidada

berkaitan dangan seorang pendeta wanita bernama Ida Padanda Istri Mayun.

Adapun ceritanya begini.

Pada suatu hari Ida Ayu Mas, termenung menyesali nasib usai menguburkan

putranya yang kesembilan di halaman rumah bersama suaminya. Putranya yang

kesembilan meninggal karena lahir muda menyusul kakak-kakaknya sebelumnya

yang bernasib sama. Ida Bagus Jelantik, suaminya yang tidak lain sepupunya

sendiri berusaha menghiburnya dengan mendendangkan beberapa bait Kakawin

Arjunawiwaha yang menceritakan kisah keberhasilan Arjuna menyelesaikan

tapanya.

Seusai menguburkan putranya yang kesembilan itu, Ida Ayu Mas jarang ke

luar kamar pada bangunan yang disebut Gunung Rata, bangunan utama yang ada di

pekerangan rumahnya, Griya Pidada. Sejak itu, pekerjaannya setiap hari membaca

lontar koleksi keluarganya turun-temurun. Lontar weda, tutur, tattwa, kakawin,

gaguritan, gancaran, babad, bancangah, purana, plutuk, sasana, dan lain-lain

dibacannya dengan serius. Merasa sudah menguasai begitu banyak pengetahuan

yang tersurat dalam lontar yang dibacanya, Ida Ayu Mas mengajak suaminya untuk

melakukan upacara diksa. Sesuai tradisi keluarganya yang turun temurun menjadi

pendeta, suami dan keluarga besarnya menyambutnya dengan baik.

Jelang beberapa lama setelah kesepakatan untuk melakukan upacara diksa,

ternyata Ida Ayu Mas hamil. Walaupun secara naluriah, Ida Ayu Mas merasakan

kebahagiaan karena hamil lagi, namun pengelaman buruknya sembilan kali

melahirkan janin muda yang begitu lahir meninggal dunia menyebabkannya cemas.

Setelah kehamilannya memasuki bulan ketiga, ritual panekek manik pun dilakukan

oleh suaminya seperti dilakukan pada kehamilan sebelumnya. Setelah itu, diam-

diam Ida Ayu Mas melakukan ritual sendiri di tengah pekarangan di atas sebuah

batu pipih tempat sembilan putranya yang meninggal terdahulu dikuburkan.

Upacara itu dilakukan secara diam-diam pada malam hari dengan cara berdiri di

atas satu kaki (nengkleng). Begitu dilakukan pada malam hari pada saat bulan mati

Page 464: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 453

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

dan pada saat terjadi gerhana bulan atau gerhana matahari. Upacara rahasia tersebut,

disebut rudra puja. Suatu upacara untuk memohon keselamatan dari Tuhan.

Sementara itu, upacara diksa untuk menjadi pendeta bersama suaminya

urung dilakukan karena Ida Ayu Mas mengandung. Setelah usia kandungannya

berumur sekitar sembilan bulan, maka lahirlah dari rahimnya seorang bayi

perempuan. Ida Ayu Mas bahagia sekali karena sekarang telah memiliki seorang

bayi perempuan. Setelah putri pertama dilahirkan, menyusul kemudian putra kedua

dan ketiga.

Kehadiran putra-putrinya, menyebabkan Ida Ayu Mas melupakan upacara

atau ritual rahasia yang dilakukannya setiap bulan mati (tilem) dan pada saat

gerhana bulan (dhandra graha) maupun gerhana matahari (surya graha).

Akibatnya, putra bungsunya sakit tidak kunjung sembuh. Ayahandanya

mengingatkan kewajiban Ida Ayu Mas untuk melakukan upacara durga puja.

Setelah kembali melakukan upacara durga puja, segera putranya sembuh. Sejak

saat itu, tidak sekalipun Ida Ayu Mas meninggalkan upacara itu.

Sekarang diceritakan sudah saatnya Ida Ayu Mas melakukan upacara diksa

(menjadi pendeta) sesuai tradisi keluarga. Singkat cerita, upacara diksapun

dilakukan pada hari yang tepat (dewasa ayu). Ida Ayu Mas berganti nama menjadi

Ida Padanda Istri Mas. Walaupun sudah menjadi padanda (pendeta), upacara

durga puja selalu dilakukannya pada saat bulan mati dan gerhana bulan maupun

gerhana matahari. Akibat ketaatannya menjalankan upacara tersebut, putranya yang

berjumlah sembilan orang hidup abadi dengan kekuatannya masing-masing.

Kesembilan bocah itu disebut nawasanak yang dengan setia menjaga lingkungan

dan penghuni Griya Pidada sampai sekarang walaupun beliau sudah tiada.

3.2 Pesan Teks Mitos Nawasanak

Mitos Nawasanak, sepintas seperti menceritakan keberadaan sembilan

tokoh supra natural yang jumlahnya sembilan orang dengan pakaian masing-masing

berwarna berbeda. Tokoh bocah atau anak-anak tersebut diceritakan menduduki

tempat sesuai arah mata angin. Ada yang tinggal di sebelah utara, timur laut, timur,

tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, dan di tengah. Masing-masing bocah

tersebut membawa senjata berbeda yang digunakan untuk menjaga diri dan

Page 465: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

454 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

mencederai orang atau makhluk lain yang hendak berbiat jahat kepada penghuni

Griya Pidada. Selain diceritakan membawa senjatanya masing-masing, sembilan

bocah yang disebut Nawasanak tersebut memiliki binatang piaraanya masing-

masing.

I Taruna, tinggal di sebelah utara. berpakaian serba Hitam, membawa

senjata Cakra, dan suka memelihara burung. Burung Garuda, adalah burung

peliharaan terbesar miliknya. I Pelung, tinggal di sebelah timur laut. Berpakaian

serba biru, membawa senjata Trisula, memiliki binatang piaraan beberapa ekor

babi. Babi terbesar yang dimilikinya adalah babi hutan besar dengan taring yang

panjang. Ia juga diceritakan berteman dengan makhluk makhluk halus dan jin. I

Jangitan, tinggal di sebelah timur. Berpakaian serba putih, membawa senjata Bajra

(genta). Ia memiliki gajah sebagai binatang piaraannya. I Dadu, tinggal di arah

tenggara. Berpakaian serba merah muda, membawa senjata Padipan (dupa).

Memiliki seekor harimau sebagai binatang piaraan. I Langkir, tinggal di sebelah

selatan. Berpakaian serba merah, membawa senjata Gada (penggada). Memiliki

banyak bebek putih sebagai binatang piaraan, yang paling besar seekor angsa. I

Jingga, tinggal di sebelah barat daya. Berpakaian serba jingga, membawa senjata

yang disebut Moksala. Memiliki seekor sapi sebagai binatang piaraan. I Lembu

Kanya, tinggal di barat. Berpakaian serba kuning, membawa senjata yang disebut

Nagapasa. Memiliki beberapa ekor ular sebagai binatang piaraan, dan yang terbesar

seekor Naga. I Gadang, tinggal di barat laut. Berpakaian serba hijau, membawa

senjata yang disebut Angkus. Ia memiliki beberapa kucing dan seekor Singa sebagai

binatang piaraan. Terakhir, I Tiga Sakti yang tinggal di tengah-tengah halaman

rumah Griya Pidada. Berpakaian berwarna-warni (lima warna), membawa senjata

yang disebut Padma Anglayang. Memiliki seekor Lembu sebagai binatang piaraan.

Teks mitos Nawasanak, secara eksplisit menceritakan bahwa Griya Pidada dan

penghuninya dijaga oleh sembilan bocah dari segala mara bahaya. Baik mara

bahaya berupa kekuatan supranatural maupun fisik (pencuri, perampok, dan

kejahatan lainnya). Mitos ini menceritakan tentang eksistensi sembilan bocah yang

disebut Nawasanak sebagai pelindung "dunia pidada". Di mana yang dimaksud

"dunia pidada" sesungguhnya berkaitan dengan tempat yang disebut Griya Pidada

dan klan brahmana dalam struktur sosial masyarakat Bali yang disebut pidada.

Page 466: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 455

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bocah Nawasanak sesungguhnya dilahirkan oleh seorang wanita bernama

Ida Ayu Mas, salah seorang penghuni Griya Pidada. Bocah tersebut dilahirkan

dalam keadaan meninggal dunia. Setiap kali melahirkan putranya yang meninggal

dunia, Ida Ayu Mas sangat bersedih hati. Sampai pada saat bayi yang kesembilan

yang dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, Ida Ayu Mas melakukan kegiatan

religius berupa pelaksanaan upacara durga puja dan memutuskan untuk segera

melakukan upacara diksa (upacara menjadi seorang pendeta). Namun, sebelum

upacara diksa tersebut dilaksanakan, ternyata Ida Ayu Mas hamil. Oleh karena itu,

upacara diksa dimaksud ditunda pelaksanaannya sembari menunggu kelahiran

bayinya. Kalau bayi yang dilahirkan meninggal dunia, maka segera akan dilakukan

upacara diksa itu.

Ternyata, bayi berjenis kelamin perempuan yang dilahirkan untuk

kesepuluh kalinya oleh Ida Ayu Mas, lahir normal dan bertahan hidup. Berselang

dua tahun kemudian lahir bayi laki-laki yang kedua dalam keadaan hidup.

Demikian selanjutnya bayi yang ketiga berhasil dilahirkan oleh Ida Ayu Mas.

Kehadiran bayi-bayi itu menyebabkan Ida Ayu Mas melupakan upacara durga puja

yang dilakukannya sebelum memiliki bayi. Kejadian aneh pun akhirnya melanda

keluarga kecil berbahagia itu. Putranya yang ketiga mengalami sakit keras tidak

kunjung sembuh. Oleh mertuanya, Ida Ayu Mas diingatkan karena telah melupakan

upacara durga puja yang dahulu pernah dilakukannya.

Ida Ayu Mas mengikuti nasihat mertuanya untuk segera melakukan upacara

durga puja. Segera setelah melakukan upacara durga puja, putranya yang ketiga

sembuh. Sejak saat itu, Ida Ayu Mas tidak pernah lupa melakukan upacara durga

puja sampai akhir hayatnya.

Seperti dinyatakan oleh Robertson Smith (1846-1894), mitos Nawasanak

sesungguhnya melegitimasi (mengukuhkan) ritual (durga puja) yang dilaksanakan

oleh keturunan Ida Ayu Mas. Upacara atau ritual itu sesungguhnya untuk

mengenang kejadian yang pernah terjadi di Griya Pidada.

Terlepas apakah unsur sejarah, yaitu terjadinya melahirkan sembilan orang

bayi dalam keadaan meninggal oleh Ida Ayu Mas dan kejadian lainnya dalam

mitologi Nawasanak merupakan sejarah bentukan masyarakat Kota Amlapura

Kabupaten Karangasem Bali diyakini kebenarannya. Di mana mitos tersebut

Page 467: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

456 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

merupakan sebuah pesan kepada generasi berikutnya, bahwa di Griya Pidada

pernah terjadi kejadian dramatik menimpa seorang perempuan. Kejadian tersebut

menyebabkan adanya upacara yang disebut rudra puja. Akhirnya dengan mitos

Nawasanak masyarakat diingatkan bahwa Griya Pidada merupakan lembaga

agama. Bentuk pesan atau tuturan kepada generasi berikutnya itu harus diyakini

kebenarannya walaupun tidak dapat dibuktikan (1972).

IV SIMPULAN

Jalinan eksplanasi dalam pembahasan di atas merefleksikan bahwa:

1. Nawasanak melindungi lingkungan dan penghuni Griya Pidada. Dengan kata

lain, Nawasanak yang berupa bocah dengan pakaian warna-warni tertentu

melindungi “dunia pidada” dengan senjata dan kekuatan supranaturalnya;

2. Adanya upacara rudra puja setiap bulan mati, gerhana bulan, dan gerhana

matahari oleh seorang pendeta. Upacara tersebut diselenggarakan pada waktu

dan tempat tertentu (naimitika karma);

3. Mitos Nawasanak mengingatkan (mengenang) bahwa di Griya Pidada pernah

terjadi kejadian yang menimpa seorang wanita melahirkan sembilan orang putra

dalam keadaan meninggal dunia.

4. Kehadiran mitos Nawasanak di Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali

melegitimasi kedudukan Griya Pidada sebagai lembaga agama di tengah

masyarakat.

Demikian simpulan penelitian kecil ini. Masih banyak lapisan makna teks mitos

Nawasanak yang belum terungkap. Semoga pada penelitian berikutnya,

keseluruhan makna teksnya dapat diungkapkan lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, R. 1972. Mythologies. New York: Noondy Press. Frazer, James. 1992. The Golden Bough. New York: Macmillan. Graf, Fritz (1993). Greek Mythology. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Meletinsky, Elea. 2000. The Poetics of Myth. New York: Routledge.

Page 468: simdos.unud.ac.id · ii KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 457

Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Segal, Robert. 2004. Myth: A Very Short Introduction. London: Oxford University

Press. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta:

LP3ES. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Unipress

bekerjasama dengan Citra Wacana. Propp, Vladimir. 1984. Theory and History of Folklore. Minneapolis: University of

Minneapolis.